VI. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN TUNA DAN MITIGASI BENCANA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "VI. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN TUNA DAN MITIGASI BENCANA"

Transkripsi

1 92 VI. ANALISIS KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN TUNA DAN MITIGASI BENCANA 6.1. Analisis Ekonomi Sub Sektor Perikanan Analisis Kontribusi Perikanan merupakan merupakan salah satu sub sektor pertanian di Kota Padang dengan potensi ekonomi yang cukup besar. Hal ini berdasarkan atas hasil analisis deskriptif dan studi literatur pada bab penelitian ini sebelumnya. Nilai kontribusi yang dihasilkan bagi perekonomian daerah diperoleh berdasarkan indikator PDRB melalui analisis Shift Share dengan perbandingan persentase antara PDRB sub sektor perikanan pada tahun i terhadap total PDRB seluruh sektor pada tahun i di Kota Padang. Secara rinci hasil analisis Shift Share disajikan pada Tabel 25. Tabel 25. Perhitungan Kontribusi Antar Sektor di Kota Padang Berdasarkan Indikator PDRB Harga Konstan No. SEKTOR KONTRIBUSI (%) Pertanian 5,25 5,31 5,26 5,22 5,16 5,14 5,16 5,13 5,12 5,14 5,10 Perikanan 2,84 2,89 2,85 2,85 2,83 2,83 2,86 2,86 2,87 2,89 2,89 2 Pertambangan dan Penggalian 1,68 1,67 1,61 1,55 1,52 1,52 1,53 1,54 1,53 1,53 1,54 3 Industri Pengolahan 18,10 17,98 17,98 17,42 17,05 16,99 16,97 16,77 16,55 16,34 16,12 4 Listrik, Gas dan Air Bersih 1,50 1,64 1,72 1,75 1,69 1,67 1,67 1,73 1,77 1,79 1,79 5 Bangunan 4,17 4,15 4,11 4,07 4,06 4,12 4,22 4,24 4,25 4,24 4,30 6 Perdagangan, Hotel dan Restoran 22,37 22,31 22,32 22,06 21,81 21,94 22,30 22,12 21,78 21,44 21,17 7 Pengangkutan dan Komunikasi 22,45 22,31 22,71 23,84 24,83 24,59 23,63 23,87 24,30 24,73 25,20 8 Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 7,31 7,37 7,25 7,23 7,39 7,58 7,82 7,93 8,00 8,07 8,13 9 Jasa-jasa 17,17 17,25 17,03 16,85 16,49 16,46 16,69 16,66 16,69 16,72 16,66 Total (%) Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Data kontribusi antar sektor di Kota Padang selama 11 tahun terakhir menunjukkan terjadinya fluktuasi dan perbedaan kontribusi masing-masing sektor. Sektor yang secara umum memberikan peningkatan kontribusi antara lain; pertanian, bangunan, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, serta jasa-jasa. Peningkatan sektor ini pun tidak setiap tahun meningkat tapi beberapa kali mengalami fluktuasi. Sementara itu sektor lainnya mengalami penurunan.

2 Kontribusi (%) 93 Perbedaan kontribusi dan fluktuasi ini tidak lepas dari faktor karakteristik potensi daerah serta berbagai goncangan yang terjadi akibat krisis nasional maupun daerah. Secara umum terjadi peningkatan PDRB pada beberapa sektor di Kota Padang. Menggeliatnya ekonomi dan iklim investasi menjadi pemicu peningkatan pendapatan daerah ini. Kondisi ini juga berdampak pada sub sektor perikanan yang turut mengalami peningkatan. Perhitungan kontribusi ini dihitung melalui analisis Shift Share berdasarkan indikator PDRB harga konstan tahun Rekap perkembangan kontribusi ini secara jelas ditampilkan dalam Gambar 14. Kontribusi Sektor Perikanan 2,90 2,89 2,89 2,89 2,88 2,86 2,84 2,84 2,85 2,85 2,83 2,83 2,86 2,86 2,87 2,82 2,80 y = 0,0034x + 2,8393 R² = 0,2193 2,78 Gambar 14. Perkembangan Kontribusi Sub Sektor Perikanan di Kota Padang Berdasarkan Indikator PDRB Harga Konstan Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Perkembangan kontribusi yang dihasilkan sub sektor perikanan seperti yang ditampilkan dalam Gambar 14, memperlihatkan terjadinya peningkatan kontribusi selama sepuluh tahun terakhir. Hal ini tidak terlepas dari peningkatan nilai tuna sebagai komoditi ekspor dan juga dampak positif dari kebijakan pemerintah pusat yang menetapkan Kota Padang (PPS Bungus) sebagai sentra perikanan tuna Indonesia Bagian Barat. Kontribusi utama perikanan di Padang adalah berasal dari perikanan tangkap, hal ini didukung oleh posisinya sebagai daerah pesisir yang menghadap ke Samudera Hindia. Trend peningkatan kontribusi ini perlu disikapi stakeholder terkait melalui kebijakan pengembangan yang akan berdampak bagi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.

3 Analisis Basis Ekonomi Penilaian basis ekonomi Kota Padang dalam penelitian ini dihitung menggunakan analisis Location Quotient (LQ). Analisis basis ekonomi memuat sembilan sektor perekonomian yang ada di Kota Padang. Secara rinci perhitungan LQ antar sektor ditampilkan pada Lampiran 11. Berdasarkan hasil analisis Location Quotient, beberapa sektor di Kota Padang dapat dikategorikan sektor basis selama 10 tahun terakhir. Sektor basis tersebut yaitu; Industri Pengolahan; Listrik, Gas dan Air Bersih; Perdagangan, Hotel dan Restoran; Pengangkutan dan Komunikasi serta Keuangan, Persewaan; Jasa Perusahaan. Sektor-sektor ini menurut Sjafrizal (2008) merupakan sektor yang kegiatannya dapat mendatangkan pendapatan dari luar wilayah, sektor yang fungsi permintaanya bersifat exogenous dan dapat meningkatkan pertumbuhan perekonomian wilayah serta menjadi tulang punggung perekonomian daerah karena mempunyai keuntungan kompetitif (competitive advantage) yang cukup tinggi. Perkembangan sub sektor perikanan di Kota Padang yang tergolong ke dalam sektor pertanian mengalami tren peningkatan. Dari tahun 2000 sampai tahun 2010 perikanan dikategorikan sektor basis karena nilai LQ>1. Kenaikan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya karena peningkatan produksi perikanan laut khususnya nilai kontribusi yang dihasilkan tuna. Perhitungan nilai LQ sub sektor perikanan diuraikan dalam Tabel 26 dan Gambar 15. Tabel 26. Perhitungan LQ Sub Sektor Perikanan Kota Padang No. Tahun vi Vi vt Vt (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) (Juta Rp) LQ Ket , , , ,05 1,004 Basis , , , ,93 1,020 Basis , , , ,76 1,051 Basis , , , ,64 1,030 Basis , , , ,56 1,024 Basis , , , ,53 1,046 Basis , , , ,10 1,051 Basis , , , ,59 1,063 Basis , , , ,42 1,067 Basis , , , ,68 1,073 Basis , , , ,68 1,107 Basis Sumber : Hasil Analisis Data, 2012

4 Nilai LQ 95 Nilai LQ Sektor Perikanan 1,12 1,10 1,08 1,06 1,04 1,02 1,00 0,98 0,96 0,94 1,00 1,02 1,05 1,03 1,02 1,05 1,05 1,06 1,07 1,07 y = 0,0079x + 1,0015 R² = 0,8221 1,11 Gambar 15. Perkembangan Nilai LQ Sub Sektor Perikanan di Kota Padang Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Hasil analisis yang ditampilkan pada Tabel 26 dan Gambar 15 menunjukkan perikanan merupakan sektor basis di Kota Padang. Adanya tren kenaikan nilai LQ menjadi landasan dalam merumuskan kebijakan pengembangan yang akan diambil. Sub sektor perikanan sudah seharusnya ditempatkan menjadi tulang punggung perekonomian daerah sehingga mendapat proporsi untuk dikembangkan dan memberikan keuntungan komparatif bagi daerah. Kebijakan pengembangan sektor basis ini juga akan memberikan dampak berganda bagi peningkatan kontribusi sektor lain. Perekonomian suatu daerah terdiri dari beberapa sektor dengan berbagai potensi ekonomi. Pertumbuhan atau penurunan salah satu sektor mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Analisis pertumbuhan ekonomi dengan sektor wilayah tertentu membantu pembuat kebijakan (policy maker) dan stakeholder dalam pengambilan kebijakan yang lebih baik (Herath et al., 2012). Melalui hasil analisis shift share diperoleh kesimpulan bahwa sub sektor perikanan memiliki peluang dalam meningkatkan perekonomian daerah. Oleh karena itu, perlu adanya kebijakan dalam penguatan sektor basis melalui investasi dan program pengembangan guna mencapai kesejahteraan.

5 Analisis Makro Perikanan antar Wilayah Menurut Fauzi (2010), pendekatan MRA (Minimum Requirement Approach) dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi makro sub sektor perikanan. Pendekatan ini dapat mengukur seberapa besar kekuatan sektor basis dengan mengukur base multiplier-nya. Melalui pendekatan ini diperoleh gambaran pengaruh sub sektor perikanan terhadap sektor lainnya di Kota Padang dengan membandingkannya pada daerah yang memiliki karakteristik potensi perikanan laut di Provinsi Sumatera Barat. Pengukuran MRA dalam penelitian ini menggunakan variabel tenaga kerja (E=Employment) sebagai indikator. Pada kasus ini, teknik MRA mengandalkan wilayah yang memiliki karakteristik yang sama yang digunakan sebagai acuan atau peer. Daerah lain yang dipilih sebagai pembanding dalam indikator tenaga kerja adalah daerah pesisir yang menjadikan sub sektor perikanan sebagai salah satu tulang punggung perekonomian. Daerah tersebut antara lain Kota Pariaman, Kabupaten Padang Pariaman, Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Pasaman Barat dan Kabupaten Kepulauan Mentawai. Perhitungan nilai share tenaga kerja antar wilayah dijelaskan dalam Tabel 27 berikut: Tabel 27. Share Tenaga Kerja Sub Sektor Perikanan antar Wilayah di Sumatera Barat Tahun 2010 No. Wilayah Total Tenaga Kerja Tenaga Kerja Perikanan Share Tenaga Kerja 1 Kota Padang ,023 2 Kota Pariaman ,037 3 Kab. Padang Pariaman ,028 4 Kab. Pesisir Selatan ,088 5 Kab. Pasaman Barat ,017 6 Kab. Kepulauan Mentawai ,088 Sumber. BPS Provinsi Sumbar, 2010 (Data diolah tahun 2012) Dari data nilai share yang diperoleh terlihat bahwa daerah yang memiliki nilai share tertinggi untuk perikanan adalah Kabupaten Kepulauan Mentawai dan Pesisir Selatan. Nilai ini merupakan perbandingan komposisi tenaga kerja keseluruhan dengan tenaga kerja yang khusus bekerja sebagai nelayan (perikanan tangkap). Sedangkan daerah dengan nilai share terendah adalah Kabupaten Pasaman Barat dengan nilai 0,017. Kota Padang sebagai Ibu Kota Provinsi memiliki keunggulan komparatif pada sektor jasa, keuangan dan perdagangan,

6 97 sehingga jumlah tenaga kerja terbesar bergerak pada sektor-sektor tersebut. Nilai share Pasaman Barat dijadikan sebagai peer dalam tahap perhitungan selanjutnya karena merupakan nilai yang paling minimum dari sub sektor perikanan. Perhitungan MRA dijelaskan dalam Tabel 28 sebagai berikut: Tabel 28. Perhitungan MRA Sub Sektor Perikanan antar Wilayah di Sumatera Barat Tahun 2010 No. Wilayah Share Sektor Minimum Shares Peer Total Emp. Sektor Total Emp. Basic Emp. Basic Multiplier 1 Kota Padang 0,023 0, , ,6 2 Kota Pariaman 0,037 0, ,156 50,4 3 Kab. Padang Pariaman 0,028 0, ,246 95,0 4 Kab. Pesisir Selatan 0,088 0, ,298 14,1 5 Kab. Kepulauan Mentawai 0,088 0, ,299 14,0 6 Kab. Pasaman Barat 0,017 0, Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Data hasil analis Tabel 28 dapat digunakan untuk menghitung pengganda basis (base multiplier) sub sektor perikanan. Pengganda basis ini dihitung berdasarkan rasio antara total tenaga kerja perikanan dibagi dengan basic employment. Kota Padang dalam analisis ini memiliki nilai basic multiplier sebesar 177,6 hal ini menunjukkan bahwa setiap 177 tenaga kerja yang diciptakan oleh sektor basis akan menghasilkan 0,6 tenaga kerja di sektor non basis. Daerah yang memberikan efek pengganda terbesar adalah Kota Pariaman, dimana dapat diinterpretasikan bahwa pada daerah ini untuk setiap 50 tenaga kerja di sektor basis diharapkan akan tercipta 4 tenaga kerja di sektor non basis Analisis Bioekonomi Sumberdaya Perikanan Analisis bioekonomi sumberdaya perikanan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pada jenis ikan tuna. Tuna sebagai objek penelitian dipilih karena merupakan komoditi utama perikanan tangkap Kota Padang yang menghasilkan kontribusi terbesar dibandingkan jenis lain. Berdasarkan hal tersebut, maka analisis bioekonomi dalam penelitian ini menggunakan satu jenis spesies (single species) yaitu tuna. Ikan tuna yang diteliti adalah jenis Tuna Mata Besar/bigeye (Thunus obesus) dan Tuna Sirip Kuning/yellowfin (Thunus albacares).

7 98 Data sekunder sebagai rujukan analisis data pada tahap ini diperoleh dari Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus Kota Padang yang juga merupakan sentra perikanan tuna Indonesia bagian barat. Jenis armada atau alat tangkap yang menjadi objek penelitian adalah tuna longline/rawai tuna. Data produksi dan effort yang diperoleh di lapangan yaitu selama 12 tahun. Data ini selanjutnya dianalisis melalui analisis bioekonomi dari tahun 2000 sampai tahun Jumlah produksi dan effort ikan tuna yang didaratkan di PPS Bungus dengan alat tangkap longline ditampilkan dalam Tabel 29. Tabel 29. Perkembangan Produksi dan Effort Tuna Kota Padang No. Tahun Produksi (ton) Effort (trip) Produksi Total (ton) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,35 Sumber: Statistik Perikanan Tangkap PPS Bungus Hasil tangkapan per-upaya penangkapan (CPUE) tuna longline dari waktu ke waktu yang didaratkan di Kota Padang cenderung meningkat, sebagaimana disajikan pada Gambar 16. Menurut Sparre dan Venema (1989), CPUE merupakan indek kelimpahan stok ikan di perairan. Oleh karena itu, melalui nilai yang dihasilkan pada analisis ini dapat diartikan bahwa masih terdapat peluang penambahan produksi mengingat tersedianya stok ikan di lokasi penangkapan. Upaya meningkatkan produksi ini juga harus mempertimbangkan faktor keberlanjutan sumberdaya. Kebijakan dan regulasi dari pemerintah terkait pengelolaan khususnya sumberdaya ikan tuna di Perairan Kota Padang dan WPP 572 Kawasan Samudera Hindia menjadi suatu keharusan guna mencapai optimalisasi dan keberlanjutan. Perkembangan Catch Per Unit Effort (CPUE) ditampilkan pada Gambar 16.

8 CPUE 99 Perkembangan CPUE ,43 5,86 6,19 5,75 9,33 7,99 7,94 7,80 6,73 8,62 8,19 7,83 y = 0,2646x + 5,5019 R² = 0,4495 CPUE Linear (CPUE) Gambar 16. Perkembangan CPUE Sumberdaya Tuna Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Gambar 11 menunjukkan CPUE tertinggi terjadi pada tahun 2004 (9,329 ton/trip) dan terendah terjadi pada tahun 2000 (4,429 ton/trip). CPUE rata-rata sebesar 7,222 ton/trip atau kg/trip. Nilai ini relatif cukup besar dibandingkan biaya operasional sekali melaut. Rendahnya tingkat effort yang secara langsung berdampak pada CPUE juga dipengaruhi oleh kondisi pelabuhan. Melalui data di lapangan, beberapa kendala usaha tuna longline di PPS Bungus Kota Padang adalah terkait kurangnya pasokan BBM, sumber air bersih dan keamanan Estimasi Parameter Biologi Estimasi Parameter biologi dilakukan dengan menggunakan beberapa model estimator yaitu, model estimasi Algoritma Fox, model estimasi Clarke, Yashimoto dan Pooley (CYP), model estimasi Walter dan Hilborn (W-H) dan model estimasi Schnute. Adapun parameter yang diestimasi meliputi tingkat pertumbuhan intrinsik (r), daya dukung lingkungan perairan (K) dan koefisien daya tangkap (q). Selain itu juga dilakukan uji statistik untuk validitas data serta membandingkan biomas (x), produksi (h) dan Effort (E) pemanfaatan aktual dan optimal sumberdaya ikan tuna dari tiap-tiap model.

9 100 Penelitian ini menggunakan hasil analisis model estimator Clarke, Yashimoto dan Pooley (CYP). Penggunaan model ini karena hasil analisis dari parameter estimasi menghasilkan nilai yang logis secara apriori teori dan didukung oleh uji statistik. R square dari model estimasi CYP dalam analisis penelitian ini juga cukup besar. Menurut Pindyck RS and DL Rubinfeld (1998), nilai determinasi atau R square lazim digunakan untuk mengukur goodnes of fit dari model regresi dan untuk membandingkan tingkat validitas hasil regresi terhadap variabel independen dalam model, dimana semakin besar nilai R square menunjukkan bahwa model tersebut semakin baik. Estimasi parameter biologi dan teknik pada sumberdaya ikan tuna dapat dilihat pada Tabel 30. Tingkat pertumbuhan intrinsik (r) dan koefisien daya tangkap (q) yang paling tinggi dari keempat model estimasi tersebut adalah model estimasi W-H yaitu sebesar 2,76 ton per tahun dan 0,0066 ton per trip, sedangkan untuk daya dukung lingkungan perairan (K) yang tertinggi adalah model Algoritma Fox sebesar 4.119,23 ton per tahun. Berdasarkan uji statistik, model estimasi yang memiliki signifikansi uji F di bawah 0,05 dan nilai adjusted R 2 lebih tinggi dibandingkan model lain adalah model estimasi Walter-Hilborn. Tabel 30. Perbandingan Data Aktual, Parameter Biologi, MSY dan Uji Statistik pada Sumberdaya Ikan Tuna Pemanfaatan Aktual Parameter Biologi Persentase Uji Statistik Aktual MSY terhadap R r q K Uji F Sig MSY Square Adjust ed R2 Algoritma Fox -1,325 0, ,23 7,437 0,023 0,452 0,392 Biomas (x) (ton) 2.059,62 Produksi (h) (ton) 672,97 (1.363,99) -50,3% Effort (E) (trip) 103,58 (319,05) -32,5% CYP 2,642 0, ,68 3,942 0,071 0,530 0,395 Biomas (x) (ton) 838,34 Produksi (h) (ton) 672, ,49 62,0% Effort (E) (trip) 103,58 248,14 41,7% Walter-Hibron 2,755 0, ,39 4,648 0,052 0,570 0,448 Biomas (x) (ton) 242,19 Produksi (h) (ton) 672,97 333,68 201,7% Effort (E) (trip) 103,27 207,26 49,8% Schnute 0,364 0, ,73 0,305 0,747 0,080-0,183 Biomas (x) (ton) (28.043,36) Produksi (h) (ton) 672,97 (5.106,58) -13,2% Effort (E) (trip) 103,27 (1.228,18) -8,4% Sumber : Hasil Analisis Data, 2012

10 101 Berdasarkan perhitungan model CYP yang diuraikan pada Lampiran 12, Lampiran 13 dan Lampiran 14 diperoleh parameter biologi untuk ikan tuna yang didaratkan di PPS Bungus seperti yang diuraikan dalam Tabel 31 dan Tabel 32. Melalui perhitungan tersebut diperoleh hasil bahwa tingkat pertumbuhan instrinsik ikan tuna (r) adalah 2,64 ton per tahun dan koefisien daya tangkap (q) sebesar 0,0053 ton per trip serta daya dukung lingkungan perairan (K) adalah 1.676,68 ton per tahun. Tabel 31. Keluaran Regresi Model CYP Parameter Regresi Coefficients Standard Error t Stat F β 0 2, , , β 1-0, , , β 2-0, , , Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 (Rincian dalam Lampiran 14) Multiple R 3, , Data pada Tabel 31 selanjutnya diolah untuk mengestimasi parameter biologi dari sumberdaya ikan tuna dengan alat tangkap longline. Tabel 32 menunjukkan hasil estimasi parameter biologi dari sumberdaya ikan tersebut berdasarkan estimator CYP dan fungsi pertumbuhan logistik. Parameter biologi yang ditunjukkan adalah laju pertumbuhan (r), koefisien daya tangkap (q), koefisien daya dukung (K). Tabel 32. Parameter Biologi Parameter r q K 2, , ,68 Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Data pada Tabel 32 menunjukkan parameter biologi dari sumberdaya ikan tuna hasil estimasi menggunakan metode CYP. Tingkat pertumbuhan alami atau laju pertumbuhan sumberdaya tuna sebesar 2,64, koefisien daya tangkap sebesar 0,005 sedangkan koefisien daya dukung sebesar 1.676,68. Hasil estimasi dari tiga parameter tersebut berguna untuk menentukan tingkat produksi lestari, seperti Maximum Sustainable Yield (MSY), Maximum Economic Yield (MEY) dan kondisi Open Access.

11 Estimasi Parameter Ekonomi a. Harga dan Struktur Biaya Data untuk estimasi parameter ekonomi yang berkaitan dengan struktur biaya dan harga dalam penelitian ini merupakan data cross section yang diperoleh melalui data sekunder selama 10 tahun di Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Barat dan wawancara lapangan pada nelayan di Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus. Data cross section untuk biaya input diperoleh dari responden yang menggunakan armada longline yang terkait dengan sumberdaya ikan tuna. Komponen biaya merupakan faktor penting dalam usaha perikanan tangkap, karena besarnya biaya akan mempengaruhi efisiensi dari usaha tersebut. Harga yang digunakan pada ikan tuna adalah harga riil. Harga riil adalah harga yang diperoleh dilapangan dikalikan dengan Indeks Harga Konsumen (IHK). Pada penelitian ini digunakan IHK dengan tahun dasar Langkah berikutnya adalah melakukan penyesuaian dengan Indek Harga Konsumen sehingga diperoleh nilai biaya per-trip tuna longline dan harga per-ton seperti yang disajikan dalam Tabel 33. Tabel 33. Biaya Per-trip dan Harga Rata-rata Ikan Tuna Kota Padang No. Biaya Trip Harga (Juta Tahun IHK IHK 2007 (Rp/trip) Rp/ton) ,59 51, , ,24 57, , ,33 64, , ,58 67, , ,54 72, , ,12 81, , ,20 91, , ,76 100, , ,63 87, , ,64 116, , ,62 122, ,38 Rata-rata ,46 Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Data biaya dalam penelitian ini adalah biaya per-unit effort, oleh karena itu biaya tersebut dihitung dari data primer yang diperoleh di lapangan. Biaya per-trip sangat ditentukan oleh lamanya penangkapan di laut. Selain faktor biaya juga sangat diperlukan faktor harga atau nilai dari sumberdaya yang dimanfaatkan dalam menganalisis bioekonomi sumberdaya tersebut. Variabel harga

12 103 berpengaruh terhadap jumlah penerimaan yang diperoleh dalam usaha penangkapan ikan. Data harga nominal merupakan nilai rataan dari harga target spesies dari alat tangkap yaitu tuna. Harga tersebut disajikan dalam bentuk harga ikan (juta rupiah) per ton yang diperoleh dari data primer. b. Estimasi Discount Rate Discount rate merupakan suatu rate untuk mengukur manfaat masa kini dibandingkan manfaat yang akan datang dari ekploitasi sumberdaya alam. Tingkat pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya menggambarkan persepsi masyarakat terhadap sumberdaya alam itu sendiri. Karenanya discount rate seperti ini disebut juga sebagai social discount rate. Pada negara-negara berkembang seperti Indonesia, biasanya tingkat social discount rate tinggi karena menganggap nilai masa depan dari sumberdaya alam dan lingkungan lebih rendah dari saat ini. World Bank merilis tingkat discount rate yang dianjurkan bagi negara-negara berkembang adalah 10 persen sampai dengan 20 persen. Pengukuran tingkat social discount rate sebenarnya relatif sulit karena adanya dinamika perkembangan sosial. Dinamika ini mengakibatkan persepsi masyarakat terhadap sumberdaya alam bisa berbeda dari waktu ke waktu tergantung dari situasi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Namun demikian, kendala ini dapat di atasi melalui pendekatan tingkat suku bunga perbankan, yaitu keseimbangan antara suku bunga simpanan dan pinjaman. Melalui hasil perhitungan real discount rate diperoleh laju pertumbuhan dari PDRB Kota Padang, yaitu dengan nilai g =0,0061 atau 0,61 persen. Standar elastisitas pendapatan terhadap konsumsi sumberdaya alam ditentukan berdasarkan pendekatan Brent (1990) diacu dalam Anna (2003) sebesar 1, ρ diasumsikan sama dengan nilai nominal saat ini (current nominal discount rate) sebesar 17 persen. Nilai r dihitung menggunakan rumus r=ρ γ.g, sehingga melalui perhitungan tersebut diperoleh nilai r yaitu 16,39. Nilai r tersebut kemudian dijustifikasi untuk menghasilkan real discount rate dalam bentuk annual continues discount rate melalui δ= ln(1+r), yaitu sebesar 0,16 atau 16 persen. Angka tingkat diskon ini selanjutnya digunakan sebagai discount rate pada perhitungan optimal dinamik dari sumberdaya ikan tuna. Penggunaan nilai

13 104 market discount rate yang berlaku saat ini sebesar 17 persen juga digunakan sebagai nilai discount rate pembanding dalam analisis sumberdaya ikan tuna Estimasi Produksi Lestari Produksi lestari merupakan hubungan antara hasil tangkapan dengan upaya penangkapan dalam bentuk kuadratik, dimana tingkat effort maupun hasil tangkapan yang diperoleh tidak akan mengancam kelestarian sumberdaya perikanan. Produksi lestari dalam penelitian ini dibagi menjadi dua, yaitu produksi lestari maksimum (MSY) dan produksi lestari secara ekonomi yang maksimum (MEY). Pada analisis estimasi MSY, variabel yang digunakan berupa parameter biologi saja, sedangkan pada analisis MEY, variabel yang digunakan adalah parameter biologi dan ekonomi. Parameter biologi diantaranya parameter r, q, K, sedangkan parameter ekonomi seperti c (cost per-unit effort), harga riil (real price), dan annual continues discount rate ( δ ). MSY atau maximum sustainable yield merupakan hasil tangkapan terbesar yang dapat dihasilkan suatu stok sumberdaya perikanan yang berada dalam batas kelestarian. MSY dalam hal ini dihitung menggunakan fungsi pertumbuhan logistik. Sebelum mengestimasi MSY, terlebih dahulu dilakukan estimasi parameter biologi. Selanjutnya hasil estimasi ini digunakan untuk mengestimasi tingkat upaya (effort) pada kondisi MSY. produksi lestari Ikan Tuna Kota Padang disajikan pada Tabel 34. Nilai effort, produksi aktual dan Tabel 34. Effort, Produksi Aktual dan Produksi Lestari Ikan Tuna Kota Padang No. Tahun Effort Produksi Produksi (Et) Aktual (ton) Lestari (ton) , , , , , , , , ,87 240, ,89 113, , , ,27 167, ,35 551, ,67 769, ,64 801,99 Rata-rata 672, ,05 Sumber : Hasil Analisis Data, 2012

14 Produksi (ton) 105 Melalui Tabel 34 dapat dilihat bahwa terdapat selisih antara pemanfaatan aktual dan lestari sumberdaya tuna. Rata-rata jumlah produksi aktual ikan tuna adalah 672,97 ton yang berada di bawah potensi lestarinya yaitu 1093,05 ton. Sehingga masih terbuka peluang untuk meningkatkan produksi tuna di kawasan ini. Fungsi produksi lestari (h MSY ) dipengaruhi oleh tingkat effort (E) dengan adanya parameter biologi r, q, dan K secara kuadratik. Dengan memasukan nilai effort (E) tersebut, maka akan diketahui tingkat produksi lestari dan upaya pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap longline di Kota Padang. Gambar 17 memperlihatkan perbandingan antara produksi aktual dibandingkan dengan produksi lestari dari alat tangkap longline pada sumberdaya ikan tuna P. Aktual P. Lestari Gambar 17. Perbandingan Produksi Aktual dan Lestari Sumberdaya Tuna Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Gambar 17 menunjukkan bahwa pada tahun 2000 sampai 2010 produksi lestari cenderung lebih besar dibandingkan produksi aktual. Beberapa tahun diantaranya memang terjadi penurunan produksi lestari, namun dari hasil analisis ini dapat disimpulkan bahwa masih terbuka peluang peningkatan produksi tuna, karena masih tersedianya stok ikan di perairan. Menurunnya produksi ini dipengaruhi berkurangnya jumlah armada tangkap yang mendaratkan ikan di Kota Padang yang sekaligus menyebabkan turunnya upaya penangkapan (effort). Beberapa permasalahan berkurangnya armada tangkap di Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus adalah terkait keamanan, ketersediaan air bersih dan supplay bahan bakar (solar).

15 Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap Analisis bioekonomi dilakukan untuk menentukan tingkat penguasaan maksimum bagi pelaku pemanfaatan sumberdaya perikanan. Perkembangan usaha perikanan tidak hanya ditentukan dari kemampuan untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan secara biologis saja, akan tetapi faktor ekonomi juga sangat berperan penting. Pendekatan analisis secara biologi dan ekonomi merupakan salah satu alternatif yang dapat diterapkan dalam upaya optimalisasi penguasaan sumberdaya perikanan tangkap secara berkelanjutan. Parameter ekonomi dimasukkan dalam analisis ini agar diketahui tingkat optimal dari nilai manfaat atau rente pemanfaatan sumberdaya perikanan yang diterima oleh masyarakat nelayan. Sehingga pemanfaatan sumberdaya perikanan mampu mencapai tujuan akhirnya yaitu peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat nelayan. Pada Tabel 35 memperlihatkan hasil estimasi parameter biologi dan ekonomi, sumberdaya ikan tuna. Tabel 35. Hasil Estimasi Parameter Biologi dan Ekonomi Sumberdaya Ikan Tuna Parameter r (ton/trip) q (ton/unit) K (ton) p (price, jt Rp/ton) c (cost, jt Rp/trip) 2, , ,68 47,43 38,86 Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Berdasarkan data pada Tabel 35, maka estimasi beberapa kondisi sustainable yield, yaitu MSY, Open Access dan Sole Owner dapat ditentukan. Hasil estimasi menunjukkan harga ikan yang diperoleh melalui parameter ekonomi adalah Rp 51,90 juta per ton, dan untuk biaya penangkapan ikan per-trip adalah sebesar Rp 440,56 juta. Hasil perhitungan dari masing-masing kondisi tersebut dari berbagai rezim pengelolaan sumberdaya ikan tuna secara ringkas disajikan dalam Tabel 34. Melalui hasil estimasi parameter biologi dan ekonomi, diperoleh gambaran fungsi pertumbuhan logistik sumberdaya perikanan tuna dengan menggunakan aplikasi Maple 13 ditampilkan pada Gambar 18 (Perhitungan lihat Lampiran 15).

16 107 Gambar 18. Kurva Pertumbuhan Logistik Tuna di Padang Keterangan : f(x)= x ( x) Pada kondisi keseimbangan, laju pertumbuhan sama dengan nol dan tingkat populasi sama dengan K (carrying capacity). Carrying capacity dipengaruhi oleh laju pertumbuhan instrinsik (r), semakin tinggi nilai r, semakin cepat tercapainya carrying capacity. Tingkat maksimum pertumbuhan akan terjadi pada kondisi setengah dari carrying capacity atau K/2. Tingkat ini disebut juga sebagai Maximum Sutainable Yield atau MSY. Melalui hasil analisis diperoleh kurva pertumbuhan logistik seperti terlihat pada Gambar 18 yang menunjukkan tingkat carrying capacity dan MSY sumberdaya ikan tuna. Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat MSY saat ini adalah pada tingkat pertumbuhan (growth) 1.107,49 ton. Hasil analisis bioekonomi dalam berbagai rezim pengelolaan ditampilkan pada Tabel 36. Tabel 36. Hasil Analisis Bioekonomi dalam Berbagai Rezim Pengelolaan Sumberdaya Ikan Tuna No. Variabel Kendali Sole Owner Open Access/ / MEY OAY MSY Aktual 1 x (ton) 915,28 153,89 838,34-2 h (ton) 1.098,17 369, ,49 686,68 3 E (trip) π (juta Rp) , , ,62 Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Pada kondisi MEY (Sole Owner), jumlah stok tuna adalah sebanyak 915,28 ton dengan hasil tangkapan sebesar 1.098,17 ton dan jumlah upaya tangkap sebanyak 225 trip, sehingga nilai rente yang didapatkan adalah sebesar

17 Catch (ton), Effort (trip) Rente Ekonomi (juta Rp) 108 Rp ,71 juta. Pengelolaan Open Access menghasilkan standing stock sebanyak 153,89 ton dengan hasil tangkapan sebesar 369,27 ton dan jumlah upaya tangkap sebanyak 451 trip. Pada kondisi MSY, stok ikan adalah sebanyak 838,34 ton dengan hasil tangkapan sebesar 1.107,49 ton dan jumlah upaya tangkap sebanyak 248 trip, sehingga memperoleh rente Rp ,17 juta. Hasil analisis pada beberapa rezim pengelolaan sumberdaya tuna diperoleh kesimpulan bahwa pengelolaan optimal adalah pada rezim MEY (sole owner). Gambar rezim pengelolaan sumberdaya tuna di Kota Padang ditampilkan pada Gambar Aktual MEY OAY MSY Rezim Pengelolaan SDI Produksi (ton) Effort (trip) π (juta Rp) 0 Gambar 19. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Ikan Tuna Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Nilai rente sumberdaya ikan tuna pada kondisi open access adalah nol. Ini berarti jika sumberdaya ikan tuna di Kota Padang dibiarkan terbuka, maka persaingan usaha pada kondisi ini menjadi tidak terkendali sehingga mengakibatkan nilai keuntungannya menjadi nol. Berdasarkan besaran nilai rente yang diperoleh pada rezim pengelolaan sole owner atau MEY, nilai rente yang diperoleh adalah nilai yang tertinggi jika dibandingkan dengan kondisi lainnya. Selain itu, pada MEY jumlah stok ikan diperairan menghasilkan jumlah yang paling banyak. Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya perikanan secara statik di Kota Padang sebaiknya dikelola dengan rezim pengelolaan MEY atau Sole Owner. Keseimbangan bioekonomi model Gordon Schaefer ditampilkan pada Gambar 20.

18 TR,TC (juta Rp) , ,00 MEY MSY , , ,00 π max ,00 OA TC ,00 - (10.000,00) Effort (trip) Gambar 20. Keseimbangan Bioekonomi Model Gordon Schaefer Sumber : Hasil Analisis Data, Analisis Optimasi Dinamik Model estimasi yang sesuai dalam pemanfaatan sumberdaya tuna berdasarkan analisis statik sebelumnya adalah model CYP. Melalui model ini diperoleh parameter biologi dan ekonomi pemanfaatan tuna di Kota Padang. Dalam rangka merumuskan sebuah kebijakan pengembangan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan, maka dalam tahap ini analisis menggunakan pendekatan optimasi dinamik. Hasil analisis sumberdaya tuna dengan pendekatan dinamik menggunakan discount rate 16 persen ditampilkan pada Tabel 37. Tabel 37. Pengelolaan optimum Sumberdaya Ikan Tuna No. Variabel Kendali Aktual Optimal Dinamik (i=16) Optimal Dinamik (i=17) 1 x (ton) 876,46 874,23 2 h (ton) 686, , ,46 3 E (trip) π (juta Rp) , , ,86 5 π overtime (juta Rp) ,22 874,23 Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Analisis secara dinamik dengan menggunakan discount rate 16 persen dan 17 persen ini bertujuan untuk mengetahui pengelolaan yang tepat agar

19 110 sumberdaya ikan tuna dapat dikelola secara berkelanjutan. Besaran jumlah ikan yang boleh ditangkap dan jumlah effort yang bisa dilakukan akan berguna untuk pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan tuna di Kota Padang secara optimal dan berkelanjutan. Pengelolaan secara optimal dengan nilai discount rate 16 persen dan 17 persen menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan pengelolaan beberapa rezim yang ada. Nilai rente pada discount rate 16 persen adalah Rp ,45 juta dan rente pada discount rate 17 persen adalah Rp ,86 juta. Hasil analisis juga menujukkan semakin rendah nilai discount rate, maka jumlah input produksi semakin sedikit sehingga secara alami jumlah pertumbuhan alami sumberdaya ikan tuna semakin meningkat dan lestari, kondisi ini juga akan menghasilkan nilai rente yang semakin tinggi. Hasil optimasi dinamik pengelolaan sumberdaya tuna pada berbagai tingkat discount rate persen sebagai pembanding ditampilkan pada Tabel 38. Tabel 38. Hasil Optimasi Dinamik dengan Model CYP Pada Pengelolaan Sumberdaya Tuna No. Variabel Kendali (i=10) (i=12) (i=14) (i=18) (i=20) 1 x (ton) 890,27 885,57 880,97 872,03 867,69 2 h (ton) 1.103, , , , ,14 3 E (trip) π (juta Rp) , , , , ,75 Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Berdasarkan Tabel 38 menunjukkan bahwa pada tingkat discount rate 10% diperoleh nilai biomas sebanyak 890,27 ton, jumlah biomas tersebut lebih besar dibandingkan biomas pada tingkat discount rate 20% sebesar 867,69 ton. Jumlah tangkapan pada discount rate 10% sebanyak 1.103,25 ton, jumlah ini lebih besar dibandingkan pada discount rate 20% dengan jumlah tangkapan sebesar 1.106,14 ton. Tingkat upaya penangkapan pada discount rate 10% adalah sebanyak 232 trip sementara tingkat discount rate 20% sebanyak 239 trip. Keuntungan atau rente ekonomi yang diperoleh pada tingkat 10% sebesar Rp ,71 juta, sedangkan tingkat discount rate 20% lebih kecil nilainya yaitu Rp ,75 juta/trip. Hubungan tingkat discount rate dan rente ekonomi optimal dinamik sumberdaya tuna di Kota Padang lebih jelasnya ditampilkan pada Gambar 21.

20 Rente Ekonomi (Rp Juta) Tingkat Discount Rate Gambar 21. Nilai Rente Pada Berbagai Tingkat Discount Rate Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Pada Gambar 21 dapat dilihat tingkat discount rate yang tinggi akan mendorong semakin laju tingkat effort dan sebaliknya tingkat discount rate yang rendah akan memperlambat laju tingkat effort. Secara umum tingkat discount rate yang lebih rendah dapat menghasilkan optimal yield dan optimal biomass yang lebih tinggi dan apabila tingkat discount rate turun hingga ke level nol, maka analisis dinamik pada sumberdaya tuna ini identik dengan analisis statik pada pengelolaan sole owner atau MEY. Tingkat discount rate yang tinggi akan memacu eksploitasi sumberdaya ikan tuna yang lebih ekstraktif dan dampaknya akan mempertinggi tekanan terhadap sumberdaya tuna. Jika tingkat discount rate semakin tinggi hingga tak hingga, maka analisis dinamik pada sumberdaya tuna ini akan sama dengan analisis statik pada pengelolaan Open Access (OA), sehingga kondisi ini akan mengakibatkan terjadinya degradasi yang menjurus pada kepunahan dari sumberdaya. Berdasarkan hasil analisis melalui pendekatan optimasi dinamik, dapat disimpulkan bahwa pengelolaan yang optimal dan lestari pada sumberdaya ikan tuna sebaiknya dilakukan sesuai dengan hasil yang telah diperoleh melalui analisis dengan discount rate 16 persen. Ini berarti pemerintah pusat dan daerah khususnya Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Padang hendaknya dapat merumuskan beberapa kebijakan pengelolaan. Kebijakan yang harus dibuat adalah menetapkan jumlah effort yang diperbolehkan sebesar 237 trip. Jika dibandingkan

21 112 dengan effort aktualnya maka terdapat selisih, sehingga untuk hasil yang optimal maka jumlah effort dapat ditingkatkan sebanyak 133 trip atau setara dengan penambahan 33 unit armada tuna longliner. Pengelolaan optimal berdasarkan hasil analisis adalah pada tingkat produksi/ yield (h) sebesar 1.105,21 ton dan effort (E) sebanyak 237 trip. Kurva pengelolaan optimal sumberdaya ikan tuna di Kota Padang ditampilkan pada Gambar 22. Gambar 22. Kurva Pengelolaan Optimal (i=16%) Keterangan : Perhitungan dengan Maple 13 di Lampiran 15 Secara umum tingkat discount rate yang lebih rendah dapat menghasilkan optimal yield dan optimal biomass yang lebih tinggi. Apabila tingkat discount rate turun hingga ke level 0, maka analisis dinamik pada sumberdaya tuna ini identik dengan analisis statik pada pengelolaan sole owner atau Maximum Economic Yield (MEY). Jika tingkat discount rate semakin tinggi hingga tak terhingga, maka analisis dinamik pada sumberdaya ikan pelagis besar ini akan sama dengan analisis statik pada pengelolaan open access (OA). Pengelolaan dengan tingkat discount rate 16% seperti yang ditampilkan pada Gambar 22 menunjukkan tingkat optimal pemanfaatan sumberdaya tuna. Pengelolaan pada tingkat ini di satu sisi tidak memacu eksploitasi sumberdaya secara ekstraktif yang mengakibatkan terjadinya degradasi yang menjurus pada kepunahan sumberdaya dan di sisi yang lain memberikan rente ekonomi yang optimal.

22 Analisis Kebencanaan Analisis Potensi Bencana Identifikasi potensi bencana alam disamping potensi sumberdaya alam merupakan salah satu aspek penting dalam pertimbangan perumusan kebijakan pengembangan wilayah. Dengan memahami potensi bencana alam yang mungkin terjadi maka langkah preventif, proaktif dan kesiap-siagaan sebelum terjadinya bencana, serta langkah penanggulangan ketika terjadi bencana, dan langkah pemulihan setelah terjadi bencana alam dapat dimasukkan dalam rumusan kebijakan pengembangan wilayah. Sejauh ini, identifikasi potensi bencana alam di kawasan pesisir khususnya terkait pengembangan perikanan dan kelautan belum dilakukan secara komprehensif. Hal ini terbukti dalam kebijakan pengembangan wilayah pesisir yang pada umumnya belum berperspektif mitigasi bencana (Forum Mitigasi Bencana, 2007). Secara khusus pentingnya analisis potensi bencana dalam penelitian ini terkait pada perumusan kebijakan pengembangan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan. Penelitian tahap ini bertujuan untuk mengetahui jenis bencana alam yang potensial terjadi di Kota Padang dalam kaitannya dengan pengembangan perikanan yang berkelanjutan. Model analisis potensi bencana yang digunakan untuk menentukan potensi bencana yang memiliki pengaruh terbesar terhadap pengembangan perikanan adalah dengan menggunakan metode perbandingan eksponensial (MPE), studi literatur dan analisis deskriptif. Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) yang digunakan dalam penelitian ini (Sub-bab dan Sub-bab 6.3.2) merupakan salah satu metode penentuan prioritas keputusan yang dilakukan berdasarkan beberapa analisis dari tahapan penelitian sebelumnya. Hasil analisis yang dilakukan sebelumnya dijadikan sebagai komponen dalam pengambilan keputusan untuk mengidentifikasi potensi bencana yang ada di pesisir Kota Padang terkait pengembangan sumberdaya perikanan. Metode perbandingan eksponensial terdiri dari beberapa tahapan yang dilakukan yaitu: Menyusun alternatif-alternatif potensi bencana Menentukan kriteria atau perbandingan kriteria potensi bencana Menentukan tingkat kepentingan dari setiap kriteria potensi bencana

23 114 Melakukan penilaian terhadap semua alternatif pada kriteria Menghitung skor atau nilai total setiap alternatif Menentukan urutan potensi bencana Pada tahapan MPE, perlu ditentukan dahulu kriteria potensi bencana dan alternatif bencana. Kriteria pembentuk MPE ini antara lain; kawasan pelabuhan, TPI dan PPI, kawasan pemukiman nelayan, kawasan pasar perikanan dan kawasan perairan (laut). Sedangkan alternatif bencana yaitu; gempa bumi, tsunami, banjir, erosi, akresi, longsor, abrasi, angin kencang, intrusi air laut dan gelombang laut. Rumusan yang akan ditentukan dalam rangkaian proses MPE diuraikan menjadi unsur-unsurnya yaitu kriteria dan alternatif. Tingkat potensi bencana dalam metode ini diperoleh dengan menentukan besarnya bobot dari masing-masing kriteria yang ada. Penentuan besarnya bobot ini dilakukan melalui pendapat pakar. Angka pembobotan ditentukan berdasarkan skala ordinal dengan skala 1 sampai 5. Bobot 1 berarti kriteria tersebut sangat tidak berpotensi, bobot 2 berarti tidak berpotensi, bobot 3 berarti cukup berpotensi, bobot 4 berarti berpotensi dan bobot 5 berarti sangat berpotensi. Pada metode MPE, nilai total setiap alternatif diperoleh dengan menjumlahkan seluruh kriteria yang dipangkatkan dengan bobotnya. Berdasarkan perhitungan MPE diperoleh nilai total potensi bencana yang ditampilkan pada Tabel 39. Tabel 39. Nilai Total Potensi Bencana Hasil Analisis MPE No. Alternatif Kawasan Pelabuhan, TPI, PPI Kawasan Pemukiman Nelayan Kriteria Kawasan Pasar Perikanan Kawasan Perairan (Laut) Nilai Alternat if 1 Gempa Bumi Tsunami Banjir Erosi Akresi Longsor Abrasi Angin Kencang Intrusi Air Laut Gelombang Laut Bobot Sumber : Hasil Analisis Data, 2012

24 115 Langkah terakhir dalam Metode Perbandingan Eksponensial ini adalah menentukan urutan prioritas keputusan dari seluruh alternatif keputusan yang tersedia. Pemeringkatan dilakukan dengan mengurutkan alternatif keputusan dari jumlah nilai yang terbesar ke nilai terkecil. Hasil dari pengurutan akan diperoleh alternatif keputusan yang paling baik untuk kemudian dipilih menjadi sebuah kebijakan pengelolaan. Berdasarkan hasil tabulasi kuesionerdan wawancara dengan pakar melalui metode ordinal MPE, diketahui bahwa secara spesifik jenis bencana yang berpotensi terjadi di Kota Padang terkait pengembangan perikanan adalah gempa bumi, tsunami, angin kencang, gelombang laut dan intrusi air laut, sementara bencana yang lain pengaruhnya tidak terlalu besar. Hasil MPE ini merupakan rangkaian proses analisis setelah melalui studi literatur dan kepustakaan. Potensi bencana pesisir hasil MPE ditampilkan pada Gambar Gempa Bumi Tsunami Angin Kencang Gelombang Laut Intrusi Air Laut Kawasan Pelabuhan Kawasan Pemukiman Kawasan Pasar Kawasan Perairan Gambar 23. Potensi Bencana Pesisir Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Pada Gambar 23 dapat diketahui bahwa potensi bencana yang paling tinggi terkait pengembangan sumberdaya perikanan adalah gempa bumi. Posisi kedua adalah tsunami, pada rangking ketiga ditempati angin kencang. Posisi keempat dan kelima adalah gelombang laut dan intrusi air laut. Penjelasan terkait potensi bencana pesisir yang berhubungan dengan pengembangan sumberdaya perikanan diuraikan pada sub bab selanjutnya. Data uraian potensi bencana tersebut diperoleh dari data lapangan melalui studi literatur dan kepustakaan.

25 Gempa Bumi Secara regional, daerah Sumatera Barat termasuk daerah rawan gempa bumi nomor 3 di Indonesia. Berdasarkan asal usul kejadiannya gempa dapat dibagi menjadi dua bagian yakni gempa bumi yang berasal dari \\jaman lempeng Samudera Hindia-Australia yang berinteraksi dengan lempeng Benua Asia di sebelah barat Sumatera dan gempa bumi yang berasal dari aktivitas gerak sesar aktif mendatar Sumatera. Jejak rekam gempa bumi merusak yang pernah terjadi akibat interaksi kedua lempeng tersebut diantaranya adalah gempa bumi Sumatera Barat tahun 1822, Gempa bumi Siri Sori tahun 1904 (tsunami), Gempa bumi Padang (1835,1981, dan 1991). Gempa bumi sesar aktif Sumatera pernah terjadi 1926, 1943, 1977, 2004 dan Gempa bumi tunjaman tersebut yang terjadi di dasar laut Samudera Hindia dengan kekuatan besar dari 6,5 SR dapat memicu terjadinya gelombang tsunami yang mengancam pantai barat Sumatera (Bappeda Kota Padang, 2010). Berdasarkan data dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Peta Geomorfologi Lembar Padang, Peta Bahaya Goncangan Gempa Bumi Indonesia, Peta Wilayah Rawan Bencana Gempa Bumi Indonesia. Intensitas Gempa Bumi (MMI) Kota Padang mempunyai tingkat kegempaan berkisar antara V hingga VII (skala MMI), yaitu: Skala V VI: tersebar dominan ke bagian barat laut tenggara yang meliputi daerah bagian tengah hingga timur laut Kota Padang. Skala VI VII: tersebar mulai dari bagian barat laut tenggara, bagian tengah meliputi daerah Pasir Jambak, Cupak hingga terus ke arah tenggara Kota Padang. Dalam rangka mengetahui kerentanan Kota Padang ini terhadap bencana gempa bumi secara mikro, Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral telah melakukan kajian mikrozonasi geoseismik yakni perpaduan kondisi geologi dengan parameter utama respon dinamika gempa (periode dan amplifikasi) sehingga dapat dipisahkan antara daerah berkerentan tinggi akan goncangan gempa bumi dengan daerah lainnya yang kurang kerentanannya akan goncangan gempa bumi. Secara umum wilayah Kota Padang mempunyai periode dominan terendah (<0,14 detik) hingga tertinggi (3,8 detik) dan bersifat

26 117 menguatkan gelombang gempa bumi (amplifikasi) terendah 4 kali dan amplifikasi tertinggi lebih dari 12 kali (Bappeda Kota Padang, 2010). Pusat-pusat gempa di Kota Padang paling banyak berkaitan dengan gempa tektonik. Pusat-pusat gempa tektonik di Kota Padang terbentuk di sepanjang jalur gempa mengikuti zona subduksi sepanjang km di sebelah barat Pulau Sumatera. Tumbukan Lempeng Samudra Hindia-Australia yang menyusup di bawah Lempeng Eurasia membentuk Zona Benioff yang secara terus menerus aktif bergerak berarah barat timur yang merupakan zona bergempa dengan seismisitas cukup tinggi. Kondisi ini menyebabkan Kota Padang menjadi daerah tektonik giat dan merupakan sumber gempa merusak. Data kegempaan dari BMG dan USGS memperlihatkan lokasi pusat-pusat gempa di perairan Kota Padang tersebar cukup merata. Pusat gempa terlihat lebih banyak di perairan antara Pulau Enggano dan Daratan Sumatera. Frekuensi kejadian gempa dari tahun 1900 hingga 1963 relatif sedikit, sedangkan dari tahun 1963 hingga 1995 terjadi peningkatan. Gempa terjadi 3 sampai 16 kali per tahun dalam kurun , frekuensi ini menurun hingga 2 kali kejadian dalam tahun 1984 dan kemudian meningkat lagi dengan 2 kali kejadian pada tahun Sumber-sumber gempa tersebut kebanyakan berada pada kedalaman 33 hingga 100 km, dengan magnitude lebih besar dari 5 skala richter. Gempa berkekuatan lebih besar dari 6,5 skala richter di permukaan, berpeluang besar menyebabkan deformasi di daratan maupun di dasar laut (BPPT dalam UNP, 2007). Tingginya tingkat kerawanan bencana gempa di Kota Padang adalah akibat gempa berskala besar yang merobohkan bangunan dan dapat memakan korban jiwa yang tidak sedikit. Begitu juga kaitannya dengan pengembangan perikanan, sebab sentra-sentra usaha potensial perikanan di Kota Padang khususnya perikanan tangkap berada di lokasi yang rawan bencana. Sentra usaha itu seperti pelabuhan pendaratan ikan, pasar perikanan, pemukiman nelayan dan sarana perikanan lainnya. Peta risiko bencana gempa bumi Kota Padang disajikan pada Gambar 24 yang dirilis oleh BPSPL Kota Padang.

27 118 Gambar 24. Peta Risiko Bencana Gempa Bumi Kota Padang

28 Tsunami Posisi Kota Padang yang berada di pantai barat Sumatera dimana berbatasan langsung dengan laut terbuka (Samudra Hindia) dan zona tumbukan aktif dua lempeng menjadikan Padang salah satu kota paling rawan bahaya tsunami. Gempa tektonik sepanjang daerah subduksi dan adanya seismik aktif, dapat mengakibatkan gelombang yang luar biasa dahsyat. Melalui catatan sejarah bencana, tsunami pernah melanda Sumatera Barat pada tahun 1797 dan Kejadian bencana tsunami yang bersumber dari gempa yang berada di Sumatera Barat dapat dilihat pada Tabel 40. Tabel 40. Kejadian Tsunami di Sumatera Barat Tahun Bulan Hari Lat Lon Ms I N C V TR BR Sumber (Heck, 1947) T 3 IND SG1 SW U 1 IND SG1 Padang Sumber : Bappeda Kota Padang, 2010 Ket: : Lat (latitude), Lon (longitude), Ms (Magnitude-SR ), I (Inundasi) Berdasarkan catatan pada Tabel 40 tersebut, dibuat dua skenario terpaan tsunami. Skenario terburuk dengan terjadinya slip vertikal sepanjang 20 meter di dasar laut, tsunami akan ditandai dengan terjadinya gempa bumi besar diatas 8 skala richter selama lebih dari 1 menit tanpa terputus. Terpaan pertama akan datang selang antara menit setelah terjadinya gempa. Pada kondisi ini tsunami akan menerpa Kota Padang dengan ketinggian bervariasi antara 5-16 meter (Bappeda Kota Padang, 2010). Ketinggian tsunami setinggi 16 meter akan terjadi pada daerah teluk, seperti daerah Teluk Bayur dan Sungai Pisang. Daerah padat penduduk seperti Kecamatan Koto Tangah, Padang Utara dan lainnya, gelombang diperkirakan akan datang dengan ketinggian 5-6 meter. Informasi lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 25 Peta Risiko Bahaya Tsunami Kota Padang yang dirilis oleh Badan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (BPSPL) Kota Padang, data bahaya tsunami di uraikan pada Tabel 41.

29 120 Tabel 41. Bahaya Tsunami Kota Padang Luas Total Bahaya Luas Bahaya Luas Bahaya No. Kecamatan (Ha) Tsunami Tsunami (Ha) Tsunami (%) 1 Koto Tangah m 248 1,14 Koto Tangah 5-4 m 692 3,2 Koto Tangah 4-3 m 342 1,58 Koto Tangah 3-2 m 647 2,99 Koto Tangah 1-0 m ,06 2 Pauh m Kuranji m Nanggalo m 19 1,7 Nanggalo 4-3 m 36 3,23 Nanggalo 3-2 m 87 7,82 Nanggalo 1-0 m ,23 5 Padang Utara m 84 13,61 Padang Utara 5-4 m ,16 Padang Utara 4-3 m 93 15,07 Padang Utara 3-2 m 20 3,24 Padang Utara 1-0 m 92 14,91 6 Lubuk Kilangan m Padang Timur m 14 2,19 Padang Timur 3-2 m ,56 Padang Timur 1-0 m ,23 8 Padang Barat m 80 15,74 Padang Barat 5-4 m ,7 Padang Barat 4-3 m ,54 9 Lubuk Begalung m 24 0,88 Lubuk Begalung 1-0 m ,11 10 Padang Selatan m 30 2,68 Padang Selatan 5-4 m 20 1,78 Padang Selatan 4-3 m 7 0,62 Padang Selatan 1-0 m ,72 11 Bungus Teluk Kabung m 140 1,4 Bungus Teluk Kabung 1-0 m ,6 12 Pulau m Sumber : UNP, 2007 Tabel 41 mennjukkan hampir seluruh kecamatan di Kota Padang berada dalam bahaya tsunami. Kisaran tinggi bahaya tsunami mencapai 1-6 meter. Bahaya tsunami terlebih dirasakan pada daerah pesisir yang merupakan basis usaha perikanan tangkap. Dengan demikian, diperlukan rumusan kebijakan pengembangan perikanan yang tepat di daerah ini.

30 121 Gambar 25. Peta Risiko Bahaya Tsunami Kota Padang

31 Angin Kencang/Badai Angin kencang/badai baik yang terjadi di laut maupun pesisir dapat merugikan usaha perikanan. Badai yang terjadi di laut akan menimbulkan gelombang besar sehingga bisa merugikan armada penangkapan bahkan nyawa nelayan. Sementara itu, badai yang datang di wilayah pesisir akan menyebabkan kerugian materil dan non materil seperti rusaknya fasilitas perikanan, pemukiman nelayan dan lain sebagainya. Kota Padang termasuk wilayah yang rawan bencana angin kencang/badai. Dari data yang tercatat di BPBD maupun BMKG Maritim Teluk Bayur, daerahdaerah yang berada di pesisir Kota Padang merupakan wilayah yang sering dilanda bencana ini. Badai umumnya berpotensi terjadi pada enam kecamatan pesisir di Kota Padang baik di daratan maupun di tengah laut. Saat badai terjadi, kecepatan angin bisa melebihi 50 kilometer per jam. Beberapa faktor penyebab datangnya badai di Kota Padang adalah adanya transisi matahari dari Selatan menuju khatulistiwa sehingga terjadi pertemuan angin yang bergerak dari utara menuju Selatan. Selain itu badai juga terjadi akibat adanya pumpunan angin bergerak menuju daerah yang bertekanan rendah dengan kecepatan tinggi akibat terjadinya pertemuan angin dari arah utara dan selatan karena perbedaan pergerakan matahari dan angin. Faktor lainnya adalah adanya pumpunan angin yang memanjang di sepanjang Pantai Barat Sumatera dan berbalik karena daerah di Sumatera Barat umumnya dikelilingi Bukit Barisan. Akibatnya, angin berbalik arah dan bertambah kencang karena bertemu angin gunung di kawasan perbukitan dan angin darat di daerah sekitar pantai (BMKG Maritim Teluk Bayur, 2012). Sejauh ini, informasi dan peringatan terkait bencana badai di Kota Padang disampaikan melalui BMKG Maritim. Khusus untuk kegiatan perikanan tangkap, nelayan mendapat informasi sebelum pergi melaut tentang perkiraan cuaca buruk dan kondisi perairan yang akan dilalui. Peta perkiraan dan peringatan bahaya serta informasi meteorologi maritim lainnya disampaikan secara online oleh BMKG Maritim setiap harinya melalui situs

32 Intrusi Air Laut Faktor penyebab meluasnya intrusi air laut adalah diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut. Selain itu, intrusi air laut juga dipicu oleh terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan untuk berbagai keperluan, seperti air untuk kebutuhan pemukiman dan industri. Pengambilan air tanah yang tidak seimbang dengan pemasukan air dari permukaan mengakibatkan air laut yang lebih berat masa jenisnya langsung masuk ke akuifer (tempat penampungan air di dalam tanah) hingga mengendap. Sebagai Kota Pesisir, Kota Padang yang juga merupakan Ibukota Provinsi Sumatera Barat memiliki risiko yang tinggi terhadap ancaman intrusi air laut. Ancaman ini didasari oleh padatnya pemukiman di sekitar pusat kota serta berbagai aktivitas perdagangan dan industri yang menambah potensi bencana di daerah ini. Sejauh ini pemerintah Kota Padang telah berusaha mengantisipasi bencana intrusi air laut melalui program pembangunan dan pengelolaan hutan kota yang dikenal dengan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Usaha mengatasi intrusi air laut di Kota Padang adalah dengan upaya peningkatan kandungan air tanah melalui pembangunan hutan lindung kota pada daerah resapan air dengan tanaman yang mempunyai daya evapotranspirasi yang rendah (Samsoedin dan Endro, 2007). Kawasan strategis perikanan yang rawan akan intrusi air laut seperti TPI, PPI, Pelabuhan dan pemukiman nelayan di sekitar kecamatan pesisir padat penduduk seperti Kecamatan Koto Tangah, Kecamatan Lubuk Begalung dan Kecamatan Padang Utara Gelombang Laut Pada umumnya kondisi gelombang di suatu perairan diperoleh secara tidak langsung yaitu melalui data angin yang terdapat di kawasan perairan tersebut. Hal ini didasari atas kondisi umum yang berlaku di laut yaitu sebagian besar gelombang yang ditemui dibentuk oleh tiupan angin. Gelombang ini merambat ke segala arah membawa energi tersebut yang kemudian dilepaskannya ke pantai dalam bentuk hempasan ombak. Rambatan gelombang dapat menempuh jarak ribuan kilometer sebelum mencapai pantai. Gelombang yang mendekati pantai akan mengalami pembiasaan (refraction), jika mendekati semenanjung akan memusat (convergence) dan menyebar (divergence) jika menemui cekungan.

33 124 Keadaan gelombang selain disebabkan oleh hembusan angin juga dipengaruhi oleh keadaan topografi dasar laut atau sea botton topography (Lutfi, 2005). Hubungan yang erat antara gelombang, angin dan dasar perairan menyebabkan perairan di bagian barat Sumatera khususnya Padang tidak pernah tenang. Hal ini selain disebabkan oleh hembusan angin yang mempunyai gradian kecuraman yang tinggi, juga disebabkan karena pada musim barat di perairan Sumataera Barat sering terjadi badai dengan periode yang singkat antara 1-3 jam. Keadaan ini menyebabkan di daerah perairan pantai sering terjadi gelombang pecah. Tinggi gelombang yang terjadi di Kota Padang berkisar antara 0,5-2,0 meter (BMKG Maritim Teluk Bayur, 2012). Gelombang laut atau gelombang samudera yang terjadi di perairan Kota Padang berasal dari Samudera Hindia sekitar Mentawai dan pesisir barat daratan Kota Padang. Posisi perairan Kota Padang yang berbatasan dengan Samudera Hindia menyebabkan kawasan ini sangat rawan dilanda gelombang laut. Selain itu, awan gelap (Cumulonimbus) di lokasi tersebut dapat menimbulkan angin kencang dan menambah tinggi gelombang. Gelombang laut berdampak langsung pada kerugian materi nelayan bahkan tidak jarang adanya korban jiwa. Informasi berupa prakiraan gelombang dari BMKG ditampilkan pada Gambar 26. Gambar 26. Peta Prakiraan Tinggi Gelombang Sumber : BMKG Maritim Teluk Bayur, 2012

34 Banjir Bencana banjir merupakan kejadian alam yang sulit untuk diprediksi karena bencana ini datang secara tiba-tiba dengan periodisitas yang tidak menentu, kecuali untuk daerah-daerah yang sudah menjadi langganan terjadinya banjir tahunan. Secara umum banjir adalah peristiwa dimana daratan yang biasanya kering (bukan daerah rawa) menjadi tergenang oleh air, hal ini disebabkan oleh curah hujan yang tinggi dan kondisi topografi wilayah berupa dataran rendah hingga cekung. Beberapa wilayah yang diidentifikasikan rawan bencana banjir di wilayah Kota Padang menurut data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Padang antara lain adalah Lubuk Minturun, Simpang Kalumpang, Padang Sarai, Dadok Rawan Panjang sekitarnya, Ikur Koto, Anak Air, Padang Sarai semuanya berada di Kecamatan Koto Tangah, kemudian, Lapai, Siteba, Maransi, Gunung Pangilun di wilayah Kecamatan Nanggalo, serta Ampang, Gunung Sarik, Andalas di wilayah Kecamatan Kuranji. Daerah Simpang Haru yang termasuk wilayah Kecamatan Padang Timur juga merupakan wilayah rawan banjir, serta dua derah yang berada di Kecamatan Lubuk Begalung yaitu Parak Laweh dan Arai Pinang. Banjir memberikan dampak yang sangat serius terhadap ekosistem perairan pantai. Kerugian yang ditimbulkan banjir bisa berupa material maupun non material. Baik secara langsung maupun tidak langsung kerugian ini dirasakan oleh masyarakat,termasuk juga nelayan. Kerugian banjir mungkin akan sulit untuk ditabulasi secara matematis, namun secara visual sangat nyata telah menimbulkan berbagai macam kerugian baik fisik maupun non fisik. Selain itu menurut Ilyas dan Slamet (2007) banjir peran penting dalam pengiriman butiran sedimen, air tawar yang cukup besar, pengayaan kandungan unsur hara (nutrien) dan peningkatan polusi ke dalam perairan. Keseluruhan material tersebut lambat laun akan berdampak terhadap keberadaan ekosistem perairan. Wilayah-wilayah yang berisiko terkena banjir dapat dilihat pada Gambar 27 Peta Risiko Bencana Banjir Kota Padang yang dirilis oleh Badan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (BPSPL) Kota Padang.

35 126 Gambar 27. Peta Risiko Bencana Banjir Kota Padang

36 Gerakan Tanah (Longsor, Abrasi, Akresi dan Erosi) Gerakan tanah dapat terjadi apabila di bawah lapisan yang keras dijumpai adanya lapisan dengan kompresibilitas tinggi. Daerah yang berpotensi terjadinya gerakan tanah yaitu daerah pematang pantai, dimana lapisan keras berada pada kedalaman 5-10 meter dan dibawahnya terdapat lapisan lempung/lanau lunak (Puradimaja dalam Ruswandi 2009). Jenis gerakan tanah yang sering terjadi adalah longsoran dan amblesan. Longsor terjadi pada batuan/tanah pelapukan yang mempunyai lereng. Melalui data UNP (2007) tingkat risiko longsor lahan di Kota Padang dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu tingkat risiko longsor lahan rendah, sedang, dan tinggi. Tingkat risiko longsor lahan rendah umumnya tersebar di bagian timur, barat, utara Kota Padang. Hal ini disebabkan karena sebagian besar bentuk penggunaan lahan berupa hutan dan kebun campuran, sedangkan pada satuan lahan yang memiliki kepadatan penduduk yang padat memiliki lereng yang rendah, sehingga tidak memiliki potensi untuk mengalami longsor lahan. Tingkat risiko longsor lahan sedang umumnya tersebar pada bagian tengah Kota Padang. Tingkat risiko longsor lahan sedang ini disebabkan karena bentuk penggunaan lahannya berupa permukiman yang bersifat menyebar, sehingga apabila terjadi longsor lahan tidak begitu banyak menimbulkan korban jiwa dan harta benda. Tingkat risiko longsor lahan tinggi umumnya terdapat pada satuan bentuk lahan perbukitan yaitu pada daerah Gunung Padang, Pauh, dan Lubuk Kilangan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 28 tentang peta risiko longsor Kota Padang yang dirilis oleh BPSPL Kota Padang. Bencana gerakan tanah seperti longsor, abrasi, akresi dan erosi memiliki dampak terhadap pengembangan perikanan. Dampak bencana ini berupa kerusakan yang ditimbulkan terhadap sarana perikanan, pemukiman nelayan serta ekosistem lingkungan perairan yang secara langsung maupun tidak langsung akan merugikan sub sektor perikanan. Beberapa kawasan strategis perikanan yang berada di wilayah pesisir Kota Padang rentan terhadap bencana ini, seperti Kecamatan Bungus Teluk Kabung, Kecamatan Lubuk Begalung dan Kecamatan Padang Selatan.

37 128 Gambar 28. Peta Risiko Bencana Longsor Kota Padang

38 129 Wilayah dataran di Kota Padang dapat dikategorikan dalam dua kondisi, yaitu kondisi stabil dan tidak stabil. Kondisi ini dipengaruhi oleh topografi dan karakteristik masing-masing wilayah. Adapun uraian kondisi ini dijelaskan sebagai berikut (Bappeda Kota Padang, 2010) : Kondisi Stabil (S) Terdapat pada daerah dataran yang tersusun oleh endapan aluvial, rawa, kipas aluvial, pematang pantai dan dataran pantai, berupa lempung-pasir, kerikil-kerakal, lepas agak padat, sudut lereng 0 5 persen berupa dataran dengan elevasi 0 5 m (dml), tipe erosi limpasan-alur, serta runtuhan tebing sungai sebagai akibat limpasan aktivitas aliran air sungai, meliputi sepanjang pesisir pantai bagin barat Kota Padang. Kondisi Tidak Stabil (TS) - Tingkat Rendah-Sedang (R S) : Terdapat pada daerah barat laut hingga ke arah selatan, yang tersusun oleh endapan dataran aluvial berupa endapan vulkanik (dominan) berupa lahar, tuf dan koluvium, sifat endapan padat-sangat padat, padat, sudut lereng 5 30 persen berupa dataran bergelombang dengan elevasi 5 10 m (dml), tipe erosi alurlembah (runtuhan tebing sungai) akibat aktivitas aliran air permukaan dan sungai. Tingkat ini meliputi bagian timur laut-tenggara, sedikit berada pada bagian barat Kota Padang. - Tingkat Sedang-Stabil (S T): Terdapat pada daerah dataran hingga perbukitan yang tersusun oleh batuan tua yang terdiri dari malihan/ metamorf, sifat endapan sangat padat, mudah tererosi oleh aliran air permukaan dan terdapat dinding dengan >30 persen hingga tegak lurus, dapat runtuh, tipe erosi limpasan-galur-jurang. Adanya goncangan gempa bumi dapat menimbulkan rekahan-rekahan ke arah lembah yang dapat menyebabkan terjadinya longsoran ke arah hulu. Tingkat ini meliputi bagian timur laut hingga tenggara,dan selatan Kota Padang. Kondisi abrasi atau akresi di wilayah pantai Kota Padang terdapat pada daerah yang tersusun oleh endapan pematang pantai berupa lanau-pasir, sifat endapan lepas-lepas dan dapat terjadi abrasi atau akresi sebagai akibat dari

39 130 aktivitas air laut. Adapun jenis bencana gerakan tanah di Kota Padang untuk kawasan pantai dapat berupa : Abrasi dan Akresi, bencana ini terdapat pada daerah yang tersusun oleh endapan pematang pantai berupa lanau-pasir, sifat endapan lepas-lepas dan dapat terjadi Abrasi dan Akresi sebagai akibat dari aktivitas air laut. Tingkat risiko abrasi pantai yang terjadi di Kota Padang dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu tingkat risiko abrasi pantai tinggi dan rendah. Tingkat risiko abrasi pantai tinggi umumnya terdapat pada Kecamatan Koto Tangah dan Padang Utara. Tingkat risiko abrasi tinggi ini dapat dibuktikan dengan adanya beberapa bangunan rumah yang telah runtuh akibat abrasi pantai, sedangkan tingkat abrasi pantai yang rendah ditandai dengan adanya beberapa pohon kelapa yang telah kelihatan akarnya di pemukaan dan adanya beberapa pohon kelapa yang telah tumbang akibat abrasi pantai. Adapun peta risiko bencana abrasi pantai di Kota Padang berdasarkan data BPSPL dapat dilihat pada Gambar 29. Erosi, bencana ini tersebar di bagian barat laut tenggara sepanjang tepi pantai yang meliputi daerah Padang. Terdapat pada batuan alluvial kuarter (Qa), biasanya terjadi di sekitar tebing sungai/pantai yang disebabkan oleh arus/ombak. Gelinciran batuan/runtuhan batuan merupakan gerakan tanah yang terjadi karena adanya perlapisan dari batuan dan juga adanya patahan. Sedangkan longsoran terjadi pada tanah pelapukan. Beberapa lokasi yang diidentifikasikan rawan gerakan tanah antara lain daerah Lubuk Paraku, Panorama, Bukit Tantangan Beringin, serta Pauh Batu Busuk Patamuan di wilayah Kecamatan Lubuk Kilangan; Bukit Air Manis, Bukit Lantik, Bukit Turki, Bukit Gado-Gado, serta Perbukitan sekitar Teluk Bayur di Kecamatan Padang Selatan. Daerah-daerah ini sangat berpotensi terjadi gerakan tanah apabila curah hujan turun cukup tinggi. Selain itu masih terdapat beberapa lokasi rawan gerakan tanah di wilayah Kecamatan Lubuk Begalung yaitu antara lain di Bukit Gaung, Bukit Pampangan, Bukit Lampu (Bappeda Kota Padang, 2010).

40 131 Gambar 29. Peta Risiko Bencana Abrasi Kota Padang

41 Analisis Mitigasi Bencana Mitigasi Bencana Bencana alam merupakan peristiwa alamiah yang tidak bisa dihilangkan atau ditunda, namun terdapat upaya untuk mengurangi risiko yang ditimbulkan oleh bencana alam. Upaya mitigasi bencana meliputi kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi kerugian yang ditimbulkan oleh bencana alam, baik kerugian jiwa maupun kerugian materi. Kegiatan yang perlu dilakukan tidak hanya sebatas membangun infrastruktur ataupun kegiatan fisik lainnya namun juga menyangkut penetapan kebijakan-kebijakan pengaturan dan pengendalian dalam rangka mengurangi risiko bencana. Kondisi kerawanan bencana di wilayah Kota Padang memerlukan upaya mitigasi bencana sebagai titik tolak dari manajemen bencana. Manajemen ini diperlukan untuk mengurangi dan meniadakan korban dan kerugian yang timbul. Berdasarkan jenis-jenis bencana yang mungkin terjadi di wilayah Kota Padang dan mengacu pada Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kota Padang, kebijakankebijakan yang perlu diambil pemerintah antara lain: Menyusun regulasi (Peraturan Daerah) kebencanaan daerah yang mencakup regulasi mengenai : - Pengaturan organisasi perangkat daerah yang menangani kebencanaan - Pengaturan pendanaan untuk kegiatan-kegiatan yang terkait dengan upaya pengurangan risiko bencana - Pengaturan dan penetapan dasar hukum mengenai aspek teknis upaya pengurangan risiko bencana, antara lain; standar pendirian bangunan tahan bencana, jalur evakuasi bencana, standar pengelolaan ekosistem dan lingkungan, dan lainnya - Perencanaan pengurangan risiko dan penanganan bencana alam Membentuk perangkat daerah yang menangani masalah kebencanaan Pembentukan Kelompok Kerja Kebencanaan yang beranggotakan dinasdinas terkait Memperkuat kerjasama penanganan bencana dengan daerah lain di sekitarnya

42 133 Memperkuat akses komunikasi antara daerah kepulauan, baik melalui radio atau telepon Memperkuat akses informasi ke pusat informasi kebencanaan dan lembagalembaga riset terutama di daerah-daerah dan pulau-pulau terpencil Membangun sistem informasi bencana Memfasilitasi penelitian-penelitian yang dilakukan oleh lembaga riset tentang kebencanaan di wilayah Kota Padang Memperkuat jaringan pemerintah, masyarakat dan swasta dalam pengurangan risiko bencana Memperkuat kesiapsiagaan masyarakat dengan melakukan sosialisasi dan pelatihan bencana Melakukan perencanaan logistik dan penyediaan dana, peralatan, dan material yang diperlukan untuk tanggap darurat Merencanakan dan menyiapkan SOP (Standart Operation Procedure) untuk kegiatan tanggap darurat Sumberdaya perikanan khususnya perikanan tangkap merupakan sektor yang memiliki karakteristik yang rawan terhadap bencana, hal ini disebabkan sebagian besar prasarana dan sarananya berada di kawasan pesisir. Kawasan pesisir sebagaimana dijabarkan dalam potensi bencana menjadi zona yang patut diperhitungkan dalam menentukan setiap arahan dan kebijakan yang akan dibuat. Sehingga kebijakan terkait sumberdaya ini benar-benar diperhitungkan kondisi, potensi dan karakteristiknya. Beberapa upaya mitigasi saat ini telah dilaksanakan di Kota Padang, baik berupa mitigasi aktif maupun mitigasi pasif. Upaya mitigasi ini sebagian besar ditangani oleh unit khusus yang dikelola oleh pemerintah daerah yaitu BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah). Khusus pengembangan perikanan dan lingkungan pesisir, realisasi program yang telah dilakukan di Kota Padang adalah sebagai berikut: a. Early Warning System (EWS) Alat ini berfungsi pada saat terjadi gempa yang berpotensi tsunami. Cara kerja alat ini adalah berupa bunyi sirene yang ditempatkan pada lokasi

43 134 strategis setelah sebelumnya diberikan sosialisasi prosedur kerja alat kepada masyarakat setempat. EWS di Kota Padang difungsikan sejak tahun 2007, awalnya hanya ada 2 unit alat. Pada tahun 2012 ini menurut data di lapangan sudah terdapat 10 unit, walaupun menurut BPBD kebutuhan Kota Padang adalah 26 unit pada zona merah. EWS diserahterimakan pada BPBD Kota Padang untuk pengelolaannya sejak 2009, sebelumnya alat ini ditangani oleh dinas kebakaran. b. Rabab Sarana komunikasi merupakan alat komunikasi Pusdalops berupa radio penerima. Cara kerjanya apabila ada bencana disampaikan berita bencana tentang potensi tsunami pada masjid-masjid yang dipasang rabab. Saat ini jumlah masjid yang dipasangi rabab di Kota Padang berjumlah 26 buah. Kebutuhan rbab di Kota Padang adalah setiap masjid yang berada dalam zona merah di Kota Padang dipasangi rabab. c. Radar Tsunami Sarana mitigasi berupa radar berfungsi sebagai pemantau gelombang tsunami. Radar dipasang di Universitas Bung Hatta (UBH) karena posisinya yang strategis menghadap pantai barat Sumatera. Cara kerja alat ini berupa sistem wireless yang disampaikan berupa data informasi kepada stasiun penerima yakni BPBD dan Walikota Padang. Penyediaan radar tsunami ini dibawah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) bekerjasama dengan NGO Amerika. Penggunaan alat sejauh ini belum optimal, disebabkan oleh beberapa faktor non teknis. Berdasarkan data yang dihimpun di lapangan, orientasi penggunaan alat ini sebenarnya dikhususkan untuk membantu nelayan dalam mendeteksi datangnya gelombang yang membahayakan. d. Peta dan Jalur Evakuasi BPBD selaku otoritas yang diberikan wewenang dalam menangani masalah kebencanaan di Kota Padang telah membuat beberapa upaya dalam evakuasi bencana. Pembuatan jalur evakuasi serta sarana evakuasi telah dibangun di beberapa lokasi yang dinilai strategis dan rawan. Jalur evakuasi ini berupa papan informasi, jembatan, jalan, titik point dan lain-lain. Sementara untuk

44 135 peta evakuasi telah dibuat dan terus diperbaharui oleh BPBD bekerjasama dengan instansi lain. e. Kelompok Siaga Bencana Kelompok Siaga Bencana (KSB) merupakan perpanjangan tangan dari BPBD. Unit ini berasal dari anggota masyarakat dan relawan yang peduli terhadap risiko bencana alam. Beberapa kegiatan atau program yang dilaksanakan KSB antara lain; sosialisasi penanggulangan bencana dan kebijakan kebencaan kepada masyarakat, latihan evakuasi bencana dan lainnya Prioritas Bentuk Mitigasi Dalam rangka menentukan prioritas bentuk mitigasi bencana yang akan diambil terkait pengembangan sumberdaya perikanan, maka dalam tahap ini digunakan Metode Perbandingan Eksponensial (MPE). Teknik analisis MPE menggunakan informasi dari pakar terkait keputusan yang akan diambil. Kriteria pembentuk MPE ini adalah; ekologi (dinamika perairan pesisir dan faktor keberlanjutan sumberdaya perikanan), ekonomi (kesejahteraan masyarakat) dan sosial (kesesuaian dengan karakteristik masyarakat dan SDM lokal). Alternatif bentuk mitigasi bencana yaitu: 1) Pembuatan peraturan, UU dan kebijakan lain terkait mitigasi bencana dan keberlanjutan SD Perikanan 2) Sosialisasi mitigasi bencana, simulasi bencana 3) Sistem penyelamatan dini, jalur evakuasi 4) Pendampingan pendirian bangunan/ fasilitas standar 5) Sistem peringatan dini, sistem informasi terpadu 6) Remangrovisasi, artificial reeft, beach nourishment 7) Pemecah ombak, peredam abrasi, penahan sedimentasi sejajar pantai 8) Pengembangan sistem mitigasi berbasis kearifan local 9) Penyediaan GPS, APS, Aplikasi informasi bencana untuk nelayan 10) Pendirian bangunan pelabuhan dan prasarana perikanan lainnya yang berperspektif mitigasi bencana

45 136 Tingkat kepentingan dalam metode ini diperoleh dengan menentukan besarnya bobot dari masing-masing kriteria yang ada. Penentuan besarnya bobot ini dilakukan melalui pendapat pakar. Angka pembobotan ditentukan berdasarkan skala ordinal dengan skala 1 sampai 5. Bobot 1 berarti kriteria tersebut sangat tidak penting, bobot 2 berarti tidak penting, bobot 3 berarti cukup penting, bobot 4 berarti penting dan bobot 5 berarti sangat penting. Pada metode MPE, nilai total setiap alternatif diperoleh dengan menjumlahkan seluruh kriteria yang dipangkatkan dengan bobotnya. Berdasarkan perhitungan MPE diperoleh nilai total masing-masing alternatif seperti yang ditampilkan pada Tabel 42. Tabel 42. Nilai Total Alternatif Prioritas Mitigasi No Alternatif Pembuatan peraturan,uu dan kebijakan lain terkait mitigasi bencana dan keberlanjutan Perikanan Sosialisasi mitigasi bencana, simulasi bencana Sistem penyelamatan dini, jalur evakuasi Pendampingan pendirian bangunan/ fasilitas standar Sistem peringatan dini, sistem informasi terpadu Remangrovisasi, artificial reeft, beach nourishment. Pemecah ombak, peredam abrasi, penahan sedimentasi sejajar pantai Pengembangan sistem mitigasi berbasis kearifan lokal Penyediaan GPS, APS, Aplikasi informasi bencana untuk nelayan Pendirian bangunan pelabuhan dan prasarana perikanan lainnya yang berperspektif mitigasi bencana Kriteria Ekologi Ekonomi Sosial Nilai Alternatif Bobot Sumber: Hasil Analisis Data, 2012 Berdasarkan hasil tabulasi kuesionerdan wawancara dengan pakar melalui metode ordinal MPE, diperoleh hasil bahwa prioritas bentuk mitigasi yang perlu

46 137 dikembangkan di Kota Padang terkait usaha perikanan antara lain; Sistem peringatan dini dan sistem informasi terpadu, Penyediaan GPS, APS dan Aplikasi informasi bencana untuk nelayan, Pembuatan peraturan,undang-undang dan kebijakan lain terkait mitigasi bencana dan keberlanjutan sumberdaya perikanan, Sistem penyelamatan dini dan jalur evakuasi, Pengembangan sistem mitigasi berbasis kearifan lokal serta Pendirian bangunan pelabuhan dan prasarana perikanan lainnya yang berperspektif mitigasi bencana. Secara rinci prioritas bentuk mitigasi bencana ini ditampilkan dalam Gambar Ekologi Ekonomi Sosial Keterangan: 1 = Sistem peringatan dini, sistem informasi terpadu 2 = Penyediaan GPS, APS, Aplikasi informasi bencana untuk nelayan 3 = Sistem penyelamatan dini, jalur evakuasi 4 = Pengembangan sistem mitigasi berbasis kearifan lokal 5 = Pendirian bangunan pelabuhan dan prasarana perikanan lainnya yang berperspektif mitigasi bencana Gambar 30. Prioritas Bentuk Mitigasi Bencana Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Berdasarkan perhitungan analisis MPE yang ditampilkan dalam Gambar 30, terlihat prioritas utama bentuk mitigasi adalah sistem informasi terpadu serta penyediaan GPS dan aplikasi informasi bencana untuk nelayan. Sarana mitigasi ini selanjutnya akan dianalisis kelayakan investasinya seperti diuraikan pada Bab Teknik MPE yang digunakan pada pemilihan bentuk mitigasi bencana dalam kaitannya terhadap pengembangan perikanan ini menggunakan tiga kriteria yaitu Ekonomi (kesejahteraan masyarakat), Ekologi (dinamika perairan pesisir dan faktor keberlanjutan Sumberdaya Perikanan) dan Sosial (kesesuaian dengan karakteristik masyarakat dan SDM lokal).

47 Mitigasi Bencana untuk Pengembangan Perikanan Tuna Longline United Nation Escap (2004) memaparkan spektrum luas teknologi yang digunakan dalam kesiap-siagaan bencana. Teknologi ini merupakan sarana yang direkomendasikan dalam upaya mitigasi dan manajemen bencana yang meliputi: Penginderaan jauh, Sistem Informasi Geografis (SIG), Global Positioning System (GPS), sistem navigasi satelit, satelit komunikasi, radio amatir dan komunitas, televisi dan siaran radio, telepon kabel, fax, telepon selular, internet, serta paket perangkat lunak khusus, manajemen data base online dan jaringan informasi bencana. Teknologi yang disajikan dalam buku panduan tersebut menjadi sarana mitigasi penting terhadap keberlanjutan sumberdaya. Hasil analisis MPE sebelumnya terkait sarana mitigasi yang paling efektif dalam mitigasi bencana terhadap pengembangan perikanan di Kota Padang adalah; (1) Sistem peringatan dini dan sistem informasi terpadu, (2) Penyediaan GPS, APS dan aplikasi informasi bencana untuk nelayan, (3) Sistem penyelamatan dini dan jalur evakuasi, (4) Pengembangan sistem mitigasi berbasis kearifan lokal serta (5) Pendirian bangunan pelabuhan dan prasarana perikanan lainnya yang berperspektif mitigasi bencana. Sarana mitigasi ini merupakan upaya pengurangan dampak yang ditimbulkan dari bencana potensial terkait pengembangan sumberdaya perikanan sesuai analisis sebelumnya yakni gempa, tsunami, badai, gelombang laut dan intrusi air laut. Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan serta melalui penelusuran data primer dan sekunder di lapangan, maka diperoleh bentuk mitigasi bencana untuk pengembangan perikanan tangkap di Kota Padang. Bentuk mitigasi ini terdiri dari prasarana mitigasi darat dan laut serta sarana mitigasi armada penangkapan. Bentuk prasarana dan sarana mitigasi ini nantinya akan dimasukkan sebagai komponen dalam perhitungan kelayakan investasi pengembangan usaha perikanan tangkap sebagaimana diuraikan pada Bab Melalui perhitungan kelayakan investasi dengan memasukkan komponen mitigasi ini diharapkan dapat melahirkan rumusan kebijakan pengembangan ekonomi perikanan tuna longline berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang.

48 139 Bentuk prasarana dan sarana mitigasi bencana untuk pengembangan perikanan tangkap antara lain: Prasarana Mitigasi Darat dan Laut - Sistem Peringatan Dini (EWS) Early Warning System ini sama halnya dengan sarana mitigasi yang telah ada di Kota Padang, namun penempatan sistem peringatan selama ini masih terbatas di lokasi padat penduduk, sedangkan pelabuhan yang menjadi sentra wilayah perikanan masih belum memadai. - Radar Tsunami dan Gelombang Penyediaan radar tsunami dan gelombang sebagai deteksi bencana belum optimal. Wilayah pelabuhan menjadi bagian vital bagi nelayan sehingga perlu adanyapenyediaan prasarana ini. Alat ini juga perlu dilengkapi dengan operator yang akan mengelola dan mendayagunakannya. - Pusat Informasi Bencana Pusat informasi terpadu kebencanaan yang dibangun pada kawasan sentra perikanan ini memuat prasarana mitigasi, sistem informasi terpadu dan sarana mitigasi lainnya. - Jalur Evakuasi dan Assembly Point Karakteristik Pesisir Kota Padang terutama sentra perikanan yang terdiri atas pantai dikelilingi pebukitan membutuhkan jalur evakuasi serta titik berkumpul yang aman dari tsunami dan tanah longsor dari arah bukit. - Shelter Pelabuhan Shelter atau bangunan perlindungan warga saat terjadi bencana berada di areal pelabuhan. Shelter ini merupakan bangunan multifungsi yang juga dimanfaatkan dalam pengembangan perikanan berupa tempat berkumpul organisasi nelayan serta aktivitas perikanan lainnya. - Tambat Badai Laut Tambat badai laut berfungsi sebagai kawasan evakuasi dan perlindungan bagi kapal-kapal nelayan yang dihadapkan pada bencana gelombang atau badai. Dalam pengoperasiannya membutuhkan sarana komunikasi dengan menara pemantau (pusat informasi bencana).

49 140 Sarana Mitigasi Armada Penangkapan - GPS Global Positioning System (GPS) merupakan sistem informasi berupa peta yang mensimulasikan posisi. Fungsi utama dari GPS pada sarana mitigasi ini adalah untuk mendapatkan informasi mengenai posisi nelayan/armada yang berada di lautan untuk diarahkan pada posisi yang aman dari bahaya bencana di lautan. - Paket aplikasi BB/Android Fungsi aplikasi BB/android adalah memberikan informasi langsung dari perangkat tentang lokasi dan letak geografis gempa/badai dengan latitude mendekati equator. Aplikasi ini menggunakan sumber informasi langsung dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). - Radio komunikasi dan navigasi Sarana ini merupakan jembatan penghubung antara nelayan/armada dengan pusat informasi bencana. Kondisi di tengah lautan membutuhkan media khusus untuk berkomunikasi sehingga diperlukan sarana yang efektif dan memadai Analisis Pengembangan Ekonomi Perikanan Tuna Longline dan Kelayakan Investasi Berperspektif Mitigasi Bencana Perencanaan Pengembangan Pengembangan suatu sektor di Kota Padang harus mempertimbangkan faktor bencana. Sebagaimana dalam pembahasan analisis sebelumnya, Kota Padang merupakan kawasan rawan bencana yang memerlukan upaya mitigasi dalam setiap pembangunan dan pengembangannya. Mitigasi bencana menjadi penting karena sebesar apapun usaha pengembangan yang dilakukan apabila faktor ini diabaikan maka ketika bencana datang semua akan loss. Oleh sebab itu, perlu keseimbangan dalam pengembangan suatu usaha dan juga pembangunan mitigasi di daerah tersebut. Kota Padang memiliki keunggulan komparatif dalam sub sektor perikanan tangkap. Keunggulan komparatif ini dijelaskan pada analisis kondisi makro ekonomi sub sektor perikanan. Pengembangan usaha tuna menjadi sumberdaya

50 141 potensial bagi perekonomian daerah Kota padang. Kontribusi yang dihasilkan sumberdaya ini dapat memberikan keuntungan berganda bagi perekonomian daerah. Oleh karena itu perlu serangkaian upaya dalam mengoptimalkan potensi sumberdaya ini. Analisis bioekonomi telah mengemukakan hasil bahwa dalam rangka mengoptimalkan produksi perikanan tuna perlu adanya penambahan effort sebesar 133 trip. Hal ini berarti diperlukan tambahan armada penangkapan sebanyak 33 unit dengan asumsi jumlah trip dalam satu tahun sebanyak 4 kali. Penambahan jumlah armada ini secara matematis akan menambah cost dalam hal investasi dan juga meningkatkan benefit dari segi penerimaan.. Komponen biaya investasi pengembangan sumberdaya perikanan terdiri dari penyediaan armada tuna longline, pancing, mesin dan peralatan lain. Komponen biaya investasi ini belum termasuk biaya perawatan dan biaya operasional. Jumlah investasi untuk pengembangan usaha tuna longline adalah sebanyak 33 unit armada. Armada tuna longliner sebelumnya yang ada di PPS Bungus (26 unit) tidak dilengkapi dengan sarana mitigasi, sehingga membutuhkan investasi untuk penyediaan sarana mitigasi bencana. Jumlah investasi yang dibutuhkan untuk penyediaan sarana mitigasi menjadi 59 unit. Melalui penambahan armada dan sarana mitigasi ini diharapkan akan memperoleh hasil yang lebih optimal bagi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Mitigasi bencana dalam upaya pengembangan ekonomi perikanan tangkap di kawasan ini berupa penyediaan prasarana mitigasi darat dan laut serta sarana mitigasi armada penangkapan. Investasi pada prasarana mitigasi darat dan laut berupa penyediaan sistem peringatan dini, radar tsunami dan gelombang, pusat informasi bencana, jalur evakuasi dan assembly point, shelter pelabuhan dan tambat badai laut. Investasi sarana mitigasi armada penangkapan terdiri dari penyediaan GPS, aplikasi BB/android serta radio komunikasi dan navigasi. Rencana pengembangan ekonomi perikanan dan kelayakan investasi berperspektif mitigasi bencana yang akan diuraikan dalam sub bab ini mencakup perencanaan pengembangan usaha perikanan dan pengembangan upaya mitigasi bencana. Komponen-komponen kelayakan investasi diperoleh berdasarkan penelusuran data primer dan sekunder serta studi literatur.

51 Kelayakan Investasi Pengembangan Tuna Longline Berperspektif Mitigasi Bencana Ikan Tuna (Thunnus,sp) memiliki karakteristik yang khas yaitu melakukan migrasi dalam geografis yang luas dan selalu berpindah setiap waktu. Perairan Laut Indonesia bukanlah satu-satunya tempat permanen dari ikan tuna dunia. Tempat beruaya yang jauh dan luas ini membutuhkan teknologi dan armada penangkapan yang mampu menyesuaikan dengan karakteristik spesies tersebut. Jenis alat penangkap tuna yang biasa digunakan yaitu; Tuna longline, handline, huhate, pukat cincin, dan jaring insang. Rawai tuna atau tuna longline adalah alat penangkap tuna yang paling banyak digunakan untuk menangkap kelompok ikan pelagis besar itu. Longline merupakan rangkaian sejumlah pancing yang dioperasikan sekaligus. Satu unit tuna longline biasanya mengoperasikan mata pancing dalam sekali setting. Tuna longline umumnya dioperasikan di laut lepas atau perairan samudera. Alat tangkap ini bersifat pasif, menanti umpan dimakan oleh ikan sasaran. Setelah pancing diturunkan ke perairan, mesin kapal dimatikan agar kapal dan alat tangkap hanyut terbawa arus (drifting). Produktivitas perikanan tangkap adalah produktivitas (kapal/perahu) perikanan tangkap. Produktivitas kapal penangkap ikan merupakan tingkat kemampuan kapal penangkap ikan untuk memperoleh hasil tangkapan ikan pertahun. Produktivitas kapal penangkap ikan per-tahun, ditetapkan berdasarkan perhitungan jumlah hasil tangkapan ikan per-kapal dalam satu tahun, dibagi besarnya jumlah kapal yang bersangkutan. Besar kecilnya produktivitas penangkapan tersebut akan menentukan tingkat kelayakan usaha. Disamping itu, kelayakan usaha juga ditentukan oleh biaya produksi. Kapal tuna longline memiliki biaya produksi yang paling besar pada biaya bahan bakar (solar) yang mencapai 70 persen dari total biaya operasional. Harga solar yang cenderung meningkat diduga akan sangat berpengaruh terhadap kelayakan usaha tuna longline. Pada bagian ini penelitian dimaksudkan untuk mengkaji kelayakan usaha tuna longline berperspektif mitigasi bencana yang berpangkalan di Pelabuhan Perikanan Samudra (PPS) Bungus Kota Padang. Armada tangkap tuna longline di Kota Padang berpangkalan di PPS Bungus. Lama trip dalam sekali penangkapan adalah 2-6 bulan. Usaha perikanan

52 143 tangkap tuna longline membutuhkan investasi untuk pembelian kapal, alat tangkap, mesin dan peralatan penunjang mencapai Rp 800 juta. Perincian investasi untuk satu unit kapal dapat dilihat pada Tabel 43. Selain itu juga dibutuhkan biaya operasional dan perawatan, pengadaan bahan bakar (solar), nakhoda dan anak buah kapal (ABK), perbekalan, es dan lain-lain. Tabel 43. Investasi Tuna Longliner No. Jenis Investasi Nilai Investasi Umur Ekonomi Depresiasi (Rp) (th) (Rp/th) 1 Kapal Longline Pancing Longline Mesin Peralatan lain Total Investasi (1 Unit Tuna Longline) Total Investasi (33 Unit Tuna Longline) Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Total biaya investasi yang dibutuhkan untuk menyiapkan armada dan alat tangkap sebesar Rp 800 juta per unit kapal. Berdasarkan hasil analisis bioekonomi, diperoleh informasi bahwa jumlah armada yang optimal dalam pengembangan perikanan di Padang adalah penambahan armada sebanyak 33 unit dari 26 unit armada longline yang sudah ada di PPS Bungus. Hal ini berarti bahwa total investasi yang dibutuhkan sebesar Rp 26,4 miliyar. Biaya ini belum termasuk biaya operasional penangkapan dan biaya perawatan. Tabel 44. Biaya Operasional Per-trip Usaha Tuna Longline. No. Jenis Biaya Kebutuhan Satuan Harga (Rp) Biaya (Rp) 1 BBM (Solar) liter Pelumas 250 liter Air tawar 50 gallon Umpan 4 ton Makanan 5 bulan Biaya tambat labuh 1 trip Biaya tenaga kerja (ABK dan 5 bulan Nakhoda) 8 Bagi hasil untuk nakhoda (1%) 1 trip Lainnya Total Sumber : Hasil Analisis Data, 2012

53 144 Data biaya operasional yang diambil dari lapangan adalah dengan asumsi satu kali trip selama 2 bulan dan jumlah trip satu tahun sebanyak 4 kali. Total biaya operasional untuk 59 unit kapal sebesar Rp per tahun. Biaya operasional per-trip terbesar adalah untuk pengadaan BBM (solar), yang mencapai 63 persen dari seluruh biaya operasional. Oleh karena itu, kenaikan harga BBM akan menjadi beban berat bagi pengusaha tuna longline dan nelayan. Selain itu, pemilik kapal juga harus menyediakan biaya perawatan, terutama untuk perawatan kapal, alat tangkap dan mesin. Perkiraan biaya perawatan yang diperlukan dalam usaha penangkapan tuna dapat dilihat pada Tabel 45. Tabel 45. Biaya Perawatan Tuna Longliner Per-unit No. Jenis Perawatan Biaya Perawatan (Rp/kali) Frekuensi Perawatan (kali/tahun) Biaya (Rp/tahun) 1 Kapal Longline Alat Tangkap Longline Mesin Peralatan lain Total Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Biaya perawatan armada tuna longline sebagaimana yang ditampilkan pada Tabel 45 adalah sebesar Rp 40 juta. Biaya ini merupakan nilai yang harus dikeluarkan untuk satu unit kapal dalam satu tahun. Berdasarkan hasil analisis sebelumnya, dengan penambahan armada sebanyak 33 unit sehingga total armada menjadi 59 unit, maka diperoleh total biaya perawatan yang harus dikeluarkan adalah sebesar Rp Analisis kelayakan investasi pada tahap ini bertujuan untuk menggambarkan tingkat kelayakan investasi rencana pengembangan ekonomi perikanan tuna longline berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang. Analisis ini dibutuhkan dalam menyiapkan rumusan kebijakan pengembangan perikanan di Kota Padang. Oleh karena itu, pada bagian ini juga akan diuraikan komponen investasi sarana mitigasi pengembangan usaha perikanan. Komponen biaya investasi terdiri atas investasi prasarana mitigasi darat dan laut serta investasi sarana mitigasi armada penangkapan. Besarnya biaya komponen investasi sarana mitigasi ditampilkan pada Tabel 46 dan Tabel 47.

54 145 Tabel 46. Biaya Investasi Prasarana Mitigasi Darat dan Laut No. Jenis Investasi Nilai Investasi (Rp) Umur Ekonomi (th) Depresiasi (Rp/th) 1 Sistem Peringatan Dini (EWS) Radar Tsunami dan Gelombang Pusat Informasi Bencana Jalur Evakuasi dan Assembly Point Shelter Pelabuhan Tambat Badai Laut Total Biaya Investasi Sumber : Data Primer, 2012 Biaya investasi prasarana mitigasi darat dan laut yang dimasukkan pada perhitungan analisis kelayakan investasi tahap ini adalah berdasarkan analisis mitigasi bencana perikanan tangkap yang diuraikan pada sub bab sebelumnya, Komponen prasarana investasi ini menjadi bagian penting dalam pengembangan sumberdaya perikanan tangkap untuk memberikan hasil yang optimal dan kesejahteraan bagi masyarakat khususnya nelayan.total biaya investasi yang dibutuhkan sebesar Rp 5,05 miliyar. Tabel 47. Biaya Investasi Sarana Mitigasi Armada Penangkapan (59 Unit Longline) No. Jenis Investasi Nilai Investasi (Rp) Umur Ekonomi (th) Depresiasi (Rp/th) 1 GPS Paket aplikasi BB/Android Radio Komunikasi dan navigasi Total Biaya Investasi Sumber : Data Primer, 2012 Investasi sarana mitigasi armada penangkapan membutuhkan biaya sebesar Rp 1,18 milyar untuk seluruh armada longline di Bungus. Total biaya investasi yang dibutuhkan untuk menyiapkan prasarana mitigasi darat dan laut serta sarana mitigasi armada penangkapan untuk 59 unit armada menjadi Rp 6,23 milyar. Komponen mitigasi ini dalam pengoperasiannya di lapangan masih membutuhkan biaya operasional dan perawatan yaitu dengan rincian pada Tabel 48 dan Tabel 49.

55 146 Tabel 48. Biaya Operasional Prasarana dan Sarana Mitigasi Per-tahun No. Jenis Biaya Operasional Kebutuhan Biaya satuan (Rp) Biaya (Rp/tahun) 1 Biaya Operator Penyuluhan, Sosialisasi dan Pelatihan Prasarana Mitigasi Darat dan Laut Sarana Mitigasi Armada Penangkapan Biaya Lainnya Total Sumber : Data Primer, 2012 Perhitungan biaya operasional mencakup biaya prasarana mitigasi darat dan laut serta sarana mitiasi armada penangkapan. Total biaya operasional yang dibutuhkan adalah sebesar Rp 434 juta per tahun. Komponen biaya ini sudah termasuk biayauntuk penyuluhan, sosialisasi dan pelatihan kepada nelayan dan masyarakat setempat serta biaya untuk operator/teknisi yang bertugas mengelola prasarana mitigasi bencana. Tabel 49. Biaya Perawatan Prasarana Mitigasi Darat dan Laut No. Jenis Perawatan Biaya Perawatan (Rp/kali) Frekuensi Perawatan (kali/ tahun) Total Biaya (Rp/tahun) 1 Sistem Peringatan Dini (EWS) Radar Tsunami dan Gelombang Pusat Informasi Bencana Jalur Evakuasi dan Assembly Point Shelter Pelabuhan Tambat Badai Laut Total Biaya Perawatan Sumber : Data Primer, 2012 Prasarana mitigasi darat dan laut merupakan salah satu komponen biaya investasi terbesar yang harus dikeluarkan. Komponen ini membutuhkan biaya perawatan dalam pemanfaatannya. Total biaya perawatan yang harus dikeluarkan sebesar Rp 17,8 juta selama satu tahun. Biaya terbesar adalah pada perawatan tambat badai laut karena prasarana mitigasi ini terletak di laut yang mudah mengalami kerusakan.

56 147 Tabel 50. Biaya Perawatan Sarana Mitigasi Armada Penangkapan No. Jenis Perawatan Biaya Perawatan (Rp/kali) Frekuensi Perawatan (kali/ tahun) Total Biaya (Rp/tahun) 1 GPS Paket aplikasi BB/Android Radio Komunikasi dan navigasi Total Biaya Perawatan (1 Unit Armada Penangkapan) Total Biaya Perawatan (59 Unit Armada Penangkapan) Sumber : Data Primer, 2012 Komponen prasarana dan sarana mitigasi dalam pengembangan ekonomi perikanan tangkap ini membutuhkan biaya perawatan sebesar Rp 64,2 juta pertahun. Komponen perawatan prasarana mitigasi darat dan laut membutuhkan biaya perawatan sebesar Rp 17,8 juta, sedangkan biaya perawatan untuk armada penangkapan sebesar Rp 47,2 juta per tahun. Rincian total biaya (Outflow) kelayakan investasi pengembangan ekonomi perikanan tuna longline berperspektif mitigasi bencana diuraikan pada Tabel 51. Tabel 51. Total Biaya/Outflow No. Komponen Biaya Biaya (Rp) 1 Biaya Investasi Usaha Tuna Longline (33 unit) Biaya Investasi Prasarana dan Sarana Mitigasi (59 unit) Biaya Perawatan Tuna Longline (59 unit) Biaya Perawatan Prasarana dan Sarana Mitigasi (59 unit) Biaya Operasional Usaha Tuna Longline (59 unit) Biaya Operasional Prasarana dan Sarana Mitigasi (59 unit) Total Sumber : Data Primer, 2012 Melalui Tabel 51 dapat dilihat rincian komponen yang dikeluarkan untuk masing-masing jenis biaya dalam perhitungan kelayakan investasi. Total biaya yang dibutuhkan dalam kelayakan investasi pengembangan ekonomi perikanan tuna berperspektif mitigasi bencana adalah sebesar Rp 129,1 milyar. Diasumsikan investasi dilakukan pada komponen yang ditambahkan. Biaya investasi dalam pengembangan usaha ini sebesar Rp , biaya perawatan sebesar Rp dan biaya operasional sebesar Rp per tahun.

57 148 Berdasarkan data di lapangan, penerimaan pengusaha longline dalam usaha ini berfluktuasi yang dipengaruhi oleh musim dan harga ikan. Nilai hasil tangkapan tersebut dikurangi retribusi sebesar 3 persen. Proyeksi penerimaan yang dijadikan asumsi dalam kajian ini dapat dilihat pada Tabel 52. Berdasarkan basis data yang ada, selanjutnya disusun proyeksi laba/rugi usaha penangkapan tuna longline di PPS Bungus. Hasil proyeksi laba/rugi usaha longline dapat dilihat pada Tabel 53 berikut ini: Tabel 52. Asumsi Penerimaan Perikanan Tuna Longline No. Uraian 1 Rataan Hasil Tangkapan Produksi (Kg/trip) Rataan Harga (n=9) (Rp/Kg) Rataan Nilai Produksi (Rp/trip) a. Tuna Sirip Kuning b. Tuna Mata Besar Retribusi (3%) ( ) 2 Rataan Penerimaan setelah Retribusi Rataan Penerimaan (Rp/unit/tahun) (1 tahun = 4 trip) Penerimaan Total (Rp/tahun) (59 unit) Sumber: Hasil Analisis Data, Total nilai penerimaan usaha perikanan longline dalam satu tahun untuk 59 unit armada adalah sebesar Rp 134,6 miliyar. Total nilai ini berdasarkan analisis data di lapangan dengan jumlah trip per tahun sebanyak 4 kali. Hasil perhitungan NPV, B/C dan IRR usaha penangkapan menggunakan tuna longline disajikan pada Tabel 53. Sedangkan proyeksi laba rugi dan cashflow pada perhitungan ini diuraikan dalam Lampiran 16. Hasil analisis mengungkapkan bahwa penangkapan ikan menggunakan tuna longline memperoleh keuntungan dan layak dikembangkan. Tabel 53. Nilai NPV, B/C dan IRR Uraian Nilai Net Present Value (NPV) Rp Benefit Cost (B/C) 2,40 Internal Rate of Return (IRR) 54,73% Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 (Rincian dalam Lampiran 16)

58 149 Berdasarkan hasil analisis pada Tabel 53 dapat dilihat nilai NPV Rp , artinya nilai saat ini dari keuntungan yang akan diperoleh selama umur proyek 5 tahun di masa yang akan datang adalah Rp Nilai B/C 2,40 artinya setiap satu rupiah biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan penerimaan/manfaat sebesar 2,4 kali dari biaya yang dikeluarkan selama umur usaha 5 tahun dengan suku bunga 17%. IRR 54,73%, artinya usaha tersebut mampu memberikan tingkat pengembalian atau keuntungan 54,73% pertahun dari seluruh investasi yang ditanamkan selama umur usaha 5 tahun. Analisis pada tahap ini menyimpulkan bahwa pengembangan usaha perikanan berperspektif mitigasi bencana memberikan keuntungan sehingga layak untuk dikembangkan, analisis ini ditinjau dari indikator NPV, IRR dan B/C. Hal ini didukung oleh faktor posisi PPS Bungus sebagai kawasan pendaratan ikan tuna di bagian barat Sumatera memiliki jarak penangkapan yang dekat dengan Samudera Hindia. Kondisi ini tentu saja akan berdampak positif terhadap berkurangnya biaya operasional penangkapan. Selain itu, prospek tuna ekspor menjadi keuntungan tersendiri bagi setiap pengelola perikanan di wilayah ini termasuk nelayan penangkap ikan, karena memiliki keuntungan dari segi harga dan jaminan pemasaran. Namun di sisi lain perlu juga dipertimbangkan aspek keberlanjutan sumberdaya tuna itu sendiri, sehingga optimasi produksi tidak mengganggu keberlanjutan atau kelestarian sumberdaya. Investasi prasarana dan sarana mitigasi yang ditujukan bagi pengembangan perikanan tangkap di PPS Bungus Kota Padang tidak hanya terfokus pada pengembangan usaha tuna, tetapi juga memberikan manfaat bagi usaha penangkapan lain di sekitar areal tersebut. Selain itu penyediaan prasarana dan sarana investasi ini juga bisa menjadi model dan perbandingan dalam pengembangan usaha perikanan berperspektif mitigasi bencana bagi daerah lain. Hal ini didasari karena usaha mitigasi yang dibangun, menjadi sarana mengurangi resiko/dampak bencana bagi aspek yang lain. Melalui hasil analisis ini diharapkan peran serta policy maker (pemerintah) serta lembaga keuangan (bank dan non bank) untuk berperan serta dalam mengembangkan usaha perikanan tuna berperspektif mitigasi bencana di Padang. Peran serta ini mengingat besarnya biaya investasi yang harus dikeluarkan dan keuntungan yang akan diperoleh.

59 Analisis Kelembagaan Kelembagaan Usaha Perikanan Kelembagaan atau pranata sosial merupakan suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat pada aktivitas untuk memenuhi kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat (Sanim, 2002). Komponen kelembagaan dalam penelitian ini terdiri atas nelayan sebagai anggota masyarakat, teknologi dan informasi perikanan, pemasaran, kelompok nelayan, permodalan, pemerintah dan aturan tidak tertulis dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kota Padang. Nelayan sebagai makhluk sosial memiliki tanggung jawab dalam menjaga keutuhan sistem interaksi yang harmoni dalam masyarakat dan memberikan pegangan dalam kontrol sosial. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa baik nelayan pendatang maupun lokal, mekanisme interaksi sosial berlangsung secara bersama-sama, dimana selain berupaya meningkatkan kesejahteraan melalui pengelolaan usaha perikanan, beberapa nelayan juga memiliki peran dalam masyarakat sebagai pengatur desanya. Masyarakat di sekitar PPS Bungus atau Kecamatan Bungus Teluk Kabung, didominasi oleh penduduk lokal dan hanya sebagian pendatang. Jumlah penduduk laki-laki lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk perempuan. Penduduk yang berperan sebagai nelayan adalah penduduk lokal, sedangkan pendatang umumnya bergerak pada usaha armada perikanan tonase besar. Kapal-kapal tonase besar seperti longline dan purse seine yang mendarat di PPS Bungus didominasi oleh pendatang terutama dari Jawa dan Sumatera Utara, begitu juga dengan ABKnya yang yang sebagian besar adalah pendatang. Faktor yang menyebabkan dominasi dari pendatang dalam usaha ini adalah karakteristik penduduk lokal yang tidak terbiasa melaut jauh dan dalam waktu yang lama. Pemasaran hasil perikanan di PPS Bungus lebih banyak dikuasai oleh penduduk lokal, kecuali untuk jenis tuna. Pengusaha dalam bidang pengolahan yang bergerak pada usaha ini berasal dari pendatang. Kondisi tersebut disebabkan karena jenis ikan yang didaratkan umumnya tuna dan cakalang serta rendahnya pengetahuan masyarakat tentang penguasaan teknologi pada hasil perikanan jenis ikan tersebut.

60 151 Secara umum pemodalan usaha perikanan di Kota Padang berasal dari pengusaha lokal dan juga pendatang yang berinvestasi pada usaha tersebut. Investasi berupa penyediaan armada dan alat tangkap serta biaya operasional penangkapan. Sistem bagi hasil terkait usaha ini antara nelayan dan pengusaha bisa berupa rantai penjualan/pemasaran atau bagi hasil secara langsung di lapangan. Beberapa perhimpunan atau organisasi kemasyarakatan yang berhubungan dengan pengembangan sumberdaya perikanan juga terdapat di Kota Padang. Organisasi tersebut diantaranya HNSI Kota Padang (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia), PPNSI (Perhimpunan Petani Nelayan Seluruh Indonesia) serta kelompok-kelompok nelayan yang terdapat di beberapa kecamatan di Kota Padang. Nelayan dan pengusaha yang bergerak pada usaha tuna di daerah ini sebagian besar juga tergabung ke dalam Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin) dan Asosiasi Tuna Longline Indonesia (Atli) yang merupakan wadah dalam pengembangan usaha perikanan khususnya tuna. Aturan lokal dalam mengendalikan penangkapan ikan di laut pada masyarakat nelayan Kota Padang belum ada, baik yang terkait dengan waktu penangkapan, jenis, ataupun ukuran ikan yang ditangkap. Di Sumatera Barat kearifan lokal yang berkembang adalah pengelolaan perikanan di perairan umum daratan seperti sungai, danau dan genangan. Kearifan lokal yang terkenal adalah lubuk larangan, terutama untuk spesies ikan yang sudah mulai langka.perikanan tuna di Kota Padang sampai saat ini belum memiliki kearifan lokal dalam pengelolaan dan pemanfaatannya. Kelembagaan masyarakat nelayan Kota Padang dalam mendukung program pembangunan perikanan meliputi; kelompok nelayan, kelompok masyarakat pengawas, kelompok pedagang dan pengolah ikan serta lembaga ekonomi untuk pemberdayaan masyarakat. Dalam rangka meningkatkan peran dalam pengelolaan sumberdaya perikanan, masyarakat nelayan di kawasan ini perlu diberikan tambahan pengetahuan tentang kelestarian sumberdaya, jenis alat tangkap dan ukuran ikan yang layak ditangkap. Pada masyarakat tersebut belum terdapat bentuk kelembagaan dalam mengantisipasi peningkatan hasil tangkapan, sehingga selama ini kelebihan produksi tergantung pada mekanisme pasar.

61 Kelembagaan dalam Mitigasi Bencana Kelembagaan masyarakat terkait mitigasi bencana di Kota Padang berupa kelembagaan formal dan informal. Kelembagaan formal terdiri atas lembaga dan institusi serta peraturan dan kebijakan terkait penanggulangan bencana yang resmi dibentuk pemerintah Kota Padang. Lembaga ini seperti BPBD (Badan Penanggulangan Bencana Daerah), serta undang-undang dan kebijakan dalam menanggulangi setiap potensi bencana baik berupa mitigasi, evakuasi, recovery ataupun pembangunan paska kejadian bencana. Sementara itu, untuk kelembagaan informal di Kota Padang berupa kearifan lokal masyrakat setempat. Upaya meminimalisir dampak bencana, dihadapkan pada kerentanan kelembagaan formal dalam hal mitigasi bencana di Kota Padang, keterbatasan dan kelemahan itu antara lain: Belum optimalnya fungsi dari badan penanggulangan bencana, BPBD yang diberi tugas dalam menanggulangi bencana di Kota Padang masih terkendala dengan terbatasnya prasarana dan sarana mitigasi bencana. Minimnya SDM dan institusi terkait penanggulangan bencana, baik secara kualitas maupun kuantitas. Masih sedikitnya lembaga dan peran serta masyarakat sebagai pendukung kinerja badan penanggulangan bencana dalam pelaksanaan penanggulangan bencana di Kota Padang Kelembagaan yang terlahir di tengah masyarakat hasil inisiasi pemerintah ataupun swasta adalah berupa Kelompok Siaga Bencana (KSB). Di Kota Padang ada dua model KSB, yaitu KSB yang dibentuk oleh Pemerintah Kota (Pemko) Padang dan yang dibentuk oleh lembaga non-pemerintah (contohnya KSB yg dibentuk oleh Komunitas Siaga Tsunami Kogami, Lembaga Pengkajian dan Pemberdayaan Masyarakat LP2M). Kelompok Siaga Bencana (KSB) merupakan program dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Padang untuk menyiapkan masyarakat yang terlatih dan siap dalam menghadapi risiko bencana di daerah masing-masing di tingkat kelurahan. Beberapa kegiatan yang dilaksanakan berupa pelatihan, kegiatan penyadaran masyarakat dan simulasi penanggulangan bencana.

62 153 Secara umum kelembagaan mitigasi bencana belum berjalan optimal di Kota Padang. Berbagai sarana mitigasi aktif banyak yang tidak sesuai SOP di dalam pelaksanaannya. Mulai dari EWS, sistem peringatan dini hingga berbagai perlengkapan tanggap darurat. Hal ini terbukti dari hasil data lapangan bahwa beberapa kejadian bencana terakhir menunjukkan bahwa panduan dan evakuasi yang dilakukan tidak berjalan dengan efektif. Masyarakat Minangkabau memiliki kearifan lokal dalam mitigasi bencana. Kearifan lokal itu antara lain terdapat pada desain membangun rumah dengan model Rumah Gadang. Rumah panggung ini dibangun nenek moyang Minangkabau tetap dapat berdiri kokoh meski terjadi gempa, banjir dan bencana lainnya. Kearifan lokal yang lain adalah berupa prediksi atau perkiraan kejadian bencana yang akan terjadi dimana berakar dari pengalaman, wawasan ataupun suatu hal yang sudah menjadi tradisi daerah setempat. Dari data di lapangan diketahui bahwa masyarakat Minang mengenal petuah alam takambang jadikan guru. Dari falsafah ini masyarakat belajar dari fenomena alam terkait kejadian alam yang bakalan terjadi sehingga terlebih dahulu mengambil langkah antisipasi. Pada masyarakat pesisir masih dijumpai masyarakat dan nelayan yang percaya dengan kearifan lokal ini, seperti adanya tanda-tanda pohon yang bergerak ribut tanpa adanya angin, kondisi ini dipercaya akan ada bencana sehingga nelayan-pun tidak jadi melaut dan melakukan evakuasi Analisis Stakeholder dalam Pengembangan Perikanan Berperspektif Mitigasi Bencana Dalam rangka membuat suatu kebijakan terkait pengembangan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan di Kota Padang, maka diperlukan suatu kerjasama dari berbagai pihak untuk merumuskannya. Berbagai stakeholder dianggap berperan penting dalam merumuskan suatu kebijakan. Adapun stakeholder tersebut adalah Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi terkait, masyarakat lokal, pengusaha, nelayan, akademisi serta LSM. Tentunya masingmasing pihak memiliki tingkat kepentingan dan pengaruh yang berbeda dalam merumuskan suatu kebijakan.

63 154 Analisis stakeholder perlu dilakukan untuk menentukan pihak-pihak yang berkompeten dalam merumuskan kebijakan tersebut. Schmeer (2007) menyatakan analisis ini merupakan proses sistematis untuk mengumpulkan dan menganalisis informasi secara kualitatif dalam menentukan kepentingan siapa yang harus diperhitungkan ketika mengembangkan atau menerapkan suatu kebijakan. Stakeholder dapat diartikan sebagai individu, kelompok atau lembaga yang kepentingannya dipengaruhi oleh kebijakan atau pihak yang tindakannya secara kuat mempengaruhi kebijakan. Setiap stakeholder memiliki pengaruh dan kepentingan dalam kebijakan pengembangan perikanan yang berkelanjutan. Stakeholder yang memiliki kepentingan tinggi merupakan stakeholder primer dimana kepentingannya dipengaruhi secara langsung oleh kebijakan. Sedangkan stakeholder sekunder, kepentingannya dipengaruhi secara tidak langsung. Daftar stakeholder serta pengaruh dan kekuatannya dapat dilihat pada Tabel 54. Gambar 31. Matriks Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder dalam Pengembangan Perikanan yang Berkelanjutan di Kota Padang Keterangan Stakeholder : KKP RI (Ditjen Perikanan Tangkap UPT PPSB), DKP (Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Padang), Bappeda (Badan Perencana Pembangunan Daerah Kota Padang), BPSPL (Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Padang), Pemda (Pemerintah Daerah Kota Padang), Dinas PU Kota Padang, Dinas Perhubungan Kota Padang, Dinas Perindustrian Perdagangan Pertambangan dan Energi Kota Padang, LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), Akademisi, Pemilik Unit Usaha Lokal, Masyarakat Lokal, Nelayan, Investor/Pengusaha Luar.

64 155 Kepentingan stakeholder dalam kebijakan pengembangan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan dipengaruhi oleh faktor ekologi, sosial dan ekonomi. Pengaruh stakeholder yang berbeda-beda dalam kebijakan ini disebabkan oleh faktor politik, birokrasi dan struktural. Hasil dari kajian pada Tabel 54 digunakan sebagai dasar dalam penyusunan matriks kepentingan dan pengaruh stakeholder dalam kebijakan pengembangan perikanan yang berkelanjutan seperti yang ditunjukkan pada Gambar 31. Stakeholder yang dianalisis dalam penelitian ini adalah segenap pemangku kepentingan yang berkaitan dengan program-program pengembangan perikanan, baik berupa minapolitan, industri perikanan ataupun kebijakan lainnya dalam hal pengembangan perikanan. Hasil analisis stakeholder menetapkan beberapa stakeholder primer yang akan diikutsertakan dalam merumuskan kebijakan pengembangan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan di Kota Padang. Stakeholder primer dalam pengembangan perikanan di Kota Padang adalah Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Padang (DKP) dan Pemerintah Daerah Kota Padang (Pemda). Stakeholder primer yang diperoleh pada tahapan analisis ini memiliki peran dan tanggung jawab yang besar dalam rangka menjawab tantangan pengembangan ekonomi perikanan berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang. Hasil analisis stakeholder juga digunakan sebagai indikator dalam tahapan analisis kebijakan pada sub bab selanjutnya. Penyusunan hierarki dalam analisis kebijakan melalui teknik AHP pada Sub Bab 6.6 yaitu dengan memasukkan stakeholder primer sebagai aktor yang ditentukan oleh analisis stakeholder. Rangkaian analisis yang digunakan dalam setiap tahapan pada penelitian ini guna memperoleh rumusan akhir berupa kebijakan pengembangan ekonomi perikanan berperspektif mitigasi bencana di Kota Padang.

65 156 Tabel 54. Analisis Stakeholder Pengembangan Sumberdaya Perikanan yang Berkelanjutan di Kota Padang No. Stakeholder 1 KKP RI (Ditjen Perikanan Tangkap UPT PPSB) 2 Dinas Perikanan dan Kelautan Kriteria Evaluasi Kepentingan Sikap Kekuatan Pengaru Total Keputusan S F P h Keterlibatan Tingkat Keterlibatan Perencanaan dan Pengembangan Minapolitan dan Program Perikanan lainnya Terlibat Pengambil Kebijakan Membina masyarakat nelayan, Koordinasi dengan instansi terkait Terlibat Pengambil Kebijakan 3 Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) 4 Balai Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut (BPSPL) Membuat masterplan dan rencana strategis pengembangan perikanan, Melakukan koordinasi dengan instansi lain dalam mengembangkan perikanan Melakukan riset dan perencanaan terkait program pengelolaan sumberdaya perikanan 5 Pemerintah Daerah Melakukan inisiasi dan mengkoordinasikan program minapolitan dengan instansi terkait 6 Dinas Pekerjaan Umum (PU) Membangun prasarana dan sarana terkait pengembangan perikanan, Meningkatkan fasilitas perikanan Terlibat Diabaikan Pemberi Pertimbangan Pemberi Pertimbangan Terlibat Pengambil Kebijakan Terlibat Penerima Informasi

66 157 Tabel 54. Lanjutan 7 Dinas Perhubungan Meningkatkan sarana dermaga/pelabuhan dan jalan raya di kawasan minapolitan 8 Dinas Perindustrian Perdagangan Tambang dan Energi (Disperindagtamben ) Meningkatkan sarana industri perikanan, Meningkatkan sarana perdagangan domestik dan internasional, Penyediaan sarana bahan bakar armada penangkapan 9 LSM Memberikan pengetahuan dan pendampingan terkait pengelolaan sumberdaya perikanan, Melakukan kontak langsung dengan masyarakat nelayan 10 Akademisi Meningkatkan dan menguatkan peranan SDM di bidang perikanan, Riset dan pengabdian masyarakat di bidang perikanan 11 Pemilik Unit Usaha Lokal 12 Masyarakat Lokal Memperoleh pekerjaan, Meningkatkan kesejahteraan Diabaikan Penerima Informasi Terlibat Penerima Informasi Diabaikan Penerima Informasi Diabaikan Meningkatkan kesejahteraan, Meningkatkan aktivitas ekonomi Diabaikan Pemberi Pertimbangan Pemberi Pertimbangan Diabaikan Penerima Informasi 13 Nelayan Meningkatkan kesejahteraan Diabaikan Penerima Informasi 14 Investor/Pengusaha Membuka lapangan pekerjaan, Luar Meningkatkan keuntungan Diabaikan Penerima Informasi Sumber : Hasil Analisis Data, 2012 Keterangan: S: Sumberdaya Manusia, F: Finansial, P: Politik

67 Analisis Kebijakan Analisis Kebijakan Pengembangan Sektor Prioritas Tahapan analisis kebijakan pada sub bab ini merupakan metode pengkajian untuk menghasilkan dan mentransformasikan flow of thingking dari serangkaian analisis yang telah dilakukan guna memperoleh kesimpulan komprehensif sebagaimana yang dijabarkan pada Sub-bab 6.7. Pada tahapan ini akan dikaji pemilihan sektor prioritas yang potensial dikembangkan pada bidang kelautan di Kota Padang. Berdasarkan data kontribusi antar sektor di Kota Padang, menunjukkan bahwa bidang kelautan yang terdiri atas tujuh sektor (Kusumastanto, 2003) memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi perekonomian Kota Padang. Tujuh sektor itu antara lain; perikanan, pertambangan laut, pariwisata bahari, industri kelautan, jasa kelautan, tansportasi laut dan bangunan kelautan. Sektorsektor dalam bidang kelautan ini perlu dianalisis prioritas pengembangan yang sesuai dengan karakteristik daerah agar kebijakan yang dihasilkan mampu memberikan pengaruh nyata terhadap pembangunan dan kemajuan daerah. Penyusunan hierarki pengambilan keputusan AHP dengan aktor adalah KKP RI, DKP Kota Padang dan Pemda Kota Padang, sedangkan kriteria yaitu ekonomi, ekologi, dan sosial. Bentuk hierarki ditampilkan dalam Gambar 32 dan hasil analisis pada Gambar 33. Gambar 32. Diagram Hierarki Prioritas Pengembangan Bidang Kelautan

68 159 Melalui Analytical Hierarchy Process (AHP) diperoleh prioritas pengembangan sektor di bidang kelautan Kota Padang sebagaimana ditampilkan pada Gambar 26. Hasil analisis ini berdasarkan data primer melalui wawancara mendalam dan kuesionerdengan pakar. Pemilihan aktor dalam penyusunan hierarki analisis kebijakan melalui teknik pengambilan keputusan AHP ini adalah berdasarkan tahapan analisis stakeholder (lihat Sub-bab 6.5.3). Sedangkan untuk penentuan kriteria adalah berdasarkan konsep segitiga pembangunan berkelanjutan (lihat Gambar 2) yang terdiri atas komponen ekologi, ekonomi dan sosial. Hasil penilaian AHP mengenai prioritas pengembangan bidang kelautan di Kota Padang ditampilkan pada Gambar 33 sebagai berikut. Gambar 33. Hasil Penilaian AHP Prioritas Pengembangan Bidang Kelautan Berdasarkan hasil analisis pada Gambar 33, sektor prioritas yang perlu dikembangkan di Kota Padang adalah perikanan dengan skor 0,34 diikuti sektor industri kelautan 0,32 dan pariwisata bahari 0,149. Hasil judgement pakar ini juga berlandaskan karena faktor potensi dan karakteristik Kota Padang, dimana kontribusi terbesar bidang kelautan sejauh ini adalah dari ketiga sektor tersebut. Selain itu ketiga sektor ini masih berpotensi untuk dikembangkan lebih lanjut sebagai tulang punggung perekonomian daerah. Perikanan menjadi alternatif pertimbangan yang paling kuat untuk dikembangkan di Kota Padang. Sektor ini terpilih karena faktor potensi daerah

69 160 yang dimilikinya. Kota Padang dengan segenap potensi perikanan dan titik fokus sentra program pemerintah pusat, menjadikan sektor ini pilihan paling kuat untuk meningkatkan perekonomian daerah. Dukungan sumberdaya alam berupa komoditas perikanan unggulan dan sumberdaya manusia menjadi pertimbangan penting dalam pengambilan keputusan ini. Nilai Consistency Ratio pada pemilihan prioritas kebijakan pengembangan bidang kelautan dalam analisis ini adalah sebesar 0,0201. Sehingga dalam kasus ini penilaian kriteria pada analisis AHP telah dilakukan dengan konsisten (perhitungan lihat Lampiran 17). Berdasarkan hasil perangkingan alternatif keputusan melalui teknik AHP, maka dapat diambil sebuah kebijakan pembangunan bidang kelautan di Kota Padang. Kebijakan yang paling tepat bagi pembangunan bidang kelautan secara berkelanjutan di Kota Padang adalah mengutamakan pembangunan di sub sektor perikanan. Kebijakan ini dianggap paling tepat karena Kota Padang memiliki potensi sumberdaya perikanan yang cukup besar. Hanya saja, demi tercapainya pembangunan sub sektor perikanan yang optimal, maka pemerintah harus lebih memperhatikan aspek keberlanjutan dan mitigasi bencana. Prioritas pengembangan sektor dalam bidang kelautan berikutnya di Kota Padang adalah Industri Kelautan. Melalui program kemudahan investasi yang ditawarkan pemerintah serta pembangunan kelautan yang memadai maka sektor ini layak untuk dikembangkan lebih baik lagi. Output bagi perekonomian daerah yang dihasilkan sektor industri kelautan selama ini cukup menjadi pertimbangan untuk pengembangan lebih lanjut agar hasil yang diperoleh lebih optimal bagi daerah dan kesejahteraan masyarakat khususnya. Sektor dalam bidang kelautan lainnya yang harus dikembangkan adalah sektor pariwisata bahari. Sebagai daerah yang terdiri atas pulau-pulau dengan pantai yang indah, maka Kota Padang berpotensi untuk dikembangkan sebagai tujuan wisata bahari. Hal ini dikarenakan bahwa Kota Padang memiliki wisata pantai yang indah dan belum dikembangkan secara optimal. Hasil analisis AHP mengenai prioritas pengembangan bidang kelautan ini juga menguatkan analisis sebelumnya mengenai analisis ekonomi makro Kota Padang. Analisis ekonomi makro menyimpulkan bahwa perikanan merupakan sektor basis yang memberikan kontribusi ekonomi bagi daerah. Melalui

70 161 serangkaian analisis ini pemerintah dapat memberikan perhatian lebih terhadap usaha pengembangan perikanan di Kota Padang. Perikanan perlu dijadikan sebagai sektor prioritas pembangunan ekonomi daerah Analisis Kebijakan Pengembangan Perikanan Berdasarkan hasil analisis pada Sub Bab 6.6.1, telah diperoleh hasil bahwa perikanan merupakan sektor prioritas yang paling potensial dikembangkan pada bidang kelautan Kota Padang. Kebijakan ini dianggap paling tepat karena Kota Padang memiliki potensi sumberdaya perikanan yang cukup besar. Dalam rangka tercapainya pembangunan sub sektor perikanan yang optimal, maka pemerintah juga harus memperhatikan aspek keberlanjutan ekosistem perairan. Hal ini didasari karena kondisi Samudera Hindia (WPP 572) yang menjadi fishing ground utama menghadapi tantangan keberlanjutan. Selain itu, untuk hasil yang optimal, perhatian pemerintah juga harus diarahkan pada aspek mitigasi bencana. Penyusunan hierarki pengambilan keputusan AHP dengan aktor adalah KKP, DKP Kota Padang dan Pemda Kota Padang, sedangkan kriteria yaitu ekonomi, ekologi, dan sosial. Bentuk hierarki ditampilkan dalam Gambar 34 dan hasil analisis pada Gambar 35. Gambar 34. Diagram Hierarki Prioritas Kebijakan Pengembangan Perikanan

71 162 Melalui Analytical Hierarchy Process (AHP) diperoleh prioritas kebijakan pengembangan perikanan Kota Padang sebagaimana ditampilkan pada Gambar 34. Beberapa alternatif kebijakan disusun dengan mempertimbangkan kondisi wilayah Kota Padang, yaitu kondisi potensi dan permasalahan perikanan serta kondisi daerah yang rawan bencana. Gambar 34. Hasil Penilaian AHP Prioritas Kebijakan Pengembangan Perikanan Berdasarkan hasil analisis sesuai Gambar 34, prioritas kebijakan pengembangan perikanan di Kota Padang adalah penyediaan sarana pelabuhan, TPI, PPI dan fasilitas perikanan lainnya yang kondusif dan berperspektif mitigasi bencana dengan skor 0,203. Alternatif kebijakan ini dipilih mengingat kondisi sentra-sentra fasilitas perikanan yang ada di Kota Padang masih rawan mengalami risiko bencana, selain itu fasilitas perikanan ini juga tergolong masih kurang kondusif akibat terbatasnya prasarana dan sarana yang ada dalam memenuhi kebutuhan aktivitas perikanan setempat. Alternatif prioritas kebijakan berikutnya yaitu pendidikan dan pelatihan bagi nelayan dengan skor 0,163. Masih terbatasnya pengetahuan dan keterampilan nelayan lokal dalam meningkatkan kualitas hasil perikanan baik produksi penangkapan maupun nilai tambah yang dihasilkan, menuntut adanya kebijakan pemerintah dalam memberikan pendidikan dan pelatihan bagi nelayan.

VI. ANALISIS BIOEKONOMI

VI. ANALISIS BIOEKONOMI 111 VI. ANALISIS BIOEKONOMI 6.1 Sumberdaya Perikanan Pelagis 6.1.1 Produksi dan Upaya Penangkapan Data produksi yang digunakan dalam perhitungan analisis bioekonomi adalah seluruh produksi ikan yang ditangkap

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaan Perikanan Kabupaten Agam Aktifitas kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Agam hanya terdapat di satu kecamatan yaitu Kecamatan Tanjung Mutiara. Wilayah ini terdiri atas

Lebih terperinci

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI

Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI Volume 5, Nomor 2, Desember 2014 ISSN 2087-409X Indonesian Journal of Agricultural Economics (IJAE) ANALISIS POTENSI LESTARI PERIKANAN TANGKAP DI KOTA DUMAI Hazmi Arief*, Novia Dewi**, Jumatri Yusri**

Lebih terperinci

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu 24 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juni 2012 yang meliputi: observasi lapang, wawancara, dan pengumpulan data sekuder dari Dinas

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian mengenai dinamika stok ikan peperek (Leiognathus spp.) dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Danau Singkarak, Provinsi Sumatera Barat

METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Danau Singkarak, Provinsi Sumatera Barat 27 IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Danau Singkarak, Provinsi Sumatera Barat (Lampiran 1). Pengambilan data dilakukan pada bulan Maret-April 2011. Penentuan

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN. kriteria tertentu. Alasan dalam pemilihan lokasi penelitian adalah TPI Wonokerto

IV. METODE PENELITIAN. kriteria tertentu. Alasan dalam pemilihan lokasi penelitian adalah TPI Wonokerto IV. METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian dilakukan di TPI Wonokerto, Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah (Lampiran 1). Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan alasan dan kriteria

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 31 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi Umum Perairan Teluk Banten Letak geografis Teluk Banten berada dalam koordinat 05 o 49 45-06 o 02 00 LS dan 106 o 03 20-106 o 16 00 BT. Teluk Banten

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 36 III. METODE PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus (case study). Menurut Maxfield dalam Nazir (2009), penelitian studi kasus adalah penelitian

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. bumi dan dapat menimbulkan tsunami. Ring of fire ini yang menjelaskan adanya

BAB 1 : PENDAHULUAN. bumi dan dapat menimbulkan tsunami. Ring of fire ini yang menjelaskan adanya BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang tergolong rawan terhadap kejadian bencana alam, hal tersebut berhubungan dengan letak geografis Indonesia yang terletak di antara

Lebih terperinci

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang 5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang Pemanfaatan sumberdaya perikanan secara lestari perlu dilakukan, guna sustainability spesies tertentu, stok yang ada harus lestari walaupun rekrutmen

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 6 0'0"S 6 0'0"S 6 0'0"S 5 55'0"S 5 50'0"S 28 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada Maret 2011. Penelitian dilakukan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

Lebih terperinci

ANALISIS BIOEKONOMI(MAXIMUM SUSTAINABLE YIELD DAN MAXIMUM ECONOMIC YIELD) MULTI SPESIES PERIKANAN LAUT DI PPI KOTA DUMAI PROVINSI RIAU

ANALISIS BIOEKONOMI(MAXIMUM SUSTAINABLE YIELD DAN MAXIMUM ECONOMIC YIELD) MULTI SPESIES PERIKANAN LAUT DI PPI KOTA DUMAI PROVINSI RIAU Berkala Perikanan Terubuk, November 2016, hlm 111 122 ISSN 0126-4265 Vol. 44. No.3 ANALISIS BIOEKONOMI(MAXIMUM SUSTAINABLE YIELD DAN MAXIMUM ECONOMIC YIELD) MULTI SPESIES PERIKANAN LAUT DI PPI KOTA DUMAI

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer

METODE PENELITIAN STOCK. Analisis Bio-ekonomi Model Gordon Schaefer METODE PENELITIAN 108 Kerangka Pemikiran Agar pengelolaan sumber daya udang jerbung bisa dikelola secara berkelanjutan, dalam penelitian ini dilakukan beberapa langkah perhitungan untuk mengetahui: 1.

Lebih terperinci

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Aktivitas Penangkapan Ikan Lemuru 5.1.1 Alat tangkap Purse seine merupakan alat tangkap utama yang digunakan oleh nelayan di sekitar Selat Bali dalam menangkap ikan lemuru. Purse

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan lemuru merupakan salah satu komoditas perikanan yang cukup penting. Berdasarkan data statistik perikanan Indonesia tercatat bahwa volume tangkapan produksi ikan lemuru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan, batasan masalah, dan sistematika penulisan. 1.

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan, batasan masalah, dan sistematika penulisan. 1. BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisikan latar belakang, perumusan masalah, tujuan, batasan masalah, dan sistematika penulisan. 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan Negara maritim dengan luas wilayah laut

Lebih terperinci

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA PERIKANAN BERKELANJUTAN DAN BERPERSPEKTIF MITIGASI BENCANA DI PADANG SUMATERA BARAT

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA PERIKANAN BERKELANJUTAN DAN BERPERSPEKTIF MITIGASI BENCANA DI PADANG SUMATERA BARAT J. Kebijakan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol. 2 No. 1 Tahun 2012 KEBIJAKAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA PERIKANAN BERKELANJUTAN DAN BERPERSPEKTIF MITIGASI BENCANA DI PADANG SUMATERA BARAT 1 Tomi

Lebih terperinci

ABSTRACT. Key word : bio-economic analysis, lemuru resources, bali strait, purse seine, resource rent tax, user fee

ABSTRACT. Key word : bio-economic analysis, lemuru resources, bali strait, purse seine, resource rent tax, user fee ABSTRACT ANDAN HAMDANI. Analysis of Management and Assessment User Fee on Utilization of Lemuru Resources In Bali Strait. Under direction of MOCH PRIHATNA SOBARI and WAWAN OKTARIZA Lemuru resources in

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER

KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER KELAYAKAN PENANGKAPAN IKAN DENGAN JARING PAYANG DI PALABUHANRATU MENGGUNAKAN MODEL BIOEKONOMI GORDON- SCHAEFER Oleh : Moh. Erwin Wiguna, S.Pi., MM* Yogi Bachtiar, S.Pi** RINGKASAN Penelitian ini mengkaji

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2011 sampai bulan Februari 2012 dengan interval waktu pengambilan sampel 1 bulan. Penelitian dilakukan di Pelabuhan

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian (Dinas Hidro-Oseanografi 2004)

3. BAHAN DAN METODE. Gambar 6. Peta Lokasi Penelitian (Dinas Hidro-Oseanografi 2004) 24 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini mengikuti penelitian bagian Manajemen Sumberdaya Perikanan (MSPi) dan dilaksanakan selama periode bulan Maret 2011 hingga Oktober

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Partisipatif Daerah Penangkapan Ikan kurisi dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Kapal dengan alat tangkap cantrang memiliki

Lebih terperinci

Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 18. No. 2, April 2013 ISSN

Jurnal Ilmu Perikanan Tropis Vol. 18. No. 2, April 2013 ISSN ANALISIS BIOEKONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN KAKAP DI KABUPATEN KUTAI TIMUR (Bio-economic Analysis of Blood Snaper Resources Utilization in Kutai Timur Regency) ERWAN SULISTIANTO Jurusan Sosial Ekonomi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Potensi lestari dan tingkat pemanfaatan sumberdaya udang laut di Indonesia dan Laut Jawa. Pemanfaatan (%) 131,93 49,58

1 PENDAHULUAN. Potensi lestari dan tingkat pemanfaatan sumberdaya udang laut di Indonesia dan Laut Jawa. Pemanfaatan (%) 131,93 49,58 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi sumberdaya udang laut yang sangat besar, yakni sekitar 78 800 ton per tahun yang terdiri dari 74 000 ton per tahun untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di sepanjang pesisir barat pulau Sumatera bagian tengah. Provinsi ini memiliki dataran seluas

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gempa bumi sebagai suatu kekuatan alam terbukti telah menimbulkan bencana yang sangat besar dan merugikan. Gempa bumi pada skala kekuatan yang sangat kuat dapat menyebabkan

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI, EKSPLORASI POTENSI DAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN BENGKALIS

IDENTIFIKASI, EKSPLORASI POTENSI DAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN BENGKALIS 1 IDENTIFIKASI, EKSPLORASI POTENSI DAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN BENGKALIS Pareng Rengi 1 ) dan Usman M. Tang 2) ) 1/2 ) Dosen pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau, Pekanbaru

Lebih terperinci

ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid ABSTRAK

ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid ABSTRAK ANALISIS BIOEKONOMI IKAN KEMBUNG (Rastrelliger spp) DI KOTA MAKASSAR Hartati Tamti dan Hasriyani Hafid Program Studi Ilmu Kelautan STITEK Balik Diwa Makassar Email : hartati.tamti@gmail.com ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. # Lokasi Penelitian

3 METODE PENELITIAN. # Lokasi Penelitian 35 3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Timur, khususnya di PPP Labuhan. Penelitian ini difokuskan pada PPP Labuhan karena pelabuhan perikanan tersebut

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng/kulit bumi aktif yaitu lempeng Indo-Australia di bagian selatan, Lempeng Euro-Asia di bagian utara dan Lempeng Pasifik

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN. batas-batas wilayah sebagai berikut : - Sebelah Utara dengan Sumatera Barat. - Sebelah Barat dengan Samudera Hindia

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN. batas-batas wilayah sebagai berikut : - Sebelah Utara dengan Sumatera Barat. - Sebelah Barat dengan Samudera Hindia BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN A. Gambaran Umum Objek Penelitian 1. Kondisi Geografis Daerah Kota Bengkulu merupakan ibukota dari Provinsi Bengkulu dengan batas-batas wilayah sebagai berikut : - Sebelah

Lebih terperinci

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH Bimafika, 2010, 2, 141-147 1 POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH Achmad Zaky Masabessy * FPIK Unidar Ambon ABSTRACT Maluku Tengah marine water has fish resources,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Palabuhanratu merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi sumberdaya perikanan laut yang cukup tinggi di Jawa Barat (Oktariza et al. 1996). Lokasi Palabuhanratu

Lebih terperinci

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 /

Analisis Pertumbuhan Ekonomi Kab. Lamandau Tahun 2013 / BAB IV TINJAUAN EKONOMI 2.1 STRUKTUR EKONOMI Produk domestik regional bruto atas dasar berlaku mencerminkan kemampuan sumber daya ekonomi yang dihasilkan oleh suatu daerah. Pada tahun 2013, kabupaten Lamandau

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; A. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan salah satu indikator yang

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi 93 6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu Unit penangkapan bagan yang dioperasikan nelayan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar berukuran panjang lebar tinggi adalah 21 2,10 1,8 m, jika dibandingkan

Lebih terperinci

C E =... 8 FPI =... 9 P

C E =... 8 FPI =... 9 P 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 6 (enam) bulan yang meliputi studi literatur, pembuatan proposal, pengumpulan data dan penyusunan laporan. Penelitian

Lebih terperinci

ANALISIS KENDALA INVESTASI BAGI PENANAM MODAL UNTUK INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN ORIENTASI EKSPOR FEBRINA AULIA PRASASTI

ANALISIS KENDALA INVESTASI BAGI PENANAM MODAL UNTUK INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN ORIENTASI EKSPOR FEBRINA AULIA PRASASTI ANALISIS KENDALA INVESTASI BAGI PENANAM MODAL UNTUK INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN ORIENTASI EKSPOR FEBRINA AULIA PRASASTI PROGRAM STUDI MANAJEMEN BISNIS DAN EKONOMI PERIKANAN-KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan suatu negara yang memiliki wilayah yang luas dan terletak di garis khatulistiwa pada posisi silang antara dua benua dan dua samudera, berada dalam

Lebih terperinci

V. ANALISIS SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN KARIMUN

V. ANALISIS SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN KARIMUN V. ANALISIS SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN KARIMUN Pembangunan perekonomian suatu wilayah tentunya tidak terlepas dari kontribusi dan peran setiap sektor yang menyusun perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia, yaitu Lempeng Eurasia, Indo-Australia dan Pasifik. Konsekuensi tumbukkan lempeng tersebut mengakibatkan negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE 3 BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Teluk Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat dari tanggal 17 April sampai 7 Mei 013. Peta lokasi penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dalam PDB (Produk Domestik Bruto) nasional Indonesia. Kontribusi sektor

I. PENDAHULUAN. dalam PDB (Produk Domestik Bruto) nasional Indonesia. Kontribusi sektor I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor perikanan merupakan salah satu sektor andalan bagi Indonesia untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, baik dalam skala lokal, regional maupun negara, dimana sektor

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Usaha ini

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Usaha ini BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya, pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha dan kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Usaha ini ditujukkan melalui memperluas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara paling rentan di dunia. Indonesia merupakan negara kepulauan yang terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik yaitu lempeng benua Asia,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini menyebabkan terumbu karang memilki spesies yang amat beragam. Terumbu karang menempati areal

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kontribusi Sektor Pertanian bagi PDRB di Kabupaten Simeulue Kabupaten Simeulue mempunyai sembilan sektor yang memiliki peranan besar dalam kontribusi terhadap PDRB. Indikator

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan

3. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 18 3. METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di muara arah laut dan muara arah sungai Cimaja, Citiis, Citepus dan Sukawayana yang mengalir menuju Teluk Palabuhanratu, Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Tektonik Indonesia (Bock, dkk., 2003)

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Peta Tektonik Indonesia (Bock, dkk., 2003) 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia terletak pada tiga pertemuan lempeng besar dunia yaitu Lempeng Indo-Australia di bagian selatan, Lempeng Pasifik di bagian timur, dan Lempeng Eurasia di

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. tingkat kepadatan penduduk nomor empat tertinggi di dunia, dengan jumlah

BAB 1 PENDAHULUAN. tingkat kepadatan penduduk nomor empat tertinggi di dunia, dengan jumlah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan dengan tingkat kepadatan penduduk nomor empat tertinggi di dunia, dengan jumlah penduduk lebih

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN Edy H.P. Melmambessy Staf Pengajar Univ. Musamus-Merauke, e-mail : edymelmambessy@yahoo.co.id ABSTRAK Ikan tongkol termasuk dalam golongan

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Selama peradaban manusia, gempa bumi telah dikenal sebagai fenomena alam yang menimbulkan efek bencana yang terbesar, baik secara moril maupun materiil. Suatu gempa

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Uraian dalam Bab ini menjelaskan hasil pengolahan data dan pembahasan terhadap 4 (empat) hal penting yang menjadi fokus dari penelitian ini, yaitu: (1) peranan sektor kehutanan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut memiliki sifat spesifik, yakni akses terbuka (open access). Sumberdaya perikanan juga bersifat kepemilikan bersama (common property). Semua individu

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR LAMPIRAN... viii

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... vii. DAFTAR LAMPIRAN... viii DAFTAR ISI DAFTAR TABEL........ iv DAFTAR GAMBAR........ vii DAFTAR LAMPIRAN........ viii I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang....... 1.2. Perumusan Masalah.......... 1.3. Tujuan dan Kegunaan..... 1.4. Ruang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. letaknya berada pada pertemuan lempeng Indo Australia dan Euro Asia di

BAB I PENDAHULUAN. letaknya berada pada pertemuan lempeng Indo Australia dan Euro Asia di BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Provinsi Sumatera Barat merupakan daerah yang rawan bencana, karena letaknya berada pada pertemuan lempeng Indo Australia dan Euro Asia di Samudra Hindia sebelah barat

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. beroperasi di perairan sekitar Kabupaten Pekalongan dan menjadikan TPI

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. beroperasi di perairan sekitar Kabupaten Pekalongan dan menjadikan TPI VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Karakteristik Responden Responden dalam penelitian adalah nelayan yang menangkap ikan atau beroperasi di perairan sekitar Kabupaten Pekalongan dan menjadikan TPI Wonokerto

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian 21 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan dan pengumpulan data di lapangan dilakukan pada Bulan Maret sampai dengan April 2009. Penelitian dilakukan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Australia dan Lempeng Pasifik (gambar 1.1). Pertemuan dan pergerakan 3

BAB I PENDAHULUAN. Australia dan Lempeng Pasifik (gambar 1.1). Pertemuan dan pergerakan 3 BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini dipaparkan : (a) latar belakang, (b) perumusan masalah, (c) tujuan penelitian, (d) manfaat penelitian, (e) ruang lingkup penelitian dan (f) sistematika penulisan. 1.1. Latar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang terencana yang dilakukan

TINJAUAN PUSTAKA. rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang terencana yang dilakukan II. TINJAUAN PUSTAKA 1. Konsep Pembangunan Menurut Siagian (1994), pembangunan merupakan suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang terencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. Samudera Pasifik yang bergerak kearah barat-barat laut dengan kecepatan sekitar 10

BAB 1 : PENDAHULUAN. Samudera Pasifik yang bergerak kearah barat-barat laut dengan kecepatan sekitar 10 1 BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia terletak diantara tiga lempeng utama dunia, yaitu Lempeng Samudera Pasifik yang bergerak kearah barat-barat laut dengan kecepatan sekitar 10 cm per tahun,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan 46 jenis diantaranya merupakan ikan endemik (Syandri, 2008). Salah satu

I. PENDAHULUAN. dan 46 jenis diantaranya merupakan ikan endemik (Syandri, 2008). Salah satu 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera dan pulau-pulau di sekitarnya memiliki 570 jenis spesies ikan tawar dan 46 jenis diantaranya merupakan ikan endemik (Syandri, 2008). Salah satu jenis ikan endemik

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan wilayah yang memiliki kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan Indonesia tersebar sepanjang nusantara mulai ujung barat Pulau

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 51 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teori Selama ini, pengelolaan sumberdaya perikanan cenderung berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata dengan mengeksploitasi sumberdaya perikanan secara besar-besaran

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 - IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI 4.1 Kondisi Geografis Kota Dumai merupakan salah satu dari 12 kabupaten/kota di Provinsi Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37-101 o 8'13

Lebih terperinci

tektonik utama yaitu Lempeng Eurasia di sebelah Utara, Lempeng Pasifik di

tektonik utama yaitu Lempeng Eurasia di sebelah Utara, Lempeng Pasifik di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan suatu wilayah yang sangat aktif kegempaannya. Hal ini disebabkan oleh letak Indonesia yang berada pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama yaitu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan daerah yang rawan terhadap bencana gempabumi tektonik. Hal ini disebabkan karena Indonesia terletak pada kerangka tektonik yang didominasi oleh interaksi

Lebih terperinci

PENGELOLAAN SUMBERDAYA KAKAP MERAH (Lutjanus malabaricus) YANG DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI BAJOMULYO KABUPATEN PATI JAWA TENGAH

PENGELOLAAN SUMBERDAYA KAKAP MERAH (Lutjanus malabaricus) YANG DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI BAJOMULYO KABUPATEN PATI JAWA TENGAH PENGELOLAAN SUMBERDAYA KAKAP MERAH (Lutjanus malabaricus) YANG DIDARATKAN DI PELABUHAN PERIKANAN PANTAI BAJOMULYO KABUPATEN PATI JAWA TENGAH NUR ISNAINI RAHMAWATI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum PPP Labuan, Banten Wilayah Kabupaten Pandeglang secara geografis terletak antara 6 0 21-7 0 10 Lintang Selatan dan 104 0 48-106 0 11 Bujur Barat dengan luas

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006 BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2006 4.1. Gambaran Umum inerja perekonomian Jawa Barat pada tahun ini nampaknya relatif semakin membaik, hal ini terlihat dari laju pertumbuhan ekonomi Jawa

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. ini adalah wilayah penelitian Kota Bandar Lampung dengan wilayah. arah tersedianya pemenuhan kebutuhan masyarakat.

III. METODOLOGI PENELITIAN. ini adalah wilayah penelitian Kota Bandar Lampung dengan wilayah. arah tersedianya pemenuhan kebutuhan masyarakat. 43 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Konsep dasar dan Defenisi Operasional Konsep dasar dan defenisi operasional dalam penelitian ini mencakup semua pengertian yang digunakan dalam memperoleh dan menganalisa

Lebih terperinci

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN Hasil analisis LGP sebagai solusi permasalahan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah

Lebih terperinci

II PENDAHULUAN PENDAHULUAN

II PENDAHULUAN PENDAHULUAN I II PENDAHULUAN PENDAHULUAN Pembangunan dapat diartikan berbeda-beda oleh setiap orang tergantung dari sudut pandang apa yang digunakan oleh orang tersebut. Perbedaan cara pandang mengenai proses pembangunan

Lebih terperinci

ANALISIS BIOEKONOMI DAN OPTIMASI PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN LAYANG DI PERAIRAN KABUPATEN MUNA SULAWESI TENGGARA

ANALISIS BIOEKONOMI DAN OPTIMASI PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN LAYANG DI PERAIRAN KABUPATEN MUNA SULAWESI TENGGARA Marine Fisheries ISSN 2087-4235 Vol. 6, No. 1, Mei 2015 Hal: 13-22 ANALISIS BIOEKONOMI DAN OPTIMASI PENGELOLAAN SUMBER DAYA IKAN LAYANG DI PERAIRAN KABUPATEN MUNA SULAWESI TENGGARA Bioeconomic Analysis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara besar dengan pemilikan sumber daya alam yang melimpah, dalam pembangunan ekonomi yang merupakan bagian dari pembangunan nasional

Lebih terperinci

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 2 ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prospek pasar perikanan dunia sangat menjanjikan, hal ini terlihat dari kecenderungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang mempunyai 13.466 pulau dan mempunyai panjang garis pantai sebesar 99.093 km. Luasan daratan di Indonesia sebesar 1,91 juta

Lebih terperinci

Penyebab Tsunami BAB I PENDAHULUAN

Penyebab Tsunami BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bencana adalah peristiwa/rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor alam dan/atau faktor

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Mitigasi bencana merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi resiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DI PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2006

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DI PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2006 ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) DI PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2006 SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 10 Lokasi penelitian.

3 METODE PENELITIAN. Gambar 10 Lokasi penelitian. 3 METODE PENELITIAN 3. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) Lambada Lhok Kecamatan Baitussalam Kabupaten Aceh Besar, Pemerintah Aceh. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki lautan yang lebih luas dari daratan, tiga per empat wilayah Indonesia (5,8 juta km 2 ) berupa laut. Indonesia memiliki lebih dari 17.500 pulau dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang membentang dari Sabang sampai Merauke yang terdiri dari ribuan pulau besar dan kecil yang ada di dalamnya. Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Sebaran episenter gempa di wilayah Indonesia (Irsyam dkk, 2010). P. Lombok

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Sebaran episenter gempa di wilayah Indonesia (Irsyam dkk, 2010). P. Lombok 2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gempabumi sangat sering terjadi di daerah sekitar pertemuan lempeng, dalam hal ini antara lempeng benua dan lempeng samudra akibat dari tumbukan antar lempeng tersebut.

Lebih terperinci

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5.1 Pendahuluan Pemanfaatan yang lestari adalah pemanfaatan sumberdaya perikanan pada kondisi yang berimbang, yaitu tingkat pemanfaatannya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Kajian tentang konsep kapasitas penangkapan ikan berikut metoda pengukurannya sudah menjadi isu penting pada upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. The Code of

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan yang disesuaikan dengan potensi dan permasalahan pembangunan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor perikanan dan kelautan diharapkan menjadi prime mover bagi pemulihan ekonomi Indonesia, karena prospek pasar komoditas perikanan dan kelautan ini terus meningkat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu tujuan nasional Negara Indonesia adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, diantaranya melalui pembangunan ekonomi yang berkesinambungan. Pembangunan ekonomi

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 27 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengumpulan data dilaksanakan bulan Juli-September 2007 yaitu di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Pemilihan lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN Analisis struktur perekonomian kota Depok sebelum dan sesudah otonomi daerah UNIVERSITAS SEBELAS MARET Oleh: HARRY KISWANTO NIM F0104064 BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Daerah Penelitian

Lebih terperinci

ALOKASI OPTIMUM SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU 1 PENDAHULUAN

ALOKASI OPTIMUM SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU 1 PENDAHULUAN 1 ALOKASI OPTIMUM SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU 1 Oleh: Yudi Wahyudin 2, Tridoyo Kusumastanto 3, dan Moch. Prihatna Sobari 4 PENDAHULUAN Aktivitas penangkapan ikan di Perairan Teluk

Lebih terperinci