MODIFIKASI BENTUK KASURAN DAN SISTEM PENGECERAN BIBIT SEBAGAI STRATEGI PENANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) DI MUSIM HUJAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MODIFIKASI BENTUK KASURAN DAN SISTEM PENGECERAN BIBIT SEBAGAI STRATEGI PENANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) DI MUSIM HUJAN"

Transkripsi

1 MODIFIKASI BENTUK KASURAN DAN SISTEM PENGECERAN BIBIT SEBAGAI STRATEGI PENANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) DI MUSIM HUJAN AGUSTINUS NURHADI DAIRO A DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

2 RINGKASAN AGUSTINUS NURHADI DAIRO. Modifikasi Bentuk Kasuran dan Sistem Pengeceran Bibit sebagai Strategi Penanaman Tebu (Saccharum officinarum L.) di Musim Hujan. (Dibimbing oleh M. RAHMAD SUHARTANTO). Curah hujan tinggi selama musim tanam menyebabkan penurunan kualitas perkecambahan bibit tebu. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menentukan strategi penanaman tebu saat musim hujan dalam menghasilkan vigor bibit dan pertumbuhan vegetatif yang terbaik. Penelitian dilaksanakan di Kebun Gempol, PG Sindang Laut, Kabupaten Cirebon sejak 14 Mei sampai 3 September 2010, dengan tambahan pengamatan pada 29 Oktober Bahan tanam yang digunakan selama penelitian yaitu bibit tebu berupa bagal dari klon PS 941 atau PSJT Metode penelitian menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT) dua faktor. Faktor pertama adalah modifikasi bentuk kasuran yang terdiri dari perlakuan klacen barat, klacen timur, tutup miring, dan tutup datar. Faktor kedua adalah sistem pengeceran bibit yang terdiri dari bagal dua mata kombinasi pola ecer 22+2 dan bagal tiga mata kombinasi pola ecer Penelitian diulang sebanyak tiga kali sehingga terdapat 24 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan ditanam dalam sebuah juringan dengan panjang 750 cm, lebar 45 cm, dalam 30 cm, dan jarak pusat ke pusat (PKP) 100 cm. Peubah yang diamati antara lain kelembaban kasuran, kecepatan tumbuh, mata bibit busuk, daya tumbuh, jumlah hari hujan, jumlah daun, tinggi tanaman, jumlah tunas sekunder atau anakan, diameter batang bawah, dan total batang satu juringan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa modifikasi bentuk kasuran mempengaruhi tanaman sejak fase perkecambahan sampai fase pertunasan. Sistem pengeceran bibit hanya mempengaruhi tanaman tebu saat fase pertunasan. Kedua faktor tersebut tidak menunjukkan adanya interaksi. Pada modifikasi bentuk kasuran, perlakuan terbaik adalah kasuran klacen timur. Klacen timur bentuk permukaannya horisontal dan pada sisi timur kasurannya terdapat parit kecil dengan kedalaman ± 5 cm dan lebar ± 20 cm. Perlakuan klacen timur mampu mengatasi kelebihan air di sekitar kasuran dengan cepat dan menerima sinar

3 iii matahari paling awal. Hal ini mengakibatkan vigor bibit dan pertumbuhan vegetatif tebu menjadi lebih baik. Daya tumbuh yang dihasilkan sebesar % dengan kecepatan pertumbuhan bibitnya 6.81 %/etmal. Jumlah daun dan tinggi tanaman pada 14 MST berurutan sebesar helai dan cm, diameter batang pada 16 MST sebesar 2.28 cm, dan total batang per juringan saat 24 MST sebanyak batang. Pada sistem pengeceran bibit, perlakuan terbaik melalui penggunaan bagal dua mata kombinasi pola ecer Perlakuan ini menggunakan 6.4 mata bibit ditanam per meter juringan. Perlakuan ini menghasilkan jumlah daun serta tinggi tanaman saat 14 MST berurutan sebesar helai dan cm, diameter batang pada 16 MST sebesar 2.30 cm, dan total batang per juringan saat 24 MST sebanyak batang.

4 MODIFIKASI BENTUK KASURAN DAN SISTEM PENGECERAN BIBIT SEBAGAI STRATEGI PENANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) DI MUSIM HUJAN Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor AGUSTINUS NURHADI DAIRO A DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

5 LEMBAR PENGESAHAN Judul : MODIFIKASI BENTUK KASURAN DAN SISTEM PENGECERAN BIBIT SEBAGAI STRATEGI PENANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) DI MUSIM HUJAN Nama : AGUSTINUS NURHADI DAIRO NRP : A Menyetujui, Dosen Pembimbing Dr. Ir. M. Rahmad Suhartanto, MSi. NIP Mengetahui, Ketua Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian IPB Dr. Ir. Agus Purwito, MSc.Agr. NIP Tanggal Lulus:

6 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cirebon pada tanggal 24 Agustus 1988, sebagai anak kedua dari pasangan Bapak Ngongo Dairo Petrus dan Ibu Vironica Ngadinah. Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Dasar Santa Maria, Cirebon pada tahun Pada tahun 2003, Penulis menyelesaikan pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Santa Maria, Cirebon. Selanjutnya, pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1, Cirebon dan selesai tahun Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis diterima di Mayor Agronomi dan Hortikultura dan Minor Pengembangan Usaha Agribisnis pada tahun Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam berbagai kegiatan kepanitiaan. Beberapa kepanitiaan yang diselenggarakan Departemen Agronomi yang pernah diikuti antara lain Agricultural Career Seminar and Studium General tahun 2008, Hari Perkenalan Bersama Agronomi dan Hortikultura 44 tahun 2008, Festival Tanaman XXIX tahun Selain mengikuti kegiatan kepanitiaan, penulis aktif sebagai asisten praktikum untuk mata kuliah ekologi pertanian tahun ajaran 2009/2010. Penulis juga cukup banyak mengasah keterampilan melalui pelatihan diantaranya teknologi budidaya buah tropis di PKBT Tajur tahun 2007, pertanian organik di OISCA JEPANG INDONESIA tahun 2008, budidaya jamur merang di petani jamur Sukabumi 2009, dan budidaya tebu di Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) Cirebon tahun 2009.

7 KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yesus yang selalu memberikan kasih dan karunia yang begitu indah sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian modifikasi bentuk kasuran dan sistem pengeceran bibit sebagai strategi penanaman tebu (Saccharum officinarum L.) di musim hujan. Penelitian ini dilaksanakan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian IPB. Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan terimakasih kepada: 1. Ayahanda dan Ibunda tercinta yang mewariskan pendidikan sebagai modal yang tak ternilai dalam kehidupan. Kakak dan Adik yang selalu menyemangati. 2. Dr. Ir. M. Rahmad Suhartanto, MSi. sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan dan saran sejak pemilihan topik penelitian sampai tersusunnya skripsi ini. 3. Dr. Dewi Sukma, SP. MSi. sebagai dosen pembimbing akademik yang membimbing penulis melaksanakan kegiatan perkuliahan di kampus IPB. 4. Ir. Purwono, MS. dan Dr. Ir. Eko Sulistyono, MS. selaku dosen penguji. 5. Jajaran staf dan non staf PG Gempol Rayon PG Sindanglaut: Pak Ade selaku HTO, Pak Edi dan Pak Iqbal selaku Sinder Tanaman, Pak Kastari, Pak Jumani, dan Pak Raksa selaku Mandor Tanaman. 6. Teman-teman yang telah membantu (Jenderal dan Ajay AGH 42, Andi dan Asdo MNH 43, Dedi STK 43, Arie KIM 44, Muna MSL 44, dan rekan-rekan Agronomi dan Hortikultura 43). 7. Helena Suri Widyasitoresmi ITP 43 yang telah memberikan masukan, inspirasi, dan semangat yang begitu berarti. 8. Sahabat-sahabat yang memberikan motivasi Nico Resando (ITB), Maria Novita (UPI), Wulan Ervina (UKI), Eki Adityawan (UI). Akhirnya, semoga skripsi hasil dari penelitian penulis dapat digunakan secara bijak dan bermanfaat bagi semua yang membutuhkan. Cirebon, November 2010 Penulis

8 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... IX x xi X DAFTAR LAMPIRAN... xii XI PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 2 Hipotesis... 2 TINJAUAN PUSTAKA... 3 Tanaman Tebu... 3 Perkecambahan Bibit Tebu... 6 Kebutuhan Air Tanaman... 7 Kasuran... 9 Pengeceran Bibit BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan Metode Penelitian Pelaksanaan Penelitian Pengamatan HASIL Kondisi Umum Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Tahap I. Fase Perkecambahan Tahap II. Fase Pertunasan PEMBAHASAN Pergerakan Air Berlebih di Sekitar Kasuran Hubungan Air terhadap Vigor Bibit Tebu Keragaan Vegetatif Tanaman Fase Pertunasan Taksasi Produktivitas KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 52

9 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Rata-Rata Evapotranspirasi Tebu Budidaya di Ketapang Pembagian Kelas Drainase Tanah Data Curah Hujan Lokasi Penelitian 14 Mei 3 September 2010 berdasarkan Fase Pertumbuhan Tebu Hasil Analisis Uji F Modifikasi Bentuk Kasuran dan Sistem Pengeceran terhadap Vigor dan Vegetatif Tebu Skor Kelembaban Kasuran berdasarkan Periode Hujan pada Modifikasi Bentuk Kasuran dan Sistem Pengeceran Bibit Vigor Bibit Tebu pada Modifikasi Bentuk Kasuran dan Sistem Pengeceran Bibit Regresi dan Korelasi Kelembaban Kasuran terhadap Vigor Bibit Jumlah Daun pada Modifikasi Bentuk Kasuran dan Sistem Pengeceran Bibit Tinggi Tanaman pada Modifikasi Bentuk Kasuran dan Sistem Pengeceran Bibit Kemampuan Bertunas dan Diameter Batang 16 MST pada Modifikasi Bentuk Kasuran dan Sistem Pengeceran Bibit Total Batang per Juringan 16 MST dan 24 MST pada Modifikasi Bentuk Kasuran dan Sistem Pengeceran Bibit... 33

10 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Morfologi Batang (a) Organ Batang Tebu dan (b) Keragaan Tunas Tebu Morfologi Daun dan Akar (a) Pelepah Daun Tebu dan (b) Wilayah Jelajah Perakaran Tebu Variasi Bentuk Kasuran dan Asal Bahan Tanah Pembentuknya Penampakan Visual berdasarkan Skor Tanah Persentase Perkecambahan Kumulatif dan Perkecambahan Harian Mistar Skala Bacaan Ganda (a) Skala Tinggi Tanaman Tampak (b) Skala Tinggi Tanaman Terkubur (c) Sketsa Mistar Skala Bacaan Ganda Faktor Modifikasi Bentuk Kasuran. Arah Utara yaitu Kertas Bagian Atas. (A1) Klacen Barat, (A2) Klacen Timur, (A3) Tutup Miring, (A4) Tutup Datar Faktor Sistem Pengeceran Bibit (a) Kiri: Bagal 2 Mata, Kanan: Bagal 3 Mata, (b) Mata Bibit yang Sehat, (c) Taji Sebagai Bakal Tunas Primer, (d) Bibit yang telah Diecer Pola 22+2 kemudian Ditanam Indikasi Gangguan Kualitas Perkecambahan (a) Mata Rusak, (b) Mata Busuk, (c) Bibit Busuk Perkembangan Perkecambahan Modifikasi Bentuk Kasuran berdasarkan Hari Hujan dan Hari Kering... 29

11 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Kualitas Bibit yang Digunakan dalam Penelitian Data Curah Hujan Harian Mei 2010 sampai September Penampakan Vegetatif Tinggi Tanaman (a) Pengaruh Faktor Modifikasi Bentuk Kasuran (b) Pengaruh Faktor Sistem Pengeceran Bibit Penampakan Vegetatif Diameter Batang Layout Percobaan Hasil Korelasi Pearson antar Peubah Fase Perkecambahan Hasil Korelasi Pearson antaravigor Bibit Tebu terhadap Jumlah Daun dan Tinggi Tanaman Tebu Hasil Korelasi Pearson antara Jumlah Daun dan Tinggi Tanaman Hasil Korelasi Pearson antara Peubah Vegetatif Tanaman pada Fase Pertunasan Taksasi Produktivitas Tebu Modifikasi Bentuk Kasuran dan Sistem Pengeceran Bibit dengan Umur Panen 12 Bulan... 60

12 PENDAHULUAN Latar Belakang Industri gula merupakan salah satu industri penting dalam sektor perkebunan di Indonesia dengan kebutuhan gula per kapitanya sebesar 17 kg per tahun (PT Perkebunan Negara XI, 2010). Rincian kebutuhan gula nasional adalah 2.62 juta ton untuk konsumsi langsung dan 1.89 juta ton untuk industri (Neraca Gula Nasional, 2010) sedangkan produksi nasional musim giling 2010 diestimasi mencukupi 2.36 juta ton gula (Dewan Gula Indonesia, 2010). Rendahnya produktivitas sering disebabkan karena kegagalan bibit berkecambah (Umarjono dan Samoedi, 1993) ditambah lagi kebutuhan bibit tebu yang tidak sedikit sebesar 6-7 ton per hektar (Ramadani, 2008). Perkecambahan tebu tak menghendaki tanah terlampau kering dan juga tanah terlampau basah, sehingga pemberian dan pembuangan air menjadi masalah (Soepadirman, 1992). Selain itu, tingginya curah hujan menyebabkan genangan. Kebun dengan tanah bertekstur berat akan kuat mengikat air dan menyebabkan masalah drainase di sekitar bibit. Kebun tebu yang tergenang dapat menghambat perkecambahan dan bibit rentan mati jika kekurangan oksigen akibat tanah menjadi jenuh air selama perkecambahan (Marpaung, 1990). Dalam rangka menghindari tanah yang terlampau basah saat perkecambahan, maka ditetapkan jadwal penanaman berdasarkan prakiraan datangnya musim hujan. Waktu penanaman terbagi menjadi 2 periode antara lain periode I penanaman awal musim kemarau yaitu pertengahan Mei sampai Juni. Periode II yaitu penanaman awal musim hujan yaitu Oktober sampai November (Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2007). Bukaan tebu secara reynoso menjadi andalan untuk mendapatkan produktivitas tebu yang tinggi jika dibandingkan dengan bukaan mekanis. Namun bukaan reynoso kerap sulit terbebas dari masalah genangan. Kerentanan terhadap genangan memungkinkan terjadi mengingat bukaan reynoso diusahakan pada lahan sawah dan curah hujan seringkali masih tetap tinggi menjelang masa tanam. Walaupun masa tanam tebu reynoso dilakukan saat awal musim kemarau (Mei sampai Juni), namun pada tahun 2010 curah hujan Mei, Juni, dan Juli sebesar

13 2 401 mm, mm, dan mm (Pengelolaan Sumber Daya Air, 2010). Artinya ketiga bulan tersebut berstatus bulan basah dan tidak mengindikasikan memasuki awal musim kemarau. Oleh karena itu diperlukan sebuah strategi penanaman tebu saat musim hujan yang mendukung perkecambahan bibit dan pertumbuhan vegetatif tanaman tebu bukaan reynoso. Strategi tersebut yaitu modifikasi bentuk kasuran dan sistem pengeceran bibit. Modifikasi bentuk kasuran merupakan upaya agar kasuran tidak hanya berfungsi sebagai media perkecambahan bibit, tetapi juga dapat mengatasi kelebihan air dengan cepat terutama saat curah hujan tinggi agar kualitas perkecambahan tetap optimum. Strategi lainnya yaitu sistem pengeceran bibit. Sistem pengeceran merupakan upaya meningkatkan jumlah bibit yang ditanam dalam mengimbangi rendahnya daya berkecambah akibat curah hujan yang tinggi. Dampak modifikasi bentuk kasuran dan sistem pengeceran bibit terhadap pertumbuhan tanaman masih perlu dievaluasi lebih lanjut. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mempelajari pengaruh modifikasi bentuk kasuran dan sistem pengeceran bibit terhadap vigor bibit tebu terutama saat musim hujan, dilanjutkan dengan dampaknya terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman tebu. 2. Menentukan perlakuan terbaik yang menunjang vigor bibit dan pertumbuhan vegetatif tebu saat musim hujan. Hipotesis Hipotesis penelitian ini adalah : 1. Terdapat hubungan antara modifikasi bentuk kasuran terhadap vigor bibit dan pertumbuhan vegetatif tanaman tebu. 2. Terdapat hubungan antara sistem pengeceran bibit terhadap vigor bibit dan pertumbuhan vegetatif tanaman tebu.

14 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Tebu Menurut Alexander (1973) dan James (2004) taksonomi tanaman tebu tergolong dalam kerajaan plantae, divisi magnoliophyta, kelas monocotyledoneae, ordo glumaceae, famili graminae, genus Saccharum, spesies Saccharum officinarum. Spesies lain yang tergolong dalam genus Saccharum antara lain Saccharum arundinaceum, Saccharum bengalense, Saccharum edule, Saccharum procerum, Saccharum ravennae, Saccharum robustum, Saccharum spontaneum, Saccharum sinense. Pusat keragaman tanaman genus Saccharum diperkirakan berasal dari daerah sekitar Papua Nugini atau Asia Selatan yaitu India, yang disimpulkan dari segi religi tentang mitologi purbakala Hindu. Spesies Saccharum officinarum dahulu terkenal dengan sebutan The Nobel Canes terbagi dalam tiga jenis yaitu Otaheite, Bourbon, Creole Cane. Jenis Otaheite merupakan yang pertama dibudidayakan dalam skala dunia. Jenis ini menjadi standar tanaman budidaya Brazil, Guyana, Hawaii, India, Indonesia, Meksiko. Indonesia saat pemerintahan kolonial Belanda menggunakan tebu hibrida POJ2878 atau Cheribon yang sempat sejajar dengan hibrida komersial kelas dunia lainnya. Hibrida ini berasal dari Pulau Jawa, Indonesia sekitar awal pertengahan abad 19 (Alexander, 1973). Varietas tebu di Indonesia saat ini bermacam-macam antara lain PS 864, PS 941, R-579, BL, serta JT 26. Varietas tersebut dipersilangkan oleh P3GI (Rahmawati, 2007), BBP2TP (Antara, 2010), dan PTPN XI (Plantus, 2010). Tebu atau Saccharum officinarum merupakan salah satu tanaman yang paling efisien dalam mengkonversi energi matahari menjadi energi kimia dalam bentuk gula melalui proses fotosintesis (Pimentel et al.,1980). Gula sebagai energi kimia tanaman disimpan di dalam batang tebu. Peralihan masa vegetatif menuju generatif merupakan fase paling optimal dari kandungan gula tebu, kemudian akan terus menurun sebelum fase kematian (James, 2004). Efisiensi tanaman tebu dalam mengkonversi sinar matahari menjadi gula dinilai melalui rendemen. Semakin tinggi nilai rendemen berarti semakin efisien tanaman tebu tersebut

15 4 (Nainggolan, 2005). Rendemen nasional tahun 2009 tercatat rata-rata 7.83 % dan hasil gula kristal putihnya 2.85 juta ton (Indonesia Commercial Newsletter, 2010). Menurut Soeprapto (1989) batang tebu terdiri dari beberapa ruas yang disekat oleh buku-buku (Gambar 1a). Panjang satu ruas berkisar cm. Ruas yang terbentuk pada awal pertumbuhan pendek, semakin dewasa ruasnya semakin panjang, selajutnya semakin mendekati pucuk panjang ruasnya semakin berkurang. Potensi bobot batang tebu 2-3 kg dengan tinggi batang 3-5 meter. Sudiatso (1982) menyatakan panjang ruas batang tebu sangat dipengaruhi oleh faktor luar antara lain iklim, kesuburan tanah, keadaan air, dan penyakit. Selain ukuran ruas. James (2004) menambahkan setiap ruas mengandung kayu dan kulit berlilin (epidermis). Kulit berlilin mengelilingi jaringan yang lebih lunak (parenkim) dan disekat oleh fiber (berkas vaskular). Lapisan lilin menghindarkan dari kehilangan air akibat evaporasi batang. Kulit yang berserat memberikan kekuatan dan kekakuan. (a) Sumber : James (2004) Gambar 1. Morfologi Batang (a) Organ Batang Tebu dan (b) Keragaan Tunas Tebu James (2004) menyatakan buku batang berfungsi memisahkan ruas satu dengan ruas berikutnya. Buku juga berfungsi sebagai tempat pembentukan tunas primer dan akar stek atau akar adventif. Secara normal, satu tunas muncul dalam satu buku. Arah pembentukan tunas berselang-seling mengikuti rumus pembentukan tunas ½ artinya apabila tunas pertama muncul dari sisi kanan (b)

16 5 batang, maka tunas akan terbentuk kembali pada sisi kanan batang selang dua ruas berikutnya. James (2004) menyatakan daun tersambung dengan batang yang pembentukannya terjadi pada buku batang. Arah pembentukan daun sama seperti pembentukan tunas yaitu berselang-seling mengikuti rumus daun ½. Satu daun terdiri dari pelepah (sheath) dan helaian daun (blade atau lamina) pada Gambar 2a. Pelepah fungsinya melindungi mata bibit, batang muda, serta menahan laju evaporasi untuk menunjang perkecambahan. Helai daun berbentuk pita panjangnya bervariasi antara 1 2 meter dan lebar daun 2-7 cm serta dipengaruhi faktor lingkungan. Helai daun yang lebar lebih cepat rusak daripada daun sempit. Menurut James (2004) setelah bibit stek ditanam dua jenis akar segera terbentuk yaitu akar batang pada bibit (akar adventif) dan akar batang pada tunas primer yang baru muncul dari permukaan tanah (akar biasa). Pada tanah gembur dan cocok untuk perkembangan akar, zona perakaran tebu mampu bergerak horizontal sejauh 2 meter dan bergerak vertikal sedalam 4 meter. Sebaran sistem perakaran adalah sebagai berikut 50 % berat akar tanaman berada pada kedalaman 0-20 cm selanjutnya 85 % pada kedalaman 0-60 cm. Kecepatan pertumbuhan akar juga dipengaruhi oleh suhu. Pada suhu kurang dari 18 0 C pertumbuhan akar lebih lambat, melaju dengan cepat sampai keadaan optimum pada suhu sekitar 35 0 C. Sumber : James (2004) (a) (b) Gambar 2. Morfologi Daun dan Akar (a) Pelepah Daun Tebu dan (b) Wilayah Jelajah Perakaran Tebu

17 6 Menurut James (2004) akar yang bergerak horizontal lebih berperan dalam serapan hara sekitar top soil, semakin tinggi kerapatan akar semakin banyak luasan serapan hara (Gambar 2b). Akar yang bergerak vertikal jauh ke dalam lapisan tanah berperan mencari sumber air di lapisan tanah yang berbeda apabila lapisan tanah atas tidak memberikan cukup air bagi tanaman. Kisaran tekanan potensial air yang dapat disediakan bagi tanaman adalah -20 sampai -15 bar. Perkecambahan Bibit Tebu Perkebunan tebu rakyat di Cirebon dikenal dengan istilah TRI. TRI 1 atau plant cane merupakan tanam pertama menggunakan bibit yang dihasilkan dari kebun bibit, sedangkan TRI 2, 3, 4 atau ratoon cane merupakan budidaya tebu yang menggunakan sifat meratun tebu setelah tebu ditebang (Asnur, 2000). Secara berjenjang pengadaan bibit untuk Kebun Tebu Giling (KTG) berurutan yaitu Kebun Bibit Pokok (KBP) yang disediakan oleh P3GI, Kebun Bibit Nenek (KBN) disediakan oleh P3GI dan PG, Kebun Bibit Induk (KBI) serta Kebun Bibit Datar (KBD) disediakan oleh PG (Sutjahja, 1993). Jenjang kebun bibit tersebut mempengaruhi kualitas bibit yang dihasilkan. Kualitas bibit dinilai berdasarkan Faktor Hasil Bibit (FHB). FHB merupakan kemampuan sebuah kebun bibit untuk memenuhi kebutuhan bibit pada jenjang kebun tebu di bawahnya. FHB bernilai 12 % artinya dibutuhkan 12 Ha KBD untuk memenuhi 100 Ha KTG. FHB dapat dikonversi dengan satuan penangkaran. Semakin tinggi nilai penangkaran semakin baik. Umumnya nilai penangkaran adalah penangkaran tujuh, artinya KBD seluas 1 hektar dapat memenuhi keperluan bibit KTG seluas 7 Hektar. Laporan Umarjono dan Samoedi (1993), Ellis dan Merry (2004), serta Insan (2010) menyatakan pertumbuhan bibit berasal dari KBD lebih baik dibanding bibit berasal dari KTG. Perkecambahan normal tebu menampakan karakter yang disebut dominasi pucuk, dengan adanya sifat ini pertumbuhan pada batang menjadi terhambat. Peristiwa ini dipengaruhi oleh hormon auksin pada bagian pucuk tanaman. Mata bibit pada posisi lebih muda atau atas lebih mudah berkecambah dibanding bagian di bawahnya yang lebih tua (Alexander, 1974). Bibit tebu terbaik mengandung dua sampai tiga mata bibit, panjang bibit maksimum 45 cm, daun kering (sheath)

18 7 tidak dikupas, berasal dari tanaman berumur 6-7 bulan (Soepardiman, 1992). Ciriciri bibit yang baik adalah kadar air cukup, mata bibit sehat, ruas normal atau tidak terjadi stagnasi, bebas hama dan penyakit, tingkat kemurnian tinggi (Direktorat Teknologi PT RNI, 2005). Terdapat perbedaan respon vegetatif antara bibit tebu dari batang indukan bagian atas, tengah, dan bawah. Pertumbuhan tebu yang lebih baik ditunjukkan oleh bibit yang berasal dari batang indukan bagian tengah dan atas, karena kadar haranya tinggi sedangkan kadar sukrosanya rendah (Insan, 2010). Menurut Sutardjo (2002) kehidupan tebu terbagai menjadi enam fase yaitu perkecambahan mata, pertunasan, pertumbuhan memanjang, penghentian pertumbuhan (pengisian batang dengan gula hasil fotosintesis), pembungaan, dan kematian batang-batang tebu. Dillewinjn dalam Hendroko et al. (1987) membagi fase perkecambahan menjadi lima tahapan berdasarkan waktu. Minggu pertama, mata bibit tebu membentuk taji pendek dan mulai mengeluarkan akar adventif. Minggu kedua, taji sudah setinggi cm dan berakar adventif banyak. Minggu ketiga, daun terbuka dan tunas sudah setinggi cm. Minggu keempat, sudah memiliki 4 helai daun dan tingginya ± 50 cm. Minggu kelima, tunas mulai mengeluarkan akar biasa dan anakan. Menurut Kuyper dalam Ikhtiyanto (2010) anakan yang terbentuk pada minggu kelima akan terus bertambah dan mencapai puncaknya saat minggu ke-12 sampai ke-16. Selanjutnya terjadi penurunan paling tidak 50% anakan mati pada minggu ke-20 sampai ke-24. Kebutuhan Air Tanaman Gandakoesoemah (1975) menyatakan bahwa kebutuhan air dipengaruhi oleh jenis tanaman, jenis tanah, kehilangan air, pemakaian air, dan iklim. Ratio kebutuhan air tanaman palawija, tebu, dan padi berturut-turut 1: 1.5 : 4. Dalam pemenuhan kebutuhan air tanaman, maka penerimaan air, tingkat konsumsi, serta faktor kehilangannya harus dihitung agar penentuan volume air suplesi dapat dilakukan secara efisien. Dijelaskan oleh Premono (1985) air suplesi adalah sejumlah air yang diberikan untuk pertumbuhan optimum tanaman serta dapat mempertahankan tanah dalam kapasitas lapang.

19 8 Kebutuhan air tanaman merupakan air yang terpakai selama proses evapotranspirasi. Evapotranspirasi adalah faktor utama yang mempengaruhi produksi bahan kering dan menjadi penentu produksi pertanian untuk suatu wilayah (Tomar dan O Toole, 1984). Apabila curah hujan turun terus menerus sampai melebihi nilai evapotranspirasinya mengakibatkan sukrosa dalam nira pecah secara progresif ke dalam komponen heksosanya yaitu glukosa dan fruktosa. Reaksi tersebut menghasilkan energi yang mengakibatkan kegiatan meristematik tebu terus berlangsung (Sudarti, 1994). Kebutuhan evapotranspirasi tanaman tebu dapat dilihat dalam Tabel 1. Tabel 1. Rata-Rata Evapotranspirasi Tebu Budidaya di Ketapang Umur Tebu (Bulan) Sumber : Premono (1985) Rata-Rata Evapotranspirasi (mm/hari) Koefisien Tanaman Tebu Kebutuhan air tebu harus disesuaikan dengan fase kehidupan. Tebu memerlukan lebih banyak air pada masa pertumbuhan dibanding masa tua dan panen (Wardojo dan Priono, 1996). Air dibutuhkan dalam mengaktivasi perkecambahan dan menunjang fotosintesis. Keragaman daya berkecambah terjadi jika bibit tebu berada pada 50 % air tersedia (Herman, 2005). Tanaman tebu tidak terganggu fotosintesisnya sampai 70 % air tersedia telah habis atau senilai kapasitas ambang sebesar 40% (Mubein, 1988). Curah hujan berhubungan dengan ketersediaan air bagi tanaman di lahan terbuka. Curah hujan merupakan gejala alam sehingga ketersediaannya bagi tanaman tidak bisa direncanakan maupun dikendalikan. Bagi tanaman tebu, curah hujan yang tinggi saat fase perkecambahan menyebabkan kematian mata bibit karena tanah kasuran menjadi jenuh air. Marpaung (1990) menyatakan bahwa selama fase perkecambahan, jika tanah kasuran dalam kondisi jenuh air akan menyebabkan oksigen berkurang, sehingga dapat menghambat perkecambahan dan bibit akhirnya mati. Perkecambahan bibit yang terganggu akan mempengaruhi

20 9 jumlah anakan. Sudarti (1994) menguatkan bahwa perkecambahan bibit yang buruk akan menyebabkan rendahnya jumlah batang saat panen. Pendugaan besar kecilnya curah hujan bulanan yang akan terjadi selama satu tahun penting diketahui. Hal ini akan berkaitan dengan perencanaan jadwal kegiatan budidaya tebu. Schmidth-Ferguson dalam Handoko (1995) menyatakan suatu bulan disebut bulan kering apabila dalam bulan tersebut curah hujannya kurang dari 60 mm, selanjutnya bulan lembab jika curah hujan 60 sampai 100 mm per bulannya, dan bulan basah jika curah hujan melebihi 100 mm per bulan. Kasuran Kasuran merupakan tanah yang dibuat gembur di dasar juringan atau kairan dengan ketebalan ± 6 cm untuk menempatkan bibit tebu dan sebagai media perkecambahan bibit. Kriteria kasuran yang baik sebagai media perkecambahan adalah: 1) ketersediaan air cukup untuk diabsorpsi bibit dalam mengaktivasi perkecambahan, 2) kasuran tidak jenuh air dan aerasi di sekitar bibit baik, 3) mendukung suhu perkecambahan yang optimum dan melindungi mata bibit agar tidak terbakar sinar matahari, 4) memudahkan taji untuk menerobos tanah segera setelah berkecambah (Meyer et al., 1963; Marpaung, 1990; Goldsworthy dan Fisher, 1992; dan Direktorat Teknologi PT RNI, 2005). Peranan kasuran sangat besar apalagi ketika penanaman jatuh saat musim hujan. Kasuran harus dapat mengatasi kelebihan air dengan cepat. Modifikasi bentuk kasuran bertujuan memberikan fungsi tambahan berupa fungsi drainase. Handoko (1995) menyatakan modifikasi bentuk permukaan akan bermanfaat dalam mengontrol drainase dan limpasan permukaan yang disebabkan curah hujan yang berlebihan. Pembagian kelas drainase dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Pembagian Kelas Drainase Tanah Kelas Rupa Seri Penilaian Morfologi Profil I 1 Cepat Tanpa becek sama sekali 2 Baik Sedikit becek II 3 Cukup Baik Becek-becek cukup banyak dan tersebar dalam profil III 4 Jelek Becek-becek bagian atas, horizon cm tereduksi 5 Sangat Jelek Profil tereduksi (keabu-abuan) Sumber : Soepadirman (1992)

21 10 Kasuran standar berbentuk tutup datar pada Gambar 3a. Kasuran tipe ini masih digunakan pada sistem bukaan lahan manual (reynoso). Di beberapa daerah, kasuran tutup datar dimodifikasi untuk beberapa keperluan contohnya untuk mengatasi curah hujan dan bukaan lahan tebu yang menggunakan mekanisasi. Mekanisasi berbeda dengan reynoso, perbedaan itu terletak pada lubang tanamnya. Mekanisasi menghasilkan kairan sedangkan reynoso menghasilkan juringan, sehingga diperlukan bentuk kasuran yang berbeda pula. Modifikasi bentuk kasuran antara lain kasuran datar tengah, kasuran tutup miring, dan kasuran berklacen. Bentuk kasuran yang bisa diterapkan pada model juringan sekaligus kairan adalah klacen. Beberapa bentuk kasuran diilustrasikan pada Gambar 3. UTARA guludan kasuran (a) Tutup datar penuh 1 (b) Tutup datar tengah 3 asal tanah untuk kasuran (c) Tutup miring 2 (d) Klacen barat 3 (e) Klacen timur 3 Sumber : 1) PT Perkebunan XIV (1983), 2) PT Perkebunan XIV (1988), 3) Soepadirman (1992) Gambar 3. Variasi Bentuk Kasuran dan Asal Bahan Tanah Pembentuknya Perbedaan kasuran tipe klacen dan kasuran tipe tutup adalah letak penanaman bibitnya. Kasuran tipe klacen, letak bibit di tepi juringan atau di tengah kairan. Kasuran tipe tutup letak bibit di tengah juringan atau di dinding kairan (Soepadirman, 1992). Klacen pada dasarnya got kecil sedalam 6 cm dan lebar 20 cm. Klacen berada sepanjang dan searah juringan serta menghubungkan

22 11 got malang satu dengan yang lainnya. Kasuran pada tipe klacen hanya selebar 25 cm (55.6%), sedangkan kasuran pada tipe tutup memenuhi seluruh dasar juringan selebar 45 cm (100%). Permukaan kasuran tutup miring membentuk sudut lancip terhadap dasar juringan. Arah kemiringan kasuran tutup miring mengikuti arah kelerengan lahan. Permukaan kasuran tutup datar sejajar dengan permukaan dasar juringan. Pengeceran Bibit Ecer bibit atau tempah merupakan kegiatan mengikat bibit dalam satu kelompok dan menyebar kelompok bibit tersebut ke setiap juringan. Selanjutnya kelompok bibit tersebut ditanam satu per satu di atas kasuran. Hal tersebut dilakukan sebelum penutupan bibit (Sutjahja, 1993). Pengeceran bibit terbagi menjadi cara ecer, pemilihan jenis bibit, dan pola ecer. Kombinasi dari pemilihan jenis bibit dan pola ecer menghasilkan nilai kerapatan mata. Kerapatan mata yang dianjurkan pada musim tanam periode I berkisar 7 mata bibit/meter juringan (PT Perkebunan XIV, 1983) sampai 9 mata bibit/meter juringan (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2009). Namun, ada pula yang menyebutkan kebutuhan bibit satu hektar sebesar mata bibit (Hakim, 2007). Cara ecer seperti end to end dan overlapping. End to end yaitu ujung bibit yang satu berhadapan dengan ujung bibit selanjutnya. Overlapping yaitu bibit ditanam dalam dua lajur. Single overlapping berarti satu mata bibit pada lajur pertama berdampingan dengan satu mata bibit dari lajur kedua. Double overlapping berarti satu bibit pada lajur pertama berdampingan dengan satu bibit lainnya dari lajur kedua (Direktorat Teknologi PT RNI, 2005). Pemilihan jenis bibit mempertimbangkan bentuk bibit, varietas, umur bibit, letak mata tunas, jumlah mata pada setiap bibit. Bibit yang digunakan terdiri dari empat bentuk yaitu bibit rayungan, siwilan, pucuk, dan bagal. Rayungan merupakan bibit berupa stek yang tunasnya sudah tumbuh namun akarnya belum keluar. Siwilan merupakan bibit yang diambil dari tunas-tunas baru dari tanaman yang pucuknya sudah mati. Pucuk merupakan bibit yang diambil dari bagian pucuk tebu yang akan digiling berumur 12 bulan dengan jumlah mata yang diambil sebanyak 2 sampai 3. Bagal merupakan bibit berupa stek yang mata

23 12 bibitnya belum tumbuh. Bagal dapat diperoleh dengan cara memotong batang induk menjadi tiga bagian yaitu atas, tengah, dan bawah. Bagal yang berasal dari batang induk bagian atas disebut topstek. Bagal yang berasal dari batang induk bagian tegah dan bawah disebut bagal batang tengah atau bagal batang bawah (PT Perkebunan XIV, 1983; Effendi dan Agustini, 1993; dan Amri, 2007). Pola ecer menunjukkan jumlah bibit yang ditanam dalam sebuah juringan. Pola ecer ditulis dalam bentuk rumus misalnya 22+2 atau Pada pola ecer 22+2, angka 22 berarti sebanyak 22 bibit ditanam di atas kasuran dan mengalur membentuk garis lurus sepanjang juringan. Angka +2 berarti 2 bibit ekstra disisipkan dan ditempatkan di masing-masing ujung juringan. Tujuannya sebagai pengganti bibit sulaman sebesar 10 % dan fungsi alternatifnya memanfaatkan efek tanaman pinggir (border effect). Kebijakan menanam dengan tingkat kerapatan yang lebih tinggi diperbolehkan dengan mempertimbangkan daya tumbuh bibit (PT Perkebunan XIV, 1988).

24 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Kebun Gempol, PG Sindang Laut, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Kebun berupa lahan sawah beririgasi dengan jenis tanah vertisol. Lahan percobaan seluas 192 m 2. Ketinggian lokasi percobaan 8 mdpl (meter di atas permukaan laut). Kemiringan lahan 1.7 % arah barat. Penelitian dimulai 14 Mei 2010 sampai dengan 3 September 2010, dan pengamatan tambahan untuk total batang 6 bulan setelah tanam (BST) dilakukan pada 29 November Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan meliputi peralatan standar tanam tebu baru secara manual di lahan sawah (teknik reynoso), mistar skala bacaan ganda, alat uji kelembaban tanah, jangka sorong, dan erlenmeyer 250 cc. Bibit berasal dari Kebun Tebu Giling (KTG). Bibit berupa bagal batang tengah berisi 2 mata dan 3 mata. Bibit dari klon PS 941 nama lainnya PSJT Pupuk yang digunakan adalah ZA 6 ku/ha, SP-36 3 ku/ha, dan KCl 2 ku/ha. Metode Penelitian Penelitian menggunakan Rancangan Kelompok Lengkap Teracak (RKLT). Faktor pertama berupa modifikasi bentuk kasuran (A) dengan empat perlakuan yaitu klacen barat, klacen timur, tutup miring, dan tutup datar. Faktor kedua berupa sistem pengeceran bibit (H) dengan dua perlakuan yaitu bagal dua mata kombinasi pola ecer 22+2 dan bagal tiga mata kombinasi pola ecer Setiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali, sehingga terdapat 24 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan ditanam dalam sebuah juringan. Juringan merupakan lubang galian dengan panjang 750 cm, lebar 45 cm, dan kedalaman 30 cm. Jarak juringan satu ke juringan berikutnya disebut jarak pusat ke pusat (PKP). PKP yang digunakan sebesar 100 cm.

25 Model statistika untuk rancangan yang digunakan adalah: 14 Y ijk = µ + α i + β j + τ k + (ατ) ik + є ijk Y ij = Respon pengamatan µ = Rataan umum α i = Pengaruh faktor modifkasi bentuk kasuran (i= 1, 2, 3, dan 4) β j = Pengaruh kelompok (j= 1, 2, dan 3) τ k = Pengaruh faktor sistem pengeceran bibit (k= 1 dan 2) (ατ) ik = Interaksi antara faktor modifikasi bentuk kasuran dan sistem pengeceran bibit є ijk = Galat percobaan Pengolahan data menggunakan Uji F. Jika hasil uji F menunjukkan pengaruh nyata ataupun sangat nyata, kemudian dilakukan uji lanjut Beda Nyata Jujur (BNJ) dengan taraf 5 %. Selain itu, dilakukan uji analisis korelasi pearson untuk menunjukkan hubungan antar peubah pengamatan. Pelaksanaan Penelitian Persiapan lahan menggunakan metode bukaan reynoso dengan perubahan mempertimbangkan situasi lahan dan kondisi tanaman tebu percobaan : a. Persiapan Lahan Lahan yang akan ditanami dibersihkan dari sisa tanaman sebelumnya, pematang sawah sebelumnya dibongkar, dan sisa jerami padi pada lahan dibuang. Got Keliling dibuat mengelilingi areal percobaan dengan lebar dan kedalaman 50 cm x 50 cm. Got mujur tidak dibuat dengan pertimbangan luasan areal yang sempit. Got malang lebar dan kedalaman 50 cm x 40 cm. Juringan dengan ukuran lebar, kedalaman, dan panjang masing-masing 45 cm x 30 cm x 750 cm. Jarak dari pusat ke pusat (PKP) 100 cm. b. Penanaman Bibit yang digunakan berupa bagal batang tengah. Pembuatan bagal dilakukan dengan cara batang induk dipotong menjadi tiga bagian yaitu atas, tengah, dan bawah. Bagal batang tengah merupakan bibit yang berasal dari batang induk bagian tengah. Sebelum bibit ditanam, dilakukan pembuatan

26 15 kasuran di dasar juringan. Kasuran tipe klacen dibuat dengan mencangkul tipis (sasrap) setengah dari lebar dasar juringan sampai terbentuk sebuah saluran drainase. Saluran tersebut dinamakan klacen, sedangkan bagian juringan lainya yang menerima akumulasi tanah sasrapan disebut kasuran. Kasuran juga digunakan untuk meletakkan bibit sebagai media berkecambah. Klacen barat berarti saluran drainase berada di barat dan kasurannya berada di bagian timur, sebaliknya dengan klacen timur. Pada tipe tutup, kasuran dibuat dengan cara menurunkan tanah guludan ke dalam dasar juringan. Tanah guludan merupakan tanah buangan hasil penggalian juringan. Setelah bibit disiapkan dan kasuran sudah terbentuk, bibit ditanam di atas kasuran berdasarkan polanya. Pola ecer 22+2 artinya sebanyak 22 bibit utama ditambah dua bibit ekstra ditanam bersamaan dalam satu juringan. Bibit ekstra ditanam di ujung juringan untuk mendapatkan efek tanaman pinggir. Pola ecer tersebut menggunakan bibit dengan dua mata bibit. Pola ecer 20+2 artinya sebanyak 20 bibit utama ditambah dua bibit ekstra ditanam dalam satu juringan, bibit yang digunakan berisi tiga mata bibit. Bibit ditanam secara mundur (tandur). Pada perlakuan klacen barat, bibit ditanam 15 cm dari dinding juringan bagian timur, pada perlakuan klacen timur bibit ditanam 30 cm dari dinding juringan bagian timur. Pada perlakuan tipe tutup, bibit ditanam di tengah-tengah. Selanjutnya bibit ditutup tanah bersamaan dengan pembentukan permukaan kasuran menggunakan telapak tangan. Klacen barat, klacen timur, dan tutup datar berarti permukaan kasuran sejajar dengan permukaan dasar juringan, sedangkan kasuran tutup miring permukaan kasurannya membentuk sudut lancip terhadap permukaan dasar juringan. c. Pemeliharaan Pemeliharaan meliputi pemupukan, penyiangan gulma, irigasi, penyulaman, dan turun tanah. Irigasi hanya diberikan saat pembukaan tanah dan saat penanaman sekedar memudahkan penggarapan. Pemenuhan kebutuhan air tanaman tebu sepenuhnya mengandalkan curah hujan. Pemupukan dilakukan dua tahapan. Pemupukan tahap pertama dilakukan saat 3 MST (Minggu Setelah Tanam). Pemupukan tahap kedua dilakukan setelah 8 MST. Pemupukan I pemberian ZA 3 ku/ha dicampur SP-36 3 ku/ha. Pemupukan II

27 16 pemberian ZA 3 ku/ha dicampur KCL 2 ku/ha. Turun tanah dilakukan 2 kali aplikasi yaitu turun tanah I umur 3 MST. Caranya menurunkan tanah guludan ke dalam juringan setebal 1 / 5 juringan sekedar menutup bibit. Turun tanah II umur 8 MST, tanah guludan diturunkan sampai tebalnya ¾ juringan. Pengamatan Fase Perkecambahan Pengamatan fase perkecambahan untuk peubah kelembaban kasuran dan periode hujan menggunakan sampel pengamatan, sedangkan untuk peubah vigor bibit dilakukan pada seluruh populasi bibit yang ditanam. Peubah yang diamati antara lain : 1. Kelembaban Tanah Kasuran (KK) Kelembaban kasuran diukur menggunakan alat uji kelembaban tanah setiap hari dimulai jam 8 sampai jam 11 pagi. Buckman dan Brady (1969) menyatakan untuk menentukan kelembaban tanah dapat diungkapkan dengan empat metode pokok. Metode tersebut antara lain gaya berat, tegangan, ketahanan, dan neutron. Alat uji kelembaban tanah bekerja berdasarkan metode neutron. Keuntungan pengukuran menggunakan metode ini tidak merusak tanah kasuran. Alat uji kelembaban ditancapkan ke dalam tanah lalu ditunggu hasilnya setelah satu menit. Sampel pengamatan berasal dari 4 lokasi penancapan alat dalam setiap juringan yaitu ujung utara juringan, kuartil pertama juringan, kuartil pertengahan juringan, dan kuartil ketiga juringan. Pengamatan dilakukan 0 sampai 15 HST dengan dua pertimbangan yaitu perkecambahan sudah berhenti saat 16 HST dan turun tanah pertama dilakukan saat 17 HST. Turun tanah meyebabkan tanah kasuran tertimbun, akibatnya bentuk kasuran perlakuan tipe klacen dan tipe tutup menjadi tidak beraturan. Kelembaban kasuran dinilai menggunakan skor 1 sampai 10 (Gambar 4). Skor-skor tersebut dihasilkan oleh alat bukan dari pengamatan subyektif. Semakin tinggi nilai skor yang ditunjukkan alat, semakin tinggi pula

28 17 kandungan air di kasuran. Jenis tanah lokasi percobaan berupa tanah vertisol. Deskripsi umum setiap angka yang ditunjukkan alat adalah : Skor 10 = Tanah dengan kondisi melumpur sampai tergenang. Skor 9 = Tanah dengan kondisi basah. Tanah yang terinjak kaki akan segera meninggalkan bekas pijakan. Skor 8 = Tanah dengan kondisi lembab. Tanah yang terinjak kaki tidak menimbulkan bekas pijakan atau jejak. Skor 7 = Tanah dengan kondisi kering-lembab. Struktur tanahnya mirip skor 8 tetapi cenderung lebih kering. Skor 6 = Tanah dengan kondisi kering. Retakan terjadi di permukaan tanah dengan jumlah sangat banyak membentuk kepingan pipih. Skor 1-5 tidak terjadi dalam pengujian ini. (a) Skor 10 (b) Skor 9 (c) Skor 8 (d) Skor 7 (e) Skor 6 Gambar 4. Penampakan Visual berdasarkan Skor Tanah 2. Kecepatan Tumbuh Mata Bibit (K CT ) Kecepatan tumbuh mata bibit merupakan tolak ukur vigor kekuatan tumbuh. Bibit yang lebih cepat tumbuh lebih mampu menghadapi kondisi lapang yang suboptimum. Pengamatan dilakukan setiap 24 jam (etmal) dimulai dari 0 sampai 15 HST. Pengamatan dengan menghitung pertambahan tunas primer yang muncul dari permukaan tanah. Kecepatan tumbuh dihitung menggunakan rumus (Sadjad, 1993) : K CT = 3. Persentase Mata Bibit Busuk (MB) Mata bibit busuk merupakan gejala negatif perkecambahan. Mata bibit busuk sebagai tolak ukur vigor bibit. Pengamatan mata bibit busuk dengan cara

29 18 mata yang tidak berkecambah dibongkar dan dilihat penyebabnya. Apabila penyebabnya karena mata bibit membusuk, maka dimasukkan dalam hitungan pengamatan ini. Pengamatan ini dilakukan saat 16 HST. 4. Daya Tumbuh (DT) Daya tumbuh merupakan tolak ukur vigor potensial. Penetapan hitungan I dan hitungan II ditentukan berdasarkan kurva persentase perkecambahan harian dan kurva persentase perkecambahan kumulatif (Gambar 5). Persentase Perkecambahan (%) Hari Setelah Tanam (HST) Perkecambahan Kumulatif Perkecambahan Harian Keterangan : Perkecambahan Kumulatif : y = x x x (R² = %) Perkecambahan Harian : y = x x (R² = %) Gambar 5. Persentase Perkecambahan Kumulatif dan Perkecambahan Harian Kurva (poligon) persentase perkecambahan harian (Gambar 5) menunjukkan puncak kurva pada hari ke-9, sehingga hitungan I jatuh pada 9 HST. Pada titik balik kurva (ogif) persentase perkecambahan kumulatif yaitu hari ke-15, sehingga hitungan II jatuh pada 15 HST. Daya tumbuh dihitung menggunakan rumus (Sadjad, 1993): 5. Periode Hujan Pengamatan periode hujan dilakukan selama 0 sampai 15 HST yaitu selama fase kritis perkecambahan. Tujuannya mendapatkan jumlah hari hujan riil di

30 19 kebun percobaan. Caranya dengan menempatkan sebuah tabung erlenmeyer 250 cc sebagai alat penangkar. Erlenmeyer akan terisi air hujan apabila pada hari sebelumnya terjadi hujan. Air hujan yang masuk ke dalam erlenmeyer diamati jam 6 pagi. Setelah dilakukan pengamatan, air hujan dibuang kemudian erlenmeyer dikeringkan kembali menggunakan kertas tissue. Setelah kering, erlenmeyer ditempatkan di lokasi semula untuk pengamatan hari hujan keesokan harinya. Rumus yang digunakan dalam menghitung periode hujan (Tjiptanto, 2009) adalah : Fase Pertunasan Pengamatan fase pertunasan dilakukan pada 13 sampel tunas primer pada setiap satuan percobaan atau sebanyak % dari populasi mata bibit yang ditanam. Jumlah sampel ditentukan berdasarkan kaidah arikunto yaitu berkisar 10 % hingga 25 % populasi. Peubah yang diamati antara lain : 1. Jumlah Daun (JD) Jumlah daun merupakan ukuran vigor bibit. Daun yang masuk dalam hitungan adalah seluruh daun yang terlihat baik yang masih menguncup maupun yang sudah terbuka. Daun yang sudah kering dikupas dari batang dan tidak dimasukkan dalam hitungan. Pengamatan dilakukan saat 2-14 MST. 2. Tinggi Tanaman (TT) Tinggi tanaman merupakan tolak ukur vigor bibit. Tinggi tanaman diukur dari dasar juringan sampai ujung daun tertinggi. Dilakukan saat 2-14 MST menggunakan mistar skala bacaan ganda (Gambar 6) agar tinggi tanaman terhitung utuh termasuk tinggi batang yang tertimbun karena aplikasi turun tanah I dan II. Mistar tersebut dapat dibuat sendiri dengan memberi nomor skala tinggi tanaman tampak 0 sampai 275 cm pada sisi kiri mistar. Sisi kanan mistar diberi nomor skala tinggi tanaman terkubur 0 sampai 50 cm. Tinggi tanaman tampak merupakan tinggi tanaman yang terukur dari permukaan tanah

31 20 sampai ujung daun tertinggi. Tinggi tanaman terkubur merupakan tinggi tanaman yang terukur dari dalam dasar juringan sampai permukaan tanah. Cara menghitung tinggi tanaman menggunakan mistar skala bacaan ganda mengikuti rumus yang tercantum berikut. Baik mistar skala bacaan ganda maupun rumus manualnya disintesa oleh penulis sendiri. Tinggi Tanaman Utuh = Skala Tinggi Tanaman Tampak + (Kedalaman Juringan - Skala Tinggi Tanaman Terkubur) (a) (b) (c) Gambar 6. Mistar Skala Bacaan Ganda (a) Skala Tinggi Tanaman Tampak (b) Skala Tinggi Tanaman Terkubur (c) Sketsa Mistar Skala Bacaan Ganda 3. Kemampuan Menghasilkan Tunas Sekunder (TS) Anakan tebu merupakan tunas-tunas sekunder yang tumbuh dari pangkal batang tunas primer. Tunas sekunder terinisiasi dari tunas lateral batang primer. Pengamatan dilakukan dengan menghitung anakan yang dihasilkan oleh setiap tunas primer dari tanaman sampel.

32 21 4. Diameter Batang Bawah (DB) Diameter batang merupakan tolak ukur vigor bibit. Diameter diukur pada ruas batang kedua dari permukaan tanah menggunakan jangka sorong. Dilakukan saat 16 MST, karena pelepah daun yang menempel dan menyelubungi ruas batang kedua sudah terlepas secara alami karena mengering. 5. Total Batang (TB) Pengamatan total batang dengan cara menghitung jumlah seluruh batang yang ada dalam satu juringan. Pengamatan utama dilakukan saat 16 MST dan sebagai pengamatan tambahan saat 24 MST.

33 HASIL Kondisi Umum Penelitian dilaksanakan pada 14 Mei sampai 3 September 2010 dengan pengamatan tambahan saat 29 Oktober Penelitian dilakukan di Kebun Gempol, PG Sindang Laut, Kabupaten Cirebon. Lahan percobaan berupa lahan sawah berukuran 192 m 2, jenis tanah vertisol yang tergolong tanah berat, kemiringan lahan 1.7 % ke arah barat. Lahan percobaan ditempatkan ditengahtengah kebun tebu produksi dengan luasan m 2. Keseluruhan kebun ditanam menggunakan klon bibit dan waktu penanaman yang sama, tujuannya mengurangi pengaruh lingkungan terhadap perkembangan dan pertumbuhan tanaman tebu percobaan. Bibit yang digunakan berupa bagal dari batang induk bagian tengah (buku 3, 4, dan 5). Kualitas bibit yang digunakan tertera dalam Lampiran 1. Penelitian terdiri dari dua faktor yaitu modifikasi bentuk kasuran dan sistem pengeceran bibit. Faktor modifikasi bentuk kasuran dapat dilihat pada Gambar 7. Pada modifikasi bentuk kasuran, waktu terima sinar matahari langsung pada perlakuan klacen timur, tutup datar, tutup miring, dan klacen barat berurutan pk 08.50, pk 9.20, pk 9.20, dan pk wib. Adanya perbedaan waktu tersebut dipengaruhi sudut terbit matahari terhadap letak bibit di dasar juringan. Pada sistem pengeceran bibit, perlakuan bagal dua mata kombinasi pola ecer 22+2 (H1) menghasilkan kerapatan 6.4 mata bibit/meter juringan, sedangkan perlakuan bagal tiga mata kombinasi pola ecer 20+2 (H2) menghasilkan kerapatan 8.8 mata bibit/meter juringan. Faktor sistem pengeceran bibit dapat dilihat pada Gambar 8. (A1) (A2) (A3) (A4) Gambar 7. Faktor Modifikasi Bentuk Kasuran. Arah Utara yaitu Kertas Bagian Atas. (A1) Klacen Barat, (A2) Klacen Timur, (A3) Tutup Miring, (A4) Tutup Datar.

34 23 (a) (b) (c) (d) Gambar 8. Faktor Sistem Pengeceran Bibit (a) Kiri: Bagal 2 Mata, Kanan: Bagal 3 Mata, (b) Mata Bibit yang Sehat, (c) Taji Sebagai Bakal Tunas Primer, (d) Bibit yang telah Diecer Pola 22+2 kemudian Ditanam Dari seluruh satuan percobaan didapat mata mulai berkecambah menjadi taji saat 2 HST (1 dari 1368 mata yang ditanam). Taji dalam sebuah juringan berkecambah mencapai angka 50 % saat 7 HST (2 dari 24 juringan). Taji mulai mengeluarkan anakan saat 21 HST (6 taji dari 1368 mata yang ditanam). Taji yang terbentuk dari mata bibit pada perkembangannya akan menjadi tunas primer, sedangkan taji yang terinisiasi dari tunas primer akan menjadi tunas sekunder. Kerusakan bibit selama fase perkecambahan dapat dilihat pada Gambar 9. Selama fase kritis perkecambahan, kegagalan berkecambah lebih disebabkan karena kondisi mata bibit. Kondisi bibit yang secara fisik utuh namun mata bibitnya rusak atau busuk, maka sudah dipastikan perkecambahan tidak mungkin terjadi. Selama fase perkecambahan dan fase pertunasan tidak ada gangguan gulma berarti. Penanganan gulma dilakukan dengan cara merambas menggunakan tangan terutama di daerah siku (lambei) dan dinding juringan (gawir). (a) (b) (c) Gambar 9. Indikasi Gangguan Kualitas Perkecambahan (a) Mata Rusak, (b) Mata Busuk, (c) Bibit Busuk.

35 Penyiangan gulma penting dilakukan, karena jika gulma dibiarkan tumbuh maka biji atau rizomenya dapat menumbuhkan anakan gulma dengan taji yang baru terbentuk. Hama yang menyerang batang indukan bibit adalah penggerek batang (Chilo auricilius). Hama yang menyerang daun tebu seperti belalang padi (Palanga succinta) saat 7-10 MST ketika musim panen padi telah berakhir. Hama kutu bulu putih (Ceratovacuna lanigera) di pelepah daun bibit saat 24 MST. Penyakit pokkahboeng (Gibberella moniliforme) menyerang 6 tanaman saat 8 sampai 10 MST. Data curah hujan selama pengamatan dapat dilihat pada Tabel 3, sedangkan data curah hujan lengkap dapat dilihat pada Lampiran 2. Bulan Mei hingga pertengahan Juni 2010, tebu dalam penelitian ini masih masuk dalam fase perkecambahan stadium I, II, III, dan IV. Periode terjadinya hujan selama fase kritis perkecambahan 0-15 HST (Stadium I dan II) sebesar 1.7 hari sekali. Rataan curah hujan setiap kali hujan turun sebesar mm. Tabel 3. Data Curah Hujan Lokasi Penelitian 14 Mei 3 September 2010 berdasarkan Fase Pertumbuhan Tebu Bulan Curah Hujan Fase Pertumbuhan Tebu Mei mm Fase Perkecambahan Juni mm Juli mm Agustus mm 1-3 September mm Sumber : Pengelolaan Sumber Daya Air (2010) Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Fase Pertunasan Seluruh data pengamatan diolah menggunakan uji F untuk melihat pengaruh perlakuan terhadap peubah pengamatan. Hasil analisis uji F pada Tabel 4 menunjukkan bahwa modifikasi bentuk kasuran dominan pengaruhnya saat fase perkecambahan seperti kecepatan tumbuh, mata bibit busuk, dan daya tumbuh dibandingkan dengan sistem pengeceran bibit. Modifikasi bentuk kasuran mempengaruhi tinggi tanaman sejak awal hingga akhir pengamatan, sedangkan jumlah daun baru dipengaruhi sejak 8 MST hingga 14 MST. Sistem pengeceran bibit selama fase perkecambahan tidak berpengaruh saat fase perkecambahan. Sistem pengeceran bibit dominan pengaruhnya saat fase 24

36 pertunasan yaitu pada peubah tinggi tanaman sejak 4 sampai 14 MST, jumlah daun pada 14 MST, dan kemampuan membentuk tunas sekunder serta diameter batang pada 16 MST. Tabel 4. Rekapitulasi Analisis Uji F Modifikasi Bentuk Kasuran dan Sistem Pengeceran terhadap Vigor dan Vegetatif Tebu Peubah Waktu Bentuk Kasuran (A) Sistem Pengeceran (H) Interaksi (A*H) 25 KK (%) - Fase Perkecambahan - 1 HS ** tn tn 1.36 Skor Kelembaban Kasuran 2 HS ** tn tn 1.60 Periode Hujan (hari sekali) 3 HS ** tn tn 2.03 Skor Kelembaban Kasuran 0-3 MST ** tn tn 1.32 Kecepatan Tumbuh Bibit (%/etmal) 0-3 MST * tn tn Mata Bibit Busuk (%) 3 MST ** tn tn Daya Tumbuh (%) 3 MST ** tn tn 5.20 Jumlah Daun (helai/tanaman) Tinggi Tanaman (cm/tanaman) - Fase Pertunasan - 2 MST tn tn tn MST tn tn tn MST tn tn tn MST * tn tn MST * tn tn MST * tn tn MST ** ** tn MST ** tn tn MST ** ** tn MST ** ** tn MST ** ** tn MST ** ** tn MST ** * tn MST ** ** tn 6.69 Tunas Sekunder (anakan/tunas primer) 16 MST tn ** tn Diameter Batang Bawah (cm) 16 MST tn ** tn 5.28 Total Batang (batang/juringan) 16 MST tn tn tn MST tn tn tn Keterangan : * = berbeda nyata ** = berbeda sangat nyata tn = tidak nyata MST = Minggu Setelah Tanam HS= Hari Sekali KK = Koefisien Keragaman Tahap I. Fase Perkecambahan Kualitas perkecambahan yang baik diharapkan akan berdampak baik pula pada pertumbuhan tanaman tebu selanjutnya. Oleh sebab itu, arah penelitian ini

37 26 mula-mula difokuskan untuk perbaikan kualitas perkecambahan saat musim hujan. Perbaikan kualitas perkecambahan meliputi usaha menurunkan kelembaban kasuran yang menyebabkan lingkungan perkecambahan menjadi suboptimum. Kualitas perkecambahan dinilai berdasarkan vigor bibit tebu dalam mengatasi kondisi suboptimum berupa musim hujan. Vigor bibit tebu yang diamati meliputi peubah kecepatan tumbuh bibit sebagai tolak ukur vigor kekuatan tumbuh, peubah mata busuk sebagai tolak ukur vigor bibit, dan daya tumbuh sebagai tolak ukur vigor potensial. Pengaruh Modifikasi Bentuk Kasuran terhadap Kelembaban Kasuran Pengamatan kelembaban kasuran dinilai dalam satuan skor disajikan dalam Tabel 5. Skor pengamatan ini ditentukan dengan menancapkan alat uji kelembaban tanah. Skor kelembaban yang lebih kecil berarti kemampuan kasuran dalam mengatasi kelebihan air lebih baik. Secara sederhana pada tanah vertisol, gambaran skor 6 berarti kasuran kering dan padat. Skor 7 berarti kasuran kering agak lembab dan padat. Skor 8 berarti kasuran lembab dan agak padat. Skor 9 berarti kasuran basah dan agak melumpur. Skor 10 berarti kasuran melumpur sampai tergenang. Data pada Tabel 5 menunjukkan sebaran nilai kelembaban kasuran apabila hujan terjadi setiap hari (periode hujan setiap 1 hari), satu hari tanpa hujan (periode hujan setiap 2 hari), atau 2 hari tanpa hujan (periode hujan setiap 3 hari). Periode hujan rataan merupakan kelembaban kasuran rata-rata selama 15 hari pengamatan. Modifikasi bentuk kasuran memberikan pengaruh yang sangat nyata dalam upaya penurunan kelembaban kasuran. Kasuran tipe klacen (barat dan timur), mampu mengatasi kelebihan air di sekitar kasuran paling cepat, kemudian diikuti tutup miring dan tutup datar. Skor kelembaban pada perlakuan tipe klacen menunjukkan apabila hujan terjadi setiap hari menyebabkan hampir tidak terdapat genangan air di permukaan kasuran. Apabila hujan tidak terjadi selama satu sampai dua hari, kasuran tidak lekas mengering dan kelembabannya tetap terjaga dengan kisaran skor sebesar 7.42 sampai Apabila hujan terjadi setiap hari dan pada waktu tersebut menggunakan kasuran tipe tutup miring atau tutup datar,

38 maka kondisi tanah kasuran akan basah agak melumpur. Pada perlakuan tutup datar, kondisi kasuran agak melumpur tersebut berlanjut sampai selang satu hari tidak hujan. Tabel 5. Skor Kelembaban Kasuran berdasarkan Periode Hujan pada Modifikasi Bentuk Kasuran dan Sistem Pengeceran Bibit Perlakuan Setiap 1 Hari Setiap 2 Hari Periode Hujan Setiap 3 Hari Rataan 0-15 HST (Setiap 1.7 hari) Modifikasi Bentuk Kasuran Klacen Barat (A1) 8.36 a 8.01 a 7.42 a 8.19 a Klacen Timur (A2) 8.30 a 8.07 a 7.42 a 8.24 a Tutup Miring (A3) 8.81 b 8.47 b 7.96 b 8.68 b Tutup Datar (A4) 9.17 c 8.86 c 8.25 c 9.05 c Sistem Pengeceran Bibit Bagal 2 Mata & Pola 22+2 (H1) Bagal 3 Mata & Pola 20+2 (H2) Keterangan: Nilai dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNJ taraf 5 %. HST = Hari Setelah Tanam Sistem pengeceran tidak memiliki pengaruh dalam upaya penurunan kelembaban kasuran. Hal ini terlihat dari perlakuan bagal dua mata kombinasi pola ecer 22+2 menunjukkan skor yang tidak berbeda nyata dibanding perlakuan bagal tiga mata kombinasi pola ecer Pengaruh Modifikasi Bentuk Kasuran terhadap Vigor Bibit Tebu Modifikasi bentuk kasuran (Tabel 6) mempengaruhi seluruh tolak ukur vigor bibit tebu. Bentuk kasuran tipe klacen (barat dan timur) kecenderungan menunjukkan hasil terbaik pada mayoritas pengamatan vigor bibit. Sementara bentuk kasuran tutup datar berdampak buruk terhadap mayoritas pengamatan vigor bibit. Kasuran klacen timur maupun klacen barat mampu meningkatkan kecepatan tumbuh dan menekan persentase mata busuk. Walaupun nilai tengah perlakuan klacen timur selalu lebih baik dibandingkan perlakuan klacen barat, namun berdasarkan uji BNJ tidak menunjukkan adanya perbedaan nyata di antara keduanya. Penggunaan kasuran tipe tutup (miring dan datar), periode hujan yang intensif menyebabkan peningkatan persentase mata busuk dan menghambat kecepatan tumbuh. Jika diselisihkan dengan nilai tengah perlakuan klacen timur,

39 maka perlakuan tutup miring dan tutup datar meningkatkan mata busuk berturutturut sebesar 6.16 % dan 12 %. Selain itu, kecepatan tumbuhnya lebih lambat sebesar 0.69 %/etmal dan 1.55 %/etmal. Modifikasi bentuk kasuran memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap daya tumbuh bibit tebu. Perlakuan klacen timur mampu mendukung daya tumbuh paling tinggi di antara perlakuan lainnya. Daya tumbuh yang dihasilkan oleh klacen timur tidak berbeda nyata dengan perlakuan klacen barat. Daya tumbuh perlakuan tutup miring tidak mampu melampaui angka 90 % perkecambahan, dan selisih nilai tengahnya masih jauh di bawah klacen timur sebesar 8.39 %. Daya tumbuh perlakuan tutup datar jauh di bawah angka 90 % perkecambahan. Perlakuan tutup datar sekaligus menjadi perlakuan dengan daya tumbuh terendah. Tabel 6. Vigor Bibit Tebu pada Modifikasi Bentuk Kasuran dan Sistem Pengeceran Bibit Perlakuan Kecepatan Tumbuh (%/etmal) Mata Busuk (%) 28 Daya Tumbuh (%) Modifikasi Bentuk Kasuran Klacen Barat (A1) 6.53 ab 6.91 ab ab Klacen Timur (A2) 6.81 a 4.07 a a Tutup Miring (A3) 6.12 b bc bc Tutup Datar (A4) 5.26 c c c Sistem Pengeceran Bibit Bagal 2 Mata & Pola 22+2 (H1) Bagal 3 Mata & Pola 20+2 (H2) Keterangan: Nilai dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNJ taraf 5 %. Sistem pengeceran tidak nyata mempengaruhi daya tumbuh bibit tebu. Hal ini terlihat dari hasil uji BNJ antara kedua perlakuan dalam sistem pengeceran bibit. Namun, apabila melihat nilai tengahnya perlakuan bagal dua mata kombinasi pola ecer 22+2 nilai tengahnya lebih baik bila dibandingkan dengan perlakuan bagal tiga mata kombinasi pola ecer Dari segi penyulaman, waktu sulaman untuk setiap perlakuan dapat hitung dengan cara membagi nilai tengah daya tumbuh terhadap nilai tengah kecepatan tumbuh. Perkiraan waktu dilakukannya sulaman perlakuan klacen barat, klacen timur, tutup miring, dan tutup datar berturut-turut pada HST, HST, HST, HST. Perkiraan waktu sulaman bagal dua mata kombinasi pola

40 29 ecer 22+2 dan bagal tiga mata kombinasi pola ecer 20+2 berturut-turut yaitu HST, HST. Kegiatan sulaman hanya dilakukan pada perlakuan dengan persentase daya tumbuh kurang dari 90 % perkecambahan. Perhitungan akhir persentase daya tumbuh perlakuan klacen barat dan klacen timur tidak berbeda signifikan berdasarkan uji BNJ (Tabel 6), namun perkembangan perkecambahannya terlihat berbeda (Gambar 10). Ketika 1 sampai 9 HST dengan periode hujan 1.29 hari sekali kurva perkembangan perkecambahan kurva klacen barat mirip dengan kurva perkembangan perkecambahan tutup miring. Selanjutnya saat 10 sampai 16 HST ketika cuaca membaik dengan periode hujan sebesar 3.5 hari sekali, kurva perkembangan perkecambahan klacen barat sedikit di bawah kurva perkembangan klacen timur. Perbedaan pergerakan kurva klacen barat saat 1 sampai 9 HST dibandingkan klacen timur dapat disebut kelemahan klacen barat dalam mendukung perkecambahan bibit. Penjelasan mengenai kelemahan klacen barat dapat dilihat di bagian pembahasan. Persentase Perkecambahan(%) HST Klacen Barat Klacen Timur Tutup Miring Tutup Rata Keterangan : y (Klacen Barat) = x x x (R² = 99.6 %) y (Klacen Timur) = x x x (R 2 = 99.3 %) y (Tutup Miring) = x x x (R² = 99.1 %) y (Tutup Datar) = x x x (R 2 = 99.5 %) HST = Hari Setelah Tanam Gambar 10. Perkembangan Perkecambahan Modifikasi Bentuk Kasuran berdasarkan Hari Hujan dan Hari Kering

41 30 Penghitungan daya tumbuh diakhiri pada 15 HST (Gambar 10). Apabila setelah 15 HST terdapat mata bibit yang belum berkecambah namun kondisi mata bibit masih hijau dan tidak busuk, maka mata dianggap mengalami dormansi. Korelasi antara Kelembaban Kasuran terhadap Vigor Bibit Tebu Pentingnya kelembaban kasuran akan semakin terlihat jika dikorelasikan dengan seluruh peubah pada vigor bibit tebu. Pada Tabel 7 terlihat bahwa setiap peningkatan kelembaban kasuran memiliki peranan yang sangat nyata (p 0.01) dan kuat ( r > 0.500) terhadap penurunan vigor bibit tebu. Peubah yang berkaitan langsung yaitu daya tumbuh, kecepatan tumbuh, dan mata busuk. Tabel 7. Regresi dan Korelasi Kelembaban Kasuran terhadap Vigor Bibit Kelembaban Kasuran Rataan (Periode Hujan 1.7 Hari Sekali) Peubah Korelasi R² Persamaan Garis Regresi Pearson (r) (%) Kecepatan Tumbuh y = x r = ** 45.2 Daya Tumbuh y = x r = ** 65.0 Mata Busuk y = x r = 0.801** 64.2 Keterangan : R² = koefisien determinasi (%) ** = sangat nyata pada taraf 5 % tn = tidak nyata pada taraf 5 % Kecepatan tumbuh dan daya tumbuh memiliki koefisien korelasi pearson (r) yang bernilai negatif terhadap kelembaban kasuran (Tabel 7). Hal ini menunjukkan semakin tinggi skor kelembaban kasuran, akan menurunkan kecepatan tumbuh dan daya tumbuhnya. Di lain pihak, persentase mata busuk memiliki koefisien korelasi pearson (r) yang bernilai positif terhadap kelembaban kasuran (Tabel 7). Hal ini menunjukkan semakin tinggi skor kelembaban kasuran, akan meningkatkan persentase mata bibit busuk, sehingga kualitas perkecambahan menjadi tidak baik. Nilai R kuadrat menunjukkan sebaran titik-titik pengamatan di sepanjang garis linear dari persamaan regresi. Nilai R kuadrat yang semakin tinggi menunjukkan keterandalan model regresi dalam menjelaskan hubungan korelasi antara peubah satu dengan peubah lainnya. Dengan demikian, kunci keberhasilan dalam penanaman saat musim hujan adalah menurunkan tingkat kelembaban kasuran. Caranya adalah kasuran harus

42 31 mampu mengatasi kelebihan air di sekitar bibit maupun mata bibit agar perkecambahan tidak terhambat. Hal ini dipenuhi oleh penggunaan kasuran tipe klacen terutama klacen timur. Tahap II. Fase Pertunasan Jumlah daun selalu meningkat dengan menghasilkan 1.03 daun setiap minggu. Satu daun melekat pada satu buku, sehingga satu buku terbentuk setiap minggunya. Pada modifikasi bentuk kasuran, jumlah daun yang lebih banyak cenderung tanaman tebunya lebih tinggi (Tabel 8 dan 9). Terdapat korelasi pearson yang nyata (p 0.05) dan kuat (r > 0.500) antara jumlah daun dengan tinggi tanaman untuk setiap umurnya (Lampiran 8). Akibatnya jumlah daun mendorong pertumbuhan apikal atau ke atas tanaman tebu. Jumlah daun kasuran tipe klacen berbeda sangat nyata daripada kasuran tipe tutup pada 8 MST hingga 14 MST, sehingga tanaman kasuran tipe klacen cenderung lebih tinggi. Waktu Pengamatan Tabel 8. Jumlah Daun pada Modifikasi Bentuk Kasuran dan Sistem Pengeceran Bibit Klacen Barat Modifikasi Bentuk Kasuran Klacen Timur Tutup Miring Tutup Datar Sistem Pengeceran Bibit Bagal 2 Bagal 3 Mata Mata & Pola & Pola Ecer 22+2 Ecer helai MST MST MST MST 9.98 a 9.89 a 9.13 ab 8.94 b MST ab a ab b MST ab a bc c MST ab a bc c p q Keterangan: Nilai dengan huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNJ taraf 5 %. MST = Minggu Setelah Tanam. Pada sistem pengeceran bibit, jumlah daun pada awal pertumbuhan tidak berbeda nyata. Setelah 14 MST, jumlah daun berbeda sangat nyata (Tabel 8). Penyebabnya karena daun-daun yang terbentuk di awal pertumbuhan telah mengering, sehingga tidak turut dihitung. Oleh karena itu, bagal tiga mata kombinasi pola ecer 20+2 memicu jumlah daun kering lebih banyak dibandingkan bagal dua mata kombinasi pola ecer 22+2 saat 14 MST.

43 Selain itu jumlah daun sistem pengeceran bibit pada awal pertumbuhan (2 sampai 12 MST) tidak berbeda nyata, namun tinggi tanamannya berbeda sangat nyata (Tabel 9). Oleh karena itu, perbedaan tinggi tebu sistem pengeceran bibit bukan disebabkan oleh jumlah daunnya, melainkan karena kemampuan membentuk tunas sekunder dan diameter batang sebagai pertumbuhan lateral tanaman tebu. Hal ini diperkuat dari hasil korelasi pearson pada Lampiran 9. Waktu Pengamatan Tabel 9. Tinggi Tanaman pada Modifikasi Bentuk Kasuran dan Sistem Pengeceran Bibit Klacen Barat Modifikasi Bentuk Kasuran Klacen Timur Tutup Miring Tutup Datar 32 Sistem Pengeceran Bibit Bagal 2 Bagal 3 Mata Mata & Pola & Pola Ecer 22+2 Ecer cm MST a a ab b MST a a ab b p q 6 MST a a ab b p q 8 MST ab a bc c p q 10 MST ab a bc c p q 12 MST ab a ab b p q 14 MST ab a bc c p q Keterangan: Nilai dengan huruf yang sama pada baris yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNJ taraf 5 %. MST = Minggu Setelah Tanam. Tunas sekunder memiliki korelasi terhadap tinggi tanaman sejak 4 MST sampai 10 MST (Lampiran 9), artinya inisiasi tunas sekunder pada tanaman tebu di mulai sejak 4-10 MST. Sifat korelasinya negatif artinya semakin banyak tunas sekunder yang dibentuk oleh setiap tunas primer, maka tanaman tebunya cenderung pendek (Tabel 9). Sebaliknya semakin sedikit tunas sekunder yang terbentuk oleh setiap tunas primer (Tabel 10), maka tanamanya cenderung tinggi. Dengan demikian, perlakuan bagal dua mata kombinasi pola ecer 22+2 pertumbuhan lateralnya lebih kuat daripada pertumbuhan apikalnya sampai umur 4-10 MST. Perlakuan bagal tiga mata kombinasi pola ecer 20+2 pertumbuhan apikalnya lebih kuat daripada pertumbuhan lateralnya sampai umur 4-10 MST. Laju pertambahan tinggi tanaman perlakuan bagal dua mata kombinasi pola ecer 22+2 setelah 10 MST menjadi lebih pesat daripada perlakuan bagal tiga mata kombinasi pola ecer 20+2 (Tabel 9). Penyebabnya setelah 10 sampai 14 MST,

44 inisiasi tunas sekunder dari setiap batang primer mulai berhenti (Lampiran 9) dan pertumbuhan apikal tanaman mulai pulih. Tabel 10. Kemampuan Bertunas dan Diameter Batang 16 MST pada Modifikasi Bentuk Kasuran dan Sistem Pengeceran Bibit Perlakuan Tunas Sekunder (anakan/tunas primer) Diameter Batang (cm) Modifikasi Bentuk Kasuran Klacen Barat Klacen Timur Tutup Miring Tutup Datar Sistem Pengeceran Bibit Bagal 2 Mata & Pola p 2.30 p Bagal 3 Mata & Pola q 2.13 q Keterangan: Nilai dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNJ taraf 5 %. 33 Tabel 11. Total Batang per Juringan 16 MST dan 24 MST pada Modifikasi Bentuk Kasuran dan Sistem Pengeceran Bibit Total Batang Perlakuan (batang/ juringan) 16 MST 24 MST Modifikasi Bentuk Kasuran Klacen Barat Klacen Timur Tutup Miring Tutup Datar Sistem Pengeceran Bibit Bagal 2 Mata & Pola Bagal 3 Mata & Pola Keterangan: Peubah total batang tidak menunjukkan perbedaan yang nyata pada uji BNJ 5 %. MST = Minggu Setelah Tanam. Modifikasi bentuk kasuran pada Tabel 10 jumlah tunas sekundernya atau anakan yang dibentuk tidak berbeda nyata satu sama lain sehingga total batang dalam satu juringannya pun tidak berbeda nyata pada Tabel 11. Pada sistem pengeceran bibit jumlah tunas sekunder yang dibentuk berbeda sangat nyata, namun karena populasi tunas primernya berbeda mengakibatkan total batang yang dihasilkan dalam satu juringan saat 16 dan 24 MST tidak berbeda nyata. Diperlihatkan juga bahwa terdapat penurunan total batang dari MST sebanyak 48.6 % sampai 54.2 %. Berkurangnya total batang karena adanya kematian dari tunas sekunder (anakan) yang terbentuk paling akhir.

45 PEMBAHASAN Pergerakan Air Berlebih di Sekitar Kasuran Buckman dan Brady (1969) menyatakan air berlebih adalah volume air dalam tanah yang di atas kapasitas lapang. Air bebas terikat tidak kuat, tidak berguna, dan hilang oleh drainase. Pembahasan mengenai pergerakan air berlebih di sekitar kasuran berdasarkan pengamatan visual-deskriptif di kebun percobaan. Caranya dengan mengamati air hujan yang jatuh di sekitar kasuran lalu meninggalkan kasuran tersebut menuju saluran drainase yang lebih besar yaitu got malang. Pengamatan dilakukan ketika hujan lebat turun yaitu hari ke-9 agar pergerakan air berlebih terlihat jelas. Pembahasan mengenai pergerakan air berlebih di sekitar kasuran merujuk pada Tabel 5. Faktor Modifikasi Bentuk Kasuran Kasuran Tipe Klacen. Pada budidaya tebu bukaan reynoso (manual), penggunaan kasuran tipe klacen terbukti memiliki kontribusi sangat nyata dalam meningkatkan kualitas perkecambahan. Terhitung selama fase kritis perkecambahan saat intesitas hujan 1.7 hari sekali dengan curah per hujannya sebesar mm, vigor tanaman pada kasuran tipe klacen adalah yang terbaik. Kunci keberhasilan kasuran klacen karena mampu mengatasi kelebihan air dengan cepat. Dalam penelitian ini, indikator untuk menilai keberhasilan mengatasi kelebihan air adalah kelembaban kasurannya. Menurut Handoko (1995) pada suatu areal pertanian, penyediaan air tanaman berasal dari curah hujan dan irigasi. Sedangkan kehilangan dapat berupa drainase, limpasan permukaan, evaporasi, dan transpirasi. Kasuran tipe klacen dalam penelitian ini menerima air melalui curah hujan. Kehilangan air diduga melalui tiga cara yaitu drainase, limpasan permukaan, dan evaporasi. Berdasarkan pengamatan sederhana di kebun percobaan penjabaran mekanisme tata air yaitu ketika hujan, titik air hujan tersebar merata secara acak ke dasar juringan. Perbandingan lebar kasuran dibagi dasar juringan dan perbandingan lebar klacen dibagi dasar juringan menghasilkan nilai peluang. Apabila lebar dasar juringan tepat 45 cm, lebar klacen tepat 20 cm, dan lebar kasuran tepat 25 cm

46 35 dengan ukuran panjang ketiganya sama, maka peluang titik hujan mendarat di kasuran dan klacen masing-masing sebesar dan Asumsi yang digunakan seluruh titik hujan berhasil mendarat di permukaan kasuran tanpa intersepsi dengan peluang sama dengan satu. Nilai peluang tersebut menggambarkan daerah tangkapan air hujan oleh kasuran sebesar 55.6 %. Titik hujan sisanya sebesar 44.4 % akan masuk dalam wilayah drainase klacen. Tidak sepenuhnya dari 55.6 % hujan yang mendarat di kasuran akan terserap karena terbatasnya kapasitas lapang tanah kasuran. Volume air hujan yang melewati batas kapasitas lapang disebut air bebas atau air berlebih. Dalam kondisi terdapat air berlebih, tanah dikatakan jenuh air atau retensi maksimum. Adanya perbedaan ketinggian sebesar 5 cm antara klacen dan kasuran menimbulkan kemungkinan air berlebih mengalir dari permukaan kasuran menuju klacen melalui limpasan permukaan akibat tegangan selaput dan gaya grafitasi. Seyhan dalam Handoko (1995) menjelaskan limpasan permukaan dipengaruhi oleh topografi, tipe tanah, teknik pertanian, dan vegetasi. Air berlebih yang melimpas dari kasuran ke daerah drainase klacen jarak lintasannya pendek, sehingga gangguan limpasan air bebasnya rendah. Lintasan pendek serta gangguan yang rendah menyebabkan fungsi drainase pada kasuran berjalan efektif. Menurut Soepadirman (1992) tanah yang sangat berat sekalipun, jika memiliki lapisan basah yang mudah ditembus air dapat diolah menjadi baik bagi tanaman tebu misalkan dengan mengatur sistem pembuangan air sebaikbaiknya. Dalam penelitian ini kasuran tipe klacen menjadi modifikasi terbaik yang mampu mengatasi air berlebih di sekitar kasuran. Kasuran Tipe Tutup. Tutup datar sebenarnya digunakan apabila penanaman tebu baru jatuh pada awal musim kemarau, sedangkan tutup miring merupakan modifikasi bentuk kasuran guna mengantisipasi kematian bibit ketika pertanaman tebu jatuh pada musim hujan (PT Perkebunan XIV, 1983). Keduanya digunakan pada bukaan lahan reynoso. Perbedaan penampang tutup miring dan tutup datar adalah sudut permukaan kasuran terhadap penampang dasar juringan. Permukaan kasuran tutup datar sejajar dengan penampang dasar juringan. Permukaan kasuran tutup miring membentuk sudut lancip dengan penampang dasar juringan.

47 36 Berdasarkan pengamatan sederhana saat terjadi hujan di kebun percobaan, pergerakan air hujan pada perlakuan tutup miring yaitu titik hujan mendarat pada seluruh permukaan kasuran. Air hujan yang mendarat terutama pada sisi yang lebih tinggi (sisi T) akan terserap tanah kasuran sampai batas kapasitas lapang. Air tidak terserap akan dilimpas ke sisi yang lebih rendah (sisi R) dan terhenti pada sisi R tersebut. Semakin lebat hujan, semakin banyak air yang terakumulasi pada sisi R. Air bebas yang sudah terakumulasi tersebut segera didrainase melalui sisi R menuju got malang. Sedangkan pada tutup datar tidak ada fungsi drainase khusus, sehingga air bebas dilimpaskan melalui seluruh bidang permukaan kasuran menuju got malang. Kasuran tipe tutup, baik miring maupun datar, memiliki peranan ganda. Peran pertama sebagai tempat meletakkan bibit atau media perkecambahan. Peran kedua sebagai lintasan utama dalam pergerakan air bebas menuju got malang. Peran kedua inilah yang merugikan apalagi jika lintasan pergerakan air bebas terganggu, akibatnya air bebas tidak dapat mengalir menuju got malang dan tetap berada di sekitar bibit. Gangguan lintasan disebabkan karena erosi dan cekungan akibat bertumbukan dengan air hujan. Erosi pada tutup miring menyebabkan lintasan sisi R tersumbat. Erosi pada tutup datar menyebabkan lintasan permukaan kasuran bergelombang. Sedangkan cekungan menyebabkan air hujan terjebak di kasuran. Skor kelembaban kasuran pada Tabel 5 merangkum mekanisme drainase pada pembahasan diatas. Skor yang lebih rendah menggambarkan semakin cepatnya modifikasi kasuran dalam mengatasi kelebihan air. Skor-skor tersebut didapat dengan membaca angka yang ditunjukkan alat uji kelembaban tanah. Berdasarkan paparan Buckman dan Brady (1969) dengan makin banyaknya air (jadi hidrogennya bertambah) dalam tanah kasuran, makin banyak pula neutron dan menabrak lempengan logam pada alat uji kelembaban tanah. Akibatnya akan besar pula aktivitas kelistrikannya yang terukur dengan skor yang lebih tinggi. Faktor Sistem Pengeceran Bibit Sistem pengeceran bibit tidak memiliki pengaruh nyata dalam upaya penurunan kelembaban kasuran. Handoko (1995) menyatakan evaporasi terjadi

48 37 setiap saat bila tersedia air, dan transpirasi dibutuhkan dengan jumlah airnya tergantung dari faktor lingkungan serta tanaman. Dari faktor tanaman antara lain bergantung pada jenis, populasi, pertumbuhan, dan fase perkembangan tanaman. Premono (1985) menyatakan jumlah evaporasi dan transpirasi disebut evapotranspirasi. Populasi taji yang tumbuh seharusnya mempengaruhi skor kelembaban kasuran melalui evaporasi dan transpirasinya. Terbatasnya ketelitian skala alat uji kelembaban tanah menyebabkan tidak terdeteksinya pengaruh tersebut. Namun nilai evapotranspirasi dari faktor sistem pengeceran bukan menjadi tujuan utama penelitian ini. Skor kelembaban yang terukur dari faktor bentuk kasuran dinilai cukup mengilustrasikan pentingnya drainase untuk menjamin kualitas perkecambahan bibit tebu. Hubungan Air terhadap Vigor Bibit Tebu Menurut Alexander (1974) bibit tebu cukup vigor untuk beradaptasi pada kondisi suboptimum dalam selang waktu dan tingkatan cekaman tertentu. Bibit akan mati setelah tergenang melebihi toleransi dua sampai empat hari. Banyak peneliti menekankan pentingnya pengelolaan tata air bagi pertanaman tebu. Hasil analisis korelasi (Lampiran 6) menunjukkan peningkatan kelembaban kasuran secara sangat nyata menurunkan vigor bibit tebu. Sehingga, keberadaan air menjadi vital dalam menentukan kualitas perkecambahan. Jumlah air yang semakin meningkat di sekitar bibit terbukti semakin menurunkan persentase daya tumbuh, menurunkan kecepatan tumbuh, dan meningkatkan mata bibit busuk. Pembahasan mengenai hubungan air terhadap vigor bibit tebu seperti kecepatan tumbuh bibit, mata bibit busuk, dan daya tumbuhmerujuk pada Tabel 6. Kecepatan Tumbuh Bibit Kecepatan tumbuh bibit dihitung persentasenya setiap 24 jam (etmal) dan disajikan datanya pada Tabel 6. Kecepatan tumbuh dapat untuk menduga berapa mata yang akan tumbuh pada hari tertentu dan untuk memperkirakan waktu sulaman yang tepat. Waktu sulaman berdasarkan hasil penelitian ini mulai dapat dilakukan saat 15 HST.

49 38 Marsadi dan Usman (1975) menyatakan persediaan hara yang cukup di batang tebu bibit selain mondorong kecepatan kecambah tumbuh, juga akan mempercepat perkembangan akar, mempercepat dan memperbanyak tumbuhnya tunas. Bibit yang lebih cepat tumbuh lebih cepat mampu menghadapi kondisi lingkungan yang suboptimum. Arifin (1989) menyatakan mata segera berkembang membentuk organ-organ tumbuhan tingkat tinggi yang lebih siap menghadapi cekaman lingkungan dan berkompetisi terhadap faktor tumbuh. Pernyataan tersebut diperkuat dalam hasil analisis korelasi pada Lampiran 6 yang menerangkan bahwa bibit yang lebih cepat tumbuh menurunkan jumlah mata yang busuk dan meningkatkan daya tumbuhnya. Kecepatan tumbuh terbaik dipengaruhi oleh perlakuan kasuran klacen timur. Ada beberapa faktor yang dinilai menjadi keunggulan klacen timur dalam merangsang kecepatan tumbuh. Kelebihan air dapat segera diatasi dengan cepat, aerasi lebih baik dibuktikan dengan warna tanah yang tidak pucat karena tereduksi (Gambar 4c), dan paling cepat mendapat sinar matahari langsung. Penentuan keunggulan mengacu pada syarat lingkungan perkecambahan yang dikemukakan Goldsworthy dan Fisher (1992) yaitu kelengasan cukup, susunan gas udara tanah, suhu yang sesuai, cahaya dan kualitas cahaya. Mata Bibit Busuk Banyak peneliti memfokuskan penelitiannya dalam pengelolaan tata air pada perkecambahan tebu. Namun, diantara mereka menyatakan penyebab mata bibit busuk pada fase perkecambahan sebagian besar karena faktor udara bukan disebabkan karena faktor air. Faktor udara dalam pori tanah disebut atmosfer tanah. Atmosfer tanah akan bersifat kontinu apabila aerasinya baik. Rupanya cara efisien untuk mendapatkan aerasi yang baik adalah dengan mengelola tata air mengandalkan pengosongan pori makro tanah dari air untuk segera digantikan partikel udara (King, Mungomery, dan Hughes, 1953; Meyer, Anderson, dan Bohning, 1963; Marpaung, 1990; serta Sutjahja, 1993). Tidak terpasoknya oksigen memaksa sel-sel benih melakukan respirasi anaerob dengan cara memfermentasi setiap molekul glukosa untuk mensintesis energi. (Campbell, Reece, dan Lawrence, 2002). Bibit yang melakukan respirasi anaerob

50 39 menghasilkan alkohol dan meracuni benih sehingga viabilitasnya menurun dengan cepat (Budiarti, Widajati, dan Qadir, 1993). Persentase mata busuk pada penggunaan bagal dua mata dan penggunaan bagal tiga mata tidak berbeda nyata pada Tabel 6. Artinya keduanya memiliki ketahanan yang sama dalam menghadapi kondisi lingkungan yang suboptimum. Hal ini menguatkan pernyataan Soepadirman (1992) bibit tebu terbaik mengandung dua sampai tiga mata bibit. Selain itu, bibit yang digunakan samasama berasal dari batang induk bagian tengah, akibatnya antara bagal dua mata dan bagal tiga mata menyimpan unsur hara setara sehingga kualitas perkecambahannya sama. Soeprapto (1989) menyatakan batang atas kandungan hara tinggi namun kadar sukrosanya rendah. Pada batang bawah kandungan hara rendah namun kadar sukrosanya tinggi. Insan (2010) melaporkan bibit dari batang tengah lebih baik kualitasnya dibandingkan bibit dari batang bawah. Daya Tumbuh Daya tumbuh disebabkan kandungan air dalam tanah, kedalaman tanam, pengolahan tanah, temperatur, kandungan nitrogen, organisme tanah, serta zat tumbuh pada bibit (King, Mungomery, dan Hughes, 1953 ditambahkan Marsadi dan Usman, 1975). Daya tumbuh yang tinggi menghindarkan kerugian waktu, tenaga, dan biaya yang menyebabkan bibit tidak tumbuh. Penyulaman diperlukan apabila terdapat bibit yang tidak tumbuh. Penyulaman mengakibatkan terdapat beda umur antara tanaman utama dengan tanaman sulaman sehingga pertumbuhan tidak serempak. Sampai aspek produksi, Rosjid dan Suryani (1993) menyatakan persentase sulaman yang tinggi mengakibatkan rendahnya berat tebu per hektar, rendemen, atau hasil hablur gula. Pada sistem pengeceran bibit, bagal dua mata dikombinasikan dengan pola ecer Angka 22 mengandung arti bibit utama yang ditanam sebanyak 22 bibit setiap juringannya. Angka +2 merupakan bibit sulaman sebanyak dua bibit atau empat mata atau 10 % sudah ditanam bersamaan dengan bibit utama baik waktu dan lokasi juringan. Dengan demikian, sulaman baru dilakukan apabila daya berkecambahnya kurang dari 90 %. Daya tumbuh pada perlakuan klacen timur (Tabel 6) bernilai % artinya mata yang gagal berkecambah

51 40 sebanyak 2.47 mata. Namun kegiatan sulaman tidak perlu dilakukan, karena mata bibit yang gagal berkecambah sudah digantikan dengan bibit +2 tersebut. Dengan cara yang sama kita dapat menentukan diperlukan atau tidaknya kegiatan sulaman pada perlakuan tutup miring pada sistem pengeceran bagal tiga mata kombinasi pola ecer Mata gagal berkecambah sebesar 8.41 mata, sedangkan bibit +2 (dengan 3 mata per bibit) menyediakan toleransi 6 mata gagal berkecambah. Jika mata yang gagal berkecambah lebih dari 6 mata, maka penyulaman harus dilakukan. Pada perlakuan tutup miring, mata gagal berkecambah sebesar 8.41 melebihi batas toleransi, maka perlu dilakukan penyulaman sebanyak 2.41 mata. Nilai ini masih lebih baik bila dibandingkan dengan tutup datar yang membutuhkan sulaman sebanyak 6.82 mata. Pada sistem pengeceran bibit, penggunaan bagal dua mata kombinasi pola ecer 22+2 dan bagal tiga mata kombinasi pola ecer 20+2 tidak nyata mempengaruhi persentase daya tumbuh. Rataan daya tumbuh keduanya sebesar % dan %. Rataan tersebut menunjukkan kisaran vigor normal bibit tebu untuk hidup dan tumbuh pada kondisi suboptimum berupa kelembaban kasuran berlebih. Menurut Sadjad, Muniarti, dan Ilyas (1999) bahwa benih yang vigor akan mampu menghasilkan produk di atas normal kalau ditumbuhkan pada kondisi optimum. Berdasarkan pernyataan tersebut, persentase daya tumbuh bibit tebu dapat ditingkatkan di atas normal apabila bibit ditanam pada kondisi kasuran yang lebih optimum. Sebaliknya, persentase daya tumbuh bibit tebu akan lebih rendah dari daya tumbuh normalnya bila bibit ditanam di kasuran yang kondisi suboptimumnya lebih buruk. Persentase daya tumbuh kasuran tipe klacen lebih tinggi dari persentase daya tumbuh normal bibit tebu. Dengan demikian, penggunaan kasuran berklacen terbukti mampu mengubah kondisi kasuran dari suboptimum menjadi lebih optimum untuk perkecambahan. Kelemahan Klacen Barat Dibandingkan Klacen Timur berdasarkan Perkecambahan Kumulatif Harian Skor kelembaban kasuran (Tabel 5), kecepatan tumbuh (Tabel 6), dan daya tumbuh (Tabel 6) perlakuan klacen barat dan klacen timur tidak berbeda nyata namun klacen barat terkesan menunjukkan kelemahan jika dibandingkan dengan

52 41 klacen timur (Gambar 10). Pergerakan perkecambahan kurva klacen barat melemah, jika saat itu hujan turun secara intensif 0-9 HST dengan periode hujan 1.29 hari sekali. Pergerakan perkecambahan kurva klacen barat menguat, jika saat itu cuaca membaik untuk HST dengan periode hujan 3.5 hari sekali. Kelemahan perkembangan perkecambahan klacen barat saat hujan turun secara intensif diduga karena waktu terima sinar matahari paling terlambat. Pada klacen barat, bibit menerima sinar matahari langsung 70 menit lebih lambat daripada klacen timur dan 40 menit lebih lambat daripada tutup miring. Keterlambatan tersebut karena terhalang oleh guludan dan dinding juringan terhadap mata bibit yang belum berkecambah, akibatnya mata bibit berada dalam daerah bayangan lebih lama. Menurut Handoko (1995) pada skala mikro, arah lereng sangat menentukan jumlah radiasi yang diterima. Berdasarkan waktu, perbedaan radiasi terjadi dalam sehari. Curah hujan berbanding terbalik dengan suhu udara. Apabila curah hujan tinggi maka suhu udara cenderung rendah, padahal suhu yang lebih hangat diperlukan untuk merangsang perkecambahan. Goldsworthy dan Fisher (1992) suatu tanaman tegak akan menerima penyinaran dari tiga sumber dan menerima penyinaran inframerah gelombang panjang dari dua sumber. Pada hari yang cerah, sumber penyinaran matahari yang terbesar adalah sinar matahari langsung. Sumber lainnya dari penyinaran langit terpancar dan pemantulan dari tanah. Tanaman yang terpisah di atas permukaan tanah dan terletak dalam daerah bayangan, maka bagian tanaman tersebut hanya menerima penyinaran dari sumber pancaran langit dan pemantulan dari tanah. Sedangkan gelombang inframerah hanya didapat dari penyinaran langit terpancar. Inframerah dalam konteks tanah sebagai media perkecambahan mampu meningkatkan suhu tanah sehingga merangsang perkecambahan. Sudiatso (2010) menyatakan perkecambahan terhenti pada suhu 10 0 C, terhambat pada suhu 21 0 C, sedangkan suhu optimum untuk memunculkan tunas primer sebesar C. Waktu terima sinar matahari langsung penting dalam mendukung perkecambahan, namun justru menjadi faktor pembatas bagi klacen barat. Faktor pembatas tersebut bersifat menghambat tetapi tidak menimbulkan keletalan perkecambahan. Terbukti daya tumbuh hitungan akhir saat 15 HST perlakuan

53 42 klacen barat dan klacen timur tidak berbeda nyata. Akibat adanya faktor pembatas berupa waktu terima sinar matahari langsung, klacen barat dianggap memiliki karakter peralihan dari tutup miring dan klacen timur, karena sebagian karakter tutup miring dan klacen timur terdapat di klacen barat. Karakter peralihan mencakup seluruh vigor bibit dan pertumbuhan vegetatif tebu fase berikutnya. Keragaan Vegetatif Tanaman Fase Pertunasan Modifikasi bentuk kasuran dan sistem pengeceran bibit berbeda dalam mempengaruhi keragaan vegetatif tanaman tebu. Keragaan vegetatif meliputi jumlah daun, tinggi tanaman, diameter batang, jumlah anakan per tunas primer, dan total batang per juringan. Pada modifikasi bentuk kasuran, keragaan vegetatif tanaman lebih disebabkan karena vigor bibit yang dihasilkan lebih unggul (Lampiran 7). Pada sistem pengeceran bibit, vigor bibit tidak berbeda signifikan. Oleh karena itu, keragaan vegetatif sistem pengeceran bibit dipengaruhi oleh hubungan antar peubah selama fase pertunasannya. Faktor Modifikasi Bentuk Kasuran Menurut Copeland dan McDonald (2004) kualitas perkecambahan yang baik memiliki hubungan dengan vegetatif tanaman yang lebih baik. Pernyataan tersebut berhasil dibuktikan dalam penelitian ini melalui modifikasi bentuk kasuran. Bentuk kasuran yang mampu mendukung vigor bibit tebu yang lebih baik (Tabel 6) akan menghasilkan pertumbuhan vegetatif tanaman yang lebih baik juga. Pertumbuhan vegetatif tanaman yang dimaksud meliputi jumlah daun 8-14 MST (Tabel 8) dan tinggi tanaman 2-14 MST (Tabel 9). Peringkat uji lanjut vigor bibit tebu berurutan secara proposional terhadap jumlah daun dan tinggi tanaman, yaitu klacen timur terbaik, klacen barat dan tutup miring tidak berbeda nyata, dan tutup datar terburuk. Faktor Sistem Pengeceran Bibit Pengaruh sistem pengeceran bibit terhadap keragaan vegetatif tebu baru dimulai sejak fase pertunasan. Hal ini karena selama fase perkecambahan vigor

54 43 bibit tebu tidak dipengaruhi secara nyata, namun pertumbuhan vegetatif yang dihasilkan berbeda nyata. Pertumbuhan vegetatif yang di pengaruhi antara lain jumlah daun 14 MST (Tabel 8), tinggi tanaman 4-14 MST (Tabel 9), diameter batang, dan tunas sekunder yang terbentuk oleh setiap tunas primer (Tabel 10). Jumlah Daun. Jumlah daun dalam penelitian ini dihitung dari seluruh daun yang sudah tampak, masih hidup, sudah membuka, maupun yang masih menguncup. Jumlah daun saat 2-12 MST tidak menunjukan adanya perbedaan antara penggunaan bagal dua mata kombinasi 22+2 dengan bagal tiga mata kombinasi Artinya setiap satu tunas primer menghasilkan jumah daun setiap minggunya sama. Julmlah daun mulai menunjukkan perbedaan saat 14 MST, hal ini karena banyaknya daun kering pada perlakuan bagal tiga mata kombinasi 20+2 sehingga tidak masuk dalam kriteria hitungan. Tinggi Tanaman, Tunas Sekunder, dan Diameter Batang. Tinggi tanaman diukur dari pangkal batang yang dekat dengan permukaan tanah sampai ujung daun tertinggi. Tinggi tanaman yang lebih unggul sebelum 12 MST dihasilkan oleh bagal tiga mata kombinasi Tinggi tanaman sebelum 12 MST tersebut cenderung dipengaruhi oleh populasi tunas primer aktual dalam sebuah juringan. Tunas primer aktual merupakan jumlah riil tunas primer yang hidup dan tidak dinilai dalam satuan persen. Bagal tiga mata kombinasi pola ecer 20+2 dengan daya tumbuh % menghasilkan 58 tunas primer hidup. Tunas primer yang hidup tersebut lebih banyak dibandingkan bagal dua mata kombinasi pola ecer 22+2 dengan daya tumbuh % yang hanya menghasilkan 42 tunas primer hidup. Kedua perlakuan memiliki kemampuan yang sama dalam menghasilkan daun untuk setiap tunas primernya (Tabel 8). Karena tunas primer hidup lebih banyak, akibatnya total daun yang terbentuk dalam satu juringan pada perlakuan bagal tiga mata kombinasi pola ecer 20+2 pun lebih banyak. Sebuah areal pertanaman dengan jumlah daun lebih banyak memicu terbentuknya tanaman yang saling menaungi. Heddy (1986) menyatakan tumbuhan yang tumbuh dalam cahaya yang lebih lemah akan punya batang dan daun yang lebih panjang daripada tumbuhan yang mendapat cahaya matahari penuh. Ditambahkan menurut Wattimena (1988) dan Suryani (2004) pada saat tanaman saling

55 44 menaungi, hormon pertumbuhan tanaman seperti auksin banyak terdapat di pucuk. Auksin menstimulasi dominasi apikal dan menyebabkan tanaman lebih tinggi. Pendugaan adanya pengaruh auksin pada perlakuan bagal tiga mata kombinasi pola ecer 20+2 diperkuat dari data korelasi antara pertumbuhan apikal dengan pertumbuhan lateral (Lampiran 9). Tinggi tanaman sebagai pertumbuhan apikal, sedangkan jumlah tunas sekunder dan diameter batang sebagai pertumbuhan lateral. Pada data tersebut dinyatakan sebelum 12 MST, bagal tiga mata kombinasi pola ecer 20+2 memiliki tanaman yang lebih tinggi (Tabel 9), namun diameter batang dan jumlah tunas sekunder yang dihasilkan lebih sedikit (Tabel 10). Heddy (1986) menyatakan keberadaan auksin menghambat perkembangan tunas-tunas lateral. Gardner et al. (1991) menambahkan dominasi apikal yang berubah kuat membatasi pembagian hasil asimilasi untuk pembentukan batang dan akar tambahan. Setelah 12 MST laju pertambahan tinggi tanaman bagal dua mata kombinasi 22+2 meningkat melebihi tinggi tanaman bagal tiga mata kombinasi Berbeda dari pertumbuhan sebelum 12 MST, pertambahan tinggi tanaman setelah 12 MST memiliki korelasi positif dengan pertambahan diameter batangnya (Lampiran 9). Artinya tanaman yang semakin tinggi akan diikuti diameter batang yang semakin besar. Hasil penelitian Mubein (1988) menunjukkan puncak kelajuan tinggi tanaman tebu terjadi saat MST. Total Batang Modifikasi Bentuk Kasuran dan Sistem Pengeceran Bibit Total batang modifikasi bentuk kasuran dan sistem pengeceran bibit tidak berbeda nyata pada Tabel 11. Total batang per juringan cenderung mengalami penurunan dari 16 MST sampai 24 MST. Penurunan total batang berkisar 48.6 % sampai 54.2 %. Berkurangnya total batang karena kematian tunas sekunder (anakan) yang terbentuk paling akhir. Tunas sekunder tersebut masih berukuran kecil sehingga tidak dapat berkompetisi, terhimpit, lalu mengalami kematian. Menurut Effendi dan Sudarijanto (1991), Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (2007), dan Kuyper dalam Ikhtiyanto (2010) anakan yang terbentuk mencapai puncaknya saat MST, selanjutnya terjadi penurunan paling tidak 50 % anakan mati pada MST. Akibatnya total batang per juringan pada

56 24 MST hanya mencapai 65 sampai 90 batang per juringan. Tebu varietas PS941 menghasilkan 83 batang yang dapat dipanen untuk setiap juringan. 45 Taksasi Produktivitas Taksasi produktivitas tebu per hektar dapat dilihat dari Lampiran 10. Pada modifikasi bentuk kasuran dengan menerapkan kasuran tipe klacen timur selain tidak perlu mengeluarkan anggaran tambahan untuk kegiatan penyulaman, hasil taksasinya pun paling tinggi sebesar kuintal per hektar. Pada sistem pengeceran bibit dengan menggunakan bagal 2 mata kombinasi pola ecer 22+2, hasil taksasi tebunya tertinggi sebesar kuintal per hektar. Nilai taksasi budidaya tebu yang menggunakan strategi penanaman saat musim hujan hampir setara dengan rataan produktivitas normal tebu yang diusahakan pada lahan sawah (TRIS I) di Cirebon yaitu 934 kuintal per hektar (Asnur, 2000). Produktivitas tebu TRIS I di Jawa Tengah sebesar 954 kuintal per hektar (Nuryanti, 2007). Berbeda hasilnya apabila tebu diusahakan pada lahan tegalan (TRIT I) yang nilainya lebih kecil sebesar kuintal per hektar (Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia, 2010).

57 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Modifikasi bentuk kasuran dan sistem pengeceran bibit dapat menjadi strategi penanaman tebu saat musim hujan pada bukaan lahan reynoso. Modifikasi bentuk kasuran mempengaruhi fase perkecambahan sampai fase pertunasan tanaman tebu. Bentuk kasuran tipe klacen timur mampu mengatasi kelebihan air dengan cepat, menahan kelengasan pada batas lembab, meningkatkan daya tumbuh serta kecepatan tumbuh, menekan persentase mata bibit busuk, dan menyokong vegetatif tanaman yang terbaik. Sistem pengeceran bibit mempengaruhi fase pertunasan tanaman tebu. Penggunaan bagal dua mata kombinasi pola ecer 22+2 lebih baik dibandingkan bagal tiga mata kombinasi pola ecer Dasarnya disamping tidak nyata mempengaruhi vigor bibit dan total batang per juringan, lebih menghemat bibit, serta meningkatkan diameter batang, jumlah daun, dan tinggi tanaman. Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut pada lahan bertekstur berat yang berbeda selain vertisol. 2. Perlu dilakukan penelitian untuk mempertahankan kelembaban tanah dan memanfaatkan kelebihan air dalam rangka efsiensi penggunaan air. 3. Pembuatan klacen lebih baik menggunakan cangkul bangunan (lebar mata cangkul ± 20 cm).

58 DAFTAR PUSTAKA Alexander, A. G Sugarcane Physiology. Amsterdam. Elsevier Scientific Company. 752 p. Amri, H Budidaya tanaman tebu. press.com. [16 November 2010]. Antara Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan (BBP2TP) tarik lima varietas tebu dari peredaran. com/lihat/berita/ [11 September 2010]. Arifin, S Pengaruh Varietas Jumlah Bibit dan Pemupukan terhadap Hasil Tebang di Lahan Kering Regosol. Prosiding Seminar Budidaya Tebu Lahan Kering. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia. Pasuruan. Hal Asnur, D Pelaksanaan Kebijakan Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Departemen Koperasi, Pengusaha Kecil, dan Menengah, Badan Penelitian dan Pengembangan Koperasi Pengusaha Kecil dan Menengah. 21 Hal Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Tebu. Edisi kedua. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Jakarta. 10 Hal. Buckman, H. O. dan N. C. Brady The Nature and Properties of Soil. The Macmilllan Company. New York. 788 p. Budiarti, T., E. Widajati, dan A. Qadir Penggunaan Zat Pengatur Tumbuh pada Beberapa Benih Rekalsitran untuk Meningkatkan Daya Simpan dan Vigor Bibit. IPB Press. Bogor. 63 hal. Campbell, N. A., J. B. Reece, dan L. G. Mitchell Biologi. Edisi Kelima- Jilid Pertama. Penerjemah: Rahayu Lestari, Ellyzar I. M. A., dan Nova Arita. Penerbit Erlangga. Jakarta. Diterjemahkan dari : Biology-Fifth Edition. 438 Hal Copeland, L. O. dan M. B. McDonald Principles of Seed Science and Technology. Fourth Edition. Kluwer Academic Publisher. Boston. 467 p. Dewan Gula Indonesia Hujan akibatkan produksi gula nasional turun. [4 Desember 2010]. Direktorat Jenderal Perkebunan Budidaya Tanaman Tebu. Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian. 20 hal. Direktorat Teknologi PT RNI Budidaya Tebu di Lahan Sawah dan Tegalan. Direktorat Teknologi PT RNI. Jakarta. 97 hal. Effendi, H. dan A. Sudarijanto Kemungkinan penggunaan senyawa pengatur tumbuh untuk meningkatkan bobot tebu dan kristal gula. Laporan

59 Tahunan Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia. Pasuruan. 36 hal. Effendi, H. dan T. Agustini Pengaruh senyawa fenol pada perkecambahan dan pertunasan tebu PS dan PS Majalah Berita Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia 8: Ellis, R. D. dan R. E. Merry Sugarcane agriculture, p In G. James (Ed.). Sugarcane Agriculture. Blackwell Publishing. Australia. Gandakoesoemah, R Irigasi. Sumur Bandung. Bandung. 122 hal. Gardner, F. P., R. B. Pearce, dan R. L. Mitchell Fisiologi Tanaman Budidaya. Penerjemah: H. Susilo. UI-Press. Jakarta. Terjemahan dari: The Physiology of Crop Plants. 428 hal. Goldsworthy, P. R. dan N. M. Fisher Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. Penerjemah: Tohari. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Terjemahan dari: Physiology of Tropical Crop.874 hal. Hakim, M Pola baru pembibitan tebu /12/26/pola-baru-pembibitan-tebu. [16 November 2010]. Handoko Klimatologi Dasar. PT Dunia Pustaka Jaya. Jakarta.192 hal. Heddy, S Hormon Tumbuhan. Jakarta. CV Rajawali. Jakarta. 97 hal. Hendroko, R., G. A. Praptiningsih, dan H. S. Tjokrodirdjo Daur Kehidupan Tanaman Tebu. PT Laras Widya Pustaka. Jakarta. 48 hal. Herman Pengaruh Lama Perendaman Stek Tebu dalam Air Kelapa Terhadap Pertumbuhan Tebu (Saccharum officinarum L.). Skripsi. Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 31 hal. Ikhtiyanto, R. E Pengaruh Pupuk Nitrogen dan Fosfor Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Tebu (Saccharum Officinarum L.). Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 67 hal. Indonesia Commercial Newsletter Pengembangan Tanaman Perkebunan Gula Menuju Swasembada. PT Data Consult. Jakarta. 102 hal. Insan, H Perbandingan Pertumbuhan Tanaman Tebu (Saccharum Officinarum L.) dari Bibit yang Berasal dari Kebun Bibit Datar dengan Kebun Tebu Giling. Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 55 hal. James, G. L An introduction to sugarcane, p In G. L. James (Ed.). Sugarcane Agriculture. Blackwell Publishing. Australia. King, N. J., R. W. Mungomery, dan Hughes Manual of Cane Growing. Angus and Robertson Ltd. Sydney. 375p. 48

60 Marpaung, T. G Penggunaan herbisida sebagai zat pengatur tumbuh pada lingkungan iklim basah. Majalah Berita Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia 3: Marsadi, P. S. dan B. Usman Hasil pendahuluan pengaruh pemupukan terhadap hasil tebu bibit. Majalah Perusahaan Gula XI (3) : Meyer, B. S., D. B. Anderson, dan R. H. Bohning Introduction to Plant Physiology. D. Van Nostrand Company, Inc. Princeton. 541 p. Mubein, B Respon Tanaman Tebu (Saccharum officinarum L.) pada Berbagai Tingkat Kandungan Air Tanah. Tesis. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 187 hal. Nainggolan, K Kebijakan Gula Nasional dan Persaingan Global. Kongres Ikatan Ahli Gula Indonesia VII, Bandung, Februari Departemen Pertanian. Bandung. 24 hal. Neraca Gula Nasional Curah hujan tinggi rendemen gula susut jadi 6.96%. [4 Desember 2010]. Nuryanti, S Usaha Tani Tebu pada Lahan Sawah dan Tegalan di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. 16 Hal. Pengelolaan Sumber Daya Air Laporan Curah Hujan Stasiun 44 Wilayah Jamblang. Unit Pelayanan Teknis, Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air. Cirebon. 6 hal. Pimentel, D., P. A. Oltenacu, M. C. Nesheim, J. Krummel, M. S. Allen, dan S. Chick The potential for grass fedlivestock. Resource Constraints Science 207: Plantus Meningkatkan produksi gula dengan menemukan varietas tebu baru. [11 September 2010]. Premono, M. E Irrigation Possiblity at Ketapang Sugar Estate, based on Agrometeorological Data. Prosiding Pertemuan Teknis Tengah Tahunan II Lahan Kering di Luar Jawa Tahun Balai Penelitian Perusahaan Perkebunan Gula. Pasuruan. Hal PT Perkebunan Negara XI Hitung ulang kebutuhan gula com/?p=1670. [2 November 2010]. PT Perkebunan XIV Bercocok Tanam Tebu Lahan di Tanah Sawah Sistem Reynoso dan di Tanah Kering. PT Perkebunan XIV. 21 hal Bercocok Tanam Tebu Sistim Reynoso. PT Perkebunan XIV. 8 hal. 49

61 Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia Deskripsi Tebu Varietas PS 941 (Asal Nama PSJT 94-33). Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia. Pasuruan. 4 hal Tanah yang jenuh akibatkan nilai rendemen tebu rendah. [4 Desember 2010]. Rahmawati, I Pengujian Beberapa Varietas Tebu (Saccharum officinarum L.) Terhadap Cekaman Kekeringan. Skripsi. Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 45 hal. Ramadani, N Pengelolaan Tanaman Tebu (Saccharum officinarum L.) di Unit PG. Subang PT. Rajawali II, Subang, Jawa Barat dengan Aspek Khusus Pupuk Daun. Program Studi Agronomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 92 Hal. Rosjid, A. dan A. Suryani Kajian PKP Tebu Lahan Sawah Alluvial di Pasuruan. Prosiding Pertemuan Teknis Tengah Tahunan I Tahun Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia. Pasuruan. Hal Sadjad, S Dari Benih kepada Benih. Grasindo. Jakarta. 144 hal. Sadjad, S., E. Murniarti, dan S. Ilyas Parameter Pengujian Vigor Benih. PT. Grasindo. Jakarta. 185 hal. Sasongko, W. dan Windiharto Upaya efisiensi dan perbaikan mutu bibitan dengan sistem bud chips di PG Trangkil. Majalah Berita Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia 15: Soepadirman Bercocok Tebu Lahan Sawah. Lembaga Pendidikan Perkebunan Kampus Yogyakarta. Yogyakarta. 127 hal. Soeprapto Pengenalan Varietas Tebu. Lembaga Pendidikan Perkebunan Kampus Yogyakarta. Yogyakarta. 48 hal. Sudarti, L Uji Adaptasi Varietas Tebu Lahan Kering (Saccharum officinarum L.) pada Daerah Bercurah Hujan Tinggi. Skripsi. Program Studi Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 62 hal. Sudiatso, S Bertanam Tebu. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 42 hal. Suryani, Y Pengaruh Jarak Tanam dan Varietas Terhadap Pertumbuhan Tanaman Tebu (Saccharum officanarum L.). Skripsi. Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 33 hal. Suseno, H Nutrisi Mineral, Hubungan Air, dan Metabolisme Tumbuhan Tropika. Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 20 hal. Sutardjo, E Budidaya Tanaman Tebu. Bumi Aksara. Jakarta. 76 hal. 50

62 Sutjahja, G. I Pola penyediaan bibit untuk petani program TRI di wilayah Pabrik Gula Gempolkrep. Majalah Berita Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia 8: Tjiptanto, G Peluang Curah Hujan untuk Pola Tanam. BMKG Stasiun Klimatologi Masgar. Lampung. 9 hal. Tomar, V. S. dan J. C. O'Toole Evapotranspirasi padi sawah, hal E. Pasandaran dan D. C. Taylor (Ed). Irigasi: Perencanaan dan Pengelolaan. Gramedia. Jakarta. Umarjono, D. dan D. Samoedi Masalah penggunaan kebun bibit datar pada tebu rakyat intensifikasi di Jawa Timur tahun Majalah Perusahaan Gula XXIX 3(4): Wardojo dan C. N. S. Priyono Konservasi Tanah pada Budidaya Lahan Tebu di Lahan Kering. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Teknologi Pengelolaan DAS, Departemen Kehutanan. 23 hal. Wattimena, G. A Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Pusat Antar Universitas IPB. Bogor. 145 hal. 51

63 LAMPIRAN

64 Lampiran 1. Kualitas Bibit yang Digunakan dalam Penelitian Karakter Bibit Kualitas Bibit Bibit yang Digunakan dalam Penelitian Varietas Bibit PSJT atau PS 941 Asal Bibit Kebun Tebu Giling Ratoon Cane (TRIS II) Jenis Bibit Bagal Batang Tengah (Buku 3, 4, dan 5) Umur Bibit 7 Bulan FHB Nyata % ~ Penangkaran 6.6 Panjang Ruas 11.2 cm Diameter Batang 2.98 cm 53 Asal Persilangan a) Persilangan Polycross BP 1854 Tahun 1994 Species Saccharum officinarum Sifat-Sifat Agronomis a) 1. Pertumbuhan Perkecambahan Baik Kerapatan Batang Rapat Diameter Batang Sedang Pembungaan Tidak Berbunga Sporadis Kemasakan Tengahan Daya Kepras Baik Jumlah Batang per Meter 11 Tinggi Batang 330 cm Pembungaan 3.35 % 2. Potensi Produksi Tanam Pertama, - Tebu kuintal per hektar - Rendemen % - Hablur kuintal per hektar Lahan Sawah - Tebu Rendemen % - Hablur kuintal per hektar Lahan Tegalan - Tebu kuintal per hektar - Rendemen % - Hablur kuintal per hektar 3. Ketahanan Terhadap Hama Penyakit Tahan Terhadap Penyakit Luka Api dan Blendok Tahan Terhadap Hama Penggerek Pucuk dan Penggerek Batang 4 Daerah Pengembangan Cocok untuk Lahan Tegalan dengan Pola Keprasan, Tipe Iklim C2, dan Grumusol a) Sumber : Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (2007)

65 Lampiran 2. Data Curah Hujan Harian Mei 2010 sampai September Tanggal Bulan Mei Juni Juli Agustus September mm - 9 mm mm 3 4 mm - 13 mm mm - 36 mm mm - 12 mm mm mm 7 9 mm mm 8-76 mm 3 mm - 2 mm 9 4 mm mm 7 mm mm 3 mm - 25 mm 20 mm mm mm mm mm - 9 mm - 4 mm 14 9 mm 1.5 mm mm mm mm 3.5 mm mm mm mm - 16 mm mm 5 mm mm mm mm mm mm mm mm mm mm 1.5 mm 22 mm mm - 6 mm 27 8 mm mm mm Total Curah Hujan 401 mm mm mm 82.5 mm 138 mm Jumlah Hari Hujan 18 hari 8 hari 11 hari 5 hari 15 hari Sumber : Pengelolaan Sumber Daya Air (2010)

66 55 Keterangan : Kiri ke Kanan : A1, A2, A3, dan A4 H1 dan H2 A1 : Klacen Barat H1 : Bagal 2 Mata Kombinasi Pola Ecer 22+2 A2 : Klacen Timur H2 : Bagal 3 Mata kombinasi Pola Ecer 20+2 A3 : Tutup Miring A4 : Tutup Datar Lampiran 3. Penampakan Vegetatif Tinggi Tanaman (a) Pengaruh Faktor Modifikasi Bentuk Kasuran (b) Pengaruh Faktor Sistem Pengeceran Bibit Keterangan : Kiri ke Kanan : A1H1, A2H1, A3H1, A4H1 A1H2, A2H2, A3H2, A4H2 A1 : Klacen Barat H1 : Bagal 2 Mata Kombinasi Pola Ecer 22+2 A2 : Klacen Timur H2 : Bagal 3 Mata kombinasi Pola Ecer 20+2 A3 : Tutup Miring A4 : Tutup Datar Lampiran 4. Penampakan Vegetatif Diameter Batang

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Alat dan Bahan

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Alat dan Bahan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Kebun Gempol, PG Sindang Laut, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Kebun berupa lahan sawah beririgasi dengan jenis tanah vertisol. Lahan percobaan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Tebu

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Tebu TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Tebu Menurut Alexander (1973) dan James (2004) taksonomi tanaman tebu tergolong dalam kerajaan plantae, divisi magnoliophyta, kelas monocotyledoneae, ordo glumaceae, famili graminae,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Tanaman Tebu Saccharum officinarum

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Tanaman Tebu Saccharum officinarum TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Tanaman Tebu Dalam taksonomi tumbuhan, tebu tergolong dalam Kerajaan Plantae, Divisi Magnoliophyta, Kelas Monocotyledoneae, Ordo Glumaceae, Famili Graminae, Genus

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kualitas Bibit yang Digunakan dalam Penelitian

Lampiran 1. Kualitas Bibit yang Digunakan dalam Penelitian LAMPIRAN Lampiran 1. Kualitas Bibit yang Digunakan dalam Penelitian Karakter Bibit Kualitas Bibit Bibit yang Digunakan dalam Penelitian Varietas Bibit PSJT 94-33 atau PS 941 Asal Bibit Kebun Tebu Giling

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Aspek Khusus 6.1.1. Pengelolaan Kebun Bibit Datar di PG. Krebet Baru Pengelolaan kebun bibit berjenjang dilakukan mulai KBP (Kebun Bibit Pokok), KBN (Kebun Bibit Nenek), KBI

Lebih terperinci

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani Tanaman Tanaman tebu dalam dunia tumbuh-tumbuhan memiliki sistematika sebagai berikut : Kelas : Angiospermae Subkelas : Monocotyledoneae Ordo : Glumaceae Famili : Graminae

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Data Iklim Lahan Penelitian, Kelembaban Udara (%)

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Data Iklim Lahan Penelitian, Kelembaban Udara (%) HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kondisi Umum Hasil analisis kondisi iklim lahan penelitian menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika setempat menunjukkan bahwa kondisi curah hujan, tingkat kelembaban,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. = Respon pengamatan µ = Rataan umum α i = Pengaruh perlakuan asal bibit ke-i (i = 1,2) β j δ ij

BAHAN DAN METODE. = Respon pengamatan µ = Rataan umum α i = Pengaruh perlakuan asal bibit ke-i (i = 1,2) β j δ ij BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan, IPB Darmaga Bogor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus 2009 sampai dengan Desember 2009. Bahan dan

Lebih terperinci

4 Akar Akar tebu terbagi menjadi dua bagian, yaitu akar tunas dan akar stek. Akar tunas adalah akar yang menggantikan fungsi akar bibit. Akar ini tumb

4 Akar Akar tebu terbagi menjadi dua bagian, yaitu akar tunas dan akar stek. Akar tunas adalah akar yang menggantikan fungsi akar bibit. Akar ini tumb 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani Tebu dan Morfologi Tebu Tebu adalah salah satu jenis tanaman monokotil yang termasuk dalam famili Poaceae, yang masuk dalam kelompok Andropogoneae, dan masuk dalam genus Saccharum.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani dan Morfologi Tanaman Tebu (Saccharum officinarum) termasuk dalam kelas Monokotiledon, ordo Glumaccae, famili Graminae, genus Saccharum. Beberapa spesies tebu yang lain

Lebih terperinci

PERBANDINGAN PERTUMBUHAN TANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) DARI BIBIT YANG BERASAL DARI KEBUN BIBIT DATAR DENGAN KEBUN TEBU GILING

PERBANDINGAN PERTUMBUHAN TANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) DARI BIBIT YANG BERASAL DARI KEBUN BIBIT DATAR DENGAN KEBUN TEBU GILING PERBANDINGAN PERTUMBUHAN TANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) DARI BIBIT YANG BERASAL DARI KEBUN BIBIT DATAR DENGAN KEBUN TEBU GILING HUSNUL INSAN A240502680 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS

Lebih terperinci

PENGELOLAAN TANAMAN TEBU (Saccharumm officinarum L.) DI PG. KREBET BARU, PT. PG. RAJAWALI I, MALANG, JAWA TIMUR ASPEK KHUSUS PEGELOLAAN KEBUN BIBIT

PENGELOLAAN TANAMAN TEBU (Saccharumm officinarum L.) DI PG. KREBET BARU, PT. PG. RAJAWALI I, MALANG, JAWA TIMUR ASPEK KHUSUS PEGELOLAAN KEBUN BIBIT PENGELOLAAN TANAMAN TEBU (Saccharumm officinarum L.) DI PG. KREBET BARU, PT. PG. RAJAWALI I, MALANG, JAWA TIMUR DENGAN ASPEK KHUSUS PEGELOLAAN KEBUN BIBIT DATAR OLEH BAGUS MAHENDRA A24051108 DEPARTEMEN

Lebih terperinci

PENGARUH PUPUK NITROGEN DAN FOSFOR TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TEBU (Saccharum officinarum L.) RIFKA ERNAWAN IKHTIYANTO A

PENGARUH PUPUK NITROGEN DAN FOSFOR TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TEBU (Saccharum officinarum L.) RIFKA ERNAWAN IKHTIYANTO A PENGARUH PUPUK NITROGEN DAN FOSFOR TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TEBU (Saccharum officinarum L.) RIFKA ERNAWAN IKHTIYANTO A24051868 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian 10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Dramaga, Bogor. Sejarah lahan sebelumnya digunakan untuk budidaya padi konvensional, dilanjutkan dua musim

Lebih terperinci

Tahunan Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia. Pasuruan. 36 hal. Effendi, H. dan T. Agustini Pengaruh senyawa fenol pada

Tahunan Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia. Pasuruan. 36 hal. Effendi, H. dan T. Agustini Pengaruh senyawa fenol pada DAFTAR PUSTAKA Alexander, A. G. 1973. Sugarcane Physiology. Amsterdam. Elsevier Scientific Company. 752 p. Amri, H. 2007. Budidaya tanaman tebu. http://agro-journal-pertanian.word press.com. [16 November

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian 15 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan Margahayu Lembang Balai Penelitian Tanaman Sayuran 1250 m dpl mulai Juni 2011 sampai dengan Agustus 2012. Lembang terletak

Lebih terperinci

TANAMAN TEBU A. PEDOMAN PELAKSANAAN PEMBUKAAN KEBUN TEBU GILING / TEBU RAKYAT

TANAMAN TEBU A. PEDOMAN PELAKSANAAN PEMBUKAAN KEBUN TEBU GILING / TEBU RAKYAT TANAMAN TEBU A. PEDOMAN PELAKSANAAN PEMBUKAAN KEBUN TEBU GILING / TEBU RAKYAT Pelaksanaan pembukaan kebun tebu tebangan memerlukan kultur teknis yang baik, pedoman dibawah ini hendaknya digunakan oleh

Lebih terperinci

VARIETAS UNGGUL BARU (PSDK 923) UNTUK MENDUKUNG SWASEMBADA GULA

VARIETAS UNGGUL BARU (PSDK 923) UNTUK MENDUKUNG SWASEMBADA GULA VARIETAS UNGGUL BARU (PSDK 923) UNTUK MENDUKUNG SWASEMBADA GULA Oleh : Afanti Septia, SP (PBT Ahli Pertama) Eko Purdyaningsih, SP (PBT Ahli Muda) PENDAHULUAN Dalam mencapai target swasembada gula, pemerintah

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Pengkajian Teknologi

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Pengkajian Teknologi 24 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian BPTP Unit Percobaan Natar, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Pengkajian Teknologi

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Pengkajian Teknologi III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Unit Percobaan Natar, Desa Negara Ratu, Kecamatan Natar,

Lebih terperinci

PENYIAPAN BIBIT UBIKAYU

PENYIAPAN BIBIT UBIKAYU PENYIAPAN BIBIT UBIKAYU Ubi kayu diperbanyak dengan menggunakan stek batang. Alasan dipergunakan bahan tanam dari perbanyakan vegetatif (stek) adalah selain karena lebih mudah, juga lebih ekonomis bila

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Y ij = + i + j + ij

BAHAN DAN METODE. Y ij = + i + j + ij 11 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan, University Farm IPB Darmaga Bogor pada ketinggian 240 m dpl. Uji kandungan amilosa dilakukan di

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sistematika tanaman tebu adalah sebagai berikut : kingdom : Plantae ;

TINJAUAN PUSTAKA. Sistematika tanaman tebu adalah sebagai berikut : kingdom : Plantae ; TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Sistematika tanaman tebu adalah sebagai berikut : kingdom : Plantae ; divisi : Spermatophyta ; subdivisi : Angiospermae ; kelas : Monocotyledoneae ; ordo : Graminales ;

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat 10 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan dilakukan di lahan sawah Desa Situgede, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor dengan jenis tanah latosol. Lokasi sawah berada pada ketinggian tempat 230 meter

Lebih terperinci

Berdasarkan tehnik penanaman tebu tersebut dicoba diterapkan pada pola penanaman rumput raja (king grass) dengan harapan dapat ditingkatkan produksiny

Berdasarkan tehnik penanaman tebu tersebut dicoba diterapkan pada pola penanaman rumput raja (king grass) dengan harapan dapat ditingkatkan produksiny TEKNIK PENANAMAN RUMPUT RAJA (KING GRASS) BERDASARKAN PRINSIP PENANAMAN TEBU Bambang Kushartono Balai Penelitian Ternak Ciawi, P.O. Box 221, Bogor 16002 PENDAHULUAN Prospek rumput raja sebagai komoditas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Ekologi Tanaman Tebu

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Ekologi Tanaman Tebu TINJAUAN PUSTAKA 4 Botani dan Ekologi Tanaman Tebu Tebu (Saccharum officinarum L.) termasuk dalam divisi Spermatophyta, kelas Monocotyledone, ordo Graminales dan famili Graminae (Deptan, 2005). Batang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) termasuk famili Graminae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) termasuk famili Graminae 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Sorgum Tanaman sorgum (Sorghum bicolor (L.) Moench) termasuk famili Graminae (Poaceae). Tanaman ini telah lama dibudidayakan namun masih dalam areal yang terbatas. Menurut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Biologi Kutu Perisai Aulacaspis tegalensis

II. TINJAUAN PUSTAKA Morfologi dan Biologi Kutu Perisai Aulacaspis tegalensis 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kutu Perisai (Aulacaspis tegalensis) 2.1.1 Morfologi dan Biologi Kutu Perisai Aulacaspis tegalensis Kutu Perisai Aulacaspis tegalensis Zehntner termasuk dalam Ordo Hemiptera,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3. 1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Oktober 2009 sampai dengan Juli 2010. Penelitian terdiri dari percobaan lapangan dan analisis tanah dan tanaman

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lahan penelitian yang digunakan merupakan lahan yang selalu digunakan untuk pertanaman tanaman padi. Lahan penelitian dibagi menjadi tiga ulangan berdasarkan ketersediaan

Lebih terperinci

Perbandingan Pertumbuhan Jumlah Mata Tunas Bibit Bagal Tebu (Saccharum officinarum L.) Varietas GMP2 dan GMP3

Perbandingan Pertumbuhan Jumlah Mata Tunas Bibit Bagal Tebu (Saccharum officinarum L.) Varietas GMP2 dan GMP3 Oktami: Perbandingan Pertumbuhan Jumlah Mata Tunas Bibit... Perbandingan Pertumbuhan Jumlah Mata Tunas Bibit Bagal Tebu (Saccharum officinarum L.) Varietas GMP2 dan GMP3 (Bud Number Growth Comparison from

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2011 Maret 2012. Persemaian dilakukan di rumah kaca Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN BAHAN DAN METODE

PENDAHULUAN BAHAN DAN METODE PENDAHULUAN Tebu ialah tanaman yang memerlukan hara dalam jumlah yang tinggi untuk dapat tumbuh secara optimum. Di dalam ton hasil panen tebu terdapat,95 kg N; 0,30 0,82 kg P 2 O 5 dan,7 6,0 kg K 2 O yang

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat 16 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Dramaga, Bogor mulai bulan Desember 2009 sampai Agustus 2010. Areal penelitian memiliki topografi datar dengan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Bahan Alat Rancangan Percobaan Yijk ijk

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Bahan Alat Rancangan Percobaan Yijk ijk BAHAN DAN METODE 9 Waktu dan Tempat Percobaan ini dilaksanakan mulai bulan Februari 2007 sampai Juni 2007 di rumah kaca Balai Penelitian Biologi dan Genetika Cimanggu, Bogor, Jawa Barat. Rumah kaca berukuran

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Industri gula adalah salah satu industri bidang pertanian yang secara nyata memerlukan keterpaduan antara proses produksi tanaman di lapangan dengan industri pengolahan. Indonesia

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dalam buku Steenis (2003), taksonomi dari tanaman tebu adalah Kingdom :

TINJAUAN PUSTAKA. dalam buku Steenis (2003), taksonomi dari tanaman tebu adalah Kingdom : TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Berdasarkan klasifikasi taksonomi dan morfologi Linneus yang terdapat dalam buku Steenis (2003), taksonomi dari tanaman tebu adalah Kingdom : Plantae, Divisio : Spermatophyta,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di dua tempat, yaitu pembibitan di Kebun Percobaan Leuwikopo Institut Pertanian Bogor, Darmaga, Bogor, dan penanaman dilakukan di

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) 15 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kebun Percobaan Natar, Desa Negara Ratu, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Unit

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Unit 17 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Unit Kebun Percobaan Natar, Desa Negara Ratu, Kecamatan Natar, Kabupaten

Lebih terperinci

Lampiran 1. Analisis Ragam Peubah Tinggi Tanaman Tebu Sumber Keragaman. db JK KT F Hitung Pr > F

Lampiran 1. Analisis Ragam Peubah Tinggi Tanaman Tebu Sumber Keragaman. db JK KT F Hitung Pr > F LAMPIRAN Lampiran 1. Analisis Ragam Peubah Tinggi Tanaman Tebu Asal Kebun 1 651.11 651.11 35.39** 0.0003 Ulangan 2 75.11 37.56 2.04 0.1922 Galat I 2 92.82 46.41 2.52 0.1415 Posisi Batang 2 444.79 222.39

Lebih terperinci

BUDIDAYA TANAMAN TEBU

BUDIDAYA TANAMAN TEBU Sumber: www.agrindonesia.wordpress.com BUDIDAYA TANAMAN TEBU 1. PEMBUKAAN KEBUN Sebaiknya pembukaan dan penanaman dimulai dari petak yang paling jauh dari jalan utama atau lori pabrik. Ukuran got standar

Lebih terperinci

stabil selama musim giling, harus ditanam varietas dengan waktu kematangan yang berbeda. Pergeseran areal tebu lahan kering berarti tanaman tebu

stabil selama musim giling, harus ditanam varietas dengan waktu kematangan yang berbeda. Pergeseran areal tebu lahan kering berarti tanaman tebu PEMBAHASAN UMUM Tujuan akhir penelitian ini adalah memperbaiki tingkat produktivitas gula tebu yang diusahakan di lahan kering. Produksi gula tidak bisa lagi mengandalkan lahan sawah seperti masa-masa

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat 8 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di lahan petani di Dusun Pabuaran, Kelurahan Cilendek Timur, Kecamatan Cimanggu, Kotamadya Bogor. Adapun penimbangan bobot tongkol dan biji dilakukan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan Cikabayan-University Farm IPB, Darmaga Bogor. Areal penelitian bertopografi datar dengan elevasi 250 m dpl dan curah

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan April sampai Agustus 2010. Penelitian dilakukan di lahan percobaan NOSC (Nagrak Organic S.R.I. Center) Desa Cijujung,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil. Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil. Kondisi Umum 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kondisi Umum Tanaman padi saat berumur 1-3 MST diserang oleh hama keong mas (Pomacea caanaliculata). Hama ini menyerang dengan memakan bagian batang dan daun tanaman yang

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Rumah kaca University Farm, Cikabayan, Dramaga, Bogor. Ketinggian tempat di lahan percobaan adalah 208 m dpl. Pengamatan pascapanen dilakukan

Lebih terperinci

PELAKSANAAN PENELITIAN

PELAKSANAAN PENELITIAN PELAKSANAAN PENELITIAN Persiapan Lahan Disiapkan lahan dengan panjang 21 m dan lebar 12 m yang kemudian dibersihkan dari gulma. Dalam persiapan lahan dilakukan pembuatan plot dengan 4 baris petakan dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Botani Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Botani Kelapa Sawit 3 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Botani Kelapa Sawit Kelapa sawit berasal dari benua Afrika. Delta Nigeria merupakan tempat dimana fosil tepung sari dari kala miosen yang bentuknya sangat mirip dengan

Lebih terperinci

METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

METODE. Lokasi dan Waktu. Materi METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2005 sampai dengan Januari 2006. Penanaman dan pemeliharaan bertempat di rumah kaca Laboratorium Lapang Agrostologi, Departemen Ilmu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Morfologi Bawang Merah ( Allium ascalonicum L.)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Morfologi Bawang Merah ( Allium ascalonicum L.) 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Morfologi Bawang Merah ( Allium ascalonicum L.) Menurut Rahayu dan Berlian ( 2003 ) tanaman bawang merah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Tabel 1. Botani Bawang Merah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kondisi Umum Percobaan studi populasi tanaman terhadap produktivitas dilakukan pada dua kali musim tanam, karena keterbatasan lahan. Pada musim pertama dilakukan penanaman bayam

Lebih terperinci

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan April sampai Juli 2016. Tanah pada lahan penelitian tergolong jenis Grumusol (Vertisol), dan berada pada ketinggian kurang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Tanaman Teh Morfologi Tanaman Teh Syarat Tumbuh

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Tanaman Teh Morfologi Tanaman Teh Syarat Tumbuh 3 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Tanaman Teh Teh termasuk famili Transtromiceae dan terdiri atas dua tipe subspesies dari Camellia sinensis yaitu Camellia sinensis var. Assamica dan Camellia sinensis var.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 9 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. Karakteristik Lokasi Penelitian Luas areal tanam padi adalah seluas 6 m 2 yang terletak di Desa Langgeng. Secara administrasi pemerintahan Desa Langgeng Sari termasuk dalam

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan waktu penelitian. Penelitian dilaksanakan di lahan sawah di Dusun Tegalrejo, Taman Tirto,

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan waktu penelitian. Penelitian dilaksanakan di lahan sawah di Dusun Tegalrejo, Taman Tirto, III. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilaksanakan di lahan sawah di Dusun Tegalrejo, Taman Tirto, Kasihan, Bantul dan di Laboratorium Penelitian Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010 ISBN :

Prosiding Pekan Serealia Nasional, 2010 ISBN : Usaha tani Padi dan Jagung Manis pada Lahan Tadah Hujan untuk Mendukung Ketahanan Pangan di Kalimantan Selatan ( Kasus di Kec. Landasan Ulin Kotamadya Banjarbaru ) Rismarini Zuraida Balai Pengkajian Teknologi

Lebih terperinci

PENENTUAN DOSIS PEMUPUKAN KOMPOS BLOTONG PADA TEBU LAHAN KERING (Saccharum officinarum L.) VARIETAS PS 862 dan PS 864

PENENTUAN DOSIS PEMUPUKAN KOMPOS BLOTONG PADA TEBU LAHAN KERING (Saccharum officinarum L.) VARIETAS PS 862 dan PS 864 PENENTUAN DOSIS PEMUPUKAN KOMPOS BLOTONG PADA TEBU LAHAN KERING (Saccharum officinarum L.) VARIETAS PS 862 dan PS 864 Oleh: KARTIKA KIRANA SM A34103020 PROGRAM STUDI AGRONOMI FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. B. Bahan dan Alat Penelitian

TATA CARA PENELITIN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. B. Bahan dan Alat Penelitian III. TATA CARA PENELITIN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilakukan di areal perkebunan kelapa sawit rakyat di Kecamatan Kualuh Hilir Kabupaten Labuhanbatu Utara, Provinsi Sumatera Utara.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Jagung (Zea mays.l) keluarga rumput-rumputan dengan spesies Zea mays L.

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Jagung (Zea mays.l) keluarga rumput-rumputan dengan spesies Zea mays L. 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Jagung (Zea mays.l) Tanaman jagung merupakan tanaman asli benua Amerika yang termasuk dalam keluarga rumput-rumputan dengan spesies Zea mays

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Y ijk = μ + U i + V j + ε ij + D k + (VD) jk + ε ijk

BAHAN DAN METODE. Y ijk = μ + U i + V j + ε ij + D k + (VD) jk + ε ijk 12 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan mulai Februari-Agustus 2009 dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikabayan, Dramaga, Bogor. Areal penelitian bertopografi datar dengan jenis tanah

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Percobaan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Percobaan 12 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan lapangan dilaksanakan pada bulan Oktober 2009 hingga Maret 2010 di kebun percobaan Pusat Kajian Buah Tropika (PKBT) IPB, Tajur dengan elevasi 250-300 m dpl

Lebih terperinci

BAB VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB VI. HASIL DAN PEMBAHASAN BAB VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Aspek Teknis 6.1.1. Pengolahan Tanah Pengolahan tanah merupakan proses awal budidaya tanaman tebu. Hal ini menjadi sangat penting mengingat tercapainya produksi yang tinggi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan 10 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan Percobaan dilakukan di Kebun Percobaan Babakan Sawah Baru, Darmaga Bogor pada bulan Januari 2009 hingga Mei 2009. Curah hujan rata-rata dari bulan Januari

Lebih terperinci

PENGELOLAAN PEMANGKASAN TANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L.) DI KEBUN RUMPUN SARI ANTAN I, PT SUMBER ABADI TIRTASANTOSA, CILACAP, JAWA TENGAH

PENGELOLAAN PEMANGKASAN TANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L.) DI KEBUN RUMPUN SARI ANTAN I, PT SUMBER ABADI TIRTASANTOSA, CILACAP, JAWA TENGAH PENGELOLAAN PEMANGKASAN TANAMAN KAKAO (Theobroma cacao L.) DI KEBUN RUMPUN SARI ANTAN I, PT SUMBER ABADI TIRTASANTOSA, CILACAP, JAWA TENGAH Oleh IKA WULAN ERMAYASARI A24050896 DEPARTEMEN AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

Lebih terperinci

BUDIDAYA TANAMAN TEBU

BUDIDAYA TANAMAN TEBU BUDIDAYA TANAMAN TEBU PENDAHULUAN Saat ini pemerintah sedang menggalakkan penanaman tebu untuk mengatasi rendahnya produksi gula di Indonesia. Usaha pemerintah sangatlah wajar dan tidak berlebihan mengingat

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Parung Farm yang terletak di Jalan Raya Parung Nomor 546, Parung, Bogor, selama satu bulan mulai bulan April sampai dengan Mei 2011. Bahan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan, dari bulan Juni sampai bulan Oktober 2011. Alat dan Bahan

Lebih terperinci

Percobaan 4. Tumpangsari antara Jagung dengan Kacang Tanah

Percobaan 4. Tumpangsari antara Jagung dengan Kacang Tanah Percobaan 4. Tumpangsari antara Jagung dengan Kacang Tanah Latar Belakang Di antara pola tanam ganda (multiple cropping) yang sering digunakan adalah tumpang sari (intercropping) dan tanam sisip (relay

Lebih terperinci

DESKRIPSI TEBU VARIETAS KIDANG KENCANA (NAMA ASAL PA 198)

DESKRIPSI TEBU VARIETAS KIDANG KENCANA (NAMA ASAL PA 198) Lampiran 1. Deskripsi Varietas Kidang Kencana Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 334/Kpts/SR.120/3/2008 Tanggal : 28 Maret 2008 Tentang Pelepasan Tebu Varietas PA 198 DESKRIPSI TEBU VARIETAS KIDANG KENCANA

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 21 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Intensitas Serangan Hama Penggerek Batang Padi (HPBP) Hasil penelitian tingkat kerusakan oleh serangan hama penggerek batang pada tanaman padi sawah varietas inpari 13

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Taksonomi Tanaman Teh

TINJAUAN PUSTAKA. Taksonomi Tanaman Teh 3 TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Tanaman Teh Klasifikasi tanaman teh yang dikutip dari Nazaruddin dan Paimin (1993) adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae

Lebih terperinci

Pengendalian hama dan penyakit pada pembibitan yaitu dengan menutup atau mengolesi luka bekas pengambilan anakan dengan tanah atau insektisida,

Pengendalian hama dan penyakit pada pembibitan yaitu dengan menutup atau mengolesi luka bekas pengambilan anakan dengan tanah atau insektisida, PEMBAHASAN PT National Sago Prima saat ini merupakan perusahaan satu-satunya yang bergerak dalam bidang pengusahaan perkebunan sagu di Indonesia. Pengusahaan sagu masih berada dibawah dinas kehutanan karena

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Percobaan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Percobaan 11 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juli 2012 di Dusun Bandungsari, Kecamatan Natar, Kabupaten Lampung Selatan, Lampung. Analisis tanah dilakukan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung di Desa Muara Putih Kecamatan Natar Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

UJI BEBERAPA VARIETAS JAGUNG (Zea mays L.) HIBRIDA PADA TINGKAT POPULASI TANAMAN YANG BERBEDA. Oleh. Fetrie Bestiarini Effendi A

UJI BEBERAPA VARIETAS JAGUNG (Zea mays L.) HIBRIDA PADA TINGKAT POPULASI TANAMAN YANG BERBEDA. Oleh. Fetrie Bestiarini Effendi A UJI BEBERAPA VARIETAS JAGUNG (Zea mays L.) HIBRIDA PADA TINGKAT POPULASI TANAMAN YANG BERBEDA Oleh Fetrie Bestiarini Effendi A01499044 PROGRAM STUDI AGRONOMI FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

44 masing 15 %. Untuk petani tebu mandiri pupuk dapat diakses dengan sistem kredit dengan Koperasi Tebu Rakyat Indonesia (KPTRI). PG. Madukismo juga m

44 masing 15 %. Untuk petani tebu mandiri pupuk dapat diakses dengan sistem kredit dengan Koperasi Tebu Rakyat Indonesia (KPTRI). PG. Madukismo juga m 43 HASIL DAN PEMBAHASAN Aspek Teknis Pengolahan tanah Proses awal dalam budidaya tebu adalah pengolahan tanah. Kegiatan ini sangat penting karena tercapainya produksi yang tinggi salah satu faktornya adalah

Lebih terperinci

Percobaan 3. Pertumbuhan dan Produksi Dua Varietas Kacang Tanah pada Populasi Tanaman yang Berbeda

Percobaan 3. Pertumbuhan dan Produksi Dua Varietas Kacang Tanah pada Populasi Tanaman yang Berbeda Percobaan 3. Pertumbuhan dan Produksi Dua Varietas Kacang Tanah pada Populasi Tanaman yang Berbeda Latar Belakang Untuk memperoleh hasil tanaman yang tinggi dapat dilakukan manipulasi genetik maupun lingkungan.

Lebih terperinci

TESIS. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2 PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS.

TESIS. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2 PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS. EVALUASI KEBIJAKAN BONGKAR RATOON DAN KERAGAAN PABRIK GULA DI JAWA TIMUR TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-2 PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN AGRIBISNIS Diajukan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN. Tipe Pangkasan

PEMBAHASAN. Tipe Pangkasan 8 PEMBAHASAN Tanaman teh dibudidayakan untuk mendapatkan hasil produksi dalam bentuk daun (vegetatif). Fase vegetatif harus dipertahankan selama mungkin untuk mendapatkan hasil produksi yang tinggi dan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan 9 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan dilaksanakan di Desa Situ Gede Kecamatan Bogor Barat, Kabupaten Bogor. Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2009 Februari 2010. Analisis tanah dilakukan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilaksanakan di Unit Lapangan Pasir Sarongge, University Farm IPB yang memiliki ketinggian 1 200 m dpl. Berdasarkan data yang didapatkan dari Badan Meteorologi

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Lahan pertanian milik masyarakat Jl. Swadaya. Desa Sidodadi, Kecamatan Batang Kuis, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatra

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Lapangan Terpadu Kampus Gedung Meneng Fakultas

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Lapangan Terpadu Kampus Gedung Meneng Fakultas 19 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Lapangan Terpadu Kampus Gedung Meneng Fakultas Pertanian, Universitas Lampung Kampus Gedung Meneng, Bandar Lampung dan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Untuk menguji hipotesis, digunakan data percobaan yang dirancang dilakukan di dua tempat. Percobaan pertama, dilaksanakan di Pangalengan, Kabupaten Bandung,

Lebih terperinci

I. MATERI DAN METODE

I. MATERI DAN METODE I. MATERI DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan di Jl. Seroja Kulim Kecamatan Tenayan Raya, Kota Pekanbaru pada bulan Mei 2013 sampai dengan bulan September 2013. Lokasi penelitian

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca Unit Pelayanan Teknis (UPT), Kebun Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Riau. Pelaksanaannya dilakukan pada bulan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sifat Fisik dan Mekanik Media Tanam Hasil pengujian sifat fisik dan mekanik media tanam pada penelitian ini berupa densitas partikel, kerapatan lindak dan porositas, tahanan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Alat dan Bahan Metode Percobaan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Alat dan Bahan Metode Percobaan 11 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan Penelitian dilaksanakan di Kebun Jagung University Farm IPB Jonggol, Bogor. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Tanah, Departemen Tanah, IPB. Penelitian

Lebih terperinci

Oleh : Koiman, SP, MMA (PP Madya BKPPP Bantul)

Oleh : Koiman, SP, MMA (PP Madya BKPPP Bantul) Oleh : Koiman, SP, MMA (PP Madya BKPPP Bantul) PENDAHULUAN Pengairan berselang atau disebut juga intermitten adalah pengaturan kondisi lahan dalam kondisi kering dan tergenang secara bergantian untuk:

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Universitas Lampung pada titik koordinat LS dan BT

III. BAHAN DAN METODE. Universitas Lampung pada titik koordinat LS dan BT III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung pada titik koordinat 5 22 10 LS dan 105 14 38 BT

Lebih terperinci

TEBU. (Saccharum officinarum L).

TEBU. (Saccharum officinarum L). TEBU (Saccharum officinarum L). Pada awal abad ke-20 Indonesia dikenal sebagai negara pengekspor gula nomor dua terbesar di dunia setelah Kuba, namun pada awal abad ke-21 berubah menjadi negara pengimpor

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di lahan sawah Desa Parakan, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor dan di Laboratorium Ekofisiologi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat. diameter 12 cm dan panjang 28 cm, dan bahan-bahan lain yang mendukung

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat. diameter 12 cm dan panjang 28 cm, dan bahan-bahan lain yang mendukung BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat lebih kurang 25 meter di atas permukaan laut.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gladiol (Gladiolus hybridus) berasal dari bahasa latin Gladius yang berarti

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gladiol (Gladiolus hybridus) berasal dari bahasa latin Gladius yang berarti 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani dan Morfologi Tanaman Gladiol Gladiol (Gladiolus hybridus) berasal dari bahasa latin Gladius yang berarti pedang sesuai dengan bentuk daunnya yang meruncing dan memanjang.

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Unit

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Unit III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Unit Kebun Percobaan Natar, Desa Negara Ratu, Kecamatan Natar, Kabupaten

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu 8 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikabayan, Darmaga, Bogor, pada bulan Januari sampai April 2008. Lokasi percobaan terletak pada ketinggian 220 m di

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian 18 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung di Desa Muara Putih Kecamatan Natar Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Rancangan Percobaan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Rancangan Percobaan 14 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di kebun percobaan Leuwikopo dan Laboratorium Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian

Lebih terperinci