HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Spasial Kawasan Pesisir Kota Ternate Interpretasi Perubahan Garis Pantai Kawasan Waterfront Perubahan spasial kawasan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Spasial Kawasan Pesisir Kota Ternate Interpretasi Perubahan Garis Pantai Kawasan Waterfront Perubahan spasial kawasan"

Transkripsi

1 85 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Spasial Kawasan Pesisir Kota Ternate Interpretasi Perubahan Garis Pantai Kawasan Waterfront Perubahan spasial kawasan waterfront di Kota Ternate ditandai dengan adanya perubahan garis pantai. Pengembangan kawasan waterfront untuk mendapatkan lahan baru/dataran baru yang berada di kawasan pesisir, sehingga secara langsung mempengaruhi perubahan garis pantai yang ada. Perubahan garis pantai baik maju atau mundur dapat menimbulkan berbagai permasalahan, diantaranya pemanfaatan lahan, bertambah atau berkurangnya luas daratan, terancamnya aktivitas manusia dan lain sebagainya. Terlepas dari faktor manusia yang menyebabkan perubahan, faktor lain yang berpengaruh adalah faktor alam (Efendi et al., 1981 diacu dalam Hermanto, 1986). Perubahan morfologi pantai (garis pantai) merupakan rangkaian proses pantai yang diakibatkan oleh faktor eksternal yang meliputi arus, gelombang, angin dan pasang surut, serta faktor internal yang meliputi karakteristik dan tipe sedimen serta lapisan dasar dimana sedimen tersebut berada (Diposaptono, 2004 diacu dalam Kalay, 2008). Dalam kasus perubahan garis pantai di kawasan waterfront kota Ternate dipengaruhi oleh faktor manusia yakni adanya aktivitas reklamasi pantai. Pengembangan kawasan waterfront direncanakan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun , sebagai pusat pelayanan perkotaan khususnya bidang transportasi, jasa dan perdagangan, sarana ibadah dan taman kota. Reklamasi pantai dijadikan alternatif untuk penambahan daratan, dimana daratan kawasan reklamasi ini berupa kawasan daratan lama yang berhubungan langsung dengan daratan baru. Identifikasi perubahan garis pantai di kawasan waterfront bertujuan untuk mengetahui seberapa luas kawasan yang direklamasi. Hal ini tentunya berkaitan dengan penambahan luas daratan kota Ternate secara keseluruhan. Dengan adanya penambahan luas daratan di kawasan waterfront, maka spasial kawasan pesisir mengalami perubahan. Analisis citra bersumber dari citra GeoEye dari Google Earth akuisisi citra tanggal 18 Mei 2001 dan citra Quickbird tahun 2010 yang digunakan untuk membandingkan garis pantai antara kedua tahun tersebut. Data yang tersedia

2 86 sangat menunjang untuk mengukur seberapa luas perubahan garis pantai yang terjadi akibat adanya reklamasi pantai. Kegiatan reklamasi pantai dimulai pengembangannya pada tahun 2001, sehingga data yang dibutuhkan adalah data tahun sebelum diadakan reklamasi. Namun data yang tersedia, khususnya untuk citra resolusi tinggi seperti citra Ikonos, GeoEye, dan sebagainya di tahun tersebut sulit untuk diperoleh, sehingga data citra yang digunakan adalah citra GeoEye tahun Kenampakan visual dari citra resolusi tinggi sangat membantu untuk mendelineasi garis pantai yaitu batas antara daratan dan lautan. Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum NO.40/PRT/M/2007 tentang Reklamasi Pantai, definisi garis pantai adalah batas pertemuan antara bagian laut dan daratan pada saat terjadi air laut pasang tertinggi. Pada kasus kawasan waterfront Kota Ternate, kenampakan visual yang membatasi antara daratan dan lautan terletak pada objek permukiman atau perumahan yang berbatasan langsung dengan tepi laut. Oleh karena itu, acuan objek tersebut dijadikan dasar sebagai batas antara darat dan laut. Gambar 18. Perubahan Garis Pantai Kawasan Waterfront Tahun

3 87 Gambar 18 menyajikan perubahan garis pantai yang dianalisis secara visual. Analisis dilakukan dengan cara overlay citra yang telah didelineasi garis pantai pada masing-masing tahun (tahun 2001 dan 2010). Hasil analisis citra berdasarkan kenampakan visual menunjukkan luas kawasan waterfront yang direklamasi adalah 23,93 ha (0,23 km 2 ), dengan titik awal delineasi pada koordinat LU, BT dan titik akhir pada koordinat LU, BT. Panjang garis pantai sebelum reklamasi (tahun 2001) adalah 3,28 km, sedangkan panjang garis pantai setelah reklamasi (tahun 2010) menjadi 3,66 km, atau majunya garis pantai berkisar m. Perubahan garis pantai atau majunya garis pantai ke arah laut yang terbesar terletak pada koordinat LU, BT yaitu mencapai hingga 250 m dari garis pantai awal (tahun 2001). Adanya perubahan garis pantai tersebut menyebabkan luas daratan kota Ternate semakin bertambah. Sebelum pengembangan waterfront, luas daratan hanya 110,07 km 2, namun setelah adanya kawasan tersebut maka daratan Pulau Ternate bertambah menjadi 110,30 km 2. Secara administratif, terjadi penambahan luas daratan kota Ternate dari awalnya 250,85 km² (tahun 2001) menjadi 251,08 km² (tahun 2010) (Gambar 19). Gambar 19. Perubahan Spasial Kota Ternate Tahun

4 88 Penggunaan Lahan di Kawasan Waterfront Secara administratif, reklamasi pantai berada pada 4 (empat) kelurahan/desa, yaitu Kelurahan Soasio, Makassar Timur, Gamalama dan Muhajirin. Adanya reklamasi di lokasi tersebut menyebabkan penggunaan lahan semakin bertambah. Sebelum pengembangan waterfront, kawasan ini merupakan wilayah pesisir pantai yang berbatasan langsung dengan permukiman penduduk (perumahan dan pertokoan). Sebagian kawasan ini umumnya permukiman yang tidak tertata sehingga terkesan kumuh akibat pencemaran terhadap badan air di sekitar kawasan pesisir. Hal ini disebabkan karena aktivitas masyarakat yang membuang limbah/sampah ataupun MCK langsung ke badan air tersebut. Setelah munculnya kebijakan dalam penataan kawasan pertumbuhan ekonomi baru, maka kawasan tersebut dipilih karena dianggap strategis dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi serta berperan untuk memperbaiki kualitas lingkungan di sekitarnya. Reklamasi pantai dijadikan alternatif untuk penambahan luas daratan yang dimanfaatkan sebagai kawasan waterfront. Kegiatan reklamasi ini memberikan dampak pada terjadinya perubahan spasial di kawasan pesisir tersebut. Analisis penggunaan lahan di kawasan waterfront dilakukan dengan cara digitasi visual dari data citra Quickbird tahun Interpretasi citra secara visual untuk klasifikasi penggunaan lahan yang didasarkan pada warna/rona, tekstur, bentuk, pola, bayangan, asosiasi spasial (Lillesand dan Kiefer, 1997) dan survey langsung ke objek kawasan waterfront. Hal ini dilakukan karena kenampakan objek pada citra resolusi tinggi (citra Quickbird) dapat dengan mudah untuk mengenali atau membedakan antara objek satu dengan lainnya. Penggunaan lahan di kawasan waterfront umumnya adalah kawasan jasa dan perdagangan yaitu pasar tradisional, pertokoan, dan pusat perbelanjaan/mall. Hal ini berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana niaga dan perdagangan di lokasi tersebut yang masuk dalam fungsi Bagian Wilayah Kota II (BWK II) yaitu sebagai pusat pelayanan jasa dan perdagangan. Kawasan waterfront dimanfaatkan pula untuk kebutuhan rekreasi taman kota sekaligus sebagai ruang terbuka hijau (RTH) yang langsung berhubungan dengan tempat wisata sejarah kota Ternate yaitu Kadaton Kesultanan. Penyediaan RTH juga diwujudkan dalam

5 89 bentuk RTH jalur hijau yang berada hampir di sepanjang median jalan maupun di sepanjang sisi trotoar. Unsur yang paling kuat dalam penyediaan kawasan waterfront ini adalah fasilitas peribadatan (mesjid) yang dijadikan sebagai landmark kota. Gambar 20 menunjukkan penggunaan lahan di kawasan waterfront. Gambar 20. Penggunaan Lahan di Kawasan Waterfront

6 90 Penggunaan lahan di kawasan waterfront ditampilkan secara detil pada Tabel 23. Secara detil penggunaan lahan yang terluas yaitu areal badan jalan sebesar 3,90 ha (16%) atau panjang jalan 2,61 km. Penyediaan jaringan jalan dimaksudkan sebagai jalur alternatif bagi kemudahan untuk akses ke pusat-pusat sarana penting misalnya bandara, pelabuhan, pasar/pertokoan dan sebagainya. Penggunaan lahan jasa dan perdagangan diantaranya Mall, pasar, pertokoan dan ruko, masing-masing sebesar 2,56 ha (11%), 2,01 ha (8%), 1,42 ha (6%), dan 1,12 ha (5%), yang mendominasi penggunaan lahan kawasan waterfront. Hal ini berkaitan dengan penyediaan sarana dan prasarana niaga dan perdagangan, dimana Kota Ternate sebagai pusat pelayanan niaga dan perdagangan skala regional maupun lintas provinsi di Kawasan Indonesia Timur. Penggunaan lahan untuk RTH disediakan sebagai kawasan hijau yang meliputi RTH taman kota seluas 2,86 ha (12%) dan RTH jalur hijau seluas 1,40 ha (6%). Sementara untuk penggunaan lahan sarana ibadah (mesjid) dengan luas 0,87 ha (4%), sebagai landmark kota sekaligus islamic centre. Namun penggunaan lahan untuk permukiman (perumahan) yang tidak terencana sebesar 2,02 ha (8%) mulai menjamur khususnya di areal pinggiran kawasan waterfront. Tabel 23. Penggunaan Lahan di Kawasan Waterfront Penggunaan Lahan Luas Persentase (ha) (%) Badan air 4,25 17 Jalan 3,90 16 RTH/Taman Kota 2,86 12 Mall/Dept.Store 2,56 11 Pasar Tradisional 2,01 8 Permukiman 2,02 8 Pertokoan 1,42 6 RTH/Jalur Hijau 1,40 6 Ruko 1,12 5 Sarana Ibadah 0,87 4 Terminal Angkutan Umum 0,90 4 Perkantoran 0,59 2 TPS 0,03 1 Jumlah 23,93 100

7 91 Perubahan Penggunaan Lahan Tahun Analisis perubahan penggunaan lahan dilakukan dengan cara overlay peta penggunaan lahan tahun 2004 dan tahun 2010, dengan membedakan 2 kelas penggunaan lahan yaitu lahan tidak terbangun (non built up) yang terdiri dari hutan, perkebunan, pertanian lahan kering dan semak belukar, dan lahan terbangun (built up) yang terdiri dari permukiman, kawasan jasa dan perdagangan dan kawasan industri. Hasil analisis tersebut menunjukkan perubahan lahan terbangun (built up) semakin bertambah di wilayah pesisir maupun dataran tinggi. Penggunaan lahan terbangun dominan berkembang ke arah dataran tinggi. Hal ini berkaitan dengan keterbatasan lahan di kawasan pesisir yang dapat dijadikan areal untuk bermukim bagi masyarakat (lebih bersifat privat). Sementara untuk penggunaan lahan terbangun yang berada di kawasan pesisir sebagian besar dilakukan dengan reklamasi pantai untuk menambah luas daratan secara horizontal, misalnya yang terletak di pusat kota (Central of Business District- CBD). Kawasan pesisir tersebut lebih bersifat ruang publik (public space) untuk melayani kebutuhan masyarakat kota. Perubahan penggunaan lahan pada tahun disajikan pada Gambar 21. Gambar 21. Perubahan Penggunaan Lahan Kota Ternate Tahun

8 92 Terhadap data atribut pada peta penggunaan lahan tahun (Gambar 21) tersebut dilakukan analisis lanjutan untuk mengidentifikasi perubahan luas lahan. Tabel 24 menunjukkan bahwa selama kurun waktu 6 tahun terjadi pengurangan luas penggunaan lahan tidak terbangun sebesar 411 ha (4%). Sementara itu penggunaan lahan terbangun mengalami peningkatan seluas 521 ha (55%). Jumlah luas lahan antara kedua tahun tersebut berbeda, yaitu tahun 2004 seluas ha dan tahun 2010 seluas ha. Ini menunjukkan bahwa pada tahun 2010 luas daratan kota Ternate mengalami penambahan seluas 110 ha, yang sebagian besar adalah lahan-lahan yang direklamasi untuk pengembangan kawasan waterfront. Tabel 24. Perubahan Penggunaan lahan Tahun Tahun Penggunaan Lahan Lahan Tidak Terbangun Lahan Terbangun 2004 (ha) (ha) Luas (ha) Jumlah Luas Perubahan Persentase Perubahan luas/luas lahan awal (%) Matriks transisi perubahan penggunaan lahan yang disajikan pada Tabel 25, menunjukkan bahwa terjadi perubahan penggunaan lahan dari lahan tidak terbangun menjadi lahan terbangun seluas 445 ha. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan lahan sebagai tempat bermukim maupun kegiatan usaha (jasa dan perdagangan) terus bertambah. Namun menarik juga disimak untuk lahan terbangun yang terkonversi menjadi lahan tidak terbangun yaitu seluas 34 ha. Lahan terbangun yang terkonversi menjadi lahan tidak terbangun tersebut dipengaruhi oleh adanya pengembangan kawasan bandara di kecamatan Ternate Utara, sehingga permukiman yang berada di sekitar kawasan bandara direlokasi. Tabel 25. Matriks Transisi Perubahan Penggunaan Lahan Tahun Penggunaan Lahan Tahun 2010 (ha) Penggunaan Lahan Tahun 2004 (ha) Lahan Tidak Terbangun (non built up) Lahan Terbangun (built up) Lahan Tidak Terbangun (non built up) Lahan Terbangun (built up) Jumlah Luas (ha) Jumlah Luas (ha)

9 93 Analisis Hierarki Wilayah Kota Ternate Perkembangan kawasan waterfront kota Ternate diikuti pula oleh berkembangnya kelurahan/desa yang berada di kawasan waterfront atau sekitarnya. Hal ini dapat dilihat pada indikator berkembangnya infrastruktur yang ada di kawasan waterfront dan sekitarnya. Analisis skalogram digunakan untuk menentukan wilayah-wilayah mana (dalam unit kelurahan/desa) yang ikut berkembang seiring dengan perkembangan kawasan waterfront. Hasil analisis berupa klasifikasi hierarki wilayah berdasarkan ketersediaan infrastruktur yang ada di unit wilayah tersebut. Urutan hierarki yang diperoleh berdasarkan akumulatif masing-masing kelurahan, yang kemudian dikelompokan atas kelas selang hierarki. Untuk studi kasus ini, selang hierarki dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelas, yaitu hierarki 1 (pusat pelayanan), hierarki 2, dan hierarki 3 (wilayah belakang atau hinterland). Penentuan pengelompokan didasarkan pada nilai standar deviasi Indeks Perkembangan (IP) dan nilai rata-rata dari IP. Data Potensi Desa (PODES) yang digunakan meliputi data dalam beberapa kurun waktu yakni tahun 2005, tahun 2006, tahun 2008 dan tahun Keempat titik tahun tersebut dimaksudkan untuk melihat tingkat perkembangan selama masa periode setelah pengembangan kawasan waterfront. Seperti yang diketahui bahwa pengembangan kawasan waterfront dimulai pada tahun 2001, sehingga untuk menganalisis kawasan atau kelurahan/desa mana yang ikut berkembang seiring dengan perkembangan waterfront, maka dibutuhkan minimal 2 (dua) titik tahun (setelah tahun 2001) sebagai pembanding. Variabel yang digunakan untuk menganalisis hierarki wilayah sebanyak 35 variabel yang terdiri dari kategori variabel aksesibilitas serta variabel jumlah sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, peribadatan dan niaga perdagangan. Hasil analisis data PODES tahun 2011, menunjukkan nilai standar deviasi (Stdev) IP 9,80 dan nilai rataan 24,86. Angka tersebut menggambarkan adanya peningkatan dibanding dengan tahun sebelumnya misalnya tahun 2008 dengan nilai Stdev IP 8,29 dan nilai rataan 26,05 dan tahun 2006 nilai Stdev IP 9,86 dan nilai rataan 24,55 serta untuk tahun 2005 nilai Stdev IP 9,25 dan nilai rataan 25,04 (lihat Gambar 22).

10 94 45,00 40,00 35,00 30,00 25,00 20,00 15,00 10,00 5,00 0,00 58,49 59,73 48,34 60,17 25,04 24,55 26,05 24,86 10,17 10,15 12,75 11,95 9,25 9,86 8,29 9, Stdev IP Average IP Gambar 22. Nilai Rataan dan Nilai Standar Deviasi Indeks Perkembangan Nilai Indeks Perkembangan (IP) yang tinggi menunjukkan hierarki tertinggi (pusat pelayanan) di setiap unit wilayah. Ini ditandai dengan ketersediaan infrastruktur yang banyak dalam ketogori jumlah jenis dan akses pencapaian ke prasarana tersebut lebih mudah. Sementara untuk nilai IP yang rendah menunjukkan wilayah tersebut merupakan wilayah belakang (hinterland), faktor ketersediaan infrastruktur dalam jumlah sedikit jenisnya serta aksesibilitas sulit. Secara keseluruhan tingkat perkembangan dari keempat titik tahun (2005, 2006, 2008 dan 2011) memperlihatkan adanya peningkatan hingga tahun Hal ini berarti hingga pada tahun 2011, jumlah infrastruktur yang ada semakin meningkat dan akses ke prasarana lebih mudah jika ditinjau dari jarak maupun waktu tempuh. Analisis skalogram untuk data PODES tahun 2011, memperlihatkan terdapat 7 kelurahan yang masuk dalam hierarki 1 (pusat pelayanan), 15 kelurahan tergolong dalam hierarki 2 dan 26 kelurahan yang tergolong dalam hierarki 3 (hinterland). Hasil analisis lengkap disajikan pada Tabel 26 dan Lampiran 2, dengan penjelasan sebagai berikut : 1. Hierarki 1 dicirikan dengan indeks perkembangan (IP) >34,66 (IP rataan ditambah standar deviasi IP). Kelurahan/desa yang termasuk dalam hierarki 1 ditentukan oleh jumlah ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai,

11 95 terutama sarana pendidikan, kesehatan, sarana transportasi, serta jarak tempuh yang relatif lebih singkat terhadap pusat-pusat pelayanan. Ada 7 kelurahan yang termasuk dalam kelas ini yakni 6 kelurahan pesisir (Kelurahan Gamalama, Makassar Timur, Soa-sio, Muhajirin, Kotabaru, dan Dufa-Dufa), dan 1 kelurahan bukan pesisir (Kelurahan Takoma). 2. Hierarki 2 dicirikan dengan indeks perkembangan kelurahan/desa sedang (IP 24,86-34,66) yang ditunjukkan oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang lebih sedikit dibanding herarki 1. Ada 15 kelurahan yang berada di hierarki ini dengan 8 kelurahan pesisir dan 7 kelurahan bukan pesisir. 3. Hierarki 3 dicirikan dengan nilai IP <24,86 yang ditunjukkan oleh tingkat sarana dan prasarana yang relatif sangat kurang dibanding hierarki 1 dan hierarki 2. Terdapat 26 kelurahan yang berada pada hierarki 3, dimana ada 18 kelurahan pesisir dan 8 kelurahan bukan pesisir. Tabel 26. Hierarki Wilayah Tahun 2011 Hierarki Wilayah Jenis Kelurahan Banyaknya Kelurahan/Desa Hierarki 1 Pesisir 6 Bukan pesisir 1 Hierarki 2 Pesisir 8 Bukan pesisir 7 Hierarki 3 Pesisir 18 Bukan pesisir 8 Indeks Perkembangan (IP) Jumlah Jenis > 34, ,86-34, < 24, Hasil analisis skalogram untuk data PODES tahun 2005, menunjukkan banyaknya kelurahan yang berada pada hierarki 1 sebanyak 6 kelurahan, 12 kelurahan berada di hierarki 2, dan 30 kelurahan berada dalam hierarki 3 dari jumlah 49 kelurahan yang ada di Kota Ternate. Hasil analisis lengkap disajikan pada Tabel 27 dan Lampiran 2, dengan penjelasan sebagai berikut : 1. Hierarki 1 dicirikan dengan indeks perkembangan (IP) >34,29 (IP rataan ditambah standar deviasi IP). Kelurahan/desa yang tergolong dalam hierarki 1 ditentukan oleh jumlah ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai, terutama sarana pendidikan, kesehatan, sarana niaga dan perdagangan, serta jarak tempuh yang relatif lebih singkat terhadap pusat-pusat pelayanan. Pada hierarki 1 terdapat 6 kelurahan yang terdiri dari 3 kelurahan pesisir

12 96 (Kelurahan Gamalama, Muhajirin dan Dufa-Dufa), dan 3 kelurahan bukan pesisir (Kelurahan Takoma, Stadion, dan Maliaro). 2. Hierarki 2 dicirikan dengan indeks perkembangan kelurahan/desa sedang (IP 25,04-34,29) yang ditunjukkan oleh ketersediaan sarana dan prasarana yang lebih sedikit dibanding herarki 1. Ada 12 kelurahan yang berada di herarki ini dengan 7 kelurahan pesisir dan 5 kelurahan bukan pesisir. 3. Hierarki 3 dicirikan dengan nilai IP <25,04 yang ditujukan oleh tingkat sarana dan prasarana yang relatif sangat kurang dibanding hierarki 1 dan hierarki 2. Ada 30 kelurahan yang berada pada hierarki 3, dimana terdapat 22 kelurahan pesisir dan 8 kelurahan bukan pesisir. Tabel 27. Hierarki Wilayah Tahun 2005 Hierarki Wilayah Jenis Kelurahan Banyaknya Kelurahan/Desa Hierarki 1 Pesisir 3 Bukan pesisir 3 Hierarki 2 Pesisir 7 Bukan pesisir 5 Hierarki 3 Pesisir 22 Bukan pesisir 8 Indeks Perkembangan (IP) Jumlah Jenis > 34, ,04-34, < 25, Analisis hierarki wilayah dari tahun 2005 hingga tahun 2011 menunjukkan bahwa terjadi perkembangan dari aspek ketersediaan infrastruktur dan aksesibilitas. Kelurahan/desa pesisir yang tergolong dalam hierarki 1 (pusat pelayanan) meningkat dari 3 kelurahan (2005) menjadi 6 kelurahan (2011), sedangkan kategori kelurahan bukan pesisir terdapat 3 kelurahan berkurang menjadi 1 kelurahan. Kelurahan pesisir yang tergolong dalam hierarki 2 meningkat dari 7 kelurahan menjadi 8 kelurahan, dan kelurahan bukan pesisir juga ikut meningkat dari 5 kelurahan meningkat menjadi 7 kelurahan. Kelurahan pesisir yang tergolong hierarki 3 (hinterland) menurun dari 22 kelurahan menjadi 18 kelurahan, sedangkan kelurahan bukan pesisir tetap 8 kelurahan. Hierarki wilayah tahun disajikan pada Tabel 28 dan Gambar 23.

13 97 Tabel 28. Hierarki Wilayah Tahun 2005 dan 2011 Tahun 2005 Tahun 2011 Hierarki Wilayah Banyaknya Kelurahan/Desa Bukan pesisir Banyaknya Kelurahan/Desa Pesisir Banyaknya Kelurahan/Desa Bukan pesisir Banyaknya Kelurahan/Desa Pesisir Hierarki Hierarki Hierarki Unit wilayah yang mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum, jumlah penduduk dengan kuantitas dan kualitas relatif paling lengkap serta aksesibilitas yang tinggi akan menjadi pusat pelayanan atau mempunyai hierarki lebih tinggi dibandingkan dengan unit wilayah lainnya. Sebaliknya, jika suatu wilayah mempunyai jumlah dan jenis fasilitas umum, jumlah penduduk dengan kuantitas dan kualitas paling rendah serta aksesibilitas yang rendah merupakan wilayah hinterland dari wilayah yang lainnya. Gambar 23. Hierarki Wilayah Kota Ternate Tahun

14 98 Cakupan Pelayanan Infrastruktur Konsep pengembangan wilayah tidak terlepas dari ketersediaan infrastruktur dalam mewadahi aktivitas masyarakat kota yang semakin heterogen. Infrastruktur dapat bertindak sebagai sarana vital dalam menggerakkan perekonomian wilayah, penunjang aspek sosial budaya serta dapat mempertahankan daya dukung lingkungan. Pemerintah Daerah/Kota berkewajiban menyediakan sarana dan prasarana (infrastruktur) untuk kepentingan umum dalam rangka meningkatkan kesejahteraan penduduk sebagai tujuan pembangunan wilayah berdasarkan Undang-undang No. 32 Tahun Infrastruktur yang harus disediakan oleh Pemerintah Daerah/Kota diantaranya adalah infrastruktur dasar (basic infrastructure) dan infrastruktur pelengkap (complementary infrastructure) yang mempunyai karakteristik publik dan kepentingan yang mendasar dalam mendukung pembangunan berkelanjutan. Infrastruktur tersebut meliputi infrastruktur fisik (greey infrastructure), infrastruktur sosial ekonomi (social economic infrastructure) dan infrastruktur hijau (green infrastructure). Dengan adanya pengembangan kawasan waterfront yang berorientasi sebagai pemenuhan ruang publik kota, menyebabkan ketersediaan infrastruktur di Kota Ternate secara langsung semakin meningkat. Hierarki wilayah yang telah dianalisis sebelumnya menunjukkan adanya perkembangan ketersediaan infrastruktur dan aksesibilitas di tiap-tiap kelurahan/desa yang berujung pada peningkatan jumlah kelurahan/desa yang masuk kategori sebagai pusat pelayanan. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka dianalisis cakupan pelayanan infrastruktur kondisi eksisting guna mengidentifikasi ketersediaannya dengan membandingkan standar pelayanan (kebutuhan) yang harus disediakan. Cakupan Pelayanan Infrastruktur Fisik Infrastruktur Jaringan Jalan Kondisi Eksisting Jaringan Jalan Jaringan jalan eksisting disajikan pada Gambar 24, menunjukkan bahwa jalan terkonsentrasi pada Kecamatan Ternate Tengah, sebagian Kecamatan Ternate Utara dan sebagian Kecamatan Ternate Selatan. Hal ini berarti bahwa

15 99 pusat kota dengan permukiman terpadat berada di lokasi tersebut. Jalan kolektor primer ditunjukkan oleh warna hitam yang terlihat mengelilingi pulau membentuk jalan trans Ternate. Warna merah, biru dan hijau masing-masing menunjukkan jalan kolektor sekunder, jalan lokal primer dan jalan lokal sekunder. Jaringan jalan kota Ternate berfungsi sebagai pendukung akses pencapaian yang berpengaruh pada jarak dan waktu tempuh di dalam wilayah. Gambar 24. Peta Jaringan Jalan Kota Ternate Tahun 2010 Ketersediaan sarana dan prasarana jaringan jalan mengacu dari kondisi fisik jalan yang berkaitan dengan pergerakan, perpindahan dalam wilayah dan antar wilayah, distribusi komoditi antar wilayah dan akses pencapaian antar permukiman dan dari permukiman ke sarana dan prasarana wilayah. Data jaringan jalan yang bersumber dari Dinas Pekerjaan Umum Kota Ternate pada tahun 1997 hingga tahun 2010 secara makro terus mengalami peningkatan, meskipun pada tahun 2005 kondisi jalan kategori baik mengalami penurunan dibandingkan dengan tahun Kondisi jalan dengan kategori baik meningkat dari panjang jalan 116,20 km (1997) menjadi 159,31 km (2010). Sementara untuk jalan dengan kategori rusak di tahun 2010 meningkat dari 6,05 km (1997) menjadi 123,75 km

16 100 (2010). Selain itu kondisi jalan dalam kategori rusak berat semakin berkurang dari panjang jalan 10,03 km (1997) menjadi 6,67 km (2010), meskipun pada tahun 2008 kondisi jalan yang rusak berat cukup tinggi yaitu berkisar 84,99 km. Penyebab utama dari kerusakan jalan ialah adanya genangan akibat buruknya saluran drainase yang terdapat di beberapa titik jalan kolektor primer, seperti jalan kolektor Mangga Dua, jalan Nukila, jalan Pahlawan Revolusi dan jalan raya Bastiong. Gambar 25 menyajikan perkembangan jaringan jalan di kota Ternate. 160,00 140,00 120,00 100,00 80,00 60,00 40,00 20,00 0, Baik 116,20 143,11 131,78 57,19 88,30 83,36 85,03 141,05 159,32 Sedang 17,46 11,90 62,56 145,98 112,68 101,78 108,14 75,79 0,00 Rusak 6,05 6,55 9,61 1,17 52,35 80,50 9,81 23,62 123,75 Rusak Berat 10,03 6,94 14,90 54,69 18,26 9,97 84,99 47,82 6,67 Gambar 25. Tren Perkembangan Jaringan Jalan Berdasarkan Kondisi Jalan Komparasi Ketersediaan Jalan dengan Pedoman No.010/T/BNKT/1990 Hierarki jalan yang berada di wilayah Kota Ternate terdiri dari jaringan jalan kolektor primer (jalan nasional), dan jalan kota yang meliputi jalan kolektor sekunder, jalan lokal primer serta jalan lokal sekunder (jalan lingkungan). Jaringan jalan yang memiliki akses utama (kolektor primer) merupakan jaringan jalan yang mempunyai intensitas yang relatif tinggi, terutama arus lalu lintas pada kawasan kota. Jalan kolektor primer menghubungkan batas kota dengan luar kota yang membentuk jalan trans Ternate yang mengelilingi pulau, dengan panjang jalan 44,25 km. Kapasitas dan daya tampung kendaraan dengan berbagai jenis moda angkutan terhadap jalan ini menunjukkan intensitas relatif tinggi, terutama arus lalu lintas pada kawasan pusat kota. Kondisi dan tingkat pelayanan jalan ini berupa jalan aspal dengan lebar jalur 6-8 meter.

17 101 Jaringan jalan kolektor sekunder dan jalan lokal/lingkungan umumnya berfungsi untuk melayani pergerakan penduduk, baik antar lingkungan pemukiman maupun dengan pusat-pusat kegiatan penduduk. Umumnya kondisi jalan ini berupa jalan aspal, perkerasan dan sebagian kecil merupakan jalan tanah. Jalan kolektor sekunder menghubungkan pusat bagian wilayah kota dengan pusat sub bagian wilayah kota dengan panjang jalan 23,10 km dan lebar jalan 5-6 m. Jalan lokal primer menghubungkan jalan kolektor sekunder dengan lokal sekunder, dengan panjang jalan 39,8 km. Sementara untuk jalan lokal sekunder merupakan jalan lingkungan yang menghubungkan langsung dengan jalan lokal primer. Panjang jalan lokal primer adalah 41,27 km dan hanya tipe kendaraan mobil dan motor yang dapat diizinkan untuk melintas. Klasifikasi jalan perkotaan sesuai fungsinya berdasarkan Panduan Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan di Wilayah Perkotaan No.010/T/BNKT/1990, yang dibandingkan dengan kondisi eksisting jaringan jalan di kota Ternate dapat dilihat pada Tabel 29 dan Lampiran 3. Lebar jalur pada jalan kolektor primer dan jalan kolektor sekunder telah memenuhi standar yang ada. Jalan lokal primer dan lokal sekunder masih belum memenuhi standar, yaitu masing-masing masih terdapat ruas jalan dengan lebar jalur hanya 3 m dan 1,5 m. Tabel 29. Kondisi Jaringan Jalan di Kota Ternate Status Jalan Kondisi Panjang Lebar Jalur Standar Jalan Jalan (km) (m) Lebar Jalur* (m) Keterangan Kolektor Primer Baik 47,499 6,0-8,0 5,0-6,0 Memenuhi Jumlah 47,499 standar Kolektor Sekunder Baik 41,651 5,0-6,0 5,0-6,5 Memenuhi Rusak 7,947 standar Jumlah 49,598 Lokal Primer Baik 21,278 Belum 3,0-7,0 4,5-5,0 Rusak 4,958 memenuhi Jumlah 26,236 standar Lokal Sekunder Baik 26,347 Belum Rusak 2,720 1,5-5,0 3,0-4,5 memenuhi Jumlah 29,067 standar * Panduan Penentuan Klasifikasi Fungsi Jalan di Wilayah Perkotaan No.010/T/BNKT/1990 Akses Pencapain Infrastruktur Jalan per Kecamatan Akses pencapaian prasarana jalan dianalisis berdasarkan kerapatan jalan yaitu hasil perbandingan antara luas wilayah dibagi dengan panjang jalan. Semakin rapat jalan semakin mudah akses di dalam wilayah, yang berimplikasi pada; 1) cakupan wilayah pelayanan jaringan jalan dan 2) jarak tempuh. Analisis

18 102 kerapatan jalan di Kota Ternate menunjukkan bahwa kecamatan Ternate Tengah memiliki kerapatan jalan tinggi. Ini ditandai dengan kerapatan jalan 0,280 km (<0,5 km), yang berarti bahwa untuk menuju ke kecamatan ini mudah diakses dan waktu tempuh relatif lebih cepat. Berbeda halnya dengan kecamatan Pulau Ternate yang hanya memiliki kerapatan jalan 1,073 km (>0,5 km). Hal ini menunjukkan kerapatan jalan rendah di kecamatan Pulau Ternate dibanding dengan kecamatan lainnya. Kecamatan Pulau Ternate juga memiliki permukiman yang jarang, sehingga berpengaruh pada perkembangan jaringan jalan yang ada. Analisis kerapatan jalan di Kota Ternate tahun 2010 disajikan pada Tabel 30. Tabel 30. Kerapatan Jalan di Kota Ternate Tahun 2010 Kecamatan Panjang Jalan Luas Wilayah Kerapatan Jalan Keterangan* (km) (km 2 ) (km/km 2 ) Pulau Ternate 34,685 37,23 1,073 Kerapatan jalan rendah Ternate Selatan 38,293 16,98 0,443 Kerapatan jalan tinggi Ternate Tengah 38,656 10,85 0,280 Kerapatan jalan tinggi Ternate Utara 27,504 14,38 0,522 Kerapatan jalan rendah *kerapatan jalan <0,5 km/km 2 = kerapatan jalan tinggi; kerapatan jalan >0,5 km/km 2 = kerapatan jalan rendah Kecamatan Ternate Tengah merupakan Bagian Wilayah Kota II (BWK II), yang diarahkan untuk pengembangan kawasan jasa dan perdagangan, pariwisata, pelabuhan, pemukiman, pendidikan, pemerintahan, militer, dan olahraga, sehingga kerapatan jalan meningkat/tinggi yang menyebabkan akses ke pusat kota (sarana dan prasarana kota) semakin mudah. Luas wilayahnya hanya 10,85 km 2, dengan panjang jalan 38,656 km yang menunjukkan tingkat kerapatan jalan tinggi yaitu 0,280 km/km 2. Hal ini memberikan dampak pada tingginya mobilisasi moda transportasi di kecamatan tersebut (lihat Gambar 26).

19 103 Jalan Kolektor Primer Jalan Kolektor Sekunder Jalan Lokal Primer Jalan Lokal Sekunder Gambar 26. Infrastruktur Jaringan Jalan Kecamatan Ternate Tengah Gambar 27 menampilkan prasarana jalan di Kecamatan Ternate Selatan, dengan tingkat kerapatan tinggi hanya terdapat pada beberapa kelurahan/desa yang temasuk bagian pusat kota Ternate. Luas wilayah 16,98 km 2 memiliki panjang jalan 38,293 km, sehingga kerapatan jalannya tergolong tinggi yaitu 0,443 km/km 2. Jalan lokal sekunder mendominasi jaringan jalan yang ada di kecamatan tersebut, sehingga akses dari permukiman ke pusat-pusat prasarana dapat dicapai dan waktu tempuh relatif lebih cepat.

20 104 Jalan Kolektor Primer Jalan Kolektor Sekunder Jalan Lokal Primer Jalan Lokal Sekunder Gambar 27. Infrastruktur Jaringan Jalan di Kecamatan Ternate Selatan Infrastruktur jalan di kecamatan Ternate Utara memiliki kerapatan jalan rendah. Kerapatan jalannya 0,522 km/km 2 (>0,5 km/km 2 ) dengan luas wilayah 14,38 km 2 dan panjang jalan yang berada di kecamatan ini adalah 27,504 km. Kerapatan jalan dominan berada di sekitar pusat kota (menuju Kecamatan Ternate Tengah). Meskipun demikian, akses dari permukiman ke pusat-pusat sarana dan prasarana kota cenderung mudah, yang dihubungkan dengan jalan lokal primer dan lokal sekunder (jalan lingkungan) menuju jalan kolektor sekunder maupun jalan kolektor primer. Gambar 28 memperlihatkan ketersediaan infrastruktur jalan di kecamatan Ternate Utara.

21 105 Jalan Kolektor Primer Jalan Kolektor Sekunder Jalan Lokal Primer Jalan Lokal Sekunder Gambar 28. Infrastruktur Jaringan Jalan Kecamatan Ternate Utara Sementara untuk infrastruktur jalan di Kecamatan Pulau Ternate yang ditampilkan dalam Gambar 29, menunjukkan bahwa hanya terdapat jalan kolektor primer, jalan lokal primer dan jalan lokal sekunder. Umumnya kawasan permukiman memadati sepanjang jalan kolektor primer. Luas wilayahnya 37,23 km 2 cenderung lebih luas dibandingkan dengan 3 (tiga) kecamatan lainnya yang merata dengan panjang jalan 34,685 km, sehingga memiliki kerapatan jalan rendah yaitu 1,073 km/km 2 (>0,5 km/km 2 ). Akses menuju pusat sarana dan prasarana kota tergolong mudah, karena dihubungkan dengan jalan kolektor

22 106 primer yang mengelilingi pulau Ternate (jalur trans Ternate), namun waktu tempuh yang dibutuhkan relatif lebih lama. Jalan Kolektor Primer Jalan Kolektor Sekunder Jalan Lokal Primer Jalan Lokal Sekunder Gambar 29. Infrastruktur Jaringan Jalan Kecamatan Pulau Ternate Kesimpulan Cakupan Pelayanan Jaringan Jalan Infrastruktur jaringan jalan merupakan faktor terpenting yang akan membentuk struktur tata ruang kota (Sinulingga, 1999), dimana hampir semua elemen pembentukan tata ruang kota secara langsung memerlukan jaringan jalan. Dalam kaitannya dengan kegiatan ekonomi dan sosial budaya masyarakat,

23 107 infrastruktur jalan yang baik akan menyebabkan terjadinya efisiensi dalam pasar karena dapat mengurangi biaya transaksi dan memperluas wilayah jangkauan. Hal ini disebabkan karena adanya aliran orang, barang, dan jasa dari satu tempat ke tempat lainnya. Penurunan tingkat pelayanan dan kapasitas jalan mempengaruhi kelancaran pergerakan ekonomi dan menyebabkan biaya sosial yang tinggi terhadap pemakai jalan. Faktor topografis wilayah mempengaruhi sebaran prasarana jalan yang ada di kota Ternate. Jaringan jalan yang mengelilingi pulau yang dihubungkan dengan jalan kolektor primer, dan terkonsentrasi di wilayah pesisir sampai daerah dataran tinggi. Namun bagian yang terluas atau memiliki prasarana jalan tinggi terpusat pada wilayah pesisir. Hal ini berkaitan dengan permukiman penduduk yang tersebar merata di wilayah pesisir. Sementara wilayah dataran tinggi memiliki prasarana jalan sedang karena permukiman jarang/kurang penduduknya. Kerapatan jalan tinggi berada pada wilayah kecamatan Ternate Tengah, sebagian kecamatan Ternate Selatan dan kecamatan Ternate Utara, yang merupakan pusat kota/pusat kegiatan. Perkembangan jaringan jalan yang terpusat di 3 (tiga) kecamatan tersebut menyebabkan wilayah-wilayah ini lebih cepat berkembang. Adanya pergerakan/mobilisasi aliran orang maupun barang yang mudah dan waktu tempuh yang singkat menyebabkan timbulnya aglomerasi pusat-pusat kegiatan perkotaan di wilayah tersebut. Infrastruktur Air Bersih Kondisi Eksisting Ketersediaan Infrastruktur Air Bersih Air bersih yang digunakan dalam rangka memenuhi kebutuhan air minum bagi masyarakat kota saat ini masih bersumber pada air permukaan dan air tanah melalui sumur dalam maupun sumur dangkal yang terdapat di wilayah Kota Ternate. Sumber air baku yang meliputi air permukaan berasal dari danau Laguna di kecamatan Ternate Selatan, sedangkan air tanah berasal dari mata air Tege- Tege yang berada di kecamatan Ternate Tengah, mata air Akega ale, mata air Santosa di kecamatan Ternate Utara, dan mata air Akerica di kecamatan Pulau Ternate (lihat Gambar 30).

24 108 Instalasi Pengolahan Air Minum pertama yang dibangun guna memenuhi kebutuhan pelabuhan Ternate pada tahun 1976 adalah dengan membuat sumur gali dan menara air (tower reservoir) di jalan Jenderal A.Yani. Sistem tersebut kemudian dikembangkan pada ground reservoir yang bersumber dari mata air Santosa dan mulai melayani 200 sambungan pelanggan di pusat kota Ternate. Dengan bantuan hibah dalam program Six City s Water Supply pada tahun 1980, kemudian dibangun 6 unit sumur berkapasitas 60 liter/detik dengan sistem pengendalian terpusat di Operation Building yang berada di Kelurahan Kalumpang, Ground Reservoir dengan kapasitas m 3 di Skep (Kelurahan Salahudin) dan jaringan pipa transmisi dan distribusi sepanjang ±82 km yang tersebar di pusat kota. Pada tahun 1991 hingga saat ini, bangunan penyadap air semakin bertambah. Untuk meningkatkan pelayanan di wilayah bagian tengah dan utara kota, maka dibangun Instalasi Akega ale dengan kapasitas 60 lt/det yaitu 6 unit sumur dangkal, reservoir di Facei dengan kapasitas 500 m 3 serta sistem booster di Skep dan reservoir di Tabahawa 300 m 3 dan perluas jaringan pipa distribusi sepanjang ±52 km. Untuk melayani wilayah bagian selatan kota, dibangun instalasi Ubo-Ubo sebesar 40 lt/det dengan 2 unit sumur bor, reservoir di kelurahan Ubo-Ubo yang berkapasitas 500 m 3 kapasitas 100 m 3 dalam upaya melayani pada daerah ketinggian. serta reservoir di Jan dengan Jaringan pipa yang tertanam di tiap-tiap kota umumnya menggunakan jenis pipa Poly Vinyl Cloride (PVC) dan Galvanis Iron Pipe (GIP) dengan berbagai ukuran, seperti yang disajikan dalam Tabel 31. Tabel 31. Data Jaringan Pipa Transmisi Distribusi Jaringan Pipa (mm) Transmisi (m) Distribusi (m) Dn-315 Dn-250 Dn-200 Dn-160 Dn-110 Dn-90 Dn-75 Dn-63 Dn Jumlah Sumber: PDAM Kota Ternate (2011)

25 109 Sebaran sumber air baku, reservoir dan jaringan pipa transmisi dan distribusi disajikan pada Gambar 30. Gambar 30. Peta Sebaran Sumber Air dan Reservoir PDAM Kota Ternate Wilayah cakupan pelayanan air bersih yang bersumber dari PDAM melingkupi 4 (empat) kecamatan di Kota Ternate, yaitu kecamatan Ternate Tengah, kecamatan Ternate Selatan, kecamatan Ternate Utara dan kecamatan Pulau Ternate. Data tahun 2008 sampai tahun 2011 yang bersumber dari PDAM Kota Ternate, menampilkan jumlah penduduk yang terlayani pada 4 (empat) kecamatan tersebut semakin meningkat. Pada tahun 2008, misalnya pada Kecamatan Ternate Selatan memiliki jumlah penduduk yang terlayani air bersih PDAM yaitu jiwa meningkat menjadi jiwa di tahun Di kecamatan Pulau Ternate, peningkatan jumlah penduduk yang terlayani tidak terlalu singnifikan, yakni penambahan jumlah penduduk hanya berkisar 200 jiwa atau naik dari jiwa (tahun 2008) menjadi jiwa (tahun 2011) (Gambar 31).

26 PULAU TERNATE TERNATE SELATAN TERNATE TENGAH TERNATE UTARA Gambar 31. Tren Perkembangan Jumlah Penduduk Terlayani Air Bersih PDAM Cakupan pelayanan air bersih tahun 2010 disajikan pada Gambar 32. Kategori jumlah penduduk yang terlayani <1.000 jiwa terdapat di 3 kelurahan di kecamatan Pulau Ternate, 6 kelurahan di kecamatan Ternate Selatan, 1 kelurahan di kecamatan Ternate Tengah, dan 3 kelurahan di kecamatan Ternate Utara. Sebaliknya, cakupan pelayanan dengan kategori >5.000 jiwa hanya terdapat di 2 kelurahan yang masing-masing berada di kecamatan Ternate Tengah dan kecamatan Ternate Selatan. Gambar 32. Wilayah Cakupan Ketersediaan Air Bersih PDAM 2010

27 111 Komparasi Ketersediaan Air Bersih dengan Standar Kebutuhan Air Minum Berdasarkan Pedoman No.534/KPTS/M/2001 Standar kebutuhan air bersih untuk wilayah perkotaan adalah liter/orang/hari dengan cakupan pelayanan 55%-75% (Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah No.534/KPTS/M/2001). Jika kebutuhan air bersih kota Ternate diasumsikan 100 liter/orang/hari, maka kebutuhan air bersih dapat dihitung dari perkalian antara jumlah penduduk dengan jumlah kebutuhan dasar penduduk untuk klasifikasi kota sedang (100 liter/orang/hari). Dengan perhitungan ini, maka diketahui kebutuhan air bersih pada tahun 2011 adalah sebesar lt/hari (Tabel 33). Sementara itu, ketersediaan air bersih hanya lt/hari, sehingga masih kekurangan lt/hari. Data tersebut mengindikasikan bahwa masih dibutuhkan peningkatan kapasitas produksi sebesar 78% di tahun Perhatikan Tabel 32, jumlah penduduk Kota Ternate di tahun 2011 sebanyak jiwa, dimana jumlah penduduk yang terlayani air bersih PDAM di Kota Ternate sebanyak jiwa (62%) dan penduduk yang tidak terlayani sebanyak jiwa (38%). Kecamatan Ternate Utara memiliki jumlah penduduk terlayani air bersih PDAM yang terbanyak yaitu sekitar 68% ( jiwa) dari jumlah penduduk yang bermukim di kecamatan tersebut. Kecamatan Ternate Tengah, Ternate Selatan dan Pulau Ternate masing-masing memiliki jumlah penduduk terlayani air bersih PDAM sebanyak 66% ( jiwa), 64% ( jiwa) dan 15% (2.256 jiwa). Merujuk pada jumlah penduduk dan jumlah penduduk terlayani air bersih, maka jumlah penduduk yang tidak terlayani air bersih di empat kecamatan tersebut berkisar 32-85%. Angka tersebut didasarkan pada hasil perhitungan persentase jumlah penduduk tidak terlayani dibagi dengan jumlah penduduk pada masing-masing kecamatan. Hasil persentase tersebut menunjukkan bahwa penduduk yang belum terlayani air bersih dari PDAM cukup tinggi. Hal demikian dipengaruhi oleh adanya beberapa kelurahan/desa di kecamatan Pulau Ternate yang belum mendapat akses air bersih dari PDAM.

28 112 Tabel 32. Kebutuhan Air Bersih Kota Ternate 2011 Kecamatan Infrastruktur Air Bersih PDAM Jumlah Penduduk (jiwa) Kebutuhan Air Bersih* (lt/hari) Jumlah Penduduk Terlayani PDAM Ketersediaan Air Bersih PDAM Jumlah Penduduk Tidak Terlayani PDAM Pulau Ternate Ternate Selatan Ternate Tengah Ternate Utara Kota Ternate (Jiwa) (%) (lt/hari) (%) (jiwa) (%) Kekurangan Air (lt/hari) Bersih PDAM (%) *Standar 100 lt/org/hari Secara fisik, air dari produksi PDAM Kota Ternate telah memenuhi syarat yaitu tidak berwarna, tidak berbau, tidak berasa. Namun dalam proses distribusinya bisa terjadi kontaminasi akibat kebocoran pipa ataupun kontinuitas pengaliran pada beberapa lokasi yang belum mencapai 24jam/hari. Untuk itu diperlukan sisa chlor pada air di jaringan pipa distribusi terjauh minimal 0,01 ppm. Kondisi demikian belum terpenuhi di PDAM kota Ternate, karena dalam 5 tahun terakhir proses desinfeksi tidak lagi dilakukan. Dari data kapasitas terpasang dan produksi air PDAM Kota Ternate pada tahun 2011 telah terlayani 62% pelanggan ( sambungan). Namun sebagian pelanggan tidak bisa menerima air secara penuh 1x24 jam sehingga timbul kesan bahwa syarat pelayanan air minum secara kuantitas belum memadai. Hal ini berkaitan erat dengan tingkat kehilangan air PDAM di tahun 2011 sebesar 40,97% atau m 3 dari jumlah air yang terdistribusi yaitu m 3. Dampak kehilangan air akan mempengaruhi biaya yang lebih tinggi (nilai jual) yang ditanggung konsumen dari pada harga produksi (Soma, 2011a). Sebagian besar pelanggan PDAM Kota Ternate telah dapat dilayani secara kontinyu 24 jam/hari terutama yang bermukim di daerah dataran rendah hingga ke pesisir pantai. Sementara beberapa lokasi yang umumnya terletak di dataran tinggi/pegunungan masih dilakukan secara bergiliran 2-3 hari sekali untuk

29 113 mendapatkan distribusi air minum PDAM. Hal ini mengindikasikan belum terpenuhinya persyaratan kontinuitas secara menyeluruh dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat. Kesimpulan Cakupan Pelayanan Air Bersih Masih terdapat beberapa kelurahan/desa pada Kecamatan Ternate Tengah, dan Kecamatan Pulau Ternate yang belum terlayani air bersih PDAM. Di Kecamatan Ternate Tengah, terdapat 2 (dua) kelurahan yang tidak terlayani. Sementara untuk Kecamatan Pulau Ternate masih terdapat 10 (sepuluh) kelurahan yang belum tersedia air bersih dari PDAM. Hal ini disebabkan karena kondisi topografis, dimana wilayah/kelurahan tersebut berada pada ketinggian (dataran tinggi) dan jauh dari sumber air atau reservoir yang ada sebelumnya. Untuk mendistribusikan air bersih ke wilayah tersebut tentunya memerlukan biaya operasional yang tinggi, karena pada umumnya sumber air baku berada pada wilayah pesisir/dataran rendah. Wilayah yang tidak terlayani air bersih dari PDAM, masih memanfaatkan sumur gali, penampungan air hujan dan mata air sebagai sumber air bersih untuk keperluan sehari-hari. Kapasitas produksi air (supply) masih jauh dari rata-rata kebutuhan air (demand) yang harus disediakan oleh PDAM. Hal ini dikaitkan juga dengan tingkat kehilangan air yang cukup tinggi yaitu sekitar 40% di tahun 2011, sehingga menimbulkan biaya (nilai jual) yang tinggi terhadap konsumen. Wilayah cakupan pendistribusian air bersih hanya menjangkau bagian pusat kota yang berada di wilayah pesisir. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa pelayanan PDAM terhadap kebutuhan masyarakat di Kota Ternate masih belum mencukupi standar pelayanan. Tingkat akses prasarana air yang rendah akan mengakibatkan rendahnya tingkat kesehatan masyarakat. Infrastruktur Listrik Kondisi Eksisting Ketersediaan Infrastruktur Listrik Infrastruktur listrik memiliki 3 (tiga) komponen dasar yaitu pembangkit, penyaluran (transmisi), dan distribusi (gardu). Kota Ternate memperoleh pasokan listrik dari PT PLN (Persero) Wilayah Maluku dan Maluku Utara Cabang Ternate.

30 114 Pembangkit listrik yang digunakan untuk menghasilkan energi listrik di Kota Ternate yaitu dengan memanfaatkan tenaga diesel. Panjang jaringan yang ada untuk tegangan rendah (SUTR) 171,83 KMS dan tegangan menengah (SUTM) 94,08 KMS, dengan jumlah gardu sebanyak 133 dan kapasitas terpasang VA (lihat Tabel 33). Sampai tahun 2010, wilayah pelayanan (service area) kelistrikan sudah menjangkau seluruh kelurahan di Kecamatan Ternate Utara, Ternate Selatan, Ternate Tengah dan Pulau Ternate, namun demikian pada waktu tertentu sering mengalami pemadaman bergilir dalam kurun waktu rata-rata 1 jam. Tabel 33. Jumlah Pelanggan dan Daya Terpasang Uraian Satuan Jumlah Jumlah Pelanggan Sambungan SKTM KMS 0,70 SUTM KMS 94,08 SUTR KMS 171,83 Daya Terpasang VA Gardu Buah 133 Sumber: PT.PLN Kota Ternate (2010) Pada tahun 2010 jumlah mesin PT.PLN (Persero) yang digunakan untuk membangkitkan listrik di Kota Ternate sebanyak 6 buah. Jumlah ini menurun dibandingkan tahun sebelumnya yang menggunakan 7 buah mesin, dikarenakan kerusakan mesin yang masih dalam proses perbaikan. Dengan 6 buah mesin tersebut produksi listrik yang dihasilkan sebesar MWH dengan daya tersambung sebesar MVA (lihat Tabel 34). Angka tersebut menunjukkan adanya peningkatan kapasitas produksi listrik, meskipun dalam keterbatasan jumlah mesin yang ada. Pada Tabel 34 diuraikan tren perkembangan jumlah mesin dan kapasitas mesin, selama tahun Jumlah mesin tetap dari tahun 2006 hingga tahun 2011, yaitu 7 unit, meskipun pada tahun 2008 dan 2010 berkurang yaitu hanya 6 unit. Dengan jumlah mesin yang tetap, kapasitas mesin dalam menghasilkan energi listrik terus mengalami peningkatan. Misalnya untuk produksi listrik yang dihasilkan sebesar MWH di tahun 2006 meningkat hingga MWH pada tahun Sama halnya dengan daya sambung listrik, di tahun 2006 sebesar KVA meningkat menjadi KVA di tahun Daya mampu antara tahun 2007 hingga tahun 2008 mengalami penurunan. Hal ini

31 115 mengakibatkan terjadinya pemadaman bergilir dalam waktu rata-rata 4 jam/hari, sehingga menggangu aktivitas masyarakat. Tabel 34. Jumlah dan Kapasitas Mesin PT. PLN (Persero) Cabang Ternate Keadaan Mesin Jumlah Mesin (Unit) Kapasitas Terpasang (KW) Daya Mampu (KW) Beban Puncak (KW) Produksi (MWH) Daya Sambung (KVA) Sumber: PT.PLN Kota Ternate (2011) Cakupan pelayanan listrik pada masing-masing kecamatan ikut mengalami peningkatan. Variabel jumlah penduduk sebagaimana disajikan pada Gambar 33 menunjukkan bahwa kapasitas pelayanan listrik dari PT. PLN Cabang Ternate cenderung semakin meningkat. Kecamatan Ternate Selatan memiliki jumlah pelanggan terbanyak dibanding dengan kecamatan lainnya. Sementara untuk jumlah pelanggan listrik yang terkecil berada pada kecamatan Pulau Ternate. Hal ini disebabkan oleh faktor jumlah penduduk, dimana jumlah penduduk di kecamatan Ternate Selatan lebih banyak sedangkan penduduk yang jumlahnya lebih kecil berada pada kecamatan Pulau Ternate PULAU TERNATE TERNATE TERNATE TERNATE SELATAN TENGAH UTARA Gambar 33. Jumlah Pelanggan Listrik PLN Tahun

32 116 Gambar 34. Peta Cakupan Pelayanan Listrik PLN Tahun 2011 Cakupan pelayanan listrik tahun 2011 (Gambar 34) untuk kategori jumlah pelanggan <100 sambungan/pelanggan terdapat 1 kelurahan di kecamatan Ternate Tengah. Kategori jumlah pelanggan sambungan/pelanggan terdapat pada 3 kelurahan di kecamatan Ternate Tengah, 4 kelurahan di kecamatan Ternate Selatan dan 7 kelurahan di kecamatan Ternate Utara. Sebaliknya untuk cakupan pelayanan dengan kategori >1.000 pelanggan terdapat 6 kelurahan di kecamatan Ternate Tengah, 3 kelurahan di kecamatan Ternate Selatan, dan 1 kelurahan di kecamatan Ternate Utara. Sebaran cakupan pelayanan listrik di kota Ternate, terkonsentrasi pada wilayah-wilayah yang cenderung berada di pusat kota (kecamatan Ternate Tengah) atau dekat dengan pusat kota. Komparasi Ketersediaan Listrik Berdasarkan Standar SNI Jaringan distribusi dan jumlah daya terpasang/daya sambung listrik menjadi hal utama dalam pemenuhan energi listrik. Daya sambung listrik yang diproduksi oleh pusat pembangkit tenaga listrik disalurkan ke gardu induk melalui jaringan transmisi selanjutnya diteruskan ke gardu-gardu distribusi kemudian

33 117 disalurkan ke rumah-rumah penduduk. Berdasarkan SNI , mengsyaratkan bahwa setiap unit rumah tangga harus dapat dilayani daya listrik minimum 450 VA per jiwa dan untuk sarana lingkungan sebesar 40% dari jumlahkebutuhan rumah tangga. Evaluasi ketersediaan sarana dan prasarana listrik dianalisis berdasarkan jumlah dan kepadatan penduduk di wilayah pelayanan. Besaran daya dalam wilayah layanan dipengaruhi jumlah dan kepadatan rumah tangga (KK) wilayah tersebut. Pasokan daya yang dibutuhkan disebar melalui jaringan transmisi (gardu listrik). Jika distandarkan daya listrik minimal yang harus dilayani 450 VA per jiwa, maka dapat dikalikan dengan jumlah penduduk Kota Ternate di tahun 2011 sebanyak jiwa sehingga didapat jumlah daya listrik yang dibutuhkan adalah VA atau KVA. Dibadingkan dengan daya sambung KVA pada tahun 2011, maka pasokan listrik rumah tangga secara keseluruhan belum mampu melayani standar kebutuhan yang ada dan masih kekurangan pasokan daya listrik sekitar 50%. Untuk lebih jelasnya disajikan pada Tabel 35. Tabel 35. Ketersediaan Daya Listrik dan Jumlah Pelanggan Tahun 2011 Kecamatan Jumlah Penduduk (Jiwa) Jumlah Keluarga (KK) Jumlah Pelanggan Daya Tersambung Standar Kebutuhan Daya Listrik* (KVA) Kekurangan Daya Listrik (PLG) (%) (KVA) (%) (KVA) (%) Pulau Ternate Ternate Selatan Ternate Tengah Ternate Utara Kota Ternate *Standar minimal daya listrik 450 VA per jiwa Melihat jumlah pelanggan listrik dengan jumlah keluarga di Kota Ternate yang tersaji pada Tabel 36, maka jumlah keluarga yang telah mendapat akses listrik sekitar 90%. Pada masing-masing kecamatan, persentase jumlah pelanggan yang telah teraliri listrik berkisar %. Persentase jumlah pelanggan tersebut didasarkan pada perhitungan jumlah pelanggan dibagi dengan jumlah keluarga

34 118 yang berada pada masing-masing kecamatan. Hasil perhitungan tersebut menunjukkan bahwa akses masyarakat terhadap listrik mudah dan telah menjangkau empat kecamatan yang ada di Kota Ternate. Kesimpulan Cakupan Pelayanan Listrik Ketersediaan infrastruktur listrik telah menjangkau ke seluruh kecamatan yang berada di kota Ternate. Cakupan pelayanan listrik di tiap kecamatan ikut mengalami peningkatan dalam kurun waktu tahun 2005 hingga tahun Kecamatan Ternate Selatan memiliki jumlah pelanggan listrik PLN yang terbanyak, sedangkan kecamatan Pulau Ternate memiliki jumlah pelanggan listrik PLN yang sedikit. Hal ini berkaitan dengan jumlah penduduk pada tiap kecamatan tersebut. Jika dibandingkan dengan standar SNI yang mengsyaratkan setiap unit rumah tangga harus dilayani daya listrik minimum 450 VA per jiwa, maka pasokan daya listrik rumah tangga pada tahun 2011 belum mampu melayani standar kebutuhan masyarakat. Daya mampu infrastruktur listrik antara tahun 2007 hingga tahun 2008 mengalami penurunan, disebabkan oleh rusaknya mesin pembangkit listrik. Hal ini mengakibatkan terjadinya pemadaman bergilir dengan waktu rata-rata 4 jam/hari. Pemadaman listrik secara bergilir berdampak pada terganggunya aktivitas masyarakat dan menambah biaya (cost) untuk produksi di berbagai sektor yang berujung pada kerugian perekonomian daerah. Infrastruktur Sistem Drainase Kondisi Eksisting Ketersediaan Infrastruktur Sistem Drainase Sistem drainase kota juga disebut sistem tulang daun, yakni terdiri dari saluran utama/primer (sungai atau kanal) sebagai saluran induk pembawa air hujan ke laut, saluran pengumpul (sekunder) dan saluran lokal (tersier). Saluran drainase primer di Kota Ternate berupa sungai (kalimati) membentuk sistem drainase makro, sedangkan sistem drainase mikro berupa saluran drainase sekunder dan tersier terbentang mengikuti jaringan jalan utama maupun jalan lingkungan.

35 119 Kondisi eksisting saluran drainase utama kota Ternate, baik alamiah maupun buatan, di bagian hilir mempunyai elevasi dasar saluran lebih tinggi (>500 mdpl) dari pada elevasi dasar muara/pantai (< 50 mdpl). Hal ini berkaitan dengan kondisi topografis yang bervariatif, karena berupa pulau gunung api yang mengerucut ke puncak (kawah gunung api). Kondisi topografis yang demikian memudahkan dalam mengalirkan air permukaan menuju ke laut tanpa memerlukan teknologi, namun kelemahannya terletak pada tingkat sedimentasi yang sangat tinggi akibat erosi, apalagi jenis tanahnya ialah Regosol yang sangat peka terhadap pergerakan air. Secara makro pola penggunaan lahan perkotaan mempengaruhi sistem drainase. Pola penggunaan lahan di kota Ternate, diantaranya lahan permukiman (1.270,23 ha), jasa dan perdagangan (69,26 ha), hutan lindung (2.608,26 ha), perkebunan (5.125,68 ha), dan pertanian lahan kering (208,18 ha). Penggunaan lahan permukiman terkonsentrasi di kawasan pusat kota, akibat adanya daya tarik ketersediaan infrastruktur yang terpusat di kawasan tersebut. Keterbatasan lahan dalam kota yang disertai tingginya harga lahan serta kecenderungan berkembangnya permukiman yang mendekat ke infrastruktur kota memicu pembangunan perumahan pada areal bantaran sungai serta lahan pertanian dan perkebunan yang berfungsi sebagai daerah resapan air dengan tingkat kemiringan lereng 15-30%. Kondisi ini akan berdampak pada cepatnya atau bertambah besar aliran permukaan dan berkurangnya cadangan air tanah, karena semakin berkurangnya daerah resapan air. Laju pertumbuhan penduduk perkotaan yang tinggi, akan berdampak pada kebutuhan lahan permukiman. Kondisi demikian tentunya mempengaruhi konversi lahan dari kawasan perkebunan maupun pertanian menjadi kawasan permukiman. Konversi lahan di kota Ternate tidak merata di setiap kecamatan, disebabkan karena hanya 3 (tiga) kecamatan yang berada di pusat kota atau dekat pusat kota, cenderung memiliki daya tarik untuk bermukim di lokasi tersebut. Khususnya untuk lahan permukiman di sekitar pesisir pantai ikut terkonversi menjadi lahan jasa dan perdagangan, sedangkan wilayah belakang/puncak gunung (hinterland) terkonversi menjadi kawasan permukiman.

36 120 Konversi lahan perkebunan dan pertanian menjadi lahan terbangun seperti permukiman ataupun sarana dan prasarana tentunya akan berpengaruh pada kondisi tata air tanah dan fisiografis lahan. Kemampuan tanah dalam menyerap air akan semakin berkurang seiring dengan terganggunya tata air tanah yang berdampak pada besarnya aliran permukaan serta perubahan permukaan tanah. Tanpa adanya upaya pematangan lahan yang baik, maka akan berakibat terjadinya longsor dan erosi karena sangat tidak menguntungkan dengan jenis tanah Regosol dan kemiringan lereng rata-rata >8-15% yang mendominasi bentang alam kota Ternate. Material erosi dan longsor yang terbawa serta kedalam saluran air dan sungai menyebabkan pendangkalan dan penyempitan saluran. Kondisi saluran drainase di kecamatan Ternate Tengah menunjukkan bahwa terdapat 13 sungai yang melintasi wilayah tersebut sebagai saluran primer dengan 107 bangunan gorong-gorong (Culvert), m saluran tersier, m saluran sekunder yang sebagian besar membentang mengikuti jaringan jalan kolektor yang berada di kawasan permukiman seluas 340,10 ha atau 24,79% dari jumlah luas wilayahnya 1.371,88 ha. Lebih jelasnya disajikan pada Tabel 36. Tabel 36. Kondisi Saluran Drainase di Kecamatan Ternate Tengah Luas Wilayah (ha) Luas Lahan Permukiman (ha) Panjang Drainase Jumlah Bangunan Drainase Kelurahan Sekunder Tersier (m) (m) Gorong-Gorong Makassar Timur 18,74 18, Makassar Barat 29,03 22, Santiong 24,36 16, Gamalama 40,56 38, Kalumpang 25,73 24, Moya 453,20 15, Marikrubu 432,79 51, Muhajirin 14,38 14, Tanah Raja 8,42 8, Stadion 16,54 14, Kampung Pisang 14,73 14, Maliaro 249,66 57, Takoma 20,46 20, Kota Baru 23,28 22, Jumlah 1.371,88 340, Sumber : Dinas PU Kota Ternate (2008) Sungai Jaringan drainase yang berada di kecamatan Ternate Tengah seperti yang terlihat dalam Gambar 35, menunjukkan bahwa masih terdapat spot-spot area permukiman yang belum terlayani saluran drainase. Umumnya lokasi-lokasi

37 121 tersebut berada pada topografi dataran tinggi (>500 mdpl) atau dengan tingkat kemiringan lereng >20%. Lokasi tersebut diantaranya berada di 4 kelurahan yaitu kelurahan Marikurubu, kelurahan Maliaro, kelurahan Soa dan kelurahan Makassar Barat. Gambar 35. Jaringan Drainase di Kecamatan Ternate Tengah Pola jaringan drainase di kecamatan Ternate Tengah membentuk 3 (tiga) pola, yaitu pola pararel, pola siku dan pola jaring-jaring. Saluran-saluran drainase yang membentuk pola pararel dibuat sejajar dengan saluran sekunder untuk dialiri ke pembuangan saluran primer yakni sungai hingga menuju ke laut. Pola siku dan pola jaring-jaring berfungsi sebagai saluran penampung sebelum masuk ke saluran sekunder. Kecamatan Ternate Selatan memiliki saluran drainase yang terdiri dari 39 sungai sebagai saluran primer, 142 bangunan gorong-gorong, m saluran tersier, dan m saluran sekunder yang berada di kawasan permukiman (412,91 ha), dimana saluran sekunder sebagian besar membentang mengikuti jaringan jalan kolektor (Tabel 37). Kecamatan ini memiliki saluran primer (sungai) terbanyak dibanding kecamatan lainnya, sehingga aliran air dari hulu

38 122 sebagian besar masuk ke sungai-sungai yang melintasi kecamatan Ternate Selatan. Namun demikian dimensi sungai yang berada di bagian hilir cenderung semakin menyempit yang diakibatkan oleh permukiman warga yang berada di bantaran sungai. Selain itu, tumpukan sampah dan sedimentasi masih terlihat di hilir sungai hingga sampai ke tepi pantai. Tabel 37. Kondisi Saluran Drainase di Kecamatan Ternate Selatan Kelurahan Jumlah Bangunan Luas Luas Lahan Panjang Drainase Drainase Wilayah Permukiman Sekunder Tersier Gorong- (ha) (ha) Sungai (m) (m) Gorong Toboko 12,06 10, Tanah Tinggi 44,56 33, Jati 58,11 41, Jati Perumnas 25,31 16, Tobona 302,89 27, Mangga Dua 58,03 51, Ubu-Ubo 22,23 21, Bastiong 60,38 57, Kalumata 333,63 73, Sasa 388,83 30, Gambesi 311,29 26, Fitu 331,15 21, Jumlah 1.948,47 412, Sumber : Dinas PU Kota Ternate (2008) Jaringan drainase yang berada di kecamatan Ternate Selatan, menunjukkan bahwa masih terdapat spot-spot area permukiman yang belum terlayani saluran drainase. Umumnya lokasi-lokasi tersebut berada pada topografi dataran tinggi (>700 mdpl) atau dengan tingkat kemiringan lereng >40%. Lokasi tersebut diantaranya berada di 3 kelurahan yaitu kelurahan Kalumata, kelurahan Tobona, dan kelurahan Ngade (Gambar 36).

39 123 Gambar 36. Jaringan Drainase di Kecamatan Ternate Selatan Pola jaringan drainase di kecamatan Ternate Selatan membentuk 4 (empat) pola, yaitu pola pararel, pola siku, pola jaring-jaring dan pola grid iron. Pola pararel pada jaringan drainase di lokasi ini berfungsi sebagai saluran pengumpul untuk selanjutnya diteruskan ke saluran primer. Pola siku cocok untuk wilayah dengan topografi dataran tinggi, dimana aliran air dapat dialiri dari saluran sekunder yang dibuat lebih tinggi untuk mengaliri dengan baik langsung ke sungai/laut. Pola jaring-jaring berfungsi sebagai saluran penampung/pengumpul sebelum masuk ke saluran sekunder. Beberapa saluran drainase sekunder yang membentuk pola grid iron dibangun sejajar satu sama lain sedangkan saluran yang lainnya dibuat sebagai saluran pengumpul. Kondisi saluran drainase di kecamatan Ternate Utara menunjukkan bahwa terdapat 13 sungai yang melintasi wilayah tersebut dengan 101 bangunan goronggorong, m saluran terseier, m saluran sekunder yang berada di permukiman 360,79 ha atau 24,33% dari jumlah luas wilayahnya 1.482,42 ha (lihat Tabel 38).

40 124 Tabel 38. Kondisi Saluran Drainase di Kecamatan Ternate Utara Kelurahan Jumlah Bangunan Luas Luas Lahan Panjang Drainase Drainase Wilayah Permukiman Sekunder Tersier Gorong- (ha) (ha) Sungai (m) (m) Gorong Tabam 234,89 39, Tafure 71,06 61, Tubo 202,01 13, Akehuda 52,79 34, Dufa-Dufa 270,31 42, Sangaji 130,92 32, Toboleu 118,46 27, Salero 20,18 14, Kasturian 59,67 20, Soasio 17,90 14, Soa 46,76 26, Sango 257,47 31, Jumlah 1.482,42 360, Sumber : Dinas PU Kota Ternate (2008) Sebagian area permukiman di kecamatan Ternate Utara masih belum terlayani saluran drainase. Umumnya lokasi-lokasi tersebut berada pada topografi dataran tinggi (>700 mdpl) atau dengan tingkat kemiringan lereng >40%. Lokasi tersebut diantaranya berada di 3 kelurahan yaitu kelurahan Kasturian, kelurahan Tubo, dan kelurahan Sangaji (Gambar 37). Gambar 37. Jaringan Drainase di Kecamatan Ternate Utara

41 125 Pola jaringan drainase di kecamatan Ternate Utara membentuk 4 (empat) pola, yaitu pola grid iron, pola radial, pola siku, dan pola jaring-jaring. Jaringan drainase dengan pola grid iron yakni seluruh drainase tersier mengarah pada drainase sekunder yang berada memanjang mengikuti jaringan jalan kemudian masuk ke saluran primer (sungai) hingga menuju ke laut. Pola radial dibangun agar supaya air berpencar ke segala arah sehingga air dibuang ke sebelah utara yang merupakan lahan perkebunan, ke sebelah timur menuju drainase sekunder sedangkan ke selatan menuju sungai. Pola siku dan pola jaring-jaring berfungsi sebagai saluran pengumpul sebelum masuk ke saluran sekunder. Kecamatan Pulau Ternate memiliki 13 kelurahan, yang terdata memiliki saluran drainase hanya 3 kelurahan yaitu kelurahan Kastela, Foramadiahi dan Jambula. Kondisi saluran drainase di kecamatan Pulau Ternate menunjukkan bahwa terdapat 9 sungai yang melintasi wilayah tersebut dengan 17 bangunan gorong-gorong (Culvert), m saluran tersier, m saluran sekunder yang sebagian besar membentang mengikuti jaringan jalan kolektor primer (jalan trans Ternate). Jumlah luas wilayah kecamatan ini adalah 4.770,68 ha dengan luas lahan permukiman 172,56 ha atau 3,62% dari luas jumlahnya. Kondisi saluran drainase di kecamatan Pulau Ternate dapat dilihat pada Tabel 39. Tabel 39. Kondisi Saluran Drainase di Kecamatan Pulau Ternate Kelurahan Jumlah Bangunan Luas Luas Lahan Panjang Drainase Drainase Wilayah Permukiman Sekunder Tersier Gorong- (ha) (ha) Sungai (m) (m) Gorong Kastela 144,48 11, Foramadiahi 491,59 5, Jambula 115,16 33, Jumlah 751,23 49, Sumber : Dinas PU Kota Ternate (2008) Kecamatan ini memiliki luas permukiman terkecil dibanding dengan kecamatan lain, sehingga ikut berpengaruh pada jaringan drainase yang tersedia. Jaringan drainase yang berada di kecamatan Pulau Ternate, menunjukkan bahwa masih terdapat spot-spot area permukiman yang belum terlayani saluran drainase. Lokasi tersebut diantaranya berada di 3 kelurahan yaitu kelurahan Afetaduma, kelurahan Rua, dan kelurahan Dorpedu (Gambar 38).

42 126 Gambar 38. Jaringan Drainase di Kecamatan Pulau Ternate Pola jaringan drainase yang terdapat di kecamatan ini ialah bentuk pola siku, dan pola grid iron. Pola tersebut dapat terlihat dari adanya saluran drainase yang dibuat sejajar yang berfungsi sebagai pencegah pembebanan aliran sebelum masuk pada saluran drainase penampung sekaligus pengantar menuju saluran drainase primer/alam (sungai), bahkan drainase pencegah pembebanan aliran bisa juga langsung menuju sungai. Kondisi eksisting saluran riol di kota Ternate terdapat pada jalan utama kota (jalan kolektor primer) atau tepatnya berada di jalan utama (kelurahan Takoma) yang saat ini belum mampu bekerja secara maksimal. Saluran riol membentang sepanjang 200 m, dimensi lebar 2 m dan tinggi 2 m dengan kapasitas tampung 800 m 3 harusnya dapat menampung debit 5,25 m 3 /det. Namun hal tersebut belum dapat terpenuhi, karena disebabkan oleh tingginya outlet riol yang bermuara pada sungai Takoma berada sama dengan tinggi air sungai pada saat musim hujan, disamping itu desain outlet riol yang dibangun tanpa memperhitungkan aliran air sungai sehingga jika terjadi hujan dengan intensitas tinggi, kerap menimbulkan back water pada saluran riol.

43 127 Limpasan air (run-off) dari wilayah belakang atau dari wilayah atas (dataran tinggi) yang membebani saluran drainase di pusat kota (kelurahan Gamalama dan sekitarnya) yang dapat menimbulkan genangan atau banjir lokal, dapat diatasi dengan adanya riol di kelurahan Takoma. Apabila kawasan permukiman berkembang di kawasan ini atau daerah atasnya, maka diketahui koefisien pengaliran akan meningkat maka dapat dievakuasi masuk kedalam riol tersebut. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa air limpasan dari daerah atas yang kerap menimbulkan masalah banjir bagi kawasan pusat kota dapat diatasi dengan saluran riol tersebut (Dinas PU Kota Ternate, 2008). Identifikasi Daerah Genangan di Kota Ternate Sistem drainase di kota Ternate masih terdapat saluran-saluran yang tidak berfungsi dengan baik sehingga menimbulkan genangan, misalnya di kelurahan Gamalama, kelurahan Mangga Dua Utara, kelurahan Dufa-Dufa, kelurahan Tafure dan Kelurahan Tubo (Lihat Tabel 40 dan Gambar 39). Hal ini disebabkan oleh rusaknya saluran drainase akibat dari sedimentasi dan tumpukan sampah pada saluran yang menyumbat aliran air. Tabel 40. Hasil Identifikasi Genangan di Kota Ternate Data Kuantitatif Genangan Lokasi Genangan Banjir Luas Tinggi Waktu Konsentrasi (ha) (cm) (menit) Jl. Poros Tafure 0, Jalan Kel. Tubo RT , Jl. Poros Mangga Dua (Depan SD Islamiyah) Kel. Gamalama (Depan RS. Dharma Ibu) Area yang Tergenang Jalan dan rumah penduduk 0, Jalan 0, Jalan Kel. Dufa-Dufa Lingkungan Toloko 0, Sumber : Dinas PU Kota Ternate (2008) Jalan dan rumah penduduk Faktor penyebab terjadinya banjir dan genangan di kota Ternate adalah sebagai berikut : a. Limpasan air dari sungai menggenangi dalam kota. b. Limpasan air akibat kecepatan aliran air dalam saluran yang tinggi terutama drainase yang berada pada jalan yang memiliki kemiringan.

44 128 c. Menurunnya kemampuan saluran/drainase akibat sedimentasi/endapan lumpur dan penyumbatan akibat sampah. d. Tidak cukupnya kapasitas saluran drainase kota. e. Dimensi saluran yang mengecil akibat penyerobotan lahan permukiman atau bangunan ataupun adanya bangunan di atas saluran. f. Kemungkinan back water di saluran drainase atau di muara-muara sungai karena air pasang atau karena sampah dan sedimentasi. Gambar 39. Jaringan Drainase dan Daerah Genangan di Kota Ternate Kesimpulan Cakupan Pelayanan Sistem Drainase Saat ini sistem drainase sudah menjadi salah satu infrastruktur perkotaan yang sangat penting dalam menangani kelebihan air permukaan sebelum masuk ke alur-alur besar atau sungai. Kualitas manajemen suatu kota dapat dilihat dari kualitas sistem drainase yang ada. Kondisi sistem drainase yang ada di kota Ternate memberikan gambaran bahwa masih terdapat wilayah yang belum tersedia saluran drainase (khususnya dataran tinggi) dan daerah-daerah genangan yang umumnya terjadi pada saluran-saluran yang berada di jalan-jalan pusat kota. Waktu konsentrasi genangan tidak berlangsung lama (rata-rata 30 menit) dan

45 129 terjadi jika intensitas hujan tinggi. Namun demikian, genangan air tersebut dapat memperlambat kendaraan yang melintas dan secara berjangka air dapat merusak infrastruktur jalan. Selain itu, genangan air dapat menurunkan kualitas lingkungan yang berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat. Infrastruktur Persampahan Kondisi Eksisting Ketersediaan Infrastruktur Persampahan Pengelolaan sampah di kota Ternate merupakan tanggung jawab Dinas Kebersihan Kota Ternate semenjak tahun 1998, dengan menggunakan pola pengolahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA). TPA Buku Deru-Deru terletak di Kelurahan/Desa Takome Kecamatan Pulau Ternate merupakan tempat pemrosesan akhir terhadap sampah perkotaan. Akses ke TPA ±15 km dari pusat kota, dengan luas 60 ha dan kondisi topografisnya bergelombang pada bagian kaki bukit, serta kemiringan lereng 8-15% kearah pantai dengan kondisi tanah bebatuan. Sistem pengelolaan TPA saat ini masih menggunakan sistem open dumping dengan zona aktif 5,25 ha dimanfaatkan sebagai lahan penimbunan terbuka, 0,02 ha digunakan sebagai sarana dan prasarana pendukung TPA dan bangunan komposting. Untuk lahan yang termasuk zona pasif seluas 7,80 ha merupakan eks lahan penimbunan sampah sistem open dumping dan 0,4 ha sistem controlled landfill. Sisa lahan ±46,52 ha merupakan zona penyangga yang ditumbuhi oleh berbagai semak belukar dan tanaman non produktif. Fungsi zona penyangga tersebut berguna untuk meredam dampak yang timbul dari aktivitas TPA seperti bau dan kebisingan terhadap masyarakat yang bermukim di sekitarnya (lihat Tabel 41 dan Gambar 39). Tabel 41. Kondisi Eksisting TPA Buku Deru-Deru No Area Luas (ha) Keterangan 1 Zona Pasif TPA controlled landfill Eks open dumping 2 Zona Aktif Open dumping Bangunan sarana dan prasarana Bangunan Komposting 3 Zona Penyangga Semak belukar, tanaman non produktif Sumber : Dinas Kebersihan Kota Ternate (2008) 1,12 0,40 5,25 0,18 0,01 53,03 Belum beroperasi Tidak beroperasi

46 130 Pengolahan sampah secara open dumping dinilai ekonomis terhadap biaya serta mekanisme pelaksanaannya mudah, namun dampak yang ditimbulkan cukup kompleks terhadap lingkungan sekitar TPA. Dampak yang ditimbulkan meliputi pencemaran udara berupa bau, pencemaran air meliputi pengaruh fisik dan kimia air serta penyakit yang ditularkan oleh perkembangbiakan hewan misalnya lalat, tikus, kecoak, cacing dan berbagai hewan lainnya. Selain itu sistem sanitasi yang tidak baik dapat menimbulkan pencemaran air, karena air lindi dapat meresap/merembes secara terinfiltrasi masuk kedalam tanah yang dapat menyebabkan pencemaran tanah, air permukaan maupun air sungai yang berada di sekitarnya. Secara teknis sistem pengolahan sampah dengan metode open dumping dimulai dari kedatangan truck amroll atau dump truck yang mengangkut sampah dari sumber sampah ke lokasi TPA, selanjutnya petugas pengawas lapangan menunjukkan lokasi dimana sampah yang datang harus dibongkar, hasil pembongkaran selanjutnya diratakan tanpa diberi timbunan penutup, hal ini berlangsung setiap hari yang dilakukan oleh petugas pengelola di lokasi TPA. Adapun mekanisme pengelolaan sampah di lokasi TPA diantaranya dengan cara penimbunan, komposting, pemanfaatan sapi, serta daur ulang (recycling). Dalam perencanaannya kedepan, sistem open dumping akan ditingkatkan menjadi controlled landfill dengan mengambil lokasi dari zona aktif TPA seluas 1,12 ha (Dinas Kebersihan Kota Ternate, 2008). Penyiapan prasarana untuk controller landfill telah dilaksanakan sebagian seperti penyediaan area sel dengan sistem geomembran. Pemrosesan air lindi yang terdiri dari 3 (tiga) kolam, yaitu kolam anaerobik, kolam fakultatif, dan kolam maturasi, pipa saluran air lindi yang meliputi pipa primer 6 dan pipa sekunder 4, dan pembuatan sumur kontrol kualitas air sebanyak 3 buah. Akan tetapi prasarana tersebut belum dapat dipergunakan karena ada beberapa hal teknis yang masih dipertimbangkan.

47 131 Gambar 40. Blok Pelayanan dan Prasarana Persampahan Kota Ternate Pengelolaan persampahan di Kota Ternate hingga saat ini baru menjangkau 28 kelurahan pada 3 kecamatan di Kota Ternate yang terbagi dalam 10 blok pelayanan. Pada kecamatan Ternate Utara hanya dapat menjangkau 12 kelurahan dari jumlah14 kelurahan yang ada dan terbagi dalam 3 blok pelayanan. Sementara untuk kecamatan Ternate Tengah hanya mampu menjangkau kelurahan yang berada di sekitar kawasan pesisir yaitu 12 kelurahan dari jumlah 15 kelurahan dan terbagi dalam 4 blok pelayanan. Kecamatan Ternate Selatan hanya terlayani 12 kelurahan dari jumlah17 kelurahan yang ada dan terbagi dalam 4 blok pelayanan. Kecamatan Pulau Ternate belum sama sekali terlayani untuk pengangkutan sampah ke TPA. Namun demikian lokasi Tempat Pembuangan Sementara (TPS) tersebar merata di seluruh kecamatan (lihat Gambar 40). Cakupan pelayanan pada tahun 2010 sebesar 80,02% dari jumlah penduduk Kota Ternate (lihat Tabel 42).

48 132 Tabel 42. Produksi/Volume Sampah di TPA Kota Ternate Volume TPA Produksi Sampah Dan Tingkat Pelayanan Lokasi Luas (ha) Luas Terpakai (ha) Produksi sampah Jumlah Tingkat Pelayanan (jiwa) TPA Buku Deru- Deru (Kel.Takome) Per hari (m 3 ) Per hari lt/hari ,5 Sumber : Dinas Kebersihan Kota Ternate (2010) 80,02 % dari jumlah penduduk kota Ternate Komparasi Ketersediaan InfrastrukturPersampahan Berdasarkan Standar SNI Kondisi eksisting penanganan persampahan di Kota Ternate dianalisis menggunakan beberapa pola pelayanan yang disesuaikan dengan SNI , dengan wilayah pelayanan antara lain : 1. Sampah Rumah Tangga Untuk daerah permukiman menggunakan pola pelayanan dengan sistem pola individual langsung atau sistem door to door yaitu sampah dikumpulkan dan diangkut dengan dump truk dari sumbernya ke TPA. Masyarakat hanya mengumpulkan dengan kantong-kantong plastik dan meletakkan dipinggir jalan. Pola pelayanan tersebut sering menimbulkan kemacetan atau sulitnya kendaraan berlintasan di permukiman yang jalannya sempit. Selain itu sistem door to door ini waktu tempuh pengumpulan dan pengangkutan sampah menjadi lebih lama. 2. Sampah Perkantoran Pola pelayanan sampah perkantoran menggunakan pola komunal langsung yaitu sampah dikumpulkan pada wadahnya/tps kemudian langsung diangkut ke TPA menggunakan dump truk. 3. Sampah Jalan, Taman dan Drainase. Pengumpulan sampah jalan, taman dan drainase pada umumnya dilakukan pembersihan sampah dan dikumpulkan pada bak sampah kemudian diangkut langsung ke TPA. 4. Sampah Pasar Untuk areal pasar, pola pelayanan yang dipakai adalah pola kumunal langsung yaitu sampah diangkut langsung ke TPA setelah sampah dikumpulkan warga pasar dalam kontainer yang disediakan Dinas Kebersihan Kota Ternate.

49 133 namun demikian, ada pula sampah yang sebagian diolah (komposting) misalnya di wilayah kelurahan Gamalama yang menyediakan bangunan komposting untuk mengolah sampah yang berasal dari pasar. Merujuk pada SNI tentang spesifikasai timbulan sampah untuk ukuran kota kecil yaitu 2,5 2,75 lt/org/hari, maka timbulan sampah yang diangkut ke TPA telah sesuai dengan standar yang ada (lihat Tabel 42) dengan komposisi sampah terlihat pada Tabel 44. Ini berarti bahwa dengan jumlah penduduk kota Ternate di tahun 2010 yang mencapai jiwa menghasilkan produksi sampah sebesar 2,5 lt/hari, dengan komposisi sampah terbesar yaitu dari komponen sampah sisa makanan (organik). Namun timbulan sampah yang tidak terangkut ke TPA belum dapat diketahui, karena adanya lokasi (kelurahan) yang belum terlayani pengangkutan sampah misalnya pada kelurahan-kelurahan yang berada di kecamatan Pulau Ternate (lihat Gambar 39). Tabel 43. Komposisi Sampah Kota Ternate No Komponen Sampah Berat Sampah per Komponen di TPA (kg) 1 Sisa Makanan (organik) 63,82 2 Kertas 2,51 3 Plastik 3,40 4 Kaca/botol gelas 2,88 5 Kulit 0,21 6 Logam 2,48 7 Kaleng 3,19 Persentase (%) 81,31 3,20 4,33 3,67 0,27 3,16 4,06 Jumlah 78,49 100,00 Sumber : Dinas Kebersihan Kota Ternate (2010) Adapun produksi sampah dan kapasitas pelayanan mulai dari tahun 2005 sampai 2008 disajikan pada Tabel 44. Tabel 44. Produksi Sampah dan Tingkat Pelayanan Sampah Tahun Tahun Jumlah Penduduk (jiwa) Jumlah Penduduk Terlayani Jumlah Penduduk Tidak Terlayani Produksi Sampah Diangkut ke TPA Tidak diangkut ke TPA jiwa % jiwa % m 3 /tahun m 3 /tahun % m 3 /tahun % Kapasitas pelayanan sampah dari tahun 2005 hingga tahun 2008, menunjukkan adanya peningkatan pelayanan. Ini ditandai dengan meningkatnya tingkat pelayanan pada tahun 2005 hanya mampu melayani penduduk

50 134 jiwa (82%) dari jumlah penduduk meningkat jiwa (83%) di tahun Jumlah penduduk yang tidak terlayani hanya berkisar 17%-18% dari jumlah penduduk di tahun Hal ini tentunya berpengaruh pada kapasitas angkut sampah, dimana produksi sampah yang dihasilkan tidak secara keseluruhan diangkut ke TPA. Tercatat dari Tabel 44 bahwa produksi sampah pada tahun 2008 yaitu m 3 /tahun, hanya dapat diangkut ke TPA m 3 /tahun (61%) atau adanya produksi sampah yang tidak terangkut berkisar m 3 /tahun (39%). Sampah yang tidak terangkut ke TPA, umumnya dikelola masyarakat dengan cara pembakaran sampah dan membuang sampah ke sungai atau tepi pantai. Fenomena tersebut sudah membudaya dan berlangsung sejak lama. Hal ini mengakibatkan terjadinya pencemaran air di sekitar tepian pantai. Contoh kasus ialah pada kawasan permukiman yang berada diatas air (rumah gantung) di kelurahan Makassar Timur, sebelumnya tidak difasilitasi dengan sarana sanitasi dan persampahan yang ideal sehingga badan air sangat mudah tercemar oleh aktivitas masyarakat yang membuang sampah ataupun MCK di tepian pantai tersebut (Djafar, 2004). Kawasan permukiman tersebut sangat terlihat kumuh dan tepat berada di kawasan waterfront, sehingga sangat menganggu estetika kota. Kesimpulan Cakupan Pelayanan Infrastruktur Persampahan Sampah di kota Ternate dikelola oleh Dinas Kebersihan Kota Ternate semenjak tahun 1998, dengan menggunakan pola pengolahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Sistem pengelolaan TPA saat ini masih menggunakan sistem open dumping yang dinilai ekonomis dalam hal biaya serta mekanisme pelaksanaannya yang mudah, namun berdampak terhadap lingkungan sekitar TPA. Pengelolaan persampahan di Kota Ternate telah menjangkau 28 Kelurahan dari 59 kelurahan yang berada di Kota Ternate yang terbagi dalam 10 (sepuluh) blok pelayanan. Kapasitas pelayanan sampah pada tahun cenderung meningkat dari 82% ( jiwa) menjadi 83% ( jiwa). Produksi sampah yang dihasilkan tidak secara keseluruhan diangkut ke TPA. Produksi sampah pada tahun 2008 adalah m3/tahun, hanya dapat diangkut ke TPA 61% dan sampah yang tidak terangkut berkisar 39%. Sampah yang tidak terangkut

51 135 ke TPA, umumnya dikelola masyarakat dengan cara pembakaran sampah dan membuang sampah ke sungai atau tepi pantai. Hal ini mengakibatkan terjadinya pencemaran lingkungan di sekitarnya. Dengan demikian, pengelolaan sampah di Kota Ternate memerlukan perhatian dan penanganan yang sungguh-sungguh, karena hal ini berkaitan erat dengan keindahan kota dan kesehatan masyarakat. Semakin besar ukuran suatu kota, maka masalah persampahan semakin sulit ditangani karena jumlah bangkitan sampah semakin besar seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Cakupan Pelayanan Infrastruktur Sosial dan Ekonomi Kondisi Eksisting Prasarana Pendidikan Prasarana Pendidikan Penyelenggaraan pendidikan adalah kegiatan pelaksanaan komponen sistem pendidikan pada satuan atau program pendidikan pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan agar proses pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Secara berjenjang pendidikan dasar terdiri dari pendidikan anak usia dini meliputi taman kanak-kanak, raudhatul athfal, kelompok bermain dengan masa pendidikan 2-3 tahun, pendidikan dasar 6 tahun meliputi sekolah dasar, madrasah ibtidaiyah, kelompok belajar paket A, dan pendidikan dasar 3 tahun meliputi sekolah menengah pertama, madrasah tsanawiyah dan kelompok belajar paket B. Sebaran prasarana pendidikan dasar di kota Ternate tahun 2010 adalah jumlah TK 42 unit, jumlah SD 96 unit, jumlah SMP sebesar 19 unit, jumlah SMU/SMK sebesar 19 unit. Sebaran prasarana pendidikan dasar pada setiap jenjang dikaitkan dengan jumlah peserta didik (siswa) dan jumlah tenaga pendidik (guru). Jumlah prasarana pendidikan dasar di Kota Ternate disajikan dalam Tabel 45 dan Tabel 46. Tabel 45. Jumlah Prasarana Pendidikan Kecamatan Jumlah Praarana Pendidikan TK SD SLTP SMU/SMK Pulau Ternate Ternate Selatan Ternate Tengah Ternate Utara Kota Ternate Sumber : BPS Kota Ternate (2010)

52 136 Tabel 46. Jumlah Peserta dan Tenaga Pendidik Kecamatan TK SD SLTP SMU/SMK Siswa Guru Siswa Guru Siswa Guru Siswa Guru Pulau Ternate Ternate Selatan Ternate Tengah Ternate Utara Kota Ternate Sumber : BPS Kota Ternate (2010) Komparasi Ketersediaan Prasarana Pendidikan Berdasarkan Standar SNI Perencanaan fasilitas pendidikan yang didasarkan pada tujuan pendidikan, harus menyediakan ruang belajar untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan, serta sikap siswa (peserta didik) secara optimal. Penyedian fasilitas pendidikan di suatu wilayah harus mempertimbangkan usia anak sekolah yang membutuhkan pendidikan, pendekatan ruang setiap unit dalam lingkungan, dan memperhatikan jangkauan radius pelayanan. Kebutuhan prasarana pendidikan berdasarkan SNI , dianalisis dari jumlah penduduk (usia anak sekolah) secara berjenjang dari unit terendah (PAUD/TK) hingga unit tertinggi (SMU/SMK). Kebutuhan taman kanak-kanak (TK) per jiwa dengan radius 500 meter, dimana 1 gedung sekolah minimal terdapat 2 ruang belajar/kelas yang diisi oleh siswa dan berada di dalam lingkungan perumahan. Sekolah Dasar (SD) per jiwa dengan radius 1 km, dimana 1 gedung sekolah minimal terdapat 6 ruang belajar/kelas yang diisi oleh 40 siswa serta berada di dalam lingkungan perumahan bergabung dengan taman dan ruang terbuka hijau. Sekolah Menengah Pertama (SLTP) per jiwa dengan radius 1 km, dimana 1 gedung sekolah minimal terdapat 6 ruang belajar/kelas yang diisi oleh 40 siswa dan dapat bergabung dengan Sekolah Dasar serta akses pencapaian dapat juga ditempuh dengan kendaraan dan berlokasi di jalan lokal atau jalan lingkungan perumahan. Dengan mengetahui jumlah anak usia sekolah, maka secara langsung akan diketahui kebutuhan prasarana pendidikan dalam suatu wilayah. Hingga tahun 2010, jumlah usia sekolah di Kota Ternate pada masing-masing jenjang pendidikan disajikan pada Tabel 47.

53 137 Tabel 47. Jumlah Penduduk Berdasarkan Usia Sekolah Pendidikan Dasar Umur 0-4 Umur 5-9 Umur Umur Kecamatan Tahun (jiwa) Tahun (jiwa) Tahun (jiwa) Tahun (jiwa) Pulau Ternate Ternate Selatan Ternate Tengah Ternate Utara Kota Ternate Sumber : BPS Kota Ternate (2010) Kebutuhan dan Ketersediaan Prasarana Pendidikan Taman Kanak Kanak (TK) Usia sekolah untuk pendidikan usia dini (TK) diasumsikan rata-rata 2-4 tahun sebanyak jiwa (Tabel 47), maka kebutuhan ruang belajar ialah 333 kelas (standar SNI ; 1 ruang siswa) atau 167 sekolah (1 gedung sekolah minimal 2 ruang belajar). Jika dibandingkan dengan kondisi eksisting TK yang ada di Kota Ternate (tahun 2010) yang hanya berkisar 42 unit sekolah atau ketersediaan hanya berkisar 25% (lihat Tabel 48), maka ketersediaan gedung sekolah TK belum mencukupi dari segi jumlah penduduk usia sekolah yang terlayani. Dari perhitungan tersebut maka terlihat bahwa masih kekurangan fasilitas sekolah sebanyak 125 unit (75%). Jumlah penduduk yang tercatat sebagai siswa TK hanya berkisar siswa, sementara dengan melihat jumlah anak usia sekolah pendidikan usia dini sebanyak jiwa menunjukkan bahwa masih ada sekitar jiwa (75%) yang belum mendapatkan akses pendidikan TK. Tabel 48. Jumlah Prasarana Pendidikan TK di Kota Ternate Kecamatan Jumlah Penduduk (Usia 0-4) Kebutuhan Ketersediaan Kekurangan Anak Usia Sekolah Siswa Sekolah % Sekolah % Sekolah* Pulau Ternate Ternate Selatan Ternate Tengah Ternate Utara Kota Ternate *) Asumsi dari data jumlah penduduk usia 0-4 tahun Ket Tidak cukup Tidak cukup Tidak cukup Tidak cukup Tidak Cukup Akses pencapaian sekolah TK pada masing-masing kecamatan rata-rata berada pada radius <500 m dan berada pada lingkungan perumahan. Sebaran

54 138 fasilitas pendidikan TK, umumnya merata pada 3 (tiga) kecamatan, yaitu kecamatan Ternate Utara, kecamatan Ternate Tengah dan kecamatan Ternate Selatan. Sementara untuk kecamatan Pulau Ternate hanya terdapat 8 sekolah TK yang hanya tersebar pada beberapa kelurahan, sehingga ada sekitar 6 kelurahan yang tidak mendapatkan akses fasilitas gedung sekolah. Namun demikian, jumlah sekolah tentunya berkaitan dengan jumlah usia anak sekolah, dimana jumlahnya di kecamatan Pulau Ternate lebih sedikit dibandingkan dengan kecamatan lainnya, sehingga sebaran fasilitas gedung sekolah lebih sedikit atau terbatas (Gambar 41). Gambar 41. Sebaran Fasilitas Pendidikan TK Kebutuhan dan Ketersediaan Prasarana Pendidikan Sekolah Dasar (SD) Pendidikan sekolah dasar (SD) dengan usia sekolah 6-12 tahun diasumsikan jumlah penduduk sebanyak jiwa (dianalisis dari Tabel 47), maka kebutuhan ruang belajar adalah 445 kelas (standar SNI ; 1 ruang siswa) atau 74 sekolah (1 gedung sekolah minimal 6 ruang belajar).

55 139 Ketersediaan SD di kota Ternate pada tahun 2010 sebanyak 96 sekolah, maka ketersediaan sekolah SD telah melebihi dari standar jumlah penduduk yang terlayani. Meskipun demikian, belum secara keseluruhan jumlah usia anak sekolah SD mendapat akses pendidikan. Hal ini dapat terlihat dari jumlah siswa SD yang terdaftar sebanyak siswa, sedangkan jumlah usia sekolah SD sebanyak jiwa, sehingga diasumsikan bahwa masih terdapat sekitar 150 jiwa yang belum mendapatkan akses pendidikan SD. Selanjutnya dapat disajikan pada Tabel 49. Tabel 49. Jumlah Prasarana Pendidikan SD di Kota Ternate Jumlah Kebutuhan Ketersediaan Kecamatan Penduduk Anak Usia Keterangan Sekolah Siswa Sekolah (Usia 5-14) Sekolah* Pulau Ternate Cukup Ternate Selatan Cukup Ternate Tengah Cukup Ternate Utara Cukup Kota Ternate Cukup *) Asumsi dari data jumlah penduduk usia 6-12 tahun Akses pencapaian sekolah SD pada masing-masing kecamatan terbilang mudah, karena memiliki sebaran merata pada tiap kelurahan. Rata-rata akses pencapaian ke fasilitas SD berada pada radius <1.000 m dan berada pada lingkungan perumahan maupun jalan lokal primer dan jalan kolektor sekunder. Umumnya fasilitas gedung sekolah yang berada di jalan lokal primer dan jalan kolektor sekunder terkonsentrasi di pusat kota, yaitu pada kecamatan Ternate Tengah, kecamatan Ternate Selatan dan kecamatan Ternate Utara. Sebaran fasilitas pendidikan SD yang terlihat pada Gambar 42 menunjukkan sebaran merata pada 4 (empat) kecamatan dan kecamatan Ternate Selatan memiliki ketersediaan sekolah SD yang lebih banyak yaitu 33 sekolah. Jumlah siswa yang hanya siswa di kecamatan Ternate Selatan lebih kecil dibandingkan kecamatan Ternate Tengah, sehingga secara keseluruhan kecamatan Ternate Tengah lebih cenderung mempunyai daya tampung terpadat dibandingkan dengan kecamatan lainnya (lihat Tabel 49).

56 140 Gambar 42. Sebaran Fasilitas Pendidikan SD Kebutuhan dan Ketersediaan Prasarana Pendidikan Sekolah Lanjutan Pertama Kebutuhan prasarana pendidikan sekolah lanjutan pertama (SLTP) dengan usia sekolah tahun, diasumsikan jika jumlah penduduk usia sekolah sebanyak jiwa, maka kebutuhan ruang belajar adalah 185 kelas (standar SNI ; 1 ruang siswa) atau 30 sekolah (1 gedung sekolah minimal 6 ruang belajar). Jika sarana pendidikan SLTP yang ada di kota Ternate pada tahun 2010 sebanyak 19 unit sekolah (cakupan pelayanan 12%) dengan jumlah siswa sebanyak siswa (Tabel 50), maka ketersediaan sekolah masih kurang dari standar untuk dapat melayani jumlah usia sekolah tingkat pertama. Berdasarkan perhitungan tersebut, maka diasumsikan bahwa masih dibutuhkan sarana sekolah sekitar 11 unit (37%) untuk dapat menampung sekitar 900 jiwa (jumlah penduduk usia sekolah) yang tersisa.

57 141 Tabel 50. Jumlah Prasarana Pendidikan SLTP di Kota Ternate Kecamatan Jumlah Penduduk (Usia 10-19) Kebutuhan Ketersediaan Kekurangan Anak Usia Sekolah Siswa Sekolah % Sekolah % Sekolah* Pulau Ternate Tidak cukup Ternate Selatan Cukup Ternate Tengah Ternate Utara Kota Ternate *) Asumsi dari data jumlah penduduk usia tahun Ket Tidak cukup Tidak cukup Tidak Cukup Gambar 43. Sebaran Fasilitas Pendidikan SLTP Akses pencapaian sekolah SLTP pada masing-masing kecamatan yang terlihat pada Gambar 43 memiliki sebaran merata hampir pada tiap kecamatan. Rata-rata akses pencapaian ke fasilitas sekolah berada pada radius <1 km untuk kecamatan Ternate Tengah dan sebagian kecamatan Ternate Selatan, sedangkan untuk kecamatan Ternate Utara, kecamatan Pulau Ternate dan sebagian kecamatan Ternate Selatan berada pada radius >1 km atau jarak terjauh dengan radius 2 km. Umumnya lokasi sekolah berada pada jalan kolektor primer maupun

58 142 terletak pada jalan kolektor sekunder, sehingga akses menuju sekolah lebih mudah meskipun waktu tempuh perjalanan berbeda-beda. Rata-rata waktu tempuh ke fasilitas sekolah yang berada di kecamatan Ternate Tengah dan sebagian kecamatan Ternate Selatan hanya sekitar menit. Sementara untuk wilayah kecamatan Ternate Utara dan kecamatan Pulau Ternate membutuhkan waktu tempuh lebih dari 25 menit untuk sampai ke lokasi. Kebutuhan dan Ketersediaan Prasarana Sekolah Menengah Umum/Kejuruan Usia sekolah untuk pendidikan sekolah menengah baik umum maupun kejuruan (SMU/SMK), diasumsikan rata-rata tahun dengan perhitungan jumlah penduduk usia sekolah sebanyak jiwa, maka kebutuhan ruang belajar adalah 200 kelas (standar SNI ; 1 ruang siswa) atau dibutuhkan sekitar 30 sekolah (1 gedung sekolah minimal 6 ruang belajar). Jika sarana pendidikan SMU/SMK yang ada di kota Ternate pada tahun 2010 diketahui sebanyak 19 unit sekolah dengan jumlah siswa sebanyak siswa (Tabel 51), maka berdasarkan standar ketersediaan sekolah masih kurang untuk dapat melayani jumlah usia sekolah menengah. Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk untuk usia sekolah, maka diasumsikan bahwa masih terdapat sekitar jiwa yang belum mendapatkan akses pendidikan dan masih kekurangan fasilitas sekolah adalah 15 unit (44%). Tabel 51. Jumlah Prasarana Pendidikan SMU/SMK di Kota Ternate Kecamatan Jumlah Penduduk (Usia 15-19) Kebutuhan Ketersediaan Kekurangan Anak Usia Sekolah Siswa Sekolah % Sekolah % Sekolah* Pulau Ternate Tidak cukup Ternate Selatan Cukup Ternate Tengah Ternate Utara Kota Ternate *) Asumsi dari data jumlah penduduk usia tahun Ket Tidak cukup Tidak cukup Tidak Cukup

59 143 Gambar 44. Sebaran Fasilitas Pendidikan SMU/SMK Akses pencapaian ke fasilitas sekolah SMU/SMK pada masing-masing kecamatan (lihat Gambar 44) memiliki sebaran cenderung bergerombol pada wilayah pusat kota (berada atau dekat kecamatan Ternate Tengah). Radius pencapaian dari permukiman ke fasilitas sekolah untuk kecamatan Ternate Tengah dan kecamatan Ternate Selatan <1 km, sedangkan untuk kecamatan Ternate Utara dan kecamatan Pulau Ternate berada pada radius >1 km atau radius terjauh hingga 3 km. Umumnya lokasi sekolah berada pada jalan kolektor primer dan jalan kolektor sekunder, sehingga memudahkan untuk akses pencapaiannya. Waktu tempuh tiap kecamatan berbeda, misalnya untuk kecamatan Pulau Ternate membutuhkan waktu tempuh >30 menit untuk menuju sekolah, dibanding 3 (tiga) kecamatan lainnya yang cenderung membutuhkan waktu <15 menit. Perbedaan jarak antara permukiman dan fasilitas pelayanan menyebabkan adanya perbedaan dalam waktu tempuh.

60 144 Kesimpulan Cakupan Pelayanan Prasarana Pendidikan Analisis jumlah penduduk berdasarkan tingkat usia sekolah pada tiap jenjang pendidikan memperlihatkan bahwa kebutuhan akan sarana dan prasarana pendidikan dasar belum mencukupi. Fasilitas pendidikan yang belum mencukupi diantaranya sekolah TK, SLTP dan SMU/SMK, sedangkan fasilitas sekolah SD telah mencukupi standar pelayanan. Jika jumlah penduduk usia sekolah dibandingkan dengan jumlah penduduk yang mendapatkan akses pendidikan, maka diketahui masing-masing jenjang pendidikan masih membutuhkan fasilitas sekolah TK 75%, SLTP 36% dan SMU/SMK 44%. Jumlah usia sekolah untuk jenjang pendidikan usia dini (TK) lebih tinggi untuk kategori yang belum mendapatkan akses pendidikan. Hal ini disebabkan karena umumnya usia sekolah TK di Kota Ternate rata-rata setelah 4 tahun, sehingga jumlah anak yang bersekolah di TK hanya separuh dari jumlah yang ada. Sementara ketentuan pendidikan anak usia dini berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ialah usia sekolah untuk jenjang tersebut antara 2-5 tahun. Sebaran fasilitas pendidikan berhubungan dengan jumlah penduduk usia sekolah di suatu wilayah. Jumlah penduduk usia sekolah yang lebih banyak misalnya pada Kecamatan Ternate Tengah (pusat kota), maka ketersediaan fasilitas akan semakin tinggi. Pola sebaran terlihat merata pada tiap kelurahan untuk sarana pendidikan SD, sedangkan untuk sarana pendidikan TK, SLTP, dan SMU/SMK lebih cenderung (lebih banyak) terkonsentrasi di pusat kota. Akses pencapaian pada jenjang pendidikan TK dan SD telah memenuhi standar dengan radius pencapaian masing-masing >500 m dan >1 km. Jenjang pendidikan SLTP dan SMU/SMK di kecamatan Pulau Ternate memiliki jarak tempuh dalam radius terjauh masing-masing 2 km dan 3 km, dan untuk wilayah sekitar pusat kota yang meliputi 3 (tiga) kecamatan memiliki radius ke fasilitas pendidikan < 1 km. Pendidikan merupakan hal yang mendasar untuk dapat meningkatkan kualitas kehidupan manusia dan menjamin kemajuan sosial dan ekonomi. Jumlah fasilitas atau sarana penunjang yang lengkap berkorelasi positif terhadap kualitas pendidikan. Kualitas pendidikan yang baik dapat memainkan peran kunci dalam membentuk sumberdaya manusia untuk menciptakan, menyerap teknologi modern, dan untuk mengembangkan kapasitas serta menyebarluaskan

61 145 pengetahuan. Secara makro mutu pendidikan yang tinggi dapat meningkatkan daya saing bangsa. Prasarana Kesehatan Kondisi Eksisting Prasarana Kesehatan Sarana dan prasarana kesehatan berfungsi memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, memiliki peran yang sangat strategis dalam mempercepat peningkatan derajat kesehatan masyarakat sekaligus untuk mengendalikan pertumbuhan penduduk. Dasar penyediaan prasarana ini adalah didasarkan jumlah penduduk yang dilayani oleh sarana tersebut. Jenis prasarana kesehatan yang dibutuhkan berdasarkan SNI adalah sebagai berikut : a. Posyandu b. Balai Pengobatan Warga c. Balai Kesejahteraan Ibu dan Anak (BKIA/Klinik Bersalin) d. Puskesmas dan Balai Pengobatan e. Puskesmas f. Tempat Praktek Dokter g. Apotek Kondisi eksisiting ketersediaan prasarana kesehatan di Kota Ternate pada tahun 2011 meliputi, 6 rumah sakit, 3 rumah sakit bersalin, 1 poliklinik/balai pengobatan, 6 puskemas, 9 puskesmas pembantu, 21 posyandu, 47 tempat praktek dokter dan 26 Apotek (dilihat pada Tabel 52). Tabel 52. Prasarana Kesehatan di Kota Ternate Kecamatan Prasarana Kesehatan Pulau Ternate Ternate Selatan Ternate Tengah Ternate Utara Jumlah Posyandu Poliklinik/Balai Pengobatan Rumah Sakit Bersalin Puskesmas Puskesmas Pembantu Tempat Praktek Dokter Apotek Rumah Sakit Jumlah Sumber : BPS Kota Ternate (2011)

62 146 Kecamatan Ternate Tengah memiliki prasarana kesehatan terbanyak dari pada kecamatan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa pusat pelayanan kesahatan terkonsentrasi pada kecamatan Ternate Tengah. Puskesmas, Puskesmas Pembantu dan Posyandu terlihat sebarannya merata pada tiap-tiap kecamatan (lihat Gambar 45). Fasilitas kesehatan tersebut merupakan standar pelayanan minimum kesehatan masyarakat yang wajib disediakan di setiap kecamatan. Sementara sarana dan prasarana kesehatan lainnya misalnya rumah sakit, rumah sakit bersalin, balai pengobatan, tempat praktek dokter maupun apotek hanya terpusat pada wilayah yang berada di pusat kota atau sekitar pusat kota yaitu pada kecamatan Ternate Selatan, kecamatan Ternate Tengah dan Kecamatan Ternate Utara. Gambar 45. Sebaran Fasilitas Kesehatan di Kota Ternate Komparasi Ketersediaan Prasarana Kesehatan Berdasarkan Standar SNI Jangkauan radius pelayanan fasilitas kesehatan dipertimbangkan terkait dengan kebutuhan dasar sarana yang harus dipenuhi dalam melayani suatu wilayah. Berdasarkan SNI , kebutuhan Posyandu dengan ratio

63 147 pelayanan per jiwa berada pada radius pelayanan 1 km 2, balai kesejahteraan ibu dan anak (BKIA/klinik bersalin) per jiwa radius pelayanan 4 km 2, puskesmas pembantu dan balai pengobatan per jiwa radius pelayanan 1,5 km 2, puskesmas dan balai pengobatan per jiwa dengan radius pelayanan 3 km 2, tempat praktek dokter per jiwa dengan radius pelayanan 1,5 km 2, dan Apotek per jiwa dengan radius pelayanan 1,5 km 2. Tabel 53. Ketersediaan Fasilitas Kesehatan di Kota Ternate Kecamatan Prasarana Kesehatan Pulau Ternate ( jiwa)* Ternate Selatan ( jiwa)* Ternate Tengah ( jiwa)* Ternate Utara ( jiwa)* Kebutuhan Rumah Ketersediaan Sakit Keterangan tidak butuh cukup cukup cukup Rumah Kebutuhan Sakit Ketersediaan Bersalin Keterangan tidak butuh tidak cukup cukup cukup Kebutuhan Puskesmas Ketersediaan Keterangan cukup cukup cukup cukup Kebutuhan Posyandu Ketersediaan Keterangan cukup cukup cukup cukup Praktek Dokter Apotek Kebutuhan Ketersediaan Keterangan tidak cukup tidak cukup cukup tidak cukup Kebutuhan Ketersediaan Keterangan tidak butuh cukup cukup cukup * Jumlah Penduduk tahun Standar jiwa; 2 Standar jiwa; 3 Standar jiwa; 4 Standar jiwa; 5 Standar jiwa; 6 Standar jiwa; Evaluasi ketersediaan fasilitas kesehatan masyarakat didasarkan pada jumlah layanan dari jenjang terendah yakni posyandu, puskesmas atau balai pengobatan hingga jenjang tertinggi yakni rumah sakit. Ketersediaan fasilitas yang terlihat pada Tabel 53 menunjukkan bahwa untuk fasilitas posyandu, rumah sakit, praktek dokter dan apotek sebarannya tidak merata. Fasilitas tersebut cenderung berada pada pusat kota atau dekat dengan pusat kota. Jumlah posyandu terbanyak berada di Kecamatan Ternate Utara dengan jumlah penduduk hanya berkisar jiwa, sehingga masyarakat terlayani untuk setiap Posyandu adalah sekitar jiwa. Untuk fasilitas Puskemas di Kecamatan Ternate Utara memiliki 1 Puskesmas yang melayani jiwa. Sama halnya pada kecamatan Pulau Ternate yang memiliki 1 Puskesmas untuk dapat melayani jiwa, namun jumlah tersebut masih memenuhi standar SNI

64 untuk jiwa/puskesmas. Kapasitas pelayanan Puskesmas juga masih tercukupi untuk kecamatan Ternate Tengah dan kecamatan Ternate Selatan. Fasilitas praktek dokter dan apotek terpusat di beberapa lokasi, sehingga sebarannya tidak merata. Kecamatan Ternate Tengah memiliki fasilitas tersebut paling banyak dibanding dengan kecamatan lainnya. Untuk itu pelayanan kesehatan di kecamatan ini tergolong lebih tinggi. Selain itu faktor kemudaan dalam akses pencapaian menjadi faktor utama dalam penyediaan tempat praktek dokter dan apotek, dimana hampir keseluruhan berada pada jalan-jalan utama (jalan kolektor). Akses pencapaian dari permukiman ke fasilitas kesehatan didukung oleh adanya jaringan jalan untuk menuju ke lokasi sarana kesehatan. Wilayah pelayanan posyandu rata-rata berjarak <0,5 km dengan waktu tempuh <25 menit, puskesmas rata-rata 1-3 km dengan waktu tempuh >30 menit, RSB/BKIA dan RS jarak rata-rata 2-3 km dengan waktu tempuh >40 menit, dan praktek dokter maupun apotek berjarak rata-rata 0,5-1 km dengan waktu tempuh <30 menit. Umumnya lokasi pelayanaan pada kecamatan-kecamatan yang dekat dengan pusat kota berada di jalan kolektor primer dan kolektor sekunder, sehingga untuk akses ke fasilitas kesehatan sangat mudah. Kondisi jaringan jalan yang baik menjadi titik tolak terpenting untuk melayani pertolongan pertama/tindakan darurat. Akses pencapaian ke sarana kesehatan berkaiatan dengan jaringan jalan dari jenjang jalan lingkungan hingga jalan kolektor. Jarak pencapaian ke fasilitas kesehatan oleh masyarakat disajikan dalam Tabel 54. Tabel 54. Jarak Pencapaian ke Fasilitas Kesehatan Radius Pencapaian RSB/ Kecamatan Posyandu Puskesmas RS BKIA (km) (km) (km) (km) Pulau Ternate 0, Ternate Selatan Ternate Tengah Ternate Utara 0,2-0,5 0,2-0,5 0,2-0, ,5 3-4 Praktek Dokter (km) 6-7 1,5-2 0,5-1 1,5-2 Apotek (km) ,5 0,5-1 1,5-2

65 149 Radius pencapaian dari permukiman di kecamatan Pulau Ternate ke berbagai fasilitas kesehatan sangat jauh yakni berkisar 6-7 km. Hal ini disebabkan karena minimnya fasilitas yang ada di kecamatan ini, sehingga untuk menjangkau fasilitas kesehatan yang terdekat harus menempuh radius jarak hingga 7 km dengan waktu tempuh > 1 jam. Untuk akses ke fasilitas kesehatan di kecamatan Ternate Tengah, kecamatan Ternate Selatan dan kecamatan Ternate Utara tergolong sangat mudah. Khususnya di kecamatan Ternate Tengah, radius pencapaian terdekat untuk menuju fasilitas kesehatan misalnya puskesmas, rumah sakit, atau praktek dokter berjarak rata-rata < 1 km. Sebaran sarana dan prasarana kesehatan masyarakat di 3 (tiga) kecamatan tersebut rata-rata berjarak 1-2,5 km. Pencapaian dari permukiman ke sarana dan prasarana kesehatan masyarakat terlayani mulai dari lingkungan hingga ke jenjang kecamatan. Jarak pencapaian terpenuhi atau sesuai standar karena ditunjang oleh jaringan jalan yang memadai. Kesimpulan Cakupan Pelayanan Prasarana Kesehatan Ketersediaan fasilitas kesehatan di Kota Ternate menunjukkan sebaran tidak merata untuk fasilitas posyandu, rumah sakit, praktek dokter dan apotek, dan cenderung berada pada pusat kota atau dekat dengan pusat kota. Lokasi pelayanaan pada tiap kecamatan yang dekat dengan pusat kota berada di jalan kolektor primer dan kolektor sekunder, sehingga memudahkan untuk akses ke fasilitas kesehatan. Puskesmas Pembantu dan Posyandu sebarannya merata pada tiap-tiap kecamatan. Fasilitas kesehatan tersebut merupakan standar pelayanan minimum kesehatan masyarakat yang wajib disediakan di setiap kecamatan. Ini berarti ketersediaan sarana dan prasarana kesehatan telah memenuhi standar pelayanan minimum. Prasarana Niaga dan Perdagangan Kondisi Eksisting Prasarana Niaga dan Perdagangan Dasar penyediaan fasilitas niaga dan perdagangan selain berdasarkan jumlah penduduk yang akan dilayaninya, juga mempertimbangkan pendekatan desain keruangan unit-unit atau kelompok lingkungan yang ada. Lokasi penyediaan fasilitas ini akan mempertimbangkan jangkauan radius area layanan

66 150 terkait dengan kebutuhan dasar prasarana yang harus dipenuhi untuk melayani pada area tertentu. Sarana dan prasarana niaga dan perdagangan di lingkungan perumahan dapat dirunut dari jenjang terendah dengan radius pelayanan kecil hingga jenjang tertinggi dengan radius pelayanan skala kota. Urutan sarana dan prasarana niaga dan perdagangan dari jenjang terendah hingga jenjang tertinggi adalah sebagai berikut: 1. Toko/warung. 2. Pertokoan, Rumah Toko. 3. Pasar di Lingkungan tingkat Kelurahan dan Kecamatan. 4. Mini Market/Swalayan kecil. 5. Supermarket/Pasar Swalayan. 6. Pusat Perbelanjaan/Plaza/Mall. Ketersediaan sarana dan prasarana niaga dan perdagangan di Kota Ternate pada tahun 2010 meliputi, 3 unit Pasar Tradisional, 21 unit Minimarket, 11 unit Pusat Pertokoan (Ruko), 2 unit Pusat Perbelanjaan (Mall) yang tersebar hanya pada 3 (tiga) kecamatan, sedangkan unit toko/warung tersebar di semua kecamatan (lihat Tabel 55). Tabel 55. Prasarana Niaga dan Perdagangan Kecamatan Pulau Ternate Ternate Selatan Ternate Tengah Ternate Utara Toko/ Warung Pasar Tradisional Minimarket Pusat Pertokoan (Ruko) Pusat Perbelanjaan/ Mall 3 Jumlah Sumber : BPS Kota Ternate (2010) Sarana dan prasarana niaga dan perdagangan, khususnya untuk fasilitas toko/warung memiliki sebaran merata di seluruh kecamatan yang ada di Kota Ternate. Fasilitas ini yang melayani kebutuhan sehari-hari bagi masyarakat yang bermukim di kecamatan Pulau Ternate. Hal ini disebabkan oleh tidak tersedianya fasilitas niaga dan perdagangan lainnya misalnya pasar tradisional maupun minimarket di wilayah tersebut. Berdasarkan standar kebutuhan, maka jumlah penduduk manjadi acuan sebagai faktor penyediaan sarana niaga dan

67 151 perdagangan. Jumlah penduduk kecamatan Pulau Ternate yang hanya berkisar jiwa, belum mencukupi standar pelayanan untuk fasilitas pasar atau minimarket. Namun demikian akses ke prasarana tersebut cukup mudah karena ditunjang oleh ketersediaan infrastruktur jalan yang memadai, yakni adanya jalan kolektor primer (jalan trans Ternate) sehingga memudahkan akses pencapaian ke pusat kota. Sebaran prasarana niaga dan perdagangan skala besar misalnya pusat perbelanjaan/mall, atau pusat pertokoan (ruko) yang ada di Kota Ternate, hampir semuanya terkonsentrasi di pusat kota atau dekat pusat kota. Sementara untuk pasar tradisional seperti yang terlihat dalam Gambar 46, menunjukkan pola sebaran merata di masing-masing kecamatan, meskipun wilayah kecamatan Pulau Ternate tidak terlayani pasar tradisional. Secara makro, kecamatan Ternate Tengah memiliki fasilitas niaga dan perdagangan yang lengkap, atau dengan kata lain bahwa aglomerasi fasilitas niaga dan perdagangan berada di kecamatan ini. Hal ini berkaitan pula dengan peruntukan Bagian Wilayah Kota I (BWK I) berdasarkan RTRW Kota Ternate, dimana kecamatan Ternate Tengah difokuskan sebagai pusat perdagangan skala kota/lokal. Gambar 46. Sebaran Fasilitas Niaga dan Perdagangan di Kota Ternate

68 152 Studi Komparasi Ketersediaan Prasarana Niaga dan Perdagangan Berdasarkan Standar SNI Kebutuhan fasilitas niaga dan perdagangan berdasarkan SNI dianalisis berdasarkan ratio jumlah penduduk terlayani dan radius pelayanannya. Kebutuhan toko/warung ratio per 250 jiwa dengan radius 300 m, dan pertokoan/ruko ratio jiwa dengan radius 2 km berlokasi di pusat kegiatan sub lingkungan. Kebutuhan pasar berdasarkan ratio penduduk jiwa berlokasi di pusat lingkungan jenjang kelurahan atau kecamatan dengan radius pelayanan 5-10 km. Minimarket/swalayan kecil ratio jiwa dengan radius pelayanan 500 m dari pasar dan dapat dijangkau dengan berkendaraan. Kebutuhan pusat perbelanjaan/mall ratio per jiwa berlokasi di jalan utama dan pusat kegiatan serta memiliki fasilitas parkir mandiri. Ketersediaan prasarana niaga dan perdagangan seperti toko/warung, minimarket dan pusat perbelanjaan di Kota Ternate berdasarkan standar pelayanan minimum penduduk telah terpenuhi (Tabel 56). Sementara untuk pasar masih diperlukan 1 unit untuk mencukupi ketersediaannya di kecamatan Ternate Selatan. Pasar tradisonal dan minimarket berada di lokasi sama (berdampingan) yakni pada kecamatan Ternate Tengah dan kecamatan Ternate Selatan, sedangkan kecamatan Ternate Utara pasar tradisional tidak dilengkapi dengan minimarket. Jumlah sebaran fasilitas toko/warung dan minimarket melebihi jumlah layanan dengan jarak pencapaian cukup berdekatan. Mall, pertokoan dan minimarket berada pada wilayah pelayanannya terpusat di satu lokasi (kecamatan Ternate Tengah). Tabel 56. Ketersediaan Prasarana Niaga dan Perdagangan Prasarana Niaga dan Perdagangan Toko/warung Kecamatan Pulau Ternate ( jiwa)* Ternate Selatan ( jiwa)* Ternate Tengah ( jiwa)* Kebutuhan Ketersediaan Keterangan cukup cukup cukup cukup Ternate Utara ( jiwa)* Kebutuhan Pasar Ketersediaan Keterangan tidak butuh tidak cukup cukup cukup Kebutuhan Minimarket Ketersediaan Keterangan tidak butuh cukup cukup cukup Pusat Kebutuhan Perbelanjaan/ Ketersediaan Mall Keterangan tidak butuh tidak butuh cukup tidak butuh * Jumlah Penduduk tahun Standar 250 jiwa; 2 Standar jiwa; 3 Standar jiwa; 4 Standar jiwa;

69 153 Wilayah pelayanan fasilitas toko/warung rata-rata berjarak <300 m atau jarak terdekat dengan radius 150 m dengan relatif waktu tempuh <10 menit dari permukiman penduduk. Jarak tempuh ke pasar tradisional rata-rata 2-3 km dengan waktu tempuh >30 menit, minimarket dengan jarak <0,5 km dengan waktu tempuh <15 menit, dan pusat pertokoan (ruko) maupun pusat perbelanjaan/mall masing-masing berjarak rata-rata 2-3 km waktu tempuh >30 menit dan 3 km dengan waktu tempuh >30 menit. Lokasi pelayanaan pada kecamatan-kecamatan yang dekat dengan pusat kota berada di jalan kolektor primer dan kolektor sekunder, sehingga memudahkan akses ke fasilitas. Jarak pencapaian sarana dan prasarana niaga dan perdagangan disajikan dalam Tabel 57. Tabel 57. Jarak Pencapaian Prasarana Niaga dan Perdagangan Radius Pencapaian Pusat Toko/ Minimarket Kecamatan Pasar Pertokoan Warung (km) (Ruko) (km) (km) (km) Pulau Ternate Ternate Selatan Ternate Tengah Ternate Utara 0,2-0,3 0,1-0,25 0,1-0,25 0,2-0, , , ,5-1 0,3-0,5 0, Pusat Perbelanjaan/ Mall (km) ,5 Kesimpulan Cakupan Pelayanan Prasarana Niaga dan Perdagangan Ketersediaan prasarana niaga dan perdagangan diantaranya toko/warung, minimarket dan pusat perbelanjaan di Kota Ternate telah memenuhi standar pelayanan minimum. Namun fasilitas pasar masih diperlukan 1 unit untuk mencukupi ketersediaannya di kecamatan Ternate Selatan. Jumlah fasilitas toko/warung dan minimarket melebihi jumlah pelayanan minimum dengan jarak pencapaian cukup berdekatan. Mall, pertokoan dan minimarket berada pada wilayah pelayanan yang terpusat di satu lokasi yaitu di kecamatan Ternate Tengah. Sektor perdagangan, hotel dan restoran dan sektor jasa-jasa merupakan sektor-sektor yang memiliki andil terbesar dalam peningkatan Produk Domestik Reginal Bruto (PDRB) Kota Ternate. Terlebih lagi sejak pengembangan kawasan waterfront, peningkatan sektor tersebut cukup signifikan pada waktu memasuki tahun 2008 hingga tahun 2011 (empat tahun terakhir) (lihat pada hal. 82 tentang PDRB Kota Ternate). Hal ini tentunya berkaitan erat dengan peningkatan

70 154 prasarana niaga dan perdagangan berdasarkan analisis cakupan pelayanannya, sehingga dapat mendukung pertumbuhan sektor tersebut. Akses pencapaian sangat mudah dari permukiman khususnya di kecamatan-kecamatan yang dekat dengan pusat kota yakni kecamatan Ternate Tengah, kecamatan Ternate Selatan dan kecamatan Ternate Utara untuk menuju sarana dan prasarana niaga dan perdagangan. Khususnya di kecamatan Ternate Tengah, radius pencapaian terdekat untuk menuju fasilitas tersebut berjarak ratarata <1 km, sedangkan pada 3 (tiga) kecamatan lainnya rata-rata radius terdekat berjarak 1-2,5 km. Hal ini didasari oleh peruntukan ruang kecamatan Ternate Tengah, untuk pusat kegiatan khususnya untuk kawasan niaga dan perdagangan (Central Business District) skala kota/lokal. Secara keseluruhan akses pencapaian ke sarana dan prasarana niaga dan perdagngan telah terpenuhi atau sesuai standar karena ditunjang oleh jaringan jalan yang memadai. Pengaturan zona pelayanan diperlukan agar tidak terjadi pemusatan sarana dan prasarana niaga dan perdagangan di satu lokasi. Cakupan Pelayanan Infrastruktur Hijau Dalam mewujudkan kota ramah lingkungan (eco-city), maka penataan ruang dan perencanaan pembangunan infrastruktur harus mempertimbangan keseimbangan ekologis dengan menerapkan konsep infrastruktur hijau (green infrastructure). Infrastruktur hijau terdiri dari tiga sistem utama yaitu hubs, link dan site. Hubs merupakan jangkar dari jaringan infrastruktur hijau dan menyediakan komponen ekosistem alam, misalnya daerah konservasi, hutan lindung, taman nasional, dan sebagainya. Links merupakan komponen yang menghubungkan antar hubs, berupa jalan air (flood plain), sungai, kawasan sabuk hijau (green belt) maupun jaringan jalan. Sites merupakan unit yang lebih kecil dari hubs dan dapat terhubung ataupun tidak dengan hubs namun menjadi bagian penting dalam jaringan infrastruktur hijau. Site dapat berupa taman ataupun ruang terbuka hijau baik yang berada di komunitas permukiman maupun kawasan rekreasi atau tempat wisata alam. Dari hasil identifikasi citra satelit, peta tematik dan survey lapang, diperoleh objek-objek yang termasuk Hubs, Links dan Site di Kota Ternate,

71 155 dengan hasil klasifikasi menurut kategori elemen-elemen tersebut, sebagai berikut: Hubs 1. Cadangan alami : Hutan lindung, mangrove, semak belukar 2. Lahan kegiatan usaha: perkebunan cengkeh dan pala, kebun campur, pertanian lahan kering Links 1. Koridor konservasi: sepadan sungai, sepadan danau (badan air) 2. Keterkaitan lansekap: sepadan jaringan jalan Site 1. Taman Kota, Taman wisata sejarah 2. Lapangan 3. Areal Pemakaman Kondisi Eksisting Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota Ternate Konsep pembangunan infrastruktur hijau (green infrastructure) di Indonesia saat ini diimplementasikan dengan mengelola kawasan ruang terbuka hijau (RTH) (Herwirawan, 2009). Di dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, perencanaan tata ruang wilayah kota harus memuat rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau yang luas minimalnya sebesar 30% dari luas wilayah kota. Tipologi RTH secara fisik dapat dibagi RTH alami berupa habitat liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional serta RTH non alami atau binaan seperti taman, lapangan olahraga, pemakaman atau jalur-jaur hijau jalan, sedangkan berdasarkan kepemilikan terbagi atas RTH publik dan RTH privat (PERMEN PU No.05/PRT/M/2008). Kawasan Lindung adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber alam, sumber daya buatan, dan nilai sejarah serta budaya bangsa, guna kepentingan pembangunan berkelanjutan. RTH merupakan salah satu objek kawasan lindung yang diprioritaskan dalam rencana pola ruang berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Ternate tahun

72 156 Dengan mengetahui luas wilayah pusat kota Ternate (Kecamatan Ternate Tengah, Ternate Selatan dan Ternate Utara) 5.428,58 ha, maka luas RTH yang harus disediakan sebesar 1.628,57 ha dari luas kota. Pembagian RTH publik 20% atau 1.085,72 ha dan 10% atau 542,86 ha untuk RTH privat. Target ketersediaan RTH tersebut, dapat diwujudkan dengan sebaran kawasan hijau pada 3 (tiga) kecamatan yang ada di Kota Ternate. Ketersediaan RTH dapat diidentifikasi dari data penggunaan lahan eksisting. Dari hasil analisis citra 2010, penggunaan lahan (landuse) didominasi oleh kawasan vegetasi/rth yaitu 4.035,94 ha atau 74% dari luas wilayah pusat kota Ternate. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah pusat kota Ternate tergolong masih hijau, terutama di bagian dataran tinggi hingga menuju ke puncak gunung Gamalama. Kawasan ini meliputi hutan lindung, kebun campur, semak belukar, mangrove, taman dan lapangan. Berikut ini disajikan Tabel 58 berkaitan dengan proporsi penggunaan lahan di Kota Ternate. Tabel 58. Kondisi Eksisting Penggunaan Lahan Kota Ternate Jumlah Luas Persentase Penggunaan Lahan (ha) (%) Lahan Terbangun 1.253,58 23 Kawasan Jasa Perdagangan 151,85 Permukiman 1.101,73 RTH/Vegetasi 4.035,94 74 Mangrove 3,38 Hutan 1.447,21 Kebun Campuran 75,90 Lapangan 11,91 Makam Perkebunan 23, ,04 Pertanian Lahan Kering 121,51 Semak Belukar 178,56 Taman 25,51 Badan Air 40,55 1 Danau 18,32 Sungai 22,23 Lahan Kosong 54,83 1 Lahan Kosong 54,83 Kawah 43,68 1 Kawah Gunung Api 43,68 Penggunaan lahan di Kota Ternate 5.428,58 Ketersediaan RTH Kota Ternate saat ini adalah 4.035,94 ha, yang terbagi dalam RTH publik 1.690,50 ha dan RTH privat 2.345,46 ha. Jika dibandingan dengan standar ketersediaan RTH kota yakni 30%, maka luas RTH Kota Ternate

73 157 tergolong masih melebihi dari standar yang ditetapkan yaitu masing-masing RTH Publik 31% dan RTH Privat 43%. Dilihat pada tiap kecamatan, maka luas RTH adalah 76% (Ternate Selatan), 74% (Ternate Utara) dan 72% (Ternate Tengah) (lihat Tabel 59). Tabel 59. Ketersediaan RTH Berdasarkan Kepemilikan Luas RTH Publik RTH Privat Jumlah Luas RTH Kecamatan Wilayah (ha) (ha) (%) (ha) (%) (ha) (%) Ternate Tengah 1.416,34 365, , ,39 72 Ternate Selatan 2.304,99 794, , ,80 76 Ternate Utara 1.707,24 530, , ,75 74 Kota Ternate 5.428, , , ,94 74 Gambar 47. RTH Kecamatan Ternate Selatan Tabel 60. Penggunaan Lahan Kecamatan Ternate Selatan Penggunaan Lahan Luas Persentase (ha) (%) Lahan Terbangun 470,32 20,40 RTH/Vegetasi 1.756,80 76,22 Badan Air 32,32 1,40 Lahan Kosong 25,05 1,09 Kawah Gunung Api 20,48 0,89 Jumlah 2.304,99 100

74 158 Penggunaan lahan vegetasi/rth masih terbilang cukup luas di kecamatan Ternate Selatan dengan memiliki luas 1.756,80 ha atau masih ada sekitar 76% dari luas wilayahnya. Kawasan vegetasi/rth dominan berada pada lahan dengan kemiringan lereng >20% (lihat Gambar 47). Sementara untuk penggunaan lahan terbangun memadati sepanjang kawasan pesisir pantai dengan jumlah luasnya 470,32 ha atau 20% dari jumlah luas wilayah kecamatan Ternate Selatan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 60. Persentase ketersediaan RTH didasarkan pada perhitungan persentase dari jumlah luas RTH publik maupun RTH privat dibagi dengan luas wilayah kecamatan Ternate Selatan. RTH Publik dan RTH Privat di Kecamatan Ternate Selatan yang terlihat pada Tabel 61 yaitu masing-masing 34% dan 42%. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan RTH Privat lebih luas 962,23 ha dibandingkan RTH Publik yang hanya 794,58 ha. Penggunaan lahan perkebunan mendominasi RTH Privat yaitu 847,59 ha. Tabel 61. RTH Berdasarkan Kepemilikan di Kecamatan Ternate Selatan RTH Publik Luas (ha) RTH Privat Luas (ha) Lapangan 4,42 Kebun Campur 48,92 Makam 6,69 Pertanian Lahan Kering 65,72 Mangrove 3,38 Perkebunan 847,59 Taman 12,20 Hutan Lindung 766,93 Semak Belukar 0,96 Jumlah 794,58 962,23 Persentase (%) Kondisi eksisting penggunaan lahan Kecamatan Ternate Tengah seperti yang terlihat pada Gambar 48, menggambarkan bahwa perbandingan luas lahan terbangun dan non terbangun hampir 1:3. Kecamatan ini merupakan wilayah terpadat di Kota Ternate, karena merupakan bagian wilayah kota yang melayani sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, jasa dan perdagangan, serta kawasan permukiman. Luas RTH di kecamatan ini tergolong paling kecil diantara kecamatan lainnya yaitu hanya 1.021,39 ha atau 72% (Tabel 62). Kawasan vegetasi/rth dominan berada pada lahan dengan kemiringan lereng >40%. Penggunaan lahan terbangun memadati sepanjang kawasan pesisir pantai

75 159 (kemiringan 0-10%) hingga ke dataran tinggi (kemiringan 10-20%) dengan luas berkisar 379,21 ha atau 26% dari jumlah luas wilayah kecamatan Ternate Tengah. Gambar 48. RTH Kecamatan Ternate Tengah Tabel 62. Penggunaan Lahan di Kecamatan Ternate Tengah Penggunaan Lahan Luas (ha) Persentase (%) Lahan Terbangun 379,21 26,77 RTH/Vegetasi 1.021,39 72,11 Badan Air 4,62 0,33 Lahan Kosong 2,57 0,18 Kawah Gunung Api 8,53 0,60 Jumlah 1.416, Tabel 63. RTH Berdasarkan Kepemilikan di Kecamatan Ternate Tengah RTH Publik Luas (ha) RTH Privat Luas (ha) Lapangan 4,12 Kebun Campur 21,96 Makam 12,90 Pertanian Lahan Kering 2,45 Taman 4,45 Perkebunan 631,64 Hutan Lindung 343,84 Jumlah 365,31 656,05 Persentase (%) 26 46

76 160 Persentase ketersediaan RTH Publik dan RTH Privat di Kecamatan Ternate Tengah yaitu masing-masing 26% dan 46%. Perhitungan persentase jumlah luas RTH publik ataupun RTH privat dibagi dengan luas wilayah kecamatan Ternate Tengah. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan RTH Privat masih lebih luas 365,31 ha dibandingkan RTH Publik yang hanya 656,05 ha. Penggunaan lahan perkebunan menyumbang RTH Privat terbesar yaitu 631,64 ha dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya dalam kategori RTH Privat. Ketersediaan RTH berdasarkan kepemilikan dapat dilihat pada Tabel 63. Proporsi penggunaan lahan di kecamatan Ternate Utara juga menunjukkan penggunaan lahan untuk vegetasi/rth masih terbilang cukup luas yakni 1.257,75 ha atau masih ada sekitar 73% dari luas wilayahnya. Kawasan vegetasi/rth dominan berada pada lahan dengan kemiringan lereng >20% (lihat Gambar 49). Berbeda halnya dengan penggunaan lahan terbangun, dimana hampir sepanjang kawasan pesisir pantai dipadati permukiman dengan jumlah luasnya berkisar 404,03 ha atau 23% dari jumlah luas wilayah kecamatan Ternate Utara (lihat pada Tabel 654). Gambar 49. RTH Kecamatan Ternate Utara

PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan

PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pengembangan wilayah merupakan program komprehensif dan terintegrasi dari semua kegiatan dengan mempertimbangkan sumberdaya yang ada dalam rangka memberikan kontribusi untuk

Lebih terperinci

Hirarki Wilayah Kota Ternate Pasca Pengembangan Kawasan Waterfront City

Hirarki Wilayah Kota Ternate Pasca Pengembangan Kawasan Waterfront City Journal Homepage: http://ejournal2.undip.ac.id/index.php/jwl JURNAL WILAYAH DAN LINGKUNGAN P-ISSN: 2338-1604 dan E-ISSN: 2407-8751 Volume 4 Nomor 3, Desember 2016, 213-224 Hirarki Wilayah Kota Ternate

Lebih terperinci

PROFIL KABUPATEN / KOTA

PROFIL KABUPATEN / KOTA PROFIL KABUPATEN / KOTA KOTA KENDARI SULAWESI TENGGARA KOTA KENDARI ADMINISTRASI Profil Wilayah Kota Kendari merupakan bagian dari wilayah administrasi dari propinsi Sulawesi Tenggara. Batas-batas administratif

Lebih terperinci

PROFIL KABUPATEN / KOTA

PROFIL KABUPATEN / KOTA PROFIL KABUPATEN / KOTA KOTA JAWA TIMUR KOTA ADMINISTRASI Profil Wilayah Kota Tuban merupakan ibukota Kabupaten Tuban. Apabila dilihat dari posisi Kota Tuban yang berada di jalan arteri primer yang menghubungkan

Lebih terperinci

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP

KETENTUAN TEKNIS MUATAN RENCANA DETAIL PEMBANGUNAN DPP, KSPP DAN KPPP LAMPIRAN II PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN PROVINSI

Lebih terperinci

KELURAHAN SELINDUNG BARU

KELURAHAN SELINDUNG BARU Tabel II.21 Ruang Terbuka Hijau Kelurahan Selindung Baru N0. JENIS RTH LOKASI LUAS (M 2 ) 1. Pekarangan SMP 7 RT.01 10.000,0 2. Pekarangan Kantor Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan RT.01 4.771,0 3. Kuburan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN PRASARANA DASAR PERMUKIMAN DI KELURAHAN MAASING, KECAMATAN TUMINTING, KOTA MANADO

ANALISIS KEBUTUHAN PRASARANA DASAR PERMUKIMAN DI KELURAHAN MAASING, KECAMATAN TUMINTING, KOTA MANADO Sabua Vol.6, No.1: 199-206, Mei 2014 ISSN 2085-7020 HASIL PENELITIAN ANALISIS KEBUTUHAN PRASARANA DASAR PERMUKIMAN DI KELURAHAN MAASING, KECAMATAN TUMINTING, KOTA MANADO Alfath S.N. Syaban 1, Sonny Tilaar

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN ASAHAN SEKRETARIAT DAERAH Jalan Jenderal Sudirman No.5 Telepon K I S A R A N

PEMERINTAH KABUPATEN ASAHAN SEKRETARIAT DAERAH Jalan Jenderal Sudirman No.5 Telepon K I S A R A N PEMERINTAH KABUPATEN ASAHAN SEKRETARIAT DAERAH Jalan Jenderal Sudirman No.5 Telepon 41928 K I S A R A N 2 1 2 1 6 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ASAHAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN ASAHAN NOMOR 3 TAHUN 2012 TENTANG

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian METODOLOGI PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Ternate yang merupakan salah satu kota di Propinsi Maluku Utara. Secara administratif, Kota Ternate berada pada 0 2 LU dan

Lebih terperinci

Jumlah Desa Bukan Pesisir Jumlah 250, Sumber : BPS Kota Ternate (2010) Luas Daratan Jumlah. Kecamatan 65,88.

Jumlah Desa Bukan Pesisir Jumlah 250, Sumber : BPS Kota Ternate (2010) Luas Daratan Jumlah. Kecamatan 65,88. 65 GAMBARAN UMUM KOTA TERNATE Letak Geografis dan Batas Administratif Lokasi penelitian berada di Kota Ternate, Provinsi Maluku Utara dengan letak geografis pada 0-2 Lintang Utara dan 126-128 Bujur Timur.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan dinamika daerah menuju kemajuan yang diinginkan masyarakat. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dalam memajukan kondisi sosial,

Lebih terperinci

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya;

KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI. dengan fasilitas dan infrastruktur perkotaan yang sesuai dengan kegiatan ekonomi yang dilayaninya; Lampiran III : Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba Nomor : 21 Tahun 2012 Tanggal : 20 Desember 2012 Tentang : RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2012 2032 KETENTUAN UMUM PERATURAN ZONASI

Lebih terperinci

2.4. Permasalahan Pembangunan Daerah

2.4. Permasalahan Pembangunan Daerah 2.4. Permasalahan Pembangunan Daerah Permasalahan pembangunan daerah merupakan gap expectation antara kinerja pembangunan yang dicapai saat inidengan yang direncanakan serta antara apa yang ingin dicapai

Lebih terperinci

Sejalan dengan berkembangnya suatu kota atau wilayah dan meningkatnya kebutuhan manusia, infrastruktur jalan sangat diperlukan untuk menunjang proses

Sejalan dengan berkembangnya suatu kota atau wilayah dan meningkatnya kebutuhan manusia, infrastruktur jalan sangat diperlukan untuk menunjang proses BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sistem transportasi terutama infrastruktur jaringan jalan merupakan salah satu modal utama dalam perkembangan suatu wilayah. Pada daerah perkotaan, terutama, dibutuhkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara berkembang terus membenahi dirinya melalui pembangunan di segala bidang agar dapat menjadi negara yang makmur setara dengan negara-negara maju

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Metro adalah kota hasil pemekaran Kabupaten Lampung Tengah dan memperoleh otonomi daerah pada tanggal 27 April 1999 sesuai dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun

Lebih terperinci

INDIKATOR PROGRAM UTAMA PEMBANGUNAN PEMANFAATAN RUANG KOTA GORONTALO TAHUN

INDIKATOR PROGRAM UTAMA PEMBANGUNAN PEMANFAATAN RUANG KOTA GORONTALO TAHUN LAMPIRAN IV INDIKATOR PROGRAM UTAMA PEMBANGUNAN PEMANFAATAN RUANG KOTA GORONTALO TAHUN 2010-2030 NO. PROGRAM KEGIATAN LOKASI BESARAN (Rp) A. Perwujudan Struktur Ruang 1 Rencana Pusat - Pembangunan dan

Lebih terperinci

PROFIL KABUPATEN / KOTA

PROFIL KABUPATEN / KOTA PROFIL KABUPATEN / KOTA KOTA JAMBI JAMBI KOTA JAMBI ADMINISTRASI Profil Wilayah Tabel 1. LUAS WILAYAH KOTA JAMBI No. Kecamatan Luas (Km²) 1. Kota Baru 77,78 2. Jambi Selatan 34,07 3. Jelutung 7,92 4. Pasar

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 9. Klasifikasi dan Sebaran Land Use/Land Cover Kota Bogor Tahun 2003 dan 2007 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pola Sebaran Penggunaan/Penutupan Lahan dan Perubahan Luasannya di Kota Bogor Kota Bogor memiliki luas kurang lebih 11.267 Ha dan memiliki enam kecamatan, yaitu Kecamatan Bogor

Lebih terperinci

Tabel IV.1 Guna Lahan Perumahan Dan Proyeksi Jumlah Penduduk

Tabel IV.1 Guna Lahan Perumahan Dan Proyeksi Jumlah Penduduk 86 BAB IV KAJIAN PEMBIAYAAN PENYEDIAAN AIR BERSIH 4.1 Proyeksi Kebutuhan Air Bersih Proyeksi kebutuhan air bersih pada wilayah pelayanan yang telah ditentukan didapat berdasarkan guna lahan rencana Kabupaten

Lebih terperinci

Identifikasi Permukiman Kumuh Berdasarkan Tingkat RT di Kelurahan Keputih Kota Surabaya

Identifikasi Permukiman Kumuh Berdasarkan Tingkat RT di Kelurahan Keputih Kota Surabaya C389 Identifikasi Permukiman Kumuh Berdasarkan Tingkat RT di Kelurahan Keputih Kota Surabaya Elpidia Agatha Crysta dan Yanto Budisusanto Departemen Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah 17.506 pulau besar dan kecil, dengan total garis pantai yang diperkirakan mencapai 81.000 Km, Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Perubahan iklim akibat pemanasan global saat ini menjadi sorotan utama berbagai masyarakat dunia. Perubahan iklim dipengaruhi oleh kegiatan manusia berupa pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota menurut Alan S. Burger The City yang diterjemahkan oleh (Dyayadi, 2008) dalam bukunya Tata Kota menurut Islam adalah suatu permukiman yang menetap (permanen) dengan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN LOKASI

BAB IV GAMBARAN LOKASI BAB IV GAMBARAN LOKASI 4.1 Tinjauan Umum Kota Banjar Baru A. Lokasi Kota Banjarbaru sesuai dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 1999 memiliki wilayah seluas ±371,38 Km2 atau hanya 0,88% dari luas wilayah Provinsi

Lebih terperinci

KONDISI LINGKUNGAN PERMUKIMAN PASCA RELOKASI

KONDISI LINGKUNGAN PERMUKIMAN PASCA RELOKASI BAB 4 KONDISI LINGKUNGAN PERMUKIMAN PASCA RELOKASI Program Relokasi di Kelurahan Sewu dilatar belakangi oleh beberapa kondisi, diantaranya kondisi banjir yang tidak dapat di prediksi waktu terjadi seperti

Lebih terperinci

LOKASI. Secara harafiah dapat diartikan sebagai berikut:

LOKASI. Secara harafiah dapat diartikan sebagai berikut: TEORI TEMPAT LOKASI LOKASI Secara harafiah dapat diartikan sebagai berikut: LOKASI Lokasi dalam Ruang dapat dibedakan menjadi: Lokasi Absolut Lokasi Relatif LOKASI ABSOLUT Merupakan Lokasi yang berkenaan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PERANCANGAN. 4.1 Analisis Obyek Rancangan Terhadap Kondisi Eksisting

BAB IV ANALISIS PERANCANGAN. 4.1 Analisis Obyek Rancangan Terhadap Kondisi Eksisting BAB IV ANALISIS PERANCANGAN 4.1 Analisis Obyek Rancangan Terhadap Kondisi Eksisting Terdapat beberapa hal yang benar-benar harus diperhatikan dalam analisis obyek perancangan terhadap kondisi eksisting

Lebih terperinci

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik

GEOGRAFI. Sesi PENGINDERAAN JAUH : 5. A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 12 Sesi NGAN PENGINDERAAN JAUH : 5 A. IDENTIFIKASI CITRA PENGINDERAAN JAUH a. Identifikasi Fisik 1. Hutan Hujan Tropis Rona gelap Pohon bertajuk, terdiri dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat kenyamanan permukiman di kota dipengaruhi oleh keberadaan ruang terbuka hijau dan tata kelola kota. Pada tata kelola kota yang tidak baik yang ditunjukkan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perencanaan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perencanaan 1.1 Latar Belakang Perencanaan BAB I PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, hal ini dilihat dari banyaknya pulau yang tersebar di seluruh wilayahnya yaitu 17.504

Lebih terperinci

PROFIL KABUPATEN / KOTA

PROFIL KABUPATEN / KOTA PROFIL KABUPATEN / KOTA KOTA SUBANG JAWA BARAT KOTA SUBANG ADMINISTRASI Profil Wilayah Kota Subang merupakan ibukota Kecamatan Subang yang terletak di kabupaten Ciamis Propinsi Jawa Barat. Batas-batas

Lebih terperinci

PROFIL KABUPATEN / KOTA

PROFIL KABUPATEN / KOTA PROFIL KABUPATEN / KOTA KOTA JAWA TIMUR KOTA ADMINISTRASI Profil Wilayah Bagian selatan Bagian barat Secara astronomis, Kota Situbondo yang terdiri dari 9 desa/kelurahan, terletak diantara 7º35 7º 44 Lintang

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG

ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG ANALISIS KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU PUBLIK DI KOTA BITUNG ANALYSIS OF PUBLIC GREEN OPEN SPACE IN BITUNG CITY Alvira Neivi Sumarauw Jurusan Perencanaan Wilayah, Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan

Lebih terperinci

BAB 1 MEMORANDUM PROGRAM SANITASI (MPS) KOTA TERNATE BAB PENDAHULUAN

BAB 1 MEMORANDUM PROGRAM SANITASI (MPS) KOTA TERNATE BAB PENDAHULUAN PENDAHULUAN. Latar Belakang Aspek Sanitasi adalah sebagai salah satu aspek pembangunan yang memiliki fungsi penting dalam menunjang tingkat kesejahteraan masyarakat karena berkaitan dengan kesehatan, pola

Lebih terperinci

KAJIAN ALTERNATIF PENYEDIAAN AIR BAKU UNTUK PENGEMBANGAN BUDIDAYA PERIKANAN DESA PAMOTAN KECAMATAN DAMPIT KABUPATEN MALANG

KAJIAN ALTERNATIF PENYEDIAAN AIR BAKU UNTUK PENGEMBANGAN BUDIDAYA PERIKANAN DESA PAMOTAN KECAMATAN DAMPIT KABUPATEN MALANG Kajian Alternatif Penyediaan Air Baku I Wayan Mundra Hirijanto KAJIAN ALTERNATIF PENYEDIAAN AIR BAKU UNTUK PENGEMBANGAN BUDIDAYA PERIKANAN DESA PAMOTAN KECAMATAN DAMPIT KABUPATEN MALANG I Wayan Mundra

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR. Oleh : BENI ANGGID LAKSONO L2D

TUGAS AKHIR. Oleh : BENI ANGGID LAKSONO L2D KONTRIBUSI TAMAN BERMAIN WONDERIA TERHADAP ARUS LALU LINTAS DI PENGGAL RUAS JALAN SRIWIJAYA SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh : BENI ANGGID LAKSONO L2D 301 321 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 31 TAHUN 2013

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 31 TAHUN 2013 1 BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PENGATURAN INTENSITAS PEMANFAATAN RUANG KORIDOR JALAN LETJEND S. PARMAN - JALAN BRAWIJAYA DAN KAWASAN SEKITAR TAMAN BLAMBANGAN

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1 TINJAUAN UMUM

Bab I Pendahuluan I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1 TINJAUAN UMUM Bab I Pendahuluan I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1 TINJAUAN UMUM Jaringan jalan merupakan salah satu prasarana untuk meningkatkan laju pertumbuhan perekonomian suatu daerah. Berlangsungnya kegiatan perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang merupakan bagian dari pelayanan sosial yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat kota, karena sarana merupakan pendukung kegiatan/aktivitas masyarakat kota

Lebih terperinci

PROFIL KABUPATEN / KOTA

PROFIL KABUPATEN / KOTA PROFIL KABUPATEN / KOTA KOTA JAWA TIMUR KOTA ADMINISTRASI Profil Wilayah Secara astronomis Kota Lumajang terletak pada posisi 112 5-113 22 Bujur Timur dan 7 52-8 23 Lintang Selatan. Dengan wilayah seluas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) adalah sebuah provinsi sekaligus ibu kota 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) adalah sebuah provinsi sekaligus ibu kota 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI Jakarta) adalah sebuah provinsi sekaligus ibu kota negara Indonesia. Secara administratif, Jakarta berperan sebagai pusat pemerintahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di berbagai kota di Indonesia, baik kota besar maupun kota kecil dan sekitarnya pembangunan fisik berlangsung dengan pesat. Hal ini di dorong oleh adanya pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

Pangkalanbalai, Oktober 2011 Pemerintah Kabupaten Banyuasin Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal

Pangkalanbalai, Oktober 2011 Pemerintah Kabupaten Banyuasin Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Banyuasin Tahun 2012 2032merupakan suatu rencana yang disusun sebagai arahan pemanfaatan ruang di wilayah Kabupaten Banyuasin untuk periode jangka panjang 20

Lebih terperinci

PENJELASAN I ISTILAH YANG DIGUNAKAN DALAM PROGRAM ADIPURA

PENJELASAN I ISTILAH YANG DIGUNAKAN DALAM PROGRAM ADIPURA PENJELASAN I ISTILAH YANG DIGUNAKAN DALAM PROGRAM ADIPURA Perumahan menengah : meliputi kompleks perumahan atau dan sederhana permukiman Perumahan pasang surut : meliputi perumahan yang berada di daerah

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA PERENCANAAN

BAB IV ANALISA PERENCANAAN BAB IV ANALISA PERENCANAAN 4.1. Analisa Non Fisik Adalah kegiatan yang mewadahi pelaku pengguna dengan tujuan dan kegiatannya sehingga menghasilkan besaran ruang yang dibutuhkan untuk mewadahi kegiatannya.

Lebih terperinci

PROFIL KABUPATEN / KOTA

PROFIL KABUPATEN / KOTA PROFIL KABUPATEN / KOTA KOTA SIDAMANIK SUMATERA UTARA KOTA SIDAMANIK ADMINISTRASI Profil Kota Kota Kisaran merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Simalungun Propinsi Sumatera Utara. PENDUDUK Jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kota merupakan salah satu wilayah hunian manusia yang paling kompleks,

BAB I PENDAHULUAN. Kota merupakan salah satu wilayah hunian manusia yang paling kompleks, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota merupakan salah satu wilayah hunian manusia yang paling kompleks, terdiri dari berbagai sarana dan prasarana yang tersedia, kota mewadahi berbagai macam aktivitas

Lebih terperinci

GREEN TRANSPORTATION

GREEN TRANSPORTATION GREEN TRANSPORTATION DIREKTORAT PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA DIRJEN PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN KERUSAKAN LINGKUNGAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN Jakarta 2016 - 23 % emisi GRK dari fossil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan penduduk kota kota di Indonesia baik sebagai akibat pertumbuhan penduduk maupun akibat urbanisasi telah memberikan indikasi adanya masalah perkotaan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Pesisir adalah wilayah bertemunya daratan dan laut, dengan dua karakteristik yang berbeda. Bergabungnya kedua karakteristik tersebut membuat kawasan pesisir memiliki

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN BONDOWOSO NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN BONDOWOSO TAHUN 2011-2031 I. UMUM Proses pertumbuhan dan perkembangan wilayah Kabupaten

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan di laut yang saling berinteraksi sehingga

Lebih terperinci

Analisis Kebutuhan Parkir dan Kajian Dampak Lalu Lintas Gedung Pusat Perbelanjaan Ramayana Makassar

Analisis Kebutuhan Parkir dan Kajian Dampak Lalu Lintas Gedung Pusat Perbelanjaan Ramayana Makassar 1.1. Latar Belakang Makassar merupakan kota yang strategis dimana terletak ditengah-tengah wilayah Republik Indonesia atau sebagai Center Point of Indonesia. Hal ini mendukung posisi Makassar sebagai barometer

Lebih terperinci

DUKUNGAN KEMENTERIAN UNTUK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR KEMENTERIAN

DUKUNGAN KEMENTERIAN UNTUK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR KEMENTERIAN DUKUNGAN KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN UNTUK PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan KEMENTERIAN LINGKUNGAN

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS. 4.1 ANALISIS FUNGSIONAL a) Organisasi Ruang

BAB IV ANALISIS. 4.1 ANALISIS FUNGSIONAL a) Organisasi Ruang BAB IV ANALISIS 4.1 ANALISIS FUNGSIONAL a) Organisasi Ruang Skema 1 : Organisasi ruang museum Keterkaitan atau hubungan ruang-ruang yang berada dalam perancangan museum kereta api Soreang dapat dilihat

Lebih terperinci

TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI

TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI TUJUAN, KEBIJAKAN DAN STRATEGI 2.1. Tujuan Penataan Ruang Kota Bengkulu Tujuan penataan ruang wilayah kota dirumuskan berdasarkan: 1) visi dan misi pembangunan wilayah kota; 2) karakteristik wilayah kota;

Lebih terperinci

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Penataan Ruang Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian Kawasan peruntukan hutan produksi kawasan yang diperuntukan untuk kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok

METODE PENELITIAN. Sumber: Dinas Tata Ruang dan Pemukiman Depok (2010) Gambar 9. Peta Orientasi Wilayah Kecamatan Beji, Kota Depok III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kecamatan Beji sebagai pusat Kota Depok, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Penelitian

Lebih terperinci

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG

2016 KEBUTUHAN RUANG TERBUKA HIJAU BERD ASARKAN JUMLAH PEND UD UK D I KECAMATAN JATINANGOR KABUPATEN SUMED ANG BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ruang terbuka hijau (RTH) merupakan suatu ruang terbuka di kawasan perkotaan yang didominasi tutupan lahannya oleh vegetasi serta memiliki fungsi antara lain

Lebih terperinci

METOPEN ANALISIS LOKASI & POLA RUANG

METOPEN ANALISIS LOKASI & POLA RUANG METOPEN ANALISIS LOKASI & POLA RUANG Aprido Pratama Fahri Husaini Dian Kurnia Sari Retno Kartika Sari LANDASAN TEORI Teori lokasi adalah ilmu yang menyelidiki tata ruang (spatial order) kegiatan ekonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kota Bandung, merupakan sebuah kota metropolitan dimana didalamnya terdapat beragam aktivitas kehidupan masyarakat. Perkembangan kota Bandung sebagai kota metropolitan

Lebih terperinci

PROFIL KABUPATEN / KOTA

PROFIL KABUPATEN / KOTA PROFIL KABUPATEN / KOTA KOTA PINANG SUMATERA UTARA KOTA KOTA PINANG ADMINISTRASI Profil Kota Pinang merupakan ibukota kecamatan (IKK) dari Kecamatan Kota Pinang dan merupakan bagian dari kabupaten Labuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penduduk dapat ditampung dalam ruang-ruang sarana sosial dan ekonomi, tetapi tidak akan berjalan dengan baik tanpa didukung oleh pelayanan infrastruktur yang

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN WILAYAH

BAB III TINJAUAN WILAYAH BAB III TINJAUAN WILAYAH 3.1 TINJAUAN UMUM KOTA MAGELANG 3.1.1 Tinjauan Administratif Wilayah Kota Magelang Kota Magelang merupakan salah satu kota yang terletak di tengah Jawa Tengah dengan memiliki luas

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1

LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1 LAMPIRAN I CONTOH PETA RENCANA STRUKTUR RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 1 LAMPIRAN II CONTOH PETA RENCANA POLA RUANG WILAYAH KABUPATEN L - 2 LAMPIRAN III CONTOH PETA PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS KABUPATEN L

Lebih terperinci

STUDI SISTEM PENYEDIAAN AIR BERSIH DI PULAU BARRANG LOMPO KECAMATAN UJUNG TANAH KOTA MAKASSAR

STUDI SISTEM PENYEDIAAN AIR BERSIH DI PULAU BARRANG LOMPO KECAMATAN UJUNG TANAH KOTA MAKASSAR STUDI SISTEM PENYEDIAAN AIR BERSIH DI PULAU BARRANG LOMPO KECAMATAN UJUNG TANAH KOTA MAKASSAR Mary Selintung 1, Achmad Zubair 1, Dini Rakhmani 2 Abstrak Air bersih merupakan kebutuhan pokok bagi kehidupan

Lebih terperinci

BAB 2 Sistem Utilitas Distribusi Jaringan Listrik

BAB 2 Sistem Utilitas Distribusi Jaringan Listrik BAB 2 Sistem Utilitas Distribusi Jaringan Listrik Pada bab ini akan diuraikan penjelasan teori sistem informasi utilitas secara umum berikut istilah yang ada dalam sistem utilitas serta tahapan pekerjaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan pembangunan pada suatu daerah sering membawa dampak, baik dari nilai positif maupun nilai negatif. Semakin berkembangnya suatu daerah tersebut akan meningkatkan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH 4.1. Posisi Makro terhadap DKI Jakarta. Jakarta, Ibukota Indonesia, berada di daerah dataran rendah, bahkan di bawah permukaan laut yang terletak antara 6 12 LS and 106 48 BT.

Lebih terperinci

Pelaksanakan survai dan pengolahan data adalah untuk memperoleh data dan informasi tentang kondisi awal kawasan perencanaan.

Pelaksanakan survai dan pengolahan data adalah untuk memperoleh data dan informasi tentang kondisi awal kawasan perencanaan. TPL301 PERENCANAAN KOTA PERTEMUAN III : PENGUMPULAN DAN PENGOLAHAN DATA Oleh : Ir. Darmawan L. Cahya, MURP, MPA (darmawan@esaunggul.ac.id) Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Tkik Teknik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tiap-tiap negara mempunyai pertimbangan berbeda mengenai penetapan suatu wilayah yang disebut kota. Pertimbangan itu dipengaruhi oleh beberapa variasi kewilayahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan tingginya kepadatan penduduk dan diwarnai dengan strata sosial ekonomi yang heterogen

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 69 TAHUN 2001 TENTANG KEPELABUHANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberikan

Lebih terperinci

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANGKA

BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH KABUPATEN BANGKA GEOGRAFIS KABUPATEN BANGKA PKL Sungailiat PKW PKNp PKWp PKW PKW Struktur Perekonomian Kabupaten Bangka tanpa Timah Tahun 2009-2013 Sektor 2009 (%)

Lebih terperinci

PREVIEW III (AKHIR) TUGAS AKHIR-RP

PREVIEW III (AKHIR) TUGAS AKHIR-RP PREVIEW III (AKHIR) TUGAS AKHIR-RP09 1333 PROGRAM STUDI PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA, 2013 BAB I LATAR BELAKANG Permukiman

Lebih terperinci

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SRAGEN NOMOR 11 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2011-2031 I. UMUM 1. Faktor yang melatarbelakangi disusunnya Rencana Tata Ruang

Lebih terperinci

V. ANALISIS DAN SINTESIS

V. ANALISIS DAN SINTESIS V. ANALISIS DAN SINTESIS 5.1 Analisis 5.1.1 Analisis Fisik 5.1.1.1 Analisis Topografi Wilayah Banjarmasin bagian utara memiliki ketinggian permukaan tanah rata-rata 0,16 m di bawah permukaan air laut,

Lebih terperinci

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi

3.2 Alat. 3.3 Batasan Studi 3.2 Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain alat tulis dan kamera digital. Dalam pengolahan data menggunakan software AutoCAD, Adobe Photoshop, dan ArcView 3.2 serta menggunakan hardware

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan teknologi penginderaan jauh yang semakin pesat menyebabkan penginderaan jauh menjadi bagian penting dalam mengkaji suatu fenomena di permukaan bumi sebagai

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM TEMPAT PENELITIAN. Bandar Lampung merupakan Ibukota Provinsi Lampung yang merupakan daerah

IV. GAMBARAN UMUM TEMPAT PENELITIAN. Bandar Lampung merupakan Ibukota Provinsi Lampung yang merupakan daerah IV. GAMBARAN UMUM TEMPAT PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Kota Bandar Lampung Bandar Lampung merupakan Ibukota Provinsi Lampung yang merupakan daerah yang dijadikan sebagai pusat kegiatan pemerintahan, politik,

Lebih terperinci

V. HASIL ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN

V. HASIL ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN 63 V. HASIL ANALISIS PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN A. Luas Perubahan Lahan Perkebunan Karet yang Menjadi Permukiman di Desa Batumarta I Kecamatan Lubuk Raja Kabupaten OKU Tahun 2005-2010 Berdasarkan hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. lahan terbangun yang secara ekonomi lebih memiliki nilai. yang bermanfaat untuk kesehatan (Joga dan Ismaun, 2011). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan bagian dari perkembangan suatu kota. Pembangunan yang tidak dikendalikan dengan baik akan membawa dampak negatif bagi lingkungan kota. Pembangunan

Lebih terperinci

KONDISI PELAYANAN FASILITAS SOSIAL KECAMATAN BANYUMANIK-SEMARANG BERDASARKAN PERSEPSI PENDUDUK TUGAS AKHIR

KONDISI PELAYANAN FASILITAS SOSIAL KECAMATAN BANYUMANIK-SEMARANG BERDASARKAN PERSEPSI PENDUDUK TUGAS AKHIR KONDISI PELAYANAN FASILITAS SOSIAL KECAMATAN BANYUMANIK-SEMARANG BERDASARKAN PERSEPSI PENDUDUK TUGAS AKHIR Oleh: ADHITA KUSUMA DWI CAHYANI L 2D 098 402 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi

KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI. Administrasi KEADAAN UMUM WILAYAH KABUPATEN SUKABUMI Administrasi Secara administrasi pemerintahan Kabupaten Sukabumi dibagi ke dalam 45 kecamatan, 345 desa dan tiga kelurahan. Ibukota Kabupaten terletak di Kecamatan

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB 2 LANDASAN TEORI BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Permukiman Kumuh Berdasarkan Dinas Tata Kota DKI tahun 1997 dalam Gusmaini (2012) dikatakan bahwa permukiman kumuh merupakan permukiman berpenghuni padat, kondisi sosial ekonomi

Lebih terperinci

PROFIL KABUPATEN / KOTA

PROFIL KABUPATEN / KOTA PROFIL KABUPATEN / KOTA KOTA BALIGE SUMATERA UTARA KOTA BALIGE ADMINISTRASI Profil Kota Kota Balige merupakan ibukota Kabupaten (IKAB) dari kabupaten Toba Samosir yang terletak di propinsi Sumatera Utara.

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH PERENCANAAN

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH PERENCANAAN BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH PERENCANAAN II. 1. Umum Ujung Berung Regency merupakan perumahan dengan fasilitas hunian, fasilitas sosial dan umum, area komersil dan taman rekreasi. Proyek pembangunan perumahan

Lebih terperinci

EVALUASI PENCAPAIAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PELAYANAN BIDANG SARANA DAN PRASARANA DASAR KABUPATEN KUTAI TIMUR. Arif Mudianto.

EVALUASI PENCAPAIAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PELAYANAN BIDANG SARANA DAN PRASARANA DASAR KABUPATEN KUTAI TIMUR. Arif Mudianto. EVALUASI PENCAPAIAN STANDAR PELAYANAN MINIMAL (SPM) PELAYANAN BIDANG SARANA DAN PRASARANA DASAR KABUPATEN KUTAI TIMUR Oleh : Arif Mudianto Abstrak Standar Pelayanan Minimal (SPM) adalah ketentuan tentang

Lebih terperinci

4. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertumbuhan Ekonomi

4. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertumbuhan Ekonomi 4. GAMBARAN UMUM 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan dasar pengukuran atas nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha yang timbul akibat adanya

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian adalah di Kota Jakarta Timur, dengan fokus pada Kecamatan Jatinegara. Kecamatan ini memiliki 8 Kelurahan yaitu Cipinang Cempedak, Cipinang

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS TAHUN 2011 2031 I. UMUM Ruang Wilayah Kabupaten Kepulauan Anambas yang meliputi

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN WILAYAH YOGYAKARTA

BAB III TINJAUAN WILAYAH YOGYAKARTA BAB III TINJAUAN WILAYAH YOGYAKARTA 3.1 TINJAUAN UMUM WILAYAH YOGYAKARTA 3.1.1 Kondisi Geografis dan Aministrasi Kota Yogyakarta terletak di bagian tengah-selatan Pulau Jawa dengan luas 32,50 km2. Kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap penduduk kota maupun penduduk dari wilayah yang menjadi wilayah

BAB I PENDAHULUAN. terhadap penduduk kota maupun penduduk dari wilayah yang menjadi wilayah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkotaan sebagai pusat permukiman dan sekaligus pusat pelayanan (jasa) terhadap penduduk kota maupun penduduk dari wilayah yang menjadi wilayah pengaruhnya (hinterland)

Lebih terperinci

PROFIL KABUPATEN / KOTA

PROFIL KABUPATEN / KOTA PROFIL KABUPATEN / KOTA KOTA PADANG SIDEMPUAN SUMATERA UTARA KOTA PADANG SIDEMPUAN ADMINISTRASI Profil Wilayah Kota Padang Sidempuan merupakan salah satu kota sedang yang terletak di Propinsi Sumatera

Lebih terperinci

INFRASTRUKTUR BAB PERHUBUNGAN

INFRASTRUKTUR BAB PERHUBUNGAN BAB 5 INFRASTRUKTUR 5.1. PERHUBUNGAN Pembangunan infrastruktur perhubungan bertujuan memperlancar aksesibilitas dan membuka keterisolasian wilayah yang dapat meningkatkan kegiatan perekonomian wilayah

Lebih terperinci

No. Program Sasaran Program Instansi Penanggung Jawab Pagu (Juta Rupiah)

No. Program Sasaran Program Instansi Penanggung Jawab Pagu (Juta Rupiah) E. PAGU ANGGARAN BERDASARKAN PROGRAM No. Program Sasaran Program Instansi Penanggung Jawab Pagu (Juta Rupiah) Sub Bidang Sumber Daya Air 1. Pengembangan, Pengelolaan, dan Konservasi Sungai, Danau, dan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS PEMILIHAN ALTERNATIF LOKASI PASAR LOKAL DI KECAMATAN CIKAMPEK

BAB IV ANALISIS PEMILIHAN ALTERNATIF LOKASI PASAR LOKAL DI KECAMATAN CIKAMPEK 83 BAB IV ANALISIS PEMILIHAN ALTERNATIF LOKASI PASAR LOKAL DI KECAMATAN CIKAMPEK 4.1 Metode Pemilihan Alternatif Lokasi Pasar Lokal 4.1.1 Penentuan Titik Titik Permintaan (Demand Point) Titik permintaan

Lebih terperinci

RANCANGAN PERATURAN MENTERI TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN,

RANCANGAN PERATURAN MENTERI TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN, Menimbang RANCANGAN PERATURAN MENTERI TENTANG PENYELENGGARAAN PELABUHAN PENYEBERANGAN MENTERI PERHUBUNGAN, : a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 tahun 2009 tentang Kepelabuhanan telah diatur ketentuan

Lebih terperinci