BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar negara-negara modern di seluruh dunia saat ini telah

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar negara-negara modern di seluruh dunia saat ini telah"

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagian besar negara-negara modern di seluruh dunia saat ini telah menyatakan diri sebagai negara hukum. Gagasan negara hukum secara umum dapat diartikan bahwa segala aktivitas kehidupan berbangsa dan bernegara (penyelenggaraan negara) harus didasarkan atas aturan-aturan atau hukum. Sejak lahirnya hingga sekarang, gagasan negara hukum terus mengalami perkembangan dan penyempurnaan dalam bentuk konsep-konsep, diantaranya konsep negara hukum liberal, konsep negara hukum formal, konsep negara hukum materiil, konsep negara hukum menurut Al-Qur an dan Sunah, konsep negara hukum rechtsstaat, konsep negara hukum rule of law, konsep negara hukum demokrasi (democratische rechtsstaat) dan konsep negara hukum modern atau negara hukum kesejahteraan (welvaarsstaat/welfarestate). 1 Konsep negara hukum menjadi suatu kebutuhan primer bagi negaranegara modern untuk mencapai tujuan ketertiban dan keteraturan. Konsep negara hukum merupakan suatu conditio sine qua non dalam penyelenggaraan negara dan penyelenggaraan pemerintahan. Pembatasan kekuasaan terhadap penguasa menjadi salah satu latar belakang mengapa konsep negara hukum itu sangat penting. Hal ini dimaksudkan untuk melindungi hak-hak individu warga negara dari tindakan sewenang-wenang penguasa. Semangat membatasi kekuasaan penguasa ini semakin kuat setelah lahirnya adagium yang begitu populer dari Lord 1. Ni matul Huda, 2012, Ilmu Negara, Rajawali Pers, Jakarta, h

2 2 Acton, yakni Power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely, (manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi kekuasaan yang tidak terbatas (absolut) pasti akan disalahgunakan). 2 Negara Indonesia merupakan negara hukum. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945), menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Menurut Hamid S. Attamimi, bahwa Negara Indonesia memang sejak didirikan bertekad menetapkan dirinya sebagai negara yang berdasar atas hukum, sebagai Rechtsstaat. 3 Bahkan konsep negara hukum Indonesia juga tergolong sebagai negara hukum kesejahteraan (welfarestate). Negara Indonesia tergolong sebagai negara hukum kesejahteraan sebagaimana termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang kemudian ditetapkan sebagai tujuan nasional negara Indonesia, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dalam konsep negara hukum kesejahteraan, tugas pemerintah (eksekutif) tidak semata-mata hanya bergelut di bidang pemerintahan saja atau untuk menjalankan undang-undang, tetapi negara juga turut campur tangan dalam kehidupan masyarakat sehari-hari dalam batas-batas yang diperkenankan oleh h Ridwan HR., 2014, Hukum Administrasi Negara, Edisi Revisi, Rajawali Pers, Jakarta, 3. Ibid, h. 18.

3 3 hukum. Pemerintah juga dibebani kewajiban untuk mengupayakan kesejateraan umum (bestuurzorg) atau kesejahteraan sosial. 4 E. Utrecht menambahkan bahwa sejak negara turut serta secara aktif dalam pergaulan hidup kemasyarakatan, maka sejak itu pula lapangan pekerjaan pemerintahan makin lama makin luas. 5 Bidang kehidupan tersebut yaitu bidang politik, ekonomi, sosial budaya (kehidupan keluarga, perkawinan, organisasi kemasyarakatan dan pendidikan), kehidupan beragama, dan bidang teknologi. Dengan perkataan lain, bahwa tugas pemerintah tidak hanya terbatas melaksanakan undang-undang. Untuk melaksanakan tugas-tugas dan kewajibannya, pemerintah malakukan tindakan-tindakan yang disebut dengan tindakan pemerintah (bestuurshandeling). 6 Secara teoritis, terdapat dua bentuk tindakan pemerintah, yakni tindakan berdasarkan hukum (rechtshandeling) dan tindakan berdasarkan fakta/nyata atau bukan berdasarkan hukum (feitelijkhandeling). 7 Sebagai aktualisasi dianutnya konsep negara hukum, maka semua campur tangan pemerintah dalam kehidupan masyarakat tersebut diberikan bentuk hukum demi memberikan kepastian hukum kepada semua pihak. Hal terpenting bagi pemerintah dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan ialah terletak pada ada atau tidaknya wewenang untuk bertindak. Wewenang atau kewenangan (bevoegdheid) merupakan unsur utama dalam setiap penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Wewenang pemerintahan (bestuurbevoegdheid) bersumber pada peraturan perundang-undangan. Setiap 4. Ibid, h Ibid, h Sadjijono, 2011, Bab-Bab Pokok Hukum Administrasi, Cet. II, Edisi II, LaksBang, Yogyakarta, h Ibid.

4 4 penyelenggaraan pemerintahan harus memiliki legitimasi, yakni keabsahan tindakan pemerintah berdasarkan atas wewenang atau kewenangan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan atau asas legalitas (legalitiet beginsel). Asas legalitas sangat erat kaitannya dengan gagasan negara hukum, terutama konsep negara hukum rechtstaat yang dianut oleh negara-negara sistem Eropa Kontinental (civil law system). Asas legalitas dalam Hukum Administrasi Negara mengandung makna bahwa pemerintah tunduk pada undang-undang, dan semua yang mengikat warga negara harus didasarkan pada undang-undang. 8 Secara lebih sederhana dapat dipahami bahwa setiap tindakan pemerintah harus mempunyai dasar hukum sebagai landasan wewenang bertindak yakni berdasarkan pada peraturan perundang-undangan (wetmatigheid van bestuur). Dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan, tindakan pemerintah yang paling banyak digunakan dalam hal pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan ini adalah dalam bentuk penetapan 9 atau Keputusan Tata Usaha Negara (beschikking). 10 Menurut H. D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, beschikking merupakan keputusan pemerintahan yang bersifat konkret dan individual (tidak ditujukan untuk umum) dan sejak dulu dijadikan instrumen yuridis pemerintahan yang utama. 11 Keputusan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut KTUN) merupakan tindakan pemerintah yang bersifat sepihak atau bersegi satu dalam 8. Ridwan HR, op.cit, h S. Prajudi Atmosudirdjo, 1994, Hukum Administrasi Negara, Cet. X, Ghalia Indonesia, Jakarta, h Sadjijono, op.cit, h Ridwan HR., op.cit, h. 141, dikutip dari H. D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, 1995, Hoofdstukken van Administratief Recht, Vuga, s Gravenhage, h. 202.

5 5 ranah hukum publik (eenzijdige publiekrechtelijke handeling). 12 KTUN merupakan salah satu instrumen yuridis dari tindakan pemerintah yang memiliki konsekuensi menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu. Akibat hukum yang dimaksud yang lahir dari suatu KTUN adalah muncul dan lenyapnya hak, kewajiban, dan kewenangan atau status tertentu. Penerbitan KTUN dilakukan oleh badan atau pejabat pemerintahan (Tata Usaha Negara) sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya untuk menjalankan fungsi pemerintahan (eksekutif). Hal senada juga dikemukakan oleh W.B Lane dan Simon Young bahwa, Essentially however, decision of government bodies and officials exercising statutory power in pursuit of executive function of government. 13 Dalam praktik pemerintahan di Indonesia bentuk Keputusan Tata Usaha Negara sangat beraneka ragam, misalnya sertifikat hak milik atas tanah, surat keputusan pengangkatan atau pemberhentian pegawai, surat perintah pembongkaran bangunan, penerbitan izin mendirikan bangunan (IMB), surat izin usaha perdagangan (SIUP), dan sebagainya. 14 Oleh F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek menganggapnya (beschikking) sebagai konsep inti dari Hukum Administrasi Negara (een kernbegrip in het administratief recht). 15 Sebagian besar bidang kehidupan masyarakat telah diatur oleh pemerintah melalui penetapan KTUN. 12. Sadjijono, op.cit, h W. B Lane dan Simon Young, 2007, Administrative Law in Australia, Lawbook Co., New South Wales, h Philipus M. Hadjon et. al., 2011, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia (Introduction To The Indonesian Administrative Law), Cet. XI, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h Ridwan HR., op.cit, h. 141, dikutip dari F.A.M. Stroink en J.G. Steenbeek, 1985, Inleiding in Het Staats-en Administratief Recht, Samson H.D. Tjeenk Willink, Alphen aan den Rijn, h. 17.

6 6 Sejalan dengan pendapat H. D. van Wijk/Willem Konijnenbelt dan pendapat F.A.M. Stroink dan J.G. Steenbeek, bahwa KTUN memegang peranan yang sangat vital dalam lalu lintas penyelenggaran pemerintahan untuk mengatur hubungan hukum (rechtsbetrekking) antara pemerintah (penguasa) dan masyarakat (warga negara) dalam bingkai Hukum Administrasi Negara (hukum publik), terutama ketika menghadapi peristiwa konkret dan bersifat individual. KTUN digunakan untuk melengkapi keterbatasan dari undang-undang (regeling) yang tidak mampu menjangkau pengaturan sampai pada peristiwa konkret dan individual yang disebabkan karena perubahan dan kebutuhan masyarakat yang begitu cepat. Sejarah mencatat bahwa pembentukan hukum sebelumnya dilakukan melalui suatu kodifikasi. A. Hamid S. Attamimi menyatakan bahwa untuk menghadapi perubahan dan perkembangan kebutuhan masyarakat yang semakin cepat, sudah bukan saatnya untuk membentuk hukum melalui kodifikasi sebab hal ini menyebabkan hukum selalu berjalan di belakang dan bukan tidak mungkin selalu ketinggalan zaman. 16 Maka dari itu dibentuklah hukum dalam bentuk undang-undang yang notabene mekanisme pembentukannya lebih mudah dan lebih cepat dibandingkan dengan bentuk kodifikasi. Secara prinsip, undang-undang merupakan produk hukum yang bersifat pengaturan (regeling) dan memiliki norma yang bersifat umum-abstrak (algemeen-abstract). Sehingga, ketika menghadapi peristiwa konkret, norma yang 16. Maria Farida Indrati S., 2013, Ilmu Perundang undangan 1 (Jenis, Fungsi dan Materi Muatan), Cet. XVI, Kasinius, Yogyakarta, (selanjutnya disingkat Maria I), h. 3, dikutip dari A. Hamid S. Attamimi, Kodifikasi Sebabkan Hukum Selalu Berjalan di Belakang, Kompas, 17 Februari 1988, h. XII.

7 7 bersifat umum-abstrak tersebut membutuhkan istrumen yuridis yang bersifat individual-konkret (individueel-concreet). 17 Oleh karena itulah diperlukan produk hukum dalam bentuk KTUN untuk mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan peristiwa yang bersifat konkret dan individual tersebut. Seiring dengan adanya campur tangan pemerintah dalam kehidupan masyarakat sehari-hari mengakibatkan masyarakat semakin lama semakin sangat tergantung dengan keberadaan KTUN tersebut. Mengingat pendapat dari E. Utrecht, maka semakin lama semakin luas lapangan pekerjaan pemerintahan yang berakibat semakin banyak pula urusan yang diikat oleh suatu persetujuan pemerintah melalui penetapan KTUN. Penetapan suatu KTUN dilakukan oleh badan atau pejabat pemerintahan (Tata Usaha Negara) dalam jangka waktu atau batas waktu sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Adanya penentuan batas waktu secara normatif ini bertujuan untuk memberikan kepastian kepada semua pihak, baik pemohon maupun badan atau pejabat pemerintahan (Tata Usaha Negara) yang bersangkutan. Pemohon yang merasa kepentingannya dirugikan atas dikeluarkannya suatu KTUN dapat mengajukan gugatan tertulis ke Pengadilan Tata Usaha Negara yang berwenang agar KTUN yang disengketakan tersebut dinyatakan batal atau tidak sah sesuai dengan mekanisme sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan 17. Ridwan HR., op.cit, h. 136.

8 8 Tata Usaha Negara dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut UU PTUN). Badan atau pejabat pemerintahan (Tata Usaha Negara) yang tidak menetapakan KTUN yang dimohon sedangkan batas waktu penetapan sebagaimana ditentukan oleh peraturan perundang-undangan telah lewat, berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (2) UU PTUN, maka badan atau pejabat pemerintahan (Tata Usaha Negara) yang berwenang dianggap menolak menetapkan permohonan KTUN yang dimaksud. Badan atau pejabat pemerintahan (Tata Usaha Negara) yang menolak menetapkan KTUN disamakan dengan suatu KTUN (Pasal 3 ayat (1) UU PTUN). Sedangkan dalam hal peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu penetapan, Pasal 3 ayat (3) UU PTUN menyebutkan bahwa : Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak menentukan jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka setelah lewat jangka waktu empat bulan sejak diterimanya permohonan, Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan. Ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU PTUN mengandung arti, bahwa apabila peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu penetapan, maka badan atau pejabat pemerintahan (Tata Usaha Negara) memilki batas waktu selama 4 bulan sejak diterimanya permohonan untuk menetapkan KTUN yang dimohon. Namun, apabila telah lewat waktu 4 bulan tidak juga menetapkan KTUN yang dimohon maka badan atau pejabat pemerintahan (Tata Usaha

9 9 Negara) yang bersangkutan dianggap telah mengeluarkan keputusan penolakan terhadap permohonan KTUN tersebut. Dalam berbagai literatur, KTUN sebagaimana diuraikan di atas disebut sebagai KTUN fiktif negatif. Namun, ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU PTUN tersebut tampaknya kontradiktif dengan ketentuan Pasal 53 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Adminitrasi Pemerintahan (selanjutnya disebut UU Administrasi Pemerintahan). Dalam ketentuan Pasal 53 ayat (2) UU Administrasi Pemerintahan menyatakan bahwa: Jika ketentuan peraturan perundang-undangan tidak menentukan batas waktu kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan wajib menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dalam waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja setelah permohonan diterima secara lengkap oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan. Sedangkan dalam ketentuan Pasal 53 ayat (3) UU Administrasi Pemerintahan menentukan bahwa: Apabila dalam batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan tidak menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan, maka permohonan tersebut dianggap dikabulkan secara hukum. Ketentuan Pasal 53 ayat (2) dan (3) UU Administrasi Pemerintahan mengandung arti bahwa jika peraturan perundang perundang tidak menetapakan batas waktu penetapan suatu KTUN, maka badan atau pejabat pemerintahan (Tata Usaha Negara) dalam jangka waktu atau batas waktu paling lama 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permohonan secara lengkap wajib menetapakan KTUN yang dimohon. Namun, apabila telah lewat waktu 10 hari kerja tidak juga menetapkan KTUN yang dimohon maka badan atau pejabat pemerintahan (Tata

10 10 Usaha Negara) yang bersangkutan dianggap mengabulkan permohonan penetapan KTUN yang diajukan oleh pemohon (fiktif-positif). Dengan demikian keberadaan kententuan Pasal 3 ayat (3) UU PTUN dan ketentuan Pasal 53 ayat (2) dan (3) UU Administrasi Pemerintahan menunjukkan bahwa telah terjadi pertentangan norma atau norma yang konflik (conflict of norm, geschijld van normen) antara kedua undang-undang tersebut. Pertentangan norma tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum dan keragu-raguan dalam penerapannya. Berdasarkan uraian latar belakang di atas disertai dengan alasanalasan yang ada, maka penulisan skripsi ini mengambil judul Pengaturan Penetapan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang Batas Waktu Penetapannya Tidak Ditentukan oleh Peraturan Perundang-undangan. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, penulis mengangkat beberapa permasalahan yang akan dibahas lebih lanjut. Adapun permasalahan tersebut adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pengaturan penetapan KTUN yang batas waktu penetapannya tidak ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dalam hukum positif Indonesia? 2. Bagaimanakah upaya hukum yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan pertentangan norma antara ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU PTUN dan ketentuan Pasal 53 ayat (2) dan (3) UU Administrasi Pemerintahan?

11 Ruang Lingkup Masalah Ruang lingkup dalam penulisan karya ilmiah perlu ditentukan secara tegas batasan materi yang dibahas dalam tulisan agar pembahasan yang diuraikan nantinya menjadi terarah dan benar-benar tertuju pada pokok bahasan yang diinginkan. Hal ini diperlukan untuk menghindari pembahasan menyimpang dari pokok permasalahan. Adapun ruang lingkup masalah atau pembatasan dalam penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Pertama akan dibahas mengenai bagaimana pengaturan penetapan KTUN yang batas waktu penetapannya tidak ditentukan oleh peraturan perundang-undangan dalam hukum positif Indonesia, dalam hal ini dibatasi pada tataran undang-undang (dalam arti formal). 2. Kedua akan dibahas mengenai upaya hukum yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan pertentangan norma antara ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU PTUN dan ketentuan Pasal 53 ayat (2) dan (3) UU Administrasi Pemerintahan. 1.4 Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: a. Tujuan Umum Tujuan umum penulisan ini adalah untuk memberikan kontribusi keilmuan secara ilmiah terkait pengembangan hukum administrasi negara dan juga terkait penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia melalui penetapan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN).

12 12 b. Tujuan Khusus Terdapat beberapa tujuan khusus yang hendak dicapai dari penulisan hukum ini, yakni: 1. Untuk mengetahui pengaturan terkait penetapan KTUN yang batas waktu penetapannya tidak ditentukan oleh peraturan perudang-undangan dalam hukum positif Indonesia. 2. Untuk mengetahui upaya yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan pertentangan norma antara ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU PTUN dan Pasal 53 ayat (2) dan (3) UU Administrasi Pemerintahan. 1.5 Manfaat Penulisan Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut : a. Manfaat Teoritis Secara teoritis, penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah bagi ilmu pengetahuan hukum dalam pengembangan hukum administrasi negara, khususnya pemahaman mengenai Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dan pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik agar antara peraturan perundangan-undangan yang satu dengan yang lainnya tidak saling bertentangan (conflict of norm, geschijld van normen), terdapat kekosongan norma (vacuum of norm, leemeten van normen) bahkan juga terjadi norma yang tumpang tindih sehingga menimbulkan kekaburan norma (vague van normen) yang dalam penerapannya dapat menimbulkan berbagai interpretasi.

13 13 b. Manfaat Praktis Secara praktis, penulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan sumbangan pemikiran serta dapat memberikan kontribusi dan solusi konkret kepada pihak-pihak terkait penetapan suatu KTUN terutama bagi badan atau pejabat pemerintahan (Tata Usaha Negara) dalam penyelenggaraan pemerintahan, khususnya terkait penetapan KTUN yang batas waktu penetapannya tidak ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. Penulisan ini juga diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat terkait pengajuan permohonan penetapan KTUN. Selain itu, penulisan ini diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pembentuk undang-undang nantinya agar dapat membentuk undang-undang yang baik, sitematis dan tidak menimbulkan berbagai interpretasi. 1.6 Landasan Teoritis a. Konsep Wewenang Wewenang menurut S.F. Marbun mengandung arti kemampuan untuk melakukan suatu tindakan hukum publik, atau secara yuridis adalah kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-hubungan hukum. 18 Sedangkan menurut H.D. Stout yang dikutip oleh Ridwan H.R., wewenang adalah het geheel van rechten en plichten dat hetzij explixiet door de wetgever aan publiekrechtelijke rechtssubjecten is toegekend (keseluruhan hak dan kewajiban yang secara eksplisit diberikan oleh pembuat 18. Sadjijono, op. cit, h. 57 dikutip dari S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997, h

14 14 undang-undang kepada subjek hukum publik). 19 Wewenang (bevoegheid) merupakan bagian yang sangat penting dan bagian awal dari hukum administrasi, karena pemerintah baru dapat melaksanakan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya. Wewenang menjadi dasar bagi pemerintah untuk melakukan tindak pemerintahan. Kebasahan tindakan pemerintah didasarkan pada wewenang yang diatur dalam peraturan perundang-undangan atau wewenang yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan (legalitiet beginsel). 20 Wewenang (bevoegheid) merupakan dasar bagi pemerintah untuk melakukan perbuatan hukum publik yang berkaitan dengan suatu jabatan (ambt). Sedangkan dasar untuk melakukan perbuatan hukum privat bagi pemerintah ialah adanya kecakapan bertindak (bekwaamheid) yang berkaitan dengan kedudukan pemerintah sebagai subyek hukum (badan hukum). 21 Dalam berbagai kepustakaan terdapat pembagian mengenai sifat wewenang pemerintahan (bestuurbevoegheid), yakni : a) Wewenang pemerintahan bersifat terikat, berarti bahwa wewenang harus sesuai dengan peraturan dasarnya yang menentukan waktu dan dalam keadaan bagaimana wewenang tersebut dapat digunakan, termasuk ketentuan isi dan keputusan yang harus diambil, dengan kata lain, terjadi apabila peraturan dasar yang menentukan isi dari keputusan yang harus diambil secara terinci, maka wewenang pemerintahan semacam itu merupakan wewenang yang terikat; b) Wewenang pemerintahan yang bersifat fakultatif, berarti bahwa wewenang yang dimiliki oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang bersangkutan tidak wajib atau tidak ada keharusan untuk menggunakan wewenang tersebut atau sedikit banyak masih ada pilihan lain walaupun pilihan tersebut hanya dapat dilakukan dalam hal-hal dan keadaan tertentu sebagaimana ditentukan dalam peraturan dasarnya; c) Wewenang pemerintahan yang bersifat bebas, berarti bahwa wewenang yang dimiliki oleh badan atau pejabat tata usaha negara dapat 19. Ridwan H.R. op. cit, h Sadjijono, op. cit, h Philipus M. Hadjon, op. cit, h

15 15 menggunakan wewenangnya secara bebas untuk menentukan sendiri mengenai isi dari suatu keputusan yang akan dikeluarkannya karena peraturan dasarnya memberi kebebasan kepada penerima wewenang tersebut atau peraturan dasarnya memberikan ruang lingkup kebebasan kepada pejabat tata usaha negara yang bersangkutan. 22 Menurut N.M. Spelt dan J.B.J.M ten Berge dalam wewenang yang bersifat bebas ini dibagi dalam dua kategori, yakni: kebebasan kebijaksanaan (beleidsvrijheid) dan kebebasan penilaian (beoordelingsvrijheid). Kebebasan kebijaksanaan (wewenang diskresi dalam arti sempit) yakni apabila peraturan perundang-undangan memberikan wewenang tertentu kepada organ pemerintahan namun organ pemerintahan tersebut bebas untuk (tidak) menggunakan wewenang yang diberikan tersebut meskipun syarat-syarat penggunaannya secara sah dipenuhi. Sedangkan kebebasan penilaian (wewenang diskresi yang tidak sesungguhnya ada), yakni wewenang menurut hukum diserahkan kepada organ pemerintahan untuk menilai secara mandiri dan eksklusif apakah syarat-syarat bagi penggunaanya secara sah telah dipenuhi. 23 Beranjak dari penjelasan tersebut di atas, Philipus M. Hadjon kemudian menyimpulkan adanya dua jenis kekuasaan bebas atau kekuasaan diskresi, yakni: 24 1) kewenangan untuk memutus secara mandiri; 2) kewenangan interpretasi terhadap norma yang kabur (vague norm). Secara teoritis terdapat tiga cara untuk memperoleh wewenang pemerintahan (bestuurbevoegheid), yakni atribusi, delegasi dan mandat. Wewenang atribusi adalah wewenang pemerintah yang diperoleh dari peraturan 22. Ridwan H.R., op. cit, h Sadjijono, op. cit, h , dikutip dari Philipus M. Hadjon, Pemerintahan Menurut Hukum (wet-en rechtmatigheid van bestuur), makalah tidak dipublikasikan, h Sadjijono, loc.cit.

16 16 perundang-undangan. Wewenang ini dapat didelegasikan atau dimandatkan. 25 Wewenang delegasi adalah wewenang yang diperoleh berdasarkan pelimpahan wewenang dari badan/organ pemerintahan yang lain. Wewenang delegasi merupakan pelimpahan dari wewenang atribusi yang diberikan oleh pemberi wewenang (delegans) kepada penerima wewenang (delegataris). Setelah terjadi pelimpahan maka tanggung jawab beralih kepada delegataris dan bersifat tidak dapat ditarik kembali oleh delegans. 26 Wewenang mandat adalah pelimpahan wewenang yang pada umumnya dalam hubungan rutin antara atasan dengan bawahannya. Setelah terjadi pelimpahan kepada penerima mandat (mandataris), tanggung jawab tetap ada pada pemberi mandat (mandans) dan sewaktu-waktu dapat ditarik dan digunakan kembali oleh mandans. 27 Ketiga cara dalam memperoleh wewenang ini sangat penting untuk diketahui oleh setiap badan atau pejabat pemerintahan (Tata Usaha Negara) sebelum melakukan tindakan atau mengeluarkan keputusan. Ketiga jenis wewenang tersebut berkaitan dengan pertanggungjawaban apabila kelak timbul sengketa yang disebabkan oleh tindakan atau keputusan dari badan atau pejabat pemerintahan (Tata Usaha Negara). b. Konsep Keputusan Tata Usaha Negara Pada asasnya semua keputusan (pemerintahan) diambil atas dasar permintaan melalui permohonan tertulis baik dilakukan oleh orang perseorangan (naturlijk persoon) maupun badan hukum (recht persoon). Keputusan tanpa 25. Sadjijono, op. cit, h Sadjijono, loc.cit. 27. Sadjijono, loc.cit.

17 17 adanya (surat) permintaan adalah batal karena hukum. 28 Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) merupakan salah satu keputusan pemerintahan yang diambil atas dasar permintaan. Menurut S. Prajudi Atmosudirjo, keputusan-keputusan tersebut terikat kepada tiga asas hukum, yakni : 1) asas yuridikitas (rechtmatigheid), artinya, keputusan pemeritahan maupun administratif tidak boleh melanggar hukum (onrechtmatige overheidsdaad); 2) asas legalitas (wetmatigheid), artinya keputusan harus diambil berdasarkan suatu ketentuan undang-undang; 3) asas diskresi (discretie, freies ermessen), artinya, pejabat penguasa tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan alasan tidak ada peraturannya, dan oleh karena itu diberi kebebasan untuk mengambil keputusan menurut pendapatnya asalkan tidak melanggar asas yuridikitas dan asas legalitas tersebut di atas. Ada dua macam diskresi, yaitu: diskresi bebas bilamana undang-undang hanya menentukan batas-batasnya, dan diskresi terikat bilamana udang-undang menetapkan beberapa alternatif untuk dipilih salah satu yang oleh pejabat administrasi dianggap paling dekat. 29 Keputusan yang diambil dalam suatu penetapan KTUN dapat bersifat positif dan dapat bersifat negatif. Bersifat positif artinya permohonan penetapan KTUN tersebut dikabulkan, sedangkan bersifat negatif artinya permohanan penetapan KTUN tersebut ditolak. Pemohon yang permohonannya ditolak dapat mengajukan kembali permohonannya setelah memperbaikai atau menyempurnakan (substansi dan syarat) permohonannya itu. c. Teori Tujuan Hukum Menurut E. Utrecht, hukum adalah himpunan petunjuk hidup (perintah dan larangan) yang mengatur tata tertib dalam suatu masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh seluruh anggota masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu, 28. S. Prajudi Atmosudirjo, op.cit, h S. Prajudi Atmosudirjo, loc. cit.

18 18 pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat menimbulkan tindakan oleh penguasa itu. 30 Ada hukum yang bersifat mengatur (fakultatif, aanvuilend recht) dan bersifat memaksa (imperative, dwingend recht). 31 berikut: diantaranya : Adapun tujuan hukum menurut para sarjana diantaranya adalah sebagai 1) Menurut Subekti, tujuan hukum adalah untuk mengabdi pada tujuan negara yang dalam pokoknya adalah untuk mendatangkan kemakmuran dan kebahagiaan pada rakyatnya. 2) Menurut L.J. van Apeldoorn, tujuan hukum ialah mengatur pergaulan hidup manusia secara damai. Hukum menghendaki perdamaian. 3) Menurut teori etis, hukum bertujuan semata-mata menghedaki keadilan. 4) Menurut Geny, hukum bertujuan semata-mata untuk mencapai keadilan. Dan sebagai unsur daripada keadilan disebutkannya kepentingan daya guna dan kemanfaatan. 5) Menurut teori utilities (Bentham), hukum bertujuan untuk mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah bagi orang. 32 Sarjana lain juga memberikan pandangan mengenai tujuan hukum itu, 1) Menrut J. van Kant, hukum bertujuan untuk menjaga kepentingan tiaptiap manusia supaya kepentingan-kepentingan itu tidak dapat diganggu. 2) Menurut Soedjono Dirdjosisworo, tujuan hukum adalah melindungi individu dalam hubungannya dengan masyarakat, sehingga dengan demikian dapat diharapkan terwujudnya keadaan aman, tertib, dan adil. 3) Menurut Roscoe Pound, hukum bertujuan untuk merekayasa masyarakat (law as tool of social engineering). 33 Secara umum dapat dikemukakan bahwa tujuan hukum itu ialah untuk memberikan keadilan, kepastian dan kemanfaatan bagi masyarakat. 30. Ishaq, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, h Ibid, h J.B. Daliyo, et. al., 1994, Pengantar Ilmu Hukum, Buku Panduan Mahasiswa, cet. III, Sinar Grafika, Jakarta, h C.S.T. Kansil, 1991, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h

19 19 d. Asas Preferensi Hukum Asas preferensi hukum merupakan asas yang berlaku dalam perundangundangan. Adapun asas-asas preferensi hukum tersebut yaitu: 34 1) Asas lex superior derogat legi inferiori, artinya undang-undang yang lebih tinggi mengalahkan/menyampingkan undang-undang yang lebih rendah; 2) Asas lex specialis derogat legi generali, artinya undang-undang yang bersifat khusus mengalahkan/menyampingkan undang-undang yang bersifat umum; 3) Asas lex posteriori derogat legi priori, artinya undang-undang yang baru mengalahkan/menyampingkan undang-undang yang lama. e. Tipe Penyelesaian Konflik Norma Peraturan perundang-undangan memuat berbagai ketentuan norma hukum di dalamnya. Seringkali terdapat pertentangan antara norma hukum yang satu dengan norma hukum yang lainnya, baik pertentangan norma diantara peraturan perundang-undangan (pertentangan vertikal dan pertentangan horizontal) maupun pertentangan norma dalam peraturan perundang-undangan itu sendiri. Maka perlu ditetapkan norma yang mana yang harus diterapkan. Langkah yang ditempuh adalah melalui penyelesaian konflik norma atau pertentangan norma. Menurut Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, terdapat beberapa tipe penyelsaian konflik norma atau pertentangan norma berkaitan dengan penerapan asas preferensi hukum, yaitu : 34. I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, Implementasi Ketentuan- Ketentuan Hukum Perjanjian kedalam Perancangan Kontrak, Udayana University Press, Denpasar, h. 187.

20 20 1) Pengingkaran (disavowal) Langkah ini seringkali merupakan suatu paradok, dengan mempertahankan bahwa tidak terjadi konflik norma. Seringkali konflik itu terjadi berkenaan dengan asas lex spesialis dalam konflik pragmatis atau konflik logika diintepretasi sebagai pragmatis. Tipe ini beranggapan bahwa tidak terdapat konflik norma, meskipun dirasakan bahwa sesungguhnya terdapat konflik norma. 2) Reinterpretasi (reinterpretation) Dalam kaitan penerapan ketiga asas preferensi hukum harus dibedakan, yang pertama adalah reinterpretasi yaitu dengan mengikuti asas-asas preferensi hukum, menginterpretasi kembali norma yang utama dengan cara yang lebih fleksibel. Cara yang kedua yakni menginterpretasi norma preferensi, dan kemudian menerapkan norma tersebut dengan menyampingkan norma yang lain. 3) Pembatalan (invalidation) Terdapat 2 macam pembatalan, yakni pembatalan abstrak formal dan pembatalan praktikal. Pembatalan abstrak dan formal yaitu pembatalan suatu norma yang dilaksnakan oleh suatu lembaga khusus, misalnya pembatalan Peraturan Pemerintah ke bawah (dalam hierarki peraturan perundang-undangan) dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan pembatalan norma Undang-Undang (terhadap UUD NRI Tahun 1945) dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi. Pembatalan praktikal yaitu pembatalan suatu norma dengan cara tidak melaksanakan norma tersebut di dalam kasus konkrit. 4) Pemulihan (remedy) Mempertimbangkan pemulihan dapat membatalkan suatu ketentuan. Misalnya dalam hal suatu norma yang unggul dalam arti overruled norm, berkaitan dengan aspek ekonomi maka sebagai ganti membatalkan norma yang kalah, maka dengan cara memberikan kompensasi Metode Penelitian Skripsi merupakan salah satu karya ilmiah yang penulisannya didasarkan pada metodelogi penelitian ilmiah dan menggunakan jenis-jenis pendekatan tertentu. Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 35. Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, 2011, Argumentasi Hukum, cet. V, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, h

21 21 a. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem hukum mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran). 36 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji memberikan pendapat penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan kepustakaan yang mencakup penelitian terhadap asasasas hukum, sistematik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan hukum, dan sejarah hukum. 37 Perlunya penelitian normatif dilakukan dalam penulisan ini beranjak dari adanya pertentangan norma atau norma yang konflik (conflict of norm, geschijld van normen) antara ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU PTUN dan Pasal 53 ayat (2) dan (3) UU Administrasi Pemerintahan sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan keragu-raguan dalam penerapannya. b. Jenis Pendekatan Dalam penelitian hukum terdapat beberapa jenis pendekatan yang dikembangkan, antara lain: Pendekatan Kasus (the case approach), 2. Pendekatan Perundang-undangan (the statutory approach), 36. Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2010, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat. Ed. I, Cet. XII, PT. Rajawali Pers, Jakarta. h Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2013, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar. h. 75.

22 22 3. Pendekatan Fakta (the fact approach), 4. Pendekatan Analisis Konsep Hukum (analytical and conceptual approach), 5. Pendekatan Frasa (word and phrase approach), 6. Pendekatan Sejarah (historical approach), 7. Pendekatan Perbandingan (comparative approach). Penulisan ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (the statutory approach) dan pendekatan analisis konsep hukum (analitical and conseptual approach). Pendekatan perundang-undangan (the statutory approach) digunakan untuk menelaah aturan hukum terkait penetapan KTUN yang batas waktu penetapannya tidak ditentukan oleh peraturan perundang-undangan serta akibat hukumnya. Sedangkan pendekatan analisis konsep hukum (analitical and conseptual approach) digunakan untuk memahami konsep-konsep yang diterapkan dalam menyelesaikan pertentangan norma yang terjadi. c. Bahan Hukum Bahan hukum merupakan sumber-sumber penelitian hukum normatif. Bahan hukum yang dipakai dalam penulisan ini yakni: 1) Sumber bahan hukum primer Sumber bahan hukum primer adalah sumber bahan hukum yang mengikat yakni berupa norma, kaidah dasar dan peraturan yang berkaitan, yang bersifat

23 23 mengikat. 39 Adapun bahan hukum primer yang digunakan dalam penulisan ini adalah : - Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3316). - Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3344). - Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4359). - Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 35, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4380). - Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958). 39. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, op. cit, h. 34

24 24 - Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 160, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5079). - Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234). - Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 292, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601). - Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pedoman Beracara Untuk Memperoleh Putusan Atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapat Keputusan Dan/Atau Tindakan Badan Atau Pejabat Pemerintahan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1268). 2) Sumber bahan hukum sekunder Sumber bahan hukum sekunder yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, meliputi buku-buku, literatur, makalah, skripsi, tesis, dan bahan-bahan hukum tertulis lainnya yang berhubungan

25 25 dengan permasalahan penelitian. 40 Selain itu, bahan hukum yang diperoleh melalui internet juga termasuk sebagai bahan hukum sekunder dengan mencantumkan alamat situsnya. 3) Sumber bahan hukum tertier Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus besar bahasa Indonesia dan kamus hukum serta ensiklopedia hukum. 41 Bahan hukum tertier digunakan untuk melengkapi dan memberikan penjelasan terkait bahan hukum primer dan sekunder yang dirasa masih kurang jelas. d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini adalah teknik kepustakaan atau studi dokumen (study document). Penelusuran bahan hukum dilakukan melalui proses membaca, mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi yang diperoleh dari bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder secara sistematis sesuai dengan permasalahan penelitian. e. Teknik Analisis Bahan Hukum Setelah bahan-bahan hukum terkumpul kemudian dilakukan analisis terhadap bahan hukum tersebut. Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini, yaitu: Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penulisan Hukum, Cetakan ke-4, Kencana, Jakarta h Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penulisan Hukum, Rajagrafindo Persada, Jakarta, h Fakultas Hukum Universitas Udayana, op.cit. h

26 26 1) Teknik Deskripsi, berupa uraian terhadap suatu kondisi hukum maupun non-hukum. Teknik deskripsi digunakan untuk menganalisis dan menggambarkan kondisi pertentangan norma antara ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU PTUN dan Pasal 53 ayat (2) dan (3) UU Administrasi Pemerintahan. 2) Teknik Argumentasi, berupa penilaian yang bersifat penalaran hukum. Teknik argumentasi digunakan dalam penulisan ini untuk menganalisis kondisi pertentangan norma antara ketentuan Pasal 3 ayat (3) UU PTUN dan Pasal 53 ayat (2) dan (3) UU Administrasi Pemerintahan dan menemukan penyelesainnya berdasarkan pada teori-teori yang terkait melalui bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam berita AIPI (1997) mengatakan bahwa pelaksanaan berasal dari kata

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam berita AIPI (1997) mengatakan bahwa pelaksanaan berasal dari kata 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Pelaksanaan Pengertian pelaksanaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perihal pembuatan atau usaha dan sebagainya (Poerwodarminto, 1986). Soemardjan dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. apabila didukung oleh majunya perindustrian yang dimiliki. Perindustrian yang

BAB I PENDAHULUAN. apabila didukung oleh majunya perindustrian yang dimiliki. Perindustrian yang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Salah satu kegiatan yang memacu pertumbuhan ekonomi adalah kegiatan pembangunan di sektor industri. Pertumbuhan suatu negara dapat dikatakan maju apabila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menggariskan Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat) dan tidak berdasar

BAB I PENDAHULUAN. menggariskan Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat) dan tidak berdasar 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada saat awal kemerdekaan, para pendiri bangsa telah sepakat menggariskan Indonesia sebagai negara hukum (rechtstaat) dan tidak berdasar atas kekuasaan belaka (machtsstaat).

Lebih terperinci

INSTRUMEN PEMERINTAH

INSTRUMEN PEMERINTAH INSTRUMEN PEMERINTAH Dibuat untuk Melengkapi Tugas Mata Kuliah Hukum Administrasi Negara KELOMPOK 8 KELAS A PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL "VETERAN" JAWA TIMUR

Lebih terperinci

Kajian Yuridis Tindakan Nyata Pemerintah.Anak Agung Putu Wiwik Sugiantari 63

Kajian Yuridis Tindakan Nyata Pemerintah.Anak Agung Putu Wiwik Sugiantari 63 KAJIAN YURIDIS TINDAKAN NYATA PEMERINTAH (FEITELIJKEHANDELINGEN) DALAM PERTANGGUNGJAWABAN PEMERINTAH ABSTRAK ANAK AGUNG PUTU WIWIK SUGIANTARI Staf Pengajar Fak. Hukum Universitas 45 Mataram Tindakan nyata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan

BAB I PENDAHULUAN. daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Otonomi daerah merupakan salah satu upaya renovasi yang dilaksanakan pemerintah untuk menjadikan Indonesia semakin maju. Maksud dari otonomi daerah adalah hak, wewenang,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan.

BAB I PENDAHULUAN. Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara dan Konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan. Menurut Sri Soemantri tidak ada satu negara pun yang tidak mempunyai konstitusi atau Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh pemikiran Immanuel Kant. Menurut Stahl, unsur-unsur negara hukum

BAB I PENDAHULUAN. oleh pemikiran Immanuel Kant. Menurut Stahl, unsur-unsur negara hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum sebagaimana yang termaktub dalam UUD NRI 1945, yang bertujuan menciptakan kesejahteraan umum dan keadilan sosial. Gagasan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara Welfare State (Negara Kesejahteraan) merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara Welfare State (Negara Kesejahteraan) merupakan suatu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Permasalahan Peradilan administrasi merupakan salah satu perwujudan negara hukum, peradilan administrasi di Indonesia dikenal dengan sebutan Pengadilan Tata Usaha Negara.

Lebih terperinci

DISUSUN OLEH: FARIDA RIANINGRUM Rombel 05

DISUSUN OLEH: FARIDA RIANINGRUM Rombel 05 MAKALAH ASAS-ASAS UMUM PEMERINTAHAN YANG BAIK Menganalisis pelanggaran AAUPB terhadap Surat Keputusan Gubernur Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014 tentang Pemberian Izin Pelaksanaan Reklamasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perseorangan, dan kepentingan masyarakat demi mencapai tujuan dari Negara

BAB I PENDAHULUAN. perseorangan, dan kepentingan masyarakat demi mencapai tujuan dari Negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar hukum dan untuk mewujudkan kehidupan tata negara yang adil bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan hidup bermasyarakat manusia dapat melangsungkan hidupnya. Untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. dengan hidup bermasyarakat manusia dapat melangsungkan hidupnya. Untuk memenuhi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Hidup bermasyarakat merupakan modus survival bagi makhluk manusia artinya hanya dengan hidup bermasyarakat manusia dapat melangsungkan hidupnya. Untuk memenuhi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Instrumen Pemerintahan 1. Regeling Perbuatan pemerintah yang dilakukan dalam bentuk mengeluarkan peraturan atau regling, dimaksudkan dengan tugas hukum yang diemban pemerintah

Lebih terperinci

PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DALAM KONTEKS PERKEMBANGAN KOMPETENSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA RI

PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DALAM KONTEKS PERKEMBANGAN KOMPETENSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA RI PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DALAM KONTEKS PERKEMBANGAN KOMPETENSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA RI Prof. Dr. HM. LAICA MARZUKI, S.H. PENDAHULUAN Pemberlakuan

Lebih terperinci

PERATURAN KEDINASAN * Oleh: Anang Priyanto

PERATURAN KEDINASAN * Oleh: Anang Priyanto PERATURAN KEDINASAN * Oleh: Anang Priyanto Pendahuluan Pejabat di lingkungan UNY dapat dikategorikan sebagai pejabat publik, karena UNY merupakan perguruan tinggi milik Pemerintah, sehingga pejabat publik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan zaman, UUD 1945 telah empat kali mengalami perubahan. atau amandemen. Di dalam bidang hukum, pengembangan budaya hukum

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan zaman, UUD 1945 telah empat kali mengalami perubahan. atau amandemen. Di dalam bidang hukum, pengembangan budaya hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) adalah hukum dasar di Negara Republik Indonesia. Seiring perkembangan zaman, UUD 1945 telah empat

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. Administrasi Negara sesuai dengan asas-asas yang berlaku dalam suatu

BAB I PENGANTAR. Administrasi Negara sesuai dengan asas-asas yang berlaku dalam suatu 1 BAB I PENGANTAR A. Latar Belakang Urgensi mengadakan suatu badan peradilan administrasi tidak hanya dimaksudkan sebagai pengawasan ekstern terhadap pelaksanaan Hukum Administrasi Negara sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94.

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Keadilan dan kepastian hukum tentulah menjadi dua harapan dari diberlakukannya hukum. Masyarakat yang kepentingannya tercemar akan merasa keadilannya terusik dan

Lebih terperinci

SUMBER- SUMBER KEWENANGAN. (Totok Soeprijanto, widyaiswara Pusdiklat PSDM )

SUMBER- SUMBER KEWENANGAN. (Totok Soeprijanto, widyaiswara Pusdiklat PSDM ) SUMBER- SUMBER KEWENANGAN. (Totok Soeprijanto, widyaiswara Pusdiklat PSDM ) Penerapan asas negara hukum oleh pejabat administrasi terikat dengan penggunaan wewenang kekuasaan. Kewenangan pemerintah ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) dinyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) dinyatakan bahwa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) dinyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat), maka

Lebih terperinci

FREIES ERMESSEN DALAM KONSEP NEGARA KESEJAHTERAAN. Oleh :

FREIES ERMESSEN DALAM KONSEP NEGARA KESEJAHTERAAN. Oleh : 41 FREIES ERMESSEN DALAM KONSEP NEGARA KESEJAHTERAAN Oleh : Gusti Ayu Ratih Damayanti, S.H., M.H. Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Al-Azhar Mataram Abstract In principle, there were two forms of

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERIZINAN PENDIRIAN KLINIK. Dalam kamus hukum, izin (vergunning) diartikan sebagai;

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERIZINAN PENDIRIAN KLINIK. Dalam kamus hukum, izin (vergunning) diartikan sebagai; 43 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERIZINAN PENDIRIAN KLINIK 2.1 Perizinan 2.1.1 Pengertian Perizinan Dalam kamus hukum, izin (vergunning) diartikan sebagai; Overheidstoestemming door wet of verordening

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA (TUN) PADA PERADILAN TATA USAHA NEGARA (PTUN) Oleh : Bernat Panjaitan, SH, M.Hum Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA (TUN) PADA PERADILAN TATA USAHA NEGARA (PTUN) Oleh : Bernat Panjaitan, SH, M.Hum Dosen Tetap STIH Labuhanbatu PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA (TUN) PADA PERADILAN TATA USAHA NEGARA (PTUN) Oleh : Bernat Panjaitan, SH, M.Hum Dosen Tetap STIH Labuhanbatu ABSTRAK Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (PERATUN)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Republik

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Republik 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) pada hakikatnya berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Ash-shofa, Burhan, 2004, Metode Penelitian Hukum, cetakan keempat, PT Rineka Cipta, Jakarta.

DAFTAR PUSTAKA. Ash-shofa, Burhan, 2004, Metode Penelitian Hukum, cetakan keempat, PT Rineka Cipta, Jakarta. DAFTAR PUSTAKA A. Buku Adjie, Habib, 2009, Sekilas Dunia Notaris dan PPAT Indonesia, Mandar Maju, Bandung. _, 2009, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung. _, 2011,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menganut asas Desentralisasi dalam penyelengaraan pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menganut asas Desentralisasi dalam penyelengaraan pemerintahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia menganut asas Desentralisasi dalam penyelengaraan pemerintahan menurut pasal 1 angka 7 Undang-undang nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Produk hukum, terutama undang-undang, keberadaannya dituntut. untuk dinamis terhadap kebutuhan hukum yang diperlukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. Produk hukum, terutama undang-undang, keberadaannya dituntut. untuk dinamis terhadap kebutuhan hukum yang diperlukan oleh BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Produk hukum, terutama undang-undang, keberadaannya dituntut untuk dinamis terhadap kebutuhan hukum yang diperlukan oleh masyarakat, sehingga tidak jarang apabila sebuah

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. III/No. 8/Okt/2015

Lex Administratum, Vol. III/No. 8/Okt/2015 TINJAUAN YURIDIS KEWENANGAN BERTINDAK PEMERINTAH DALAM PERSPEKTIF UNDANG- UNDANG NO. 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN 1 Oleh : Bastian E. Amos 2 ABSTRAK Negara dalam menjaga dan menjamin

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, SALINAN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU

BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI. Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 62 BAB III KONSEKUENSI YURIDIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI Nomor 52/PUU-IX/2011 TERHADAP PERATURAN DAERAH KOTA BATU 3.1. Kekuatan berlakunya Putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Peraturan Perundang-undangan

Lebih terperinci

Oleh: Retno Arifingtyas NIM. E BAB I PENDAHULUAN

Oleh: Retno Arifingtyas NIM. E BAB I PENDAHULUAN Pelaksanaan pemberhentian sementara dari jabatan terhadap pegawai negeri sipil yang diduga terlibat tindak pidana korupsi berdasarkan peraturan pemerintah Nomor 4 Tahun 1966 (studi kasus dugaan tindak

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.292, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA ADMINISTRASI. Pemerintahan. Penyelengaraan. Kewenangan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5601) UNDANG UNDANG REPUBLIK

Lebih terperinci

11 Secara umum, diartikan bahwa kerangka teori merupakan garis besar dari suatu rancangan atas dasar pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan meng

11 Secara umum, diartikan bahwa kerangka teori merupakan garis besar dari suatu rancangan atas dasar pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan meng 10 BAB II Landasan Teori 2.1. Uraian Teori Teori adalah suatu butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. NRI 1945) yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di

BAB I PENDAHULUAN. NRI 1945) yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan Negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas lautan. Apabila dilihat secara geografis, Indonesia memiliki letak yang strategis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gagalnya konsep legal state atau negara penjaga malam, melahirkan

BAB I PENDAHULUAN. Gagalnya konsep legal state atau negara penjaga malam, melahirkan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gagalnya konsep legal state atau negara penjaga malam, melahirkan konsep baru yang populer dengan sebutan negara kesejahteraan atau welfare state. Semula dalam konspsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa kekuasaan

BAB I PENDAHULUAN. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa kekuasaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pajak adalah pungutan dari masyarakat oleh Negara berdasarkan undangundang

BAB I PENDAHULUAN. Secara umum pajak adalah pungutan dari masyarakat oleh Negara berdasarkan undangundang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara umum pajak adalah pungutan dari masyarakat oleh Negara berdasarkan undangundang yang bersifat dapat dipaksakan dan terutang oleh yang wajib membayarnya

Lebih terperinci

WEWENANG DAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG DALAM HUKUM ADMINISTRASI DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014

WEWENANG DAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG DALAM HUKUM ADMINISTRASI DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014 WEWENANG DAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG DALAM HUKUM ADMINISTRASI DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014 sumber gambar: jurnalrakyat.net I. PENDAHULUAN Negara merupakan sebuah organisasi atau badan

Lebih terperinci

Ketetapan atau Keputusan Tata Usaha Negara

Ketetapan atau Keputusan Tata Usaha Negara Ketetapan atau Keputusan Tata Usaha Negara Di Belanda istilah Ketetapan atau Keputusan disebut dengan istilah Beschikking (Van Vollenhoven). Di Indonesia kemudian istilah Beschikking ini ada yang menterjemahkan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH, KEWENANGAN, PERJANJIAN DAN ASET DAERAH

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH, KEWENANGAN, PERJANJIAN DAN ASET DAERAH BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH, KEWENANGAN, PERJANJIAN DAN ASET DAERAH 2.1 Pemerintahan Daerah Negara Republik Indonesia merupakan Negara Kepulauan yang terdiri dari beberapa daerah,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAKAN PEMERINTAH, KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA (KTUN), PERADILAN TATA USAHA NEGARA DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAKAN PEMERINTAH, KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA (KTUN), PERADILAN TATA USAHA NEGARA DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 27 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAKAN PEMERINTAH, KEPUTUSAN TATA USAHA NEGARA (KTUN), PERADILAN TATA USAHA NEGARA DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN 2.1 Tindakan Pemerintah 2.1.1 Pengertian Tindakan Pemerintah

Lebih terperinci

penjual minuman keras yang lolos dari hukum.

penjual minuman keras yang lolos dari hukum. 95 masyarakat terbuka dengan pihak kepolisian sehingga masih banyak penjual minuman keras yang lolos dari hukum. Kendala dalam pelaksanaan sanksi yang berasal dari faktor lingkungan masyarakat dan faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, tujuan Negara tertuang dalam alinea keempat Pembukaan Undang-

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, tujuan Negara tertuang dalam alinea keempat Pembukaan Undang- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara adalah suatu organisasi yang memilki tujuan. Pada konteks Negara Indonesia, tujuan Negara tertuang dalam alinea keempat Pembukaan Undang- Undang Dasar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Salah satu persoalan yang selalu dihadapi di kota-kota besar adalah lalu lintas.

I. PENDAHULUAN. Salah satu persoalan yang selalu dihadapi di kota-kota besar adalah lalu lintas. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu persoalan yang selalu dihadapi di kota-kota besar adalah lalu lintas. Persoalan lalu lintas yang dihadapi oleh kota-kota besar antara lain, yaitu kemacetan,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dituntut untuk senantiasa meningkatkan kompetensi dan profesionalisme

BAB I PENDAHULUAN. dituntut untuk senantiasa meningkatkan kompetensi dan profesionalisme BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai salah satu profesi pendukung kegiatan dunia usaha, kebutuhan pengguna jasa akuntan publik semakin meningkat terutama kebutuhan atas kualitas informasi

Lebih terperinci

Perbuatan hukum Administrasi Negara

Perbuatan hukum Administrasi Negara Perbuatan hukum Administrasi Negara Perbuatan 2 yaitu: hukum administrasi negara meliputi 4 (empat) macam, penetapan rencana norma jabaran legislasi-semu Perbuatan 2 hukum tersebut dituangkan ke dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan negara merupakan salah satu asas pokok. pembentukan pemerintah Negara Kesatuan Republik

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan negara merupakan salah satu asas pokok. pembentukan pemerintah Negara Kesatuan Republik BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH Tujuan negara merupakan salah satu asas pokok pembentukan pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tujuan ini telah dicetuskan di dalam Pembukaan Undang-undang

Lebih terperinci

NEGARA HUKUM DAN NEGARA HUKUM INDONESIA

NEGARA HUKUM DAN NEGARA HUKUM INDONESIA NEGARA HUKUM DAN NEGARA HUKUM INDONESIA Angga Setiawan P.U Ari Widido Bayu Gilang Purnomo Arsyadani Hasan Binabar Sungging L Dini Putri P K2510009 K2510011 K2510019 K2111007 K2511011 K2511017 N E G A R

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan bernegara bagi bangsa Indonesia terdapat dalam Pembukaan Undang-

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan bernegara bagi bangsa Indonesia terdapat dalam Pembukaan Undang- BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan bernegara bagi bangsa Indonesia terdapat dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang mengatakan bahwa tujuan bernegara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Republik Indonesia sebagai negara hukum artinya meniscayakan hukum menjadi pedoman/landasan oleh pemerintah dalam menjalankan pemerintahan negara. Makna

Lebih terperinci

KEWENANGAN SERTA OBYEK SENGKETA DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA SETELAH ADA UU No. 30 / 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN

KEWENANGAN SERTA OBYEK SENGKETA DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA SETELAH ADA UU No. 30 / 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN KEWENANGAN SERTA OBYEK SENGKETA DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA SETELAH ADA UU No. 30 / 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN Aju Putrijanti Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Jl Prof Soedarto, S.H.,

Lebih terperinci

BAB IV AKIBAT HUKUM TERHADAP HASIL PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA YANG TELAH MELALUI PROSES EXECUTIVE REVIEW

BAB IV AKIBAT HUKUM TERHADAP HASIL PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA YANG TELAH MELALUI PROSES EXECUTIVE REVIEW 77 BAB IV AKIBAT HUKUM TERHADAP HASIL PERATURAN DAERAH KABUPATEN/KOTA YANG TELAH MELALUI PROSES EXECUTIVE REVIEW Pemerintah Pusat memiliki kewenangan pengawasan terhadap Pemerintah daerah. Pengawasan tersebut

Lebih terperinci

BAB I. Kehadiran profesi Notaris sangat dinantikan untuk memberikan

BAB I. Kehadiran profesi Notaris sangat dinantikan untuk memberikan BAB I 1. Latar Belakang Masalah Kehadiran profesi Notaris sangat dinantikan untuk memberikan jaminan kepastian atas transaksi bisnis yang dilakukan para pihak, sifat otentik atas akta yang dibuat oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Negara Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana dirumuskan dalam

BAB I PENDAHULUAN. kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Negara Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana dirumuskan dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia adalah Negara Kesejahteraan sebagaimana yang dituangkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea IV yang mana tujuan Negara Indonesia yaitu melindungi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dibentuklah suatu lembaga yang dikenal dengan nama Lembaga Ombudsman

BAB I PENDAHULUAN. dibentuklah suatu lembaga yang dikenal dengan nama Lembaga Ombudsman 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semangat reformasi mengharapkan suatu penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang bersih dari segala bentuk Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di seluruh wilayah

Lebih terperinci

KONSTRUKSI HUKUM PERUBAHAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TIDAK TERTENTU MENJADI PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU

KONSTRUKSI HUKUM PERUBAHAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TIDAK TERTENTU MENJADI PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU KONSTRUKSI HUKUM PERUBAHAN PERJANJIAN KERJA WAKTU TIDAK TERTENTU MENJADI PERJANJIAN KERJA WAKTU TERTENTU Oleh Suyanto ABSTRAK Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah mengatur mengenai

Lebih terperinci

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP PELANGGARAN KETENTUAN PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN HASIL PENAMBANGAN KOMODITAS TAMBANG MINERAL DI DALAM NEGERI

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP PELANGGARAN KETENTUAN PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN HASIL PENAMBANGAN KOMODITAS TAMBANG MINERAL DI DALAM NEGERI 30 BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP PELANGGARAN KETENTUAN PENGOLAHAN DAN PEMURNIAN HASIL PENAMBANGAN KOMODITAS TAMBANG MINERAL DI DALAM NEGERI 1. Pembangunan Unit Pengolahan dan Pemurnian Guna Melaksanakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum pada dasarnya bertujuan untuk mencapai kedamaian hidup bersama, yang merupakan keserasian antara ketertiban dengan ketentraman.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gugatan terhadap pejabat atau badan Tata Usaha Negara dapat diajukan apabila terdapat sengketa Tata Usaha Negara, yaitu sengketa yang timbul karena dirugikannya

Lebih terperinci

Pdengan Persetujuan Bersama

Pdengan Persetujuan Bersama info kebijakan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang ADMINISTRASI PEMERINTAHAN A. LATAR BELAKANG ada tanggal 17 Oktober 2014 Pdengan Persetujuan Bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengidentifikasikan

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengidentifikasikan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara adalah suatu organisasi yang memilki tujuan. Pada konteks Negara Indonesia, tujuan Negara tertuang dalam alinea keempat Pembukaan Undang- Undang Dasar

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016

Lex Privatum, Vol. IV/No. 7/Ags/2016 TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH DAERAH TERHADAP PEMBERIAN IZIN ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN (AMDAL) 1 Oleh: Sonny E. Udjaili 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melayani masyarakat yang ingin menabungkan uangnya di bank, sedangkan

BAB I PENDAHULUAN. melayani masyarakat yang ingin menabungkan uangnya di bank, sedangkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Bank merupakan salah satu lembaga keuangan yang mempunyai peranan penting dalam masyarakat. Oleh karena itu hampir setiap orang pasti mengetahui mengenai peranan bank

Lebih terperinci

PENGAWASAN TERHADAP PERIZINAN INDUSTRI DI KABUPATEN BADUNG

PENGAWASAN TERHADAP PERIZINAN INDUSTRI DI KABUPATEN BADUNG PENGAWASAN TERHADAP PERIZINAN INDUSTRI DI KABUPATEN BADUNG OLEH: I NENGAH SUHARTA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA 2015 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang John Locke menganggap bahwa negara merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAK PENGUASAAN ATAS TANAH

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAK PENGUASAAN ATAS TANAH BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN HUKUM DAN HAK PENGUASAAN ATAS TANAH A. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum 1. Pengertian Perlindungan Hukum Perlindungan hukum adalah sebuah hak yang bisa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahwa Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum yaitu negara yang

BAB I PENDAHULUAN. bahwa Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum yaitu negara yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Balakang Masalah Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum yaitu negara yang dalam segala aspek kehidupan

Lebih terperinci

Abrori, S.H.I., S.H., M.H. Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Cimahi Jl. Raya Cibeber No. 148, Cimahi Selatan

Abrori, S.H.I., S.H., M.H. Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Cimahi Jl. Raya Cibeber No. 148, Cimahi Selatan 1 KEABSAHAN PENGGUNAAN KEWENANGAN KEBEBASAN BERTINDAK BAGI PEMERINTAH (DISKRESI) : STUDI TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2014 TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN Abrori, S.H.I., S.H., M.H. Sekolah

Lebih terperinci

BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DITEMPUH INVESTOR. Menurut H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, beschikking (keputusan tata

BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DITEMPUH INVESTOR. Menurut H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, beschikking (keputusan tata BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DITEMPUH INVESTOR 3.1. Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) Menurut H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, beschikking (keputusan tata usaha negara) merupakan keputusan pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD

BAB I PENDAHULUAN. Pancasila dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera, yang merata,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melainkan negara itu sifatnya tunggal, artinya hanya ada satu negara, dan tidak

BAB I PENDAHULUAN. melainkan negara itu sifatnya tunggal, artinya hanya ada satu negara, dan tidak 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Indonesia merupakan Negara kesatuan dan berkedaulatan rakyat. Negara kesatuan adalah negara yang tidak tersusun dari pada beberapa negara, melainkan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER III TAHUN 2016/2017

PEMBAHASAN SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER III TAHUN 2016/2017 PEMBAHASAN SOAL UJIAN TENGAH SEMESTER III TAHUN 2016/2017 MATA KULIAH HUKUM ADMINISTRASI NEGARA Disusun oleh MUHAMMAD NUR JAMALUDDIN NPM. 151000126 KELAS D UNIVERSITY 081223956738 KADER HmI KOMHUK UNPAS-BANDUNG

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 41 III. METODE PENELITIAN Penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran, secara sistematis, metodologis,

Lebih terperinci

SENGKETA TATA USAHA NEGARA PEMILU DAN PENYELESAINNYA OLEH PERADILAN TATA USAHA NEGARA

SENGKETA TATA USAHA NEGARA PEMILU DAN PENYELESAINNYA OLEH PERADILAN TATA USAHA NEGARA SENGKETA TATA USAHA NEGARA PEMILU DAN PENYELESAINNYA OLEH PERADILAN TATA USAHA NEGARA Oleh : Herma Yanti ABSTRAK Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum anggota DPR, DPD dan DPRD telah

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. ilmiah adalah proses analisa yang meliputi metode-metode penelitian untuk

BAB III METODE PENELITIAN. ilmiah adalah proses analisa yang meliputi metode-metode penelitian untuk BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis, Sifat, Lokasi Dan Waktu Penelitian 3.1.1. Jenis Penelitian Hal yang cukup penting dalam penelitian hukum sebagai suatu kegiatan ilmiah adalah proses analisa yang meliputi

Lebih terperinci

ARTIKEL ILMIAH. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan. Untuk Memperoleh Gelar Kesarjanaan. Dalam Ilmu Hukum. Oleh: RUBY QUMAIRI NIM.

ARTIKEL ILMIAH. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan. Untuk Memperoleh Gelar Kesarjanaan. Dalam Ilmu Hukum. Oleh: RUBY QUMAIRI NIM. SINKRONISASI PASAL 36 AYAT (2) PERATURAN PRESIDEN NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG JAMINAN KESEHATAN TERHADAP PASAL 23 AYAT (1) UNDANG- UNDANG NOMOR 40 TAHUN 2004 TENTANG SISTEM JAMINAN SOSIAL NASIONAL TERKAIT

Lebih terperinci

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. 2 Jadi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis dan konsisten. 2 Jadi BAB III METODOLOGI PENELITIAN Metode merupakan cara yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan tertentu, termasuk juga metode dalam sebuah penelitian. Menurut Peter R. Senn, 1 metode merupakan suatu prosedur

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum empiris normatif yaitu jenis penelitian yang merupakan gabungan dari jenis penelitian hukum empiris dan normatif.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi semuanya. Padahal kebutuhan ini beraneka ragam, ada yang perlu

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi semuanya. Padahal kebutuhan ini beraneka ragam, ada yang perlu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada dasarnya, setiap manusia hingga perusahaan pada setiap harinya selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat manusia

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. termasuk di dalamnya perkembangan aktivitas ekonomi. Masyarakat Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. termasuk di dalamnya perkembangan aktivitas ekonomi. Masyarakat Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Keberadaan hukum selalu berhubungan dengan keberadaan manusia oleh sebab itu dikenal istilah ubi societas ibi ius yang artinya dimana ada manusia,disitu ada hukum. Terdapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. konstitusional terhadap prinsip kedaulatan rakyat. Hal ini dinyatakan dalam Pasal

BAB I PENDAHULUAN. konstitusional terhadap prinsip kedaulatan rakyat. Hal ini dinyatakan dalam Pasal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memberikan jaminan secara konstitusional terhadap prinsip kedaulatan rakyat. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 1 Ayat (2) Undang-Undang

Lebih terperinci

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata 1 pada Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum. Oleh:

Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata 1 pada Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum. Oleh: ANALISIS PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MEMUTUSKAN MASALAH SENGKETA TATA USAHA NEGARA TENTANG IZIN PRINSIP PENANAMAN MODAL (Studi Kasus Putusan No. 080/G/2015/Ptun.Smg) Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR). 3 Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR). 3 Salah satu BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan melalui 2 (dua) jalur, yaitu melalui jalur litigasi dan jalur non litigasi. Jalur litigasi merupakan mekanisme

Lebih terperinci

KEWENANGAN MENGUJI KONSTITUSIONALITAS PERATURAN DAERAH TERHADAP UUD 1945

KEWENANGAN MENGUJI KONSTITUSIONALITAS PERATURAN DAERAH TERHADAP UUD 1945 KEWENANGAN MENGUJI KONSTITUSIONALITAS PERATURAN DAERAH TERHADAP UUD 1945 Oleh : Indah Permatasari 1 ABSTRACT The local government is given authority by the constitution to establish local regulations.

Lebih terperinci

KEDUDUKAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN MENURUT UU NO. 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN

KEDUDUKAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN MENURUT UU NO. 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN KEDUDUKAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM PENGELOLAAN HUTAN MENURUT UU NO. 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN (Dipublikasikan dalam Jurnal Al-Buhuts, ISSN: 1410-184 X, Vol. 5 No. 2 Maret 2001, Lembaga Penelitian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian merupakan suatu proses, yaitu suatu rangkaian langkah yang dilakukan secara terencana dan sistematis untuk memperoleh pemecahan masalah atau jawaban

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Maha Esa. Tanah merupakan salah satu kebutuhan manusia yang sangat absolute dan

BAB I PENDAHULUAN. Maha Esa. Tanah merupakan salah satu kebutuhan manusia yang sangat absolute dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah sebagai salah satu sumber daya alam yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa. Tanah merupakan salah satu kebutuhan manusia yang sangat absolute dan vital artinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanpa orang lain. Manusia dikatakan mahluk sosial, juga di karenakan pada diri

BAB I PENDAHULUAN. tanpa orang lain. Manusia dikatakan mahluk sosial, juga di karenakan pada diri 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sudah menjadi kodrat manusia sebagai makhluk sosial tidak dapat hidup sendiri tanpa orang lain. Manusia dikatakan mahluk sosial, juga di karenakan pada diri manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa negara hukum (rechtsstaat)

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa negara hukum (rechtsstaat) BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Penelitian Negara Indonesia adalah Negara Hukum sebagaimana tertuang di dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 bahwa negara hukum (rechtsstaat)

Lebih terperinci

BAB II PEDOMAN PENETAPAN IZIN GANGGUAN. Di dalam kamus istilah hukum, izin (vergunning) dijelaskan sebagai

BAB II PEDOMAN PENETAPAN IZIN GANGGUAN. Di dalam kamus istilah hukum, izin (vergunning) dijelaskan sebagai BAB II PEDOMAN PENETAPAN IZIN GANGGUAN A. Pengertian Perizinan Di dalam kamus istilah hukum, izin (vergunning) dijelaskan sebagai perkenaan/izin dari pemerintah yang disyaratkan untuk perbuatan yang pada

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN TEORITIS. untuk mengemudikan tingkah laku para warga. Izin juga diartikan sebagai

BAB III TINJAUAN TEORITIS. untuk mengemudikan tingkah laku para warga. Izin juga diartikan sebagai 1 BAB III TINJAUAN TEORITIS A. Pengertian Izin Izin adalah salah satu instrumen yang paling banyak digunakan dalam hukum administrasi. Pemeiintahan menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk mengemudikan

Lebih terperinci

IMPLIKASI YURIDIS LEGALITAS KEWENANGAN (RECHTMATIGHEID) MAJELIS KEHORMATAN DALAM PEMBINAAN NOTARIS SEBAGAI PEJABAT PUBLIK

IMPLIKASI YURIDIS LEGALITAS KEWENANGAN (RECHTMATIGHEID) MAJELIS KEHORMATAN DALAM PEMBINAAN NOTARIS SEBAGAI PEJABAT PUBLIK IMPLIKASI YURIDIS LEGALITAS KEWENANGAN (RECHTMATIGHEID) MAJELIS KEHORMATAN DALAM PEMBINAAN NOTARIS SEBAGAI PEJABAT PUBLIK TIM PENELITI Prof. DR. I WAYAN PARSA, SH., M.Hum. (19591231 198602 1 007) KADEK

Lebih terperinci

TINJAUAN HUKUM TENTANG DISKRESI PEJABAT PEMERINTAHAN, LARANGAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG TERKAIT DISKRESI MENURUT UUAP

TINJAUAN HUKUM TENTANG DISKRESI PEJABAT PEMERINTAHAN, LARANGAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG TERKAIT DISKRESI MENURUT UUAP TINJAUAN HUKUM TENTANG DISKRESI PEJABAT PEMERINTAHAN, LARANGAN PENYALAHGUNAAN WEWENANG TERKAIT DISKRESI MENURUT UUAP Sumber: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57b510afc8b68/bahasa-hukum--diskresi-pejabatpemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan perspektif sejarah, ide dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan perspektif sejarah, ide dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berdasarkan perspektif sejarah, ide dibentuknya Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara pemerintah dengan warga negaranya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, penyelenggaraan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum. Sebagai negara hukum, penyelenggaraan negara dengan perantaraan pemerintah harus berdasarkan hukum. 1 Penyelenggaraan pemerintahan

Lebih terperinci

MENGATASI KONFLIK DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN Oleh : Abu Sopian (Widyaiswara Balai Diklat Keuangan Palembang)

MENGATASI KONFLIK DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN Oleh : Abu Sopian (Widyaiswara Balai Diklat Keuangan Palembang) MENGATASI KONFLIK DALAM PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN Oleh : Abu Sopian (Widyaiswara Balai Diklat Keuangan Palembang) Abstrak Pelaksanaan tugas dan wewenang pemerintahan selalu bersinggungan dengan kepentingan

Lebih terperinci