BAB I PENDAHULUAN. Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR). 3 Salah satu

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB I PENDAHULUAN. Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR). 3 Salah satu"

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyelesaian sengketa perdata dapat dilakukan melalui 2 (dua) jalur, yaitu melalui jalur litigasi dan jalur non litigasi. Jalur litigasi merupakan mekanisme penyelesaian perkara melalui jalur pengadilan dengan menggunakan pendekatan hukum (law approach) melalui aparat atau lembaga penegak hukum yang berwenang sesuai dengan aturan perundang-undangan. 1 Sedangkan jalur non litigasi adalah mekanisme penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan menggunakan mekanisme yang hidup dalam masyarakat yang bentuk dan macamnya sangat bervariasi, seperti cara musyawarah, perdamaian, kekeluargaan, penyelesaian adat, dll. 2 Penyelesaian sengketa di luar pengadilan ini umumnya dinamakan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR). 3 Salah satu badan penyelesaian sengketa di luar pengadilan adalah arbitrase. Arbitrase diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (selanjutnya disebut Undang-Undang 1 Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis, Citra Media Hukum, Yogyakarta, 2006, hlm Ibid. 3 Susanti Adi Nugroho, Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, Telaga Ilmu, Jakarta, 2009, hlm. 1. 1

2 2 Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa). Arbitrase merupakan salah satu bentuk penyelesaian sengketa perdata tetapi tidak melalui jalur pengadilan pada umumnya. Hal ini sesuai dengan pengertian arbitrase yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menjelaskan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh pihak yang bersengketa. 4 Kompetensi absolut arbitrase lahir ketika ada klausul arbitrase di dalam perjanjian yang menyebutkan bahwa arbitrase merupakan badan penyelesaian sengketa yang dipilih oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang ditimbul diantara mereka. Klausul arbitrase tersebut dapat dibuat oleh para pihak pada saat sebelum terjadi sengketa maupun setelah timbul sengketa. Hal tersebut sesuai dengan yang tercantum dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang menyebutkan bahwa perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. 5 Dalam Pasal 3 Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menentukan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa 4 Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif 5 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

3 3 para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. 6 Ini berarti bahwa setiap perjanjian yang mencantumkan klausul arbitrase, menghapuskan kewenangan Pengadilan Negeri untuk menyelesaikan setiap sengketa yang timbul dari perjanjian yang memuat klausul arbitrase tersebut. 7 Hal tersebut dipertegas lagi dalam Pasal 11 Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Dengan adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri dan Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang ini. Selanjutnya dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menyebutkan bahwa sengketa yang dapat diperiksa oleh arbitrase adalah hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa. 8 Tidak ada penjelasan mengenai apa yang termasuk dalam bidang perdagangan seperti yang tercantum dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut. Akan tetapi jika dihubungkan dengan penjelasan Pasal 66 Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang termasuk dalam ruang lingkup perdagangan adalah 6 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 7 Bambang Sutiyoso, op.cit., hlm Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

4 4 kegiatan-kegiatan antara lain di bidang perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak kekayaan intelektual. Kemudian dalam Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa disebutkan bahwa sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian. 9 Arbitrase merupakan sebuah lembaga penyelesaian sengketa yang terpisah dari Pengadilan Negeri, yaitu sebuah lembaga yang bukan merupakan bagian dari Pengadilan Negeri. Sehingga, ketika para pihak setuju untuk memilih arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa dagang, maka pengadilan harus menolak untuk memeriksa dan memutus sengketa tersebut. 10 Berikut adalah sengketa perbuatan melawan hukum yang para pihaknya terikat perjanjian berklausul arbitrase namun sengketa tersebut diselesaikan melalui badan peradilan umum: Dalam Putusan Peninjauan Kembali Nomor 238 PK/Pdt/2014, Mahkamah Agung menyatakan menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali yaitu PT. Berkah Karya Bersama. Mahkamah Agung berpendapat bahwa alasan-alasan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali tersebut tidak dapat dibenarkan. Setelah Mahkamah Agung meneliti dengan 9 Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif 10 Erman Rajagukguk, Arbitrase dalam Putusan Pengadilan, Chandra Pratama, Jakarta, 2000, hlm. 13.

5 5 saksama memori peninjauan kembali dan kontra memori peninjauan kembali dan dihubungkan dengan pertimbangan putusan Judex Juris dalam tingkat kasasi dan putusan Judex Facti, dalam perkara a quo ternyata tidak terdapat adanya kekhilafan Hakim dengan beberapa pertimbangan, yaitu: Pertama adalah sengketa dalam perkara a quo adalah tentang perbuatan melawan hukum dan bukan merupakan sengketa mengenai hak berdasarkan Investment Agreement karena terdapat pihak yang tidak terikat dengan Investment Agreement tersebut ikut digugat dalam perkara a quo yang tidak terikat dengan perjanjian tersebut sehingga tidak termasuk pada ketentuan yang diatur dalam Investment Agreement tanggal 23 Agustus Mahkamah Agung menambahkan bahwa perjanjian Investment Agreement terjadi antara Penggugat dengan Tergugat I dan Turut tergugat I, sedangkan Tergugat II dan Turut Tergugat lainnya tidak terikat dengan isi perjanjian tersebut sehingga Pengadilan Negeri berwenang mengadili perkara a quo. Kedua adalah terbukti Para Tergugat telah melakukan perbuatan melawan hukum sebagaimana telah dipertimbangkan oleh Judex Facti (Pengadilan Negeri Jakarta Pusat) dan Judex Juris dengan tepat. Ketiga adalah surat-surat bukti Pemohon Peninjauan Kembali I sampai dengan Pemohon Peninjauan Kembali IV semuanya dibuat pada tanggal 18 Oktober 2013, yaitu setelah adanya putusan kasasi dalam perkara a quo (tanggal 2 Oktober 2013) sehingga tidak bernilai sebagai novum yang menentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 (b) Undang-Undang Nomor 14

6 6 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun Keempat adalah alasan Pemohon Peninjauan Kembali lainnya merupakan pengulangan yang hanya mengenai perbedaan pendapat antara Pemohon Peninjauan Kembali dengan Judex Facti (Pengadilan negeri) dan Judex Juris. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali yaitu PT. Berkah Karya Bersama adalah tidak beralasan sehingga harus ditolak oleh Mahkamah Agung. Oleh karena permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali ditolak, maka Pemohon Peninjauan Kembali dihukum untuk membayar biaya perkara dalam pemeriksaan peninjauan kembali tersebut. Investment Agreement yang ditandatangani oleh para pihak pada tanggal 23 Agustus 2003 tersebut menyepakati adanya klasul arbitrase. Klasul arbitrase terdapat pada Pasal 13 ayat (3) Investment Agreement tanggal 23 Agustus Disebutkan dalam Pasal 13 ayat (3) Investment Agreement apabila sengketa tersebut tidak dapat diselesaikan secara musyawarah, maka harus diselesaikan secara eksklusif dan mengikat melalui arbitrase di Jakarta sesuai dengan ketentuan Badan Arbitrase Nasional Indonesia. Panjangnya upaya hukum yang ditempuh oleh kedua belah pihak yang bersengketa hingga menghasilkan Putusan Peninjauan Kembali oleh Mahkamah

7 7 Agung bukan merupakan akhir dari sengketa antara para pihak. Pada 19 November 2013, PT. Berkah Karya Bersama mengajukan gugatan ke Badan Arbitrase Nasional Indonesia (selanjutnya disebut BANI) terhadap Siti Hardiyanti Rukmana, dkk sehubungan dengan wanprestasi/cidera janji berdasarkan Investment Agreement. 11 Dalam Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia Nomor 547/XI/ARB- BANI/2013 tertanggal 12 Desember , BANI menghukum pihak Nyonya Siti Hardiyanti Rukmana untuk membayar utang sebesar Rp ,00 kepada PT. Berkah Karya Bersama, serta membayar biaya perkara sebesar Rp ,00. BANI dalam putusannya tersebut juga menyatakan sah dan mengikat Investment Agreement tertanggal 23 Agustus 2002 dan Supplement Agreement tertanggal 7 Februari Selanjutnya BANI menyatakan bahwa Para Termohon telah melakukan cedera janji tethadap pemohon dengan mencabut surat kuasa tanggal 3 Juni 2003 yang bertentangan dengan Investment Agreement tertanggal 23 Agutus Dengan adanya Putusan Nomor 238 PK/Pdt/2014 dan Putusan BANI Nomor 547/XI/ARB-BANI/2013 tersebut, menyebabkan adanya dua putusan terhadap objek yang sama. Hukum memberikan kekuatan yang sama untuk putusan badan arbitrase sebagaimana hukum memberikan kekuatan yang sama pada putusan pengadilan 11 m_erep/201404/ae7d93a20e_27dfc64902.pdf, pada tanggal 08 Mei 2015, pukul 08:59 WIB. 12 Rakhmatulloh, Ini Perintah BANI dalam Putusan Kasus TPI, diakses dari , pada tanggal 7 September 2015, pukul 14:40 WIB.

8 8 tingkat akhir, dan keputusan dapat dijalankan atau dieksekusi atas perintah Kepala Pengadilan Negeri. 13 Mahkamah Agung memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir. 14 Tidak ada upaya hukum luar biasa lain yang terbuka untuk mengoreksi putusan peninjauan kembali. Tertutup semua upaya hukum, demi tegaknya kepastian hukum (legal certainty). 15 Salah dan keliru atau tidaknya putusan peninjauan kembali, harus dianggap putusan yang benar dan adil sehingga tidak bisa lagi dikoreksi oleh lembaga mana pun. 16 Begitu juga dengan putusan arbitrase yang bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. 17 Putusan arbitrase merupakan putusan final dan dengan demikian tidak dapat diajukan banding, kasasi atau peninjauan kembali. 18 Wewenang atau kompetensi arbitrase/bani secara hukum terpisah dan sejajar dengan Pengadilan Negeri, artinya keputusan arbitrase/bani mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan keputusan Pengadilan Negeri. 19 Perkara yang menurut perjanjian arbitrase diserahkan para pihak yang bersengketa kepada arbitrase/bani tidak bisa lagi diperiksa dan diputuskan oleh Pengadilan Negeri. 13 R. Subekti, Aneka Perjanjian, hlm Pasal 70 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. 15 M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hlm Ibid. 17 Pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif 18 Penjelasan Pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif 19 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS): Suatu Pengantar, Edisi Kedua (Revisi), Cetakan Kedua, Fikahati Aneka, 2011, hlm. 147.

9 9 Berdasarkan pemaparan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai kewenangan mengadili peradilan umum dan badan arbitrase dalam hal mengadili sengketa berklasul arbitrase dengan judul KEWENANGAN BADAN PERADILAN UMUM MENGADILI GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG PARA PIHAKNYA TERIKAT DENGAN PERJANJIAN BERKLAUSUL ARBITRASE (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 238 PK/Pdt/2014. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana kewenangan badan peradilan umum dalam mengadili gugatan perbuatan melawan hukum yang para pihaknya terikat dengan perjanjian berklausul arbitrase yang terdapat dalam Putusan Nomor 238 PK/Pdt/2014? 2. Eksekusi manakah yang didahulukan menurut hukum antara Putusan Nomor 10/Pdt.G.2010/PN.Jkt.Pst ataukan 547XIARB-BANI/2013? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk:

10 10 1. Mengetahui kewenangan badan peradilan umum dalam mengadili gugatan perbuatan melawan hukum yang para pihaknya terikat dengan perjanjian berklausul arbitrase sebagaimana yang terdapat dalam Putusan Nomor 238/PK/Pdt/ Mengetahui eksekusi yang didahulukan menurut hukum antara Putusan Nomor 10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst atau Putusan Nomor 547/XI/ARB-BANI/2013. D. Tinjauan Pustaka 1. Kewenangan Peradilan Umum dalam Perkara Perdata Menurut Pasal 18 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tentang Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Masing-masing lingkungan peradilan mempunyai kompetensi atau kewenangan masing-masing, baik kompetensi absolut dan kompetensi relatif. Peradilan umum merupakan salah satu lingkungan peradilan, di luar peradilan agama, militer dan tata usaha negara. Di Indonesia, peradilan umum diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum jo. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986

11 11 tentang Peradilan Umum jo. Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Dalam operasionalnya kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum ini dilaksanakan oleh pengadilan negeri dan pengadilan tinggi dan berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan Negara tertinggi. 20 Pengadilan Negeri adalah pengadilan yang mengadili pada tingkat pertama, sedangkan Pengadilan Tinggi adalah pengadilan yang mengadili pada tingkat banding. Kompetensi asbolut Pengadilan Negeri dapat dilihat dalam Pasal 50 Undang- Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, yang menentukan bahwa pengadilan negeri bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama. Jadi, tugas pokok dari pengadilan negeri adalah menerima, memeriksa dan memutus (mengadili) serta menyelesaikan setiap perkara (perdata dan pidana) yang diajukan/dilimpahkan kepadanya. Dengan demikian, Pengadilan Negeri berwenang memeriksa sengketa bisnis, karena sengketa bisnis termasuk dalam ruang lingkup hukum perdata dalam arti luas. 21 Pengecualian untuk sengketa bisnis yang berkaitan dengan masalah kepailitan 20 Bambang Waluyo, Implementasi Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, hlm Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis, hlm. 12.

12 12 dan penundaan pembayaran utang yang menjadi kewenangan pengadilan niaga untuk memeriksanya Kewenangan Arbitrase dalam Memeriksa Perkara Perdata Arbitrase adalah institusi hukum alternatif bagi penyelesaian sengketa di luar Pengadilan. 23 Berdasarkan rumusan dari beberapa pendapat sarjana tentang pengertian arbitrase dan juga pengertian arbitrase dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dapat diketahui bahwa arbitrase lahir karena adanya perjanjian arbitrase. 24 Bagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. 25 Perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak tersebut berisikan perjanjian untuk menyelesaikan suatu sengketa di bidang perdata melalui jalur non litigasi. Perjanjian arbitrase dapat dibuat para pihak sebelum terjadinya sengketa ataupun setelah terjadinya sengketa. Bagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif 22 Ibid. 23 Erman Rajagukguk, op.cit., hlm Andi Julia Cakrawala, Penerapan Konsep Hukum Arbitrase Online di Indonesia, Rangkang Education, Yogyakarta, hlm Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif

13 13 Penyelesaian Sengketa, perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klasula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. 26 Dari rumusan yang terkandung dalam pasal tersebut, dapat disimpulkan perjanjian arbitrase timbul karena adanya suatu kesepakatan berupa: a. Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa; atau b. Suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat oleh para pihak setelah timbul sengketa. Dalam ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa disebutkan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. 27 Ini berarti bahwa setiap perjanjian yang mencantumkan klausul arbitrase, menghapuskan kewenangan pengadilan negeri untuk menyelesaikan setiap sengketa yang timbul dari perjanjian yang memuat klausul arbitrase tersebut. 28 Selanjutnya Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mempertegas yuridiksi absolut 26 Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif 27 Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 28 Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis, loc.cit.

14 14 arbitrase yang disebut dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa bahwa adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri. 29 Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menambahkan bahwa Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang ini (Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa). 30 Perjanjian arbitrase memberikan kewenangan absolut kepada lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc untuk menyelesaikan sengketa atau beda pendapat di antara para pihak yang timbul atau mungkin timbul dari hubungan hukum tertentu, yang penyelesaianya disepakati dengan cara arbitrase. 31 Adapun yang menjadi objek pemeriksaan arbitrase adalah memeriksa sengketa keperdataan, tetapi tidak semua sengketa keperdataan dapat diselesaikan melalui arbitrase, hanya bidang tertentu yang disebutkan dalam Pasal 5 ayat (1) Undang- Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di 29 Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif 30 Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif 31 Andi Julia Cakrawala, op.cit., hlm. 87.

15 15 bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa. 32 Dalam penjelasan Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut, tidak memberikan apa yang termasuk dalam bidang perdagangan. Akan tetapi jika dihubungkan dengan penjelasan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang termasuk dalam ruang lingkup perdagangan adalah kegiatan-kegiatan antara lain di bidang perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak kekayaan intelektual. 33 Selanjutnya Pasal 5 ayat (2) menyebutkan sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian. Dengan menggunakan penafsiran argumentum a contrario, maka kompetensi arbitrase adalah sengketa di bidang perdagangan dan sengketa mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dapat diadakan perdamaian. 34 Sepanjang itu penyelesaian sengketa perdagangan dan hak tersebut dapat diserahkan kepada lembaga arbitrase atau arbitrase ad hoc. 32 Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif 33 Pasal 66 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif 34 Rachmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa Di Luar Pengadilan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 126.

16 16 E. Metode Penelitian Metode penelitian adalah tatacara bagaimana suatu penelitian dilaksanakan (metdhos = tata cara). 35 Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. 36 Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis-normatif. 1. Fokus penelitian Fokus penelitian dalam penelitian ini adalah: a. Kewenangan badan peradilan umum dalam mengadili gugatan perbuatan melawan hukum yang para pihaknya terikat dengan perjanjian berklausul arbitrase yang terdapat dalam Putusan Nomor 238/PK/Pdt/2014. b. Eksekusi yang didahulukan menurut hukum antara Putusan Nomor 10/Pdt.G/2010/PN.Jkt.Pst atau Putusan Nomor 547/XI/ARB-BANI/ Narasumber Narasumber dalam penelitian ini adalah: a. Ridwan Kahirandy selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. 35 Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi: Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, Cetakan Pertama, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2002, hlm Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, Kencana, Jakarta, 2005, hlm. 35.

17 17 b. Tata Wijayanta selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. c. Sri Muryanto selaku Hakim Utama Pengadilan Tinggi Yogyakarta. 3. Bahan Hukum Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini, meliputi: a. Bahan hukum primer Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat. 37 Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Peraturan perundang-undangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 200 tentang Peradilan Umum. Sedangkan putusan pengadilan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 629/PDT/2011/PT.DKI, Putusan Mahkamah Agung Nomor 862 K/Pdt/2013, dan Putusan Mahkamah Agung Nomor 238 PK/Pdt/2014. b. Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum 37 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm. 113.

18 18 primer. 38 Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah: literatur, buku, makalah, hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum dan lain sebagainya yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti. c. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. 39 Bahan hukum tersier yang digunakan dalam penelitian hukum ini adalah kamus, ensiklopedia, serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat digunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian hukum ini. 4. Cara Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan bahan hukum dalam penelitin ini dilakukan dengan cara: a. Studi pustaka yaitu dengan cara mengkaji literatur, hasil penelitian hukum dan jurnal yang berhubungan dengan permasalahan penelitian hukum ini. b. Studi dokumen yaitu dengan mengkaji berbagai dokumen yang berupa peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. 38 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas Indonesia, Cetakan ke-3, Jakarta, 1986, hlm. 52.

19 19 5. Pendekatan yang Digunakan Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif atau hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder 40, yang mungkin mencakup bahan hukum hukum primer, sekunder dan tertier Analisis Bahan Hukum Data yang diperoleh dari penelitian akan dianalisis dengan cara deskriptif kualitatif, yaitu data yang diperoleh disajikan secara deskriptif dan dianalisis secara kualitatif, dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Data penelitian diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan; b. Hasil kualifikasi dan selanjutnya disistematikan; dan c. Data yang telah disistematikan kemudian dianalisis untuk dijadikan dasar dalam mengambil kesimpulan. 40 Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan Ketiga belas, PT RajaGrafindo, Jakarta, 2011, hlm Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, loc.cit.

20 20 F. Sistematika Penulisan Berdasarkan rumsuan permasalahan serta hal-hal yang telah diuraikan sebelumnya, maka susunan penelitian ini dibagi dalam empat bab, dengan sistematika penulisan sebagai berikut: Bab satu berisi mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab dua menguraikan teori atau hasil kepustakaan, yang berisi mengenai tinjauan umum tentang kewenangan menagdili badan peradilan umum dan arbitrase dalam perkara perdata. Bab tiga berisi pembahasan dari apa yang terdapat pada rumusan masalah, antara lain adalah pembahasan mengenai kewenangan badan peradilan umum dalam mengadili gugatan perbuatan melawan hukum yang para pihaknya terikat dengan perjanjian berklausul arbitrase. Pembahasan tersebut didasarkan pada studi kasus terhadap putusan peninjauan kembali Nomor 238 PK/Pdt/2014. Bab empat berisi tentang kesimpulan dan saran terkait dengan rumusan permasalahan yang diteliti. Kesimpulan merupakan inti dari analisa pembahasan, sedangkan saran penelitian diberikan dengan maksud untuk melengkapi kekurangan dari penelitian ini. Kemudian diakhiri dengan pemberian daftar pustaka.

DAFTAR PUSTAKA. A. Basiq Djalil, Peradilan Islam, Cetakan Pertama, Amzah, Jakarta, 2012.

DAFTAR PUSTAKA. A. Basiq Djalil, Peradilan Islam, Cetakan Pertama, Amzah, Jakarta, 2012. DAFTAR PUSTAKA A. Buku dan Literatur A. Basiq Djalil, Peradilan Islam, Cetakan Pertama, Amzah, Jakarta, 2012. A. Rahmat Rosyadi dan Ngatino, Arbitrase Dalam Prespektif Islam Dan Hukum Positif, Cetakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sengketa yang terjadi diantara para pihak yang terlibat pun tidak dapat dihindari.

BAB I PENDAHULUAN. sengketa yang terjadi diantara para pihak yang terlibat pun tidak dapat dihindari. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pesatnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia dapat melahirkan berbagai macam bentuk kerjasama di bidang bisnis. Apabila kegiatan bisnis meningkat, maka sengketa

Lebih terperinci

Mercatoria Vol. 9 No. 1/Juli 2016 ISSN No:

Mercatoria Vol. 9 No. 1/Juli 2016 ISSN No: KEWENANGAN PENGADILAN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN PT. TELEVISI PENDIDIKAN INDONESIA (PT. TPI) YANG MEMUAT KLAUSUL ARBITRASE (Studi Kasus Putusan Nomor 238 PK/Pdt/2014) Citra Bakti Pangaribuan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. yang menimbulkan suatu hubungan hukum yang dikategorikan sebagai suatu

BAB 1 PENDAHULUAN. yang menimbulkan suatu hubungan hukum yang dikategorikan sebagai suatu BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Manusia dalam mencapai kebutuhan hidupnya saling berinteraksi dengan manusia lain. Masing-masing individu dalam berinteraksi adalah subjek hukum yang

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015 PENYELESAIAN PERKARA MELALUI CARA MEDIASI DI PENGADILAN NEGERI 1 Oleh : Elty Aurelia Warankiran 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan bertuan untuk mengetahui bagaimana prosedur dan pelaksanaan mediasi perkara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dipungkiri tidak hanya berdampak pada peningkatan kondisi perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. dipungkiri tidak hanya berdampak pada peningkatan kondisi perekonomian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan sektor kegiatan bisnis yang terjadi saat ini tidak dapat dipungkiri tidak hanya berdampak pada peningkatan kondisi perekonomian saja, tetapi juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha yang diwarnai dengan semakin. pihak yang terlibat dalam lapangan usaha tersebut, sangat berpotensi

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha yang diwarnai dengan semakin. pihak yang terlibat dalam lapangan usaha tersebut, sangat berpotensi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan dunia usaha yang diwarnai dengan semakin kompleksnya permasalahan dalam bidang ekonomi dan semakin hiterogennya pihak yang terlibat dalam lapangan

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. V/No. 3/Mei/2017

Lex Administratum, Vol. V/No. 3/Mei/2017 KAJIAN YURIDIS PUTUSAN MAJELIS BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN BERSIFAT FINAL DAN MENGIKAT DALAM SENGKETA ANTARA KONSUMEN DENGAN PELAKU USAHA 1 Oleh : Sandhy The Domaha 2 ABSTRAK Pemberlakuan Undang-Undang

Lebih terperinci

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN. terhadap pokok persoalan yang dikaji dalam karya ini, yaitu: 1. Pertimbangan hukum penerimaan dan pengabulan permohonan

BAB IV SIMPULAN DAN SARAN. terhadap pokok persoalan yang dikaji dalam karya ini, yaitu: 1. Pertimbangan hukum penerimaan dan pengabulan permohonan BAB IV SIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN Berdasarkan diskusi yang telah dikupas pada bagian sebelumnya dalam skripsi ini, maka dapat ditarik dua kesimpulan sebagai jawaban terhadap pokok persoalan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan TPI ini terlilit hutang ke berbagai pihak dengan nominal Rp 1,7

BAB I PENDAHULUAN. dengan TPI ini terlilit hutang ke berbagai pihak dengan nominal Rp 1,7 1 BAB I PENDAHULUAN A. Kasus Posisi PT. Cipta Televisi Pendidikan Indonesia atau yang kita kenal dengan TPI ini terlilit hutang ke berbagai pihak dengan nominal Rp 1,7 Triliun, karena hutang tersebut hampir

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. sistematis, metodologis, dan konsisten. Sistematis artinya menggunakan sistem

BAB III METODE PENELITIAN. sistematis, metodologis, dan konsisten. Sistematis artinya menggunakan sistem BAB III METODE PENELITIAN Penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran, secara sistematis, metodologis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan prinsip syari ah tidak mungkin dihindari akan terjadinya konflik. Ada yang berujung sengketa

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA., 2011, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Refika Aditama, Bandung.

DAFTAR PUSTAKA., 2011, Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris, Refika Aditama, Bandung. DAFTAR PUSTAKA A. Buku Abdurrasyid, Prijatna 2002, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian sengketa (Suatu Pengantar), Fikahati Aneska, Adjie, Habib, 2009, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha dalam perkembangan dunia yang semakin. pesat membutuhkan suatu hukum guna menjamin kepastian dan memberi

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha dalam perkembangan dunia yang semakin. pesat membutuhkan suatu hukum guna menjamin kepastian dan memberi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Perkembangan dunia usaha dalam perkembangan dunia yang semakin pesat membutuhkan suatu hukum guna menjamin kepastian dan memberi perlindungan bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka perekonomian nasional

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka perekonomian nasional 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) menegaskan bahwa salah satu tujuan nasional yang harus diwujudkan oleh negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sorotan masyarakat karena diproses secara hukum dengan menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sorotan masyarakat karena diproses secara hukum dengan menggunakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Banyaknya kasus tindak pidana ringan yang terjadi di Indonesia dan sering menjadi sorotan masyarakat karena diproses secara hukum dengan menggunakan ancaman hukuman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling membutuhkan satu sama lainnya. Dengan adanya suatu hubungan timbal

BAB I PENDAHULUAN. saling membutuhkan satu sama lainnya. Dengan adanya suatu hubungan timbal BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Manusia merupakan makhluk sosial yang dalam kehidupan sehari-hari saling membutuhkan satu sama lainnya. Dengan adanya suatu hubungan timbal balik, bukan tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sengketa dengan orang lain. Tetapi di dalam hubungan bisnis atau suatu perbuatan

BAB I PENDAHULUAN. sengketa dengan orang lain. Tetapi di dalam hubungan bisnis atau suatu perbuatan BAB I PENDAHULUAN Pada dasarnya tidak ada seorang pun yang menghendaki terjadinya sengketa dengan orang lain. Tetapi di dalam hubungan bisnis atau suatu perbuatan hukum, masing-masing pihak harus mengantisipasi

Lebih terperinci

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017 KEDUDUKAN PERADILAN AGAMA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH MENURUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 93/PUU-X/2012 1 Oleh: Tri Rama Kantohe 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan. 24

III. METODE PENELITIAN. permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan. 24 III. METODE PENELITIAN Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. sistematika, dan pemikiran tertentu dengan jalan menganalisisnya. Metode

METODE PENELITIAN. sistematika, dan pemikiran tertentu dengan jalan menganalisisnya. Metode 32 III. METODE PENELITIAN Penelitian hukum merupakan hal yang ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu dengan jalan menganalisisnya. Metode penelitian hukum merupakan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembiayaan adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Pembiayaan adalah kegiatan pembiayaan untuk pengadaan barang berdasarkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembiayaan Konsumen (Consumer Finance) sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan adalah kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bermasyarakat manusia sebagai makhluk sosial tidak

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bermasyarakat manusia sebagai makhluk sosial tidak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan bermasyarakat manusia sebagai makhluk sosial tidak bisa terhindar dari sengketa. Perbedaan pendapat maupun persepsi diantara manusia yang menjadi pemicu

Lebih terperinci

DAFTAR PUSTAKA. Abdurrasyid, Priyatna, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: PT Fikahati Aneska, 2000).

DAFTAR PUSTAKA. Abdurrasyid, Priyatna, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: PT Fikahati Aneska, 2000). 145 DAFTAR PUSTAKA A. Buku-Buku Abdurrasyid, Priyatna, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: PT Fikahati Aneska, 2000). Ashshofa, Burhan, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka

Lebih terperinci

BAB III KEWENANGAN BADAN PERADILAN UMUM MENGADILI GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG PARA PIHAKNYA TERIKAT DENGAN PERJANJIAN BERKLAUSUL ARBITRASE

BAB III KEWENANGAN BADAN PERADILAN UMUM MENGADILI GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG PARA PIHAKNYA TERIKAT DENGAN PERJANJIAN BERKLAUSUL ARBITRASE BAB III KEWENANGAN BADAN PERADILAN UMUM MENGADILI GUGATAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG PARA PIHAKNYA TERIKAT DENGAN PERJANJIAN BERKLAUSUL ARBITRASE (Studi Kasus Terhadap Putusan Nomor 238 PK/Pdt/2014)

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah normatif, yang dilakukan dengan cara meneliti bahan

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian ini adalah normatif, yang dilakukan dengan cara meneliti bahan BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah normatif, yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka, dapat dinamakan penelitian hukum normatif

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian normatif (dokcrinal research) yaitu

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini adalah penelitian normatif (dokcrinal research) yaitu III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian normatif (dokcrinal research) yaitu penelitian hukum dengan mengkaji bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer maupun bahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bank menurut pengertian umum dapat diartikan sebagai tempat untuk

BAB I PENDAHULUAN. Bank menurut pengertian umum dapat diartikan sebagai tempat untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bank menurut pengertian umum dapat diartikan sebagai tempat untuk menyimpan dan meminjam uang. Namun, pada masa sekarang pengertian bank telah berkembang sedemikian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diusahakan atau digunakan untuk pemenuhan kebutuhan yang nyata. perlindungan hukum bagi rakyat banyak.

BAB I PENDAHULUAN. diusahakan atau digunakan untuk pemenuhan kebutuhan yang nyata. perlindungan hukum bagi rakyat banyak. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia, merupakan salah satu sumber utama bagi kelangsungan hidup dan penghidupan bangsa sepanjang

Lebih terperinci

KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN YANG DALAM PERJANJIANNYA TERCANTUM KLAUSUL ARBITRASE

KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN YANG DALAM PERJANJIANNYA TERCANTUM KLAUSUL ARBITRASE KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA KEPAILITAN YANG DALAM PERJANJIANNYA TERCANTUM KLAUSUL ARBITRASE Oleh Ni Made Asri Alvionita I Nyoman Bagiastra Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas Udayana ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

BAB I PENDAHULUAN. di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sejarah institusi yang berperan melakukan kegiatan pengujian konstitusional di dunia berkembang pesat melalui tahap-tahap pengalaman yang beragam disetiap

Lebih terperinci

Lex Privatum, Vol.II/No. 3/Ags-Okt/2014

Lex Privatum, Vol.II/No. 3/Ags-Okt/2014 PERSOALAN GANTI RUGI DALAM PENGADAAN TANAH UNTUK KEPENTINGAN PEMBANGUNAN 1 Oleh : Angelia Inggrid Lumenta 2 ABSRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana prosedur pelaksanaan

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017. Kata kunci: Eksekusi putusan, Arbitrase Nasional.

Lex et Societatis, Vol. V/No. 1/Jan-Feb/2017. Kata kunci: Eksekusi putusan, Arbitrase Nasional. EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 1999 1 Oleh : Reza A. Ngantung 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana prosedur eksekusi putusan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Di era globalisasi saat ini kebutuhan masyarakat untuk kehidupan sehari-hari semakin

BAB 1 PENDAHULUAN. Di era globalisasi saat ini kebutuhan masyarakat untuk kehidupan sehari-hari semakin BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Di era globalisasi saat ini kebutuhan masyarakat untuk kehidupan sehari-hari semakin meningkat sehingga, memberikan peluang bagi pelaku usaha sebagai produsen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. umum. Diantaranya pembangunan Kantor Pemerintah, jalan umum, tempat

BAB I PENDAHULUAN. umum. Diantaranya pembangunan Kantor Pemerintah, jalan umum, tempat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan Negara Republik Indonesia adalah untuk mencapai masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Kegiatan usaha

BAB I PENDAHULUAN. serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Kegiatan usaha 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tujuan sebagai badan yang dibentuk untuk melakukan upaya

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tujuan sebagai badan yang dibentuk untuk melakukan upaya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) merupakan badan yang menyelesaikan sengketa konsumen melalui cara di luar pengadilan. BPSK memiliki tujuan sebagai

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan satu macam

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan satu macam BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Pendekatan Masalah Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan satu macam pendekatan, yaitu pendekatan yuridis normatif. Penelitian hukum normatif adalah

Lebih terperinci

3 Lihat UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa. Keuangan (Bab VI). 4 Lihat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No.

3 Lihat UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa. Keuangan (Bab VI). 4 Lihat Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. FUNGSI DAN PROSEDUR KERJA LEMBAGA ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN 1 Oleh : Putri Ayu Lestari Kosasih 2 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan aturan hukum beserta

Lebih terperinci

ARTIKEL ILMIAH. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat Memperoleh. Gelar Kesarjanaan Dalam Ilmu Hukum

ARTIKEL ILMIAH. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat-Syarat Memperoleh. Gelar Kesarjanaan Dalam Ilmu Hukum KEWENANGAN ABSOLUT PERADILAN DI INDONESIA DALAM MEMERIKSA SENGKETA YANG MENGANDUNG KLAUSUL ARBITRASE ( Studi Kasus PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia dengan PT Berkah Karya Bersama ) ARTIKEL ILMIAH

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perseorangan, dan kepentingan masyarakat demi mencapai tujuan dari Negara

BAB I PENDAHULUAN. perseorangan, dan kepentingan masyarakat demi mencapai tujuan dari Negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar hukum dan untuk mewujudkan kehidupan tata negara yang adil bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban debitor untuk membayar kembali utang sesuai jangka waktu yang telah

BAB I PENDAHULUAN. kewajiban debitor untuk membayar kembali utang sesuai jangka waktu yang telah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam perjanjian utang piutang, para pihak yang terkait adalah debitor dan kreditor. Gatot Supramono menjelaskan bahwa pihak yang berpiutang atau memberi pinjaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemudian diiringi juga dengan penyediaan produk-produk inovatif serta. pertumbuhan ekonomi nasional bangsa Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. kemudian diiringi juga dengan penyediaan produk-produk inovatif serta. pertumbuhan ekonomi nasional bangsa Indonesia. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan usaha di sektor jasa keuangan pada saat sekarang ini sedang mengalami perkembangan dan kemajuan, hal itu dapat terlihat dari besarnya antusias masyarakat

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dalam hubungan bisnis atau perjanjian, selalu ada kemungkinan timbulnya perselisihan/sengketa. Sengketa yang perlu diantisipasi adalah mengenai bagaimana cara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Bentuk sengketa beraneka ragam dan memiliki sekian banyak liku-liku yang

BAB I PENDAHULUAN. Bentuk sengketa beraneka ragam dan memiliki sekian banyak liku-liku yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini perkembangan bisnis dan perdagangan sangat pesat dan tidak dapat dibatasi oleh siapa pun. Pelaku bisnis bebas dan cepat untuk menjalani transaksi bisnis secara

Lebih terperinci

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG 6 M E D I A S I A.

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG 6 M E D I A S I A. BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 6 M E D I A S I A. Pengertian dan Karakteristik Mediasi Mediasi berasal dari bahasa Inggris mediation atau penengahan, yaitu penyelesaian

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN. Karakteristik Pengadilan Negeri. Penyelesaian Sengketa Melalui Litigasi 11/8/2014

PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN. Karakteristik Pengadilan Negeri. Penyelesaian Sengketa Melalui Litigasi 11/8/2014 PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN Ada dua bentuk penyelesaian sengketa perdagangan yakni melalui jalur litigasi (lembaga peradilan) dan jalur non litigasi (di luar lembaga peradilan) Penyelesaian sengketa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Pengertian dialihkan menunjukkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah unsur penting yang menunjang kehidupan manusia. Tanah berfungsi sebagai tempat tinggal dan beraktivitas manusia. Begitu pentingnya tanah, maka setiap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. aktifitasnya yang berupa tanah. Tanah dapat berfungsi tidak saja sebagai lahan

BAB I PENDAHULUAN. aktifitasnya yang berupa tanah. Tanah dapat berfungsi tidak saja sebagai lahan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupannya, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial, manusia tentu memerlukan lahan atau tempat sebagai fondasi untuk menjalankan aktifitasnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tengah melanda seluruh dunia.era globalisasi tersebut mempengaruhi semua

BAB I PENDAHULUAN. tengah melanda seluruh dunia.era globalisasi tersebut mempengaruhi semua BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan dunia saat ini tidak dapat dilepaskan dari globalisasi yang tengah melanda seluruh dunia.era globalisasi tersebut mempengaruhi semua bidang kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi yang selanjutnya disebut MK adalah lembaga tinggi negara dalam BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada mulanya terdapat tiga alternatif lembaga yang digagas untuk diberi kewenangan melakukan pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan. 73

III. METODE PENELITIAN. permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan. 73 III. METODE PENELITIAN Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa sekarang ini banyak terjadi sengketa baik dalam kegiatan di

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa sekarang ini banyak terjadi sengketa baik dalam kegiatan di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada masa sekarang ini banyak terjadi sengketa baik dalam kegiatan di dunia bisnis, perdagangan, sosial budaya, ekonomi dan lain sebagainya, namun dalam penyelesaiannya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan perekonomian dunia yang semakin kompleks mengakibatkan semakin meningkatnya pula kebutuhan ekonomi masyarakat terutama para pelaku usaha. Dalam menjalani kehidupan

Lebih terperinci

PROBLEMATIKA KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI MENJATUHKAN PUTUSAN DALAM SENGKETA BISNIS YANG MEMPUNYAI KLAUSULA ARBITRASE

PROBLEMATIKA KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI MENJATUHKAN PUTUSAN DALAM SENGKETA BISNIS YANG MEMPUNYAI KLAUSULA ARBITRASE PROBLEMATIKA KEWENANGAN PENGADILAN NEGERI MENJATUHKAN PUTUSAN DALAM SENGKETA BISNIS YANG MEMPUNYAI KLAUSULA ARBITRASE Satrio Wicaksono Adi (satriowicaksono_29@yahoo.co.id) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya. tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya. tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan dan perkembangan ekonomi Indonesia pada umumnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi yang melakukan kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-undang Hukum Acara Pidana disahkan oleh sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tanggal 23 September 1981 kemudian Presiden mensahkan menjadi

Lebih terperinci

EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA

EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA EKSEKUSI TERHADAP KEPUTUSAN HAKIM YANG MEMPUNYAI KEKUATAN HUKUM TETAP DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum dalam Ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, Bogor, hlm M. Husseyn Umar, 1995, Hukum dan Lembaga Arbitrase di Indonesia, Proyek Pengembangan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, Bogor, hlm M. Husseyn Umar, 1995, Hukum dan Lembaga Arbitrase di Indonesia, Proyek Pengembangan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian Perkembangan globalisasi saat ini telah membawa bangsa Indonesia dalam free market dan free competition. Dengan adanya free market dan free competition

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peranan hukum di dalam pergaulan hidup adalah sebagai sesuatu yang melindungi, memberi rasa aman, tentram dan tertib untuk mencapai kedamaian dan keadilan setiap orang.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94.

BAB 1 PENDAHULUAN. Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm ), hlm.94. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Keadilan dan kepastian hukum tentulah menjadi dua harapan dari diberlakukannya hukum. Masyarakat yang kepentingannya tercemar akan merasa keadilannya terusik dan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yang disebut

III. METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yang disebut III. METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yang disebut juga dengan penelitian hukum teoritis atau penelitian hukum dogmatik karena tidak

Lebih terperinci

Oleh : Komang Eky Saputra Ida Bagus Wyasa Putra I Gusti Ngurah Parikesit Widiatedja

Oleh : Komang Eky Saputra Ida Bagus Wyasa Putra I Gusti Ngurah Parikesit Widiatedja SENGKETA KOMPETENSI ANTARA SINGAPORE INTERNATIONAL ARBITRATION CENTRE (SIAC) DENGAN PENGADILAN NEGERI JAKARTA SELATAN DALAM PENYELESAIAN KASUS ASTRO ALL ASIA NETWORKS PLC BESERTA AFILIASINYA DAN LIPPO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia kodratnya adalah zoon politicon, yang merupakan makhluk sosial. Artinya bahwa manusia dikodratkan untuk hidup bermasyarakat dan saling berinteraksi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah rangkaian peraturan-peraturan

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah rangkaian peraturan-peraturan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang lain, dengan menitikberatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa

BAB I PENDAHULUAN. setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Para pencari keadilan yang berperkara di pengadilan, biasanya setelah melalui proses pemeriksaan dan pemutusan perkaranya, akan merasa kurang tepat, kurang adil

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan pembahasan dan analisa mengenai penerapan alternatif

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan. Berdasarkan pembahasan dan analisa mengenai penerapan alternatif BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan dan analisa mengenai penerapan alternatif penyelesaian sengketa di Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen dan kepastian hukum dalam putusan alternatif penyelesaian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN Suatu penelitian agar dapat dipercaya kebenarannya, harus disusun dengan menggunakan metode yang tepat. Sebuah penelitian, untuk memperoleh data yang akurat dan valid diperlukan

Lebih terperinci

Lex et Societatis, Vol. III/No. 5/Juni/2015

Lex et Societatis, Vol. III/No. 5/Juni/2015 KLAUSUL ARBITRASE DAN PENERAPANNYA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS 1 Oleh : Daru Tyas Wibawa 2 ABSTRAK Dari segi tipe penelitian, maka penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang menurut

Lebih terperinci

PENOLAKAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI PENGADILAN NASIONAL INDONESIA. Oleh: Ida Bagus Gde Ajanta Luwih I Ketut Suardita

PENOLAKAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI PENGADILAN NASIONAL INDONESIA. Oleh: Ida Bagus Gde Ajanta Luwih I Ketut Suardita PENOLAKAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI PENGADILAN NASIONAL INDONESIA Oleh: Ida Bagus Gde Ajanta Luwih I Ketut Suardita Program Kekhususan Hukum Internasional dan Hukum Bisnis Internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membuat manusia mampu menjalani kehidupannya. Contoh kecil yaitu manusia tidak bisa

BAB I PENDAHULUAN. membuat manusia mampu menjalani kehidupannya. Contoh kecil yaitu manusia tidak bisa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia dikenal dengan makhluk sosial, karena manusia tidak bisa hidup sendiri yang artinya manusia membutuhkan sesama manusia dalam hal kebutuhan hidupnya.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. insan manusia pria dan wanita dalam satu ikatan suci dengan limpahan dari

BAB I PENDAHULUAN. insan manusia pria dan wanita dalam satu ikatan suci dengan limpahan dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkawinan merupakan suatu peristiwa penting yang dialami dua insan manusia pria dan wanita dalam satu ikatan suci dengan limpahan dari karunia Tuhan Yang Maha Esa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupan mempunyai bermacam-macam kebutuhan dalam hidupnya.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupan mempunyai bermacam-macam kebutuhan dalam hidupnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia di dalam kehidupan mempunyai bermacam-macam kebutuhan dalam hidupnya. Kebutuhan itu berfungsi untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu, pemenuhan

Lebih terperinci

PENYELESAIAN SENGKETA KLAIM ATAS HILANGNYA BAGASI TERCATAT ANTARA KONSUMEN DENGAN PELAKU USAHA (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.

PENYELESAIAN SENGKETA KLAIM ATAS HILANGNYA BAGASI TERCATAT ANTARA KONSUMEN DENGAN PELAKU USAHA (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. PENYELESAIAN SENGKETA KLAIM ATAS HILANGNYA BAGASI TERCATAT ANTARA KONSUMEN DENGAN PELAKU USAHA (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 820 K/PDT/2013) Oleh: Lina Liling Fakultas Hukum Universitas Slamet

Lebih terperinci

KEKUATAN HUKUM PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) SEBAGAI LEMBAGA SMALL CLAIM COURT DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN

KEKUATAN HUKUM PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) SEBAGAI LEMBAGA SMALL CLAIM COURT DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN KEKUATAN HUKUM PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN (BPSK) SEBAGAI LEMBAGA SMALL CLAIM COURT DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN Oleh: Daniel Mardika I Gede Putra Ariyana Hukum Perdata Fakultas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanah sebagai lahan untuk memperoleh pangan. untuk pertanian, maupun perkebunan untuk memperoleh penghasilan

BAB I PENDAHULUAN. tanah sebagai lahan untuk memperoleh pangan. untuk pertanian, maupun perkebunan untuk memperoleh penghasilan 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Manusia hidup, tumbuh besar, dan berkembangbiak, serta melakukan segala aktivitas di atas tanah, sehingga manusia selalu berhubungan dengan tanah. Manusia hidup dengan

Lebih terperinci

PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Yati Nurhayati ABSTRAK

PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Yati Nurhayati ABSTRAK PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL Yati Nurhayati ABSTRAK Permasalahan perburuhan yang terjadi antara pekerja dan pengusaha atau antara para pekerja

Lebih terperinci

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti

Tujuan penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti TINJAUAN TENTANG KEKUATAN PEMBUKTIAN PEMERIKSAAN SETEMPAT DALAM PEMERIKSAAN SENGKETA PERDATA ( SENGKETA TANAH ) DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA Febrina Indrasari,SH.,MH Politeknik Negeri Madiun Email: febrinaindrasari@yahoo.com

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalan penelitian normatif empiris. Penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalan penelitian normatif empiris. Penelitian BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalan penelitian normatif empiris. Penelitian hukum normatif empiris adalah penelitian hukum mengenai pemberlakuan ketentuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebenarnya bukanlah hal yang baru dan telah lama dikenal. Salah satu ketentuan yang

BAB I PENDAHULUAN. sebenarnya bukanlah hal yang baru dan telah lama dikenal. Salah satu ketentuan yang BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Arbitrase sebagai salah satu bentuk penyelesaian sengeketa di Luar Pengadilan sebenarnya bukanlah hal yang baru dan telah lama dikenal. Salah satu ketentuan

Lebih terperinci

BAB III UPAYA HUKUM DEBITOR PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH KREDITOR

BAB III UPAYA HUKUM DEBITOR PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH KREDITOR BAB III UPAYA HUKUM DEBITOR PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG YANG DIAJUKAN OLEH KREDITOR 3.1. Upaya Hukum dalam Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Dalam penyelesaian permasalahan utang

Lebih terperinci

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 3 B. Saran... 81 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN 4 A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan dan perkembangan pelaku-pelaku ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bisnis baik dalam bentuk perorangan ( natural person ) ataupun dalam bentuk badan

BAB I PENDAHULUAN. bisnis baik dalam bentuk perorangan ( natural person ) ataupun dalam bentuk badan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semakin berkembangnya zaman maka semakin tinggi tingkat problematika sosial yang terjadi. Di zaman yang yang semakin berkembang bukan hanya masalah hukum yang menjadi

Lebih terperinci

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015

Lex Administratum, Vol. III/No.3/Mei/2015 PENERAPAN ASAS PERADILAN CEPAT DALAM PENYELESAIAN PERKARA PERDATA DI PENGADILAN NEGERI 1 Oleh : Ambrosius Gara 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaturan

Lebih terperinci

PENTINGNYA KREASI HAKIM DALAM MENGOPTIMALKAN UPAYA PERDAMAIAN BERDASARKAN PERMA NO. 1 TAHUN 2002 TENTANG ACARA GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK

PENTINGNYA KREASI HAKIM DALAM MENGOPTIMALKAN UPAYA PERDAMAIAN BERDASARKAN PERMA NO. 1 TAHUN 2002 TENTANG ACARA GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK PENTINGNYA KREASI HAKIM DALAM MENGOPTIMALKAN UPAYA PERDAMAIAN BERDASARKAN PERMA NO. 1 TAHUN 2002 TENTANG ACARA GUGATAN PERWAKILAN KELOMPOK Oleh I Dewa Made Nhara Prana Pradnyana I Dewa Gede Atmadja Hukum

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Maha Esa. Tanah merupakan salah satu kebutuhan manusia yang sangat absolute dan

BAB I PENDAHULUAN. Maha Esa. Tanah merupakan salah satu kebutuhan manusia yang sangat absolute dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanah sebagai salah satu sumber daya alam yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa. Tanah merupakan salah satu kebutuhan manusia yang sangat absolute dan vital artinya

Lebih terperinci

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan prasyarat penting dalam negara. demokrasi. Dalam kajian ilmu politik, sistem Pemilihan Umum diartikan sebagai

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan prasyarat penting dalam negara. demokrasi. Dalam kajian ilmu politik, sistem Pemilihan Umum diartikan sebagai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan prasyarat penting dalam negara demokrasi. Dalam kajian ilmu politik, sistem Pemilihan Umum diartikan sebagai suatu kumpulan metode

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA; Menimbang

Lebih terperinci

Oleh Helios Tri Buana

Oleh Helios Tri Buana TINJAUAN YURIDIS TERHADAP MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PEWARISAN DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA (Studi Kasus Perkara Nomor : 168/Pdt.G/2013/PN.Ska) Jurnal Ilmiah Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekonomi adalah merupakan kajian tentang aktivitas manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. Ekonomi adalah merupakan kajian tentang aktivitas manusia yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ekonomi adalah merupakan kajian tentang aktivitas manusia yang berhubungan dengan produksi, distribusi dan konsumsi baik berupa barang maupun jasa, hal ini sejalan

Lebih terperinci

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA UNDANG - UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 1999 TENTANG ARBITRASE DAN ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara tersebut menimbulkan hak dan kewajiban bagi negara yang dapat dinilai

BAB I PENDAHULUAN. negara tersebut menimbulkan hak dan kewajiban bagi negara yang dapat dinilai BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Tujuan negara Indonesia 1 sebagaimana tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 (UUD 1945) diwujudkan oleh sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sepanjang masa dalam mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat yang

BAB I PENDAHULUAN. bangsa sepanjang masa dalam mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa kepada bangsa Indonesia, merupakan salah satu sumber utama bagi kelangsungan hidup dan penghidupan bangsa sepanjang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh pemikiran Immanuel Kant. Menurut Stahl, unsur-unsur negara hukum

BAB I PENDAHULUAN. oleh pemikiran Immanuel Kant. Menurut Stahl, unsur-unsur negara hukum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum sebagaimana yang termaktub dalam UUD NRI 1945, yang bertujuan menciptakan kesejahteraan umum dan keadilan sosial. Gagasan

Lebih terperinci

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL III - 1 III - 2 Daftar Isi BAB I KETENTUAN UMUM III-9 BAB II TATACARA PENYELESAIAN PERSELISIHAN

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. cara melakukan penelitian hukum dengan teratur (sistematis). 39 Dengan

METODE PENELITIAN. cara melakukan penelitian hukum dengan teratur (sistematis). 39 Dengan 35 III. METODE PENELITIAN Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu sedangkan metode penelitian hukum artinya ilmu tentang cara melakukan penelitian

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. menjawab permasalahan sesuai dengan fakta atau data yang ada dan dapat

METODE PENELITIAN. menjawab permasalahan sesuai dengan fakta atau data yang ada dan dapat III. METODE PENELITIAN Penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran, secara sistematis, metodologis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara. elemen tidak dapat hidup sendiri-sendiri, tetapi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keadilan akan terpenuhi apabila berbagai elemen yang berbeda kepentingannya dalam masyarakat dapat hidup dan berkembang secara harmonis, termasuk kepentingan pemilik

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 41 III. METODE PENELITIAN Penelitian merupakan kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran, secara sistematis, metodologis,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sengketa merupakan suatu hal yang sangat wajar terjadi dalam kehidupan ini.

BAB I PENDAHULUAN. Sengketa merupakan suatu hal yang sangat wajar terjadi dalam kehidupan ini. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar BelakangMasalah Penelitian Sengketa merupakan suatu hal yang sangat wajar terjadi dalam kehidupan ini. Sengketa merupakan sebuah situasi dimana dua pihak atau lebih dihadapkan

Lebih terperinci