IMUNISASI PASIF TERHADAP PENYAKIT WHITE SPOT SYNDROME VIRUS

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IMUNISASI PASIF TERHADAP PENYAKIT WHITE SPOT SYNDROME VIRUS"

Transkripsi

1 PROSPEK PEMBERIAN IMUNOGLOBULIN Y (IgY) SECARA PERORAL PADA UDANG PUTIH (Litopenaeus vannamei) SEBAGAI IMUNISASI PASIF TERHADAP PENYAKIT WHITE SPOT SYNDROME VIRUS (WSSV) DUTI FERIZA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Prospek Pemberian Imunoglobulin Y (IgY) Secara Peroral Pada Udang Putih (Litopenaeus vannamei) Sebagai Imunisasi Pasif Terhadap Penyakit White Spot Syndrome Virus (WSSV) adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Agustus 2010 Duti Feriza NRP. P

3 ABSTRACT DUTI FERIZA. Prospect of Yolk Immunoglobulin (IgY) Oral Administrated On White Shrimp (Litopenaeus vannamei) as Passive Immunization Against White Spot Syndrome Virus (WSSV). Under direction of RETNO D. SOEJOEDONO and SRI MURTINI. White Spot Syndrome Virus (WSSV) is a worldwide occurring virus that causes high mortalities and considerable economic damages to the shrimp farming industry. No adequate treatments against this virus are available. It is generally accepted that invertebrates such as shrimp do not have an adaptive immune response system such as that present in vertebrates. As it has been demonstrated that shrimp surviving a WSSV infection have higher survival rates upon subsequent re-challenge, we investigated the potential of oral administrated of shrimp using egg yolk immunoglobulin. Litopenaeus vannamei shrimp were fed food pellets coated with egg yolk immunoglobulin. Three groups consist of each 10 shrimps DOC 45 (4 grams) were given 5% (P1), 10%(P2), and 20%(P3) IgY in their feed (pellet) and fed to the shrimp twice daily. One group as a control were given ordinary fedd (pellet). The shrimp which used were free WSSV by PCR test and each group were rear in the aquarium glass then fed appropriate concentration. After fourth day, each group were add five shrimps DOC 60 (7 grams) that WSSV positive by PCR test. The result showed that oral administrated of IgY to the shimp made a significant lower mortality compare to the control group. The groups in diet added 5% and 10% IgY showed 46.6% and 66.6% survival rates, and the 20% IgY showed 84.4% survival rates, which have significantly different compare to the control groups (p<0.05). These results indicated passive immunization of specific IgY antibodies through oral administration effective to protect L. vannamei against WSSV. This suggest that the passive immunization of L. vannamei with IgY against WSSV will have potential development to prevent and control WSSV in practical culture. Key words : Imunoglobulin Y (IgY), Litopenaeus vannamei, WSSV

4 RINGKASAN RINGKASAN DUTI FERIZA. Prospek Pemberian Imunoglobulin Y (IgY) Secara Peroral Pada Udang Putih (Litopenaeus vannamei) Sebagai Imunisasi Pasif Terhadap Penyakit White Spot Syndrome Virus (WSSV). Dibimbing oleh RETNO D. SOEJOEDONO dan SRI MURTINI. White Spot Syndrome Virus (WSSV) merupakan penyakit yang meneyebabkan kematian tinggi dan kerugian ekonomi pada industri budidaya udang dunia. Saat ini tidak ada teknik yang efektif untuk mengendalikan infeksi WSSV. Hal ini disebabkan karena kelompok avertebrata yang mencakup udang tidak memiliki sistem respon imun spesifik seperti halnya kelompok vertebrata. Penelitian ini bertujuan untuk mengamati potensi pemberian IgY spesifik anti WSSV peroral (pelet) pada Litopenaeus vannamei sebagai pengebalan pasif terhadap WSSV. Sebanyak 120 ekor udang DOC 45 (4 gram) yang bebas WSSV dipelihara didalam akuarium kaca dan diberi pakan sesuai dengan perlakuan. Udang-udang tersebut selanjutnya dibagi dalam empat kelompok dan tiga ulangan yang masing-masing kelompok terdiri atas 10 ekor udang. Tiga kelompok perlakuan diberi pakan yang mengandung IgY spesifik anti WSSV 5% (P1), 10% (P2), dan 20% (P3), sedangkan kelompok kontrol positif diberi pakan biasa. Pakan yang diberikan adalah 3 4% dari bobot tubuh udang dan diberikan dua kali sehari. Pada hari ke-4, ditambahkan 5 ekor udang DOC 60 (7 gram) yang terinfeksi WSSV kedalam masing-masing akuarium. Gejala klinis yang muncul selama percobaan seperti kematian udang, nafsu makan, kemunculan bintik putih, aktivitas berenang, dan keadaan tubuh diamati. Setelah 8 hari, pemberian IgY spesifik anti WSSV dapat menurunkan jumlah kematian udang. Kematian pada hari ke-4 dan ke-5 terjadi pada udang kohabitasi. Kematian udang pada kelompok perlakuan terjadi pada hari ke-5 dan ke-6, sedangkan pada hari ke-7 dan ke-8 tidak terjadi kematian. Variasi jumlah kematian disebabkan oleh perbedaan kandungan IgY spesifik anti WSSV yang terkandung dalam pakan. Ketiga konsentrasi IgY spesifik anti WSSV (5%, 10%, dan 20%) menunjukkan kinerja optimal pada hari ke-7 dan ke-8 setelah imunisasi pasif diberikan. Pada hari ke-7 dan ke-8, IgY yang terkandung dalam pakan telah tercerna dengan baik dan jumlahnya mencukupi untuk menetralisir virus yang menginfeksi tubuh udang. Kelompok P1 dan P2 yang diberi pakan mengandung IgY spesifik anti WSSV sebesar 5% dan 10% mengalami peningkatan angka kelansungan hidup mencapai 46.6% dan 66.6%. Kandungan IgY tertinggi dalam pakan yaitu 20% (P3) dapat meningkatkan angka kelansungan hidup udang hingga 84.4%. Pemberian pakan yang mengandung IgY 20% mampu memulihkan kondisi udang yang semula terinfeksi WSSV sehingga dapat bertahan hidup hingga hari ke-8. Berdasarkan uji PCR, udang kohabitasi yang mengalami pemulihan tersebut menunjukkan penurunan tingkat keparahan dari tinggi (severe) menjadi rendah (very light). Pemberian IgY spesifik anti WSSV pada udang menunjukkan pengaruh yang signifikan dibandingkan kontrol (p<0.05). Kemunculan gejala klinis selama percobaan berbeda-beda pada masingmasing perlakuan. Kelompok P1, P2, dan P3 mengalami perubahan konsistensi tubuh mulai hari ke-6. Hal ini terjadi karena virus WSS mampu menembus sistem pertahanan pertama yaitu lapisan kutikula yang memegang peranan penting untuk melawan infeksi. Virus ini merusak lapisan ektodermal dimana kromatofor kutikula

5 membesar, sehingga konsistensi tubuh tidak normal dan mengalami perubahan warna kulit. Pada percobaan yang dilakukan selama delapan hari ini, manifestasi virus WSS pada udang belum sampai pada munculnya bintik putih bahkan pada udang kelompok kontrol positif. Berdasarkan pengamatan dilapangan, infeksi WSSV tidak selalu menimbulkan bintik putih pada karapas udang. Dengan demikian tidak munculnya bintik putih pada karapas udang dalam penelitian ini merupakan hal yang umum terjadi. Gambaran suhu dan ph pada semua kelompok perlakuan tidak menunjukkan fluktuasi yang berarti. Suhu rata-rata pada pagi hari adalah sekitar 25.4ºC dan sore sekitar 26.6ºC. Kisaran suhu ini perlu dijaga mengingat WSSV akan banyak berkembang pada suhu dibawah 25ºC dan diatas 28ºC. ph rata-rata pada pagi hari sekitar 7.92 dan sore sekitar Nilai ini dipertahankan pada kisaran ph netral untuk mengantisipasi munculnya WSSV pada ph rendah atau kondisi asam. Selain untuk mengantisipasi infeksi WSSV yang disebabkan oleh faktor lingkungan, pengukuran suhu dan ph menunjukkan proses netralisasi WSSV oleh IgY spesifik anti WSSV dapat berlangsung baik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian IgY spesifik anti WSSV sebagai imunisasi pasif pada udang efektif untuk melindungi udang dari infeksi WSSV dengan cara pencegahan dan pemulihan. Pemberian IgY peroral untuk mengendalikan WSSV berpotensi dikembangkan sebagai pengendalian WSSV pada industri budidaya udang. Kata kunci : Imunoglobulin Y (IgY), Litopenaeus vannamei, WSSV

6 Hak cipta milik IPB, tahun 2010 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya

7 PROSPEK PEMBERIAN IMUNOGLOBULIN Y (IgY) SECARA PERORAL PADA UDANG PUTIH (Litopenaeus vannamei) SEBAGAI IMUNISASI PASIF TERHADAP PENYAKIT WHITE SPOT SYNDROME VIRUS (WSSV) DUTI FERIZA P Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Bioteknologi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS

9 HALAMAN PENGESAHAN Judul : Prospek Pemberian Imunoglobulin Y (IgY) Secara Peroral Pada Udang Putih (Litopenaeus vannamei) Sebagai Imunisasi Pasif Terhadap Penyakit White Spot Syndrome Virus (WSSV) Nama : Duti Feriza, S.Si NRP : P Program Studi : Bioteknologi Disetujui, Komisi Pembimbing Prof. Dr. Drh. Retno D. Soejoedono, MS Ketua Dr. Drh. Hj. Sri Murtini, M.Si Anggota Diketahui, Ketua Mayor Bioteknologi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Suharsono, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS Tanggal Ujian : 05 Agustus 2010 Tanggal Lulus : 19 Agustus 2010

10 PRAKATA Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas ridho dan kekuatannya penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul Prospek Pemberian Imunoglobulin Y (IgY) Secara Peroral Pada Udang Putih (Litopenaeus vannamei) Sebagai Imunisasi Pasif Terhadap Penyakit White Spot Syndrome Virus (WSSV), sebagai salah satu syarat kelulusan dari program pascasarjana pada mayor Bioteknologi Pertama-tama penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Drh. Retno D. Soejoedono, MS dan Dr. Drh. Hj. Sri Murtini, MSi atas bimbingan dan masukan selama penelitian ini serta berbagai kemudahan dalam menggunakan fasilitas yang menunjang penelitian. Terimakasih kepada Dr. Drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS atas masukan dan sarannya. Rasa terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada Riset Unggulan IPB atas pendanaan sebagian penelitian dan PT. CPP Lampung yang telah memberikan izin menggunakan fasilitas penelitian. Terimakasih kepada Dr. Bambang Widigdo, Rubi Haliman, MSc, Dadi Supriadi, S. Pi, Andi Siregar, S. Pi, Pak Subari, Pak Nur, Pak Agus BW atas bantuan selama penelitian. Terimakasih kepada dr. Novian Denny atas restu, doa, dan bantuannya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan tesis. Bogor, Agustus 2010 Penulis

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 23 Februari 1983 di Maninjau, Sumatera Barat dari pasangan Ayahanda Rusli Adam (Alm) dan Ibunda Afrida Rivai. Penulis merupakan putri bungsu dari enam bersaudara. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1995 di SDN 06 Tanjung Raya Sumatera Barat, selanjutnya tahun 1998 menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SMPN 01 Tanjung Raya Sumatera Barat. Pendidikan menengah atas diselesaikan di SMUN 01 Tanjung Raya Sumatera Barat pada tahun Gelar Sarjana Sains diperoleh penulis di Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IPB pada tahun Setelah memperoleh gelar Sarjana Sains pada tahun 2006, penulis bekerja sebagai Analis Laboratorium Shrimp Disease Diagnosis di PT. CPP Lampung.

12 DAFTAR ISI Daftar Isi... x Daftar Tabel xii Daftar Gambar.. xii Daftar Lampiran... xii I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan Penelitian Hipotesis... 2 II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 White Spot Syndrome Virus Gejala Klinis Transmisi Patogenesa Penyakit Imunoglobulin Y Produksi IgY Spesifik Anti WSSV III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian Tahap Persiapan Uji Status WSSV Pra-perlakuan (PCR) Pembuatan Pelet Udang Mengandung IgY Spesifik Anti WSSV Imunisasi Pasif Kohabitasi Uji Status WSSV Pasca-perlakuan (PCR) Analisis Data.. 13 IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kematian Udang Akibat WSSV Prospek Ekonomi Pengembangan IgY Spesifik Anti WSSV... 26

13 V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Saran.. 28 VI DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 33

14 DAFTAR GAMBAR 1 Morfologi WSSV. 3 2 Gejala Klinis WSSV 4 3 Histologi Jaringan Usus L. vannamei Terinfeksi WSSV (H&E Staining) Struktur Imunoglobulin Struktur IgG dan IgY Diagram Alur Penelitian Hasil Elektroforesis Sampel Udang Mati hari ke-4 dan ke Hasil Elektroforesis Sampel Udang Mati hari ke-6, ke-7 dan ke Rata-rata Jumlah Kematian Udang Akibat WSSV Rata-rata Kelansungan Hidup Udang Berdasarkan Perlakuan Hasil Elektroforesis Sampel Udang Kohabitasi yang Pulih hari ke Ilustrasi Reaksi antara IgY Spesifik anti WSSV dengan WSSV.. 23 DAFTAR TABEL 1 Perbandingan IgG Mamalia dengan IgY Unggas Jumlah Kematian Udang Kohabitasi Jumlah Kematian Udang Akibat WSSV Estimasi Kebutuhan Telur Ayam untuk Produksi IgY. 27 DAFTAR LAMPIRAN 1 Analisis Data 34 2 Instruction Manual IQ2000 WSSV Foto Udang Mati Selama Percobaan... 54

15 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang White Spot Syndrome Virus (WSSV) pertama kali ditemukan di kawasan Asia Selatan sekitar tahun Penyakit WSSV ini menyerang beberapa spesies udang diantaranya Litopenaeus vannamei, L. monodon, L. japonicus, dan L. stylirostris. Virus WSSV merupakan patogen utama yang menyebabkan masalah serius karena dapat menyerang semua stadium umur udang dan menyebabkan mortalitas hingga 100% selama 3 sampai 10 hari setelah infeksi (Lightner et al. 1996). Hal ini mengakibatkan kerugian ekonomi yang sangat besar bagi pelaku industri budidaya udang. Teknik pengobatan yang sangat efektif untuk mengendalikan infeksi virus ini belum ditemukan. Penyakit virus umumnya dapat dikendalikan atau dicegah dengan pemberian vaksinasi. Vaksinasi pada kelompok crustacea termasuk udang tidak menghasilkan sistem kebal humoral karena hewan tersebut tidak memiliki sistem respon imun spesifik seperti halnya kelompok vertebrata. Reaksi pertahanan yang dimiliki udang mencakup enkapsulasi, fagositosis, dan mekanisme mikrobisida berdasarkan produksi oksigen reaktif sitotoksin yang terjadi di hemosit (Bachere et al. 1995). Pendekatan imunostimulan dan imunisasi pasif pada udang menjadi alternatif pengendalian infeksi WSSV (Jeroen et al. 2003). Imunisasi pasif digunakan ketika terjadi infeksi dengan resiko tinggi, tubuh organisme terinfeksi tidak dapat memproduksi respon imun secara cepat, atau untuk mengurangi gejala penyakit imunosupresi. Pemanfaatan imunoglobulin Y (IgY) spesifik sebagai imunisasi pasif telah banyak diteliti dan diterapkan, antara lain dalam pengendalian penyakit bakteri, virus, dan protozoa. Penggunaan IgY spesifik sebagai imunoterapi terhadap bakteri antara lain Streptococcus sobrinus penyebab karies pada gigi (Poetri 2007), Escherichia coli penyebab diare pada kelinci (Farelly et al. 1992), Porphyromonas gingivalis (Obiko 2007). dan Helicobacter pylori (Sin et al. 2004). Beberapa virus yang dilaporkan dapat dikendalikan menggunakan IgY spesifik antara lain Porcine Epidemic Diarrhea Virus (PEDV) pada babi (Kweon et al. 2000), transmisi gastroentritis virus pada babi

16 (Fan et al. 2009), dan rotavirus penyebab diare pada manusia (Hiraga et al. 1990). Selain dapat diaplikasikan pada bakteri dan virus, IgY spesifik juga dapat mengendalikan infeksi protozoa parasit, diantaranya Toxoplasma gondii (Hassl et al. 1987), Echinococcus granulosus (Gottstein 1985), dan Cryptosporidium parvum penyebab diare pada manusia dan mamalia (Syahbazi et al. 2009). Penelitian mengenai penggunaan IgY spesifik sebagai imunisasi pasif pada crustacea masih terbatas. Penggunaan IgY spesifik anti WSSV terhadap L. monodon dengan mengisolasi antigen WSSV dari kepiting telah dilakukan oleh Alday-Sanz et al. (1998) di Bangkok. Selain itu, IgY spesifik WSSV juga telah diaplikasikan pada ubur-ubur (Procambius clarkiaii) di Cina (Lu et al. 2008) Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini untuk menguji efektifitas penggunaan imunoglobulin Y (IgY) spesifik anti WSSV dengan aplikasi peroral (pakan) terhadap virus White Spot Syndrome pada udang putih (L. vannamei) sehingga dapat dijadikan alternatif pencegahan WSSV pada budidaya udang skala tradisional maupun industri Hipotesis Berdasarkan latar belakang dan permasalahan diatas, maka disusun suatu hipotesis sebagai berikut: Ho : Pemberian Imunoglobulin Y (IgY) spesifik anti WSSV dengan aplikasi peroral tidak efektif digunakan sebagai imunisasi pasif terhadap penyakit White Spot Syndrome pada udang putih (L. vannamei) H1 : Pemberian Imunoglobulin Y (IgY) spesifik anti WSSV dengan aplikasi peroral efektif digunakan sebagai imunisasi pasif terhadap penyakit White Spot Syndrome pada udang putih (L. vannamei) dan berpotensi untuk dikembangkan menjadi alternatif pengendalian pada industri budidaya udang

17 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 White Spot Syndrome Virus White Spot Syndrome Virus termasuk kedalam Family Nimaviridae dan Genus Whispovirus.. Genomnya berupa DNA utas ganda yang berbentuk batang dan sekuen DNA genomnya berbentuk sirkular dengan ukuran pasang basa. Virus ini memiliki membran luar berupa lipid bilayer dan kadangkala terdapat apendik menyerupai ekor pada ujung virionnya. Secara alami, WSSV yang ditemukan bersifat infektif terhadap L. monodon, L. japonicus, L. chinensis (L. orientalis), L. indicus, L. merguiensis, dan L. setiferus. Studi laboratorium menunjukkan bahwa Whispovirus strain SEMBV yang berasal dari Thailand ditemukan bersifat infektif terhadap L. vannamei, L. stylirostris, L. aztecus, dan L. duorarum. Gambar 1. Morfologi WSSV Berdasarkan literature setidaknya ada empat jenis virus penyebab penyakit virus white spot syndrome (WSS). Masing-masing virus tersebut memiliki kemiripan yang sangat tinggi. Virus penyebab WSS tersebut adalah HHNBV (Hypodermal and Hematopoietic Necrosis Baculoviral), RV-PJ (Rod-Shape Nuclear Virus of Penaeus japonicus), SEMBV (Systemic Ectodermal and Mesodermal Baculovirus), dan WSBV (White Spot Baculovirus) atau WSSV (White Spot Syndrome Virus). HHNBV adalah penyakit eksplosif pada epidermis yang tersebar di kawasan China. RV-PJ adalah penyakit yang berkembang di kawasan Jepang, Cina, dan Korea. SEMBV adalah penyakit bintik putih dan kemerahan pada tubuh udang yang tersebar di Thailand. WSBV (White Spot Baculovirus) atau WSSV (White Spot Syndrome Virus)

18 adalah penyakit bintik putih yang banyak terdapat di Indonesia, Taiwan,Vietnam, Malaysia, India, dan Texas (Lightner 1996) Gejala Klinis Masa inkubasi penyakit WSSV berlangsung selama 3 sampai 10 hari (Lightner 1996). Infeksi virus WSS pada hari pertama menyebabkan udang mengalami penurunan nafsu makan dan berenang menepi dipermukaan air. Pada hari kedua atau ketiga, kutikula mulai melunak yang akhirnya terlepas dan muncul bintik putih pada bagian dalam karapas dengan diameter mm. Bintik putih ini merupakan representasi deposit abnormal dari komposisi garam kalsium pada epidermis kutikulanya. Pada banyak kasus, muncul warna kemerahan hingga merah kecoklatan pada kutikulanya. Pada kondisi akut terjadi penurunan konsumsi pakan secara tibatiba yang diikuti kematian masal. Populasi udang dengan gejala klinis tersebut diatas akan mengalami tingkat kematian mencapai 100% selama 3 hingga 10 hari setelah terinfeksi (Lightner 1996). Gambar 2 Gejala Klinis WSSV Transmisi Transmisi WSSV dapat terjadi secara horizontal maupun vertikal. Transmisi WSSV secara horizontal dapat terjadi melalui suplai air terkontaminasi, pakan terkontaminasi, peralatan terkontaminasi, tanah atau lumpur terkontaminasi, dan kohabitasi dengan udang carrier seperti burung, keong, dan cacing. Transmisi vertikal terjadi pada lokasi pembenuran melalui reproduksi, yaitu dari broodstock (induk) yang terinfeksi virus kepada larvanya.

19 2.1.3 Patogenesa Penyakit White Spot Syndrome Virus menginfeksi sel ektodermal dan mesodermal inangnya, kemudian menyebabkan perubahan sel epitel insang, jaringan otot, kelenjar antena, jaringan hematopoetik, jaringan syaraf, dan jaringan epitel usus. Replikasi virus terjadi pada nukleus, selanjutnya virion terbentuk dan menyebar dari sel yang terinfeksi ke sel lain (Vlak et al. 2002). Fase akut menunjukkan diskolorasi pada bagian hepatopankreas (lambung) yang berubah menjadi kemerahan. Inclusion bodies berupa titik-titik putih berdiameter 1-2 mm akan terbentuk pada sel terinfeksi dengan perubahan warna dari eosinofil menjadi basofil (menggunakan teknik pewarnaan Hematoxilin & Eosin) (Gambar 3). Gambar 3 Histologi Jaringan Usus L. vannamei Terinfeksi WSSV dengan Pewarnaan H&E dan Perbesaran 900X (tanda anak panah) (Lightner 1996) 2.2 Imunoglobulin Y Imunoglobulin didefinisikan sebagai molekul glikoprotein yang dihasilkan oleh sel plasma sebagai respon terhadap antigen dan berfungsi sebagai antibodi (Anonim 2008). Imunoglobulin pada mamalia terdiri atas lima kelas, yaitu IgA, IgD, IgE, IgG, dan IgM. Tidak semua imunoglobulin tersebut ada pada spesies hewan. Imunoglobulin tersusun atas 2 rantai berat (heavy chain) dan 2 rantai ringan (light chain) yang dihubungkan oleh ikatan disulfide, sehingga membentuk struktur Y (Stowell 2006). Struktur immunoglobulin ditunjukkan pada Gambar 4.

20 Situs antigen Situs antigen Rantai ringan Ikatan disulfida Rantai berat Gambar 4 Struktur Imunoglobulin Unggas memiliki tiga immunoglobulin, yaitu IgG, IgM, dan IgA. Diantara imunoglobulin tersebut, yang analog dengan imunoglobulin mamalia adalah imunoglobulin yolk (IgY). IgY tersedia dalam jumlah banyak ditemukan dalam serum dan didepositkan ke dalam kuning telur. IgY yang terdapat dalam kuning telur setara dengan IgG pada mamalia. IgM dan IgA unggas yang terdapat dalam putih telur sebagai hasil sekresi mukosa memiliki kesamaan struktur, berat molekul, dan mobilitas imunoelektroporetik dengan IgM dan IgA mamalia (Hamal et al. 2006). Berdasarkan struktur dasarnya terdapat perbedaan antara IgG mamalia dan IgY unggas. Molekul IgY terdiri dari dua rantai berat dan dua rantai ringan. Rantai berat tidak memiliki engsel dan tersusun atas empat domain variabel yaitu Cv1, Cv2, Cv3, dan Cv4. IgY memiliki berat molekul ~180 kda yang masing-masing rantai beratnya ~65-68 kda, koefisien sedimentasi 7,8 S, dan titik isoelektrik 5,7-7,6 (Davalos-Patoja et al. 2000). Ada beberapa hal penting yang membedakan IgG dengan IgY, yaitu IgY lebih resisten terhadap suhu, ph dan kekuatan ion daripada IgG. Antibodi yang mirip IgG dengan rantai berat y seberat Da tidak ditemukan pada ayam. IgY ayam tidak berikatan dengan reseptor Fc manusia dan juga tidak bereaksi dengan antimamalia antibodi manusia, seperti faktor rhematoid dan anti- IgG manusia (Schade et al. 1997). Produksi immunoglobulin yolk (IgY) dalam jumlah banyak dapat dilakukan dengan memanfaatkan kuning telur ayam. Ayam memiliki sensitifitas yang tinggi terhadap pemaparan antigen asing, sehingga sistem imun ayam sangat responsif dan

21 persisten untuk produksi IgY (Hau and Hendriksen 2005). Keunggulan lainnya adalah IgY dapat diperoleh dari telur sehingga sangat memperhatikan kesejahteraan hewan tanpa harus menyakiti hewan. Pemeliharaan ayam relatif murah, kandungan IgY di dalam telur tinggi dan dapat diproduksi dalam jumlah besar (Warr et al. 1995). Antibodi dalam sebutir telur berisi sama dengan antibodi yang dihasilkan sekali pemanenan darah kelinci. IgY yang terkandung dalam sebutir telur adalah mg/ml kuning telur (Carlander 2002). Jarak filogenik antara unggas dan crustacea sangat jauh sehingga tidak menunjukkan reaksi silang dengan komponen jaringan crustacea jika akan diaplikasikan pada crustacea. Beberapa keunggulan tersebut mendukung potensi ayam sebagai inang untuk memproduksi IgY spesifik terhadap antigen tertentu sehingga dapat dijadikan sebagai perangkat imunodiagnostik dan imunoterapi. Gambar 5 Struktur IgG dan IgY (Szabo et al. 1998) IgY sangat stabil pada kondisi normal. IgY dapat disimpan selama 10 tahun pada suhu 4 0 C, selama 6 bulan pada suhu kamar, dan satu bulan pada suhu 37 0 C tanpa ada antibodi yang hilang (Raj et al. 2004). Shin et al. (2002) menyatakan bahwa IgY stabil pada suhu 40 0 C, dan hanya kehilangan 20% aktivitasnya pada pemanasan dengan suhu 60 0 C selama 10 menit serta stabil pada ph 4-8.

22 Tabel 1 Perbandingan IgG Mamalia dengan IgY Unggas Hewan penghasil Mamalia Unggas, reptil, amfibi Sumber Serum Kuning telur Berat molekul (SDS-PAGE) 150 kda 180 kda Berat molekul (MALDI-TOF MS) 150 kda 167 kda Struktur dasar Regio hinge fleksibel, Regio hinge sempit dan kurang regio Fc lebih pendek fleksibel, regio Fc lebih panjang dengan satu pasang grup dengan dua pasang grup karbohidrat IgG Reaksi silang Bereaksi dengan antibodi manusia Afinitas purifikasi Protein A atau G Protein L Stabil pada ph 3-10,suhu Kestabilan 70⁰C IgY karbohidrat Tidak bereaksi dengan antibodi manusia Stabil pada ph 4-9,suhu 65⁰C Hidrofobisitas Kurang hidrofobik Regio Fc hidrofobik dibanding IgY Produktivitas Terbatas dalam durasi Durasi panjang dalam dan jumlah menghasilkan antibodi dengan jumlah besar (Sumber : Anonim 2007) 2.3. Produksi IgY Spesifik Anti WSSV Produksi IgY terhadap penyakit udang telah dilakukan oleh berbagai peneliti diberbagai negara termasuk Indonesia. Soejoedono et al. (2008) telah berhasil memproduksi IgY spesifik anti WSSV yang diisolasi dari kaki renang udang yang terinfeksi WSSV. IgY spesifik anti WSSV yang diproduksi tersebut menunjukkan bahwa IgY tahan pada suhu 20 0 C hingga 40 0 C, tahan pada ph , namun tidak tahan terhadap salinitas 25 ppt selama 96 jam. WSSV juga dapat diisolasi dari karapas kepiting (Scylla serrata) yang sebelumnya telah diinfeksi oleh udang terinfeksi WSSV (Alday-Sanz et al. 1998). IgY spesifik anti WSSV yang diproduksi oleh Alday-Sanz et al. (1998) tersebut digunakan sebagai campuran pakan udang dan diberikan pada otot udang. Pelet yang mengandung IgY spesifik anti WSSV selanjutnya diberikan pada L. monodon dua kali/hari selama tujuh hari sebagai imunisasi pasif terhadap WSSV.

23 Kelompok crustacea lain yang dapat terinfeksi WSSV adalah ubur-ubur (Procambius clarkiaii). Pemberian IgY sebagai imunisasi pasif telah diaplikasikan pada organisme ini. Imunisasi pasif dilakukan melalui tiga kelompok, yaitu penyuntikan, peroral (melalui pakan), dan perendaman. Aplikasi imunisasi pasif melalui pakan dan perendaman merupakan teknik yang dapat menurunkan tingakat kematian akibat WSSV secara signifikan, sehingga dapat dijadikan alternatif dalam pengendalian infeksi WSSV pada budidaya (Lu et al. 2008).

24 III. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret Mei Uji lapangnya dilaksanakan di area pertambakan PT. CPP (Charoen Pokphan Group) Lampung dan uji laboratorium dilaksanakan di Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu, Bagian Mikrobiologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner Fakultas Kedokteran Hewan IPB Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah udang DOC 45 gram) sebanyak 150 ekor dan udang DOC 60 7 gram) sebanyak 80 ekor yang berasal dari tambak PT. CPP Lampung, air tambak dengan salinitas ppt, pakan udang komersil, kuning telur mengandung Imunoglobulin Y spesifik anti WSSV yang diperoleh dari penelitian sebelumnya, Phosphate Buffer Saline (PBS) 1x, Agarose, Buffer TAE (Tris Acid EDTA), Ethidium Bromide, Etanol 96%, DNA Away, DTAB-CTAB DNA Extraction Kit IQ2000, WSSV Detection Kit IQ2000. Alat yang digunakan adalah akuarium kaca ukuran 60 cm x 30 cm x 35 cm (p x l x t), aerator beserta selang, refraktometer, ph meter, blender (alat penggiling), alat cetakan pakan, spatula, vortex, oven, timbangan analitik, plastik bersih dan kering, freezer, aluminium foil, mikrotip, mikropipet, mikrotube 1,5 ml, mikrotube 0,5 ml, gunting bedah steril, pisau bedah steril, grinder, heating block, bunsen, mikrosentrifus, mesin PCR Apllied BioSystem 9700, perangkat elektroforesis, Gene Flash UV Visualization, wadah plastik, tisu, gelas beker 500 ml, gelas ukur 100 ml, dan kamera digital Metode Penelitian Tahap Persiapan Udang putih (L. vannamei) dan air tambak yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari tambak perusahaan PT. CPP (PT. Charoen Pokphan Group) Lampung. Sebelum digunakan, dilakukan pengukuran kualitas air yang digunakan dengan profil kualitas air di tambak, yaitu salinitas 25 ppt dan suhu o C. Persiapan akuarium

25 perlakuan dilakukan dengan terlebih dahulu membersihkan 12 akuarium yang masing-masing berukuran 60 cm x 30 cm x 35 cm (p x l x t) dengan air tawar bersih dan dibilas dengan air tambak. Akuarium diisi dengan 10 liter air tambak, dipasangkan aerator pada masing-masing akuarium tersebut. Akuarium dipasang kawat halus diatasnya untuk menghindari lompatan udang keluar akuarium. Sebanyak 150 ekor udang dengan DOC 45 yang sehat atau tidak terinfeksi WSSV dikoleksi dari satu atau beberapa tambak yang bebas WSSV Udang yang digunakan adalah udang yang menunjukkan hasil negatif berdasarkan uji PCR. Kedalam masing-masing akuarium dimasukkan 10 ekor udang tersebut. Pada percobaan ini terdapat empat kelompok perlakuan (P1, P2, P3, dan kontrol positif) dan tiga ulangan yang dilakukan pada waktu bersamaan. Selama perlakuan belum dimulai, udang dipelihara dengan pemberian pakan komersial biasa (pakan yang tidak mengandung IgY spesifik anti WSSV) dua kali dalam sehari. Sebanyak 80 ekor udang terinfeksi WSSV secara alami di tambak, yang ditandai dengan kemunculan gross sign kemerahan pada tubuhnya dikoleksi dalam satu wadah besar dan diberi pakan udang biasa. Udang WSSV ini sengaja dikoleksi dengan DOC 60 (dewasa) agar dapat dibedakan dari udang percobaan saat pengamatan kematian udang. Inkubasi antar udang yang terinfeksi dilakukan selama 3 5 hari untuk mendapatkan infeksi yang merata. Udang terinfeksi WSSV ini akan digunakan pada tahap kohabitasi Uji Status WSSV Pra-perlakuan dengan PCR (Polymerase Chain Reaction) Uji PCR pada udang yang akan digunakan dalam penelitian ini dibagi menjadi dua kelompok. Pertama, uji PCR pada udang sehat yang akan diimunisasi pasif dengan IgY bertujuan untuk meyakinkan bahwa udang yang akan digunakan merupakan udang bebas WSSV. Kedua, uji PCR pada udang yang akan digunakan pada tahap kohabitasi bertujuan untuk meyakinkan bahwa udang yang menunjukkan gross sign secara alami di tambak adalah udang-udang terinfeksi WSSV. Sampel udang yang digunakan adalah bagian pleopod (kaki renang) dan ekor dari 15 ekor udang yang berasal dari tambak sumber dikomposit kemudian dipreservasi dalam etanol 96%. Sampel ini kemudian diekstraksi untuk mendapatkan DNA totalnya berdasarkan metode ekstraksi komersial CTAB-DTAB IQ2000 DNA Extraction Kit. DNA udang hasil ekstraksi diamplifikasi dengan teknik First dan Nested PCR menggunakan kit spesifik deteksi virus WSS komersial IQ2000 WSSV Detection and

26 Prevention System. First PCR diawali dengan denaturasi awal utas ganda DNA pada suhu 94 0 C selama 2 menit dan diikuti denaturasi pada suhu 94 0 C selama 20 detik, annealing pada suhu 62 0 C selama 20 detik, extension pada suhu 72 0 C selama 30 detik, siklus ini diulang sebanyak 15 kali, kemudian final extension pada suhu 72 0 C selama 30 detik dan diikuti akhir siklus pada suhu 20 0 C selama 30 detik. Nested PCR diawali dengan denaturasi pada suhu 94 0 C selama 20 detik, annealing pada suhu 62 0 C selama 20 detik, extension pada suhu 72 0 C selama 30 detik, siklus ini diulang sebanyak 30 kali, kemudian final extension pada suhu 72 0 C selama 30 detik dan diikuti akhir siklus pada suhu 20 0 C selama 30 detik (IQ2000 WSSV Instruction Manual) Amplikon (DNA udang konsentrasi tinggi) yang telah didapat selanjutnya dielektroforesis pada gel agaros dengan konsentrasi 1.5% pada 120 volt selama 20 menit. Visualisasi kemunculan pita DNA udang diamati dengan melakukan staining dalam Ethidium Bromide terlebih dahulu selama 20 menit lalu dilihat melalui Gene Flash UV Visualization. Interpretasi hasil dilakukan berdasarkan IQ2000 WSSV Instruction Manual Pembuatan Pelet Udang yang Mengandung Ig Y Spesifik anti WSSV Pakan udang komersial sebanyak 500 gr dihaluskan dengan blender kemudian dimasukkan ke dalam gelas beker dan ditambahkan kuning telur yang mengandung IgY spesifik anti WSSV (diperoleh dari penelitian sebelumnya). Perbandingan jumlah antara kuning telur yang mengandung IgY spesifik anti WSSV dengan pakan komersial untuk membuat pakan dengan Ig Y ; 5% (w/w) adalah 25 gr : 500 gr ; 10% (w/w) adalah 50 gr : 500 gr ; dan 20% (w/w) adalah 100 gr : 500 gr. Masing-masing campuran ditambahkan PBS 1x sebanyak ± 5 ml sedikit demi sedikit sambil diaduk hingga homogen. Setelah homogen, campuran pakan tersebut digiling dan dicetak dengan alat penggiling sehingga ukuran pakannya ± 2 mm. Kemudian pakan dimasukkan dalam oven pada suhu 60 0 C selama 30 menit. Pakan mengandung IgY spesifik anti WSSV dengan konsentrasi IgY spesifik anti WSSV 5% (P1), 10% (P2), dan 20% (P3) siap digunakan.

27 Imunisasi pasif dengan Ig Y spesifik anti WSSV Pada hari pertama (H1) perlakuan, udang pada masing-masing akuarium perlakuan (P1, P2, P3, dan kontrol positif) diberi pakan sesuai dengan percobaannya. Perlakuan P1, P2, dan P3 masing-masing diberi pakan mengandung IgY spesifik anti WSSV dengan konsentrasi 5%, 10%, dan 20%, sedangkan udang pada kontrol positif diberi pakan biasa (tidak mengandung IgY spesifik anti WSSV) sebagai pembanding. Pemberian pakan udang adalah 2-3 % dari bobot tubuh/ekor/hari. Setiap hari dilakukan pengamatan gejala klinis yang meliputi beberapa perubahan, yaitu ; munculnya bintik putih, aktivitas berenang, nafsu makan, keadaan tubuh, warna tubuh, dan jumlah kematian pada masing-masing kelompok perlakuan dan ulangan. Selain itu, sebagai data pendukung dilakukan juga monitoring kualitas air (suhu dan ph) setiap harinya Kohabitasi Pada hari keempat (H4), kedalam masing-masing akuarium perlakuan yang berisi 10 ekor udang, ditambahkan masing-masing 5 ekor udang terinfeksi WSSV. Setelah kohabitasi dilakukan, pemberian pakan dilanjutkan seperti hari pertama dan pengamatan setiap parameter dilanjutkan hingga akhir perlakuan Uji Status WSSV Pasca-perlakuan dengan PCR Uji PCR pada udang yang telah melalui perlakuan ini bertujuan untuk mengetahui status WSSV pada udang yang mati selama percobaan dan tersisa di masing-masing kelompok perlakuan dan ulangan. Uji ini penting dilakukan agar dapat diketahui penyebab kematian udang sehingga data yang dihasilkan representatif. Sampel yang digunakan adalah bagian pleopod (kaki renang) dan ekor dari udang yang tersisa pada masing-masing akuarium perlakuan. Metode dan detection kit yang digunakan dalam pengujian PCR untuk udang setelah perlakuan ini sama dengan pengujian PCR untuk udang sebelum perlakuan Analisis Data Analisis data untuk efektifitas berbagai konsentrasi imunoglobulin Y dan kontrol yang digunakan dilakukan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL), dengan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Selain itu, pengamatan gejala klinis yang terdiri

28 dari beberapa parameter meliputi nafsu makan, aktivitas berenang, bintik putih, dan keadaan tubuh dilakukan secara deskriptif (non parametrik). 150 ekor udang PCR (-) WSSV (+) WSSV Akuarium 60 x 30 x ekor udang P 1 P 2 Ig Y 5% Ig Y 10% P 3 K (+) Ig Y 20%... Hari (@ 5 ekor udang) udang terinfeksi WSSV udang terinfeksi WSSV udang terinfeksi WSSV udang terinfeksi WSSV... Hari 4 Pengamatan gejala klinis sampai 80% udang K (+) mati PCR PCR PCR PCR Gambar 6 Diagram Alur Penelitian

29 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kematian Udang Akibat WSSV Penularan penyakit WSSV pada udang sehat oleh udang terinfeksi WSSV menggunakan metode kohabitasi telah berhasil dilakukan. Peristiwa ini teramati melalui kemunculan gejala klinis selama kohabitasi. Gejala klinis yang teramati mencakup kematian udang, aktivitas berenang, kondisi tubuh, dan warna tubuh pada ketiga kelompok perlakuan dan kontrol positif. Secara keseluruhan, kematian udang pada semua kelompok perlakuan mulai terjadi pada hari ke-4. Kematian pada hari he-4 terjadi pada udang WSSV yang digunakan untuk kohabitasi, sedangkan kematian pada hari ke-5 (hari ke-2 setelah kohabitasi) selain didominasi oleh kematian udang positif WSSV yang digunakan untuk kohabitasi juga disebabkan telah terjadinya penularan WSSV terhadap udang perlakuan yang semula sehat oleh udang terinfeksi WSSV. Data kematian udang yang dikohabitasikan pada masing-masing kelompok perlakuan dengan konsentrasi IgY spesifik anti WSSV berbeda-beda. Kematian udang kohabitasi yang telah terinfeksi WSSV sejak hari pertama percobaan hanya terjadi pada hari ke-4 dan ke-5. Hal ini senada dengan penjelasan yang telah dijelaskan oleh Lightner et al. (1996) bahwa kematian 100% akan terjadi pada udang terinfeksi WSSV mulai hari ke-3 hingga hari ke-10. Jumlah kematian udang kohabitasi selama percobaan disajikan pada Tabel 2. U I II III Tabel 2 Jumlah Kematian Udang Kohabitasi Jumlah Hari ke- Jumlah Klp awal akhir P P P K (+) P P P K (+) P P P K (+) Ket : U = Ulangan, Klp = Kelompok

30 Pada hari ke-5 (sehari setelah kohabitasi), udang pada semua kelompok perlakuan tidak menunjukkan perubahan nafsu makan dan bintik putih tidak muncul. Udang pada kontrol positif yang hanya diberi pakan biasa (tidak mengandung IgY spesifik anti WSSV) tidak mengalami penurunan nafsu makan. Demikian juga dengan udang pada kelompok perlakuan P1, P2, dan P3 yang tidak mengalami perubahan nafsu makan. Hal ini menunjukkan bahwa pakan yang mengandung IgY spesifik anti WSSV tidak mempengaruhi nafsu makan dan daya cerna udang. IgY spesifik anti WSSV yang terkandung dalam pakannya dapat dicerna dengan baik sehingga dapat membentuk antibodi sebagai pengebalan pasif yang akan menetralisir WSSV yang menginfeksi udang. Kematian yang terjadi pada awal percobaan, yaitu hari ke-4 dan ke-5 secara umum didominasi oleh infeksi WSSV dengan tingkat keparahan tinggi, yang ditandai dengan munculnya pita DNA dengan ukuran 296 bp dan 550 bp. Meskipun demikian, terdapat dua sampel yaitu udang pada kelompok P1 ulangan 1 dan 2 yang menunjukkan tidak terdapatnya virus WSS dalam tubuh udang yang mati, dengan kemunculan hanya satu pita DNA pada ukuran 848 bp. Kematian udang dengan status WSSV negatif tidak disebabkan oleh infeksi WSSV. Kemungkinan penyebab kematian diantaranya proses molting yang memicu kanibalisme dan faktor lingkungan. Status WSSV pada udang yang mati pada awal percobaan menggunakan uji PCR disajikan pada Gambar 7. Pada hari ke-6 terdapat kematian udang yang disebabkan infeksi WSSV dengan angka yang bervariasi untuk kelompok P1 dan P2. Kematian udang pada kelompok P1 dan P2 disebabkan oleh belum tercernanya IgY yang terkandung di dalam pakan yang diberikan sehingga belum terbentuk kekebalan terhadap virus atau disebabkan juga jumlahnya belum cukup untuk melindungi udang dari infeksi WSSV dengan tingkat keparahan tinggi. Pada hari ke-7 dan ke-8 hanya udang pada kelompok kontrol positif saja yang mengalami kematian, sedangkan udang pada P1, P2, dan P3 tidak mengalami kematian. Hal ini disebabkan udang pada P1, P2, dan P3 telah mencerna secara baik pakan yang mengandung IgY spesifik anti WSSV dengan berbagai konsentrasi, sehingga sistem tubuhnya telah memiliki antibodi yang berasal dari imunisasi pasif tersebut. Jumlah kematian udang percobaan yang disebabkan WSSV disajikan pada Tabel 3.

31 NTC K+ M Gambar 7 Hasil elektroforesis sampel udang mati hari ke-4 dan ke ) P1 mortalitas hari ke-4 ulangan 1 dan 2 (very light/ keparahan ringan, 848 bp). 3) P1 mortalitas hari ke-4 ulangan 3 (severe/ keparahan tinggi, 296 bp dan 550 bp). 4-5) P2 mortalitas hari ke-4 ulangan 1 dan 2 (severe/ keparahan tinggi, 296 bp dan 550 bp). 6-7) P3 mortalitas hari ke-4 ulangan 1 dan 3 (severe/ keparahan tinggi, 296 bp dan 550 bp). 8-10) P1 mortalitas hari ke- 5 ulangan 1, 2, 3 (severe/ keparahan tinggi, 296 bp dan 550 bp) ) P2 mortalitas hari ke-5 ulangan 1, 2, 3 (severe/ keparahan tinggi, 296 bp dan 550 bp). NTC (no template control). K+ (kontrol positif, 296 bp dan 550 bp). M (molecular weight marker, 848 bp, 630 bp, dan 333 bp). U I II Klp Tabel 3 Jumlah Kematian Udang Akibat WSSV Jumlah Hari ke- Jumlah awal akhir P P P K (+) P P P K (+) P III P P K (+) Ket : U = Ulangan, Klp = Kelompok Mulai hari ke-5 percobaan, udang pada kelompok kontrol positif, P1, dan P2 melemah, konsistensi tubuh melunak, dan berwarna kemerahan. Berbeda dengan yang lain, kelompok udang P3 mengalami perubahan konsistensi tubuh mulai hari ke-6.

32 Hal ini terjadi karena virus WSS mampu menembus sistem pertahanan pertama yaitu lapisan kutikula yang memegang peranan penting untuk melawan infeksi. Virus ini merusak lapisan ektodermal dimana kromatofor kutikula membesar, sehingga konsistensi tubuh tidak normal dan mengalami perubahan warna kulit. Kemunculan bintik putih pada bagian karapas udang mengindikasikan tingkat keparahan infeksi WSSV yang sangat tinggi. Pada percobaan yang dilakukan selama delapan hari ini, manifestasi virus WSS pada udang belum sampai pada munculnya bintik putih bahkan pada udang kelompok kontrol positif. Berdasarkan pengamatan dilapangan, infeksi WSSV tidak selalu menimbulkan bintik putih pada karapas udang. Dengan demikian tidak munculnya bintik putih pada karapas udang dalam penelitian ini merupakan hal yang umum terjadi. Gambaran suhu dan ph pada semua kelompok perlakuan tidak menunjukkan fluktuasi yang berarti. Suhu rata-rata pada pagi hari adalah sekitar 25.4ºC dan sore sekitar 26.6ºC. Kisaran suhu ini perlu dijaga mengingat WSSV akan banyak berkembang pada suhu dibawah 25ºC dan diatas 28ºC. ph rata-rata pada pagi hari sekitar 7.92 dan sore sekitar Nilai ini dipertahankan pada kisaran ph netral untuk mengantisipasi munculnya WSSV pada ph rendah atau kondisi asam. Selain untuk mengantisipasi infeksi WSSV yang disebabkan oleh faktor lingkungan, pengukuran suhu dan ph menunjukkan proses netralisasi WSSV oleh IgY spesifik anti WSSV dapat berlangsung baik. Berbeda dengan hari ke-5 dan ke-6, mulai hari ke-7 hingga hari ke-8 hasil PCR udang yang mati menunjukkan hasil negatif kecuali udang pada ulangan ketiga kelompok P1 (Gambar 8). Variasi angka kelansungan hidup udang pada masingmasing kelompok perlakuan disebabkan oleh perbedaan konsentrasi IgY spesifik anti WSSV yang terkandung didalam pakan yang diberikan selama percobaan. Hal inilah yang menyebabkan perbedaan respon tubuh udang dalam menggunakan pakan tersebut untuk menetralisir antigen yang menyerangnya.

33 NTC K+ M Gambar 8 Hasil elektroforesis sampel udang mati hari ke-6, ke-7, dan ke-8. 1) P1 mortalitas hari ke-6 ulangan 3 (very light/ keparahan ringan, 296 bp dan 848 bp). 2-3) P2 mortalitas hari ke-6 ulangan 1 dan 3 (negatif, 848 bp). 4-6) P3 mortalitas hari ke-6 ulangan 1, 2, 3 (negatif, 848 bp). 7) P1 mortalitas hari ke-7 ulangan 2 (negatif, 848 bp). 8) P2 mortalitas hari ke-7 ulangan 2 (negatif, 848 bp). 9-11) P3 mortalitas hari ke-7 ulangan 1, 2, 3 (negatif, 848 bp) ) P2 mortalitas hari ke-8 ulangan 2 dan 3 (negatif, 848 bp) ) P3 mortalitas hari ke-8 ulangan 1 dan 3 (negatif, 848 bp). NTC (no template control). K+ (kontrol positif, 296 bp dan 550 bp). M (molecular weight marker, 848 bp, 630 bp, dan 333 bp). 6 5 Jumlah Kematian (ekor) Hari kep1 p2 p3 k+ Gambar 9 Rata-rata jumlah kematian udang akibat WSSV. P1, pakan mengandung IgY spesifik anti WSSV 5%; P2, pakan mengandung IgY spesifik anti WSSV 10%; P3, pakan mengandung IgY spesifik anti WSSV 20%; K+, kontrol positif

34 Gambar 9 diatas menunjukkan bahwa kematian terbanyak terjadi pada udang kontrol positif dan diikuti oleh udang pada kelompok perlakuan P1, P2, dan P3. Selama percobaan, udang pada kelompok P3 tidak mengalami kematian. Kematian terjadi pada hari ke-4 sampai puncaknya hari ke-6. Jumlah kematian menurun pada hari ke-7 dan ke-8. IgY spesifik anti WSSV menunjukkan kinerja optimal pada hari ke-7. Efektifitas IgY spesifik anti WSSV dalam menetralisir antigennya sangat berhubungan dengan metabolism pencernaan udang. Proses pencernaan udang diawali dengan masuknya makanan melewati mulut (ingestion) untuk dicerna (digestion) di hepatopankreas dan kemudian diserap (absorption) tubuh melalui hemolimf yang bersirkulasi dalam tubuhnya. Sel-sel hemolimf bebas (tunggal) yang disebut haemocyte inilah yang berperan penting dalam sistem imun terhadap infeksi patogen (Mayes 1995). Waktu yang dibutuhkan udang untuk mencerna makanan dalam proses pencernaan dan mendistribusikannya memiliki kaitan erat dengan aplikasi IgY spesifik anti WSSV sebagai pengebalan pasif. Udang yang memiliki struktur tubuh yang sederhana juga memiliki sistem pencernaan yang sederhana pula. Protein sebagai komponen dasar pakan udang dapat dicerna dengan baik setelah 3 jam (Hentschel and Feller 1990) atau 4 jam (Hoyt et al. 2000) menggunakan immunoassay. Protein IgY bereaksi dengan enzim pencernaan di hepatopankreas. IgY yang terkandung didalam pakan langsung didistribusikan oleh hemolimf ke seluruh tubuhnya. Kinerja IgY dalam tubuh udang dipengaruhi oleh jumlah IgY spesifik anti WSSV yang terdapat di dalam hemolimf. Waktu yang dibutuhkan udang untuk membentuk kinerja IgY secara optimal dipengaruhi oleh konsentrasi IgY yang terkandung didalam pakan. Pada penelitian ini, ketiga konsentrasi IgY spesifik anti WSSV (5%, 10%, dan 20%) menunjukkan kinerja optimal pada hari ke-7 dan ke-8 setelah imunisasi pasif diberikan. Kim et al., tahun 2004 menjelaskan bahwa udang yang diberi pengebalan pasif selama 15 hari dengan 0.01 mg/10 µl IgY spesifik anti WSSV memiliki tingkat kelansungan hidup 50%, apabila konsentrasi IgY spesifik anti WSSV ditingkatkan menjadi 0.1 mg/ µl dan 0.5 mg/ µl maka kelansungan hidup udang meningkat hingga 85% dan 83%. Angka kelansungan hidup udang setelah diberi pengebalan pasif IgY spesifik anti WSSV menunjukkan kemampuan substansi yang terkandung dalam IgY spesifik anti WSSV dalam menetralisir virus. Substansi antibodi bekerja dengan cara blocking reseptor sel udang tempat masuknya virus.

35 Sistem proteksi dilakukan dengan cara mengsekresikan substansi yang akan menetralisir virus yang berhasil menginfeksi sel (Jeroen et al. 2003). Data jumlah udang yang hidup hingga akhir percobaan dapat dijadikan indikasi keefektifan kerja IgY spesifik anti WSSV. Imunisasi pasif yang diberikan secara peroral dengan konsentrasi IgY spesifik anti WSSV 5% meningkatkan kelansungan hidup 46.66%, konsentrasi 10% dan 20% dapat meningkatkan kelansungan hidup hingga 66.66% dan 84.4% setelah hari ke-8 percobaan. Hasil ini senada dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Lu et al., tahun 2008, bahwa setelah 10 hari percobaan tingkat kelansungan hidup ubur-ubur yang diberi pakan mengandung IgY spesifik anti WSSV 1% dan 10% adalah 32.3% dan 46.7%. Gambar 10 Rata-rata kelansungan hidup udang berdasarkan perlakuan. P1, pakan mengandung IgY spesifik anti WSSV 5%; P2, pakan mengandung IgY spesifik anti WSSV 10%; P3, pakan mengandung IgY spesifik anti WSSV 20%; K+, kontrol positif Berdasarkan grafik pada Gambar 10 terlihat bahwa semakin besar konsentrasi perlakuan maka semakin tinggi tingkat kelansungan hidup udang. Perlakuan pemberian pakan mengandung IgY spesifik anti WSSV memberikan pengaruh signifikan untuk masing-masing perlakuan dan ketiga kelompok perlakuan berbeda nyata dengan kontrol (p value < 0.05 dan R square = 93.42% ). Efektifitas kelompok P1 dan P2 sama, tetapi berbeda dengan kelompok P3 dan kontrol. Kelompok P3 memiliki efektifitas tertinggi dibandingkan kelompok perlakuan lain.

36 Pemberian pakan yang mengandung IgY spesifik anti WSSV peroral merupakan teknik yang praktis dan mudah dalam pembentukan pengebalan pasif. Pada kondisi normal, infeksi virus dapat terjadi melalui insang dan asupan air kedalam tubuh udang (Chang et al. 1996). Hal inilah yang melatarbelakangi pemberian IgY spesifik anti WSSV secara peroral dan perendaman. Penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian IgY spesifik anti WSSV dapat menurunkan tingkat kematian akibat infeksi WSSV dengan cara mencegah terjadinya infeksi dan melindungi tubuh udang (prevention). Lebih lanjut penelitian ini juga menunjukkan adanya kemampuan IgY spesifik anti WSSV sebagai imunoterapi dengan terjadinya proses pemulihan udang yang semula terinfeksi WSSV. Pemulihan udang kohabitasi yang semula positif WSSV dengan keparahan tinggi (severe) terjadi pada ketiga ulangan kelompok perlakuan P3 dan satu ulangan kelompok perlakuan P2. Perubahan tingkat keparahan yang semula parah (severe) menjadi ringan (very light) ditunjukkan dengan munculnya dua pita pada 296 bp dan 848 bp (Gambar 9). Proses pemulihan ini juga diikuti dengan masih hidupnya udang tersebut hingga akhir percobaan. Hal ini menunjukkan adanya kemampuan IgY spesifik anti WSSV yang terkandung didalam pakan untuk menurunkan virulensi WSS dalam tubuh udang O K+ M K+ M (A) (B) Gambar 11 Hasil elektroforesis sampel udang kohabitasi. (A) sampel udang kohabitasi awal percobaan. 1, 2, dan 3 (severe/ keparahan tinggi, 296 bp dan 550 bp) dan O (sampel lain). (B) sampel udang kohabitasi yang pulih hari ke-8. 1) P3 ulangan 1(very light/ keparahan ringan, 296 bp dan 848 bp). 2) P3 ulangan 2 (very light/ keparahan ringan, 296 bp dan 848 bp). 3) P2 ulangan 3(very light/ keparahan ringan, 296 bp dan 848 bp). 4) P3 ulangan 3(very light/ keparahan ringan, 296 bp dan 848 bp). K+ (kontrol positif, 296 bp dan 550 bp). M (molecular weight marker, 848 bp, 630 bp, dan 333 bp).

37 Kemampuan IgY spesifik anti WSSV dalam menetralisir antigen bersifat stabil dalam air. Sebagian pakan yang tidak terkonsumsi oleh udang akan mengalami penguraian dalam air (Lu et al. 2008). Penguraian pakan yang mengandung IgY spesifik anti WSSV ini memungkinkan partikel-partikel antibodi spesifik anti WSSV tersebar secara bebas. Partikel-partikel antibodi sebagai pengebalan pasif inilah yang kemudian bekerja secara langsung menetralisir virus WSS yang terdapat di dalam air, lumpur tambak, dan yang menempel pada carier. Netralisasi antigen yang terjadi diluar tubuh udang menyebabkan terjadinya proses pemulihan udang yang semula terinfeksi WSSV dengan tingkat keparahan tinggi menjadi ringan. Hal serupa juga terjadi pada aplikasi IgY spesifik anti WSSV secara perendaman. Teknik pemberian IgY sebagai pengebalan pasif peroral dan perendaman memiliki efektifitas tinggi dalam melindungi udang dari infeksi karena selain praktis dan mudah juga tidak memerlukan manipulasi hewan percobaan dan dapat diaplikasikan secara luas (Lu et al. 2008). Ilustrasi reaksi IgY spesifik anti WSSV dengan WSSV yang terjadi didalam tubuh udang dan didalam air tambak disajikan pada Gambar 12. IgY IgY IgY IgY IgY wssv wssv Gambar 12 Ilustrasi Reaksi antara IgY Spesifik anti WSSV dengan WSSV Kelompok Artropoda mencakup udang memiliki sistem sirkulasi terbuka. Dalam sistem sirkulasi terbuka, darah (hemolimf) dan sel darah (hemosit) berperanan penting dalam sirkulasi tersebut. Pembuluh hemolimf berada pada bagian dorsal. Hati memompakan hemolimf ke dalam sinus-sinus yang tersebar di seluruh tubuhnya dan berfungsi sebagai sirkulasi gas dan nutrisi (seperti oksigen pada insang). Sebaliknya, dari sinus-sinus tersebut pula hemolimf dikembalikan ke hati melalui hemosol. Insang dan saluran pencernaan udang memiliki lapisan kutikula yang sangat tipis. Kedua

38 organ ini menjadi target serangan atau infeksi patogen karena berhubungan dengan lingkungan eksternal. Selama masa pertumbuhannya, crustacea secara periodik mengalami kehilangan kutikula ekstraseluler dari lapisan epidermal yang berfungsi sebagai fleksibilitas eksoskeleton (moulting). Selama peristiwa moulting berlangsung, crustacea ini rentan terhadap bahaya secara fisik, predator, dan infeksi patogen (Arts 2006). Kemampuan crustacea dalam merespon infeksi patogen terbatas. Sistem respon tubuhnya hanya berupa pertahanan nonspesifik sesaat setelah terinfeksi. Beberapa sistem respon imun yang ditemukan pada hemolimf crustacea adalah aktivitas prophenoloxidase (propo) (Söderhäll et al. 1998; Lee et al dalam Arts 2006), clotting atau enkapsulasi (Chen et al. 2005; Yeh et al. 1999; Yeh et al dalam Arts 2006), dan fagositosis (Liu et al dalam Arts 2006). Respon seluler crustacea terdiri atas tiga kelompok sel yang dapat mengenali antigen berdasarkan perbedaan morfologi. Pertama, hyaline cells yang berfungsi memfagositosis organisme asing. Kedua, kelompok semi-granular yang berfungsi sebagai enkapsulasi, fagositosis, menghasilkan protein propro, dan sitotoksin. Ketiga, sel granular yang berfungsi menghasilkan propo dan sitotoksin (Huang et al dalam Arts 2006). Sangat sedikit data yang menjelaskan kemunculan respon imun L. monodon dan L. vannamei setelah infeksi virus (Arts 2006). Sistem pertahanan non spesifik saja tidak cukup untuk melawan infeksi patogen. Antibodi spesifik terhadap patogen tidak muncul karena kelompok hewan ini tidak memiliki perangkat untuk menghasilkan antibodi tersebut. Pendekatan imunisasi pasif menjadi alternatif pengendalian WSSV. Hal senada juga dijelaskan oleh Witteveldt et al. (2004) dalam Arts (2006), bahwa strategi vaksinasi perlu dikembangkan untuk melindungi udang terhadap infeksi WSSV yang bersifat letal. Pemberian imunisasi pasif berupa IgY spesifik anti WSSV merupakan upaya melengkapi tubuh udang dengan antibodi spesifik terhadap patogen, namun produksi antibodi dilakukan diluar tubuh udang. Aplikasi IgY spesifik anti WSSV sangat bermanfaat bagi kelompok Crustacea yang hidup diperairan dan memiliki populasi yang besar dilingkungan budidaya. IgY dapat diproduksi dengan mudah sehingga kebutuhan respon imun spesifiknya (adaptive immune respone) dapat diperoleh dari proses imunisasi pasif. Imunisasi pasif terhadap udang yang berasal dari kuning telur ayam memiliki peran sebagai pencegahan dan imunoterapi (pemulihan) terhadap infeksi WSSV (Lu et al. 2008).

39 IgY spesifik anti WSSV yang digunakan dalam imunisasi pasif merupakan antibodi yang ditambahkan pada tubuh udang untuk meningkatkan kemampuan menangkap antigen berupa virus WSS. IgY spesifik anti WSSV ini akan terakumulasi pada haemolimf udang setelah melalui saluran pencernaannya. Oleh karena IgY ini merupakan perangkat antibodi yang siap pakai maka IgY akan langsung dapat bekerja menangkap dan kemudian menetralisir antigen yang menyerangnya. Teknik pemberian IgY spesifik anti WSSV dapat dilakukan dengan melalui pakan (peroral), perendaman, dan penyuntikan. Kesuksesan ketiga teknik ini telah teruji dapat meningkatkan angka kelansungan hidup hewan percobaan secara signifikan (Jeroen et al dan Lu et al. 2008). Penelitian yang dilakukan Lu et al. (2008) menunjukkan bahwa angka kelansungan hidup paling tinggi terjadi melalui teknik penyuntikan. Hal ini disebabkan oleh pemberian IgY spesifik anti WSSV tepat sasaran dan jumlah yang diterima sesuai dengan jumlah yang diberikan. Berbeda dengan pemberian IgY melalui pakan dan perendaman, IgY yang diberikan dapat mengalami penguraian di air. Teknik pemberian IgY sebagai imunisasi pasif perlu dikaji dengan pertimbangan lain. Pada skala industri budidaya yang besar dibutuhkan teknik yang praktis, mudah, dan cepat. Pemberian IgY spesifik anti WSSV melalui penyuntikan memiliki beberapa kelemahan, diantaranya akan menimbulkan stres pada udang, membutuhkan waktu yang lama, dan tidak dapat mengurangi virus yang berada diluar tubuh udang (carier yang berada di dalam tambak). Sama halnya dengan teknik penyuntikan, pemberian IgY spesifik anti WSSV dengan cara perendaman kurang efektif karena beberapa hal diantaranya akan menimbulkan stress pada udang dan jumlah IgY yang diberikan lebih banyak terakumulasi di dalam air dibandingkan dalam tubuh udang. Pemberian IgY spesifik anti WSSV secara peroral berpotensi untuk dikembangkan dalam upaya pencegahan dan pemulihan. Beberapa keunggulan teknik ini adalah tidak menimbulkan stress pada udang karena IgY tercampur dalam pakan, praktis, mudah, IgY yang terkonsumsi oleh udang dapat menetralisir WSSV di dalam tubuhnya sedangkan IgY yang tidak terkonsumsi (tersebar di dalam air) akan menetralisir WSSV yang berada di luar tubuh udang sebagai carier tambak. Aplikasi IgY spesifik anti WSSV pada udang awalnya menimbulkan dua kekhawatiran. Pertama, IgY akan inaktif oleh enzim pencernaan udang. Kedua, IgY yang diabsorbsi oleh hemolimf akan inaktif sebagian setelah melalui saluran pencernaan udang. Dalam sistem pencernaan udang bekerja enzim pencernaan yaitu

40 pepsin dan tripsin. Endopeptidase yang mencakup tripsin dan chimotripsin diekskresikan kedalam saluran pencernaan dan memiliki aktivitas tertinggi pada ph 7.5 yaitu ph fisiologis hepatopankreas. Penelitian mengenai hubungan aktivitas IgY dengan enzim pencernaan udang terus dilakukan. Beberapa penelitian tersebut menunjukkan potensi pemberian IgY spesifik anti WSSV pada udang. IgY menunjukkan aktivitasnya saat diberikan enzim pepsin dan tripsin melalui uji netralisasi (Rawendra 2005). Hal senada juga diungkapkan oleh Alday-Sanz V et al dalam penelitiannya yang menyebutkan bahwa udang yang memiliki tripsin dan chymotripsin pada saluran cernanya menunjukkan adanya aktifitas IgY saat diuji menggunakan ELISA dan stabil saat diinkubasi dengan tripsin dan chymotripsin. Menurut Akita et al. (1998), sebagian IgY masih tersisa dan tidak rusak sepenuhnya oleh pepsin dan tripsin sehingga sebagian imunoglobulin yang tidak terdegradasi oleh enzim pencernaan akan diabsorpsi dan digunakan udang sebagai imunisasi pasif yang akan menetralisir antigen. Dengan demikian dibutuhkan dosis atau konsentrasi IgY yang lebih tinggi dalam aplikasi peroral Prospek Ekonomi Pengembangan IgY Spesifik Anti WSSV Teknologi dalam aplikasi IgY yang mencakup produksi dan penggunaan IgY merupakan cabang ilmu bioteknologi yang sangat inovatif. Keutamaan teknologi IgY adalah tidak menyakiti hewan dan tidak melakukan manipulasi pada hewan. Teknik produksi IgY pada ayam dan koleksi telur sangat sederhana dan mudah. Pengembangan penggunaan IgY spesifik anti WSSV yang dikemas dalam pakan pada skala luas perlu mempertimbangkan kelayakan ekonominya. Efektifitas program ini dikaji melalui analisis kombinasi faktor biaya produksi, manfaat pemberian imunisasi pasif, dan pertimbangan epidemiologis WSSV. Biaya yang dibutuhkan dalam pengembangan penggunaan IgY spesifik anti WSSV sebagai imunisasi pasif pada udang adalah penambahan komponen kuning telur mengandung IgY spesifik anti WSSV kedalam komposisi pakan yang telah ada. IgY yang terkandung dalam sebutir telur adalah mg/ml kuning telur (Carlander 2002). Dengan demikian bila dalam sebutir telur terdapat 10 ml kuning telur maka setiap butir telur mengandung IgY sebanyak mg. Jumlah kuning telur yang dibutuhkan untuk membuat formulasi pakan disesuaikan dengan konsentrasi IgY spesifik anti WSSV yang diinginkan. Estimasi kebutuhan telur untuk memproduksi pakan mengandung IgY disajikan pada Tabel 5.

41 Tabel 4 Estimasi Kebutuhan Telur Ayam untuk Produksi IgY Spesifik Anti WSSV Kebutuhan Kuning telur dalam Pakan Kuning telur Telur pakan (gr) (gr) (butir) 5% % 1000 gr % Kenaikan biaya produksi dengan adanya penambahan kuning telur kedalam pakan tidak signifikan dibandingkan manfaat yang diperoleh. Teknik ini perlu dipertimbangkan mengingat WSSV menjadi perhatian khusus sejak pertama ditemukan di kawasan Asia pada tahun 1990 hingga saat ini. Wabah yang mengakibatkan kerugian besar bagi pelaku budidaya udang tidak dapat dihindari karena WSSV menyerang semua stadium umur dan menyebabkan kematian 100% selama 3 10 hari setelah infeksi (Lightner et al. 1996). Data mengenai angka kelansungan hidup udang setelah diberi IgY spesifik anti WSSV secara peroral dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi pelaku budidaya udang. Aplikasi pemberian IgY spesifik anti WSSV praktis, murah, dan memiliki efektifitas tinggi dalam menurunkan angka kematian udang sehingga dapat diterapkan pada skala budidaya tradisional maupun industri besar.

42 V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan 1. Imunisasi pasif menggunakan IgY spesifik anti WSSV yang terkandung dalam pakan dapat meningkatkan kelansungan hidup udang 2. Konsentrasi 20% IgY spesifik anti WSSV dalam pakan merupakan konsentrasi yang paling efektif mencegah kematian udang akibat infeksi WSSV 5.2 Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai aplikasi imunisasi pasif terhadap WSSV ini pada skala yang lebih besar.

43 VI. DAFTAR PUSTAKA Akita, Li-Chan, Ler, Kumer Immunoglobulins from Egg Yolk: Isolation and Purification. Journal of Food Sci, 57: Alday-Sanz V, Thaikua S, Yousif AN, Albright LJ, and Flegel TW Studies on IgY for passive immunization of shrimp against white spot syndrome virus. In Flegel TW (ed) Advances in shrimp biotechnology. National Center for Genetic Engineering and Biotechnology, Bangkok Anonim Comparison of IgG and IgY. www. Genwaybio.com (18 Juli 2007) Anonim Gale Encyclopedia of Medicine. Copyright 2008 The Gale Group. (25 Juli 2010) Arts, Joop AJ Immune Defence of White Spot Syndrome Virus Infected Shrimp, Penaeus monodon. Thesis. Wageningenn Universiteit. Dutch Bache`re E, Mialhe E, and Rodriguez J Identification of defence effectors in the haemolymph of crustaceans with particular reference to the shrimp Penaeus japonicus_bate.: prospects and applications. Fish Shellfish Immunol, 5: Chang PS, Lo CF, Wang YC. and Kou GH. (1996). Identification of White Spot Syndrome Associated Baculovirus (WSBV) Target Organs in the Shrimp Penaeus monodon by In Situ Hybridization. Dis. Aquat. Org. 27, Carlander D Avian Immunoglobulin Y Antibody In Vitro and In Vivo. Dissertation. Universities Upsaliensis. Upsala. Farelly CO, Branton D, and Wanke CA Oral Ingestion of Egg Yolk Immunoglobulin from Hens Immunized with an Enterotoxigenic Escherichia coli Strain Prevents Diarrhea in Rabbits Challenged with the Same Strain. Infection and Immunity Journal, p: Boston Davalos-Patoja L, Ortega-Vinuesa JL, Bastos-Gonzales D, and Hidalgos-Alvares R A Comparative Study Between the Adsorption of IgY and IgG on Latex Particles. J Biomater Sci Polym, 11(6): Fan J, Zuo Y, Li T, and Zhang X Preparation and Physicochemical Property of Chicken Yolk Immunoglobulin (IgY) Against Porcine Transmissible Gastroenteritis Virus (TGEV). Frontier of Agriculture in China Journal Gottstein B and Hemmeler E Egg Yolk Immunoglobulin as an Alternative Antibody in the Serology Echinococosis. Parasitenkunde, 71:

44 Hamal KR, Burgess SC, Pevzner IY, and Erf GF Maternal Antibody Transfer from Dams to Their Egg Yolks, Egg Whites, and Chicks in Meat Line of Chickens. Poultry Science, 85: Hassl A, Aspock H, Flamm H Comparative Studies on the Purity and Specificity of Yolk Immunoglobulin Y Isolated from Eggs Laid by Hens Immunized with Toxoplasma gondii. Zentralbl Bakteriol Mikrobiol Hyg (A) 267 : Hau J and Hendriksen C. 2005, Refinement of Polyclonal Antibody Production by Combining Oral Immunization of Chickens with Harvest of Antibodies from the Egg Yolk. ILAR. 46, Hentschel BT and Feller RJ Quantitative Immunoassay of the Pro Ventrikular Contents of White Shrimp Penaeus setiferus Linnaeus: a Laboratory Study. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology, vol 139; Hiraga C, Kodama Y, Sugiyama T, and Ichikawa Y Prevention of Human Rotavirus Infection With Chicken Egg Yolk Immunoglobulins Containing Rotavirus Antibody in Cat. Department of Bacteriology. Saitama Medical School Hoyt M, Fleeger JW, Siebeling R, Feller RJ Serological Estimation of Prey- Protein Gut-Residence time and Quantification of Meal Size for Grass Shrimp Consuming Meiofaunal Copepods. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology, vol 248; IQ2000 WSSV Detection and Prevention System Manual Instruction. Farming Intelligen. Taiwan Jeroen, Vlak M, and Mariëlle C.W Protection of Penaeus monodon against White Spot Syndrome Virus by Oral Vaccination. Journal Of Virology, Vol. 78, No. 4 p Kim, DK Shrimp protected from WSSV disease by treatment with egg yolk antibodies (IgY) against a truncated fusion protein derived from WSSV. Journal of Aquaculture Vol. 237: Kweon, CH, Seo J, Kim JW Immunoprophylactic Effect of Chicken Egg Yolk Immunoglobulin (Ig Y) against Porcine Epidemic Diarrhea Virus (PEDV) in Piglets. Journal of Veteriner Medicine Science, Vol.62 ; No.9 ; Japan. Lightner, DV A handbook of shrimp pathology and diagnostic procedures for diseases of cultured penaeid shrimp. World Aquaculture Society, Baton Rouge, Louisiana, USA Lu Y, Liu J, Jin L, Li X, Zhen Y, Xue H, You J, Xu Y Passive protection of shrimp against white spot syndrome virus (WSSV) using specific antibody from egg yolk of chickens immunized with inactivated virus or a WSSV-DNA vaccine. Fish Shellfish Immunol Journal

45 Mayes, PA Karbohidrat dengan Makna Fisiologis yang Penting. Dalam Hartono A (Alih Bahasa): Biokimia Harper. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Obiko, Y Egg Yolk-Derived Immunoglobulin (IgY) Against Porphyromonas gingivalis 40-kDa Outer Membrane Protein Inhibits Coaggregation Activity. Journal: Archives of Oral Biology 52: Poetri, ON Peran Antibodi Kuning Telur (IgY) Sebagai Anti Adhesi dan Opsonin Untuk Pencegahan Serangan Mutan Streptococcus Serotipe d (Streptococcus sobrinus). Tesis. Program Pascasarjana Program Studi Sains Veteriner. FKH-IPB. Bogor Raj GD, B Latha, MS Chandrasekhar, V Thiagarajan Production, Characterization and Application of Monoclonal Antibodies Against Chicken IgY. Veterinarski Arhiv. 74: Syahbazi, P, Shayan, P, Ebrahimzadeh, E, Rahbari, S Specific Egg Yolk Antibody Against Recombinant Cryptosporidium parvum P23 Protein. Iranian J. Parasitol: Vol.4 No.3: Stowell D Immunoglobulin structure. Szabo CS, Bardos L, Lasonczy S, and Karchesz K Isolation of Antibodies from Chicken and Quail Eggs. Presented at INABIS 98-5 th Internet World Congress on Biomedical Sciences at McMaster University, Canada, Dec 7-16 th. Available at URL Rawendra R Prospek pengembangan Imunoglobulin Y (IgY) kering beku sebagai nutraceutical food anti Enteropathogenic Escherichia coli (ETEC). Desertasi pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Schade R, Henklein P, and Hlinak A Egg Yolk Antibodi : state of Art and Advantageous use in the Life Science. In: Animal Alternatives, Welfareand Ethics (Zutphen, L. F. M., and Balls, M., eds) pp , ELSEVIER, Amsterdam Shin JH, Roe IH, and Kim H G Production of Anti-Helicobacter pylori urease- Specific Immunoglobulin in Egg Yolk Using an Antigenic Epitope of H. pylori urease. Journal Medical Microbiol 53: Soejoedono RD, Pasaribu FH, dan Rahayu H Pendekatan Imunisasi Pasif Penggunaan Imunoglobulin Y Spesifik Anti WSSV dalam Pengendalian Penyakit Bintik Putih pada Udang. Laporan Akhir Program Riset Unggulan Insentif. Kementrian Riset dan Teknologi. Vlak, JM, Jean-Robert Bonami, Tim W. Flegel, Guang-Hstung Kou, Donald V. Lighter, Chu-Fang Lo, Philip Loh and Peter J. Walker Nimaviridae, A

46 new virus family infecting aquatic invertebrates. XII" International Congress of Virology, Paris Warr GW, Magor KE, DA Higgins IgY: Clues To The Origins Of Modern Antibodies. Immunology Today. 16: 392-8

47 LAMPIRAN

48 Lampiran 1 Analisis Data One-way ANOVA: Hidup versus Perlakuan Analysis of Variance for Hidup Source DF SS MS F P Perlakua Error Total P = 0.000, artinya terdapat perbedaan antar kelompok perlakuan Pengujian asumsi 1. Normalitas : ragam menyebar normal Normal Probability Plot Probability Average: StDev: N: RESI1 Kolmogorov-Smirnov Normality Test D+: D-: D : Approximate P-Value > Kehomogenan : ragam homogen Test for Equal Variances for Perlakuan 95% Confidence Intervals for Sigmas Factor Levels 0 Bartlett's Test 4 Test Statistic: P-Value : Levene's Test Test Statistic: P-Value : Keacakan : ragam menyebar acak

49 Residuals Versus the Order of the Data (response is Hidup) 1 Residual Observation Order Individual 95% CIs For Mean Based on Pooled StDev Level N Mean StDev (---*----) (---*---) (----*---) (---*---) Pooled StDev = Keterangan grafik selang kepercayaan: # Semua perlakuan selain control tidak ada yang menyinggung nol (p value < 0.05), artinya bahwa semua perlakuan selain kontrol berbeda nyata dengan kontrol # P1 (5%) sama dengan P2 (10%) # P1 dan P2 berbeda dengan P3 (20%) dan P4 (kontrol) # P3 dan control juga berbeda # Efektifitas tertinggi adalah P3(20%).

50 Lampiran 2 Instruction Manual IQ2000 WSSV

51

52

53

54

55

56

57

58

59

60

61

62

63

64

65

66

67

68 Lampiran 3 Foto Udang Mati Selama Percobaan Hari 4 P1 ulangan 1 P2 ulangan 1 P3 ulangan 1 K+ ulangan 1 P1 ulangan 2 P2 ulangan 2

69 K+ ulangan 2 P1 ulangan 3 P3 ulangan 3 K+ ulangan 3

70 Hari 5 P1 ulangan 1 P2 ulangan 1 K+ ulangan 1 P1 ulangan 2 P2 ulangan 2

71 P3 ulangan 2 K+ ulangan 2 P1 ulangan 3 P2 ulangan 3 P3 ulangan 3 K+ ulangan 3

72 Hari 6 P1 ulangan 1 P2 ulangan 1 P3 ulangan 1 K+ ulangan 1 P1 ulangan 2 P3 ulangan 2

73 K+ ulangan 2 P1 ulangan 3 P2 ulangan 3 P3 ulangan 3 K+ ulangan 3

74 Hari 7 P3 ulangan 1 P1 ulangan 2 P2 ulangan 2 P3 ulangan 2

75 P3 ulangan 3 K+ ulangan 3 Hari 8 P3 ulangan 1 K+ ulangan 1 P2 ulangan 2 K+ ulangan 2

76 P2 ulangan 3 P3 ulangan 3

White Spot Disease (WSD) White Spot Syndrome Virus (WSSV) Menyerang Family Penaeidae

White Spot Disease (WSD) White Spot Syndrome Virus (WSSV) Menyerang Family Penaeidae White Spot Disease (WSD) White Spot Syndrome Virus (WSSV) Menyerang Family Penaeidae Pendahuluan Wabah pertama dilaporkan di Jepang pada budidaya udang Penaeus japonicus (kuruma prawn) tahun 1993 Sebelumnya

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Uji Serum (Rapid Test) Pada Ikan Mas Yang Diberikan Pelet Berimunoglobulin-Y Anti KHV Dengan Dosis rendah Ig-Y 5% (w/w) Ikan Mas yang diberikan pelet berimunoglobulin-y anti

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pada umumnya, masyarakat hanya mengetahui bahwa telur ayam merupakan sumber protein hewani pelengkap gizi pada makanan, dan sebagian menggunakannya sebagai

Lebih terperinci

PENGGUNAAN EKSTRAK Gracilaria verrucosa UNTUK MENINGKATKAN SISTEM KETAHANAN UDANG VANAME Litopenaeus vannamei YUDIANA JASMANINDAR

PENGGUNAAN EKSTRAK Gracilaria verrucosa UNTUK MENINGKATKAN SISTEM KETAHANAN UDANG VANAME Litopenaeus vannamei YUDIANA JASMANINDAR PENGGUNAAN EKSTRAK Gracilaria verrucosa UNTUK MENINGKATKAN SISTEM KETAHANAN UDANG VANAME Litopenaeus vannamei YUDIANA JASMANINDAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

DETEKSI ANTIBODI BAKTERI GRAM NEGATIF (Escherichia coli dan Salmonella sp.) PADA TELUR AYAM KAMPUNG DENGAN Agar Gel Precipitation Test (AGPT)

DETEKSI ANTIBODI BAKTERI GRAM NEGATIF (Escherichia coli dan Salmonella sp.) PADA TELUR AYAM KAMPUNG DENGAN Agar Gel Precipitation Test (AGPT) DETEKSI ANTIBODI BAKTERI GRAM NEGATIF (Escherichia coli dan Salmonella sp.) PADA TELUR AYAM KAMPUNG DENGAN Agar Gel Precipitation Test (AGPT) ADINI ALVINA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB II. BAHAN DAN METODE

BAB II. BAHAN DAN METODE BAB II. BAHAN DAN METODE 2.1 Kultur Bakteri Pembawa Vaksin Bakteri Escherichia coli pembawa vaksin DNA (Nuryati, 2010) dikultur dengan cara menginokulasi satu koloni bakteri media LB tripton dengan penambahan

Lebih terperinci

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING

Deskripsi. IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO PADA ANJING 1 I Gst Ayu Agung Suartini(38) FKH - Universitas Udayana E-mail: gaa.suartini@gmail.com Tlf : 081282797188 Deskripsi IMUNOGLOBULIN YOLK (IgY) ANTI Canine parvovirus MURNI UNTUK TERAPI INFEKSI VIRUS PARVO

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian deskriptif. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode B. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah sampel DNA koleksi hasil

Lebih terperinci

II. METODE PENELITIAN

II. METODE PENELITIAN II. METODE PENELITIAN 2.1 Prosedur Penelitian Penelitian ini terdiri atas beberapa tahapan, dimulai dengan pemeliharaan udang vaname ke stadia uji, persiapan wadah dan media, pembuatan pakan meniran, persiapan

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Re-Karakterisasi Isolat Bakteri Re-karakterisasi bakteri pada biakan agar darah serta hasil uji gula-gula (biokimia) menggunakan Kit Microgen TM GN-ID Identification dapat dilihat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Upaya pencegahan dan pengobatan berbagai jenis penyakit yang ditimbulkan oleh mikroorganisme patogen seperti virus dan bakteri sangat perlu mendapat perhatian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mayarakat secara umum harus lebih memberi perhatian dalam pencegahan dan pengobatan berbagai jenis penyakit yang ditimbulkan oleh mikroorganisme patogen seperti

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian 14 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu, Bagian Mikrobiologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat 12 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Survei penyakit klorosis dan koleksi sampel tanaman tomat sakit dilakukan di sentra produksi tomat di daerah Cianjur, Cipanas, Lembang, dan Garut. Deteksi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Serum dan Kuning Telur Hasil AGPT memperlihatkan pembentukan garis presipitasi yang berwarna putih pada pengujian serum dan kuning telur tiga dari sepuluh ekor ayam yang

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan 7 sampel dari 7 individu udang Jari yang diambil dari Segara Anakan Kabupaten Cilacap Jawa Tengah.

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 11 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada Januari sampai Mei 2011 bertempat di Laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat E. ictaluri Ikan Lele ( Clarias sp.)

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat E. ictaluri Ikan Lele ( Clarias sp.) BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian telah dilaksanakan di Laboratorium Balai Uji Standar Karantina Ikan Departemen Kelautan dan Perikanan di Jakarta dan Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan, mulai Maret 2010 sampai dengan Agustus 2010 di laboratorium Terpadu Bagian Mikrobiologi Medik dan laboratorium Bakteriologi

Lebih terperinci

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI

KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI KAJIAN BRUSELLOSIS PADA SAPI DAN KAMBING POTONG YANG DILALULINTASKAN DI PENYEBERANGAN MERAK BANTEN ARUM KUSNILA DEWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Hewan coba Metode Penelitian 1 Isolasi dan Produksi Antigen E/S Fasciola gigantica BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan September 2009 hingga Februari 2010. Penelitian dilakukan di kandang pemeliharaan hewan coba Fakultas Kedokteran Hewan Institut

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LIMBAH NITROGEN UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) OLEH RUMPUT LAUT (Gracilaria verrucosa) PADA SISTEM BUDIDAYA POLIKULTUR

PEMANFAATAN LIMBAH NITROGEN UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) OLEH RUMPUT LAUT (Gracilaria verrucosa) PADA SISTEM BUDIDAYA POLIKULTUR PEMANFAATAN LIMBAH NITROGEN UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) OLEH RUMPUT LAUT (Gracilaria verrucosa) PADA SISTEM BUDIDAYA POLIKULTUR MUSLIMATUS SAKDIAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN Konsentrasi immunoglobulin Y (IgY) yang diperoleh dalam penelitian ini adalah 9,57 mg/ml dan immunoglobulin G (IgG) adalah 3,75 mg/ml. Pada penelitian ini, antibodi yang dilapiskan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus - Oktober 2013 di Balai Besar

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus - Oktober 2013 di Balai Besar III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus - Oktober 2013 di Balai Besar Pengembangan Budidaya Laut (BBPBL) Lampung tepatnya di Laboratorium Pembenihan Kuda

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental yang bertujuan untuk

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental yang bertujuan untuk 56 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode eksperimental yang bertujuan untuk mengamplifikasi Gen FNBP1L. B. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian

Lebih terperinci

KAJIAN PENGOLAHAN DAN TOKSISITAS KHITOSAN LARUT AIR DENGAN MENGGUNAKAN TIKUS PUTIH ( Rattus norvegicus ) MUNAWWAR KHALIL

KAJIAN PENGOLAHAN DAN TOKSISITAS KHITOSAN LARUT AIR DENGAN MENGGUNAKAN TIKUS PUTIH ( Rattus norvegicus ) MUNAWWAR KHALIL KAJIAN PENGOLAHAN DAN TOKSISITAS KHITOSAN LARUT AIR DENGAN MENGGUNAKAN TIKUS PUTIH ( Rattus norvegicus ) MUNAWWAR KHALIL SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Stasiun Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan

III. METODE PENELITIAN. Stasiun Karantina Ikan Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan 18 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan September November 2011 yang bertempat di Laboratorium Bioteknologi Lantai 3 Program Studi Budidaya Perairan Universitas Lampung,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap BAB III METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini dilakukan lima tahap utama yang meliputi tahap penyiapan templat mtdna, amplifikasi fragmen mtdna pada daerah D-loop mtdna manusia dengan teknik PCR, deteksi

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat

3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Bahan dan Alat 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Autentikasi Bahan Baku Ikan Tuna (Thunnus sp.) dalam Rangka Peningkatan Keamanan Pangan dengan Metode Berbasis DNA dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini terdiri dari dua tahap, tahap pertama dilaksanakan di laboratorium bioteknologi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Unpad, tahap

Lebih terperinci

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI Halaman : 1 dari 5 ISOLASI TOTAL DNA HEWAN DENGAN KIT EKSTRAKSI DNA 1. RUANG LINGKUP Metode ini digunakan untuk mengisolasi DNA dari sampel jaringan hewan, dapat dari insang, otot, darah atau jaringan

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS VAKSIN DNA DALAM MENINGKATKAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN MAS YANG TERINFEKSI KOI HERPESVIRUS (KHV) ISWI HAYATI FITRIA SKRIPSI

EFEKTIVITAS VAKSIN DNA DALAM MENINGKATKAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN MAS YANG TERINFEKSI KOI HERPESVIRUS (KHV) ISWI HAYATI FITRIA SKRIPSI EFEKTIVITAS VAKSIN DNA DALAM MENINGKATKAN KELANGSUNGAN HIDUP IKAN MAS YANG TERINFEKSI KOI HERPESVIRUS (KHV) ISWI HAYATI FITRIA SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI MANAJEMEN PERIKANAN BUDIDAYA FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini

BAB III METODE PENELITIAN. Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini BAB III METODE PENELITIAN Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel; lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh; amplifikasi daerah D-loop

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 7. Bakteri Bacillus Sumber : Dokumentasi Pribadi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 7. Bakteri Bacillus Sumber : Dokumentasi Pribadi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembentukan Organisme Bioflok 4.1.1 Populasi Bakteri Populasi bakteri pada teknologi bioflok penting untuk diamati, karena teknologi bioflok didefinisikan sebagai teknologi

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI

STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI 2 STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KUALITAS PERAIRAN DI LINGKUNGAN TAMBAK UDANG INTENSIF FERIDIAN ELFINURFAJRI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 28 HASIL DAN PEMBAHASAN Ayam yang diimunisasi dengan antigen spesifik akan memproduksi antibodi spesifik terhadap antigen tersebut dalam jumlah banyak dan akan ditransfer ke kuning telur (Putranto 2006).

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1. Deskripsi Pembuatan Larutan Stok dan Buffer

LAMPIRAN. Lampiran 1. Deskripsi Pembuatan Larutan Stok dan Buffer LAMPIRAN Lampiran 1. Deskripsi Pembuatan Larutan Stok dan Buffer 1. Pembuatan Larutan Stok a. CTAB 5 % Larutan dibuat dengan melarutkan : - NaCl : 2.0 gr - CTAB : 5.0 gr - Aquades : 100 ml b. Tris HCl

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4 MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. penelitian ini

Lebih terperinci

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI

FAKULTAS BIOLOGI LABORATORIUM GENETIKA & PEMULIAAN INSTRUKSI KERJA UJI ISOLASI TOTAL DNA TUMBUHAN DENGAN KIT EKSTRAKSI DNA PHYTOPURE Halaman : 1 dari 5 1. RUANG LINGKUP Metode ini digunakan untuk mengisolasi DNA dari sampel jaringan tumbuhan, dapat dari daun, akar, batang,

Lebih terperinci

Induk udang vaname (Litopenaeus vannamei) kelas induk pokok

Induk udang vaname (Litopenaeus vannamei) kelas induk pokok Standar Nasional Indonesia Induk udang vaname (Litopenaeus vannamei) kelas induk pokok ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif...

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIKA STRUKTUR UMUR INFEKSI VIRUS HIV DENGAN KOMBINASI TERAPI OBAT MUHAMMAD BUWING

MODEL MATEMATIKA STRUKTUR UMUR INFEKSI VIRUS HIV DENGAN KOMBINASI TERAPI OBAT MUHAMMAD BUWING MODEL MATEMATIKA STRUKTUR UMUR INFEKSI VIRUS HIV DENGAN KOMBINASI TERAPI OBAT MUHAMMAD BUWING SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental yang bertujuan untuk

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental yang bertujuan untuk 27 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan metode eksperimental yang bertujuan untuk mengamplifikasi Gen STX1A. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. (Cr 3+ ). Faktor suhu menggunakan 2 level suhu media yaitu T i (suhu 20±2

III. METODOLOGI. (Cr 3+ ). Faktor suhu menggunakan 2 level suhu media yaitu T i (suhu 20±2 III. METODOLOGI Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan bulan Mei hingga November 2006 di Laboratorium Kesehatan Ikan Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi dan Laboratorium

Lebih terperinci

INTRODUKSI DAN PERSENTASE IKAN YANG MEMBAWA GEN GH Growth Hormone IKAN NILA Oreochromis niloticus PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp.

INTRODUKSI DAN PERSENTASE IKAN YANG MEMBAWA GEN GH Growth Hormone IKAN NILA Oreochromis niloticus PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp. INTRODUKSI DAN PERSENTASE IKAN YANG MEMBAWA GEN GH Growth Hormone IKAN NILA Oreochromis niloticus PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp. GENERASI F0 BAMBANG KUSMAYADI GUNAWAN SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA GENETIKA

LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA GENETIKA LAPORAN PRAKTIKUM REKAYASA GENETIKA LAPORAN II (ISOLASI DNA GENOM) KHAIRUL ANAM P051090031/BTK BIOTEKNOLOGI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 0 ISOLASI DAN IDENTIFIKASI DNA SEL MUKOSA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Upaya peningkatan sistem kekebalan tubuh terhadap serangan berbagai virus atau antigen spesifik lainnya dewasa ini sangat perlu mendapat perhatian serius.

Lebih terperinci

Gambar 4 Diagram batang titer antibodi terhadap IBD pada hari ke-7 dan 28.

Gambar 4 Diagram batang titer antibodi terhadap IBD pada hari ke-7 dan 28. 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil pengamatan terhadap semua kelompok ayam sebelum vaksinasi menunjukan bahwa ayam yang digunakan memiliki antibodi terhadap IBD cukup tinggi dan seragam dengan titer antara

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN BAB III BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada April 2013 sampai dengan Mei 2013 di laboratorium Nutrisi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi IgY Anti Salmonella Enteritidis pada Telur Ayam Antibodi spesifik terhadap S. Enteritidis pada serum ayam dan telur dideteksi dengan menggunakan uji agar gel presipitasi

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN FEED ADDITIVE RI.1 DAN JENIS PAKAN YANG BERBEDA TERHADAP PENAMPILAN AYAM BROILER SKRIPSI ATA RIFQI

PENGARUH PEMBERIAN FEED ADDITIVE RI.1 DAN JENIS PAKAN YANG BERBEDA TERHADAP PENAMPILAN AYAM BROILER SKRIPSI ATA RIFQI PENGARUH PEMBERIAN FEED ADDITIVE RI.1 DAN JENIS PAKAN YANG BERBEDA TERHADAP PENAMPILAN AYAM BROILER SKRIPSI ATA RIFQI PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

KERAGAMAN DAN KEBERADAAN PENYAKIT BAKTERIAL DAN PARASITIK BENIH KERAPU MACAN

KERAGAMAN DAN KEBERADAAN PENYAKIT BAKTERIAL DAN PARASITIK BENIH KERAPU MACAN KERAGAMAN DAN KEBERADAAN PENYAKIT BAKTERIAL DAN PARASITIK BENIH KERAPU MACAN Epinephelus fuscoguttatus DI KARAMBA JARING APUNG BALAI SEA FARMING KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA AGNIS MURTI RAHAYU DEPARTEMEN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian tentang Pengaruh Suhu Annealing pada Program PCR terhadap Keberhasilan Amplifikasi DNA Udang Jari (Metapenaeus elegans) Laguna Segara Anakan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium BIORIN (Biotechnology Research Indonesian - The Netherlands) Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB. Penelitian

Lebih terperinci

4.1. Alat dan Bahan Penelitian a. Alat Penelitian. No. URAIAN ALAT. A. Pengambilan sampel

4.1. Alat dan Bahan Penelitian a. Alat Penelitian. No. URAIAN ALAT. A. Pengambilan sampel 7 IV. METODE PENELITIAN Ikan Lais diperoleh dari hasil penangkapan ikan oleh nelayan dari sungaisungai di Propinsi Riau yaitu S. Kampar dan S. Indragiri. Identifikasi jenis sampel dilakukan dengan menggunakan

Lebih terperinci

GAMBARAN TITER ANTIBODI ANTI H5 PADA SERUM DAN KUNING TELUR AYAM SINGLE COMB BROWN LEGHORN YANG DIVAKSINASI DENGAN VAKSIN INAKTIF H5N2 WA ODE YUSRAN

GAMBARAN TITER ANTIBODI ANTI H5 PADA SERUM DAN KUNING TELUR AYAM SINGLE COMB BROWN LEGHORN YANG DIVAKSINASI DENGAN VAKSIN INAKTIF H5N2 WA ODE YUSRAN GAMBARAN TITER ANTIBODI ANTI H5 PADA SERUM DAN KUNING TELUR AYAM SINGLE COMB BROWN LEGHORN YANG DIVAKSINASI DENGAN VAKSIN INAKTIF H5N2 WA ODE YUSRAN FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan

Prosiding Seminar Nasional Tahunan Ke-V Hasil-Hasil Penelitian Perikanan dan Kelautan Aplikasi Ekstrak Allisin Untuk Pengendalian Penyakit Kotoran Putih Pada Udang Vanamei (Litopenaus vanamei) di Balai Besar Perikanan Budidaya Air Payau Jepara Oleh Kaemudin*, Antik Erlina, Arif Taslihan

Lebih terperinci

Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya

Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya Deteksi Antibodi Terhadap Virus Avian Influenza pada Ayam Buras di Peternakan Rakyat Kota Palangka Raya Detection of Antibody Against Avian Influenza Virus on Native Chickens in Local Farmer of Palangka

Lebih terperinci

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO

DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO DISTRIBUSI DAN PREFERENSI HABITAT SPONS KELAS DEMOSPONGIAE DI KEPULAUAN SERIBU PROVINSI DKI JAKARTA KARJO KARDONO HANDOJO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PENGGUNAAN PROTEIN NABATI DENGAN DAN TANPA PENAMBAHAN ENZIM FITASE SEBAGAI BAHAN BAKU PAKAN IKAN LELE DUMBO (Clarias sp) ASLINDA NUR MAZIDA

PENGGUNAAN PROTEIN NABATI DENGAN DAN TANPA PENAMBAHAN ENZIM FITASE SEBAGAI BAHAN BAKU PAKAN IKAN LELE DUMBO (Clarias sp) ASLINDA NUR MAZIDA PENGGUNAAN PROTEIN NABATI DENGAN DAN TANPA PENAMBAHAN ENZIM FITASE SEBAGAI BAHAN BAKU PAKAN IKAN LELE DUMBO (Clarias sp) ASLINDA NUR MAZIDA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.) DALAM RANSUM TERHADAP KUALITAS TELUR ITIK LOKAL SKRIPSI LILI SURYANINGSIH

PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.) DALAM RANSUM TERHADAP KUALITAS TELUR ITIK LOKAL SKRIPSI LILI SURYANINGSIH PENGARUH PEMBERIAN TEPUNG DAUN KATUK (Sauropus androgynus (L.) Merr.) DALAM RANSUM TERHADAP KUALITAS TELUR ITIK LOKAL SKRIPSI LILI SURYANINGSIH PROGRAM STUDI ILMU NUTRISI DAN MAKANAN TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Mei - Juni 2014 di Laboratorium Basah Jurusan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada Mei - Juni 2014 di Laboratorium Basah Jurusan III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada Mei - Juni 2014 di Laboratorium Basah Jurusan Budidaya Perairan Fakultas Pertanian Universitas Lampung. 3.2 Alat dan Bahan Alat

Lebih terperinci

PRAKTIKUM ISOLASI DNA DAN TEKNIK PCR

PRAKTIKUM ISOLASI DNA DAN TEKNIK PCR PRAKTIKUM ISOLASI DNA DAN TEKNIK PCR Tujuan: i) Mengerti metode umum mengisolasi DNA ii) Mengisolasi DNA dari buah dan sel-sel epithelial mulut iii) Mengerti dan mempraktek teknik PCR dengan sempel DNA

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli hingga bulan September 2004 di

IV. METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli hingga bulan September 2004 di IV. METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli hingga bulan September 2004 di Laboratorium Parasit dan Penyakit Ikan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas

Lebih terperinci

PENGARUH TIGA CARA PENGOLAHAN TANAH TAMBAK TERHADAP PERTUMBUHAN UDANG VANAME Litopenaeus vannamei REZQI VELYAN SURYA KUSUMA

PENGARUH TIGA CARA PENGOLAHAN TANAH TAMBAK TERHADAP PERTUMBUHAN UDANG VANAME Litopenaeus vannamei REZQI VELYAN SURYA KUSUMA PENGARUH TIGA CARA PENGOLAHAN TANAH TAMBAK TERHADAP PERTUMBUHAN UDANG VANAME Litopenaeus vannamei REZQI VELYAN SURYA KUSUMA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian murni yang dilakukan dengan metode deskriptif, yaitu suatu metode penelitian untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN Bagan Alir Penelitian ini secara umum dapat digambarkan pada skema berikut:

BAB III METODE PENELITIAN Bagan Alir Penelitian ini secara umum dapat digambarkan pada skema berikut: BAB III METODE PENELITIAN Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah: pengumpulan sampel, lisis terhadap sampel mtdna yang telah diperoleh, amplifikasi daerah HVI mtdna sampel dengan menggunakan

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE

II. BAHAN DAN METODE II. BAHAN DAN METODE 2.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Agustus sampai September tahun 2011. Sampel ikan berasal dari 3 lokasi yaitu Jawa (Jawa Barat), Sumatera (Jambi),

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR SELEKSI DAN PENGUJIAN BAKTERI ASAM LAKTAT KANDIDAT PROBIOTIK HASIL ISOLAT LOKAL SERTA KEMAMPUANNYA DALAM MENGHAMBAT SEKRESI INTERLEUKIN-8 DARI ALUR SEL HCT 116 EKO FARIDA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Akuakultur Gedung IV Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran pada bulan April hingga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAFTAR ISI RIWAYAT HIDUP... i ABSTRAK... ii ABSTRACT... iii UCAPAN TERIMA KASIH... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... ix BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumusan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada penelitian ini terdapat lima tahapan penelitian yang dilakukan yaitu

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Pada penelitian ini terdapat lima tahapan penelitian yang dilakukan yaitu BAB III METODOLOGI PENELITIAN Pada penelitian ini terdapat lima tahapan penelitian yang dilakukan yaitu pengumpulan sampel berupa akar rambut, ekstraksi mtdna melalui proses lisis akar rambut, amplifikasi

Lebih terperinci

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 8 BAB III. BAHAN DAN METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan mulai Juli sampai dengan Agustus 2010. Pemeliharaan ayam broiler dimulai dari Day Old Chick (DOC)

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 1 23 Agustus 2013, bertempat di Laboratorium Bioteknologi Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

PENGKAJIAN BAHAN PELAPIS, KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN UNTUK MEMPERPANJANG MASA SIMPAN BUAH MANGGIS KEMALA SYAMNIS AZHAR

PENGKAJIAN BAHAN PELAPIS, KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN UNTUK MEMPERPANJANG MASA SIMPAN BUAH MANGGIS KEMALA SYAMNIS AZHAR PENGKAJIAN BAHAN PELAPIS, KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN UNTUK MEMPERPANJANG MASA SIMPAN BUAH MANGGIS KEMALA SYAMNIS AZHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya

Lebih terperinci

KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS

KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS ENDANG MINDARWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2 0 0 6 Judul Tesis Nama NIM : Kajian

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil 3.1.1 Sintasan Sintasan pada penelitian ini dibagi dalam dua tahap, yakni setelah 30 hari perlakuan sinbiotik dan setelah uji tantang dengan IMNV selama 12 hari. Nilai

Lebih terperinci

Benih udang vaname (Litopenaeus vannamei) kelas benih sebar

Benih udang vaname (Litopenaeus vannamei) kelas benih sebar Standar Nasional Indonesia Benih udang vaname (Litopenaeus vannamei) kelas benih sebar ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan normatif...

Lebih terperinci

LAMPIRAN. Lampiran 1. Pembuatan Larutan Stok dan Buffer

LAMPIRAN. Lampiran 1. Pembuatan Larutan Stok dan Buffer LAMPIRAN Lampiran 1. Pembuatan Larutan Stok dan Buffer A. LARUTAN STOK CTAB 5 % (100 ml) - Ditimbang NaCl sebanyak 2.0 gram - Ditimbang CTAB sebanyak 5.0 gram. - Dimasukkan bahan kimia ke dalam erlenmeyer

Lebih terperinci

PENGARUH TEPUNG IKAN LOKAL DALAM PAKAN INDUK TERHADAP PEMATANGAN GONAD DAN KUALITAS TELUR IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus Blkr.

PENGARUH TEPUNG IKAN LOKAL DALAM PAKAN INDUK TERHADAP PEMATANGAN GONAD DAN KUALITAS TELUR IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus Blkr. PENGARUH TEPUNG IKAN LOKAL DALAM PAKAN INDUK TERHADAP PEMATANGAN GONAD DAN KUALITAS TELUR IKAN BAUNG (Hemibagrus nemurus Blkr.) Ediwarman SEKOLAH PASACASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 16 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pada saat diisolasi dari ikan, sel trophont menunjukan pergerakan yang aktif selama 4 jam pengamatan. Selanjutnya sel parasit pada suhu kontrol menempel pada dasar petri dan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN CHECKLIST UNTUK AUDIT BIOSEKURITI, HIGIENE, DAN SANITASI DISTRIBUTOR TELUR AYAM BAWANTA WIDYA SUTA

PENGEMBANGAN CHECKLIST UNTUK AUDIT BIOSEKURITI, HIGIENE, DAN SANITASI DISTRIBUTOR TELUR AYAM BAWANTA WIDYA SUTA PENGEMBANGAN CHECKLIST UNTUK AUDIT BIOSEKURITI, HIGIENE, DAN SANITASI DISTRIBUTOR TELUR AYAM BAWANTA WIDYA SUTA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 ABSTRAK BAWANTA WIDYA SUTA. 2007.

Lebih terperinci

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. Pengambilan sampel. Penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN. Pengambilan sampel. Penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel 16 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN Bab ini menggambarkan tahapan penelitian yang terdiri dari pengambilan sampel, penyiapan templat mtdna dengan metode lisis sel, amplifikasi D-loop mtdna dengan teknik

Lebih terperinci

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2014 sampai dengan Januari

BAB III MATERI DAN METODE. Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2014 sampai dengan Januari 32 BAB III MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan pada bulan Oktober 2014 sampai dengan Januari 2015 di Laboratorium Teknologi Pakan dan Laboratorium Ilmu Nutrisi dan Pakan Universitas Diponegoro, Semarang.

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 19 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Juni 2010 di Laboratorium Mikrobiologi, Biokimia dan Bioteknologi Hasil Perairan Departemen Teknologi Hasil

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN BAKTERI PROBIOTIK

PENGARUH PEMBERIAN BAKTERI PROBIOTIK PENGARUH PEMBERIAN BAKTERI PROBIOTIK Vibrio SKT-b MELALUI Artemia DENGAN DOSIS YANG BERBEDA TERHADAP PERTUMBUHAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP PASCA LARVA UDANG WINDU Penaeus monodon ASRI SUTANTI SKRIPSI PROGRAM

Lebih terperinci

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria Ria Maria (G34090088), Achmad Farajallah, Maria Ulfah. 2012. Karakterisasi Single Nucleotide Polymorphism Gen CAST pada Ras Ayam Lokal. Makalah Kolokium

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN A2B2 (37;11) A2B1 (37;9) A1B2 (33;11) Tepung ikan

3 METODE PENELITIAN A2B2 (37;11) A2B1 (37;9) A1B2 (33;11) Tepung ikan 17 3 METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Stasiun Lapang Pusat Studi Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (PSIK IPB) Ancol Jakarta Utara pada bulan Juli Oktober

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat 21 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan selama 6 bulan, mulai Maret sampai dengan Agustus 2010 di laboratorium Mikrobiologi Medis, laboratorium Terpadu unit pelayanan mikrobiologi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Oktober 2011, di

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Oktober 2011, di III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai Oktober 2011, di Laboratorium Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. B. Alat

Lebih terperinci

RINGKASAN. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Muhammad Ridla, M.Agr.

RINGKASAN. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Nahrowi, M.Sc. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Muhammad Ridla, M.Agr. RINGKASAN Nur Aini. D24103025. Kajian Awal Kebutuhan Nutrisi Drosophila melanogaster. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama

Lebih terperinci

Tabel 3 Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki (Carassius auratus) di Bogor

Tabel 3 Tingkat prevalensi kecacingan pada ikan maskoki (Carassius auratus) di Bogor HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Pemeliharaan Ikan Maskoki (Carassius auratus) Pengambilan sampel ikan maskoki dilakukan di tiga tempat berbeda di daerah bogor, yaitu Pasar Anyar Bogor Tengah, Batu Tulis Bogor

Lebih terperinci

Induk udang rostris (Litopenaeus stylirostris) kelas induk pokok

Induk udang rostris (Litopenaeus stylirostris) kelas induk pokok Standar Nasional Indonesia Induk udang rostris (Litopenaeus stylirostris) kelas induk pokok ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan

Lebih terperinci

II. BAHAN DAN METODE 2. 1 Rancangan penelitian 2.2 Persiapan wadah 2.3 Penyediaan larva ikan patin

II. BAHAN DAN METODE 2. 1 Rancangan penelitian 2.2 Persiapan wadah 2.3 Penyediaan larva ikan patin II. BAHAN DAN METODE 2. 1 Rancangan penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan dan 5 kali ulangan. Rancangan perlakuan yang diberikan pada larva ikan

Lebih terperinci

Pembuatan Media Kultur Bakteri Pemanenan sel bakteri. Isolasi DNA kromosom bakteri. Kloning DNA

Pembuatan Media Kultur Bakteri Pemanenan sel bakteri. Isolasi DNA kromosom bakteri. Kloning DNA LAMPIRAN 15 15 Lampiran 1 Tahapan penelitian Pembuatan Media Kultur Bakteri Pemanenan sel bakteri Isolasi DNA kromosom bakteri Pemotongan DNA dengan enzim restriksi Kloning DNA Isolasi DNA plasmid hasil

Lebih terperinci

PENGUJIAN EFEKTIVITAS DOSIS VAKSIN DNA DAN KORELASINYA TERHADAP PARAMETER HEMATOLOGI SECARA KUANTITATIF NUR AKBAR MASWAN SKRIPSI

PENGUJIAN EFEKTIVITAS DOSIS VAKSIN DNA DAN KORELASINYA TERHADAP PARAMETER HEMATOLOGI SECARA KUANTITATIF NUR AKBAR MASWAN SKRIPSI PENGUJIAN EFEKTIVITAS DOSIS VAKSIN DNA DAN KORELASINYA TERHADAP PARAMETER HEMATOLOGI SECARA KUANTITATIF NUR AKBAR MASWAN SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN AKUAKULTUR FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Komoditas udang Vannamei ( Litopenaeus vannamei) merupakan udang asli

II. TINJAUAN PUSTAKA. Komoditas udang Vannamei ( Litopenaeus vannamei) merupakan udang asli II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) Komoditas udang Vannamei ( Litopenaeus vannamei) merupakan udang asli perairan Amerika Latin. Udang ini dibudidayakan mulai dari pantai barat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Keberadaan antibodi sebagai respon terhadap vaksinasi dapat dideteksi melalui pengujian dengan teknik ELISA. Metode ELISA yang digunakan adalah metode tidak langsung. ELISA

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif yang mengangkat fenomena alam sebagai salah satu masalah dalam penelitian, sehingga dapat menerangkan arti

Lebih terperinci