DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT DI DESA SINGOSARI, KECAMATAN MOJOSONGO, KABUPATEN BOYOLALI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT DI DESA SINGOSARI, KECAMATAN MOJOSONGO, KABUPATEN BOYOLALI"

Transkripsi

1 DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT DI DESA SINGOSARI, KECAMATAN MOJOSONGO, KABUPATEN BOYOLALI DEWI ASIH SESAMI DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

2

3 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Peternakan Sapi Perah Rakyat di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2013 Dewi Asih Sesami NIM H

4 ABSTRAK DEWI ASIH SESAMI. Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Peternakan Sapi Perah Rakyat di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali. Dibimbing oleh HARMINI. Permintaan susu terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Akan tetapi produksi domestik baru mampu memenuhi 20 hingga 25 persen kebutuhan nasional. Produktivitas yang rendah, skala usaha yang belum efisien, dan kebijakan pemerintah yang disortif mempengaruhi peternakan sapi perah rakyat di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis daya saing dan efisiensi peternakan sapi perah rakyat di Desa Singosari, (2) menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing dan efisiensi peternakan sapi perah rakyat, (3) melakukan analisis sensitivitas berupa perubahan harga output terhadap daya saing dan efisiensi peternakan sapi perah rakyat. Metode analisis yang digunakan adalah Matriks Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix/PAM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa peternakan sapi perah rakyat skala menengah dan besar memiliki daya saing dan efisien. Kebijakan yang telah dan sedang diterapkan oleh pemerintah dinilai belum optimal memberikan insentif dan peningkatan daya saing usaha ternak sapi perah. Peningkatan tarif impor sebesar 8 dan 11 persen dinilai mampu meningkatkan daya saing dan efisiensi peternakan sapi perah rakyat. Kata kunci: Daya saing, peternakan sapi perah rakyat, Policy Analysis Matrix (PAM) ABSTRACT DEWI ASIH SESAMI. Analysis of Competitiveness and The Impact of Government s Policy on Dairy Farm in Singosari Village, Sub-district Mojosongo, District Boyolali. Supervised by HARMINI. The demand for milk increased every year. However, domestic productivities are still only able to meet 20 until 25 percent of the national milk requirement. Low productivity, inefficient business scale, and distorting government policies, influence the national dairy farm. The aims of study was (1) to measure competitiveness and efficiency of scale dairy farm, (2) to measure the impact of government policies, (3) to analyze the sensitivity of the output prices change on the competitiveness and efficiency of scale dairy farm. The analytical method used is the Policy Analysis Matrix (PAM). The results showed that the dairy farm of medium and large-scale have competitiveness and efficient. Policy implications that have been and are being implemented by the government is considered not optimal to provide incentives and increasing the competitiveness of the dairy. As well as setting tariff duties (impor) 8 and 11 percent is considered capable of improving the competitiveness of the dairy. Keywords: Competitiveness, dairy farm, Policy Analysis Matrix (PAM)

5 DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP PETERNAKAN SAPI PERAH RAKYAT DI DESA SINGOSARI, KECAMATAN MOJOSONGO, KABUPATEN BOYOLALI DEWI ASIH SESAMI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

6

7 Judul Skripsi : Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Peternakan Sapi Perah Rakyat di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Nama : Dewi Asih Sesami NIM : H Disetujui oleh Ir Harmini, MSi Pembimbing Diketahui oleh Dr Ir Nunung Kusnadi, MS Ketua Departemen Tanggal Lulus:

8 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas limpahan nikmat dan karunia-nya karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari hingga Maret 2013 berjudul Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Peternakan Sapi Perah Rakyat di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Ir. Harmini, M.Si selaku pembimbing serta Bapak Feryanto William Karo-karo, S.P, M.Si yang telah banyak memberikan saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Karmidi selaku Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Boyolali, Bapak Sarwono dan Mas Muhtar, serta para warga di Desa Singosari yang telah banyak membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu, Citrawati, Mas Puput Waluyo, Wahyu Parbowo, Catur Ariani, Sorendo Pratama, Ajeng Edita Subandi, Kak Joko Novianto serta seluruh keluarga atas segala bantuan, doa, dan semangat yang telah diberikan. Tak lupa pula untuk teman-teman seperjuangan dan sebimbingan Wiggo Windi Riswandy, Eva Farichatul Aeni, dan Winni Sutriani Gulo atas semangat, motivasi, doa, dan perjuangan yang luar biasa. Sahabat-sahabat yang selalu memberi semangat dan motivasi Bunga Syara Ila Firdha, Kartika Putri, serta teman-teman Jaika 3. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2013 Dewi Asih Sesami

9 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 4 Tujuan Penelitian 7 Manfaat Penelitian 8 Ruang Lingkup Penelitian 8 TINJAUAN PUSTAKA 8 Agribisnis Sapi Perah 8 Penelitian Terdahulu 11 KERANGKA PEMIKIRAN 13 Kerangka Pemikiran Teoritis 13 Kerangka Pemikiran Operasional 24 METODE PENELITIAN 26 Lokasi dan Waktu Penelitian 27 Jenis, Sumber Data, dan Metode Pengambilan Data 27 Metode Penentuan Sampel 27 Metode Analisis Data 28 GAMBARAN UMUM 35 Gambaran Umum Wilayah 35 Gambaran Umum Responden 37 HASIL DAN PEMBAHASAN 45 Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah 55 Analisis Sensitivitas 66 SIMPULAN DAN SARAN 68 Simpulan 68 Saran 68 DAFTAR PUSTAKA 69 LAMPIRAN 74

10 DAFTAR TABEL 1. Populasi sapi perah dan produksi susu segar di Indonesia Tahun Konsumsi susu nasional per kapita per tahun Produksi susu segar per provinsi Tahun Produksi susu menurut kabupaten/kota di Jawa Tengah Tahun PDRB subsektor pertanian atas dasar harga berlaku di Kabupaten Boyolali 4 6. Klasifikasi Kebijakan Pemerintah terhadap Harga Komoditas Matriks Analisis Kebijakan Sebaran jumlah penduduk menurut mata pencaharian di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun Sebaran jumlah populasi ternak menurut jenis ternak di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun Sebaran responden menurut status usahaternak sapi perah responden di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun Sebaran responden menurut usia di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun Sebaran responden menurut tingkat pendidikan di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun Sebaran responden menurut pengalaman beternak sapi perah di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun Sebaran jumlah populasi ternak sapi perah pada tiap skala usaha di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun Sebaran responden menurut jumlah kepemilikan sapi laktasi di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun Struktur biaya produksi susu per liter Tahun Curahan tenaga kerja pada peternakan sapi perah rakyat skala kecil di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun Harga privat pakan pada peternakan skala kecil di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun Harga susu segar pada tiap lembaga pemasaran di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun Curahan tenaga kerja pada peternakan sapi perah rakyat skala menengah di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun Harga privat pakan pada peternakan skala menengah di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun Curahan tenaga kerja pada peternakan sapi perah rakyat skala besar di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun Harga privat pakan pada peternakan skala besar di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun

11 24. Matriks PAM pada peternakan sapi perah rakyat di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun Indikator-indikator matriks PAM di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun DAFTAR GAMBAR 1. Subsidi dan Pajak pada Input Tradable Pajak dan subsidi pada input non tradable Kerangka pemikiran operasional daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap peternakan sapi perah rakyat di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Rantai pemasaran komoditas susu di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun Rantai pemasaran susu segar pada peternakan rakyat skala kecil di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun Rantai pemasaran susu segar pada peternakan rakyat skala menengah di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun Rantai pemasaran susu segar pada peternakan rakyat skala besar di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun DAFTAR LAMPIRAN 1. Alokasi Input-Output Tahun Biaya produksi peternakan sapi perah rakyat skala kecil (1-3 ekor sapi laktasi) di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun Biaya produksi peternakan sapi perah rakyat skala menengah (4-7 ekor sapi laktasi) di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun Biaya produksi peternakan sapi perah rakyat skala besar (lebih dari 7 ekor sapi laktasi) di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun Nilai tukar rupiah 21 Februari-6 Maret Tahun Penentuan harga bayangan nilai tukar Harga Full Cream Milk Powder bulan Februari-Maret Perhitungan harga bayangan susu Matriks PAM pada peternakan sapi perah rakyat di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun Matriks PAM di Desa Singosari saat terjadi kenaikan tarif impor dari 5 persen menjadi 8 persen 78

12 11. Matriks PAM di Desa Singosari saat terjadi kenaikan tarif impor dari 5 persen menjadi 11 persen Dokumentasi kegiatan penelitian di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun

13

14

15 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Menurut PP No. 16 Tahun 2013, usaha peternakan adalah kegiatan usaha budidaya ternak untuk menghasilkan bahan pangan, bahan baku industri, dan kepentingan masyarakat lainnya. Hasil dari usaha peternakan adalah daging, susu, dan telur yang merupakan bahan pangan penyedia protein yang aman, sehat, utuh, dan halal (ASUH). Produk susu hampir seluruhnya berasal dari sapi perah. Hanya sedikit kontribusi susu yang berasal dari kambing dan kerbau. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Peternakan (2011a), populasi sapi perah di Indonesia selama 4 tahun terakhir terus mengalami peningkatan. Tahun 2007 populasi sapi perah di Indonesia berjumlah 374 ribu ekor dan meningkat menjadi 597 ribu ekor pada tahun 2011 atau mengalami peningkatan sebesar 59.6 persen selama kurun waktu 4 tahun. Seperti halnya dengan populasi sapi perah, jumlah produksi susu nasional dari tahun 2007 sampai 2011 juga mengalami peningkatan sebesar 63 persen (Tabel 1). Tabel 1 Populasi sapi perah dan produksi susu segar di Indonesia Tahun a Tahun Populasi Produksi susu segar (000 ekor) (000 ton) a Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan (2011a) Peningkatan produksi susu juga diikuti dengan peningkatan konsumsi susu oleh masyarakat Indonesia seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan tingkat kesadaran kebutuhan gizi masyarakat yang didukung oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Hal ini dapat ditunjukkan dengan meningkatnya konsumsi susu segar, susu cair pabrik, susu bubuk bayi, dan keju di Indonesia setiap tahun (Tabel 2).

16 2 Tabel 2 Konsumsi susu nasional per kapita per tahun a Tahun Rata-rata Komoditi Satuan Konsumsi per Tahun Susu segar liter/kapita/tahun Susu cair pabrik 250ml/kapita/tahun Susu kental manis 397 gr/kapita/tahun Susu bubuk kg/kapita/tahun Susu bubuk bayi 400 gr/kapita/tahun Keju kg/kapita/tahun Hasil lain dari susu kg/kapita/tahun a Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan (2012) Meskipun konsumsi susu mengalami peningkatan setiap tahunnya, akan tetapi tingkat konsumsi susu masyarakat Indonesia dinilai masih rendah apabila dibandingkan dengan konsumsi susu di Malaysia dan Filipina yang mencapai 22.1 liter per kapita per tahun, Thailand 33.7 liter per kapita per tahun, dan India mencapai liter per kapita per tahun. Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Peternakan (2011b), total ketersediaan susu pada tahun 2010 sebesar ribu ton dimana kontribusi susu domestik sebesar 25 persen atau ribu ton dan susu impor sebesar 75 persen atau ribu ton. Pada tahun 2012, produksi susu dalam negeri semakin mengalami penurunan hanya mampu memenuhi 20 persen stok susu atau sekitar 700 ribu ton dari kebutuhan sehingga 80 persen pemenuhan kebutuhan susu berasal dari susu impor. Oleh karena itu, meskipun produksi susu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun akan tetapi belum mampu mengimbangi pertumbuhan permintaan susu di dalam negeri sehingga terjadi kesenjangan yang cukup besar antara produksi dan konsumsi susu di Indonesia. Permintaan susu jauh lebih besar dibandingkan produksi susu segar di dalam negeri sehingga pemerintah perlu melakukan impor susu. Namun, tingginya volume impor susu diduga menunjukkan daya saing susu segar dalam negeri yang rendah. Menurut Apriyantono dalam Daryanto (2007), daya saing merupakan salah satu elemen penting dalam strategi pembangunan nasional. Peningkatan daya saing produksi dalam negeri dapat ditempuh melalui penguatan kelembagaan petani dan pelaku usaha pertanian untuk mampu mengakses teknologi budidaya, teknologi pengolahan hasil, sumber keuangan dan pemasaran serta teknologi informasi. Pada subsektor peternakan khususnya, daya saing industri peternakan ditentukan pada ketersediaan pakan, disamping faktor bibit, manajemen dan kesehatan hewan, serta inovasi teknologi dan faktor-faktor eksternal lainnya. Disisi lain, menurut Daryanto (2009a), esensi daya saing dari suatu industri, perusahaan, atau komoditas adalah efisiensi dan produktivitas. Salah satu produsen komoditas susu di Indonesia adalah Jawa Tengah. Menurut Direktorat Jenderal Peternakan (2011c), Jawa Tengah menempati posisi ketiga sebagai penghasil susu segar setelah Jawa Timur dan Jawa Barat. Selama kurun waktu 4 tahun, dari tahun 2007 sampai 2011 produksi susu di Jawa Tengah mengalami peningkatan sebesar 42.5 persen (Tabel 3).

17 3 Tabel 3 Produksi susu segar per provinsi Tahun a Produksi susu (ton) Provinsi Rata-rata produksi susu segar per tahun Jawa Timur Jawa Barat Jawa Tengah DKI Jakarta DIY Yogyakarta a Sumber : Direktorat Jenderal Peternakan (2011c) Tingginya produksi susu di Jawa Tengah karena terdapat sejumlah kawasan usaha ternak sapi perah yang didukung oleh potensi geografis. Kawasan usaha ternak sapi perah di Jawa Tengah pada umumnya ada di sekitar kota yang mempunyai jaringan transportasi yang memadahi. Usaha ternak sapi perah tersebut didominasi oleh peternakan sapi perah rakyat dengan pemilikan sapi 2 sampai 5 ekor per rumah tangga petani. Pusat usaha ternak sapi perah di Jawa Tengah meliputi Kabupaten Boyolali, Kabupaten Semarang, Kota Salatiga, Kabupaten Klaten, dan Kota Semarang. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah (2012), kontribusi susu paling besar di Jawa Tengah dihasilkan oleh usaha ternak sapi perah dari Kabupaten Boyolali dengan rata-rata produksi per tahun sebesar liter (Tabel 4). Tabel 4 Produksi susu menurut kabupaten/kota di Jawa Tengah Tahun a Produksi susu (liter) Kabupaten/Kota Rata-rata produksi susu segar per tahun Kab. Boyolali Kab. Semarang Kota Salatiga Kab. Klaten Kota Semarang a Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah (2012) Kabupaten Boyolali ditopang oleh 5 subsektor pertanian antara lain subsektor tanaman bahan makanan, subsektor perkebunan rakyat, subsektor perikanan, subsektor kehutanan, dan subsektor peternakan. Kelima subsektor pertanian tersebut memberikan kontribusi yang besarnya bervariasi terhadap PDRB Kabupaten Boyolali (Tabel 5).

18 4 Tabel 5 PDRB subsektor pertanian atas dasar harga berlaku di Kabupaten Boyolali Tahun a Lapangan usaha PDRB (Juta rupiah) Bahan Makanan Perkebunan Rakyat Peternakan Kehutanan Perikanan a Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Boyolali (2011) Subsektor peternakan merupakan penyumbang PDRB kedua setelah subsektor tanaman bahan makanan. Setiap tahunnya subsektor peternakan mampu menyumbang PDRB sebesar juta rupiah sehingga peranan subsektor peternakan di Kabupaten Boyolali layak untuk diperhatikan karena dapat berperan dan berpotensi sebagai penggerak perekonomian daerah. Produk utama dari subsektor peternakan meliputi daging, telur, dan susu. Produk susu segar dari Kabupaten Boyolali dihasilkan oleh 6 kecamatan penghasil susu antara lain Kecamatan Mojosongo, Kecamatan Musuk, Kecamatan Ampel, Kecamatan Selo, Kecamatan Boyolali, dan Kecamatan Cepogo. Kecamatan Mojosongo merupakan sentra utama usaha ternak sapi perah dengan produksi susu dan populasi sapi perah terbanyak. Perumusan Masalah Adanya globalisasi, perdagangan bebas, dan otonomi daerah membawa sebuah konsekuensi bahwa tingkat persaingan semakin tajam, baik di tingkat regional, nasional, dan internasional. Setiap daerah dituntut untuk lebih meningkatkan potensi-potensi yang dimiliki dalam rangka peningkatan perekonomian dan daya saing daerah tersebut. Salah satu daerah yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi kawasan usaha ternak sapi perah adalah Kabupaten Boyolali. Potensi geografis yang dimiliki oleh Kabupaten Boyolali mendorong berkembangnya subsektor peternakan di daerah ini. Salah satu komoditas peternakan yang potensial untuk dikembangkan di Kabupaten Boyolali adalah sapi perah yang berperan dalam pemenuhan kebutuhan gizi masyarakat, khususnya protein hewani yang berasal dari susu sapi. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Jawa Tengah (2012), Kabupaten Boyolali merupakan produsen susu segar terbesar di Jawa Tengah dengan rata-rata produksi per tahun dari 2009 hingga 2011 sebesar sebesar liter. Usaha ternak sapi perah di Boyolali dimulai pada akhir tahun 1970 dan mencapai kejayaan pada tahun 1980 sehingga Boyolali memperoleh predikat sebagai Kota Susu. Kecamatan Mojosongo merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Boyolali yang memiliki peternakan sapi perah rakyat dengan produksi susu yang cukup tinggi. Produksi susu paling banyak dihasilkan dari Desa Singosari. Namun,

19 5 usaha ternak sapi perah di Desa Singosari masih tergolong tradisional karena memiliki keterbatasan pengetahuan dan akses terhadap industri dan teknologi. Teknologi yang digunakan oleh peternak merupakan teknologi yang diwariskan secara verbal dan demonstrasi dari satu generasi ke generasi berdasarkan observasi dan pengalaman selama bertahun-tahun. Selain itu, usaha ternak yang terdapat di Desa Singosari memiliki sapi perah laktasi (dewasa) kurang dari 10 ekor atau jumlah keseluruhan kurang dari 20 ekor sapi perah campuran. Keadaan demikian menunjukkan bahwa usaha ternak sapi perah di Desa Singosari belum merupakan usaha komersial. Secara nasional, lebih dari 90 persen populasi sapi perah berada di Pulau Jawa dan mengalami peningkatan sebesar 6.7 persen selama periode 2002 hingga 2006 (Direktorat Jenderal Peternakan 2006). Akan tetapi, usaha ternak sapi perah tersebut masih merupakan peternakan sapi perah rakyat yang didominasi oleh peternakan skala kecil dengan kepemilikan ternak kurang dari 4 ekor (80 persen), 4 sampai 7 ekor (17 persen), dan lebih dari 7 ekor (3 persen) (Erwidodo 1998; Swastika 2005). Skala usaha ternak yang kecil jelas kurang ekonomis sehingga menyebabkan ketidakmampuan untuk bersaing dengan produk impor dan keuntungan yang didapatkan peternak dari hasil penjualan susu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini juga menyebabkan ketidakmampuan peternak dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan susu nasional sehingga berdampak pada ketergantungan IPS terhadap bahan baku susu impor dan tingginya volume impor susu di Indonesia. Tingginya volume impor susu mengakibatkan negara mengalami kerugian seperti berkurangnya devisa nasional, hilangnya kesempatan terbaik (opportunity loss) karena potensi sumberdaya yang tidak dimanfaatkan untuk pengembangan agribisnis sapi perah, dan hilangnya potensi revenue yang seharusnya diperoleh pemerintah dari pajak apabila agribisnis sapi perah dikembangkan dengan baik. Disisi lain, menurut Daryanto (2007) umumnya suatu negara dikatakan memerlukan produk impor apabila negara tersebut tidak mampu menghasilkan produk dengan jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan negara serta untuk memberi tambahan tekanan persaingan kepada produsen lokal agar berproduksi efisien dan memiliki daya saing. Akan tetapi, pada komoditas susu tingginya volume impor justru menyebabkan ketergantungan yang semakin mendalam. Hal ini menunjukkan bahwa daya saing usaha ternak sapi perah masih rendah terutama pada hasil akhir atau output yaitu susu. Rendahnya daya saing komoditas susu di Indonesia juga dapat dilihat dari harga susu dalam negeri yang tidak dapat merespon kenaikan harga susu di pasar internasional. Jika dibandingkan dengan negara di Asia Tenggara (ASEAN), harga susu Indonesia termasuk paling rendah dengan harga Rp per liter. Sedangkan di Malaysia harga susu mencapai Rp per liter, Thailand Rp per liter, Filipina Rp per liter, dan Vietnam Rp per liter 1. Kondisi ini juga dapat terjadi karena adanya disparitas harga susu segar yang relatif besar di tingkat IPS dan peternak yang disebabkan oleh posisi tawar menawar peternak 1 Sofi e, Muhammad Harga Susu : GKSI Minta Ditetapkan Rp per Liter. [1 Desember 2012 ]

20 6 dan koperasi yang rendah terhadap IPS, serta banyaknya peternak yang belum mampu menghasilkan susu sesuai dengan kualitas yang diminta oleh IPS. Pemerintah memiliki peran penting dalam mengembangkan peternakan sapi perah rakyat melalui kebijakan-kebijakan yang nantinya dapat menguntungkan atau memberikan dampak negatif terhadap daya saing peternakan sapi perah rakyat. Terdapat tiga kebijakan yang mempengaruhi daya saing peternakan, yaitu kebijakan harga, kebijakan makroekonomi, dan kebijakan investasi publik (Pearson 2005). Pada tanggal 21 Juli 1982, pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 menteri, yaitu Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan dan Koperasi. Dalam SKB tersebut pemerintah mewajibkan Industri Pengolahan Susu (IPS) agar menyerap susu segar dalam negeri sebagai pendamping susu impor untuk bahan baku industri. Selanjutnya SKB 3 Menteri diperkuat dengan Inpres No. 2 Tahun 1985 tentang Koordinasi Pembinaan dan Pengembangan Persusuan Nasional dan SK Menteri Perdagangan No. 683/Kp/VI/85 Tahun 1985 yang menetapkan rasio kuota impor menjadi 1:2. Kebijakan ini dikenal dengan kebijakan bukti serap (BUSEP) (Budiyono 2009). Namun sejak penandatanganan Letter of Intent (LoI) antara pemerintah dengan IMF pada Januari 1998, Inpres No. 2 Tahun 1985 dicabut dengan Inpres No. 4 Tahun 1998 yang merupakan bagian dari LoI. Oleh karena itu, kebijakan pemerintah yang membatasi impor susu melalui BUSEP menjadi tidak berlaku sehingga susu impor menjadi komoditas bebas masuk. Selanjutnya, pada tahun 2009 pemerintah menetapkan kebijakan harga dengan mengenakan tarif bea masuk (BM) atas impor susu yang terdapat dalam peraturan menteri keuangan (PMK) No. 101/PMK.011/2009 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Atas Impor Produk-Produk Susu Tertentu. PMK tertanggal 28 Mei 2009 menyebutkan bahwa dalam rangka mendukung pengembangan industri susu dalam negeri perlu dilakukan perubahan tarif BM atas impor produk-produk susu tertentu. Dengan demikian, PMK No. 19/2009 tertanggal 13 Februari 2009 yang menetapkan tarif impor produk susu sebesar 0 persen tidak berlaku lagi. Dalam PMK No. 101/PMK.011/2009,Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa tarif BM atas impor produk-produk susu tertentu sebesar 5 persen yang meliputi produk susu mentega, susu dan kepala susu dikentalkan, yoghurt, kefir, dan susu serta kepala susu diragi atau diasamkan lainnya dan yang dipekatkan atau tidak. Namun, penetapan tarif impor sebesar 5 persen dirasa belum memberikan dampak positif terhadap peternak. Berdasarkan hasil penelitian Khairunnisa (2011), peningkatan tarif impor dari 0 persen menjadi 5 persen justru menyebabkan turunnya daya saing dan keuntungan yang diterima oleh peternak di KUNAK Bogor. Peneliti menduga bahwa permasalahan yang terjadi pada peternakan sapi perah rakyat di Desa Singosari tidak jauh berbeda dengan permasalahan peternakan sapi perah rakyat yang telah dipaparkan sebelumnya. Masalah-masalah yang terjadi serta kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah tersebut dapat mempengaruhi daya saing suatu peternakan sapi perah rakyat. Terdapat beberapa alat analisis untuk mengukur daya saing antara lain Revealed Comparative Advantage (RCA), Policy Analysis Matrix (PAM), dan teori Berlian Porter. RCA digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif di suatu wilayah (kawasan, negara, dan provinsi). Selanjutnya, PAM merupakan alat analisis yang digunakan

21 7 untuk mengetahui daya saing, efisiensi (keunggulan komparatif), dan dampak kebijakan pemerintah sedangkan teori Berlian Porter digunakan untuk mengetahui daya saing dari perspektif mikro (perusahaan) ke perspektif bangsa. Oleh karena itu, untuk mengukur daya saing dan efisiensi peternakan sapi perah rakyat di Desa Singosari serta mengetahui dampak kebijakan yang ditetapkan pemerintah maka digunakanlah Matriks Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix/PAM). Berdasarkan Matriks Analisis Kebijakan, analisis daya saing ditentukan oleh nilai keuntungan privat (Privat Profitability/PP) dan rasio biaya privat (Private Cost Ratio/PCR) sedangkan analisis efisiensi (keunggulan komparatif) ditentukan oleh nilai keuntungan social (Social Profitability/SP) dan rasio biaya sumberdaya (Domestic Resource Cost Ratio/DRCR). Dampak kebijakan pemerintah dapat diterapkan pada input, output, maupun input-output. Untuk mengetahui dampak kebijakan pemerintah terhadap output dapat dilihat melalui nilai Transfer Output (Output Transfer/TO) dan Koefisien Proteksi Output Nasional (Nominal Protection Coefficient on Output/NPCO) sedangkan untuk melihat dampak kebijakan pemerintah terhadap input dapat dilihat melalui nilai Transfer Input (Input Transfer/TI), Transfer Faktor (Factor Transfer/TF), dan Koefisien Proteksi Nominal Input (Nominal Protection Coefficient on Inputs/NPCI). Untuk melihat dampak kebijakan pemerintah terhadap input-output dapat dilihat melalui nilai Koefisien Proteksi Efektif (Effective Protection Coefficient/ EPC), Transfer Bersih (Net Transfer/TB), Koefisien Keuntungan (Profitability Coefficient/PC), dan Rasio Subsidi Produsen (Subsidy Ratio to Producer/SRP) (Monke dan Pearson 1989). Dari uraian di atas, permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Apakah peternakan sapi perah rakyat di Desa Singosari memiliki daya saing dan efisiensi (keunggulan komparatif)? 2. Apakah kebijakan pemerintah yang berlaku saat ini mampu meningkatkan daya saing dan efisiensi (keunggulan komparatif) peternakan sapi perah rakyat di Desa Singosari? Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian yang berjudul Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Peternakan Sapi Perah Rakyat di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali adalah 1. Menganalisis daya saing dan efisiensi (keunggulan komparatif) peternakan sapi perah rakyat di Desa Singosari. 2. Menganalisis dampak kebijakan pemerintah terhadap daya saing dan efisiensi (keunggulan komparatif) peternakan sapi perah rakyat di Desa Singosari. 3. Melakukan analisis sensitivitas berupa perubahan harga output melalui kenaikan tarif impor susu terhadap daya saing dan efisiensi (keunggulan komparatif) peternakan sapi perah rakyat di Desa Singosari.

22 8 Manfaat Penelitian Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah, serta tujuan penelitian maka diharapkan penelitian ini memiliki manfaat antara lain : 1. Bagi pemerintah pusat dan daerah dapat menjadi rujukan dan masukan serta bahan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan yang berkaitan dengan peternakan sapi perah rakyat, terutama dalam hal peningkatan daya saing dan efisiensi. 2. Bagi koperasi susu dan IPS dapat digunakan sebagai informasi dalam penetapan harga susu dan penentuan jumlah susu yang seharusnya diserap oleh IPS agar dapat menguntungkan kedua belah pihak. 3. Bagi kalangan akademisi seperti mahasiswa, dosen, dan peneliti merupakan bahan referensi maupun informasi bagi penelitian lanjut secara lebih mendalam mengenai pengembangan metodologi maupun pengembangan komoditas susu dan peternakan sapi perah rakyat yang efisien, produktif, berdayasaing, serta berkelanjutan di Indonesia. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali. Kajian difokuskan pada peternakan sapi perah rakyat bukan kepada perusahaan peternakan sapi perah. Adapun yang menjadi batasan kajian ini adalah sebagai berikut : 1 Penelitian ini difokuskan di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali. 2 Penelitian ini membagi para peternak dalam tiga skala usaha berdasarkan kepemilikan jumlah sapi perah laktasi (Erwidodo dan Sayaka 1998). Peternak yang memiliki sapi laktasi sebanyak 1 hingga 3 ekor dikategorikan sebagai usaha ternak skala kecil, kepemilikan sapi laktasi 4 hingga 7 ekor dikategorikan sebagai usaha ternak skala menengah, dan kepemilikan sapi laktasi lebih dari 7 ekor dikategorikan sebagai usaha ternak skala besar. 3 Pembahasan dalam penelitian ini meliputi analisis daya saing dan efisiensi (keunggulan komparatif) peternakan sapi perah rakyat, serta dampak kebijakan pemerintah terhadap peternakan sapi perah rakyat di Desa Singosari. TINJAUAN PUSTAKA Agribisnis Sapi Perah Usaha Ternak Sapi Perah Usaha ternak sapi perah dibagi menjadi 2 bentuk berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 751/kpts/Um/10/1982 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Peningkatan Produksi Dalam Negeri. Pertama, peternakan sapi perah rakyat yaitu usaha ternak sapi perah yang diselenggarakan sebagai usaha sampingan yang memiliki sapi perah kurang dari 10 ekor sapi laktasi

23 9 (dewasa) atau memiliki jumlah keseluruhan kurang dari 20 ekor sapi perah campuran. Kedua, perusahaan peternakan sapi perah, yaitu usaha ternak sapi perah untuk tujuan komersil dengan produksi utama susu sapi, yang memiliki lebih dari 10 ekor sapi laktasi (dewasa) atau memiliki jumlah keseluruhan lebih dari 20 ekor sapi perah campuran. Menurut Ditjennak (2006) dalam Khairunnisa (2011), usaha ternak sapi perah di Indonesia berdasarkan tipologinya dapat diklasifikasikan menjadi : (1) usaha ternak sebagai usaha sampingan, dengan tingkat pedapatan kurang dari 30 persen; (2) usaha ternak sebagai mix farming dengan tingkat pendapatan sebesar 30 sampai dengan 70 persen; dan (3) usaha ternak sebagai usaha pokok dimana tingkat pendapatan petani dari usaha ini dapat menghidupi peternak secara layak. Ditinjau dari pelakunya menurut Soedjana, T.D (2011), usaha ternak di Indonesia secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu : (1) usaha ternak tradisional; (2) usaha ternak komersial oleh perusahaan besar; (3) usaha ternak semi-komersial, termasuk sistem inti-plasma. Rata-rata produktivitas lahan, ternak, dan tenaga kerja pada peternakan tradisional di Indonesia sangat rendah dibandingkan dengan negara maju. Usaha ternak tradisional didefinisikan sebagai suatu usaha yang menggunakan teknologi hasil observasi terhadap lingkungan dan memiliki keterbatasan pengetahuan maupun akses pada industri dan teknologi. Teknologi peternakan tradisional merupakan suatu seni yang diwariskan secara verbal maupun demonstrasi dari satu generasi ke generasi peternak berikutnya berdasarkan observasi dan pengalaman setempat selama bertahun-tahun. Menurut Sudono (1987), untuk membina dan mempercepat pengembangan usaha produksi sapi perah secara berdayaguna dan berhasilguna, perlu dilakukan beberapa usaha yang meliputi : a. Peningkatan populasi dan mutu sapi perah dengan mengimpor sapi perah dari luar negeri dan membudidayakan sapi perah melalui pelaksanaan inseminasi buatan. b. Peningkatan pembinaan teknis peternakan meliputi peningkatan pengetahuan dan keterampilan peternak, pembinaan makanan ternak, peningkatan pengamanan dan pelayanan kesehatan ternak, serta bimbingan manajemen usahatani. c. Penyediaan sarana produksi. d. Membantu penyediaan fasilitas perkreditan. e. Membantu perbaikan sistem pemasaran susu, disertai jaminan harga yang menguntungkan peternak dan terjangkau oleh masyarakat. Produksi Susu Menurut Ditjennak (2006) dalam Khairunnisa (2011), susu adalah hasil pemerahan sapi atau hewan menyusui lainnya yang dapat dimakan atau dapat digunakan sebagai bahan makanan yang aman dan sehat serta tidak dikurangi komponen-komponennya atau ditambah bahan-bahan lain. Seekor sapi perah dewasa setelah melahirkan anak akan mampu memproduksi air susu melalui kelenjar susu, yang secara anatomis disebut ambing. Produksi air susu dimanfaatkan oleh manusia sebagai sumber bahan pangan dengan kadar protein yang tinggi. Susu memiliki sifat lebih mudah rusak dibandingkan dengan hasil ternak lainnya sehingga penanganan susu harus cepat dan tepat (Resnawati 2008).

24 10 Sapi perah baru akan memproduksi susu apabila sudah beranak. Namun tidak sepanjang tahun sapi perah akan berproduksi susu karena sapi memiliki masa kering kandang selama hari dalam setahun. Sapi perah induk yang mempunyai produksi susu rata-rata yang tidak ekonomis untuk dipelihara, sebaiknya diganti dengan sapi perah induk dengan kemampuan berproduksi susu yang lebih tinggi. Sedangkan sapi perah induk yang memiliki produksi susu tinggi tetap dipertahankan untuk dipelihara. Hal ini perlu dilakukan karena sapi perah induk yang tidak beranak sama sekali dalam setahun akan berakibat pada pengurangan pendapatan (Siregar 1996). Pemasaran Susu Pemasaran susu segar hasil peternakan sapi perah rakyat cenderung tergantung kepada Industri Pengolahan Susu (IPS) dan hanya sebagian kecil dipasarkan langsung ke konsumen. Mengantisipasi kondisi ini pemerintah bekerjasama dengan koperasi/kud dan stakeholders lainnya melakukan berbagai promosi konsumsi susu segar dalam negeri, terutama dikalangan pelajar yang dikaitkan dengan program susu sekolah. Untuk efisiensi dan meningkatkan margin peternak sapi perah maka mata rantai antara produsen dan konsumen harus lebih didekatkan lagi dengan cara pemasaran langsung dari peternak sapi perah ataupun mendirikan industri pengolahan susu yang dikelola oleh peternak sapi perah. Perdagangan sapi perah dan produk susu sangat dipengaruhi oleh impor susu yang besarnya 2/3 dari volume perdagangan susu. Pada dasarnya ada 2 klasifikasi utama jenis susu yang dapat diimpor, yaitu (1) susu dan kepala susu (cream), tidak dipekatkan maupun tidak mengandung tambahan gula atau bahan pemanis lain dan; (2) susu dan kepala susu, dipekatkan atau mengandung tambahan gula atau bahan pemanis lain. Kelembagaan Susu Menurut Kustiari et al. (2010) usaha ternak sapi perah masih didominasi oleh peternakan rakyat sehingga diperlukan suatu wadah usaha bersama yang dikelola dalam bentuk koperasi-koperasi primer. Gabungan dari beberapa koperasi primer disebut dengan Gabungan Koperasi Susu Indonesia (GKSI) yang dibentuk sejak tahun Sebagian besar peternak sapi perah di Indonesia merupakan anggota koperasi susu. Koperasi bertindak sebagai mediator antara peternak dengan IPS. Koperasi susu sangat menentukan posisi tawar peternak dalam menentukan jumlah penjualan susu, waktu penjualan, dan harga yang akan diterima peternak. Peranan koperasi sebagai mediator perlu dipertahankan, pelayanannya perlu ditingkatkan dengan cara meningkatkan kualitas SDM koperasi serta memperkuat networking dengan industri-industri pengolahan. Peran koperasi sangatlah besar dalam mengembangkan usaha persusuan (Usmiati dan Abubakar 2009). Ada 2 bentuk koperasi sapi perah yakni koperasi monosifikasi yakni koperasi yang hanya fokus pada usaha ternak sapi perah sedangkan koperasi yang lain adalah koperasi diversifikasi yakni koperasi dengan membuka berbagai usaha. Koperasi peternak pada umumnya bersifat diversifikasi tetapi hampir semua biaya aktivitas koperasi tersebut berasal dari pendapatan penjualan susu peternak.

25 11 Semakin besar usaha diversifikasi, maka semakin banyak SHU peternak yang digunakan untuk mengembangkan usaha tersebut (Yusdja 2005). Seperti halnya dengan Usmiati dan Abubakar (2009), menurut Saptati dan Rusdiana (2008), pengembangan peternakan sapi perah rakyat tidak dapat dilepaskan dari peran koperasi susu sebagai lembaga mitra peternak sapi perah. Namun masih banyak koperasi yang tidak mampu meningkatkan kesejahteraan peternak dan peningkatan skala usaha. Terdapat beberapa faktor kelemahan koperasi yang berpengaruh pada pengembangan peternakan sapi perah rakyat, yaitu : (1) rendahnya efisiensi manajemen yang menyebabkan tingginya handling cost, (2) banyaknya pengurus (SDM) koperasi yang kurang profesional dan tidak amanah, (3) kurangnya transparansi manajemen pengelolaan dan bersifat keluarga (pengelola berhubungan keluarga), (4) lemahnya posisi tawar terhadap IPS, (5) belum sepenuhnya berpihak pada peternak, serta (6) daya kompetisi yang masih rendah. Penelitian Terdahulu Penelitian-penelitian terdahulu telah banyak yang menggunakan alat analisis PAM untuk menganalisis daya saing komoditas pertanian terutama susu sapi. Dengan menggunakan alat analisis PAM, suatu komoditas pertanian memiliki keunggulan komparatif atau efisien apabila koefisien DRCR<1 dan dianggap memiliki daya saing apabila koefisien PCR<1. Penelitian Ilham dan Swastika (2001), berjudul Analisis Daya Saing Susu Segar Dalam Negeri Pasca Krisis Ekonomi dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia, meneliti tentang krisis ekonomi yang berdampak pada kenaikan harga bahan baku susu impor serta harga input usaha peternakan sapi perah terutama pakan konsentrat dan sapi bibit. Penelitian dilakukan di provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur dengan distratifikasi pada tahap pertama berdasarkan topografi lokasi, yaitu dataran tinggi dan dataran rendah. Tahap kedua, masing-masing strata tahap satu distratifikasi berdasarkan skala pemilikan sapi produktif yaitu 2 sampai 4 ekor, 5 sampai 7 ekor, 8 sampai 10 ekor atau lebih. Dari hasil analisis dengan menggunakan metode PAM (Policy Analysis Matrix), usaha peternakan sapi perah di provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur cukup efisien baik di dataran tinggi maupun dataran rendah sampai sedang. Hal ini ditunjukkan dengan nilai rasio DRCR selama pasca krisis sebesar untuk dataran tinggi dan untuk dataran rendah sampai sedang. Penelitian kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh Feryanto (2010) yang berjudul Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Komoditas Susu Sapi Lokal di Jawa Barat dengan menggunakan metode PAM. Penelitian dilakukan di 3 kecamatan sentra penghasil susu di Jawa Barat yakni Kecamatan Lembang, Kecamatan Pangalengan, dan Kecamatan Cikajang dengan jumlah responden sebanyak 90 peternak. Berdasarkan analisis PAM, ketiga lokasi penelitian memiliki keunggulan komparatif dan berdaya saing. Berdasarkan nilai PCR yang diperoleh, ketiga lokasi memiliki daya saing, yakni 0.79 (Kecamatan Lembang), 0.94 (Kecamatan Pangalengan), dan 0.89 (Kecamatan Cikajang) yang menunjukkan masing-masing peternak hanya mengeluarkan tambahan biaya kurang dari 1 untuk dapat bersaing dengan produk sejenis. Selanjutnya, untuk

26 12 analisis keunggulan komparatif dapat dilihat melalui nilai DRCR. Nilai DRCR untuk kecamatan Lembang sebesar 0.63, Kecamatan Pangalengan sebesar 0.75, dan Kecamatan Cikajang sebesar 0.58.Indikator DRCR menunjukkan bahwa produk susu sapi segar akan lebih menguntungkan untuk diproduksi di sentra produksi susu Provinsi Jawa Barat dibandingkan apabila harus mengimpor. Analisis dampak kebijakan pemerintah dalam Tabel PAM ditunjukkan oleh nilai OT bernilai negatif atau mengalami kerugian di Kecamatan Lembang (Rp ), Kecamatan Pangalengan (Rp ), dan Kecamatan Cikajang (Rp ) untuk setiap liter susu yang dihasilkan. Hasil ini menunjukkan bahwa harga domestik susu lebih rendah dari harga internasionalnya dan mengindikasikan adanya disinsentif terhadap output susu. Hasil IT usahaternak sapi perah menunjukkan nilai yang positif untuk Kecamatan Lembang sebesar Rp 91.30, Kecamatan Pangalengan sebesar Rp , dan Kecamatan Garut sebesar Rp per liter susu. Nilai NPCI untuk ketiga lokasi yang lebih besar dari 1 menunjukkan bahwa peternak yang menggunakan input mengalami kerugian karena menanggung biaya input yang lebih mahal. Berdasarkan analisis sensitivitas, asumsi skenario yang digunakan adalah perubahan harga susu akibat penurunan tarif impor dan kenaikan harga pakan ternak. Dari hasil analisis tersebut, dapat diketahui bahwa penurunan tarif impor dan kenaikan harga pakan ternak dapat menurunkan daya saing pengusahaan sapi perah di Jawa Barat. Solusi yang dapat dilakukan agar para peternak tetap memperoleh keuntungan dan insentif sebaiknya pemerintah mengambil kebijakan untuk menetapkan tarif impor susu lebih besar dari 5 persen (kondisi sekarang), yakni 15 persen. Penelitian yang ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh Harmini dan Feryanto (2012) berjudul Analisis Daya Saing Usahaternak Sapi Perah Rakyat di Kabupaten Malang Jawa Timur. Penelitian tersebut juga menggunakan metode PAM untuk menganalisis daya saing usaha ternak sapi perah rakyat di Kabupaten Malang dengan kepemilikan sapi rata-rata 1 sampai 3 ekor per peternak. Dari hasil analisis dengan menggunakan metode PAM, dapat diketahui bahwa nilai untuk PCR diperoleh sebesar 0.77 yang berarti bahwa untuk mendapatkan nilai tambah output sebesar satu rupiah pada harga privat hanya diperlukan tambahan biaya sebesar Rp 0.77 sehingga dapat diperoleh informasi bahwa faktor domestik sudah efisien. Usaha ternak layak untuk diusahakan dan dikembangkan. Kondisi ini juga mengindikasikan bahwa harga yang diterima oleh peternak masih relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan harga internasional. Keuntungan ekonomi yang diperoleh peternak sebesar Rp per liter susu yang berarti usaha ternak yang dijalankan menguntungkan secara ekonomi walaupun tanpa adanya kebijakan pemerintah. Nilai keuntungan ekonomi yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan keuntungan privat di Kecamatan Pujon, Kabupaten Malang mengindikasikan adanya intervensi pemerintah berupa distorsi pasar yang tidak memberikan intensif yang baik kepada peternak sehingga keuntungan finansial yang dihasilkan menjadi lebih rendah bila dibandingkan dengan keuntungan ekonomi (tanpa adanya intervensi pemerintah). Nilai distorsi keuntungan yang terjadi adalah sebesar Rp liter susu yang berasal dari distorsi penerimaan sebesar Rp dengan total biaya sebesar Rp per liter. Nilai NPCO yang diperoleh sebesar 0.66 atau kurang dari satu (NPCO<1) sehingga tidak terdapat proteksi harga output dalam harga susu segar sehingga menyebabkan harga yang diterima oleh peternak jauh lebih rendah.

27 13 Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu adalah penelitian ini membagi peternakan sapi perah rakyat menjadi 3 skala usaha, yakni skala kecil dengan kepemilikan sapi laktasi 1 sampai 3 ekor, skala menengah dengan kepemilikan sapi laktasi 4 sampai 7 ekor, dan skala besar dengan kepemilikan sapi laktasi lebih dari 7 ekor. Disisi lain, penelitian ini dapat melengkapi penelitian terdahulu yang telah dilakukan di sentra produksi susu Jawa Barat dan Jawa Timur karena penelitian akan dilakukan di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Konsep Daya Saing Perdagangan internasional merupakan perdagangan yang terjadi antara suatu negara dengan negara lainnya karena adanya 2 hal antara lain : pertama, perbedaan dalam kepemilikan sumberdaya, cara pengolahan, dan selera. Berdasarkan perbedaan-perbedaan tersebut, negara-negara akan memperoleh keuntungan melalui suatu pengaturan yang berbeda antara negara yang satu dengan negara yang lain. Kedua, tujuan dari setiap negara untuk mencapai skala ekonomis dalam berproduksi yang berarti bahwa suatu negara akan lebih efisien jika hanya menghasilkan sejumlah barang tertentu tetapi dengan skala yang lebih besar dibandingkan dengan jika memproduksi berbagai jenis barang (Krugman dan Obstfeld 2002). Oleh karena itu, kemajuan suatu negara dapat diukur dari keberhasilannya dalam meningkatkan daya saing pada perdagangan internasional. Peningkatan ekspor suatu komoditas secara langsung akan meningkatkan daya saing suatu negara (Firdaus dan Wagiono 2009). Menurut Esterhuizen et al. (2008) dalam Daryanto (2009b), daya saing adalah kemampuan suatu sektor, industri, atau perusahaan untuk bersaing dengan sukses untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan di dalam lingkungan global selama biaya imbangannya lebih rendah dari penerimaan sumberdaya yang digunakan. Disisi lain, Daryanto (2009a) menjelaskan bahwa esensi daya saing dari suatu industri, perusahaan, atau komoditas adalah efisiensi dan produktivitas. Selanjutnya, menurut Monke dan Pearson (1989), daya saing pada suatu sistem usaha tani dapat diketahui melalui perhitungan keuntungan privat (Private Profitability/PP) pada kondisi teknologi, nilai output, biaya input, dan transfer kebijakan yang berlaku saat ini. Istilah privat mengacu pada pendapatan dan biaya yang mencerminkan harga pasar yang sebenarnya diterima atau dibayar oleh petani atau pedagang dalam sistem pertanian. Untuk membandingkan daya saing dari suatu sistem usaha tani yang berbeda digunakan rasio biaya privat (Private Cost Ratio/PCR) yang merupakan rasio dari biaya faktor domestik untuk nilai tambah pada tingkat harga privat. Nilai tambah adalah perbedaan antara nilai output dan biaya input tradable, yang menunjukkan berapa banyak suatu sistem mampu membayar faktor domestik dan masih tetap kompetitif. Laporan WEF (2009) diacu dalam Daryanto (2009b) mengemukakan beberapa persoalan utama yang dihadapi Indonesia dalam peningkatan daya saing

28 14 nasional sehingga memerlukan prioritas penanganan dalam rangka peningkatan daya saing antara lain (a) kualitas birokrasi yang tidak efisien, (b) ketersediaan infrastruktur yang tidak memadai, (c) kebijakan pemerintah yang tidak konsisten, (d) tingginya tingkat korupsi, dan (e) kesulitan dalam akses permodalan atau pembiayaan. Daya saing dapat diukur dengan menggunakan beberapa alat analisis antara lain Revealed Comparative Advantage (RCA), Policy Analysis Matrix (PAM), dan teori Berlian Porter. Setiap alat analisis memiliki kelebihan dan kekurangan. RCA digunakan untuk mengukur keunggulan komparatif di suatu wilayah (kawasan, negara, dan provinsi) dengan membandingkan pangsa komoditas ekspor suatu negara terhadap pangsa komoditas ekspor di dunia. Menurut Saptana (2010) kelemahan dari RCA adalah bersifat statis dan mengasumsikan bahwa setiap negara mengekspor semua komoditas.selanjutnya, PAM merupakan alat analisis yang digunakan untuk mengetahui daya saing, efisiensi atau keunggulan komparatif, dan dampak kebijakan pemerintah. Kelemahan utama dari alat analisis PAM adalah hasil analisis hanya berlaku untuk tahun dasar sehingga apabila parameter utama (harga dunia, nilai tukar, tingkat bunga, dan pajak) berubah, maka hasil analisis PAM akan berubah pula. Oleh karena itu, dibutuhkan analisis sensitivitas untuk mengukur dampak perubahan tersebut. Teori Berlian Porter merupakan alat analisis yang digunakan untuk mengetahui daya saing dari perspektif mikro (perusahaan) ke perspektif bangsa. Ada 4 faktor dan 2 variabel di luar model yang menentukan mengapa suatu negara memiliki industri yang sukses di dunia internasional. Berdasarkan uraian di atas, maka konsep daya saing yang digunakan adalah konsep daya saing yang dikemukakan oleh Monke dan Pearson (1989) yang menggunakan perhitungan keuntungan privat (Private Profitability/PP) serta rasio biaya privat (Private Cost Ratio/PCR) untuk menentukan daya saing suatu sistem usaha tani. Konsep Keunggulan Komparatif Konsep keunggulan komparatif merupakan konsep yang dikemukakan oleh David Ricardo yang menyatakan bahwa meski sebuah negara kurang efisien (memiliki kerugian absolute) dibanding negara lain dalam memproduksi 2 komoditas namun negara tersebut masih tetap dapat melakukan perdagangan yang menguntungkan diantara kedua belah pihak. Oleh karena itu, suatu negara harus melakukan spesialisasi dalam memproduksi dan mengekspor komoditas yang memiliki kerugian absolut lebih kecil (komoditas dengan keunggulan komparatif) dan mengimpor komoditas yang memiliki kerugian absolut lebih besar (komoditas yang memiliki kerugian komparatif) (Salvator 1997). Kelemahan keunggulan komparatif yang dikemukakan oleh David Ricardo adalah asumsi penggunaan teori nilai tenaga kerja yang menyatakan bahwa setiap tenaga kerja merupakan satu-satunya faktor produksi yang digunakan dalam proporsi yang tetap dan sama jumlahnya dalam membuat semua komoditas serta bersifat homogen. Secara lebih spesifik, tenaga kerja bukanlah satu-satunya faktor produksi yang berpengaruh dalam menghasilkan suatu komoditas melainkan masih terdapat faktor lain seperti teknologi, modal, tanah, dan sumberdaya lainnya. Selanjutnya, kelemahan dari teori keunggulan komparatif David Ricardo disempurnakan oleh Teori Biaya Imbangan (Opportunity Cost Ratio). Teori ini

29 15 menyatakan bahwa biaya sebuah komoditas adalah jumlah komoditas kedua yang harus dikorbankan untuk memperoleh sumberdaya yang cukup untuk memproduksi 1 unit tambahan komoditas pertama, yang berarti bahwa setiap negara yang memiliki biaya imbangan lebih rendah dalam memproduksi sebuah komoditas akan memiliki keunggulan komparatif dalam komoditas tersebut dan memiliki kerugian komparatif dalam komoditas kedua (Salvatore 1997). Heckscher dan Ohlin melakukan perbaikan terhadap hukum keunggulan komparatif yang dikemukakan oleh David Ricardo. Teori Heckscher dan Ohlin menyatakan bahwa setiap negara akan melakukan spesialisasi produksi dan mengekspor komoditas yang banyak menyerap faktor produksi yang tersedia di negara tersebut dalam jumlah dan harga yang relatif murah, serta mengimpor komoditas yang padat dengan faktor produksi yang mahal dan langka (Salvatore 1997). Disisi lain, menurut Sudaryanto dan Simatupang (1993) serta Simatupang (1995), keunggulan komparatif berarti mampu menghasilkan barang yang lebih murah dari pesaing dan dapat dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi. Keunggulan komparatif lebih sesuai untuk menganalisis kelayakan ekonomi dari suatu aktivitas. Hal yang berbeda disampaikan oleh Monke dan Pearson (1989) yang menyatakan bahwa keunggulan komparatif atau efisiensi dalam suatu sistem usaha tani dapat diukur dengan menggunakan keuntungan sosial (Social Profitability/SP). Hasil yang efisien dapat dicapai ketika sumber daya ekonomi yang digunakan dalam suatu kegiatan usaha tani mampu menghasilkan output dan pendapatan yang tinggi. Kemampuan suatu sistem usaha tani untuk bersaing dalam kondisi tanpa adanya distorsi kebijakan pemerintah dapat diperkuat atau diperlemah oleh perubahan kondisi ekonomi. Oleh karena itu, keunggulan komparatif yang dinamis mengacu pada perubahan yang terjadi dari waktu ke waktu pada sistem daya saing yang disebabkan oleh adanya perubahan 3 kategori parameter ekonomi yang meliputi perubahan harga dunia untuk output dan input dalam jangka panjang, perubahan social opportunity cost dari faktor domestik (tenaga kerja, modal, dan tanah), serta perubahan teknologi yang digunakan dalam pertanian maupun pemasaran. Untuk membandingkan tingkat efisiensi komoditas yang berbeda digunakan perhitungan biaya sumber daya domestik (Domestic Resource Cost Ratio/DRCR). Meminimalkan biaya sumber daya domestik setara dengan memaksimalkan keuntungan sosial. Berdasarkan uraian di atas, maka konsep keunggulan komparatif yang digunakan adalah konsep keunggulan komparatif yang disampaikan oleh Monke dan Pearson (1989) yang menggunakan perhitungan keuntungan sosial (Social Profitability/SP) dan biaya sumber daya domestik (Domestic Resource Cost Ratio/DRCR) untuk menentukan efisiensi atau keunggulan komparatif. Analisis Dampak Kebijakan Pada umumnya, kebijakan pemerintah diciptakan dengan beberapa tujuan utama yaitu efisensi (efficiency), pemerataan (equity), dan ketahanan (security). Efisiensi dapat tercapai apabila alokasi sumberdaya ekonomi yang langka mampu menghasilkan pendapatan maksimum dan menghasilkan tingkat kepuasan konsumen yang paling tinggi. Pemerataan menggambarkan distribusi pendapatan yang terdapat di antara kelompok masyarakat atau wilayah yang merupakan target

30 16 dari pembuat kebijakan. Pemerataan yang baik dapat dicapai melalui distribusi pendapatan yang lebih baik atau lebih merata. Ketahanan dipengaruhi oleh stabilitas politik dan ekonomi. Ketahanan akan meningkat apabila stabilitas politik dan ekonomi memungkinkan produsen dan konsumen meminimumkan biaya penyesuaian. Saat salah satu tujuan dapat dicapai namun dengan mengorbankan tujuan lainnya maka akan terjadi trade-offs. Apabila trade-offs terjadi, maka pembuat kebijakan harus memberi bobot atas setiap tujuan yang saling bertentangan dengan menentukan berapa manfaat yang dapat diraih dari suatu tujuan dibandingkan dengan kerugian yang diderita tujuan lainnya (Pearson et al. 2005). 1. Klasifikasi Kebijakan Harga Kebijakan pemerintah khususnya kebijakan pertanian, pada umumnya dikaitkan dengan serangkaian tindakan komoditas spesifik yang menyebabkan harga domestik produk pertanian berbeda dari harga dunia. Terdapat 2 macam kebijakan pemerintah yang ditetapkan untuk suatu komoditas agar tujuan tercapai, yakni kebijakan subsidi dan perdagangan. Kebijakan subsidi terdiri dari subsidi positif dan negatif sedangkan kebijakan perdagangan terdiri dari tarif dan kuota. Klasifikasi dari kebijakan harga komoditas dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 Klasifikasi Kebijakan Pemerintah terhadap Harga Komoditas a Instrumen Dampak pada Produsen Dampak pada Konsumen Kebijakan subsidi : a. Tidak merubah harga pasar dalam negeri b. Merubah harga pasar dalam negeri Kebijakan perdagangan (seluruhnya merubah harga pasar dalam negeri) a Sumber : Monke dan Pearson (1989) Subsidi pada Produsen : a. Pada barangbarang substitusi impor S-PI) b. Pada barangbarang orientasi Keterangan : S + = Subsidi S - = Pajak PE = Produsen barang orientasi ekspor PI = Produsen barang substitusi impor CE = Konsumen barang orientasi ekspor CI = Konsumen barang substitusi impor TCE = Hambatan barang ekspor TPI = Hambatan barang impor (S+PI; ekspor (S+PE; S-PE) Hambatan pada barang impor (TPI) Subsidi pada Konsumen : a. Pada barangbarang substitusi impor (S+CI; S-CI) b. Pada barangbarang orientasi ekspor (S+CE; S- CE) Hambatan pada barang ekspor (TCE)

31 Tabel 6 menjelaskan bahwa kebijakan harga (price policies) dibedakan menjadi 3 tipe kriteria antara lain tipe instrumen (subsidi atau kebijakan perdagangan), tipe penerimaan atau keuntungan yang akan diperoleh (produsen dan konsumen), dan tipe komoditi (impor atau ekspor). 1.1 Tipe Instrumen Terdapat 2 tipe instrumen kebijakan harga yaitu kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan. Menurut Salvator (1994) subsidi adalah pembayaran yang dilakukan dari atau untuk pemerintah. Pembayaran yang dilakukan dari pemerintah merupakan subsidi positif sedangkan pembayaran untuk pemerintah merupakan subsidi negatif, misalnya pajak. Kebijakan penerapan subsidi baik positif maupun negatif pada dasarnya dilakukan untuk melindungi produsen dan konsumen dalam negeri dengan cara menciptakan perbedaan harga domestik dengan harga dunia. Kebijakan perdagangan adalah pembatasan yang dilakukan pada ekspor atau impor suatu komoditas. Pembatasan yang dilakukan dapat berupa penerapan tarif dan kuota untuk mengurangi jumlah yang diperdagangkan secara internasional. Kebijakan perdagangan pada komoditas impor dapat berupa tarif impor maupun pembatasan kuantitas (kuota impor) untuk membatasi jumlah impor dan meningkatkan harga domestik di atas harga dunia, sedangkan kebijakan perdagangan pada komoditas ekspor dapat berupa kuota ekspor yang menyebabkan harga domestik lebih rendah dari harga dunia (Monke dan Pearson 1989). Kebijakan subsidi dan kebijakan perdagangan memiliki perbedaan pada 3 aspek, antara lain implikasi pada anggaran pemerintah, tipe alternatif kebijakan, dan tingkat kemampuan penerapan (Monke dan Pearson 1989). A. Implikasi pada Anggaran Pemerintah Kebijakan perdagangan tidak mempengaruhi anggaran pemerintah, sedangkan kebijakan subsidi akan berpengaruh pada anggaran pemerintah. Subsidi negatif (pajak) akan menambah anggaran pemerintah sedangkan subsidi positif akan mengurangi anggaran pemerintah. B. Tipe Alternatif Kebijakan Terdapat 8 tipe alternatif kebijakan subsidi untuk produsen dan konsumen pada barang orientasi ekspor dan barang substitusi impor, yaitu : 1. Subsidi positif kepada produsen barang substitusi impor (S+PI) 2. Subsidi positif kepada produsen barang orientasi ekspor (S+PE) 3. Subsidi negatif kepada produsen barang substitusi impor (S-PI) 4. Subsidi negatif kepada produsen barang orientasi ekspor (S-PE) 5. Subsidi positif kepada konsumen barang substitusi impor (S+CI) 6. Subsidi positif kepada konsumen barang orientasi ekspor (S+CE) 7. Subsidi negatif kepada konsumen barang substitusi impor (S-CI) 8. Subsidi negatif kepada konsumen barang orientasi ekspor (S-CE) Terdapat 2 alternatif kebijakan perdagangan, yaitu : 17

32 18 1. Hambatan perdagangan pada barang impor (TPI) 2. Hambatan perdagangan pada barang ekspor (TPE) Menurut Monke dan Pearson (1989), aliran impor atau ekspor dapat dibatasi oleh pajak perdagangan atau kebijakan kuota sepanjang pemerintah dapat memiliki mekanisme yang efektif untuk mengontrol penyelundupan. C. Tingkat Kemampuan Penerapan Kebijakan subsidi dapat diterapkan pada komoditi asing (tradable) maupun komoditi domestik (nontradable), sedangkan kebijakan perdagangan hanya dapat diterapkan pada komoditi yang tradable karena pembatasan jumlah komoditas hanya dapat diterapkan ketika terdapat arus perdagangan. 1.2 Kelompok Penerima Kriteria kedua dari klasifikasi kebijakan adalah apakah sebuah kebijakan dapat menguntungkan produsen atau konsumen. Suatu kebijakan subsidi atau perdagangan menyebabkan terjadinya transfer antara produsen, konsumen, dan anggaran pemerintah (Monke dan Pearson 1989). 1.3 Kelompok Komoditas Kriteria ketiga dari klasifikasi kebijakan adalah membedakan komoditas yang dapat diekspor dan komoditas yang dapat diimpor. Ketika tidak ada kebijakan harga maka harga domestik sama dengan harga dunia, dimana untuk barang yang diekspor digunakan harga FOB (Free on Board) dan untuk barang yang diimpor digunakan harga CIF (Cost, Insurance, and Freight) (Monke dan Pearson 1989). 2. Kebijakan Pemerintah pada Harga Input Kebijakan terhadap input dapat diterapkan pada input tradable maupun input non tradable. Pada kedua input tersebut, kebijakan dapat berupa kebijakan subsidi baik positif maupun negatif, sedangkan kebijakan perdagangan tidak diterapkan pada input non tradable karena input non tradable hanya diproduksi dan dikonsumsi di dalam negeri. 2.1 Kebijakan Input Tradable Gambar 1(a) menunjukkan adanya pengaruh pajak pada input tradable yang menyebabkan terjadinya peningkatan biaya produksi sehingga pada tingkat harga output yang sama terjadi penurunan permintaan domestik dari Q1 ke Q2 dan kurva penawaran bergeser ke kiri atas. Efisiensi ekonomi yang hilang sebesar ABC yang merupakan perbedaan antara nilai output yang hilang Q 2 CAQ 1 dengan biaya produksi untuk menghasilkan output tersebut sebesar Q 2 BAQ 1.

33 19 P P S S S C S Pw C A D Pw A B D Keterangan B : S-II = Pajak untuk Q input impor S+II Q 2 = QSubsidi 1 untuk input impor Q 1 Q 2 (a) S-PI (b) S+PI Gambar 1 Subsidi dan Pajak pada Input Tradable a a Sumber : Monke dan Pearson (1989) Q Gambar 1(b) menunjukkan dampak subsidi pada input tradable. Harga yang berlaku adalah harga dunia sebesar Pw dengan tingkat produksi yang dihasilkan sebesar Q 1. Adanya kebijakan subsidi pada input tradable menyebabkan harga input lebih murah dan biaya produksi semakin rendah sehingga kurva penawaran di pasar bergeser ke kanan bawah yang menyebabkan terjadinya peningkatan produksi dari Q 1 menjadi Q 2. Efisiensi produksi yang hilang sebesar ACB yang merupakan perbedaan antara biaya produksi setelah output meningkat yaitu Q 1 ACQ 2 dengan penerimaan dari peningkatan output yaitu Q 1 BQ Kebijakan Input Non Tradable Kebijakan pemerintah berupa kebijakan perdagangan tidak dapat diterapkan pada input non tradable karena input non tradable hanya diproduksi dan dikonsumsi dalam negeri. Kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input non tradable adalah kebijakan subsidi dan pajak. Kebijakan subsidi dan pajak yang diterapkan pemerintah pada input non tradable dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 (a) menunjukkan bahwa sebelum diberlakukannya pajak, harga berada pada P d. Setelah diberlakukannya pajak, terjadi penurunan produksi menjadi Q 2, harga harga yang diterima produsen turun menjadi P p, dan harga yang harus dibayar konsumen naik menjadi P c. Penerapan pajak terhadap input non tradable selalu berdampak negatif baik pada produsen maupun konsumen.

34 20 P P Pc C Pp C S Pd B A Pd A B Pp D D Pc D Q Q 2 Q 1 Q 1 Q 2 (a) S-N (b) S+N Gambar 2 Pajak dan subsidi pada input non tradable a a Sumber : Monke dan Pearson (1989) S D Q Keterangan : Pd = Harga domestik sebelum diberlakukan pajak dan subsidi Pc = Harga di tingkat konsumen setelah diberlakukan pajak dan subsidi Pp = Harga di tingkat produsen setelah diberlakukan pajak dan subsidi S-N = Pajak untuk input non tradable S+N = Subsidi untuk barang non tradable Gambar 2 (b) menunjukkan bahwa sebelum diberlakukan subsidi, harga dan jumlah keseimbangan dari permintaan dan penawaran input non tradable berada pada P d dan Q 1. Namun, setelah diberlakukan subsidi, harga pada tingkat konsumen menjadi lebih rendah yakni sebesar P c sedangkan harga yang diterima produsen menjadi lebih tinggi yakni sebesar Pp. Selain itu, produk yang dihasilkan mengalami peningkatan dari Q 1 menjadi Q 2. Keadaan ini memberikan keuntungan bagi produsen maupun konsumen. Penentuan Harga Bayangan Harga bayangan adalah sebagian harga yang terjadi dalam perekonomian pada keadaan persaingan sempurna dan kondisinya dalam keadaan keseimbangan (Gittinger 1986). Untuk memperoleh nilai yang mendekati biaya imbangan atau harga sosial perlu dilakukan penyesuaian terhadap harga pasar yang berlaku. Hal ini perlu dilakukan karena cukup sulit menemukan kondisi biaya imbangan sama dengan harga pasar. Alasan penggunaan harga bayangan adalah sebagai berikut : a) Harga privat tidak selalu mencerminkan apa yang sebenarnya diperoleh masyarakat melalui produksi yang dihasilkan dari aktivitas tersebut. b) Harga privat tidak selalu mencerminkan apa yang sebenarnya dikorbankan seandainya sejumlah sumber daya yang dipilih digunakan dalam aktivitas lain yang masih memungkinkan di masyarakat.

35 Matrik Analisis Kebijakan Policy Analysis Matrix (PAM) atau Matriks Analisis Kebijakan digunakan untuk menganalisis pengaruh intervensi pemerintah dan dampaknya pada sistem komoditas. Sistem komoditas yang dapat dipengaruhi meliputi 4 aktivitas, yaitu tingkat usaha tani (farm production), penyampaian dari usaha tani ke pengolah, pengolahan, dan pemasaran (Monke dan Pearson 1989). Metode PAM membantu pengambil kebijakan baik di pusat maupun daerah untuk menelaah tiga isu sentral analisis kebijakan pertanian. Isu pertama, apakah sebuah sistem usahatani memiliki daya saing pada tingkat harga dan teknologi yang ada. Sebuah kebijakan harga akan mengubah nilai ouput, biaya input, dan keuntungan privat. Perbedaan keuntungan privat sebelum dan sesudah kebijakan menunjukkan pengaruh dari perubahan kebijakan atas daya saing pada tingkat harga aktual (harga pasar). Isu kedua, adalah dampak investasi publik berupa pembangunan infrastruktur baru terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani. Efisiensi diukur dengan tingkat keuntungan sosial, yaitu tingkat keuntungan yang dihitung berdasarkan harga efisiensi. Investasi publik yang berhasil akan meningkatkan nilai output atau menurunkan biaya input. Perbedaan keuntungan sosial sebelum dan sesudah adanya investasi publik menunjukkan adanya peningkatan keuntungan sosial. Isu ketiga, yaitu dampak investasi baru dalam bentuk riset atau teknologi pertanian terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani. Perbedaan keuntungan sosial sebelum dan sesudah investasi dalam bentuk riset menunjukkan manfaat dari investasi tersebut (Pearson et al. 2005). Perhitungan dengan menggunakan matriks analisis kebijakan dapat dilakukan secara keseluruhan, sistematis, dan dengan output yang beragam. Namun, kekurangannya adalah tidak membahas masing-masing analisis secara mendalam dan analisis hanya berlaku pada suatu saat saja (on the spot). Asumsi yang digunakan dalam analisis dengan menggunakan metode PAM adalah : a) Perhitungan berdasarkan harga privat (private cost) yaitu harga yang benarbenar terjadi dan diterima oleh produsen dan konsumen atau harga yang terjadi setelah adanya kebijakan pemerintah. b) Perhitungan berdasarkan harga sosial (social cost) atau harga bayangan (shadow price) yaitu harga pada kondisi pasar persaingan sempurna atau harga yang terjadi bila tidak ada kebijakan pemerintah. Pada komoditi tradable harga bayangan adalah harga yang terjadi di pasar internasional. c) Output bersifat tradable sedangkan input dapat dipisahkan berdasarkan komponen asing (tradable) dan domestik (non tradable). d) Eksternalitas positif dan negatif dianggap saling meniadakan. Matriks PAM terdiri dari 3 baris dan 4 kolom. Baris pertama merupakan perhitungan keuntungan privat yang dihitung berdasarkan harga privat yaitu harga yang diterima petani atau produsen setelah adanya kebijakan. Baris kedua merupakan perhitungan keuntungan sosial yang dihitung berdasarkan harga sosial yaitu harga yang menggambarkan nilai sosial atau nilai ekonomi yang terjadi di pasar tanpa adanya kebijakan pemerintah. Selanjutnya, baris ketiga merupakan selisih antara baris pertama dan kedua yang menggambarkan efek divergensi. Efek divergensi dihitung dengan menggunakan identitas divergensi. Divergensi 21

36 22 muncul karena adanya kegagalan pasar atau terdapat kebijakan pemerintah yang distortif. Pertama, kegagalan pasar. Pasar dikatakan gagal apabila tidak mampu menciptakan harga yang kompetitif dan menciptakan alokasi sumberdaya maupun produk yang efisien. Ada 3 jenis kegagalan pasar yang menyebabkan divergensi. Pertama, monopoli (penjual yang menguasai harga di pasar) atau monopsoni (pembeli menguasai harga pasar). Kedua, negative externalities (biaya, dimana pihak yang menimbulkan terjadinya biaya tersebut tidak bisa dibebani biaya yang ditimbulkannya) atau positive externalities (manfaat, dimana pihak yang menimbulkan manfaat tersebut tidak bisa menerima kompensasi atau imbalan atas manfaat yang ditimbulkannya). Ketiga, pasar faktor domestik yang tidak sempurna (tidak adanya lembaga yang dapat memberikan pelayanan yang kompetitif serta informasi yang lengkap). Kedua, kebijakan pemerintah yang distortif. Kebijakan yang distortif diterapkan untuk mencapai tujuan yang bersifat non-efisiensi seperti pemerataan atau ketahanan pangan. Kedua tujuan tersebut dapat menghambat terjadinya alokasi sumberdaya yang efisien sehingga menimbulkan divergensi. Kebijakan pemerintah yang efisien adalah intervensi pemerintah untuk memperbaiki kegagalan pasar sehingga menghapuskan divergensi. Selanjutnya, kolom pertama dari matriks PAM merupakan kolom penerimaan, kolom kedua merupakan kolom biaya input asing (tradable). Kolom ketiga merupakan kolom biaya input faktor domestik (non tradable) dan kolom keempat merupakan kolom keuntungan yang merupakan selisih antara penerimaan dengan biaya. Matriks PAM dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7 Matriks Analisis Kebijakan a Biaya Uraian Penerimaan Input Non- Keuntungan Input Tradable Tradable Privat A B C D Ekonomi E F G H Efek divergensi I J K L a Sumber : Pearson et al.2005 Keterangan : 1. Penerimaan privat (A) 2. Biaya Input Tradable Privat (B) 3. Biaya Input Domestik Privat (C) 4. Keuntungan Privat (D) = A-(B+C) 5. Penerimaan Sosial (E) 6. Biaya Input Tradable Sosial (F) 7. Rasio Biaya Privat (PCR) = C/(A-B) 8. Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRCR) = G/(E-F) 9. Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) = A/E 10. Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) = B/F 11. Koefisien Proteksi Efektif (EPC) = (A-B) / (E-F) 12. Koefisien Keuntungan (PC) = D/H 13. Rasio Subsidi untuk Produsen (SRP) = L/E

37 Biaya Input Domestik Sosial (G) 15. Keuntungan Sosial (H) = E-(F+G) 16. Transfer Output (I) = (A) (E) 17. Transfer Input (J) = (B) (F) 18. Transfer Faktor (K) = (C) (G) 19. Transfer Bersih (L) = (D) (H) = I (J+K) Matriks PAM mengidentifikasi 3 analisis. Ketiga analisis tersebut adalah analisis daya saing, analisis efisiensi atau keunggulan komparatif, dan analisis dampak kebijakan input, output, maupun input-output yang mempengaruhi sistem komoditas. Analisis daya saing ditentukan oleh nilai keuntungan privat dan rasio biaya privat (Private Cost Ratio/PCR) sedangkan analisis keunggulan komparatif ditentukan oleh nilai keuntungan sosial dan rasio biaya sumberdaya domestik (Domestic Resource Cost Ratio/DRCR). Kebijakan pemerintah dapat diterapkan pada input, output, maupun input-output. Untuk mengetahui dampak kebijakan pemerintah terhadap output dapat dilihat melalui nilai Transfer Output (TO) dan Koefisien Proteksi Output Nasional (Nominal Protection Coefficient on Output/NPCO) sedangkan untuk melihat dampak kebijakan pemerintah terhadap input dapat dilihat melalui nilai Transfer Input (TI), Transfer Faktor (TF), dan Koefisien Proteksi Nominal Input (Nominal Protection Coefficient on Inputs/NPCI). Untuk melihat dampak kebijakan pemerintah terhadap input-output dapat dilihat melalui nilai Koefisien Proteksi Efektif (Effective Protection Coefficient/EPC), Transfer Bersih (Net Transfer/NT), Koefisien Keuntungan (Profitability Coefficient/ PC), dan Rasio Subsidi Produsen (Subsidy Ratio to Producer/ SRP) (Monke dan Pearson 1989). Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat pengaruh perubahanperubahan parameter yang penting dalam sebuah sistem usahatani. Perubahan yang terjadi pada harga input akan berpengaruh kecil terhadap keuntungan karena input hanya bagian kecil dari total biaya. Sedangkan perubahan harga output akan berpengaruh besar karena mempengaruhi pendapatan secara keseluruhan (Pearson et al. 2005). Menurut Kadariah (2001), analisis sensitivitas dapat dilakukan dengan beberapa cara sederhana, antara lain : (1) mengubah besarnya variabel-variabel yang penting, masing-masing terpisah atau beberapa dalam kombinasi dengan suatu persentase dan menentukan seberapa besar kepekaan hasil perhitungan terhadap perubahan-perubahan tersebut; atau (2) menentukan dengan berapa sesuatu variabel harus berubah agar sampai kepada hasil perhitungan yang membuat proyek tidak dapat diterima.

38 24 Kerangka Pemikiran Operasional Susu merupakan salah satu produk hasil ternak yang dihasilkan oleh sapi perah. Kabupaten Boyolali merupakan produsen susu segar terbesar di Jawa Tengah berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah (2012). Banyak peternakan sapi perah rakyat yang terdapat di Kabupaten Boyolali karena kondisi cuaca yang cocok bagi perkembangan sapi perah. Oleh karena itu, sub sektor peternakan di Kabupaten Boyolali memiliki peranan yang cukup penting karena merupakan penyumbang PDRB terbesar kedua dari sektor pertanian setelah subsektor bahan makanan. Kebutuhan susu masyarakat Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan tingkat kesadaran kebutuhan gizi masyarakat. Namun, peningkatan konsumsi susu tidak diimbangi dengan peningkatan produksi susu dalam negeri. Hal ini menyebabkan terjadinya excess demand komoditas susu. Peningkatan produksi susu yang lambat diperkirakan karena kecilnya skala usaha peternakan sapi perah rakyat di Indonesia yang dikelola dengan manajemen tradisional sehingga kurang efisien. Untuk mengatasi kondisi tersebut pemerintah melakukan impor susu. Namun, tingginya volume impor susu menyebabkan negara mengalami kerugian seperti berkurangnya devisa nasional. Ketergantungan Indonesia pada impor susu apabila tidak ditunjang dengan usaha-usaha kemandirian yang produktif akan mendorong ketergantungan yang semakin mendalam. Ketergantungan Indonesia pada susu impor menunjukkan bahwa daya saing usaha ternak sapi perah masih rendah terutama pada hasil akhir atau output yaitu susu. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan penandatanganan Letter of Intent (LOI) antara IMF dan pemerintah Indonesia. Sejak penandatanganan LOI, kebijakan pemerintah yang membatasi impor susu melalui BUSEP dan penetapan tarif impor menjadi tidak berlaku sehingga susu impor menjadi komoditas bebas masuk. Selanjutnya, pada tahun 2009 pemerintah kembali mengenakan tarif bea masuk (BM) atas impor susu yang terdapat dalam peraturan menteri keuangan (PMK) No. 101/PMK.011/2009 tentang Penetapan Tarif Bea Masuk Atas Impor Produk-Produk Susu Tertentu. Dalam PMK tersebut, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa tarif BM dikenakan atas impor produkproduk susu tertentu sebesar 5 persen yang meliputi produk susu mentega, susu dan kepala susu dikentalkan, yoghurt, kefir, dan susu serta kepala susu diragi atau diasamkan lainnya dan yang dipekatkan atau tidak. Penetapan PMK tertanggal 28 Mei 2009 tersebut dalam rangka mendukung pengembangan industri susu dalam negeri. Oleh karena itu, sejak PMK ini diberlakukan tarif impor produk susu sebesar 0 persen tidak diberlakukan lagi. Pembangunan peternakan merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, dan swasta. Oleh karena itu, pemerintah perlu menetapkan suatu kebijakan untuk meningkatkan daya saing peternakan sapi perah rakyat agar program swasembada susu 2020 dapat tercapai. Kebijakan tersebut harus berpihak pada peternak melalui pemberian subsidi pakan, obatobatan, dan kredit modal. Penelitian ini dilakukan untuk mengukur daya saing peternakan sapi perah rakyat dengan menggunakan matriks PAM. Matriks PAM digunakan untuk

39 menganalisis beberapa komponen seperti daya saing (Rasio Biaya Privat (PCR) dan keuntungan privat), efisiensi atau keunggulan komparatif (Biaya Sumberdaya Domestik (DRCR) dan keuntungan sosial), dan dampak kebijakan pemerintah yaitu kebijakan input (IT, FT, dan NPCI), kebijakan output (OT dan NPCO), serta kebijakan input-output (NT, EPC, PC, dan SRP). Setelah permasalahan dianalisis dengan menggunakan matriks PAM, tahapan selanjutnya adalah dianalisis dengan menggunakan analisis sensitivitas. Analisis sensitivitas digunakan untuk mengetahui perubahan keuntungan privat dan sosial serta efisiensi atau keunggulan komparatif dan daya saing dari peternakan sapi perah rakyat di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali. Skenario atau perubahan kebijakan yang akan digunakan dalam analisis sensitivitas mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Kustiari et al. yakni perubahan kebijakan output saat terjadi kenaikan tarif impor susu dari 5 persen menjadi 8 persen dan 5 persen menjadi 11 persen. Ringkasan proses penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3. 25

40 26 1. Rendahnya produksi susukarena usaha ternak sapi perah didominasi oleh peternakan sapi perahrakyat dengan skala usaha kecil 2. Penghapusan kebijakan rasio susu (BUSEP) sejak penandatanganan LOI tahun Excess demand komoditas susu menyebabkan tingginya impor susu Ketergantungan yang tinggi terhadap susu impor Tingginya volume impor diduga menunjukkan daya saing susu domestik yang rendah Sumberdaya Domestik : - Lahan - Sarana produksi - Tenaga kerja - Pemasaran Kebijakan Pemerintah berupa penetapan tarif impor sebesar 5% berdasarkan PMK Nomor 101/PMK 011/2009 setelah sebelumnya sebesar 0% Matriks Analisis Kebijakan (PAM) Keunggulan Kompetitif - Keuntungan privat - Rasio biaya privat (PCR) Keunggulan Komparatif - Keuntungan sosial - Biayasumberdaya domestik (DRC) DampakKebijakan Pemerintah - Kebijakan input - Kebijakan output - Kebijakan input-output Analisis Sensitivitas Hasil Akhir : - Gambaran daya saing di Kabupaten Boyolali - Dampakkebijakanpemerintahterhadappengembangan peternakan sapi perah rakyat di Kabupaten Boyolali Gambar 3 Kerangka pemikiran operasional daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap peternakan sapi perah rakyat di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali

41 27 METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Pemilihan Jawa Tengah dan Kabupaten Boyolali dilakukan secara sengaja (purposive sampling) berdasarkan data statistik dari Direktorat Jenderal Peternakan (2011c) yang menyebutkan bahwa Jawa Tengah merupakan provinsi ketiga yang memiliki usaha ternak sapi perah dengan produksi susu segar yang cukup tinggi setelah Jawa Timur dan Jawa Barat. Selanjutnya, Kabupaten Boyolali merupakan kabupaten yang memiliki usaha ternak sapi perah dengan produksi susu segar tertinggi di Jawa Tengah. Lokasi penelitian difokuskan di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive sampling) atas pertimbangan bahwa (1) Desa Singosari merupakan desa yang mayoritas warganya merupakan peternak sapi perah dengan produksi susu segar tertinggi di Kecamatan Mojosongo, (2) Kecamatan Mojosongo merupakan kecamatan sentra produksi susu segar di Kabupaten Boyolali. Pelaksanaan penelitian berlangsung pada bulan Februari sampai Maret Jenis, Sumber Data, dan Metode Pengambilan Data Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan pengamatan langsung (observasi), pengisian kuesioner, dan wawancara langsung kepada peternak, pengurus KUD Mojosongo, peloper susu, dan narasumber dari Dinas Peternakan Kabupaten Boyolali. Data sekunder dapat diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS), Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Dinas Peternakan Kabupaten Boyolali, dan studi pustaka dari literatur dan buku. Data sekunder yang dibutuhkan meliputi : (1) kebijakan pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten yang berkaitan dengan usaha ternak sapi perah dan komoditas susu, (2) data ekspor dan impor, (3) perkembangan harga susu (domestik dan impor), dan (4) nilai tukar. Untuk input dan output yang diperdagangkan secara internasional, harga sosial dapat dihitung berdasarkan harga perdagangan internasional. Untuk komoditas yang diimpor dipakai harga CIF (Cost, Insurance, and Freight). Untuk komoditas yang diekspor digunakan harga FOB (Free on Board). Selanjutnya, untuk menghitung harga sosial input non tradable digunakan prinsip opportunity cost. Metode Penentuan Sampel Dalam penelitian ini, responden yang diteliti adalah para peternak sapi perah rakyat yang berada di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali. Jumlah responden yang diambil sebanyak 30 orang peternak dengan menggunakan metode stratified proportionate random sampling dan membagi para peternak dalam 3 skala usaha berdasarkan kepemilikan jumlah sapi perah

42 28 laktasi (Erwidodo dan Sayaka 1998). Peternak yang memiliki sapi laktasi sebanyak 1 hingga 3 ekor dikategorikan sebagai usaha ternak skala kecil, kepemilikan sapi laktasi 4 hingga 7 ekor dikategorikan sebagai usaha ternak skala menengah, dan kepemilikan sapi laktasi lebih dari 7 ekor dikategorikan sebagai usaha ternak skala besar. Jumlah populasi peternak sapi perah di Desa Singosari sebanyak 80 orang, dimana jumlah peternak skala kecil sebanyak 52 orang, peternak skala menengah sebanyak 23 orang, dan peternak skala besar sebanyak 5 orang. Dari tiap strata diambil 19 peternak skala kecil, 9 peternak skala menengah, dan 2 peternak skala besar. Penentuan jumlah responden peternak sapi perah terkait dengan keadaan dari populasi yang bersifat homogen dalam hal struktur biaya sehingga jumlah 30 orang sampel dianggap sudah mewakili karakteristik dan keragaman struktur biaya usaha ternak sapi perah. Selain itu, alat analisis PAM lebih membutuhkan informasi yang banyak baik dari segi aspek maupun kedalaman dibandingkan dengan besarnya jumlah petani yang diwawancara karena bujet data untuk PAM dapat diambil dari contoh yang tidak terlalu besar (Pearson et al. 2005). Metode Analisis Data Analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif dan kuantitatif. Data yang diperoleh selanjutnya diolah dengan menggunakan Microsoft Excel. Pengolahan data terdiri dari 2 tahapan, yaitu analisis daya saing dengan menggunakan PAM dan analisis daya saing dengan adanya perubahan kebijakan pemerintah dengan menggunakan analisis sensitivitas. Pengolahan data dengan menggunakan alat analisis PAM harus melalui beberapa tahapan, yaitu (1) penentuan input usaha ternak sapi perah, (2) pengalokasian input ke dalam komponen tradable dan non tradable, (3) penentuan harga bayangan input dan output produksi. Hasil analisis PAM dapat digunakan untuk mengidentifikasi apakah komoditas susu segar yang dihasilkan dari peternakan sapi perah rakyat di Kabupaten Boyolali memiliki daya saing dengan adanya kebijakan input-output yang berlaku, mengidentifikasi perubahan keuntungan apabila kebijakan berubah, serta mengidentifikasi apakah suatu wilayah memiliki tingkat efisiensi yang tinggi atau rendah dalam memproduksi susu segar. Dengan demikian, dapat diketahui nantinya apakah Kabupaten Boyolali tetap memproduksi sendiri atau mengimpor susu. Penentuan Input dan Output Usaha Ternak Sapi Perah Dalam penelitian ini, input yang diperhitungkan adalah semua komponen input yang digunakan dalam proses produksi. Komponen input tersebut meliputi pakan ternak, obat-obatan, tenaga kerja, peralatan, lahan, pajak, biaya air, biaya listrik, dan biaya tataniaga. Output yang dihasilkan berupa susu segar yang siap dijual. Pengalokasian Komponen Biaya Asing dan Domestik Komponen biaya yang dikeluarkan selama proses produksi terdiri dari komponen biaya asing (tradable) dan domestik (non tradable). Pengalokasian biaya menjadi komponen biaya tradable dan non tradable dilakukan dengan 2

43 29 pendekatan, yaitu pendekatan langsung (direct approach) dan pendekatan total (total approach) (Monke dan Pearson 1989). Pendekatan langsung mengasumsikan bahwa seluruh biaya input tradable, baik impor maupun produksi dalam negeri, dinilai sebagai komponen biaya asing. Pendekatan ini dapat digunakan jika tambahan permintaan input tradable dipenuhi dari perdagangan internasional. Dengan kata lain, input non tradable yang berasal dari pasar domestik ditetapkan sebagai komponen domestik dan input asing yang digunakan dalam proses produksi barang non tradable tetap dihitung sebagai komponen biaya asing. Pendekatan total mengasumsikan bahwa setiap biaya dari input tradable dibagi ke dalam komponen biaya domestik dan asing serta digunakan apabila produsen domestik dilindungi. Penelitian ini menggunakan pendekatan total dalam mengalokasikan biaya ke dalam komponen biaya input tradable dan non tradable. Input yang termasuk dalam komponen tradable adalah pakan konsentrat, obat-obatan, serta biaya tataniaga. Selanjutnya, komponen input non tradable yaitu pakan hijauan, ampas tahu, tenaga kerja, sewa lahan, biaya air, biaya listrik, peralatan dan input lainnya sesuai dengan penggunaan tabel Input Output Metode Penentuan Biaya Tataniaga Biaya tataniaga adalah biaya yang dikeluarkan untuk menambah nilai atau kegunaan suatu barang akibat perubahan kegunaan tempat, kegunaan bentuk, dan kegunaan waktu (Gittinger 1986). Biaya tataniaga terdiri dari biaya transportasi pakan dari produsen hingga ke peternak dan biaya pengangkutan susu dari peternak hingga ke koperasi. Metode Penentuan Harga Bayangan (Harga Sosial) Harga bayangan adalah sebagian harga yang terjadi dalam perekonomian pada keadaan persaingan sempurna dan kondisinya dalam keadaan keseimbangan (Gittinger 1986). Untuk memperoleh nilai yang mendekati biaya imbangan atau harga bayangan perlu dilakukan penyesuaian terhadap harga pasar yang berlaku (harga privat). Hal ini perlu dilakukan karena cukup sulit menemukan kondisi biaya imbangan sama dengan harga pasar (harga privat). Alasan penggunaan harga bayangan adalah sebagai berikut : a) Harga privat tidak selalu mencerminkan apa yang sebenarnya diperoleh masyarakat melalui produksi yang dihasilkan dari aktivitas tersebut. b) Harga privat tidak selalu mencerminkan apa yang sebenarnya dikorbankan seandainya sejumlah sumber daya yang dipilih digunakan dalam aktivitas lain yang masih memungkinkan di masyarakat. Berikut metode yang digunakan untuk menentukan harga bayangan nilai tukar, harga bayangan output, dan harga bayangan input : 1. Harga Bayangan Nilai Tukar Penetapan nilai tukar rupiah didasarkan atas perkembangan nilai tukar mata uang asing yang menjadi acuan (US Dollar). Menurut Rosegrant et al. (1987) dalam Swastika dan Ilham (2001), menghitung harga bayangan nilai tukar mata uang asing adalah dengan mencari faktor konversi terhadap nilai tukar resmi. Metode tersebut dirumuskan sebagai berikut :

44 30 SCFt : Xt + Mt Mt ( Xt Txt) + ( Mt + Tmt) Keterangan : SCFt : Faktor konversi standar untuk tahun ke-t Xt : Nilai ekspor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp) Mt : Nilai impor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp) Txt : Penerimaan pemerintah dari pajak ekspor untuk tahun ke-t (Rp) Tmt : Penerimaan pemerintah dari pajak impor untuk tahun ke-t ( Rp) Setelah mendapatkan nilai SCFt, penentuan harga bayangan nilai tukar mata uang asing ditentukan dengan rumus Squire dan Van der Tak dalam Kadariah (2001) sebagai berikut : SER = OER SCF Keterangan : SER : Shadow Exchange Rate atau Nilai Tukar Bayangan ( Rp/US$) OER : Official Exchange Rate atau Nilai Tukar Resmi ( Rp/ US$) SCF : Standard Convertion Factor atau Faktor Konversi Standar Perhitungan harga bayangan nilai tukar didasarkan pada informasi total nilai ekspor dan impor Indonesia pada tahun 2013 serta total penerimaan pemerintah dari pajak ekspor dan impor untuk tahun Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (2013), nilai total ekspor (Xt) Indonesia pada tahun 2013 sebesar US$ dan nilai impor (Mt) sebesar US$. Selanjutnya, untuk penerimaan pemerintah dari pajak ekspor (TXt) sebesar Rp miliar dan penerimaan pemerintah dari pajak impor (TMt) sebesar Rp miliar. Menurut Saptana (1999) dalam Feryanto (2010), dengan adanya kebijakan makro di Indonesia yang menerapkan nilai tukar bebas atau mengambang (floating exchange rate) sejak tahun 1996 serta kebijakan deregulatif berupa penurunan tarif bea masuk dan pajak ekspor maka diasumsikan nilai tukar uang yang terjadi di pasar uang dapat menggambarkan harga bayangan nilai tukar uang. Berdasarkan asumsi tersebut, maka nilai kurs Rupiah terhadap US Dollar adalah rata-rata kurs nilai tengah yang terjadi pada saat penelitian berlangsung yakni bulan Februari dan Maret 2013 sebesar Rp /US Dollar (Bank Indonesia 2013). Berdasarkan data-data di atas, maka dapat diperoleh nilai faktor konversi standar atau SCF sebesar 1.00 sehingga diperoleh nilai SER sebesar Rp /US$ 2. Harga Bayangan Output Harga perbatasan (border price) adalah harga yang digunakan sebagai harga bayangan output. Saat ini Indonesia berada dalam posisi sebagai negara pengimpor untuk produk susu dan sapi perah bibit. Komoditas susu segar yang dihasilkan peternak di lokasi penelitian merupakan substitusi impor. Oleh karena itu, harga bayangan output yang dipakai adalah harga CIF (Cost, Insurance, Freight) di pelabuhan impor yang telah dikonversi terlebih dahulu dengan menggunakan harga bayangan nilai tukar Rupiah SER (Shadow Exchange Rate)

45 31 ditambah biaya tataniaga yang dikeluarkan dari pelabuhan ke IPS sehingga dapat dirumuskan sebagai berikut : Harga bayangan output = [(cif x SER) + biaya tataniaga] Untuk menghitung harga susu dunia setara dengan harga susu segar dalam negeri, peneliti menggunakan formulasi yang mengacu kepada Erwidodo dan Sayaka dalam Atien et al. (2009). Formulasi tersebut menggunakan pendekatan dimana harga susu dunia dihitung atas dasar harga satu kilogram Full Cream Milk Powder (FCMP) setara dengan 8 liter susu segar. Sekitar 80 persen biaya satu kilogram FCMP merupakan biaya susu segar ditambah biaya tataniaga (biaya transportasi dan handling/bongkar muat) dari pelabuhan sampai ke peternak yaitu sebesar 2.5 persen. Perhitungan harga susu FCMP didasarkan pada data rata-rata harga susu bulan Februari hingga Maret 2013 (International Dairy Product Prices 2013). Harga rata-rata susu FCMP per liter setelah dikonversi sebesar Rp Harga tersebut sudah termasuk biaya pengapalan dan asuransi. Selanjutnya, harga bayangan susu yang digunakan sebesar Rp per liter susu, nilai tersebut diperoleh dari harga susu impor dikalikan dengan SER dan ditambah 2.5 persen biaya tataniaga. 3. Harga Bayangan Input a. Harga Bayangan Pakan Ternak dan Obat-obatan Pakan yang digunakan oleh para peternak di peternakan sapi perah rakyat terdiri dari pakan hijauan, pakan konsentrat, dan ampas tahu. Pakan hijauan yang dibutuhkan oleh peternak sebagian besar diperoleh dari lahan tegalan baik sewa maupun pribadi sedangkan pakan konsentrat dan ampas tahu dibeli oleh peternak melalui koperasi, pasar, maupun peloper susu. Penentuan harga bayangan pakan disamakan dengan harga yang berlaku di pasar karena sejak tahun 2000 subsidi pakan telah dicabut. b. Harga Bayangan Tenaga Kerja Dalam pasar persaingan sempurna tingkat upah pasar mencerminkan nilai produktivitas marginalnya (Gittinger 1986). Tingkat upah memiliki nilai yang berbeda untuk setiap kriteria tenaga kerja. Untuk tenaga kerja terdidik, upah tenaga kerja bayangan sama dengan upah pasar (finansial) sedangkan untuk tenaga kerja tidak terdidik, harga bayangan upahnya disesuaikan terhadap harga upah pasar (finansial) dengan asumsi tenaga kerja tersebut belum bekerja sesuai dengan tingkat produktivitasnya. Tenaga kerja yang digunakan oleh peternak dalam membantu usahanya merupakan tenaga kerja tidak tetap dan pada umumnya tidak terdidik sehingga harga bayangan tenaga kerja dihitung dengan menggunakan pendekatan perhitungan yang dilakukan Yusdja (2001) dan Suryana (1980) dalam Emilya (2001) yaitu sebesar 80 persen dari tingkat upah yang berlaku di daerah penelitian. c. Harga Bayangan Lahan Lahan merupakan salah satu faktor produksi yang termasuk ke dalam input non tradable dalam sistem usahatani. Menurut Gittinger (1986), harga bayangan lahan ditentukan berdasarkan nilai sewa lahan yang

46 32 diperhitungkan tiap musim tanam yang berlaku di masing-masing tempat. Namun, cukup sulit untuk mengukur nilai dari suatu usahatani yang dilakukan dalam suatu lahan oleh karena itu penentuan harga bayangan dilakukan berdasarkan nilai sewa lahan tersebut. d. Harga Bayangan Pajak Dalam penelitian ini, harga bayangan pajak dikeluarkan dari penilaian harga bayangan. Oleh karena itu, harga finansial untuk pajak bumi dan bangunan (PBB) dalam penelitian ini dihitung dalam waktu satu bulan sedangkan harga bayangannya tidak diperhitungkan. Hal ini dikarenakan pajak merupakan bagian dari hasil neto proyek yang diserahkan kepada pemerintah untuk digunakan bagi kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan. Oleh karena itu, pajak tidak dianggap sebagai biaya (Kadariah 2001). Matriks Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix) PAM (Policy Analysis Matrix) merupakan salah satu alat analisis yang digunakan untuk menganalisis daya saing, efisiensi atau keunggulan komparatif, serta dampak kebijakan pemerintah terhadap sistem komoditas. Metode PAM membantu pengambil kebijakan baik di pusat maupun daerah untuk menelaah 3 isu sentral analisis kebijakan pertanian. Isu pertama, apakah sebuah sistem usahatani memiliki daya saing pada tingkat harga dan teknologi yang ada. Sebuah kebijakan harga akan mengubah nilai ouput, biaya input, dan keuntungan privat. Perbedaan keuntungan privat sebelum dan sesudah kebijakan menunjukkan adanya pengaruh dari perubahan kebijakan atas daya saing pada tingkat harga aktual (harga pasar). Isu kedua, adalah dampak investasi publik berupa pembangunan infrastruktur baru terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani. Efisiensi diukur dengan tingkat keuntungan sosial berdasarkan harga efisiensi. Perbedaan keuntungan sosial sebelum dan sesudah adanya investasi publik menunjukkan adanya peningkatan keuntungan sosial. Isu ketiga, yaitu dampak investasi baru dalam bentuk riset atau teknologi pertanian terhadap tingkat efisiensi sistem usahatani. Perbedaan keuntungan sosial sebelum dan sesudah investasi dalam bentuk riset menunjukkan manfaat dari investasi tersebut (Pearson et al. 2005). Beberapa indikator kunci yang dapat diperoleh dari PAM antara lain : 1. Analisis Keuntungan Privat dan Sosial a. Private Profitability (PP), D = A ( B + C ) Keuntungan privat merupakan indikator daya saing dari sistem komoditas berdasarkan teknologi, nilai output, biaya input, dan transfer kebijakan. Nilai keuntungan privat diperoleh dari pengurangan pendapatan privat dengan biaya privat yang sesungguhnya dibayarkan atau diterima petani. Apabila D>0, maka sistem komoditas menghasilkan keuntungan di atas biaya normal sehingga secara finansial layak diusahakan. b. Social Profitability (SP), H = E ( F + G ) Keuntungan sosial merupakan indikator efisiensi atau keunggulan komparatif dari sistem komoditas pada kondisi tidak ada divergensi harga akibat kebijakan. Apabila H>0, maka sistem komoditas layak dikembangkan karena efisien dan dapat memberikan keunggulan komparatif, sebaliknya jika H<0, maka sistem komoditas tidak efisien,

47 tidak memiliki keunggulan komparatif dan tidak menguntungkan secara ekonomi. 2. Analisis Daya Saing dan Keunggulan Komparatif (Efisiensi Ekonomi) a. Private Cost Ratio (PCR) = C/(A-B) Nilai PCR menunjukkan nilai efisiensi suatu aktivitas ekonomi secara finansial. Merupakan indikator yang menunjukkan kemampuan sistem usahatani untuk membiayai faktor domestik pada harga privat dan tetap kompetitif. Apabila PCR<1, maka sistem komoditas semakin memiliki daya saing. b. Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) = G/(E-F) Nilai DRCR menunjukkan kemampuan suatu sistem komoditas membiayai faktor domestik pada harga sosial. Merupakan indikator yang menunjukkan seberapa besar jumlah sumberdaya domestik dapat dihemat untuk menghasilkan satu unit devisa. Jika sistem komoditas memiliki nilai DRCR<1, maka suatu aktivitas ekonomi atau sistem komoditas tersebut semakin efisien, memiliki keunggulan komparatif yang tinggi, dan mampu bertahan tanpa bantuan serta intervensi pemerintah. Terdapat beberapa asumsi yang harus dipenuhi agar konsep DRCR dapat diterapkan dalam analisis ekonomi yaitu (1) ada pengaruh dari pemerintah pada nilai tukar, (2) ada pengaruh dalam perdagangan komoditas yang dianalisis berupa peraturan dan pembatasan dari pemerintah, (3) output bersifat tradable, (4) biaya produksi dari tambahan satu satuan output ditentukan oleh hubungan input-output (teknologi) yang konstan dan harga relatif faktor input tetap, dan (5) harga bayangan input dan output serta nilai tukar uang yang dapat dihitung dan mewakili biaya sumberdaya sosial yang sebenarnya. 3. Dampak Kebijakan Pemerintah a. Kebijakan Output (1) Output Transfer (OT) = A-E Transfer output merupakan selisih antara penerimaan privat dengan penerimaan sosial. Nilai OT menunjukkan adanya kebijakan pemerintah yang ditetapkan pada output sehingga menyebabkan terjadinya perbedaan pada harga output privat dan sosial. Jika nilai OT positif atau OT>0 maka terdapat instrumen kebijakan pemerintah berupa transfer (insentif) dari konsumen terhadap produsen. Hal ini menyebabkan konsumen mendapat harga yang lebih tinggi dari harga sebenarnya. Namun apabila nilai OT negatif atau OT<0 berarti kebijakan pemerintah melalui mekanisme pasar output menyebabkan harga output domestik lebih rendah dari harga sosial. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah belum sepenuhnya memberikan insentif optimal terhadap pengembangan usaha komoditas dan konsumen mendapat harga yang lebih rendah dari harga sebenarnya. (2) Nominal Protection Coeficient on Output (NPCO) = A/E Nilai NPCO menunjukkan seberapa besar harga output domestik (harga privat) berbeda dengan harga sosial. Jika nilai NPCO>1 maka kebijakan pemerintah bersifat protektif terhadap output. Hal 33

48 34 ini menyebabkan harga aktual komoditas yang diterima petani lebih besar dari harga sosial sehingga kebijakan pemerintah mendorong peningkatan produksi. Semakin besar nilai NPCO maka semakin tinggi proteksi pemerintah terhadap output. b. Kebijakan Input (1) Input Transfer (IT), J= B-F Transfer input terjadi ketika terdapat perbedaan pada harga input tradable yang menyebabkan biaya input tradable privat berbeda dengan biaya sosial. Nilai IT yang positif menyebabkan pajak atau transfer sumberdaya keluar dari sistem. Hal ini menunjukkan besarnya transfer melalui penerapan tarif impor kepada produsen. (2) Nominal Protection Coefficient on Tradable Input (NPCI), = B/F NPCI merupakan rasio untuk mengukur transfer input tradable. NPCI menunjukkan seberapa besar perbedaan harga domestik dari input tradable dengan harga sosial. Jika nilai NPCI>1 maka biaya domestik lebih mahal daripada biaya input pada tingkat harga dunia. Hal ini menunjukkan adanya proteksi pada produsen input yang dapat menyebabkan kerugian bagi sektor yang menggunakan input tersebut karena biaya produksi menjadi lebih tinggi. Sebaliknya, jika nilai NPCI<1 maka biaya input domestik lebih rendah dibandingkan dengan biaya input pada tingkat harga dunia. Hal ini menunjukkan adanya subsidi oleh kebijakan yang ada sehingga proses produksi pada usahatani menggunakan input dalam negeri. (3) Trasfer Factor (TF), K = C-G Transfer faktor disebabkan karena adanya perbedaan pada faktor domestik yang menyebabkan harga privat domestik berbeda dengan harga sosial. Transfer faktor dapat bernilai positif atau negatif. Transfer faktor yang bernilai positif berarti terdapat transfer sumberdaya keluar sistem atau menyebabkan terjadinya implisit pajak. Sedangkan transfer faktor bernilai negatif berarti terdapat transfer sumberdaya ke dalam sistem atau menyebabkan terjadinya implisit subsidi. c. Kebijakan Input- Output (1) Effective Protection Coefficient (EPC) = (A-B) / (E-F) Merupakan indikator tingkat proteksi simultan terhadap inputoutput tradable. Kebijakan bersifat protektif jika nilai EPC>1. Semakin besar nilai EPC, berarti semakin tinggi tingkat proteksi pemerintah terhadap komoditas pertanian domestik. (2) Net Transfer, L = D-H Nilai transfer bersih menunjukkah selisih antara keuntungan privat dengan keuntungan sosial. Transfer bersih adalah penjumlahan dari transfer output, transfer input, dan transfer faktor domestik. Apabila L>1 maka terjadi penambahan pada surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input dan output. Sedangkan apabila nilai L<1 berarti terjadi pengurangan pada surplus produsen akibat dari adanya suatu kebijakan yang diterapkan pada input dan output. (3) Profitability Coefficient (PC) = D/H

49 35 Dampak dari seluruh transfer atas keuntungan privat dapat diukur dengan Profitability Coefficeint (PC). Jika PC>1 berarti secara keseluruhan kebijakan pemerintah memberikan insentif kepada produsen. (4) Subsidy Ratio to Producer (SRP) = (D-H)/E Merupakan indikator yang menunjukkan seluruh dampak transfer yang merupakan perbandingan antara transfer bersih dengan nilai output pada tingkat harga dunia. Nilai SRP yang negatif menggambarkan kebijakan pemerintah atau distorsi pasar yang ada memberikan dampak yang merugikan kepada aktivitas ekonomi atau sistem komoditas. Sebaliknya, apabila SRP bernilai positif maka kebijakan pemerintah memberikan dampak yang menguntungkan. Analisis Sensitivitas Setelah dilakukan analisis dengan metode PAM maka perlu dilakukan analisis sensitivitas yang bertujuan untuk melihat bagaimana hasil analisis suatu aktivitas ekonomi bila terjadi perubahan dalam perhitungan biaya atau manfaat. Suatu analisis kepekaan dilakukan dengan mengubah suatu unsur atau mengkombinasikan unsur-unsur dan menentukan pengaruh dari perubahan tersebut pada analisis semula. Menurut Kadariah (1978), analisis sensitivitas dapat dilakukan melalui beberapa cara yang meliputi (1) mengubah besarnya variabelvariabel yang penting, masing-masing terpisah atau beberapa dalam kombinasi dengan suatu persentase dan menentukan seberapa besar kepekaan hasil perhitungan terhadap perubahan-perubahan tersebut, dan (2) menentukan tingkat perubahan yang membuat proyek tidak dapat diterima. Analisis sensitivitas dapat membantu dalam menentukan unsur-unsur kritikal yang berperan dalam menentukan hasil dan proyek. Analisis kepekaan dilakukan dengan mengubah suatu unsur atau kombinasi unsur kemudian menentukan pengaruh dari perubahan tersebut terhadap hasil analisis. Kelemahan dari analisis sensitivitas adalah (1) analisis sensitivitas tidak digunakan untuk pemilihan proyek karena merupakan analisis parsial yang hanya mengubah parameter pada suatu saat tertentu, (2) analisis sensitivitas hanya mencatat apa yang terjadi jika variabel berubah-ubah dan bukan menentukan layak atau tidak layak suatu proyek. Idealnya setiap kemungkinan adanya perubahan atau kesalahan dalam dasar perhitungan, dipertimbangkan dalam analisis sensitivitas. Skenario atau perubahan kebijakan yang akan digunakan pada analisis sensitivitas dalam penelitian ini adalah saat terjadi kenaikan tarif impor susu dari 5 persen menjadi 8 persen dan 11 persen. GAMBARAN UMUM Gambaran Umum Wilayah Gambaran Umum Kabupaten Boyolali Kabupaten Boyolali merupakan produsen susu segar terbesar di Provinsi Jawa Tengah. Secara geografis Kabupaten Boyolali terletak antara

50 36 sampai Bujur Timur dan 7 7 sampai 7 36 Lintang Selatan, dengan ketinggian antara 75 sampai meter di atas permukaan laut. Wilayah Kabupaten Boyolali dibatasi oleh Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Semarang di sebelah Utara; Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sragen, dan Kabupaten Sukoharjo di sebelah Timur; Kabupaten Klaten dan Daerah Istimewa Yogyakarta di sebelah Selatan; serta Kabupaten Magelang dan Kabupaten Semarang di sebelah Barat. Wilayah Kabupaten Boyolali termasuk iklim tropis dengan ratarata curah hujan sekitar milimeter per tahun dengan ketinggian wilayah dari 75 dpl hingga dpl. Gambaran Umum Kecamatan Mojosongo Kecamatan Mojosongo terdiri dari 13 desa dan berpenduduk jiwa, terdiri dari jiwa penduduk laki-laki dan jiwa penduduk perempuan. Memiliki luas wilayah km 2. Wilayah Kecamatan Mojosongo dibatasi oleh Kabupaten Semarang di sebelah Utara, Kecamatan Teras di sebelah Timur, Kabupaten Klaten di sebelah Selatan, dan Kecamatan Boyolali serta Musuk di sebelah Barat. Kecamatan Mojosongo terletak pada ketinggian 100 hingga 400 dari permukaan air laut. Gambaran Umum Desa Singosari Desa Singosari terletak di Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah. Memiliki luas wilayah sebesar ha dan berbatasan dengan Desa Tambak di sebelah Utara, Desa Sedayu di sebelah Selatan, Desa Sukorejo di sebelah Barat, dan Desa Sudimoro serta Desa Tulung di sebelah Timur. Desa Singosari berjarak 8 kilometer dari Kecamatan Mojosongo, 6 kilometer dari Kabupaten Boyolali, dan 74 kilometer dari ibukota Provinsi Jawa Tengah. Desa Singosari memiliki curah hujan rata-rata 619 mm/tahun dan suhu udara rata-rata 29 C. Pada tahun 2012, jumlah penduduk di Desa Singosari mencapai orang yang terdiri dari orang laki-laki dan orang perempuan. Menurut mata pencaharian, mayoritas penduduk di Desa Singosari bekerja sebagai petani sebanyak orang atau persen, swasta sebanyak 694 orang atau persen, dan selebihnya bekerja sebagai buruh tani, PNS, pensiunan, pertukangan, wiraswasta, dan ABRI (Tabel 8). Tabel 8 Sebaran jumlah penduduk menurut mata pencaharian di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun 2012 a No. Mata Pencaharian Jumlah (Orang) Persentase (%) 1 Pegawai Negeri Sipil ABRI Swasta Wiraswasta Tani Pertukangan Buruh Tani Pensiunan Total a Sumber : Data Monograf Desa Singosari (2012)

51 37 Pada umumnya, penduduk Desa Singosari memelihara berbagai jenis hewan ternak. Hewan ternak yang paling banyak dipelihara oleh penduduk adalah sapi perah dengan proporsi persen, ayam kampung persen, sapi biasa persen, dan selebihnya adalah kambing, itik, dan kuda. Populasi sapi perah merupakan populasi terbesar diantara hewan ternak lainnya. Tabel 9 menunjukkan data populasi hewan ternak di Desa Singosari. Tabel 9 Sebaran jumlah populasi ternak menurut jenis ternak di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun 2012 a No. Jenis Ternak Populasi (Ekor) Persentase (%) 1 Ayam kampung Itik Kambing Sapi perah Sapi biasa Kuda Total a Sumber : Data Monograf Desa Singosari (2012) Gambaran Umum Responden Responden dalam penelitian ini adalah para peternak sapi perah rakyat yang berada di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali. Dalam penelitian ini, identitas responden yang penting meliputi beberapa aspek antara lain status usaha ternak, usia, tingkat pendidikan, pengalaman beternak, jenis dan jumlah kepemilikan sapi perah, pemeliharaan ternak, tenaga kerja, serta sistem pemasaran susu segar. Aspek-aspek tersebut penting karena mempengaruhi pelaksanaan usaha ternak sapi perah serta kuantitas dan kualitas hasil ternak. Status Usaha Ternak Usaha ternak sapi perah yang berada di Desa Singosari merupakan mix farming peternakan sapi perah dengan pertanian. Berdasarkan hasil wawancara dengan 30 responden, sebagian besar peternak sapi perah di Desa Singosari menjadikan usaha ternak sapi perah sebagai pekerjaan utama dengan proporsi persen atau 29 orang dan 3.33 persen atau 1 orang menjadikan usaha ternak sapi perah sebagai usaha sampingan (Tabel 10). Pekerjaan utama dari 1 orang responden tersebut adalah pegawai negeri. Tabel 10 Sebaran responden menurut status usahaternak sapi perah responden di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun 2013 Status Usahaternak Jumlah (Orang) Persentase (%) Utama Sampingan Jumlah

52 38 Usia Tabel 11 menunjukkan bahwa usia responden paling dominan berada pada rentang 51 sampai 57 tahun dengan proporsi sebesar persen. Selanjutnya, usia responden dengan proporsi paling kecil sebesar 6.67 persen terletak pada selang usia 23 sampai 29 tahun. Pada umumnya peternakan sapi perah rakyat dikelola oleh keluarga dengan melibatkan suami, istri, dan anak (Sobahi dan Setiadi 2010). Namun, saat ini tenaga kerja anak atau muda yang bekerja pada sektor usaha ternak sapi perah mulai berkurang. Hal ini terjadi karena kecenderungan tenaga kerja anak atau muda lebih memilih bekerja pada sektor industri dibandingkan sektor usaha ternak sapi perah dengan alasan pendapatan yang lebih tinggi. Tabel 11 Sebaran responden menurut usia di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun 2013 Selang Usia (Tahun) Jumlah (Orang) Persentase (%) Jumlah Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan responden akan berpengaruh terhadap tingkat penyerapan teknologi dan ilmu pengetahuan. Tabel 12 menunjukkan tingkat pendidikan responden yang beragam. Tingkat pendidikan responden yang paling dominan adalah Sekolah Menengah Atas (SMA) dengan proporsi sebesar persen, SD dengan proporsi persen, SMP dengan proporsi persen, dan 6.67 persen responden tidak bersekolah. Selanjutnya, hanya 1 peternak atau 3.33 persen responden yang merupakan lulusan Perguruan Tinggi (S1). Tabel 12 Sebaran responden menurut tingkat pendidikan di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun 2013 Tingkat Pendidikan Jumlah (Orang) Persentase (%) Tidak Sekolah SD (sederajat) SMP (sederajat) SMA (sederajat) Diploma Sarjana S Total Pengalaman Beternak Sebagian besar responden telah lama berprofesi sebagai peternak sapi perah karena beternak merupakan usaha turun-temurun di Desa Singosari. Pada

53 39 umumnya para responden memperoleh pemahaman tentang teknik budidaya sapi perah secara tradisional yang diwariskan secara verbal dan demonstrasi dari satu generasi ke generasi berdasarkan observasi dan pengalaman selama bertahuntahun. Tabel 13 menunjukkan bahwa rata-rata pengalaman beternak responden sudah lebih dari 7 tahun. Responden dengan pengalaman beternak 19 hingga 24 tahun dan 25 hingga 30 tahun memiliki proporsi sebesar persen. Hanya terdapat 10 persen responden dengan pengalaman beternak kurang dari 7 tahun. Hal ini terjadi karena sebelum menjadi peternak, responden telah memiliki pekerjaan lain. Tabel 13 Sebaran responden menurut pengalaman beternak sapi perah di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun 2013 Pengalaman Beternak ( Tahun) Jumlah (Orang) Persentase (%) Total Jenis dan Jumlah Kepemilikan Sapi Perah Pada umumnya, jenis sapi perah yang dipelihara dan diusahakan oleh para peternak di Desa Singosari adalah jenis sapi perah peranakan FH (Fries Hollands) yang merupakan hasil silangan dari jenis FH dengan lokal (Dhian Mujiwiyati 7 Desember 2012, komunikasi pribadi). Peternak tidak hanya memelihara sapi perah yang produktif (sapi laktasi) tetapi juga yang non produktif. Sapi-sapi non produktif terdiri dari sapi kering kandang, pedet betina, pedet jantan, dan pejantan. Tabel 14 menunjukkan bahwa peternakan skala besar memiliki sapi perah produktif terbanyak dibandingkan skala menengah dan skala kecil dengan perbandingan antara sapi perah produktif dan non produktif adalah 9.5:6, pada peternakan skala menengah adalah 4.9:4.6, dan pada peternakan skala kecil adalah 2.3:4.9. Peternakan skala kecil memelihara sapi perah non produktif lebih banyak dibandingkan sapi perah produktif. Hal ini dapat mengakibatkan besarnya biaya produksi terutama biaya pakan dan mengurangi keuntungan peternak karena biaya pemeliharaan sapi perah non produktif dibebankan kepada sapi perah produktif. Oleh karena itu, sebaiknya peternak membatasi jumlah sapi non produktif yang dipelihara agar keuntungan yang diperoleh peternak dapat maksimal. Menurut Siregar (1996), usaha ternak sapi perah mencapai tingkat ekonomis apabila jumlah sapi laktasi yang dipelihara mencapai 70 sampai 80 persen dari jumlah keseluruhan sapi perah induk yang dipelihara. Sapi induk adalah sapi laktasi dan sapi yang sedang kering kandang.

54 40 Tabel 14 Sebaran jumlah populasi ternak sapi perah pada tiap skala usaha di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun 2013 Jumlah Kepemilikan Sapi (Ekor) Skala Usaha Sapi Laktasi Sapi Kering Pedet Betina Pedet Jantan Sapi Pejantan Skala kecil Skala menengah Skala besar Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata seekor sapi laktasi di Desa Singosari mampu memproduksi susu segar sebanyak liter per hari. Tabel 15 menunjukkan bahwa kepemilikan sapi laktasi didominasi oleh responden dengan sapi laktasi sebanyak 3 sampai 4 ekor atau persen dan hanya 6.67 persen responden yang memiliki sapi laktasi 9 sampai 10 ekor. Tabel 15 Sebaran responden menurut jumlah kepemilikan sapi laktasi di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun 2013 Jumlah Kepemilikan Sapi Laktasi (ekor) Jumlah (Orang) Persentase (%) Total Pemeliharaan Sapi Perah Pemeliharaan ternak yang dilakukan oleh para peternak di Desa Singosari meliputi pencarian pakan hijauan, pemberian pakan, pembersihan kandang, dan pemerahan. a. Pencarian Pakan Hijauan (Mengarit) Kegiatan pencarian pakan hijauan (mengarit) biasa dilakukan oleh peternak dari pagi hingga siang hari. Peternak mencari pakan hijauan di tegalan milik sendiri atau sewa. Biasanya kegiatan pencarian pakan juga diselingi dengan kegiatan pemeliharaan tanaman tegalan seperti jagung, singkong, pepaya, dan kacang tanah. b. Pemberian Pakan Pakan merupakan salah satu faktor yang menentukan kemampuan berproduksi sapi perah. Tujuan utama pemberian pakan pada sapi perah adalah untuk memproduksi susu pada induk laktasi, memenuhi kebutuhan hidup, serta memenuhi kebutuhan gizi untuk pertumbuhan bagi ternak muda. Pada sapi laktasi agar tercapai produksi susu yang optimal perlu mendapatkan pakan yang cukup, baik kualitas maupun kuantitas (Puslitnak 2009).

55 41 Biaya pakan merupakan biaya terbesar dalam pengusahaan ternak sapi perah. Menurut Siregar (1996), biaya pakan dapat mencapai 2/3 dari keseluruhan biaya variabel. Hal ini sependapat dengan penelitian Yusdja (2005) yang menyatakan bahwa biaya pakan dapat mencapai 62.5 persen dari keseluruhan struktur biaya produksi untuk memproduksi susu (Tabel 16). Oleh karena itu, peternak diharapkan dapat melakukan tindakan efisiensi terhadap pakan untuk menekan biaya pakan serendah mungkin tanpa berakibat terhadap penurunan produksi susu. Tabel 16 Struktur biaya produksi susu per liter Tahun 2005 a No. Uraian Komponen Biaya Proporsi (%) 1 Bibit Upah tenaga kerja Pakan Perawatan ternak Bangunan Biaya modal Pemasaran 1.6 Total a Sumber: Yusdja (2005) Pakan sapi perah terdiri dari hijauan, konsentrat, dan pakan tambahan. Pada umumnya, hijauan yang diberikan untuk sapi perah meliputi rumput gajah (Penniseum purpureum), rumput lapangan, dan jerami padi. Peternak memperoleh rumput gajah dan rumput lapangan dari kegiatan mengarit di tegalan dari pagi hingga siang hari sedangkan pakan jerami yang digunakan oleh peternak biasanya dibeli dari agen dengan kisaran harga Rp per colt hingga Rp per colt. Akan tetapi, pada saat musim kemarau biasanya peternak mengalami kesulitan dalam memperoleh pakan hijauan sehingga harus memasok dari luar kota untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak. Konsentrat merupakan suatu bahan pakan yang digunakan bersama bahan pakan lain untuk meningkatkan keserasian gizi dari keseluruhan pakan yang dimaksudkan untuk disatukan dan dicampur sebagai pelengkap (Puslitnak 2009). Menurut Sudono (1987), konsentrat mengandung kadar energi dan protein yang tinggi serta kandungan serat kasar yang rendah. Terdapat beberapa peternak yang menggunakan brand polar sebagai pengganti konsentrat. Pakan konsentrat dan brand polar biasanya diperoleh peternak di KUD Mojosongo, Pasar Nganggrung, atau loper susu dengan harga yang bervariasi. Peternak biasanya membeli konsentrat dengan kisaran harga Rp per kilogram hingga Rp per kilogram dan brand polar dengan kisaran harga Rp per kilogram hingga Rp per kilogram. Peternak yang menggunakan brand polar di daerah penelitian mayoritas merupakan peternak skala kecil dan menengah sedangkan peternak skala besar tidak menggunakan brand polar sebagai pakan. Banyak peternak yang mengeluhkan tentang tingginya harga konsentrat namun tidak diimbangi dengan kenaikan harga susu. Untuk peternak yang menjual susu ke KUD Mojosongo, setiap pembelian konsentrat, peternak akan memperoleh subsidi sebesar 25 rupiah per kilogram. Namun, konsentrat yang disediakan oleh KUD memiliki kualitas rendah. Pemberian konsentrat berkualitas rendah dapat menurunkan kemampuan

56 42 sapi perah dalam memproduksi susu dan memperpendek umur ekonomis sapi perah hanya mencapai laktasi ketujuh (Saptati dan Rusdiana 2008). Pakan tambahan yang biasa diberikan peternak meliputi ampas tahu, ampas onggok, dan singkong. Ampas tahu biasanya diperoleh peternak dari para loper susu dan agen di Pasar Nganggrung. Harga ampas tahu cukup bervariasi dengan kisaran harga Rp 500 per kilogram hingga Rp 550 per kilogram. Sebaliknya, untuk pembelian ampas onggok tidak dihitung per kilogram namun per colt (truk kecil untuk mengangkut pakan). Harga ampas onggok juga cukup bervariasi dengan kisaran harga Rp per colt hingga Rp per colt. Ampas onggok dibeli oleh peternak dari industri rumah tangga mie soun yang terdapat di Kabupaten Boyolali. Selanjutnya, pakan singkong biasanya diperoleh peternak dari memanen di tegalan atau membeli di Pasar Nganggrung dengan kisaran harga Rp per kilogram hingga Rp per kilogram. Biasanya, sebelum singkong dicampur dengan bahan pakan lainnya, singkong dipotong kecil-kecil terlebih dahulu agar lebih mudah dikonsumsi oleh sapi. Namun, hanya beberapa peternak yang menggunakan ampas onggok dan singkong sebagai pakan tambahan. Kegiatan pemberian pakan di Desa Singosari dikenal dengan istilah ngombor. Ngombor dilakukan 2 kali dalam sehari yaitu pagi dan sore sebelum peternak melakukan kegiatan pemerahan. Terdapat 2 cara pemberian pakan (ngombor) yang peneliti temukan di Desa Singosari yaitu ngombor basah dan ngombor kering. Ngombor basah merupakan cara pemberian pakan dengan mencampur konsentrat, ampas tahu, ampas onggok, cacahan singkong dan hijauan, serta air. Sebaliknya, cara ngombor kering merupakan cara pemberian pakan dengan mencampur konsentrat, ampas tahu, dan ampas onggok tanpa diberi air. Pakan hijauan dan air minum diberikan kepada ternak setelah komboran kering habis dimakan. c. Pembersihan Kandang Kandang dan sanitasi merupakan faktor yang sangat penting dalam keberhasilan beternak sapi perah. Kandang berfungsi sebagai tempat produksi dan perlindungan bagi ternak. Bangunan kandang harus menjamin kenyamanan ternak sehingga berproduksi maksimal dan harus menunjang sanitasi yang baik sehingga mengurangi kontaminasi susu agar kualitasnya terjaga (Rohani 2012). Rata-rata kandang yang terdapat di Desa Singosari merupakan kandang konvensional dimana sapi perah ditempatkan dalam 1 jajaran. Berdasarkan konstruksinya, kandang konvensional yang dimiliki oleh peternak merupakan kandang tipe 1 baris yang menempatkan sapi perah pada 1 baris. Lantai kandang dibuat dari semen dan diberi matras karet namun terdapat pula peternak yang belum menggunakan matras karet. Umumnya, atap kandang menggunakan genting. Tiang kandang biasanya menggunakan bahan kayu, bambu, maupun semen. Pada umumnya, peternak membersihkan kandang sebelum kegiatan pemerahan agar susu terhindar dari kotoran dan bibit penyakit. Kegiatan pembersihan kandang di Desa Singosari dikenal dengan istilah nimpal. Saat kegiatan pembersihan kandang berlangsung, kotoran sapi dibuang di belakang kandang untuk dikumpulkan. Setelah terkumpul, biasanya kotoran akan dibiarkan hingga kering dan digunakan oleh peternak sebagai pupuk kandang.

57 43 d. Pemerahan Pada umumnya, sapi perah di Desa Singosari diperah 2 kali dalam sehari, yaitu pagi dan sore hari. Rata-rata penentuan jadwal pemerahan disesuaikan dengan jadwal setor susu ke KUD dan loper susu. Sebelum sapi diperah, biasanya peternak akan membersihkan ambing sapi terlebih dahulu dengan cara dilap dengan kain bersih yang sudah dicelupkan ke dalam air hangat. Para peternak biasanya memerah dengan cara manual, yakni dengan tangan dan jari tangan. Oleh karena itu, peternak pada umumnya menggunakan pelicin berupa margarin dan minyak goreng agar mudah saat memerah. Namun, penggunaan pelicin yang tidak direkomendasikan pemerintah dapat mengurangi kualitas susu yang dihasilkan oleh peternak. Peralatan-peralatan yang diperlukan saat pemerahan antara lain ember penampung susu, kain bersih untuk mengelap ambing, milk can, saringan, dan pelicin puting susu. Setelah kegiatan pemerahan selesai, peralatan yang digunakan biasanya dicuci bersih dan dikeringkan. Tenaga Kerja Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. KEP 102/MEN/VI/2004, tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Tenaga kerja pada usaha ternak sapi perah biasanya digunakan untuk kegiatan pencarian pakan, pembersihan kandang, pemberian pakan, dan pemerahan susu. Menurut Siregar (1996), jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan dalam usaha ternak sapi perah tergantung pada jumlah sapi perah yang dipelihara. Mayoritas usaha ternak sapi perah di Desa Singosari merupakan pekerjaan utama sehingga hanya sedikit responden peternak yang menggunakan tenaga kerja luar keluarga. Sistem Pemasaran Susu Segar Pemasaran susu segar merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi tingkat harga produk dan tingkat pendapatan produsen susu segar atau peternak. Susu segar hasil produksi para peternak umumnya dimanfaatkan oleh 2 kelompok yaitu rumah tangga dan pabrik-pabrik pengolah susu. Rumah tangga memanfaatkan susu untuk dikonsumsi secara langsung, sedangkan bagi pabrik-pabrik pengolahan susu dijadikan sebagai bahan baku produksi untuk diolah menjadi output tertentu. Para peternak di Desa Singosari lebih memilih menjual susu dalam bentuk susu segar karena keterbatasan modal untuk mengembangkan produk olahan, sulitnya mencari perijinan untuk produk olahan, dan kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap kualitas susu lokal. Berdasarkan hasil pengamatan di lapang,dari 30 responden sebagian besar peternak menjual susu segar ke KUD Mojosongo dengan proporsi persen atau 10 orang, diikuti dengan penjualan ke Pak Bonggol sebesar 30 persen atau 9 orang, penjualan ke Pak Pramono sebesar persen peternak atau 7 orang, dan sisanya sebesar persen atau 4 orang melakukan penjualan ke Pak Muhtadi. Mayoritas responden menjual susu segarnya kepada KUD Mojosongo karena umumnya para peternak di Desa Singosari merupakan anggota KUD Mojosongo. Harga susu yang ditawarkan oleh KUD Mojosongo sebesar Rp per liter. Namun semenjak harga beli KUD Mojosongo dianggap rendah dan tidak mampu

58 44 mengangkat kesejahteraan peternak, beberapa peternak beralih menjual hasil susu segarnya ke loper yang memiliki harga beli yang lebih tinggi. Terdapat 5 loper di Desa Singosari yakni Pak Pramono, Pak Muhtadi, Pak Bonggol, Pak Narno, dan Pak Dwi. Peternak Peloper susu 1 (Pak Bonggol) Peloper susu 2 (Pak Muhtadi) Peloper susu 3 (Pak Pramono) KUD Mojosongo Koperasi Andini Salatiga Peloper Susu di Jatinom Frisian Flag Indolacto Gambar 4 Rantai pemasaran komoditas susu di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun 2013 Pak Pramono merupakan loper susu untuk Koperasi Andini di Salatiga. Harga susu yang ditawarkan oleh Pak Pramono cukup tinggi. Susu yang memiliki kualitas A dihargai Rp per liter, kualitas B Rp per liter, dan kualitas C Rp per liter. Kualitas C merupakan kualitas susu yang paling rendah sehingga hanya dihargai Rp per liter karena merupakan peringatan untuk peternak agar selalu menjaga kualitas susunya. Apabila seorang peternak telah 3x diberi peringatan karena kualitas susu yang dihasilkan C maka untuk hari-hari berikutnya Pak Pramono akan menolak setoran susu dari peternak tersebut. Selanjutnya, susu yang telah dikumpulkan Pak Pramono akan dibawa ke Koperasi Andini di Salatiga untuk didinginkan dan selanjutnya dibawa ke Indolacto. Para loper lain seperti Pak Muhtadi, Pak Bonggol, Pak Narno, dan Pak Dwi merupakan loper yang bekerja sama dengan KUD Mojosongo. Fungsi dari loperloper tersebut adalah untuk mengurangi biaya transportasi peternak dalam menjual susu. Harga yang ditawarkan keempat loper tersebut juga cukup bervariasi tergantung kualitas susu. Setelah susu segar terkumpul pada para loper, susu akan dibawa ke KUD Mojosongo untuk selanjutnya dibawa ke Frisian Flag. Kualitas susu segar yang dihasilkan para peternak sangat bervariasi, namun dalam pengangkutannya disatukan dalam kontainer yang sama sehingga susu berkualitas rendah dengan kualitas tinggi bercampur. Pemilihan loper akan berpengaruh terhadap penerimaan susu. Terdapat peternak yang memilih untuk menjual susu segar ke loper yang menawarkan harga tinggi. Namun, terdapat pula beberapa peternak yang menjual hasil susu segar ke loper dengan harga murah karena masih tingginya budaya ewuh pakewuh atau keseganan untuk menjual susu ke loper lain karena alasan masih merupakan tetangga dekat.

59 45 Gambaran Umum Responden Berdasarkan Skala Usaha Gambaran umum responden berdasarkan skala usaha membagi para peternak dalam 3 skala usaha berdasarkan kepemilikan jumlah sapi perah laktasi. Peternak yang memiliki sapi laktasi sebanyak 1 hingga 3 ekor dikategorikan sebagai usaha ternak skala kecil, kepemilikan sapi laktasi 4 hingga 7 ekor dikategorikan sebagai usaha ternak skala menengah, dan kepemilikan sapi laktasi lebih dari 7 ekor dikategorikan sebagai usaha ternak skala besar (Erwidodo dan Sayaka 1998). Terdapat perbedaan biaya produksi dan keuntungan responden pada tiap skala usaha. Biaya produksi merupakan komponen utama dalam menentukan keuntungan peternak. Biaya produksi terdiri dari biaya variabel (variable cost) dan biaya tetap (fixed cost). Biaya variabel merupakan biaya yang besar kecilnya tegantung oleh output yang dihasilkan, meliputi biaya pakan, obat-obatan, dan transportasi. Sedangkan biaya tetap merupakan biaya yang jumlahnya tidak tergantung oleh output yang dihasilkan, meliputi biaya tenaga kerja, biaya air, biaya listrik, biaya sewa lahan, pajak, dan penyusutan. Semakin besar biaya yang harus dikeluarkan peternak sedangkan penerimaan dari penjualan susu tidak berubah, maka keuntungan peternak akan menurun. Penerimaan adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual (Soekartawi 1995). Perubahan biaya produksi disebabkan oleh 3 hal, antara lain (1) kenaikan harga-harga input utama, seperti konsentrat, (2) meningkatnya penggunaan input karena tuntutan teknis, serta (3) terjadi mis-management atau lemahnya kontrol yang menyebabkan penggunaan input berlebih dan terbuang. Disisi lain, terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi keuntungan usaha ternak sapi perah pada tiap skala usaha, yaitu skala usaha produktif serta harga input produksi dan output (Puslitnak 2009). Skala Kecil Berikut ini uraian biaya produksi serta keuntungan pada peternakan skala kecil : 1. Biaya Produksi Skala Kecil 1.1 Biaya Variabel Biaya variabel pada peternakan sapi perah rakyat skala kecil di Desa Singosari meliputi : a. Biaya Pakan Total biaya pakan setelah dikonversi pada peternakan skala kecil sebesar Rp per liter. Biaya pakan pada skala kecil relatif lebih tinggi dibandingkan skala menengah dan besar(lampiran 2). Hal ini terjadi karena banyaknya jumlah sapi non produktif dibandingkan sapi produktif yang dipelihara peternak sehingga menambah biaya pakan yang harus dibayar oleh peternak dan memberatkan beban sapi perah produktif. Tingginya biaya pakan menunjukkan bahwa peternak pada skala kecil belum menerapkan tindakan efisiensi pada pakan. Tindakan efisiensi terhadap pakan bertujuan untuk meminimalkan biaya pakan tanpa menurunkan produksi susu. Menurut Siregar (1996), tindakan efisiensi terhadap pakan yang dapat dilakukan oleh peternak meliputi :

60 46 1. Pemberian jumlah pakan yang sesuai dengan kebutuhan tiap sapi perah yang dipelihara. 2. Menggunakan bahan pakan yang murah dan memiliki kandungan zat gizi tinggi. 3. Mengurangi jumlah pemeliharaan sapi perah yang belum produktif tanpa menghambat peremajaan sapi perah induk yang tidak ekonomis untuk dipelihara. Pengurangan sapi non produktif akan mengurangi jumlah pemberian pakan sehingga biaya pakan akan berkurang. b. Biaya Obat-obatan Hasil pengamatan di lapang menunjukkan bahwa para peternak pada umumnya tidak memiliki pengetahuan mengenai penyakit ternak. Untuk menangani penyakit pada ternak, para peternak biasanya memanggil mantri hewan dengan biaya sebesar Rp c. Biaya Transportasi Biaya transportasi yang harus dibayar oleh peternak terdiri dari biaya transportasi susu dan pakan. Biaya transportasi susu merupakan biaya yang dikeluarkan oleh peternak saat menjual susu segar ke loper atau KUD. Pada peternak skala kecil, biaya transportasi sususegar sebesar 0 rupiah baik pada peternak yang menjual susu ke loper maupun KUD. Hal ini disebabkan karena loper merupakan tetangga dan jarak loper dengan rumah para peternak dekat sehingga peternak cukup berjalan kaki untuk menjual susu segar. Sedangkan untuk peternak yang menjual susu segar ke KUD pada umumnya menggunakan sepeda atau sepeda motor untuk mengangkut susu segar. Selanjutnya, biaya transportasi pakan merupakan biaya yang harus dibayar peternak pada saat proses transportasi pembelian pakan ternak. Biaya transportasi pakan yang harus dibayar oleh peternak skala kecil rata-rata sebesar Rp yang meliputi biaya transportasi pembelian konsentrat, polar, katul, ampas tahu, dan singkong. Sedangkan biaya transportasi untuk ampas onggok dan jerami ditanggung oleh penjual (Lampiran 2). 1.2 Biaya Tetap Biaya tetap pada peternakan sapi perah rakyat skala kecil di Desa Singosari meliputi : a. Biaya Tenaga Kerja Pada umumnya, peternakan sapi perah rakyat dikelola oleh keluarga dengan melibatkan suami, istri, dan anak sebagai tenaga kerja (Sobahi dan Setiadi 2010). Perlu diketahui bahwa para peternak dalam pemeliharaan sapi perah tidak pernah menghitung biaya tenaga kerja (Rusdiana dan Praharani 2010). Oleh karena itu, perhitungan biaya tenaga kerja pada peternakan sapi perah rakyat di Desa Singosari mengacu pada perhitungan tenaga kerja yang telah dilakukan oleh Rusdiana dan Praharani (2010) di Desa Jelok, Kecamatan Cepogo, Kabupaten Boyolali. Berdasarkan hasil perhitungan tenaga kerja pada peternak skala kecil, total biaya tenaga kerja yang digunakan dalam waktu 1 bulan sebesar Rp yang terdiri dari biaya pemberian pakan dan

61 47 pemerahan sebesar Rp (HOK/bulan), biaya pencarian pakan sebesar Rp (HOK/bulan), dan biaya pembersihan kandang sebesar Rp (HOK/bulan). Biaya tenaga kerja tertinggi terdapat pada kegiatan pencarian pakan hijauan dan biaya tenaga kerja terendah terdapat pada kegiatan pembersihan kandang. Tingginya biaya pada kegiatan pencarian pakan karena curahan waktu yang digunakan pada kegiatan pencarian pakan lebih banyak dibandingkan kegiatan pemberian pakan, pemerahan, serta pembersihan kandang (Tabel 17). Tabel 17 Curahan tenaga kerja pada peternakan sapi perah rakyat skala kecil di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun 2013 Kegiatan Rata-rata waktu Upah (Jam/hari) (Jam/bulan) HOK a (%) (Rp/HOK) (Rp/bulan) Pemberian pakan dan pemerahan Pencarian pakan Pembersihan kandang a 1 HOK = 5 jam b. Biaya Listrik, Air, Sewa Lahan, dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Biaya listrik yang dibayar oleh peternak skala kecil dalam waktu 1 bulan rata-rata sebesar Rp sedangkan biaya air yang dibayar oleh peternak sebesar 0 rupiah karena pada umumnya peternak di Desa Singosari masih mengandalkan air sumur untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Biaya sewa lahan yang dibayar oleh peternak skala kecil sebesar Rp per bulan. Tidak banyak peternak yang menyewa lahan untuk pencarian pakan hijauan karena sebagian besar peternak telah memiliki lahan tegalan sendiri yang merupakan warisan turun-temurun. Selanjutnya, PBB yang dibayar oleh peternak pada skala kecil sebesar Rp per bulan (Lampiran 2). c. Penyusutan Biaya penyusutan meliputi penyusutan kandang dan peralatan. Biaya penyusutan pada kandang sebesar Rp per bulan sedangkan biaya penyusutan peralatan sebesar Rp per bulan (Lampiran 2). 2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keuntungan pada Skala Kecil 2.1 Skala Usaha Produktif Kepemilikan skala usaha ternak sapi perah yang produktif akan menghasilkan output yang optimal. Semakin besar skala pemeliharaan sapi perah produktif, maka indeks efisiensi ekonomi juga semakin tinggi (Puslitnak 2009). Hal yang sama juga diungkapkan oleh Siregar (1996) yang menyatakan bahwa usaha ternak sapi perah akan mencapai tingkat ekonomis apabila jumlah sapi perah induk laktasi mencapai sekitar 70 persen hingga 80 persen dari jumlah keseluruhan sapi perah induk yang dipelihara. Sapi induk adalah sapi laktasi dan sapi yang sedang kering kandang.

62 48 Pada peternakan skala kecil, peternak memelihara sapi perah non produktif lebih banyak dibandingkan sapi perah produktif. Sapi perah non produktif meliputi pedet, sapi jantan, dan sapi kering kandang. Sapi induk yang dimiliki oleh peternak rata-rata berjumlah 3.9 ekor yang terdiri dari sapi perah produktif (sapi laktasi) berjumlah 2.3 ekor dan sapi kering kandang(tidak produktif) berjumlah 1.6 ekor. Untuk sapi non produktif lainnya yaitu pedet betina berjumlah 1.7 ekor, pedet jantan berjumlah 1.4 ekor, dan sapi jantan berjumlah 0.3 ekor.jumlah sapi perah produktif (laktasi) baru mencapai 59 persen dari jumlah keseluruhan sapi perah induk sehingga peternakan skala kecil belum mencapai tingkat ekonomis. Selain itu, besarnya jumlah sapi non produktif dibandingkan sapi produktif mengakibatkan besarnya biaya produksi terutama biaya pakan sehingga mengurangi keuntungan peternak karena biaya pemeliharaan sapi perah non produktif dibebankan kepada sapi perah produktif (Tabel 14). 2.2 Harga Input Produksi dan Output Harga merupakan faktor eksternal yang dapat mempengaruhi keberlangsungan suatu usaha yang meliputi harga input produksi dan output (Puslitnak 2009). Harga input produksi yang cukup berpengaruh terhadap keuntungan yang diterima oleh peternak adalah pakan karenabiaya pakan merupakan biaya terbesar dalam pengusahaan ternak sapi perah. Menurut Siregar (1996), biaya pakan dapat mencapai 2/3 dari keseluruhan biaya variabel. Hal ini sependapat dengan penelitian Yusdja (2005) yang menyatakan bahwa biaya pakan dapat mencapai 62.5 persen dari keseluruhan struktur biaya produksi untuk memproduksi susu (Tabel 16). Tabel 18 menunjukkan harga privat pakan yang diterima oleh peternak skala kecil. Tabel 18 Harga privat pakan pada peternakan skala kecil di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun 2013 No. Uraian Satuan Harga per satuan (Rp) 1 Konsentrat Kilogram Polar Kilogram Ampas tahu Kilogram Ampas onggok Colt Katul Kilogram Singkong Kilogram Jerami Colt Selanjutnya, output dari usaha ternak sapi perah terbagi menjadi 2, yaitu (1) output utama berupa susu, dan (2) output sampingan, yaitu pedet, sapi afkir, dan kotoran ternak yang dapat digunakan sebagai pupuk organik (Puslitnak 2009). Peternak di Desa Singosari pada umumnya menjual susu segar kepada loper atau KUD Mojosongo. Sedangkan pedet dan sapi afkir biasanya dijual kepada blantik ( penjual sapi dalam bahasa Jawa) atau ke Pasar Sunggingan. Untuk kotoran sapi, rata-rata para peternak menggunakannya sebagai pupuk tegalan. Hanya sedikit peternak yang menjual kotoran sapi untuk dijadikan pupuk.

63 49 Terdapat 19 responden pada peternakan rakyat skala kecil. Setiap responden memperoleh harga susu yang berbeda,tergantung kualitas susu segar serta harga yang diterima peternak dari KUD Mojosongo dan loper susu. Harga susu ditiap loper dan KUD Mojosongo pun cukup bervariasi karena penetapan standar kualitas susu yang berbeda-beda (Tabel 19). Harga susu per liter yang diterima oleh peternak rakyat skala kecil rata-rata Rp per liter. Dari 19 responden, sebanyak 7 orang atau persen responden menyetorkan susu kepada Pak Pramono, sebanyak 7 orang atau persen responden menyetorkan susu kepada Pak Bonggol, sebanyak 3 orang atau persen responden menyetorkan susu kepada KUD, dan sisanya sebanyak 2 orang atau persen responden menyetorkan susu kepada Pak Muhtadi (Gambar 5). Tabel 19 Harga susu segar pada tiap lembaga pemasaran di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun 2013 No. Lembaga Pemasaran Kualitas Harga (Rp) 1 Pak Pramono A B C Pak Muhtadi A B C Pak Bonggol KUD Mojosongo % Loper 1 : Pak Bonggol 10.53% Loper 2 : Pak Muhtadi Peternak 15.79% KUD Mojosongo Frisian Flag 36.84% Loper 3 : Pak Pramono Koperasi Andini Indolacto Gambar 5 Rantai pemasaran susu segar pada peternakan rakyat skala kecil di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun 2013 Skala Menengah Berikut ini uraian biaya produksi serta keuntungan pada peternakan skala menengah : 1. Biaya Produksi Skala Menengah

64 Biaya Variabel Biaya variabel pada peternakan sapi perah rakyat skala menengah di Desa Singosari meliputi : a. Biaya Pakan Total biaya pakan setelah dikonversi pada peternakan skala menengah sebesar Rp per liter (Lampiran 3). Biaya pakan pada skala menengah lebih kecil dibandingkan pada skala kecil karena peternak pada skala menengah lebih banyak memiliki sapi produktif (laktasi) dibandingkan sapi non produktif. Jumlah sapi non produktif yang lebih sedikit tersebut mampu mengurangi jumlah biaya pakan yang harus dibayar oleh peternak dan meringankan beban biaya yang harus ditanggung oleh sapi produktif. b. Biaya Obat-obatan Seperti halnya dengan peternak skala kecil, para peternak pada skala menengah juga memanggil mantri hewan untuk menangani penyakit pada ternak dengan biaya sebesar Rp c. Biaya Transportasi Pada peternak skala menengah, biaya transportasi susu segar sebesar 0 rupiah baik pada peternak yang menjual susu ke loper maupun KUD. Hal ini disebabkan karena loper merupakan tetangga dan jarak loper dengan rumah para peternak dekat sehingga peternak cukup berjalan kaki untuk menjual susu segar. Sedangkan untuk peternak yang menjual susu segar ke KUD pada umumnya menggunakan sepeda atau sepeda motor untuk mengangkut susu segar. Selanjutnya, biaya transportasi pakan yang harus dibayar oleh peternak skala menengah rata-rata sebesar Rp yang meliputi biaya transportasi pembelian konsentrat, polar, ampas tahu, dan singkong. Sedangkan biaya transportasi untuk ampas onggok dan jerami ditanggung oleh penjual (Lampiran 3). 1.2 Biaya Tetap Biaya tetap pada peternakan sapi perah rakyat skala menengah di Desa Singosari meliputi : a. Biaya Tenaga Kerja Berdasarkan hasil perhitungan tenaga kerja pada peternak skala menengah, total biaya tenaga kerja yang digunakan dalam waktu 1 bulan sebesar Rp yang terdiri dari biaya pemberian pakan dan pemerahan sebesar Rp (HOK/bulan), biaya pencarian pakan sebesar Rp (HOK/bulan), dan biaya pembersihan kandang sebesar Rp (HOK/bulan). Biaya tenaga kerja tertinggi terdapat pada kegiatan pencarian pakan hijauan dan biaya tenaga kerja terendah terdapat pada kegiatan pembersihan kandang. Tingginya biaya pada kegiatan pencarian pakan karena curahan waktu yang digunakan pada kegiatan pencarian pakan lebih banyak dibandingkan kegiatan pemberian pakan, pemerahan, serta pembersihan kandang (Tabel 20).

65 51 Tabel 20 Curahan tenaga kerja pada peternakan sapi perah rakyat skala menengah di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun 2013 Kegiatan Rata-rata waktu Upah (Jam/hari) (Jam/bulan) HOK a % (Rp/HOK) (Rp/bulan) Pemberian pakan dan pemerahan Pencarian pakan Pembersihan kandang a 1 HOK = 5 jam b. Biaya Listrik, Air, Sewa Lahan, dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Biaya listrik yang dibayar oleh peternak skala menengah dalam waktu 1 bulan rata-rata sebesar Rp sedangkan biaya air yang dibayar oleh peternak sebesar 0 rupiah karena pada umumnya peternak di Desa Singosari masih mengandalkan air sumur untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Rata-rata peternak pada skala menengah telah memiliki lahan tegalan sendiri untuk mencari pakan hijauansehingga tidak ada biaya sewa yang harus dibayar oleh peternak skala menengah. Selanjutnya, untuk PBB yang harus dibayar oleh peternak pada skala menengah sebesar Rp per bulan (Lampiran 3). c. Penyusutan Biaya penyusutan meliputi penyusutan kandang dan peralatan. Biaya penyusutan pada kandang sebesar Rp per bulan sedangkan biaya penyusutan peralatan sebesar Rp per bulan (Lampiran 3). 2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keuntungan pada Skala Menengah 2.1 Skala Usaha Produktif Pada peternakan skala menengah, peternak memelihara sapi perah produktif lebih banyak dibandingkan sapi perah non produktif. Sapi induk yang dimiliki oleh peternak rata-rata berjumlah 6.2 ekor yang terdiri dari sapi perah produktif (sapi laktasi) berjumlah 4.9 ekor dan sapi kering kandang (tidak produktif) berjumlah 1.3 ekor. Untuk sapi non produktif lainnya, yaitu pedet betina berjumlah 1.4 ekor, pedet jantan berjumlah 1.3 ekor, dan sapi jantan berjumlah 0.4 ekor. Jumlah sapi perah produktif (laktasi) mencapai 79 persen dari jumlah keseluruhan sapi perah induk sehingga peternakan skala menengahhampir mencapai tingkat ekonomis. Selain itu, jumlah sapi non produktif lebih sedikit dibandingkan sapi produktif sehingga peternak masih dapat memperoleh keuntungan dari penjualan susu (Tabel 14). 2.2 Harga Input Produksi dan Output Terdapat 9 responden pada peternakan rakyat skala menengah. Harga privat input produksi terutama harga privat pakan yang diterima peternak pada skala menengah berbeda dengan peternak pada skala kecil. Tabel 21 menunjukkan harga privat pakan yang diterima oleh peternak skala menengah.

66 52 Seperti halnya dengan peternak pada skala kecil, tiap responden pada skala menengah memperoleh harga susu yang berbeda, tergantung kualitas susu segar serta harga yang diterima peternak dari KUD Mojosongo dan loper susu. Harga susu ditiap loper dan KUD Mojosongo pun cukup bervariasi karena penetapan standar kualitas susu yang berbeda-beda (Tabel 19). Harga susu per liter yang diterima oleh peternak rakyat skala menengah rata-rata Rp per liter. Dari 9 responden, sebanyak 2 orang atau persen responden menyetorkan susu kepada Pak Bonggol, sebanyak 5 orang atau persen responden menyetorkan susu kepada KUD, dan sisanya sebanyak 2 orang atau persen responden menyetorkan susu kepada Pak Muhtadi (Gambar 6). Tabel 21 Harga privat pakan pada peternakan skala menengah di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun 2013 No. Uraian Satuan Harga per satuan (Rp) 1 Konsentrat Kilogram Polar Kilogram Ampas tahu Kilogram Ampas onggok Colt Katul Kilogram - 6 Singkong Kilogram Jerami Colt % Loper 1 : Pak Bonggol Peternak 55.56% KUD Mojosongo Frisian Flag Gambar % Loper 2 : Pak Muhtadi Rantai pemasaran susu segar pada peternakan rakyat skala menengah di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun 2013 Skala Besar 1. Biaya Produksi Skala Besar 1.1 Biaya Variabel Biaya variabel pada peternakan sapi perah rakyat skala besar di Desa Singosari meliputi : a. Biaya Pakan

67 Total biaya pakan setelah dikonversi pada peternakan skala besar sebesar Rp per liter (Lampiran 4). Biaya pakan pada skala besar lebih kecil dibandingkan pada skala kecil dan menengah karena kepemilikan jumlah sapi laktasi pada peternak skala besar sudah mencapai 82.6 persen dari jumlah keseluruhan sapi perah induk sehingga peternakan skala besar sudah mencapai tingkat ekonomis. b. Biaya Obat-obatan Seperti halnya dengan peternak pada skala kecil dan menengah, para peternak pada skala besar juga memanggil mantri hewan untuk menangani penyakit pada ternak dengan biaya sebesar Rp c. Biaya Transportasi Pada peternak skala besar, biaya transportasi susu segar sebesar 0 rupiah baik pada peternak yang menjual susu ke loper maupun KUD. Hal ini disebabkan karena loper merupakan tetangga dan jarak loper dengan rumah para peternak dekat sehingga peternak cukup berjalan kaki untuk menjual susu segar. Sedangkan untuk peternak yang menjual susu segar ke KUD pada umumnya menggunakan sepeda atau sepeda motor untuk mengangkut susu segar. Selanjutnya, biaya transportasi pakan yang harus dibayar oleh peternak skala besar rata-rata sebesar 0 rupiah karena peternak lebih memilih membeli konsentrat dan ampas tahu pada loper yang merupakan tetangga dibandingkan membeli di pasar atau loper lain. Sedangkan biaya transportasi untuk jerami ditanggung oleh penjual (Lampiran 4). 1.2 Biaya Tetap Biaya tetap pada peternakan sapi perah rakyat skala besar di Desa Singosari meliputi : a. Biaya Tenaga Kerja Berdasarkan hasil perhitungan tenaga kerja pada peternak skala besar, total biaya tenaga kerja yang digunakan dalam waktu 1 bulan sebesar Rp yang terdiri dari biaya pemberian pakan dan pemerahan sebesar Rp (HOK/bulan), biaya pencarian pakan sebesar Rp (HOK/bulan), dan biaya pembersihan kandang sebesar Rp (HOK/bulan). Biaya tenaga kerja tertinggi terdapat pada kegiatan pencarian pakan hijauan dan biaya tenaga kerja terendah terdapat pada kegiatan pembersihan kandang. Tingginya biaya pada kegiatan pencarian pakan karena curahan waktu yang digunakan pada kegiatan pencarian pakan lebih banyak dibandingkan kegiatan pemberian pakan, pemerahan, serta pembersihan kandang (Tabel 22). 53

68 54 Tabel 22 Curahan tenaga kerja pada peternakan sapi perah rakyat skala besar di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun 2013 Kegiatan Pemberian pakan dan pemerahan Pencarian pakan Pembersihan kandang a 1 HOK = 5 jam Rata-rata waktu Upah (Jam/hari) (Jam/bulan) HOK a % (Rp/HOK) (Rp/bulan) b. Biaya Listrik, Air, Sewa Lahan, dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Biaya listrik yang dibayar oleh peternak skala besar dalam waktu 1 bulan rata-rata sebesar Rp sedangkan biaya air yang dibayar oleh peternak sebesar 0 rupiah karena pada umumnya peternak di Desa Singosari masih mengandalkan air sumur untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Seperti halnya dengan peternak skala menengah, rata-rata peternak pada skala besar telah memiliki lahan tegalan sendiri untuk mencari pakan hijauan sehingga tidak ada biaya sewa yang harus dibayar oleh peternak skala besar. Selanjutnya, PBB yang dibayar oleh peternak pada skala besar sebesar Rp per bulan (Lampiran 4). c. Penyusutan Biaya penyusutan meliputi penyusutan kandang dan peralatan. Biaya penyusutan pada kandang sebesar Rp per bulan sedangkan biaya penyusutan peralatan sebesar Rp per bulan (Lampiran 4). 2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keuntungan pada Skala Besar 2.1 Skala Usaha Produktif Pada peternakan skala besar, seperti halnya dengan peternak skala menengah, peternak memelihara sapi perah produktif lebih banyak dibandingkan sapi perah non produktif. Sapi induk yang dimiliki oleh peternak rata-rata berjumlah 11.5 ekor yang terdiri dari sapi perah produktif (sapi laktasi) berjumlah 9.5 ekor dan sapi kering kandang (tidak produktif) berjumlah 2 ekor. Untuk sapi non produktif lainnya yaitu pedet betina berjumlah 1 ekor, pedet jantan berjumlah 3 ekor, dan sapi jantan berjumlah 0 ekor. Jumlah sapi perah produktif (laktasi) sudah mencapai 82.6 persen dari jumlah keseluruhan sapi perah induk sehingga peternakan skala besarsudah mencapai tingkat ekonomis. Selain itu, besarnya jumlah sapi produktif dibandingkan sapi non produktif membuat tingginya keuntungan yang diperoleh peternak skala besar karena beban yang ditanggung oleh sapi produktif untuk membiayai sapi non produktif lebih ringan dibandingkan pada peternakan skala kecil dan menengah (Tabel 14).

69 Harga Input Produksi dan Output Terdapat 2 responden pada peternakan rakyat skala besar. Harga privat input produksi terutama harga privat pakan yang diterima peternak pada skala besar juga berbeda dengan peternak pada skala kecil dan menengah. Tabel 23 menunjukkan harga privat pakan yang diterima oleh peternak skala besar. Berbeda dengan peternak pada skala kecil dan menengah, responden pada skala besar hanya menyetor susu pada KUD Mojosongo (Tabel 19). Harga susu per liter yang diterima oleh peternak rakyat skala besar rata-rata Rp per liter. (Gambar 7). Tabel 23 Harga privat pakan pada peternakan skala besar di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun 2013 No. Uraian Satuan Harga per satuan (Rp) 1 Konsentrat Kilogram Polar Kilogram - 3 Ampas tahu Kilogram Ampas onggok Colt - 5 Katul Kilogram - 6 Singkong Kilogram - 7 Jerami Colt Peternak 100% KUD Mojosongo Frisian Flag Gambar 7 Rantai pemasaran susu segar pada peternakan rakyat skala besar di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun 2013 HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Daya Saing, Efisiensi, dan Dampak Kebijakan Pemerintah Efisiensi dan daya saing komoditas susu yang dihasilkan oleh peternakan sapi perah rakyat di Desa Singosari dapat dianalisis dengan menggunakan Matriks Analisis Kebijakan (Policy Analysis Matrix/PAM). Matriks PAM disusun berdasarkan data penerimaan, biaya produksi, dan keuntungan yang terbagi dalam 2 bagian, yaitu nilai finansial (harga privat) dan nilai ekonomi (harga bayangan atau sosial). Masing-masing biaya produksi pada harga privat dan harga sosial dibagi menjadi input asing (tradable) dan domestik (non tradable) berdasarkan Tabel Alokasi Input Output 2000 (Badan Pusat Statistik 2000). Berdasarkan hasil analisis matriks PAM dapat diperoleh berbagai informasi mengenai efisiensi dan daya saing peternakan sapi perah rakyat dalam menghasilkan susu segar serta melihat sejauh mana dampak kebijakan pemerintah

70 56 terhadap pengembangan peternakan sapi perah rakyat di Desa Singosari. Melalui informasi tersebut dapat diperoleh suatu kesimpulan apakah sebaiknya pemerintah mengimpor atau tetap memproduksi komoditas susu dalam negeri. Tabel 24 menunjukkan hasil analisis matriks PAM pada peternakan sapi perah rakyat di Desa Singosari yang terbagi ke dalam skala kecil, menengah, dan besar. Tabel 24 Matriks PAM pada peternakan sapi perah rakyat di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun 2013 Uraian Penerimaan Output (Rp/liter) Biaya Input (Rp/liter) Tradable Non Tradable Keuntungan (Rp/liter) Peternakan Sapi Perah Rakyat Skala Kecil Nilai Finansial Nilai Ekonomi Efek Divergensi Peternakan Sapi Perah Rakyat Skala Menengah Nilai Finansial Nilai Ekonomi Efek Divergensi Peternakan Sapi Perah Rakyat Skala Besar Nilai Finansial Nilai Ekonomi Efek Divergensi Berdasarkan Tabel 24, melalui perhitungan analisis finansial dan ekonomi dapat dilihat bahwa peternakan sapi perah rakyat di Desa Singosari cukup menguntungkan bagi para peternak skala menengah dan besar. Hal ini dapat dilihat dari keuntungan privat dan sosial yang bernilai positif. Sedangkan bagi peternak skala kecil tidak memperoleh keuntungan baik privat maupun sosial karena tingginya biaya yang dikeluarkan untuk input tradable dan non tradable. Hasil yang diperoleh dari perhitungan analisis finansial pada harga privat menunjukkan bahwa peternakan sapi perah rakyat di Desa Singosari menghasilkan penerimaan sebesar Rp per liter pada skala kecil, Rp per liter pada skala menengah, dan Rp per liter pada skala besar. Setelah dikurangi dengan biaya input tradable dan non tradable diperoleh keuntungan sebesar Rp per liter pada skala menengah dan Rp per liter pada skala besar. Sedangkan bagi skala kecil keuntungan bernilai negatif sebesar Rp per liter. Selanjutnya, hasil perhitungan analisis ekonomi berdasarkan harga bayangan menghasilkan penerimaan sebesar Rp per liter pada skala kecil, skala menengah, dan skala besar sehingga keuntungan yang diperoleh peternak pada skala kecil sebesar Rp ( ) per liter, skala menengah Rp per liter, dan skala besar Rp per liter (Tabel 24). Tingginya keuntungan ekonomi dari komoditas susu disebabkan harga susu di pasar internasional lebih tinggi dibandingkan dengan pasar domestik, sementara harga

71 57 sarana produksi cenderung lebih rendah. Sedangkan pada peternakan skala kecil diperoleh nilai keuntungan yang negatif. Efek divergensi yang dihasilkan matriks PAM timbul karena kegagalan pasar atau distorsi kebijakan. Kegagalan pasar terjadi apabila pasar gagal menciptakan suatu competitive outcome dan harga sosial (harga bayangan atau harga efisiensi) sedangkan kebijakan yang distortif dapat terjadi ketika terdapat intervensi pemerintah yang menyebabkan harga privat (harga aktual atau harga pasar) berbeda dengan harga sosial. Tujuan dari adanya kebijakan yang distortif adalah untuk mencapai pemerataan atau ketahanan pangan. Berdasarkan hasil analisis matriks PAM, dapat dilakukan perhitunganperhitungan untuk memperoleh nilai-nilai yang akan menjadi indikator daya saing, efisiensi (keunggulan komparatif), dan dampak kebijakan pemerintah yang terbagi menjadi kebijakan output, kebijakan input, dan kebijakan input-output. Tabel 25 menunjukkan indikator-indikator dari hasil analisis matriks PAM. Tabel 25 Indikator-indikator matriks PAM di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun 2013 Peternakan Rakyat Indikator Skala Kecil Skala Menengah Skala Besar Analisis Daya Saing Keuntungan Privat Keuntungan Sosial Rasio Biaya Privat (PCR) Rasio Biaya Sumberdaya Domestik (DRCR) Dampak Kebijakan Pemerintah Kebijakan Output Transfer Output (TO) ( ) ( ) ( ) Koefisien Proteksi Output Nominal (NPCO) Kebijakan Input Transfer Input (TI) Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) Transfer Faktor (21.925) Kebijakan Input-Output Koefisien Proteksi Efektif (EPC) Transfer Bersih (NT) ( ) ( ) ( ) Koefisien Keuntungan (PC) Rasio Subsidi bagi Produsen (SRP) (0.360) (0.382) (0.380) Analisis Daya Saing dan Efisiensi (Keunggulan Komparatif) Analisis daya saing dari suatu komoditas ditentukan oleh nilai Keuntungan

72 58 Privat (Private Profitability/PP) dan nilai Rasio Biaya Privat (Private Cost Ratio/PCR). Keuntungan privat yang dihitung dengan menggunakan harga privat merupakan selisih antara penerimaan penjualan susu segar dengan biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi susu yang dihitung berdasarkan harga pasar yaitu harga setelah adanya intervensi dari pemerintah. Berdasarkan hasil analisis dari matriks PAM, diperoleh keuntungan privat yang bernilai positif atau lebih besar dari nol pada skala menengah dan besar yang berarti peternak yang menjalankan usaha ternak sapi perah tersebut memperoleh profit di atas normal, memperoleh keuntungan privat, dan dapat bersaing pada tingkat harga privat. Sedangkan pada skala kecil diperoleh nilai keuntungan privat yang bernilai negatif yang berarti bahwa peternak tidak memperoleh keuntungan privat dan tidak dapat bersaing pada tingkat harga privat. Besarnya keuntungan privat yang diperoleh menunjukkan besarnya penerimaan yang diterima oleh peternak setelah membayar seluruh biaya input produksi. Pada peternakan sapi perah rakyat skala kecil diperoleh nilai keuntungan privat sebesar Rp ( ) per liter, skala menengah sebesar Rp per liter, dan skala besar sebesar Rp per liter yang berarti bahwa keuntungan yang diterima peternak sapi perah dengan adanya kebijakan pemerintah pada saat dilakukan penelitian sebesar Rp ( ) per liter pada skala kecil, skala menengah sebesar Rp per liter, dan skala besar sebesar Rp per liter. Diantara ketiga skala usaha, keuntungan privat terbesar diterima oleh peternak sapi perah skala besar. Perbedaan nilai keuntungan privat diantara ketiga skala disebabkan oleh perbedaan penerimaan harga susu, biaya produksi terutama biaya pakan, dan keseimbangan antara kepemilikan sapi produktif dan non produktif. Biaya pakan untuk pengusahaan sapi perah pada skala besar lebih rendah dibandingkan biaya pakan pada pengusahaan sapi perah skala kecil dan menengah. Disisi lain, jumlah sapi non produktif yang harus ditanggung oleh sapi produktif pada skala besar lebih sedikit dibandingkan jumlah sapi non produktif pada skala kecil dan menengah. Selain analisis keuntungan privat, penilaian daya saing juga dapat ditentukan oleh nilai Rasio Biaya Privat (PCR). PCR merupakan rasio antara biaya input non tradable dengan nilai tambah atau selisih antara penerimaan dan input tradable pada tingkat harga privat. Nilai PCR menunjukkan bagaimana alokasi sumberdaya diarahkan untuk mencapai efisiensi finansial dalam memproduksi susu segar. Suatu aktivitas usaha akan efisien secara finansial jika nilai PCR yang diperoleh lebih kecil dari 1 (PCR<1). Semakin kecil nilai PCR yang diperoleh, maka semakin tinggi tingkat daya saing yang dimiliki. Berdasarkan hasil analisis dari matriks PAM, nilai PCR yang diperoleh pada skala menengah dan besar menunjukkan nilai yang lebih kecil dari 1. Sedangkan nilai PCR pada skala kecil menunjukkan nilai yang lebih besar dari 1. Nilai PCR pada peternakan skala menengah sebesar 0.958dan skala besar sebesar Hal ini berarti bahwa untuk mendapatkan nilai tambah output sebesar 1 satuan pada harga privat di Desa Singosari diperlukan tambahan biaya faktor domestik kurang dari 1 satuan yaitu sebesar untuk skala menengah dan 0.837untuk skala besar. Disisi lain, diperoleh nilai PCR lebih dari 1 pada skala kecil yakni sebesar Nilai-nilai PCR pada skala menengah dan besar tersebut menunjukkan bahwa peternakan rakyat di Desa Singosari baik skala menengah maupun besar

73 59 memiliki daya saing dan efisien secara finansial. Sedangkan nilai PCR pada skala kecil yang lebih dari 1 menunjukkan bahwa skala kecil tidak memiliki daya saing dan tidak efisien secara finansial. Hal ini disebabkan karena tingginya biaya pakan yang harus dikeluarkan oleh peternak skala kecil dibandingkan skala menengah dan besar. Menurut Siregar (1996), biaya pakan merupakan biaya terbesar karena dapat mencapai 2/3 dari keseluruhan biaya variabel. Selain itu, jumlah sapi non produktif pada skala kecil lebih banyak dibandingkan jumlah sapi produktif sehingga beban biaya sapi non produktif harus ditanggung oleh sapi produktif yang hanya berjumlah 1 hingga 3 ekor pada skala kecil. Efisiensi atau Keunggulan Komparatif Analisis keunggulan komparatif dapat ditentukan oleh nilai keuntungan sosial (Social Profitability/SP) dan Rasio Biaya Sumberdaya (Domestic Resource Cost Ratio/DRCR). Keunggulan komparatif adalah indikator untuk menilai apakah komoditas susu segar yang diusahakan oleh ketiga skala usaha di Desa Singosari efisien, mampu bertahan tanpa adanya bantuan dari pemerintah, dan memiliki peluang yang besar sebagai produk substitusi impor. Nilai DRCR juga merupakan indikator yang menentukan apakah sebaiknya pemerintah mengimpor atau memproduksi sendiri susu segar. Keuntungan sosial merupakan selisih antara besarnya penerimaan sosial yang diterima oleh peternak dengan seluruh biaya input produksi pada kondisi pasar persaingan sempurna dimana tidak ada campur tangan pemerintah. Nilai keuntungan sosial pada peternakan skala kecil sebesar Rp ( )per liter, pada peternakan skala menengah sebesar Rp per liter, dan peternakan skala besar sebesar Rp per liter. Nilai keuntungan sosial yang bernilai positif atau lebih besar dari nol (SP>0) pada skala usaha menengah dan besar menunjukkan bahwa pengusahaan peternakan sapi perah dalam memproduksi susu segar menguntungkan secara ekonomi walaupun tanpa adanya kebijakan pemerintah. Sedangkan keuntungan sosial pada peternakan skala kecil yang bernilai negatif atau kurang dari nol (SP<0) menunjukkan bahwa skala kecil tidak memiliki keunggulan komparatif dan tidak menguntungkan secara ekonomi. Perbedaan nilai keuntungan sosial pada ketiga skala usaha disebabkan karena adanya perbedaan biaya yang dikeluarkan oleh masing-masing peternak di tiap skala usaha, misalnya penggunaan pakan hijauan, konsentrat, mineral, dan penggunaan tenaga kerja. Nilai keuntungan sosial terbesar diperoleh peternakan skala besar karena biaya yang dikeluarkan peternak skala besar lebih rendah dibandingkan peternak skala kecil dan menengah, terutama biaya pakan. Nilai keuntungan sosial memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan nilai keuntungan privat pada ketiga skala usaha karena harga sosial dari susu segar lebih tinggi yaitu Rp per liter dibandingkan dengan harga privat pada skala kecil Rp per liter, skala menengah Rp per liter, dan skala besar Rp per liter. Artinya, kebijakan pemerintah yang diterapkan saat ini seperti kebijakan harga impor (tarif impor) belum mampu mengoptimalkan keuntungan peternak dalam usaha ternak sapi perah. Selain analisis keuntungan sosial, keunggulan komparatif juga dapat ditentukan oleh nilai Rasio Sumberdaya Domestik (DRCR). Suatu usaha dikatakan efisien secara ekonomi apabila memiliki nilai DRCR yang kurang dari 1 (DRCR<1). Berdasarkan Tabel 18 dapat diketahui bahwa skala menengah dan

74 60 besar pada peternakan sapi perah di Desa Singosari memiliki nilai DRCR yang kurang dari 1. Nilai DRCR dari skala menengah sebesar dan skala besar sebesar Sedangkan nilai DRCR pada skala kecil lebih dari 1 yakni sebesar Dengan demikian, skala menengah dan besar pada peternakan sapi perah di Desa Singosari efisien secara ekonomi dan memiliki keunggulan komparatif tanpa adanya kebijakan dari pemerintah. Namun peternakan skala kecil tidak efisien secara ekonomi dan tidak memiliki keunggulan komparatif tanpa adanya kebijakan dari pemerintah. Peternakan skala besar di Desa Singosari memiliki nilai DRCR paling kecil dibandingkan peternakan skala kecil dan menengah. Nilai DRCR dari skala besar sebesar yang berarti untuk memproduksi atau menghemat satu unit nilai tambah output pada peternakan skala besar dibutuhkan biaya sumberdaya domestik lebih kecil dari 1 satuan yang dinilai pada harga sosial yaitu sebesar Nilai DRCR terbesar dimiliki oleh peternakan skala kecil dengan nilai sehingga biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi atau menghemat satu unit nilai tambah output pada peternakan skala kecil membutuhkan biaya yang lebih besar dibandingkan skala menengah dan besar. Indikator nilai DRCR yang kurang dari 1, mengindikasikan bahwa pemenuhan kebutuhan akan komoditas susu segar lebih baik diproduksi dalam negeri karena biaya produksi susu segar dalam negeri relatif lebih murah dibandingkan dengan mengimpor susu bubuk dari luar negeri dengan biaya yang jauh lebih tinggi. Namun, faktanya produksi susu dalam negeri saat ini hanya mampu mencukupi kebutuhan susu sebesar 25 persen dari total kebutuhan susu nasional. Oleh karena itu, diperlukan adanya kebijakan dari pemerintah untuk membantu pengembangan dan pengusahaan usaha ternak sapi perah mulai dari sistem hulu hingga hilir. Nilai DRCR yang lebih kecil dari nilai PCR (DRCR<PCR) menunjukkan bahwa tidak terdapat kebijakan pemerintah yang meningkatkan efisiensi peternak dalam memproduksi susu segar. Menurut penelitian Feryanto (2010) dan Khairunnisa (2011), hal ini terjadi karena pemerintah menghapus subsidi pakan ternak dan obat-obatan pada tahun Selain itu, adanya penetapan tarif impor sebesar 5 persen semenjak 1 Juli 2009 juga belum maksimal dalam meningkatkan efisiensi peternak. Disisi lain, penetapan tingkat tarif impor perlu disesuaikan dengan harga di pasar internasional. Tarif bukanlah satu-satunya cara untuk melindungi peternak susu, perlu kebijakan lain yang dapat memberikan insentif bagi peternak untuk berproduksi dan meningkatkan kegiatan usahanya. Hal ini cukup beralasan karena penetapan tarif impor yang terlalu tinggi justru akan menyebabkan inefisiensi alokasi sumberdaya pertanian serta membebani konsumen dan perekonomian nasional (Kustiari et al. 2008). Dampak Kebijakan Pemerintah Dalam suatu aktivitas ekonomi, adanya kebijakan dari pemerintah dapat memberikan suatu dampak yang positif maupun negatif kepada para pelaku ekonomi maupun sistem perekonomian tersebut. Adanya penetapan kebijakan juga dapat mempengaruhi peningkatan atau penurunan produksi maupun produktivitas suatu aktivitas ekonomi. Dengan menggunakan hasil analisis

75 matriks PAM, dapat diketahui dampak berbagai kebijakan terhadap input, output, maupun input-output dari beberapa indikator hasil. Pada dasarnya, suatu kebijakan perdagangan diterapkan oleh pemerintah bertujuan untuk melindungi produsen dalam negeri. Apabila harga produk impor komoditas serupa lebih rendah dari produksi dalam negeri, maka akan melemahkan daya saing dari produk domestik karena konsumen akan cenderung membeli produk impor serupa yang memiliki harga yang lebih murah dibandingkan produk domestik. Akibatnya, akan terjadi penurunan permintaan terhadap produk domestik yang berimplikasi terhadap penurunan jumlah produksi dalam negeri dan pendapatan produsen lokal. Akan tetapi, dalam permasalahan susu impor hal tersebut tidak berlaku. Saat ini, harga susu impor jauh lebih tinggi dibandingkan harga susu segar dalam negeri. Pada saat penelitian dilaksanakan, harga susu segar di daerah penelitian berkisar antara Rp per liter hingga Rp per liter sedangkan harga susu impor setelah dikonversi sebesar Rp per liter. Meskipun harga susu impor cenderung lebih tinggi dibandingkan susu segar dalam negeri, Industri Pengolah Susu (IPS) cenderung memilih untuk mengimpor susu dibandingkan membeli dari peternak dalam negeri. Hal ini berimplikasi pada harga beli yang ditawarkan oleh IPS kepada para peternak menjadi lebih rendah. Penetapan harga beli oleh IPS yang rendah akan menurunkan daya saing susu segar dalam negeri. Kebijakan pemerintah seharusnya lebih memihak kepada peternak sapi perah guna meningkatkan daya saing produk dalam negeri. Dampak kebijakan pemerintah terhadap input, output, dan input-output akan dijelaskan berikut ini. 1) Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Output Dampak kebijakan pemerintah terhadap output dapat dilihat dari nilai Transfer Output (Output Transfer/OT) dan Koefisien Proteksi Output Nominal (Nominal Protection Coefficient on Output /NPCO). Bentuk distorsi pemerintah dapat berupa subsidi atau hambatan perdagangan berupa tarif dan pajak ekspor-impor. a. Transfer Output (Output Transfer/OT) Transfer output timbul karena adanya divergensi pada harga output. Hal ini terjadi karena adanya perbedaan antara harga privat dengan harga sosial. Nilai transfer output yang negatif menunjukkan adanya divergensi yakni harga privat output susu segar lebih rendah dibandingkan harga sosialnya. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa dengan adanya kebijakan atau intervensi dari pemerintah terhadap output susu segar akan lebih menguntungkan konsumen karena konsumen membeli susu dengan harga yang lebih rendah dari harga yang sebenarnya. Hal ini berarti bahwa terdapat pengalihan surplus dari produsen ke konsumen (IPS). Berdasarkan hasil analisis matriks PAM, nilai transfer output pada peternakan skala kecil, menengah, maupun besar diperoleh nilai sebesar Rp ( ) per liter pada skala kecil, Rp ( ) per liter pada skala menengah, dan Rp ( ) per liter pada skala besar. Kerugian terbesar dialami oleh para peternak skala menengah sebesar Rp per liter sedangkan kerugian terkecil dialami oleh peternak skala kecil yakni sebesar Rp per liter. Perbedaan kerugian pada tiap skala usaha tergantung dari besarnya harga susu per liter yang diterima oleh 61

76 62 peternak. Peternak pada skala menengah mendapatkan harga susu yang paling rendah dibandingkan skala kecil dan besar. Selain itu, besarnya divergensi pada transfer output yang bernilai negatif karena harga sosial susu diperhitungkan berdasarkan harga susu impor yang harganya lebih tinggi dibandingkan harga susu segar dalam negeri dengan standar dan kualitas yang sama. Kebijakan pemerintah berupa penetapan tarif impor sebesar 5 persen tidak berjalan efektif karena pada kenyataannya peternak masih mengalami kesulitan untuk bersaing dengan susu impor. Kecenderungan IPS yang lebih memilih membeli susu impor dibandingkan susu segar dalam negeri juga merupakan salah satu kendala bagi para peternak lokal untuk meningkatkan usahanya. b. Koefisien Proteksi Output Nominal (Nominal Protection Coefficient on Output /NPCO) Rasio merupakan suatu ukuran yang bebas nilai mata uang ataupun jenis komoditas yang digunakan untuk membandingkan output. Rasio yang dibuat untuk mengukur output transfer disebut Nominal Protection Coefficient on Output (NPCO). Rasio ini menunjukkan seberapa besar harga privat berbeda dengan harga sosial. Bila NPCO lebih besar dari 1 (NPCO>1), berarti harga privat lebih tinggi daripada harga dunia dan sistem usahatani yang diteliti menerima proteksi. Bila NPCO lebih kecil dari 1 (NPCO<1), berarti harga privat lebih rendah dari harga dunia (Pearson dan Gotsch 2005). Berdasarkan hasil analisis matriks PAM, dapat diketahui bahwa nilai NPCO pada peternakan skala kecil, menengah, maupun besar bernilai kurang dari 1. Pada peternakan skala kecil diperoleh nilai NPCO sebesar 0.647, skala menengah sebesar 0.614, dan skala besar sebesar Nilai NPCO yang kurang dari 1 tersebut menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang menerapkan tarif impor 5 persen belum berjalan efektif karena menyebabkan harga yang diterima oleh peternak pada skala kecil, menengah, maupun besar lebih rendah dibandingkan harga sosialnya. 2) Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Input Kebijakan pemerintah terhadap harga input dapat berupa penetapan pajak maupun subsidi. Bentuk kebijakan pemerintah seperti subsidi atau hambatan perdagangan (penetapan tarif maupun non tarif) diterapkan dengan harapan agar produsen dapat memanfaatkan sumberdaya secara optimal dan dapat melindungi produsen dalam negeri. Dampak kebijakan terhadap input dapat dijelaskan melalui nilai Transfer Input (Input Transfer/IT), Koefisien Proteksi Input Nominal (Nominal Coefficient on Input /NPCI), dan Transfer Faktor (Factor Transfer/FT). a. Transfer Input (Input Transfer/IT) Nilai transfer input merupakan selisih antara harga privat input tradable dengan harga sosialnya. Transfer input yang bernilai positif mengindikasikan adanya kebijakan subsidi negatif atau pajak pada unsur input tradable yang akan mengurangi tingkat keuntungan produsen atau dengan kata lain produsen tidak mendapatkan insentif dari kebijakan tersebut. Sebaliknya, jika transfer input bernilai negatif menunjukkan

77 adanya kebijakan subsidi pada input yang mengakibatkan biaya yang dikeluarkan untuk input pada tingkat harga privat menjadi lebih rendah dibandingkan pada tingkat haga sosial. Hal tersebut menunjukkan bahwa kebijakan subsidi pada input tradable akan menguntungkan produsen lokal. Berdasarkan hasil analisis matriks PAM, nilai transfer input pada ketiga skala usaha bernilai nol baik pada peternakan skala kecil, menengah, maupun besar. Hal ini berarti bahwa tidak terdapat pajak ataupun subsidi atas input tradable sehingga harga input tradable yang diterima peternak pada harga privat sama dengan harga sosialnya. b. Koefisien Proteksi Input Nominal (Nominal Coefficient on Input/NPCI) Koefisien Proteksi Input Nominal (NPCI) merupakan rasio untuk mengukur transfer input tradable. Rasio ini menunjukkan seberapa besar perbedaan harga privat dari input tradable dengan harga sosialnya. Nilai NPCI menunjukkan tingkat proteksi atau distorsi yang dibebankan pemerintah pada input tradable bila dibandingkan tanpa adanya kebijakan. Bila nilai NPCI lebih besar dari 1 (NPCI>1), mengindikasikan bahwa biaya input non tradable lebih mahal daripada biaya input pada tingkat harga dunia. Hal ini menunjukkan adanya proteksi pada produsen input yang dapat menyebabkan kerugian bagi sektor yang menggunakan input tersebut karena biaya produksi menjadi lebih tinggi. Sebaliknya, jika nilai NPCI kurang dari 1 (NPCI<1), mengindikasikan bahwa biaya input non tradable lebih rendah dibandingkan dengan biaya input pada tingkat harga dunia. Hal ini menunjukkan adanya subsidi oleh kebijakan sehingga proses produksi pada usaha tani menggunakan input dalam negeri. Berdasarkan hasil analisis matriks PAM, nilai NPCI dari ketiga skala usaha bernilai positif dimana NPCI sama dengan 1. Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada distorsi kebijakan maupun kegagalan pasar yang terjadi sehingga harga input non tradable dan harga dunia tidak berbeda. c. Transfer Faktor (Factor Transfer/FT) Input yang digunakan dalam pengusahaan peternakan sapi perah selain input tradable adalah input non tradable (faktor domestik) seperti pakan ternak (hijauan dan ampas tahu), tenaga kerja, air, peralatan, lahan, dan input domestik lainnya. Transfer faktor disebabkan karena adanya perbedaan pada faktor domestik yang menyebabkan harga privat faktor domestik yang diterima peternak berbeda dengan harga sosialnya. Nilai transfer faktor mampu menggambarkan intervensi pemerintah terhadap input non tradable. Berdasarkan hasil analisis matriks PAM, nilai transfer faktor pada skala kecil dan besar adalah positif sedangkan nilai transfer faktor pada skala menengahadalah negatif. Nilai transfer faktor pada skala kecil sebesar Rp per liter dan skala besar sebesar Rp per liter. Nilai yang positif menunjukkan bahwa harga input non tradable yang dikeluarkan oleh pemerintah pada tingkat harga privat lebih tinggi dibandingkan dengan biaya input non tradable yang dikeluarkan pada tingkat harga sosial. Artinya, terdapat kebijakan pemerintah yang 63

78 64 melindungi produsen input non tradable. Hal ini merugikan bagi peternak karena membayar input domestik lebih tinggi dibandingkan harga sosialnya. Sedangkan pada peternakan skala menengah, harga privat pada input faktor domestik lebih kecil dibandingkan harga sosialnya sehingga transfer faktor bernilai negatif yakni sebesar Rp (21 925) yang berarti bahwa terdapat transfer sumberdaya ke dalam sistem. Salah satu penyebab adanya transfer faktor adalah adanya kebijakan yang distorsif pada pasar tenaga kerja. Penilaian harga bayangan dariupah yang diterima oleh para pekerja adalah 80 persen dari tingkat upah yang berlaku di pasar (Suryana 1980). Hal ini dikarenakan tenaga kerja yang digunakan dalam membantu usaha ternak sapi perah merupakan tenaga kerja tidak tetap dan pada umumnya merupakan tenaga kerja tidak terdidik. Selain itu, komponen pajak tidak diperhitungkan sebagai biaya pada analisis ekonomi sedangkan pada analisis finansial komponen tersebut dihitung sebagai biaya. 3) Dampak Kebijakan Pemerintah terhadap Input-Output Dampak kebijakan pemerintah terhadap input-output dapat dijelaskan melalui indikator-indikator yang meliputi Koefisien Proteksi Efektif (Effective Protection Coefficient/EPC), Transfer Bersih (Net Transfer/TB), Koefisien Keuntungan (Profitability Coefficient/PC), dan Rasio Subsidi Produsen (Ratio to Producers/SRP). a. Koefisien Proteksi Efektif (Effective Protection Coefficient/EPC) Nilai EPC merupakan indikator dari dampak keseluruhan kebijakan input dan output terhadap sistem produksi peternakan sapi perah rakyat di Desa Singosari. Nilai EPC menggambarkan sejauh mana kebijakan pemerintah bersifat melindungi atau menghambat produksi domestik. Nilai EPC yang lebih besar dari 1 (EPC>1) mengindikasikan bahwa kebijakan yang melindungi produsen domestik berjalan efektif, sedangkan nilai EPC kurang dari 1 (EPC<1) menunjukkan kebijakan yang melindungi produsen domestik tidak berjalan efektif. Berdasarkan hasil analisis dari matriks PAM, nilai EPC yang didapatkan pada peternakan skala kecil sebesar 0.627, skala menengah sebesar 0.601, dan skala besar sebesar Nilai EPC yang kurang dari satu pada ketiga skala usaha peternakan sapi perah di Desa Singosari menunjukkan bahwa kebijakan input-output tidak berjalan efektif atau menghambat peternak dalam pengusahaan susu segar. Hal ini dikarenakan harga privat output yang diterima peternak lebih kecil dibandingkan harga sosialnya dan harga input non tradableyang diterima peternak lebih mahal dibandingkan harga sosialnya. b. Transfer Bersih (Net Transfer/TB) Nilai transfer bersih menggambarkan dampak kebijakan pemerintah secara keseluruhan terhadap penerimaan peternak, apakah merugikan atau menguntungkan peternak. Nilai transfer bersih merupakan selisih antara keuntungan privat dan keuntungan sosial. Apabila nilai transfer bersih lebih besar dari 1 (NT>1) berarti terjadi penambahan pada surplus produsen yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang diterapkan pada input dan output. Apabila nilai transfer bersih kurang dari 1 (NT<1)

79 berarti terjadi pengurangan pada surplus produsen akibat dari adanya suatu kebijakan yang diterapkan pada input dan output. Berdasarkan hasil analisis dari matriks PAM, nilai transfer bersih pada ketiga skala usaha bernilai negatif. Pada peternakan skala kecil diperoleh nilai transfer bersih sebesar Rp per liter, skala menengah sebesar Rp per liter, dan skala besar sebesar Rp per liter. Nilai transfer yang bernilai negatif tersebut menjelaskan bahwa telah terjadi pengurangan surplus produsen sebesar nilai tranfer bersih pada masing-masing skala usaha yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah yang berlaku pada saat ini. c. Koefisien Keuntungan (Profitability Coefficient/PC) Dampak dari seluruh transfer atas keuntungan privat dapat diukur dengan koefisien keuntungan. Koefisien keuntungan merupakan rasio antara keuntungan privat dengan keuntungan sosial. Berdasarkan hasil analisi dari matriks PAM, dari ketiga skala usaha diperoleh nilai koefisien keuntungan yang kurang dari 1 pada skala menengah dan besar sedangkan pada peternakan skala kecil diperoleh nilai koefisien keuntungan lebih besar dari 1. Nilai PC pada skala kecil sebesar 3.543, skala menengah sebesar 0.060, dan skala besar sebesar Nilai PC<1 menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah tidak memberikan insentif pada peternak skala menengah dan besar. Sedangkan nilai PC>1 pada skala kecil berarti bahwa kebijakan pemerintah memberikan insentif pada peternak skala kecil. d. Rasio Subsidi Produsen (Ratio to Producers/SRP) Rasio subsidi produsen merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur seluruh dampak transfer yang merupakan perbandingan antara transfer bersih dengan nilai output pada tingkat harga dunia. Rasio subsidi produsen juga menunjukkan pengaruh transfer terhadap perubahan pendapatan dari suatu sistem. Nilai SRP yang negatif (SRP<0) berarti besarnya pengeluaran produsen pada biaya produksi lebih besar dibandingkan biaya imbangannya sebagai akibat adanya kebijakan pemerintah. Nilai SRP yang positif (SRP>0) menunjukkan bahwa terdapat kebijakan pemerintah yang menyebabkan produsen mengeluarkan biaya produksi terhadap input lebih rendah dari biaya imbangan untuk berproduksi. Berdasarkan hasil analisis dari matriks PAM, nilai SRP pada ketiga skala usaha bernilai negatif. Pada peternakan skala kecil diperoleh nilai SRP sebesar (0.360), skala menengah sebesar (0.382), dan skala besar sebesar (0.380). Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah yang berlaku saat ini menyebabkan peternak pada ketiga skala usaha mengeluarkan biaya produksi lebih besar 36 persen pada skala kecil, 38.2 pada skala menengah, dan 38 persen pada skala besar dari opportunity cost masing-masing peternak. Nilai keseluruhan yang negatif menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah berpengaruh negatif terhadap struktur biaya produksi karena biaya yang diinvestasikan peternak lebih besar daripada nilai tambah keuntungan yang diterima peternak. 65

80 66 Analisis Sensitivitas Analisis sensitivitas dilakukan untuk mensubstitusi kelemahan metode PAM yang hanya berlaku pada waktu yang relatif singkat dengan faktor-faktor yang rentan berubah. Perubahan yang terjadi pada harga input akan memiliki pengaruh yang kecil terhadap keuntungan dibandingkan dengan perubahan harga output. Hal ini disebabkan input hanya merupakan bagian kecil dari total biaya, sedangkan perubahan harga output akan mempengaruhi pendapatan secara keseluruhan (Pearson 2005). Oleh karena itu, peneliti ingin mengetahui dampak dari perubahan harga output melalui perubahan tarif impor susu yang berpengaruh terhadap keuntungan dan daya saing peternakan sapi perah di Desa Singosari. Skenario tarif impor yang digunakan adalahkenaikan tarif impor dari 5 persen menjadi 8 persen dan 11 persen yang didasarkan dari penelitian Kustiari et al. (2008). Kenaikan tarif impor dari 5 persen menjadi 8 persen merupakan tingkat tarif yang dapat dianggap optimum dengan kriteria tingkat tarif yang dapat memacu produksi susu segar dalam negeri sesuai dengan tingkat produksi yang diinginkan (Kustiari et al. 2008). 1. Kenaikan Tarif Impor dari 5 persen menjadi 8 persen Analisis sensitivitas yang dilakukan dengan mengubah harga output melaluipeningkatan tarif impor dari 5 persen menjadi 8 persen mampu meningkatkan harga susu per liter ditingkat peternak pada ketiga skala usaha. Pada peternakan skala kecil, harga susu pada saat tarif impor sebesar 5 persen adalah Rp per liter dan mengalami peningkatan menjadi Rp per liter saat penetapan tarif impor sebesar 8 persen. Pada skala menengah peningkatan harga susu pada saat tarif impor sebesar 5 persen adalah Rp kemudian meningkat menjadi Rp pada saat terjadi peningkatan tarif impor menjadi 8 persen. Selanjutnya, pada skala besar harga susu pada saat penetapan tarif impor sebesar 5 persen adalah Rp per liter dan mengalami peningkatan menjadi Rp pada saat penetapan tarif impor 8 persen (Lampiran 10). Lampiran 10 menunjukkan bahwa adanya kenaikan tarif impor dari 5 persen menjadi 8 persen memberi dampak positif berupa peningkatan insentif yang diterima peternak. Hal ini dapat dilihat pada peningkatan nilai keuntungan privat maupun sosial pada setiap skala usaha. Peningkatan keuntungan privat maupun sosial tersebut menunjukkan bahwa pada saat kondisi tarif impor 8 persen terjadi peningkatan daya saing. Selain itu, berdasarkan nilai PCR diperoleh nilai PCR kurang dari 1 pada skala menengah maupun besar. Nilai PCR pada tiap skala usaha semakin kecil pada saat penetapan tarif impor sebesar 8 persen dibandingkan saat penetapan tarif impor 5 persen. Pada peternakan skala kecil terdapat perubahan nilai PCR dari menjadi 1.79, pada skala menengah terdapat perubahan nilai dari menjadi 0.93, dan pada skala besar terdapat perubahan nilai dari menjadi Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan tarif impor menjadi 8 persen dapat memperkuat daya saing peternakan sapi perah rakyat baik skala menengah maupun besar di Desa Singosari. Meskipun nilai pada skala kecil lebih dari

81 67 1 akan tetapi dengan adanya peningkatan tarif impor, nilai PCR semakin kecil sehingga dapat dikatakan terjadi perbaikan daya saing. Berdasarkan nilai DRCR pada ketiga skala usaha, setelah penetapan tarif impor sebesar 8 persen terjadi peningkatan efisiensi atau keunggulan komparatif. Hal ini dapat dilihat dari adanya peningkatan nilai keuntungan sosial dan menurunnya nilai DRCR pada ketiga skala usaha. Nilai DRCR pada peternakan skala kecil menurun dari menjadi 1.11, pada peternakan skala menengah dari menjadi 0.56, dan pada peternakan skala besar dari menjadi Kenaikan Tarif Impor dari 5 persen menjadi 11 persen Peningkatan tarif impor dari 5 persen menjadi 11 persen meningkatkan harga susu yang diterima para peternak pada ketiga skala usaha. Pada peternakan skala kecil, harga susu pada saat tarif impor sebesar 5 persen adalah Rp per liter dan mengalami peningkatan menjadi Rp per liter saat penetapan tarif impor sebesar 11 persen. Pada skala menengah peningkatan harga susu pada saat tarif impor sebesar 5 persen adalah Rp kemudian meningkat menjadi Rp pada saat terjadi peningkatan tarif impor menjadi 11 persen. Selanjutnya, pada skala besar harga susu pada saat penetapan tarif impor sebesar 5 persen adalah Rp per liter dan mengalami peningkatan menjadi Rp pada saat penetapan tarif impor 11 persen (Lampiran 11). Lampiran 11 menunjukkan bahwa adanya kenaikan tarif impor dari 5 persen menjadi 11 persen memberi dampak positif berupa peningkatan insentif yang diterima peternak. Hal ini dapat dilihat pada peningkatan nilai keuntungan privat maupun sosial pada setiap skala usaha. Peningkatan keuntungan privat maupun sosial tersebut menunjukkan bahwa pada saat kondisi tarif impor 11 persen terjadi peningkatan daya saing dan efisiensi. Selain itu, berdasarkan nilai PCR diperoleh nilai PCR kurang dari 1 pada skala menengah maupun besar. Nilai PCR pada tiap skala usaha semakin kecil pada saat penetapan tarif impor sebesar 11 persen dibandingkan saat penetapan tarif impor 5 persen. Pada peternakan skala kecil terdapat perubahan nilai PCR dari menjadi 1.73, pada skala menengah terdapat perubahan nilai dari menjadi 0.9, dan pada skala besar terdapat perubahan nilai dari menjadi Hal ini mengindikasikan bahwa peningkatan tarif impor menjadi 11 persen dapat memperkuat daya saing peternakan sapi perah rakyat baik skala menengah maupun besar di Desa Singosari. Meskipun nilai pada skala kecil lebih dari 1 akan tetapi dengan adanya peningkatan tarif impor, nilai PCR semakin kecil sehingga dapat dikatakan terjadi peningkatan daya saing. Berdasarkan nilai DRCR pada ketiga skala usaha, setelah penetapan tarif impor sebesar 11 persen terjadi peningkatan efisiensi atau keunggulan komparatif. Hal ini dapat dilihat dari adanya peningkatan nilai keuntungan sosial dan menurunnya nilai DRCR pada ketiga skala usaha. Nilai DRCR pada peternakan skala kecil menurun dari menjadi 1.08, pada peternakan skala menengah dari menjadi 0.55, dan pada peternakan skala besar dari menjadi 0.49.

82 68 Berdasarkan analisis sensitivitas di atas, perubahan berupa kenaikan tarif impor dari 5 persen menjadi 8 persen dan 11 persen mampu meningkatkan keuntungan peternak baik keuntungan privat maupun sosial serta meningkatkan daya saing dan efisiensi. Namun, penentuan tingkat tarif impor nantinya perlu disesuaikan dengan harga di pasar internasional. Disisi lain, tarif bukan merupakan satu-satunya cara untuk melindungi peternak karena penetapan tarif impor yang terlalu tinggi justru menyebabkan inefisiensi alokasi sumberdaya pertanian serta membebani konsumen dan perekonomian nasional (Kustiari et al. 2008). SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan tujuan penelitian dan pembahasan dalam penelitian ini, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut : 1. Peternakan rakyat skala menengah dan skala besar di Desa Singosari memiliki daya saing dan efisien (memiliki keunggulan komparatif) sedangkan peternakan rakyat skala kecil tidak memiliki daya saing dan tidak efisien (tidak memiliki keunggulan komparatif). 2. Penetapan kebijakan tarif impor sebesar 5 persen belum berjalan efektif karena belum mampu meningkatkan daya saing dan efisiensi peternakan sapi perah rakyat khususnya di Desa Singosari. 3. Kenaikan tarif impor susu dari 5 persen menjadi 8 persen dan 11 persen meningkatkan keuntungan dan daya saing peternakan sapi perah rakyat di Desa Singosari. Saran Berdasarkan hasil analisis matriks PAM di Desa Singosari, saran yang layak untuk dipertimbangkan bagi peternak dan pemerintah adalah sebagai berikut : 1. Pemerintah sebaiknya mendukung peternakan sapi perah rakyat di Desa Singosari melalui pengadaan penyuluhan rutin setiap bulan, pembentukan kelompok ternak di setiap dusun sebagai sarana pertukaran informasi, pemberian pelayanan kredit agar para peternak mampu meningkatkan skala usahanya, serta penetapan kebijakan yang lebih memihak kepada peternak. Disisi lain, pemerintah perlu mengkaji ulang tentang penetapan kebijakan tarif impor susu sebesar 5 persen karena penetapan tarif impor tidak berpengaruh terhadap penyerapan susu segar dalam negeri. Oleh karena itu, dibutuhkan kebijakan pemerintah lainnya khususnya pada subsektor hulu agribisnis sapi perah seperti subsidi pakan karena pakan merupakan komponen biaya terbesar pada peternakan sapi perah.

83 69 DAFTAR PUSTAKA [BPS] Badan Pusat Statistik Alokasi Input Output Tahun Jakarta (ID) [BPS] Badan Pusat Statistik Produksi Telur, Susu, dan Kulit Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah Tahun Semarang (ID). [BPS] Badan Pusat Statistik Ekspor dan Impor. Jakarta (ID). Budiyono H Analisis Harga, Impor, dan Ekspor Susu. Di dalam : Jurnal Ekonomi, Manajemen, Akuntansi, dan Kewirausahaan. Volume 3. Bekasi (ID) No. 1 hlm [Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2011a. Populasi Ternak Jakarta (ID). [Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2011b. Neraca Bahan Makanan Tahun Jakarta (ID). [Ditjennak] Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2011c. Produksi Susu Segar Tahun (per Provinsi). Jakarta (ID). Daryanto A Peningkatan Daya Saing Industri Peternakan. Jakarta (ID) : PT. Permata Wacana Lestari. Daryanto A. 2009a. Dinamika Daya Saing Industri Peternakan. Bogor (ID) : IPB Pr. Daryanto A. 2009b. Posisi Daya Saing Pertanian Indonesia dan Upaya Peningkatannya. Di dalam Seminar Nasional : Peningkatan Daya Saing Agribisnis Berorientasi Kesejahteraan Petani. Bogor, 14 Oktober Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. Erwidodo, B. Sayaka Dampak Krisis Moneter dan Reformasi Ekonomi Terhadap Industri Persusuan di Indonesia. Di dalam: Analisis Kebijakan : Pembangunan Agribisnis di Pedesaan dan Analisis Dampak Krisis. Monograph Series No. 18. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor (ID) : hlm Emilya Analisis keunggulan komparatif dan kompetitif serta dampak kebijakan pemerintah pada pengusahaan komoditas tanaman pangan di Provinsi Riau [tesis]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Firdaus M, Wagiono Y.K Daya Saing dan Sistem Pemasaran Manggis Indonesia.Di dalam : Bunga Rampai Agribisnis Seri Pemasaran. Bogor (ID) : IPB Pr. Feryanto Analisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap komoditas susu sapi lokal di Jawa Barat [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Harmini, Feryanto Analisis Daya Saing Usaha Ternak Sapi Perah Rakyat di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Bogor (ID) Gittinger JP Analisis Ekonomi Proyek-Proyek Pertanian. Edisi Ke-2. Sutomo S, Mangiri K, penerjemah. Jakarta (ID) : Universitas Indonesia Pr. Terjemahan dari : Economic Analysis of Agriculture Project. Ilham N, Swastika D.K.S Analisis Daya Saing Susu Segar dalam Negeri Pasca Krisis Ekonomi dan Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap

84 70 Usaha Peternakan Sapi Perah di Indonesia. Di dalam : Jurnal Agro Ekonomi. Volume 19. Bogor (ID) : No. 1 hlm Kadariah Evaluasi Proyek Analisis Ekonomi. Jakarta (ID) : Universitas Indonesia Pr. Khairunnisa R Analisis daya saing dan dampak kebijakan pemerintah terhadap usaha peternakan sapi perah (studi kasus : peternak anggota Koperasi Produksi Susu dan Usaha Peternakan Bogor KUNAK, Jawa Barat) [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Kuraisin V Analisis daya saing dan dampak perubahan kebijakan pemerintah terhadap komoditi susu sapi (studi kasus : Desa Tajurhalang, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor) [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Kustiari R, A Priyanti, Erwidodo Kebijakan Impor Susu : Melindungi Peternak dan Konsumen. Makalah disampaikan pada Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Malian H.A, Rachman B, Djulin A Permintaan Ekspor dan Daya Saing Panili di Provinsi Sulawesi Utara. Di dalam : Jurnal Agro Ekonomi. Volume 22. Bogor (ID) : No. 1 hlm Monke E.A, S.R Pearson The Policy Analysis Matrix for Agricultural Development. Cornell University Press : Itacha and London. Pearson S, Gotsch C, Bahri S Aplikasi Policy Analysis Matrix pada Pertanian Indonesia. Jakarta (ID) : Yayasan Obor Indonesia. Rusdiana S, W. K. Sejati Upaya Pengembangan Agribisnis Sapi Perah dan Peningkatan Produksi Susu Melalui Pemberdayaan Koperasi Susu. Di dalam : Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 27. Bogor (ID) : No. 1 hlm Resnawati H Kualitas Susu pada Berbagai Pengolahan dan Penyimpanan. Makalah disampaikan pada Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas-2020, Mei 2008, Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Salvatore D Ekonomi Internasional. Terjemahan. Edisi Ke-5. Prentice Hall-Erlangga. Jakarta (ID). Saptana Tinjauan Konseptual Mikro-Makro Daya Saing dan Strategi Pembangunan Pertanian. Di dalam : Forum Penelitian Agro Ekonomi. Volume 28. Bogor (ID) : No. 1 hlm Saptati R.A, S Rusdiana Penguatan Koperasi Susu untuk Mendorong Pengembangan Usaha Sapi Perah Rakyat. Makalah disampaikan pada Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah Menuju Perdagangan Bebas Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Simatupang Industrialisasi Pertanian sebagai Strategi Agribisnis dan Pembangunan Pertanian dalam Era Globalisasi. Makalah disampaikan pada Orasi Pengukuhan Ahli Peneliti Utama, September 1995, Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor. Siregar S.B Efisiensi Usaha Peternakan Sapi Perah dalam Menghadapi Era Perdagangan Bebas. Di dalam : Wartazoa. Volume 5. Bogor (ID) : No. 1.

85 Siregar P Analisis dampak penghapusan tarif impor susu terhadap daya saing komoditi susu sapi lokal (studi kasus: peternak anggota TPK Cibedug, KPBSU Jawa Barat) [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Sudaryanto T, Simatupang P Arah Pengembangan Agribisnis : Suatu Catatan Kerangka Analisis. Di dalam : Prosiding Perspektif Pengembangan Agribisnis di Indonesia. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor (ID). Sudono A Perkembangan Peternakan Sapi Perah di Indonesia. Jakarta (ID) : Yayasan Obor Indonesia. Soedjana T.D Prevalensi Usaha Ternak Tradisional Dalam Persepektif Pembangunan Peternakan Menghadapi Pasar Global. Di dalam : Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.Volume 24. Bogor (ID) : No. 1 hlm Soekartawi Analisis Usahatani. Jakarta (ID) : Universitas Indonesia Pr. Usmiati S, Abubakar Teknologi Pengolahan Susu. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor. Yusdja Y Kebijakan Ekonomi Industri Agribisnis Sapi Perah di Indonesia. Di dalam : Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Volume 3. Bogor (ID) No. 3 hlm

86 72 Lampiran 1 Alokasi Input-Output Tahun 2000 a No. A B Uraian Analisis Finansial Domestik Asing (%) (%) Pajak (%) Analisis Ekonomi Domestik Asing (%) (%) Penerimaan output 1 Output susu Input Produksi 1 Pakan Pakan hijauan Konsentrat Polar Ampas tahu Ampas onggok Katul Singkong Obat- obatan Mineral Biosid Vaselin Tenaga kerja Pencarian pakan hijauan Pemerahan dan pemberian pakan Pembersihan kandang Penyusutan Penyusutan kandang Penyusutan peralatan Sewa lahan PBB Biaya air Biaya listrik Biaya transportasi Biaya transportasi susu Biaya transportasi pakan a Sumber : Badan Pusat Statistik (2000)

87 73 Lampiran 2 Biaya produksi peternakan sapi perah rakyat skala kecil (1-3 ekor sapi laktasi) di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun 2013 No. Uraian Jumlah Harga per satuan (Rp) Nilai (Rp) Biaya (Rp/liter) A BIAYA VARIABEL 1 Pakan ternak Konsentrat (kg) Polar (kg) Ampas tahu (kg) Ampas onggok (colt) 2.08 Katul (kg) Singkong (kg) Pakan hijauan (colt) Obat-obatan Mineral (bungkus) Biaya transportasi Transportasi susu - - Transportasi pakan B BIAYA TETAP 4 Tenaga kerja Pencarian pakan hijauan (HOK) Pemerahan dan pemberian pakan (HOK) Pembersihan kandang (HOK) Biaya air Biaya listrik Penyusutan alat Penyusutan kandang Sewa lahan PBB Total biaya

88 74 Lampiran 3 Biaya produksi peternakan sapi perah rakyat skala menengah (4-7 ekor sapi laktasi) di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun 2013 No Uraian Jumlah Harga per satuan (Rp) Nilai (Rp) Biaya (Rp/liter) A BIAYA VARIABEL 1 Pakan ternak Konsentrat (kg) Polar (kg) Ampas tahu (kg) Ampas onggok (colt) Katul (kg) Singkong (kg) Pakan hijauan (colt) Obat-obatan Mineral (bungkus) Biaya transportasi Transportasi susu - - Trasportasi pakan B BIAYA TETAP 4 Tenaga kerja Pencarian pakan hijauan (HOK) Pemerahan dan pemberian pakan (HOK) Pembersihan kandang (HOK) 5 Biaya air Biaya listrik Penyusutan alat Penyusutan kandang Sewa lahan PBB Total biaya

89 75 Lampiran 4 Biaya produksi peternakan sapi perah rakyat skala besar (lebih dari 7 ekor sapi laktasi) di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun 2013 No. Uraian Jumlah Harga per satuan (Rp) Nilai (Rp) Biaya (Rp/liter) A BIAYA VARIABEL 1 Pakan ternak Konsentrat (kg) Polar (kg) Ampas tahu (kg) Ampas onggok (colt) Katul (kg) Singkong (kg) Pakan hijauan (colt) Obat-obatan Mineral (bungkus) Biaya transportasi Transportasi susu - - Trasportasi pakan - - B BIAYA TETAP 4 Tenaga kerja Pencarian pakan hijauan (HOK) Pemerahan dan pemberian pakan (HOK) Pembersihan kandang (HOK) 5 Biaya air Biaya listrik Penyusutan alat Penyusutan kandang Sewa lahan PBB Total biaya

90 76 Lampiran 5 Nilai tukar rupiah 21 Februari-6 Maret Tahun 2013 a Nilai Kurs Jual Kurs Beli Tanggal Mar Mar Mar Mar Feb Feb Feb Feb Feb Feb-13 Rata-rata Kurs Tengah a Sumber : (5 Juni 2013) Lampiran 6 Penentuan harga bayangan nilai tukar a Uraian Jumlah (Rp) Nilai ekspor (Xt) a Nilai impor (Mt) a Penerimaan Pajak Ekspor (TXt) a Penerimaan Pajak Impor (TMt) a Nilai Tukar Rupiah/USD (OERt) Xt + Mt Xt TXt Mt + TMt SCFt 1.00 SER a Sumber :Badan Pusat Statistik (2013) Metode perhitungan SCFt dan SER SCFt= Xt + Mt Mt ( Xt Txt) + ( Mt + Tmt) SER = OER SCFt Keterangan : SCFt : Faktor konversi standar untuk tahun ke-t Xt : Nilai ekspor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp) Mt : Nilai impor Indonesia untuk tahun ke-t (Rp) Txt : Penerimaan pemerintah dari pajak ekspor untuk tahun ke-t (Rp) Tmt : Penerimaan pemerintah dari pajak impor untuk tahun ke-t ( Rp) SER : Shadow Exchange Rate atau Nilai Tukar Bayangan ( Rp/US$) OER : Official Exchange Rate atau Nilai Tukar Resmi ( Rp/ US$) SCF : Standard Convertion Factor atau Faktor Konversi Standar

91 77 Lampiran 7 Harga Full Cream Milk Powder bulan Februari-Maret 2013 a Bulan Harga FCMP (US$/Kg) Harga FCMP (Rp/Kg) Harga FCMP + Freight and Insurance 5% (Rp/Kg) Harga Susu Dalam Negeri (Rp/liter) = 2*SER 4 5 = 4/8 liter susu Februari Maret Rata-rata susu (Rupiah/lt) a Sumber : (5 Juni 2013) Lampiran 8 Perhitungan harga bayangan susu Harga rata-rata susu dalam 2,5% biaya negeri (Rp/liter) tataniaga Harga sosial di tingkat peternak (Rp/liter) 1 2=2.5%*1 3= Lampiran 9 Matriks PAM pada peternakan sapi perah rakyat di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun 2013 Uraian Penerimaan Output (Rp/liter) Biaya Input (Rp/liter) Keuntungan (Rp/liter) Tradable Non Tradable Peternakan Sapi Perah Rakyat Skala Kecil Nilai Finansial Nilai Ekonomi Efek Divergensi Peternakan Sapi Perah Rakyat Skala Menengah Nilai Finansial Nilai Ekonomi Efek Divergensi Peternakan Sapi Perah Rakyat Skala Besar Nilai Finansial Nilai Ekonomi Efek Divergensi

92 78 Lampiran 10 Matriks PAM di Desa Singosari saat terjadi kenaikan tarif impor dari 5 persen menjadi 8 persen Uraian Penerimaan Biaya Input (Rp/liter) Keuntungan Output Tradable Non Tradable (Rp/liter) (Rp/liter) Peternakan Sapi Perah Rakyat Skala Kecil Nilai Finansial Nilai Ekonomi Efek Divergensi Peternakan Sapi Perah Rakyat Skala Menengah Nilai Finansial Nilai Ekonomi Efek Divergensi Peternakan Sapi Perah Rakyat Skala Besar Nilai Finansial Nilai Ekonomi Efek Divergensi Lampiran 11 Matriks PAM di Desa Singosari saat terjadi kenaikan tarif impor dari 5 persen menjadi 11 persen Penerimaan Output Biaya Input (Rp/liter) Keuntungan Uraian (Rp/liter) Tradable Non Tradable (Rp/liter) Peternakan Sapi Perah Rakyat Skala Kecil Nilai Finansial Nilai Ekonomi Efek Divergensi Peternakan Sapi Perah Rakyat Skala Menengah Nilai Finansial Nilai Ekonomi Efek Divergensi Peternakan Sapi Perah Rakyat Skala Besar Nilai Finansial Nilai Ekonomi Efek Divergensi

93 79 Lampiran 12 Dokumentasi kegiatan penelitian di Desa Singosari, Kecamatan Mojosongo, Kabupaten Boyolali Tahun 2013 Kegiatan Pencarian Pakan Hijauan Kegiatan Pembersihan Kandang Kegiatan Pemberian Pakan dan Pemerahan

94 80 Kegiatan Pengecekan Kualitas Susu oleh Pegawai Koperasi Kegiatan Pengecekan Kualitas Susu oleh Pegawai Loper

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN VI HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1 Analisis Daya Saing Analisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta kemampuan komoditi susu sapi lokal dalam

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada tahun 2006 Badan Pusat

Lebih terperinci

PERSUSUAN INDONESIA: KONDISI, PERMASALAHAN DAN ARAH KEBIJAKAN

PERSUSUAN INDONESIA: KONDISI, PERMASALAHAN DAN ARAH KEBIJAKAN PERSUSUAN INDONESIA: KONDISI, PERMASALAHAN DAN ARAH KEBIJAKAN Latar Belakang Pembangunan subsektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan sektor pertanian yang memiliki nilai strategis, antara lain

Lebih terperinci

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT

VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT 83 VIII. DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KEUNTUNGAN DAN DAYA SAING RUMPUT LAUT 8.1. Struktur Biaya, Penerimaan Privat dan Penerimaan Sosial Tingkat efesiensi dan kemampuan daya saing rumput laut di

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Analisis Daya Saing Analisis keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta kemampuan komoditi gula lokal yang dihasilkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

METODE PENELITIAN. 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja (purposive) dengan pertimbangan

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB IV METODE PENELITIAN BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Karangasem dengan lokasi sampel penelitian, di Desa Dukuh, Kecamatan Kubu. Penentuan lokasi penelitian dilakukan

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Daya Saing Perdagangan Internasional pada dasarnya merupakan perdagangan yang terjadi antara suatu negara tertentu dengan negara yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi

I. PENDAHULUAN. sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan subsektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan sektor pertanian yang memiliki nilai strategis antara lain dalam memenuhi kebutuhan pangan yang terus

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Koperasi primer adalah koperasi yang anggotanya menghasilkan satu atau lebih komoditi. Salah satu contoh koperasi primer yang memproduksi komoditi pertanian adalah koperasi

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Harga Gula Domestik Menurut Susila (2005), Indonesia merupakan negara kecil dalam perdagangan dunia dengan pangsa impor sebesar 3,57 persen dari impor gula dunia sehingga Indonesia

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Daya Saing dan Dampak Kebijakan Terhadap Usaha Sapi Potong di Kabupaten Indrgiri Hulu 5.1.1. Profitabilitas Privat dan Sosial Usaha Sapi Potong Usaha peternakan sapi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-Faktor Penting yang Memengaruhi Dayasaing Suatu Komoditas

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-Faktor Penting yang Memengaruhi Dayasaing Suatu Komoditas II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Faktor-Faktor Penting yang Memengaruhi Dayasaing Suatu Komoditas Dayasaing sangat penting dalam menentukan keberhasilan suatu industri karena dayasaing merupakan kemampuan suatu

Lebih terperinci

Volume 12, Nomor 1, Hal ISSN Januari - Juni 2010

Volume 12, Nomor 1, Hal ISSN Januari - Juni 2010 Volume 12, Nomor 1, Hal. 55-62 ISSN 0852-8349 Januari - Juni 2010 DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP DAYA SAING DAN EFISIENSI SERTA KEUNGGULAN KOMPETITIF DAN KOMPARATIF USAHA TERNAK SAPI RAKYAT DI KAWASAN

Lebih terperinci

VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI

VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI VI. ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH PADA USAHATANI JAMBU BIJI Daya saing usahatani jambu biji diukur melalui analisis keunggulan komparatif dan kompetitif dengan menggunakan Policy

Lebih terperinci

Susu : Komoditi Potensial Yang Terabaikan

Susu : Komoditi Potensial Yang Terabaikan Susu : Komoditi Potensial Yang Terabaikan Oleh : Feryanto W. K. Sub sektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru khususnya bagi sektor pertanian serta bagi perekonomian nasional pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian di Indonesia saat ini sudah semakin maju. Dilihat dari

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian di Indonesia saat ini sudah semakin maju. Dilihat dari I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian di Indonesia saat ini sudah semakin maju. Dilihat dari ketersediaan sumberdaya yang ada di Indonesia, Indonesia memiliki potensi yang tinggi untuk menjadi

Lebih terperinci

IV METODOLOGI PENELITIAN

IV METODOLOGI PENELITIAN IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada petani tebu di wilayah kerja Pabrik Gula Sindang Laut Kabupaten Cirebon Propinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi penelitian

Lebih terperinci

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2 ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF BERAS SOLOK ORGANIK Mardianto 1, Edi Firnando 2 email: mardianto.anto69@gmail.com ABSTRAK 9 Penelitian tentang Analisis Keunggulan Komparatif dan Kompetitif

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian Terdahulu Menurut penelitian Fery (2013) tentang analisis daya saing usahatani kopi Robusta di kabupaten Rejang Lebong dengan menggunakan metode Policy Analiysis

Lebih terperinci

DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP

DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP DAYA SAING KEDELAI DI KECAMATAN GANDING KABUPATEN SUMENEP PURWATI RATNA W, RIBUT SANTOSA, DIDIK WAHYUDI Fakultas Pertanian, Universitas Wiraraja Sumenep ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah (1) menganalisis

Lebih terperinci

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK

VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK VI. ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS BELIMBING DEWA DI KOTA DEPOK 6.1 Analisis Keuntungan Sistem Komoditas Belimbing Dewa di Kota Depok Analisis keunggulan komparatif

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sumber : BPS (2009)

I. PENDAHULUAN. Sumber : BPS (2009) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan peternakan saat ini, menunjukan prospek yang sangat cerah dan mempunyai peran yang sangat penting dalam pertumbuhan ekonomi pertanian Indonesia. Usaha peternakan

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN. berupa derasnya arus liberalisasi perdagangan, otonomi daerah serta makin

KERANGKA PEMIKIRAN. berupa derasnya arus liberalisasi perdagangan, otonomi daerah serta makin 22 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Analisis Dewasa ini pengembangan sektor pertanian menghadapi tantangan dan tekanan yang semakin berat disebabkan adanya perubahan lingkungan strategis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Subsektor pertanian terdiri dari sektor tanaman pangan, sektor perkebunan, sektor kehutanan, sektor perikanan dan sektor peternakan. Sektor peternakan sebagai salah satu

Lebih terperinci

3.5 Teknik Pengumpulan data Pembatasan Masalah Definisi Operasional Metode Analisis Data

3.5 Teknik Pengumpulan data Pembatasan Masalah Definisi Operasional Metode Analisis Data DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii HALAMAN PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... ix DAFTAR GAMBAR... xi DAFTAR LAMPIRAN... xii ABSTRAK... xiii ABSTRACT...

Lebih terperinci

PENGANTAR. guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang cenderung bertambah dari tahun

PENGANTAR. guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang cenderung bertambah dari tahun PENGANTAR Latar Belakang Upaya peningkatan produksi susu segar dalam negeri telah dilakukan guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang cenderung bertambah dari tahun ke tahun. Perkembangan usaha sapi perah

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM VI ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP JERUK SIAM 6.1. Analisis Daya Saing Analisis keunggulan kompetitif dan komparatif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan kemampuan jeruk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peternakan sebagai salah satu sub dari sektor pertanian masih memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia. Kontribusi peningkatan

Lebih terperinci

ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG

ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG ANALISIS DAYASAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITAS KENTANG VI. 6.1 Analisis Dayasaing Hasil empiris dari penelitian ini mengukur dayasaing apakah kedua sistem usahatani memiliki keunggulan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Indonesia II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Peternakan Sapi Perah di Indonesia Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman 24 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usahatani Tebu 2.1.1 Budidaya Tebu Budidaya tebu adalah proses pengelolaan lingkungan tumbuh tanaman sehingga tanaman dapat tumbuh dengan optimum dan dicapai hasil yang diharapkan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya alam yang beraneka ragam dan memiliki wilayah yang cukup luas. Hal ini yang membuat Indonesia menjadi

Lebih terperinci

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG

VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG VII. ANALISIS DAYA SAING USAHATANI JAGUNG 7.1. Profitabilitas Privat dan Sosial Analisis finansial dan ekonomi usahatani jagung memberikan gambaran umum dan sederhana mengenai tingkat kelayakan usahatani

Lebih terperinci

DAYA SAING USAHA TERNAK SAPI PERAH RAKYAT DI KECAMATAN PUJON KABUPATEN MALANG JAWA TIMUR

DAYA SAING USAHA TERNAK SAPI PERAH RAKYAT DI KECAMATAN PUJON KABUPATEN MALANG JAWA TIMUR Daya Saing Usaha Ternak Sapi Perah Rakyat Di Kecamatan Pujon Kabupaten Malang Jawa Timur DAYA SAING USAHA TERNAK SAPI PERAH RAKYAT DI KECAMATAN PUJON KABUPATEN MALANG JAWA TIMUR Harmini Adibowo Departemen

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Pasir Penyu dan Kecamatan Rengat, Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Kabupaten Indragiri Hulu terdiri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang) 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Meningkatnya jumlah penduduk dan adanya perubahan pola konsumsi serta selera masyarakat telah menyebabkan konsumsi daging ayam ras (broiler) secara nasional cenderung

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Undang-undang No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian pasal 2

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Undang-undang No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian pasal 2 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Koperasi 2.1.1 Pengertian Koperasi Menurut Undang-undang No. 25 tahun 1992 tentang Perkoperasian pasal 2 dikatakan bahwa koperasi berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian merupakan salah satu pilihan strategis untuk menopang perekonomian nasional dan daerah, terutama setelah terjadinya krisis ekonomi yang dialami

Lebih terperinci

sesuaian harga yang diterima dengan cost yang dikeluarkan. Apalagi saat ini,

sesuaian harga yang diterima dengan cost yang dikeluarkan. Apalagi saat ini, RINGKASAN Kendati Jambu Mete tergolong dalam komoditas unggulan, namun dalam kenyataannya tidak bisa dihindari dan kerapkali mengalami guncangan pasar, yang akhirnya pelaku (masyarakat) yang terlibat dalam

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN Struktur Biaya Produksi Usahaternak Sapi Perah

KERANGKA PEMIKIRAN Struktur Biaya Produksi Usahaternak Sapi Perah III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1 Faktor-faktor Produksi Usahaternak Sapi Perah Produksi adalah suatu proses penting dalam usahaternak, menurut Raharja (2000), produksi adalah

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. [Januari, 2010] Jumlah Penduduk Indonesia 2009.

BAB I. PENDAHULUAN.  [Januari, 2010] Jumlah Penduduk Indonesia 2009. BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan peternakan merupakan bagian integral dari pembangunan pertanian di Indonesia. Subsektor peternakan sebagai bagian dari pertanian dalam arti luas merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan pertanian secara keseluruhan, dimana sub sektor ini memiliki nilai strategis dalam pemenuhan kebutuhan

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN PEMBATASAN IMPOR BAWANG MERAH TERHADAP USAHATANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO

DAMPAK KEBIJAKAN PEMBATASAN IMPOR BAWANG MERAH TERHADAP USAHATANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO DAMPAK KEBIJAKAN PEMBATASAN IMPOR BAWANG MERAH TERHADAP USAHATANI BAWANG MERAH DI KABUPATEN PROBOLINGGO Policy Impact of Import Restriction of Shallot on Farm in Probolinggo District Mohammad Wahyudin,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia termasuk salah satu Negara agraris dimana sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Sektor pertanian menjadi salah satu sektor dimana

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan tujuan

III. METODE PENELITIAN. untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan tujuan 33 III. METODE PENELITIAN A. Definisi Operasional dan Konsep Dasar Konsep dasar dan batasan operasional ini mencakup pengertian yang digunakan untuk mendapatkan data yang akan dianalisis sehubungan dengan

Lebih terperinci

ARAH KEBIJAKAN PERSUSUAN

ARAH KEBIJAKAN PERSUSUAN ARAH KEBIJAKAN PERSUSUAN Agar pangsa pasar susu yang dihasilkan peternak domestik dapat ditingkatkan maka masalah-masalah di atas perlu ditanggulangi dengan baik. Revolusi putih harus dilaksanakan sejak

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP USAHA PETERNAKAN SAPI PERAH (Studi Kasus : Peternak Anggota Koperasi Produksi Susu dan Usaha Peternakan Bogor KUNAK, Jawa Barat) OLEH RETNO

Lebih terperinci

VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM

VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM VI. ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHA PEMBENIHAN IKAN PATIN SIAM DEDDY FISH FARM Analisis keunggulan komparatif dan kompetitif digunakan untuk mempelajari kelayakan dan prospek serta

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pasar bebas bukan saja merupakan peluang namun juga ancaman. yang harus dihadapi oleh industri yang berkeinginan untuk terus maju dan

I. PENDAHULUAN. Pasar bebas bukan saja merupakan peluang namun juga ancaman. yang harus dihadapi oleh industri yang berkeinginan untuk terus maju dan I. PENDAHULUAN Latar Belakang Pasar bebas bukan saja merupakan peluang namun juga ancaman yang harus dihadapi oleh industri yang berkeinginan untuk terus maju dan berkembang. Pasar senantiasa merupakan

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN

VIII. KESIMPULAN DAN SARAN VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1.a. Faktor-faktor yang berpengaruh nyata/signifikan terhadap produksi usahatani jagung

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor peternakan merupakan salah satu pilar dalam pembangunan agribisnis di Indonesia yang masih memiliki potensi untuk terus dikembangkan. Komoditi peternakan mempunyai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Potensi usaha peternakan di Indonesia sangat besar. Dengan kondisi geografis

BAB I PENDAHULUAN. Potensi usaha peternakan di Indonesia sangat besar. Dengan kondisi geografis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Potensi usaha peternakan di Indonesia sangat besar. Dengan kondisi geografis yang sangat mendukung, usaha peternakan di Indonesia dapat berkembang pesat. Usaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang memiliki peranan cukup penting dalam memberikan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang memiliki peranan cukup penting dalam memberikan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang memiliki peranan cukup penting dalam memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap perekonomian negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan tidak terpisahkan dari pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat

Lebih terperinci

Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kelapa di Kabupaten Flores Timur

Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kelapa di Kabupaten Flores Timur Analisis Dampak Kebijakan Pemerintah Terhadap Daya Saing Komoditas Kelapa di Kabupaten Flores Timur Krisna Setiawan* Haryati M. Sengadji* Program Studi Manajemen Agribisnis, Politeknik Pertanian Negeri

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian dan Konsep Daya Saing Daya saing adalah suatu konsep komparatif dari kemampuan dan pencapaian dari suatu perusahaan, subsektor atau negara untuk memproduksi, menjual

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pembagian Skala Usahaternak Sapi Perah

TINJAUAN PUSTAKA Pembagian Skala Usahaternak Sapi Perah II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usahaternak Sapi Perah 2.1.1 Pembagian Skala Usahaternak Sapi Perah Usahaternak di Indonesia diklasifikasikan menjadi tiga kelompok berdasarkan berdasarkan pola pemeliharaannya,

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pendekatan Penelitian Sistem Usaha Pertanian dan Agribisnis Pada awalnya penelitian tentang sistem pertanian hanya terbatas pada tahap budidaya atau pola tanam, tetapi pada tahun

Lebih terperinci

STUDI KELAYAKAN USAHA TERNAK SAPI PERAH RAKYAT DI WILAYAH KABUPATEN BOGOR OLEH AGITA KIRANA PUTRI H

STUDI KELAYAKAN USAHA TERNAK SAPI PERAH RAKYAT DI WILAYAH KABUPATEN BOGOR OLEH AGITA KIRANA PUTRI H STUDI KELAYAKAN USAHA TERNAK SAPI PERAH RAKYAT DI WILAYAH KABUPATEN BOGOR OLEH AGITA KIRANA PUTRI H14104071 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 RINGKASAN

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS KELAPA DI KABUPATEN FLORES TIMUR

ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS KELAPA DI KABUPATEN FLORES TIMUR 350 PARTNER, TAHUN 21 NOMOR 2, HALAMAN 350-358 ANALISIS DAYA SAING KOMODITAS KELAPA DI KABUPATEN FLORES TIMUR Krisna Setiawan Program Studi Manajemen Agribisnis Politeknik Pertanian Negeri Kupang Jalan

Lebih terperinci

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini BAB VII SIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan tujuan penelitian dan hasil analisis, maka pada penelitian ini diperoleh beberapa simpulan, implikasi kebijakan dan saran-saran seperti berikut. 7.1 Simpulan 1. Dari

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN 45 IV. METODE PENELITIAN 4.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi Selatan. Pemilihan daerah tersebut dilakukan secara purposive

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Perkembangan Koperasi tahun Jumlah

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Perkembangan Koperasi tahun Jumlah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Koperasi dapat memberikan sumbangan bagi pembangunan ekonomi sosial negara sedang berkembang dengan membantu membangun struktur ekonomi dan sosial yang kuat (Partomo,

Lebih terperinci

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

IX. KESIMPULAN DAN SARAN IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwa: 1. Penawaran output jagung baik di Jawa Timur maupun di Jawa Barat bersifat elastis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pemenuhan protein hewani yang diwujudkan dalam program kedaulatan pangan.

I. PENDAHULUAN. pemenuhan protein hewani yang diwujudkan dalam program kedaulatan pangan. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebutuhan masyarakat terhadap sumber protein hewani semakin meningkat sejalan dengan perubahan selera, gaya hidup dan peningkatan pendapatan. Karena, selain rasanya

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 26 III. METODE PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk mengenai variabel yang akan diteliti untuk memperoleh dan menganalisis

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo)

ANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo) ANALISIS DAYA SAING APEL JAWA TIMUR (Studi Kasus Apel Batu, Nongkojajar dan Poncokusumo) Novi Itsna Hidayati 1), Teguh Sarwo Aji 2) Dosen Fakultas Pertanian Universitas Yudharta Pasuruan ABSTRAK Apel yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan I. PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan produksi menuju swasembada, memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan serta meratakan taraf hidup

Lebih terperinci

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis

KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Dayasaing Dayasaing merupakan kemampuan usaha suatu industri untuk menghadapi berbagai lingkungan kompetitif. Dayasaing dapat diartikan

Lebih terperinci

Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 12 No. 2, Agustus 2007 Hal: namun sering harganya melambung tinggi, sehingga tidak terjangkau oleh nelayan. Pe

Jurnal Ekonomi Pembangunan Vol. 12 No. 2, Agustus 2007 Hal: namun sering harganya melambung tinggi, sehingga tidak terjangkau oleh nelayan. Pe Jurnal EKONOMI PEMBANGUNAN Kajian Ekonomi Negara Berkembang Hal: 141 147 EFISIENSI EKONOMI DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP USAHA PENANGKAPAN LEMURU DI MUNCAR, JAWA TIMUR Mira Balai Besar Riset

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Sumber : Direktorat Jendral Peternakan 2010

1 PENDAHULUAN. Sumber : Direktorat Jendral Peternakan 2010 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komoditas peternakan mempunyai prospek yang baik untuk dikembangkan. Hal ini didukung oleh karakteristik produk yang dapat diterima oleh masyarakat Indonesia. Kondisi ini

Lebih terperinci

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan sektor penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Peran strategis sektor pertanian digambarkan dalam kontribusi sektor pertanian dalam

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 23 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Konsep Daya Saing Daya saing merupakan kemampuan suatu produsen untuk memproduksi suatu komoditi dengan mutu yang baik dan biaya produksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah Tenaga Kerja Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Lapangan Pekerjaan Tahun 2011

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah Tenaga Kerja Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Lapangan Pekerjaan Tahun 2011 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN Peternakan adalah kegiatan membudidayakan hewan ternak untuk mendapatkan manfaat dengan menerapkan prinsip-prinsip manajemen pada faktor-faktor produksi. Peternakan merupakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Empiris Tentang Jeruk

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Empiris Tentang Jeruk II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Studi Empiris Tentang Jeruk Studi mengenai jeruk telah dilakukan oleh banyak pihak, salah satunya oleh Sinuhaji (2001) yang melakukan penelitian mengenai Pengembangan Usahatani

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis 3.1.1. Analisis Daya Saing Dalam sistem perekonomian dunia yang semakin terbuka, faktor-faktor yang mempengaruhi perdagangan dunia (ekspor dan impor)

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA. Juni 2010] 6 Masalah Gizi, Pengetahuan Masyarakat Semakin Memprihatinkan. [10

II TINJAUAN PUSTAKA. Juni 2010] 6 Masalah Gizi, Pengetahuan Masyarakat Semakin Memprihatinkan.  [10 II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka dalam penelitian ini meliputi tinjauan komoditas kedelai, khususnya peranan kedelai sebagai sumber protein nabati bagi masyarakat. Tidak hanya itu, kedelai juga ditinjau

Lebih terperinci

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN

VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN VIII. ANALISIS KEBIJAKAN ATAS PERUBAHAN HARGA OUTPUT/ INPUT, PENGELUARAN RISET JAGUNG DAN INFRASTRUKTUR JALAN 8.1. Pengaruh Perubahan Harga Output dan Harga Input terhadap Penawaran Output dan Permintaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor

I. PENDAHULUAN. Indonesia menurut lapangan usaha pada tahun 2010 menunjukkan bahwa sektor 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan sektor strategis dalam pembangunan perekonomian nasional seperti dalam hal penyerapan tenaga kerja dan sumber pendapatan bagi masyarakat

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.995, 2017 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMTAN. Penyediaan dan Peredaran Susu. PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/PERMENTAN/PK.450/7/2017 TENTANG PENYEDIAAN DAN PEREDARAN SUSU

Lebih terperinci

DAYA SAING USAHA TERNAK SAPI RAKYAT PADA KELOMPOK TANI DAN NON KELOMPOK TANI (suatu survey di Kelurahan Eka Jaya)

DAYA SAING USAHA TERNAK SAPI RAKYAT PADA KELOMPOK TANI DAN NON KELOMPOK TANI (suatu survey di Kelurahan Eka Jaya) Volume, Nomor 2, Hal. 09-6 ISSN 0852-8349 Juli - Desember 2009 DAYA SAING USAHA TERNAK SAPI RAKYAT PADA KELOMPOK TANI DAN NON KELOMPOK TANI (suatu survey di Kelurahan Eka Jaya) Muhammad Farhan dan Anna

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang yang memiliki jumlah penduduk terbanyak keempat di dunia setelah Republik Rakyat Cina (RRC), India, dan Amerika Serikat

Lebih terperinci

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHATANI JAGUNG DAN PADI DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA ZULKIFLI MANTAU

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHATANI JAGUNG DAN PADI DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA ZULKIFLI MANTAU ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF USAHATANI JAGUNG DAN PADI DI KABUPATEN BOLAANG MONGONDOW PROPINSI SULAWESI UTARA ZULKIFLI MANTAU SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHATANI JAGUNG MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NTT. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 2

KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHATANI JAGUNG MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NTT. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 2 KEUNGGULAN KOMPARATIF USAHATANI JAGUNG MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NTT Yusuf 1 dan Rachmat Hendayana 2 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, 2 Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi

Lebih terperinci

DAYA SAING JAGUNG, KETELA POHON, DAN KETELA RAMBAT PRODUKSI LAHAN KERING DI KECAMATAN KUBU, KABUPATEN KARANGASEM PROVINSI BALI

DAYA SAING JAGUNG, KETELA POHON, DAN KETELA RAMBAT PRODUKSI LAHAN KERING DI KECAMATAN KUBU, KABUPATEN KARANGASEM PROVINSI BALI DAYA SAING JAGUNG, KETELA POHON, DAN KETELA RAMBAT PRODUKSI LAHAN KERING DI KECAMATAN KUBU, KABUPATEN KARANGASEM PROVINSI BALI I Made Tamba Universitas Mahasaraswati Denpasar ABSTRAK Jagung, ketela pohon

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang tangguh dalam perekonomian dan memiliki peran sebagai penyangga pembangunan nasional. Hal ini terbukti pada saat Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tanaman hortikultura merupakan salah satu tanaman yang menunjang pemenuhan gizi masyarakat sebagai sumber vitamin, mineral, protein, dan karbohidrat (Sugiarti, 2003).

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peternakan adalah bagian dari sektor pertanian yang merupakan sub sektor yang penting dalam menunjang perekonomian masyarakat. Komoditas peternakan mempunyai prospek

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITI PADI SAWAH DI KECAMATAN PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI ABSTRACT

ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITI PADI SAWAH DI KECAMATAN PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI ABSTRACT ANALISIS DAYA SAING DAN DAMPAK KEBIJAKAN PEMERINTAH TERHADAP KOMODITI PADI SAWAH DI KECAMATAN PERBAUNGAN KABUPATEN SERDANG BEDAGAI Denti Juli Irawati*), Luhut Sihombing **), Rahmanta Ginting***) *) Alumni

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wirausaha memiliki peran penting dalam perkembangan ekonomi suatu negara, salah satu contohnya adalah negara adidaya Amerika. Penyumbang terbesar perekonomian Amerika

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. efetivitas rantai pemasok. Menurut Wulandari (2009), faktor-faktor yang

BAB I PENDAHULUAN. efetivitas rantai pemasok. Menurut Wulandari (2009), faktor-faktor yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Lingkungan Eksternal Lingkungan eksternal merupakan bagian yang sangat penting untuk membangun, mempertahankan, dan mengembangkan sebuah bisnis. Lingkungan eksternal juga dapat didefinisikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1 Sapi 0,334 0, Kerbau 0,014 0, Kambing 0,025 0, ,9 4 Babi 0,188 0, Ayam ras 3,050 3, ,7 7

I. PENDAHULUAN. 1 Sapi 0,334 0, Kerbau 0,014 0, Kambing 0,025 0, ,9 4 Babi 0,188 0, Ayam ras 3,050 3, ,7 7 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu aktivitas ekonomi dalam agribisnis adalah bisnis peternakan. Agribisnis bidang ini utamanya dilatarbelakangi oleh fakta bahwa kebutuhan masyarakat akan produk-produk

Lebih terperinci

7.2. PENDEKATAN MASALAH

7.2. PENDEKATAN MASALAH kebijakan untuk mendukung ketersediaan susu tersebut. Diharapkan hasil kajian ini dapat membantu para pengambil kebijakan dalam menentukan arah perencanaan dan pelaksanaan penyediaan susu serta mampu mengidentifikasi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Aman, dan Halal. [20 Pebruari 2009]

I PENDAHULUAN. Aman, dan Halal.  [20 Pebruari 2009] I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara agraris dengan kondisi daratan yang subur dan iklim yang menguntungkan. Pertanian menjadi sumber mata pencaharian sebagian penduduk dan berkontribusi

Lebih terperinci

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 3. No 2 Desember 2009)

Jurnal Agribisnis dan Ekonomi Pertanian (Volume 3. No 2 Desember 2009) 58 ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF DAN KOMPETITIF KAIN TENUN SUTERA PRODUKSI KABUPATEN GARUT Dewi Gustiani 1 dan Parulian Hutagaol 2 1 Alumni Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen - IPB

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Salah satu kebijakan pembangunan yang dipandang tepat dan strategis dalam rangka pembangunan wilayah di Indonesia sekaligus mengantisipasi dimulainya era perdagangan bebas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Tahun (Milyar rupiah)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Nilai PDB Hortikultura Berdasarkan Harga Berlaku Tahun (Milyar rupiah) 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian dari mayoritas penduduknya. Sektor pertanian adalah salah satu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 241 juta dengan ditandai oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang meningkat dan stabilitas ekonomi yang

Lebih terperinci