BAB III TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB III TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 III- BAB III 3.. Hidrologi Data hidrologi adalah kumpulan keterangan atau fakta mengenai fenomena hidrologi, seperti besarnya : curah hujan, debit sungai, tinggi muka air sungai, kecepatan aliran, konsentrasi sedimen sungai dan lain lain yang akan selalu berubah terhadap waktu. Data hidrologi digunakan untuk menentukan besarnya debit banjir rencana. Debit banjir rencana merupakan debit yang dijadikan dasar perencanaan, yaitu debit maksimum rencana di sungai atau saluran alamiah dengan periode ulang tertentu (Q th ) yang dapat dialirkan tanpa membahayakan lingkungan sekitar dan stabilitas sungai. Debit banjir rencana adalah debit banjir yang rata rata terjadi satu kali dalam periode ulang yang ditinjau. Untuk mendapatkan debit banjir rencana dapat dilakukan melalui dua cara yaitu melalui pengolahan data debit dan melalui pengolahan data hujan. Data curah hujan ini lebih lengkap dibandingkan dengan data debit, sebab agar dapat menggunakan data debit harus tersedia rating curve yang dapat mencakup debit banjir saat muka air banjir rendah sampai dengan maksimum. Pengukuran tinggi muka air banjir dan kecepatan air banjirnya dilakukan per segmen dalam suatu penampang melintang sungai (cross section). Hal ini sangat sulit dilakukan dalam prakteknya dan membutuhkan waktu yang lama serta biaya yang tidak sedikit, antara lain : petugas pencatat seringkali mengalami kesulitan pembacaan peilschale dalam pengukuran ketinggian muka air banjir pada saat banjir terlalu tinggi/terlalu deras, perlu adanya konstruksi jembatan, dan terkadang sukar memprediksi kapan waktu terjadi banjir sehingga terkadang timing pengukuran tidak tepat. Selain itu untuk

2 III- daerah yang belum berkembang dimana peralatan minimal, sangat sulit untuk melakukan pengukuran elevasi muka air dan kecepatan saat banjir. Dari pencatatan tinggi muka air banjir di atas, dibuat menjadi kurva hubungan antara tinggi muka air dengan debit banjir. Sehingga dapat dicari besarnya debit banjir dari ketinggian air tertentu. Selain diperlukan rating curve untuk mengubah data debit menjadi debit banjir, harus pula didukung oleh data yang menerus yang bisa diperoleh dari AWLR. Sehubungan data debit susah dicari juga sering tidak lengkap, maka digunakan pengolahan data curah hujan harian menjadi curah hujan harian maksimum tahunan. Sebab data curah hujan lebih mudah didapatkan dan tersimpan pada stasiun pengamatan hujan yang letaknya tersebar di daerah pengaliran sungai yang ditinjau. Dari data hujan harian maksimum tahunan ini, kemudian dilakukan pemilihan distribusi, dimana dapat diolah dengan dua cara yaitu cara analisis dan cara grafis Daerah Aliran Sungai (DAS) Daerah aliran sungai ditentukan berdasarkan topografi daerah tersebut, di mana daerah aliran sungai adalah daerah yang dibatasi oleh punggung-punggung bukit dimana air hujan di daerah tersebut mengalir menuju ke satu sungai. Pada peta topografi dapat ditentukan cara membuat garis imajiner yang menghubungkan titik yang mempunyai elevasi kontur tertinggi di sebelah kiri dan kanan sungai yang ditinjau. Untuk menentukan luas daerah aliran sungai dapat digunakan alat planimeter. Untuk lebih jelasnya dapt dilihat pada Gambar 3..

3 III-3 DAS Garis Anak Sungai Imajiner Sungai Bukit Bendung Gambar 3.. Sketsa Penentuan DAS 3... Debit Banjir Rencana Pemilihan debit banjir rencana untuk bangunan air adalah suatu masalah yang sangat bergantung pada analisis statistik dari urutan kejadian banjir baik berupa debit air di sungai maupun hujan. Dalam pemilihan suatu teknik analisis penentuan banjir rencana tergantung dari data-data yang tersedia dan macam dari bangunan air yang akan dibangun. Hal yang penting dalam perhitungan banjir rencana adalah distribusi curah hujan. Distribusi curah hujan berbeda sesuai dengan jangka waktu yang ditinjau yaitu : R jam-jaman R 4 R harian = curah hujan yang turun tiap jam. = curah hujan maksimum yang terjadi dalam 4 jam. = curah hujan dalam satu hari (4 jam) yang didapat dari curah hujan R mingguan R bulanan R tahunan tiap jam (R jam ). = curah hujan dalam satu minggu (7 hari) yang didapat dari curah hujan harian (R harian ) tiap hari dalam satu minggu. = curah hujan dalam satu bulan yang didapat dari curah hujan mingguan (R mingguan ) tiap minggu dalam satu bulan. = curah hujan dalam satu tahun yang didapat dari curah hujan bulanan (R bulanan ) tiap bulan dalam satu tahun.

4 III-4 I = intensitas curah hujan yang dinyatakan dalam mm/jam tinggi curah hujan yang terjadi dalam periode / waktu tertentu, Curah Hujan Daerah / Wilayah R. T Curah hujan yang diperlukan untuk penyusunan suatu rancangan pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir adalah curah hujan rata - rata di seluruh daerah yang bersangkutan, bukan curah hujan pada suatu titik tertentu. Curah hujan ini disebut curah hujan wilayah / daerah dan dinyatakan dalam mm. Untuk memperoleh data curah hujan, maka diperlukan alat untuk mengukurnya yaitu penakar hujan dan pencatat hujan. Data hujan yang diperoleh dari alat ukur curah hujan adalah data curah hujan lokal (Point Rainfall) yang kemudian diolah terlebih dahulu menjadi data curah hujan daerah / wilayah aliran sungai (Areal Rainfall) untuk perhitungan dalam perencanaan. Dalam perencanaan Pengendalian Banjir di Kabupaten Brebes ini data curah hujan diperoleh dari stasiun-stasiun pengukuran curah hujan sekitar lokasi DAS Pemali Penentuan Curah Hujan Maksimum Rata-rata Daerah Aliran Pengamatan curah hujan dilakukan pada stasiun-stasiun penakar yang terletak di dalam atau di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) untuk mendapatkan curah hujan maksimum harian(r 4 ). Penentuan curah hujan maksimum harian(r 4 ) rata - rata wilayah DAS dari beberapa stasiun penakar tersebut dapat dihitung dengan beberapa metode antara lain :. Metode Rata Rata Aljabar Tinggi rata - rata curah hujan yang didapatkan dengan mengambil nilai ratarata hitung (arithmetic mean) pengukuran hujan di pos penakar-penakar hujan di dalam areal tersebut. Jadi cara ini akan memberikan hasil yang dapat dipercaya jika pos-pos penakarnya ditempatkan secara merata di areal tersebut, dan hasil penakaran masing - masing pos penakar tidak menyimpang jauh dari nilai rata-rata seluruh pos

5 III-5 di seluruh areal. Nilai curah hujan daerah / wilayah ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut : R R.. n R... R n... (3.) dimana : R = besar curah hujan rerata daerah (mm) n = jumlah titik titik pengamatan (Sta. Hujan). R,...,, R R n = besar curah hujan di tiap titik pengamatan (Sta. Hujan) S t a. 3 R 3 S t a. R S t a. R Gambar 3.. DAS Untuk Metode Rata - Rata Aljabar. Metode Polygon Thiessen Metode ini sering digunakan pada analisis hidrologi karena metode ini lebih baik dan obyektif dibanding dengan metode lainnya. Cara poligon thiessen ini dipakai apabila daerah pengaruh dan curah hujan rata-rata tiap stasiun berbeda-beda, dipakai stasiun hujan minimum 3 buah dan tersebar tidak merata. Cara ini memperhitungkan luas daerah yang mewakili dari pos-pos hujan yang bersangkutan, untuk digunakan sebagai faktor bobot dalam perhitungan curah hujan rata-rata. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut:. Tentukan stasiun penakar curah hujan yang berpengaruh pada daerah pengaliran.. Tarik garis hubungan dari stasiun penakar hujan /pos hujan. 3. Tarik garis sumbunya secara tegak lurus dari tiap-tiap garis hubung.

6 III-6 4. Hitung luas DAS pada wilayah yang dipengaruhi oleh stasiun penakar curah hujan tersebut. Cara ini dipandang cukup baik karena memberikan koreksi terhadap kedalaman hujan sebagai fungsi luas daerah yang diwakili. Dimana rumus yang digunakan untuk menghitung curah hujannya adalah sebagai berikut: R dimana: A R A R n n... (3.) A A... A R... A n R,,R n = curah hujan di tiap stasiun pengukuran (mm) A,,An = luas bagian daerah yang mewakili tiap stasiun pengukuran (km ) R = besarnya curah hujan rata-rata DAS (mm). Setelah luas pengaruh pada tiap-tiap stasiun didapat, koefisien thiessen dapat dihitung: Ai Ci *00%... (3.3) A dimana: C i = koefisien thiessen A = luas total DAS (km ) Ai = luas bagian daerah di tiap stasiun pengamatan (km ) R R * C ) ( R * C )... ( R n * C )... (3.4) ( n ( Sri Harto, 993)

7 III-7 Gambar 3.3. Polygon Thiessen 3. Metode Isohyet Dengan cara ini, kita harus menggambar dulu kontur tinggi hujan yang sama (isohyet). Setelah itu luas bagian diantara dua garis isohyet yang berdekatan diukur dengan planimeter, dan nilai rata rata dihitung sebagai nilai rata rata timbang nilai kontur. Curah hujan daerah itu dapat dihitung menurut persamaan sebagai berikut : R A. R A. R A A... A. R... A dimana : R = Besar curah hujan rerata daerah (mm). A,..., n n n... (3.5), A A n = Luas bagian DAS yang terpengaruh di tiap titik pengamatan (Sta.Hujan). R, R,..., R n = Besar curah hujan rata rata pada bagian A, A,..., An.

8 III-8 Gambar 3.4. Metode Isohyet Cara ini adalah cara rasional yang terbaik jika garis garis isohyet dapat digambar dengan teliti. Akan tetapi jika titik pengamatan itu banyak dan variasi curah hujan di daerah bersangkutan besar, maka pada pembuatan peta isohyet ini akan terjadi kesalahan personal (invidual error). Pada waktu menggambar garis garis isohyet sebaiknya juga memperhatikan pengaruh bukit atau gunung terhadap distribusi hujan (hujan orografik). Metode yang akan dipakai dalam perhitungan curah hujan rerata dalam kaitannya dengan rencana pengendalian banjir ini adalah dengan menggunakan metode Polygon Thiessen karena lebih baik dan objektif dan dapat digunakan untuk daerah yang stasiun hujannya tidak merata Penentuan Curah Hujan Harian Rencana Analisis curah hujan rencana ini ditujukan untuk mengetahui besarnya curah hujan maksimum dalam periode ulang tertentu yang nantinya dipergunakan untuk perhitungan debit banjir rencana. Untuk perhitungan hujan rencana digunakan analisa frekuensi, cara yang dipakai adalah dengan menggunakan metode kemungkinan (Probability Distribution) teoritis yang ada. Beberapa jenis distribusi yang digunakan antara lain :

9 III-9 A. Distribusi Log Pearson Type III. B. Distribusi Log Normal. C. Distribusi Gumbel. Dalam penentuan metode yang akan digunakan, terlebih dahulu ditentukan parameter-parameter statistik sebagai berikut :. Deviasi Standar (δx) Deviasi standar (Standard Deviation) merupakan ukuran sebaran yang paling banyak digunakan. Apabila penyebaran sangat besar terhadap nilai rata-rata, maka nilai δx akan besar, akan tetapi jika penyebaran data sangat kecil terhadap nilai ratarata maka nilai δx akan kecil pula. Deviasi standar dapat dihitung dengan rumus berikut : n X i X i... (3.6) x n. Koefisien Variasi (Cv) Koefisien variasi (Variation of Coefficient) adalah nilai perbandingan antara standar deviasi dengan nilai rata-rata hitung dari suatu distribusi normal. Koefisien variasi dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: x Cv= X... (3.7) 3. Koefisien Skewness (Cs) Koefisien skewness (kecondongan) adalah suatu nilai yang menunjukkan derajat ketidaksimetrisan (asimetri) dari suatu bentuk distribusi. Apabila kurva frekuensi dari suatu distribusi mempunyai ekor memanjang ke kanan atau ke kiri terhadap titik pusat maksimum, maka kurva tersebut tidak akan berbentuk simetri. Keadaan tersebut disebut condong ke kanan atau ke kiri. Pengukuran kecondongan adalah untuk mengukur seberapa besar kurva frekuensi dari suatu distribusi tidak simetri atau condong. Ukuran kecondongan dinyatakan dengan besarnya koefisien

10 III-0 kecondongan atau koefisien skewness, dan dapat dihitung dengan persamaan dibawah ini: Cs= n * n 3 ( X I X ) i... (3.8) 3 ( n ) * ( n ) * S 4. Koefisien Kurtosis (Ck) Pengukuran kurtosis dimaksudkan untuk mengukur keruncingan dari bentuk kurva distribusi dan sebagai pembandingnya adalah distribusi normal. Koefisien kurtosis (Coefficient of Kurtosis) dirumuskan sebagai berikut: n 4 n * ( Xi X) i Ck=... (3.9) 4 ( n )*( n )*( n 3)* S Dari harga parameter statistik tersebut akan dipilih jenis distribusi yang sesuai. Dengan menggunakan cara penyelesaian analisa frekuensi, penggambaran ini dimungkinkan lebih banyak terjadinya kesalahan. Maka untuk mengetahui tingkat pendekatan dari hasil penggambaran tersebut, dapat dilakukan pengujian kecocokan jenis distribusi dengan menggunakan cara Uji Chi Kuadrat (Chi Square Test) dan plotting data Distribusi. Distribusi Log Pearson Type III Diantara tipe metode pearson, type III merupakan metode yang banyak digunakan dalam analisis hidrologi. Berdasarkan kajian Benson 986, disimpulkan bahwa metode log pearson type III dapat digunakan sebagai dasar dengan tidak menutup kemungkinan pemakaian metode yang lain, apabila pemakaian sifatnya sesuai. (Sri Harto, 98). Langkah-langkah yang diperlukan adalah sebagai berikut: a. Gantilah data X, X, X 3,,X n menjadi data dalam logaritma, yaitu: log X, log X, log X 3,,log X n. b. Hitung rata-rata dari logaritma data tersebut:

11 III- n log X i i log X... (3.0) n c. Hitung standar deviasi n log X i log X i x... (3.) n d. Hitung koefisien skewness n 3 n * n * S 3 n log X i log X i Cs... (3.) e. Hitung logaritma data pada interval pengulangan atau kemungkinan prosentase yang dipilih. log X S log* KTr Cs LogX Tr,... (3.3) dimana: Log X Tr = logaritma curah hujan rencana (mm) log X = logaritma curah hujan rata-rata (mm) δx = standar deviasi (mm) K(Tr,Cs) = faktor frekuensi pearson tipe III yang tergantung pada harga Tr (periode ulang) dan Cs (koefisien skewness), yang dapat dibaca pada Tabel 3..

12 III- Koefisien (Cs) Tabel 3.. Harga K untuk Distribusi Log Pearson III Waktu Balik Dalam Tahun Peluang (%)

13 III (Sumber : CD Soemarto, 999). Distribusi Log Normal Rumus yang digunakan dalam perhitungan dengan metode ini adalah sebagai berikut (Soewarno, 995) : log X log X S K... (3.4) dimana : Xt t rt t = besarnya curah hujan yang mungkin terjadi dengan periode ulang T tahun. X rt S K t = curah hujan rata rata. = standar deviasi data hujan maksimum tahunan. = standar variable untuk periode ulang t tahun

14 III-4 Tabel 3.. Koefisien untuk metode Log Normal Periode Ulang T tahun Cv , , , , , , , , , , , , , , , , ,8500-0, , , , (Sumber : Soemarto, 999) Distribusi Log Normal merupakan hasil transformasi dari distribusi Normal yaitu dengan mengubah varian X menjadi nilai logaritmik varian X. Distribusi ini dapat diperoleh juga dari distribusi Log Pearson Tipe III apabila nilai koefisien kemencengan C S = 0. Distribusi tipe Log Normal mempunyai koefisien kemencengan (Coefficient of skewness ) atau C S = 3 C V + C 3 V. Syarat lain distribusi sebaran Log Normal Cv ~ 0,06, C K = C V + 6 C V + 5 C V + 6 C V Distribusi Gumbel Metode ini merupakan metode dari nilai-nilai ekstrim (maksimum atau minimum). Fungsi metode gumbel merupakan fungsi eksponensial ganda. Rumus Umum:

15 III-5 X Tr x x * Kr... (3.5) dimana: X Tr = tinggi hujan untuk periode ulang T tahun (mm) x = harga rata-rata data hujan (mm) δx = standar deviasi bentuk normal (mm) Kr = faktor frekuensi gumbel. Faktor frekuensi gumbel merupakan fungsi dan masa ulang dari distribusi Yt Yn Kr... (3.6) Sn (Suripin, 004) dimana: Yt = Reduced Variate (fungsi periode ulang T tahun) (Tabel 3.3) Yn = harga rata-rata Reduced Mean (Tabel 3.4) Sn = Reduced Standard Deviation (Tabel 3.5) Tabel 3.3. Harga Reduced Variate Pada Periode Ulang Hujan T tahun Periode ulang, T r (tahun) Reduced Variate Periode ulang, Reduced Variate Y t T r (tahun) 0, ,60 5, ,969 0, ,506 0, ,49 5 3, , , , , , Y t

16 III-6 Tabel 3.4. Harga Reduced Standar Deviasi (Yn) dengan Jumlah Data n ,9496 0,9676 0,9833 0,997,0095,006,035,04,0493,0565 0,068,0696,0754,08,0664,095,096,004,047,086 30,4,59,93,6,55,85,33,339,363,388 40,43,436,458,480,499,59,538,557,574,590 50,607,63,638,638,667,68,696,706,7,734 60,747,759,770,770,793,803,84,84,834,844 70,854,863,873,873,890,898,906,95,93,930 80,938,945,953,953,9670,973,980,987,994,00 90,007,03,00,06,03,038,044,049,055,060 00,065 (Sumber : Suripin,004) Tabel 3.5. Hubungan Reduced Standar Deviasi (Sn) Dengan Jumlah Data(n) n ,495 0,4996 0,5035 0,5070 0,500 0,58 0,557 0,58 0,50 0,50 0 0,536 0,55 0,568 0,583 0,696 0,5309 0,530 0,533 0,5343 0, ,536 0,537 0,5380 0,5388 0,8396 0,5043 0,540 0,548 0,544 0, ,5436 0,544 0,5448 0,5453 0,5458 0,5463 0,5468 0,5473 0,5477 0, ,5485 0,5489 0,5493 0,5497 0,550 0,5504 0,5508 0,55 0,555 0, ,55 0,554 0,557 0,5590 0,5533 0,5535 0,5538 0,5540 0,5543 0, ,5548 0,5550 0,555 0,5555 0,5557 0,5559 0,556 0,5563 0,5565 0, ,5569 0,5570 0,557 0,5574 0,5576 0,5578 0,5580 0,558 0,5583 0, ,5586 0,5587 0,5589 0,559 0,559 0,5593 0,5595 0,5596 0,5598 0, ,5600 0,560 0,5603 0,5604 0,5606 0,5607 0,5608 0,5609 0,560 0,56 (Sumber : Suripin,004) Distribusi Tipe I Gumbel atau Distribusi Extrim Tipe I digunakan untuk analisis data maksimum, misalnya untuk analisis frekuensi banjir. Distribusi Tipe I Gumbel mempunyai koefisien kemencengan (Coefficient of skewness ) atau C S =,39.

17 III-7 Tabel 3.6. Kriteria Penentuan Jenis Sebaran Jenis sebaran Log Normal Log pearson Tipe III Gumbel (Sumber : CD Soemarto, 999) Kriteria Cs= 3 Cv+Cv 3 Cv ~ 0,06 Cs 0 Cv ~ 0,3 Cs=,4 Ck= 5,4 Setelah pemilihan jenis sebaran dilakukan maka prosedur selanjutnya yaitu mencari curah hujan rencana periode ulang, 5, 0, 5, 50 dan 00 tahun Uji Keselarasan Untuk menentukan pola distribusi dan curah hujan rata rata yang paling sesuai dengan beberapa metode distribusi statistik yang telah dilakukan maka dilakukan uji keselarasan. Pada tes ini biasanya yang diamati adalah hasil perhitungan yang diharapkan. Ada dua jenis uji keselarasan (Goodness of fit tes ), yaitu Chi Square (Chi-kuadrat). Smirnov Kolmogorov.. Uji Keselarasan Chi Kuadrat (Chi Square Test) Prinsip pengujian dengan metode chi kuadrat didasarkan pada jumlah pengamatan yang diharapkan pada pembagian kelas, dan ditentukan terhadap jumlah data pengamatan yang terbaca didalam kelas tersebut. Atau bisa juga dengan membandingkan nilai chi kuadrat ( ) dengan chi kuadrat kritis ( cr). Rumus: ( Ei Oi )... (3.7) Ei (Soewarno, 995) dimana:

18 III-8 Oi Ei = harga chi kuadrat (chi square) = jumlah nilai pengamatan pada sub kelompok ke-i = jumlah nilai teoritis pada sub kelompok ke-i. Dari hasil pengamatan yang didapat, dicari penyimpangannya dengan chi kuadrat kritis yang didapat dari Tabel 3.8. Untuk suatu nilai nyata tertentu (level of significant) yang sering diambil adalah 5%. Derajat kebebasan ini secara umum dihitung dengan rumus sebagai berikut: Dk= n ( P + )... (3.8) dimana: Dk = derajat kebebasan n = banyaknya rata-rata P = banyaknya keterikatan (parameter). Adapun kriteria penilaian hasilnya adalah sebagai berikut : a. Apabila peluang lebih besar dari 5% maka persamaan distribusi teoritis yang digunakan dapat diterima. b. Apabila peluang lebih kecil dari % maka persamaan distribusi teoritis yang digunakan dapat diterima. c. Apabila peluang antara %-5%, maka tidak mungkin mengambil keputusan, maka perlu penambahan data. Nilai kritis untuk distribusi Chi Kuadrat dapat dilihat pada Tabel 3.7. Tabel 3.7. Nilai Kritis Untuk Distribusi Chi Kuadrat (Chi Square) α derajat kepercayaan dk 0,995 0,990 0,975 0,950 0,050 0,05 0,00 0,005 0, , , , ,84 5,04 6,635 7,879 0,000 0,00 0,0506 0,03 5,99 7,378 9,0 0, ,077 0,50 0,60 0,35 7,85 9,348,345, ,070 0,970 0,4840 0,7 9,488,43 3,77 4, ,40 0,5540 0,830,45,070,83 5,086 6, ,676 0,87,37,635,59 4,449 6,8 8,548

19 III-9 7 0,989,39,690,67 4,067 6,03 8,475 0,78 8,344,646,80,733 5,507 7,535 0,090,955 9,735,088,700 3,35 6,99 9,03,666 3,589 0,56,558 3,47 3,940 8,307 0,483 3,09 5,88,603 3,053 3,86 4,575 9,675,90 4,75 6,757 3,074 3,57 4,404 5,6,06 3,337 6,7 8, ,565 4,07 5,009 5,89,36 4,736 7,688 9,89 4 4,075 4,660 5,69 6,57 3,685 6,9 9,4 3,39 5 4,60 5,9 6,6 7,6 4,996 7,488 30,578 3,80 6 5,4 5,8 6,908 7,96 6,96 8,845 3,000 34,67 7 5,697 6,408 7,564 8,67 7,587 30,9 33,400 35,78 8 6,65 7,05 8,3 9,390 8,869 3,56 34,805 37,56 9 6,844 7,633 8,907 0,7 30,44 3,85 36,9 38,58 0 7,434 8,60 9,89 0,85 3,40 34,70 37,566 39,997 8,034 8,897 0,83,59 3,67 35,479 38,93 4,40 8,643 9,54 0,98,338 33,94 36,78 40,89 4, ,60 0,96,689 3,09 36,7 38,076 4,638 44,8 4 9,886 0,856,40 3,848 36,45 39,364 4,980 45, ,50,54 3,0 4,6 37,65 40,646 44,34 46,98 6,60,98 3,844 5,379 38,885 4,93 45,64 48,90 7,808,879 4,573 6,5 40,3 43,94 46,963 49,645 8,46 3,565 5,308 6,98 4,337 44,46 48,78 50, , 4,56 6,047 7,708 4,557 45,7 49,588 5, ,787 4,953 6,79 8,493 43,773 46,979 50,89 53,67 (Sumber : Soewarno, 995). Uji keselarasan Smirnov - Kolmogorov Uji keselarasan Smirnov - Kolmogorov, sering juga disebut uji keselarasan non parametrik (non parametrik test) karena pengujiannya tidak menggunakan fungsi distribusi tertentu. Rumus yang dipakai : x P xi P max... (3.9) P Cr (Soewarno, 995) Prosedurnya adalah sebagai berikut: a. Urutkan data dari besar ke kecil atau sebaliknya dan tentukan peluangnya dari masing-masing data tersebut :

20 III-0 X P(X ) X P(X ) X n P(X n ) b. Tentukan nilai masing-masing peluang teoritis dari hasil penggambaran data, persamaan distribusinya adalah : X P (X ) X P (X ) X n P (X n ) c. Dari kedua nilai peluang tersebut tentukan selisih terbesarnya antara peluang pengamatan dengan peluang teoritis. D = maksimum [ P(Xn) P (Xn)] d. Berdasarkan tabel nilai kritis ( Smirnov-Kolmogorov test ) tentukan harga Do, seperti terlihat dalam Tabel 3.8. Tabel 3.8. Nilai kritis ( Do ) untuk Uji Smirnov-Kolmogorov n α (derajat kepercayaan) 0, 0, 0,05 0,0 5 0,45 0,5 0,56 0,67 0 0,3 0,37 0,4 0,49 5 0,7 0,3 0,34 0,40 0 0,3 0,6 0,9 0,36 5 0, 0,4 0,7 0,3 30 0,9 0, 0,4 0,9 35 0,8 0, 0,3 0,7 40 0,7 0,9 0, 0,5 45 0,6 0,8 0,0 0,4 50 0,5 0,7 0,9 0,3 >50,07/N 0,5,/N 0,5,36/N 0,5,63/N 0,5 (Sumber: Soewarno, 995) Interprestasi dari hasil Uji Smirnov - Kolmogorov adalah : a. Apabila D lebih kecil dari Do, maka distribusi teoritis yang digunakan untuk persamaan distribusi dapat diterima.

21 III- b. Apabila D lebih besar dari Do, maka distribusi teoritis yang digunakan untuk menentukan persamaan distribusi tidak dapat diterima Analisis Intensitas Curah Hujan Rencana Intensitas curah hujan adalah jumlah hujan yang dinyatakan dalam tinggi curah hujan atau volume hujan tiap satuan waktu. Besarnya intensitas hujan berbedabeda tergantung dari lamanya curah hujan dan frekuensi kejadiannya. Metode metode dalam mengitung intensitas curah hujan adalah :. Menurut Dr. Mononobe, Jika data curah hujan yang ada hanya curah hujan harian Dimana : I t R 4 3 R4 4 I... (3.0) 4 t Intensitas curah hujan mm jam Lamanya curah hujan jam Curah hujan maksimum dalam 4 jam mm (Joesron Loebis, 987). Menurut Prof. Talbot, untuk hujan dengan waktu < jam : Dimana : a I... (3.) t b I t a dan b Intensitas curah hujan Lamanya curah hujan yang terjadi di daerah aliran mm jam jam Konstanta yang tergantung pada lamanya curah hujan (Joesron Loebis, 987)

22 III- 3. Menurut Prof. Sherman, untuk hujan dengan waktu > jam : a I... (3.) n t Dimana : I t c, n Intensits curah hujan mm jam Waktu curah hujan jam Konstanta yang tergantung dari keadaan setempat (Joesron Loebis, 987) 4. Rumus rumus diatas dikembangkan oleh Dr. Ishiguro menjadi : a I... (3.3) t b Dimana : I t a, b Intensitas curah hujan mm jam Waktu curah hujan jam Konstanta yang tergantung dari keadaan setempat (Joesron Loebis, 987) Analisis Debit Banjir Rencana Debit banjir rencana (design flood) adalah besarnya debit yang direncanakan melewati penampang sungai dengan periode ulang tertentu. Besarnya debit banjir ditentukan berdasarkan curah hujan dan aliran sungai antara lain : besarnya hujan, intensitas hujan, dan luas Daerah Pengaliran Sungai (DPS). berikut : Untuk mencari debit banjir rencana dapat digunakan beberapa metode sebagai. Metode Rasional Jepang Perhitungan metode rasional menggunakan rumus sebagai berikut : Qt * * r * F... (3.4) 3,6

23 III-3 (Joesron Loebis, 987) intensitas curah hujan (I) 3 R4 4 I *...(3.5) 4 t waktu konsentrasi (t) t = t = dimana : Qt r L 7* i ,033. (3.6) 0,6 L * i..(3.7) = debit banjir rencana (m 3 /det). = koefisien run off. = intensitas curah hujan selama durasi t (mm/jam). F = luas daerah aliran (km ). R 4 i t L = curah hujan maksimum dalam 4 jam (mm). = gradien sungai atau kemiringan rata-rata sungai (0% bagian hulu dari panjang sungai tidak dihitung. Beda tinggi dan panjang diambil dari suatu titik 0, L dari batas hulu DAS). = waktu konsentrasi (jam). = jarak dari ujung daerah hulu sampai titik yang ditinjau (km). Koefisien run off tergantung dari beberapa faktor antara lain jenis tanah, kemiringan, luas dan bentuk pengaliran sungai. Sedangkan besarnya nilai koefisien pengaliran dapat dilihat pada Tabel 3.9. Tabel 3.9. Koefisien Pengaliran Kondisi Daerah Pengaliran Koefisien Runoff Bergunung dan curam 0,75 0,90 Pegunungan tersier 0,70 0,80 Sungai dengan tanah dan hutan dibagian atas dan bawahnya 0,50 0,75 Tanah datar yang ditanami 0,45 0,60

24 III-4 Sawah waktu diairi 0,70 0,80 Sungai didaerah pegunungan 0,75 0,85 Sungai kecil didataran 0,45 0,75 Sungai yang besar dengan wilayah pengaliran lebih dari 0,50 0,75 seperduanya terdiri dari dataran (Joesron Loebis, 987). Metode Melchior Rumus dari metode Melchior adalah sebagai berikut : Qt * * q * F... (3.8) (SK SNI M F) Koefisien aliran (α) Berkisar antara 0,4-0,6 dan disarankan memakai = 0,5 Koefisien Reduksi (β) 970 f (3.9) 0, Waktu Konsentrasi (t) 000L t... (3.30) 3600V Keterangan : t = waktu konsentrasi (jam) L = panjang sungai (Km) V = kecepatan air rata rata (m/dt) V 5,3.. q. f. i... (3.3) H i... (3.3) 0,9L Hujan Maksimum (q) Hujan maksimum (q) dihitung dari grafik hubungan persentase curah hujan dengan t terhadap curah hujan harian dengan luas DPS dan waktu

25 III-5 Rt Qt * * F *... (3.33) 00 dimana : Qt = debit banjir rencana (m 3 /det). α = koefisien run off. = koefisien reduksi daerah untuk curah hujan DAS. q = hujan maksimum (m 3 /km /det). t = waktu konsentrasi (jam). F = luas daerah pengaliran (km ). L = panjang sungai (km). i = gradien sungai atau medan yaitu kemiringan rata-rata sungai (0% bagian hulu dari panjang sungai tidak dihitung. Beda tinggi dan panjang diambil dari suatu titik 0, L dari batas hulu DAS). 3. Metode Weduwen Rumus dari metode Weduwen adalah sebagai berikut : Qt * * q * F... (3.34) (Joesron Loebis, 987) Koefisien Runoff (α) 4, q n 7... (3.35) Waktu Konsentrasi (t) 3 / 8 0,476* F t... (3.36) 8 / 4 * * q / * i Koefisien Reduksi (β) t 0 F t * 9... (3.37) 0 F Hujan Maksimum (q)

26 III-6 q 67,65 t,45... (3.38) dimana : Qt = debit banjir rencana (m 3 /det). α = koefisien run off. = koefisien reduksi daerah untuk curah hujan DAS. q = hujan maksimum (m 3 /km /det). t = waktu konsentrasi (jam). F = luas daerah pengaliran (km ). L = panjang sungai (km). i = gradien sungai atau medan yaitu kemiringan rata-rata sungai (0% bagian hulu dari panjang sungai tidak dihitung. Beda tinggi dan panjang diambil dari suatu titik 0, L dari batas hulu DAS). Adapun syarat dalam perhitungan debit banjir dengan metode Weduwen adalah sebagai berikut : F = luas daerah pengaliran < 00 Km. t = /6 sampai jam 4. Metode Haspers Untuk menghitung besarnya debit dengan metode Haspers digunakan persamaan sebagi berikut : Qt * * q * F... (3.39) (Joesron Loebis, 987) Koefisien Runoff (α) * F... (3.40) * F Waktu Konsentrasi (t) t = 0, L 0.8 * i (3.4) Koefisien Reduksi (β)

27 III-7 t 3,7.0 t 5 Intensitas Hujan a. Untuk t < jam Rt 0.4t 3/ F * t * R 4... (3.4) 4 t 0,0008.(60 R4 ) * ( t)... (3.43) b. Untuk jam < t <9 jam t * R Rt 4... (3.44) t c. Untuk 9 jam < t < 30 jam Rt 0,707R4 * t... (3.45) Hujan Maksimum (q) Rt q... (3.46) 3.6* t di mana : Qt = debit banjir rencana (m 3 /det). α = koefisien runoff. = koefisien reduksi daerah untuk curah hujan DAS. q = hujan maksimum (m 3 /km /det). t = waktu konsentrasi (jam). F = luas daerah pengaliran (km ). Rt = intensitas curah hujan selama durasi t (mm/hari). L = panjang sungai (km). i = gradien sungai atau medan yaitu kemiringan rata-rata sungai (0% bagian hulu dari panjang sungai tidak dihitung, beda tinggi dan panjang diambil dari suatu titik 0, L dari batas hulu DAS.

28 III-8 5. Hidrograf Satuan Sintetik (HSS) Gama I Menurut Sri Harto,993 Hidrograf Satuan Sintetik (HSS) Gama I biasa digunakan untuk mengukur debit banjir dengan parameter yang sesuai dengan keadaan di Indonesia. Parameter-parameter yang digunakan yaitu sebagai berikut : Faktor sumber (SF), yaitu perbandingan antara jumlah panjang sungai tingkat satu dengan jumlah panjang sungai-sungai semua tingkat. Frekuensi sumber (SN), yaitu perbandingan antara jumlah pangsa sungai-sungai tingkat satu dengan jumlah pangsa sungai-sungai semua tingkat. Faktor lebar (WF), yaitu perbandingan antara lebar DAS yang diukur di titik di sungai yang berjarak 0,75L dengan lebar DAS yang diukur di titik di sungai yang berjarak 0,5L dari stasiun hidrometri. Gambar 3.5. Sketsa Penetapan WF Luas DAS sebelah hulu (RUA), yaitu perbandingan antara luas DAS yang diukur di hulu garis yang ditarik tegak lurus garis hubung antara stasiun hidrometri dengan titik yang paling dekat dengan titik berat DAS, melewati titik tersebut.

29 III-9 Au Gambar 3.6. Sketsa Penetapan RUA Faktor simetri (SIM), yaitu hasil kali antara faktor lebar (WF) dengan luas DAS sebelah hulu. Jumlah pertemuan sungai (JN), yaitu jumlah pertemuan sungai di dalam DAS tersebut Kerapatan jaringan kuras (D), yaitu jumlah panjang sungai semua tingkat tiap satuan luas DAS. Hidrograf satuan diberikan dengan empat variabel pokok, yaitu waktu naik(tr), debit puncak(qp), waktu dasar(tb) dan koefisien tampungan(k). Persamaanpersamaan yang dipakai yaitu: Qt t / k QP e (m 3 /dtk)... (3.47) 3 TR 0,43( L /00SF),0665SIM,775 (jam)... (3.48) QP TB 0,5886 0,4008 0,38 0,836 A TR JN (m 3 /dtk)... (3.49) 0,457 0,0986 0,7344 0,574 7,43TR S SN RUA (jam)... (3.50) K 0,798 0,446,0897 0,045 0,567 A S SF D... (3.5) Dalam pemakaian cara ini masih ada hal-hal lain yang perlu diperhatikan, diantaranya sebagai berikut :

30 III-30 Penetapan hujan-mangkus untuk memperoleh hidrograf dilakukan dengan menggunakan indeks-infiltrasi. Perkiraan dilakukan dengan mempertimbangkan pengaruh parameter DAS yang secara hidrologik dapat diketahui pengaruhnya terhadap indeks-infiltrasi. Persamaan pendekatannya sebagai berikut : ,4903 3,859.0 A, ( A / SN)... (3.5) Untuk memperkirakan aliran dasar dipergunakan persamaan pendekatan berikut ini : QB 0,49 0,9430 0,475A D (m 3 /dtk)... (3.53) Dalam menetapkan hujan rata-rata DAS, perlu mengikuti cara-cara yang ada. Tetapi bila dalam praktek analisis tersebut sulit, maka disarankan menggunakan cara yang disebutkan dengan mengalikan hujan titik dengan faktor reduksi hujan, sebesar : 0,49 0,75 0,059 0,0733 B,558 A N SIM S... (3.54) Berdasarkan persamaan di atas maka dapat dihitung besar debit banjir setiap jam dengan persamaan : Qp ( Qt * Re) QB (m 3 /dtk)... (3.55) Dimana : Qp = debit banjir setiap jam (m 3 /dtk) Qt = debit satuan tiap jam (m 3 /dtk) Re = curah hujan efektif (mm/jam) QB = aliran dasar (m 3 /dtk) 6. Metode FSR Jawa - Sumatera Untuk menghitung besarnya debit dengan metode FSR Jawa - Sumatera digunakan persamaan sebagi berikut : Q = GF x MAF... (3.56) (Joesron Loebis, 987) MAF = (AREA) V. APBAR,445. SIMS 0,7.(+LAKE) -0,85 (3.57) V =,0 0,075 Log ( AREA)... (3.58)

31 III-3 APBAR = PBAR. ARF... (3.59) SIMS = H... (3.60) MSL MSL = 0,95. L... (3.6) LAKE = Luas DAS di hulu bendung... (3.6) Luas DAS total dimana : Q = debit banjir rencana (m 3 /dt) AREA = luas DAS (km ) PBAR = hujan 4 jam maksimum rerata tahunan (mm) ARF = faktor reduksi (Tabel 3..) GF = Growth factor (Tabel 3..) SIMS = indeks kemiringan H = beda tinggi antara titik pengamatan dengan ujung sungai tertinggi (m) MSL = panjang sungai sampai titik pengamatan (km) L = panjang sungai (km) LAKE = indeks MAF = debit maksimum rata-rata tahunan (m 3 /dt) (Joesron Loebis, 987) Tabel 3.0. Faktor Reduksi (ARF) DAS (km ) ARF - 0 0, , ,5 0,03 log 0 AREA Tabel 3.. Growth Factor (GF) Return Period Luas cathment area (km ) T < > (Joesron Loebis, 987)

32 III Hidrolika Hidrolika adalah ilmu yang mempelajari tentang sifat-sifat zat cair dan menyelenggarakan pemeriksaan untuk mendapatkan rumus-rumus dan hukum-hukum zat cair dalam keadaan setimbang (diam) dan dalam keadaan bergerak. Analisis hidrolika dimaksudkan untuk mengetahui kapasitas alur sungai pada kondisi sekarang terhadap banjir rencana dari studi terdahulu dan hasil pengamatan yang diperoleh. Analisis hidrolika dilakukan pada seluruh saluran untuk mendapatkan dimensi saluran yang diinginkan, yaitu ketinggian muka air sepanjang alur sungai yang ditinjau Analisis Penampang Eksisting Sungai Analisis penampang eksisting sungai dengan menggunakan program HEC- RAS. Komponen sistem modeling ini dimaksudkan untuk menghitung profil permukaan air untuk arus bervariasi secara berangsur-angsur tetap (steady gradually varied flow). Sistem mampu menangani suatu jaringan saluran penuh, suatu sistem dendritic, atau sungai tunggal. Komponen ini mampu untuk memperagakan subcritical, supercritical, dan campuran kedua jenis profil permukaan air. Dasar perhitungan yang digunakan adalah persamaan energi satu dimensi. Kehilangan energi diakibatkan oleh gesekan (persamaan manning) dan kontraksi /ekspansi (koefisien dikalikan dengan perubahan tinggi kecepatan). Persamaan momentum digunakan dalam situasi dimana / jika permukaan air profil dengan cepat bervariasi. Situasi ini meliputi perhitungan jenis arus campuran yaitu lompatan hidrolik dan mengevaluasi profil pada pertemuan sungai (simpangan arus). Efek berbagai penghalang seperti jembatan, parit bawah jalan raya, bendungan, dan struktur di dataran banjir tidak dipertimbangkan dalam perhitungan ini. Sistem aliran tetap dirancang untuk aplikasi di dalam studi manajemen banjir di dataran dan kemampuan yang tersedia untuk menaksir perubahan di dalam permukaan profil air dalam kaitan dengan perubahan bentuk penampang, dan tanggul.

33 III-33 Fitur khusus yang dimiliki komponen aliran tetap meliputi: berbagai analisa rencana (multiple plan analysis); berbagai perhitungan profil (multiple profile computations). HEC-RAS mampu untuk melakukan perhitungan one-dimensional profil air permukaan untuk arus tetap bervariasi secara berangsur-angsur (gradually varied flow) di dalam saluran alami atau buatan. Berbagai jenis profil air permukaan seperti subkritis, superkritis, dan aliran campuran juga dapat dihitung. Topik yang dibahas di dalam bagian ini meliputi: persamaan untuk perhitungan profil dasar; pembagian potongan melintang untuk perhitungan saluran pengantar; Angka manning (n) komposit untuk saluran utama; pertimbangan koefisien kecepatan (α); evaluasi kerugian gesekan; evaluasi kerugian kontraksi dan ekspansi; prosedur perhitungan; penentuan kedalaman kritis; aplikasi menyangkut persamaan momentum; dan pembatasan menyangkut aliran model tetap. Profil permukaan air dihitung dari satu potongan melintang kepada yang berikutnya dengan pemecahan persamaan energi dengan suatu interaktif prosedur disebut metode langkah standard. Persamaan energi di tulis sebagai berikut: V Y Z g dimana: Y Z V g h e... (3.63) Y, Y = elevasi air di penampang melintang (m) Z, Z = elevasi penampang utama (m) V, V = kecepatan rata-rata (total pelepasan /total area aliran) (m/dtk) α, α = besar koefisien kecepatan g = percepatan gravitasi (m/dtk ) h e = tinggi energi (m).

34 III-34 Gambar 3.7. Gambaran dari persamaan energi... (3.64)... (3.65)... (3.66) (3.67)... (3.68)

35 III-35 Gambar 3.8. Metode HEC-RAS Tentang Kekasaran Dasar Saluran dimana: L = panjang antar dua penampang melintang = kemiringan energi antar dua penampang melintang C = koefisien kontraksi atau ekspansi = panjang jangkauan antar dua potongan melintang yang berturutturut untuk arus di tepi kiri, saluran utama, dan tepi kanan = perhitungan rata-rata debit yang berturut-turut untuk arus antara bagian tepi kiri, saluran utama, dan tepi kanan K = kekasaran dasar untuk tiap bagian n = koefisien kekasaran manning untuk tiap bagian A = area arus untuk tiap bagian R = radius hidrolik untuk tiap bagian (area: garis keliling basah) Nc = koefisien padanan atau gabungan kekasaran P = garis keliling basah keseluruhan saluran utama Pi = garis keliling basah bagian i ni = koefisien kekasaran untuk bagian

36 III-36 Gambar 3.9. Flow chart Program HEC RAS 3... Perencanaan Penampang Sungai Rencana Penampang melintang sungai perlu direncanakan untuk mendapatkan penampang yang ideal dan efisien dalam penggunaan lahan. Penampang ideal yang dimaksudkan merupakan penampang yang stabil terhadap perubahan akibat pengaruh erosi maupun pengaruh pola aliran yang terjadi. Sedang penggunaan lahan yang efisien dimaksudkan untuk memperhatikan lahan yang tersedia, sehingga tidak menimbulkan permasalahan terhadap pembebasan lahan. Faktor yang harus diperhatikan dalam mendesain bentuk penampang melintang normalisasi sungai adalah perbandingan antara debit dominan dan debit banjir. Untuk menambah kapasitas pengaliran pada waktu banjir, dibuat penampang ganda, dengan menambah luas penampang basah dari pemanfaatan bantaran sungai. Kapasitas pengaliran berpengaruh terhadap bentuk penampang sungai Q Banjir = A * V... (3.69)

37 III-37 V * I n / * R / 3... (3.70) 3 / / Q Banjir * I * R * A... (3.7) n / 3 R * A merupakan faktor bentuk Berdasarkan rumus diatas diketahui bahwa kapasitas penampang dipengaruhi oleh kekasaran penampang. Hal ini dapat dilihat dari koefisien bentuk kekasaran penampang yang telah ditetapkan oleh manning seperti terlihat pada Tabel 3.. nilai koefisien kekasaran Manning Tabel 3.. Koefisien kekasaran sungai alam Kondisi Sungai Trase dan profil teratur, air dalam Trase dan profil teratur, bertanggul kerikil dan berumput Berbelok belok dengan tempat tempat dangkal Berbelok belok, air tidak dalam Berumput banyak di bawah air ( Suyono Sosrodarsono, 984) n 0,05 0,033 0,030 0,040 0,033 0,045 0,040 0,055 0,050 0,080 Adapun rumus rumus yang digunakan dalam pendimensian saluran saluran tersebut adalah sebagai berikut : a. Perencanaan Dimensi Penampang Tunggal Trapesium(Trapezoidal Channel). 3 V R I... (3.7) n R P B H A H A A P Q V Dimana : m B mh

38 III-38 Q A V n R P I m Debit aliran Luas Penampang Basah Kecepatan aliran Jari - Keliling Kemiringan m Koefisien kekasaran manning jari hidrolis Kemiringan hidraulik sungai 3 talud s m m basah sungai s m m m H B Gambar 3.0. Saluran Penampang Tunggal b. Perencanaan Dimensi Penampang Ganda Trapesium (Trapezoidal Channel) Untuk mendapatkan penampang yang stabil, penampang bawah pada penampang ganda harus didesain dengan debit dominan. B 5H B B 3 n n 3 A P R V A P 3 R V H B mh B H m 3 A P n R 3 3 Q3 A V Q A I B mh H B mh H

39 III-39 P B H A R P V Q Q total n Dimana m R 3 A V Q A V n R P I m I Q Q Q 3 Debit aliran Kecepatan aliran Jari - Keliling Kemiringan... (3.73) Luas Penampang Basah m Koefisien kekasaran manning jari hidrolis Kemiringan hidraulik sungai 3 talud s m m basah sungai s m m :m n n 3 : m B B 3 Gambar 3.. Saluran Penampang Ganda Jenis penampang ganda digunakan untuk mendapatkan kapasitas saluran yang lebih besar, sehingga debit yang dialirkan melalui saluran tersebut dapat lebih besar. Penampang ini digunakan jika lahan yang tersedia cukup luas. B Untuk merencanakan dimensi penampang diperlukan tinggi jagaan. Hal hal yang mempengaruhi besarnya nilai tinggi jagaan adalah penimbunan sedimen di dalam saluran, berkurangnya efisiensi hidraulik karena tumbuhnya tanaman,

40 III-40 penurunan tebing, dan kelebihan jumlah aliran selama terjadinya hujan. Besarnya tinggi jagaan dapat dilihat pada Tabel 3.3. Tabel 3.3. Hubungan Debit Tinggi jagaan Kondisi Daerah Pengaliran Tinggi jagaan 00 < Q < 500 0, < Q < 000, < Q < 0000, < Q,00 (Suyono Sosrodarsono, 985) 3.3. Stabilitas Alur Bila air mengalir dalam sebuah saluran, maka pada dasar saluran akan timbul suatu gaya yang bekerja searah dengan arah aliran. Gaya ini merupakan gaya tarik pada penampang basah dan disebut gaya seret (tractive force). Butiran pembentuk alur sungai harus stabil terhadap aliran yang terjadi. Karena pengaruh kecepatan, aliran dapat mengakibatkan gerusan pada talud dan dasar sungai. Aliran air sungai akan memberikan gaya seret (τ 0 ) pada penampang sungai yang besarnya adalah: τ = ρ w x g x h x I... (3.74) dimana: ρ w = rapat massa air (kg/m 3 ) g = gaya gravitasi (m/dt ) h = tinggi air (m) I = kemiringan alur dasar sungai Kecepatan aliran sungai juga mempengaruhi terjadinya erosi sungai. Kecepatan aliran yang menimbulkan terjadinya tegangan seret kritis disebut kecepatan kritis (V Cr ). U.S.B.R. memberikan distribusi gaya seret pada saluran empat persegi panjang berdasarkan analogi membrane seperti ditunjukkan pada Gambar 3.0. Erosi dasar sungai terjadi jika τ 0 lebih besar dari gaya seret kritis (τ cr ) pada dasar dan tebing sungai. Gaya seret kritis adalah gaya seret yang terjadi tepat pada saat butiran akan bergerak. Besarnya gaya seret kritis didapatkan dengan menggunakan

41 III-4 Grafik Shield (dapat dilihat pada Gambar 3.) berdasarkan data ukuran butiran tanah dasar sungai. b = 4h h s = 0,75 ghs o s = 0,75 ghs o b = 0,97 ghs o Gambar 3.. Gaya Seret Satuan Maksimum (Sumber: Robert J. Kodoatie dan Sugiyanto, 00) Gambar 3.3. Grafik Shield (Sumber: Ven Te Chow, 985). Gaya Seret Pada Dasar Sungai Besarnya gaya seret yang terjadi pada dasar sungai adalah: 0, 97 g h I... (3.75) b dimana: w b

42 III-4 τ b = gaya seret pada dasar sungai (kg/m ) ρ w = rapat massa air (kg/m 3 ) g = gaya gravitasi (m/dt ) h = tinggi air (m) I b = kemiringan alur dasar sungai Kecepatan aliran kritis di dasar sungai terjadi pada saat τ b = τ cr.b. Maka: 0,97... (3.76) w g h I b cr, b I b 0,97 cr, b w g h... (3.77) V cr. b dimana: 3 R I b... (3.78) n τ cr. b = gaya seret kritis pada dasar sungai (kg/m ) ρ w = rapat massa air (kg/m 3 ) g = gaya gravitasi (m/dt ) h I b V cr.b R = tinggi air (m) = kemiringan alur dasar sungai = kecepatan kritis dasar sungai (m/dt) = jari-jari hidrolik (m) n = angka kekasaran manning (dapat dilihat kembali pada Tabel 3.). Gaya Seret Pada Tebing Sungai s Besarnya gaya seret yang terjadi pada tebing sungai adalah: 0, 75 g h I... (3.79) dimana: w τ s = gaya seret pada tebing sungai (kg/m ) ρ w = rapat massa air (kg/m 3 ) g = gaya gravitasi (m/dt ) h = tinggi air (m) s

43 III-43 I s = kemiringan tebing sungai Erosi dasar sungai juga dapat terjadi jika τ s lebih besar dari gaya seret kritis pada lereng sungai (τ cr.s ). Tegangan geser kritis pada lereng sungai tergantung pada besarnya sudut lereng. τ cr,s = K ß. τ cr... (3.80) tg K cos... (3.8) tg dimana: τ cr = tegangan geser kritis ß = sudut lereng sungai ( o ) Ø = (tergantung diameter butiran dari grafik pada Gambar 3.) Kecepatan aliran kritis di dasar sungai terjadi pada saat τ s = τ cr.s maka: 0,75... (3.8) w g h I s cr, s I s 0,75 cr, s w g h... (3.83) V cr. s dimana: 3 R I s... (3.84) n τ cr. s = gaya seret kritis tebing sungai (kg/m ) ρ w = rapat massa air (kg/m 3 ) g = gaya gravitasi (m/dt ) h I s V cr.s R = tinggi air (m) = kemiringan alur dasar sungai = kecepatan kritis (m/dt) = jari-jari hidrolik (m) n = angka kekasaran manning (dapat dilihat kembali pada Tabel 3.) Grafik Hubungan Antara Diameter Butiran dan Ø dapat dilihat pada Gambar 3..

44 III-44 Gambar 3.4. Grafik Hubungan Antara Diameter Butiran Dan Ø (Sumber: Ven Te Chow, 985)

45 III Stabilitas Lereng Pada perhitungan stabilitas lereng disini lebih ditekankan apakah terjadi longsoran baik di lereng bawah maupun di tanggulnya itu sendiri. Secara skematis gaya gaya yang bekerja pada bidang longsor yang terbagi dalam beberapa segmen lihat Gambar 3.3. dan 3.4. Lapis Lapis b Lapis 3 α α Dimana : cosα Gambar 3.5. Gaya yang bekerja pada bidang longsor Wt = Berat Segmen S = Gaya tangensial yang bekerja pada bidang longsor L = Lebar Bidang Longsor per Segmen W t O 0 B C :n R H A Gambar 3.6. Lokasi Pusat Busur Longsor Kritis Pada Tanah Kohesif (K.R. Arora, 00)

46 III-46 Faktor keamanan (Fk) adalah perbandingan antara kekuatan geser yang ada dengan kekuatan geser yang diperlukan untuk mempertahankan kemantapan. Maka Fk ( c ' cos ( N ) tan cos)...(3.85) N sin D cos Dimana : N = Gaya Normal D = Beban Garis c = Kohesi efektif ø = Sudut Geser Tanah ß, υ, ω = Parameter Geometrik 3.5. Bronjong Batu Bronjong batu adalah kawat yang dianyam dengan dimensi tertentu dan diisi dengan batuan yang ditujukan sebagai perkuatan lereng. Pada lereng yang terdapat pada tikungan kritis perlu diberi perkuatan karena arusnya lebih deras dan dapat mengakibatkan longsor. Dipilih bronjong karena bronjong lebih flexible karena dapat mengikuti gerak tanah. Tabel 3.4. Spesifikasi dimensi bronjong Bentuk I (meter) Panjang Lebar Tinggi 0,5 3 0,5 4 0,5 3,5 0,5 0,5 3 0,5 4 0,5 Sumber : SNI

47 III Sedimentasi Muara Sungai Dan Pantai Muara Sungai Muara sungai adalah bagian paling akhir dari sungai itu sendiri yang langsung berhubungan dengan laut sebagai tempat keluar dan masuknya air, baik yang berasal dari aliran sungai itu sendiri dan dari laut. Muara sungai adalah bagian hilir sungai yang langsung berhubungan dengan laut, yang berfungsi sebagai pengeluaran debit sungai (khususnya pada waktu terjadi luapan air di daratan banjir) ke laut. Muara sungai, termasuk didalamnya adalah daerah bagian yang dipenuhi oleh pasang surut yang disebut daerah muara dan mulut sungai sebagai daerah paling hilir dari sungai itu sendiri. Proses yang terjadi di daerah muara sungai mempunyai karakteristik alam yang sangat kompleks. Kompleksitas proses yang terjadi di daerah muara sungai ini antara lain adanya supply air tawar secara permanen dari sungai, proses pasang surut air laut, gelombang, air dari laut serta proses biologi dan kimia lainnya. Secara garis besar proses utama yang terjadi di muara sungai adalah kombinasi dari pertemuan air tawar dari aliran sungai dan proses masuknya air laut oleh pasang surut laut. Proses lainnya yang merupakan salah satu proses utama adalah adanya sedimentasi karena pengendapan sedimen yang mempengaruhi perubahan morfologi di daerah muara sungai Transpor Sedimen. Transpor Sedimen Sepanjang Pantai Transpor sedimen didefinisikan sebagai gerakan sedimen di daerah pantai yang disebabkan oleh arus dan gelombang yang dibangkitkannya. Berdasar arah geraknya transpor sedimen sepanjang pantai diklasifikasikan menjadi transpor sedimen menuju pantai (on shore transport) dan meninggalkan pantai (off shore transport). Transpor menuju dan meninggalkan pantai biasanya mempunyai arah tegak lurus atau mendekati tegak lurus terhadap garis pantai, sedangkan transpor

48 III-48 sepanjang pantai mempunyai arah sejajar garis pantai. Transpor sedimen di daerah ini ditinjau pada daerah diantara gelombang pecah dan garis pantai. Di daerah gelombang pecah sebagian besar transpor sedimen terjadi sebagai suspensi dan diluar daerah gelombang pecah sebagai bed load. Gelombang pecah yang menghasilkan efek arus sepanjang pantai, menghasilkan transpor sedimen sepanjang pantai dengan debit atau volume total yang disebut sebagai litoral drift, yang terjadi di daerah antara gelombang pecah dan garis pantai. Perhitungan transpor sedimen sepanjang pantai dihitung berdasar rumus empiris yang berpedoman pada prototipe pantai berpasir. Hubungan empiris antara transpor sedimen dan komponen fluks energi gelombang sepanjang pantai, disajikan dalam persamaan : n QS KPi... (3.86) g H Pi C b b sin b cos b...(3.87) 8 Q S 90Pi...(3.88) Q S dalam satuan m 3 /hari rumus yang dipergunakan menjadi Q S 0, 040Pi Keterangan : Q S Pi = besar transpor sedimen sepanjang pantai (m 3 /tahun) = komponen fluks energi gelombang saat pecah (Nm/dm) = rapat massa air laut (kg/m 3 ) H b k ; n = cepat rambat gelombang pecah (m/s) = sudut datang gelombang pecah = konstanta. Transport Sedimen dari Sungai Sedimen yang berada di dalam sungai yang ikut terbawa aliran air merupakan hasil dari rombakan atau pelapukan batuan induk yang dipengaruhi oleh iklim.

49 III-49 Sebagian dari batuan induk tersebut mengalami pergerakan oleh air permukaan yang mengalir ke sungai sungai. Sungai sebagai salah satu media transpor sedimen mempunyai karakteristik dalam membawa sedimen tersebut. Volume sedimen yang terbawa aliran sungai bergantung pada kecepatan alir sungai, debit aliran perubahan musim serta aktifitas manusia di daerah aliran sungai (Soewarno, 99). Transpor sedimen oleh aliran sungai dapat bergerak, bergeser atau berlompatan di sepanjang dasar sungai dan bergerak melayang pada media pentranspor itu sendiri tergantung dari komposisi sedimen (ukuran, berat jenis dan jarak sumber sedimen). Lebih lanjut Selley (988) dan Soewarno (99) secara umum mengklasifikasikan transpor sedimen dalam dua kategori yaitu : a. Menurut asal transpor sedimen, yang dibedakan menjadi : Muatan material dasar (bed material load) adalah transpor sedimen dasar yang bergerak sebagai material muatan dasar yang bergantung pada kondisi hidrolis dan karakteristik dasar sungai, selanjutnya material sedimen dasar ini dibedakan atas sedimen dasar dan sedimen melayang. Muatan bilas (wash load) adalah partikel dalam ukuran sangat halus berupa lempung (silt) dan debu (dust), yang terbawa oleh aliran sungai. b. Menurut mekanisme pengangkutan dibedakan menjadi : Muatan sedimen layang (suspended load), yaitu sedimen yang berada pada kondisi melayang di dalam aliran air sungai dan tidak terinteraksi dengan dasar sungai karena terdorong ke atas oleh turbulensi aliran dan karakteristik butiran. Muatan sedimen dasar, yaitu partikel partikel kasar yang bergerak sepanjang dasar sungai dengan pergerakan bergeser, menggelinding atau meloncat tetapi selalu berada pada dasar sungai.

50 III-50 Pola sedimentasi di daerah muara secara umum sangat dipengaruhi atau diakibatkan oleh arus gelombang dan pasang surut. Selain itu distribusi sedimentasi di muara juga dipengaruhi oleh jenis atau bentuk muara sungai, oleh karena itu dalam menganalisa atau memprediksi proses sedimentasi suatu muara harus mengetahui lebih dahulu, termasuk kategori atau klas apa muara sungai yang akan dianalisa. Beberapa karakteristik sedimentasi berdasarkan tipe muara sungai yaitu : a. Muara sungai baji garam, yaitu muara sungai yang batas pertemuan air laut dan sungai adalah berbentuk baji dengan posisi air membaji di bawah lapisan air sungai. Hal tersebut menunjukkan bahwa arus sungai/air tawar lebih kuat dibanding dengan air laut, sehingga supply sedimen dari sungai sangat besar serta akan terangkut sampai ke mulut muara dan sekitarnya. Dalam arti bahwa energi sungai lebih besar dari energi laut, sehingga pantai yang mempunyai tipe muara tersebut, akan membentuk suatu pantai maju (konstruktif) sehingga pada suatu saat tertentu dapat menyebabkan terbentuknya suatu delta. b. Muara sungai yang bercampur sebagian, yaitu muara yang dominan dipengaruhi oleh arus pasang surut dari pada arus aliran sungai, sehingga sebagian daerah terjadi turbulensi arus yang akan mengaduk sedimen yang telah terbentuk terdahulu, yang kemudian akan dapat terangkut kembali masuk melalui mulut muara dan terendapkan di suatu tempat dimana kecepatan arus pasang sudah mulai melemah. c. Muara sungai homogen secara vertikal, tipe ini terbentuk oleh campuran air tawar dan laut yang homogen, gerakan horisontal relatif kecil, yang disebabkan oleh kisaran atau tenggang air pasang surut yang cukup besar / tinggi, sehingga volume air asin yang masuk muara akan sampai di permukaan air dan mendorong volume air tawar ke arah hulu muara, pada saat air surut sedimen akan terangkut kembali ke arah laut dan sebagian terendapkan di daerah daerah yang cekung/dalam pada alur sungai.

51 III-5 Sedimentasi yang terjadi di muara sungai dan wilayah pantai di sekitarnya, secara alamiah akan menyebabkan suatu perubahan bentuk kondisi muara sungai itu sendiri, yang akan berakibat terhadap perubahan garis pantai di sekitar muara. Perubahan tersebut dapat terjadi karena adanya beberapa faktor yang mempengaruhinya, antara lain : debit sungai, sedimen asal darat/sungai, gelombang, pasang surut, sedimen pantai dan arus laut. 3. Mekanisme Transport Sedimentasi Muara Pantai Transport sedimen muara pantai adalah gerakan sedimen di daerah muara dan pantai yang disebabkan oleh gerakan arus yang dibangkitkan oleh gerakan gelombang dan pasang surut. Transport sedimen yang terjadi baik dalam kolom air pada alur sungai maupun pada perairan pantai, material sedimen bergerak terangkut oleh media air melalui dua macam yaitu angkutan dasar sedimen (bed load) dan angkutan melayang (suspended load). Bed Load Transport yaitu gerakan angkutan material sedimen pada dasar perairan yang bergerak secara merayap (Traction) atau meloncat (saltation). Gelombang yang menjalar menuju pantai membawa massa air dan momentum dalam arah penjalaran gelombang. Transport massa dan momentum tersebut menimbulkan arus di daerah dekat pantai. Gelombang bergerak ke arah pantai akan melintasi wilayah pembagian pantai yaitu daerah off shore zone, Surf zone, dan swash zone dengan perilaku yang berbeda beda. Pada daerah off shore zone yaitu daerah lepas pantai yang terbentang dari lokasi gelombang pecah ke luar ke arah laut, yang menimbulkan gerakan orbit partikel air yang tidak tertutup sehingga menimbulkan massa transport air yang disertai dengan mengangkut sedimen dasar dengan (dua) arah menuju ke pantai (on shore transport) dan meninggalkan dan meninggalkan pantai (off shore transport). Pada daerah surf zone, yaitu daerah antara gelombang pecah dan garis pantai, akibat pecahnya gelombang mengakibatkan adanya arus turbulensi yang sangat besar dengan pengadukan material dasar sedimen, kemudian massa air akan bergerak melintasi surf zone menuju pantai. Pada daerah swash zone,

52 III-5 menuju pantai yang disertai dengan mengerosi dan mengangkut sedimen. Diantara ketiga daerah lintasan gelombang tersebut, yang paling penting dalam analisa proses perubahan garis pantai adalah daerah surf zone dan swash zone. Arus yang terjadi pada daerah pantai akibat gelombang, arahnya sangat dipengaruhi oleh sudut datang dari penjalaran gelombang. Jika garis puncak gelombang sejajar pantai ( =0 o ), maka arus yang dominan terjadi adalah arus bergerak kembali ke arah laut, yang disebut dengan rip current yang berupa sirkulasi sel, sedangkan jika garis puncak gelombang membentuk sudut <5 o, maka rip current yang terbentuk arahnya akan relatif miring terhadap garis pantai. Selanjutnya jika arah gelombang datang bersudut <5 o, maka akan terjadi arus sejajar pantai atau longshore current, kecepatan arus yang paling maksimum terletak pada bagian tengah dari surf zone. Arus yang umum terjadi di wilayah pantai adalah kombinasi dari dua arus tersebut, seperti yang terlihat pada Gambar 3.5. Gambar 3.7. kombinasi longshore current dan rip current Metode untuk menghitung arus sepanjang pantai dapat diperoleh berdasarkan atas data gelombang dengan mengunakan rumus Longuet Higgins sebagai berikut : V.7 ( ghb) sin b cos b... (3.89)

53 III-53 Keterangan : V G Hb b : kecepatan arus sejajar pantai : percepatan gravitasi : tinggi surut gelombang pecah : sudut datang gelombang Kecepatan arus pada garis pantai adalah nol (0) yang bertambah besar dengan perubahan jarak dari pantai dan mencapai kecepatan maksimum di sekitar titik tengah antara gelombang pecah dengan garis pantai atau tengah tengah daerah surf zone. Arus sejajar pantai dapat mengangkut sedimen yang telah teraduk dan terangkat oleh gelomban akan menuju ke arah muara sungai. Sedangkan di daerah muara dipengaruhi oleh adanya bentuk muara serta kondisi pasang surut dan banjir sungai. Pada kondisi pasang rata-rata tertinggi kecepatan arus di muara berasal dari arah datangnya gelombang serta dipengaruhi oleh bentuk muara dan bathimetri, pada saat pasang terendah rata rata dan banjir sungai, arah arus didominasi oleh aliran air sungai, yang semakin mengecil ke arah lepas pantai. Gambar 3.8.Pola arus di sekitar pantai akibat pengaruh arah sudut gelombang datang

54 III-54 Transport sedimen yang terjadi pada daerah tersebut dapat diklarifikasikan menjadi transport menuju dan meninggalkan pantai (onshore-offshore transport) arahnya relatif tegak lurus pantai dan transport sepanjang pantai (longshore transport) dengan arah sejajar garis pantai. Gerakan partikel sedimen pada transport menuju dan meninggalkan pantai terjadi di daerah swash zone, yang diakibatkan oleh adanya massa air yang membalik (ossilation current) turun ke permukaan atau garis pantai setelah mencapai pantai (uprush). Sedangkan gerakan partikel akibat arus sejajar pantai dapat terjadi jenis, yaitu gerakan parikel yang seperi mata gergaji/ zigzag dan gerakan yang sejajar dengan garis pantai, keduanya terjadi pada daerah surf zone. Di daerah gelombang pecah sebagian besar transpor sedimen terjadi dalam suspensi, sedangkan diluar gelombang pecah partikel sedimen bergerak dalam bentuk bed load. Transpor sedimen sepanjang pantai banyak menyebabkan permasalahan seperti pendangkalan pada alur sungai, abrasi pantai, dan sebagainya. Oleh karena itu peramalan pendugaan transpor sedimen sepanjang pantai adalah sangat penting. Sehubungan dengan hal tersebut maka beberapa ahli telah banyak melakukan studi atau penelitian, namun sampai dengan saat kini, di dalam perhitungan besarnya jumlah sedimen transpor di kawasan pantai, masih belum diketemukan rumus pendekatan yang dapat dipergunakan secara global (umum). Kondisi suatu daerah pantai antara yang satu dengan yang lain hampir dijumpai tidak mempunyai karakteristik yang sama, oleh karena itu dalam perhitungan sedimen transpor di digunakan beberapa rumus empiris yang kemudian dibandingkan satu sama lain. Pola aliran sedimen transpor yang berlangsung di wilayah pantai dapat dilihat pada Gambar 3.6.

55 III-55 Gambar 3.9. Pola aliran sedimen transpor yang berlangsung di wilayah pantai Penanganan Muara. Jetty Jetty adalah bangunan tegak lurus pantai yang diletakkan pada kedua sisi muara sungai yang berfungsi untuk mengurangi pendangkalan alur oleh sedimen pantai. a. Tujuan Pembangunan/ Pembuatan Jetty Pembuatan jetty terutama ditujukan untuk memperbaiki kondisi muara sungai, yang pada umumnya selalu berpindah-pindah dan tertutup pada saat musim kemarau. Berdasarkan hal tersebut maka tujuan utama pembangunan jetty adalah: Stabilisasi muara sungai Muara sungai agar tidak tertutup pada saat musim kemarau, atau paling tidak muara sungai mudah terbuka pada saat awal musim hujan. b. Kedalaman Alur Muara sungai tidak untuk alur pelayaran. Apabila muara sungai tidak untuk alur pelayaran, tidak ada persyaratan khusus berkaitan dengan kedalaman alur ini. Muara sungai untuk alur pelayaran

56 III-56 Bilamana muara sungai dipergunakan untuk alur pelayaran maka kedalaman minimum alur harus diusahakan untuk memenuhi syarat pelayaran: El Dasar = LWS d n... (3.90) d n = df + gl + rb Keterangan: df = draft kapal (m) gl = gerakan kapal akibat gelombang (m) rb = ruang bebas di bawah kapal yang dibutuhkan kapal untuk manouver (m) Kedalaman alur pada saat debit minimum Kedalaman alur pada debit kecil dapat diprediksi dengan formula O Brein (969): A =, P 0,95... (3.9) d m = A/W Keterangan: A = luas penampang aliran dibawah MSL (m ) P = Prisma pasang surut (m 3 ) d m = kedalaman alur pada saat debit minimum (m) Apabila debit minimum sungai kecil dan prisma pasang surut terlalu kecil, sedangkan transpor sedimen cukup besar maka alur muara sungai tetap akan tertutup. Kecuali jika jetty yang dipergunakan sangat panjang, sehingga dapat mencegah masuknya sedimen ke alur di antara dua jetty. Namun jetty panjang merupakan bangunan yang tidak ramah terhadap lingkungan. Erosi yang terjadi akan cukup besar pada pantai yang transpor sedimennya besar. c. Lebar Alur Muara sungai tidak untuk alur pelayaran Alur sungai harus mampu menyalurkan debit banjir. Biasanya lebar alur diambil :

57 III-57 W = f. Ws... (3.9) K eterangan: W = lebar alur antara kedua jetty Ws = lebar sungai rerata (sd km hulu muara) F = koefisien yang nilainya 0,67 sd,0 Muara sungai untuk alur pelayaran Bilamana muara sungai dipergunakan untuk alur pelayaran maka lebar alur harus memenuhi kebutuhan minimum untuk manuver kapal dapat dilihat pada Gambar 3.7. Wn > 4,8 B (untuk satu jalur) Wn > 7,6 B (untuk dua jalur) Wn >,5 L (agar kalau terpaksa kapal dpt putar) Keterangan: Wn = lebar alur untuk keperluan navigasi B = lebar kapal L = panjang kapal Wn B Gambar 3.0. Sket Lebar Alur Untuk Keperluan Navigasi d. Panjang Dan Jarak Jetty dd n n Panjang Jetty Jetty dibangun mencapai kedalaman dimana gelombang mulai pecah - awal

58 III-58 breaker zone. Jetty panjang akan mampu melindungi alur dengan baik. Namun bilamana transpor sedimen di pantai tersebut sangat besar maka bangunan jetty ini akan menyebabkan erosi yang signifikan di bagian down-drift, dan ekresi di bagian up-drift. Pada wilayah-wilayah tertentu erosi seperti ini tidak dapat diterima. Pembangunan jetty panjang memerlukan biaya yang besar. Untuk keperluan proteksi alur pelayaran jetty panjang sangat efektif, namun sebaiknya diikuti dengan kegiatan sand by passing. Jetty pendek Jetty pendek adalah jetty yang dibangun sampai kedalaman sekitar LWS (Low Water Spring). Jetty pendek kurang mampu melindungi muara terhadap pendangkalan, namun cukup efektif untuk stabilisasi muara sungai. Untuk keperluan pengendalian banjir, dimana kedalaman alur tidak begitu menentukan maka perbaikan muara sungai dengan jetty pendek masih cukup memadai. Jetty medium Jetty medium adalah jetty yang dibangun sampai kedalaman diantara gelombang pecah dan garis pantai, atau di daerah surf zone. Kemampuan jetty tipe ini adalah diantara kemampuan jetty pendek dan jetty panjang. Gelombang pecah L B Jetty Panjang Jetty medium Jetty Pendek Gambar 3.. Skematisasi Panjang Jetty

59 III-59 Jarak Jetty Jarak jetty adalah jarak antara kedua jetty dimuara sungai. B = W + a... (3.93) Keterangan: B = jarak sisi dalam kedua jetty W = lebar alur yang dibutuhkan a = tambahan lebar untuk perlindungan kaki struktur jetty agar tidak rusak karena gerusan. Rumus Jepang yang biasa dipakai untuk menentukan hubungan antara lebar dan kedalaman alur (tanpa pengaruh laut) dapat dilihat pada Gambar 3.9. d d Keterangan: b = b b 0,69 lebar asli sungai b = lebar rencana alur diantara jetty d = d = kedalaman asli sungai kedalaman alur yang terjadi diantara jetty b b Gambar 3.. Skematisasi Perubahan Tampang Alur Sungai Tinggi Mercu Jetty Pada pantai yang sangat intensif angkutan sedimennya, maka elevasi mercu jetty harus diusahakan cukup tinggi sehingga tidak terjadi overtopping, dan harus lebih tinggi dari bukit pasir yang terjadi di sekitar muara sungai (kurang lebih,0 m).

60 III-60 Apabila terjadi overtopping maka pasir akan terbawa masuk ke alur bersama air yang melimpas di atas jetty. Dan bilamana mercu jetty terlalu rendah maka akan tertimbun pasir, sehingga fungsi jetty tidak dapat maksimal. Untuk mengatasi overtopping dapat digunakan formula (lihat Gambar 3.0.): El mercu = DWL + Ru + Fb..(3.94) DWL = HAT + SS atau WS + SLR Keterangan: DWL = elevasi muka air laut rencana (Design Water Level) SS = Storm Surge (kenaikan air karena tekanan rendah) WS = Wind Set-up (kenaikan air karena hembusan angin) SLR = Sea Level Rise (IPCC, 990) Ru = Rayapan gelombang (Wave Run-up) Fb = tinggi jagaan (free board) =,0 sd,5 m HAT = Highest Astronomical Tide (ada yang pakai HWS) Elevasi Jetty 3H - 4H Ft h Elev DWL Gambar 3.3. Sket Penentuan Elevasi Mercu Jetty. Gelombang Rencana A. Kala Ulang Gelombang Rencana (return period) Penentuan kala ulang gelombang rencana biasanya didasarkan pada nilai daerah yang akan dilindungi dan jenis konstruksi yang akan dibangun. Makin tinggi

61 III-6 nilai ekonomis daerah yang akan dilindungi makin besar pula kala ulang gelombang rencana yang akan dipilih. Disamping itu perlu dipertimbangkan pula besarnya resiko kehilangan jiwa apabila terjadi kegagalan konstruksi. Makin besar kemungkinannya terjadi korban jiwa, makin tingi pula kala ulang gelombang rencana yang dipilih. Untuk menentukan kala ulang gelombang rencana biasanya dilakukan studi kelayakan (feasibility study) untuk memilih kala ulang yang memberikan kelayakan terbaik (dapat dilihat dari Net Benefit terbaik, Benefit Cost Ratio terbaik, Total Cost terendah, pertimbangan korban jiwa yang mungkin terjadi). Dalam penentuan kala ulang (return period) gelombang rencana dapat dipergunakan pedoman yang terdapat pada Tabel 3.4. Tabel 3.5. Pedoman Pemilihan Gelombang Rencana No Jenis Struktur Gelombang Rencana Jenis Gelombang Kala ulang (tahun) Struktur Fleksibel a. Resiko rendah H s, (H 33 ) 5 0 b. Resiko sedang 0 00 c. Resiko tinggi Struktur Semi Kaku a. Resiko rendah 5 0 H 0 H b.resiko sedang 0 00 c. Resiko tinggi Struktur Kaku a. Resiko rendah 5 0 H - H maks b.resiko sedang 0 00 c. Resiko tinggi (Yuwono, 996)

62 III-6 B. Tinggi Gelombang Rencana Gelombang biasanya diukur atau diramalkan pada perairan dalam (deep water). Pada saat gelombang menjalar dari perairan dalam ke pantai dimana bangunan pantai akan dibangun, maka gelombang tersebut mengalami proses perubahan tinggi dan arah gelombang. Perubahan ini antara lain disebabkan karena proses: refraksi, difraksi, pendangkalan dan pecahnya gelombang. Keempat proses perubahan (deformasi) gelombang tersebut dapat menyebabkan tinggi gelombang bertambah atau berkurang. Oleh karena itu tinggi gelombang rencana yang akan dipergunakan di lokasi pekerjaan harus ditinjau terhadap proses ini. Tinggi gelombang rencana terpilih adalah tinggi gelombang maksimum yang mungkin terjadi di lokasi pekerjaan. Apabila gelombang telah pecah sebelum mencapai lokasi pekerjaan, maka gelombang rencana yang dipakai adalah tinggi gelombang pecah (H b ) di lokasi pekerjaan. Tinggi gelombang pecah ini biasanya dikaitkan dengan kedalaman perairan (d s ) dan landai dasar pantai (m). Untuk menentukan tinggi gelombang pecah dapat dipergunakan grafik yang disajikan pada Gambar 3.. Apabila pantai relatif datar (CERC, 984) maka tinggi gelombang pecah dapat ditentukan dengan formula: Keterangan: H b = 0,78 d s... (3.95) H b d s = Tinggi gelombang pecah (m) = Kedalaman air di lokasi bangunan (m)

63 III-63 Gambar3.4. Hubungan antara (H b /d s ) versus (d s /gt ) (CERC, 984) Dengan demikian tinggi gelombang rencana (H D ) dapat ditentukan dengan rumus ( Nur Yuwono, 99): Untuk gelombang pecah di lokasi bangunan tembok laut: H D = H b Untuk gelombang tidak pecah dilokasi bangunan laut H D = H o K D K R K S

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN PUSTAKA 13 BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Tinjauan Umum Dalam perencanaan perbaikan sungai diperlukan studi pustaka. Studi pustaka diperlukan untuk mengetahui dasar-dasar teori yang digunakan dalam

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS HIDROLOGI DAN SEDIMENTASI

BAB V ANALISIS HIDROLOGI DAN SEDIMENTASI BAB V 5.1 DATA CURAH HUJAN MAKSIMUM Tabel 5.1 Data Hujan Harian Maksimum Sta Karanganyar Wanadadi Karangrejo Tugu AR Kr.Kobar Bukateja Serang No 27b 60 23 35 64 55 23a Thn (mm) (mm) (mm) (mm) (mm) (mm)

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HIDROLOGI

BAB IV ANALISIS HIDROLOGI BAB IV ANALISIS HIDROLOGI IV - 1 BAB IV ANALISIS HIDROLOGI 4.1 TINJAUAN UMUM Dalam merencanakan bangunan air, analisis yang penting perlu ditinjau adalah analisis hidrologi. Analisis hidrologi diperlukan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HIDROLOGI

BAB IV ANALISIS HIDROLOGI BAB IV ANALISIS HIDROLOGI 4.1 Tinjauan Umum Dalam menganalisistinggi muka air sungai, sebagai langkah awal dilakukan pengumpulan data-data. Data tersebut digunakan sebagai dasar perhitungan stabilitas

Lebih terperinci

BAB II STUDI PUSTAKA TINJAUAN UMUM

BAB II STUDI PUSTAKA TINJAUAN UMUM BAB II STUDI PUSTAKA.1. TINJAUAN UMUM Muara sungai adalah bagian hilir dari sungai yang berhubungan dengan laut. Permasalahan di muara sungai dapat ditinjau di bagian mulut sungai (river mouth) dan estuari.

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HIDROLOGI

BAB IV ANALISIS HIDROLOGI IV-1 BAB IV ANALISIS HIDROLOGI 4.1. Tinjauan Umum Dalam merencanakan bangunan air, analisis awal yang perlu ditinjau adalah analisis hidrologi. Analisis hidrologi diperlukan untuk menentukan besarnya debit

Lebih terperinci

4. BAB IV ANALISA DAN PENGOLAHAN DATA ANALISA DAN PENGOLAHAN DATA

4. BAB IV ANALISA DAN PENGOLAHAN DATA ANALISA DAN PENGOLAHAN DATA 4. BAB IV ANALISA DAN PENGOLAHAN DATA ANALISA DAN PENGOLAHAN DATA 4.1. TINJAUAN UMUM Dalam rangka perencanaan bangunan dam yang dilengkapi PLTMH di kampus Tembalang ini sebagai langkah awal dilakukan pengumpulan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HIDROLOGI

BAB IV ANALISIS HIDROLOGI 54 BAB IV ANALISIS HIDROLOGI 4.1 TINJAUAN UMUM Perencanaan bendungan Ketro ini memerlukan data hidrologi yang meliputi data curah hujan. Data tersebut digunakan sebagai dasar perhitungan maupun perencanaan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Hidrologi merupakan salah satu cabang ilmu bumi (Geoscience atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Hidrologi merupakan salah satu cabang ilmu bumi (Geoscience atau BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Analisis Hidrologi Hidrologi merupakan salah satu cabang ilmu bumi (Geoscience atau Science de la Terre) yang secara khusus mempelajari tentang siklus hidrologi atau siklus air

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah drainase kota sudah menjadi permasalahan utama pada daerah perkotaan. Masalah tersebut sering terjadi terutama pada kota-kota yang sudah dan sedang berkembang

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DATA HIDROLOGI

BAB V ANALISIS DATA HIDROLOGI BAB V ANALISIS DATA HIDROLOGI 5.1 Tinjauan Umum Analisis hidrologi bertujuan untuk mengetahui curah hujan rata-rata yang terjadi pada daerah tangkapan hujan yang berpengaruh pada besarnya debit Sungai

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HIDROLOGI

BAB IV ANALISIS HIDROLOGI BAB IV ANALISIS HIDROLOGI 4.1 Tinjauan Umum Dalam merencanakan Embung Pusporenggo ini, sebagai langkah awal dilakukan pengumpulan data. Data tersebut digunakan sebagai dasar perhitungan stabilitas maupun

Lebih terperinci

METODOLOGI Tinjauan Umum 3. BAB 3

METODOLOGI Tinjauan Umum 3. BAB 3 3. BAB 3 METODOLOGI 3.1. Tinjauan Umum Dalam suatu perencanaan konstruksi dan rencana pelaksanaan perlu adanya metodologi yang baik dan benar karena metodologi merupakan acuan untuk menentukan langkah

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI. Gambar 4.1 Flow Chart Rencana Kerja Tugas Akhir

BAB IV METODOLOGI. Gambar 4.1 Flow Chart Rencana Kerja Tugas Akhir BAB IV METODOLOGI 4.1 Tinjauan Umum Penulisan laporan Tugas Akhir ini memerlukan adanya suatu metode atau cara yaitu tahapan tahapan dalam memulai penulisan sampai selesai, sehingga penulisan Tugas Akhir

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA DATA CURAH HUJAN

BAB IV ANALISA DATA CURAH HUJAN BAB IV ANALISA DATA CURAH HUJAN 4.1 Tinjauan Umum Dalam menganalisis tinggi muka air sungai, sebagai langkah awal dilakukan pengumpulan data. Data tersebut digunakan sebagai perhitungan stabilitas maupun

Lebih terperinci

Analisa Frekuensi dan Probabilitas Curah Hujan

Analisa Frekuensi dan Probabilitas Curah Hujan Analisa Frekuensi dan Probabilitas Curah Hujan Rekayasa Hidrologi Universitas Indo Global Mandiri Norma Puspita, ST.MT Sistem hidrologi terkadang dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa yang luar biasa, seperti

Lebih terperinci

ANALISIS DEBIT BANJIR SUNGAI TONDANO MENGGUNAKAN METODE HSS GAMA I DAN HSS LIMANTARA

ANALISIS DEBIT BANJIR SUNGAI TONDANO MENGGUNAKAN METODE HSS GAMA I DAN HSS LIMANTARA ANALISIS DEBIT BANJIR SUNGAI TONDANO MENGGUNAKAN METODE HSS GAMA I DAN HSS LIMANTARA Sharon Marthina Esther Rapar Tiny Mananoma, Eveline M. Wuisan, Alex Binilang Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil Universitas

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Analisis Hidrologi Data hidrologi adalah kumpulan ulan keterangan e atau fakta mengenai fenomenana hidrologi seperti besarnya: curah hujan, temperatur, penguapan, lamanya penyinaran

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pekerjaan perencanaan suatu bangunan air memerlukan beberapa ilmu pengetahuan yang saling mendukung demi kesempurnaan hasil perencanaan. Bidang ilmu pengetahuan itu antara lain

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB IV HASIL DAN ANALISIS BAB IV HASIL DAN ANALISIS 4.1 Pengolahan Data Hidrologi 4.1.1 Data Curah Hujan Data curah hujan adalah data yang digunakan dalam merencanakan debit banjir. Data curah hujan dapat diambil melalui pengamatan

Lebih terperinci

BAB III ANALISIS HIDROLOGI

BAB III ANALISIS HIDROLOGI BAB III ANALISIS HIDROLOGI 3.1 Data Hidrologi Dalam perencanaan pengendalian banjir, perencana memerlukan data-data selengkap mungkin yang berkaitan dengan perencanaan tersebut. Data-data yang tersebut

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. hidrologi dengan panjang data minimal 10 tahun untuk masing-masing lokasi

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. hidrologi dengan panjang data minimal 10 tahun untuk masing-masing lokasi BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Penentuan Stasiun Pengamat Hujan Untuk melakukan analisa ini digunakan data curah hujan harian maksimum untuk tiap stasiun pengamat hujan yang akan digunakan dalam analisa

Lebih terperinci

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN PUSTAKA BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1. Tinjauan Umum Kelongsoran yang terjadi di sepanjang alur Sungai Rambut diduga diakibatkan oleh ketidakstabilan alur akibat adanya gerusan oleh air dan kecilnya faktor keamanan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. adalah merupakan ibu kota dari Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Dalam RTRW

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. adalah merupakan ibu kota dari Provinsi Jawa Barat, Indonesia. Dalam RTRW Bab IV Analisis Data dan Pembahasan BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 URAIAN UMUM Jalan Melong merupakan salah satu Jalan yang berada di Kecamatan Cimahi Selatan yang berbatasan dengan Kota Bandung. Kota

Lebih terperinci

BAB VI DEBIT BANJIR RENCANA

BAB VI DEBIT BANJIR RENCANA BAB VI DEBIT BANJIR RENCANA 6.1. Umum Debit banjir rencana atau design flood adalah debit maksimum di sungai atau saluran alamiah dengan periode ulang yang sudah ditentukan yang dapat dialirkan tanpa membahayakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terhadap beberapa bagian sungai. Ketika sungai melimpah, air menyebar pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terhadap beberapa bagian sungai. Ketika sungai melimpah, air menyebar pada 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Umum Banjir adalah aliran air yang relatif tinggi, dimana air tersebut melimpah terhadap beberapa bagian sungai. Ketika sungai melimpah, air menyebar pada dataran banjir

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA. membahas langkah untuk menentukan debit banjir rencana. Langkahlangkah

BAB IV ANALISA. membahas langkah untuk menentukan debit banjir rencana. Langkahlangkah BAB IV ANALISA 4.1 Analisa Hidrologi Sebelum melakukan analisis hidrologi, terlebih dahulu menentukan stasiun hujan, data hujan, dan luas daerah tangkapan. Dalam analisis hidrologi akan membahas langkah

Lebih terperinci

BAB V ANALISA DATA. Analisa Data

BAB V ANALISA DATA. Analisa Data BAB V ANALISA DATA 5.1 UMUM Analisa data terhadap perencanaan jaringan drainase sub sistem terdiri dari beberapa tahapan untuk mencapai suatu hasil yang optimal. Sebelum tahapan analisa dilakukan, terlebih

Lebih terperinci

BAB II BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB II BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Dalam suatu penelitian dibutuhkan pustaka yang dijadikan sebagai dasar agar terwujud spesifikasi yang menjadi acuan dalam proses penelitian. Pada bab ini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berikut ini beberapa pengertian yang berkaitan dengan judul yang diangkat oleh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berikut ini beberapa pengertian yang berkaitan dengan judul yang diangkat oleh BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pengertian Berikut ini beberapa pengertian yang berkaitan dengan judul yang diangkat oleh penulis, adalah sebagai berikut :. Hujan adalah butiran yang jatuh dari gumpalan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sistem Drainase 2.1.1 Pengertian Drainase Drainase merupakan salah satu fasilitas dasr yang dirancang sebagai system guna memenuhi kebutuhan masyarakat dan merupakan komponen

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci : Tukad Unda, Hidrgraf Satuan Sintetik (HSS), HSS Nakayasu, HSS Snyder

ABSTRAK. Kata kunci : Tukad Unda, Hidrgraf Satuan Sintetik (HSS), HSS Nakayasu, HSS Snyder ABSTRAK Tukad Unda adalah adalah sungai yang daerah aliran sungainya mencakup wilayah Kabupaten Karangasem di bagian hulunya, Kabupaten Klungkung di bagian hilirnya. Pada Tukad Unda terjadi banjir yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI Bumi terdiri dari air, 97,5% adalah air laut, 1,75% adalah berbentuk es, 0,73% berada didaratan sebagai air sungai, air danau, air tanah, dan sebagainya. Hanya 0,001% berbentuk uap

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. penelitian tentang Analisis Kapasitas Drainase Dengan Metode Rasional di

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. penelitian tentang Analisis Kapasitas Drainase Dengan Metode Rasional di BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Penelitian ini menggunakan tinjauan pustaka dari penelitian-penelitian sebelumnya yang telah diterbitkan, dan dari buku-buku atau artikel-artikel yang ditulis para peneliti sebagai

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sungai CBL Sungai CBL (Cikarang Bekasi Laut) merupakan sudetan yang direncanakan pada tahun 1973 dan dibangun pada tahun 1980 oleh proyek irigasi Jatiluhur untuk mengalihkan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA HIDROLOGI. dalam perancangan bangunan-bangunan pengairan. Untuk maksud tersebut

BAB IV ANALISA HIDROLOGI. dalam perancangan bangunan-bangunan pengairan. Untuk maksud tersebut BAB IV ANALISA HIDROLOGI 4.1 Uraian Umum Secara umum analisis hidrologi merupakan satu bagian analisis awal dalam perancangan bangunan-bangunan pengairan. Untuk maksud tersebut akan diperlukan pengumpulan

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN HASIL. Sungai

BAB IV ANALISIS DAN HASIL. Sungai BAB IV ANALISIS DAN HASIL 4.1.Analisis Hidrograf 4.1.1. Daerah Tangkapan dan Panjang Sungai Berdasarkan keadaan kontur pada peta topografi maka dibentuk daerah tangkapan seperti berikut, beserta panjang

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Uraian Umum Sesuai dengan program pengembangan sumber daya air di Sulawesi Utara khususnya di Gorontalo, sebuah fasilitas listrik akan dikembangkan di daerah ini. Daerah

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA Dalam pekerjaan perencanaan suatu bangunan air dalam hal ini bangunan pengendali banjir berupa retarding pond diperlukan bidang-bidang ilmu pengetahuan yang saling mendukung demi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HIDROLOGI

BAB IV ANALISIS HIDROLOGI IV-1 BAB IV ANALISIS HIDROLOGI 4.1. Tinjauan Umum Dalam merencanakan bangunan air, analisis yang penting perlu ditinjau adalah analisis hidrologi. Analisis hidrologi diperlukan untuk menentukan besarnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI 2.1 Hidrologi Intensitas hujan adalah tinggi hujan atau volume hujan tiap satuan waktu. Besarnya intensitas hujan berbeda-beda, tergantung dari lamanya curah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Analisis Hidrologi Hidrologi didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sistem kejadian air di atas pada permukaan dan di dalam tanah. Definisi tersebut terbatas pada hidrologi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adalah untuk penyusunan suatu rancangan pemanfaatan air dan rancangan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. adalah untuk penyusunan suatu rancangan pemanfaatan air dan rancangan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hujan Rata-Rata Suatu Daerah Sebelum menuju ke pembahasan tentang hidrograf terlebih dahulu kita harus memahami tentang hujan rata-rata suatu daerah. Analisis data hujan untuk

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PERHITUNGAN DAN ANALISA. Data hidrologi adalah kumpulan keterangan atau fakta mengenai fenomena

BAB IV HASIL PERHITUNGAN DAN ANALISA. Data hidrologi adalah kumpulan keterangan atau fakta mengenai fenomena BAB IV HASIL PERHITUNGAN DAN ANALISA 4.1 Ketersediaan Data Hidrologi 4.1.1 Pengumpulan Data Hidrologi Data hidrologi adalah kumpulan keterangan atau fakta mengenai fenomena hidrologi (hydrologic phenomena).

Lebih terperinci

SURAT KETERANGAN PEMBIMBING

SURAT KETERANGAN PEMBIMBING ABSTRAK Sungai Ayung adalah sungai utama yang mengalir di wilayah DAS Ayung, berada di sebelah selatan pegunungan yang membatasi Bali utara dan Bali selatan serta berhilir di antai padanggalak (Kota Denpasar).

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH. curah hujan ini sangat penting untuk perencanaan seperti debit banjir rencana.

BAB II PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH. curah hujan ini sangat penting untuk perencanaan seperti debit banjir rencana. BAB II PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH A. Intensitas Curah Hujan Menurut Joesron (1987: IV-4), Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu. Analisa intensitas

Lebih terperinci

1 BAB VI ANALISIS HIDROLIKA

1 BAB VI ANALISIS HIDROLIKA BAB VI ANALISIS HIDROLIKA 6. Tinjauan Umum Analisa hidrolika bertujuan untuk mengetahui kemampuan penampang dalam menampung debit rencana. Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab III, bahwa salah satu penyebab

Lebih terperinci

Vol.14 No.1. Februari 2013 Jurnal Momentum ISSN : X

Vol.14 No.1. Februari 2013 Jurnal Momentum ISSN : X Vol.14 No.1. Februari 013 Jurnal Momentum ISSN : 1693-75X Perencanaan Teknis Drainase Kawasan Kasang Kecamatan Batang Anai Kabupaten Padang Pariaman Ir. Syofyan. Z, MT*, Kisman** * Staf Pengajar FTSP ITP

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hidrologi Air di bumi ini mengulangi terus menerus sirkulasi penguapan, presipitasi dan pengaliran keluar (outflow). Air menguap ke udara dari permukaan tanah dan laut, berubah

Lebih terperinci

PERHITUNGAN DEBIT DAN LUAS GENANGAN BANJIR SUNGAI BABURA

PERHITUNGAN DEBIT DAN LUAS GENANGAN BANJIR SUNGAI BABURA PERHITUNGAN DEBIT DAN LUAS GENANGAN BANJIR SUNGAI BABURA TUGAS AKHIR Diajukan untuk melengkapi syarat penyelesaian pendidikan sarjana teknik sipil Disusun oleh : BENNY STEVEN 090424075 BIDANG STUDI TEKNIK

Lebih terperinci

BAB III LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI BAB III LANDASAN TEORI 3.1 Erosi Erosi adalah lepasnya material dasar dari tebing sungai, erosi yang dilakukan oleh air dapat dilakukan dengan berbagai cara, yaitu : a. Quarrying, yaitu pendongkelan batuan

Lebih terperinci

ANALISIS DAN EVALUASI KAPASITAS PENAMPANG SUNGAI SAMPEAN BONDOWOSO DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM HEC-RAS 4.1

ANALISIS DAN EVALUASI KAPASITAS PENAMPANG SUNGAI SAMPEAN BONDOWOSO DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM HEC-RAS 4.1 ANALISIS DAN EVALUASI KAPASITAS PENAMPANG SUNGAI SAMPEAN BONDOWOSO DENGAN MENGGUNAKAN PROGRAM HEC-RAS.1 Agung Tejo Kusuma*, Nanang Saiful Rizal*, Taufan Abadi* *Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. KARAKTERISTIK DAS 4.1.1. Parameter DAS Parameter fisik DAS Binuang adalah sebagai berikut: 1. Luas DAS (A) Perhitungan luas DAS didapatkan dari software Watershed Modelling

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Debit aliran sungai adalah jumlah air yang mengalir melalui tampang lintang sungai tiap satu satuan waktu, yang biasanya dinyatakan dalam meter kubik per detik

Lebih terperinci

BAB IV DATA DAN ANALISIS

BAB IV DATA DAN ANALISIS BAB IV DATA DAN ANALISIS 4.1 Tinjauan Umum Hidrologi adalah kumpulan keterangan atau fakta mengenai fenomena hidrologi (hydrologic phenomena). Data hidrologi merupakan bahan informasi yang sangat penting

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISIS

BAB IV HASIL DAN ANALISIS BAB IV HASIL DAN ANALISIS 4.1 PENGOLAHAN DATA HIDROLOGI 4.1.1 Data Curah Hujan Curah hujan merupakan data primer yang digunakan dalam pengolahan data untuk merencanakan debit banjir. Data ini diambil dari

Lebih terperinci

Perencanaan Perbaikan Sungai Batan Kecamatan Purwoasri Kabupaten Kediri. Oleh : AVIDITORI

Perencanaan Perbaikan Sungai Batan Kecamatan Purwoasri Kabupaten Kediri. Oleh : AVIDITORI Perencanaan Perbaikan Sungai Batan Kecamatan Purwoasri Kabupaten Kediri Oleh : AVIDITORI 3107.100.507 P E N D A H U L U A N.: Latar Belakang Sungai Batan mengalir melalui Desa Purwoasri Kabupaten Kediri

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK DISTRIBUSI HUJAN PADA STASIUN HUJAN DALAM DAS BATANG ANAI KABUPATEN PADANG PARIAMAN SUMATERA BARAT

KARAKTERISTIK DISTRIBUSI HUJAN PADA STASIUN HUJAN DALAM DAS BATANG ANAI KABUPATEN PADANG PARIAMAN SUMATERA BARAT KARAKTERISTIK DISTRIBUSI HUJAN PADA STASIUN HUJAN DALAM DAS BATANG ANAI KABUPATEN PADANG PARIAMAN SUMATERA BARAT Syofyan. Z Dosen Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA DATA SABO DAM DAN BENDUNG

BAB IV ANALISA DATA SABO DAM DAN BENDUNG BAB IV ANALISA DATA SABO DAM DAN BENDUNG 4.1. ANALISA DATA SABO DAM 4.1.1. Peta Topografi Wilayah Perencanaan 4.1.1.1. Data Peta Topografi Secara garis besar situasi topografi Gunung Merapi terletak ±

Lebih terperinci

Perbandingan Perhitungan Debit Banjir Rancangan Di Das Betara. Jurusan Survei dan Pemetaan, Fakultas Teknik, Universitas IGM 1.

Perbandingan Perhitungan Debit Banjir Rancangan Di Das Betara. Jurusan Survei dan Pemetaan, Fakultas Teknik, Universitas IGM 1. Perbandingan Perhitungan Debit Banjir Rancangan Di Das Betara Dengan Menggunakan Metode Hasper, Melchior dan Nakayasu Yulyana Aurdin Jurusan Survei dan Pemetaan, Fakultas Teknik, Universitas IGM Email

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. homogeny (Earthfill Dam), timbunan batu dengan lapisan kedap air (Rockfill

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. homogeny (Earthfill Dam), timbunan batu dengan lapisan kedap air (Rockfill BAB II TINJAUAN PUSTAKA.1 Tinjauan Umum Bendungan adalah suatu bangunan air yang dibangun khusus untuk membendung (menahan) aliran air yang berfungsi untuk memindahkan aliran air atau menampung sementara

Lebih terperinci

PENANGGULANGAN BANJIR SUNGAI MELAWI DENGAN TANGGUL

PENANGGULANGAN BANJIR SUNGAI MELAWI DENGAN TANGGUL PENANGGULANGAN BANJIR SUNGAI MELAWI DENGAN TANGGUL Joni Ardianto 1)., Stefanus Barlian S 2)., Eko Yulianto, 2) Abstrak Banjir merupakan salah satu fenomena alam yang sering membawa kerugian baik harta

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HIDROLOGI

BAB IV ANALISIS HIDROLOGI BAB IV ANALISIS HIDROLOGI 4. TINJAUAN UMUM Analisis hidrologi diperlukan untuk mengetahui karakteristik hidrologi daerah pengaliran sungai Serayu, terutama di lokasi Bangunan Pengendali Sedimen, yaitu

Lebih terperinci

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian

Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Program Studi Meteorologi PENERBITAN ONLINE AWAL Paper ini adalah PDF yang diserahkan oleh penulis kepada Program Studi Meteologi sebagai salah satu syarat kelulusan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR TABEL...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR TABEL... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... v DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR TABEL... xiii BAB I PENDAHULUAN... I-1 1.1 Latar Belakang... I-1 1.2. Maksud dan Tujuan...

Lebih terperinci

Studi Penanggulangan Banjir Kali Lamong Terhadap Genangan di Kabupaten Gresik

Studi Penanggulangan Banjir Kali Lamong Terhadap Genangan di Kabupaten Gresik JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 3, No., (1) ISSN: 337-3539 (31-971 Print) C-35 Studi Penanggulangan Banjir Kali Lamong Terhadap Genangan di Kabupaten Gresik Gemma Galgani Tunjung Dewandaru, dan Umboro Lasminto

Lebih terperinci

Studi Penanggulangan Banjir Kali Lamong Terhadap Genangan Di Kabupaten Gresik

Studi Penanggulangan Banjir Kali Lamong Terhadap Genangan Di Kabupaten Gresik JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (1) 1-1 Studi Penanggulangan Banjir Kali Lamong Terhadap Genangan Di Kabupaten Gresik Gemma Galgani T. D., Umboro Lasminto Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Sipil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Metode Rasional di Kampus I Universitas Muhammadiyah Purwokerto.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Metode Rasional di Kampus I Universitas Muhammadiyah Purwokerto. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Penelitian Terdahulu Penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Arkham Fajar Yulian (2015) dalam penelitiannya, Analisis Reduksi Limpasan Hujan Menggunakan Metode Rasional di Kampus

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA II - 1 BAB II.1 Tinjauan Umum Kajian sistem drainase di daerah Semarang Timur memerlukan tinjauan pustaka untuk mengetahui dasar teori dalam penanggulangan banjir akibat hujan lokal yang terjadi maupun

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB 4 digilib.uns.ac.id ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1. Data Hujan Pengolahan data curah hujan dalam penelitian ini menggunakan data curah hujan harian maksimum tahun 2002-2014 di stasiun curah hujan Eromoko,

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS HIDROLOGI DAN HIDROLIKA

BAB V ANALISIS HIDROLOGI DAN HIDROLIKA BAB V ANALISIS HIDROLOGI DAN HIDROLIKA A. Analisis Hidrologi 1. Curah Hujan Rencana Curah hujan adalah jumlah air yang jatuh di permukaan tanah datar selama periode tertentu yang diukur dengan satuan tinggi

Lebih terperinci

BAB III ANALISA HIDROLOGI

BAB III ANALISA HIDROLOGI BAB III ANALISA HIDROLOGI 3.1 Data Curah Hujan Data curah hujan yang digunakan untuk analisa hidrologi adalah yang berpengaruh terhadap daerah irigasi atau daerah pengaliran Sungai Cimandiri adalah stasiun

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI SISTEM DRAINASE JALAN AW.SYAHRANI KOTA SANGATTA KABUPATEN KUTAI TIMUR

STUDI EVALUASI SISTEM DRAINASE JALAN AW.SYAHRANI KOTA SANGATTA KABUPATEN KUTAI TIMUR STUDI EVALUASI SISTEM DRAINASE JALAN AW.SYAHRANI KOTA SANGATTA KABUPATEN KUTAI TIMUR Syupri Riyanto Program Studi Teknik Sipil FTS, Universitas Narotama Surabaya e-mail: pyansebuku@gmail.com ABSTRAK Secara

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS HIDROLOGI DAN PERHITUNGANNYA

BAB IV ANALISIS HIDROLOGI DAN PERHITUNGANNYA BAB IV ANALISIS HIDROLOGI DAN PERHITUNGANNYA 4.1 Tinjauan Umum Dalam merencanakan normalisasi sungai, analisis yang penting perlu ditinjau adalah analisis hidrologi. Analisis hidrologi diperlukan untuk

Lebih terperinci

Studi Pengendalian Banjir Sungai Kalidawir Tulungagung

Studi Pengendalian Banjir Sungai Kalidawir Tulungagung JURNAL TEKNIK ITS Vol., No. 1, (2015) ISSN: 27-59 (201-9271 Print) F-10 Studi Pengendalian Banjir Sungai Kalidawir Mohammad Bagus Tulungagung Ansori, Dian Ayu Ratnasari, dan Bambang Sarwono Jurusan Teknik

Lebih terperinci

ANALISIS DEBIT BANJIR SUNGAI MOLOMPAR KABUPATEN MINAHASA TENGGARA

ANALISIS DEBIT BANJIR SUNGAI MOLOMPAR KABUPATEN MINAHASA TENGGARA ANALISIS DEBIT BANJIR SUNGAI MOLOMPAR KABUPATEN MINAHASA TENGGARA Dewi Sartika Ka u Soekarno, Isri R. Mangangka Fakultas Teknik Jurusan Teknik Sipil Universitas Sam Ratulangi Manado email : ddweeska@gmail.com

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISIS PENGUMPULAN DATA. Perdanakusuma tahun Data hujan yang diperoleh selanjutnya direview

BAB IV HASIL DAN ANALISIS PENGUMPULAN DATA. Perdanakusuma tahun Data hujan yang diperoleh selanjutnya direview BAB IV HASIL DAN ANALISIS PENGUMPULAN DATA 4.1 Tahapan Pengolahan Data IV - 1 Perolehan data hujan didapatkan dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) di Jakarta, berupa curah hujan bulanan

Lebih terperinci

ANALISIS DEBIT BANJIR RANCANGAN BANGUNAN PENAMPUNG AIR KAYANGAN UNTUK SUPLESI KEBUTUHAN AIR BANDARA KULON PROGO DIY

ANALISIS DEBIT BANJIR RANCANGAN BANGUNAN PENAMPUNG AIR KAYANGAN UNTUK SUPLESI KEBUTUHAN AIR BANDARA KULON PROGO DIY ANALISIS DEBIT BANJIR RANCANGAN BANGUNAN PENAMPUNG AIR KAYANGAN UNTUK SUPLESI KEBUTUHAN AIR BANDARA KULON PROGO DIY Edy Sriyono Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik, Universitas Janabadra Jalan Tentara

Lebih terperinci

SISTEM DRAINASE UNTUK MENANGGULANGI BANJIR DI KECAMATAN MEDAN SUNGGAL (STUDI KASUS : JL. PDAM SUNGGAL DEPAN PAM TIRTANADI)

SISTEM DRAINASE UNTUK MENANGGULANGI BANJIR DI KECAMATAN MEDAN SUNGGAL (STUDI KASUS : JL. PDAM SUNGGAL DEPAN PAM TIRTANADI) SISTEM DRAINASE UNTUK MENANGGULANGI BANJIR DI KECAMATAN MEDAN SUNGGAL (STUDI KASUS : JL. PDAM SUNGGAL DEPAN PAM TIRTANADI) Raja Fahmi Siregar 1, Novrianti 2 Raja Fahmi Siregar 1 Alumni Fakultas Teknik

Lebih terperinci

Perencanaan Sistem Drainase Pada Sungai Buntung Kabupaten Sidoarjo ABSTRAK:

Perencanaan Sistem Drainase Pada Sungai Buntung Kabupaten Sidoarjo ABSTRAK: NEUTRON, Vol., No., Februari 00 9 Perencanaan Sistem Drainase Pada Sungai Buntung Kabupaten Sidoarjo ABSTRAK: Sungai Buntung terletak di kabupaten Sidoarjo, pada musim hujan daerah sekitar sungai Buntung

Lebih terperinci

PERENCANAAN PENGENDALIAN BANJIR SUNGAI SRAGI LAMA PEKALONGAN (The Planning Of Flood Control Sragi Lama in Pekalongan)

PERENCANAAN PENGENDALIAN BANJIR SUNGAI SRAGI LAMA PEKALONGAN (The Planning Of Flood Control Sragi Lama in Pekalongan) LEMBAR PENGESAHAN TUGAS AKHIR PERENCANAAN PENGENDALIAN BANJIR SUNGAI SRAGI LAMA PEKALONGAN (The Planning Of Flood Control Sragi Lama in Pekalongan) Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Program Strata 1

Lebih terperinci

LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN TUGAS AKHIR PERENCANAAN SISTEM DRAINASE BANDAR UDARA AHMAD YANI SEMARANG

LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN TUGAS AKHIR PERENCANAAN SISTEM DRAINASE BANDAR UDARA AHMAD YANI SEMARANG LEMBAR PENGESAHAN ii LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN TUGAS AKHIR PERENCANAAN SISTEM DRAINASE BANDAR UDARA AHMAD YANI SEMARANG Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Akademis Dalam Menyelesaikan Pendidikan

Lebih terperinci

PERENCANAAN PERBAIKAN TEBING BENGAWAN SOLO HILIR DI KANOR, BOJONEGORO. Oleh : Dyah Riza Suryani ( )

PERENCANAAN PERBAIKAN TEBING BENGAWAN SOLO HILIR DI KANOR, BOJONEGORO. Oleh : Dyah Riza Suryani ( ) PERENCANAAN PERBAIKAN TEBING BENGAWAN SOLO HILIR DI KANOR, BOJONEGORO Oleh : Dyah Riza Suryani (3107100701) Dosen Pembimbing : 1. Ir. Fifi Sofia 2. Mahendra Andiek M., ST.,MT. BAB I Pendahuluan Latar Belakang

Lebih terperinci

ANALISIS CURAH HUJAN UNTUK PENDUGAAN DEBIT BANJIR PADA DAS BATANG ARAU PADANG

ANALISIS CURAH HUJAN UNTUK PENDUGAAN DEBIT BANJIR PADA DAS BATANG ARAU PADANG Vol. XII Jilid I No.79 Januari 2018 MENARA Ilmu ANALISIS CURAH HUJAN UNTUK PENDUGAAN DEBIT BANJIR PADA DAS BATANG ARAU PADANG Syofyan. Z, Muhammad Cornal Rifa i * Dosen FTSP ITP, ** Mahasiswa Jurusan Teknik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bendungan Mangge Asi, Dompu berfungsi sebagai Irigasi dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bendungan Mangge Asi, Dompu berfungsi sebagai Irigasi dengan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rancang Dasar Bangunan Bendung 2.1.1 Umum Bendungan Mangge Asi, Dompu berfungsi sebagai Irigasi dengan memanfaatkan aliran sungai yang ada. Tipe yang direncanakan adalah run

Lebih terperinci

PERENCANAAN SALURAN DRAINASE DI GAYUNGSARI BARAT SURABAYA DENGAN BOX CULVERT

PERENCANAAN SALURAN DRAINASE DI GAYUNGSARI BARAT SURABAYA DENGAN BOX CULVERT PERENCANAAN SALURAN DRAINASE DI GAYUNGSARI BARAT SURABAYA DENGAN BOX CULVERT Disusun Oleh : AHMAD RIFDAN NUR 3111030004 MUHAMMAD ICHWAN A 3111030101 Dosen Pembimbing Dr.Ir. Kuntjoro,MT NIP: 19580629 1987031

Lebih terperinci

Tommy Tiny Mananoma, Lambertus Tanudjaja Universitas Sam Ratulangi Fakultas Teknik Jurusan Sipil Manado

Tommy Tiny Mananoma, Lambertus Tanudjaja Universitas Sam Ratulangi Fakultas Teknik Jurusan Sipil Manado Analisis Debit Banjir Di Sungai Tondano Berdasarkan Simulasi Tommy Tiny Mananoma, Lambertus Tanudjaja Universitas Sam Ratulangi Fakultas Teknik Jurusan Sipil Manado Email:tommy11091992@gmail.com ABSTRAK

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR ANALISIS ROUTING ALIRAN MELALUI RESERVOIR STUDI KASUS WADUK KEDUNG OMBO

TUGAS AKHIR ANALISIS ROUTING ALIRAN MELALUI RESERVOIR STUDI KASUS WADUK KEDUNG OMBO TUGAS AKHIR ANALISIS ROUTING ALIRAN MELALUI RESERVOIR STUDI KASUS WADUK KEDUNG OMBO Oleh : J. ADITYO IRVIANY P. NIM : O3. 12. 0032 NIM : 03. 12. 0041 FAKULTAS TEKNIK PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PERENCANAAN SISTEM DRAINASE PADA RENCANA KAWASAN INDUSTRI DELI SERDANG DI KECAMATAN MEDAN AMPLAS M. HARRY YUSUF

PERENCANAAN SISTEM DRAINASE PADA RENCANA KAWASAN INDUSTRI DELI SERDANG DI KECAMATAN MEDAN AMPLAS M. HARRY YUSUF PERENCANAAN SISTEM DRAINASE PADA RENCANA KAWASAN INDUSTRI DELI SERDANG DI KECAMATAN MEDAN AMPLAS TUGAS AKHIR Diajukan untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Memenuhi ujian sarjana Teknik

Lebih terperinci

ANALISA PROFIL MUKA AIR BANJIR SUNGAI MOLOMPAR KABUPATEN MINAHASA TENGGARA

ANALISA PROFIL MUKA AIR BANJIR SUNGAI MOLOMPAR KABUPATEN MINAHASA TENGGARA ANALISA PROFIL MUKA AIR BANJIR SUNGAI MOLOMPAR KABUPATEN MINAHASA TENGGARA Mohammad Akbar Isri R. Mangangka Fakultas Teknik Jurusan Sipil Universitas Sam Ratulangi Manado Email: zeroschneider08@gmail.com

Lebih terperinci

PERENCANAAN SISTEM DRAINASE SEGOROMADU 2 GRESIK

PERENCANAAN SISTEM DRAINASE SEGOROMADU 2 GRESIK PERENCANAAN SISTEM DRAINASE SEGOROMADU 2 GRESIK VIRDA ILLYINAWATI 3110100028 DOSEN PEMBIMBING: PROF. Dr. Ir. NADJAJI ANWAR, Msc YANG RATRI SAVITRI ST, MT JURUSAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN

Lebih terperinci

PERENCANAAN SISTEM DRAINASE KAWASAN KAMPUS UNIVERSITAS SAM RATULANGI

PERENCANAAN SISTEM DRAINASE KAWASAN KAMPUS UNIVERSITAS SAM RATULANGI PERENCANAAN SISTEM DRAINASE KAWASAN KAMPUS UNIVERSITAS SAM RATULANGI Heri Giovan Pania H. Tangkudung, L. Kawet, E.M. Wuisan Fakultas Teknik, Jurusan Teknik Sipil, Universitas Sam Ratulangi email: ivanpania@yahoo.com

Lebih terperinci

ANALISA DEBIT BANJIR SUNGAI RANOYAPO DI DESA LINDANGAN, KEC.TOMPASO BARU, KAB. MINAHASA SELATAN

ANALISA DEBIT BANJIR SUNGAI RANOYAPO DI DESA LINDANGAN, KEC.TOMPASO BARU, KAB. MINAHASA SELATAN ANALISA DEBIT BANJIR SUNGAI RANOYAPO DI DESA LINDANGAN, KEC.TOMPASO BARU, KAB. MINAHASA SELATAN Anugerah A. J. Surentu Isri R. Mangangka, E. M. Wuisan Fakultas Teknik Jurusan Sipil Universitas Sam Ratulangi

Lebih terperinci

III. FENOMENA ALIRAN SUNGAI

III. FENOMENA ALIRAN SUNGAI III. FENOMENA ALIRAN SUNGAI 3.1. Pengantar Pada bab ini akan ditinjau permasalahan dasar terkait dengan penerapan ilmu hidrologi (analisis hidrologi) untuk perencanaan bangunan di sungai. Penerapan ilmu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Contents BAB II... 6 TINJAUAN PUSTAKA... 6 2.1. Dam Penahan Sedimen... 6 2.1.1. Uraian Umum... 6 2.1.2. Pola Penanggulangan Banjir Lahar Dingin... 7 2.1.3. Pemilihan Letak Bangunan... 7 2.2. Analisis Mekanika

Lebih terperinci

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1 Peil Banjir Peil Banjir adalah acuan ketinggian tanah untuk pembangunan perumahan/ pemukiman yang umumnya di daerah pedataran dan dipakai sebagai pedoman pembuatan jaringan drainase

Lebih terperinci

PERENCANAAN EMBUNG MEMANJANG DESA NGAWU KECAMATAN PLAYEN KABUPATEN GUNUNG KIDUL YOGYAKARTA. Oleh : USFI ULA KALWA NPM :

PERENCANAAN EMBUNG MEMANJANG DESA NGAWU KECAMATAN PLAYEN KABUPATEN GUNUNG KIDUL YOGYAKARTA. Oleh : USFI ULA KALWA NPM : PERENCANAAN EMBUNG MEMANJANG DESA NGAWU KECAMATAN PLAYEN KABUPATEN GUNUNG KIDUL YOGYAKARTA Laporan Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN ANALISIS. menyimpan semua atau sebagian air yang masuk (inflow) yang berasal dari

BAB IV HASIL DAN ANALISIS. menyimpan semua atau sebagian air yang masuk (inflow) yang berasal dari BAB IV HASIL DAN ANALISIS 4.1 Uraian Umum Bendungan (waduk) mempunyai fungsi yaitu menampung dan menyimpan semua atau sebagian air yang masuk (inflow) yang berasal dari daerah pengaliran sunyainya (DPS).

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dimulai pada Semester A tahun ajaran dan

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian dimulai pada Semester A tahun ajaran dan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dimulai pada Semester A tahun ajaran 2016-2017 dan penelitian tugas akhir ini dilaksanakan di DAS Sungai Badera yang terletak di Kota

Lebih terperinci

Perencanaan Penanggulangan Banjir Akibat Luapan Sungai Petung, Kota Pasuruan, Jawa Timur

Perencanaan Penanggulangan Banjir Akibat Luapan Sungai Petung, Kota Pasuruan, Jawa Timur JURNAL TEKNIK ITS Vol. 6, No. 2 (2017), 2720 (201928X Print) C82 Perencanaan Penanggulangan Banjir Akibat Luapan Sungai Petung, Kota Pasuruan, Jawa Timur Aninda Rahmaningtyas, Umboro Lasminto, Bambang

Lebih terperinci