PENGARUH SUHU INKUBASI PADA BIOREPRODUKSI DAN DIFERENSIASI SEKS, SERTA ANALISIS STRATEGI REPRODUKSI PENYU LEKANG

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGARUH SUHU INKUBASI PADA BIOREPRODUKSI DAN DIFERENSIASI SEKS, SERTA ANALISIS STRATEGI REPRODUKSI PENYU LEKANG"

Transkripsi

1 i PENGARUH SUHU INKUBASI PADA BIOREPRODUKSI DAN DIFERENSIASI SEKS, SERTA ANALISIS STRATEGI REPRODUKSI PENYU LEKANG (Lepidochelys olivacea) BERDASARKAN MARKA MOLEKULER MIKROSATELIT ALFRED ONISIMUS MAKSIMUS DIMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

2 ii

3 iii PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pengaruh Suhu Inkubasi pada Bioreproduksi dan Diferensiasi Seks, serta Analisis Strategi Reproduksi Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea) Berdasarkan Marka Molekuler Mikrosatelit adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2015 Alfred O. M Dima NIM. G

4 iv RINGKASAN ALFRED ONISIMUS MAKSIMUS DIMA. Pengaruh Suhu Inkubasi pada Bioreproduksi dan Diferensiasi Seks, serta Analisis Strategi Reproduksi Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea) Berdasarkan Marka Molekuler Mikrosatelit. Dibimbing oleh DEDY DURYADI SOLIHIN, WASMEN MANALU, dan ARIEF BOEDIONO Kawasan Pantai Bena merupakan salah satu daerah penyebaran penyu lekang (Lepidochelys olivacea) di Laut Timor sehingga didirikan Taman Buru Bena (TBB). Pendirian TBB merupakan salah satu upaya konservasi terhadap keberadaan penyu tersebut. Penyu lekang tergolong reptil yang dilindungi dengan kategori Appendix I CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) sehingga segala bentuk pemanfaatan dan peredarannya harus mendapat perhatian secara serius. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi potensi biologi dan reproduksi penyu lekang sebagai upaya konservasi populasi penyu lekang. Penelitian ini terdiri atas empat bagian. Penelitian pertama menganalisis pengaruh suhu inkubasi feminin (30-33ºC) pada kuantitas level mrna aromatase pada penyu hijau (Chelonia mydas) yang berasal dari dua jaringan, yaitu otak dan kompleks Adrenal-Kidney-Gonad (AKG). Penelitian pertama ini merupakan studi pendahuluan untuk menentukan jaringan mana yang digunakan untuk analisis ekspresi gen determinasi seks pada penyu lekang. Penelitian kedua dirancang untuk mengkaji aspek bioreproduksi, morfometrik, dan performa lokomotori penyu lekang yang diinkubasi pada suhu feminin (30-33ºC) dan suhu maskulin (26-27ºC). Penelitian ketiga dirancang untuk mengukur profil ekspresi gen aromatase, Rspond 1, dan steroidogenik faktor-1(sf-1), yang terlibat dalam determinasi seks selama perkembangan embrional penyu lekang yang diinduksi pada suhu feminin (30-33ºC) dan suhu maskulin (26-27ºC). Pengukuran nilai cycle threshold (CT) dilakukan pada tahap perkembangan embrio selama Thermosensitive period (TSP), yaitu stadia perkembangan embrio dan setelah TSP, yaitu stadia perkembangan embrio Penelitian keempat dirancang untuk mempelajari pola perkawinan penyu lekang betina dan aliran gen dalam populasi alam menggunakan marka mikrosatelit sebagai marka molekuler. Hasil penelitian pertama menunjukkan bahwa gen aromatase yang berasal dari jaringan otak terekspresi dengan nilai rataan cycle threshold (C T ) sebesar yang tidak berbeda nyata (p 0.01) dari nilai rataan C T dari jaringan kompleks AKG (31.33). Hal ini berarti bahwa untuk keperluan pengukuran profil ekspresi mrna gen aromatase pada tukik C. mydas dapat menggunakan jaringan yang berasal dari otak melalui analisis real time-pcr. Berdasarkan hasil penelitian di atas, maka untuk keperluan penelitian ketiga, RNA dari jaringan otak embrio penyu lekang digunakan untuk mengukur profil ekspresi tiga gen determinasi seks, yaitu gen aromatase, SF-1, dan Rspond 1. Hasil penelitian kedua menunjukkan bahwa telur yang diinkubasi pada suhu feminin (30-33ºC) secara berturut-turut mempunyai periode inkubasi lebih singkat (48-52 hari), daya tetas lebih tinggi (88.33%), dan pertumbuhan embrio yang lebih tinggi. Berkaitan dengan pengukuran morfometrik dan kualitas tukik pascapenetasan menunjukkan bahwa tukik yang diinkubasi pada suhu feminin

5 v memiliki karapas yang lebar, plastron yang panjang dan lebar, flipper dan lengan belakang yang panjang, leher yang panjang, frekuensi ayunan flipper yang lebih banyak, ukuran panjang leher relatif, panjang flipper relatif, dan postur tubuh yang lebih besar dibandingkan dengan tukik yang ditetaskan pada suhu maskulin. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa induksi dengan suhu feminin memengaruhi bioreproduksi, morfometrik tukik, dan performa lokomotori penyu lekang. Hasil penelitian ketiga menunjukkan bahwa level ekspresi gen aromatase dan Rspond 1 setelah TSP pada embrio yang diinkubasi pada suhu feminin lebih tinggi dan berbeda dari yang diinkubasi pada suhu maskulin. Sebaliknya, pengukuran ekspresi gen SF-1 pada penyu lekang menunjukkan bahwa tidak berbeda nyata di antara kedua suhu inkubasi pada semua stadia perkembangan embrio penyu lekang. Meskipun demikian, data empiris menunjukkan bahwa level ekspresi SF-1 pada semua stadia perkembangan embrio penyu lekang lebih tinggi pada suhu maskulin dibandingkan dengan pada suhu feminin. Dengan demikian, gen aromatase dan Rspond 1 memegang peranan penting dalam diferensiasi ovarium penyu lekang yang diinkubasi pada suhu feminin, sedangkan gen SF-1 berpengaruh pada diferensiasi testis penyu lekang yang diinkubasi pada suhu maskulin. Hasil penelitian keempat menunjukkan bahwa penggunaan lima lokus mikrosatelit (OR-1,OR-4, OR-7, OR-11, dan OR-14), dapat mendeteksi peristiwa paternitas majemuk dengan sebaran alel paternal, yaitu lokus OR-11 (3 alel), OR- 4 dan OR-1 (2 alel), dan OR-14 (1 alel). Berdasarkan jumlah alel tukik yang ditemukan pada lokus OR-11, fakta ini mempertegas bahwa penyu lekang betina di perairan Taman Buru Bena melakukan perkawinan dengan lebih dari satu jantan (poliandri). Hasil analisis CERVUS menunjukkan rataan jumlah kandidat jantan sebanyak 2 ekor. Fakta ini menegaskan bahwa peristiwa peternitas majemuk terjadi pada populasi penyu lekang di perairan Laut Timor. Hasil penelitian ini secara keseluruhan memberikan fakta-fakta ilmiah bahwa suhu inkubasi dapat memengaruhi bioreproduksi, morfometrik, performa lokomotori, dan profil ekspresi gen determinasi seks tukik penyu lekang. Artinya, perubahan iklim mikro di sarang inkubasi telur akan memengaruhi fenotipe penyu lekang sebagai spesies yang bergantung suhu (Temperature-dependent Sex Determination=TSD). Berkaitan dengan strategi konservasi genetik, tingkah laku reproduksi penyu betina yang melakukan perkawinan dengan sejumlah penyu jantan (poliandri), yang berhubungan dengan peristiwa paternitas majemuk, dapat meningkatkan ukuran populasi dan keragaman genetik populasi penyu lekang di perairan Taman Buru Bena. Kata kunci: suhu inkubasi, fenotipe, gen determinasi seks, real time-pcr, mikrosatelit, paternitas majemuk, konservasi, Lepidochelys olivacea

6 vi SUMMARY ALFRED ONISIMUS MAKSIMUS DIMA. Effect of Incubation Temperature on Bioreproduction and Sexual Differentiation and Analysis of Reproductive Strategies of the Olive Ridley Turtle (Lepidochelys olivacea) Based on Microsatellite Molecular Marker. Supervised by DEDY DURYADI SOLIHIN, WASMEN MANALU, and ARIEF BOEDIONO. Bena coastal region is one of the habitats of the olive ridley sea turtle (Lepidochelys olivacea) in the Timor Sea so the government established Taman Buru Bena (TBB). Establishment of TBB is one of conservation efforts to the existence of the turtles. Olive ridley sea turtles are protected reptiles that are in the category Appendix I of CITES (Convention on International Trade in Endangered Species), so that all form of utilization and its release should get a serious attention. The objectives of this study were to explore the potential of biology and reproduction of olive ridley turtle as conservation efforts to olive ridley sea turtle population. This research consisted of four parts. The first experiment was designed to study the effect of incubation at feminine temperature (30-33ºC) to quantify aromatase mrna levels in brain and adrenal-kidney-gonad (AKG) complex tissues of the green sea turtle (Chelonia mydas). This first experiment was a preliminary study to determine which tissue could be used as sample for analyzing the gene expression of sex determination in the olive ridley sea turtles. The second experiment was designed to study the aspects of the bioreproduction, morphometric, and locomotory performance of olive ridley sea turtle incubated at feminine temperature (30-33ºC), and masculine temperature (26-27ºC). The third experiment was designed for measuring the expression profile of the aromatase gene, Rspond 1, and steroidogenic factor-1 (SF-1), involved in sex determination during the embryonic development induced at feminine temperature (30-33ºC) and masculine temperature (26-27ºC). The measurement value of the cycle threshold (C T ) was performed on the stages of embryonic development during the thermo-sensitive period (TSP), and stages of embryonic development after the TSP. The fourth experiment was designed to investigate the mating pattern of the olive ridley sea turtle females and gene flow in natural populations using microsatellite markers as molecular markers. The results of the first experiment showed that aromatase mrna level was not significantly different (p 0.01) between the C T value of tissue derived from brain (30.59) and AKG complex (31.33). It seems that sample for real time-pcr analyzing of the aromatase gene expression can be derived from brain tissue. Based on the results of the first experiment, in the third experiment, the RNA of the embryo brain tissue from olive ridley sea turtle could be used to measure the expression profiles of three sex determination gene, i.e aromatase, SF-1, and Rspond 1, respectively. The results of the second experiment suggested that eggs incubated at feminine temperature had shorter incubation periods (48-52 days) with higher hatchability (88.33%) and embryo growth. Associated with the measurement of morphometric and quality of the hatchling showed that hatchlings that incubated at feminine temperatures had wider carapace, long and wide plastron, long flipper

7 vii and arms, long neck, higher frequency of flipper (power stroke), the relative size of the lengths of the neck, the flipper, and the posture of the body were larger as compared to those incubated at masculine temperature. Thus, it can be concluded that induction with feminine temperature affects the bioreproduction, morphometric, and locomotory performance of hatchlings. The results of the third experiment showed that the levels of aromatase gene expression and Rspond 1 after TSP on embryos incubated at feminine temperatures were higher and different from those incubated at masculine temperature. In contrast, the expression of SF-1 gene was not significantly different between incubation temperatures at all embryonic development stages of olive ridley sea turtles. Nonetheless, empirical data showed that the SF-1 mrna level at all stages of embryonic development of turtle incubated at feminine temperature was higher than those incubated at masculine temperature. Thus both aromatase and Rspond 1 genes, played essential roles in ovarian differentiation in the olive ridley sea turtles incubated at feminine temperature, while the SF-1 gene influenced testicular differentiation of the olive ridley sea turtles incubated at masculine temperature. The results of the fourth experiment showed that the five microsatellite loci (OR-1, OR-4, OR-7, OR-11 and OR-14) could detect multiple paternities phenomenon with paternal allele distribution of locus OR-11, OR-4 and OR-1 and OR-14 were 3 alleles, 2 alleles, and 2 alleles, respectively. Based on the number of alleles of hatchling that were discovered at OR-11 locus showed the fact that a female turtle in Taman Buru Bena mate with more than one male turtles (polyandry). The results of CERVUS analysis showed the average of paternal candidate were 2. This fact confirmed that the phenomenon of multiple paternities occurred in the olive ridley sea turtles population at the Timor Sea. The overall results of this research provide the scientific facts that the incubation temperatures can affect bioreproduction, morphometric, locomotory performance, and the profile expression of gene determining sex in olive ridley sea turtles. This means that changes in microclimate in the nest during the period of egg incubation will affect the phenotype of olive ridley sea turtles, a species with temperature-dependent sex determination. Associated with genetic conservation strategy, the reproductive behavior of female turtle that is polyandry is very close to the multiple paternities phenomenon that enhances the size of population and the genetic diversity of the olive ridley sea turtle. The results of this experiment could be used to support the implementation of the genetic conservation strategy and genetic diversity of the olive ridley sea turtle in the Taman Buru Bena, Timor Island. Keywords: incubation temperature, phenotype, sex determination gene, real time- PCR, microsatellites, multiple paternities, conservation, Lepidochelys olivacea

8 viii Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

9 ix PENGARUH SUHU INKUBASI PADA BIOREPRODUKSI DAN DIFERENSIASI SEKS, SERTA ANALISIS STRATEGI REPRODUKSI PENYU LEKANG (Lepidochelys olivacea) BERDASARKAN MARKA MOLEKULER MIKROSATELIT ALFRED ONISIMUS MAKSIMUS DIMA Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Mayor Biosains Hewan (BSH) SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015

10 x Penguji pada Ujian Tertutup: Prof Dr Ir Ridwan Affandi, DEA (Staf Pengajar pada Departemen Managemen Sumber Daya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Bogor) Dr Hawis Madduppa, MSc (Staf Pengajar pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Bogor) Penguji pada Sidang Promosi Terbuka: Dr Sudirman Saad, M.Hum (Dirjen Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (KP3K) Kementerian Kelautan dan Perikanan RI) Prof Dr Ir Ridwan Affandi, DEA (Staf Pengajar pada Departemen Managemen Sumber Daya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Bogor)

11 xi

12 xii PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala karunia-nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2012, ialah Pengaruh Suhu Inkubasi pada Bioreproduksi dan Diferensiasi Seks, serta Analisis Strategi Reproduksi Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea) Berdasarkan Marka Molekuler Mikrosatelit. Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Dedy Duryadi Solihin DEA, Bapak Prof Ir Wasmen Manalu PhD, dan Bapak Prof Drh Arief Boediono PhD, PAVet(K) selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberi solusi dan bimbingan. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Dr Drh Djoko Pamungkas, Ibu Dr Drh Diah Iskandriati M.Si, Dr Uus Saepuloh M.Biomed serta staf Laboratorium Biologi Molekuler PSSP-LPPM IPB Bogor, serta Bapak Danny Gunelan beserta staf PT. Alam Nusantara Farm. Kranggang, Cibubur yang telah membantu selama penelitian berlangsung. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Dwi Prasetyo, M.Kom, Dr Kebamoto Tanabi, Dr Refli Sampe MSc, Dr Dodi Darmakusuma beserta keluarga, Doansi Tarihoran, MSi, semua dosen IPB yang telah memberikan ilmu kepada penulis, rekan-rekan dari Universitas Nusa Cendana dan Universitas Patimura, rekan-rekan Gita Swara Pascasarjana (GSP) IPB, rekan-rekan Mayor Biosains Hewan angkatan 2010 selama studi dan riset ini berlangsung. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Nusa Cendana dan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (DIKTI), dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sabu Raijua atas semua dukungan pembiayaan Program Doktor ini. Secara khusus penulis menyampaikan terima kasih kepada mama, istri dan anak berdua tersayang, dan keluarga, yang dengan sabar terus mendukung dalam doa dan kasih sayangnya sehingga penulis dapat menyelesaiakan studi Doktor di IPB. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Agustus 2015 Alfred O M Dima

13 xiii DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN Halaman xv xv xvi 1 PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 3 Kebaruan 3 Kerangka Pemikiran 4 2 PERBANDINGAN EKSPRESI GEN AROMATASE DARI BERBAGAI JARINGAN HEWAN MODEL, PENYU HIJAU (Chelonia mydas) 7 Pendahuluan 7 Bahan dan Metode 7 Hasil 9 Pembahasan 10 Kesimpulan 12 3 BIOREPRODUKSI, MORFOMETRIK, DAN PERFORMA LOKOMOTORI PENYU LEKANG (Lepidochelys olivacea) YANG DIINDUKSI PADA SUHU INKUBASI BERBEDA 13 Pendahuluan 13 Bahan dan Metode 14 Hasil 16 Pembahasan 19 Kesimpulan 22 4 PROFIL EKSPRESI SEJUMLAH GEN DETERMINASI SEKS PENYU LEKANG YANG DIINDUKSI DENGAN SUHU INKUBASI BERBEDA 23 Pendahuluan 23 Materi dan Metode 24 Hasil 26 Pembahasan 28 Kesimpulan 31

14 xiv 5 ANALISIS SISTEM PERKAWINAN DAN ALIRAN GEN PADA POPULASI PENYU LEKANG DI PANTAI BENA SEBAGAI UPAYA STRATEGI KONSERVASI GENETIK 32 Pendahuluan 32 Materi dan Metode 33 Hasil 34 Pembahasan 37 Kesimpulan 39 6 PEMBAHASAN UMUM 40 7 KESIMPULAN DAN SARAN 49 Kesimpulan 49 Saran 49 8 DAFTAR PUSTAKA 51 RIWAYAT HIDUP 71

15 xv DAFTAR TABEL Halaman 1 Nilai cycle threshold (C T ) gen aromatase penyu hijau yang diinkubasi pada suhu feminin 10 2 Bioreproduksi penyu lekang yang diinduksi pada dua suhu inkubasi 18 3 Performa lokomotori tukik penyu lekang yang diinduksi pada dua suhu inkubasi 18 4 Fenotipe tukik penyu lekang yang diinduksi pada dua suhu inkubasi 19 5 Ringkasan informasi alel pada 5 lokus mikrosatelit penyu L. olivacea 35 6 Jumlah minimum pejantan berdasarkan jumlah alel paternal dari empat marka mikrosatelit yang bervariasi 36 7 Jumlah maksimum pejantan berdasarkan jumlah alel paternal dari lima marka mikrosatelit yang bervariasi 37 8 Diversitas Alel (k), Heterozigositas observasi dan eksperasi (HObs dan HExp), dan probabilitas (nilai p) dari uji Kesetimbangan Hardy- Weimberg (HWE) pada lima lokus mikrosatelit berdasarkan genotipe multilokus dari 24 tukik penyu lekang 37 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka pemikiran induksi suhu terhadap bioreproduksi, morfometrik, performa lokomotori, ekspresi gen, dan strategi konservasi genetik populasi penyu L. olivacea 6 2 Pola pita cdna β-actin dan gen aromatase dari jaringan otak dan kompleks AKG penyu C. mydas 9 3 Pengukuran morfometrik tukik dilakukan terhadap 9 karakter 16 4 Pertumbuhan embrio penyu lekang (g) yang diinkubasi pada dua suhu yang berbeda 17 5 Slop pertumbuhan embrio penyu lekang (g) yang diinkubasi suhu feminin (a), dan suhu maskulin (b) 17 6 Profil ekspresi gen aromatase (C T ) pada tahapan embrional penyu lekang 27 7 Profil ekspresi gen SF-1 (C T ) pada tahapan embrional penyu lekang 27 8 Profil ekspresi gen Rspond 1 (C T ) pada tahapan embrional penyu lekang 28 9 Kromatogram jumlah dan distribusi alel pada lokus OR Diferensiasi gonad (testis dan ovarium) reptil TSD pada periode sebelum, selama, dan setelah TSP Mekanisme jejaring kerja gen determinasi seks aromatase, SF-1 dan Rspond 1 pada spesies TSD (reptil) dan spesies GSD (mamalia) 44

16 xvi DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Frekuensi alel, simulasi analisis paternitas penyu lekang 63

17 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Vertebrata menunjukkan mekanisme penentuan seks secara luar biasa, yang secara umum diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu determinasi seks secara genotipe (Genotipyc mechanisms of Sex-Determination, GSD) dan determinasi seks yang dipengaruhi lingkungan (Environmental Sex-Determination, ESD). Pada spesies GSD, faktor genetik berperan secara langsung dalam pembentukan gonad, sedangkan pada spesies ESD, terdapat banyak faktor lingkungan yang mempunyai kapasitas untuk memengaruhi seks dan tidak bergantung pada komposisi genetik zigot (Bull1980, Crews 1993). Di antara faktor fisik, suhu berperan secara langsung selama periode inkubasi (Spotila dan Standora 1985, Packard dan Packard 1988, Miller et al.2003). Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan fakta bahwa keberhasilan inkubasi penyu terjadi pada kisaran suhu 26 C hingga 33 C (Mrosovsky dan Yntema1980, Miller 1982, 1985). Selain itu, suhu inkubasi juga dapat memengaruhi nisbah kelamin dan periode inkubasi (Miller dan Limpus 1981, Ackerman 1997), dan sejumlah fenotipe tukik, seperti nisbah kelamin, bentuk dan ukuran tubuh, jumlah kuning telur yang dikonversi selama perkembangan embrionik, performa berenang, kelangsungan hidup, dan tingkah laku (Booth et al.2007, Reece et al.2002, Maulany et al.2012, Congdon et al.1999, Ischer et al.2009). Setiap spesies reptil mempunyai periode atau ambang batas sensitif suhu (Thermo-sensitive Period, TSP), suatu periode yang menentukan nasib perkembangan gonad yang mengarah ke jantan atau betina (Mrosovsky et al.2002). Periode ini dimulai dengan terbentuknya gonad selama embriogenesis yang terjadi pada sepertiga masa perkembangan embrio. Selain suhu, konsentrasi dan aktivitas hormon steroid nukleus, seperti estrogen, terlibat dalam pembentukan seks gonadal melalui proses transkripsi yang mengatur gen target (Ramsey dan Crews 2007;Tsai dan O Malley 1994). Adanya ketergantungan pada suhu dan hormon memungkinkan terjadinya adaptasi yang cepat dari nisbah kelamin terhadap perubahan lingkungan. Pada sisi lain, populasi ESD, seperti penyu lekang (Lepidochelys olivacea) dapat terancam punah karena perubahan lingkungan eksternal yang menyebabkan perubahan siknifikan pada nisbah kelamin. Pada vertebrata mamalia, terdapat sejumlah faktor transkripsi dan molekul sinyal yang telah diketahui berperan dalam diferensiasi testikular pada bagian ujung atas (upstream) dan ujung bawah (downstream) SRY. Akan tetapi gen SRY tidak homolog keberadaannya untuk hewan vertebrata non-mamalia. Torres et al. (2002) melaporkan bahwa selama perkembangan gonad pada penyu L. olivacea, tiga gen yang mengontrol determinasi seks, yaitu gen Dax1, Dmrt1, dan Sox9 berhasil diekspresikan ketika diinkubasi pada suhu yang mempromosi jantan dan betina. Pada Trachemys scripta, spesies TSD (Temperature-

18 2 dependent Sex Determination) ditemukan bahwa gen steroidogenik faktor-1(sf-1) yang berperan penting dalam determinasi seks dan pengaturan berbagai enzim steroidogenik di antaranya enzim aromatase, menunjukkan bahwa gen SF-1 dan aromatase diekspresikan secara berbeda selama determinasi seks. Gen SF-1 diekspresikan pada level yang lebih tinggi selama perkembangan testis, sementara ekspresi aromatase meningkat selama perkembangan ovarium (Ramsey et al.2007, Pieau dan Dorizzi 2004). Pada beberapa spesies penyu laut, beberapa kemungkinan yang terjadi setelah ditetaskan adalah penyu akan hanyut di lautan terbuka untuk beberapa tahun, dan saat dewasa melakukan migrasi secara periodik hingga km antara tempat mencari makan dan tempat kawin. Studi awal tagging menunjukkan bahwa betina yang akan bertelur kembali ke sarang pada pantai tertentu untuk musim berikutnya. Ketika penyu melakukan migrasi ke area mencari makan biasanya penyu melakukan overlapping pada area perkawinan populasi lainnya. Dari observasi tersebut, beberapa hipotesis yang muncul berkaitan dengan tingkah laku dan aliran gen populasi, yaitu (i) sifat filopatrik yang dimiliki oleh betina untuk tetap setia pada tempat asalnya (natal homing); (ii) terjadinya peristiwa paternitas majemuk, betina kawin dengan beberapa jantan dalam satu siklus reproduksi (poliandri), dan (iii) betina hanya kawin dengan satu jantan (monogami). Beberapa tahun terakhir, peristiwa paternitas majemuk telah dideteksi menggunakan marka allozyme, mtdna, minisatelit, dan mikrosatelit pada beberapa spesies penyu laut dari Chelonidae dan Dermochelydae. Beberapa studi menunjukkan adanya peristiwa paternitas majemuk pada penyu ( Pearse dan Avise 2001), Carettacaretta (Bolmer et al.1999), Lepidochelis kempy (Kichler et al.1999), C. mydas (Lee dan Hays 20004, FitzSimmons 1998, Parker et al.1996), L. olivacea (Hoekert et al.2002), dan Dermochelys cariacea (Rieder et al.1998; Roden dan Dutton 2011). Informasi tentang induksi suhu inkubasi yang berhubungan dengan bioreproduksi, morfometrik, performa lokomotori, dan determinasi seks pada spesies TSD, yang melibatkan tiga gen (aromatase, SF-1, dan Rspond 1), filopatrik pada penyu L. olivacea sebagai penelitian eksplorasi sangat dibutuhkan untuk menentukan strategi dan langkah konservasi penyu lekang. Selain itu, tingkat keragaman dalam populasi, terutama keragaman genetik, dapat juga dipergunakan untuk memperkirakan tingkat risiko kepunahan penyu L. olivacea. Kajian menyeluruh mengenai aspek bioreproduksi, morfologi, genetik, dan ekologis diperlukan sebagai informasi untuk menentukan langkah pelestarian penyu lekang. Oleh sebab itu telah dilakukan penelitian tentang Pengaruh Suhu Inkubasi pada Bioreproduksi dan Diferensiasi Seks, serta Analisis Strategi Reproduksi Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea) Berdasarkan Marka Molekuler Mikrosatelit. Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah mengeksplorasi potensi biologi dan reproduksi penyu lekang sebagai upaya konservasi populasi penyu lekang. Berdasarkan tujuan utama tersebut, maka tujuan khusus penelitian ini dirinci sebagai

19 3 berikut. Pada Bab II disajikan penelitian yang mengkaji pengaruh suhu inkubasi pada ekspresi gen aromatase pada penyu hijau (C. mydas) yang berasal dari jaringan berbeda, yaitu otak dan kompleks urogenital (AKG), sebagai studi pendahuluan. Oleh karena penyu hijau dan penyu lekang memiliki tingkat kekerabatan tinggi, termasuk dalam family Chelonidae, maka studi pendahuluan untuk memilih salah satu jaringan untuk pengukuran ekspresi gen determinasi seks diharapkan menjadi dasar untuk pengukuran ekspresi gen determinasi seks penyu lekang. Pada Bab III disajikan penelitian yang menganalisis aspek bioreproduksi, morfometrik, dan performa lokomotori tukik penyu lekang yang diinduksi suhu inkubasi yang berbeda. Pada Bab IV disajikan penelitian yang mengukur profil ekspresi sejumlah gen yang terlibat dalam determinasi seks selama perkembangan embrional penyu lekang sebagai hasil dari induksi suhu inkubasi. Pada Bab V disajikan penelitian yang menginvestigasi pola perkawinan penyu lekang betina di perairan Pantai Bena dan aliran gen dalam populasi alam menggunakan marka mikrosatelit sebagai marka molekuler, dan akhirnya pada Bab VI dan VII dilakukan pembahasan secara keseluruhan dan simpulan yang berimplikasi secara ekologis bagi strategi pengelolaan dan konservasi populasi penyu lekang di perairan Taman Buru Bena Timor. Manfaat Penelitian Manfaat utama penelitian ini adalah diperoleh gambaran tentang pengaruh induksi suhu inkubasi telur pada aspek bioreproduksi, performa lokomotori, morfometrik, profil ekspresi gen determinasi seks, dan strategi reproduksi penyu lekang dalam mempertahankan populasinya yang terancam keberadaannya. Manfaat ilmiah penelitian ini adalah berkontribusi dalam menyediakan informasi ilmiah, antara lain: (i) diperoleh data tentang sejumlah parameter bioreproduksi penyu lekang selama perkembangan embrional, parameter morfometrik dan performa lokomotori tukik; (ii) diperoleh fakta tentang profil ekspresi sejumlah gen yang terlibat dalam determinasi seks selama perkembangan embrional penyu lekang; (iii) diperoleh fakta tentang pola perkawinan dan aliran gen penyu lekang pada populasi penyu lekang Taman Buru Bena, Timor. Kebaruan Kebaruan yang diperoleh dari penelitian ini adalah (i) isolasi tiga gen determinasi seks, yaitu aromatase, SF-1, dan Rspond 1 yang berasal dari jaringan otak (selain kompleks AKG) untuk profil ekspresi gen menggunakan teknik real- time PCR sebagai salah satu sumber alternatif baru untuk mengidentifikasi ekspresi gen penyu lekang; (ii) penggunaan sejumlah ukuran bioreproduksi, morfometrik, dan lokomotori tukik untuk penentuan seks di populasi alam; (iii) penggunaan marka mikrosatelit untuk mendeteksi strategi reproduksi populasi penyu lekang di perairan laut Timor.

20 4 Kerangka Pemikiran Keberadaan penyu, baik di dalam perairan maupun saat bertelur ketika menuju daerah peneluran, banyak mendapatkan gangguan yang menjadi ancaman bagi kehidupannya. Permasalahan yang dapat mengancam kehidupan penyu secara umum dapat digolongkan menjadi ancaman alami dan ancaman karena perbuatan manusia. Data betina yang mendarat untuk meletakkan telurnya selama 5 tahun terakhir ( ) di pantai Taman Buru Bena, secara berurutan sebanyak 117, 202, 63, 28, dan 82 ekor. Demikian juga, jumlah tukik yang dilepas ke laut berturut-turut sebanyak , , 6.618, 2.355, dan ekor. Hal ini menunjukkan ada kecenderungan penurunan populasi penyu lekang yang dapat mengarah kepada kepunahan. Beberapa faktor utama yang memengaruhi populasi penyu lekang di pantai Bena ialah adanya gangguan atau ancaman karena perbuatan manusia dan ancaman alami. Ancaman yang disebabkan oleh manusia antara lain (i) adanya aktivitas perikanan, baik disengaja maupun tidak disengaja dengan berbagai alat tangkap; (ii) penangkapan penyu dewasa untuk dimanfaatkan daging, cangkang, dan tulangnya; (iii) pengambilan telur di sarang alami. Gangguan atau ancaman alami yang setiap saat dapat mengganggu kehidupan penyu antara lain: (i) Pemangsaan (predation) tukik, baik terhadap tukik yang baru keluar dari sarang maupun terhadap tukik di laut bebas; (ii). Perubahan iklim yang menyebabkan permukaan air laut naik dan banyak terjadi erosi pantai peneluran sehingga hal tersebut berpengaruh pada perubahan daya tetas dan keseimbangan rasio kelamin tukik. Kondisi inilah yang menyebabkan penyu lekang di Pantai Bena, Timor, dan jenis penyu lainnya di Indonesia, diberikan status dilindungi dengan kategori Appendix I CITES (Convention on International Trade in Endangared Species). Oleh karena itu, upaya pengelolaan seperti restocking, manipulasi suhu inkubasi, dan konservasi penyu lekang di pantai Bena merupakan syarat mutlak untuk menjamin kelangsungan populasi penyu tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa faktor penting yang memengaruhi diversitas genetik sebuah populasi adalah ukuran populasi yang efektif (Sugg dan Chesser 1994), variabilitas di dalam populasi, dan nisbah kelamin (Baer dan Schmid-Hempel 1999). Oleh karena variasi genetik dalam populasi penyu penting untuk adaptasi terhadap perubahan kondisi lingkungan dan level diversitas genetik maka faktor yang memengaruhi untuk mempertahankan diversitas genetik menjadi perhatian utama untuk tujuan konservasi. Ukuran populasi kecil atau penurunan populasi akan terancam depresi inbreeding dan kehilangan variasi genetik secara acak (random) melalui hanyutan genetik. Induksi suhu inkubasi memengaruhi ekspresi sejumlah gen yang terlibat dalam determinasi seks dan pada akhirnya akan memengaruhi nisbah kelamin tukik. Gengen yang umumnya ada pada spesies GSD dan TSD yang mengatur diferensiasi gonad secara berurutan telah diidentifikasi, seperti Sox9, SF-1, Wt1, Dax1, Dmrt1, AMH, Rspond 1, dan aromatase. Shoemaker et al. (2007b) menyatakan bahwa gen Sox9, Mis, dan Dmrt1 terlibat dalam diferensiasi testis kura-kura Trachemys scripta. Sejalan dengan hal tersebut, Torres et al. (2001) melaporkan profil ekspresi gen Dax1, Dmrt1, dan Sox9 selama perkembangan gonad penyu L. olivacea. Hasil

21 penelusuran pustaka menunjukkan belum tersedia informasi secara lengkap tentang profil ekspresi semua gen determinasi seks pada penyu L. olivacea. Murphy et al. (2007) dan Hoekert (2002) menyatakan ada dua faktor genetik yang memengaruhi populasi penyu, yaitu (i) aliran gen di dalam populasi membantu sebaran alel baru yang diperoleh melalui materi genetik; (ii) tingkah laku perkawinan betina (monoandri versus poliandri) memengaruhi variabilitas keturunannya, terutama ketika poliandri dikombinasikan dengan paternitas majemuk. Investigasi sistem perkawinan pada penyu menunjukkan fakta bahwa terdapat banyak keuntungan yang diperoleh melalui perkawinan dengan banyak pejantan, seperti meningkatnya variasi genetik pada keturunannya sebagai akibat dari meningkatnya nilai Ne ( Sugg dan Chesser 1994), menghindari inbreeding (Reynolds 1996), dan meningkatkan keberhasilan fertilisasi karena tersedianya sperma dalam satu musim kawin (Lee dan Hays 2004). Oleh karena itu, pengetahuan tentang biologi reproduksi dan sistem perkawinan dari penyu lekang sebagai spesies terancam punah menjadi penting sebagai strategi reproduksi untuk memaksimumkan diversitas genetik keturunan sepanjang kehidupan penyu. Pemerintah Daerah Kabupaten Timor Tengah Selatan bekerja sama dengan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) wilayah I Nusa Tenggara Timur dalam upaya konservasi penyu lekang, tetapi masih terbatas pada aktivitas penangkaran semi-alami. Strategi pengelolaan dan konservasi berkelanjutan bagi penyu lekang yang terancam punah bisa dilakukan melalui sejumlah kajian secara rutin dan simultan dalam rangka mendukung keberhasilan pengelolaan dan konservasi penyu secara berkelanjutan. Beberapa kajian tersebut, seperti pengaruh suhu dan hormonal pada determinasi seks, ekspresi sejumlah gen selama perkembangan embrional penyu, aliran gen di dalam dan antarpopulasi yang dapat menggambarkan struktur genetik populasi maupun filogenetik. Langkah selanjutnya adalah implementasi hasil kajian penelitian tersebut sesuai dengan skala prioritas dan arah kebijakan pengembangan kawasan pendaratan dan peletakan telur penyu lekang di perairan Taman Buru Bena, PulauTimor yang berpihak pada konservasi yang berkelanjutan. Secara grafis, bagan alur pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1. 5

22 6 Status Penyu Lekang di Bena : Apependix I CITES Penurunan Ukuran Populasi Ancaman faktor manusia dan faktor alam Sistem perkawinan Strategi reproduksi Nisbah kelamin TSD Laporan penelitian tentang sistem perkawinan, dan aliran gen dalam populasi penyu Laporan penelitian tentang profil ekspresi sejumlan gen yang menentukan seks selama perkembangan embrional dan khusus Penyu Lekang (termasuk di Bena)belum lengkap profil ekspresi gen determinasi seks Data bioreproduksi, morfometrik dan performa lokomotori tukik perlu dilengkapi Diperlukan kajian molekuler yang dapat menjelaskan pengaruh suhu inkubasi pada nisbah kelamin, pola perkawinan dan aliran gen pada populasi Penyu Lekang di Bena Pulau Timor Profil ekspresi gen determinasi seks dengan manipulasi suhu inkubasi telur penyu Analisis pola perkawinan penyu betina dengan pendekatan molekuler Diperolehnya informasi simultan tentang bioreproduksi, morfometrik dan performa lokomotor, profil ekspresi gen determinasi seks, sistem perkawinan dan aliran gen dalam populasi penyu lekang di perairan Taman Bena, Timor Implementasi hasil kajian riset sesuai dengan skala prioritas dan arah kebijakan pengembangan dan konservasi untuk peningkatan ukuran populasi dan peningkatan keragaman genetik populasi penyu lekang di perairan Taman Buru Bena, Timor secara berkelanjutan Gambar 1 Kerangka pemikiran pengaruh suhu inkubasi pada bioreproduksi dan diferensiasi seks, serta analisis strategi reproduksi penyu lekang (Lepidochelys olivacea) berdasarkan marka molekuler mikrosatelit.

23 7 2 PERBANDINGAN EKSPRESI GEN AROMATASE DARI BERBAGAI JARINGAN HEWAN MODEL, PENYU HIJAU (Chelonia mydas) Pendahuluan Kebanyakan reptil, induksi suhu inkubasi sangat menentukan diferensiasi seks (TSD). Pada penyu laut, seperti penyu hijau (C. mydas), betina dihasilkan pada suhu lebih tinggi (30-35 C), dan jantan dihasilkan pada suhu lebih rendah, yakni C (Pieau et al. 1999). Penentuan seks pada tukik hingga usia muda sulit dilakukan, karena secara morfologi penyu tidak memiliki karakter dimorfisme dan kromosom seks heteromorfik. Oleh karena itu, metode penentuan seks selain ditentukan dengan induksi suhu inkubasi juga dapat dilakukan dengan pengukuran ekspresi sejumlah kandidat gen yang terlibat dalam penentuan seks selama perkembangan embrio atau setelah penetasan. Aromatase adalah enzim yang mengkonversi (androgen) androstenedion atau testosteron menjadi estrone, estrogen, atau 17β-estradiol (E 2 ) (Simpson et al.1994). Enzim ini telah diidentifikasi dalam gonad, hati, otak, dan berbagai jaringan perifer, seperti sel-sel lemak pada mamalia, serta dalam gonad dan otak dari ikan dan amphioxus (Simpson et al.1994, Callard et al.1988). Ikan teleost memiliki dua gen aromatase, yaitu cyp19a1a (aromatase A) yang spesifik pada gonad dan cyp19a1b (aromatase B), yang diekspresi sangat kuat pada otak. Walaupun distribusi gen aromatase terdapat di beberapa jaringan, ekspresi dan aktivitas aromatase dapat diubah oleh suhu, musim, dan sejumlah hormon steroid (D'Cotta et al.2001). Transkripsi aromatase telah terdeteksi dalam jumlah yang signifikan di otak dan gonad, terutama pada spesies vertebrata (Simpson et al.1994). Ikan teleost mengekspresikan level tertinggi aktivitas aromatase pada otak, yaitu kali lebih besar pada area hipotalamus preoptik dibandingkan mamalia (Callard et al.1988). Barlian et al. (2008) melaporkan ekspresi gen aromatase pada jaringan gonad embrio penyu C. mydas yang diinkubasi baik pada suhu feminin dan maskulin. Penyu hijau dan penyu lekang memiliki hubungan kekerabatan yang tinggi dan termasuk dalam satu family Chelonidae. Penelusuran literatur lebih lanjut belum menemukan informasi tentang perbandingan profil ekspresi gen aromatase yang berasal dari jaringan berbeda penyu hijau. Sehubungan dengan hal tersebut maka telah dilakukan penelitian tentang perbandingan ekspresi gen aromatase penyu hijau (C.mydas) yang diekstrak dari jaringan kompleks urogenital (AKG) dan otak yang diinkubasi pada suhu feminin (30-33 C). Hasil penelitian ini dijadikan sebagai dasar pemilihan jaringan yang akan digunakan untuk mengukur ekspresi ketiga gen determinasi seks penyu lekang. Bahan dan Metode Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2012 sampai Januari 2013 di Kawasan Taman Konservasi dan Penangkaran penyu Pangumbahan Sukabumi.

24 8 Tahapan inkubasi telur dilakukan di inkubator. Pengukuran ekspresi gen aromatase dilakukan di Laboratorium Biologi dan Molekuler PSSP-LPPM IPB Bogor. RNA total diekstraksi dari dua jaringan, yaitu kompleks AKG dan otak tukik penyu hijau yang diinkubasi pada suhu feminin (30-33 C). RNA total diekstraksi menggunakan kit RNeasy Qiagen. Konsentrasi RNA diukur dengan nanodrop. Reaksi RT-PCR dilakukan dengan cara dua langkah (two steps) kit RT-PCR (Invitrogen). Untuk reaksi pemanjangan dengan primer oligo(dt) 20, dntps 10 µm, dan dh 2 O masing-masing sebanyak 1 µl dengan jumlah RNA total yang diisolasi dari otak dan AKG tukik penyu hijau sebanyak 10µL. Campuran reaksi diinkubasi pada suhu 65 C selama 5 menit. Selanjutnya sintesis cdna dengan campuran 10 x RT buffer 2 µl, 25µM MgCl 2 4 µl, 0.1 M DTT sebanyak 2 µl, RNase out dan Superscript III RT (Invitrogen) masing-masing 1 µl. Inkubasi dilanjutkan pada suhu 50 C selama 50 menit dan diakhiri pada suhu 85 C selama 5 menit. Selanjutnya campuran reaksi tersebut ditambahkan RNAse H sebanyak 1 µl sehingga diperoleh volume akhir sebanyak 24 µl dan diinkubasi pada suhu 37 C selama 20 menit. Amplifikasi gen aromatase dilakukan dengan menggunakan dua primer, yaitu qmaromatase forward (5 -TGGGTTACAGTGCATTGGC-3 ) dan qmaromatase reverse (5 -GAGGCCTGGACCAGACAA-3 ) dengan produk PCR 110 bp. Untuk kontrol ekpresi, dilakukan amplifikasi mrna ß-actin menggunakan sense primer: 5 GCTCGTCGTCGACCACGGCTC-3 dan antisense primer: 5 -CAAACATGA TCTGGGTCATCTTCTC-3 dengan produk PCR 353 bp. Campuran reaksi yang digunakan untuk amplifikasi PCR sebagai berikut: forward dan reverse primer masing-masing gen target sebanyak 1 µl, Kappa HS Ready Mix (Kappa) sebanyak 12,5 1 µl, dh 2 O sebanyak 8 µl, dan cetakan cdna sebanyak 2,5 µl untuk gen target. Amplifikasi gen target terhadap cdna menggunakan mesin PCR Verity (Applied Bio system), dilakukan dengan kondisi sebagai berikut: denaturasi awal pada suhu 94 C selama 5 menit, amplifikasi dilakukan sebanyak 40 siklus terdiri atas denaturasi pada suhu 94 C selama 30 detik, annealing pada suhu 55 C selama 30 detik, ekstensi pada suhu 72 C selama 30 detik dan diakhiri dengan final ekstensi pada suhu 72 C selama 7 menit. Produk PCR dielektroforesis dengan menggunakan gel agarosa 1.8% yang mengandung ethidium bromide dalam buffertae 1x pada voltase 100 selama 45 menit. Selanjutnya pita PCR divisualisasikan di bawah mesin UV gel doc. (Biored). Profil ekspresi gen dikuantifikasi menggunakan SYBR Green I dye (Biored) dan direaksikan pada mesin real-time PCR iq real time PCR Detection System (Biored). Kondisi PCR dilakukan sebagai berikut: denaturasi awal pada suhu 94 C selama 5 menit. Proses amplifikasi dilakukan sebanyak 40 siklus terdiri atas denaturasi pada suhu 94 C selama 30 detik, annealing pada suhu 55 C selama 30 detik, ekstensi pada suhu 72 C selama 30 detik, dan diakhiri dengan final ekstensi pada suhu 72 C selama 7 menit. Koleksi data dilakukan pada tahap ekstensi setiap sampel. Setiap sampel dijalankan secara duplo (duplikasi) dan nilai tengah cycle treshold (C T ) yang diperoleh digunakan untuk menganalisis ekspresi gen. Cycle threshold adalah siklus yang nilai fluorosence mulai meningkat dan terdeteksi pada base line grafik yang menunjukkan jumlah amplikon yang teramplifikasi pada siklus tersebut. Kriteria nilai C T yang diperoleh pada setiap gen, yaitu nilai cycle threshold yang diperoleh

25 9 berbanding terbalik dengan level ekspresi gen. Artinya, semakin kecil nilai C T semakin besar ekspresi gen yang bersangkutan. Uji t Student digunakan untuk membandingkan level mrna aromatase yang berasal dari otak dan kompleks AKG tukik. Hasil Target gen yang diisolasi dalam penelitian ini adalah gen aromatase penyu C.mydas. Amplifikasi gen aromatase dilakukan dengan teknik PCR yang menghasilkan produk PCR 110 bp dan sebagai house keeping gene digunakan β-actin dengan produk PCR 353 bp. Hasil elektroforesis agarosa terhadap transkripsi balik mrna menjadi cdna ekspresi kedua gen terlihat pada Gambar 2. Berdasarkan visual hasil elektroforesis untuk gen aromatase menunjukkan pita spesifik dengan keberadaan dapat ditemukan pada jaringan otak dan kompleks AKG. Selain itu, terlihat bahwa pita gen aromatase dari jaringan otak lebih tebal dan bersih dibandingkan dengan yang berasal dari jaringan kompleks AKG. Hasil ini bukan berarti level ekspresi aromatase pada otak lebih tinggi dari kompleks AKG. Oleh karena itu, untuk menguji hasil kualitatif berupa pola pita tersebut dilakukan kuantifikasi terhadap mrna aromatase menggunakan teknik real-time PCR. Hasil analisis real-time PCR diperoleh nilai cycle threshold (C T ) gen aromatase dan β-actin yang diisolasi dari dua jaringan berbeda, yaitu otak dan kompleks AKG. Pengumpulan data dilakukan secara duplo (Tabel 1). (a) (b) (a) cdna β-actin, L = lader 1 kb, 1,3= AKG, 2,4= otak, (b) cdna aromatase Gambar 2 Pola pita cdna β-actin dan gen aromatase dari jaringan otak dan kompleks AKG penyu C. mydas Data C T yang diperoleh pada sampel penyu C.mydas yang diisolasi dari kedua jaringan menunjukkan perbedaan. Secara empiris, terlihat bahwa gen aromatase yang berasal dari jaringan otak terekspresi lebih tinggi dengan nilai rataan C T sebesar dibandingkan dengan nilai rataan C T yang berasal dari jaringan kompleks AKG (31.33). Artinya, aktivitas gen aromatase pada jaringan otak terekspresi lebih tinggi dibandingkan dengan jaringan kompleks AKG tukik. Untuk mengetahui apakah ada perbedaan di antara kedua nilai tengah tersebut, maka dilanjutkan dengan uji dua nilai tengah. Hasil analisis statistik uji t menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (p 0.01). Dengan demikian, untuk keperluan pengujian profil ekspresi mrna gen

26 10 aromatase pada tukik C.mydas dapat digunakan jaringan yang berasal dari jaringan otak maupun jaringan kompleks AKG melalui analisis real-time PCR. Tabel 1 Nilai cycle threshold (C T ) gen aromatase penyu hijau yang diinkubasi pada suhu feminin No Sampel jaringan Nilai cycle threshold (ct) Ulangan 1 Ulangan 2 Rerata 1 Aromatase kompleks AKG Aromatase otak β-actin kompleks AKG β-actin otak Pembahasan Aktivitas aromatase telah terdeteksi pada gonad, otak, hati, dan jaringan adiposa dari kebanyakan spesies vertebrata. Peranan enzim steroidogenik ini dalam penentuan seks dan diferensiasi jaringan bervariasi, sesuai dengan tahap perkembangan organisme. Sebagian besar penelitian tentang aromatase dan TSD pada reptil telah banyak dilakukan dalam mengukur dan membandingkan level aktivitas aromatase kompleks AKG dan otak pada stadium perkembangan embrional sebelum TSP dan selama TSP pada reptil, termasuk penyu yang diinkubasi pada dua suhu yang menghasilkan jantan dan betina. Data aktivitas aromatase beberapa reptil menunjukkan bahwa ada perbedaan aktivitas aromatase atau tingkat mrna aromatase yang berasal dari kompleks AKG selama TSP terjadi di antara kedua seks. Tingkat ekspresi mrna aromatase pada seks betina awalnya relatif rendah. Selanjutnya, peningkatan yang tajam pada stadia perkembangan lanjutan. Pada beberapa spesies, peningkatan secara nyata terjadi setelah TSP. Sebaliknya, pada spesies lain, terjadi menjelang akhir TSP. Jika hal ini merupakan pola dasar yang terjadi pada reptil dengan TSD, maka peningkatan aromatase yang tajam pada betina tidak dapat dikaitkan dengan penentuan seks, melainkan dengan diferensiasi ovarium karena terjadi setelah TSP pada beberapa spesies. Pada spesies burung, pola ekspresi aromatase serupa, yaitu meningkat secara tajam pada gonad betina selama diferensiasi ovarium (Smith et al.1997). Barlian et al. (2008) menyatakan bahwa gen aromatase gonad embrio penyu C. mydas yang diinkubasi pada kedua suhu inkubasi terdeteksi tipis di korteks dan medula gonad pada awal dan tengah TSP. Perbedaan kehadiran aromatase antara gonad yang diinkubasi pada suhu feminin dan suhu maskulin baru muncul pada TSP akhir. Pada gonad embrio yang diinkubasi pada suhu feminin, aromatase terdeteksi tebal di sitoplasma sel-sel di daerah korteks dan medula, sedangkan pada suhu maskulin aromatase terdeteksi tipis di sitoplasma sel-sel di daerah korteks dan medula. Selanjutnya dijelaskan bahwa perbedaan yang sangat nyata terlihat pada gonad embrio yang menetas, kehadiran aromatase di korteks dan medula semakin tebal pada suhu feminin, dan semakin tipis pada suhu maskulin. Berdasarkan hasil

27 pola kehadiran aromatase selama TSP pada gonad embrio penyu hijau dapat disimpulkan bahwa aromatase berperan dalam determinasi dan diferensiasi seks gonad embrio penyu hijau, namun bukan merupakan target langsung dari suhu. Diduga aromatase lebih berperan dalam diferensiasi gonad penyu hijau. Penelitian pada kura-kura T. scripta menunjukkan bahwa TSP dimulai pada stadium 15 dan berakhir pada stadium 19 perkembangan embrional pada suhu feminin. Suhu maskulin dimulai pada stadium 15, dan berakhir di sekitar stadium (Wibbels et al.1991). Selanjutnya dijelaskan bahwa tingkat mrna aromatase pada kompleks AKG terdeteksi selama TSP (stadium 15, 17, dan 19) dengan tidak ada perbedaan yang signifikan ekspresi mrna aromatase pada suhu yang menghasilkan betina dan jantan selama TSP. Namun, setelah TSP hingga menetas, tingkat ekspresi mrna aromatase pada betina secara signifikan lebih besar dibandingkan jantan. Beberapa studi reptil lainnya telah melaporkan hasil yang sama dengan penelitian ini. Studi aktivitas enzim aromatase dalam gonad-adrenal-mesonefros dari buaya, Crocodile porosus (Smith dan Joss 1994a,b) dan buaya, Alligator mississippiensis (Smith et al.1995) menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan antara suhu inkubasi yang menghasilkan jantan dan betina selama TSP. Akan tetapi, aktivitas enzim aromatase meningkat secara signifikan pada betina setelah TSP. Selain itu, hasilnya konsisten dengan tingkat mrna aromatase yang dilaporkan pada buaya selama dan setelah TSP (Gabriel et al.2001). Kecenderungan yang sama juga dilaporkan untuk tingkat mrna aromatase pada kura-kura M. Terrapin, yaitu tingkat mrna aromatase pada betina meningkat kali lipat menjelang TSP akhir (Jeyasuria dan Place 1998). Sebaliknya, tingkat mrna aromatase tidak terdeteksi pada suhu yang menghasilkan jantan TSP akhir. Profil ekspresi aromatase yang sama juga dilaporkan pada kura-kura E. orbicularis (Desvage dan Pieau 1992) dan penyu D. coriacea (Desvage et al.1993), yaitu adanya aktivitas enzim aromatase yang lebih tinggi pada gonad yang diinkubasi pada suhu yang menghasilkan betina selama TSP. Dengan demikian, aktivitas aromatase relatif rendah terlihat selama bagian awal dan/atau pertengahan TSP dan kemudian meningkat secara dramatis pada suhu yang menghasilkan betina mendekati TSP akhir. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa otak berperan penting dalam diferensiasi seksual pada spesies TSD. Transkripsi dimorfisme seksual dari gen aromatase telah dideteksi pada embrio kura-kura Malaclemys terrapin selama stadium awal determinasi seks, dengan lebih banyak transkripsi aromatase pada otak betina (Jeyasuria dan Place 1998). Selanjutnya dijelaskan bahwa selama pertengahan TSP, aktivitas aromatase meningkat pada otak jantan dengan levelnya lebih besar dibandingkan dengan otak betina. Willingham et al. (2000) mengukur aktivitas aromatase meningkat pada otak embrio kura-kura T. scripta jantan dan betina dengan level aktivitas pada betina lebih tinggi dari jantan pada TSP awal. Selanjutnya, aktivitas aromatase pada kedua seks menurun hingga TSP akhir. Crew et al. (2001) menyatakan bahwa secara putatif level aktivitas aromatase dari otak penyu Red-eared slider betina berbeda nyata (lebih tinggi) dengan level aktivitas aromatase otak di awal TSP. Aktivitas aromatase pada otak jantan dan betina menurun hingga menetas. Selanjutnya, hasil analisis hibridisasi in situ menunjukkan bahwa mrna aromatase terlokalisir pada nukleus periventrikulus hipotalamus. Hasil 11

28 12 ini menunjukkan bahwa pada spesies ini, otak sebagai tempat aromatase dalam merespons perubahan suhu inkubasi. Selain itu, otak menunjukkan aktivitas aromatase, dapat menginduksi perubahan pada sumbu/aksis neuro-endokrin untuk mengontrol produksi hormon seks gonadal steroid (estradiol). Distribusi aktivitas aromatase otak bersifat konservatif pada vertebrata karena konsentrasi tertinggi secara konsisten terletak di area otak depan yang diketahui mengontrol reproduksi dan tingkah laku reproduksi (Balthazart dan Ball 1998). Ikan teleost mengekspresikan level tertinggi aktivitas aromatase otak, yaitu kali lebih besar pada area hipothalamus preoptik dibandingkan mamalia (Callard et al.1988). Gabriel et al. (2001) menjelaskan bahwa ekspresi aromatase pada buaya A. mississippiensis telah dideteksi pada daerah otak sejak stadium paling awal TSP (stadium 20) hingga stadium penetasan. Hipotalamus secara siknifikan mempunyai ekspresi lebih tinggi dibandingkan dengan otak depan dan otak belakang pada kedua jenis kelamin selama perkembangan embrional. Sebaliknya, ekspresi pada daerah gonad pada kedua seks setelah TSP tidak berbeda nyata, dan ekspresinya meningkat tajam pada suhu inkubasi betina. Hal ini berarti, ekspresi aromatase dapat memicu sel gonad untuk menyekresikan estrogen yang berperan penting dalam diferensiasi ovarium pada buaya A. mississippiensis. Seiring dengan hasil penelitian di atas, terdapat bukti yang menunjukkan bahwa aromatase berperan dalam diferensiasi seksual spesies TSD baik yang berasal dari kompleks AKG dan otak. Milnes et al. (2002) membandingkan aktivitas aromatase di otak dan gonad embrio buaya pada kedua seks selama periode TSP. Hasil analisis menunjukkan aktivitas aromatase gonad tetap rendah selama tahap TSP awal pada kedua jenis kelamin dan meningkat di TSP akhir hanya pada suhu feminin. Aktivitas aromatase di otak meningkat sebelum diferensiasi gonad pada kedua jenis kelamin. Hasil ini menunjukkan bahwa aktivitas aromatase di otak tidak secara langsung bertanggung jawab untuk mengatur diferensiasi gonad. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa selama embriogenesis, suhu inkubasi dan lingkungan hormonal berpengaruh pada diferensiasi gonad beberapa reptil, termasuk penyu. Kesimpulan Pengukuran profil ekspresi gen aromatase pada penyu hijau dapat menggunakan jaringan otak.

29 13 3 BIOREPRODUKSI, MORFOMETRIK, DAN PERFORMA LOKOMOTORI PENYU LEKANG (Lepidochelys olivacea) YANG DIINDUKSI PADA SUHU INKUBASI BERBEDA Pendahuluan Penyu menghabiskan hampir seluruh hidupnya di laut sehingga menjadi sulit untuk memperoleh datanya. Setelah menetas, tukik akan meninggalkan pantai, lalu penyu kembali hanya untuk bersarang, dan berjemur (Musick dan Limpus 1997, Spotila et al.1997). Tahapan genting dalam perkembangan penyu dimulai dari peletakan telur oleh induk betina, periode inkubasi, orientasi, dan daya tahan tukik setelah menetas. Selama inkubasi, keberadaan tukik dipengaruhi oleh faktor-faktor biotik, seperti predasi (Eckrich dan Owens 1995), dekomposer mikroorganisme (Madden et al.2008), faktor-faktor abiotik, seperti suhu dan kelembapan (Ackerman 1997), kerapatan (Honarvar et al.2008), dan aliran gas respirasi (Wallace et al.2004). Dari semua faktor tersebut, suhu memegang peranan penting dalam perkembangan embrio (Miller 1985). Ketika diinkubasi pada suhu konstan, perkembangan embrio penyu laut berada dalam kisaran suhu yang toleran dari C hingga C, sedangkan jika di atas atau di bawah kisaran suhu tersebut, perkembangan embrio akan terganggu (Ackerman 1997). Tingkat keberhasilan tukik penyu lekang tinggi ketika telur diinkubasi pada suhu < 35 C dengan rataan suhu pivot 30.5 C (Valverde et al.2010). Variasi kondisi inkubasi buatan umumnya menghasilkan tukik dengan kualitas yang bervariasi. Karena itu, teknik inkubasi buatan mesti diformulasikan dengan menyediakan kondisi yang dapat menghasilkan keturunan dalam jumlah besar dan daya tahan yang tinggi selama periode neonatal (Phillips et al.1990). Proteksi sarang dilakukan dengan memindahkan telur dari sarang alami ke sarang semi alami untuk meningkatkan daya tetas dan secara potensial dapat meningkatkan populasi penyu laut (Mortimer 1999). Suhu inkubasi selama perkembangan embrional menentukan jenis kelamin gonadal penyu. Crews et al. (2001) menyatakan bahwa telur penyu Trachemys scripta yang diinkubasi pada tiga suhu yang berbeda (26, , dan 31 º C) menunjukkan bahwa pada suhu sarang rendah (26 º C) menghasilkan hanya jantan, dan pada temperatur sarang 31 º C hanya menghasilkan betina. Pada suhu intermediet ( º C) menghasilkan nisbah kelamin campuran, dengan meningkatnya suhu akan meningkatkan proporsi betina. Determinasi dan diferensiasi gonad selama embriogenesis berlangsung pada akhir sepertiga pertama tahapan perkembangan gonad, yaitu hari (Delmas et al. 2007). Berkaitan dengan nisbah kelamin yang dipengaruhi suhu inkubasi sarang, terdapat tiga pola, yaitu pola MF (Male Female), yaitu suhu sarang rendah menghasilkan jantan; pola FM (Female Male), yaitu suhu tinggi menghasilkan betina; dan pola FMF (Female Male Female), yaitu suhu

30 14 rendah dan tinggi menghasilkan betina, sementara suhu antara (intermediet) menghasilkan jantan. Pada semua pola, kedua jenis kelamin dihasilkan dalam proporsi sama pada suhu pivot dengan proporsi bervariasi pada rentang transisi suhu tersebut (Mrosovsky dan Pieau 1991, Ewert et al.1994). Selain menggunakan penetasan alami di pantai, penetasan telur penyu dapat dilakukan secara semialami maupun secara buatan menggunakan inkubator. Pada pemeliharaan alami, keberhasilan menetas di sarang alami lebih rendah ketimbang sarang semialami dan inkubator karena sangat bergantung pada kondisi eksternal pantai, seperti perubahan lingkungan, tingkat predasi tinggi, dan infeksi mikrob. Fakta ini menguatkan bukti bahwa teknik inkubasi semi alami dan inkubator merupakan cara yang tepat dalam membantu upaya konservasi dan budi daya penyu lekang. Durasi dan intensitas suhu inkubasi selama perkembangan embrional akan memberikan efek secara kumulatif terhadap fenotipe, yaitu diferensiasi seks, laju metabolisme (Spencer dan Janzen 2011), dan performa (Rowe 1997, Warner dan Shine 2006, Diaz-Paniagua dan Cuadroda 2003). Suhu inkubasi yang relatif sama pada lapisan atas dan bawah sarang akan menghasilkan embrio yang menetas serentak, sedangkan adanya perbedaan suhu lapisan atas dan bawah sarang akan menghasilkan tukik yang berbeda waktu menetas. Pada lapisan atas sarang biasanya memiliki suhu yang lebih panas sehingga membantu akselerasi perkembangan embrio, dan dengan demikian mengurangi waktu hingga menetas. Du et al. (2009) menyatakan bahwa pada suhu yang lebih panas akan menginduksi kecepatan kontraksi jantung sehingga akan mengakselerasi perkembangan embrio termasuk diferensiasi seks. Berkaitan dengan performa fenotipe penyu, kebugaran reproduksi betina penyu bergantung pada pemilihan sarang, kualitas, dan waktu meletakkan telur di sarang (Miller 1997). Performa tukik yang ditetaskan dipengaruhi oleh karakter biologi individu (tingkat pertumbuhan, usia dewasa kelamin, dan makanan), ukuran populasi, dan fitur demografis (struktur umur dan ukuran, rasio jenis kelamin, dan daya tahan hidup). Masing-masing karakter ini, secara terpisah atau simultan berespons terhadap perubahan kondisi lingkungan. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis pengaruh suhu inkubasi pada fenotipe tukik penyu lekang, yaitu bioreproduksi, morfometrik, frekuensi ayunan flipper, dan kecepatan membalikkan tubuh sebagai karakter-karakter tukik. Karakter tersebut secara ekologi penting dan potensial dapat memberikan efek kumulatif pada ukuran populasi dan konservasi penyu lekang di masa datang. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai data dasar untuk pengelolaan dan konservasi populasi penyu lekang di perairan Taman Buru Bena, Pulau Timor. Bahan dan Metode Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2013 sampai September 2013 di Kawasan Taman Buru Bena, Pulau Timor, NTT untuk survei lokasi dan koleksi sampel telur penyu lekang. Sampel telur sebanyak 99 butir segera dipindahkan

31 15 secara acak ke dalam kotak telur yang telah disediakan sebelumnya untuk menghindari penurunan viabilitas telur. Selanjutnya telur dibawa ke laboratorium (kurang dari 3 x 24 jam) dari oviposisi dan kemudian diinkubasi pada inkubator di laboratorium untuk keperluan analisis lanjutan. Telur diinkubasi dalam inkubator buatan dengan induksi suhu pada suhu C yang akan menghasilkan seks betina, dan pada suhu C yang menghasilkan seks jantan (Shoemaker dan Crews 2009, Barlian et al.2008). Suhu ruang inkubator dan suhu sarang dimonitor setiap dua kali setiap hari pengamatan. Setelah menetas, tukik dipelihara pada suhu ruang (25 C) di dalam akuarium kaca yang diisi air laut dengan kedalaman sekitar 3 cm dan diberi makanan ikan segar dan pakan komersial (crumble) setiap hari. Jumlah tukik yang menetas pada suhu feminin sebanyak 21 ekor, sedangkan pada suhu maskulin sebanyak 11 ekor. Variabel bioreproduksi yang diukur meliputi periode inkubasi, daya tetas, laju pertumbuhan embrio. Pertumbuhan embrio diukur dengan cara menghitung pertambahan bobot embrio penyu (gram/hari) sesuai tahap perkembangan embrional. Tahap perkembangan embrio penyu lekang diukur setelah embrio memasuki tahap organogenesis yang dimulai dari periode TSP, yaitu sepertiga dari periode inkubasi pada suhu feminin (hari ke-17 periode inkubasi), dan pada suhu maskulin (hari ke-24 periode inkubasi). Untuk mengetahui pengaruh suhu inkubasi pada pertumbuhan embrio pada stadia perkembangan dilakukan analisis regresi polinomial dengan persamaan: Yi = bixi 2 + bixi + bo, Di mana, Yi = pertumbuhan embrio penyu lekang (g) Xi = stadia perkembangan embrio penyu lekang bo = Konstanta bi = koesifien regresi, pengaruh suhu inkubasi pada stadia perkembangan embrio Periode inkubasi ialah, selisih waktu telur menetas dengan waktu telur diinkubasi (hari). Miller (1999) mendefinisikan periode inkubasi sebagai selang waktu antara peletakan telur sampai munculnya sebagian besar tukik hasil penetasan di permukaan sarang. Biasanya periode inkubasi dihitung ketika sebagian besar tukik muncul di permukaan sarang. Daya tetas telur dihitung dengan menggunakan rumus yang dinyatakan oleh Nuitja (1992) : H = T / F x 100 Di mana, H = Daya tetas T = Jumlah telur yang menetas F = Jumlah telur yang diinkubasi Pengukuran morfometrik embrio dan tukik dilakukan terhadap 9 karakter (Mickelson dan Downie 2010), yaitu panjang karapas (PKs), lebar karapas (LKs), panjang plastron (PP), lebar plastron (LP), panjang lengan depan (PLD), panjang

32 16 lengan belakang (PLB), panjang kepala (PK), lebar kepala (LK), dan panjang leher (PL) seperti yang tersaji pada Gambar 3. Performa tukik diukur meliputi frekuensi ayunan lengan depan (flipper) dan kemampuan membalikkan tubuh (Maulany et al.2012). Hasil pengukuran morfometrik dilanjutkan dengan analisis statistik berupa uji t Student s untuk membandingkan ukuran morfometrik tukik yang diinkubasi pada kedua suhu. Gambar 3 Pengukuran morfometrik tukik dilakukan terhadap 9 karakter, yaitu panjang karapas (PKs), lebar karapas (LKs), panjang plastron (PP = c-c), lebar plastron (LP =d-d), panjang lengan depan (PLD), panjang lengan belakang (PLB), panjang kepala (PK), Lebar kepala (LK), dan panjang leher (PL) (Mickelson dan Downie 2010) Hasil Setelah betina meletakkan telur pada sarang yang dibuatnya, 99 butir telur diambil dan dipindahkan ke dua boks inkubasi. Kedalaman sarang ± 30 cm, masingmasing boks inkubasi diletakkan telur penyu sebanyak 51 butir yang diinkubasi pada suhu feminin (30-33 C) dengan kisaran suhu ruangan (inkubator) secara konstan, yakni C, sementara sisanya sebanyak 48 butir telur diinkubasi pada suhu maskulin (26-27 C) dengan suhu ruangan (inkubator) secara konstan, yakni C. Hasil penelitian menunjukkan bahwa periode inkubasi telur pada suhu feminin berkisar hari dengan tingkat keberhasilan penetasan telur sebesar 83.33%. Telur yang diinkubasi pada suhu maskulin berkisar hari dengan daya tetas sebesar 61.11%. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara empiris pertumbuhan

33 17 embrio penyu lekang yang diinkubasi pada suhu feminin lebih besar dari suhu maskulin (Gambar 4). Gambar 4 Pertumbuhan embrio penyu lekang (g) yang diinkubasi pada dua suhu yang berbeda Pertumbuhan embrio pada perlakuan suhu feminin mengikuti persamaan Y f = 0,016X 2-0,542X + 4,636 (R 2 = 0,968), sedangkan pada perlakuan suhu maskulin mengikuti persamaan Y m = 0,009X X+5,441(R 2 =0,922) seperti tersaji pada Gambar 5. Gambar 5 Slop pertumbuhan embrio penyu lekang (g) yang diinkubasi suhu feminin (a), dan suhu maskulin (b)

34 18 Pengukuran Bioreproduksi, performa lokomotori, dan morfometri penyu lekang ditunjukkan secara berurutan pada Tabel 2, 3, dan 4. Hasil pengujian perbandingan rataan 10 karakter morfometrik tukik yang diinkubasi pada suhu berbeda menunjukkan adanya perbedaan nyata (p<0.05) untuk 7 karakter secara berturutturut, yaitu bobot badan (BB), lebar karapas (LKs), panjang plastron (PP), lebar plastron (LP), panjang lengan depan (PLD), panjang lengan belakang (PLB), dan panjang leher (PL). Hal yang sama juga ditunjukkan pada ukuran relatif panjang leher relatif, dan postur tubuh menunjukkan berbeda nyata p<0.05), sedangkan ukuran relatif bentuk kepala tidak berbeda nyata (p >0.05). Untuk karakter lainnya, yaitu karakter panjang karapas (PKs), panjang kepala (PK), dan lebar kepala (LK), tidak ditemukan perberdaan (p >0.05). Hasil analisis statistik menunjukkan frekuensi ayunan flipper tukik yang diinkubasi suhu feminin (63.02±6.52 kali per menit) berbeda nyata (p<0.01) dibandingkan dengan tukik yang diinkubasi pada suhu maskulin (47.41±1.89 kali per menit). Demikian pula ukuran panjang flipper relatif berbeda nyata (p<0.01), sedangkan kecepatan membalikkan tubuh (KB) tukik pada kedua suhu inkubasi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0.05). Tabel 2 Bioreproduksi penyu lekang yang diinduksi pada dua suhu inkubasi Variabel Feminin C ( ±SD) Suhu inkubasi Maskulin C ( ±SD) Uji statistik Periode inkubasi (hari) 50.20± ±0.70 p=0.00 Daya tetas (%) Tabel 3 Performa lokomotori tukik penyu lekang yang diinduksi pada dua suhu inkubasi Suhu inkubasi Variabel Feminin Maskulin C C ( ±SD) ( ±SD) Uji statistik Frekuensi ayunan flipper (kali/menit) 63.02± ±1.89 p= 0.00 Kecepatan membalikkan tubuh (detik) 2.34± ±1.01 p=0.48 tn Keterangan : tn = tidak berbeda nyata

35 19 Tabel 4 Fenotipe tukik penyu lekang yang diinduksi pada dua suhu inkubasi Variabel Feminin C ( ±SD) Suhu inkubasi Maskulin C ( ±SD) Uji statistik Bobot badan (g) 17.77± ±1.26 p=0.02 Panjang karapas (cm) 3.73± ±0.14 p=0.79 tn Lebar karapas (cm) 3.22± ±0.15 p=0.00 Panjang plastron (cm) 2.99± ±0.16 p=0.00 Lebar plastron (cm) 2.59± ±0.11 p=0.00 Panjang lengan depan (cm) 3.55± ± 0.1 p=0.00 Panjang lengan belakang (cm) 1.61± ±0.11 p=0.01 Panjang kepala (cm) 1.45± ±0.04 p=0.84 tn Lebar kepala (cm) 0.87± ±0.00 p=0.12 tn Panjang leher (cm) 0.93± ±0.10 p=0.02 Panjang leher relatif 0.64± ±0.07 p=0.02 Bentuk kepala 0.60± ±0.02 p=0.06 tn Postur tubuh 0.86 ± ±0.03 p=0.00 Panjang flipper relatif 0.95± ±0.03 p=0.00 Keterangan : tn = tidak berbeda nyata Pembahasan Telur yang diinkubasi pada suhu feminin mempunyai periode inkubasi yang lebih singkat (49-52 hari) daripada telur yang diinkubasi pada suhu maskulin (71-73 hari). Panjang periode inkubasi berbeda di antara kedua suhu inkubasi dan mempunyai korelasi negatif dengan peningkatan suhu inkubasi (Tabel 2). Hasil penelitian ini sejalan dengan Mrosovsky et al. (1999) dan Marcovaldi et al. (1997) yang menyatakan bahwa lama inkubasi menjadi lebih singkat pada sarang yang terpapar suhu lebih tinggi. Sebaliknya, lama inkubasi menjadi lebih panjang jika sarang terpapar suhu yang lebih rendah. Suhu inkubasi telur penyu yang ideal agar embrio tumbuh dengan baik berkisar antara C. Masa inkubasi bergantung pada suhu pasir di sekitar sarang. Marquez (1990) menyatakan bahwa suhu optimal untuk penetasan telur penyu sisik secara semi alami adalah C. Jika suhu selama masa inkubasi jauh lebih rendah atau lebih tinggi dari suhu optimal tersebut maka hasil penetasan akan kurang dari 50%. Hasil penelitian menunjukkan ada korelasi negatif antara suhu inkubasi dengan durasi periode inkubasi. Jayasuriya et al. (1994) melaporkan penyu Malaclemys terrapi yang diinkubasi pada suhu 31 C menghasilkan tukik betina dengan lama inkubasi 45 hari, sedangkan telur yang diinkubasi pada suhu 27 C menghasilkan tukik jantan dengan lama inkubasi 60 hari.

36 20 Hasil analisis regresi polinomial pertumbuhan embrio yang diinkubasi pada kedua suhu inkubasi (Gambar 5) menunjukkan adanya perbedaan nilai koefisien regresi (b) pada masing-masing suhu inkubasi. Nilai koefisien regresi pada suhu inkubasi feminin (0,016X 2-0,542X, R 2 = 96.80%) lebih besar dari koefisien regresi pada suhu inkubasi maskulin (0,009X X, R 2 = 92,20% ). Hal ini berarti bahwa pertumbuhan embrio yang diinkubasi pada suhu feminin selama tahap perkembangan embrio lebih cepat dibandingkan embrio yang diinkubasi pada suhu maskulin. Secara biologi, tingginya pertumbuhan embrio pada suhu feminin menunjukkan kuning telur sebagai cadangan energi lebih cepat dikonversi menjadi jaringan selama perkembangan embrionik. Secara umum, pertumbuhan embrio yang diinkubasi pada suhu feminin terlihat lebih cepat dibandingkan dengan embrio yang diinkubasi pada suhu maskulin selama tahap perkembangan embrio. Jika dikaitkan dengan periode inkubasi, terlihat bahwa pada suhu feminin (30-33 C), pertumbuhan embrio lebih cepat dengan periode inkubasi lebih pendek (49-52 hari), dan sebaliknya pada suhu inkubasi maskulin (26-27 C), pertumbuhan embrio lebih lambat dengan periode inkubasi lebih panjang (71-73 hari). Durasi embriogenesis yang lebih pendek dan laju pertumbuhan embrio penyu lebih cepat disebabkan tingkat metabolisme lebih tinggi pada suhu feminin dibandingkan dengan telur penyu yang diinkubasi pada suhu maskulin (Packard dan Packard 1988). Adanya pola pertumbuhan yang lebih tinggi pada embrio yang diinkubasi pada suhu feminin akan memengaruhi ukuran morfometrik tukik yang akan dihasilkan. Pengukuran 10 karakter morfometrik tukik penyu lekang dilakukan dengan pengukuran absolut. Pertimbangannya, tukik berasal dari satu sarang, memiliki umur yang sama, mudah diaplikasi untuk dimorfisme seks pada sarang alami. Pengukuran absolut ini dilakukan segera setelah tukik ditetaskan. Berdasarkan pengukuran tersebut ditemukan adanya tumpang tindih ukuran karakter morfometrik pada kedua suhu inkubasi, kecuali panjang lengan depan (PLD). Hasil analisis statistik pada Tabel 1, menunjukkan bahwa bobot badan tukik dan 6 karakter morfometrik tukik berbeda nyata di antara kedua suhu inkubasi. Demikian pula, pada pengukuran panjang leher relatif, panjang flipper relatif, dan postur tubuh berbeda tukik yang diinkubasi pada suhu feminin lebih besar dari tukik yang diinkubasi pada suhu maskulin. Artinya, bobot badan tukik, 6 karakter morfometrik, dan ketiga ukuran relatif tersebut dapat dijadikan karakter pembeda tukik yang diinkubasi pada kedua suhu tersebut. Berdasarkan pengukuran morfometri panjang lengan depan (PLD) tukik menunjukkan perbedaan signifikan di antara kedua suhu inkubasi. Perbedaan inilah yang mengakibatkan perbedaan dalam kecepatan mendayung, yang ditunjukkan pada kecepatan mendayung (power stroke) dari flipper tukik yang berbeda pada kedua suhu inkubasi. Rendahnya frekuensi ayunan lengan depan pada tukik yang diinkubasi pada suhu maskulin (26-27 C) diduga berkaitan dengan meningkatnya efisiensi konversi cadangan energi (kuning telur) pada jaringan akibat lamanya periode inkubasi dan durasi embriogenesis penyu lekang yang lebih panjang. Kondisi ini berdampak langsung pada berkurangnya ketersediaan energi pada tukik yang

37 ditetaskan dan akan mengurangi frekuensi ayunan lengan depan (Packard dan Packard 1988). Pada penelitian ini juga dilakukan perbandingan performa tukik pada kedua suhu inkubasi. Pada suhu feminin, frekuensi ayunan flipper lebih banyak (63.02±6.52) dibandingkan dengan tukik yang ditetaskan pada suhu maskulin (47.41±1.89). Hal yang sama juga terlihat pada ukuran flipper yang lebih panjang pada suhu feminin. Demikian juga panjang flipper relatif menunjukkan bahwa tukik yang ditetaskan pada suhu feminin memiliki ukuran relatif yang lebih besar dibandingkan dengan tukik yang ditetaskan pada suhu maskulin. Gyuris (2000) dan Pilcher et al. (2000) menyatakan bahwa performa lokomotori penyu hijau adalah faktor utama dalam menentukan peluang penyu untuk bertahan hidup, yaitu pada periode saat menetas dan muncul dari sarang hingga mencapai pantai perairan yang lebih dalam. Tukik penyu hijau yang lebih besar memiliki tingkat kelangsungan hidup yang tinggi karena kurang rentan dimangsa predator (Gyuris 2000). Kemampuan berenang yang cepat berkaitan dengan ukuran flipper, karena tukik lebih besar memiliki tungkai yang lebih panjang dan melangkah lebih cepat (Janzen et al.2000). Booth (2006) menyatakan bahwa ukuran telur berkorelasi dengan ukuran flipper. Hal ini disebabkan pada suhu inkubasi maskulin, periode inkubasi lebih panjang dan lebih banyak kuning telur dikonversi menjadi jaringan tukik sehingga menghasilkan ukuran tubuh lebih besar. Akan tetapi, tukik yang ditetaskan memiliki performa berenang yang lebih lambat karena cadangan energi yang berasal dari kuning telur yang mesti disimpan justru telah dikonversi untuk proses organogenesis (Booth dan Astil 2001). Transformasi dari zigot ke tukik diperpanjang oleh kondisi dingin karena suhu mengatur tingkat aktivitas kimia, termasuk yang berkontribusi terhadap tingkat metabolisme secara keseluruhan (Hoegh-Guldberg dan Pearse 1995). Berkaitan dengan performa berenang, hasil pengujian laboratorium pada tukik penyu hijau dalam air laut pada beberapa suhu inkubasi, menunjukkan perbedaan yang nyata, yaitu tukik dari telur diinkubasi pada 25.5 C dan 26 C memiliki frekuensi kecepatan lengan depan mendayung (power stroke) dan daya tahan (survival) yang lebih rendah dari tukik yang diinkubasi pada 28 C dan 30 C. Perbedaan ini disebabkan oleh kelelahan otot-otot tukik yang lebih cepat pada suhu inkubasi rendah (Burgess et al.2006). Pada kebanyakan organisme, ukuran tubuh berkorelasi positif dengan sifat yang mungkin berhubungan dengan kebugaran (Congdon et al.1999) dan kelangsungan hidup (Janzen et al.2000). Berkaitan dengan ukuran populasi penyu di alam, dapat dikatakan bahwa suhu inkubasi memengaruhi kesempatan kelangsungan hidup tukik saat memasuki laut bebas melalui pengaruhnya pada jumlah kuning telur maternal yang dikonversi menjadi jaringan selama perkembangan embrio. Tukik yang dihasilkan pada suhu maskulin masih memiliki cadangan energi yang cukup, sehingga saat tukik segera memasuki laut lepas pada awal kehidupannya sebelum memperoleh makanan, memiliki peluang yang lebih besar untuk bertahan hidup. Pada tukik yang dihasilkan pada suhu feminin, dengan laju pertumbuhan yang tinggi dan memiliki ukuran flipper yang lebih panjang serta frekuensi ayunan flipper yang lebih banyak, memungkinkan 21

38 22 tukik untuk dapat terhindar dari predator saat memasuki laut lepas, sehingga ukuran populasi penyu di alam akan meningkat. Kesimpulan 1. Induksi suhu inkubasi memengaruhi biologi reproduksi penyu lekang. Telur yang diinduksi dengan suhu feminin (30-33 C) menunjukkan periode inkubasi yang lebih singkat, daya tetas, dan pertumbuhan embrio yang lebih tinggi, dibandingkan dengan telur yang diinkubasi suhu maskulin (26-27 C). 2. Bobot badan tukik, 6 ukuran morfometrik (panjang lengan depan, lebar karapas, panjang dan lebar plastron, panjang lengan depan dan lengan belakang, frekuensi ayunan flipper yang lebih banyak, dan panjang leher), dan 3 ukuran relatif (ukuran relatif panjang leher relatif, panjang flipper relatif, dan postur tubuh) dapat dijadikan karakter pembeda antara tukik penyu lekang betina dan jantan. 3. Suhu inkubasi feminin memberikan respons yang terbaik untuk bioreproduksi, morfometrik, dan performa lokomotori tukik penyu lekang.

39 23 4 PROFIL EKSPRESI SEJUMLAH GEN DETERMINASI SEKS PENYU LEKANG YANG DIINDUKSI DENGAN SUHU INKUBASI BERBEDA Pendahuluan Berdasarkan fakta yang diperoleh dari penelitian seksing pada kelas reptilia, salah satu tantangan utama dalam studi spesies TSD adalah menemukan cara sederhana untuk menentukan jenis kelamin juvenil yang muncul dari sarang alami dan menaksir rasio jenis kelamin. Untuk itu, pendekatan penentuan seksual pada skala laboratorium mesti dicoba untuk ekstrapolasi hasil ekperimen laboratorium ke habitat alami. Pada spesies TSD, terutama penyu, tidak ada metode yang mudah untuk menentukan jenis kelamin tukik. Juvenil tidak memiliki karakter dimorfisme seksual. Oleh karena itu, salah satu cara yang tepat menentukan fenotipe seksual adalah dengan metode invasif, yaitu dengan melakukan pembedahan untuk melihat secara langsung dari morfologi gonad embrio. Informasi tentang laju keberhasilan penetasan dan model penentuan seks merupakan faktor yang turut menentukan keberhasilan dan strategi konservasi penyu. Aplikasi teknik inkubasi secara alami selalu menghasilkan nisbah kelamin yang sulit ditentukan. Padahal, untuk menunjang keberhasilan usaha konservasi, terutama bagi spesies yang terancam punah atau endemis, maka pengaturan nisbah kelamin keturunan yang dipengaruhi oleh suhu menjadi salah satu faktor yang perlu diperhatikan. Determinasi seks pada embrio vertebrata merupakan hasil dari perkembangan testis atau ovari. Pada kebanyakan mamalia, gen SRY (Sex determining region Y chromosome) yang terpaut kromosom Y menginisiasi perkembangan testikular dengan mengarahkan diferensiasi sel-sel sertoli dan mengorganisasi korda seminiferus. Sebaliknya, kontrol molekuler perkembangan ovarium termasuk semua sel germinal primordial pada stadium awal meiosis diikuti dengan fragmentasi korda seks primitif di sekitar sel-sel germinal dan mengorganisasikannya menjadi folikel primordial (Sinclair et al.1990, Koopman et al.1991). Penelusuran literatur menunjukkan sejumlah gen yang berperan dalam jalur penentuan seks pada mamalia telah diidentifikasi pada gonad dari vertebrata lainnya, yaitu gen SF-1, Dmrt1, Sox9, Mis, Dax1, WT1, Wnt4, FoxL2, dan Rspond 1 telah ditemukan pada ikan, amfibia, unggas, dan reptil (Pieau et al.2001, Rhen and Schroeder 2010). Hingga saat ini, mekanisme kontrol gen dalam determinasi seks hewan TSD telah diketahui dengan lebih baik. Pada kura-kura Trachemys scripta, terdapat sejumlah gen yang telah dikarakterisasi dalam hubungannya dengan periode sensitif suhu, yaitu SF-1, Wilm s tumor gene 1(Wt1), Dmrt1, Sox9, Sox8, AMH, dan aromatase (Gajare dan Deshmukh 2010, Humphrey dan Capel 2005, Ramsey et al.2007). Pada penyu L. olivacea dengan menggunakan RT-PCR, profil ekspresi gen Dax1, Dmrt1, dan Sox 9 secara simultan pada gonad embrio yang diinkubasi pada suhu maskulin dan suhu feminin berkorelasi dengan determinasi seks selama dan setelah TSP (Torres et al.2002). Hal yang sama juga dilakukan oleh Torres et al.

40 24 (2001) menggunakan gen Sox9 untuk menentukan waktu penurunan regulasi (downregulation) dan determinasi seks betina pada penyu L. olivacea. Protein Sox9 diekspresikan pada stadium di sel medula gonad embrio yang diinkubasi pada suhu maskulin dan suhu feminin. Meskipun demikian, pada suhu feminin, ekspresi protein Sox9 menurun pada stadium 25, dan tidak terekspresi pada stadium 26. Artinya, pada suhu maskulin, stadium 24 mempertahankan ekspresi protein Sox9, sedangkan stadium 26 merupakan periode genting regulasi Sox9 yang dipengaruhi oleh suhu. Pada suhu feminin, jalur determinasi jenis kelamin betina mengalami penurunan regulasi (down regulation) Sox9 pada gonad betina yang terjadi pada hari kedua stadium 25. Pada tahap penelitian ini dilakukan pengujian profil ekspresi sejumlah gen determinasi seks penyu lekang, yaitu aromatase, SF-1, dan Rspond 1. Hasil penelitian isolasi dan ekstraksi gen aromatase pada penyu hijau sebagai salah satu gen target menunjukkan bahwa gen aromatase dapat diekspresikan dari jaringan otak dan kompleks AKG dan tidak menunjukkan perbedaan yang siknifikan (p> 0.01). Hal ini sejalan dengan penelitian D'Cotta et al. (2001) yang menyatakan distribusi gen aromatase terdapat di beberapa jaringan, ekspresi dan aktivitas aromatase dapat diubah oleh suhu, musim, dan sejumlah hormon steroid. Oleh karena itu, penelitian pendahuluan pada penyu hijau tersebut dijadikan sebagai dasar untuk mengukur ekspresi ketiga gen tersebut pada penyu lekang dengan menggunakan mrna yang berasal dari jaringan otak. Penelusuran literatur lebih lanjut belum menemukan informasi secara simultan mengenai profil ekspresi ketiga gen, yaitu aromatase, SF-1, dan Rspond 1 yang dilakukan pada penyu lekang dengan menggunakan jaringan otak dengan teknik real time-pcr. Oleh karena itu, pada akhir penelitian diharapkan diperoleh profil ekspresi ketiga gen tersebut secara kuantitatif sehingga dapat memberikan informasi ilmiah dalam mempertegas identifikasi jenis kelamin secara noninvasif dan bermanfaat dalam manajemen konservasi populasi penyu lekang yang terancam punah. Materi dan Metode Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2013 sampai Mei 2014 di Kawasan Taman Buru Bena, Pulau Timor. Tahapan inkubasi telur dilakukan di inkubator, sedangkan pengukuran ekspresi gen dilakukan di Laboratorium Biologi dan Molekuler PSSP-LPPM IPB Bogor. Penentuan stadium perkembangan embrio penyu lekang didasarkan pada periode selama dan setelah periode sensitif terhadap suhu inkubasi (TSP), yaitu stadia perkembangan embrio 23 s/d 25 sebagai periode selama TSP dan stadia perkembangan embrio sebagai periode setelah TSP (Torres et al. 2002, Shoemaker dan Crews 2009). RNA total diekstraksi dari jaringan otak embrio penyu lekang yang diinkubasi pada suhu feminin (30-33 C) dan suhu maskulin (26-27 C). RNA total diekstraksi menggunakan RNeasy kit (Qiagen). Konsentrasi RNA diukur dengan nanodrop.

41 25 Kuantifikasi RT-PCR dan Real time PCR RNA total diekstraksi menggunakan kit RNeasy Qiagen. Konsentrasi RNA diukur dengan nanodrop. Reaksi RT-PCR dilakukan dengan cara dua langkah (two steps) kit RT-PCR (Invitrogen). Untuk reaksi pemanjangan dengan primer oligo(dt) 20, dntps 10 µm, dan dh 2 O masing-masing sebanyak 1 µl dengan jumlah RNA total yang diisolasi dari otak dan AKG tukik penyu hijau sebanyak 10µL. Campuran reaksi diinkubasi pada suhu 65 C selama 5 menit. Selanjutnya sintesis cdna dengan campuran 10 x RT buffer 2 µl, 25µM MgCl 2 4 µl, 0.1 M DTT sebanyak 2 µl, RNase out, dan Superscript III RT(Invitrogen) masing-masing 1 µl. Inkubasi dilanjutkan pada suhu 50 C selama 50 menit dan diakhiri pada suhu 85 C selama 5 menit. Selanjutnya campuran reaksi tersebut ditambahkan RNAse H sebanyak 1 µl sehingga diperoleh volume akhir sebanyak 24 µl dan diinkubasi pada suhu 37 C selama 20 menit. Amplifikasi masing-masing gen target dilakukan dengan menggunakan dua primer, yaitu qmaromatase forward (5 -TGGGTTACAGTGCATTGGC-3 ) dan qmaromatase reverse (5 -GAGGCCTGGACCAGACAA-3 ), Sf-1 forward (5 - CTTGCATTCGCTCCAGGT-3 ) dan SF-1 reverse (5 -CTGCTGCAGAACTGCTG GAG-3 ), dan Rspond 1 forward (5'-TCGGTGTTCGCAATCCAGAC-3'), reverse (5'-TTTGTGCAAAAGTTTCGGCTG-3'). Untuk kontrol ekpresi, dilakukan amplifikasi mrna ß-actin menggunakan forward: 5 GCTCGTCGTCGACCACG GCTC-3 dan reverse primer: 5 -CAAACATGATCTGGGTCATCTTCTC-3. Untuk kontrol ekpresi, dilakukan amplifikasi mrna ß-actin menggunakan sense primer : 5 GCTCGTCGTCGACCACGGCTC-3 dan antisense primer: 5 -CAAACATGA TCTGGGTCATCTTCTC-3 dengan produk PCR 353 bp. Campuran reaksi yang digunakan untuk amplifikasi PCR sebagai berikut : forward dan reverse primer masing-masing gen target sebanyak 1 µl, Kappa HS Ready Mix (Kappa) sebanyak 12,5 1 µl, dh 2 O sebanyak 8 µl, dan cetakan cdna sebanyak 2,5 µl untuk gen target. Amplifikasi gen target terhadap cdna menggunakan mesin PCR Verity (Applied Bio system), dilakukan dengan kondisi sebagai berikut : denaturasi awal pada suhu 94 C selama 5 menit, amplifikasi dilakukan sebanyak 40 siklus terdiri atas denaturasi pada suhu 94 C selama 30 detik, annealing pada suhu 55 C (gen aromatase dan ß-actin); 52 C (gen SF-1); 56 C(gen Rspond1) selama 30 detik, ekstensi pada suhu 72 C selama 30 detik, dan diakhiri dengan final ekstensi pada suhu 72 C selama 7 menit. Produk PCR dielektroforesis dengan menggunakan gel agarosa 1.8% yang mengandung ethidium bromide dalam buffer TAE 1x pada voltase 100 selama 45 menit. Selanjutnya pita PCR divisualisasikan di bawah mesin UV gel doc.(biored). Profil ekspresi gen dikuantifikasi menggunakan SYBR Green I dye (Biored) dan dijalankan dengan mesin Real time PCR iq detection system (Biored). Proses amplifikasi dilakukan sebanyak 40 siklus yang terdiri atas denaturasi awal dilakukan pada suhu 94 C selama 5 menit, dilanjutkan dengan annealing, yaitu 55 C untuk gen aromatase dan ß-actin, 52 C untuk gen SF-1,dan 54 C untuk gen Rspond 1, masingmasing selama 30 detik. Proses ekstensi dilakukan pada suhu 72 C selama 30 detik dan 72 C selama 1 menit dan diakhiri dengan final ekstensi pada suhu 72 C selama 7

42 26 menit. Koleksi data dilakukan pada tahap ekstensi setiap sampel. Setiap sampel dijalankan secara duplo (duplikasi) dan nilai tengah cycle treshold yang diperoleh digunakan untuk menganalisis ekspresi gen. Cycle threshold adalah siklus di mana nilai fluorosence mulai meningkat dan terdeteksi pada base line grafik yang menunjukkan jumlah amplikon yang teramplifikasi pada siklus tersebut. Kriteria nilai C T yang diperoleh pada setiap gen, yaitu nilai cycles threshold yang diperoleh berbanding terbalik dengan level ekspresi gen. Artinya, pada stadia perkembangan embrio yang sama, level ekspresi gen target (aromatase, SF-1, dan Rspond-1) yang tinggi jika memiliki nilai C T yang lebih kecil. Sebaliknya, pada stadia perkembangan embrio yang sama, nilai C T yang lebih besar memiliki level ekspresi gen target yang lebih rendah pada kedua suhu inkubasi. Analisis ragam (ANOVA) digunakan untuk membandingkan level ekspresi mrna ketiga gen determinasi seks pada berbagai stadia perkembangan embrional yang diinkubasi pada suhu maskulin dan suhu feminin. Untuk membandingkan level mrna pada suhu inkubasi feminin dan maskulin pada berbagai stadia perkembangan embrional digunakan uji t Student menggunakan software Minitab version 16 ( Hasil Profil ekspresi gen aromatase, SF-1, dan Rspond1 pada otak embrio yang diinkubasi pada suhu maskulin dan suhu feminin ditunjukkan secara berturut-turut pada Gambar 6, 7, dan 8. Untuk menganalisis pola ekspresi gen aromatase, SF-1, dan Rspond1 selama determinasi seks dan periode diferensiasi seks, individu yang diamati dibagi menjadi kelompok dengan ekspresi gen tinggi dan rendah berdasarkan metode yang digambarkan sebelumnya, yaitu telur yang diinkubasi pada kedua suhu. Pola ekspresi ketiga gen determinasi seks tersebut dibandingkan antara suhu inkubasi, dengan ekspresi gen yang diharapkan tinggi pada betina (aromatase dan Rspond1) dan ekspresi gen yang tinggi pada jantan (SF-1). Selain itu, profil ekspresi juga dibandingkan di antara stadia perkembangan pada kedua suhu inkubasi. Profil ekspresi gen aromatase terekspresi pada semua stadium perkembangan embrio untuk kedua suhu inkubasi, dengan intensitas yang berbeda. Pada stadia perkembangan embrio selama TSP ( stadia 23-24), secara empiris terlihat ekspresi gen aromatase pada suhu maskulin lebih tinggi, sebaliknya pada stadia perkembangan embrio 25-27, ekspresi gen aromatase suhu maskulin menunjukkan penurunan secara berturut-turut (Gambar 6). Hasil analisis statistik menunjukkan tidak berbeda nyata (ANOVA, p = 0.331) ekspresi gen aromatase pada kedua suhu inkubasi. Hasil yang sama juga terlihat ketika membandingkan level mrna aromatase antara periode selama TSP (stadia 23-25) dengan setelah TSP (stadia 26-27) pada kedua suhu inkubasi ( p = 0.335). Level mrna aromatase setelah TSP (stadia 26-27) periode perkembangan embrio berbeda nyata ( p = 0.028) pada stadia pada kedua suhu inkubasi.

43 27 Gambar 6 Profil ekspresi gen aromatase (C T ) pada tahapan embrional penyu lekang Analisis real time-pcr gen SF-1 ditunjukkan pada Gambar 7. Fragment 126 bp gen SF-1 dideteksi pada jaringan otak penyu lekang pada semua stadium perkembangan embrio dan pada kedua suhu inkubasi. Pada stadia perkembangan 23-27, ekpresi gen SF-1 pada suhu maskulin lebih tinggi dibandingkan dengan suhu feminin. Level ekspresi mrna gen SF-1 menunjukkan perbedaan tidak nyata di antara kedua suhu inkubasi (ANOVA, p = 0.235). Perbedaan yang tidak siknifikan juga terlihat ketika membandingkan level mrna gen SF-1 pada periode termosensitif (p = 0.921) maupun setelah periode termosensitif (stadia 26-27) untuk kedua suhu inkubasi (p = 0.545). Gambar 7 Profil ekspresi gen SF-1 (C T ) pada tahapan embrional penyu lekang

44 28 Analisis RT-PCR gen Rspond 1 dengan panjang fragmen 98 bp, menunjukkan intensitas yang hampir sama pada kedua suhu inkubasi. Hasil pengukuran profil ekspresi gen menggunakan real time-pcr ( Gambar 8), terlihat bahwa level ekspresi gen Rspond 1 suhu maskulin pada stadia perkembangan lebih rendah dibandingkan dengan suhu feminin, sebaliknya level ekspresi Rspond 1 stadia perkembangan pada suhu feminin lebih tinggi. Hasil analisis statistik menunjukkan tidak berbeda nyata (ANOVA, p = 0.852) ekspresi gen Rspond 1 pada kedua suhu inkubasi. Hasil yang sama juga terlihat ketika membandingkan level mrna Rspond 1 antara periode selama TSP (stadia 23-25) dengan periode setelah TSP (stadia 26-27) pada kedua suhu inkubasi (p = 0.852). Level mrna aromatase berbeda nyata (p = 0,013) saat membandingkan periode setelah TSP (stadia 26 dan 27) antara kedua suhu inkubasi. Gambar 8 Profil ekspresi gen Rspond 1 (C T ) pada tahapan embrional penyu lekang Pembahasan Merchant et al. (2002) melaporkan TSP penyu lekang yang diinkubasi pada suhu feminin dan suhu maskulin berlangsung selama 7 hari ( hari dari periode inkubasi). Penelitian sebelumnya pada kura-kura Trachemys scripta menunjukkan bahwa periode sensitif penentuan seks dimulai sekitar stadium 15 dan berkahir sekitar stadium 19 pada suhu feminin. Sebaliknya, pada suhu maskulin periode sensitif dimulai pada stadium 15 dan berakhir pada stadium perkembangan (Wibbels et al.1991). Hasil penelitian menunjukkan mrna aromatase yang berasal dari jaringan otak terekspresi pada semua stadia perkembangan (Gambar 6). Analisis statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan level ekspresi mrna aromatase antara suhu maskulin dan suhu feminin pada kedua suhu inkubasi untuk semua stadia perkembangan. Demikian juga level ekspresi aromatase antara periode TSP (stadia 23-25) pada kedua suhu inkubasi tidak berbeda nyata. Meskipun demikian, level

45 mrna aromatase setelah TSP pada embrio yang diinkubasi pada suhu feminin lebih tinggi dan berbeda nyata dari suhu maskulin. Beberapa studi pada reptil lainnya menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian ini dilaporkan pada spesies TSD, seperti kura-kura T. scripta (Willingham et al.2000; Crews et al.2001; Murdock dan Wibbels 2003), buaya C. porosus (Smith dan Joss 1994a), A. mississipiensis (Smith et al.1995, Gabriel et al.2001), kura-kura C.picta dan spesies GSD, kura-kura Apolone mutica (Valenzuela dan Shikano 2007) menunjukkan level mrna aromatase yang tidak berbeda antara suhu feminin dan suhu maskulin selama TSP, tetapi lebih tinggi pada betina setelah TSP. Jeyasuriya dan Place (1998), dan Place et al. (2001) menemukan aromatase diekspresikan secara berbeda pada otak embrio kura-kura Melaclemmys terrapin yang diinkubasi pada kedua suhu inkubasi. Level ekspresi aromatase lebih tinggi pada otak embrio yang diinkubasi pada suhu 31 C dibandingkan dengan yang diinkubasi pada suhu 27 C sebelum TSP. Berdasarkan hasil penelitian di atas, terlihat bahwa aromatase berperan penting dalam proses diferensiasi seks yang dipengaruhi lingkungan, terutama pada beberapa vertebrata (reptil dan ikan), yaitu suhu dapat memodifikasi seks. Selain itu, fakta ini menunjukkan keterlibatan aromatase yang beragam pada kelompok vertebrata yang berbeda, seperti pada diferensiasi seks ikan, amfibia, reptil, dan burung (D Cotta et al.2001, Nakamura et al.1988). Pada ikan Oreochromis niloticus, level ekspresi mrna P450aromA diperlukan untuk diferensiasi ovarium dan menghambat diferensiasi testikuler. Implikasinya, suhu inkubasi dapat mengatur ekspresi dan aktivitas gen aromatase ( Kitano et al.2000, Pieau dan Dorizzi 2004). Aromatase adalah anggota dari enzim superfamily sitokrom P450 yang dapat mengubah androgen atau testosteron menjadi estrogen estron atau 17β-estradiol, steroid seks yang terlibat dalam berbagai proses genting pada vertebrata, seperti perkembangan, pertumbuhan, dan reproduksi (Simpson et al.1994). Aromatase terdapat di gonad, hati, otak, dan beragam jaringan perifer pada ikan, dan kebanyakan reptil (Piferrer dan Blazquez 2005, Milnes et al.2002, Callard et al.1990) dan tempat utamanya pada gonad dan otak (Piferrer dan Blazques, 2005). Ekspresi gen aromatase dan aktivitasnya dapat diatur oleh lingkungan, misalnya suhu dan hormon sintetik (Kitano et al.2000, Orlando et al.2002). Sebagai contoh, pada beberapa jenis ikan dan reptil, peningkatan suhu air setelah stadia perkembangan awal dapat meningkatkan ekspresi gen aromatase dan aktivitas enzimatis sehingga akan menghasilkan seks betina, sebaliknya pengaruh suhu tersebut dapat dihambat dengan penggunaan inhibitor aromatase sehingga menghasilkan seks jantan (Tsai dan O Malley 1993, Crew et al.1997). Dengan demikian, fakta ini menegaskan bahwa suhu inkubasi dapat menekan atau menstimulasi ekspresi aromatase pada sejumlah spesies reptil TSD, termasuk penyu lekang. Diferensiasi seks gonad pada penyu TSD berlangsung selama TSP. Pieau et al. (1999) menyatakan bahwa aromatase adalah kompleks enzim yang mengubah androgen menjadi estrogen. Pada awal TSP, mrna reseptor estrogen diekspresikan pada gonad. Ketika tahap diferensiasi ovarium, transkrip mrna reseptor estrogen ditemukan di bagian medula dan korteks korda ovarium, sebaliknya pada diferensiasi testis hanya ditemukan pada bagian medula korda testikular (Bergeron et al.1998). 29

46 30 Saat diferensiasi ovarium, epitel germinal menebal karena adanya proliferasi sel epitel dan sel germinal hingga membentuk kantong oogonia dan akhirnya membentuk ovarium defenitif, sebaliknya di akhir TSP tahap perkembangan embrio, diameter korda testikuler semakin menurun sebagai akibat menurunnya kandungan protein dalam testis (Pieau et al.1999). Sejalan dengan hal tersebut, Merchant-Larios et al.(1989) menyatakan bahwa diferensiasi gonad pada penyu lekang yang diinkubasi pada suhu feminin terjadi di akhir TSP, yang ditandai oleh penebalan korteks jaringan epitel (misalnya, proliferasi korteks gonad dan diikuti dengan degenerasi korda medula dan regresi medula gonad), sebaliknya pada suhu maskulin, korteks jaringan epitel tidak mengalami proliferasi dan korda medula tidak mengalami regresi sehingga pada akhirnya berkembang menjadi tubuli seminiferus. Ekspresi SF-1 pada perkembangan gonad organisme TSD telah dilakukan pada tiga spesies penyu dan Alligator (Shoemaker dan Crews 2009). Dalam semua penelitian, level ekspresi SF-1 terdeteksi di semua gonad bipotensial di awal stadia perkembangan, selama TSP dan stadia diferensiasi seks. Hasil penelitian menunjukkan bahwa SF-1 penyu lekang juga dapat dideteksi di semua stadia perkembangan (stadia 23-27) dengan intensitas pola pita yang hampir sama. Hasil pengukuran ekspresi gen SF-1 otak embrio penyu lekang menunjukkan tidak berbeda nyata pada semua stadia perkembangan embrio penyu lekang pada kedua suhu inkubasi. Meskipun demikian, data empiris pada penelitian (Gambar 7) terlihat bahwa level ekspresi SF-1 pada semua stadia perkembangan embrio penyu lekang lebih tinggi pada suhu maskulin. Beberapa spesies vertebrata menunjukkan ekspresi dimorfik seksual mrna SF-1 pada perkembangan gonadnya. Pada kura-kura T. scripta ( Fleming et al.1999, Wibbels et al.1998, Ramsey et al.2007, Crews et al.2001), tikus (Hatano et al.1994), level ekspresi mrna SF-1 rendah pada perkembangan ovarium, tetapi tinggi pada perkembangan testis. Crews et al. (2001) menyatakan pergantian suhu inkubasi pada kura-kura T. scripta yang diinkubasi pada suhu maskulin di pertengahan TSP menyebabkan penurunan ekspresi SF-1, seperti yang terjadi pada suhu feminin. Sebaliknya, ketika pergantian suhu inkubasi di pertengahan TSP pada suhu feminin menyebabkan peningkatan ekspresi, bahkan ekspresi gen SF-1 melampaui pada suhu maskulin. Inkubasi pada suhu antara (29.4 C) menyebabkan level ekspresi gen SF-1 berada di antara suhu maskulin dan feminin Adanya perbedaan hasil dari beberapa penelitian yang telah disebutkan, khususnya pada spesies TSD, dapat diinterpretasi bahwa mungkin SF-1 diekspresikan sangat kuat di awal perkembangan gonal (stadium bipotensial gonad), konsisten dengan peranan konservatif pada proliferasi sel atau apoptosis di awal pembentukan gonad yang mirip dengan fungsinya pada mamalia (Shoemaker dan Crews 2009). Visualisasi elektroforesis gen Rspond 1 konsisten muncul di semua stadia perkembangan embrio penyu lekang dengan intensitas yang berbeda. Demikian pula analisis real time-pcr menunjukkan bahwa ekspresi mrna Rspond 1 pada jaringan otak terekspresi pada semua stadia perkembangan (Gambar 8). Hasil analisis statistik menunjukkan level ekspresi mrna Rspond 1 tidak berbeda nyata pada kedua suhu inkubasi untuk semua stadia perkembangan embrio. Hasil yang sama juga terdeteksi

47 31 level ekspresi Rspond 1 antara periode TSP (stadia 23-25) pada kedua suhu inkubasi, sebaliknya level mrna Rspond 1 setelah TSP (stadia 26-27) pada embrio yang diinkubasi pada suhu feminin lebih tinggi. Oleh karena itu, level ekspresi yang lebih tinggi Rspond 1 pada suhu feminin dibandingkan suhu maskulin setelah TSP sesuai dengan fungsi Rspond 1, yaitu mempertahankan ekspresi gonad betina. Beberapa penelitian telah dilakukan pada sejumlah vertebrata untuk mempelajari profil ekspresi dan peranan gen Rspond 1 berkaitan dengan aspek reproduksi. Smith et al. (2008) melaporkan bahwa ekspresi Rspond 1 pada sejumlah vertebrata, seperti tikus, ayam, dan kura-kura T. Scripta, menunjukkan peranan yang konservatif dalam perkembangan ovarium. Pada kura-kura T. Scripta, reptil yang determinasi seks bergantung pada suhu, ekspresi Rspond 1 secara signifikan lebih tinggi di awal TSP dan meningkat terus pada suhu feminin (31 C) dibandingkan suhu maskulin (26 C). Selanjutnya ekspresinya menurun secara signifikan pada embrio yang suhu inkubasinya diganti dari suhu feminin ke suhu maskulin. Hal ini menunjukkan bahwa ekspresi Rspond 1 dipengaruhi oleh suhu, baik pada suhu feminin dan pergantian suhu inkubasi. Zhou et al. (2012) melaporkan bahwa pada ikan teleost, Oryzias latipes ditemukan tiga anggota famili Rspond (1-3) yang menunjukkan profil ekspresi dimorfik secara seksual pada gonad betina di semua stadium perkembangannya. Ekspresi yang lebih tinggi dari ketiga gen tersebut ditemukan pada gonad betina. Hal ini menunjukkan bahwa ekspresi Rspond 1 dipengaruhi oleh suhu, baik pada suhu feminin dan pergantian suhu inkubasi. Dengan demikian, gen Rspond sangat diperlukan untuk diferensiasi ovarium. Peranan gen Rspond juga sama pada spesies yang determinasi seks bergantung genotipik. Pada domba, gen Rspond 1 dan Rspond-2 menunjukkan profil ekspresi yang spesifik pada betina sejak 36 hari setelah koitus hingga dewasa. Gen Rspond 1 berkorelasi dengan diferensiasi sel germinal sebelum dan selama meiosis, sementara gen Rspond 2 bereperan sebagai gen kandidat untuk diferensiasi ovarium. (Kocer et al.2008). Kesimpulan 1. Hasil pengukuran profil ekspresi gen determinasi seks penyu lekang menunjukkan bahwa gen aromatase, SF-1, dan Rspond 1 terekspresi pada semua stadia perkembangan embrio dengan intesitas yang berbeda. 2. Level ekspresi gen aromatase dan Rspond 1 setelah TSP lebih tinggi pada suhu feminin daripada suhu maskulin, dan berperan dalam perkembangan dan diferensiasi ovarium, sebaliknya, secara empiris level ekspresi gen SF-1 pada suhu maskulin lebih tinggi dari pada suhu feminin, dan berperan dalam perkembangan dan diferensiasi testis penyu lekang.

48 32 5 ANALISIS SISTEM PERKAWINAN DAN ALIRAN GEN PADA POPULASI PENYU LEKANG DI PANTAI BENA SEBAGAI UPAYA STRATEGI KONSERVASI GENETIK Pendahuluan Penyu adalah reptil berumur panjang yang sejarah hidupnya dapat ditemukan hampir di semua perairan laut. Karakteristik penyu, setelah menetas mungkin hanyut di laut terbuka selama beberapa tahun dan setelah dewasa melakukan migrasi secara berkala hingga km antara tempat mencari makan dan tempat berkembang biak (Limpus et al.1992). Kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya tumpang tindih relung dengan populasi penyu lainnya, apalagi sifat penyu yang setia pada tempat asalnya (fidelity). Konsekuensi dari pola migrasi tersebut memungkinkan terjadi perkawinan di antara populasi. Penyu jantan memiliki peluang terbatas karena tidak seperti betina, yakni jarang datang ke darat; sehingga kebanyakan penelitian melakukan penangkapan sekaligus taging kepada jantan di sekitar area kawin atau di area mencari makan. Adanya perilaku penyu jantan tersebut membuat sedikit sekali informasi yang dapat diperoleh tentang bioreproduksi, sebaliknya penyu betina menunjukkan tingkah laku kawin dengan setia pada area percumbuan khusus dekat pantai bersarang yang dipilih oleh betina, dan betina akan kembali ke tempat makan tertentu setelah kawin (Limpus 1993). Penyu betina diduga mengontrol perkawinan, dan memperoleh keuntungan secara tidak langsung dari perkawinan banyak. Penyu jantan dewasa mampu menghasilkan sperma per ejakulasi sebanyak ml. Jumlah sperma yang diamati per musim kawin antara , dengan daya motilitas mencapai 90%. Motilitas dan volume yang bervariasi bergantung pada waktu dan frekuensi ejakulasi dan masingmasing jantan dewasa (Wood et al.1982). Di sisi lain, induk betina bertelur sebanyak 4-7 kali, dengan interval dua minggu selama satu musim kawin dan dapat menghasilkan butir per sarang. Oleh karenanya, dengan produksi sperma yang sedikit, tidak dapat dimungkiri bahwa perkawinan betina hanya dengan satu pejantan tidak cukup untuk terjadi fertilisasi semua telur yang diovulasikan oleh betina selama satu musim kawin tersebut (Fitzsimmons 1998, Pearse dan Avise 2001). Selain itu, adanya area yang tetap untuk aktivitas makan dan kawin serta kemampuan migrasi yang tinggi pada penyu memungkinkan tingginya frekuensi dan tingkat poliandri (seekor betina kawin dengan beberapa pejantan) atau poligami (seekor jantan kawin dengan beberapa penyu betina) pada populasi spesifik (Crim et al.2002, Fitzsimmons 1998, Ireland et al. 2003, Lee dan Hays 2004). Pola perkawinan dengan satu atau banyak pasangan merupakan keputusan yang mungkin penting karena memiliki dampak yang signifikan pada kebugaran individu (Birkhead 2000). Perkawinan dengan banyak jantan menguntungkan bagi penyu betina antara lain memberikan manfaat kebugaran dan menghasilkan seleksi positif, pemilihan sperma oleh betina, dan memberikan manfaat tidak langsung, seperti peningkatan variasi genetik keturunan sehingga meningkatkan keberhasilan penetasan atau

49 33 kualitas keturunan, penyediaan atau akses ke sumber daya, dan pengasuhan keturunan (Hosken dan Stockley 2003, Bolmer et al.1999). Poliandri dan adanya spermateka untuk menyimpan sperma oleh penyu betina dapat memengaruhi strategi reproduksi jantan dan betina, sebaliknya keberhasilan reproduksi jantan sering dibatasi oleh kemampuan untuk memperoleh pasangan. Oleh karena itu, jantan mesti memiliki strategi kawin dengan banyak betina. Studi molekuler tentang asal usul spesies menyediakan informasi data yang mendasar untuk menginvestigasi sejumlah subjek biologi menjadi penting, seperti seleksi seks, ekologi tingkah laku, dan genetika konservasi (Avise et al. 2002). Mikrosatelit atau marka sekuen berulang sederhana (SSR) telah banyak digunakan untuk melihat paternitas dan deteksi perkawinan banyak oleh betina pada populasi penyu di alam (Fitzsimmons et al.1997, Moore dan Ball Jr 2002, Kichler 1999, Uller dan Olsson 2008, Hoekert et al. 2002, Zbinden et al.2007, Davy et al. 2011). Kelebihan mikrosatelit sebagai marka molekuler adalah ideal untuk analisis diversitas genetik karena memiliki beberapa sifat, yaitu laju mutasi tinggi, polimorfisme tinggi, bersifat kodominan, dan yang lebih penting sifat pewarisan biparental yang dapat menunjukkan aliran gen yang berasal dari jantan dan betina (Aggarwal et al. 2008). Penelitian ini menggunakan marka mikrosatelit untuk mempelajari pola paternitas pada penyu L. olivacea di perairan Taman Buru Bena, Timor. Penyu lekang terdistribusi luas dan melimpah dari semua spesies penyu, akan tetapi proporsi besar dari populasi di perairan Timor terkonsentrasi di perairan Laut Timor Bena. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeteksi fenomena paternitas majemuk yang terjadi pada populasi alam penyu lekang di pantai Bena, Timor dengan menggunakan lima (5) marka mikrosatelit yaitu OR-1, OR-4, OR-7, OR-11, dan OR- 14. Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan ketepatan pendugaan dan mengontrol kontribusi genetik penyu jantan dalam populasi ini sebagai informasi genetik untuk konservasi penyu lekang. Materi dan Metode Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2013 sampai Mei 2014 di Kawasan Taman Buru Bena, Timor. Sampel jaringan dari induk penyu lekang definitif diambil dari lendir kloaka dan biopsi anggota gerak penyu betina dewasa yang datang ke pantai saat setelah meletakkan telurnya. Sampel tukik sebanyak 24 ekor (27% dari total tukik yang menetas) diambil dari cairan amnion embrio penyu lekang yang diperoleh dari tahapan penelitian sebelumnya yang diinkubasi di inkubator. Sampel tukik tersebut diambil dari telur yang dihasilkan oleh induk penyu betina definitif. Jaringan penyu tersebut dibawa ke Laboratorium Molekuler Biologi PSSP-LPPM IPB untuk analisis paternitas majemuk. Ekstraksi DNA, amplifikasi mikrosatelit, dan genotyping Ekstraksi DNA menggunakan DNeasy mini kit (Qiagen) sesuai protokol perusahan. 5 lokus mikrosatelit yang digunakan dalam analisis paternitas majemuk (Aggarwal et al. 2008), yaitu OR-1(NA: AY325422), OR-4 (NA: AY325425), OR-7

50 34 (NA: AY325427) dan OR-11 (NA: EU162580), OR-14 (NA: EU162582). Secara umum, 3 µl DNA ekstraksi digunakan dalam 25 µl campuran PCR yang mengandung 1 µl primer forward yang dilabel dengan probe Fam (OR-1;OR-7), probe Hex (OR-4; OR-11), probe Tet (OR-7), dan 1 µl primer reverse untuk masingmasing marker, 12.5 µl Gotaq master mix, dan 8 µl dh 2 O. Sintesis DNA menggunakan mesin PCR Verity (Applied Bio System), dilakukan pada 55 C selama 30 detik dan kondisi amplifikasi; denaturasi awal 94 C selama 5 menit (sekali), annealing 94 C selama 30 detik, ekstensi 72 C selama 30 detik untuk 45 siklus dan 72 C selama 7 menit untuk ekstensi akhir. Visualisasi pita DNA Produk PCR dielektroforesis dengan menggunakan gel agarosa 1.8% yang mengandung ethidium bromide dalam buffertae 1x pada voltase 100 selama 45 menit. Selanjutnya pita PCR divisualisasikan di bawah mesin UV gel doc. (Biored). Produk PCR selanjutnya dikirim sebanyak 40 μl ke I st BASE Malaysia untuk analisis genotyping. Analisis data mikrosatelit dan genotyping Genotipe maternal ditentukan secara langsung dari betina yang dijadikan sampel, dan diobservasi pada genotipe keturunan. Alel paternal diduga dari genotipe keturunan saat alel anak dan maternal dihitung, setelah dilakukan genotyping (Software GeneMapper genotyping version 4.0). Estimasi variasi mikrosatelit dilakukan berdasarkan lima lokus yang digunakan dalam penelitian,yaitu OR-1,OR- 4,OR-7,OR-11, dan OR-14. Selanjutnya, penentuan alel paternal dilakukan dengan mengeliminasi alel-alel maternal dari genotipe-genotipe tukik (Ireland et al. 2003) Paternitas majemuk dalam sarang dihitung jika terdapat lebih dari dua alel paternal diamati dalam satu sarang (Mudsuk et al.2004, Roques et al. 2004). Selanjutnya digunakan software CERVUS versi untuk menghitung frekuensi alel dan analisis paternitas. Hasil Dari 5 lokus mikrosatelit yang digunakan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa 4 lokus OR-1, OR-14, OR-4, dan OR-11 memiliki variasi genetik yang lebih banyak dibandingkan dengan lokus OR-7 (Tabel 5). Adapun ukuran alel yang diperoleh setelah dilakukan genotyping dengan panjang fragmen untuk lokus OR- 1: bp, lokus OR-4 : bp, lokus OR-7 : bp), lokus OR-11 : bp, dan lokus OR-14 : bp. Informasi yang diperoleh dari kelima marka mikrosatelit telah membantu untuk mendeteksi paternitas majemuk dari tukik yang ditetaskan di sarang alami dan pola perkawinan penyu lekang betina yang naik meletakkan telur di pesisir Taman Buru Bena.

51 35 Tabel 5 Ringkasan informasi alel pada 5 lokus mikrosatelit penyu L. olivacea Asal Genotipe Nomor Lokus Mikrosatelit (bp) sampel OR-1 OR-4 OR-7 OR-11 OR-14 Genotipe maternal 1 183/ / / / /161 Genotipe tukik 2 183/ / / / /164 Genotipe tukik 3 175/ / / / /164 Genotipe tukik 4 183/ / / / /164 Genotipe tukik 5 183/ / / / /164 Genotipe tukik 6 183/ / / / /161 Genotipe tukik 7 183/ / / / /161 Genotipe tukik 8 175/ / / / /164 Genotipe tukik 9 183/ / / / /161 Genotipe tukik / / / / /164 Genotipe tukik / / / / /161 Genotipe tukik / / / / /164 Genotipe tukik / / / / /161 Genotipe tukik / / / / /161 Genotipe tukik / / / / /164 Genotipe tukik / / / / /164 Genotipe tukik / / / / /164 Genotipe tukik / / / / /161 Genotipe tukik / / / / /161 Genotipe tukik / / / / /164 Genotipe tukik / / / / /161 Genotipe tukik / / / / /164 Genotipe tukik / / / / /163 Genotipe tukik / / / / /161 Genotipe tukik / / / / /164 Jumlah Alel Berdasarkan jumlah alel pada kelima lokus tersebut, kecuali 4 lokus (OR-7, OR-1, OR-14, dan OR-4), lokus OR-11 menunjukkan penyu betina telah melakukan poliandri (betina kawin dengan lebih dari satu pejantan). Karena lebih dari dua alel paternal ditemukan pada OR-11, sehingga fenomena paternitas majemuk terjadi pada penyu lekang selama musim reproduksi di sekitar perairan Taman Buru Bena, PulauTimor. Dari 24 sampel tukik yang dianalisis, jumlah minimum pejantan sebanyak 1 ekor yang turut berkontribusi dalam menyumbangkan sejumlah alel untuk populasi alami yang terdeteksi pada lokus OR-1 (175 dan 187 bp), lokus OR-14 (161,163, dan 164 bp), lokus OR-4 (126,140 atau 146, dan 151 bp). Lokus OR-11 menyumbangkan jumlah pejantan minimum 2 ekor dengan sebaran alel, yaitu 215, 224, 232, 236, dan 238 bp, seperti yang disajikan pada Gambar 9.

52 36 Gambar 9 Kromatogram jumlah dan distribusi alel pada lokus OR-11 Berdasarkan sebaran alel yang diperoleh dari alel tukik penyu lekang dan dieliminasi dari alel maternal definitif, maka dapat ditentukan alel paternal bersifat polimorfik dengan jumlah alel yang bervariasi pada keempat lokus mikrosatelit, yaitu lokus OR-1, OR-14,OR-4, OR-11 seperti terlihat pada Tabel 6. Tabel 6 Jumlah minimum pejantan berdasarkan jumlah alel paternal dari empat marka mikrosatelit yang bervariasi Alel pejantan yang diperkirakan (bp) Jumlah minimum pejantan (ekor) OR OR OR OR Berdasarkan informasi sebaran alel maternal definitif, alel tukik dan alel paternal, maka untuk mengetahui peristiwa paternitas majemuk pada populasi penyu lekang di Taman Buru Bena dapat dilakukan dengan melakukan analisis kemungkinan kombinasi alel paternal seperti yang disajikan pada Tabel 7.

53 37 Tabel 7 Jumlah maksimum pejantan berdasarkan jumlah alel paternal dari lima marka mikrosatelit yang bervariasi Lokus Genotipe maternal Genotipe tukik (bp) Kemungkinan kombinasi alel pejantan yang diperkirakan Jumlah maksimum definitif (n= 24) (bp) pejantan (bp) (ekor) OR-1 183/ /183,183/ /175, 175/183, 175/187, 6 183/183, 183/187, 187/187 OR-4 140/ /126,126/140, 126/ / / /146,146/ /151, 140/146, 140/151, 146/146, 146/ /151 OR-7 188/ /188,188/ / /200, 200/200 3 OR / /224, 215/232, 215/ / / /232, 224/238, 215/236, 215/238, 224/224, 232/232, 232/236, 224/236, 224/238, 232/232, 232/ /236, 232/238, 236/236, 236/238, 238/238 OR / /161,161/163, 161/ / /163, 161/164, 163/163, 163/164, 164/164 6 Rerata jumlah pejantan (ekor) Hasil analisis frekuensi gen (Tabel 8) menggunakan program CERVUS menunjukkan bahwa dari kelima lokus yang dianalisis, kecuali lokus OR-4, keempat lokus lainnya berbeda nyata (p=0.01). Artinya, terdapat penyimpangan dari hukum Kesetimbangan Hardy-Weimberg untuk setiap lokus, kecuali lokus OR-4 terhadap frekuensi alel pada populasi penyu lekang di alam, dengan rata-rata nilai PIC (polymorphic information content) sebesar dan nilai probabilitas kombinasi eksklusif (PCE) pasangan parental sebesar Tabel 8. Diversitas Alel (k), Heterozigositas observasi dan ekspresi (HObs dan HExp), dan probabilitas (nilai p) dari uji Kesetimbangan Hardy-Weimberg (HWE) pada lima lokus mikrosatelit berdasarkan genotipe multilokus dari 24 tukik penyu lekang Lokus k HObs HExp HWE OR p=0.00 OR p=0.00 OR p=0.02 tn OR p=0.00 OR p=0.00 Secara statistik nyata pada p < 0.01 Pembahasan Berdasarkan data 5 lokus mikrosatelit yang digunakan untuk mendeteksi fenomena paternitas majemuk, lokus OR-7 menyumbangkan sebanyak 2 alel yang ukurannya sama antara alel betina dan tukik, sebaliknya, keempat lokus lainnya, yaitu

54 38 OR-1, OR-14, OR-4, dan OR-11 dapat mendeteksi alel-alel pada tukik yang berbeda dari alel yang dimiliki oleh betina. Secara empiris, lokus OR-11 mendeteksi alel pada tukik terbanyak (5 alel), diikuti secara berturut-turut lokus OR-4 (4 alel), lokus OR- 14 (3 alel), lokus OR-1 (3 alel), dan OR-7 (2 alel). Genotipe paternal yang terdeteksi lebih dari 2 pada alel tukik menunjukkan bahwa pejantan berhasil mengawini lebih dari satu betina. Moore dan Ball Jr (2002) menyatakan bahwa sarang yang memiliki 3-4 alel paternal menunjukkan tukik yang dihasilkan berasal dari perkawinan antara satu betina dua jantan, sedangkan jika lebih dari empat alel paternal, menunjukkan sarang tersebut memiliki minimum tiga jantan. Data penelitian menunjukkan bahwa OR-11 dapat mendeteksi jumlah minimum 2 pejantan. Hal ini berarti peristiwa paternitas majemuk dapat dideteksi pada populasi penyu lekang di sekitar perairan Taman Buru Bena, PulauTimor. Kelima pasang primer yang digunakan dalam penelitian ini sama dengan yang digunakan Aggarawal et al.(2004 dan 2008) pada penyu lekang dengan polimorfik sangat tinggi. Dalam penelitian ini terdapat empat lokus yang bersifat polimorfik, yaitu OR-1, OR-14, OR-4, dan OR-11 dengan jumlah alel yang lebih sedikit karena terbatasnya jumlah sarang yang dideteksi. Jumlah alel yang diperoleh dari keempat lokus tersebut lebih sedikit dibandingkan dengan penelitian sebelumnya pada penyu C.mydas (Lee dan Hays 2004) dan penyu D. coriacea (Crim et al. 2002). Penggunaan marka mikrosatelit ini merupakan penelitian pertama kali yang dapat mengungkapkan peristiwa poliandri penyu lekang betina di sekitar perairan Laut Timor. Analisis kombinasi pasangan alel paternal yang dilakukan dengan menggunakan genotipe maternal definitif dan alel tukik, menunjukkan bahwa ratarata jumlah maksimum pejantan yang dideteksi pada populasi penyu lekang dengan menggunakan kelima marka mikrosatelit sebanyak 8 ekor dengan rincian pada masing-masing lokus secara berurutan, yaitu lokus OR-11(14 ekor), lokus OR-4 (9 ekor), OR-1 dan OR-14 (6 ekor), dan lokus OR-7 (3 ekor). Selain itu, genotipe maternal yang homozigot, yaitu lokus OR-1 dan OR-14 dengan jumlah alel paternal sebayak 2 alel, memiliki jumlah maksimum jantan yang sama banyak, yaitu 6 ekor, sedangkan genotipe maternal yang heterozigot, yaitu lokus OR-4 dan OR-11(kecuali lokus OR-7) dengan jumlah alel paternal secara berturut-turut sebanyak 2 dan 3 alel, menghasilkan jumlah maksimum pejantan yang terbanyak. Hasil analisis paternitas menggunakan CERVUS menunjukkan bahwa rata-rata jumlah jantan kandidat per keturunan sebanyal 2 ekor. Berdasarkan hasil analisis kemungkinan kombinasi alel paternal tersebut, terlihat bahwa keempat lokus, kecuali OR-7 dapat dijadikan sebagai marka mikrosatelit untuk studi genetika populasi pada spesies penyu laut lainnya di wilayah perairan timur Indonesia. Hasil analisis frekuensi gen pada Tabel 8 menunjukkan bahwa terdapat empat lokus yang telah menyimpang dari Kesetimbangan Hardy-Weimberg. Penyimpangan dari Kesetimbangan Hardy-Weinberg di banyak atau semua lokus adalah indikator populasi substruktur. Interpretasi dari penyimpang tersebut, yaitu diduga pada populasi tersebut, betina dan jantan dewasa mungkin telah melakukan perkawinan antara dua atau lebih populasi. Hal ini cukup beralasan karena selain pola distribusi penyu lekang terbatas pada perairan tertentu, juga karena pola migrasi yang cukup jauh dari penyu lekang sehingga memungkinkan terjadinya tumpang tindih antara

55 39 populasi (Limpus et al.1992). Tingginya nilai rata-rata PIC (polymorphic information content) dan nilai probabilitas kombinasi eksklusif (PCE) pasangan parental menunjukkan bahwa probabilitas kandidat jantan yang digunakan dalam penelitian ini memiliki tingkat korelasi yang tinggi dengan tukik yang dihasilkan pada setiap lokus dengan akurasi yang sangat tinggi (Marshall et al. 1998). Banyak penelitian sebelumnya mengungkapkan peristiwa paternitas majemuk pada berbagai populasi alami penyu: L. olivacea (Aggarawal et al.2004, 2008, Hoekert et al. 2002), Lepidochelys kempy (Kicher et al.1998); D. coriacea (Crim et al. 2002), Caretta caretta (Zbinden et al. 2007, Moore dan Ball Jr 2002, Bolmer et al.1999), dan C. mydas (Lee dan Hays 2008, Mudsuk et al.2004, Fitzsimmons 1998). Penyu betina diduga melakukan perkawinan di awal musim bersarang (nesting season) dan menyimpan sperma dalam periode yang panjang. Sperma yang disimpan tersebut mempunyai kemampuan untuk membuahi sel telur pada musim kawin tersebut bahkan musim kawin selanjutnya. Kondisi ini memungkinkan terjadinya paternitas majemuk yang dihasilkan dari percampuran dan kompetisi sperma (Fitzsimmons 1998, Miller 1997, Olsson et al. 2007). Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa betina memperoleh keuntungan secara langsung dari pola perkawinan poliandri, yaitu menjamin ketersediaan jumlah sperma yang cukup yang memungkinkan fertilisasi telur. Selain itu, betina dapat menghindari dari ancaman kegagalan reproduksi melalui mekanisme yang memungkinkan telur difertilisasi dengan sperma dari sejumlah jantan yang sesuai secara genetik (Tregenza dan Wedell 2002). Paternitas majemuk diyakini dapat menurunkan tingkat hanyutan genetik pada populasi dibandingkan dengan populasi dengan pola perkawinan satu betina dengan satu jantan. Pengaruh paternitas majemuk pada karakteristik tukik dan populasi adalah meningkatkan gen-gen yang baik, meningkatkan keragaman genetik antara tukik, menjamin ketersediaan jumlah sperma yang cukup yang memungkinkan terjadinya fertilisasi serta memungkinkan kompetisi sperma sehingga meningkatkan daya tetas dan kualitas tukik (Bolmer et al.1999, Uller dan Olsson 2008). Kesimpulan 1. Perilaku perkawinan betina dewasa penyu lekang di perairan Bena, yaitu melakukan perkawinan dengan banyak pejantan (poliandri). 2. Analisis mikrosatelit menunjukkan paternitas majemuk dapat dideteksi menggunakan keempat lokus mikrosatelit, yaitu lokus OR-1, OR-14, OR-4, dan OR-11 dengan jumlah alel paternal terbanyak disumbangkan oleh lokus OR-11 sebanyak 3 alel. 3. Adanya fenomena peternitas majemuk pada populasi penyu lekang di perairan Taman Buru Bena, Pulau Timor memberikan sumbangan sangat berarti bagi peningkatan keragaman genetik. Untuk meningkatkan ketepatan penelitian ini dan mengetahui kontribusi genetik pejantan pada populasi ini diperlukan penambahan jumlah sarang dan jumlah sampel.

56 40 6 PEMBAHASAN UMUM Penyu lekang (Lepidochelys olivacea) yang merupakan salah satu spesies penyu yang menyebar secara luas telah mengalami penurunan populasi dalam beberapa tahun terakhir, terutama karena faktor antropogenik (Cornelius et al. 2007). Oleh karena itu, penyu lekang tergolong reptil yang dilindungi dengan kategori Appendix I CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) (Shanker et al. 2003).Faktor utama yang memengaruhi penurunan populasi penyu lekang, yaitu adanya penangkapan penyu dewasa untuk dimanfaatkan daging, cangkang, dan pengambilan telur penyu di sarang alami. Penyu termasuk reptil yang perkembangan gonad dan diferensiasi seksnya bergantung pada suhu (Temperature-dependent sex-determinatian, TSD). Beberapa penelitian telah melaporkan bahwa suhu berperan secara langsung selama periode inkubasi, dan memengaruhi ekspresi gen determinasi seks. Shoemaker et al.(2007b) menyatakan bahwa perubahan cepat ekspresi gen-gen determinasi seks mengikuti perubahan suhu inkubasi. Hal ini menegaskan peran gen-gen tersebut dalam pembentukan gonad dan mengatur perkembangan organ. Sampai saat ini, terdapat 18 gen yang terlibat dalam determinasi seks pada vertebrata dan bersifat konservatif untuk perkembangan testis dan ovari dengan level ekspresi yang bervariasi antara spesies (Pieau et al.2001, Rhen and Schroeder 2010). Ditinjau dari aspek fenotipe, suhu sarang memengaruhi perkembangan embrio penyu, yaitu nisbah kelamin tukik (Standora and Spotila 1985, Packard and Packard 1988, Maulany et.al.2012), kualitas tukik (Booth et al. 2004), dan performa lokomotori tukik (Deeming 2004, Booth 2006, Burgess et al.2006, Ischer et al. 2009). Adanya variasi fenotipe tersebut umumnya berimplikasi terhadap kebugaran tukik (Shine 2004). Berdasarkan hasil penelitian pada tahap 1 diketahui bahwa ekspresi gen aromatase pada penyu hijau berhasil diisolasi dari kedua jaringan, yaitu kompleks AKG dan otak pada penyu hijau. Selanjutnya hasil pengujian level ekspresi gen aromatase antara kedua jaringan menunjukkan perbedaan yang tidak nyata sehingga disimpulkan untuk keperluan pengukuran ekspresi mrna aromatase dan gen determinasi seks lainnya untuk spesies yang berkerabat dekat, seperti penyu lekang dapat digunakan dari jaringan otak. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa aromatase terdistribusi pada sejumlah jaringan dan organ, seperti otak, kompleks AKG, retina, dan lemak viseral (Piferrer dan Blazquez 2005, Page et al. 2010). Penyu lekang merupakan salah satu reptil yang perkembangan gonad dan diferensiasi seks bergantung pada suhu lingkungan (TSD). Implikasi dari kondisi tersebut memberikan sejumlah akibat yang berpengaruh pada sejumlah parameter bioreproduksi dan performa tukik yang ditetaskan, seperti laju metabolisme, pertumbuhan embrional, lama inkubasi telur, daya tetas, morfometrik, kebugaran, performa lokomotori, dan kelangsungan hidup (Huey 1982, Hertz et al.1983). Berdasarkan hasil penelitian pada tahap 2 diketahui lama inkubasi telur pada suhu feminin lebih singkat (49-52 hari) dibandingkan dengan suhu maskulin (71-73 hari). Hal ini menunjukkan adanya hubungan terbalik antara suhu inkubasi dengan

57 periode inkubasi. Implikasi dari panjangnya lama inkubasi pada suhu maskulin menyebabkan laju metabolisme dan proses pembentukan organ (organogenesis) menjadi lambat, dan pada akhirnya memengaruhi laju pertumbuhan embrio. Pengamatan empiris memperkuat penjelasan di atas, yang ditunjukkan oleh pertumbuhan embrio penyu lekang. Data pengukuran bobot embrio pada semua tahap perkembangan embrio menunjukkan bahwa perbedaan yang sangat nyata, dan terlihat embrio yang diinkubasi pada suhu feminin memiliki bobot badan lebih besar dari embrio yang diinkubasi pada suhu maskulin. Hal yang sama juga ditunjukkan pada pengukuran performa tukik, yaitu frekuensi ayunan flipper menunjukkan bahwa suhu inkubasi memengaruhi frekuensi ayunan flipper berbeda di antara tukik yang diinkubasi pada kedua suhu. Pengukuran morfometrik tukik juga dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan sejumlah parameter linear tubuh yang menunjukkan perbedaan signifikan ketika diinkubasi pada suhu yang berbeda. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa terdapat tujuh karakter morfometrik, antara lain panjang lengan depan, lebar karapas, panjang dan lebar plastron, panjang flipper dan lengan belakang, dan panjang leher dapat dijadikan sebagai karakter pembeda tukik penyu lekang dengan suhu inkubasi yang berbeda. Ukuran flipper yang lebih panjang akan memungkinkan gerakan tukik merangkak lebih jauh saat menuju ke laut segera setelah menetas sehingga memberikan peluang yang lebih kecil untuk dimangsa predator. Variasi fenotipe merupakan komponen fundamental dari proses evolusi dan karena itu perlu memahami faktor-faktor yang menciptakan variasi tersebut. Adanya perbedaan fenotipe ini menunjukkan bagaimana seleksi alam bekerja pada keturunan, dan konsekuensinya akan berbeda pada kebugarannya (fitness). Oleh karena itu, perbedaan fenotipe ini dapat dijadikan sebagai petunjuk untuk digunakan pada sarang alami secara akurat. Keterkaitan antara seks dengan parameter-parameter fenotipe sangat membantu dalam memahami evolusi mekanisme penentuan seks. Dengan kata lain, hubungan antara seks, keturunan dan fenotipe menjadi dasar teoretis dalam memahami evolusi spesies TSD yang dibangun. Penyu lekang dan kebanyakan reptil tergolong ke dalam hewan poikiloterm sehingga peningkatan suhu inkubasi menghasilkan peningkatan laju perkembangan. Dalam konteks penelitian ini, terlihat pengaruh suhu inkubasi pada lama inkubasi dan pertumbuhan embrio penyu lekang. Implikasi dari adanya suhu inkubasi yang berbeda menyebabkan ekspresi genotipe dari kedua seks berbeda, termasuk ekspresi gen determinasi seks dan aktivitas enzimatis. Kemungkinan lain dari manipulasi suhu inkubasi berpengaruh pada laju metilasi DNA yang kemudian akan memengaruhi ekspresi gen (Martin dan McGowan 1995). Saat ini, salah satu tantangan utama dalam studi spesies TSD adalah untuk menemukan cara sederhana untuk menentukan seks tukik yang muncul dari sarang alami dan menaksir nisbah kelamin. Untuk itu, pendekatan penentuan seksual pada skala laboratorium mesti dicoba untuk ekstrapolasi hasil ekperimen laboratorium ke habitat alami. Pada spesies TSD, terutama penyu, tidak ada metode yang mudah untuk menentukan jenis kelamin keturunan. Tukik tidak memiliki karakter dimorfisme seksual. Oleh karena itu, salah satu cara tepat untuk menentukan fenotipe 41

58 42 seksual adalah dengan metode invasif, yaitu melakukan observasi langsung dari morfologi gonad embrio. Informasi tentang laju keberhasilan penetasan dan model penentuan seks untuk spesies tertentu merupakan faktor yang turut menentukan keberhasilan potensial dari strategi konservasi penyu. Aplikasi teknik inkubasi secara alami selalu menghasilkan nisbah kelamin yang sulit ditentukan. Padahal untuk menunjang keberhasilan usaha konservasi terutama spesies yang terancam punah dan endemis, maka pengaturan nisbah kelamin keturunan bagi spesies yang dipengaruhi oleh suhu menjadi salah satu faktor yang perlu diperhatikan. Penelitian sebelumnya telah menganalisis evolusi dan jejaring sejumlah gen yang terlibat dalam gonadogenesis pada penyu yang determinasi seks bergantung suhu inkubasi, dan terlibat pada semua tahap perkembangan embrional. Secara umum, gen determinasi seks dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu gen-gen dengan level ekspresi lebih tinggi ketika telur diinkubasi pada suhu feminin dan sebaliknya, gen-gen yang lebih tinggi ekspresinya pada suhu maskulin (Shoemaker dan Crews 2009, Valenzuela 2008, Ramsey et al. 2007, Crews et al. 2001, Fleming et al.1999). Dalam penelitian ini digunakan tiga gen determinasi seks, antara lain aromatase, SF-1, dan Rspond 1 dengan menggunakan teknik real-time PCR untuk mengukur ekspresi gen secara kuantitatif menggunakan jaringan otak embrio penyu lekang. Hasil penelitian menunjukkan level mrna aromatase yang berasal dari jaringan otak terekspresi pada semua stadia perkembangan (Gambar 6). Analisis statistik menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan level ekspresi mrna aromatase antara kedua suhu inkubasi pada semua stadia perkembangan. Demikian juga level ekspresi aromatase selama TSP (stadia 23-25) pada kedua suhu inkubasi tidak berbeda nyata. Meskipun demikian, level mrna aromatase setelah TSP ada embrio yang diinkubasi pada suhu feminin lebih tinggi dan berbeda dari suhu maskulin. Pengukuran level ekspresi gen Rspond 1 juga menunjukkan hasil yang sama, sebaliknya pengukuran ekspresi gen SF-1 pada penyu lekang menunjukkan tidak berbeda nyata di antara kedua suhu inkubasi pada semua stadia perkembangan embrio penyu lekang. Meskipun demikian, data empiris menunjukkan bahwa level ekspresi SF-1 pada semua stadia perkembangan embrio penyu lekang lebih tinggi pada suhu maskulin dibandingkan dengan suhu feminin. Data profil ekspresi gen aromatase dan Rspond 1yang menunjukkan perbedaan nyata antara kedua suhu inkubasi setelah TSP menunjukkan bahwa kedua gen tersebut terekspresi lebih tinggi pada suhu feminin. Implikasi dari hasil tersebut, induksi suhu inkubasi memengaruhi level ekspresi gen aromatase dan Rspond 1 dan pada gilirannya memengaruhi produksi estrogen, diferensiasi ovarium, dan pertumbuhan sekunder seks pada embrio penyu lekang. Berkaitan dengan adanya TSP selama perkembangan embrio penyu lekang dan sebagai spesies TSD, maka kemungkinan untuk melakukan pembalikan seks (sex reversal) pada perkembangan embrio penyu lekang dapat dilakukan pada kedua suhu dengan menggantikan suhu inkubasi pada periode sebelum TSP. Selain itu, cara lain yang dapat dilakukan adalah dengan pemberian inhibitor aromatase sintetik pada telur yang diinkubasi pada suhu feminin dapat membalikkan perkembangan gonad embrio dari seks betina menjadi seks jantan yang definitif (Wibbels et al.1995, Rhen dan Lang 1994).

59 43 Sumber : Pieau et al. (1999) Gambar 10 Diferensiasi gonad (testis dan ovarium) reptil TSD pada periode sebelum, selama, dan setelah TSP : a, albugenia; BcMc, kapsul Bowman dari korpus Malpighi; bv,pembuluh darah; c,korteks; ca, anlage korteks; dm, mesenteri dorsal; gc, sel-sel germinar; ge, epiteliul germinal; l, lakuna; Lc, sel-sel Leydig; m, medulla; mc, korda medulla ; mm, mesenkim mesonefrik; mt, tuba mesonefrik; oo, oosit; pf, folikel primordial; rc, korda rete; rca, Anlage korda rete; sca, anlage korda seminiferus. Sehubungan dengan pengukuran ekspresi tiga gen determinasi seks, yaitu aromatase, dan Rspond 1 untuk diferensiasi ovarium,dan gen SF-1 untuk diferensiasi testis pada penyu lekang, maka hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu teknik untuk memperoleh jenis kelamin tukik untuk keperluan restocking tukik pada populasi alam dengan seks tertentu. Beberapa eksperimen sebelumnya menyebutkan bahwa suhu menentukan seks gonadal dengan memengaruhi metabolisme steroid seks selama perkembangan embrional. Pertama, estrogen alami dan sintetik menginduksi diferensiasi ovarium pada suhu yang menghasilkan betina secara normal dan hanya memengaruhi selama TSP pada tahap perkembangan gonad (Crews et al.1991, Bergeron et al.1994). Kedua, estrogen bekerja secara sinergis dengan meningkatnya suhu inkubasi untuk menghasilkan lebih banyak betina dibandingkan dengan perlakuan estrogen dan suhu

60 44 secara terpisah pada telur yang diinkubasi. Artinya, estrogen memberikan pengaruh kuat pada penentuan seks kura-kura Trachemys scripta, dan aplikasi estradiol eksogenous (E 2 ) menghasilkan embrio betina yang diinkubasi pada suhu inkubasi jantan (Crews et al.1991,wibbels et al.1991, Crews et al.1996). Ketiga, adanya inhibitor aromatase yang dapat menghambat diferensiasi ovarium pada temperatur yang umumnya menghasilkan betina. Aplikasi dan pengaturan ketersediaan estrogen selama TSP dengan memblokir aromatase, enzim yang mengubah testosteron menjadi estradiol (Crews dan Bergeron 1994,Wibbels dan Crews 1994). Perbandingan mekanisme jejaring kerja gen determinasi seks aromatase, SF-1 dan Rspond 1 antara spesies TSD (reptil) dan spesies GSD (mamalia) ditampilkan pada Gambar 11. Sumber : Shoemaker dan Crews (2008) Gambar 11 Mekanisme jejaring kerja gen determinasi seks aromatase, SF-1, dan Rspond 1 pada spesies TSD (reptil) dan spesies GSD (mamalia)

GONADAL SEX DETERMINATION OF Chelonia mydas EMBRYO: EXPRESSION PATTERN OF Rspo1 AND Calbindin-D28K

GONADAL SEX DETERMINATION OF Chelonia mydas EMBRYO: EXPRESSION PATTERN OF Rspo1 AND Calbindin-D28K GONADAL SEX DETERMINATION OF Chelonia mydas EMBRYO: EXPRESSION PATTERN OF Rspo1 AND Calbindin-D28K Student: Syamsul Bahri Doctor s Program in Biology, School of Life Sciences and Technology, ITB email:

Lebih terperinci

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 7, No. 1, Hlm , Juni 2015

Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 7, No. 1, Hlm , Juni 2015 Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 7, No. 1, Hlm. 143-155, Juni 2015 PROFIL EKSPRESI GEN DETERMINASI SEKS, BIOREPRODUKSI, FENOTIPE, DAN PERFORMA LOKOMOTORI PENYU LEKANG (Lepidochelys olivacea)

Lebih terperinci

ABSTRAK Polimorfisme suatu lokus pada suatu populasi penting diketahui untuk dapat melihat keadaan dari suatu populasi dalam keadaan aman atau

ABSTRAK Polimorfisme suatu lokus pada suatu populasi penting diketahui untuk dapat melihat keadaan dari suatu populasi dalam keadaan aman atau ABSTRAK Polimorfisme suatu lokus pada suatu populasi penting diketahui untuk dapat melihat keadaan dari suatu populasi dalam keadaan aman atau terancam. Penelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi

Lebih terperinci

Tesis. Diajukan kepada Program Studi Magister Biologi untuk Memperoleh Gelar Master Sains Biologi (M.Si) Oleh: Martina Bonsapia NPM:

Tesis. Diajukan kepada Program Studi Magister Biologi untuk Memperoleh Gelar Master Sains Biologi (M.Si) Oleh: Martina Bonsapia NPM: Fekunditas dan Waktu Peneluran Penyu, Kaitannya dengan Pengelolaan Konservasi di Pantai Warebar, Kampung Yenbekaki, Distrik Waigeo Timur, Kabupaten Raja Ampat Tesis Diajukan kepada Program Studi Magister

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ikan nila

TINJAUAN PUSTAKA Ikan nila 6 TINJAUAN PUSTAKA Ikan nila Ikan nila (Oreochromis niloticus) termasuk dalam family Chiclidae. Ciri yang spesifik pada ikan nila adalah adanya garis vertikal berwarna gelap di tubuh berjumlah 6-9 buah

Lebih terperinci

Syamsul Bahri Program Studi Pendidikan Biologi, Jurusan PMIPA FKIP Universitas Mataram Jl. Majapahit 62 Mataram, 83125

Syamsul Bahri Program Studi Pendidikan Biologi, Jurusan PMIPA FKIP Universitas Mataram Jl. Majapahit 62 Mataram, 83125 ISSN 1907-1744 SUHU INKUBASI MEMPENGARUHI LEVEL EKSPRESI SOX9 PADA TAHAP AWAL PERKEMBANGAN GONAD EMBRIO Chelonia mydas (PENYU HIJAU) Syamsul Bahri Program Studi Pendidikan Biologi, Jurusan PMIPA FKIP Universitas

Lebih terperinci

POLIMORFISME LOKUS MIKROSATELIT D10S1432 PADA POPULASI MONYET EKOR PANJANG DI SANGEH

POLIMORFISME LOKUS MIKROSATELIT D10S1432 PADA POPULASI MONYET EKOR PANJANG DI SANGEH POLIMORFISME LOKUS MIKROSATELIT D10S1432 PADA POPULASI MONYET EKOR PANJANG DI SANGEH SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Tugas tugas dan Memenuhi Persyaratan untuk Mencapai Gelar Sarjana Kedokteran Hewan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan satu dari sedikit tempat di dunia dimana penyu laut ditemukan dalam jumlah besar. Daerah-daerah yang menjadi lokasi peneluran di Indonesia umumnya

Lebih terperinci

METODE MEMPERTAHANKAN KUALITAS DAN KUANTITAS ASAM RIBONUKLEAT (RNA) TANAMAN M. REZEKI MUAMMAR

METODE MEMPERTAHANKAN KUALITAS DAN KUANTITAS ASAM RIBONUKLEAT (RNA) TANAMAN M. REZEKI MUAMMAR METODE MEMPERTAHANKAN KUALITAS DAN KUANTITAS ASAM RIBONUKLEAT (RNA) TANAMAN M. REZEKI MUAMMAR PROGRAM STUDI BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan nila merah Oreochromis sp.

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Ikan nila merah Oreochromis sp. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Karakteristik ikan nila merah Oreochromis sp. Ikan nila merupakan ikan yang berasal dari Sungai Nil (Mesir) dan danaudanau yang berhubungan dengan aliran sungai itu. Ikan nila

Lebih terperinci

by: Dwi Pitriani 1), Muhammad Fauzi 2), Eni Sumiarsih 2) Abstract

by: Dwi Pitriani 1), Muhammad Fauzi 2), Eni Sumiarsih 2) Abstract The effects of nest cover types on incubation period and hatching rate of Olive Ridley turtle Lepidochelys olivacea in the Turtle Conservation Unit, Pariaman by: Dwi Pitriani 1), Muhammad Fauzi 2), Eni

Lebih terperinci

PERBANDINGAN KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU SISIK (Eretmochelys imbricata) DI PENANGKARAN PENYU PANTAI TONGACI DAN UPT PENANGKARAN PENYU GUNTUNG

PERBANDINGAN KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU SISIK (Eretmochelys imbricata) DI PENANGKARAN PENYU PANTAI TONGACI DAN UPT PENANGKARAN PENYU GUNTUNG 77 PERBANDINGAN KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU SISIK (Eretmochelys imbricata) DI PENANGKARAN PENYU PANTAI TONGACI DAN UPT PENANGKARAN PENYU GUNTUNG Comparison of Eggs Hatching Success Eretmochelys

Lebih terperinci

ABSTRACT. Keywords: Graphium agamemnon, Graphium doson, Mechelia champaca, Annona muricata, life cycle, food consumption.

ABSTRACT. Keywords: Graphium agamemnon, Graphium doson, Mechelia champaca, Annona muricata, life cycle, food consumption. ABSTRACT ESWA TRESNAWATI. The Life Cycle and Growth of Graphium agamemnon L. and Graphium doson C&R. Butterflies (Papilionidae: Lepidoptera) Fed by Cempaka (Michelia champaca) and Soursoup (Annona muricata).

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI RAGAM ALEL PADA TIGA LOKUS DNA MIKROSATELIT AUTOSOM MASYARAKAT SOROH PANDE DI KABUPATEN GIANYAR UNTUK KEPENTINGAN FORENSIK

IDENTIFIKASI RAGAM ALEL PADA TIGA LOKUS DNA MIKROSATELIT AUTOSOM MASYARAKAT SOROH PANDE DI KABUPATEN GIANYAR UNTUK KEPENTINGAN FORENSIK IDENTIFIKASI RAGAM ALEL PADA TIGA LOKUS DNA MIKROSATELIT AUTOSOM MASYARAKAT SOROH PANDE DI KABUPATEN GIANYAR UNTUK KEPENTINGAN FORENSIK Skripsi Sebagai tugas akhir untuk memenuhi syarat mencapai derajat

Lebih terperinci

Penetasan Telur Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea Eschscholtz,1829) pada Lokasi Berbeda di Kawasan Konservasi Penyu Kota Pariaman

Penetasan Telur Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea Eschscholtz,1829) pada Lokasi Berbeda di Kawasan Konservasi Penyu Kota Pariaman Penetasan Telur Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea Eschscholtz,1829) pada Lokasi Berbeda di Kawasan Konservasi Penyu Kota Pariaman Eggs Hatching of Olive Ridley Turtles (Lepidochelys olivacea Eschscholtz,1829)

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Sampel yang digunakan dalam penelitian

METODE PENELITIAN. Tabel 1 Sampel yang digunakan dalam penelitian 12 METODE PEELITIA Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan April 2010, bertempat di Bagian Fungsi Hayati dan Perilaku Hewan, Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. perkawinan. Proses perkawinan biasanya terjadi pada malam hari atau menjelang

II. TINJAUAN PUSTAKA. perkawinan. Proses perkawinan biasanya terjadi pada malam hari atau menjelang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sifat Seksualitas Lobster Air Tawar Pada umumnya lobster air tawar matang gonad pada umur 6 sampai 7 bulan. Setelah mencapai umur tersebut, induk jantan dan betina akan melakukan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan,

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN DAFTAR ISI xi Halaman HALAMAN SAMPUL... i HALAMAN PENGESAHAN...i BERITA ACARA... iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH... iv PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI SKRIPSI UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS...v ABSTRAK...

Lebih terperinci

Polymorphism of GH, GHRH and Pit-1 Genes of Buffalo

Polymorphism of GH, GHRH and Pit-1 Genes of Buffalo Polymorphism of GH, GHRH and Pit-1 Genes of Buffalo Nama : Rohmat Diyono D151070051 Pembimbing : Cece Sumantri Achmad Farajallah Tanggal Lulus : 2009 Judul : Karakteristik Ukuran Tubuh dan Polimorfisme

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Derajat Kelangsungan Hidup (SR) Perlakuan Perendaman (%)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Derajat Kelangsungan Hidup (SR) Perlakuan Perendaman (%) IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Hasil yang diperoleh pada penelitian ini meliputi persentase jenis kelamin jantan rata-rata, derajat kelangsungan hidup (SR) rata-rata setelah perlakuan perendaman dan

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN MARKA MOLEKULER DNA DALAM IDENTIFIKASI SEL GONAD IKAN GURAME (Osphronemus gouramy) DAN IKAN NILA (Oreochromis niloticus) MENGGUNAKAN PCR

PENGEMBANGAN MARKA MOLEKULER DNA DALAM IDENTIFIKASI SEL GONAD IKAN GURAME (Osphronemus gouramy) DAN IKAN NILA (Oreochromis niloticus) MENGGUNAKAN PCR PENGEMBANGAN MARKA MOLEKULER DNA DALAM IDENTIFIKASI SEL GONAD IKAN GURAME (Osphronemus gouramy) DAN IKAN NILA (Oreochromis niloticus) MENGGUNAKAN PCR MARLINA ACHMAD SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Mahasiswa Pendidikan Dokter Hewan, 2. Departemen Reproduksi Veteriner, 3 Departemen Parasitologi Veteriner, 4

Mahasiswa Pendidikan Dokter Hewan, 2. Departemen Reproduksi Veteriner, 3 Departemen Parasitologi Veteriner, 4 pissn: 2615-7497; eissn: 2581-012X April 2018, Vol.1 No.2 : 1-5 online pada http://journal.unair.ac.id PERBEDAAN SARANG ALAMI DENGAN SEMI ALAMI MEMPENGARUHI MASA INKUBASI DAN KEBERHASILAN MENETAS TELUR

Lebih terperinci

SELAMA MASA INKUBASI DI PANTAI PANGUMBAHAN KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT

SELAMA MASA INKUBASI DI PANTAI PANGUMBAHAN KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT IDENTIFIKASI PANAS METABOLISME PADA PENETASAN TELUR PENYU HIJAU Chelonia mydas L., SELAMA MASA INKUBASI DI PANTAI PANGUMBAHAN KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT Oleh Dr. Ir. H. M. Yahya Ahmad, MM.,MA.,ED*

Lebih terperinci

POLA EKSPRESI GEN HbACO2 PADA KULIT BATANG DAN LATEKS KARET (Hevea brasiliensis) AKIBAT STRES EKSPLOITASI CHAIRUNISA

POLA EKSPRESI GEN HbACO2 PADA KULIT BATANG DAN LATEKS KARET (Hevea brasiliensis) AKIBAT STRES EKSPLOITASI CHAIRUNISA POLA EKSPRESI GEN HbACO2 PADA KULIT BATANG DAN LATEKS KARET (Hevea brasiliensis) AKIBAT STRES EKSPLOITASI CHAIRUNISA PROGRAM STUDI BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang sudah dikenal luas dan termasuk komoditas ekspor. Kelebihan ikan guppy

I. PENDAHULUAN. yang sudah dikenal luas dan termasuk komoditas ekspor. Kelebihan ikan guppy I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ikan guppy (Poecillia reticulata) merupakan salah satu jenis ikan hias air tawar yang sudah dikenal luas dan termasuk komoditas ekspor. Kelebihan ikan guppy diantaranya

Lebih terperinci

DAYA TETAS, HASIL TETAS DAN LAMA MENETAS TELUR ITIK YANG DISIMPAN PADA SUHU DAN LAMA PENYIMPANAN YANG BERBEDA

DAYA TETAS, HASIL TETAS DAN LAMA MENETAS TELUR ITIK YANG DISIMPAN PADA SUHU DAN LAMA PENYIMPANAN YANG BERBEDA SKRIPSI DAYA TETAS, HASIL TETAS DAN LAMA MENETAS TELUR ITIK YANG DISIMPAN PADA SUHU DAN LAMA PENYIMPANAN YANG BERBEDA UIN SUSKA RIAU Oleh : Ali Muhajirin 11081102429 PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR

IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR IDENTIFIKASI KERAGAMAN GEN PITUITARY SPECIFIC POSITIVE TRANSCRIPTION FACTOR 1 (PIT1) PADA KERBAU LOKAL (Bubalus bubalis) DAN SAPI FH (Friesian-Holstein) SKRIPSI RESTU MISRIANTI DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Hasil Amplifikasi Gen FSHR Alu-1pada gel agarose 1,5%. HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen FSHR Alu-1 Amplifikasi fragmen gen FSHR Alu-1 dengan metode Polymerase Chain Reaction (PCR) dilakukan dengan kondisi annealing 60 C selama 45 detik dan diperoleh produk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen GH Exon 4 Amplifikasi gen GH exon 4 pada kambing Peranakan Etawah (PE), Saanen dan PESA (Persilangan PE-Saanen) diperoleh panjang fragmen 200 bp (Gambar 8). M 1 2 3

Lebih terperinci

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN PELANGI MERAH (Glossolepis incisus Weber, 1907) DI DANAU SENTANI LISA SOFIA SIBY

BIOLOGI REPRODUKSI IKAN PELANGI MERAH (Glossolepis incisus Weber, 1907) DI DANAU SENTANI LISA SOFIA SIBY BIOLOGI REPRODUKSI IKAN PELANGI MERAH (Glossolepis incisus Weber, 1907) DI DANAU SENTANI LISA SOFIA SIBY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

INTRODUKSI DAN PERSENTASE IKAN YANG MEMBAWA GEN GH Growth Hormone IKAN NILA Oreochromis niloticus PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp.

INTRODUKSI DAN PERSENTASE IKAN YANG MEMBAWA GEN GH Growth Hormone IKAN NILA Oreochromis niloticus PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp. INTRODUKSI DAN PERSENTASE IKAN YANG MEMBAWA GEN GH Growth Hormone IKAN NILA Oreochromis niloticus PADA IKAN LELE DUMBO Clarias sp. GENERASI F0 BAMBANG KUSMAYADI GUNAWAN SKRIPSI PROGRAM STUDI TEKNOLOGI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Penyu adalah kura-kura laut. Penyu ditemukan di semua samudra di dunia.

I. PENDAHULUAN. Penyu adalah kura-kura laut. Penyu ditemukan di semua samudra di dunia. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyu adalah kura-kura laut. Penyu ditemukan di semua samudra di dunia. Menurut para ilmuwan, penyu sudah ada sejak akhir zaman purba (145-208 juta tahun yang lalu) atau

Lebih terperinci

Matakuliah Evolusi Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Lampung

Matakuliah Evolusi Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Lampung Matakuliah Evolusi Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Lampung OVERVIEW Populasi Gene Pool Variasi Frekuensi Alel dan Frekuensi Genotipe Kesetimbangan Genetik Perubahan Frekuensi Alel dan Genotipe

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) tersebar luas di Daratan Asia Tenggara, Lempeng Sunda, Kepulauan Filipina, dan daerah Wallacea Selatan. Monyet ekor panjang di Indonesia

Lebih terperinci

EVALUASI DAN OPTIMALISASI PROGRAM PCR DALAM DETERMINASI KELAMIN IKAN BARBIR EMAS Puntius conchonius SECARA MOLEKULAR RADI IHLAS ALBANI

EVALUASI DAN OPTIMALISASI PROGRAM PCR DALAM DETERMINASI KELAMIN IKAN BARBIR EMAS Puntius conchonius SECARA MOLEKULAR RADI IHLAS ALBANI EVALUASI DAN OPTIMALISASI PROGRAM PCR DALAM DETERMINASI KELAMIN IKAN BARBIR EMAS Puntius conchonius SECARA MOLEKULAR RADI IHLAS ALBANI DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

DETEKSI DAN ANALISIS EKSPRESI TRANSGEN (PhGH) PADA IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) TRANSGENIK F3 FERY JAKSEN SIHOTANG

DETEKSI DAN ANALISIS EKSPRESI TRANSGEN (PhGH) PADA IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) TRANSGENIK F3 FERY JAKSEN SIHOTANG DETEKSI DAN ANALISIS EKSPRESI TRANSGEN (PhGH) PADA IKAN LELE DUMBO (Clarias gariepinus) TRANSGENIK F3 FERY JAKSEN SIHOTANG 110302045 PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE JUMADI

MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE JUMADI MODEL MATEMATIKA PENYEBARAN PENYAKIT DEMAM BERDARAH DENGUE JUMADI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei deskriptif. Menurut Nasir 1983 dalam Ario 2016, metode survei deskriptif yaitu

Lebih terperinci

Buletin Veteriner Udayana Vol. 4 No.2: ISSN : Agustus 2012

Buletin Veteriner Udayana Vol. 4 No.2: ISSN : Agustus 2012 Profil Seks Rasio Tukik Penyu Hijau (Chelonia mydas l) Pada Penetasan Alami Dan Non-alami Di Pantai Sukamade Kabupaten Banyuwangi (SEX RATIO PROFILE OF HATSHLINGGREEN TURTLE (CHELONIA MYDAS L) IN NATURAL

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4

MATERI DAN METODE. Lokasi dan Waktu. Materi. Tabel 1. Jumah Sampel Darah Ternak Sapi Indonesia Ternak n Asal Sapi Bali 2 4 MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Genetika Molekuler Ternak, Bagian Pemuliaan dan Genetika Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. penelitian ini

Lebih terperinci

POLA PERKAWINAN RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) DENGAN BERBAGAI RATIO BETINA SKRIPSI. Oleh: JULI MUTIARA SIHOMBING

POLA PERKAWINAN RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) DENGAN BERBAGAI RATIO BETINA SKRIPSI. Oleh: JULI MUTIARA SIHOMBING POLA PERKAWINAN RUSA SAMBAR (Cervus unicolor) DENGAN BERBAGAI RATIO BETINA SKRIPSI Oleh: JULI MUTIARA SIHOMBING 060306020 DEPARTEMEN PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2010 POLA PERKAWINAN

Lebih terperinci

DETERMINASI SEKS RASIO TUKIK PENYU HIJAU (Chelonia mydas L) PADA PENETASAN ALAMI DAN NON-ALAMI DI PANTAI SUKAMADE KABUPATEN BANYUWANGI

DETERMINASI SEKS RASIO TUKIK PENYU HIJAU (Chelonia mydas L) PADA PENETASAN ALAMI DAN NON-ALAMI DI PANTAI SUKAMADE KABUPATEN BANYUWANGI DETERMINASI SEKS RASIO TUKIK PENYU HIJAU (Chelonia mydas L) PADA PENETASAN ALAMI DAN NON-ALAMI DI PANTAI SUKAMADE KABUPATEN BANYUWANGI PUTU SUASTIKA DAN DWI SUPRAPTI LABORATORIUM HISTOLOGI VETERINER FKH-UNUD

Lebih terperinci

Biologi, Ekologi, dan Manajemen Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea) di Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi - Jawa Timur, Indonesia

Biologi, Ekologi, dan Manajemen Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea) di Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi - Jawa Timur, Indonesia Biologi, Ekologi, dan Manajemen Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea) di Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi - Jawa Timur, Indonesia Risma Illa Maulany (Mahasiswa Program Doktor School of Natural and

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober Amplifikasi gen Growth

MATERI DAN METODE. Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober Amplifikasi gen Growth III. MATERI DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Pengambilan sampel darah domba dilakukan di Kecamatan Koto Tengah Kota Padang Sumatera Barat pada bulan Oktober 2012. Amplifikasi gen Growth Hormone menggunakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Uji Kualitatif dan Kuantitatif Hasil Isolasi RNA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Uji Kualitatif dan Kuantitatif Hasil Isolasi RNA 6 konsentrasinya. Untuk isolasi kulit buah kakao (outer pod wall dan inner pod wall) metode sama seperti isolasi RNA dari biji kakao. Uji Kualitatif dan Kuantitatif Hasil Isolasi RNA Larutan RNA hasil

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian deskriptif. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian dasar dengan metode B. Objek Penelitian Objek penelitian ini adalah sampel DNA koleksi hasil

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan November 2007 hingga Juli 2009, bertempat di Laboratorium Reproduksi dan Genetika Organisme Akuatik Departemen

Lebih terperinci

TINGKAT KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU SISIK (Eretmochelys imbricata) PULAU DURAI KEPULAUAN ANAMBAS DI LAGOI

TINGKAT KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU SISIK (Eretmochelys imbricata) PULAU DURAI KEPULAUAN ANAMBAS DI LAGOI TINGKAT KEBERHASILAN PENETASAN TELUR PENYU SISIK (Eretmochelys imbricata) PULAU DURAI KEPULAUAN ANAMBAS DI LAGOI Muslim Jurusan Ilmu Kelautan, FIKP UMRAH, muslim1989.ibrahim@gmail.com Henky Irawan Jurusan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat 12 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Survei penyakit klorosis dan koleksi sampel tanaman tomat sakit dilakukan di sentra produksi tomat di daerah Cianjur, Cipanas, Lembang, dan Garut. Deteksi

Lebih terperinci

SKRIPSI. ANALISIS POPULASI GENETIK PASAK BUMI (Eurycoma longifolia Jack) BERDASARKAN PENANDA RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA)

SKRIPSI. ANALISIS POPULASI GENETIK PASAK BUMI (Eurycoma longifolia Jack) BERDASARKAN PENANDA RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) SKRIPSI ANALISIS POPULASI GENETIK PASAK BUMI (Eurycoma longifolia Jack) BERDASARKAN PENANDA RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) Oleh: Ade Rosidin 10982008445 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

Pengaruh Formula dengan Penambahan Bumbu untuk Makanan Rumah Sakit pada Status Gizi dan Kesehatan Pasien LIBER

Pengaruh Formula dengan Penambahan Bumbu untuk Makanan Rumah Sakit pada Status Gizi dan Kesehatan Pasien LIBER Pengaruh Formula dengan Penambahan Bumbu untuk Makanan Rumah Sakit pada Status Gizi dan Kesehatan Pasien LIBER SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

KERAGAMAN GENETIK POPULASI INDUK ABALONE (Haliotis diversicolor) ASAL SELAT BALI DENGAN MENGGUNAKAN PENANDA Random Amplified Polimorphic DNA (RAPD)

KERAGAMAN GENETIK POPULASI INDUK ABALONE (Haliotis diversicolor) ASAL SELAT BALI DENGAN MENGGUNAKAN PENANDA Random Amplified Polimorphic DNA (RAPD) KERAGAMAN GENETIK POPULASI INDUK ABALONE (Haliotis diversicolor) ASAL SELAT BALI DENGAN MENGGUNAKAN PENANDA Random Amplified Polimorphic DNA (RAPD) SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai

Lebih terperinci

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH

PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH PERAN MODEL ARSITEKTUR RAUH DAN NOZERAN TERHADAP PARAMETER KONSERVASI TANAH DAN AIR DI HUTAN PAGERWOJO, TULUNGAGUNG NURHIDAYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Persentase Ikan Jantan Salah satu faktor yang dapat digunakan dalam mengukur keberhasilan proses maskulinisasi ikan nila yaitu persentase ikan jantan. Persentase jantan

Lebih terperinci

PENGARUH UMUR DAN BOBOT TELUR ITIK LOKAL TERHADAP MORTALITAS, DAYA TETAS, KUALITAS TETAS DAN BOBOT TETAS

PENGARUH UMUR DAN BOBOT TELUR ITIK LOKAL TERHADAP MORTALITAS, DAYA TETAS, KUALITAS TETAS DAN BOBOT TETAS PENGARUH UMUR DAN BOBOT TELUR ITIK LOKAL TERHADAP MORTALITAS, DAYA TETAS, KUALITAS TETAS DAN BOBOT TETAS Skripsi Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Derajat Sarjana Peternakan di Fakultas

Lebih terperinci

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN

PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Pendahuluan 5. PROFIL HORMON TESTOSTERON DAN ESTROGEN WALET LINCHI SELAMA PERIODE 12 BULAN Hormon steroid merupakan derivat dari kolesterol, molekulnya kecil bersifat lipofilik (larut dalam lemak) dan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Pembimbing I : Caroline Tan Sardjono, dr., Ph.D. Pembimbing II : Lusiana Darsono, dr., M.Kes.

ABSTRAK. Pembimbing I : Caroline Tan Sardjono, dr., Ph.D. Pembimbing II : Lusiana Darsono, dr., M.Kes. ABSTRAK DETEKSI Fc RI PADA STEM CELL YANG DIISOLASI DARI DARAH TEPI Cynthia Winarto, 2009. Pembimbing I : Caroline Tan Sardjono, dr., Ph.D. Pembimbing II : Lusiana Darsono, dr., M.Kes. Penelitian terhadap

Lebih terperinci

DIFERENSIASI KELAMIN DAN PERFORMANSI TIGA GENOTIPE IKAN NILA YANG DIBERI BAHAN AROMATASE INHIBITOR HINGGA TAHAP PEMBESARAN DIDIK ARIYANTO

DIFERENSIASI KELAMIN DAN PERFORMANSI TIGA GENOTIPE IKAN NILA YANG DIBERI BAHAN AROMATASE INHIBITOR HINGGA TAHAP PEMBESARAN DIDIK ARIYANTO DIFERENSIASI KELAMIN DAN PERFORMANSI TIGA GENOTIPE IKAN NILA YANG DIBERI BAHAN AROMATASE INHIBITOR HINGGA TAHAP PEMBESARAN DIDIK ARIYANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 ii PERNYATAAN

Lebih terperinci

PENGENDALIAN KADAR GLUKOSA DARAH OLEH TEH HIJAU DAN ATAU TEH DAUN MURBEI PADA TIKUS DIABETES RUSMAN EFENDI

PENGENDALIAN KADAR GLUKOSA DARAH OLEH TEH HIJAU DAN ATAU TEH DAUN MURBEI PADA TIKUS DIABETES RUSMAN EFENDI PENGENDALIAN KADAR GLUKOSA DARAH OLEH TEH HIJAU DAN ATAU TEH DAUN MURBEI PADA TIKUS DIABETES RUSMAN EFENDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN

STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN STUDI KONDISI VEGETASI DAN KONDISI FISIK KAWASAN PESISIR SERTA UPAYA KONSERVASI DI NANGGROE ACEH DARUSSALAM FERI SURYAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PENYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN TOLERANSI MELASTOMA TERHADAP ANTIBIOTIK KANAMISIN DAN HIGROMISIN SECARA IN VITRO NANI SUMARNI

PERTUMBUHAN DAN TOLERANSI MELASTOMA TERHADAP ANTIBIOTIK KANAMISIN DAN HIGROMISIN SECARA IN VITRO NANI SUMARNI PERTUMBUHAN DAN TOLERANSI MELASTOMA TERHADAP ANTIBIOTIK KANAMISIN DAN HIGROMISIN SECARA IN VITRO NANI SUMARNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian

METODOLOGI PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat Penelitian 14 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilakukan di Laboratorium Unit Pelayanan Mikrobiologi Terpadu, Bagian Mikrobiologi Kesehatan, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 1 EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA

Lebih terperinci

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA

ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA ANALISIS BIPLOT UNTUK MEMETAKAN MUTU SEKOLAH YANG SESUAI DENGAN NILAI UJIAN NASIONAL SUJITA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS

STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS STUDI KERAGAMAN FENOTIPE DAN PENDUGAAN JARAK GENETIK KERBAU SUNGAI, RAWA DAN SILANGANNYA DI SUMATERA UTARA SKRIPSI ANDRI JUWITA SITORUS PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT

Lebih terperinci

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria

Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria Kolokium Departemen Biologi FMIPA IPB: Ria Maria Ria Maria (G34090088), Achmad Farajallah, Maria Ulfah. 2012. Karakterisasi Single Nucleotide Polymorphism Gen CAST pada Ras Ayam Lokal. Makalah Kolokium

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Penyu Hijau Perairan Indonesia memiliki enam dari tujuh jenis penyu laut di dunia,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Penyu Hijau Perairan Indonesia memiliki enam dari tujuh jenis penyu laut di dunia, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penyu Hijau Perairan Indonesia memiliki enam dari tujuh jenis penyu laut di dunia, yang berasal dari dua famili yaitu Cheloniidae dan Dermochelyidae. Salah satu spesies dari

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan nila

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan nila 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan nila Ikan nila (Oreochromis niloticus) merupakan salah satu jenis ikan tilapia yangberasal dari Benua Afrika. Namun demikian, pada saat ini ikan nila telah menyebar di berbagai

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental yang bertujuan untuk

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode eksperimental yang bertujuan untuk 27 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan metode eksperimental yang bertujuan untuk mengamplifikasi Gen STX1A. 3.2 Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian

Lebih terperinci

PENGARUH LAMANYA INOKULASI

PENGARUH LAMANYA INOKULASI PENGARUH LAMANYA INOKULASI Sturmiopsis inferens Town (Diptera: Tachinidae) TERHADAP JUMLAH INANG Phragmatoecia castaneae Hubner (Lepidoptera: Cossidae) DI LABORATORIUM SKRIPSI OLEH : TETRA FEBRYANDI SAGALA

Lebih terperinci

HAI NAMAKU PENYU Fakta Tentang Penyu Menurut data para ilmuwan, penyu sudah ada sejak akhir zaman Jura (145-208 juta tahun yang lalu) atau seusia dengan dinosaurus. Penyu termasuk kelas reptilia yang

Lebih terperinci

PERBANDINGAN METODE EKSTRAKSI REAL TIME PCR VIRUS INFLUENZA A ANTARA METODE GUANIDIUM,-THIOCYANATE-PHENOL- CHLOROFORM DAN METODE SPIN KOLOM

PERBANDINGAN METODE EKSTRAKSI REAL TIME PCR VIRUS INFLUENZA A ANTARA METODE GUANIDIUM,-THIOCYANATE-PHENOL- CHLOROFORM DAN METODE SPIN KOLOM PERBANDINGAN METODE EKSTRAKSI REAL TIME PCR VIRUS INFLUENZA A ANTARA METODE GUANIDIUM,-THIOCYANATE-PHENOL- CHLOROFORM DAN METODE SPIN KOLOM YUNI YUPIANA Balai Besar Pengujian Mutu dan Sertifikasi Obat

Lebih terperinci

JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES. Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman Online di :

JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES. Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman Online di : JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES. Volume 2, Nomor 2, Tahun 2013, Halaman 73-80 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares ASPEK REPRODUKSI IKAN NILA (Oreochromis niloticus)

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 29 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian meliputi Laut Sulawesi, Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, Laut Banda, Teluk Tolo, Laut Maluku dan Teluk Tomini (Gambar

Lebih terperinci

II. MATERI DAN METODE. Tempat pengambilan sampel daun jati (Tectona grandis Linn. f.) dilakukan di

II. MATERI DAN METODE. Tempat pengambilan sampel daun jati (Tectona grandis Linn. f.) dilakukan di II. MATERI DAN METODE 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian Tempat pengambilan sampel daun jati (Tectona grandis Linn. f.) dilakukan di enam desa yaitu tiga desa di Kecamatan Grokgak dan tiga desa di Kecamatan

Lebih terperinci

Journal Of Marine Research. Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman Online di:

Journal Of Marine Research. Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman Online di: Journal Of Marine Research. Volume 1, Nomor 2, Tahun 2012, Halaman 67-72 Online di: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jmr Pengaruh Pemberian Udang Ebi Dengan Konsentrasi Yang Berbeda Terhadap Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mahoni dan mimba. Hasil seleksi primer yang dilakukan terhadap 13 primer spesifik dari

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. mahoni dan mimba. Hasil seleksi primer yang dilakukan terhadap 13 primer spesifik dari BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Amplifikasi silang jenis Mindi Amplifikasi DNA merupakan proses penggandaan DNA dimana basa penyusun DNA direplikasi dengan bantuan primer. Primer merupakan potongan rantai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebagai negara megadiversity (Auhara, 2013). Diperkirakan sebanyak jenis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebagai negara megadiversity (Auhara, 2013). Diperkirakan sebanyak jenis BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia masuk dalam urutan ketiga dari ketujuh negara dunia lainnya sebagai negara megadiversity (Auhara, 2013). Diperkirakan sebanyak 300.000 jenis satwa atau sekitar

Lebih terperinci

EKSPRESI GEN SOD DAN GPX PADA KEDELAI YANG MENDAPAT CEKAMAN KEKERINGAN DAN PERLAKUAN HERBISIDA PARAQUAT ACHMAD HINDARTA

EKSPRESI GEN SOD DAN GPX PADA KEDELAI YANG MENDAPAT CEKAMAN KEKERINGAN DAN PERLAKUAN HERBISIDA PARAQUAT ACHMAD HINDARTA EKSPRESI GEN SOD DAN GPX PADA KEDELAI YANG MENDAPAT CEKAMAN KEKERINGAN DAN PERLAKUAN HERBISIDA PARAQUAT ACHMAD HINDARTA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Dengan

Lebih terperinci

7. PEMBAHASAN UMUM. Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agt Sep Okt Nop Des. Gambar 21 Ukuran testis walet linchi selama 12 bulan

7. PEMBAHASAN UMUM. Jan Feb Mar Apr Mei Juni Juli Agt Sep Okt Nop Des. Gambar 21 Ukuran testis walet linchi selama 12 bulan 7. PEMBAHASAN UMUM Morfologi Gonad dan Kelenjar Mandibularis Walet Linchi Dari hasil pengamatan selama 12 bulan terhadap perubahan morfologi yang terjadi pada gonad jantan dan betina. Tampak perubahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan

I. PENDAHULUAN. Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perserikatan Bangsa Bangsa telah mendirikan FAO Global Strategy for the Management of Farm Animal Genetic Resources. Tujuannya untuk melindungi dan mengatur pemanfaatan

Lebih terperinci

Kata kunci : sel punca, darah tali pusat, FcγRIIb, Reseptor Fc, Imunoglobulin

Kata kunci : sel punca, darah tali pusat, FcγRIIb, Reseptor Fc, Imunoglobulin ABSTRAK EKSPRESI FC γ RIIB YANG DIISOLASI DARI SEL PUNCA DARAH TALI PUSAT Elvine, 2009 Pembimbing I : Caroline Tan Sardjono,dr., PhD Pembimbing II: DR. Susi Tjahjani,dr., M.Kes Penggunaan sel punca sebagai

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN M

III. HASIL DAN PEMBAHASAN M III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil 3.1.1. Profil RAPD Keragaman profil penanda DNA meliputi jumlah dan ukuran fragmen DNA. Hasil amplifikasi dengan menggunakan primer OPA-02, OPC-02, OPC-05 selengkapnya

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK FENOTIPE MORFOMERISTIK DAN KERAGAMAN GENOTIPE RAPD (RANDOMLY AMPLIFIED POLYMORPHISM DNA) IKAN NILEM (Osteochilus hasselti) DI JAWA BARAT

KARAKTERISTIK FENOTIPE MORFOMERISTIK DAN KERAGAMAN GENOTIPE RAPD (RANDOMLY AMPLIFIED POLYMORPHISM DNA) IKAN NILEM (Osteochilus hasselti) DI JAWA BARAT KARAKTERISTIK FENOTIPE MORFOMERISTIK DAN KERAGAMAN GENOTIPE RAPD (RANDOMLY AMPLIFIED POLYMORPHISM DNA) IKAN NILEM (Osteochilus hasselti) DI JAWA BARAT MULYASARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium BIORIN (Biotechnology Research Indonesian - The Netherlands) Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi IPB. Penelitian

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN RENALDO PRIMA SUTIKNO ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYALURAN KREDIT DI BANK UMUM MILIK NEGARA PERIODE TAHUN 2004-2012 RENALDO PRIMA SUTIKNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR

MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR MANAJEMEN RISIKO DI PERUSAHAAN BETON (STUDI KASUS UNIT READYMIX PT BETON INDONESIA) MUAMMAR TAWARUDDIN AKBAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

KAJIAN KERAGAMAN GENETIK DAN BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAIS DI SUNGAI KAMPAR RIAU ROZA ELVYRA

KAJIAN KERAGAMAN GENETIK DAN BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAIS DI SUNGAI KAMPAR RIAU ROZA ELVYRA KAJIAN KERAGAMAN GENETIK DAN BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAIS DI SUNGAI KAMPAR RIAU ROZA ELVYRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

PENGARUH PERSILANGAN IKAN NILA (Oreochromis niloticus) STRAIN GIFT DENGAN STRAIN NIFI TERHADAP NILAI HETEROSIS PANJANG, LEBAR, DAN BERAT BADAN

PENGARUH PERSILANGAN IKAN NILA (Oreochromis niloticus) STRAIN GIFT DENGAN STRAIN NIFI TERHADAP NILAI HETEROSIS PANJANG, LEBAR, DAN BERAT BADAN ARTIKEL ILMIAH Oleh Ikalia Nurfitasari NIM 061810401008 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS JEMBER 2012 ARTIKEL ILMIAH diajukan guna melengkapi tugas akhir dan memenuhi

Lebih terperinci

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH

PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH PRODUKSI EMBRIO IN VITRO DARI OOSIT HASIL AUTOTRANSPLANTASI HETEROTOPIK OVARIUM MENCIT NURBARIAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumusan Masalah Batasan Penelitian Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian...

DAFTAR ISI. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumusan Masalah Batasan Penelitian Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian... DAFTAR ISI Halaman Halaman Judul... i Halaman Pengesahan... iii Halaman Pernyataan... iv Halaman Persembahan... v Kata Pengantar... vi Daftar Isi... viii Daftar Tabel... x Daftar Gambar... xi Daftar Lampiran...

Lebih terperinci

ANALISIS KERAGAMAN GENETIK KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) ASAL JAWA BARAT DENGAN PENANDA RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA)

ANALISIS KERAGAMAN GENETIK KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) ASAL JAWA BARAT DENGAN PENANDA RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) ANALISIS KERAGAMAN GENETIK KELAPA SAWIT (Elaeis guineensis Jacq) ASAL JAWA BARAT DENGAN PENANDA RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) MUHAMMAD IQBAL SYUKRI DEPARTEMEN BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Polimorfisme RAPD dan Mikrosatelit Penelitian ini menggunakan primer dari Operon Technology, dimana dari 10 primer acak yang diseleksi, primer yang menghasilkan pita amplifikasi yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Amplifikasi Gen Calpastatin (CAST MspI) Amplifikasi fragmen gen calpastatin (CAST MspI) pada setiap bangsa sapi dilakukan dengan menggunakan mesin thermal cycler (AB Bio System) pada

Lebih terperinci

ABSTRAK. DETEKSI FcγRIIb PADA STEM CELL YANG DIISOLASI DARI DARAH TEPI

ABSTRAK. DETEKSI FcγRIIb PADA STEM CELL YANG DIISOLASI DARI DARAH TEPI ABSTRAK DETEKSI FcγRIIb PADA STEM CELL YANG DIISOLASI DARI DARAH TEPI Esther Hintono, 2008 Pembimbing I : Caroline Tan Sardjono, dr., Ph.D Pembimbing II : Ernawati Arifin Giri Rachman, Ph.D Stem cell saat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. subfilum vertebrata atau hewan bertulang belakang. Merak hijau adalah burung

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. subfilum vertebrata atau hewan bertulang belakang. Merak hijau adalah burung 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Morfologi Merak Hijau (Pavo muticus) Merak hijau (Pavo muticus) termasuk dalam filum chordata dengan subfilum vertebrata atau hewan bertulang belakang. Merak hijau adalah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Derajat Kelangsungan Hidup Embrio dan Derajat Penetasan Berdasarkan hasil pengamatan terhadap derajat kelangsungan hidup

HASIL DAN PEMBAHASAN. Derajat Kelangsungan Hidup Embrio dan Derajat Penetasan Berdasarkan hasil pengamatan terhadap derajat kelangsungan hidup HASIL DAN PEMBAHASAN Derajat Kelangsungan Hidup Embrio dan Derajat Penetasan Berdasarkan hasil pengamatan terhadap derajat kelangsungan hidup (DKH-e) dan derajat penetasan (DP) tiap promoter (perlakuan)

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Isolasi Promoter -Aktin Ikan Mas Promoter -Aktin dari ikan mas diisolasi dengan menggunakan metode PCR dengan primer yang dibuat berdasarkan data yang ada di Bank Gen. Panjang

Lebih terperinci