Bab IV Inventarisasi dan Potensi Gas Metana Lapisan Batubara Z5, Z5-4, dan Z5-8

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Bab IV Inventarisasi dan Potensi Gas Metana Lapisan Batubara Z5, Z5-4, dan Z5-8"

Transkripsi

1 BAB IV INVENTARISASI DAN POTENSI GAS METANA LAPISAN BATUBARA Z5, Z5-4, DAN Z Deskripsi Umum Lapisan Batubara Z5, Z5-4, dan Z5-8 Lapisan batubara di daerah penelitian dicirikan oleh nilai densitas yang rendah (<1,8 g/cm 3 ) pada kurva log densitas. Ciri lainnya yang dapat dikenali adalah nilai sinar gamma yang relatif rendah (<60 GAPI), resistivitas yang relatif tinggi (>5 Ohmm), dan neutron yang relatif tinggi (>0,45 v/v) (gambar 4.1). Daerah penelitian berada di Pulau Layangan-Bukuan kompartemen utara, meliputi sumur-sumur produksi gas dan minyak bumi sebanyak 81 sumur. GR (GAPI) Resistivity (Ohmm) DT (μs/f) RHOB 2.7 (G/C3) Neutron (v/v) HC Sandstone with gas contain and fluid contact HC Sandstone with fluid contact (gas-oil/water) Limestone Coal Organic shale Gambar 4.1. Kombinasi data rekaman lubang bor sebagai penciri khas beberapa litologi di lokasi penelitian. (TOTAL, 2005) Lapisan batubara di Pulau Layangan-Bukuan biasanya hadir sebagai marker yang menandakan terjadinya suatu limpahan banjir pada daur regresi-transgresi Delta Mahakam. Terdapat dua tipe batubara di Pulau Layangan-Bukuan yang memiliki 27

2 potensi sebagai batuan induk minyak dan gas bumi, yaitu batubara tua dan batubara muda. Batubara tua, terbentuk dari maseral huminit yang berasal dari vegetasi tumbuhan dan juga vegetasi rawa pada lingkungan dataran delta atas. TOC (Total Organic Carbon) antara 50-80%, rata-rata ketebalannya adalah 1-2 meter, sedangkan nilai HI (Hydrogen Index) mencapai 300. Hal ini mengindikasikan adanya proses pembentukan hidrokarbon. Batubara muda, terbentuk dari maseral liptinit yang berasal dari spora, biji-bijian, dan alga. Lokasi terbentuknya berada di bawah batubara tua pada dataran delta. Nilai HI batubara muda hampir sama dengan nilai HI dari batubara tua. Lapisan batubara yang dianalisis bertindak sebagai marker Z5, Z5-4, dan Z5-8 pada Pulau Layangan-Bukuan. Lapisan batubara Z5, Z5-4, dan Z5-8 memiliki pelamparan yang luas baik di kompartemen utara maupun kompartemen selatan. Pada penelitian ini lapisan batubara yang dianalisis hanya pada kompartemen utara saja. Lapisan batubara Z5, Z5-4, dan Z5-8 memiliki bentuk dan morfologi antiklin. Batubara Z5 berada pada kedalaman m. Batubara Z5-4 berada pada kedalaman m. Batubara Z5-8 berada pada kedalaman m. Formasi pembawa lapisan batubara Z5, Z5-4, dan Z5-8 adalah Formasi Balikpapan. Formasi Balikpapan terdiri dari perselingan antara batulempung lanauan berwarna abu-abu kecoklatan, batupasir kuarsa berbutir halus-kasar bersisipan tufa, batulempung (dominan pada bagian atas Formasi Balikpapan), dan sisipan lapisan batubara. Formasi Balikpapan diperkirakan mempunyai kisaran umur Miosen Awal hingga Pliosen (Atmawijaya dan Ratman, 1990). Berdasarkan kesamaan formasi pembawa lapisan batubara, hasil studi literatur penelitian-penelitian terdahulu menyatakan bahwa lapisan batubara Z5, Z5-4, dan Z5-8 termasuk dalam tingkat sub-bituminus, memiliki kandungan sulfur 0,10 3,92%, kandungan abu 1,50 16,65%, kalori kcal/kg, kadar kelengasan 3,00 28

3 23,5%, zat terbang 35-50%, karbon padat 30-49%, reflektansi vitrinit 0,36 0,80%, permeabilitas 1, ,8000 x 10-9 cm/det, dan densitas 1,2 1,3 g/cm 3. Lapisan batubara Z5 memiliki ketebalan semu 0,55-2,44 m. Lapisan batubara Z5 teridentifikasi pada 65 sumur. Lapisan batubara Z5-4 memiliki ketebalan semu 0,70-2,89 m. Lapisan batubara Z5-4 teridentifikasi pada 75 sumur. Lapisan batubara Z5-8 memiliki ketebalan semu 0,64-5,56 m. Lapisan batubara Z5-8 teridentifikasi pada 71 sumur Inventarisasi Lapisan Batubara Z5, Z5-4, dan Z Korelasi Korelasi merupakan langkah yang sangat penting dan mendasar dalam pemetaan bawah permukaan. Ciri-ciri log lapisan batubara digunakan sebagai acuan untuk membuat fasies. Pembuatan fasies berguna untuk mempermudah korelasi dan meminimalisasi kesalahan interpretasi. Fasies tersebut diset pada tempelates facies dalam PETREL (gambar 4.2). Kemudian dilakukan pembuatan log discrete pada tools calculator menggunakan nilai sodetan data rekaman lubang bor dan kode fasies yang telah diset (gambar 4.3). Log discrete akan menampilkan fasies baru dalam dua nilai, batubara dan bukan batubara (gambar 4.4). Hal ini akan mempermudah dalam penentuan dan pengidentifikasian litologi batubara. Gambar 4.2. Penataan fasies pada PETREL

4 Gambar 4.3. Pembuatan log discrete pada tools calculator. Korelasi bertujuan untuk menentukan unit struktur atau stratigrafi yang memiliki kesamaan waktu atau posisi stratigrafi. Data yang digunakan untuk korelasi berupa data rekaman lubang bor, dengan komposisi sinar gamma (GR), resistivitas (RT), neutron (NPHI), dan densitas (RHOB). Suatu unit log stratigrafi menggambarkan suatu siklus pengendapan yang khas di suatu lingkungan pengendapan. Gambar 4.4. Log discrete batubara dan bukan batubara hasil perhitungan sodetan data rekaman lubang bor. 30

5 Secara umum, korelasi dilakukan dengan tujuan: Merekonstruksi kondisi geologi bawah permukaan (struktur dan stratigrafi) serta mengetahui penyebaran lateral maupun vertikal suatu lapisan. Merekonstruksi paleogeografi daerah telitian pada waktu geologi tertentu. Menafsirkan kondisi geologi yang mempengaruhi pembentukan suatu lapisan. Menyusun sejarah geologi daerah telitian. Setiap titik pengambilan (picking) memiliki nilai kedalaman, baik True Vertical Depth (TVD), True Vertical Depth Subsurface (TVD-SS), maupun Measured Depth (MD). Nilai kedalaman ini kemudian diinterpolasikan menjadi suatu struktur kedalaman. Korelasi menggunakan software PETREL 2005 dilakukan pada bagian well section window. Setiap membuat suatu korelasi, sumur-sumur yang akan dikorelasi, dipilih pada tabel input data. Pada daerah penelitian dilakukan korelasi sebanyak 9 buah, terdiri dari dua korelasi utama berarah utara-selatan dan barat-timur, serta tujuh korelasi tambahan (gambar 4.5). Pembuatan korelasi diawali dengan menentukan marker. Marker berfungsi sebagai pegangan dan petunjuk dalam korelasi. Marker memiliki sifat hamparan yang luas dan dapat dikenali hampir di semua daerah. Lapisan batubara merupakan salah satu lapisan yang biasa dipakai sebagai marker. Oleh karena itu korelasi lapisan batubara pada daerah penelitian dilakukan sekaligus sebagai korelasi marker. Gambar 4.6 menunjukkan korelasi lapisan batubara Z5, Z5-4, dan Z5-8 pada penampang geologi C-C. 31

6 Gambar 4.5. Jalur korelasi yang dibuat di daerah penelitian. 32

7 Top Coal R5 tom Coal R5 p Coal R5-0 m Coal R5-0 p Coal R5-4 m Coal R5-4 p Coal R5-6 m Coal R5-6 p Coal R5-7 m Coal R5-7 p Coal R5-8 m Coal R5-8 H-S-1-D_Target3000 [SSTVD] SSTVD 0.00 GR BTBR 0.20 RT RHOB NPHI Top Coal 0.00 R Bottom Coal R Non-Coal Non-Coal Non-Coal Non-Coal Non-Coal Non-Coal Top Coal R5-0 Bottom Coal R5-0 Top Coal R5-4 Bottom Coal R5-4 Top Coal R5-6 Bottom Coal R5-6 Top Coal R5-7 Bottom Coal R5-7 Bottom Top Coal R5-8 SSTVD lapisan batubara Z H-J-424_Target3000 [SSTVD] 0.00 GR BTBR 0.20 RT lapisan batubara Z5-4 Non-Coal Non-Coal Non-Coal Non-Coal Non-Coal Non-Coal 1.70 RHOB NPHI 0.00 Bottom Top Coal R5 Top Coal R5-0 Bottom Coal R5-0 Top Coal R5-1 Bottom Coal R5-1 Top Coal R5-4 Bottom Coal R5-4 Top Coal R5-8 Bottom Coal R5-8 SSTVD H-J-525_Target3000 [SSTVD] 0.00 GR BTBR 0.20 RT Non-Coal Non-Coal Non-Coal Non-Coal 1.70 RHOB NPHI 0.00 lapisan batubara Z5 Bottom Top Coal Coal R5 R5 Top Coal R5-0 Bottom Coal R5-0 Top Coal R5-4 Bottom Coal R5-4 Top Coal R5-8 Bottom Coal R5-8 Top Coal R5 Bottom Coa Top Coal R5 Bottom Coa Top Coal R5 Bottom Coa Top Coal R5 Bottom Coa Non-Coa 1835 Gambar 4.6. Korelasi lapisan batubara Z5, Z5-4, dan Z5-8 pada penampang geologi C-C Pemetaan Bawah Permukaan Peta struktur bawah permukaan menggambarkan lapisan-lapisan dalam 3D. Peta ini dibangun berdasarkan korelasi data rekaman lubang bor, sehingga korelasi yang akurat akan membentuk suatu peta bawah permukaan yang realistis. Tujuan utama membangun peta struktur bawah permukaan adalah untuk perhitungan volume, desain sumur, dan menentukan letak sumur produksi. Horison horison yang dibentuk akan membangun sebuah model 3D yang telah dikonversikan dengan kedalaman, interpretasi zona, dan perlapisan batuan bawah permukaan. Untuk dapat membuat model horison bawah permukaan, data titik pengambilan pada korelasi harus diubah terlebih dahulu menjadi data titik kedalaman (gambar 4.7). Pembuatan horison sangat dipengaruhi oleh korelasi yang telah dibuat sebelumnya. Kemudian model peta struktur bawah permukaan dibuat dengan menu make/edit surface, data 33

8 masukan adalah data titik kedalaman hasil konversi dari titik pengambilan korelasi (gambar 4.8). Agar bentukan kontur memiliki pola sesuai dengan bentuk antiklin di Pulau Layangan-Bukuan, maka digunakan horizon marker Z4-3 sebagai pola. Gambar 4.7. Konversi data korelasi menjadi data titik kedalaman. Berbagai pilihan algoritma dapat disimulasikan dalam pemetaan horison guna mendapatkan hasil terbaik, misalnya algoritma interpolasi konvergen, kriging, kurva minimum, dan lain sebagainya. Penataan algoritma dapat menunjukkan berbagai kualitas algoritma. Algoritma yang digunakan dalam permodelan ini adalah interpolasi konvergen, karena menunjukkan konsistensi di setiap horison. Hasil eksekusi dari operasi horison akan membentuk lapisan-lapisan horison struktur kedalaman 3D. 34

9 Gambar 4.8. Pembuatan horison menggunakan menu make/edit surface. Permasalahan yang mungkin dihadapi saat membuat horison adalah adanya tumpang tindih antarhorison yang saling memotong dan tidak sesuai dengan korelasi (kronostratigrafi) serta permukaan yang kurang halus. Untuk mengatasi hal tersebut, diperlukan perbaikan horison untuk mengoreksi peta bawah permukaan tersebut (gambar 4.9). Perbaikan horison struktur kedalaman dapat dilakukan dengan 4 cara, yaitu menambahkan nilai kedalaman, mengurangi nilai kedalaman, memberikan besaran nilai kedalaman, serta teknik pick and drag nilai kedalaman. 35

10 Gambar 4.9. Perbaikan horison struktur kedalaman. Aplikasi operations smooth akan memperhalus kontur struktur kedalaman dengan cara mengatur iterasi dan filternya sampai mendapatkan hasil yang optimal. Semua horison ditata konsisten dengan pilihan truncate above sehingga tidak ada horison yang tumpang tindih. Hasil eksekusi horison horison ini memperlihatkan lapisan-lapisan struktur kedalaman yang terlipat membentuk antiklin. Setelah struktur kedalaman puncak lapisan batubara terbentuk, perlu dibuat peta fasies lapisan batubara. Peta fasies lapisan batubara menggambarkan penyebaran ketebalan semu batubara (isochore) dan kondisi geologi saat batubara tersebut diendapkan. Kemudian peta fasies ini digabung dengan peta struktur kedalaman puncak lapisan untuk mendapatkan peta struktur kedalaman alas lapisan yang lebih akurat. Gambar 4.10, 4.11, dan 4.12 menunjukkan peta struktur kedalaman puncak (top) lapisan batubara Z5, Z5-4, dan Z5-8. Gambar 4.13, 4.14, dan 4.15 menunjukkan peta kesamatebalan semu (isochore) lapisan batubara Z5, Z5-4, dan Z5-8. Gambar 4.16, 4.17, dan 4.18 menunjukkan peta struktur kedalaman 3D alas (bottom) lapisan batubara Z5, Z5-4, dan Z

11 Gambar Peta struktur kedalaman puncak lapisan batubara Z5. 37

12 Gambar Peta struktur kedalaman puncak lapisan batubara Z

13 Gambar Peta struktur kedalaman puncak lapisan batubara Z

14 Gambar Peta kesamatebalan lapisan batubara Z5. 40

15 Gambar Peta kesamatebalan lapisan batubara Z

16 Gambar Peta kesamatebalan lapisan batubara Z

17 Gambar Peta struktur kedalaman 3D alas lapisan batubara Z5. Gambar Peta struktur kedalaman 3D alas lapisan batubara Z

18 Gambar Peta struktur kedalaman 3D alas lapisan batubara Z5-8. Peta fasies lapisan batubara dibuat dengan data kesamatebalan hasil titik pengambilan puncak dan alas lapisan batubara dalam korelasi. Untuk memberi aspek geologi pada peta fasies, maka dibuat batasan nilai kontur nol (0) agar mendapatkan bentuk fasies yang menggambarkan kondisi geologi pengendapan batubara Perhitungan Volume Peta struktur kedalaman puncak dan alas lapisan batubara yang telah jadi perlu dilakukan teknik gridding agar dapat dihitung volumenya. Karena daerah penelitian tidak memiliki data sesar, maka gridding yang dilakukan cukup menggunakan metode simple gridding (gambar 4.19). Setelah gridding selesai dilakukan, maka untuk menghitung volume batubara di daerah penelitian dilakukan operasi dengan menu volume calculation sebagai tahap akhir (gambar 4.20). 44

19 Gambar Metode simple gridding untuk lapisan batubara Z5. Gambar Perhitungan volume batubara lapisan Z5. Perhitungan volume lapisan batubara menggunakan software PETREL 2005 menghasilkan nilai volume 7,3 x 10 6 m 3 untuk lapisan batubara Z5, 13,0 x 10 6 m 3 untuk lapisan batubara Z5-4, dan 13,8 x 10 6 m 3 untuk lapisan batubara Z

20 4.3. Potensi Gas Metana Lapisan Batubara Z5, Z5-4, dan Z Kualitas Batubara Nilai properti batubara dapat diketahui dengan analisis laboratorium. Properti batubara dapat digolongkan menjadi 4 kategori, yaitu analisis proksimat, analisis ultimat, analisis petrografi, dan analisis kandungan abu (Cahyono, 2006). Tabel 4.1. Berbagai analisis laboratorium untuk mengetahui properti batubara. (Cahyono, 2006) Informasi Kualitas Lapisan Batubara (Analisis Proksimat) Informasi Kualitas Lapisan Batubara (Analisis Ultimat) Yaitu analisis berdasarkan: as received proksimat Yaitu analisis berdasarkan kimiawi, meliputi : FM : Free Moisture 1. Kandungan C (%) Carbon TM : Total Moisture 2. Kandungan H (%) Hidrogen M : Mositure 3. Kandungan O (%) Oksigen IM : Inherent Moisture 4. Kandungan N (%) Nitrogen VM : Volatile Matter 5. Kandungan St (%) Sulfur Total ASH : Abu FC : Fixed Carbon ST : Sulfur Total CV : Calorivic Value SG : Specific Gravity Informasi Lapisan Batubara (Analisis Abu) Informasi Kualitas Batubara (Analisis Petrografi) Yaitu analisis berdasarkan kimiawi, meliputi : Yaitu analisis dibawah mikroskop, meliputi kandungan: 1. Kandungan SiO2 (%) 1. Vitrinit Refelektan (%) 2. Kandungan Al2O3 (%) 2. Vitrinit (%) 3. Kandungan Fe2O3 (%) 3. Liptinit (%) 4. Kandungan CaO (%) 4. Inertinit (%) 5. Kandungan MgO (%) 5. Mineral Matter (%) 6. Kandungan MnO (%) 6. Pirit (%) 7. Kandungan TiO2 (%) 7. HGI (Hardgrove Grindability Index) 8. Kandungan Na2O (%) 8. SG (Specific Gravity) 9. Kandungan K2O (%) 9. Swl (Swelling Index) 10. Kandungan FeO (%) 10. Titk Leleh Abu (%) 11. Kandungan P2O5 (%) 12. Kandungan SO3 (%) 13. Kandungan BaO (%) 14. Kandungan Cr2O3 (%) Data kualitas batubara untuk lapisan Z5, Z5-4, dan Z5-8 didapat dari berbagai literatur dikarenakan belum terdapat data analisis laboratorium yang mengukur properti batubara Pulau Layangan-Bukuan. 46

21 Tabel 4.2. Properti batubara Formasi Balikpapan. Source Rank Ash Content Belerang (S) Kalori (CV) Moisture VM Permeabilitas (k) Fixed c Vro RHOB (Ibrahim, 2005) 3,28 5,21% 0,11 0,18 % kal/gr Daerah Kutai ± 4,19 % (adb) ± 0,15 % (adb) ± 5540 kal/gr Timur (ESDM, 2006) Sub-bituminous 5 12 % 0,1 1,5 % kcal/kg 5 15 % % % Daerah Kutai Barat (Ibrahim, 2006) 1,54 16,65% 0,19 3,92% kal/gr 1,58 x 10-8 cm/det Daerah Loa Lepu Up to 7005 kal/gr 1,7695 x 10-9 cm/det 2,5185 x 10-9 cm/det 2,6072 x 10-9 cm/det 2,64 % 1,06 % 5995 kal/gr 10,32 % 0,36 (Sumaatmadja, 2006) Sub-bituminous B Cekungan Kutai Kaltim Prima 4 % (adb) 0,5 (adb) 6800 kkal/ 9 % (arb) 39 % (adb) 49 % Coal (seam Prima, 2006) Daerah Sangatta Kaltim Prima 7 % (adb) 0,4 (adb) 6200 kkal/kg 13 % (arb) 37 % (adb) 45,5 % Coal (seam Pinang, 2006) Daerah Sangatta Kaltim Prima 2,5 % 0,2 % kkal/kg 18-23,5 % 38 % 41,5 % Coal (seam Melawan, 2006) Daerah Sangatta (ESDM, 2005) 1,5 13,30 % 0,17 3,3 % Kcal/Kg 5,0 19,70 % 36,25-39,27-1,3 g/cm 3 Daerah Loa 42,96 % 44,79 % Janan (ESDM, 2006) 3-7 % % Kcal/Kg 3-13 % 40-47% % 1,3 g/cm 3 Daerah Kutai Timur (PT UGU, 2004) 2,5 % 2,52 % 6100 Kcal/Kg 12,5 14,2 % 40,6 % 44,4 % 0,5 0,8 1,2 g/cm 3 Daerah Kutai Barat Minimum Sub-bituminous 1,50 % 0,10 % 4300,00 Kcal/Kg 3 % 35,00 % 1,7695 x 10-9 cm/det 30,000 % 0,36 1,20 g/cm 3 Maksimum Sub-bituminous 16,65 % 3,92 % 7263,00 Kcal/Kg 23,5 % 50,00 % 15,8000 x 10-9 cm/det 49,000 % 0,80 1,30 g/cm 3 47

22 Data properti batubara yang diambil dari berbagai literatur merupakan data properti batubara untuk Formasi Balikpapan, yang merupakan formasi pembawa batubara untuk lapisan batubara Z5, Z5-4, dan Z5-8. Data yang dikumpulkan kemudian dirata-ratakan sebagai perkiraan nilai properti untuk lapisan batubara Z5, Z5-4, dan Z5-8 dengan asumsi lapisan batubara tersebut berada pada formasi pembawa batubara yang sama dan lokasi yang berdekatan Parameter Langmuir Terdapat dua parameter dalam kurva Langmuir isotermal, yaitu volume Langmuir dan tekanan Langmuir. Volume Langmuir merupakan volume gas maksimal yang dapat diserap sampai perubahan tekanan tidak lagi mempengaruhi kapasitas penyerapan (gambar 4.21). Tekanan Langmuir merupakan tekanan pada saat setengah volume Langmuir (gambar 4.22). Parameter Langmuir didapat dari hasil analisis laboratorium pada batubara. Analisis laboratorium dilakukan dengan menginjeksikan gas metana murni ke dalam batubara sampai tercapai volume Langmuir. Selama proses tersebut berlangsung, perubahan tekanan yang meningkat dicatat dan didapatkan tekanan Langmuir pada saat volume gas metana yang terserap sama dengan setengah volume Langmuir. Gas Content Langmuir Volume (Saturated Monolayer Volume) Reservoir Pressure Psi Gambar Kurva Langmuir dan parameter volume Langmuir. 48

23 Nilai parameter Langmuir dapat diperkirakan dari nilai properti batubara. Volume Langmuir mempunyai hubungan langsung dengan nilai reflektansi vitrinit (Reeves dkk, 2005). Semakin tinggi nilai reflektansi vitrinit semakin tinggi pula nilai volume Langmuir. Semakin tinggi nilai refleksi vitrinit semakin tinggi pula peringkat batubara, yang mengindikasikan semakin besar kemampuan batubara untuk menyerap gas dan semakin besar nilai volume Langmuir. Gambar 4.23 menunjukkan grafik volume Langmuir terhadap refleksi vitrinit. Tekanan Langmuir dapat diperkirakan dari nilai refleksi vitrinit, akan tetapi tidak mempunyai hubungan langsung seperti halnya volume Langmuir. Gas Content ½ of Langmuir Vol. ½ of Langmuir Vol. Reservoir Pressure Psi Langmuir Pressure (Pressure at ½ of Langmuir Volume) Gambar Kurva Langmuir dan parameter tekanan Langmuir. Gambar Grafik volume Langmuir terhadap nilai refleksi vitrinit. (Reeves dkk, 2005) 49

24 Rasio kapasitas penyerapan N 2 /CH 4 dan CO 2 /CH 4 merupakan fungsi dari refleksi vitrinit (gambar 4.24 dan 4.25). Semakin tinggi nilai rasio kapasitas penyerapan N 2, maka semakin tinggi tingkat batubara dan semakin besar nilai refleksi vitrinit. Akan tetapi pada CO 2, semakin besar nilai refleksi vitrinit akan semakin rendah nilai rasio kapasitas penyerapannya. Rasio kapasitas penyerapan juga merupakan fungsi dari tekanan langmuir, sehingga tekanan Langmuir dapat diprediksi dari nilai rasio kapasitas penyerapan N 2 /CH 4 dan CO 2 /CH 4 yang merupakan fungsi dari refleksi vitrinit (gambar 4.26). Gambar Grafik rasio N 2 /CH 4 terhadap nilai refleksi vitrinit. (Reeves dkk, 2005) Gambar Grafik rasio CO 2 /CH 4 terhadap nilai refleksi vitrinit. (Reeves dkk, 2005) 50

25 Gambar Grafik rasio CO 2 /CH 4 dan N 2 /CH 4 terhadap tekanan Langmuir. (Reeves dkk, 2005) Parameter Langmuir untuk lapisan batubara pada Formasi Balikpapan dapat diprediksi dari nilai refleksi vitrinit. Volume Langmuir diprediksi langsung dari grafik volume Langmuir terhadap refleksi vitrinit (gambar 4.27). Tekanan Langmuir diprediksi melalui rasio N 2 /CH 4 dan CO 2 /CH 4 terhadap refleksi vitrinit (gambar 4.28 dan 4.29). Langmuir Volume vs. Vitrinite reflectance 1200 Langmuir Volume (scf/ton) y = 662x + 62,022 R 2 = 0,9207 Series1 Linear (Series1) 0 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 1,6 Vitrinit Reflectance (Vro) Gambar Grafik volume Langmuir terhadap refleksi vitrinit untuk CH 4. 51

26 Gambar Plot rasio CO 2 /CH 4 lapisan batubara Formasi Balikpapan. Gambar Plot rasio N 2 /CH 4 lapisan batubara Formasi Balikpapan. Rvo = Refleksi vitrinit VL = Volume Langmuir (scf/ton) PL = Tekanan Langmuir (psia) P N 2 /CH 4 = Tekanan Langmuir berdasarkan rasio N 2 /CH 4 (psia) P CO 2 /CH 4 = Tekanan Langmuir berdasarkan rasio CO 2 /CH 4 (psia) Tabel 4.3. Parameter Langmuir lapisan batubara Formasi Balikpapan. Rvo VL (scf/ton) PL (psia) P N 2 /CH 4 (psia) P CO 2 /CH 4 (psia) Minimum 0,36 300, Maksimum 0,80 591,

27 Tekanan Lapisan Batubara Tekanan merupakan hal yang penting dalam proses penyerapan gas metana dalam batubara. Oleh karena itu tekanan lapisan batubara perlu diketahui untuk menghitung potensi gas metana batubara yang dikandung. Tekanan lapisan sangat dipengaruhi oleh kedalaman. Semakin dalam suatu lapisan semakin besar pula tekanan lapisan tersebut. Tekanan lapisan sebagian besar dipengaruhi oleh tekanan akibat beban sedimentasi yang merupakan fungsi dari kedalaman. Tekanan lapisan batubara yang dihitung pada daerah penelitian merupakan tekanan yang dipengaruhi oleh tekanan atmosfer, gradien tekanan, dan kedalaman lapisan. Pr = 14,695 + (1,42 x h) Pr = Tekanan lapisan (psia) 14,695 = Tekanan atmosfer (1 atm = 14,695 psia) 1,42 = Konstanta gradien tekanan (psia/m) h = Kedalaman lapisan (m) Tabel 4.4. Tekanan dan kedalaman lapisan batubara Z5, Z5-4, dan Z5-8. Kedalaman Tekanan Z5 Minimum 1572, ,014 Maksimum 1889, ,254 Z5-4 Minimum 1647, ,202 Maksimum 1960,7 2798,889 Z5-8 Minimum 1686, ,107 Maksimum 2006, , Kandungan Gas Kandungan gas adalah volume gas maksimum yang dapat diserap oleh batubara. Semakin tinggi tingkat batubara semakin besar pula nilai kandungan gas. Kandungn gas dipengaruhi oleh properti batubara 53

28 (kandungan abu dan kadar kelengasan), parameter langmuir, dan tekanan lapisan. Gc = ((Vl x Pr) / (Pl + Pr)) (1 Aci Mce) Gc = Kandungan gas (scf/ton) Vl = Volume Langmuir (scf/ton) Pl = Tekanan Langmuir (psia) Pr = Tekanan lapisan (psia) Aci = Kandungan abu Mce = Kadar kelengasan Tabel 4.5. Kandungan gas metana lapisan batubara Z5, Z5-4, dan Z5-8. Vl Pl Pr Aci Mce Gc Z5 Minimum 300, ,254 0,1665 0, ,3503 Maksimum 591, ,014 0,0154 0,05 374,6200 Z5-4 Minimum 300, ,889 0,1665 0, ,7666 Maksimum 591, ,202 0,0154 0,05 380,1495 Z5-8 Minimum 300, ,542 0,1665 0, ,0196 Maksimum 591, ,107 0,0154 0,05 382, Potensi Gas Metana Potensi gas metana dipengaruhi oleh volume batuan, densitas batuan, dan kandungan gas lapisan batubara. Potensi gas metana perlu dicek melalui analisis laboratorium. Analisis laboratorium akan memberikan nilai kandungan gas sebenarnya dalam lapisan batubara melalui proses desorpsi. Nilai kandungan gas hasil analisis laboratorium akan menentukan posisi titik kritis pada kurva Langmuir sorption isotherm (gambar 4.30). Titik kritis adalah titik pada saat gas metana mulai terdesorpsi dari batubara. Titik kritis memberikan nilai tekanan yang harus dicapai untuk mulai memproduksi gas metana dan nilai kandungan gas ketika awal produksi. 54

29 Titik kritis akan mempengaruhi cara dan teknik eksploitasi gas metana dalam batubara. Analisis laboratorium juga memberikan nilai kandungan gas yang tersisa setelah proses desorpsi. Kandungan gas yang tersisa kemudian diplot pada kurva Langmuir sorption isotherm. Hasil plot kandungan gas tersisa dapat digunakan untuk memperkirakan nilai recovery factor lapisan batubara. Gambar Contoh kurva Langmuir sorption isotherm. (Zuber, 2000) GIP = V x RHOB x Gc GIP = Potensi gas (scf) V = Volume lapisan (m 3 ) RHOB = Densitas batuan (g/cm 3 ) Gc = Kandungan gas (scf/ton) Tabel 4.6. Potensi gas metana lapisan batubara Z5, Z5-4, dan Z5-8. V RHOB Gc GIP (Bcf) Z5 Minimum ,2 167,3503 1,46 Maksimum ,3 374,62 3,54 55

30 Z5-4 Minimum ,2 167,7666 2,63 Maksimum ,3 380,1495 6,45 Z5-8 Minimum ,2 168,0196 2,78 Maksimum ,3 382,9251 6,88 56

FORMULIR ISIAN DATABASE SUMBER DAYA BATUBARA

FORMULIR ISIAN DATABASE SUMBER DAYA BATUBARA FORMULIR ISIAN DATABASE SUMBER DAYA BATUBARA I. DATA UMUM Record Jenis Laporan* DIP DIKS Judul Laporan KERJA SAMA TRIWULAN TAHUNAN BIMTEK Lainlain Instansi Pelapor Penyelidik Penulis Laporan Tahun Laporan

Lebih terperinci

BAB IV UNIT RESERVOIR

BAB IV UNIT RESERVOIR BAB IV UNIT RESERVOIR 4.1. Batasan Zona Reservoir Dengan Non-Reservoir Batasan yang dipakai untuk menentukan zona reservoir adalah perpotongan (cross over) antara kurva Log Bulk Density (RHOB) dengan Log

Lebih terperinci

BAB IV HASIL ANALISIS SAMPEL BATUBARA

BAB IV HASIL ANALISIS SAMPEL BATUBARA BAB IV HASIL ANALISIS SAMPEL BATUBARA 4.1 KOMPOSISI MASERAL BATUBARA Komposisi maseral batubara ditentukan dengan melakukan analisis petrografi sayatan sampel batubara di laboratorium (dilakukan oleh PT

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh: BAYU ERLANGGA NIM:

SKRIPSI. Oleh: BAYU ERLANGGA NIM: INVENTARISASI BATUBARA DAN POTENSINYA SEBAGAI PENGHASIL GAS METANA BATUBARA PADA MARKER Z5, Z5-4, DAN Z5-8 DI PULAU LAYANGAN-BUKUAN, DELTA MAHAKAM, KALIMANTAN TIMUR SKRIPSI Diajukan sebagai syarat untuk

Lebih terperinci

BAB IV ANALISA SUMBER DAYA BATUBARA

BAB IV ANALISA SUMBER DAYA BATUBARA BAB IV ANALISA SUMBER DAYA BATUBARA 4.1. Stratigrafi Batubara Lapisan batubara yang tersebar wilayah Banko Tengah Blok Niru memiliki 3 group lapisan batubara utama yaitu : lapisan batubara A, lapisan batubara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penelitian Batubara adalah batuan sedimen yang berasal dari tumbuh-tumbuhan (komposisi utamanya karbon, hidrogen, dan oksigen), berwarna coklat sampai hitam, sejak

Lebih terperinci

INVENTARISASI BATUBARA PEMBORAN DALAM DAERAH SUNGAI SANTAN-BONTANG KABUPATEN KUTAI TIMUR, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

INVENTARISASI BATUBARA PEMBORAN DALAM DAERAH SUNGAI SANTAN-BONTANG KABUPATEN KUTAI TIMUR, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR INVENTARISASI BATUBARA PEMBORAN DALAM DAERAH SUNGAI SANTAN-BONTANG KABUPATEN KUTAI TIMUR, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR (Lembar Peta No. 1916-11 dan 1916-12) O l e h : Syufra Ilyas Subdit Batubara, DIM S A

Lebih terperinci

BAB IV RESERVOIR KUJUNG I

BAB IV RESERVOIR KUJUNG I BAB IV RESERVOIR KUJUNG I Studi geologi yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui geometri dan potensi reservoir, meliputi interpretasi lingkungan pengendapan dan perhitungan serta pemodelan tiga dimensi

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN 5.1 ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA Analisis Pengawetan Struktur Jaringan dan Derajat Gelifikasi

BAB V PEMBAHASAN 5.1 ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA Analisis Pengawetan Struktur Jaringan dan Derajat Gelifikasi BAB V PEMBAHASAN 5.1 ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA Dalam menentukan lingkungan pengendapan batubara di Pit J daerah Pinang dilakukan dengan menganalisis komposisi maseral batubara. Sampel batubara

Lebih terperinci

Gambar 4.5. Peta Isopach Net Sand Unit Reservoir Z dengan Interval Kontur 5 Kaki

Gambar 4.5. Peta Isopach Net Sand Unit Reservoir Z dengan Interval Kontur 5 Kaki Gambar 4.5. Peta Isopach Net Sand Unit Reservoir Z dengan Interval Kontur 5 Kaki Fasies Pengendapan Reservoir Z Berdasarkan komposisi dan susunan litofasies, maka unit reservoir Z merupakan fasies tidal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Endapan batubara di Indonesia umumnya berkaitan erat dengan pembentukan cekungan sedimentasi Tersier (Paleogen-Neogen), yang diakibatkan proses tumbukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hal 1

BAB I PENDAHULUAN. Hal 1 BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Batubara adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, berasal dari tumbuhtumbuhan (komposisi utamanya karbon, hidrogen, dan oksigen), berwarna coklat sampai hitam, sejak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui dan memahami kondisi geologi daerah penelitian.

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui dan memahami kondisi geologi daerah penelitian. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Batubara mempunyai karakteristik dan kualitas yang berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya. Faktor tumbuhan pembentuk dan lingkungan pengendapan akan menyebabkan

Lebih terperinci

BAB V BATUBARA 5.1. Pembahasan Umum Proses Pembentukan Batubara Penggambutan ( Peatification

BAB V BATUBARA 5.1. Pembahasan Umum Proses Pembentukan Batubara Penggambutan ( Peatification BAB V BATUBARA 5.1. Pembahasan Umum Batubara adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba, berwarna coklat-hitam, yang sejak pengendapannya mengalami proses kimia dan fisika,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Pengetahuan dan pemahaman yang lebih baik mengenai geologi terutama mengenai sifat/karakteristik suatu reservoir sangat penting dalam tahapan eksploitasi suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Batubara adalah batuan sedimen yang terbentuk di permukaan bumi dari akumulasi sisa-sisa material organik dan anorganik. Material organik tumbuhan merupakan unsur

Lebih terperinci

PROSPEKSI ENDAPAN BATUBARA DI DAERAH KELUMPANG DAN SEKITARNYA KABUPATEN MAMUJU, PROPINSI SULAWESI SELATAN

PROSPEKSI ENDAPAN BATUBARA DI DAERAH KELUMPANG DAN SEKITARNYA KABUPATEN MAMUJU, PROPINSI SULAWESI SELATAN PROSPEKSI ENDAPAN BATUBARA DI DAERAH KELUMPANG DAN SEKITARNYA KABUPATEN MAMUJU, PROPINSI SULAWESI SELATAN Oleh : Nanan S. Kartasumantri dan Hadiyanto Subdit. Eksplorasi Batubara dan Gambut SARI Daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lebih tepatnya berada pada Sub-cekungan Palembang Selatan. Cekungan Sumatra

BAB I PENDAHULUAN. lebih tepatnya berada pada Sub-cekungan Palembang Selatan. Cekungan Sumatra BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Daerah penelitian termasuk dalam wilayah Cekungan Sumatra Selatan, lebih tepatnya berada pada Sub-cekungan Palembang Selatan. Cekungan Sumatra Selatan termasuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masalah yang berhubungan dengan ilmu Geologi. terhadap infrastruktur, morfologi, kesampaian daerah, dan hal hal lainnya yang

BAB I PENDAHULUAN. masalah yang berhubungan dengan ilmu Geologi. terhadap infrastruktur, morfologi, kesampaian daerah, dan hal hal lainnya yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Maksud dan Tujuan Maksud penyusunan skripsi ini adalah untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar kesarjanaan di Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknik Mineral, Universitas Trisakti,

Lebih terperinci

Rani Widiastuti Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut t Teknologi Sepuluh hnopember Surabaya 2010

Rani Widiastuti Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut t Teknologi Sepuluh hnopember Surabaya 2010 PEMETAAN BAWAH PERMUKAAN DAN PERHITUNGAN CADANGAN HIDROKARBON LAPANGAN KYRANI FORMASI CIBULAKAN ATAS CEKUNGAN JAWA BARAT UTARA DENGAN METODE VOLUMETRIK Rani Widiastuti 1105 100 034 Jurusan Fisika Fakultas

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Lembar Pengesahan... Abstrak... Abstract... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Gambar... Daftar Tabel...

DAFTAR ISI. Lembar Pengesahan... Abstrak... Abstract... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Gambar... Daftar Tabel... DAFTAR ISI Lembar Pengesahan... Abstrak... Abstract...... Kata Pengantar... Daftar Isi... Daftar Gambar... Daftar Tabel... i iii iv v viii xi xiv BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang Penelitian...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Batubara adalah batuan sedimen, yang merupakan bahan bakar hidrokarbon, yang terbentuk dari tumbuhan dalam lingkungan bebas oksigen dan terkena pengaruh panas serta

Lebih terperinci

BAB V INTERPRETASI DATA. batuan dengan menggunakan hasil perekaman karakteristik dari batuan yang ada

BAB V INTERPRETASI DATA. batuan dengan menggunakan hasil perekaman karakteristik dari batuan yang ada BAB V INTERPRETASI DATA V.1. Penentuan Litologi Langkah awal yang dilakukan pada penelitian ini adalah menentukan litologi batuan dengan menggunakan hasil perekaman karakteristik dari batuan yang ada dibawah

Lebih terperinci

BAB IV METODE DAN PENELITIAN

BAB IV METODE DAN PENELITIAN 40 BAB IV METODE DAN PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada Lapangan T, berada di Sub-Cekungan bagian Selatan, Cekungan Jawa Timur, yang merupakan daerah operasi Kangean

Lebih terperinci

Robert L. Tobing, David P. Simatupang, M. A. Ibrahim, Dede I. Suhada Kelompok Penyelidikan Batubara, Pusat Sumber Daya Geologi

Robert L. Tobing, David P. Simatupang, M. A. Ibrahim, Dede I. Suhada Kelompok Penyelidikan Batubara, Pusat Sumber Daya Geologi PENGEBORAN DALAM UNTUK EVALUASI POTENSI CBM DAN BATUBARA BAWAH PERMUKAAN DI DAERAH UPAU, KABUPATEN TABALONG DAN KABUPATEN BALANGAN, PROVINSI KALIMANTAN SELATAN Robert L. Tobing, David P. Simatupang, M.

Lebih terperinci

INVENTARISASI BITUMEN PADAT DAERAH LOA JANAN DAN SEKITARNYA KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA DAN KOTA SAMARINDA, PROPINSI KALIMANTAN TIMUR

INVENTARISASI BITUMEN PADAT DAERAH LOA JANAN DAN SEKITARNYA KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA DAN KOTA SAMARINDA, PROPINSI KALIMANTAN TIMUR INVENTARISASI BITUMEN PADAT DAERAH LOA JANAN DAN SEKITARNYA KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA DAN KOTA SAMARINDA, PROPINSI KALIMANTAN TIMUR Oleh : Ir. Mulyana Subdit Batubara, DIM SARI Daerah penyelidikan Loa

Lebih terperinci

BAB V EVALUASI SUMBER DAYA BATUBARA

BAB V EVALUASI SUMBER DAYA BATUBARA BAB V EVALUASI SUMBER DAYA BATUBARA 5.1. Evaluasi Fuel Ratio Hubungan antara kadar fixed carbon dengan volatile matter dapat menunjukkan tingkat dari batubara, yang lebih dikenal sebagai fuel ratio. Nilai

Lebih terperinci

PENGANTAR GENESA BATUBARA

PENGANTAR GENESA BATUBARA PENGANTAR GENESA BATUBARA Skema Pembentukan Batubara Udara Air Tanah MATERIAL ASAL Autochton RAWA GAMBUT Dibedakan berdasarkan lingkungan pengendapan (Facies) Allochthon Material yang tertransport Air

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang

Bab I. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dengan berjalannya waktu jumlah cadangan migas yang ada tentu akan semakin berkurang, oleh sebab itu metoda eksplorasi yang efisien dan efektif perlu dilakukan guna

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Saat ini di Indonesia semakin banyak ditemukan minyak dan gas yang terdapat pada reservoir karbonat, mulai dari ukuran kecil hingga besar. Penemuan hidrokarbon dalam

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang Pemahaman yang baik terhadap geologi bawah permukaan dari suatu lapangan minyak menjadi suatu hal yang penting dalam perencanaan strategi pengembangan lapangan tersebut.

Lebih terperinci

BAB III PEMODELAN RESERVOIR

BAB III PEMODELAN RESERVOIR BAB III PEMODELAN RESERVOIR Penelitian yang dilakukan pada Lapangan Rindang dilakukan dalam rangka mendefinisikan reservoir Batupasir A baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Beberapa hal yang dilakukan

Lebih terperinci

Bab III Pengolahan dan Analisis Data

Bab III Pengolahan dan Analisis Data Bab III Pengolahan dan Analisis Data Dalam bab pengolahan dan analisis data akan diuraikan berbagai hal yang dilakukan peneliti untuk mencapai tujuan penelitian yang ditetapkan. Data yang diolah dan dianalisis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Sribudiyani (2003), menyatakan Cekungan Jawa Timur Utara sudah sejak lama diketahui sebagai salah satu cekungan penghasil hidrokarbon di Kawasan Barat Indonesia.

Lebih terperinci

PENELITIAN SUMUR GEOLOGI UNTUK TAMBANG DALAM DAN CBM DI DAERAH PASER, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

PENELITIAN SUMUR GEOLOGI UNTUK TAMBANG DALAM DAN CBM DI DAERAH PASER, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PENELITIAN SUMUR GEOLOGI UNTUK TAMBANG DALAM DAN CBM DI DAERAH PASER, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR Dede Ibnu S. *, Rahmat Hidayat *, Sigit Arso. W. *, Khoirun Nahar ** * KP Energi Fosil, ** Sub-Bidang Laboratorium

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian yang mengambil judul Interpretasi Reservoar Menggunakan. Seismik Multiatribut Linear Regresion

IV. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian yang mengambil judul Interpretasi Reservoar Menggunakan. Seismik Multiatribut Linear Regresion 1 IV. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian yang mengambil judul Interpretasi Reservoar Menggunakan Seismik Multiatribut Linear Regresion Pada Lapngan Pams Formasi Talangakar

Lebih terperinci

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN 3.1. Stratigrafi Daerah Penelitian Stratigrafi daerah penelitian terdiri dari beberapa formasi yang telah dijelaskan sebelumnya pada stratigrafi Cekungan Sumatra Tengah.

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. BAB IV METODE PENELITIAN IV.1. Pengumpulan Data viii

DAFTAR ISI. BAB IV METODE PENELITIAN IV.1. Pengumpulan Data viii DAFTAR ISI Halaman Judul HALAMAN PENGESAHAN... ii KATA PENGANTAR... iii HALAMAN PERNYATAAN... v SARI... vi ABSTRACT... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR TABEL... xiii BAB I PENDAHULUAN I.1.

Lebih terperinci

BAB III GEOMETRI DAN KARAKTERISASI UNIT RESERVOIR

BAB III GEOMETRI DAN KARAKTERISASI UNIT RESERVOIR BAB III GEOMETRI DAN KARAKTERISASI UNIT RESERVOIR III.1. Analisis Biostratigrafi Pada penelitian ini, analisis biostratigrafi dilakukan oleh PT Geoservices berdasarkan data yang diambil dari sumur PL-01

Lebih terperinci

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian yang mengambil judul Analisis Reservoar Pada Lapangan

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian yang mengambil judul Analisis Reservoar Pada Lapangan BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian yang mengambil judul Analisis Reservoar Pada Lapangan FRL Formasi Talangakar, Cekungan Sumatera Selatan dengan Menggunakan Seismik

Lebih terperinci

PENELITIAN SUMUR GEOLOGI UNTUK TAMBANG DALAM DAN CBM DAERAH SRIJAYA MAKMUR DAN SEKITARNYA, KABUPATEN MUSI RAWAS, PROVINSI SUMATERA SELATAN SARI

PENELITIAN SUMUR GEOLOGI UNTUK TAMBANG DALAM DAN CBM DAERAH SRIJAYA MAKMUR DAN SEKITARNYA, KABUPATEN MUSI RAWAS, PROVINSI SUMATERA SELATAN SARI PENELITIAN SUMUR GEOLOGI UNTUK TAMBANG DALAM DAN CBM DAERAH SRIJAYA MAKMUR DAN SEKITARNYA, KABUPATEN MUSI RAWAS, PROVINSI SUMATERA SELATAN Oleh Robert L. Tobing, Priyono, Asep Suryana KP Energi Fosil SARI

Lebih terperinci

INTERPRETASI DATA PENAMPANG SEISMIK 2D DAN DATA SUMUR PEMBORAN AREA X CEKUNGAN JAWA TIMUR

INTERPRETASI DATA PENAMPANG SEISMIK 2D DAN DATA SUMUR PEMBORAN AREA X CEKUNGAN JAWA TIMUR INTERPRETASI DATA PENAMPANG SEISMIK 2D DAN DATA SUMUR PEMBORAN AREA X CEKUNGAN JAWA TIMUR Nofriadel, Arif Budiman Jurusan Fisika FMIPA Universitas Andalas Kampus Unand, Limau Manis, Padang, 25163 e-mail:

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini diperlukan uraian mengenai objek dan alat alat yang

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini diperlukan uraian mengenai objek dan alat alat yang BAB III METODE PENELITIAN Dalam penelitian ini diperlukan uraian mengenai objek dan alat alat yang digunakan, serta tahap tahap penelitian yang meliputi: tahap persiapan, tahap penelitian dan pengolahan

Lebih terperinci

PENYELIDIKAN BATUBARA DAERAH BATUSAWAR DAN SEKITARNYA, KABUPATEN TEBO DAN BATANGHARI, PROVINSI JAMBI

PENYELIDIKAN BATUBARA DAERAH BATUSAWAR DAN SEKITARNYA, KABUPATEN TEBO DAN BATANGHARI, PROVINSI JAMBI PENYELIDIKAN BATUBARA DAERAH BATUSAWAR DAN SEKITARNYA, KABUPATEN TEBO DAN BATANGHARI, PROVINSI JAMBI Dede I. Suhada, Untung Triono, Priyono, M. Rizki R. Kelompok Penyelidikan Batubara, Pusat Sumber Daya

Lebih terperinci

BAB III TEORI DASAR. secara alamiah dari sisa tumbuh- tumbuhan (menurut UU No.4 tahun 2009).

BAB III TEORI DASAR. secara alamiah dari sisa tumbuh- tumbuhan (menurut UU No.4 tahun 2009). BAB III TEORI DASAR Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh- tumbuhan (menurut UU No.4 tahun 2009). Istilah batubara banyak dijumpai dari berbagai

Lebih terperinci

BATUBARA DI DAERAH LONGIRAM DAN SEKITARNYA KABUPATEN KUTAI BARAT PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BATUBARA DI DAERAH LONGIRAM DAN SEKITARNYA KABUPATEN KUTAI BARAT PROVINSI KALIMANTAN TIMUR BATUBARA DI DAERAH LONGIRAM DAN SEKITARNYA KABUPATEN KUTAI BARAT PROVINSI KALIMANTAN TIMUR Oleh : Soleh Basuki Rahmat KELOMPOK PROGRAM PENELITIAN ENERGI FOSIL S A R I Inventarisasi endapan batubara di

Lebih terperinci

PROSPEKSI BATUBARA DAERAH AMPAH DAN SEKITARNYA KABUPATEN BARITO TIMUR, PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

PROSPEKSI BATUBARA DAERAH AMPAH DAN SEKITARNYA KABUPATEN BARITO TIMUR, PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PROSPEKSI BATUBARA DAERAH AMPAH DAN SEKITARNYA KABUPATEN BARITO TIMUR, PROVINSI KALIMANTAN TENGAH Wawang Sri Purnomo dan Fatimah Kelompok Penyelidikan Batubara, Pusat Sumber Daya Geologi SARI Lokasi Penyelidikan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Objek yang dikaji adalah Formasi Gumai, khususnya interval Intra GUF a sebagai

BAB III METODE PENELITIAN. Objek yang dikaji adalah Formasi Gumai, khususnya interval Intra GUF a sebagai BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian Objek yang dikaji adalah Formasi Gumai, khususnya interval Intra GUF a sebagai batas bawah sampai Intra GUF sebagai batas atas, pada Lapangan Izzati. Adapun

Lebih terperinci

Evaluasi Gas Metana Batubara Pada Formasi Balikpapan Cekungan Kutai

Evaluasi Gas Metana Batubara Pada Formasi Balikpapan Cekungan Kutai Evaluasi Gas Metana Batubara Pada Formasi Balikpapan Cekungan Kutai Nurul amalia Pusat Studi Energi UNPAD Abstrak Coalbed Methane (CBM) adalah salah satu unconventional sources yang mulai dikembangkan

Lebih terperinci

INVENTARISASI BATUBARA BERSISTIM DI DAERAH SUNGAI SANTAN DAN SEKITARNYA KABUPATEN KUTAI TIMUR, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

INVENTARISASI BATUBARA BERSISTIM DI DAERAH SUNGAI SANTAN DAN SEKITARNYA KABUPATEN KUTAI TIMUR, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR INVENTARISASI BATUBARA BERSISTIM DI DAERAH SUNGAI SANTAN DAN SEKITARNYA KABUPATEN KUTAI TIMUR, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR ( Lembar Peta : 1916-11 ) Oleh : Nanan S. Kartasumantri dkk Sub.Direktorat Batubara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fosil, dimana reservoir-reservoir gas konvensional mulai mengalami penurunan

BAB I PENDAHULUAN. fosil, dimana reservoir-reservoir gas konvensional mulai mengalami penurunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang CBM (Coal Bed Methane) atau Gas Metan Batubara pada beberapa tahun terakhir ini menjadi salah satu kandidat alternatif pemenuhan kebutuhan energi fosil, dimana reservoir-reservoir

Lebih terperinci

INVENTARISASI BATUBARA BERSISTEM DAERAH SENYIUR, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA DAN KABUPATEN KUTAI TIMUR, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR (LEMBAR PETA I816-24

INVENTARISASI BATUBARA BERSISTEM DAERAH SENYIUR, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA DAN KABUPATEN KUTAI TIMUR, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR (LEMBAR PETA I816-24 INVENTARISASI BATUBARA BERSISTEM DAERAH SENYIUR, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA DAN KABUPATEN KUTAI TIMUR, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR (LEMBAR PETA I816-24 skala 1: 50.000) oleh: TARSIS A.D. Subdit Batubara,

Lebih terperinci

BAB IV GEOKIMIA PETROLEUM

BAB IV GEOKIMIA PETROLEUM BAB IV GEOKIMIA PETROLEUM 4.1 Analisis Sampel Sampel yang dianalisis dalam studi ini berupa sampel ekstrak dari batuan sedimen dan sampel minyak (Tabel 4.1). Sampel-sampel ini diambil dari beberapa sumur

Lebih terperinci

(Gambar III.6). Peta tuning ini secara kualitatif digunakan sebagai data pendukung untuk membantu interpretasi sebaran fasies secara lateral.

(Gambar III.6). Peta tuning ini secara kualitatif digunakan sebagai data pendukung untuk membantu interpretasi sebaran fasies secara lateral. Selanjutnya hasil animasi terhadap peta tuning dengan penganturan frekuensi. Dalam hal ini, animasi dilakukan pada rentang frekuensi 0 60 hertz, karena diatas rentang tersebut peta tuning akan menunjukkan

Lebih terperinci

BAB III DATA DAN PENGOLAHAN DATA

BAB III DATA DAN PENGOLAHAN DATA BAB III DATA DAN PENGOLAHAN DATA 3.1 Pendahuluan Analisis tektonostratigrafi dan pola sedimentasi interval Formasi Talang Akar dan Baturaja dilakukan dengan mengintegrasikan data geologi dan data geofisika

Lebih terperinci

BAB IV PEMODELAN RESERVOAR

BAB IV PEMODELAN RESERVOAR BAB IV PEMODELAN RESERVOAR Daerah penelitian, Lapangan Yapin, merupakan lapangan yang sudah dikembangkan. Salah satu masalah yang harus dipecahkan dalam pengembangan lapangan adalah mendefinisikan geometri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Permasalahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Batubara merupakan salah satu sumber energi yang telah lama digunakan dan memegang peranan penting saat ini. Peranannya semakin meningkat seiring dengan perkembangan

Lebih terperinci

By : Kohyar de Sonearth 2009

By : Kohyar de Sonearth 2009 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Energi fosil merupakan energi yang tidak terbarukan atau energi habis pakai seperti yang kita gunakan pada saat ini yakni minyak dan gas bumi. Karenanya dengan peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. potensi sumber daya energi yang cukup besar seperti minyak bumi, gas, batubara

BAB I PENDAHULUAN. potensi sumber daya energi yang cukup besar seperti minyak bumi, gas, batubara BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cekungan Barito merupakan salah satu cekungan tersier yang memiliki potensi sumber daya energi yang cukup besar seperti minyak bumi, gas, batubara dan sumber daya

Lebih terperinci

PENGKAJIAN CEKUNGAN BATUBARA DI DAERAH BAYUNG LINCIR, KABUPATEN MUSI BANYUASIN, PROPINSI SUMATERA SELATAN

PENGKAJIAN CEKUNGAN BATUBARA DI DAERAH BAYUNG LINCIR, KABUPATEN MUSI BANYUASIN, PROPINSI SUMATERA SELATAN PENGKAJIAN CEKUNGAN BATUBARA DI DAERAH BAYUNG LINCIR, KABUPATEN MUSI BANYUASIN, PROPINSI SUMATERA SELATAN Oleh : Sukardi & Asep Suryana Sub Dit. Eksplorasi Batubara dan Gambut, DSM S A R I Penyelidikan

Lebih terperinci

Berikut ini adalah log porositas yang dihasilkan menunjukkan pola yang sama dengan data nilai porositas pada inti bor (Gambar 3.18).

Berikut ini adalah log porositas yang dihasilkan menunjukkan pola yang sama dengan data nilai porositas pada inti bor (Gambar 3.18). Gambar 3.17 Grafik silang antara porositas inti bor dan porositas log densitas. Berikut ini adalah log porositas yang dihasilkan menunjukkan pola yang sama dengan data nilai porositas pada inti bor (Gambar

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN... ii LEMBAR PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv SARI... vi ABSTRACT... vii DAFTAR ISI... viii DAFTAR GAMBAR... xii DAFTAR TABEL... xvi DAFTAR LAMPIRAN... xvii BAB I PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

PEMBORAN CBM DAERAH JANGKANG, KABUPATEN KAPUAS, PROVINSI KALIMANTAN TENGAH. Soleh Basuki Rahmat Kelompok program penelitian energi fosil S A R I

PEMBORAN CBM DAERAH JANGKANG, KABUPATEN KAPUAS, PROVINSI KALIMANTAN TENGAH. Soleh Basuki Rahmat Kelompok program penelitian energi fosil S A R I PEMBORAN CBM DAERAH JANGKANG, KABUPATEN KAPUAS, PROVINSI KALIMANTAN TENGAH Soleh Basuki Rahmat Kelompok program penelitian energi fosil S A R I Sesuai dengan kebijakan pemerintah untuk mengembangkan sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG PENELITIAN Kiprah dan perjalanan PT. Chevron Pacific Indonesia yang telah cukup lama ini secara perlahan diikuti oleh penurunan produksi minyak dan semakin kecilnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurunnya angka produksi minyak dan gas bumi dewasa ini memberikan konsekuensi yang cukup besar bagi kehidupan masyarakat. Kebutuhan akan sumber daya minyak dan gas

Lebih terperinci

Bab IV Pengambilan Sampel dan Hasil Analisis. IV.1 Pengambilan Sampel

Bab IV Pengambilan Sampel dan Hasil Analisis. IV.1 Pengambilan Sampel Bab IV Pengambilan Sampel dan Hasil Analisis IV1 Pengambilan Sampel Dengan memperhitungkan kemiringan lapisan dan prediksi overburden antar lapisan batubara, dilakukan pengamatan/pengukuran kandungan gas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. cekungan penghasil minyak dan gas bumi terbesar kedua di Indonesia setelah

BAB I PENDAHULUAN. cekungan penghasil minyak dan gas bumi terbesar kedua di Indonesia setelah BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Menurut Pertamina BPPKA (1996), Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan penghasil minyak dan gas bumi terbesar kedua di Indonesia setelah Cekungan

Lebih terperinci

PENGKAJIAN BATUBARA BERSISTEM DALAM CEKUNGAN SUMATERA SELATAN DI DAERAH LUBUKMAHANG, KEC. BAYUNGLINCIR, KAB. MUSIBANYUASIN, PROP.

PENGKAJIAN BATUBARA BERSISTEM DALAM CEKUNGAN SUMATERA SELATAN DI DAERAH LUBUKMAHANG, KEC. BAYUNGLINCIR, KAB. MUSIBANYUASIN, PROP. PENGKAJIAN BATUBARA BERSISTEM DALAM CEKUNGAN SUMATERA SELATAN DI DAERAH LUBUKMAHANG, KEC. BAYUNGLINCIR, KAB. MUSIBANYUASIN, PROP. SUMATERA SELATAN Oleh : Sukardi dan A.Suryana Sub Dit. Eksplorasi Batubara

Lebih terperinci

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono Batulempung, hadir sebagai sisipan dalam batupasir, berwarna abu-abu, bersifat non karbonatan dan secara gradasi batulempung ini berubah menjadi batuserpih karbonan-coally shale. Batubara, berwarna hitam,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertamina EP yang berada di Jawa Barat (Gambar 1.1). Lapangan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Pertamina EP yang berada di Jawa Barat (Gambar 1.1). Lapangan tersebut BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Lapangan Ibrahim merupakan salah satu lapangan minyak dari PT. Pertamina EP yang berada di Jawa Barat (Gambar 1.1). Lapangan tersebut mulai diproduksi pada

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Cekungan Sumatra Tengah merupakan cekungan penghasil minyak bumi yang pontensial di Indonesia. Cekungan ini telah dikelola oleh PT Chevron Pacific Indonesia selama

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Maksud dan Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan minyak dan gas bumi sebagai sumber daya bahan baku konsumsi kegiatan manusia sehari-hari masih belum dapat tergantikan dengan teknologi maupun sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHALUAN. kondisi geologi di permukaan ataupun kondisi geologi diatas permukaan. Secara teori

BAB I PENDAHALUAN. kondisi geologi di permukaan ataupun kondisi geologi diatas permukaan. Secara teori 1 BAB I PENDAHALUAN I.1. Latar Belakang Kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mencari lapangan-lapangan baru yang dapat berpotensi menghasilkan minyak dan atau

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KORELASI INFORMASI GEOLOGI DENGAN VARIOGRAM

BAB IV ANALISIS KORELASI INFORMASI GEOLOGI DENGAN VARIOGRAM BAB IV ANALISIS KORELASI INFORMASI GEOLOGI DENGAN VARIOGRAM Tujuan utama analisis variogram yang merupakan salah satu metode geostatistik dalam penentuan hubungan spasial terutama pada pemodelan karakterisasi

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan 1.1 Subjek dan Objek Penelitian 1.2 Latar Belakang Permasalahan 1.3 Masalah Penelitian

Bab I Pendahuluan 1.1 Subjek dan Objek Penelitian 1.2 Latar Belakang Permasalahan 1.3 Masalah Penelitian Bab I Pendahuluan 1.1 Subjek dan Objek Penelitian Subjek dari penelitian ini berupa studi stratigrafi sekuen dalam formasi Pulau Balang di lapangan Wailawi, Cekungan Kutai Bagian Selatan Kalimantan Timur.

Lebih terperinci

BAB III PEMODELAN GEOMETRI RESERVOIR

BAB III PEMODELAN GEOMETRI RESERVOIR BAB III PEMODELAN GEOMETRI RESERVOIR Pemodelan reservoir berguna untuk memberikan informasi geologi dalam kaitannya dengan data-data produksi. Studi geologi yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui geometri

Lebih terperinci

PENYELIDIKAN BATUBARA DI DAERAH NUNUKAN TIMUR, KABUPATEN NUNUKAN, PROVINSI KALIMANTAN UTARA

PENYELIDIKAN BATUBARA DI DAERAH NUNUKAN TIMUR, KABUPATEN NUNUKAN, PROVINSI KALIMANTAN UTARA PENYELIDIKAN BATUBARA DI DAERAH NUNUKAN TIMUR, KABUPATEN NUNUKAN, PROVINSI KALIMANTAN UTARA Sigit A. Wibisono dan Wawang S.P. Kelompok Penyelidikan Batubara, Pusat Sumber Daya Geologi SARI Secara administratif

Lebih terperinci

PENYELIDIKAN BATUBARA DAERAH UMUK DAN SEKITARNYA KABUPATEN MIMIKA, PROVINSI PAPUA

PENYELIDIKAN BATUBARA DAERAH UMUK DAN SEKITARNYA KABUPATEN MIMIKA, PROVINSI PAPUA TAHUN 2014, PUSAT SUMBER DAYA GEOLOGI PENYELIDIKAN BATUBARA DAERAH UMUK DAN SEKITARNYA KABUPATEN MIMIKA, PROVINSI PAPUA Oleh: Sigit A. Wibisono, Dede I. Suhada dan Asep Suryana KP Energi Fosil SARI Daerah

Lebih terperinci

DAFTAR GAMBAR. Gambar 5. Pengambilan Conventinal Core utuh dalam suatu pemboran... Gambar 6. Pengambilan Side Wall Core dengan menggunakan Gun...

DAFTAR GAMBAR. Gambar 5. Pengambilan Conventinal Core utuh dalam suatu pemboran... Gambar 6. Pengambilan Side Wall Core dengan menggunakan Gun... DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Kontribusi berbagai cabang disiplin ilmu dalam kegiatan eksplorasi (Peadar Mc Kevitt, 2004)... Gambar 2. Peta Lokasi Struktur DNF... Gambar 3. Batas batas Struktur DNF dari

Lebih terperinci

Analisis Petrofisika Batuan Karbonat Pada Lapangan DIF Formasi Parigi Cekungan Jawa Barat Utara

Analisis Petrofisika Batuan Karbonat Pada Lapangan DIF Formasi Parigi Cekungan Jawa Barat Utara Analisis Petrofisika Batuan Karbonat Pada Lapangan DIF Formasi Parigi Cekungan Jawa Barat Utara Nadifatul Fuadiyah 1, Widya Utama 2,Totok Parafianto 3 Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Indonesia

Lebih terperinci

KABUPATEN NUNUKAN, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

KABUPATEN NUNUKAN, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PENYELIDIKAN BATUBARA DAERAH SUNGAI APAN, KABUPATEN NUNUKAN, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR SARI Oleh: M. Abdurachman Ibrahim, S.T. Penyelidikan batubara daerah Sungai Apan dilakukan dalam rangka menyediakan

Lebih terperinci

PROSPEKSI BATUBARA DAERAH TABAK, KABUPATEN BARITO SELATAN PROVINSI KALIMATAN TENGAH

PROSPEKSI BATUBARA DAERAH TABAK, KABUPATEN BARITO SELATAN PROVINSI KALIMATAN TENGAH PROSPEKSI BATUBARA DAERAH TABAK, KABUPATEN BARITO SELATAN PROVINSI KALIMATAN TENGAH Didi Kusnadi dan Eska P Dwitama Kelompok Penyelidikan Batubara, Pusat Sumber Daya Geologi SARI Daerah penyelidikan terletak

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DAN PENGOLAHAN DATA

BAB IV ANALISIS DAN PENGOLAHAN DATA BAB IV ANALISIS DAN PENGOLAHAN DATA 4.1. Analisa Data Litologi dan Stratigrafi Pada sumur Terbanggi 001, data litologi (Tabel 4.1) dan stratigrafi (Tabel 4.2) yang digunakan untuk melakukan pemodelan diperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pliosen Awal (Minarwan dkk, 1998). Pada sumur P1 dilakukan pengukuran FMT

BAB I PENDAHULUAN. Pliosen Awal (Minarwan dkk, 1998). Pada sumur P1 dilakukan pengukuran FMT BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Lapangan R merupakan bagian dari kompleks gas bagian Selatan Natuna yang terbentuk akibat proses inversi yang terjadi pada Miosen Akhir hingga Pliosen Awal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Industri perminyakan adalah salah satu industri strategis yang memegang peranan sangat penting saat ini, karena merupakan penyuplai terbesar bagi kebutuhan

Lebih terperinci

Bab II Geologi Regional

Bab II Geologi Regional BAB II GEOLOGI REGIONAL 2.1. Geologi Regional Kalimantan Kalimantan merupakan daerah yang memiliki tektonik yang kompleks. Hal tersebut dikarenakan adanya interaksi konvergen antara 3 lempeng utama, yakni

Lebih terperinci

Laporan Tugas Akhir Studi analisa sekatan sesar dalam menentukan aliran injeksi pada lapangan Kotabatak, Cekungan Sumatera Tengah.

Laporan Tugas Akhir Studi analisa sekatan sesar dalam menentukan aliran injeksi pada lapangan Kotabatak, Cekungan Sumatera Tengah. BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Kondisi perminyakan dunia saat ini sangat memperhatinkan khususnya di Indonesia. Dengan keterbatasan lahan eksplorasi baru dan kondisi sumur-sumur tua yang telah melewati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sangat ekonomis yang ada di Indonesia. Luas cekungan tersebut mencapai

BAB I PENDAHULUAN. sangat ekonomis yang ada di Indonesia. Luas cekungan tersebut mencapai BAB I PENDAHULUAN I. 1. Latar Belakang Penelitian Cekungan Kutai merupakan salah satu cekungan penting dan bernilai sangat ekonomis yang ada di Indonesia. Luas cekungan tersebut mencapai 60.000 km 2 dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Energi Nasional (KEN) melalui PP No.5 Tahun 2006 yang memiliki tujuan utama

BAB I PENDAHULUAN. Energi Nasional (KEN) melalui PP No.5 Tahun 2006 yang memiliki tujuan utama BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara dengan sumberdaya batubara yang melimpah. Di sisi lain tingginya harga bahan bakar minyak menuntut adanya pengalihan ke energi lain termasuk

Lebih terperinci

A. JUDUL KAJIAN TEKNIS TERHADAP SISTEM PENIMBUNAN BATUBARA PADA STOCKPILE DI TAMBANG TERBUKA BATUBARA PT. GLOBALINDO INTI ENERGI KALIMANTAN TIMUR

A. JUDUL KAJIAN TEKNIS TERHADAP SISTEM PENIMBUNAN BATUBARA PADA STOCKPILE DI TAMBANG TERBUKA BATUBARA PT. GLOBALINDO INTI ENERGI KALIMANTAN TIMUR A. JUDUL KAJIAN TEKNIS TERHADAP SISTEM PENIMBUNAN BATUBARA PADA STOCKPILE DI TAMBANG TERBUKA BATUBARA PT. GLOBALINDO INTI ENERGI KALIMANTAN TIMUR B. ALASAN PEMILIHAN JUDUL PT. Globalindo Inti Energi merupakan

Lebih terperinci

PROPOSAL TUGAS AKHIR ANALISA KUALITAS BATUBARA

PROPOSAL TUGAS AKHIR ANALISA KUALITAS BATUBARA PROPOSAL TUGAS AKHIR ANALISA KUALITAS BATUBARA Disusun oleh : MUHAMMAD ZAINAL ILMI NIM. DBD 108 055 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS PALANGKA RAYA FAKULTAS TEKNIK JURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Salah satu kegiatan pengumpulan data bawah permukaan pada kegiatan pengeboran sumur minyak dan atau gas bumi baik untuk sumur eksplorasi maupun untuk sumur

Lebih terperinci

Seminar Nasional Cendekiawan 2015 ISSN:

Seminar Nasional Cendekiawan 2015 ISSN: ANALISA DATA LOG UNTUK MENENTUKAN ZONA PRODUKTIF DAN MEMPERKIRAKAN CADANGAN AWAL PADA SUMUR R LAPANGAN Y Riza Antares, Asri Nugrahanti, Suryo Prakoso Jurusan Teknik Perminyakan Universitas Trisakti Abstrak

Lebih terperinci

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur Umur Analisis mikropaleontologi dilakukan pada contoh batuan pada lokasi NA805 dan NA 803. Hasil analisis mikroplaeontologi tersebut menunjukkan bahwa pada contoh batuan tersebut tidak ditemukan adanya

Lebih terperinci

Bab II Kondisi Umum Daerah Penelitian

Bab II Kondisi Umum Daerah Penelitian Bab II Kondisi Umum Daerah Penelitian II.1 Kesampaian Daerah Lokasi penelitian terletak di daerah Buanajaya dan sekitarnya yang secara administratif termasuk dalam wilayah Kecamatan Tenggarong Seberang,

Lebih terperinci

KANDUNGAN GAS METANA BATUBARA DAERAH NIBUNG, KABUPATEN MUSI RAWAS, PROVINSI SUMATERA SELATAN. Oleh: Sigit Arso W.

KANDUNGAN GAS METANA BATUBARA DAERAH NIBUNG, KABUPATEN MUSI RAWAS, PROVINSI SUMATERA SELATAN. Oleh: Sigit Arso W. KANDUNGAN GAS METANA BATUBARA DAERAH NIBUNG, KABUPATEN MUSI RAWAS, PROVINSI SUMATERA SELATAN Oleh: Sigit Arso W. Pusat Sumber Daya Geologi Jln. Soekarno - Hatta No. Bandung SARI Gas metana(ch) merupakan

Lebih terperinci

BAB IV ENDAPAN BATUBARA

BAB IV ENDAPAN BATUBARA 36 BAB IV ENDAPAN BATUBARA IV.1 Pembahasan Umum Batubara Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya

Lebih terperinci

Bab I Pendahuluan. I.1 Maksud dan Tujuan

Bab I Pendahuluan. I.1 Maksud dan Tujuan Bab I Pendahuluan I.1 Maksud dan Tujuan Pemboran pertama kali di lapangan RantauBais di lakukan pada tahun 1940, akan tetapi tidak ditemukan potensi hidrokarbon pada sumur RantauBais#1 ini. Pada perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cekungan Kutai merupakan cekungan Tersier terbesar dan terdalam di Indonesia bagian barat, dengan luas area 60.000 km 2 dan ketebalan penampang mencapai 14 km. Cekungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Badan Geologi (2009), Subcekungan Enrekang yang terletak

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Badan Geologi (2009), Subcekungan Enrekang yang terletak BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penelitian Menurut Badan Geologi (2009), Subcekungan Enrekang yang terletak pada bagian utara-tengah dari Sulawesi Selatan merupakan salah satu subcekungan yang memiliki

Lebih terperinci