EFEKTIFITAS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN (TNBBS):

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EFEKTIFITAS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN (TNBBS):"

Transkripsi

1 EFEKTIFITAS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN (TNBBS): Kasus Model Desa Konservasi (MDK) di Pekon Sukaraja dan Pekon Kubu Perahu, Lampung RISTIANASARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA 1 Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Efektivitas Pemberdayaan Masyarakat di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS): Kasus Model Desa Konservasi (MDK) Di Pekon Sukaraja dan Pekon Kubu Perahu, Lampung, adalah benar hasil karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Maret 2013 Bogor, Januari 2013 Ristianasari NIM I Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait

4

5 SUMMARY RISTIANASARI. The Effectiveness of Community Empowerment in Bukit Barisan Selatan National Park (BBSNP): A Case from Model Desa Konservasi (MDK) at Sukaraja and Kubu Perahu, Lampung. Supervised by PUDJI MULJONO and DARWIS S. GANI. Deforestation and degradation caused by encroachment area are the greatest threats to conservation of Bukit Barisan Selatan National Park (BBSNP) as the thirdlargest protected area in Sumatera. Meanwhile, many aspects related to those threats with social phenomena such as what drives people to fullfil their need and its impact to their conservation behavior cannot be separated from its management. Community has an important role in conservation, they are not only being a threat but also a potential resource. Community empowerment then become a key point. Empowering community is not just to stop the damage but directed as an effort to provide opportunities, convenience and facilitation of the people living surrounding conservation areas. In accordance with those purpose, the empowerment considered to be effective by the increase of community involvement and selfreliance. This term of effectiveness then refers to sense of willingness to be able to develop their knowledge, awareness and skills, in order to utilize the natural resources for the welfare and conservation in the fields of ecological, economic, social and cultural. Model Desa Konservasi (MDK) is a form of community empowermentbasedeconomy and conservation conducted in BBSNP. MDK is an effort to improve community access, mutual roles and functions of the national park toward its preservation and community welfare. Understanding its process and impact are the most important step relating to BBSNP conservation and its management especially for designing the most appropriate approach to apply. This study has three main objectives that include the following: (1) to analyze the effectiveness of community empowerment through MDK; (2) to analyze the factors correlated with effectiveness of community empowerment; and (3) to analyze enhancement of community empowerment approach that could ensure its effectiveness. This study was conducted at Sukaraja and Kubu Perahu, Lampung, as a buffer zone and enclave of BBSNP from February to October The study was design using survey method. The analysis used in this study were: (1) descriptive statistic by using distribution frequency and Mann Whitney non parametric test; (2) inferencial statistic by using Rank Spearman correlation. Analysis helped by SPSS 20.0 software. The result showed that community participations are in low level and community selfreliance was categoryzed in good level. Sociodemogaphic characteristic (formal education, training, income, land ownership, membership in community group, etnic, and information reveal) and another factors like community interaction and acess to BBNSP (community involvement and their acces, dependence toward BBSNP, and perceived direct benefit to BBSNP) have very significant positif correlation on the effectiveness of community empowerment due to community participation and selfreliance. Meanwhile,

6 another factors such as age, livelihoods and household size doesn t show any correlation with. Empowerment approach (understanding, organizational, facilitators, assistance, form of empowerment activity, and monitoring and evaluation) have a very significant positive correlation with the effectivenees of community empowerment. Understanding of community characteristics and their correlation with BBNSP and applying the most appropriate approach have relevancy to be priority and the most important point at once to improve the effectiveness of MDK empowerment program in BBSNP. The effectiveness can be increased by improving training, strengthening group, community understanding toward empowerment, facilitator s capacity, assistance process, networking and patnership, empowerment activity proportion due to local conditions and it s needs, and continuous monitoring and evaluation. Keywords: approach, community, effectiveness, empowerment, Model Desa Konservasi.

7 RINGKASAN RISTIANASARI. Efektifitas Pemberdayaan Masyarakat di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS): Kasus Model Desa Konservasi (MDK) di Pekon Sukaraja dan Pekon Kubu Perahu, Lampung. Dibawah bimbingan: PUDJI MULJONO dan DARWIS S. GANI. Deforestasi dan degradasi akibat perambahan kawasan merupakan permasalahan terbesar dalam pengelolaan kawasan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) sebagai kawasan konservasi terbesar ketiga di Sumatera. Sementara itu, berbagai aspek terkait kepentingan masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya serta pengaruhnya terhadap perilaku konservasi mereka tidak dapat dipisahkan dalam pengelolaannya. Upaya pemberdayaan masyarakat merupakan poin penting karena selain sebagai ancaman, masyarakat juga merupakan sumberdaya potensial. Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi bukan sekedar untuk menghentikan kerusakan kawasan namun diarahkan sebagai upaya untuk memberikan kesempatan, kemudahan dan fasilitasi terhadap masyarakat yang tinggal di sekitarnya agar mereka mandiri. Sesuai dengan tujuan pemberdayaan tersebut maka pemberdayaan dianggap efektif atau berhasil apabila masyarakat dapat berpartisipasi dan mandiri dalam arti mau dan mampu mengembangkan kesadaran, pengetahuan dan keterampilannya, guna memanfaatkan sumberdaya alam hayati untuk kesejahteraan dan memperhatikan upaya pelestarian sumberdaya alam tersebut dari aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. MDK merupakan bentuk program pemberdayaan masyarakat berbasis ekonomi dan konservasi yang dilaksanakan TNBBS. MDK merupakan upaya penting dalam meningkatkan akses timbal balik peran masyarakat dan fungsi kawasan konservasi terhadap peningkatan kesejahteran masyarakat. Memahami proses dan dampak kegiatan pemberdayaan melalui MDK terhadap masyarakat merupakan langkah dasar dan strategis dalam upaya konservasi kawasan TNBBS, berkaitan dengan pengelolaannya terutama untuk merancang pemberdayaan masyarakat yang bagaimana yang paling tepat untuk diterapkan. Penelitian ini memiliki 3 (tiga) tujuan utama, yaitu untuk: (1) menganalisis kegiatan pemberdayaan masyarakat MDK di TNBBS; (2) menganalisis faktorfaktor yang berhubungan dengan efektifitas pemberdayaan masyarakat MDK di TNBBS; dan (3) Menganalisis peningkatan efektifitas pemberdayaan MDK dengan berkaitan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat yang sesuai untuk diterapkan di TNBBS. Desain penelitian menggunakan metode survey. Penelitian dilakukan di Pekon Sukaraja dan Pekon Kubu Perahu sebagai daerah penyangga dan enclave kawasan TNBBS dari bulan Juni sampai September Analisis menggunakan statistik deskriptif dan inferensial. Statistik deskriptif terdiri dari distribusi frekuensi uji beda non parametrik Mann Whitney, sedangkan startistik inferensial digunakan untuk mengetahui hubungan antar variabel digunakan analisis korelasi Rank Spearman dengan software SPSS Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik sosio demografi (pendidikan, pelatihan, pendapatan, kepemilikan lahan, keikutsertaan dalam

8 kelompok, asal etnis, dan keterdedahan informasi) dan interaksi serta akses terhadap sumber daya (keterlibatan masyarakat dalam MDK, akses dalam kegiatan TNBBS, ketergantungan terhadap sumberdaya kawasan TNBBS dan manfaat langsung yang dirasakan masyarakat terhadap TNBBS) mempunyai korelasi sangat signifikan terhadap efektifitas pemberdayaan dalam hal ini partisipasi dan kemandirian. Sementara itu faktor umur, mata pencaharian dan jumlah tanggungan keluarga tidak menunjukkan adanya korelasi. Pendekatan pemberdayaan yang terdiri dari kesepahaman, kelembagaan, fasilitator, pendampingan, bentuk kegiatan pemberdayaan, dan monitoring dan evaluasi mempunyai korelasi sangat signifikan dengan efektifitas pemberdayaan. Meningkatkan pemahaman terhadap karakteristik masyarakat dan menerapkan pendekatan pemberdayaan yang sesuai dengan kondisi masyarakat merupakan hal penting dan relevan dalam upaya meningkatkan efektifitas pemberdayaan MDK di TNBBS. Untuk meningkatkan efektifitas pemberdayaan MDK adalah dengan meningkatkan pelatihan masyarakat, penguatan kelembagaan kelompok, meningkatkan kesepahaman, kemampuan fasilitator, proses pendampingan, pengembangan jejaring kerja dan kemitraan, proporsi bentuk kegiatan pemberdayaan sesuai dengan kondisi lokal setempat serta kebutuhan masyarakat dan pelaksanan monitoring dan evaluasi secara berkelanjutan. Kata kunci: efektifitas, masyarakat, Model Desa Konservasi, pemberdayaan, pendekatan.

9 Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta Dilindungi UndangUndang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

10

11 EFEKTIFITAS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN (TNBBS): Kasus Model Desa Konservasi (MDK) di Pekon Sukaraja dan Pekon Kubu Perahu, Lampung RISTIANASARI Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

12 Penguji: Penguji Luar Komisi : Dr. Ir. Basita G. Sugihen, MA (Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor)

13 Judul Tesis Nama NIM : Efektifitas Pemberdayaan Masyarakat di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS): Kasus Model Desa Konservasi (MDK) di Pekon Sukaraja dan Pekon Kubu Perahu, Lampung : Ristianasari : I Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Pudji Muljono, M. Si Ketua Prof. Dr. Darwis S. Gani, MA Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:

14

15 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, hanya dengan karunia rahmat, berkah, hidayah dan kesehatan darinya penulis dapat menyelesaikan penyusunan karya ilmiah (tesis) dengan judul Efektifitas Pemberdayaan Masyarakat di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS): Kasus Model Desa Konservasi (MDK) di Pekon Sukaraja dan Pekon Kubu Perahu, Lampung. Penelitian dilakukan sejak bulan Februari sampai dengan November 2012 di TNBBS, Lampung, dengan bantuan dana penelitian dari Kementerian Kehutanan cq. Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan, Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Kehutanan. Tesis ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Banyak pihak yang telah membantu dalam penyusunan tesis ini, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Komisi pembimbing, Dr. Ir. Pudji Muljono, M. Si (ketua) dan Prof. Dr. Darwis S. Gani, MA (anggota), yang telah membimbing dan memberikan saran, masukan serta arahan sehingga penulisan tesis ini dapat lebih baik. 2. Dekan Fakultas Ekologi Manusia, Ketua Program Studi Penyuluhan Pembangunan (PPN) IPB beserta dosen pengajar, yang telah menerima penulis sebagai mahasiswa pascasarjana PPN IPB dan memberikan ilmu serta teoriteori berkaitan dengan studi yang penulis tempuh. 3. Staf Program Studi Penyuluhan Pembangunan (PPN) IPB, atas kerjasamanya. 4. Kepala Balai TNBBS (Ir. John Kenedie, MM), Kepala Bagian Tata Usaha (Achmad Susdjoto, S. Sos), Kepala Bidang Pengelolaan Taman Naional (PTN) Wilayah I (Ir. Iwen Yuvanho Ismarson, S. Hut., MAP., M.Env), Kepala Bidang PTN Wilayah II di Liwa (Edi Susanto, SE, MM), Kepala Seksi PTN Wilayah I Sukaraja (Jimmy Fonda, SH) dan Kepala Seksi PTN Wilayah III Kubu Perahu (Amri, SH, M. Hum), Penyuluh Kehutanan (Riyanto, S.Hut), atas ijin dan bantuan yang diberikan selama pelaksanaan penelitian selama di lapangan. 5. Masyarakat Pekon Sukaraja dan Pekon Kubu Perahu atas kerjasama dan bantuan yang diberikan selama di lapangan. 6. Bapak (Alm) dan Ibu tercinta, Kakak dan Saudarasaudara atas doa, dorongan dan semangat selama penulis menempuh dan menyelesaikan studi di IPB. 7. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada suami (Jimmy) dan putera puteri tercinta (Thoriq Ammar Hafidz Fonda dan Najma Khalila Fonda) atas doa, dorongan, dengan penuh pengertian dan kesabaran telah mendampingi penulis selama menempuh dan menyelesaikan studi di IPB. 8. Temanteman seperjuangan PPN 2010, temanteman S2 (Sri Ramadoan Roy D. Samboh, Saptorini, Aminuddin, Santi Utami Dewi, Ikhsan Hariyadi) dan temanteman S3 tanpa terkecuali atas kebersamaan dan kekompakan yang terjalin. 9. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan tesis ini. Kesempurnaan hanya milik Allah SWT, karenanya penulis sangat menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini masih terdapat kekurangan. Masukan, saran dan arahan sangat penulis harapkan untuk menjadi lebih baik. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan. Amin. Bogor, Maret 2013 Ristianasari

16

17 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xiii DAFTAR GAMBAR... xiv DAFTAR LAMPIRAN... xiv PENDAHULUAN 1 Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah Penelitian... 5 Tujuan Penelitian... 7 Manfaat Penelitian... 7 TINJAUAN PUSTAKA 8 Pengelolaan Taman Nasional... 8 Masyarakat Sekitar Kawasan TNBBS PemberdayaanMasyarakat Konsep dan pengertian Pendampingan dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat Pendekatan Pemberdayaan masyarakat di bidang kehutanan (di sekitar kawasan konservasi) Model Desa Konservasi Efektivitas Pemberdayaan Masyarakat Partisipasi Kemandirian Konsep Perilaku Pengetahuan (aspek kognitif) Persepsi dan sikap (aspek afektif) Tindakan (aspek psikomotorik) Faktor yang mempengaruhi perilaku KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN 33 Kerangka Berpikir Hipotesis METODE PENELITIAN 38 Desain Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Populasi dan Sampel Pengembangan Instrumen Penelitian Jenis data Variabel penelitian Definisi operasional Matriks pengembangan instrumen Kisikisi instrumen Uji Instrumen Teknik Pengumpulan Data Analisis Data... 55

18 DAFTAR ISI (lanjutan) Halaman HASIL DAN PEMBAHASAN 57 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Masyarakat sekitar kawasan TNBBS Pekon Sukaraja dan Kubu Perahu sebagai Lokasi Pemberdayaan Masyarakat Model Desa Konservasi (MDK) Pemberdayaan Model Desa Konservasi Karakteristik Sosio Demografi Interaksi dan Akses terhadap Taman Nasional Pendekatan Pemberdayaan Efektivitas Pemberdayaan Hubungan Karakteristik Sosiodemografi dengan Efektivitas Pemberdayaan Hubungan Interaksi dan Akses terhadap Taman Nasional dengan Efektivitas Pemberdayaan Hubungan Pendekatan Pemberdayaan dengan Efektivitas Pemberdayaan Hubungan Partisipasi dengan Kemandirian Peningkatan Efektivitas Pemberdayaan Masyarakat MDK SIMPULAN DAN SARAN 106 Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ii

19 DAFTAR TABEL Halaman 1 Hubungan antara pendekatan, partisipasi dan level pemberdayaan Klasifikasi jenjang perubahan perilaku Sub Variabel, indikator, pengukuran dan skala karakteristik sosiodemografi Sub Variabel, indikator, pengukuran dan skala interaksi dan akses terhadap taman nasional Sub Variabel, indikator, pengukuran dan skala pendekatan pemberdayaan Sub Variabel, indikator, pengukuran dan skala partisipasi 48 7 Sub Variabel, indikator, pengukuran dan skala kemandirian 48 8 Hasil uji instrumen penelitian Distribusi luas kawasan TNBBS Desa di sekitar kawasan TNBBS Potensi Pekon Sukaraja dan Pekon Kubu Perahu sebagai lokasi pemberdayaan MDK Distribusi responden pada berbagai kakteristik sosiodemografi Distribusi responden interaksi dan akses terhadap taman nasional Pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat MDK di TNBBS Partisipasi masyarakat dalam kegiatan pemberdayaan MDK Kemandirian dalam mengembangkan perilaku dibidang ekologi Kemandirian dalam mengembangkan perilaku dibidang ekonomi Kemandirian dalam mengembangkan perilaku dibidang sosialbudaya Hubungan karakteristik sosiodemografi dengan efektifitas pemberdayaan partisipasi dan kemandirian Hubungan interaksi dan akses terhadap taman nasional dengan partisipasi Hubungan interaksi dan akses terhadap taman nasional dengan kemandirian Hubungan pendekatan pemberdayaan dengan dengan efektifitas partisipasi dan kemandirian Hubungan partisipasi dengan kemandirian iii

20 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Kerangka konseptual penelitian 36 2 Kerangka operasional penelitian 37 3 Proses pengambilan sampel 39 4 Komposisi penduduk Pekon Sukaraja berdasarkan etnis pemukim 63 5 Komposisi penduduk Pekon Kubu Perahu berdasarkan etnis pemukim 63 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Kerusakan kawasan TNBBS dalam kurun waktu tahun 1972 sampai dengan tahun Kerusakan kawasan akibat aktifitas ilegal masyarakat Peta lokasi penelitian Kisikisi instrumen penelitian Pembagian zona/mintakat dan posisi daerah penyangga di TNBBS Penataan zonasi di lokasi pemberdayaan masyarakat Model Desa Konservasi (MDK) di Sukaraja dan Kubu Perahu Batas pekon/desa lokasi pemberdayaan MDK dengan TNBBS Kegiatan pemberdayaan masyarakat Model Desa Konservasi (MDK) di Pekon Sukaraja dan Kubu Perahu Uji beda MannWhitney karakteristik sosio demografi kelompok responden Pekon Sukaraja dan Kubu Perahu Uji beda MannWhitney interaksi dan akses terhadap taman nasional kelompok responden Pekon Sukaraja dan Kubu Perahu Uji beda MannWhitney pendekatan pemberdayaan TNBBS terhadap kelompok responden Pekon Sukaraja dan Kubu Perahu Uji beda MannWhitney efektifitas pemberdayaan kelompok responden Pekon Sukaraja dan Kubu Perahu 131 iv

21 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Ponorogo pada tanggal 26 April 1979 dari Ayah Syamsuri (alm) dan Ibu Rum Indiati. Penulis adalah putri kedua dari tiga bersaudara. Pada tahun 1998 penulis di terima di Universitas Gadjah Mada (UGM) Fakultas Kehutanan jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan. Selama mengikuti perkuliahan, penulis mengikuti Praktik Lapang Pengelolaan Hutan Tanaman di Perum Perhutani, Getas, Ngawi, Jawa Timur, Praktik Lapang Pengelolaan Mangrove di Cilacap, Jawa Tengah dan Praktik Lapang Pengelolaan Kawasan Konservasi di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Pada tahun 2002 penulis diterima magang pada HPH PT. Intraca Wood Manufacturing, Tarakan, Kalimantan Timur. Penulis lulus dari UGM pada tahun 2003 dengan predikat cumlaude dan pada tahun yang sama diterima pada Pusat Bina Penyuluhan Kementerian Kehutanan Jakarta. Sebelum ditempatkan di tempat tugas, penulis mengikuti magang selama 6 (enam) bulan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Pada tahun 2010, penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan program magister pada Program Studi Penyuluhan Pembangunan, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor (IPB). Beasiswa Pendidikan pascasarjana diperoleh dari Kementerian Kehutanan cq. Pusat Pendidikan dan Pelatihan, Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM, Kementerian Kehutanan. Saat ini penulis masih bekerja pada instansi Pusat Bina Penyuluhan, Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), Kementerian Kehutanan di Jakarta.

22

23 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pentingnya kawasan hutan bagi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan tidak pernah dapat terelakkan. Hampir seluruh kawasan konservasi di Indonesia berada dalam pola interaksi yang kuat dengan masyarakat yang hidup di sekitarnya, dimana masyarakat masih mengandalkan hidupnya pada hutan. Masyarakat bergantung pada hubungannya dengan lingkungan termasuk kawasan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup (Foskett dan Foskett 2004). Data empiris menunjukkan bahwa masyarakat tersebut tersebar di kurang lebih desa didalam kawasan hutan dan kurang lebih desa di sekitar hutan (Daryanto 2011). Sejumlah desa diantaranya terdapat di dalam dan di sekitar hutan konservasi (Dephut 2009). Pada umumnya masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan konservasi termasuk dalam kategori miskin (Santosa 2004), salah satunya dikarenakan terbatasnya akses terhadap kegiatan pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam (Kemenhut 2011b). Sementara itu, secara teoritis, kawasan konservasi harus bebas dari pemukiman masyarakat. Kondisi inilah yang menyebabkan munculnya konflik antara kepentingan masyarakat dengan kepentingan konservasi, demikian juga yang terjadi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Kecenderungan konflik memerlukan solusi yang dapat mengakomodir semua kepentingan. Aktivitas masyarakat di sekitarnya yang bersifat eksploitatif merupakan ancaman yang akan menimbulkan dampak merugikan bagi kawasan maupun masyarakat itu sendiri. Di sisi lain, masyarakat merupakan sumberdaya potensial bagi konservasi kawasan TNBBS. Dengan demikian, kepentingan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya serta perilaku mereka tidak dapat dipisahkan dalam pengelolaan TNBBS. Program pemberdayaan dipandang perlu sebagai upaya untuk mendorong perilaku positif masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraannya dengan mempertimbangkan pelestarian kawasan. Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dengan luas ha merupakan kawasan pelestarian alam terbesar ketiga di Sumatera. Kondisi geografis dengan bentuk kawasan memanjang mulai dari Tanjung Cina (berbatasan dengan Samudera Hindia) sampai dengan ujung selatan Provinsi Bengkulu menjadikan TNBBS memiliki tipe vegetasi paling lengkap mulai dari hutan pantai, hutan hujan pegunungan dataran rendah, hutan hujan dataran tinggi dan pegunungan. Dengan berbagai tipe tersebut, TNBBS merupakan laboratorium alam yang mempunyai keanekaragaman hayati sangat tinggi. Kawasan ini juga merupakan benteng terakhir bagi habitat berbagai spesies terancam punah dan langka yang masih tersisa di Indonesia serta merupakan kawasan penting sistem penyangga kehidupan di Sumatera bagian selatan.. Berdasarkan klasifikasi Dinerstein et al. (1997), TNBBS diidentifikasi sebagai Tingkat I Tiger Conservation Unit, yaitu area prioritas bagi aksi konservasi harimau di habitat aslinya. TNBBS juga termasuk dalam 200 Ecoregions Global, yaitu peringkat WWF tentang habitat paling biologis yang berada di darat, air tawar dan laut, serta merupakan kawasan prioritas untuk 1

24 2 konservasi Badak Sumatera. Dengan berbagai fungsi penting dan karakteristik yang dimiliki tersebut, pada tahun 2004, UNESCO menetapkan TNBBS sebagai Situs/Tapak Warisan Dunia Pegunungan Cluster Area, dengan nama Tropical Rainforest Herritage of Sumatera. Disisi lain, kondisi geografis TNBBS dengan bentuk sempit dan memanjang menjadikan kawasan ini memiliki batas (alam maupun buatan) sepanjang ±893,39 km dan dikelilingi sekitar 210 desa (BTNBBS 2011). Besarnya jumlah desa yang berbatasan dengan TNBBS merupakan prioritas yang harus dipertimbangkan terkait kepentingan masyarakat secara ekonomi, sosial dan budaya berkaitan dengan akses terhadap sumberdaya alam yang dimiliki TNBBS serta pengaruhnya terhadap perilaku konservasi mereka. Dalam implementasinya, masih banyak masyarakat yang belum memahami mengapa suatu kawasan hutan ditetapkan sebagai kawasan taman nasional. Bagi masyarakat taman nasional merupakan kawasan terlarang yang membatasi masyarakat untuk dapat melakukan aktivitas yang selama ini lazim mereka lakukan, seperti aktivitas mencari kayu, berkebun, berburu dan mencari makanan ternak. Di banyak negara berkembang, tekanan terhadap sumberdaya alam meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk (Hackel 1999; Kideghesho et al. 2005b; Madulu 2004; Songorwa 2004a diacu dalam Kideghesho, Roskaft dan Kaltenborn 2007). Jumlah penduduk yang semakin meningkat di sekitar kawasan TNBBS membawa konsekuensi terhadap peningkatan tekanan terhadap kawasan, karena tingkat kebutuhan dan kepentingan terhadap sumberdaya alam juga semakin tinggi. Aktifitas pembukaan hutan/perambahan yang terus terjadi dan kecenderungan perilaku masyarakat yang tidak memperdulikan konservasi semakin mengkhawatirkan. Di sisi lain keberadaan kawasan konservasi harus tetap dipertahankan terkait dengan fungsi penting yang dimiliki. Dengan kondisi tersebut, melestarikan kawasan dan mengubah perilaku masyarakat merupakan tantangan terbesar dalam perspektif pengelolaan berkelanjutan di TNBBS. TNBBS juga merupakan kawasan yang mempunyai kompleksitas penyebab deforestasi, sehubungan dengan batas kawasan dengan pemukiman dan lahan pertanian. Tingginya interaksi terkait batas kawasan menyebabkan masyarakat masuk ke dalam kawasan (merambah) dan satwasatwa liar terdesak keluar dari kawasan. Kusworo (2000) dan Verbist et al. (2004) sebagaimana diacu dalam Suyadi (2009) menyatakan bahwa konflik kepemilikan lahan dan kepentingan antara masyarakat dan pengelola semakin memperparah kerusakan hutan. Akibat aktifitas masyarakat di dalam kawasan, TNBBS telah mengalami kehilangan tutupan lahan secara dramatis. Kawasan ini telah mengalami pengurangan tutupan lahan hutan sejak awal tahun 1970an (Kinnaird et al. 2003). Kerusakan kawasan TNBBS dalam kurun waktu tahun sebagaimana dalam Lampiran 1. Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) saat ini telah mengalami deforestasi (perubahan fungsi hutan) sekaligus degradasi (penurunan fungsi hutan). Dari total luas kawasan ( hektar), TNBBS telah mengalami pembukaan tutupan hutan seluas kurang lebih hektar (16,9 persen dari luas total), dimana hektar diantaranya diakibatkan oleh aktivitas perambahan yang dilakukan oleh sekitar ± orang perambah. Laju kehilangan tutupan lahan mencapai 22,5 persen total luas kawasan selama 10 tahun terakhir (BTNBBS 2010). Apabila dibandingkan dengan ratarata laju kerusakan dari tahun , maka dalam 10 tahun terakhir TNBBS mengalami laju

25 kerusakan yang semakin parah. Sebagian besar kerusakan tersebut adalah akibat pola ekstensifikasi lahan pertanian. Pola ekstensifikasi inilah yang menyebabkan lahan hutan terambah, terkonversi, dan berubah fungsi menjadi kebun kakao, kopi, lada, padi, nilam serta berbagai tanaman komoditas lainnya. Selain itu kawasan TNBBS selalu terancam pencurian kayu yang memiliki nilai ekonomis tinggi seperti meranti, keruing, cempaka, medang, dan tenam. Masyarakat beranggapan bahwa semakin luas lahan garapan maka semakin banyak penghasilan, sulit menyadarkannya bahwa peningkatan penghasilan dilakukan melalui pengelolaan lahan yang tepat didukung pengembangan usaha produktif sesuai dengan potensi yang ada. Pola pikir ekspansi lahan sulit dihilangkan, apalagi mengajak masyarakat untuk berpikir jangka panjang dalam pelestarian hutan karena kebutuhan mereka adalah untuk waktu sekarang. Sementara itu, dengan adanya perambahan akan mengakibatkan kerusakan yang berdampak negatif baik dari sisi konservasi maupun masyarakat itu sendiri. Apabila pemenuhan kebutuhan manusia melebihi daya dukung ekosistem maka ekosistem tersebut akan rusak (Smith 1995 dalam Nguyen et al. 2007), dan akan merugikan masyarakat itu sendiri (Matarasso et al diacu dalam Nguyen et al. 2007). Semua bentuk gangguan terhadap TNBBS berimbas pada semakin terdesaknya kawasan. Selain memicu terjadinya konflik satwamanusia yang menimbulkan kerugian material dan korban nyawa manusia, kerusakan kawasan hutan ini juga mengakibatkan daya dukung kawasan semakin menurun. Pada kenyataannya, aktivitas perambahan dan tindak ilegal lainnya dalam kawasan telah menyebabkan musnahnya ribuan meter kubik kayu dan berbagai unsur mikro dan makro organisme, memutuskan sebagian mata rantai ekosistem hutan serta mempengaruhi sistem mikro hidupan lainnya. Apabila hal ini dibiarkan maka akan menambah daftar luasan lahan kritis yang mengundang terjadinya berbagai bencana alam. Perubahan fungsi hutan akibat perambahan telah menurunkan fungsi hidrologis TNBBS dan menyebabkan 181 anak sungai yang berhulu di dalam kawasan terancam. Padahal sungai ini sangat berperan sebagai penyedia air bagi 10 kabupaten/kota di Lampung (BTNBBS 2010). Selain itu air yang dialirkan juga berperan vital bagi penyediaan air untuk pertanian dan pembangkit listrik. Kondisi demikian tentu sangat mengancam kelestarian kawasan terutama dalam penyediaan daya dukung lingkungan yang pada akhirnya dampaknya tentu saja juga akan dirasakan oleh masyarakat. Ilustrasi kerusakan kawasan akibat aktivitas ilegal masyarakat sebagaimana dalam lampiran 2. Penanganan serius dan tepat diperlukan bukan sematamata untuk mempertahankan status sebagai tapak warisan dunia tetapi lebih pada mempertahankan kawasan sebagai penyangga fungsi kehidupan penting tanpa mengabaikan keberadaan masyarakat. Masyarakat adalah pelaku utama yang dapat menjadi sumberdaya potensial sekaligus ancaman terhadap kelestarian kawasan. Pada saat kawasan konservasi dianggap sesuatu yang mendatangkan manfaat bagi masyarakat sekitar, maka masyarakat menjadi pendukung dalam upaya pelestarian kawasan konservasi tersebut. Sebaliknya apabila kawasan dianggap sebagai penghalang dan tidak memberikan manfaat bagi masyarakat, maka masyarakat sekitar akan menjadi ancaman. Dengan demikian, keterkaitan masyarakat dengan pengelolaan taman nasional menjadi hal yang tidak dapat diabaikan. Pengelolaan Taman nasional saat ini tidak bisa dipisahkan dari masyarakat yang bermukim di 3

26 4 sekitar kawasan (BorriniFeyerabend, Kothari, Oviedo 2004). Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan dapat menjadi pilar bagi terciptanya pengelolaan hutan lestari. Perilaku mereka merupakan komponen paling krusial dalam mengelola dan melestarikan hutan. Keberhasilan pengelolaan taman nasional akan dipengaruhi oleh perilaku (tingkat pengetahuan, persepsi dan sikap serta tindakan) masyarakat sekitarnya terhadap taman nasional. Dalam banyak kasus, masyarakat jarang dimunculkan/dianalisis dalam proses pengambilan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi (Chase et al diacu dalam Guthiga 2008). Masyarakat lokal seringkali diabaikan dalam pengelolaan taman nasional (Stevens 1997 diacu dalam Adiprasetyo et al. 2009), meskipun telah diakui secara luas bahwa masyarakat di sekitar hutan merupakan kunci keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi (Ferraro 2002; Wiggins, Marfo dan Anchirinah 2004; Robertson dan Lawes 2005). Masyarakat lokal perlu dipertimbangkan untuk memperoleh pengetahuan, informasi dan manfaat dalam mengelola dan mengkonservasi kawasan dimana mereka mempunyai ketergantungan terhadapnya (Johnson 2001; White & Martin 2002 diacu dalam Guthiga 2008). Perubahan paradigma pengelolaan kawasan konservasi kearah pemberdayaan partisipasi telah memunculkan konsep pengelolaan pengembangan program konservasi secara terintegrasi atau disebut Integrated Conservation Development Program (IUCN 2004). Dengan demikian, pengelolaan kawasan konservasi tidak mungkin hanya ditekankan pada salah satu kepentingan, baik masyarakatnya saja maupun konservasi sematamata. Mempertimbangkan masyarakat dalam upaya konservasi mutlak diperlukan, karena masyarakat merupakan kunci utama keberhasilan konservasi kawasan. Diakomodirnya peran serta masyarakat adalah suatu keniscayaan. Luasnya sebaran kawasan konservasi, terbatasnya institusi pengelola, sumber daya manusia, dana, menyebabkan pengelolaan kawasan konservasi tidak mungkin dapat berjalan dengan baik tanpa peran serta masyarakat. Upaya meletakkan pola hubungan pemerintah dengan masyarakat dalam bentuk kemitraan akan menguntungkan semua pihak, baik pemerintah, masyarakat ataupun kawasan konservasi itu sendiri. Bagi masyarakat lokal, keterlibatan dalam pengelolaan kawasan konservasi bukan dilihat sematamata sebagai sebuah tugas, tetapi didorong oleh motivasi dan rasa memiliki, dimana mereka merasa adalah bagian dari hutan atau kawasan konservasi itu sendiri (Sembiring et al. 1997). UndangUndang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjelaskan bahwa penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan. Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan, dengan cara meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal. Selain itu, pemberdayaan masyarakat dengan penekanan yang sama dituangkan dalam Permenhut No.P.16/MenhutII/2011 tentang Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) Sektor Kehutanan. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan konservasi dapat dilakukan melalui pemberdayaan

27 5 pengembangan ekonomi berbasis konservasi yang dikemas dalam bentuk kegiatan, seperti pembangunan desa konservasi. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam menjelaskan bahwa pemerintah berkewajiban untuk memberdayakan masyarakat di sekitar kawasan konservasi dengan penekanan pengembangan kapasitas masyarakat dan pemberian akses pemanfaatan kawasan dalam zona tertentu. Beberapa poin tersebut menjelaskan bahwa porsi pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi menempati posisi sangat penting. Pemberdayaan dimaksud merupakan proses penguatan masyarakat dengan cara memberikan motivasi dan dorongan agar masyarakat mampu menggali potensi diri dan berani bertindak untuk memperkuat kualitas hidupnya melalui pendekatan partisipasi (meningkatkan peran serta aktif masyarakat dalam kegiatan pembangunan kehutanan). Melihat artinya, maka pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi merupakan tantangan yang sangat berat karena di dalamnya terkait dengan mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat itu sendiri. Dalam rangka pemberdayaan tersebut, TNBBS telah melaksanakan berbagai kegiatan, salah satunya adalah Model Desa Konservasi (MDK). MDK merupakan bentuk program pemberdayaan masyarakat berbasis ekonomi dan konservasi yang merupakan upaya penting dalam meningkatkan akses timbal balik peran masyarakat dan fungsi kawasan konservasi terhadap peningkatan kelestarian dan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan berbagai ulasan di atas, kajian penelitian diperlukan terkait bahwa memahami proses dan dampak kegiatan pemberdayaan melalui MDK terhadap masyarakat merupakan langkah dasar dan strategis dalam upaya konservasi kawasan TNBBS serta pengelolaannya terutama untuk merancang pemberdayaan yang bagaimana yang paling tepat untuk diterapkan. Perumusan Masalah Penelitian Penetapan wilayah sebagai taman nasional akan membatasi aktivitas maupun interaksi masyarakat terhadap hutan. Dengan kondisi demikian potensi konflik menjadi relatif tinggi. Kondisi daerah di sekitar kawasan dengan jumlah penduduk yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu, keterbatasan kepemilikan lahan dan semakin meningkatnya tuntutan pemenuhan kebutuhan, menyebabkan tekanan terhadap kawasan terhadap kawasan TNBBS. Hal ini ditunjukkan oleh adanya aktivitas perambahan, penebangan liar, perburuan satwa serta eksploitasi flora fauna lainnya yang terus terjadi. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa tingkat kesadaran dan kepedulian masyarakat sebagai pelaku utama dalam melakukan pelestarian lingkungan dan kawasan TNBBS pada umumnya masih relatif rendah. Rendahnya tingkat kesadaran dan kepedulian masyarakat dapat dipengaruhi oleh berbagai hal, yaitu dari faktor internal (kurangnya pengetahuan, pendidikan dan kemampuan), faktor eksternal (kurangnya penyuluhan, pelatihan, peran media massa sebagai saluran komunikasi dan sebagainya), serta faktor proses pembelajaran yang belum memadai (Suyadi 2009). Upaya mendorong perilaku positif sangat menentukan bagi kelestarian TNBBS. Konservasi kawasan akan efektif apabila diimbangi dengan perilaku yang

28 6 sesuai dengan tujuan tersebut. Komponenkomponen perilaku ini merujuk pada apa yang telah diketahui atau dipahami (knowledge), bagaimana persepsi dan sikap mereka (afektif), apa yang dapat mereka lakukan (skill) dan secara nyata apa yang mereka kerjakan (action). Dengan adanya kesadaran positif, masyarakat diharapkan memiliki kesamaan pandangan tentang pentingnya kawasan konservasi dan rasa tanggungjawab dalam melestarikannya. Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi telah dilakukan sejak tahun 1993 melalui pengembangan daerah penyangga namun belum berhasil secara optimal. Pendekatan pemberdayaan yang selama ini dilakukan terbukti hanya menghasilkan perilaku sasaran yang apatis dan perubahan perilaku yang tidak permanen. Pemberdayaan dengan pendekatan kearah persuasif dan partisipatif diharapkan akan lebih efektif menghasilkan keberdayaan serta kemandirian. Untuk merealisasikannya, pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui Model Desa Konservasi (MDK). Saat ini, MDK telah dilaksanakan oleh 77 (tujuh puluh tujuh) Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan baik oleh Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) maupun Taman Nasional di kurang lebih 133 desa di dalam dan sekitar kawasan (Dephut, 2009). Upaya pemberdayaan masyarakat melalui MDK dilaksanakan TNBBS sejak tahun MDK bertujuan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap kawasan, meningkatkan penghidupan dan kemandirian masyarakat dalam pemanfaatan potensi yang dimiliki melalui kegiatan yang telah disepakati dengan perencanaan partisipatif untuk mendorong peran serta masyarakat dalam menjaga kelestarian kawasan yang ada disekitarnya. Dengan demikian diharapkan akan menjamin keseimbangan ekologis, ekonomi dan sosial budaya dalam konservasi kawasan dan peningkatan kesejahteran masyarakat. Dengan pergeseran pola pendekatan ke arah partisipatif, desentralisasi dan kemitraan dimana pelaksanaannya didukung oleh berbagai kebijakan, diharapkan MDK merupakan sebuah upaya yang tepat/efektif untuk mencapai tujuan tersebut. Untuk mewujudkan partisipasi yang bersifat aktif dan kreatif serta kemandirian sebagai perilaku positif masyarakat, diperlukan upayaupaya konkrit dalam pemberdayaan termasuk MDK sehingga masyarakat mengalami proses belajar untuk mampu memperbaiki diri sendiri (mandiri). Upaya pemberdayaan masyarakat telah dilakukan oleh pemerintah, LSM dan Perguruan Tinggi di Indonesia. Permasalahannya adalah apakah pendekatan pemberdayaan yang telah dilakukan selama ini sudah cukup efektif. Dalam penerapannya, kegiatan pemberdayaan selama ini masih dipandang sebagai proyek dari pemerintah kepada masyarakat bersifat topdown. Banyak bukti menunjukkan bahwa programprogram tersebut tidak mencapai hasil yang diharapkan bahkan telah membuat ketergantungan masyarakat kepada programprogram pemerintah, bukan menciptakan masyarakat mandiri (Pillin 1999 diacu dalam Yumi 2002). Partisipasi masyarakat dalam program pemberdayaan cenderung bersifat semu dan sementara, serta sering hanya dilihat dalam konteks sempit, yaitu sekedar pelaksanaan program, masyarakat tidak dikembangkan kemampuannya dan harus menerima keputusan yang sudah diambil pihak luar. Selain faktor dari masyarakat, komitmen dari pihak pengelola juga perlu mendapat perhatian. Dari hasil laporan kegiatan MDK, secara umum sebagian besar pengelola belum menganggap kegiatan pemberdayaan MDK sebagai

29 7 prioritas dan hal ini mengakibatkan keberlanjutan pelaksanaan terhambat. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat faktorfaktor yang berpengaruh terhadap efektif atau tidaknya kegiatan pemberdayaan, baik dari segi masyarakatnya sendiri (faktor internal) maupun faktor eksternal (lingkungan). Berdasarkan uraian tersebut, hal yang perlu mendapatkan prioritas perhatian adalah keterkaitan kegiatan pemberdayaan melalui MDK dengan masyarakat terutama dalam merespon keberadaan TNBBS sebagai sumber kehidupan yang mempengaruhinya. Bagaimanakah efektifitas pemberdayaan masyarakat MDK sebagai upaya yang telah dilakukan terhadap masyarakat, faktorfaktor apa yang berhubungan dan mempengaruhinya, pendekatan yang bagaimanakah yang paling efektif berkaitan dengan upaya pengelolaan berkelanjutan TNBBS dari segi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. Bagaimana kecenderungan perubahan dalam masyarakat sebagai hasil/dampak kegiatan pemberdayaan dapat menjadi dasar bagi upayaupaya konservasi kawasan TNBBS. Masyarakat dalam kajian ini adalah masyarakat yang tinggal disekitar kawasan yang sebagian besar berbatasan langsung dan berinteraksi dengan kawasan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Berdasarkan halhal yang telah dikemukakan diatas dapat dirumuskan pertanyaan masalah penelitian yaitu: (1) Bagaimanakah efektifitas pemberdayaan MDK yang dilakukan di TNBBS? (2) Faktorfaktor apa saja yang berhubungan dengan efektifitas MDK di TNBBS? dan (3) Bagaimanakah peningkatan efektifitas pemberdayaan MDK di TNBBS berkaitan dengan pendekatan kegiatan pemberdayaan yang tepat untuk diterapkan? Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1). Menganalisis efektifitas pemberdayaan masyarakat MDK di TNBBS; (2). Menganalisis faktorfaktor yang berhubungan dengan efektifitas pemberdayaan masyarakat MDK di TNBBS; dan (3). Menganalisis peningkatan efektifitas pemberdayaan MDK di TNBBS berkaitan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat yang paling tepat untuk diterapkan. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan dalam mempertimbangkan kegiatan pemberdayaan masyarakat di TNBBS khususnya dan kawasan konservasi lain pada umumnya berdasarkan efektifitasnya dalam mendorong perilaku positif masyarakat. Bagi ilmu penyuluhan, penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan berkaitan dengan peran penyuluhan melalui pemberdayaan dalam mewujudkan peran timbal balik antara kesejahteraan masyarakat dan kelestarian kawasan konservasi.

30 8 TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Taman Nasional UndangUndang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyebutkan bahwa Taman nasional (National Park) adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata serta rekreasi. Saat ini terdapat 50 Taman Nasional di Indonesia, enam di antaranya ditetapkan sebagai situs warisan dunia (Natural World Heritage Sites). Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) merupakan salah satu dari enam taman nasional tersebut yang ditetapkan sebagai situs warisan dunia pada tahun TNBBS ditetapkan sebagai situs warisan dunia karena tingkat keanekaragaman yang tinggi dan merupakan habitat berbagai flora fauna langka dan hampir punah. Taman nasional merupakan salah satu bentuk pengelolaan kawasan konservasi yang mempunyai fungsi paling lengkap. IUCN mendefinisikan kawasan konservasi sebagai sebuah kawasan baik darat maupun perairan yang secara khusus diperuntukkan bagi perlindungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati (biodiversity) secara alami dan berkaitan dengan sumberdaya kultural serta dikelola secara legal atau untuk tujuan yang efektif (BorriniFeyerabend, Kothari dan Oviedo 2004). Sedangkan konservasi adalah suatu upaya/tindakan untuk menjaga keberadaan sesuatu secara terus menerus berkesinambungan baik mutu maupun jumlah. Dengan demikian, konservasi sumberdaya alam adalah pengelolaan yang menjamin pemanfaatan secara bijaksana dengan tetap memelihara kualitas, keanekaragaman dan kelangsungan ketersediaannya. Titik tolak konservasi sumberdaya alam adalah strategi konservasi dunia. Strategi ini meliputi aspek perlindungan sistem penyangga kehidupan (perlindungan proses ekologis yang merupakan sistem penyangga kehidupan, karena sistem penyangga kehidupan harus dalam keadaan yang seimbang), pengawetan keanekagaman genetik dan pelestarian manfaat. Sebagai kawasan yang sebagian besar terdiri atas hutan, taman nasional mempunyai banyak fungsi. Hutan sebagai satu kesatuan lanskap merupakan satu kesatuan fungsi bersamasama dengan lingkungan diluar kawasan hutan. Hutan memiliki fungsi dan peran yang sangat kompleks terhadap kehidupan, dimana masingmasing harus seimbang, baik untuk aspek lingkungan, ekonomi maupun sosial dan budaya. Mull (1995) diacu dalam Fandeli dan Muhammad (2005) mengemukakan konsep pengelolaan hutan dapat dilakukan dengan mempertimbangkan semua fungsinya dan dapat disimulasikan dengan menggunakan berbagai model. UndangUndang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya, dalam pasal 30 menyebutkan bahwa taman nasional mempunyai fungsi penting meliputi: (1) fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan; (2) pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya; dan (3) pemanfatan secara lestari sumber daya alam untuk kepentingan penelitian,

31 ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya serta pariwisata dan rekreasi alam. Dengan demikian, taman nasional mempunyai fungsi memelihara keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekosistem. Untuk dapat merealisasikan fungsi tersebut, berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 56/MenhutII/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, maka pengelolaan taman nasional dilakukan dengan sistem zonasi. Zonasi taman nasional terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan atau zona lainnya yang dikembangkan berdasarkan potensi dan kepentingan konservasi sumberdaya hutan dan ekosistemnya. Zona lainnya tersebut dapat berupa zona rimba rehabilitasi, pemanfaatan tradisional dan pemanfaatan khusus. Secara konseptual, taman nasional harus mampu menjaga kelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistem didalamnya. Pengelolaan secara lestari harus mempertimbangkan prinsip fungsi ekonomi, ekologi dan sosial budaya, dimana ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Dengan demikian pengelolaan TNBBS harus terintegrasi dengan pembangunan masyarakat di sekitarnya baik di daerah penyangga maupun enclave. Enclave adalah wilayah di dalam kawasan konservasi, biasanya masyarakat sudah tinggal atau menempati wilayah ini sebelum suatu kawasan ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Sedangkan daerah penyangga, secara harfiah merupakan terjemahan dari bahasa Inggris buffer zone yang dapat diartikan sebagai suatu luasan areal yang dapat berfungsi sebagai suatu peredam terhadap suatu gangguan yang biasanya tidak menguntungkan terhadap sesuatu yang kita lindungi agar tidak terjadi kerusakan akibat gangguan tersebut. Secara khusus, daerah penyangga adalah wilayah (darat maupun perairan yang berada di luar dan atau berbatasan dengan kawasan konservasi (baik sebagai kawasan hutan, tanah negara bebas, maupun tanah yang dibebani hak seperti perkebunan rakyat, hak guna usaha perkebunan, perikanan, peternakan dan lainlain, tanah bekas hak guna usaha, tanah adat/ulayat, tanah milik), yang diperuntukkan dan mampu menjaga keutuhan kawasan konservasi. Daerah penyangga mempunyai fungsi untuk menjaga kawasan konservasi dari segala bentuk tekanan dan gangguan yang berasal dari luar ataupun dari dalam kawasan yang dapat mengakibatkan perubahan keutuhan dan fungsi kawasan (Kemenhut 2011a). Dengan demikian, daerah penyangga dapat dimaknai sebagai suatu areal di luar kawasan konservasi (dalam hal ini TNBBS) yang dimaksudkan untuk perlindungan atau penyangga terhadap kawasan tersebut secara keseluruhan sehingga terhindar dari tekanantekanan yang mengakibatkan menurunnya kondisi dan potensi kawasan atau terganggunya ekosistem termasuk habitat satwa liar sehingga menimbulkan gangguan terhadap masyarakat sekitar. Disamping itu, daerah penyangga diharapkan dapat dimanfaatkan untuk menunjang peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan konservasi. Dari segi pengelolaan, daerah penyangga merupakan bagian yang harus terintegrasi dalam pengelolaan taman nasional. Menurut PP Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, salah satu kewajiban pengelola pengelola adalah melakukan pembinaan fungsi daerah penyangga. Pembinaan tersebut meliputi peningkatan pemahaman masyarakat terhadap konservasi sumberdaya hayati dan ekosistemnya, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya 9

32 10 dan meningkatkan produktivitas lahan. Ironisnya masyarakat desa sekitar kawasan sebagai daerah penyangga justru menjadi pelaku perambahan dan tindak ilegal lain (illegal logging, perburuan flora fauna dilindungi dan lain sebagainya). Perambahan merupakan aktivitas atau tindakan yang dilakukan oleh setiap orang/masyarakat yang melakukan kegiatan bermukim dan atau berusahatani di dalam kawasan hutan atau mengerjakan/ menduduki hutan negara. Di sisi lain keberadaan kawasan konservasi harus tetap dipertahankan terkait dengan fungsi penting yang dimiliki. Salah satu konsep pengelolaan yang diterapkan dalam mempertahankan keberadaan fungsi kawasan konservasi adalah dengan meminimalisasi interaksi masyarakat dengan kawasan konservasi, terutama yang berkaitan dengan pemanfaatan hasil hutan dan lahan hutan. Konsep tersebut banyak diterapkan oleh pengelola kawasan konservasi karena dinilai memiliki dampak yang lebih kecil terhadap kerusakan ekosistem hutan. Pada kenyataannya konsep tersebut justru memiliki banyak kekurangan karena tertutupnya akses masyarakat sekitar terhadap kawasan hutan yang selama ini menjadi sumber penghasilan guna memenuhi kebutuhan seharihari. Salah satu dampaknya adalah masyarakat melakukan perambahan hutan/kawasan konservasi secara illegal yang berakibat pada semakin rusaknya kawasan hutan. Dengan berbagai konsep dan kondisi pengelolaan taman nasional tersebut, pergeseran paradigma pengelolaan kawasan konservasi menjadi dasar pijakan penting. Pergeseran paradigma tersebut diperlukan dengan salah satu pertimbangan bahwa saat ini pengelolaan kawasan pelestarian alam belum mampu mengadopsi kebutuhan masyarakat berkaitan dengan perubahan lingkungan strategis baik nasional maupun internasional (Kemenhut 2011a). Pada dasarnya keberhasilan pelestarian kawasan konservasi sangat tergantung pada keberhasilan dalam menangani masalah sosial ekonomi masyarakat disekitarnya. Gangguan terhadap kawasan konservasi akan berkurang bila kesejahteraan masyarakat sekitar sudah dapat dipenuhi dari hasil usaha diluar pemanfaatan hutan. Untuk itu, diperlukan solusi terhadap berkurangnya/ tertutupnya akses masyarakat terhadap kawasan hutan atau kawasan konservasi, sebab masyarakat telah hidup di sekitar kawasan konservasi tersebut jauh sebelum kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Masyarakat di Sekitar Kawasan TNBBS Masyarakat didefinisikan secara etimologis berasal dari bahasa Arab dengan akar kata syaraka yang berarti ikut serta atau berperan serta. Sedangkan dalam bahasa Inggris disebut society yang berasal dari kata Latin socius yang berarti kawan. Beberapa literatur menyebutkan bahwa community juga sering diartikan sebagai masyarakat dimana pengertiannya mengacu pada sekelompok manusia (Soekanto 1993 diacu dalam Hasim dan Remiswal 2009). Selanjutnya, Soekanto mengemukakan bahwa masyarakat secara umum memiliki empat ciri utama, yaitu: (1) hidup bersama dan saling berinteraksi; (2) dalam jangka waktu yang cukup lama (kontinuitas waktu); (3) memiliki rasa identitas yang kuat; dan (4) adanya adat istiadat yang mengikat semua warga normanorma, hukum, serta

33 11 aturanaturan yang mengatur semua pola tingkah laku warga. Dari keempat ciri tersebut masyarakat dapat didefinisikan sebagai kesatuan hidup manusia yang berinteraksi sesuai dengan sistem adat istiadat tertentu yang sifatnya berkesinambungan dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Berdasarkan definisi tentang masyarakat di atas, terdapat dua faktor sebagai pengikat yang disebut sebagai masyarakat yaitu sistem adat istiadat dan rasa identitas. Sistem adat istiadat meliputi sistem nilai budaya, normanorma dan aturanaturan hidup yang dijadikan sebagai pedoman hidup bagi masyarakat dalam bertingkah laku. Sedangkan adat istiadat merupakan pola yang sudah mantap dan telah hidup dalam waktu yang lama secara berkesinambungan, sehingga adat istiadat menjadi sesuatu yang dianggap khas. Kekhasan ini kemudian dikomunikasikan dari generasi ke generasi melalui proses belajar. Masyarakat di sekitar kawasan adalah masyarakat yang bermukim di dalam dan di sekitar hutan yang memiliki kesatuan komunitas sosial dengan mata pencaharian yang bergantung pada hutan dan dapat berpengaruh pada kelestarian hutan (Dephut 2008). Pengertian masyarakat dengan kesatuan wilayah sebagai kategori utamanya dikenal dengan sebutan masyarakat setempat atau komunitas (Soekanto 1990 diacu dalam Patrakomala 2006). Dengan demikian dalam konteks penelitian ini, pengertian masyarakat yang dimaksud merujuk pada masyarakat setempat/komunitas. Komunitas dalam hal ini menunjuk pada masyarakat yang tinggal di suatu wilayah (geografis) di dalam dan di sekitar kawasan hutan TNBBS dengan batasbatas tertentu dalam lokalitas yang disebut desa/pekon. Pemberdayaan Masyarakat Konsep dan pengertian Luasnya konteks pemberdayaan menjadikannya dipahami bervariasi dalam berbagai perspektif. Oleh karenanya, dalam literatur pemberdayaan yang baru, arti pemberdayaan mengarah pada diasumsikan dan bukan didefinisikan. Rappoport (1984) sebagaimana dirujuk oleh Page dan Czuba (1999) mengemukakan bahwa mudah untuk mendefinisikan pemberdayaan tetapi sulit untuk menentukannya dalam tindakan karena pada konteks berbeda akan menimbulkan pengertian yang berbeda pula. Zimmerman (1984) sebagaimana dikutip oleh Page dan Czuba (1999) menyatakan bahwa mendefinisikan pemberdayaan secara tunggal dapat membuat upaya untuk mencapainya bertentangan dengan konsep pemberdayaan itu sendiri. Pemahaman mengenai pemberdayaan sangat diperlukan, bagaimana menentukan pemahaman yang tepat akan tergantung pada orangorang tertentu dan konteks yang terlibat (Bailey, 1992 dalam Page dan Czuba 1999). Pemberdayaan berasal dari kata dasar daya yang berarti kekuatan atau kemampuan. Menurut Page dan Czuba (1999), secara umum, pemberdayaan adalah proses multidimensi sosial yang membantu orang mendapatkan kontrol atas kehidupan mereka sendiri. Proses dalam hal ini adalah proses menumbuhkan daya, untuk digunakan dalam kehidupan mereka sendiri, masyarakat mereka, dengan bekerja pada isuisu yang mereka definisikan sebagai penting.

34 12 Dengan demikian, dalam pemberdayaan terdapat tiga komponen dasar untuk memahami pemberdayaan, yaitu multidimensi, sosial, dan proses. Multidimensi berarti pemberdayaan terjadi dalam dimensi sosiologis, psikologis, ekonomi, dan sebagainya serta terjadi dalam berbagai tingkatan, seperti individu, kelompok, dan masyarakat. sedangkan dalam konteks sosial, pemberdayaan merupakan proses yang terjadi dalam hubungan dengan orang lain. Pemberdayaan merupakan terjemahan empowerment yang secara harfiah berarti pemberkuasaan dalam arti pemberian atau peningkatan kekuasaan kepada masyarakat (Huraerah 2008). Bertolak dari pengertian tersebut, pemberdayaan dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya atau proses untuk memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan (Sulistiyani 2004). Lebih lanjut, dikemukakan bahwa pengertian proses tersebut merujuk pada serangkaian tindakan atau langkahlangkah yang dilakukan secara kronologis sistematis yang mencerminkan pantahapan upaya mengubah masyarakat menuju keberdayaan. Proses akan merujuk pada suatu tindakan nyata yang dilakukan secara bertahap untuk mengubah kondisi masyarakat dalam hal pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan keterampilan (practice). Pemberdayaan merupakan sebuah proses dan tujuan (Suharto 2009). Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan masyarakat. Sebagai tujuan, pemberdayaan merujuk pada keadaan yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial, yaitu masyarakat yang berdaya, mempunyai pengetahuan dan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi maupun sosial. Lebih lanjut hal tersebut tercermin dari kemampuan beraspirasi, berpartisipasi, percaya diri, dan mandiri. Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses. Moeljarto (1996) diacu dalam Yumi (2002) berpendapat bahwa pemberdayaan adalah beralihnya fungsi individu yang semula obyek menjadi subyek (yang baru), sehingga relasi sosial yang ada nantinya hanya akan dicirikan dengan relasi antara subyek dengan subyek yang lain. Dengan kata lain, proses pemberdayaan mengubah pola relasi lama subyekobyek menjadi subyeksubyek. Konsep pemberdayaan mengacu pada kemampuan masyarakat untuk dapat mendapat akses dan kontrol sumbersumber hidup yang penting (Riyanto 2005). Craig dan Mayo (1995) sebagaimana dikutip dalam Huraerah (2008) mengemukakan, bahwa konsep pemberdayaan berkaitan dengan kemandirian (selfhelp), partisipasi (participation), jaringan kerja (networking) dan pemerataan (equity). Berkenaan dengan makna pemberdayaan maka inti pemberdayaan adalah pengembangan kapasitas kemampuan (enabling), penguatan daya (empowering), dan kemandirian (Winarni 1998 diacu dalam Sulistiyani 2004; Riyanto 2005). Sebagai proses perubahan perilaku, kegiatan pemberdayaan masyarakat merupakan proses belajar yang berlangsung secara terus dan bertahap. Proses pemberdayaan tidaklah konstan, tetapi lebih pada keberlanjutan, pengembangan, dan melibatkan perubahanperubahan dimana sasaran pemberdayaan tersebut dapat memperkuat dan melatih kemampuan untuk bertindak dan melakukan kontrol untuk hidup lebih baik bagi mereka dan masyarakat (Hur 2006). Pemberdayaan harus dilakukan secara terus menerus, komprehensif, dan simultan sampai ambang batas tercapainya keseimbangan yang dinamis antara pemerintah dan semua segmen yang diperintah (Priyatna 2009).

35 Sebagai sebuah proses terusmenerus, pemberdayaan melalui beberapa tahap (Sulistiyani 2004), meliputi: (1) tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri; (2) tahap transformasi berupa wawasan kemampuan, kecakapanketerampilan agar terbuka wawasan dan memberikan keterampilan dasar sehingga dapat mengambil peran didalam pembangunan; dan (3) tahap peningkatan kemampuan intelekual, kecakapanketerampilan sehingga terbentuk inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian. Tahap pertama atau tahap penyadaran dan pembentukan perilaku merupakan tahap persiapan daram proses pemberdayaan masyarakat. Pada tahap ini pihak pemberdaya berusaha menciptakan prakondisi, agar dapat memfasilitasi berlangsungnya proses pemberdayaan yang efektif. Intervensi ditekankan pada kemampuan afektif untuk mencapai kesadaran konatif yang diharapkan. Dengan demikian akan membuka keinginan dan kesadaran masyarakat tentang kondisinya saat itu dan dapat merangsang kesadaran mereka tentang perlunya memperbaiki kondisi untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Pada tahap kedua, masyarakat akan menjalani proses belajar tentang pengetahuan dan kecakapanketerampilan yang mempunyai relevansi dengan apa yang menjadi tuntutan kebutuhan. Keadaan ini akan menstimulasi terjadinya keterbukaan wawasan dan menguasai keterampilan dasar yang mereka butuhkan. Pada tahap ini partisipasi masyarakat masih pada tingkat yang rendah. Tahap ketiga merupakan tahap pengayaan atau peningkatan intelektualitas dan kecakapanketerampilan yang diperlukan agar masyarakat mampu mandiri. Kemandirian tersebut ditandai oleh kemampuan dalam membentuk inisiatif, menciptakan kreasi dan inovasi di lingkungannya. Pada tahap ini masyarakat seringkali diposisikan sebagai subyek dan pemberdaya menjadi fasilitator. Sumodiningrat sebagaimana dirujuk dalam Sulistiyani (2004) mengemukakan bahwa masyarakat yang telah mandiri tidak serta merta ditinggalkan, tetapi tetap memerlukan perlindungan agar kemandirian tetap terpelihara dengan baik dan dengannya masyarakat dapat melakukan tindakan nyata. Hal tersebut menguatkan apa yang telah dikemukakan oleh Lippit, Watson dan Westley (1958) bahwa dalam tahap akhir suatu perubahan diperlukan stabilisasi perubahan. Dalam konteks ini stabilisasi perubahan diharapkan mampu membentuk perilaku positif masyarakat secara permanen. Dalam konteks pemberdayaan secara umum, terdapat bidangbidang yang diperlukan (Ndraha 2003), antara lain : (1). Pemberdayaan politik, yang bertujuan meningkatkan bargainning position antara yang diperintah terhadap pemerintah yang dimaksudkan agar yang diperintah mendapatkan apa yang merupakan haknya dalam bentuk barang, jasa, layanan, dan kepedulian tanpa merugikan pihak lain. (2). Pemberdayaan ekonomi, sebagai upaya meningkatkan kemampuan yang diperintah agar dapat berfungsi dengan baik. (3). Pemberdayaan sosialbudaya, bertujuan meningkatkan kemampuan sumber daya manusia melalui human investment guna meningkatkan nilai manusia (human dignity), penggunaan (human utilization), dan perlakuan yang adil. (4). Pemberdayaan lingkungan, dimaksudkan sebagai program pelestarian lingkungan, agar pihak yang diperintah dan lingkungannya mampu beradaptasi secara kondusif dan saling menguntungkan. 13

36 14 Dengan berbagai pengertian di atas maka pemberdayaan masyarakat dalam konteks penelitian ini merupakan suatu proses terus menerus, sistematis dan bertahap yang dalam jangka panjang bertujuan untuk mewujudkan perubahan perilaku masyarakat (pengetahuan, persepsi, sikap dan tindakan) dalam akses timbal balik meningkatkan kesejahteraannya dan melestarikan kawasan. Dengan demikian, konteks ini melihat bagaimana masyarakat mempunyai pengetahuan yang membuatnya tegerak ingin melakukan suatu sikap dan memiliki ketrampilan serta motivasi dalam perilaku kemandirian yang diperlukan untuk melaksanakan tindakan sesuai aturan maupun norma dalam mencapai tujuan bersama untuk kesejahteraan mereka sekaligus kelestarian kawasan. Bagi pengelola, pemberdayaan ini merupakan upaya untuk memampukan masyarakat dalam mengembangkan daya atau potensi yang dimiliki demi perbaikan mutu hidupnya secara mandiri dan berkelanjutan. Pendampingan dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat Membangun dan memberdayakan masyarakat melibatkan proses dan tindakan sosial dimana masyarakat mengorganisasikan diri dalam membuat perencanaan dan tindakan kolektif untuk memecahkan permasalahan dan memenuhi kebutuhan sesuai dengan kemampuan atau sumberdaya yang dimilikinya (Suharto 2009). Proses tersebut tidak muncul secara otomatis, melainkan tumbuh dan berkembang bersadarkan interaksi masyarakat setempat dengan pihak luar atau para pekerja sosial/penyuluh/pendamping. Penyuluh/pendamping hadir sebagai agen perubahan yang membantu memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Dengan demikian, pendampingan merupakan interaksi dinamis antara masyarakat dan agen perubahan untuk secara bersamasama menghadapi tantangan, antara lain: (1) merancang program perbaikan; (2) memobilisasi sumberdaya setempat; (3) memecahkan masalah; (4) menciptakan atau membuka akses bagi pemenuhan kebutuhan; dan (5) menjalin kerjasama dengan berbagai pihak yang relavan dengan konteks pemberdayaan masyarakat. Sejalan dengan pendapat tersebut, Usman sebagaimana diacu dalam Huraerah (2008) mengemukakan sebagai upaya memperkuat community selfreliance atau kemandirian masyarakat, pemberdayaan merupakan sebuah proses dimana didalamnya masyarakat perlu didampingi untuk memperkuat analisis masalah yang dihadapi, menemukan alternatif pemecahannya, dan meningkatkan kemampuan serta strategi untuk memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki. Menurut Suharto (2009) terdapat 4 (empat) bidang tugas pendampingan yaitu pemungkinan (enabling) atau fasilitasi, penguatan (empowering), perlindungan (protecting), dan pendukungan (supporting). Pemungkinan atau fasilitasi berkaitan dengan pemberian motivasi dan kesempatan bagi masyarakat. berkaitan dengan fungsi ini, pendamping/penyuluh/fasilitator mempunyai tugas dengan menjadi model atau contoh, melakukan mediasi dan negosiasi, membangun konsensus bersama, serta melakukan manajemen sumber (segala sesuatu yang dapat digunakan dalam proses pemecahan masalah). Penguatan berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan guna memperkuat kapasitas masyarakat (capacity building). Pendamping berperan aktif dalam memberikan masukan positif dan terarah berdasarkan pengetahuan dan

37 15 pengalamannya. Tugas tersebut berkaitan dengan memberikan informasi dan menyelenggarakan pelatihan dan berbagai tugas fungsi penguatan lainnya. Fungsi perlindungan berkaitan dengan interaksi pendamping dengan lembagalembaga eksternal atas nama dan demi kepentingan masyarakat yang didampinginya. Pendamping bertugas mencari sumbersumber melakukan pembelaan, menggunakan media, meningkatkan hubungan dan membangun jejaring kerja. Selain itu, fungsi perlindungan juga menyangkut tugas pendamping sebagai konsultan, yaitu orang yang bisa diajak berkonsultasi dalam pemecahan masalah, bukan hanya berupa pemberian saran tetapi lebih ditujukan untuk memperoleh pemahaman masyarakat menjadi lebih baik mengenai pilihanpilihan untuk mengidentifikasi prosedur dan tindakan yang diperlukan. Pendukungan mengacu pada aplikasi keterampilan yang bersifat praktis dan aplikatif sehingga dapat mendukung terjadinya perubahan positif pada masyarakat. dalam hal ini, pendamping dituntut mampu tidak hanya menjadi manajer perubahan yang mengorganisasikan kelompok. lebih jauh, pendamping dituntut mampu melaksanakan tugastugas teknis sesuai dengan berbagai keterampilan dasar seperti analisis sosial, mengelola dinamika kelompok, menjalin hubungan, bernegosiasi, berkomunikasi serta mencari dan mengatur sumber dana. Pendekatan pemberdayaan masyarakat di bidang kehutanan (di sekitar kawasan konservasi) Dalam perspektif lingkungan, pemberdayaan mengacu pada pengamanan akses terhadap sumberdaya alam dan pengelolaannya secara berkelanjutan (Riyanto 2005), jadi pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam perspektif pengelolaan hutan berkelanjutan. Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi merupakan upaya yang bertujuan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat di sekitar kawasan, meningkatkan kesejahteraannya dan meningkatkan partisipasi dalam kegiatan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya secara berkelanjutan (Dephut 2008). Pemberdayaan masyarakat dilakukan untuk mendapatkan manfaat sumber daya hutan secara optimal dan adil, melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat (Kemenhut 2011b). Konsep penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat sektor kehutanan ke arah partisipatif didasarkan pada beberapa landasan pemikiran, yaitu landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis. Secara filosofis sumber daya alam hayati dan ekosistemnya wajib dimanfaatkan untuk sebesarbesarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Pemanfaatan tersebut harus dilaksanakan dengan memperhatikan azas konservasi sehingga setiap sumber daya alam hayati dapat dipertahankan dan dimanfaatkan secara berkesinambungan. Secara sosiologis seluruh masyarakat Indonesia mempunyai hak yang sama dalam memperoleh kesejahteraan. Berdasarkan konstitusi, negara mempunyai kewajiban untuk melindungi dan mensejahterakan masyarakatnya. Dari segi yuridis Undangundang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Pasal 37 ayat (1) menyebutkan bahwa peranserta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan

38 16 ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna. Undangundang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 70 ayat (1) dan (2) menyebutkan bahwa masyarakat turut berperan serta dalam pembangunan di bidang kehutanan, dan pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna. Berdasarkan ketiga landasan pemikiran tersebut di atas, dalam rangka pengentasan kemiskinan masyarakat diperlukan suatu model pengelolaan masyarakat yang komprehensif dan berbasis ekosistem berkelanjutan dalam bentuk kegiatan pemberdayaan masyarakat (Kemenhut 2011b). Kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar hutan tidak hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Kehutanan. Oleh karena itu dibutuhkan dukungan dari sektor lain melalui program PNPM Mandiri dalam bentuk kegiatan, seperti pembangunan desa konservasi pada desa di dalam dan sekitar hutan konservasi, pemberian izin hutan kemasyarakatan, kemitraan serta pengelolaan hutan desa bagi masyarakat di sekitar hutan lindung dan hutan produksi. Pemberdayaan disekitar kawasan konservasi meliputi program sektor kehutanan dan di luar sektor kehutanan berupa integrasi dengan bidang lain seperti pertanian, perkebunan, pendidikan, jasa lingkungan dan sebagainya. Kegiatan pemberdayaan masyarakat dapat diarahkan untuk menjadikan masyarakat mempunyai aktivitas di luar kawasan konservasi dalam rangka untuk memenuhi kebutuhannya sehingga akan mengurangi frekuensi aktivitas mereka di dalam kawasan. Pola pemberdayaan akan berbeda di setiap kawasan konservasi. Pengelolaan zonasi yang bijaksana dan mengakomodir kebutuhan masyarakat akan dapat menjadi solusi dalam pemberdayaan masyarakat, khususnya kawasan konservasi yang memiliki tingkat tekanan penduduk sangat kuat, dan tidak dimungkinkan untuk proses pengalihan aktivitas masyarakat. Selama ini pemberdayaan dimaknai sempit oleh berbagai pihak, sehingga pendekatan pemberdayaan diterjemahkan terbatas pada bantuan yang bersifat material (Herawati 2012). Menurut Slamet (2001) sebagaimana dikutip oleh Herawati (2012), pemberdayaan bukanlah konsep pembangunan ekonomi semata, namun juga sosial budaya dan politik. Dengan demikian indikator keberhasilannya bukan hanya tergantung pada ukuran material tetapi juga berkaitan dengan harkat dan martabat kemanusiaan, kebebasan serta kemandirian untuk menentukan yang terbaik bagi dirinya. Pendekatan yang bersifat top down, sentralistik dan dengan komunikasi searah, memposisikan sasaran menjadi sebagai obyek hanya akan menjadi alat untuk mencapai targettarget tertentu yang cenderung bias dengan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Penerapan paradigma lama seperti ini hanya akan menghasilkan ketidakberdayaan sasaran, karena sasaran menjadi apatis, kurang inisiatif dan menunggu digerakkan oleh aparat, termasuk di dalamnya oleh penyuluh (Sumardjo 2012). Pendekatan perlu ditempuh dari yang semula dominatif menjadi alat pihak lain bergeser ke arah pendekatan yang sifatnya persuasif dan selanjutnya pendekatan pengembangan kemitraan sinergis. Salah satu pendekatan penting dalam pemberdayaan adalah pendidikan atau proses belajar baik yang bersifat formal maupun non formal. Konsep pemberdayaan harus mencerminkan paradigma baru, berubah dari konsep need

39 atau production oriented kepada konsep people centered, participatory, empowering dan sustainability (Chamber 1995 diacu dalam Herawati 2012). Pengalaman kegagalan pengelolaan hutan dengan pendekatan tradisional menjadikan pengelolaan partisipasi atau manajemen hutan partisipatif menjadi elemen penting strategi pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan partisipatif dapat didefinisikan sebagai kolaborasi terstruktur antara pemerintah, komersial dan nonkomersial pengguna sumberdaya hutan, organisasi, kelompok masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya untuk mencapai tujuan bersama yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya hutan secara berkelanjutan (CANARI 2002). Pemberdayaan dalam pelaksanaan pembangunan hutan berkelanjutan adalah bagaimana masyarakat memiliki kapasitas untuk memanfaatkan akses melalui partisipasi sebenarbenarnya untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam rangka kesejahteraan. Pemberdayaan menjadi suatu kebutuhan untuk membangun kapasitas masyarakat sehingga mampu merespon perubahan lingkungan dengan cara mendorong perubahan yang sesuai dan berkelanjutan. Pemberdayaan harus menjadi proses multidimensi dan multisegi yang memobilisasi sumberdaya dan kapasitas masyarakat. Dalam hal ini, pemberdayaan tidak lagi sebagai sesuatu yang teoritis melainkan menjadi alat untuk memandirikan masyarakat. Dalam prosesnya pemberdayaan masyarakat sekitar hutan merupakan pendekatan yang bertujuan untuk memberikan pengertian dan kesadaran dalam memahami dan mengontrol lingkungan sehingga dapat memperbaiki kesejahteraan tanpa merusaknya. Dengan demikian, pemberdayaan perlu dirancang untuk memberi kesempatan kepada masyarakat (dengan menganalisis kehidupan mereka untuk mengembangkan keterampilan yang dikehendaki) agar dapat mengubah kehidupan ke arah yang lebih baik. Idealnya, pemberdayaan dalam kaitannya dengan pembangunan kehutanan dikaitkan dengan beberapa hal berikut: (1) transformasi ekonomi menjadi masyarakat yang mandiri, berbasis pada sumberdaya lokal, dan penguatan sumberdaya manusia; (2) pengembangan masyarakat melalui kekuatan sendiri yang cenderung menekankan pada prosesnya (daripada hanya penyelesaian suatu proyek); dan (3) kesempatan berpartisipasi secara penuh. Pendekatan pemberdayaan masyarakat disekitar kawasan konservasi didasarkan pada tujuan, prinsip, strategi dan kriteria sebagaimana tertuang dalam Pedoman Kriteria dan Indikator Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi (Dephut, 2008). Tujuan pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi adalah: (1) menjamin keseimbangan ekologis, ekonomi, sosial budaya; (2) meningkatkan kemandirian masyarakat sebagai pendukung utama dalam pembangunan kehutanan melalui peningkatan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan konservasi; (3) mengaktualisasikan akses timbal balik partisipasi masyarakat dan fungsi kawasan konservasi terhadap peningkatan kesejahteran masyarakat. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, prinsipprinsip yang diterapkan dalam pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi adalah: (1). Prinsip pendekatan kelompok dengan menumbuhkembangkan kelompok produktif agar dinamis. (2). Prinsip keserasian, kelompok aktif terdiri dari warga yang saling mengenal, percaya serta memiliki kepentingan sama sehingga tumbuh kerja sama. 17

40 18 (3). Prinsip kepemimpinan dari diri mereka sendiri. Memberi kesempatan seluasluasnya kepada seluruh warga masyarakat untuk mengembangkan kepemimpinan di kalangan mereka sendiri (4). Prinsip pendekatan kemitraan, menjadikan masyarakat sebagai mitra kerja yang bekerja bersama dan berperan setara dalam pengambilan keputusan. (5). Prinsip swadaya, menumbuhkembangkan kemandirian dan keswadayaan. (6). Prinsip belajar sambil bekerja, dirancang agar menjadi proses pembelajaran partisipatif, mengalami, menemukan cara dalam mengatasi masalah yang dihadapi. (7). Prinsip pendekatan keluarga, melibatkan peran aktif seluruh anggota keluarga dalam kesetaraan gender. (8). Dari masyarakat untuk masyarakat Pedoman Kriteria dan Indikator Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Kawasan Konservasi (Dephut 2008) menjelaskan bahwa strategi pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi meliputi: (1). Pengelolaan usaha berbasis sumberdaya hutan yang efisien. Hal ini dilakukan dengan mengintensifkan lahan pertanian masyarakat di luar kawasan, penggunaan pupuk organik, penerapan sistem agroforestry, mengembangkan potensi ekonomi selain pertanian/perkebunan yang mendukung peningkatan ekonomi masyarakat seperti wisata alam dan wirausaha. (2). Pemanfaatan, konservasi dan rehabilitasi sumberdaya hutan, untuk menjaga kelestarian sumberdaya hutan. Pemanfaatan yang akan dilakukan difokuskan pada pemanfaatan kawasan hutan sebagai tempat wisata, pendidikan, penelitian dan penunjang budidaya. Pengembangan tanaman perkayuan dapat memanfaatkan hutan sebagai sumber benih sesuai dengan prosedur yang berlaku. Sedangkan upaya konservasi dan rehabilitasi kawasan akan mengembangkan partisipasi aktif masyarakat termasuk kelompok aktif, dalam kegiatan rehabilitasi kawasan. (3). Pelestarian nilainilai sosial budaya dan kearifan lokal, berkaitan dengan pemanfaatan dan pelestarian hutan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dilaksanakan dalam bentuk kemitraan dengan lembaga adat yang ada untuk mengembangkan potensiyang dimiliki oleh desa setempat. (4). Memberikan akses kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan hutan. Huraerah (2007) mengemukakan strategi pemberdayaan dari segi aras, yaitu: (1) aras mikro yang sering disebut task center aproach dimana pemberdayaan dilakukan terhadap sasaran secara individu melalui bimbingan, konseling untuk membimbing sasaran dalam menjalankan tugastugas kehidupannya; (2) aras mezzo, dimana pemberdayaan dilakukan terhadap kelompok sasaran sebagai media intervensi dengan strategi menggunakan pelatihan, pendidikan, pengembangan dan dinamika kelompok untuk meningkatkan kesadaran, pengetahuan dan keterampilan sasaran; dan (3) aras makro, dimana pemberdayaan diarahkan pada sisitem yang lebih luas dengan strategi perumusan kebijakan, perencanaan sosial, aksi sosial, pengorganisasian kelompok, dan manajemen konflik. Dalam aras makro, sasaran dipandang sebagai orang yang memiliki kompetensi untuk memahami situasi dan permasalahan serta srategi untuk bertindak. Selanjutnya, kriteria pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan

41 19 konservasi meliputi: (1) kesepahaman; (2) kelembagaan; (3) fasilitator; (4) pelatihan PRA; (5) pelaksanaan PRA; (6) peningkatan kapasitas SDM; (7) pengembangan usaha ekonomi produktif; (8) membangun kemitraan dan jejaring usaha; (9) monitoring dan pembinaan pengembangan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Bentuk kegiatan pemberdayaan antara lain berupa: (1) peningkatan kapasitas, dalam bentuk pelatihan masyarakat dalam bidang pengembangan usaha ekonomi produktif dan pelatihanpelatihan lain yang diperlukan oleh masyarakat dengan atau tanpa melibatkan sektor lain berdasarkan rencana kegiatan yang telah diusulkan; (2) bantuan ekonomi, diberikan kepada kelembagaan desa dapat berupa, dana bergulir dan dana hibah; (3) penguatan kelembagaan, penguatan kelembagaan dapat berupa pelatihan kelompok masyarakat, lembaga desa sesuai kebutuhan program masingmasing sektor; (4) konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sesuai program sektor kehutanan dan (5) bantuan bibit pohon, bantuan pembuatan atau pengadaan bibit pohon hutan, buahbuahan dan pohon ekonomis cepat tumbuh melalui program kebun bibit rakyat (KBR) dan program masingmasing sektor. Model Desa Konservasi Model Desa Konservasi (MDK) merupakan desa yang dijadikan model dalam upaya pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi. Pada dasarnya MDK merupakan paket pemberdayaan ekonomi konservasi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian kawasan. Pembangunan MDK meliputi 3 kegiatan pokok yaitu pemberdayaan masyarakat, penataan ruang/wilayah pedesaan berbasis konservasi dan pengembangan ekonomi pedesaan berbasis konservasi (Dephut 2008). Filosofi kegiatan MDK dalam upaya pemberdayaan masyarakat sekitar TNBBS adalah menuju kemandirian masyarakat sebingga upaya yang dilakukan dengan membantu masyarakat agar dapat mandiri. Hal ini dilandasi oleh pemahaman bahwa masyarakat telah memiliki potensi/daya yang dapat dikembangkan dan dioptimalkan pemanfaatannya (BTNBBS 2006b). Dengan demikian, kegiatan yang akan dilakukan mengarah pada tumbuhnya kemandirian masyarakat dalam memahami keadaan, masalah yang dihadapi, alternatif pemecahan masalah serta prioritas alternatif yang dapat dilakukan. Pengembangan MDK sendiri merupakan upaya pemberdayaan dengan mengembangkan segala potensi yang dimiliki oleh desa tersebut. Dalam MDK ini dapat dikembangkan usaha produktif sesuai karakteristik dan potensi yang ada, pengembangan kelembagaan seperti Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan, dan kelembagaan lokal yang telah ada. MDK bertujuan untuk meningkatkan penghidupan masyarakat melalui pemanfaatan sumberdaya alam di desa secara berkelanjutan misalnya dengan mengusahakan pertanian organik serta pengembangan industri rumah tangga dan mendukung kelestarian TNBBS. Keseimbangan 3 (tiga) aspek tantangan pemberdayaan berupa profit, people dan planet diwujudkan dalam keseimbangan multidimensi prioritas dalam bidang kehutanan yaitu dimensi ekologi, ekonomi dan sosial budaya.

42 20 Dari aspek ekologi, MDK bertujuan meningkatkan daya dukung kawasan dengan mengurangi interaksi masyarakat dengan kawasan, pengetahuan dan ketrampilan masyarakat dapat meningkat sehingga masyarakat dapat bersikap positif dan mendukung pengelolaan kawasan konservasi. Dari aspek ekonomi, melalui MDK diharapkan pendapatan masyarakat dapat meningkat, tercipta berbagai aktivitas masyarakat untuk menambah pendapatan, potensi sumberdaya lokal dapat bernilai ekonomi melalui pengelolaan dengan teknologi yang sesuai. Sedangkan dari aspek sosial budaya, dengan pemberdayaan masyarakat melalui MDK, dapat tercipta kehidupan masyarakat yang mendukung upaya bagi kesejahteraannnya sekaligus bagi upaya kelestarian kawasan. Efektifitas Pemberdayaan Masyarakat Efektifitas dapat diartikan sebagai pencapaian sasaran dari upaya bersama, dimana derajat pencapaian menunjukkan derajat efektifitas (Bernard dalam Gybson 1997 di acu dalam Sukmaniar 2007). Efektifitas dapat digunakan sebagai suatu alat untuk menilai efektif atau tidaknya suatu tindakan yang dapat dilihat dari: (1) kemampuan memecahkan masalah, keefektifan tindakan dapat diukur dari kemampuannya dalam memecahkan persoalan dan hal ini dapat dilihat dari berbagai permasalahan yang dihadapi sebelum dan sesudah tindakan tersebut dilaksanakan dan seberapa besar kemampuan dalam mengatasi persoalan dan (2) pencapaian tujuan, efektifitas suatu tindakan dapat dilihat dari tercapainya suatu tujuan dalam hal ini dapat dilihat dari hasil yang dapat dilihat secara nyata (Zulkaidi dalam Wahyuningsih 2005 dalam Sukmaniar 2007). Salah satu pola pendekatan pemberdayaan masyarakat yang paling efektif dalam rangka peningkatan partisipasi adalah melalui pendekatan dari dalam sumber daya (inner resources approach) dalam hal ini adalah masyarakat. Pola ini menekankan pentingnya merangsang masyarakat untuk mampu mengidentifikasi keinginankeinginan dan kebutuhankebutuhannya dan bekerja secara kooperatif dengan pemerintah dan badanbadan lain untuk mencapai kepuasan bagi mereka. Pola ini mendidik masyarakat menjadi fokus dan terarah pada pemenuhan dan pemecahan masalahmasalah yang mereka hadapi dengan menggunakan potensi yang mereka miliki (Ross 1987 diacu dalam Sukmaniar 2007). Efektifitas pendekatan penyuluhan dalam upaya pemberdayaan masyarakat dicirikan oleh: (1) meningkatkan kemampuan; (2) mendorong tumbuhnya kebersamaan; (3) kebebasan memilih dan memutuskan; (4) membangkitkan kemandirian; dan (5) mengurangi ketergantungan serta menciptakan hubungan yang saling menguntungkan (Ndraha 1990). Nikkhah dan Redzuan (2009) mengemukakan bahwa keberlanjutan dan efektifitas pemberdayaan masyarakat salah satunya ditentukan oleh tingkat partisipasi masyarakat. Lebih lanjut, Nikkhah dan Redzuan (2009) merumuskan hubungan antara pendekatan, partisipasi dan level pemberdayaan sebagaimana tabel berikut:

43 21 Tabel 1 Hubungan antara pendekatan, partisipasi dan level pemberdayaan Pendekatan Partisipasi Level pemberdayaan 1. Topdown Partisipasi sebagai sarana mencapai tujuan Level pemberdayaan (statis, pasif dan dikontrol oleh pihak luar) rendah 2. Partnership (cooperative) Bekerjasama Level pemberdayaan menengah 3. Bottomup Partisipasi sebagai tujuan (aktif, (dinamis, active, memobilisasi diri) Level pemberdayaan tinggi dan berkelanjutan Selain partisipasi, efektifitas pemberdayaan masyarakat juga berkaitan erat dengan kemandirian. Salah satu dampak positif pemberdayaan adalah meningkatnya output dan kinerja dimana masyarakat mampu mengambil tanggung jawab terhadap pekerjaan mereka, mengaturnya agar sesuai dengan kebutuhan individu dan kemudian melaksanakannya tanpa campur tangan orang lain yang berimbas pada semakin besarnya efektifitas (Priyatna 2009). Dengan demikian, sebagai kegiatan yang erat kaitannya dengan penyuluhan, pemberdayaan dikatakan efektif apabila kegiatan tersebut mencapai tujuannya yaitu perubahan perilaku, yang mencakup aspek kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotorik (ketrampilan). Dalam konteks pengelolaan hutan, keberhasilan pemberdayaan masyarakat dapat diukur dengan adanya perilaku positif masyarakat berupa kemandirian dalam akses timbal balik peran (partisipasi) masyarakat dengan kelestarian kawasan. Jika masyarakat telah mandiri dengan adanya aktivitas pemberdayaan, kesejahteraannya meningkat dan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kawasan akan menurun sehingga tingkat ancaman terhadap kawasan konservasi akan berkurang. Partisipasi Partisipasi merupakan merupakan komponen vital dalam proses pemberdayaan masyarakat (Nikkhah dan Redzuan 2009). Dalam kaitannya dengan partisipasi, pemberdayaan masyarakat mempunyai 2 (dua) tujuan dasar, yaitu untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan meningkatkan peran serta masyarakat tersebut dalam prosesnya. Partisipasi masyarakat merupakan sebuah konsep yang kompleks, abstrak dan kontekstual sehingga tidak ada definisi baku atau pengertian yang seragam untuk menjelaskannya. Sanoff (2000) sebagaimana dirujuk dalam Patrakomala (2006) mengemukakan bahwa partisipasi masyarakat akan memiliki arti berbeda bagi orang yang berbeda bahkan orang yang sama dalam situasi berbeda, karena tergantung pada pokok persoalan, waktu dan latar politik dimana partisipasi terjadi. Cary (1995) sebagaimana dirujuk dalam Hasim dan Remiswal (2009) mengemukakan bahwa partisipasi masyarakat adalah adanya kebersamaan atau saling memberikan sumbangan untuk kepentingan dan masalah bersama yang tumbuh dari perhatian masyarakat itu sendiri, sehingga, partisipasi merupakan hasil konsensus sosial warga masyarakat ke arah perubahan yang diharapkan. Sjaifudian (2002) mengemukakan bahwa partisipasi merupakan proses ketika masyarakat sebagai individu, kelompok sosial maupun organisasi mengambil peran dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan kebijakankebijakan yang langsung mempengaruhi kehidupan mereka. Dengan demikian

44 22 partisipasi dipandang sebagai aktif proses di mana para peserta mengambil inisiatif dan tindakan di mana mereka melakukan kontrol yang efektif Nikkhah dan Redzuan 2009). Partisipasi relevan dalam semua aspek manajemen sumber daya (Brown dan Renard 2000). Dalam konteks pengelolaan sumber daya alam, partisipasi dapat didefinisikan sebagai proses yang: (1) memfasilitasi dialog antara semua pelaku; (2) memobilisasi dan memvalidasi pengetahuan dan keterampilan; (3) mendukung masyarakat dan lembagalembaga mereka untuk mengelola dan mengontrol penggunaan sumber daya; dan (4) berusaha untuk mencapai keberlanjutan, keadilan ekonomi, keadilan sosial dan memelihara budaya integritas (Renard dan Pizzini 1994 diacu dalam Brown dan Renard 2000; Renard dan Krishnarayan 2000). Beberapa alasan yang mendasari pemikiran akan pentingnya partisipasi dalam pengelolaan sumberdaya alam (Renard dan Krishnarayan 2000) diantaranya adalah: (1) Masyarakat sebagai pengguna sumberdaya merupakan sumber informasi penting mengenai aktifitas pemenuhan kebutuhan terkait ketergantungan mereka terhadap sumberdaya alam, memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dapat berkontribusi terhadap pengelolaan secara lestari. (2) Sistem tradisional dapat memberikan dasar yang baik untuk pengelolaan sumberdaya alam dalam hal ini hutan. (3) Masyarakat pengguna sumber daya cenderung mempunyai komitmen dalam melaksanakan keputusan dan peraturan ketika mereka memiliki kepentingan dan akses dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaan. (4) Dalam konteks sosial budaya, ketika masyarakat terbatas dalam akses sumberdaya dalam kawasan konservasi, proses partisipatif dalam pengelolaan sumber daya alam tersebut dapat memberikan kontribusi terhadap integrasi sosial, artinya proses partisipatif dapat memperkuat tindakan kolektif dan kontribusi terhadap pemberdayaan masyarakat. Paul (1987) sebagaimana diacu oleh Hikmat (2010) mengemukakan bahwa Bank Dunia percaya bahwa partisipasi masyarakat di dunia ketiga merupakan sarana efektif dalam upaya pemberdayaan untuk dapat menolong dirinya sendiri. Pandangan yang lebih jelas dikemukakan oleh Kotze (1987) sebagaimana diacu dalam Hikmat (2010), bahwa hal terpenting dalam pemberdayaan adalah partisipasi aktif dalam setiap pengambilan keputusan. Pada kenyataannya banyak kegiatan yang seluruh pelaksanaannya berada dibawah pengawasan pelaksana pemberdayaan, sehingga masyarakat tidak mampu diberdayakan (Rose dan Black 1983 diacu dalam Hikmat 2010). Salah satu strategi penting dalam pengelolaan kawasan berbasis sumberdaya adalah dengan partisipasi masyarakat lokal (Hidayat 1998). IUCN (2004) juga mengemukakan bahwa dalam pengelolaan kawasan konservasi partisipasi masyarakat merupakan kunci penting bagi keberhasilan konservasi karena penetapan kawasan selalu berdampak pada banyak kepentingan serta masyarakat. Dengan demikian, partisipasi merupakan konsep kunci dalam manajemen kawasan konservasi (Héritier 2010). Pentingnya partisipasi juga dikemukakan oleh Uphoff (1988) sebagaimana dirujuk oleh Yumi (2002) yang menyebutkan bahwa mengabaikan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pengambilan keputusan pembangunan

45 menyebabkan timbulnya pseudo participation (partisipasi semu). Uphoff menunjukkan pengalaman pembangunan pedesaan terpadu di Nepal, Ghana dan Mexico bahwa yang menjadi alasan utama buruknya pelaksanaan dan pemeliharaan pembangunan adalah kurangnya partisipasi masyarakat pada tahap awal perencanaan dan penyusunan program pembangunan. Masyarakat tidak dilibatkan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan program, akibatnya masyarakat tidak merasa ikut memiliki, dan pada gilirannya tidak menumbuhkan rasa tanggung jawab untuk memelihara dan mengembangkan pembangunan tersebut. Hutchison 1975 diacu dalam Asngari (2001), mengemukakan bahwa program pendidikan penyuluhan akan berhasil apabila mengikutsertakan secara langsung masyarakat dalam pengembangan, pelaksanaan, dan evaluasi. Partisipasi merupakan bentuk perilaku. Untuk dapat berperilaku tertentu terdapat dua hal yang mendukungnya, yaitu: (1) ada unsur yang mendukung untuk berperilaku tertentu itu pada diri seseorang (person inner determinant) dan (2) terdapat iklim atau lingkungan (environmental factors) yang memungkinkan terjadinya perilaku tertentu itu (Ndraha, 1990). Partisipasi dalam proses pembangunan terdiri atas beberapa tahap, yaitu: (1) partisipasi pada tahap perencanaan. (2) partisipasi pada tahap pelaksanaan, (3) partisipasi pada tahap pemanfaatan, dan (4) partisipasi pada tahap penilaian hasil (Cohen, 1992 diacu dalam Hasim dan Remiswal, 2009). Lebih lanjut, beberapa tipe partisipasi untuk menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat adalah (James & Blamey 1999 dalam Héritier 2010; Pimbert 2003 diacu dalam IUCN 2004): (1). Partisipasi pasif/manipulatif, dengan karakteristik (a) masyarakat berpartisipasi dengan cara diberitahu apa yang sedang atau telah terjadi; (b) pemberitahuan sepihak oleh manajemen atau pelaksana proyek tanpa memperhatikan tanggapan masyarakat; dan (c) informasi yang dipertukarkan terbatas pada kalangan profesional di luar kelompok sasaran. (2). Partisipasi informasi, masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk mempengaruhi proses yang berjalan, dengan karakteristik: (a) masyarakat berpartisipasi dengan cara menjawab pertanyaanpertanyaan yang diajukan; (b) masyarakat tidak punya kesempatan untuk terlibat dan memengaruhi proses penyelesaian; dan (c) akurasi hasil tidak dibahas bersama masyarakat. (3). Partisipasi melalui konsultasi, partisipasi ini dicirikan oleh: (a) masyarakat berpartisipasi melalui konsultasi; (b) agen eksternal mendengarkan pandangan mereka dan membangun pandanganpandangannya sendiri untuk kemudian mendefinisikan permasalahan dan pemecahannya, dengan memodifikasi tanggapantanggapan masyarakat; (c) masyarakat tidak terlibat dalam pengambilan keputusan; dan (d) para profesional tidak berkewajiban mengajukan pandangan masyarakat (sebagai masukan) untuk ditindaklanjuti. (4). Partisipasi sumberdaya untuk insentif materil, banyak kegiatan pemberdayaan termasuk dalam kategori ini, yaitu dengan ciri: (a) masyarakat berpartisipasi dengan cara menyediakan sumber daya seperti tenaga kerja, untuk mendapatkan, upah, ganti rugi, dan sebagainya; (b) masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pembelajarannya; dan (c) masyarakat tidak mempunyai peran untuk melanjutkan kegiatankegiatan yang dilakukan pada saat insentif yang disediakan/diterima habis. 23

46 24 (5). Partisipasi fungsional, karakteristik partisipasi ini adalah: (a) masyarakat berpartisipasi dengan membentuk kelompok dengan keterlibatan tidak hanya pada tahap awal siklus program atau perencanaan tetapi pada tahap setelah keputusan telah dibuat; (b) pembentukan kelompok (biasanya) setelah ada keputusankeputusan utama yang disepakati; dan (c) pada awalnya kelompok masyarakat ini bergantung pada pihak luar (fasilitator/pendamping) tetapi pada saatnya mampu mandiri. (6). Partisipasi interaktif, yaitu masyarakat berpartisipasi dalam analisis bersama, dengan ciri: (a) masyarakat berpartisipasi dalam analisis bersama yang mengarah pada perencanaan kegiatan dan pembentukan lembaga sosial baru atau penguatan kelembagaan yang telah ada; (b) mencari keragaman perspektif dalam proses belajar yang terstruktur dan sistematik; dan (c) masyarakat mempunyai peran kontrol atas keputusankeputusan mereka, sehingga mereka mempunyai peran dalam seluruh penyelenggaraan kegiatan. (7). Self mobilization, dengan ciri (a) masyarakat berpartisipasi dengan mengambil inisiatif secara bebas (tidak dipengaruhi/ditekan pihak luar) untuk mengubah sistem atau nilai yang mereka miliki; (b) masyarakat mengembangkan kontak dengan lembaga lain untuk mendapatkan bantuanbantuan teknis dan sumberdaya yang dibutuhkan; dan (c) masyarakat memegang kendali atas pemanfaatan sumberdaya yang ada. Menurut Asia Development Bank (SDB) yang dirujuk oleh Huraerah (2008) tipe partisipasi tersebut disederhanakan menjadi 4 (empat) tingkat dari terendah sampai tertinggi, yaitu: (1) Partisipasi berbagi informasi, masyarakat mendapat informasi dari pelaksana program dan diajak untuk melaksanakan program tersebut. (2) Partisipasi konsultasi/umpan balik, masyarakat berpartisipasi dalam menyampaikan saran dan kritik sebelum keputusan ditetapkan, tetapi masyarakat tidak ikut dalam pengambilan keputusan. Dalam tingkat ini, eksplorasi pandangan dan persepsi masyarakat tentang masalah lebih diutamakan, kemudian memberikan beberapa pilihan, memungkinkan adanya komentarkomentar. Poin penting dalam tingkat ini adalah diberikannya pilihanpilihan dari pihak pelaksana program tentang kegiatan yang akan dilakukan, tetapi memberi peluang bagi pendapat masyarakat untuk diakomodir dalam rencana. (3) Partisipasi kolaborasi, masyarakat terlibat dalam merancang dan mengambil keputusan bersama sehingga peran masyarakat ini secara signifikan dapat mempengaruhi hasil keputusan. Memutuskan bersama berarti menerima ideide pihak lain dan kemudian mengambil pilihanpilihan yang dibangun bersama seta bergerak secara bersamasama pula. (4) Partisipasi kendali, masyarakat memiliki kekuasaan untuk mengawasi secara langsung dan menolak keputusan yang telah ditetapkan dengan menggunakan prosedur dan indikator kinerja yang ditetapkan bersamasama. Schmeer (1999) sebagaimana dirujuk oleh Patrakomala (2006) membagi tingkat partisipasi tersebut ke dalam 3 (tiga) kelompok yaitu non participation (bukan partisipasi), pseudo participation (partisipasi semu) dan genuine participation (partisipasi sesungguhnya). Non participation merupakan tingkat partisipasi terendah meliputi partisipasi manipulatif dan terapi. Partisipasi semu meliputi pemberian informasi, konsultasi dan penghargaan. Sedangkan partisipasi

47 25 sesungguhnya meliputi partisipasi kerjasama/kolaborasi, pendelegasian wewenang dan pengendalian oleh masyarakat. Selanjutnya, Sjaifudian (2002) memberikan kerangka untuk mengukur tingkat partisipasi, yaitu: (1) Tingkat partisipasi dikategorikan rendah, masyarakat hanya menyaksikan kegiatan yang dilakukan pemerintah dan atau pihak pemerintah hanya memberikan informasi kepada masyarakat dan meminta tanggapan atas kegiatan hanya untuk konfirmasi dan bukan persetujuan. (2) Tingkat partisipasi dikategorikan sedang, suara masyarakat yang berpartisipasi dalam forum terbatas pada tokoh masyarakat. (3) Tingkat partisipasi dikategorikan tinggi apabila masyarakat tidak hanya ikut dalam merumuskan program tetapi juga menentukan program mana yang akan dilakukan. Masyarakat sudah mampu memaksa pemerintah untuk melaksanakan rencana pembangunan yang disepakati dan kelompok masyarakat yang terlibat dalam program semakin luas dan kompleks. Berdasarkan berbagai teori di atas, untuk kepentingan pengukuran tingkat partisipasi dalam penelitian ini tingkat partisipasi dibagi menjadi 4 (empat tingkatan), yaitu: (1) Tingkat partisipasi masyarakat sangat rendah, apabila masyarakat berada dalam tipe partisipasi pasif/manipulatif dan atau hanya terlibat dalam kegiatan sosialisasi/informasi. (2) Tingkat partisipasi masyarakat rendah apabila masyarakat terlibat dalam serangkaian proses dialog/konsultasi dan atau dilibatkan dalam partisipasi sumberdaya. (3) Tingkat partisipasi masyarakat tinggi apabila masyarakat terlibat dalam merancang dan mengambil keputusan bersama sehingga peran masyarakat ini secara signifikan dapat mempengaruhi hasil keputusan (kolaborasi). (4) Tingkat partisipasi masyarakat sangat tinggi apabila masyarakat diberikan sebagian wewenang dalam pelaksanaan program (delegated power) dan atau pengendalian penuh atas semua kegiatan dan kebijakan publik yang dibuat oleh pemerintah (citizen control) sehingga masyarakat berpartisipasi dengan mengambil inisiatif secara bebas (tidak dipengaruhi/ditekan pihak luar) untuk mengubah sistem atau nilai yang mereka miliki dan mempunyai kendali atas sumberdaya yang ada (self mobilization). Kemandirian Pemberdayaan masyarakat bukan ditujukan bukan untuk membuat masyarakat semakin tergantung pada program, tetapi bertujuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik dan pada akhirnya akan membentuk masyarakat yang mandiri. Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami masyarakat yang ditandai dengan kemampuan untuk memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat dalam memecahkan permasalahan seharihari dengan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik (Herawati 2012). Kemandirian merupakan proses yang berjalan secara terusmenerus. Konsep kemandirian menjadi faktor sangat penting dalam pembangunan. Dalam konteks pembangunan, perilaku mandiri harus dijadikan tolok ukur keberhasilan, yaitu

48 26 apakah masyarakat menjadi lebih mandiri atau justru semakin bergantung. Pemberdayaan bukan untuk menjadikan masyarakat semakin tergantung pada program, tetapi untuk memandirikan agar membangun kemampuan dan memajukan diri ke arah yang lebih baik melalui partisipasi. Kemandirian merupakan suatu perilaku yang mengutamakan kemampuan diri sendiri dalam mengatasi berbagai masalah untuk mencapai tujuan, tanpa menutup diri terhadap berbagai kemungkinan bekerjasama. Kemandirian masyarakat ditandai oleh kemampuan untuk memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat untuk pemecahan masalah yang dihadapi dengan menggunakan sumber daya yang dimiliki. Menurut Sulistiyani (2004), daya dimaksud terdiri atas kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik, afektif. Dengan demikian, untuk menjadi mandiri perlu dukungan kemampuan berupa sumberdaya manusia yang utuh dengan kondisi kognitif, konatif, psikomotorik dan afekif, dan sumber daya lainnya yang bersifat fisikmaterial. Menurut Sumardjo (1999) dalam Sumardjo (2012), kemandirian masyarakat dapat diukur melalui 3 (tiga) perspektif, yaitu modern, efisien dan daya saing. Modern berarti masyarakat mampu aktif beradaptasi terhadap perubahan sosial dan fisikal di lingkungannya dengan perilaku aktual yang sesuai dan selaras dengan kondisi aktual. Adaptasi yang dimaksud bukan bersifat pasif dan evolutif menerima apa adanya dalam kondisi termarjinalkan karena ketidakberdayaan dan tergantung pada pihak lain, tetapi dalam arti aktif yaitu mampu melakukan perubahan kapasitas untuk akses terhadap sumberdaya yang berguna bagi peningkatan kualitas kehidupan diri, keluarga dan masyarakatnya. Kemampuan beradaptasi menurut Kusumanto et al., (2005) merupakan kemampuan untuk menanggapi secara aktif dan positif faktorfaktor eksternal maupun faktorfaktor internal. Berdasarkan hasil penelitian Center for International Forestry Research (CIFOR) yang dilakukan oleh Kusumanto et al., (2005), modal sosial (saling percaya, jejaring kerja, dan hubunganhubungan sosial yang diperlukan orang untuk bekerja sama), dapat membentuk perilaku adaptif masyarakat. Selain itu, bahwa tingkat keterbukaan sosial, tingkat toleransi terhadap norma/aturan dan tingkat kepatuhan kepada pemimpin juga akan mendukung pembentukan perilaku adaptif masyarakat (Santosa 2004). Efisien mengandung makna masyarakat mencapai tujuannya dengan melakukan upayaupaya atau dengan caracara yang tepat, sehingga mencapai hasil yang setinggitingginya dengan pengorbanan yang serendahrendahnya. Pada masyarakat apatis efisiensi terjadi karena rekayasa pihak lain yang mendominasinya, sedangkan pada masyarakat yang berdaya, efisiensi tercapai atas upaya sendiri. Pada masyarakat mandiri efisiensi tersebut dicapai melalui insiasi diri dan perilaku antisipatif serta proaktif terhadap berbagai perubahan yang mungkin akan dihadapinya (Sumardjo 2012). Daya saing mengandung makna adanya nuansa mutu, kemampuan memenuhi komitmen dan kebutuhan atau harapan pihak lain. Daya saing antara lain dapat dicapai melalui langkah yang mempertimbangkan efisiensi (Sumardjo 2012). Pada masyarakat yang apatis, dapat dikatakan hampir tidak memiliki daya saing, kalaupun ada sangat rendah dan bahkan kurang berpikir kearah peningkatannya. Pada masyarakat berdaya sudah menyadari adanya daya saing, namun tidak menempatkannya sebagai kebutuhan penting, orientasi utamanya

49 adalah keswadayaan. Pada masyarakat mandiri, daya saing menjadi sesuatu yang ditempatkan sangat penting dan utama. Pendekatan pemberdayaan yang bersifat top down dimana masyarakat dianggap sebagai obyek terbukti tidak mampu memberdayakan masyarakat, masyarakat tidak menjadi mandiri tetapi justru tergantung pada programprogram pemberdayaan. Idealnya pemberdayaan mampu mengubah sasaran baik secara individu, kelompok maupun masyarakat dari kondisi tidak berdaya ke kondisi berdaya dan bermuara pada kondisi mandiri (Sumardjo 2012). Masyarakat mandiri hanya akan terwujud apabila masyarakat tersebut berdaya, dan sulit diwujudkan pada masyarakat yang apatis. Pendekatan yang top down menghasilkan perilaku sasaran penyuluhan yang apatis, sedangkan pendekatan yang persuasif akan efektif menghasilkan keberdayaan, serta kemandirian cenderung efektif diwujudkan melalui pendekatan penyuluhan yang partisipatif, konvergen dan kemitraan sinergis (Sumardjo 2012). Menghadapi tantangan di masa depan, arah pemberdayaan harus mampu berperan strategis sehingga secara personal maupun sosial masyarakat mampu bermitra sinergis dan berkolaborasi dalam pengelolaan sumberdaya alam yang seimbang antara aspek bisnis, kesejahteraan komunitas dan kelestarian lingkungan. Ketiga aspek ini kemudian dikenal dengan istilah Triple Bottom Line, yaitu profite, peole and planet (Elkington 1994 diacu dalam Sumardjo 2012). Keberhasilan pemberdayaan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa hutan bukan hanya diukur dari kemajuan fisik dan ekonomi melainkan juga dari solidaritas sosial warganya yang tinggi sehingga mampu mengembangkan kerjasama spontan untuk kepentingan bersama (sosial budaya). Masyarakat desa hutan yang sejahtera adalah masyarakat yang mandiri dan mampu berfungsi meningkatkan kesejahteraannya, memelihara ketertiban sosial dan kelestarian lingkungannya (Effendi, Bangsawan dan Zahrul 2007). Ciri yang terlihat dari masyarakat mandiri dan fungsional adalah adanya kapasitas untuk mengembangkan dan menerapkan pengaturanpengaturan yang arif dalam pengelolaan hutan (Andri 2002 dalam Effendi, Bangsawan dan Zahrul 2007). Idealnya seluruh kebijakan, program dan kegiatan disesuaikan dengan kondisi masyarakat baik fisik, teknis, sosial, budaya dan ekonomi. Masyarakat peserta program pemberdayaan hendaknya diberikan kesempatan dan kedudukan yang setara dalam melakukan keseluruhan tahapan proses pemberdayaan, kesempatan untuk mengembangkan kreativitas dan memanfaatkan keswadayaannya sehingga tidak menimbulkan ketergantungan kepada pihakpihak lain. Filosofi pemberdayaan masyarakat dilandasi oleh pemahaman bahwa masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan dan dioptimalkan pemanfaatannya. Dengan demikian, kegiatan yang dilakukan mengarah pada tumbuhnya kemandirian masyarakat dalam memahami keadaan, masalah, alternatif pemecahan masalah serta prioritas alternatif yang dapat dilakukan. Dari berbagai penjelasan tersebut, untuk kepentingan penelitian ini, efektifitas pemberdayaan masyarakat sekitar hutan/kawasan konservasi dapat diukur dari kemandirian masyarakat dalam tiga aspek ekonomi, sosial budaya dan ekologi yang didukung oleh kemampuan sumberdaya manusia secara utuh (kognitif, afektif, psikomotorik) serta sumberdaya lain yang memungkinkan dan mendorong masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam prosesnya. 27

50 28 Konsep Perilaku Sebagaimana diuraikan bahwa proses pemberdayaan merujuk pada suatu tindakan nyata yang dilakukan secara bertahap untuk mengubah perilaku masyarakat dalam hal pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan keterampilan (skills). Tidak ada definisi yang mengikat tentang perilaku manusia. Definisi perilaku berbeda akan berbeda tergantung dari sudut pandang yang menentukan (Nguyen et al. 2007). Ajzen dan Fishbein (1980) sebagaimana di acu dalam (Hernandez dan Monroe, 2000) mengemukakan bahwa dalam mendefinisikan perilaku perlu untuk mempertimbangkan 4 (empat) unsur, yaitu tindakan, target/sasaran, konteks dan waktu. Tindakan berkaitan dengan aksi yang dilakukan, target berkaitan dengan sasaran yang dapat mengacu pada orang maupun kelompok yang dipengaruhi oleh tindakan, konteks dalam hal ini adalah mengenai bagaimana tindakan dilakukan, dan waktu adalah kapan tindakan dilakukan. Perilaku merupakan tindakan paling dasar dan dalam konteks sederhana perilaku adalah apa yang orang lakukan (Hernandez dan Monroe 2000). Dibentuk rumit, terdiri dari proses pembuatan keputusan, dan terlibat dalam pratices mengambil tindakan. Matarasso dan Nguyen (2002) dalam Nguyen et al. (2007) mendefinisikan perilaku sebagai apa yang manusia lakukan berdasarkan kepentingan terbaik mereka dan berdasarkan nilainilai, sosialekonomi situasi serta faktorfaktor lain. Dengan demikian, perilaku merupakan tindakan yang dilakukan sebagai hasil dari kebiasaan dan atau keputusan secara sadar. Perilaku terdiri dari proses mental (kognisi, persepsi dan proses belajar), motivasi (kebutuhan, keinginan dan inspirasi), kepribadian (pembelajaran sosial) dan sikap, budaya (sebagai satu set pola perilaku), stratifikasi sosial dan pengaruh kelompok (Chisnall 2001 di acu dalam Nguyen et al. 2007). Sementara itu, para peneliti dalam studinya menekankan perilaku adalah bagaimana seseorang merespon dengan melihat, menggunakan dan memproses informasi dari suatu stimulus, sehingga teori perilaku berupaya menjelaskan mengapa dan bagaimana seseorang bertindak (Clarke 2008 di acu dalam Ozmete dan Hira 2011). Dalam konteks mempelajari perilaku manusia dan perubahan perilaku khususnya di bidang konservasi alam, hubungan antara pengetahuan, sikap, dan perilaku merupakan hal yang harus dipelajari (Nguyen et al. 2007). Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus, menurut Notohatmodjo (2003) sebagaimana dikutip oleh Feriani (2009), perilaku dapat dibedakan menjadi dua yaitu: (1) Perilaku tertutup (convert behavior), yaitu respon seseorang dalam bentuk tertutup, respon terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran, dan sikap pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain; dan (2) Perilaku terbuka (overt behavior) yaitu respon seseorang dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka, respon terhadap stimulus sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek yang dapat diamati atau dilihat oleh orang lain. Perilaku manusia pada hakekatnya adalah suatu aktivitas dari manusia itu sendiri, oleh sebab itu, perilaku manusia itu mempunyai bentangan yang sangat luas (kompleks) termasuk kegiatan internal (internal activity) seperti berpikir, persepsi dan emosi. Untuk kepentingan kerangka analisis dapat dikatakan bahwa

51 29 perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh manusia, baik dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Bloom, sebagaimana dikutip Notoatmodjo (2003) dalam Feriani (2009), perilaku dapat dibagi menjadi 3 (tiga) domain, meskipun tidak mempunyai batasan yang jelas dan tegas. Untuk kepentingan tujuan pendidikan, ketiga domain perilaku tersebut terbagi atas ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Dalam perkembangan selanjutnya untuk kepentingan pengukuran hasil, ketiga domain itu diukur melalui pengetahuan, sikap dan tindakan. Perubahan perilaku dapat dianalisa dengan mengacu pada klasifilasi jenjang perubahan perilaku menurut Bloom (Dephut, 1996) sebagai berikut: Tabel 2 Klasifikasi jenjang perubahan perilaku Aspek Perilaku Jenjang Keterangan Pengetahuan (1) Mengetahui Mengetahui spesifikasi Mengetahui pengertian Mengetahui prinsip/teori (2) Memahami Menerjemahkan sendiri Mengartikan Mengeksplorasi (3) Menggunakan Menggunakan pengetahuan untuk kegiatan praktis dalam kehidupan seharihari (4) Menganalisis Menganalisis unsurunsur, hubungan, prinsip (5) Memadukan Dalam bentuk informasi, kegiatan, konsep (6) Mengevaluasi Menilai pengertian, kegiatan Sikap (1) Menerima Menyadari, kemauan untuk menerima Memperhatikan secara selektif (2) Menanggapi Menanggapi dengan diam, kemauan menanggapi, menunjukkan kepuasannya (3) Menilai Menerima, memilih nilainilai, menunjukkan kesepakatan (4) Mengorganisir Mengembangkan konsep, nilainilai (5) Menghayati Mengubah sikap, menunjukkan sikap yang mantap Keterampilan (1) Menyadari Membedakan rangsangan, memilih isyarat, Menjemahkan (2) Menyiapkan Siap mental, fisik, emosi diri (3) Mencobacoba Menirukan, mencoba dengan kesalahan (4) Terbiasa Melakukan dengan benar (5) Terampil Terampil dalam ketidakpastian, terampil secara otomatis (6) Adaptasi Menggabungkan dengan ketrampilan lain (7) Mencipta Menciptakan ketrampilan baru Sumber: Kibler et.al (1981) dalam Dephut (1996) Pengetahuan (aspek kognitif) Pengetahuan adalah suatu daya didalam hidup manusia dan dengan pengetahuan manusia mengenali peristiwa dan permasalahan, menganalisa mengurai, mengadakan interpretasi serta menentukan pilihanpilihan. Dengan pengetahuan, manusia dapat mempertahankan, mengembangkan dan membentuk sikap dan nilai hidup, menentukan pilihan serta tindakan yang akan dilakukan. Tanpa pengetahuan, individu ataupun masyarakat tidak mempunyai dasar untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan terhadap masalah yang dihadapi.

52 30 Persepsi dan sikap (aspek afektif) Secord dan Backman (1994) sebagaimana dikutip Ritohardoyo (2006) mengemukakan bahwa persepsi masyarakat adalah suatu proses pembentukan kesan, pendapat ataupun perasaan terhadap suatu hal yang melibatkan penggunaan informasi secara terarah. Sejalan dengan konsep tersebut menurut Ritohardoyo (2006), secara garis besar pengertian persepsi adalah: (1) proses aktivitas seseorang dalam memberi kesan, menilai, berpendapat, memahami, menghayati, menginterpretasi dan mengevaluasi terhadap situasi berdasarkan informasi yang ditampilkan; dan (2) reaksi timbal balik yang dipengaruhi oleh diri perseptor, suatu hal yang dipersepsi dan situasi sosial yang melingkupinya sehingga dapat memberikan motivasi tatanan perilaku. Vietch dan Arkkelin (1995) mengemukakan bahwa persepsi merupakan dasar penilaian, sikap dan respon berupa perilaku terhadap lingkungan. Dalam hubungannya dengan kehidupan masyarakat di sekitar hutan, persepsi yang terdapat dalam diri individu masyarakat, kemudian membentuk sikap dan akhirnya akan dapat menimbulkan reaksi berupa perilaku masyarakat desa hutan terhadap lingkungannya, persepsi terhadap lingkungan mempengaruhi hubungan individu dengan lingkungannya. Persepsi masyarakat terhadap keberadaan kawasan taman nasional cenderung negatif, karena bagi mereka taman nasional hanya mampu memproduksi beragam aturan dan larangan atas masalah yang mereka hadapi (Qariah 2005). Diterapkannya suatu kawasan sebagai taman nasional secara tidak langsung mengurangi atau membatasi hakhak masyarakat atas hutan. Hal inilah yang menjadi akar masalah berbagai konflik kepentingan antara masyarakat dan kawasan konservasi. Sikap diartikan sebagai suatu syarat untuk munculnya suatu tindakan. Allfort dalam Assael (1984) sebagaimana dikutip oleh Widiyanta (2002) mendefinisikan sikap adalah keadaan siap (predisposisi) yang dipelajari untuk merespon objek tertentu yang secara konsisten mengarah pada arah yang mendukung (favorable) atau menolak (unfavorable). Dengan demikian sikap merupakan reaksi atau respon seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Dari berbagai batasan tentang sikap dapat disimpulkan bahwa manifestasi sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan dari perilaku yang tertutup. Newcomb salah seorang ahli psikologi sosial sebagaimana dikutip oleh Ali (2003) menyatakan bahwa sikap merupakan kesiapan untuk bertindak. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku. Dalam bagian lain, menurut Allport dalam Notoatmodjo sebagaimana dikutip oleh Ali (2003), menjelaskan 3 (tiga) komponen sikap, yaitu (a) kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek; (b) evaluasi emosional terhadap suatu objek; dan (c) kecenderungan untuk bertindak. Ketiga komponen ini secara bersamasama membentuk sikap yang utuh (total attitude). Tindakan (aspek psikomotorik) Tindakan adalah adalah bentuk perilaku yang sudah nyata yaitu berupa perbuatan terhadap situasi rangsangan dari luar, misalnya keikutsertaan dalam

53 31 suatu kegiatan tertentu. Adanya pengetahuan dan persepti tidak secara otomatis mewujudkan suatu tindakan, oleh karena itu, menurut Bloom dalam Notoatmodjo (2003) untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas dan dukungan. Faktor yang mempengaruhi perilaku Dalam suatu pembentukan dan atau perubahan kemampuan individu atau masyarakat dalam membentuk pola perilaku tertentu akan dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari dalam dan dari luar individu. Beberapa teori perilaku antara lain dari Kurt Lewin yang mengatakan bahwa perilaku manusia bukan sekedar respon dari stimulus melainkan produk dari berbagi gaya yang mempengaruhinya secara spontan. Gaya tersebut oleh Kurt Lewin dirumuskan dalam B: f ( P,E ) di mana behavior (perilaku) B adalah hasil interaksi antara person (diri orang) P dengan environment (lingkungan) E (Coghlan dan Jacobs 2005). Karakteristik individu saling berinteraksi satu sama lain dan kemudian berinteraksi pula dengan dengan faktorfaktor lingkungan dalam menentukan perilaku. Menurut Lewin, kasus perilaku individu tidak memiliki arti intrinsik, signifikansi mereka hanya bisa dinilai dari segi situasi di mana mereka terjadi. Terborg (1981) sebagaimana di acu dalam Coghlan dan Jacobs (2005) menunjukkan bahwa mempertimbangkan orang dan situasi sebagai penentu bersama memiliki relevansi untuk penelitian tentang perilaku. Faktor yang berhubungan dengan pembentukan perilaku manusia dikemukakan oleh Green diacu dalam Rintohardoyo (2006), yaitu: (1) faktor yang mempermudah (enabling factors) berupa karakteristik individu individu yaitu pendidikan, pekerjaan, strata sosial, dan sebagainya; (2) faktor yang mendukung/memberi kecenderungan (predisposing factors) yang terwujud dalam adat istiadat, pandangan hidup, kepercayaan, kebiasaan dan sebagainya; dan (3) faktor yang mendorong atau memperkuat (reinforcing faktors), misalnya penyuluhan, kelompok masyarakat, media massa, tokoh masyarakat, dan sebagainya. Beberapa studi menyatakan bahwa karakteristik personal dan situasional mempunyai hubungan yang erat dengan perilaku masyarakat. Faktor umur individu, pendidikan (Pasha dan Susanto 2009), budaya dan penyuluhan berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku masyarakat dalam konservasi kawasan hutan (Soekadri 2000). Kondisi masyarakat di sekitar kawasan yang pada umumnya memiliki tingkat pengetahuan dan kesejahteraan yang relatif rendah juga berkontribusi terhadap perilaku negatif masyarakat dalam konservasi (Soekadri 2000). Pendidikan sering diyakini sebagai langkah awal dalam meningkatkan perilaku positif masyarakat terhadap konservasi dan taman nasional (Kideghesho, Roskaft, Kaltenborn 2007). Sikap masyarakat lokal sangat ditentukan oleh tata nilai dan kerangka referensinya, baik secara ekologi, ekonomi, maupun sosial budaya. Karenanya, kondisi atau faktor demografi, seperti umur, pendidikan, lokasi tempat tinggal, dan asal etnis dapat secara signifikan membentuk sikap masyarakat terhadap taman nasional (Mehta dan Heinen 2001; Jim dan Xu 2002; Cihar dan Stankova 2006; Alendorf 2007; dan Alendorf, Smith, Anderson 2007). Hal tersebut juga

54 32 dipengaruhi oleh oleh tingkat manfaat yang dirasakan, ketergantungannya terhadap sumberdaya taman nasional (Badola 1998; Soto, Munthali, dan Breen 2001; Silori 2007), maupun pengetahuan masyarakat tentang taman nasional (Ormsby dan Kaplin 2005). Sementara itu hasil penelitian lain menyebutkan bahwa jumlah tanggungan dalam keluarga (Adiprasetyo et al. 2009; Pasha dan Susanto 2009), asal etnis, (Adiprasetyo et al. 2009), tingkat pendapatan dan kepemilikan lahan berpengaruh terhadap sikap dan tindakan masyarakat (Pasha dan Susanto 2009). Keanggotaan masyarakat dalam kelompok dan pelatihan juga berpengaruh terhadap tindakan masyarakat (Siswiyanti dan Ginting 2006; Guthiga 2008; Adiprasetyo et al. 2009; Brännlund, Sidibe, dan Gong 2009).

55 33 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Adanya fakta bahwa fungsi dan pengelolaan kawasan taman nasional sering dihadapkan pada dilema antara kepentingan konservasi dengan kepentingan masyarakat terhadap sumberdaya di taman nasional mengindikasikan pentingnya pengelolaan yang mempertimbangkan masyarakat. Perilaku mereka merupakan komponen paling krusial dalam melestarikan hutan. Pickering dan Owen (1994) dan Welford (1996) sebagaimana diacu dalam Agbogidi dan Ofuoku (2009) mengemukakan bahwa daya dukung lingkungan semakin berkurang akibat kerusakan oleh manusia telah menyebabkan terancamnya berbagai bentuk kehidupan, untuk itu perlu pendidikan dan penyadaran bagi masyarakat. Salah satu cara terbaik dalam pengelolaan hutan adalah menciptakan kesadaran masyarakat lokal tentang pentingnya keterlibatan mereka dalam proses tersebut (Agbogidi, Okonta, dan Dolor 2005). Hal itu tidak dapat dilakukan tanpa proses penyuluhan, salah satunya melalui pemberdayaan masyarakat. Pergeseran paradigma pengelolaan kawasan konservasi berimplikasi pada berubahnya paradigma fungsi kawasan, dari sematamata hanya sebagai kawasan perlindungan keanekaragaman hayati menjadi kawasan yang sekaligus mempunyai fungsi sosial ekonomi masyarakat. Dengan adanya penekanan masyarakat sebagai titik sentral maka pemberdayaan masyarakat memegang peran strategis. Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi bukan sekedar untuk menghentikan kerusakan kawasan namun diarahkan sebagai upaya untuk memberikan kesempatan, kemudahan dan fasilitasi terhadap masyarakat yang tinggal di sekitarnya agar mereka mandiri. Sesuai dengan tujuan pemberdayaan tersebut maka pemberdayaan dianggap efektif atau berhasil apabila masyarakat mandiri dalam arti mau dan mampu mengembangkan kesadaran, pengetahuan dan keterampilannya, guna memanfaatkan sumberdaya alam hayati untuk kesejahteraan dan memperhatikan upaya pelestarian sumberdaya alam tersebut dari aspek ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. Sebagai kegiatan yang erat kaitannya dengan penyuluhan, pemberdayaan dikatakan efektif apabila kegiatan tersebut mencapai tujuannya yaitu perubahan perilaku, yang mencakup aspek kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotorik (ketrampilan). Pengetahuan dan sikap masyarakat lokal terhadap taman nasional akan mempengaruhi bentuk interaksi antara masyarakat lokal dengan taman nasional termasuk partisipasi mereka. Interaksi ini dapat berdampak positif atau negatif terhadap taman nasional, yang selanjutnya akan mempengaruhi efektifitas pengelolaannya (Ormsby dan Kaplin 2005). Terdapat kaitan erat antara partisipasi masyarakat dengan kemampuan masyarakat yang bersangkutan untuk berkembang secara mandiri. Menurut Mubyarto (1984) sebagaimana dirujuk oleh Yumi (2002), kemampuan masyarakat untuk berkembang secara mandiri berkorelasi positif dengan kemampuannya untuk berpartisipasi, dan kemampuan untuk meningkatkan taraf hidupnya sendiri.

56 34 Partisipasi merupakan bentuk perilaku. Perilaku, lingkungan dan individu saling berhubungan satu sama lain bahkan saling mempengaruhi (Bandura 1977). Berdasarkan hal tersebut, jelas bahwa perilaku seseorang dapat disebabkan oleh faktor internal (organism/person) dan disebabkan oleh faktor eksternal (enviroment). Hal ini berarti pula bahwa perilaku sangat tergantung atau ditentukan oleh karakteristik/kepribadian individu yang bersangkutan dan oleh faktor lingkungan/eksternal yang bersifat situasional. Hasil penelitian Setyowati (2010) memperkuat hal tersebut, bahwa partisipasi dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang secara nyata mempengaruhi partisipasi adalah tingkat pendidikan formal dan non formal, serta luas lahan garapan. Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh adalah intensitas pendampingan, dan aktifitas kelompok. Faktor lain seperti kegiatan penyuluhan, pelatihan dan kelompok juga berpengaruh terhadap partisipasi masyarakat (Siswiyanti dan Ginting 2006; Guthiga 2008; Brännlund, Sidibe dan Gong 2009). Yelkouni (2004) sebagaimana diacu dalam Brännlund, Sidibe dan Gong, (2009) mengemukakan adanya indikasi bahwa umur berpengaruh dalam partisipasi, semakin tua umur seseorang maka akan semakin berkurang partisipasi mereka dalam kegiatan pengelolaan hutan. Hal ini sejalan dengan FAO (2003) yang mengemukakan bahwa semakin tua umur maka partisipasi mereka dalam aktivitas konservasi hutan akan semakin berkurang. Jumlah tanggungan keluarga mempunyai dapat berpengaruh positif maupun negatif. Di satu sisi semakin banyak jumlah anggota keluarga maka terdapat ketersediaan tenaga untuk berpartisipasi, sementara itu di sisi lain, semakin banyak yang harus tercukupi kebutuhannya (Brännlund, Sidibe dan Gong 2009). Banyak konflik yang terjadi dalam hal penggunaan lahan dalam pengelolaan kawasan hutan berkaitan dengan etnis ataupun status migran (Yukio 2001; Vuong 2001; Writenet 2006 diacu dalam Bossiere et al. 2009). Masyarakat di sekitar kawasan TNBBS pada umumnya cukup beragam baik dari segi etnis maupun sosial budaya akibat perpindahan penduduk baik akibat program pemerintah (transmigrasi) maupun perpindahan karena kemauan sendiri. Status migrasi atau asal etnis merupakan faktor yang perlu diteliti di TNBBS karena anggapan adanya perbedaan antara penduduk asli dan pendatang, dimana penduduk asli dipandang lebih berperilaku konservatif daripada pendatang. Geoghehan dan Renard (2002) mengemukakan bahwa kondisi masyarakat lokal yang tidak homogen dan memiliki tata nilai yang mungkin tidak sama akan menyebabkan relasi dan sikap bervariasi terhadap sumberdaya alam atau taman nasional, dengan demikian, asal etnis pemukim atau status migrasi berpengaruh secara nyata terhadap aspek kognitif masyarakat (Adiprasetyo et al. 2009). Sementara itu, dalam hal faktor eksternal, pendekatan penyuluhan partisipatif (pendampingan) memiliki pengaruh yang kuat terhadap kemandirian (Yumi 2002). Pemberdayaan masyarakat akan efektif bila ditunjang oleh adanya pendampingan dan akan lebih efektif lagi dengan adanya pengembangan kelembagaan pendukung, ditunjang oleh karakteristik masyarakat yang mendukung, seperti motivasi, pendidikan, kekosmopolitan, dan status sosial. Lebih lanjut Yumi (2002) mengemukakan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara partisipasi dengan kemandirian masyarakat dalam pengelolaan hutan.

57 Untuk mencapai partisipasi yang optimal dari masyarakat dalam implementasi program pemberdayaan masyarakat, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi yaitu: proses dan pendekatan pemberdayaan masyarakat, kebijakan pemerintah, dan karakteristik sosial ekonomi masyarakat (Nopriyanto 2011). Adamson (2009) mengemukakan bahwa faktor yang seringkali menjadi penghalang bagi partisipasi dalam kegiatan pemberdayaan yaitu kapasitas masyarakat sasaran, kapasitas pemberdaya sebagai agen peningkatan keterampilan, peraturan/kebijakan, keterbatasan anggaran, dan pendekatan pemberdayaan. Pendekatan pemberdayaan dalam hal ini adalah bahwa agen pemberdayaan belum memahami sepenuhnya makna pemberdayaan bottom up. Geoghegan (2002) mengemukakan bahwa keberhasilan pengelolaan hutan partisipatif berhubungan erat dengan manfaat yang diterima/dirasakan dan pengembangan keterampilan kewirausahaan serta teknis. Selain faktorfaktor tersebut, berdasarkan evaluasi yang dilakukan oleh TNBBS, faktorfaktor yang mempengaruhi pemberdayaan adalah jumlah pendamping, keterampilan aplikatif pendamping, aktifitas pendampingan, koordinasi dan komunikasi dengan pihak terkait, perencanaan, dukungan anggaran, cakupan sasaran, pelatihan, serta pendekatan kelompok dan keluarga. Hal ini mengindikasikan bahwa keberhasilan pemberdayaan selain dipengaruhi oleh faktor internal/karakteristik masyarakat juga dipengaruhi faktor eksternal berupa pendekatan pemberdayaan yang dilakukan. Dengan pendekatan yang tepat, diharapkan pemberdayaan dapat mencapai tujuan sebagai upaya pembentukan perilaku positif masyarakat. Selanjutnya, faktorfaktor yang diteliti dalam penelitian ini adalah faktor yang dianggap berhubungan dalam efektifitas pemberdayaan masyarakat di TNBBS. dalam konteks penelitian ini, faktorfaktor yang dianggap berhubungan dalam efektifitas pemberdayaan masyarakat di TNBBS terdiri dari faktor internal berupa karakteristik sosiodemografi masyarakat sasaran, interaksi dan akses masyarakat terhdap sumber daya taman nasional dan pendekatan pemberdayaan yang dilakukan leh TNBBS dalam program Model Desa Konservasi (MDK). Berdasarkan uraian di atas, maka kerangka konseptual penelitian dapat digambarkan dalam skema berikut: 35

58 36 Pengelolaan TNBBS Konservasi Perlindungan Pengawetan Pemanfaatan Paradigma Forest Resources Based Management berbasis Community Development dan pengelolaan kawasan konservasi ke arah pemberdayaan partisipasi Kebijakan pengelolaan kawasan konservasi Masyarakat Sebagai ancaman: interaksi dengan kawasan (perambahan, eksploitasi flora fauna dilindungi, penebangan liar) untuk pemenuhan kebutuhan Sebagai sumberdaya potensial dalam pengelolaan TNBBS Pemberdayaan Masyarakat di sekitar kawasan TNBBS Efektifitas Pemberdayaan Masyarakat melalui MDK Karakteristik demografi dan sosial masyarakat sasaran Interaksi dan akses terhadap taman nasional Pendekatan pemberdayaan masyarakat di TNBBS Partisipasi masyarakat dalam pemberdayaan MDK Kemandirian dalam mengembangkan perilaku (kognitif, afektif dan psikomotorik) dalam bidang ekologi, ekonomi dan sosial budaya Kelestarian kawasan TNBBS Kesejahteraan masyarakat Keterangan Faktor yang tidak diteliti Faktor yang diteliti Gambar 1 Kerangka konseptual penelitian Kerangka operasional penelitian meliputi variabelvariabel yang dipilih dan diduga berhubungan dengan efektifitas pemberdayaan masyarakat di TNBBS dapat digambarkan secara skematis sebagai berikut:

59 37 Pemberdayaan Masyarakat MDK di sekitar kawasan TNBBS Karakteristik sosiodemografi (x1) (1) Umur (2) Pendidikan (3) Pendidikan non formal/pelatihan (4) Mata pencaharian (5) Pendapatan (6) Kepemilikan lahan (7) Jumlah tanggungan keluarga (8) Etnis pemukim (9) Keikutsertaan dalam kelompok (10) Keterdedahan terhadap informasi Interaksi dan akses terhadap taman nasional (x2) (1) Tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya TNBBS (2) Tingkat manfaat langsung keberadaan TNBBS yang dirasakan (3) Tingkat keterlibatan dalam program MDK (4) Tingkat akses dalam kegiatan TNBBS Pendekatan Program Pemberdayaan (x3) (1) Kesepahaman (2) Kelembagaan (3) Fasilitator (4) Pendampingan (5) Bentuk kegiatan pemberdayaan (6) Jejaring kerja dan kemitraan (7) Monitoring dan evaluasi Partisipasi masyarakat dalam pemberdayaan MDK (y1) Kemandirian dalam mengembangkan periku (aspek kognitif, afektif dan psikomotorik) (y2) dalam: (1) bidang ekologi. (2) bidang ekonomi. (3) bidang sosial budaya. Gambar 2 Kerangka operasional penelitian Hipotesis Mengacu pada permasalahan dan kerangka pikir penelitian, hipotesis penelitian dirumuskan sebagai berikut: (1) Terdapat hubungan nyata antara karakteristik sosiodemografi dengan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pemberdayaan MDK. (2) Terdapat hubungan nyata antara karakteristik sosiodemografi dengan kemandirian masyarakat. (3) Terdapat hubungan nyata antara interaksi dan akses terhadap TNBBS dengan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pemberdayaan MDK. (4) Terdapat hubungan nyata antara interaksi dan akses terhadap TNBBS dengan kemandirian masyarakat. (5) Terdapat hubungan nyata antara pendekatan program pemberdayaan yang dilaksanakan di TNBBS dengan partisipasi masyarakat dalam kegiatan pemberdayaan MDK. (6) Terdapat hubungan nyata antara pendekatan program pemberdayaan yang dilaksanakan di TNBBS dengan kemandirian masyarakat. (7) Terdapat hubungan nyata antara partisipasi masyarakat dalam kegiatan pemberdayaan dengan kemandirian masyarakat.

60 38 METODE PENELITIAN Desain Penelitian Penelitian dilakukan menggunakan metode survai dengan tujuan mencari data dan fakta mengenai faktorfaktor yang berhubungan dengan efektifitas pemberdayaan masyarakat Model Desa Konservasi (MDK) di TNBBS. Penelitian ini menguraikan faktafakta dan informasi yang diperoleh di lapangan, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk mendapat gambaran secara faktual dan akurat mengenai faktafakta tersebut, hubungan antara fenomena yang diteliti, menguji hipotesis, membuat makna serta implikasi dari hasil yang diperoleh. Data yang digunakan dalam penelitian ini dikumpulkan dengan menggunakan teknik observasi, kuesioner dan wawancara dengan unit analisis individu masyarakat peserta program pemberdayaan MDK di TNBBS. Observasi atau pengamatan, meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap obyek untuk keperluan pencarian data tentang masyarakat kawasan TNBBS. Instrumen berupa kuesioner berisi serangkaian pertanyaan yang dijabarkan dari variabelvariabel penelitian. Kuesioner atau daftar pertanyaan yang digunakan mengarah kepada tingkat partisipasi dan kemandirian masyarakat untuk mengembangkan perilaku (pengetahuan, sikap, tindakan) dalam bidang ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. Wawancara dilakukan terhadap responden dan pihakpihak terkait lainnya dengan tujuan untuk mendukung data yang diperoleh melalui kuesioner. Dengan menggunakan ketiga teknik pengumpulan data ini, diharapkan dapat saling melengkapi sehingga data yang dikumpulkan merupakan data lengkap, akurat dan konsisten (Sugiyono 2011). Selain ketiga teknik tersebut, juga dilakukan dokumentasi untuk memperoleh datadata sekunder. Lokasi dan Waktu Penelitian Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) terletak di bagian selatan Pulau Sumatera (gambar 6) yang secara geografis terletak pada 4 o 31 5 o 57 LS dan 103 o o 43 BT. Secara administratif, kawasan ini termasuk dalam Provinsi Lampung dan Provinsi Bengkulu), dimana lokasi penelitian termasuk dalam Provinsi Lampung. Penelitian dilakukan di Pekon Sukaraja dan Pekon Kubu Perahu sebagai desa lokasi pemberdayaan masyarakat MDK. Peta lokasi penelitian sebagaimana dalam Lampiran 3. Waktu pelaksanaan penelitian mulai dari survei pendahuluan, penyusunan kerangka sampling, penyusunan kuesioner, uji coba kuesioner, pengumpulan data primer dan sekunder, pengolahan dan analisis data dilakukan selama 9 (sembilan) bulan mulai dari bulan Februari sampai dengan November 2012.

61 39 Populasi dan Sampel Populasi penelitian adalah masyarakat sasaran program pemberdayaan Model Desa Konservasi (MDK) di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Penentuan lokasi desa sebagai lokasi sampel ditentukan berdasarkan kerangka sampel data kegiatan pemberdayaan masyarakat MDK di TNBBS. Terdapat 2 (dua) pekon/desa lokasi kegiatan pemberdayaan MDK di TNBBS yaitu Pekon Sukaraja (daerah penyangga) dan Kubu Perahu (enclave). Penentuan total sampel ditentukan berdasarkan rumus Slovin, sedangkan jumlah sampel di kedua pekon ditentukan mewakili jumlah populasi masyarakat peserta program pemberdayaan MDK di masingmasing desa/pekon. Unit analisis dalam penelitian ini adalah petani anggota kelompok penerima manfaat program pemberdayaan MDK. Secara rinci proses pengambilan sampel adalah sebagai berikut: TNBBS SPTN Wilayah I Sukaraja SPTN Wilayah II Bengkunat SPTN Wilayah III Krui SPTN Wilayah IV Bintuhan Pekon Sukaraja Pekon Kubu Perahu Desa/Pekon ditentukan berdasarkan lokasi program pemberdayaan MDK MDK: 90 orang 67 Responden Dengan rincian: 1. Kel. Wana Lestari 20 orang 2. Kel. Eka Tunggal Makmur 15 orang 3. Kel. Tunas Karya 22 orang 4. SPKP 10 orang Total sampel = 104 MDK: 50 orang 37 Responden Dengan rincian: 1. Kel. Mulya Tani Harapan Maju 8 orang 2. Kel. Pemuda Mandiri 12 orang 3. Kelompok eks penerima manfaaat program MDK 17 orang Keterangan: SPTN: Seksi Pengelolaan Taman Nasional MDK: Model Desa Konservasi SPKP: Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan Gambar 3 Proses pengambilan sampel Jumlah masyarakat sasaran kegiatan MDK pada masingmasing desa Jumlah sampel/responden di masingmasing desa diambil mewakili jumlah populasi masyarakat peserta program pemberdayaan MDK Total sampel ditentukan dengan rumus Slovin: n = N N (α) 2 +1 n = jumlah sampel N = populasi α = 0.05

62 40 Pengembangan Instrumen Penelitian Jenis Data Jenis data adalah data primer dan sekunder. Data primer berupa hasil kuesioner dan wawancara untuk memperoleh data mengenai karakteristik masyarakat sekitar kawasan, dan kriteria/karakteristik program pemberdayaan yang diduga mempengaruhi efektifitas pemberdayaan masyarakat. Berdasarkan skala pengukuran, data dalam penelitian ini sebagian besar meliputi skala ordinal, seta sebagian kecil skala nominal dan rasio. Data sekunder berupa dokumendokumen tentang gambaran umum kawasan TNBBS dan data desa tempat dilaksanakan penelitian dan data terkait yang mendukung, misalnya: (1) Sosial ekonomi secara umum seperti kependudukan, mata pencaharian dan lainlain; (2) Sejarah pengelolaan hutan TNBBS dan keadaan wilayah hutan seperti letak dan tata batas; (3) Peta lokasi penelitian; dan (4) Keadaan umum daerah penelitian Variabel Penelitian Variabel/peubah penelitian terdiri dari variabel bebas (independent variable) dan variabel tidak bebas (dependent variable) sebagai berikut: (1). Variabel bebas (x), yaitu variabel yang dapat mempengaruhi variabel dependen (y) yaitu efektifitas pemberdayaan masyarakat di TNBBS. Variabel independen terdiri dari: (a). Karakteristik sosiodemografi masyarakat sasaran (x1), yaitu ciri yang melekat dalam diri individu masyarakat yang terdiri dari: umur, pendidikan formal, pelatihan, pekerjaan, pendapatan, kepemilikan lahan, jumlah tanggungan keluarga, asal etnis pemukim, keikutsertaan dalam kelompok dan keterdedahan terdadap informasi; (b). Interaksi dan akses masyarakat terhadap taman nasional (x2), yang terdiri dari: tingkat ketergantungan responden terhadap sumberdaya taman nasional, manfaat langsung keberadaan taman nasional bagi responden, keterlibatan dalam program pemberdayaan MDK dan akses masyarakat dalam kegiatan taman nasional. (c). Faktor pendekatan program pemberdayaan (x2) masyarakat yang meliputi kesepahaman, kelembagaan, fasilitator, pendampingan, bentuk kegiatan pemberdayaan, jejaring kerja dan kemitraan, monitoring dan evaluasi. (2). Variabel tidak bebas (y), terdiri dari: (a). Partisipasi masyarakat dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat MDK dalam rangka konservasi TNBBS (y1) baik partisipasi dalam perencanaan, partisipasi dalam pelaksanaan, partisipasi dalam pemanfaatan dan partisipasi dalam monitoring dan evaluasi. (b). Kemandirian masyarakat dalam mengembangkan perilaku (kognitif, afektif dan psikomotorik) yang meliputi bidang ekologi, ekonomi dan sosial budaya (y2).

63 41 Definisi operasional Untuk memperoleh batasan yang jelas, variabel dan subvariabel yang diteliti didefinisikan secara operasional sehingga dapat dilakukan pengukuran. Parameter pengukuran menggunakan pernyataan dalam skala Likert. Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial (Sugiyono 2009). Definisi operasional variabelvariabel dalam kerangka pikir penelitian adalah sebagai berikut: (1). Karakteristik sosiodemografi adalah ciri yang melekat pada individu berupa karakteristik sosial dan kependudukan yang menggambarkan perbedaan masyarakat berdasarkan usia, mata pencaharian, pendidikan, suku bangsa (etnis), pendapatan, keluarga, serta sosial budaya, hubungannya dengan orang lain dan sebagainya. (2). Umur, adalah usia responsen dihitung dari lahir hingga saat penelitian, dinyatakan dalam tahun. (3). Pendidikan formal adalah jenjang pendidikan formal yang pernah ditempuh/dicapai responden, dinyatakan dalam strata/tingkat pendidikan. (4). Pelatihan, adalah pendidikan di luar pendidikan formal (non formal) berupa kegiatan pelatihan yang pernah atau sedang diikuti responden dalam 3 tahun terakhir, diukur berdasarkan frekuensi mengikuti pelatihan. (5). Mata pencaharian adalah status pekerjaan atau jenis pekerjaan utama responden pada saat dilakukan penelitian. Dalam penelitian ini mata pencaharian dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu petani dan non petani. (6). Pendapatan, adalah penghasilan responden yang diperoleh dari berbagai sumber baik pekerjaan tetap maupun sampingan dalam satu bulan, dinyatakan dalam rupiah dengan kategorisasi berdasarkan pada kondisi eksisting responden (data riil lapangan pada waktu dilakukan penelitian). (7). Kepemilikan lahan adalah luas lahan yang dimiliki oleh responden, dinyatakan dalam satuan hektar per kepala keluarga. (8). Jumlah tanggungan keluarga, adalah jumlah anggota keluarga yang menetap dan menjadi tanggungan kepala keluarga, dinyatakan dalam jiwa/kk. (9). Etnis pemukim adalah kesatuan sosial yang dapat dibedakan dengan kesatuan sosial lainnya berdasarkan budaya, bahasa dan lainnya dan diukur berdasarkan asal etnis responden apakah merupakan etnis asli atau etnis pendatang. (10). Keikutsertaan dalam kelompok/organisasi adalah keikutsertaan yang dinyatakan/diukur melalui keaktifan responden dalam kelompok/organisasi masyarakat berbasis kehutanan maupun diluar kehutanan. (11). Keterdedahan terhadap informasi merupakan proses pada responden untuk mencari informasi yang dapat membantu mereka menentukan perilaku (berkaitan dengan pemberdayaan) yang diukur melalui intensitas masyarakat dalam mencari informasi baik dari teman kelompok, penyuluh, dan pihak lain, kunjungan, membaca, mendengarkan maupun menonton. (12). Interaksi dan akses terhadap taman nasional adalah hubungan positif masyarakat dengan kawasan taman nasional dan tingkat akses masyarakat terdahap sumber daya taman nasional yang tercermin dari tingkat interaksi/ketergantungan masyarakat terhadap taman nasional, manfaat

64 42 langsung taman nasional yang dirasakan dan keterlibatan dalam kegiatan tanam nasional. (13). Tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya taman nasional adalah tingkat ketergantungan responden terhadap sumberdaya TNBBS dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya dinyatakan dalam frekuensi interaksi responden dengan kawasan. (14). Tingkat manfaat langsung keberadaan taman nasional yang dirasakan adalah respon masyarakat terhadap keberadaan taman nasional yang dinyatakan dalam seberapa besar manfaat langsung kawasan yang dirasakan oleh responden (baik ekonomi, ekologis, dan sosial budaya). (15). Tingkat keterlibatan dalam program pemberdayaan MDK adalah keikutsertaan responden dalam kegiatan pemberdayaan MDK, diukur dengan lamanya responden terlibat dalam kegian tersebut. (16). Tingkat akses masyarakat dalam kegiatan taman nasional adalah sejauh mana masyarakat memperoleh kesempatan atau terlibat dalam kegiatan taman nasional baik dalam rangka pengelolaan kawasan konservasi. Diukur melalui intensitas keikutsertaan masyarakat (dalam kegiatan apa saja masyarakat terlibat). (17). Pendekatan pemberdayaan dalam konteks ini adalah pelaksanaan kesatuan aspekaspek tujuan, prinsip, strategi, kriteria dan bentuk atau karakteristik pemberdayaan yang diterapkan oleh program pemberdayaan MDK di TNBBS dalam mendorong patisipasi dan kemandirian masyarakat sasaran. (18). Kesepahaman merupakan suatu proses yang melibatkan unsurunsur terkait secara terusmenerus agar tercapai kesepahaman atau kesamaan pandangan baik mengenai kegiatan pemberdayaan maupun mengenai manfaat dan fungsi pengelolaan kawasan konservasi. Dalam hal ini termasuk adanya kegiatan sosialisasi intensif dari pihak TNBBS dan tingkat pemahaman masyarakat dengan adanya sosialisasi tersebut. (19). Kelembagaan adalah seperangkat ketentuan yang mengatur masyarakat (baik norma adat, lembaga lokal maupun lembaga eksternal yang menukung pemberdayaan) dimana masyarakat telah mendefinisikan secara mandiri mengenai aturan tersebut, bentuk peran, fungsi dan aktifitas yang jelas, pemberian kesempatan dan tanggung jawab berkaitan dengan kegiatan pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan TNBBS. Kelembagaan diuukur melalui keberadaan dan kejelasan aturan aturan setempat dan adanya lembaga lain yang mendukung MDK. (20). Fasilitator adalah orang yang memberikan pendampingan dalam proses pemberdayaan masyarakat, diukur melalui kemampuannya dalam melakukan fungsi/perannya di bidang pemungkinan (enabling), penguatan (empowering), perlindungan (protecting), dan pendukungan (supporting) dalam rangka membantu masyarakat menuju kemandirian. (21). Pendampingan suatu proses atau mekanisme mendampingi masyarakat berupa interaksi dinamis antara fasilitator dengan masyarakat sasaran dalam rangka pemberdayaan yang pengukurannya melibatkan intensitas dan kualitas (kesesuaian tujuan, metode, arah komunikasi, pembelajaran) dalam proses pemberdayaan. (22). Bentuk kegiatan pemberdayaan merupakan kegiatan yang dipilih dalam pemberdayaan yang meliputi (a) peningkatan kapasitas masyarakat

65 43 (kegiatan belajar masyarakat dapat berupa pelatihan dengan substansi pengembangan perilaku masyarakat terutama keterampilan yang bersifat aplikatif dan pelatihan lain yang mendukung kegiatan masyarakat); (b) pengembangan ekonomi usaha produktif (pengembangan usaha produktif masyarakat berdasarkan potensi lokal, penerapan teknologi tepat guna, kerja sama dengan stakeholder dan pasar pengguna hasil usaha masyarakat); (c) penguatan kelembagaan (upaya untuk membentuk, meningkatkan dan memantapkan peran kelembagaan atau organisasi lokal termasuk kelompokkelompok yang ada melalui fasilitasi dan pembinaan); dan (d) bantuan fisik/material. Dalam konteks ini hal tersebut diukur melalui tingkat proporsi berbagai bentuk kegiatan yang sesuai dengan kondisi potensi dan kebutuhan masyarakat setempat. (23). Jejaring kerja dan kemitraan, merupakan upaya pengembangan jejaring kerja dan mencari mitra yang mendukung kepentingan pemberdayaan diukur melalui ada tidaknya mitra dalam pemberdayaan MDK terkait dukungan dan peran di bidang masingmasing yang relevan. (24). Monitoring dan evaluasi adalah kegiatan dalam mengarahkan pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat, menilai, serta tindak lanjut termasuk adanya alternatif pemecahan masalah. Diukur melalui intensitas monitoring dan evaluasi terhadap kegiatankegiatan yang dilaksanakan dalam pemberdayaan. (25). Partisipasi adalah peran serta masyarakat dalam kegiatan pemberdayaan yang diukur berdasarkan tingkat partisipasi dari tingkat terendah sampai dengan tertinggi. (26). Partisipasi dalam perencanaan adalah peran serta masyarakat dalam proses perencanaan kegiatan diukur dengan tingkat partisipasi masyarakat dari tingkat terendah (pasif) sampai tingkat tertinggi. (27). Partisipasi dalam pelaksanaan adalah peran serta masyarakat dalam melaksanakan kegiatan diukur dengan tingkat partisipasi masyarakat dari tingkat terendah (pasif) sampai tingkat tertinggi. (28). Partisipasi dalam pemanfaatan adalah peran serta masyarakat dalam memanfaatkan hasil kegiatan diukur dengan tingkat partisipasi masyarakat dari tingkat terendah (pasif) sampai tingkat tertinggi. (29). Partisipasi dalam evaluasi adalah peran serta masyarakat dalam menilai hasil kegiatan diukur dengan tingkat partisipasi masyarakat dari tingkat terendah (pasif) sampai tingkat tertinggi. (30). Kemandirian adalah kemampuan responden dalam mengembangkan perilaku (aspek kognitif, afektif dan psikomotorik) dalam bidang ekologi, ekonomi dan sosial budaya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan kelestarian kawasan. Matriks pengembangan instrumen Matrik pengembangan instrumen menjelaskan secara rinci mengenai variabel, sub variabel, indikator, cara pengukuran serta skala data yang digunakan. Matrik pengembangan instrumen berdasarkan variabel yang telah ditentukan adalah sebagaimana dalam tabel berikut (Tabel 3 Tabel 7):

66 44 Tabel 3 Sub variabel, indikator, pengukuran dan skala karakteristik sosiodemografi responden Sub variabel Indikator Pengukuran Skala (1). Umur Karakteristik umur 1. Tidak produktif (0 15 tahun) 2. Kurang Produktif ( 65 tahun) 3. Produktif (50 64 tahun) 4. Sangat produktif (15 49 tahun) Rasio (2). Pendidikan Karakteristik pendidikan (3). Pelatihan Karakteristik pendidikan non formal 1. Tidak tamat SD dan tamat SD/sederajad 2. SLTP, SLTA dan sederajad 3. Diploma (D1, D2 atau D3) 4. Lulus PT (S1, S2, S3) 1. Tidak pernah mengikuti pelatihan 2. Jarang mengikuti pelatihan (1 2 kali) 3. Sering (3 5 kali dalam 3 tahun terakhir) 4. Sangat sering (> 5 kali dalam 3 tahun terakhir (4). Mata pencaharian Karakteristik sosial ekonomi 1. Petani 2. Non Petani Nominal (5). Pendapatan Karakteristik sosial ekonomi 1. Sangat rendah (< Rp ) 2. Rendah (> Rp jt) 3. Tinggi (> Rp 1 jt 1,5 juta) 4. sangat tinggi (> Rp 1,5 juta) Rasio (6). Kepemilikan lahan Karakteristik sosial ekonomi 1. Sangat rendah (tidak mempunyai lahan) 2. Rendah (0,1 0,5 ha) 3. Tinggi (0,51 1 ha) 4. Sangat Tinggi (> 1 ha) Rasio (7). Jumlah tanggungan keluarga Karakteristik demografi 1. Sangat rendah (0 2 jiwa) 2. Rendah (34 jiwa) 3. Tinggi (45 jiwa) 4. Sangat Tinggi (>5 jiwa) Rasio (8). Etnis pemukim (Status migrasi) Karakteristik sosial budaya 1. Etnis asli 2. Etnis pendatang Nominal (9) Keikutsertaan dalam kelompok/ organisasi Karakteristik kelembagaan responden 1. Tidak aktif dalam kelompok 2. Kurang aktif dalam kelompok 3. Aktif dalam kelompok 4. Sangat aktif dalam kelompok (10). Keterdedahan terhadap informasi Karakteristik sosial responden 1. Tidak pernah memperoleh informasi 2. Memperoleh informasi dari 12 sumber 3. Memperoleh informasi dari 34 sumber 4. Memperoleh informasi dari > 4 sumber

67 45 (1). Tingkat ketergantungan terhadap Tabel 4 Sub variabel, indikator, pengukuran dan skala interaksi dan akses terhadap taman nasional Sub Variabel Indikator Pengukuran Skala Adanya 1. Sangat sering, semua kebutuhan dipenuhi ketergantungan dengan mengambil sumberdaya kawasan sumberdaya TN terhadap sumber daya kawasan 2. Sering, sebagian besar kebutuhan dipenuhi dengan mengambil sumberdaya kawasan 3. Jarang/sesekali masuk kawasan untuk mengambil sumberdaya 4. Tidak pernah mengambil sumberdaya TN untuk kebutuhan hidupnya (2) Tingkat nanfaat sumberdaya TN yang dirasakan Respon masyarakat terhadap manfaat langsung TNBBS 1. Tidak merasakan manfaat Merasakan satu manfaat saja, (ekonomi, ekologi dan atau sosial budaya) 2. Merasakan paling tidak 2 manfaat 3. Merasakan semua manfaat dari 3 aspek ekologi, ekonomi dan sosial budaya (3) Tingkat keterlibatan dalam program MDK Peran aktif dalam kegiatan/program pemberdayaan 1. Tidak pernah terlibat 2. Jarang terlibat 3. Sering terlibat 4. Sangat sering/selalu terlibat (4) Tingkat akses terhadap kegiatan TNBBS Tingkat keterlibatan masyarakat dalam kegiatan TN Akses dalam perencanaan Akses dalam pelaksanaan Akses dalam pemanfaatan 1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Tinggi 4. Sangat Tinggi 1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Tinggi 4. Sangat Tinggi 1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Tinggi 4. Sangat Tinggi 1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Tinggi 4. Sangat Tinggi Akses dalam evaluasi 1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Tinggi 4. Sangat Tinggi

68 46 Tabel 5 Sub variabel, indikator, pengukuran dan skala pendekatan pemberdayaan Sub Variabel Indikator Pengukuran Skala (1). Kesepahaman Kejelasan informasi yang disampaikan oleh pihak pengelola dan penyuluh dengan masyarakat untuk mencapai kesepahaman 1. Tidak ada sosialisasi 2. Memberikan informasi, tidak jelas 3. Memberikan informasi, jelas 4. Memberikan informasi dengan sangat jelas (2). Kelembagaan pendukung Pemahaman masyarakat berkaitan informasi mengenai MDK Keberadaan dan kejelasan aturan baik tertulis maupun tidak Keberadaan dan aktifitas organisasi eksternal yang mendukung kegiatan pemberdayaan (3). Fasilitator Kemampuan dalam pendekatan pada masyarakat (kualitas hubungan dengan masyarakat) Kemampuan dalam fungsi enabling yaitu melakukan mediasi, negosiasi, membangun konsensus bersama, serta melakukan manajemen sumber Kemampuan dalam fungsi empowering (memberikan masukan, informasi positif dan terarah berdasarkan pengetahuan, pengalamannya Kemampuan dalam fungsi protecting meliputi interaksi dengan lembaga eksternal (menggunakan media, meningkatkan hubungan dan membangun jejaring kerja) Kemampuan dalam fungsi supporting(keterampilan teknis, kemampuan berkomunikasi, mengelola anggaran, dsb) (4) Pendampingan Intensitas pendampingan memadai Kesesuaian antara tujuan kegiatan pendampingan (MDK) dengan harapan responden. 1. Belum mengerti 2. Kurang mengerti 3. Mengerti 4. Mengerti sangat jelas 1. Tidak ada aturan 2. Masih dalam proses pembuatan 3. Ada, tetapi tidak jelas 4. Ada, dan jelas 1. Tidak ada 2. Ada, tidak mempunyai kegiatan 3. Ada, mempunyai kegiatan, tidak sesuai kebutuhan 4. Ada, mempunyai kegiatan, sesuai dengan kebutuhan 1. Sangat kurang 2. Kurang baik 3. Baik 4. Sangat baik 1. Sangat kurang 2. Kurang baik 3. Baik 4. Sangat baik 1. Sangat kurang 2. Kurang baik 3. Baik/memadai 4. Sangat baik/memadai 1. Sangat kurang 2. Kurang baik 3. Baik/memadai 4. Sangat baik/memadai 1. Sangat kurang 2. Kurang baik 3. Baik/memadai 4. Sangat baik/memadai 1. Sangat jarang 2. Jarang 3. Sering 4. Sangat sering 1. Sangat tidak sesuai 2. Kurang sesuai 3. Sesuai 4. Sangat sesuai

69 47 Tabel 5 Sub variabel, indikator, pengukuran dan skala pendekatan pemberdayaan (lanjutan) Sub Variabel Indikator Pengukuran Skala Komunikasi/penyampaian informasi yang mendukung program pemberdayaan (5). Bentuk Pemberdayaan (6). Jejaring kerja dan kemitraan (7). Monitoring dan evaluasi Manfaat hasil yang dicapai dalam MDK sesuai dengan harapan masyarakat Keseluruhan proses pembelajaran berjalan baik untuk mendukung tercapainya tujuan Peningkatan kapasitas masyarakat sesuai keterampilan yang diperlukan Pengembangan usaha produktif sesuai dengan potensi yang ada Pengembangan jaringan dan pemasaran mendukung usaha produktif Upaya penguatan kelembagaan (fasilitasi pembentukan kelompok, pembagian tugas dan aturan) perbandingan banyaknya bantuan dalam bentuk materi atau fisik dengan bantuan bentuk lain dalam kegiatan MDK (sesuai kebutuhan) Adanya mitra yang terlibat dan berperan sesuai bidang masingmasing Monitoring dan evaluasi dilakukan dalam semua kegiatan dalam MDK sehingga program terarah, terdapat penilaian, serta tindak lanjut termasuk adanya alternatif pemecahan masalah. 1. Sangat tidak baik 2. Kurang baik 3. Baik 4. Sangat baik 1. Sangat tidak bermanfaat 2. Kurang bermanfaat 3. Bermanfaat 4. Sangat bermanfaat 1. Tidak baik 2. Kurang baik 3. Baik 4. Sangat baik 1. Tidak ada pelatihan 2. Ada, tidak sesuai kebutuhan 3. Ada, kurang sesuai kebutuhan 4. Ada, sesuai kebutuhan 1. Tidak sesuai 2. Kurang sesuai 3. Sesuai 4. Sangat sesuai 1. Tidak ada 2. Ada, tidak mendukung 3. Ada, kurang mendukung 4. Ada dan sangat mendukung 1. Tidak ada 2. Kurang 3. Ada, belum berjalan baik 4. Ada, berjalan dengan baik 1. Tidak seimbang, hampir semua berupa bantuan fisik/material saja 2. Kurang seimbang 3. Seimbang tetapi belum sesuai kebutuhan 4. Sangat seimbang sesuai kebutuhan 1. Tidak ada mitra 2. Dalam proses mengembangkan 3. Ada mitra, belum berfungsi dengan baik 4. Ada mitra, berfungsi dengan baik 1. Tidak ada 2. Hanya dilakukan pada sebagian kecil kegiatan 3. Dilakukan pada sebagian besar kegiatan 4. Dilakukan pada seluruh kegiatan

70 48 Tabel 6 Sub variabel, indikator, pengukuran dan skala variabel partisipasi Sub Variabel Indikator Pengukuran Skala (1). Partisipasi dalam perencanaan (2). Partsipasi dalam pelaksanaan (3). Partisipasi dalam pemanfaatan (4). Partisipasi dalam evaluasi Peran serta masyarakat dalam proses perencanaan MDK Peran serta masyarakat dalam melaksanakan MDK Peran serta masyarakat dalam memanfaatkan hasil MDK Peran serta masyarakat dalam menilai hasil kegiatan MDK 1. Tingkat partisipasi sangat rendah (partisipasi manipulatif/pasif dan informasi) 2. Tingkat partisipasi rendah (partisipasi konsultasi dan sumberdaya) 3. Tingkat partisipasi tinggi (partisipasi kolaborasi) 4. Tingkat partisipasi sangat tinggi (partisipasi kendali) 1. Tingkat partisipasi sangat rendah (partisipasi manipulatif/pasif dan informasi) 2. Tingkat partisipasi rendah (partispasi konsultasi dan sumberdaya) 3. Tingkat partisipasi tinggi (partisipasi kolaborasi) 4. Tingkat partisipasi sangat tinggi (partisipasi kendali) 1. Tingkat partisipasi sangat rendah (partisipasi manipulatif/pasif dan informasi) 2. Tingkat partisipasi rendah (partispasi konsultasi dan sumberdaya) 3. Tingkat partisipasi tinggi (partisipasi kolaborasi) 4. Tingkat partisipasi sangat tinggi (partisipasi kendali) 1. Tingkat partisipasi sangat rendah (partisipasi manipulatif/pasif dan informasi) 2. Tingkat partisipasi rendah (partispasi konsultasi dan sumberdaya) 3. Tingkat partisipasi tinggi (partisipasi kolaborasi) 4. Tingkat partisipasi sangat tinggi (partisipasi kendali) Tabel 7 Sub variabel, indikator, pengukuran dan skala variabel kemandirian Sub Variabel Indikator Pengukuran Skala (1). Kemandirian dalam bidang ekologi/konservasi kawasan Aspek Tingkat pengetahuan/ pemahaman pengetahuan masyarakat taman nasional (kognitif) Tingkat pengetahuan/ pemahaman masyarakat fungsi taman nasional Pengetahuan masyarakat dalam mengidentifikasi manfaatmanfaat kawasan TN (manfaat ekonomi, ekologi dan sosial budaya) Pengetahuan masyarakat tentang akibat tindakan merusak kawasan 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik

71 49 Tabel 7 Sub variabel, indikator, pengukuran dan skala variabel kemandirian (lanjutan) Sub Variabel Indikator Pengukuran Skala Aspek persepsi dan sikap (afektif) Aspek tindakan/ keterampilan (psikomotorik) Pengetahuan masyarakat tentang aturan dan sanksi bagi tindakan merusak hutan Pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan lahan yang memperhatikan kaidah konservasi Kesadaran akan pentingnya konservasi kawasan TNBBS Kesadaran tentang manfaat penting TNBBS dari segi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya TNBBS Kesadaran terhadap dampak perambahan dan tindak ilegal lain yang merusak hutan Kesadaran tentang pentingnya mematuhi peraturan berkaitan dengan pengelolaan TN Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pentingnya pengelolaan lahan yang memperhatikan kaidah konservasi Kemampuan dalam konservasi kawasan TNBBS yang tercermin dari intensitas keikutsertaan masyarakat dalam mendukung kelestarian kawasan Kemampuan dalam memanfaatkan kawasan TN secara bijaksana tanpa merusak Kemampuan dalam melakukan pencegahan dan mengurangi tindakan yang mengakibatkan kerusakan kawasan Kemampuan dalam mentaati peraturan berkaitan dengan himbauan untuk menjaga kelestarian dan tidak merusak hutan Kemampuan menerapkan pengelolaan lahan sesuai dengan kaidah konservasi 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. sangat baik 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. sangat baik 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. sangat baik 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. sangat baik 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. sangat baik 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. sangat baik 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik 1. Tidak pernah 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik

72 50 Tabel 7 Sub variabel, indikator, pengukuran dan skala variabel kemandirian (lanjutan) Sub Variabel Indikator Pengukuran Skala (2). Kemandirian dalam bidang ekonomi Aspek persepsi dan sikap (afektif) Mengetahui cara meningkatkan pendapatan tanpa harus masuk(merusak) ke dalam kawasan Mengetahui potensi yang dimiliki untuk dikembangkan Mengetahui cara mengembangkan potensi agar mermanfaat Mengetahui sarana prasarana yang diperlukan bagi pengembangan usaha Mengetahui bagaimana cara memperoleh modal yang diperlukan bagi pengembangan usaha Mengetahui teknologi tepat guna yang dapat diterapkan dalam pengembangan usaha Mengetahui cara mengembangkan jaringan kerja dan pemasaran Mengetahui cara untuk meningkatkan mutu/daya saing Kesadaran untuk mengolah lahan secara optimal tanpa melakukan perambahan atau kegiatan lain dalam kawasan Kesadaran terhadap pentingnya mengenali dan menggali potensi untuk dikembangkan Kesadaran terhadap pentingnya mencari cara untuk mengembangkan potensi Kesadaran terhadap pentingnya sarana prasarana yang diperlukan bagi pengembangan usaha 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik

73 51 Tabel 7 Sub variabel, indikator, pengukuran dan skala variabel kemandirian (lanjutan) Sub Variabel Indikator Pengukuran Skala Kesadaran terhadap pentingnya modal yang diperlukan bagi pengembangan usaha Kesadaran tentang pentingnya menerapkan teknologi tepat guna untuk meningkatkan produktifitas Kesadaran tentang pentingnya mengembangkan jaringan kerja dan pemasaran untuk meningkatkan produktifitas 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik Kesadaran akan pentingnya meningkatkan mutu/daya saing 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik Aspek tindakan/ keterampilan (psikomotorik) Kemampuan dalam meningkatkan pendapatan tanpa merusak kawasan TN 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik Kemampuan mengenali/mengali potensi yang dimiliki untuk dikembangkan Kemampuan mengembangkan potensi agar bermanfaat 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik Kemampuan dalam mengupayakan ketersediaan sarana parsarana bagi pengembangan usaha 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik Kemampuan dalam mengupayakan modal bagi pengembangan usaha 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik Kemampuan dalam menerapkan teknologi tepat guna 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik Kemampuan dalam mengembangkan jaringan kerja 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik Kemampuan meningkatkan mutu/daya saing 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik

74 52 Tabel 7 Sub variabel, indikator, pengukuran dan skala variabel kemandirian (lanjutan) Sub Variabel Indikator Pengukuran Skala (3). Kemandirian dalam bidang sosial budaya Aspek pengetahuan (kognitif) Aspek persepsi dan sikap (afektif) Mengetahui cara mengembangkan kapasitas/kemampuan Mengetahui adanya aturanaturan berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat Mengetahui tentang kerjasama, pengembangan kelompok dan kelembagaan dalam pemberdayaan Mengetahui pentingnya beradaptasi terhadap perubahan lingkungan Kesadaran akan pentingnya upaya mengembangkan kapasitas diri Kesadaran akan pentingnya mematuhi aturanaturan 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik Kesadaran akan pentingnya bekerjasama dan mengembangkan kelompok 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik Kesadaran pentingnya beradaptasi terhadap perubahan lingkungan 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik Aspek tindakan/ keterampilan (psikomotorik) Kemampuan melakukan upaya untuk pengembangan kapasitas diri 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik Mampu mematuhi aturanaturan 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik Mampu bekerja dalam kelompok Mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik 1. Sangat kurang 2. Kurang 3. Baik 4. Sangat baik

75 53 Kisikisi instrumen Instrumen penelitian berupa kuesioner terdiri dari 96 pertanyaan dengan rincian, 13 (tiga belas) pertanyaaan untuk kerakteristik individu; 27 (dua puluh tujuh) pertanyaan untuk faktor pendekatan pemberdayaan; 4 (empat) pertanyaan untuk partisipasi masyarakat; dan kemandirian 52 (lima puluh dua) pertanyaan. Kisikisi Instrumen secara rinci diuraikan dalam Lampiran 4. Uji Instrumen Untuk memperoleh hasil penelitian yang valid dan reliabel diperlukan instrumen yang valid dan reliabel pula. Instrumen yang valid berarti instrumen tersebut dapat digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya diukur, dan reliabel bila terdapat kesamaan data dalam waktu yang berbeda. Instrumen yang valid harus mempunyai validitas internal dan eksternal (Sugiyono 2011). Validitas internal merupakan kesahihan penelitian apabila kreiteria dalam instrumen secara teoritis mencerminkan apa yang akan diukur. Sedangkan validitas eksternal merupakan kesahihan penelitian apabila terdapat kesesuaian antara kriteria yang ada pada instrumen dengan faktafakta di lapangan. Hal ini berarti instrumen yang valid harus dikembangkan berdasarkan teori yang mendukung dan fakta empiris di lapangan. Instrumen dalam penelitian ini diuji validitasnya melalui validitas internal dan eksternal. Pengujian tersebut dilakukan melalui langkahlangkah sebagai berikut: (a) definisi operasional variabel yang akan diukur; (b) studi literatur (pustaka) sebagai referensi (acuan); (c) konsultasi dengan pembimbing (ahli); (d) uji coba instrumen di lapangan; (e) mempersiapkan format tabulasi jawaban; (f) menghitung korelasi menggunakan pendekatan korelasi itemtotal dikoreksi (corrected itemtotal correlation). Model pengujian dengan pendekatan korelasi itemtotal dikoreksi digunakan untuk menghilangkan spurious overlap, yaitu adanya tumpang tindih atau pengaruh kontribusi masingmasing skor item terhadap skor total. Untuk menghilangkan efek spiruous overlap tersebut maka koefisien korelasi itemtotal dikoreksi dengan nilai simpangan baku (standard deviation) skor item dengan skor total (Kusnendi, 2008). Untuk menentukan apakah sebuah item dinyatakan valid atau tidak maka para ahli menetapkan besaran koefisien korelasi item total dikoreksi sebesar 0,25 atau 0,30 sebagai batas minimal valid tidaknya sebuah ítem hal ini berarti apabila nilai koefisien korelasi sama atau lebih besar dari 0,25 atau 0,30 mengindikasikan item tersebut memiliki validitas yang memadai (Kusnendi 2008). Reliabilitas diuji menggunakan metode cronbach alpha dengan rumus: α = n n 1 Vi [ 1 ] Vt Keterangan: α : Koefisien cronbach alpha n : Jumlah item Vi : Varians skor tiaptiap item Vi : Jumlah varians skor tiaptiap item Vt : Varians total

76 54 Alat ukur dinilai cukup reliabel apabila nilai koefisien cronbach alpha (α) lebih besar dari kisaran Menurut Babbie (1989), suatu instrumen dianggap cukup reliabel apabila nilai koefisien alpha 0.6. dengan ukuran kemantapan sebagai berikut: (a). Nilai koefisien alpha berarti kurang reliabel (b). Nilai koefisien alpha berarti agak reliabel (c). Nilai koefisien alpha berarti cukup reliabel (d). Nilai koefisien alpha berarti reliabel (e). Nilai koefisien alpha berarti sangat reliabel Berdasarkan uji instrumen, diperoleh koefisien cronbach alpha (α) untuk uji reliabilitas dan korelasi itemtotal dikoreksi untuk uji validitas sebagai berikut: Tabel 8 Hasil uji instrumen penelitian Variabel bebas (x) Variabel 1. Karakteristik demografis dan sosial 2. Interaksi dan akses terhadap TNBBS 3. Pendekatan pemberdayaan Jumlah item Skala ordinal Uji reliabilitas (Croanbach Alpha) Ket Sangat reliabe l Uji validitas (corrected itemtotal correlation) Ket Valid Variabel tidak bebas (y) 1. Partisipasi 2. Kemandirian Sangat reliabe l Valid Berdasarkan uji reliabilitas, instrumen penelitian termasuk dalam kategori sangat reliabel. Dengan demikian instrumen dapat dikatakan memiliki konsistensi terhadap respon atau pengukuran pada fenomena yang sama. Sedangkan pada uji validitas, pada umumnya semua item instrumen valid pada koefisien korelasi item total dikoreksi lebih besar dari koefisien korelasi minimum (0,25). Hal ini berarti bahwa instrumen dapat mengukur apa yang akan diukur. Teknik Pengumpulan Data Pengumpulan data adalah suatu proses pengadaan data untuk keperluan penelitian (Nazir 2009). Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam mencapai tujuan penelitian atau menguji hipotesis yang telah dirumuskan. Data yang dikumpulkan harus cukup valid dan reliabel, sehingga diperlukan kecermatan dalam memilih teknik yang tepat.

77 55 Dalam penelitian ini, data di peroleh melalui pengamatan di lapangan (observasi), kuesioner, wawancara serta dokumentasi. Pengamatan dilakukan untuk memperoleh data secara langsung terhadap obyek penelitian. Kuesioner dilakukan dengan mengajukan pertanyaan tertulis kepada sejumlah masyarakat sebagai responden. Sebagian besar kuesioner menggunakan kuesioner tertutup (telah disediakan alternatifalternatif jawabannya), dimana pertanyaan diarahkan untuk mengetahui karakteristik individu, pendekatan pemberdayaan, partisipasi dan kemandirian masyarakat. Wawancara dilakukan untuk mendukung data penelitian. Wawancara dilakukan terhadap masyarakat, pihak pengelola TNBBS, penyuluh, serta pihakpihak terkait lainnya. Dokumentasi dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pencatatan dan pengumpulan dokumen yang sudah ada tentang gambaran umum kawasan TNBBS, data desa dan data terkait yang mendukung penelitian. Analisis Data Pengolahan dan analisis data merupakan bagian sangat penting dalam penelitian karena data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah dan bermanfaat untuk menguji hipotesis (Nazir 2009). Analisis data dilakukan secara kuantitatif dengan statistik deskriptif dan inferensial. Statistik deskriptif digunakan untuk mengetahui karakteristik individu, pendekatan pemberdayaan dan efektifitas pemberdayaan MDK di TNBBS. Data hasil penelitian dianalisis untuk memperoleh hubungan berbagai variabel yang diteliti, dan memberikan penjelasan secara kualitatif sebagai pendukung. Data yang diperoleh dari kuesioner dikelompokkan menurut variabel yang telah ditentukan, menggunakan skoring dan pengkategorian. Analisis yang dilakukan adalah: (1) Memberikan skor pada setiap data dan kemudian di tabulasi; (2) Menggolongkan, menghitung jawaban dan memprosentasekan berdasarkan kategori jawaban. Skor yang digunakan adalah skala Likert. Skala Likert yang digunakan terdiri dari 4 (empat) tingkat yang merupakan gradasi dari sangat rendah/jelek sampai sangat tinggi/baik. Kemudian data diolah menggunakan tabulasi distribusi frekuensi dan kemudian dianalisis. Untuk mengetahui perbedaan nilai ratarata dua populasi yang mewakili lokasi penelitian, yaitu Pekon Sukaraja dan Pekon Kubu Perahu, digunakan uji nonparametrik yaitu uji beda MannWhitney. Untuk mengetahui hubungan antar variabel digunakan analisis korelasi Rank Spearman. Uji ini digunakan untuk mengetahui hubungan masingmasing variabel dengan rumus/persamaan: r s = 1 N 6 Σ di 2 i =1 n (n 2 1) Keterangan: r s = Koefisien korelasi spearman d i = Selisih antar jenjang n = Banyaknya sampel

78 56 Koefesien korelasi merupakan pengukuran statistik kovarian atau asosiasi antara dua variabel. Besarnya koefisien korelasi berkisar antara +1 sampai dengan 1, yang berarti koefisien korelasi dapat bernilai positif dan dapat pula negatif. Koefesien korelasi menunjukkan kekuatan hubungan linear dan arah hubungan dua variabel. Jika koefesien korelasi positif, maka kedua variabel mempunyai hubungan searah. Artinya jika nilai variabel X tinggi, maka nilai variabel Y akan tinggi pula. Sebaliknya, jika koefesien korelasi negatif, maka kedua variabel mempunyai hubungan terbalik. Artinya jika nilai variabel X tinggi, maka nilai variabel Y akan menjadi rendah (dan sebaliknya). Interpretasi mengenai kekuatan hubungan antara dua variabel (De Vaus 2002) adalah sebagai berikut: (a). 0 : Tidak ada korelasi antara dua variabel (b). 0,01 0,09 : Korelasi kurang berarti (sangat lemah) (c). 0,10 0,29 : Korelasi lemah (d). 0,30 0,49 : Korelasi cukup (moderat) (e). 0,50 0,69 : Korelasi kuat (f). 0,70 0,89 : Korelasi sangat kuat (g) : Korelasi mendekati sempurna Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan perangkat statistik Statistical Product and Service Solutions (SPSS) versi 20.0.

79 57 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum Lokasi Penelitian Taman Nasional Bulit Barisan Selatan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) merupakan salah satu taman nasional yang memiliki keanekaragaman ekosistem serta flora dan fauna yang tinggi. Taman nasional ini melindungi berbagai tipe ekosistem, mulai ekosistem pegunungan sampai ekosistem laut. Setiap tipe ekosistem merupakan habitat berbagai flora dan fauna yang beberapa diantaranya merupakan flora dan fauna khas dan atau langka. Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) pada awalnya ditetapkan tahun 1935 sebagai Kawasan Suaka Marga Satwa, melalui Besluit Van der GouvernourGeneral Van Nederlandsch Indie No 48 stbl. 1935, dengan nama SS I (Sumatra Selatan I). Selanjutnya, pada 1 April 1979 kawasan Bukit Barisan Selatan memperoleh status sebagai Kawasan Pelestarian Alam. Pada tanggal 14 Oktober 1982 status kawasan ini dikukuhkan sebagai Taman Nasional melalui Surat Pernyataan Menteri Pertanian No. 736/Mentan/X/1982. Kemudian pada tahun 1997 melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 185/KptsII/1997 tanggal 31 Maret 1997, dengan nama Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (BTNBBS 2010). Kawasan TNBBS terletak di ujung Selatan dari rangkaian pegunungan Bukit Barisan yang membujur sepanjang Pulau Sumatera. TNBBS memiliki topografi yang cukup bervariasi yaitu mulai datar, landai, bergelombang, berbukit, curam dan bergunung dengan ketinggian berkisar antara m dpl. Bagian lereng di sebelah Timur dan Utara cukup curam dan semakin landai pada bagian Selatan dan Barat ke arah Samudera Hindia. Secara geografis Kawasan Taman Nasional Bukit Barisan (TNBBS) terletak pada o 57 LS dan 103 o o 44 BT, meliputi areal seluas ± hektar (BTNBBS 2010). Kawasan ini membentang dari ujung Selatan Bagian Barat Provinsi Lampung hingga wilayah Provinsi Bengkulu bagian Selatan. Berdasarkan administrasi pemerintahan, kawasan TNBBS termasuk ke dalam provinsi Lampung yaitu di Kabupaten Lampung Barat dan Kabupaten Tangamus, serta Provinsi Bengkulu yaitu di Kabupaten Kaur. Berikut adalah tabel luasan kawasan TNBBS di dua provinsi tersebut: Provinsi Tabel 9 Distribusi luas kawasan TNBBS Kabupaten Luas (ha) Persentase Terhadap Luas Total Kawasan (persen) Lampung 1. Tanggamus ,02 2. Lampung Barat ,38 Bengkulu 3. Bengkulu Selatan ,60 Sumber: BTNBBS (2011)

80 58 Kawasan TNBBS dikelompokkan menjadi dua zona iklim. Bagian Barat Taman Nasional mempunyai curah hujan antara per tahun dan bagian Timur Taman Nasional antara mm per tahun dengan suhu berkisar 20 o 28 o C. Berdasarkan klasifikasi Schmidt dan Ferguson, bagian Barat Kawasan TNBBS termasuk tipe iklim A (basah) dengan lebih dari 9 (sembilan) bulan basah per tahun dan di bagian timur termasuk tipe iklim B yang lebih kering dari tipe A dan mempunyai 7 (tujuh) bulan basah per tahun. Curah hujan ratarata per tahun mm per tahun di bagian Barat dan mm per tahun di bagian Timur, dengan suhu berkisar 20 o 28 o C (BTNBBS 2010). Kawasan TNBBS memiliki banyak fungsi, antara lain, sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Kawasan TNBBS memiliki nilai manfaat ekonomi, sosial, budaya, dan estetika, baik dirasakan secara langsung maupun tidak. Secara hidrologi, merupakan bagian hulu dari sungaisungai yang mengalir ke daerah permukiman dan pertanian di daerah hilir sehingga berperan sangat penting sebagai daerah tangkapan air (catchment area) dan melindungi sistem tata air. Kawasan TNBBS merupakan daerah tangkapan air dan pelindung sistem tata air di dua provinsi (Lampung dan Bengkulu). Kawasan TNBBS merupakan bagian hulu sungaisungai yang mengalir ke daerah pemukiman dan pertanian di daerah hilir sehingga berperan sangat penting sebagai daerah tangkapan air (catchment area) dan melindungi sistem tata air (hidroorologis). Sebagian besar dari sungaisungai yang ada mengalir ke arah Barat Daya dan bermuara di Samudera Indonesia sementara sebagian lagi bermuara ke Teluk Semangka. Sungaisungai yang mengalir di bagian Utara taman nasional terdiri dari Air Nasal Kiri, Air Sambat, Air Nasal Kanan, Way Menula, Way Simpang dan Way Laai. Sungaisungai yang mengalir di bagian Tengah taman nasional terdiri dari Way Tenumbang, Way Biha, Way Marang, Way Ngambur Bunuk, Way Tembuli, Way Ngaras, Way Pintau, Way Pemerihan, Way Semong, dan Way Semangka. Sementara di bagian Selatan taman nasional mengalir Way Canguk, Way Sanga, Way Menanga Kiri, Way Menanga Kanan, Way Paya, Way Kejadian, Way Sulaeman dan Way Blambangan. Di bagian ujung Selatan taman nasional terdapat danau yang dipisahkan hanya oleh pasir pantai selebar puluhan meter yaitu Danau Menjukut (150 ha). Di bagian Tengah yaitu di daerah Suoh terdapat 4 (empat) buah danau yang letaknya berdekatan yaitu Danau Asam (160 ha), Danau Lebar (60 ha), Danau Minyak (10 ha), dan Danau Belibis (3 ha). Sementara bagian Tenggara, selatan dan Barat taman nasional dikelilingi oleh lautan yaitu perairan Teluk Semangka, Tanjung Cina dan Samudera Indonesia. TNBBS tersusun atas berbagai tipe ekosistem yang lengkap mulai ekosistem rawa, estuari, hutan pantai, hutan hujan dataran rendah, hutan hujan bukit, hutan hujan pegunungan bawah dan hutan hujan pegunungan tinggi. Hutan hujan dataran rendah (0 500 m dpl) seluas ±44,04 persen ( ha) dari luasan total kawasan, hutan hujan bukit ( mdpl) ±34.34 persen ( ha). Sementara itu hutan hujan pegunungan dengan ketinggian di atas 1000 mdpl yang terdiri dari hutan hujan pegunungan bawah ±20.20 persen ( ha), dimana ±3 persen ( ha) merupakan hutan hujan pegunungan tinggi. Hutan hujan rawa dan atau perairan seluas 1,42 persen luas total kawasan (BTNBBS

81 2011). Dari keseluruhan tipe ekosistem tersebut, hutan hujan tropis dataran rendah merupakan tipe ekosistem terbesar, memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan semakin terancam kelestariannya akibat berbagai aktivitas manusia. Selain itu dari Tanjung Cina sampai Way Pemerihan merupakan satusatunya ekosistem hutan pantai yang kering yang terdapat di kawasan konservasi di Sumatera. Hutan hujan dataran rendah didominasi oleh Shorea sp., Dipterocarpus sp., dan Hopea sp. dengan jenis tumbuhan bawah diantaranya Urophyllum sp., Phrynium sp., Korthalsi sp., Calamus sp., Famili pohon yang dominan pada hutan hujan bukit adalah dipterocarpaceae, lauraceae, myrtaceae, dan annonaceae dengan tumbuhan bawah diantaranya Neolitsea cassianeforia, Psychotria rhinocerotis, Areaca sp., dan Globba pendella. Sedangkan vegetasi yang umum dijumpai di lahan basah dan pesisir adalah Terminalia cattapa, Hibiscus sp., Baringtonia asiatica, Callophyllum inophyllum, Casuarina sp., Pandanus sp., Ficus septica.spesies pohon dari famili lauraceae, myrtaceae, dipterocarpaceae dan fagaceae khususnya Magnolia sp., Quercus sp., Garcinia sp., hidup di hutan hujan pegunungan bawah sementara Eugenia sp., dan Castanopsis sp dominan di hutan hujan pegunungan tinggi (BTNBBS 2010). Secara umum telah teridentifikasi paling sedikit 514 jenis pohon dan tumbuhan bawah, 128 jenis anggrek, 26 jenis rotan, dan 25 jenis bambu, 137 jenis tanaman obat, dan 2 jenis tumbuhan langka yang hidup di kawasan TNBBS (BTNBBS 2011). Jenis pohon dan tumbuhan bawah didominasi oleh dari famili lauraceae, myrtaceae, dipterocarpaceae dan fagaceae, annonaceae, rosaceae, zingibberaceae. Jenisjenis rumput laut (sea weed) ditemukan di Pesisir Selatan Sumatera diantaranya Sargassym gracillum, Acnthopora specifesa, Hypnea musciformis, Sargassum echinocarpum dan Turbinaria ornate sementara jenis Thallasis sp hidup di sepanjang Teluk Belimbing. Kawasan TNBBS juga merupakan habitat penting bagi berbagai jenis tumbuhan yang memiliki nilai pemanfaatan tradisional seperti jenisjenis penghasil getah diantaranya Damar Mata Kucing (Shorea javanicia), Damar Batu (Shorea ovalis) dan Jelutung (Dyera sp). Selain itu kawasan TNBBS juga merupakan habitat bagi jenisjenis tumbuhan berbunga unik dan langka yang menjadi ciri khas taman nasional yaitu Bunga Rafflesia (Rafflesia sp) dan 2 jenis bunga bangkai yaitu bunga bangkai jangkung (Amorphophallus decussilvae), bunga bangkai raksasa (Amorphophallus titanum) dan anggrek raksasa (Grammatophylum speciosum). Kawasan TNBBS memiliki nilai penting bagi upaya konservasi beberapa satwa langka dan terancam punah. Secara umum telah teridentifikasi 122 jenis mamalia termasuk 7 jenis primata, 450 jenis burung termasuk 9 jenis burung rangkong, 123 jenis herpetofauna (reptil dan amphibi), 53 jenis ikan dan 221 jenis serangga. Terdapat 15 jenis satwa yang termasuk dalam appendix 1 menurut CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora), yang berarti jenis satwa tersebut dilarang dari segala bentuk perdagangan internasional (BTNBBS 2011). Tercatat 6 jenis binatang mamalia terancam punah menurut Red Data Book IUCN (International Union for Conservation of Nature), yaitu Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus), Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), Tapir (Tapirus indicus), Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrensis), Beruang Madu (Helarctos malayanus), 59

82 60 dan Ajag (Cuon alpinus). Hal inilah yang menjadikan TNBBS ditetapkan sebagai kawasan prioritas utama konservasi satwa langka tersebut. Di kawasan TNBBS diperkirakan sedikitnya terdapat ekor gajah terdiri dari beberapa kelompok tersebar masingmasing di sekitar Sekincau, Lemong, Bengkunat, Sumberejo, Pemerihan, Way Haru, Belimbing, Tampang, Way Nipah, dan Sukaraja. Sedangkan Badak Sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) pada mulanya tersebar di seluruh Pulau Sumatera, namun karena fragmentasi hutan maka habitatnya terpisah dalam kantongkantong diantaranya adalah kawasan TNBBS. Di kawasan TNBBS diperkirakan populasi badak ekor. Penyebarannya terdapat di bagian Tengah Selatan kawasan TNBBS yaitu mulai dari Marang sampai Belimbing. Jenis fauna lain di TNBBS adalah Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrensis) yang merupakan salah satu jenis mamalia langka yang memiliki daya jelajah paling luas dibandingkan mamalia lainnya. Populasi satwa di kawasan TNBBS diperkirakan 4560 ekor. Kerbau Liar (Bubalus bubalus) terdapat di bagian selatan kawasan TNBBS di Belimbing (Blambangan dan Way Sleman), Kalong (Pteuropus vampyrus) banyak ditemukan di sepanjang Muara Way Sleman. Sedangkan jenis kelelawar kecil menempati bagianbagian Gua Way Paya dan Way Nenok. Beberapa jenis penyu yang juga langka antara lain Penyu Sisik, Penyu Hijau dan Penyu Blimbing dapat dijumpai antara Danau Menjukut, Blambangan, Penerusan. Satwa penting lainnya adalah Kambing Hutan, Rusa, dan Kelinci Sumatera (BTNBBS 2010). Di kawasan TNBBS terdapat 7 (tujuh) jenis primata yaitu Siamang (Symphalangus syndactylus), Owa (Hylobates agilis), Lutung (Presbytis cristata dan Presbytis melalophos), Beruk (Macaca nemestrina), Kera (Macaca fascicularis), dan Binatang Hantu (Tarsius bancanus). Jenis burung yang terdapat di TNBBS antaralain Kuau Kerdil Sumatera (Polyplectron chalcurum), Pita Raksasa (Pitta caeurella) dan Tokhtor Sumatera (Carposossyx viridis). Jenis burung Tokhtor Sumatera dilaporkan tidak pernah lagi ditemukan sejak tahun 1916 namun ditemukan di TNBBS (BTNBBS 2010). Dalam pengelolaan taman nasional, sebagaimana definisi dan fungsinya, TNBBS dikelola berdasarkan zonasi yang terdiri dari zona inti ( ha), zona rimba ( ha), zona pemanfaatan (8.039 ha), dan zona penyangga yang dikembangkan berdasarkan potensi dan kepentingan konservasi sumberdaya hutan dan ekosistemnya terdiri dari zona rehabilitasi ( ha), pemanfaatan tradisional (7.242 ha), zona religi (4 ha) dan pemanfaatan khusus (142 ha) (BTNBBS 2011). Peta pembagian zona/mintakat di TNBBS dan penataan zonasi di desa lokasi pemberdayaan masyarakat MDK di Pekon Sukaraja dan Kubu Perahu sebagaimana dalam Lampiran 5 6. Masyarakat di sekitar kawasan TNBBS Masyarakat di sekitar kawasan merupakan potensi penting sebagai pelaku utama dalam menjaga kelestarian TNBBS. Keterlibatan masyarakat tersebut sangat mungkin untuk dikembangkan mengingat merekalah yang akan merasakan dampak positif dengan terjaganya kelestarian kawasan TNBBS yang berada di sekitar mereka.

83 61 Taman Nasional Bukit Barisan Selatan merupakan kawasan konservasi yang dikelilingi oleh 210 desa yang tersebar pada tiga Provinsi, yaitu Lampung, Bengkulu dan Sumatera Selatan (tabel 9). Diantara desadesa tersebut, sekitar 53 desa merupakan desa yang berbatasan langsung dengan kawasan TNBBS termasuk Sukaraja dan Kubu Perahu. Bagi wilayah sekitar ini, kawasan TNBBS memiliki nilai penting dan strategis tidak hanya secara ekonomi, ekologi, tetapi juga sosial budaya (BTNBBS 2010). Tabel 10 Desa di Sekitar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Provinsi Kabupaten Jumlah Desa Jumlah Penduduk (jiwa) Lampung a. Lampung Barat b. Tanggamus Bengkulu Kaur Sumatera Selatan Ogan Komering Ulu Jumlah Total Sumber: BTNBBS (2011) Banyaknya desa di sekitar kawasan TNBBS berimplikasi pada banyaknya batas buatan antara kawasan dengan desadesa di sekitarnya tersebut. Total panjang batas kawasan baik alam maupun buatan adalah +893,39 km. dari total batas tersebut, +797,95 km atau hampir 90 persen adalah batas buatan. Jumlah penduduk yang bermukim di sekitar kawasan TNBBS adalah jiwa (BTNBBS, 2011). Berdasarkan hasil kajian BPS Tahun 2007 sebagaimana diacu dalam BTNBBS (2010) jumlah penduduk miskin yang berada di kecamatan kecamatan tersebut berjumlah KK (69,18 persen). Sebagian besar masyarakat ini bermata pencaharian sebagai petani (BTNBBS 2010). Disamping masyarakat asli, masyarakat yang berada di sekitar TNBBS merupakan sekumpulan sukusuku (Sunda, Jawa, dan Semendo) yang mendiami beberapa wilayah di dalam dan sekitar kawasan. Pada umumnya suku Jawa dan Sunda merupakan masyarakat transmigran yang kemudian karena keterbatasan lahan garapan dan kesempatan berusaha, sebagian besar dari mereka mencari tempat baru dengan membuka hutan. Masyarakat di sekitar TNBBS tinggal di desadesa sekitar kawasan baik di daerah penyangga maupun enclave. Dalam upaya pelibatan masyarakat, salah satu kegiatan yang dilaksanakan adalah pemberdayaan masyarakat Model Desa Konservasi (MDK) yang berlokasi di Pekon Sukaraja dan Pekon Kubu Perahu. Pekon Sukaraja dan Pekon Kubu Perahu sebagai lokasi pemberdayaan Masyarakat Model Desa Konservasi (MDK) Letak wilayah Pekon Sukaraja secara administratif termasuk dalam wilayah Kecamatan Semaka Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung. Secara administratif

84 62 pengelolaan TNBBS, wilayah ini termasuk dalam Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah I Sukaraja. Secara administratif pekon Kubu Perahu termasuk dalam Kecamatan Balik Bukit, Kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung. Dalam pengelolaan taman nasional, Kubu Perahu termasuk dalam Satuan Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) II Wilayah Kubu Perahu. Sebagian besar wilayah kedua pekon baik Sukaraja maupun Kubu perahu, berbatasan langsung dengan kawasan TNBBS. Pekon Sukaraja dengan luas wilayah ± 723 ha ini terdiri dari 10 dusun yaitu dusun Sukaraja Pasar, Poncol, Way Tebing, Mojoroto, Klaten, Sukaraja, Wonorejo, Wonosari, Sumberejo dan Gunung Pete. Sebagian besar wilayah Pekon Sukaraja berbatasan langsung dengan kawasan TNBBS, sebelah Utara berbatasan dengan Pekon Sedayu; sebelah Selatan berbatasan dengan Pekon Kacapura; sebelah Timur berbatasan dengan Pekon Bangunsari; dan sebelah Barat berbatasan dengan kawasan hutan TNBBS. Pekon Kubu Perahu terdiri dari 4 (empat) dusun yakni Dusun Taman Indah, Kampung Baru dan Taman Jaya yang letaknya berdekatan dengan ibukota Kabupaten Lampung Barat di Liwa dan Dusun Kubu Perahu yang letaknya paling jauh dibandingkan dusun yang lain yaitu sekitar 7 km dari ibukota Kabupaten. Pekon Kubu Perahu terutama di sebelah barat berbatasan langsung dengan kawasan hutan TNBBS dengan topografi berbukit dan tingkat kelerengan relatif tinggi. Kubu Perahu merupakan wilayah enclave kawasan Taman Nasonal Bukit Barisan Selatan. Secara geografis, Kubu Perahu terletak di dalam kawasan taman nasional, pekon ini telah ada sebelum kawasan ditetapkan sebagai taman nasional. Sebagai wilayah enclave, Kubu Perahu dikelilingi oleh kawasan taman Nasional, sehingga hampir semua batas wilayahnya merupakan kawasan taman nasional. Ilustrasi batas antara Pekon Sukaraja dan Pekon Kubu Perahu yang berbatasan langsung dengan kawasan TNBBS sebagaimana dalam Lampiran 7. Jumlah penduduk Penduduk Pekon Sukaraja relatif homogen dalam strata sosial, budaya termasuk latar belakang pendidikan. Mayoritas penduduk beragama Islam (99,2 persen), hanya 4 KK atau 0,8 persen yang memeluk agama Katolik. Jumlah penduduk ±3431 jiwa (715 KK). Dari jumlah penduduk tersebut, penduduk laki laki berjumlah 1572 orang atau 46 persen, lebih sedikit dari jumlah penduduk perempuan yakni 1859 orang atau 54 persen. Penduduk Pekon Kubu Perahu terdiri dari jiwa yang terdiri dari 515 KK dengan kepadatan 44,6 jiwa per km2. Dari jumlah penduduk tersebut, penduduk lakilaki berjumlah 954 orang (54,2 persen). Jumlah ini sedikit lebih banyak dari jumlah penduduk perempuan yakni dan 805 orang (45,8 persen), namun secara umum dapat dikatakan dalam kondisi seimbang (BTNBBS 2010). Berdasarkan komposisi umur, penduduk Kubu Perahu termasuk dalam piramida penduduk yang ideal, dimana usia produktif ( tahun) merupakan piramida terbesar sebanyak 62,26 persen diikuti usia anakanak (0 15 tahun) sebesar 34,25 persen dan piramida puncak dengan prosentase terkecil adalah usia tua (> 60 tahun) sebesar 3,49 persen.

85 63 Etnis Pemukim Etnis pemukim Pekon Sukaraja selain penduduk asli (Lampung) yang sudah turun temurun mendiami wilayah tersebut, banyak pendatang dari berbagai wilayah seperti Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, dan Palembang. Sebagian besar masyarakat berasal dari etnis Jawa yang melakukan perpindahan ke wilayah Sumatera. Etnis Jawa mendominasi kehidupan sosial budaya masyarakat sebesar 91 persen sedangkan etnis lainnya adalah Lampung dan Palembang sebesar 9 persen. Suku Jawa mendominasi hampir di seluruh dusun sedangkan suku Lampung dan Palembang berjumlah sangat sedikit dibandingkan dengan suku Jawa sehingga umumnya mereka mengikuti budaya masyarakat mayoritas terutama bahasa seharihari yang digunakan yaitu bahasa Jawa. Komposisi penduduk Pekon Sukaraja berdasarkan etnis pemukim disajikan dalam diagram berikut: Gambar 4 Komposisi penduduk Pekon Sukaraja berdasarkan etnis pemukim Demikian pula masyarakat Pekon Kubu Perahu, selain penduduk asli yang sudah turun temurun mendiami wilayah tersebut, cukup banyak pendatang dari berbagai wilayah. Pendatang umumnya berasal dari Jawa Barat (etnis Sunda) sebesar 60 persen, sebagian berasal dari Jawa Tengah (10 persen). Sedangkan etnis asli Lampung sebanyak 20 persen dan sisanya sebesar 10 persen merupakan etnis pendatang dari Padang dan Batak. Komposisi penduduk Pekon Kubu Perahu berdasarkan etnis pemukim disajikan dalam diagram berikut: Gambar 5 Komposisi penduduk Pekon Kubu Perahu berdasarkan etnis pemukim

86 64 Berbeda dengan dusundusun lain, lokasi penelitian di Dusun Kubu Perahu mayoritas penduduk adalah etnis asli Lampung, sedangkan di dusun lainnya didominasi oleh pendatang. Potensi Pekon Pekon Sukaraja merupakan daerah penyangga yang berbatasan langsung dengan kawasan TNBBS. Kondisi demikian menjadikan Pekon Sukaraja merupakan daerah strategis sebagai penyangga kelestarian kawasan. Kawasan Sukaraja Atas merupakan bagian hulu sungai Pemerihan. Demikian pula dengan Pekon kubu perahu, pekon ini sangat strategis sebagai model desa konservasi. Potensi Pekon Sukaraja dan Kubu Perahu sebagaimana dalam Tabel berikut: Tabel 11 Potensi Pekon Sukaraja dan Pekon Kubu Perahu sebagai lokasi pemberdayaan MDK Jenis Potensi Sukaraja Kubu Perahu Lanskap Lanskap berbukit, daerah Lanskap pegunungan rendah, daerah pertanian dan permukiman. pertanian, pemukiman Tipe ekosistem Hutan Hujan Bukit yang relatif masih asli, habitat penting bagi jenisjenis tumbuhan unik dan langka Jenis vegetasi (flora) Terdapat jenis langka dan dilindungi yaitu Bunga Rafflesia (Rafllesia sp), Bunga Bangkai (Amorphophallus sp) Jenis fauna Wisata Terdapat jenis fauna langka dan dilindungi yaitu Harimau dan Badak Sumatera Pemandangan perairan Teluk Semangka, sungai dan hutan. Wilayah ini sangat potensial bagi wisata alam, berkemah, foto hunting, pengamatan flora dan fauna. Di Sukaraja Atas, terdapat beberapa obyek ekowisata yaitu air terjun bumi perkemahan, sarana outbound, dan pengembangan museum ekowisata (arboretum flora dan fauna) Hasil hutan non kayu Bambu, madu Bambu, air, anggrek Hutan hujan pegunungan tengah yang relatif masih asli. Merupakan habitat penting bagi berbagai jenis anggrek alam dan berbagai jenis burung. Terdapat sedikitnya 59 jenis anggrek alam. Dua di antaranya merupakan jenis yang dilindungi, yaitu Anggrek Hitam (Gramatophlum sp) dan Anggrek Bulan Sumatera (Phalaenopsis sumatranus). Terdapat sedikitnya 136 jenis burung, seperti Rangkong (Buceros sp) dan Kuau (Argusianus argus). Terdapat sedikitnya 49 jenis mamalia, diantaranya siamang (Hylobates syndactyllus), owa (Hylobates agilis) dan simpai (Presbytis melalophos) dan mamalia besar, seperti beruang madu (Helarctos malayanus), gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus). Pemandangan indah strata tajuk hutan hujan pegunungan yang masih asli, hawa sejuk dan segar, juga penjelajahan hutan, pengamatan flora dan fauna, foto hunting, berkemah, memancing, dan rekreasi air terjun yaitu Sepapa Kanan (20 m) dan Sepapa Kiri (60 m). Di Kubu Perahu, mengalir sebuah sungai utama, yaitu Way Sindalapai dengan ratusan anak sungai. Sungaisungai mengalir relatif stabil karena didukung banyaknya flora penutup tanah dan belum terganggunya air tanah dangkal sebagai sumber mata air.

87 65 Sebagai wilayah yang berbatasan langsung dengan kawasan TNBBS, masyarakat Sukaraja memiliki hubungan erat dengan TNBBS, demikian pula dengan Kubu Perahu. Hasil kuesioner dan observasi lapangan baik di Sukaraja maupun di Kubu Perahu menunjukkan bahwa kebutuhan air untuk pertanian dan keperluan lainnya tergantung pada kondisi kawasan TNBBS di daerah hulu. Bahkan di Sukaraja, sebagian masyarakat yang berada di wilayah hulu (Wonorejo dan Wonosari) pada saatsaat tertentu sangat kesulitan air sehingga mereka masuk kawasan TNBBS untuk mencari sumbersumber air. Potensi hasil hutan non kayu di Sukaraja adalah bambu. Namun untuk kebutuhan kayu lokal belum terpenuhi sehingga upaya mengembangkan tanaman kayu di lahan masyarakat sangat perlu dilakukan sebagai upaya mengurangi gangguan terhadap kawasan. Selain itu, sebelum adanya kegiatan pemberdayaan, masyarakat melakukan kegiatan berburu, mengambil damar dan rotan dari kawasan untuk dijual pada penampung. Selain itu mereka juga melakukan aktivitas perambahan sebagai upaya memperluas lahan garapan untuk ditanami komoditas pertanian/perkebunan. Belum adanya fasilitas penerangan (listrik) juga merupakan permasalahan utama masyarakat di Sukaraja. Berdasarkan tata guna lahan, penggunaan lahan di Pekon Kubu Perahu adalah untuk tanaman pangan dengan menggunakan pengairan yang berasal dari dalam kawasan. Lahan pertanian tersebut ada hanya dapat dijumpai di dusun Kubu Perahu yang merupakan enclave. Selain digunakan untuk pertanian, lahan tersebut digunakan pula untuk kegiatan perikanan. Meskipun terdapat keterbatasan lahan di Pekon Kubu Perahu khususnya di dusun Kubu Perahu, namun terdapat potensi belum dioptimalkan pemanfataannya yaitu ketersediaan air sebagai unsur penting dalam kegiatan pertanian, perkebunan, dan perikanan sangat melimpah dari kawasan TNBBS. Potensi lain yang dimiliki oleh Pekon Kubu Perahu adalah potensi sumberdaya alam berupa kekayaan tanaman hias seperti beragam jenis anggrek. Masyarakat Pekon Kubu dapat mengembangkan budidaya tanaman hias dalam hal ini anggrek yang merupakan tanaman hias yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Pendidikan dan mata pencaharian Pada umumnya, tingkat pendidikan masyarakat masih relatif rendah. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat pendidikan masyarakat Pekon Sukaraja yang didominasi oleh lulusan Sekolah Dasar bahkan banyak juga yang tidak tamat sekolah/tidak mengenal sekolah sama sekali. Namun meski tingkat pendidikan relatif rendah, masyarakat Pekon Sukaraja tetap mengupayakan anakanak mereka mendapat pendidikan yang lebih tinggi. Pada umumnya, mata pencaharian utama warga Sukaraja (lebih dari 90 persen) adalah petani/berkebun, sebagian kecil wiraswasta termasuk jasa (bengkel, penggilingan padi, buruh bangunan), pedagang dan pegawai. Usaha lain yang dilakukan oleh penduduk Pekon Sukaraja sebagai altematif mata pencaharian adalah menjadi buruh/tenaga harian dan beternak. Pada musim paceklik, masyarakat yang ratarata menggantungkan hidup dari sektor pertanian, memilih untuk menjadi buruh sebagai mata pencaharian baik buruh di tempat orang yang lebih mampu/mempunyai lahan banyak, buruh bangunan maupun buruh memetik buahbuahan (kelapa, pisang, dan

88 66 sebagainya) serta sebagian menjual hewan ternak yang mereka miliki. Dengan demikian pendapatan utama yang diperoleh adalah dan hasil pertanian/perkebunan dengan komoditas tanaman padi, kopi dan kakao. Mata pencaharian utama warga Kubu sebagian besar adalah petani penggarap dan pemecah batu. Hal ini dilatarbelakangi karena keterbatasan lahan yang ada dipekon tersebut bagi kegiatan pertanian/perkebunan. Mata pencaharian penduduk pada Pekon Kubu Perahu adalah buruh tani, petani, budidaya ikan, buruh batu, dan hanya sebagian kecil yang berdagang (rumah makan dan warung). Sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa kepemilikan lahan yang luas akan berdampak pada meningkatnya produksi/hasil. Hal ini berimplikasi pada terjadinya perambahan kawasan sebagai upaya untuk memperluas lahan garapan. Masyarakat menggunakan lahan perambahan untuk bercocok tanam padi, sayuran maupun berkebun kopi dan atau coklat. Untuk kebutuhan kayu lokal, masyarakat juga masih mengambil dari kawasan. Ketika menghadapi tuntutan kebutuhan misalnya pendaftaran sekolah, hari raya, keperluan lainnya, masyarakat cenderung mengambil jalan pintas, biasanya mengambil burung maupun kayu dari kawasan untuk dijual. Kegiatan perambahan dan ilegal lainnya yang dilakukan masyarakat tentunya akan mengancam keberadaan TNBBS sebagai kawasan konservasi. Kegiatan MDK diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga kawasan dan mengubah pandangan dan perilaku masyarakat yang memperluas lahan dengan cara merambah agar lebih mengembangkan potensi lokal untuk menambah penghasilan. Sarana Prasarana Sarana prasarana umum yang ada di pekon Sukaraja yaitu 1 unit Balai Pekon dalam kondisi rusak berat, 1 unit pasar, 1 unit lapangan, 4 lokasi Tempat Pemakaman Umum (TPU). Sarana lainnya yaitu 5 tugu batas pekon, 1 tugu PKK, sarana kesehatan (1 unit puskesmas induk dan 1 unit puskesmas pembantu), sarana pendidikan (1 unit Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan 3 unit Sekolah Dasar), tempat ibadah berupa 5 unit masjid dan 5 unit musholla, sarana keamanan (15 unit gardu siskamling), sarana kebersihan berupa 1 unit mesin penyedot air, 20 unit goronggorong dan 1 unit instalasi air bersih serta sarana transportasi yang meliputi jalan aspal sepanjang 7 km, jalan onderlag sepanjang 1,5 km, jalan tanah sepanjang 6 km serta jembatan beton sebanyak 4 buah. Sedangkan di Pekon Kubu Perahu, sarana prasarana meliputi jalan lintas barat Sumatera dalam kondisi relatif baik, masjid, musholla, bangunan SD, Balai pekon, jaringan listrik, posyandu, sarana air bersih serta puskesmas keliling. Dibandingkan dengan Pekon Sukaraja, meskipun fasilitas di Kubu Perahu juga terbatas, namun karena kedekatan dengan pusat kota kabupaten (lampung Barat), maka akses terhadap fasilitas sarana prasarana relatif lebih mudah. Aksesibilitas Jalan darat sebagai sarana aksesibilitas di beberapa dusun di Pekon Sukaraja kondisinya sangat memprihatinkan terutama di Dusun Wonosari, Wonorejo dan Sumberejo. Selain cukup jauh dari pusat pekon, dusundusun

89 67 tersebut berbatasan langsung dengan kawasan TNBBS dengan topografi berbukit dan tingkat kelerengan yang lebih tinggi. Karena topografinya yang cukup terjal dan berada di dataran tinggi, masyarakat setempat sering menyebut dusun tersebut sebagai daerah Sukaraja Atas. Untuk mencapai lokasi Pekon Sukaraja Kecamatan Semaka Kabupaten Tanggamus, dapat dilakukan dengan jalur sebagai berikut: Dari ibukota provinsi Lampung, menuju ibukota kabupaten Tanggamus (Kotaagung) dapat ditempuh dengan menggunakan bus/angkutan umum selama kurang lebih 2,5 jam dengan kondisi jalan aspal. Dari Kotaagung menuju pusat Pekon Sukaraja menggunakan angkutan umum dapat ditempuh sekitar 1 jam. Berbeda dengan Pekon Sukaraja, Kubu Perahu relatif dekat dengan Ibu Kota Kabupaten Lampung Barat (Liwa). Karena letak yang cukup strategis berada dekat dengan ibukota Kabupaten, sarana dan prasarana perekonomian seperti pasar, transportasi, sarana telekomunikasi, bank dan sebagainya dapat diakses dengan mudah. Untuk mencapai lokasi Pekon Kubu Perahu, Kecamatan Balik Bukit, Kabupaten Lampung Barat dapat dilakukan dengan rute sebagai berikut : Dari ibukota provinsi lampung, Bandar Lampung Kotaagung Sukaraja Bengkunat Krui Kubu Perahu dapat ditempuh menggunakan kendaraan roda empat/angkutan umum selama kurang lebih 7 (tujuh) jam dengan kondisi jalan aspal yang membelah kawasan TNBBS. Dari ibukota provinsi Lampung, Bandar Lampung, Bandar Jaya Kotabumi Bukit Kemuning Sumber Jaya Liwa Kubu Perahu ditempuh menggunakan kendaraan roda empat/angkutan umum selama kurang lebih 8 jam dengan kondisi ialan aspal (sebagian besar telah rusak karena merupakan jalan lintas). Pemberdayaan Masyarakat Model Desa Konservasi (MDK) Taman Nasional Bukit Barisan Selatan sebagai kawasan hutan konservasi tidak terlepas dari berbagai kepentingan terutama yang berkaitan dengan masyarakat sekitar kawasan. Kepentingan konservasi kawasan di satu sisi sering berbenturan dengan kepentingan pemenuhan kebutuhan masyarakat di sisi lain. Upaya untuk meminimalisir konflik kepentingan ini salah satunya dilakukan melalui kegiatan pemberdayaan masyarakat. Namun demikian, permasalahan pemberdayaan masyarakat disekitar kawasan konservasi merupakan permasalahan yang cukup kompleks dan rumit karena menyangkut aspek sosial, ekonomi sekaligus ekologi serta menyangkut banyak pemangku kepentingan. Model Desa Konservasi (MDK) merupakan desa yang dijadikan model/contoh bagi desa lain di sekitar kawasan konservasi dalam upaya pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi, dengan memperhatikan aspek konservasi, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat setempat. Pembangunan Model Desa Konservasi (MDK) bertujuan agar pengelolaan kawasan taman nasional dapat dilakukan dengan baik, sehingga dapat berfungsi secara optimal dan lestari, serta mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Oleh karena itu dalam pelaksanaannya menuntut adanya kegiatan nyata yang manfaatnya dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Apabila masyarakat telah memperoleh manfaat langsung dari keberadaan suatu kawasan

90 68 konservasi sehingga berdampak pada peningkatan kesejahteraan, maka dengan sendirinya akan memunculkan dukungan dari masyarakat setempat dalam berbagai upaya konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya. Model Desa Konservasi merupakan salah satu kegiatan pemberdayaan di TNBBS dengan fokus utama pada peningkatan ekonomi masyarakat dan kelestarian kawasan. Kegiatan MDK telah dilaksanakan di TNBBS sejak tahun Kegiatan MDK difokuskan di dua desa/pekon, yaitu Pekon Sukaraja (daerah penyangga) dan Pekon Kubu Perahu (wilayah enclave). Pemilihan lokasi pekon didasarkan oleh beberapa kriteria antara lain berbatasan langsung dengan kawasan, terdapat interaksi masyarakat dengan kawasan, dan terdapat potensi lokal yang dapat dikembangkan. Sebagaimana kegiatan pemberdayaan lainnya, berdasarkan Master Plan Pengembangan MDK di TNBBS, pengembangan MDK dalam prosesnya memerlukan tahapantahapan yang dimulai dari prakondisi, persiapan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Tahap prakondisi merupakan tahap awal dalam identifikasi sasaran. Tahap prapelaksanaan ini merupakan tahap penting untuk identifikasi kebutuhankebutuhan masyarakat, identifikasi altematif pemecahan masalah, pemilihan alternatif masalah menurut skala prioritas dengan melalui analisis secara bersamasama. Dalam kegiatan ini dilakukan pendampingan untuk mencapai beberapa tujuan antara lain penyusunan kriteria dan standar kegiatan serta hasil/keluaran yang akan dicapai bersama masyarakat desa model, dan mendorong terbentuknya peraturan pekon/desa terkait dengan pelestarian kawasan TNBBS yang disepakati seluruh warga desa model. Sampai saat ini di kedua pekon lokasi pemberdayaan baik Sukaraja maupun Kubu Perahu belum terdapat adanya peraturan pekon terkait dengan MDK. Perencanaan kegiatan yang akan diimplementasikan di desa model hendaknya dibahas secara rinci meliputi elemen penanggung jawab dan tahapan teknis yang dilakukan. Selanjutnya tahap pelaksanaan kegiatan merupakan kelanjutan tahap perencanaan yang merupakan kegiatan partisipatif dan pengkajian sejumlah topik sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dari hasil pengkajian dan penilaian kemudian ditentukan skala prioritas. Tahap pemantauan dan evaluasi dilaksanakan oleh fasilitator utama (TNBBS) bekerja sama dengan mitra atau pihak yang telah disepakati sebelumnya sesuai dengan jenis program yang akan dievaluasi. Pemantauan dan evaluasi harus melibatkan peran aktif masyarakat, minimal tokohtokoh kunci (key person) dalam penguasaan teknikteknik pemantauan dan evaluasi yang efektif. Pemberdayaan MDK dilaksanakan di Pekon Sukaraja dan Kubu Perahu dengan berbagai pertimbangan, diantaranya adalah letak kedua desa tersebut yang berbatasan langsung dengan kawasan, interaksi masyarakat dengan kawasan dan adanya potensi yang dapat dikembangkan. Kegiatan pemberdayaan MDK di Pekon Sukaraja sejak tahun 2006, sedangkan di Pekon Kubu Perahu dilaksanakan pada tahun Kegiatan MDK di Pekon Kubu Perahu merupakan pengembangan dari Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan (SPKP) dibentuk pada tahun Pada waktu itu, setelah SPKP terbentuk tidak ada tindak lanjut berupa kegiatan pendampingan karena tidak ada tenaga penyuluh di TNBBS (tenaga penyuluh kehutanan baru ada tahun 2009). Kegiatan pemberdayaan dilakukan melalui pendampingan kelompok untuk mengembangkan usaha produktif berdasarkan potensi yang dimiliki lokal

91 69 setempat. Oleh karena itu dalam rangka mendukung keberhasilan pengembangan MDK diperlukan adanya kegiatan yang dapat memberikan manfaat langsung kepada masyarakat diantaranya yaitu pendampingan masyarakat, peningkatan kapasitas SDM dan pengembangan kelompok usaha produktif. MDK dikembangkan melalui proses partisipatif, dimana masyarakat mempunyai peran dalam menentukan kegiatan yang mereka inginkan. Masyarakat diberi bantuan sesuai dengan yang dibutuhkan untuk mengembangkan potensi yang ada dengan harapan ketergantungannya terhadap hutan akan berkurang. Kegiatan yang dilaksanakan antara lain adalah budidaya ikan, budidaya ternak, pembibitan, agroforestry dan pembuatan pupuk organik (Lampiran 8). Baru pada tahun 2010 dilaksanakan pelatihan untuk peningkatan keterampilan masyarakat misalnya pelatihan dasar kelompok, pelatihan kesehatan ternak dan pelatihan pembuatan pupuk organik. Di Pekon Sukaraja terdapat 3 (tiga) kelompok aktif yang terlibat dalam kegiatan MDK yaitu Kelompok Wana Lestari, Tunas Karya dan Eka Tunggal Makmur serta 1 (satu) kelompok eks penerima manfaat program pemberdayaan MDK Sentra penyuluhan Kehutanan Pedesaan (SPKP). Kelompok yang masih aktif bergerak dalam pengembangan usaha produktif di bidang budidaya ternak, pengolahan kopi, agroforestry, dan pupuk organik. Sedangkan di Pekon Kubu Perahu melibatkan 2 (dua) kelompok aktif yang bergerak di bidang perikanan yaitu kelompok Mulya Tani Harapan Maju dan kelompok Pemuda Mandiri serta 1 (satu) kelompok eks penerima manfaat program pemberdayaan MDK. Dengan berbagai bidang usaha yang dikembangkan tersebut, keberhasilan program pemberdayaan di Pekon Sukaraja dan Pekon Kubu Perahu bukan hanya menjadi tanggung jawab instansi pengelola kegiatan pemberdayaan semata. Terdapat banyak faktor yang berhubungan dengan efektif atau tidaknya pemberdayaan yang dilakukan, baik dari segi masyarakatnya maupun pendekatan pemberdayaan yang dilakukan oleh pelaksana pemberdayaan. Karakteristik Sosiodemografi Dalam falsafah penyuluhan, pemahaman karakteristik individu masyarakat merupakan hal mendasar. Penyuluhan adalah kegiatan mendidik orang dengan tujuan mengubah perilaku sasaran sesuai dengan yang direncanakan dan hal ini merupakan upaya untuk mengembangkan potensi individu sasaran agar lebih berdaya secara mandiri (Asngari 2008). Dengan demikian, sasaran pemberdayaan adalah manusia dengan segala kompleksitas yang melekat padanya. Pemberdayaan tidak akan berhasil tanpa melibatkan ilmuilmu yang mewakili dan mempelajari berbagai dimensi atau kompleksitas tersebut. Oleh karenanya, untuk memahami sasaran secara komprehensif perlu mempertimbangkan segala aspek meliputi kejiwaan manusia, individu, sosialitas, manifestasinya dalam berinteraksi dengan lingkungan, kepentingan bersama, dan budaya yang dimiliki. Karakteristik individu dalam penelitian ini merupakan karakteristik sosiodemografi yang merupakan ciri yang melekat pada individu berupa karakteristik sosial dan kependudukan yang menggambarkan perbedaan masyarakat berdasarkan usia, mata pencaharian, pendidikan, suku bangsa (etnis), pendapatan, keluarga, serta sosial budaya, hubungannya dengan orang lain dan sebagainya.

92 70 Dalam penelitian ini, karakteristik masyarakat peserta program pemberdayaan MDK yang diamati meliputi umur, pendidikan formal, pelatihan, mata pencaharian, pendapatan, kepemilikan lahan, jumlah tanggungan keluarga, etnis pemukim, keikutsertaan dalam kelompok, dan keterdedahan terhadap informasi. Berikut adalah distribusi responden pada berbagai karakteristik yang diamati: Tabel 12 Distribusi responden pada berbagai karakteristik sosiodemografi No. Sub Variabel Kategori 1. Umur 1. Tidak produktif (014 th) 2. Kurang produktif ( 65 th) 3. Produktif (50 64 th) 4. Sangat produktif (15 49 th) 2. Tingkat pendidikan formal 1. Sangat rendah (Dasar) 2. Rendah (Menengah) 3. Tinggi (Atas) 4. Sangat tinggi (PT) 3. Pelatihan 1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Tinggi 4. Sangat tinggi 4. Mata pencaharian 1. Petani 2. Non petani 5. Pendapatan 1. Sangat rendah (< Rp ) 2. Rendah (> Rp jt) 3. Tinggi (> Rp 1 jt 1,5 juta) 4. Sangat tinggi (> Rp 1,5 juta) 6. Kepemilikan lahan 7. Jumlah tanggungan keluarga 8. Etnis pemukim 9. Keikutsertaan dalam kelompok 10. Keterdedahan terhadap informasi 1. Sangat Rendah (0 ha) 2. Rendah (> 0 s/d 0,5 ha/kk) 3. Tinggi (>0,5 s/d 1 ha/kk) 4. Sangat tinggi (> 1 ha/kk) 1. Sangat Rendah (0 2 jiwa/kk) 2. Rendah (3 4 jiwa/kk) 3. Tinggi (5 6 jiwa/kk) 4. Sangat Tinggi(> 6 jiwa/kk) 1. Penduduk asli (etnis asli) 2. Migran (etnis pendatang) 1. Sangat Rendah (tidak aktif) 2. Rendah (kurang aktif) 3. Tinggi (aktif) 4. Sangat tinggi (sangat aktif) 1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Tinggi 4. Sangat tinggi Lokasi Desa/Pekon Sukaraja Kubu Perahu persen persen ,5 16,4 82,1 64,2 19,4 16,4 47,8 22,4 17,9 11,9 89,6 10,4 47,8 38, ,1 91,9 48,6 24,3 27,0 43,2 40,5 16,2 73,0 27,0 27,0 59,5 10,8 2,7 Total persen Dalam memahami masyarakat sekitar kawasan, pertimbangan mengenai berbagai karakteristik yang meliputi karakteristik kependudukan, sosial, ekonomi, termasuk pendidikan yang mempengaruhi masyarakat dalam aspek ,5 98,5 23,9 14,9 38,8 22,4 7,5 41,8 32,8 17, ,1 18,9 32,4 48,6 13,5 5,4 2,7 29,7 48,6 18, ,5 85,6 58,7 21,2 20,2 46,2 28,8 17,3 7,7 83,7 16, , ,8 70,2 26,9 26,9 29,8 16,3 5,8 37,5 38,5 18,3

93 71 pengetahuan, persepsi, sikap dan tindakannya terhadap lingkungan menjadi bagian yang penting untuk dapat dikaji secara mendalam. Pengabaian hal tersebut dalam perumusan kebijakan pengelolaan taman nasional akan menyebabkan dampak yang merugikan masyarakat dan akan menjadi kendala pencapaian tujuan konservasi dan pengelolaan taman nasional dalam jangka panjang (Agrawal dan Gibson 1999). Dengan demikian, pemahaman karakteristik sasaran sangat penting dalam menyusun strategi pengelolaan hutan termasuk melalui pemberdayaan karena dengan memahami karakteristik tersebut, segala aspek yang berhubungan kondisi sasaran dapat diketahui dengan baik. Umur Komposisi penduduk menurut usia produktif berdasarkan penggolongan yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dibagi dalam 4 (empat) kategori (Umar 2011) yaitu; (1) usia kurang produktif 65 tahun ke atas, (2) usia produktif tahun, (3) usia sangat produktif tahun dan usia tidak produktif 0 14 tahun. Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar responden (85,6 persen) termasuk dalam kategori usia sangat produktif. Dari hasil lapangan diperoleh bahwa responden mempunyai kisaran umur tahun. Dari kisaran tersebut, sebagian besar responden berumur antara tahun (sangat produktif). Pendidikan formal Pendidikan formal adalah jenjang pendidikan formal yang pernah ditempuh/dicapai responden dinyatakan dalam strata/tingkat pendidikan. Tingkat pendidikan dapat dikatakan dalam kategori sangat rendah karena sebagian besar responden tidak lulus pendidikan tingkat dasar dan atau hanya lulus pendidikan pada tingkat sekolah dasar (SD). Pendidikan tertinggi responden adalah Sekolah Menengah Atas (SMA). Meskipun demikian, namun berdasarkan wawancara dengan responden, mereka berharap anakanak mereka nantinya dapat mengenyam pendidikan yang lebih baik atau lebih tinggi dari orang tuanya. Pelatihan Pelatihan merupakan salah satu bentuk pendidikan non formal. Dalam hal ini pelatihan yang dimaksud adalah pelatihan yang berkaitan dengan MDK yang pernah diikuti oleh masyarakat. Sebagian besar termasuk dalam kategori sangat rendah, 75 persen termasuk dalam kategori rendah dan sangat rendah. Dari jumlah tersebut, lebih dari 46 persen masyarakat peserta program pemberdayaan MDK tidak pernah mengikuti pelatihan dan 28.8 persen masyarakat peserta program pemberdayaan MDK hanya mengikuti 1 (satu) sampai dengan 2 (dua) kali pelatihan saja. Hal ini dapat dipahami karena berdasarkan hasil wawancara, kegatan pelatihan mulai aktif dilaksanakan mulai tahun Namun demikian, upayaupaya peningkatan kapasitas masyarakat melalui pelatihan terus dilakukan oleh pengelola (TNBBS) baik melalui penyelenggaraan pelatihan oleh TNBBS

94 72 sendiri maupun mengikutsertakan masyarakat pada pelatihanpelatihan yang dilaksanakan oleh mitra TNBBS. Pendapatan Pendapatan dalam konteks ini adalah penghasilan yang diperoleh dari berbagai sumber baik pekerjaan tetap maupun sampingan dalam satu bulan. Secara umum masyarakat peserta program pemberdayaan mempunyai penghasilan dengan kategori rendah dan sangat rendah. Lebih dari 86 persen masyarakat peserta program pemberdayaan MDK termasuk dalam kategori ini, dimana separuh dari jumlah tersebut mempunyai penghasilan di bawah Rp 500 ribu per bulan. Tidak terdapat perbedaan nyata antara pendapatan di Pekon Sukaraja maupun Kubu Perahu. Meskipun kebanyakan responden di Sukaraja memiliki lahan, namun belum terdapat upaya dalam peningkatan kualitas pengelolaan lahan, masyarakat masih mengandalkan pengolahan secara tradisional dengan bertani sawah maupun kebun. Dalam setahun terakhir masyarakat peserta program pemberdayaan mencoba menerapkan pola agroforestry pada sebagian lahan mereka. Sedangkan di Kubu Perahu, masyarakat sebagian besar tidak mempunyai lahan, selain menjadi buruh tani, mereka mempunyai usaha sampingan sebagai pemecah batu kali yang mendatangkan keuntungan relatif besar. Mata pencaharian Mata pencaharian responden secara umum adalah petani. Lebih dari 83 persen masyarakat bekerja sebagai petani. Perbedaannya adalah, masyarakat di Sukaraja adalah petani yang mempunyai lahan, sedangkan di Kubu Perahu sebagian besar tidak mempunyai lahan atau petani penggarap. Selain sebagai petani, masyarakat menambah pendapatan dari berbagai usaha sampingan seperti menjadi buruh bangunan, memecah batu, bengkel, dan usaha lainnya. Kepemilikan lahan Kepemilikan lahan adalah luas lahan yang dimiliki oleh responden, dinyatakan dalam satuan hektar per kepala keluarga. Kepemilikan lahan sebagian besar responden, dapat dikategorikan rendah yaitu 0,1 0,5 hektar berdasarkan klasifikasi lahan petani (Sastraatmaja 2010). Dari hasil uji beda nonparametrik tes MannWhitney, terdapat perbedaan nyata (p=0.000) dalam kepemilikan lahan. Di Pekon Sukaraja, hampir semua responden merupakan petani yang mempunyai lahan, sedangkan di Kubu Perahu sebagian besar merupakan petani yang tidak punya lahan. Prosentase kepemilikan lahan responden di Kubu Perahu yang sangat rendah, sebanyak 59,5 persen masyarakat peserta program pemberdayaan di Kubu Perahu tidak mempunyai lahan. Lahanlahan di Kubu Perahu merupakan lahan milik pendatang dari luar daerah. Masyarakat peserta program pemberdayaan di Kubu Perahu biasanya menjadi petani penggarap sekaligus mengandalkan penghasilan dengan menjadi pemecah batu kali.

95 73 Tanggungan keluarga Tanggungan keluarga yang dimaksud adalah semua orang yang tinggal dalam satu rumah ataupun yang berada diluar dan menjadi tanggung jawab kepala keluarga. Jumlah tanggunangan keluarga merupakan salah satu indikator dalam menentukan aktivitas masyarakat (Drakel 2008) berkaitan dengan upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya. Masyarakat peserta program pemberdayaan MDK pada umumnya (75 persen) mempunyai tanggungan keluarga antara 0 4 orang dan 25 persen mempunyai tanggungan keluarga sejumlah 5 7 orang. Tanggungan keluarga masyarakat peserta pemberdayaan termasuk dalam kategori rendah yang sebagian besar responden adalah 3 4 orang. Etnis pemukim Etnis pemukim dalam penelitian ini di tentukan berdasarkan status kependudukan yang mengacu pada asal etnis masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan TNBBS. Terdapat perbedaan asal etnis masyarakat peserta program pemberdayaan di kedua lokasi penelitian. Responden di Pekon Sukaraja, 98,5 persen merupakan masyarakat etnis pendatang yang berasal dari Jawa, sedangkan di Pekon Kubu Perahu, 81 persen merupakan masyarakat etnis asli Lampung, dan sisanya adalah pendatang dari etnis Jawa dan Sunda. Sebagian besar atau bahkan hampir semua masyarakat pendatang yang bermukim di lokasi penelitian telah lama menjadi penduduk setempat bahkan sejak lahir. Banyaknya etnis pendatang di daerah ini merupakan akibat perpindahan penduduk baik karena program pemerintah maupun keinginan sendiri. Gelombang perpindahan penduduk yang sebagian besar adalah dari Jawa ke Lampung telah berlangsung sejak tahun 1930an. Perbedaan asal etnis paling tidak akan mempengaruhi kehidupan sosial budaya masyarakat dalam kehidupan seharihari. Keikutsertaan dalam kelompok Masyarakat peserta program pemberdayaan umumnya tergabung dalam kelompok, namun demikian terdapat variasi keaktifan mereka dalam kelompok. Dari hasil penelitian, 54 persen masyarakat mempunyai tingkat keaktifan sangat rendah dan rendah. Berdasarkan hasil uji beda nonparametrik MannWhitney, terdapat perbedaan nyata (p=0.001) keikutsertaan masyarakat dalam kelompok di kedua lokasi. Masyarakat di Sukaraja cenderung lebih aktif dalam kelompok dibandingkan dengan di Kubu Perahu. Sebanyak 73 persen responden di Kubu Perahu mempunyai tingkat keaktifan dalam kelompok dengan kategori sangat rendah dan rendah. Hal ini antara lain disebabkan karena di Sukaraja kebanyakan merupakan petani pemilik lahan, bukan petani penggarap seperti di Kubu Perahu, sehingga mereka mempunyai tanggungjawab lebih besar terhadap lahan mereka. Dengan keikutsertaan dalam kelompok mereka mempunyai harapan dapat memperoleh informasi terutama tentang bagaimana mengolah lahan dengan lebih baik.

96 74 Keterdedahan informasi Keterdedahan terhadap informasi merupakan proses pada responden untuk mencari informasi yang dapat membantu mereka menentukan perilaku yang diukur melalui intensitas masyarakat dalam mencari informasi baik dari teman kelompok, penyuluh, dan pihak lain, kunjungan, membaca, mendengarkan maupun menonton dan sebagainya. Keterdedahan masyarakat terhadap informasi secara umum berada dalam kondisi seimbang antara masyarakat dengan kategori keterdedahan informasi rendah dan kategori tinggi. Umumnya masyarakat memperoleh informasi dari berbagai sumber informasi, baik dari teman kelompok, aparat desa, penyuluh, pihak lain, dan media massa. Dari hasil penelitian, teman kelompok dan penyuluh kehutanan berperan penting dalam penyampaian informasi. Interaksi dan Akses Terhadap Taman Nasional Interaksi dan akses masyarakat terhadap sumberdaya taman nasional merupakan faktor penting dalam mengukur efektifitas pemberdayaan berkaitan dengan partisipasi dan kemandirian. Hal ini berkaitan dengan bagaimana kecenderungan perubahan dalam masyarakat (yang tinggal disekitar kawasan dan sebagian besar berbatasan langsung dan berinteraksi dengan kawasan) sebagai hasil/dampak kegiatan pemberdayaan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Interaksi positif dan akses bagi masyarakat dalam zona tertentu di taman nasional diharapkan dapat meningkatkan partisipasi dan kemandirian mereka. sebagaimana diketahui bahwa taman nasional adalah kawasan konservsi dengan akses yang sangat terbatas bagi masyarakat. Dari hasil penelitian, berikut adalah interaksi dan akses masyarakat terhadap sumber daya taman nasional (TNBBS): Tabel 13 Interaksi dan akses masyarakat terhadap sumber daya taman nasional No. Sub Variabel Kategori 1. Tingkat ketergantungan terhadap TNBBS 2. Tingkat keterlibatan dalam kegiatan TNBBS 3. Tingkat manfaat yang dirasakan 4. Tingkat akses terhadap kegiatan TNBBS 1. Sangat tinggi 2. Tinggi 3. Rendah 4. Sangat rendah 1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Tinggi 4. Sangat tinggi 1. Sangat rendah 2. Rendah 3. Tinggi 4. Sangat tinggi 1. Sangat Rendah 2. Rendah 3. Tinggi 4. Sangat tinggi Lokasi Desa/Pekon Sukaraja Kubu Perahu persen persen 7,5 71,6 20,9 31,3 28,4 23,9 16,4 7,5 19,4 61,2 11,9 34,3 34,3 17,9 13, ,8 43,2 43,2 37,8 16,2 2,7 32,4 54,1 13,5 51,4 27,0 21,6 Total persen 25,0 61,5 13,5 35,6 31,7 21,2 11,5 4,8 24,0 58,7 12,5 40,4 31,7 19,2 8,7

97 75 Tingkat ketergantungan terhadap kawasan taman nasional Ketergantungan terhadap sumberdaya TNBBS adalah tingkat ketergantungan responden terhadap sumberdaya taman nasional dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dinyatakan dalam frekuensi interaksi responden dengan kawasan. Ketergantungan masyarakat peserta program pemberdayaan terhadap taman nasional secara umum berada dalam kategori rendah. Sebagian besar responden mempunyai ketergantungan yang rendah terhadap kawasan taman nasional, yang berarti bahwa masyarakat masih berinteraksi denan kawasan namun tidak selalu tergantung pada kawasan dalam memenuhi kebutuhannya. Dari data diperoleh hasil bahwa masyarakat Pekon Kubu Perahu mempunyai ketergantungan yang lebih tinggi terhadap taman nasional dibandingkan dengan masyarakat Pekon Sukaraja. Sebanyak 43,2 persen masyarakat di Kubu Perahu mempunyai ketergantungan terhadap taman nasional dengan kategori tinggi. Hal ini didukung oleh hasil uji beda nonparametrik MannWhitney yang menunjukkan adanya perbedaan nyata (p=0.000) tingkat ketergantungan terhadap kawasan antara Pekon Sukaraja dan Pekon Kubu Perahu. Hal tersebut berkaitan dengan lokasi Kubu Perahu yang merupakan enclave, dimana daerahnya dikelilingi oleh kawasan taman nasional. Kubu Perahu sudah ada sejak sebelum kawasan ditetapkan sebagai taman nasional. Dari hasil wawancara dengan masyarakat, interaksi mereka terhadap kawasan adalah untuk mencari air, kayu bakar, makanan ternak, tanaman obat, anggrek dan burung. Tingkat manfaat langsung keberadaan taman nasional bagi masyarakat Manfaat langsung keberadaan TNBBS yang dirasakan adalah respon masyarakat terhadap keberadaan taman nasional yang dinyatakan dalam seberapa besar manfaat langsung kawasan yang dirasakan oleh responden (baik ekonomi, ekologis, dan sosial budaya). Secara umum, masyarakat merasakan manfaat langsung keberadaan taman nasional, sebagian besar reponden menyatakan bahwa kawasan taman nasional bermanfaat bagi mereka. Hal ini berarti bahwa masyarakat menyadari adanya manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung. Masyarakat menyadari adanya manfaat langsung keberadaan kawasan taman nasional, termasuk akibat yang ditimbulkan apabila kawasan rusak. Manfaat langsung TNBBS yang dirasakan masyarakat antara lain adalah penyediaan air, makanan ternak, dan tanaman obat. Meskipun demikian masih terdapat beberapa masyarakat yang memanfaatkan kawasan secara ilegal termasuk eksploitasi jenis flora fauna misalnya mengambil anggrek, burung dan berburu. Tingkat keterlibatan masyarakat dalam program pemberdayaan MDK Keterlibatan dalam konteks ini adalah keikutsertaan responden dalam program pemberdayaan Model Desa Konservasi (MDK), yang diukur berdasarkan lama responden terlibat dalam kegiatan tersebut. Secara umum keterlibatan masyarakat dalam program pemberdayaan Model Desa Konservasi (MDK) termasuk dalam kategori rendah. Sebanyak 67,3 persen masyarakat termasuk dalam kategori sangat rendah dan rendah. Dari jumlah tersebut, lebih dari 35

98 76 persen masyarakat berada dalam kategori sangat rendah. Hal ini berarti bahwa mereka belum pernah terlibat sebelumnya dalam kegiatan pemberdayaan di TNBBS. Dari data di kedua lokasi penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Sukaraja mempunyai keterlibatan lebih tinggi dibandingkan dengan Kubu Perahu. Hal ini didukung oleh hasil uji beda nonparametrik MannWhitney yang menunjukkan adanya perbedaan nyata (p=0.036) keterlibatan masyarakat di kedua lokasi. Sebagian besar (79 persen) masyarakat peserta program pemberdayaan di Kubu Perahu belum pernah terlibat dalam kegiatan lain selain MDK. Di samping itu keterlibatan mereka dalam MDK tergolong rendah, tidak semua anggota kelompok berpartisipasi dalam kegiatan MDK. Masyarakat cenderung kurang termotivasi dalam mengikuti kegiatan, misalnya menghadiri pertemuan maupun sosialisasi, sementara itu masyarakat di Sukaraja cenderung lebih mudah diajak mengikuti pertemuan ataupun sosialisasi berkaitan dengan kegiatan. Hal ini dapat dipahami, karena di Kubu Perahu, masyarakat lebih tertarik pada pekerjaan lain, misalnya sebagai pemecah batu atau kegiatan lain yang cepat menghasilkan dan dapat mereka rasakan secara langsung. Tingkat akses masyarakat dalam kegiatan taman nasional Akses masyarakat dalam kegiatan taman nasional adalah sejauh mana masyarakat memperoleh kesempatan atau terlibat dalam kegiatan taman nasional baik dalam rangka pengelolaan kawasan konservasi. Diukur melalui intensitas keikutsertaan masyarakat (dalam kegiatan apa saja masyarakat terlibat). Akses masyarakat dalam kegiatan taman nasional tergolong dalam kategori sangat rendah. Hal ini dapat disebabkan karena masyarakatnya sendiri yang enggan untuk terlibat maupun dari pihak pengelola dalam hal ini TNBBS. Selain pemberdayaan MDK, upaya meningkatkan akses masyarakat dilakukan dalam bentuk antara lain dalam kegiatan pengamanan hutan dengan pembentukan PAM Swakarsa dan Masyarakat Mitra Polhut (MMP). Masyarakat diberi akses untuk membantu pengamanan hutan, memberikan informasi tentang kegiatan ilegal dalam kawasan dan diberikan pelatihanpelatihan. Selain itu TNBBS juga mengembangkan pengelolaan bumi perkemahan bersama masyarakat dan pembuatan tata batas partisipatif bersama masyarakat. Masyarakat dilibatkan dalam pembuatan tata batas kawasan dengan pekon. Dalam hal sumberdaya, dikembangkan mikrohidro yaitu pemanfaatan sumberdaya air untuk keperluan penerangan (listrik). Meskipun upaya melibatkan masyarakat dalam kegiatan taman nasional telah dilakukan, namun belum semua masyarakat terlibat secara aktif dalam kegiatan tersebut. Sebagian besar masyarakat (72,1 persen) masyarakat menyatakan bahwa mereka tidak pernah dan atau jarang terlibat dalam kegiatan tersebut. Tidak semua masyarakat peserta pemberdayaan aktif dalam kegiatan baik dalam MDK sendiri maupun kegiatan taman nasional yang lain. Salah satu penyebabnya adalah kesibukan bekerja untuk memenuhi kebutuhan seharihari. Selain faktor dari masyarakat, pihak pengelola juga turut menentukan seberapa besar akses masyarakat terhadap taman nasional. Sebagaimana diketahui bahwa taman nasional merupakan kawasan konservasi yang sebagian besar pengelolaannya difokuskan pada pelestarian. Sementara itu masyarakat, meskipun secara kognitif dan afektif tergolong baik dalam bidang ekologi, namun tidak serta

99 77 merta mendorong mereka dalam kesesuaian bertindak. Orientasi masyarakat cenderung kuat dalam hal ekonomi, yaitu bagaimana mereka dapat memenuhi kebutuhan. Dengan demikian, pemberian akses dalam pengelolaan kawasan perlu lebih dikembangkan terutama dalam zonasi pemanfaatan dengan fokus proporsional dalam arti dapat meningkatkan ekonomi masyarakat secara nyata dan memberikan dampak pada kelestarian kawasan. Pendekatan Pemberdayaan Selain karakteristik sosiodemografi dan interaksi serta akses masyarakat terhadap taman nasional, terdapat beberapa faktor eksternal yang diharapkan dapat mendukung keberhasilan pemberdayaan masyarakat. Faktor yang diharapkan dapat mendorong ataupun memperkuat perubahan perilaku masyarakat adalah pendekatan yang dilakukan oleh TNBBS yang terdiri atas kesepahaman, fasilitator, pendampingan, kelembagaan, bentuk kegiatan pemberdayaan, membangun jejaring kerja dan kemitraan, serta monitoring dan evaluasi. Berikut adalah pendekatan yang dilakukan dalam kegiatan pemberdayaan MDK: Tabel 14 Pendekatan dalam pemberdayaan masyarakat MDK di TNBBS No. Sub Variabel Kategori 1. Kesepahaman 1. Sangat Rendah 2. Rendah 3. Tinggi 4. Sangat tinggi 2. Kelembagaan 1. Sangat Rendah 2. Rendah 3. Tinggi 4. Sangat tinggi 3. Fasilitator 1. Sangat Rendah 2. Rendah 3. Tinggi 4. Sangat tinggi Lokasi Desa/Pekon Sukaraja Kubu Perahu persen persen 16,4 41,8 41,8 20,9 25,4 38,8 14,9 1,5 17,9 70,1 10, ,7 70,3 27,0 73,0 24,3 2,7 51, 4 43,2 5, Total persen 11,5 51,9 36,5 13,5 42,3 33,7 10,6 1,0 29,8 60,6 8,7 4. Pendampingan 1. Sangat Rendah 2. Rendah 3. Tinggi 4. Sangat tinggi ,5 23,9 62,7 9, ,9 54, ,9 31,7 59,6 5,8 5. Bentuk Pemberdayaan 6. Jejaring kerja dan kemitraan 7. Monitoring dan Evaluasi 1. Sangat Rendah 2. Rendah 3. Tinggi 4. Sangat tinggi 1. Sangat Rendah 2. Rendah 3. Tinggi 4. Sangat tinggi 1. Sangat Rendah 2. Rendah 3. Tinggi 4. Sangat tinggi ,9 49,3 35,8 14,9 59,7 25, ,9 54,1 27,0 10,8 89, , ,3 49,0 34,6 13,5 70,2 16,3

100 78 Kesepahaman Kesepahaman dalam konteks ini berkaitan dengan informasi atau sosialisasi yang diberikan oleh pihak pengelola dalam hal ini TNBBS mengenai MDK serta sejauh mana masyarakat memahaminya. Dari hasil penelitian, sebagian besar responden (63,4 persen) mempunyai tingkat kesepahaman dalam kategori rendah. Hal ini berarti sebagian besar masyarakat peserta program pemberdayaan MDK belum memahami atau mengerti benar tentang kegiatan MDK sendiri. Masyarakat cenderung menganggap kegiatan pemberdayaan sebagai proyek, kewajiban pemerintah, bantuan maupun kompensasi atas tindakan untuk tidak merusak kawasan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masyarakat belum menganggap bahwa upaya pemberdayaan adalah sebuah kebutuhan, yang selain ditujukan bagi kelestarian kawasan juga diarahkan bagi upaya peningkatan kesejahteraan. Kelembagaan Kelembagaan diuukur melalui keberadaan dan kejelasan aturanaturan setempat dan adanya lembaga lain yang mendukung MDK. Kelembagaan, yang dalam hal ini adalah aturanaturan yang ada berkaitan dengan MDK dan lembaga pendukung lain yang berperan di dalammya. Kelembagaan berada dalam kategori rendah. Hal ini berarti bahwa aturanaturan yang ada dalam kelembagaan MDK belum memadai baik intern kelompok maupun tingkat pekon sebagai regulator yang diharapkan dapat mendorong terbentuknya peraturan desa. Sementara itu kegiatan MDK juga belum didukung oleh lembaga lain. Lembaga yang pernah terlibat dalam kegiatan MDK di Pekon Sukaraja adalah WWF (World Wildlife Fund). WWF memberikan bantuan kepada usaha produktif masyarakat terutama produksi kopi untuk mendapat sertifikasi produk kopi legal yang bukan berasal dari hutan negara. Fasilitator Fasilitator adalah orang yang memberikan pendampingan dalam proses pemberdayaan masyarakat, diukur melalui kemampuannya dalam melakukan fungsi/perannya di bidang pemungkinan (enabling), penguatan (empowering), perlindungan (protecting), dan pendukungan (supporting) dalam rangka membantu masyarakat mampu berpartisipasi dan mandiri. Sebagian besar responden (60,6 persen) menyatakan bahwa penyuluh sebagai fasilitator mempunyai kemampuan baik. Hal ini berarti penyuluh mampu menjalin kedekatan hubungan dengan masyarakat, membangun kesepahaman, memberikan informasi, masukan dan saran yang bermanfaat, serta mempunyai keterampilan memadai berkaitan dengan kegiatan pemberdayaan. Di Pekon Sukaraja, sebanyak 80,5 persen responden memberikan pernyataan bahwa kemampuan penyuluh dalam kategori baik. Sedangkan di Pekon Kubu Perahu hanya 48,6 persen yang menyatakan kemampuan penyuluh dalam kategori baik. Hal ini diperkuat dengan hasil uji beda nonparametrik Mann Whitney yang menunjukkan adanya perbedaan nyata (p=0.002) di kedua lokasi

101 79 penelitian. Masyarakat Kubu Perahu menilai bahwa kemampuan belum memadai dalam membangun kedekatan hubungan, memberi saran atau masukan yang bermanfaat, fasilitasi membangun kemitraan dan kemampuan teknis. Pendampingan Pendampingan suatu proses atau mekanisme mendampingi masyarakat berupa interaksi dinamis antara fasilitator/pengelola dengan masyarakat sasaran pemberdayaan. Tabel berikut menunjukkan pendampingan yang dilakukan dalam pemberdayaan MDK di TNBBS. Sebanyak 65,4 persen responden menyatakan bahwa kegiatan pendampingan pemberdayaan MDK secara umum telah berjalan dengan baik. Pendampingan dalam hal ini meliputi intensitas interaksi penyuluh dengan masyarakat, kesesuaian tujuan program pemberdayaan dengan masyarakat, komunikasi yang terjadi, manfaat bagi masyarakat dan keseluruhan proses pembelajaran yang terjadi dalam kegiatan pemberdayaan. Hasil uji beda nonparametrik MannWhitney menunjukkan adanya perbedaan nyata (p=0.049) dalam hal pendampingan di kedua lokasi penelitian. Sebanyak 71,7 persen responden peserta pemberdayaan di Sukaraja menyatakan bahwa pendampingan di Sukaraja berjalan baik dan sangat baik. Sementara itu hanya 54,1 persen responden di Kubu Perahu yang menyatakan bahwa pendampingan di Kubu Perahu telah berjalan dengan baik. Pada umumnya masyarakat menginginkan frekuensi interaksi yang lebih sering dengan penyuluh sehingga mereka dapat menanyakan halhal yang belum mereka pahami. Bentuk kegiatan pemberdayaan Berdasarkan Pedoman Kriteria dan Indikator Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Kawasan Konservasi (Dephut, 2008) bentuk kegiatan pemberdayaan merupakan kriteria penting dalam pemberdayaan MDK. Bentuk kegiatan pemberdayaan yang tepat sesuai dengan kondisi masyarakat sasaran diharapkan akan dapat menjadi salah satu faktor yang mendukung efektifitas pemberdayaan. Dari hasil penelitian, secara umum dapat dikatakan bahwa bentuk kegiatan pemberdayaan berada dalam kategori rendah. Hal ini berarti bahwa proporsi bentuk kegiatan pemberdayaan belum seimbang atau belum terjadi kesesuaian (sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lokasi) antara pemberdayaan dalam bentuk bantuan fisik, peningkatan kapasitas masyarakat, penguatan kelembagaan, pengembangan teknologi tepat guna, dan pengembangan usaha produktif. Pengembangan jaringan kerja dan kemitraan Jejaring kerja/kemitraan merupakan upaya pengembangan jejaring kerja atau mencari mitra yang mendukung kepentingan pemberdayaan diukur melalui ada tidaknya mitra dalam pemberdayaan MDK terkait dukungan dan peran di bidang masingmasing yang relevan. Pengembangan jaringan kerja berada dalam kategori rendah. Hal ini berarti bahwa upaya yang dilakukan dalam mengembangkan jaringan kerja dan kemitraan dalam pemberdayaan MDK masih

102 80 belum memadai, masyarakat belum melakukan upaya pengembangan jaringan kerja atau kemitraan dengan pihak lain. Masyarakat cenderung pasif, dalam arti menunggu pihak lain datang dan atau masih tergantung pada pendamping untuk mengusahakannya. Monitoring dan evaluasi Kegiatan monitoring dan evaluasi diperlukan untuk mengetahui apakah kegiatan berjalan telah sesuai dengan yang diharapkan ataukah tidak. Monitoring berkaitan dengan bagaimana membimbing dan membantu masyarakat dalam proses belajar selama pelaksanaan kegiatan. Sedangkan evaluasi berkaitan dengan keputusan yang akan diambil dan bagaimana menerapkan hasil evaluasi tersebut. Dalam penelitian ini diperoleh hasil bahwa monitoring dan evaluasi termasuk dalam kategori rendah. Hal ini berarti bahwa monitoring dan evaluasi yang dilakukan belum memadai. Monitoring dan evaluasi belum dilaksanakan pada semua kegiatan pemberdayaan MDK. Dari hasil wawancara dengan penyuluh, luasnya daerah binaan merupakan salah satu penyebab rendahnya frekuensi monitoring dan evaluasi. Sementara itu, dari hasil wawancara dengan responden, mereka menyatakan bahwa kegiatan monitoring dan evaluasi perlu dilakukan karena dengan adanya kegiatan tersebut akan menambah motivasi dan semangat dalam melaksanakan kegiatan. Efektifitas Pemberdayaan Partisipasi masyarakat Pemberdayaan dalam pengelolaan hutan berkelanjutan adalah bagaimana masyarakat memiliki kapasitas untuk memanfaatkan akses melalui partisipasi untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam rangka kesejahteraan (CANARI, 2002). Dalam hal ini, pemberdayaan tidak lagi sebagai sesuatu yang teoritis melainkan alat untuk memandirikan masyarakat. Sebagai kegiatan untuk mengubah perilaku, pemberdayaan dikatakan efektif apabila telah terdapat perubahan perilaku ke arah poritif. Dengan demikian, partisipasi dan kemandirian merupakan perilaku yang diharapkan berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan. Partisipasi dan kemandirian masyarakat dalam mengembangkan perilaku dibidang ekologi, ekonomi dan sosial budaya dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik sebagaimana dalam Tabel 15.

103 81 Tabel 15 Partisipasi masyarakat dalam kegiatan pemberdayaan MDK Efektifitas pemberdayaan Kategori Lokasi/Desa/Pekon Sukaraja Kubu Perahu Total persen persen persen Partisipasi Sangat rendah 27 40, , ,0 Masyarakat Rendah 17 25,4 9 24, ,0 Tinggi 17 25,4 5 13, ,2 Sangat tinggi 6 9,0 6 5,8 Tabel tersebut menunjukkan bahwa partisipasi responden dalam pemberdayaan MDK sangat rendah, sebanyak 48 persen responden peserta pemberdayaan berada dalam tingkat partisipasi dalam kategori tersebut. Dalam kategori ini masyarakat berada dalam tipe partisipasi pasif, mereka mengetahui informasi mengenai kegiatan tetapi tidak berpartisipasi didalamnya. Sebanyak 25 persen masyarakat berada dalam kategori partisipasi rendah dimana mereka terlibat dalam serangkaian proses dialog/konsultasi dan atau terlibat dalam partisipasi sumberdaya yang dalam hal ini adalah lahan dan tenaga. Sisanya sekitar 27 persen, berpartisipasi dalam kategori tinggi dan sangat tinggi, bersama dengan pendamping, mereka terlibat dalam merancang dan mengambil keputusan tentang apa yang akan dilakukan dalam pemberdayaan MDK. Hasil uji beda nonparametrik MannWhitney menunjukkan bahwa partisipasi di kedua lokasi menunjukkan perbedaan nyata (p=0.016). Sebanyak 65,7 persen masyarakat peserta program pemberdayaan MDK di Sukaraja berada dalam kategori tingkat partisipasi rendah dan sangat rendah, sementara itu di Kubu Perahu sebanyak 86,5 persen dalam kategori yang sama. Dapat dikatakan bahwa tingkat partisipasi masyarakat peserta program pemberdayaan MDK di Kubu Perahu lebih rendah. Hal ini dapat dipahami karena masyarakat Kubu Perahu sebagian besar tidak mempunyai lahan, sedangkan bentuk kegiatan budidaya ikan membutuhkan adanya lahan untuk kolam. Pada umumnya masyarakat peserta program pemberdayaan menginginkan bantuan untuk budidaya ternak, karena mereka berpendapat bahwa usaha tersebut tidak memerlukan lahan yang terlalu besar. Kemandirian dalam bidang ekologi Sebagai masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan konservasi, kemandirian dalam mengembangkan perilaku di bidang ekologi sangat penting. Hal ini berkaitan dengan bagaimana masyarakat mempunyai pengetahuan tentang pentingnya kawasan konservasi sebagai penyangga kehidupan, mempunyai persepsi dan sikap positif serta kemauan dan kemampuan untuk melakukan tindakan yang sesuai. Kemampuan masyarakat dalam mengembangkan perilaku kemandirian di bidang ekologi secara umum dapat dikatakan baik dalam aspek baik kognitif (53,9 persen) dan afektif (62,5 persen), sedangkan dalam aspek psikomotorik termasuk dalam kategori rendah dan sangat rendah (54,8 persen). Dari aspek kognitif, umumnya masyarakat mengetahui meskipun hanya sebatas bahwa taman nasional merupakan kawasan yang dilindungi. Masyarakat mempunyai pengetahuan

104 82 mengenai fungsi, manfaat serta akibat yang ditimbulkan apabila kawasan taman nasional rusak. Dari aspek sikap, secara umum masyarakat menyetujui akan pentingnya taman nasional dan pelestariannya. Namun demikian, aspek psikomotorik mempunyai persentase terendah, hal ini berarti bahwa dengan adanya pengetahuan, persepsi dan sikap yang baik tidak selalu memunculkan tindakan yang sesuai. Hal ini dapat dipahami karena untuk melakukan tindakan pelestarian hutan, masyarakat perlu mempunyai motivasi yang dalam hal ini tidak muncul dengan sendirinya tetapi perlu dorongan dari pihak lain yaitu pihak pengelola Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) sebagai pelaksana utama dalam program pemberdayaan masyarakat. Selain itu, masyarakat perlu merasakan adanya keuntungan bagi mereka. Masyarakat masih berorientasi pada keuntungan, artinya, ketika akan melakukan suatu tindakan, masyarakat akan mempertimbangkan apa keuntungan yang diperoleh. Kemandirian masyarakat peserta program pemberdayaan MDK dalam mengembangkan perilaku dibidang ekologi sebagaimana pada Tabel 16. Tabel 16 Kemandirian dalam mengembangkan perilaku dibidang ekologi Lokasi Desa/Pekon No. Efektifitas Kategori Sukaraja Kubu Perahu Total Pemberdayaan persen persen persen 1. Aspek kognitif Sangat kurang Kurang Baik Sangat baik 2. Aspek afektif Sangat kurang Kurang Baik Sangat baik 3. Aspek Psikomotorik 4. Kemandirian bidang ekologi Sangat kurang Kurang Baik Sangat baik Sangat kurang Kurang Baik Sangat baik Hasil uji beda MannWhitney menunjukkan adanya perbedaan nyata di kedua lokasi yaitu di Pekon Sukaraja dan Kubu Perahu dalam aspek afektif (p=0.002) dan psikomotorik (p=0.018), sedangkan dalam segi kognitif, masyarakat di kedua lokasi mempunyai pengetahuan yang sama. Secara keseluruhan, terdapat perbedaan nyata dalam kemandirian ekologi (p=0.020) di antara dua lokasi penelitian dimana masyarakat di Pekon Sukaraja cenderung mempunyai kemandirian di bidang ekologi lebih baik dibandingkan dengan Pekon Kubu Perahu. 3,0 31,3 53,7 12 7,5 46,3 46,3 6,0 38,8 50,7 4,5 3,0 31,3 50,7 14, ,5 54,1 5,4 91,9 8,1 73,0 27,0 54,1 45, ,9 34,6 53,9 9,6 4,8 62,5 32,7 3,8 51,0 42,3 2,9 1,9 39,4 49,0 9,6

105 83 Kemandirian dalam bidang ekonomi Kemandirian dalam mengembangkan perilaku dibidang ekonomi dimaksudkan agar masyarakat mempunyai pengetahuan, persepsi dan sikap serta kemampuan yang baik dalam meningkatkan ekonomi tanpa merusak kawasan. Hasil penelitian tentang kemandirian masyarakat peserta program pemberdayaan dalam mengembangkan perilaku di bidang ekonomi menjelaskan bahwa sebagian besar responden termasuk dalam kategori baik, meskipun tidak dapat dipungkiri hal ini masih banyak masyarakat yang belum mengembangkan kemandirian di bidang ekonomi dengan baik. Dari aspek pengetahuan, sebanyak 69,2 persen masyarakat berada dalam kategori kurang dan sangat kurang. Hal ini berarti masyarakat belum mengetahui bagaimana cara meningkatkan pendapatan mereka dengan memanfaatkan potensi dan peluang yang mereka miliki. Dalam aspek afektif termasuk sikap dan persepsi mereka terhadap caracara dalam meningkatkan pendapatan tanpa merusak kawasan, secara umum berada dalam kategori baik. Meskipun demikian, sebagaimana dalam aspek ekologi, kemampuan dalam aspek psikomotorik atau tindakan masyarakat dalam bidang ekonomi termasuk dalam kategori kurang. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya sarana prasarana yang dimiliki termasuk modal, jaringan kerja dan kelembagaan lain yang mendukung belum memadai. Kemandirian dalam mengembangkan perilaku dibidang ekonomi sebagaimana dalam tabel 17. Tabel 17 Kemandirian dalam mengembangkan perilaku dibidang ekonomi No. Efektifitas Pemberdayaan Kategori 1. Aspek kognitif Sangat kurang Kurang Baik Sangat baik 2. Aspek afektif Sangat kurang Kurang Baik 3. Aspek Psikomotorik 4. Kemandirian bidang ekonomi Sangat baik Sangat kurang Kurang Baik Sangat baik Sangat kurang Kurang Baik Sangat baik Lokasi Desa/Pekon Sukaraja Kubu Perahu Total persen persen persen 11,9 58,2 29,9 3,0 88,1 9,0 7,5 50,7 35,8 6,0 3,0 34,3 58, ,6 32, ,5 37,8 2,7 54,1 45, ,7 61,5 30,8 1,9 91,3 5,8 4,8 53,8 36,5 4,8 1,9 41,3 53,8 2.9 Hasil uji beda nonparametrik MannWhitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata dalam kemandirian mengembangkan perilaku di bidang ekonomi dalam aspek afektif. Sebagaimana diketahui bahwa mayoritas masyarakat di Sukaraja mempunyai lahan, sedangkan di Kubu Perahu tidak, maka hal ini sedikit banyak akan mempengaruhi cara berpikir masyarakat tentang bagaimana meningkatkan pendapatan. Petani yang mempunyai lahan akan cenderung mempunyai kemauan dalam mengolah lahannya sebaik mungkin termasuk bagaimana agar lahannya tetap produktif.

106 84 Kemandirian dalam bidang sosial budaya Selain bidang ekologi dan ekonomi, keberadaan taman nasional diharapkan juga mampu mendukung kehidupan sosial budaya masyarakat. Dengan adanya kegiatan pemberdayaan masyarakat MDK, diharapkan akan mampu mendorong masyarakat untuk mengembangkan perilaku kemandirian di bidang sosial budaya, dalam hal ini adalah ciri kehidupan bermasyarakat yang positif dan menunjang ke arah peningkatan kesejahteraan masyarakat serta kelestarian kawasan. Dari hasil penelitian sebagaimana dalam tabel 18 di bawah menunjukkan bahwa secara umum kemampuan masyarakat dalam mengembangkan perilaku bidang sosial budaya berada dalam kategori baik (75 persen). Responden pada umumnya menyetujui perlunya mengembangkan potensi yang dimiliki, mentaati aturan yang ada dengan memanfaatkan hutan tanpa merusaknya, bekerjasama dan beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di sekitar mereka. Namun demikian, dalam aspek kognitif, masyarakat kebanyakan masih belum mengetahui tentang bagaimana mengembangkan potensi yang dimiliki untuk memenuhi kebutuhannya, bagaimana memanfaatkan kawasan tanpa merusaknya, bagaimana mengembangkan kerjasama dan bagaimana beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di sekitar mereka. Dalam aspek psikomotorik hal tersebut menyebabkan masyarakat belum sepenuhnya mampu merealisasikan dalam tindakan nyata. Kemandirian masyarakat peserta program pemberdayaan dalam bidang sosial budaya sebagaimana dalam Tabel 18. Tabel 18 Kemandirian dalam mengembangkan perilaku dibidang sosial budaya Lokasi Desa/Pekon No. Kategori Sukaraja Kubu Perahu Total persen persen persen 1. Aspek kognitif Sangat kurang Kurang Baik Sangat baik ,4 41,8 41, ,7 56,8 40, ,5 47,1 41,4 2. Aspek afektif Sangat kurang Kurang Baik Sangat baik 3. Aspek Psikomotorik 4. Kemandirian bidang sosbud Sangat kurang Kurang Baik Sangat baik Sangat kurang Kurang Baik Sangat baik , ,6 20,9 52,2 37,3 10,4 29,9 61,2 9, ,7 89,2 8,1 56,8 43,2 16,2 83, ,0 2,9 79,8 16,3 53,9 39,4 6,7 25,0 69,2 5,8 Hasil uji beda nonparametrik MannWhitney menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nyata dalam kemandirian dalam mengembangkan perilaku di bidang sosial budaya dalam aspek afektif di kedua lokasi (p=0.019). Masyarakat Kubu Perahu mempunyai ketergantungan yang lebih tinggi terhadap kawasan. Selain itu, meskipun dikelilingi kawasan, namun akses yang mudah serta kedekatan dengan pusat kota sedikit banyak menentukan cara hidup mereka seharihari, dimana pertemuanpertemuan atau kegiatan semacamnya tidak lagi dianggap

107 85 penting. Masyarakat lebih responsif terhadap kegiatankegiatan yang cepat memberikan hasil. Secara umum kemandirian masyarakat peserta program pemberdayaan MDk dalam bidang ekologi, ekonomi dan sosial budaya dapat dikatakan baik. Kemandirian dalam bidang ekonomi mempunyai persentase terendah, hal ini dapat dipahami karena masyarakat belum secara signifikan merasakan adanya keuntungan ekonomi sebagai dampak kegiatan pemberdayaan MDK mengingat sebagian besar kegiatan belum lama berjalan. Selain itu, dalam bidang ekonomi, sarana dan prasarana masih terbatas sehingga untuk pengembangannya secara optimal belum dapat dilakukan. Dilihat dari aspek kognitif, afektif dan psikomotorik, maka kemampuan dalam aspek psikomotorik cenderung lebih rendah dibandingkan 2 (dua) aspek lainnya. Apabila dibandingkan dari ketiga aspek, aspek psikomotorik mempunyai prosentase terendah, hal ini berarti bahwa dengan adanya pengetahuan dan sikap yang baik tidak selalu memunculkan tindakan yang sesuai. Tindakan mereka untuk menjaga dan melestarikan kawasan tidak selalu muncul dari inisiatif sendiri, tetapi perlu didorong dan diarahkan oleh pihak lain. Selain itu masyarakat perlu merasakan adanya keuntungan bagi mereka yang kemudian akan menjadi salah satu faktor pendorong dalam mengambil tindakan. Hal ini juga dapat dijelaskan bahwa meskipun pengetahuan (kognitif) umumnya dilihat sebagai prasyarat untuk perilaku seseorang, dan dianggap penting untuk mendorong tindakan (psikomotorik) (Frick, Kaiser, dan Wilson, 2004), namun para ilmuwan menemukan bahwa terdapat kesenjangan antara pengetahuan dan perilaku, bahwa orang tidak selalu melakukan apa yang mereka ketahui (Smith, 1995 di acu dalam Nguyen et al., 2007). Hubungan Karakteristik Sosiodemografi dengan Efektifitas Pemberdayaan Untuk mengetahui hubungan atau korelasi antar variabel digunakan analisis korelasi spearman. Karakteristik sosiodemografi masyarakat peserta program pemberdayaan MDK yang diduga mempiliki korelasi/hubungan dengan pertisipasi meliputi umur, pendidikan formal, pelatihan, mata pencaharian, pendapatan, kepemilikan lahan, jumlah tanggungan keluarga, ketergantungan terhadap sumberdaya TNBBS, status migrasi/asal etnis, keterlibatan masyarakat dalam kegiatan/program TNBBS, keikutsertaan dalam kelompok/organisasi, manfaat TNBBS yang dirasakan, dan keterdedahan terhadap informasi. Hasil penelitian dengan analisis korelasi Spearman menunjukkan adanya keeratan hubungan antara faktor individu dengan partisipasi masyarakat. Selain korelasi dengan partisipasi, karakteristik individu juga menunjukkan adanya keeratan hubungan dengan kemandirian dalam mengembangkan perilaku (aspek kognitif, afektif dan psikomotorik) di bidang ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Hasil analisis hubungan karakteristik demografis dan sosial dengan efektifitas pemberdayaan partisipasi dan kemandirian masyarakat disajikan dalam tabel berikut:

108 86 86 Tabel 19 Hubungan karakteristik sosiodemografi dengan efektifitas pemberdayaan (partisipasi dan kemandirian) Kemandirian dalam Mengembangkan Perilaku di Bidang Partisi Ekologi Ekonomi Sosial Budaya Total No. Sub Variabel pasi Kemandirian K A P Total K A P Total K A P Total Spearman s Coefficient Correlations 1. Umur Pendidikan formal.249 *.475 **.298 **.243 *.405 **.302 ** ** ** 3. Pelatihan.605 **.342 ** **.353 **.459 **.307 **.470 **.491 **.452 **.252 **.513 **.529 **.544 ** 4. Mata pencaharian * Pendapatan.274 **.495 **.244 *.239 *.389 **.259 **.235 **.294 **.362 **.407 ** *.304 **.385 ** 6. Luas lahan.318 ** *.268 **.384 **.336 ** ** * 7. Jumlah tanggungan keluarga Asal etnis.258 ** **.456 **.360 ** ** ** * 9. Keikutsertaan dalam kelompok.548 **.572 **.428 **.583 **.624 **.301 **.459 **.325 **.395 **.454 **.360 **.432 **.543 **.570 ** 10. Keterdedahan informasi.457 **.460 ** **.357 **.383 ** **.408 **.538 ** **.597 **.482 **.097 Keterangan: K: Kognitif (pengetahuan) A: Afektif (Persepsi dan sikap) P: Psikomotorik (tindakan dan keterampilan) *Korelasi signifikan pada taraf kepercayaan 95 persen (α= 0.05) ** Korelasi signifikan pada taraf kepercayaan 99 persen (α= 0.01)

109 87 Umur Tingkat usia akan mempengaruhi aktivitas seseorang. Umur yang relatif lebih muda cenderung mempunyai kemampuan lebih besar dan sebaliknya umur lanjut usia akan kurang produktif karena keterbatasan tenaga, namun mereka mempunyai kemampuan berdasarkan pengalaman saja (Zaini, 2010). FAO (2003) mengemukakan bahwa semakin tua umur seseorang akan semakin berkurang partisipasinya dalam kegiatan konservasi hutan. Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa umur tidak berkorelasi dengan efektifitas pemberdayaan. Hal ini berarti bahwa umur responden tidak berhubungan dengan partisipasi mereka dalam kegiatan dan kemandirian dalam mengembangkan perilaku. Hal ini dapat dipahami karena hampir semua responden termasuk dalam kategori usia sangat produktif. Pendidikan formal Tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi kemampuan berpikir, memahami arti pentingnya hutan serta mencari solusi dari masalahmasalah yang ada. Seseorang akan lebih cepat memberikan tanggapan terhadap suatu masalah, melalui kemapuan berpikir dengan bekal pendidikan dan pengetahuan yang mereka miliki (Hasanuddin, 2011). Faktor pendidikan berpengaruh karena mempunyai implikasi terhadap tingkat pengetahuan responden di dalam mengelola lahan serta tingkat pengetahuan dan persepsi responden terhadap keberadaan TNBBS (Pasha dan Susanto, 2009). Sejalan dengan hasil penelitian ini, bahwa tingkat pendidikan masyarakat peserta program pemberdayaan mempunyai korelasi positif signifikan dengan keeratan hubungan lemah terhadap partisipasi (r=0.209). Lemahnya korelasi antara tingkat pendidikan dengan partisipasi dapat dipahami karena secara umum tingkat pendidikan responden dapat dikatakan rendah. Sebagian besar responden hanya berpendidikan setingkat sekolah dasar atau bahkan tidak lulus. Hal ini sejalan dengan penelitian Brännlund, Sidibe, dan Gong (2009) yang mengemukakan bahwa tingkat pendidikan formal tidak menunjukkan pengaruh kuat dalam partisipasi pengelolaan hutan, dan hal ini disebabkan karena secara umum masyarakat disekitar kawasan hutan berpendidikan rendah.sedangkan dengan tingkat kemandirian, tingkat pendidikan berkorelasi sangat signifikan dengan keeratan hubungan lemah (r=0.286). Tingkat pendidikan berhubungan signifikan dengan tingkat pengetahuan (kognitif) masyarakat dibidang ekologi dan ekonomi. Pengetahuan ini dapat dijadikan dasar bagi masyarakat untuk mengembangkan perilaku mereka, dalam hal ini berkaitan dengan kelestarian kawasan dan peningkatan kesejahteraan mereka. Pelatihan Selain pendidikan formal, pengetahuan juga dapat diperoleh melalui pendidikan non formal seperti pelatihan. Faktor pelatihan mempunyai korelasi positif sangat signifikan dengan tingkat keeratan hubungan kuat dengan partisipasi dalam pemberdayaan MDK (r=0.605) dan kemandirian masyarakat

110 88 (r=0.544). Korelasi tersebut berada pada tingkat hubungan yang kuat dan sangat signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa dengan meningkatnya tingkat pendidikan non formal maka partisipasi dan kemandirian mereka semakin baik. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, salah satu kendala yang dihadapi masyarakat adalah rendahnya tingkat pendidikan dan minimnya pengembangan kapasitas. Ketika program pemberdayaan ditekankan pada pengembangan usaha produktif, masyarakat mengalami kesulitan dalam memecahkan permasalahan yang ada karena belum adanya pengetahuan, pengalaman maupun keterampilan yang memadai. Misalnya dalam budidaya ternak kambing, masyarakat masih mengambil makanan ternak dari kawasan, karena belum mampu membuat hijauan makanan ternak (HMT) sendiri, sementara hijauan makanan ternak dari lahan masyarakat tidak mencukupi terutama pada musim kemarau. Dengan permasalahan tersebut, pelatihan pembuatan makanan ternak sangat diperlukan berkaitan pemenuhan HMT. Dengan demikian, pelatihan pada dasarnya berkaitan erat dengan bagaimana masyarakat penerima program pemberdayaan dapat mengelola bantuan yang diberikan dengan lebih baik. Pelatihan diperlukan untuk meningkatkan pengetahuan sekaligus keterampilan teknis masyarakat dalam mengelola kegiatan dalam pemberdayaan. Pendapatan Pendapatan berkaitan dengan tersedianya biaya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian, tingkat pendapatan berkorelasi berkorelasi positif sangat signifikan dengan partisipasi dan kemandirian masyarakat Hal ini berarti, semakin tinggi tingkat pendapatan maka dapat diharapkan akan semakin baik pula tingkat partisipasi dan kemandirian yang dimiliki masyarakat. Hubungan tingkat pendapatan dapat dikatakan signifikan dalam keeratan hubungan yang lemah dengan partisipasi (r=0.274), sedangkan dengan kemandirian, karakteristik ini mempunyai hubungan sangat signifikan dengan keeratan hubungan cukup (r=0.385). Keeratan hubungan yang lemah antara tingkat pendapatan dengan partisipasi masyarakat dapat dipahami karena umumnya masyarakat peserta program pemberdayaan mempunyai penghasilan dengan kategori rendah. Apabila pendapatan mereka tidak mencukupi maka mereka cenderung berusaha untuk menambah pendapatan dari berbagai usaha sampingan yang mudah dan cepat menghasilkan misalnya menjadi buruh bangunan, memecah batu, bengkel, dan usaha lainnya. Jumlah tanggungan keluarga Jumlah tanggungan keluarga dapat berpengaruh positif maupun negatif. Di satu sisi semakin banyak jumlah anggota keluarga maka semakin banyak aset dalam berusaha serta terdapat ketersediaan tenaga untuk berpartisipasi, sementara itu disatu pihak banyak jumlah tanggungan keluarga maka semakin banyak yang harus tercukupi kebutuhannya (Brännlund, Sidibe dan Gong, 2009). Besarnya jumlah tanggungan keluarga responden mempengaruhi besarnya biaya hidup.

111 89 Besarnya biaya hidup yang ditanggung responden akan mendorong untuk lebih aktif berusaha guna memenuhi kebutuhan keluarganya (Hasanuddin, 2011). Dalam penelitian ini, jumlah tanggungan keluarga tidak menunjukkan adanya korelasi dengan partisipasi maupun kemandirian masyarakat. Tidak semua anggota keluarga terlibat dalam kegiatan pemberdayaan MDK. Upaya dalam memenuhi kebutuhan anggota keluarganyapun tidak serta merta mendorong mereka untuk aktif berpartisipasi dalam kegiatan pemberdayaan. Hal ini disebabkan karena masyarakat tersebut belum merasakan adanya peningkatan pendapatan yang nyata dengan adanya kegiatan pemberdayaan. Mata pencaharian Mata pencaharian dalam penelitian ini dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu petani dan non petani. Dari hasil analisis, diperoleh hasil bahwa mata pencaharian tidak mempunyai korelasi dengan partisipasi dan kemandirian. Secara umum mata pencaharian utama masyarakat peserta program pemberdayaan MDK adalah petani. Sebagai usaha untuk menambah penghasilan, mereka pada umumnya mengandalkan pemasukan dari usahausaha sampingan, seperti menjadi buruh tani, beternak, ojek dan lainlain. Kepemilikan lahan Kepemilikan lahan mempunyai korelasi positif sangat signifikan dengan partisipasi (r=0.318) dan korelasi signifikan dengan kemandirian (r=0.233). Kepemilikan lahan mempunyai hubungan kuat dengan partisipasi. Lahan merupakan aset sumberdaya dalam partisipasi. Masyarakat yang mempunyai lahan akan meminjamkan lahannya dan atau memanfaatkannya dalam kegiatan agroforestry, budidaya ternak dan sebagainya. Kepemilikan lahan mempunyai keeratan hubungan dengan kemandirian terutama dalam mengembangkan perilaku kemandirian di bidang ekonomi. Hal ini dapat dipahami karena dengan memiliki lahan sendiri maka akan mengurangi ketergantungan terhadap kawasan hutan. Namun demikian, meskipun mayoritas masyarakat merupakan petani, namun lebih dari separuhnya merupakan petani penggarap karena mereka tidak mempunyai lahan sendiri. Etnis pemukim Masyarakat di sekitar kawasan TNBBS pada umumnya cukup beragam baik dari segi etnis maupun sosial budaya akibat perpindahan penduduk baik akibat program pemerintah (transmigrasi) maupun perpindahan karena kemauan sendiri. Pendatang pada umumnya membuka lahan hutan untuk digarap sekaligus sebagai tempat tinggal. Akibat banyaknya pendatang tersebut maka terdapat kecenderungan dalam memandang penduduk asli dan pendatang, dimana etnis pendatang diangap lebih tidak konservatif dibandingkan dengan etnis asli. Kondisi masyarakat lokal yang dengan asal berbeda mempunyai kemungkinan

112 90 memiliki referensi tata nilai yang berbeda pula, dan hal ini akan menyebabkan perilaku bervariasi terhadap sumberdaya alam taman nasional. Dari hasil penelitian, asal etnis pemukim mempunyai korelasi sangat signifikan dengan keeratan hubungan lemah dengan partisipasi (r=0.258), sedangkan dengan kemandirian berkorelasi signifikan dengan keeratan hubungan yang juga lemah (r=0.204). Kubu Perahu merupakan enclave, dimana masyarakat telah ada sebelum kawasan ditetapkan sebagai taman nasional. Ketergantungan yang kuat dengan kawasan berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan paling tidak akan mempengaruhi mereka dalam memandang kawasan bukan saja sebagai kawasan dilindungi tetapi juga berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dan akses mereka yang semakin terbatas. Sedangkan masyarakat peserta program pemberdayaan di Sukaraja meskipun merupakan etnis pendatang, tetapi mereka telah tinggal cukup lama di daerah tersebut, bahkan sejak lahir. Mereka merasa sebagai masyarakat setempat dan mempunyai tanggung jawab sama terhadap lingkungan. Dengan perkembangan yang ada, masyarakat etnis asli justru terdorong untuk melakukan aktivitas pembukaan lahan hutan (perambahan) karena melihat kehidupan pendatang yang lebih sejahtera dibandingkan dengan mereka. Keikutsertaan dalam kelompok Faktor keikutsertaan dalam kelompok mempunyai hubungan sangat signifikan dengan tingkat keeratan hubungan kuat baik dengan partisipasi (r=0.548) maupun kemandirian (r=0.570). Hal ini mengindikasikan bahwa semakin aktif masyarakat dalam kelompok maka partisipasi dan kemandirian mereka akan semakin baik. Keaktifan dalam kelompok tersebut berimplikasi pada meningkatnya pengetahuan dan informasi serta kerjasama. Selain itu, sebagaimana diketahui bahwa kelompok sering dijadikan acuan bertindak dan bertingkah laku anggotanya. Anggota kelompok cenderung meniru bahkan menuruti pola sosial dalam kelompok tersebut di masyarakat. Normanorma kelompok yang menyebabkan anggota untuk melakukan penyesuaian diri. Selanjutnya hal ini terwujud dalam kekohesifan (kekompakan) kelompok yaitu, sejauh mana anggota merasa tertarik satu sama lain dan termotivasi untuk tetap berada dalam kelompok tersebut. Hal tersebut dapat dicapai apabila antara anggota kelompok aktif dalam kelompok yang diukur dengan intensitas interaksi. Berdasarkan hal tersebut maka anggota masyarakat yang aktif dalam kelompok dimana kelompok tersebut mendukung kegiatan pemberdayaan, maka dukungan terhadap kegiatan pemberdayaan akan semakin baik dan diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan serta tindakan anggotanya. Keterdedahan informasi Keterdedahan informasi mempunyai korelasi positif sangat signifikan dengan tingkat keeratan hubungan yang kuat dengan partisipasi (r=0.457) dan kemandirian (r=0.482). Dengan keterdedahan informasi yang relatif baik diharapkan akan dapat membuka wawasan masyarakat tentang berbagai hal. Hal tersebut dapat mendorong masyarakat untuk membuka diri terhadap perubahan

113 91 yang ditawarkan, dalam hal ini program pemberdayaan. Secara umum masyarakat memperoleh berbagai informasi dari teman kelompok mereka. Sedangkan informasi mengenai pelestarian kawasan dan halhal mengenai pemberdayaan MDK kebanyakan mereka peroleh dari penyuluh/pendamping. Dari hasil analisis, karakteristik individu yang mempunyai korelasi paling besar dengan partisipasi adalah pendidikan nonformal/pelatihan (r=0.605). Faktor lain yang juga mempunyai korelasi dengan kemandirian adalah pendidikan non formal (r=0.544) dan keikutsertaan dalam kelompok (r=0.570). Dengan demikian faktorfaktor tersebut perlu untuk dipertimbangkan karena diharapkan mampu mendorong upaya meningkatkan efektifitas pemberdayaan MDK di TNBBS. Hubungan Interaksi dan Akses terhadap Taman Nasional dengan Efektifitas Pemberdayaan Hasil penelitian dengan analisis korelasi Spearman menunjukkan adanya keeratan hubungan antara faktor interaksi dan akses masyarakat terhadap taman nasional dengan efektifitas pemberdayaan partisipasi dan kemandirian masyarakat dalam mengembangkan perilaku (aspek kognitif, afektif dan psikomotorik) di bidang ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Interaksi dan akses masyarakat terhadap taman nasional dalam konteks penelitian ini tercermin dari seberapa sering masyarakat masuk ke dalam kawasan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya atau seberapa besar ketergantungannya terhadap TNBBS. selain itu interaksi dan akses juga ditentukan melalui seberapa besar manfaat langsung kawasan TNBBS yang dirasakan oleh masyarakat, bagaimana keterlibatan mereka dalam program pemberdayaan yang dilakukan TNBBS dalam hal ini MDK, dan seberapa besar akses masyarakat terhadap kegiatan pengelolaan taman nasional. Hasil analisis hubungan interaksi dan akses terhadap taman nasional dengan efektifitas pemberdayaan partisipasi dan kemandirian disajikan dalam Tabel 20 dan Tabel 21: Tabel 20 Hubungan interaksi dan akses terhadap taman nasional dengan partisipasi Partisipasi No. Sub Variabel Spearman s Coefficient Correlations 1. Tingkat ketergantungan terhadap TNBBS.472 ** 2. Tingkat manfaat langsung keberadaan TNBBS.663 ** 3. Tingkat keterlibatan dalam program pemberdayaan MDK.569 ** 4. Tingkat akses terhadap kegiatan TNBBS.885 ** 5. Interaksi dan akses terhadap sumber daya.877 ** Keterangan: *Korelasi signifikan pada taraf kepercayaan 95 persen (α= 0.05) ** Korelasi signifikan pada taraf kepercayaan 99 persen (α= 0.01)

114 92 Tabel 21 Hubungan interaksi dan akses terhadap taman nasional dengan kemandirian Kemandirian dalam Mengembangkan Perilaku di Bidang Ekologi Ekonomi Sosial Budaya Kemandirian Sub Variabel No. K A P Total K A P Total K A P Total Spearman s Coefficient Correlations 1. Tingkat ketergantungan terhadap TNBBS.371 **.254 **.551 **.461 **.343 **.345 **.368 **.400 **.395 **.255 **.449 **.487 **.489 ** 2. Tingkat manfaat keberadaan TNBBS 3. Tingkat keterlibatan dalam MDK 4. Tingkat akses terhadap kegiatan TNBBS 5. Interaksi dan akses terhadap Taman nasional.666 **.271 **.523 **.591 **.516 **.415 **.537 **.599 **.632 **.298 **.488 **.603 **.665 **.592 **.422 **.541 **.623 **.376 **.323 **.405 **.439 **.518 **.371 **.398 **.566 **.593 **.744 **.388 **.703 **.736 **.569 **.489 **.651 **.713 **.712 **.347 **.650 **.780 **.823 **.766 **.401 **.688 **.745 **.565 **.481 **.647 **.703 **.720 **.385 **.628 **.780 ** 823 ** Keterangan: K: Kognitif (pengetahuan) A: Afektif (Persepsi dan sikap) P: Psikomotorik (tindakan dan keterampilan) *Korelasi signifikan pada taraf kepercayaan 95persen (α= 0.05) ** Korelasi signifikan pada taraf kepercayaan 99 persen (α= 0.01) Tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kawasan Tingkat ketergantungan terhadap kawasan mempunyai korelasi positif sangat signifikan dengan partisipasi (r=0.472) maupun kemandirian (r=0.489) dalam kategori keeratan hubungan yang kuat. Hal ini berarti bahwa semakin rendah tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kawasan yang berarti semakin baik interaksi masyarakat dengan kawasan, maka terdapat kecenderungan semakin baik tingkat partisipasi maupun kemandiriannya. Tuntutan pemenuhan kebutuhan dan keterbatasan lahan menyebabkan masyarakat memanfaatkan kawasan hutan. Sebelum adanya kegiatan pemberdayaan masyarakat banyak yang membuka lahan di dalam kawasan, mengambil damar dan kayu. Namun dengan adanya kegiatan pemberdayaan dan seiiring kesadaran masyarakat yang semakin baik, saat ini aktifitas tersebut sudah berkurang. Namun berbagai aktifitas lain untuk memenuhi kebutuhan masih dilakukan oleh masyarakat, antara lain mengambil berbagai hasil hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka mulai dari kebutuhan akan air, makanan ternak, kayu bakar, berburu, mengambil anggrek, tanaman obat. Tingkat manfaat langsung keberadaan taman nasional yang dirasakan masyarakat Manfaat langsung keberadaan taman nasional yang dirasakan oleh masyarakat mempunyai korelasi positif sangat signifikan dengan keeratan hubungan kuat baik dengan partisipasi (r=0.663) maupun dengan kemandirian

115 93 (r=0.665). Hal ini berarti semakin besar manfaat langsung yang dirasakan maka diharapkan masyarakat akan semakin terdorong untuk berpartisipasi dan pada akhirnya semakin baik dalam mengembangkan perilaku kemandirian. Manfaat taman nasional terdiri dari manfaat ekonomi, ekologi dan sosial budaya. Namun demikian, sebagaimana di ketahui bahwa kebutuhan masyarakat di sekitar kawasan taman nasional adalah kebutuhan untuk waktu sekarang. Berdasarkan hal tersebut, upaya untuk mendekatkan masyarakat terhadap taman nasional dalam arti positif sangat penting untuk dipertimbangkan dalam pengelolaannya. Selama ini TNBBS juga telah melakukan upaya tersebut misalnya dengan pemanfaatan sumber daya kawasan yang langsung dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat seperti pemanfaatan air untuk mikrohidro, penanaman batas kawasan dengan hijauan makanan ternak dan sebagainya. Upaya ini perlu terus ditingkatkan misalnya dengan pengembangan usaha produktif ke arah aneka usaha kehutanan. Dengan demikian masyarakat akan lebih merasakan manfaat langsung kawasan TNBBS sehingga diharapkan kedekatan dan rasa memiliki akan mendorong perilaku positif dalam meningkatkan kesejahteraan dan kelestarian kawasan. Tingkat keterlibatan dalam program pemberdayaan MDK Keterlibatan dalam konteks penelitian ini lebih ditekankan dimensi waktu, yaitu berapa lama responden terlibat dalam pemberdayaan masyarakat. Sebagaimana hasil penelitian Hashemi et al. (1996) yang diacu dalam Herawati (2012) bahwa lamanya responden menjadi anggota pemberdayaan berpengaruh signifikan terhadap beberapa indikator pemberdayaan seperti kemandirian dan keterlibatan pengambilan keputusan. Dalam penelitian ini keterlibatan dalam program pemberdayaan MDK yang dilakukan oleh TNBBS mempunyai korelasi positif sangat signifikan dengan tingkat keeratan hubungan kuat terhadap partisipasi (r=0.569) dan kemandirian (r=0.593). Masyarakat yang telah lama terlibat dalam kegiatan pemberdayaan mempunyai tingkat partisipasi dan kemandirian yang lebih baik dibandingkan dengan yang belum lama terlibat. Hal ini dapat dipahami karena semakin lama masyarakat terlibat dalam kegiatan maka baik pengetahuan, wawasan, sikap dan tindakan mereka akan meningkat ke arah yang positif. Tingkat akses masyarakat terhadap kegiatan taman nasional Dari hasil analisis, akses masyarakat terhadap taman nasional baik akses dalam kegiatan pemberdayaan maupun kegiatankegiatan taman nasional lainnya, mempunyai korelasi positif sangat signifikan dengan tingkat keeratan hubungan sangat kuat dengan efektifitas pemberdayaan partisipasi (r=0.885) dan kemandirian (r=0.823). Dengan demikian, dengan memperbesar akses masyarakat terhadap kegiatankegiatan taman nasional baik dalam hal pelestarian hutan maupun pemberdayaan diharapkan akan mendorong partisipasi dan kemandirian masyarakat ke arah yang lebih baik. Meningkatkan pemberian akses kepada masyarakat dalam pengelolaan taman nasional berarti memberikan kepercayaan dan tanggungjawab kepada masyarakat untuk berpartisipasi didalamnya. Dalam pemberdayaan MDK, misalnya dengan

116 94 fasilitasi penyuluh, masyarakat diberi akses dalam perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan monitoring evaluasi. Dengan demikian masyarakat mempunyai akses terhadap semua proses dalam pemberdayaan dan dengan demikian diharapkan akan dapat mendorong masyarakat untuk merasa memiliki dan membutuhkan, dan bukan hanya sebagai objek penerima. Dengan demikian, secara garis besar, interaksi dan akses masyarakat peserta program pemberdayaan terhadap TNBBS mempunyai korelasi sangat signifikan dengan tingkat keeratan hubungan sangat kuat dengan efektifitas pemberdayaan di TNBBS. efektifitas dimaksud adalah partisipasi masyarakat (r=0.877) dan kemandirian (r=0.823) dalam mengembangkan perilaku di bidang ekologi (r=0.745), ekonomi (r=0.703) dan sosial budaya (r=0.780). Faktor yang mempunyai korelasi paling besar dengan efektifitas pemberdayaan baik partisipasi maupun kemandirian adalah manfaat langsung yang dirasakan oleh masyarakat dengan adanya TNBBS dan seberapa besar akses bagi masyarakat dalam kegiatan TNBBS. Hubungan Pendekatan Pemberdayaan dengan Efektifitas Pemberdayaan Pendekatan yang sesuai diharapkan dapat mengembangkan perilaku positif masyarakat baik dalam bidang ekologi, ekonomi dan sosial budaya sehingga tau mau dan mampu melaksanakan kegiatan dalam rangka konservasi kawasan dan sekaligus dapat bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Perilaku positif dimaksud dalam konteks ini adalah partisipasi dalam kegiatan pemberdayaan dan pada akhirnya dapat membentuk kemandirian masyarakat. Upaya ini salah satunya ditempuh melalui pemberian informasi sebanyakbanyaknya kepada masyarakat dan mengajak mereka untuk selalu tanggap dan peduli terhadap lingkungan di sekitar mereka dalam hal ini TNBBS. Dalam penelitian ini pendekatan pemberdayaan yang diduga berkorelasi dengan efektifitas pemberdayaan (partisipasi dan kemandirian) adalah pendekatan pemberdayaan yang dilakukan oleh pengelola (TNBBS) yang meliputi kesepahaman, kelembagaan, fasilitator, pendampingan, bentuk kegiatan pemberdayaan, jejaring kerja dan kemitraan, pemberian akses serta monitoring dan evaluasi. Dari hasil analisis, diperoleh hasil bahwa pendekatan pemberdayaan menpunyai korelasi/hubungan nyata dengan efektifitas pemberdayaan partisipasi dan kemandirian. Korelasi pendekatan pemberdayaan dengan partisipasi dan kemandirian disajikan dalam tabel berikut:

117 95 95 No. Tabel 22 Hubungan pendekatan pemberdayaan dengan efektifitas pemberdayaan (partisipasi dan kemandirian) Partisipasi Kemandirian dalam Mengembangkan Perilaku di Bidang Ekologi Ekonomi Sosial Budaya Sub Variabel K A P Total K A P Total K A P Total Spearman s Coefficient Correlations 1. Kesepahaman.551 **.599 **.483 **.471 **.625 **.320 **.325 **.408 **.437 **.515 **.300 **.363 **.537 **.575 ** 2. Kelembagaan.357 **.447 **.200 *.341 **.416 **.325 **.254 **.341 **.395 **.383 **.274 ** **.435 ** 3. Fasilitator.708 **.589 **.405 **.651 **.656 **.474 **.481 **.589 **.603 **.677 **.425 **.520 **.705 **.717 ** 4. Pendampingan.715 **.588 **.345 **.657 **.635 **.590 **.547 **.699 **.727 **.614 **.496 **.559 **.694 **.777 ** 5. Bentuk kegiatan pemberdayaan Kemandirian.671 **.586 **.207 *.537 **.539 **.622 **.467 **.654 **.720 **.569 **.315 **.572 **.600 **.708 ** 6. Jejaring kerja dan kemitraan.533 **.522 ** **.449 **.413 **.306 **.526 **.541 **.532 **.232 *.426 **.530 **.567 ** 7. Monitoring dan evaluasi.595 **.445 ** **.402 **.404 **.358 **.522 **.523 **.508 **.340 **.518 **.550 **.565 ** 8. Total pendekatan pemberdayaan.806 **.721 **.367 **.669 **.712 **.613 **.515 **.734 **.771 **.758 **.429 **.609 **.781 **.842 ** Keterangan: K: Kognitif (pengetahuan) A: Afektif (Persepsi dan sikap) P: Psikomotorik (tindakan dan keterampilan) *Korelasi signifikan pada taraf kepercayaan 95 persen (α= 0.05) ** Korelasi signifikan pada taraf kepercayaan 99 persen (α= 0.01)

118 96 Kesepahaman Dari hasil analisis, faktor kesepahaman mempunyai korelasi positif sangat signifikan dengan tingkat keeratan hubungan yang kuat dengan efektifitas pemberdayaan MDK dalam hal partisipasi (r=0.551) dan kemandirian masyarakat (r=0.575). Kesepahaman dalam konteks ini adalah upaya sosialisasi yang dilakukan oleh pihak pengelola berkaitan dengan MDK dan seberapa jauh masyarakat sasaran memahaminya. Hal ini berarti bahwa semakin masyarakat memahami mengenai kegiatan dimana mereka terlibat di dalammya maka dapat diharapkan semakin besar pula partisipasi serta kemandirian mereka. Pemberdayaan masyarakat daerah penyangga sekitar TNBBS tidak hanya untuk meminimalisir terjadinya kerusakan sumberdaya hutan dan ekosistemnya akibat perambahan dan tindak ilegal lainnya namun juga diarahkan sebagai upaya untuk memberikan kesempatan, kemudahan dan fasilitasi pada masyarakat agar secara mandiri tau, sadar, mau dan mampu mengembangkan potensi yang dimiliki dengan senantiasa memperhatikan upaya pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan hidupnya. Partisipasi bagi TNBBS adalah mengupayakan dan mengakomodir hal tersebut berdasarkan pengakuan bahwa masyarakat memiliki potensi pengetahuan, kemampuan serta kearifan untuk memanfaatkan sumberdaya hutan secara lestari. TNBBS mencoba memberi tanggungjawab melalui pemberdayaan sebagai bentuk partisipasi masyarakat sekitar. Namun demikian masyarakat tidak selalu berpijak dari hal yang sama. Adanya ketergantungan yang relatif tinggi dari masyarakat terhadap pendampingan mengindikasikan masyarakat belum siap untuk diberi tanggung jawab itu. Di samping itu masih banyak masyarakat yang menganggap kegiatan MDK sebagai kompensasi semata dari pihak TNBBS karena masyarakat tidak boleh mengganggu hutan, pemusnahan tanaman pada lahan perambahan ataupun imbalan atas perilaku mereka dalam membantu program TNBBS. Adanya pandangan demikian paling tidak akan mempengaruhi masyarakat terutama dalam keikutsertaan mereka dalam program terkait dengan apakah mereka menganggap pemberdayaan sebagai proyek semata ataukah sudah menjadi kebutuhan. Kelembagaan Dari hasil analisis, kelembagaan mempunyai korelasi positif sangat signifikan dengan keeratan hubungan yang kuat terhadap efektifitas pemberdayaan MDK yaitu partisipasi (r=0.357) dan kemandirian (r=0.435). Kelembagaan dalam hal ini meliputi Kelembagaan internal dalam MDK meliputi aturanaturan yang jelas mengenai pelaksanaannya maupun adanya lembaga lain yang mendukung. Dalam kegiatan pemberdayaan, termasuk MDK, dimana kawasan mempunyai wilayah lintas provinsi dan juga kompleksitas permasalahan hutan dengan masyarakat sendiri, maka diharapkan pelaksanaannya mendapat dukungan bukan saja dari pihak pengelola tetapi juga lembaga ataupun instansi lain yang terkait dengan kegiatan pemberdayaan.

119 97 Fasilitator Peran penyuluh sebagai fasilitator adalah sebagai mata rantai komunikasi yang menghubungkan sistem sosial yang mempelopori perubahan atau sumber informasi dengan sistem sosial masyarakat yang dibinanya. Hasil penelitian dengan analisis korelasi Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif sangat signifikan dengan tingkat keeratan hubungan sangat kuat antara fasilitator dengan efektifitas pemberdayaan MDK dalam hal partisipasi (r=0.708) dan kemandirian (r=0.717). Dalam konteks ini korelasi tersebut berkaitan dengan kemampuan yang dimiliki fasilitator meliputi kedekatan dengan masyarakat, kemampuan dalam membangun kesepakatan bersama atas permasalahan yang ada, mengembangkan hubungan dan membangun kemitraan, memberikan saran, masukan dan informasi bermanfaan serta keterampilan teknis yang dimiliki. Hal ini berarti bahwa semakin baik kemampuan fasilitator maka dapat diharapkan partisipasi dan kemandirian masyarakat akan semakin bertambah. Kemampuan penyuluh dalam melakukan interaksi dengan masyarakat berkaitan erat dengan kedekatan hubungan yang dibangun. Masyarakat mengharapkan penyuluh sebagai tempat bertanya halhal yang belum mereka pahami, memberikan solusi ataupun informasi untuk permasalahan yang mereka hadapi, mempunyai keterampilan teknis memadai untuk memecahkan permasalahan bersama masyarakat dan mampu menghubungkan masyarakat dengan pihak lain yang mendukung. Kapasitas dan kredibilitas penyuluh sebagai fasilitator turut membentuk ketertarikan masyarakat terhadap programprogram pemberdayaan yang dilakukan. Adanya korelasi yang signifikan antara fasilitator dengan perilaku masyarakat dalam kegiatan pemberdayaan juga mengindikasikan bahwa pada dasarnya masyarakat memiliki kecenderungan untuk mengikuti ajakan ataupun himbauan ke arah lebih baik. Kegiatan penyuluhan perlu terus dilakukan pada masyarakat karena dengan adanya penyuluhan diharapkan dapat meningkatkan perilaku masyarakat ke arah lebih baik. Seringkali perubahan perilaku dapat bersumber dari seseorang yang dianggap sebagai panutan dan sumber pengetahuan. Pendampingan Proses pembelajaran dalam pendampingan yang berjalan baik merupakan kunci keberhasilan yang penting. Berdasarkan hasil analisis, pendampingan mempunyai hubungan positif sangat signifikan dengan tingkat keeratan hubungan sangat kuat dengan efektifitas pemberdayaan MDK yaitu partisipasi (r=0.715) dan kemandirian masyarakat (r=0.777). Pendampingan dalam hal ini meliputi keberlanjutan interaksi dengan masyarakat, kesesuaian tujuan pemberdayaan MDK dengan masyarakat, proses komunikasi, manfaat yang dicapai dan pembelajaran yang terjadi dalam pemberdayaan MDK. Pemberdayaan MDK bukanlah kegiatan yang bersifat instan. Pendampingan tidak bisa serta merta berhenti ketika proyek selesai tetapi harus berkelanjutan mulai dari tahap prakondisi, persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi sehingga masyarakat telah memiliki kemandirian yang mantap.

120 98 Dari hasil wawancara, masyarakat mempunyai ketergantungan terhadap pendampingan. Adanya ketergantungan yang relatif tinggi dari masyarakat terhadap pendampingan mengindikasikan masyarakat belum siap untuk menerima tanggung jawab dalam kegiatan pemberdayaan. Sebagian masyarakat menganggap bahwa kegiatan pemberdayaan termasuk MDK adalah kompensasi dari TNBBS karena masyarakat tidak boleh mengganggu hutan ataupun imbalan atas perilaku mereka dalam membantu program TNBBS. Selain itu, masyarakat sebagai penerima manfaat kegiatan pemberdayaan bukan hanya dihadapkan pada masalah keterbatasan sumberdaya tetapi juga masalah modal, pemasaran, kelembagaan kelompok, kemitraan keahlian teknis dan sebagainya. Dengan demikian, upaya pendampingan yang dilakukan dapat meliputi (a). Pendampingan kelembagaan melalui penguatan kapasitas kelembagaan sebagai upaya pengembangan kapasitas individu, kelompok dan sistem kelembagaan misalnya melalui pelatihan teknis, peningkatan kapasitas anggota maupun kelompok; (b). Pendampingan teknis peningkatan usaha produktif, sebagai upaya peningkatan pendapatan; (c) Pendampingan dalam pengembangan jejaring kerja dan kemitraan dalam hal usaha pemasaran, peningkatan produksi, permodalan dan lain sebagainya. Dengan demikian pendampingan perlu dilakukan secara berkelanjutan untuk mengantisipasi dan memotivasi masyarakat untuk memecahkan masalah keterbatasan tersebut. Semakin baik pendampingan yang dilakukan maka diharapkan akan semakin efektif kegiatan pemberdayaan. Bentuk kegiatan pemberdayaan Dari hasil penelitian, bentuk kegiatan pemberdayaan mempunyai korelasi positif sangat signifikan dengan tingkat keeratan hubungan yang kuat dengan efektifitas pemberdayaan MDK yaitu partisipasi (r=0.671) dan keeratan hubungan sangat kuat dengan kemandirian (r=0.708). dalam konteks penelitian ini, bentuk kegiatan pemberdayaan yang seimbang dalam bentuk fisik, didukung oleh peningkatan kapasitas sesuai dengan kebutuhan masyarakat, penguatan kelembagaan, dan penguatan jaringan kemitraan serta monitoring dan evaluasi sesuai dengan yang dibutuhkan masyarakat sasaran serta kondisi lokal setempat diharapkan dapat mendukung keberhasilan pemberdayaan. Secara umum bentuk pemberdayaan yang dilakukan belum sesuai dengan proporsinya terhadap kebutuhan dan kesesuaian dengan lokal kondisi lokal setempat. Masyarakat Sukaraja pada umumnya mengharapkan kegiatan peningkatan kapasitas melalui pelatihanpelatihan agar dapat mengelola kegiatan dengan lebih baik, sedangkan masyarakat Kubu Perahu mengharapkan adanya kegiatan yang sesuai dengan potensi yang mereka miliki. Saat ini kegiatan MDK di kubu perahu difokuskan pada kegiatan budidaya ikan dengan pertimbangan persediaan air yang melimpah. Namun hal tersebut pada pelaksanaannya mengalami kendala karena mayoritas peserta pemberdayaan MDK di Kubu Perahu tidak mempunyai lahan sehingga tempat budidaya ikan menyewa lahan orang lain. Budidaya ikan adalah bentuk kegiatan yang telah disetujui oleh masyarakat. Namun dalam perkembangannya ketika ternyata budidaya ikan tidak memberikan hasil sesuai yang diharapkan, masyarakat tidak bersemangat lagi mengerjakannya dan mulai melirik kegiatan lain yang lebih menjanjikan secara

121 ekonomis. Bukan tidak mungkin, kondisi demikian akan mendorong masyarakat untuk kembali melakukan tindakan ilegal terhadap hutan. Dengan demikian meskipun keputusan jenis bantuan berdasarkan atas permintaan dan kebutuhan masyarakat, tetapi tetap harus dikaji lebih lanjut bagaimana prospek ke depan, kendala yang harus dihadapi, pengaruhnya terhadap masyarakat, bagaimana pemasarannya dan sebagainya. Kegiatan pendampingan bukan sekedar transfer secara teknis tetapi merupakan pekerjaan kompleks berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan masyarakat sasaran lainnya. tentunya kondisi tersebut harus dapat diantisipasi terutama pada saat perencanaan kegiatan. 99 Jejaring kerja dan kemitraan Jejaring kerja dan kemitraan mempunyai hubungan positif sangat signifikan dengan tingkat keeratan hubungan yang kuat dengan efektifitas pemberdayaan MDK dalam hal partisipasi (r=0.533) dan kemandirian masyarakat (r=0.567). Hal ini berarti bahwa dengan pengembangan jejaring kerja dan kemitraan yang baik diharapkan kegiatan pemberdayaan akan lebih efektif. Sebagaimana telah disebutkan bahwa masyarakat mempunyai keterbatasan dalam berbagai hal, oleh karenanya mereka perlu pendampingan. Pendamping, dalam hal ini penyuluh juga mempunyai keterbatasan, yang dalam penelitian ini terutama adalah dalam hal jumlah dan tenaga serta keahlian teknis. Penyuluh tidak mempunyai keahlian di segala bidang sehingga membutuhkan bantuan pihakpihak lain dalam mengatasi berbagai permasalahan yang ada. Keterbatasan bukan hanya aset sumberdaya alam termasuk lahan tetapi juga sering berbagai keterbatasan lainnya seperti keterbatasan skala usaha, manajemen, modal, teknologi, keahlian dan pemasaran. Sementara itu, biasanya aset teknologi, permodalan dan manajemen yang baik dimiliki oleh sektor ekonomi skala besar, sektor perbankan/lembaga keuangan dan sejenisnya. Kondisi demikian memerlukan koordinasi yang baik dalam menjalin kemitraan dan jaringan kerja yang diharapkan dapat mengantisipasi keterbatasan yang ada. Di Kubu Perahu misalnya dengan bantuan budidaya ikan, dengan membantu pembangunan fasilitas kolam dan pemberian bibit saja tidak akan menyelesaikan masalah. Pada kenyataannya masyarakat mengalami kesulitan dalam hal bagaimana mengembangkannya, bagaimana memperkuat kinerja kelompok, bagaimana pemasaran setelah panen ikan dan sebagainya. Untuk itu, pendamping/penyuluh perlu untuk memfasilitasi penguatan kelembagaan kelompok, peningkatan keterampilan, penguatan jaringan/ kemitraan dalam hal pemasaran dan sebagainya. Untuk itu perlu ada upaya pengembangan jejaring atau kemitraan usaha dengan pihakpihak lain. Dalam hal modal misalnya perlu diupayakan adanya bantuan lunak atau bantuan sejenis dari lembaga keuangan setempat. Untuk mengatasi permasalahan pemasaran perlu menjalin kemitraan yang saling menguntungkan dengan berbagai kalangan usaha.

122 100 Monitoring dan evaluasi Monitoring dan evaluasi memiliki korelasi positif sangat signifikan dengan tingkat keeratan hubungan kuat dengan efektifitas pemberdayaan MDK dalam hal partisipasi (r=0.595) dan kemandirian masyarakat (r=0.565). Dengan melaksanakan monitoring dan evaluasi pada semua kegiatan dalam program pemberdayaan MDK, maka diharapkan akan lebih mendorong kegiatan agar lebih terarah dan sesuai dengan tujuan. Dengan demikian faktor pendekatan pemberdayaan secara keseluruhan mempunyai korelasi positif sangat signifikan dengan keeratan hubungan sangat kuat terhadap efektifitas pemberdayaan yaitu partipasi (r=0.806) dan kemandirian (r=0.842) masyarakat dalam mengembangkan perilaku di bidang ekologi (r=0.712), ekonomi (r=0.771) dan sosial budaya (r=0.781). Faktor pendekatan pembedayaan yang mempunyai korelasi paling besar dengan partisipasi adalah adalah fasilitator (r=0.708), pendampingan (r=0.715) dan benruk kegiatan pemberdayaan (0.671). Sedangkan faktor yang mempunyai korelasi paling besar dengan kemandirian adalah pendampingan (r=0.777), fasilitator (r=0.717) dan bentuk pemberdayaan (r=0.708). Hubungan Partisipasi dengan Kemandirian Pemberdayaan melalui partisipasi merupakan strategi yang sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial dan budaya. Berbagai penelitian mengenai partisipasi masyarakat (dalam pengelolaan hutan partisipatif) menunjukkan bahwa terdapat beberapa dampak nyata yang dihasilkan oleh pemberdayaan berbasis partisipasi (CANARI, 2002), yaitu: (1) Dalam bidang ekologi, mengurangi degradasi hutan dan memperbaiki ekosistem melalui melalui kontrol dan pola penggunaan yang stabil. (2) Dalam bidang ekonomi, berkurangnya ketergantungan masyarakat pada sumber daya hutan, keterampilan meningkat, memanfaatkan potensi yang menghasilkan tenaga kerja lokal. (3) Dalam bidang sosial, mengembangkan keaktifan kelompok untuk menjadi mitra aktif, memperoleh manfaat dari pembelajaran dan informasi, berbagi, meningkatkan kapasitas pengelolaan dan keterampilan. (4) Dalam bidang kelembagan, struktur budaya, sikap, dan lembaga pengelolaan hutan akan menjadi lebih fokus pada pengembangan hubungan antara hutan dan hubungan antara pemerintah dan pemangku kepentingan hutan lainnya. Keterlibatan lembagalembaga eksternal dapat memberikan dampak yang lebih baik/positif dalam mendukung pengembangan kapasitas. (5) Dalam bidang kebijakan, mendorong kepekaan pembuat kebijakan tentang manfaat pendekatan partisipatif. Dari hasil dalam penelitian ini, partisipasi mempunyai korelasi sangat signifikan dengan kemandirian, sebagaimana dalam Tabel 23 berikut:

123 101 Tabel 23 Hubungan partisipasi dengan kemandirian Kemandirian dalam Mengembangkan Perilaku di Bidang Ekologi Ekonomi Sosial Budaya Total Partisipasi Keman K A P Total K A P Total K A P Total dirian Spearman s Coefficient Correlations Perencanaan.579 **.340 **.660 **.632 **.490 **.466 **.488 **.565 **.526 **.428 **.573 **.621 **.680 ** Pelaksanaan.709 **.431 **.659 **.721 **.553 **.433 **.624 **.665 **.671 **.396 **.586 **.735 **.789 ** Pemanfaatan.636 **.332 **.592 **.608 **.586 **.408 **.591 **.658 **.647 **.373 **.696 **.756 **.757 ** Evaluasi.721 **.345 **.690 **.701 **.510 **.498 **.610 **.642 **.693 ** 306 **.719 **.761 **.781 ** Partisipasi.728 **.389 **.706 **.721 **.589 **.486 **.626 **.691 **.696 **.424 **.712 **.795 **.823 ** Keterangan: K: Kognitif (pengetahuan) A: Afektif (Persepsi dan sikap) P: Psikomotorik (tindakan dan keterampilan) *Korelasi signifikan pada taraf kepercayaan 95 persen (α= 0.05) ** Korelasi signifikan pada taraf kepercayaan 99 persen (α= 0.01) Dari hasil analisis, partisipasi mempunyai korelasi positif sangat signifikan dengan tingkat keeratan hubungan sangat kuat (r=0.830). Hal tersebut berarti bahwa dengan meningkatnya partisipasi masyarakat dalam kegiatan pemberdayaan dapat mendorong kearah kemandirian yang lebih baik. Dari hasil penelitian, partisipasi mempunyai korelasi sangat signifikan pada tingkat keeratan hubungan kuat dengan kemandirian masyarakat dalam aspek ekologi (r=0.721), ekonomi (r=0.691) dan sosial budaya (r=0,795). Koefisien korelasi paling kecil adalah partisipasi dalam aspek kemandirian ekonomi. Hal ini dapat dipahami karena belum semua hasil pemberdayaan MDK berdampak terhadap peningkatan ekonomi masyarakat. Agroforestry baru dilaksanakan satu tahun terakhir sehingga saat ini masih dalam tahap pemeliharaan. Demikian pula dengan budidaya ikan, dimana lahan kolam merupakan lahan dengan status sewa, sehingga hasil budidaya belum memberikan keuntungan yang nyata. Pembuatan pupuk organik masih dilakukan dalam skala kecil sehingga hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Peningkatan Efektifitas Pemberdayaan Masyarakat MDK di TNBBS Dari hasil penelitian telah terbukti bahwa terdapat korelasi antara karakteristik individu masyarakat dan pendekatan pemberdayaan terhadap efektifitas pemberdayaan MDK. Hal ini berarti bahwa masyarakat dapat berpartisipasi secara aktif dan mempunyai kemandirian dalam mengembangkan perilaku dalam kegiatan pemberdayaan MDK apabila pendekatan penyuluhan yang terapkan sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan kondisi masyarakat setempat, (karakeristik masyarakat yang bersangkutan). Sementara itu, disatu sisi permasalahan pemberdayaan masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteran masyarakat dan konservasi kawasan memerlukan koordinasi tidak hanya ditingkat regional tetapi bisa nasional dan bahkan global. Demikian pula upaya pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan TNBBS, tidak hanya dikhususkan pada masyarakat grasroot yang sering dikonotasikan kurang berdaya, namun juga harus melibatkan elite masyarakat dari berbagai kalangan

124 102 seperti birokrat (pemerintahan desa/wilayah), tokoh masyarakat, pengusaha maupun LSM sebagai penerima manfaat dan pihakpihak pengambil kebijakan. Menjalin kerjasama dengan pemerintah daerah kabupaten, instansi terkait seperti Dinas Pertanian, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Peternakan, Dinas Pariwisata dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), serta lembaga akademisi sangat perlu untuk mendukung keberhasilan program. Kemitraan tersebut dapat difasilitasi oleh TNBBS dan atau mitra kerjanya dengan prinsip pengembangan kemitraan saling ketergantungan, saling membutuhkan, saling menguntungkan, saling memperkuat dan saling melindungi dalam kedudukan yang setara. Peningkatan koordinasi tersebut salah satunya untuk optimalisasi peran para pihak. Dengan demikian, kata kunci bagi peningkatan efektifitas adalah menjalin kemitraan kerja antar pihakpihak yang berkepentingan dalam pemberdayaan MDK. Beberapa stakeholders kunci beserta peranannya dalam pengembangan desa model konservasi di daerah penyangga TNBBS, antara lain sebagai berikut: Masyarakat sebagai penerima manfaat kegiatan pemberdayaan MDK Masyarakat seringkali dinilai sebagai obyek dalam kegiatan pemberdayaan dengan posisi seringkali sebagai ancaman utama dalam terjadinya kerusakan kawasan. Pada kenyataannya, hal tersebut tidak dapat dipungkiri, banyak masyarakat melakukan perambahan dan pencurian hasil hutan kayu dan non kayu. Hal tersebut salah satunya disebabkan karena masyarakat tidak dapat merasakan manfaat hutan secara langsung. Masyarakat sebenarnya dapat diajak bekerja sama apabila diberikan kepercayaan kepada masyarakat, dengan pendekatan yang tidak merugikan masyarakat. Partisipasi masyarakat dalam kegiatan dapat ditumbuhkan dengan menjalankan kegiatan yang seusai dengan kebutuhan dan harapan masyarakat. Di pihak lain, masyarakat pun perlu membuka diri terhadap pembaharuan dan menjalankan kepercayaan yang telah diberikan oleh pemerintah dengan penuh tanggung jawab. Dalam pelaksanaan pemberdayaan MDK, masyarakat Pekon Sukaraja dan Kubu Perahu merupakan pelaksana utama. Selain difokuskan pada kelompokkelompok aktif yang mewakili mayoritas kelompok ekonomi produktif, juga difokuskan pada bagaimana merangsang terbentuknya kelompokkelompok baru. Dalam hal kelembagaan pendukung, tokoh masyarakat dan Lembaga Adat Pekon, diharapkan peranannya sebagai inisiator dan advokator. Mereka dapat mendorong terbentuknya Peraturan Desa serta memberi contoh atau panutan bagi masyarakat dalam mengembangkan kemandirian ekonomi berwawasan konservasi atau. Lembaga adat yang ada di pekon Kubu Perahu memiliki pengaruh yang besar serta hubungan yang dekat dengan masyarakat sehingga peran aktifnya diharapkan akan mendukung keberhasilan pengembangan desa model. Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (BTNBBS) Balai Besar TNBBS (pemerintah pusat) berperan sebagai fasilitator utama dalam pemberdayaan MDK. Sebagai fasilitator utama, BTNBBS perlu benarbenar

125 103 melaksanakan tahaptahap pengembangan MDK secara konsisten mulai dari prakondisi, persiapan dan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Tahap prapelaksanaan penting untuk identifikasi dan memahami karakteristik sasaran. Informasi mengenai masyarakat perlu terus digali dan bila diperlukan dilakukan survey mengenai tingkat pengetahuan dan respon masyarakat untuk berpartisipasi dalam pelestarian hutan. Kondisi dan potensi masyarakat sasaran perlu diperhatikan secara menyeluruh, bagi pengelola, hal ini bukan berarti hanya mengakomodir apa yang dibutuhkan masyarakat tetapi lebih jauh untuk mengkaji peluang ke depan dan halhal yang berkaitan. Sosialisasi dilakukan secara berkesinambungan baik terhadap masyarakat maupun pihakpihak lain yang berkepentingan. Selain kepada masyarakat, kesepahaman juga perlu dibentuk antara berbagai pihak yang seharusnya terlibat. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan kesepahaman benarbenar memahami maksud pemberdayaan MDK. Sehingga mereka tidak menganggap kegiatan pemberdayaan sebbagai proyek atau kompensasi semata namun merupakan kebutuhan bersama yang memerlukan tanggungjawab bersama. Oleh karenanya, kesamaan pandangan atau kesepahaman perlu dibangun dengan melakukan sosialisasi secara terusmenerus. Kesamaan pandangan atau kesepahaman antara masyarakat dengan pengelola sangat diperlukan mengenai programprogram partisipatif seperti pemberdayaan MDK, sehingga partisipasi yang merupakan proses coorporate action, common understanding, dan share in responsibility and consequences ini dimaknai sama oleh masyarakat sehingga berdampak seperti yang diharapkan. Melakukan pendampingan secara intensif dan berkelanjutan. Pendampingan dalam rangka kegiatan pemberdayaan MDK merupakan tugas yang berat, karena berkaitan dengan bagaimana mengubah masyarakat sasaran. Dari hasil penelitian, ketergantungan masyarakat terhadap pendampingan masih relatif tinggi, artinya di lapangan, masyarakat cenderung bergantung kepada penyuluh sebagai tempat bertanya, sehingga meereka mengharapkan interaksi dengan penyuluh sesering mungkin. Sementara itu, sumberdaya manusia (SDM) penyuluh di TNBBS sangat terbatas dengan wilayah kerja yang relatif luas. Selain itu, meskipun wacana polivalensi penyuluh telah menjadi kebutuhan, namun tidak mungkin penyuluh kehutanan menguasai semua keterampilan berkaitan kegiatan pemberdayaan MDK. Dengan tugas berat tersebut, perlu memperhatikan kinerja para pendamping di lapangan. Kinerja yang baik dari penyuluh perlu didukung atau diupayakan untuk mendapat reward, paling tidak dalam pemenuhan kebutuhan utama di lapangan termasuk bekal untuk meningkatkan keterampilan melalui pelatihan baik dalam hal teknis maupun pendampingan. Hal ini berkaitan dengan motivasi mereka karena pekerjaan penyuluh umumnya bukanlah sebuah pilihan, karena itu motivasi sangat diperlukan dalam mendukung kinerja. Hal tersebut sejalan dengan penelitian Yumi (2002), yang menyatakan bahwa motivasi penyuluh/pendamping berpengaruh besar terhadap kinerja penyuluhan di lapangan termasuk dalam kegiatan pemberdayaan. Melakukan koordinasi dengan berbagai pihak karena masalah konservasi kawasan merupakan masalah kompleks yang perlu penanganan bersama mulai dari masyarakat sasaran sampai pengambil kebijakan. Pemberian bantuan dalam bentuk kegiatan perlu dipertimbangkan supaya tidak menimbulkan ketergantungan masyarakat kepada program. Dalam hal bentuk kegiatan pemberdayaan, pemberian bantuan hendaknya tidak hanya

126 104 dalam bentuk fisik, tetapi juga pengetahuan substansif yang relevan, menawarkan pedoman tentang bagaimana memecahkan masalah atau meningkatkan kemampuan masyarakat dalam memecahkan masalah sehingga mereka menjadi lebih sadar tentang apa tujuan dan aspirasinya. Taman nasional sebagai kawasan dengan fokus utama pengelolaan di bidang konservasi perlu terus mengembangkan upaya pelibatan masyarakat dalam pengelolaannya, sesuai dengan zona yang telah ditetapkan. Pemberian akses kepada masyarakat diperlukan agar masyarakat merasa terdorong untuk berpartisipasi. Orientasi pengelola yang melihat perubahan masyarakat merupakan suatu hal yang dapat direncanakan perlu ditinjau kembali sehubungan dengan perubahan dan dinamika masyarakat yang relatif cepat. Kegiatan dan alokasi anggaran yang sudah diformulasikan secara pasti di awal perencanaan kegiatan sering sulit mengakomodir prioritas yang tidak direncanakan atau muncul belakangan. Dengan demikian perencanaan harus disusun dengan luwes (fleksibel) sehingga mampu mengakomodir permasalahan yang muncul dan tidak terhambat penyelesaiannya, misalnya hanya karena terbentur masalah pembiayaan yang tidak sesuai rencana atau rencana yang tidak bisa diubah karena sudah ditentukan formulasinya. Apapun upaya yang dilakukan harus memperhatikan sasaran, mempertimbangkan kondisi dan potensinya. Selama ini program ataupun kegiatan cenderung bergerak dalam pengembangan usaha bidang pertanian, perikanan maupun peternakan sehingga seolaholah masyarakat masih dipisahkan dari hutan. Diperparah lagi fungsi hutan baru dapat dirasakan dalam jangka panjang, sementara kebutuhan masyarakat adalah kebutuhan saat sekarang. Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana mendekatkan masyarakat dengan hutan dalam arti positif. Artinya masyarakat merasa perlu menjaga kelestarian hutan karena hutan bermanfaat bagi mereka misalnya dalam penyediaan sumberdaya yang bisa dikembangkan. Kegiatan budidaya tanaman obat, agroforestry, penangkaran burung, rusa, anggrek, wisata alam dan pemanfaatan hasil hutan non kayu lainnya seperti bambu, lebah madu, dan sebagainya perlu dipertimbangkan sebagai alternatif. Pekon Sukaraja dan Kubu Perahu, berdasarkan analisis potensi sangat memungkinkan untuk dikembangkan sebagai desa wisata. Dengan konsep tersebut, pemanfaatan hasil hutan non kayu seperti bambu yang berlimpah di lokasi pekon, sangat potensial untuk kegiatan pengembangan kerajinan bambu. Disamping itu, kedekatan lokasi dengan kawasan TNBBS khususnya dalam Zona Pemanfaatan Intensif menjadikan pekon ini dapat mengembangkan usaha ekonomi berbasis konservasi seperti pengadaan homestay, penjualan souvenir, jasa guide dan sebagainya. Pemerintah Daerah Pemerintah Daerah dalam hal ini adalah pemerintah kecamatan Semaka dan Balik Bukit sebagai regulator yang diharapkan dapat membantu dan memberi dukungan penuh terutama bagi terwujudnya peraturan desa/perdes mengenai pembangunan pekon berwawasan konservasi serta dalam kegiatan pengembangan desa model secara umum. Pemerintah Daerah Kabupaten Tanggamus dan Lampung Barat melalui instansi Bappeda, Dinas pertanian, Dinas Perikanan dan Dinas Pariwisata berperan dalam memberikan bimbingan teknis dalam

127 105 upaya pengembangan desa model yang akan dilakukan, sedangkan Dinas Kehutanan dan Perkebunan diharapkan dapat berperan dalam melakukan penyuluhan kehutanan melalui fungsional penyuluh yang ada (hal ini terutama karena fungsional penyuluh di BTNBBS sangat terbatas dengan wilayah kerja sangat luas yang meliputi Lampung Bengkulu). LSM, Perguruan Tinggi dan swasta Kegiatan fasilitasi dapat dilakukan langsung oleh TNBBS atau bekerja sama dengan mitra yang ada atau pihak lain yang disepakati. Mitra Balai TNBBS terutama WWF (World Wildlife Fund), WCSIP (Wildlife Conservation SocietyIndonesian Program), RPUYABI (Rhino Protection UnitYayasan Badak Indonesia), diharapkan dapat membantu peran Balai Besar TNBBS sebagai fasilitator/pendamping aktif dalam kegiatan pemberdayaan termasuk pengembangan desa model karena keterbatasan tenaga penyuluh di TNBBS. Pelaku usaha terutama di bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, pariwisata, perdagangan, jasa termasuk keuangan merupakan mitra dengan peran penting berkaitan pemasaran, modal dan pengembangan usaha produktif. Pusat Informasi dalam hal ini pers dan media massa, termasuk LSM yang aktif dalam melakukan kampanye konservasi untuk turut serta menyebarluaskan informasi yang dihasilkan ataupun dibutuhkan bagi pengembangan model desa konservasi. Optimalisasi fungsi lembaga penelitian, untuk mengembangkan inovasi dan menciptakan kreatifitas baru terutama berkaitan dengan pengolahan pasca panen dan pengelolaan usaha berbasis kehutanan. Dalam hal ini, sarana lembaga penelitian dan pengembangan yang dapat dijadikan mitra dalam pengembangan desa model adalah pihak akademisi, lembaga penelitian dan pengembangan yang ada di Kementerian Kehutanan khususnya Badan Penelitian dan Pengembangan.

128 106 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Pelaksanaan kegiatan pemberdayaan Model Desa Konservasi (MDK) di TNBBS secara umum dapat dikatakan telah memberikan dampak baik bagi kelestarian kawasan maupun masyarakat meskipun belum optimal sebagaimana diharapkan. (a). Partisipasi masyarakat dalam kegiatan pemberdayaan MDK masih tergolong rendah. (b). Kemampuan masyarakat peserta program pemberdayaan dalam mengembangkan perilaku kemandirian di bidang ekologi, ekonomi dan sosial budaya dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotorik dapat dikatakan baik. Hal ini berarti bahwa masyarakat menjadi lebih tau, mau dan mampu melaksanakan berbagai hal positif di bidang ekologi, ekonomi dan sosial budaya terkait kelestarian kawasan dan peningkatan kesejahteraan mereka. 2. Faktorfaktor yang mempunyai korelasi/hubungan dengan efektifitas pemberdayaan (partisipasi dan kemandirian) masyarakat MDK di TNBBS adalah sebagai berikut: (a). Karakteristik sosiodemografi yang terdiri dari pendidikan formal, pelatihan, pendapatan, kepemilikan lahan, asal etnis, keikutsertaan dalam kelompok, dan keterdedahan terhadap informasi mempunyai korelasi positif sangat signifikan dengan partisipasi dan kemandirian. Sedangkan umur, mata pencaharian, dan jumlah tanggungan keluarga tidak mempunyai korelasi dengan partisipasi dan kemandirian. (b). Interaksi dan akses terhadap sumber daya yang terdiri dari keterlibatan masyarakat dalam kegiatan TNBBS, manfaat langsung keberadaan TNBBS yang dirasakan, dan ketergantungan masyarakat terhadap sumberdaya TNBBS mempunyai korelasi positif sangat signifikan dengan partisipasi dan kemandirian. (c). Pendekatan pemberdayaan yang dilakukan oleh TNBBS meliputi kesepahaman, fasilitator, pendampingan, kelembagaan, bentuk kegiatan pemberdayaan, membangun jejaring kerja dan kemitraan, pemberian akses serta monitoring dan evaluasi mempunyai korelasi positif sangat signifikan dengan partisipasi dan kemandirian. (d). Partisipasi mempunyai korelasi positif sangat signifikan dengan kemandirian masyarakat dalam mengembangkan perilaku (kognitif, afektif, psikomotorik) dibidang ekologi, ekonomi dan sosial budaya. 3. Adanya korelasi antara karakteristik sosiodemografi masyarakat, interaksi dan akses terhadap sumber daya taman nasional serta pendekatan pemberdayaan terhadap efektifitas pemberdayaan MDK di TNBBS, berarti bahwa meningkatkan pemahaman terhadap karakteristik masyarakat dan hubungannya dengan taman nasional serta menerapkan pendekatan pemberdayaan yang sesuai merupakan hal penting dan relevan dalam upaya meningkatkan efektifitas pemberdayaan MDK di TNBBS.

129 107 Saran Upaya untuk meningkatkan efektifitas pemberdayaan MDK di TNBBS dapat dilakukan dengan mempertimbangkan halhal sebagai berikut: 1. Melaksanaan tahaptahap pengembangan MDK mulai dari prakondisi, persiapan dan perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi. Tahap prapelaksanaan penting untuk identifikasi dan memahami karakteristik sasaran, dan bagi TNBBS sebagai pengelola, bukan berarti hanya mengakomodir apa yang dibutuhkan masyarakat tetapi mengkaji peluang ke depan dan halhal yang berkaitan. 2. Melaksanakan sosialisasi dan pendampingan secara intensif dan berkesinambungan agar masyarakat benarbenar memahami maksud pemberdayaan MDK, serta melakukan koordinasi dengan berbagai pihak karena masalah konservasi kawasan merupakan masalah kompleks yang perlu penanganan bersama mulai dari masyarakat sasaran sampai pengambil kebijakan. 3. Taman nasional sebagai kawasan dengan fokus utama konservasi perlu terus mengembangkan upaya melibatkan masyarakat dalam pengelolaannya, sesuai dengan zona yang telah ditetapkan. Pemberian akses kepada masyarakat diperlukan agar masyarakat merasa terdorong untuk berpartisipasi. 4. Bentuk kegiatan pemberdayaan atau pemberian bantuan hendaknya tidak hanya dalam bentuk fisik, tetapi juga pengetahuan substansif yang relevan. 5. Mengembangkan usaha produktif dibidang kehutanan, terutama hasil hutan non kayu untuk meningkatkan manfaat langsung TNBBS bagi masyarakat. 6. Rendahnya pemanfaatan teknologi tepat guna dalam usaha produktif mengindikasikan perlunya optimalisasi fungsi lembaga penelitian, untuk mengembangkan inovasi dan menciptakan kreativitas baru terutama berkaitan dengan pengelolaan usaha berbasis kehutanan. 7. Bagi masyarakat, upaya pemberdayaan hendaknya didukung melalui peran aktif sehingga peningkatan akses timbal balik dapat mencapai tujuan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian kawasan.

130

131 DAFTAR PUSTAKA Adamson D Community Empowerment: Identifying the Barriers to Purposeful Citizen Participation [paper]. Conference Beyond Social Inclusion: Towards a More Equal Society Centre for Research in Social Policy January Loughborough University UK. Adiprasetyo T, Eriyatno NE, Sofyar F Sikap Masyarakat Lokal Terhadap Konservasi dan Taman Nasional sebagai Pendukung Keputusan dalam Pengelolaan Taman Nasional Kerinci Seblat (Studi Kasus di Kabupaten Kerinci dan Lebong, Indonesia). Jurnal Bumi Lestari 9 (2): Agbogidi OM, Okonta BC, Dolor DE Participation of Rural Women in Sustainable Forest Management and Development. Okoko E (inputs), Adekline V, Adeduntan S (editors). Environment Sustainability and Conserve in Nigeria: Akure. Jubee Niyi Publisher., Ofuoku AU Forestry Extension: Implications for Forest Protection [review]. International Journal of Biodiversity and Conservation 1 (5): Ali M Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Ibu Bekerja dan Ibu Tidak Bekerja Tentang Imunisasi [tesis]. Sumatera Utara: Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara. Allendorf TD Residents Attitudes Toward Three Protected Areas in Southwestern Nepal. Biodiversity and Conservation 16: , Smith JL, Anderson DH Residents Perceptions of Royal Bardia National Park, Nepal. Landscape and Urban Planning 82:3340. Asngari PS Peranan Agen Pembaruan/Penyuluh dalam Usaha Memberdayakan (Empowerment) Sumberdaya Manusia Pengelola Agribisnis, Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Sosial Ekonomi, Fakultas Peternakan, IPB Pentingnya Memahami Falsafah Penyuluhan Pembangunan dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat dalam Pemberdayaan Manusia Pembangunan yang Bermartabat. Penyunting: Yustina I, Sudrajad A. Sidex Plus Babbie E The Practice of Social Research. Sixth edition. California. Wadsworth Publishing Company. Badola R Attitudes of Local People Towards Conservation and Alternatives to Forest Resources: A Case Study from the Lower Himalayas. Biodiversity and Conservation 7: Bandura A. (1977). Social Learning Theory. New York: General Learning Press. 109

132 110 Boissiere M, Sheil D, Basuki I, Wan M, Hien Lie Can Engaging Local People s Interests Reduce Forest Degradation in Central Vietnam? Biodiversity Conservation 18: BorriniFeyerabend G, Kothari A, Oviedo G Indigenous and Local Communities and Protected Areas Towards Equity and Enhanced Conservation (Guidance on Policy and Practice for Comanaged Protected Areas and Community Conserved Areas). Bassi M et al., (inputs); Phillips A (Editor). World Commission on Protected Areas (WCPA). IUCNThe World Conservation Union. Best Practice Protected Area Guidelines Series 11. Brännlund R, Sidibe A, dan Gong P Participation to Forest Conservation in National Kabore Tambi Park in Southern Burkina Faso. Journal of Forest Policy and Economics 11(7): Brown NA, Renard Y Guide to Teaching Participatory and Collaborative Approaches to Natural Resource Management [technical report]. Carribean Natural Resources Institute. Canari 267:52 [BTNBBS] Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. 2006a. Database Pengembangan Daerah Penyangga. Tanggamus: Balai Besar TNBBS b. Master Plan Pengembangan Model Desa Konservasi (MDK) Pekon Sukaraja, Kecamatan Semaka, Kabupaten Tanggamus, Lampung. Kota Agung: Balai Besar TNBBS Laporan Kinerja Akuntabilitas Kinerja Pemerintah. Tanggamus Lampung: Balai Besar TNBBS Penyusunan Master Plan Penanganan Perambahan TNBBS TanggamusLampung: Balai Besar TNBBS Statistik Taman Nasional Bukit Barisan Selatan Tahun Tanggamus Lampung: Balai Besar TNBBS. [CANARI] Carribean Natural Resources Institute Participatory Forest Management in the Caribbean: Impacts and Potentials. Canari Policy Brief 1:4. Cihar M, Stankova J Attitudes of Stakeholders Towards the Podyji/Thaya River Basin National Park in the Czech Republic. Journal of Environmental Management 81: Coghlan D, Jacobs C Kurt Lewin on Reeducation: Foundations for Action Research. The Journal of Applied Behavioral Science. NTL Institute. Daryanto H Tantangan Pengelolaan Hutan Indonesia [keynote adress]. Forest Tenure, Governance & Enterprise Experiences and Opportunities for Asia in Changing Context. Lombok 1115 Juli [Dephut] Departemen Kehutanan UndangUndang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta: Departemen Kehutanan.

133 Penyuluhan Pembangunan Kehutanan. Pusat Penyuluhan Kehutanan. Jakarta: Departemen Kehutanan Undangundang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Jakarta: Departemen Kehutanan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 56/MenhutII/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional. Jakarta: Departemen Kehutanan Pedoman Kriteria dan Indikator Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Kawasan Konservasi. Bogor: Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam (PJLWA), Direktorat Jenderal perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan Laporan Nasional Pelaksanaan Model Desa Konservasi (MDK). Bogor: Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan dan Wisata Alam (PJLWA), Direktorat Jenderal perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan. De Vaus DA Survey in Social Research. 5th Edition. New South Wales: Allen and Unwin. Dinerstein E, Wikramanayake E, Robinson J, Karanth U, Rabinowitz A, Olson D, Mathew T, Hedao P, Connor M A Framework for Identifying High Priority Areas and Actions for the Conservation of Tigers in the Wild. World Wildlife FundUS and Wildlife Conservation Society. Publised in Association with the National Fish and Wildlife Foundation s Save the Tiger Fund. Drakel A Analisis Usaha Tani terhadap Masyarakat Kehutanan di Dusun Gumi Desa Akelamo Kota Tidore Kepulauan. Jurnal Ilmiah Agribisnis dan Perikanan (Agrikan UMMUTernate). (1):2433 Effendi R, Bangsawan I, Zahrul M Kajian PolaPola Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan Produksi dalam Mencegah Illegal Logging. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 4(4): [FAO]. Food and Agricultural Organization of United Nations Forestry Outlook Study for Africa African Forests: A view to FAO, Rome. Italy. Fandeli C, Muhammad N Pengembangan Ekowisata Berbasis Konservasi di Taman Nasional. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Pusat Studi Pariwisata UGM dan Kantor Kementerian Lingkungan Hidup. Feriani MES Perilaku Masyarakat dalam Konservasi Hutan di Daerah Penyangga Taman Nasional Gunung Merapi [tesis]. Semarang: Fakultas Ilmu Lingkungan, Universitas Diponegoro. Ferraro P The Local Costs of Establishing Protected Areas in Lowincome Nations: Ranomafana National Park, Madagascar. Ecological Economics 43:

134 112 Foskett N, Foskett R (2004). Conservation. Cox and Wyman Ltd. Frick J, Kaiser FG, Wilson M. (2004). Environmental Knowledge and Conservation Behaviour: Exploring Prevalence and Structure a Representative Sample. Personality and Individual Differences, 37(8): Geoghehan T Participatory Forest Management in the Insular Caribbean: Current Status and Progress to Date [tecnical report]. Canari 310:129., Renard Y Beyond Community Involvement: Lessons from the Insular Caribbean. Parks 12(2):1627. Guthiga PM Understanding Local Communities Perceptions of Existing Forest Management Regimes of a Kenyan Rainforest. International Journal of Social Forestry (IJSF) 1(2): Hasim, Remiswal Community Development Berbasis Ekosistem (Sebuah Alternatif Pengembangan Masyarakat). Cetakan Pertama. Jakarta: Diadit Media. Héritier S Public Participation and Environmental Management in Mountain National Parks: AngloSaxon Perspectives. Revue de géographie alpine Revue de géographie alpine/journal of Alpine Research 98(1): Herawati T Manajemen Sumberdaya Keluarga dan Ketahanan Keluarga Peserta Pemberdayaan Masyarkat di Pedesaan (Kasus di Kabupaten Bogor) [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hernandez O, Monroe MC. (2000) Thinking About Behavior. In Environmental Education and Communication for a Sustainable World: Handbook for International Practitioners. Day B, Monroe MC (editors). Washington DC, USA: The Academic for Educational Development. Hidayat H Empowering Communities Through Social Forestry [paper]. Iges International Workshop: Forest Conservation Strategies For The Asia And Pacific Region July Hayama, Kanagama, Japan: Institute for Global Environmental Studies. Hikmat, H Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Cetakan ke5. Bandung: Humaniora Utama Press. Huraerah A Pengorganisasian dan Pengembangan Masyarakat;Model dan Strategi Pembangunan Berbasis Kerakyatan. Cetakan Pertama. Bandung: Humaniora. Hur MH Empowerment In Terms Of Theoretical Perspectives: Exploring A Typology Of The Process And Components Across Disciplines [article]. Journal Of Community Psychology, 34 (5): [IUCN] International Union for Conservation of Nature Securing Protected Areas in the Face of Global Change: Issues and Strategies. Barber CV,

135 113 Kenton R, Miller, Boness M (editors). World Commission on Protected Areas (WCPA), IUCNThe World Conservation Union. Jim CY, Xu SSW Stifled Stakeholders and Subdued Participation: Interpreting Local Responses Toward Shimentai Nature Reserve in South China. Journal of Environmental Management 30(3): [Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2011a. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Jakarta: Kementerian Kehutanan b. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: P. 16/MenhutII/2011 tentang Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Kehutanan. Jakarta: Kementerian Kehutanan. Kideghesho JR, Roskaft E, Kaltenborn BP Factors Influencing Conservation Attitudes of Local People in Western Serengeti, Tanzania. Biodiversity and Conservation 16(7): Kinnaird MF, Sanderson EW, O Brien TG, Wibisono HT, Woolmer G Deforestation Trends in a Tropical Landscape and Implications for Endangered Large Mammals. Conservation Biology 17: Kusnendi ModelModel Persamaan Struktural. Bandung: Alfabeta. Kusumanto T, et al Learning to Adapt: Managing Forests Together in Indonesia. Bogor: Center for International Forestry Research (CIFOR). Lippit R, Watson J, Westley B The Dinamic of Planned Change: A Comparative Study of Principles and Techniques. New York: Hardcourt, Brace and World Inc. Mehta JN, Heinen JT Does CommunityBased Conservation Shape Favorable Attitudes Among Locals? An Empirical Study from Nepal. Journal of Environmental Management 28(2): Nazir M Metode Penelitian. Jakarta. Penerbit Ghalia Indonesia. Ndraha T Pembangunan Masyarakat: Mempersiapkan Masyarakat Tinggal Landas. Jakarta: Rineka Cipta Kronologi (Ilmu Pemerintahan Baru). Jakarta: Direksi Cipta. Nguyen VD, Trinh LN, Hoang XT, Nguyen DT Community Behaviours Towards Nature Conservation: A Theoretical Analysis for Practical Approaches. PannaturePeople And Nature Conciliation; October Nikkhah HA, Redzuan M Participation as a Medium of Empowerment in Community Development. European Journal of Social Sciences 11(1). Nopriyanto Program Kopi dan Konservasi di Desa Sedayu dan Sukaraja, Kecamatan Semaka, Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung (Studi Kasus Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Kawasan Taman Nasional

136 114 Bukit Barisan Selatan) [tesis]. Bandung: Program Studi Magister Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Ormsby A, Kaplin BA A Framework for Understanding Community Resident Perceptions of Masoala National Park, Madagaskar. Journal of Environmental Conservation 32(2): Ozmete E, Hira T Conceptual Analysis of Behavioral Theories/Models: Application to Financial Behavior. European Journal of Social Sciences, Volume 18(3): Page N, Szuba CE Empowerment: What is it? [commentary] Journal of Extension 37(5). Pasha R, Susanto A Hubungan Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Perambah Hutan dengan Pola Penggunaan Lahan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Jurnal Organisasi dan Manajemen 5(2) Patrakomala S Partisipasi Masyarakat dalam Implementasi Kebijakan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (Studi Kasus: Desa Warnasari, Kecamatan Pengalengan, Kabupaten Bandung) [tesis]. Bandung: Program Studi Pembangunan, Institut Teknologi Bandung. Priyatna A Pemberdayaan Masyarakat dalam Prespektif Pengukuran Keberdayaan Komunitas Lokal. Jakarta: Pusat Pengembangan Ketahanan Sosial Masyarakat, Kementerian Sosial RI. Qariah J Keterlibatan Masyarakat dalam Pengelolaan TNBT di Kabupaten Indragiri Hulu, Riau [tesis]. Yogyakarta: Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Renard Y, Krishnarayan V Participatory Approaches to Natural Resource Management and Sustainable Development: Some Implications for Research and Policy [paper]. Regional Conference (Managing Space for Sustainable Living in Small Island Developing States). Port of Spain, Trinidad and Tobago: Carribean Natural Resources Institute. Canari Communications. Ritohardoyo S Bahan Ajar Ekologi Manusia. Yogyakarta: Program Studi Ilmu Lingkungan PPS, Universitas Gadjah Mada. Riyanto B Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan dalam Perlindungan Kawasan Pelestarian Alam. Bogor: Lembaga Pengkajian Hukum Kehutanan dan Lingkungan. Robertson J, Lawes M User Perceptions of Conservation and Participatory Management of Igxalingenwa Forest, South Africa. Environmental Conservation 32(1): Santosa I Pemberdayaan Petani Tepian Hutan Melalui Pembaharuan Perilaku Adapatif [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

137 Sastraatmadja E Suara Petani. Bandung: Masyarakat Geografi Indonesia. 115 Sembiring SN, Husbani F, Arif AM, Ivalerina F, Hanif F Kajian Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia Menuju Pengembangan Desentralisasi dan Peningkatan Peranserta Masyarakat [technical report]. Jakarta: Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan, Natural Resource Management Program, The US Agency for International Development. Setyowati E Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Mangrove di Desa Surodadi Kecamatan Sayung Kabupaten Demak [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Silori CS Perception of Local People Towards Conservation of Forest Resources in Biosphere Reserve, NorthWestern Himalaya, India. Biodiversity and Conservation 16: Siswiyanti Y, Ginting S. B Hubungan Karakteristik Warga Masyarakat yang Berdiam di Desa Tepi Hutan Dengan Partisipasi Mereka dalam Pelestarian Hutan di Kawasan Pemangkuan Hutan Parung Panjang, Kabupaten Bogor. Jurnal Penyuluhan 2(4):5157. Sjaifudian H Inovasi, Partisipasi dan Good Governance. Bandung: The Ford Foundation. Soekadri Perilaku Masyarakat Pemukim Kawasan Hutan Lindung di Kabupaten Kulon Progo Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Geografi Indonesia 14(1):112. Soto B, Munthali SM, Breen C Perceptions of the Forestry and Wildlife Policy by the Local Communities Living in the Maputo Elephant Reserve, Mozambique. Biodiversity and Conservation 10: Sugiyono Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Cetakan ke 12. Bandung: Alfabeta. Suharto E Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat. Kajian Strategis pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Cetakan ke3. Bandung: PT. Refika Adiatama. Sukmaniar Efektifitas Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Program Pengembangan Kecamatan (PPK) Pasca Tsunami di Kecamatan Lhoknga Kabupaten Aceh Besar [tesis]. Semarang: Program Pascasarjana Magister Teknik Pembangunan Wilayah dan Kota. Universitas Diponegoro. Sulistiyani AT Kemitraan dan ModelModel Pemberdayaan. Cetakan ke1. Yogyakarta: Gava Media. Sumardjo Review dan Refleksi Model Penyuluhan dan Inovasi Penyuluhan Masa Depan [makalah]. Seminar Nasional Membangun Penyuluhan Masa Depan yang Berkeadilan dan Menyejahterakan, 20 Februari Bogor: Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

138 116 Suyadi Tropical Deforestation in Bukit Barisan Selatan National Park, Sumatra, Indonesia. Bogor: Bogor Agricultural University. Umar AA Goverment Mobile [tesis]. Makassar: Fakultas Ilmu Politik dan Pemerintahan, Universitas Hasanuddin. Veitch R, Arkkelin D Environmental Psychology an Interdiciplinary Perspective. New Jersey: A Simon and Schuster Company. Widiyanta A Sikap Terhadap Lingkungan Alam: Tinjauan Islam dalam Menyelesaikan Masalah Lingkungan [tesis]. Sumatera Utara: Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara. Wiggins S, Marfo K, Anchirinah V Protecting the Forest or the People? Environmental Policies and Livelihoods in the Forest Margins of Southern Ghana. World Development 32(11): [WWF] World Wildlife FundIndonesia Gone in an Instant: Illegal Coffee Growing and Habitat Destruction in Bukit Barisan Selatan National Park, Sumatra, Indonesia. AREAS (Asian Rhino and Elephant Action Strategy). Lampung: WWFBukit Barisan Selatan Programme. Yumi Efektifitas Penyuluhan Partisipatif sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan: Kasus di Desa Sumber Agung dan Desa Sungai Langka, Gunung Betung, Provinsi Lampung [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

139 117

140 118 Lampiran 2 Kerusakan kawasan TNBBS akibat aktivitas ilegal masyarakat Sumber: dokumen TNBBS

141 119 Lampiran 3 Peta lokasi penelitian Pekon Kubu Perahu Pekon Sukaraja Sumber : Master Plan Penanganan Perambahan, BTNBBS, 2010

142 120 Lampiran 4 Kisikisi instrumen penelitian Variabel Sub variabel Indikator Jumlah Butir Instrumen Nomor Butir Instrumen Karakteristik 1. Umur 1. Karakteristik demografi 1 1 Sosio 2. Pendidikan formal 2. Karakteristik pendidikan formal 1 2 demografi 3. Pelatihan 3. karakteristik pendidikan non formal 1 3 (x1) 4. Mata pencaharian 4. Karakteristik sosial ekonomi Pendapatan 5. Karakteristik sosial ekonomi 1 5 Interaksi dan akses terhadap sumber daya (x2) ndekatan Pemberdayaan (x3) 6. Luas kepemilikan 6. Karakteristik sosial ekonomi 1 6 lahan 7. Jumlah tanggungan 7. Karakteristik demografi 1 7 keluarga 8. Asal etnis 8. Karakteristik sosial budaya Keikutsertaan dalam 9. Karakteristik sosial (kelembagaan) 1 9 kelompok 10. Keterdedahan terhadap informasi 10. Karakteristik sosial (hubungan dengan informasi dan saluran informasi) Ketergantungan 11. Adanya interaksi dengan kawasan 1 11 terhadap kawasan 2. Keterlibatan masyarakat dalam kegiatan/program 3. Manfaat keberadaan TN yang dirasakan 4. Akses dalam kegiatan TNBBS 12. Peran aktif dan akses dalam kegiatan/program pemberdayaan Respon masyarakat terhadap TN Masyarakat dilibatkan dalam semua tahap dalam kegiatan (perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, evaluasi) 15. Akses dalam menyusun perencanaan 16. Akses dalam pelaksanaan 17. Akses dalam dalam pemanfaatan 18. Akses dalam kegiatan TNBBS 1. Kesepahaman 19. Adanya kegiatan sosialisasi atau informasi yang jelas untuk mencapai kesepahaman antara pihakpihak yang relevan 20. Masyarakat memahami kegiatan MDK 2. Kelembagaan 21. Keberadaan dan kejelasan aturan baik tertulis maupun tidak tertulis 22. Keberadaan dan aktifitas organisasi eksternal yang mendukung kegiatan pemberdayaan 3. Fasilitator 23. Kualitas hubungan pendamping / penyuluh dengan masyarakat 24. Kemampuan melakukan mediasi, negosiasi, membangun konsensus 25. Kemampuan memberikan masukan, informasi positif dan terarah berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya. 26. Kemampuan dalam berinteraksi dengan lembaga lain (menggunakan media, meningkatkan hubungan dan membangun jejaring kerja) 27. Kemampuan dalam berinteraksi dengan lembaga eksternal (menggunakan media, meningkatkan hubungan, membangun jejaring kerja) 28. Keterampilan teknis dan aplikatif yang dimiliki pendaming/ penyuluh

143 Lampiran 4 Kisikisi instrumen penelitian (lanjutan) Variabel Sub variabel Indikator Partisipasi Masyarakat (y1) Kemandirian (y2) Jumlah Butir Instrumen 121 Nomor Butir Instrumen 4. Pendampingan 29. Intensitas pendampingan memadai Kesesuaian atas apa yang ingin dicapai oleh instansi pendamping dari kegiatan pendampingan dengan harapan responden. 31. Komunikasi/penyampaian informasi yang mendukung program pemberdayaan 32. Manfaat untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan menemukan berbagai alternatif dalam menghadapi dan memecahkan masalah 33. Keseluruhan proses pembelajaran berjalan baik untuk mendukung tercapainya tujuan 5. Bentuk pemberdayaan 6. Jejaring kerja dan kemitraan 7. Monitoring dan evaluasi 1. Partisipasi dalam perencanaan 2. Partisipasi dalam pelaksanaan 3. Partisipasi dalam pemanfaatan 4. Partisipasi dalam evaluasi 1. Bidang ekologi Aspek kognitif (pengetahuan) Aspek afektif (persepsi dan Sikap) 34. Peningkatan kapasitas masyarakat sesuai keterampilan yang dibutuhkan 35. Pengembangan usaha produktif sesuai dengan potensi 36. Pengembangan usaha produktif didukung teknologi tepat guna 37. Pengembangan jaringan yang mendukung usaha produktif 38. Upaya penguatan kelembagaan berupa fasilitasi pembentukan kelompok, pembagian tugas dan aturanaturan 39. Perbandingan bantuan fisik/material dengan bantuan lainnya 40. Adanya mitra yang terlibat dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat 41. Terdapat monitoring dan evaluasi yang menjamin pelaksanaan semua kegiatan dalam MDK secara terarah 42. Peran serta masyarakat dalam proses perencanaan pemberdayaan 43. Peran serta masyarakat dalam melaksanakan pemberdayaan 44. Peran serta masyarakat dalam memanfaatkan hasil pemberdayaan 45. Peran serta masyarakat dalam menilai hasil kegiatan pemberdayaan 46. Tingkat pengetahuan masyarakat tentang taman nasional 47. Tingkat engetahuan masyarakat terhadap fungsi taman nasional 48. Pengetahuan masyarakat dalam mengidentifikasi manfaatmanfaat kawasan. 49. Pengetahuan masyarakat mengenai akibat yang disebabkan oleh rusaknya kawasan hutan 50. Pengetahuan tentang aturan tindakan merusak hutan/kawasan 51. Pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan lahan yang memperhatikan kaidah konservasi 52. Kesadaran akan perlunya menjaga kelestarian TN 53. Kesadaran tentang manfaat penting TN dari baik segi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya

144 122 Lampiran 4 Kisikisi instrumen penelitian (lanjutan) Variabel Sub variabel Indikator Aspek psikomotorik (kemanpuan, tindakan) 2. Bidang ekonomi Aspek kognitif (pengetahuan) Aspek afektif (persepsi dan sikap) 54. Kesadaran terhadap dampak negatif akibat merusak hutan/kawasan baik perambahan dan tindak ilegal lain 55. Kesadaran mematuhi peraturan di bidang konservasi 56. Kesadaran masyarakat tentang perlunya pengelolaan lahan yang memperhatikan kaidah konservasi 57. Mampu melakukan kegiatan yang mendukung pelestarian kawasan TN 58. Mampu memanfaatkan potensi TN secara bijaksana 59. Mampu mengurangi atau tidak berinteraksi dengan kawasan secara eksploitatif 60. Mampu mematuhi aturanaturan 61. Mampu menerapkan pengelolaan sesuai kaidah konservasi sehingga tidak merusak lingkungan 62. Mengetahui cara meningkatkan pendapatan tanpa merusak kawasan 63. Mengetahui potensi ekonomi yang dimiliki untuk dikembangkan 64. Mengetahui cara mengembangkan potensi ekonomi yang dimiliki 65. Mengetahui sarana prasarana yang diperlukan bagi pengembangan usaha produktif 66. Mengetahui cara mendapat modal 67. Mengetahui teknologi tepat guna untuk diterapkan dalam pengembangan usaha 68. Mengetahui cara mengembangkan jaringan kerja dan pemasaran 69. Mengetahui cara meningkatkan mutu/daya saing 70. Kesadaran akan pentingnya meningkatkan pendapatan tanpa merusak hutan 71. Kesadaran terhadap pentingnya mengenali potensi ekonomi 72. Kesadaran terhadap pentingnya mencari cara untuk mengembangkan potensi 73. Kesadaran terhadap pentingnya mengupayakan sarana dan prasarana dalam pengembangan usaha 74. Kesadaran terhadap pentingnya mengupayakan modal dalam pengembangan usaha 75. Kesadaran untuk menerapkan teknologi tepat guna untuk meningkatkan produktifitas 76. Kesadaran untuk mengembangkan jaringan kerja dan pemasaran untuk meningkatkan produktifitas 77. Kesadaran untuk meningkatkan mutu/daya saing Jumlah Butir Instrumen Nomor Butir Instrumen

145 123 Lampiran 4 Kisikisi instrumen penelitian (lanjutan) Variabel Sub variabel Indikator Aspek psikomotorik (tindakan/ keterampilan) 3.Bidang sosial budaya Aspek kognitif (pengetahuan) Aspek afektif (persepsi dan sikap) 78. Mampu meningkatkan pendapatan tanpa merusak kawasan 79. Mampu mengenali potensi ekonomi yang dimiliki untuk dikembangkan 80. Mampu mengembangkan potensi ekonomi menjadi usaha produktif 81. Mampu mengupayakan ketersediaan sarana prasarana pengembangan usaha produktif 82. Mampu mengupayakan ketersediaan modal untuk pengembangan usaha produktif 83. Mampu menerapkan teknologi tepat guna untuk pengembangan usaha 84. Mampu mengembangkan jaringan kerja untuk pengembangan usaha 85. Mampu meningkatkan mutu/daya saing 86. Mengetahui pentingnya pengembangan kapasitas/kemampuan diri 87. Mengetahui adanya aturanaturan berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat MDK 88. Mengetahui cara mengembangkan kerjasama kelompok dan kelembagaan 89. Mengetahui tentang beradaptasi terhadap perubahan lingkungan 90. Kesadaran akan pentingnya upaya mengembangkan kapasitas dirinya 91. Kesadaran akan pentingnya mematuhi aturanaturan 92. Kesadaran akan pentingnya kelompok Jumlah Butir Instrumen Nomor Butir Instrumen Aspek psikomotorik (tindakan/ keterampilan) 93. Kesadaran akan pentingnya beradaptasi terhadap perubaahn lingkungan 94. Mampu melakukan upaya untuk pengembangan kapasitas diri 95. Mampu mematuhi aturanaturan 96. Mampu bekerja dalam kelompok 97. Mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan

146

147 125 Lampiran 6 Penataan zonasi di lokasi pemberdayaan masyarakat Model Desa Konservasi (MDK) Sukaraja dan Kubu Perahu Sumber : BTNBBS, 2010

148 126 Lampiran 7 Batas pekon/desa lokasi pemberdayaan Model Desa Konservasi (MDK) dengan TNBBS Sumber: dokumentasi lapangan Jalan dan pal batas yang merupakan batas langsung antara kawasan taman nasional dengan Sukaraja Sumber: dokumentasi lapangan Jalan dan pal batas yang merupakan batas antara kawasan taman nasional dengan Kubu Perahu

149 Lampiran 8 Kegiatan pemberdayaan masyarakat Model Desa Konservasi (MDK) di Pekon Sukaraja dan Kubu Perahu 127 Kegiatan pemberdayaan masyarakat MDK di Pekon Sukaraja Kegiatan pemberdayaan masyarakat MDK di Kubu Perahu

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pentingnya kawasan hutan bagi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan tidak pernah dapat terelakkan. Hampir seluruh kawasan konservasi di Indonesia berada dalam pola interaksi

Lebih terperinci

Lampiran 2 Kerusakan kawasan TNBBS akibat aktivitas ilegal masyarakat

Lampiran 2 Kerusakan kawasan TNBBS akibat aktivitas ilegal masyarakat 117 118 Lampiran 2 Kerusakan kawasan TNBBS akibat aktivitas ilegal masyarakat Sumber: dokumen TNBBS 119 Lampiran 3 Peta lokasi penelitian Pekon Kubu Perahu Pekon Sukaraja Sumber : Master Plan Penanganan

Lebih terperinci

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS. Kerangka Berpikir

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS. Kerangka Berpikir 33 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Adanya fakta bahwa fungsi dan pengelolaan kawasan taman nasional sering dihadapkan pada dilema antara kepentingan konservasi dengan kepentingan masyarakat

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

PERSEPSI ANGGOTA TERHADAP PERAN KELOMPOK TANI PADA PENERAPAN TEKNOLOGI USAHATANI BELIMBING

PERSEPSI ANGGOTA TERHADAP PERAN KELOMPOK TANI PADA PENERAPAN TEKNOLOGI USAHATANI BELIMBING PERSEPSI ANGGOTA TERHADAP PERAN KELOMPOK TANI PADA PENERAPAN TEKNOLOGI USAHATANI BELIMBING (Kasus Kelompok Tani Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan, Kota Depok) DIARSI EKA YANI SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung adalah salah satu kawasan yang amat vital sebagai penyangga kehidupan ekonomi, sosial dan ekologis bagi masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional (TN) Gunung Merapi ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi Kawasan Hutan Lindung, Cagar

Lebih terperinci

MEMBANGUN MODEL DESA KONSERVASI SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PENYELAMATAN KAWASAN KONSERVASI. Oleh : Kusumoantono Widyaiswara Madya BDK Bogor ABSTRACT

MEMBANGUN MODEL DESA KONSERVASI SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PENYELAMATAN KAWASAN KONSERVASI. Oleh : Kusumoantono Widyaiswara Madya BDK Bogor ABSTRACT MEMBANGUN MODEL DESA KONSERVASI SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PENYELAMATAN KAWASAN KONSERVASI Oleh : Kusumoantono Widyaiswara Madya BDK Bogor ABSTRACT The conservation village is a conservation initiative that

Lebih terperinci

PARTISIPASI PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT (Kasus di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah) AMIN FAUZI

PARTISIPASI PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT (Kasus di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah) AMIN FAUZI PARTISIPASI PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT (Kasus di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah) AMIN FAUZI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat di sekitar hutan memiliki ketergantungan yang sangat besar dengan keberadaan hutan disekitarnya, pemanfaatan hutan dan hasil hutan oleh masyarakat dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sangat kaya akan berbagai sumberdaya alam, termasuk keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya. Kekayaan sumberdaya alam tersebut harus dikelola

Lebih terperinci

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA ANI MARDIASTUTI JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Kawasan Konservasi Indonesia UURI No 5 Tahun 1990 Konservasi

Lebih terperinci

Ristianasari, Pudji Muljono, & Darwis S. Gani Pusat Penyuluhan Kehutanan Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Kementerian Kehutanan

Ristianasari, Pudji Muljono, & Darwis S. Gani Pusat Penyuluhan Kehutanan Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Kementerian Kehutanan DAMPAK PROGRAM PEMBERDAYAAN MODEL DESA KONSERVASI TERHADAP KEMANDIRIAN MASYARAKAT: KASUS DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN LAMPUNG ( Impact of Empowerment Program on Conservation Village Model toward

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu kawasan yang mempunyai berbagai macam jenis tumbuhan dan hewan yang saling berinteraksi di dalamnya. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem

Lebih terperinci

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG

APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG APLIKASI KONSEP EKOWISATA DALAM PERENCANAAN ZONA PEMANFAATAN TAMAN NASIONAL UNTUK PARIWISATA DENGAN PENDEKATAN RUANG (Studi Kasus Wilayah Seksi Bungan Kawasan Taman Nasional Betung Kerihun di Provinsi

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Faktor kepuasan kerja dijelaskan oleh Umam (2010) bahwa terdapat dua indikator yaitu adanya ciri-ciri instrinsik dan ekstrinsik dari suatu pekerjaan yang menentukan

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang

I. PENDAHULUAN. ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan modal pembangunan nasional yang memiliki manfaat ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menjelaskan bahwa

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

MOTIVASI PETANI DALAM MENERAPKAN TEKNOLOGI PRODUKSI KAKAO (KASUS KECAMATAN SIRENJA KABUPATEN DONGGALA, SULAWESI TENGAH) SYAMSYIAH GAFUR

MOTIVASI PETANI DALAM MENERAPKAN TEKNOLOGI PRODUKSI KAKAO (KASUS KECAMATAN SIRENJA KABUPATEN DONGGALA, SULAWESI TENGAH) SYAMSYIAH GAFUR MOTIVASI PETANI DALAM MENERAPKAN TEKNOLOGI PRODUKSI KAKAO (KASUS KECAMATAN SIRENJA KABUPATEN DONGGALA, SULAWESI TENGAH) SYAMSYIAH GAFUR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan salah satu kelompok hutan tropis ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire, yang mempunyai fungsi utama sebagai

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia. Luas kawasan hutan di Indonesia saat ini mencapai 120,35 juta ha. Tujuh belas persen

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia, yaitu manfaat ekologis, sosial maupun ekonomi. Tetapi dari berbagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan lingkungan telah mendorong kesadaran publik terhadap isu-isu mengenai pentingnya transformasi paradigma

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada 2001, pembahasan mengenai penetapan Gunung Merapi sebagai kawasan taman nasional mulai digulirkan. Sejak saat itu pula perbincangan mengenai hal tersebut menuai

Lebih terperinci

PARTISIPASI PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT (Kasus di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah) AMIN FAUZI

PARTISIPASI PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT (Kasus di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah) AMIN FAUZI PARTISIPASI PETANI DALAM PENGELOLAAN HUTAN RAKYAT (Kasus di Kecamatan Kertanegara Kabupaten Purbalingga Provinsi Jawa Tengah) AMIN FAUZI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumatera Barat memiliki kawasan hutan yang luas. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.35/Menhut-II/2013 tanggal 15 Januari 2013 tentang perubahan atas

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini 57 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Hutan Indonesia Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini mencapai angka 120,35 juta ha atau sekitar 61 % dari luas wilayah daratan Indonesia.

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG, Menimbang : a. bahwa Taman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS KOMUNIKASI PEMUKA PENDAPAT KELOMPOK TANI DALAM MENGGUNAKAN TEKNOLOGI USAHATANI PADI

EFEKTIVITAS KOMUNIKASI PEMUKA PENDAPAT KELOMPOK TANI DALAM MENGGUNAKAN TEKNOLOGI USAHATANI PADI EFEKTIVITAS KOMUNIKASI PEMUKA PENDAPAT KELOMPOK TANI DALAM MENGGUNAKAN TEKNOLOGI USAHATANI PADI (Kasus di Kecamatan Kupang Tengah Kabupaten Kupang NTT) IRIANUS REJEKI ROHI SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Riau dengan luas 94.560 km persegi merupakan Provinsi terluas di pulau Sumatra. Dari proporsi potensi lahan kering di provinsi ini dengan luas sebesar 9.260.421

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kaedah dasar yang melandasi pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah dasar ini selanjutnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Interaksi Manusia dengan Lingkungan Interaksi merupakan suatu hubungan yang terjadi antara dua faktor atau lebih yang saling mempengaruhi dan saling memberikan aksi dan reaksi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan sebagai modal dasar pembangunan perlu dipertahankan keberadaannya dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Luas kawasan hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan konservasi (KHK) berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 tahun1999 terdiri dari kawasan suaka alam (KSA), kawasan pelestarian alam (KPA) dan Taman Buru. KHK

Lebih terperinci

KOMPETENSI PETANI JAGUNG DALAM BERUSAHATANI DI LAHAN GAMBUT: KASUS PETANI JAGUNG DI LAHAN GAMBUT DI DESA LIMBUNG KABUPATEN PONTIANAK KALIMANTAN BARAT

KOMPETENSI PETANI JAGUNG DALAM BERUSAHATANI DI LAHAN GAMBUT: KASUS PETANI JAGUNG DI LAHAN GAMBUT DI DESA LIMBUNG KABUPATEN PONTIANAK KALIMANTAN BARAT KOMPETENSI PETANI JAGUNG DALAM BERUSAHATANI DI LAHAN GAMBUT: KASUS PETANI JAGUNG DI LAHAN GAMBUT DI DESA LIMBUNG KABUPATEN PONTIANAK KALIMANTAN BARAT M A L T A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. maka penduduk setempat dapat menggagalkan upaya pelestarian. Sebaliknya bila

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. maka penduduk setempat dapat menggagalkan upaya pelestarian. Sebaliknya bila I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan utama dari pengelolaan taman nasional adalah untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan menyediakan jasa ekosistem. Sebuah taman nasional memegang peranan yang

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

PENGALAMAN DALAM PENGAMANAN KAWASAN HUTAN TAMAN NASIONAL BERBASIS MASYARAKAT. Oleh: Waldemar Hasiholan

PENGALAMAN DALAM PENGAMANAN KAWASAN HUTAN TAMAN NASIONAL BERBASIS MASYARAKAT. Oleh: Waldemar Hasiholan PENGALAMAN DALAM PENGAMANAN KAWASAN HUTAN TAMAN NASIONAL BERBASIS MASYARAKAT Oleh: Waldemar Hasiholan ABSTRACT THE EXPERIENCES IN PROTECTED OF NATIONAL PARK AREA BASE ON COMMUNITY. Forest protection and

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 16/Menhut-II/2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 16/Menhut-II/2011 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 16/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN

Lebih terperinci

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 1 EVALUASI KINERJA KEUANGAN SATUAN USAHA KOMERSIAL PERGURUAN TINGGI NEGERI BADAN HUKUM DARSONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA

Lebih terperinci

PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH

PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH PERANAN KELEMBAGAAN DAN TINDAKAN KOMUNIKASI DALAM PENYELESAIAN KONFLIK DI TAMAN NASIONAL UJUNG KULON ETIK SULISTIOWATI NINGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENGUATAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT TUBUH MELALUI POLA KEMITRAAN LOKAL

PENGUATAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT TUBUH MELALUI POLA KEMITRAAN LOKAL PENGUATAN TANGGUNG JAWAB SOSIAL MASYARAKAT TERHADAP TENAGA KERJA PENYANDANG CACAT TUBUH MELALUI POLA KEMITRAAN LOKAL (Studi Kasus di Kelurahan Karadenan Kecamatan Cibinong Kabupaten Bogor) SRI HANDAYANI

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia

BAB I. PENDAHULUAN. dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mempunyai arti strategis bagi pembangunan semua sektor, baik dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia merupakan salah satu paru-paru

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dan terletak di garis khatulistiwa dengan luas daratan 1.910.931,32 km 2 dan memiliki 17.504 pulau (Badan Pusat Statistik 2012). Hal

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa Kawasan Ekosistem Leuser beserta sumber daya alam

Lebih terperinci

PERANAN BANK PERKREDITAN RAKYAT BINAAN TERHADAP KINERJA USAHA KECIL DI SUMATERA BARAT ZEDNITA AZRIANI

PERANAN BANK PERKREDITAN RAKYAT BINAAN TERHADAP KINERJA USAHA KECIL DI SUMATERA BARAT ZEDNITA AZRIANI PERANAN BANK PERKREDITAN RAKYAT BINAAN TERHADAP KINERJA USAHA KECIL DI SUMATERA BARAT BANK NAGARI ZEDNITA AZRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora

I. PENDAHULUAN. melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara yang dikaruniai kekayaan alam yang melimpah, baik kekayaan mineral maupun kekayaan alam yang berupa flora dan fauna. Hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dari penunjukan kawasan konservasi CA dan SM Pulau Bawean adalah untuk

I. PENDAHULUAN. dari penunjukan kawasan konservasi CA dan SM Pulau Bawean adalah untuk I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suaka Alam Pulau Bawean ditunjuk dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 76/Kpts/Um/12/1979 tanggal 5 Desember 1979 meliputi Cagar Alam (CA) seluas 725 ha dan Suaka

Lebih terperinci

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa Kawasan Ekosistem Leuser beserta sumber daya alam

Lebih terperinci

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN (Studi Kasus di Bungakondang Kabupaten Purbalingga) BUDI BASKORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI

PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI PELUANG IMPLEMENTASI REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) DI PROVINSI JAMBI Oleh Ir. H. BUDIDAYA, M.For.Sc. (Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Jambi) Disampaikan pada Focus Group

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Gambaran Umum Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Bengkunat (SPTN II Bengkunat)

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. A. Gambaran Umum Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Bengkunat (SPTN II Bengkunat) IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Gambaran Umum Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II Bengkunat (SPTN II Bengkunat) Taman Nasional Bukit Barisan Selatan memiliki daerah pembagian wilayah yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya alam juga semakin besar, salah satunya kekayaan alam yang ada

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya alam juga semakin besar, salah satunya kekayaan alam yang ada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Meningkatnya laju pertumbuhan penduduk dan perubahan kondisi sosial ekonomi sekarang, menjadikan tuntutan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam juga semakin

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR HUBUNGAN KARAKTERISTIK ANGGOTA MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DAN BEBERAPA FAKTOR PENDUKUNG DENGAN PARTISIPASINYA DALAM PELESTARIAN HUTAN DI KAWASAN PEMANGKUAN HUTAN PARUNG PANJANG KABUPATEN BOGOR YAYUK SISWIYANTI

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah pengelolaan hutan di Indonesia selama ini diwarnai dengan ketidakadilan distribusi manfaat hutan terhadap masyarakat lokal. Pengelolaan hutan sejak jaman kolonial

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan perubahan kondisi sosial masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat dalam pemanfaatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati 1 Konservasi Lingkungan Lely Riawati 2 Dasar Hukum Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

HUBUNGAN EFEKTIVITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL DENGAN PERILAKU BERCOCOK TANAM PADI SAWAH

HUBUNGAN EFEKTIVITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL DENGAN PERILAKU BERCOCOK TANAM PADI SAWAH HUBUNGAN EFEKTIVITAS KOMUNIKASI INTERPERSONAL DENGAN PERILAKU BERCOCOK TANAM PADI SAWAH (Kasus Desa Waimital Kecamatan Kairatu Kabupaten Seram Bagian Barat) RISYAT ALBERTH FAR FAR SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Masyarakat Desa Hutan Masyararakat desa hutan dapat didefinisikan sebagai kelompok orang yang bertempat tinggal di desa hutan dan melakukan aktivitas atau kegiatan yang berinteraksi

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL

HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL HUBUNGAN MOTIVASI BERPRESTASI DAN IKLIM ORGANISASI DENGAN KINERJA PENYULUH KEHUTANAN TERAMPIL (Kasus di Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat) HENDRO ASMORO SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 I. PENDAHULUAN REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 Pembangunan kehutanan pada era 2000 2004 merupakan kegiatan pembangunan yang sangat berbeda dengan kegiatan pada era-era sebelumnya. Kondisi dan situasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. ada di Indonesia. Kebutuhan akan kawasan konservasi sebagai kawasan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. ada di Indonesia. Kebutuhan akan kawasan konservasi sebagai kawasan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Nasional merupakan salah satu bentuk kawasan konservasi yang ada di Indonesia. Kebutuhan akan kawasan konservasi sebagai kawasan yang disisihkan untuk masa depan

Lebih terperinci

BAB. I. PENDAHULUAN A.

BAB. I. PENDAHULUAN A. BAB. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di antara dua benua dan dua samudera, Indonesia memiliki hutan tropis terluas ketiga setelah Brazil dan Zaire.

Lebih terperinci

Ir. Agus Dermawan, MSi -DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT-

Ir. Agus Dermawan, MSi -DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT- Ir. Agus Dermawan, MSi -DIREKTUR KONSERVASI DAN TAMAN NASIONAL LAUT- Direktorat Konservasi dan Taman Nasional laut Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR HUBUNGAN KARAKTERISTIK ANGGOTA MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DAN BEBERAPA FAKTOR PENDUKUNG DENGAN PARTISIPASINYA DALAM PELESTARIAN HUTAN DI KAWASAN PEMANGKUAN HUTAN PARUNG PANJANG KABUPATEN BOGOR YAYUK SISWIYANTI

Lebih terperinci

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo Hutan Kemasyarakatan (HKm) menjadi salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan untuk menekan laju deforestasi di Indonesia dengan

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGENDALIAN HAMA TERPADU (SLPHT) PADA PERKEBUNAN KOPI RAKYAT DI KABUPATEN TEMANGGUNG JAWA TENGAH LAKSMI WIJAYANTI

EFEKTIVITAS PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGENDALIAN HAMA TERPADU (SLPHT) PADA PERKEBUNAN KOPI RAKYAT DI KABUPATEN TEMANGGUNG JAWA TENGAH LAKSMI WIJAYANTI EFEKTIVITAS PROGRAM SEKOLAH LAPANG PENGENDALIAN HAMA TERPADU (SLPHT) PADA PERKEBUNAN KOPI RAKYAT DI KABUPATEN TEMANGGUNG JAWA TENGAH LAKSMI WIJAYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang , 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang , 2014 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia adalah negara di Asia Tenggara, terletak di daerah khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan Australia serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan di Sumatera Utara memiliki luas sekitar 3.742.120 ha atau sekitar 52,20% dari seluruh luas provinsi, luasan kawasan hutan ini sesuai dengan yang termaktub

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun terakhir, produk kelapa sawit merupakan produk perkebunan yang. hampir mencakup seluruh daerah tropis (RSPO, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. tahun terakhir, produk kelapa sawit merupakan produk perkebunan yang. hampir mencakup seluruh daerah tropis (RSPO, 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelapa sawit bukan tanaman asli Indonesia, namun keberadaan tanaman ini telah masuk hampir ke semua sektor kehidupan. Kondisi ini telah mendorong semakin meluasnya

Lebih terperinci

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar? Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? Ekologi Hidupan Liar http://staff.unila.ac.id/janter/ 1 2 Hidupan liar? Mencakup satwa dan tumbuhan Pengelolaan hidupan liar PENGERTIAN perlindungan populasi satwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Ketiadaan hak kepemilikan (property right) pada sumberdaya alam mendorong terjadinya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan ekosistemnya. Potensi sumber daya alam tersebut semestinya dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam 2 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, di kawasan mangrove terjadi interaksi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Taman Nasional

TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Taman Nasional 8 TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Taman Nasional Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyebutkan bahwa Taman nasional (National Park) adalah kawasan

Lebih terperinci

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS

PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN DAN ANALISIS DAERAH RAWAN TANAH LONGSOR SERTA UPAYA MITIGASINYA MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (Studi Kasus Kecamatan Sumedang Utara dan Sumedang Selatan, Kabupaten Sumedang, Provinsi

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah karunia alam yang memiliki potensi dan fungsi untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Potensi dan fungsi tersebut mengandung manfaat bagi populasi manusia

Lebih terperinci

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH

STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH STRATEGI MENSINERGIKAN PROGRAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DENGAN PROGRAM PEMBANGUNAN DAERAH (Kasus Program Community Development Perusahaan Star Energy di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Anambas) AKMARUZZAMAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) merupakan taman nasional yang ditunjuk berdasarkan SK Menhut No 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, perubahan

Lebih terperinci