PENDAHULUAN Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENDAHULUAN Latar Belakang"

Transkripsi

1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pentingnya kawasan hutan bagi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan tidak pernah dapat terelakkan. Hampir seluruh kawasan konservasi di Indonesia berada dalam pola interaksi yang kuat dengan masyarakat yang hidup di sekitarnya, dimana masyarakat masih mengandalkan hidupnya pada hutan. Masyarakat bergantung pada hubungannya dengan lingkungan termasuk kawasan hutan untuk memenuhi kebutuhan hidup (Foskett dan Foskett 2004). Data empiris menunjukkan bahwa masyarakat tersebut tersebar di kurang lebih desa didalam kawasan hutan dan kurang lebih desa di sekitar hutan (Daryanto 2011). Sejumlah desa diantaranya terdapat di dalam dan di sekitar hutan konservasi (Dephut 2009). Pada umumnya masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan konservasi termasuk dalam kategori miskin (Santosa 2004), salah satunya dikarenakan terbatasnya akses terhadap kegiatan pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam (Kemenhut 2011b). Sementara itu, secara teoritis, kawasan konservasi harus bebas dari pemukiman masyarakat. Kondisi inilah yang menyebabkan munculnya konflik antara kepentingan masyarakat dengan kepentingan konservasi, demikian juga yang terjadi di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). Kecenderungan konflik memerlukan solusi yang dapat mengakomodir semua kepentingan. Aktivitas masyarakat di sekitarnya yang bersifat eksploitatif merupakan ancaman yang akan menimbulkan dampak merugikan bagi kawasan maupun masyarakat itu sendiri. Di sisi lain, masyarakat merupakan sumberdaya potensial bagi konservasi kawasan TNBBS. Dengan demikian, kepentingan masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya serta perilaku mereka tidak dapat dipisahkan dalam pengelolaan TNBBS. Program pemberdayaan dipandang perlu sebagai upaya untuk mendorong perilaku positif masyarakat dalam meningkatkan kesejahteraannya dengan mempertimbangkan pelestarian kawasan. Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) dengan luas ha merupakan kawasan pelestarian alam terbesar ketiga di Sumatera. Kondisi geografis dengan bentuk kawasan memanjang mulai dari Tanjung Cina (berbatasan dengan Samudera Hindia) sampai dengan ujung selatan Provinsi Bengkulu menjadikan TNBBS memiliki tipe vegetasi paling lengkap mulai dari hutan pantai, hutan hujan pegunungan dataran rendah, hutan hujan dataran tinggi dan pegunungan. Dengan berbagai tipe tersebut, TNBBS merupakan laboratorium alam yang mempunyai keanekaragaman hayati sangat tinggi. Kawasan ini juga merupakan benteng terakhir bagi habitat berbagai spesies terancam punah dan langka yang masih tersisa di Indonesia serta merupakan kawasan penting sistem penyangga kehidupan di Sumatera bagian selatan.. Berdasarkan klasifikasi Dinerstein et al. (1997), TNBBS diidentifikasi sebagai Tingkat I Tiger Conservation Unit, yaitu area prioritas bagi aksi konservasi harimau di habitat aslinya. TNBBS juga termasuk dalam 200 Ecoregions Global, yaitu peringkat WWF tentang habitat paling biologis yang berada di darat, air tawar dan laut, serta merupakan kawasan prioritas untuk 1

2 2 konservasi Badak Sumatera. Dengan berbagai fungsi penting dan karakteristik yang dimiliki tersebut, pada tahun 2004, UNESCO menetapkan TNBBS sebagai Situs/Tapak Warisan Dunia Pegunungan Cluster Area, dengan nama Tropical Rainforest Herritage of Sumatera. Disisi lain, kondisi geografis TNBBS dengan bentuk sempit dan memanjang menjadikan kawasan ini memiliki batas (alam maupun buatan) sepanjang ±893,39 km dan dikelilingi sekitar 210 desa (BTNBBS 2011). Besarnya jumlah desa yang berbatasan dengan TNBBS merupakan prioritas yang harus dipertimbangkan terkait kepentingan masyarakat secara ekonomi, sosial dan budaya berkaitan dengan akses terhadap sumberdaya alam yang dimiliki TNBBS serta pengaruhnya terhadap perilaku konservasi mereka. Dalam implementasinya, masih banyak masyarakat yang belum memahami mengapa suatu kawasan hutan ditetapkan sebagai kawasan taman nasional. Bagi masyarakat taman nasional merupakan kawasan terlarang yang membatasi masyarakat untuk dapat melakukan aktivitas yang selama ini lazim mereka lakukan, seperti aktivitas mencari kayu, berkebun, berburu dan mencari makanan ternak. Di banyak negara berkembang, tekanan terhadap sumberdaya alam meningkat seiring bertambahnya jumlah penduduk (Hackel 1999; Kideghesho et al. 2005b; Madulu 2004; Songorwa 2004a diacu dalam Kideghesho, Roskaft dan Kaltenborn 2007). Jumlah penduduk yang semakin meningkat di sekitar kawasan TNBBS membawa konsekuensi terhadap peningkatan tekanan terhadap kawasan, karena tingkat kebutuhan dan kepentingan terhadap sumberdaya alam juga semakin tinggi. Aktifitas pembukaan hutan/perambahan yang terus terjadi dan kecenderungan perilaku masyarakat yang tidak memperdulikan konservasi semakin mengkhawatirkan. Di sisi lain keberadaan kawasan konservasi harus tetap dipertahankan terkait dengan fungsi penting yang dimiliki. Dengan kondisi tersebut, melestarikan kawasan dan mengubah perilaku masyarakat merupakan tantangan terbesar dalam perspektif pengelolaan berkelanjutan di TNBBS. TNBBS juga merupakan kawasan yang mempunyai kompleksitas penyebab deforestasi, sehubungan dengan batas kawasan dengan pemukiman dan lahan pertanian. Tingginya interaksi terkait batas kawasan menyebabkan masyarakat masuk ke dalam kawasan (merambah) dan satwa-satwa liar terdesak keluar dari kawasan. Kusworo (2000) dan Verbist et al. (2004) sebagaimana diacu dalam Suyadi (2009) menyatakan bahwa konflik kepemilikan lahan dan kepentingan antara masyarakat dan pengelola semakin memperparah kerusakan hutan. Akibat aktifitas masyarakat di dalam kawasan, TNBBS telah mengalami kehilangan tutupan lahan secara dramatis. Kawasan ini telah mengalami pengurangan tutupan lahan hutan sejak awal tahun 1970an (Kinnaird et al. 2003). Kerusakan kawasan TNBBS dalam kurun waktu tahun sebagaimana dalam Lampiran 1. Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) saat ini telah mengalami deforestasi (perubahan fungsi hutan) sekaligus degradasi (penurunan fungsi hutan). Dari total luas kawasan ( hektar), TNBBS telah mengalami pembukaan tutupan hutan seluas kurang lebih hektar (16,9 persen dari luas total), dimana hektar diantaranya diakibatkan oleh aktivitas perambahan yang dilakukan oleh sekitar ± orang perambah. Laju kehilangan tutupan lahan mencapai 22,5 persen total luas kawasan selama 10 tahun terakhir (BTNBBS 2010). Apabila dibandingkan dengan rata-rata laju kerusakan dari tahun , maka dalam 10 tahun terakhir TNBBS mengalami laju

3 kerusakan yang semakin parah. Sebagian besar kerusakan tersebut adalah akibat pola ekstensifikasi lahan pertanian. Pola ekstensifikasi inilah yang menyebabkan lahan hutan terambah, terkonversi, dan berubah fungsi menjadi kebun kakao, kopi, lada, padi, nilam serta berbagai tanaman komoditas lainnya. Selain itu kawasan TNBBS selalu terancam pencurian kayu yang memiliki nilai ekonomis tinggi seperti meranti, keruing, cempaka, medang, dan tenam. Masyarakat beranggapan bahwa semakin luas lahan garapan maka semakin banyak penghasilan, sulit menyadarkannya bahwa peningkatan penghasilan dilakukan melalui pengelolaan lahan yang tepat didukung pengembangan usaha produktif sesuai dengan potensi yang ada. Pola pikir ekspansi lahan sulit dihilangkan, apalagi mengajak masyarakat untuk berpikir jangka panjang dalam pelestarian hutan karena kebutuhan mereka adalah untuk waktu sekarang. Sementara itu, dengan adanya perambahan akan mengakibatkan kerusakan yang berdampak negatif baik dari sisi konservasi maupun masyarakat itu sendiri. Apabila pemenuhan kebutuhan manusia melebihi daya dukung ekosistem maka ekosistem tersebut akan rusak (Smith 1995 dalam Nguyen et al. 2007), dan akan merugikan masyarakat itu sendiri (Matarasso et al diacu dalam Nguyen et al. 2007). Semua bentuk gangguan terhadap TNBBS berimbas pada semakin terdesaknya kawasan. Selain memicu terjadinya konflik satwa-manusia yang menimbulkan kerugian material dan korban nyawa manusia, kerusakan kawasan hutan ini juga mengakibatkan daya dukung kawasan semakin menurun. Pada kenyataannya, aktivitas perambahan dan tindak ilegal lainnya dalam kawasan telah menyebabkan musnahnya ribuan meter kubik kayu dan berbagai unsur mikro dan makro organisme, memutuskan sebagian mata rantai ekosistem hutan serta mempengaruhi sistem mikro hidupan lainnya. Apabila hal ini dibiarkan maka akan menambah daftar luasan lahan kritis yang mengundang terjadinya berbagai bencana alam. Perubahan fungsi hutan akibat perambahan telah menurunkan fungsi hidrologis TNBBS dan menyebabkan 181 anak sungai yang berhulu di dalam kawasan terancam. Padahal sungai ini sangat berperan sebagai penyedia air bagi 10 kabupaten/kota di Lampung (BTNBBS 2010). Selain itu air yang dialirkan juga berperan vital bagi penyediaan air untuk pertanian dan pembangkit listrik. Kondisi demikian tentu sangat mengancam kelestarian kawasan terutama dalam penyediaan daya dukung lingkungan yang pada akhirnya dampaknya tentu saja juga akan dirasakan oleh masyarakat. Ilustrasi kerusakan kawasan akibat aktivitas ilegal masyarakat sebagaimana dalam lampiran 2. Penanganan serius dan tepat diperlukan bukan semata-mata untuk mempertahankan status sebagai tapak warisan dunia tetapi lebih pada mempertahankan kawasan sebagai penyangga fungsi kehidupan penting tanpa mengabaikan keberadaan masyarakat. Masyarakat adalah pelaku utama yang dapat menjadi sumberdaya potensial sekaligus ancaman terhadap kelestarian kawasan. Pada saat kawasan konservasi dianggap sesuatu yang mendatangkan manfaat bagi masyarakat sekitar, maka masyarakat menjadi pendukung dalam upaya pelestarian kawasan konservasi tersebut. Sebaliknya apabila kawasan dianggap sebagai penghalang dan tidak memberikan manfaat bagi masyarakat, maka masyarakat sekitar akan menjadi ancaman. Dengan demikian, keterkaitan masyarakat dengan pengelolaan taman nasional menjadi hal yang tidak dapat diabaikan. Pengelolaan Taman nasional saat ini tidak bisa dipisahkan dari masyarakat yang bermukim di 3

4 4 sekitar kawasan (Borrini-Feyerabend, Kothari, Oviedo 2004). Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan dapat menjadi pilar bagi terciptanya pengelolaan hutan lestari. Perilaku mereka merupakan komponen paling krusial dalam mengelola dan melestarikan hutan. Keberhasilan pengelolaan taman nasional akan dipengaruhi oleh perilaku (tingkat pengetahuan, persepsi dan sikap serta tindakan) masyarakat sekitarnya terhadap taman nasional. Dalam banyak kasus, masyarakat jarang dimunculkan/dianalisis dalam proses pengambilan kebijakan pengelolaan kawasan konservasi (Chase et al diacu dalam Guthiga 2008). Masyarakat lokal seringkali diabaikan dalam pengelolaan taman nasional (Stevens 1997 diacu dalam Adiprasetyo et al. 2009), meskipun telah diakui secara luas bahwa masyarakat di sekitar hutan merupakan kunci keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi (Ferraro 2002; Wiggins, Marfo dan Anchirinah 2004; Robertson dan Lawes 2005). Masyarakat lokal perlu dipertimbangkan untuk memperoleh pengetahuan, informasi dan manfaat dalam mengelola dan mengkonservasi kawasan dimana mereka mempunyai ketergantungan terhadapnya (Johnson 2001; White & Martin 2002 diacu dalam Guthiga 2008). Perubahan paradigma pengelolaan kawasan konservasi kearah pemberdayaan partisipasi telah memunculkan konsep pengelolaan pengembangan program konservasi secara terintegrasi atau disebut Integrated Conservation Development Program (IUCN 2004). Dengan demikian, pengelolaan kawasan konservasi tidak mungkin hanya ditekankan pada salah satu kepentingan, baik masyarakatnya saja maupun konservasi semata-mata. Mempertimbangkan masyarakat dalam upaya konservasi mutlak diperlukan, karena masyarakat merupakan kunci utama keberhasilan konservasi kawasan. Diakomodirnya peran serta masyarakat adalah suatu keniscayaan. Luasnya sebaran kawasan konservasi, terbatasnya institusi pengelola, sumber daya manusia, dana, menyebabkan pengelolaan kawasan konservasi tidak mungkin dapat berjalan dengan baik tanpa peran serta masyarakat. Upaya meletakkan pola hubungan pemerintah dengan masyarakat dalam bentuk kemitraan akan menguntungkan semua pihak, baik pemerintah, masyarakat ataupun kawasan konservasi itu sendiri. Bagi masyarakat lokal, keterlibatan dalam pengelolaan kawasan konservasi bukan dilihat semata-mata sebagai sebuah tugas, tetapi didorong oleh motivasi dan rasa memiliki, dimana mereka merasa adalah bagian dari hutan atau kawasan konservasi itu sendiri (Sembiring et al. 1997). Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjelaskan bahwa penyelenggaraan kehutanan berasaskan manfaat lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan. Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan, dengan cara meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal. Selain itu, pemberdayaan masyarakat dengan penekanan yang sama dituangkan dalam Permenhut No.P.16/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Umum Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) Sektor Kehutanan. Dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar kawasan konservasi dapat dilakukan melalui pemberdayaan

5 5 pengembangan ekonomi berbasis konservasi yang dikemas dalam bentuk kegiatan, seperti pembangunan desa konservasi. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam menjelaskan bahwa pemerintah berkewajiban untuk memberdayakan masyarakat di sekitar kawasan konservasi dengan penekanan pengembangan kapasitas masyarakat dan pemberian akses pemanfaatan kawasan dalam zona tertentu. Beberapa poin tersebut menjelaskan bahwa porsi pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi menempati posisi sangat penting. Pemberdayaan dimaksud merupakan proses penguatan masyarakat dengan cara memberikan motivasi dan dorongan agar masyarakat mampu menggali potensi diri dan berani bertindak untuk memperkuat kualitas hidupnya melalui pendekatan partisipasi (meningkatkan peran serta aktif masyarakat dalam kegiatan pembangunan kehutanan). Melihat artinya, maka pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi merupakan tantangan yang sangat berat karena di dalamnya terkait dengan mengubah pola pikir dan perilaku masyarakat itu sendiri. Dalam rangka pemberdayaan tersebut, TNBBS telah melaksanakan berbagai kegiatan, salah satunya adalah Model Desa Konservasi (MDK). MDK merupakan bentuk program pemberdayaan masyarakat berbasis ekonomi dan konservasi yang merupakan upaya penting dalam meningkatkan akses timbal balik peran masyarakat dan fungsi kawasan konservasi terhadap peningkatan kelestarian dan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan berbagai ulasan di atas, kajian penelitian diperlukan terkait bahwa memahami proses dan dampak kegiatan pemberdayaan melalui MDK terhadap masyarakat merupakan langkah dasar dan strategis dalam upaya konservasi kawasan TNBBS serta pengelolaannya terutama untuk merancang pemberdayaan yang bagaimana yang paling tepat untuk diterapkan. Perumusan Masalah Penelitian Penetapan wilayah sebagai taman nasional akan membatasi aktivitas maupun interaksi masyarakat terhadap hutan. Dengan kondisi demikian potensi konflik menjadi relatif tinggi. Kondisi daerah di sekitar kawasan dengan jumlah penduduk yang cenderung meningkat dari waktu ke waktu, keterbatasan kepemilikan lahan dan semakin meningkatnya tuntutan pemenuhan kebutuhan, menyebabkan tekanan terhadap kawasan terhadap kawasan TNBBS. Hal ini ditunjukkan oleh adanya aktivitas perambahan, penebangan liar, perburuan satwa serta eksploitasi flora fauna lainnya yang terus terjadi. Kondisi tersebut mengindikasikan bahwa tingkat kesadaran dan kepedulian masyarakat sebagai pelaku utama dalam melakukan pelestarian lingkungan dan kawasan TNBBS pada umumnya masih relatif rendah. Rendahnya tingkat kesadaran dan kepedulian masyarakat dapat dipengaruhi oleh berbagai hal, yaitu dari faktor internal (kurangnya pengetahuan, pendidikan dan kemampuan), faktor eksternal (kurangnya penyuluhan, pelatihan, peran media massa sebagai saluran komunikasi dan sebagainya), serta faktor proses pembelajaran yang belum memadai (Suyadi 2009). Upaya mendorong perilaku positif sangat menentukan bagi kelestarian TNBBS. Konservasi kawasan akan efektif apabila diimbangi dengan perilaku yang

6 6 sesuai dengan tujuan tersebut. Komponen-komponen perilaku ini merujuk pada apa yang telah diketahui atau dipahami (knowledge), bagaimana persepsi dan sikap mereka (afektif), apa yang dapat mereka lakukan (skill) dan secara nyata apa yang mereka kerjakan (action). Dengan adanya kesadaran positif, masyarakat diharapkan memiliki kesamaan pandangan tentang pentingnya kawasan konservasi dan rasa tanggungjawab dalam melestarikannya. Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi telah dilakukan sejak tahun 1993 melalui pengembangan daerah penyangga namun belum berhasil secara optimal. Pendekatan pemberdayaan yang selama ini dilakukan terbukti hanya menghasilkan perilaku sasaran yang apatis dan perubahan perilaku yang tidak permanen. Pemberdayaan dengan pendekatan kearah persuasif dan partisipatif diharapkan akan lebih efektif menghasilkan keberdayaan serta kemandirian. Untuk merealisasikannya, pemberdayaan masyarakat dilakukan melalui Model Desa Konservasi (MDK). Saat ini, MDK telah dilaksanakan oleh 77 (tujuh puluh tujuh) Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Kementerian Kehutanan baik oleh Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) maupun Taman Nasional di kurang lebih 133 desa di dalam dan sekitar kawasan (Dephut, 2009). Upaya pemberdayaan masyarakat melalui MDK dilaksanakan TNBBS sejak tahun MDK bertujuan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap kawasan, meningkatkan penghidupan dan kemandirian masyarakat dalam pemanfaatan potensi yang dimiliki melalui kegiatan yang telah disepakati dengan perencanaan partisipatif untuk mendorong peran serta masyarakat dalam menjaga kelestarian kawasan yang ada disekitarnya. Dengan demikian diharapkan akan menjamin keseimbangan ekologis, ekonomi dan sosial budaya dalam konservasi kawasan dan peningkatan kesejahteran masyarakat. Dengan pergeseran pola pendekatan ke arah partisipatif, desentralisasi dan kemitraan dimana pelaksanaannya didukung oleh berbagai kebijakan, diharapkan MDK merupakan sebuah upaya yang tepat/efektif untuk mencapai tujuan tersebut. Untuk mewujudkan partisipasi yang bersifat aktif dan kreatif serta kemandirian sebagai perilaku positif masyarakat, diperlukan upaya-upaya konkrit dalam pemberdayaan termasuk MDK sehingga masyarakat mengalami proses belajar untuk mampu memperbaiki diri sendiri (mandiri). Upaya pemberdayaan masyarakat telah dilakukan oleh pemerintah, LSM dan Perguruan Tinggi di Indonesia. Permasalahannya adalah apakah pendekatan pemberdayaan yang telah dilakukan selama ini sudah cukup efektif. Dalam penerapannya, kegiatan pemberdayaan selama ini masih dipandang sebagai proyek dari pemerintah kepada masyarakat bersifat top-down. Banyak bukti menunjukkan bahwa program-program tersebut tidak mencapai hasil yang diharapkan bahkan telah membuat ketergantungan masyarakat kepada programprogram pemerintah, bukan menciptakan masyarakat mandiri (Pillin 1999 diacu dalam Yumi 2002). Partisipasi masyarakat dalam program pemberdayaan cenderung bersifat semu dan sementara, serta sering hanya dilihat dalam konteks sempit, yaitu sekedar pelaksanaan program, masyarakat tidak dikembangkan kemampuannya dan harus menerima keputusan yang sudah diambil pihak luar. Selain faktor dari masyarakat, komitmen dari pihak pengelola juga perlu mendapat perhatian. Dari hasil laporan kegiatan MDK, secara umum sebagian besar pengelola belum menganggap kegiatan pemberdayaan MDK sebagai

7 7 prioritas dan hal ini mengakibatkan keberlanjutan pelaksanaan terhambat. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat faktor-faktor yang berpengaruh terhadap efektif atau tidaknya kegiatan pemberdayaan, baik dari segi masyarakatnya sendiri (faktor internal) maupun faktor eksternal (lingkungan). Berdasarkan uraian tersebut, hal yang perlu mendapatkan prioritas perhatian adalah keterkaitan kegiatan pemberdayaan melalui MDK dengan masyarakat terutama dalam merespon keberadaan TNBBS sebagai sumber kehidupan yang mempengaruhinya. Bagaimanakah efektifitas pemberdayaan masyarakat MDK sebagai upaya yang telah dilakukan terhadap masyarakat, faktor-faktor apa yang berhubungan dan mempengaruhinya, pendekatan yang bagaimanakah yang paling efektif berkaitan dengan upaya pengelolaan berkelanjutan TNBBS dari segi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya. Bagaimana kecenderungan perubahan dalam masyarakat sebagai hasil/dampak kegiatan pemberdayaan dapat menjadi dasar bagi upaya-upaya konservasi kawasan TNBBS. Masyarakat dalam kajian ini adalah masyarakat yang tinggal disekitar kawasan yang sebagian besar berbatasan langsung dan berinteraksi dengan kawasan dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Berdasarkan hal-hal yang telah dikemukakan diatas dapat dirumuskan pertanyaan masalah penelitian yaitu: (1) Bagaimanakah efektifitas pemberdayaan MDK yang dilakukan di TNBBS? (2) Faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan efektifitas MDK di TNBBS? dan (3) Bagaimanakah peningkatan efektifitas pemberdayaan MDK di TNBBS berkaitan dengan pendekatan kegiatan pemberdayaan yang tepat untuk diterapkan? Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1). Menganalisis efektifitas pemberdayaan masyarakat MDK di TNBBS; (2). Menganalisis faktor-faktor yang berhubungan dengan efektifitas pemberdayaan masyarakat MDK di TNBBS; dan (3). Menganalisis peningkatan efektifitas pemberdayaan MDK di TNBBS berkaitan dengan pendekatan pemberdayaan masyarakat yang paling tepat untuk diterapkan. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan dalam mempertimbangkan kegiatan pemberdayaan masyarakat di TNBBS khususnya dan kawasan konservasi lain pada umumnya berdasarkan efektifitasnya dalam mendorong perilaku positif masyarakat. Bagi ilmu penyuluhan, penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan pengetahuan berkaitan dengan peran penyuluhan melalui pemberdayaan dalam mewujudkan peran timbal balik antara kesejahteraan masyarakat dan kelestarian kawasan konservasi.

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS. Kerangka Berpikir

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS. Kerangka Berpikir 33 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Adanya fakta bahwa fungsi dan pengelolaan kawasan taman nasional sering dihadapkan pada dilema antara kepentingan konservasi dengan kepentingan masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung adalah salah satu kawasan yang amat vital sebagai penyangga kehidupan ekonomi, sosial dan ekologis bagi masyarakat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan sebagai modal dasar pembangunan perlu dipertahankan keberadaannya dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat. Luas kawasan hutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis letak Indonesia berada di daerah tropis atau berada di sekitar

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis letak Indonesia berada di daerah tropis atau berada di sekitar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai 17.508 pulau. Indonesia terbentang antara 6 o LU - 11 o LS, dan 97 o BT - 141 o BT. Secara geografis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Habitat merupakan lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang biak secara alami. Kondisi kualitas dan kuantitas habitat akan menentukan komposisi,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Interaksi Manusia dengan Lingkungan Interaksi merupakan suatu hubungan yang terjadi antara dua faktor atau lebih yang saling mempengaruhi dan saling memberikan aksi dan reaksi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dari penunjukan kawasan konservasi CA dan SM Pulau Bawean adalah untuk

I. PENDAHULUAN. dari penunjukan kawasan konservasi CA dan SM Pulau Bawean adalah untuk I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suaka Alam Pulau Bawean ditunjuk dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 76/Kpts/Um/12/1979 tanggal 5 Desember 1979 meliputi Cagar Alam (CA) seluas 725 ha dan Suaka

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Masyarakat Desa Hutan Masyararakat desa hutan dapat didefinisikan sebagai kelompok orang yang bertempat tinggal di desa hutan dan melakukan aktivitas atau kegiatan yang berinteraksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan

Lebih terperinci

EFEKTIFITAS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN (TNBBS):

EFEKTIFITAS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN (TNBBS): EFEKTIFITAS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL BUKIT BARISAN SELATAN (TNBBS): Kasus Model Desa Konservasi (MDK) di Pekon Sukaraja dan Pekon Kubu Perahu, Lampung RISTIANASARI SEKOLAH PASCASARJANA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan hutan di Sumatera Utara memiliki luas sekitar 3.742.120 ha atau sekitar 52,20% dari seluruh luas provinsi, luasan kawasan hutan ini sesuai dengan yang termaktub

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu kawasan yang mempunyai berbagai macam jenis tumbuhan dan hewan yang saling berinteraksi di dalamnya. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kaedah dasar yang melandasi pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah dasar ini selanjutnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan petumbuhan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan salah satu kelompok hutan tropis ketiga terbesar di dunia setelah Brazil dan Zaire, yang mempunyai fungsi utama sebagai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam, 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan konservasi terdiri dari kawasan suaka alam termasuk cagar alam dan suaka margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam, dan taman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional (TN) Gunung Merapi ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi Kawasan Hutan Lindung, Cagar

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan telah menjadi komitmen masyarakat dunia. Pada saat ini, beberapa negara maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia, telah menerima konsep

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni hutan tropis sumatera yang semakin terancam keberadaannya. Tekanan terhadap siamang terutama

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan aset nasional, bahkan aset dunia yang harus dipertahankan keberadaannya secara optimal. Menurut Undang-Undang No.41 Tahun

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan merupakan salah satu sumberdaya alam yang sangat dibutuhkan. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup seperti untuk membangun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan

I. PENDAHULUAN. Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tingginya laju kerusakan hutan tropis yang memicu persoalan-persoalan lingkungan telah mendorong kesadaran publik terhadap isu-isu mengenai pentingnya transformasi paradigma

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis terbesar di dunia. Luas kawasan hutan di Indonesia saat ini mencapai 120,35 juta ha. Tujuh belas persen

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang

I. PENDAHULUAN. ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan modal pembangunan nasional yang memiliki manfaat ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menjelaskan bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sangat kaya akan berbagai sumberdaya alam, termasuk keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya. Kekayaan sumberdaya alam tersebut harus dikelola

Lebih terperinci

MEMBANGUN MODEL DESA KONSERVASI SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PENYELAMATAN KAWASAN KONSERVASI. Oleh : Kusumoantono Widyaiswara Madya BDK Bogor ABSTRACT

MEMBANGUN MODEL DESA KONSERVASI SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PENYELAMATAN KAWASAN KONSERVASI. Oleh : Kusumoantono Widyaiswara Madya BDK Bogor ABSTRACT MEMBANGUN MODEL DESA KONSERVASI SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PENYELAMATAN KAWASAN KONSERVASI Oleh : Kusumoantono Widyaiswara Madya BDK Bogor ABSTRACT The conservation village is a conservation initiative that

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat memberikan berbagai manfaat bagi kehidupan manusia, yaitu manfaat ekologis, sosial maupun ekonomi. Tetapi dari berbagai

Lebih terperinci

RENCANA STRATEGIS

RENCANA STRATEGIS TROPICAL FOREST CONSERVATION ACTION FOR SUMATERA RENCANA STRATEGIS 2010-2015 A. LATAR BELAKANG Pulau Sumatera merupakan salah kawasan prioritas konservasi keanekaragaman hayati Paparan Sunda dan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Riau dengan luas 94.560 km persegi merupakan Provinsi terluas di pulau Sumatra. Dari proporsi potensi lahan kering di provinsi ini dengan luas sebesar 9.260.421

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN I. UMUM Ketersediaan lahan untuk usaha pertanian merupakan

Lebih terperinci

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo

HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo HUTAN KEMASYARAKATAN (HKm) Oleh Agus Budhi Prasetyo Hutan Kemasyarakatan (HKm) menjadi salah satu kebijakan yang dikeluarkan oleh Kementerian Kehutanan untuk menekan laju deforestasi di Indonesia dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia. Dalam pelaksanaan proses pembangunan, manusia tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Faktor kepuasan kerja dijelaskan oleh Umam (2010) bahwa terdapat dua indikator yaitu adanya ciri-ciri instrinsik dan ekstrinsik dari suatu pekerjaan yang menentukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan bagi masyarakat bukanlah hal yang baru, terutama bagi masyarakat yang masih memiliki nilai-nilai dan kultur tradisional. Sejak jaman dahulu, mereka tidak hanya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan pertumbuhan ekonomi nasional tekanan terhadap sumber daya hutan semakin

BAB I PENDAHULUAN. dan pertumbuhan ekonomi nasional tekanan terhadap sumber daya hutan semakin BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan di Indonesia mempunyai peranan baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial budaya, maupun secara ekologis. Sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Ketiadaan hak kepemilikan (property right) pada sumberdaya alam mendorong terjadinya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahun terakhir, produk kelapa sawit merupakan produk perkebunan yang. hampir mencakup seluruh daerah tropis (RSPO, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. tahun terakhir, produk kelapa sawit merupakan produk perkebunan yang. hampir mencakup seluruh daerah tropis (RSPO, 2009). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelapa sawit bukan tanaman asli Indonesia, namun keberadaan tanaman ini telah masuk hampir ke semua sektor kehidupan. Kondisi ini telah mendorong semakin meluasnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. ada di Indonesia. Kebutuhan akan kawasan konservasi sebagai kawasan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. ada di Indonesia. Kebutuhan akan kawasan konservasi sebagai kawasan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Nasional merupakan salah satu bentuk kawasan konservasi yang ada di Indonesia. Kebutuhan akan kawasan konservasi sebagai kawasan yang disisihkan untuk masa depan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan perubahan kondisi sosial masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat dalam pemanfaatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove yang ada di Indonesia makin lama makin berkurang akibat perubahan bentuk menjadi kawasan pemukiman, pertanian maupun tambak atau mendapat tekanan yang besar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. maka penduduk setempat dapat menggagalkan upaya pelestarian. Sebaliknya bila

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. maka penduduk setempat dapat menggagalkan upaya pelestarian. Sebaliknya bila I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan utama dari pengelolaan taman nasional adalah untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan menyediakan jasa ekosistem. Sebuah taman nasional memegang peranan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (2007) Indonesia memiliki kawasan mangrove yang terluas

BAB I PENDAHULUAN. Menurut FAO (2007) Indonesia memiliki kawasan mangrove yang terluas 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Menurut FAO (2007) Indonesia memiliki kawasan mangrove yang terluas di dunia sekitar 19% dari total hutan mangrove dunia, dan terluas se-asia Tenggara sekitar 49%

Lebih terperinci

SAMBUTAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PADA ACARA MEMPERINGATI HARI LINGKUNGAN HIDUP SEDUNIA

SAMBUTAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PADA ACARA MEMPERINGATI HARI LINGKUNGAN HIDUP SEDUNIA SAMBUTAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PADA ACARA MEMPERINGATI HARI LINGKUNGAN HIDUP SEDUNIA Minggu, 5 Juni 2016 Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Salam Sejahtera Pertama-tama marilah

Lebih terperinci

BAB VI PERSEPSI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN TERHADAP PHBM

BAB VI PERSEPSI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN TERHADAP PHBM BAB VI PERSEPSI MASYARAKAT SEKITAR HUTAN TERHADAP PHBM 6.1 Kelemahan Sumber Daya Manusia Dari hasil survei dapat digambarkan karakteristik responden sebagai berikut : anggota kelompok tani hutan (KTH)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan erat dengan upaya pemerintah dalam meningkatkan devisa negara, yang pada masa lalu didominasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan adalah karunia alam yang memiliki potensi dan fungsi untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Potensi dan fungsi tersebut mengandung manfaat bagi populasi manusia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya alam juga semakin besar, salah satunya kekayaan alam yang ada

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya alam juga semakin besar, salah satunya kekayaan alam yang ada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Meningkatnya laju pertumbuhan penduduk dan perubahan kondisi sosial ekonomi sekarang, menjadikan tuntutan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam juga semakin

Lebih terperinci

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN

REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN REFORMA AGRARIA SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL DARI REVITALISASI PERTANIAN DAN PEMBANGUNAN EKONOMI PEDESAAN Krisis ekonomi yang sampai saat ini dampaknya masih terasa sebenarnya mengandung hikmah yang harus sangat

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan salah satu sumber daya alam hayati yang memiliki banyak potensi yang dapat diambil manfaatnya oleh masyarakat, Pasal 33 ayat (3) Undang- Undang Dasar 1945 menyebutkan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 16/Menhut-II/2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 16/Menhut-II/2011 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 16/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN

Lebih terperinci

BAB VI PROSPEK DAN TANTANGAN KEHUTANAN SULAWESI UTARA ( KEDEPAN)

BAB VI PROSPEK DAN TANTANGAN KEHUTANAN SULAWESI UTARA ( KEDEPAN) BAB VI PROSPEK DAN TANTANGAN KEHUTANAN SULAWESI UTARA (2014 - KEDEPAN) Gambar 33. Saluran Listrik Yang Berada di dalam Kawasan Hutan 70 Kiprah Kehutanan 50 Tahun Sulawesi Utara Foto : Johanes Wiharisno

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati Indonesia menduduki posisi kedua setelah Columbia

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati Indonesia menduduki posisi kedua setelah Columbia I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan Indonesia seluas 126,8 juta hektar yang merupakan kelompok hutan tropis ketiga terbesar di dunia setelah Brasil dan Zaire, mempunyai fungsi utama sebagai paru-paru

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa yang tidak terhingga nilainya bagi seluruh umat manusia. Sebagai anugerah, hutan mempunyai nilai filosofi yang

Lebih terperinci

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Salam Sejahtera Om Swastiastu

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Salam Sejahtera Om Swastiastu SAMBUTAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN PADA ACARA MEMPERINGATI HARI LINGKUNGAN HIDUP SEDUNIA Minggu, 5 Juni 2016 Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Salam Sejahtera Om Swastiastu Saudara-saudara

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah aliran sungai (DAS) merupakan sistem yang kompleks dan terdiri dari komponen utama seperti vegetasi (hutan), tanah, air, manusia dan biota lainnya. Hutan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat di sekitar hutan memiliki ketergantungan yang sangat besar dengan keberadaan hutan disekitarnya, pemanfaatan hutan dan hasil hutan oleh masyarakat dilakukan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

PENJELASAN ATAS QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR : 14 TAHUN 2002 TENTANG KEHUTANAN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM

PENJELASAN ATAS QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR : 14 TAHUN 2002 TENTANG KEHUTANAN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM PENJELASAN ATAS QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR : 14 TAHUN 2002 TENTANG KEHUTANAN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM I. UMUM Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dikaruniai oleh Allah Yang Maha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumber daya alam yang mampu menyediakan kebutuhan dasar masyarakat seperti pangan, papan, obat-obatan dan pendapatan bagi keluarga, sehingga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. plasma nutfah serta fungsi sosial budaya bagi masyarakat di sekitarnya dengan

BAB I PENDAHULUAN. plasma nutfah serta fungsi sosial budaya bagi masyarakat di sekitarnya dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan lindung sebagai kawasan yang mempunyai manfaat untuk mengatur tata air, pengendalian iklim mikro, habitat kehidupan liar, sumber plasma nutfah serta fungsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia memiliki potensi sumberdaya hutan yang tidak hanya memiliki keanekaragaman hayati tinggi namun juga memiliki peranan penting dalam perlindungan dan jasa lingkungan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program

PERENCANAAN PENGELOLAAN DAS TERPADU. Identifikasi Masalah. Menentukan Sasaran dan Tujuan. Alternatif kegiatan dan implementasi program Konsep Perencanaan Pengelolaan DAS Terpadu, dengan ciri-ciri sebagai berikut (1) hutan masih dominant, (2) satwa masih baik, (3) lahan pertanian masih kecil, (4) belum ada pencatat hidrometri, dan (5)

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang menyandang predikat mega biodiversity didukung oleh kondisi fisik wilayah yang beragam mulai dari pegunungan hingga dataran rendah serta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) merupakan taman nasional yang ditunjuk berdasarkan SK Menhut No 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, perubahan

Lebih terperinci

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN 05-09 Prof. DR. M. Bismark, MS. LATAR BELAKANG Perlindungan biodiversitas flora, fauna dan mikroorganisme menjadi perhatian dunia untuk

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2004 TENTANG PERENCANAAN KEHUTANAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan lebih lanjut ketentuan Bab IV Undang-undang Nomor

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia

BAB I. PENDAHULUAN. dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mempunyai arti strategis bagi pembangunan semua sektor, baik dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia merupakan salah satu paru-paru

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan merupakan sumber daya alam yang menyimpan kekayaan keanekaragaman hayati dan sumber daya alam lain yang terdapat di atas maupun di bawah tanah. Definisi hutan

Lebih terperinci

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera 1 2 3 Pendahuluan (Sistem Perencanaan Tata Ruang - Kebijakan Nasional Penyelamatan Ekosistem Pulau Sumatera) Penyelamatan Ekosistem Sumatera dengan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN www.bpkp.go.id PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2011 TENTANG PENETAPAN DAN ALIH FUNGSI LAHAN PERTANIAN PANGAN BERKELANJUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara kepulauan yang memiliki sekitar 17.508 pulau dan panjang garis pantai lebih dari 81.000

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Nilai Ekonomi Taman Nasional Alam seisinya memiliki nilai ekonomi yang dapat mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan manusia. Nilai ekonomi ini dapat diperoleh jika alam dilestarikan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini 57 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Hutan Indonesia Berdasarkan paduserasi TGHK RTRWP, luas hutan Indonesia saat ini mencapai angka 120,35 juta ha atau sekitar 61 % dari luas wilayah daratan Indonesia.

Lebih terperinci

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera Jakarta, 29 Juli 2011 1 2 3 Progress Legalisasi RTR Pulau Sumatera Konsepsi Tujuan, Kebijakan, Dan Strategi Rtr Pulau Sumatera Muatan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sejarah pengelolaan hutan di Indonesia selama ini diwarnai dengan ketidakadilan distribusi manfaat hutan terhadap masyarakat lokal. Pengelolaan hutan sejak jaman kolonial

Lebih terperinci

BAB VI LANGKAH KE DEPAN

BAB VI LANGKAH KE DEPAN BAB VI LANGKAH KE DEPAN Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion 343 344 Pembangunan Pertanian Berbasis Ekoregion LANGKAH LANGKAH KEDEPAN Seperti yang dibahas dalam buku ini, tatkala Indonesia memasuki

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Konservasi No. 5 Tahun 1990, sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan

Lebih terperinci

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN Oleh: Dini Ayudia, M.Si. Subbidang Transportasi Manufaktur Industri dan Jasa pada Bidang Perencanaan Pengelolaan SDA & LH Lahan merupakan suatu sistem yang kompleks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya.

BAB I PENDAHULUAN. makin maraknya alih fungsi lahan tanaman padi ke tanaman lainnya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lahan sawah memiliki arti penting, yakni sebagai media aktivitas bercocok tanam guna menghasilkan bahan pangan pokok (khususnya padi) bagi kebutuhan umat manusia.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Bambu merupakan salah satu taksa yang sangat beragam dan mempunyai potensi ekonomi yang tinggi. Bambu termasuk ke dalam anak suku Bambusoideae dalam suku Poaceae. Terdapat

Lebih terperinci

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM

KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM KEMENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM PERATURAN DIREKTUR JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM NOMOR : P. 11/KSDAE/SET/KSA.0/9/2016

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Ekosistem hutan memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi. Berbagai jenis tumbuhan dan satwa liar terdapat di hutan. Menurut Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1. Keunikan Kawasan Gunung Merapi Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena adanya interaksi yang kuat antar berbagai komponen di dalamnya,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bertambahnya jumlah penduduk dan masuknya migrasi penduduk di suatu daerah, maka akan semakin banyak jumlah lahan yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan sandang, papan

Lebih terperinci

I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. 0PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam baik hayati maupun non-hayati sangat besar peranannya bagi kelangsungan hidup manusia. Alam memang disediakan untuk memenuhi kebutuhan manusia di bumi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya (UU RI No.41

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan

BAB I PENDAHULUAN. yang sebenarnya sudah tidak sesuai untuk budidaya pertanian. Pemanfaatan dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya lahan merupakan tumpuan kehidupan manusia dalam pemenuhan kebutuhan pokok pangan dan kenyamanan lingkungan. Jumlah penduduk yang terus berkembang sementara

Lebih terperinci

PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN???

PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN??? PROGRAM PHBM DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI. LAYAKKAH DIPERTAHANKAN??? (Studi kasus di kawasan TN Alas Purwo) Oleh : Bagyo Kristiono, SP. /Polhut Pelaksana Lanjutan A. PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat)

Lebih terperinci

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun budaya. Namun sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi, tekanan terhadap sumberdaya

Lebih terperinci