TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Taman Nasional

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Taman Nasional"

Transkripsi

1 8 TINJAUAN PUSTAKA Pengelolaan Taman Nasional Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyebutkan bahwa Taman nasional (National Park) adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata serta rekreasi. Saat ini terdapat 50 Taman Nasional di Indonesia, enam di antaranya ditetapkan sebagai situs warisan dunia (Natural World Heritage Sites). Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) merupakan salah satu dari enam taman nasional tersebut yang ditetapkan sebagai situs warisan dunia pada tahun TNBBS ditetapkan sebagai situs warisan dunia karena tingkat keanekaragaman yang tinggi dan merupakan habitat berbagai flora fauna langka dan hampir punah. Taman nasional merupakan salah satu bentuk pengelolaan kawasan konservasi yang mempunyai fungsi paling lengkap. IUCN mendefinisikan kawasan konservasi sebagai sebuah kawasan baik darat maupun perairan yang secara khusus diperuntukkan bagi perlindungan dan pemeliharaan keanekaragaman hayati (biodiversity) secara alami dan berkaitan dengan sumberdaya kultural serta dikelola secara legal atau untuk tujuan yang efektif (Borrini-Feyerabend, Kothari dan Oviedo 2004). Sedangkan konservasi adalah suatu upaya/tindakan untuk menjaga keberadaan sesuatu secara terus menerus berkesinambungan baik mutu maupun jumlah. Dengan demikian, konservasi sumberdaya alam adalah pengelolaan yang menjamin pemanfaatan secara bijaksana dengan tetap memelihara kualitas, keanekaragaman dan kelangsungan ketersediaannya. Titik tolak konservasi sumberdaya alam adalah strategi konservasi dunia. Strategi ini meliputi aspek perlindungan sistem penyangga kehidupan (perlindungan proses ekologis yang merupakan sistem penyangga kehidupan, karena sistem penyangga kehidupan harus dalam keadaan yang seimbang), pengawetan keanekagaman genetik dan pelestarian manfaat. Sebagai kawasan yang sebagian besar terdiri atas hutan, taman nasional mempunyai banyak fungsi. Hutan sebagai satu kesatuan lanskap merupakan satu kesatuan fungsi bersama-sama dengan lingkungan diluar kawasan hutan. Hutan memiliki fungsi dan peran yang sangat kompleks terhadap kehidupan, dimana masing-masing harus seimbang, baik untuk aspek lingkungan, ekonomi maupun sosial dan budaya. Mull (1995) diacu dalam Fandeli dan Muhammad (2005) mengemukakan konsep pengelolaan hutan dapat dilakukan dengan mempertimbangkan semua fungsinya dan dapat disimulasikan dengan menggunakan berbagai model. Undang-Undang nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi sumberdaya alam dan ekosistemnya, dalam pasal 30 menyebutkan bahwa taman nasional mempunyai fungsi penting meliputi: (1) fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan; (2) pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya; dan (3) pemanfatan secara lestari sumber daya alam untuk kepentingan penelitian,

2 ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya serta pariwisata dan rekreasi alam. Dengan demikian, taman nasional mempunyai fungsi memelihara keanekaragaman hayati dan keseimbangan ekosistem. Untuk dapat merealisasikan fungsi tersebut, berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, maka pengelolaan taman nasional dilakukan dengan sistem zonasi. Zonasi taman nasional terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan atau zona lainnya yang dikembangkan berdasarkan potensi dan kepentingan konservasi sumberdaya hutan dan ekosistemnya. Zona lainnya tersebut dapat berupa zona rimba rehabilitasi, pemanfaatan tradisional dan pemanfaatan khusus. Secara konseptual, taman nasional harus mampu menjaga kelestarian keanekaragaman hayati dan ekosistem didalamnya. Pengelolaan secara lestari harus mempertimbangkan prinsip fungsi ekonomi, ekologi dan sosial budaya, dimana ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Dengan demikian pengelolaan TNBBS harus terintegrasi dengan pembangunan masyarakat di sekitarnya baik di daerah penyangga maupun enclave. Enclave adalah wilayah di dalam kawasan konservasi, biasanya masyarakat sudah tinggal atau menempati wilayah ini sebelum suatu kawasan ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Sedangkan daerah penyangga, secara harfiah merupakan terjemahan dari bahasa Inggris buffer zone yang dapat diartikan sebagai suatu luasan areal yang dapat berfungsi sebagai suatu peredam terhadap suatu gangguan yang biasanya tidak menguntungkan terhadap sesuatu yang kita lindungi agar tidak terjadi kerusakan akibat gangguan tersebut. Secara khusus, daerah penyangga adalah wilayah (darat maupun perairan yang berada di luar dan atau berbatasan dengan kawasan konservasi (baik sebagai kawasan hutan, tanah negara bebas, maupun tanah yang dibebani hak seperti perkebunan rakyat, hak guna usaha perkebunan, perikanan, peternakan dan lain-lain, tanah bekas hak guna usaha, tanah adat/ulayat, tanah milik), yang diperuntukkan dan mampu menjaga keutuhan kawasan konservasi. Daerah penyangga mempunyai fungsi untuk menjaga kawasan konservasi dari segala bentuk tekanan dan gangguan yang berasal dari luar ataupun dari dalam kawasan yang dapat mengakibatkan perubahan keutuhan dan fungsi kawasan (Kemenhut 2011a). Dengan demikian, daerah penyangga dapat dimaknai sebagai suatu areal di luar kawasan konservasi (dalam hal ini TNBBS) yang dimaksudkan untuk perlindungan atau penyangga terhadap kawasan tersebut secara keseluruhan sehingga terhindar dari tekanan-tekanan yang mengakibatkan menurunnya kondisi dan potensi kawasan atau terganggunya ekosistem termasuk habitat satwa liar sehingga menimbulkan gangguan terhadap masyarakat sekitar. Disamping itu, daerah penyangga diharapkan dapat dimanfaatkan untuk menunjang peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan konservasi. Dari segi pengelolaan, daerah penyangga merupakan bagian yang harus terintegrasi dalam pengelolaan taman nasional. Menurut PP Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, salah satu kewajiban pengelola pengelola adalah melakukan pembinaan fungsi daerah penyangga. Pembinaan tersebut meliputi peningkatan pemahaman masyarakat terhadap konservasi sumberdaya hayati dan ekosistemnya, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraannya 9

3 10 dan meningkatkan produktivitas lahan. Ironisnya masyarakat desa sekitar kawasan sebagai daerah penyangga justru menjadi pelaku perambahan dan tindak ilegal lain (illegal logging, perburuan flora fauna dilindungi dan lain sebagainya). Perambahan merupakan aktivitas atau tindakan yang dilakukan oleh setiap orang/masyarakat yang melakukan kegiatan bermukim dan atau berusahatani di dalam kawasan hutan atau mengerjakan/ menduduki hutan negara. Di sisi lain keberadaan kawasan konservasi harus tetap dipertahankan terkait dengan fungsi penting yang dimiliki. Salah satu konsep pengelolaan yang diterapkan dalam mempertahankan keberadaan fungsi kawasan konservasi adalah dengan meminimalisasi interaksi masyarakat dengan kawasan konservasi, terutama yang berkaitan dengan pemanfaatan hasil hutan dan lahan hutan. Konsep tersebut banyak diterapkan oleh pengelola kawasan konservasi karena dinilai memiliki dampak yang lebih kecil terhadap kerusakan ekosistem hutan. Pada kenyataannya konsep tersebut justru memiliki banyak kekurangan karena tertutupnya akses masyarakat sekitar terhadap kawasan hutan yang selama ini menjadi sumber penghasilan guna memenuhi kebutuhan sehari-hari. Salah satu dampaknya adalah masyarakat melakukan perambahan hutan/kawasan konservasi secara illegal yang berakibat pada semakin rusaknya kawasan hutan. Dengan berbagai konsep dan kondisi pengelolaan taman nasional tersebut, pergeseran paradigma pengelolaan kawasan konservasi menjadi dasar pijakan penting. Pergeseran paradigma tersebut diperlukan dengan salah satu pertimbangan bahwa saat ini pengelolaan kawasan pelestarian alam belum mampu mengadopsi kebutuhan masyarakat berkaitan dengan perubahan lingkungan strategis baik nasional maupun internasional (Kemenhut 2011a). Pada dasarnya keberhasilan pelestarian kawasan konservasi sangat tergantung pada keberhasilan dalam menangani masalah sosial ekonomi masyarakat disekitarnya. Gangguan terhadap kawasan konservasi akan berkurang bila kesejahteraan masyarakat sekitar sudah dapat dipenuhi dari hasil usaha diluar pemanfaatan hutan. Untuk itu, diperlukan solusi terhadap berkurangnya/ tertutupnya akses masyarakat terhadap kawasan hutan atau kawasan konservasi, sebab masyarakat telah hidup di sekitar kawasan konservasi tersebut jauh sebelum kawasan ini ditetapkan sebagai kawasan konservasi. Masyarakat di Sekitar Kawasan TNBBS Masyarakat didefinisikan secara etimologis berasal dari bahasa Arab dengan akar kata syaraka yang berarti ikut serta atau berperan serta. Sedangkan dalam bahasa Inggris disebut society yang berasal dari kata Latin socius yang berarti kawan. Beberapa literatur menyebutkan bahwa community juga sering diartikan sebagai masyarakat dimana pengertiannya mengacu pada sekelompok manusia (Soekanto 1993 diacu dalam Hasim dan Remiswal 2009). Selanjutnya, Soekanto mengemukakan bahwa masyarakat secara umum memiliki empat ciri utama, yaitu: (1) hidup bersama dan saling berinteraksi; (2) dalam jangka waktu yang cukup lama (kontinuitas waktu); (3) memiliki rasa identitas yang kuat; dan (4) adanya adat istiadat yang mengikat semua warga norma-norma, hukum, serta

4 11 aturan-aturan yang mengatur semua pola tingkah laku warga. Dari keempat ciri tersebut masyarakat dapat didefinisikan sebagai kesatuan hidup manusia yang berinteraksi sesuai dengan sistem adat istiadat tertentu yang sifatnya berkesinambungan dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Berdasarkan definisi tentang masyarakat di atas, terdapat dua faktor sebagai pengikat yang disebut sebagai masyarakat yaitu sistem adat istiadat dan rasa identitas. Sistem adat istiadat meliputi sistem nilai budaya, norma-norma dan aturan-aturan hidup yang dijadikan sebagai pedoman hidup bagi masyarakat dalam bertingkah laku. Sedangkan adat istiadat merupakan pola yang sudah mantap dan telah hidup dalam waktu yang lama secara berkesinambungan, sehingga adat istiadat menjadi sesuatu yang dianggap khas. Kekhasan ini kemudian dikomunikasikan dari generasi ke generasi melalui proses belajar. Masyarakat di sekitar kawasan adalah masyarakat yang bermukim di dalam dan di sekitar hutan yang memiliki kesatuan komunitas sosial dengan mata pencaharian yang bergantung pada hutan dan dapat berpengaruh pada kelestarian hutan (Dephut 2008). Pengertian masyarakat dengan kesatuan wilayah sebagai kategori utamanya dikenal dengan sebutan masyarakat setempat atau komunitas (Soekanto 1990 diacu dalam Patrakomala 2006). Dengan demikian dalam konteks penelitian ini, pengertian masyarakat yang dimaksud merujuk pada masyarakat setempat/komunitas. Komunitas dalam hal ini menunjuk pada masyarakat yang tinggal di suatu wilayah (geografis) di dalam dan di sekitar kawasan hutan TNBBS dengan batas-batas tertentu dalam lokalitas yang disebut desa/pekon. Pemberdayaan Masyarakat Konsep dan pengertian Luasnya konteks pemberdayaan menjadikannya dipahami bervariasi dalam berbagai perspektif. Oleh karenanya, dalam literatur pemberdayaan yang baru, arti pemberdayaan mengarah pada diasumsikan dan bukan didefinisikan. Rappoport (1984) sebagaimana dirujuk oleh Page dan Czuba (1999) mengemukakan bahwa mudah untuk mendefinisikan pemberdayaan tetapi sulit untuk menentukannya dalam tindakan karena pada konteks berbeda akan menimbulkan pengertian yang berbeda pula. Zimmerman (1984) sebagaimana dikutip oleh Page dan Czuba (1999) menyatakan bahwa mendefinisikan pemberdayaan secara tunggal dapat membuat upaya untuk mencapainya bertentangan dengan konsep pemberdayaan itu sendiri. Pemahaman mengenai pemberdayaan sangat diperlukan, bagaimana menentukan pemahaman yang tepat akan tergantung pada orang-orang tertentu dan konteks yang terlibat (Bailey, 1992 dalam Page dan Czuba 1999). Pemberdayaan berasal dari kata dasar daya yang berarti kekuatan atau kemampuan. Menurut Page dan Czuba (1999), secara umum, pemberdayaan adalah proses multi-dimensi sosial yang membantu orang mendapatkan kontrol atas kehidupan mereka sendiri. Proses dalam hal ini adalah proses menumbuhkan daya, untuk digunakan dalam kehidupan mereka sendiri, masyarakat mereka, dengan bekerja pada isu-isu yang mereka definisikan sebagai penting.

5 12 Dengan demikian, dalam pemberdayaan terdapat tiga komponen dasar untuk memahami pemberdayaan, yaitu multi-dimensi, sosial, dan proses. Multi-dimensi berarti pemberdayaan terjadi dalam dimensi sosiologis, psikologis, ekonomi, dan sebagainya serta terjadi dalam berbagai tingkatan, seperti individu, kelompok, dan masyarakat. sedangkan dalam konteks sosial, pemberdayaan merupakan proses yang terjadi dalam hubungan dengan orang lain. Pemberdayaan merupakan terjemahan empowerment yang secara harfiah berarti pemberkuasaan dalam arti pemberian atau peningkatan kekuasaan kepada masyarakat (Huraerah 2008). Bertolak dari pengertian tersebut, pemberdayaan dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya atau proses untuk memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan (Sulistiyani 2004). Lebih lanjut, dikemukakan bahwa pengertian proses tersebut merujuk pada serangkaian tindakan atau langkah-langkah yang dilakukan secara kronologis sistematis yang mencerminkan pantahapan upaya mengubah masyarakat menuju keberdayaan. Proses akan merujuk pada suatu tindakan nyata yang dilakukan secara bertahap untuk mengubah kondisi masyarakat dalam hal pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan keterampilan (practice). Pemberdayaan merupakan sebuah proses dan tujuan (Suharto 2009). Sebagai proses, pemberdayaan adalah serangkaian kegiatan untuk memperkuat kekuasaan atau keberdayaan masyarakat. Sebagai tujuan, pemberdayaan merujuk pada keadaan yang ingin dicapai oleh sebuah perubahan sosial, yaitu masyarakat yang berdaya, mempunyai pengetahuan dan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik yang bersifat fisik, ekonomi maupun sosial. Lebih lanjut hal tersebut tercermin dari kemampuan beraspirasi, berpartisipasi, percaya diri, dan mandiri. Pengertian pemberdayaan sebagai tujuan seringkali digunakan sebagai indikator keberhasilan pemberdayaan sebagai sebuah proses. Moeljarto (1996) diacu dalam Yumi (2002) berpendapat bahwa pemberdayaan adalah beralihnya fungsi individu yang semula obyek menjadi subyek (yang baru), sehingga relasi sosial yang ada nantinya hanya akan dicirikan dengan relasi antara subyek dengan subyek yang lain. Dengan kata lain, proses pemberdayaan mengubah pola relasi lama subyek-obyek menjadi subyek-subyek. Konsep pemberdayaan mengacu pada kemampuan masyarakat untuk dapat mendapat akses dan kontrol sumber-sumber hidup yang penting (Riyanto 2005). Craig dan Mayo (1995) sebagaimana dikutip dalam Huraerah (2008) mengemukakan, bahwa konsep pemberdayaan berkaitan dengan kemandirian (self-help), partisipasi (participation), jaringan kerja (networking) dan pemerataan (equity). Berkenaan dengan makna pemberdayaan maka inti pemberdayaan adalah pengembangan kapasitas kemampuan (enabling), penguatan daya (empowering), dan kemandirian (Winarni 1998 diacu dalam Sulistiyani 2004; Riyanto 2005). Sebagai proses perubahan perilaku, kegiatan pemberdayaan masyarakat merupakan proses belajar yang berlangsung secara terus dan bertahap. Proses pemberdayaan tidaklah konstan, tetapi lebih pada keberlanjutan, pengembangan, dan melibatkan perubahan-perubahan dimana sasaran pemberdayaan tersebut dapat memperkuat dan melatih kemampuan untuk bertindak dan melakukan kontrol untuk hidup lebih baik bagi mereka dan masyarakat (Hur 2006). Pemberdayaan harus dilakukan secara terus menerus, komprehensif, dan simultan sampai ambang batas tercapainya keseimbangan yang dinamis antara pemerintah dan semua segmen yang diperintah (Priyatna 2009).

6 Sebagai sebuah proses terus-menerus, pemberdayaan melalui beberapa tahap (Sulistiyani 2004), meliputi: (1) tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri; (2) tahap transformasi berupa wawasan kemampuan, kecakapan-keterampilan agar terbuka wawasan dan memberikan keterampilan dasar sehingga dapat mengambil peran didalam pembangunan; dan (3) tahap peningkatan kemampuan intelekual, kecakapan-keterampilan sehingga terbentuk inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian. Tahap pertama atau tahap penyadaran dan pembentukan perilaku merupakan tahap persiapan daram proses pemberdayaan masyarakat. Pada tahap ini pihak pemberdaya berusaha menciptakan prakondisi, agar dapat memfasilitasi berlangsungnya proses pemberdayaan yang efektif. Intervensi ditekankan pada kemampuan afektif untuk mencapai kesadaran konatif yang diharapkan. Dengan demikian akan membuka keinginan dan kesadaran masyarakat tentang kondisinya saat itu dan dapat merangsang kesadaran mereka tentang perlunya memperbaiki kondisi untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Pada tahap kedua, masyarakat akan menjalani proses belajar tentang pengetahuan dan kecakapan-keterampilan yang mempunyai relevansi dengan apa yang menjadi tuntutan kebutuhan. Keadaan ini akan menstimulasi terjadinya keterbukaan wawasan dan menguasai keterampilan dasar yang mereka butuhkan. Pada tahap ini partisipasi masyarakat masih pada tingkat yang rendah. Tahap ketiga merupakan tahap pengayaan atau peningkatan intelektualitas dan kecakapan-keterampilan yang diperlukan agar masyarakat mampu mandiri. Kemandirian tersebut ditandai oleh kemampuan dalam membentuk inisiatif, menciptakan kreasi dan inovasi di lingkungannya. Pada tahap ini masyarakat seringkali diposisikan sebagai subyek dan pemberdaya menjadi fasilitator. Sumodiningrat sebagaimana dirujuk dalam Sulistiyani (2004) mengemukakan bahwa masyarakat yang telah mandiri tidak serta merta ditinggalkan, tetapi tetap memerlukan perlindungan agar kemandirian tetap terpelihara dengan baik dan dengannya masyarakat dapat melakukan tindakan nyata. Hal tersebut menguatkan apa yang telah dikemukakan oleh Lippit, Watson dan Westley (1958) bahwa dalam tahap akhir suatu perubahan diperlukan stabilisasi perubahan. Dalam konteks ini stabilisasi perubahan diharapkan mampu membentuk perilaku positif masyarakat secara permanen. Dalam konteks pemberdayaan secara umum, terdapat bidang-bidang yang diperlukan (Ndraha 2003), antara lain : (1). Pemberdayaan politik, yang bertujuan meningkatkan bargainning position antara yang diperintah terhadap pemerintah yang dimaksudkan agar yang diperintah mendapatkan apa yang merupakan haknya dalam bentuk barang, jasa, layanan, dan kepedulian tanpa merugikan pihak lain. (2). Pemberdayaan ekonomi, sebagai upaya meningkatkan kemampuan yang diperintah agar dapat berfungsi dengan baik. (3). Pemberdayaan sosial-budaya, bertujuan meningkatkan kemampuan sumber daya manusia melalui human investment guna meningkatkan nilai manusia (human dignity), penggunaan (human utilization), dan perlakuan yang adil. (4). Pemberdayaan lingkungan, dimaksudkan sebagai program pelestarian lingkungan, agar pihak yang diperintah dan lingkungannya mampu beradaptasi secara kondusif dan saling menguntungkan. 13

7 14 Dengan berbagai pengertian di atas maka pemberdayaan masyarakat dalam konteks penelitian ini merupakan suatu proses terus menerus, sistematis dan bertahap yang dalam jangka panjang bertujuan untuk mewujudkan perubahan perilaku masyarakat (pengetahuan, persepsi, sikap dan tindakan) dalam akses timbal balik meningkatkan kesejahteraannya dan melestarikan kawasan. Dengan demikian, konteks ini melihat bagaimana masyarakat mempunyai pengetahuan yang membuatnya tegerak ingin melakukan suatu sikap dan memiliki ketrampilan serta motivasi dalam perilaku kemandirian yang diperlukan untuk melaksanakan tindakan sesuai aturan maupun norma dalam mencapai tujuan bersama untuk kesejahteraan mereka sekaligus kelestarian kawasan. Bagi pengelola, pemberdayaan ini merupakan upaya untuk memampukan masyarakat dalam mengembangkan daya atau potensi yang dimiliki demi perbaikan mutu hidupnya secara mandiri dan berkelanjutan. Pendampingan dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat Membangun dan memberdayakan masyarakat melibatkan proses dan tindakan sosial dimana masyarakat mengorganisasikan diri dalam membuat perencanaan dan tindakan kolektif untuk memecahkan permasalahan dan memenuhi kebutuhan sesuai dengan kemampuan atau sumberdaya yang dimilikinya (Suharto 2009). Proses tersebut tidak muncul secara otomatis, melainkan tumbuh dan berkembang bersadarkan interaksi masyarakat setempat dengan pihak luar atau para pekerja sosial/penyuluh/pendamping. Penyuluh/pendamping hadir sebagai agen perubahan yang membantu memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Dengan demikian, pendampingan merupakan interaksi dinamis antara masyarakat dan agen perubahan untuk secara bersama-sama menghadapi tantangan, antara lain: (1) merancang program perbaikan; (2) memobilisasi sumberdaya setempat; (3) memecahkan masalah; (4) menciptakan atau membuka akses bagi pemenuhan kebutuhan; dan (5) menjalin kerjasama dengan berbagai pihak yang relavan dengan konteks pemberdayaan masyarakat. Sejalan dengan pendapat tersebut, Usman sebagaimana diacu dalam Huraerah (2008) mengemukakan sebagai upaya memperkuat community selfreliance atau kemandirian masyarakat, pemberdayaan merupakan sebuah proses dimana didalamnya masyarakat perlu didampingi untuk memperkuat analisis masalah yang dihadapi, menemukan alternatif pemecahannya, dan meningkatkan kemampuan serta strategi untuk memanfaatkan sumberdaya yang dimiliki. Menurut Suharto (2009) terdapat 4 (empat) bidang tugas pendampingan yaitu pemungkinan (enabling) atau fasilitasi, penguatan (empowering), perlindungan (protecting), dan pendukungan (supporting). Pemungkinan atau fasilitasi berkaitan dengan pemberian motivasi dan kesempatan bagi masyarakat. berkaitan dengan fungsi ini, pendamping/penyuluh/fasilitator mempunyai tugas dengan menjadi model atau contoh, melakukan mediasi dan negosiasi, membangun konsensus bersama, serta melakukan manajemen sumber (segala sesuatu yang dapat digunakan dalam proses pemecahan masalah). Penguatan berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan guna memperkuat kapasitas masyarakat (capacity building). Pendamping berperan aktif dalam memberikan masukan positif dan terarah berdasarkan pengetahuan dan

8 15 pengalamannya. Tugas tersebut berkaitan dengan memberikan informasi dan menyelenggarakan pelatihan dan berbagai tugas fungsi penguatan lainnya. Fungsi perlindungan berkaitan dengan interaksi pendamping dengan lembaga-lembaga eksternal atas nama dan demi kepentingan masyarakat yang didampinginya. Pendamping bertugas mencari sumber-sumber melakukan pembelaan, menggunakan media, meningkatkan hubungan dan membangun jejaring kerja. Selain itu, fungsi perlindungan juga menyangkut tugas pendamping sebagai konsultan, yaitu orang yang bisa diajak berkonsultasi dalam pemecahan masalah, bukan hanya berupa pemberian saran tetapi lebih ditujukan untuk memperoleh pemahaman masyarakat menjadi lebih baik mengenai pilihan-pilihan untuk mengidentifikasi prosedur dan tindakan yang diperlukan. Pendukungan mengacu pada aplikasi keterampilan yang bersifat praktis dan aplikatif sehingga dapat mendukung terjadinya perubahan positif pada masyarakat. dalam hal ini, pendamping dituntut mampu tidak hanya menjadi manajer perubahan yang mengorganisasikan kelompok. lebih jauh, pendamping dituntut mampu melaksanakan tugas-tugas teknis sesuai dengan berbagai keterampilan dasar seperti analisis sosial, mengelola dinamika kelompok, menjalin hubungan, bernegosiasi, berkomunikasi serta mencari dan mengatur sumber dana. Pendekatan pemberdayaan masyarakat di bidang kehutanan (di sekitar kawasan konservasi) Dalam perspektif lingkungan, pemberdayaan mengacu pada pengamanan akses terhadap sumberdaya alam dan pengelolaannya secara berkelanjutan (Riyanto 2005), jadi pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam perspektif pengelolaan hutan berkelanjutan. Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi merupakan upaya yang bertujuan untuk meningkatkan keberdayaan masyarakat di sekitar kawasan, meningkatkan kesejahteraannya dan meningkatkan partisipasi dalam kegiatan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya secara berkelanjutan (Dephut 2008). Pemberdayaan masyarakat dilakukan untuk mendapatkan manfaat sumber daya hutan secara optimal dan adil, melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat (Kemenhut 2011b). Konsep penyelenggaraan pemberdayaan masyarakat sektor kehutanan ke arah partisipatif didasarkan pada beberapa landasan pemikiran, yaitu landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis. Secara filosofis sumber daya alam hayati dan ekosistemnya wajib dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Pemanfaatan tersebut harus dilaksanakan dengan memperhatikan azas konservasi sehingga setiap sumber daya alam hayati dapat dipertahankan dan dimanfaatkan secara berkesinambungan. Secara sosiologis seluruh masyarakat Indonesia mempunyai hak yang sama dalam memperoleh kesejahteraan. Berdasarkan konstitusi, negara mempunyai kewajiban untuk melindungi dan mensejahterakan masyarakatnya. Dari segi yuridis Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Pasal 37 ayat (1) menyebutkan bahwa peranserta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan

9 16 ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Pasal 70 ayat (1) dan (2) menyebutkan bahwa masyarakat turut berperan serta dalam pembangunan di bidang kehutanan, dan pemerintah wajib mendorong peran serta masyarakat melalui berbagai kegiatan di bidang kehutanan yang berdaya guna dan berhasil guna. Berdasarkan ketiga landasan pemikiran tersebut di atas, dalam rangka pengentasan kemiskinan masyarakat diperlukan suatu model pengelolaan masyarakat yang komprehensif dan berbasis ekosistem berkelanjutan dalam bentuk kegiatan pemberdayaan masyarakat (Kemenhut 2011b). Kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar hutan tidak hanya menjadi tanggung jawab Kementerian Kehutanan. Oleh karena itu dibutuhkan dukungan dari sektor lain melalui program PNPM Mandiri dalam bentuk kegiatan, seperti pembangunan desa konservasi pada desa di dalam dan sekitar hutan konservasi, pemberian izin hutan kemasyarakatan, kemitraan serta pengelolaan hutan desa bagi masyarakat di sekitar hutan lindung dan hutan produksi. Pemberdayaan disekitar kawasan konservasi meliputi program sektor kehutanan dan di luar sektor kehutanan berupa integrasi dengan bidang lain seperti pertanian, perkebunan, pendidikan, jasa lingkungan dan sebagainya. Kegiatan pemberdayaan masyarakat dapat diarahkan untuk menjadikan masyarakat mempunyai aktivitas di luar kawasan konservasi dalam rangka untuk memenuhi kebutuhannya sehingga akan mengurangi frekuensi aktivitas mereka di dalam kawasan. Pola pemberdayaan akan berbeda di setiap kawasan konservasi. Pengelolaan zonasi yang bijaksana dan mengakomodir kebutuhan masyarakat akan dapat menjadi solusi dalam pemberdayaan masyarakat, khususnya kawasan konservasi yang memiliki tingkat tekanan penduduk sangat kuat, dan tidak dimungkinkan untuk proses pengalihan aktivitas masyarakat. Selama ini pemberdayaan dimaknai sempit oleh berbagai pihak, sehingga pendekatan pemberdayaan diterjemahkan terbatas pada bantuan yang bersifat material (Herawati 2012). Menurut Slamet (2001) sebagaimana dikutip oleh Herawati (2012), pemberdayaan bukanlah konsep pembangunan ekonomi semata, namun juga sosial budaya dan politik. Dengan demikian indikator keberhasilannya bukan hanya tergantung pada ukuran material tetapi juga berkaitan dengan harkat dan martabat kemanusiaan, kebebasan serta kemandirian untuk menentukan yang terbaik bagi dirinya. Pendekatan yang bersifat top down, sentralistik dan dengan komunikasi searah, memposisikan sasaran menjadi sebagai obyek hanya akan menjadi alat untuk mencapai target-target tertentu yang cenderung bias dengan kepentingan pribadi dan kelompoknya. Penerapan paradigma lama seperti ini hanya akan menghasilkan ketidakberdayaan sasaran, karena sasaran menjadi apatis, kurang inisiatif dan menunggu digerakkan oleh aparat, termasuk di dalamnya oleh penyuluh (Sumardjo 2012). Pendekatan perlu ditempuh dari yang semula dominatif menjadi alat pihak lain bergeser ke arah pendekatan yang sifatnya persuasif dan selanjutnya pendekatan pengembangan kemitraan sinergis. Salah satu pendekatan penting dalam pemberdayaan adalah pendidikan atau proses belajar baik yang bersifat formal maupun non formal. Konsep pemberdayaan harus mencerminkan paradigma baru, berubah dari konsep need

10 atau production oriented kepada konsep people centered, participatory, empowering dan sustainability (Chamber 1995 diacu dalam Herawati 2012). Pengalaman kegagalan pengelolaan hutan dengan pendekatan tradisional menjadikan pengelolaan partisipasi atau manajemen hutan partisipatif menjadi elemen penting strategi pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan partisipatif dapat didefinisikan sebagai kolaborasi terstruktur antara pemerintah, komersial dan nonkomersial pengguna sumberdaya hutan, organisasi, kelompok masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya untuk mencapai tujuan bersama yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya hutan secara berkelanjutan (CANARI 2002). Pemberdayaan dalam pelaksanaan pembangunan hutan berkelanjutan adalah bagaimana masyarakat memiliki kapasitas untuk memanfaatkan akses melalui partisipasi sebenar-benarnya untuk meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan dalam rangka kesejahteraan. Pemberdayaan menjadi suatu kebutuhan untuk membangun kapasitas masyarakat sehingga mampu merespon perubahan lingkungan dengan cara mendorong perubahan yang sesuai dan berkelanjutan. Pemberdayaan harus menjadi proses multidimensi dan multisegi yang memobilisasi sumberdaya dan kapasitas masyarakat. Dalam hal ini, pemberdayaan tidak lagi sebagai sesuatu yang teoritis melainkan menjadi alat untuk memandirikan masyarakat. Dalam prosesnya pemberdayaan masyarakat sekitar hutan merupakan pendekatan yang bertujuan untuk memberikan pengertian dan kesadaran dalam memahami dan mengontrol lingkungan sehingga dapat memperbaiki kesejahteraan tanpa merusaknya. Dengan demikian, pemberdayaan perlu dirancang untuk memberi kesempatan kepada masyarakat (dengan menganalisis kehidupan mereka untuk mengembangkan keterampilan yang dikehendaki) agar dapat mengubah kehidupan ke arah yang lebih baik. Idealnya, pemberdayaan dalam kaitannya dengan pembangunan kehutanan dikaitkan dengan beberapa hal berikut: (1) transformasi ekonomi menjadi masyarakat yang mandiri, berbasis pada sumberdaya lokal, dan penguatan sumberdaya manusia; (2) pengembangan masyarakat melalui kekuatan sendiri yang cenderung menekankan pada prosesnya (daripada hanya penyelesaian suatu proyek); dan (3) kesempatan berpartisipasi secara penuh. Pendekatan pemberdayaan masyarakat disekitar kawasan konservasi didasarkan pada tujuan, prinsip, strategi dan kriteria sebagaimana tertuang dalam Pedoman Kriteria dan Indikator Pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi (Dephut, 2008). Tujuan pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi adalah: (1) menjamin keseimbangan ekologis, ekonomi, sosial budaya; (2) meningkatkan kemandirian masyarakat sebagai pendukung utama dalam pembangunan kehutanan melalui peningkatan ekonomi masyarakat di sekitar kawasan konservasi; (3) mengaktualisasikan akses timbal balik partisipasi masyarakat dan fungsi kawasan konservasi terhadap peningkatan kesejahteran masyarakat. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, prinsip-prinsip yang diterapkan dalam pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi adalah: (1). Prinsip pendekatan kelompok dengan menumbuhkembangkan kelompok produktif agar dinamis. (2). Prinsip keserasian, kelompok aktif terdiri dari warga yang saling mengenal, percaya serta memiliki kepentingan sama sehingga tumbuh kerja sama. 17

11 18 (3). Prinsip kepemimpinan dari diri mereka sendiri. Memberi kesempatan seluasluasnya kepada seluruh warga masyarakat untuk mengembangkan kepemimpinan di kalangan mereka sendiri (4). Prinsip pendekatan kemitraan, menjadikan masyarakat sebagai mitra kerja yang bekerja bersama dan berperan setara dalam pengambilan keputusan. (5). Prinsip swadaya, menumbuhkembangkan kemandirian dan keswadayaan. (6). Prinsip belajar sambil bekerja, dirancang agar menjadi proses pembelajaran partisipatif, mengalami, menemukan cara dalam mengatasi masalah yang dihadapi. (7). Prinsip pendekatan keluarga, melibatkan peran aktif seluruh anggota keluarga dalam kesetaraan gender. (8). Dari masyarakat untuk masyarakat Pedoman Kriteria dan Indikator Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Kawasan Konservasi (Dephut 2008) menjelaskan bahwa strategi pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi meliputi: (1). Pengelolaan usaha berbasis sumberdaya hutan yang efisien. Hal ini dilakukan dengan mengintensifkan lahan pertanian masyarakat di luar kawasan, penggunaan pupuk organik, penerapan sistem agroforestry, mengembangkan potensi ekonomi selain pertanian/perkebunan yang mendukung peningkatan ekonomi masyarakat seperti wisata alam dan wirausaha. (2). Pemanfaatan, konservasi dan rehabilitasi sumberdaya hutan, untuk menjaga kelestarian sumberdaya hutan. Pemanfaatan yang akan dilakukan difokuskan pada pemanfaatan kawasan hutan sebagai tempat wisata, pendidikan, penelitian dan penunjang budidaya. Pengembangan tanaman perkayuan dapat memanfaatkan hutan sebagai sumber benih sesuai dengan prosedur yang berlaku. Sedangkan upaya konservasi dan rehabilitasi kawasan akan mengembangkan partisipasi aktif masyarakat termasuk kelompok aktif, dalam kegiatan rehabilitasi kawasan. (3). Pelestarian nilai-nilai sosial budaya dan kearifan lokal, berkaitan dengan pemanfaatan dan pelestarian hutan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dilaksanakan dalam bentuk kemitraan dengan lembaga adat yang ada untuk mengembangkan potensi-yang dimiliki oleh desa setempat. (4). Memberikan akses kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengelolaan hutan. Huraerah (2007) mengemukakan strategi pemberdayaan dari segi aras, yaitu: (1) aras mikro yang sering disebut task center aproach dimana pemberdayaan dilakukan terhadap sasaran secara individu melalui bimbingan, konseling untuk membimbing sasaran dalam menjalankan tugas-tugas kehidupannya; (2) aras mezzo, dimana pemberdayaan dilakukan terhadap kelompok sasaran sebagai media intervensi dengan strategi menggunakan pelatihan, pendidikan, pengembangan dan dinamika kelompok untuk meningkatkan kesadaran, pengetahuan dan keterampilan sasaran; dan (3) aras makro, dimana pemberdayaan diarahkan pada sisitem yang lebih luas dengan strategi perumusan kebijakan, perencanaan sosial, aksi sosial, pengorganisasian kelompok, dan manajemen konflik. Dalam aras makro, sasaran dipandang sebagai orang yang memiliki kompetensi untuk memahami situasi dan permasalahan serta srategi untuk bertindak. Selanjutnya, kriteria pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan

12 19 konservasi meliputi: (1) kesepahaman; (2) kelembagaan; (3) fasilitator; (4) pelatihan PRA; (5) pelaksanaan PRA; (6) peningkatan kapasitas SDM; (7) pengembangan usaha ekonomi produktif; (8) membangun kemitraan dan jejaring usaha; (9) monitoring dan pembinaan pengembangan kegiatan pemberdayaan masyarakat. Bentuk kegiatan pemberdayaan antara lain berupa: (1) peningkatan kapasitas, dalam bentuk pelatihan masyarakat dalam bidang pengembangan usaha ekonomi produktif dan pelatihan-pelatihan lain yang diperlukan oleh masyarakat dengan atau tanpa melibatkan sektor lain berdasarkan rencana kegiatan yang telah diusulkan; (2) bantuan ekonomi, diberikan kepada kelembagaan desa dapat berupa, dana bergulir dan dana hibah; (3) penguatan kelembagaan, penguatan kelembagaan dapat berupa pelatihan kelompok masyarakat, lembaga desa sesuai kebutuhan program masing-masing sektor; (4) konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya sesuai program sektor kehutanan dan (5) bantuan bibit pohon, bantuan pembuatan atau pengadaan bibit pohon hutan, buah-buahan dan pohon ekonomis cepat tumbuh melalui program kebun bibit rakyat (KBR) dan program masing-masing sektor. Model Desa Konservasi Model Desa Konservasi (MDK) merupakan desa yang dijadikan model dalam upaya pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan konservasi. Pada dasarnya MDK merupakan paket pemberdayaan ekonomi konservasi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kelestarian kawasan. Pembangunan MDK meliputi 3 kegiatan pokok yaitu pemberdayaan masyarakat, penataan ruang/wilayah pedesaan berbasis konservasi dan pengembangan ekonomi pedesaan berbasis konservasi (Dephut 2008). Filosofi kegiatan MDK dalam upaya pemberdayaan masyarakat sekitar TNBBS adalah menuju kemandirian masyarakat sebingga upaya yang dilakukan dengan membantu masyarakat agar dapat mandiri. Hal ini dilandasi oleh pemahaman bahwa masyarakat telah memiliki potensi/daya yang dapat dikembangkan dan dioptimalkan pemanfaatannya (BTNBBS 2006b). Dengan demikian, kegiatan yang akan dilakukan mengarah pada tumbuhnya kemandirian masyarakat dalam memahami keadaan, masalah yang dihadapi, alternatif pemecahan masalah serta prioritas alternatif yang dapat dilakukan. Pengembangan MDK sendiri merupakan upaya pemberdayaan dengan mengembangkan segala potensi yang dimiliki oleh desa tersebut. Dalam MDK ini dapat dikembangkan usaha produktif sesuai karakteristik dan potensi yang ada, pengembangan kelembagaan seperti Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan, dan kelembagaan lokal yang telah ada. MDK bertujuan untuk meningkatkan penghidupan masyarakat melalui pemanfaatan sumberdaya alam di desa secara berkelanjutan misalnya dengan mengusahakan pertanian organik serta pengembangan industri rumah tangga dan mendukung kelestarian TNBBS. Keseimbangan 3 (tiga) aspek tantangan pemberdayaan berupa profit, people dan planet diwujudkan dalam keseimbangan multidimensi prioritas dalam bidang kehutanan yaitu dimensi ekologi, ekonomi dan sosial budaya.

13 20 Dari aspek ekologi, MDK bertujuan meningkatkan daya dukung kawasan dengan mengurangi interaksi masyarakat dengan kawasan, pengetahuan dan ketrampilan masyarakat dapat meningkat sehingga masyarakat dapat bersikap positif dan mendukung pengelolaan kawasan konservasi. Dari aspek ekonomi, melalui MDK diharapkan pendapatan masyarakat dapat meningkat, tercipta berbagai aktivitas masyarakat untuk menambah pendapatan, potensi sumberdaya lokal dapat bernilai ekonomi melalui pengelolaan dengan teknologi yang sesuai. Sedangkan dari aspek sosial budaya, dengan pemberdayaan masyarakat melalui MDK, dapat tercipta kehidupan masyarakat yang mendukung upaya bagi kesejahteraannnya sekaligus bagi upaya kelestarian kawasan. Efektifitas Pemberdayaan Masyarakat Efektifitas dapat diartikan sebagai pencapaian sasaran dari upaya bersama, dimana derajat pencapaian menunjukkan derajat efektifitas (Bernard dalam Gybson 1997 di acu dalam Sukmaniar 2007). Efektifitas dapat digunakan sebagai suatu alat untuk menilai efektif atau tidaknya suatu tindakan yang dapat dilihat dari: (1) kemampuan memecahkan masalah, keefektifan tindakan dapat diukur dari kemampuannya dalam memecahkan persoalan dan hal ini dapat dilihat dari berbagai permasalahan yang dihadapi sebelum dan sesudah tindakan tersebut dilaksanakan dan seberapa besar kemampuan dalam mengatasi persoalan dan (2) pencapaian tujuan, efektifitas suatu tindakan dapat dilihat dari tercapainya suatu tujuan dalam hal ini dapat dilihat dari hasil yang dapat dilihat secara nyata (Zulkaidi dalam Wahyuningsih 2005 dalam Sukmaniar 2007). Salah satu pola pendekatan pemberdayaan masyarakat yang paling efektif dalam rangka peningkatan partisipasi adalah melalui pendekatan dari dalam sumber daya (inner resources approach) dalam hal ini adalah masyarakat. Pola ini menekankan pentingnya merangsang masyarakat untuk mampu mengidentifikasi keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhannya dan bekerja secara kooperatif dengan pemerintah dan badan-badan lain untuk mencapai kepuasan bagi mereka. Pola ini mendidik masyarakat menjadi fokus dan terarah pada pemenuhan dan pemecahan masalah-masalah yang mereka hadapi dengan menggunakan potensi yang mereka miliki (Ross 1987 diacu dalam Sukmaniar 2007). Efektifitas pendekatan penyuluhan dalam upaya pemberdayaan masyarakat dicirikan oleh: (1) meningkatkan kemampuan; (2) mendorong tumbuhnya kebersamaan; (3) kebebasan memilih dan memutuskan; (4) membangkitkan kemandirian; dan (5) mengurangi ketergantungan serta menciptakan hubungan yang saling menguntungkan (Ndraha 1990). Nikkhah dan Redzuan (2009) mengemukakan bahwa keberlanjutan dan efektifitas pemberdayaan masyarakat salah satunya ditentukan oleh tingkat partisipasi masyarakat. Lebih lanjut, Nikkhah dan Redzuan (2009) merumuskan hubungan antara pendekatan, partisipasi dan level pemberdayaan sebagaimana tabel berikut:

14 21 Tabel 1 Hubungan antara pendekatan, partisipasi dan level pemberdayaan Pendekatan Partisipasi Level pemberdayaan 1. Top-down Partisipasi sebagai sarana mencapai tujuan Level pemberdayaan (statis, pasif dan dikontrol oleh pihak luar) rendah 2. Partnership (cooperative) Bekerjasama Level pemberdayaan menengah 3. Bottom-up Partisipasi sebagai tujuan (aktif, (dinamis, active, memobilisasi diri) Level pemberdayaan tinggi dan berkelanjutan Selain partisipasi, efektifitas pemberdayaan masyarakat juga berkaitan erat dengan kemandirian. Salah satu dampak positif pemberdayaan adalah meningkatnya output dan kinerja dimana masyarakat mampu mengambil tanggung jawab terhadap pekerjaan mereka, mengaturnya agar sesuai dengan kebutuhan individu dan kemudian melaksanakannya tanpa campur tangan orang lain yang berimbas pada semakin besarnya efektifitas (Priyatna 2009). Dengan demikian, sebagai kegiatan yang erat kaitannya dengan penyuluhan, pemberdayaan dikatakan efektif apabila kegiatan tersebut mencapai tujuannya yaitu perubahan perilaku, yang mencakup aspek kognitif (pengetahuan), afektif (sikap) dan psikomotorik (ketrampilan). Dalam konteks pengelolaan hutan, keberhasilan pemberdayaan masyarakat dapat diukur dengan adanya perilaku positif masyarakat berupa kemandirian dalam akses timbal balik peran (partisipasi) masyarakat dengan kelestarian kawasan. Jika masyarakat telah mandiri dengan adanya aktivitas pemberdayaan, kesejahteraannya meningkat dan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap kawasan akan menurun sehingga tingkat ancaman terhadap kawasan konservasi akan berkurang. Partisipasi Partisipasi merupakan merupakan komponen vital dalam proses pemberdayaan masyarakat (Nikkhah dan Redzuan 2009). Dalam kaitannya dengan partisipasi, pemberdayaan masyarakat mempunyai 2 (dua) tujuan dasar, yaitu untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan meningkatkan peran serta masyarakat tersebut dalam prosesnya. Partisipasi masyarakat merupakan sebuah konsep yang kompleks, abstrak dan kontekstual sehingga tidak ada definisi baku atau pengertian yang seragam untuk menjelaskannya. Sanoff (2000) sebagaimana dirujuk dalam Patrakomala (2006) mengemukakan bahwa partisipasi masyarakat akan memiliki arti berbeda bagi orang yang berbeda bahkan orang yang sama dalam situasi berbeda, karena tergantung pada pokok persoalan, waktu dan latar politik dimana partisipasi terjadi. Cary (1995) sebagaimana dirujuk dalam Hasim dan Remiswal (2009) mengemukakan bahwa partisipasi masyarakat adalah adanya kebersamaan atau saling memberikan sumbangan untuk kepentingan dan masalah bersama yang tumbuh dari perhatian masyarakat itu sendiri, sehingga, partisipasi merupakan hasil konsensus sosial warga masyarakat ke arah perubahan yang diharapkan. Sjaifudian (2002) mengemukakan bahwa partisipasi merupakan proses ketika masyarakat sebagai individu, kelompok sosial maupun organisasi mengambil peran dalam proses perencanaan, pelaksanaan, dan pemantauan kebijakankebijakan yang langsung mempengaruhi kehidupan mereka. Dengan demikian

15 22 partisipasi dipandang sebagai aktif proses di mana para peserta mengambil inisiatif dan tindakan di mana mereka melakukan kontrol yang efektif Nikkhah dan Redzuan 2009). Partisipasi relevan dalam semua aspek manajemen sumber daya (Brown dan Renard 2000). Dalam konteks pengelolaan sumber daya alam, partisipasi dapat didefinisikan sebagai proses yang: (1) memfasilitasi dialog antara semua pelaku; (2) memobilisasi dan memvalidasi pengetahuan dan keterampilan; (3) mendukung masyarakat dan lembaga-lembaga mereka untuk mengelola dan mengontrol penggunaan sumber daya; dan (4) berusaha untuk mencapai keberlanjutan, keadilan ekonomi, keadilan sosial dan memelihara budaya integritas (Renard dan Pizzini 1994 diacu dalam Brown dan Renard 2000; Renard dan Krishnarayan 2000). Beberapa alasan yang mendasari pemikiran akan pentingnya partisipasi dalam pengelolaan sumberdaya alam (Renard dan Krishnarayan 2000) diantaranya adalah: (1) Masyarakat sebagai pengguna sumberdaya merupakan sumber informasi penting mengenai aktifitas pemenuhan kebutuhan terkait ketergantungan mereka terhadap sumberdaya alam, memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dapat berkontribusi terhadap pengelolaan secara lestari. (2) Sistem tradisional dapat memberikan dasar yang baik untuk pengelolaan sumberdaya alam dalam hal ini hutan. (3) Masyarakat pengguna sumber daya cenderung mempunyai komitmen dalam melaksanakan keputusan dan peraturan ketika mereka memiliki kepentingan dan akses dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengelolaan. (4) Dalam konteks sosial budaya, ketika masyarakat terbatas dalam akses sumberdaya dalam kawasan konservasi, proses partisipatif dalam pengelolaan sumber daya alam tersebut dapat memberikan kontribusi terhadap integrasi sosial, artinya proses partisipatif dapat memperkuat tindakan kolektif dan kontribusi terhadap pemberdayaan masyarakat. Paul (1987) sebagaimana diacu oleh Hikmat (2010) mengemukakan bahwa Bank Dunia percaya bahwa partisipasi masyarakat di dunia ketiga merupakan sarana efektif dalam upaya pemberdayaan untuk dapat menolong dirinya sendiri. Pandangan yang lebih jelas dikemukakan oleh Kotze (1987) sebagaimana diacu dalam Hikmat (2010), bahwa hal terpenting dalam pemberdayaan adalah partisipasi aktif dalam setiap pengambilan keputusan. Pada kenyataannya banyak kegiatan yang seluruh pelaksanaannya berada dibawah pengawasan pelaksana pemberdayaan, sehingga masyarakat tidak mampu diberdayakan (Rose dan Black 1983 diacu dalam Hikmat 2010). Salah satu strategi penting dalam pengelolaan kawasan berbasis sumberdaya adalah dengan partisipasi masyarakat lokal (Hidayat 1998). IUCN (2004) juga mengemukakan bahwa dalam pengelolaan kawasan konservasi partisipasi masyarakat merupakan kunci penting bagi keberhasilan konservasi karena penetapan kawasan selalu berdampak pada banyak kepentingan serta masyarakat. Dengan demikian, partisipasi merupakan konsep kunci dalam manajemen kawasan konservasi (Héritier 2010). Pentingnya partisipasi juga dikemukakan oleh Uphoff (1988) sebagaimana dirujuk oleh Yumi (2002) yang menyebutkan bahwa mengabaikan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pengambilan keputusan pembangunan

16 menyebabkan timbulnya pseudo participation (partisipasi semu). Uphoff menunjukkan pengalaman pembangunan pedesaan terpadu di Nepal, Ghana dan Mexico bahwa yang menjadi alasan utama buruknya pelaksanaan dan pemeliharaan pembangunan adalah kurangnya partisipasi masyarakat pada tahap awal perencanaan dan penyusunan program pembangunan. Masyarakat tidak dilibatkan dalam perencanaan dan pengambilan keputusan program, akibatnya masyarakat tidak merasa ikut memiliki, dan pada gilirannya tidak menumbuhkan rasa tanggung jawab untuk memelihara dan mengembangkan pembangunan tersebut. Hutchison 1975 diacu dalam Asngari (2001), mengemukakan bahwa program pendidikan penyuluhan akan berhasil apabila mengikutsertakan secara langsung masyarakat dalam pengembangan, pelaksanaan, dan evaluasi. Partisipasi merupakan bentuk perilaku. Untuk dapat berperilaku tertentu terdapat dua hal yang mendukungnya, yaitu: (1) ada unsur yang mendukung untuk berperilaku tertentu itu pada diri seseorang (person inner determinant) dan (2) terdapat iklim atau lingkungan (environmental factors) yang memungkinkan terjadinya perilaku tertentu itu (Ndraha, 1990). Partisipasi dalam proses pembangunan terdiri atas beberapa tahap, yaitu: (1) partisipasi pada tahap perencanaan. (2) partisipasi pada tahap pelaksanaan, (3) partisipasi pada tahap pemanfaatan, dan (4) partisipasi pada tahap penilaian hasil (Cohen, 1992 diacu dalam Hasim dan Remiswal, 2009). Lebih lanjut, beberapa tipe partisipasi untuk menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat adalah (James & Blamey 1999 dalam Héritier 2010; Pimbert 2003 diacu dalam IUCN 2004): (1). Partisipasi pasif/manipulatif, dengan karakteristik (a) masyarakat berpartisipasi dengan cara diberitahu apa yang sedang atau telah terjadi; (b) pemberitahuan sepihak oleh manajemen atau pelaksana proyek tanpa memperhatikan tanggapan masyarakat; dan (c) informasi yang dipertukarkan terbatas pada kalangan profesional di luar kelompok sasaran. (2). Partisipasi informasi, masyarakat tidak memiliki kesempatan untuk mempengaruhi proses yang berjalan, dengan karakteristik: (a) masyarakat berpartisipasi dengan cara menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan; (b) masyarakat tidak punya kesempatan untuk terlibat dan memengaruhi proses penyelesaian; dan (c) akurasi hasil tidak dibahas bersama masyarakat. (3). Partisipasi melalui konsultasi, partisipasi ini dicirikan oleh: (a) masyarakat berpartisipasi melalui konsultasi; (b) agen eksternal mendengarkan pandangan mereka dan membangun pandangan-pandangannya sendiri untuk kemudian mendefinisikan permasalahan dan pemecahannya, dengan memodifikasi tanggapan-tanggapan masyarakat; (c) masyarakat tidak terlibat dalam pengambilan keputusan; dan (d) para profesional tidak berkewajiban mengajukan pandangan masyarakat (sebagai masukan) untuk ditindaklanjuti. (4). Partisipasi sumberdaya untuk insentif materil, banyak kegiatan pemberdayaan termasuk dalam kategori ini, yaitu dengan ciri: (a) masyarakat berpartisipasi dengan cara menyediakan sumber daya seperti tenaga kerja, untuk mendapatkan, upah, ganti rugi, dan sebagainya; (b) masyarakat tidak dilibatkan dalam proses pembelajarannya; dan (c) masyarakat tidak mempunyai peran untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada saat insentif yang disediakan/diterima habis. 23

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN

PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.16/Menhut-II/2011 Tanggal : 14 Maret 2011 PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pedoman

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.150, 2011 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. PNPM Mandiri. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.16/MENHUT-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL

Lebih terperinci

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS. Kerangka Berpikir

KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS. Kerangka Berpikir 33 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS Kerangka Berpikir Adanya fakta bahwa fungsi dan pengelolaan kawasan taman nasional sering dihadapkan pada dilema antara kepentingan konservasi dengan kepentingan masyarakat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. nilai budaya, memberikan manfaat/benefit kepada masyarakat pengelola, dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. nilai budaya, memberikan manfaat/benefit kepada masyarakat pengelola, dan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hutan Kemasyarakatan (HKm) Hutan kemasyarakatan (HKm) adalah hutan negara dengan sistem pengelolaan hutan yang bertujuan memberdayakan masyarakat (meningkatkan nilai ekonomi, nilai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Taman Nasional (TN) Gunung Merapi ditetapkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 134/Menhut-II/2004 tentang Perubahan fungsi Kawasan Hutan Lindung, Cagar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pentingnya kawasan hutan bagi masyarakat dalam memenuhi kebutuhan tidak pernah dapat terelakkan. Hampir seluruh kawasan konservasi di Indonesia berada dalam pola interaksi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cagar Biosfer Cagar biosfer adalah suatu kawasan meliputi berbagai tipe ekosistem yang ditetapkan oleh program MAB-UNESCO untuk mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat dilakukan secara tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat di sekitar hutan memiliki ketergantungan yang sangat besar dengan keberadaan hutan disekitarnya, pemanfaatan hutan dan hasil hutan oleh masyarakat dilakukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Badan Keswadayaan Masyarakat ( BKM) dan fungsi BKM Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) merupakan suatu institusi/ lembaga masyarakat yang berbentuk paguyuban, dengan

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010 KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. mengenai hal tersebut menuai pro dan kontra. Kuswijayanti (2007) menjelaskan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada 2001, pembahasan mengenai penetapan Gunung Merapi sebagai kawasan taman nasional mulai digulirkan. Sejak saat itu pula perbincangan mengenai hal tersebut menuai

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Pada

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 16/Menhut-II/2011 TENTANG

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 16/Menhut-II/2011 TENTANG PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 16/Menhut-II/2011 TENTANG PEDOMAN UMUM PROGRAM NASIONAL PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MANDIRI KEHUTANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN

Lebih terperinci

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN SALINAN BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PATI NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PEMBANGUNAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada TINJAUAN PUSTAKA Ekowisata Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada juga yang menterjemahkan sebagai ekowisata atau wisata-ekologi. Menurut Pendit (1999) ekowisata terdiri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sebagaimana diketahui bahwa sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan keleluasaan kepada daerah untuk

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu kawasan yang mempunyai berbagai macam jenis tumbuhan dan hewan yang saling berinteraksi di dalamnya. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN 16 II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1. Tinjauan Pustaka Definisi pembangunan masyarakat yang telah diterima secara luas adalah definisi yang telah ditetapkan oleh Peserikatan

Lebih terperinci

Pengertian Pemberdayaan PEMBERDAYAAN. Makna Pemberdayaan 5/24/2017. Penyebab Ketidakberdayaan. Pemberdayaan (empowerment) Power/daya.

Pengertian Pemberdayaan PEMBERDAYAAN. Makna Pemberdayaan 5/24/2017. Penyebab Ketidakberdayaan. Pemberdayaan (empowerment) Power/daya. Pengertian Pemberdayaan PEMBERDAYAAN Minggu ke 12 Pemberdayaan (empowerment) Power/daya Mampu Mempunyai kuasa membuat orang lain melakukan segala sesuatu yang diinginkan pemilik kekuasaan Makna Pemberdayaan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

diarahkan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat

diarahkan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Latar Belakang Pembangunan kehutanan sebagai salah satu bagian dari pembangunan nasional diarahkan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga pelestarian

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan telah menjadi komitmen masyarakat dunia. Pada saat ini, beberapa negara maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia, telah menerima konsep

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA

PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA PROFESIONALISME DAN PERAN PENYULUH PERIKANAN DALAM PEMBANGUNAN PELAKU UTAMA PERIKANAN YANG BERDAYA Fahrur Razi Penyuluh Perikanan Muda pada Pusat Penyuluhan Kelautan dan Perikanan email: fahrul.perikanan@gmail.com

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi mempunyai peran yang sangat besar terhadap perlindungan keanekaragaman hayati. Kawasan konservasi juga merupakan pilar dari hampir semua strategi

Lebih terperinci

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan

Lebih terperinci

Lampiran 2 Kerusakan kawasan TNBBS akibat aktivitas ilegal masyarakat

Lampiran 2 Kerusakan kawasan TNBBS akibat aktivitas ilegal masyarakat 117 118 Lampiran 2 Kerusakan kawasan TNBBS akibat aktivitas ilegal masyarakat Sumber: dokumen TNBBS 119 Lampiran 3 Peta lokasi penelitian Pekon Kubu Perahu Pekon Sukaraja Sumber : Master Plan Penanganan

Lebih terperinci

UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PENYULUHAN KEHUTANAN

UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PENYULUHAN KEHUTANAN UPAYA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PENYULUHAN KEHUTANAN Oleh : Pudji Muljono Adanya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan disambut gembira oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan merupakan motor penggerak yang memberikan dasar bagi peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. dan merupakan motor penggerak yang memberikan dasar bagi peningkatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Industrialisasi menempati posisi sentral dalam ekonomi masyarakat modern dan merupakan motor penggerak yang memberikan dasar bagi peningkatan kemakmuran dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sangat kaya akan berbagai sumberdaya alam, termasuk keanekaragaman hayati yang terkandung di dalamnya. Kekayaan sumberdaya alam tersebut harus dikelola

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. maka penduduk setempat dapat menggagalkan upaya pelestarian. Sebaliknya bila

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. maka penduduk setempat dapat menggagalkan upaya pelestarian. Sebaliknya bila I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tujuan utama dari pengelolaan taman nasional adalah untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan menyediakan jasa ekosistem. Sebuah taman nasional memegang peranan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kaedah dasar yang melandasi pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah dasar ini selanjutnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kawasan Konservasi Kawasan konservasi dalam arti yang luas, yaitu kawasan konservasi sumber daya alam hayati dilakukan. Di dalam peraturan perundang-undangan Indonesia yang

Lebih terperinci

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.330, 2015 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA LINGKUNGAN HIDUP. Pengelolaan. Pelestarian. Suaka. Kawasan. Perubahan. (Penjelasan Dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5798) PERATURAN

Lebih terperinci

III KERANGKA PEMIKIRAN

III KERANGKA PEMIKIRAN III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Nilai Ekonomi Taman Nasional Alam seisinya memiliki nilai ekonomi yang dapat mendatangkan manfaat bagi kesejahteraan manusia. Nilai ekonomi ini dapat diperoleh jika alam dilestarikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber daya yang kita miliki terkait dengan kepentingan masyarakat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber daya yang kita miliki terkait dengan kepentingan masyarakat BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Pengelolaan sumber daya alam, khususnya hutan yang berkelanjutan dimasa kini telah menjadi keharusan, dimana keberadaan serta keberlangsungan fungsi sumber daya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kawasan Pelestarian Alam (KPA). KSA adalah kawasan dengan ciri khas

I. PENDAHULUAN. Kawasan Pelestarian Alam (KPA). KSA adalah kawasan dengan ciri khas I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyatakan bahwa kawasan konservasi di Indonesia dibedakan menjadi dua yaitu

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya alam juga semakin besar, salah satunya kekayaan alam yang ada

BAB I PENDAHULUAN. sumberdaya alam juga semakin besar, salah satunya kekayaan alam yang ada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Meningkatnya laju pertumbuhan penduduk dan perubahan kondisi sosial ekonomi sekarang, menjadikan tuntutan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam juga semakin

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN... TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: a. bahwa

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia

BAB I. PENDAHULUAN. dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mempunyai arti strategis bagi pembangunan semua sektor, baik dalam lingkup daerah, nasional maupun internasional. Hutan Indonesia merupakan salah satu paru-paru

Lebih terperinci

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2 LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA NOMOR 19 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN SATWA DAN TUMBUHAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANJARNEGARA,

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian alam merupakan

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER

PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) merupakan taman nasional yang ditunjuk berdasarkan SK Menhut No 70/Kpts-II/2001 tentang Penetapan Kawasan Hutan, perubahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dari penunjukan kawasan konservasi CA dan SM Pulau Bawean adalah untuk

I. PENDAHULUAN. dari penunjukan kawasan konservasi CA dan SM Pulau Bawean adalah untuk I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suaka Alam Pulau Bawean ditunjuk dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 76/Kpts/Um/12/1979 tanggal 5 Desember 1979 meliputi Cagar Alam (CA) seluas 725 ha dan Suaka

Lebih terperinci

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004

REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 I. PENDAHULUAN REPETA DEPARTEMEN KEHUTANAN TAHUN 2004 Pembangunan kehutanan pada era 2000 2004 merupakan kegiatan pembangunan yang sangat berbeda dengan kegiatan pada era-era sebelumnya. Kondisi dan situasi

Lebih terperinci

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. sebagai pemegang peran sentral dalam hal pengelolaan hutan. Peletakan masyarakat

BAB II KAJIAN PUSTAKA. sebagai pemegang peran sentral dalam hal pengelolaan hutan. Peletakan masyarakat BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Pemberdayaan Masyarakat Konsep Perhutanan Sosial secara keseluruhan menempatkan posisi masyarakat sebagai pemegang peran sentral dalam hal pengelolaan hutan. Peletakan masyarakat

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI Oleh Pengampu : Ja Posman Napitu : Prof. Dr.Djoko Marsono,M.Sc Program Studi : Konservasi Sumberdaya Alam Dan Lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Jogjakarta,

Lebih terperinci

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU 1 GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR MALUKU, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan Indonesia seluas 120,35 juta hektar merupakan aset nasional, bahkan aset dunia yang harus dipertahankan keberadaannya secara optimal. Menurut Undang-Undang No.41 Tahun

Lebih terperinci

NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN

NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA a. bahwa dalam rangka melaksanakan pembangunan berwawasan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 1230, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENHUT. Kelompok Tani Hutan. Pembinaan. Pedoman. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.57/Menhut-II/2014 TENTANG PEDOMAN PEMBINAAN KELOMPOK

Lebih terperinci

Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon

Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon Perbaikan Tata Kelola Kehutanan yang Melampaui Karbon Platform Bersama Masyarakat Sipil Untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global Kami adalah Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan Tahura Wan Abdul Rachman di Propinsi Lampung adalah salah satu kawasan yang amat vital sebagai penyangga kehidupan ekonomi, sosial dan ekologis bagi masyarakat

Lebih terperinci

NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM Menimbang: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian

Lebih terperinci

DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN EKOSISTEM

DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN EKOSISTEM DRAF RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG KONSERVASI KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN EKOSISTEM * * * * * * * * * * * * * * * * PUSAT PERANCANGAN UNDANG-UNDANG BADAN KEAHLIAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan perubahan kondisi sosial masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat dalam pemanfaatan

Lebih terperinci

-1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG KEHUTANAN ACEH

-1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG KEHUTANAN ACEH -1- PENJELASAN ATAS QANUN ACEH NOMOR... TAHUN 2015 TENTANG KEHUTANAN ACEH I. UMUM Sejalan dengan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan konstitusional yang mengamanatkan agar bumi, air dan

Lebih terperinci

BAB IV PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA DAN POTENSI PARIWISATA DI DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KOTA AGUNG TIMUR KABUPATEN TANGGAMUS

BAB IV PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA DAN POTENSI PARIWISATA DI DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KOTA AGUNG TIMUR KABUPATEN TANGGAMUS BAB IV PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA DAN POTENSI PARIWISATA DI DESA KAMPUNG BARU KECAMATAN KOTA AGUNG TIMUR KABUPATEN TANGGAMUS A. Potensi Sumber Daya Pengembangan Wisata di Desa Kampung Baru Kecamatan

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN, PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.43/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2017 TENTANG PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI SEKITAR KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN

Lebih terperinci

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO

BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO BUPATI GORONTALO PROVINSI GORONTALO PERATURAN DAERAH KABUPATEN GORONTALO NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG PERENCANAAN, PELAKSANAAN PEMBANGUNAN, PEMANFAATAN, DAN PENDAYAGUNAAN KAWASAN PERDESAAN DENGAN RAHMAT

Lebih terperinci

KERANGKA KUALIFIKASI NASIONAL INDONESIA BIDANG PERTANIAN SUB BIDANG PERTANIAN

KERANGKA KUALIFIKASI NASIONAL INDONESIA BIDANG PERTANIAN SUB BIDANG PERTANIAN KERANGKA KUALIFIKASI NASIONAL INDONESIA BIDANG PERTANIAN SUB BIDANG PERTANIAN DESKRIPSI UMUM Sesuai dengan ideologi Negara dan budaya Bangsa Indonesia, maka implementasi sistem pendidikan nasional dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut Undang-Undang Konservasi No. 5 Tahun 1990, sumberdaya alam hayati adalah unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumberdaya alam nabati (tumbuhan) dan

Lebih terperinci

MEMBANGUN MODEL DESA KONSERVASI SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PENYELAMATAN KAWASAN KONSERVASI. Oleh : Kusumoantono Widyaiswara Madya BDK Bogor ABSTRACT

MEMBANGUN MODEL DESA KONSERVASI SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PENYELAMATAN KAWASAN KONSERVASI. Oleh : Kusumoantono Widyaiswara Madya BDK Bogor ABSTRACT MEMBANGUN MODEL DESA KONSERVASI SEBAGAI SALAH SATU UPAYA PENYELAMATAN KAWASAN KONSERVASI Oleh : Kusumoantono Widyaiswara Madya BDK Bogor ABSTRACT The conservation village is a conservation initiative that

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.83/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2016 TENTANG PERHUTANAN SOSIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS. NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA SALINAN PERATURAN DAERAH PEMERINTAH KABUPATEN MAROS NOMOR : 05 Tahun 2009 TENTANG KEHUTANAN MASYARAKAT DI KABUPATEN MAROS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAROS Menimbang : a. bahwa guna meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumatera Barat memiliki kawasan hutan yang luas. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.35/Menhut-II/2013 tanggal 15 Januari 2013 tentang perubahan atas

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.19/Menhut-II/2004 TENTANG KOLABORASI PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM MENTERI KEHUTANAN, Menimbang

Lebih terperinci

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan

Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Keputusan Menteri Kehutanan No. 31 Tahun 2001 Tentang : Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan Menimbang : a. bahwa dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 677/Kpts-II/1998 jo Keputusan Menteri

Lebih terperinci

hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila;

hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila; Menimbang : UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa sumber

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:

Lebih terperinci

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN

GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN GUBERNUR SUMATERA BARAT PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA BARAT NOMOR 11 TAHUN 2015 TENTANG PERAN SERTA MASYARAKAT DALAM PERLINDUNGAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR SUMATERA BARAT, Menimbang

Lebih terperinci

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar? Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? Ekologi Hidupan Liar http://staff.unila.ac.id/janter/ 1 2 Hidupan liar? Mencakup satwa dan tumbuhan Pengelolaan hidupan liar PENGERTIAN perlindungan populasi satwa untuk

Lebih terperinci

BAB 2 Perencanaan Kinerja

BAB 2 Perencanaan Kinerja BAB 2 Perencanaan Kinerja 2.1 Rencana Strategis Tahun 2013-2018 Rencana Stategis Dinas Kean Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013-2018 mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan termasuk didalamnya berbagai upaya penanggulangan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan termasuk didalamnya berbagai upaya penanggulangan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan termasuk didalamnya berbagai upaya penanggulangan kemiskinan, sesungguhnya adalah suatu proses perubahan sosial ekonomi masyarakat menuju ke arah yang

Lebih terperinci

Perspektif Pelibatan Masyarakat Lokal Dalam Sosial Dan Pembangunan Kehutanan Di Indonesia

Perspektif Pelibatan Masyarakat Lokal Dalam Sosial Dan Pembangunan Kehutanan Di Indonesia www.usi.ac.id/karya ilmiah dosen upload : biro sistem informasi data & hubungan masyarakat@2016 Perspektif Pelibatan Masyarakat Lokal Dalam Sosial Dan Pembangunan Kehutanan Di Indonesia Sarintan Efratani

Lebih terperinci

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN III

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN III xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN III Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON PERATURAN DAERAH KABUPATEN PANDEGLANG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAERAH PENYANGGA TAMAN NASIONAL UJUNG KULON DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PANDEGLANG, Menimbang : a. bahwa Taman

Lebih terperinci

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Strategi pembangunan daerah dirumuskan untuk menjalankan misi guna mendukung terwujudnya visi yang harapkan yaitu Menuju Surabaya Lebih Baik maka strategi dasar pembangunan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dan terletak di garis khatulistiwa dengan luas daratan 1.910.931,32 km 2 dan memiliki 17.504 pulau (Badan Pusat Statistik 2012). Hal

Lebih terperinci

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN

BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN BAB VI STRATEGI DAN ARAH KEBIJAKAN Strategi pembangunan daerah dirumuskan untuk menjalankan misi guna mendukung terwujudnya visi yang harapkan yaitu Menuju Surabaya Lebih Baik maka strategi dasar pembangunan

Lebih terperinci

PEMBANGUNAN WILAYAH PERMUKIMAN DENGAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT studi kasus : kawasan permukiman Kalianak Surabaya

PEMBANGUNAN WILAYAH PERMUKIMAN DENGAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT studi kasus : kawasan permukiman Kalianak Surabaya 1 PEMBANGUNAN WILAYAH PERMUKIMAN DENGAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT studi kasus : kawasan permukiman Kalianak Surabaya Ir. Wiwik Widyo W., MT. Jurusan Teknik Arsitektur, FTSP - ITATS Jl. Arief Rachman Hakim

Lebih terperinci

PENGERTIAN PENYULUHAN

PENGERTIAN PENYULUHAN PENGERTIAN PENYULUHAN Istilah penyuluhan (extension) pertama-tama digunakan pada pertengahan abad ke-19 untuk menggambarkan program pendidikan bagi orang dewasa di Negara Inggris (Cambridge University

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan menjadi salah satu ukuran terpenting untuk mengetahui tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga. Sebagai suatu ukuran agregat, tingkat kemiskinan di suatu

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG 1 PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINTANG NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN DAERAH KABUPATEN SINTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SINTANG,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang 4 TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Ruang (space) dalam ilmu geografi didefinisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab ini membahas secara berurutan tentang latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab ini membahas secara berurutan tentang latar belakang BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini membahas secara berurutan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan hipotesis. A. Latar Belakang Masalah. Kemiskinan seringkali

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci

Gambar 1. Kedudukan RD Pembangunan DPP, KSPP, KPPP dalam Sistem Perencanaan Tata Ruang dan Sistem Perencanaan Pembangunan RIPPARNAS RIPPARPROV

Gambar 1. Kedudukan RD Pembangunan DPP, KSPP, KPPP dalam Sistem Perencanaan Tata Ruang dan Sistem Perencanaan Pembangunan RIPPARNAS RIPPARPROV LAMPIRAN I PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 6 TAHUN 2015 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN PROVINSI

Lebih terperinci

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil kajian mengenai strategi pengembangan ekonomi lokal di Kabupaten Pacitan, maka prioritas strategi yang direkomendasikan untuk mendukung

Lebih terperinci

BAB III Tahapan Pendampingan KTH

BAB III Tahapan Pendampingan KTH BAB III Tahapan Pendampingan KTH Teknik Pendampingan KTH 15 Pelaksanaan kegiatan pendampingan KTH sangat tergantung pada kondisi KTH, kebutuhan dan permasalahan riil yang dihadapi oleh KTH dalam melaksanakan

Lebih terperinci

PEDOMAN KRITERIA DAN INDIKATOR PEMBERDAYAAN MAYARAKAT DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI

PEDOMAN KRITERIA DAN INDIKATOR PEMBERDAYAAN MAYARAKAT DI SEKITAR KAWASAN KONSERVASI DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM DIREKTORAT PEMANFAATAN JASA LINGKUNGAN DAN WISATA ALAM Gedung Pusat Kehutanan Manggala Wanabakti Blok VII Lantai 7 Jalan.

Lebih terperinci