INDUKSI VARIASI SOMAKLONAL DAN SELEKSI IN VITRO MENGGUNAKAN PEG UNTUK IDENTIFIKASI VARIAN KACANG TANAH YANG TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "INDUKSI VARIASI SOMAKLONAL DAN SELEKSI IN VITRO MENGGUNAKAN PEG UNTUK IDENTIFIKASI VARIAN KACANG TANAH YANG TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN"

Transkripsi

1 INDUKSI VARIASI SOMAKLONAL DAN SELEKSI IN VITRO MENGGUNAKAN PEG UNTUK IDENTIFIKASI VARIAN KACANG TANAH YANG TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN ENNI SUWARSI RAHAYU SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

2 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi saya yang berjudul INDUKSI VARIASI SOMAKLONAL DAN SELEKSI IN VITRO MENGGUNAKAN PEG UNTUK IDENTIFIKASI VARIAN KACANG TANAH YANG TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN adalah hasil penelitian saya yang merupakan bagian dari serangkaian penelitian HIBAH TIM PASCASARJANA angkatan I, tahun ke- 1, 2 dan 3 ( ) yang berjudul Rekayasa Genetika dan Seleksi in vitro untuk Mendapatkan Plasma Nutfah Kacang Tanah dengan Novel Characters Toleran terhadap Stres Kekeringan dan Resisten Penyakit Busuk Batang Sclerotium yang diketuai oleh Prof.Dr.Ir. Sudarsono, M.Sc. dan didanai oleh Departemen Pendidikan Nasional. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar dalam program sejenis di perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, Juli 2007 Enni Suwarsi Rahayu NRM A ii

3 ABSTRACT ENNI SUWARSI RAHAYU. Induction of Somaclonal Variation and In Vitro Selection Using PEG for Identification of Drought Tolerant Peanut Variants. Under direction of SUDARSONO, HAJRIAL ASWIDINNOOR, SATRIYAS ILYAS and EDI GUHARDJA. Drought stress tolerance of peanut cultivar having certain mechanism without decreasing the yield needed to be developed. Somaclonal variation has been successfully used to obtain variant lines with improved drought stress tolerance. In this case, induction of somaclonal variation is followed by in vitro selection on selective medium containing polyethylene-glycol (PEG). The objective of this research were 1) to develop suitable in vitro selection method to obtain peanut somatic embryo that can tolerate stress due to addition of PEG in the selective medium, 2) to determine somaclonal variant indication of peanut, 3) to obtain plant population having somaclonal variation regenerated from in vitro selected somatic embryo, 4) to obtain somaclonal variant plants that are drought stress tolerance, and 5) to identify physiological mechanism involved in peanut drought stress tolerance. In order to develop suitable in vitro selection method, several experiments were conducted to evaluate the effectiveness of polyethylene glycol (PEG)-6000 as in vitro selective agent; to determine the effective concentration of PEG to inhibit growth and development of seedling, epycotyl and somatic embryo; to evaluate tolerance of the peanut cultivars against PEG stress; and to determine changes in total proline content due to PEG stress. Results of the experiment indicated that addition of PEG 6000 into MS-0 medium inhibited growth and development of peanut seedling, epycotyl, and somatic embryo, but increased the tissue damage score and total proline content of epicotyl. Addition of PEG 6000 might be used to simulate drought stress under in vitro condition. PEG at 15% concentration was effective for inhibiting growth and development of peanut tissue. Based on these results, an in vitro selection method was developed to screen peanut somatic embryo that was drought stress tolerant, by maintaining somatic embryo for three months with three times sub-culturing in selective media MS with addition of 16 µm picloram and 15% PEG A number of PEG induced stress insensitive somatic embryos were identified after culturing 500 clumps of embryogenic tissue of peanut cv. Kelinci with three consecutive passages on medium containing 15% PEG. Germination of selected somatic embryos and regeneration of plantlets resulted in 24 peanut R0 lines, nine lines of them produced normal R0:1 seed. In addition, a number of somatic embryos were identified after culturing clumps of embryogenic tissue with three consecutive passages on medium without PEG. Germination of cultured somatic embryos and regeneration plantlets resulted in 38 peanut R0 lines, 20 lines of them produced normal R0:1 seeds. The R1 somaclonal population of both was obtained by planting R0:1 seeds in glass-house, and then R2 somaclonal population was obtained by planting R1:2 seeds produced by R1 somaclones. These R0, R1 and R2 population were evaluated for both qualitative and quantitative characters. The results showed that phenotypic variation on both qualitative and quantitative characters were observed among R0, R1 and R2 generation of somaclonal lines. Variant phenotype on qualitative characters observed included, iii

4 wide branching, excessive branching, leaf variegation, leaflet number abnormality, leaf pointed tip, rosette leaf, complete sterility and male sterility. Plants regenerated from in vitro cultured have higher variation level than plants from in vitro selected somatic embryo. Variant phenotype of quantitative characters included plants with significantly higher plant dry weight, plant height, root dry weight and pod weight. There were four lines with significantly higher root dry weight, and three lines with significantly higher pod weight. The R1 and R2 populations were also evaluated to identify the drought stress tolerant lines. Drought stress was induced by pouring 15% PEG solution and by reducing watering. To induce stress by pouring 15% PEG, variant peanut seedlings were grown individually in plastic pot (600 ml) containing a mixture of burst rice-hull and manure (1:1, v/v). The seedlings were poured with PEG solution (15%) every two days since four leaves stage seven weeks after planting. Inducing drought stress by reducing watering was conducted by growing plants in polybag (50 cm) containing a mixture of top soil, sand and manure (2:1:1, v/v). These plants were divided into two groups. One group was subjected to stress condition periodically during vegetative and generative periods (12 80 days after planting) by watering them only after their 75% leaves have wilted; the other group was grown optimally by watering every two days. The results of the experiments indicated 1) stress induced by PEG 15% solution at vegetative period reduced shoot growth, but did not affect negatively on root growth, 2) effect of drought stress at vegetative and generative periods on root and shoot growth were different between one population to another, 3) plant regenerated from in vitro cultured and in vitro selected somatic embryo have higher tolerance level to stress induced by PEG than the standard plant, 4) nine lines of progeny of plants regenerated from in vitro cultured and in vitro selected embryo somatic had drought stress tolerance character, and two of them had higher pod number than standard plant, both in optimal and stress condition, 5) the reduction of stomata density and the increase of leaf total proline content play sufficient role, while root/shoot ratio and primary root length did not play a significant role in plant tolerance to drought stress. In conclusions, the induction somaclonal variation followed or didn t follow by in vitro selection using PEG 15% were effective to obtain somaclonal variant that tolerate to drought stress without intensive root growth mechanism. Evaluation of drought stress tolerance resulted in four lines (K0-2, K0-11.3, K and K15-4) that tolerate to drought stress and had higher pod weight than the standard plant. Keywords : somaclonal variation, in vitro selection, PEG 6000, drought tolerance, tolerance mechanism without intensive root growth, proline, iv

5 RINGKASAN ENNI SUWARSI RAHAYU. Induksi Variasi Somaklonal dan Seleksi In Vitro Menggunakan PEG untuk Identifikasi Varian Kacang Tanah yang Toleran Cekaman Kekeringan. Dibimbing oleh SUDARSONO, HAJRIAL ASWIDINNOOR, SATRIYAS ILYAS dan EDI GUHARDJA. Kultivar kacang tanah yang toleran terhadap cekaman kekeringan dengan mekanisme yang tidak menurunkan hasil panen masih perlu dikembangkan. Variasi somaklonal telah berhasil dimanfaatkan untuk menginduksi galur varian yang meningkat toleransinya terhadap kekeringan. Dalam penelitian ini induksi variasi somaklonal diikuti oleh seleksi in vitro dalam media selektif yang mengandung PEG. Penelitian bertujuan untuk 1) mengetahui metode seleksi in vitro yang efektif dalam rangka memperoleh ES kacang tanah yang toleran terhadap potensial air rendah, 2) mengetahui indikasi varian somaklonal kacang tanah, 3) memperoleh populasi tanaman varian somaklonal hasil seleksi in vitro, 4) memperoleh populasi tanaman varian somaklonal yang toleran terhadap cekaman kekeringan, dan 5) mengetahui mekanisme toleransi tanaman kacang tanah terhadap cekaman kekeringan secara fisiologis. Untuk mengembangkan metode seleksi in vitro yang efektif dilakukan percobaan yang bertujuan menguji efektivitas PEG 6000 sebagai bahan penyeleksi dalam media in-vitro dengan mengevaluasi respon kecambah, tunas dan embrio somatik kacang tanah terhadap kondisi cekaman oleh PEG, menentukan konsentrasi PEG yang efektif menghambat pertumbuhan dan perkembangan jaringan eksplan, menentukan konsentrasi PEG sub-letal, dan mengukur perubahan kandungan prolina total jaringan akibat cekaman PEG. Dari hasil percobaan disimpulkan bahwa penambahan larutan PEG dalam media in-vitro memberikan kondisi cekaman yang ditandai dengan terhambatnya perkembangan eksplan dan peningkatan kandungan prolina dalam jaringan seperti respon terhadap cekaman kekeringan. Konsentrasi PEG 15% efektif menghambat pertumbuhan dan perkembangan jaringan eksplan dan merupakan konsentrasi sub letal yang dapat menapis jaringan dengan sifat yang toleran dari jaringan lain dengan sifat peka terhadap cekaman akibat PEG. Berdasarkan hal ini dikembangkan metode seleksi in vitro untuk menapis embrio somatik kacang tanah yang toleran terhadap cekaman kekeringan, yaitu dengan memelihara embrio somatik varian selama tiga bulan dalam media selektif MS dengan fitohormon pikloram 16µM ditambah PEG 15%. Sejumlah embrio somatik yang insensitif terhadap cekaman akibat PEG telah diperoleh dengan mengkulturkan 500 clump kalus embriogenik kacang tanah cv. Kelinci dalam medium yang mengandung PEG 15% selama tiga kali berturut-turut. Perkecambahan embrio somatik hasil seleksi dilanjutkan regenerasi plantlet menghasilkan 24 galur tanaman R0, sembilan di antaranya menghasilkan benih R0-1 normal. Selain itu, sejumlah embrio somatik juga telah diperoleh dengan mengkulturkan kalus embriogenik dalam medium yang tidak mengandung PEG. Perkecambahan embrio somatik yang diperoleh tanpa seleksi ini menghasilkan 38 galur tanaman R0, 20 galur di antaranya dapat menghasilkan benih R0-1 normal. Populasi tanaman R1 diperoleh dengan menanam benih R0-1 di rumah kaca, dan selanjutnya populasi tanaman R2 diperoleh dengan menanam benih R1-2 di rumah kaca pula. Populasi R0, R1 dan R2 dievalusi untuk mengetahui variasi somaklonal pada karakter kualitatif dan kuantitatif. v

6 Hasil evaluasi tersebut menunjukkan terdapat variasi somaklonal karakter kualitatif dan kuantitatif pada populasi R0, R1 dan R2. Variasi karakter kualitatif yang muncul meliputi percabangan melebar, percabangan berlebihan, daun pentafoliat, steril partial, steril total, daun roset, daun varigata, ujung daun meruncing, daun hexafoliat, dan daun oktafoliat. Variasi pada populasi tanaman hasil kultur in vitro lebih beragam dibandingkan pada populasi tanaman hasil seleksi in vitro. Variasi karakter kuantitatif yang bersifat positif tampak pada karakter bobot kering tajuk, tinggi tanaman, bobot kering akar dan bobot polong bernas. Ada empat galur tanaman yang mempunyai variasi positif untuk bobot kering akar, dan tiga galur untuk bobot polong bernas. Populasi tanaman R1 dan R2 juga dievaluasi untuk mengidentifikasi galur yang toleran terhadap cekaman kekeringan. Cekaman kekeringan diinduksi dengan dua metode, yaitu dengan penyiraman PEG 15% dan dengan pengurangan penyiraman air. Untuk menginduksi cekaman dengan penyiraman PEG 15%, kecambah kacang tanah ditanam dalam pot plastik (600 ml) yang berisi media campuran arang sekam dan pupuk kandang (1:1, v/v). Kecambah disiram dengan larutan PEG % setiap dua hari sekali, mulai tanaman mempunyai empat daun hingga berumur tujuh minggu. Induksi cekaman kekeringan melalui pengurangan penyiraman air dilakukan dengan menumbuhkan tanaman dalam polibag (diameter 50 cm) yang berisi media campuran tanah, pasir dan pupuk kandang (2:1:1, v/v). Tanaman-tanaman tersebut dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama diberi perlakuan cekaman kekeringan secara individual dengan menyiram air hanya setelah 75% daun yang dimiliki tanaman tersebut layu, sedangkan kelompok lain diberi penyiraman optimum setiap dua hari sekali. Hasil percobaan menunjukkan 1) cekaman akibat penyiraman larutan PEG 15% pada fase vegetatif nyata menurunkan pertumbuhan tajuk, tetapi tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan akar, 2) pengaruh cekaman kekeringan akibat pengurangan penyiraman air terhadap pertumbuhan tajuk dan akar berbeda antar populasi, 3) tanaman hasil kultur in vitro dan seleksi in vitro mempunyai tingkat toleransi terhadap cekaman kekeringan yang lebih tinggi dibandingkan tanaman standar, 4) diperoleh sembilan galur tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro yang toleran terhadap cekaman kekeringan, dua di antaranya mempunyai jumlah polong bernas lebih tinggi dibandingkan tanaman standar, baik pada kondisi optimum maupun cekaman, 5) penurunan densitas stomata dan peningkatan kadar prolina total memainkan peran yang cukup berarti dalam mekanisme terhadap cekaman kekeringan, tetapi panjang akar primer dan nisbah akar/tajuk tidak berperan dalam mekanisme toleransi terhadap cekaman kekeringan. Dari hasil semua tahap percobaan di atas, disimpulkan bahwa induksi variasi somaklonal dengan atau tanpa disertai seleksi in vitro menggunakan PEG 15% efektif untuk memperoleh tanaman varian somaklonal kacang tanah yang toleran terhadap kekeringan, dengan mekanisme yang tidak melalui pertumbuhan akar yang intensif. Dari evaluasi toleransi terhadap cekaman kekeringan diperoleh empat galur, yaitu K0-2, K0-11.3, K dan K15-4 yang toleran terhadap cekaman kekeringan dan mempunyai bobot polong bernas lebih besar daripada tanaman standar. Kata kunci: variasi somaklonal, seleksi in vitro, PEG 6000, toleransi terhadap kekeringan, mekanisme toleransi tanpa akar intensif, prolina vi

7 Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm dan sebagainya vii

8 INDUKSI VARIASI SOMAKLONAL DAN SELEKSI IN VITRO MENGGUNAKAN PEG UNTUK IDENTIFIKASI VARIAN KACANG TANAH YANG TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN ENNI SUWARSI RAHAYU Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor pada Departemen Agronomi dan Hortikultura SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 viii

9 Judul Disertasi : Induksi Variasi Somaklonal dan Seleksi In Vitro Menggunakan PEG untuk Identifikasi Varian Kacang Tanah yang Toleran Cekaman Kekeringan Nama : Enni Suwarsi Rahayu NRM : A Disetujui, Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Sudarsono, MSc. Ketua Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, MSc. Anggota Dr.Ir. Satriyas Ilyas, MS Anggota Prof.Dr.Ir. Edi Guhardja, MSc. Anggota Diketahui : Ketua Program Studi Agronomi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr.Ir. Satriyas Ilyas, MS Prof.Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS Tanggal ujian : 25 Juli 2007 Tanggal lulus : ix

10 PRAKATA Alhamdulillahirabbil alamin, segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Atas izin dan petunjuk Allah Yang Maha Rahman dan Rahim pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi yang berjudul Induksi Variasi Somaklonal dan Seleksi In vitro Menggunakan PEG untuk Identifikasi Varian Kacang Tanah yang Toleran Cekaman Kekeringan. Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar doktor dari Institut Pertanian Bogor. Disertasi ini disusun berdasarkan serangkaian penelitian yang merupakan bagian dari penelitian Hibah Tim Pasca Sarjana angkatan I, tahun 1, 2 dan 3 (tahun ) yang berjudul Rekayasa Genetika dan Seleksi in-vitro untuk Mendapatkan Plasma Nutfah Kacang Tanah dengan Novel Characters Toleran terhadap Stres Kekeringan dan Resisten Penyakit Busuk Batang Sclerotium yang diketuai oleh Prof.Dr.Ir. Sudarsono, M.Sc. dan didanai oleh Departemen Pendidikan Nasional. Penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan karena peran dan bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Rektor Universitas Negeri Semarang yang telah memberi ijin untuk menempuh studi program doktor, 2. Sekolah Pasca Sarjana IPB dan Program Studi Agronomi SPS IPB yang telah menerima penulis sebagai mahasiswa program doktor pada tahun 2002, 3. Departemen Pendidikan Nasional, yang telah memberikan dana studi selama tujuh semester melaui BPPS tahun dan dana penelitian melalui penelitian Hibah Tim Pascasarjana angkatan I tahun 1, 2 dan 3 (tahun ), 4. Bapak Prof.Dr.Ir. Sudarsono, MSc. selaku Ketua Komisi Pembimbing, yang telah memprakarsai penelitian Hibah Tim Pascasarjana yang merupakan sumber utama dana penelitian disertasi ini, dan yang telah memberikan bimbingan intensif dalam pelaksanaan penelitian, analisis data, penulisan publikasi serta penulisan naskah disertasi, 5. Bapak Dr.Ir. Hajrial Aswidinnoor, MSc, Ibu Dr.Ir. Satriyas Ilyas, MS dan Bapak Prof.Dr.Ir. Edi Guhardja, MSc sebagai Anggota Komisi Pembimbing; x

11 yang telah memberikan bimbingan, arahan, dukungan moril yang sangat bermanfaat dalam penulisan disertasi, 6. Penguji Luar Komisi Dr. Ir. Yudiwanti, MS, Dr.Ir. Sriani Sujiprihati, MS dan Dr. Ir. Ika Mariska S.; yang telah memberikan saran perbaikan yang sangat berarti dalam penulisan disertasi, 7. Rekan-rekan Tim Peneliti di Laboratorium Biologi Molekuler Tanaman Faperta IPB : Dr.Ir. Yusnita, MSc, Dr.Ir. Endang Pujihartati, MSi, Dr. Ir. Farid Hemon, MSc, Dr.Ir. Ahmad Riduan, MSi, Dr. Ir. Dwi Hapsoro, MSc, Dr.Ir. Zuyasna, MSc., Ir. Yusniwati, MSi; atas persahabatan dan kesediaan menjadi mitra diskusi yang handal, 8. Rekan-rekan dari Jurusan Biologi Universitas Negeri Semarang yang bersama-sama menempuh studi S3 di IPB : Ir. Amin Retnoningsih, MSi, Dra. Margareta Rahayuningsih, MSi, drh. R.Susanti, MP, Niken Subekti, Ssi, MSi dan Drs. Y.Ulung Anggraito, MSi.; atas persahabatan dan dukungan secara moril 9. Rekan-rekan teknisi di Laboratorium PMB Faperta IPB (Susilawati, Agus) dan di Balitbiogen Bogor (Pak Juanda) atas bantuannya dalam pelaksanaan penelitian, 10. Semua pihak yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian dan ujian yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Secara khusus terima kasih dan penghargaan penulis sampaikan kepada suami tercinta Drs.H. Tri Widayat K. atas keikhlasannya memberi ijin, doa, kesabaran, dukungan moril serta materiil yang tidak terhingga nilainya; sehingga penulis merasa bahwa keberhasilan ini adalah keberhasilan berdua. Juga kepada anak-anak tersayang K. Widayati Ajiningtyas (Tyas), K. Wiidyo Aji Bagaskoro (Aji) dan K. Widyan Radityo Ilmiaji (Adit) atas keikhlasan, kesabaran dan dukungan moril yang diberikan. Semoga segala dukungan dan bantuan yang dilakukan dalam penyelesaian penelitian dan penulisan disertasi ini dapat dinilai sebagai ibadah oleh Allah SWT, baik bagi penulis maupun semua pihak yang telah berperanserta. Amin. Akhirnya penulis berharap semoga hasil penelitian ini membawa manfaat bagi yang membutuhkan. Bogor, Juli 2007 Enni Suwarsi Rahayu xi

12 RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Cilacap Jawa Tengah pada tanggal 16 September 1960, merupakan anak pertama dari Bapak Soekadi (almarhum) dan Ibu Soewarti. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA IKIP Semarang, lulus pada tahun Pada tahun 1995 lulus dari jenjang S2 Program Studi Biologi Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, kemudian sejak tahun 2002 terdaftar sebagai mahasiswa program doktor di Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional. Sejak tahun 1986 sampai sekarang tercatat sebagai staf pengajar jurusan Biologi FMIPA Universitas Negeri Semarang (Unnes). Sejak menjadi staf pengajar penulis aktif dalam sejumlah kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat dengan dana dari Departemen Pendidikan Nasional, dan dalam berbagai pelatihan serta seminar ilmiah tingkat regional maupun nasional. Selama mengikuti program S3, penulis bersama Komisi Pembimbing telah menulis beberapa artikel dari hasil penelitian selama studi. Poster dan karya ilmiah berjudul Cekaman oleh PEG dalam media in vitro dan penapisan toleransi kacang tanah terhadap kekeringan telah disajikan pada Seminar Nasional PERIPI di Bogor, tanggal 5 7 Agustus Sebuah artikel telah diterbitkan di jurnal ilmiah terakreditasi, yaitu Berkala Penelitian Hayati volume 11 (1):39-48 tahun 2005 yang berjudul Polietilena glikol (PEG) dalam media in vitro menyebabkan kondisi cekaman yang menghambat perkembangan tunas kacang tanah (Arachis hypogaea L.). Sebuah artikel lain berjudul Seleksi in vitro embrio somatik kacang tanah pada medium dengan polietilen glikol untuk stimulasi kondisi cekaman kekeringan telah dimuat di jurnal ilmiah terakreditasi Biosfera volume 23 (1) tahun xii

13 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR ISTILAH xiii xix xxii I II III PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 3 Pendekatan Masalah dan Strategi Penelitian... 3 TINJAUAN PUSTAKA Variasi Somaklonal Kacang Tanah... 9 Pengaruh Cekaman Kekeringan terhadap Tanaman Mekanisme Toleransi Tanaman terhadap Cekaman Kekeringan Seleksi in Vitro untuk Toleransi terhadap Cekaman 17 Kekeringan... EFEKTIVITAS POLIETILENA GLIKOL SEBAGAI BAHAN PENYELEKSI SIFAT TOLERANSI TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN DALAM MEDIA IN VITRO Abstrak Abstract Pendahuluan Bahan dan Metode Bahan Tanaman dan Perlakuan PEG Perkecambahan dan Pertumbuhan Tunas Respon Eksplan terhadap Cekaman PEG Pengamatan dan Analisis Data Pengukuran Kandungan Prolina Jaringan Eksplan Hasil Respon Eksplan Kecambah terhadap Cekaman PEG 27 Respon Eksplan TDK terhadap Cekaman PEG Respon Eksplan TTK terhadap Cekaman PEG Akumulasi Prolina akibat Cekaman PEG Pembahasan Simpulan IV SELEKSI IN VITRO EMBRIO SOMATIK KACANG TANAH PADA MEDIA DENGAN POLIETILENA GLIKOL YANG MENSIMULASIKAN KEKERINGAN Abstrak Abstract Pendahuluan Bahan dan Metode Bahan Tanaman dan Induksi ES Kacang Tanah xiii

14 Evaluasi Respon ES Kacang Tanah terhadap Cekaman PEG 44 Seleksi ES dalam Media Selektif dengan PEG Konsentrasi Sub-letal. 45 Regenerasi Tanaman R0 dari ES Hasil Seleksi in vitro 45 Hasil Respon ES Kacang Tanah terhadap Cekaman PEG.. 46 Konsentrasi Sub-letal PEG ES Kacang Tanah yang Insensitif terhadap PEG Konsentrasi Sub-letal Tanaman R0 dari ES Hasil Seleksi in vitro Pembahasan Simpulan V VARIAN KUALITATIF DAN KUANTITATIF KACANG TANAH HASIL KULTUR IN VITRO DAN HASIL SELEKSI IN VITRO Abstrak Abstract Pendahuluan Bahan dan Metode Bahan Tanaman dan Induksi Variasi Somaklonal Pertumbuhan ES Varian dalam Media Kultur dan Media Selektif serta Regenerasinya menjadi Tanaman R Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman R0, R1 dan R Penentuan Varian Hasil Tanaman R0, R1 dan R Varian Kualitatif Varian Kuantitatif Pembahasan Simpulan VI TOLERANSI GALUR KACANG TANAH HASIL KULTUR DAN SELEKSI IN VITRO TERHADAP CEKAMAN AKIBAT PENYIRAMAN PEG Abstrak Abstract Pendahuluan Bahan dan Metode Bahan Tanaman Evaluasi Respon terhadap Cekaman PEG Analisis Respon terhadap Cekaman PEG. 78 Hasil Respon Pertumbuhan Tanaman Kacang Tanah terhadap Cekaman PEG Toleransi terhadap Cekaman PEG Mekanisme Toleransi terhadap Cekaman PEG Pembahasan Simpulan xiv

15 VII TOLERANSI GALUR KACANG TANAH HASIL KULTUR DAN SELEKSI IN VITRO TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN Abstrak Abstract Pendahuluan Bahan dan Metode Bahan Tanaman Evaluasi Respon terhadap Cekaman Kekeringan Evaluasi Toleransi Tanaman terhadap Cekaman Kekeringan Analisis Mekanisme Toleransi terhadap Cekaman Kekeringan Hasil Respon Pertumbuhan Tajuk terhadap Cekaman Kekeringan Respon Pertumbuhan Akar terhadap Cekaman Kekeringan Respon Hasil terhadap Cekaman Kekeringan Toleransi Galur Kacang Tanah Varian terhadap Cekaman Kekeringan Mekanisme Toleransi terhadap Cekaman Kekeringan Pembahasan Simpulan VIII PEMBAHASAN UMUM IX SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran X DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xv

16 DAFTAR TABEL Halaman 1 Pengaruh konsentrasi PEG dalam medium in vitro terhadap PET, PDT dan PAT dari sembilan kultivar kacang tanah Pengaruh konsentrasi PEG dalam medium in vitro terhadap panjang epikotil, panjang akar utama, jumlah akar cabang dan jumlah daun kecambah sembilan kultivar kacang tanah serta nilai relatifnya terhadap perlakuan PEG 0% Pengaruh konsentrasi PEG terhadap pertambahan tinggi, jumlah daun dan jumlah akar utama pada eksplan tunas yang berasal dari benih dengan kotiledon (TDK) dan nilai relatifnya terhadap konsentrasi PEG 0% Pengaruh konsentrasi PEG terhadap jumlah daun layu dan skor kerusakan tunas pada eksplan tunas yang berasal dari benih dengan kotiledon (TDK) Pengaruh konsentrasi PEG terhadap jumlah daun layu per botol pada eksplan tunas yang berasal dari poros embrio tanpa kotiledon (TTK) Pengaruh konsentrasi PEG dalam medium in vitro terhadap pertambahan tinggi dan jumlah daun pada eksplan tunas yang berasal dari poros embrio tanpa kotiledon (TTK) dan nilai relatifnya terhadap konsentrasi PEG 0%... 7 Pengaruh konsentrasi PEG terhadap persentase eksplan yang hidup, rataan embrio somatik (ES) yang terbentuk per eksplan dan jumlah total ES kacang tanah kultivar Badak, Kelinci, Singa, dan Zebra setelah tiga bulan dalam media selektif Persentase penurunan jumlah eksplan yang hidup, rataan embrio somatik (ES) per eksplan dan jumlah total ES kacang tanah kultivar Badak, Kelinci, Singa, dan Zebra setelah tiga bulan dalam media selektif dengan penambahan PEG %, 10%, 15% atau 20% dibandingkan dengan media PEG 0% Jenis, frekuensi dan persentase varian kualitatif pada tanaman hasil kultur in vitro (K0) dan seleksi in vitro (K15) generasi R0, R1 zuriat R0 dan R2 zuriat R xvi

17 10 Rataan nilai dan ragam karakter kuantitatif pertumbuhan tajuk pada populasi tanaman hasil kultur in vitro dan hasil seleksi in vitro generasi R0, R1 zuriat R0 dan R2 zuriat R Rataan nilai dan ragam karakter kuantitatif pertumbuhan akar dan hasil pada populasi tanaman hasil kultur in vitro dan hasil seleksi in vitro generasi R0, R1 zuriat R0, dan R2 zuriat R1 pada kacang tanah kultivar Kelinci Nomor-nomor galur dari populasi R1-K0, R2-K0 dan R2- K15 yang dievaluasi toleransinya terhadap cekaman PEG 15% Kriteria penentuan respon tanaman berdasarkan nilai intensitas kerusakan daun (IKD) Rataan nilai dan ragam tinggi tanaman, jumlah daun, berat basah dan berat kering tajuk tanaman kacang tanah kultivar Kelinci populasi standar, R1-K0, R2-K0 dan R2- K15 dalam kondisi optimum dan cekaman PEG 15% Rataan nilai dan ragam bobot basah, bobot kering akar dan panjang akar primer tanaman kacang tanah kultivar Kelinci populasi standar, R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 dalam kondisi optimum dan cekaman PEG 15% Biomassa pada kondisi cekaman PEG 15% dan kondisi optimum galur-galur tanaman kacang tanah kultivar Kelinci yang teridentifikasi toleran terhadap cekaman kekeringan berdasarkan nilai S Nomor-nomor galur tanaman dari populasi R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 yang dievaluasi toleransinya terhadap cekaman PEG 15% Rataan nilai dan ragam peubah-peubah pertumbuhan tajuk tanaman kacang tanah kultivar Kelinci populasi tanaman standar, R1-K0, R2-K0, dan R2-K15 dalam kondisi optimum dan kondisi cekaman kekeringan Rataan nilai dan ragam panjang akar primer, jumlah akar cabang, bobot basah dan bobot kering akar kacang tanah kultivar Kelinci populasi tanaman standar, R1-K0, R2-K0, dan R2-K15 dalam kondisi optimum dan kondisi cekaman kekeringan Rataan nilai dan ragam jumlah polong total dan jumlah polong bernas kacang tanah kultivar Kelinci populasi tanaman standar, R1-K0, R2-K0, dan R2-K15 dalam kondisi optimum dan cekaman kekeringan xvii

18 21 Karakteristik galur-galur tanaman kacang tanah populasi R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 yang teridentifikasi toleran terhadap kekeringan Galur kacang tanah kultivar Kelinci populasi tanaman hasil kultur dan hasil seleksi in vitro yang teridentifikasi toleran terhadap cekaman PEG dan cekaman pengurangan penyiraman xviii

19 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Diagram alir strategi penelitian dan keterkaitan antar percobaan dari seluruh kegiatan penelitian Media selektif berupa media cair MS (Murashige-Skoog 1962) tanpa zat pengatur tumbuh (MS-0) dengan penambahan berbagai konsentrasi PEG Kriteria penentuan skor kerusakan eksplan tunas kacang tanah setelah ditanam dalam media selektif selama enam minggu Pengaruh konsentrasi PEG terhadap kadar prolina total jaringan pada eksplan tunas yang berasal dari benih dengan kotiledon (TDK) kacang tanah kultivar Singa, Komodo, Kelinci, Gajah, Simpai dan Badak, setelah ditanam selama enam minggu dalam media selektif Morfologi kecambah yang tumbuh pada media selektif yang mengandung PEG (dari kiri ke kanan) konsentrasi 0, 5, 10, 15 dan 20% pada kacang tanah kultivar Sng (Singa), Kmd (Komodo), Jrp (Jerapah), Klc (Kelinci), Gjh (Gajah), Trg (Trenggiling), Bdk (Badak), Mcn (Macan), Smp (Simpai) Pertumbuhan ES kacang tanah kultivar Badak (B), Kelinci (K), Singa (S), dan Zebra (Z), setelah tiga kali sub-kultur masing-masing satu bulan dalam media selektif PEG dengan konsentrasi 0%, 5%, 10%, 15% dan 20% Regenerasi ES kacang tanah hasil seleksi in vitro dalam media selektif dengan penambahan PEG 15% 50 8 Pola percabangan pada tanaman kacang tanah yang diregenerasikan dari ES hasil kultur dan seleksi in vitro Varian kualitatif pada tanaman kacang tanah hasil kultur dan seleksi in vitro Distribusi frekuensi tinggi tanaman dan bobot kering tajuk kacang tanah populasi tanaman standar, tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro Distribusi frekuensi jumlah akar cabang primer dan bobot kering akar tanaman standar serta tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro xix

20 12 Distribusi frekuensi jumlah polong bernas dan bobot polong bernas tanaman standar serta tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro Skor kerusakan daun kacang tanah kultivar Kelinci akibat penyiraman larutan PEG 15% pada media arang sekam di rumah kaca Distribusi frekuensi jumlah daun per tanaman pada populasi tanaman standar, tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro dalam kondisi optimum dan cekaman PEG 15% Distribusi frekuensi bobot tajuk kering pada populasi tanaman standar, tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro dalam kondisi optimum dan cekaman PEG 15% Distribusi frekuensi bobot akar kering pada populasi tanaman standar, tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro dalam kondisi optimum dan cekaman PEG 15% Distribusi frekuensi panjang akar pada populasi tanaman standar, tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro dalam kondisi optimum dan cekaman PEG 15% Keragaan tanaman kacang tanah kultivar Kelinci yang tumbuh dalam kondisi optimum dan dalam kondisi cekaman akibat penyiraman PEG 15% Distribusi frekuensi respon tanaman yang ditumbuhkan dari benih, ES hasil kultur in vitro (R1-K0, R2-K0) dan ES hasil seleksi in vitro (R2-K15) terhadap cekaman PEG 15% berdasarkan nilai indeks kerusakan daun Distribusi frekuensi respon tanaman yang ditumbuhkan dari benih, ES hasil kultur in vitro (R1-K0, R2-K0), dan ES hasil seleksi in vitro (R2-K15) terhadap cekaman PEG 15% berdasarkan indeks sensitivitas terhadap kekeringan yang dihitung menggunakan nilai biomassa Regresi antara nilai indeks kerusakan daun (IKD) dengan dengan nisbah akar/tajuk dan panjang akar primer pada populasi tanaman standar (x) dan R1-K0, R2-K0 dan R2- K15 yang teridentifikasi agak toleran ( ), agak peka (?) dan peka (? ) Regresi antara nilai ISK yang dihitung menggunakan biomassa tanaman dengan nisbah akar/tajuk dan dengan panjang akar primer pada populasi tanaman standar (x) dan R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 yang teridentifikasi toleran ( ), medium toleran (?) dan peka (? ) xx

21 23 Keragaan tanaman kacang tanah dalam (a) kondisi optimum dan (b) kondisi cekaman Distribusi frekuensi bobot kering tajuk pada populasi tanaman standar, tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro dalam kondisi optimum dan cekaman kekeringan Distribusi frekuensi bobot kering akar pada populasi tanaman standar, tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro dalam kondisi optimum dan cekaman kekeringan Distribusi frekuensi jumlah polong bernas pada populasi tanaman standar, tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro dalam kondisi optimum dan cekaman kekeringan Distribusi frekuensi kandungan prolina (µg/g) dalam kondisi optimum dan cekaman kekeringan pada tanaman kacang tanah populasi standar, R0-K0, R1-K0 dan R2-K Distribusi frekuensi respon tananan standar, R1-K0, R2- K0, R2-K15 terhadap cekaman kekeringan berdasarkan indeks sensitivitas terhadap cekaman kekeringan yang dihitung menggunakan jumlah polong bernas Hubungan antara indeks sensitivitas kekeringan(isk) yang dihitung berdasarkan jumlah polong bernas dengan peningkatan kadar prolina dan densitas stomata pada tanaman kacang tanah populasi tanaman standar (x) dan populasi R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 yang teridentifikasi toleran ( ), medium toleran (?) dan peka (? ) Distribusi frekuensi densitas stomata pada tanaman kacang tanah populasi standar, R1-K0, R2-K0 dan R2-K Hubungan antara ISK dengan panjang akar dan nisbah akar/tajuk pada tanaman kacang tanah pada populasi tanaman standar (x) dan R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 yang teridentifikasi toleran ( ), medium (?) dan peka (?) xxi

22 DAFTAR ISTILAH Bahan penyeleksi (selective agent) bahan kimia yang dapat menapis sel/jaringan dengan sifat yang diinginkan (dalam hal ini yang toleran terhadap cekaman kekeringan) di antara sel/jaringan lain dengan sifat yang tidak diinginkan Cekaman kekeringan kondisi ketersediaan air media tanam yang tidak memadai baik jumlah maupun distribusinya, yang terjadi pada sebagian atau sepanjang siklus hidup tanaman sehingga tanaman tidak dapat mengekspresikan potensi genetiknya Densitas stomata (dalam penelitian ini) jumlah stomata per satuan luas (cm 2 ) pada jaringan epidermis bawah daun, dihitung menggunakan mikrometer Embrio somatik embrio yang terbentuk dari sel vegetatif, dalam penelitian ini dari leaflet (calon daun) embrio zigotik Generasi R0 tanaman yang merupakan hasil regenerasi jaringan dari kultur in vitro Generasi R1 tanaman yang merupakan zuriat dari tanaman generasi R0 Generasi R2 tanaman yang merupakan zuriat dari tanaman generasi R1 Kalus embriogen kalus yang mengandung sel-sel yang berpotensi untuk berkembang menjadi embrio Karakter kualitatif karakter yang nilainya tidak berdasarkan pengukuran, menghasilkan variasi berupa kelompok-kelompok yang diskret Karakter kuantitatif karakter yang nilainya diperoleh dari pengukuran, menghasilkan variasi yang bersifat kontinyu Kultur in vitro (dalam penelitian ini) pembudidayaan embrio somatik pada media MS padat dengan penambahan pikloram 16 µm menjadi plantlet Medium toleran tingkat karakter toleransi terhadap cekaman, yang berada di antara karakter peka dan karakter toleran xxii

23 Mekanisme avoidance (ketahanan) mekanisme respon terhadap cekaman kekeringan yang ditunjukkan dengan kemampuan tanaman untuk mempertahankan potensial air jaringan yang relatif tinggi pada saat mengalami cekaman kekeringan Mekanisme escape (pelarian) mekanisme respon terhadap cekaman kekeringan yang ditunjukkan dengan kemampuan tanaman untuk menyelesaikan siklus hidupnya sebelum terjadi cekaman kekeringan sehingga tidak mengalami cekaman Mekanisme tolerance (toleran) mekanisme respon terhadap cekaman kekeringan yang ditunjukkan dengan kemampuan tanaman untuk bertahan hidup dengan potensial air jaringan yang rendah Nisbah akar/tajuk ratio bobot kering akar dan tajuk Osmolit senyawa yang terlarut dalam plasma sel yang dapat berperan untuk mempertahankan potensial osmotik sel dan melindungi kerusakan struktur sel akibat senyawa radikal pada saat mengalami cekaman Peka respon tanaman yang tidak mampu mempertahankan diri atau mengatasi pengaruh cekaman kekeringan, yang ditunjukkan dengan menurunnya pertumbuhan dan atau hasil panen secara signifikan pada kondisi cekaman kekeringan Picloram asam 4-amino, trikhloropikolinat, suatu herbisida yang dalam konsentrasi rendah berperan sebagai fitohormon auksin PEG (poly ethylene glycol) senyawa polimer yang tersusun atas sub unit etilen-oksida, yang mampu mengikat molekul air pada atom oksigennya dengan ikatan hidrogen Potensial osmotik potensi suatu larutan untuk melakukan osmosis atau menarik molekul air, yang nilainya negatif dan ditentukan oleh konsentrasi larutan, suhu, konstanta gas dan konstanta ionisasi Prolina salah satu jenis asam amino yang terlarut dalam plasma sel dan dapat berperan sebagai osmolit Seleksi in vitro penapisan dalam media in vitro untuk memilih sel/jaringan dengan sifat yang diinginkan di antara sel/jaringan lain yang tidak diinginkan xxiii

24 Toleran respon tanaman yang mampu mempertahankan diri atau mengatasi pengaruh cekaman kekeringan, yang ditunjukkan dengan menurunnya pertumbuhan dan atau hasil panen yang tidak signifikan pada kondisi cekaman kekeringan Varian somaklonal karakter yang mengalami variasi somaklonal Varian somaklonal genetik karakter yang mengalami variasi somaklonal yang pada umumnya bersifat ir-reversibel dan diwariskan kepada keturunannya Varian somaklonal epigenetik karakter yang mengalami variasi somaklonal yang merupakan modifikasi ekspresi genetik, biasanya bersifat reversibel dan tidak diwariskan Varian somaklonal positif karakter yang mengalami variasi somaklonal yang lebih unggul dibanding tanaman standar Variasi somaklonal perubahan yang terjadi pada sel/jaringan yang dipelihara dalam kultur in vitro xxiv

25 1 I. PENDAHULUAN Latar Belakang Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu komoditas pertanian yang potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Komoditas ini adaptatif di daerah tropis, dan mempunyai arti penting sebagai bahan pangan bergizi tinggi, pakan ternak yang potensial, dan tanaman rotasi yang efektif. Sebagai bahan pangan biji kacang tanah mengandung lemak, protein, vitamin B dan E yang relatif tinggi (Maesen dan Somaatmadja 1993, Moss dan Rao 1995). Antara tahun produksi kacang tanah Indonesia berkisar antara 736,5 839,1 ton, dengan hasil panen faktual rata-rata sebesar 1,08 1,16 ton per hektar (BPS 2005), lebih rendah dibandingkan hasil panen dalam skala penelitian yang dapat mencapai lebih dari 2 ton per hektar (Hidajat et al. 1999). Hal tersebut menyebabkan Indonesia harus mengimpor kacang tanah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu perlu dilakukan upaya peningkatan produksi kacang tanah. Upaya peningkatan produksi kacang tanah baik melalui perluasan lahan penanaman maupun peningkatan produktivitas menghadapi berbagai cekaman abiotik. Cekaman abiotik utama adalah kekeringan yang pada masa mendatang diduga akan semakin parah karena berkurangnya distribusi air ke sektor pertanian akibat besarnya kebutuhan air pada sektor non-pertanian, menurunnya daya retensi tanah dan kualitas lingkungan (Makarim 2005). Di samping itu usaha tani kacang tanah, yang bukan merupakan tanaman pangan utama di Indonesia, pada umumnya dilakukan di lahan kering atau pada akhir musim penghujan, sehingga berpeluang besar mengalami kekurangan air atau cekaman kekeringan. Air merupakan faktor pembatas utama yang menentukan tercapai tidaknya potensi hasil tanaman. Bila air yang terserap tanaman berkurang, maka semua proses biokimia di dalam tanaman akan terhambat dan pertumbuhan serta produksi akan menurun. Produksi kacang tanah dapat menurun hingga 50% akibat cekaman kekeringan (Makarim 2005). Periode kritis tanaman kacang tanah terhadap kekeringan adalah umur 3, 25, 50 dan 75 hari (Balitkabi 2004). Respon rendahnya produksi kacang tanah pada kondisi kekeringan terjadi pada kultivar tanaman yang peka terhadap kekeringan. Untuk kultivar yang toleran terhadap kekeringan, sampai pada tingkat tertentu yang masih dapat

26 2 ditoleransi, cekaman kekeringan tidak menimbulkan pengaruh seperti yang terjadi pada kultivar peka. Oleh karena itu untuk budidaya kacang tanah di lahan kering atau musim kering diperlukan kultivar yang toleran cekaman abiotik, terutama cekaman kekeringan, sehingga peningkatan hasil yang diharapkan dapat terwujud. Sampai saat ini, di antara 22 kultivar kacang tanah yang dilepas Departemen Pertanian, hanya enam kultivar yaitu Komodo, Biawak, Jerapah, Panther, Singa dan Turangga yang diidentifikasi toleran terhadap cekaman kekeringan (Hidajat et al. 1999). Pada umumnya mekanisme toleransi yang dilakukan oleh kultivar toleran adalah melalui pembentukan akar yang intensif sehingga dapat menurunkan hasil. Kultivar toleran dengan mekanisme yang tidak menurunkan hasil lebih diinginkan (Williams dan Boote 1995). Karakter tersebut merupakan hal yang sangat penting untuk diupayakan pada kacang tanah sebab genotipe dengan potensial daya hasil tinggi pada kondisi irigasi optimum biasanya sangat peka terhadap kekeringan. Sebaliknya, genotipe yang memberikan hasil baik pada kondisi tercekam kekeringan, mungkin tidak menjamin hasil yang lebih baik pada kondisi irigasi optimum (Gupta 1997) karena besarnya kemampuan pertumbuhan biomassa (perakaran). Berdasarkan hal itu pengembangan kultivar kacang tanah toleran kekeringan masih diperlukan. Untuk mengembangkan kultivar yang toleran terhadap kekeringan dengan mekanisme yang berbeda diperlukan keragaman baru sifat toleransi pada plasma nutfah kacang tanah. Peningkatan keragaman sifat toleransi dapat dilakukan secara in vitro melalui kultur jaringan. Teknik ini berpotensi untuk menghasilkan varian somaklonal yang mempunyai karakteristik tertentu. Varian yang secara alamiah terjadi acak pada berbagai karakter tersebut kemudian diseleksi dalam media selektif yang sesuai sehingga diperoleh varian dengan sifat yang diinginkan. Dengan menggunakan seleksi in vitro, intensitas seleksi lebih besar dan homogen sehingga dapat meningkatkan efisiensi didapatkannya varian tanaman dengan sifat-sifat yang diharapkan (Specht dan Graef 1996). Dalam kultur jaringan terdapat tiga teknik yang dapat dilakukan, yaitu proliferasi tunas pucuk, regenerasi tunas adventif dan regenerasi embrio somatik. Di antara ketiga teknik tersebut regenerasi embrio somatik merupakan teknik yang paling efisien dan paling besar peluangnya untuk memperoleh varian. Selain itu kecepatan multiplikasi lebih tinggi, prosesnya dapat dipertahankan dalam jangka panjang sehingga tidak selalu tergantung pada

27 3 ketersediaan eksplan dan tidak mengakibatkan khimera (Maluszynski 1995). Pada regenerasi embrio somatik eksplan diinduksi berturut-turut menjadi kalus, embrio somatik, dan tunas. Karena embrio somatik berasal dari sel tunggal, maka frekuensi terbentuknya varian relatif besar. Untuk mendapatkan varian yang toleran terhadap cekaman kekeringan digunakan bahan seleksi yang dapat mensimulasikan kondisi kekeringan di lapang. Ada beberapa bahan seleksi yang dapat digunakan, antara lain manitol, sorbitol, dan PEG (poly ethylene glycol). Dibandingkan agen seleksi yang lain, PEG (terutama yang mempunyai berat molekul lebih dari 3500) mempunyai kelebihan yaitu tidak dapat diserap oleh tanaman. PEG yang ditambahkan ke dalam media kultur dapat menurunkan potensial air media secara homogen karena sifatnya yang larut sempurna dalam air. Besarnya penurunan potensial air tergantung pada konsentrasi dan berat molekul PEG (Michel dan Kaufmann 1973, Steuter 1981). Bila varian yang toleran terhadap potensial air rendah tersebut dapat diperoleh dan dapat diregenerasikan menjadi tanaman maka kemungkinan besar akan berkembang menjadi tanaman yang toleran terhadap cekaman kekeringan. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui metode seleksi in vitro yang efektif dalam rangka memperoleh ES kacang tanah yang toleran terhadap potensial air rendah 2. Mengetahui indikasi varian somaklonal kacang tanah 3. Memperoleh populasi tanaman varian somaklonal hasil seleksi in vitro 4. Memperoleh populasi tanaman varian somaklonal yang toleran terhadap cekaman kekeringan 5. Menduga mekanisme toleransi tanaman kacang tanah terhadap cekaman kekeringan secara fisiologis Pendekatan Masalah dan Strategi Penelitian Untuk mencapai tujuan tersebut harus dilakukan tahap-tahap seperti disebut di bawah ini. 1. Mengembangkan populasi embrio somatik (ES) kacang tanah dan varian somaklonal 2. Mengembangkan teknik seleksi in vitro yang mengandung bahan penyeleksi yang dapat mensimulasikan kondisi kekeringan di lapang

28 4 3. Menyeleksi populasi varian dalam media selektif in vitro untuk mengidentifikasi varian yang toleran terhadap potensial air rendah 4. Meregenerasikan varian yang toleran terhadap potensial air rendah menjadi populasi tanaman lengkap 5. Mengevaluasi karakter kualitatif dan kuantitatif populasi tanaman yang diregenerasikan dari ES varian hasil seleksi in vitro untuk mengidentifikasi adanya variasi di antara populasi tanaman yang diperoleh 6. Mengevaluasi respon tanaman hasil seleksi in vitro terhadap cekaman kekeringan dengan beberapa pendekatan, untuk mengidentifikasi adanya tanaman varian yang toleran terhadap cekaman kekeringan 7. Menganalisis secara fisiologis populasi tanaman yang toleran untuk menentukan mekanisme toleransi terhadap cekaman kekeringan. Untuk dapat melakukan tahap-tahap tersebut dibutuhkan: 1. metode induksi ES dan variasi somaklonal untuk memperoleh ES varian somaklonal, 2. metode seleksi in vitro untuk mendapatkan ES varian somaklonal yang toleran cekaman kekeringan, 3. metode regenerasi ES menjadi tanaman lengkap, 4. indikasi adanya varian somaklonal pada karakter kualitatif dan kuantitatif 5. metode evaluasi respon tanaman terhadap cekaman kekeringan, dan 6. metode analisis fisiologis untuk penentuan mekanisme toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan. Metode induksi ES kacang tanah yang efektif telah berhasil dikembangkan menggunakan eksplan leaflet dengan media MS-P16 yaitu media MS (Murashige Skoog) ditambah zat pengatur tumbuh golongan auksin yaitu pikloram (amino trichloropicolinic acid) sebanyak 16 μm/l. Metode ini terbukti cukup efektif menginduksi ES primer dan sekunder paling tidak untuk 16 kultivar kacang tanah yang diuji (Nursusilawati 2003). Penelitian awal untuk mendapatkan metode seleksi dalam rangka memperoleh galur kacang tanah yang toleran cekaman kekeringan telah dilakukan dan menunjukkan bahwa pemberian larutan PEG dalam media in vivo memberikan efek negatif terhadap pertumbuhan tanaman selama fase vegetatif. Pada penelitian tersebut penambahan konsentrasi PEG secara gradual menyebabkan peningkatan efek negatif pada beberapa peubah pertumbuhan (Nursusilawati 2003). Dari hasil penelitian tersebut dapat dinyatakan bahwa PEG

29 5 dapat digunakan sebagai bahan penyeleksi kacang tanah dalam kondisi ex vitro untuk memperoleh tanaman yang toleran terhadap cekaman kekeringan, namun efektivitasnya secara in vitro masih perlu diteliti. Metode regenerasi tanaman kacang tanah dari ES telah dapat dikembangkan secara efektif, yang meliputi tahap maturasi, perkecambahan, dan pengakaran. Maturasi dilakukan dengan menumbuhkan ES dalam media MSAC, yaitu media MS tanpa fitohormon ditambah active charcoal (arang aktif) 2 g/l agar ES berkembang sempurna. ES sekunder yang telah mengalami tahap maturasi kemudian dikecambahkan dalam media MS yang ditambah BAP (6- benzylamino purine, zat pengatur tumbuh sejenis sitokinin) sebanyak 22 μm sampai terbentuk tunas. Tunas yang tumbuh dipilih yang mempunyai panjang 2 3 cm, kemudian dipindahkan ke media pengakaran yang tersusun dari media MS ditambah NAA (naphtalene acetic acid, zat pengatur tumbuh sejenis auksin) sebanyak 10 mg/l selama satu minggu. Setelah itu dipindahkan lagi ke MSAC dan ditumbuhkan sampai membentuk akar yang sempurna yang biasanya berlangsung selama 4 minggu. Dalam semua tahap tersebut kultur diinkubasikan dalam ruang kultur dengan temperatur konstan 24 o C dalam kondisi terang terus menerus. Tunas yang telah berakar akan berkembang menjadi plantlet yang siap diaklimatisasi (Nursusilawati 2003). Berdasarkan hal-hal tersebut maka strategi penelitian yang harus dilakukan adalah sebagai berikut: 1. mengembangkan metode seleksi in vitro dalam rangka memperoleh ES kacang tanah yang toleran terhadap potensial air rendah dengan mengkaji pengaruh konsentrasi PEG terhadap pertumbuhan jaringan kacang tanah secara in vitro, dan menentukan konsentrasi sub-letal PEG pada sejumlah kultivar kacang tanah yang dilaporkan sebagai kultivar toleran, medium dan peka terhadap cekaman kekeringan, 2. menginduksi terjadinya ES sekunder dan varian somaklonal tanpa seleksi PEG dan meregenerasikannya menjadi tanaman lengkap untuk mengetahui indikasi varian somaklonal kacang tanah, 3. menginduksi terbentuknya ES sekunder dan varian somaklonal kemudian menyeleksi dalam media selektif PEG, meregenerasikan untuk memperoleh populasi tanaman varian somaklonal, dan mengevaluasi karakter kualitatif dan kuantitatif varian,

30 6 4. mengevaluasi respon tanaman varian somaklonal terhadap cekaman kekeringan yang dilakukan secara ex vitro di rumah kaca untuk memperoleh populasi tanaman varian somaklonal yang toleran terhadap cekaman kekeringan, dan 5. menganalisis secara fisiologis untuk mengetahui mekanisme toleransi terhadap cekaman kekeringan. Penelitian dimulai dengan mengetahui efektitivitas PEG dalam mensimulasikan cekaman kekeringan dalam media in vitro dengan mengevaluasi respon tunas dan kecambah sembilan kultivar kacang tanah terhadap konsentrasi PEG 0%, 5% 10%, 15% dan 20%. Sembilan kultivar kacang tanah tersebut berdasar penelitian sebelumnya mempunyai tingkat toleransi yang berbeda, yaitu Singa, Komodo dan Jerapah (toleran), Kelinci, Trenggiling dan Gajah (medium toleran), Macan dan Simpai (peka) serta Badak yang belum diketahui tingkat toleransinya terhadap cekaman kekeringan. Kemudian dilanjutkan dengan mengevaluasi respon ES primer dari empat kultivar kacang tanah, yaitu Singa, Kelinci, Badak dan Zebra terhadap lima konsentrasi PEG yang sama seperti percobaan sebelumnya. Empat kultivar tersebut dipilih karena induksi pembentukan ES relatif mudah dan berbeda tingkat toleransinya terhadap cekaman kekeringan. Dari percobaan ini dapat diketahui konsentrasi PEG sub-letal dan metode seleksi in vitro yang efektif. Bersamaan dengan hal tersebut dilakukan induksi variasi somaklonal pada ES kacang tanah cv. Kelinci dan Singa karena kedua kultivar tersebut selain mudah diinduksi membentuk ES, juga mempunyai daya hasil yang relatif tinggi, masing-masing sebesar 2,3 ton/ha dan 2,6 ton/ha. Sebagian ES diseleksi dalam media seleksi yang telah dikembangkan sehingga diperoleh ES yang insensitif terhadap cekaman PEG, kemudian bersama-sama dengan ES yang tidak diseleksi diregenerasikan menjadi tunas. Jadi pada setiap kultivar terdapat dua populasi tunas kacang tanah, yaitu tunas yang diseleksi dan yang tidak diseleksi. Tunas-tunas tersebut diakarkan sehingga diperoleh plantlet. Plantlet dikembangkan melalui aklimatisasi menjadi tanaman R0. Tanaman R0 ditumbuhkan di rumah kaca dibiarkan menyerbuk sendiri sehingga diperoleh benih R0-1. Benih kemudian ditanam di rumah kaca. Tanaman R1 yang diperoleh dibiarkan menyerbuk sendiri sehingga diperoleh benih R1-2. Selanjutnya benih tersebut ditanam sehingga didapatkan tanaman R2. Pada setiap generasi tanaman R0, R1 dan R2 dilakukan pengamatan ciri kualitatif dan kuantitatif untuk mengevaluasi

31 7 terjadinya variasi somaklonal. Sejumlah tanaman R1 dan R2 juga dievaluasi responnya terhadap cekaman kekeringan dengan penyiraman PEG dan pengurangan penyiraman. Dari serangkaian percobaan tersebut diharapkan diperoleh galur yang toleran terhadap cekaman kekeringan. Galur tersebut kemudian dievaluasi mekanisme toleransinya secara fisiologis yaitu dengan mengukur kandungan prolina. Strategi penelitian secara keseluruhan disajikan pada Gambar 1 berikut.

32 8 PERCOBAAN 1 Evaluasi efektivitas PEG untuk mensimulasikan cekaman kekeringan PERCOBAAN 2A Penentuan konsentrasi sub letal PEG MEDIA SELEKSI IN VITRO PERCOBAAN 2B Seleksi ES varian dalam media selektif dan regenerasi ES insensitif menjadi tanaman R0 PERCOBAAN 3A Induksi ES varian somaklonal dan regenerasinya menjadi tanaman R0 TANAMAN R0 VARIAN TANPA SELEKSI DAN DENGAN SELEKSI (INSENSITIF PEG) PERCOBAAN 3B Regenerasi tanaman R1 dan R2 serta evaluasi karakter varian pada tanaman R0, R1 dan R2 KARAKTER VARIAN KUALITATIF DAN KUANTITATIF POPULASI TANAMAN VARIAN SOMAKLONAL GENERASI R1 DAN R2 PERCOBAAN 4 Evaluasi toleransi terhadap cekaman PEG dan mekanisme toleransinya PERCOBAAN 5 Evaluasi toleransi terhadap cekaman kekeringan dan mekanisme toleransinya 1) TANAMAN VARIAN TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN 2) MEKANISME TOLERANSI TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN Gambar 1. Diagram alir strategi penelitian dan keterkaitan antar percobaan dari seluruh kegiatan penelitian

33 II. TINJAUAN PUSTAKA Variasi Somaklonal Kacang Tanah Pengembangan galur tanaman yang mempunyai karakter tertentu dapat dilakukan apabila di dalam plasma nutfah terdapat materi genetik yang mengendalikan mekanisme karakter yang diinginkan. Semakin besar keragaman genetik dalam plasma nutfah, semakin besar pula peluang untuk mendapatkan materi genetik yang diharapkan. Peningkatan keragaman genetik dapat dilakukan melalui kultur jaringan. Media kultur jaringan dapat menginduksi perubahan genetik karena kondisi in vitro memungkinkan pembelahan sel terjadi sangat cepat sehingga memberi peluang terjadinya error yang tinggi. Dalam kegiatan pemuliaan perubahan ini justru memberi keuntungan karena meningkatkan keragaman sifat. Keragaman ini disebut variasi somaklonal (Larkin dan Scrowcrot 1981, Larkin et al. 1989, Bouharmont 1994, Wikipedia 2006). Pengembangan keragaman genetik tanaman melalui induksi variasi somaklonal pada hakekatnya hampir sama dengan pengembangan dengan teknik mutasi. Tingkat mutasi yang terjadi secara alamiah, buatan maupun dalam kultur in vitro rata-rata sebesar 0,0001% (Duncan et al. 1995), namun dibandingkan mutasi alamiah dan buatan, frekuensi terjadinya mutasi pada kultur in vitro jauh lebih tinggi (Larkin et al. 1989) karena populasi yang ditangani berjumlah sangat besar. Pada satu botol kultur terdapat jutaan sel dan setiap sel mempunyai peluang mengalami mutasi atau membentuk sel varian. Keduanya, teknik mutasi dan induksi variasi somaklonal, menghasilkan tanaman regeneran dengan perubahan sifat yang menguntungkan ataupun merugikan, namun perubahan yang merugikan pada variasi somaklonal terbukti lebih sedikit (Duncan et al. 1995). Variasi somaklonal merupakan fenomena umum yang dapat terjadi pada semua sistem regenerasi tanaman yang melibatkan fase kalus. Sebagian besar variasi somaklonal yang tampak pada tanaman regeneran dihasilkan selama tahap kultur jaringan. Hal ini dapat dilihat melalui peningkatan frekuensi kromosom yang abnormal sejalan dengan lamanya kultur. Beberapa variasi yang terjadi pada tanaman varian mungkin dihasilkan pula dari variasi yang ada pada eksplan. Perubahan genetik seperti mutasi gen, duplikasi, aneusomatik dan khimera juga dapat terjadi pada sel atau jaringan tanaman dalam kondisi in vivo. Oleh karena itu variasi genetik pada tanaman varian merupakan akumulasi dari 9

34 variasi yang muncul dalam kondisi in vivo dan in vitro. Kontribusi relatif keduanya mungkin berbeda antar kasus, tergantung pada genotipe tanaman, tipe kultur, medium kultur, umur kultur dan sebagainya (Larkin dan Scowcroft 1981, Larkin et al. 1989, Wikipedia 2006). Perubahan genetik selama pertumbuhan dan regenerasi in vitro dapat terjadi pada genom inti maupun genom organela. Perubahan-perubahan tersebut ada beberapa tipe, yaitu perubahan jumlah genom (monoploid, diploid, sampai poliploid), perubahan jumlah kromosom (monosomi, trisomi, tetrasomi atau nulisomi), perubahan struktur kromosom (translokasi, duplikasi, delesi, inversi, kromosom disentrik atau telosentrik) dan perubahan struktur DNA yang meliputi mutasi gen, pindah silang mitotik, metilasi yang mengakibatkan inaktivasi gen, dan mutasi insersi akibat transposon (Bouharmont 1994, Karp 1995). Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi ada tidaknya dan intensitas variasi yang dihasilkan dari kultur. Menurut Karp (1995), faktor-faktor tersebut berasal dari (1) eksplan, yang meliputi tingkat perkembangan eksplan, jenis eksplan, konstitusi genetik atau genotipe tanaman, dan dari (2) kondisi kultur, yang meliputi panjang waktu kultur, penambahan zat pengatur tumbuh dan bahan penyeleksi dalam media kultur. Tingkat perkembangan merupakan faktor kunci variasi somaklonal. Pada tingkat perkembangan yang belum terorganisasi mekanisme instabilitas genetik lebih mudah terjadi. Jadi makin awal tingkat perkembangan eksplan dan makin panjang waktu yang diperlukan dalam tahap ini, makin besar peluang untuk menghasilkan variasi somaklonal. Selain itu jenis, paduan dan konsentrasi hormon yang dipakai dalam media kultur, serta konsentrasi nutrien seperti Ca dan EDTA juga mempengaruhi terjadinya variasi somaklonal. Melalui induksi variasi somaklonal diharapkan dapat diperoleh varian dengan sifat-sifat yang diinginkan dalam jumlah yang memadai. Sepuluh dari 100 varian somaklon pada tembakau mempunyai sifat-sifat agronomi yang positif (Larkin dan Scowcroft 1981). Pada tanaman gandum regeneran terjadi variasi somaklonal sebesar 5% untuk sifat morfologi dan biokimia. Karakter tersebut, baik yang dikendalikan secara monogenik maupun poligenik, terbukti diturunkan sampai dua generasi (Larkin et al. 1984). Frekuensi variasi somaklonal pada tanaman kedelai antara lain dipengaruhi oleh konsentrasi auksin dalam media tumbuh. Pada media dengan 22,5 μm 2.4.D terbentuk varian sebesar 40%, sedangkan dengan 18 μm terbentuk 3 % dari tanaman regeneran (Shoemaker et 10

35 al. 1991). Penelitian Claxton et al. (1998) menunjukkan bahwa pada Rorippa nasturtium-aquaticum terjadi 25% variasi somaklonal dalam beberapa karakter morfologi dan ploidi. Frekuensi varian somaklonal sebesar 1,0% diketahui terjadi pada Picea mariana dan 1,6% pada P. glauca, yang dapat dikelompokkan menjadi 9 tipe sifat morfologi dan fisiologi (Tremblay et al. 1999). Intensitas perubahan karakter yang tampak pada tanaman varian somaklonal tidak sama antar kasus. Perubahan tersebut dapat sangat besar sehingga tanaman tampak abnormal, namun mungkin pula hanya sebagian kecil sedangkan sebagian besar karakter lain tetap menyerupai induknya. Varian yang fungsional untuk perbaikan sifat tanaman adalah yang mengalami perubahan kecil (yang positif/diinginkan) yang bersifat stabil, durable, dan diwariskan secara Mendelian, dengan tetap mempertahankan sebagian besar sifat seperti induknya. Hal ini dilaporkan dapat terjadi sehingga variasi somaklonal memungkinkan untuk mengubah satu atau beberapa karakter tertentu yang diinginkan dengan tetap mempertahankan karakter unggul yang dimiliki induk (Hawbaker et al. 1993, Duncan et al. 1995). Karakter yang berubah pada variasi somaklonal dapat merupakan karakter morfologi, biokimia, fisiologi maupun molekuler. Variasi morfologi dan fisiologi yang dihasilkan dari variasi somaklonal yang telah diteliti pada berbagai tanaman meliputi perubahan ukuran dan warna bunga, warna dan morfologi daun, tinggi tanaman, resistensi terhadap penyakit dan waktu panen (Wikipedia 2006). Variasi morfologi dan fisiologi meliputi filotaksis, jumlah anak daun, jumlah percabangan, sterilitas polen, dan kadar prolin tampak pada somaklon kedelai (Widoretno 2002). Varian yang tampak pada varian kacang tanah adalah jumlah cabang, panjang gynofor, jumlah anak daun, dan ukuran polong (Yusnita 2005). Pengaruh Cekaman Kekeringan terhadap Tanaman Ditinjau dari segi agronomi kekeringan merupakan kondisi ketersediaan air yang tidak memadai baik jumlah maupun distribusinya, meliputi simpanan air bawah tanah dan kelembaban tanah, yang terjadi pada sebagian atau sepanjang siklus hidup tanaman sehingga tanaman tidak dapat mengekspesikan potensi genetiknya (Mitra 2001). Kekeringan mengakibatkan cekaman osmotik pada tanaman yaitu mengurangi aktivitas air dan menyebabkan hilangnya turgor sel. Cekaman osmotik merupakan cekaman multidimensi yang dapat mempengaruhi aktivitas fisiologi dalam berbagai tingkat organisasi sel dan tahap 11

36 perkembangan karena air berperan sangat vital dalam kehidupan tanaman. Air merupakan komponen penting dalam metabolisme, yaitu sebagai komponen protoplasma, bahan fotosintesis, pelarut sebagian besar senyawa, media transportasi, pengatur suhu dan faktor yang memungkinkan terjadinya reaksi kimia. Oleh karena itu pengaruh kekurangan air pada tanaman bersifat sangat kompleks (Salisbury dan Ross 1992, Blum 1996, Mundree et al. 2002). Intensitas pengaruh cekaman kekeringan terhadap tanaman ditentukan oleh tingkat cekaman dan fase pertumbuhan tanaman saat mengalami cekaman. Cekaman kekeringan dapat mempengaruhi berbagai mekanisme seluler, biokimia dan fisiologi. Pada tingkat seluler kekeringan mengakibatkan kehilangan air protoplasmik sehingga konsentrasi ion meningkat, menghambat fungsi-fungsi metabolik, dan meningkatkan kemungkinan terjadinya interaksi antar molekul yang dapat menyebabkan denaturasi protein dan fusi membran (Mundree et al. 2002). Selain itu kekeringan menurunkan kandungan klorofil daun, kadar protein khlorofil dan fotosistem II pada gandum (Shimada et al. 1992; Gaspar et al. 2002), degradasi protein D1 pada pusat reaksi fotosistem II dan kerusakan membran serta dinding sel (Pieters et al. 2003). Pengaruh kekeringan terhadap mekanisme biokimia dan fisiologi antara lain menurunkan kecepatan fiksasi dan akumulasi N (Masyudi dan Peterson 1991), transportasi fotosintat dan transpirasi (Pookpadi et al. 1990; Vieira et al. 1992), dan kecepatan fotosintesis (Loggini et al. 1999). Menurut Mundree et al (2002) cekaman kekeringan cenderung merusak sistem transport elektron sehingga mendorong terbentuknya radikal oksigen bebas (reactive oxygen species atau ROS) pada organela tempat terjadinya metabolisme yang melibatkan transport elektron atau yang melakukan oksidasi, yaitu khloroplas, mitokhondria dan mikrobodi. ROS pada umumnya merusak komponen penting dalam sel seperti DNA, protein dan lipid, serta mengakibatkan gangguan pada integritas membran, aktivitas enzim dan struktur intra seluler. Pengaruh cekaman kekeringan pada tahap perkembangan vegetatif dan generatif tampak pada berbagai organ. Menurut Blum (1996) kekeringan berpengaruh terhadap vigor dan pemunculan kecambah di atas tanah, namun pada kecambah jagung justru meningkatkan diameter akar utama (Schmidhalter et al. 1998). Kekeringan menurunkan pemanjangan daun (Schmidhalter et al. 1998) dan pertumbuhan primordia daun pertama pada jagung (Zhongjin dan Neumann 1999), berat kering total organ vegetatif, kecepatan pertumbuhan 12

37 relatif, dan luas daun Phaseolus vulgaris (Franca et al. 2000), luas helaian daun, jumlah daun per tanaman, luas daun total per tanaman, dan rasio akar/batang pada empat spesies Quercus (Fotelli et al. 2000). Cekaman kekeringan menurunkan bobot biji dan bobot kering polong (Pookpadi et al. 1992), kualitas biji (Franca-Neto et al. 1993), volume bunga dan nektar serta konsentrasi gula dalam nektar Epilobium angustifolium (Caroll et al. 2001). Pada jagung cekaman kekeringan menurunkan hasil karena mengurangi efisiensi penggunaan cahaya (Earl et al. 2003). Pada kacang tanah kekeringan mempengaruhi penyerapan kalsium oleh polong dan fiksasi nitrogen. Jika kekeringan terjadi pada tanaman yang telah mencapai tahap panen, ada kemungkinan biji terkontaminasi oleh aflatoksin yang mengakibatkan biji beracun dan tidak layak makan baik oleh manusia maupun ternak (Sharma dan Lavanya 2002, Ham 2004). Vorasoot et al. (2003) mengemukakan bahwa pada empat kultivar kacang tanah di Thailand kekeringan berpengaruh pada hasil dan beberapa karakter agronomi. Kekeringan tingkat sedang (kadar air setengah kapasitas lapang) menurunkan jumlah polong, jumlah biji per tanaman, ukuran biji dan berat biji. Pada cekaman kekeringan tingkat tinggi (kadar air ¼ kapasitas lapang) hampir semua polong gugur. Mekanisme Toleransi Tanaman terhadap Cekaman Kekeringan Mekanisme respon terhadap cekaman kekeringan terjadi melalui proses signal transduction. Proses tersebut melibatkan reseptor sebagai penerima signal, phosphoprotein cascade sebagai penghantar signal, dan trans-acting factor sebagai pengaktif gen yang mengendalikan respon. Pada tanaman tertentu ABA (absisic acid) berperan sebagai reseptor sekunder yang menghubungkan reseptor utama di membran dengan phosphoprotein cascade, namun pada tanaman lain ABA tidak berperan (Mundree et al. 2002). Menurut Mitra (2001) mekanisme respon terhadap kekeringan dapat dibedakan menjadi tiga yaitu mekanisme escape (pelarian), avoidance (ketahanan) dan tolerance (toleransi). Pelarian merupakan kemampuan tanaman untuk menyelesaikan siklus hidupnya sebelum terjadi cekaman kekeringan sehingga tidak mengalami cekaman. Ketahanan adalah kemampuan tanaman untuk mempertahankan potensial air jaringan yang relatif tinggi pada saat mengalami kekeringan, sedangkan toleransi adalah kemampuan tanaman untuk bertahan hidup dengan potensial air jaringan yang rendah. 13

38 Pada umumnya tanaman melakukan lebih dari satu mekanisme respon dalam waktu yang sama. Mekanisme ketahanan pada berbagai tanaman merupakan faktor penting dalam menghadapi cekaman kekeringan. Hasil tinggi di bawah kondisi cekaman kekeringan pada beberapa tanaman tertentu lebih disebabkan oleh mekanisme ketahanan dibandingkan mekanisme toleransi cekaman kekeringan (Ndunguru et al. 1995). Ketahanan dilakukan dengan cara mengurangi kehilangan air lewat daun dan meningkatkan kemampuan akar dalam menyerap air tanah. Faktor yang memiliki kontribusi pada ketahanan terhadap cekaman kekeringan adalah (1) pertumbuhan akar yang ekstensif dan dalam (sering kali menjadi faktor yang paling penting); (2) penutupan stomata untuk mengurangi kehilangan air; (3) penggulungan daun untuk mengurangi luas daun yang terpapar lingkungan; (4) deposit lilin pada epicuticular untuk menghambat kehilangan air (Sullivan 1983). Mekanisme toleransi juga mempunyai kontribusi yang tinggi dalam mempertahankan hasil di bawah kondisi cekaman. Pada hakekatnya toleransi meliputi aktivitas-aktivitas yang bertujuan untuk mencegah atau mengurangi kerusakan, menjaga kondisi homeostatik, dan mempertahankan agar pertumbuhan dapat tetap berlangsung meskipun dengan kecepatan yang lebih rendah. Untuk mencapai tujuan tersebut, aktivitas dalam mekanisme toleransi dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu: (1) detoksifikasi khususnya terhadap ROS melalui pembentukan protein stres dan osmolit yang kompatibel, (2) menjaga keseimbangan osmotik, dan (3) regulasi pertumbuhan dengan menurunkan kecepatan fotosintesis, pembelahan dan pembentangan sel (Mundree et al 2002). Protein stres yang dibentuk dalam menghadapi cekaman kekeringan dapat dibedakan menjadi (a) protein fungsional, antara lain berupa enzim kunci biosintesis osmolit, enzim antioksidan, protein proteksi, dan (b) protein regulator, antara lain berupa trans acting factor. Osmolit selain berperan dalam detoksifikasi, juga berperan dalam keseimbangan osmotik yaitu mempertahankan tekanan turgor sel (Serraj dan Sinclair 2002, Mundree et al 2002). Respon tanaman terhadap cekaman kekeringan sangat bervariasi tergantung pada spesies, tingkat cekaman, lamanya cekaman, tahap perkembangan tanaman ketika terjadi cekaman dan tingkat toleransi tanaman (Mullet dan Whitshitt 1996). Tanaman toleran mengembangkan mekanisme detoksifikasi 14

39 terhadap ROS secara efisien dengan membentuk enzim-enzim anti-oksidan (misalnya katalase, peroksidase, dismutase), membentuk senyawa penghilang radikal (misalnya karotenoid, askorbat, tokoferol-glutation tereduksi); dan mengembangkan struktur untuk meminimalkan pembentukan ROS. Pada tanaman rentan sistem penghilangan radikal cepat jenuh dan akibatnya kerusakan tidak dapat dihindari (Mundree et al. 2002). Pada gandum yang mengalami kekeringan terjadi penurunan kandungan glutation baik pada kultivar yang rentan maupun toleran terhadap kekeringan, namun kultivar yang rentan menunjukkan peningkatan aktivitas glutation reduktase (Loggini et al. 1999). Stres kekeringan menginduksi akumulasi ABA dan meningkatkan pembentukan ROS serta aktivitas enzim-enzim antioksidan seperti SOD (superoxide dismutase), CAT (catalase), APX (ascorbate peroxidase) dan GR (gluthatione reductase) pada daun jagung (Mingyi dan Jianhua 2002). Detoksifikasi senyawa radikal juga dilakukan dengan pembentukan osmolit yang kompatibel yang dapat berperan sebagai penghilang radikal, agen proteksi untuk stabilisasi protein selama cekaman dan pelindung DNA dari efek degradasi akibat ROS. Selain itu osmolit juga berperan dalam menjaga homeostasi osmotik agar sel tetap turgor. Oleh karena itu osmolit disebut pula osmoprotektan. Ada bermacam-macam senyawa osmolit antara lain dari kelompok polyol (sorbitol), gula (rafinose, sukrose, trehalose), asam amino (prolin), betain dan komponen lain yang terlarut dalam plasma sel. Molekul gula selain berperan sebagai osmoprotektan, juga dapat mempertahankan stabilitas membran sel dengan menjaga permukaan membran dari hidrasi dan mencegah fusi komponen-komponen membran (Munns 2002, Serraj dan Sinclair 2002). Osmolit yang dibentuk oleh spesies bersifat spesifik, misalnya alfalfa, padi, dan canola membentuk prolin (Girousse et al. 1996, Iyer dan Caplan 1998, Gibon et al. 2000); Populus membentuk protein sejenis dehidrin (Pelah et al. 1997), prolin dan sukrose (Watanabe et al. 2000); kedelai mengakumulasi pinitol yang merupakan senyawa inositol (Guo dan Osterhuis 1997) dan prolin (Zheng dan Li 2000; Widoretno 2002); jagung membentuk sukrose (Zinselmeier et al. 1999) dan prolin (Verslues dan Sharp 1999). Ryegrass yang mengalami kekeringan mengakumulasi fruktan pada jaringan daun, khususnya pada bagian pelepah dan dasar daun yang meristematik, tetapi tidak meningkatkan pembentukan sukrose. Pada akar terjadi sebaliknya, fruktan tidak meningkat sedangkan 15

40 sukrose mengalami peningkatan (Amiard 2003). Kacang tanah kultivar Jerapah dan Singa yang sebelumnya dilaporkan toleran, jika mengalami cekaman kekeringan mengakumulasi prolin jauh lebih besar dibanding kultivar yang rentan. Kultivar toleran dapat mempertahankan kandungan gula total saat tercekam kekeringan, sementara pada kultivar rentan kandungan gula total menurun (Sudarsono et al. 2004). Homeostasi atau keseimbangan ionik bertujuan untuk mempertahankan konsentrasi ion di tingkat seluler, jaringan dan tanaman. Hal tersebut dilakukan dengan menambah jumlah vakuola, mengaktifkan mekanisme pompa ion, saluran ion, transporter ion dan ATP-ase vakuolar. Konsentrasi ion di sitoplasma dipertahankan pada rentang tertentu sehingga proses-proses fisiologi normal dapat dilakukan (Mundree et al. 2002). Pada tanaman yang rentan, jika terjadi cekaman kekeringan turgor sel turun sehingga menimbulkan hambatan mekanik pada dinding dan membran sel yang tidak dapat balik. Tetapi pada tanaman yang toleran, kerusakan mekanik dapat ditanggulangi antara lain dengan mengurangi volume sel secara signifikan akibat mengerutnya dinding sel, atau mempertahankan volume sel dengan pembentukan vakuola kecil dalam jumlah banyak (Mundree et al. 2002). Regulasi pertumbuhan pada umumnya dilakukan melalui pengaturan pembukaan stomata dan aktivitas ABA untuk menurunkan intensitas fotosintesis dan perbanyakan sel. Kultivar kapas yang toleran dapat mempertahankan konduktan stomata dan fotosintesis seperti tanaman yang tidak mengalami cekaman sehingga hanya mengalami penurunan potensial osmotik sebesar 20 25%, sedangkan potensial air tidak nyata menurun. Sebaliknya pada kultivar yang rentan potensial osmotik relatif tetap, sedangkan potensial air nyata menurun (Nepomuceno et al. 1998). Pada kultivar buncis yang rentan, stomata menutup sangat cepat dan menutup sempurna pada potensial osmotik 0,6 MPa, sedangkan pada kultivar yang toleran mekanisme tersebut terjadi pada -0,9 MPa. Akibatnya pada kondisi kekeringan, NAR (net assimilation rate) pada kultivar toleran lebih tinggi dibanding kultivar rentan (Franca et al. 2000). Jagung mempertahankan proses pemanjangan akar pada saat kekeringan melalui perubahan beberapa mekanisme penting dari homeostasi ion. Akumulasi ABA memainkan peranan penting dalam pengaturan proses transpor ion (Ober dan Sharp 2003). 16

41 Pada kacang tanah di Argentina terdapat perbedaan dalam hal kemampuan penyerapan air dan efisiensi penggunaan air antara varitas yang toleran dengan yang rentan terhadap kekeringan. Dibandingkan varitas rentan, varitas toleran menyerap lebih banyak air selama periode kekeringan karena kemampuannya menghabiskan air tanah yang sangat tinggi. Selain itu akibat tahap perkembangan peg (calon polong) yang berlangsung lebih awal mengakibatkan polong segera dapat masuk ke lapisan tanah, sehingga meningkatkan pembagian asimilat ke polong. Akibatnya produksi polong lebih tinggi dibandingkan varitas rentan (Collino et al. 2000). Seleksi In vitro untuk Toleransi terhadap Cekaman Kekeringan Variasi somaklonal terjadi secara acak dan tidak terarah, sehingga untuk memperoleh variasi yang diinginkan perlu dilakukan seleksi. Seleksi semacam ini sangat bermanfaat untuk memperbaiki karakter toleransi terhadap cekaman lingkungan (Skirvin et al. 2001). Seleksi dilakukan secara in vitro dalam media yang mengandung bahan selektif yang efektif, yaitu bahan yang dapat mensimulasikan kondisi yang diinginkan dengan tepat, yang efektivitasnya dapat dilihat dari kemampuan bahan tersebut memisahkan varian yang diinginkan dengan yang tidak diinginkan. Dalam mekanisme seleksi in vitro terdapat dua pendekatan utama, yaitu seleksi positif dan seleksi negatif. Seleksi positif hanya memungkinkan sel-sel varian dengan sifat yang diinginkan hidup dan berkembang, sedangkan sel-sel dengan sifat yang tidak diinginkan akan mati karena tekanan bahan selektif. Sebaliknya pada seleksi negatif, sel-sel dengan sifat yang tidak diinginkan dapat hidup dan membelah terus menerus sehingga justru akan mati akibat tekanan bahan seleksi, sedangkan sel varian dengan sifat yang diinginkan tetap hidup tetapi tidak mampu membelah sehingga terhindar dari tekanan bahan seleksi. Sel ini kemudian dipindahkan ke media penyelamatan (Wikipedia 2006). Pendekatan seleksi positif dapat dibedakan menjadi empat kategori, yaitu seleksi langsung, seleksi dengan penyelamatan, seleksi ganda dan seleksi bertahap. Dalam seleksi langsung, sel varian dengan sifat yang diinginkan dapat hidup dan berkembang membentuk koloni, sebaliknya sel yang tidak diinginkan mati akibat tekanan bahan selektif. Seleksi dengan penyelamatan hampir sama dengan seleksi langsung. Meskipun sel dengan sifat yang diinginkan hidup tetapi tidak mampu membelah akibat tekanan media selektif sehingga harus 17

42 dipindahkan ke media non selektif dalam rangka recovery. Seleksi ganda pada prinsipnya juga hampir sama dengan seleksi langsung. Sel-sel yang diinginkan tidak hanya sel yang mampu hidup dan membelah saja, melainkan juga yang mempunyai karakter visual tertentu. Dalam seleksi bertahap, konsentrasi bahan selektif dinaikkan secara gradual dari konsentrasi yang relatif rendah hingga konsentrasi yang bersifat sub-letal. Sel yang tahan pada media dengan tekanan seleksi tertentu, diseleksi lagi dalam media dengan tekanan seleksi yang lebih tinggi sampai diperoleh sel yang hidup dan mampu membelah dalam media selektif dengan konsentrasi tinggi (Wikipedia 2006). Seleksi in vitro menuntut penggunaan bahan selektif yang dapat mensimulasi kondisi ex vitro secara tepat. Senyawa PEG (polyethylene glycol) diketahui merupakan senyawa yang dapat mensimulasi kondisi kekeringan dengan tepat karena merupakan senyawa yang terlarut sempurna dalam air. PEG merupakan polimer etilen oksida (-CH2-O-CH2-). Dalam rantai polimer PEG kekuatan matriks monomer etilen oksida merupakan faktor penting yang mengontrol potensial air. Atom oksigen pada monomer tersebut dapat mengikat molekul air melalui ikatan hidrogen, sehingga energi bebas H 2 O secara proporsional menurun sesuai panjangnya rantai polimer PEG (Steuter et al. 1981). Akibatnya penurunan potensial air dapat terjadi secara homogen. Meskipun kekuatan osmotik juga muncul, kekuatan matriks merupakan komponen utama potensial air dalam larutan PEG. Oleh karena itu PEG lebih berperan sebagai matrikum daripada sebagai osmotikum sehingga penurunan potensial air dalam media yang mengandung PEG sesuai dengan penurunan potensial air dalam tanah yang mengalami cekaman kekeringan. PEG tersedia dalam kisaran berat molekul (BM) yang cukup luas sampai dengan BM Michel dan Kaufmann (1973) menyatakan bahwa PEG 6000 paling tepat digunakan untuk penelitian dengan tanaman jika dibandingkan PEG dengan BM yang lebih rendah. Penggunaan PEG dengan BM sama atau lebih dari 6000 dalam jangka panjang tidak menyebabkan terserapnya PEG ke jaringan tanaman. Hal tersebut berdasarkan hasil penelitian Chazen dan Neumann (1994) yang memperlihatkan bahwa PEG 6000 tidak dapat masuk ke jaringan, karena menurut Hardegree dan Emmerich (1992) dinding selulosa hanya dapat mengeksklusi atau menginklusi molekul maksimal dengan BM Berdasarkan hal tersebut penambahan PEG 6000 dalam media kultur dapat merupakan agen seleksi kekeringan yang efektif. Besarnya penurunan potensial 18

43 air tergantung pada konsentrasi dan BM PEG, makin tinggi konsentrasi dan BM makin besar penurunan yang terjadi (Michel dan Kaufmann 1973; Steuter et al. 1981). Efektivitas penggunaan PEG untuk mensimulasikan kondisi kekeringan secara in vitro dapat dievaluasi dengan mengamati pengaruh konsentrasi PEG terhadap pertumbuhan tanaman. Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa perlakuan konsentrasi larutan PEG berpengaruh nyata terhadap peubah perkecambahan benih (Verslues et al. 1998; Zhongjin dan Neumann 1999; Widoretno et al. 2002). Penyiraman PEG secara in vivo juga telah terbukti dapat digunakan untuk menapis respon kacang tanah terhadap cekaman kekeringan (Nursusilawati 2003). Penggunaan PEG dalam media in vitro dilaporkan dapat menapis ketahanan terhadap stres kekeringan pada anggur (Dami dan Hughes 1997), Tagetes minuta (Mohamed et al. 2000) dan kedelai (Widoretno et al. 2002). 19

44 III. EFEKTIVITAS POLIETILENA GLIKOL 6000 SEBAGAI BAHAN PENYELEKSI SIFAT TOLERANSI KACANG TANAH TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN DALAM MEDIA IN VITRO *) Abstrak Penelitian bertujuan menguji efektivitas PEG sebagai bahan penyeleksi dalam media in vitro dengan mengevaluasi respon kecambah dan tunas kacang tanah terhadap kondisi cekaman oleh PEG, menentukan konsentrasi PEG yang efektif menghambat pertumbuhan dan perkembangan jaringan, serta perubahan kandungan prolina total jaringan akibat cekaman PEG. Tiga macam organ dari sembilan kultivar kacang tanah, yaitu kecambah, TDK (tunas dari pertumbuhan sumbu embrio dengan kotiledon) dan TTK (tunas dari pertumbuhan sumbu embrio tanpa kotiledon) digunakan sebagai eksplan. Eksplan ditanam dalam media MS-0 cair dengan penambahan PEG (0%, 5%, 10%, 15%, dan 20%) dan diamati pertumbuhan serta perkembangannya selama 6 8 minggu. Pada saat panen dilakukan pengamatan terhadap panjang epikotil, panjang akar primer, jumlah akar cabang, jumlah daun sempurna, bobot basah dan kering kecambah; pertambahan tinggi, pertambahan jumlah daun, tingkat kerusakan dan kandungan prolina jaringan tunas. Hasil percobaan menunjukkan penambahan larutan PEG ke dalam media MS-0 menghambat pertumbuhan kecambah dan perkembangan tunas. Meningkatnya konsentrasi PEG menurunkan semua peubah pertumbuhan, tetapi meningkatkan skor kerusakan tunas dan kandungan prolina. Sembilan kultivar kacang tanah yang diuji memberikan respon yang berbeda terhadap perlakuan konsentrasi PEG. Kacang tanah cv. Singa, Komodo dan Jerapah menunjukkan respon toleran; kacang tanah cv. Kelinci dan Gajah menunjukkan respon medium; sedangkan kacang tanah cv. Trenggiling, Macan, Simpai dan Badak menunjukkan respon peka terhadap cekaman kekeringan. Dari hasil percobaan disimpulkan bahwa penambahan larutan PEG dalam media in vitro memberikan kondisi cekaman yang ditandai dengan terhambatnya perkembangan eksplan dan peningkatan kandungan prolina dalam jaringan seperti respon terhadap cekaman kekeringan. Konsentrasi PEG 15% efektif menghambat pertumbuhan dan perkembangan jaringan eksplan. Respon kecambah dan tunas terhadap medium yang mengandung PEG 15% dapat digunakan sebagai metode alternatif untuk menapis toleransi kacang tanah terhadap kekeringan. Kecambah, TDK maupun TTK dapat digunakan sebagai eksplan, dan pertambahan tinggi (TTK), pertambahan jumlah daun (TDK dan TTK), jumlah daun layu (TDK dan TTK), jumlah akar (TDK), dan skor kerusakan tunas TDK dapat digunakan sebagai kriteria toleransi terhadap kekeringan. Kata kunci : respon cekaman kekeringan, seleksi in vitro, cekaman PEG, prolina total *) Bagian dari disertasi ini telah diterbitkan dalam jurnal ilmiah terakreditasi BERKALA PENELITIAN HAYATI 11 (1): Desember 2005

45 21 Abstract The objectives of this experiments were to evaluate the effectiveness of polyethylene glycol (PEG)-6000 as in vitro selective agent, determine response of seedling and epycotyl of nine peanut cultivars against PEG-6000 induced stress under in vitro conditions, effective concentration of PEG to inhibit growth and development of seedling and epycotyl, evaluate tolerance of the cultivars against PEG stress, and evaluate changes in total proline content due to PEG stress. Seedling, growing epycotyls from nine peanut cultivars seeds (TDK) or from embryo axis (TTK) were planted on liquid MS-0 medium containing PEG 6000 (0%, 5%, 10%, 15%, and 20%). Growth, development, and the tissue damage score of the epycotyl were observed after six weeks. Total content of proline were analyzed for stressed and non stressed epycotyl to determine effect of PEG stress on proline accumulation. Results of the experiment indicated that addition of PEG 6000 in to MS-0 medium inhibited growth and development of peanut seedling and epycotyl, and increased the tissue damage score and total proline content of epicotyl. Addition of PEG 6000 might be used to simulate drought stress under in vitro condition. PEG at 15% concentration was effective for inhibiting growth and development of epycotyl explant. The response of peanut epycotyls against medium containing 15% PEG 6000 might be used as alternative methods for screening peanut tolerance against drought stress. The TDK and TTK might be used as explant, while increased in shoot length (TTK), in leaf number (TDK and TTK), in milted leaf number (TDK and TTK), in root number (TDK) and score of tissue damage (TDK) might be used as criteria for drought tolerance. Keywords: drought stress response, in vitro selection, PEG induced stress, total proline content

46 22 Pendahuluan Ketersediaan air merupakan faktor pembatas utama dalam budi daya tanaman. Pada genotipe tanaman yang toleran cekaman kekeringan, penurunan daya hasil akibat cekaman tidak sebesar yang terjadi pada genotipe peka sehingga penggunaan genotipe yang toleran mempunyai arti penting dalam budidaya tanaman di lahan kering. Untuk menghadapi cekaman kekeringan, pada umumnya tanaman melakukan mekanisme avoidance (ketahanan) dengan cara meningkatkan pertumbuhan biomasa akar untuk menjangkau kedalaman tanah yang kadar airnya lebih tinggi (Monneaux dan Belhassen, 1996), tetapi mekanisme ini kurang efektif karena pertumbuhan biomasa akar yang berlebihan dapat menurunkan daya hasil tanaman. Mekanisme toleransi terhadap cekaman kekeringan yang tidak berpengaruh negatif terhadap daya hasil lebih diinginkan dibandingkan dengan mekanisme ketahanan. Genotipe kacang tanah yang toleran terhadap cekaman kekeringan relatif terbatas jumlahnya (Hidajat et al. 1999), sehingga pengembangan plasma nutfah dengan sifat toleran masih perlu dilakukan. Seleksi in vitro dapat menjadi alternatif cara untuk mengembangkan plasma nutfah kacang tanah yang toleran cekaman kekeringan. Penggunaan seleksi in vitro untuk mendapatkan plasma nutfah kacang tanah yang toleran cekaman kekeringan memerlukan tersedianya teknik kultur jaringan yang efektif untuk menghasilkan tanaman dalam jumlah banyak dan untuk menginduksi variasi somaklonal. Selain itu, selective agent yang dapat menapis sel/jaringan varian dengan sifat toleran diantara sel/jaringan yang peka cekaman kekeringan perlu tersedia. Manitol, sorbitol, garam, dan polietilena glikol (PEG) telah digunakan sebagai bahan penyeleksi dalam seleksi in vitro untuk toleransi terhadap cekaman kekeringan (Gulati dan Jaiwal 1993, Rajashekar et al. 1995, Dami dan Hughes 1997). Senyawa PEG merupakan senyawa yang dapat menurunkan potensial osmotik larutan melalui aktivitas matriks sub-unit etilena oksida yang mampu mengikat molekul air dengan ikatan hidrogen. Penyiraman larutan PEG ke dalam media tanam diharapkan dapat menciptakan kondisi cekaman karena ketersediaan air bagi tanaman menjadi berkurang. Ukuran molekul dan konsentrasi PEG dalam larutan menentukan besarnya potensial osmotik larutan yang terjadi. Menurut Michel dan Kaufmann (1973), larutan PEG 6000 dengan

47 23 konsentrasi 5% mempunyai potensial osmotik -0,13 MPa (1,26 bar) sedangkan konsentrasi 20% mempunyai potensial osmotik -0,71 MPa (7,06 bar). Tanah dalam kondisi kapasitas lapang mempunyai potensial osmotik 0,33 bar dan dalam kondisi titik kelembaban kritis (koefisien layu) mempunyai potensial osmotik 15 bar. Penggunaan larutan PEG 6000 dengan konsentrasi 5%-20% diharapkan dapat menciptakan potensial osmotik yang setara dengan kondisi tanah kapasitas lapang dan titik kelembaban kritis. Sebagai bahan penyeleksi, PEG 6000 dilaporkan lebih unggul dibandingkan manitol, sorbitol, atau garam karena tidak bersifat toksik terhadap tanaman (Verslues et al. 1998), tidak dapat diserap oleh sel akar (Chazen dan Neumann 1994), dan secara homogen menurunkan potensial osmotik larutan. Penambahan larutan PEG dalam media in vitro diharapkan dapat mensimulasi kondisi cekaman kekeringan. Eksplan yang ditanam dalam media selektif dengan penambahan PEG diharapkan memberikan respon yang sama dengan yang mengalami cekaman kekeringan. Evaluasi untuk menentukan respon eksplan kacang tanah terhadap cekaman PEG dalam media in vitro perlu dilakukan sebagai langkah awal penggunaan PEG dalam seleksi in vitro. Salah satu respon tanaman terhadap cekaman kekeringan adalah meningkatkan kandungan osmolit dalam sel, antara lain dengan mengakumulasikan senyawa prolina (Mundree et al. 2002). Enam kultivar kacang tanah Indonesia yang diuji juga menunjukkan peningkatan akumulasi senyawa prolina sebagai respon terhadap cekaman kekeringan (Sudarsono et al. 2004). Terjadinya peningkatan kandungan prolina jaringan eksplan kacang tanah yang ditanam dalam media dengan penambahan PEG dapat digunakan sebagai indikator kemampuan senyawa PEG untuk mensimulasikan cekaman kekeringan dalam media in vitro. Penelitian bertujuan menguji efektivitas PEG sebagai bahan penyeleksi dalam media in vitro dengan mengevaluasi respon kecambah dan tunas sembilan kultivar kacang tanah Indonesia terhadap kondisi cekaman oleh PEG, menentukan konsentrasi PEG yang efektif menghambat pertumbuhan dan perkembangan eksplan, mengevaluasi toleransi sembilan kultivar kacang tanah yang diuji terhadap cekaman PEG dan perubahan kandungan prolina total jaringan akibat cekaman PEG.

48 24 Bahan dan Metode Bahan Tanaman dan Perlakuan PEG Bahan tanaman terdiri atas benih sembilan kultivar, yaitu kacang tanah cv. Singa, Komodo, dan Jerapah yang dilaporkan toleran terhadap cekaman kekeringan (Hidajat et al. 1999, Nursusilawati 2003), Kelinci, Trenggiling dan Gajah yang bersifat medium toleran, Simpai dan Macan yang dilaporkan peka terhadap cekaman kekeringan (Nursusilawati 2003) serta Badak yang belum diketahui responnya terhadap cekaman kekeringan. Benih diperoleh dari Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetika (Balitbiogen) Bogor. Konsentrasi PEG yang ditambahkan dalam media in vitro terdiri atas 0%, 5%, 10%, 15% dan 20%; yang masing-masing setara dengan potensial osmotik 0; -0,13; -0,19; -0,41 dan -0,67 MPa (Michel dan Kaufmann 1973). Perkecambahan dan Pertumbuhan Tunas Pada sebagian percobaan, poros embrio yang diisolasi dari benih kacang tanah steril, dikecambahkan pada media MS-0 (Murashige and Skoog 1962, tanpa zat pengatur tumbuh tanaman) padat, diinkubasikan dalam ruang kultur bersuhu 25 o C dan penyinaran 1000 lux selama 24 jam (untuk selanjutnya inkubasi dalam ruang kultur selalu dilakukan dengan kondisi tersebut, kecuali dinyatakan lain). Kecambah dengan panjang epikotil 1 cm digunakan sebagai eksplan tipe I (eksplan kecambah). Pada sebagian percobaan yang lain, benih (poros embrio beserta kotiledon) dikecambahkan, epikotil yang tumbuh dipotong 2 cm dari ujung dan digunakan sebagai eksplan tunas kacang tanah tipe II (eksplan TDK, tunas dari benih dengan kotiledon). Pada percobaan berikutnya, poros embrio dikecambahkan, epikotil dipotong 2 cm dari ujung dan digunakan sebagai eksplan tunas kacang tanah tipe III (eksplan TTK, tunas dari poros embrio tanpa kotiledon). Respon Eksplan terhadap Cekaman PEG Percobaan dilakukan dengan rancangan acak lengkap dua faktor, yaitu sembilan kultivar dan lima konsentrasi PEG. Unit percobaan terdiri atas satu botol kultur yang ditanami empat eksplan kecambah, atau dua TDK, atau dua TTK. Untuk setiap kombinasi perlakuan diulang lima kali. Media yang digunakan terdiri atas media MS-0 cair ditambah PEG 6000 dengan konsentrasi 0%, 5%, 10%, 15%, dan 20%. Media sebanyak 35 ml dituangkan dalam botol kultur (volume 150 ml) dan di atasnya diletakkan berturut-turut satu lembar busa sintetis, kertas saring dan satu lembar busa yang

49 25 kedua, kemudian disterilkan. Eksplan tipe I, tipe II atau tipe III ditanam dalam lubang berdiameter 2 mm pada lapisan busa yang kedua (Gambar 2). Kultur dipelihara selama enam minggu. Pengamatan dan Analisis Data Pengamatan dilakukan terhadap beberapa peubah pertumbuhan kecambah, yaitu panjang epikotil, panjang akar primer, jumlah akar cabang, jumlah daun yang membuka sempurna, bobot basah, bobot kering, persentase kecambah yang epikotilnya tumbuh (PET), persentase kecambah yang akarcabangnya tumbuh (PAT), dan persentase kecambah yang daunnya tumbuh sempurna (PDT). Panjang epikotil diukur dari pangkal kotiledon hingga ujung epikotil. Bobot kering ditimbang setelah kecambah disimpan dalam oven dengan suhu 70 o c selama tiga hari. PET dan PAT berturut-turut dihitung dengan menentukan rasio antara jumlah kecambah yang epikotil atau akar cabangnya tumbuh dengan jumlah kecambah yang ditanam. Epikotil dianggap tumbuh bila panjangnya lebih dari satu sentimeter, sedang akar cabang dianggap tumbuh bila terdapat minimal satu akar cabang dengan panjang 0.5 cm. PDT ditentukan dengan menghitung rasio antara kecambah yang minimal satu daunnya tumbuh membuka sempurna dengan seluruh kecambah yang ditanam. 4 ( (a) (b) Gambar 2. Media selektif berupa media cair MS (Murashige-Skoog 1962) tanpa zat pengatur tumbuh (MS-0) dengan penambahan berbagai konsentrasi PEG (a) Eksplan tunas kacang tanah kultivar Macan yang ditanam pada media selektif dengan penambahan PEG 15%. (b) Eksplan tunas kacang tanah cv. Singa yang ditanam pada media selektif dengan penambahan PEG 15%, setelah dibuka penutupnya. 1. lembaran busa pertama, 2. kertas saring, 3. lembaran busa kedua, dengan lubang untuk menanam eksplan tunas, 4. eksplan tunas yang mati setelah enam minggu ditanam dalam media selektif dengan PEG 15%, 5. eksplan tunas yang tumbuh normal setelah enam minggu dalam media selektif dengan PEG 15%.

50 26 (a) (b) (c) (d) (e) Gambar 3. Kriteria penentuan skor kerusakan eksplan tunas kacang tanah setelah ditanam dalam media selektif selama enam minggu. (a) skor 0: tunas sehat, terjadi kerusakan < 5% dan eksplan tunas mampu berakar, (b) skor 1: terjadi kerusakan 5% - 25% pada daun atau sebagian batang, (c) skor 2: terjadi kerusakan 25% - 50% pada daun dan sebagian batang, (d) skor 3: terjadi kerusakan 50% - 75% pada daun dan sebagian atau seluruh batang, dan (e) skor 4: terjadi kerusakan > 75% pada daun dan seluruh batang, tunas telah mati Pertumbuhan dan perkembangan eksplan TDK dan TTK diamati dengan mencatat pertambahan tinggi, pertambahan jumlah daun, jumlah daun yang layu, jumlah akar cabang yang terbentuk, dan tingkat kerusakan tunas. Tingkat kerusakan tunas diukur dengan sistem skoring (Gambar 3), yaitu: skor 0 (eksplan mengalami kerusakan <5%), skor 1 (kerusakan antara 5%-25%), skor 2 (kerusakan antara 25%-50%), skor 3 (kerusakan antara 50%-75%), dan skor 4 (kerusakan >75%). Pengukuran Kandungan Prolina Jaringan Eksplan Pada akhir pengamatan, tunas TTK yang tumbuh dalam media selektif dipanen dan dikeringkan selama 1 minggu dalam kantong plastik yang berisi silica gel. Contoh tanaman dari satu perlakuan yang sama yang telah kering dijadikan sebagai contoh komposit, disimpan dalam kantong plastik bersegel, diberi label sesuai perlakuan, dan disimpan dalam freezer (-20 o C) hingga saat dilakukan analisis kandungan prolina. Analisis kandungan prolina dilakukan menggunakan metode yang dikembangkan oleh Bates et al. (1973). Sekitar 0,5 g jaringan contoh digerus dalam mortar porselin, dihomogenisasi dengan 10 ml asam sulfosalisilat 3%, dan disaring dengan kertas saring Whatman no. 42. Sebanyak 2 ml filtrat yang

51 27 didapat direaksikan dengan campuran asam ninhidrin 2 ml dan asam asetat glasial 2 ml dalam tabung reaksi. Campuran dipanaskan hingga 100 o C dalam air mendidih selama 1 jam dan didinginkan dalam air es selama 5 menit. Setelah dingin, larutan diekstraksi menggunakan toluena 4 ml dan dihomogenisasi selama detik menggunakan vorteks sampai terbentuk kromofor berwarna merah jambu hingga merah. Kromofor yang terbentuk diukur absorbansinya pada panjang gelombang 520 nm. Untuk menentukan konsentrasi kandungan prolina digunakan kurva standar menggunakan larutan prolina dengan konsentrasi antara 0-1,0 µg. Prolina dalam larutan standar diekstraksi dengan cara yang sama sebagaimana yang dilakukan untuk jaringan tunas kacang tanah. Kandungan prolina jaringan dinyatakan dalam µg/g bobot jaringan kering. Hasil Respon Eksplan Kecambah terhadap Cekaman PEG PET kacang tanah cv. Singa, Komodo dan Jerapah yang dilaporkan toleran cekaman kekeringan, nyata menurun pada konsentrasi PEG 15%, 10% dan 5%. Untuk kacang tanah cv. Kelinci dan Trenggiling (medium toleran) masing-masing mengikuti pola seperti Singa dan Komodo, sedangkan PET Gajah (medium), Simpai (peka) dan Badak mengikuti pola seperti Jerapah. Pada kacang tanah cv. Singa dan Komodo (yang dilaporkan toleran) serta Trenggiling (medium toleran) PDT menurun nyata pada konsentrasi PEG 10% (Tabel 1). Penurunan PDT kacang tanah cv. Kelinci (medium) terjadi pada konsentrasi PEG 15%; sedangkan untuk Simpai (peka), Jerapah, Gajah, Macan dan Badak penurunan terjadi pada konsentrasi PEG 5%. PAT untuk kacang tanah cv. Singa dan Komodo (toleran), serta Kelinci dan Trenggiling (medium) nyata menurun pada konsentrasi PEG 15%, untuk Simpai (peka) nyata menurun pada konsentrasi PEG 5% (Tabel 1). Panjang epikotil kacang tanah cv. Singa, Komodo dan Jerapah yang pada penelitian sebelumnya diidentifikasi toleran serta Kelinci dan Trenggiling (medium toleran) menurun bertahap sejalan dengan meningkatnya konsentrasi PEG, namun pada Gajah (medium), Simpai (peka), Macan dan Badak peningkatan konsentrasi PEG 10%, 15% dan 20% tidak lagi menyebabkan penurunan panjang epikotil yang signifikan (Tabel 2).

52 28 Tabel 1. Pengaruh konsentrasi PEG dalam medium in vitro terhadap PET, PDT dan PAT dari sembilan kultivar kacang tanah Konsentrasi PEG (%) Peubah pertumbuhan dan perkembangan eksplan kecambah kacang tanah Sng Kmd Jrph Klc Gjh Trg Smp Mcn Bdk PET (Persentase kecambah dengan panjang epikotil > 1 cm) PDT (Persentase kecambah dengan daun membuka > 1) PAT (Persentase kecambah dengan akar cabang > 1) Keterangan : PET : Persentase kecambah dengan panjang epikotil > 1 cm, PDT : Persentase kecambah dengan daun membuka > 1, PAT : Persentase kecambah dengan akar cabang > 1 Pada peubah pertumbuhan akar cabang dan daun sempurna, kacang tanah cv. Singa dan Komodo yang dilaporkan toleran serta Kelinci dan Trenggiling (medium toleran) menunjukkan pola penurunan yang sama dengan pola penurunan pertumbuhan epikotil. Untuk kacang tanah cv. Simpai dan Macan masing-masing mulai konsentrasi PEG 5% dan 10% tidak mampu membentuk akar cabang dan daun sempurna (Tabel 2, Gambar 5). Untuk kacang tanah cv. Singa dan Komodo yang dilaporkan toleran cekaman kekeringan, penurunan nyata panjang akar primer terjadi pada perlakuan PEG 15% dan Jerapah (toleran) pada konsentrasi PEG 5%. Untuk kacang tanah cv. Kelinci (medium toleran) penurunan nyata panjang akar primer terjadi pada perlakuan PEG 15%, Gajah dan Trenggiling (medium toleran) serta Badak pada konsentrasi PEG 10%, sedangkan Simpai (peka) pada perlakuan 5% (Tabel 2). Bobot basah dan kering kecambah juga dipengaruhi oleh konsentrasi PEG (data tidak ditampilkan). Pada hampir semua kultivar kedua peubah tersebut menurun sejalan dengan meningkatnya konsentrasi PEG, dengan pola penurunan yang sama antar kultivar.

53 29 Tabel 2. Pengaruh konsentrasi PEG dalam medium in vitro terhadap panjang epikotil, panjang akar primer, jumlah akar cabang dan jumlah daun kecambah sembilan kultivar kacang tanah serta nilai relatifnya terhadap perlakuan PEG 0% Kultivar Peubah pertumbuhan dan perkembangan eksplan kecambah kacang tanah dan nilai relatif (%) terhadap perlakuan PEG 0% Panjang epikotil (cm) Singa 3,4 a (100) 1,4b (41) 1,4 b (41) 0,2 c ( 6 ) 0,1 c ( 3 ) Komodo 1,7 a (100) 0,9 b (53) 0,3 c (18) 0,2 c (12) 0,1 c ( 6 ) Jerapah 2,8 a (100) 0,5 b (18) 0,1 b ( 4 ) 0,1 b ( 4 ) 0,0 b ( 0 ) Kelinci 3,9 a (100) 2,4 b (62) 1,4 c (36) 0,6 d (15) 0,4 d ( 0 ) Gajah 1,4 a (100) 0,5 b (36) 0,1 b ( 7 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) Trenggiling 1,9 a (100) 1,2 b (63) 0,5 c (26) 0,5 c (26) 0,0 d ( 0 ) Simpai 2,7 a (100) 0,2 b ( 7 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) Macan 3,6 a (100) 0,5 b (14) 0,3 b ( 8 ) 0,3 b ( 8 ) 0,0 b ( 0 Badak 1,3 a (100) 0,4 b (31) 0,2 b (15) 0,4 b (31) 0,0 b ( 0 ) Panjang akar primer (cm) Singa 4,1 a (100) 4,2 a 3,9 a (95) 2,7 b ( 66) 0,7 c (17) Komodo 1,9 a (100) 2,0 a (105) 1,6 b (84) 1,1 b ( 58) 1,1 b (58) Jerapah 6,6 a (100) 5,0 b (132) 2,3cd (46) 3,2 c ( 64) 2,0 d (40) Kelinci 5,2 a (100) 5,1 a ( 98 ) 4,8 a (92) 4,3 b ( 83) 1,7 c (33) Gajah 8,4 a (100) 9,3 a (111) 2,9 b (35) 3,5 b ( 42) 0,0 c ( 0 ) Trenggiling 10,1a (100) 9,7 a ( 96 ) 7,6 b (75) 6,4 b ( 63) 2,0 c (20) Simpai 6,4 a (100) 1,7 b ( 76 ) 1,3 b (82) 1,4 b ( 6 ) 0,1 c ( 0 ) Macan 4,3 a (100) 2,5 b ( 58 ) 0,5 c (12) 0,5 c ( 12) 0,4 c ( 9 ) Badak 3,3 a (100) 2,9 a ( 88 ) 2,0 b (61) 1,6 c ( 48) 1,3 b (39) Jumlah akar cabang Singa 15,5a (100) 8,3 b ( 54 ) 3,2cd ( 21) 1,0 d ( 6 ) 0,5 d ( 3 ) Komodo 9,2 a (100) 6,3 b ( 68 ) 4,4 b ( 48) 0,3 c ( 3 ) 0.1 c ( 1 ) Jerapah 8,6 a (100) 5,5 b ( 64 ) 2,8 c ( 33) 0 d ( 0 ) 0,0 d ( 0 ) Kelinci 18,1a (100) 8,9 b ( 49 ) 7,6 b ( 42) 6,9 b (38) 3,1 c ( 17) Gajah 8,3 a (100) 4,0 b ( 48 ) 3,8 b ( 46) 2,9 c (35) 0.8 c ( 10) Trenggiling 10,6a (100) 6,5 b ( 61 ) 5,5 b ( 52) 2,3 c (22 ) 0,0 c ( 0 ) Simpai 6,4 a (100) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) 0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) Macan 13,4a (100) 4,8 b ( 36 ) 0,0 c ( 0 ) 0 c ( 0 ) 0,0 c ( 0 ) Badak 6,1 a (100) 4,0 b ( 66 ) 3,8 b ( 62) 2,9bc (48) 0,8 c ( 13) Jumlah daun yang membuka sempurna Singa 3,5 a (100) 1,8 b (51) 1,3 b (37) 0,0 c ( 0 ) 0,0 c ( 0 ) Komodo 2,4 a (100) 1,5 b (63) 0,8 b (33) 0,0 c ( 0 ) 0,0 c ( 0 ) Jerapah 3,3 a (100) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) Kelinci 3,2 a (100) 2,6 b (81) 1,4 b (44) 0,2 c ( 6 ) 0,1 c ( 3 ) Gajah 3,8 a (100) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) Trenggiling 3,4 a (100) 1,9 b (56) 1,0 c (29) 0,0 d ( 0 ) 0,0 d ( 0 ) Simpai 1,2 a (100) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) Macan 4,2 a (100) 0,2 b ( 5 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) 0,0 b ( 0 ) Badak 1,8 a (100) 1,0 b (56) 0,5bc (28) 0,4bc ( 0 ) 0,0 c ( 0 ) Keterangan : Data dalam satu baris yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasar uji Duncan s Multiple Range Test (DMRT) taraf signifikansi 5%

54 30 Respon Eksplan TDK terhadap Cekaman PEG Penambahan PEG dalam media in vitro nyata berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan eksplan tunas kacang tanah tipe I (TDK) yang ditanam secara in vitro. Perlakuan PEG 5% nyata menurunkan pertambahan tinggi tunas dan jumlah akar primer semua kultivar kacang tanah yang diteliti, serta menurunkan pertambahan jumlah daun pada kacang tanah cv. Gajah, Trenggiling, Macan, Simpai dan Badak. Konsentrasi PEG 15% nyata menurunkan pertambahan jumlah daun pada kacang tanah cv. Singa, Komodo, Jerapah dan Kelinci (Tabel 3). Tabel 3. Pengaruh konsentrasi PEG terhadap pertambahan tinggi, jumlah daun dan jumlah akar primer pada eksplan tunas yang berasal dari benih dengan kotiledon (TDK) dan nilai relatifnya terhadap konsentrasi PEG 0% Peubah dan kultivar TT Respon terhadap media dengan PEG Nilai relatif terhadap PEG 0% Pertambahan tinggi tunas (cm) per eksplan Singa T 8,5a 0 b 0 b 0 b 0 b Komodo T 7,9a 0 b 0 b 0 b 0 b Jerapah T 8,2a 0 b 0 b 0 b 0 b Kelinci M 7,0a 0 b 0 b 0 b 0 b Gajah M 6,3a 0 b 0 b 0 b 0 b Trenggiling M 6,7a 0 b 0 b 0 b 0 b Simpai P 6,3a 0 b 0 b 0 b 0 b Macan P 6,9a 0 b 0 b 0 b 0 b Badak - 6,3a 0 b 0 b 0 b 0 b Pertambahan jumlah daun per botol Singa T 10,4a 10,4a 9,6a 2,4b 0,0b Komodo T 10,0a 9,6a 8,0a 0,0b 0,0b Jerapah T 10,4a 9,6a 8,8a 1,6b 0,0b Kelinci M 8,8a 7,6a 7,6a 0,0b 0,0b Gajah M 8,0a 4,8b 2,8c 0,0d 0,0d Trenggiling M 8,0a 5,6b 3,2c 0,0d 0,0d Simpai P 8,0a 0,8b 0,0b 0,0b 0,0b Macan P 7,2a 2,0b 0,0c 0,0c 0,0c Badak - 7,6a 2,0b 0,8c 0,0c 0,0c Jumlah akar primer per eksplan Singa T 9,2 a 3,3 b 0 c 0 c 0 c Komodo T 9,0 a 3,0 b 0 c 0 c 0 c Jerapah T 8,8 a 3,5 b 0 c 0 c 0 c Kelinci M 7,3 a 0,2 b 0 b 0 b 0 b Gajah M 7,2 a 0 b 0 b 0 b 0 b Trenggiling M 6,8 a 0 b 0 b 0 b 0 b Simpai P 5,9 a 0 b 0 b 0 b 0 b Macan P 6,4 a 0 b 0 b 0 b 0 b Badak - 6,3 a 0 b 0 b 0 b 0 b Keterangan: TT : tingkat toleransi, T: toleran, M: medium toleran, P: peka terhadap cekaman kekeringan (Hidayat dkk. 1999, Nursusilawati 2003). Data dalam satu baris yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasar uji DMRT taraf signifikansi 5%

55 31 Kultivar kacang tanah yang diuji menunjukkan respon yang berbeda terhadap suatu konsentrasi PEG untuk peubah pertambahan jumlah daun, jumlah daun layu dan tingkat kerusakan tunas. Kacang tanah cv. Singa, Jerapah, Komodo yang toleran dan Kelinci yang medium toleran terhadap cekaman kekeringan mulai mengalami penurunan jumlah daun pada konsentrasi PEG 10-15%, sedangkan lima kultivar yang lain pada konsentrasi PEG 5% (Tabel 3). Semua kultivar kacang tanah yang diuji mempunyai pertambahan tinggi tunas dan jumlah akar primer yang tidak berbeda. Pertambahan tinggi tunas dan jumlah akar primer nyata menurun pada perlakuan penambahan PEG 5% dibandingkan dengan PEG 0%. Pada perlakuan PEG 5%, tunas kacang tanah cv. Singa, Komodo, dan Jerapah yang toleran serta Kelinci yang medium toleran masih mempunyai akar primer, sedangkan kacang tanah yang lain tidak mempunyai akar primer (Tabel 3). Dampak yang nyata terhadap peningkatan jumlah daun layu dan skor kerusakan tunas terjadi akibat penambahan PEG 10%, 15%, atau 20% (Tabel 4). Jumlah daun layu nyata meningkat pada konsentrasi PEG 15% untuk kacang tanah cv. Singa, Komodo, Jerapah yang toleran, serta Kelinci, Gajah dan Trenggiling yang medium toleran. Untuk kacang tanah cv. Simpai dan Macan yang peka serta Badak, jumlah daun layu telah nyata meningkat pada konsentrasi PEG 10% (Tabel 4). Skor kerusakan tunas pada kacang tanah cv. Singa, Komodo dan Jerapah yang toleran, Kelinci dan Trenggiling yang medium toleran telah nyata meningkat pada konsentrasi PEG 20%, kacang tanah cv. Gajah yang medium toleran dan Badak, meningkat pada PEG 15%; sedangkan kacang tanah cv. Simpai dan Macan yang peka, meningkat pada PEG 10% (Tabel 4). Respon Eksplan TTK terhadap Cekaman PEG Kultivar kacang tanah yang diuji menunjukkan respon yang berbeda terhadap konsentrasi PEG untuk peubah pertambahan jumlah daun dan jumlah daun layu. Jumlah daun layu nyata meningkat pada konsentrasi PEG 10% 15% untuk kacang tanah cv. Singa, Komodo, Jerapah yang toleran dan Trenggiling yang medium toleran, sedangkan lima kultivar lain telah meningkat pada konsentrasi PEG 5% (Tabel 5).

56 32 Tabel 4. Pengaruh konsentrasi PEG terhadap jumlah daun layu dan skor kerusakan tunas pada eksplan tunas yang berasal dari benih dengan kotiledon (TDK) Peubah dan Tolekultivar ransi Respon terhadap media dengan PEG 0% 5% 10% 15% 20% Jumlah daun layu per botol Singa T 0,0 a 0,0 a 0,0 a 1,0 b 2,0 c Komodo T 0,0 a 0,0 a 0,0 a 1,5 b 3,0 c Jerapah T 0,0 a 0,0 a 0,0 a 0,0 a 2,5 b Kelinci M 0,0 a 0,0 a 0,0 a 2,0 b 3,5 c Gajah M 0,0 a 0,0 a 1,0 a 3,5 b 4,5 b Trenggiling M 0,0 a 0,0 a 0,0 a 3,0 b 4,0 c Simpai P 0,0 a 0,0 a 1,5 b 5,0 c 7,0 d Macan P 0,0 a 0,0 a 3,0 b 5,5 c 6,5 d Badak - 0,0 a 0,0 a 2,5 b 5,5 c 6,0 d Skor kerusakan tunas per eksplan Singa T 0,0 a 0,0 a 0,0 a 0,0 a 0,8 b Komodo T 0,0 a 0,0 a 0,0 a 0,0 a 1,0 b Jerapah T 0,0 a 0,0 a 0,0 a 0,0 a 1,0 b Kelinci M 0,0 a 0,0 a 0,0 a 0,3 a 1,2 b Gajah M 0,0 a 0,0 a 0,0 a 0,5 b 1,6 c Trenggiling M 0,0 a 0,0 a 0,0 a 0,2 a 1,5 b Simpai P 0,0 a 0,0 a 1,0 b 2,2 c 3,0 c Macan P 0,0 a 0,0 a 1,2 b 2,5 c 3,4 c Badak - 0,0 a 0,0 a 0,0 a 0,7 b 2,3 c Keterangan: T: toleran, M: medium toleran, P: peka terhadap cekaman kekeringan (Hidayat dkk. 1999, Nursusilawati 2003). Data dalam satu baris yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasar uji DMRT taraf signifikansi 5% Kacang tanah cv. Singa, Jerapah, dan Komodo yang toleran mulai mengalami penurunan jumlah daun pada media selektif dengan penambahan PEG 10%, Kelinci yang medium toleran mulai menurun pada media dengan PEG 15%, sedangkan Gajah dan Trenggiling yang medium toleran, Simpai dan Macan yang peka serta Badak mulai menurun pada konsentrasi PEG 5% (Tabel 6). Tidak ada perbedaan pertambahan tinggi tunas dan jumlah akar primer antar kultivar. Pertambahan tinggi tunas nyata menurun pada konsentrasi PEG 5%, dengan persentase penurunan yang bervariasi antar kultivar. Pada kultivar kacang tanah yang diidentifikasi toleran (Singa, Komodo dan Jerapah) pertambahan tinggi pada konsentrasi PEG 5% mencapai 75% 88%, sedangkan pada kultivar yang peka (Macan, Simpai) hanya mencapai 17% 67% dibandingkan kontrol (Tabel 6). Akumulasi Prolina Akibat Cekaman PEG Penambahan PEG dalam media in vitro berpengaruh meningkatkan kandungan prolina total jaringan eksplan semua kultivar kacang tanah yang diuji. Pada semua kultivar kacang tanah yang diuji, peningkatan kadar prolina total yang diamati sejalan dengan meningkatnya konsentrasi PEG (Gambar 4).

57 33 Tabel 5. Pengaruh konsentrasi PEG dalam medium in vitro terhadap jumlah daun layu per botol pada eksplan tunas yang berasal dari poros embrio tanpa kotiledon (TTK) Peubah dan Toleransi Respon terhadap media dengan PEG kultivar 0% 5% 10% 15% 20% Singa T 0,0 a 0,0 a 1,0 b 1,5 b 4,0 c Komodo T 0,0 a 0,0 a 1,0 ab 1,0 b 5,0 c Jerapah T 0,0 a 1,0 a 1,0 a 2,5 b 5,0 c Kelinci M 0,0 a 1,0 ab 1,0 b 3,0 b 4,0 c Gajah M 0,0 a 2,5 b 3,5 c 6,0 d 7,0 d Trenggiling M 0,0 a 1,0 a 1,0 a 3,5 b 5,0 c Simpai P 0,0 a 3,5 b 6,0 c 6,0 c 7,0 c Macan P 0,0 a 1,5 b 4,0 c 6,0 d 7,0 d Badak - 0,0 a 2,5 b 5,0 c 7,0 cd 8,0 d Keterangan: T: toleran, M: medium toleran, P: peka terhadap cekaman kekeringan (Hidayat dkk. 1999, Nursusilawati 2003). Data dalam satu baris yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasar uji DMRT taraf signifikansi 5% Tabel 6. Pengaruh konsentrasi PEG dalam medium in vitro terhadap pertambahan tinggi dan jumlah daun pada eksplan tunas yang berasal dari poros embrio tanpa kotiledon (TTK) dan nilai relatifnya terhadap konsentrasi PEG 0% Peubah dan Toleransi Respon terhadap media dengan PEG Nilai relatif terhadap PEG 0%: kultivar 0% 5% 10% 15% 20% Pertambahan tinggi tunas (cm) per eksplan Singa T 0,9 a 0,8ab 0,7b 0,4c 0,0d Komodo T 0,8 a 0,6 b 0,5c 0,2d 0,0e Jerapah T 0,6 a 0,5 b 0,3c 0,0d 0,0d Kelinci M 0,4 a 0,3 b 0,2c 0,1d 0,0d Gajah M 0,4 a 0,3 b 0,1c 0,0d 0,0d Trenggiling M 0,6 a 0,4 b 0,1c 0,0c 0,0c Simpai P 0,3 a 0,2 b 0,0c 0,0c 0,0c Macan P 0,6 a 0,1 b 0,1b 0,0b 0,0b Badak - 0,4 a 0,2 b 0,1c 0,1c 0,0d Pertambahan jumlah daun per botol Singa T 3,2a 2,8 a 0,4b 0,4b 0,0b Komodo T 3,2a 2,8 a 0,8b 0,0b 0,0b Jerapah T 2,0a 1,6 a 0,0b 0,0b 0,0b Kelinci M 2,4a 1,6 a 1,6a 0,4b 0,0b Gajah M 1,6a 0,8 b 0,0c 0,0c 0,0c Trenggiling M 2,8a 1,2 b 0,0c 0,0c 0,0c Simpai P 2,0a 0,0 b 0,0b 0,0b 0,0b Macan P 1,6a 0,4 b 0,0b 0,0b 0,0b Badak - 1,2a 0,0 b 0,0b 0,0b 0,0b Keterangan: T: toleran, M: medium toleran, P: peka terhadap cekaman kekeringan (Hidayat et al. 1999, Nursusilawati 2003). Data dalam satu baris yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasar uji DMRT taraf signifikansi 5%

58 34 Kacang tanah cv. Singa dan Komodo yang toleran, serta Kelinci dan Gajah yang medium toleran secara umum mempunyai kandungan prolina total lebih rendah dibandingkan kacang tanah tanah cv. Simpai yang peka terhadap cekaman kekeringan pada semua perlakuan PEG. Peningkatan kandungan prolina jaringan pada perlakuan PEG 20% untuk kacang tanah cv. Singa, Komodo, Kelinci dan Gajah menyamai kandungan prolina pada perlakuan PEG 5% untuk kacang tanah cv. Simpai. Hal ini mengindikasikan kacang tanah yang peka telah mengalami cekaman kekeringan pada perlakuan PEG 5%, sedangkan pada kacang tanah yang toleran dan medium toleran perlakuan PEG yang sama belum mampu menginduksi kondisi cekaman. Akibatnya tunas yang ditanam belum mengaktifkan respon terhadap cekaman yang antara lain dengan meningkatkan kandungan prolina. Kacang tanah cv. Badak cenderung mempunyai pola respon yang sama dengan Simpai (Gambar 4). Gambar 4. Pengaruh konsentrasi PEG terhadap kadar prolina total jaringan pada eksplan tunas yang berasal dari benih dengan kotiledon (TDK) kacang tanah cv. Singa, Komodo, Kelinci, Gajah, Simpai dan Badak, setelah ditanam selama enam minggu dalam media selektif

59 35 Sng Kmd Jrp Klc Gjh Trg Bdk Mcn Smp Gambar 5. Morfologi kecambah yang tumbuh pada media selektif yang mengandung PEG (dari kiri ke kanan) konsentrasi 0, 5, 10, 15 dan 20% pada kacang tanah cv. Sng (Singa), Kmd (Komodo), Jrp (Jerapah), Klc (Kelinci), Gjh (Gajah), Trg (Trenggiling), Bdk (Badak), Mcn (Macan), Smp (Simpai) Pembahasan Perlakuan PEG 5% yang setara dengan potensial osmotik - 0,13 MPa dapat menurunkan beberapa peubah pertumbuhan kecambah yang meliputi panjang epikotil, jumlah akar cabang dan jumlah daun membuka. Untuk peubah yang lain, hambatan konsentrasi PEG terhadap pertumbuhan bervariasi antar kultivar, dan berkisar antara 10 15%. Penambahan PEG dalam media in vitro juga mengakibatkan terjadinya penghambatan pertumbuhan tunas yang ditunjukkan dengan menurunnya pertambahan tinggi tunas, jumlah akar primer dan jumlah daun. Dibandingkan kontrol, perlakuan PEG 5% dapat menurunkan pertambahan tinggi tunas dan jumlah akar primer yang berkembang dari eksplan tunas semua kultivar kacang tanah yang diuji, serta menurunkan pertambahan jumlah daun yang berkembang dari eksplan TDK atau TTK kacang tanah cv. Gajah, Trenggiling, Simpai, Macan dan Badak. Penambahan PEG juga mengakibatkan peningkatan jumlah daun layu dan skor kerusakan tunas.

60 36 Sebagian dari dampak negatif cekaman osmotik pada potensial air -0,01 hingga -0,5 MPa adalah penurunan sintesis dinding sel, sintesis protein, pembentukan protoklorofil dan pembelahan sel (Salisbury dan Ross, 1992). Lebih lanjut, hal tersebut dapat menyebabkan terhambatnya pertambahan tinggi tunas, regenerasi akar, dan pertambahan jumlah daun. Hasil tersebut menunjukkan bahwa perlakuan penambahan PEG pada media in vitro dapat menghambat mekanisme pertumbuhan, sebagaimana yang terjadi sebagai akibat cekaman kekeringan. Cekaman kekeringan menghambat pertumbuhan primordia dan pemanjangan daun jagung (Zhongjin dan Neumann 1999), berat kering total organ vegetatif dan luas daun buncis (Franca et al. 2000), jumlah daun per tanaman dan ukuran daun Quercus (Fotelli et al. 2000), tinggi tanaman dan bobot kering tajuk kacang tanah (Nursusilawati 2003). Perlakuan penambahan PEG dalam media perkecambahan dilaporkan menurunkan pemanjangan akar jagung (Verslues et al. 1998), potensial tumbuh maksimum akar kecambah kapri (Whalley et al. 1998), pertumbuhan hipokotil Arabidopsis thaliana (Weele et al. 2000), dan bobot kering kecambah dan panjang akar kedelai (Widoretno et al. 2002). Semua fenotipik tersebut mencerminkan terhambatnya pembelahan dan perkembangan sel. Konsentrasi PEG yang menghambat pertumbuhan dan perkembangan kacang tanah berbeda antara satu peubah dengan peubah yang lain. Pada eksplan TDK, perlakuan PEG 5% nyata telah menurunkan pertambahan tinggi tunas, jumlah daun, dan jumlah akar primer. Dampak yang nyata untuk jumlah daun layu dan skor kerusakan tunas baru terjadi akibat penambahan PEG minimal 10%. Pada eksplan TTK, pengaruh nyata terhadap peubah pertambahan tinggi tunas, jumlah daun, dan jumlah daun layu sudah mulai terjadi pada media selektif dengan penambahan PEG 5%. Hal tersebut mengindikasikan TTK lebih sensitif terhadap cekaman PEG dalam media in vitro. Ada perbedaan respon terhadap konsentrasi PEG antara satu kultivar dengan yang lain. Kacang tanah cv. Simpai dan Macan cenderung sangat peka terhadap cekaman akibat perlakuan PEG. Pada kacang tanah cv. Simpai dan Macan peubah PAU, PET, PDT, dan PAT kecambah sudah nyata menurun pada konsentrasi PEG 5%. Perlakuan PEG 5% menyebabkan pertumbuhan epikotil dan daun pada kecambah terhenti. Dalam penelitian sebelumnya kacang tanah cv. Simpai dan Macan dilaporkan sebagai kultivar yang peka terhadap kekeringan (Nursusilawati 2003; Sudarsono et al 2004). Kacang tanah cv.

61 37 Jerapah dan Gajah menunjukkan kepekaan terhadap perlakuan media dengan penambahan PEG 5% berdasarkan peubah PET dan PDT. Selain itu pada perlakuan PEG 5%, epikotil dan daun kacang tanah cv. Jerapah dan Gajah tidak tumbuh. Berdasarkan hasil tersebut kacang tanah cv. Jerapah dan Gajah tergolong lebih toleran dibandingkan dengan Simpai dan Macan, atau dapat dikelompokkan sebagai medium toleran terhadap kekeringan. Percobaan sebelumnya juga mengidentifikasi kacang tanah cv. Jerapah dan Gajah sebagai kultivar medium toleran (Nursusilawati 2003, Sudarsono et al. 2004). Pada kacang tanah cv. Singa, Komodo, dan Kelinci, perlakuan PEG sampai dengan 15% tidak berpengaruh terhadap peubah PAU dan PAT. Berdasarkan hasil tersebut, kacang tanah cv. Singa, Komodo dan Kelinci diduga lebih toleran dibanding Jerapah dan Gajah dan dapat dikelompokkan sebagai toleran terhadap kekeringan. Hal ini sejalan dengan hasil pengujian yang dilakukan sebelumnya (Hidajat et al. 1999, Nursusilawati 2003). Respon kacang tanah cv. Trenggiling dan Badak tidak konsisten. Peubah tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah daun yang layu mengikuti pola Simpai dan Macan, sedangkan peubah yang lain mengikuti pola Singa dan Kelinci. Pertumbuhan daun kultivar kacang tanah yang bersifat toleran baru nyata menurun pada perlakuan PEG 15% untuk eksplan TDK dan PEG 10% untuk eksplan TTK. Sebaliknya pada kacang tanah yang peka, perlakuan PEG 5% telah nyata berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan tunas dari eksplan TDK dan TTK. Jumlah daun layu kultivar kacang tanah yang toleran nyata meningkat pada perlakuan PEG 15% untuk eksplan TDK dan 10% untuk eksplan TTK. Pada kacang tanah yang peka, peningkatan jumlah daun layu telah terjadi pada perlakuan PEG 10% untuk eksplan TDK dan 5% untuk eksplan TTK. Tingkat kerusakan tunas kultivar kacang tanah yang toleran baru terjadi pada perlakuan PEG 20%, sedangkan kacang tanah yang peka telah terjadi pada perlakuan PEG 10%. Perbedaan respon eksplan tunas dari kacang tanah yang peka dengan yang toleran cekaman kekeringan terhadap perlakuan PEG dapat dijadikan dasar penggunaan perlakuan PEG dalam media in vitro untuk identifikasi dan seleksi plasma nutfah yang toleran cekaman kekeringan. Tunas dari plasma nutfah kacang tanah yang toleran lebih dapat bertahan hidup dalam media dengan konsentrasi PEG yang tinggi dibandingkan plasma nutfah yang peka.

62 38 Penggunaan PEG dalam media in vitro untuk identifikasi dan seleksi plasma nutfah yang toleran cekaman kekeringan memerlukan informasi tentang konsentrasi PEG yang dapat memisahkan kacang tanah ke dalam kelompok respon toleransi yang sesuai. Berdasarkan hasil yang didapat, konsentrasi PEG 15% dalam media in vitro disarankan sebagai konsentrasi diferensial yang dapat mengelompokkan kacang tanah toleran dan peka ke dalam kelompok yang berbeda, sehingga dapat digunakan untuk menapis respon tanaman kacang tanah terhadap cekaman kekeringan. Kacang tanah yang sebelumnya telah diidentifikasi sebagai toleran mempunyai respon yang berbeda dengan kacang tanah yang peka untuk semua peubah. Kacang tanah cv. Singa, Komodo dan Jerapah yang dilaporkan toleran cekaman kekeringan menunjukkan respon yang nyata berbeda dengan kacang tanah cv. Macan dan Simpai yang peka untuk peubah pertambahan panjang tunas (eksplan TTK), pertambahan jumlah daun (eksplan TTK dan TDK), jumlah daun layu (eksplanttk dan TDK), jumlah akar primer (eksplantdk), dan tingkat kerusakan tunas (eksplan TDK). Sebaliknya kacang tanah yang diidentifikasi sebagai medium toleran, untuk sejumlah peubah tertentu mempunyai respon yang sama dengan kacang tanah toleran dan untuk sejumlah peubah yang lain mempunyai respon sama dengan kacang tanah yang peka terhadap cekaman kekeringan. Kacang tanah cv. Kelinci, Gajah dan Trenggiling yang medium toleran mempunyai respon yang sama dengan kacang tanah peka untuk peubah pertambahan jumlah daun (eksplan TTK dan TDK), jumlah daun layu (eksplan TTK), dan jumlah akar primer (eksplan TDK), serta respon yang sama dengan kacang tanah yang toleran untuk peubah jumlah daun layu (eksplan TDK) dan tingkat kerusakan tunas (eksplan TDK). Kacang tanah cv. Badak cenderung mempunyai pola respon yang sama dengan Simpai dan Macan yang peka terhadap cekaman kekeringan. Berdasarkan hasil tersebut, pertambahan panjang tunas (eksplan TTK), pertambahan jumlah daun (eksplan TTK dan TDK), jumlah daun layu (eksplan TTK dan TDK), jumlah akar primer (eksplan TDK), dan tingkat kerusakan tunas (eksplan TDK) dapat digunakan sebagai indikator tidak langsung respon toleransi tanaman kacang tanah terhadap cekaman kekeringan dalam evaluasi secara in vitro. Dalam hal ini, tunas dari tanaman kacang tanah yang diuji ditanam selama enam minggu dalam media MS-0 dengan penambahan PEG %. Penambahan PEG dalam media in vitro juga berpengaruh terhadap

63 39 kandungan prolina total jaringan eksplan TDK. Pada semua kultivar kacang tanah yang diuji, penambahan PEG dalam media in vitro meningkatkan kandungan prolina total dan peningkatannya sejalan dengan peningkatan konsentrasi PEG. Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya tentang pengaruh cekaman kekeringan di lapang pada Medicago sativa L. (Girousse et al. 1996), Populus euphratica (Watanabe et al. 2000), dan kacang tanah (Sudarsono et al. 2004; Riduan dan Sudarsono 2005). Akumulasi prolina bersama senyawa osmolit yang lain dalam sel tanaman dilaporkan dapat menurunkan potensial osmotik sel ketika tanaman mengalami cekaman kekeringan (Blum 1996). Dengan demikian tanaman dapat tetap mempertahankan tekanan turgor sel, penyerapan air dan kelangsungan berbagai proses fisiologis dalam sel (pembukaan stomata, fotosintesis, dan perkembangan sel). Akumulasi senyawa osmolit dilaporkan merupakan respon adaptif terhadap cekaman kekeringan pada berbagai jenis tanaman dan diyakini berperan dalam proses adaptasi pada lingkungan yang tercekam kekeringan (Serraj dan Sinclair 2002). Pada semua perlakuan konsentrasi PEG, kacang tanah yang toleran dan medium toleran secara umum mempunyai kandungan prolina total lebih rendah dibandingkan kacang tanah yang peka terhadap cekaman kekeringan. Hal yang sama juga diamati pada barley dan alfalfa. Barley kultivar Proctor yang peka mempunyai kecepatan akumulasi prolina yang lebih tinggi selama cekaman kekeringan dibandingkan kultivar Exselsior yang toleran terhadap cekaman kekeringan (Hanson et al. 1997). Dalam kondisi cekaman osmotik akibat pemberian PEG, galur alfalfa yang toleran dapat mempertahankan kadar prolina yang lebih rendah dibandingkan galur yang peka (Djilianov et al. 1997). Hasil penelitian menunjukkan bahwa akumulasi prolina untuk kacang tanah yang peka (Simpai) pada perlakuan PEG 5% setara dengan akumulasi prolina untuk kacang tanah yang toleran (Singa dan Komodo) dan medium toleran (Kelinci dan Gajah) pada perlakuan PEG 20%. Berdasarkan hal ini dapat ditafsirkan bahwa perlakuan PEG 5% telah mampu menginduksi kondisi cekaman pada kultivar peka, namun belum mampu menginduksi cekaman pada kultivar toleran dan medium toleran. Kemungkinan lain, kacang tanah yang toleran dan medium toleran telah mengalami cekaman pada perlakuan PEG 5%, tetapi melakukan mekanisme toleransi lain yang diduga berperan untuk mengatasi cekaman kekeringan, yaitu

64 40 melalui 1) regulasi pertumbuhan dengan menurunkan kecepatan fotosintesis, pembelahan dan pembentangan sel, 2) menjaga keseimbangan ionik dan osmotik dengan menambah jumlah vakuola, mengaktifkan mekanisme pompa ion dan saluran ion, atau 3) detoksifikasi senyawa oksigen radikal melalui pembentukan protein cekaman, antara lain protein proteksi, enzim antioksidan, dan protein regulator (Mundree et al. 2002). Pada saat mengalami cekaman osmotik, jagung meningkatkan aktivitas enzim antioksidan di dalam daun (Jiang dan Zhang 2002), sedangkan alfalfa meningkatkan aktivitas acid phosphatase untuk mempertahankan kadar fosfat an-organik di dalam sel (Ehsanpour dan Amini, 2003). Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa larutan PEG dalam media in vitro bersifat menghambat pertumbuhan kecambah dan tunas kacang tanah sebagaimana yang terjadi secara in vivo dan meningkatkan kandungan prolina total jaringan sehingga diduga mampu mensimulasikan kondisi cekaman kekeringan dalam media in vitro. Dampak negatif dari larutan PEG dalam media in vitro berbeda-beda tergantung pada respon kultivar kacang tanah terhadap cekaman kekeringan. Kacang tanah cv. Singa, kultivar Komodo dan kultivar Jerapah menunjukkan respon toleran; kacang tanah cv. Kelinci dan kultivar Gajah menunjukkan respon medium; sedangkan kacang tanah cv. Trenggiling, kultivar Macan, kultivar Simpai dan kultivar Badak menunjukkan respon peka terhadap cekaman kekeringan. Hal ini berarti penapisan secara in vitro menggunakan PEG dapat menjadi alternatif metode untuk menduga karakter toleransi kacang tanah terhadap cekaman kekeringan. Konsentrasi PEG 15% efektif menghambat pertumbuhan dan perkembangan eksplan epikotil kacang tanah. Respon tunas kacang tanah terhadap media dengan penambahan PEG 15% dapat digunakan sebagai alternatif metode untuk menapis toleransi kacang tanah terhadap cekaman kekeringan. Tunas yang ditumbuhkan dari poros embrio dengan kotiledon (eksplan TDK) atau tanpa kotiledon (eksplan TTK) dapat digunakan sebagai eksplan; dan peubah pertambahan panjang tunas (eksplan TTK), pertambahan jumlah daun (eksplan TTK dan TDK), jumlah daun layu (eksplan TTK dan TDK), jumlah akar primer (eksplan TDK), dan tingkat kerusakan tunas (eksplan TDK) digunakan sebagai penduga toleransi.

65 IV. SELEKSI IN VITRO EMBRIO SOMATIK KACANG TANAH PADA MEDIA DENGAN POLIETILENA GLIKOL YANG MENSIMULASIKAN CEKAMAN KEKERINGAN*) Abstrak Pengembangan kultivar kacang tanah yang toleran terhadap cekaman kekeringan pada saat ini masih diperlukan. Hal ini dapat dilakukan melalui kultur dan seleksi in vitro. Tujuan penelitian adalah mengevaluasi efektivitas seleksi in vitro untuk mengidentifikasi embrio somatik (ES) varian somaklonal kacang tanah yang insensitif terhadap PEG. Dalam sebagian percobaan dievaluasi respon ES empat kultivar kacang tanah terhadap medium selektif yang mengandung PEG 6000 untuk menentukan konsentrasi PEG sub-letal, yaitu yang dapat menghambat proliferasi eksplan lebih dari 95%. ES sekunder kacang tanah cv. Singa, Kelinci, Badak dan Zebra ditumbuhkan dalam medium MS cair dengan penambahan pikloram 16 μm dan PEG 0%, 5%, 10%, 15% dan 20%. Persentase eksplan yang hidup, rata-rata jumlah ES/eksplan, dan jumlah total ES yang berproliferasi dalam media seleksi in vitro diamati setiap bulan selama tiga bulan. Pada sebagian percobaan yang lain, dilakukan seleksi in vitro pada medium selektif yang mengandung PEG konsentrasi sub-letal untuk mengidentifikasi ES kacang tanah yang insensitif terhadap cekaman PEG. Seleksi in vitro dilakukan terhadap ES kacang tanah cv. Singa dan Kelinci. ES yang insensitif PEG diidentifikasi setelah tiga bulan. Hasil penelitian menunjukkan penambahan PEG 6000 dalam media in vitro menghambat proliferasi ES kacang tanah. Konsentrasi PEG sub-letal untuk kacang tanah adalah 15%. ES kacang tanah cv. Kelinci yang insensitif terhadap PEG dicapai dengan frekuensi 10% 12 % dan untuk Singa 8%-10%. Tanaman R0 kacang tanah cv. Kelinci (62 tanaman) dan Singa (48 tanaman) dapat diregenerasikan dari ES yang insensitif terhadap cekaman PEG dan ditumbuhkan di rumah kaca untuk memperoleh benih R1 dan R2. Kata Kunci : Cekaman PEG, PEG 6000, embrio somatik, varian somaklonal *) Bagian dari disertasi ini telah dipublikasikan dalam jurnal ilmiah terakreditasi BIOSFERA 23 (1): Januari 2006

66 42 Abstract Developing of drought tolerance peanut cultivars is still required and can be conducted through in vitro selection. The objectives of this experiment were to evaluate effectiveness of in vitro selection for identifying PEG insensitive somaclonal variant of peanut somatic embryos (SE). In one of the experiments, evaluation of responses of four peanut cultivars against selective medium containing polyethylene glycol 6000 (PEG 6000) was conducted and sub-lethal concentration of PEG was determined. Secondary SE of Badak, Kelinci, Singa, and Zebra cultivar of peanut were cultured on liquid MS medium supplemented with 16 M of picloram and 5%, 10%, 15%, or 20% of PEG Survival of explant, average number of proliferated SE/explant, and total number of proliferated SE after in vitro selection were recorded monthly, up to three months. Sub-lethal level of PEG was defined as one inhibiting more than 95% of the total number of proliferated SE. In the other experiment, in vitro selection on selective medium containing sub-lethal level of PEG was conducted to identify PEG insensitive SE of peanut. In vitro selection on medium supplemented with sub lethal level of PEG 6000 was conducted on at least SE of Kelinci and Singa cultivar. The PEG insensitive SE was identified after subsequent three months of in vitro selection. Results of the experiments showed supplementation of PEG 6000 on medium for induction of SE inhibited proliferation of peanut SE. Sub-lethal level was obtained at 15% concentration of PEG The frequencies of obtaining PEG insensitive SE of Kelinci cultivar was 8%-10% and for Singa cultivar was 10%-12%. The R0 plants of peanut Kelinci cultivar (62 R0 plants) and Singa cultivar (48 R0 plants) regenerated from PEG insensitive SE were obtained and grown in the glasshouse to produce R1 and R2 seeds. Keywords : PEG stress, PEG 6000, somatic embryo, somaclonal variance

67 43 Pendahuluan Akibat terjadinya cekaman kekeringan, hasil panen tanaman kacang tanah di lahan kering pada umumnya relatif rendah. Rendahnya hasil panen diharapkan dapat ditingkatkan dengan penggunaan kultivar tanaman kacang tanah yang toleran terhadap cekaman kekeringan. Seleksi in vitro terhadap sel/jaringan dalam media selektif yang tepat dapat digunakan untuk mendapatkan plasma nutfah kacang tanah yang toleran terhadap cekaman kekeringan karena secara teoritis sangat efisien untuk mendapatkan varian sel/jaringan tanaman dengan karakteristik tertentu (Maluszynki et al. 1995). Tanaman varian dengan sifat unggul tertentu telah berhasil diregenerasikan dari sel/jaringan varian hasil seleksi in vitro. Keberhasilan pengembangan metode seleksi in vitro memerlukan tersedianya (a) metode kultur jaringan yang efektif untuk regenerasi tanaman dari sel varian dalam jumlah banyak, (b) bahan penyeleksi yang dapat menginduksi perkembangan dan proliferasi jaringan varian tetapi menghambat/mematikan jaringan normal, dan (c) adanya korelasi antara fenotipik hasil seleksi pada tingkat sel dengan fenotipik pada tingkat tanaman (Hammerschlag 1988). Kultur ES kacang tanah yang efisien untuk meregenerasikan tanaman varian telah dibakukan. Teknik yang dikembangkan terbukti mampu menginduksi keragaman sifat kualitatif dan kuantitatif serta toleransi terhadap toksin yang disekresikan cendawan Sclerotium rolfsii (Yusnita et al. 2005). Keragaman diantara kultur ES kacang tanah diduga juga berpotensi untuk menghasilkan varian ES dengan sifat toleransi terhadap cekaman kekeringan. Untuk itu perlu dikembangkan metode baku seleksi in vitro yang dapat digunakan untuk mengisolasi varian ES kacang tanah yang toleran cekaman kekeringan. Penyiraman larutan PEG pada media tanaman dalam pot terbukti menghambat pertumbuhan tanaman dan dapat digunakan untuk menapis respons tanaman kacang tanah terhadap cekaman kekeringan (Nursusilawati 2003). Kecambah dan tunas kacang tanah yang ditumbuhkan dalam media in vitro dengan penambahan PEG 5%-20% juga terhambat pertumbuhan dan perkembangannya. Penghambatan yang terjadi berkorelasi dengan respons genotipe kacang tanah terhadap cekaman kekeringan di lapang. Perlakuan PEG pada kecambah dan tunas kacang tanah tersebut juga menginduksi akumulasi prolin pada jaringan seperti respons terhadap cekaman kekeringan (Rahayu et al. 2004, Rahayu et al. 2005). Meskipun data yang ada mengindikasikan PEG

68 44 dapat digunakan untuk mensimulasikan kondisi cekaman kekeringan secara in vitro, efektivitasnya sebagai agens penyeleksi pada tingkat sel untuk mengisolasi ES yang toleran (insensitif) dan mendapatkan tanaman varian yang toleran cekaman kekeringan masih perlu dievaluasi. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi efektivitas metode seleksi in vitro untuk memperoleh varian kacang tanah yang toleran terhadap cekaman kekeringan. Dalam penelitian ini dilakukan evaluasi respon ES empat kultivar kacang tanah terhadap media selektif dengan penambahan PEG, kondisi subletal yang menghambat pertumbuhan dan proliferasi ES, dan regenerasi tanaman R0 kacang tanah dari ES hasil seleksi in vitro yang insensitif terhadap cekaman PEG. Bahan dan Metode Bahan Tanaman dan Induksi ES Kacang Tanah Dalam percobaan ini digunakan kacang tanah cv. Badak yang diduga peka (Rahayu et al. 2005), Kelinci yang medium toleran (Sudarsono et al. 2004), Singa yang toleran (Hidayat et al. 1999, Nursusilawati 2003), dan Zebra yang belum diketahui responnya terhadap cekaman kekeringan. Benih kacang tanah yang digunakan diperoleh dari Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetika (Balitbiogen), Bogor dan digunakan sebagai sumber eksplan daun embrio untuk induksi ES. Benih kacang tanah disterilkan dengan larutan pemutih komersial (100%) ditambah dua tetes Tween 20, dikocok selama 2-3 menit, dan dibilas tiga kali dengan akuades steril. Daun embrio diisolasi dan diinduksi membentuk ES primer dan ES sekunder dalam media MS (Murashige & Skoog 1962) padat dengan penambahan pikloram 16 μm (media MS-P16). Kultur daun embrio disub-kultur setiap bulan ke dalam media MS-P16 yang masih segar dan diinkubasi dalam ruang kultur bersuhu 25 o C tanpa penyinaran sampai terbentuk kalus embriogen dengan ES sekunder. Inkubasi dalam ruang kultur bersuhu 25 o C tanpa penyinaran digunakan dalam semua tahap percobaan kecuali disebutkan lain. Evaluasi Respon ES Kacang Tanah terhadap Cekaman PEG Percobaan dilakukan dengan menggunakan kalus embriogen kacang tanah cv. Badak, Kelinci, Singa, dan Zebra. Unit percobaan terdiri atas satu botol kultur yang ditanami lima eksplan kalus embriogen dengan 8-10 ES sekunder berumur

69 45 satu bulan sejak sub-kultur yang terakhir. Setiap kombinasi perlakuan diulang lima kali. Eksplan ditanam dalam media MS-P16 cair dengan penambahan PEG %, 5%, 10%, 15% atau 20%. Media selektif (25 ml) dituangkan dalam botol kultur (volume 150 ml), di atas media diletakkan busa sintetis dan kertas saring agar ekplan yang ditanam tidak tenggelam (Gambar 1). Sebelum ditanami media disterilkan dengan pemanasan selama 20 menit pada suhu 121 o C serta tekanan 1,2 bar menggunakan autoklaf. Respon kalus embriogen dan ES kacang tanah terhadap media selektif diamati setiap bulan selama periode tiga bulan. Konsentrasi PEG sub-letal dalam media selektif ditentukan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya (Nabors & Dykes 1985, Yusnita et al. 2005), yaitu konsentrasi PEG yang dapat menghambat jumlah total ES sekitar 95% dibandingkan PEG 0%. Seleksi ES dalam Media Selektif dengan PEG Konsentrasi Sub-letal Identifikasi varian yang insensitif terhadap kondisi cekaman akibat penambahan PEG sub-letal dilakukan terhadap kalus embriogen dan ES sekunder kacang tanah cv. Kelinci dan Singa yang telah mengalami sub-kultur berulang dalam media MS-P16 selama minimal enam bulan sejak terbentuknya ES sekunder. Pada awal percobaan ditanam 500 kalus embriogen, masingmasing dengan 8 10 ES sehingga jumlah total yang diseleksi mencapai ES untuk setiap kultivar. Kalus embriogen (lima eksplan per botol) ditanam dalam media selektif dan disub-kultur setiap bulan ke dalam media selektif yang masih segar. Setelah tiga bulan, ES yang masih hidup diisolasi dan diregenerasikan menjadi tanaman. Regenerasi Tanaman R0 dari ES Hasil Seleksi In vitro ES hasil seleksi in vitro yang insensitif terhadap cekaman PEG sub-letal ditanam dalam media MS-P16 selama dua bulan agar terjadi proliferasi. Selanjutnya ES ditanam dalam media MS dengan penambahan arang aktif 2 g/l (media MSAC), dilakukan subkultur setiap bulan sampai berkembang sempurna, dan kemudian dikecambahkan dalam media MS yang ditambah BAP (6- benzylamino purine) sebanyak 22 μm sampai terbentuk tunas. Tunas yang tumbuh dipilih yang mempunyai panjang 2 3 cm, dipindahkan ke media pengakaran yang tersusun dari media MS ditambah NAA (naphtalene acetic aci) sebanyak 10 mg/l selama satu minggu. Setelah itu dipindahkan lagi ke media MSAC dan ditumbuhkan sampai terbentuk akar yang sempurna. Dalam semua

70 46 tahap regenerasi kultur diinkubasikan dalam ruang kultur dengan temperatur konstan 25 o C dalam kondisi terang terus menerus. Tunas yang telah berakar berkembang menjadi plantlet. Plantlet dengan 3-4 daun dan perakaran yang normal dipindahkan dari media in vitro ke media tanah melalui proses aklimatisasi. Akar plantlet dicuci bersih dari agar yang menempel, direndam dalam suspensi fungisida Dithane M45 (2 g/l), dan ditanam dalam pot plastik dengan volume 200 ml berisi media tanam steril campuran tanah:kompos:pasir (2:1:1, v/v ). Plantlet disungkup dengan botol kultur untuk menjaga kelembaban dan diletakkan selama dua minggu pada rak kultur dengan pencahayaan 1000 lux terus menerus selama 24 jam. Plantlet disiram dengan larutan MS (½ konsentrasi) jika permukaan media tanam mengering. Setelah menghasilkan daun dan perakaran baru, plantlet dipindahkan ke rumah kaca dan sungkup botol dibuka secara bertahap. Tanaman yang berhasil tumbuh dipindahkan ke dalam pot dengan diameter 50 cm dan tinggi 40 cm yang berisi 10 kg campuran tanah:kompos:pasir (1:1:1, v/v). Selanjutnya tanaman dipelihara di rumah kaca untuk menghasilkan benih R1 dan untuk pengamatan pertumbuhan tanaman. Hasil Respon ES Kacang Tanah terhadap Cekaman PEG Setelah satu dan dua bulan dalam media selektif, penambahan PEG dalam media tidak berpengaruh nyata terhadap perkembangan eksplan (data tidak ditampilkan). Setelah tiga bulan dalam media selektif, persentase eksplan yang hidup untuk kacang tanah cv. Badak nyata menurun pada perlakuan PEG 10% sedangkan untuk ketiga kultivar yang lain pada PEG 15%. Pada konsentrasi PEG 20%, semua eksplan kacang tanah cv. Badak dan Zebra telah mati. Rataan ES per eksplan dan jumlah total ES hasil seleksi kacang tanah cv. Badak dan Zebra sangat menurun pada perlakuan penambahan PEG 10%. Eksplan kacang tanah cv. Badak sudah tidak mampu membentuk ES mulai perlakuan PEG 15% sedangkan kacang tanah cv. Zebra pada perlakuan PEG 20%. Pada konsentrasi PEG 20%, eksplan kacang tanah cv. Singa dan Kelinci masih dapat membentuk ES (Tabel 7, Gambar 6). Meskipun secara umum meningkatnya konsentrasi PEG dalam media selektif menyebabkan meningkatnya pengaruh negatif PEG, ke empat kultivar kacang tanah yang diuji memberikan respons berbeda terhadap cekaman PEG

71 47 yang diberikan. Dalam penelitian ini proliferasi ES kacang tanah cv. Badak paling sensitif terhadap cekaman PEG dibandingkan Kelinci atau Singa (Tabel 7). Konsentrasi Sub-letal PEG Setelah tiga bulan dalam media selektif, penambahan PEG 20% menyebabkan penurunan persentase eksplan kacang tanah cv. Singa yang hidup sebesar 83%, Kelinci sebesar 60%, Badak dan Zebra mencapai 100% dibandingkan dengan perlakuan PEG 0%. Rataan ES kacang tanah cv. Badak yang terbentuk per eksplan setelah tiga bulan dalam media selektif dengan penambahan PEG 15% menurun hingga 100% dibandingkan dengan perlakuan PEG 0%. Kacang tanah cv. Kelinci, Singa, dan Zebra pada konsentrasi PEG 20% baru menurun 85% - 91%. Penurunan jumlah total ES 95% kacang tanah cv. Badak terjadi pada perlakuan penambahan PEG 10%, Singa dan Kelinci pada PEG 15%, dan Zebra pada PEG 20% (Tabel 8). Tabel 7. Pengaruh konsentrasi PEG terhadap persentase eksplan yang hidup, rataan embrio somatik (ES) yang terbentuk per eksplan dan jumlah total ES kacang tanah cv. Badak, Kelinci, Singa, dan Zebra setelah tiga bulan dalam media selektif Konsentrasi PEG (%) Kultivar kacang tanah Badak Kelinci Singa Zebra Persentase eksplan yang hidup (%) aa 100 aa 96 aa 100 a A 5 92 ab 100 aa 96 aa 100 aa bb 88 aa 88 aa 88 aa ca 44 ba 44 ba 48 ba 20 0 dc 40 ba 16 cb 0 cc Rataan ES yang terbentuk per eksplan ac 36.0 aa 34.4 ab 30.3 ad ba 25.2 ba 23.5 bb 15.9 bc cc 11.2 ca 12.2 ca 4.4 cb db 3.4 da 3.6 da 4.7 ca da 0.9 ea 1.2 ea 0.0 da Jumlah total ES ab 180 aa 164 ab 162 ab ba 117 ba 112 ba 80 bb 10 9 cb 50 ca 54 ca 19 cb 15 0 ca 7 da 8 da 11 cda 20 0 ca 2 da 1 da 0 da Keterangan: Pada setiap peubah, angka yang diikuti dengan huruf kecil yang sama pada kolom dan huruf kapital yang sama pada baris, tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT dengan taraf signifikansi 5%

72 48 Tabel 8. Persentase penurunan jumlah eksplan yang hidup, rataan embrio somatik (ES) per eksplan dan jumlah total ES kacang tanah cv. Badak, Kelinci, Singa, dan Zebra setelah tiga bulan dalam media selektif dengan penambahan PEG %, 10%, 15% atau 20% dibandingkan dengan media PEG 0% Konsentrasi PEG (%) Nilai penurunan (%) untuk kacang tanah: Badak Kelinci Singa Zebra Persentase eksplan yang hidup (%) Rataan ES yang terbentuk per eksplan Jumlah total ES hasil seleksi Keterangan: np0 - npn Persentase penurunan (PP, %) dihitung dengan rumus PP = ( ) *100% ; np0 np0 = nilai peubah pengamatan pada perlakuan PEG 0%, npn = nilai peubah pengamatan pada perlakuan PEG 5%, 10%, 15%, atau 20% Dalam seleksi in vitro, kondisi selektif yang digunakan harus dapat memproliferasikan sel/jaringan varian yang diinginkan dan menghambat pertumbuhan sel/jaringan normal yang tidak diinginkan sehingga kemungkinan terjadinya kesalahan identifikasi dapat diperkecil. Dari hasil pengamatan di atas, penambahan PEG dalam media MS-P16 dengan konsentrasi 15% ditentukan sebagai konsentrasi sub-letal dalam seleksi in vitro kacang tanah. Media selektif dengan penambahan PEG 15% dengan tiga kali sub-kultur selama tiga bulan berturut-turut selanjutnya digunakan dalam percobaan untuk mengisolasi ES kacang tanah yang insensitif terhadap cekaman PEG. ES Kacang Tanah yang Insensitif terhadap PEG Konsentrasi Sub-letal ES kacang tanah yang insensitif terhadap cekaman PEG diharapkan dapat berkembang menjadi tanaman yang toleran terhadap cekaman kekeringan. Identifikasi ES kacang tanah yang insensitif terhadap cekaman PEG sub-letal merupakan langkah awal untuk membuktikan hal tersebut.

73 49 0% 5% 10% 15% 20% S K B Z Gambar 6. Pertumbuhan ES kacang tanah cv. Badak (B), Kelinci (K), Singa (S), dan Zebra (Z), setelah tiga kali sub-kultur masing-masing satu bulan dalam media selektif PEG dengan konsentrasi 0%, 5%, 10%, 15% dan 20 Setelah tiga bulan dalam media selektif dengan konsentrasi PEG sub-letal, persentase eksplan kacang tanah cv. Kelinci dan Singa yang tetap hidup masingmasing mencapai 36% dan 39%. Rataan jumlah ES per eksplan yang didapat masing-masing sebanyak 2,3 ES/eksplan untuk kacang tanah cv. Kelinci dan 2,5 ES/eksplan untuk Singa. Dari sebanyak ES awal yang diseleksi, jumlah total ES insensitif terhadap cekaman PEG yang berhasil diperoleh masing-masing mencapai 415 ES (8%-10%) untuk kacang tanah cv. Kelinci dan 487 ES (10%-12%) untuk Singa. Contoh ES insensitif PEG hasil seleksi in vitro dalam media dengan PEG sub-letal dapat dilihat pada Gambar 7.a.

74 50 Tanaman R0 dari ES Hasil Seleksi in vitro Proliferasi ES hasil seleksi in vitro dalam media MS-P16 tanpa PEG sebelum proses pengecambahan terbukti meningkatkan keberhasilan regenerasi tunas R0 (data tidak ditampilkan). ES kacang tanah hasil seleksi in vitro yang insensitif terhadap cekaman PEG sub-letal telah berhasil diregenerasikan menjadi tanaman, namun tidak semua ES insensitif cekaman PEG yang didapat berhasil dikecambahkan dan diregenerasikan menjadi plantlet karena sebagian berkembang menjadi tunas atau plantlet abnormal. Setelah proses proliferasi ES yang insensitif cekaman PEG (Gambar 7.b), perkecambahan (Gambar 7.c.), regenerasi plantlet (Gambar 7.d.), aklimatisasi (Gambar 7.e.), dan penanaman dalam polibag (Gambar 7.f); dalam percobaan ini berhasil didapatkan 62 tanaman R0 kacang tanah cv. Kelinci dan 48 tanaman R0 kacang tanah cv. Singa. Tanaman yang didapat diharapkan mempunyai karakteristik tanaman yang toleran terhadap cekaman kekeringan a b c d e f Gambar 7. Regenerasi ES kacang tanah hasil seleksi in vitro dalam media selektif dengan penambahan PEG 15%. a. ES insensitif cekaman PEG di antara jeringan kalus yang mati, b. proliferasi ES insensitif PEG dalam media MS-P16, c. perkecambahan ES insensitif PEG dalam media MS-AC, d. tunas kacang tanah hasil regenerasi dari ES insensitif PEG, e. aklimatisasi plantlet kacang tanah, dan f. penanaman tanaman regeneran dalam polibag

75 51 Tanaman R0 tersebut telah ditumbuhkan di rumah kaca untuk menghasilkan benih R1 dan R2. Karakterisasi respon tanaman R1 dan R2 terhadap cekaman kekeringan akan dilakukan untuk membuktikan efektivitas seleksi in vitro menggunakan PEG untuk mendapatkan genotipe kacang tanah yang toleran terhadap cekaman kekeringan. Pembahasan Dalam media in vitro tanpa penambahan PEG, kalus embriogen mampu berkembang sempurna membentuk banyak ES. Penambahan PEG terbukti mampu menghambat perkembangan dan proliferasi eksplan kalus embriogen dan ES kacang tanah cv. Badak, Kelinci, Singa, dan Zebra. Pengaruh negatif PEG diduga sebagai akibat dari kemampuan PEG untuk menurunkan potensial osmotik larutan. Sub-unit etilena oksida dari senyawa polimer PEG diketahui mampu menahan air dengan membentuk ikatan hidrogen (Steuter et al. 1981). Akibatnya dalam media selektif yang mengandung PEG, meskipun molekul air ada dalam larutan media tetapi menjadi tidak tersedia bagi jaringan tanaman yang dikulturkan. Pengaruh negatif PEG terhadap perkembangan dan proliferasi ES dalam media selektif diduga juga terjadi melalui terhambatnya berbagai proses fisiologis dalam sel/jaringan yang dikulturkan. PEG juga dilaporkan berpengaruh terhadap kandungan poliamina endogen yang berperan dalam proses proliferasi ES (Kong et al. 1998). Dengan demikian, ES insensitif terhadap cekaman PEG sub-letal yang diperoleh diduga mengadopsi mekanisme baru yang dapat mengatasi pengaruh negatif PEG terhadap proliferasi ES kacang tanah. Perbedaan respon terhadap cekaman kekeringan antar kultivar dalam percobaan ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya. Kacang tanah kultivar Badak dilaporkan peka, Kelinci medium toleran dan Singa toleran terhadap cekaman kekeringan (Rahayu et al. 2005, Sudarsono et al. 2004, Hidayat et al. 1999, Nursusilawati 2003). Kacang tanah cv. Zebra belum diketahui responsnya terhadap cekaman kekeringan. Dari data yang ada, proliferasi ES kacang tanah cv. Zebra mempunyai respons yang mirip dengan kacang tanah cv. Badak sehingga diduga termasuk ke dalam kelompok peka terhadap cekaman kekeringan. Perbedaan respons terhadap PEG dari kultivar kacang tanah yang berbeda toleransinya terhadap cekaman kekeringan memperkuat indikasi bahwa PEG

76 52 dapat digunakan sebagai bahan penyeleksi (selective agens) dalam seleksi in vitro kacang tanah. Dalam percobaan sebelumnya PEG juga terbukti berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan tunas kacang tanah secara in vitro dan pengaruhnya berbeda antara satu kultivar dengan yang lain tergantung tingkat toleransinya terhadap cekaman kekeringan (Rahayu et al. 2005). Hal ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya. Kacang tanah cv. Badak dilaporkan peka, Kelinci medium toleran dan Singa toleran terhadap cekaman kekeringan (Rahayu et al. 2005, Sudarsono et al. 2004, Hidayat et al. 1999, Nursusilawati 2003). Kacang tanah cv. Zebra belum diketahui responsnya terhadap cekaman kekeringan. Dari data yang ada, proliferasi ES kacang tanah cv. Zebra mempunyai respons yang mirip dengan kacang tanah cv. Badak sehingga diduga termasuk ke dalam kelompok peka terhadap cekaman kekeringan. Dari hasil pengamatan di atas, penambahan PEG dalam media MS-P16 dengan konsentrasi 15% ditentukan sebagai konsentrasi sub-letal dalam seleksi in vitro kacang tanah. Kondisi sub-letal dalam seleksi in vitro diperlukan untuk meningkatkan keberhasilan seleksi dan menurunkan terjadinya escaped (Nabors & Dykes 1985). Pada media dengan PEG 15%, jumlah total ES yang didapat dari hasil seleksi in vitro telah menurun sekitar 95% dibandingkan dengan perlakuan PEG 0%. Sebanyak 5% ES sisanya yang tumbuh diharapkan merupakan ES yang insensitif terhadap cekaman PEG. Jumlah total ES insensitif terhadap cekaman PEG yang berhasil diperoleh mencapai lebih dari 5%. Hal ini dapat terjadi karena seleksi dilakukan terhadap ES yang telah mengalami sub-kultur berulang sehingga di antara ES yang diseleksi ada yang mengalami variasi somaklonal menjadi lebih toleran dari sel asalnya. Mekanisme fisiologis yang dilakukan tanaman agar insensitif/toleran terhadap potensial osmotik rendah antara lain dengan membentuk protein struktural untuk menjaga integritas membran sel (Fernanda et al. 1997), melakukan down regulation metabolisme sel (Leprince et al. 2000), meningkatkan aktivitas enzim acidic-phosphatase yang diperlukan untuk menjaga ketersediaan fosfat organik (Ehsanpour dan Amini 2003), atau meningkatkan akumulasi senyawa prolina dalam sel (Widoretno et al. 2004). Mekanisme fisiologis yang bekerja pada ES kacang tanah insensitif terhadap cekaman PEG masih perlu dievaluasi.

77 53 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan larutan PEG dalam media selektif dapat menghambat proliferasi ES kacang tanah dan tingkat penghambatan sekitar 95% (sub-letal) didapatkan pada konsentrasi PEG 15%. Sejumlah ES kacang tanah cv. Kelinci dan Singa yang insensitif terhadap cekaman PEG 15% berhasil diperoleh dari seleksi in vitro yang dilakukan dengan frekuensi 8%-10% pada kacang tanah cv. Kelinci dan 10%-12% pada kacang tanah cv. Singa. Tanaman R0 kacang tanah cv. Kelinci (62 tanaman) dan Singa (48 tanaman) berhasil diregenerasikan dari ES yang insensitif terhadap cekaman PEG dan ditumbuhkan di rumah kaca untuk menghasilkan benih R1 dan benih R2. Evaluasi respons tanaman R1 dan tanaman R2 terhadap cekaman kekeringan selanjutnya dilakukan setelah benih R1 dan R2 tersedia.

78 54 V. VARIAN KUALITATIF DAN KUANTITATIF KACANG TANAH HASIL KULTUR IN VITRO DAN HASIL SELEKSI IN VITRO Abstrak Kultur jaringan yang melibatkan fase kalus dapat menginduksi variasi somaklonal, yang intensitasnya antara lain dipengaruhi oleh penambahan bahan selektif dalam media kultur. Keragaman karakter variasi somaklonal pada tanaman hasil kultur in vitro dan hasil seleksi in vitro menggunakan bahan selektif PEG belum diketahui. Penelitian bertujuan 1) mengidentifikasi varian kualitatif pada tanaman kacang tanah cv. Kelinci hasil kultur in vitro dan hasil seleksi in vitro, 2) menduga faktor pengendali varian kualitatif, 3) mengidentifikasi varian kuantitatif pada tanaman kacang tanah hasil kultur in vitro dan hasil seleksi in vitro, 4) mengidentifikasi galur yang mempunyai varian kuantitatif positif. Embrio somatik varian kacang tanah cv. Kelinci hasil kultur dengan dan tanpa seleksi in vitro dikecambahkan dan diregenerasikan menjadi plantlet. Plantlet kemudian diaklimatisasi menjadi tanaman R0 dan dipelihara di rumah kaca. Dari galur R0 yang fertil diperoleh sejumlah turunan R1 dan R2. Tanaman kacang tanah yang ditumbuhkan dari benih dipelihara sebagai tanaman standar. Hasil penelitian menunjukkan 1) varian kualitatif pada tanaman kacang tanah cv. Kelinci hasil seleksi in vitro berupa percabangan melebar, percabangan berlebihan, daun pentafoliat, steril partial dan steril total, sedangkan varian pada tanaman hasil kultur in vitro lebih beragam, yaitu percabangan melebar, percabangan berlebihan, daun pentafoliat, steril partial, steril total, daun roset, daun varigata, ujung daun meruncing, daun hexafoliat, dan daun oktafoliat, 2) varian kualitatif yang diduga dikendalikan secara genetik oleh gen dominan adalah percabangan melebar, percabangan berlebihan, daun pentafoliat, daun hexafoliat, daun oktafoliat dan steril partial; yang diduga dikendalikan oleh gen resesif adalah daun hexafoliat, oktafoliat dan steril partial (pada populasi hasil seleksi in vitro); dan yang diduga bersifat epigenetik adalah daun roset, varigata dan ujung daun meruncing, 3) terdapat varian kuantitatif positif pada karakter bobot kering tajuk, tinggi tanaman, bobot kering akar dan bobot polong bernas, dan 4) galur tanaman yang mempunyai varian bobot kering akar positif adalah galur nomor K0-8, K0-30.2, K15-1 dan K15-2; sedangkan untuk bobot polong bernas adalah K0-2, K0-4, dan K15-4. Kata kunci : varian somaklonal, karakter kualitatif, karakter kuantitatif, seleksi in vitro, kultur in vitro

79 55 Abstract Tissue culture that passed callus phase can induce somaclonal variation, of which intensity was influenced by adding selective agent to culture media. Somaclonal variation of peanut plant regenerated from in vitro cultured and in vitro selected somatic embryo using PEG not yet understood. The objectives of this research were to 1) identify qualitative variant of Kelinci cultivar of peanut plant regenerated from in vitro cultured and in vitro selected somatic embryo using PEG and their progenies, 2) estimate the control factors of qualitative variant, 3) identify quantitative variant of Kelinci cultivar of peanut plant regenerated from in vitro cultured and in vitro selected somatic embryo using PEG and their progenies, 4) identify somaclonal variant line which have certain positive characters and can be addressed for further uses. Non selected and selected (PEG insensitive) variant somatic embryo of peanut were germinated and regenerated into plantlets. The plantlets were then acclimatized and transferred to polybags and were grown to mature in the glass-house. From fertile R0 lines, sufficient a number of R1 and R2 progenies were grown for evaluation. Peanut plant were also grown from seeds and used for standar control lines to somaclonal lines. The results showed that phenotypic variation on both qualitative and quantitative characters were observed among R0, R1 and R2 generation of somaclonal lines. Variant phenotype on qualitative characters observed included, wide branching, excessive branching, leaf variegation, leaflet number abnormality, leaf pointed tip, rosette leaf, complete sterility and male sterility. Variant phenotype of quantitative characters included plants with significantly higher plant dry weight, plant height, root dry weight and fertile pod weight. The data indicated that wide branch, excessive branch, leaflet number abnormality, male sterility and total sterility were genetically controlled, while variant phenotype rosette leaf, leaf variegation, and leaf pointed tip were epigenetically controlled. There were four lines with significantly higher root dry weight, those are K0-8, K0-30.2, K15-1, K15-2 and three lines with significantly higher fertile pod weight, those are K0-2, K0-4, and K15-4. Key words: somaclonal variant, qualitative characters, quantitative character, in vitro selection, in vitro culture

80 56 Pendahuluan Penggunaan teknik in vitro untuk mendapatkan plasma nutfah dengan karakter unggul baru memerlukan tersedianya teknik kultur jaringan yang efektif dan bahan penyeleksi yang tepat (Hammerschlag 1988). Teknik kultur jaringan diperlukan untuk menghasilkan embrio somatik (ES), menginduksi variasi somaklonal dan meregenerasikan ES varian menjadi tanaman dalam jumlah banyak. Bahan penyeleksi yang tepat diperlukan untuk menapis ES varian dengan karakter unggul yang diinginkan di antara ES varian dengan karakter yang tidak diinginkan. Teknik kultur jaringan, terutama yang melibatkan fase kalus, dapat menginduksi terjadinya variasi somaklonal, yaitu perubahan yang terjadi pada tanaman yang diregenerasikan dari kultur in vitro, pada umumnya bersifat heritable. Variasi somaklonal dapat diketahui dengan menganalisis fenotipe, protein, jumlah dan struktur khromosom, serta DNA (de Klerk 1990, Maraschin et al. 2002). Selain variasi somaklonal, sumber variasi lain yang dapat diamati pada tanaman regeneran adalah variasi epigenetik yang merupakan modifikasi ekspresi genetik, biasanya bersifat reversibel (Henikoff and Matzke 1997). Tipe dan intensitas variasi sering berbeda antar spesies atau kultivar maupun antar perlakuan. Dalam suatu percobaan mungkin terjadi perubahan yang sangat besar sehingga tanaman tampak abnormal, namun mungkin pula hanya sebagian kecil sedangkan sebagian besar karakter lain tetap menyerupai induknya (Hawbaker et al. 1993, Duncan et al. 1995). Kultur jaringan kacang tanah yang menginduksi terbentuknya ES dan variasi somaklonal, serta meregenerasikan tanaman varian secara efisien telah dibakukan. Teknik yang dikembangkan terbukti mampu menginduksi keragaman karakter kualitatif dan kuantitatif serta toleransi terhadap toksin yang disekresikan cendawan Sclerotium rolfsii (Yusnita et al. 2005). Keragaman di antara kultur ES kacang tanah diduga juga berpotensi untuk menghasilkan varian ES dengan karakter toleran terhadap cekaman kekeringan. Dari penelitian sebelumnya telah dikembangkan metode baku seleksi in vitro menggunakan PEG yang dapat digunakan untuk mengisolasi jaringan kacang tanah yang toleran cekaman kekeringan (Rahayu 2005). Penambahan bahan seleksi dalam media kultur merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi intensitas variasi somaklonal (Skirvin et al. 1994). PEG-6000 yang terbukti mampu menapis karakter toleransi kacang tanah

81 57 terhadap kekeringan (Rahayu 2005) diduga juga mampu menapis sifat-sifat lain yang berkait dengan karakter toleransi terhadap cekaman kekeringan. Dalam jaringan varian kacang tanah yang mampu hidup dalam media seleksi yang mengandung PEG diduga terjadi hambatan pada ekspresi gen yang menentukan sifat peka atau sifat lain yang berkaitan dengan kepekaan terhadap cekaman kekeringan. Sebaliknya, hambatan tersebut tidak terjadi pada jaringan varian yang berkembang dalam media kultur in vitro non-selektif. Oleh karena itu diduga ada perbedaan keragaman antara varian yang melewati tahap seleksi in vitro dengan yang tidak melewati tahap tersebut. Keragaman karakter akibat variasi somaklonal pada tanaman hasil kultur in vitro dan hasil seleksi in vitro menggunakan PEG belum diketahui sehingga perlu dievaluasi. Dalam penelitian ini tanaman hasil kultur in vitro adalah tanaman yang diregenerasikan dari ES yang berkembang dalam media in vitro (media MS + picloram 16 μμ), sedang tanaman hasil seleksi in vitro diregenerasikan dari ES yang berkembang dalam media selektif (media MS + pikloram 16 μμ + PEG %). Penelitian bertujuan 1) mengidentifikasi varian kualitatif pada tanaman kacang tanah hasil kultur in vitro dan hasil seleksi in vitro, 2) menduga faktor pengendali varian kualitatif, 3) mengidentifikasi varian kuantitatif pada tanaman kacang tanah hasil kultur in vitro dan hasil seleksi in vitro, 4) mengidentifikasi galur yang mempunyai varian kuantitatif positif. Bahan dan Metode Bahan Tanaman dan Induksi Variasi Somaklonal Dalam penelitian ini digunakan kalus embriogen dengan ES sekunder kacang tanah cv. Kelinci dan Singa yang diperoleh dari percobaan sebelumnya. Kalus embriogen yang berumur satu bulan di sub-kultur setiap bulan selama enam bulan dalam media MS-P16 padat untuk menginduksi terjadinya variasi somaklonal. Pertumbuhan ES Varian dalam Media Kultur dan Media Selektif serta Regenerasinya menjadi Tanaman R0 Pada sebagian percobaan kalus embriogen dengan ES varian diseleksi dalam media selektif yang mengandung PEG %. Identifikasi ES varian yang insensitif terhadap cekaman PEG dan regenerasinya menjadi tanaman R0 telah dilakukan pada percobaan sebelumnya.

82 58 Pada sebagian percobaan yang lain kalus embriogen dengan ES varian ditumbuhkan dalam media kultur non-selektif, yaitu MS-P16 cair tanpa penambahan PEG. Pada awal percobaan ditanam 500 kalus embriogen, masing-masing dengan 8 10 ES sehingga jumlah total ES yang ditumbuhkan mencapai ES. Kalus embriogen (lima eksplan per botol) ditanam dalam media kultur dan disub-kultur setiap bulan ke dalam media kultur yang masih segar, dalam kondisi gelap 24 jam. Setelah tiga bulan, ES yang masih hidup diisolasi dan ditanam dalam media MS-P16 padat selama dua bulan agar terjadi proliferasi. ES hasil proliferasi kemudian diregenerasikan menjadi tanaman R-0 melalui tahap-tahap yang sama dengan regenerasi ES hasil seleksi in vitro. Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman R0, R1 dan R2 Benih R0:1 yang dihasilkan oleh tanaman R0 yang diregenerasikan dari ES hasil seleksi in vitro dalam media PEG 15% (yang selanjutnya disebut populasi R0-K15) dan yang diregenerasikan dari ES hasil kultur in vitro tanpa seleksi PEG (yang selanjutnya disebut populasi R0-K0) ditanam untuk memperoleh tanaman generasi R1. Masing-masing nomor tanaman R0 ditumbuhkan 5 10 tanaman R1 tergantung pada jumlah polong bernas yang dihasilkan. Tanaman R1 ditumbuhkan dalam polybag berukuran 45 x 45 cm yang diisi 10 kg media tanam campuran tanah kebun, kompos dan pasir dengan perbandingan 2:1:1 (v/v) dan dipelihara di rumah kaca di Balitbiogen, Bogor. Pemeliharaan yang meliputi pemupukan, penyiraman, pengendalian gulma dan hama dilakukan seperti dijelaskan sebelumnya. Tanaman R1 dipelihara hingga panen, benih R1-2 dipanen secara terpisah dari setiap nomor. Benih R1-2 yang berasal dari nomor tanaman R1 terpilih, yaitu beberapa nomor yang menghasilkan polong bernas paling banyak, ditanam untuk memperoleh tanaman generasi R2. Masing-masing nomor R1 terpilih tersebut ditanam 10 benih R1-2. Tanaman R2 ditumbuhkan dalam polybag yang berisi media tanam dengan komposisi dan jumlah yang sama serta dipelihara dalam kondisi yang sama seperti penanaman R1. Pemeliharaan yang meliputi pemupukan, penyiraman, pengendalian gulma dan hama dilakukan seperti dijelaskan sebelumnya. Tanaman R2 dipelihara hingga panen, benih R2-3 dipanen secara terpisah dari setiap nomor. Sebagai kontrol adalah tanaman kacang tanah kultivar Kelinci yang ditumbuhkan dari benih yang diperoleh dari Balitbiogen, Bogor. Tanaman tersebut ditanam dan dipelihara dengan cara yang sama dengan tanaman yang berasal dari kultur.

83 59 Penentuan Varian Karakter yang diamati meliputi karakter kualitatif dan kuantitatif. Karakter kualitatif yang diamati adalah pola percabangan, intensitas percabangan, filotaksis (jumlah daun yang tumbuh pada satu buku), jumlah leaflet (anak daun) dalam satu daun majemuk, bentuk ujung daun, dan fertilitas. Pola percabangan dibedakan berdasarkan sudut antara batang dengan cabang primer menjadi tiga yaitu pola melebar (> 60 o ), medium (30 o 60 o ) dan meninggi (< 30 o ) (Setiawan 1998; Gambar 8). Intensitas percabangan ditentukan berdasarkan jumlah cabang primer yang tumbuh pada batang, jika 8 dinyatakan sebagai percabangan berlebihan. Filotaksis ditentukan berdasarkan jumlah daun majemuk yang tumbuh per buku pada sebagian besar buku yang terdapat pada suatu tanaman. Jika pada satu buku tumbuh lebih dari satu daun majemuk disebut daun roset. Jumlah anak daun ditentukan dengan menghitung jumlah anak daun dalam setiap daun majemuk, yang dalam satu individu mungkin tidak seragam. Bentuk ujung daun dibedakan menjadi dua macam, yaitu membulat dan meruncing. Dalam penelitian ini fertilitas dibedakan menjadi tiga, yaitu fertil (membentuk lebih dari lima polong per tanaman), steril partial (membentuk polong 1 5 per tanaman) dan steril total (tidak membentuk bunga atau polong sama sekali). Karakter kuantitatif yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah cabang primer, jumlah buku pada cabang utama, jumlah buku total, bobot basah tajuk, bobot kering tajuk, panjang akar pokok, jumlah akar cabang primer, bobot basah akar, bobot kering akar, jumlah polong total, dan jumlah polong bernas. Tajuk kering atau akar kering diperoleh dengan memanaskan tajuk atau akar dalam oven dengan suhu 80 o C selama tiga hari. a b c Gambar 8. Pola percabangan pada tanaman kacang tanah yang diregenerasikan dari ES hasil kultur dan seleksi in vitro. a. pola percabangan melebar, b. pola medium, c. pola meninggi

84 60 Keberadaan varian kualitatif ditentukan dengan mengamati suatu karakter pada tanaman hasil kultur atau seleksi in vitro dan membandingkannya dengan karakter sejenis pada tanaman standar yang berasal dari benih. Karakter pada tanaman hasil kultur atau seleksi in vitro yang berbeda dengan karakter pada tanaman standar ditetapkan sebagai varian, kemudian dihitung frekuensinya. Keberadaan varian kuantitatif ditentukan dengan mengukur suatu karakter pada semua individu dari semua populasi, menentukan kisaran nilai kemudian mengelompokkan kisaran tersebut menjadi lima kelas. Dari setiap kelas dibuat distribusi frekuensi untuk masing-masing populasi. Tanaman hasil kultur atau seleksi in vitro yang mempunyai nilai yang lebih besar atau lebih kecil dari kisaran tanaman standar ditetapkan sebagai varian somaklonal. Varian yang teramati pada generasi R0 dicatat dan diamati kembali pada generasi R1 dan R2 turunannya. Bila suatu varian muncul pada generasi R0 tetapi tidak muncul lagi pada generasi R1 maupun R2, maka varian tersebut diduga dikendalikan secara epigenetik. Sebaliknya bila suatu varian selalu tampak pada generasi R0, R1 dan R2 turunannya, atau tidak muncul pada R0 tetapi muncul pada R1 dan R2 diduga merupakan karakter genetik. Hasil Tanaman R0, R1 dan R2 Hasil regenerasi ES kacang tanah cv. Singa hasil seleksi in vitro tidak menghasilkan tanaman yang fertil, sehingga tidak dapat diamati lebih lanjut. Regenerasi ES kacang tanah cv. Kelinci menghasilkan 38 tanaman hasil kultur in vitro (tanaman R0-K0) dan 24 tanaman hasil seleksi in vitro (tanaman R0-K15) yang mencapai umur reproduktif. Sepuluh tanaman R0-K0 tidak menghasilkan bunga, delapan tanaman membentuk benih yang tidak viabel, sehingga hanya zuriat dari 20 tanaman R0-K0 yang dievaluasi lebih lanjut. Pada R0-K15, hanya sembilan tanaman yang dapat membentuk benih yang viabel, sedangkan delapan tanaman tidak berbunga dan tujuh tanaman menghasilkan bunga namun biji tidak viabel. Zuriat dari sembilan tanaman tersebut dievaluasi lebih lanjut. Varian Kualitatif Tanaman standar yang ditumbuhkan dari benih mempunyai pola percabangan medium; percabangan normal (3-5 cabang primer); filotaksis tersebar (dalam satu buku tumbuh satu daun majemuk), daun majemuk tetrafoliat (empat anak daun), ujung daun membulat, dan fertil.

85 61 Karakter-karakter kualitatif pada populasi R0-K15 yang berbeda dengan tanaman standar meliputi percabangan melebar (Gambar 8.a), percabangan berlebihan (Gambar 9.j), daun pentafoliat (Gambar 9.e, 9.f), steril partial dan steril total. Pada populasi R0-K0, selain beberapa karakter tersebut teridentifikasi pula daun roset (Gambar 9.a dan 9.b), varigata (Gambar 9.c) dan ujung daun meruncing (Gambar 9d). Karakter kualitatif pada populasi R1-K15 yang berbeda dengan tanaman standar meliputi percabangan melebar, daun pentafoliat dan steril partial. Pada populasi R1-K0, selain ketiga karakter tersebut teramati pula percabangan berlebihan dan daun hexafoliat atau oktafoliat (Gambar 9.g dan 9.h). Pada generasi berikutnya variasi kualitatif yang muncul pada populasi R2- K15 hanyalah percabangan melebar dan daun pentafoliat, sedangkan pada populasi R2-K0 tampak daun hexafoliat dan steril parsial. Perbedaan-perbedaan tersebut merupakan varian somaklonal. Tabel 9. Jenis, frekuensi dan persentase varian kualitatif pada tanaman hasil kultur in vitro (K0) dan seleksi in vitro (K15) generasi R0, R1 zuriat R0 dan R2 zuriat R1 Jenis Varian Popula si Frekuensi dan persentase varian pada generasi R0 R1 R2 Percabangan melebar K0 38/38 (100) 16/20 80) 2/20 (10) Percabangan berlebihan 27/38 (71) 1/20 (5) 0/20 (0) Filotaksis daun roset 4 / 38 (10) 0/20 (0) 0/20 (0) Daun pentafoliat 10 / 38 (26) 10/20 50) 5/20 (25) Daun hexafoliat atau lebih 0 / 38 (0) 7/20 (35) 5/20 (25) Ujung daun meruncing 6 / 38 (16) 0/20 (0) 0/20 (0) Varigata pada ujung daun 3/38 (8) 0/20 (0) 0/20 (0) Steril partial 8 / 38 (21) 4/20 (20) 4/20 (20) Steril total 10 / 38 (26) 0/20 (0) 0/20 (0) Percabangan melebar K15 24 / ) 8/9 (88) 1/9 (11) Percabangan berlebihan 18/24 (75) 0/9 (0) 0/9 (0) Filotaksis daun roset 0 / 24 (0) 0/9 (0) 0/9 (0) Daun pentafoliat 10 / 24 (42) 7/9 (77) 4/9 (44) Daun hexafoliat atau lebih 0 / 24 (0) 0/9 (0) 0/9 (0) Ujung daun meruncing 0 / 24 (0) 0/9 (0) 0/9 (0) Varigata pada ujung daun 0/24 (0) 0/9 (0) 0/9 (0) Steril partial 7 / 24 (29) 1/9 (11) 0/9 (0) Steril total 8 / 24 (33) 0/9 (0) 0/9 (0) Keterangan: Frekuensi dan persentase varian x/y (z) : x menunjukkan banyaknya nomor tanaman R0/R1/R2 yang mempunyai karakter varian, y menunjukkan banyaknya nomor tanaman R0/R1/R2 total yang dievaluasi, z merupakan angka persentase (x/y x 100%)

86 62 a b c d e i f g h j Gambar 9. Varian kualitatif pada tanaman kacang tanah hasil kultur dan seleksi in vitro. a. Daun roset (pada satu buku tumbuh 2 daun majemuk), b. daun roset (pada satu buku tumbuh dua daun majemuk), c. varigata pada tepi ujung daun, d. bentuk ujung daun meruncing, e. daun majemuk dengan lima leaflet; ukuran leaflet sama, f. ukuran leaflet tidak sama, g. daun majemuk dengan enam leaflet, h. daun majemuk dengan 8 leaflet, i. daun majemuk dengan 4, 5, dan 6 leaflet pada yang tumbuh pada satu ranting, j. percabangan berlebihan Persentase keberadaan varian suatu karakter berbeda antar populasi dan antar generasi. Pada umumnya persentase varian berkurang dari satu generasi ke generasi berikutnya, kecuali varian daun hexafoliat pada populasi K-0. Varian percabangan melebar dan daun pentafoliat muncul pada generasi R0, R1 dan R2 baik pada populasi tanaman hasil kultur maupun hasil seleksi in vitro. Varian percabangan berlebihan teridentifikasi dalam persentase yang cukup tinggi pada generasi R0, pada populasi tanaman hasil kultur sebesar 71% dan hasil seleksi in vitro sebesar 75%. Pada generasi selanjutnya (R1) varian tersebut hanya muncul pada tanaman hasil kultur in vitro sebesar 5% (Tabel 9). Varian filotaksis daun roset, ujung daun meruncing, dan daun varigata hanya tampak pada populasi tanaman hasil kultur in vitro generasi R0, masingmasing sebesar 10%, 16% dan 8%. Pada generasi selanjutnya dan pada populasi tanaman hasil seleksi in vitro varian tersebut tidak terdeteksi. Pada tanaman hasil kultur in vitro, varian daun hexafoliat tidak teridentifikasi pada generasi R0, namun muncul pada R1 (35%) dan R2 (25%). Pada populasi tanaman hasil seleksi in vitro, tidak ada satupun tanaman yang menunjukkan varian tersebut (Tabel 9).

87 63 Evaluasi keragaman varian kualitatif juga menunjukkan bahwa varian steril partial muncul pada generasi R0, R1 dan R2 pada populasi tanaman hasil kultur in vitro, sedangkan pada tanaman hasil seleksi in vitro hanya muncul pada generasi R1 dan R2. Varian steril total hanya terdeteksi pada generasi R0 pada dua populasi yang dievaluasi (Tabel 9). Varian Kuantitatif Pertumbuhan tajuk tanaman yang diregenerasikan dari ES hasil kultur in vitro (populasi R0-K0) yang ditunjukkan oleh rataan tinggi, jumlah cabang primer, jumlah buku pada batang utama, jumlah buku total, bobot basah tajuk dan bobot kering tajuk, nyata lebih tinggi dibanding tanaman standar. Pada populasi R1-K0 dan R2-K0 nilai rataan semua peubah pertumbuhan tajuk menurun sehingga tidak berbeda nyata atau lebih rendah dibandingkan tanaman standar. Pada tanaman yang diregenerasikan dari ES hasil seleksi in vitro (populasi R0-K15) pertumbuhan tajuk relatif lebih tinggi dibanding tanaman standar. Pada populasi R1-K15 dan R2-K15 rataan nilai pertumbuhan tajuk menurun sehingga nyata lebih rendah dibanding tanaman standar, kecuali karakter jumlah cabang primer (Tabel 10). Tabel 10. Rataan nilai dan ragam karakter kuantitatif pertumbuhan tajuk pada populasi tanaman hasil kultur in vitro dan hasil seleksi in vitro generasi R0, R1 zuriat R0 dan R2 zuriat R1 Karak Tan. Rataan nilai dan ragam pada populasi -ter standar R0-K0 R1-K0 R2-K0 R0-K15 R1-K15 R2-K15 TT 68,53 b 101,05 a 60,47 b 37,17 c 70,00 b 35,10 c 36,7 c (156,25) (132,86) (131,56 (67,40) (711,29) (154,75) (85,56) JCP 3,05 b 11,31 a 4,31 b 3,89 b 11,46 a 4,40 b 3,77 b (0,05) (28,72) (0,96) (0,20) (15,76) (0,83) (22,09) JBCU 20,84 b 26,10 a 18,38 b 12,59 c 22,21 ab 14,64 c 12,57 c (5,81) (66,25) (11,28) (3,65) (36,36) (14,28) (5,34) JBT 83,10 b 158,76 a 75,19 b 51,41 d 147,29 a 63,64 c 48,84 d (127,23) (744,94) (702,78) (143,04) (2170,63) (503,10) (109,83) BTB 109,66 c 279,13 a 88,13 c 36,85 e 186,22 b 60,76 d 35,21 e (78,51) (2504,93) (454,11) (39,40) (1946,58) (796,37) (240,87) BTK 25,39 c 76,87 a 21,33 c 13,18 d 45,48 b 15,94 d 11,33 d (39,19) (2470,09) (57,45) (30,47) (1218,01) (55,50) (17,72) Keterangan: TT : tinggi tanaman; JCP: jumlah cabang primer; JBCU: jumlah buku pada cabang utama; JBT: jumlah buku total; BTB: bobot tajuk basah; BTK: bobot tajuk kering. Angka dalam satu baris yang diikuti huruf sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 5% berdasarkan uji DMRT.

88 64 Pada populasi tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro, nilai ragam peubahpeubah pertumbuhan tajuk, kecuali peubah tinggi tanaman, pada generasi R0 dan R1 pada umumnya jauh di atas tanaman standar. Pada generasi R2 nilai ragam menurun sehingga lebih rendah dibanding tanaman standar (Tabel 10). Pertumbuhan akar tanaman populasi R0-K0 secara umum tidak berbeda nyata dengan tanaman standar, sebaliknya pada populasi R1-K0 dan R2-K0, pertumbuhan akar nyata lebih rendah dibanding tanaman standar. Pada tanaman hasil seleksi in vitro semua generasi rataan semua peubah pertumbuhan akar nyata lebih rendah dibanding tanaman standar. Nilai ragam peubah-peubah pertumbuhan akar pada generasi R0 dan R1 ada yang lebih tinggi ada pula yang lebih rendah dibanding tanaman standar, tetapi pada generasi R2 secara umum lebih rendah dibanding tanaman standar. Jumlah polong total, jumlah polong bernas dan bobot polong bernas pada populasi K0 dan K15 semua generasi nyata lebih rendah, sebaliknya nilai ragam peubah-peubah tersebut pada semua generasi lebih tinggi dibanding tanaman standar (Tabel 11). Tabel 11. Rataan nilai dan ragam karakter kuantitatif pertumbuhan akar dan hasil pada populasi tanaman hasil kultur dan hasil seleksi in vitro generasi R0, R1 zuriat R0, dan R2 zuriat R1 pada kacang tanah kultivar Kelinci Karak- Tan. Rataan nilai dan ragam pada populasi ter standar R0-K0 R1-K0 R2-K0 R0-K15 R1-K15 R2-K15 PAP 22,74 a 19,63 b 20,19 b 23,87 a 16,75 b 18,45 b 18,03 b (33,79) (37,94) (46,64) (153,26) (46,64) (20,43) (54,76) JACP 31,89 a 10,08 c 17,35 b 14,35 b 7,33 c 12,51 b 14,61 b (29,26) (22,96) (20,61) (19,01) (12,81) (16,24) (15,76) BAB 4,19 a 4,01 a 1,56 c 1,12 c 2,67 b 1,71 c 1,05 c (1,21) (5,15) (0,84) (0,34) (4,16) (0,39) (0,35) BAK 1,04 a 1,11 a 0,53 b 0,37 c 0,79 ab 0,47 c 0,32 c (0,07) (1,32) (0,14) (0,04) (0,47) (0,03) (0,03) JPT 22,47 a 12,79 b 13,84 b 12,38 b 11,46 b 11,67 b 9,77 b (32,26) (148,11) (38,19) (32,03) (136,65) (28,72) (36,48) JPB 14,21 a 7,13 c 8,64 b 6,64 cd 6,75 c 9,40 b 5,73 d (12,39) (55,20) (24,80) (15,21) (51,41) (22,46) (25,00) BPK 20,45 a 11,76 b 12,49 b 8,59 c 7,32 c 15,25 b 8,24 c (23,20) (166,15) (46,65) (34,10) (86,30) (58,36) (30,33) Keterangan : PAP: panjang akar pokok; JACP: jumlah akar cabang primer; BAB: bobot akar basah; BAK: bobot akar kering; JPT: jumlah polong total; JPB: jumlah polong bernas; BPK: bobot polong kering. Angka dalam satu baris yang diikuti huruf sama berarti tidak berbeda nyata pada taraf signifikansi 5%.

89 65 Untuk bobot kering tajuk, masing-masing 28, dua dan sembilan galur dari populasi R0-K0, R1-K0 dan R0-K15 mempunyai bobot kering tajuk lebih besar dibanding tanaman standar. Tidak ada galur dengan bobot kering tajuk yang lebih kecil dibanding tanaman standar. Populasi R0-K0, R1-K0, R2-K0, R0-K15, R1-K15, dan R2-K15 masing-masing mempunyai lima, 15, 59, delapan, 33, dan 43 galur yang mempunyai tinggi tanaman lebih rendah, sedangkan 20 dan dua galur dari populasi R0K0 dan R0-K15 mempunyai tinggi tanaman lebih tinggi dibanding tanaman standar (Gambar 10). jumlah galur A B C D E kisaran tinggi tanaman (cm) jumlah galur A B C D E kisaran bobot kering tajuk (g) Gambar 10. Distribusi frekuensi tinggi tanaman dan bobot kering tajuk kacang tanah populasi tanaman standar, tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro. Tanaman standar ( ), R0-K0 ( ), R1-K0 ( ), R2-K0 ( ), R0- K15 ( ), R1-K15 ( ) dan R2-K15 ( ). Kisaran tinggi tanaman A (x<47,4), B (47,4 x<76,8), C (76,8 x<106,2), D (106,2 x<135,6), E (135,6 x<165); kisaran bobot kering tajuk A (x<38,4), B (38,4 x<75,0), C (75,0 x<111,7), D (111,7 x<148,3), E (148,3 x<185). Tanda anak panah menunjukkan nilai terendah dan tertinggi populasi tanaman standar

90 66 Sebagian besar galur dalam populasi R0-K0, R1-K0, R2-K0, R0-K15, R1- K15 dan R2-K15, masing-masing sebanyak 36, 72, 58, 24, 37, dan 35 galur mempunyai jumlah akar cabang lebih sedikit dibandingkan tanaman standar, dan tidak ada satupun galur yang mempunyai jumlah akar cabang lebih banyak daripada tanaman standar (Gambar 11). Untuk karakter bobot kering akar, masing-masing dua, satu dan satu galur dari populasi R0-K0, R1-K0 dan R0-K15 mempunyai bobot kering akar lebih tinggi dibanding bobot kering akar tanaman standar, dan tidak ada satupun galur yang mempunyai bobot kering akar yang lebih kecil dibanding tanaman standar (Gambar 11). jumlah galur A B C D E kisaran jumlah akar cabang primer jumlah galur A B C D E kisaran bobot kering akar (g) Gambar 11. Distribusi frekuensi jumlah akar cabang primer dan bobot kering akar tanaman standar serta tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro. Tanaman standar ( ), R0-K0 ( ), R1-K0 ( ), R2-K0 ( ), R0-K15 ( ), R1-K15 ( ) dan R2-K15 ( ). Kisaran jumlah akar cabang primer A (x<11,2), B (11,2 x<19,4), C (18,4 x<27,6), D (27,6 x<35,8), E (35,8 x<44,0); kisaran bobot kering akar A (x<0,72), B (0,72 x<1,34), C (1,34 x<1,96), D (1,96 x<2,58), E (2,58 x<3,20). Tanda anak panah menunjukkan nilai terendah dan tertinggi populasi tanaman standar

91 67 jumlah galur A B C D E kisaran jumlah polong bernas jumlah galur A B C D E kisaran bobot polong bernas (g) Gambar 12. Distribusi frekuensi jumlah polong bernas dan bobot polong bernas tanaman standar serta tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro. Tanaman standar ( ), R0-K0 ( ), R1-K0 ( ), R2-K0 ( ), R0-K15 ( ), R1-K15 ( ) dan R2-K15 ( ). Kisaran jumlah polong bernas A (x<5,2), B (5,2 x<10,4), C (10,4 x<15,6), D (15,6 x<20,8), E (20,8 x<26,0); kisaran bobot polong bernas A (x<8,44), B (8,44 x<16,88), C (16,88 x<25,32), D (25,32 x<33,75), E (33,75 x<42,20). Tanda anak panah menunjukkan nilai terendah dan tertinggi populasi tanaman standar Untuk karakter jumlah polong bernas, dari populasi R0-K0, R1-K0, R2-K0, R0-K15, R1-K15 dan R2-K15 terdapat masing-masing 20, 22, 24, lima, tujuh dan 23 galur yang mempunyai jumlah polong bernas lebih sedikit dibanding tanaman standar. Tidak ada satupun galur yang mempunyai jumlah polong lebih besar daripada tanaman standar (Gambar 12). Di antara galur-galur pada populasi R0-K0, R1-K0, R2-K0, R0-K15, R1-K15 dan R2-K15 masing-masing terdapat 19, 25, 29, 17, tujuh, 26 dan tiga galur yang mempunyai bobot polong bernas lebih kecil daripada tanaman standar. Terdapat tiga galur dari populasi R0-K0 yang mempunyai bobot polong bernas lebih besar dibandingkan tanaman standar (Gambar 12).

92 68 Pembahasan Varian kualitatif yang muncul pada tanaman hasil seleksi in vitro dalam media dengan PEG 15% (populasi K15) lebih rendah tingkat keragamannya dibanding yang muncul pada tanaman hasil kultur in vitro (populasi K0). Pada populasi K15 muncul varian berupa percabangan melebar, percabangan berlebihan, daun pentafoliat, steril partial dan steril total; sedangkan pada populasi K0, selain lima karakter tersebut teridentifikasi pula munculnya daun roset, daun varigata, ujung daun meruncing, daun hexafoliat, dan daun oktafoliat. Perbedaan intensitas variasi tersebut diduga sebagai akibat perbedaan perlakuan yang dialami embrio somatik (ES) yang menghasilkan tanaman K0 dan K15. ES yang diregenerasikan menjadi tanaman K0 mengalami sub-kultur sebanyak enam kali, sedangkan yang diregenerasikan menjadi tanaman K15 selain mengalami sub-kultur enam kali juga mengalami seleksi dalam media selektif PEG 15% selama tiga bulan dengan tiga kali sub-kultur. Dengan demikian variasi yang muncul pada tanaman K0 terjadi akibat pengaruh subkultur berulang terhadap perubahan materi atau ekspresi genetik pada jaringan eksplan atau kalus. Pikloram (asam 4-amino,3.5.6.trikhloropikolinat, suatu herbisida yang dalam konsentrasi rendah berperan sebagai fitohormon auksin) yang ditambahkan dalam media kultur menginduksi pembelahan sel terus menerus dengan kecepatan yang tinggi. Pembelahan sel yang cepat tersebut dapat mengakibatkan perubahan dalam proses replikasi materi genetik atau pada faktor-faktor pengendali ekspresi genetik, sehingga juga mengakibatkan perubahan pada fenotipe tanaman (Wikipedia 2006). Perubahan yang terjadi bersifat acak pada berbagai karakter. Hasil tersebut sejalan dengan hasil penelitian pada kedelai. Frekuensi variasi somaklonal pada tanaman kedelai antara lain dipengaruhi oleh konsentrasi auksin dalam media tumbuh. Pada media dengan 22,5 μm 2.4.D terbentuk varian sebesar 40%, sedangkan dengan 18 μm terbentuk 3 % dari tanaman regeneran (Shoemaker et al. 1991). Variasi yang muncul pada populasi K15 terjadi bukan hanya akibat pengaruh sub-kultur seperti di atas, melainkan juga pengaruh tekanan seleksi dari bahan penyeleksi PEG. Oleh karena itu variasi yang muncul akibat pengaruh sub-kultur ada kemungkinan tereliminasi oleh tekanan seleksi, sehingga

93 69 keragaman yang muncul pada tanaman hasil seleksi lebih rendah dibandingkan tanaman hasil kultur in vitro (Skirvin et al. 1994) Pada umumnya persentase munculnya varian kualitatif berkurang dari satu generasi ke generasi berikutnya. Varian percabangan berlebihan teridentifikasi dalam persentase yang cukup tinggi pada generasi R0, namun menurun tajam pada generasi R1. Varian filotaksis daun roset, ujung daun meruncing, dan daun varigata hanya tampak pada populasi tanaman hasil kultur in vitro generasi R0 dengan persentase yang relatif kecil. Pada generasi selanjutnya dan pada populasi tanaman hasil seleksi in vitro varian tersebut tidak terdeteksi. Persentase varian yang tinggi pada generasi R0 mungkin disebabkan oleh pengaruh kondisi kultur yang mampu mengubah fenotipe tanaman, namun perubahan tersebut tidak permanen atau bersifat epigenetik. Epigenetik merupakan modifikasi dalam ekspresi genetik, tetapi cenderung reversibel akibat perubahan struktur kromatin dan atau metilasi DNA, atau amplifikasi gen (Henikoff dan Matzke 1997, Tremblay et al. 1999, Wikipedia 2006). Pada generasi lanjut perubahan pada mekanisme epigenetik makin berkurang sehingga keragaan tanaman yang diregenerasikan melalui tahap kultur in vitro lebih mendekati keragaan tanaman standar (Henikoff dan Matzke 1997). Varian steril total tidak dapat dianalisis lebih lanjut karena tidak menghasilkan benih. Varian percabangan melebar dan daun pentafoliat muncul pada generasi R0, R1 dan R2 baik pada populasi tanaman K0 maupun K15. Varian steril partial muncul pada generasi R0, R1 dan R2 untuk populasi tanaman K0. Varian karakter-karakter tersebut diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini berarti variasi somaklonal untuk tiga karakter tersebut diduga dikendalikan oleh faktor genetik, yang mungkin diakibatkan oleh perubahan dalam struktur gen-gen yang terlibat pada pola percabangan dan jumlah anak daun dalam satu daun majemuk. Varian genetik juga ditemukan pada tanaman gandum. Pada tanaman regeneran gandum terjadi variasi somaklonal sebesar 5% untuk sifat morfologi dan biokimia. Karakter tersebut, baik yang dikendalikan secara monogenik maupun poligenik, terbukti diturunkan sampai dua generasi (Larkin et al. 1984). Pada tanaman hasil kultur in vitro, varian daun hexafoliat dan oktafoliat tidak teridentifikasi pada generasi R0, namun muncul pada R1 dan R2. Pada tanaman hasil seleksi in vitro, varian steril partial juga tidak teridentifikasi pada generasi R0, tetapi muncul pada generasi R1 dan R2. Varian karakter-karakter

94 70 tersebut diduga dikendalikan oleh gen resesif. Semua tanaman generasi R0 diduga mempunyai genotipe heterozigot sehingga fenotipe varian tersebut tidak muncul. Pada generasi selanjutnya mungkin terjadi rekombinasi gen yang mengakibatkan susunan genotipe homozigot dan fenotipe varian muncul pada beberapa tanaman. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa regenerasi tanaman yang melalui tahap kultur in vitro dan penggunaan fitohormon dalam kultur in vitro dapat menginduksi variasi somaklonal. Pada Picea mariana dan P. glauca yang diregenerasikan melaui embriogenesis somatik teridentifikasi ada sembilan kelompok varian untuk karakter kualitatif. Beberapa tipe varian terbentuk akibat instabilitas khromosom, khususnya aneuploid. Dalam penelitian tersebut instabilitas khromosom diakibatkan oleh perbedaan klon dan lama waktu dalam kultur (Tremblay et al. 1999). Induksi kalus dengan pikloram dan BA dapat menghasilkan variasi genetik pada Lycopersicon esculentum Mill. Koefisien kesamaan genetik menunjukkan bahwa semua tanaman regeneran mempunyai tingkat perbedaan genetik yang bervariasi dengan tanaman induk (Soniya et al. 2001). Pada tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro, pertumbuhan tajuk tanaman generasi R0 lebih tinggi dibanding tanaman standar; tetapi pada generasi R1 dan R2 pertumbuhan tajuk menurun sehingga lebih rendah dibandingkan tanaman standar. Nilai ragam peubah-peubah pertumbuhan tajuk pada generasi R0 dan R1 pada umumnya jauh di atas tanaman standar. Pertumbuhan akar pada tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro secara umum lebih rendah dibanding tanaman standar untuk semua generasi, namun nilai ragam beberapa peubah pertumbuhan akar tertentu lebih tinggi dibanding tanaman standar. Hasil panen pada tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro juga lebih rendah dibanding tanaman standar untuk semua generasi. Walaupun demikian, nilai ragam peubah-peubah tersebut pada semua generasi lebih tinggi dibanding tanaman standar. Nilai ragam yang lebih tinggi pada sejumlah peubah pertumbuhan tajuk, akar dan hasil menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan telah dapat menginduksi variasi somaklonal untuk karakter kuantitatif. Munculnya varian kuantitatif pada beberapa peubah diperjelas dengan adanya beberapa galur tanaman yang mempunyai nilai peubah yang lebih tinggi dibanding nilai tanaman stándar, atau merupakan varian positif. Dari tiga populasi yang dievaluasi, varian positif untuk peubah bobot kering tajuk

95 71 sebanyak 39 galur, untuk tinggi tanaman sebanyak 22 galur, untuk bobot kering akar sebanyak empat galur, dan untuk bobot polong bernas sebanyak tiga galur. Varian positif untuk bobot kering tajuk dan tinggi tanaman bukan merupakan varian yang diharapkan dalam pengembangan galur yang toleran terhadap cekaman kekeringan. Biomassa tajuk yang tinggi akan menurunkan nisbah akar/tajuk, dan hal ini secara teoritis akan menurunkan toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan (Blum 1996). Varian positif untuk bobot kering akar secara potensial mempunyai toleransi terhadap kekeringan yang lebih tinggi dibanding tanaman standar, tetapi toleransi tersebut dicapai melalui mekanisme avoidance dengan membentuk akar yang intensif. Varian tersebut berasal dari populasi tanaman hasil kultur in vitro sebanyak dua galur, yaitu nomor K0-8 dan K0-30.2, dan dari tanaman hasil seleksi in vitro sebanyak dua galur, yaitu nomor K-15.1 dan K Meskipun potensial mempunyai toleransi terhadap cekaman kekeringan, namun dalam penelitian ini tidak diharapkan karena mekanisme yang dilakukan merupakan mekanisme avoidance yang dapat menurunkan daya hasil. Galur dengan varian positif untuk bobot polong bernas merupakan galur yang potensial dikembangkan sebagai galur harapan. Galur-galur tersebut berasal dari populasi tanaman hasil kultur in vitro sebanyak dua galur, yaitu K0-2 dan K0-4, dan dari populasi tanaman hasil seleksi in vitro sebanyak satu galur, yaitu K15-4. Penelitian ini sejalan dengan penelitian-penelitian yang dilakukan sebelumnya yang mengindikasikan bahwa kultur jaringan dapat menginduksi variasi somaklonal khusus yang berperan dalam pengembangan galur baru. Variasi somaklonal terbukti telah dapat diterapkan untuk pengembangan jagung yang toleran aluminium (Moon et al. 1997), peningkatan toleransi terhadap suhu rendah pada padi (Bertin dan Bouharmont 1997), peningkatan produktivitas pada sorghum (Maralappanavar et al. 2000), peningkatan kualitas hasil dan toleransi terhadap lingkungan salin pada Distichis spicata (Seliskar dan Gallagher 2000), peningkatan hasil pada Secale cereale L (Trojanovska 2002), dan gandum yang toleran terhadap kekeringan (Bajji et al. 2004). Simpulan Varian somaklonal kualitatif yang muncul pada tanaman kacang tanah hasil seleksi in vitro berupa percabangan melebar, percabangan berlebihan, daun

96 72 pentafoliat, steril partial dan steril total. Varian somaklonal yang muncul pada tanaman hasil kultur in vitro lebih beragam, yaitu percabangan melebar, percabangan berlebihan, daun pentafoliat, steril partial, steril total, daun roset, daun varigata, ujung daun meruncing, daun hexafoliat, dan daun oktafoliat. Varian kualitatif yang diduga dikendalikan secara genetik adalah percabangan melebar, percabangan berlebihan, daun pentafoliat, daun hexafoliat, daun oktafoliat dan steril partial. Varian daun hexafoliat, oktafoliat dan steril partial (pada populasi hasil seleksi in vitro) diduga dikendalikan oleh gen resesif. Varian yang dikendalikan secara epigenetik adalah daun roset, daun varigata dan ujung daun meruncing. Nilai ragam yang lebih besar dan distribusi frekuensi yang lebih luas untuk sejumlah peubah pertumbuhan pada tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro dibanding pada tanaman stándar mengindikasikan terjadinya variasi somaklonal pada karakter kuantitatif. Varian kuantitatif yang bersifat positif tampak pada karakter bobot kering tajuk, tinggi tanaman, bobot kering akar dan bobot polong bernas. Galur tanaman yang mempunyai varian positif untuk bobot kering akar adalah nomor K0-8, K0-30.2, K15-1 dan K15-2; sedangkan yang mempunyai varian positif untuk bobot polong bernas adalah K0-2, K0-4, dan K15-4.

97 VI. TOLERANSI GALUR KACANG TANAH HASIL KULTUR DAN SELEKSI IN VITRO TERHADAP CEKAMAN AKIBAT PENYIRAMAN PEG Abstrak Kultur dan seleksi in vitro terbukti dapat menginduksi variasi somaklonal pada kacang tanah, baik karakter kualitatif maupun kuantitatif. Kultur dan seleksi in vitro diduga juga dapat menghasilkan tanaman varian yang toleran terhadap kekeringan akibat penyiraman PEG. Penelitian bertujuan 1) membandingkan respon terhadap cekaman PEG antara tanaman kacang tanah cv. Kelinci hasil kultur dan hasil seleksi in vitro dengan tanaman yang tumbuh dari benih sebagai tanaman standar, 2) membandingkan tingkat toleransi terhadap cekaman PEG pada tanaman kacang tanah cv. Kelinci hasil kultur dan seleksi in vitro dengan tanaman standar, 3) menduga mekanisme toleransi terhadap cekaman PEG pada tanaman kacang tanah cv. Kelinci hasil kultur dan seleksi in vitro. Kecambah ditumbuhkan dalam media campuran arang sekam dan pupuk kandang (1:1 v/v). Larutan PEG 15% disiramkan ke dalam pot setiap dua hari sejak tanaman mempunyai empat daun yang telah membuka sempurna sampai umur tujuh minggu. Hasil penelitian menyimpulkan 1) cekaman akibat penyiraman PEG 15% pada fase vegetatif menurunkan pertumbuhan tajuk, tetapi tidak berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan akar; dan respon pertumbuhan terhadap cekaman PEG pada tanaman kacang tanah cv. Kelinci hasil kultur atau seleksi in vitro mempunyai distribusi frekuensi yang lebih luas dan ragam yang lebih besar dibanding tanaman standar, 2) tanaman kacang tanah cv. Kelinci hasil kultur dan seleksi in vitro mempunyai tingkat toleransi yang lebih tinggi terhadap cekaman PEG dibandingkan tanaman stándar, 3) nisbah akar/tajuk dan panjang akar primer tidak mempunyai hubungan yang berarti dengan toleransi tanaman kacang tanah cv. Kelinci terhadap cekaman PEG. Kata kunci: toleransi kekeringan, PEG, kultur in vitro, seleksi in vitro, kacang tanah

98 74 Abstract In vitro culture and in vitro selection have been proved to result somaclonal variation on peanut, both qualitative and quantitative characters. In vitro culture and in vitro selection were estimated to result variant plant with drought stress tolerance. The aims of this study were to 1) compare the growth response to PEG stress between Kelinci cultivar of peanut plants regenerated from in vitro cultured and in vitro selected somatic embryos with plants regenerated from seed as control cultivar, 2) compare tolerance level to drought stress induced by PEG of Kelinci cultivar of peanut plants regenerated from in vitro cultured and in vitro selected somatic embryos with plants regenerated from seed as control cultivar, and 3) estimate the Kelinci cultivar of peanut plants tolerance mechanism to drought stress induced by PEG. Variant peanut seedlings were grown individually in plastic pot (600 ml) containing a mixture of rice-hull charcoal and manure (1:1, v/v). The seedlings were poured with PEG liquid (15%) every two days since they have four leaves until seven week after planting. The results of the experiment indicated 1) stress induced by PEG 15% solute at vegetative growth stage reduced shoot growth, but did not affect negatively on root growth; Kelinci cultivar of peanut plants regenerated from in vitro cultured and in vitro selected somatic embryo have wider frequency distribution growth response and greater varians than the control plants, 2) Kelinci cultivar of peanut plants regenerated from in vitro cultured and in vitro selected somatic embryo have higher tolerance level to stress induced by PEG than the control plant, 3) no significant correlation between root / shoot ratio and primary root length with tolerance of Kelinci cultivar peanut plants to drought stress induced by PEG. Key words: drought tolerance, PEG, in vitro culture, in vitro selection, peanut

99 75 Pendahuluan Karakter toleransi terhadap cekaman kekeringan pada prinsipnya berkait dengan upaya tanaman untuk menjaga keseimbangan osmotik dengan cara meningkatkan penyerapan air dan menurunkan kehilangan air. Ciri penting yang harus diamati untuk menentukan toleransi terhadap kekeringan antara lain bobot kering organ vegetatif saat panen dan bobot kering polong (Rachaputi dan Wright 2003). Menurut Mitra (2001) upaya yang demikian disebut sebagai mekanisme ketahanan. Kacang tanah relatif toleran terhadap cekaman kekeringan bila mempunyai sistem perakaran yang besar (Robertson et al. 1980), indeks luas daun yang rendah dan rasio bobot kering akar/pucuk yang tinggi (Blum 1996). Pada kacang tanah tipe Valencia dan Spanish, sistem perakaran yang dalam, ukuran biji yang kecil, dan sudut percabangan yang besar memainkan peran penting dalam toleransi terhadap kekeringan. Sistem perakaran yang dalam diyakini menurunkan daun yang mengalami die-back sehingga hasil panen meningkat. Berdasar hal ini panjang akar primer antara lain dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengevaluasi toleransi kacang tanah terhadap kekeringan (Setiawan 1998). Kacang tanah yang toleran terhadap cekaman kekeringan antara lain dapat dikembangkan melalui kultur in vitro dan seleksi in vitro. Kultur in vitro dapat menginduksi variasi somaklonal pada kacang tanah. Dari penelitian sebelumnya diketahui variasi somaklonal tampak pada beberapa karakter kualitatif yang meliputi pola percabangan, susunan daun, filotaksis, bentuk daun dan fertilitas. Di samping itu juga tampak pada karakter kuantitatif yang meliputi tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah buku, bobot tajuk, panjang akar, bobot akar, jumlah polong, bobot polong dan jumlah biji. Diduga kultur in vitro juga dapat menghasilkan tanaman varian yang toleran terhadap kekeringan dengan mekanisme baru yang belum muncul sebelumnya. Variasi somaklonal terjadi secara acak pada berbagai karakter. Untuk memperbesar peluang mendapatkan varian dengan karakter yang diinginkan dapat dilakukan seleksi menggunakan bahan penyeleksi yang sesuai. Dari percobaan sebelumnya telah diketahui bahwa PEG-6000 merupakan bahan penyeleksi yang tepat untuk menapis varian yang toleran terhadap cekaman kekeringan (Rahayu et al. 2005).

100 76 Larutan PEG dalam media in vitro juga dapat menghambat proliferasi embrio somatik kacang tanah, dan tingkat penghambatan > 95% (sub-letal) didapatkan pada konsentrasi PEG 15% (Rahayu et al. 2006). Dengan demikian embrio somatik yang mampu hidup dalam media selektif yang mengandung PEG 15% diharapkan mempunyai karakter yang toleran terhadap potensial air rendah, dan tanaman yang diregenerasikan dari embrio somatik tersebut diharapkan bersifat toleran terhadap cekaman kekeringan. Percobaan ini bertujuan untuk 1) membandingkan respon terhadap cekaman akibat PEG antara tanaman kacang tanah cv. Kelinci hasil kultur dan hasil seleksi in vitro dengan tanaman standar, 2) membandingkan tingkat toleransi terhadap cekaman akibat PEG antara tanaman kacang tanah cv. Kelinci hasil kultur dan seleksi in vitro dengan tanaman standar, 3) menduga mekanisme toleransi tanaman kacangtanah cv. Kelinci terhadap cekaman PEG. Bahan dan Metode Bahan Tanaman Bahan yang digunakan adalah tanaman kacang tanah cv. Kelinci yang tidak diregenerasikan melalui kultur in vitro sebagai standar, tanaman kacang tanah cv. Kelinci yang diregenerasikan dari ES hasil kultur in vitro generasi R1 dan R2 (populasi R1-K0, R2-K0) dan dari ES hasil seleksi in vitro dalam media dengan PEG 15% generasi R2 atau populasi R2-K15 (Tabel 12). Evaluasi Respon terhadap Cekaman PEG Penyiapan media tanam di rumah kaca. Media tanam berupa campuran arang sekam dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1 (v/v) dimasukkan ke dalam pot plastik 600 ml dengan diameter 10 cm; tinggi 30 cm yang dibungkus plastik hitam. Setiap pot diisi media tanam sebanyak 500 g atau setinggi kurang lebih 25 cm, kemudian disiram dengan air dan dibiarkan sampai kering kembali untuk mempermudah penyerapan air pada saat diperlakukan dengan PEG. Selanjutnya media tanam disiram dengan larutan pupuk NPK 6 10 g/l sebanyak 300 ml per pot atau sampai jenuh, dan ditambah pupuk butir NPK slow release sebanyak butir. Penanaman benih. Untuk perlakuan PEG 15% dan perlakuan kontrol (PEG 0%) masing-masing diperlukan lima pot untuk setiap galur tanaman. Setiap pot ditanami dua benih. Benih terlebih dahulu direndam dalam larutan fungisida

101 77 untuk mencegah pertumbuhan jamur dalam media tanam. Pot diletakkan dengan jarak 0,1 m di dalam baris dan 0,2 m antar baris. Dalam percobaan ini sebagai kontrol adalah kultivar yang digunakan sebagai sumber eksplan awal (kacang tanah cv. Kelinci). Setelah satu minggu dari setiap pot dipilih satu tanaman yang relatif seragam, sedangkan satu tanaman yang lain dibuang. Aplikasi PEG. Larutan PEG dibuat dengan melarutkan 150 g kristal PEG dalam air hingga volume larutan 1 liter. Larutan PEG disiramkan ke dalam pot sebanyak 30 ml setiap dua hari sejak tanaman mempunyai empat daun yang telah membuka sempurna sampai tujuh minggu. Untuk perlakuan kontrol disiramkan air dengan jumlah yang sama. Setelah umur empat minggu penyiraman diberikan sebanyak 40 ml per pot. Tabel 12. Nomor-nomor galur generasi R1 dan R2 populasi K0 dan generasi R2 populasi K15 yang dievaluasi toleransinya terhadap cekaman PEG 15% No Populasi K0 Populasi K15 R1 R2 R2 1 K0-7 K0-2.1 K K0-11 K0-2.3 K K0-14 K0-2.4 K K0-16 K0-2.5 K K0-20 K0-2.7 K K0-30 K K K0-32 K0-4.1 K K0-7.3 K K0-7.6 K K K K K K K K K K K K K K K K K K K K K K K K K K K K K K K K0-32.5

102 78 Analisis Respon terhadap Cekaman PEG Respon yang diamati meliputi jumlah hari setelah perlakuan ketika tanaman mati, jumlah dan persentase tanaman mati (setiap dua hari, sampai empat minggu setelah perlakuan), intensitas kerusakan daun (pada empat minggu setelah perlakuan), dan pertumbuhan tanaman. Peubah pertumbuhan yang diamati meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, panjang akar primer, bobot basah dan kering akar, bobot basah dan kering tajuk pada tujuh minggu setelah tanam. Pada saat panen tanaman diambil dengan hati-hati dari pot dengan cara menyobek pot plastik untuk mengeluarkan media tanam agar tidak ada bagian akar yang terputus. Tanaman dicuci di bawah air mengalir untuk membersihkan media tanam yang masih melekat pada akar. Akar dan tajuk kering diperoleh dengan menyimpan di dalam oven bersuhu 80 o C selama tiga hari. Untuk mengevaluasi toleransi tanaman terhadap kekeringan dipakai peubah intensitas kerusakan daun (IKD) dan indeks sensitivitas kekeringan (ISK atau S). Penghitungan IKD memerlukan kriteria pemberian skor/skala kerusakan akibat cekaman kekeringan pada tanaman yang diuji. Kriteria pemberian skor/skala disajikan pada Gambar 13. IKD dihitung dengan modifikasi metode yang digunakan oleh Townsend dan Heuberger (dalam Sudarsono et al. 2004) dengan rumus sebagai berikut. Σ (ni x zi) IKD = X 100% Z X N Keterangan: IKD = intensitas kerusakan daun ni = jumlah cabang primer yang menunjukkan kerusakan daun pada skala tertentu zi = nilai skala tertentu tiap kategori kerusakan daun Z = skala tertinggi N = jumlah total cabang primer yang diamati dalam setiap satuan percobaan Nilai IKD digunakan untuk menentukan respon tanaman yang diuji terhadap cekaman kekeringan. Kriteria penentuan respon disajikan pada Tabel 13.

103 Gambar 13. Skor kerusakan daun kacang tanah kultivar Kelinci akibat penyiraman larutan PEG 15% pada media arang sekam di rumah kaca. Skor 0 : tidak ada gejala klorosis maupun nekrosis; skor 1 : gejala klorosis pada tepi daun sampai sekitar 10% luas daun; skor 2 : gejala klorosis pada tepi daun 10 30% luas daun; skor 3 : gejala klorosis pada tepi sampai ke tengah daun 30 60% luas daun; skor 4 : gejala klorosis lebih dari 60% luas daun dan atau disertai gejala nekrosis Tabel 13. Kriteria penentuan respon tanaman berdasarkan nilai intensitas kerusakan daun (IKD) Respon tanaman IKD Sangat Toleran (ST) Tidak ada kerusakan, intensitas kerusakan 0% Toleran (T) Kerusakan ringan, intensitas kerusakan 0%<x 5% Agak toleran (AT) Kerusakan sedang, intensitas kerusakan 5%<x 10% Agak Peka (AP) Kerusakan sedang, intensitas kerusakan 10%<x 25% Peka (P) Kerusakan berat, intensitas kerusakan 25%<x 50% Sangat Peka (SP) Kerusakan berat, intensitas kerusakan >50% Indeks sensitivitas kekeringan ditentukan dengan menggunakan rumus yang dikemukakan Fischer dan Maurer (dalam Sudarsono et al. 2004) sebagai berikut. ( 1- Yp/Y) S = (1 Xp/X) S Yp Y Xp X : indeks sensitivitas kekeringan : rata-rata nilai peubah tertentu suatu galur yang mendapatkan cekaman kekeringan : rata-rata nilai peubah tertentu suatu galur yang tidak mendapatkan cekaman kekeringan : rata-rata nilai peubah tertentu seluruh galur yang mendapatkan cekaman kekeringan : rata-rata nilai peubah tertentu seluruh galur yang tidak mendapatkan cekaman kekeringan

104 80 Untuk menentukan tingkat sensitivitas terhadap cekaman kekeringan digunakan kriteria sebagai berikut : S 0,5 bersifat toleran; 0,5 < S 1,00 bersifat agak toleran atau medium toleran, dan S >1,00 bersifat peka. Peubah yang digunakan untuk mengukur tingkat sensitivitas terhadap cekaman kekeringan adalah biomassa tanaman (total bobot tajuk kering dan akar kering). Hasil Respon Pertumbuhan Tanaman Kacang Tanah terhadap Cekaman PEG Tidak ada tanaman yang mati akibat cekaman PEG. Pada populasi tanaman standar, R1-K0, R2-K0, dan R2-K15; cekaman PEG menurunkan tinggi tanaman (Gambar 18 a,b,c), jumlah daun, bobot basah dan bobot kering tajuk (Tabel 14). Dalam kondisi optimum, rataan tinggi tanaman pada populasi R1-K0, R2- K0 dan R2-K15 nyata lebih rendah dibanding tanaman standar. Rataan jumlah daun pada populasi R2-K0 nyata lebih rendah, tetapi pada R1-K0 dan R2K15 tidak nyata berbeda dengan tanaman standar. Rataan bobot basah tajuk pada populasi R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 sama dengan tanaman standar. Dibandingkan dengan rataan bobot kering tajuk pada populasi standar, rataan pada populasi R2-K0 tidak berbeda nyata, sedangkan pada R1-K0 dan R2-K15 nyata lebih rendah. Nilai ragam untuk semua peubah pada populasi R1-K0, R2- K0 dan R2-K15 lebih besar daripada tanaman standar (Tabel 14). Dalam kondisi optimum, kisaran jumlah daun pada populasi R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 lebih luas daripada tanaman standar (Gambar 14). Namun untuk peubah bobot kering tajuk kisaran pada populasi R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 lebih luas dibanding tanaman standar; terdapat 18 galur dari R1-K0, 13 galur dari R2- K0 dan satu galur dari R2-K15 yang mempunyai bobot kering lebih besar daripada tanaman standar (Gambar 15). Pada kondisi cekaman PEG 15%, rataan tinggi tanaman populasi R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 nyata lebih rendah, tetapi rataan jumlah daun tidak nyata berbeda dengan tanaman standar. Rataan bobot basah tajuk dari populasi R2- K0 nyata lebih tinggi dibanding tanaman standar, R1-K0 dan R2-K15; sedangkan rataan bobot kering tajuk populasi R1-K0 nyata lebih tinggi dibanding tiga populasi lain. Nilai ragam untuk semua peubah pada populasi R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 secara umum lebih besar daripada tanaman standar (Tabel 14). Kisaran jumlah daun pada populasi R2-K0, R1-K0 dan R2K15 sama dengan

105 81 tanaman standar (Gambar 14). Delapan galur R2-K0 mempunyai bobot kering tajuk lebih tinggi daripada tanaman standar (Gambar 15). Pada empat populasi yang diteliti, cekaman PEG 15% nyata menurunkan bobot basah akar, tetapi tidak berpengaruh terhadap bobot kering akar Cekaman PEG 15% nyata menurunkan panjang akar primer pada populasi tanaman standar, sebaliknya pada populasi R1-K0 dan R2-K0 nyata meningkatkan dan pada R2-K15 tidak berpengaruh terhadap panjang akar primer. (Tabel 15, Gambar 18.c dan 18.d). Dalam kondisi optimum, rataan bobot basah dan bobot kering akar dari populasi R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 nyata lebih rendah daripada tanaman standar, tetapi rataan panjang akar tidak berbeda dengan tanaman standar. Nilai ragam bobot kering ketiga populasi tersebut lebih tinggi daripada tanaman standar (Tabel 15). Tabel 14. Rataan nilai dan ragam tinggi tanaman, jumlah daun, bobot basah dan bobot kering tajuk tanaman kacang tanah kultivar Kelinci populasi standar, R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 dalam kondisi optimum dan cekaman PEG 15% Populasi Rataan nilai pada kondisi Ragam pada kondisi Optimum Cekaman Optimum Cekaman Tinggi tanaman (cm) Standar 21,28 aa 6,37 ba 9,30 2,31 R1-K0 14,01 ab 5,77 bb 55,00 5,79 R2-K0 12,39 ab 5,62 bb 60,84 4,84 R2-K15 15,52 ab 5,71 bb 36,36 4,57 Jumlah daun Standar 18,75 aa 10,25 ba 15,58 4,41 R1-K0 17,20 aa 10,23 ba 42,25 6,76 R2-K0 14,51 ab 9,46 ba 22,65 9,92 R2-K15 16,90 aa 9,35 ba 16,72 7,84 Bobot basah tajuk (g) Standar 11,88 aa 2,75 bb 5,15 0,42 R1-K0 12,90 aa 2,83 bb 24,16 0,35 R2-K0 11,01 aa 3,21 ba 21,71 1,41 R2-K15 12,13 aa 2,81 bb 10,89 0,74 Bobot kering tajuk (g) Standar 1,84 ab 0,57 ba 0,13 0,02 R1-K0 2,51 aa 0,33 bb 1,02 0,01 R2-K0 1,66 ab 0,51 ba 0,55 0,03 R2-K15 1,42 ab 0,38 bb 0,75 0,02 Keterangan : Angka dalam satu baris yang diikuti oleh huruf kecil yang sama, atau angka dalam satu kolom dan satu peubah yang diikuti oleh huruf kapital yang sama berarti tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf signifikansi 5%

106 82 Dalam kondisi opimum terdapat 12 galur dari populasi R1-K0, 15 galur R2-K0 dan dua galur R2-K15 yang mempunyai bobot akar kering nyata lebih besar dari tanaman standar (Gambar 16), dan empat galur dari populasi R1-K0, lima galur R2-K0 dan empat galur R2-K15 yang mempunyai panjang akar nyata lebih panjang dibanding tanaman standar (Gambar 17). Dalam kondisi cekaman PEG, rataan bobot basah dan bobot kering akar populasi R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 tidak berbeda nyata dengan tanaman standar, sebaliknya rataan panjang akar ketiga populasi tersebut nyata lebih tinggi dibanding tanaman standar. Nilai ragam untuk bobot basah, bobot kering dan panjang akar pada tiga populasi tersebut bervariasi, ada yang lebih rendah, sama atau lebih tinggi dibanding tanaman standar (Tabel 15). Jumlah galur Optimum A B C D E Jumlah galur Cekaman A B C D E Kisaran jumlah daun per tanaman Gambar 14. Distribusi frekuensi jumlah daun per tanaman pada populasi tanaman standar,tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro dalam kondisi optimum dan cekaman PEG 15%. Tanaman standar ( ), R1-K0 ( ), R2-K0 ( ), dan R2-K15 ( ). Kisaran jumlah daun per tanaman A (x<8), B (8 x<13), C (13 x<18), D (18 x<23), E (23 x<28)

107 83 Jumlah galur Optimum 1 5 A B C D E Jumlah galur Cekaman A B C D E Kisaran bobot tajuk kering (g) Gambar 15. Distribusi frekuensi bobot tajuk kering pada populasi tanaman standar,tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro dalam kondisi optimum dan cekaman PEG 15%. Tanaman standar ( ), R1-K0 ( ), R2-K0 ( ), dan R2-K15 ( ). Kisaran bobot tajuk kering A (x<0,84), B (0,84 x<1,68), C (1,68 x<2,52), D (2,52 x<3,36), E (3,36 x<4,2) Tabel 15. Rataan nilai dan ragam bobot basah, bobot kering akar dan panjang akar primer tanaman kacang tanah kultivar Kelinci populasi standar, R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 dalam kondisi optimum dan cekaman PEG 15% Populasi Rataan nilai pada kondisi Ragam pada kondisi Optimum Cekaman Optimum Cekaman Bobot basah akar (g) Standar 5,61 aa 2,59 ba 4,41 0,49 R1-K0 4,34 ab 3,21 ba 5,47 15,37 R2-K0 3,94 ab 3.06 ba 2,46 0,08 R2-K15 4,03 ab 2,61 ba 2,22 0,49 Bobot kering akar (g) Standar 0,59 aa 0,52 aa 0,08 0,02 R1-K0 0,46 ab 0,42 aa 0,55 0,02 R2-K0 0,39 ab 0,40 aa 0,25 0,02 R2-K15 0,44 ab 0,42 aa 2,75 0,01 Panjang akar primer Standar 16,77 aa 14,43 bb 11,28 21,16 R1-K0 15,12 ba 17,81 aa 16,81 39,69 R2-K0 15,88 ba 17,79 aa 14,44 42,25 R2-K15 17,25 aa 16,58 aa 5,76 37,21 Keterangan : Angka dalam satu baris yang diikuti oleh huruf kecil yang sama, atau angka dalam satu kolom dan satu peubah yang diikuti oleh huruf kapital yang sama berarti tidak berbeda nyata berdasarkan uji DMRT pada taraf signifikansi 5%

108 84 Jumlah galur Optimum A B C D E Jumlah galur Cekaman A B C D E 1 Kisaran bobot akar kering (g) Gambar 16. Distribusi frekuensi bobot akar kering pada populasi tanaman standar, tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro dalam kondisi optimum dan cekaman PEG 15%. Tanaman standar ( ), R1-K0 ( ), R2-K0 ( ), dan R2-K15 ( ). Kisaran bobot akar kering A (x<0,24), B (0,24 x<0,48), C (0,48 x<0,72), D (0,72 x<0,96), E (0,96 x<1,2) Jumlah galur Optimum A B C D E Jumlah galur Gambar Cekaman A B C D E Kisaran panjang akar (cm) Distribusi frekuensi panjang akar pada populasi tanaman standar, tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro dalam kondisi optimum dan cekaman PEG 15%. Tanaman standar ( ), R1-K0 ( ), R2- K0 ( ), dan R2-K15 ( ). Kisaran panjang akar A (x<9,2), B (9,2 x<15,9), C (15,9 x<22,6), D (22,6 x<29,3), E (29,3 x<36) 7 5

109 85 a b c d e Gambar 18. Keragaan tanaman kacang tanah kultivar Kelinci yang tumbuh dalam kondisi optimum dan dalam kondisi cekaman akibat penyiraman PEG 15%. a. tanaman R2-K15 dalam kondisi optimum (kiri) dan cekaman (kanan), b. tanaman R2-K0 dalam kondisi optimum (kiri) dan cekaman (kanan), c. anaman standar dalam kondisi optimum (kiri) dan cekaman (kanan), d. tanaman R1-K0 (kiri) dan standar (kanan) dalam kondisi cekaman, e. tanaman R2- K0 (kiri), R2-K15 (tengah) dan standar (kanan) dalam kondisi cekaman Terdapat tiga galur dari populasi R1-K0, lima galur R2-K0 dan satu galur R2-K15 mempunyai bobot akar kering nyata lebih besar daripada tanaman standar (Gambar 16), dan tujuh galur R2-K0 serta lima galur R2-K15 yang mempunyai panjang akar nyata lebih besar daripada tanaman standar (Gambar 17). Toleransi terhadap Cekaman PEG Berdasarkan nilai IKD, populasi tanaman standar termasuk agak peka, sedangkan populasi R1-K0 bersegregasi menjadi empat galur peka, satu galur agak peka dan dua galur agak toleran. Populasi R2-K0 bersegregasi menjadi 11 galur peka, 14 galur agak peka dan lima galur agak toleran; populasi R2-K15 bersegregasi menjadi delapan galur peka, 10 galur agak peka dan satu galur agak toleran (Gambar 19). Berdasarkan nilai S atau ISK yang dihitung menggunakan biomassa tanaman, tanaman standar tergolong medium toleran terhadap cekaman PEG. Tanaman dalam populasi R1-K0 bersegregasi menjadi peka dan medium toleran masing-masing sebanyak enam galur dan satu galur; populasi R2-K0 bersegregasi menjadi 14 galur peka, 12 galur medium toleran dan empat galur toleran; dan populasi R2-K15 bersegregasi menjadi 10 galur peka, tujuh galur medium toleran dan dua galur toleran terhadap cekaman PEG (Gambar 20).

110 86 jumlah galur P AP AT Standar R1K0 R2K0 R2K15 Gambar 19. Distribusi frekuensi respon terhadap cekaman PEG 15% pada tanaman standar, R1-K0, R2-K0, dan R2-K15 berdasarkan nilai indeks kerusakan daun jumlah galur P M T Standar R1K0 R2K0 R2K15 2 Gambar 20. Distribusi frekuensi respon terhadap cekaman PEG 15% pada tanaman standar, R1-K0, R2-K0, dan R2-K15 berdasarkan indeks sensitivitas terhadap kekeringan yang dihitung menggunakan nilai biomassa Mekanisme Toleransi terhadap Cekaman PEG Tidak ada hubungan yang berarti antara IKD dengan nisbah akar/tajuk dan panjang akar primer. Koefisien determinasi (R 2 ) antara IKD dengan nisbah akar/tajuk dan dengan panjang akar primer sangat kecil, masing-masing sebesar 0,0008 dan 0,0012 (Gambar 21). Di antara ISK dengan nisbah akar/tajuk dan dengan panjang akar primer juga tidak ada hubungan signifikan. Nilai koefisien determinasi (R 2 ) antara ISK dengan nisbah akar/tajuk dan panjang akar primer masing-masing sebesar 0,017 dan 0,119 (Gambar 22) menunjukkan tidak ada pengaruh nyata kedua peubah tersebut terhadap ISK. Berdasarkan hal ini dapat dinyatakan bahwa toleransi terhadap cekaman akibat PEG pada tanaman varian dalam penelitian ini tidak berkait dengan pertumbuhan akar.

111 87 IKD y = x R 2 = (ns) nisbah akar/tajuk IKD y = 25,29-0,113 x R2 = 0,0012 (ns) panjang akar primer (cm) Gambar 21. Regresi antara nilai indeks kerusakan daun (IKD) dengan nisbah akar tajuk dan panjang akar primer pada populasi tanaman standar (x) dan R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 yang teridentifikasi agak toleran ( ), agak peka ( ) dan peka ( ) Tabel 16. Biomassa pada kondisi cekaman PEG 15% dan kondisi optimum galur-galur tanaman kacang tanah kultivar Kelinci yang teridentifikasi toleran terhadap cekaman kekeringan berdasarkan nilai S Galur Nilai S Biomassa (gr) Persentase biomassa pada Optimum Cekaman kondisi cekaman dibanding optimum (%) K ,39 1,48 1,14 77 K ,04 1,28 1,25 98 K ,48 1,48 1,05 71 K ,38 1,06 0,82 84 K ,30 0,95 0,78 82 K ,48 1,18 0,84 71 Standar 0,96 2,28 1,18 52

112 ISK y = 0,85 + 0,0893 x R2 = 0,017 (ns) nisbah akar/tajuk ISK 0.5 y = 1,08-0,0083 x R2 = 0,119 (ns) panjang akar primer (cm) Gambar 22. Regresi antara nilai ISK yang dihitung menggunakan biomassa tanaman dengan nisbah akar/tajuk dan dengan panjang akar populasi tanaman standar (x) dan R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 yang teridentifikasi toleran ( ), medium toleran ( ) dan peka ( ) Pembahasan Pada semua populasi tanaman yang diteliti, yaitu populasi tanaman standar, populasi tanaman yang diregenerasikan dari embrio somatik hasil kultur in vitro generasi R1 dan R2 (R1-K0, R2-K0) serta populasi tanaman yang diregenerasikan dari embrio somatik hasil seleksi in vitro generasi R2 (R2-K15), cekaman PEG berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan tajuk tanaman. Penyiraman larutan PEG 15% dua hari sekali dalam media tanam nyata menurunkan tinggi tanaman, jumlah daun, bobot basah tajuk, dan bobot kering tajuk. Penghambatan pertumbuhan tersebut diduga akibat penambahan larutan

113 89 PEG 15% yang setara dengan potensial air -0,50 MPa (Nepomuceno et al. 1998) menurunkan ketersedian air dalam media tanam sehingga menurunkan pula jumlah air yang dapat diserap oleh tanaman. Air merupakan komponen vital bagi pertumbuhan tanaman karena memberikan fasilitas bagi berlangsungnya berbagai proses fisiologis seperti serapan hara, transportasi, fotosintesis, reaksi biokimia dan tekanan turgor (Mundree et al. 2002), sehingga penurunan jumlah masukan air mengakibatkan hambatan pertumbuhan. Hasil tersebut sejalan dengan hasil penelitian tentang pengaruh cekaman kekeringan pada beberapa tanaman lain. Kekeringan menurunkan pemanjangan daun (Schmidhalter et al. 1998), pertumbuhan primordia daun pertama pada jagung (Zhongjin dan Neumann 1999), berat kering total organ vegetatif, kecepatan pertumbuhan relatif, dan luas daun Phaseolus vulgaris (Franca et al. 2000), luas helaian daun, jumlah daun per tanaman, luas daun total per tanaman, dan rasio akar/batang pada empat spesies Quercus (Fotelli et al. 2000). Berbeda dengan pengaruh cekaman PEG terhadap tajuk, secara umum cekaman PEG tidak berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan akar, bahkan dapat meningkatkan panjang akar pada populasi R1-K0 dan R2-K0. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian pada Aegilops biuncialis genotype Ae225 dan Ae550. Cekaman kekeringan akibat penambahan PEG 6000 mengakibatkan peningkatan pertumbuhan akar sehingga meningkatkan pula nisbah akar/tajuk (Molnar et al 2004). Respon pertumbuhan yang ditunjukkan oleh akar pada umumnya berbeda dengan respon pertumbuhan tajuk terhadap cekaman kekeringan. Perbedaan tersebut diduga terjadi akibat perbedaan sensitivitas akar dan batang (tajuk) terhadap absisic acid (ABA). ABA yang terakumulasi sebagai respon terhadap cekaman kekeringan merupakan hormon yang berperan dalam penghambatan pertumbuhan. Jaringan akar kurang sensitif terhadap ABA dibandingkan batang (Creelman et al. 1990), sehingga pertumbuhan akar lebih baik daripada batang dalam kondisi cekaman kekeringan. Pertumbuhan akar yang stabil atau meningkat tersebut diduga merupakan salah satu upaya adaptasi tanaman untuk mempertahankan kemampuan menyerap air dalam kondisi lingkungan dengan ketersediaan air yang rendah. Dalam kondisi optimum, pertumbuhan tajuk tanaman yang berasal dari kultur dan seleksi in vitro (populasi R1-K0, R2-K0 dan R2-K15) secara umum

114 90 tidak berbeda atau lebih rendah dibandingkan pertumbuhan tanaman standar, tergantung populasi atau peubah yang diamati. Fenomena yang sama terjadi pada pertumbuhan akar. Adanya perbedaan respon dengan tanaman standar karena pada sebagian tanaman yang diregenerasikan dari kultur in vitro diduga telah terjadi perubahan genetik yang mengakibatkan perubahan atau hambatan ekspresi gen yang mengendalikan pertumbuhan tajuk atau akar dalam kondisi optimum. Dalam kondisi cekaman PEG, fenomena yang terjadi pada pertumbuhan tajuk berbeda dengan pada pertumbuhan akar. Pertumbuhan tajuk pada populasi R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 tidak berbeda atau lebih rendah dibanding tanaman standar; tetapi pertumbuhan akar pada tiga populasi tersebut tidak berbeda atau lebih tinggi dibanding tanaman standar. Hal ini terjadi karena kondisi in vitro diduga telah mengubah atau menghambat gen atau ekspresi gen yang mengendalikan pertumbuhan tajuk tetapi tidak berdampak negatif bahkan meningkatkan pertumbuhan akar dalam kondisi cekaman PEG. Populasi tanaman yang diregenerasikan melalui kultur atau seleksi in vitro mempunyai nilai ragam yang lebih besar dibanding tanaman standar untuk beberapa peubah pertumbuhan tertentu. Selain itu untuk beberapa peubah pertumbuhan dan kondisi tertentu (optimum atau cekaman) distribusi frekuensi pada populasi-populasi tersebut lebih luas dibanding tanaman standar Dalam populasi-populasi yang diteliti terdapat beberapa galur yang mempunyai nilai peubah di luar rentang nilai (lebih besar atau lebih kecil) tanaman standar. Misalnya untuk peubah bobot kering tajuk pada kondisi optimum, terdapat 18 galur dari populasi R1-K0, 13 galur dari R2-K0 dan satu galur dari R2-K15 yang mempunyai bobot kering lebih besar daripada tanaman standar. Hal ini menunjukkan galur-galur tanaman tersebut berkembang dari embrio somatik yang merupakan varian somaklonal untuk karakter kuantitatif. Berdasarkan nilai IKS yang dihitung menggunakan peubah biomassa tanaman, tanaman standar tergolong medium toleran terhadap cekaman PEG. Tanaman dalam populasi R1-K0 bersegregasi menjadi peka dan medium toleran masing-masing sebanyak enam galur dan satu galur; populasi R2-K0 bersegregasi menjadi 14 galur peka, 12 galur medium toleran dan empat galur toleran; dan populasi R2-K15 bersegregasi menjadi 10 galur peka, tujuh galur medium dan dua galur toleran terhadap cekaman PEG. Hal ini diduga karena

115 91 genotipe tanaman generasi R0 mempunyai genotipe heterozigot sehingga dapat mengalami segregasi pada turunannya. Galur toleran yang efektif ditanam dalam budidaya di lahan kering adalah galur yang dalam kondisi optimum maupun cekaman mempunyai biomassa lebih besar dibanding tanaman standar. Berdasar nilai IKS tersebut di atas, dari tanaman standar yang diidentifikasi medium toleran dapat diperoleh enam galur tanaman yang toleran terhadap cekaman kekeringan. Di antara enam galur tersebut, tidak ada satupun yang mempunyai biomassa di atas tanaman standar dalam kondisi optimum sekaligus dalam kondisi cekaman (Tabel 16). Biomassa tanaman kacang tanah yang diidentifikasi toleran pada kondisi cekaman mencapai 71 98% dari biomassa pada kondisi optimum (Tabel 16), sedangkan pada kacang tanah standar yang medium toleran hanya mencapai 52%. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian pada Aegilops biuncialis dan Triticum sativum. Akibat penambahan PEG 6000 pada media tanam, terjadi penghambatan pertumbuhan akar dan batang A. biuncialis dan T. sativum yang mengakibatkan penurunan produksi biomassa atau total bobot kering akar dan tajuk. Pada genotipe A. biuncialis yang berasal dari daerah kering produksi biomassa dalam kondisi cekaman PEG mencapai % dibanding kontrol, sedangkan pada genotipe gandum hanya 50% (Molnar et al. 2004). Genotipe yang toleran terhadap cekaman kekeringan atau yang teradaptasi pada lingkungan kering diduga mempunyai kemampuan mempertahankan potensial air daun agar tetap relatif tinggi sehingga aktivitas pembukaan stomata berjalan normal dan kecepatan fotosintesis juga mendekati kecepatan pada kondisi optimum. Mekanisme tersebut terjadi pada kapas. Pada cekaman kekeringan yang diinduksi oleh PEG 6000, genotipe kapas yang toleran terhadap kekeringan dapat mempertahankan potensial air daun sedemikian sehingga hanya menurun 20 25% dari kontrol (Nepomuceno et al. 1998). Penentuan toleransi terhadap cekaman kekeringan berdasarkan nilai indeks kerusakan daun (IKD), menghasilkan temuan yang berbeda dengan penentuan yang berdasarkan nilai IKS. Berdasarkan nilai IKD, populasi tanaman standar termasuk agak peka, sedangkan populasi R1-K0 bersegregasi menjadi empat galur peka, satu galur agak peka dan dua galur agak toleran. Populasi R2- K0 bersegregasi menjadi 11 galur peka, 14 galur agak peka dan lima galur agak toleran; populasi R2-K15 bersegregasi menjadi 8 galur peka, 10 galur agak peka dan satu galur agak toleran. Berdasarkan nilai IKD, tidak ditemukan galur toleran

116 92 di antara tanaman-tanaman yang diregenerasikan dari kultur atau seleksi in vitro. Walaupun demikian, kultur dan seleksi in vitro telah dapat menghasilkan tanaman yang toleransinya meningkat dibanding tanaman standar, yaitu dari tanaman agak peka dapat menghasilkan tanaman agak toleran. Tingkat toleransi tanaman yang ditentukan berdasarkan nilai IKS berbeda dengan yang ditentukan berdasar nilai IKD. Perbedaan ini dapat terjadi karena organ yang dipakai sebagai dasar penentuan berbeda. Nilai IKS didasarkan pada pertumbuhan organ-organ tanaman secara keseluruhan, sedangkan IKD didasarkan atas kerusakan atau perubahan morfologi daun. Karena sensitivitas organ-organ terhadap kekeringan berbeda, maka nilai IKS dan IKD pada tanaman yang sama mungkin berbeda. Hubungan antara nisbah akar/tajuk dengan toleransi tanaman kacang tanah terhadap cekaman kekeringan tidak signifikan dan koefisien determinasi antara kedua peubah tersebut dengan IKS dan dengan IKD sangat rendah. Demikian pula nilai koefisien determinasi antara panjang akar primer dengan IKS dan IKD tidak signifikan dan sangat rendah. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan akar tidak berhubungan erat dengan atau menjadi faktor penentu toleransi tanaman terhadap cekaman kekeringan. Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa kacang tanah yang relatif toleran terhadap cekaman kekeringan mempunyai sistem perakaran yang besar (Robertson et al. 1980), sistem perakaran yang dalam (Setiawan 1998), dan rasio bobot kering akar/pucuk yang tinggi (Blum 1996). Dengan demikian mekanisme toleransi terhadap cekaman kekeringan pada galur-galur kacang tanah dalam penelitian ini diduga berbeda dengan mekanisme toleransi pada kacang tanah pada umumnya, perlu dievaluasi lebih lanjut. Simpulan Cekaman akibat penyiraman PEG 15% pada fase vegetatif menurunkan tinggi tanaman, jumlah daun, bobot basah tajuk dan bobot kering tajuk, tetapi tidak berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan akar. Respon pertumbuhan tanaman yang diregenerasikan melalui kultur atau seleksi in vitro terhadap cekaman PEG mempunyai ragam yang lebih besar dan distribusi frekuensi yang lebih luas dibanding tanaman standar untuk beberapa peubah pertumbuhan tertentu.

117 93 Kultur in vitro dan seleksi in vitro dapat menghasilkan tanaman dengan tingkat toleransi yang lebih tinggi terhadap cekaman PEG dibandingkan tanaman standar. Berdasarkan nilai indeks sensitivitas terhadap kekeringan yang dihitung menggunakan peubah biomassa tanaman, semua tanaman standar tergolong medium toleran, sedangkan di antara tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro terdapat enam galur tanaman yang toleran terhadap cekaman PEG. Berdasarkan nilai indeks kerusakan daun, tanaman standar termasuk agak peka, sedangkan di antara tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro terdapat delapan galur agak toleran. Nisbah akar/tajuk dan panjang akar tidak menunjukkan hubungan yang berarti dengan toleransi tanaman terhadap cekaman PEG

118 VII. TOLERANSI GALUR KACANG TANAH HASIL KULTUR DAN SELEKSI IN VITRO TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN Abstrak Variasi somaklonal pada kacang tanah untuk karakter kualitatif dan kuantitatif dapat terjadi melalui kultur dan seleksi in vitro. Diduga kultur dan seleksi in vitro juga dapat menghasilkan tanaman varian yang toleran terhadap kekeringan. Tujuan percobaan adalah 1) membandingkan respon pertumbuhan antara tanaman kacang tanah cv. Kelinci hasil kultur dan hasil seleksi in vitro dengan tanaman standar, 2) membandingkan tingkat toleransi terhadap cekaman kekeringan antara tanaman kacang tanah cv. Kelinci hasil kultur dan seleksi in vitro dengan tanaman standar, 3) menduga mekanisme toleransi tanaman kacang tanah cv. Kelinci terhadap cekaman kekeringan. Benih ditanam pada media campuran tanah, kompos dan pasir (2:1:1, v/v) dalam polibag yang ditempatkan di rumah kaca. Perlakuan cekaman kekeringan dilakukan mulai umur hari setelah tanam secara individual dengan membiarkan tanaman tidak disiram sampai menunjukkan gejala layu pada 75% dari seluruh jumlah daun per tanaman, kemudian disiram sampai kapasitas lapang dan setelah itu diberi perlakuan cekaman kekeringan kembali dan seterusnya. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan 1) dalam kondisi optimum tanaman kacang tanah cv. Kelinci hasil kultur in vitro dan seleksi in vitro mempunyai pertumbuhan vegetatif dan generatif yang lebih rendah, tetapi dalam kondisi cekaman kekeringan lebih tinggi dibandingkan tanaman standar; tanaman hasil kultur dan seleksi in vitro mempunyai nilai ragam yang lebih besar dan distribusi frekuensi yang lebih luas dibanding tanaman standar untuk beberapa peubah pertumbuhan, 2) diperoleh sembilan galur tanaman kacang tanah cv. Kelinci hasil kultur dan seleksi in vitro yang toleran terhadap cekaman kekeringan, dua di antaranya mempunyai jumlah polong bernas lebih tinggi dibandingkan tanaman standar, baik pada kondisi optimum maupun cekaman, 3) terdapat hubungan yang signifikan antara densitas stomata dan peningkatan kandungan prolina total jaringan dengan tingkat toleransi kacang tanah cv. Kelinci terhadap cekaman kekeringan, tetapi tidak ada hubungan yang berarti antara panjang akar primer dan nisbah akar/tajuk dengan tingkat toleransi terhadap cekaman kekeringan. Kata kunci : toleransi terhadap kekeringan, kultur in vitro, seleksi in vitro, prolina, densitas stomata

119 95 Abstract In vitro culture and in vitro selection have been proved to result somaclonal variation on peanut, both qualitative and quantitative characters. In vitro culture and in vitro selection were estimated to result variant plant with drought stress tolerance. The aims of this study were to 1) compare the growth response between Kelinci cultivar of peanut plants regenerated from in vitro cultured and in vitro selected somatic embryos with plant regenerated from seed as control cultivar, 2) compare the tolerance level to drought stress of Kelinci cultivar of peanut plants regenerated from in vitro cultured and in vitro selected somatic embryo, with control plant, and 3) estimate the mechanism of Kelinci cultivar of peanut plants tolerance to drought stress. Progeny of peanut plants regenerated from in vitro cultured and in vitro selected embryo somatic and control plants were grown individually in polybag (50 cm diameter) containing a mixture of topsoil, sand and manure (2:1:1, v/v). These plants divided into two groups. One group subjected to stress condition individually during vegetative and generative periods (12 80 days after planting) by watering them only after their 75% leaves have wilted; the other group was grown optimally by watering every two days. The results of the experiment indicated 1) peanut plants regenerated from in vitro cultured and in vitro selected somatic embryo had lower vegetative and generative growth than the control cultivar in optimally condition, but in stress condition they had higher vegetative and generative growth, 3) peanut plants regenerated from in vitro cultured and in vitro selected somatic embryos had bigger varians and broader frequency distribution than control cultivar for some growth parameters, 4) nine lines of progeny of peanut plants regenerated from in vitro cultured and in vitro selected somatic embryo had drought stress tolerance character, and two of them had higher fertile pod number than original cultivar, both in optimally and stress condition, 5) there are significant correlation between the stomata density and leaf total proline content with drought stress tolerance level of peanut plants, while there are no significant correlation between root/shoot ratio and primary root length with drought stress tolerance level of peanut plant. Key words: drought tolerance, in vitro culture, in vitro selection, proline, peanut, stomata density

120 96 Pendahuluan Tanaman yang toleran/tahan terhadap kekeringan secara fisiologis mempunyai kemampuan menjaga keseimbangan osmotik dalam sel-selnya dengan meningkatkan penyerapan air dan menurunkan kehilangan air. Kemampuan meningkatkan penyerapan air ditunjukkan oleh adanya sistem perakaran yang besar (Robertson et al. 1980), atau adanya osmolit yang menurunkan potensial air dalam sel (Mundree 2002). Salah satu osmolit yang dapat menentukan tingkat toleransi kacang tanah terhadap kekeringan adalah prolina yang terkandung dalam sel-sel daun (Sudarsono et al. 2004). Kemampuan menurunkan kehilangan air ditunjukkan dengan indeks luas daun yang rendah (Blum 1996), jumlah stomata per satuan luas yang relatif rendah dan rate of water-leaf loss yang rendah pula (Syahputra 2005). Pada kacang tanah tipe Valencia dan Spanish, sistem perakaran yang dalam dan sudut percabangan yang besar memainkan peran penting dalam toleransi terhadap kekeringan. Berdasar hal ini panjang akar primer dapat dijadikan sebagai dasar untuk mengevaluasi toleransi terhadap kekeringan (Setiawan 1998). Ciri yang harus diamati untuk menentukan toleransi cekaman kekeringan antara lain bobot kering organ vegetatif saat panen dan berat kering polong (Rachaputi dan Wright 2003). Beberapa kultivar kacang tanah Indonesia telah diidentifikasi toleran terhadap cekaman kekeringan melalui mekanisme pembentukan akar yang dalam dan bercabang banyak. Mekanisme ini membutuhkan fotosintat yang relatif besar dan diduga berdampak negatif terhadap daya hasil. Oleh karena itu galur yang mempunyai sifat tahan dengan mekanisme baru yang tidak berdampak negatif terhadap hasil lebih diinginkan. Hal tersebut dapat dilakukan melalui induksi variasi somaklonal. Dari penelitian sebelumnya diketahui variasi somaklonal tampak pada beberapa karakter kualitatif dan karakter kuantitatif. Melalui variasi somaklonal diharapkan juga terdapat peluang memperoleh galur kacang tanah varian yang toleran terhadap cekaman kekeringan dengan mekanisme baru. Variasi somaklonal terjadi secara acak pada berbagai karakter. Untuk meningkatkan peluang mendapatkan varian dengan karakter yang diinginkan dapat dilakukan seleksi menggunakan bahan penyeleksi yang sesuai. Dari percobaan sebelumnya telah diketahui bahwa PEG-6000 merupakan bahan penyeleksi yang tepat untuk menapis varian yang toleran terhadap cekaman

121 97 kekeringan (Rahayu et al. 2005), dengan konsentrasi sub-letal sebesar 15% (Rahayu et al. 2006). Dengan demikian embrio somatik yang mampu hidup dalam media selektif yang mengandung PEG 15% diharapkan mempunyai karakter yang insensitif atau toleran terhadap potensial air rendah. Evaluasi toleransi terhadap cekaman kekeringan dilakukan dengan menumbuhkan tanaman di pot, diletakkan di rumah kaca, serta mengatur frekuensi dan volume penyiraman sehingga tanaman mengalami cekaman kekeringan. Penentuan cekaman kekeringan dilakukan secara individual. Percobaan bertujuan untuk 1) membandingkan respon pertumbuhan antara tanaman kacang tanah cv. Kelinci hasil kultur dan hasil seleksi in vitro dengan tanaman standar, 2) membandingkan tingkat toleransi terhadap cekaman kekeringan antara tanaman kacang tanah cv. Kelinci hasil kultur dan seleksi in vitro dengan tanaman standar, 3) menduga mekanisme toleransi tanaman kacang tanah cv. Kelinci terhadap cekaman kekeringan. Bahan dan Metode Bahan Tanaman Bahan yang diperlukan adalah tanaman kacang tanah cv. Kelinci yang tidak diregenerasikan melalui kultur in vitro sebagai tanaman standar, tanaman kacang tanah cv. Kelinci zuriat dari tanaman yang diregenerasikan dari embrio somatik (ES) hasil kultur in vitro (populasi R1-K0 dan R2-K0) dan dari ES hasil seleksi in vitro dalam PEG 15% atau populasi R2-K15 (Tabel 17). Tabel 17. Nomor-nomor galur generasi R1 dan R2 dari populasi K0 dan generasi R2 dari populasi K15 yang dievaluasi toleransinya terhadap cekaman kekeringan No K0 K15 R1 R2 R2 1 K0-11 K0-2.1 K K0-13 K0-2.3 K K0-16 K K K0-20 K0-7.3 K K0-30 K K K0-32 K K K K K K K K K K K0-32.5

122 98 Evaluasi Respon terhadap Cekaman Kekeringan Penyiapan media tanam dan penanaman benih. Media tanam berupa tanah, kompos dan pasir dengan perbandingan 1:1:1 (v/v), dimasukkan dalam polibag berdiameter 50 cm. Media disterilkan dengan menyiramkan larutan formalin, ditutup dengan lembaran plastik selama satu minggu kemudian dibiarkan terbuka. Untuk setiap galur tanaman ditanam minimal lima benih dengan satu benih per pot. Jarak antar pot adalah 0,4 m di dalam baris dan 0,5 m antar baris. Sebagai kontrol genotipe (tanaman standar) adalah kacang tanah kultivar Kelinci yang ditanam dari benih yang tidak melalui kultur in vitro. Tanaman kontrol ditanam dalam baris di antara tanaman varian somaklonal dengan rasio empat baris tanaman varian somaklonal dan satu baris tanaman kontrol. Pemberian perlakuan cekaman kekeringan. Perlakuan cekaman kekeringan diberikan pada fase vegetatif dan generatif. Tanaman disiram sampai dengan kapasitas lapang dari awal tanam sampai umur 12 hari. Kapasitas lapang ditentukan dengan menyiramkan air pada media sampai jenuh, yang ditunjukkan dengan tidak adanya air yang menetes dari lubang di dasar pot. Perlakuan cekaman kekeringan dilakukan secara individual dengan membiarkan suatu tanaman tidak disiram sampai menunjukkan gejala layu pada 75% dari seluruh jumlah daun tanaman tersebut, kemudian disiram sampai kapasitas lapang dan setelah itu diberi perlakuan cekaman kekeringan kembali dan seterusnya. Dengan perlakuan demikian diharapkan tidak ada tanaman yang escaped atau terhindar dari cekaman kekeringan. Perlakuan kontrol diberikan dengan menyiramkan air sampai kondisi kapasitas lapang dua hari sekali. Pemeliharaan tanaman dan pemanenan. Tanaman dipelihara di rumah kaca dengan metode budidaya kacang tanah standar, yang meliputi pemupukan, pengendalian gulma dan penyakit sesuai kebutuhan, dan penyiraman sesuai perlakuan cekaman kekeringan. Pemanenan dilakukan sampai saat polong mencapai umur fisiologis atau hari setelah tanam, atau dengan tandatanda sebagai berikut: 1) daun telah mulai kering atau luruh, 2) kulit polong telah mengeras, atau bagian dalam berwarna coklat; biji telah berisi penuh, kulit tipis dan berwarna mengkilat. Kondisi polong diketahui dengan jalan mencabut sebagian dari tanaman untuk diamati polongnya. Pengamatan respon tanaman terhadap cekaman kekeringan. Pengamatan dilakukan pada saat panen, pot disiram terlebih dahulu kemudian tanaman

123 99 diambil dengan hati-hati agar tidak ada bagian akar yang terputus. Tanaman dicuci di bawah air mengalir untuk membersihkan media tanam yang masih melekat pada akar. Peubah-peubah yang diamati untuk mengetahui respon tanaman terhadap kekeringan meliputi jumlah hari setelah perlakuan ketika tanaman mati, jumlah dan persentase tanaman mati (setiap dua hari, sampai empat minggu setelah perlakuan), tinggi tanaman, jumlah cabang primer, jumlah buku pada batang utama, jumlah daun, panjang akar primer, bobot basah dan kering akar, bobot basah dan kering tajuk, jumlah polong total, dan jumlah polong bernas. Bobot kering diperoleh dengan menyimpan akar atau tajuk di dalam oven bersuhu 80 o C selama 3 hari. Evaluasi Toleransi Tanaman terhadap Cekaman Kekeringan Untuk mengevaluasi toleransi tanaman terhadap kekeringan dipakai peubah indeks sensitivitas kekeringan (ISK atau S). Indeks sensitivitas kekeringan ditentukan dengan menggunakan rumus yang dikemukakan Fischer dan Maurer (1978). ( 1- Yp/Y) ISK = (1 Xp/X) ISK : Indeks sensitivitas kekeringan Yp : rata-rata nilai peubah tertentu suatu galur yang mendapatkan cekaman kekeringan Y : rata-rata nilai peubah tertentu suatu galur yang tidak mendapatkan cekaman kekeringan Xp : rata-rata nilai peubah tertentu seluruh galur yang mendapatkan cekaman kekeringan X : rata-rata nilai peubah tertentu seluruh galur yang tidak mendapatkan cekaman kekeringan Untuk menentukan tingkat sensitivitas terhadap cekaman kekeringan digunakan kriteria sebagai berikut : ISK 0,5 bersifat toleran; 0,5 < ISK 1,00 bersifat agak toleran atau medium toleran, dan ISK >1,00 bersifat peka. Peubah yang digunakan untuk mengukur tingkat sensitivitas terhadap cekaman kekeringan adalah jumlah polong bernas. Analisis Mekanisme Toleransi terhadap Cekaman Kekeringan Analisis mekanisme toleransi yang diamati adalah karakteristik fisiologis dan anatomis, yaitu kandungan prolina total daun, densitas stomata, dan nisbah

124 100 akar/tajuk. Analisis kandungan prolina dilakukan pada daun ke 2 5 dari pucuk pada tanaman contoh yang telah mengalami cekaman kekeringan enam kali pada periode vegetatif dan generatif, serta pada tanaman contoh yang tidak diberi cekaman kekeringan. Analisis kadar prolina. Analisis kadar prolina dilakukan berdasarkan metode Bates et al. (1973). Potongan daun yang telah dikeringkan (menggunakan silica gel) ditimbang seberat 0,2 g, dihaluskan dan dihomogenasi dengan 9 ml asam sulfosalisilat 3%. Volume supernatan ditera kembali hingga mencapai 10 ml. Campuran disentrifugasi pada kecepatan 5000 rpm selama lima menit, supernatan yang diperoleh kemudian dipisahkan. Untuk mendeteksi prolina, 2 ml supernatan direaksikan dengan 2 ml larutan ninhidrin dan asam asetat glacial dalam tabung reaksi dan dipanaskan pada penangas air dengan suhu 100 o C selama 60 menit. Reaksi diakhiri dengan menginkubasikan larutan dalam es selama 5 menit. Hasil reaksi diekstraksi dengan 4 ml toluene sehingga terbentuk kromoform, yang kemudia diukur absorbansinya dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 520 nm. Sebagai standar digunakan DL-proline (Sigma) 5 50 μg yang dilarutkan dalam asam sulfosalisilat 3%. Kadar prolina dinyatakan sebagai μg/g berat kering daun. Analisis densitas stomata dan nisbah akar/tajuk. Densitas stomata diamati pada epidermis bawah yang diisolasi dengan metode finger print pada umur 75 hari setelah tanam. Daun yang telah mengembang sempurna (yang tumbuh pada buku ke 5 8 dari ujung cabang) dipanen, dicuci dengan air kemudian dikeringkan dengan kertas tissu. Permukaan bawah diolesi dengan pewarna kuku transparan sekitar ¾ luas daun. Setelah dikering-anginkan selama dua jam lapisan pewarna kuku dilepas dan diamati melalui mikroskop yang pada lensa okulernya telah dipasang mikrometer dan dihitung jumlah stomata. Nisbah akar/tajuk ditentukan dengan rumus : bobot kering akar nisbah akar/tajuk = bobot kering tajuk Hasil Respon Pertumbuhan Tajuk terhadap Cekaman Kekeringan Cekaman kekeringan secara umum berdampak negatif terhadap pertumbuhan tanaman kacang tanah, baik pada populasi tanaman standar, R1-

125 101 K0, R2-K0 maupun R2-K15 (Gambar 23), tetapi tidak ada tanaman yang mati akibat perlakuan cekaman kekeringan. Perlakuan cekaman kekeringan nyata menurunkan tinggi tanaman, namun tidak mempengaruhi jumlah cabang primer pada populasi tanaman standar, R1- K0, R2-K0, dan R2-K15. Pada populasi R1-K0, jumlah buku utama dan bobot kering tajuk dalam kondisi cekaman nyata menurun, tetapi pada populasi R2- K0 dan R2-K15 kedua peubah tersebut tidak dipengaruhi oleh cekaman kekeringan. Perlakuan cekaman kekeringan nyata menurunkan jumlah daun dan bobot basah tajuk pada populasi R1-K0 dan R2-K15, pada populasi R2-K0 kedua peubah tersebut tidak dipengaruhi oleh cekaman kekeringan (Tabel 18). Dalam kondisi optimum, rataan jumlah cabang pada populasi R1-K0, R2- K0 dan R2K15 tidak nyata berbeda dengan tanaman standar; tetapi untuk peubah-peubah yang lain rataan nilai pada populasi R2-K0 dan R2-K15 nyata lebih rendah dibanding pada populasi R1-K0 dan tanaman standar. Nilai ragam bervariasi antar populasi dan peubah; lebih besar atau lebih kecil dibanding tanaman standar (Tabel 18). Dalam kondisi cekaman kekeringan, rataan nilai semua peubah pertumbuhan tajuk kecuali jumlah cabang primer pada populasi R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 nyata lebih besar dibandingkan tanaman standar. Nilai ragam pada populasi R1-K0, R2-K0 dan R2-K15 untuk semua peubah pada umumnya lebih besar dibanding tanaman standar (Tabel 18). Dalam kondisi optimum, 18 galur R1-K0, 18 galur R2-K0 dan 14 galur R2K15 mempunyai bobot kering tajuk yang nyata lebih tinggi dibanding tanaman standar. Dalam kondisi cekaman, bobot kering tajuk dari delapan galur R1-K0, 16 galur R2-K0 dan 13 galur R2-K15 nyata lebih besar dibandingkan bobot kering tajuk tanaman standar (Gambar 24). a b a b b a b a A B C D Gambar 23. Keragaan tanaman kacang tanah dalam kondisi optimum (a) dan kondisi cekaman (b). A. Tanaman standar, B. Tanaman R2-K0, C. Tanaman R1-K0, D. Tanaman R2-K15.

IV. SELEKSI IN VITRO EMBRIO SOMATIK KACANG TANAH PADA MEDIA DENGAN POLIETILENA GLIKOL YANG MENSIMULASIKAN CEKAMAN KEKERINGAN*)

IV. SELEKSI IN VITRO EMBRIO SOMATIK KACANG TANAH PADA MEDIA DENGAN POLIETILENA GLIKOL YANG MENSIMULASIKAN CEKAMAN KEKERINGAN*) IV. SELEKSI IN VITRO EMBRIO SOMATIK KACANG TANAH PADA MEDIA DENGAN POLIETILENA GLIKOL YANG MENSIMULASIKAN CEKAMAN KEKERINGAN*) Abstrak Pengembangan kultivar kacang tanah yang toleran terhadap cekaman kekeringan

Lebih terperinci

V. VARIAN KUALITATIF DAN KUANTITATIF KACANG TANAH HASIL KULTUR IN VITRO DAN HASIL SELEKSI IN VITRO

V. VARIAN KUALITATIF DAN KUANTITATIF KACANG TANAH HASIL KULTUR IN VITRO DAN HASIL SELEKSI IN VITRO 54 V. VARIAN KUALITATIF DAN KUANTITATIF KACANG TANAH HASIL KULTUR IN VITRO DAN HASIL SELEKSI IN VITRO Abstrak Kultur jaringan yang melibatkan fase kalus dapat menginduksi variasi somaklonal, yang intensitasnya

Lebih terperinci

Oleh : A. Farid Hemon

Oleh : A. Farid Hemon EFEKTIFITAS SELEKSI IN VITRO BERULANG UNTUK MENDAPATKAN PLASMA NUTFAH KACANG TANAH TOLERAN TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN DAN RESISTEN TERHADAP PENYAKIT BUSUK BATANG Sclerotium rolfsii Oleh : A. Farid Hemon

Lebih terperinci

Seleksi In Vitro Embrio Somatik Kacang Tanah pada Medium dengan Polietilen Glikol untuk Simulasi Kondisi Cekaman Kekeringan

Seleksi In Vitro Embrio Somatik Kacang Tanah pada Medium dengan Polietilen Glikol untuk Simulasi Kondisi Cekaman Kekeringan Seleksi In Vitro Embrio Somatik Kacang Tanah pada Medium dengan Polietilen Glikol untuk Simulasi Kondisi Cekaman Kekeringan Enni Suwarsi Rahayu 1), Satriyas Ilyas 2) dan Sudarsono 2) * 1) Lab Biologi Molekuler

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hipogea L.) merupakan salah satu komoditas pertanian

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hipogea L.) merupakan salah satu komoditas pertanian 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kacang tanah (Arachis hipogea L.) merupakan salah satu komoditas pertanian yang cukup penting. Komoditas kacang tanah diusahakan 70% di lahan kering dan hanya 30% di

Lebih terperinci

Varian Kualitatif Kacang Tanah Hasil Kultur in Vitro dan Hasil Seleksi in Vitro

Varian Kualitatif Kacang Tanah Hasil Kultur in Vitro dan Hasil Seleksi in Vitro BIOSAINTIFIKA ISSN xxxx-xxxx Volume 1, Nomor 1 Maret 2009 Halaman 33-40 Varian Kualitatif Kacang Tanah Hasil Kultur in Vitro dan Hasil Seleksi in Vitro (Qualitative Variants of Peanut Plants Obtained from

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN TOLERANSI MELASTOMA TERHADAP ANTIBIOTIK KANAMISIN DAN HIGROMISIN SECARA IN VITRO NANI SUMARNI

PERTUMBUHAN DAN TOLERANSI MELASTOMA TERHADAP ANTIBIOTIK KANAMISIN DAN HIGROMISIN SECARA IN VITRO NANI SUMARNI PERTUMBUHAN DAN TOLERANSI MELASTOMA TERHADAP ANTIBIOTIK KANAMISIN DAN HIGROMISIN SECARA IN VITRO NANI SUMARNI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

METODE DAN KARAKTER SELEKSI TOLERANSI GENOTIPE JAGUNG TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN

METODE DAN KARAKTER SELEKSI TOLERANSI GENOTIPE JAGUNG TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN i METODE DAN KARAKTER SELEKSI TOLERANSI GENOTIPE JAGUNG TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN ROY EFENDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN HASIL BERBAGAI VARIETAS KACANG HIJAU (Vigna radiata (L.) Wilczek) PADA KADAR AIR YANG BERBEDA

PERTUMBUHAN DAN HASIL BERBAGAI VARIETAS KACANG HIJAU (Vigna radiata (L.) Wilczek) PADA KADAR AIR YANG BERBEDA DAFTAR ISI Halaman HALAMAN DEPAN... i HALAMAN JUDUL... ii LEMBAR PERSETUJUAN. iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI iv SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT v UCAPAN TERIMA KASIH vi ABSTRAK viii ABSTRACT. ix RINGKASAN..

Lebih terperinci

Halimursyadah et al. (2013) J. Floratek 8: 73-79

Halimursyadah et al. (2013) J. Floratek 8: 73-79 Halimursyadah et al. (213) J. Floratek 8: 73-79 PENGGUNAAN POLYETHYLENE GLYCOLE SEBAGAI MEDIA SIMULASI CEKAMAN KEKERINGAN TERHADAP VIABILITAS DAN VIGOR BEBERAPA VARIETAS BENIH KACANG TANAH (Arachis hypogaea

Lebih terperinci

VII TOLERANSI TEMBAKAU TRANSGENIK GENERASI R2 YANG MENGEKSPRESIKAN GEN P5CS TERHADAP CEKAMAN AKIBAT PENYIRAMAN POLIETILEN GLIKOL (PEG)

VII TOLERANSI TEMBAKAU TRANSGENIK GENERASI R2 YANG MENGEKSPRESIKAN GEN P5CS TERHADAP CEKAMAN AKIBAT PENYIRAMAN POLIETILEN GLIKOL (PEG) VII TOLERANSI TEMBAKAU TRANSGENIK GENERASI R2 YANG MENGEKSPRESIKAN GEN P5CS TERHADAP CEKAMAN AKIBAT PENYIRAMAN POLIETILEN GLIKOL (PEG) Abstrak Percobaan yang dilakukan bertujuan untuk (i) menentukan pengaruh

Lebih terperinci

PENGARUH PUPUK KANDANG KELINCI DAN PUPUK NPK (16:16:16) TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.)

PENGARUH PUPUK KANDANG KELINCI DAN PUPUK NPK (16:16:16) TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) PENGARUH PUPUK KANDANG KELINCI DAN PUPUK NPK (16:16:16) TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) SKRIPSI OLEH : HENDRIKSON FERRIANTO SITOMPUL/ 090301128 BPP-AGROEKOTEKNOLOGI PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

REGENERASI DAN UJI RESPON TOLERANSI TERHADAP NaCl PADA GANDUM (Triticum aestivum L.) GALUR R-036 DAN R-040

REGENERASI DAN UJI RESPON TOLERANSI TERHADAP NaCl PADA GANDUM (Triticum aestivum L.) GALUR R-036 DAN R-040 REGENERASI DAN UJI RESPON TOLERANSI TERHADAP NaCl PADA GANDUM (Triticum aestivum L.) GALUR R-036 DAN R-040 REGENERATION AND NaCl TOLERANCE RESPONSE TESTING OF R-036 AND R-040 WHEAT LINES (Triticum aestivum

Lebih terperinci

INDUCTION MUTATION WITH GAMMA RAY IRRADIATION AND IN VITRO SELECTION OF PEANUT SOMATIC EMBRYO, CV LOCAL BIMA THAT POLYETHYLENE GLYCOL TOLERANT

INDUCTION MUTATION WITH GAMMA RAY IRRADIATION AND IN VITRO SELECTION OF PEANUT SOMATIC EMBRYO, CV LOCAL BIMA THAT POLYETHYLENE GLYCOL TOLERANT INDUKSI MUTASI DENGAN IRADIASI SINAR GAMMA DAN SELEKSI IN VITRO UNTUK IDENTIFIKASI EMBRIO SOMATIK KACANG TANAH CV. LOKAL BIMA YANG TOLERAN PADA MEDIA POLIETILENA GLIKOL INDUCTION MUTATION WITH GAMMA RAY

Lebih terperinci

METODE DAN KARAKTER SELEKSI TOLERANSI GENOTIPE JAGUNG TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN

METODE DAN KARAKTER SELEKSI TOLERANSI GENOTIPE JAGUNG TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN i METODE DAN KARAKTER SELEKSI TOLERANSI GENOTIPE JAGUNG TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN ROY EFENDI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 009 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

INDUKSI KERAGAMAN GENETIK DENGAN MUTAGEN SINAR GAMMA PADA NENAS SECARA IN VITRO ERNI SUMINAR

INDUKSI KERAGAMAN GENETIK DENGAN MUTAGEN SINAR GAMMA PADA NENAS SECARA IN VITRO ERNI SUMINAR INDUKSI KERAGAMAN GENETIK DENGAN MUTAGEN SINAR GAMMA PADA NENAS SECARA IN VITRO ERNI SUMINAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 i ABSTRACT ERNI SUMINAR. Genetic Variability Induced

Lebih terperinci

iii ABSTRACT ABDUL KADIR. Induction of somaclone variation through gamma irradiation and in vitro selection to obtain drought tolerance patchouly.

iii ABSTRACT ABDUL KADIR. Induction of somaclone variation through gamma irradiation and in vitro selection to obtain drought tolerance patchouly. iii ABSTRACT ABDUL KADIR. Induction of somaclone variation through gamma irradiation and in vitro selection to obtain drought tolerance patchouly. Under the supervision of Surjono H. Sutjahjo as a Promotor,

Lebih terperinci

yang memiliki kandungan flavor, sehingga menyebabkan vanili mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi. Indonesia merupakan salah satu negara

yang memiliki kandungan flavor, sehingga menyebabkan vanili mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi. Indonesia merupakan salah satu negara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Vanili (Vanilla planifolia Andrews) merupakan salah satu tanaman rempah yang memiliki kandungan flavor, sehingga menyebabkan vanili mempunyai nilai ekonomi

Lebih terperinci

PENGARUH UMUR FISIOLOGIS KECAMBAH BENIH SUMBER EKSPLAN

PENGARUH UMUR FISIOLOGIS KECAMBAH BENIH SUMBER EKSPLAN 0 PENGARUH UMUR FISIOLOGIS KECAMBAH BENIH SUMBER EKSPLAN (Leaflet) TERHADAP INDUKSI EMBRIO SOMATIK DUA VARIETAS KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) SECARA IN VITRO Oleh Diana Apriliana FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG. Mamihery Ravoniarijaona

APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG. Mamihery Ravoniarijaona APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG Mamihery Ravoniarijaona SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 APLIKASI ASAM OKSALAT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) memiliki peran strategis dalam pangan

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) memiliki peran strategis dalam pangan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) memiliki peran strategis dalam pangan nasional sebagai sumber protein dan minyak nabati, dalam setiap 100 g kacang tanah mentah mengandung

Lebih terperinci

PENDUGAAN NILAI DAYA GABUNG DAN HETEROSIS JAGUNG HIBRIDA TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN MUZDALIFAH ISNAINI

PENDUGAAN NILAI DAYA GABUNG DAN HETEROSIS JAGUNG HIBRIDA TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN MUZDALIFAH ISNAINI PENDUGAAN NILAI DAYA GABUNG DAN HETEROSIS JAGUNG HIBRIDA TOLERAN CEKAMAN KEKERINGAN MUZDALIFAH ISNAINI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2015

PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2015 KAJIAN KETAHANAN TERHADAP CEKAMAN PADA PADI HITAM DAN PADI MERAH TESIS Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Megister Pertanian Pada Program Studi Agronomi Oleh: Intan Rohma Nurmalasari

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAN INVIGORASI TERHADAP VIABILITAS BENIH KAKAO (Theobromacacao L.)

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAN INVIGORASI TERHADAP VIABILITAS BENIH KAKAO (Theobromacacao L.) SKRIPSI PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DAN INVIGORASI TERHADAP VIABILITAS BENIH KAKAO (Theobromacacao L.) Oleh : IrvanSwandi 10882003293 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija yang

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija yang berguna untuk bahan pangan, pakan, dan bahan baku industri. Selain itu, kacang tanah merupakan

Lebih terperinci

Oleh : A. Farid Hemon

Oleh : A. Farid Hemon EFEKTIFITAS SELEKSI IN VITRO BERULANG UNTUK MENDAPATKAN PLASMA NUTFAH KACANG TANAH TOLERAN TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN DAN RESISTEN TERHADAP PENYAKIT BUSUK BATANG Sclerotium rolfsii Oleh : A. Farid Hemon

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pisang raja bulu (Musa paradisiaca L var. sapientum) merupakan salah

I. PENDAHULUAN. Pisang raja bulu (Musa paradisiaca L var. sapientum) merupakan salah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pisang raja bulu (Musa paradisiaca L var. sapientum) merupakan salah satu tanaman buah tropis yang dapat tumbuh baik pada dataran tinggi dengan kisaran ketinggian

Lebih terperinci

UJI DAYA HASIL BEBERAPA GALUR MUTAN KACANG TANAH HASIL IRADIASI SINAR GAMMA

UJI DAYA HASIL BEBERAPA GALUR MUTAN KACANG TANAH HASIL IRADIASI SINAR GAMMA 21 UJI DAYA HASIL BEBERAPA GALUR MUTAN KACANG TANAH HASIL IRADIASI SINAR GAMMA (YIELD EVALUATION OF PEANUT MUTAN CULTIVARS GENERATED FROM IRADIATION GAMMA RAYS) A. Farid Hemon 1 dan Sumarjan 1) 1) Program

Lebih terperinci

SKRIPSI PENGARUH APLIKASI UNSUR FE PADA KONDISI CEKAMAN KEKERINGAN TERHADAP TANAMAN TOMAT. Oleh Aprilia Ike Nurmalasari H

SKRIPSI PENGARUH APLIKASI UNSUR FE PADA KONDISI CEKAMAN KEKERINGAN TERHADAP TANAMAN TOMAT. Oleh Aprilia Ike Nurmalasari H SKRIPSI PENGARUH APLIKASI UNSUR FE PADA KONDISI CEKAMAN KEKERINGAN TERHADAP TANAMAN TOMAT Oleh Aprilia Ike Nurmalasari H0709011 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Lebih terperinci

UJI KETAHANAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) HASIL RADIASI SINAR GAMMA (M 2 ) PADA CEKAMAN ALUMINIUM SECARA IN VITRO SKRIPSI OLEH:

UJI KETAHANAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) HASIL RADIASI SINAR GAMMA (M 2 ) PADA CEKAMAN ALUMINIUM SECARA IN VITRO SKRIPSI OLEH: UJI KETAHANAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) HASIL RADIASI SINAR GAMMA (M 2 ) PADA CEKAMAN ALUMINIUM SECARA IN VITRO SKRIPSI OLEH: Dinda Marizka 060307029/BDP-Pemuliaan Tanaman PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

tidak dipengaruhi oleh jumlah eksplan awal. Tetapi tahapan fase stasioner dari akar transgenik yang ditanam lebih cepat tercapai pada kultur dengan

tidak dipengaruhi oleh jumlah eksplan awal. Tetapi tahapan fase stasioner dari akar transgenik yang ditanam lebih cepat tercapai pada kultur dengan KULTUR AKAR TRANSGENIK DARI Trichosanthes cucumerina L.: BEBERAPA FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PRODUKSI BIOMASSA DAN HASIL PROTEIN TOTAL, SERTA AKTIVITAS ANTICENDAWAN DARI PROTEIN ASAL AKAR TRANSGENIK

Lebih terperinci

%-d OJY PEROKSIDASI LIPID DAN AKTIVITAS SUPEROKSIDA DISMUTASE PADA KEDELAI DIBAWAH KONDISI CEKAMAN KEKERINGAN JOFANNY GANAKIN

%-d OJY PEROKSIDASI LIPID DAN AKTIVITAS SUPEROKSIDA DISMUTASE PADA KEDELAI DIBAWAH KONDISI CEKAMAN KEKERINGAN JOFANNY GANAKIN %-d OJY PEROKSIDASI LIPID DAN AKTIVITAS SUPEROKSIDA DISMUTASE PADA KEDELAI DIBAWAH KONDISI CEKAMAN KEKERINGAN JOFANNY GANAKIN DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) PADA MEDIA GAMBUT DENGAN PEMBERIAN URINE SAPI

PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) PADA MEDIA GAMBUT DENGAN PEMBERIAN URINE SAPI SKRIPSI PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) PADA MEDIA GAMBUT DENGAN PEMBERIAN URINE SAPI UIN SUSKA RIAU Oleh: Heri Kiswanto 10982005520 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN

Lebih terperinci

ORGANOGENESIS TANAMAN BAWANG MERAH (ALLIUM ASCALONICUM L.) LOKAL PALU SECARA IN VITRO PADA MEDIUM MS DENGAN PENAMBAHAN IAA DAN BAP ABSTRACT

ORGANOGENESIS TANAMAN BAWANG MERAH (ALLIUM ASCALONICUM L.) LOKAL PALU SECARA IN VITRO PADA MEDIUM MS DENGAN PENAMBAHAN IAA DAN BAP ABSTRACT ` ORGANOGENESIS TANAMAN BAWANG MERAH (ALLIUM ASCALONICUM L.) LOKAL PALU SECARA IN VITRO PADA MEDIUM MS DENGAN PENAMBAHAN IAA DAN BAP Anna Rufaida 1, Waeniaty 2, Muslimin 2, I Nengah Suwastika 1* 1 Lab.Bioteknologi,

Lebih terperinci

HUBUNGAN TRANSPIRASI DENGAN HASIL DAN RENDEMEN MINYAK BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) CHARLES YULIUS BORA

HUBUNGAN TRANSPIRASI DENGAN HASIL DAN RENDEMEN MINYAK BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) CHARLES YULIUS BORA HUBUNGAN TRANSPIRASI DENGAN HASIL DAN RENDEMEN MINYAK BIJI JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) CHARLES YULIUS BORA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

Dosen Program Studi Pemuliaan Tanaman, Fakultas Pertanian Universitas Mataram

Dosen Program Studi Pemuliaan Tanaman, Fakultas Pertanian Universitas Mataram PERTUMBUHAN TANAMAN KACANG TANAH HASIL SELEKSI IN VITRO PADA MEDIA POLIETILENA GLIKOL TERHADAP CEKAMAN LARUTAN POLIETILENA GLIKOL 1 (THE PEANUT PLANT GROWTH REGENERATED FROM IN VITRO SELECTION ON POLYETHYLENE

Lebih terperinci

KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max L.) TOLERAN ALUMINIUM SKRIPSI OLEH : SITI KURNIA /PEMULIAAN TANAMAN

KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max L.) TOLERAN ALUMINIUM SKRIPSI OLEH : SITI KURNIA /PEMULIAAN TANAMAN KARAKTER VEGETATIF DAN GENERATIF BEBERAPA VARIETAS KEDELAI (Glycine max L.) TOLERAN ALUMINIUM SKRIPSI OLEH : SITI KURNIA 090301007/PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG. Mamihery Ravoniarijaona

APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG. Mamihery Ravoniarijaona APLIKASI ASAM OKSALAT DAN Fe PADA VERTISOL DAN ALFISOL TERHADAP PERTUMBUHAN DAN SERAPAN K TANAMAN JAGUNG Mamihery Ravoniarijaona SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 APLIKASI ASAM OKSALAT

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN STEK BATANG DAN KANDUNGAN POLIFENOL

PERTUMBUHAN STEK BATANG DAN KANDUNGAN POLIFENOL PERTUMBUHAN STEK BATANG DAN KANDUNGAN POLIFENOL PADA TEH (Camellia sinensis (L.) O. Kuntze) SETELAH PEMBERIAN VARIASI KONSENTRASI NAA (1-Napthalene Acetic Acid) DAN IBA (Indole-3-Butyric Acid) Skripsi

Lebih terperinci

Keragaman Somaklonal. Yushi Mardiana, SP, MSi Retno Dwi Andayani, SP, MP

Keragaman Somaklonal. Yushi Mardiana, SP, MSi Retno Dwi Andayani, SP, MP Keragaman Somaklonal Yushi Mardiana, SP, MSi Retno Dwi Andayani, SP, MP Mekanisme Terjadinya Keragaman Somaklonal Keragaman somaklonal adalah keragaman genetik tanaman yang terjadi sebagai hasil kultur

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS FILTRAT KULTUR DAN IDENTIFIKASI EMBRIO SOMATIK DAN KECAMBAH KACANG TANAH KULTIVAR LOKAL BIMA PADA FILTRAT KULTUR CENDAWAN Fusarium sp

EFEKTIVITAS FILTRAT KULTUR DAN IDENTIFIKASI EMBRIO SOMATIK DAN KECAMBAH KACANG TANAH KULTIVAR LOKAL BIMA PADA FILTRAT KULTUR CENDAWAN Fusarium sp 147 EFEKTIVITAS FILTRAT KULTUR DAN IDENTIFIKASI EMBRIO SOMATIK DAN KECAMBAH KACANG TANAH KULTIVAR LOKAL BIMA PADA FILTRAT KULTUR CENDAWAN Fusarium sp EFFECTIVENESS OF CULTURE FILTRATE AND IDENTIFICATION

Lebih terperinci

PENGGUNAAN KOMPOSISI MEDIA DASAR DAN BAP UNTUK INDUKSI ORGANOGENESIS ANTHURIUM WAVE OF LOVE (Anthurium plowmanii) SECARA IN VITRO

PENGGUNAAN KOMPOSISI MEDIA DASAR DAN BAP UNTUK INDUKSI ORGANOGENESIS ANTHURIUM WAVE OF LOVE (Anthurium plowmanii) SECARA IN VITRO PENGGUNAAN KOMPOSISI MEDIA DASAR DAN BAP UNTUK INDUKSI ORGANOGENESIS ANTHURIUM WAVE OF LOVE (Anthurium plowmanii) SECARA IN VITRO Oleh Riyanti Catrina Helena Siringo ringo A34404062 PROGRAM STUDI PEMULIAAN

Lebih terperinci

TOLERANSI VARIETAS PADI HITAM (Oryza sativa L.) PADA BERBAGAI TINGKAT CEKAMAN KEKERINGAN. Tesis Program Studi Agronomi

TOLERANSI VARIETAS PADI HITAM (Oryza sativa L.) PADA BERBAGAI TINGKAT CEKAMAN KEKERINGAN. Tesis Program Studi Agronomi TOLERANSI VARIETAS PADI HITAM (Oryza sativa L.) PADA BERBAGAI TINGKAT CEKAMAN KEKERINGAN Tesis Program Studi Agronomi Oleh Samyuni S611308012 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2015

Lebih terperinci

KERAGAAN GALUR KEDELAI HASIL PERSILANGAN VARIETAS TANGGAMUS x ANJASMORO DAN TANGGAMUS x BURANGRANG DI TANAH ENTISOL DAN INCEPTISOL TESIS

KERAGAAN GALUR KEDELAI HASIL PERSILANGAN VARIETAS TANGGAMUS x ANJASMORO DAN TANGGAMUS x BURANGRANG DI TANAH ENTISOL DAN INCEPTISOL TESIS KERAGAAN GALUR KEDELAI HASIL PERSILANGAN VARIETAS TANGGAMUS x ANJASMORO DAN TANGGAMUS x BURANGRANG DI TANAH ENTISOL DAN INCEPTISOL TESIS Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister

Lebih terperinci

KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI

KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI KINETIKA AKTIVITAS REDUKSI NITRAT BAKTERI NITRAT AMONIFIKASI DISIMILATIF DARI MUARA SUNGAI PADA KONSENTRASI OKSIGEN (O 2 ) YANG BERBEDA TETI MARDIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

PENGUJIAN KERAGAAN KARAKTER AGRONOMI GALUR-GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU (Oryza sativa L) Oleh Akhmad Yudi Wibowo A

PENGUJIAN KERAGAAN KARAKTER AGRONOMI GALUR-GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU (Oryza sativa L) Oleh Akhmad Yudi Wibowo A PENGUJIAN KERAGAAN KARAKTER AGRONOMI GALUR-GALUR HARAPAN PADI SAWAH TIPE BARU (Oryza sativa L) Oleh Akhmad Yudi Wibowo A34403066 PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L] Merr.) adalah salah satu komoditas utama kacangkacangan

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L] Merr.) adalah salah satu komoditas utama kacangkacangan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kedelai (Glycine max [L] Merr.) adalah salah satu komoditas utama kacangkacangan yang menjadi andalan nasional karena merupakan sumber protein nabati penting

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN PUCUK AKSILER SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) PADA MEDIUM MENGANDUNG KARBENISILIN

PERTUMBUHAN PUCUK AKSILER SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) PADA MEDIUM MENGANDUNG KARBENISILIN PERTUMBUHAN PUCUK AKSILER SENGON (Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen) PADA MEDIUM MENGANDUNG KARBENISILIN SKRIPSI SARJANA BIOLOGI Oleh: MIRAH DILA SARI 10602043 PROGRAM STUDI BIOLOGI SEKOLAH ILMU DAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kandungan karbondioksida mengakibatkan semakin berkurangnya lahan. subur untuk pertanaman padi sawah (Effendi, 2008).

I. PENDAHULUAN. kandungan karbondioksida mengakibatkan semakin berkurangnya lahan. subur untuk pertanaman padi sawah (Effendi, 2008). 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jumlah penduduk yang semakin bertambah pesat setiap tahunnya justru semakin memperparah permasalahan di bidang pertanian. Bukan hanya dari tingkat kebutuhan beras yang

Lebih terperinci

PENGARUH PbEDTA PADA TANAMAN PADI (Oeryza sativa.l ) YANG DITUMBUHKAN DI DALAM LARUTAN NUTRISI

PENGARUH PbEDTA PADA TANAMAN PADI (Oeryza sativa.l ) YANG DITUMBUHKAN DI DALAM LARUTAN NUTRISI PENGARUH PbEDTA PADA TANAMAN PADI (Oeryza sativa.l ) YANG DITUMBUHKAN DI DALAM LARUTAN NUTRISI ABSTRAK Telah diteliti mengenai pengaruh perlakuan PbEDTA pada pertumbuhan vegetatif tanaman padi COryza

Lebih terperinci

PENGARUH KADAR GARAM NaCl TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill) GENERASI KEDUA (M 2 ) HASIL RADIASI SINAR GAMMA

PENGARUH KADAR GARAM NaCl TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill) GENERASI KEDUA (M 2 ) HASIL RADIASI SINAR GAMMA PENGARUH KADAR GARAM NaCl TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KEDELAI (Glycine max (L.) Merrill) GENERASI KEDUA (M 2 ) HASIL RADIASI SINAR GAMMA HERAWATY SAMOSIR 060307005 DEPARTEMEN AGROEKOTEKNOLOGI FAKULTAS

Lebih terperinci

RESPON PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN KANGKUNG DARAT (Ipomoea reptans P.) PADA MEDIA TANAM ARANG SEKAM DAN COCOPEAT SERTA KONSENTRASI POH CAIR

RESPON PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN KANGKUNG DARAT (Ipomoea reptans P.) PADA MEDIA TANAM ARANG SEKAM DAN COCOPEAT SERTA KONSENTRASI POH CAIR RESPON PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN KANGKUNG DARAT (Ipomoea reptans P.) PADA MEDIA TANAM ARANG SEKAM DAN COCOPEAT SERTA KONSENTRASI POH CAIR SKRIPSI Ernanda Tri Budiati 1304020004 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian pendahuluan

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian pendahuluan 12 menjadi planlet/tanaman. Hormon NAA cenderung menginduksi embrio somatik secara langsung tanpa pembentukan kalus. Embrio somatik yang dihasilkan lebih normal dan mudah dikecambahkan menjadi planlet/tanaman,

Lebih terperinci

TOLERANSI HOTONG (Setaria italica L. Beauv) PADA BERBAGAI CEKAMAN KEKERINGAN: PENDEKATAN ANATOMI DAN FISIOLOGI YATI TUASAMU

TOLERANSI HOTONG (Setaria italica L. Beauv) PADA BERBAGAI CEKAMAN KEKERINGAN: PENDEKATAN ANATOMI DAN FISIOLOGI YATI TUASAMU 0 TOLERANSI HOTONG (Setaria italica L. Beauv) PADA BERBAGAI CEKAMAN KEKERINGAN: PENDEKATAN ANATOMI DAN FISIOLOGI YATI TUASAMU SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 1 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

RESPON KETAHANAN BEBERAPA VARIETAS PADI (Oryza sativa L.) TERHADAP KONSENTRASI GARAM NaCl SECARA IN VITRO

RESPON KETAHANAN BEBERAPA VARIETAS PADI (Oryza sativa L.) TERHADAP KONSENTRASI GARAM NaCl SECARA IN VITRO RESPON KETAHANAN BEBERAPA VARIETAS PADI (Oryza sativa L.) TERHADAP KONSENTRASI GARAM NaCl SECARA IN VITRO S K R I P S I OLEH : JUMARIHOT ST OPS 040307037 BDP-PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN

Lebih terperinci

REGENERASI TANAMAN SENGON (Albizia falcataria) MELALUI MULTIPLIKASI TUNAS AKSILAR DENGAN PENGGUNAAN KOMBINASI ZPT DAN AIR KELAPA SKRIPSI.

REGENERASI TANAMAN SENGON (Albizia falcataria) MELALUI MULTIPLIKASI TUNAS AKSILAR DENGAN PENGGUNAAN KOMBINASI ZPT DAN AIR KELAPA SKRIPSI. REGENERASI TANAMAN SENGON (Albizia falcataria) MELALUI MULTIPLIKASI TUNAS AKSILAR DENGAN PENGGUNAAN KOMBINASI ZPT DAN AIR KELAPA SKRIPSI Oleh: RAHADI PURBANTORO NPM : 0825010009 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

Lebih terperinci

EVALUASI KERAGAAN FENOTIPE TANAMAN SELEDRI DAUN

EVALUASI KERAGAAN FENOTIPE TANAMAN SELEDRI DAUN EVALUASI KERAGAAN FENOTIPE TANAMAN SELEDRI DAUN (Apium graveolens L. Subsp. secalinum Alef.) KULTIVAR AMIGO HASIL RADIASI DENGAN SINAR GAMMA COBALT-60 (Co 60 ) Oleh Aldi Kamal Wijaya A 34301039 PROGRAM

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN ZPT 2,4 D TERHADAP PERTUMBUHAN DAN METABOLIT KALUS KEDELAI PADA PROSES HYPOXYDA SKRIPSI OLEH:

PENGARUH PEMBERIAN ZPT 2,4 D TERHADAP PERTUMBUHAN DAN METABOLIT KALUS KEDELAI PADA PROSES HYPOXYDA SKRIPSI OLEH: PENGARUH PEMBERIAN ZPT 2,4 D TERHADAP PERTUMBUHAN DAN METABOLIT KALUS KEDELAI PADA PROSES HYPOXYDA SKRIPSI OLEH: Elita Kumianjani A B 100301159 PEMULIAAN TANAMAN PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DEPARTEMEN

Lebih terperinci

PENGARUH KOMPOS SISA TANAMAN TERHADAP KETERSEDIAAN P DAN K SERTA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN KEDELAI

PENGARUH KOMPOS SISA TANAMAN TERHADAP KETERSEDIAAN P DAN K SERTA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN KEDELAI PENGARUH KOMPOS SISA TANAMAN TERHADAP KETERSEDIAAN P DAN K SERTA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. merill) PADA GRUMUSOL DARI CIHEA Oleh Siti Pratiwi Hasanah A24103066 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

Biosaintifika 4 (1) (2012) Biosantifika. Berkala Ilmiah Biologi.

Biosaintifika 4 (1) (2012) Biosantifika. Berkala Ilmiah Biologi. Biosaintifika 4 (1) (2012) Biosantifika Berkala Ilmiah Biologi http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/biosaintifika EFEKTIVITAS ZPT 2,4 D PADA MEDIUM MS DAN LAMA PENCAHAYAAN UNTUK MENGINDUKSI KALUS DARI

Lebih terperinci

VIABILITAS DAN VIGORITAS BENIH Stylosanthes guianensis (cv. Cook) YANG DISIMPAN PADA SUHU BERBEDA DAN DIRENDAM DALAM LARUTAN GIBERELIN SKRIPSI OLEH

VIABILITAS DAN VIGORITAS BENIH Stylosanthes guianensis (cv. Cook) YANG DISIMPAN PADA SUHU BERBEDA DAN DIRENDAM DALAM LARUTAN GIBERELIN SKRIPSI OLEH VIABILITAS DAN VIGORITAS BENIH Stylosanthes guianensis (cv. Cook) YANG DISIMPAN PADA SUHU BERBEDA DAN DIRENDAM DALAM LARUTAN GIBERELIN SKRIPSI OLEH IKKE YULIARTI E10012026 FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

INDUKSI TUNAS PISANG BARANGAN (Musa acuminata L.) DENGAN PEMBERIAN NAA DAN BAP BERDASARKAN SUMBER EKSPLAN

INDUKSI TUNAS PISANG BARANGAN (Musa acuminata L.) DENGAN PEMBERIAN NAA DAN BAP BERDASARKAN SUMBER EKSPLAN INDUKSI TUNAS PISANG BARANGAN (Musa acuminata L.) DENGAN PEMBERIAN NAA DAN BAP BERDASARKAN SUMBER EKSPLAN TESIS Oleh HARDI YUDHA 127030024/BIO PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

PENGARUH KERAPATAN DAN KEDALAMAN TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL KACANG HIJAU (Vigna radiata L.)

PENGARUH KERAPATAN DAN KEDALAMAN TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL KACANG HIJAU (Vigna radiata L.) PENGARUH KERAPATAN DAN KEDALAMAN TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL KACANG HIJAU (Vigna radiata L.) EFFECT OF DENSITY AND PLANTING DEPTH ON THE GROWTH AND RESULTS GREEN BEAN (Vigna radiata L.) Arif Sutono

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Pelaksanaan

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Pelaksanaan 13 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli 2011 hingga bulan Februari 2012 di Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN KOMPOS SISA TANAMAN TERHADAP KETERSEDIAAN P DAN K SERTA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KACANG TANAH

PENGARUH PEMBERIAN KOMPOS SISA TANAMAN TERHADAP KETERSEDIAAN P DAN K SERTA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KACANG TANAH PENGARUH PEMBERIAN KOMPOS SISA TANAMAN TERHADAP KETERSEDIAAN P DAN K SERTA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KACANG TANAH (Arachis hypogaea, L) PADA LATOSOL DARI GUNUNG SINDUR Oleh Elvina Frida Merdiani A24103079

Lebih terperinci

APLIKASI CRYSTAL SOIL TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT SUKUN (Artocarpus communis Forst.)

APLIKASI CRYSTAL SOIL TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT SUKUN (Artocarpus communis Forst.) APLIKASI CRYSTAL SOIL TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT SUKUN (Artocarpus communis Forst.) SKRIPSI Oleh: NANI APRI LUSY MANULLANG 061202037 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2010

Lebih terperinci

IV. IRADIASI SINAR GAMMA DAN SELEKSI IN VITRO MENGGUNAKAN PEG UNTUK TOLERANSI TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN

IV. IRADIASI SINAR GAMMA DAN SELEKSI IN VITRO MENGGUNAKAN PEG UNTUK TOLERANSI TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN IV. IRADIASI SINAR GAMMA DAN SELEKSI IN VITRO MENGGUNAKAN PEG UNTUK TOLERANSI TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan keragaman somaklonal melalui iradiasi sinar

Lebih terperinci

RESPONS PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK ORGANIK VERMIKOMPOS DAN INTERVAL PENYIRAMAN PADA TANAH SUBSOIL SKRIPSI

RESPONS PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK ORGANIK VERMIKOMPOS DAN INTERVAL PENYIRAMAN PADA TANAH SUBSOIL SKRIPSI RESPONS PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) TERHADAP PEMBERIAN PUPUK ORGANIK VERMIKOMPOS DAN INTERVAL PENYIRAMAN PADA TANAH SUBSOIL SKRIPSI OLEH: RIZKI RINALDI DALIMUNTHE 080301018 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

KERAGAMAN GENETIK, HERITABILITAS, DAN RESPON SELEKSI SEPULUH GENOTIPE KEDELAI DI KABUPATEN TULUNGAGUNG

KERAGAMAN GENETIK, HERITABILITAS, DAN RESPON SELEKSI SEPULUH GENOTIPE KEDELAI DI KABUPATEN TULUNGAGUNG KERAGAMAN GENETIK, HERITABILITAS, DAN RESPON SELEKSI SEPULUH GENOTIPE KEDELAI DI KABUPATEN TULUNGAGUNG SKRIPSI Oleh Dheska Pratikasari NIM 091510501136 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PENAMPILAN MORFOFISIOLOGI AKAR BEBERAPA HASIL PERSILANGAN (F1) JAGUNG (Zea mays L.) PADA DUA MEDIA TANAM DI RHIZOTRON SKRIPSI OLEH:

PENAMPILAN MORFOFISIOLOGI AKAR BEBERAPA HASIL PERSILANGAN (F1) JAGUNG (Zea mays L.) PADA DUA MEDIA TANAM DI RHIZOTRON SKRIPSI OLEH: PENAMPILAN MORFOFISIOLOGI AKAR BEBERAPA HASIL PERSILANGAN (F1) JAGUNG (Zea mays L.) PADA DUA MEDIA TANAM DI RHIZOTRON SKRIPSI OLEH: DESY MUTIARA SARI/120301079 AGROEKOTEKNOLOGI PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

INDUKSI TUNAS PISANG ROTAN [Musa sp. ( AA Group.)] DARI EKSPLAN BONGGOL ANAKAN DAN MERISTEM BUNGA SECARA IN VITRO

INDUKSI TUNAS PISANG ROTAN [Musa sp. ( AA Group.)] DARI EKSPLAN BONGGOL ANAKAN DAN MERISTEM BUNGA SECARA IN VITRO SKRIPSI INDUKSI TUNAS PISANG ROTAN [Musa sp. ( AA Group.)] DARI EKSPLAN BONGGOL ANAKAN DAN MERISTEM BUNGA SECARA IN VITRO Oleh: Erni Noviana 11082200690 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN DAN

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI LIMA VARIETAS KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) Oleh INNE RATNAPURI A

KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI LIMA VARIETAS KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) Oleh INNE RATNAPURI A KARAKTERISTIK PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI LIMA VARIETAS KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) Oleh INNE RATNAPURI A34103038 PROGRAM STUDI AGRONOMI FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 KARAKTERISTIK

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TIGA VARIETAS PADI GOGO (Oryza sativa L.) TERHADAP PERBANDINGAN PEMBERIAN KASCING DAN PUPUK KIMIA

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TIGA VARIETAS PADI GOGO (Oryza sativa L.) TERHADAP PERBANDINGAN PEMBERIAN KASCING DAN PUPUK KIMIA PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TIGA VARIETAS PADI GOGO (Oryza sativa L.) TERHADAP PERBANDINGAN PEMBERIAN KASCING DAN PUPUK KIMIA ALLEN WIJAYA 070301024 DEPARTEMEN BUDIDAYA PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PENGARUH KETERSEDIAAN AIR TERHADAP PERTUMBUHAN TIGA VARIETAS CABAI RAWIT (Capsicum frutescens) SKRIPSI DWI INTAN HARDILA

PENGARUH KETERSEDIAAN AIR TERHADAP PERTUMBUHAN TIGA VARIETAS CABAI RAWIT (Capsicum frutescens) SKRIPSI DWI INTAN HARDILA PENGARUH KETERSEDIAAN AIR TERHADAP PERTUMBUHAN TIGA VARIETAS CABAI RAWIT (Capsicum frutescens) SKRIPSI DWI INTAN HARDILA 080805039 DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN HASIL GALUR KACANG TANAH VARIAN SOMAKLONAL YANG DIBERI PUPUK NITROGEN PADA KONDISI STRES KEKERINGAN

PERTUMBUHAN DAN HASIL GALUR KACANG TANAH VARIAN SOMAKLONAL YANG DIBERI PUPUK NITROGEN PADA KONDISI STRES KEKERINGAN PERTUMBUHAN DAN HASIL GALUR KACANG TANAH VARIAN SOMAKLONAL YANG DIBERI PUPUK NITROGEN PADA KONDISI STRES KEKERINGAN GROWTH AND YIELD OF PEANUT SOMACLONES GENERATED FROM IN VITRO SELECTION THAT WAS GIVEN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tumbuhan tegakan berkayu banyak tumbuh dalam ekosistem hutan.

BAB I PENDAHULUAN. Tumbuhan tegakan berkayu banyak tumbuh dalam ekosistem hutan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tumbuhan tegakan berkayu banyak tumbuh dalam ekosistem hutan. Namun akhir-akhir ini ekosistem hutan luasnya sudah sangat berkurang. Melihat hal ini pemerintah menggalakkan

Lebih terperinci

PENGARUH AKSESI GULMA Echinochloa crus-galli TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI

PENGARUH AKSESI GULMA Echinochloa crus-galli TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI PENGARUH AKSESI GULMA Echinochloa crus-galli TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADI ABSTRAK Aksesi gulma E. crus-galli dari beberapa habitat padi sawah di Jawa Barat diduga memiliki potensi yang berbeda

Lebih terperinci

PEMBERIAN KAPUR CaCO 3 DAN PUPUK KCl DALAM MENINGKATKAN PERTUMBUHAN SERTA SERAPAN K DAN Ca TANAMAN KEDELAI SKRIPSI OLEH:

PEMBERIAN KAPUR CaCO 3 DAN PUPUK KCl DALAM MENINGKATKAN PERTUMBUHAN SERTA SERAPAN K DAN Ca TANAMAN KEDELAI SKRIPSI OLEH: 1 PEMBERIAN KAPUR CaCO 3 DAN PUPUK KCl DALAM MENINGKATKAN PERTUMBUHAN SERTA SERAPAN K DAN Ca TANAMAN KEDELAI DI TANAH ULTISOL SKRIPSI OLEH: RANGGA RIZKI S 100301002 AGROEKOTEKNOLOGI PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

PENGGUNAAN IAA DAN BAP UNTUK MENSTIMULASI ORGANOGENESIS TANAMAN Anthurium andreanum DALAM KULTUR IN VITRO

PENGGUNAAN IAA DAN BAP UNTUK MENSTIMULASI ORGANOGENESIS TANAMAN Anthurium andreanum DALAM KULTUR IN VITRO PENGGUNAAN IAA DAN BAP UNTUK MENSTIMULASI ORGANOGENESIS TANAMAN Anthurium andreanum DALAM KULTUR IN VITRO Oleh : SITI SYARA A34301027 PROGRAM STUDI HORTIKULTURA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

NARWIYAN AET PEMULIAAN TANAMAN

NARWIYAN AET PEMULIAAN TANAMAN SEBARAN NORMAL KARAKTER-KARAKTER PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI HASIL PERSILANGAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max L. Merril) VARIETAS ANJASMORO DENGAN GENOTIPA KEDELAI TAHAN SALIN PADA F2 SKRIPSI OLEH : NARWIYAN

Lebih terperinci

PENGARUH KONSENTRASI PUPUK MAJEMUK TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN SELADA SECARA HIDROPONIK

PENGARUH KONSENTRASI PUPUK MAJEMUK TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN SELADA SECARA HIDROPONIK SKRIPSI PENGARUH KONSENTRASI PUPUK MAJEMUK TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN SELADA SECARA HIDROPONIK Oleh: Syaiful Edison 10882004019 PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

PENGARUH CEKAMAN GARAM TERHADAP PRODUKSI ASAM ORGANIK DAN PERTUMBUHAN TANAMAN LIDAH BUAYA (Aloe vera)

PENGARUH CEKAMAN GARAM TERHADAP PRODUKSI ASAM ORGANIK DAN PERTUMBUHAN TANAMAN LIDAH BUAYA (Aloe vera) PENGARUH CEKAMAN GARAM TERHADAP PRODUKSI ASAM ORGANIK DAN PERTUMBUHAN TANAMAN LIDAH BUAYA (Aloe vera) KARYA TULIS ILMIAH (SKRIPSI) Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Menyelesaikan Pendidikan

Lebih terperinci

KAJIAN PERKECAMBAHAN DAN PERTUMBUHAN BIBIT BIJI BOTANI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) PADA BEBERAPA MACAM MEDIA

KAJIAN PERKECAMBAHAN DAN PERTUMBUHAN BIBIT BIJI BOTANI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) PADA BEBERAPA MACAM MEDIA KAJIAN PERKECAMBAHAN DAN PERTUMBUHAN BIBIT BIJI BOTANI BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) PADA BEBERAPA MACAM MEDIA Skripsi Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian

Lebih terperinci

TESIS Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister Program Study Agronomi. Oleh : HARIYATI S

TESIS Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Magister Program Study Agronomi. Oleh : HARIYATI S UJI EFEKTIFITAS PENYERAPAN PHOSPAT PADA APLIKASI MIKRO BIOTA DAN ZPT ATONIK PADA MEDIA SEMAI TERHADAP PERTUMBUHAN BENIH TEBU (Sacharum officinarumn L.) TESIS Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan

Lebih terperinci

DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK

DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK DESAIN DAN SINTESIS AMINA SEKUNDER RANTAI KARBON GENAP DARI ASAM KARBOKSILAT RANTAI PANJANG RAHMAD FAJAR SIDIK SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN TENTANG TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB IX PEMBAHASAN UMUM

BAB IX PEMBAHASAN UMUM 120 BAB IX PEMBAHASAN UMUM Salah satu penyebab rendahnya produktivitas serat abaka antara lain karena adanya penyakit layu Fusarium atau Panama disease yang ditimbulkan oleh cendawan Fusarium oxysporum

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilakukan dalam dua tahapan pelaksanaan, yaitu tahap kultur in vitro dan aklimatisasi. Tahap kultur in vitro dilakukan di dalam Laboratorium Kultur Jaringan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 22 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari 2010 sampai dengan Pebruari 2011. Tempat pelaksanaan kultur jaringan tanaman adalah di Laboratorium Kultur Jaringan

Lebih terperinci

RESPON FISIOLOGI BEBERAPA VARIETAS PADI TERHADAP CEKAMAN BESI A M N A L

RESPON FISIOLOGI BEBERAPA VARIETAS PADI TERHADAP CEKAMAN BESI A M N A L RESPON FISIOLOGI BEBERAPA VARIETAS PADI TERHADAP CEKAMAN BESI A M N A L SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

PENGARUH TIMBAL DAN KADMIUM TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN KEDELAI GLYCINE MAX (L.) MERR. )

PENGARUH TIMBAL DAN KADMIUM TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN KEDELAI GLYCINE MAX (L.) MERR. ) PENGARUH TIMBAL DAN KADMIUM TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN KEDELAI GLYCINE MAX (L.) MERR. ) A B S T R A K Telah diteliti pengaruh timbal (Pb) dan kadmium (Cd) terhadap pertumbuhan tanaman kedelai ( Glycine

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN BAP (Benzil Amino Purin) DAN NAA (Naftalen Asam Asetat) TERHADAP MORFOGENESIS DARI KALUS SANSEVIERIA (Sansevieria cylindrica)

PENGARUH PEMBERIAN BAP (Benzil Amino Purin) DAN NAA (Naftalen Asam Asetat) TERHADAP MORFOGENESIS DARI KALUS SANSEVIERIA (Sansevieria cylindrica) PENGARUH PEMBERIAN BAP (Benzil Amino Purin) DAN NAA (Naftalen Asam Asetat) TERHADAP MORFOGENESIS DARI KALUS SANSEVIERIA (Sansevieria cylindrica) SKRIPSI OLEH : SRI WILDANI BATUBARA 050307041/PEMULIAAN

Lebih terperinci

SKRIPSI OLEH : ANI MEGAWATI SIMBOLON** BDP-AGRONOMI

SKRIPSI OLEH : ANI MEGAWATI SIMBOLON** BDP-AGRONOMI PENGARUH ZAT PENGATUR TUMBUH AKAR DAN MEDIA TANAM TERHADAP KEBERHASILAN DAN PERTUMBUHAN SETEK KAMBOJA JEPANG (Adenium obesum) SKRIPSI OLEH : ANI MEGAWATI SIMBOLON** 040301035 BDP-AGRONOMI PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

TANGGAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) TERHADAP DOSIS PUPUK KALIUM DAN FREKUENSI PEMBUMBUNAN SKRIPSI OLEH :

TANGGAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) TERHADAP DOSIS PUPUK KALIUM DAN FREKUENSI PEMBUMBUNAN SKRIPSI OLEH : TANGGAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KACANG TANAH (Arachis hypogaea L.) TERHADAP DOSIS PUPUK KALIUM DAN FREKUENSI PEMBUMBUNAN SKRIPSI OLEH : NELSON SIMANJUNTAK 080301079 / BDP-AGRONOMI PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian 14 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2009 sampai dengan bulan Juni 2011 di Laboratorium Kultur Jaringan Kelompok Peneliti Biologi Sel dan Jaringan, Balai

Lebih terperinci

HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA DAN PEER GROUP DENGAN KARAKTER DAN PERILAKU BULLYING REMAJA KARINA

HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA DAN PEER GROUP DENGAN KARAKTER DAN PERILAKU BULLYING REMAJA KARINA HUBUNGAN KARAKTERISTIK KELUARGA DAN PEER GROUP DENGAN KARAKTER DAN PERILAKU BULLYING REMAJA KARINA DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012 Hak Cipta

Lebih terperinci

KAJIAN PENGGUNAAN AIR KELAPA DENGAN PENAMBAHAN BERBAGAI KONSENTRASI SUSU SKIM SEBAGAI MEDIA PERTUMBUHAN KULTUR YOGURT

KAJIAN PENGGUNAAN AIR KELAPA DENGAN PENAMBAHAN BERBAGAI KONSENTRASI SUSU SKIM SEBAGAI MEDIA PERTUMBUHAN KULTUR YOGURT KAJIAN PENGGUNAAN AIR KELAPA DENGAN PENAMBAHAN BERBAGAI KONSENTRASI SUSU SKIM SEBAGAI MEDIA PERTUMBUHAN KULTUR YOGURT (Streptococcus thermophilus DAN Lactobacillus bulgaricus) SKRIPSI OLEH: FELICIA NOVITA

Lebih terperinci

APLIKASI TANAH PASIR GUNA PERBAIKAN MEDIA TANAM TANAH GAMBUT DALAM BUDIDAYA BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.)

APLIKASI TANAH PASIR GUNA PERBAIKAN MEDIA TANAM TANAH GAMBUT DALAM BUDIDAYA BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) APLIKASI TANAH PASIR GUNA PERBAIKAN MEDIA TANAM TANAH GAMBUT DALAM BUDIDAYA BAWANG MERAH (Allium ascalonicum L.) SKRIPSI Oleh : Ayu Lestarie Sania 20110210032 Program Studi Agroteknologi FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

PENGARUH PELAPISAN CHITOSAN DAN LAMA PENYIMPANAN TERHADAP VIABILITAS BENIH DAN PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.)

PENGARUH PELAPISAN CHITOSAN DAN LAMA PENYIMPANAN TERHADAP VIABILITAS BENIH DAN PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) PENGARUH PELAPISAN CHITOSAN DAN LAMA PENYIMPANAN TERHADAP VIABILITAS BENIH DAN PERTUMBUHAN BIBIT KAKAO (Theobroma cacao L.) SKRIPSI Oleh Henry Dwi Kurniawan NIM. 061510101190 PS AGRONOMI-AGROINDUSTRI KOPI

Lebih terperinci

KULTUR KOTILEDON JERUK KEPROK (Citrus nobilis Lour.) PADA MEDIA MS YANG DIPERKAYA DENGAN KINETIN

KULTUR KOTILEDON JERUK KEPROK (Citrus nobilis Lour.) PADA MEDIA MS YANG DIPERKAYA DENGAN KINETIN KULTUR KOTILEDON JERUK KEPROK (Citrus nobilis Lour.) PADA MEDIA MS YANG DIPERKAYA DENGAN KINETIN SKRIPSI YESVITA RITONGA 060805034 DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS

Lebih terperinci