IV. IRADIASI SINAR GAMMA DAN SELEKSI IN VITRO MENGGUNAKAN PEG UNTUK TOLERANSI TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IV. IRADIASI SINAR GAMMA DAN SELEKSI IN VITRO MENGGUNAKAN PEG UNTUK TOLERANSI TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN"

Transkripsi

1 IV. IRADIASI SINAR GAMMA DAN SELEKSI IN VITRO MENGGUNAKAN PEG UNTUK TOLERANSI TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan keragaman somaklonal melalui iradiasi sinar gamma pada eksplan kalus yang telah mengalami subkultur berulang. Melalui seleksi in vitro menggunakan agen penyeleksi PEG dengan menggunakan 3 metode seleksi diharapkan akan diperoleh varian somaklon yang toleran terhadap cekaman kekeringan. Selain itu untuk mengetahui respon planlet hasil iradiasi sinar gamma dan seleksi in vitro terhadap media arang sekam padi yang diberi PEG 20 %. Bahan yang digunakan adalah kalus embriogenik hasil perbanyakan populasi kalus melalui subkultur berulang dari percobaan sebelumnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tingggi konsentrasi PEG dan dosis iradiasi sinar gamma pada metode seleksi menyeluruh, semakin menurunkan kualitas kalus, meningkatkan persentase kalus mati, dan menekan pertumbuhan kalus. Seleksi in vitro menggunakan seleksi menyeluruh pada konsentrasi PEG 20 % pada dosis 0, 5, 10, 15 dan 20 Gy menyebabkan persentase kematian kalus berturut-turut : 65.3, 66.7, 90.5, dan 85.0 %. Semua kalus yang diregenerasi pada perlakuan ini tidak beregenerasi. Pada metode seleksi in vitro langsung, persentase kematian kalus mencapai %, hanya dosis 0-10 Gy yang dapat beregenerasi yaitu %. Pada metode seleksi bertahap menghasilkan persentase kematian kalus lebih rendah dari seleksi menyeluruh dan langsung yakni % dan pada seleksi ini, semua level dosis iradiasi sinar gamma dapat beregenerasi yakni %. Iradiasi sinar gamma pada tiga metode seleksi in vitro dapat menyebabkan keragaman pertumbuhan tunas. Planlet dari somaklon hasil seleksi in vitro PEG 20 % (metode bertahap) mempunyai kemampuan bertahan hidup pada media arang sekam yang diberi PEG 20 % dengan persentase hidup lebih tinggi dibandingkan dengan planlet somaklon hasil seleksi in vitro menggunakan PEG konsentrasi yang lebih rendah (seleksi menyeluruh). Kata kunci : Iradiasi sinar gamma, polyethylene glycol (PEG), seleksi in vitro, dan cekaman kekeringan. GAMMA IRRADIATION AND IN VITRO SELECTION USING PEG FOR DROUGHT TOLERANCE Abstract The aim of the research was to increase somaclonal variation throught gamma irradiation of calli that have been sub cultured frequently. It was expected that third throught this in vitro selection the drought tolerant varian will be obtained. The aim of the research was also to evaluate the response of irradiation and in vitro selection derived planlets on rice husk charcoal containing of 20 % PEG. Result showed that higher PEG and gamma dosage on all selection method caused the lower calli quality, the higher calli mortality and calli growth. In vitro selection at 20 % PEG and gamma irradiation at the dosage of 0 (control), 5, 10, 15 and 20 Gy caused 65.3 %, 66.7 %, 90.5 %, 100 % and 85.0 % percentage of calli mortality, respectively. All calli from those treatments could not be regenerated. On the direct in vitro selection method % calli could not survive and only from 0-10 Gy treated calli could regenerated ( %). On the two method in vitro selection, percentage of calli mortality was % lower then that from whole and direct method. On this method, all gamma dosages provided 16,2 33,4 % shoot regeneration. Gamma irradiation from all in vitro selection method caused

2 variance of shoot growth. Somaclones from 20 % PEG (on two method) had high level of survival on rise huk charcoal containing of 20 % PEG compared to somaclones from lower of PEG on the whole selection method. Key words : Gamma ray irradiation, polyethilene glycol (PEG), in vitro selection and drought stress.

3 Pendahuluan Tanaman nilam yang umum dibudidayakan oleh petani di Indonesia adalah jenis nilam Aceh. Hingga kini jenis nilam tersebut belum ditemukan ada yang berbunga. Hal tersebut menyebabkan sempitnya keragaman genetik tanaman nilam dan sulitnya memperoleh jenis atau klon baru. Keterbatasan jumlah klon yang tersedia merupakan salah satu kendala dalam melakukan seleksi untuk memperoleh klon unggul yang adaptif terhadap cekaman biotik dan abiotik. Ketidakstabilan genetik yang disebabkan oleh penggunaan kultur in vitro, terutama melalui kultur sel dan kalus merupakan fenomena keragaman somaklonal dan dapat dijadikan sebagai salah satu metode untuk meningkatkan keragaman genetik tanaman nilam. Keragaman somaklonal umumnya bersumber dari keragaman genetik eksplan dan dalam media kultur jaringan (Wattimena 1992). Keragaman somaklonal merupakan mutasi in vitro yang secara efektif dapat ditingkatkatkan frekuensi terjadinya mutan somaklon melalui pemberian mutagen fisik (Ahloowalia dan Maluszynski 2001). Mutasi yang dihasilkan melalui mutagen fisik telah intensif digunakan untuk memperbaiki sifat tanaman (Das et al. 2000). Kombinasi antara teknik in vitro dan induksi mutagen fisik direkomendasikan untuk memperbaiki kultivar tanaman yang diperbanyak secara vegetatif (Maluzynski et al. 1995; Das et al. 2000). Penggunaan mutagen fisik seperti iradiasi sinar gamma pada kultur in vitro banyak dilaporkan penggunaannya dalam upaya mendapatkan keragaman somaklon dengan berbagai karakter unggul yang diinginkan (Ahloowalia 1990). Penggunaan iradiasi sinar gamma pada kultur in vitro umumnya dilakukan pada dosis rendah (Al-Safadi et al. 2000; La Vina et al. 2001). Penggunaan iradiasi sinar gamma dengan dosis rendah dapat menstimulasi pertumbuhan tanaman secara in vitro (Al-Safadi et al. 2000). Selain itu juga dapat menginduksi perubahan fisiologi dan biokimia tanaman (Berezina dan Kaushanskii 1989). Iradiasi sinar gamma sebaiknya dilakukan pada sel-sel yang masih aktif membelah seperti kalus karena sel-sel tersebut bersifat sensitif terhadap iradiasi sinar gamma. Pemberian iradiasi sinar gamma dengan dosis Gy pada kalus dapat menyebabkan peningkatan keragaman somaklonal (Van Harten 1998). Peningkatan keragaman somaklonal pada tanaman nilam menggunakan iradiasi sinar gamma telah dilaporkan oleh Mariska et al. (1996). Keragaman somaklonal dapat digabungkan dengan seleksi in vitro untuk memperoleh suatu sifat unik yang diinginkan. Teknik seleksi in vitro digunakan untuk mengembangkan tanaman toleran terhadap cekaman abiotik seperti toleran terhadap cekaman kekeringan, cekaman temperatur rendah (dingin) dan panas, cekaman aluminium serta cekaman salinitas (Bajji et al. 2004). Seleksi in vitro lebih efesien dan hasilnya dapat dipertanggung jawabkan, karena melalui seleksi in vitro jutaan sel dapat diseleksi dengan hanya menggunakan beberara botol kultur atau petridisk, sedangkan seleksi di lapang harus menggunakan beratus- ratus tanaman yang diuji pada areal yang lebih luas, selain itu seleksi in vitro tidak terlalu dipengaruhi oleh lingkungan serta memungkinkan melakukan seleksi pada tingkat sel (Biswas et al. 2002). Seleksi in vitro telah banyak digunakan untuk mendapatkan tanaman yang toleran terhadap cekaman kekeringan. Beberapa jenis tanaman dilaporkan mengalami peningkatan toleransi terhadap cekaman kekeringan, diantaranya tanaman bunga matahari (Praksh et al. 1994), tomat (Handa et al. 1986), Wortel (Fallon dan Fhilips 1989), padi (Reddy et al. 1994), kedelai (Adkin et al. 1995; Duncan et al. 1995; Widoretno 2003), dan kacang tanah (Hermon 2006). Menurut Bajji et al. (2004), terdapat korelasi yang positif antara kultivar gandum yang diketahui bersifat toleran terhadap

4 cekaman kekeringan berdasarkan uji lapang dengan respon kalus yang toleran terhadap stres osmotik hasil kultur in vitto. Penggunaan seleksi in vitro untuk toleransi terhadap cekaman kekeringan dimungkinkan karena tersedianya agen penyeleksi seperti mannitol (Rajahekar 1995) dan polyetilene glycol (PEG) (Santoz-Diaz dan Ochoa-Alejo, 1994) Penggunaan PEG lebih umum digunakan karena PEG merupakan senyawa yang stabil, non ionik, mempunyai polimer yang panjang dan larut dalam air, dapat digunakan dalam berat molekul dengan sebaran yang lebih luas dan dapat mengikat air sehingga dapat menurunkan potensial air dalam kultur in vitro (Dami dan Huges 1997). PEG dengan BM>= 4000 merupakan senyawa osmotik yang tidak menyebabkan plasmolisis, tidak dapat melewati dinding sel dan tidak bersifat racun pada tanaman (Kong et al. 1998). Dengan demikian sel-sel kalus atau eksplan yang mati dalam kultur in vitro yang mengandung PEG bukan disebabkan oleh PEG yang diabsorbsi ke dalam sel atau jaringan tanaman, melainkan disebabkan oleh pengaruh penurunan potensial air dalam media kultur sehingga menyebabkan tanaman mengalami stres. Beberapa penelitian sebelumnya melaporkan bahwa semakin tinggi konsentrasi PEG dalam kultur in vitro, semakin menekan pertumbuhan kalus. Dengan demikian kalus yang mampu bertahan hidup pada konsentasri PEG tertentu, dimana kalus yang lain tidak lagi mampu bertahan (mati), mengindikasikan bahwa kalus tersebut mempunyai sifat toleransi terhadap media selektif PEG. Sutjahjo et al. (2007), melaporkan bahwa konsentrasi PEG 20 % dapat menyebabkan kematian kalus 66,9 85,0 %. Kalus yang berhasil diregenerasikan menjadi tanaman lengkap berpeluang lebih besar mempunyai sifat toleran terhadap cekaman kekeringan dan sifat tersebut dapat diwariskan pada generasi berikutnya. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan keragaman somaklonal melalaui pemberian iradiasi sinar gamma pada eksplan kalus yang telah mengalami subkultur berulang, dan melalui seleksi in vitro menggunakan agen penyeleksi PEG diharapkan dapat diperoleh varian yang toleran terhadap cekaman kekeringan. Selain itu, untuk mengetahui respon planlet terhadap media arang sekam yang diberi larutan PEG 20 %. Bahan dan Metode Bahan yang digunakan adalah populasi kalus embriogenik hasil perbanyakan populasi kalus pada percobaan 1. Perlakuan iradiasi sinar gamma dan seleksi in vitro menggunakan PEG Iradiasi sinar gamma dilakukan dengan prosedur : Populasi kalus embriogenik hasil perbanyakan populasi kalus yang dilakukan pada percobaan sebelumnya, dipindahkan pada media MS + 2,4 D 0.5 mg l -1. Setiap botol kultur diisi sebanyak eksplan kalus yang ukurannya kurang lebih 2 mm 2 dan dibiarkan selama dua hari di ruang kultur. Eksplan tersebut selanjutnya diradiasi sinar gamma dengan dosis : 0 (kontrol), 5, 10, 15 dan 20 Gy menggunakan bahan aktif Co 60 pada iradiator Gamma Chamber 4000 A. Laju dosis 204,4437 krad/jam (pada April 2003). Setelah diradiasi, kalus dipindahkan pada media MS + 2,4 D 1.0 mg.l -1 dengan waktu pemindahan tidak melebihi 24 jam. Setiap botol kultur diisi sebanyak kalus. Kalus tersebut disimpan pada ruang kultur selama seminggu sebelum dilakukan seleksi in vitro menggunakan PEG. Seleksi in vitro menggunakan agen penyeleksi PEG pada kalus yang telah diradiasi sinar gamma Seleksi in vitro dilakukan melalui 3 metode seleksi, yaitu (1) seleksi menyeluruh, adalah seleksi in vitro yang dilakukan pada semua konsentrasi PEG (kombinasi dosis iradiasi sinar gamma dan konsentrasi PEG), (2) seleksi langsung, yaitu seleksi in vitro yang dilakukan dengan menggunakan dosis subletal (PEG 20 %) dan (3) seleksi secara bertahap, yaitu seleksi in vitro yang dilakukan dengan tahapan konsentrasi yang lebih rendah ke konsentrasi yang lebih tinggi. Varian yang toleran akibat perlakuan

5 PEG akan diregenerasikan menjadi tanaman lengkap dan selanjutnya dilakukan identifikasi. Metode seleksi menyeluruh : Kalus embriogenik yang telah mengalami iradiasi sinar gamma, dipindahkan ke dalam media seleksi yakni media MS + 2,4-D 1,0 mg.l -1 + PEG (BM 6000) dengan konsentrasi sesuai perlakuan. Kultur dimasukkan dalam ruang kultur (ruang inkubasi) dengan temperatur ruang konstan 26 o C. Setelah kultur berumur 4 minggu dilakukan subkultur yakni pada media yang segar dengan komposisi media yang sama dengan media sebelumnya. Subkultur dilakukan setiap 3 minggu sekali dan dilakukan sebanyak tiga kali subkultur. Setelah mengalami 3 kali subkultur, kalus embriogenik yang tahan (hidup) selanjutnya diproliferasi kembali dalam media dengan komposisi yang sama dengan media sebelumnya. Percobaan ini menggunakan Racangan Acak Lengkap, dengan pola percobaan faktorial 2 faktor. Faktor pertama dosis iradiasi sinar gamma, terdiri atas 5 taraf, yaitu : 0 Gy (kontrol); 5 Gy; 10 Gy; 15 Gy dan 20 Gy. Faktor kedua adalah konsentrasi PEG dalam media MS + 2,4-D 1.0 mg l -1, terdiri atas 5 taraf, yaitu : MS tanpa PEG (kontrol); MS + PEG 5 %; MS + PEG 10 %; MS + PEG 15 % dan; MS + PEG 20 %. Subkultur dilakukan sebanyak 3 kali (3 bulan), dengan media kultur yang sama sebelumnya. Setiap perlakuan diulang 10 kali, sehingga terdapat 250 unit percobaan. Setiap unit percobaan terdiri atas 4-5 kalus embriogenik (1 botol), sehingga perobaan ini menggunakan 982 kalus embriogenik (250 botol kultur). Pengamatan dilakukan setiap kali subkultur, meliputi kondisi dan warna kalus, persentase dan jumlah kalus yang mati serta persentase kalus yang dapat diregenerasikan. Metode seleksi langsung : Kalus embriogenik yang telah diradiasi sinar gamma, dipindahkan ke dalam media MS + 2,4-D 1.0 mg.l -1 dan penambahan PEG (BM= 6000) dengan konsentrasi subletal (20 % PEG). Kultur disimpan dalam ruang kultur (ruang inkubasi) dengan temperatur ruang bersuhu 26 o C. Setelah kultur berumur 4 minggu dilakukan subkultur ke dalam media yang segar dengan komposisi media yang sama dengan media sebelumnya. Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap, terdiri atas 5 perlakuan, yaitu : kalus yang telah diradiasi sinar gamma 0 Gy (kontrol), 5 Gy, 10 Gy, 15 Gy dan 20 Gy dan dikultur pada media MS + PEG 20 %. Setiap perlakuan diulang 10 kali, sehingga terdapat 50 unit percobaan. Setiap unit percobaan 8-10 kalus embriogenik (2 botol kultur), sehingga perobaan ini menggunakan 490 kalus embriogenik (100 botol kultur). Pengamatan dilakukan setiap kali subkultur, meliputi kondisi dan warna kalus, persentase dan jumlah kalus yang mati serta persentase kalus yang dapat diregenerasikan. Metode seleksi bertahap : Seleksi bertahap dilakukan dengan cara yang sama pada percobaan langsung, perbedaannya adalah kalus embriogenik yang telah mengalami iradiasi sinar gamma selanjutnya dipindahkan ke dalam media MS + 2,4 D-1.0 mg l -1 + PEG konsentrasi 10, 15 dan 20 % secara bertahap. Seleksi pertama, kalus yang telah diradiasi pada semua level dosis iradiasi dikultur pada media MS + 2,4-D 1.0 mg l -1 + PEG 10 % (subkultur- 1), Kalus yang bertahan pada tekanan seleksi pada subkultur-1, dipindahkan (disubkultur) pada media MS + 2,4-D 1.0 mg l -1 + PEG 15 % (subkultur-2), selanjutnya kalus yang bertahan pada subkultur-2, dipindahkan pada media MS + 2,4-D 1.0 mg l -1 + PEG 20 % (subkultur-3). Kalus yang bertahan hidup pada subkultur-3 di regenerasikan menjadi tanaman lengkap (planlet). Percobaan ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap, terdiri atas 5 perlakuan, yaitu : kalus yang telah diradiasi sinar gamma 0 Gy (kontrol), 5 Gy, 10 Gy, 15 Gy dan 20 Gy dan dikultur pada media MS + (PEG 10 %, PEG 15 % dan

6 PEG 20 %) Setiap perlakuan diulang 10 kali, sehingga terdapat 50 unit percobaan. Setiap unit percobaan 4-5 kalus embriogenik (1 botol kultur), sehingga perobaan ini menggunakan 243 kalus embriogenik (250 botol kultur). Pengamatan dilakukan setiap kali subkultur, meliputi kondisi dan warna kalus, persentase dan jumlah kalus yang mati serta persentase kalus yang dapat diregenerasikan. Regenerasi kalus menjadi tanaman lengkap dan aklimatisasi Kalus hasil seleksi dari 3 metode seleksi diregenerasikan menjadi tanaman lengkap dengan prosedur : populasi kalus hasil seleksi atau bertahan hidup pada tekanan seleksi ditanam pada media regenerasi MS+BA 0.5 mg l -1 + prolin 100 mg l -1. Selanjutnya disimpan dalam ruang kultur dengan suhu ruang 26 o C dan penyinaran 14 jam. Setelah kultur berumur 3 minggu, dilakukan subkultur menggunakan media regenerasi yang segar dengan komposisi media regenerasi yang sama sebelumnya hingga terbentuknya tunas dan akar. Tunas yang terbentuk terdiri atas gerombol tunas yang merupakan individu yang berbeda, sehingga setiap individu tunas tersebut dapat dijadikan sebagai nomor-nomor somaklon yang berbeda. Nomor - nomor somaklon tersebut, selanjutnya disubkultur pada media MS+BA 0.1 mg l -1, dimaksudkan untuk memperoleh ulangan yang lebih banyak. Tunas selanjutnya diaklimatisasi di rumah kaca. Tanaman yang diperoleh merupakan generasi pertama yang dikembangkan secara in vitro (MV 1 ) Aklimatisasi dilakukan dengan cara memindahkan planlet ke dalam polybag ukuran 10 cm x 15 cm yang berisi campuran tanah, kompos, dan pasir dengan perbandingan 1 : 1 : 1. Selanjutnya dilakukan penyungkupan. Sungkup yang digunakan adalah gelas air mineral. Setelah umur 10 hari, sungkup dilepas dan dipelihara hingga umur 30 hari. Untuk menghindari dari gangguan hama (umumnya semut), dilakukan penyemprotan Decis 1 g l -1. Seleksi individu (planlet) menggunakan media arang sekam yang diberi larutan PEG 20 % Seleksi individu (planlet) menggunakan planlet hasil regenerasi dari seleksi in vitro menyeluruh dan bertahap. Planlet ditanam dalam polibag ukuran 5 x 7 cm berisi arang sekam, selanjutnya disiram dan disungkup dan ditempatkan di rumah kaca. Setelah planlet berumur 10 hari, sungkup dilepas dan dibiarkan hingga planlet berumur 20 hari. Planlet yang akan diseleksi adalah planlet yang pertumbuhannya normal. Larutan PEG yang digunakan adalah PEG 20% (200 g dilarutkan dalam 1 liter air), dan dimasukkan dalam wadah (baskom plastik) berukuran 40x60 cm, selanjutnya diberi pupuk NPK Plus sebanyak 3 g l -1 air. Pada baskom yang lain, diisi air tanpa PEG dan juga diberi pupuk NPK plus. Ketinggian larutan dalam baskom kurang lebih 2.5 cm. Tunas yang bertahan hidup dan tumbuh normal dimasukkan dalam baskom sesuai perlakuan, selanjutnya dilakukan penyiraman menggunakan larutan dari dalam baskom itu sendiri. Setelah planlet berumur 30 hari, dilakukan pengamatan meliputi kondisi planlet (bertahan hidup atau mati). Planlet yang bertahan hidup dilakukan pengamatan meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, lebar daun, panjang daun dan panjang akar. Untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh perlakuan PEG 20 % dan tanpa PEG (kontrol) dilakukan analisis statistika menggunakan uji-t. Hasil dan Pembahasan Pengaruh iradiasi sinar gamma dan PEG terhadap kualitas, persentase kematian kalus dan pertumbuhan kalus Sebelum kalus diseleksi menggunakan media selektif (PEG), terlebih dahulu kalus diradiasi dengan berbagai dosis sinar gamma. Kalus yang telah diradiasi dipindahkan ke media proliferasi menggunakan media perbanyakan kalus yaitu MS+BA 0.1 mg l ,4-D 0.5 mg l -1. Setelah seminggu, kalus tersebut dipindahkan ke media seleksi yakni media yang mengandung PEG dengan berbagai konsentrasi berdasarkan perlakuan. Kalus yang dikultur pada media seleksi mengandung

7 PEG dipilih dengan kriteria kalus berwarna bening/putih, dan berstruktur remah (kalus embriogenik) serta diberi indeks kualitas = 5. Kondisi kalus tersebut mengalami perubahan kualitas sejalan dengan lamanya kalus dalam media kultur (subkultur) sebagai pengaruh dari tekanan seleksi PEG maupun sebagai efek dari iradiasi sinar gamma. Perubahan warna kalus tanaman nilam bergantung pada media yang digunakan. Perubahan warna kalus tersebut secara umum disajikan pada Gambar 6. Pengamatan indeks kualitas kalus setelah mengalami tiga kali subkultur menunjukkan bahwa nilai indeks kualitas kalus menurun sejalan dengan peningkatan konsentrasi PEG pada semua level dosis iradiasi, selain itu kualitas kalus juga menurun sejalan dengan lamanya kalus disubkultur (Tabel 9). Penurunan indeks kualitas kalus akhir subkultur-3 paling serius dialami oleh kalus yang diseleksi pada PEG 20 % dengan indeks kualitas , yang berarti bahwa kalus tersebut rendah kualitasnya. Kualitas kalus yang rendah akan sulit mengalami regenerasi. Kalus tanpa seleksi (kontrol) dan diseleksi dengan PEG 5 % - PEG 15 % memperlihatkan kondisi kalus yang relatif lebih baik dengan indeks kualitas Kalus dengan kondisi tersebut mempunyai peluang keberhasilan beregenerasi lebih baik. Penurunan kualitas kalus hasil seleksi PEG yang sebelumnya diradiasi sinar gamma disajikan pada Gambar 7. Keberadaan kalus dalam media yang mengandung PEG 20 % sangat sulit mengabsorbsi air serta mineral yang tersedia di dalam media kultur karena air dijerap oleh senyawa PEG. Hal ini menyebabkan sel tidak aktif berproliferasi karena terhambatnya proses pembelahan sel. Kalus yang aktif berproliferasi terlihat lebih bening dan strukturnya lebih kompak, sebaliknya kalus yang mengalami hambatan proliferasi berwarna kecoklatan hingga coklat kehitaman dan strukturnya tidak kompak. Kalus tersebut sangat sulit mengalami regenerasi. Perubahan warna kalus yang dikaitkan dengan kualitas kalus yaitu kalus embriogenik dan nonembriogenik juga dilakukan oleh peneliti sebelumnya, misalnya pada kalus tanaman padi yang diseleksi dengan PEG (Lestari 2005) dan padi yang diseleksi menggunakan Al (Edi 2004). Biswas et al. (2002) juga menggunakan indeks kualitas kalus tanaman padi berdasarkan tingkat kesehatan kalus sebagai salah satu komponen pengamatan pada seleksi in vitro menggunakan PEG. Kalus dari semua genotipe padi yang diseleksi PEG 15 % mempunyai indeks kesehatan kalus terendah dengan nilai kesehatan 8-9 dengan persentase kalus embriogenik %, sedangkan kalus tanpa seleksi mempunyai indeks kesehatan kalus antara 2-5 dengan persentase kalus embriogenik dapat mencapai 55 %. Dengan demikian semakin tinggi konsentrasi 56 PEG, semakin menurunkan tingkat kesehatan kalus sehingga menurunkan persentase kalus embriogenik atau meningkatkan kalus non embriogenik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kalus yang diseleksi pada PEG 20 %, meningkatkan kalus non embriogenik, akibatnya hanya diperoleh sedikit kalus yang masih embriogenik. Kalus tersebut merupakan kalus yang bertahan hidup dari stres yang diakibatkan oleh PEG. Menurut Paterson dan Smith (1991), karakteristik kalus yang embriogenik adalah kalus berwarna putih hingga kekuningan, mengkilat dan remah sehingga mudah dipisahkan membentuk fragmen. Kalus yang masih bersifat embriogenik dalam media seleksi PEG 20 % memungkinkan dapat diregenerasikan menjadi tananaman lengkap, sehingga regeneran yang dihasilkan dari kalus tersebut diharapkan membawa sifat yang toleran terhadap cekaman kekeringan. Sebaliknya kalus yang tidak dapat bertahan dalam media selekitif PEG merupakan kalus yang peka terhadap cekaman kekeringan. Sejalan dengan indeks kualitas kalus yang diamati dari warna dan struktur kalus, persentase kematian kalus berhubungan langsung dengan indeks kualitas kalus,

8 artinya semakin rendah indeks kualitas kalus semakin tinggi persentase kalus yang mati, dan sebaliknya semakin tinggi indeks kualitas kalus semakin rendah persentase kalus yang mati dan memungkinkan lebih banyak kalus yang dapat diregenerasikan. Kalus yang mati umumnya berwarna hitam dan tidak menampakkan adanya bahagian kalus yang mengalami proliferasi, juga kalus mempunyai struktur yang lembek dan rapuh. Kalus tersebut umumnya tidak dapat beregenerasi. Pada Gambar 8 menunjukkan pengaruh PEG terhadap kualitas kalus.

9

10 Semakin tinggi konsentrasi PEG, semakin meningkat persentase kalus yang mati pada semua level dosis iradiasi sinar gamma (Tabel 10). PEG 20 % pada akhir seleksi mengakibatkan tingginya persentase kematian kalus dan pengaruhnya berbeda nyata dengan persentase kalus mati pada perlakuan PEG dengan konsentrasi yang lebih rendah pada semua level dosis iradiasi sinar gamma. Nampak bahwa sejak dari subkultur-1, kalus pada media selektif PEG 20 % telah mengalami kematian yang tinggi, selanjutnya kematian kalus cenderung meningkat sejalan dengan meningkatnya level dosis iradiasi sinar gamma. Demikian pula pada subkultur-2 menunjukkan hal yang sama, dimana terjadi persentase kematian kalus paling tinggi pada dosis 20 %. Kombinasi antara iradiasi sinar gamma 10 Gy, 15 Gy dan 20 Gy dengan PEG 20 % pada akhir seleksi (subkultur-3), mengakibatkan kematian kalus dengan persentase berturut- turut 90.5, 100 dan 85.0 %, sedangkan pada kalus tanpa iradiasi (0 Gy) dan 5 Gy persentase kalus yang mati berturut-turut 65.3 % dan 66.7 %. Hal tersebut menunjukkan bahwa iradiasi sinar gamma memberi pengaruh dalam meningkatkan persentase kalus yang mati. Kalus yang dikultur pada media PEG 0 % (kontrol), pada dosis Gy kematian kalus hanya sebagai akibat pengaruh iradiasi sinar gamma. Sebagaimana yang dilaporkan sebelumnya bahwa efek iradiasi sinar gamma pada selang dosis 0-20 Gy dapat mematikan kalus hingga 20 %. Seleksi in vitro menggunakan konsentrasi subletal PEG 20 % (seleksi langsung) mengakibatkan tingginya persentase kalus yang mati. Persentase kalus mati meningkat sejalan dengan meningkatnya level dosis iradiasi sinar gamma serta lamanya kalus disubkultur (Tabel 11). Persentase kematian kalus pada pengamatan subkultur-1 mencapai %, pada pengamatan subkultur-2 terjadi peningkatan persentase kematian kalus %, demikian pula pada pengamatan subkultur-3 yang mencapai %. Pada pengamatan subkultur-1 dan 2, persentase kematian kalus pada perlakuan 10, 15 Gy tidak berbeda nyata dengan 20 Gy, namun pada subkultur-3 persentase kematian kalus pada 10 Gy berbeda nyata dengan 15 dan 20 Gy. Hal ini menunjukkan bahwa persentase kematian kalus meningkat sejalan dengan lamanya kalus disubkulur pada media PEG 20 %. Kalus yang diradiasi sinar gamma 20 Gy dan diseleksi

11

12

13

14

15 diharapkan memberikan peningkatan keragaman somaklonal yang berhubungan dengan sifat toleransi terhadap cekaman kekeringan, sehingga pada kombinasi level dosis iradiasi sinar gamma tertentu dapat memberi konstribusi dalam sifat ketahanan terhadap cekaman kekeringan. Dengan demikian konsentrasi PEG yang lebih rendah dari konsentrasi subletal (PEG 20%) terutama konsentrasi PEG 10 % dan 15 % diharapkan diperoleh regeneran yang toleran terhadap cekaman kekeringan yang sifat toleransinya mungkin sama dengan sifat toleransi regeneran yang dihasilkan dari PEG 20 %. Seleksi menyeluruh dianggap tidak efesien karena dibutuhkan material (kalus) dan bahan seleksi yang lebih banyak, serta regeneran yang dihasilkan lebih banyak dari hasil seleksi dengan konsentrasi PEG lebih rendah atau dibawah ambang konsentrasi subletal (PEG 20 %).. Kematian kalus pada media tanpa PEG (PEG 0 %) disebabkan oleh pengaruh tunggal dari iradiasi sinar gamma, sehingga persentase kematian kalus akibat pengaruh konsentrasi PEG dapat digambarkan berdasarkan peningkatan relatif persentase kalus yang mati pada masing-masing konsentrasi PEG terhadap PEG 0 % (kontrol) (Gambar 9). Penggunaan seleksi in vitro secara langsung dengan menggunakan konsentrasi subletal lebih efektif dalam menghasilkan varian somaklonal yang toleran terhadap cekaman kekeringan, namun membutuhkan eksplan kalus yang lebih banyak untuk mendapatkan kalus yang dapat bertahan hidup dengan persentase yang rendah. Menurut Nabors dan Dykes (1985) penggunaan seleksi dengan konsentrasi subletal dapat menghambat pertumbuhan sel jaringan hingga mencapai 95 %. Penggunaan media PEG 20 % akan menghambat sel atau kalus yang peka sedangkan sel-sel yang toleran akan dapat tumbuh dan berkembang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsentrasi subletal dicapai pada PEG 20 % dengan persentase kalus mati mencapai %. Hasil seleksi in vitro menggunakan seleksi bertahap memungkinkan diperoleh jumlah kalus yang hidup lebih banyak pada konsentrasi PEG 20%. Adanya perubahan konsentrasi yang bertahap dari kosentrasi rendah (PEG 10%) ke konsentrasi yang lebih tinggi (PEG 20%), dikhawatirkan sebagai suatu mekanisme adaptasi, yaitu penyesuaian sel-sel kalus terhadap kondisi stres, sehingga kalus yang mampu berkembang dalam PEG 20 % bukan disebabkan oleh sel-sel varian yang toleran terhadap cekaman kekeringan, namun berkembang dari sel-sel peka yang mengalami penyesuaian sehingga varian yang dihasilkan sebenarnya hanyalah sel-sel (kalus) yang peka. Dengan demikian regeneran yang dihasilkan dari metode tersebut perlu diseleksi lebih lanjut pada tingkat planlet untuk mendapatkan individu yang benar-benar toleran terhadap cekaman kekeringan. Dari ketiga metode seleksi tersebut menunjukkan bahwa, peningkatan dosis iradiasi sinar gamma cenderung menghambat pertumbuhan sel-sel pada kalus. Hal tersebut dirangsang oleh adanya kerusakan pada sel yang sangat radio sensitif. Pengaruh buruk iradiasi sinar gamma adalah terjadinya penghambatan pada pembelahan dan pertambahan jumlah sel (Charbaji dan Nabulsi 1999). Kematian sel tanaman akibat iradiasi sinar gamma dapat terjadi secara langsung yaitu kerusakan DNA serta akibat tidak langsung yaitu adanya pengaruh toksik dari radikal bebas ion H 2 O 2 dan OH - yang dihasilkan dari radiolisis air (Soeranto 2003). Kalus yang mengalami kerusakan sel dapat mematikan sel serta menurunkan kemampuan regenerasinya (Biswas et al, 2002). Material yang paling banyak mengalami iradiasi adalah air, yaitu air terurai menjadi H2O + dan e -. Pada reaksi selanjutnya akan membentuk radikal bebas yang kemudian bergabung dengan peroksida. Apabila peroksida maupun radikal-radikal bebas bereaksi dengan molekul lain maka akan membentuk senyawa yang akan mempengaruhi sistem biologi tanaman (Van

16 Harten 1998). Pertumbuhan kalus hasil iradiasi sinar gamma dan seleksi in vitro Respon kalus terhadap iradiasi sinar gamma dan media selektif PEG dapat diamati dari pertumbuhan kalus. Pengamatan pertumbuhan kalus hanya dilakukan pada metode seleksi menyeluruh untuk mengamati respon kalus terhadap perlakuan kombinasi konsentrasi PEG dan dosis iradiasi sinar gamma. Interaksi antara iradiasi sinar gamma dan seleksi in vitro tidak berpengaruh nyata terhadap pertambahan diameter, volume, bobot segar dan bobot kering kalus (Tabel 13). Media selektif PEG 20 % nyata menekan diameter, volume, bobot segar dan bobot kering kalus. Pertumbuhan kalus merupakan hasil aktifitas pembelahan sel-sel, sehingga apabila sel-sel aktif mengalami proses pembelahan akan

17

18 1.97 g. Bobot kering pada kalus yang diradiasi sinar gamma 20 Gy lebih rendah namun tidak berbeda nyata dengan bobot kering kalus yang diradiasi sinar gamma 10 dan 15 Gy. Kalus yang diradiasi sinar gamma 5 Gy mempunyai bobot kering kalus tertinggi yakni mencapai g, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol. Hasil penelitian Kim et al. (2004), juga mencatat terjadinya penurunan bobot segar kalus padi pada dosis iradiasi sinar gamma 20 Gy. Charbaji et al. (1999), melaporkan bahwa penggunaan iradiasi sinar gamma 5 Gy menghasilkan bobot kering kalus pada semua jenis tanaman anggur yang diteliti dibandingkan dengan kalus yang diradiasi dengan dosis yang lebih tinggi dan tanpa iradiasi sinar gamma (kontrol). Regenerasi kalus hasil iradiasi sinar gamma dan seleksi in vitro Media regenerasi yang tepat sangat menentukan keberhasilan kalus beregenerasi menghasilkan tunas dalam jumlah yang banyak. Media regenerasi yang digunakan yaitu MS+BA 0.5 mg l -1 + Prolin 100 mg l -1 merupakan media regenerasi terbaik dari hasil percobaan sebelumnya. Belum optimalnya jumlah kalus beregenerasi dan rendahnya jumlah tunas yang dihasilkan, disebabkan oleh faktor kondisi kalus. Kalus yang diregenerasikan dalam percoban ini telah mengalami dua tekanan seleksi, yaitu tekanan dari iradiasi sinar gamma dan tekanan dari seleksi in vitro. Regenerasi kalus dari seleksi menyeluruh menghasilkan persentase kalus yang dapat beregenerasi maksimal 50.3 %, pada seleksi langsung persentase kalus yang dapat beregenerasi maksimal 15.4 % dan pada seleksi bertahap persentase kalus yang dapat beregenerasi 33.4 % (Tabel 14). Pada seleksi menyeluruh, kalus yang dapat bertahan hidup dari media selektif PEG 20 % pada semua dosis iradiasi, yang diregenerasikan 100 % kalusnya mati. Hal yang sama juga terjadi pada kombinasi PEG 15 % dan 15 Gy, yaitu semua kalus yang diregenerasikan mati. Demikian pula pada metode langsung perlakuan pada PEG 20 % dengan iradiasi 15 dan 20 Gy tidak ada kalus yang dapat beregenerasi. Sebaliknya pada metode bertahap, kalus hasil seleksi PEG 20 % pada semua level dosis iradiasi sinar gamma mampu beregenerasi membentuk tunas. Pada metode menyeluruh, persentase kalus yang dapat beregenerasi pada kalus yang tidak diradiasi sinar gamma pada PEG (0-15 %) mencapai % (27-87 tunas); 5 Gy pada PEG (0-15%) mencapai % (22-91 tunas), 10 Gy pada PEG (0-15 %) mencapai % (22 59 tunas), dan 15 Gy pada PEG (0-10%) mencapai % (18 35 tunas). Jumlah tunas yang terbanyak adalah yang dihasilkan dari kalus yang diradiasi dengan dosis 5 Gy pada media tanpa PEG (kontrol), yaitu 91 tunas, menyusul perlakuan tanpa iradiasi dan media tanpa PEG (kontrol) yaitu 87 tunas, sedangkan jumlah tunas yang paling sedikit, dihasilkan dari perlakuan 20 Gy pada media MS+PEG 10 %. Persentase kalus beregenerasi yang tinggi dan jumlah tunas yang banyak akan dihasilkan jumlah tunas per eksplan lebih banyak. Hal tersebut ditunjukkan oleh kalus tanpa iradiasi dalam media tanpa PEG (kontrol) dan 5 Gy dalam media MS tanpa PEG, masing-masing sebanyak 4.2 dan 3.5 tunas. Tunas umumnya muncul setelah hari setelah kalus disubkultur pada media regenerasi dan setelah tunas berumur 30 hari, dilakukan subkultur dan pada umur 60 hari berikutnya, tunas tersebut dapat diaklimatisasi untuk menghasilkan bibit yang siap ditanam pada lingkungan heterogen (Gambar 10). Pada metode seleksi langsung, persentase kalus yang mampu beregenerasi pada perlakuan dosis 0 Gy, 5 Gy dan 10 Gy masing-masing 14.3 %, 15.4 % dan 13.3 %, sedangkan kalus yang diradiasi dosis 15 Gy dan 20 Gy tidak dapat beregenerasi. Jumlah tunas yang dihasilkan dari perlakuan tersebut berturut-turut 9, 8 dan 9 tunas. Namun demikian jumlah tunas per kalus relatif lebih banyak yakni 4.5, 4.0 dan 4.0 tunas per

19 kalus. Persentase kalus beregenerasi dan jumlah tunas yang dihasilkan pada metode seleksi bertahap mencapai %. Persentase kalus beregenerasi tertinggi terdapat pada kalus tanpa iradiasi (0 Gy) yaitu 33.4 %, Sedangkan persentase kalus beregenerasi terendah terdapat pada kalus yang diiradiasi dengan dosis 20 Gy yaitu 16.2 %. Jumlah tunas per kalus terbanyak terdapat pada kalus yang tanpa iradiasi yaitu 14 tunas, sedangkan paling sedikit terdapat pada kalus yang diiradiasi 20 Gy yaitu sebanyak 4 tunas. Jika dibandingkan dengan metode langsung, maka metode bertahap menghasilkan persentase kalus bertunas dan jumlah tunas yang lebih tinggi, namun menghasilkan jumlah tunas per eksplan lebih rendah dari seleksi langsung. Kondisi kalus dan media regenerasi merupakan faktor yang mempengaruhi keberhasilan regenerasi kalus menjadi tunas. Kalus yang mengalami tekanan seleksi yang berat yaitu pada PEG 20 % dalam waktu yang relatif lama, serta tekanan seleksi dari pengaruh perlakuan iradiasi sinar gamma akan menyebabkan menurunnnya kemampuan kalus mengalami diferensiasi sel akibat terjadinya gangguan hormonal endogen. Menurut Moore (1979), iradiasi sinar gamma dapat menyebabkan menurunnya kandungan IAA yang diakibatkan oleh penghambatan enzim IAA dehidrogenasi yang sangat radio sensitif. Kemampuan mengamati apakah kalus layak disebut hidup setelah mengalami dua tekanan seleksi tersebut, dapat diamati dari penampakan kalus yakni dari warna kalus, kondisi kalus serta ukuran kalus. Dengan demikian perbedaan antara kalus nonembriogenik (kalus mati) dan kalus embriogenik secara jelas dapat dibedakan. Perubahan warna kalus menunjukkan terjadinya suatu proses morfogenesis. Umumnya kalus yang siap beregenerasi ditandai dari perubahan warna kalus menjadi hijau (George 1993). Timbulnya warna hijau tersebut mengindikasikan terjadinya rangsangan pembentukan klorofil pada sel- sel kalus.

20

21

22 berbeda nyata dibandingkan tinggi tunas 15 dan 20 Gy, namun tidak berbeda nyata dengan dosis 0 (kontrol), dan 5 Gy. Nilai ragam (pangkat dua standar deviasi) tertinggi pada dosis 15 Gy dan 20 Gy. Jumlah daun dan jumlah ruas serta nilai ragam yang tertinggi pada perlakuan dosis 10 Gy masing-masing 11.9 dan 5.9 dengan nilai ragam masing-masing 2.4 dan 1.2. Dosis 20 Gy menghasilkan jumlah daun dan jumlah ruas yang paling sedikit masing-masing 8.6 dan 4.3 dan nilai ragam 1.7 dan 0.8. Jumlah akar terbanyak dihasilkan dari perlakuan 10 Gy yakni 4.4. namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol dan 5 Gy yang jumlah akarnya masing-masing 4.4 dan 4.2. Jumlah akar terendah pada perlakuan 20 Gy, yakni 3.2..Nilai ragam jumlah akar yang tertinggi juga terdapat pada perlakuan 20 Gy, sedangkan tanpa iradiasi (kontrol) mempunyai nilai ragam paling rendah dari semua komponen tumbuh yang diamati. Pada metode langsung, dosis iradiasi sinar gamma tidak berpengaruh pada semua komponen yang diamati. Namun demikian dosis 10 Gy memberikan pengaruh tinggi tunas, jumlah akar dan panjang akar relatif lebih baik. Selain itu mempunyai nilai ragam lebih tinggi pada semua komponen tumbuh yang diamati kecuali jumlah ruas. Pada metode bertahap, iradiasi sinar gamma berpengaruh nyata terhadap tinggi tunas, jumlah daun, jumlah akar dan panjang akar, sedangkan jumlah ruas tidak berpengaruh nyata. Pada dosis 15 Gy menunjukkan respon yang terbaik terhadap semua komponen tumbuh yang diamati, mempunyai tinggi tunas 5.4 cm berbeda nyata dibandingkan dengan dosis 20 Gy, namun tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol, 5 dan 10 Gy. Selain itu, menghasilkan jumlah daun 10.8 dan berbeda nyata dengan kontrol dan 10 Gy, namun tidak berbeda nyata dengan 5 dan 20 Gy. Jumlah akar 5.4 berbeda nyata dengan 5 Gy, 10 dan 20 Gy jumlah akar masing-masing 2.5, 3.5 dan 2.5. Panjang akar 2.7 berbeda nyata dengan 0 Gy, 5 dan 20 Gy dengan panjang akar berturut-turut 1.9; 1.5 dan 1.6 cm. Pada dosis 15 dan 20 Gy, memperlihatkan nilai ragam antar individu lebih tinggi dibandingkan dengan nilai ragam pada perlakuan kontrol, dosis 5 Gy dan 10 Gy. Berdasarkan hasil analisis seperti disebutkan di atas, diketahui bahwa penggunaan iradiasi sinar gamma dosis 5 10 Gy dapat berpengaruh baik terhadap pertumbuhan tunas. Menurut Antonov et al. (1989), perlakuan iradiasi

23

24 Aklimatisasi planlet hasil iradiasi sinar gamma dan seleksi in vitro Tunas yang diaklimatisasi merupakan tunas yang dapat dijadikan sebagai nomor somaklon. Dari 745 tunas yang berhasil diregenerasikan dari kalus hasil iradiasi sinar gamma dan seleksi in vitro menggunakan tiga metode seleksi, terdapat 104 individu yang dapat dijadikan sebagai nomor somaklon, terdiri atas 66 nomor somaklon dari hasil seleksi menyeluruh, 15 nomor somaklon dari hasil seleksi langsung dan 25 nomor somaklon hasil seleksi bertahap. Sebelum dilakukan aklimatisasi, setiap individu dari masing-masing nomor somaklon tersebut diperbanyak untuk dijadikan ulangan. Jumlah bibit yang dihasilkan dalam proses aklimatisasi sebanyak 409 bibit dari 545 tunas yang diaklimatisasi (Tabel 16). Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak semua regeneran (planlet) dari hasil seleksi in vitro yang diaklimatisasi berhasil tumbuh menjadi bibit. Proses aklimatisasi merupakan periode yang sangat kritis karena kondisi iklim mikro di rumah kaca tempat dilakukan aklimatisasi jauh berbeda dengan kondisi iklim mikro di dalam botol kultur (Winata 1987). Hal ini disebabkan karena tunas dari kultur in vitro, daunnya tipis, lunak, sel-sel palisade lebih kecil dan lebih sedikit serta mesofilnya lebih besar sehingga tanaman belum dapat melakukan aktifitas fotosintesis secara efektif sehingga memerlukan adaptasi yang lebih baik pada lingkungan luar (Pierik 1987). Somaklon yang diaklimatisasi pada tahap pertama adalah planlet dari hasil seleksi in vitro secara menyeluruh. Pada aklimatisasi ini, persentase kematian planlet relatif tinggi yakni mencapai kurang lebih 33 %. Hal ini disebabkan oleh kondisi kelembaban dan teknik atau cara memperlakukan planlet dalam proses aklimatisasi belum optimal. Aklimatisasi dilakukan dengan cara menyungkup, setelah tujuh hari sungkup dibuka. Cara tersebut selama ini dipakai untuk aklimatisasi berbagai jenis tanaman hasil kultur in vitro di tempat dimana aklimatisasi ini dilakukan. Cara penyungkupan pada planlet dalam proses aklimatisasi dapat mempengaruhi keberhasilan aklimatisasi. Penyungkupan dengan cara menutup dan membuka dalam selang waktu 2-3 kali sehari sambil mempercikkan air ke tanaman, memberi peluang keberhasilan yang lebih tinggi. Melalui cara ini tingkat keberhasilan aklimatisasi dapat mencapai 91.6 % atau tingkat kegagalan

25

26 lingkungan eksternal. Selain itu, planlet tersebut mempunyai penampilan morfologi yang baik. Respon planlet hasil iradiasi sinar gamma dan seleksi in vitro pada media arang sekam padi yang diberi larutan PEG 20 % Uji respon planlet hasil iradiasi sinar gamma dan seleksi in vitro terhadap media arang sekam yang diberi larutan PEG 20 % bertujuan untuk menapis nomor-nomor somaklon yang dikhawatirkan sebagai tanaman somaklon yang berkembang bukan dari sel-sel yang toleran, namun berkembang dari sel-sel atau kalus yang sensitif yang mengalami adaptasi lingkungan stres sehingga kalus tetap bertahan hidup dan berkembang dalam media selektif PEG. Seleksi ini, juga dimaksudkan untuk melakukan penapisan ulang terhadap kalus yang mendapat tekanan seleksi in vitro yang lebih ringan, yaitu pada seleksi menyeluruh dalam hal ini seleksi in vitro pada konsentrasi PEG < 20 % (dibawah batas ambang konsentrasi subletal PEG 20 %). Dari hasil pengujian tersebut, diharapkan diperoleh individu (nomor) somaklon yang mempunyai sifat toleransi yang relatif sama dengan somaklon hasil seleksi menggunakan konsentrasi subletal PEG 20 % (seleksi langsung). Penggunaan media arang sekam yang diberi PEG efektif dalam melakukan penapisan terhadap regeneran atau planlet yang diduga bukan berasal dari sel-sel varian yang toleran (Widoretno 2003). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa semua individu dari tanaman induk (TTin) dan individu tanpa seleksi in vitro (TTts) tidak dapat bertahan hidup pada media arang sekam yang diberi larutan PEG 20 %, sedangkan planlet yang ditumbuhkan pada media arang sekam tanpa PEG (normal) persentase hidup masing-masing 83.3 % dan 100 %. Hal yang sama terjadi pada somaklon hasil seleksi menyeluruh, dari 52 nomor somaklon yang ditanam dalam media arang sekam yang diberi larutan PEG 20 %, hanya terdapat delapan nomor somaklon yang bertahan hidup, yaitu dari somaklon TT0015, TT0510, TT1515, TT2010 masing-masing satu nomor somaklon, somaklon TT0515 dan TT1015 masing-masing dua nomor somaklon (Tabel 17). Ketidak mampuan planlet tumbuh pada media tersebut mungkin disebabkan karena planlet yang diregenasikan dari kalus hasil iradiasi sinar gamma dan seleksi in vitro tersebut berasal dari sel-sel yang peka. Hal tersebut menunjukkan bahwa penggunaan PEG dalam konsentrasi rendah tidak efektif menghasilkan varian yang toleran terhadap cekaman kekeringan. Planlet somaklon hasil seleksi bertahap yang ditumbuhkan pada media arang sekam yang diberi larutan PEG 20% menunjukkan persentase planlet bertahan hidup lebih tinggi yakni mencapai % dibandingkan dengan planlet yang diseleksi menggunakan konsentrasi PEG <20% (metode menyeluruh). Dari 28 nomor somaklon yang diuji responnya, terdapat 18 nomor somaklon yang dapat bertahan hidup. Dengan demikian keseluruhan hasil uji respon planlet tersebut, diperoleh 26 somaklon yang mempunyai kemapuan bertahan hidup pada media arang sekam yang diberi PEG 20 %. Somaklon yang dapat bertahan hidup pada media arang sekam yang diberi larutan PEG 20 % diindikasikan toleran terhadap cekaman kekeringan. Penampilan planlet yang ditanam pada media arang sekam yang diberi larutan PEG 20 % pada Gambar 11. Berdasarkan analisis statistika menggunakan uji t, menunjukkan bahwa persentase hidup nomor somaklon hasil seleksi in vitro menggunakan PEG 20 % (Tp20-B) yang diuji pada media arang sekam diberi PEG 20 %, pengaruhnya tidak berbeda nyata dengan media arang sekam tanpa PEG, sedangkan nomor somaklon hasil seleksi in vitro PEG 15 % (TTp15), PEG 10 % (TTp10), PEG 5 % (TTp5), PEG 0 % (TTp0) dan tanaman induk (TT-in) yang diuji pada media arang sekam diberi PEG 20 % pengaruhnya berbeda nyata dengan media arang sekam tanpa PEG. Nampak pula bahwa semua planlet dari TTp10, TTp5, TTp0 dan TT-in yang ditanam

27 pada media arang sekam yang diberi PEG semuanya mati (0 % hidup) dan penurunan persentase hidup TTp20-B (seleksi bertahap) lebih rendah dibandingkan dengan penurunan somaklon hasil seleksi in vitro menyeluruh dan tanaman induk (Tabel 18).

28

29

30

31

III. INDUKSI DAN PERBANYAKAN POPULASI KALUS, REGENERASI TANAMAN SERTA UJI RESPON KALUS TERHADAP KONSENTRASI PEG DAN DOSIS IRADIASI SINAR GAMMA

III. INDUKSI DAN PERBANYAKAN POPULASI KALUS, REGENERASI TANAMAN SERTA UJI RESPON KALUS TERHADAP KONSENTRASI PEG DAN DOSIS IRADIASI SINAR GAMMA III. INDUKSI DAN PERBANYAKAN POPULASI KALUS, REGENERASI TANAMAN SERTA UJI RESPON KALUS TERHADAP KONSENTRASI PEG DAN DOSIS IRADIASI SINAR GAMMA Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan komposisi

Lebih terperinci

iii ABSTRACT ABDUL KADIR. Induction of somaclone variation through gamma irradiation and in vitro selection to obtain drought tolerance patchouly.

iii ABSTRACT ABDUL KADIR. Induction of somaclone variation through gamma irradiation and in vitro selection to obtain drought tolerance patchouly. iii ABSTRACT ABDUL KADIR. Induction of somaclone variation through gamma irradiation and in vitro selection to obtain drought tolerance patchouly. Under the supervision of Surjono H. Sutjahjo as a Promotor,

Lebih terperinci

INDUKSI KERAGAMAN GENETIK DENGAN MUTAGEN SINAR GAMMA PADA NENAS SECARA IN VITRO ERNI SUMINAR

INDUKSI KERAGAMAN GENETIK DENGAN MUTAGEN SINAR GAMMA PADA NENAS SECARA IN VITRO ERNI SUMINAR INDUKSI KERAGAMAN GENETIK DENGAN MUTAGEN SINAR GAMMA PADA NENAS SECARA IN VITRO ERNI SUMINAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 i ABSTRACT ERNI SUMINAR. Genetic Variability Induced

Lebih terperinci

Analisis stomata Analisis stomata dilakukan dengan cara mengambil sampel daun nilam yang diambil dari masing-masing nomor somaklon yang dikategorikan peka dan toleran. Daun yang diambil adalah daun ketiga

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Proliferasi Kalus Embriogenik Kalus jeruk keprok Garut berasal dari kultur nuselus yang diinduksi dalam media dasar MS dengan kombinasi vitamin MW, 1 mgl -1 2.4 D, 3 mgl -1 BAP, 300

Lebih terperinci

yang memiliki kandungan flavor, sehingga menyebabkan vanili mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi. Indonesia merupakan salah satu negara

yang memiliki kandungan flavor, sehingga menyebabkan vanili mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi. Indonesia merupakan salah satu negara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Vanili (Vanilla planifolia Andrews) merupakan salah satu tanaman rempah yang memiliki kandungan flavor, sehingga menyebabkan vanili mempunyai nilai ekonomi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilakukan dalam dua tahapan pelaksanaan, yaitu tahap kultur in vitro dan aklimatisasi. Tahap kultur in vitro dilakukan di dalam Laboratorium Kultur Jaringan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. 1. Percobaan 1: Pengaruh konsentrasi 2,4-D terhadap proliferasi kalus.

III. BAHAN DAN METODE. 1. Percobaan 1: Pengaruh konsentrasi 2,4-D terhadap proliferasi kalus. 18 III. BAHAN DAN METODE 3.1 STUDI 1: REGENERASI TANAMAN TEBU (Saccharum officinarum L.) DARI KALUS YANG TIDAK DIIRADIASI SINAR GAMMA Studi ini terdiri dari 3 percobaan yaitu : 1. Percobaan 1: Pengaruh

Lebih terperinci

Proliferasi Kalus Awal, Induksi Mutasi dan Regenerasi

Proliferasi Kalus Awal, Induksi Mutasi dan Regenerasi 53 PEMBAHASAN UMUM Peningkatan kualitas buah jeruk lokal seperti jeruk siam Pontianak merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan daya saing buah lokal menghadapi melimpahnya buah impor akibat tidak

Lebih terperinci

Tentang Kultur Jaringan

Tentang Kultur Jaringan Tentang Kultur Jaringan Kontribusi dari Sani Wednesday, 13 June 2007 Terakhir diperbaharui Wednesday, 13 June 2007 Kultur Jaringan Kultur jaringan merupakan suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman

Lebih terperinci

AKLIMATISASI PLANLET TEBU PS 864 PASCA ENKAPSULASI ABSTRAK

AKLIMATISASI PLANLET TEBU PS 864 PASCA ENKAPSULASI ABSTRAK AKLIMATISASI PLANLET TEBU PS 864 PASCA ENKAPSULASI Martua Ferry Siburian 1, Fitri Damayanti 2 1,2 Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta email korespondensi: ferrysiburian79@gmail.com ABSTRAK Keberhasilan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 47 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian menunjukkan bahwa respons pertumbuuhan tertinggi diperoleh pada eksplan biji panili yang ditanam dalam medium tomat. Pada perlakuan tersebut persentase rata-rata

Lebih terperinci

Keragaman Somaklonal. Yushi Mardiana, SP, MSi Retno Dwi Andayani, SP, MP

Keragaman Somaklonal. Yushi Mardiana, SP, MSi Retno Dwi Andayani, SP, MP Keragaman Somaklonal Yushi Mardiana, SP, MSi Retno Dwi Andayani, SP, MP Mekanisme Terjadinya Keragaman Somaklonal Keragaman somaklonal adalah keragaman genetik tanaman yang terjadi sebagai hasil kultur

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Pelaksanaan

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Pelaksanaan 13 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli 2011 hingga bulan Februari 2012 di Laboratorium Kultur Jaringan, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Institut Pertanian

Lebih terperinci

Penggunaan varietas unggul berdaya hasil tinggi, tahan hama dan

Penggunaan varietas unggul berdaya hasil tinggi, tahan hama dan PEMANFAATAN KOMBINASI PEMBERIAN MUTAGEN DAN KULTUR IN VITRO UNTUK PERAKITAN VARIETAS UNGGUL BARU Penggunaan varietas unggul berdaya hasil tinggi, tahan hama dan penyakit maupun cekaman lingkungan merupakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Secara umumm planlet anggrek Dendrobium lasianthera tumbuh dengan baik dalam green house, walaupun terdapat planlet yang terserang hama kutu putih Pseudococcus spp pada

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS POLIETILENA GLIKOL SEBAGAI BAHAN PENYELEKSI KALUS NILAM YANG DIIRADIASI SINAR GAMMA UNTUK TOLERANSI TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN

EFEKTIVITAS POLIETILENA GLIKOL SEBAGAI BAHAN PENYELEKSI KALUS NILAM YANG DIIRADIASI SINAR GAMMA UNTUK TOLERANSI TERHADAP CEKAMAN KEKERINGAN ISSN 1411 0067 Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Volume 9, No. 1, 2007, Hlm. 48-57 48 EFEKTIVITAS POLIETILENA GLIKOL SEBAGAI BAHAN PENYELEKSI KALUS NILAM YANG DIIRADIASI SINAR GAMMA UNTUK TOLERANSI

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari 2009 sampai dengan bulan Agustus 2009 di Laboratorium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. eksplan hidup, persentase eksplan browning, persentase eksplan kontaminasi,

HASIL DAN PEMBAHASAN. eksplan hidup, persentase eksplan browning, persentase eksplan kontaminasi, IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan terhadap proses induksi akar pada eksplan dilakukan selama 12 minggu. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan dan pengaruh pada setiap perlakuan yang diberikan.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam

TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam 4 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Lahan Kering Masam Definisi lahan kering adalah lahan yang pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu dalam setahun (Mulyani et al., 2004). Menurut Mulyani

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat 17 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Perlakuan iradiasi

Lebih terperinci

IV. SELEKSI IN VITRO EMBRIO SOMATIK KACANG TANAH PADA MEDIA DENGAN POLIETILENA GLIKOL YANG MENSIMULASIKAN CEKAMAN KEKERINGAN*)

IV. SELEKSI IN VITRO EMBRIO SOMATIK KACANG TANAH PADA MEDIA DENGAN POLIETILENA GLIKOL YANG MENSIMULASIKAN CEKAMAN KEKERINGAN*) IV. SELEKSI IN VITRO EMBRIO SOMATIK KACANG TANAH PADA MEDIA DENGAN POLIETILENA GLIKOL YANG MENSIMULASIKAN CEKAMAN KEKERINGAN*) Abstrak Pengembangan kultivar kacang tanah yang toleran terhadap cekaman kekeringan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pisang raja bulu (Musa paradisiaca L var. sapientum) merupakan salah

I. PENDAHULUAN. Pisang raja bulu (Musa paradisiaca L var. sapientum) merupakan salah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pisang raja bulu (Musa paradisiaca L var. sapientum) merupakan salah satu tanaman buah tropis yang dapat tumbuh baik pada dataran tinggi dengan kisaran ketinggian

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan studi pembiakan in vitro tanaman pisang yang terdiri

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini merupakan studi pembiakan in vitro tanaman pisang yang terdiri III. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan studi pembiakan in vitro tanaman pisang yang terdiri dari 2 percobaan yaitu: 1. Pengaruh konsentrasi BA dan varietas pisang (Ambon Kuning dan Raja Bulu)

Lebih terperinci

IV. INDUKSI MUTASI DENGAN SINAR GAMMA

IV. INDUKSI MUTASI DENGAN SINAR GAMMA Latar Belakang IV. INDUKSI MUTASI DENGAN SINAR GAMMA MELALUI IRADIASI TUNGGAL PADA STEK PUCUK ANYELIR (Dianthus caryophyllus) DAN UJI STABILITAS MUTANNYA SAMPAI GENERASI MV3 Pendahuluan Perbaikan sifat

Lebih terperinci

INDUCTION MUTATION WITH GAMMA RAY IRRADIATION AND IN VITRO SELECTION OF PEANUT SOMATIC EMBRYO, CV LOCAL BIMA THAT POLYETHYLENE GLYCOL TOLERANT

INDUCTION MUTATION WITH GAMMA RAY IRRADIATION AND IN VITRO SELECTION OF PEANUT SOMATIC EMBRYO, CV LOCAL BIMA THAT POLYETHYLENE GLYCOL TOLERANT INDUKSI MUTASI DENGAN IRADIASI SINAR GAMMA DAN SELEKSI IN VITRO UNTUK IDENTIFIKASI EMBRIO SOMATIK KACANG TANAH CV. LOKAL BIMA YANG TOLERAN PADA MEDIA POLIETILENA GLIKOL INDUCTION MUTATION WITH GAMMA RAY

Lebih terperinci

Pemanfaatan Teknik Kultur In Vitro Untuk Mendapatkan Tanaman Pisang Ambon Tahan Penyakit Fusarium

Pemanfaatan Teknik Kultur In Vitro Untuk Mendapatkan Tanaman Pisang Ambon Tahan Penyakit Fusarium Pemanfaatan Teknik Kultur In Vitro Untuk Mendapatkan Tanaman Pisang Ambon Tahan Penyakit Fusarium Pisang merupakan salah satu komoditas buah-buahan yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pemanasan global yang terjadi pada beberapa tahun terakhir ini menyebabkan

BAB I PENDAHULUAN. Pemanasan global yang terjadi pada beberapa tahun terakhir ini menyebabkan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemanasan global yang terjadi pada beberapa tahun terakhir ini menyebabkan terjadinya perubahan iklim yang ekstrim yang disertai peningkatan temperatur dunia yang mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Turi adalah tanaman leguminosa yang umumnya dimanfaatkan sebagai makanan ternak (pakan ternak). Tanaman leguminosa memiliki kandungan protein yang tinggi, begitu juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merril) merupakan salah satu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merril) merupakan salah satu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman kedelai (Glycine max (L.) Merril) merupakan salah satu komoditas tanaman pangan yang sudah lama dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia sebagai sumber utama

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian 14 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2009 sampai dengan bulan Juni 2011 di Laboratorium Kultur Jaringan Kelompok Peneliti Biologi Sel dan Jaringan, Balai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi Eksplan Terubuk

HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi Eksplan Terubuk 22 HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi Eksplan Terubuk Bahan tanam awal (eksplan) merupakan salah satu faktor penting dalam keberhasilan perbanyakan tanaman secara in vitro. Eksplan yang baik untuk digunakan

Lebih terperinci

Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang

Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang AgroinovasI Kultur Jaringan Menjadi Teknologi yang Potensial untuk Perbanyakan Vegetatif Tanaman Jambu Mete Di Masa Mendatang Tanaman jambu mete (Anacardium occidentale. L.) merupakan salah satu tanaman

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Perlakuan kadar air media (KAM) dan aplikasi paclobutrazol dimulai pada saat tanaman berumur 4 bulan (Gambar 1a) hingga tanaman berumur 6 bulan. Penelitian yang dilakukan

Lebih terperinci

Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma pada Pertumbuhan Kalus dan Keragaman Planlet Tanaman Nilam

Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma pada Pertumbuhan Kalus dan Keragaman Planlet Tanaman Nilam Jurnal AgroBiogen 3(1):24-31 Pengaruh Iradiasi Sinar Gamma pada Pertumbuhan Kalus dan Keragaman Planlet Tanaman Nilam Abdul Kadir 1, Surjono H. Sutjahjo 2, Gustav A. Wattimena 2, dan Ika Mariska 3 1 Fakultas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Nenas (Ananas comosus (L) Merr) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang mempunyai manfaat ganda, baik sebagai makanan segar, bahan industri makanan seperti pizza, rempah,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hipogea L.) merupakan salah satu komoditas pertanian

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hipogea L.) merupakan salah satu komoditas pertanian 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kacang tanah (Arachis hipogea L.) merupakan salah satu komoditas pertanian yang cukup penting. Komoditas kacang tanah diusahakan 70% di lahan kering dan hanya 30% di

Lebih terperinci

HASIL. memindahkan kecambah ke larutan hara tanpa Al.

HASIL. memindahkan kecambah ke larutan hara tanpa Al. 2 memindahkan kecambah ke larutan hara tanpa Al. Analisis Root re-growth (RRG) Pengukuran Root Regrowth (RRG) dilakukan dengan cara mengukur panjang akar pada saat akhir perlakuan cekaman Al dan pada saat

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE 10 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Benih, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor dan Rumah Kaca Instalasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Kondisi lingkungan yang teramati selama aklimatisasi menunjukkan suhu rata-rata 30 o C dengan suhu minimum hingga 20 o C dan suhu maksimum mencapai 37 o C. Aklimatisasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Perbanyakan tanaman cabai secara in vitro dapat dilakukan melalui organogenesis ataupun embriogenesis. Perbanyakan in vitro melalui organogenesis dilakukan dalam media MS dengan penambahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap tumbuhan memerlukan kondisi lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan dan perkembangannya. Kondisi lingkungan tempat tumbuhan berada selalu mengalami perubahan.

Lebih terperinci

Formulir 1 Data dan Informasi Hasil Kegiatan Penelitian [tahun ] Puslit Bioteknologi LIPI

Formulir 1 Data dan Informasi Hasil Kegiatan Penelitian [tahun ] Puslit Bioteknologi LIPI Formulir 1 Data dan Informasi Hasil Kegiatan Penelitian [tahun 2013-2014] Puslit Bioteknologi LIPI Tahun Anggaran 2013-2014 Sumber Dana DIPA MEATPRO Bidang kegiatan Peternakan Judul kegiatan penelitian

Lebih terperinci

BAHA DA METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHA DA METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHA DA METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dimulai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman tomat memiliki daerah penyebaran yang cukup luas, mulai dataran tinggi sampai dataran rendah. Data dari BPS menunjukkan rata-rata pertumbuhan luas panen, produktivitas,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Percobaan Kondisi laboratorium tempat dilakukan percobaan memiliki suhu berkisar antara 18-22 0 C dan kelembaban mencapai 90%. Kondisi tersebut merupakan kondisi yang

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 22 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari 2010 sampai dengan Pebruari 2011. Tempat pelaksanaan kultur jaringan tanaman adalah di Laboratorium Kultur Jaringan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Pertumbuhan dan perkembangan stek pada awal penanaman sangat dipengaruhi oleh faktor luar seperti air, suhu, kelembaban dan tingkat pencahayaan di area penanaman stek.

Lebih terperinci

IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Air leri merupakan bahan organik dengan kandungan fosfor, magnesium

IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Air leri merupakan bahan organik dengan kandungan fosfor, magnesium IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Air leri merupakan bahan organik dengan kandungan fosfor, magnesium dan vitamin B1 yang efektif bila dimanfaatkan sebagai bahan tambahan pada proses perbanyakan tanaman

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan

BAHAN DAN METODE. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan Fakultas Pertanian, Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan Maret 2010 sampai dengan Juni 2010.

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur In Vitro Fakultas

TATA CARA PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur In Vitro Fakultas III. TATA CARA PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur In Vitro Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Penelitian dimulai pada bulan April

Lebih terperinci

daun, panjang daun, dan lebar daun), peubah morfologi (warna daun, tekstur daun, warna batang, dan indeks warna hijau relatif daun), anatomi daun

daun, panjang daun, dan lebar daun), peubah morfologi (warna daun, tekstur daun, warna batang, dan indeks warna hijau relatif daun), anatomi daun 93 PEMBAHASAN UMUM Perbaikan sifat genetik dari tanaman dapat melalui pemuliaan, baik konvensional maupun modern (Soedjono 2003). Bahan tanaman yang digunakan didapatkan dengan cara meningkatkan keragaman

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kacang Hijau

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kacang Hijau 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kacang Hijau Kacang hijau termasuk dalam keluarga Leguminosae. Klasifikasi botani tanman kacang hijau sebagai berikut: Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Classis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Padi merupakan tanaman pangan yang sangat penting di dunia, karena padi merupakan pangan pokok bagi lebih dari setengah penduduk dunia (Lu 1999). Menurut Pusat Data dan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 26 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan 3, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB selama sembilan minggu sejak Februari hingga

Lebih terperinci

UJI KETAHANAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) HASIL RADIASI SINAR GAMMA (M 2 ) PADA CEKAMAN ALUMINIUM SECARA IN VITRO SKRIPSI OLEH:

UJI KETAHANAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) HASIL RADIASI SINAR GAMMA (M 2 ) PADA CEKAMAN ALUMINIUM SECARA IN VITRO SKRIPSI OLEH: UJI KETAHANAN TANAMAN KEDELAI (Glycine max (L.) Merr.) HASIL RADIASI SINAR GAMMA (M 2 ) PADA CEKAMAN ALUMINIUM SECARA IN VITRO SKRIPSI OLEH: Dinda Marizka 060307029/BDP-Pemuliaan Tanaman PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian bertempat di rumah kaca Fakultas Pertanian Universitas Lampung, dan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian bertempat di rumah kaca Fakultas Pertanian Universitas Lampung, dan 13 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian bertempat di rumah kaca Fakultas Pertanian Universitas Lampung, dan dilaksanakan selama 4 bulan, yaitu dari bulan Februari sampai dengan

Lebih terperinci

TEKNIK AKLIMATISASI TANAMAN HASIL KULTUR JARINGAN Acclimatization Technique for Tissue Culture Plants I. PENDAHULUAN

TEKNIK AKLIMATISASI TANAMAN HASIL KULTUR JARINGAN Acclimatization Technique for Tissue Culture Plants I. PENDAHULUAN TEKNIK AKLIMATISASI TANAMAN HASIL KULTUR JARINGAN Acclimatization Technique for Tissue Culture Plants Endin Izudin Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta Jl. Palagan

Lebih terperinci

3 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat

3 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat 15 Tabel 8 Daftar komposisi media pada kultur mangga Komponen A B C D E Unsur makro ½ MS B5 B5 B5 ½B5 Unsur mikro MS MS MS MS MS Fe-EDTA ½MS MS MS MS MS Vitamin dan asam amino MS MS MS MS MS Asam askorbat

Lebih terperinci

3. METODOLOGI PENELITIAN

3. METODOLOGI PENELITIAN 15 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler dan Seluler Tanaman, Pusat Antar Universitas (PAU) Bioteknologi, Institut Pertanian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Padi merupakan komoditas utama penduduk Indonesia. Kebutuhan beras terus meningkat setiap tahun seiring dengan peningkatan penduduk (Sinar Tani 2011). Beras merupakan bahan

Lebih terperinci

PROGRAM INSENTIF RISET DASAR

PROGRAM INSENTIF RISET DASAR PERAKITAN KULTIVAR UNGGUL JAGUNG TOLERAN KEMASAMAN: SELEKSI IN VITRO MUTAN IRADIASI SINAR GAMMA DAN VARIAN SOMAKLON Surjono Hadi Sutjahjo, Dewi Sukma, Rustikawati PROGRAM INSENTIF RISET DASAR Bidang Fokus

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PERBANYAKAN BENIH PISANG dan STRAWBERI

TEKNOLOGI PERBANYAKAN BENIH PISANG dan STRAWBERI TEKNOLOGI PERBANYAKAN BENIH PISANG dan STRAWBERI Definisi Kultur jaringan : teknik mengisolasi bagian tanaman (sel,jaringan, organ) dan menanamnya dalam media buatan dalam botol tertutup serta lingkungan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan krisan dalam sistematika tumbuhan (Holmes,1983)

TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan krisan dalam sistematika tumbuhan (Holmes,1983) TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Kedudukan krisan dalam sistematika tumbuhan (Holmes,1983) diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Plantae Subkingdom : Spermatophyta Superdivisio : Angiospermae Divisio

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan salah satu komoditas pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan salah satu komoditas pertanian yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Tebu (Saccharum officinarum L.) merupakan salah satu komoditas pertanian yang bernilai ekonomi tinggi karena tingginya kandungan gula pada bagian batangnya.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Nenas merupakan buah tropika ketiga setelah pisang dan mangga yang diperdagangkan secara global (Petty et al. 2002) dalam bentuk nenas segar dan produk olahan. Hampir

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Mei 202 di Rumah Kaca Gedung Hortikultura, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. 3.2 Bahan dan Alat Bahan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L) telah dilaksanakan di

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L) telah dilaksanakan di 22 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pengaruh Auksin (2,4 D) Dan Air Kelapa Terhadap Induksi Kalus Pada Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L) telah dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Universitas

Lebih terperinci

HASIL. E0N1P2: tanpa endofit + kompos + penyiraman dua minggu sekali E0N2P1: tanpa endofit + NPK + penyiraman

HASIL. E0N1P2: tanpa endofit + kompos + penyiraman dua minggu sekali E0N2P1: tanpa endofit + NPK + penyiraman 3 Kandungan klorofil total (C) dalam g/l : C = Ca + Cb C =.22 A 64 +.82 A 663 Kandungan klorofil total (C) dalam mg/l : C = 2.2 A 64 + 8.2 A 663 Keterangan : Ca = kandungan klorofil a (g/l) Cb = kandungan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Padi Gogo

TINJAUAN PUSTAKA Padi Gogo 3 TINJAUAN PUSTAKA Padi Gogo Padi gogo adalah budidaya padi di lahan kering. Lahan kering yang digunakan untuk tanaman padi gogo rata-rata lahan marjinal yang kurang sesuai untuk tanaman. Tanaman padi

Lebih terperinci

Tugas Akhir - SB091358

Tugas Akhir - SB091358 Tugas Akhir - SB091358 EFEKTIVITAS META-TOPOLIN DAN NAA TERHADAP PERTUMBUHAN IN VITRO STROBERI (Fragaria ananassa var. DORIT) PADA MEDIA MS PADAT DAN KETAHANANNYA DI MEDIA AKLIMATISASI Oleh Silvina Resti

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian pendahuluan

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian pendahuluan 12 menjadi planlet/tanaman. Hormon NAA cenderung menginduksi embrio somatik secara langsung tanpa pembentukan kalus. Embrio somatik yang dihasilkan lebih normal dan mudah dikecambahkan menjadi planlet/tanaman,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. zat pengatur tumbuh memperlihatkan pertumbuhan yang baik. Hal tersebut sesuai

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. zat pengatur tumbuh memperlihatkan pertumbuhan yang baik. Hal tersebut sesuai BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Isolasi dan Perkecambahan Biji Hasil penelitian menunjukkan biji yang ditanam dalam medium MS tanpa zat pengatur tumbuh memperlihatkan pertumbuhan yang baik. Hal tersebut

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di net house Gunung Batu, Bogor. Analisis tanah dilaksanakan di Laboratorium Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Umum Kultur Pada Kultivar Jerapah dan Sima

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Umum Kultur Pada Kultivar Jerapah dan Sima IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil 4.1.1 Perkembangan Umum Kultur Pada Kultivar Jerapah dan Sima Respon awal eksplan leaflet yang ditanam pada media MS dengan picloram 16 µm untuk konsentrasi sukrosa 10,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca, Fakultas Pertanian, Universitas

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca, Fakultas Pertanian, Universitas 23 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, Kampus Gedung Meneng, Bandar Lampung pada bulan Desember 2013

Lebih terperinci

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam pertumbuhan bibit saninten

BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1 Rekapitulasi hasil analisis sidik ragam pertumbuhan bibit saninten BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa interaksi antara perlakuan pemberian pupuk akar NPK dan pupuk daun memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. divisio: Spermatophyta, subdivisio: Angiospermae, class: Dycotyledonae, subclass:

TINJAUAN PUSTAKA. divisio: Spermatophyta, subdivisio: Angiospermae, class: Dycotyledonae, subclass: TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Cabai Sistematika tanaman cabai dalam botani tanaman yaitu, kingdom: Plantae, divisio: Spermatophyta, subdivisio: Angiospermae, class: Dycotyledonae, subclass: Metachlamydeae,

Lebih terperinci

Penanganan bibit jati (Tectona grandis Linn. f.) dengan perbanyakan stek pucuk

Penanganan bibit jati (Tectona grandis Linn. f.) dengan perbanyakan stek pucuk Standar Nasional Indonesia Penanganan bibit jati (Tectona grandis Linn. f.) dengan perbanyakan stek pucuk ICS 65.020.20 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nanas merupakan tanaman buah berupa semak yang memiliki nama ilmiah Ananas comosus. Nanas berasal dari Brasilia (Amerika Selatan) yang telah didomestikasi sebelum masa

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN NAA DAN KINETIN TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BUAH NAGA (Hylocereus costaricensis) MELALUI TEKNIK KULTUR JARINGAN SECARA IN VITRO

PENGARUH PEMBERIAN NAA DAN KINETIN TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BUAH NAGA (Hylocereus costaricensis) MELALUI TEKNIK KULTUR JARINGAN SECARA IN VITRO PENGARUH PEMBERIAN NAA DAN KINETIN TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BUAH NAGA (Hylocereus costaricensis) MELALUI TEKNIK KULTUR JARINGAN SECARA IN VITRO Delfi Trisnawati 1, Dr. Imam Mahadi M.Sc 2, Dra. Sri

Lebih terperinci

BAB IX PEMBAHASAN UMUM

BAB IX PEMBAHASAN UMUM 120 BAB IX PEMBAHASAN UMUM Salah satu penyebab rendahnya produktivitas serat abaka antara lain karena adanya penyakit layu Fusarium atau Panama disease yang ditimbulkan oleh cendawan Fusarium oxysporum

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tanaman Padi (Varietas Ciherang) Padi merupakan kebutuhan vital bagi manusia Indonesia sehari-hari, disebabkan setiap hari orang mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok. Untuk menjaga

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1.1 Pengaruh Pembentukan Kalus Pada Media MS Kombinasi ZPT BAP dan 2,4-D.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1.1 Pengaruh Pembentukan Kalus Pada Media MS Kombinasi ZPT BAP dan 2,4-D. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 1.1 Pengaruh Pembentukan Kalus Pada Media MS Kombinasi ZPT BAP dan 2,4-D. Selama masa inkubasi, kalus mulai terlihat tumbuh pada minggu ke-5. Data hari tumbuhnya kalus seluruh

Lebih terperinci

No. 02 Hasil Penelitian Tahun Anggaran 2010

No. 02 Hasil Penelitian Tahun Anggaran 2010 No. 02 Hasil Penelitian Tahun Anggaran 2010 Perakitan Varietas dan Teknologi Perbanyakan Benih secara Massal (dari 10 menjadi 1000 kali) serta Peningkatan Produktivitas Bawang merah (Umbi dan TSS) (12

Lebih terperinci

Perubahan Karakter Agronomi Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) Aksesi Simanindo Samosir Akibat Pemberian Berbagai Dosis Iradiasi Sinar Gamma

Perubahan Karakter Agronomi Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) Aksesi Simanindo Samosir Akibat Pemberian Berbagai Dosis Iradiasi Sinar Gamma Perubahan Karakter Agronomi Bawang Merah (Allium ascalonicum L.) Aksesi Simanindo Samosir Akibat Pemberian Berbagai Dosis Iradiasi Sinar Gamma The Change of Agronomy Characters of Shallots (Allium ascalonicum

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PELAKSANAAN. Agustus Bertempat di green house Universitas Muhammadiyah Malang.

BAB III METODOLOGI PELAKSANAAN. Agustus Bertempat di green house Universitas Muhammadiyah Malang. BAB III METODOLOGI PELAKSANAAN 3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan penelitian dilaksanakan mulai bulan Juni sampai dengan bulan Agustus 2016. Bertempat di green house Universitas Muhammadiyah Malang. 3.2

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija yang

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija yang berguna untuk bahan pangan, pakan, dan bahan baku industri. Selain itu, kacang tanah merupakan

Lebih terperinci

Kultur Sel. Eksplan Kultur Sel

Kultur Sel. Eksplan Kultur Sel Kultur Sel Kultur sel: adalah pembudidayaan/pemeliharaan sel, tunggal maupun gabungan beberapa sel, dalam lingkungan buatan (medium buatan) yang steril. Kultur sel terdiri atas populasi sel dengan laju

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanaman, Jurusan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanaman, Jurusan 22 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Ilmu Tanaman, Jurusan Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung, Bandar Lampung. Penelitian

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Perbanyakan P. citrophthora dan B. theobromae dilaksanakan di Laboratorium Mikologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN 15 Kondisi Umum Penelitian Eksplan buku yang membawa satu mata tunas aksilar yang digunakan pada penelitian ini berasal dari tunas adventif yang berumur 8 MST. Tunas adventif disubkultur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Masalah mengenai tebu yang hingga kini sering dihadapi adalah rendahnya

I. PENDAHULUAN. Masalah mengenai tebu yang hingga kini sering dihadapi adalah rendahnya 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Masalah mengenai tebu yang hingga kini sering dihadapi adalah rendahnya produktivitas tebu dan rendahnya tingkat rendemen gula. Rata-rata produktivitas tebu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Objek yang digunakan pada penelitian adalah tanaman bangun-bangun (Coleus amboinicus, Lour), tanaman ini biasa tumbuh di bawah pepohonan dengan intensitas cahaya yang

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tergenang air pada sebagian waktu selama setahun. Saat ini pemanfaatan lahan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. tergenang air pada sebagian waktu selama setahun. Saat ini pemanfaatan lahan BAB II KAJIAN PUSTAKA 2. 1. Lahan Kering dan Potensinya di Bali Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi air atau tergenang air pada sebagian waktu selama setahun. Saat ini pemanfaatan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Kondisi lingkungan tumbuh yang digunakan pada tahap aklimatisasi ini, sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan planlet Nepenthes. Tjondronegoro dan Harran (1984) dalam

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati utama di

PENDAHULUAN. Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati utama di 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kelapa sawit merupakan tanaman penghasil minyak nabati utama di Indonesia, dan memegang peranan penting diantaranya iklim, tenaga kerja, dan kesediaan lahan yang masih cukup

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. ternyata dari tahun ke tahun kemampuannya tidak sama. Rata-rata

PENDAHULUAN. ternyata dari tahun ke tahun kemampuannya tidak sama. Rata-rata PENDAHULUAN Latar Belakang Tanaman kedelai merupakan tanaman hari pendek dan memerlukan intensitas cahaya yang tinggi. Penurunan radiasi matahari selama 5 hari atau pada stadium pertumbuhan akan mempengaruhi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Kombinasi BAP dan IBA terhadap Waktu Munculnya Tunas Akasia (Acacia mangium Willd.)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Kombinasi BAP dan IBA terhadap Waktu Munculnya Tunas Akasia (Acacia mangium Willd.) BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Kombinasi BAP dan IBA terhadap Waktu Munculnya Tunas Akasia (Acacia mangium Willd.) Kultur jaringan merupakan teknik budidaya untuk meningkatkan produktifitas tanaman.

Lebih terperinci

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. hidup, terkontaminasi dan eksplan Browning. Gejala kontaminasi yang timbul

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. hidup, terkontaminasi dan eksplan Browning. Gejala kontaminasi yang timbul IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Keberhasilan suatu penelitian kultur in vitro dipengaruhi oleh eksplan yang hidup, terkontaminasi dan eksplan Browning. Gejala kontaminasi yang timbul dapat dicirikan

Lebih terperinci