PENGARUH CONDITIONED MEDIUM RAT EMBRYONIC FIBROBLAST

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGARUH CONDITIONED MEDIUM RAT EMBRYONIC FIBROBLAST"

Transkripsi

1 i PENGARUH CONDITIONED MEDIUM RAT EMBRYONIC FIBROBLAST (CM-REF) DENGAN DAN TANPA LEUKEMIA INHIBITORY FACTOR (LIF) DALAM MEDIUM TERHADAP TINGKAT PROLIFERASI DAN SIFAT PLURIPOTENSI MESENCHYMAL STEM CELL SUMSUM TULANG TIKUS DALAM KULTUR IN VITRO AGUS EFENDI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

2 ii PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Pengaruh Conditioned Medium Rat Embryonic Fibroblast (CM-REF) dengan dan tanpa Leukemia Inhibitory Factor (LIF) dalam Medium terhadap Tingkat Proliferasi dan Sifat Pluripotensi Mesenchymal Stem Cell Sumsum Tulang Tikus dalam Kultur In Vitro adalah karya saya sendiri dengan arahan pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber Informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi. Bogor, Agustus 2009 Agus Efendi NIM B

3 iii ABSTRAK AGUS EFENDI. Pengaruh Conditioned Medium Rat Embryonic Fibroblast (CM-REF) dengan dan tanpa Leukemia Inhibitory Factor (LIF) dalam Medium terhadap Tingkat Proliferasi dan Sifat Pluripotensi Mesenchymal Stem Cell Sumsum Tulang Tikus dalam Kultur In Vitro. Dibimbing oleh ITA DJUWITA dan NURHIDAYAT Sel punca (stem cell) adalah sel yang memiliki kemampuan memperbarui diri (proliferasi) dan dapat berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel dengan arahan yang diberikan sehingga stem cell sangat potensial digunakan sebagai terapi berbasis sel. Adult stem cell dapat diisolasi dari beberapa jaringan tubuh individu dewasa salah satu diantaranya adalah dari sumsum tulang. Stem cell di dalam kultur in vitro membutuhkan suatu media khusus yang dapat meningkatkan proliferasi dan menjaga pluripotensinya. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi tingkat proliferasi dan pluripotensi sel-sel kultur sumsum tulang tikus dalam medium modified Dulbecco s Modified Eagle s Medium (mdmem) yang diberi conditioned medium rat embryonic fibroblast (CM-REF) dengan dan tanpa leukemia inhibitory factor (LIF). Sel-sel sumsum tulang tikus dikultur dalam mdmem, mdmem+cm-ref 25%, dan mdmem+cm-ref 25%+LIF 10 ng/ml. Evaluasi dilakukan terhadap morfologi sel-sel sumsum tulang tikus yang berkembang dengan pewarnaan hematoksilin eosin (HE), sedangkan sifat pluripotensi sel-sel sumsum tulang tikus dievaluasi menggunakan pewarnaan alkalin fosfatase (ALP). Tingkat proliferasi diukur berdasarkan persentase bone marrow mesenchymal stem cell (BM-MSC). Hasil yang diperoleh dianalisis menggunakan uji statistik T-test. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan pengamatan morfologi terdapat 4 jenis sel hasil kultur sel sumsum tulang yaitu mesenchymal stem cell (yang menyerupai mesenkhimal dan fibroblas), hematositoblas, khondroblas dan osteoblas, serta progenitor sel saraf. Kultur sel sumsum tulang dalam medium mdmem yang diberi CM-REF dengan dan tanpa LIF menunjukkan persentase BM-MSC meningkat secara signifikan (96%; 88%) setelah 10 hari kultur dibanding dalam medium mdmem (47,8%). Berdasarkan pewarnaan alkalin fosfatase, persentase sel-sel yang pluripoten dalam medium mdmem yang diberi CM-REF dengan dan tanpa LIF mengalami peningkatan dibanding dalam medium mdmem. Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah bahwa pemberian CM-REF dengan dan tanpa LIF dapat meningkatkan jumlah dan mempertahankan sifat pluripotensi BM-MSCs. Kata Kunci : BM-MSC, morfologi, proliferasi, pluripotensi,, CM-REF.

4 iv ABSTRACT AGUS EFENDI. The Effect of Conditioned Medium Rat Embryonic Fibroblast (CM-REF) with and without Leukemia Inhibitory Factor (LIF) in the Medium on the Proliferation Rate and Pluripotency of Rat Bone Marrow Mesenchymal Stem Cells In Vitro Culture. Under direction of ITA DJUWITA and NURHIDAYAT Stem cells are cells that have high ability to proliferate and are undifferented. Stem cells differentiation into many types of cells with appropriate induction lead stem cell as a potential cell-based therapy. Adult stem cells can be isolated from various tissue of adult body mostly the bone marrow. Stem cell tends to undergo differentiation spontaneously in vitro culture, therefore stem cell culture require a media that can maintain the proliferation and its pluripotency. This study aims to identify the bone marrow mesenchymal stem cells (BM-MSCs) morphology, the proliferation rate and pluripotency in in vitro culture in modified Dulbecco s Modified Eagle s Medium (mdmem) containing 25% CM-REF with and without LIF. The bone marrow cells were cultured in mdmem, mdmem with REF-CM 25%, and mdmem with CM-REF 25% and LIF 10 ng / ml. Evaluation of cells morphology was performed after the hematoksilin eosin (HE) staining. The pluripotency of bone marrow stem cells were evaluated using the alkaline phosphatase (ALP) staining. Proliferation rate were evaluated based on the percentage of bone marrow mesenchymal stem cell (BM-MSC). Results were analyzed using the statistical test T-test. Based on the morphology, four types of cells are mesenchymal stem cells (mesenchymal cell fusiform and fibroblast celllike), hematocytoblast, osteogenik progenitor and neuron cells progenitor has been identified from bone marrow in vitro culture. Bone marrow cells in mdmem with CM-REF with and without LIF showed that the percentage BM-MSC significantly increased (96%;88%) after 10 days in vitro culture. Based on the ALP staining, the percentage of cells showed pluripotency in mdmem with CM- REF with and without LIF were increased compared to in mdmem. In conclution, the addition of CM-REF with and without LIF in bone marrow culture medium could increase the number of BM-MSC and maintained its pluripotency. Keyword : BM-MSC, morphology, proliferation, pluripotency, CM-REF.

5 v RINGKASAN AGUS EFENDI. Pengaruh Conditioned Medium Rat Embryonic Fibroblast (CM-REF) dengan dan tanpa Leukemia Inhibitory Factor (LIF) dalam Medium terhadap Tingkat Proliferasi dan Sifat Pluripotensi Mesenchymal Stem Cell Sumsum Tulang Tikus dalam Kultur In Vitro. Dibimbing oleh ITA DJUWITA dan NURHIDAYAT Sel punca (stem cell) merupakan sel yang mempunyai karakteristik unik yaitu memiliki kemampuan memperbaharui diri melalui proses proliferasi dan tetap memiliki sifat pluripotensi (dapat berkembang menjadi berbagai jenis sel sesuai dengan arahan yang diberikan). Karakter stem cell tersebut berpotensi untuk digunakan sebagai sumber transplantasi pada terapi berbasis sel untuk pengobatan penyakit-penyakit degeneratif contohnya pada penyakit Parkinson's, jantung, diabetes mellitus, dan penyakit lainnya. Adult stem cell (ASC) merupakan salah satu jenis stem cell yang dapat ditemukan dari beberapa jaringan tubuh individu dewasa. Sumsum tulang potensial digunakan sebagai sumber ASC karena di dalam sumsum tulang tersedia ASC setiap waktu selama umur individu tersebut serta proses isolasinya lebih mudah dan tidak mengorbankan embrio seperti halnya pada isolasi embryonic stem cell (ESC). Sumsum tulang mengandung dua jenis ASC yaitu mesenchymal stem cell (MSC) dan haematopoietic stem cell. Populasi MSC di dalam sumsum tulang sangat sedikit (0,01%) sehingga untuk dapat digunakan harus di lakukan peningkatan jumlah secara in vitro. Stem cell di dalam kultur in vitro cenderung berdiferensiasi secara spontan menjadi berbagai jenis sel seperti osteoblas, khondroblas, dan adiposit, sehingga dalam sistem kultur stem cell diperlukan tambahan bahan seperti faktor pertumbuhan ke dalam medium untuk meningkatkan proliferasi dan menjaga pluripotensinya. Faktor pertumbuhan seperti basic fibroblast growth faktor (bfgf) dan yang beredar di pasaran memiliki harga yang tinggi, sehingga penggunaan conditioned media rat embryonic fibroblast (CM-REF) yang diperkirakan mengandung banyak faktor pertumbuhan dapat menggantikan bfgf. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi gambaran morfologi, tingkat proliferasi dan pluripotensi bone marrow mesenchymal stem cell (BM-MSC) tikus hasil kultur in vitro dalam medium Dulbecco s Modified Eagle s Medium dimodifikasi (mdmem) yang ditambah CM-REF dengan dan tanpa leukemia inhibitory factor (LIF). Penambahan CM-REF dan LIF diharapkan mampu meningkatkan populasi stem cell Conditioned medium rat embryonic fibroblast diperoleh dari kultur otot fetus tikus umur hari kebuntingan. Kultur sel-sel sumsum tulang dibagi menjadi 3 kelompok perlakuan berdasarkan kondisi medium yang digunakan yaitu (1) mdmem, (2) mdmem yang ditambah dengan CM-REF 25%, dan (3) mdmem yang ditambah dengan CM-REF 25% dan LIF 10 ng/ml dengan 3 kali ulangan untuk masing-masing perlakuan. Sel-sel sumsum tulang tikus selanjutnya dikultur dalam inkubator dengan suhu 37 0 C dan 5% CO 2. Tiap perlakuan dilakukan pengamatan perkembangan sel pada hari ke-1, ke-4, ke-7 dan ke-10. Parameter yang diamati yaitu morfologi berbagai sel yang berkembang dengan

6 pewarnaan hematoksilin eosin (HE), persentase sel yang bereaksi positif terhadap alkalin fosfatase (ALP) dan persentase BM-MSC yang berkembang di dalam kultur. Morfologi sel dianalisis secara deskriptif. Data kuantitatif yang diperoleh dianalisa menggunakan uji statistik T-test dengan tingkat kepercayaan 95% Kultur in vitro sel sumsum tulang menghasilkan 4 kelompok sel yaitu BM- MSC (mesenchymal cell-fusiform dan fibroblast cell-like), hematositoblas, khondroblas dan osteoblas serta progenitor sel saraf. Mesenchymal cell-fusiform memiliki morfologi berupa inti yang besar dan pucat dengan anak inti satu atau lebih serta penjuluran sitoplasma yang fusiform. Fibroblast cell-like berinti lebih kecil dan lebih gelap daripada mesenchymal cell-fusiform dengan sitoplasma berbentuk lonjong ataupun amorf. Hematositoblast memiliki inti bulat dan sitoplasma yang mengelilingi inti membentuk sel menjadi bulat. Progenitor sel syaraf mempunyai penjuluran sitoplasma yang akan membentuk akson maupun dendrit. Osteoblas dapat teridentifikasi dengan adanya koloni osteoblas. Identifikasi pluripotensi BM-MSC dilakukan berdasarkan reaksi sel terhadap ALP. Sel yang bereaksi positif ALP akan berwarna merah dan yang bereaksi negatif akan berwarna kuning. Sel yang bereaksi positif dalam kultur sel sumsum tulang yaitu hematositoblas dan BM-MSC. Kultur sel sumsum tulang dalam medium mdmem menunjukkan penurunan persentase sel yang pluripoten dari hari ke-1 sampai ke-7 kultur. Sedangkan kultur dalam medium yang ditambah dengan CM-REF dengan dan tanpa LIF, sel yang pluripoten cenderung mengalami peningkatan persentase. Kultur sel sumsum tulang dalam mdmem mudah mengalami penurunan persentase sel yang pluripoten karena stem cell dalam kultur in vitro mudah berdiferensiasi. Conditioned medium rat embryonic fibroblast baik dengan dan tanpa LIF dapat mencegah diferensiasi stem cell sehingga persentase sel yang pluripoten meningkat selama kultur in vitro. Bone marrow mesenchymal stem cell dalam ketiga medium yang berbeda menunjukkan adanya peningkatan persentase. Peningkatan persentase BM-MSC dalam medium yang ditambah CM-REF baik dengan dan tanpa LIF (96%. 88%) menunjukkan peningkatan yang berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan dengan tanpa penambahan keduanya (47,8%). Conditioned medium rat embryonic fibroblast dan LIF merupakan faktor pertumbuhan yang dapat meningkatkan daya proliferasi stem cell sehingga persentase BM-MSC akan semakin meningkat dalam kultur in vitro. Kultur sel-sel sumsum tulang tikus menghasilkan bone marrowmesenchymal stem cell (mesenchymal cell-fusiform dan fibroblast-like), hematositoblas, osteoblas dan khondroblas serta progenitor sel saraf. Penambahan CM-REF dengan dan tanpa LIF ke dalam medium mampu menginduksi peningkatan proliferasi bone marrow-mesenchymal stem cell dan menjaga pluripotensinya. Pertumbuhan, diferensiasi dan pluripotensi dari kultur sumsum tulang sangat bergantung pada faktor-faktor yang ada di dalam CM-REF sehingga diperlukan adanya identifikasi serta penghitungan konsentrasi faktor-faktor yang di dalam CM-REF. Peneguhan terhadap identifikasi sel-sel yang berkembang dalam sumsum tulang memerlukan pewarnaan yang lebih spesifik seperti pewarnaan imunositokimia. Kata kunci: BM-MSC, morfologi, proliferasi, pluripotensi,, CM-REF. vi

7 PENGARUH CONDITIONED MEDIUM RAT EMBRYONIC FIBROBLAST (CM-REF) DENGAN DAN TANPA LEUKEMIA INHIBITORY FACTOR (LIF) DALAM MEDIUM TERHADAP TINGKAT PROLIFERASI DAN SIFAT PLURIPOTENSI MESENCHYMAL STEM CELL SUMSUM TULANG TIKUS DALAM KULTUR IN VITRO vii AGUS EFENDI Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

8 Judul Skripsi : Pengaruh Condition Medium Rat Embryonic Fibroblast (CM-REF) dengan dan Tanpa Leukemia Inhibitory Factor (LIF) dalam Medium terhadap Tingkat Proliferasi dan Sifat Pluripotensi Mesenchymal Stem Cell Sumsum Tulang Tikus dalam Kultur In Vitro Nama : Agus Efendi NIM : B viii Disetujui: Pembimbing 1 Pembimbing 2 Dr. Drh. Ita Djuwita, M.Phil Dr. Drh. Nurhidayat, MS Diketahui a.n. Dekan Wakil Dekan Dr.Nastiti Kusumorini Tanggal Lulus:

9 ix PRAKATA Syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan karunia-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Skripsi ini berjudul Pengaruh Conditioned Medium Rat Embryonic Fibroblast (CM-REF) dengan dan Tanpa Leukemia Inhibitory Factor (LIF) dalam Medium terhadap Tingkat Proliferasi dan Sifat Pluripotensi Mesenchymal Stem Cell Sumsum Tulang Tikus dalam Kultur In Vitro; disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada Maret-Juli 2009, dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana kedokteran hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yag sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Drh. Hj. Ita Djuwita, M.Phil dan Dr. Drh. Nurhidayat, MS, masingmasing selaku dosen pembimbing pertama dan kedua yang telah banyak memberikan arahan dan masukan hingga penyelesaian skripsi ini. 2. Dr. Drh. Upik Kesumawati, MS selaku dosen pembimbing akademik yang telah banyak memberikan bantuan serta nasehat selama menyelesaikan pendidikan S1. 3. Pak Wahyu dan staf laboratorium Embriologi FKH-IPB yang telah banyak membantu kelancaran penelitian ini. 4. Para staf laboratorium Embriologi dan laboratorium Anatomi yang membantu dalam kegiatan penelitian ini. 5. Keluarga tercinta, Ayah dan Ibu atas doa, kasih sayang, dukungan dan motivasinya. 6. Tiara Widyaputri atas doa, kasih sayang, dukungan dan motivasinya serta menemani saat suka dan duka.

10 x 7. Rekan Goblet FKH 42 atas suka duka, perjuangan, kekompakan, kerjasama dan semangatnya dalam menempuh pendidikan S1. 8. Proyek Penelitian Hibah Bersaing XV Ditjen Dikti Depdiknas yang telah membiayai penelitian ini. Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari sempurna, dikarenakan keterbatasan pengetahuan penulis. Namun demikian penulis mengharapkan bahwa hasil penelitian ini dapat bermanfaat untuk berbagai pihak. Bogor, Agustus 2009 Penulis

11 xi RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Banyuwangi, pada tanggal 28 Oktober 1986 dari pasangan Bapak Supriyono dan Ibu Sunarti. Penulis telah menempuh pendidikan formal di SDN 1 Wringinagung Gambiran-Banyuwangi (1999), SLTPN 2 Gambiran-Banyuwangi (2002) dan SMAN 1 Genteng-Banyuwangi (2005). Pada tahun 2005 penulis melanjutkan pendidikan sarjana di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI dan masuk Fakultas Kedokteran Hewan setelah setahun di IPB. Selama menjalani pendidikan sarjana, penulis berkesempatan menjadi anggota Unit Kegiatan Mahasiswa-Uni Konservasi Fauna (2005/2007) dan aktif sebagai Kepala Divisi Pendidikan Himpunan minat dan profesi Hewan Kesayangan dan Satwa Akuatik (2008/2009). Untuk menyelesaikan studi di Fakultas Kedokteran Hewan, penulis melaksanakan penelitian yang berjudul Pengaruh Conditioned Medium Rat Embryonic Fibroblast (CM-REF) dengan dan Tanpa Leukemia Inhibitory Factor (LIF) dalam Medium terhadap Tingkat Proliferasi dan Sifat Pluripotensi Mesenchymal Stem Cell Sumsum Tulang Tikus Kultur In Vitro.

12 xii DAFTAR ISI Halaman DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN... xiv DAFTAR SINGKATAN... PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan... 3 Manfaat... 3 TINJAUAN PUSTAKA... 4 Stem Cell... 4 Mesenchymal Stem Cell (MSC)... 4 Sumsum Tulang (Bone Marrow)... 6 Isolasi Mesenchymal Stem Cell... 7 Kultur Mesenchymal Stem Cell... 7 Dulbecco s Modified Essential Medium (DMEM)... 9 Conditioned Medium Rat Embryonic Fibroblast (CM-REF) Leukemia Inhibitory Factor (LIF) Karakterisasi (Identifikasi) Mesenchymal Stem Cell METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Prosedur Kerja Pembuatan CM-REF Isolasi Sel Sumsum Tulang Kultur Sel Sumsum Tulang Pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) Pewarnaan Histokimia Menggunakan Alkalin fosfatase Evaluasi Rancangan Percobaan HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Morfologi Sel yang Berkembang dalam Kultur Sel Sumsum Tulang Identifikasi Pluripotensi Berdasarkan Reaksi terhadap Alkalin Fosfatase Tingkat Proliferasi BM-MSC dalam Kultur Sel Sumsum Tulang.. 19 Pembahasan xv

13 Morfologi Sel yang Berkembang dalam Kultur Sel Sumsum Tulang Pluripotensi Kultur Sel Sumsum Tulang Tingkat Proliferasi BM-MSC dalam Kultur Sel Sumsum Tulang. 24 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xiii

14 xiv DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Gambar skema mesenchymal stem cell Stroma sumsum tulang dan perkembangan stem cell Mesenchymal cell-fusiform Fibroblast cell-like Sel yang bereaksi terhadap ALP Persentase sel kultur sumsum tulang tikus yang bereaksi positif terhadap ALP Persentase tiap jenis sel yang berkembang dalam mdmem Persentase tiap jenis sel yang berkembang dalam mdmem yang ditambah CM-REF Persentase tiap jenis sel yang berkembang dalam mdmem yang ditambah CM-REF dan LIF Persentase BM-MSC pada hari ke-10 dalam ketiga macam Medium... 21

15 xv DAFTAR LAMPIRAN 1 Persentase sel kultur sumsum tulang tikus yang bereaksi positif Halaman ALP dalam mdmem dan mdmem yang ditambah CM-REF Persentase sel kultur sel sumsum tulang tikus yang bereaksi positif ALP dalam mdmem dan mdmem yang ditambah CM-REF dan LIF Persentase sel kultur sumsum tulang yang bereaksi positif ALP dalam mdmem yang ditambah CM-REF dengan dan tanpa LIF Persentase sel-sel yang berkembang pada kultur sel sumsum tulang tikus dalam medium kultur mdmem dan mdmem yang ditambah CM-REF Persentase sel-sel yang berkembang dalam kultur sumsum tulang tikus dalam medium kultur DMEM dan DMEM yang CM-REF dan LIF Persentase sel-sel yang berkembang pada kultur sel sumsum tulang tikus dalam mdmem dan mdmem yang ditambah CM-REF dan LIF Pembuatan medium kultur mdmem Pembuatan mpbs... 37

16 xvi DAFTAR SINGKATAN ALP ASC bfgf BM-MSC CM-MEF CM-REF DMEM ESC FCS HE IGF-1 LIF mdmem mpbs MSC PBS STAT TGF-β1 : alkalin fosfatase : adult stem cell : basic fibroblast growth factor : bone marrow mesenchymal stem cell : conditioned medium mouse embryonic fibroblast : conditioned medium rat embryonic fibroblast : Dubelcco s Modified Eagle s Medium : embryonic stem cell : fetal calf serum : hematoksilin eosin : insulin-like growth factor-1 : leukemia inhibitory factor : Dubelcco s Modified Eagle s Medium yang telah dimodifikasi : phosphat buffered saline yang telah dimodikasi : mesenchymal stem cell : phosphat buffered saline : signal transducer and activator of transcription : transforming growth factor-β1

17 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sel punca (stem cell) merupakan sel yang mempunyai karakteristik unik yaitu memiliki kemampuan memperbaharui diri melalui proses proliferasi dan tetap memiliki sifat pluripotensi (mampu berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel sesuai arahan yang diberikan) (Wobus dan Boheler 2006). Stem cell dapat berkembang menjadi berbagai jenis sel sesuai arahan yang tepat (Aini et al. 2008). Karakter stem cell tersebut berpotensi dikembangkan sebagai terapi berbasis sel pada pengobatan penyakit-penyakit degeneratif (Reya et al. 2001; Wobus dan Boheler 2006) contohnya pada penyakit Parkinson's, jantung, diabetes mellitus, dan penyakit lainnya (Wobus dan Boheler 2006). Eksplorasi terhadap stem cell diawali oleh James Thomson pada tahun 1998 dan asistennya dengan menemukan pluripotensi stem cell dari embrio manusia. Berdasarkan sumbernya, stem cell dapat dikategorikan sebagai embryonic stem cell (ESC), fetal stem cell (FSC) dan adult stem cell (ASC). Embryonic stem cell diisolasi dari inner cell mass embrio tahap blastosis, FSC diperoleh dari darah tali pusat bayi (Aini et al. 2008), sedangkan ASC dapat temukan di jaringan tertentu individu dewasa (Wobus dan Boheler 2006). Embryonic stem cell mampu menurunkan galur semua jenis sel dewasa, namun karena proses isolasinya mengorbankan embrio, ESC mendapat tentangan dari para pemerhati etika penelitian sehingga ASC banyak dikembangkan oleh para peneliti (Aini et al. 2008). Adult stem cell meskipun masih bersifat pluripoten diperkirakan telah berkurang kemampuan diferensiasinya dan telah menjadi lebih spesifik untuk berdiferensisasi menjadi sel tertentu yang berperan dalam regenerasi jaringan lokal. Perkembangan lebih lanjut menunjukkan fenomena plastisitas ASC yang berarti bahwa ASC dari jaringan dewasa yang sudah terarah menjadi jaringan tertentu, masih mampu berdiferensiasi menjadi sel bagian dari suatu jaringan lain (Aini et al. 2008).

18 2 Mesenchymal stem cell (MSC) merupakan salah satu jenis dari ASC yang terdapat di sumsum tulang dan jaringan lainnya (Wobus dan Boheler 2006). Populasi MSC sangat sedikit dibandingkan sel-sel lain dalam sumsum tulang sehingga membutuhkan teknik isolasi secara seleksi untuk mendapatkan kultur MSC yang bebas kontaminasi sel lain. Jumlah MSC dapat ditingkatkan melalui kultur secara in vitro, namun MSC akan kehilangan sifat pluripotensinya setelah dikultur (Caplan 1991; Prockop 1997; Azizi et al. 1998; DiGirolamo et al. 1999). Oleh karena itu, diperlukan suatu medium khusus dalam proses kultur untuk mempertahankan stem cell tetap memiliki daya proliferasi yang tinggi serta mempertahankan pluripotensinya. Identifikasi terhadap kultur MSC dapat dilakukan berdasarkan ciri imunofenotip dan fungsinya. Morfologi MSC juga dapat dijadikan acuan untuk identifikasi sel. Faktor pertumbuhan seperti basic fibroblast growth factor (bfgf) telah dilaporkan dapat menjaga pluripotensi ESC (Xu et al. 2005). Harga faktor pertumbuhan tersebut di pasaran mahal sehingga penggunaan conditioned medium rat embryonic fibroblast (CM-REF) yang diperkirakan mengandung banyak faktor pertumbuhan sehingga dapat membantu dalam menghambat diferensiasi stem cell. Leukemia inhibitory factor (LIF) merupakan sitokin yang dapat mempengaruhi berbagai aktivitas fisiologis termasuk menghambat diferensiasi dari embryonic stem cell (Gendall et al. 1997; Matsuda et al. 1999), sehingga kombinasi antara CM-REF dan LIF diharapkan mampu meningkatkan jumlah stem cell yang ditumbuhkan.

19 3 Tujuan Penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi gambaran morfologi, tingkat proliferasi dan pluripotensi MSC sumsum tulang tikus hasil kultur in vitro dalam medium mdmem yang diberi CM-REF dengan dan tanpa LIF. Manfaat Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah memperoleh informasi tentang kemampuan CM-REF dengan dan tanpa LIF yang ditambahkan ke dalam medium kultur terhadap perkembangan kultur sel sumsum tulang tikus. Manfaat lain yang dapat diperoleh adalah untuk meningkatkan kemampuan peneliti dalam teknik kultur sel.

20 4 TINJAUAN PUSTAKA Stem Cell Stem cell didefinisikan sebagai sel yang memiliki kemampuan untuk hidup secara terus menerus melalui pembaharuan diri (proliferasi) serta mampu menjadi berbagai sel dewasa (pluripoten) melalui proses diferensiasi (Reya et al. 2001). Berdasarkan sumbernya, stem cell dapat dikategorikan sebagai ESC, FSC dan ASC. Embryonic stem cell diisolasi dari inner cell mass embrio tahap blastosis, FSC diperoleh dari darah tali pusat bayi (Aini et al. 2008), sedangkan ASC dapat temukan di jaringan tertentu individu dewasa antara lain di sumsum tulang, otak, usus, epidermis (Minguell et al. 2001). Tidak seperti ESC yang memiliki kemampuan tidak terbatas untuk berdiferensiasi menjadi sel apapun dalam jaringan, ASC meskipun masih bersifat pluripoten diperkirakan telah berkurang kemampuan diferensiasinya dan telah menjadi lebih spesifik untuk berdiferensisasi menjadi sel tertentu yang berperan dalam regenerasi jaringan lokal (Aini et al. 2008). Perkembangan lebih lanjut menunjukkan fenomena plastisitas ASC, yang berarti bahwa ASC dari jaringan dewasa yang sudah terarah menjadi jaringan tertentu, masih mampu berdiferensiasi menjadi sel bagian dari suatu jaringan lain (Aini et al. 2008). Mesenchymal Stem Cell Mesenchymal stem cell merupakan salah satu dari ASC yang di dalam tubuh dapat ditemukan di jaringan tertentu seperti otot, tulang, adiposa dan buluh darah (Minguell et al. 2001). Sumber utama MSC pada individu dewasa adalah di sumsum tulang. Sel-sel tersebut terbenam di dalam stroma sumsum tulang (Wobus dan Boheler 2006). Secara histologis, sel ini memiliki sitoplasma yang sedikit dan inti yang besar. Inti dari MSC bersifat basa lemah dan memiliki nukleolus (anak inti) satu buah atau lebih (Kuehnel 2003). Menurut Aini et al. (2008), MSC memiliki bentuk fusiform, fibroblast-like, dan pada fase pertumbuhan in vitro awal membentuk koloni.

21 5 Penelitian secara in vivo menunjukkan bahwa MSC dari sumsum tulang dapat berkembang menjadi sel tulang, tulang rawan, tendon, otot, saraf, lemak dan hematopoietic-supporting stroma (Minguell et al. 2001) (Gambar 1). Mesenchymal stem cell yang ditumbuhkan di berbagai laboratorium dengan berbagai teknik memiliki kesamaan yaitu tumbuh di kultur sebagai sel yang melekat dengan lama hidup tertentu, dan memiliki kemampuan untuk berdiferensiasi menjadi osteoblas, khondroblas, dan adiposa dalam respon terhadap stimuli yang tepat (Aini et al. 2008). Mesenchymal stem cell juga dapat diarahkan menjadi sel lain dengan menambahkan faktor pertumbuhan contohnya penambahan nerve growth factor akan menginduksi diferensiasi stem cell menjadi sel saraf (Zhang et al. 2006). Gambar 1 Skema mesenchymal stem cell dan haematopoietic stem cell beserta sel-sel hasil diferensiasinya (Junqueira dan Carneiro 2005).

22 6 Sumsum Tulang (Bone Marrow) Sumsum tulang adalah jaringan penghubung (connective tissue) yang terletak di dalam rongga medula semua tulang, memiliki banyak vaskularisasi serta bersifat hiperseluler (Banks 1993). Sumsum tulang dibedakan menjadi 2 jenis yaitu sumsum tulang merah dan sumsum tulang kuning. Sumsum tulang kuning terdapat pada individu dewasa, di dalam sumsum tulang tersebut terdapat banyak jaringan adiposa. Sumsum tulang merah terdapat pada semua tulang individu muda. Sumsum tulang merah tersusun atas stroma, haematopoetic cord dan kapiler sinusoid (Junqueira dan Carneiro 2005). Stroma memegang peran aktif dalam hematopoiesis dengan produksi komponen ekstraseluler matrik serta faktor pertumbuhan. Stroma telah dipelajari secara in vitro dan in vivo tersusun atas beragam populasi sel termasuk makrofag, fibroblas, adiposa, dan sel endotel (Wobus dan Boheler 2006) (Gambar 2). Di dalam sumsum tulang terdapat dua jenis stem cell yakni haematopoietic stem cell dan MSC (Kang et al. 2005). Gambar 2 Stroma sumsum tulang dan perkembangan stem cell (Winslow 2001).

23 7 Isolasi Mesenchymal Stem Cell Isolasi sumsum tulang untuk memperoleh MSC telah banyak dilakukan pada banyak spesies termasuk tikus. Beberapa teknik telah dikembangkan untuk memperoleh kultur MSC yang murni dengan mereduksi atau mengeliminasi non- MSC dari kultur sel sumsum tulang. Penyeleksian MSC sumsum tulang dilakukan dengan pencucian terhadap sumsum tulang, dihitung, diresuspensi pada medium kultur dan ditanam pada cawan kultur dengan kepadatan sekitar 1,94 x 10 6 sel/cm 2. Sel yang tidak melekat dibuang jam setelah kultur dengan cara penggantian medium (Wobus dan Boheler 2006). Teknik diatas dilakukan berdasarkan kemampuan MSC untuk melekat dengan cepat pada substrat saat di kultur dan tumbuh membentuk koloni yang mulai terlihat dalam beberapa hari setelah proses kultur (Minguell et al. 2001). Kultur Mesenchymal Stem Cell Kultur sel adalah kultur sel-sel yang berasal dari organ atau jaringan yang telah diuraikan secara mekanis dan atau enzimatis menjadi suspensi sel (Malole 1990) sehingga interaksi dengan sel tetangganya terganggu (Ryan 2003). Suspensi sel tersebut kemudian dibiakkan menjadi satu lapisan jaringan (monolayer) di atas permukaan yang keras (botol, tabung dan cawan) atau menjadi suspensi sel dalam media penumbuh (Malole 1990). Eliminasi sel-sel yang tidak melekat dilakukan pada 1-4 hari setelah kultur serta sel dijaga dengan pasase rutin sampai didapatkan populasi yang homogen. Media kultur yang digunakan bervariasi tetapi lebih sering digunakan Dulbecco's Modified Eagle's Medium (DMEM) dan α-minimum essential medium. Fetal calf serum yang ditambahkan dalam medium kultur dapat mengintroduksi variasi fenotip yang menunjukkan bahwa adanya pengaruh faktor tertentu dalam seleksi dan perkembangan sel. Penambahan faktor pertumbuhan tertentu juga penting dalam menggambarkan karakteristik akhir dari kultur MSC. Kondisi kultur yang ideal akan menjaga fenotip dan fungsi khusus MSC seperti asalnya. Proliferasi dari MSC dapat diharapkan berkembang sampai 40 kali lipat dari populasi awal dan selanjutnya pertumbuhan menurun secara drastis (Wobus dan Boheler 2006). Suplemen bfgf dapat meningkatkan kemampuan hidup MSC sampai 70 kali lipat

24 8 dari populasi awal (Bianchi et al. 2003). Kepadatan penanaman sel juga mempengaruhi kapasitas pertumbuhan MSC (Wobus dan Boheler 2006). Lingkungan fisik dan kimia dalam kultur diharapkan mirip dengan lingkungan in vivo dimana sel tersebut tumbuh. Lingkungan tersebut dapat tercipta dengan menggunakan inkubator, peralatan atau cawan petri, dan medium. Secara umum lingkungan tersebut terdiri dari temperatur, ph, oksigen, CO2, tekanan osmosis, kelembaban, permukaan untuk melekat sel, nutrien dan vitamin, proteksi terhadap zat toksik, hormon serta faktor pertumbuhan yang mengatur pertumbuhan dan diferensiasi sel (Malole 1990; Mather dan Roberts 1998). Temperatur yang ideal bagi pertumbuhan sel dari hewan berdarah panas yaitu 37 C dan ph optimal pada kisaran 7,0-7,4 dengan median 7,2 (Mather dan Roberts 1998; Ryan 2003; Helgason 2005). Kestabilan ph dapat dijaga dengan sistem buffer dengan menggunakan sistem karbondioksida-karbonat. Sistem tersebut terdiri dari penambahan NaHCO 3 ke dalam media (Malole 1990; Mather dan Roberts 1998; Ryan 2003), pemberian udara yang mengandung CO 2 5% (Malole 1990; Mather dan Roberts 1998; Ryan, 2003; Vaughan dan Bernstam 2005). Osmolalitas dari medium tergantung pada formulasi medium yang digunakan. Besarnya osmolalitas medium sangat dipengaruhi oleh konsentrasi glukosa, garam dan sedikit asam amino. Osmolalitas yang optimal untuk pertumbuhan sel berkisar mosm (Malole 1990). Medium-medium komersial yang beredar di pasaran sudah memiliki nilai osmolalitas sekitar 300 mosm. Penambahan antibiotik pada kultur juga diterapkan untuk menghindari kontaminasi. Penambahan antioksidan juga sangat penting untuk menjaga kelangsungan hidup sel. Antioksidan yang sering digunakan yaitu vitamin E, b-mercaptoetanol atau agen pereduksi lainnya (Mather dan Roberts 1998). Medium yang digunakan di dalam proses kultur harus memiliki kondisi lingkungan yang sama dengan lingkungan in vivo sel serta mengandung bahanbahan esensial (nutrisi, hormon dan stroma) agar sel tersebut mampu bertahan hidup dan berkembang (Malole 1990). Tiap-tiap jenis sel memiliki campuran nutrisi yang optimal untuk mendukung fungsi masing-masing sel tersebut sehingga tiap jenis sel tertentu membutuhkan media yang khusus (Ham dan McKeehan 1979; Malole 1990). Nutrisi esensial yang terdapat di dalam medium

25 9 antara lain asam amino, asam lemak, glukosa, ion, trace elements, vitamin dan kofaktor (Mather dan Roberts 1998). Bahan-bahan tersebut digunakan sebagai sumber energi (glukosa dan asam amino), dan menjaga osmolalitas (glukosa, asam amino dan ion). Cairan biologis serum yang terbukti dapat mendukung pertumbuhan sel in vitro juga perlu ditambahkan ke dalam medium sebanyak 5-20% untuk menyediakan faktor faktor hormonal, pertumbuhan, perlekatan dan penyebaran sel serta protein pembawa hormon, mineral, lemak dan lainnya (Malole 1990; Mather dan Roberts 1998). Dulbecco s Modified Eagle Medium Dulbecco's modified eagle s medium adalah medium pertumbuhan yang dipakai dalam kultur sel atau jaringan mamalia. Medium DMEM sering digunakan dalam kultur stem cell (Wobus dan Boheler 2006). Medium DMEM dikembangkan khususnya untuk kultur yang menggunakan tambahan serum dan pertumbuhan sel yang padat (Dulbecco and Freeman 1959; Eagle 1955). Medium DMEM merupakan hasil modifikasi dari Basal Medium Eagle s' (BME) yang pertama kali diformulasikan oleh Dr Harry Eagle pada tahun 1955 (Cooper 2000). Formula awal DMEM mengandung 1000 mg/l glukosa (low glukosa). Medium ini mengandung garam-garam inorganik (kalsium klorida, ferri nitrat, kalium klorida, Magnesiium Sulfat, Natrium Bikarbonat, Natrium Klorida dan Natrium Phosphat), D'Glukosa, Phenol red, asam amino (L-Arginin Hidroklor, L- Cystein.2HCl, L-Glutamin, Glycine, L-Histidin.HCl.H 2 O, L-Isoleusin, L-leucine, L-Lysine Hidroksiklorida, L-Methionin, L-Phenilalanin, L-Serin, L-Treonin, L- Triptofan, L-Tyrosin.2Na.2H 2 O dan L-Valine), Vitamin (D-Kalsium Pantothenate, Koline klorida, asam folat, L-Inositol, Niacinamide, Pyridoxin HCl, Riboflavin dan Thiamine Hidroklorin) (Mather dan Roberts 1998).

26 10 Conditioned Medium Rat Embryonic Fibroblast Conditioned medium adalah medium kultur sel yang telah digunakan oleh sebagian sel di dalam kultur in vitro. Walaupun beberapa komponen di dalam medium tersebut telah habis, medium ini mengandung bahan seperti faktor pertumbuhan yang dihasilkan oleh sel tersebut (Anonimus [1] 2008). Conditioned medium mouse embryonic fibroblast (CM-MEF) merupakan salah satu conditioned medium yang sering digunakan dalam sistem kultur ESC pada manusia untuk menjaga totipotensi (Bendall et al. 2007; Prowse et al. 2007; Tabar et al. 2006; Diecke et al. 2008). Conditioned medium mouse embryonic fibroblast didapatkan dari kultur otot fetus mencit yang dipanen pada umur kebuntingan 12,5 hari (Xiong 2007), sedangkan conditioned medium rat embryonic fibroblast (CM-REF) diperoleh dari kultur otot fetus tikus umur kebuntingan hari (Benvenuti et al. 2002). Mouse embryonic fibroblast mengeluarkan beberapa faktor yang dapat menghambat diferensiasi sel seperti sitokin dan faktor pertumbuhan (growth factor) (Mallon 2006; Tabar et al. 2006), serta matriks yang diperlukan untuk proliferasi dan menjaga pluripotensi stem cell manusia (Prowse et al. 2007). Pluripotensi dari mouse embryonic stem cell dapat dijaga dengan ko-kultur pada MEF feeder layer yang ditambah dengan LIF. Studi lain menyatakan bahwa mouse embryonic stem cell dapat tetap pluripoten tanpa feeder layer pada medium yang digunakan telah ditambahkan dengan LIF (Thomson et al. 1998). Leukimia Inhibitory Factor Leukemia inhibitory factor adalah sejenis sitokin dari golongan IL-6 (Interleukin-6) yang menunjukkan aktivitas pleiotropik pada banyak jenis sel dan jaringan (Rose 2002; Hill and Vernallis 2008). Leukemia inhibitory factor secara normal di dalam tubuh diekspresikan di dalam tropoectoderm dari perkembangan embrio dengan reseptornya yaitu LIFR (Leukemia inhibitory factor receptor) yang diekspresikan seluruhnya di dalam inner cell mass. Leukemia inhibitory factor di dalam tubuh diproduksi oleh sel epitel selama perkembangan dan selama masa infeksi dan peradangan di dalam usus (Rockman et al. 2001) uterus (Vogiagis dan Salamonsen 1999), paru-paru (Knight et al. 1997), dan ginjal

27 11 (Morel et al. 2000). Leukemia inhibitory factor sering digunakan pada kultur stem cell karena kemampuan LIF yang dapat mempengaruhi berbagai aktivitas fisiologis termasuk menghambat diferensiasi dari ESC (Gendall et al. 1997; Matsuda et al. 1999). Anonimus [2] (2008) menegaskan bahwa LIF 5-20 ng/ml meningkatkan pertumbuhan koloni, menjaga proliferasi yang tinggi serta totipotensi pada mouse R1 cell line embryonic stem cell, menghambat diferensiasi spontan sel dan apoptosis sel serta menurunkan rasio dari siklus sel S atau G2. Di dalam kultur, LIF dapat berfungsi sebagai pengganti feeder layer pada mouse embryonic stem cells (Smith et al. 1988; Williams et al. 1988). Karakterisasi Mesenchymal Stem Cell Mesenchymal stem cell yang belum berdiferensiasi dapat diidentifikasi berdasarkan morfologinya. Morfologi MSC memiliki sitoplasma yang sedikit dan inti yang besar. Inti dari MSC bersifat basa lemah dan memiliki nukleolus (anak inti) satu buah atau lebih (Kuehnel 2003). Menurut Aini et al. (2008), MSC memiliki bentuk fusiform dan fibroblast-like. Selain morfologi, identifikasi MSC dapat dilakukan berdasarkan sifat pluripotensinya. Alkalin fosfatase diketahui sering digunakan untuk mengevaluasi sifat pluripotensi stem cell. Alkalin fosfatase merupakan enzim yang terikat membran yang secara luas terdapat pada bermacam-macam spesies dan tahap pekembangan serta memiliki bermacam fungsi biokimia yang berbeda. Peran utama enzim ini yaitu hidrolisis fosfat dan transport beberapa komponen seperti kalsium, lemak dan protein. Alkalin fosfatase di ekspresikan pada sel yang berproliferasi dan metabolisme yang tinggi (Iida et al. 2007). Alkalin fosfatase juga terdapat pada darah, usus, hati dan sel tulang. Alkalin fosfatase juga dapat ditemukan pada membran sel germinal dan stem cell (Akhmadieva et al. 2007; Iida et al. 2007). Embryonic stem cell telah menunjukkan ekspresi yang sangat besar terhadap alkalin fosfatase. Ekspresi alkalin fosfatase tersebut menurun sejalan dengan diferensiasi stem cell (Draper et al. 2002). Identifikasi yang lebih spesifik terhadap MSC dapat dilakukan menggunakan imunositokimia.

28 12 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret-Juli 2009 di Laboratorium Embriologi, Bagian Anatomi Histologi dan Embriologi, Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain gunting bedah, pinset, mikropipet, timbangan digital, biosafety cabinet, inkubator, mikroskop, cawan petri, object glass, cover glass, mikrofilter, spuit 5 ml dan 3 ml, tabung ependorf 1,5 ml, gelas ukur, erlenmeyer dan gelas piala. Bahan-bahan yang digunakan antara lain sumsum tulang tikus (Rattus norvegicus) strain Sprague Dawley (SD) umur 4 bulan, medium kultur mdmem [Dulbecco,s Modified Eagle Medium (DMEM; Sigma) yang dimodifikasi dengan penambahan asam amino non-esensial (AANE; Sigma) 1%, fetal calf serum (FCS; Gibco) 10%, NaHCO 3 44 mm, 2-mercaptoetanol 0,1 mm dan gentamisin 50 μg/ml], leukemia inhibitory factor (LIF), conditioned medium rat embryonic fibroblast (CM-REF), phosphate buffered saline yang dimodifikasi dengan penambahan FCS 5% dan gentamisin 5 μg/ml (mpbs), pewarna hematoksilin eosin dan pewarna alkalin fosfatase yang terdiri dari tris 100 mm, naphtol 200 μg/ml dan fast red 1 μg/ml. Prosedur Kerja Pembuatan CM-REF Rat embryonic fibroblast diisolasi dari otot fetus tikus putih strain SD pada umur kebuntingan 13 hari. Bagian kepala, ekor, tungkai dan organ-organ dalam dari fetus dikeluarkan kemudian bagian otot yang telah dikuliti dicacah sampai halus. Cacahan dimasukkan ke dalam larutan mpbs yang mengandung tripsin 0,25%, kemudian diinkubasi selama 30 menit sambil diaduk menggunakan magnetic stirrer. Supernatan diambil dan dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan

29 g selama 10 menit. Langkah di atas diulangi sampai terkumpul volume yang memadai. Pencucian dilakukan sebanyak 3 kali ulangan dengan menggunakan mpbs dan 2 kali dengan mdmem. Terakhir pelet diresuspensi dalam larutan mdmem. Suspensi tersebut dikultur selama 6 hari atau mendekati konfluent. Penggantian medium dilakukan setiap 2 hari. Pada hari ke 6 atau setelah kultur tersebut konfluent maka medium diganti dengan mdmem tanpa FCS. Setelah 2 hari medium dikoleksi untuk digunakan sebagai conditioned medium. Sebelum digunakan, CM-REF disterilisasi menggunakan mikrofilter 0,22 µm. Isolasi Sel Sumsum Tulang Tikus dibunuh menggunakan eter, kemudian daerah kulit didesinfeksi menggunakan alkohol 70%. Tulang femur dipreparasi kemudian dibersihkan dari jaringan dan darah di sekitar tulang. Tulang rawan di kedua ujung pangkal tulang dipotong dan dibilas bagian stroma tulang (sumsum tulang) dengan menggunakan jarum 26G yang dihubungkan ke spuit 5 ml yang berisi 3 ml medium mpbs. Bilasan dari sumsum tulang tersebut ditampung dalam cawan petri steril. Bilasan tersebut dihomogenkan menggunakan pipet otomatik volume 1000 µl sampai menjadi suspensi homogen. Setelah homogen, suspensi sumsum tulang tersebut ditampung ke dalam tabung 14 ml. Suspensi tersebut disentrifugasi dengan kecepatan 200 g selama 10 menit, kemudian supernatan dibuang. Pelet yang ada di dalam tabung diresuspensi ulang menggunakan 3 ml medium mpbs kemudian disentrifugasi ulang. Pencucian tersebut dilakukan berturut-turut mengunakan 3 ml mpbs dan 3 ml mdmem masing-masing 2 kali ulangan. Setelah selesai pencucian, pelet diresuspensi dalam 1 ml mdmem. Kultur Sel Sumsum Tulang Suspensi sumsum tulang dikultur di dalam 4 cawan petri yang telah berisi medium kultur dan dialasi dengan cover glass di dalamnya. Sumsum tulang dikultur dengan kepadatan 1x 10 6 sel/ml ke dalam medium di tiap-tiap cawan petri tersebut. Penanaman sel sumsum tulang dilakukan di dalam clean bench dengan teknik aseptik untuk menghindari kontaminasi. Kultur sel sumsum tulang diinkubasi di dalam inkubator 5% CO 2 pada suhu 37 0 C. Penggantian media

30 14 dilakukan setiap 2-3 hari. Penggantian medium dilakukan karena kandungan nutrisi di dalam medium telah banyak berkurang, medium mengandung banyak sisa metabolisme, dan untuk membuang sel-sel yang mati dan tidak menempel pada cover glass. Pewarnaan Hematoksilin Eosin (HE) Pewarnaan HE digunakan untuk membantu identifikasi morfologi sel-sel yang berkembang dalam kultur sel sumsum tulang. Kultur sel sumsum tulang yang ditumbuhkan diatas cover glass, dicuci menggunakan PBS kemudian difiksasi dalam larutan buffer paraformaldehida 4% selama 24 jam. Setelah 24 jam, dilakukan penyimpanan dalam alkohol 50% dalam 2 jam kemudian dalam alkohol 70% sampai dilakukan pewarnaan HE. Kultur yang telah disimpan dalam alkohol 70% sebelum diwarnai dilakukan stopping point dalam alkohol 50% selama 3 menit. Selanjutnya dilakukan perendaman dalam aquades selama 5 menit kemudian dalam hematoksilin selama 4 menit selanjutnya dibilas dalam aquades. Selanjutnya dilakukan pewarnaan dalam eosin selama 2 menit dan dibilas dengan aquades. Pewarnaan dilanjutkan dengan dehidrasi bertingkat dalam alkohol 70%, 80%, 90%, 96%, absolut, absolut, absolut masing-masing 10 menit dan dilanjutkan dalam xilol dua kali ulangan kemudian dimounting pada object glass selanjutnya diamati menggunakan mikroskop cahaya. Evaluasi dilakukan dengan cara mengamati morfologi sel-sel yang berkembang terutama BM-MSC yang memiliki morfologi inti besar dan pucat serta penjuluran sitoplasma yang fusiform (Aini et al. 2008) serta fibroblas dengan morfologi sitoplasma seperti membran atau berduri dengan inti sel berbentuk lonjong (Kuehnel 2003). Pewarnaan Histokimia Menggunakan Alkalin Fosfatase Kultur sel sumsum tulang yang ditumbuhkan diatas cover glass, dicuci menggunakan PBS kemudian difiksasi dalam larutan buffer paraformaldehida 4% selama 20 menit. Kemudian dicuci kembali menggunakan PBS selama 15 menit dan selanjutnya ditetesi dengan pewarna alkalin fosfatase selama 30 menit. Selanjutnya, dilakukan pencuciaan kembali dengan PBS selama 15 menit kemudian cover glass dimounting dan diamati menggunakan mikroskop cahaya.

31 15 Pewarnaan alkalin fosfatase digunakan untuk mengevaluasi tingkat pluripotensi sel dimana sel yang pluripoten akan bereaksi positif terhadap alkalin fosfatase dengan ditunjukkan sel berwarna merah. Sedangkan sel yang tidak pluripoten akan bereaksi negatif terhadap alkalin fosfatase yang ditunjukkan dengan sel yang berwarna kuning. Evaluasi Sel-sel pada cover glass yang telah diwarnai dengan alkalin fosfatase diamati, kemudian dihitung persentase sel yang merah dari total sel yang diamati dalam 5 lapang pandang. Sel-sel pada cover glass yang telah diwarnai dengan pewarnaan HE kemudian diamati menggunakan mikroskop cahaya dan dihitung persentase tiap jenis sel dari jumlah total sel dalam 5 lapang pandang. Rancangan Percobaan Kultur sel-sel sumsum tulang dibagi menjadi 3 kelompok perlakuan berdasarkan kondisi medium yang digunakan yaitu (1) mdmem, (2) mdmem yang ditambah dengan CM-REF 25%, dan (3) mdmem yang ditambah dengan CM-REF 25% dan LIF 10 ng/ml dengan 3 kali ulangan untuk masing-masing perlakuan. Sel-sel sumsum tulang tikus selanjutnya dikultur dalam inkubator dengan suhu 37 0 C dan 5% CO 2. Tiap perlakuan dilakukan pengamatan perkembangan sel pada hari ke-1, ke-4, ke-7 dan ke-10. Parameter yang diamati yaitu morfologi berbagai sel yang berkembang, persentase sel yang bereaksi positif terhadap alkalin fosfatase dan persentase MSC yang berkembang di dalam kultur. Morfologi sel dianalisis secara deskriptif. Data kuantitatif yang diperoleh dianalisa menggunakan uji statistik T-test dengan tingkat kepercayaan 95%.

32 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Morfologi Sel-Sel yang Berkembang dalam Kultur Sel Sumsum Tulang Sel-sel yang berkembang dalam kultur sel sumsum tulang tikus berdasarkan morfologinya antara lain mesenchymal cell-like, fibroblast cell-like, hematositoblas, osteoblas dan khondroblas serta progenitor sel saraf. Mesencymal cell-fusifom memiliki inti sel besar dan pucat dengan anak inti satu atau lebih serta sitoplasma memiliki berbagai penjuluran (Gambar 3). Fibroblast cell-like memiliki morfologi inti sel kecil, lonjong dan gelap dengan sitoplasma berbentuk lonjong dan panjang atau memiliki berbagai penjuluran. Hematositoblas memiliki morfologi berbagai bentuk sel darah (Gambar 4). Khondroblas dapat diidentifikasi dari morfologinya yang memiliki inti sel terletak di tepi sel dengan sitoplasma yang agak membulat dan osteoblast dapat teridentifikasi apabila sel-sel ini telah membentuk suatu koloni. Progenitor sel saraf memiliki morfologi yang khas dengan penjuluran akson yang panjang. Bone marrow mesenchymal stem cell memiliki morfologi sebagai mesenchymal cell-fusiform dan fibroblast cell-like. A B Gambar 3 Morfologi BM-MSC dalam kultur in vitro. (A) Mesenchymal cellfusiform. (B) Fibroblast cell-like. Pewarnanaan HE. Bar: 1 μm.

33 17 A B C Gambar 4 Morfologi sel lain yang berkembang di dalam kultur sel sumsum tulang. (A) Progenitor sel saraf. (B) Hematositoblas. (C) Koloni osteoblas. Pewarnaan HE. Bar: 1 μm. Identifikasi Pluripotensi Berdasarkan Reaksi terhadap Alkalin Fosfatase Kultur sel sumsum tulang pada tiap perlakuan dilakukan pewarnaan alkalin fosfatase pada hari ke-1, ke-4 dan ke-7 setelah kultur. Sel-sel di dalam kultur yang bereaksi positif akan berwarna merah sedangkan sel yang bereaksi negatif akan berwarna kuning saat pengamatan. Hasil pengamatan diperoleh bahwa mesenchymal cell-fusiform dan fibroblast cell-like serta hematositoblas bereaksi positif terhadap pewarnaan alkalin fosfatase (Gambar 5). Persentase sel yang bereaksi positif terhadap ALP pada kultur sel sumsum tulang tikus dalam mdmem menunjukkan adanya penurunan dari hari ke-1 sampai ke-7, sedangkan kultur dalam mdmem yang ditambah CM-REF dengan dan tanpa LIF mengalami peningkatan (Gambar 6). Penambahan LIF ke dalam mdmem yang telah ditambah CM-REF menunjukkan peningkatan yang berbeda nyata (P<0,05) terhadap persentase sel yang bereaksi positif terhadap ALP pada hari ke-7 dibandingkan dengan tanpa LIF.

34 18 B A B Gambar 5 Sel-sel kultur sumsum tulang yang bereaksi positif terhadap ALP. (A) hematositoblas. (B) mesenchymal cell-fusiform. Bar: 1 μm. Gambar 6 Persentase sel sumsum tulang tikus yang menunjukkan positif terhadap ALP selama 7 hari kultur in vitro dalam medium yang berbeda.

35 Tingkat Proliferasi BM-MSC dalam Kultur Sel Sumsum Tulang Kultur sel sumsum tulang dalam mdmem terjadi peningkatan persentase pada tiap jenis sel kecuali hematositoblas, khondroblas dan osteoblas (Gambar 7). 19 Gambar 7 Persentase jenis sel yang berkembang selama kultur sel sumsum tulang dalam medium mdmem. Kultur sel sumsum tulang dalam mdmem yang ditambah dengan CM-REF dengan dan tanpa LIF menunjukkan peningkatan persentase mesenchymal cellfusiform dan fibroblast cell-like (Gambar 8 dan 9). Fibroblast cell-like pada kultur dalam medium mdmem yang ditambah CM-REF dengan dan tanpa LIF menunjukkan peningkatan persentase sel yang berbeda nyata (P<0,05 ) dibandingkan kultur dalam medium mdmem tanpa penambahan keduanya (Gambar 11, 12, dan 13). Persentase mesenchymal cell-like dalam mdmem yang ditambah CM-REF dibandingkan dengan tanpa penambahan CM-REF dan LIF secara umum relatif sama, namun pada kultur dalam mdmem yang ditambah CM-REF dan LIF menunjukkan peningkatan persentase yang berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan kultur dalam medium tanpa penambahan CM-REF dan LIF. Persentase mesenchymal cell-like pada kultur dalam mdmem yang ditambah CM-REF dan LIF relatif sama dengan dalam mdmem yang ditambah CM-REF tanpa LIF. Namun demikian, pada hari ke-7 kultur terdapat peningkatan

36 20 yang berbeda nyata (P<0,05) pada kultur dalam mdmem yang ditambah CM- REF dan LIF dibandingkan dengan kultur dalam medium tanpa penambahan LIF. Persentase progenitor sel saraf secara umum pada kedua medium mengalami peningkatan dan akan menurun kembali. Khondroblast dan osteoblas secara umum pada kedua medium juga mengalami penurunan persentase sel selama kultur. Hematositoblas mengalami penurunan persentase sel selama kultur pada ketiga medium yang digunakan. Gambar 8 Persentase jenis sel yang berkembang selama kultur sel sumsum tulang dalam mdmem yang ditambah dengan CM-REF. Gambar 9 Persentase jenis sel yang berkembang selama kultur sel sumsum tulang dalam medium mdmem yang ditambah dengan CM-REF dan LIF.

37 21 Tingkat proliferasi BM-MSC dievaluasi berdasarkan persentase mesenchymal cell-fusiform dan fibroblast cell-like. Kultur dalam mdmem yang ditambah CM-REF dengan dan tanpa LIF pada hari ke-10 kultur menunjukkan peningkatan persentase BM-MSC yang berbeda nyata (P<0,05) dibandingkan dengan kultur dalam mdmem (Gambar 10). Namun demikian, persentase BM-MSC pada kultur dalam mdmem yang ditambah CM-REF dan LIF tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dibandingkan dengan kultur dalam mdmem yang ditambah CM-REF tanpa LIF. Gambar 10 Persentase BM-MSC pada hari ke-10 kultur dalam ketiga macam medium yang digunakan. Pembahasan Morfologi Sel-Sel yang Berkembang dalam Kultur Sel Sumsum Tulang Pengamatan morfologi sel-sel yang berkembang dalam kultur sumsum tulang pada penelitian ini dikelompokkan menjadi 4 kelompok yaitu (1) bone marrow mesenchmal stem cell (BM-MSC) memiliki morfologi mesenchymal cellfusiform dan fibroblast cell-like, (2) hematositoblas, (3) progenitor sel saraf dan (4) khondroblas dan osteoblas. Bentuk BM-MSC dalam pengamatan sejalan dengan pernyataan Aini et al. (2008) bahwa MSC memiliki morfologi fusiform dan fibroblast like. Mesenchymal cell-fusiform memiliki inti sel besar dan pucat dengan anak inti satu atau lebih serta sitoplasma memiliki berbagai. Inti

PENGARUH CONDITIONED MEDIUM RAT EMBRYONIC FIBROBLAST

PENGARUH CONDITIONED MEDIUM RAT EMBRYONIC FIBROBLAST i PENGARUH CONDITIONED MEDIUM RAT EMBRYONIC FIBROBLAST (CM-REF) DENGAN DAN TANPA LEUKEMIA INHIBITORY FACTOR (LIF) DALAM MEDIUM TERHADAP TINGKAT PROLIFERASI DAN SIFAT PLURIPOTENSI MESENCHYMAL STEM CELL

Lebih terperinci

Lampiran 1 Pembuatan Medium Kultur DMEM Lampiran 2 Pembuatan Larutan PBS Lampiran 3 Prosedur Pewarnaan HE

Lampiran 1 Pembuatan Medium Kultur DMEM Lampiran 2 Pembuatan Larutan PBS Lampiran 3 Prosedur Pewarnaan HE LAMPIRAN Lampiran 1 Pembuatan Medium Kultur DMEM Medium kultur DMEM merupakan medium Dulbecco s Modified Eagle s Medium (DMEM; Sigma) yang telah dimodifikasi dengan penambahan asam amino non-esensial (AANE;

Lebih terperinci

DIFERENSIASI EMBRYONIC STEM CELLS MENCIT MENJADI NEURON MENGGUNAKAN CONDITIONED MEDIUM RIRIS LINDIAWATI PUSPITASARI

DIFERENSIASI EMBRYONIC STEM CELLS MENCIT MENJADI NEURON MENGGUNAKAN CONDITIONED MEDIUM RIRIS LINDIAWATI PUSPITASARI DIFERENSIASI EMBRYONIC STEM CELLS MENCIT MENJADI NEURON MENGGUNAKAN CONDITIONED MEDIUM RIRIS LINDIAWATI PUSPITASARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN ORISINALITAS Dengan

Lebih terperinci

Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Metode Penelitian Pembuatan Tikus Diabetes Mellitus Persiapan Hewan Coba

Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Metode Penelitian Pembuatan Tikus Diabetes Mellitus Persiapan Hewan Coba Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli 2007 sampai dengan bulan Juli 2008 di Laboratorium Bersama Hewan Percobaan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. primer sel otak fetus hamster ini merupakan penelitian eksperimental yang

BAB III METODE PENELITIAN. primer sel otak fetus hamster ini merupakan penelitian eksperimental yang 32 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian peran vitamin E (alpha tokoferol) terhadap proliferasi kultur primer sel otak fetus hamster ini merupakan penelitian eksperimental yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 23 HASIL DAN PEMBAHASAN Kultur Primer Cardiomyocyte Cardiomyocyte yang digunakan dalam kultur primer dikoleksi dari jantung mencit neonatal umur 1-3 hari. Pemakaian sumber jantung mencit neonatal dikarenakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian Pengaruh Vitamin E (α-tocoferol) Terhadap Kerusakan,

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian Pengaruh Vitamin E (α-tocoferol) Terhadap Kerusakan, BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian Pengaruh Vitamin E (α-tocoferol) Terhadap Kerusakan, Viabilitas, dan Abnormalitas Kultur Primer Sel Paru-Paru Fetus Hamster Yang Dipapar Etanol

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Rancangan Percobaan Metode Penelitian Koleksi Blastosis

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Materi Penelitian Rancangan Percobaan Metode Penelitian Koleksi Blastosis METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai dari September 2006 sampai dengan Mei 2007, di Laboratorium Embriologi dan Laboratorium Histologi, Departemen Anatomi, Fisiologi,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe-tipe Sel yang Tumbuh dan Berkembang dalam Kultur

HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe-tipe Sel yang Tumbuh dan Berkembang dalam Kultur yaitu tingkat proliferasi, PDT dan panjang akson-dendrit dianalisis menggunakan metoda statistik T-test dengan tingkat kepercayaan 95%. HASIL DAN PEMBAHASAN Tipe-tipe Sel yang Tumbuh dan Berkembang dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sebagai distributor beban gaya yang bekerja pada tulang subkondral yang terletak

BAB 1 PENDAHULUAN. sebagai distributor beban gaya yang bekerja pada tulang subkondral yang terletak digilib.uns.ac.id 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kartilago artikuler merupakan satu jaringan yang unik dengan fungsi sebagai distributor beban gaya yang bekerja pada tulang subkondral yang

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Tingkat Proliferasi Berdasarkan Population Doubling Time (PDT) Population Doubling Time (PDT) adalah waktu yang diperlukan oleh populasi sel untuk menjadikan jumlahnya dua

Lebih terperinci

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini adalah eksperimental laboratorik. Penanaman sel ke 96-wells plate. Uji Viabilitas Sel

BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN. 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini adalah eksperimental laboratorik. Penanaman sel ke 96-wells plate. Uji Viabilitas Sel BAB 4 METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini adalah eksperimental laboratorik. 4.2 Alur Penelitian Kultur Sel dari Penyimpanan Nitrogen Cair Inkubasi selama 48 jam dalam inkubator dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sel Fibroblas Morfologi dan Peranan Sel Fibroblas

TINJAUAN PUSTAKA Sel Fibroblas Morfologi dan Peranan Sel Fibroblas TINJAUAN PUSTAKA Sel Fibroblas Jaringan ikat merupakan jaringan yang bertanggung jawab untuk menunjang dan memelihara integritas struktur tubuh (Junquieira dan Carneiro 2005). Jaringan ini terdiri dari

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. terhadap proliferasi sel ginjal fetus hamster yang dikultur primer merupakan

BAB III METODE PENELITIAN. terhadap proliferasi sel ginjal fetus hamster yang dikultur primer merupakan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian tentang peran pemberian vitamin E dalam media DMEM terhadap proliferasi sel ginjal fetus hamster yang dikultur primer merupakan penelitian

Lebih terperinci

PROFIL SEL β PULAU LANGERHANS JARINGAN PANKREAS TIKUS DIABETES MELLITUS YANG DIBERI VIRGIN COCONUT OIL (VCO) AMILIA DAYATRI URAY

PROFIL SEL β PULAU LANGERHANS JARINGAN PANKREAS TIKUS DIABETES MELLITUS YANG DIBERI VIRGIN COCONUT OIL (VCO) AMILIA DAYATRI URAY PROFIL SEL β PULAU LANGERHANS JARINGAN PANKREAS TIKUS DIABETES MELLITUS YANG DIBERI VIRGIN COCONUT OIL (VCO) AMILIA DAYATRI URAY FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009 ABSTRACT AMILIA

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kehidupan modern dewasa ini menyebabkan tingkat stress yang tinggi, sehingga menjadi salah satu faktor pemicu berkembangnya berbagai macam penyakit yang memerlukan penanganan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tahapan dalam siklus sel. Sebagaimana Allah Swt berfirman dalam surat an Nuh :

BAB I PENDAHULUAN. tahapan dalam siklus sel. Sebagaimana Allah Swt berfirman dalam surat an Nuh : 13 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu ciri kehidupan sel ditandai dengan terjadinya proliferasi. Proliferasi merupakan pertumbuhan yang disebabkan oleh pembelahan sel yang aktif dan bukan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. asiatica L.) terhadap Pertumbuhan Sel Hepar Baby hamster yang Dipapar 7.12-

BAB III METODE PENELITIAN. asiatica L.) terhadap Pertumbuhan Sel Hepar Baby hamster yang Dipapar 7.12- BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian tentang Pengaruh Ekstrak Pegagan (Centella asiatica L.) terhadap Pertumbuhan Sel Hepar Baby hamster yang Dipapar 7.12- dimetilbenz(α)antrasen

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Fakta menunjukkan bahwa pada proses penuaan terjadi kemunduran dan deplesi jumlah sel

BAB I PENDAHULUAN. Fakta menunjukkan bahwa pada proses penuaan terjadi kemunduran dan deplesi jumlah sel BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fakta menunjukkan bahwa pada proses penuaan terjadi kemunduran dan deplesi jumlah sel Langerhans di epidermis, yakni sel efektor imunogen pada kulit, penurunan daya

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata Linn) terhadap kultur primer sel

BAB III METODE PENELITIAN. pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata Linn) terhadap kultur primer sel BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian yang berjudul pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata Linn) terhadap kultur primer sel hepar

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Alur penelitian yang akan dilakukan secara umum digambarkan dalam skema pada Gambar 6.

METODE PENELITIAN. Alur penelitian yang akan dilakukan secara umum digambarkan dalam skema pada Gambar 6. METODE PENELITIAN Alur penelitian yang akan dilakukan secara umum digambarkan dalam skema pada Gambar 6. Pengujian probiotik secara in vivo pada tikus percobaan yang dibagi menjadi 6 kelompok perlakuan,

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGESAHAN... ii. SURAT PERNYATAAN... iii. PRAKATA... iv. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR GAMBAR...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGESAHAN... ii. SURAT PERNYATAAN... iii. PRAKATA... iv. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR GAMBAR... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN... ii SURAT PERNYATAAN... iii PRAKATA... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR TABEL... x DAFTAR SINGKATAN... xi INTISARI... xiv BAB I PENDAHULUAN...

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Parasitologi Veteriner dan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Parasitologi Veteriner dan BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Parasitologi Veteriner dan Laboratorium Biomolekuler Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Alur penelitian yang akan dilakukan secara umum digambarkan dalam skema pada Gambar 5.

BAHAN DAN METODE. Alur penelitian yang akan dilakukan secara umum digambarkan dalam skema pada Gambar 5. BAHAN DAN METODE Alur penelitian yang akan dilakukan secara umum digambarkan dalam skema pada Gambar 5. Pengujian Lactobacillus plantarum (BAL1) dan Lactobacillus fermentum (BAL2) pada tikus dengan perlakuan:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memicu timbulnya penyakit degeneratif termasuk kanker. Kandungan terbesar dalam

BAB I PENDAHULUAN. memicu timbulnya penyakit degeneratif termasuk kanker. Kandungan terbesar dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan alkohol sebagai minuman yang sudah tentu bertentangan dengan ajaran islam saat ini ada kecenderungan meningkat di masyarakat. Penggunaan alkohol terutama

Lebih terperinci

Jaringan adalah kumpulan dari selsel sejenis atau berlainan jenis termasuk matrik antar selnya yang mendukung fungsi organ atau sistem tertentu.

Jaringan adalah kumpulan dari selsel sejenis atau berlainan jenis termasuk matrik antar selnya yang mendukung fungsi organ atau sistem tertentu. Kelompok 2 : INDRIANA ARIYANTI (141810401016) MITA YUNI ADITIYA (161810401011) AYU DIAH ANGGRAINI (161810401014) NURIL NUZULIA (161810401021) FITRI AZHARI (161810401024) ANDINI KURNIA DEWI (161810401063)

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1.Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Riset Kimia Universitas Pendidikan Indonesia dan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada

Lebih terperinci

EFEK PEMBERIAN V IRGIN COCONUT OIL

EFEK PEMBERIAN V IRGIN COCONUT OIL EFEK PEMBERIAN VIRGIN COCONUT OIL (VCO) TERHADAP PROFIL IMUNOHISTOKIMIA ANTIOKSIDAN SUPEROXIDE DISMUTASE (SOD) PADA JARINGAN GINJAL TIKUS DIABETES MELLITUS NOVITA SARI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT

Lebih terperinci

Fetus Hamster. Ginjal Fetus Hamster FBS

Fetus Hamster. Ginjal Fetus Hamster FBS 55 Lampiran 1. Kerangka Konsep Penelitian Fetus Hamster Ginjal Fetus Hamster Vitamin E FBS Media DMEM Konsentrasi: 1. 0 µm 2. 25 µm 3. 50 µm 4. 75 µm 5. 100 µm 6. 125 µm Vitamin Asam Amino Garam Glukosa

Lebih terperinci

II. METODELOGI PENELITIAN

II. METODELOGI PENELITIAN II. METODELOGI PENELITIAN 2.1 Metode Pengumpulan Data 2.1.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di UPT Laboratorium Biosain dan Bioteknologi Universitas Udayana. Penelitian ini berlangsung

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh Vitamin E (α-tokoferol) terhadap persentase

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang pengaruh Vitamin E (α-tokoferol) terhadap persentase BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian tentang pengaruh Vitamin E (α-tokoferol) terhadap persentase kerusakan, viabilitas, dan abnormalitas sel yang dipapar etanol pada kultur sel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. milyaran sel-sel neuron yang berorganisasi dengan berbagai macam jaringan. proses proliferasi pada sel saraf otak (Sloane, 2003).

BAB I PENDAHULUAN. milyaran sel-sel neuron yang berorganisasi dengan berbagai macam jaringan. proses proliferasi pada sel saraf otak (Sloane, 2003). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem saraf merupakan struktur pusat pengaturan yang tersusun oleh milyaran sel-sel neuron yang berorganisasi dengan berbagai macam jaringan (Carlsson dkk, 2000).

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Morfologi Sel Fibroblas dalam Kultur In Vitro Hasil pengamatan kultur sel otot fetus tikus menunjukkan secara morfologi adanya dua bentuk sel, yakni sel fibrosit, berbentuk spindel

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. proses di berbagai Negara. Saat ini penggunaan terapi stem cell menjadi

BAB I PENDAHULUAN. proses di berbagai Negara. Saat ini penggunaan terapi stem cell menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan penelitian mengenai Stem cell masih memasuki tahap proses di berbagai Negara. Saat ini penggunaan terapi stem cell menjadi terobosan baru dalam upaya pengobatan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan 3 ulangan. Faktor pertama, konsentrasi

Lebih terperinci

JARINGAN DASAR HEWAN. Tujuan : Mengenal tipe-tipe jaringan dasar yang ditemukan pada hewan. PENDAHULUAN

JARINGAN DASAR HEWAN. Tujuan : Mengenal tipe-tipe jaringan dasar yang ditemukan pada hewan. PENDAHULUAN JARINGAN DASAR HEWAN Tujuan : Mengenal tipe-tipe jaringan dasar yang ditemukan pada hewan. PENDAHULUAN Tubuh hewan terdiri atas jaringan-jaringan atau sekelompok sel yang mempunyai struktur dan fungsi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan Tanaman dan Media

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan Tanaman dan Media BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bioteknologi Tanaman, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan

Lebih terperinci

KAJIAN MORFOLOGI SALURAN PERNAFASAN BURUNG WALET LINCHI (Collocalia linchi) DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA TRAKEA DAN PARU-PARU REZA HELMI SYAFIRDI

KAJIAN MORFOLOGI SALURAN PERNAFASAN BURUNG WALET LINCHI (Collocalia linchi) DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA TRAKEA DAN PARU-PARU REZA HELMI SYAFIRDI KAJIAN MORFOLOGI SALURAN PERNAFASAN BURUNG WALET LINCHI (Collocalia linchi) DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA TRAKEA DAN PARU-PARU REZA HELMI SYAFIRDI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. ahli medis, bahkan orang awam diseluruh penjuru dunia. Sesuai dengan kata yang

BAB I. PENDAHULUAN. ahli medis, bahkan orang awam diseluruh penjuru dunia. Sesuai dengan kata yang BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini, stem sel telah menjadi topik utama pembicaraan banyak ilmuwan, ahli medis, bahkan orang awam diseluruh penjuru dunia. Sesuai dengan kata yang menyusunnya

Lebih terperinci

PROSEDUR TETAP PENGAMATAN EKSPRESI PROTEIN DENGAN METODE IMUNOSITOKIMIA

PROSEDUR TETAP PENGAMATAN EKSPRESI PROTEIN DENGAN METODE IMUNOSITOKIMIA Halaman 1 dari 7 FARMASI UGM Dokumen nomor : 0201200 Tanggal : 24 Maret 2009 URAIAN DIBUAT OLEH DIPERIKSA OLEH DIPERIKSA OLEH DISETUJUI OLEH Jabatan Staf Staf Supervisor Pimpinan Paraf Nama Aditya Fitriasari

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus 2009 (sampling sampai dengan embedding), Februari 2010 (sectioning), dan bulan Juli 2010 (pewarnaan),

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang uji sitotoksisitas rebusan daun sirsak (Annona muricata L)

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian tentang uji sitotoksisitas rebusan daun sirsak (Annona muricata L) BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian tentang uji sitotoksisitas rebusan daun sirsak (Annona muricata L) terhadap kultur primer sel otak baby hamster yang dipapar dengan dimetilbenz(α)antrase

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Desain Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimental murni laboratoris in vitro. B. Sampel Penelitian Subjek penelitian ini adalah Human Dermal Fibroblast,

Lebih terperinci

BASIC STEM CELL. Pembimbing : Dr. Safrizal Rahman, M.Kes, sp.ot,

BASIC STEM CELL. Pembimbing : Dr. Safrizal Rahman, M.Kes, sp.ot, BASIC STEM CELL Pembimbing : Dr. Safrizal Rahman, M.Kes, sp.ot, Introducing stem cells A life story Stem cell merupakan sel yang belum berdeferensiasi dan mempunyai potensi yang sangat tinggi untuk berkembang

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB III KERANGKA BERIKIR, KONSE AN HIOTESIS ENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Fakta menunjukkan bahwa proses penuaan terjadi kemunduran dan deplesi jumlah sel Langerhans di epidermis, yakni sel efektor imunogen

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan penelitian

BAB III METODE PENELITIAN. Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan penelitian BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian dan Analisis Data Rancangan penelitian yang digunakan adalah rancangan penelitian deskriptif. Data yang diperoleh disajikan secara deskriptif meliputi

Lebih terperinci

Pseudomonas fluorescence Bacillus cereus Klebsiella cloacae (Enterobacter cloacae) MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian

Pseudomonas fluorescence Bacillus cereus Klebsiella cloacae (Enterobacter cloacae) MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian 6 mudah pada medium nutrien sederhana (Pelczar dan Chan 1988). Escherichia coli bersifat motil atau non-motil dengan kisaran suhu pertumbuhannya adalah 10-40 o C, dengan suhu pertumbuhan optimum adalah

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. digunakan adalah penelitian Posttest Only Control Design ( Gliner,2000 ) dengan kultur in

BAB IV METODE PENELITIAN. digunakan adalah penelitian Posttest Only Control Design ( Gliner,2000 ) dengan kultur in BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian Eksperimental, dengan rancangan penelitian yang digunakan adalah penelitian Posttest Only Control Design ( Gliner,2000

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian

METODE PENELITIAN. Metode Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan selama 6 bulan, mulai Maret 2010 sampai dengan Agustus 2010 di laboratorium Terpadu Bagian Mikrobiologi Medik dan laboratorium Bakteriologi

Lebih terperinci

CANCER CHEMOPREVENTION RESEARCH CENTER FAKULTAS FARMASI UGM

CANCER CHEMOPREVENTION RESEARCH CENTER FAKULTAS FARMASI UGM Hal. 1 dari 5 nomor : -03-002-01 Tanggal : Mengganti nomor : -02-002-00 Tanggal : 26 Februari 2009 URAIAN DIBUAT OLEH DIPERIKSA OLEH DIPERIKSA OLEH DISETUJU OLEH Jabatan Staf Staf Supervisor Pimpinan Paraf

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Farmakologi. Departemen Farmasi FMIPA UI Depok selama tiga bulan dari Februari

BAB III BAHAN DAN CARA KERJA. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Farmakologi. Departemen Farmasi FMIPA UI Depok selama tiga bulan dari Februari BAB III BAHAN DAN CARA KERJA A. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Farmakologi Departemen Farmasi FMIPA UI Depok selama tiga bulan dari Februari sampai April 2008. B. ALAT

Lebih terperinci

EFEK EKSTRAK KLOROFORM BUAH Brucea javanica (L.) Merr. TERHADAP ANGIOGENESIS TUMOR PAYUDARA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus L.)

EFEK EKSTRAK KLOROFORM BUAH Brucea javanica (L.) Merr. TERHADAP ANGIOGENESIS TUMOR PAYUDARA TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus L.) SEMINAR NASIONAL PERHIPBA JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS TANJUNGPURA PONTIANAK, 2011 EFEK EKSTRAK KLOROFORM BUAH Brucea javanica (L.) Merr. TERHADAP ANGIOGENESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap tubuh karena akan mengalami proses detoksifikasi di dalam organ tubuh.

BAB I PENDAHULUAN. terhadap tubuh karena akan mengalami proses detoksifikasi di dalam organ tubuh. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Alkohol merupakan zat kimia yang dapat menimbulkan berbagai dampak terhadap tubuh karena akan mengalami proses detoksifikasi di dalam organ tubuh. Penggunaan alkohol

Lebih terperinci

BAB II. BAHAN DAN METODE

BAB II. BAHAN DAN METODE BAB II. BAHAN DAN METODE 2.1 Kultur Bakteri Pembawa Vaksin Bakteri Escherichia coli pembawa vaksin DNA (Nuryati, 2010) dikultur dengan cara menginokulasi satu koloni bakteri media LB tripton dengan penambahan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. untuk Microsoft Windows.

BAB III METODOLOGI. untuk Microsoft Windows. 18 BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni 2010 sampai Agustus 2011. Kegiatan pemeliharaan dan perlakuan hewan coba bertempat di Fasilitas Kandang

Lebih terperinci

POTENSI TRANSDIFERENSIASI SEL FIBROBLAS MENJADI SEL SARAF SECARA IN VITRO

POTENSI TRANSDIFERENSIASI SEL FIBROBLAS MENJADI SEL SARAF SECARA IN VITRO P-ISSN : 1978-225X; E-ISSN : 2502-5600 POTENSI TRANSDIFERENSIASI SEL FIBROBLAS MENJADI SEL SARAF SECARA IN VITRO Transdifferentiation Potency of Fibroblast Cell to Neuron Cell in Vitro Ekayanti M. Kaiin

Lebih terperinci

Air Panas. Isolat Murni Bakteri. Isolat Bakteri Selulolitik. Isolat Terpilih Bakteri Selulolitik. Kuantitatif

Air Panas. Isolat Murni Bakteri. Isolat Bakteri Selulolitik. Isolat Terpilih Bakteri Selulolitik. Kuantitatif 75 Lampiran 1. Metode Kerja L.1.1 Bagan kerja Air Panas - Isolasi dan Seleksi Bakteri Pemurnian Bakteri Isolat Murni Bakteri Uji Bakteri Penghasil Selulase Secara Kualitatif Isolat Bakteri Selulolitik

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN

BAHAN DAN METODE PENELITIAN 17 BAHAN DAN METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Embriologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi, dan Laboratorium Terpadu, Fakultas Kedokteran

Lebih terperinci

Gambar 1 Tanaman uji hasil meriklon (A) anggrek Phalaenopsis, (B) bunga Phalaenopsis yang berwarna putih

Gambar 1 Tanaman uji hasil meriklon (A) anggrek Phalaenopsis, (B) bunga Phalaenopsis yang berwarna putih BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Isolasi dan perbanyakan sumber inokulum E. carotovora dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian, Institut Pertanian

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan dan Alat Metode Penelitian Pembuatan Larutan Ekstrak Rumput Kebar

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian. Bahan dan Alat Metode Penelitian Pembuatan Larutan Ekstrak Rumput Kebar BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian. Penelitian dilaksanakan dari bulan Desember 2008 sampai dengan Mei 2009. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana

BAB III METODE PENELITIAN. Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana 38 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di laboratorium Plant Physiology and Culture Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan 2

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan 2 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan 2 perlakuan, yaitu pemberian zat pengatur tumbuh BAP yang merupakan perlakuan pertama dan

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE PENELITIAN

MATERI DAN METODE PENELITIAN MATERI DAN METODE PENELITIAN Waktu dan tempat penelitian Penelitian ini dilaksakan di Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Perlakuan

Lebih terperinci

EVALUASI PENGARUH VARIASI KONSENTRASI POLIVINIL ALKOHOL SEBAGAI SURFAKTAN TERHADAP PROFIL PELEPASAN MIKROPARTIKEL DEKSAMETASON MENGGUNAKAN HPLC

EVALUASI PENGARUH VARIASI KONSENTRASI POLIVINIL ALKOHOL SEBAGAI SURFAKTAN TERHADAP PROFIL PELEPASAN MIKROPARTIKEL DEKSAMETASON MENGGUNAKAN HPLC EVALUASI PENGARUH VARIASI KONSENTRASI POLIVINIL ALKOHOL SEBAGAI SURFAKTAN TERHADAP PROFIL PELEPASAN MIKROPARTIKEL DEKSAMETASON MENGGUNAKAN HPLC SKRIPSI Oleh: ANUGRAH TITIS SARI K 100130127 FAKULTAS FARMASI

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN METODE KULTUR EMBRYONIC STEM CELLS DARI EMBRIO HASIL FERTILISASI DAN PRODUKSINYA DARI EMBRIO PARTENOGENETIK MENCIT THOMAS MATA HINE

PENGEMBANGAN METODE KULTUR EMBRYONIC STEM CELLS DARI EMBRIO HASIL FERTILISASI DAN PRODUKSINYA DARI EMBRIO PARTENOGENETIK MENCIT THOMAS MATA HINE PENGEMBANGAN METODE KULTUR EMBRYONIC STEM CELLS DARI EMBRIO HASIL FERTILISASI DAN PRODUKSINYA DARI EMBRIO PARTENOGENETIK MENCIT THOMAS MATA HINE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. metode freeze drying kemudian dilakukan variasi waktu perendaman SBF yaitu 0

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. metode freeze drying kemudian dilakukan variasi waktu perendaman SBF yaitu 0 37 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian ini sampel komposit hidroksiapatit-gelatin dibuat menggunakan metode freeze drying kemudian dilakukan variasi waktu perendaman SBF yaitu 0 hari, 1 hari, 7 hari

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni sampai Desember 2013 dengan tahapan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni sampai Desember 2013 dengan tahapan 20 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni sampai Desember 2013 dengan tahapan kegiatan, yaitu pengambilan sampel, isolasi dan identifikasi bakteri

Lebih terperinci

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang ilmu pediatri dan ilmu Genetika Dasar.

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini mencakup bidang ilmu pediatri dan ilmu Genetika Dasar. 27 BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Ruang Lingkup Penelitian ini mencakup bidang ilmu pediatri dan ilmu Genetika Dasar. 4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini akan dilakukan di Pusat Penelitian Biomedik

Lebih terperinci

KAJIAN MORFOLOGI SALURAN PERNAPASAN TRENGGILING (Manis javanica) DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA TRAKHEA DAN PARU-PARU ASEP YAYAN RUHYANA

KAJIAN MORFOLOGI SALURAN PERNAPASAN TRENGGILING (Manis javanica) DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA TRAKHEA DAN PARU-PARU ASEP YAYAN RUHYANA KAJIAN MORFOLOGI SALURAN PERNAPASAN TRENGGILING (Manis javanica) DENGAN TINJAUAN KHUSUS PADA TRAKHEA DAN PARU-PARU ASEP YAYAN RUHYANA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 ABSTRAK Asep

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di laboratorium Plant Physiology and Culture

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di laboratorium Plant Physiology and Culture BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan di laboratorium Plant Physiology and Culture Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Maulana Malik

Lebih terperinci

METODE. A. Peremajaan Salmonella sp. B. Verifikasi Salmonella sp.

METODE. A. Peremajaan Salmonella sp. B. Verifikasi Salmonella sp. METODE Alur Penelitian Alur penelitian dan metode yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 6 tahapan, yaitu: peremajaan bakteri Salmonella sp., verifikasi bakteri Salmonella sp., isolasi fage,

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN D. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan adalah rendang iradiasi yang memiliki waktu penyinaran yang berbeda-beda (11 November 2006, DIPA 14 Juni 2007, dan no label 14 Juni

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan November 2006 sampai dengan Januari 2008. Penelitian bertempat di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi,

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. RANCANGAN PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang dilaksanakan dengan Rancangan Acak Lengkap Faktorial dua faktor yaitu faktor kombinasi larutan enzim

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Pemberian Vitamin E (α-tokoferol) dalam Media DMEM terhadap Konfluenitas Sel Ginjal Fetus Hamster yang Dikultur Primer Berdasarkan hasil penelitian dan analisis

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN. 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik.

BAB 4 METODE PENELITIAN. 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik. BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik. 4.2 Sumber Data Sampel dalam penelitian ini adalah usapan (swab) dari lesi mukosa mulut subyek

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Peralatan Persiapan Kandang Penelitian

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Peralatan Persiapan Kandang Penelitian 14 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai November 2011. Kegiatan pemeliharaan dan perlakuan hewan coba bertempat di fasilitas kandang hewan percobaan

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli 2007 sampai Juni 2008 di kandang percobaan Fakultas Peternakan dan di Bagian Patologi, Departemen Klinik Reproduksi

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Mei 2012. Pengamatan berat telur, indeks bentuk telur, kedalaman kantung udara, ketebalan kerabang, berat kerabang

Lebih terperinci

Metode Pengukuran Spektrofotometri (Bergmeyer et al. 1974) Pembuatan Media Heterotrof Media Heterotrof Padat. Pengaruh ph, Suhu, Konsentrasi dan

Metode Pengukuran Spektrofotometri (Bergmeyer et al. 1974) Pembuatan Media Heterotrof Media Heterotrof Padat. Pengaruh ph, Suhu, Konsentrasi dan 4 Metode Penelitian ini dilakukan pada beberapa tahap yaitu, pembuatan media, pengujian aktivitas urikase secara kualitatif, pertumbuhan dan pemanenan bakteri, pengukuran aktivitas urikase, pengaruh ph,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian 34 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni sampai dengan Desember 2007. Penelitian ini dilakukan pada beberapa tempat yaitu : pembuatan tepung kedelai dan

Lebih terperinci

Sampel air panas. Pengenceran 10-1

Sampel air panas. Pengenceran 10-1 Lampiran 1. Metode kerja Sampel air panas Diambil 10 ml Dicampur dengan media selektif 90ml Di inkubasi 24 jam, suhu 50 C Pengenceran 10-1 Di encerkan sampai 10-10 Tiap pengenceran di tanam di cawan petri

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian tentang pengaruh pemberian tepung Lumbricus rubellus terhadap kadar enzim transaminase hepar Rattus norvegicus yang terinfeksi Salmonella typhi

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Optimasi pembuatan mikrokapsul alginat kosong sebagai uji

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. 1. Optimasi pembuatan mikrokapsul alginat kosong sebagai uji BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN 1. Optimasi pembuatan mikrokapsul alginat kosong sebagai uji pendahuluan Mikrokapsul memberikan hasil yang optimum pada kondisi percobaan dengan

Lebih terperinci

Tabel 1. Kombinasi Perlakuan BAP dan 2,4-D pada Percobaan Induksi Mata Tunas Aksilar Aglaonema Pride of Sumatera Secara In Vitro

Tabel 1. Kombinasi Perlakuan BAP dan 2,4-D pada Percobaan Induksi Mata Tunas Aksilar Aglaonema Pride of Sumatera Secara In Vitro 11 agar. Zat pengatur tumbuh yang digunakan antara lain sitokinin (BAP dan BA) dan auksin (2,4-D dan NAA). Bahan lain yang ditambahkan pada media yaitu air kelapa. Bahan untuk mengatur ph yaitu larutan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Kelompok Peneliti Biologi Sel dan Jaringan, Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya

Lebih terperinci

URAIAN MATERI 1. Kultur sel tunggal Sejalan dengan kemajuan teknologi DNA, ilmuwan telah mengembangkan dan menyempurnakan metode untuk melakukan

URAIAN MATERI 1. Kultur sel tunggal Sejalan dengan kemajuan teknologi DNA, ilmuwan telah mengembangkan dan menyempurnakan metode untuk melakukan URAIAN MATERI 1. Kultur sel tunggal Sejalan dengan kemajuan teknologi DNA, ilmuwan telah mengembangkan dan menyempurnakan metode untuk melakukan kloning pada organisme multiseluler melalui kultur sel tunggal.

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul PENGARUH PENAMBAHAN. AIR KELAPA (Cocos nucifera) TERHADAP VIABILITAS KULTUR SEL

KATA PENGANTAR. penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul PENGARUH PENAMBAHAN. AIR KELAPA (Cocos nucifera) TERHADAP VIABILITAS KULTUR SEL KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Alhamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia sampai saat ini sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan

Lebih terperinci

Pendidikan Agama Katolik

Pendidikan Agama Katolik Pendidikan Agama Katolik Modul ke: 06Fakultas Psikologi MENSYUKURI ANUGERAH KEHIDUPAN Program Studi Psikologi Drs. Sugeng Baskoro, M.M KILAS BERITA : Di sebuah rumah sakit di London utara, para ilmuwan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Pertumbuhan dan Peremajaan Isolat Pengamatan Morfologi Isolat B. thuringiensis

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Pertumbuhan dan Peremajaan Isolat Pengamatan Morfologi Isolat B. thuringiensis 13 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi, IPB, dari bulan Oktober 2011 Mei 2012. Bahan Isolasi untuk memperoleh isolat B. thuringiensis

Lebih terperinci

II. MATERI DAN METODE PENELITIAN. 1.Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian

II. MATERI DAN METODE PENELITIAN. 1.Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 9 II. MATERI DAN METODE PENELITIAN 1.Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1.1. Materi Penelitian 1.1.1. Alat Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah cawan petri, tabung reaksi, autoklaf Hirayama,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat E. ictaluri Ikan Lele ( Clarias sp.)

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat E. ictaluri Ikan Lele ( Clarias sp.) BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian telah dilaksanakan di Laboratorium Balai Uji Standar Karantina Ikan Departemen Kelautan dan Perikanan di Jakarta dan Bagian Patologi, Departemen Klinik, Reproduksi

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN

BAB 3 METODE PENELITIAN BAB 3 METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental, postest only control group design. Postes untuk menganalisis perubahan jumlah purkinje pada pada lapisan ganglionar

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu 15 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di laboratorium dan rumah kaca Hama dan Penyakit dan rumah kaca Balai penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITTRO), Bogor; pada bulan Oktober

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. laboratoris in vivo pada tikus putih wistar (Ratus Norvegicus)jantan dengan. rancangan post test only control group design.

BAB III METODE PENELITIAN. laboratoris in vivo pada tikus putih wistar (Ratus Norvegicus)jantan dengan. rancangan post test only control group design. BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan eksperimental laboratoris in vivo pada tikus putih wistar (Ratus Norvegicus)jantan dengan rancangan post

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Biologi dan Laboratorium Biokimia, Departemen Kimia Fakultas Sains dan

BAB III METODE PENELITIAN. Biologi dan Laboratorium Biokimia, Departemen Kimia Fakultas Sains dan BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Biologi dan Laboratorium Biokimia, Departemen Kimia Fakultas Sains dan Teknologi,

Lebih terperinci

BAB 4 METODE PENELITIAN. 4.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimental laboratorik yang dilakukan secara in vitro.

BAB 4 METODE PENELITIAN. 4.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimental laboratorik yang dilakukan secara in vitro. 18 BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah eksperimental laboratorik yang dilakukan secara in vitro. 4.2 Sampel Penelitian dan Bahan Uji Sampel yang digunakan

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi 17 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung pada Januari

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian pengaruh ekstrak daun sirsak (Annona muricata L.) terhadap kadar glukosa darah dan histologi pankreas tikus (Rattus norvegicus) yang diinduksi

Lebih terperinci

III BAHAN DAN METODE

III BAHAN DAN METODE meliputi daerah Jawa, Kalimantan dan Sumatera. Tanaman Kilemo di daerah Jawa banyak ditemui pada daerah dengan ketinggian 230 700 meter di atas permukaan laut (mdpl). Tanaman ini terutama banyak ditemui

Lebih terperinci