BAB II TAO DALAM KONSEP AGAMA. definisi yang dikemukakan oleh Leonard Swidler dan Paul Mojzes 1. Definisi itu
|
|
- Hadian Makmur
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 BAB II TAO DALAM KONSEP AGAMA 2.1. Definisi Agama Definisi agama yang umum digunakan dalam studi keagamaan adalah definisi yang dikemukakan oleh Leonard Swidler dan Paul Mojzes 1. Definisi itu dapat disebut sebagai definisi 4 Cs. Keempat Cs tersebut adalah creed, code, cult, dan community-structure. Swidler dan Mojzes menjelaskan 4 Cs sebagai berikut: 1. Creed refers to the cognitive aspect of a religion, it is everything that goes into the explanation: of the ultimate meaning of life. 2. Code of behavior or ethics includes all the rules and customs of action that somehow follow from one aspect or another of the Creed. 3. Cult means all the ritual activities that relate the follower to one aspect or other of the transcendent, either directly or indirectly. Prayer is an example of the former, and certain formal behavior toward representatives of the transcendent, such as priests, is an example of the latter. 4. Community-structure refers to the relationship among the followers. This can vary widely, from a very egalitarian relationship, as among quakers, through a republican structure 1 Swidler, Leonard and Mojzes, Paul The Study of Religion in an Age Of Global Dialogue. Philadelphia: Temple University Press. Hlm
2 as Presbyterians have, to a monarchical structure, as with some Hasidic Jews vis-a-vis their Rebbe. Menurut Ahmad Syafi i Mufid, peneliti bidang keagamaan dari Badan Penelitian dan Diklat Keagamaan Republik Indonesia dengan merujuk kepada penjelasan John A Titaley dari Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga bahwa jika suatu institusi sosial itu telah memenuhi persyaratan ke-4 Cs itu, maka institusi sosial tersebut dapat disebut sebagai agama 2. Dijelaskan oleh Mufid, 4 Cs tersebut memiliki pengertian yaitu (1) Creed merupakan kepercayaan tentang sesuatu yang secara mutlak dianggap benar bagi kehidupan manusia. Kebenaran itu dapat berbentuk dewa atau Tuhan atau AIlah, akan tetapi dapat juga berbentuk yang bukan itu, seperti misalnya gagasan, kesenangan, dan sebagainya; (2) Code merupakan pedoman tata tindak (perilaku) yang timbul akibat adanya kepercayaan di atas. Maksudnya, tindakan manusia terjadi berdasarkan pemahaman atas kepercayaan di atas. Tindakan-tindakan ini termasuk kategori tindakan etis; (3) Cult merupakan upaya manusia untuk menyelaraskan dirinya dengan yang dipercayai tadi, baik sebagai cara untuk memahami kehendak-nya atau memperbaiki kembali kesalahan manusia yang tidak sesuai dengan kehendak kepercayaan tadi; (4) Community yakni adanya kenyataan suatu umat (komunitas) yang terkait dalam kepercayaan itu. 2 Titaley, John A. Tt. Hubungan Agama dan Negara dalam Menjamin Kebebasan Beragama di Indonesia. dalam Chandra Setiawan dan Asep Mulyana (ed). Kebebasan Beragama. Hlm
3 Sedangkan Professor John A Titaley dalam buku karyanya yang berjudul Religiositas Di Alinea Tiga 3 menjelaskan tentang cara yang paling positif untuk memperlakukan institusi social yang disebut agama itu adalah dengan menggunakan definisi agama yang fungsional bahwa agama itu sekurangsekurangnya memiliki 4 C yaitu Creed, Code, Cult, dan Community. Creed adalah pengakuan yang diyakini bahwa ada sesuatu yang disebut Yang Mutlak itu yang berpengaruh atas kehidupan manusia. Karena misterisunya Yang Mutlak itu sehingga dapat dibedakan antara yang disebut Theos dan yang disebut Non-Theos. Theos dari bahasa Yunani menunjuk kepada suatu illah, dewa, yang disebut Tuhan, atau Allah, atau siapa saja. Sedangkan yang Non-Theos, bisa berarti bukan illah, tetapi berupa gagasan, kekuatan, atau apa saja. Code yaitu seperangkat tindakan yang bersumber pada keyakinan dalam Creed tadi seperti harus berbuat kebajikan dan sebagainya. Cult yaitu ritus dan upacara yang dilakukan dalam hubungan dengan Creed tadi sebagai cara untuk menyelaraskan diri dengan isi Creed tadi, baik berupa memahami kehendak-nya atau memperbaiki hubungan yang rusak dengan-nya supaya mendapat ganjaran dan sebagainya. Community yaitu umat yang bersama-sama memiliki Creed, Code, dan Cult yang sama. Proses penetapan kategori agama oleh Pemerintah Indonesia dijelaskan oleh Sita Hidayah dalam Jurnal Kawistara, Vol. 2, No. 2, 17 Agustus 2012: sebagai berikut: There are two ways to reconstruct the condition of possibility of Agama. The first is namely the People s Assembly in which the discourse of 3 Titaley, John A Religiositas Di Alinea Tiga: Pluralisme, Nasionalisme, dan Transformasi Agama-Agama. Salatiga: Satya Wacana University Press. Hlm
4 agama was first established in That year The Ministry of Religions (formerly Kementerian Agama which later became the Ministry of Religious Affairs) proposed a restricted definition of agama. The idea was this: to be legitimated as an official religion, a particular religion should have a prophet and a holy book, and also be acknowledged internationally. In 1961, the Ministry of Religion (Menteri Agama) again proposed the perimeter of agama as indicating equal validity as gestured in the previous propositions. Agama as authorized by the Indonesian state includes requirements that it (1) be an encompassing way of life with concrete regulations, (2) a teaching about the oneness of God; (3) include a holy book, which codifies a message sent down to prophet(s) through a holy spirit; and (4) be led by a prophet. The state views all religions outside these limitations as tribal beliefs, and therefore are superstitious within the working frameworks of this discourse. With the Ministry of Home Affairs (Menteri Dalam Negeri) decree No. 477/74054 on November 18th 1978, the government explicitly states that the religions acknowledged in Indonesia are Islam, Protestantism, Catholicism, Hinduism and Buddhism. Dalam konsep sosiologi, agama termasuk bagian dari lembaga sosial yang memiliki sifat universal, tetapi bentuknya sangat bervariasi. Dalam perspektif sosiologis, agama bukan sebagai sesuatu yang transenden, melainkan sebagai sesuatu yang profan berdasarkan realitas sosial dalam memahaminya. Robert N. Bellah sebagaimana yang dikutip oleh Djamali 4 mendefinisikan agama dengan mengikuti Paul Tillich, yakni agama sebagai struktur bermakna yang digunakan manusia untuk menghubungkan dirinya dengan kepedulian-kepedulian utamanya. Parsudi Suparlan, dalam Roland Robertson 5 bahwa agama dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan 4 Djamali, R. Abdoel Pengantar Tata Hukum Indonesia. Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada. Hlm Suparlan, Parsudi dalam Ronald Robertson. Agama dalam Aplikasi dan Interpretasi Sosiologi. Jakarta: Rajawali Press. Hlm. v. 21
5 manusia dengan sesamanya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Dalam definisi ini, sebenarnya agama dilihat sebagai teks atau doktrin, sehingga keterlibatan manusia sebagai pendukung-nya tidak nampak tercakup di dalamnya. Karena itu, secara khusus, agama dapat didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi respon terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci. Menurut Emile Dukheim, agama merupakan salah satu kekuatan yang mampu membentuk tanggung jawab moral dalam individu pemeluknya untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang bersang-kuttan, bahkan semenjak kehadiran masyarakat manusia paling awal, agama menjadi demikian penting bagi para pemeluknya baik secara individual maupun secara kolektif. Dalam karyanya The Elementary Forms of The Religious Life, Dukheim mengatakan bahwa agama adalah suatu suatu sistem kesatuan dari keyakinan dan praktek-praktek yang bersifat relatif terhadap hal-hal yang secred, yakni segala sesuatu yang dihindari atau dilarang dan keyakinan-keyakinan dan praktek-praktek yang mengajarkan moral yang tinggi ke dalam suatu komuniti,yang disebut gereja dimana semua orang mengidentifikasikan diri pada-nya. 6 Menurut Canon, sebagaimana yang dikutip oleh Syamsul Arifin, memberikan batasan yang lebih longgar mengenai agama, sebagai berikut: Agama mungkin secara generik didefinisikan sebagai sistem simbol (seperti kata dan isyarat, cerita dan praktek, objek dan tempat) yang secara religius berfungsi, yaitu rangkaian sistem simbol yang digunakan oleh 6 Durkheim, Emile The Elementary Forms of Religious Life. New York: The Free Press. Hlm
6 partisipan untuk mendekat-kan diri kepada, hubungan yang benar dan sesuai dengan segala sesuatu yang dianggap realitas paling puncak. Meskipun terdapat berbagai ragam cara memahami dan mendefinisikan agama, satu hal yang penting ditekankan oleh Canon, dalam Syamsul Arifin bahwa semua tradisi agama menekankan pada suatu praktik keagamaan yang menuntut keterlibatan para pelakunya secara mendalam sehingga dapat mengembangkan kedekatan dengan apa yang diyakini sebagai Realitas Mutlak (Ultimate Reality). Hal inilah yang oleh Joachim Wach 7 disebut sebagai pengalaman keagamaan, yakni suatu tanggapan terhadap apa yang dihayati sebagai Realitas Mutlak. Pengalaman keagamaan dapat terwujud dalam tiga dimensi, yakni pemikiran keagamaan, peribadatan atau ritual keagamaan, dan kemasyarakatan atau sosial kemasyarakatan. Dalam konteks ini, simbol dapat mempertemukan antara dua realitas yang memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga banyak ilmuwan yang memandang simbol sebagai salah satu inti dalam sistim agama. Geertz, misalnya, memposisikan simbol sebagai hal pertama yang menentukan seluruh rangkaian dalam aktivitas keagamaan yang dijalani oleh manusia.hal ini terlihat pada definisi agama yang dirumuskan oleh Geertz 8 (1973: 90), yakni: Agama adalah suatu sistem simbol yang bertindak untuk memantapkan perasaan-perasa-an (moods) dan motivasi-motivasi secara kuat, menyeluruh dan bertahan lama pada diri manusia, dengan cara 7 Wach, Joachim Ilmu Perbandingan Agama: Inti dan Bentuk Pengamalan Keagamaan (Terj.). Djamanuri. Jakarta: Rajawali. Hlm Geertz, Clifford The Interpretation of Cultures. New York: Basic Books. Hlm
7 menformulasikan konsepsi-konsepsi mengenai suatu hukum (order) yang berlaku umum berkenaan dengan eksistensi (manusia), dan menyelimuti konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura tertentu yang mencer-minkan kenyataan, sehingga perasaan-perasaan dan motivasi-motivasi tersebut nampaknya se-cara tersendiri (unik) adalah nyata ada. Dengan demikian, simbol dalam agama mengandung pengertianpengertian sebagai sebuah wahana makna yang menghasilkan kecocokan bagi pelakunya. Sistim simbol agama secara inheren melekat dan dilekatkan maknamakna tertentu, yang kemudian membentuk suatu tradisi bagi para pelakunya. Kemudian manusia melakukan relasi secara lebih dekat dengan Realitas Mutlak melalui simbol-simbol yang dipandang memiliki makna tertentu. Nilai-nilai budaya yang menjadi spirit dan roh berasal dari kepercayaan tradisional yang lahir dan telah ada sejak lama, bahkan telah ada sebelum agamaagama besar masuk ke wilayah Nusantara, seperti Hindu, Budha, Kristen, Katholik, Islam, dan Konghucu. Kepercayaan keagamaan ini bersifat lokal, bukan aliran kepercayaan sebagaimana yang dibina oleh Kementerian Pendidikan dan kebudayaan, dan bukan agama-agama besar sebagaimana yang dibina oleh Kementerian Agama, melainkan agama atau kepercayaan lokal yang dulunya sudah pernah ada dan hingga sekarang tetap bertahan atau berkembang terus serta dianut oleh sekelompok masyarakat di lingkungan setempat. Dalam penelitian ini, menurut analisis peneliti bahwa Tao diposisikan sebagai agama lokal yang dimaksud adalah suatu kesatuan sistem keyakinan dan ritual yang dianut oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasikan dan memberi respon terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci. Kelompok masyarakat Etnik Tionghoa yang 24
8 meyakini Tao sebagai agama nenek moyang yang berasal dari ajaran Kitab Suci Dao De Tjing. Pemahaman agama seperti ini dapat diperuntukkan bagi kepercayaan lokal yang memiliki seperangkat gagasan atau ide-ide yang dijadikan sebagai doktrin untuk bertindak secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Kepercayaan lokal ini bukan aliran kepercayaan sebagaimana yang dibina oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, dan bukan pula sebagai agama-agama besar, melainkan kepercayaan yang sudah pernah adsejak dulu dan tetap bertahan hingga sekarang karena dianut oleh sekelompok masyarakat di lingkungan setempat. Agama dalam pengertian seperti ini dapat dikatakan sebagai religi, sebagaimana yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat 9 bahwa tiap religi merupakan suatu sistem yang terdiri dari 4 (empat) komponen, yaitu (1) emosi keagamaan yang menyebabkan manusia itu bersikap relijius; (2) sistem keyakinan yang mengandung segala keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib (supernatural), serta segala nilai, norma dan ajaran dari religi yang bersangkutan; (3) sistem ritus dan upacara yang merupakan usaha manusia untuk mencari hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa, atau mahlukmahluk halus yang mendiami alam gaib; (4) umat atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan tersebut (dalam komponen 2), dan yang melaksanakan sistem ritus dan upacara tersebut (dalam komponen 3). Dengan menggunakan istilah religi, Koentjaraningrat 10 membedakan tiga pengertian, yaitu (1) agama dipakai untuk menyebut semua agama yang diakui secara resmi dalam negara kita: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, dan 9 Koentjaraningrat Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan. Cet. VI. Jakarta: PT. Gramedia. 10 Ibid. 25
9 Buddha, (2) religi untuk sistem-sistem yang tidak atau belum diakui secara resmi, seperti Konghucu, Seventh Day Advent, Gereja Pinkster, dan gerakan-gerakan kebatinan, dan sebagainya, (3) kepercayaan yang mempunyai arti yang khas, yaitu, komponen kedua dalam tiap agama maupun religi (sistem keyakinan yang mengandung segala keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib, supernatural, serta segala nilai, norma dan ajaran dari religi yang bersangkutan). Agama merupakan suatu ajaran yang berasal dari Tuhan yang berisikan tentang norma- norma yang berfungsi menjadi acuan bagi perilaku manusia di dunia ini. Agama-agama yang berkembang dalam masyarakat, dapat dipandang dari perspektif teologis sekaligus sosiologis. Namun demikian kedua perspektif ini akan bertemu dan bermuara pada satu hal yang sama yaitu masyarakat itu sendiri. Bahkan agama merupakan suatu ciri kehidupan sosial manusia yang universal oleh karena semua masyarakat memiliki suatu cara berfikir dan pola perilaku yang layak disebut sebagai agama atau dipandang sebagai sikap religius yang diwujudkan dalam simbol, citra, kepercayaan dan nilai-nilai spesifik guna menunjukkan atau memahami eksistensi keberadaan dirinya dalam kehidupan ini 11. Keterkaitan erat antara kehidupan manusia dan keberlanjutan agama dalam suatu masyarakat menunjukkan saling ketergantungan keduanya dalam membangun realitas obyektif dan subyektif manusiawi dalam sejarah suatu 11 Sonderson, Stephen K Macrosociology. (terj.). Farid Wajidi dkk. Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan terhadap Realitas Sosial. Jakarta: Rajawali Press. Hlm
10 masyarakat 12 yakni yang duniawi dan yang ilahi dalam kepercayaan dan perilaku personal-personal manusia anggota masyarakat tersebut. Sebagaimana dinyatakan oleh Thomas Luckmann 13, bahwa agama merupakan kapasitas organisme manusia untuk memuliakan hakikat biologisnya melalui pembangunan semesta-semesta makna yang obyektif, mengikat secara moral, dan meliputi budaya. Karena itu agama bukan saja fenomena sosial (seperti pendapat Durkheim) tetapi bahkan adalah fenomena antropologi par-excellence. Teristimewa agama itu disamakan dengan transendensi diri simbolik, sehingga segala sesuatu yang benar-benar manusiawi dengan demikian adalah religius. Menurut Sonderson 14 harus ada tiga elemen pokok yang menunjang terbentuknya definisi agama, yaitu: a. Agama selalu meliputi seperangkat ritual atau praktek maupun seperangkat kepercayaan, di mana kepercayaan ritual itu terorganisir secara sosial dan diberlakukan oleh anggota-anggota masyarakat atau beberapa segmen masyarakat. b. Kepercayaan-kepercayaan yang bersangkutan dipandang benar hanya berdasarkan keyakinan, sehingga pada umumnya tidak ada keinginan memvaliditaskan secara empirik karena tidak ada sangkut pautnya dengan pembuktian dan kesahihan ilmiah. c. Agama mencakup konsep dunia eksistensi supernatural yang ada di atas dan di balik dunia sehari-hari yang disaksikan dan alamiah. 12 Berger, Peter L The Secred Canopy. (terj.). Hartono. Langit Suci: Agama Sebagai Realitas Sosial. Jakarta: LP3ES. Hlm Ibid. Hlm Sonderson, Stephen K. Op.cit. Hlm
11 Agama dalam kehidupan manusia dapat dipahami dan diamalkan menurut atau sesuai dengan pemahaman dan pengalaman pemeluk agama tersebut. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Wach bahwa pengalaman keagamaan dapat terwujud dalam tiga dimensi. Ketiga dimensi pengalaman keagamaan tersebut mencakup: dimensi pemikiran keagamaan, dimensi peribadatan atau ritual keagamaan, dan dimensi kemasyarakatan atau sosial kemasyarakatan 15. Berangkat dari berbagai pengertian agama di atas, dapat digarisbawahi bahwa agama adalah bagian yang penting dan sentral di dalam kehidupan manusia, baik pada tingkat individu maupun masyarakat. Agama secara hakiki mengandung unsur-unsur yang suci dan ilahi yang dapat menolong manusia untuk memaknai kehidupannya di dunia dalam relasi yang harmonis dengan Tuhan, sesama manusia, dan lingkungan alamnya. Di samping itu agama adalah bagian dari struktur sosial masyarakat. Sifat historis dan empirik agama ini dapat dilihat dari fungsinya di dalam masyarakat. Salah satu fungsi sosial agama menurut Durkheim adalah menjamin daya rekat masyarakat (social cohesion). Oleh karena itu, sesungguhnya pengertian agama lebih tepat didekati sebagai keagamaan, oleh karena setiap tindakan manusia dan masyarakat yang mengakui adanya unsur-unsur yang suci dan ilahi dalam kehidupan tidak bisa disangkal adalah tindakan religius. Dalam penelitian ini, agama dipahami sebagai bagian yang integral dengan kebudayaan masyarakat penganutnya yang terwujud dalam bentuk pandangan hidup, nilai-nilai sosial, dan tradisi-tradisi. 15 Wach, Joachim. Op.cit
12 Kehidupan beragama dipandang sebagai fenomena sosial yang ditimbulkan oleh agama dan penyikapan masyarakat terhadap agama itu sendiri 16. Fenomena sosial tersebut dapat kita kategorikan dalam dua hal, yaitu Pertama, fenomena sosial yang ditimbulkan oleh agama berupa struktur sosial, pranata sosial, dan dinamika masyarakat. Kedua, sikap masyarakat terhadap agama, seperti pola pemahaman, stereotype komitmen dan tingkat keberagamaan, perilaku sosial sebagai manifestasi keyakinan doktrin agama. Fenomena sosial itu dapat kita gunakan untuk mendeskripsikan bagaimanakah struktur sosial, pranata sosial, dan dinamika sosial komunitas umat tridharma sebagai refleksi keagamaan mereka. Dalam kehidupan beragama menurut konsep Wach yaitu bahwa agama adalah sistem kepercayaan, mempunyai suatu sistem kaidah yang mengikat penganutnya atau peribadatan, dan mempunyai sistem perhubungan dan interaksi sosial atau kemasyarakatan. Sedang dalam pengalaman keagamaan menurut Wach dapat terwujud dalam tiga aspek yaitu aspek kepercayaan, aspek peribadatan, dan aspek kemasyarakatan 17. Karena itu, dalam hal ini akan dilihat tentang agama dalam ketiga aspek tersebut, sehingga tidak hanya pada aspek kepercayaan saja. Dimensi pemikiran diterapkan untuk mengungkap tentang materi pembinaan dalam pemikiran atau keyakinan keagamaan. Pada dimensi ini akan mencakup konsepsi ketuhanan, sifat-sifat Tuhan, dewa, makhluk halus, hakekat hidup sesudah mati. Sistem keyakinan erat hubungannya dengan sistem upacara 16 Suprayogo, Imam. dan Tabrani. Op.cit. Hlm Wach. Op.cit
13 serta menentukan tata urut dari unsur dan rangkaian acara serta peralatan yang dipakai dalam upacara 18. Dimensi peribadatan merupakan pengamalan keagamaan yang nyata yaitu suatu tanggapan total mendalam atau integritas atas Tuhan. Pada dimensi ini akan digunakan untuk pengungkapan materi pembinaan dalam aspek ritual atau peribadatan. Sedang upacara/ritual ini sebuah sistem upacara yang terdiri atas aneka macam upacara seperti berdoa, bersujud, berkurban, bersesaji, berpuasa dan lainnya. Beberapa jenis upacara keagamaan tersebut ada yang dilaksanakan secara siklus atau berkala, dan ada pula upacara yang dilakukan hanya sekali waktu atau tidak berkala 19. Dimensi yang ketiga, yaitu persekutuan atau organisasi. Pada dimensi ini sebenarnya terbentuk karena adanya dimensi pemikiran dan dimensi peribadatan. Persekutuan atau kelompok ini bisa berbentuk kekerabatan, komunitas, dan organisasi religius. Salah satu organisasi religius ini bisa berbentuk suatu organisasi penyiaran agama 20. Kehidupan keagamaan erat hubungannya dengan masalah kepercayaan. Menurut Kuntjaraningrat kepercayaan adalah suatu keyakinan terhadap konsepsi tentang Tuhan, Dewa, sifat-sifat Tuhan, dunia roh dan akherat serta segala nilai, norma maupun ajaran dari religi yang bersangkutan 21. Sistem kepercayaan erat berhubungan dengan ritus dan upacara serta menentukan tata urut dari unsur- 18 Koentjaraningrat Budaya Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Hlm Ibid. Hlm Ibid. Hlm Ibid. Hlm
14 unsur rangkaian upacara serta Koentjaraningrat, peralatan upacara 22. Sistem upacara merupakan manifestasi dari religi. Sistem upacara meliputi berbagai upacara seperti berdo a, bersujud, bersaji, berkorban, berpuasa, dan sebagainya 23. Berbicara tentang negara kita akan melihat bahwasanya negara memiliki sejarah panjang secara genus, yang dipengaruhi oleh perkembangan zaman dan memiliki kekhususannya sendiri. Dan akhirnya negara modern adalah hasil dari proses historis tersebut untuk menemukan suatu bentuk institusi yang terorganisasikan dasar-dasar penggunaan kekuasaan, salah satu bentuk akhirnya dikenal sebagai negara kebangsaan 24. Anasir umum tentang negara dewasa ini mensyaratkan sejumlah entitas yang harus dipenuhi ketika negara itu berdiri. Pertama, adanya suatu wilayah. Kedua, adanya warga negara (staatsnationalen,staasburger) atau bangsa-bangsa (staatsvolk). Ketiga, adanya suatu pemerintahan yang berdaulat 25. Soepomo dengan teori negara integralistik-nya, berpendapat bahwa negara dengan karakteristik sebagai organisasi kekuasaan dengan susunan masyarakat yang bersifat integral seluruh anggota yang tergabung di dalamnya berhubungan erat satu sama lain dan merupakan satu persatuan masyarakat yang organis. Atau dapat disimpulkan seorang anggota negara - dalam hal ini warga negara - memiliki korelasi yang erat dengan negara dalam suatu relasi kekuasaan. 22 Ibid. Hlm Ibid. Hlm. 24 Haryono. Op.cit.Hlm Utrecht, E Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Cetakan Ke-empat. Jakarta: Ichtiar. 31
15 Agama menjadi suatu fokus bahasan yang menarik bagi setiap orang dan hal ini berlangsung sejak awal manusia berada di dunia, tidak hanya para filsuf era Yunani hingga Freud, semua tertantang untuks membicarakan tentang konsepsi agama. Herodotus ( BC) yang menjelaskan Dewa Amon dan Horus yang diyakini oleh masyarakat Mesir dianggapnya memiliki persamaan dengan Dewa Zeus dan Apollo yang dipuja di Yunani, pemikiran Herodotus ini menukilkan bahwa kemunculan teori-teori atau konsepsi tentang agama telah dimulai sejak lama. Namun baru pada medio pertengahan abad ke-19 hingga awal abad ke-20 kaum intelektual ingin melakukan investigasi yang mendalam tentang agama dengan mengaplikasikan pengetahuan ilmiah seperti studi-studi arkeologi, sejarah, antropologi, etnografi, dan mitologi yang sangat mengedepankan bukti-bukti empiris yang mungkin tidak ditemukan dalam teologi. Melalui bahasa, agama yang berkembang dalam suatu sistem masyarakat dapat diketahui, bila nilai-nilai moral didalamnya merupakan hasil olah wicara dari anggota masyarakat tersebut dengan mempersonifikasi benda-benda di sekitar mereka sebagai Dewa atau Tuhan, seperti yang terjadi pada orang-orang Yunani. Contoh, dari asal kata Appolo berarti matahari dan Daphen yang berarti fajar, hingga kemudian ekstensifikasi makna timbul akibat penyakit bahasa (dissease of language) menjadi nama Dewa Appolo dan Dewi Daphne. Antropolog Edward Burnet Tylor menilai untuk memahami agama kita harus menggunakan pendekatan sejarah, serta penekanan pada etnologi dan etnografi. Tylor menyatakan bahwa tidak hanya bahasa yang menyokong 32
16 kelahiran agama dalam suatu masyarakat, agama lebih dari sekedar suatu kesalahan bahasa dalam aplikasinya. Agama lebih mendekati dengan keyakinan manusia untuk percaya pada mahluk spiritual, Tylor menyadari karakteristik agama esensinya adalah animisme (berasal dari bahasa latin, anima, berarti roh). Agama berarti mempercayai akan adanya anima (roh) yang bersifat sakral, transeden, dan memiliki suatu realitas kesempurnaan yang berbeda dengan manusia. Seiring dengan perjalanan peradaban manusia dan perkembangan logika berpikir animisme berkembang menjadi politeisme dalam mitologi Yunani (masyarakat dunia lainnya), hingga mencapai kepercayaan pada wujud Tuhan tertinggi yang muncul pada agama-agama peradaban tinggi laiknya Yahudi dan Kristen 26 (Pals, 2001:46). Mircea Elliade dalam bukunya yang berjudul The Sacred and The Profane mengungkapkan teorinya tentang asal-usul agama, untuk memahami agama kita harus mengetahui apa yang terjadi pada masa sebelum peradaban modern. Bagi masyarakat purba (archaic people) terdapat kehidupan yang didasarkan pada dua bidang yang berbeda, yakni bidang sakral dan bidang profan. Bidang sakral (suci), adalah wilayah supernatural, hal-hal yang luar biasa, mengesankan dan penting. Sementara bidang profan bersifat kontraris dengan bidang sebelumnya, bidang profan bersifat fana, yang menghilang dan mudah pecah, penuh bayang-bayang. Maka yang sakral bersifat abadi, penuh dengan 26 Pals, Daniel L Seven Theories of Religion. (Dari Animisme E.B.Tylor, Materalisme Karl Marx Hingga Antropologi Budaya C.Geertz). Yogyakarta: Penerbit Qalam. Hlm
17 substansi dan realitas keteraturan dan kesempurnaan dari dewa atau sang pencipta, sedang profan adalah wilayah mahluk, yang dapat berubah-ubah, dan sering kacau. Elliade 27 kemudian menambahkan pendapatnya dalam karya selanjutnya Patterns in Comparative Religion Dia percaya akan independensi agama, yang menurutnya tidak dapat dijelaskan melalui perspektif diluar fenomena keagamaan itu sendiri: Hanya akan dianggap demikian jika ia dipegang menurut tingkatannya sendiri, yakni, jika ia dipelajari sebagai sesuatu yang religius. Mencoba untuk menangkap esensi dari fenomena semacam ini dengan alat fisiologi, psikologi, sosiologi, ekonomi, bahasa, atau studi yang lain adalah salah; ia kehilangan suatu unsur yang unik dan tak dapat direduksi di dalamnyaunsur yang sakral. Elliade meyakini bahwa pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh para ahli dengan menggunakan pendekatan ilmiah, akan mereduksi makna dari agama itu sendiri. Seperti yang kita tahu pendekatan ilmiah melalui serangkaian disiplin ilmu pengetahuan hanya mengedepenkan objektifitas dari bukti-bukti empiris terhadap keberadaan Tuhan, dimana sains adalah cara paling handal untuk mengungkapkan kebenaran, sementara agama adalah kekuatan terbesar untuk menciptakan makna 28 Dan dari pendekatan ilmiah segala dogmatika teologis yang 27 Elliade, Mircea Patterns in Comparative Religion (Terj.Rosemary Sheed). New York: Meridian Books. dalam Daniel L.Pals Seven Theories of Religion (Dari Animisme E.B.Tylor, Materialisme Karl Marx, Hingga Antropologi Budaya C.Geertz). Yogyakarta: Penerbit Qalam. Hlm. xiii. 28 Capra, Fritjof: 2003, The Tao of Physics: Menyingkap Kesejajaran Fisika Modern dan Mistisme Timur. Jakarta: Jalasutra. Hlm
18 harus dipercayai dan diyakini oleh umat mampu dibuktikan, ekstremnya ekspektasi akan keberadaan Tuhan dapat dilihat secara kasat mata. Beberapa pendapat yang diungkap oleh tokoh-tokoh diatas memberikan gambaran bahwa munculnya agama sepanjang perkembangan peradaban manusia memang diawali dengan adanya keyakinan terhadap suatu wujud yang sakral, diluar keberadaan manusia, yang tidak terjangkau dengan nalar. Religiusitas seseorang pemeluk agama (umat) tidak dapat dicampuri oleh negara melalui interpretasi normatif, negara tidak dapat mengalienasi keberadaan agama dan mereduksi hak-hak umat hanya karena deskripsi suatu agama tertentu berbeda dengan spesifikasi umum. 35
AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL. Oleh : Erna Karim
AGAMA dan PERUBAHAN SOSIAL Oleh : Erna Karim DEFINISI AGAMA MENGUNDANG PERDEBATAN POLEMIK (Ilmu Filsafat Agama, Teologi, Sosiologi, Antropologi, dan Ilmu Perbandingan Agama) TIDAK ADA DEFINISI AGAMA YANG
Lebih terperinciMANUSIA DAN AGAMA KOMPETENSI DASAR
MANUSIA DAN AGAMA KOMPETENSI DASAR : Menganalisis religiositas manusia Mendeskripsikan teori, unsur, pengertian, dan klasifikasi agama INDIKATOR : Mendeskripsikan hubungan manusia dan agama Mendeskripsikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Menurut Amin Abdullah, studi mengenai agama-agama ini bertujuan untuk
BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1 Latar Belakang Permasalahan Pada akhir abad 19, mulai berkembang sebuah disiplin ilmu baru yang terpisah dari disiplin ilmu lainnya. Pada awal perkembangannya ilmu
Lebih terperinciAGAMA: FENOMENA UNIVERSAL
AGAMA: FENOMENA UNIVERSAL Bukti-buktinya: Banyaknya orang yang beragama atau semua orang (tanpa kecuali) memeluk agama. Robert M. Bellah menyebut adanya agama yang dinamakan Pseudo Religion atau Civil
Lebih terperinciBAB IV PENUTUP. dengan masuknya etnik Tionghoa di Indonesia. Medio tahun 1930-an dimulai. dan hanya mengandalkan warisan leluhurnya.
BAB IV PENUTUP 1.1. Simpulan Agama Tao masuk dan berkembang di Indonesia sejak abad 6 SM seiring dengan masuknya etnik Cina di wilayah Nusantara. Agama Tao diyakini berasal dari Kaisar Kuning (Huang Di)
Lebih terperinciBAB II AGAMA DALAM PRESPEKTIF FILOSOFIS
21 BAB II AGAMA DALAM PRESPEKTIF FILOSOFIS A. Profan dan Sakral 1. Pengertian Profan dan Sakral Profan adalah sesuatu yang biasa, yang bersifat umum dan dianggap tidak penting. Sedangakan sakral adalah
Lebih terperinciSOSIOLOGI AGAMA PRODI PENDIDIKAN SOSIOLOGI SEMESTER VI PERTEMUAN I OLEH: AJAT SUDRAJAT
SOSIOLOGI AGAMA PRODI PENDIDIKAN SOSIOLOGI SEMESTER VI PERTEMUAN I OLEH: AJAT SUDRAJAT AGAMA DALAM KAJIAN ILMIAH (1) Agama sudah menjadi fenomena universal. Agama menjadi bahan pemikiran para penganutnya
Lebih terperinciBAB II KAJIAN TEORITIS
BAB II KAJIAN TEORITIS Pada BAB ini akan menjelaskan mengenai pengenalan totem yang dipakai berdasarkan pemahaman dari Emile Durkheim dan Mircea Eliade. Pemahaman mereka mengenai totem beserta dengan fungsinya,
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. Dari rangkaian Uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya,
BAB V PENUTUP Dari rangkaian Uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, maka pada bab terakhir ini penulis akan menyimpulkan fenomena-fenomena sosial mengenai pemahaman Komunitas Bupolo di Buru
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dari beragamnya kebudayaan yang ada di Indonesia. Menurut ilmu. antropologi, (dalam Koentjaraningrat, 2000: 180) kebudayaan adalah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat majemuk yang memiliki keanekaragaman di segala aspek kehidupan. Keanekaragaman tersebut terlihat dari beragamnya kebudayaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. I.1. Permasalahan. I.1.1. Latar Belakang Masalah
1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Permasalahan I.1.1. Latar Belakang Masalah Setiap manusia memiliki pengalaman dalam kehidupannya yang dihasilkan melalui perjumpaan dengan berbagai peristiwa. Perjumpaan tersebut
Lebih terperinciB A B V P E N U T U P. Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan
5.1. Kesimpulan B A B V P E N U T U P Fakta-fakta dan analisis dalam tulisan ini, menuntun pada kesimpulan umum bahwa integrasi sosial dalam masyarakat Sumba di Kampung Waiwunga, merupakan konstruksi makna
Lebih terperinciBAB II TELAAH TEORITIS ANIMISME DALAM MASYARAKAT. Nusak Dengka, dan makna perayaan Limbe dalam masyarakat tersebut.
BAB II TELAAH TEORITIS ANIMISME DALAM MASYARAKAT Bab ini merupakan pembahasan atas kerangka teoritis yang dapat menjadi referensi berpikir dalam melihat masalah penelitian yang dilakukan sekaligus menjadi
Lebih terperinciKELAHIRAN SOSIOLOGI Pertemuan 2
KELAHIRAN SOSIOLOGI Pertemuan 2 SOSIOLOGI??? APA MANFAAT LETAK LAHIRNYA SOSIOLOGI Sosiologi lahir manakala muncul perhatian terhadap masyarakat karena perubahan yang terjadi Terdapat peristiwa besar di
Lebih terperinciMenurut penerbitnya, buku Studying Christian Spirituality ini adalah
Tinjauan Buku STUDYING CHRISTIAN SPIRITUALITY Jusuf Nikolas Anamofa janamofa@yahoo.com Judul Buku : Studying Christian Spirituality Penulis : David B. Perrin Tahun Terbit : 2007 Penerbit : Routledge -
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. Llabel adalah bagian dari sebuah barang yang berupa keterangan (kata-kata) tentang
BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Landasan Teori 2.1.1. Pengertian Label Halal Label adalah sejumlah keterangan pada kemasan produk. Secara umum, label minimal harus berisi nama atau merek produk, bahan baku,
Lebih terperinciModel-model dari mitos asal usul orang Sasak dalam tembang Doyan Neda tersebut menggambarkan bahwa di dalam mitos terdapat suatu keteraturan tentang
BAB V KESIMPULAN Permasalahan pertama yang berusaha diungkap melalui penelitian ini adalah membuktikan dan sekaligus mempertegas pernyataan Levi-Strauss, yang mengatakan bahwa mitos asal usul orang Sasak
Lebih terperinciBAB I. Pendahuluan. Trap-trap di desa Booi kecamatan Saparua, Maluku Tengah.Booi merupakan salah satu
BAB I Pendahuluan I. Latar Belakang Tesis ini menjelaskan tentang perubahan identitas kultur yang terkandung dalam Trap-trap di desa Booi kecamatan Saparua, Maluku Tengah.Booi merupakan salah satu Negeri
Lebih terperinciBAB IV KONSEP DASAR AGAMA EMILE DURKHEIM
BAB IV KONSEP DASAR AGAMA EMILE DURKHEIM A. Agama dalam Pendekatan Sosiologi Agama merupakan hal penting dalam kehidupan bermasyarakat. Secara garis besar studi agama dalam kajian antropologi dapat dikategorikan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mengalami perubahan sesuai dengan dinamika peradaban yang terjadi. Misalnya,
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kebudayaan adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan dan masyarakat akan selalu berkembang dan akan mengalami perubahan
Lebih terperinciMAKNA KULTURAL RAMBUT GIMBAL ALAMI (BOK GEMPEL) DALAM SISTEM KEPERCAYAAN ORANG BALI. Bram Setiawan
MAKNA KULTURAL RAMBUT GIMBAL ALAMI (BOK GEMPEL) DALAM SISTEM KEPERCAYAAN ORANG BALI Bram Setiawan Jurusan Antropologi Fakultas Sastra Universitas Udayana Abstract The phenomenon of natural dreads (bok
Lebih terperinciBAB V. Penutup. GKJW Magetan untuk mengungkapkan rasa syukur dan cinta kasih karena Yesus
BAB V Penutup 5.1 Kesimpulan dan Refleksi Upacara slametan sebagai salah satu tradisi yang dilaksanakan jemaat GKJW Magetan untuk mengungkapkan rasa syukur dan cinta kasih karena Yesus sebagai juruslamat
Lebih terperinciKERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENGARAH
41 KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENGARAH Kerangka Berpikir Kebudayaan adalah sebuah pola dari makna-makna yang tertuang dalam simbol-simbol yang diwariskan melalui sejarah. Kebudayaan adalah sebuah
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. agama-agama asli (agama suku) dengan pemisahan negeri, pulau, adat yang
1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Keberagamaan orang Maluku, dapat dipahami melalui penelusuran sejarah yang memberi arti penting bagi kehidupan bersama di Maluku. Interaksiinteraksi keagamaan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia, mitos dan ritual saling berkaitan. Penghadiran kembali pengalaman
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ritual merupakan suatu proses pelaksanaan tradisi. Meskipun sudah ada ritual tanpa mitos-mitos dalam beberapa periode jaman kuno. Dalam tingkah laku manusia,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. keseluruhan pengertian, nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan strukturstruktur
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kebudayaan merupakan sesuatu yang turun-temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian,
Lebih terperinciALLAH, UNIVERSALITAS, DAN PLURALITAS
ALLAH, UNIVERSALITAS, DAN PLURALITAS Achmad Jainuri, PhD IAIN Sunan Ampel, Surabaya Abstraksi Harold Coward menulis sebuah buku menarik, Pluralism Challenge to World Religions. Gagasan pluralisme dewasa
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pengertian Pengalaman Beragama. Pengalaman beragama menurut Glock & Stark (Hayes, 1980) adalah
13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PENGALAMAN BERAGAMA 1. Pengertian Pengalaman Beragama Menurut Jalaluddin (2007), pengalaman beragama adalah perasaan yang muncul dalam diri seseorang setelah menjalankan ajaran
Lebih terperinciBAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN
BAB II TEORI SOSIOLOGI PENGETAHUAN Pada umumnya manusia dilahirkan seorang diri. Namun demikian, mengapa manusia harus hidup bermasyarakat. Manusia tanpa manusia lainnya pasti akan mati. Bayi misalnya,
Lebih terperinciBAB II PENDEKATAN TEORITIS
BAB II PENDEKATAN TEORITIS Beberapa teori akan dibahas dalam Bab ini sebagai bagian yang diangkat dari beberapa literatur yang mengulas pemahaman masyarakat tentang kebudayaan dan pendapat para ahli atau
Lebih terperinciBAB VI PENUTUP VI.1. Kesimpulan Data.
219 BAB VI PENUTUP Dari hasil analisa terhadap ulos dalam konsep nilai inti berdasarkan konteks sosio-historis dan perkawinan adat Batak bagi orang Batak Toba di Jakarta. Juga analisa terhadap ulos dalam
Lebih terperinciMANUSIA dan AGAMA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI. Pertemuan III FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2014
MANUSIA dan AGAMA DALAM PERSPEKTIF SOSIOLOGI Pertemuan III FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2014 Agama adalah salah satu bentuk kontruksi sosial. Tuhan, ritual, nilai, hierarki keyakinankeyakinan,
Lebih terperinciPengertian/Definisi Politik Terkait dengan masalah Kekuasaan/Pengaruh Terkait pula dengan negara Menentukan tujuan, pengambilan keputusan, dan impleme
Ada tiga hal penting yang perlu kita tanyakan pada diri kita; Yakni: Apa yang perlu kita ketahui dan pahami tentang Sosiologi dan Politik? Mengapa kita perlu mengetahui dan memahami Sosiologi dan Politik?
Lebih terperinciBAB II KERANGKA TEORI
BAB II KERANGKA TEORI A. Pengertian Agama Agama dapat diartikan sebagai ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) kepada Tuhan Yang Mahakuasa, tata peribadatan, dan tata kaidah yang bertalian
Lebih terperinciBAB V ANALISIS. Hindu merupakan suatu hewan yang dihormati dan disucikan. beragama tidak dapat dilepaskan dari bendanya.
BAB V ANALISIS A. Sakral dan Profan Pengertian sakral yaitu hal yang lebih dirasakan dari pada yang dilukiskan. Misalnya suatu benda mengandung nilai sakral atau nilai profan, dalam masyarakat terdapat
Lebih terperinciCONTOH BAHAN AJAR. A. TOPIK : PENGERTIAN dan RUANG LINGKUP SOSIOLOGI AGAMA
CONTOH BAHAN AJAR A. TOPIK : PENGERTIAN dan RUANG LINGKUP SOSIOLOGI AGAMA 1. Pengantar Pemahaman Sosiologi tentang masyarakat bagaimanapun juga dalamnya dan detailnya tidak akan lengkat tanpa mengikut
Lebih terperinciPENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Modul ke: Hubungan Agama dan Negara Fakultas FBM Program Studi Manajemen www.mercubuana.ac.id Pokok bahasan materi ini : 1. Pengertian agama 2. Definisi menurut ahli 3. Diskursus
Lebih terperinciUKDW BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latarbelakang
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latarbelakang Pluralitas agama merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat lagi dihindari atau disisihkan dari kehidupan masyarakat umat beragama. Kenyataan akan adanya pluralitas
Lebih terperinciRELIGI. Oleh : Firdaus
RELIGI Oleh : Firdaus Pertemuan ini akan Membahas : 1. Konsep Religi 2. Komponen sistem Religi 3. Teori Berorintasi Keyakinan Pertanyaan untuk Diskusi Awal: 1. Apa Konsep Religi 2. Apa Komponen Sistem
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN UKDW. E.P. Ginting, Religi Karo: Membaca Religi Karo dengan Mata yang Baru (Kabanjahe: Abdi Karya, 1999), hlm.
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Secara umum masyarakat Karo menganggap bahwa agama Hindu-Karo adalah agama Pemena (Agama Pertama/Awal). Dalam agama Pemena, terdapat pencampuran konsep
Lebih terperinciMISTERI TUHAN ANTARA ADA DAN TIADA
ADAADNAN ABDULLA ADNAN ABDULLAH MISTERI TUHAN ANTARA ADA DAN TIADA Diterbitkan secara mandiri melalui Nulisbuku.com DAFTAR ISI Daftar Isi 3 Pendahuluan.. 5 1. Terminologi Tuhan. 10 2. Agama-agama di Dunia..
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing,
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kehidupan bangsa di dunia yang mendiami suatu daerah tertentu memiliki adat istiadat (kebiasaan hidup) dan kebudayaan masing-masing, setiap bangsa memiliki
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang. bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seorang manusia sebagai bagian dari sebuah komunitas yang bernama masyarakat, senantiasa terlibat dengan berbagai aktifitas sosial yang berlaku dan berlangsung
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang. kampung adat yang secara khusus menjadi tempat tinggal masyarakat
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kampung Naga merupakan salah satu perkampungan masyarakat yang ada di Indonesia dan masih terjaga kelestariannya. Kampung ini merupakan kampung adat yang secara
Lebih terperinciKEBERADAAN DAN KEGIATAN TAO SEBAGAI AGAMA TESIS. Diajukan Kepada Program Pasca Sarjana Magister Sosiologi Agama Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains
KEBERADAAN DAN KEGIATAN TAO SEBAGAI AGAMA TESIS Diajukan Kepada Program Pasca Sarjana Magister Sosiologi Agama Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains Oleh: ARNIS RACHMADHANI NIM: 752011001 MAGISTER SOSIOLOGI
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. nasional di Indonesia, harus didahului dengan pengetahuan tentang latar
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemahaman mengenai peranan pendidikan dalam pembangunan nasional di Indonesia, harus didahului dengan pengetahuan tentang latar belakang sosial budaya bangsa Indonesia.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Jawa pada umumnya masih melestarikan kepercayaan terhadap
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masyarakat Jawa pada umumnya masih melestarikan kepercayaan terhadap ajaran-ajaran terdahulu dari nenek-moyang mereka. Ajaran-ajaran ini akan terus diamalkan
Lebih terperinciUKDW BAB I. Pendahuluan. 1. Latar Belakang Masalah. Secara umum dipahami bahwa orang Indonesia harus beragama. Ini salah
BAB I Pendahuluan 1. Latar Belakang Masalah Secara umum dipahami bahwa orang Indonesia harus beragama. Ini salah satunya karena Indonesia berdasar pada Pancasila, dan butir sila pertamanya adalah Ketuhanan
Lebih terperinci2015 PEWARISAN NILAI-NILAI BUDAYA SUNDA PADA UPACARA ADAT NYANGKU DI KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Struktur masyarakat Indonesia yang majemuk menjadikan bangsa Indonesia memiliki keanekaragaman adat istiadat, budaya, suku, ras, bahasa dan agama. Kemajemukan tersebut
Lebih terperinciGagasan tentang Tuhan yang dibentuk oleh sekelompok manusia pada satu generasi bisa saja menjadi tidak bermakna bagi generasi lain.
TUHAN? Gagasan manusia tentang Tuhan memiliki sejarah, karena gagasan itu selalu mempunyai arti yang sedikit berbeda bagi setiap kelompok manusia yang menggunakannya di berbagai periode waktu. Gagasan
Lebih terperinciBAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN
BAB I PENGERTIAN FILSAFAT INDONESIA PRA MODERN A. Objek Bahasan 1. Objek materi Filsafat Indonesia ialah kebudayaan bangsa. Menurut penjelasan UUD 1945 pasal 32, kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang
Lebih terperinciUKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan zaman senantiasa memberikan perubahan yang cukup besar pada diri manusia. Perubahan yang cukup signifikan pada diri manusia adalah gaya hidup (lifestyle).
Lebih terperinciMEMBANGUN ILMU PENGETAHUAN DENGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL
MEMBANGUN ILMU PENGETAHUAN DENGAN KECERDASAN EMOSI DAN SPIRITUAL Oleh : Dr. Sri Trisnaningsih, SE, M.Si (Kaprogdi Akuntansi - FE) Pendahuluan Ilmu pengetahuan merupakan karya budi yang logis serta imajinatif,
Lebih terperinciBAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISA. IV.1 Sakralnya Pusat Pulau Dalam Pemahaman Orang Abubu
BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISA IV.1 Sakralnya Pusat Pulau Dalam Pemahaman Orang Abubu Dari hasil penelitian seperti yang telah dipaparkan dalam Bab III sebagai Pendekatan Lapangan, diketahui bahwa orang
Lebih terperinciModul 7 PERKEMBANGAN JIWA AGAMA PADA USIA DEWASA
Perkembangan Jiwa Agama Pada Usia Dewasa Modul 7 PERKEMBANGAN JIWA AGAMA PADA USIA DEWASA PENDAHULUAN Psikologi Agama pada jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) disajikan untuk membantu mahasiswa memahami
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. individu dan sebagai makhluk sosial. Manusia memiliki kebutuhan dan
BAB I PENDAHULUAN 1. 1 LATAR BELAKANG Manusia memiliki dua sisi dalam kehidupannya, yaitu sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk sosial. Manusia memiliki kebutuhan dan kemampuan serta kebiasaan untuk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, dijumpai berbagai tradisi atau budaya
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia, dijumpai berbagai tradisi atau budaya yang menghubungkan dan mengikat anggota masyarakat satu dengan yang lain. Tradisitradisi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. selalu berinovasi dan memenuhi perkembangan kebutuhan konsumen tersebut. Bukan
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Perusahaan harus dapat menganalisis peluang dan tantangan pada masa yang akan datang. Dengan melihat tantangan tersebut, Perusahaan dituntut untuk mampu
Lebih terperinciBAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan. Adapun kesimpulan tersebut terdapat dalam poin-poin berikut:
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Uraian akhir dari analisa atas pemikiran Frithjof Schuon tentang makna agama dalam perspektif Filsafat Agama adalah bagian kesimpulan, yang merupakan rangkuman jawaban atas
Lebih terperinciBAB II LANDASAN TEORI. sejarah konvensional, paparan yang analitis harus digunakan untuk. memberikan nilai lebih bagi penulisan sejarah modern.
BAB II LANDASAN TEORI Penelitian dan penulisan sejarah yang baik menurut sejarawan melengkapi dirinya dengan teori dan metodologi sejarah selain historiografi yang menyajikan cerita sejarah sebagai uraian
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG
BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG Prinsip dasar bahwa untuk beriman kita membutuhkan semacam jemaat dalam bentuk atau wujud manapun juga. Kenyataan dasar dari ilmu-ilmu sosial ialah bahwa suatu ide atau
Lebih terperinciKEBUDAYAAN. Oleh : Firdaus
KEBUDAYAAN Oleh : Firdaus Pertemuan ini akan Membahas : 1. Konsep Kebudayaan 2. Unsur-Unsur Kebudayaan 3. Wujud Ideal Kebudayaan 4. Beberapa Teori Kebudayaan Pertanyaan untuk Diskusi Awal: 1. Apa Itu Kebudayaan
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Budaya Menurut Marvin Harris (dalam Spradley, 2007:5) konsep kebudayaan ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan kelompokkelompok masyarakat tertentu,
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar belakang Masalah. Kehidupan kelompok masyarakat tidak terlepas dari kebudayaannya sebab kebudayaan ada
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang Masalah Kehidupan kelompok masyarakat tidak terlepas dari kebudayaannya sebab kebudayaan ada karena ada masyarakat pendukungnya. Salah satu wujud kebudayaan adalah
Lebih terperincilambang dan Citra citra Rakyat (PERSETIA. 1992), hlm.27 6 Scn 3, hlm
BAB I PENDAHULUAN 1. Permasalahan 1.1. Latar Belakang Masalah Manusia pada hakekatnya adalah makhluk berbudaya, karena itu manusia tidak dapat lepas dari budaya yang dianutnya. Suatu budaya memiliki nilai
Lebih terperinciBAB V ANALISA DATA. A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya
BAB V ANALISA DATA A. Upacara Kematian Agama Hindu Di Pura Krematorium Jala Pralaya Upacara kematian ini bersifat wajib bagi keluarga yang telah ditinggal mati. Dalam proses upacara kematian, ada yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Islam adalah agama rahmatan lil alamin.ajarannya diperuntukkan bagi umat
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Islam adalah agama rahmatan lil alamin.ajarannya diperuntukkan bagi umat manusia secara keseluruhan. Ajaran Islam dapat berpengaruh bagi umat manusia dalam segala
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. fenomena yang dirasakan semakin kuat mencengkram memasuki abad dua puluh
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Globalisasi sudah melewati proses sejarah yang sangat panjang, suatu fenomena yang dirasakan semakin kuat mencengkram memasuki abad dua puluh satu ini. Umat manusia
Lebih terperinciDEFINISI, OBJEK DAN KELAHIRAN SOSIOLOGI. Pertemuan 2
DEFINISI, OBJEK DAN KELAHIRAN SOSIOLOGI Pertemuan 2 SOSIOLOGI??? APA MANFAAT LETAK LAHIRNYA SOSIOLOGI Berhubungan dengan ilmuwan Perancis bernama Auguste Comte (1789-1857) yang dengan kreatif menyusun
Lebih terperinciBAB II KAJIAN TEORI. maupun mempaparkan dua konsep diantaranya definisi yang berkaitan erat
BAB II KAJIAN TEORI A. KAJIAN PUSTAKA Dalam kajian pustaka ini penulis ataupun peneliti akan menjabarkan maupun mempaparkan dua konsep diantaranya definisi yang berkaitan erat dengan judul, tema, dan fokus
Lebih terperinciBAB 4 TINJAUAN TEOLOGIS GEREJA TERHADAP SISTEM HIERARKI GEREJA BALA KESELAMATAN
BAB 4 TINJAUAN TEOLOGIS GEREJA TERHADAP SISTEM HIERARKI GEREJA BALA KESELAMATAN Dalam Bab IV ini penulis akan memaparkan analisa berkaitan dengan teori-teori yang sudah dikemukakan dalam Bab II dan hasil
Lebih terperinciModul 3 OBYEK DAN METODE PENELITIAN PSIKOLOGI AGAMA
Obyek dan Metode Penelitian Psikologi Agama Modul 3 OBYEK DAN METODE PENELITIAN PSIKOLOGI AGAMA PENDAHULUAN Psikologi Agama pada jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI) disajikan untuk membantu mahasiswa
Lebih terperinciMatakuliah : L0094-Ilmu Sosial Untuk Psikologi Tahun : Pertemuan 14
Matakuliah : L0094-Ilmu Sosial Untuk Psikologi Tahun : 2008 Pertemuan 14 MASYARAKAT MATERI: Pengertian Masyarakat Hubungan Individu dengan Masyarakat Masyarakat Menurut Marx Masyarakat Menurut Max Weber
Lebih terperinciBAB IV ANALISA. sinodal) dan siding majelis jemaat (lingkup jemaat). 2. Hubungan yang dinamis antara majelis sinode dan majelis jemaat.
BAB IV ANALISA GPIB adalah sebuah gereja yang berasaskan dengan sistem presbiterial sinodal. Cara penatalayanan dengan sistem presbiterial sinodal selalu menekankan: 1. Penetapan kebijakan oleh presbiter
Lebih terperinciBAB II KERANGKA TEORI. dan bangsa, dalam semua tempat dan waktu, yang dibuat oleh sang pencipta alam
BAB II KERANGKA TEORI 2.1 Agama dan Masyarakat Agama mempunyai peraturan yang mutlak berlaku bagi segenap manusia dan bangsa, dalam semua tempat dan waktu, yang dibuat oleh sang pencipta alam semesta sehingga
Lebih terperinciBAB V PENUTUP V. 1. KESIMPULAN
84 BAB V PENUTUP V. 1. KESIMPULAN Keyakinan agama dewasa ini telah dipinggirkan dari kehidupan manusia, bahkan harus menghadapi kenyataan digantikan oleh ilmu pengetahuan. Manusia modern merasa tidak perlu
Lebih terperinciAKULTURASI BUDAYA ISLAM DAN BUDAYA HINDU (Studi Tentang Perilaku Keagamaan Masyarakat Islam Tradisional di Gununggangsir Beji Pasuruan)
AKULTURASI BUDAYA ISLAM DAN BUDAYA HINDU (Studi Tentang Perilaku Keagamaan Masyarakat Islam Tradisional di Gununggangsir Beji Pasuruan) A. Latar Belakang Masalah Setiap agama bagi para pemeluknya merupakan
Lebih terperinciPERAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN SOSIAL
PERAN PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN DALAM MENGHADAPI PERUBAHAN SOSIAL Lenda Dabora Sagala STT Simpson Ungaran Abstrak Menghadapi perubahan sosial, Pendidikan Agama Kristen berperan dengan meresponi perubahan
Lebih terperinciBAB IV. 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat. Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat,
BAB IV ANALISIS 1. Makna dan Nilai wariwaa dalam adat Pada umumnya kehidupan manusia tidak terlepas dari adat istiadat, yang secara sadar maupun tidak telah membentuk dan melegalkan aturan-aturan yang
Lebih terperinciBAB VI KESIMPULAN. Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan. kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan
533 BAB VI KESIMPULAN A. Kesimpulan Pada dasarnya Keraton Yogyakarta dibangun berdasarkan kosmologi Jawa, yang meletakkan keseimbangan dan keselarasan sebagai landasan relasi manusia-tuhan-alam semesta.
Lebih terperinciUKDW BAB I PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan manusia tak dapat dilepaskan dari spiritualitas. Spiritualitas melekat dalam diri setiap manusia dan merupakan ekspresi iman kepada Sang Ilahi. Sisi spiritualitas
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
BAB I PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN Mustopo Habib berpendapat bahwa kesenian merupakan jawaban terhadap tuntutan dasar kemanusiaan yang bertujuan untuk menambah dan melengkapi kehidupan. Namun
Lebih terperinciUKDW BAB I PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Permasalahan Bangsa Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki begitu banyak kekayaan yang dapat dilihat oleh dunia. Berbagai macam kekayaan seperti suku,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. identitas Indonesia adalah pluralitas, kemajemukan yang bersifat
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Suatu kenyataan yang tidak dapat disangkal jika berbicara tentang identitas Indonesia adalah pluralitas, kemajemukan yang bersifat multidimensional. Kemajemukan
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. Masjid Agung Demak mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan
BAB V PENUTUP Masjid Agung Demak mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan orang-orang Islam di Jawa. Kedudukan dan kelebihan Masjid Agung Demak tidak terlepas dari peran para ulama yang bertindak
Lebih terperinciBAB VI PENUTUP. A. Kesimpulan
BAB VI PENUTUP A. Kesimpulan Penelitian ini pada akhirnya menemukan beberapa jawaban atas persoalan yang ditulis dalam rumusan masalah. Jawaban tersebut dapat disimpulkan dalam kalimat-kalimat sebagai
Lebih terperinciBAB IV. Makna Slametan Bagi Jemaat GKJW Magetan. 4.1 Pemahaman jemaat GKJW Magetan melakukan slametan
BAB IV Makna Slametan Bagi Jemaat GKJW Magetan 4.1 Pemahaman jemaat GKJW Magetan melakukan slametan Jika kita kembali melihat kehidupan jemaat GKJW Magetan tentang kebudayaan slametan mau tidak mau gereja
Lebih terperinciPENDIDIKAN AGAMA KRISTEN. Pdt. Sundoyo GKJ Brayat Kinasih Yogyakarta
PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN Pdt. Sundoyo GKJ Brayat Kinasih Yogyakarta sundoyo59@gmail.com AGAMA Bahasa Indonesia -------> Bahasa Sanskerta A + gam + a A = tidak, Gam = Pergi, berjalan. a-> bunyi sengau Tidak
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Permasalahan Dalam perspektif ilmu-ilmu sosial terutama filsafat dan sosiologi, oposisi diantara subjektivisme dan objektivisme merupakan bagian yang selama ini tidak
Lebih terperinciOta Rabu Malam. Musik Ritual. Disusun oleh Hanefi
Ota Rabu Malam Musik Ritual Disusun oleh Hanefi MUSIK RITUAL Disusun oleh Hanefi Sistem Kepercayaan Pendekatan Sosiologis Tokoh: Emile Durkheim (1858-19170 Bentuk agama yang paling elementer dapat ditemukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang misterius dan kompleks. Keberadaan dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Manusia adalah makhluk hidup yang misterius dan kompleks. Keberadaan dan cara beradanya mengandung sejumlah teka-teki yang sudah, sedang dan akan terus dicari jawabannya.
Lebih terperinciBAB IV ANALISIS DAN REFLEKSI TRADISI PENGUBURAN MASYARAKAT TRUNYAN DAN CARA MEMPERLAKUKAN JENAZAH
BAB IV ANALISIS DAN REFLEKSI TRADISI PENGUBURAN MASYARAKAT TRUNYAN DAN CARA MEMPERLAKUKAN JENAZAH 4.1.Ritual Masyarakat Trunyan Dalam kehidupan suatu masyarakat yang berbudaya menghadirkan suatu tradisi-tradisi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. hidup dalam komunitas sebagai anggota gereja (Gereja sebagai Institusi). 1
BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Nabeel Jabbour menepis pemahaman tentang gereja hanya sebatas bangunan, gedung dan persekutuan yang institusional. Berangkat dari pengalaman hidup Nabeel Jabbour selama
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap negara memiliki beragam norma, 1 moral, 2 dan etika 3 yang menjadi pedoman hidup sehari-hari. Keberagaman tersebut memiliki ciri khas yang berbeda-beda
Lebih terperinciBAB V PENUTUP. 5.1 Kesimpulan
BAB V PENUTUP Manusia dalam kehidupannya adalah manusia yang hidup dalam sebuah institusi. Institusi yang merupakan wujud implementasi kehidupan sosial manusia. Di mana pun keberadaannya manusia tidak
Lebih terperinciSebuah sarana atau definisi tentang alam semesta yang diterjemahkan ke dalam Bahasa yang bisa dimengerti manusia sebagai usaha untuk mengetahui dan
Subjudul Sebuah sarana atau definisi tentang alam semesta yang diterjemahkan ke dalam Bahasa yang bisa dimengerti manusia sebagai usaha untuk mengetahui dan mengingat tentang sesuatu. Sesuatu yang didapat
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menimbulkan, atau memperoleh pengetahuan, sikap-sikap, nilai-nilai, keahlian-keahlian atau
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pendidikan mendapat perhatian khusus dari pemerintah Indonesia, seperti adanya program wajib belajar 12 tahun. Hal ini menandakan bahwa pendidikan merupakan hal yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Seperti yang kita ketahui, Indonesia merupakan negara kepulauan yang kaya akan keanekaragaman etnis, budaya, adat-istiadat serta agama. Diantara banyaknya agama
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. macam suku, ras, agama, dan budaya. Keberagaman tersebut tersebar hampir
digilib.uns.ac.id 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Negara Indonesia merupakan negara plural yang terdiri dari berbagai macam suku, ras, agama, dan budaya. Keberagaman tersebut tersebar hampir di seluruh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. masyarakat pesisir pantai barat. Wilayah budaya pantai barat Sumatera, adalah
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Masyarakat yang tinggal disepanjang pinggiran pantai, lazimnya disebut masyarakat pesisir. Masyarakat yang bermukim di sepanjang pantai barat disebut masyarakat
Lebih terperinci