SKRIPSI KAJIAN ENERGI DAN EKSERGI PEMBEKUAN DAGING SAPI MENGGUNAKAN MESIN PEMBEKU TIPE LEMPENG SENTUH DENGAN SUHU PEMBEKUAN BERTINGKAT

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SKRIPSI KAJIAN ENERGI DAN EKSERGI PEMBEKUAN DAGING SAPI MENGGUNAKAN MESIN PEMBEKU TIPE LEMPENG SENTUH DENGAN SUHU PEMBEKUAN BERTINGKAT"

Transkripsi

1 SKRIPSI KAJIAN ENERGI DAN EKSERGI PEMBEKUAN DAGING SAPI MENGGUNAKAN MESIN PEMBEKU TIPE LEMPENG SENTUH DENGAN SUHU PEMBEKUAN BERTINGKAT Oleh : SOLEH KURNIAWAN R.A.C F DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2 KAJIAN ENERGI DAN EKSERGI PEMBEKUAN DAGING SAPI MENGGUNAKAN MESIN PEMBEKU TIPE LEMPENG SENTUH DENGAN SUHU PEMBEKUAN BERTINGKAT SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh : SOLEH KURNIAWAN R.A.C F DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2

3 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR KAJIAN ENERGI DAN EKSERGI PEMBEKUAN DAGING SAPI MENGGUNAKAN MESIN PEMBEKU TIPE LEMPENG SENTUH DENGAN SUHU PEMBEKUAN BERTINGKAT SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Departemen Teknik Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh : SOLEH KURNIAWAN R.A.C F Dilahirkan pada tanggal 4 Desember 1987 di Kebumen Tanggal Lulus : Menyetujui, Bogor, September 2009 Prof. Dr. Ir. Armansyah H. Tambunan Dosen Pembimbing Mengetahui, Dr. Ir. Desrial, M.Eng Ketua Departemen Teknik Pertanian 3

4 Soleh Kurniawan R. A.C. F KAJIAN ENERGI DAN EKSERGI PEMBEKUAN DAGING SAPI MENGGUNAKAN MESIN PEMBEKU TIPE LEMPENG SENTUH DENGAN SUHU PEMBEKUAN BERTINGKAT. Di bawah bimbingan Armansyah H. Tambunan RINGKASAN Pembekuan merupakan salah satu metode yang baik untuk pengawetan daging. Hal yang perlu diperhatikan dalam proses pembekuan adalah mutu bahan setelah pembekuan dan konsumsi energi untuk pembekuan. Mutu bahan terkait dengan laju pembekuan, sedangkan konsumsi energi dalam pembekuan terkait dengan penghematan energi. Analisis energi dan eksergi merupakan salah satu cara untuk mengetahui jumlah konsumsi energi pembekuan, kehilangan energi pembekuan, dan energi yang tidak terpakai dalam proses pembekuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efisiensi energi dan eksergi, serta karakteristik laju pembekuan pada proses pembekuan daging sapi menggunakan mesin pembeku tipe lempeng sentuh dengan suhu pembekuan bertingkat. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daging sapi yang diperoleh dari Rumah Pemotongan Hewan (RPH) kota Bogor. Alat yang digunakan adalah mesin pembeku tipe lempeng sentuh dengan suhu pembekuan bertingkat. Adapun perlakuan suhu media pembeku yang digunakan pada penelitian kali ini adalah sebagai berikut: Skenario 1 (T ma = -5 C, T mf = -15 C, T mb = -20 C), Skenario 2 (T ma = -10 C, T mf = -15 C, T mb = -20 C), Skenario 3 (T ma = -15 C, T mf = -15 C, T mb = -20 C), Skenario 4 (T ma = -5 C, T mf = -20 C, T mb = -20 C), Skenario 5 (T ma = -10 C, T mf = -20 C, T mb = -20 C), Skenario 6 (T ma = -15 C, T mf = -20 C, T mb = -20 C), Skenario 7 (T ma = -20 C, T mf = -20 C, T mb = -20 C). T ma adalah suhu media pembeku tahap I, T mf adalah suhu media pembeku tahap II, dan T mb adalah suhu media pembeku tahap III. Pindah panas yang terjadi pada mesin pembeku tipe lempeng sentuh adalah secara konduksi. Perpindahan panas secara konduksi mengakibatkan sebaran suhu yang tidak merata pada bahan. Pada bahan bagian bawah paling cepat mengalami penurunan suhu karena bagian ini bersentuhan langsung dengan media pembeku. Sedangkan pada bahan bagian atas paling lambat mengalami penurunan suhu karena bagian ini terletak paling jauh dari media pembeku sehingga bagian ini merupakan bagian yang paling lama membeku. Sistem perpindahan wadah yang digunakan pada mesin pembeku tipe lempeng sentuh adalah sistem perpindahan secara kontinu dengan dibantu poros berulir yang digerakkan oleh motor listrik. Ketebalan bunga es pada lempeng pembeku berpengaruh terhadap gesekan yang ditimbulkan dan kecepatan perpindahan wadah. Semakin tebal tumpukan bunga es, makin besar gesekan sehingga kecepatan perpindahan wadah menurun, dan sebaliknya, semakin tipis tumpukan bunga es, kecepatan perpindahan wadah semakin meningkat. Laju pembekuan daging sapi menggunakan mesin pembeku dengan suhu bertingkat antara 0.74 cm/jam hingga 1.78 cm/jam. Berdasarkan hasil tersebut maka pembekuan yang terjadi termasuk ke dalam pembekuan lambat. Laju pembekuan suatu produk dipengaruhi oleh dua faktor penting, meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan hal-hal yang mempengaruhi laju 4

5 pembekuan yang berasal dari dalam bahan yang akan dibekukan itu sendiri, berupa sifat termofisik bahan. Sedangkan faktor eksternal berkaitan dengan metode pembekuan yang digunakan meliputi suhu media yang digunakan dan mode perpindahan panas yang terjadi. Berdasarkan grafik hubungan antara kecepatan perpindahan wadah dengan laju pembekuan diketahui bahwa kecepatan perpindahan wadah berbanding terbalik dengan laju pembekuannya. Energi pada proses pembekuan dengan suhu bertingkat terdiri dari energi listrik, energi mekanis, dan energi panas. Energi yang digunakan untuk menggerakkan kompresor diperoleh dari energi listrik yang diubah menjadi energi mekanis (kerja). Kerja tersebut digunakan untuk mengambil panas bahan di ruang pembeku dan melepaskannya ke lingkungan. Dari perhitungan didapatkan besarnya energi spesifik berkisar antara kj/kg hingga kj/kg. Nilai total energi input terbesar adalah 9720 kj, sedangkan nilai total energi input terkecil adalah 7200 kj. Energi tersebut digunakan untuk menggerakkan kompresor sehingga terjadi penurunan suhu media pembeku. Dengan demikian total energi input dipengaruhi oleh media pembeku yang diterapkan dan lamanya proses pembekuan berlangsung. Eksergi input pada proses pembekuan berkisar antara kj/kg hingga kj/kg. Rata-rata efisiensi eksergi pembekuan berkisar antara 48.03% hingga 59.21%, dimana efisiensi eksergi terendah pada skenario 7 dan efisiensi eksergi tertinggi pada skenario 1. Berdasarkan grafik hubungan antara nilai COP (Coefficient Of Peformance) dan efisiensi eksergi diketahui bahwa COP berbanding secara kuadratik dengan efisiensi eksergi. Persamaan yang dihasilkan dari hubungan tersebut adalah y = x x , dimana x adalah nilai COP dan y adalah nilai efisiensi eksergi (%). Berdasarkan perhitungan suhu media pembekuan daging sapi yang paling optimal dalam penelitian ini adalah skenario 1 (T ma = -5 C, T mf = -15 C, T mb = - 20 C) dengan nilai COP 4.44, laju pembekuan 0.74 cm/jam, efisiensi energi 0.17%, efisiensi eksergi 56.93%, dan total energi input 2.45 kwh. 5

6 RIWAYAT HIDUP PENULIS Penulis yang bernama lengkap Soleh Kurniawan Rizka Al Chusni merupakan anak pertama dari empat bersaudara pasangan bapak Rusmin Al Chusni dan ibu Umi Chusniyati yang dilahirkan di Kebumen pada tanggal 4 Desember Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 4 Karanganyar pada tahun Penulis kemudian melanjutkan pendidikan menengah di SLTP Negeri 2 Gombong dan lulus pada tahun Setelah itu, penulis melanjutkan pendidikan tingkat atas di SMU Negeri 1 Gombong dan lulus pada tahun Pada tahun tersebut, penulis diterima melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) di Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan memilih bagian Energi dan Elektrifikasi Pertanian. Selama menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di Himpunan Profesi Mahasiswa Teknik Pertanian (HIMATETA), di Departemen Keteknikan pada tahun kepengurusan dan menjabat sebagai Ketua Departemen Keteknikan pada tahun kepengurusan Pada tahun 2009 penulis menjadi Asisten Asisten Praktikum Mata Kuliah Teknik Mesin Budidaya Pertanian. Selain itu, penulis juga aktif di berbagai kepanitiaan. Penulis melakukan praktek lapangan di PTPN VIII Gunung Mas pada tahun 2008 dengan judul Asek Keteknikan Pertanian pada Proses Pengolahan dan Pengeringan Teh Hitam di PT. Perkebunan Nusantara VIII, Gunung Mas, Bogor, Jawa Barat. Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis menyelesaikan Skripsi yang berjudul KAJIAN ENERGI DAN EKSERGI PEMBEKUAN DAGING SAPI MENGGUNAKAN MESIN PEMBEKU TIPE LEMPENG SENTUH DENGAN SUHU PEMBEKUAN BERTINGKAT. 6

7 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan nikmat dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul KAJIAN ENERGI DAN EKSERGI PEMBEKUAN DAGING SAPI MENGGUNAKAN MESIN PEMBEKU TIPE LEMPENG SENTUH DENGAN SUHU PEMBEKUAN BERTINGKAT ini. Skripsi ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan penulis mulai bulan Maret 2009 hingga bulan Juli Pada kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada : 1. Prof. Dr. Ir. Armansyah H. Tambunan, selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan, arahan, serta motivasinya kepada penulis. 2. Dr. Ir. Y. Aris Purwanto, M.Sc dan Ir. Putiati Mahdar, M.App.Sc, selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan berharga kepada penulis demi perbaikan skripsi ini. 3. Kedua orang tua dan adik-adik penulis, atas segala dukungan moril dan materil serta do a, kasih sayang yang luar biasa kepada penulis. 4. Teman-teman satu kontrakan penulis: Teguh Purwadi, Ramadhona, Teuku Munawir, Ahdiat Artiprasetyo, dan Ruli Oktoriadi atas segala bantuan dan dukungannya. 5. Teman-teman seperjuangan penulis: Janji Paniopan S. dan Kezhia Chrysanty atas segala bantuan, dukungan, dan kebersamaan selama penelitian. 6. Agusti Irri Susanti, Reza Pahlevi, Kokoh Baiquni dan teman-teman TEP 42, atas semua suka dan duka selama menuntut ilmu di Institut Pertanian Bogor. 7. Dana Hibah Kompetensi dengan judul Kajian Termodinamika Pada Sistem Termal Produksi dan Pemanfaatan Energi di Bidang Pertanian, atas bantuan pendanaan dalam penyediaan bahan baku penelitian. 8. Seluruh pihak yang membantu penulis dan tidak dapat disebutkan satupersatu. Semoga Allah SWT membalas budi baik kalian dengan pahala yang setimpal, Amin. i

8 Penulis menyadari bahwa karya ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran sangat penulis harapkan. Semoga karya ini dapat bermanfaat bagi nusa, bangsa, dan agama pada umumnya, serta kepada pembaca pada khususnya. Amin. Bogor, September 2009 Penulis ii

9 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR GAMBAR... v DAFTAR TABEL... vi DAFTAR LAMPIRAN... vii DAFTAR SIMBOL... viii I. PENDAHULUAN... 1 A. LATAR BELAKANG... 1 B. TUJUAN... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA... 3 A. PROSES PEMBEKUAN... 3 B. PEMBEKUAN DAGING SAPI... 5 C. TITIK BEKU... 6 D. LAJU PEMBEKUAN... 7 E. KAJIAN ENERGI... 9 F. KAJIAN EKSERGI... 9 G. TINJAUAN ATAS PENELITIAN SEBELUMNYA III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN B. ALAT DAN BAHAN C. METODE PENELITIAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KINERJA SISTEM PEMBEKU DENGAN SUHU BERTINGKAT Profil Suhu Bahan dan Media Pembeku Sistem Refrigerasi Mesin Pembeku Sistem Perpindahan Wadah Laju Pembekuan B. ANALISIS ENERGI DAN EKSERGI PEMBEKUAN Kajian Energi Pembekuan Kajian Eksergi Pembekuan iii

10 V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN B. SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN iv

11 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Grafik suhu-waktu pada pembekuan... 3 Gambar 2. Skema pembekuan... 7 Gambar 3. Profil Penurunan Suhu Bahan dan Suhu Media Pembeku Pada Model Sistem Pembekuan Suhu Bertingkat Gambar 4. Bagan Proses Penelitian Gambar 5. Grafik hubungan suhu media pembeku (T mf ) dengan laju pembekuan Gambar 6. Grafik hubungan efisiensi eksergi (%) dan kehilangan eksergi (kj/kg) terhadap T = (T ma -T mf )/(T ma -T mb ) Gambar 7. Titik-titik pengukuran suhu pada bahan Gambar 8a. Grafik sebaran suhu pembekuan daging sapi, (a) Skenario 1, (b) Skenario 2, (c) Skenario Gambar 8b. Grafik sebaran suhu pembekuan daging sapi, (d) Skenario 4, (e) Skenario 5, (f) Skenario 6, (g) Skenario Gambar 9. (a) Daging sapi sebelum dibekukan, (b) Daging sapi sesudah dibekukan Gambar 10. (a) Siklus Carnot Pendinginan; (b) Diagram hubungan temperaturentropi Siklus Carmot Pendinginan Gambar 11. Diagram Tekanan-Entalpi (P-h diagram) untuk sistem ideal refrigerasi multi-evaporator Gambar 12. Sistem perpindahan wadah Gambar 13. Grafik hubungan COP dan efisiensi eksergi Gambar 14. Grafik hubungan efisiensi eksergi (%) dan kehilangan eksergi (kj/kg) terhadap rasio suhu (T ma -T mf )/(T ma -T mb ) v

12 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Titik beku beberapa bahan pangan... 6 Tabel 2. Skenario suhu media pembeku Tabel 3. Suhu media pembeku sasaran dan rata-rata pengukuran Tabel 4. Hasil pengujian sistem refrigerasi mesin pembeku dengan suhu bertingkat Tabel 5. Hasil pengujian sistem perpindahan wadah Tabel 6. Laju pembekuan daging sapi dengan metode pembekuan lempeng sentuh suhu bertingkat Tabel 7. Analisis kebutuhan energi pada pembekuan daging sapi dengan metode pembekuan lempeng sentuh suhu bertingkat Tabel 8. Analisis eksergi pembekuan daging sapi dengan metode pembekuan lempeng sentuh suhu bertingkat vi

13 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Gambar mesin pembeku dengan suhu bertingkat Lampiran 2. Spesifikasi Mesin Pembeku Lampiran 3. Diagram Tekanan-Entalpi untuk Refrigeran Lampiran 4. Sifat termofisik beberapa bahan pangan (San Francisco Maritime Park Association, 2004) Lampiran 5. Grafik total energi input pembekuan daging sapi menggunakan mesin pembeku lempeng sentuh dengan suhu bertingkat Lampiran 6. Perhitungan eksergi vii

14 DAFTAR SIMBOL q ev q kon q k h 1 h 2 h 3 h 4 m ref = Panas yang diserap refrigeran (kj/det) = Panas yang dilepas ke lingkungan (kj/det) = Kerja yang dilakukan kompresor (kj/det) = Entalpi refrigerant pada saat evaporasi (kj/kg) = Entalpi refrigeran pada saat keadaan super panas (kj/kg) = Entalpi refrigeran pada saat kondensasi (kj/kg) = Entalpi refigeran pada saat kondensasi (kj/kg) = Laju massa refrigeran (kg/det) COP = Coefficient of Performance (-) L air C p1 C p2 H f H f.air ΔH fs = Panas laten (kj/kg) = Panas jenis bahan di atas titik beku (kj/kg.k) = Panas jenis bahan di bawah titik beku (kj/kg.k) = Panas laten pembekuan bahan (kj/kg) = Panas laten air (kj/kg) = Perubahan entalpi pada tahap pembekuan (kj) KA = Kadar air dalam bahan (%) M a = Berat molekul air (kg/mol) m a = Jumlah air yang tak terbekukan (%) m air m bahan = Massa air dalam bahan (kg) = Massa bahan (kg) m b = Jumlah air beku/air bebas (%) m dr M s = Massa bahan kering (kg) = Berat molekul padatan dalam bahan (kg/mol) m s = Kadar padatan dalam bahan (%) R g T a T cs T phc T phc air T spds = Konstanta gas (kj/mol.k) = Suhu awal bahan pangan saat dibekukan (K) = Suhu sumber dingin selama tahap pembekuan (K) = Suhu titik beku bahan pangan (K) = Suhu titik beku air (K) = Suhu akhir bahan pangan yang dibekukan (K) viii

15 X a = Fraksi mol air tak beku (-) γ = Fraksi air beku (-) y = Kadar air berat kering bahan (-) γ = Fraksi air bebas dalam bahan (-) ΔS fs Q fs ΔE fs E fs E l,fs = Perubahan entropi pada tahap pembekuan (kj) = Panas yang dipindahkan selama tahap pembekuan (kj) = Perubahan eksergi pada tahap pembekuan (kj) = Masukan eksergi dalam proses pembekuan (kj) = Total eksergi yang hilang selama tahap pembekuan (kj) T cs = Suhu media pembeku selama tahap pembekuan (K) E l,ta Tphc = Eksergi yang hilang selama perubahan suhu dari T a menjadi T phc (kj) E l,tphc = Eksergi yang hilang selama perubahan fase air bebas (kj) E l,fs Tspds = Eksergi yang hilang selama perubahan suhu dari T phc menjadi T spds (kj) ix

16 I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Daging adalah salah satu hasil ternak yang hampir tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Selain penganekaragaman sumber pangan, daging dapat menimbulkan kepuasan atau kenikmatan bagi yang memakannya karena kandungan gizi yang lengkap, sehingga keseimbangan gizi untuk hidup dapat terpenuhi. Jenis daging yang umum dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia salah satunya adalah daging sapi. Seperti halnya hasil ternak lainnya, daging sapi juga merupakan produk yang mudah mengalami penurunan mutu. Untuk meminimalkan penurunan mutu daging maka diperlukan suatu tindakan preservasi. Preservasi bertujuan, antara lain untuk mengamankan daging dan produk daging proses dari kerusakan atau pembusukan oleh mikroorganisme dan untuk memperpanjang masa simpannya. Preservasi berarti menghambat atau membatasi reaksi-reaksi enzimatis, kimiawi dan kerusakan fisik daging dan daging proses. Salah satu tindakan preservasi yang biasa dilakukan adalah pembekuan (Soeparno, 1994). Pembekuan merupakan metode yang sangat baik untuk pengawetan daging dan daging proses. Proses pembekuan tidak mempunyai pengaruh yang berarti terhadap sifat kualitatif maupun organoleptik termasuk warna, rasa dan kadar jus daging setelah pemasakan, tetapi penyimpanan beku bisa mengakibatkan penurunan daya terima bau dan rasa. Nilai nutrisi daging secara relatif tidak mengalami perubahan selama pembekuan dan penyimpanan beku dalam jangka waktu terbatas (Soeparno, 1994). Mesin pembeku yang tersedia di pasaran umumnya masih menggunakan metode konvensional, yaitu menggunakan suhu media pembeku yang tetap sepanjang proses pembekuan sehingga mengkonsumsi energi cukup besar. Dengan menerapkan analisis eksergi, model sistem pembekuan suhu bertingkat mampu meningkatkan efisiensi energi dan eksergi (Kamal, 2008). Berdasarkan hasil penelitian Kamal (2008), pengembangan sistem pembekuan suhu bertingkat (pembeku eksergetik) terbukti dapat meningkatkan efisiensi eksergi sekitar % dari 50.9 % pada sistem pembekuan 1

17 konvensional hingga sekitar % pada sistem pembekuan eksergetik. Selain itu sistem pembekuan eksergetik juga dapat menurunkan kehilangan eksergi dari semula 33.2 kj/kg pada sistem suhu tetap menjadi 19.4 kj/kg pada sistem suhu bertingkat. Hal yang perlu diperhatikan dalam proses pembekuan adalah mutu bahan setelah pembekuan dan konsumsi energi untuk pembekuan. Mutu bahan terkait dengan laju pembekuan. Laju pembekuan cepat akan menghasilkan produk beku yang lebih baik daripada pembekuan lambat, karena pada pembekuan lambat kristal es yang terbentuk akan membesar dan merusak dinding sel, sehingga pada saat bahan dicairkan kembali (thawing), sel akan bocor dan tekstur akan rusak (Anggraheni, 2003). Sedangkan konsumsi energi dalam pembekuan terkait dengan penghematan energi. Dalam proses pembekuan terjadi pemindahan panas dan massa yang mencakup transfer panas dari bahan ke media pembeku (Anggraheni, 2003). Oleh karena pembekuan merupakan proses yang padat akan energi, maka kajian energi merupakan bidang kajian yang penting untuk dilakukan. Analisis energi dan eksergi merupakan salah satu cara untuk mengetahui jumlah konsumsi energi pembekuan, kehilangan energi pembekuan, dan energi yang tidak terpakai dalam proses pembekuan. B. TUJUAN Tujuan penelitian ini adalah mengkaji efisiensi energi dan eksergi, serta karakteristik laju pembekuan pada proses pembekuan daging sapi menggunakan mesin pembeku tipe lempeng sentuh dengan suhu pembekuan bertingkat. 2

18 II. TINJAUAN PUSTAKA A. PROSES PEMBEKUAN Pembekuan adalah proses penurunan suhu dari suatu bahan sampai mencapai suhu di bawah titik bekunya. Proses pembekuan ditandai dengan terjadinya perubahan fase air menjadi padat (kristal-kristal es). Prosesnya terjadi secara bertingkat dari permukaan sampai ke pusat termal bahan. Pusat termal bahan adalah titik yang terletak paling jauh dari media pembeku. Pada titik ini proses pembekuan berlangsung paling lambat. Pembekuan merupakan suatu usaha untuk mempertahankan mutu bahan pangan. Bahan pangan beku memiliki masa simpan yang jauh lebih panjang dari pada bahan pangan dingin. Dalam proses pembekuan terjadi pelepasan panas dari dalam produk dan selanjutnya produk akan mengalami penurunan suhu seperti yang terlihat pada Gambar 1. Suhu A T f S B D C E T s Gambar 1. Grafik suhu-waktu pada pembekuan. t f F Waktu Seperti ditunjukkan pada Gambar 1, Fellows (2000) membagi pembekuan menjadi enam bagian sebagai berikut: AS : Bahan pangan didinginkan hingga mencapai suhu di bawah titik bekunya (T f ). Pada titik S, air masih berada dalam fase cair meskipun berada dalam kondisi di bawah titik beku. Fenomena ini dikenal sebagai periode supercooling. SB : Peningkatan suhu bahan hingga mencapai titik beku. Terjadinya peningkatan suhu diakibatkan karena adanya pelepasan panas laten bahan. 3

19 BC : Pelepasan panas laten bahan. Pada tahap ini, suhu bahan cenderung konstan, dan terjadi penurunan titik beku dengan semakin meningkatnya konsentrasi larutan pada bagian air yang tak terbekukan. Periode ini merupakan periode pembentukan kristal es. CD : Salah satu komponen yang terdapat dalam larutan menjadi sangat jenuh (supersaturated) dan mengalami kristalisasi. Pelepasan panas laten kristalisasi mengakibatkan terjadinya peningkatan suhu sampai mencapai suhu eutectic dari komponen tersebut. DE : Kristalisasi air dan larutan pada bahan pangan terus berlangsung. EF : Penurunan suhu bahan pangan hingga mencapai suhu pembekuan yang diinginkan. Pada kondisi yang sangat rendah, masih terdapat air yang tak terbekukan pada bahan pangan. Jumlah air yang tak terbekukan dipengaruhi oleh komposisi bahan pangan yang dibekukan. Kristalisasi air mengakibatkan peningkatan konsentrasi larutan yang tersisa dan penurunan titik beku pada bagian tersebut. Proses ini berlangsung secara kontinu bersamaan dengan terbentuknya kristal es. Seiring dengan penurunan suhu, masing-masing zat terlarut akan mencapai titik jenuh dan mengalami kristalisasi. Suhu pada saat terjadinya kristalisasi dari masing-masing zat terlarut mengalami kesetimbangan dengan es dan cairan tak terbekukan disebut dengan suhu eutectic. Identifikasi titik eutectic untuk masing-masing larutan pada bahan pangan sulit dilakukan, oleh karena itu digunakan istilah suhu akhir eutectic. Suhu akhir eutectic adalah suhu eutectic terendah dari masingmasing larutan yang terdapat di dalam bahan pangan (Fellows, 2000). Pada saat suhu bahan berada di bawah titik beku, fraksi tertentu dari air masih berada dalam keadaan cair. Besarnya fraksi ini akan berkurang dengan menurunnya suhu. Namun demikian masih terdapat air yang tidak membeku pada suhu yang sangat rendah. Hal ini disebabkan karena terdapat dua macam air yang terdapat dalam bahan pangan, yaitu air terikat dan air bebas. Definisi air terikat adalah air yang tidak dapat membeku pada suhu 20.5 C. Sedangkan air bebas adalah air yang menunjukkan sifat-sifat fisis dan kimia yang sesuai dengan kondisi larutannya (Heldman dan Singh, 1980). Pengurangan air bebas dalam 4

20 bahan pangan diharapkan dapat memperbaiki kualitas bahan pangan yang dibekukan (Desrosier, 1988). B. PEMBEKUAN DAGING SAPI Daging didefinisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk hasi pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Berdasarkan keadaan fisiknya, daging dapat dikelompokkan menjadi: (1) daging segar yang dilayukan atau tanpa pelayuan, (2) daging segar yang dilayukan kemudian didinginkan (daging dingin), (3) daging segar yang dilayukan, didinginkan kemudian dibekukan (daging beku), (4) daging masak, (5) daging asap, dan (6) daging olahan (Soeparno, 1994). Daging sapi merupakan salah satu hasil ternak yang banyak dikonsumsi manusia terutama di Indonesia. Pada umumnya daging sapi segar mempunyai komposisi dan nilai energi yang tidak jauh berbeda, yaitu: protein 17 %, lemak 20 %, kandungan air 62 %, abu 1 %, serta kalori sebanyak 250 per 100 gram (Natasasmita et al., 1987). Daging adalah komoditas yang cepat mengalami kerusakan fisik yang disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme. Salah satu metode yang umum digunakan untuk mencegah kerusakan dan menambah umur simpan daging adalah dengan metode pembekuan. Pembekuan merupakan metode yang sangat baik untuk mengawetkan daging, karena proses pembekuan tidak mempunyai pengaruh yang berarti terhadap warna, rasa dan kadar jus daging setelah pemasakkan, tetapi penyimpanan beku dapat mengakibatkan terjadinya penurunan daya terima dari bau dan rasa. Kualitas daging yang dibekukan dipengaruhi oleh: (a) lama waktu penyimpanan daging di dalam ruang pendingin, (b) laju pembekuan, (c) lama penyimpanan beku, (d) kondisi penyimpanan beku, (e) kondisi daging yang dibekukan (Rachmawan, 2001). Menurut Nilsson (1971), ada empat faktor yang utama yang mempengaruhi mutu dari daging yang dibekukan, yaitu: (1) bahan baku (daging yang akan dibekukan), (2) proses pembekuan, (3) kondisi selama penyimpanan setelah pembekuan, (4) pencairan/thawing dari daging yang telah dibekukan. 5

21 Air yang terdapat di dalam daging tidak membeku secara sekaligus, tetapi pembekuannya berlangsung secara berangsur-angsur. Air yang membeku di dalam daging tidak dapat digunakan lagi oleh mikroorganisme dan reaksi-reaksi kimia di dalam daging. Hal inilah yang menyebabkan mengapa pembekuan dapat menyimpan daging dalam jangka waktu yang lama. Beberapa persyaratan untuk memperoleh hasil daging beku yang baik, yaitu: (a) daging berasal dari ternak yang sehat, (b) daging berasal dari pemotongan ternak dengan cara yang baik, (c) daging telah mengalami proses pendinginan, (d) daging dibungkus dengan bahan yang kedap udara, (e) temperatur pembekuan -18 o C atau lebih rendah lagi. Kerusakan kimia dan fisik pada daging dapat terjadi akibat penyimpanan beku, yaitu: (a) kehilangan zat-zat gizi pada waktu daging beku dikembalikan ke bentuk asal, (b) perubahan warna daging dari merah menjadi gelap, (c) timbulnya bau tengik pada daging (Rachmawan, 2001). C. TITIK BEKU Titik beku suatu larutan adalah suhu yang dapat dicapai saat terjadi keseimbangan antara cairan dan padatan. Desrosier (1988), mengemukakan bahwa titik beku cairan pada bahan pangan adalah suhu dimana cairan tersebut berada dalam keadaan keseimbangan dengan bahan padatnya. Informasi ini sangat diperlukan karena selama pembekuan banyak terjadi perubahan-perubahan pada produk baik fisik, kimia maupun biologis. Estimasi titik beku beberapa bahan pangan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Titik Beku Beberapa Bahan Pangan No. Jenis Bahan Titik Beku ( C) 1 Sayuran -0.8 sampai Buah-buahan -0.9 sampai Daging -1.7 sampai Ikan -0.6 sampai Susu Telur -0.5 Sumber: Fellows (2000) 6

22 D. LAJU PEMBEKUAN Laju pembekuan akan menentukan mutu produk beku dan waktu pembekuan. Laju pembekuan ada dua macam, yaitu pembekuan lambat dan pembekuan cepat. Waktu yang diperlukan untuk melewati temperatur 0 C sampai -5 C, biasanya dipergunakan sebagai petunjuk kecepatan pembekuan. Cepat atau lambatnya suatu proses pembekuan adalah suatu pengertian yang relatif. Namun secara umum proses pembekuan lambat akan berpengaruh kurang baik terhadap mutu bahan beku. Ramaswamy dan Tung dalam Lisnawati (1996) menyatakan, lama pembekuan didefinisikan sebagai waktu yang dibutuhkan oleh bahan pangan untuk membeku dimulai suhu permukaan mencapai 0 C sampai pusat bahan mencapai suhu tertentu. Sedangkan Heldman dan Singh (1980) menyatakan laju pembekuan sebagai waktu yang dibutuhkan untuk menurunkan suhu produk pada titik yang paling lambat menjadi dingin atau beku, dihitung dari saat tercapainya titik beku awal sampai tercapainya tingkat suhu yang diinginkan di bawah titik beku produk tersebut. Menurut Lembaga Refrigerasi lnternasional dalam Kamal (2008), laju pembekuan suatu bahan pangan adalah perbandingan antara jarak minimal permukaan dengan titik pusat termal dengan waktu yang diperlukan oleh produk pangan mencapai suhu 0 C pada permukaan bahan sampai mencapai suhu -5 C pada pusat termal bahan. Tiga persamaan dasar yang digunakan untuk menghitung laju pembekuan (freezing rate) adalah Beku a Tak beku q konveksi q konduksi Gambar 2. Skema pembekuan (Kamal, et al., 2007) 1. Perpindahan Panas Konduksi: ka q = ( T a Tmf )... (1) x 7

23 2. Perpindahan Panas Konveksi: q = h A T T )... (2) c ( a 3. Laju perpindahan panas pada saat perubahan fase: dx q = Aaρ... (3) dt Pengaturan kembali tiga persamaan di atas menghasilkan: 1 x ( T T + dx = hc k aρ mf ) dt... (4) Integrasi persamaan tersebut dari 0 sampai tinggi a, dimana a adalah tebal sampel menghasilkan persamaan berikut: a 2 a T T 1 x mf + 2 = c k aρ 0 0 x h Penyelesaian persamaan tersebut menjadi: t F ρ a = T T mf a h c t t F 0... (5) 2 a +... (6) 2k Sehingga laju pembekuan sebagaimana dinyatakan oleh Lembaga Refrigerasi Internasional, 1971 adalah: Lp = a / (cm/jam)... (7) t F King dalam Ruliyana (2004), membagi laju pembekuan ke dalam 3 golongan yaitu: 1) Pembekuan lambat, bila pembekuan adalah 30 menit atau lebih untuk 1 cm bahan yang dibekukan, 2) Pembekuan sedang, bila waktu adalah menit untuk 1 cm bahan yang dibekukan, dan 3) Pembekuan cepat, bila waktu adalah kurang dari 20 menit untuk 1 cm bahan yang dibekukan. Laju pembekuan dapat diatur dan sangat menentukan sifat dan mutu produk beku yang dihasilkan. Sifat produk yang diakibatkan oleh pembekuan yang sangat cepat sangat berbeda dari produk yang dihasilkan dari pembekuan lambat. Pembekuan yang sangat cepat akan menghasilkan kristal es yang kecil tersusun secara merata pada jaringan. Sedangkan pembekuan lambat akan menyebabkan terbentuknya kristal es yang besar yang tersusun pada ruang antar sel dengan ukuran pori yang besar. Dari segi kecepatan berproduksi, pembekuan secara sangat cepat dianggap menguntungkan, selama mutu produk yang 8

24 dihasilkan tidak dikorbankan (Heldman dan Singh, 1980). E. KAJIAN ENERGI Prinsip pembekuan suatu bahan adalah penurunan suhu bahan tersebut sampai di bawah titik bekunya, sehingga air di dalam bahan akan membeku. Dari termodinamika telah diketahui bahwa penurunan suhu merupakan suatu pengambilan energi dalam bentuk panas (Tambunan, 2001). Energi yang dilepaskan untuk mendinginkan bahan sampai titik bekunya adalah: Qsensibel > T = mbahanx Cp1 x ( Ti T f )... (8) b Energi yang dilepaskan untuk mengubah fase cair menjadi padat (kristalkristal es) adalah Qlaten = γ x mair x Lair... (9) Energi yang dilepaskan untuk menurunkan suhu bahan dari titik beku sampai suhu akhir yang dikehendaki adalah Qsensibel < T = mbahan x Cp2 x ( Tf Ts )... (10) b Dengan demikian energi total yang dilepaskan untuk membekukan bahan pangan dan menurunkan suhunya sampai mencapai suhu penyimpanan beku adalah Q p Qsensibel > T + Q b laten + Qsensibel < T b =... (11) F. KAJIAN EKSERGI Konsep eksergi pertama-tama digunakan oleh Ront dari Jerman yang berarti bagian energi yang berguna (Abdullah, et al., 1991). Tingkat kegunaan energi tersebut adalah bagian dari energi yang dapat dikonversikan menjadi kerja mekanis. Analisis eksergi menunjukkan terjadi pengurangan signifikan pada total eksergi yang hilang dan eksergi masukan berupa panas yang harus dipindahkan selama tahap pembekuan. Hal ini dapat diperoleh dengan mengamati sebaran suhu sumber pendingin ketika tahap pembekuan berlangsung. Sebaran suhu sumber pendingin seharusnya memberikan penghematan yang berarti dalam penggunaan energi selama tahap pembekuan (Bruttini R, Crosser O.K, dan Liapis A. I. dalam Hapsoro, 2006). 9

25 Bruttini R, Crosser O.K, dan Liapis A. I. dalam Hapsoro (2006) mengemukakan bahwa perubahan entalpi dan entropi selama tahap pembekuan bisa dihitung dari persamaan 12 dan 17 sebagai berikut: Δ... (12) H f = Qsensibel > T + Q b laten + Qsensibel< T b ΔH fs = m dr (1+y) [Cp 1 (T phc - T a )] γ(m dr ) y ΔH f + m dr (1+y) [Cp 2 (T spds T phc )]... (13) dh fs S 1 S 2 =... (14) T dh fs ΔS fs =... (15) T ΔS fs = γ (mdr ) y ΔH f + m dr (1+ m dr (1+ y)[cp1 (Tphc - Ta )] - y)[cp 2 (Tspds - T... (16) ΔS fs = m T 1+ y) Cp ln T H ) y T + m T (1 + y) Cp ln T phc f dr ( 1 γ ( mdr dr 2 a phc... (17) dimana: m air = m awal bahan x KA m dr = m awal bahan m air y = m m air dr Fraksi air bebas yang merupakan air yang dapat membeku selama proses pembekuan. Fraksi air bebas (γ) dapat dihitung dengan menghitung fraksi air yang tidak dapat membeku sebagai berikut: ln X a = X a = m H f. air. M a 1 1 R g T phc air T a ma M a m + s M M a s spds spds phc... (18)... (19) phc )] M b = KA m KA a... (20) 10

26 m b m γ = m bahan air... (21) Sedangkan panas (Q fs ) yang harus dipindahkan selama tahap pembekuan harus sama dengan perubahan entalpi selama tahap pembekuan, sebagai berikut: ΔQ fs = ΔH fs... (22) Perubahan eksergi, ΔE fs, selama tahap pembekuan didapat dari diferensial persamaan keseimbangan energi sebagai berikut: dq = du + dw... (23) dq dimana dw = p dv, dan = ds, dq = T ds, maka: T T ds = du + p dv... (24) H = U + p V... (25) dh = du + d(pv) = du + p dv + V dp... (26) du + p dv = dh V dp... (27) T ds = dh V dp... (28) V dp = dh T ds... (29) V (p 2 p 1 ) = (H 2 H 1 ) T(S 2 S 1 )... (30) V (p 2 p 1 ) merupakan bentuk lain dari perubahan energi (E), sehingga V (p 2 p 1 ) = ΔE fs, maka perubahan eksergi dapat dihitung dengan persamaan berikut: ΔE fs = ΔH fs T a ΔS fs... (31) dimana eksergi input (E fs ), dalam proses pembekuan, dari panas (Q fs ), y ang harus dipindahkan selama tahap pembekuan, ditetapkan dari persamaan: E fs = Q fs x η max... (32) E fs = ( Tcs Ta ) Q fs... (33) Tcs dan keseimbangan eksergi selama tahap pembekuan diberikan dengan persamaan 34: E l,fs = E fs ΔE fs... (34) Total eksergi yang hilang (E l,fs), menunjukkan jumlah energi yang hilang dalam tiga tahap pembekuan seperti berikut: 11

27 E l,fs = E l,ta Tphc + E l,tphc + E l,fs Tspds... (35) Untuk mendapatkan nilai E l,ta Tphc, E l,tphc, dan E l,fs Tspds secara terpisah dapat dihitung dengan menurunkan persamaan 36 sebagai berikut: E l,fs = E fs ΔE fs... (36) Tcs T a E l,fs = Q fs ( Q fs TaΔS fs) T cs... (37) T T cs a = Q fs + TaΔS fs Q fs T cs... (38) T T cs a = Q fs + TaΔS fs T cs 1... (39) T T T cs a cs = Q fs + TaΔS fs T cs... (40) T a = Q fs + TaΔS fs T cs... (41) Q fs = T a ΔS fs... (42) Tcs Nilai E l,ta Tphc, E l,tphc, dan E l,fs Tspds dapat dihitung dari persamaan : E l,ta Tphc Tphc ( Tphc Ta = T + acp1 mdr (1 y) ln... (43) Ta Tcs E l,tphc = 1 1 T aγ ( mdr y) H f... (44) Tcs Tphc E l,fs Tspds = T spds ( Tspds Tphc T acp2 mdr (1 + y) ln... (45) Tphc Tcs Bruttini R, Crosser O.K, dan Liapis A. I. dalam Hapsoro (2006), menyatakan bahwa untuk mengoptimalkan besarnya eksergi dan mengurangi kehilangan eksergi, nilai irreversibilitas dapat dikurangi dengan memperkecil beda suhu antara media pembeku dengan bahan. Nilai irreversibilitas adalah nilai perubahan (peningkatan) entropi yang terjadi dalam proses termodinamika. 12

28 G. TINJAUAN ATAS PENELITIAN SEBELUMNYA Berdasarkan hasil penelitiannya, Hapsoro (2006) mengemukakan bahwa mesin pembeku suhu bertingkat memberikan suhu evaporasi pada tingkat satu, dua, dan tiga masing-masing adalah C, C, C dan suhu lempeng sentuh (stainless steel) masing-masing untuk tiap tingkat C, C, C menghasilkan nilai COP (Coefficient of Performance) rata-rata Laju pembekuan daging sapi pada mesin pembeku suhu bertingkat adalah 0.93 cm/jam. Laju pembekuan ini masuk dalam kategori pembekuan lambat. Daging sapi yang dibekukan menggunakan suhu media pembeku (wadah produk) masing-masing C, C dan C menghasilkan efisiensi eksergi % dan total kehilangan eksergi kj/kg. Sedangkan jika menggunakan suhu media pembeku -7.8 C, C dan C menghasilkan efisiensi eksergi pembekuan % dan total kehilangan eksergi kj/kg. Efisiensi eksergi akan meningkat dengan naiknya suhu media pembeku dan total kehilangan eksergi akan membesar seiring menurunnya suhu media pembeku. Sedangkan menurut Kamal (2008), pengembangan sistem pembekuan dengan suhu bertingkat (pembeku eksergetik) dari sistem pembekuan konvensional dengan suhu tetap dapat diterapkan untuk model daging sapi segar, dan terbukti dapat meningkatkan efisiensi eksergi sekitar % dari 50.9 % pada sistem pembekuan konvensional hingga sekitar % pada sistem pembekuan eksergetik batch. Menurut Kamal (2008), model sistem pembekuan eksergetik yang dikembangkan dalam penelitiannya dapat mengurangi rusaknya dinding sel jika memperhatikan laju pembekuannya lebih dari 3 cm/jam yang tergolong dalam pembekuan cepat. Dibanding sistem pembekuan suhu tetap maka model sistem pembekuan eksergetik dapat menurunkan kehilangan eksergi dari semula 33.2 kj/kg pada sistem suhu tetap menjadi 19.4 kj/kg pada sistem suhu bertingkat. Penerapan model sistem pembeku eksergetik kontinu pada pembekuan daging sapi memberikan hasil yang signifikan dengan efisiensi eksergi berkisar antara 54.0 % hingga 61.0 %. 13

29 III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan, mulai bulan Maret 2009 dan berakhir pada bulan Juli 2009 dan dilakukan di Laboratorium Pindah Panas dan Massa Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, lnstitut Pertanian Bogor. B. BAHAN DAN ALAT Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel daging sapi dengan ketebalan rata-rata 1 cm, berat rata-rata 40 gram, dan dimensi 6 cm x 8 cm. Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: 1. Mesin pembeku dengan suhu bertingkat (Lampiran 1) 2. Hybrid recorder Yokogawa tipe HR-2500E 3. Electric oil bath model OSK 6401 Seiwa Riko Co. Ltd 4. Termokopel tipe T (C-C) 5. Timbangan digital 6. Kwh meter 7. Photo / contact tachometer tipe DT-2236 C. METODE PENELITIAN 1. Kerangka Pemikiran Penelitian ini menerapkan model sistem pembekuan suhu bertingkat pada proses pembekuan sampel daging sapi. Kerangka pemikiran yang mendasari model tersebut adalah bahwa efisiensi eksergi pembekuan dapat ditingkatkan jika suhu media pembeku disesuaikan dengan kebutuhan suhu proses pada masing-masing tahap pembekuan. Pembekuan dibagi menjadi tiga tahap: tahap I adalah tahap pre-freezing, atau penurunan suhu awal bahan hingga mencapai titik bekunya, tahap II adalah tahap freezing, atau tahap perubahan fase bahan, dan tahap III adalah tahap sub-freezing, atau tahap 14

30 pembekuan lanjut, dimana terjadi penurunan suhu bahan di bawah titik beku. Profil penurunan suhu bahan dan suhu media pembeku pada model sistem pembekuan suhu bertingkat ditunjukkan pada Gambar 3. Gambar 3. Profil Penurunan Suhu Bahan dan Suhu Media Pembeku Pada Model Sistem Pembekuan Suhu Bertingkat (Kamal, 2008). Alur proses penelitian ini tersaji dalam bagan sebagai berikut: Penentuan Suhu Media Pembekuan (T ma, T mf, T mb ) Pengujian Pembekuan Dengan Tiga Macam Perlakuan 1: Tahap1: T ma Tahap2: T mf Tahap3: T mb Perlakuan 2: Tahap1: T mf Tahap2: T mf Tahap3: T mb Perlakuan 3: Tahap1: T mb Tahap2: T mb Tahap3: T mb Perhitungan energi, dan eksergi pembekuan Perhitungan laju pembekuan Perhitungan laju pergerakan bahan Perhitungan efisiensi pembekuan Gambar 4. Bagan Proses Penelitian 15

31 Penentuan suhu media pembeku dilakukan dengan (Kamal, 2008): 1. Menentukan suhu akhir pembekuan yang diharapkan atau suhu penyimpanan sebagai suhu media pembeku tahap III (T mb ). 2. Menentukan suhu media pembeku tahap II (T mf ) berdasarkan laju pembekuan yang diharapkan menggunakan grafik pada Gambar 5. Suhu Media Pembeku Tahap II (T mf ) dalam Celcius Gambar 5. Grafik hubungan suhu media pembeku (T mf ) dengan laju pembekuan (Kamal, 2008). 3. Menentukan suhu media pembeku tahap I (T ma ) berdasarkan efisiensi eksergi dengan persamaan suhu tak berdimensi (T ) pada Gambar Efisiensi eksergi (%) Kehilangan eksergi (kj/kg) y = 9.08x y = 9.06x Rasio Rasio suhu suhu (Tma-Tmf)/(Tma-Tmb) mf mb ) Efisiensi eksergi total (%) Kehilangan eksergi (kj/kg) Gambar 6. Grafik hubungan efisiensi eksergi (%) dan kehilangan eksergi (kj/kg) terhadap T = (T ma -T mf )/(T ma -T mb ) (Kamal, 2008). 16

32 Berdasarkan penentuan suhu media pembeku tersebut, maka beberapa suhu media pembeku yang digunakan pada penelitian kali ini adalah sebagai berikut: Tabel 2. Skenario suhu media pembeku Skenario T ma -5 C -10 C -15 C -5 C -10 C -15 C -20 C T mf -15 C -15 C -15 C -20 C -20 C -20 C -20 C T mb -20 C -20 C -20 C -20 C -20 C -20 C -20 C 2. Pengujian Alat Pengujian alat dilakukan pada subsistem lempeng sentuh. Pada pengujian dilakukan pengukuran suhu media dan produk, serta pengukuran waktu yang dibutuhkan pada tiap tahapan pembekuan. a. Profil Suhu Pembekuan Profil suhu pembekuan merupakan grafik penurunan suhu bahan yang tercatat setiap 5 menit menggunakan alat perekam data (Hybrid recorder). Pengujian proses pembekuan menggunakan produk berupa daging sapi. Pengukuran suhu dilakukan pada titik-titik pengukuran: 1. Suhu evaporator tiap tahapan 2. Suhu lempeng sentuh tiap tahapan 3. Suhu wadah produk 4. Suhu produk Pengukuran suhu bahan yang dibekukan pada tiga titik meliputi bagian bawah bahan (T b.bawah ), tengah bahan (T b.tengah ), dan atas bahan (T b.atas ). T b.atas T b.tengah T b.bawah x Gambar 7. Titik-titik pengukuran suhu pada bahan. 17

33 5. Suhu kondensor 6. Suhu lingkungan b. Perpindahan wadah Perpindahan wadah adalah kecepatan pergerakan wadah dari awal hingga akhir lempeng pembeku. c. Waktu Pembekuan Waktu pembekuan adalah lamanya waktu yang dibutuhkan mulai suhu permukaan bahan 0 C hingga suhu pusat termal bahan mencapai -5 C. Dalam pengujian ini, suhu permukaan bahan paling cepat mencapai 0 C adalah suhu permukaan bawah, sedangkan suhu pusat termal bahan adalah suhu permukaan atas. 18

34 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KINERJA SISTEM PEMBEKU DENGAN SUHU BERTINGKAT 1. Profil Suhu Bahan dan Media Pembeku Profil sebaran suhu daging sapi pada setiap skenario proses pembekuan dengan metode pembekuan lempeng sentuh suhu bertingkat dapat dilihat pada Gambar Suhu (C) Suhu (C) Suhu (C) Waktu (menit) (a) Waktu (menit) (b) Waktu (menit) (c) Tb. b.bawah Bawah Tb. b.tengah Tengah Tb. b.atas Atas Tma Tmf Tmb Tb. b.bawah Bawah Tb. b.tengah Tengah Tb. b.atas Atas Tma Tmf Tmb Tb. b.bawah Bawah Tb. b.tengah Tengah Tb. b.atas Atas Tma Tmf Tmb Gambar 8a. Grafik sebaran suhu pembekuan daging sapi, (a) Skenario 1, (b) Skenario 2, (c) Skenario 3. 19

35 10.0 Suhu (C) Tb. b.bawah Bawah Tb. b.tengah Tengah Tb. b.atas Atas Tma Tmf Tmb Waktu (menit) (d) Suhu (C) Tb. b.bawah Bawah Tb. b.tengah Tengah Tb. b.atas Atas Tma Tmf Tmb Waktu (menit) (e) 40.0 Suhu (C) Waktu (menit) (f) Tb. b.bawah Bawah Tb. b.tengah Tengah Tb. b.atas Atas Tma Tmf Tmb Suhu (C) Waktu (menit) Tb. b.bawah Bawah Tb. b.tengah Tengah Tb. b.atas Atas Tma Tmf Tmb (g) Gambar 8b. Grafik sebaran suhu pembekuan daging sapi, (d) Skenario 4, (e) Skenario 5, (f) Skenario 6, (g) Skenario 7 20

36 Gambar 8 memperlihatkan grafik sebaran suhu bahan pada bagian bawah, tengah, dan atas, serta suhu media pembeku tahap I (T ma ), suhu media pembeku tahap II (T mf ), dan suhu media pembeku tahap III (T mb ). Media pembeku merupakan media yang digunakan untuk menurunkan suhu bahan, dimana suhu media pembeku memilki suhu yang lebih rendah daripada suhu bahan yang akan dibekukan. Media pembeku yang digunakan berupa lempeng yang terbuat dari bahan Stainless steel. Lempeng tersebut didinginkan oleh refrigeran yang mengalir dalam koil-koil yang berada tepat di bawah lempeng. Suhu media pembeku terbagi menjadi tiga tahap yaitu tahap I (T ma ), tahap II (T mf ), dan tahap III (T mb ). Suhu media diatur secara manual dengan mengatur katup ekspansi untuk setiap tahapnya sesuai dengan kebutuhan. Suhu media rata-rata pada pembekuan ini tercantum pada Tabel 3. Tabel 3. Suhu media pembeku sasaran dan rata-rata pengukuran Suhu media pembeku ( C) Keterangan Sasaran Rata-rata Pengukuran T ma T mf T mb T ma T mf T mb Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Pindah panas yang terjadi pada mesin pembeku tipe lempeng sentuh adalah secara konduksi. Perpindahan panas secara konduksi mengakibatkan sebaran suhu yang tidak merata pada bahan. Pada bahan bagian bawah paling cepat mengalami penurunan suhu karena bagian ini bersentuhan langsung dengan media pembeku. Sedangkan pada bahan bagian atas paling lambat mengalami penurunan suhu karena bagian ini terletak paling jauh dari media pembeku sehingga bagian ini merupakan bagian yang paling lama membeku. Menurut Moran dan Shapiro (2004), perpindahan secara konduksi dapat dibayangkan sebagai perpindahan energi akibat interaksi antar partikel dari suatu zat, dari partikel yang lebih aktif ke partikel yang kurang aktif. Proses pembekuan terjadi dalam tiga tahapan yaitu tahap pendinginan di atas titik beku, tahap pembekuan, dan tahap pendinginan di bawah titik 21

37 beku. Tahap pendinginan di atas titik beku menurunkan suhu bahan awal mencapai titik bekunya. Penurunan suhu bahan tersebut merupakan akibat dari pelepasan panas sensibel bahan. Pada pembekuan daging sapi, suhu awal bahan diturunkan hingga mencapai suhu -2 C (Soeparno, 1994). Pada tahap pembekuan tidak terjadi penurunan suhu, akan tetapi terjadi perubahan fase cairan menjadi padat (kristal) sebagai akibat dari pelepasan panas laten bahan. Hal tersebut ditunjukkan dengan terjadinya fase stabil pembekuan setelah titik beku bahan tercapai. Tahap pendinginan di bawah titik beku menurunkan suhu titik beku bahan hingga suhu pusat panas bahan mencapai -18 C, yaitu suhu yang aman untuk penyimpanan produk. Sama dengan tahap pendinginan di atas titik beku, pada tahap pendinginan di bawah titik beku juga terjadi pelepasan panas sensibel bahan yang menjadikan penurunan suhu bahan hingga suhu yang aman untuk penyimpanannya. Gambar 9 menunjukkan kondisi daging sapi sebelum dan sesudah mengalami proses pembekuan. (a) (b) Gambar 9. (a) Daging sapi sebelum dibekukan, (b) Daging sapi sesudah dibekukan 22

38 2. Sistem Refrigerasi Mesin Pembeku Sebelum mengevaluasi performa dari suatu sistem pendinginan, istilah efektivitas harus digambarkan terlebih dahulu. Indeks dari performa tidak disebut sebagai efisiensi, karena istilah ini pada umumnya disediakan untuk perbandingan keluaran dan masukan. Perbandingan antara keluaran ke masukan akan menyesatkan jika digunakan untuk sistem pendinginan karena keluaran pada proses 2-3 (Gambar 11) umumnya dibuang (Stoecker dan Jones, 1982). Namun konsep dari indeks performa dari siklus pendinginan adalah sama dengan efisiensi, oleh karena itu dapat dibuat perbandingan: Besarnya kebutuhan bahan Besarnya pengeluaran... (46) (a) (b) Gambar 10. (a) Siklus Carnot Pendinginan; (b) Diagram hubungan temperaturentropi Siklus Carmot Pendinginan. (Stoecker dan Jones, 1982) Istilah performa pada siklus pendinginan disebut Koefisien Performansi atau Coefficient Of Peformance (COP), didefinisikan sebagai: Efek Refrigerasi COP =... (47) Kerja Bersih Kompresor COP didefinisikan sebagai jumlah pendinginan yang dapat diproduksi per satuan kerja. Nilai COP dihitung dengan membagi nilai panas yang dipindahkan ruang pendingin dengan input kerja aktual kompresor (Silalahi, 2006). 23

39 Mesin pembeku tipe lempeng sentuh dengan suhu bertingkat menggunakan sistem multi-evaporator. Siklus yang terjadi pada sistem refrigerasi kompresi uap multi-evaporator terlihat pada Gambar 11. Persamaan yang digunakan untuk mendapatkan nilai COP dari sistem refrigerasi kompresi uap multi-evaporator sebagai berikut: ma ( h4a h1 a ) + mb ( h4b h1 b ) + mc ( h4c h1 c ) COP =... (48) (m + m + m )( h h ) a b c 2 1 h 1 m = a h 1a m + m a b h + m 1b b + m + m c c h 1c... (49) Tekanan (P) a m a 1 a 4 b 4 c m b m c 1 c 1 b 1 Enthalpi (h) Gambar 11. Diagram Tekanan-Entalpi (P-h diagram) untuk sistem ideal refrigerasi multi-evaporator Perhitungan COP melibatkan sifat-sifat termal refrigeran R-12 yang digunakan dalam penelitian ini, maka nilai COP dihitung menggunakan diagram hubungan Tekanan-Entalpi untuk refrigeran R-12 (Lampiran 3). Suhu evaporator I, II, dan III = -7.9 C, C, dan Suhu kondensor = 31.1 C Berdasarkan suhu evaporator dan kondensor tersebut dapat ditentukan entalpi refrigeran: Efek refrigerasi tahap I = h 4c h 1c = kj/kg Efek refrigerasi tahap II = h 4b h 1b = kj/kg 24

40 Efek refrigerasi tahap III = h 4a h 1a = kj/kg Kerja kompresor = h 2 h 1 = kj/kg COP = ( ) / (3)(25.903)) = 4.44 Berdasarkan Tabel 4 dapat dilihat bahwa nilai COP pembekuan daging sapi antara 3.66 hingga Semakin tinggi nilai COP mengindikasikan bahwa kerja sistem refrigerasi semakin baik, begitu pula untuk kondisi sebaliknya. Tabel 4. Hasil pengujian sistem refrigerasi lempeng sentuh dengan suhu bertingkat Keterangan T ( C) efek refrigerasi (kj/kg) COP T evap Skenario 1 T evap T evap T kon 31.1 T evap Skenario 2 T evap T evap T kon 33.0 T evap Skenario 3 T evap T evap T kon 34.0 T evap Skenario 4 T evap T evap T kon 31.2 T evap Skenario 5 T evap T evap T kon 31.2 T evap Skenario 6 T evap T evap T kon 33.2 T evap Skenario 7 T evap T evap T kon

41 3. Sistem Perpindahan Wadah Sistem perpindahan wadah yang digunakan pada mesin pembeku tipe lempeng sentuh adalah sistem perpindahan secara kontinu. Wadah akan berpindah dari tahap I hingga tahap III dengan dibantu poros berulir yang digerakkan oleh motor listrik (Gambar 12). Pengujian perpindahan wadah produk dilakukan pada kondisi mesin pembeku sedang beroperasi dan kondisi mesin tidak beroperasi. Poros berulir Motor listrik Wadah produk Gambar 12. Sistem perpindahan wadah Pada Tabel 5 terlihat bahwa terdapat perbedaan kecepatan wadah antara kondisi mesin pembeku sedang beroperasi dan kondisi mesin pembeku tidak beroperasi. Kecepatan perpindahan wadah pada kondisi mesin pembeku beroperasi lebih rendah daripada kecepatan perpindahan wadah pada kondisi mesin pembeku tidak beroperasi. Hal tersebut karena adanya gesekan antara wadah dengan tumpukan bunga es yang menutupi lempeng pembeku. Gesekan tersebut menyebabkan perpindahan wadah menjadi terhambat sehingga kecepatan perpindahan wadah menurun. Ketebalan bunga es pada lempeng pembeku berpengaruh terhadap gesekan yang ditimbulkan dan kecepatan perpindahan wadah. Semakin tebal tumpukan bunga es, mengakibatkan semakin besar gesekan sehingga kecepatan perpindahan wadah menurun. Sebaliknya, semakin tipis tumpukan bunga es, kecepatan perpindahan wadah semakin meningkat. Berdasarkan penelitian Hapsoro (2006) dikatakan bahwa suhu wadah produk akan meningkat seiring dengan perpindahan wadah produk. Hal ini 26

42 dikarenakan pergerakan wadah produk akan menimbulkan gesekan antara wadah produk dengan media yang akan menghasilkan panas. Tabel 5. Hasil pengujian sistem perpindahan wadah Keterangan Jarak Waktu Kecepatan Kecepatan perpindahan (detik) (m/s) (m/menit) (cm) rps rpm Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Tanpa pembekuan Tanpa pembekuan Tanpa pembekuan Motor Motor Motor Laju Pembekuan Tabel 6 menyajikan laju pembekuan daging sapi pada sistem pembeku lempeng sentuh dengan suhu bertingkat. Tabel 6. Laju pembekuan daging sapi dengan metode pembekuan lempeng sentuh suhu bertingkat Keterangan Tebal bahan Suhu media pembeku Waktu pembekuan Laju pembekuan (cm) ( C) (menit) (cm/jam) Skenario Skenario Skenario Penelitian Skenario ini Skenario Skenario Skenario Hapsoro (2006) Kamal (2008) Tabel 6 memperlihatkan bahwa laju pembekuan terkecil adalah 0.74 cm/jam, sedangkan laju pembekuan terbesar adalah 1.78 cm/jam. Dari hasil 27

43 tersebut maka pembekuan yang terjadi termasuk ke dalam pembekuan lambat. Begitu pula dengan kedua penelitian terdahulu yang menunjukkan laju pembekuan lambat untuk bahan dan sistem pembeku yang sama. Menurut King dalam Ruliyana (2004) pembekuan yang tergolong ke dalam pembekuan lambat jika untuk ketebalan 1 cm bahan yang akan dibekukan membutuhkan waktu 30 menit atau lebih. Kualitas produk yang dibekukan secara cepat akan berbeda signifikan dengan produk yang dibekukan secara lambat. Laju pembekuan cepat akan menghasilkan kristal es berukuran kecil, sehingga tidak merusak struktur sel yang dibekukan. Sedangkan laju pembekuan lambat dapat memberi kesempatan terjadinya pertumbuhan kristal, sehingga kristal es yang dihasilkan berukuran besar dan menyebabkan rusaknya dinding sel bahan (Desrosier, 1988). Tressler dan Evers (1957) menyatakan bahwa ketika daging dibekukan secara lambat, kristal es yang terbentuk relatif besar dan sebagian terletak di luar serabut otot. Sedangkan dalam pembekuan secara cepat, kristal es yang terbentuk mempunyai ukuran yang jauh lebih kecil dari kristal es hasil pembekuan lambat dan terletak di seluruh serabut otot. Laju pembekuan suatu produk dipengaruhi oleh dua faktor penting, meliputi faktor internal dan eksternal. Faktor internal merupakan hal-hal yang mempengaruhi laju pembekuan yang berasal dari dalam bahan yang akan dibekukan itu sendiri, berupa sifat termofisik bahan. Sedangkan faktor eksternal berkaitan dengan metode pembekuan yang digunakan meliputi suhu media yang digunakan dan mode perpindahan panas yang terjadi (Anggraheni, 2003). Menurut Tambunan (2003), laju pembekuan dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya tebal bahan yang dibekukan, suhu media pembeku, titik beku bahan, dan panas laten pembekuan bahan. Laju pembekuan pada sistem pembeku lempeng sentuh dengan suhu bertingkat dapat ditingkatkan dengan cara memperbaiki kontak antara media pembeku dan wadah produk sehingga proses pambekuan lebih optimal. 28

44 B. ANALISIS ENERGI DAN EKSERGI PEMBEKUAN Analisis energi mempergunakan hukum termodinamika pertama untuk merumuskan energi. Hukum termodinamika pertama merupakan hukum konservasi energi. Energi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan, hanya diubah dari satu bentuk ke bentuk yang lain. Jumlah total energi adalah konstan, energi yang masuk ke dalam sistem sama dengan energi yang keluar dari sistem (Hapsoro, 2006). Sedangkan konsep analisis eksergi merupakan suatu metode yang menggunakan prinsip-prinsip kekekalan massa dan kekekalan energi bersama dengan hukum kedua termodinamika untuk perancangan dan analisis sistem termal (Moran dan Shapiro, 2004). Hukum kedua termodinamika menyatakan bahwa dalam suatu siklus, kerja diberikan ke lingkungan dengan imbalan pengambilan kalor dari lingkungan oleh sistem, tetapi besarnya kerja yang dihasilkan tidak sama dengan kalor yang diambil. Satu kesimpulan penting dari hukum kedua termodinamika adalah suatu sistem yang bekerja sebagai suatu siklus tidak dapat memindahkan kalor dari bagian yang bertemperatur lebih rendah ke bagian yang bertemperatur lebih tinggi, tanpa penambahan kerja pada sistem oleh lingkungan (Kulshertha, 1989). Setiap proses termal menghasilkan energi berguna dan energi yang tidak dapat digunakan dalam proses tersebut. Energi yang tidak dapat digunakan tersebut menjadi waste dan merupakan kerugian. Analisis energi digunakan untuk menghitung keseimbangan energi, sedangkan analisis eksergi digunakan untuk menentukan kerja teoritis maksimal yang dapat digunakan sehingga meminimalkan energi yang tidak dapat digunakan (Kamal, 2008). 1. Kajian Energi Pembekuan Kebutuhan energi pada suatu proses pembekuan sangat diperlukan dalam rangka memperoleh gambaran penggunaan energi per kg output produk. Hasil perhitungan kebutuhan energi pada pembekuan daging sapi dapat dilihat pada Tabel 7. Energi pada proses pembekuan dengan suhu bertingkat terdiri dari energi listrik, energi mekanis, dan energi panas. Energi yang digunakan untuk 29

45 menggerakkan kompresor diperoleh dari energi listrik yang diubah menjadi energi mekanis (kerja). Kerja tersebut digunakan untuk mengambil panas bahan di ruang pembeku dan melepaskannya ke lingkungan. Proses pembekuan merupakan proses pengambilan panas bahan oleh suhu media pembeku. Pengambilan panas oleh media pembeku mempengaruhi kerja kompresor. Semakin cepat pengambilan panas, maka semakin rendah suhu media pembeku sehingga kerja kompresor semakin besar. Dan sebaliknya, jika suhu media pembeku semakin tinggi, maka kerja kompresor semakin kecil (Kamal, 2008). Energi yang dilepaskan oleh bahan pada saat proses pembekuan berupa panas sensibel dan panas laten. Pelepasan panas sensibel terjadi pada tahap I dan tahap III yang menyebabkan terjadinya penurunan suhu bahan. Sedangkan panas laten tidak menyebabkan penurunan suhu bahan, namun menyebabkan terjadinya perubahan fase bahan dari cair ke padat (kristal es) pada tahap II. Berdasarkan perhitungan didapatkan besarnya energi spesifik berkisar antara kj/kg hingga kj/kg. Tabel 7. Analisis kebutuhan energi pada pembekuan daging sapi dengan metode pembekuan lempeng sentuh suhu bertingkat Keterangan Massa bahan Total energi pembekuan Lama pembekuan Total input energi Total input energi Energi Spesifik Efisiensi energi (kg) (kj) (menit) (kj) (kwh) (kj/kg) (%) Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Skenario Hapsoro (2006) Kamal (2008) Total energi input diperoleh dari kwh-meter yang dicatat mulai dari awal hingga akhir proses pembekuan. Hasil dari alat ukur mempunyai satuan kwh yang selanjutnya dikonversikan menjadi kj (Kilojoule). Nilai total energi input terbesar adalah 9720 kj, sedangkan nilai total energi input terkecil adalah 7200 kj. Energi tersebut digunakan untuk menggerakkan 30

46 kompresor sehingga terjadi penurunan suhu media pembeku. Dengan demikian energi input dipengaruhi oleh media pembeku yang diterapkan dan lamanya proses pembekuan berlangsung. 2. Kajian Eksergi Pembekuan Kajian eksergi dilakukan untuk melihat efektivitas penggunaan energi pada setiap tahap dalam proses pembekuan tersebut. Tabel 8 menunjukkan hasil perhitungan perubahan, kehilangan, dan efisiensi eksergi pada berbagai skenario proses pembekuan daging sapi dengan dengan metode pembekuan lempeng sentuh suhu bertingkat. Total kehilangan eksergi selama proses pembekuan berkisar antara kj/kg hingga kj/kg. Total kehilangan eksergi terbesar terdapat pada skenario 7 (T ma = -20 C, T mf = -20 C, T mb = -20 C), sedangkan total kehilangan eksergi terkecil terdapat pada skenario 1 (T ma = -5 C, T mf = -15 C, T mb = -20 C). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Kamal (2008) bahwa nilai rata-rata kehilangan eksergi pembekuan dengan suhu tetap (tanpa suhu bertingkat) jauh lebih besar jika dibandingkan dengan rata-rata kehilangan eksergi pembekuan dengan suhu bertingkat. Berdasarkan tabel 8 dapat dilihat bahwa kehilangan eksergi terbesar terjadi pada saat penurunan suhu bahan dari suhu awal ke titik beku dan saat pembekuan air bebas bahan. Untuk meningkatkan efisiensi penggunaan energi pembekuan, Bruttini, et. al. dalam Tambunan (2003) merekomendasikan pengendalian kehilangan eksergi pada kedua tahapan tersebut melalui pengaturan suhu media pembeku. Dari persamaan (43) hingga (45) dapat dirunut bahwa faktor yang mempengaruhi kehilangan eksergi meliputi suhu awal lingkungan, suhu media pembeku, perubahan entalpi/panas yang dipindahkan dan perubahan entropi. Eksergi input pada proses pembekuan berkisar antara kj/kg hingga kj/kg. Rata-rata efisiensi eksergi pembekuan berkisar antara 48.03% hingga 59.21%, dimana efisiensi eksergi terendah pada skenario 7 dan efisiensi eksergi tertinggi pada skenario 1. Nilai efisiensi yang semakin meningkat menunjukkan bahwa kehilangan eksergi yang menurun. 31

47 Besarnya perubahan entalpi atau panas yang dipindahkan (Q fs /ΔH fs ) setara dengan nilai total energi pembekuan pada kajian energi. Nilai negatif hanya menunjukkan bahwa panas dilepaskan dari sistem. Sasaran analisis eksergi adalah untuk mengetahui sisi kehilangan eksergi. Bruttini et. al. dalam Tambunan (2003) menyatakan bahwa kehilangan eksergi (E l,fs) yang terjadi dalam proses pembekuan meliputi kehilangan eksergi pada saat penurunan suhu bahan dari suhu awal ke suhu titik beku bahan (E l,ta Tphc), pembekuan air bebas dalam bahan (E l,tphc) dan penurunan suhu bahan dari suhu titik beku ke suhu akhir pembekuan (E l,fs Tspds). Kehilangan eksergi merujuk pada irreversibilitas (ketidakmampubalikan) dalam proses pembekuan. Ketika persamaan eksegi digunakan, penting untuk mengingat hukum kedua termodinamika tentang irreversibilitas: bahwa nilai irreversibilitas positif ketika irreversibilitas itu ada dalam sistem dan negatif ketika tidak ada irreversibilitas. Akan tetapi nilai irreversibilitas tidak mungkin negatif jika proses berlangsung secara spontan. Dalam kaitannya dengan hal ini, nilai kehilangan eksergi yang semakin tinggi menunjukkan bahwa semakin besar nilai irreversibilitas (Moran dan Shapiro, 2004). 32

48 Tabel 8. Analisis eksergi pembekuan daging sapi dengan metode pembekuan lempeng sentuh suhu bertingkat Skenario Keterangan Hapsoro (2006) Kamal (2008) Suhu lingkungan ( C) Suhu media pembeku tahap 1 ( C) Suhu media pembeku tahap 2 ( C) Suhu media pembeku tahap 3 ( C) Massa bahan kering (kg) Fraksi air beku Perubahan entalpi selama pembekuan (Q fs /ΔH fs ) (kj/kg) Perubahan entropi selama pembekuan (kj/kg. o C) Perubahan eksergi pembekuan (kj/kg) Input eksergi (kj/kg) Total input energi (kj) Total kehilangan eksergi (kj/kg) Kehilangan eksergi tahap I (kj) Kehilangan eksergi tahap II (kj) Kehilangan eksergi tahap III (kj) Efisiensi eksergi (%)

49 Efisiensi eksergi (%) y = x x R 2 = Efisiensi Eksergi COP Gambar 13. Grafik hubungan COP dan efisiensi eksergi Gambar 13 menunjukkan grafik hubungan antara nilai COP (Coefficient Of Peformance) dan efisiensi eksergi. Berdasarkan grafik tersebut diketahui bahwa COP berbanding lurus secara kuadratik dengan efisiensi eksergi. Persamaan yang dihasilkan dari hubungan tersebut adalah y = x x dimana x adalah nilai COP dan y adalah nilai efisiensi eksergi. y = x x R 2 = y = x x R 2 = Rasio suhu (T ma -T mf )/(T ma -T mb ) Gambar 14. Grafik hubungan efisiensi eksergi (%) dan kehilangan eksergi (kj/kg) terhadap rasio suhu (T ma -T mf )/(T ma -T mb ) 34

50 Gambar 14 menunjukkan grafik hubungan rasio suhu terhadap efisiensi eksergi dan kehilangan eksergi. Grafik tersebut merupakan gabungan antara penelitian ini dan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Kamal (2008). Berdasarkan grafik tersebut diketahui bahwa rasio suhu berbanding secara kuadratik dengan kehilangan eksergi dan efisiensi eksergi. Grafik tersebut dapat digunakan untuk menentukan suhu media pembeku tahap I (T ma ) karena merupakan penyempurnaan dari Gambar 6 yang diperoleh pada penelitian sebelumnya. 35

51 V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN 1. Efisiensi eksergi semakin turun seiring dengan semakin rendahnya suhu media Tmf, dengan asumsi suhu media T ma dan T mb tetap. Nilai efisiensi eksergi pada Skenario 1 (T ma = -5 C, T mf = -15 C, T mb = -20 C) sebesar %, sedangkan pada Skenario 4 (T ma = -5 C, T mf = -20 C, T mb = -20 C) sebesar %. 2. Laju pembekuan yang terjadi antara 0.74 cm/jam hingga 1.78 cm/jam. Dari hasil tersebut maka pembekuan yang terjadi tergolong ke dalam pembekuan lambat. 3. Suhu media pembekuan yang paling optimal adalah skenario 1 (T ma = -5 C, T mf = -15 C, T mb = -20 C) dengan nilai COP 4.44, laju pembekuan 0.74 cm/jam, efisiensi energi 0.17%, efisiensi eksergi 56.93%, dan total energi input 2.45 kwh. 4. Sistem perpindahan wadah dipengaruhi adanya bunga es yang timbul pada permukaan lempeng media pembeku. Semakin tebal tumpukan bunga es, makin besar gesekan sehingga kecepatan perpindahan wadah menurun, dan sebaliknya, semakin tipis tumpukan bunga es, kecepatan perpindahan wadah semakin meningkat. 36

52 B. SARAN 1. Perlu penelitian lanjutan mengenai sistem perpindahan wadah yang baik untuk mesin pembeku dengan suhu bertingkat. 2. Perlu penelitian lanjutan dengan beberapa skenario untuk melengkapi data grafik penentuan suhu media pembeku tahap I. 3. Disain pintu pemasukan dan pengeluaran produk yang baik sangat diperlukan untuk mengurangi masuknya panas dari luar ke ruang pembeku. 4. Perlu dikembangkan sistem kontrol suhu pada mesin pembeku dengan suhu bertingkat agar proses pembekuan lebih optimal. 5. Perlu dicari sensor suhu yang baik terutama pada bahan yang dibekukan agar perpindahan wadah tidak terganggu. 37

53 DAFTAR PUSTAKA Abdullah, K., et al., Energi dan Listrik Pertanian. JICA. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Anggraheni, A. D Kajian Energi Pembekuan Ikan Patin dan Ayam Broiler Dengan Metode Lempeng Sentuh dan Vakum. Skripsi. Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Desrosier, N The Technology of Food Preservation. The AVI pub. Co., Westport, Connecticut. Fellows, P Food Processing Technology. Woodhead Publishing Limited, Cambridge, England. Hapsoro, W Rancangan Sistem Perpindahan Produk di dalam Mesin Pembeku Tipe Lempeng Sentuh Dengan Tiga Tingkat Suhu. Skripsi. Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Heldman, D.R and R.P. Singh Food Process Engineering 2 nd ed. AVI Pub. Co., Westport, Connecticut. Kamal, D. M., A. H. Tambunan, S. T. Soekarto, Radite Praeko A. S Pengaruh Suhu Media Pembeku Terhadap Efisiensi Eksergi dan Laju Pembekuan. Jurnal Keteknikan Pertanian. Vol 21 : Kamal, D.M Pemodelan Sistem Pembekuan Dengan Suhu Media Pembeku Bertingkat Pada Proses Pembekuan Daging Sapi Segar Menggunakan Metode Eksergi. Disertasi. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Kulshrestha, S.K Buku Teks Termodinamika Terpakai, Teknik Uap dan Panas. UI-press, Jakarta. Lisnawati, Y Mempelajari Pengaruh Laju Pembekuan Dan Suhu Permukaan Bahan Terhadap Waktu Pengeringan Beku Daging Sapi Giling. Skripsi. Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Moran, M.J. and Shapiro, H.N Termodinamika Teknik. Erlangga, Jakarta. Natasasmita, S., et al Pengantar Evaluasi Daging. Fakultas Peternakan. Institut Peratanian Bogor, Bogor. 38

54 Nilsson, T Technical Aspect Of Freezing Meat. Institute of Food Science and Tchnology, Dublin. Rachmawan, O Penanganan Daging. Modul Program Keahlian Teknologi Hasil Pertanian. Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan Jakarta. Rohanah, A Karakteristik Pembekuan Vakum dan Pembekuan Lempeng Sentuh Pulp Markisa. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Ruliyana, R Rancang Bangun Mesin Pembeku Tipe Hembusan Udara dan Tipe Lempeng Sentuh Untuk Pembekuan Fillet Ikan Patin. Skripsi. Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. San Francisco Maritime Park Association Submarine Refrigerating and Air-Conditioning Systems. chap12.htm. [15 Juni 2009] Silalahi, S. R Analisis Eksergi Penggunaan Refrigeran Pada Sistem Refrigerasi Kompresi Uap. Skripsi. Departemen Teknik Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Soeparno Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Stoecker, W. F. and Jones, J. W Refrigeration and Air Conditioning. McGraw-Hill, Inc., Singapore. Tambunan, A. H Teknik Pendinginan. Jurusan Teknik Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tambunan, A. H., Srimudiastuti P., Anastasya D. A Karakteristik dan Analisis Eksergi Pembekuan Ikan Patin dan Ayam Broiler. Jurnal Keteknikan Pertanian. Vol 17 : Tressler, D. K. and Evers, C. F Freezing Preservation of Foods. The AVI Publishing Company, Westport. 39

55 LAMPIRAN 40

56 Lampiran 1. Gambar mesin pembeku dengan suhu bertingkat Sumber: Kamal (2008) 41

57 Lampiran 1. (lanjutan) Sumber: Kamal (2008) 42

58 Lampiran 2. Spesifikasi Mesin Pembeku Ruangan Bahan dinding insulasi : Bambu laminasi Panjang : 250 cm Lebar : 40 cm Tinggi : 50 cm Tebal : 1.8 cm Lempeng Pembeku Bahan Panjang Lebar Tinggi Tebal : Stainless steel : 207 cm : 27 cm : 2.5 cm : 0.12 cm Wadah Produk Bahan Panjang Lebar Tinggi Tebal : Stainless steel : 25 cm : 20 cm : 6 cm : 0.12 cm Kompresor Model : TA 500 B Daya Kompresor : 1.5 kw (2HP) Kapasitas : 2360 kcal/hr (2.74 kw) RPM : 410 Phase / Volt : 3 / 380 Refrigeran : R-12 Kondensor Model : TA

59 Lampiran 2. (lanjutan) Katup Ekspansi (3 buah) Merek : Danfoss Model : TF2 Refrigeran : R-12 Evaporator Panjang total : 540 cm Bagian : 18 Jarak lempeng : 69 cm (tiap tahapan) Diameter pipa : 5/8 inch 44

60 Lampiran 3. Diagram Tekanan-Entalpi untuk Refrigeran-12 45

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan, mulai bulan Maret 2009 dan berakhir pada bulan Juli 2009 dan dilakukan di Laboratorium Pindah Panas dan Massa Departemen

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Pindah Panas dan Massa, Bagian Energi dan Elektrifikasi Departemen Teknik Pertanian IPB. Penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Mesin Pembeku Eksergetik Pengujian pergerakan bahan pada proses pembekuan produk dengan kecepatan pergerakan bahan dari.95 cm/min mencapai 7.6 cm/min. Arah pergerakan produk adalah

Lebih terperinci

KAJIAN ENERGI PEMBEKUAN DAGING SAPI MENGGUNAKAN MESIN PEMBEKU TIPE LEMPENG SENTUH DENGAN SUHU PEMBEKUAN BERUBAH ANICA ROSALINA GIRSANG

KAJIAN ENERGI PEMBEKUAN DAGING SAPI MENGGUNAKAN MESIN PEMBEKU TIPE LEMPENG SENTUH DENGAN SUHU PEMBEKUAN BERUBAH ANICA ROSALINA GIRSANG KAJIAN ENERGI PEMBEKUAN DAGING SAPI MENGGUNAKAN MESIN PEMBEKU TIPE LEMPENG SENTUH DENGAN SUHU PEMBEKUAN BERUBAH ANICA ROSALINA GIRSANG DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

KAJIAN EKSERGI SISTEM PEMBEKUAN TEMULAWAK DENGAN SUHU MEDIA PEMBEKU BERTAHAP PADA MESIN PEMBEKU TIPE LEMPENG SENTUH TIARA ETIKA S.

KAJIAN EKSERGI SISTEM PEMBEKUAN TEMULAWAK DENGAN SUHU MEDIA PEMBEKU BERTAHAP PADA MESIN PEMBEKU TIPE LEMPENG SENTUH TIARA ETIKA S. KAJIAN EKSERGI SISTEM PEMBEKUAN TEMULAWAK DENGAN SUHU MEDIA PEMBEKU BERTAHAP PADA MESIN PEMBEKU TIPE LEMPENG SENTUH TIARA ETIKA S. DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Eksergi Proses Pembekuan

TINJAUAN PUSTAKA Konsep Eksergi Proses Pembekuan TINJAUAN PUSTAKA Konsep Eksergi Proses Pembekuan Proses pembekuan merupakan kombinasi perpindahan panas, massa, dan momentum secara simultan antara bahan dan media pembekunya. Perpindahan panas tersebut

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 1. Waktu dan Tempat Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Juni 2007 Mei 2008 di Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Kampus IPB, Bogor. 2. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Properti Termodinamika Refrigeran Untuk menduga sifat-sifat termofisik masing-masing refrigeran dibutuhkan data-data termodinamik yang diambil dari program REFPROP 6.. Sedangkan

Lebih terperinci

PENGARUH STUDI EKSPERIMEN PEMANFAATAN PANAS BUANG KONDENSOR UNTUK PEMANAS AIR

PENGARUH STUDI EKSPERIMEN PEMANFAATAN PANAS BUANG KONDENSOR UNTUK PEMANAS AIR PENGARUH STUDI EKSPERIMEN PEMANFAATAN PANAS BUANG KONDENSOR UNTUK PEMANAS AIR Arif Kurniawan Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang; Jl.Raya Karanglo KM. 2 Malang 1 Jurusan Teknik Mesin, FTI-Teknik Mesin

Lebih terperinci

Studi Eksperimen Pemanfaatan Panas Buang Kondensor untuk Pemanas Air

Studi Eksperimen Pemanfaatan Panas Buang Kondensor untuk Pemanas Air Studi Eksperimen Pemanfaatan Panas Buang Kondensor untuk Pemanas Air Arif Kurniawan Jurusan Teknik Mesin Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang E-mail : arifqyu@gmail.com Abstrak. Pada bagian mesin pendingin

Lebih terperinci

ANALISIS EKSERGI PENGGUNAAN REFRIGERAN PADA SISTEM REFRIGERASI KOMPRESI UAP. Oleh : SANTI ROSELINDA SILALAHI F

ANALISIS EKSERGI PENGGUNAAN REFRIGERAN PADA SISTEM REFRIGERASI KOMPRESI UAP. Oleh : SANTI ROSELINDA SILALAHI F ANALISIS EKSERGI PENGGUNAAN REFRIGERAN PADA SISTEM REFRIGERASI KOMPRESI UAP Oleh : SANTI ROSELINDA SILALAHI F14101107 2006 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengeringan Pengeringan adalah proses mengurangi kadar air dari suatu bahan [1]. Dasar dari proses pengeringan adalah terjadinya penguapan air ke udara karena perbedaan kandungan

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR PERANCANGAN MESIN PEMBUAT ES BALOK KAPASITAS 2 TON PERHARI UNTUK MENGAWETKAN IKAN NELAYAN DI PANTAI MEULABOH ACEH

TUGAS AKHIR PERANCANGAN MESIN PEMBUAT ES BALOK KAPASITAS 2 TON PERHARI UNTUK MENGAWETKAN IKAN NELAYAN DI PANTAI MEULABOH ACEH TUGAS AKHIR PERANCANGAN MESIN PEMBUAT ES BALOK KAPASITAS 2 TON PERHARI UNTUK MENGAWETKAN IKAN NELAYAN DI PANTAI MEULABOH ACEH Diajukan guna melengkapi sebagaian syarat dalam mencapai gelar Sarjana Strata

Lebih terperinci

SKRIPSI PENGARUH PENGGANTIAN REFRIGERAN R-12 MENJADI R-22 PADA PERFORMANSI MESIN PEMBEKU

SKRIPSI PENGARUH PENGGANTIAN REFRIGERAN R-12 MENJADI R-22 PADA PERFORMANSI MESIN PEMBEKU SKRIPSI PENGARUH PENGGANTIAN REFRIGERAN R-12 MENJADI R-22 PADA PERFORMANSI MESIN PEMBEKU Oleh AMNA CITRA FARHANI F14103018 2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR PENGARUH PENGGANTIAN

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. ABSTRAK... iii. DAFTAR GAMBAR... viii. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR NOTASI... xi Rumusan Masalah...

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... i. ABSTRAK... iii. DAFTAR GAMBAR... viii. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR NOTASI... xi Rumusan Masalah... DAFTAR ISI KATA PENGANTAR... i ABSTRAK... iii ABSTRACT... iv DAFTAR ISI... v DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR TABEL... x DAFTAR NOTASI... xi BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah...

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN DAN PENGUJIAN MESIN PEMBEKU TIPE LEMPENG SENTUH DENGAN SUHU MEDIA PEMBEKU BERTAHAP DENY FRAHMANA PUTRA SITUMORANG

RANCANG BANGUN DAN PENGUJIAN MESIN PEMBEKU TIPE LEMPENG SENTUH DENGAN SUHU MEDIA PEMBEKU BERTAHAP DENY FRAHMANA PUTRA SITUMORANG RANCANG BANGUN DAN PENGUJIAN MESIN PEMBEKU TIPE LEMPENG SENTUH DENGAN SUHU MEDIA PEMBEKU BERTAHAP DENY FRAHMANA PUTRA SITUMORANG DEPARTEMEN TEKNIK MESIN DAN BIOSISTEM FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR PERANCANGAN ULANG MESIN AC SPLIT 2 PK. Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Dalam Mencapai Gelar Strata Satu ( S-1 ) Teknik Mesin

TUGAS AKHIR PERANCANGAN ULANG MESIN AC SPLIT 2 PK. Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Dalam Mencapai Gelar Strata Satu ( S-1 ) Teknik Mesin TUGAS AKHIR PERANCANGAN ULANG MESIN AC SPLIT 2 PK Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Dalam Mencapai Gelar Strata Satu ( S-1 ) Teknik Mesin U N I V E R S I T A S MERCU BUANA Disusun oleh : Nama : Ari Siswoyo

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI

BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI 2.1 Penyimpanan Energi Termal Es merupakan dasar dari sistem penyimpanan energi termal di mana telah menarik banyak perhatian selama beberapa dekade terakhir. Alasan terutama dari penggunaan

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI

BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI 2.1 Sistem refrigerasi kompresi uap Sistem refrigerasi yang umum dan mudah dijumpai pada aplikasi sehari-hari, baik untuk keperluan rumah tangga, komersial dan industri adalah sistem

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN DAN KAJIAN SISTEM PEMBUANGAN PANAS DARI RUANG PENDINGIN SISTEM TERMOELEKTRIK UNTUK PENDINGINAN JAMUR MERANG (Volvariella volvaceae)

RANCANG BANGUN DAN KAJIAN SISTEM PEMBUANGAN PANAS DARI RUANG PENDINGIN SISTEM TERMOELEKTRIK UNTUK PENDINGINAN JAMUR MERANG (Volvariella volvaceae) RANCANG BANGUN DAN KAJIAN SISTEM PEMBUANGAN PANAS DARI RUANG PENDINGIN SISTEM TERMOELEKTRIK UNTUK PENDINGINAN JAMUR MERANG (Volvariella volvaceae) Oleh : PERI PERMANA F14102083 2006 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN

Lebih terperinci

Laporan Tugas Akhir 2012 BAB II DASAR TEORI

Laporan Tugas Akhir 2012 BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI 2.1 Definisi Vaksin Vaksin merupakan bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit sehingga dapat mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi

Lebih terperinci

Penggunaan Refrigeran R22 dan R134a pada Mesin Pendingin. Galuh Renggani Wilis, ST.,MT

Penggunaan Refrigeran R22 dan R134a pada Mesin Pendingin. Galuh Renggani Wilis, ST.,MT Penggunaan Refrigeran R22 dan R134a pada Mesin Pendingin Galuh Renggani Wilis, ST.,MT ABSTRAKSI Pengkondisian udara disebut juga system refrigerasi yang mengatur temperature & kelembaban udara. Dalam beroperasi

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Tabel 2.1 Daya tumbuh benih kedelai dengan kadar air dan temperatur yang berbeda

BAB II DASAR TEORI. Tabel 2.1 Daya tumbuh benih kedelai dengan kadar air dan temperatur yang berbeda BAB II DASAR TEORI 2.1 Benih Kedelai Penyimpanan benih dimaksudkan untuk mendapatkan benih berkualitas. Kualitas benih yang dapat mempengaruhi kualitas bibit yang dihubungkan dengan aspek penyimpanan adalah

Lebih terperinci

Pembekuan. Shinta Rosalia Dewi

Pembekuan. Shinta Rosalia Dewi Pembekuan Shinta Rosalia Dewi Pembekuan Pembekuan merupakan suatu cara pengawetan bahan pangan dengan cara membekukan bahan pada suhu di bawah titik beku pangan tersebut. Dengan membekunya sebagian kandungan

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI 2.1 Pasteurisasi 2.2 Sistem Pasteurisasi HTST dan Pemanfaatan Panas Kondensor

BAB II DASAR TEORI 2.1 Pasteurisasi 2.2 Sistem Pasteurisasi HTST dan Pemanfaatan Panas Kondensor BAB II DASAR TEORI 2.1 Pasteurisasi Pasteurisasi ialah proses pemanasan bahan makanan, biasanya berbentuk cairan dengan temperatur dan waktu tertentu dan kemudian langsung didinginkan secepatnya. Proses

Lebih terperinci

Seminar Nasional Mesin dan Industri (SNMI4) 2008 ANALISIS PERBANDINGAN UNJUK KERJA REFRIGERATOR KAPASITAS 2 PK DENGAN REFRIGERAN R-12 DAN MC 12

Seminar Nasional Mesin dan Industri (SNMI4) 2008 ANALISIS PERBANDINGAN UNJUK KERJA REFRIGERATOR KAPASITAS 2 PK DENGAN REFRIGERAN R-12 DAN MC 12 ANALISIS PERBANDINGAN UNJUK KERJA REFRIGERATOR KAPASITAS 2 PK DENGAN REFRIGERAN R-12 DAN MC 12 Suroso, I Wayan Sukania, dan Ian Mariano Jl. Let. Jend. S. Parman No. 1 Jakarta 11440 Telp. (021) 5672548

Lebih terperinci

Tugas akhir Perencanan Mesin Pendingin Sistem Absorpsi (Lithium Bromide) Dengan Tinjauan Termodinamika

Tugas akhir Perencanan Mesin Pendingin Sistem Absorpsi (Lithium Bromide) Dengan Tinjauan Termodinamika Tugas akhir Perencanan Mesin Pendingin Sistem Absorpsi (Lithium Bromide) Dengan Tinjauan Termodinamika Oleh : Robbin Sanjaya 2106.030.060 Pembimbing : Ir. Denny M.E. Soedjono,M.T PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Lebih terperinci

PERBANDINGAN PENGGUNAAN REFRIGERAN HIDROKARBON (MC-12 DAN MC-22) DAN HALOKARBON (R-12 DAN R-22) PADA MESIN REFRIGERASI

PERBANDINGAN PENGGUNAAN REFRIGERAN HIDROKARBON (MC-12 DAN MC-22) DAN HALOKARBON (R-12 DAN R-22) PADA MESIN REFRIGERASI PERBANDINGAN PENGGUNAAN REFRIGERAN HIDROKARBON (MC-12 DAN MC-22) DAN HALOKARBON (R-12 DAN R-22) PADA MESIN REFRIGERASI Oleh: ERIKA TAMBUNAN F14104063 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI.1 Latar Belakang Pengkondisian udaraa pada kendaraan mengatur mengenai kelembaban, pemanasan dan pendinginan udara dalam ruangan. Pengkondisian ini bertujuan bukan saja sebagai penyejuk

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI PENELITIAN

IV. METODOLOGI PENELITIAN IV. METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Waktu dan Tempat Pengujian dilakukan pada bulan Desember 2007 Februari 2008 bertempat di Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Sistem Refrigerasi Refrigerasi merupakan suatu kebutuhan dalam kehidupan saat ini terutama bagi masyarakat perkotaan. Refrigerasi dapat berupa lemari es pada rumah tangga, mesin

Lebih terperinci

PERBANDINGAN PERFORMA DARI REFRIGERAN HALOKARBON DENGAN REFRIGERAN HIDROKARBON BERDASARKAN ANALISIS EKSERGI OMIL CHARMYN CHATIB

PERBANDINGAN PERFORMA DARI REFRIGERAN HALOKARBON DENGAN REFRIGERAN HIDROKARBON BERDASARKAN ANALISIS EKSERGI OMIL CHARMYN CHATIB PERBANDINGAN PERFORMA DARI REFRIGERAN HALOKARBON DENGAN REFRIGERAN HIDROKARBON BERDASARKAN ANALISIS EKSERGI OMIL CHARMYN CHATIB SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 Hak cipta milik

Lebih terperinci

Pengaruh Pipa Kapiler yang Dililitkan pada Suction Line terhadap Kinerja Mesin Pendingin

Pengaruh Pipa Kapiler yang Dililitkan pada Suction Line terhadap Kinerja Mesin Pendingin Pengaruh Pipa Kapiler yang Dililitkan pada Suction Line terhadap Kinerja Mesin Pendingin BELLA TANIA Program Pendidikan Fisika Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Surya May 9, 2013 Abstrak Mesin

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. temperatur di bawah 123 K disebut kriogenika (cryogenics). Pembedaan ini

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. temperatur di bawah 123 K disebut kriogenika (cryogenics). Pembedaan ini BAB II TINJAUAN PUSTAKA 21 Mesin Refrigerasi Secara umum bidang refrigerasi mencakup kisaran temperatur sampai 123 K Sedangkan proses-proses dan aplikasi teknik yang beroperasi pada kisaran temperatur

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Pengertian Sistem Heat pump

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Pengertian Sistem Heat pump BAB II DASAR TEORI 2.1 Pengertian Sistem Heat pump Heat pump adalah pengkondisi udara paket atau unit paket dengan katup pengubah arah (reversing valve) atau pengatur ubahan lainnya. Heat pump memiliki

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perbaikan Dan Uji Kebocoran Mesin Pendingin Absorpsi

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. Perbaikan Dan Uji Kebocoran Mesin Pendingin Absorpsi V. HASIL DAN PEMBAHASAN Perbaikan Dan Uji Kebocoran Mesin Pendingin Absorpsi Mesin pendingin icyball beroperasi pada tekanan tinggi dan rawan korosi karena menggunakan ammonia sebagai fluida kerja. Penelitian

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan Alat Bahan 3.3 Prosedur Penelitian

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan Alat Bahan 3.3 Prosedur Penelitian 17 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian telah dilaksanakan pada bulan Desember 2010 sampai dengan Juni 2011, bertempat di Laboratorium Surya, Bagian Teknik Energi Terbarukan, Departemen

Lebih terperinci

PENGUJIAN UNJUK KERJA SOLAR ASSISTED HEAT PUMP WATER HEATER. MENGGUNAKAN HFC-134a DENGAN VARIASI INTENSITAS RADIASI

PENGUJIAN UNJUK KERJA SOLAR ASSISTED HEAT PUMP WATER HEATER. MENGGUNAKAN HFC-134a DENGAN VARIASI INTENSITAS RADIASI PENGUJIAN UNJUK KERJA SOLAR ASSISTED HEAT PUMP WATER HEATER MENGGUNAKAN HFC-134a DENGAN VARIASI INTENSITAS RADIASI Diajukan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Oleh : TRI

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Energy balance 1 = Energy balance 2 EP 1 + EK 1 + U 1 + EF 1 + ΔQ = EP 2 + EK 2 + U 2 + EF 2 + ΔWnet ( 2.1)

BAB II DASAR TEORI. Energy balance 1 = Energy balance 2 EP 1 + EK 1 + U 1 + EF 1 + ΔQ = EP 2 + EK 2 + U 2 + EF 2 + ΔWnet ( 2.1) BAB II DASAR TEORI 2.1 HUKUM TERMODINAMIKA DAN SISTEM TERBUKA Hukum pertama termodinamika adalah hukum kekekalan energi. Hukum ini menyatakan bahwa energi tidak dapat diciptakan ataupun dimusnahkan. Energi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 ALAT PENGKONDISIAN UDARA Alat pengkondisian udara merupakan sebuah mesin yang secara termodinamika dapat memindahkan energi dari area bertemperatur rendah (media yang akan

Lebih terperinci

KESETIMBANGAN ENERGI

KESETIMBANGAN ENERGI KESETIMBANGAN ENERGI Landasan: Hukum I Termodinamika Energi total masuk sistem - Energi total = keluar sistem Perubahan energi total pada sistem E in E out = E system Ė in Ė out = Ė system per unit waktu

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Umum Mesin pendingin atau kondensor adalah suatu alat yang digunakan untuk memindahkan panas dari dalam ruangan ke luar ruangan. Adapun sistem mesin pendingin yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI Perencanaan pengkondisian udara dalam suatu gedung diperlukan suatu perhitungan beban kalor dan kebutuhan ventilasi udara, perhitungan kalor ini tidak lepas dari prinsip perpindahan

Lebih terperinci

MODUL PRAKTIKUM. Disusun Oleh: MUHAMMAD NADJIB, S.T., M.Eng. TITO HADJI AGUNG S., S.T., M.T.

MODUL PRAKTIKUM. Disusun Oleh: MUHAMMAD NADJIB, S.T., M.Eng. TITO HADJI AGUNG S., S.T., M.T. MODUL PRAKTIKUM Disusun Oleh: MUHAMMAD NADJIB, S.T., M.Eng. TITO HADJI AGUNG S., S.T., M.T. PROGRAM STUDI S-1 TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2016 i ii KATA PENGANTAR Assalaamu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Df adalah driving force (kg/kg udara kering), Y s adalah kelembaban

TINJAUAN PUSTAKA. Df adalah driving force (kg/kg udara kering), Y s adalah kelembaban TINJAUAN PUSTAKA Mekanisme Pengeringan Udara panas dihembuskan pada permukaan bahan yang basah, panas akan berpindah ke permukaan bahan, dan panas laten penguapan akan menyebabkan kandungan air bahan teruapkan.

Lebih terperinci

perubahan baik fisik maupun kimiawi yang dikehendaki ataupun yang tidak dikehendaki. Di samping itu, setelah melalui proses pengolahan, makanan tadi

perubahan baik fisik maupun kimiawi yang dikehendaki ataupun yang tidak dikehendaki. Di samping itu, setelah melalui proses pengolahan, makanan tadi i Tinjauan Mata Kuliah P roses pengolahan pangan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Sejak zaman dahulu kala, manusia mengenal makanan dan mengolahnya menjadi suatu bentuk

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Laporan Tugas Akhir. Gambar 2.1 Schematic Dispenser Air Minum pada Umumnya

BAB II DASAR TEORI. Laporan Tugas Akhir. Gambar 2.1 Schematic Dispenser Air Minum pada Umumnya BAB II DASAR TEORI 2.1 Hot and Cool Water Dispenser Hot and cool water dispenser merupakan sebuah alat yang digunakan untuk mengkondisikan temperatur air minum baik dingin maupun panas. Sumber airnya berasal

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Refrigerasi merupakan suatu media pendingin yang dapat berfungsi untuk

BAB II LANDASAN TEORI. Refrigerasi merupakan suatu media pendingin yang dapat berfungsi untuk BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Refrigerasi Refrigerasi merupakan suatu media pendingin yang dapat berfungsi untuk menyerap kalor dari lingkungan atau untuk melepaskan kalor ke lingkungan. Sifat-sifat fisik

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PERANGKAT LUNAK UNTUK SIMULASI SATU UNIT MESIN PENDINGIN SIKLUS ADSORPSI YANG DIGERAKKAN ENERGI SURYA DENGAN LUAS KOLEKTOR 1,5 m 2

PENGEMBANGAN PERANGKAT LUNAK UNTUK SIMULASI SATU UNIT MESIN PENDINGIN SIKLUS ADSORPSI YANG DIGERAKKAN ENERGI SURYA DENGAN LUAS KOLEKTOR 1,5 m 2 PENGEMBANGAN PERANGKAT LUNAK UNTUK SIMULASI SATU UNIT MESIN PENDINGIN SIKLUS ADSORPSI YANG DIGERAKKAN ENERGI SURYA DENGAN LUAS KOLEKTOR 1,5 m 2 SKRIPSI Skripsi Yang Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh

Lebih terperinci

HUBUNGAN TEGANGAN INPUT KOMPRESOR DAN TEKANAN REFRIGERAN TERHADAP COP MESIN PENDINGIN RUANGAN

HUBUNGAN TEGANGAN INPUT KOMPRESOR DAN TEKANAN REFRIGERAN TERHADAP COP MESIN PENDINGIN RUANGAN HUBUNGAN TEGANGAN INPUT KOMPRESOR DAN TEKANAN REFRIGERAN TERHADAP COP MESIN PENDINGIN RUANGAN Eko Budiyanto Program Studi Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Muhammadiyan Metro Jl. KH. Dewantara No.

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1 sistem Blast Chiller [PT.Wardscatering, 2012] BAB II DASAR TEORI

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1 sistem Blast Chiller [PT.Wardscatering, 2012] BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI 2.1 Blast Chiller Blast Chiller adalah salah satu sistem refrigerasi yang berfungsi untuk mendinginkan suatu produk dengan cepat. Waktu pendinginan yang diperlukan untuk sistem Blast

Lebih terperinci

BAB III SISTEM REFRIGERASI DAN POMPA KALOR

BAB III SISTEM REFRIGERASI DAN POMPA KALOR BAB III SISTEM REFRIGERASI DAN POMPA KALOR Untuk mengenalkan aspek-aspek refrigerasi, pandanglah sebuah siklus refrigerasi uap Carnot. Siklus ini adalah kebalikan dari siklus daya uap Carnot. Gambar 1.

Lebih terperinci

ANALISA KINERJA MESIN REFRIGERASI RUMAH TANGGA DENGAN VARIASI REFRIGERAN

ANALISA KINERJA MESIN REFRIGERASI RUMAH TANGGA DENGAN VARIASI REFRIGERAN ANALISA KINERJA MESIN REFRIGERASI RUMAH TANGGA DENGAN VARIASI REFRIGERAN 1 Amrullah, 2 Zuryati Djafar, 3 Wahyu H. Piarah 1 Program Studi Perawatan dan Perbaikan Mesin, Politeknik Bosowa, Makassar 90245,Indonesia

Lebih terperinci

Sistem pendingin siklus kompresi uap merupakan daur yang terbanyak. daur ini terjadi proses kompresi (1 ke 2), 4) dan penguapan (4 ke 1), seperti pada

Sistem pendingin siklus kompresi uap merupakan daur yang terbanyak. daur ini terjadi proses kompresi (1 ke 2), 4) dan penguapan (4 ke 1), seperti pada Siklus Kompresi Uap Sistem pendingin siklus kompresi uap merupakan daur yang terbanyak digunakan dalam daur refrigerasi, pada daur ini terjadi proses kompresi (1 ke 2), pengembunan( 2 ke 3), ekspansi (3

Lebih terperinci

SISTEM REFRIGERASI KOMPRESI UAP

SISTEM REFRIGERASI KOMPRESI UAP SISTEM REFRIGERASI KOMPRESI UAP PADA UNIT PEMBEKUAN DI PT MITRATANI DUA TUJUH, JEMBER Oleh : KHAFID SUDRAJAT F14103081 Di bawah bimbingan : Prof. Dr. Ir. Armansyah H. Tambunan, M.Agr SISTEM REFRIGERASI

Lebih terperinci

MULTIREFRIGERASI SISTEM. Oleh: Ega T. Berman, S.Pd., M,Eng

MULTIREFRIGERASI SISTEM. Oleh: Ega T. Berman, S.Pd., M,Eng MULTIREFRIGERASI SISTEM Oleh: Ega T. Berman, S.Pd., M,Eng SIKLUS REFRIGERASI Sistem refrigerasi dengan siklus kompresi uap Proses 1 2 : Kompresi isentropik Proses 2 2 : Desuperheating Proses 2 3 : Kondensasi

Lebih terperinci

PENENTUAN EFISIENSI DAN KOEFISIEN PRESTASI MESIN PENDINGIN MERK PANASONIC CU-PC05NKJ ½ PK

PENENTUAN EFISIENSI DAN KOEFISIEN PRESTASI MESIN PENDINGIN MERK PANASONIC CU-PC05NKJ ½ PK PROS ID I NG 2 0 1 3 HASIL PENELITIAN FAKULTAS TEKNIK PENENTUAN EFISIENSI DAN KOEFISIEN PRESTASI MESIN PENDINGIN MERK PANASONIC CU-PC05NKJ ½ PK Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin

Lebih terperinci

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengeringan Beku

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengeringan Beku II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengeringan Beku Pengeringan beku telah dikenal dan diakui sebagai metode pengeringan yang dapat memberikan mutu hasil pengeringan paling baik dibandingkan metode pengeringan lainnya

Lebih terperinci

PENGARUH KECEPATAN UDARA PENDINGIN KONDENSOR TERHADAP KOEFISIEN PRESTASI AIR CONDITIONING

PENGARUH KECEPATAN UDARA PENDINGIN KONDENSOR TERHADAP KOEFISIEN PRESTASI AIR CONDITIONING Marwan Effendy, Pengaruh Kecepatan Udara Pendingin Kondensor Terhadap Kooefisien Prestasi PENGARUH KECEPATAN UDARA PENDINGIN KONDENSOR TERHADAP KOEFISIEN PRESTASI AIR CONDITIONING Marwan Effendy Jurusan

Lebih terperinci

KAJIAN KARAKTERISTIK MODUL TERMOELEKTRIK UNTUK SISTEM PENYIMPANAN DINGIN

KAJIAN KARAKTERISTIK MODUL TERMOELEKTRIK UNTUK SISTEM PENYIMPANAN DINGIN KAJIAN KARAKTERISTIK MODUL TERMOELEKTRIK UNTUK SISTEM PENYIMPANAN DINGIN Oleh: DWI HANDAYANI OKTORINA F14102117 2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR DWI HANDAYANI OKTORINA.

Lebih terperinci

BAB II. Prinsip Kerja Mesin Pendingin

BAB II. Prinsip Kerja Mesin Pendingin BAB II Prinsip Kerja Mesin Pendingin A. Sistem Pendinginan Absorbsi Sejarah mesin pendingin absorbsi dimulai pada abad ke-19 mendahului jenis kompresi uap dan telah mengalami masa kejayaannya sendiri.

Lebih terperinci

BAB II STUDI PUSTAKA

BAB II STUDI PUSTAKA BAB II STUDI PUSTAKA.1 Teori Pengujian Sistem pengkondisian udara (Air Condition) pada mobil atau kendaraan secara umum adalah untuk mengatur kondisi suhu pada ruangan didalam mobil. Kondisi suhu yang

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Cold Storage

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Cold Storage BAB II DASAR TEORI 2.1 Cold Storage Cold storage merupakan suatu ruang penyimpanan yang digunakan untuk menjaga dan menurunkan temperatur produk beserta kelembabannya agar kualitas produk tetap terjaga

Lebih terperinci

Bab IV Analisa dan Pembahasan

Bab IV Analisa dan Pembahasan Bab IV Analisa dan Pembahasan 4.1. Gambaran Umum Tujuan dari pengujian ini adalah untuk mengetahui kinerja Ac split TCL 3/4 PK mengunakan refrigeran R-22 dan refrigeran MC-22. Pengujian kinerja Ac split

Lebih terperinci

UNJUK KERJA MESIN PENDINGIN KOMPRESI UAP PADA BEBERAPA VARIASI SUPERHEATING DAN SUBCOOLING

UNJUK KERJA MESIN PENDINGIN KOMPRESI UAP PADA BEBERAPA VARIASI SUPERHEATING DAN SUBCOOLING UNJUK KERJA MESIN PENDINGIN KOMPRESI UAP PADA BEBERAPA VARIASI SUPERHEATING DAN SUBCOOLING Mega Nur Sasongko 1 Teknik Mesin Universitas Brawijaya Jalan M.T Haryono 167 Malang Telp. 0341-587710 E-mail:

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka Refrigeran merupakan media pendingin yang bersirkulasi di dalam sistem refrigerasi kompresi uap. ASHRAE 2005 mendefinisikan refrigeran sebagai fluida kerja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cabai merah besar (Capsicum Annum L.) merupakan komoditas yang banyak mendapat perhatian karena memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi. Buahnya dapat digolongkan

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat

METODE PENELITIAN. A. Waktu dan Tempat III. MEODE PENELIIAN A. Waktu dan empat Penelitian dilakukan di Laboratorium Energi Surya Leuwikopo, serta Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Pertanian, Departemen eknik Pertanian, Fakultas eknologi

Lebih terperinci

PENENTUAN ENERGI SPESIFIK PROTOTIPE EVAPORATOR TIPE FALLING FILM PADA PROSES PEMEKATAN LARUTAN GELATIN. Oleh MOHAMAD SUJAI F

PENENTUAN ENERGI SPESIFIK PROTOTIPE EVAPORATOR TIPE FALLING FILM PADA PROSES PEMEKATAN LARUTAN GELATIN. Oleh MOHAMAD SUJAI F PENENTUAN ENERGI SPESIFIK PROTOTIPE EVAPORATOR TIPE FALLING FILM PADA PROSES PEMEKATAN LARUTAN GELATIN Oleh MOHAMAD SUJAI F14103038 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Bab IV Analisa dan Pembahasan

Bab IV Analisa dan Pembahasan Bab IV Analisa dan Pembahasan 4.1. Gambaran Umum Pengujian ini bertujuan untuk menentukan kinerja Ac split TCL 3/4 PK mengunakan refrigeran R-22 dan MC-22. Pengujian kinerja Ac split TCL mengunakan refrigeran

Lebih terperinci

PERBANDINGAN UNJUK KERJA FREON R-12 DAN R-134a TERHADAP VARIASI BEBAN PENDINGIN PADA SISTEM REFRIGERATOR 75 W

PERBANDINGAN UNJUK KERJA FREON R-12 DAN R-134a TERHADAP VARIASI BEBAN PENDINGIN PADA SISTEM REFRIGERATOR 75 W PERBANDINGAN UNJUK KERJA FREON R-2 DAN R-34a TERHADAP VARIASI BEBAN PENDINGIN PADA SISTEM REFRIGERATOR 75 W Ridwan Jurusan Teknik Mesin Fakultas Teknologi Industri Universitas Gunadarma e-mail: ridwan@staff.gunadarma.ac.id

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. langit dan bumi serta segala isinya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta

KATA PENGANTAR. langit dan bumi serta segala isinya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Sang pencipta langit dan bumi serta segala isinya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta kasih sayang-nya kepada penulis sehingga

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Definisi Vaksin

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Definisi Vaksin BAB II DASAR TEORI 2.1 Definisi Vaksin Vaksin merupakan bahan antigenik yang digunakan untuk menghasilkan kekebalan aktif terhadap suatu penyakit sehingga dapat mencegah atau mengurangi pengaruh infeksi

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 27 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Alat Penukar Panas Alat penukar panas yang dirancang merupakan tipe pipa ganda dengan arah aliran fluida berlawanan. Alat penukar panas difungsikan sebagai pengganti peran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pengawetan dengan suhu rendah bertujuan untuk memperlambat atau menghentikan metabolisme. Hal ini dilakukan berdasarkan fakta bahwa respirasi pada buah dan sayuran tetap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sistem refrigerasi telah memainkan peran penting dalam kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Sistem refrigerasi telah memainkan peran penting dalam kehidupan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Sistem refrigerasi telah memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya terbatas untuk peningkatan kualitas dan kenyamanan hidup, namun juga telah

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Batch Dryer, timbangan, stopwatch, moisturemeter,dan thermometer.

METODE PENELITIAN. Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung. Batch Dryer, timbangan, stopwatch, moisturemeter,dan thermometer. III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2013, di Laboratorium Jurusan Teknik Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung B. Alat dan Bahan Alat yang

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI. 2.1 Tinjauan Pustaka

BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI. 2.1 Tinjauan Pustaka BAB II DASAR TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka Untuk memperbaiki kualitas ikan, dibutuhkan suatu alat yaitu untuk menjaga kondisi ikan pada kondisi seharusnya dengan cara menyimpannya didalam sebuah freezer yang

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Laporan Tugas Akhir BAB II DASAR TEORI

BAB II DASAR TEORI. Laporan Tugas Akhir BAB II DASAR TEORI BAB II DASAR TEORI 2.1 Sistem Refrigerasi Freezer Freezer merupakan salah satu mesin pendingin yang digunakan untuk penyimpanan suatu produk yang bertujuan untuk mendapatkan produk dengan kualitas yang

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Cooling Tunnel

BAB II DASAR TEORI. 2.1 Cooling Tunnel BAB II DASAR TEORI 2.1 Cooling Tunnel Cooling Tunnel atau terowongan pendingin merupakan sistem refrigerasi yang banyak digunakan di industri, baik industri pengolahan makanan, minuman dan farmasi. Cooling

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. perpindahan kalor dari produk ke material tersebut.

BAB II DASAR TEORI. perpindahan kalor dari produk ke material tersebut. BAB II DASAR TEORI 2.1 Sistem Refrigerasi Refrigerasi adalah suatu proses penarikan kalor dari suatu ruang/benda ke ruang/benda yang lain untuk menurunkan temperaturnya. Kalor adalah salah satu bentuk

Lebih terperinci

ANALISA KEBUTUHAN BEBAN PENDINGIN DAN DAYA ALAT PENDINGIN AC UNTUK AULA KAMPUS 2 UM METRO. Abstrak

ANALISA KEBUTUHAN BEBAN PENDINGIN DAN DAYA ALAT PENDINGIN AC UNTUK AULA KAMPUS 2 UM METRO. Abstrak ANALISA KEBUTUHAN BEBAN PENDINGIN DAN DAYA ALAT PENDINGIN AC UNTUK AULA KAMPUS 2 UM METRO. Kemas Ridhuan, Andi Rifai Program Studi Teknik Mesin Universitas muhammadiyah Metro Jl. Ki Hjar Dewantara No.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembekuan

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pembekuan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pebekuan Pebekuan berarti peindahan panas dari bahan yang disertai dengan perubahan fase dari cair ke padat dan erupakan salah satu proses pengawetan yang uu dilakukan untuk penanganan

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Pengujian alat pendingin..., Khalif Imami, FT UI, 2008

BAB II DASAR TEORI. Pengujian alat pendingin..., Khalif Imami, FT UI, 2008 BAB II DASAR TEORI 2.1 ADSORPSI Adsorpsi adalah proses yang terjadi ketika gas atau cairan berkumpul atau terhimpun pada permukaan benda padat, dan apabila interaksi antara gas atau cairan yang terhimpun

Lebih terperinci

Analisis Beban Thermal Rancangan Mesin Es Puter Dengan Kompresor ½ PK Untuk Skala Industri Rumah Tangga

Analisis Beban Thermal Rancangan Mesin Es Puter Dengan Kompresor ½ PK Untuk Skala Industri Rumah Tangga Analisis Beban Thermal Rancangan Mesin Es Puter Dengan Kompresor ½ PK Untuk Skala Industri Rumah Tangga IDG Agus Tri Putra (1) dan Sudirman (2) (2) Program Studi Teknik Pendingin dan Tata Udara, Jurusan

Lebih terperinci

BAB IV PEMBAHASAN. 4.1 Rangkaian Alat Uji Dan Cara Kerja Sistem Refrigerasi Tanpa CES (Full Sistem) Heri Kiswanto / Page 39

BAB IV PEMBAHASAN. 4.1 Rangkaian Alat Uji Dan Cara Kerja Sistem Refrigerasi Tanpa CES (Full Sistem) Heri Kiswanto / Page 39 BAB IV PEMBAHASAN Pada pengujian ini dilakukan untuk membandingkan kerja sistem refrigerasi tanpa metode cooled energy storage dengan sistem refrigerasi yang menggunakan metode cooled energy storage. Pengujian

Lebih terperinci

KAJI EKSPERIMENTAL KARAKTERISTIK PIPA KAPILER DAN KATUP EKSPANSI TERMOSTATIK PADA SISTEM PENDINGIN WATER-CHILLER

KAJI EKSPERIMENTAL KARAKTERISTIK PIPA KAPILER DAN KATUP EKSPANSI TERMOSTATIK PADA SISTEM PENDINGIN WATER-CHILLER No. Vol. Thn.XVII April ISSN : 85-87 KAJI EKSPERIMENTAL KARAKTERISTIK PIPA KAPILER DAN KATUP EKSPANSI TERMOSTATIK PADA SISTEM PENDINGIN WATER-CHILLER Iskandar R. Laboratorium Konversi Energi Jurusan Teknik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Definisi Pengkondisian Udara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Definisi Pengkondisian Udara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Definisi Pengkondisian Udara Sistem pengkondisian udara adalah suatu proses mendinginkan atau memanaskan udara sehingga dapat mencapai temperatur dan kelembaban yang sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Desalinasi Desalinasi merupakan suatu proses menghilangkan kadar garam berlebih dalam air untuk mendapatkan air yang dapat dikonsumsi binatang, tanaman dan manusia.

Lebih terperinci

PROSES ADIABATIK PADA REAKSI PEMBAKARAN MOTOR ROKET PROPELAN

PROSES ADIABATIK PADA REAKSI PEMBAKARAN MOTOR ROKET PROPELAN PROSES ADIABATIK PADA REAKSI PEMBAKARAN MOTOR ROKET PROPELAN DADANG SUPRIATMAN STT - JAWA BARAT 2013 DAFTAR ISI JUDUL 1 DAFTAR ISI 2 DAFTAR GAMBAR 3 BAB I PENDAHULUAN 4 1.1 Latar Belakang 4 1.2 Rumusan

Lebih terperinci

Maka persamaan energi,

Maka persamaan energi, II. DASAR TEORI 2. 1. Hukum termodinamika dan sistem terbuka Termodinamika teknik dikaitkan dengan hal-hal tentang perpindahan energi dalam zat kerja pada suatu sistem. Sistem merupakan susunan seperangkat

Lebih terperinci

KARAKTERISASI FISIK DAN ph PADA PEMBUATAN SERBUK TOMAT APEL LIRA BUDHIARTI

KARAKTERISASI FISIK DAN ph PADA PEMBUATAN SERBUK TOMAT APEL LIRA BUDHIARTI KARAKTERISASI FISIK DAN ph PADA PEMBUATAN SERBUK TOMAT APEL LIRA BUDHIARTI DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ABSTRAK LIRA BUDHIARTI. Karakterisasi

Lebih terperinci

menurun dari tekanan kondensasi ( Pc ) ke tekanan penguapan ( Pe ). Pendinginan,

menurun dari tekanan kondensasi ( Pc ) ke tekanan penguapan ( Pe ). Pendinginan, menurun dari tekanan kondensasi ( Pc ) ke tekanan penguapan ( Pe ). Pendinginan, adsorpsi, dan penguapan (4 1) : Selama periode ini, sorber yang terus melepaskan panas ketika sedang terhubung ke evaporator,

Lebih terperinci

Analisa Performansi Sistem Pendingin Ruangan dan Efisiensi Energi Listrik padasistem Water Chiller dengan Penerapan Metode Cooled Energy Storage

Analisa Performansi Sistem Pendingin Ruangan dan Efisiensi Energi Listrik padasistem Water Chiller dengan Penerapan Metode Cooled Energy Storage Analisa Performansi Sistem Pendingin Ruangan dan Efisiensi Energi Listrik padasistem Water Chiller dengan Penerapan Metode Cooled Energy Storage Sugiyono 1, Ir Sumpena, MM 2 1. Mahasiswa Elektro, 2. Dosen

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Refrigerasi adalah suatu proses penyerapan panas dari suatu zat atau produk sehingga temperaturnya berada di bawah temperatur lingkungan. Mesin refrigerasi atau disebut juga mesin

Lebih terperinci

TUGAS AKHIR ANALISA KINERJA CHILLER WATER COOLED PADA PROYEK SCIENTIA OFFICE PARK SERPONG

TUGAS AKHIR ANALISA KINERJA CHILLER WATER COOLED PADA PROYEK SCIENTIA OFFICE PARK SERPONG TUGAS AKHIR ANALISA KINERJA CHILLER WATER COOLED PADA PROYEK SCIENTIA OFFICE PARK SERPONG Diajukan guna melengkapi sebagai syarat dalam mencapai gelar Sarjana Strata Satu (S1) Disusun Oleh : Nama : Farid

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 22 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli 2013 sampai September 2013 di Laboratorium Daya dan Alat Mesin Pertanian dan di Laboratorium Rekayasa

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Tangerang, 24 September Penulis

KATA PENGANTAR. Tangerang, 24 September Penulis KATA PENGANTAR Puji serta syukur kami panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena dengan rahmat dan ridhonya kami bisa menyelesaikan makalah yang kami beri judul suhu dan kalor ini tepat pada waktu yang

Lebih terperinci

Analisa Performansi Sistem Pendingin Ruangan dan Efisiensi Energi Listrik padasistem Water Chiller dengan Penerapan Metode Cooled Energy Storage

Analisa Performansi Sistem Pendingin Ruangan dan Efisiensi Energi Listrik padasistem Water Chiller dengan Penerapan Metode Cooled Energy Storage Jurnal Ilmiah Teknik Mesin Vol. 4 No.. April 00 (43-50) Analisa Performansi Sistem Pendingin Ruangan dan Efisiensi Energi Listrik padasistem Water Chiller dengan Penerapan Metode Cooled Energy Storage

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan september 2011 hingga desember 2011, yang bertempat di Laboratorium Energi dan Elektrifikasi Departemen

Lebih terperinci