4. ANALISIS SITUASIONAL

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4. ANALISIS SITUASIONAL"

Transkripsi

1 4.1 Kinerja Sistem Komoditas 4. ANALISIS SITUASIONAL Produksi lada putih di Indonesia mengalami fluktuasi. Peningkatan produksi sejak tahun 1995 hingga tahun 2000, diikuti dengan penurunan yang tajam setelahnya (Gambar 11). Peningkatan produksi yang sangat signifikan terjadi pada tahun Hal ini berkaitan dengan terjadinya lonjakan nilai tukar rupiah yang berpengaruh terhadap penerimaan di tingkat petani, sehingga menjadi daya tarik bagi petani untuk memperluas area dan mengusahakan lada secara intensif. Pada tahun produksi mengalami penurunan yang sangat tinggi. Bila pada tahun 2001 mencapai produksi ton maka pada tahun 2005 hanya mencapai ton. Pada periode produksi lada Indonesia cenderung stagnan. Gambar 11. Perkembangan Produksi Lada Putih Indonesia Sumber: IPC (2011) Standar mutu lada putih di pasar lokal ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara petani dan pembeli. Pada tingkat pembeli akhir yaitu, eksportir, lada yang telah disortasi diberi harga lebih tinggi. Salah satu eksportir di Kepulauan Bangka menetapkan perbedaan harga sebesar Rp. 1000/kg, namun demikian hampir tidak ada petani yang melakukan sortasi. 53

2 Standar mutu lada putih di pasar dunia mengacu kepada sejumlah standar mutu yang telah disepakati bersama secara internasional. Selain harus mengikuti standar mutu yang telah ditetapkan oleh Dewan Standar Nasional yaitu SNI , perdagangan lada di pasar dunia juga harus mengikuti persyaratan internasional dan persyaratan mutu yang ditetapkan oleh negara tujuan. International Standard Organization (ISO) mengeluarkan ISO sebagai persyaratan mutu lada hitam dan ISO sebagai persyaratan mutu lada putih. Negara-negara produsen lada yang tergabung dalam International Pepper Community (IPC) mengeluarkan standar lada hitam dan putih yang diharapkan dapat menyamakan persepsi mengenai mutu lada diantara negara produsen, serta memenuhi keinginan dari negara konsumen lada. Standar terdiri dari syarat mutu untuk lada asalan dan untuk lada yang telah diberi perlakuan seperti sterilisasi dan sebagainya. Secara lebih spesifik pengiriman lada ke negara Amerika harus memenuhi persayaratan yang ditetapkan oleh American Spice Trade Association (ASTA) dan peraturan yang ditetapkan oleh US Food and Drug Administration (USFDA). Parameter utama dalam penentuan mutu lada putih yaitu: warna, kandungan lada hitam, kadar air, kerapatan densitas, biji berjamur dan kandungan bahan asing (Ditjen PPHP 2009). Selain parameter tersebut, pada standar internasional juga ditetapkan mengenai lada enteng, serangga, kotoran mamalia, escherichia coli, serta salmonella. Pencapaian standar mutu lada putih di Indonesia masih rendah. Kontaminasi mikroorganisme merupakan salah satu isu dalam keamanan produk selain kontaminasi aflatoksin dan residu pestisida. Hal ini terjadi karena masih digunakannya cara tradisional dalam proses pengolahannya (Nurdjannah 2008). Jenis dan status risiko mutu yang muncul dari proses pengolahan lada putih secara tradisional, dapat dipetakan seperti tertera pada Gambar 12. Pemetikan buah lada dilakukan setelah 8-9 bulan bunga muncul dengan ditandai sebagian buah pada pangkal tandan sudah berwarna kuning kemerahan. Pemetikan yang tidak dilakukan tepat waktu akan menghasilkan lada hitam dan lada enteng. Pada kegiatan panen, risiko terjadinya lada enteng dan lada hitam 54

3 relatif rendah. Setelah pemetikan, buah lada dimasukkan ke dalam karung untuk direndam selama hari. Gambar 12. Analisis Risiko Mutu Pengolahan Lada Secara Tradisional Pada kegiatan perendaman, risiko lada memiliki bau busuk serta risiko lada terserang e.coli dan salmonella, yaitu sangat tinggi. Perendaman pada umumnya dilakukan di sungai atau di bekas galian timah. Hal ini dilatarbelakangi oleh keadaan dimana lada yang sedang direndam rawan pencurian. Air pada perendaman yang dilakukan di bekas galian timah biasanya merupakan air tergenang yang tidak jernih. Perendaman yang terlalu lama pada pengolahan lada putih sering menimbulkan bau busuk dan lumpur (off-flavor) serta berkurangnya aroma lada karena hilangnya sebagian minyak atsiri. Bau busuk dan lumpur tersebut disebabkan oleh senyawa 3-metilindol, 4-metilfenol, dan asam butanat yang terbentuk selama perendaman (Risfaheri 2011). Proses pencucian banyak dilakukan di sungai atau kolong bekas galian timah. Proses pencucian yang 55

4 dilakukan di sungai menciptakan risiko pencemaran e.coli dan salmonella, karena sungai juga digunakan untuk pemenuhan keperluan sehari-hari masyarakat. Pengeringan biasanya dilakukan dengan menghamparkan lada di pekarangan. Penjemuran lada pada hamparan sangat tergantung dari keadaan cuaca. Akibat cuaca yang kurang baik maka pengeringan menjadi lambat dan lada menjadi berjamur. Selain itu pengeringan dengan cara penghamparan di atas tanah menimbulkan kontaminasi dari debu, batu, atau kotoran hewan. Risiko mutu pada agroindustri lada putih yang dilakukan secara tradisional adalah rendah pada tahap panen, sangat tinggi pada tahap perendaman, tinggi pada tahap pencucian, serta tinggi pada tahap pengeringan. Secara keseluruhan, nilai risiko mutu pada agroindustri lada putih yang dilakukan secara tradisional adalah tinggi. Hal ini menunjukkan rendahnya kinerja agroindustri lada ditinjau dari sisi pencapaian mutu. 4.2 Pemetaan Lingkungan Strategis Sistem Komoditas Analisis lingkungan strategis bertujuan untuk memberikan deskripsi tentang lingkungan internal dan eksternal. Lingkungan internal mencakup kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses), sedangkan lingkungan eksternal terdiri dari peluang (opportunities) dan ancaman (threats). Penilaian lingkungan internal dapat dilakukan dengan menganalisis faktor sumberdaya manusia (man), modal (money), metode (method), teknologi (machine), dan bahan baku (material). Secara lebih spesifik, sistem pengembangan agroindustri dalam proses penciptaan pertumbuhan memerlukan sumberdaya dalam bentuk: sumberdaya alam, sumberdaya teknologi, sumberdaya manusia, sumberdaya informasi, dan sumberdaya finansial. Penilaian lingkungan eksternal dilakukan dengan menganalisis industri. Persaingan yang terjadi di dalam sebuah industri bersumber dari struktur dari industri itu sendiri (Porter 1998). Struktur industri terdiri dari beberapa kekuatan yaitu: (1) persaingan antar perusahaan yang ada, (2) ancaman pendatang baru, (3) ancaman produk subtitusi, (4) kekuatan tawar penawar pembeli, dan (5) kekuatan tawar menawar pemasok. Sebagai tambahan, analisis strategis lingkungan 56

5 eksternal juga dapat dilakukan dengan menganalisis faktor lingkungan bisnis yang meliputi lingkungan ekonomi, sosial budaya, dan pengembangan teknologi. Analisis lingkungan strategis sistem komoditas lada dilakukan dengan memetakan kekuatan, kelemahan, peluang, serta ancaman yang dihadapi. Struktur hirarki pemetaan lingkungan strategis tertera pada Gambar 13. Gambar 13. Struktur Hirarki Pemetaan Lingkungan Strategis Keterangan: S = kekuatan (strength) W = kelemahan (weaknesses) O = peluang (opportunities) T = ancaman (threath) SDT = sumberdaya teknologi, SDM = sumberdaya manusia SDI = sumberdaya informasi SDF = sumberdaya finansial Ketersediaan teknologi budidaya (F1) Ketersediaan teknologi pengolahan mekanis (F2) Pengalaman budidaya (F3) Aksess informasi harga (F4) Aksess teknologi pengolahan mekanis (F5) Pengadaan bibit unggul (F6) Risiko mutu pengolahan tradisional (F7) Pelatihan budidaya (F8) Kesadaran peningkatan mutu (F9) Pelatihan pengolahan mekanis (F10) Kewirausahaan (F11) Pengetahuan pasar (F12) Transfer teknologi budidaya (F13) Transfer teknologi pengolahan (F14) Investasi perluasan lahan (F15) Kemampuan pembiayaan usahaa terintegrasi (F16) Indikasi Geografis (F17) Preferensi konsumen (F18) Jaminan mutu (F19) Persyaratan Indikasi Geografis (F20) Persaingan antar negara (F21) Subtitusi lada hitam (F22) Gangguan OPT (F23) Daya dukung lahan (F24) 57

6 Pemetaan dilakukan dengan menganalisis S, W, O, dan T yang menunjukkan kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman. Aspek ini kemudian diuraikan menjadi sub aspek pada setiap bagiannya. Kekuatan sistem komoditas lada dipengaruhi oleh keberadaan sumberdaya teknologi (SDT), sumberdaya manusia (SDM), dan sumberdaya informasi (SDI). Kelemahan sistem komoditas lada dipengaruhi oleh sumberdaya teknologi (SDT), sumberdaya manusia (SDM), sumberdaya informasi (SDI), dan sumberdaya finansial (SDF). Konsumen memberikan pengaruh terhadap peluang dan ancaman yang dihadapi. Faktor lain yang merupakan ancaman bagi sistem komoditas lada adalah persaingan, subtitusi produk, serta lingkungan. F1-F24 merupakan faktor dari setiap sub aspek. Metode analisis dilakukan dengan menggunakan AHP. AHP SWOT merupakan aplikasi metode AHP pada analisis SWOT. Tahapan AHP SWOT dimulai dengan analisis SWOT kemudian dilanjutkan dengan menggunakan analisis AHP. AHP akan membantu meningkatkan analisis SWOT dalam mengelaborasikan hasil keputusan situasional sehingga keputusan strategi alternatif dapat diprioritaskan. Tujuan penggunaan AHP dalam kerangka SWOT adalah untuk mengevaluasi faktor-faktor sistematis SWOT dan intensitas sepadan faktor-faktornya. Jika digunakan dalam kombinasi dengan proses hirarki analitis, pendekatan SWOT dapat memberikan ukuran kuantitatif kepentingan setiap faktor pada pengambilan keputusan (Kurttila et al. 2000). Aplikasi logika fuzzy dilakukan pada langkah penilaian. Langkah pertama yaitu melakukan fuzzifikasi kriteria pemilihan dan menentukan model fungsi keanggotaan fuzzy (membership function), kemudian dilakukan defuzzifikasi. Teknik defuzzifikasi yang digunakan adalah metode COA (center of area) atau disebut juga metode centroid, dimana solusi crisp diperoleh dengan cara mengambil titik pusat daerah fuzzy. Hal ini dilakukan karena banyaknya matriks perbandingan berpasangan, yaitu sebanyak 39 buah, yang harus dianalisis. Nilai inkonsistensi keseluruhan (overall inconsistency) analisis adalah sebesar 0,05 atau menunjukkan konsisten. Hasil analisis menunjukkan bahwa secara keseluruhan kelemahan (0,51) dan ancaman (0,26) mendominasi perkembangan sistem komoditas lada putih dibandingkan dengan kekuatan (0,15) dan peluang (0,07) yang dihadapi. Hal ini diduga menjadi penyebab rendahnya 58

7 kinerja sistem komoditas lada yang dinyatakan dalam bentuk pangsa pasar dan pencapaian mutu. Dari sisi kekuatan, diketahui bahwa sumberdaya teknologi (0,09) merupakan faktor utama pembentuk kekuatan, sedangkan sumberdaya manusia dan sumberdaya informasi merupakan faktor dibawahnya dengan nilai yang sama (0,03) (Tabel 5). Ketersediaan teknologi budidaya, pengalaman, serta ketersediaan dan akses informasi harga, merupakan sumberdaya yang menjadi kekuatan bagi pengembangan sistem komoditas lada. Teknologi budidaya lada, yang meliputi: penyediaan bibit unggul, penanaman, pemeliharaan, pemupukan, serta pengendalian hama dan penyakit terpadu, telah tersedia dan mudah diakses melalui lembaga penelitian dan dinas perkebunan. Informasi harga diperoleh petani secara berkala melalui pedagang pengumpul dan IPC. Departemen Perdagangan dan IPC melakukan kerjasama dalam proses penyebaran informasi harga kepada anggota kelompok petani. Tabel 5. Nilai Prioritas Global Aspek Kekuatan Aspek Nilai Prioritas Global Sub Aspek Kekuatan 0,15 Sumberdaya Teknologi Nilai Faktor Prioritas Global 0,09 Ketersediaan teknologi budidaya (F1) Ketersediaan teknologi pengolahan mekanis (F2) Nilai Prioritas Global 0,07 0,02 SDM 0,03 Pengalaman budidaya (F3) 0,03 Sumberdaya 0,03 Akses informasi harga (F4) 0,03 Informasi Kelemahan yang terjadi dalam proses pengembangan sistem komoditas lada secara berurutan adalah sebagai berikut: sumberdaya teknologi (0,26), sumberdaya manusia (0,10) dan sumberdaya finansial (0,10), serta sumber daya informasi (0,04). Secara terperinci hal tersebut tertera pada Tabel 6. Akses terhadap teknologi pengolahan secara mekanis masih sangat rendah. Proses pengolahan lada, yang meliputi perendaman, pencucian dan pemisahan kulit, serta pengeringan, dilakukan di tingkat petani secara tradisional. Transfer teknologi pengolahan lada secara mekanis belum berjalan dengan baik. Uji Coba telah dilakukan di Kepulauan Bangka, di Kabupaten Bangka Tengah 59

8 dan Kabupaten Bangka Selatan, namun demikian introduksi teknologi pada kedua daerah ini belum berjalan optimal. Tabel 6. Nilai Prioritas Global Aspek Kelemahan Aspek Nilai Prioritas Global Faktor Kelemahan 0,51 Sumberdaya Teknologi Nilai Sub Faktor Prioritas Global 0,26 Akses teknologi pengolahan mekanis (F5) Pengadaan bibit unggul (F6) Risiko mutu pengolahan tradisional (F7) Nilai Prioritas Global 0,11 0,04 0,11 SDM 0,10 Pelatihan budidaya (F8) 0,01 Kesadaran peningkatan 0,04 mutu (F9) Pelatihan pengolahan 0,04 mekanis (F10) Kewirausahaan (F11) 0,01 Pengetahuan pasar (F12) 0,01 Sumberdaya 0,04 Transfer teknologi 0,01 Informasi budidaya (F13) Transfer teknologi 0,03 pengolahan (F14) Sumberdaya 0,10 Investasi perluasan lahan 0,02 Finansial (F15) Kemampuan pembiayaan usaha terintegrasi (F16) 0,08 Risiko mutu pada agroindustri lada putih yang dilakukan secara tradisional adalah rendah pada tahap panen, sangat tinggi pada tahap perendaman, rendah pada tahap pencucian, serta tinggi pada tahap pengeringan. Secara keseluruhan, risiko mutu pada agroindustri lada putih yang dilakukan secara tradisional adalah tinggi. Kesadaran peningkatan mutu di tingkat petani masih rendah. Hal ini disebabkan karena rendahnya insentif dan belum terbangunnya sistem pemasaran yang berorientasi mutu. Investasi petani pada usaha budidaya dan pengolahan dilakukan secara mandiri. Pembiayaan tergantung kepada kemampuan finansial individu. Pada sisi yang lain, tidak ada kredit program dari pemerintah bagi pengembangan lada. Perluasan areal dapat dilakukan petani dengan investasi yang dipenuhi dari sumber pribadi maupun dari sumber keluarga. Perluasan usaha ke arah hilir hampir tidak mungkin dilakukan karena keterbatasan modal. 60

9 Peluang yang terdapat dalam pengembangan sistem komoditas lada yaitu bersumber dari konsumen dalam bentuk perolehan indikasi geografis (0,06) dan preferensi konsumen (0,02). Hal ini tertera pada Tabel 7. Peluang pengembangan lada masih terbuka. Hal ini ditandai dengan kondisi dimana lada merupakan produk yang belum memiliki subsitusi serta merupakan produk dengan indikasi geografis. Tabel 7. Nilai Prioritas Global Aspek Peluang Aspek Nilai Prioritas Global Sub Aspek Nilai Prioritas Global Faktor Nilai Prioritas Global Peluang 0,07 Konsumen 0,07 Indikasi Geografis (F17) 0,06 Preferensi Konsumen (F18) 0,02 Pengembangan lada diperkirakan akan meningkat sejalan dengan diperolehnya manfaat indikasi geografis dalam bentuk proses identifikasi produk yang lebih mudah, serta penetapan standar produksi dan proses di antara pemangku kepentingan. Dari sisi persaingan, indikasi geografis akan menghindarkan dari praktek persaingan curang. Dari sisi konsumen, indikasi geografis akan memberikan perlindungan konsumen dari penyalahgunaan reputasi indikasi geografis, dan membangun kepercayaan konsumen karena adanya jaminan mutu produk. Dari sisi produsen, melalui indikasi geografis dimungkinkan membina produsen lokal, mendukung dan memperkuat lembaga dalam sistem dalam rangka menciptakan, menyediakan, serta memperkuat citra nama dan reputasi produk. Dari sisi produksi, indikasi geografis akan meningkatkan produksi karena dalam indikasi geografis disebutkan tentang produk berkarakter khas dan unik sebagai pembeda dengan produk lain. Dari sisi wilayah, indikasi geografis akan mengangkat reputasi suatu kawasan indikasi geografis. Ancaman yang dihadapi dalam pengembangan sistem komoditas lada terdiri dari ancaman yang bersumber dari konsumen (0,09) dan persaingan antar negara (0,09) sebagai ancaman utama. Ancaman lain adalah daya dukung lingkungan (0,06) dan subtitusi lada putih oleh lada hitam (0,03). Secara terperinci hal ini tertera pada Tabel 8. 61

10 Tabel 8. Nilai Prioritas Global Aspek Ancaman Aspek Nilai Prioritas Global Sub Aspek Nilai Prioritas Global Faktor Nilai Prioritas Global Ancaman 0,265 Konsumen 0,09 Jaminan mutu (F19) 0,02 Persyaratan Indikasi 0,09 Geografis (F20) Persaingan 0,09 Persaingan antar negara 0,09 (F21) Subtitusi Produk 0,03 Subtitusi lada hitam (F22) 0,03 Lingkungan 0,06 Gangguan OPT (F23) 0,03 Daya dukung lahan (F24) 0,03 Indikasi geografis merupakan komponen Hak Kekayaan Intelektual yang memberikan perlindungan terhadap lada putih muntok sebagai komoditas perdagangan yang terkait erat dengan Bangka Belitung sebagai tempat asal produk barang. Indikasi geografis mengharuskan dipenuhinya input, proses, dan output sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan. Pada buku persyaratan dijelaskan tentang identifikasi produk secara rinci yang didalamnya juga menguraikan tentang faktor-faktor yang menjadikan ciri khas suatu produk, yang terdiri dari: (1) nama indikasi geografis, (2) nama barang yang dilindungi, (3) uraian mengenai karakteristik dan mutu, (4) uraian mengenai lingkungan geografis serta faktor alam dan faktor manusia, (5) uraian tentang batas-batas daerah dan atau peta wilayah yang dicakup oleh indikasi geografis, (6) uraian mengenai sejarah dan tradisi yang berhubungan dengan pemakaian indikasi geografis, (7) uraian yang menjelaskan tentang proses produksi, proses pengolahan dan proses pembuatan, serta (8) uraian mengenai metode yang digunakan untuk menguji mutu (Ditjen PPHP 2012). Proses produksi, proses pengolahan dan proses pembuatan merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi, dimana jika hal ini tidak dapat dipenuhi, maka indikasi geografis atas lada putih (muntok white pepper) dapat dicabut. Persaingan antar negara produsen lada di pasar dunia sangat tinggi, terutama sejak Vietnam memasuki pasar. Dominasi Indonesia pada pasar dunia terus mengalami penurunan. Perannya digantikan oleh Vietnam yang terus mengembangkan areal dan memperbaiki sistem budidaya dan pengolahannya. Peningkatan kinerja sistem komoditas lada dapat dilakukan melalui perbaikan sistem budidaya, pengembangan agroindustri lada, dan pengembangan 62

11 pasar. Lada putih sebagai komoditas perdagangan dunia, dalam perkembanganya tidak terlepas dari dinamika pasar dengan persaingan dan tuntutan konsumen terhadap mutu yang tinggi. Oleh karena itu diperlukan sebuah strategi untuk melengkapi upaya peningkatan produksi lada nasional yaitu dalam bentuk peningkatan mutu produk melalui pengembangan agroindustri lada dan pengembangan pasar. Perbaikan sistem budidaya lada dapat dilakukan melalui Good Agricultural Practise (GAP). Melalui kegiatan ini diharapkan akan meningkatkan produktivitas per pohon maupun populasi per luasan. Peningkatan mutu produk dapat dilakukan melalui pengembangan agroindustri secara mekanis, sedangkan pengembangan pasar dapat dilakukan melalui perluasan daerah tujuan ekspor, memperbesar ekspor secara langsung, dan memperluas cakupan produk sesuai dengan kebutuhan negara konsumen. Model agroindustri lada secara mekanis dapat dilakukan melalui pendirian perusahaan agroindustri, pengembangan unit pengolahan bersama, dan pengembangan unit pengolahan perseorangan (VPA 2010). Dalam upaya mempercepat pemanfaatan alat mesin pertanian, Kementerian Pertanian telah meluncurkan program penumbuhan dan pengembangan kelembagaan agroindustri. Kelembagaan agroindustri adalah organisasi petani di suatu wilayah yang berbasis gabungan kelompok tani (gapoktan). Kelembagaan agroindustri dapat berbentuk Kecamatan Pasca Panen (KPP), Usaha Pelayanan Jasa Alat Mesin (UPJA), Lumbung Desa Modern (LDM), Unit Pengembangan Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (UP3HP), Terminal Agribisnis (TA), Sub Terminal Agribisnis (STA), Koperasi Tani (Koptan), Badan Usaha Milik Petani (BUMP), dan lain-lain (Ditjen PPHP 2007). Dalam penerapannya, model ini akan berjalan baik apabila pembentukan kelembagaan didasarkan atas kesamaan visi dan kebutuhan, serta bukan dibentuk secara top down atas alasan adanya program. Berdasarkan penilaian lingkungan internal dan eksternal, diketahui bahwa pengembangan agroindustri lada (0,49) merupakan prioritas bagi upaya penyelesaian sejumlah kelemahan sistem dan upaya mengatasi ancaman yang ada, selain upaya peningkatan produksi lada yang terus dilakukan melalui perbaikan sistem budidaya dan pengembangan pasar (Tabel 9). 63

12 Tabel 9. Nilai Prioritas Strategi Pengembangan Sistem Komoditas Lada Putih Strategi Nilai Prioritas Perbaikan Sistem Budidaya 0,29 Pengembangan Agroindustri Lada 0,49 Pengembangan Pasar 0,22 Introduksi teknologi budidaya yang selama ini dilakukan terus diupayakan peningkatan penerapannya. Budidaya lada anjuran antara lain dilakukan melalui: seleksi bahan tanaman yang sehat, penggunaan tajar hidup, pembuatan saluran drainase, pemangkasan sulur cacing dan sulur gantung yang tidak berguna, pemupukan, pengendalian hayati, penyiangan terbatas, pemanfaatan agen hayati dan konservasinya, serta pembuatan pagar keliling. Penerapan secara berkesinambungan diharapkan dapat meningkatkan produktivitas per tanaman serta produksi secara agregat. Pengembangan pasar dapat dilakukan dengan cara: menciptakan produk yang dengan standar mutu yang disertai jaminan mutu dan kontinuitas pasokan, menetapkan harga yang yang kompetitif, menerapkan promosi yang membangun komunikasi informasi yang persuasif tentang produk agar mempengaruhi pembelian, serta menerapkan pemilihan tempat, sebagai fungsi dari saluran pemasaran, cakupan pasar, transportasi, dan manajemen persediaan, untuk menyampaikan produk kepada konsumen. Melalui strategi ini maka diharapkan akan tercapai pengembangan pasar dalam perluasan fungsi, perluasan wilayah pemasaran, maupun perluasan jangkauan konsumen. Pengembangan pasar juga dilakukan untuk mendukung pengembangan produk dengan nilai tambah tinggi. Hal ini dapat dilakukan dengan menciptakan spesialisasi dalam bentuk spesialisasi produk, spesialisasi geografis, spesialisasi harga dan mutu, spesialisasi pelanggan, spesialisasi pelayanan, spesialisasi pemakai akhir, spesialisasi pesanan, spesialisasi produk atau lini produk, spesialisasi saluran pemasaran, atau spesialisasi ukuran pelanggan. Melalui strategi ini maka produk akan terdiferensiasi dengan baik di pasar. Model agroindustri lada secara mekanis yang dapat diimplementasikan pada saat ini adalah pengembangan unit pengolahan bersama, sebagai suatu lembaga pengolahan hasil pertanian yang didirikan di daerah sentra produksi. 64

13 Kelembagaan agroindustri yang berbasis kelompok tani mensyaratkan terbangunnya collective efficiency yang muncul atas keinginan pencapaian tujuan bersama dan bukan pembentukan secara top down. Model agroindustri lada secara mekanis melalui pendirian perusahaan agroindustri dilakukan pada perusahaan dengan kepemilikan sumberdaya dan kapasitas yang besar. Bentuk ini biasanya diterapkan pada perusahaan eksportir. Pengembangan unit pengolahan perseorangan merupakan penggunaan alat dan mesin pengolah lada dengan kepemilikan pribadi. Hal ini memiliki peluang penerapan yang besar, namun demikian diperlukan penelitian dan pengembangan mengenai alat dan mesin dengan kapasitas yang lebih kecil sesuai dengan kepemilikan lahan petani dan kemampuan petani untuk mengoperasikan. Pengembangan agroindustri lada diharapkan mampu menjawab tantangan serta mampu mengatasi kelemahan sistem komoditas lada nasional. Hal ini pada akhirnya diharapkan akan meningkatkan daya saing lada putih di pasar dunia. 4.3 Analisis Komparatif Sistem Komoditas Lada Indonesia dengan Vietnam Ditinjau dari sisi pangsa pasar, persaingan antar negara produsen lada di pasar dunia sangat tinggi, terutama sejak Vietnam memasuki pasar. Vietnam terus melakukan pengembangan areal serta memperbaiki sistem budidaya dan pengolahannya. Perkembangan pangsa pasar lada putih Indonesia di pasar dunia pada kurun waktu mengalami penurunan (Gambar 14). Pada kurun waktu , Indonesia masih mendominasi pangsa pasar lada putih dunia. Indonesia pada tahun 1995 masih menguasai 73,48% pasar dunia. Pencapaian pangsa pasar terbesar terjadi pada tahun 2000 yaitu sebesar 90,02%, namun demikian kecenderungan ini terus mengalami penurunan hingga mencapai 31,65% pada tahun Nilai pangsa pasar terendah yaitu 26,86% pada tahun Hal ini berbeda dengan pangsa pasar lada putih Vietnam di pasar dunia. Bila pada tahun 2003 kontribusi Vietnam hanya mencapai 11,37%, maka pada pada tahun 2010 mencapai 46,89%. Pangsa pasar terbesar dicapai pada tahun 2009 yaitu sebesar 52,67% (IPC 2011). 65

14 I V Gambar 14. Pangsa Pasar Lada Putih Indonesia dan Vietnam Sumber: IPC (2011) Perkembangan yang pesat ini tidak terlepas dari dimilikinya aset daya saing dan berjalannya proses penciptaan daya saing di Vietnam. Vietnam memiliki sumberdaya alam, tenaga kerja, dan proses aplikasi teknologi modern yang terus berjalan. Beberapaa strategi yang dilakukan adalah menjaga mutu, memperbesar pasar ekspor, meningkatkan nilai tambah lada, dan meningkatkan promosi perdagangan. Pemerintah terus memberikan dorongan karena berkepentingan untuk membangun sekaligus menjaga trademark Vietnam sebagai negara penghasil lada. Perluasan lahan lada di Vietnam dilakukan sejak tahun 1995, dimana terus mengalami perkembangan, sehingga pada tahun 2009 telah mencapai 50 ribu hektar. Intensifikasi lahan juga dilakukan secara bersamaan, termasuk mengembangkan lada organik sebagai upaya untuk menghentikan serangan penyakit, serta berupaya menerapkan aplikasi Good Agricultural Practises (GAP). Dukungan pemerintah sangat besar dalam pengadaan dan penetapan fungsi lahan. Salah seorang petani mendapatkan hak penggunaan lahan seluas 11 hektar untuk penggunaan selamaa 50 tahun. Berbeda dengan di Indonesia, pengembangan lada putih di Kepulauan Bangka dihadapkan pada kerusakan lingkungan yang sangat besar sebagai akibat meledaknya penambangan timah. Hal ini menyebabkan rendahnya daya dukung 66

15 lingkungan terhadap pengembangan komoditas lada. Selain itu adopsi teknologi budidaya sangat terbatas, sebagai akibat dari keterbatasan kemampuan finansial petani. Kondisi ini menyebabkan produktivitas yang semakin menurun. Pada sisi yang lain, konversi lahan pertanian menjadi areal penambangan atau areal tanaman lain juga terus meningkat. Pada sisi agroindustri terdapat perbedaan signifikan antara agroindustri lada di Vietnam dan Indonesia. Agroindustri lada di Vietnam dilakukan dengan menerapkan model perusahaan agroindustri, pengolahan bersama, serta pengolahan secara individu. Pada agroindustri lada skala besar, lada putih yang diolah secara manual kemudian diberi steam treatment dan strerilisasi untuk memenuhi mutu sesuai ASTA, ESA dan Japan Standard. Orientasi produksi yaitu menciptakan produk sesuai standar sanitary dan food safety. Pada agroindustri pedesaaan telah dikembangkan peralatan pengolahan secara mekanis. Selain itu, inovasi juga terus berjalan. Hal ini ditandai dengan adanya perbaikan mesin pengolah lada putih dengan kapasitas 200 kg/jam yang dikerjakan oleh dua tenaga kerja dan menghasilkan lada putih dengan mutu prima. Iklim investasi yang mendukung, telah menyebabkan perkembangan investasi agroindustri lada di Vietnam. Investasi dilakukan baik dalam bentuk perusahaan asing, usaha patungan (joint venture), maupun perusahaan lokal seperti: Harris Preman, Vina Hariss, Man-Spice Vietnam, Truong Loc Enterprise, Maseco, Tan Hung Enterprise, Agrexport HCM, Intimex HCM. Perusahaan ini melakukan investasi dalam mesin modern dilengkapi dengan steam treatment, pengeringan, dan microbiological treatment. Beberapa perusahaan seperti: Thach Loc, Intimex Binh Duong, dan Olam telah melakukan pengolahan lanjut untuk menghasilkan bubuk lada dalam kemasan steril sebagai upaya peningkatan nilai tambah (Nam 2008). Penerapan metode pengolahan lada secara mekanis di Indonesia berjalan lambat. Agroindustri perdesaan baru dilaksanakan sebagai program percontohan dan belum berjalan optimal. Pengolahan lada masih dilakukan secara tradisional. Ditinjau dari sisi biaya, pengolahan dengan cara tradisional memiliki efisiensi yang rendah. Hal ini disebabkan tingginya penggunaan tenaga kerja terutama pada tahap pengupasan kulit. Pada pengolahan lada putih dibutuhkan perendaman 67

16 selama 1-2 minggu untuk melunakkan kulit sebelum buah dikupas. Kontribusi biaya pengupasan terhadap biaya pengolahan lada putih mencapai 80%, karena kemampuan pengupasan secara tradisional sangat rendah, yaitu 100 kg/hari/orang (Risfaheri 2011). Selain itu, diperlukan tenaga kerja pada tahap perendaman untuk menjaga lada, hal ini berkaitan dengan risiko pencurian lada yang tinggi. Pada sisi pemasaran, Vietnam menunjukkan program pemasaran yang lebih baik. Hal ini tampak dari dibangunnya merek produk secara berkesinambungan dengan tujuan ekspor beberapa negara. Selain itu, untuk mengatasi persaingan, ekspor dilakukan pada delapan bulan pertama, pada saat negara produsen lain belum memasuki masa panen. Vietnam mengenalkan kawasan Chu Se di Provinsi Gia Lai sebagai kawasan pengembangan lada. Kinerja pemasaran, yang salah satunya ditunjukkan dengan pencapaian harga, menunjukkan bahwa harga lada Chu Se lebih tinggi ketimbang harga lada yang dikembangkan di kawasan lain. Selain itu, juga terdapat Vietnam Pepper Association, sebuah organisasi non profit, yang selalu beroperasi secara aktif dan efektif untuk kepentingan dan pengembangan industri lada di Vietnam. Salah satu perusahaan agroindustri lada terbesar di Vietnam adalah pemain besar dalam perdagangan lada dunia. Perusahaan memiliki lahan yang telah dipilih secara selektif berdasarkan kesesuaian lahan, curah hujan, dan suhu. Dari sisi budidaya, pengembangan yang dilakukan sejak tahun 1995 menghasilkan produk yang stabil, homogen dengan mutu prima, dengan kapasitas 4000 metrik ton. Pengembangan lahan kemudian diikuti oleh pembangunan agroindustri lada dengan teknologi lanjut dan peralatan modern pada tahun Hal ini bertujuan untuk menghasilkan lada yang higienis dan memenuhi standar keamanan produk. Pada sisi pemasaran, perusahaan membangun branding product dengan nama Maseco Pepper, sebagai upaya mengembangkan lada lokal yaitu Chu Se Pepper. Pemberian penghargaan oleh IPC diberikan secara berkala kepada pelaku usaha yang melakukan ekspor lada dengan nilai tambah produk, pelaku usaha yang memproduksi produk lada yang inovatif, dan kepada petani dengan kinerja terbaik. IPC merupakan organisasi antar pemerintah negara-negara penghasil lada 68

17 yang terdiri dari negara Brazil, India, Indonesia, Malaysia, Sri Lanka dan Vietnam sebagai anggota penuh dan Papua Nugini sebagai anggota asosiasi. IPC didirikan pada tahun 1972 di bawah naungan United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (UN-ESCAP). Sekretariat IPC berlokasi di Jakarta, Indonesia dan dipimpin oleh seorang Direktur Eksekutif. Keanggotaan Komunitas ini terbuka untuk semua negara penghasil lada. Pada tahun 2010, sebagai tahun pertama penyelenggaraan IPC Award, penghargaan diterima oleh pelaku usaha di Vietnam yaitu diberikan kepada: (1) Phuc Sinh Corp, HCM City sebagai pelaku usaha yang melakukan ekspor lada dengan nilai tambah produk, (2) Intimex Group JSC, HCM City sebagai pelaku usaha yang memproduksi produk lada yang inovatif, dan (3) Nguyen Van Queo, Chu See Town, Gia Lai Province sebagai petani dengan kinerja terbaik. Penghargaan ini menunjukkan pengakuan kinerja petani dan pelaku usaha di Vietnam dalam pengembangan nilai tambah produk dan pencapaian kinerja yang optimal. Hal ini sekaligus sebagai dasar penciptaan merek produk dalam upaya pengembangan jaminan mutu (VPA 2010). Program pemasaran lada di Indonesia memiliki kekuatan dengan dimilikinya indikasi geografis bagi lada putih Kepulauan Bangka Belitung. Indikasi geografis adalah suatu tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang, yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia, atau kombinasi dari kedua faktor tersebut, memberikan ciri dan mutu tertentu pada barang yang dihasilkan (Ditjen KPI 2004). Indikasi geografis memberikan penjelasan secara rinci tentang produk berkarakter khas dan unik. Dimilikinya indikasi geografis akan memberikan informasi yang jelas dalam proses identifikasi produk, kemudahan dalam proses menetapkan dan menerapkan standar produk dan proses. Pencapaian dan kemampuan mempertahankan indikasi geografis akan memberikan jaminan mutu produk, serta merek yang membangun unsur pembeda dari lada yang dihasilkan oleh wilayah lain. Kelebihan dalam bentuk indikasi geografis dijadikan sebuah alat pemasaran yang strategis yang memacu pertumbuhan sistem manajemen mutu dari budidaya hingga pengolahan dengan mempertimbangkan keterlibatan petani sebagai pelaku utama. 69

18 4.4 Pengembangan Agroindustri berbasis Peningkatan Nilai Tambah Visi Pembangunan Industri Nasional Jangka Panjang adalah Membawa Indonesia pada tahun 2025 untuk menjadi Negara Industri Tangguh Dunia. Misi yang terdapat di dalamnya yaitu: (1) mendorong peningkatan nilai tambah industri; (2) mendorong peningkatan perluasan pasar domestik dan internasional; (3) mendorong peningkatan industri jasa pendukung; (4) memfasilitasi penguasaan teknologi industri; (5) memfasilitasi penguatan struktur industri; (6) mendorong penyebaran industri keluar pulau jawa; dan (7) mendorong peran IKM terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Pada saat ini, ekspor produk manufaktur tumbuh lebih rendah dari pertumbuhan ekspor produk primer. Proporsi produk manufaktur dalam ekspor non-migas makin kecil, dari 76% pada 2000 menjadi 50% pada Struktur ekspor semakin didominasi oleh bahan mentah. Sejak 2008, impor naik pesat sehingga neraca perdagangan produk manufaktur mengalami defisit. Tuntutan hilirisasi semakin kuat, di mana tuntutan memperluas rantai nilai komoditas ekspor unggulan juga semakin meningkat. Kegiatan hilirisasi, sebagai kegiatan mengolah bahan mentah sebelum diekspor, diterapkan pada berbagai industri, termasuk Industri Berbasis Pertanian/Agro. Bahkan pada produk pertambangan mineral dan batu bara telah diwajibkan oleh UU No. 4 Tahun Pada saat ini pemerintah akan memfokuskan program hilirisasi industri pada Industri Berbasis Pertanian/Agro (CPO, Kakao, dan Rotan) dan Industri Berbasis Mineral Hasil Tambang (Bauksit, Nikel, Bijih/Pasir Besi, dan Tembaga). Program hilirisasi industri pada Industri Berbasis Pertanian/Agro diharapkan juga akan diterapkan pada komoditas ekspor unggulan lainnya seperti lada. Kegiatan pengembangan agroindustri lada didasarkan kepada kebutuhan untuk meningkatkan nilai tambah pada sistem komoditas lada. Peningkatan nilai tambah dapat dilakukan pada seluruh mata rantai oleh pelaku yang terlibat di dalamnya. Kebijakan hilirisasi diharapkan dapat memberikan dampak positif, berupa: peningkatan utilisasi industri, peningkatan ekspor produk olahan, serta peningkatan investasi. 70

19 Peningkatan nilai produk merupakan hasil dari aktivitas sepanjang rantai nilai sebagai kegiatan ekstraksi bahan baku untuk digunakan oleh pelanggan. Pada setiap tahap rantai nilai diperlakukan aspek yang berbeda dari nilai yang diberikan (Sathre 2009). Melalui analisis rantai nilai maka akan dipelajari dan dianalisis nilai tambah pada kegiatan yang berbeda melalui analisis biaya dan koordinasinya (Porter 1998; Stahmer dan Frank 2006). Pelaku pada rantai nilai komoditas lada terdiri dari: penyedia input, petani, pengumpul, pedagang, eksportir, retail lokal dan global (Gambar 15). Pedagang tingkat desa atau pedagang tingkat kecamatan disebut juga sebagai pengumpul. Aktivitas dan jenis keputusan yang diambil pada setiap pelaku tertera pada Tabel 10. Penyedia input merupakan pihak yang berkepentingan untuk menyediakan dan mendistribusikan input pertanian pada jumlah dan harga yang sesuai. Petani melakukan penangkaran bibit, budidaya, dan pengolahan secara tradisional. Beberapa petani melakukan pengadaan bibit melalui pembelian kepada penangkar. Petani akan mempertimbangkan harga untuk menilai kemampuan memenuhi biaya yang dikeluarkan. Pedagang melakukan pengumpulan, pengemasan, dan trasportasi, sedangkan sortasi produk hanya dilakukan di tingkat eksportir. Gambar 15. Rantai Nilai Lada Putih 71

20 Tabel 10. Kegiatan dan Jenis Keputusan Pelaku pada Rantai Nilai Pelaku Aktivitas Jenis Keputusan Penyedia Input Distribusi Kuantitas Harga Petani Pedagang Pengumpul Pedagang Besar Eksportir Retail Penangkaran benih Budidaya Pemanenan Perendaman Pengupasan Pencucian Pengeringan Pengemasan Pengumpulan Transportasi Pengumpulan Transportasi Sortasi Pengemasan Penyimpanan Pengiriman Pengangkutan Penetrasi pasar Pengemasan Distribusi Kuantitas Biaya Kuantitas Biaya Harga Kuantitas Biaya Harga Kuantitas Mutu Kontinuitas Biaya Aliran informasi Harga Mutu Harga Aliran Informasi Input pertanian utama pada budidaya lada adalah bibit, tajar, pupuk, obatobatan, dan tenaga kerja. Penyedia input menyediakan sarana produksi yaitu pupuk dan pestisida. Bibit lada yang digunakan sebagian besar merupakan bibit yang tidak bersertifikat yang diperoleh melalui penangkar tidak resmi. Investasi pada usahatani lada putih relatif besar. Komponen utama pada investasi budidaya lada adalah pembukaan lahan dan pembelian tajar. Budidaya tanaman lada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebagian besar dilakukan dengan menggunakan tiang panjat mati. Metode ini memberikan pertumbuhan dan produktivitas yang lebih tinggi, namun umur produktif tanaman lebih pendek. Kondisi ini mengakibatkan biaya investasi usaha tani lada semakin meningkat, karena ketersediaan tiang panjat mati yang semakin sulit. Pengolahan lada putih dilakukan oleh petani secara tradisional. Komponen biaya terbesar pada tahap ini adalah biaya tenaga kerja. Pemetikan buah lada dilakukan setelah sebagian buah pada pangkal tandan sudah berwarna 72

21 kuning kemerahan. Pemanenan dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan kemasakan buah. Setelah pemetikan, buah lada dimasukkan ke dalam karung untuk direndam. Perendaman dilakukan selama 1-2 minggu. Pada tahap ini, tenaga kerja juga dibutuhkan untuk mengawasi lada dari risiko pencurian. Setelah perendaman dilakukan pengupasan kulit. Setelah kulit luar terkelupas, kemudian dilakukan pencucian dan pengeringan. Pengeringan dilakukan dengan menghamparkan lada pada alas tikar atau terpal. Rantai penjualan lada dari petani ke eksportir dilakukan melalui beberapa cara. Petani dapat menjual lada ke pengumpul atau langsung ke pedagang besar. Bahkan dalam jumlah yang sangat besar, petani dimungkinkan menjual langsung ke eksportir. Hal ini dimungkinkan karena adanya infrastruktur transportasi yang baik dan dukungan fasilitas telekomunikasi yang menunjang. Perbedaan harga antar pelaku yaitu sekitar Rp per kg. Pada saat ini petani telah mendapat informasi harga yang disediakan oleh Kementerian Perdagangan dan IPC melalui layanan short message system. Oleh karena itu pembentukan harga tidak lagi berlangsung sepihak oleh pedagang pengumpul. Perbedaan harga yang terjadi adalah hingga Rp ketika di tangan eksportir. Biaya yang dikeluarkan oleh petani meliputi biaya investasi dan biaya operasional. Biaya investasi terdiri dari: biaya pembukaan lahan, tajar, bibit, dan peralatan pertanian, sedangkan biaya operasional terdiri dari: pupuk, pestisida, dan tenaga kerja. Biaya tenaga kerja merupakan biaya yang sangat besar yang mendominasi struktur biaya usahatani lada. Biaya yang dikeluarkan oleh pengumpul adalah biaya pengemasan dan biaya transportasi, sedangkan biaya yang dikeluarkan oleh pedagang besar adalah biaya transportasi dan biaya penyusutan. Biaya penyusutan merupakan biaya yang harus dibayar akibat mutu lada yang belum memenuhi persyaratan. Besar biaya penyusutan adalah sekitar 2%. Pengangkutan lada dilakukan dengan menggunakan colt dengan muatan 2 ton atau truk dengan muatan 7 ton. Biaya yang dikeluarkan oleh eksportir adalah biaya sortasi, pengeringan jika diperlukan, dan pengemasan. Harga jual ditetapkan berdasarkan perjanjian kontrak pembelian dengan importir dan biasanya merujuk kepada harga di pasar 73

22 dunia. Marjin keuntungan pedagang desa sebesar 2,73%, pedagang pengumpul 3,29%, dan eksportir 7,73% (Djulin dan Malian 2005). Peningkatan kinerja rantai nilai dapat dilakukan dengan cara: meningkatkan kuantitas produksi dan perbaikan kesinambungan pasokan, meningkatkan mutu dan keamanan produk, menurunkan waktu produksi, menimimalisasi biaya transaksi, serta meningkatkan kapasitas pelaku untuk mengadopsi teknologi dan pengembangan pasar (UNIDO 2009). Strategi pengembangan rantai nilai dapat dicapai dengan menerapkan strategi perbaikan mutu, peningkatan efisiensi sistem, dan pengembangan diferensiasi produk (AFC 2004). Peningkatan nilai tambah merupakan satu dari tiga strategi peningkatan kinerja rantai nilai. Peningkatan nilai tambah dapat dilakukan melalui pengembangan produk yang inovatif atau diferensiasi produk, proses yang inovatif, dan kegiatan pemasaran yang inovatif. Dua strategi lainnya yaitu peningkatan jejaring rantai nilai melalui pemilihan pasar dan saluran pemasaran yang tepat, serta peningkatan tata kelola rantai nilai melalui pemilihan organisasi kerjasama vertikal dan horisontal yang sesuai (Trienekens 2011). Secara lebih spesifik, peningkatan nilai tambah produk pertanian adalah meningkatkan pendapatan melalui: budidaya tanaman tertentu untuk pasar khusus, perubahan bentuk produk, perubahan pengemasan produk, perubahan cara memasarkan produk, atau mengembangkan unit usaha baru (Born dan Bachmann 2006). Strategi peningkatan nilai tambah dapat dilakukan melalui dua cara yaitu: (1) menjaring nilai (capturing value), dan (2) menciptakan nilai (creating value) (Parcell et al. 2010, Brees et al. 2004). Kedua strategi penambahan nilai tersebut dapat diimplementasikan pada komoditas lada melalui perbaikan metode pengolahan. Strategi menjaring nilai merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengoptimalkan input dan proses produksi, sehingga dapat diperoleh produk dengan biaya yang optimal. Strategi menciptakan nilai merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menghasilkan produk yang unik atau berbeda dari produk yang selama ini ada dengan tujuan untuk memenuhi atau melampaui atribut yang diharapkan oleh konsumen. Peningkatan nilai tambah melalui kedua strategi tersebut merupakan pengembangan dari: mutu (quality), fungsi (functionality), 74

23 bentuk (form), tempat (place), waktu (time) dan kemudahan mendapatkan (ease of possession) (Anderson dan Hall 2008). Peningkatan nilai tambah melalui kegiatan penjaringan nilai pada lada didefinisikan sebagai kegiatan mengoptimalkan proses budidaya dan pengolahan lada dengan tujuan untuk menghasilkan lada dengan mutu yang memenuhi persyaratan standar mutu yang telah ditetapkan. Peningkatan nilai tambah melalui kegiatan penciptaan nilai tambah pada lada didefinisikan sebagai kegiatan pemberian input dan penyelenggaraan proses lanjutan dengan tujuan untuk menghasilkan lada dalam bentuk, fungsi, dan kemudahan mendapatkan. Peningkatan kinerja rantai nilai komoditas lada ditempuh melalui peningkatan produktivitas yang dilakukan dengan mempercepat dan memperluas adopsi teknologi budidaya anjuran di tingkat petani, serta peningkatan rendemen dan mutu lada yang dilakuan dengan perbaikan metode pengolahan. Jenis lada pada strategi penciptaan nilai (IPC 2010) antara lain: (1) lada yang diberi perlakuan untuk perubahan ukuran, (2) lada yang diberi perlakuan untuk meningkatkan mutu, (3) lada yang diberi input tambahan dan proses lanjutan, (4) lada yang diberi proses pengolahan lanjutan untuk menghasilkan produk dalam bentuk dan fungsi yang berbeda, serta (5) lada yang diberi kemasan tertentu. Lada yang diberi perlakuan untuk perubahan ukuran seperti: lada yang telah dihancurkan (crushed pepper), bubuk lada (pepper powder), tepung lada (milled pepper), lada serpihan (flake), atau lada butiran (granules). Lada yang diberi perlakuan untuk meningkatkan mutu seperti: lada yang telah disterilisasi, atau lada organik (certified organic). Lada yang diberi input tambahan dan proses lanjutan sehingga dihasilkan: lada kering (dehydrated pepper), lada beku (frozen pepper), lada beku kering (freeze dried pepper), lada asin (pepper in brine), lada dalam bentuk permen, atau lada dalam bentuk pasta. Lada yang diberi proses pengolahan lanjutan untuk menghasilkan produk dalam bentuk dan fungsi yang berbeda seperti: minyak lada (pepper oils), atau oleoresin. Lada yang diberi kemasan tertentu untuk memperluas pasar seperti: lada dalam kemasan konsumen, yaitu dengan bobot kurang dari 2,5 kg per kemasan. Secara lebih spesifik, penciptaan nilai yang dapat dilakukan pada lada putih dan lada hitam adalah: lada yang diberi perlakuan untuk perubahan ukuran, 75

24 lada yang diberi perlakuan untuk meningkatkan mutu, lada yang diberi proses pengolahan lanjutan untuk menghasilkan produk dalam bentuk dan fungsi yang berbeda, serta lada yang diberi kemasan tertentu untuk memperluas pasar. Lada hijau merupakan produk olahan dari lada dengan warna hijau yang dipertahankan. Berdasarkan cara pengolahannya dikenal tiga bentuk lada hijau yaitu (1) lada hijau dalam larutan garam, (2) lada hijau dalam bentuk kering, dan (3) lada hijau dalam bentuk beku. Strategi menjaring nilai dilakukan dengan mengembangkan unit pengolahan pasca panen yang memiliki seperangkat mesin dan peralatan yang terdiri dari mesin perontok (thresher), alat pengayak, bak perendaman (soaking tank), mesin pengupas (decorticator), bak pemisahan pulp, dan alat pengering (mechanical dryer), mesin sortasi (winnower). Mesin dapat dilengkapi pula dengan alat penyulingan untuk memanfaatkan produk samping yang dihasilkan. Pemilihan alat dan mesin dapat disesuaikan dengan kebutuhan pengguna berdasarkan skala prioritasnya. Peralatan dan mesin teknologi pengolahan lada secara mekanis telah dihasilkan oleh lembaga penelitian Kementerian Pertanian. Mesin dan peralatan juga telah diujicobakan pada beberapa lokasi sentra produksi lada. Instalasi, operasi, dan perawatan dilakukan oleh unit usaha dengan bimbingan dari Dinas Perkebunan. Strategi menjaring nilai yang dilakukan melalui pengolahan lada putih secara mekanis ini bertujuan untuk memenuhi persyaratan mutu yang telah ditetapkan dan untuk memenuhi persayaratan input, proses, dan output yang dipersyaratkan pada Indikasi Geografis. Oleh karena itu, prospek dari pelaksanaan kegiatan ini sangat besar, mengingat standar mutu dan Indikasi Geografis merupakan bahasa perdagangan global yang mampu memberikan jaminan mutu atas produk yang diperdagangkan. Risiko yang mungkin muncul pada penerapan strategi penjaringan nilai adalah risiko produksi, risiko pemasaran, risiko investasi, dan risiko tambahan nilai (Brees et al. 2004). Risiko produksi yang berkaitan dengan proses produksi pada strategi penjaringan nilai adalah rendah. Hal ini berkaitan dengan telah diketahui dengan baik proses yang berlangsung pada strategi penjaringan nilai. 76

25 Risiko produksi ditinjau dari sisi keahlian produsen adalah rendah, demikian juga pada dari sisi peraturan atau persyaratan hukum. Risiko pemasaran berkaitan dengan tingkat kompetisi dan akses pasar. Pada strategi penjaringan nilai, tingkat kompetisi tinggi sedangkan akses pasar mudah untuk dilakukan. Risiko investasi berkaitan dengan modal yang dibutuhkan dan arus kas. Kedua hal ini memiliki risiko yang bervariasi. Berdasarkan tambahan nilai, diketahui bahwa strategi penjaringan nilai memberikan tambahan keuntungan pada skala yang kecil. Strategi menciptakan nilai akan menghasilkan produk yang unik atau berbeda dari produk yang selama ini ada dengan tujuan untuk memenuhi atau melampaui atribut yang diharapkan oleh konsumen. Walaupun teknologi untuk melakukan pengolahan lebih lanjut telah tersedia, namun proses ini hampir tidak pernah dilakukan oleh pelaku pada sistem komoditas lada di Indonesia. Penyediaan lada dalam berbagai ukuran dan bentuk, serta pengemasan yang beragam, telah dilakukan oleh perusahaan pengolah lada putih di Kalimantan. Strategi menciptakan nilai dapat menimbulkan risiko produksi yang lebih tinggi daripada strategi penjaringan nilai. Risiko investasi berkaitan dengan modal yang dibutuhkan dan arus kas. Modal yang dibutuhkan relatif besar. Berdasarkan tambahan nilai, diketahui bahwa strategi penjaringan nilai memberikan tambahan keuntungan pada skala yang besar. Risiko pemasaran berkaitan dengan tingkat kompetisi dan akses pasar. Pada strategi penciptaan nilai, tingkat kompetisi rendah sedangkan akses pasar sulit untuk dilakukan. Permintaan untuk produk inovatif biasanya harus diciptakan melalui iklan, promosi, dan pendidikan konsumen, dimana hal ini merupakan proses yang panjang dan mahal. Strategi ini juga membutuhkan proses pembelajaran, ketrampilan pemasaran, pengemasan, pelabelan, dan pemenuhan berbagai peraturan. Risiko pemasaran dapat menjadi lebih rendah daripada strategi penjaringan nilai, apabila permintaan dapat dibangun, terdapat potensi yang tinggi, harga stabil, dan persaingan langsung dalam jumlah sedikit. Pengembangan skala operasi dan cakupan usaha akan mensyaratkan penambahan tenaga kerja, peningkatan ketrampilan manajemen, peningkatan fungsi pengendalian, peningkatan kemampuan manajemen bisnis dan perencanaan keuangan, serta adanya keputusan investasi dalam mesin peralatan atau perbaikan 77

26 pengemasan. Selain itu, penambahan volume produksi juga mensyaratkan kemampuan perencanaan produksi dan penanganan limbah yang memadai, selain kemampuan pelaksanaan riset pasar, pengembangan produk, atau pencitraan (Fellows dan Rottger 2005). Strategi penjaringan nilai merupakan strategi yang dipilih pada kondisi saat ini. Hal ini didasarkan kepada belum optimalnya pencapaian produksi dan mutu biji lada. Oleh karena itu, fokus dalam analisis pada bagian selanjutnya adalah berkaitan dengan upaya meningkatkan mutu lada sebagai langkah menanamkan pondasi bagi berkembangnya industri lada yang berbasis penciptaan nilai tambah. Model agroindustri lada secara mekanis dapat dilakukan melalui pendirian perusahaan agroindustri, pengembangan unit pengolahan bersama, dan pengembangan unit pengolahan perseorangan. Rantai nilai dugaan dari model pengolahan bersama dan model perusahaan agroindustri tertera pada Gambar 16. Gambar 16. Prediksi Rantai Nilai Berbasis Pengolahan Lada secara Mekanis Pengalihan pelaksanaan kegiatan pengolahan lada dari petani diharapkan dapat memperbaiki mutu produk, serta dapat menciptakan distribusi risiko yang lebih baik. Kegiatan pengolahan lada dapat dilakukan oleh unit agroindustri 78

27 dalam bentuk model pengolahan bersama atau model perusahaan agroindustri. Pada model pengolahan bersama, pemilik lada melakukan pengolahan dengan pembayaran upah jasa pengolahan tertentu, dengan kepemilikan lada yang tidak berpindah. Pada perusahaan agroindustri pembelian dilakukan dalam bentuk buah lada atau biji lada dengan penanganan pasca panen yang berada dalam pengawasan perusahaan. Kedua model ini masih memiliki keterkaitan ke depan yang sangat besar dengan perusahaan eksportir. Pada perusahaan agroindustri, perusahaan eksportir dapat merupakan sebuah unit usaha yang terintegrasi ditinjau dari sisi kepemilikan maupun pengelolaannya. Perusahaan agroindustri dapat juga sebagai bagian terpisah dari perusahaan eksportir, namun dengan sistem kerjasama yang saling mengikat dalam proses pengadaan bahan baku dan transportasi dengan pengelolaan produk, aliran informasi, dan distribusi keuntungan dan risiko yang optimal bagi seluruh pelaku pada rantai pasok. Pada model pengolahan lada bersama, penjualan hasil yang dilakukan kembali oleh petani, sedangkan pada model perusahaan agroindustri dilakukan oleh perusahaan. Model perusahaan agroindustri dimungkinkan apabila terjalin kesepakatan yang tertuang dalam kontrak kerjasama antara petani dengan perusahaan dalam pembelian buah lada, atau perusahaan memiliki kebun sendiri yang diusahakan oleh petani. 4.5 Model Proses Adopsi Teknologi Agroindustri Lada Teknologi agroindustri, sebagai salah satu komponen dalam proses penciptaan pertumbuhan, memiliki peran yang strategis. Beberapa peran tersebut adalah: menurunkan kehilangan pasca panen, memperpanjang umur simpan produk, stabilisasi harga bahan baku pada saat panen puncak, menyediakan produk dengan mutu seragam dalam jumlah besar, mengembangkan industri terkait, meningkatkan pengembalian terhadap petani, menciptakan lapangan pekerjaan, serta mempercepat pertumbuhan ekonomi (Yakwezi 2003). Oleh karena itu teknologi diharapkan dapat diadopsi secara menyeluruh dan berkesinambungan dalam pengembangan komoditas. Di Kepulauan Bangka, telah dilakukan uji coba pengolahan lada secara mekanis di Desa Delas, Kecamatan Air Gegas, Bangka Selatan dan Desa Cambai, 79

28 Kecamatan Namang, Kabupaten Bangka Tengah. Introduksi teknologi pada kedua daerah ini belum berjalan sebagaimana mestinya. Di desa Delas, peralatan pengolahan lada pada masa uji coba tidak berfungsi dengan baik. Hal ini ditandai oleh banyaknya lada pecah yang dihasilkan dan lada yang tidak terkelupas, selain itu letak bak perendaman beradaa lebih tinggi dari letak kebun. Di Desa Cambai telah dilakukan ujicoba pengolahan lada secara mekanis, namun demikian mesin dan peralatan tersebut tidak diimplementasikan secara berkesinambungan. Mesin dan peralatan hanya digunakan bila diperlukan untuk kegiatan pelatihan. Beberapa permasalahan teknis yang muncul diduga sebagai akibat dari kinerja mesin dan peralatan yang tidak optimal, selain permasalahan kelembagaan yang berkaitan dengan rendahnya pengalaman dalam menjalankan kegiatan ekonomi bersama dan tidak adanya dukungan dalam bentuk bimbingan teknis dan pendampingan. Pengalaman responden menggunakan mesin dan peralatan pengolahan lada ditunjukkan pada Gambar 17. Seluruh responden tidak memiliki pengalaman menggunakan mesin perontok, mesin pengupas, mesin pengering, dan mesin sortasi. Sebanyak 3 responden (7,14%) memiliki pengalaman memanfaatkan bak perendaman dalam proses perendaman lada. Gambar 17. Pengalaman Menggunakan Alat dan Mesin Agroindustri Lada Proses adopsi teknologi dipengaruhi oleh tiga komponen utama yaitu: (1) karakteristik inovasi yang berkaitan dengan manfaat dan biaya, (2) karakteristik inovator atau aktor yang mempengaruhi kemungkinan adopsi inovasi, dan (3) 80

29 karakteristik konteks lingkungan yang memodulasi difusi melalui karakteristik struktural (Wejnert 2002). Pada sektor pertanian, faktor yang mempengaruhi adopsi teknologi secara positif yaitu: tingkat pendidikan, teknologi lokal, profesionalisme keanggotaan, serta keterlibatan pemerintah. Di sisi lain faktor yang mempengaruhi secara negatif yaitu: kendala keuangan, sistem kepemilikan tanah, dan ukuran lahan (Nzomoi et al. 2002). Hal ini menunjukkan bahwa selain faktor internal, proses adopsi juga dipengaruhi oleh faktor eksternal, oleh karena itu dibutuhkan sebuah model proses adopsi teknologi dan penggunaan teknologi tersebut secara berkelanjutan yang mengintegrasikan faktor internal maupun faktor eksternal. Terdapat beberapa hal yang menjadi latar belakang mengapa tidak dilakukan adopsi teknologi. Sebagai upaya untuk mendapatkan gambaran atas hal tersebut, maka dilakukan penjaringan persepsi petani terhadap peluang adopsi dan kemungkinan alasan yang melatarbelakangi apabila tidak dilakukan adopsi. Alasan responden tidak memanfaatkan mesin perontok didominasi oleh alasan keterbatasan modal (sebanyak 41 responden atau 97,62%), ketersediaan mesin (sebanyak 40 responden atau 95,24%), dan keterbatasan bimbingan teknologi (sebanyak 39 responden atau 92,86%) (Gambar 18). Ditinjau dari sisi kemampuan mesin memberikan manfaat dan implikasi biaya, jumlah responden yang mempercayai hal tersebut relatif berimbang. Penggunaan mesin ini diharapkan akan dapat menghemat penggunaan tenaga kerja, sebagai komponen biaya utama pengolahan lada. Alasan responden tidak memanfaatkan bak perendam didominasi oleh alasan keterbatasan modal (sebanyak 40 responden atau 95,24%), ketersediaan bak (sebanyak 40 responden atau 95,24%), dan implikasi biaya (sebanyak 41 responden atau 97,62%), seperti tertera pada Gambar 19. Teknologi dan cara kerja sederhana dari bak perendaman tidak membutuhkan bimbingan teknis, selain itu sebagian besar responden tidak ragu atas tingkat manfaat. Sebagian besar responden mempercayai bahwa bak perendam dapat memberikan penyelesaian atas permasalahan yang muncul dari perendaman yang dilakukan di sungai atau bekas galian. Kualitas air dan ketersediaan air yang menurun akan memberikan pengaruh terhadap kualitas lada. Selain itu, salah satu 81

30 kendala yang dihadapi petani dalam tahap perendaman secara tradisional adalah tingginya risiko pencurian lada. Biaya tenaga kerja yang dikeluarkan untuk mengatasi tersebut relatif besar. Oleh karena itu selain penggunaan bak perendam diharapkan dapat meningkatkann peluang pencapaian mutu yang sesuai dengan standar yang berlaku, penggunaan bak perendam juga dapat menyelesaikan permasalahan keamanan. Gambar 18. Persepsi Kendala Pengambilan Keputusan Penggunaan Mesin Perontok Gambar 19. Persepsi Kendala Pengambilan Keputusan Penggunaan Bak Perendam Responden tidak memanfaatkan mesin pengupas disebabkan oleh keterbatasan modal (sebanyak 41 responden atau 97,62%), keterbatasan mesin (sebanyak 40 responden atau 95,24%), keterbatasan bimbingan teknis (sebanyak 39 responden atau 92,86%), seperti tertera pada Gambar 20. Bimbingan teknis diperlukan terkait spesifikasi mesin dan keragaman ukuran lada yang dapat 82

31 menyebabkan risiko lada pecah. Dari sisi kemampuan alat memberikan manfaat dan rendahnya implikasi biaya, jumlah responden yang mempercayai hal tersebut relatif lebih besar. Gambar 20. Persepsi Kendala Pengambilan Keputusan Penggunaan Mesin Pengupas Alasan responden tidak memanfaatkan mesin pengering didominasi oleh alasan keterbatasan modal (sebanyak 40 responden atau 95,24%), ketersediaan mesin (sebanyak 39 responden atau 92,86%), dan implikasi biaya (sebanyak 40 responden atau 95,24%), seperti tertera pada Gambar 21. Teknologi dan cara kerja sederhana dari mesin pengering menyebabkan responden berpendapat tidak membutuhkan bimbingan teknis. Terjadinya perubahan cuaca dalam tahap penjemuran lada, menjadi dasar penilaian responden terhadap manfaat atas mesin pengering yang dinyatakann sebanyak 27 responden atau sebesar 64,28%. Gambar 21. Persepsi Kendala Pengambilan Keputusan Penggunaan Mesin Pengering 83

32 Kegiatan sortasi hampir tidak pernah dilakukan oleh petani. Tidak dimanfaatkannya mesin sortasi didominasi oleh alasan keterbatasan modal (92,86%) dan kersediaan mesin (88,09%), seperti tertera pada Gambar 22. Gambar 22. Persepsi Kendala Pengambilan Keputusan Penggunaan Mesin Sortasi Mesin sortasi dianggap mampu memberikan manfaat secara signifikan dalam proses pemisahan lada berdasarkan mutunya. Adanya implikasi biaya tidak menjadi permasalahan bagi responden karena adanya insentif berupa perbedaan harga yang ditawarkan oleh eksportir berdasarkan mutu lada yang dihasilkan. Berdasarkan rendahnyaa tingkat adopsi dan adanya permasalahan keterbatasan modal, ketersediaan mesin dan peralatan, keterbatasan bimbingan teknis, keraguan efektivitas teknologi, dan adanya implikasi biaya, maka dibutuhkan sebuah model yang mampu menganalisis hal tersebut. Beberapa model yang dibangun untuk menganalisis dan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi diterimanya penggunaan teknologi antara lain Theory of Reasoned Action (TRA), Theory of Planned Behavior (TPB), dan Technology Acceptance Model (TAM) (Chuttur 2009). TAM menyatakan bahwaa penerimaan pengguna dan penggunaan teknologi ditentukan oleh dua komponen sikap kunci yaitu penggunaan (perceived use) dan kemudahan penggunaan (perceived ease of use) (Sunding dan Zilberman 2000). Sebagai model untuk mengukur dan menduga penerimaan pengguna teknologi baru, TAM telah dipergunakann dalam berbagai bidang kajian termasuk sektor pertanian (Flett et al. 2004). TAM menjelaskan hubungan sebab akibat antara 84

33 keyakinan akan manfaat suatu teknologi dan kemudahan penggunaannya, perilaku, tujuan, serta penggunaan aktual dari pengguna suatu teknologi. Model TAM terus diperluas, dan dikembangkan, sehingga lahir TAM 2 (Venkatesh 2000), dan TAM 3 (Venkatesh dan Bala 2008). Integrasi beberapa model proses adopsi teknologi menghasilkan sebuah model yang baru yang dinamakan Unified Theory of Acceptance and Use of Technology (UTAUT) (Venkatesh et al. 2003). UTAUT menguji faktor-faktor penentu penerimaan pengguna dan perilaku penggunaan yang terdiri dari: kinerja yang diharapkan, usaha yang diharapkan, pengaruh sosial, dan kondisi fasilitasi. Keempat hal tersebut berkontribusi kepada perilaku penggunaan, baik secara langsung maupun melalui kecenderungan perilaku. UTAUT juga memperhatikan faktor-faktor seperti gender, usia, pengalaman, dan kesukarelaan. Model proses adopsi teknologi pengolahan lada secara mekanis dimodifikasi dari UTAUT Model yang terdiri dari 2 bagian sub model, yaitu Sub Model Kecenderungan untuk Menggunakan (intention to use) dan Sub model Dukungan Fasilitasi, yang akan mempengaruhi keputusan perilaku penggunaan. Model proses adopsi teknologi tertera pada Gambar 23. Gambar 23. Model Proses Adopsi Teknologi 85

34 Input yang digunakan dalam analisis ini adalah indikator yang dinyatakan dalam bentuk indikator tambahan keuntungan untuk menduga nilai kinerja yang diharapkan (performance expectancy), indikator efisiensi untuk menduga nilai proses yang diperkirakan (effort expectancy) dan indikator peran kelompok tani untuk menduga pengaruh sosial (social influence). Indikator dukungan fasilitas (support facilities) yang terdiri dari komponen persepsi terhadap dukungan pendanaan, persepsi terhadap dukungan teknologi, dan persepsi terhadap dukungan peningkatan kapasitas. Penilaian terhadap indikator dilakukan secara terpisah terhadap setiap mesin dan peralatan yang digunakan tahap pengolahan lada putih, yaitu mesin perontok, mesin pengupas, bak perendam, mesin pengering, dan sortasi. Penilaian secara terpisah tidak dilakukan terhadap indikator peran kelompok tani. Nilai individu dinyatakan dalam skala 1 atau 0 dan nilai indikator didekati dengan nilai komulatif sampel untuk penilaian yang sama. Atribut dan fungsi keanggotan variabel input agregasi 1-3 tertera pada Tabel Tabel 11. Skala Nilai Variabel Input Agregasi Tahap 1 Variabel Input Skala Nilai 1. Rata-rata nilai tambahan keuntungan 2. Rata-rata nilai efisiensi 3. Peran kelompok tani. 4. Rata-rata nilai persepsi terhadap dukungan pendanaan 5. Rata-rata nilai persepsi terhadap dukungan teknologi 6. Rata-rata nilai persepsi terhadap dukungan peningkatan kapasitas Sangat Rendah (0-8) Rendah (9-16) Sedang (17-24) Tinggi (25,-32) Sangat Tinggi (33-42) Tabel 12. Atribut dan Fungsi Keanggotaan Variabel Input Agregasi Tahap 2 Variabel Input Fuzzifikasi Fungsi Keanggotaan 1. Kinerja yang diharapkan (performance expectancy) 2. Usaha yang diharapkan (effort expectancy) 3. Pengaruh sosial (social influence) 4. Persepsi terhadap dukungan pendanaan 5. Persepsi terhadap dukungan teknologi 6. Persepsi terhadap dukungan peningkatan kapasitas Sangat Rendah (0,0,3) Rendah (2,4,6) Sedang (5,7,9) Tinggi (8,10,12) Sangat Tinggi (11,15,15) 86

35 Tabel 13. Atribut dan Fungsi Keanggotaan Variabel Input Agregasi Tahap 3 Variabel Input 1. Kecenderungan untuk Menggunakan (intention to use) 2. Dukungan Fasilitas (support facilities) Fuzzifikasi Sangat Rendah (0, 0, 3) Rendah (2, 3.5, 5) Sedang (4, 5.5, 7) Tinggi (6, 7.5, 9) Sangat Tinggi (8, 8, 10) Fungsi Keanggotaan Proses kajian terdiri dari tahap pemetaan status dan formulasi kebijakan, seperti tertera pada Gambar 24. Pemetaan status adopsi teknologi dilakukan secara berjenjang dengan menggunakan pendekatan fuzzy inference system model Tagaki-Sugeno-Kang (TSK) orde satu. Formulasi kebijakan dilakukan secara analisis deskriptif berdasarkan nilai yang diperoleh dari analisis pemetaan status. Gambar 24. Tahapan Analisis Proses Adopsi Teknologi 87

36 Agregasi tahap 1 dilakukan untuk mendapatkan nilai indikator kinerja yang diharapkan (performance expectancy), hasil yang diharapkan (effort expectancy), persepsi terhadap dukungan pendanaan, persepsi terhadap dukungan teknologi, dan persepsi terhadap dukungan peningkatan kapasitas. Agregasi tahap 1 merupakan rerataan nilai pada seluruh teknologi pada setiap indikator. Agregasi tahap 2 dilakukan untuk mendapatkan nilai Kecenderungan untuk Menggunakan (intention to use) dan Dukungan Fasilitas (support facilities). Agregasi tingkat 3 dilakukan untuk mendapatkan nilai Perilaku Penggunaan (usage behavior). Pada agregasi tahap 2 digunakan 125 aturan, sedangkan pada tahap 3 digunakan 25 aturan. Output yang dihasilkan dari kajian ini adalah nilai pendugaan tingkat proses adopsi teknologi secara keseluruhan. Selain itu juga diketahui nilai pendugaan untuk setiap indikator yang dapat digunakan sebagai dasar untuk analisis lanjutan bagi formulasi kebijakan. Perilaku penggunaan (usage behavior) didefiniskan sebagai suatu ukuran dimana seseorang akan menggunakan teknologi secara berkelanjutan karena kegunaan teknologi dan adanya dukungan dalam proses penggunaannya. Sub model Kecenderungan untuk Menggunakan (intention to use) menggunakan indikator tambahan keuntungan untuk menduga nilai kinerja yang diharapkan (performance expectancy), indikator efisiensi untuk menduga nilai hasil yang diharapkan (effort expectancy) dan indikator peran kelompok tani untuk menduga pengaruh sosial (social influence). Penilaian dilakukan terhadap kinerja yang diharapkan (performance expectancy) dan usaha yang diharapkan (effort expectancy) dilakukan secara terpisah terhadap setiap komponen teknologi yang digunakan pada tahap pengolahan. Kecenderungan untuk menggunakan (intention to use) didefiniskan sebagai suatu ukuran dimana seseorang percaya bahwa teknologi dapat dipahami, digunakan dan memberi manfaat. Sub model dukungan fasilitas (support facilities) menggunakan indikator yang terdiri dari persepsi terhadap dukungan pendanaan, persepsi terhadap dukungan teknologi, dan persepsi terhadap dukungan peningkatan kapasitas. Ketiga komponen tersebut dianalisis secara terpisah terhadap setiap teknologi yang digunakan pada tahap pengolahan. Dukungan Fasilitas (support facilities) 88

37 didefinisikan sebagai suatu ukuran dimana seseorang percaya akan mendapat dukungan dalam proses penggunaan teknologi. Nilai kinerja yang diharapkan (performance expectancy) bernilai SEDANG, indikator efisiensi untuk menduga nilai usaha yang diharapkan (effort expectancy) bernilai TINGGI, dan indikator peran kelompok tani untuk menduga pengaruh sosial (social influence) bernilai TINGGI. Secara terperinci, nilai tersebut tertera pada Tabel 14 dan 15. Tabel 14. Nilai Kecenderungan untuk Menggunakan (Intention to Use) Jenis Teknologi Kinerja yang Usaha yang Pengaruh sosial diharapkan diharapakan Mesin Perontok Mesin Pengupas Bak Perendam 1 27 Mesin Pengering 2 30 Mesin Sortasi 6 26 Rata-rata 16,4 26,6 26,0 Status Sedang Tinggi Tinggi Berdasarkan kondisi tersebut dapat dikatakan bahwa kecenderungan untuk menggunakan (intention to use) berdasarkan aturan no 69 yaitu: If kinerja yang diharapkan (performance expectancy) is Sedang, and usaha yang diharapkan (effort expectancy) is Tinggi, and pengaruh sosial (social influence) is Tinggi, then kecenderungan untuk menggunakan (intention to use) is Tinggi. Tabel 15. Nilai Dukungan Fasilitas (Support Facilities) Jenis Teknologi Dukungan Pendanaan Dukungan Mesin Dukungan Peningkatan Kapasitas Mesin Perontok Mesin Pengupas Bak Perendam Mesin Pengering Mesin Sortasi Rata-rata 1,8 2,2 2,2 Status Sangat Rendah Sangat Rendah Sangat Rendah Dari sisi Dukungan Fasilitasi, diketahui bahwa Persepsi terhadap dukungan pendanaan bernilai Sangat Rendah, persepsi terhadap dukungan teknologi bernilai Sangat Rendah, dan persepsi terhadap dukungan peningkatan 89

38 kapasitas bernilai Sangat Rendah. Dengan demikian, dukungan fasilitas (support facilities) menggunakan aturan no 1 yaitu: If persepsi terhadap Dukungan Pendanaan is Sangat Rendah, and persepsi terhadap Dukungan Mesin is Tinggi, and persepsi terhadap Dukungan Peningkatan Kapasitas is Sangat Rendah, then Dukungan Fasilitas is Sangat Rendah Berdasarkan nilai kinerja yang diharapkan (performance expectancy), nilai usaha yang diharapkan (effort expectancy) dan pengaruh sosial (social influence), diketahui bahwa kecenderungan untuk menggunakan (intention to use) teknologi pengolahan secara mekanis di Kepulauan Bangka memberikan nilai yang tinggi. Pada sisi yang lain, perilaku penggunaan (usage behavior) sebagai suatu ukuran kesediaan seseorang untuk menggunakan teknologi tersebut dalam perilaku operasional produksi, masih rendah. Hal ini disebabkan karena rendahnya dukungan fasilitas dalam proses adopsi. Peningkatan peluang keberhasilan adopsi teknologi agroindustri lada putih di Kepulauan Bangka memerlukan dukungan fasilitas dalam bentuk fasilitas pendanaan, teknologi, dan peningkatan kapasitas SDM. Fasilitas pendanaan memungkinkan terjadinya investasi individu maupun kolektif. Investasi ini merupakan kunci bagi pengembangan komoditas untuk lebih berdayasaing dengan pemadu-serasian sumber-sumber pembiayaan dari dana masyarakat pada perbankan dengan dana pemerintah. Fasilitas teknologi selain ditujukan bagi penyediaan teknologi dalam bentuk mesin, peralatan, dan proses, juga dilakukan dengan tujuan untuk memperbaiki infrastuktur teknologi. Melalui fasilitas ini diharapkan akan tersedia teknologi yang dibutuhkan dan dapat diakses dengan mudah. Teknologi diharapkan dapat memperbaiki kinerja produk yang dihasilkan dan kinerja proses produksi. Fasilitas peningkatan kapasitas dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan ketrampilan, pengetahuan, dan kreativitas SDM dalam mengelola sumberdaya dan memanfaatkan teknologi. Peningkatan kapasitas mencakup bidang teknis, manajerial, kewirausahaan, dan kelembagaan. Melalui penyediaan fasilitas ini maka diharapkan akan terbentuk pelaku usaha yang memiliki orientasi kepada pemenuhan kebutuhan konsumen dan memahami dinamika pasar. 90

39 4.6 Pembiayaan Investasi Agroindustri Lada Pengembangan komoditas lada putih di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dipengaruhi oleh kegiatan investasi di dalamnya. Investasi pada usahatani lada putih relatif besar. Hal ini dipengaruhi oleh pola pembukaan lahan bagi penanaman lada di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Pola tersebut adalah sebagai berikut: pembukaan lahan kemudian penanaman padi, setelah panen padi dilanjutkan dengan penanaman lada, setelah itu dilanjutkan dengan penanaman karet pada sela-sela tanaman lada. Sepanjang masa produktif tanaman lada, tanaman karet besar, sehingga setelahnya menjadi kebun karet. Setelah itu penanaman lada dilakukan di lahan lain dengan pola yang sama. Secara agregat hal ini menjadi salah satu penyebab pertumbuhan luas areal karet yang terus meningkat dan luas areal lada yang cenderung tetap atau menurun, sementara penanaman kelapa sawit selama periode cenderung tetap. Permintaan petani lada terhadap kredit pertanian terus mengalami peningkatan sejalan dengan adanya kesenjangan antara pendapatan dan pengeluaran petani, serta keterbatasan modal dan tabungan bagi pendanaan inovasi teknologi. Petani sebagian besar merupakan petani kecil dengan penguasaan lahan yang sempit, yang sulit untuk dijadikan agunan. Hal ini mengakibatkan rendahnya penumpukan modal untuk investasi pada teknologi baru. Sumber pembiayaan masyarakat perdesaan terdiri dari lembaga formal dan non formal. Lembaga pembiayan formal antara lain Bank, BPR, Koperasi, Pegadaian, Bank Kredit/Desa, selain itu juga terdapat pinjaman atau bantuan dari lembaga formal dalam bentuk CSR dan bantuan pemerintah. Lembaga pembiayan non formal antara lain kios saprotan, pedagang, pelepas uang, atau keluarga. Sumber pembiayaan seluruh responden adalah modal sendiri. Pinjaman dilakukan pada saat-saat tertentu. Pinjaman tersebut merupakan pinjaman jangka pendek berkisar antara 3-12 bulan dan ditujukan bagi penggunaan pengeluaran operasional. Petani tidak pernah menggunakan pinjaman jangka menengah yang berkisar antara 1-10 tahun yang biasanya digunakan untuk mendanai pembelian aset seperti mesin, peralatan, pembibitan, dan perbaikan. Petani juga tidak pernah 91

40 menggunakan pinjaman jangka panjang yang biasanya digunakan untuk pembangunan tanah dan bangunan yang biasanya diamortisasi lebih dari 10 tahun. Petani lada tidak dapat menjangkau lembaga pembiayaan formal, sehingga pemenuhan kebutuhan layanan jasa keuangan untuk pelaku usaha diisi oleh lembaga pembiayaan non formal seperti pedagang sarana produksi, pedagang output, pelepas uang, tetangga, dan sebagainya. Sistem perkreditan non formal ini beroperasi secara personal dan membentuk hubungan saling percaya. Penilaian persepsi responden terhadap akses terhadap lembaga keuangan formal dan non formal ditunjukkan pada Tabel 16 dan 17. Tabel 16. Persepsi terhadap Aksesibilitas Sumber Pembiayaan Formal (dalam %) Persespsi terhadap Aksesibilitas Bank BPR Koperasi Nama Lembaga Pegadaian Bank Kredit/ CSR Bantuan Pemerintah Desa Sangat sulit 66,67 64,29 45,24 40,48 40,48 59,52 42,86 Sulit 33,33 35,71 45,24 42,86 54,76 38,10 47,62 Sedang 0 0 9,52 16,67 4,76 2,38 9,52 Mudah Sangat mudah Tabel 17. Persepsi terhadap Aksesibilitas Sumber Pembiayaan Non Formal (dalam %) Persespsi terhadap Nama Lembaga Aksesibilitas Kios Saprotan Pedagang Pelepas Uang Keluarga Sangat sulit 61,90 57,14 61,90 2,38 Sulit 35,71 40,48 38,10 14,29 Sedang 0 2, ,10 Mudah ,48 Sangat mudah ,76 Akses kredit tergantung dari kemampuan peminjam dalam memberikan agunan yang bersifat permanen seperti gedung dan tanah yang dapat diterima bank. Apabila seorang petani tidak memiliki akses untuk memperoleh kredit secara formal, maka petani tersebut mencari pinjaman secara informal. Sebagian besar responden menyatakan bahwa akses terhadap lembaga keuangan formal sangat sulit dan sulit. Tidak ada responden yang beranggapan mudah atau sangat mudah. Hanya akses terhadap sumber keluarga yang dianggap mudah. Selama ini kesulitan pendanaan bagi usahatani lada biasanya diselesaikan dengan peminjaman dana dari keluarga dalam waktu satu tahun. 92

41 Kementerian Pertanian dan dinas teknis atau badan lingkup pertanian di daerah mempunyai peran strategis dalam proses penyaluran pembiayaan. Peran tersebut antara lain: mengidentifikasi petani yang layak usahanya untuk dibiayai tetapi belum sesuai ketentuan perbankan belum bankable, melakukan upaya intermediasi akses kredit atau pembiayaan, membantu mencarikan off taker atau penjamin pasar, mengembangkan pola kerjasama kemitraan, serta melakukan pembinaan dan pendampingan, serta bimbingan dan pengawasan. Sebuah pertanyaan mendasar adalah berbasis terhadap apakah Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian dan dinas teknis/badan lingkup Pertanian di tingkat propinsi dan kabupaten/kota dalam melakukan fungsi pembinaan dan pendampingan, dan bimbingan terhadap penerima pinjaman. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah manajemen risiko investasi yang didalamnya tercakup analisis terhadap kegiatan investasi dan manajemen risiko. Melalui pendekatan ini diharapkan akan diketahui struktur dan perilaku risiko dalam sistem komoditas, pengelolaan risiko, serta dukungan fasilitas yang dapat diberikan pemerintah. 4.7 Persepsi terhadap Risiko Pengusahaan lada merupakan sumber pendapatan utama bagi para pelaku yang teribat di dalamnya. Tingkat pengembalian yang relatif besar, mendorong pelaku untuk terus mengusahakannya. Pengusahaan lada dinilai sangat menguntungkan oleh sebanyak 18 responden atau 42,86%, dan dinilai menguntungkan oleh sebanyak 11 responden atau 26,19% (Gambar 25). Responden yang menyatakan sangat menguntungkan dan menguntungkan didasarkan kepada fakta yang dirasakan bahwa pengusahaan lada dapat menjadi sumber pendapatan yang mampu menjadi sumber utama perekonomian keluarga. Berbagai pengeluaran yang bersifat investasi dan strategis dimungkinkan dibiayai dari pendapatan yang diperoleh dari pengusahaan lada. Responden yang menyatakan kurang menguntungkan dinyatakan oleh sebanyak 11 responden atau 26,19%. Hal ini didasarkan kepada adanya berbagai permasalahan yang mengganggu pencapaian produksi. Beberapa permasalahan yang mempengaruhi hal tersebut adalah: fluktuasi harga pada kisaran yang besar, 93

42 menurunnya daya dukung lahan, serta tingginya serangan hama dan penyakit, sehingga pada saat-saat tertentu besarnya penerimaan tidak dapat menutupi besarnya biaya produksi yang dikeluarkan. Gambar 25. Persepsi Terhadap Tingkat Keuntungan pada Pengusahaan Lada Kegiatan investasi akan memberikan derajat ketidakpastian yang berbeda- beda. Rendahnya penyaluran kredit pada bidang pertanian diduga karena tingginya tingkat risiko pada usaha pertanian. Hal ini sejalan dengan persepsi petani terhadap pengusahaan lada, dimana sebanyak 23 responden atau 54,76% menyatakan bahwa risiko budidaya lada sangat tinggi, sebanyak 9 responden atau 21,43% menyatakan tinggi, dan sebanyak 10 responden atau 23,81% menyatakan sedang. Responden yang menyatakan risiko rendah atau tanpa risiko tidak ada (Gambar 26). Gambar 26. Persepsi terhadap Tingkat Risiko pada Pengusahaan Lada 94

7. KESIMPULAN DAN SARAN

7. KESIMPULAN DAN SARAN 7. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Produksi lada putih di Indonesia terus menurun, sementara pencapaian standar mutu masih rendah. Hal ini tidak terlepas dari dominasi kelemahan pada sistem komoditas

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. banyak menghadapi tantangan dan peluang terutama dipacu oleh proses

I. PENDAHULUAN. banyak menghadapi tantangan dan peluang terutama dipacu oleh proses I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Agribisnis buah-buahan Indonesia saat ini dan masa mendatang akan banyak menghadapi tantangan dan peluang terutama dipacu oleh proses globalisasi, proses yang ditandai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menjadi pemasok hasil pertanian yang beranekaragam yaitu rempah-rempah

I. PENDAHULUAN. menjadi pemasok hasil pertanian yang beranekaragam yaitu rempah-rempah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris yang cukup besar di dunia. Pada masa zaman pemerintahan Hindia-Belanda, Indonesia merupakan negara terkenal yang menjadi pemasok hasil

Lebih terperinci

Teknologi Pertanian Sehat Kunci Sukses Revitalisasi Lada di Bangka Belitung

Teknologi Pertanian Sehat Kunci Sukses Revitalisasi Lada di Bangka Belitung Teknologi Pertanian Sehat Kunci Sukses Revitalisasi Lada di Bangka Belitung Oleh: Agus Wahyudi (naskah ini disalin sesuai aslinya untuk kemudahan navigasi) (Sumber : SINAR TANI Edisi 17 23 November 2010)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang. melimpah dan dikenal dengan sebutan negara agraris, sehingga pertanian

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang. melimpah dan dikenal dengan sebutan negara agraris, sehingga pertanian 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah dan dikenal dengan sebutan negara agraris, sehingga pertanian merupakan sektor yang penting dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian telah memberikan sumbangan yang nyata dalam perekonomian nasional yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia, mempercepat pertumbuhan ekonomi,

Lebih terperinci

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn) I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan sektor penting dalam pembangunan ekonomi nasional. Peran strategis sektor pertanian digambarkan dalam kontribusi sektor pertanian dalam

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 17 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2. 1. Tinjauan Pustaka Istilah kopi spesial atau kopi spesialti pertama kali dikemukakan oleh Ema Knutsen pada tahun 1974 dalam Tea and

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Subsektor perkebunan merupakan bagian dari sektor pertanian yang memegang peranan penting bagi perekonomian nasional. Hal ini ditunjukkan dari nilai devisa yang dihasilkan.

Lebih terperinci

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013

DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 DIREKTORAT JENDERAL PERKEBUNAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2013 KAKAO Penyebaran Kakao Nasional Jawa, 104.241 ha Maluku, Papua, 118.449 ha Luas Areal (HA) NTT,NTB,Bali, 79.302 ha Kalimantan, 44.951 ha Maluku,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai salah satu negara agraris yang beriklim tropis dan di mata dunia internasional memiliki prospek bisnis hortikultura yang sangat cerah. Hortikultura

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Untuk tingkat produktivitas rata-rata kopi Indonesia saat ini sebesar 792 kg/ha

I. PENDAHULUAN. Untuk tingkat produktivitas rata-rata kopi Indonesia saat ini sebesar 792 kg/ha I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kopi merupakan salah satu komoditas perkebunan tradisional yang mempunyai peran penting dalam perekonomian Indonesia. Peran tersebut antara lain adalah sebagai sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Peran ekspor non migas sebagai penggerak roda perekonomian. komoditas perkebunan yang mempunyai peran cukup besar dalam

I. PENDAHULUAN. Peran ekspor non migas sebagai penggerak roda perekonomian. komoditas perkebunan yang mempunyai peran cukup besar dalam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peran ekspor non migas sebagai penggerak roda perekonomian dari waktu ke waktu semakin meningkat. Lada merupakan salah satu komoditas perkebunan yang mempunyai peran cukup

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan subsektor perkebunan

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan subsektor perkebunan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor unggulan subsektor perkebunan yang memegang peranan penting dalam perdagangan dan perekonomian negara. Kopi berkontribusi cukup

Lebih terperinci

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian

AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian AKSELERASI INDUSTRIALISASI TAHUN 2012-2014 Disampaikan oleh : Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Jakarta, 1 Februari 2012 Daftar Isi I. LATAR BELAKANG II. ISU STRATEGIS DI SEKTOR INDUSTRI III.

Lebih terperinci

VI. KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN LADA PUTIH

VI. KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN LADA PUTIH 83 VI. KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENGEMBANGAN LADA PUTIH Secara umum tujuan kebijakan pemerintah dapat dibagi kedalam tiga tujuan utama yaitu,peningkat efisiensi (efficiency), pencipta pemerataan (equity)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan

I. PENDAHULUAN. penyediaan lapangan kerja, pemenuhan kebutuhan konsumsi dalam negeri, bahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan sumberdaya alam yang melimpah, terutama pada sektor pertanian. Sektor pertanian sangat berpengaruh bagi perkembangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jenis tanaman yang banyak dimanfaatkan sebagai bumbu dapur atau juga diolah

BAB I PENDAHULUAN. jenis tanaman yang banyak dimanfaatkan sebagai bumbu dapur atau juga diolah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Lada atau pepper (Piper nigrum L) disebut juga dengan merica, merupakan jenis tanaman yang banyak dimanfaatkan sebagai bumbu dapur atau juga diolah menjadi

Lebih terperinci

Analisis kesesuaian tujuan dilakukan dengan melakukan analisis situasional. Analisis situasional menunjukkan bahwa kinerja agroindustri lada yang

Analisis kesesuaian tujuan dilakukan dengan melakukan analisis situasional. Analisis situasional menunjukkan bahwa kinerja agroindustri lada yang 6. APLIKASI MODEL Pengembangan model manajemen risiko pada investasi agroindustri lada bertujuan untuk memprediksi perilaku risiko, memperkirakan pengelolaan risiko dan instrumen yang diperlukan, serta

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara agraris yang memiliki kekayaan alam dan keanekaragaman hayati yang sangat berpotensi untuk dikembangkan. Pertanian merupakan salah

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Tahun Manggis Pepaya Salak Nanas Mangga Jeruk Pisang

1 PENDAHULUAN. Tahun Manggis Pepaya Salak Nanas Mangga Jeruk Pisang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki sumber daya buah tropis yang melimpah yang bisa diandalkan sebagai kekuatan daya saing nasional secara global dan sangat menjanjikan. Buah tropis adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kopi (coffea s.p) merupakan salah satu produk agroindustri pangan yang digemari oleh masyarakat. Hal ini disebabkan karena kopi memiliki aroma khas yang tidak dimiliki

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pertanian. Indonesia memiliki beragam jenis tanah yang mampu. menyuburkan tanaman, sinar matahari yang konsisten sepanjang tahun,

I. PENDAHULUAN. pertanian. Indonesia memiliki beragam jenis tanah yang mampu. menyuburkan tanaman, sinar matahari yang konsisten sepanjang tahun, I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris didukung oleh sumber daya alamnya yang melimpah memiliki kemampuan untuk mengembangkan sektor pertanian. Indonesia memiliki

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN Rencana Strategis (Renstra) Dinas Provinsi Jawa Barat BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1. Visi dan Misi Dinas Dengan memperhatikan Visi dan Misi Pemerintah Provinsi Jawa

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang penting dalam perekonomian Indonesia, baik karena banyaknya penduduk yang bekerja di sektor pertanian, maupun karena kontribusinya yang

Lebih terperinci

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan Anton J. Supit Dewan Jagung Nasional Pendahuluan Kemajuan teknologi dalam budidaya jagung semakin

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 PROSPEK PENGEMBANGAN SUMBER ENERGI ALTERNATIF (BIOFUEL)

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 PROSPEK PENGEMBANGAN SUMBER ENERGI ALTERNATIF (BIOFUEL) LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 PROSPEK PENGEMBANGAN SUMBER ENERGI ALTERNATIF (BIOFUEL) Oleh : Prajogo U. Hadi Adimesra Djulin Amar K. Zakaria Jefferson Situmorang Valeriana Darwis PUSAT ANALISIS SOSIAL

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan

I. PENDAHULUAN. hambatan lain, yang di masa lalu membatasi perdagangan internasional, akan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada era globalisasi saat ini, di mana perekonomian dunia semakin terintegrasi. Kebijakan proteksi, seperi tarif, subsidi, kuota dan bentuk-bentuk hambatan lain, yang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Produksi CPO di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Produksi CPO di Indonesia II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Produksi CPO di Indonesia Menurut Martha Prasetyani dan Ermina Miranti, sejak dikembangkannya tanaman kelapa sawit di Indonesia pada tahun 60-an, luas areal perkebunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Oleh karena itu, pembangunan ekonomi nasional abad ke- 21, masih akan tetap berbasis pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kakao merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang berperan penting dalam perekonomian Indonesia. Pada tahun 2010 Indonesia menjadi produsen kakao terbesar

Lebih terperinci

Krisis ekonomi yang melanda lndonesia sejak pertengahan bulan. Sektor pertanian di lndonesia dalam masa krisis ekonomi tumbuh positif,

Krisis ekonomi yang melanda lndonesia sejak pertengahan bulan. Sektor pertanian di lndonesia dalam masa krisis ekonomi tumbuh positif, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang melanda lndonesia sejak pertengahan bulan Juli 1997 mempunyai dampak yang besar terhadap perekonomian negara. Sektor pertanian di lndonesia dalam

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan. Secara geografis, wilayah Indonesia memiliki luas wilayah seluruhnya mencapai 5.193.252 km 2 terdiri atas luas daratan sekitar 1.910.931,32

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhannya meningkat, sementara sektor lain mengalami pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhannya meningkat, sementara sektor lain mengalami pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian di Indonesia harus tetap menjadi prioritas utama dari keseluruhan pembangunan ekonomi yang dilakukan pemerintah. Hal ini mengingat bahwa sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki keanekaragaman hayati yang melimpah dan kondisi alam yang subur untuk pertanian. Sebagai negara tropis, Indonesia mempunyai

Lebih terperinci

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti:

PROPOSAL POTENSI, Tim Peneliti: PROPOSAL PENELITIAN TA. 2015 POTENSI, KENDALA DAN PELUANG PENINGKATAN PRODUKSI PADI PADA LAHAN BUKAN SAWAH Tim Peneliti: Bambang Irawan PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang paling mendasar bagi sumberdaya manusia suatu bangsa. Untuk mencapai ketahanan pangan diperlukan ketersediaan pangan dalam jumlah dan kualitas

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL

KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL KEBIJAKAN DAN STRATEGI OPERASIONAL PENGEMBANGAN BIOINDUSTRI KELAPA NASIONAL Gamal Nasir Direktorat Jenderal Perkebunan PENDAHULUAN Kelapa memiliki peran strategis bagi penduduk Indonesia, karena selain

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Analisis Situasi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Analisis Situasi BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Analisis Situasi Pertumbuhan dan perkembangan sektor usaha perkebunan di Indonesia dimotori oleh usaha perkebunan rakyat, perkebunan besar milik pemerintah dan milik swasta. Di Kabupaten

Lebih terperinci

KAJIAN POTENSI SUMBER DAYA ALAM BERBASIS EKSPORT

KAJIAN POTENSI SUMBER DAYA ALAM BERBASIS EKSPORT KAJIAN POTENSI SUMBER DAYA ALAM BERBASIS EKSPORT I. Perumusan Masalah Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang optimal membutuhkan sebuah pemahaman yang luas dimana pengelolaan SDA harus memperhatikan aspek

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari beberapa peranan sektor pertanian

1. PENDAHULUAN. perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari beberapa peranan sektor pertanian 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang berbasis pada sektor pertanian, sehingga tidak dapat dipungkiri bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang sangat penting bagi

Lebih terperinci

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERINDUSTRIAN

PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERINDUSTRIAN PENUNJUK UNDANG-UNDANG PERINDUSTRIAN 1 (satu) bulan ~ paling lama Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia Penetapan Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia di bidang Industri sebagaimana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. penyerapan tenaga kerja dengan melibatkan banyak sektor, karena

I. PENDAHULUAN. penyerapan tenaga kerja dengan melibatkan banyak sektor, karena I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor yang mampu menciptakan penyerapan tenaga kerja dengan melibatkan banyak sektor, karena pengusahaannya dimulai dari kebun sampai

Lebih terperinci

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF LADA INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL

ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF LADA INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL Analisis Keunggulan Kompetitif Lada Indonesia di Pasar Internasional ANALISIS KEUNGGULAN KOMPARATIF LADA INDONESIA DI PASAR INTERNASIONAL Agung Hardiansyah, Djaimi Bakce & Ermi Tety Fakultas Pertanian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang merupakan salah satu indikator keberhasilan suatu negara dapat dicapai melalui suatu sistem yang bersinergi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki

Lebih terperinci

DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN

DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN DUKUNGAN SUB SEKTOR PERKEBUNAN TERHADAP PELAKSANAAN KEBIJAKAN INDUSTRI NASIONAL Direktur Jenderal Perkebunan disampaikan pada Rapat Kerja Revitalisasi Industri yang Didukung oleh Reformasi Birokrasi 18

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting dalam pembangunan Indonesia. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang tidak hanya

Lebih terperinci

ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA ALUR PIKIR DAN ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA ENAM PILAR PENGEMBANGAN HORTIKULTURA 1. Pengembangan kawasan agribisnis hortikultura. 2. Penerapan budidaya pertanian yang baik / Good Agriculture Practices

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam perekonomian nasional melalui pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB), perolehan devisa,

Lebih terperinci

C. Program. Berdasarkan klaim khasiat, jumlah serapan oleh industri obat tradisional, jumlah petani dan tenaga

C. Program. Berdasarkan klaim khasiat, jumlah serapan oleh industri obat tradisional, jumlah petani dan tenaga C. Program PERKREDITAN PERMODALAN FISKAL DAN PERDAGANGAN KEBIJAKAN KETERSEDIAAN TEKNOLOGI PERBAIKAN JALAN DESA KEGIATAN PENDUKUNG PERBAIKAN TATA AIR INFRA STRUKTUR (13.917 ha) Intensifikasi (9900 ha) Non

Lebih terperinci

Dairi merupakan salah satu daerah

Dairi merupakan salah satu daerah Produksi Kopi Sidikalang di Sumatera Utara Novie Pranata Erdiansyah 1), Djoko Soemarno 1), dan Surip Mawardi 1) 1) Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jl. PB. Sudirman 90 Jember 68118. Kopi Sidikalang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas.

I. PENDAHULUAN. Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia menjadi salah satu negara yang memiliki areal perkebunan yang luas. Komoditas yang ditanami diantaranya kelapa sawit, karet, kopi, teh, kakao, dan komoditas

Lebih terperinci

VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN. 1. Baik pada daerah dataran rendah maupun dataran tinggi, rendahnya

VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN. 1. Baik pada daerah dataran rendah maupun dataran tinggi, rendahnya VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN 7.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab terdahulu, maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Baik pada daerah dataran rendah maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang. peluang karena pasar komoditas akan semakin luas sejalan dengan

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang. peluang karena pasar komoditas akan semakin luas sejalan dengan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus tantangan baru yang harus dihadapi dalam pembangunan pertanian di masa depan. Globalisasi dan liberalisasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Subsektor peternakan merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada tahun 2006 Badan Pusat

Lebih terperinci

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan agribisnis nasional diarahkan untuk meningkatkan kemandirian perekonomian dan pemantapan struktur industri nasional terutama untuk mendukung berkembangnya

Lebih terperinci

MENDORONG KEDAULATAN PANGAN MELALUI PEMANFAATAN SUMBERDAYA UNGGUL LOKAL. OLEH : GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG Dr.

MENDORONG KEDAULATAN PANGAN MELALUI PEMANFAATAN SUMBERDAYA UNGGUL LOKAL. OLEH : GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG Dr. MENDORONG KEDAULATAN PANGAN MELALUI PEMANFAATAN SUMBERDAYA UNGGUL LOKAL OLEH : GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG Dr. ERZALDI ROSMAN V I S I 2017-2022 MISI PROVINSI TERKAIT PERTANIAN MISI 1 : MENGEMBANGKAN

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia 58 V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH 5.1. Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia Bawang merah sebagai sayuran dataran rendah telah banyak diusahakan hampir di sebagian besar wilayah Indonesia.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melimpah. Memasuki era perdagangan bebas, Indonesia harus membuat strategi yang

BAB I PENDAHULUAN. melimpah. Memasuki era perdagangan bebas, Indonesia harus membuat strategi yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki sumberdaya alam yang melimpah. Memasuki era perdagangan bebas, Indonesia harus membuat strategi yang tepat untuk

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKTUR-PERILAKU-KINERJA PEMASARAN SAYURAN BERNILAI EKONOMI TINGGI

ANALISIS STRUKTUR-PERILAKU-KINERJA PEMASARAN SAYURAN BERNILAI EKONOMI TINGGI LAPORAN KEGIATAN KAJIAN ISU-ISU AKTUAL KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN 2013 ANALISIS STRUKTUR-PERILAKU-KINERJA PEMASARAN SAYURAN BERNILAI EKONOMI TINGGI Oleh: Erwidodo PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wirausaha memiliki peran penting dalam perkembangan ekonomi suatu negara, salah satu contohnya adalah negara adidaya Amerika. Penyumbang terbesar perekonomian Amerika

Lebih terperinci

Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Kementerian Perindustrian 2015

Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Kementerian Perindustrian 2015 Industrialisasi Sektor Agro dan Peran Koperasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional Kementerian Perindustrian 2015 I. LATAR BELAKANG 2 INDUSTRI AGRO Industri Agro dikelompokkan dalam 4 kelompok, yaitu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam rangka peningkatan produksi pertanian Indonesia pada periode lima

I. PENDAHULUAN. Dalam rangka peningkatan produksi pertanian Indonesia pada periode lima 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Perumusan Masalah Dalam rangka peningkatan produksi pertanian Indonesia pada periode lima tahun ke depan (2010-2014), Kementerian Pertanian akan lebih fokus pada

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah seyogyanya bertumpuh pada sumberdaya lokal yang dimiliki dan aktivitas ekonomi yang mampu melibatkan dan menghidupi sebagian besar penduduk. Pemanfaatan

Lebih terperinci

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKELAPASAWITAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKELAPASAWITAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERKELAPASAWITAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang

Lebih terperinci

PEMETAAN DAYA SAING PERTANIAN INDONESIA. Saktyanu K. Dermoredjo

PEMETAAN DAYA SAING PERTANIAN INDONESIA. Saktyanu K. Dermoredjo 1 PEMETAAN DAYA SAING PERTANIAN INDONESIA Saktyanu K. Dermoredjo Pendahuluan 1. Dinamika perkembangan ekonomi global akhir-akhir ini memberikan sinyal terhadap pentingnya peningkatan daya saing. Seiring

Lebih terperinci

Renstra BKP5K Tahun

Renstra BKP5K Tahun 1 BAB I PENDAHULUAN Revitalisasi Bidang Ketahanan Pangan, Pertanian, Perikanan dan Kehutanan merupakan bagian dari pembangunan ekonomi yang diarahkan untuk meningkatkan pendapatan, kesejahteraan, taraf

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha pada Tahun * (Miliar Rupiah)

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Perkembangan Produk Domestik Bruto Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha pada Tahun * (Miliar Rupiah) I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan di Indonesia merupakan salah satu sektor yang telah berperan dalam perekonomian nasional melalui pembentukan Produk

Lebih terperinci

ANALISIS DAYA SAING, STRATEGI DAN PROSPEK INDUSTRI JAMU DI INDONESIA

ANALISIS DAYA SAING, STRATEGI DAN PROSPEK INDUSTRI JAMU DI INDONESIA ANALISIS DAYA SAING, STRATEGI DAN PROSPEK INDUSTRI JAMU DI INDONESIA Oleh: ERNI DWI LESTARI H14103056 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 DAFTAR ISI Halaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus

I. PENDAHULUAN. Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Globalisasi dan liberalisasi perdagangan memberikan peluang sekaligus tantangan baru yang harus dihadapi dalam pembangunan pertanian ke depan. Globalisasi dan liberasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Sektor pertanian dinegara-negara berkembang perannya sangat besar karena merupakan mata pencarian pokok sebagian besar penduduk. Peranan sektor pertanian dalam perekonomian

Lebih terperinci

DUKUNGAN TEKNOLOGI DAN KELEMBAGAAN UNTUK MEMPERKUAT DAYA SAING KOMODITAS LADA

DUKUNGAN TEKNOLOGI DAN KELEMBAGAAN UNTUK MEMPERKUAT DAYA SAING KOMODITAS LADA DUKUNGAN TEKNOLOGI DAN KELEMBAGAAN UNTUK MEMPERKUAT DAYA SAING KOMODITAS LADA A. Arivin Rivaie dan Effendi Pasandaran PENDAHULUAN Lada (Piper nigrum) merupakan salah satu komoditas subsektor perkebunan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lingkungan Industri Perusahaan Ekspor Pembekuan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lingkungan Industri Perusahaan Ekspor Pembekuan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lingkungan Industri Perusahaan Ekspor Pembekuan Menurut Rosyidi (2007), dalam melakukan kegiatan ekspor suatu perusahaan dapat menentukan sendiri kebijakan mengenai pemasaran

Lebih terperinci

DISAMPAIKAN OLEH : DIREKTUR JENDERAL INDUSTRI AGRO PADA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2013 JAKARTA, FEBRUARI 2013 DAFTAR ISI

DISAMPAIKAN OLEH : DIREKTUR JENDERAL INDUSTRI AGRO PADA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2013 JAKARTA, FEBRUARI 2013 DAFTAR ISI DISAMPAIKAN OLEH : DIREKTUR JENDERAL AGRO PADA RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERAN TAHUN 2013 JAKARTA, FEBRUARI 2013 DAFTAR ISI I. KINERJA AGRO TAHUN 2012 II. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN AGRO III. ISU-ISU STRATEGIS

Lebih terperinci

VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN

VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN 76 VII. RANCANGAN SISTEM PENGEMBANGAN KLASTER AGROINDUSTRI AREN Sistem pengembangan klaster agroindustri aren di Sulawesi Utara terdiri atas sistem lokasi unggulan, industri inti unggulan, produk unggulan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian merupakan salah satu tulang punggung perekonomian Indonesia. Hal ini terlihat dari peran sektor pertanian tersebut dalam perekonomian nasional sebagaimana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kualitas produk melalui usaha diversifikasi, intensifikasi, ekstensifikasi dan

I. PENDAHULUAN. kualitas produk melalui usaha diversifikasi, intensifikasi, ekstensifikasi dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan pertanian terus diarahkan untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas produk melalui usaha diversifikasi, intensifikasi, ekstensifikasi dan rehabilitasi pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan suatu Negara yang mempunyai kekayaan yang berlimpah, dimana banyak Negara yang melakukan perdagangan internasional, Sumberdaya yang melimpah tidak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Persentase Produk Domestik Bruto Pertanian (%) * 2009** Lapangan Usaha

I. PENDAHULUAN. Persentase Produk Domestik Bruto Pertanian (%) * 2009** Lapangan Usaha I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumber pertumbuhan ekonomi yang sangat potensial dalam pembangunan sektor pertanian adalah hortikultura. Seperti yang tersaji pada Tabel 1, dimana hortikultura yang termasuk

Lebih terperinci

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN Visi dan Misi Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Tasikmalaya

BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN Visi dan Misi Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Tasikmalaya BAB IV VISI, MISI, TUJUAN DAN SASARAN, STRATEGI DAN KEBIJAKAN 4.1. Visi dan Misi Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Tasikmalaya A. Visi Perumusan visi dan misi jangka menengah Dinas Pertanian,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Sistem dan Pola Saluran Pemasaran Bawang Merah Pola saluran pemasaran bawang merah di Kelurahan Brebes terbentuk dari beberapa komponen lembaga pemasaran, yaitu pedagang pengumpul,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditas andalan dan termasuk dalam kelompok

I. PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditas andalan dan termasuk dalam kelompok I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kopi merupakan salah satu komoditas andalan dan termasuk dalam kelompok komoditas ekspor unggulan di Indonesia. Komoditas kopi berperan dalam meningkatkan devisa negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sentra bisnis yang menggiurkan. Terlebih produk-produk tanaman

BAB I PENDAHULUAN. sebagai sentra bisnis yang menggiurkan. Terlebih produk-produk tanaman BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Permasalahan Tanaman perkebunan merupakan salah satu komoditas yang bisa diandalkan sebagai sentra bisnis yang menggiurkan. Terlebih produk-produk tanaman perkebunan

Lebih terperinci

KEBIJAKAN MANAGEMEN RESIKO

KEBIJAKAN MANAGEMEN RESIKO 1. Risiko Keuangan Dalam menjalankan usahanya Perseroan menghadapi risiko yang dapat mempengaruhi hasil usaha Perseroan apabila tidak di antisipasi dan dipersiapkan penanganannya dengan baik. Kebijakan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. tersebut antara lain menyediakan pangan bagi seluruh penduduk, menyumbang

I PENDAHULUAN. tersebut antara lain menyediakan pangan bagi seluruh penduduk, menyumbang I PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Sektor pertanian memegang peranan penting dalam pembangunan nasional. Peranan tersebut antara lain menyediakan pangan bagi seluruh penduduk, menyumbang devisa,

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Minyak nabati merupakan salah satu komoditas penting dalam perdagangan minyak pangan dunia. Tahun 2008 minyak nabati menguasai pangsa 84.8% dari konsumsi minyak pangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tanaman hortikultura merupakan salah satu tanaman yang menunjang pemenuhan gizi masyarakat sebagai sumber vitamin, mineral, protein, dan karbohidrat (Sugiarti, 2003).

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan sektor pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian nasional. Peran sektor pertanian tersebut digambarkan melalui kontribusi yang nyata dalam pembentukan

Lebih terperinci

Written by Danang Prihastomo Friday, 06 February :22 - Last Updated Wednesday, 11 February :46

Written by Danang Prihastomo Friday, 06 February :22 - Last Updated Wednesday, 11 February :46 RUMUSAN HASIL RAPAT KERJA KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN TAHUN 2015 Jakarta, 5 Februari 2015 Rapat Kerja Menteri Perindustrian Tahun 2015 dengan tema Terbangunnya Industri yang Tangguh dan Berdaya Saing Menuju

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kakao merupakan salah satu komoditas perkebunan potensial untuk dikembangkan menjadi andalan ekspor. Menurut ICCO (2012) pada tahun 2011, Indonesia merupakan produsen biji

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peranan sektor pertanian dalam pembangunan nasional sangat penting karena sektor ini mampu menyerap sumber daya yang paling besar dan memanfaatkan sumber daya yang ada

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi secara keseluruhan.

PENDAHULUAN. memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi secara keseluruhan. PENDAHULUAN Latar Belakang Sejarah menunjukkan bahwa sektor pertanian di Indonesia telah memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Beberapa peran penting sektor pertanian antara

Lebih terperinci

5. PERANCANGAN MODEL MANAJEMEN RISIKO PADA INVESTASI AGROINDUSTRI

5. PERANCANGAN MODEL MANAJEMEN RISIKO PADA INVESTASI AGROINDUSTRI 5. PERANCANGAN MODEL MANAJEMEN RISIKO PADA INVESTASI AGROINDUSTRI 5.1 Pemodelan Sistem Pelaku utama dalam agroindustri lada putih adalah petani, pengolah, pedagang dan eksportir, pemerintah pusat, pemerintah

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR ANALISIS PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI BERBASIS PANGAN LOKAL DALAM MENINGKATKAN KEANEKARAGAMAN PANGAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI PEDESAAN

LAPORAN AKHIR ANALISIS PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI BERBASIS PANGAN LOKAL DALAM MENINGKATKAN KEANEKARAGAMAN PANGAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI PEDESAAN LAPORAN AKHIR ANALISIS PENGEMBANGAN AGROINDUSTRI BERBASIS PANGAN LOKAL DALAM MENINGKATKAN KEANEKARAGAMAN PANGAN DAN PENGEMBANGAN EKONOMI PEDESAAN Oleh : Bambang Sayaka Mewa Ariani Masdjidin Siregar Herman

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 50 HASIL DAN PEMBAHASAN Produktivitas Kebun Air sangat diperlukan tanaman untuk melarutkan unsur-unsur hara dalam tanah dan mendistribusikannya keseluruh bagian tanaman agar tanaman dapat tumbuh secara

Lebih terperinci

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA Nomor : 3C Tahun 2008 Lampiran : 1 (satu) berkas TENTANG

PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA Nomor : 3C Tahun 2008 Lampiran : 1 (satu) berkas TENTANG WALIKOTA TASIKMALAYA PERATURAN WALIKOTA TASIKMALAYA Nomor : 3C Tahun 2008 Lampiran : 1 (satu) berkas TENTANG INTENSIFIKASI PERTANIAN TANAMAN PANGAN DAN PERKEBUNAN TAHUN 2008 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PRODUKSI BAWANG MERAH OFF-SEASON MENGANTISIPASI PENGATURAN IMPOR PRODUK B. MERAH. S u w a n d i

TEKNOLOGI PRODUKSI BAWANG MERAH OFF-SEASON MENGANTISIPASI PENGATURAN IMPOR PRODUK B. MERAH. S u w a n d i TEKNOLOGI PRODUKSI BAWANG MERAH OFF-SEASON MENGANTISIPASI PENGATURAN IMPOR PRODUK B. MERAH S u w a n d i DASAR PEMIKIRAN Bawang merah merupakan salah satu komoditi strategis dan ekonomis untuk pemenuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Di era globalisasi saat ini, tingkat daya saing menjadi tolak ukur yang wajib dimiliki dalam mewujudkan persaingan pasar bebas baik dalam kegiatan maupun

Lebih terperinci

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI LINGKUNGAN. HIDUP. Sumber Daya Alam. Perkebunan. Pengembangan. Pengolahan. Pencabutan. (Penjelasan Atas Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 308) PENJELASAN ATAS

Lebih terperinci