KONDISI KERJA KARYAWAN PEREMPUAN PERKEBUNAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KESEJAHTERAAN KELUARGA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KONDISI KERJA KARYAWAN PEREMPUAN PERKEBUNAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KESEJAHTERAAN KELUARGA"

Transkripsi

1 KONDISI KERJA KARYAWAN PEREMPUAN PERKEBUNAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (Kasus pada PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro, Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi) Oleh: PUTY SIYAMITRI I DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

2 ABSTRACT This research tells about the work condition of the woman employees and its correlation to family welfare in PTPN VI Kebun Kayu Aro. Overall the work condition of employees in PTPN VI Kebun Kayu Aro described as good enough, but there is the difference of work condition because of sex difference. Education doesn t employees work condition in the company. Unlike the long term of work and age. The family welfare can be seen from the health, education of member of the family, family consumsion pattern, and the employee s houses. The amount childern in the family doesn t have correlation the family welfare. The suggestion of this research are apply gender socialization in order to abolish gender stereotyp, improve communication between company and employees, and motivate the children of employees to persue their education to higher level. Keywords: work condition, gender, welfare

3 RINGKASAN PUTY SIYAMITRI. I Kondisi Kerja Karyawan Perempuan Perkebunan dan Hubungannya dengan Kesejahteraan Keluarga. Kasus pada PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro, Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi. (Di bawah bimbingan WINATI WIGNA). Perkebunan cukup besar peranannya dalam perekonomian nasional dan dalam penyerapan tenaga kerja. Gambaran positif itu berbeda dengan kondisi kerja buruh perkebunan. Buruh tidak berdaya meskipun telah ada peraturan tentang tenaga kerja, hubungan antara perusahaan dengan buruh perkebunan sering tidak harmonis, pembagian kerja dan pengupahan di perkebunan tidak mengalami banyak perubahan. Lebih dari separuh penduduk Indonesia adalah perempuan, namun kondisi ketertinggalan perempuan menggambarkan adanya ketidakadilan gender di Indonesia (Soemartoyo, 2002 dalam Hastuti, 2003). Kebijakan pembangunan di Indonesia yang menjamin hak dasar pekerja dan tidak membedakan laki-laki dan perempuan dalam prakteknya mengalami hambatan. Jenis kelamin merupakan prinsip pembeda utama yang menentukan kondisi kerja karyawan di perkebunan. Oleh karena itulah, penelitian mengenai kondisi kerja dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan keluarga buruh atau selanjutnya akan disebut karyawan perkebunan ini menjadi suatu hal yang penting dan menarik untuk dikaji dan dibuktikan. Adapun tujuan penelitian ini adalah (1) mengetahui dan menganalisis kondisi kerja karyawan (golongan karir, pengupahan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga) di perkebunan, (2) mengetahui dan menganalisis faktor yang mempengaruhi kondisi kerja karyawan di perkebunan, dan (3) mengetahui dan menganalisis pengaruh kondisi kerja terhadap kesejahteraan keluarga karyawan di perkebunan. Metode penelitian yang digunakan adalah dengan metode survei yang didukung dengan data kualitatif. Penelitian ini dilaksanakan di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi yang ditentukan secara purposive. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan bulan Juni Kondisi kerja karyawan di PTPN VI Kebun Kayu Aro secara umum digambarkan sudah cukup baik. Akan tetapi terdapat perbedaan kondisi kerja karyawan karena perbedaan jenis kelamin. Karyawan di PTPN VI Kebun Kayu Aro sebagian besar telah menempati golongan karir yang tinggi, namun karyawan laki-laki lebih banyak berada pada golongan karir yang lebih tinggi dibandingkan karyawan perempuan. Pendapatan di PTPN VI Kebun Kayu Aro ditentukan berdasarkan golongan karir dan premi. Ternyata karyawan laki-laki lebih banyak mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan karyawan perempuan sebab karyawan laki-laki mempunyai golongan karir yang lebih tinggi dan mendapat premi yang lebih besar. Karyawan laki-laki mendapatkan jaminan yang lebih banyak dibandingkan karyawan perempuan karena adanya kebijakan perusahaan yang menganggap bahwa laki-laki adalah kepala keluarga yang menopang kehidupan keluarganya. Pendidikan pada kasus di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro tidak berhubungan terhadap kondisi kerja sebab pendidikan karyawan

4 pada umumnya rendah yaitu hanya sampai SD, pekerjaan di perkebunan tidak membutuhkan tenaga yang besar, yang lebih diutamakan adalah kecepatan dalam bekerja yang biasanya dimiliki oleh karyawan berumur tua. Lama bekerja mempunyai hubungan terhadap kondisi kerja di perkebunan, semakin lama seorang karyawan bekerja maka semakin baik kondisi kerjanya di dalam perusahaan. Secara umum kondisi kerja tidak berhubungan dengan kesejahteraan keluarga, namun ada variable kondisi kerja yang memiliki hubungan dengan kesejahteraan keluarga yaitu golongan karir dengan kesehatan keluarga, pendapatan dengan pendidikan, jaminan keluarga dengan kesehatan, pola konsumsi, dan perumahan. Tidak adanya hubungan antara kondisi kerja dengan kesejahteraan disebabkan faktor lain yang berhubungan dengan kesejahteraan keluarga karyawan yaitu pendapatan keluarga karyawan di luar pendapatan karyawan yang bersumber dari perusahaan dan sumbangan atau subsidi yang diperoleh keluarga karyawan yang tidak bersumber dari perusahaan.. Kesehatan keluarga karyawan di PTPN VI Kebun Kayu Aro sudah baik, dilihat dari status kesehatan yang baik karena perusahaan menyediakan sarana pengobatan yaitu Rumah Sakit Kayu Aro (RSKA), namun kesehatan keluarga karyawan perempuan masih lebih rendah dibandingkan keluarga karyawan lakilaki karena untuk karyawan laki-laki RSKA dapat diakses oleh dirinya, istri dan anak-anaknya, sementara untuk karyawan perempuan hanya untuk dirinya sendiri. Taraf gizi keluarga karyawan laki-laki dan keluarga karyawan perempuan sudah baik karena makan lebih dari 2 kali dalam satu hari dan jenis makanan yang dikonsumsi oleh keluarga karyawan sudah mencukupi kebutuhan gizi. Keluarga karyawan PTPN VI Kebun Kayu Aro belum sepenuhnya berhasil menyekolahkan anak mereka. Kurang baiknya tingkat pendidikan keluarga karyawan disebabkan kurangnya biaya dan tidak adanya kemauan anak untuk melanjutkan sekolah. Hal tersebut bukan salah perusahaan perkebunan, tetapi karena rendahnya pendidikan orang tua yang rendah tidak mampu memberi motivasi kepada anaknya dan tidak terdapat contoh orang yang berpendidikan yang berhasil di kalangan mereka. Pola konsumsi keluarga karyawan pada umumnya lebih banyak pada konsumsi makanan daripada konsumsi non makanan karena mereka lebih mengutamakan kebutuhan pokok makanan daripada kebutuhan lainnya. Perumahan karyawan laki-laki dan karyawan perempuan telah baik yang dapat dilihat dari keadaan infastruktur rumah yang sudah baik walaupun sebagian kecil keluarga karyawan perempuan masih memiliki keadaan infastruktur rumah yang kurang baik. Saran dari penelitian ini yaitu: 1) melakukan sosialisasi gender agar tercipta kondisi kerja yang sama dan lebih baik di perusahaan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga, 2) meningkatkan komunikasi antara perusahaan dengan karyawan tentang hak dan kewajiban serta peraturan yang berlaku di perusahaan, 3) membangkitkan motivasi anak-anak karyawan untuk mau meneruskan sekolahnya dan melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi dengan memberikan penyuluhan kepada karyawan dan anak-anaknya tentang pentingnya pendidikan.

5 KONDISI KERJA KARYAWAN PEREMPUAN PERKEBUNAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (Kasus pada PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro, Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi) Oleh: PUTY SIYAMITRI I Skripsi Bagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Komuikasi dan Pengembangan Masyarakat Pada Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

6 FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT Judul : Kondisi Kerja Karyawan Perempuan Perkebunan dan Hubungannya dengan Kesejahteraan Keluarga (Kasus Pada PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro, Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi) Nama Mahasiswa : Puty Siyamitri Nomor Mahasiswa : I Major : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing Dra. Winati Wigna, MDS NIP Mengetahui, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Ketua Dr.Ir. Lala M. Kolopaking, MS NIP Tanggal Kelulusan:

7 PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL KONDISI KERJA KARYAWAN PEREMPUAN PERKEBUNAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (KASUS PADA PT PERKEBUNAN NUSANTARA (PTPN) VI KEBUN KAYU ARO, KECAMATAN KAYU ARO, KABUPATEN KERINCI, PROPINSI JAMBI) BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN. SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI MERUPAKAN HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK/LEMBAGA LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. Bogor, Agustus 2009 Puty Siyamitri I

8 RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Puty Siyamitri yang dilahirkan di Pemalang pada tanggal 18 Mei Penulis adalah anak ketiga dari pasangan suami isteri Muslim Latief dan Nirmala. Pendidikan pertama yang ditempuh penulis adalah di Taman Kanak-Kanak Aisyiah Sungai Penuh pada tahun Pada tingkat sekolah dasar penulis bersekolah di SD Pertiwi Sungai Penuh pada tahun , kemudian melanjutkan pendidikannya di SLTP Negeri 1 Sungai Penuh pada tahun dan SMA Negeri 2 Sungai penuh pada tahun Pada tahun 2005, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB), dan setelah melewati satu tahun di TPB (Tahap Persiapan Bersama), penulis berhasil masuk pada mayor Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat di Fakultas Ekologi Manusia yang merupakan pilihan pertama penulis dalam pemilihan mayor di IPB. Selama menjadi mahasiswa di IPB, penulis mengikuti organisasi yaitu Himpunan Mahasiswa Jambi (HIMAJA) dan Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (Himasiera), dan mengikuti beberapa kepanitiaan. Penulis juga pernah menjadi Asisten Mata Kuliah Sosiologi Umum dan Ilmu Penyuluhan.

9 KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, Dzat yang senantiasa memberikan karunia dan hidayah-nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Kondisi Kerja Karyawan Perempuan Perkebunan dan Hubungannya dengan Kesejahteraan Keluarga (Kasus pada PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro, Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi). Skripsi ini merupakan syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini menjelaskan kondisi kerja karyawan yang bekerja di PT Perkebunan Nusantara VI Kebun Kayu Aro. Kondisi kerja yang dilihat yaitu golongan karir, pendapatan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga yang diterima oleh karyawan dari perusahaan tempat mereka bekerja. Skripsi ini juga melihat faktor apa saja yang mempengaruhi kondisi kerja tersebut. Kemudian skripsi ini juga membahas mengenai hubungan kondisi kerja karyawan perkebunan dengan kesejahteraan keluarga yaitu mengenai kesehatan keluarga, pendidikan keluarga, pola konsumsi keluarga, dan perumahan keluarga karyawan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, terutama kepada: 1. Ibu Dra. Winati Wigna, MDS selaku dosen pembimbing skripsi sekaligus dosen pembimbing akademik atas segala bantuan, bimbingan dan arahan serta kesabarannya dalam penyelesaian skripsi ini.

10 2. Bapak Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS selaku dosen penguji utama yang telah meluangkan waktu dan memberi kritikan serta saran untuk perbaikan skripsi ini. 3. Ibu Ir. Anna Fatchiya, selaku penguji dari Departemen Sains KPM yang telah banyak mengoreksi kesalahan dalam penulisan skripsi ini. 4. Mama dan Almarhum Papa tercinta, Mbak Endah dan Mbak Dian tersayang yang menjadi pemicu semangat untuk segera menyelesaikan skripsi ini, terima kasih atas doanya. 5. Seluruh responden karyawan PTPN VI Kebun Kayu Aro, atas kerjasamanya selama penelitian 6. Bapak Uyung dan keluarga yang membantu dalam proses penelitian di PTPN VI Kebun Kayu Aro, terima kasih atas bantuannya. 7. Sahabatku, Mas Wisnu, Kokoy, Nits, Taye, Ema, Lusi, Liza, Egi, Mbak Tul dan teman-teman kosan SQ yang telah memberikan motivasi, perhatian, bantuan, serta kesabarannya dalam mendengarkan cerita, kebahagiaan, keluh kesah selama ini. Terima kasih atas doa dan waktunya untuk menemani dalam penulisan skripsi ini. 8. Serta semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya dan penulis sangat mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Bogor, Agustus 2009 Penulis

11 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... vii DAFTAR TABEL... x DAFTAR LAMPIRAN... xii BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian... 6 BAB II PENDEKATAN TEOROTIS Konsep Gender Ketidakadilan Gender Pembagian Kerja Gender Perkebunan di Indonesia Kondisi Kerja Buruh Perkebunan Kesejahteraan Kerangka Pemikiran Hipotesis Definisi Operasional BAB II METODOLOGI PENELITIAN Metode Penelitian Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian Metode Penentuan Responden dan Informan Metode Pengumpulan Data Metode Pengolahan Data dan Analisis Data... 40

12 BAB IV PROFIL LINGKUNGAN PERUSAHAAN Sejarah Perusahaan Konteks Lokasi Perusahaan Sarana dan Prasarana Struktur Organisasi dan Kultur Perusahaan Perkebunan Sumber Daya Manusia (SDM) di Perusahaan BAB V KONDISI KERJA KARYAWAN DI PT PERKEBUNAN NUSANTARA (PTPN) VI KEBUN KAYU ARO Golongan Karir Karyawan Pendapatan Karyawan Jaminan Kerja Karyawan Jaminan Keluarga Karyawan Ikhtisar BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KONDISI KERJA KARYAWAN DI PT PERKEBUNAN NUSANTARA (PTPN) VI KEBUN KAYU ARO Hubungan Pendidikan dengan Kondisi Kerja Hubungan Umur dengan Kondisi Kerja Hubungan Lama Bekerja dengan Kondisi Kerja Ikhtisar BAB VII PENGARUH KONDISI KERJA TERHADAP KESEJAHTERAAN KARYAWAN DI PT PERKEBUNAN NUSANTARA (PTPN) VI KEBUN KAYU ARO Kesehatan Keluarga Karyawan Pendidikan Keluarga Karyawan Pola Konsumsi Keluarga Karyawan Perumahan Keluarga Karyawan Ikhtisar... 83

13 BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 92

14 DAFTAR TABEL Halaman 1. Rincian Metode Pengumpulan Data Jumlah Luas Lahan Berdasarkan Sertifikat HGU No 2 tanggal 8 Mei 2002, PTPN VI Kebun Kayu Aro Jumlah Tenaga kerja Berdasarkan Lokasi Kerja, Golongan Karir, dan Tanggungan Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Kerja dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Golongan Karir dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pendapatan dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jaminan Kerja dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jaminan Keluarga dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pendidikan, Kondisi Kerja dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan umur, Kondisi Kerja dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Lama Berkerja, Kondisi Kerja dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro Hasil Pengujian Hubungan Kondisi Kerja dengan Kesejahteraan Keluarga Karyawan PTPN VI Kebun Kayu aro Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Status Kesehatan dan Keluarga Karyawan, PTPN VI Kebun Kayu Aro

15 Halaman 14. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Taraf Gizi dan Keluarga Karyawan, PTPN VI Kebun Kayu Aro Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pendidikan dan Keluarga Karyawan, PTPN VI Kebun Kayu Aro Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pola Konsumsi dan Keluarga Karyawan, PTPN VI Kebun Kayu Aro Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Perumahan dan Keluarga Karyawan, PTPN VI Kebun Kayu Aro

16 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Hasil Pengujian Chi-Squere Hasil Pengujian Rank Spearman Peta PT Perkebunan Nusantara VI Kebun Kayu Aro Dokumentasi... 98

17 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan sektor yang dapat diandalkan dalam perekonomian nasional. Hal ini dikarenakan tingginya sumbangan devisa yang dihasilkan dan paling banyak menyerap tenaga kerja. Devisa yang dihasilkan oleh sektor ini pada tahun 2003 adalah sekitar 16,6 persen (BPS, 2003). Berdasarkan lapangan buruhannya, dari 95,5 juta penduduk yang bekerja, sekitar 43,67 persen dari mereka bekerja di sektor pertanian. Sektor lain yang cukup besar peranannya dalam penyerapan tenaga kerja diantaranya sektor perdagangan sebanyak 20,13 persen, industri sebanyak 12,46 persen, dan jasa sebanyak 11,90 persen (BPS, 2007a). Secara nasional, jumlah angkatan kerja terus bertambah dengan struktur penyerapan tenaga kerja menurut sektor yang tidak mengalami banyak perubahan. Berdasarkan data BPS, pada Februari 2005 sektor pertanian menyerap 44,04 persen tenaga kerja, pada Februari 2006 naik menjadi 44,46 persen, kemudian menurun lagi menjadi 43,67 persen pada Februari 2007 (BPS, 2007b). Krisis ekonomi di Indonesia sejak Juli 1997 telah melumpuhkan sebagian besar perekonomian Indonesia. Terjadi peningkatan angka kemiskinan pada semua sektor akibat krisis tersebut. Hal itu menunjukkan bahwa semua sektor menerima dampak negatif dari krisis yang terjadi. Menurut data Susenas 1996 dan 1999 (dalam Kristina 2004), angka kemiskinan tertinggi yang secara konsisten terjadi pada sektor pertanian justru mengalami penurunan. Hal ini karena buruh di berbagai sektor beralih ke pertanian.

18 2 Salah satu sub sektor yang cukup besar peranannya dalam pertanian adalah sub sektor perkebunan. Hal ini terlihat dari sumbangan Produk Domestik Bruto (PDB) sub sektor perkebunan pada tahun 2004 telah mencapai 16,2 persen dari total PDB sektor pertanian. Selain itu volume ekspor komoditas perkebunan juga terus meningkat mencapai 47 persen dari total ekspor komoditas pertanian pada tahun yang sama (BPS, 2005). Sub sektor perkebunan menunjukkan ketangguhannya dalam menghadapi krisis ekonomi. Hal ini karena hasil dari sub sektor perkebunan mengalami peningkatan harga sebagai dampak dari perbedaan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Sejak pertengahan tahun 1970-an pertumbuhan sektor perkebunan terus dipicu melalui berbagai kebijakan baik produksi, investasi, ekspor, dan berbagai kebijakan lainnya. Hal ini dilakukan karena dengan sumberdaya domestik yang dikandungnya, sektor perkebunan ini dinilai memiliki keunggulan komparatif di pasar domestik dan internasional. (Suprihartini et all.,1996 dalam Anggraeni, 2003). Di samping peranannya dalam perekonomian nasional, peran sub sektor perkebunan dalam penyerapan tenaga kerja nasional juga cukup besar. Pada tahun 2004 sekitar 18,6 juta tenaga kerja nasional diserap oleh sub sektor ini (BPS, 2005). Gambaran positif peran perkebunan itu berbeda dengan kondisi kerja buruh perkebunan. Golongan buruh tidak berdaya meskipun telah ada peraturan tentang tenaga kerja, namun peraturan ini ternyata lebih melindungi dan menjamin kepentingan pengusaha akan penyediaan tenaga kerja daripada kepentingan kaum buruh (Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1991). Seharusnya

19 3 perusahaan perkebunan memperlakukan buruhnya sesuai dengan peraturan yang berlaku yaitu melakukan pembagian kerja sesuai dengan kapasitas dan kompetensi yang dimiliki oleh buruh. Menurut Daulay (2006), pada sistem pengupahan perusahaan perkebunan, upah buruh masih rendah, belum memakai standar upah minimum rata-rata. Kenyataan lain yaitu hubungan antara perusahaan dengan buruh perkebunan tidak harmonis padahal kehidupan buruh sangat tergantung pada perusahaan, dalam arti buruh tidak dapat keluar dari perusahaan walau buruh diupah rendah dengan jaminan kerja yang kurang baik. Masalah lain adalah pembagian kerja dan pengupahan yang tidak mengalami banyak perubahan. Dalam gambaran Kartodirjo dan Djoko Suryo (1991), kondisi buruh perkebunan serba berat, secara fisik dieksploitasi, menerima upah minimal, sehingga taraf hidupnya sangat rendah. Lebih dari separuh penduduk Indonesia adalah perempuan, namun kondisi ketertinggalan perempuan menggambarkan adanya ketidakadilan gender di Indonesia (Soemartoyo, 2002 dalam Hastuti, 2003). Hal ini dapat dilihat dari Gender related Development Index (GDI) yang berada pada peringkat ke 88 pada tahun 1995, kemudian menurun ke peringkat 90 pada tahun 1998 dari 174 negara dan menurun lagi menjadi 92 dari 146 negara pada tahun Di dalam peringkat dunia indeks tersebut masih lebih rendah dari negara-negara ASEAN, dan dengan adanya berbagai krisis di Indonesia indeks-indeks tersebut peringkatnya akan semakin menurun. Pasal 5 dan 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menyatakan bahwa setiap tenaga kerja memiliki

20 4 kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi. Hal ini menggambarkan bahwa kebijakan pembangunan di Indonesia menjamin hak-hak dasar pekerja dan tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya, namun dalam prakteknya masih mengalami hambatan. Peluang perempuan di bidang ekonomi untuk memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan masih terkendala oleh berbagai faktor. Jenis kelamin merupakan prinsip pembeda utama dalam pembagian kerja di perkebunan. Pekerja dibedakan berdasarkan pekerjaan untuk laki-laki dan pekerjaan untuk perempuan (Grijns 1987, Oktaviani 1995, Tetiani 2005). Perempuan diposisikan pada pekerjaan yang dianggap mudah, tidak perlu keterampilan sehingga boleh diupah rendah, serta ada pandangan penghasilan perempuan sebagai penghasilan tambahan dalam keluarga. Ketidakadilan gender berpengaruh terhadap kesejahteraan keluarga tercermin dari adanya diskriminasi dalam hal jaminan sosial. Buruh perempuan tidak mendapatkan fasilitas kesehatan dan dana pensiun bagi anak-anaknya sedangkan untuk buruh laki-laki akan mendapatkan fasilitas kesehatan untuk dirinya dan juga berlaku bagi anggota keluarganya yaitu seorang istri dan 2 anak. Kesehatan anak-anak dianggap menjadi tanggung jawab laki-laki. Begitu pula soal tabungan untuk masa depan anak-anak (Oktaviani, 1995). Nasib buruh perempuan yang berstatus harian lebih memprihatinkan lagi. Mereka sama sekali tidak mendapat fasilitas kesehatan, dana pensiun dan hak cuti haid serta melahirkan. Tekanan ekonomi akibat rendahnya pendapatan sering membuat perempuan tetap bekerja dan tidak menggunakan hak cuti haid. Mereka

21 5 juga harus berutang kepada tengkulak maupun koperasi perkebunan. Pada hari libur, di samping mengerjakan kewajiban di rumah tangga, perempuan memilih tetap bekerja di perkebunan milik perorangan yang membuat akses sosial dan politik buruh perempuan terpinggirkan. Mereka tidak mempunyai kesempatan berinteraksi dengan masyarakatnya. Jadi, buruh perkebunan identik dengan keterpaksaan, ketiadaan lahan, pendapatan rendah, minimnya pendidikan, dan banyak hutang (Nur R, 2002). Permasalahan ke depan adalah dapatkah sektor perkebunan tetap menjadi tumpuan bagi tenaga kerja Indonesia. Oleh karena itulah, penelitian mengenai kondisi kerja dan pengaruhnya terhadap kesejahteraan keluarga buruh atau selanjutnya akan disebut karyawan perkebunan ini menjadi suatu hal yang penting dan menarik untuk dikaji dan dibuktikan. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas ada beberapa masalah yang menjadi titik perhatian dalam penelitian ini yaitu: 1. Bagaimana kondisi kerja karyawan perempuan (golongan karir, pendapatan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga) di perkebunan? 2. Apa saja faktor yang berhubungan dengan kondisi kerja karyawan perempuan di perkebunan? 3. Sejauhmana hubungan kondisi kerja terhadap kesejahteraan keluarga karyawan perempuan di perkebunan?

22 6 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui dan menganalisis kondisi kerja karyawan perempuan (golongan karir, pendapatan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga) di perkebunan. 2. Mengetahui dan menganalisis faktor yang berhubungan dengan kondisi kerja karyawan di perkebunan. 3. Mengetahui dan menganalisis hubungan kondisi kerja terhadap kesejahteraan keluarga karyawan di perkebunan. 1.4 Kegunaan Penelitian Melalui penelitian ini, diharapkan dapat memberikan sumbangsih yang bermanfaat khususnya bagi: 1. Peneliti, merupakan sarana untuk menerapkan ilmu yang telah diperoleh dengan melihat fenomena praktis yang terjadi dan mengaitkanya dengan teori yang telah diperoleh. 2. Kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi untuk penulisan atau penelitian selanjutnya mengenai kondisi kerja karyawan perkebunan. 3. Instansi terkait, tulisan ini diharapkan dapat menjadi pendorong agar memperhatikan karyawan perkebunan dan dijadikan bahan pertimbangan dalam melakukan tindakan terkait dengan ketenagakerjaan.

23 II. PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Konsep Gender Konsep gender dibuat oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan perbedaan laki-laki dan perempuan yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan mana yang merupakan bentukan budaya yang dikonstruksikan, dipelajari, dan disosialisasikan. Pembedaan ini sangat penting karena seringkali disamaratakannya ciri-ciri manusia yang bersifat kodrati dan tidak berubah dengan ciri-ciri manusia yang bersifat non kodrat (gender) yang sebenarnya bisa berubah dan atau diubah. Fakih (1996) menyatakan gender adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural, namun untuk memahami konsep gender harus dibedakan dengan konsep seks atau jenis kelamin. Jenis kelamin merupakan pensifatan dan pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Laki-laki adalah manusia yang memiliki penis, memiliki jajakala (kala menjing), dan produsen sperma, sedangkan rahim saluran untuk melahirkan, sel telur, vagina, dan alat untuk menyusui dimiliki oleh perempuan. Secara biologis, alat tersebut melekat pada manusia, tidak bisa dipertukarkan, secara permanen tidak berubah, dan merupakan suatu kodrat (ketentuan Tuhan). Konsep gender sendiri adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang merupakan kategori sosial atau pencirian sosial (feminitas dan maskulinitas) yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural tercermin dalam perilaku, kepribadian, sikap, keyakinan, penampilan, pekerjaan,

24 8 seksualitas, tanggung jawab keluarga, dan lain-lain. Dikotomi tersebut tidak berdasarkan biologis, tetapi lebih pada hubungan sosial budaya laki-laki dan perempuan yang dipengaruhi oleh nilai-nilai atau sistem simbol masyarakat dan struktur masyarakat yang bersangkutan. Ciri dari sifat itu dapat dipertukarkan, bisa berubah dari waktu kewaktu serta berbeda dari tempat ke tempat bahkan dapat berbeda dari kelas ke kelas lainnya dalam suatu konsep gender. Misalnya, perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa dan lain-lain (Fakih, 1996; Saptari, 1997). Pemahaman dan pembedaan gender sangat diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan. (Fakih, 1996). Hal ini juga diperlukan dalam melakukan kajian untuk memahami persoalan-persoalan gender yang terjadi dalam masyarakat, karena terkait dengan perbedaan gender (gender differences) dan pembedaan gender (gender inequalities). Di samping itu dengan memisahkan perbedaan seks dengan gender akan memudahkan dalam menganalisis realita kehidupan dan dinamika perubahan relasi laki-laki dan perempuan. Perbedaan konsep gender secara sosial telah melahirkan perbedaan peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Secara umum adanya gender telah melahirkan perbedaan peran, tanggung jawab, fungsi dan bahkan ruang tempat di mana manusia beraktivitas. Sedemikian rupanya perbedaan gender ini melekat pada cara pandang, sehingga seringkali hal tersebut merupakan sesuatu yang permanen dan abadi sebagaiamana permanen dan abadinya ciri biologis yang dimiliki perempuan dan laki-laki.

25 9 2.2 Ketidakadilan Gender Perbedaan gender (gender differences) terbentuk karena beberapa hal yaitu dibentuk dan disosialisasikan oleh keluarga, diperkuat dan dikonstruksi secara sosial atau kultural, melalui ajaran keagamaan maupun negara. Sampai akhirnya perbedaan gender dianggap sebagai ketentuan Tuhan, dipahami sebagai kodrat laki-laki maupun kodrat perempuan, yang tidak bisa dirubah (Fakih, 1996). Perbedaan gender sesungguhnya tidaklah menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan pembedaan gender (gender inequalities). Namun yang menjadi persoalan adalah perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan gender, baik bagi laki-laki dan terutama terhadap perempuan. Ketidakadilan gender (gender inequalities) adalah pemberian perlakuan yang berbeda kepada laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi, sebagian besar kasus ketidakadilan gender menimpa perempuan. Itulah sebabnya masalah-masalah yang berkaitan dengan gender sering diidentikkan dengan masalah perempuan (de Vries, 2006). Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur dimana perempuan maupun laki-laki menjadi korban dari sistem tersebut. (Fakih, 1996). Berbagai pembedaan peran dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki baik secara langsung yang berupa perlakuan maupun sikap yang telah berakar dalam sejarah, adat, norma ataupun dalam berbagai struktur yang ada di masyarakat. de Vries (2006) menjelaskan bentuk-bentuk ketidakadilan gender yang sering terjadi pada perempuan yaitu: pertama, subordinasi yang merupakan pembedaan perlakuan terhadap salah satu identitas sosial, dalam hal ini adalah perempuan. Pandangan bahwa perempuan itu emosional mengakibatkan mereka kurang diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan; kedua, pelabelan

26 10 negatif (stereotype) yaitu pembentukan citra buruk perempuan yang menempatkan perempuan pada posisi tidak berdaya dalam masyarakat; ketiga, marginalisasi sebagai akibat langsung dari subordinasi perempuan serta melekatnya label-label buruk pada diri perempuan, perempuan tidak memiliki akses dan kontrol yang sama terhadap laki-laki dalam penguasaan sumber-sumber ekonomi. Lebih jauhnya, hal ini akan berimplikasi pada termarginalisasinya kebutuhan dan kepentingan perempuan; keempat, beban kerja berlebih sehingga perempuan selalu diindikasikan dengan pekerjaan domestik. Pada kalangan keluarga miskin, beban ganda terjadi dimana kaum perempuan harus bekerja di sektor domestik dan produktif. Kelima, kekerasan yaitu suatu serangan terhadap fisik maupun psikologis seseorang dalam hal ini dilakukan terhadap perempuan. Hal serupa juga dikemukakan oleh Fakih (1996), akan tetapi terdapat perbedaan urutan dari bentuk ketidakadilan gender tersebut yaitu: 1. Marjinalisasi (pemiskinan) perempuan. Proses marjinalisasi yang menyebabkan kemiskinan banyak terjadi dalam masyarakat di negara berkembang. Perempuan dipinggirkan dan tersingkir dari program pembangunan karena hanya memfokuskan pada laki-laki saja. Di samping itu perkembangan teknologi menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih oleh mesin yang pada umunya dikerjakan oleh laki-laki. 2. Subordinasi Pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Subordinasi sering terjadi di rumah tangga.

27 11 3. Pandangan Stereotipe Pelabelan atau penandaan (stereotype) yang seringkali bersifat negatif secara umum selalu melahirkan ketidakadilan. Misalnya pelabelan perempuan sebagai ibu rumah tangga membatasi gerak perempuan untuk ikut aktif dalam kegiatan politik, bisnis maupun birokrasi. Sementara label laki-laki sebagai pencari nafkah mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh perempuan dianggap sambilan sehingga kurang dihargai. 4. Kekerasan (violence). Kekerasan yang merupakan terjemahan dari violence adalah suatu serangan terhadap fisik maupun integritas mental psikologi seseorang. Oleh karena itu kekerasan tidak hanya menyangkut kekerasan fisik saja seperti perkosaan, pemukulan, dan penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik seperti pelecehan seksual, ancaman, dan paksaan sehingga secara emosional perempuan atau laki-laki yang mengalaminya akan terusik batinnya. 5. Beban Kerja Sebagai suatu bentuk ketidakadilan gender adalah beban kerja menjadi panjang yang harus dijalankan oleh salah satu jenis kelamin yaitu perempuan ataupun laki-laki. Hasil observasi menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah tangga, sehingga bagi mereka yang bekerja di luar rumah, selain bekerja di wilayah publik mereka juga masih harus mengerjakan pekerjaan domestik. Menurut Fakih (1996) bahwa manifestasi ketidakadilan gender dalam bentuk-bentuk seperti di atas dapat terjadi di berbagai tingkatan. Di tingkat negara, tempat kerja, organisasi maupun dunia pendidikan, dalam adat istiadat,

28 12 dalam kultur suku-suku atau dalam tafsiran keagamaan bahkan dalam lingkungan rumah tangga. Manifestasi ketidakadilan gender ini telah mengakar di dalam keyakinan dan menjadi ideologi pada masing-masing orang (kaum perempuan maupun kaum laki-laki), keluarga hingga tingkat negara yang bersifat global, sehingga ketidakadilan gender menjadi hal yang paling sulit untuk diubah. Selanjutnya sebagai maniefestasi lain dari ketidakadilan gender adalah domestikasi dan pengiburumahtanggaan (housewifization). Menurut Saptari (1997) mengutip dari literatur Perempuan dalam Pembangunan domestikasi adalah suatu proses pembatasan ruang gerak perempuan ke arena domestik. Dalam menjelaskan konsep domestikasi, Saptari mengacu kepada Barbara Rogers dengan karyanya yang terkenal The Domestication of Women yang menurutnya cukup menggambarkan proses domestikasi. Menurut Rogers (1980) dalam Saptari (1997), bersamaan dengan terkucilnya perempuan dari kerja upahan dan dari jalur lain dalam ekonomi uang, ideologi tentang kodrat domestik mereka didukung dengan kuat, melalui pengajaran ketrampilan domestik gaya Barat dan melalui ajaran moral tentang tempat mereka di rumah. Istilah domestikasi sering dipakai secara bergantian dengan pengertian housewifization atau pengiburumahtanggaan. Istilah tersebut pertama kali diperkenalkan oleh Maria Mies. Pengiburumahtanggaan menurut Mies (1986) yang dikutip oleh Saptari (1997) merupakan proses pendefinisian sosial perempuan sebagai ibu rumah tangga terlepas dari apakah mereka memang ibu rumah tangga atau bukan. Menurut Saptari sendiri, definisi ini berimplikasi

29 13 kepada timbulnya anggapan perempuan yang tergantung secara ekonomis kepada laki-laki dengan kata lain mereka mempunyai suami yang menafkahi mereka. 2.3 Pembagian Kerja Gender Menurut Saptari (1997) dalam masyarakat kita pekerjaan yang dilakukan perempuan seringkali tidak tampak. Selain itu perempuan cenderung terlibat dalam pekerjaan yang tidak membawa upah atau tidak dilakukan di luar rumah. Moore (1988) dalam Saptari (1997) mengemukakan definisi tentang kerja sering kali tidak hanya menyangkut apa yang dilakukan seseorang, tetapi juga menyangkut kondisi yang melatarbelakangi kerja tersebut, serta penilaian sosial yang diberikan terhadap pekerjaan tersebut Dalam situasi seperti ini bisa dipahami mengapa kerja perempuan sering kali tidak tampak (invisible) karena dalam masyarakat kita keterlibatan perempuan sering kali berada dalam pekerjaan yang tidak membawa upah atau tidak dilakukan di luar rumah. Sebenarnya terdapat dua bias kultural dalam masyarakat kita yang menyebabkan timbulnya pengertian sekaligus pembedaan terhadap kerja upahan (produktif) dan bukan upahan (tidak produktif). Pertama, uang sebagai ukuran bernilai tidaknya suatu kegiatan. Kedua, kecenderungan masyarakat melakukan dikotomi tajam terhadap semua gejala yang ada. Dari berbagai dikotomi yang pernah ada dalam litetarur studi perempuan (produksi/reproduksi, domestik/bukan domestik, upahan/bukan upahan), menurut Saptari (1997) sampai saat ini belum ada yang memberikan batasan jelas mengenai hakikat kerja. Menurutnya hal ini dikarenakan dalam kehidupan seharihari sulit untuk membuat pemisahan yang tajam. Oleh karena itu dalam melihat

30 14 suatu pekerjaan yang terpenting adalah bukan batasannya melainkan hubungan sosial atau hubungan kerja yang berbeda dan kondisi sosial yang mempengaruhi kerja yang dilakukan seseorang. Menurut Moser (1986), kerja produktif dipakai untuk menunjukkan kerja baik secara aktual maupun potensial, yang memiliki nilai tukar, mencakup kerja di sektor formal dan informal, termasuk di dalamnya bekerja pada perusahaan keluarga. Sedang kerja reproduktif juga merupakan kerja produktif, tetapi karena nilai produksi yang dihasilkan tidak berupah, maka kerja reproduktif dikategorikan sebagai kerja produktif tidak langsung. Bila dibedakan kerja menurut ruang lingkupnya, Moser (1986) memberi arti domestik untuk pekerjaan yang dilakukan dalam rumah tangga. sedangkan publik merupakan ruang lingkup kerja di luar rumah. 2.4 Perkebunan di Indonesia Pada sektor perkebunan, sejak zaman tanam paksa, interaksi antara buruh perkebunan dan masyarakat petani dengan pengusaha dan negara mengalirkan sejarah kekalahan buruh kebun. Kekalahan buruh perkebunan terjadi akibat penguasaan lahan dan sistem pengelolaan tenaga kerja (pengupahan, penerapan teknologi, dan sistem manajemen) yang mengeksploitasi petani. Pada masa kolonial digambarkan bahwa para kuli perkebunan yang dikelola W. F Kissing yang ada di Sumatera Selatan tidak dapat mencapai tingkat upah biasa karena kewajiban-kewajiban yang ditetapkan pada mereka terlalu besar (Houben, 2003 dalam Wijaya, 2005).

31 15 Mengkaji kekalahan petani dan para kuli buruh kebun, disimpulkan bahwa kehidupan dan budaya petani Indonesia dalam tiga dasawarsa terakhir telah dihancurkan oleh faktor-faktor eksternal seperti kebijakan internasional tentang liberalisasi perdagangan yang berhubungan dengan pertanian dimana berbagai kebijakan tersebut membuat para petani mengahadapi persoalan peminggiran ekonomi, dominasi politik serta berbagai kekerasan terhadap budaya mereka (Fakih, 2001 dalam Wijaya, 2005). Menurut Maliki (1999) dalam Wijaya (2005), modernisasi pertanian yang memunculkan keberhasilan Indonesia memperoleh pengakuan FAO di tahun 1984 ternyata tidak mengubah bergaining position para petani secara ekonomi maupun politik dan ironisnya petani diposisikan sebagai komunitas statik, tertinggal, dan tidak siap menerima inovasi. Bahayanya, persoalan petani yang semakin terpinggirkan tidak pernah dianggap serius oleh pemerintah. Menurut Kartodirdjo dan Djoko Suryo (1991), sebagai sistem perekonomian baru, perkebunan di Indonesia didifusikan oleh pemerintah kolonial Belanda tanpa dasar persiapan budaya agar pihak penjajah mendapat nilai tambah dari perkembangan ekonomi wilayah negara jajahan melalui pola produksi perkebunan komersial di tanah jajahan yang berdampak pada perubahan kehidupan masayarakat jajahan. Pada konteks penggunaan tenaga kerja, diterapkan model spesialisasi yang menciptakan keterpisahan antara perkebunan dengan masyarakat sekitarnya (petani) yang menggunakan sistem kerja pra-spesialisasi. Keadaan tersebut berdampak perkebunan menjadi kantong-kantong industri (enclave industri). Ini bisa dipahami dengan mengamati keadaan industri perkebunan yang komersil di

32 16 tengah masyarakat Indonesia yang berciri subsistensi, kondisi perkebunan yang berteknologi modern dengan keadaan masyarakat yang masih berteknologi tradisional. Padahal industrialisasi dan prosesnya dalam pengusahaan perkebunan membutuhkan kesiapan sosial budaya dari masyarakat untuk menerima, mendukung, dan melestarikan keadaan fisik industri perkebunan di tengah masyarakat petani (Soetrisno, 1983 dalam Tetiani, 2005 ) Masyarakat perkebunan memiliki sistem stratifikasi sosial yang kaku dan sangat dipengaruhi oleh birokrasi pemerintahan yang sering turut campur tangan. Terjadi perbedaan yang jelas antara administratur dan karyawan perkebunan dengan buruh perkebunan, yang mana golongan staf dan karyawan tak hanya tinggal dalam rumah dan lingkungan yang bagus tetapi mereka juga bergaya hidup mewah, sedangkan buruh hidup dengan penuh kesederhanaan (Kartodirdjo dan Djoko Suryo, 1991) 2.5 Kondisi Kerja Buruh Perkebunan Jenis kelamin merupakan prinsip pembeda utama dalam pembagian kerja di perkebunan. Pekerja dibedakan berdasarkan pekerja untuk laki-laki dan pekerjaan untuk perempuan (Grijns 1987, Oktaviani 1995, Tetiani 2005). Selain itu sistem penggolongan tenaga kerja dalam sistem organisatoris perusahaan perkebunan juga ditentukan oleh tingkat pendidikan dan keahlian (Oktaviani, 1995). Tetiani (2005), menyatakan bahwa di dalam kebun juga dikembangkan hierarki dan segregasi kerja berbasis ras yang dipandang sebagai penerjemahan nilai partiarkal, fenomena promosi kerja sampai kepada jabatan tinggi (staf) berdasarkan lama waktu kerja.

33 17 Di perkebunan Sumatera Utara, sebaran umur karyawan pemanen yang berada pada kelompok tua dan kelompok muda mempunyai jumlah yang sama yaitu sebanyak 17 orang dengan persentase 27 persen. Pada kelompok umur dewasa sebanyak 29 orang dengan persentase 46 persen. Sebaran umur pada kelompok dewasa lebih besar karena tergolong usia produktif dan memiliki tenaga yang kuat untuk melakukan pemanenan. Pembentukan stratifikasi sosial yang ada dalam komunitas perkebunan ini sangat dipengaruhi oleh sistem penggolongan tenaga kerja dalam sistem organisatoris perusahaan. Penggolongan itu berdasarkan pada pembedaan posisi dan kedudukan seseorang di dalam perusahaan yang ditentukan oleh tingkat pendidikan dan disesuaikan dengan keahlian. Untuk itu seseorang yang bersangkutan mendapat upah serta fasilitas-fasilitas yang berbeda antara masingmasing golongan (Kristina, 2004). Oktaviani (1995) menyatakan bahwa dalam perkebunan di Sumatera Selatan pekerjaan laki-laki lebih berat daripada perempuan misalnya membuka hutan yang masih banyak ditumbuhi pohon besar, membuat saluran irigasi, membuang tangkai buah kelapa sawit yang sudah tua sedangkan perempuan hanya sekedar menyiangi lahan yang sudah digarap, melakukan pembibitan, penanaman, mengasuh anak, atau membantu pekerjaan rumah di kediaman pegawai staf. Pekerjaan produktif perempuan dalam perkebunan di Sumatera Utara sangat kecil (Lubis, 1989). Pada tahap pembibitan dalam budidaya karet, perempuan hanya bekerja pada 5 jenis pekerjaan dari 14 jenis pekerjaan. Pada tahap permulaan tanaman baru, perempuan hanya turut bekerja pada 6 jenis

34 18 pekerjaan dari 22 jenis pekerjaan. Ketika melakukan penanaman ulang, perempuan hanya melakukan 8 jenis pekerjaan dari 19 jenis pekerjaan. Pada tahap penyadapan, peraturan hanya mengijinkan perempuan bekerja menyadap. Pada kasus di perkebunan teh Selasari, Jawa Barat (Grijns 1987), hampir semua pekerjaan memetik dilakukan oleh perempuan (93% dari semua perempuan dan 59% dari semua pekerja). Sejumlah kecil perempuan melakukan pekerjaan tidak tetap seperti mengepak teh untuk pelelangan di luar negeri, menyiram tanaman-tanaman muda, mencuci cangkir untuk mencicipi teh, atau bekerja sebagai pembantu rumah tangga pada pegawai staf yang dibayar oleh perusahaan. Terdapat satu tempat yang seluruh pekerjanya selalu perempuan yaitu bagian sortasi dalam pabrik. Kasus di perkebunan kakao Blitar (Wijaya 2005) menunjukkan bahwa buruh kebun dibagi menjadi tujuh kelompok kerja yang sebagian besar berstatus sebagai karyawan tetap golongan IA. Empat kelompok lainnya terdiri atas para kuli yang berstatus sebagai karyawan lepas, kelompok kuli jambret, kelompok kuli petik, dan pecah buah diupah berdasarkan kerja borongan. Menurut Masithoh (2005), terdapat pembagian kerja laki-laki dan perempuan. Laki-laki bekerja di kebun atau menjadi tukang ojek, sedangkan perempuan bekerja di kebun sebagai buruh petik, membantu suami di kebun, atau berdagang kebutuhan sehari-hari. Tanggung jawab untuk mencari nafkah dibebankan pada laki-laki sebagai kepala rumahtangga. Untuk lapisan atas, perempuan lebih banyak melakukan pekerjaan domestik saja. Menurut Oktaviani (1995), perusahaan menetapkan sistem pengupahan berdasarkan keahlian, kecakapan, dan tanggung jawab seorang pekerja, serta

35 19 menurut kemampuan perusahaan yang disesuaikan dengan ketentuan berlaku tentang upah minimum. Buruh adalah lapisan terbawah dan terbanyak dalam ketenagakerjaan. Buruh ini dibedakan berdasarkan pekerja laki-laki dan perempuan yang diterapkan langsung dalam pembagian jenis pekerjaan. Pekerjaan perempuan dinilai pihak perusahaan lebih ringan maka dibayar lebih murah daripada pekerja laki-laki Klasifikasi tenaga kerja di perkebunan didasarkan pada status gaji yaitu bulanan dan harian (Grijns 1987). Pimpinan merupakan golongan terpisah. Mandor, teknisi dan pegawai administrasi mendapat gaji tetap yang dibayar bulanan ditambah bayaran kerja lembur dan bonus produksi. Buruh harian dibayar menurut jumlah hari bekerja selama sebulan lalu atau menurut sistem borongan. Buruh tetap mempunyai hak untuk libur satu hari dalam seminggu dengan tetap dibayar. Terdapat satu tempat yang seluruh pekerjanya selalu perempuan yaitu bagian sortasi dalam pabrik. Bagian ini dimandori oleh seorang perempuan dengan gaji bulanan. Hanya sebagian kecil perempuan yang bekerja sebagai mandor dan semuanya di kebun dan dibayar harian, berbeda dengan mandor lakilaki yang kebanyakan dibayar bulanan. Untuk yang telah bekerja selama enam tahun mendapat dua belas hari cuti tiap tahunnya, setelah bekerja selama dua puluh lima tahun ada yang mendapat pensiun atau pesangon, dan mendapat pelayanan sosial dari perkebunan. Pada kasus tertentu pekerja harian lepas juga dapat menikmati fasilitas tersebut (Grijns 1987, Oktaviani 1995). Menurut Oktaviani (1995), pekerja perkebunan dibedakan lagi menjadi 2 kelompok yaitu: 1) Pekerja harian tetap yang diangkat menjadi pekerja tetap setelah lewat masa percobaan selama 3 bulan, dan berhak menerima upah dan

36 20 fasilitas seperti rumah, kesehatan, THR. Upah ditetapkan berdasarkan hari kerja dan akan dibayar tiap akhir bulan ditambah dengan tunjangan lain seperti beras. 2) Pekerja harian lepas adalah pekerja yang belum diangkat menjadi pekerja tetap sehingga tidak diberikan fasilitas. Penetapan upah dibayar berdasarkan prestasi kerja yang dicapai dan diukur dengan volume kerja yang dihasilkan. Pekerja ini biasanya juga dikenal dengan sebutan pekerja borongan. Pada kasus di Blitar (Wijaya 2005), Pekerja yang berstatus karyawan harian lepas menerima upah sesuai upah minimum rata-rata harian di Blitar. Upah yang dirasakan amat kecil adalah upah borongan yang diterima oleh kuli petik. Kuli pecah cuil buah menerima upah dua kali lipat. Melihat upah yang diterima kondisi para kuli petik lebih memprihatinkan daripada kuli lain. Menurut Daulay (2006), pada sistem pengupahan perusahaan perkebunan, upah buruh masih rendah, belum memakai standar upah minimum rata-rata. 2.6 Kesejahteraan Menurut Sawidak (1985) dalam Munir (2008), kesejahteraan merupakan sejumlah kepuasan yang diperoleh seseorang dari hasil mengkonsumsi pendapatan yang diterima, namun tingkatan dari kesejahteraan itu sendiri merupakan sejumlah kepuasan yang diperoleh dari hasil mengkonsumsi pendapatan tersebut. Konsumsi sendiri pada hakekatnya bukan hanya sesuatu yang mengeluarkan biaya, karena dalam beberapa hal konsumsi pun dapat dilakukan tanpa menimbulkan biaya bagi konsumennya. Menurut Wattimena (2009), tingkat kesejahteraan mengacu kepada keadaan komunitas atau masyarakat luas. Kesejahteraan adalah kondisi agregat

37 21 dari kepuasan individu-individu. Meskipun tidak ada suatu batasan substansi yang tegas tentang kesejahteraan, namun tingkat kesejahteraan mencakup pangan, pendidikan, kesehatan, dan seringkali diperluas kepada perlindungan sosial lainnya seperti kesempatan kerja, perlindungan hari tua, keterbebasan dari kemiskinan, dan sebagainya. Penggunaan output ekonomi perkapita atau pendapatan rumah tangga dipandang kurang relevan dalam mengukur kesejahteraan masyarakat karena hanya memperhatikan faktor ekonomi saja. Maka diperlukan penggunaan indikator lain yang lebih komprehensif. Oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, saat ini Indeks Pembangunan Manusia sebagai penilaian yang bersifat komposit atas perkembangan konsumsi, kesehatan, dan pendidikan masyarakat digunakan secara luas untuk mengukur perkembangan kesejahteraan masyarakat (Wattimena, 2009). Kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non-material. Kondisi sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan pendapatan dapat dipenuhi; serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari resiko-resiko utama yang mengancam kehidupannya (Suharto, 2006). Taraf kesejahteraan rakyat masyarakat indonesia secara umum mengalami peningkatan yang berarti dari waktu ke waktu. Peningkatan ini terjadi dalam konteks demografis, yaitu walaupun jumlah penduduk masih terus bertambah tetapi kecepatan bertambahnya terus berkurang sebagai akibat turunnya angka kelahiran. Peningkatan taraf kesejahteraan rakyat Indonesia antara lain

38 22 ditunjukkan oleh dua indikator yang berdampak pada bidang kesehatan dan pendidikan, yaitu meningkatnya angka harapan hidup dan rata-rata lama sekolah (BPS, 2006). Dimensi kesejahteraan rakyat disadari sangat luas dan kompleks, sehingga suatu taraf kesejahteraan rakyat hanya dapat terlihat (visible) melalui aspek tertentu. Oleh karena itu, kesejahteraan rakyat dapat diamati dari berbagai aspek yang spesifik. Tidak semua permasalahan kesejahteraan dapat diamati dan diukur (BPS, 2006). Diperlukan berbagai bidang disiplin ilmu di samping melakukan penelitian atau melalui pengamatan empirik berbagai kasus untuk dapat menemukan indikator keluarga sejahtera yang berlaku secara umum dan spesifik (BPS, 1995 dalam Munir, 2008). Berbagai aspek mengenai indikator kesejahteraan dibahas oleh BPS (2006), sebagai berikut: 1. Kependudukan Masalah kependudukan yang antara lain meliputi jumlah, komposisi, dan distribusi penduduk merupakan salah satu masalah yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan. Jumlah penduduk yang besar dapat menjadi potensi tetapi dapat pula menjadi beban dalam proses pembagunan jika berkualitas rendah. Oleh sebab itu untuk menunjang keberhasilan pembangunan nasional, dalam penanganan masalah kependudukan pemerintah tidak saja mengarahkan pada upaya pengendalian jumlah penduduk, tetapi juga menitikberatkan pada peningkatan kualitas sumberdaya manusianya. Di samping itu, program perencanaan pembangunan sosial di segala bidang harus mendapat prioritas utama yang berguna untuk peningkatan kesejahteraan penduduk. Hal-hal yang perlu

39 23 diperhatikan pada masalah kependudukan adalah jumlah dan laju pertumbuhan penduduk, pesebaran dan kepadatan penduduk, serta fertilitas. 2. Kesehatan dan Gizi Kesehatan dan gizi merupakan indikator dari kesejahteraan penduduk dalam hal kualitas fisik. Indikator tersebut meliputi angaka kematian bayi dan angka harapan hidup yang menjadi indikator utama. Selain itu, aspek penting yang turut mempengaruhi kualitas fisik penduduk adalah status kesehatan yang antara lain diukur melalui angka kesakitan dan status gizi. Sementara untuk melihat gambaran tentang kemajuan upaya peningkatan dan status kesehatan masyarakat dapat dilihat dari penolong persalinan bayi, ketersediaan sarana kesehatan dan jenis pengobatan yang dilakukan. 3. Pendidikan Tinggi rendahnya kualitas sumber daya manusia antara lain ditandai dengan tingkat pendidikan. Semakin lamanya usia wajib belajar diharapkan tingkat pendidikan anak semakin baik, semakin tinggi tingkat pendidikan yang dicapai suatu masyarakat, maka dapat dikatakan masyarakat tersebut semakin sejahtera. Aspek yang dapat mengagambarkan kesejahteraan masyarakat di bidang pendidikan yaitu angka melek huruf, tingkat partisipasi sekolah, dan putus sekolah. 4. Ketenagakerjaan Ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek penting yang menunjukkan kesejahteraan masyarakat, dimana tolak ukur keberhasilan pembangunan ketenagakerjaan diantaranya adalah Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK)

40 24 dan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT), lapangan usaha dan status pekerjaan, jumlah jam kerja, dan pekerja anak. 5. Taraf dan Pola Konsumsi Berkurangnya jumlah penduduk miskin mencerminkan bahwa secara keseluruhan pendapatan penduduk meningkat, sebaliknya meningkatnya jumlah penduduk miskin mengindikasikan menurunnya pendapatan penduduk. Dengan demikian jumlah penduduk miskin merupakan indikator yang cukup baik untuk mengukur tingkat kesejahteraan rakyat. Aspek lain yang perlu diperhatikan berkenaan dengan peningkatan pendapatan penduduk tersebut adalah bagaimana pendapatan tersebut terdistribusi di antara kelompok penduduk. Indikator distribusi pendapatan, walaupun didekati dengan pengeluaran, akan memberi petunjuk tercapai atau tidaknya aspek pemerataan. Dari data pengeluaran dapat juga diungkapkan tentang pola konsumsi rumah tangga secara umum dengan menggunakan indikator proporsi pengeluaran untuk makanan dan non-makanan. 6. Perumahan dan Lingkungan Manusia dan alam lingkungannya baik fisik maupun sosial merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Secara umum, kualitas rumah tinggal menunjukkan tingkat kesejahteraan suatu rumah tangga, dimana kualitas tersebut ditentukan oleh fisik rumah yang dapat terlihat dari fasilitas yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai fasilitas yang mencerminkan kesejahteraan rumah tangga tersebut diantaranya dapat terlihat dari luas lantai rumah, sumber air minum dan fasilitas tempat buang air besar. Kualitas perumahan yang baik dan penggunaan fasilitas perumahan yang memadai akan memberikan kenyamanan bagi penghuninya.

41 25 7. Sosial Lainnya Pembahasan mengenai aspek sosial lainnya difokuskan pada kegiatan yang mencerminkan kesejahteraan seseorang. Semakin banyaknya waktu luang untuk melakukan kegiatan yang bersifat sosial maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut memiliki tingkat kesejahteraan yang semakin meningkat, karena waktu yang ada tidak digunakan hanya untuk mencari nafkah. Berbeda dengan BPS, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) lebih melihat dari sisi kesejahteraan dibandingkan dari sisi kemiskinan. Unit survey juga berbeda dimana pada BPS digunakan rumah tangga sedangkan BKKBN menggunakan keluarga. Hal ini sejalan dengan visi dari program Keluarga Berencana (KB) yaitu "Keluarga yang Berkualitas". Untuk menghitung tingkat kesejahteraan, BKKBN melakukan program yang disebut sebagai Pendataan Keluarga. Terdapat empat kelompok data yang dihasilkan oleh Pendataan Keluarga, yaitu: 1. Data demografi, misalnya jumlah jiwa dalam keluarga menurut jenis kelamin. 2. Data keluarga berencana, misalnya Pasangan Usia Subur (PUS), peserta KB. 3. Data tahapan keluarga sejahtera, yaitu jumlah keluarga yang masuk dalam kategori keluarga pra sejahtera (sangat miskin), keluarga sejahtera I (miskin), keluarga sejahtera II, keluarga sejahtera III, dan keluarga sejahtera III plus 4. Data individu, seperti nomor indentitas keluarga, nama, alamat, dll. Pra Sejahtera (sangat miskin) diartikan sebagai ketidakmampuan memenuhi kebutuhan dasarnya secara minimal, seperti kebutuhan akan

42 26 pengajaran agama, pangan, sandang, papan dan kesehatan. Sejahtera tahap I (miskin) diartikan sebagai keluarga yang mampu memenuhi kebutuhan dasarnya tetapi belum mampu memenuhi kebutuhan sosial psikologisnya. Yang dimaksud kebutuhan sosial psikologis adalah kebutuhan akan pendidikan, keluarga berencana, interaksi dalam keluarga, interaksi dalam lingkungan tempat tinggal dan transportasi. Berikut adalah indikator yang digunakan BKKBN dalam pentahapan keluarga sejahtera: 1. Keluarga Pra Sejahtera (Sangat Miskin) yaitu belum dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator yang meliputi: a. Indikator Ekonomi seperti makan dua kali atau lebih sehari, memiliki pakaian yang berbeda untuk aktivitas (misalnya di rumah, bekerja/sekolah dan bepergian), bagian terluas lantai rumah bukan dari tanah. b. Indikator Non-Ekonomi seperti melaksanakan ibadah, bila anak sakit dibawa ke sarana kesehatan. 2. Keluarga Sejahtera I (Miskin) adalah keluarga yang karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator meliputi: a. Indikator Ekonomi seperti paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging atau ikan atau telor, setahun terakhir seluruh anggota keluarga memperoleh paling kurang satu stel pakaian baru, luas lantai rumah paling kurang 8 m persegi untuk tiap penghuni b. Indikator Non-Ekonomi seperti ibadah teratur, sehat tiga bulan terakhir, punya penghasilan tetap, usia tahun dapat baca tulis huruf latin, usia 6-15 tahun bersekolah, anak lebih dari 2 orang, ber-kb.

43 27 3. Keluarga Sejahtera II adalah keluarga yang karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah satu atau lebih indikator meliputi memiliki tabungan keluarga, makan bersama sambil berkomunikasi, mengikuti kegiatan masyarakat, rekreasi bersama (6 bulan sekali), meningkatkan pengetahuan agama, memperoleh berita dari surat kabar, radio, TV, dan majalah, menggunakan sarana transportasi 4. Keluarga Sejahtera III yaitu sudah dapat memenuhi beberapa indikator, meliputi memiliki tabungan keluarga, makan bersama sambil berkomunikasi, mengikuti kegiatan masyarakat, rekreasi bersama (6 bulan sekali, meningkatkan pengetahuan agama, memperoleh berita dari surat kabar, radio, TV, dan majalah, menggunakan sarana transportasi. Belum dapat memenuhi beberapa indikator, yaitu: aktif memberikan sumbangan material secara teratur, aktif sebagai pengurus organisasi kemasyarakatan. 5. Keluarga Sejahtera III Plus yaitu sudah dapat memenuhi beberapa indikator yaitu aktif memberikan sumbangan material secara teratur dan aktif sebagai pengurus organisasi kemasyarakatan. 2.7 Kerangka Pemikiran Dalam konteks perusahaan perkebunan, jenis kelamin, umur, pendidikan dan lamanya seorang bekerja diduga memiliki hubungan dengan kondisi kerja karyawan yaitu dalam golongan karir, pendapatan, perolehan jaminan kerja dan jaminan untuk keluarga. Namun, jenis kelamin diduga merupakan prinsip pembeda utama yang berhubungan dengan kondisi kerja karyawan.

44 28 Diduga terdapat ketidakadilan gender dalam kondisi kerja karyawan perkebunan. Ketidakadilan gender adalah pemberian perlakuan yang berbeda kepada laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi, sebagian besar kasus ketidakadilan gender menimpa perempuan. Itulah sebabnya masalah-masalah yang berkaitan dengan gender sering diidentikkan dengan masalah perempuan (de Vries, 2006). Perempuan diduga diposisikan pada pekerjaan yang dianggap mudah, golongan karir yang rendah dan sulit meningkat sehingga boleh diupah rendah dan tidak diberikan jaminan kerja dan jaminan keluarga seperti laki-laki. Sesungguhnya bekerja baik bagi laki-laki maupun perempuan adalah suatu hal yang sangat penting. Kondisi kerja di perkebunan (golongan karir, pendapatan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga) di duga berhubungan dengan kesejahteraan keluarga. Kesejahteraan keluarga ini dapat dilihat dari kesehatan keluarga, pendidikan anggota keluarga, pola konsumsi keluarga, dan perumahan. Hubungan antar variabel dapat dilihat dalam gambar kerangka pemikiran berikut ini: Pendidikan Jenis Kelamin Umur Lama Bekerja Kondisi Kerja Golongan Karir Pendapatan Jaminan Kerja Jaminan Keluarga Kesejahteraan Keluarga Kesehatan Pendidikan Pola konsumsi Perumahan Keterangan: : berhubungan Gambar 1. Kerangka Pemikiran

45 Hipotesis Berdasarkan kerangkan pemikiran tersebut, dapat diajukan beberapa hipotesa sebagai berikut: 1. Jenis kelamin diduga merupakan prinsip pembeda utama yang memiliki hubungan dengan kondisi kerja karyawan perkebunan. 2. Pendidikan diduga berhubungan dengan kondisi kerja karyawan perkebunan. 3. Umur diduga berhubungan dengan kondisi kerja karyawan perkebunan. 4. Lama bekerja diduga berhubungan dengan kondisi kerja karyawan perkebunan. 5. Kondisi kerja di perkebunan (golongan karir, pendapatan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga) diduga berhubungan dengan kesejahteraan keluarga (kesehatan keluarga, pendidikan anggota keluarga, pola konsumsi keluarga, dan perumahan). 2.9 Definisi Operasional Untuk menjelaskan sesuatu yang absrak seperti konsep/variabel menjadi konkrit untuk dapat diukur, maka dibuatlah definisi operasional sebagai berikut: 1. Jenis kelamin adalah identitas biologis karyawan. Jenis kelamin dibagi menjadi dua kategori yaitu: 1. laki-laki 2. perempuan. 2. Umur adalah lamanya hidup karyawan yang diukur berdasarkan usia. Umur menentukan kondisi kerja karyawan perkebunan. Umur digolongkan menjadi

46 30 dua ketegori. Kategori tersebut ditentukan berdasarkan rata-rata umur karyawan yang diketahui dari hasil penelitian di lapangan (emik). Pengukuran: tahun = skor 2 = muda 2. > 45 tahun = skor 1 = tua 3. Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang pernah dilakukan karyawan. Pengukuran: 1. Tidak lulus SD 2. Lulus SD 4. Lama bekerja adalah sejumlah waktu kerja karyawan di perkebunan mulai dari awal bekerja sampai saat ini. Lama bekerja menentukan kondisi kerja karyawan perkebunan. Lama bekerja digolongkan menjadi dua ketegori. Kategori tersebut ditentukan berdasarkan rata-rata lama bekerja karyawan yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan (emik). Pengukuran: tahun = skor 1 = kurang lama 2. > 25 tahun = skor 2 = lama 5. Kondisi kerja adalah perlakuan perusahaan terhadap karyawan yang meliputi golongan karir, pengupahan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga. Kondisi kerja mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga Pengukuran:

47 31 a) Golongan karir adalah pembedaan karyawan yang dilihat dari tingkatan karir karyawan di perusahaan. Golongan karir merupakan variabel untuk melihat kondisi kerja karyawan. 1. IA/14 = skor 1 = rendah 2. > IA/14 = skor 2 = tinggi b) Pendapatan adalah tingkatan jumlah uang yang diterima oleh karyawan sebagai imbalan atas pekerjaan utama yang dilakukan. Ukuran pengupahan ditentukan berdasarkan upah rata-rata karyawan yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan yaitu upah minimum perusahaan adalah Rp Pengupahan merupakan variabel untuk melihat kondisi kerja karyawan. 1. upah rata-rata buruh = skor 1 = rendah 2. > upah rata-rata buruh = skor 2 = tinggi c) Jaminan kerja adalah banyaknya jaminan kesehatan, jaminan keselamatan dan fasilitas yang diterima oleh karyawan dari perusahaan perkebunan. Jaminan kerja merupakan variabel untuk melihat kondisi kerja karyawan. Pengukuran: Jaminan kesehatan: Memperoleh libur/cuti jika sakit, menstruasi, dan melahirkan Memperoleh biaya penggantian bila sakit Memperoleh biaya pengobatan rawat jalan bila sakit Memperoleh biaya pengobatan rawat inap bila sakit Memperoleh asuransi kesehatan penduduk miskin

48 32 Memperoleh hak beristirahat Memperoleh hak beribadah Jaminan keselamatan dan fasilitas: Asuransi keselamatan kerja Kompensasi apabila cacat akibat kecelakaan kerja Fasilitas kerja dan keselamatan kerja (sepatu, topi/penepis panas, karung) 1. Ya 5 = skor 1 = kurang baik 2. Ya >5 = skor 2 = baik d) Jaminan keluarga adalah jaminan dan fasilitias kesejahteraan untuk keluarga yang diterima oleh karyawan dari pekerjaan yang dilakukan di perkebunan. Jaminan keluarga merupakan variabel untuk melihat kondisi kerja karyawan. Pengukuran: Memperoleh THR Memperoleh santunan menikah Memperoleh santunan melahirkan Memperoleh santunan anggota keluarga sakit Memperoleh santunan anak khitan/sunatan Memperoleh santunan pendidikan anak Memperoleh santunan keluarga meninggal dunia Memperoleh rumah/tempat tinggal

49 33 Memperoleh pinjaman/hutang Memperoleh sembako bulanan Memperoleh dana pensiun Memperoleh pesangon bila di-phk 1. Ya 6 = skor = Kurang baik 2. Ya > 6 = skor 2 = Baik Pengukuran kondisi kerja: 1. Skor 4 = Kurang baik 2. Skor > 4 = Baik 6. Jumlah anak dalam keluarga adalah banyaknya anak dalam keluarga yang menjadi tanggungan karyawan. Jumlah anak dalam keluarga mempengaruhi tingkat kesejahteraan keluarga karyawan. Pengukuran: 1. < 2 = skor 1 = sedikit 2. 2 = skor 2 = banyak 7. Kesehatan keluarga adalah status kesehatan dan taraf gizi yang antara lain diukur melalui angka kondisi sakit, jenis pengobatan yang dilakukan, frekuensi makan dan jenis makanan yang dikonsumsi keluarga. Kesehatan merupakan variabel untuk melihat kesejahteraan keluarga. Pengukuran: a) Angka kondisi sakit merupakan variabel untuk melihat status kesehatan keluarga karyawan di perkebunan. Angka kondisi sakit dilihat dari

50 34 frekuensi seringnya sakit karyawan atau keluarganya dalam satu tahun. Angka kondisi sakit digolongkan menjadi dua yaitu: 1. > 2 kali = skor 1 = rendah 2. 2 kali = skor 2 = tinggi b) Jenis pengobatan merupakan variabel untuk melihat status kesehatan keluarga karyawan di perkebunan. Jenis pengobatan dilihat dari apa yang dilakukan oleh karyawan dan keluarganya ketika terdapat anggota keluarganya yang sakit. Jenis pengobatan digolongkan sebagai berikut: 1. Berobat non medis (warung, dukun/pengobatan alternatif) = skor 1 2. Berobat medis (Puskesmas, Dokter,) = skor 2 c) Frekuensi makan merupakan variabel untuk melihat taraf gizi pada keluarga karyawan perkebunan. Frekuensi makan dilihat dari seberapa sering karyawan dan keluarganya makan dalam satu hari. Frekuensi makan digolongkan menjadi dua: 1. 2 kali = skor 1 2. > 2 Kali = skor 2 d) Jenis makanan merupakan variabel untuk melihat taraf gizi pada keluarga karyawan perkebunan. Jenis makanan dilihat dari seberapa banyak macam makanan yang dikonsumsi buruh dan keluarganya dalam satu hari. Janis makanan digolongkan menjadi dua kategori: 1. Makanan yang dikonsumsi kurang atau telah mencukupi makanan yang mengadung karbohidrat dan protein = skor 1

51 35 2. Makanan yang dikonsumsi melebihi makanan yang mengadung karbohidrat dan protein = skor 2 Pengukuran kesehatan keluarga: 1. 4 = skor 1 = Kurang baik 2. > 4 = skor 2 = baik 8. Pendidikan keluarga adalah banyaknya jumlah anggota keluarga karyawan yang Drop Out atau tidak melanjutkan. Pendidikan keluarga digolongkan sebagai berikut: 1. 1 orang = skor 1 = banyak 2. < 1 orang = skor 2 sedikit Semakin sedikit jumlah anggota keluarga buruh yang drop out maka semakin sejahtera keluarga buruh. 9. Pola konsumsi adalah tingkat pengalokasian uang dalam keluarga untuk kebutuhan akan konsumsi makanan dibandingkan dengan konsumsi nonmakanan. Pola konsumsi merupakan variabel untuk melihat kesejahteraan keluarga. Pola konsumsi digolongkan sebagai berikut: 1. Konsumsi makanan konsumsi non makanan = skor 1 = rendah 2. Konsumsi makanan < konsumsi non makanan = skor 2 = tinggi Semakin tinggi tingkat konsumsi makanan dibandingkan konsumsi non makanan, maka semakin rendah tingkat kesejahteraan keluarga. 10. Perumahan adalah tingkatan keadaan infastruktur rumah karyawan yang menunjukkan tingkat kesejahteraan keluarga. Hal dapat terlihat dari status rumah, keadaan rumah, keadaan MCK, alat penerangan, fasilitas komunikasi.

52 36 Pengukuran: a) Status rumah adalah hak atas kepemilikan rumah bagi keluarga karyawan. Status rumah merupakan salah satu variabel untuk melihat tingkatan keadaan infastruktur rumah karyawan. 1. Bukan milik pribadi = skor 1 2. Milik pribadi = skor 2 b) Keadaan rumah adalah kondisi bangunan rumah atau tempat tinggal keluarga karyawan. Keadaan rumah merupakan salah satu variabel untuk melihat tingkatan keadaan infastruktur rumah karyawan. 1. < semi permanen = skor 1 2. semi permanen = skor 2 c) Keadaan MCK adalah kondisi MCK yang dimiliki dalam rumah tangga. Kondisi MCK merupakan salah satu variabel untuk melihat tingkatan keadaan infastruktur rumah karyawan. 1. Tidak ada MCK = skor 1 2. Ada MCK = skor 2 d) Alat penerangan adalah jenis penerangan yang dipakai oleh keluarga karyawan. Alat penerangan merupakan salah satu variabel untuk melihat tingkatan keadaan infastruktur rumah karyawan. Alat penerangan dibagi menjadi dua katagori: 1. Listrik 450 Watt = skor 1 2. Listrik > 450 Watt = skor 2

53 37 Fasilitas komunikasi adalah kepemilikan alat komunikasi dalam sebuah rumah tangga. Fasilitas komunikasi merupaka variabel untuk melihat tingkatan keadaan infastruktur rumah karyawan. Fasilitas komunikasi dibagi menjadi dua katagori : i. Tidak menggunakan telepon/hp = skor 1 ii. Menggunakan telepon/hp = skor 2 Pengukuran perumahan: 1. skor 5 = Kurang baik 2. skor > 5 Baik 11. Kesejahteraan keluarga karyawan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan keluarga yang membuat sebuah keluarga merasa aman dan bahagia. kesejahteraan keluarga karyawan dapat dilihat dari kesehatan, pendidikan anggota keluarga, pola konsumsi keluarga, dan perumahan. Pengukuran: 1. skor 4 = Kurang terpenuhi 2. skor > 4 = Terpenuhi

54 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan metode survei pada karyawan perkebunan dan didukung dengan data kualitatif. Metode survai adalah penelitian yang mengambil sampel dari suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok (Singarimbun dan Effendy, 1989). Selain itu dipergunakan juga metode studi kepustakaan yaitu menganalisis data sekunder yang berkaitan dengan tema penelitian. Pengamatan juga dilakukan untuk memperkuat keyakinan terhadap data dan informasi hasil survei dan wawancara. 3.2 Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi. Lokasi penelitian ini ditentukan secara purposive, karena merupakan tempat dimana karyawan tinggal dan bekerja. Lokasi penelitian tersebut dipilih karena secara geografis mudah dijangkau oleh peneliti dan sejak kecil peneliti tinggal di Kabupaten Kerinci sehingga mengerti subjek yang diteliti dan memahami bahasa sehari-hari mereka. Selain itu komunitas di lingkungan tersebut merupakan perkebunan teh yang memperlihatkan adanya persoalan yang hendak diteliti. Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan bulan Juni Pada bulan Mei dilakukan pengambilan data melalui kuesioner mengenai responden penelitian yang akan langsung diisi oleh peneliti dan melakukan

55 39 wawancara mendalam dengan beberapa informan. Pada bulan Juni sampai Agustus 2009, dilakukan input data, pengolahan data, interpretasi, serta penyusunan hasil penelitian. 3.3 Metode Penentuan Responden dan Informan Sampel adalah 30 keluarga karyawan laki-laki dan 30 keluarga karyawan perempuan di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro. Responden adalah karyawan yang bekerja di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro yang keluarganya dijadikan sampel. Responden dipilih secara acak (random sampling) dengan jumlah yang unproportional yaitu terdiri dari 30 orang laki-laki dan 30 orang perempuan karena tidak didapatkan data awal mengenai jumlah karyawan di perusahaan. Responden diambil 60 responden guna memenuhi pengujian. Responden diambil dari dua lokasi perusahaan yang terdapat karyawan. Pengambilan responden dimulai dari lingkungan pabrik kemudian dilanjutkan ke lingkungan afdeling. Informan adalah orang yang dapat memberikan informasi yang dibutuhkan terkait dengan tema penelitian yang dipilih secara purposive yaitu staf dan karyawan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro. 3.4 Metode Pengumpulan Data Sumber data penelitian yang dikumpulkan adalah data primer dan data sekunder. Rincian mengenai hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini:

56 40 Tabel 1.Rincian Metode Pengumpulan Data Data yang Dibutuhkan Kondisi Kerja karyawan Faktor yang mempengaruhi kondisi kerja Kesejahteraan Keluarga Gambaran umum lokasi Keterangan Golongan karir, pengupahan, jaminan kerja, jaminan keluarga Jenis kelamin, pendidikan, umur, dan lama bekerja Kesehatan, pendidikan, pola konsumsi, dan perumahan Lingkungan perkebunan dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro. Sumber Data Primer Primer Primer Primer dan sekunder Metode Pengumpulan Data Kuesioner dan wawancara mendalam Kuesioner dan wawancara mendalam Kuesioner dan wawancara Wawancara mendalam dan studi literatur 3.5 Metode Pengolahan Data dan Analisis Data Data hasil penelitian diolah dengan menggunakan program komputer SPSS Versi 13. Program ini digunakan untuk mempermudah proses pengolahan data. Data disajikan dalam bentuk tabel frekuensi dan tabulasi silang. Tabel frekuensi digunakan untuk memperlihatkan dan mendeskripsikan fenomena yang akan dijelaskan. Tabulasi silang digunakan untuk mengelompokan data ke dalam variabel-variabel yang akan dilihat hubungannya merujuk pada hipotesa yang sudah ada. Data yang diperoleh bersifat nominal dan ordinal, sehingga untuk menganailisis hubungan antara data tersebut digunakan Chi-Square dan. Korelasi Rank Spearman. Chi-Squere digunakan untuk menguji hubungan antara jenis kelamin, pendidikan, umur, dan lama bekerja dengan kondisi kerja (golongan karir, pendapatan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga). Uji Chi-Squere digunakan untuk menguji hubungan antara variabel skala nominal. Hasil uji Chi-

57 41 Squere kemudian dilanjutkan dengan melihat keeratan hubungan antara dua variabel dengan rumus koefisien kontingensi (C). 2 2 X = (f 0.f ) h f Keterangan: h 2 X = Chi Kwadrat f 0 = Data frekuensi yang diperoleh dari sampel (hasil kuesioner) f = Frekuensi yang diperoleh/diharapkan dari sampel sebagai pencerminan dari h frekuensi yang diharapkan dalam populasi C = Chi Kwadrat 2 X C = 2 N + X 2 X = Koefisien kontingensi N = Banyaknya sampel Guilford dalam Rakhmat, 1997 mengartikan koefisien korelasi sebagai berikut: < 0, 20 : Hubungan rendah sekali, lemas sekali 0,20-0,40 : Hubungan rendah tapi pasti 0,40-0,70 : Hubungan yang cukup berarti 0,70-0,90 : Hubungan yang tinggi, kuat > 0,90 : hubungan yang sangat tinggi, kuat sekali, dapat diandalkan Korelasi Rank Spearman digunakan untuk menguji hubungan antara kondisi kerja (golongan karir, pendapatan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga) dengan Kesejahteraan keluarga (kesehatan, pendidikan, pola konsumsi, dan perumahan). r = 6 d s 2 2 n (n -1) Keterangan: r = Korelasi Spearman s n = Banyaknya pasangan data d = Jumlah selisih peringkat bagi x dan y

58 IV. PROFIL LINGKUNGAN PERUSAHAAN 4.1 Sejarah Perusahaan Perkebunan teh Kayu Aro merupakan perkebunan teh tertua di Indonesia. Kebun Kayu Aro dibuka pada tahun 1925 sampai dengan 1928 oleh perusahaan Belanda yaitu Namlodse Venotchaaf Handle Veriniging Amsterdam (NV HVA). Penanaman teh pertama dimulai pada tahun 1929 dengan varietas spesifik asli dari biji teh. Pada tahun 1932 dibangun pabrik teh di Bedeng VIII Kayu Aro dengan kapasitas produksi 90 ton pucuk teh per hari dan kapasitas terpasang 100 ton, teh yang dihasilkan adalah jenis teh hitam (ortodox). Pada tahun 1959, melalui PP No. 19 Tahun 1959 tentang Penentuan Perusahaan Pertanian/Perkebunan milik Belanda yang dikenakan nasionalisasi diambil alih pemerintah Republik Indonesia. Sejak itu berturut-turut Kebun Kayu Aro mengalami peruabahan status/organisasi dan manajemen sesuai dengan keadaan yang berlaku. Tahun 1959 sampai dengan 1962 Kebun Kayu Aro menjadi unit produksi dari PT Aneka Tanaman VI, tahun 1963 sampai dengan 1973 bagian dari PNP Wilayah I Sumatera Utara, dan mulai tanggal 1 Agustus 1974 menjadi salah satu kebun dari PT. Perkebunan VIII yang berkedudukan di Jalan Kartini No. 23 Medan. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 11/1996 tanggal 14 Februari 1996 dan Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 165/KMK.016/1996 tanggal 11 Maret 1996,PTP VIII termasuk Kayu Aro dan PTP lainnya yang ada di Sumatera Barat/Jambi dikonsilidasi menjadi PT Perkebunan Nusantara VI (Persero). Maka terhitung mulai tanggal 11 Maret

59 , Kebun Kayu Aro telah menjadi salah satu unit kebun dari PTP Nusantara VI (Persero) yang berkantor pusat di Jalan Zainir Haviz No. 1 Kota Baru Jambi. Kebun teh Kayu Aro menyimpan sejarah bangsa Indonesia. Untuk membuka perkebunan teh ini, perusahaan Belanda mendatangkan ribuan pekerja dari pulau Jawa. Secara umum anak dan cucu pekerja itulah yang kini hidup relatif makmur mendiami desa-desa enclave dan sekitar perkebunan teh tersebut. Di samping bekerja di perkebunan, mereka memiliki kebun kayu manis (casiavera), memelihara ternak, berladang sayuran (kentang, kol, dan wortel). 4.2 Konteks Lokasi Perusahaan Kebun Kayu Aro terletak di Desa Bedeng VIII Kecamatan Kayu Aro Kabupaten Kerinci Propinsi Jambi. Adapun jaraknya sebagai berikut: a) ± 37 Km dari Ibu kota kabupaten (Sungai Penuh) b) ± 452 Km dari Ibu kota propinsi (Jambi) c) ± 325 Km dari Pelabuhan Teluk Bayur Padang (via Pesisir Selatan) d) ± 237 Km dari Pelabuhan Teluk Bayur Padang (via Muara Labuh) Kebun Kayu Aro secara geografis terletak pada posisi , Lintang 0 0 Selatan (LS) dan ,856 Bujur Timur (BT). Elevasi pabrik terletak m. Dpl, elevasi kebun terendah terletak m. Dpl, dan elevasi kebun tertinggi terletak m. Dpl. Kebun Kayu Aro terletak di daerah dataran tinggi dengan jenis tanah yang dominan adalah jenis andosol. Luas areal Hak Guna Usaha (HGU) Kebun Kayu Aro adalah 3.014,60 Ha dengan perincian penggunaan lahan dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini:

60 44 Tabel 2. Jumlah Luas Lahan Berdasarkan Sertifikat HGU No 2 tanggal 8 Mei 2002, PTPN VI Kebun Kayu Aro Lahan yang ditanami Penggunaan Lahan Luas Lahan (Ha) Tanaman menghasilkan (RKAP 2009) 2.338,65 Tanaman non produktif 94,04 Rencana tanaman ulang /compacting 114,00 Tanaman Belum Mengasilkan (TBM) 78,00 Jumlah areal teh 2.624,69 2. Luas lahan yang belum ditanami Emplasment/bangunan 105,77 Jurang/kuburan/hutan 227,21 Jalan/jembatan 56,93 Jumlah 389,91 3. Luas Hak Guna Lahan (1+2) 3.014,60 Sumber: Profil Perusahaan Unit Usaha Kayu Aro 2009 Kebun Kayu Aro memiliki curah hujan yang cukup tinggi. Curah hujan rata-rata setahun adalah mm dengan jumlah 200 hari hujan dalam setahun. Sinar matahari rata-rata setahun adalah 6 jam per hari. Suhu udara di Kebun Kayu Aro antara C dan suhu minimum 5 C dengan kelembaban nisbi/rh antara 70 95%. 4.3 Sarana dan Prasarana Perusahaan PTPN Kebun Kayu Aro memiliki 636 rumah yang digunakan sebagai perumahan bagi staf dan karyawan. Perumahan tersebut terdiri dari 5 golongan yaitu rumah staf sebanyak 23 rumah dengan daya tampung 20 orang, rumah G1 sebanyak 73 rumah dengan daya tampung 73 orang, rumah G2 sebanyak 511 rumah dengan daya tampung orang, rumah G3 sebanyak 22

61 45 rumah dengan daya tampung 66 orang, dan rumag G4 sebanyak 7 rumah dengan daya tampung 28 orang. Peruasahaan menyediakan Rumah Sakit Kebun Kayu Aro sebagai tempat perawatan kesehatan dan pengobatan karyawan. Di Perusahaan juga terdapat tempat ibadah yaitu sebuah mesjid dan sebuah gereja. Untuk pembinaan olahraga perusahaan menyediakan sarana olahraga yaitu lapangan tenis, sepak bola, bulu tangkis, volly, dan tersedia fasilitas untuk tenis meja, catur dan lainnya. Sarana pendidikan yang terdapat di sekitar PTPN VI Kebun Kayu Aro antara lain SD di emplasment dan setiap afdeling, SMP, MTS, SMK di emplasment, SMA di afdeling F Kersik Tua, SMA IT di Bedeng VIII, dan untuk pendidikan anak-anak pra sekolah, perkebunan mengelola Sekolah Taman Kanak- Kanak dengan bantuan seorang guru negeri dan Tempat Pengasuhan Anak (TPA) di setiap afdeling. 4.4 Struktur Organisasi dan Kultur Perusahaan Perkebunan PTPN VI Kebun Kayu Aro merupakan perusahaan persero yang dipimpin oleh seorang administrator/manajer yang bernama Ir. Zainal Prayitno. Terdapat 2 orang kepala dinas, 2 orang asisten kepala wilayah, 1 orang Asisten TUK, 1 orang asisten SDM, 2 orang asisten pengolahan, 1 orang asisten tehnik, 8 orang asisten afdeling, dan 1 orang perwira pengamanan. Struktur organisasi perusahaan secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 2.

62 46 Manager Askep Wil. A Askep Wil. B KDP KDT Asist Afdeling Asist Pengolahan Asist Teknik Asist TUK Asist SDM Dok ter Papam bun Keterangan: : garis komando : garis koordinsi Gambar 2. Struktur Organisasi PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 Sistem organisasi yang dipakai oleh perusahaan adalah sistem organisasi garis dan staf yaitu setiap atasan memimpin bawahan tertentu. Sistem organisasi garis dan staf digunakan oleh perusahaan untuk memudahkan koordinasi perusahaan yang terbilang luas. Manajemen di PTPN VI Kebun Kayu Aro menggunakan Laporan Manajemen (LM) dan Laporan Peristiwa Masalah Umum (LPMU). Laporan ini merupakan laporan rutin yang dibuat setiap bulan untuk diserahkan kepada pimpinan. Laporan ini menggambarkan data dan usaha baik keuangan, fisik, SDM atau hasil seluruh kegiatan secara berkala. PTPN VI Kebun Kayu Aro melakukan manajemen yang saling terkait antar masing-masing unit/afdeling secara berurutan mulai dari mandor, asisten, buku pucuk dan neraca percobaan. Struktur organisasi di PTPN VI Kebun Kayu Aro yang terdiri dari staf, pegawai bulanan, karyawan harian tetap dan karyawan harian lepas. Staf/Pegawai terdiri dari pegawai administrator, asisten kepala, asisten pabrik dan kepala tata

63 47 usaha. Pegawai Bulanan adalah pegawai yang diangkat oleh administrator dengan persetujuan direksi. Karyawan Harian Tetap merupakan tenaga kerja yang digaji berdasarkan banyak hari kerja yang diangkat administrator. Karyawan Harian Lepas ( KHL) merupakan karyawan yang dibayar berdasarkan hari kerja, hanya tidak mendapat fasilitas dari perusahaan dan tidak berlaku untuknya kesempatan kerja sama. Adapun uraian tugas struktur organisasi unit usaha Kebun Kayu Aro adalah sebagai berikut: 1. Manajer/administrator mempunyai fungsi utama yaitu bertugas membantu direksi dalam mengelola unit usaha di kebun, dalam upaya pencapaian tujuan perusahaan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan bertanggung jawab pada direksi yang membawahi asisten afdeling, kepala pabrik, asisten pengawasan mutu, asisten pabrik dan asisten teknik, kepala tata usaha, petugas umum serta pegawai/karyawan kebun. 2. Asisten Kepala bertugas mempunyai fungsi utama yaitu bertugas membantu manajer/administrator dalam mengelola produksi di kebun dalam upaya mengoptimalkan potensi tanaman sesuai dengan kualitas yang telah ditentukan serta pengendalian biaya untuk mencapai tujuan perusahaan. 3. Kepala Tata Usaha mempunyai fungsi utama yaitu bertugas membantu manajer/administrator dalam mengelola aktivitas kegiatan keuangan dan administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku untuk mencapai tujuan perusahaan. 4. Kepala Dinas Pengolahan (KDP) mempunyai fungsi utama yaitu bertugas membantu administrator dalam mengelola proses pengolahan hasil produksi

64 48 kebun sesuai dengan kuantitas dan kualitas yang telah ditentukan, serta pengendalian biaya akhir untuk mencapai tujuan perusahaan. 5. Asisten Afdeling mempunyai fungsi utama yaitu bertugas membantu asisten kepala dalam upaya mengoptimalkan potensi tanaman sesuai dengan kualitas yang telah ditentukan serta pengendalian biaya untuk mencapai tujuan perusahaan. 6. Asisten Pengelola mempunyai fungsi utama yaitu bertugas membantu administrator dalam mengelola proses pengolahan hasil produksi kebun sesuai dengan kuantitas dan kualitas yang telah ditentukan, serta pengendalian biaya untuk mencapai tujuan perusahaan. 7. Asisten teknik mempunyai fungsi utama yaitu bertanggung jawab kepada pabrik dan membawahi karyawan/pegawai pabrik. 8. Mandor 1 (First Mandor) mempunyai fungsi utama yaitu bertanggung jawab kepada asisten afdeling dalam seluruh kegiatan operasional dan mengatur tenaga kerja di lapangan setiap harinya. 9. Mandor Lapangan (Field Mandor) mempunyai fungsi utama yaitu bertanggung jawab kepada asisten afdeling dan mandor 1 dalam melaksanakan kegiatan kerja karyawan di lapangan. 10. Krani Afdeling dan Krani Lapangan mempunyai fungsi utama yaitu bertanggung jawab kepada asisten Afdling dalam mencatat absen karyawan, kegiatan operasional di lapangan, administrasi afdeling dan membuat buku permintaan barang yang diperlukan di lapangan dan diteruskan ke kantor pusat sedangkan Krani Lapangan bertanggung jawab kepada Krani Afdeling dalam mencatat absen karyawan di lapangan.

65 Papambun mempunyai fungsi utama yaitu bertanggung jawab kepada Sumber Daya Manusia (SDM) terhadap keamanan kebun, membuat laporan keamanan kepada asisten untuk diteruskan kepada administrator. 12. Tidak terdapat istilah Buruh di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro. Istilah tersebut diganti dengan sebutan karyawan. Karyawan mempunyai fungsi utama yaitu bertugas melaksanakan kegiatan di lapangan dan di kantor, di pabrik sesuai dengan instruksi atasannya. Hubungan sesama karyawan baik di pabrik maupun di kebun adalah dekat. Karyawan di pabrik telah dibagi dalam bidang-bidang pekerjaan mulai dari daun basah sampai pengepakan. Masing-masing bidang memiliki hubungan yang akrab. Sama halnya dengan di kebun, walaupun tempat mereka memetik pucuk atau melakukan boyan (pemeliharaan kebun) berdekatan tapi mereka telah mengetahui wilayah kerja masing-masing. Ancak (blok) masing-masing karyawan sudah jelas sehingga tidak terdapat kesalahan ancak (blok) panen pucuk atau boyan (pemeliharaan kebun). Sesama karyawan juga saling memberikan bantuan apabila terdapat karyawan yang belum menyelesaikan tugasnya. Hubungan yang tidak dekat terjadi karena adanya konflik yang terjadi pada beberapa karyawan. Hubungan kedekatan sesama karyawan terlihat di luar pekerjaan terjalin dengan baik. Terlihat setiap bulannya diadakan pengajian dan arisan uang antar karyawan dalam dua kali dalam sebulan yang dikumpulkan oleh wakilnya. Sebagian besar hubungan atasan dan bawahan umumnya tidak dekat. Hubungan yang tidak dekat karena adanya jarak antar karyawan dengan staf. Akan tetapi hubungan dengan mandor cukup dekat kecuali saat bekerja langsung di lapangan mandor tidak memberikan toleransi dalam bentuk apapun kepada

66 50 karyawan karena mandor bertanggung jawab pula dengan atasannya. Hubungan kerja antar atasan dan bawahan adalah hubungan yang vertikal. 4.5 Sumber Daya Manusia (SDM) di Perusahaan Berdasarkan data terakhir Februari 2009 jumlah tenaga kerja di PTPN VI Kebun Kayu Aro adalah orang yang terdiri dari 19 orang karyawan pimpinan, 1 orang perwira pengamanan. Untuk jumlah karyawan pelaksana terdiri dari 859 orang karyawan golongan IB sampai IID, dan orang karyawan golongan IA dengan jumlah tanggungan adalah orang. Jumlah pensiunan perusahaan adalah orang dan jumlah tanggungan karyawan adalah orang. Perincian tenaga kerja di PTPN VI Kebun Kayu Aro menurut lokasi, golongan dan tanggungan secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 3.

67 51 Tabel 3. Jumlah Tenaga kerja Berdasarkan Lokasi Kerja, Golongan Karir, dan Tanggungan. No. Lokasi Golongan IB- IID IA Jumlah Tanggung an IA-IID Jumlah (e+f) Pensiun an Jumlah (g+h) a b c d e f g h i 1 Afd. A Afd. B Afd. C Afd. D Afd. E Afd. F Afd. G Afd. H Kantor Pabrik RSKA Tehnik Jumlah Sumber Profil Perusahaan Unit Usaha Kayu Aro 2009

68 V. KONDISI KERJA KARYAWAN DI PT PERKEBUNAN NUSANTARA (PTPN) VI KEBUN KAYU ARO Sejak dibukanya Perkebunan teh Kayu Aro pada tahun 1925 sampai dengan 1928 dan dibangunya pabrik teh pada tahun 1932 di Bedeng VIII Kayu Aro, perusahaan Belanda mendatangkan ribuan pekerja (buruh) dari pulau Jawa. Mulai saat itu pekerja dari pulau Jawa mensosialisasikan pekerjaan perkebunan kepada anak mereka sejak usia dini. Bagi orang tua hal ini dijadikan sebagai cara mendidik anak agar terbiasa mengelola tanaman teh, sedangkan gagi anak, sosialisasi ini penting untuk modal masa depannya. Orang tua membawa anaknya sejak kecil bekerja di perkebunan agar anak terbiasa dengan pekerjaan tersebut dan saat sudah dewasa mereka dapat bekerja sebagai pekerja di perkebunan teh. Anak dan cucu pekerja dari pulau Jawa itulah yang kini banyak bekerja mendiami desa di sekitar perkebunan teh dan menjadi karyawan di PTPN VI Kebun kayu Aro. Seperti yang diungkapkan oleh karyawan PTPN VI Kebun Kayu Aro sebagai berikut: Sejak kecil saya sering diajak ibu ke kebun teh, saya cuma lihat-lihat saja ibu yang sedang bekerja dari tempat yang teduh, ibu saya membawa saya sembunyi-sembunyi agar tidak terlihat mandor, setelah saya agak besar saya diajari ibu cara memetik dan sayapun ikut menolong ibu memetik pucuk teh. (Ibu Ytn, 42 tahun, Karyawan PTPN) Karyawan yang bekerja disini kebanyakan orang tuanya dahulu juga kerja disini. Kami keturunan Jawa yang lahir di Kayu aro, setiap hari kami menggunakan bahasa Jawa tapikebanyakan kami tidak tau kampung kami di Jawa ada dimana, saya pun sampai sekarang belum pernah ke Jawa, kalau ditanya saya orang mana, saya selalu jawab orang Kayu Aro. (Bapak Sky, 52 tahun, Karyawan PTPN)

69 53 Proses sosialisasi dari orang tua mereka menjadikan anak dan cucu mereka saat ini pada umumnya menggantungkan hidup sepenuhnya pada perkebunan. Keterbatasan pendidikan, tidak adanya tanah yang dimiliki dan adanya keterkaitan dengan perkebunan membuat mereka kini menjadi karyawan di perkebunan. Selain itu kondisi kerja yang diberikan PTPN VI Kebun Kayu Aro yang dirasakan jauh lebih baik dibandingkan dengan kondisi kerja di luar perkebunan sehingga mereka tetap memilih untuk bekerja di perkebunan. Bahkan saat ini banyak sekali angkatan kerja yang ingin bekerja menjadi karyawan di PTPN VI Kebun Kayu Aro akan tetapi perusahaan belum membuka kesempatan bagi mereka karena kondisi perusahaan yang saat ini kelebihan tenaga kerja sehingga karyawan yang pensiun tidak diimbangi dengan perekrutan karyawan baru. Dari hasil wawancara dengan salah satu karyawan yang bekerja di PTPN VI Kebun Kayu Aro diketahui bahwa perekrutan tenaga kerja terakhir yaitu sekitar tahun Kondisi kerja karyawan adalah perlakuan perusahaan perkebunan yang diterima oleh karyawan yang meliputi golongan karir, pendapatan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga. Kondisi ini adalah kondisi yang dialami oleh reponden ketika bekerja di perusahaan perkebunan. PTPN VI Kebun Kayu Aro berupaya untuk selalu menjaga kondisi kerja di perkebunan sehingga sebagian besar karyawan mendapatkan kondisi kerja yang baik walaupun terdapat sebagian karyawan yang masih mendapatkan kondisi kerja yang kurang baik. Kondisi kerja karyawan laki-laki dan karyawan perempuan secara umum di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro digambarkan pada Tabel 4 di bawah ini:

70 54 Tabel 4. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Kondisi Kerja dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 Kondisi Kerja Laki-Laki (orang) Jenis Kelamin Perempuan (orang) Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%) Baik 25 83, ,33 Kurang Baik 5 16, ,67 Jumlah , ,00 Berdasarkan Tabel 4 di atas karyawan laki-laki menerima perlakuan yang baik dari perusahaan perkebunan yaitu 83,33 persen dari jumlah responden lakilaki mengalami kondisi kerja yang baik, dibandingkan dengan responden perempuan yang hanya 43,33 persen. Karyawan perempuan masih banyak yang mendapatkan kondisi kerja yang kurang baik yaitu 56,67 persen. Persentase tersebut mengambarkan bahwa ada hubungan antara jenis kelamin dengan kondisi kerja. Hasil penghitungan secara statistik menunjukan bahwa terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kondisi kerja dengan nilai signifikansi dengan α sebesar 0,10. Hubungan antara jenis kelamin dengan kondisi kerja dapat dijelaskan secara rinci pada sub bab berikut. 5.1 Golongan Karir Karyawan Golongan karir adalah pembedaan karyawan yang dilihat dari tingkatan karir karyawan di perusahaan. Golongan karir yang dimiliki responden adalah golongan karir paling bawah di dalam perusahaan. Golongan karir tersebut dibagi menjadi dua yaitu golongan karir sedang dan golongan karir tinggi. Di PTPN VI Kebun Kayu Aro, karyawan laki-laki dan karyawan perempuan sebagian besar

71 55 telah menempati golongan karir yang tinggi. Hal tersebut dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini: Tabel 5. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Golongan Karir dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 Golongan Karir Laki-Laki (orang) Jenis Kelamin Perempuan (orang) Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%) Tinggi 23 76, ,00 Rendah 7 23, ,00 Jumlah , ,00 Berdasarkan Tabel 5 dapat dibuktikan bahwa karyawan laki-laki lebih banyak berada pada golongan karir yang tinggi yaitu 76,67 persen dibandingkan karyawan perempuan yaitu 60,00 persen. Persentase tersebut menunjukkan bahwa tampak perbedaan antara karyawan laki-laki dan karyawan perempuan akan tetapi perbedaan itu tidak begitu besar. Hasil penghitungan secara statistik menunjukan bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan kondisi kerja dengan nilai signifikansi dengan α sebesar 0,10. PTPN VI Kayu Aro membuat peraturan yaitu karyawan laki-laki dan karyawan perempuan mempunyai hak yang sama dalam golongan karir. Golongan karir ditentukan oleh prestasi kerja karyawan. Prestasi kerja dinilai dari tiga hal yaitu: penilaian khusus oleh asisten atau kepala dinas, penilaian terhadap kesehatan karyawan, dan penilaian terhadap kehadiran dan kepribadian karyawan. Akan tetapi pada kenyataannya laki-laki lebih mudah naik golongan dibandingkan perempuan. Hal ini diketahui dari hasil wawancara dengan seorang karyawan perempuan PTPN VI Kebun Kayu Aro sebagai berikut:

72 56 Perusahaan memberi hak yang sama pada laki-laki dan perempuan untuk naik golongan, akan tetapi peluang untuk naik golongan karyawan laki-laki lebih besar daripada perempuan. Setiap tahun ada saja laki-laki yang naik golongan, namun tidak demikian pada perempuan. Kalaupun perempuan naik golongan dalam satu tahun hanya boleh 1 tingkatan sementara laki-laki dalam satu atahu bisa lebih dari satu tingkatan. (Ibu Ald, 52 tahun, Karyawan PTPN) Golongan karir karyawan dapat turun ketingkat yang lebih rendah apabila karyawan melakukan kesalahan misalnya tidak disiplin, sedangkan bagi karyawan yang melakukan tindakan kriminal langsung dikeluarkan dari perusahaan. 5.2 Pendapatan Karyawan Pendapatan yang diperoleh karyawan di PTPN VI Kebun Kayu Aro berasal dari upah bulanan. Upah bulanan terdiri dari upah pokok, tunjangan tetap,dan bantuan RALT/Transpor yang diberikan berdasarkan golongan karyawan, ditambah dengan 15 Kg beras perbulan. Sementara itu juga diberikan premi kepada karyawan berdasarkan perhitungan kerja mereka setiap harinya. Untuk karyawan petik diberikan premi yaitu Rp. 250,- per kilogram teh yang dipetik di luar basis petikan wajib yaitu 32 Kg. Sementara karyawan lainnya diberikan premi lembur yang dihitung perjam setelah jam wajib kerja yaitu 7 jam. Pada kondisi tertentu perusahaan memberikan bonus pada karyawan. Pada umumnya karyawan selalu mendapatkan premi, akan tetapi masih terdapat karyawan yang mendapatkan upah kurang atau sama dengan upah minimum perusahaan sebab dipotong oleh cicilan hutang dan iuran wajib Jamsostek,

73 57 pensiun. Seperti yang diungkapkan oleh karyawan PTPN VI Kebun Kayu Aro berikut ini: Upah dari perusahaan sebenarnya lumayan sudah sesuai dengan upah minimum yang seharusnya, tapi upah itu hanya ada di dalam kertas perinciannya, sedangkan upah yang saya dan karyawan lainnya terima setiap bulan seringkali lebih sedikit dari pada upah minimum itu karena dipotong dengan cicilan hutang koperasi bagi yang berhutang dan iuran-iuran yang harus dibayar, tapi cukuplah untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. (Bapak Mk, 44 tahun, Karyawan PTPN VI Kebun Kayu Aro) Pendapatan di PTPN VI Kebun Kayu Aro ditentukan berdasarkan golongan karir dan premi. Perbedaan pendapatan antara karyawan laki-laki dan karyawan perempuan disebabkan oleh lebih tingginya golongan karir yang dimiliki karyawan laki-laki dibandingkan karyawan perempuan. Perbedaan pendapatan tersebut dapat dilihat pada Tabel 6 berikut ini: Tabel 6. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pendapatan dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 Pengupahan Laki-Laki (orang) Jenis Kelamin Perempuan (orang) Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%) Tinggi 23 76, ,00 Sedang 7 23, ,00 Jumlah , ,00 Berdasarkan Tabel 6 di atas, diketahui bahwa pendapatan karyawan lakilaki berada pada tingkatan tinggi yaitu melebihi dari UMP PTPN VI Kebun Kayu Aro yaitu 76,67 persen, sedangkan karyawan perempuan sebanyak masing-masing 50,00 persen mendapatkan pendapatan tinggi dan rendah. Persentase tersebut menunjukkan bahwa ada hubungan antara jenis kelamin dengan pendapatan. Hal

74 58 ini didukung dengan hasil pengujian statustik yang menunjukkan nilai signifikansi 0,032 dengan α sebesar 0,10. Perbedaan pendapatan itu terjadi sebab selain ditentukan oleh golongan karir, pendapatan juga ditentukan oleh premi. Karyawan laki-laki lebih banyak mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan karyawan perempuan sebab karyawan laki-laki mendapat premi yang lebih besar karena karyawan laki-laki dalam waktu satu bulan tidak mendapat libur sedangkan karyawan perempuan mendapatkan libur cuti haid selama dua hari setiap bulan sehingga karyawan perempuan tidak mendapat premi pada libur cuti haid tersebut. Selain itu untuk karyawan yang bekerja di kebun tidak dapat dipungkiri bahwa jumlah pucuk yang dapat dipetik oleh karyawan laki-laki dalam setiap harinya memang lebih besar dibandingkan dengan karyawan perempuan, sedangkan untuk karyawan pabrik jam kerja lembur pada malam hari hanya diperbolehkan untuk karyawan laki-laki. Sementara yang menjadi sumber premi adalah kelebihan jam kerja (kerja lembur) dan kelebihan jumlah pucuk yang dapat dipetik. Seperti yang diungkapkan oleh karyawan perempuan PTPN VI Kebun Kayu Aro: Perusahaan memberi keuntungan buat karyawan perempuan, perempuan dikasih libur dua hari untuk cuti haid jadi ibu-ibu disini bias istirahat. Karena libur perempuan tidak dapat premi hari itu tapi kami lebih memilih dapat libur dari pada premi. (Ibu Ald, 52 tahun, Karyawan PTPN) 5.3 Jaminan Kerja Karyawan Jaminan kerja di PTPN VI Kebun Kayu Aro dilihat dari perolehan jaminan kesehatan dan jaminan keselamatan dan fasilitas kerja. Jaminan kesehatan yaitu mendapatkan libur/cuti jika sakit, menstruasi, dan melahirkan, mendapatkan biaya

75 59 penggantian bila sakit, mendapatkan biaya pengobatan rawat jalan bila sakit, mendapatkan biaya pengobatan rawat inap bila sakit, mendapatkan asuransi kesehatan penduduk miskin, mendapatkan hak beristirahat, dan mendapatkan hak beribadah. Jaminan keselamatan dan fasilitas kerja yaitu mendapatkan asuransi keselamatan kerja, medapatkan kompensasi apabila cacat akibat kecelakaan kerja, dan mendapatkan fasilitas kerja dan keselamatan kerja (sepatu, topi/penepis panas, karung, dll). Perusahaan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro memberikan jaminan kerja yang cukup baik untuk karyawan yaitu jaminan kesehatan maupun jaminan keselamatan dan fasilitas kerja. Seperti yang diungkapkan oleh karyawan PTPN VI Kebun Kayu Aro berikut: Saya betah di perusahaan ini walaupun saya karyawan rendahan, karena kalau bekerja di sini saya mendapat banyak keuntungan seperti bisa berobat gratis di Rumah Sakit Kayu Aro (RSKA), pokoknya kesehatan saya terjagalah, kalau RSKA tidak bisa mengobati saya dipindahkan ke rumah sakit yang lebih besar di Sungai Penuh. Waktu saya terluka saat kerja, saya diberi pengobatan. Perusahaan juga pernah memberikan alat-alat untuk kerja, tapi itu jarang dan tidak selalu ada, terakhir sudah lama sekali, saya tidak ingat. Jadi alat untuk bekerja ya saya beli sendiri dengan uang saya. (Bapak Sky, 52 tahun, Karyawan PTPN Kebun Kayu Aro) Akan tetapi karyawan laki-laki dan karyawan perempuan mendapatkan jumlah jaminan yang berbeda. Karyawan laki-laki mendapatkan jaminan yang lebih banyak dibandingkan karyawan perempuan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 7 berikut:

76 60 Tabel 7. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jaminan Kerja dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 Jaminan Kerja Laki-Laki (orang) Jenis Kelamin Perempuan (orang) Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%) Baik 23 76, ,33 Kurang Baik 7 23, ,67 Jumlah , ,00 Berdasarkan Tabel 7 di atas dapat diketahui bahwa jaminan kerja karyawan laki-laki jauh lebih baik yaitu 76,67 persen, dibandingkan dengan karyawan perempuan yang mendapatkan jaminan kerja baik yaitu 53,33 persen. Hasil penghitungan secara statistik menunjukan bahwa terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan jaminan kerja dengan nilai signifikansi 0,058 dengan α sebesar 0,1. PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro memberikan jaminan kerja yang sama untuk karyawan laki-laki dan karyawan perempuan. Perbedaan persentase banyaknya jaminan kerja yang diperoleh karyawan laki-laki dan karyawan perempuan disebabkan kurangnya pengetahuan karyawan perempuan tentang jaminan keselamatan kerja yang diberikan oleh perusahaan. Jaminan kerja karyawan laki-laki lebih banyak dibandingkan jaminan kerja karyawan perempuan sebab aktivitas kerja karyawan laki-laki yang lebih rentan mengalami kecelakaan tidak dialami oleh karyawan perempuan sehingga karyawan laki-laki yang pernah mengalami atau melihat rekan sesama karyawan laki-laki mengalami kecelakaan saat bekerja mengetahui bahwa mereka mendapatkan jaminan keselamatan kerja sedangkan karyawan perempuan yang belum pernah mengalami atau melihat rekan sesama karyawan perempuan

77 61 mengalami kecelakaan saat bekerja sebagian tidak mengatahui bahwa mereka mendapat jaminan keselamatan kerja. Seperti yang diungkapkan oleh karyawan perempuan PTPN VI Kebun Kayu Aro berikut: Selama saya bekerja di Kebun, Alhamdulillah saya belum pernah terluka, saya juga belum melihat ada teman saya yang terluka parah, paling kalau terluka cuma diobati sendiri di rumah dan itu tidak diberi biaya untuk berobat dari perusahaan. Tapi Pak TL dulu pernah luka lumayan parah saat mengangkut pucuk di Pabrik dan dia diberi pengobatan oleh perusahaan. Mungkin laki-laki diberi biaya atau yang diberi obat hanya untuk yang luka parah, saya juga kurang tahu. (Ibu Wyt, 43 tahun, Karyawan PTPN) 5.4 Jaminan Keluarga Karyawan Jaminan keluarga adalah jaminan dan fasilitias kesejahteraan untuk keluarga yang diterima oleh karyawan dari perusahaan perkebunan. Jaminan keluarga dilihat dari mendapatkan Tunjangan Hari Raya (THR), mendapat santunan menikah, mendapat santunan melahirkan, mendapat santunan anggota keluarga sakit, mendapat santunan anak khitan/sunatan, mendapat santunan pendidikan anak, mendapat santunan keluarga meninggal dunia, rumah/tempat tinggal, mendapat pinjaman/hutang, mendapat sembako bulanan, mendapat dana pensiun, dan mendapat pesangon bila di-phk. Sama halnya seperti jaminan kerja, karyawan laki-laki mendapatkan jaminan keluarga lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Perbandingan perolehan jaminan keluarga dapat dilihat pada Tabel 8 berikut ini:

78 62 Tabel 8. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Jaminan Keluarga dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 Jaminan Keluarga Laki-Laki (orang) Jenis Kelamin Perempuan (orang) Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%) Baik 23 76, ,33 Kurang Baik 7 23, ,67 Jumlah , ,00 Berdasarkan Tabel 8 di atas, dapat dilihat bahwa jaminan keluarga yang diperoleh karyawan laki-laki lebih baik daripada karyawan perempuan yaitu 76,67 persen dari karyawan laki-laki mendapatkan jaminan keluarga yang baik, sedangkan karyawan perempuan lebih banyak mendapatkan jaminan keluarga yang kurang baik yaitu 76,67 persen. Hasil penghitungan secara statistik menunjukan bahwa terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan jaminan keluarga 0,00 dengan nilai signifikansi 0,058 dengan α sebesar 0,10. Perbedaan jaminan keluarga yang diperoleh karyawan laki-laki dan karyawan perempuan disebabkan adanya kebijakan perusahaan yang menganggap bahwa karyawan laki-laki adalah kepala keluarga yang menopang kehidupan keluarganya sehingga jaminan keluarga yang diberikan kepada karyawan laki-laki lebih banyak dibandingkan karyawan perempuan. Untuk jenis jaminan keluarga tertentu seperti santunan keluarga sakit, santunan anak khitan/sunatan, santunan pendidikan anak, sembako bulanan, hanya diberikan kepada karyawan laki-laki saja. Jaminan yang diberikan perusahaan untuk karyawan laki-laki diberikan bagi dirinya dan keluarganya sedangkan untuk karyawan perempuan hanya untuk dirinya sendiri. Kurang baiknya jaminan keluarga yang diterima oleh karyawan

79 63 perempuan terungkap dari hasil wawancara dengan seorang karyawan perempuan PTPN VI Kebun Kayu Aro sebagai berikut: Kalau laki-laki mendapat banyak pemberian dari perusahaan daripada perempuan. Seperti bantuan pendidikan anak dan kesehatan anak hanya didapatkan oleh karyawan laki-laki karena laki-laki adalah kepala keluarga. Untungnya suami saya juga bekerja di PTPN jadi anak saya kalau sakit bisa berobat gratis ke RSKA karena dia jadi tanggungan bapaknya. Kalau yang suaminya tidak bekerja di PTPN anaknya tidak bisa berobat gratis di RSKA cuma yang bekerja saja yang bisa. Untuk biaya pendidikan anak sebenarnya cuma sedikit Cuma buat pemondokan, kalau masih tinggal sama orang tua ya tidak dikasih bantuan. (Ibu Ytn, 42 tahun, Karyawan PTPN) 5.5 Ikhtisar Pekerjaan perkebunan telah disosialisasikan oleh orang tua kepada anakanaknya dari usia dini sejak dibukanya Perkebunan teh Kayu Aro sampai dengan dibangunya pabrik teh di Bedeng VIII Kayu Aro. Hal ini membuat anak dan cucu mereka kini banyak bekerja dan tinggal di desa di sekitar perkebunan teh dan menjadi karyawan di PTPN VI Kebun kayu Aro. Kondisi kerja di PTPN VI Kebun Kayu Aro yang jauh lebih baik dibandingkan dengan kondisi kerja di luar perkebunan menyebabkan banyak angkatan kerja yang ingin menjadi karyawan di PTPN VI Kebun Kayu Aro akan tetapi perusahaan belum membuka kesempatan bagi mereka karena kondisi perusahaan yang saat ini kelebihan tenaga kerja. Kondisi kerja karyawan di PTPN VI Kebun Kayu Aro secara umum digambarkan sudah cukup baik. Akan tetapi terdapat perbedaan kondisi kerja karyawan karena perbedaan jenis kelamin. Karyawan laki-laki dan karyawan perempuan di PTPN VI Kebun Kayu Aro sebagian besar telah menempati golongan karir yang tinggi, namun masih tampak bahwa karyawan laki-laki lebih

80 64 banyak berada pada golongan karir yang tinggi dibandingkan karyawan perempuan. Pendapatan di PTPN VI Kebun Kayu Aro ditentukan berdasarkan golongan karir dan premi. Oleh karena itu, pendapatan karyawan laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan karyawan perempuan sebab karyawan laki-laki memiliki golongan karir yang lebih tinggi dan mendapatkan premi yang lebih besar dibandingkan karyawan perempuan. Jaminan kerja di Perusahaan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro telah cukup baik. Akan tetapi karyawan laki-laki mendapatkan jaminan yang lebih banyak dibandingkan karyawan perempuan. Perbedaan banyaknya jaminan kerja yang diperoleh karyawan laki-laki dan karyawan perempuan disebabkan kurangnya pengetahuan karyawan perempuan tentang jaminan keselamatan kerja yang diberikan oleh perusahaan. Sama halnya seperti jaminan kerja, karyawan laki-laki mendapatkan jaminan keluarga lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Hal ini disebabkan adanya kebijakan perusahaan yang menganggap bahwa laki-laki adalah kepala keluarga yang menopang kehidupan keluarganya sedangkan perempuan yang bekerja hanya untuk tambahan nafkah dalam keluarga.

81 VI. FAKTOR-FAkTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KONDISI KERJA KARYAWAN DI PT PERKEBUNAN NUSANTARA (PTPN) VI KEBUN KAYU ARO Dari penjelasan pada Bab V diketahui bahwa kondisi kerja karyawan di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro digambarkan sudah cukup baik. Jenis kelamin merupakan faktor yang berhubungan dengan kondisi kerja karyawan perkebunan. Karyawan laki-laki cenderung mendapatkan kondisi kerja yang lebih baik dibandingkan dengan karyawan perempuan. Pada Bab VI ini akan dilihat bagaimana hubungan pendidikan, umur, dan lama bekerja dengan kondisi kerja karyawan perkebunan berdasarkan jenis kelamin yang berbeda. 6.1 Hubungan Pendidikan dengan Kondisi Kerja Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang pernah dilakukan karyawan. Pada PTPN VI Kebun Kayu Aro, pendidikan diduga akan mempengaruhi kondisi kerja karyawan perkebunan. Tabel 9 menunjukkan hubungan pendidikan dan kondisi kerja yang diperbandingkan antara karyawan laki-laki dan karyawan perempuan.

82 66 Tabel 9. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pendidikan, Kondisi Kerja dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 Karyawan Laki-Laki Perempuan Kondisi kerja Tidak Lulus SD Pendidikan Lulus SD Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%) Baik 9 100, ,19 Kurang Baik 0 0, ,81 Total 9 100, ,00 Baik 9 52, ,77 Kurang Baik 8 47, ,23 Total , ,00 Dapat dilihat pada Tabel 9 terdapat 100,00 persen karyawan laki-laki yang tidak lulus SD yang mendapat kondisi kerja yang sudah baik, sedangkan 76,19 persen karyawan laki-laki mempunyai pendidikan lulus SD mendapatkan kondisi kerja yang sudah baik. Berbeda halnya dengan karyawan perempuan, terdapat 52,94 persen karyawan perempuan yang tidak lulus SD mendapat kondisi kerja yang sudah baik, sedangkan 30,77 persen karyawan perempuan yang lulus SD mendapat kondisi kerja yang sudah baik. Data ini menunjukkan bahwa ternyata tidak ada hubungan antara pendidikan dengan kondisi kerja karena pendidikan karyawan perkebunan pada umumnya tergolong rendah, hanya sampai pada tingkatan lulus SD. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh seorang karyawan perempuan PTPN VI Kebun Kayu Aro berikut ini: Kerja disini tidak memandang pernah sekolah atau gak, apalagi untuk jadi karyawan rendahan. Saya lulus SD, bahkan pernah SMP tapi sama saja dengan teman saya yang tidak pernah sekolah, kami sama-sama golongan IB. Soal upah juga tidak karena pendidikan tapi karena golongan kita di perusahaan sama kerajinan kita disini, misalnya kalau metik banyak dapatnya banyak, kalau lembur dikasih tambahan upah. Kalau fasilitas sama jaminan kantor itu karena dia laki-laki atau perempuan. (Ibu Try, 44 tahun, Karyawan PTPN VI Kebun Kayu Aro)

83 67 Tidak adanya hubungan antara pendidikan dengan kondisi kerja juga dibuktikan oleh pengujian statistik dengan nilai signifikansi dengan α sebesar 0, Hubungan Umur dengan Kondisi Kerja Umur merupakan salah satu faktor penentu kondisi kerja. Seperti yang telah diketahui pekerjaan perkebunan merupakan pekerjaan yaang banyak menggunakan fisik dari pada hal lainnya, terbukti dari tidak berpengaruhnya faktor pendidikan dalam menentukan kondisi kerja. Karena pada kasus ini yang dibahas adalah karyawan pelaksana maka pekerjaan ini terkait dengan tenaga. sehingga sebaiknya dilakukan oleh kaum muda. Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara umur dan karyawan berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 10 berikut ini: Tabel 10. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan umur, Kondisi Kerja dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 Karyawan Laki-Laki Perempuan Kondisi kerja 45 Tahun Umur > 45 Tahun Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%) Baik 8 66, ,44 Kurang Baik 4 33,33 1 5,56 Total , ,00 Baik 2 15, ,71 Kurang Baik 11 84, ,29 Total , ,00

84 68 Tabel 10 di atas menunjukan terdapat 66,67 persen karyawan laki-laki yang berumur 45 tahun mendapat kondisi kerja yang sudah baik, sedangkan 94,44 persen karyawan laki-laki yang berumur > 45 tahun mendapatkan kondisi kerja yang sudah baik pula. Berbeda halnya dengan karyawan perempuan, terdapat 15,38 persen karyawan perempuan yang berumur 45 tahun mendapat kondisi kerja yang sudah baik, sedangkan 64,71 persen karyawan perempuan yang yang berumur > 45 tahun mendapat kondisi kerja yang sudah baik. Hasil pengujian statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara umur dengan kondisi kerja karyawan dengan nilai signifikansi 0,002 dengan α sebesar 0,10. Nilai koefisien korelasinya sebesar 0,391, artinya semakin tua seseorang maka semakin baik kondisi kerja karyawan Dugaan awal seharusnya karyawan yang berumur lebih muda mendapatkan kondisi kerja yang lebih baik daripada karyawan yang berumur lebih tua. Pada kasus kondisi kerja di PT Perkebunan Nusantara VI Kebun Kayu Aro, ternyata baik pada karyawan laki-laki maupun karyawan perempuan, umur yang lebih tua mendapatkan kondisi kerja yang lebih baik. Pekerjaan di perkebunan tidak membutuhkan tenaga yang besar, yang lebih diutamakan adalah kecepatan dalam bekerja. Hal ini menyangkut pengalaman kerja yang biasanya dimiliki oleh karyawan yang sudah tua. Hal juga ini didukung oleh ungkapan dari seorang karyawan PTPN VI Kebun Kayu Aro: Biasanya karyawan yang lebih tua labih baik daripada yang lebih muda, hal itu karena mereka lebih dulu bekerja di perusahaan sehingga golongan mereka jadi lebih tinggi. Mereka yang tua lebih berpengalaman sehingga bekerja lebih cepat. Mereka lebih akrab dengan atasan bahkan atasan yang lebih muda menghormati karyawan tersebut sehingga kebutuhan mereka di perusahaan lebih dipermudah. (Bapak Aq, 39 tahun, Karyawan PTPN VI Kebun Kayu Aro)

85 Hubungan Lama Bekerja dengan Kondisi Kerja Lama bekerja adalah sejumlah waktu kerja karyawan di perkebunan mulai dari awal bekerja sampai saat ini. Lama bekerja mempunyai pengaruh terhadap kondisi kerja di perkebunan. semakin lama seorang karyawan bekerja maka semakin baik kondisi kerjanya di dalam perusahaan. Karyawan yang telah lama bekerja mempunyai golongan karir yang lebih baik sehingga upah dari golongan juga menjadi baik. Selain itu adanya pengalaman membuat orang yang lama bekerja menjadi lebih cepat dalam melaksanakan tugasnya sehingga mendapat tambahan premi yang lebih baik. Begitu pula halnya dengan jaminan kerja dan jaminan kesehatan misalnya jumlah cuti dalam satu tahun. Selain itu karyawan yang bekerja lebih dari 25 tahun akan mendapatkan bonus dari perusahaan berupa emas sebanyak 10 gram, uang sebanyak enam bulan gaji. Sedangkan untuk yang lebih dari 30 tahun akan mendapatkan uang dan piagam, begitu juga ketika karyawan bekerja sampai lebih dari 35 tahun. Untuk mengetahui hubungan lama bekerja dengan kondisi kerja yang diperbandingkan antara karyawan laki-laki dan karyawan perempuan dapat dilihat dari Tabel 11 berikut ini: Tabel 11. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Lama Berkerja, Kondisi Kerja dan Jenis Kelamin, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 Karyawan Kondisi Lama Bekerja kerja 25 Tahun > 25 Tahun Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%) Laki-Laki Baik 11 68, ,00 Kurang Baik 5 31,25 0 0,00 Total , ,00 Perempuan Baik 6 33, ,33 Kurang Baik 12 66, ,67 Total , ,00

86 70 Berdasarkan Tabel 11 di atas dapat diketahui bahwa terdapat 68,75 persen karyawan laki-laki yang bekerja selama 25 tahun mendapat kondisi kerja yang sudah baik, sedangkan 100,00 persen karyawan laki-laki yang bekerja selama lebih dari 25 tahun mendapatkan kondisi kerja yang sudah baik pula. Berbeda halnya dengan karyawan perempuan yang bekerja selama 25 tahun lebih banyak mendapat kondisi kerja yang kurang baik yaitu sebanyak 66,67 persen, sedangkan karyawan perempuan yang bekerja selama lebih dari 25 tahun mendapat kondisi kerja yang sudah baik sebanyak 58,33 persen. Data tersebut membuktikan bahwa lama bekerja berhubungan dengan kondisi kerja. Hal ini didukung oleh pengujian statistik yang menunjukan nilai signifikansi 0,054 dengan α sebesar 0,10. Nilai koefisien korelasinya sebesar 0,250 artinya semakin lama karyawan bekerja di PTPN VI Kebun Kayu Aro maka semakin baik kondisi kerjanya. 6.4 Ikhtisar Pada kasus di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro ternyata tidak ada hubungan antara pendidikan dengan kondisi kerja karena pendidikan karyawan perkebunan pada umumnya tergolong rendah, hanya sampai pada tingkatan lulus SD. Umur memiliki hubungan dengan kondisi kerja di perkebunan, semakin tua karyawan maka semakin baik kondisi kerja karyawan. Hal ini karena pekerjaan di perkebunan tidak membutuhkan tenaga yang besar, yang lebih diutamakan adalah kecepatan dalam bekerja yang biasanya dimiliki oleh karyawan yang sudah tua.

87 71 Lama bekerja mempunyai hubungan dengan kondisi kerja di perkebunan. semakin lama seorang karyawan bekerja maka semakin baik kondisi kerjanya di dalam perusahaan. Karyawan yang telah lama bekerja mempunyai golongan karir yang lebih baik sehingga upah dari golongan juga menjadi baik. Pengalaman membuat orang yang lama bekerja menjadi lebih cepat dalam melaksanakan tugasnya sehingga mendapat tambahan premi yang lebih baik.

88 VII. HUBUNGAN KONDISI KERJA DENGAN KESEJAHTERAAN KELUARGA KARYAWAN DI PT PERKEBUNAN NUSANTARA (PTPN) VI KEBUN KAYU ARO Pada Bab sebelumnya telah dijelaskan tentang kondisi kerja karyawan perkebunan dan faktor yang berhubungan dengan kondisi kerja karyawan tersebut. Pada bab ini akan dilihat bagaimana hubungan kondisi kerja karyawan terhadap kesejahteraan keluarga karyawan pada saat penelitian dilakukan. Kesejahteraan keluarga karyawan adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan keluarga yang membuat sebuah keluarga merasa aman dan bahagia. Keluarga karyawan di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Ayu Aro secara umum sudah sejahtera. Kesejahteraan keluarga dapat dilihat dari kesehatan, pendidikan anggota keluarga, pola konsumsi keluarga, dan perumahan. Variabel-variabel yang berhubungan dengan kesejahteraan keluarga karyawan di PTPN VI Kebun Kayu Aro adalah variabel pada kondisi kerja (golongan karir, pendapatan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga). Hasil pengujian statistik untuk hubungan antara kondisi kerja dengan kesejahteraan keluarga karyawan disajikan pada Tabel 12.

89 73 Tabel 12. Hasil Pengujian Hubungan antara Kondisi Kerja dengan Kesejahteraan Keluarga Karyawan PTPN VI Kebun Kayu Aro Kondisi Kerja Kesejahteraan Keluarga Kesehatan Pendidikan Pola Konsumsi Perumahan Golongan Karir Koefisien 2 (x ) p- value Koefisien 2 (x ) p- value Koefisien 2 (x ) p- value Koefisien 2 (x ) p- value 0,230 0,077-0,134 0,307 0,067 0,613 0,077 0,560 Pendapatan 0,77 0,560 -,296 0,022-0,199 0,128 0,067 0,611 Jaminan 0,184 0,160-0,161 0,219 0,119 0,365 0,132 0,314 Kerja Jaminan 0,234 0,072 0,076 0,562 0,352 0,006-0,033 0,076 Keluarga Hipotesis penelitian menyebutkan bahwa ada hubungan antara kondisi kerja dengan kesejahteraan keluarga, namun berdasarkan hasil pengujian statistik membuktikan bahwa tidak hubungan antara kondisi kerja dengan kesejahteraan keluarga karyawan di PTPN VI Kebun Kayu Aro. Secara umum kondisi kerja tidak berhubungan dengan kesejahteraan keluarga karyawan, baik terhadap kesehatan, pendidikan, pola konsumsi, maupun perumahan. Artinya tidak ada perbedaan dalam hal kesehatan, pendidikan, pola konsumsi, dan perumahan diantara keluarga karyawan yang memiliki perbedaan golongan karir, pendapatan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga. Namun ada beberapa variable kondisi kerja yang memiliki hubungan dengan kesejahteraan keluarga yaitu golongan karir dengan kesehatan keluarga, pendapatan dengan pendidikan, jaminan keluarga dengan kesehatan, pola konsumsi, dan perumahan. Secara umum kesejahteraan Karyawan di PTPN VI Kebun Kayu Aro sudah baik. Tidak adanya hubungan kondisi kerja dengan keluarga karyawan berdasarkan pengujian statistik disebabkan terdapat faktor lain yang berhubungan

90 74 dengan kesejahteraan keluarga yaitu jumlah anak yang menjadi tanggungan keluarga berhubungan dengan kesejahteraan keluarga karyawan, pendapatan keluarga di luar pendapatan karyawan yang bersumber dari perusahaan perkebunan, dan sumbangan atau subsidi yang diperoleh keluarga yang tidak bersumber dari perusahaan perkebunan. Logikanya, semakin banyak jumlah anggota keluarga yang ditanggung oleh sebuah keluarga, maka semakin banyak pula kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi sedangkan apa yang dimiliki sebuah keluarga tetap sama. Namun, dari hasil penelitian ternyata pada kasus keluarga karyawan di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro ternyata tidak ada hubungan antara jumlah anak yang menjadi tanggungan keluarga dengan kesejahteraan keluarga. Usia karyawan yang secara umum sudah tua menyebabkan anak mereka tidak lagi menjadi tanggungan keluarga dan keberhasilan pihak perusahaan yang mengadakan program Keluarga Berencana (KB) untuk karyawannya melalui pemberian pengarahan secara terprogram oleh petugas kesehatan Rumah Sakit Kayu Aro menyebabkan jumlah anak karyawan menjadi sedikit. Tidak adanya hubungan antara kondisi kerja dengan kesejaahteraan keluarga juga disebabkan banyaknya keluarga karyawan yang memiliki pendapatan yang tidak hanya bersumber dari pendapatan karyawan yang bekerja di perkebunan seperti bersumber dari pekerjaan lain atau hasil pendapatan anggota keluarga yang lain serta adanya sumbangan atau subsidi lain yang bukan dari perusahaan seperti subsidi pemerintah. Kesejahteraan keluarga karyawan dapat dijelaskan secara rinci pada sub bab berikut:

91 Kesehatan Keluarga Karyawan Kesehatan keluarga adalah kondisi status kesehatan dan taraf gizi keluarga. Kesehatan merupakan variabel untuk melihat kesejahteraan keluarga. Status kesehatan dilihat dari angka kondisi sakit, jenis pengobatan yang dilakukan. Status kesehatan karyawan dapat dilihat dalam Tabel 13 berikut: Tabel 13. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Status Kesehatan dan Keluarga Karyawan, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 Status Kesehatan Karyawan Laki-Laki Keluarga Karyawan Perempuan Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%) Baik 21 70, ,67 Kurang Baik 9 30, ,33 Jumlah , ,00 Dilihat dari Tabel 13 di atas kesehatan keluarga karyawan sudah baik karena lebih dari 50,00 persen keluarga karyawan baik laki-laki maupun keluarga karyawan perempuan memiliki status kesehatan yang baik. Itu artinya lebih dari 50,00 persen karyawan yang menjadi responden sakit 2 kali sakit dalam satu tahun pada tahun lalu dan jenis pengobatan yang dilakukan adalah dengan pergi ke dokter atau rumah sakit. PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro telah menyediakan sarana pengobatan yang diberikan perusahaan yaitu Rumah Sakit Kayu Aro (RSKA) yang dapat diakses oleh karyawan laki-laki dan termasuk istri dan anakanaknya dengan gratis. Namun demikian, kesehatan keluarga karyawan perempuan masih lebih rendah dibandingkan dengan keluarga karyawan laki-laki. Sedikitnya perbedaan antara keluarga karyawan laki-laki dan keluarga karyawan

92 76 perempuan disebabkan banyaknya karyawan perempuan yang menjadi responden memiliki suami yang juga bekerja di PTPN sehingga anggota keluarganya dapat mengakses RSKA dengan gratis, tetapi untuk karyawan perempuan yang suaminnya tidak bekerja atau bukan karyawan di PTPN VI Kebun Kayu Aro, anak dari karyawan perempuan tersebut tidak dapat mengakses RSKA dengan gratis sehingga kesehatan keluarga karyawan perempuan lebih rendah daripada keluarga karyawan laki-laki.. Untuk mengetahui kondisi kesehatan keluarga karyawan selain melalui status kesehatan, dilihat pula dari taraf gizi. Taraf gizi diukur dari dua hal yaitu frekuensi makan dan jenis makanan yang dikonsumsi oleh keluarga karyawan. Taraf gizi karyawan dapat dilihat dalam Tabel 14 berikut: Tabel 14. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Taraf Gizi dan Keluarga Karyawan, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 Taraf Gizi Keluarga Karyawan Laki-Laki Karyawan Perempuan Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%) Baik 24 80, ,33 Kurang Baik 6 20, ,67 Jumlah , ,00 Berdasarkan Tabel 14 atas, dapat dilihat bahwa taraf gizi keluarga yang diperoleh karyawan laki-laki lebih baik daripada keluarga karyawan perempuan yaitu 80,00 persen dari keluaraga karyawan laki-laki mempunyai taraf gizi yang baik, sedangkan taraf gizi keluarga karyawan perempuan kurang baik dibandingkan kaluarga karyawan laki-laki yaitu 63,33 persen.

93 77 Di luar hal tersebut taraf gizi keluarga karyawan laki-laki dan keluarga karyawan perempuan sudah baik karena lebih dari 50,00 persen keluarga karyawan baik laki-laki maupun perempuan yang menjadi sampel makan > 2 kali dalam satu hari dan jenis makanan yang dikonsumsi oleh responden sudah mencukupi kebutuhan gizi yaitu kebutuhan karbohidrat dan protein sudah terpenuhi bahkan zat gizi lain seperti lemak, vitamin, dan lainnya juga sudah dipenuhi. 7.2 Pendidikan Keluarga Karyawan Pendidikan keluarga adalah banyaknya jumlah anggota keluarga karyawan yang Drop Out atau tidak melanjutkan sekolah. Pendidikan keluarga dapat memberikan gambaran kesejahteraan keluarga yang terlihat dari keberhasilan menyekolahkan anak karyawan perusahaan perkebunan. Keberhasilan menyekolahkan anak dapat dilihat dari Tabel 15 berikut: Tabel 15. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pendidikan dan Keluarga Karyawan, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 Pendidikan Keluarga Keluarga Karyawan Laki-Laki Karyawan Perempuan Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%) Baik 17 56, ,00 Kurang Baik 13 43, ,00 Jumlah , ,00 Berdasarkan Tabel 15 di atas dapat dilihat bahwa keluarga karyawan PTPN VI Kebun Kayu Aro baik keluarga karyawan laki-laki maupun keluarga karyawan perempuan belum sepenuhnya berhasil menyekolahkan anak mereka.

94 78 Terlihat dari persentase pendidikan keluarga karyawan laki-laki (43,33 persen) dan keluarga karyawan perempuan (50,00 persen) yang masih kurang baik. Akan tetapi banyak alasan yang menyebabkan kurang baiknya tingkat pendidikan keluarga karyawan, selain kurangnya biaya ternyata tidak adanya kemauan anak untuk melanjutkan sekolah menjadi alasan utama kurang baiknya pendidikan keluarga. Hal ini terungkap dari hasil wawancara dengan karyawan PTPN VI Kebun Kayu Aro: Saya sudah berusaha bilang pada anak saya untuk melanjutkan sekolah saja agar nanti tidak menjadi karyawan rendahan seperti saya, tapi anak saya tetap tidak mau, katanya buat apa sekolah cuma bikin capek dan mengahabiskan uang, lebih baik bekerja saja. (Ibu Try, 44 tahun, Karyawan PTPN VI Kebun Kayu Aro) Anak saya sudah punya skire (pacar) jadi dia tidak mau melanjutkan sekolah, dia mau menikah saja dengan pacaranya padahal saya ikhlas hidup susah asalkan anak saya mau sekolah tapi anaknya gak mau ya mau diapakan lagi, apalagi bapaknya tidak mendukung saya, malah mendukung keinginan anaknya, katanya anak perempuan gak perlu sekolah tingi-tinggi karena akhirnya juga ngurusin dapur sama kasur. (Ibu Wyt, 43 tahun, Karyawan PTPN VI Kebun Kayu Aro) Hal tersebut menunjukkan bahwa bukan salah perusahaan perkebunan yang menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan keluarga karyawan perkebunan sebab perusahaan telah menyediakan sarana pendidikan mulai dari pendidikan untuk pra sekolah sampai dengan Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) bahkan perusahaan juga memberikan santunan pendidikan untuk anak karyawan, akan tetapi hal ini terjadi karena rendahnya pendidikan orang tua sehingga tidak mampu memberi motivasi kepada anak-anaknya untuk melanjutkan sekolah atau meneruskan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, tidak pula terdapat contoh orang yang berpendidikan yang berhasil di kalangan mereka.

95 Pola Konsumsi Keluarga Karyawan Pola konsumsi adalah tingkat pengalokasian uang dalam keluarga untuk kebutuhan akan konsumsi makanan dibandingkan dengan konsumsi non-makanan. Pola konsumsi adalah salah satu kondisi karyawan yang menggambarkan kesejahteraan keluarganya. Kondisi pola konsumsi dapat dilihat dari Tabel 16 berikut ini: Tabel 16. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Pola Konsumsi dan Keluarga Karyawan, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 Pola Konsumsi Karyawan Laki-Laki Keluarga Karyawan Perempuan Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%) Baik 18 60, ,33 Kurang Baik 12 40, ,67 Jumlah , ,00 Tabel 16 di atas menggambarkan bahwa pola konsumsi keluarga karyawan laki-laki lebih baik yaitu 60,00 persen, dibandingkan dengan pola konsumsi keluarga karyawan perempuan yaitu 23,33 persen. Pola konsumsi keluarga karyawan perempuan dapat dikatakan kurang baik karena sebagian besar yaitu 76,67 dari sampel keluarga karyawan perempuan pola konsumsinya kurang baik. Pola konsumsi keluarga karyawan yang menjadi sampel pada umumnya lebih banyak pada konsumsi makanan daripada konsumsi non makanan. Hal ini dikarenakan mereka lebih mengutamakan kebutuhan pokok makanan daripada kebutuhan lainnya. Hal ini di dukung kondisi mereka yang setiap hari bekerja sehingga tidak banyak hal yang lebih penting daripada makanan untuk menjaga

96 80 kesehatan mereka. Hal ini terungkap dari seorang karyawan PTPN VI Kebun Kayu Aro yaitu: Yang terpenting untuk karyawan seperti saya dan teman-teman cuma makanan, asal perut kenyang sudah cukup, badan juga jadi sehat. Mau beli baju baru juga gak tau mau dipeke kemana, paling waktu lebaran saja beli baju, itu juga buat anak-anak, kalau sudah tua baju ya gak guna, kan saya sudah punya istri. Maunya saya punya rumah mewah tapi gak cukup juga. Upah saya ya digunakan untuk makan, anak saya juga tidak sekolah jadi gak ada uang keluar untuk biaya sekolah anak. (Bapak Sd, 51 tahun, Karyawan PTPN VI Kebun Kayu Aro) Waktu yang banyak dihabiskan oleh karyawan perkebunan untuk bekerja di perusahaan membuat karyawan jarang sekali melakukan aktivitas di luar bekerja seperti rekreasi atau berpergian sehingga biaya untuk hal tersebut jarang ada. Biaya untuk keperluan pakaian, sepatu, sandal, dan assesoris hanya dikeluarkan pada saat hari raya dan itupun biasanya lebih diprioritaskan untuk anak mereka karena mereka beranggapan benda-benda tersebut tidak terlalu penting untuk mereka yang sudah tua dan mereka tidak ada waktu dan tujuan menggunakan benda-benda tersebut karena untuk bekerja mereka cukup memakai pakaian lama yang sudah jelak. Seperti yang diungkapkan oleh seorang karyawan perempuan PTPN VI Kebun Kayu Aro berikut ini: Saya dan suami tidak pernah beli baju baru atau sandal yang bagus, paling saat hari raya Idul Fitri, itu juga tidak setiap tahun karena nanti baju dan sandal yang bagus tidak bias dipakai lagi. Kan sayang kalau dipakai untuk ke kebun. Tapi untuk anak baju lebaran selalu dibeli, kalu tidak dia akan iba hati. (Ibu Try, 44 tahun, Karyawan PTPN VI Kebun Kayu Aro)

97 Perumahan Keluarga Karyawan Perumahan adalah tingkatan keadaan infastruktur rumah karyawan yang menunjukkan tingkat kesejahteraan keluarga. Hal dapat terlihat dari status rumah, keadaan rumah, keadaan MCK, alat penerangan, fasilitas komunikasi. Pada prinsipnya perusahaan sudah berusaha untuk memberikan fasilitas perumahan untuk setiap karyawan, namun sebagian besar karyawan telah mampu untuk memiliki rumah pribadi sehingga kebanyakan dari keluarga karyawan tinggak di rumah-rumah pribadi di daerah sekitar perusahaan perkebunan. Rumah yang disediakan oleh perusahaan adalah rumah peninggalan jaman Belanda yang masih dalam kondisi baik dan layak untuk dihuni berupa bangunan semi permanen. Lingkungan membuat karyawan mendirikan rumag pribadi mereka dengan bentuk yang hampir serupa yaitu bangunan yang semi permanen, sepertiga bagian bawah rumah terbuat dari beton dan sisanya terbuat dari papan. Selain mengikuti model yang mereka inginkan, hal ini bertujuan agar suhu di dalam rumah tidak terlalu dingin karena daerah Kayu Aro adalah daerah pegunungan yang suhunya sangat dingin. Rumah yang disediakan oleh perusahaan telah memiliki MCK, begitupula dengan rumah pribadi yang dimiliki oleh keluarga karyawan, walaupun sebagian kecil dari rumah karyawan masih ada yang memiliki dua diantara tiga macam MCK. Untuk penerangan di rumah-rumah karyawan sebagian menggunakan jasa PLN, sedangkan yang belum menggunakan PLN penerangannya dikelola oleh Koperasi Karyawan Aroma Pecco dengan mendapat subsidi dari perusahaan. Perkembangan teknologi yang kini telah merambah ke pelosok daerah-daerah membuat keluarga karyawan yang tinggal di sekitar perusahaan telah memiliki

98 82 fasilitas komunikasi yaitu handphone, bagi mereka yang tidak memiliki handphone mereka dapat menggunakan jasa warung telepon yang ada di Kayu Aro. Adapun perumahan yang dimiliki keluarga karyawan keluarga laki-laki dan keluarga karyawan perempuan dapat dilihat dari Tabel 17 di bawah ini: Tabel 17. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Perumahan dan Keluarga Karyawan, PTPN VI Kebun Kayu Aro 2009 Perumahan Keluarga Karyawan Laki-Laki Karyawan Perempuan Jumlah Persentase (%) Jumlah Persentase (%) Baik 19 63, ,33 Kurang Baik 11 36, ,67 Jumlah , ,00 Berdasarkan Tabel 17 di atas dapat diketahui bahwa perumahan keluarga karyawan laki-laki dan keluarga karyawan perempuan telah baik. Baik keluarga karyawan laki-laki maupun keluarga karyawan perempuan (63,33 persen) telah memiliki keadaan infastruktur rumah yang baik. Namun, 36,67 persen dari karyawan laki-laki dan perempuan masih memiliki keadaan infastruktur rumah yang kurang baik. Keadaan infrastruktur rumah perempuan yang kurang baik dikarenakan terdapat karyawan perempuan yang tidak memiliki suami sehingga pendapatan hanya bersumber dari dirinya sendiri, sedangkan karyawan laki-laki jarang sekali yang tidak memiliki istri, bahkan dari semua karyawan semuanya memiliki istri.

99 Ikhtisar Keluarga karyawan di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Ayu Aro secara umum sudah sejahtera. Kesejahteraan keluarga dapat dilihat dari kesehatan, pendidikan anggota keluarga, pola konsumsi keluarga, dan perumahan. Kesehatan keluarga karyawan di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro sudah baik karena baik keluarga laki-laki maupun keluarga karyawan perempuan memiliki status kesehatan yang baik yaitu hanya 2 kali sakit dalam satu tahun pada tahun lalu dan jenis pengobatan yang dilakukan adalah dengan pergi ke dokter atau rumah sakit karena perusahaan menyediakan sarana pengobatan yaitu Rumah Sakit Kayu Aro (RSKA). Namun demikian, kesehatan keluarga karyawan perempuan masih lebih rendah dibandingkan dengan keluarga karyawan laki-laki karena untuk karyawan laki-laki RSKA dapat diakses oleh dirinya, istri dan anak-anaknya, sementara untuk karyawan perempuan hanya untuk dirinya sendiri. Taraf gizi keluarga karyawan laki-laki dan keluarga karyawan perempuan sudah baik karena baik keluarga karyawan laki-laki maupun keluarga karyawan perempuan yang menjadi sampel makan > 2 kali dalam satu hari dan jenis makanan yang dikonsumsi oleh responden sudah mencukupi kebutuhan gizi yaitu kebutuhan karbohidrat dan protein sudah terpenuhi bahkan zat gizi lain seperti lemak, vitamin, dan lainnya juga sudah dipenuhi. Keluarga karyawan PTPN VI Kebun Kayu Aro baik keluarga karyawan laki-laki maupun keluarga karyawan perempuan belum sepenuhnya berhasil menyekolahkan anak mereka. Kurang baiknya tingkat pendidikan keluarga karyawan, selain karena kurangnya biaya ternyata tidak adanya kemauan anak

100 84 untuk melanjutkan sekolah menjadi alasan utama kurang baiknya pendidikan keluarga. Hal tersebut bukan salah perusahaan perkebunan, akan tetapi karena rendahnya pendidikan orang tua sehingga tidak mampu memberi motivasi kepada anak-anaknya dan tidak terdapat contoh orang yang berpendidikan yang berhasil di kalangan mereka. Pola konsumsi keluarga karyawan yang menjadi sampel pada umumnya lebih banyak pada konsumsi makanan daripada konsumsi non makanan karena mereka lebih mengutamakan kebutuhan pokok makanan daripada kebutuhan lainnya. Kondisi mereka yang setiap hari bekerja sehingga tidak banyak hal yang lebih penting daripada makanan untuk menjaga kesehatan mereka. Perumahan karyawan laki-laki dan karyawan perempuan telah baik. Baik keluarga karyawan laki-laki maupun keluarga karyawan perempuan telah memiliki keadaan infastruktur rumah yang baik. Walaupun sebagian kecil keluarga karyawan perempuan masih memiliki keadaan infastruktur rumah yang kurang baik. Pada kasus keluarga karyawan di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro ternyata tidak ada hubungan antara jumlah anak yang menjadi tanggungan keluarga dengan kesejahteraan keluarga. Hal ini karena kebanyakan dari keluarga karyawan memiliki jumlah anak yang sedikit karena adanya program KB dari perusahaan dan usia karyawan yang kebanyakan sudah tua sehingga anak mereka sudah tidak menjadi tanggungannya. Perbedaan kesejahteraan keluarga karyawan juga disebakan oleh pendapatan keluarga karyawan di luar pendapatan karyawan yang bersumber dari perusahaan.

101 VIII. KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Jenis kelamin berhubungan dengan kondisi kerja karyawan perkebunan. 2. Kondisi kerja karyawan di PTPN VI Kebun Kayu Aro secara umum digambarkan sudah cukup baik. Akan tetapi terdapat perbedaan kondisi kerja karyawan karena perbedaan jenis kelamin, hal ini dilihat karena: a. Karyawan laki-laki dan karyawan perempuan di PTPN VI Kebun Kayu Aro sebagian besar telah menempati golongan karir yang tinggi, namun masih tampak bahwa karyawan laki-laki lebih banyak berada pada golongan karir yang tinggi dibandingkan karyawan perempuan. b. Pendapatan di PTPN VI Kebun Kayu Aro ditentukan berdasarkan golongan karir dan premi, karena karyawan laki-laki dan perempuan sebagian besar telah menempati golongan karir yang sama diasumsikan upah yang diterima oleh karyawan laki-laki dan karyawan perempuan akan sama pula. Ternyata karyawan laki-laki lebih banyak mendapatkan upah yang lebih tinggi dibandingkan dengan karyawan perempuan sebab karyawan laki-laki mendapat premi yang lebih besar. c. Pada Perusahaan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro, jaminan kerja yang diberikan telah cukup baik. Akan tetapi karyawan lakilaki mendapatkan jaminan yang lebih banyak dibandingkan karyawan perempuan karena adanya kebijakan perusahaan yang menganggap bahwa laki-laki adalah kepala keluarga yang menopang kehidupan keluarganya.

102 86 3. Terdapat beberapa faktor yang berhubungan dan tidak berhubungan terhadap kondisi kerja karyawan baik karyawan laki-laki maupun karyawan perempuan di perusahaan perkebunan, yaitu: a. Pada kasus di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro ternyata tidak ada hubungan antara pendidikan dengan kondisi kerja karena pendidikan karyawan perkebunan pada umumnya tergolong rendah, hanya sampai pada tingkatan lulus SD. b. Umur memiliki hubungan dengan kondisi kerja, umur yang lebih tua mendapatkan kondisi kerja yang lebih baik. Hal ini karena pekerjaan di perkebunan tidak membutuhkan tenaga yang besar, yang lebih diutamakan adalah kecepatan dalam bekerja yang biasanya dimiliki oleh karyawan yang sudah tua. c. Lama bekerja mempunyai hubungan dengan kondisi kerja di perkebunan. semakin lama seorang karyawan bekerja maka semakin baik kondisi kerjanya di dalam perusahaan. Karyawan yang telah lama bekerja mempunyai golongan karir yang lebih baik sehingga upah dari golongan juga menjadi baik. Pengalaman membuat orang yang lama bekerja menjadi lebih cepat dalam melaksanakan tugasnya sehingga mendapat tambahan premi yang lebih baik. 4. Secara umum kondisi kerja tidak berhubungan dengan kesejahteraan keluarga karyawan, baik terhadap kesehatan, pendidikan, pola konsumsi, maupun perumahan. Artinya tidak ada perbedaan dalam hal kesehatan, pendidikan, pola konsumsi, dan perumahan diantara keluarga karyawan yang memiliki perbedaan golongan karir, pendapatan, jaminan kerja, dan jaminan keluarga.

103 87 Namun ada beberapa variable kondisi kerja yang memiliki hubungan dengan kesejahteraan keluarga yaitu golongan karir dengan kesehatan keluarga, pendapatan dengan pendidikan, jaminan keluarga dengan kesehatan, pola konsumsi, dan perumahan. Tidak adanya hubungan antara kondisi kerja dengan kesejahteraan disebabkan faktor lain yang berhubungan dengan kesejahteraan keluarga karyawan yaitu pendapatan, sumbangan, dan subsidi yang diperoleh keluarga karyawan selain yang bersumber dari perusahaan. 8.2 Saran Adapun saran dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk meningkatkan kondisi kerja karyawan di PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro sebaiknya memperbaki cara penaikan golongan karir dan pemberian jaminan karyawan yang sama baik untuk karyawan laki-laki maupun karyawan perempuan. 2. Menghilangkan steriotipe bahwa laki-laki sebagai kepala keluarga yang menjadi pencari nafkah utama dalam keluarga sedangkan perempuan yang bekerja hanya untuk tambahan nafkah dalam keluarga. Salah satu upaya untuk menghilangkan steriotipe ini adalah melalui sosialisasi gender pada PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro. Diharapkan dengan adanya sosialisasi gender akan membuat kondisi kerja yang sama dan lebih baik di perusahaan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga. 3. Meningkatkan komunikasi antara perusahaan dengan karyawan tentang hak dan kewajiban karyawan sehingga tidak ada lagi karyawan yang tidak

104 88 mengetahui hak dan kewajibannya. Upaya yang dilakukan yaitu dengan menempelkan hal yang terkait hak dan kewajiban karyawan dan perusahaan serta peraturan-peraturan yang berlaku di sekitar perusahaan dan perusahaan mengingatkan perihal tersebut dalam kegiatan-kegiatan sosial perusahaan misalnya pada arisan karyawan. 4. Membangkitkan motivasi anak-anak karyawan untuk mau meneruskan sekolahnya dan melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi. Upayanya yaitu dengan memberikan penyuluhan kepada anak-anak dan orang tua mereka tentang pentingnya pendidikan untuk anak mereka.

105 DAFTAR PUSTAKA Anggraeni, Lukytawati Peranan Perkebunan Kelapa Rakyat dalam Pertumbuhan Wilayah dan Penanggulangan Kemiskinan di Kabupaten Indragiri Hilir, Propinsi Riau. Sekolah Pasca Sarjana IPB. Badan Pusat Statistik. 2007a. Keadaan Angkatan Kerja di Indonesia. Jakarta: BPS b. Statistik Indonesia. Jakarta: BPS Indikator Kesejahteraan Rakyat. Jakarta: BPS Sensus Pertanian: Analisis Rumahtangga Usaha Perkebunan. Jakarta: BPS Sensus Pertanian: Hasil Pencacahan Survei Rumahtangga Usaha Perkebunan. Jakarta: BPS. Daulay, Pardamean Sekali Buruh Tetap Buruh: Studi Pembentukan Generasi Buruh di Perkebunan Tembakau Deli, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Tesis. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana IPB. de-vries, Dede Wiliam Gender Bukan Tabu: Catatan Perjalanan Fasilitasi kelompok Perempuan di Jambi. Bogor : CIFOR. Fakih, Mansoer Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Grijns, Mies. 1987, Tea-Pickers in West Java as Mothers and Workers, Female Work and Women s Jobs pp in : E. Locher-Scholten & A. Niehof (eds). Indonesia Woman in Focus, Past and Present Notions. Dordrecht: Foris Publication. Hastuti, Endang. L Hambatan Sosial Budaya dalam Pengarusutamaan Gender di Indonesia. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. (10 Maret 2009, 21.00). Kartodirdjo, Sartono dan Djoko Suryo Sejarah Perkebunan di Indonesia: Kajian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media.

106 90 Kristina, P. M. Delima Hubungan Motivasi Kerja dengan Produktivitas Kerja Karyawan Pemanen Kelapa Sawit: Kasus PT. MP Leidong West Perkebunan Sinar Mas I Kanopan Ulu, Kecamatan Kualuh Hulu, Kabupaten Labuhan Batu Propinsi Sumater Utara. Skripsi. Bogor: Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian IPB. Lubis, Djuara P Peranan Wanita dalam Interaksi Kelompok pada Masyarakat Lingkungan Perkebunan Besar. Tesis. Bogor: Fakultas Pascasarjana IPB. Masithoh, Arifah Dewi Analisis Strategi Nafkah Rumahtangga Petani Perkebunan Rakyat: Suatu Kajian Perbandingan Komunitas Petani perkebunan Teh Ciguha Jawa Barat dan Komunitas Petani Perkebunan Tebu Puri Jawa Timur. Skripsi. Bogor: Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian IPB. Moser, Caroline Memenuhi Kebutuhan Praktis Dan Kebutuhan Strategis Gender (Terjemahan). London : University College. Munir, Misbahul Pengaruh Konversi Lahan Pertanian terhadap Tingkat Kesejahteraan Rumah Tangga Petani. Skripsi. Bogor: Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian IPB. Nur R, Tri Hastuti Memprihatinkan, Nasib Perempuan Buruh. (1 Juli 2008: 20.21). Oktaviani, Linda Interaksi Antar Strata Sosial dalam Komunitas Perkebunan: Studi kasus pada Komunitas Perkebunan Kelapa Sawit Milik PT. Sahabat Mewah dan Makmur di Desa Jangkang, Kecamatan Dendang, DATI II Kabupaten Belitung, Sumatera Selatan. Skripsi. Depok: Antroplogi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI. Rakhmat, Jalaluddin Metode Penelitian Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Saptari, Ratna & Holzner, Brigitte Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti.

107 91 Singarimbun, Masri dan S. Effendi Metode Penelitian Survei. Jakarta: LP3ES Suharto, Edi Peta dan Dinamika Welfare State di Beberapa Negara: Pelajaran Apa Yang Bisa Dipetik Untuk Membangun Indonesia. (2 April 2009, 11:27) Tetiani, Ani Memudarnya Dualisme Ekonomi: Studi Mobilitas Sosial Komunitas Perkebunan Teh Kertamanah, Pengalengan, Jawa Barat. Tesis. Bogor: Program Pascasarjana IPB. Wattimena, J. R Meninjau Konsep Kesenjangan Kesejahteraan. 2 April 2009, 11:27). Wijaya, Wawuk Krisiant Strategi Kehidupan Rumahtangga Kuli di Komunitas Perkebunan Blitar. Skripsi. Bogor: Departemen Ilmu-Ilmu Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian IPB.

108 LAMPIRAN

109 93 Lampiran 1 Hasil Pengujian Chi-Squere 1. Hubungan Jenis Kelamin dan Kondisi Kerja Symmetric Measures Value Approx. Sig. Nominal by Nominal Contingency Coefficient N of Valid Cases 60 a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. H0: tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kondisi kerja H1 : ada hubungan antara jenis kelamin dengan kondisi kerja Keputusan : p-value 0,001 < α = 0,10 sehingga tolak H0, artinya ada hubungan antara jenis kelamin dengan kondisi kerja Nilai koefisien kontingensi = 0, Hubungan Jenis Kelamin dengan Golongan Karir Symmetric Measures Value Approx. Sig. Nominal by Nominal Contingency Coefficient N of Valid Cases 60 a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. H0: tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan golongan karir H1 : ada hubungan antara jenis kelamin dengan golongan karir Keputusan : p-value 0,165 > α = 0,10 sehingga terima H0, artinya tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan golongan karir Nilai koefisien kontingensi = 0, Hubungan Jenis Kelamin dengan Pendapatan Symmetric Measures Value Approx. Sig. Nominal by Nominal Contingency Coefficient N of Valid Cases 60 a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. H0: tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan pendapatan H1 : ada hubungan antara jenis kelamin dengan pendapatan Keputusan : p-value 0,032 < α = 0,10 sehingga tolak H0, artinya ada hubungan antara jenis kelamin dengan pendapatan Nilai koefisien kontingensi = 0,267

110 94 4. Hubungan Jenis kelamin dengan Jaminan Kerja Symmetric Measures Value Approx. Sig. Nominal by Nominal Contingency Coefficient N of Valid Cases 60 a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. H0: tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan jaminan kerja H1 : ada hubungan antara jenis kelamin dengan jaminan kerja Keputusan : p-value 0,058 < α = 0,10 sehingga tolak H0, artinya ada hubungan antara jenis kelamin dengan jaminan kerja Nilai koefisien kontingensi = 0, Hubungan Jenis Kelamin dengan Jeminan Keluarga Symmetric Measures Value Approx. Sig. Nominal by Nominal Contingency Coefficient N of Valid Cases 60 a Not assuming the null hypothesis. b Using the asymptotic standard error assuming the null hypothesis. H0: tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan jaminan keluarga H1 : ada hubungan antara jenis kelamin dengan jaminan keluarga Keputusan : p-value 0,000 < α = 0,10 sehingga tolak H0, artinya ada hubungan antara jenis kelamin dengan jaminan keluarga Nilai koefisien kontingensi = 0,267

111 Lampiran 2 Hasil Pengujian dengan Korelasi Rank Spearman Hubungan Pendidikan, Umur, dan Lama Bekerja dengan Kondisi Kerja Pendidikan Umur Lama Bekerja Kondisi Kerja Spearman's rho Pendidikan Correlation Coefficient (*) Sig. (2-tailed) N Umur Correlation Coefficient -.330(*) (**).391(**) Sig. (2-tailed) N Lama Bekerja Correlation Coefficient (**) Sig. (2-tailed) N Kondisi Kerja Correlation Coefficient (**) Sig. (2-tailed) N * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). H0: tidak ada hubungan antara pendidikan dengan kondisi kerja H1 : ada hubungan antara pendidikan dengan kondisi kerja Keputusan p-value = 0,382 > α = 0,10 sehingga terima H0, artinya tidak ada hubungan antara pendidikan dengan kondisi kerja H0: tidak ada hubungan antara umur dengan kondisi kerja H1 : ada hubungan antara umur dengan kondisi kerja Keputusan p-value = 0,002 < α = 0,10 sehingga tolak H0, artinya ada hubungan antara umur dengan kondisi kerja H0: tidak ada hubungan antara lama bekerja dengan kondisi kerja H1 : ada hubungan antara lama bekerja dengan kondisi kerja Keputusan p-value = 0,054 < α = 0,10 sehingga tolak H0, artinya ada hubungan antara lama bekerja dengan kondisi kerja

112 96 Hubungan Kondisi Kerja dengan Kesejahteraan Keluarga (Kesehatan, Pola Konsumsi, Pendidikan, dan Perumahan Correlations Golongan Karir Pendapatan Jaminan Kerja Jaminan Keluarga Kesehatan Pola Konsumsi Perumahan Pendidikan Spearman's rho Golongan Karir Correlation Coefficient (**).400(**) Sig. (2-tailed) N Pendapatan Correlation Coefficient.746(**) (**) (*) Sig. (2-tailed) N Jaminan Kerja Correlation Coefficient.400(**).549(**) (**) Sig. (2-tailed) N Jaminan Keluarga Correlation Coefficient (**) (**) Sig. (2-tailed) N Kesehatan Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Pola Konsumsi Correlation Coefficient (**) (**) Sig. (2-tailed) N Perumahan Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N Pendidikan Correlation Coefficient (*) (**) Sig. (2-tailed) N ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). * Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).

113 Lampiran 3

114 Lampiran 4 DOKUMENTASI Infrastruktur Perusahaan Pabrik Pengolahan Teh Kantor PTPN VI Kayu Aro Kantor SDM dan Humas Perumahan Staf Perumahan Karyawan Kegiatan di PTPN VI Kebun Kayu aro Kegiatan Memetik Pucuk Penimbangan Pucuk Teh Kegiatan Bongkar Muat Kegiatan Balik Daun Kegiatan Menganalisa Pucuk Teh Bagian Daun layu Bagian penggulungan Bagian Sortasi Bagian pengepakan di pabrik

KONDISI KERJA KARYAWAN PEREMPUAN PERKEBUNAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KESEJAHTERAAN KELUARGA

KONDISI KERJA KARYAWAN PEREMPUAN PERKEBUNAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KESEJAHTERAAN KELUARGA KONDISI KERJA KARYAWAN PEREMPUAN PERKEBUNAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN KESEJAHTERAAN KELUARGA (Kasus pada PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VI Kebun Kayu Aro, Kecamatan Kayu Aro, Kabupaten Kerinci, Propinsi Jambi)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dihasilkan dan paling banyak menyerap tenaga kerja. Devisa yang dihasilkan oleh

I. PENDAHULUAN. dihasilkan dan paling banyak menyerap tenaga kerja. Devisa yang dihasilkan oleh I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sektor pertanian merupakan sektor yang dapat diandalkan dalam perekonomian nasional. Hal ini dikarenakan tingginya sumbangan devisa yang dihasilkan dan paling

Lebih terperinci

II. PENDEKATAN TEORITIS

II. PENDEKATAN TEORITIS II. PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Konsep Gender Konsep gender dibuat oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan perbedaan laki-laki dan perempuan yang bersifat bawaan sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian masih menjadi sumber mata pencaharian utama bagi masyarakat Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang mampu diserap dari berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang luas. Tanaman tertentu adalah tanaman semusim dan atau tanaman

BAB I PENDAHULUAN. yang luas. Tanaman tertentu adalah tanaman semusim dan atau tanaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkebunan merupakan aktivitas budi daya tanaman tertentu pada lahan yang luas. Tanaman tertentu adalah tanaman semusim dan atau tanaman tahunan yang jenis

Lebih terperinci

PENGARUH KONTRIBUSI EKONOMI DAN SUMBERDAYA PRIBADI PEREMPUAN TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM RUMAHTANGGA

PENGARUH KONTRIBUSI EKONOMI DAN SUMBERDAYA PRIBADI PEREMPUAN TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM RUMAHTANGGA PENGARUH KONTRIBUSI EKONOMI DAN SUMBERDAYA PRIBADI PEREMPUAN TERHADAP PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM RUMAHTANGGA (Dusun Jatisari, Desa Sawahan, Kecamatan Ponjong, Kabupaten Gunungkidul, Propinsi Daerah Istimewa

Lebih terperinci

BAB II. Kajian Pustaka. Studi Kesetaraan dan Keadilan Gender Dalam Pembangunan 9

BAB II. Kajian Pustaka. Studi Kesetaraan dan Keadilan Gender Dalam Pembangunan 9 BAB II Kajian Pustaka Studi Kesetaraan dan Keadilan Gender Dalam Pembangunan 9 Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) sudah menjadi isu yang sangat penting dan sudah menjadi komitmen bangsa-bangsa di dunia

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu isu yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial. Gender

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Behavior dalam Pandangan Nitze tentang Perspektif Tuan dan Buruh Sosiologi perilaku memusatkan perhatian pada hubungan antara pengaruh perilaku seorang aktor terhadap lingkungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Gender Konsep gender berbeda dengan jenis kelamin. Jenis kelamin (seks) merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia ditentukan secara biologis yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan agraris, dimana terdiri dari banyak pulau dan sebagian besar mata pencaharian penduduknya bercocok tanam atau petani. Pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting dan strategis dalam pembangunan serta berjalannya perekonomian bangsa.

BAB I PENDAHULUAN. penting dan strategis dalam pembangunan serta berjalannya perekonomian bangsa. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Buruh adalah salah satu bagian sosial dari bangsa yang seharusnya dianggap penting dan strategis dalam pembangunan serta berjalannya perekonomian bangsa. Opini masyarakat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan kerja sangatlah terbatas (Suratiyah dalam Irwan, 2006)

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan kerja sangatlah terbatas (Suratiyah dalam Irwan, 2006) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara umum masalah utama yang sedang dihadapi secara nasional adalah sedikitnya peluang kerja, padahal peluang kerja yang besar dalam aneka jenis pekerjaan

Lebih terperinci

1Konsep dan Teori Gender

1Konsep dan Teori Gender 1Konsep dan Teori Gender Pengantar Dalam bab ini akan disampaikan secara detil arti dan makna dari Gender, serta konsepsi yang berkembang dalam melihat gender. Hal-hal mendasar yang perlu dipahami oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adang nutu. Syair yang terjemahan bebasnya berbunyi ; Balada kue putu, lelaki

BAB I PENDAHULUAN. adang nutu. Syair yang terjemahan bebasnya berbunyi ; Balada kue putu, lelaki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Emplek-emplek menir ketepu, wong lanang goleke kayu wong wadon sing adang nutu. Syair yang terjemahan bebasnya berbunyi ; Balada kue putu, lelaki carilah kayu

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Peran Pekerjaan dan Keluarga Fenomena wanita bekerja di luar rumah oleh banyak pihak dianggap sebagai sesuatu yang relatif baru bagi masyarakat Indonesia. Kendati semakin lumrah,

Lebih terperinci

Analisis Gender dan Transformasi Sosial Pembahas: Luh Anik Mayani

Analisis Gender dan Transformasi Sosial Pembahas: Luh Anik Mayani Analisis Gender dan Transformasi Sosial Pembahas: Luh Anik Mayani Pokok bahasan dalam buku Analisis Gender dan Transformasi Sosial karya Mansour Fakih ini dibagi menjadi tiga bagian, yaitu tentang analisis

Lebih terperinci

PENDEKATAN TEORITIS. Tinjauan Pustaka

PENDEKATAN TEORITIS. Tinjauan Pustaka 5 PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Konsep Gender Gender merupakan suatu konsep yang merujuk pada peran dan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang tidak ditentukan oleh perbedaan biologis, tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberantas kemiskinan yang tujuannya untuk mensejahterakan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. memberantas kemiskinan yang tujuannya untuk mensejahterakan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kajian perempuan merupakan suatu kajian yang sangat menarik perhatian. Hal ini terbukti banyak penelitian tentang kaum perempuan. Perempuan merupakan hal penting

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Berdasarkan BPS (2010), jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan sebesar 1,5 juta orang. Pada Maret 2009, jumlah penduduk miskin sebesar 32,5 juta orang, sedangkan

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

BAB II PENDEKATAN TEORITIS 5 BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Industri Kecil dan Putting Out System Industrialisasi dalam suatu tahap pembangunan dianggap sebagai suatu simbol kemajuan dan kesuksesan pembangunan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sama. Hal ini terlihat jelas dalam kamus bahasa Indonesia yang tidak secara jelas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sama. Hal ini terlihat jelas dalam kamus bahasa Indonesia yang tidak secara jelas BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Konsep Gender dan Ketidakadilan Gender Hal penting yang harus dipahami dalam rangka membahas masalah perempuan adalah membedakan antara konsep seks dan gender. Kedua konsep

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di negara sedang berkembang kemiskinan adalah masalah utama. Menurut Chambers (1983), kemiskinan yang dialami oleh sebagian besar rakyat di negara sedang berkembang

Lebih terperinci

PENGARUH MOTIVASI BEKERJA PEREMPUAN DI SEKTOR INFORMAL TERHADAP PEMBAGIAN KERJA DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM KELUARGA

PENGARUH MOTIVASI BEKERJA PEREMPUAN DI SEKTOR INFORMAL TERHADAP PEMBAGIAN KERJA DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM KELUARGA PENGARUH MOTIVASI BEKERJA PEREMPUAN DI SEKTOR INFORMAL TERHADAP PEMBAGIAN KERJA DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM KELUARGA (Kasus Pedagang Sayur di Kampung Bojong Rawa Lele, Kelurahan Jatimakmur, Kecamatan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan wanita untuk bekerja adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya alam di sektor pertanian dan perkebunan. Adapun produksi di

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya alam di sektor pertanian dan perkebunan. Adapun produksi di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Asahan dikenal dengan daerah yang memiliki potensi akan sumber daya alam di sektor pertanian dan perkebunan. Adapun produksi di sektor pertanian adalah, tanaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Dewasa ini persoalan buruh anak makin banyak diperhatikan berbagai pihak, baik di tingkat nasional maupun internasional. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena buruh

Lebih terperinci

BAB V KONDISI KERJA PEKERJA CV. MEKAR PLASTIK INDUSTRI

BAB V KONDISI KERJA PEKERJA CV. MEKAR PLASTIK INDUSTRI 37 BAB V KONDISI KERJA PEKERJA CV. MEKAR PLASTIK INDUSTRI Kondisi kerja pekerja CV. Mekar Plastik merupakan perlakuan perusahaan kepada pekerja, baik laki maupun perempuan yang meliputi pembagian kerja

Lebih terperinci

ANALISIS INPUT-OUTPUT PERANAN INDUSTRI MINYAK GORENG DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH: NURLAELA WIJAYANTI H

ANALISIS INPUT-OUTPUT PERANAN INDUSTRI MINYAK GORENG DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH: NURLAELA WIJAYANTI H ANALISIS INPUT-OUTPUT PERANAN INDUSTRI MINYAK GORENG DALAM PEREKONOMIAN INDONESIA OLEH: NURLAELA WIJAYANTI H14101038 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki

BAB 1 PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki dan perempuan dibedakan sesuai dengan perannya masing-masing yang dikonstruksikan

Lebih terperinci

KESEHATAN REPRODUKSI DALAM PERSPEKTIF GENDER. By : Basyariah L, SST, MKes

KESEHATAN REPRODUKSI DALAM PERSPEKTIF GENDER. By : Basyariah L, SST, MKes KESEHATAN REPRODUKSI DALAM PERSPEKTIF GENDER By : Basyariah L, SST, MKes Kesehatan Reproduksi Dalam Persfektif Gender A. Seksualitas dan gender 1. Seksualitas Seks : Jenis kelamin Seksualitas : Menyangkut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris, artinya kegiatan pertanian

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris, artinya kegiatan pertanian 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris, artinya kegiatan pertanian memegang peranan penting dari keseluruhan perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan

BAB I PENDAHULUAN. manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perempuan oleh masyarakat kadang-kadang masih dianggap sebagai manusia kedua setelah laki-laki. Tatanan sosial memberi kedudukan perempuan tidak lebih penting

Lebih terperinci

RINGKASAN ISVENTINA. DJONI HARTONO

RINGKASAN ISVENTINA. DJONI HARTONO RINGKASAN ISVENTINA. H14102124. Analisis Dampak Peningkatan Ekspor Karet Alam Terhadap Perekonomian Indonesia: Suatu Pendekatan Analisis Input-Output. Di bawah bimbingan DJONI HARTONO. Indonesia merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tanah yang mampu menyuburkan tanaman, sinar matahari yang konsisten

I. PENDAHULUAN. tanah yang mampu menyuburkan tanaman, sinar matahari yang konsisten I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki potensi alamiah yang bagus untuk mengembangkan sektor pertanian, termasuk sektor perkebunan sebagai sektor pertanian yang terletak di daerah tropis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Agroforestri Secara umum agroforestri adalah manajemen pemanfaatan lahan secara optimal dan lestari, dengan cara mengkombinasikan kegiatan kehutanan dan pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (http://www.bps.go.id/brs_file/tenaker-15mei09.pdf). kekuatan posisi tawar (Bargaining Power) yang sejajar dengan pengusaha dan

BAB I PENDAHULUAN. (http://www.bps.go.id/brs_file/tenaker-15mei09.pdf). kekuatan posisi tawar (Bargaining Power) yang sejajar dengan pengusaha dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berdasarkan hasil Sensus Penduduk tahun 2010, jumlah angkatan kerja Indonesia berjumlah 107,7 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, yang bekerja sebagai buruh sebanyak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrat sebagai ciptaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrat sebagai ciptaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Gender Istilah gender diketengahkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrat sebagai ciptaan Tuhan dan mana

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan produk tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan produk tidak hanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan produk tidak hanya tergantung pada keunggulan teknologi, sarana dan prasarana, melainkan juga tergantung pada kualitas

Lebih terperinci

PENDEKATAN TEORETIS TINJAUAN PUSTAKA

PENDEKATAN TEORETIS TINJAUAN PUSTAKA 5 PENDEKATAN TEORETIS Bab ini menjelaskan tinjauan pustaka, kerangka pemikiran, hipotesis penelitian, dan definisi operasional. Subbab tinjauan pustaka berisi bahan pustaka yang dirujuk berasal dari beberapa

Lebih terperinci

BAB V MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM INDUSTRIALISASI PEDESAAN

BAB V MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM INDUSTRIALISASI PEDESAAN 34 BAB V MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM INDUSTRIALISASI PEDESAAN Marginalisasi perempuan dalam dunia kerja merupakan hal yang sangat sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi, adanya industrialisasi

Lebih terperinci

WANITA DAN STRUKTUR SOSIAL ( Suatu Analisa Tentang Peran Ganda Wanita Indonesia) Dra. LINA SUDARWATI

WANITA DAN STRUKTUR SOSIAL ( Suatu Analisa Tentang Peran Ganda Wanita Indonesia) Dra. LINA SUDARWATI WANITA DAN STRUKTUR SOSIAL ( Suatu Analisa Tentang Peran Ganda Wanita Indonesia) Dra. LINA SUDARWATI Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara I. PENDAHULUAN Masyarakat dunia pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan Indonesia kearah modernisasi maka semakin banyak peluang bagi perempuan untuk berperan dalam pembangunan. Tetapi berhubung masyarakat

Lebih terperinci

MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN

MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN MARGINALISASI PEREMPUAN DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN Dina Novia Priminingtyas Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Malang ABSTRAK Potensi perempuan dalam pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih memandang mereka sebagai subordinat laki-laki. Salah satu bentuk

BAB I PENDAHULUAN. masih memandang mereka sebagai subordinat laki-laki. Salah satu bentuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konstruksi budaya patriarki yang masih mengakar kuat di Indonesia hingga saat ini, mengakibatkan posisi perempuan semakin terpuruk, terutama pada kelompok miskin. Perempuan

Lebih terperinci

GENDER DALAM PERKEMBANGAN MASYARAKAT. Agustina Tri W, M.Pd

GENDER DALAM PERKEMBANGAN MASYARAKAT. Agustina Tri W, M.Pd GENDER DALAM PERKEMBANGAN MASYARAKAT Agustina Tri W, M.Pd Manusia dilahirkan o Laki-laki kodrat o Perempuan Konsekuensi dg sex sbg Laki-laki Sosial Konsekuensinya dg sex sbg Perempuan 2 Apa Pengertian

Lebih terperinci

PEMBERDAYAAN EKONOMI KELOMPOK USAHA RUMAH TANGGA BERBASIS MODAL SOSIAL. (Studi Kasus: Kelompok Usaha Pengrajin Tahu Tempe di Kedaung, Ciputat- Banten)

PEMBERDAYAAN EKONOMI KELOMPOK USAHA RUMAH TANGGA BERBASIS MODAL SOSIAL. (Studi Kasus: Kelompok Usaha Pengrajin Tahu Tempe di Kedaung, Ciputat- Banten) PEMBERDAYAAN EKONOMI KELOMPOK USAHA RUMAH TANGGA BERBASIS MODAL SOSIAL (Studi Kasus: Kelompok Usaha Pengrajin Tahu Tempe di Kedaung, Ciputat- Banten) NUR PUTRI AMANAH DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara

BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka pangjang, dan pertumbuhan ekonomi merupakan fenomena penting yang dialami dunia belakangan

Lebih terperinci

PENGARUH MOTIVASI BEKERJA PEREMPUAN DI SEKTOR INFORMAL TERHADAP PEMBAGIAN KERJA DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM KELUARGA

PENGARUH MOTIVASI BEKERJA PEREMPUAN DI SEKTOR INFORMAL TERHADAP PEMBAGIAN KERJA DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM KELUARGA PENGARUH MOTIVASI BEKERJA PEREMPUAN DI SEKTOR INFORMAL TERHADAP PEMBAGIAN KERJA DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM KELUARGA (Kasus Pedagang Sayur di Kampung Bojong Rawa Lele, Kelurahan Jatimakmur, Kecamatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan kualitas sumberdaya manusia di Indonesia masih perlu mendapat prioritas dalam pembangunan nasional. Berdasarkan laporan United Nation for Development Programme

Lebih terperinci

KEPUTUSAN JENIS MIGRASI DAN PRODUKTIVITAS PEKERJA INDUSTRI KECIL SEPATU DI PERKAMPUNGAN INDUSTRI KECIL PULO GADUNG JAKARTA TIMUR.

KEPUTUSAN JENIS MIGRASI DAN PRODUKTIVITAS PEKERJA INDUSTRI KECIL SEPATU DI PERKAMPUNGAN INDUSTRI KECIL PULO GADUNG JAKARTA TIMUR. KEPUTUSAN JENIS MIGRASI DAN PRODUKTIVITAS PEKERJA INDUSTRI KECIL SEPATU DI PERKAMPUNGAN INDUSTRI KECIL PULO GADUNG JAKARTA TIMUR Oleh: NUR AZMI AFIANTI A14301087 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 14 II. TINJAUAN PUSTAKA Aktivitas ekonomi rumahtangga petani lahan sawah erat kaitannya dengan upaya meningkatkan ketahanan pangan rumahtangga. Ketahanan pangan rumahtangga sebagaimana hasil rumusan Internasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor pertanian telah terbukti memiliki peranan penting bagi pembangunan perekonomian suatu bangsa. Hal ini didasarkan pada kontribusi sektor pertanian yang berperan

Lebih terperinci

ANALISIS RESPONS PRODUKSI, PERMINTAAN DOMESTIK DAN PENAWARAN EKSPOR KOPI ROBUSTA INDONESIA OLEH MEIKHAL SAPUTRA H

ANALISIS RESPONS PRODUKSI, PERMINTAAN DOMESTIK DAN PENAWARAN EKSPOR KOPI ROBUSTA INDONESIA OLEH MEIKHAL SAPUTRA H ANALISIS RESPONS PRODUKSI, PERMINTAAN DOMESTIK DAN PENAWARAN EKSPOR KOPI ROBUSTA INDONESIA OLEH MEIKHAL SAPUTRA H14050518 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional tidak akan terwujud secara optimal tanpa adanya

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan nasional tidak akan terwujud secara optimal tanpa adanya 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pembangunan nasional tidak akan terwujud secara optimal tanpa adanya partisipasi aktif segenap komponen masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan. Namun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada abad ke-18 muncul revolusi industri di Eropa, kemudian diciptakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada abad ke-18 muncul revolusi industri di Eropa, kemudian diciptakan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada abad ke-18 muncul revolusi industri di Eropa, kemudian diciptakan mesin-mesin yang digerakkan dengan tenaga uap. Orang-orang tidak dapat membantah dan menyangkal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilakukannya di kehidupan sehari-hari, sehingga akan terjadi beberapa masalah

BAB I PENDAHULUAN. dilakukannya di kehidupan sehari-hari, sehingga akan terjadi beberapa masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perempuan merupakan makhluk yang diciptakan dengan berbagai kelebihan, sehingga banyak topik yang diangkat dengan latar belakang perempuan. Kelebihan-kelebihan

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN V GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 5.1. Keadaan Umum Wilayah Kota Bogor Kota Bogor terletak diantara 16 48 BT dan 6 26 LS serta mempunyai ketinggian minimal rata-rata 19 meter, maksimal 35 meter dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. ontribusi sosial budaya. Perbedaan peran ini bukan disebabkan perbedaan

TINJAUAN PUSTAKA. ontribusi sosial budaya. Perbedaan peran ini bukan disebabkan perbedaan TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Gender Gender menggambarkan peran laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari ontribusi sosial budaya. Perbedaan peran ini bukan disebabkan perbedaan biologis, melainkan oleh

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Perkebunan teh PTPN VIII Ciater Subang merupakan perkebunan yang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Perkebunan teh PTPN VIII Ciater Subang merupakan perkebunan yang BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Perkebunan teh PTPN VIII Ciater Subang merupakan perkebunan yang tetap bertahan dari zaman kolonial Belanda sampai tahun 1990, bahkan sampai sekarang. Keberadaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah di negara manapun. Salah satu aspek penting untuk mendukung strategi

Lebih terperinci

ANALISIS PENDAPATAN DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA PADA SISTEM KEMITRAAN USAHA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT

ANALISIS PENDAPATAN DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA PADA SISTEM KEMITRAAN USAHA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT ANALISIS PENDAPATAN DAN PENYERAPAN TENAGA KERJA PADA SISTEM KEMITRAAN USAHA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT (Kasus Pola Kemitraan di PT. Perkebunan Nusantara VI dan PT. Bakrie Pasaman Plantation, Kabupaten Pasaman

Lebih terperinci

ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA INDUSTRI KECIL OLAHAN CARICA

ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA INDUSTRI KECIL OLAHAN CARICA ANALISIS STRATEGI PENGEMBANGAN USAHA INDUSTRI KECIL OLAHAN CARICA (Studi Kasus pada Industri Kecil Olahan Carica di Kecamatan Mojotengah, Kabupaten Wonosobo) SKRIPSI SHINTA KARTIKA DEWI H34050442 DEPARTEMEN

Lebih terperinci

ALASAN PEMILIHAN JURUSAN PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (STUDI KASUS DI SMK NEGERI 3 SUKOHARJO TAHUN 2012)

ALASAN PEMILIHAN JURUSAN PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (STUDI KASUS DI SMK NEGERI 3 SUKOHARJO TAHUN 2012) ALASAN PEMILIHAN JURUSAN PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH KEJURUAN (STUDI KASUS DI SMK NEGERI 3 SUKOHARJO TAHUN 2012) Indah Suci Wulandari K8407032 Pendidikan Sosiologi Antropologi ABSTRAK : Indah Suci Wulandari.

Lebih terperinci

PERAN PEREMPUAN DALAM SEKTOR PERTANIAN DI KECAMATAN PENAWANGAN KABUPATEN GROBOGAN TUGAS AKHIR. Oleh: TITIES KARTIKASARI HANDAYANI L2D

PERAN PEREMPUAN DALAM SEKTOR PERTANIAN DI KECAMATAN PENAWANGAN KABUPATEN GROBOGAN TUGAS AKHIR. Oleh: TITIES KARTIKASARI HANDAYANI L2D PERAN PEREMPUAN DALAM SEKTOR PERTANIAN DI KECAMATAN PENAWANGAN KABUPATEN GROBOGAN TUGAS AKHIR Oleh: TITIES KARTIKASARI HANDAYANI L2D 305 141 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

ANALISIS NILAI EKONOMI LAHAN (LAND RENT) PADA LAHAN PERTANIAN DAN PERMUKIMAN DI KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR. Oleh ANDIKA PAMBUDI A

ANALISIS NILAI EKONOMI LAHAN (LAND RENT) PADA LAHAN PERTANIAN DAN PERMUKIMAN DI KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR. Oleh ANDIKA PAMBUDI A ANALISIS NILAI EKONOMI LAHAN (LAND RENT) PADA LAHAN PERTANIAN DAN PERMUKIMAN DI KECAMATAN CIAMPEA, KABUPATEN BOGOR Oleh ANDIKA PAMBUDI A14304075 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perempuan karir, dalam segala levelnya, kian hari kian mewabah. Dari posisi pucuk pimpinan negara, top executive, hingga kondektur bus bahkan tukang becak. Hingga kini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perempuan adalah tiang negara, artinya tegak runtuhnya suatu negara berada di tangan kaum perempuan. Penerus peradaban lahir dari rahim seorang perempuan,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori. Konsep Buruh Buruh menurut Undang-Undang (No 3 tahun 2003 Bab Pasal ) adalah orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Tata cara

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Responden A. Umur Kisaran umur responden yakni perempuan pada Kasus LMDH Jati Agung III ini adalah 25-64 tahun dengan rata-rata umur 35,5 tahun. Distribusi

Lebih terperinci

VIII. RINGKASAN DAN SINTESIS

VIII. RINGKASAN DAN SINTESIS VIII. RINGKASAN DAN SINTESIS Pada bagian ini akan dikemukakan beberapa ringkasan hasil dari pembahasan yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya. Selanjutnya akan dikemukakan sintesis dari keseluruhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh suatu bangsa dalam upaya meningkatkan kesejahteraan maupun taraf hidup

BAB I PENDAHULUAN. oleh suatu bangsa dalam upaya meningkatkan kesejahteraan maupun taraf hidup BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan salah satu alternatif terbaik yang dapat dilakukan oleh suatu bangsa dalam upaya meningkatkan kesejahteraan maupun taraf hidup masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerja di dalam negeri sangat terbatas sehinga menyebabkan banyak Tenaga Kerja

BAB I PENDAHULUAN. kerja di dalam negeri sangat terbatas sehinga menyebabkan banyak Tenaga Kerja BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat 2 menyatakan bahwa Setiap warga Negara Republik Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

GENDER DAN PENDIDIKAN: Pengantar

GENDER DAN PENDIDIKAN: Pengantar GENDER DAN PENDIDIKAN: Pengantar 90 menit Managed by IDP Education Australia IAPBE-2006 TUJUAN Peserta mampu: 1. Memahami konsep gender sebagai konstruksi sosial 2. Memahami pengaruh gender terhadap pendidikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Kebanyakan sistem patriarki juga

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA INDUSTRI KECIL KERUPUK SANJAI DI KOTA BUKITTINGGI. Oleh YORI AKMAL A

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA INDUSTRI KECIL KERUPUK SANJAI DI KOTA BUKITTINGGI. Oleh YORI AKMAL A ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA INDUSTRI KECIL KERUPUK SANJAI DI KOTA BUKITTINGGI Oleh YORI AKMAL A14302024 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Tinjauan Pustaka Kelapa sawit didatangkan ke Indonesia pada tahun 1848 dan mulai dibudidayakan secara komersial dalam bentuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena melibatkan seluruh sistem yang terlibat dalam suatu negara. Di negara-negara berkembang modifikasi kebijakan

Lebih terperinci

BAB V KARAKTERISTIK RESPONDEN

BAB V KARAKTERISTIK RESPONDEN 50 BAB V KARAKTERISTIK RESPONDEN 5.1 Faktor Internal Faktor internal dalam penelitian ini merupakan karakteristik individu yang dimiliki responden yang berbeda satu sama lain. Responden dalam penelitian

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Teori Relasi Kekuasaan Sejarah perbedaan gender (gender differences) antara manusia jenis laki- laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Oleh karena itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin banyak, hal ini disebabkan karena faktor urbanisasi yang

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin banyak, hal ini disebabkan karena faktor urbanisasi yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kehidupan kota yang inovatif dan serba maju dalam aspek kehidupan sosial ternyata telah menimbulkan berbagai permasalahan didalamnya seperti, semakin bertambahnya

Lebih terperinci

PERSEPSI MAHASISWA TERHADAP KESADARAN GENDER

PERSEPSI MAHASISWA TERHADAP KESADARAN GENDER PERSEPSI MAHASISWA TERHADAP KESADARAN GENDER (Kasus Mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Tahun Masuk 2006, Fakultas Ekologi Manusia) ALWIN TAHER I34051845 DEPARTEMEN SAINS

Lebih terperinci

ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PASCA KEBIJAKAN UPAH MINIMUM DI KABUPATEN BOGOR OLEH ERNI YULIARTI H

ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PASCA KEBIJAKAN UPAH MINIMUM DI KABUPATEN BOGOR OLEH ERNI YULIARTI H ANALISIS PERTUMBUHAN KESEMPATAN KERJA PASCA KEBIJAKAN UPAH MINIMUM DI KABUPATEN BOGOR OLEH ERNI YULIARTI H14102092 DEPARTEMEN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam peradaban manusia semenjak ribuan tahun lalu. Penelitian terhadap karya sastra penting

Lebih terperinci

Tim Penyusun. Pengarah. Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Provinsi Sulawesi Selatan

Tim Penyusun. Pengarah. Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Provinsi Sulawesi Selatan Tim Penyusun Pengarah Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Keluarga Berencana Provinsi Sulawesi Selatan Penanggungjawab Kepala Bidang Keluarga Sejahtera Ketua Panitia Kepala Sub Bidang Penguatan Advokasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk membangun dirinya untuk mencapai kesejahteraan bangsanya. meliputi sesuatu yang lebih luas dari pada pertumbuhan ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. untuk membangun dirinya untuk mencapai kesejahteraan bangsanya. meliputi sesuatu yang lebih luas dari pada pertumbuhan ekonomi. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai salah satu negara berkembang Indonesia selalu berusaha untuk membangun dirinya untuk mencapai kesejahteraan bangsanya. Pembangunan ekonomi dilaksanakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perselingkuhan sebagai..., Innieke Dwi Putri, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Perselingkuhan sebagai..., Innieke Dwi Putri, FIB UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra menggambarkan jiwa masyarakat. Karya sastra sebagai interpretasi kehidupan, melukiskan perilaku kehidupan manusia yang terjadi dalam masyarakat. Segala

Lebih terperinci

PENDIDIKAN ADIL GENDER DALAM KELUARGA 1. Siti Rohmah Nurhayati, M.Si. 2

PENDIDIKAN ADIL GENDER DALAM KELUARGA 1. Siti Rohmah Nurhayati, M.Si. 2 PENDIDIKAN ADIL GENDER DALAM KELUARGA 1 Siti Rohmah Nurhayati, M.Si. 2 Pendahuluan Keluarga merupakan tempat pendidikan pertama bagi anak. Di dalam keluarga, anak mendapatkan seperangkat nilai-nilai, aturan-aturan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kemiskinan merupakan masalah yang dialami secara global dan telah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Kemiskinan merupakan masalah yang dialami secara global dan telah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah yang dialami secara global dan telah terjadi sejak dahulu kala. Kemiskinan sangat terkait dengan kepemilikan modal, kepemilikan lahan,

Lebih terperinci

PERANAN PEKERJA ANAK DI INDUSTRI KECIL SANDAL TERHADAP PENDAPATAN RUMAHTANGGA DAN KESEJAHTERAAN DIRINYA

PERANAN PEKERJA ANAK DI INDUSTRI KECIL SANDAL TERHADAP PENDAPATAN RUMAHTANGGA DAN KESEJAHTERAAN DIRINYA i PERANAN PEKERJA ANAK DI INDUSTRI KECIL SANDAL TERHADAP PENDAPATAN RUMAHTANGGA DAN KESEJAHTERAAN DIRINYA (Kasus: Desa Parakan, Kecamatan Ciomas, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat) Oleh : ANNISA AVIANTI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perempuan dengan laki-laki, ataupun dengan lingkungan dalam konstruksi

BAB I PENDAHULUAN. perempuan dengan laki-laki, ataupun dengan lingkungan dalam konstruksi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sistem nilai, norma, stereotipe, dan ideologi gender telah lama dianggap sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi posisi serta hubungan antara perempuan dengan laki-laki,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan sektor pertanian sebagai mata pencaharian dari mayoritas penduduknya. Dengan demikian, sebagian besar penduduknya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. feminisme yang berkembang mulai abad ke-18 telah menjadi salah satu penanda

BAB I PENDAHULUAN. feminisme yang berkembang mulai abad ke-18 telah menjadi salah satu penanda 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kaum perempuan hari ini tidak hanya beraktifitas di ranah domestik saja. Namun, di dalam masyarakat telah terjadi perubahan paradigma mengenai peran perempuan di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. strategis dalam perekonomian Indonesia. Bahkan komoditi teh juga menjadi

BAB I PENDAHULUAN. strategis dalam perekonomian Indonesia. Bahkan komoditi teh juga menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Teh merupakan salah satu komoditi perkebunan yang mempunyai peran strategis dalam perekonomian Indonesia. Bahkan komoditi teh juga menjadi sektor usaha unggulan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Nilai sosial budaya dan norma sosial yang berlaku di masyarakat Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Nilai sosial budaya dan norma sosial yang berlaku di masyarakat Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nilai sosial budaya dan norma sosial yang berlaku di masyarakat Indonesia pada umumnya memposisikan perempuan sebagai pekerja domestik, mempunyai tugas untuk mengurus

Lebih terperinci

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 1 KONDISI DAN DAMPAK PUTTING OUT SYSTEM TERHADAP RUMAHTANGGA PEKERJA PEREMPUAN (Kasus:Usaha Kecil Menengah Industri Tas, Desa Bojongrangkas, Kecamatan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat) OLEH : CUT AYA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sehingga banyak perusahaan go publik yang ikut berperan dalam peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. sehingga banyak perusahaan go publik yang ikut berperan dalam peningkatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Semakin pesatnya perkembangan profesi akuntan publik di Indonesia dewasa ini dan meningkatnya pemahaman masyarakat terhadap profesi auditor mampu membawa perubahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang.

I. PENDAHULUAN. Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor. merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam konteks ekonomi pembangunan, perluasan terhadap ekspor merupakan faktor penentu kunci pertumbuhan ekonomi di negara berkembang. Gouws (2005) menyatakan perluasan

Lebih terperinci