PENDEKATAN TEORETIS TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENDEKATAN TEORETIS TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 5 PENDEKATAN TEORETIS Bab ini menjelaskan tinjauan pustaka, kerangka pemikiran, hipotesis penelitian, dan definisi operasional. Subbab tinjauan pustaka berisi bahan pustaka yang dirujuk berasal dari beberapa sumber berupa buku dan hasil penelitian sebelumnya. Subbab kerangka pemikiran menjelaskan variabel-variabel yang diuji dalam penelitian ini. Subbab hipotesis penelitian memaparkan proposisi yang diuji dalam penelitian ini dan subbab definisi operasional memaparkan kriteria dan standar pengkategorian masing-masing variabel yang diuji. TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan pustaka memuat telaah singkat, jelas, dan sistematis tentang kerangka teoretis, hasil-hasil penelitian yang relevan yang melandasi masalah penelitian atau gagasan guna menggali pemahaman mengenai masalah penelitian dan pemecahan masalahnya. Subbab ini terdiri dari gender dan ketidakadilan gender, wanita kepala rumah tangga, karakteristik wanita kepala rumah tangga, faktor yang menyebabkan peningkatan wanita kepala rumah tangga, posisi wanita kepala rumah tangga terhadap hukum di Indonesia, peluang bekerja dan berusaha wanita kepala rumah tangga, Gender dan Ketidakadilan Gender Analisis gender merupakan alat analisis untuk memahami realitas sosial, serta memahami bahwa pokok persoalannya ialah sistem dan struktur yang tidak adil. Pemahaman antara konsep gender dengan konsep seks diperlukan untuk memahami persoalan-persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum wanita. Handayani dan Sugiarti (2008) menyatakan,..di mana baik laki-laki maupun perempuan menjadi korban dan mengalami dehumanisasi karena ketidakadilan gender tersebut. Kaum perempuan mengalami dehumanisasi akibat ketidakadilan gender sementara kaum lelaki mengalami dehumanisasi karena melanggengkan penindasan gender. Seks ialah pembagian jenis kelamin yang ditentukan secara biologis antara pria dan wanita yang memiliki fungsi organisme yang berbeda, fungsinya tidak dapat dipertukarkan, ketentuan Tuhan (kodrati). Handayani dan Sugiarti (2008) juga menjelaskan konsep gender, yaitu sifat yang melekat pada kaum pria dan wanita yang terbentuk oleh faktor sosial maupun budaya, pembedaan peran dan fungsi antara pria dan wanita menurut kedudukan, fungsi dan peranan masingmasing dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan. Fungsi dan peranan antara pria dan wanita dapat dipertukarkan. Hal ini sangat berkaitan dengan faktor sosial, geografis, dan kebudayaan suatu masyarakat seperti pada Tabel 1. Hubeis (2010) juga menyatakan, bahwa gender adalah suatu konsep yang merujuk pada suatu sistem peranan dan hubungan antara pria dan wanita yang ditentukan oleh sosial budaya, politik dan ekonomi di mana cara dan proses implementasi gender

2 6 dikonstruksikan di masyarakat. Jadi, gender dapat diartikan sebagai perbedaan antara pria dan wanita dalam peran, fungsi, hak, tanggung jawab, dan perilaku yang dibentuk oleh tata nilai sosial, budaya, adat istiadat dari kelompok masyarakat. Proses sosialisasi yang berjalan secara turun temurun akan mempengaruhi perkembangan visi, emosi, ideologi, fisik dan biologis masing-masing jenis kelamin. Hal inilah yang akhirnya melahirkan keyakinan masyarakat tentang bagaimana pria dan wanita berpikir, bertindak, serta terciptanya norma-norma atas pantas atau tidak pantas masing-masing jenis kelamin yang sesuai dengan ketentuan sosial tersebut. Perbedaan gender yang dikonstruksikan secara sosial dan budaya seringkali telah melahirkan berbagai ketidakseimbangan atau ketidakadilan gender. Hubeis (2010) menyatakan bahwa sosialisasi nilai-nilai gender yang mencakup sosialisasi sifat, cara bertingkah laku dan peran telah ditanamkan sejak masih dalam kandungan hingga berakhir masa hidup. Kebanyakan kepercayaan yang muncul di masyarakat -seperti wanita berfungsi 3 m (masak, macak, manak) sedangkan pria pantang memasak, mencuci, dan melakukan kegiatan rumah tangga- menguntungkan kaum pria dan meminggirkan kaum wanita. Hal tersebut juga mengakibatkan wanita sudah tersosialisasi untuk melakukan peran domestik, yaitu mengurus rumah tangga, mengasuh anak, dan melayani suami. Sementara pria disosialisasikan untuk berperan publik, yaitu melindungi dan menafkahi anak dan istri. Tabel 1 Perbandingan antara gender dan seks Karakteristik Seks Gender Sumber pembeda Tuhan Manusia (masyarakat) Visi, misi Kesetaraan Kebiasaan Unsur pembeda Biologis (alat reproduksi) Sosiologis (tingkah laku) Sifat Kodrat, tertentu, tidak dapat dipertukarkan Harkat, martabat, dapat dipertukarkan Dampak Terciptanya nilai-nilai (kesempurnaan, kenikmatan, kedamaian) sehingga menguntungkan kedua belah pihak Terciptanya norma-norma/ ketentuan tentang kepantasan, seringkali merugikan salah satu pihak dan biasanya adalah Keberlakuan Sepanjang masa, di mana saja, tidak mengenal pembedaan kelas Sumber: Handayani dan Sugiarti (2008) perempuan Dapat berubah, musiman dan berbeda antar kelas Perbedaan gender mengakibatkan ketidakadilan gender yang termanifestasikan dalam berbagai bentuk, seperti marginalisasi, subordinasi, stereotipe, kekerasan, dan beban kerja lebih berat. (1)Marginalisasi disebut juga pemiskinan ekonomi, sumbernya bisa berasal dari kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsiran agama, keyakinan tradisi dan kebiasaaan, bahkan asumsi ilmu pengetahuan. (2)Subordinasi adalah anggapan bahwa wanita tidak penting terlibat dalam pengambilan keputusan politik. Hal ini terlihat dalam prosentase jumlah pekerja wanita, penggajian, pemberian fasilitas, serta beberapa hak-hak wanita

3 yang berkaitan dengan kodratnya belum terpenuhi. Bentuk subordinasi terlihat juga dengan pengkategorian semua pekerjaan yang termasuk domestik dan reproduksi yang dianggap lebih rendah dan menjadi subordinasi terhadap pekerjaan produksi. (3)Stereotipe adalah pelabelan terhadap suatu kelompok atau jenis pekerjaan tertentu yang dikonstruksi oleh masyarakat sebagai hasil hubungan sosial tentang perbedaan antara pria dan wanita. Hal ini mengakibatkan peluang wanita bekerja di luar rumah sangat terbatas. (4)Kekerasan adalah suatu serangan terhadap fisik maupun mental psikologis seseorang. Budaya yang didominasi oleh pria menyebabkan kekerasan sering terjadi terhadap wanita seperti untuk memenangkan perbedaan pendapat dan menyatakan rasa tidak puas yang menunjukkan bahwa pria berkuasa atas wanita. (5)Beban kerja wanita lebih berat karena peran wanita yang berkembang justru menambah perannya, dan umumnya wanita mengerjakan peranan sekaligus untuk memenuhi tuntutan pembangunan (Handayani dan Sugiarti 2008). Persentase wanita yang berada di sektor publik masih lebih rendah dibandingkan pria. Wanita yang berada di sektor publik berarti telah melakukan kegiatan produktif, yaitu menghasilkan produksi barang atau jasa, namun seringkali dipersulit. Konstruksi sosial budaya juga menentukan jenis pekerjaan yang cocok dan tidak cocok untuk dilakukan seorang wanita karena dianggap lemah maka hanya dapat melakukan pekerjaan ringan, sedangkan pria dapat dianggap dapat melakukan pekerjaan berat. Terdapat permasalahan ketika yang bekerja di sektor publik adalah wanita yang bertujuan menopang kehidupan rumah tangganya atau dapat disebut sebagai wanita kepala rumah tangga. Mereka akan memiliki beban yang lebih berat karena di samping bekerja di sektor publik, mereka juga bekerja di sektor domestik. Stereotipe terhadap status WKRT dari masyarakat bahkan konstruksi sosial di masyarakat (yang menempatkan wanita di sektor domestik) akan menghambat kegiatan wanita sebagai kepala rumah tangga yang pada akhirnya mempersulit mereka dalam memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Hal tersebut akan berbeda ketika yang berada di sektor publik adalah pria apalagi pria sebagai kepala rumah tangga. Pria lebih mudah melakukan kegiatan produktif karena konstruksi sosial di masyarakat memandang pria pantas bekerja di sektor publik. Hal ini memudahkan pria sebagai kepala rumah tangga memenuhi kebutuhan rumah tangganya sehingga kesejahteraan mereka lebih tinggi dibandingkan wanita kepala rumah tangga. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa konsepsi gender dalam pembagian kerja belum sepenuhnya tercapai dan konstruksi sosial budaya seringkali memandang masing-masing jenis kelamin dari segi seks bukan dari segi kemampuan, kesempatan secara universal yang menyebabkan ketidakadilan gender. 7 Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) Secara umum perkembangan Wanita sebagai Kepala Rumah Tangga (WKRT) telah mengalami peningkatan sejak tahun 1970-an. Gardiner (1991) dalam Gardiner dan Surbakti (1991), menyatakan bahwa jumlah WKRT mengalami peningkatan sebesar 1% dan 1.2% per tahun untuk periode dan Jumlah WKRT yang meningkat terutama bagi mereka yang muda atau berusia tahun dan bertempat tinggal di daerah perkotaan serta berstatus belum kawin. Sementara pada tahun 2001 menunjukkan kurang dari 13%, adanya

4 8 kecenderungan peningkatan rumah tangga yang dikepalai wanita rata-rata 0.1% per tahun (PEKKA 2012). BPS (2011) juga menyatakan jumlah WKRT di Indonesia sebesar 13.91% pada tahun 2010 dan 14.29% pada tahun Selain itu juga terjadi peningkatan yang cukup tinggi pada perceraian hidup atau mati baik di desa maupun di kota. Perubahan status sosial wanita menjadi kepala rumah tangga dapat disebabkan oleh perceraian (cerai mati atau cerai hidup) atau proses migrasi. Menurut Sajogyo dalam Gardiner dan Surbakti (1991), status sosial wanita kepala rumah tangga dapat dijelaskan, baik secara de jure maupun secara de facto. Secara de jure menggambarkan wanita sebagai kepala rumah tangga karena memang hidup berumah tangga sendiri, dalam arti tidak menikah atau karena bercerai (cerai hidup, cerai mati). Secara de facto menggambarkan wanita sebagai kepala rumah tangga karena wanita merantau tanpa suami atau wanita itu ditinggal merantau oleh suaminya dan berumah tangga sendiri. Wanita kepala rumah tangga adalah wanita yang belum kawin, cerai atau janda, dan tinggal sendiri atau bersama anak-anak atau anggota rumah tangga lainnya, serta mengurus rumah tangganya sendiri terpisah dari orang lain. Berdasarkan status sosial tersebut, wanita menjadi kepala rumah tangga yang bertanggung jawab atas rumah tangganya dan menjadi pencari nafkah utama. Hal tersebut akan berlaku juga bagi wanita yang memiliki suami yang tidak mampu secara fisik atau mental untuk mengelola rumah tangganya. Jadi, dapat disimpulkan bahwa wanita dapat disebut sebagai kepala rumah tangga apabila bercerai (cerai mati atau cerai hidup), ditinggal merantau suami atau merantau tanpa suami, belum menikah (lajang), suami yang tidak mampu secara fisik atau mental memenuhi kebutuhan rumah tangganya. Karakteristik Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) Karakteristik yang melekat pada diri WKRT terkait dengan usia, status perkawinan, pendidikan, dan lamanya menjadi WKRT. Gardiner dan Surbakti (1991) menyatakan bahwa sebagian besar WKRT berusia 45 tahun atau lebih dibandingkan Pria Kepala Rumah Tangga (PKRT), status perkawinan WKRT lebih beragam dibandingkan PKRT yang secara umum statusnya menikah, pendidikan WKRT jauh lebih rendah dibandingkan PKRT, dan perbedaan pendidikan WKRT dan PKRT di desa lebih besar dari di kota. Pendidikan WKRT umumnya lebih rendah dibandingkan PKRT karena budaya pada saat mereka muda lebih mengutamakan pendidikan untuk anak laki-laki. Pendidikan WKRT yang rendah memberikan peluang kecil dalam memasuki pasaran kerja. Perbedaan jumlah anggota yang mencari nafkah, pendidikan, dan peluang bekerja juga menyebabkan ketimpangan kesejahteraan antar WKRT yang berstatus cerai mati. Hasil penelitian Wigna (1990) juga menyatakan bahwa umumnya tingkat pendidikan WKRT rendah, yaitu mayoritas berpendidikan SD ke bawah, sedangkan sebagian kecil berpendidikan SMP dan SMA. Berdasarkan status perkawinannya, PKRT banyak yang mempunyai status kawin, sedangkan cerai mati dan hidup lebih banyak dimiliki oleh WKRT. Sajogyo et al. (1989) menyatakan bahwa pendidikan WKRT yang umumnya rendah menyebabkan mereka baru mampu meraih pekerjaan yang tidak membutuhkan keterampilan.

5 Hasil penelitian Rianingsih (2005) menunjukkan bahwa pendidikan perempuan yang menjadi kepala rumah tangga mayoritas tidak sekolah. Pendidikan perempuan rata-rata rendah karena berbagai sebab, yaitu alasan ekonomi orang tua, pandangan terhadap pendidikan yang masih minim, anggapan pendidikan bukan investasi namun pemborosan pada zaman ketika mereka masih kecil. Hasil penelitiannya juga menunjukkan bahwa mayoritas usia WKRT sekitar tahun, berdasarkan status perkawinan mayoritas cerai mati, jumlah tanggungan mayoritas sebesar 1-3 orang, berdasarkan lamanya menjadi kepala rumah tangga mayoritas 1-10 tahun. Aplikasi gender di masyarakat turut mempengaruhi kondisi wanita kepala rumah tangga. WKRT seringkali kesulitan dalam memperoleh pekerjaan yang menghasilkan upah tinggi karena pendidikan mereka yang umumnya rendah. Pendidikan yang rendah menyebabkan mereka baru mampu meraih pekerjaan yang tidak membutuhkan keterampilan. Secara umum, hasil penelitian mengenai wanita kepala rumah tangga memperlihatkan kenyataan di lapangan bahwa pendidikan WKRT lebih rendah dibandingkan pria kepala rumah tangga. Pandangan orang tua dulu, pendidikan yang tinggi diperuntukan untuk anak lakilaki karena anak perempuan diasumsikan akan bekerja di sektor domestik. Penelitian Wigna (1990) menunjukkan bahwa pendidikan wanita kepala rumah tangga umumnya rendah dan status pekerjaan wanita kepala rumah tangga cenderung sektor tradisional dan informal. Gardiner (1991) dalam Gardiner dan Surbakti (1991) menyatakan, pengaruh pendidikan cukup berkaitan erat dengan perbedaan lapangan kerja antara wanita kepala rumah tangga dan pria kepala rumah tangga. Faktor umur, status perkawinan dan terutama pendidikan WKRT yang lebih rendah dari PKRT menyebabkan WKRT kurang terwakili sebagai tenaga pengelola. Menurut Sajogyo et al. (1989), tingkat pendidikan kepala rumah tangga wanita berkorelasi positif dengan tingkat kesejahteraan mereka: Jenis pekerjaan yang terjangkau oleh kategori tingkat kesejahteraan rendah ialah kurang menuntut keterampilan dari hasil pendidikan yang tidak tinggi, yaitu buruh tani dan petani tak bertanah. Jenis pekerjaan yang terjangkau oleh kategori tingkat kesejahteraan menengah sudah mulai menuntut keahlian yang terkait dengan pendidikan, yaitu sektor pertanian dan non pertanian. Sedangkan jenis pekerjaan yang terjangkau oleh kategori tingkat kesejahteraan tinggi menuntut keahlian khusus yang diperoleh melalui pendidikan tinggi, yaitu sektor non pertanian. Tingkat pendidikan wanita kepala rumah tangga juga memiliki ikatan dengan tingkat status sosial ekonomi, makin tinggi pendidikan wanita makin tinggi pula status sosial ekonomi rumah tangganya. Wigna (1990) juga menyatakan bahwa pekerjaan tambahan lebih beragam untuk PKRT dibandingkan WKRT. 9 Faktor yang Menyebabkan Peningkatan Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) Seringkali wanita yang menjadi kepala rumah tangga bukan secara sukarela tetapi situasi buruklah yang telah memaksa mereka memimpin rumah tangga. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan wanita menjadi kepala rumah tangga, yaitu industrialisasi, perceraian, dan migrasi. Gejala peningkatan jumlah WKRT yang ada di Indonesia sebagian besar karena usia dan perbedaan mortalitas antara pria dan wanita sehingga gejala WKRT didominasi oleh mereka

6 10 yang tua dan berstatus cerai mati. Hubeis (2010) menyatakan bahwa wanita sebagai pencari nafkah utama di Indonesia sebesar 14%-17% dan akan terus bertambah karena migrasi musiman, keluarga berantakan, kematian atau permanen migran dari male breadwinner, inilah alasan bertambahnya WKRT. Sajogyo dalam Gardiner dan Surbakti (1991) menyatakan bahwa perubahan masyarakat dari masyarakat pertanian ke industri telah mendorong berkembangnya rumah tangga yang dikepalai oleh wanita di pedesaan dan perkotaan. Industrialisasi turut mengubah pandangan wanita di mana wanita menjadi lebih individu dan mementingkan pekerjaannya. Hal ini berdampak pada pandangan bahwa waktu adalah uang dan wanita yang bekerja memungkinkan akan memperpanjang masa lajangnya. Dengan demikian akan semakin banyak wanita yang mandiri dan mengundurkan usia pernikahannya. Banyaknya migrasi keluar kampungnya juga turut menyumbang peningkatan jumlah wanita kepala rumah tangga. Hal tersebut berlaku pada kondisi wanita yang telah kawin bermigrasi tanpa suaminya atau ditinggal bermigrasi oleh suaminya. Data di salah satu daerah penelitian yang berlokasi di Kabupaten Kubu Raya, Karawang menunjukkan bahwa banyak wanita yang mencari nafkah di Arab Saudi sebagai Tenaga Kerja Wanita (TKW) (Akhmadi et al. 2011). Banyak dari mereka yang pergi meninggalkan kampungnya. Mata pencaharian sebagai buruh migran tersebut menyebabkan mereka merantau ke luar dari kampung halamannya sehingga mereka menjadi kepala rumah tangga. Sajogyo (1989), menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat kesejahteraan rumah tangga maka semakin jauh meninggalkan sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian. Tidak heran jika banyak wanita yang merantau keluar kampung halamannya mencari pekerjaan yang lebih baik untuk penghidupan rumah tangganya. Perceraian juga turut menyumbang peningkatan wanita kepala rumah tangga, baik cerai hidup maupun cerai mati. Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita menjadi kepala rumah tangga karena suami mereka secara finansial tidak bertanggung jawab (ditinggal suami karena menikah lagi dengan perempuan lain, suami tidak mau bekerja atau tidak mau menafkahi). Penelitian Akhmadi et al. (2011) mengidentifikasikan 265 kasus perceraian di 4 lokasi penelitian. Kasus yang terjadi disebabkan berbagai alasan, yaitu kekerasan dalam rumah tangga, kawin kontrak, pernikahan dini, dan perselingkuhan. Perceraian tidak hanya terjadi di daerah pedesaan tetapi juga terjadi di perkotaan. Proporsi wanita kepala rumah tangga yang berstatus cerai mati dan cerai hidup lebih tinggi di desa dibandingkan di kota. Status cerai mati umumnya lebih banyak dimiliki oleh wanita kepala rumah tangga karena pria kepala rumah tangga umumnya berstatus kawin, Gardiner (1991) dalam Gardiner dan Surbakti (1991); Wigna (1990); Rianigsih (2005) juga memperlihatkan bahwa usia wanita kepala rumah tangga lebih tua dari pria kepala rumah tangga. Posisi Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) terhadap Hukum di Indonesia Dalam sebuah rumah tangga terdapat peran-peran yang melekat bagi anggotanya. Peran-peran tersebut muncul karena ada pembagian peran tugas di dalam rumah tangga. Umumnya di Indonesia, suami berperan sebagai kepala

7 rumah tangga dalam mencari nafkah dan istri berperan sebagai ibu rumah tangga yang mengurus rumah. Pembagian peran ini tidak lain berdasarkan atas ajaran agama dan nilai-nilai budaya yang dianut oleh masyarakat Indonesia, di mana pria ditempatkan sebagai jenis kelamin yang memiliki kemampuan lebih tinggi dibandingkan jenis kelamin lainnnya, yakni wanita. Nilai-nilai tersebut menjadi dasar dari kebijakan pemerintah, seperti kebijakan yang mengatur pembagian peran antara suami dan istri yang tertuang dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun Seiring perkembangan zaman, nilai-nilai budaya di Indonesia mengalami pergeseran. Hal ini dapat dilihat dari fakta di lapangan di mana Data Susenas Indonesia tahun 2007 menunjukkan bahwa jumlah rumah tangga yang dikepalai wanita mencapai 13.60% atau sekitar 6 juta rumah tangga yang mencakup lebih dari 30 juta penduduk. Sementara berdasarkan penelitian PEKKA data tahun 2001 menunjukkan kurang dari 13%, adanya kecenderungan peningkatan rumah tangga yang dikepalai wanita rata-rata 0.1% per tahun (PEKKA 2012). Data terbaru tahun 2012 dari Lombok menyatakan bahwa 973 perempuan di Kabupaten Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat berperan menjadi kepala rumah tangga karena menggantikan peran kaum pria dalam mencari kebutuhan hidup keluarga (Republika 2012). Fakta tersebut menunjukkan bahwa peran wanita sebagai kepala rumah tangga mengalami peningkatan. Keberadaan rumah tangga yang dikepalai oleh wanita di Indonesia umumnya belum diakui di masyarakat terutama WKRT secara de facto. Beberapa penelitian di lapangan menunjukkan bahwa posisi wanita lemah jika dibandingkan oleh pria, sehingga rumah tangga yang dikepalai oleh wanita seringkali dikaitkan dengan kemiskinan. Munti (1999) menjelaskan bahwa: Seringkali perempuan sebagai kepala rumah tangga harus melakukan upaya ekstra (lebih) agar hak-haknya terlindungi. Seperti dalam mengurus pajak, untuk mendapatkan PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak), ia harus terlebih dahulu membuktikan dirinya sebagai kepala keluarga melalui surat keterangan yang menerangkan hal tersebut (Munti 1999:8). Kondisi wanita kepala rumah tangga mengakibatkan tidak adanya pembagian kerja yang seimbang dengan anggota keluarga lainnya. Hal ini berpengaruh terhadap beban berlebih yang harus ditanggung oleh wanita, karena di satu sisi ia harus menghidupi rumah tangganya, sementara di satu sisi tetap dituntut sebagai istri yang melakukan kegiatan domestik. Menurut Munti (1999), tidak adanya pengakuan terhadap wanita kepala rumah tangga juga terlihat dari berbagai kebijakan-kebijakan negara lainnya, yaitu: 1. Kebijakan mengenai peran dalam UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pengaturan mengenai peran dan fungsi suami dan istri tercantum dalam beberapa pasal, yaitu pada pasal 31 ayat 3 yang berbunyi: Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. Pasal ini secara jelas mendukung pembagian peran berdasarkan jenis kelamin dan mutlak menguatkan pola pikir masyarakat. Selain itu, semakin dipertegas dalam pasal 34 yang berbunyi: suami wajib melindungi istri dan istri wajib mengatur rumah tangga sebaik-baiknya. Pada satu sisi, menurut Munti (1999) pasal 31 dan 34 dalam UU Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ini tidak sejalan dengan kebijakan lainnya, yaitu kebijakan 11

8 12 mengenai peran ganda yang tercantum didalam GBHN tahun 1993 yang menyebutkan: Wanita, baik sebagai warga negara maupun sebagai sumber daya insani pembangunan, mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban, serta kesempatan yang sama dengan pria untuk berperan dalam pembangunan di segala bidang dan tingkatan. Peranan wanita sebagai mitra sejajar dengan pria diwujudkan melalui peningkatan kemandirian peran aktifnya dalam pembangunan, termasuk upaya mewujudkan keluarga beriman dan bertakwa, sehat, sejahtera, dan bahagia serta untuk pengembangan anak, remaja, dan pemuda dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya (Munti 1999:14). 2. Kebijakan UU Nomor 25 Tahun 1997 mengenai ketenagakerjaan Menurut Munti (1999), peraturan perundang-undangan mengenai ketenagakerjaan umumnya melarang diadakannya perbedaan imbalan antara pekerja pria dengan pekerja wanita, namun kenyataan di lapangan berbeda. Buruh wanita sering dianggap sebagai lajang, sehingga tidak mendapatkan tunjangan keluarga seperti yang didapatkan oleh buruh pria. Dalam penelitian Sajogyo et al. (1989) juga menyatakan bahwa hanya 15 responden dari 60 responden yang telah kawin dan dicatat kawin ditempat kerjanya sehingga berpengaruh terhadap penghasilan mereka. Hal tersebut karena ada asumsi atau pandangan bahwa pria sebagai pencari nafkah utama dan wanita hanya sebagai pencari nafkah tambahan. Selain itu, pada UU Nomor 25 Tahun 1997 tentang ketenagakerjaan pasal 98 melarang wanita untuk bekerja pada malam hari dengan alasan harus melayani keluarga. Pandangan ini sangat dipengaruhi oleh pengaturan pembagian peran suami dan istri yang terpola dalam masyarakat dan UU Perkawinan. Adanya peraturan tersebut jelas membatasi hak dan ekonomi perempuan dalam bekerja. Kebijakan-kebijakan tersebut menunjukkan bahwa posisi wanita terutama wanita sebagai kepala rumah tangga sangat lemah jika dibandingkan dengan pria sebagai kepala rumah tangga. Lemahnya posisi tersebut merupakan akibat dari adanya nilai-nilai tertentu yang dikembangkan oleh masyarakat maupun oleh negara. Selain itu, hubungan antar jenis kelamin yang yang tidak seimbang juga diperkuat oleh negara dengan UU Perkawinan Nomor 1 Tahun Nilai-nilai dan kebijakan tersebut pada akhirnya mempengaruhi wanita kepala rumah tangga dalam ekonomi, politik, dan sosial. Peluang Bekerja dan Berusaha Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) Bekerja diartikan sebagai aktivitas melakukan pekerjaan dengan maksud memperoleh atatu membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan dan lamanya bekerja paling sedikit 1 jam secara terus menerus dalam seminggu yang lalu (BPS 2012). Sajogyo et al. (1989) menyatakan bahwa setiap perubahan yang menggeser wanita dari pekerjaan yang ada tanpa menggantinya dengan kesempatan kerja yang lebih baik dan juga sistem administrasi yang membatasi wanita untuk menjangkau berbagai kemudahan berarti akan merugikan rumah tangga miskin. Peluang berusaha dari lapisan rumah tangga yang mampu atau tidak mampu dalam pola nafkah yang berganda, yaitu usaha tani sendiri, berburuh tani, berdagang, usaha kerajinan tangan dan mencari pangan serta keperluan dari alam bebas.

9 Kegiatan di nonpertanian semakin bertambah jumlahnya. Namun, peluang kerja di sektor pertanian belum dibarengi dengan kenaikan peluang kerja di sektor nonpertanian sehingga berkembangnya sektor informal sangat penting untuk menguatkan perekonomian negara, apalagi partisipasi wanita dalam sektor ini tidak bisa diabaikan. Hal ini diungkapkan oleh Sajogyo et al. (1989), bahwa kegiatan di bidang industri dan perdagangan merupakan kegiatan yang ideal bagi wanita di pedesaan yang memiliki peran ganda, yaitu sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah. Widayati (1991) juga menyatakan bahwa maksimisasi pendapatan dipraktekkan oleh banyak WKRT melalui berbagai cara, seperti mengkaryakan tenaga kerja keluarga secara maksimal dan pekerjaan ganda, sistem bagi hasil dan penyerahan hak garap kepada anak dengan imbalan terserah anak, memberi tumpangan tempat tinggal dan makan pada menantu dan anak tirinya dengan imbalan tenaga. Usaha-usaha yang dilakukan oleh WKRT memberikan sumbangan terhadap peluang kerja dan usaha di sektor lainnya yang terkait, seperti industri pembuatan kue yang menyumbang peningkatan akan permintaan komoditas pertanian, industri kerajinan yang memberikan peluang usaha kerajinan. Sajogyo et. al (1989) menyatakan bahwa peluang bekerja bagi wanita di pedesaan di sektor dagang, industri, dan jasa dapat meningkatkan pendapatan rumah tangganya, meningkatkan potensi wanita untuk mengambil keputusan di berbagai aspek kehidupan. Data sensus penduduk menunjukkan bahwa persentase kepala rumah tangga wanita yang bekerja di pedesaan dari tahun 2009 hingga 2011 meningkat sebesar 1.29% dibandingkan kepala rumah tangga pria di pedesaan yang meningkat sebesar 0.53% dalam kurun waktu 2009 hingga Namun, jika dilihat persentasenya wanita kepala rumah tangga yang bekerja di pedesaaan masih terbilang sedikit, yaitu sebesar 67.32% tahun 2011 dibandingkan pria kepala rumah tangga yang bekerja di pedesaaan, yaitu sebesar 95.33% tahun Sementara itu jika dilihat pada provinsi Jawa Barat, persentase kepala rumah tangga wanita yang bekerja di pedesaan dari tahun 2009 hingga 2011 meningkat sebesar 4.44% dibandingkan kepala rumah tangga pria di pedesaan yang meningkat sebesar 1.40% dalam kurun waktu 2009 hingga Namun, jika dilihat persentasenya pada provinsi Jawa Barat wanita kepala rumah tangga yang bekerja di pedesaaan masih terbilang sedikit, yaitu sebesar 57.84% tahun 2011 dibandingkan pria kepala rumah tangga yang bekerja di pedesaaan, yaitu sebesar 95.05% tahun 2011 (BPS 2011). Peluang pekerjaan bagi WKRT sangat terbatas dan didukung dengan minimnya keterampilan sehingga pekerjaan yang banyak tersedia ialah pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga dan sebagian besar responden berpenghasilan rendah (Habib 2010). Sementara itu, kehidupan WKRT di pedesaaan cenderung karena tuntutan yang berasal dari dalam diri. Widayati (1991), mengatakan bahwa..wanita sebagai kepala keluarga di pedesaan sudah terkondisi untuk memikul beban ekonomi rumah tangga (membantu mencari nafkah). Namun, masih ada kesulitan WKRT dalam memperoleh pekerjaan karena lapangan pekerjaan yang kurang beragam dan lebih didominasi oleh pria. Kesulitan dalam bekerja, jenis pekerjaan yang mayoritas informal pada akhirnya mengakibatkan tingkat pendapatan yang diperolehnya tergolong rendah. Hubeis (2010) menyatakan bahwa sebagian besar angkatan kerja wanita bekerja di sektor informal, dengan alasan fleksibilitas durasi kerja, tidak 13

10 14 mensyaratkan pendidikan tinggi, dan dapat diakhiri kapan saja dikehendaki. Pekerjaan wanita yang berada di sektor informal terkait dengan usaha di bidang pangan dan nonpangan serta jasa. Banyaknya wanita yang bekerja di lingkup rumah tangga atau di lahan pertanian milik keluarga diakibatkan stereotipe peran wanita yang menganggap bahwa pekerjaan tersebut sebagai perpanjangan pekerjaan domestik yang mereka lakukan. Hubeis (2010) juga menyatakan bahwa kesenjangan lapangan pekerjaan berbasis gender antara pria dan wanita semakin melebar dari tahun ke tahun pada sektor sekunder dan tersier (nonpertanian). Wanita yang berusaha seringkali mengalami kesulitan dalam hal permodalan terutama dalam mengaksesnya. Akses permodalan yang diberikan pemerintah sudah cukup banyak, namun tidak semua program ditujukan khusus kepada wanita sehingga sedikit wanita pengusaha (terutama yang kecil) yang terjaring oleh program tersebut. Jika ada sebagian besar diorientasikan pada pekerjaan-pekerjaan domestik yang biasa dilakukan wanita. Hubeis (2010) berdasarkan studi tentang penyempurnaan kredit dari Menneg dan studi program di Aceh-Nias menyatakan beberapa hal, sebagai berikut: 1. Sebagian besar wanita pengusaha informal dengan skala usaha sangat kecil dan tidak memiliki aspek legalitas yang disyaratkan dalam pengajuan kredit ke bank; 2. Banyak kepemilikan wanita pengusaha terdaftar atas nama pria (suami), walaupun pengelolaan usaha dilakukan oleh wanita; 3. Secara legalitas dan regulasi perbankan tidak ditemukan adanya diskriminasi gender pada prosedur dan persyaratan calon debitur perbankan; 4. Minimal besaran kredit menjadi hambatan utama bagi wanita karena kebanyakan dari mereka berusaha dalam skala yang kecil sehingga sulit memenuhi persyaratan perbankan; 5. Kebanyakan pinjaman yang langsung ke masyarakat dibuat untuk pedagang dan pemuka masyarakat yang menjadi anggota dan yang mengatur pinjaman yang diterima oleh masyarakat yang bersangkutan. Dalam kehidupan sosialnya WKRT kurang mendapatkan perhatian karena masih adanya pandangan bahwa pria yang berperan dalam pencari nafkah utama. Hal ini menyebabkan masalah-masalah yang dihadapi oleh rumah tangga yang dikepalai wanita kurang mendapat perhatian dalam pembangunan. Hal tersebut juga berdampak pada keterbatasan perempuan mendapatkan akses dan kontrol terhadap sumber daya. Rianingsih (2005) menyatakan, Kehidupan perempuan kepala keluarga merupakan persoalan kelas dimana perempuan berada pada strata yang paling rendah dibawah garis kemiskinan, selain itu juga persoalan gender yang menimbulkan ketidakadilan terhadap perempuan sehingga perempuan berada pada posisi marginalisasi, stereotipe, kekerasan, subordinat, dan beban ganda. Asumsi tersebut seringkali berlaku juga di perusahaan di mana WKRT bekerja. Penelitian Ihromi (1990) memperlihatkan bahwa wanita kurang diperhatikan dan kurang mendapatkan haknya. Hasil penelitian di dua provinsi memperlihatkan bahwa terdapat pembedaan gaji antara pria dan wanita, suami atau pria dianggap sebagai pencari nafkah, tenaga kerja wanita yang sudah kawin dianggap sebagai lajang, surat perjanjian pada umumnya sudah ditetapkan oleh

11 perusahaan lebih dahulu dan tidak disusun berdasarkan hasil perundingan dengan penerima kerja. Hal-hal ini berdampak pada wanita kepala rumah tangga yang tidak dapat memperoleh tunjangan keluarga, karyawan wanita mendapat perlakuan yang kurang adil dalam hal tunjangan dan fasilitas kesehatan, bantuan dana ketika seorang tenaga kerja meninggal juga tidak dapat diterima oleh duda dari tenaga kerja wanita karena jelas dalam peraturan dimuat bahwa jandalah yang berhak menerima dana. Pada beberapa perusahaan, tenaga kerja wanita yang sudah kawin dianggap sebagai lajang, jika wanita tersebut menjadi janda dan ingin mendapat tunjangan untuk anak-anaknya maka harus membuktikan lewat hukum. Hal tersebut berbeda dengan pria yang memiliki tanggungan anak-anak, mereka tidak perlu membuktikannya lewat hukum. Selain itu, masih terdapat asumsi bahwa yang berperan di sektor publik adalah pria. Hal ini diperlihatkan pada penelitian LP3ES (1998) di mana wanita kepala rumah tangga yang akan berhubungan dengan birokrasi lembaga keuangan memanfaatkan anak laki-laki terutama yang pendidikannya tertinggi di rumah tangga. 15 Kerangka Pemikiran Jumlah WKRT terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Gardiner (1991) dalam Gardiner dan Surbakti (1991), menyatakan bahwa jumlah WKRT mengalami peningkatan sebesar 1% dan 1.2% per tahun untuk periode dan Sementara pada tahun 2001 menunjukkan kurang dari 13%, adanya kecenderungan peningkatan rumah tangga yang dikepalai wanita rata-rata 0.1% per tahun (PEKKA 2012). BPS (2011) juga menyatakan jumlah WKRT di Indonesia sebesar 13.91% pada tahun 2010 dan 14.29% pada tahun Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan wanita menjadi kepala rumah tangga, yaitu industrialisasi, perceraian, dan migrasi. Kuatnya nilai sosial budaya patriarkhi di Indonesia lalu didukung dengan adanya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 yang menyebabkan semakin kuatnya ideologi gender di masyarakat. Ideologi gender tertanam sejak masa kanak-kanak sehingga seringkali menjadi pedoman dalam bersikap dan berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Adanya ideologi gender yang dipengaruhi oleh konstruksi sosial budaya mengakibatkan ketidakadilan gender, seperti subordinasi, marginalisasi, beban kerja banyak, kekerasan, dan stereotipe. Hal tersebut menyebabkan kepala rumah tangga wanita sering didiskriminasi haknya dalam berbagai bidang seperti sosial politik, ekonomi, kesehatan, maupun pendidikan. Sementara itu, WKRT harus memenuhi kebutuhan kehidupannya dengan bekerja dan berusaha. Posisi yang kurang menguntungkan ini tentunya akan berdampak pada peluang bekerja dan berusaha WKRT di mana hal ini berhubungan dengan tingkat upah yang diperolehnya. Namun, wanita dalam hal ini WKRT kurang diberikan kesempatan kerja. BPS (2011) melalui Susenas tahun , angka partisipasi kerja wanita yang menjadi kepala rumah tangga lebih rendah (61.72%) dibandingkan angka partisipasi kerja pria yang menjadi kepala rumah tangga (92.80%). Ideologi yang tidak sadar gender akan berdampak pada peluang bekerja dan berusaha WKRT yang sulit, yaitu sulit dalam bekerja, sulit mencari pinjaman, dan jenis pekerjaan yang termasuk nonformal. Peluang bekerja dan berusaha akan

12 16 berpengaruh terhadap tingkat upah yang diperoleh oleh WKRT. Berdasarkan uraian sebelumnya maka akan dijelaskan keterkaitan antara beberapa variabel sehingga dapat menggambarkan kajian peluang bekerja dan berusaha Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) yang digambarkan sebagai berikut: Faktor penyebab : 1. Industrialisasi 2. Perceraian (cerai hidup dan cerai mati) 3. Migrasi Peluang bekerja dan berusaha wanita kepala rumah tangga Ideologi gender 1. Usaha mencari pekerjaan 2. Faktor pendukung berusaha 3. Kesulitan pinjaman 4. Jenis pekerjaan Tingkat upah Karakteristik wanita kepala rumah tangga 1. Usia 2. Lamanya menjadi WKRT 3. Tanggungan anak Keterangan : : mempengaruhi : mempengaruhi (tidak diuji statistik) : mempengaruhi (tidak diuji statistik) Gambar 1 Kerangka analisis Hipotesis Penelitian Berdasarkan hasil kerangka pemikiran di atas, dapat disusun hipotesis uji sebagai berikut: 1. Diduga terdapat hubungan antara ideologi gender dengan peluang bekerja dan berusaha wanita kepala rumah tangga; 2. Diduga terdapat hubungan antara karakteristik dengan peluang bekerja dan berusaha wanita kepala rumah tangga;

13 3. Diduga terdapat hubungan antara peluang bekerja dan berusaha wanita kepala rumah tangga dengan tingkat upah. 17 Definisi Operasional Penelitian ini menggunakan beberapa istilah operasional yang digunakan untuk mengukur variabel. Masing-masing variabel terlebih dahulu diberi batasan sehingga dapat ditentukan indikator pengukurannya. Istilah-istilah tersebut, yaitu: 1. Rumah tangga adalah seseorang atau sekelompok orang yang yang biasanya tinggal bersama dalam satu bangunan serta pengelolaan makan dari satu dapur, maksudnya jika pengurusan kebutuhan sehari-harinya dikelola bersama-sama jadi satu. 2. Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) secara de jure, yaitu wanita yang memang hidup berumah tangga sendiri dalam arti tidak menikah, atau bercerai, baik cerai hidup maupun cerai mati. Sementara itu secara de facto, wanita yang menjadi kepala rumah tangga ialah karena wanita itu merantau tanpa suami atau wanita itu ditinggal merantau oleh suaminya dan berumah tangga sendiri, dan wanita yang suaminya tidak mampu secara fisik atau mental sebagai pengelola rumah tangga. 3. Ideologi gender adalah suatu pemikiran yang dianut masyarakat mengenai perbedaan antara pria dan wanita dalam hal akses dan kontrol. Lalu ideologi gender akan dikelompokkan menjadi ideologi tidak sadar gender apabila terdapat pemikiran bahwa terdapat perbedaan antara pria dan wanita dalam hal akses dan kontrol, sedangkan ideologi sadar gender apabila terdapat pemikiran bahwa tidak terdapat perbedaan antara pria dan wanita dalam hal akses dan kontrol. Cara mengukurnya: a. Akses adalah kesempatan untuk menggunakan sumber daya ataupun hasilnya tanpa memiliki wewenang untuk mengambil keputusan. Akses diukur dengan pernyataan tidak setuju (skor 2), dan setuju (skor 1) b. Kontrol adalah kewenangan dalam mengambil keputusan. Kontrol diukur dengan pertanyaan tidak setuju (skor 2), dan setuju (skor 1) Jadi, ideologi gender diukur dengan menjumlah seluruh alat ukur akses dan kontrol, skor terendah 1 x 10 = 10; dan skor tertinggi 2 x 10 = 20 Maka ideologi tidak sadar gender bila skor: Maka ideologi sadar gender bila skor: Peluang bekerja dan berusaha adalah kesempatan bagi seseorang untuk memperoleh pekerjaan dan melakukan usaha dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup pokoknya untuk membina kesejahteraan rumah tangganya agar lebih baik dari keadaan sebelumnya. Peluang bekerja dan berusaha diukur dengan menggunakan alat ukur, yaitu usaha mencari pekerjaan, faktor pendukung berusaha, kesulitan pinjaman, dan jenis pekerjaan. Cara mengukurnya: a. Usaha mencari pekerjaan diukur dengan pertanyaan tidak (skor 2), dan ya (skor 1) Jadi, kesulitan usaha dalam mencari pekerjaan diukur dengan menjumlah seluruh alat ukur, skor terendah 1 x 6 = 6; dan skor tertinggi 2 x 6 = 12

14 18 Maka kesulitan usaha mencari pekerjaan sulit (skor 1) bila skor: 6-9 Maka kesulitan usaha mencari pekerjaan mudah (skor 2) bila skor: b. Faktor pendukung berusaha diukur dengan pertanyaan tidak (skor 2), dan ya (skor 1) Jadi, faktor pendukung berusaha diukur dengan menjumlah seluruh alat ukur proses pekerjaan, skor terendah 1 x 5 = 5; dan skor tertinggi 2 x 5 = 10 Maka faktor pendukung berusaha rendah (skor 1) bila skor: 5-7 Maka faktor pendukung berusaha tinggi (skor 2) bila skor: 8-10 c. Kesulitan pinjaman adalah kondisi di masyarakat dalam mencari pinjaman berupa uang, diukur dengan pertanyaan tidak (skor 2), dan ya (skor 1). d. Jenis pekerjaan dibagi menjadi pekerjaan nonformal dan formal. Jenis pekerjaan nonformal, yaitu pekerjaan yang tidak memiliki aturan tertulis dan pekerjaan formal, yaitu pekerjaan yang memiliki aturan tertulis. Cara mengukurnya, jenis pekerjaan nonformal (skor 1) dan formal (skor 2). Jadi, total keseluruhan peluang bekerja dan berusaha diukur dengan menjumlah seluruh alat ukur, skor terendah 1x4= 4; dan skor tertinggi 2x4=8 Maka peluang bekerja dan berusaha sulit (skor 1) bila skor: 4-6 Maka peluang bekerja dan berusaha mudah (skor 2) bila skor: Tingkat upah adalah besarnya penghasilan yang diperoleh dari kegiatan bekerja dan berusaha yang dinilai dengan uang yang diperoleh selama satu bulan (dalam satuan rupiah). Tingkat upah dilihat berdasarkan upah rata-rata WKRT yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan (data emik), yaitu: Upah tinggi (skor 2) : > Rp Upah rendah (skor 1) : Rp Karakteristik WKRT adalah sesuatu hal yang melekat pada diri WKRT dan menggambarkan diri WKRT. Karakteristik dilihat dari usia, lamanya menjadi WKRT, dan tanggungan anak. Penentuan skor 1 digunakan untuk kategori yang tidak diinginkan oleh peneliti sedangkan skor 2 digunakan untuk kategori yang diinginkan oleh peneliti. a. Usia adalah jumlah tahun sejak responden lahir hingga penelitian ini berlangsung. Usia dikategorikan berdasarkan data emik, yaitu: Usia muda (skor 2) : 47 tahun Usia tua (skor 1) : >47 tahun b. Lamanya menjadi WKRT adalah jumlah tahun sejak menjadi WKRT hingga penelitian ini berlangsung. Lamanya menjadi WKRT dikategorikan berdasarkan data emik, yaitu: Baru (skor 1) : 14 tahun Lama (skor 2) : >14 tahun c. Tanggungan anak adalah jumlah anak yang dimiliki oleh WKRT. Tanggungan anak dikategorikan berdasarkan data emik, yaitu: Sedikit (skor 2) : 3 anak Banyak (skor 1) : >3 anak

PELUANG BEKERJA DAN BERUSAHA WANITA KEPALA RUMAH TANGGA DAN PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT UPAH DI DESA CIHIDEUNG UDIK KABUPATEN BOGOR

PELUANG BEKERJA DAN BERUSAHA WANITA KEPALA RUMAH TANGGA DAN PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT UPAH DI DESA CIHIDEUNG UDIK KABUPATEN BOGOR PELUANG BEKERJA DAN BERUSAHA WANITA KEPALA RUMAH TANGGA DAN PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT UPAH DI DESA CIHIDEUNG UDIK KABUPATEN BOGOR FEMY AMALIA ARIZI PUTRI DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seiring dengan perkembangan Indonesia kearah modernisasi maka semakin banyak peluang bagi perempuan untuk berperan dalam pembangunan. Tetapi berhubung masyarakat

Lebih terperinci

Kesehatan reproduksi dalam perspektif gender. By : Fanny Jesica, S.ST

Kesehatan reproduksi dalam perspektif gender. By : Fanny Jesica, S.ST Kesehatan reproduksi dalam perspektif gender By : Fanny Jesica, S.ST DEFINISI KESEHATAN REPRODUKSI K E S P R Suatu keadaan kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang utuh, bebas dari penyakit dan kecacatan

Lebih terperinci

IDEOLOGI GENDER DAN KEHIDUPAN WANITA KEPALA RUMAH TANGGA (WKRT)

IDEOLOGI GENDER DAN KEHIDUPAN WANITA KEPALA RUMAH TANGGA (WKRT) IDEOLOGI GENDER DAN KEHIDUPAN WANITA KEPALA RUMAH TANGGA (WKRT) 31 Ideologi Gender Ideologi gender adalah suatu pemikiran yang dianut oleh masyarakat yang mempengaruhi WKRT (Wanita Kepala Rumah Tangga)

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Faktor yang Mempengaruhi Wanita Bekerja Dalam penelitian yang dilakukan oleh Riyani, dkk (2001) mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan wanita untuk bekerja adalah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perempuan dengan laki-laki, ataupun dengan lingkungan dalam konstruksi

BAB I PENDAHULUAN. perempuan dengan laki-laki, ataupun dengan lingkungan dalam konstruksi BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Sistem nilai, norma, stereotipe, dan ideologi gender telah lama dianggap sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi posisi serta hubungan antara perempuan dengan laki-laki,

Lebih terperinci

PELUANG BEKERJA DAN BERUSAHA SERTA PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT UPAH WANITA KEPALA RUMAH TANGGA (WKRT)

PELUANG BEKERJA DAN BERUSAHA SERTA PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT UPAH WANITA KEPALA RUMAH TANGGA (WKRT) PELUANG BEKERJA DAN BERUSAHA SERTA PENGARUHNYA TERHADAP TINGKAT UPAH WANITA KEPALA RUMAH TANGGA (WKRT) 39 Peluang Bekerja dan Berusaha Wanita Kepala Rumah Tangga (WKRT) Peluang bekerja dan berusaha adalah

Lebih terperinci

PENDEKATAN TEORITIS. Tinjauan Pustaka

PENDEKATAN TEORITIS. Tinjauan Pustaka 5 PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Konsep Gender Gender merupakan suatu konsep yang merujuk pada peran dan hubungan antara laki-laki dan perempuan yang tidak ditentukan oleh perbedaan biologis, tetapi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan fisik seperti makan, minum, pakaian dan perumahan tetapi juga non. (ketetapan-ketetapan MPR dan GBHN 1998).

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan fisik seperti makan, minum, pakaian dan perumahan tetapi juga non. (ketetapan-ketetapan MPR dan GBHN 1998). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan Indonesia diarahkan untuk pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat seluruhnya. Termasuk dalam proses pembangunan adalah usaha masyarakat untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perempuan karir, dalam segala levelnya, kian hari kian mewabah. Dari posisi pucuk pimpinan negara, top executive, hingga kondektur bus bahkan tukang becak. Hingga kini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masih memandang mereka sebagai subordinat laki-laki. Salah satu bentuk

BAB I PENDAHULUAN. masih memandang mereka sebagai subordinat laki-laki. Salah satu bentuk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Konstruksi budaya patriarki yang masih mengakar kuat di Indonesia hingga saat ini, mengakibatkan posisi perempuan semakin terpuruk, terutama pada kelompok miskin. Perempuan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Peran Pekerjaan dan Keluarga Fenomena wanita bekerja di luar rumah oleh banyak pihak dianggap sebagai sesuatu yang relatif baru bagi masyarakat Indonesia. Kendati semakin lumrah,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu isu yang muncul menjelang berakhirnya abad ke-20 adalah persoalan gender. Isu tentang gender ini telah menjadi bahasan yang memasuki setiap analisis sosial. Gender

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang luas. Tanaman tertentu adalah tanaman semusim dan atau tanaman

BAB I PENDAHULUAN. yang luas. Tanaman tertentu adalah tanaman semusim dan atau tanaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkebunan merupakan aktivitas budi daya tanaman tertentu pada lahan yang luas. Tanaman tertentu adalah tanaman semusim dan atau tanaman tahunan yang jenis

Lebih terperinci

BAB II. Kajian Pustaka. Studi Kesetaraan dan Keadilan Gender Dalam Pembangunan 9

BAB II. Kajian Pustaka. Studi Kesetaraan dan Keadilan Gender Dalam Pembangunan 9 BAB II Kajian Pustaka Studi Kesetaraan dan Keadilan Gender Dalam Pembangunan 9 Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) sudah menjadi isu yang sangat penting dan sudah menjadi komitmen bangsa-bangsa di dunia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan agraris, dimana terdiri dari banyak pulau dan sebagian besar mata pencaharian penduduknya bercocok tanam atau petani. Pertanian

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN. gagasan anti poligami (Lucia Juningsih, 2012: 2-3). keterbelakangan dan tuntutan budaya.

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN. gagasan anti poligami (Lucia Juningsih, 2012: 2-3). keterbelakangan dan tuntutan budaya. BAB II KAJIAN TEORI DAN PENELITIAN YANG RELEVAN A. Kajian Teori 1. Gagasan Emansipasi Kartini Tiga gagasan yang diperjuangkan Kartini yaitu emansipasi dalam bidang pendidikan, gagasan kesamaan hak atau

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Behavior dalam Pandangan Nitze tentang Perspektif Tuan dan Buruh Sosiologi perilaku memusatkan perhatian pada hubungan antara pengaruh perilaku seorang aktor terhadap lingkungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrat sebagai ciptaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrat sebagai ciptaan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Gender Istilah gender diketengahkan oleh para ilmuwan sosial untuk menjelaskan mana perbedaan perempuan dan laki-laki yang bersifat kodrat sebagai ciptaan Tuhan dan mana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian masih menjadi sumber mata pencaharian utama bagi masyarakat Indonesia. Pada tahun 2010 diperhitungkan sekitar 0,8 juta tenaga kerja yang mampu diserap dari berbagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Patriarki adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok otoritas utama yang sentral dalam organisasi sosial. Kebanyakan sistem patriarki juga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberantas kemiskinan yang tujuannya untuk mensejahterakan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. memberantas kemiskinan yang tujuannya untuk mensejahterakan masyarakat. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kajian perempuan merupakan suatu kajian yang sangat menarik perhatian. Hal ini terbukti banyak penelitian tentang kaum perempuan. Perempuan merupakan hal penting

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Berdasarkan BPS (2010), jumlah penduduk miskin di Indonesia mengalami penurunan sebesar 1,5 juta orang. Pada Maret 2009, jumlah penduduk miskin sebesar 32,5 juta orang, sedangkan

Lebih terperinci

BAB V BEBAN GANDA WANITA BEKERJA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

BAB V BEBAN GANDA WANITA BEKERJA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA BAB V BEBAN GANDA WANITA BEKERJA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA 5.1 Beban Ganda Beban ganda wanita adalah tugas rangkap yang dijalani oleh seorang wanita (lebih dari satu peran) yakni sebagai ibu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Di negara sedang berkembang kemiskinan adalah masalah utama. Menurut Chambers (1983), kemiskinan yang dialami oleh sebagian besar rakyat di negara sedang berkembang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan kerja sangatlah terbatas (Suratiyah dalam Irwan, 2006)

BAB I PENDAHULUAN. kesempatan kerja sangatlah terbatas (Suratiyah dalam Irwan, 2006) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara umum masalah utama yang sedang dihadapi secara nasional adalah sedikitnya peluang kerja, padahal peluang kerja yang besar dalam aneka jenis pekerjaan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perempuan adalah tiang penyangga dalam rumah tangga. Istilah tersebut menunjukkan bahwa perempuan memiliki posisi vital di tengah-tengah keluarga dengan segala fungsi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar belakang Dampak dari krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997 adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun drastis.

PENDAHULUAN Latar belakang Dampak dari krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997 adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun drastis. 1 PENDAHULUAN Latar belakang Dampak dari krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997 adalah pertumbuhan ekonomi Indonesia menurun drastis. Meskipun perekonomian Indonesia mengalami peningkatan, tetapi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. ontribusi sosial budaya. Perbedaan peran ini bukan disebabkan perbedaan

TINJAUAN PUSTAKA. ontribusi sosial budaya. Perbedaan peran ini bukan disebabkan perbedaan TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Gender Gender menggambarkan peran laki-laki dan perempuan sebagai hasil dari ontribusi sosial budaya. Perbedaan peran ini bukan disebabkan perbedaan biologis, melainkan oleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pada masyarakat yang menganut sistem patriarkhi seringkali menempatkan lakilaki

BAB I PENDAHULUAN. Pada masyarakat yang menganut sistem patriarkhi seringkali menempatkan lakilaki 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada masyarakat yang menganut sistem patriarkhi seringkali menempatkan lakilaki pada posisi dan kekuasaan yang lebih dominan dibandingkan perempuan. Secara

Lebih terperinci

GENDER DALAM PERKEMBANGAN MASYARAKAT. Agustina Tri W, M.Pd

GENDER DALAM PERKEMBANGAN MASYARAKAT. Agustina Tri W, M.Pd GENDER DALAM PERKEMBANGAN MASYARAKAT Agustina Tri W, M.Pd Manusia dilahirkan o Laki-laki kodrat o Perempuan Konsekuensi dg sex sbg Laki-laki Sosial Konsekuensinya dg sex sbg Perempuan 2 Apa Pengertian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keluarga merupakan suatu kelompok primer yang sangat erat. Yang dibentuk karena kebutuhan akan kasih sayang antara suami dan istri. (Khairuddin, 1985: 104).Secara historis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN. peran wanita berbeda bagi setiap masyarakat (Hutajulu, 2004).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN. peran wanita berbeda bagi setiap masyarakat (Hutajulu, 2004). BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka Perilaku keluarga dan peran serta setiap individu anggota keluarga akan membantu kita untuk mengerti

Lebih terperinci

2015 PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA DAN MENULIS PADA IBU-IBU AISYIYAH MELALUI STRATEGI PEMBELAJARAN PARTISIPATIF BERORIENTASI KECAKAPAN HIDUP

2015 PENINGKATAN KEMAMPUAN MEMBACA DAN MENULIS PADA IBU-IBU AISYIYAH MELALUI STRATEGI PEMBELAJARAN PARTISIPATIF BERORIENTASI KECAKAPAN HIDUP 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Pendidikan diyakini sebagai salah satu institusi yang memiliki peran sentral dan strategis dalam proses transformasi sosial serta pemberdayaan insani,

Lebih terperinci

1Konsep dan Teori Gender

1Konsep dan Teori Gender 1Konsep dan Teori Gender Pengantar Dalam bab ini akan disampaikan secara detil arti dan makna dari Gender, serta konsepsi yang berkembang dalam melihat gender. Hal-hal mendasar yang perlu dipahami oleh

Lebih terperinci

ANALISIS HASIL PENELITIAN

ANALISIS HASIL PENELITIAN 69 VI. ANALISIS HASIL PENELITIAN Bab ini membahas hubungan antara realisasi target pertumbuhan ekonomi dan pengeluaran pemerintah terhadap ketimpangan gender di pasar tenaga kerja Indonesia. Pertama, dilakukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pekerja atau buruh. Oleh karena itu seorang tenaga kerja sebagai subyek

BAB I PENDAHULUAN. pekerja atau buruh. Oleh karena itu seorang tenaga kerja sebagai subyek BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tenaga kerja merupakan modal utama pembangunan masyarakat nasional Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tujuan terpenting dalam pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. adang nutu. Syair yang terjemahan bebasnya berbunyi ; Balada kue putu, lelaki

BAB I PENDAHULUAN. adang nutu. Syair yang terjemahan bebasnya berbunyi ; Balada kue putu, lelaki BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Emplek-emplek menir ketepu, wong lanang goleke kayu wong wadon sing adang nutu. Syair yang terjemahan bebasnya berbunyi ; Balada kue putu, lelaki carilah kayu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perempuan di Indonesia. Diperkirakan persen perempuan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. perempuan di Indonesia. Diperkirakan persen perempuan di Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Menikah di usia muda masih menjadi fenomena yang banyak dilakukan perempuan di Indonesia. Diperkirakan 20-30 persen perempuan di Indonesia menikah di bawah usia

Lebih terperinci

Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya

Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya Pemahaman Progresif tentang Hak Perempuan atas Waris, Kepemilikan Tanah, dan Kepemilikan Harta Benda lainnya Beberapa Istilah Penting terkait dengan Hak Perempuan atas Waris dan Kepemilikan Tanah: Ahli

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keluarga juga tempat dimana anak diajarkan paling awal untuk bergaul dengan orang lain.

BAB I PENDAHULUAN. keluarga juga tempat dimana anak diajarkan paling awal untuk bergaul dengan orang lain. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keluarga merupakan suatu tempat dimana anak bersosialisasi paling awal, keluarga juga tempat dimana anak diajarkan paling awal untuk bergaul dengan orang lain. Keluarga

Lebih terperinci

BAB V KONDISI KERJA PEKERJA CV. MEKAR PLASTIK INDUSTRI

BAB V KONDISI KERJA PEKERJA CV. MEKAR PLASTIK INDUSTRI 37 BAB V KONDISI KERJA PEKERJA CV. MEKAR PLASTIK INDUSTRI Kondisi kerja pekerja CV. Mekar Plastik merupakan perlakuan perusahaan kepada pekerja, baik laki maupun perempuan yang meliputi pembagian kerja

Lebih terperinci

Pemahaman Analisis Gender. Oleh: Dr. Alimin

Pemahaman Analisis Gender. Oleh: Dr. Alimin Pemahaman Analisis Gender Oleh: Dr. Alimin 1 2 ALASAN MENGAPA MENGIKUTI KELAS GENDER Isu partisipasi perempuan dalam politik (banyak caleg perempuan) Mengetahui konsep gender Bisa menulis isu terkait gender

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah di negara manapun. Salah satu aspek penting untuk mendukung strategi

Lebih terperinci

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT AGRARIS DAN INDUSTRI. dalam kode hukum sipil meiji ( ) ( Fukute, 1988:37 ).

BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT AGRARIS DAN INDUSTRI. dalam kode hukum sipil meiji ( ) ( Fukute, 1988:37 ). BAB II GAMBARAN UMUM TENTANG MASYARAKAT AGRARIS DAN INDUSTRI 2.1. Masyarakat Agraris Sejak zaman tokugawa sampai akhir perang dunia II, sistem keluarga Jepang diatur oleh konsep Ie dan bahkan mendapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra.

BAB I PENDAHULUAN. berperan penting atau tokoh pembawa jalannya cerita dalam karya sastra. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Karya sastra memuat perilaku manusia melalui karakter tokoh-tokoh cerita. Hadirnya tokoh dalam suatu karya dapat menghidupkan cerita dalam karya sastra. Keberadaan

Lebih terperinci

Menjadi manajer di rumah sendiri, jauh lebih terhormat

Menjadi manajer di rumah sendiri, jauh lebih terhormat Menjadi manajer di rumah sendiri, jauh lebih terhormat Perempuan bekerja bukan lagi pemandangan langka. Ada yang bergaji tinggi sebagaimana karyawan kantoran yang berbekal titel, ada pula pegawai rendahan

Lebih terperinci

Perpustakaan Unika LAMPIRAN

Perpustakaan Unika LAMPIRAN LAMPIRAN LAMPIRAN A Skala Penelitian A-1 SKALA SIKAP SUAMI TERHADAP ISTRI BEKERJA A-2 SKALA KESADARAN KESETARAAN GENDER LAMPIRAN A-1 Skala SIKAP SUAMI TERHADAP ISTRI BEKERJA LAMPIRAN A-2 Skala KESADARAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai makhluk sosial manusia mempunyai naluri untuk bisa hidup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai makhluk sosial manusia mempunyai naluri untuk bisa hidup BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai makhluk sosial manusia mempunyai naluri untuk bisa hidup bersama dengan manusia yang lain terutama ketertarikan lawan jenis untuk membentuk sebuah keluarga

Lebih terperinci

V. STRUKTUR PASAR TENAGA KERJA INDONESIA

V. STRUKTUR PASAR TENAGA KERJA INDONESIA 63 V. STRUKTUR PASAR TENAGA KERJA INDONESIA Bab berikut membahas struktur pasar tenaga kerja yang ada di Indonesia. Tampak bahwa sebagian besar tenaga kerja Indonesia terserap di sektor jasa. Sektor jasa

Lebih terperinci

BAB III PERCERAIAN DI KALANGAN EKS TKI DI DESA GENUK WATU KECAMATAN NGORO KABUPATEN JOMBANG

BAB III PERCERAIAN DI KALANGAN EKS TKI DI DESA GENUK WATU KECAMATAN NGORO KABUPATEN JOMBANG BAB III PERCERAIAN DI KALANGAN EKS TKI DI DESA GENUK WATU KECAMATAN NGORO KABUPATEN JOMBANG A. Diskripsi Keluarga Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Desa Genuk Watu Kecamatan Ngoro Kabupaten Jombang 1. Keagamaan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. 1 http ://cianjur.go.id (diakses15 Mei 2011)

PENDAHULUAN. 1 http ://cianjur.go.id (diakses15 Mei 2011) PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan pertanian mempunyai peranan yang strategis dalam penyerapan tenaga kerja yang ada di Indonesia, yaitu dengan tingginya penyerapan tenaga kerja sekitar 44 persen dari

Lebih terperinci

BAB VII HUBUNGAN SOSIALISASI PERAN GENDER DALAM KELUARGA ANGGOTA KOPERASI DENGAN RELASI GENDER DALAM KOWAR

BAB VII HUBUNGAN SOSIALISASI PERAN GENDER DALAM KELUARGA ANGGOTA KOPERASI DENGAN RELASI GENDER DALAM KOWAR BAB VII HUBUNGAN SOSIALISASI PERAN GENDER DALAM KELUARGA ANGGOTA KOPERASI DENGAN RELASI GENDER DALAM KOWAR Norma dan nilai gender dalam masyarakat merujuk pada gagasan-gagasan tentang bagaimana seharusnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengubah keadaan tertentu menjadi kondisi yang lebih baik. Perubahan itu harus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengubah keadaan tertentu menjadi kondisi yang lebih baik. Perubahan itu harus 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan sebuah upaya multi dimensional untuk mengubah keadaan tertentu menjadi kondisi yang lebih baik. Perubahan itu harus disertai peningkatan harkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tersebut berdasarkan pada jenis kelamin tentunya terdiri atas laki-laki dan

BAB I PENDAHULUAN. tersebut berdasarkan pada jenis kelamin tentunya terdiri atas laki-laki dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penduduk suatu negara merupakan sumber daya manusia yang memiliki potensi atau peranan yang cukup besar dalam pembangunan ekonomi. Penduduk tersebut berdasarkan pada

Lebih terperinci

BAB I. berkomunikasi, bahkan ketika kita sendiripun, kita tetap melakukan. komunikasi. Sebagai sebuah aktivitas, komunikasi selalu dilakukan manusia.

BAB I. berkomunikasi, bahkan ketika kita sendiripun, kita tetap melakukan. komunikasi. Sebagai sebuah aktivitas, komunikasi selalu dilakukan manusia. BAB I 1.1 Latar Belakang Masalah Komunikasi merupakan salah satu istilah paling populer dalam kehidupan manusia dan tidak bisa dipisahkan dari roda kehidupan manusia setiap orang membutuhkan komunikasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kerja di dalam negeri sangat terbatas sehinga menyebabkan banyak Tenaga Kerja

BAB I PENDAHULUAN. kerja di dalam negeri sangat terbatas sehinga menyebabkan banyak Tenaga Kerja BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 27 ayat 2 menyatakan bahwa Setiap warga Negara Republik Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan

Lebih terperinci

BAB III PERNIKAHAN ANAK DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL

BAB III PERNIKAHAN ANAK DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL BAB III PERNIKAHAN ANAK DI KABUPATEN GUNUNGKIDUL Pernikahan anak menjadi salah satu persoalan sosial di Kabupaten Gunungkidul. Meskipun praktik pernikahan anak di Kabupaten Gunungkidul kian menurun di

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan kualitas sumberdaya manusia di Indonesia masih perlu mendapat prioritas dalam pembangunan nasional. Berdasarkan laporan United Nation for Development Programme

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Perselingkuhan sebagai..., Innieke Dwi Putri, FIB UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Perselingkuhan sebagai..., Innieke Dwi Putri, FIB UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karya sastra menggambarkan jiwa masyarakat. Karya sastra sebagai interpretasi kehidupan, melukiskan perilaku kehidupan manusia yang terjadi dalam masyarakat. Segala

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN. Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Komunikasi manusia banyak dipengaruhi oleh budaya yang diyakini yaitu budaya yang melekat pada diri seseorang karena telah diperkenalkan sejak lahir. Dengan kata lain,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISTIK RESPONDEN Sebelum membahas pola pembagian peran dalam keluarga responden, terlebih dahulu akan di jelaskan mengenai karakteristik responden yang akan dirinci

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia

BAB I PENDAHULUAN. tentunya sangat berkaitan dengan hidup dan kehidupan manusia serta kemanusiaan. Ia 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra merupakan salah satu cabang kesenian yang selalu berada dalam peradaban manusia semenjak ribuan tahun lalu. Penelitian terhadap karya sastra penting

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 me 2.1.1 Pengertian me Seligman (1991) menyatakan optimisme adalah suatu pandangan secara menyeluruh, melihat hal yang baik, berpikir positif dan mudah memberikan makna bagi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor produksi yang penting karena manusia merupakan pelaku dan sekaligus

BAB I PENDAHULUAN. faktor produksi yang penting karena manusia merupakan pelaku dan sekaligus BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada masa pembangunan sekarang ini sumber daya manusia merupakan faktor produksi yang penting karena manusia merupakan pelaku dan sekaligus tujuan pembangunan. Produktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan produk tidak hanya

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan produk tidak hanya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keberhasilan perusahaan dalam menghasilkan produk tidak hanya tergantung pada keunggulan teknologi, sarana dan prasarana, melainkan juga tergantung pada kualitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dilakukannya di kehidupan sehari-hari, sehingga akan terjadi beberapa masalah

BAB I PENDAHULUAN. dilakukannya di kehidupan sehari-hari, sehingga akan terjadi beberapa masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perempuan merupakan makhluk yang diciptakan dengan berbagai kelebihan, sehingga banyak topik yang diangkat dengan latar belakang perempuan. Kelebihan-kelebihan

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM RESPONDEN

BAB V GAMBARAN UMUM RESPONDEN BAB V GAMBARAN UMUM RESPONDEN 5.1. Usia Usia responden dikategorikan menjadi tiga kategori yang ditentukan berdasarkan teori perkembangan Hurlock (1980) yaitu dewasa awal (18-40), dewasa madya (41-60)

Lebih terperinci

Konsep Dasar Gender PERTEMUAN 4 Ira Marti Ayu Kesmas/ Fikes

Konsep Dasar Gender PERTEMUAN 4 Ira Marti Ayu Kesmas/ Fikes Konsep Dasar Gender PERTEMUAN 4 Ira Marti Ayu Kesmas/ Fikes KEMAMPUAN AKHIR YANG DIHARAPKAN Mahasiswa mampu menguraikan dan menjelaskan mengenai Konsep Dasar Gender dalam kespro Konsep dasar gender Pengertian

Lebih terperinci

GENDER DAN PENDIDIKAN: Pengantar

GENDER DAN PENDIDIKAN: Pengantar GENDER DAN PENDIDIKAN: Pengantar 90 menit Managed by IDP Education Australia IAPBE-2006 TUJUAN Peserta mampu: 1. Memahami konsep gender sebagai konstruksi sosial 2. Memahami pengaruh gender terhadap pendidikan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perempuan Indonesia memiliki peranan dan kedudukan sangat penting sepanjang perjalanan sejarah. Kiprah perempuan di atas panggung sejarah tidak diragukan lagi. Pada tahun

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Karakteristik Responden A. Umur Kisaran umur responden yakni perempuan pada Kasus LMDH Jati Agung III ini adalah 25-64 tahun dengan rata-rata umur 35,5 tahun. Distribusi

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1. Tinjauan Pustaka Suatu pengkajian tentang wanita dan kerja perlu dihubungkan dengan keadaan masyarakat pada umumnya.

Lebih terperinci

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

BAB II PENDEKATAN TEORITIS 6 BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1.Konsep dan Teori Mobilitas Penduduk Istilah umum bagi gerak penduduk dalam demografi adalah population mobility atau secara lebih khusus territorial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Karya sastra merupakan gambaran tentang kehidupan yang ada dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Karya sastra merupakan gambaran tentang kehidupan yang ada dalam 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan gambaran tentang kehidupan yang ada dalam masyarakat. Kehidupan sosial, kehidupan individu, hingga keadaan psikologi tokoh tergambar

Lebih terperinci

KONDISI SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA PERIKANAN DI DESA TANJUNG PASIR

KONDISI SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA PERIKANAN DI DESA TANJUNG PASIR 31 KONDISI SOSIAL EKONOMI RUMAH TANGGA PERIKANAN DI DESA TANJUNG PASIR Pengertian kondisi sosial ekonomi adalah suatu keadaan atau kedudukan yang diatur secara sosial dan menetapkan seseorang dalam posisi

Lebih terperinci

BAB V PROFIL RUMAHTANGGA MISKIN DI DESA BANJARWARU

BAB V PROFIL RUMAHTANGGA MISKIN DI DESA BANJARWARU BAB V PROFIL RUMAHTANGGA MISKIN DI DESA BANJARWARU Secara umum, rumahtangga miskin di Desa Banjarwaru dapat dikatakan homogen. Hal ini terlihat dari karakteristik individu dan rumahtangganya. Hasil tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkawinan merupakan suatu lembaga suci yang bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah menjadi

Lebih terperinci

BAB II. Kajian Pustaka. hukum adat. Harta orangtua yang tidak bergerak seperti rumah, tanah dan sejenisnya

BAB II. Kajian Pustaka. hukum adat. Harta orangtua yang tidak bergerak seperti rumah, tanah dan sejenisnya BAB II Kajian Pustaka 2.1. Perempuan Karo Dalam Perspektif Gender Dalam kehidupan masyarakat Batak pada umumnya dan masyarakat Karo pada khususnya bahwa pembagian harta warisan telah diatur secara turun

Lebih terperinci

Perpustakaan Unika LAMPIRAN

Perpustakaan Unika LAMPIRAN LAMPIRAN LAMPIRAN A Data Kasar A-1 DATA KASAR SIKAP TERHADAP POLIGAMI A-2 DATA KASAR KESADARAN KESETARAAN GENDER LAMPIRAN A-1 Data Kasar SIKAP TERHADAP POLIGAMI LAMPIRAN A-2 Data Kasar KESADARAN KESETARAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengarang menciptakan karya sastra sebagai ide kreatifnya. Sebagai orang yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Karya sastra tercipta sebagai reaksi dinamika sosial dan kultural yang terjadi dalam masyarakat. Terdapat struktur sosial yang melatarbelakangi seorang pengarang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam

BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peran kaum perempuan Indonesia dalam menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tidaklah kecil. Perjuangan perempuan Indonesia dalam menegakkan NKRI dipelopori

Lebih terperinci

Kesetaraan Gender dan Pembangunan di Indonesia

Kesetaraan Gender dan Pembangunan di Indonesia Kesetaraan Gender dan Pembangunan di Indonesia Oleh: Chitrawati Buchori and Lisa Cameron Maret 2006 Kesetaraan Gender dan Pembangunan di Indonesia Kemajuan signifikan yang mengarah pada pencapaian keseimbangan

Lebih terperinci

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Salah satu masalah pokok yang dihadapi Pemerintah Indonesia sebagai negara

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Salah satu masalah pokok yang dihadapi Pemerintah Indonesia sebagai negara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Salah satu masalah pokok yang dihadapi Pemerintah Indonesia sebagai negara sedang berkembang adalah jumlah penduduk yang besar dengan tingkat pertumbuhan yang tinggi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki

BAB 1 PENDAHULUAN. Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Gender adalah perbedaan jenis kelamin berdasarkan budaya, di mana lakilaki dan perempuan dibedakan sesuai dengan perannya masing-masing yang dikonstruksikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada pertengahan tahun 1997 banyak menyebabkan munculnya masalah baru, seperti terjadinya PHK secara besar-besaran, jumlah pengangguran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Permasalahan Pernikahan merupakan suatu hal yang dinantikan dalam kehidupan manusia karena melalui sebuah pernikahan dapat terbentuk satu keluarga yang akan dapat melanjutkan

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN Letak Geografis Secara administratif Kota Yogyakarta berada di bawah pemerintahan Propinsi DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta) yang merupakan propinsi terkecil setelah Propinsi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kepada setiap warganegara untuk memperoleh pendidikan. Karena itu

BAB I PENDAHULUAN. kepada setiap warganegara untuk memperoleh pendidikan. Karena itu 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan Nasional telah memberikan kesempatan yang seluasluasnya kepada setiap warganegara untuk memperoleh pendidikan. Karena itu dalam penerimaan siswa,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Jatiwangi merupakan wilayah yang memproduksi genteng, baik genteng

BAB I PENDAHULUAN. Jatiwangi merupakan wilayah yang memproduksi genteng, baik genteng 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jatiwangi merupakan wilayah yang memproduksi genteng, baik genteng nok, wuwung maupun genteng biasa bahkan genteng glasir. Pada tahu 1980an pabrik genteng mengalami

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN TEORITIS BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1 Remaja 2.1.1 Definisi Remaja Masa remaja adalah periode transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan biologis, kognitif, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penting dan strategis dalam pembangunan serta berjalannya perekonomian bangsa.

BAB I PENDAHULUAN. penting dan strategis dalam pembangunan serta berjalannya perekonomian bangsa. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Buruh adalah salah satu bagian sosial dari bangsa yang seharusnya dianggap penting dan strategis dalam pembangunan serta berjalannya perekonomian bangsa. Opini masyarakat

Lebih terperinci

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Oleh: Chandra Dewi Puspitasari Pendahuluan Kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga memiliki tanggung jawab terbesar dalam pengaturan fungsi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga memiliki tanggung jawab terbesar dalam pengaturan fungsi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keluarga memiliki tanggung jawab terbesar dalam pengaturan fungsi reproduksi dan memberikan perlindungan kepada anggota keluarga dalam masyarakat. Keluarga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu indikator dari pemberdayaan masyarakat adalah kemampuan dan kebebasan untuk membuat pilihan yang terbaik dalam menentukan atau memperbaiki kehidupannya.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. A. LATAR BELAKANG Timbulnya anggapan bahwa kaum perempuan lebih lemah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. LATAR BELAKANG Timbulnya anggapan bahwa kaum perempuan lebih lemah BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Timbulnya anggapan bahwa kaum perempuan lebih lemah daripada kaum laki-laki masih dapat kita jumpai saat ini. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang telah dikonstruksikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Agroforestri Secara umum agroforestri adalah manajemen pemanfaatan lahan secara optimal dan lestari, dengan cara mengkombinasikan kegiatan kehutanan dan pertanian

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA A. Pengertian Perkawinan Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974. Pengertian perkawinan menurut Pasal

Lebih terperinci