PROGRAM BREEDING SAPI POTONG BRAHMAN CROSS (STUDI KASUS DI PT WIDODO MAKMUR PERKASA, CIKALONG KULON, CIANJUR, JAWA BARAT) FAHMI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PROGRAM BREEDING SAPI POTONG BRAHMAN CROSS (STUDI KASUS DI PT WIDODO MAKMUR PERKASA, CIKALONG KULON, CIANJUR, JAWA BARAT) FAHMI"

Transkripsi

1 PROGRAM BREEDING SAPI POTONG BRAHMAN CROSS (STUDI KASUS DI PT WIDODO MAKMUR PERKASA, CIKALONG KULON, CIANJUR, JAWA BARAT) FAHMI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

2 RINGKASAN FAHMI. Prorgram Breeding Sapi Potong Brahman Cross (Studi Kasus di PT Widodo Makmur Perkasa, Cikalong Kulon, Cianjur, Jawa Barat). Di bawah bimbingan R. KURNIA ACHJADI. Prorgam breeding sapi potong brahman cross berperan penting dalam meningkatkan populasi sapi brahman cross di Indonesia untuk mencukupi kebutuhan daging nasional. Studi kasus ini bertujuan untuk mengetahui program breeding yang dilakukan di PT Widodo Makmur Perkasa (PT WMP) serta berbagai masalah yang sering muncul dalam pemeliharaannya. Studi ini dilakukan berdasarkan metode survei deskriptif dengan pengumpulan data primer melalui wawancara dengan staf dan pegawai di PT WMP dan data sekunder diperoleh dari data yang telah ada di PT WMP serta literatur. Hasil studi menunjukan program breeding yang dilakukan di PT WMP adalah program inseminasi buatan dengan nilai conception rate (CR) sebesar 46% dan nilai service per conception (S/C) 1,5. Kelainan yang sering muncul dalam pemeliharaan sapi brahman cross yaitu distokia dan abortus. Kata kunci: PT Widodo Makmur Perkasa, Sapi Brahman Cross, dan Inseminasi Buatan.

3 ABSTRACT FAHMI. Brahman Cross Cattle Breeding Program (Case Study in PT Widodo Makmur Perkasa, Cikalong Kulon, Cianjur, Jawa Barat). Under direction of R. KURNIA ACHJADI. Brahman Cross cattle breeding progam plays an important role in improving the brahman cross cattle population in Indonesia to meet the needs of national meat. This case study aims to determine the applied breeding programs in PT Widodo Makmur Perkasa (PT WMP) and various problems that often arise in raising brahman cross cattle.this study was based on a descriptive survey method of collecting primary data through interviews of staff and several workers at PT WMP and secondary data obtained from the existing data in PT WMP and literature. The results of the study showed that breeding program conducted at PT WMP is an program artificial insemination with a value of conception rate (CR) is 46% and the value of service per conception (S / C) is 1,5. Some disorder that often arise in Brahman Cross cattle is distochia and abortion. Key words: PT. Widodo Makmur Perkasa, Brahman Cross Cattle, and artificial insemination

4 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan skripsi Program Breeding Sapi Potong Brahman Cross (Studi Kasus di PT Widodo Makmur Perkasa, Cikalong Kulon, Cianjur, Jawa Barat) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Februari 2010 NIM B Fahmi

5 Hak Cipta Milik IPB, tahun 2010 Hak cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, menuliskan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tideak merugikan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

6 PROGRAM BREEDING SAPI POTONG BRAHMAN CROSS (STUDI KASUS DI PT WIDODO MAKMUR PERKASA, CIKALONG KULON, CIANJUR, JAWA BARAT) FAHMI Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

7 Judul Nama NIM : Program Breeding Sapi Potong Brahman Cross (Studi Kasus di PT Widodo Makmur Perkasa, Cikalong Kulon, Cianjur, Jawa Barat) : Fahmi : B Disetujui Dosen Pembimbing Drh. R. Kurnia Achjadi, MS NIP Diketahui Wakil Dekan Dr. dra. Nastiti Kusumorini NIP Tanggal Lulus :

8 PRAKATA Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas semua nikmat yang telah diberikan kepada penulis dalam menjalani hidup hingga penulis bisa menyelesaikan studi dan skripsi dengan baik di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (FKH IPB). Judul skripsi yang diambil adalah Program Breeding Sapi Brahman Cross (Studi Kasus di PT Widodo Makmur Perkasa, Cikalong Kulon, Cianjur, Jawa Barat). Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan, bantuan dan dukungan baik moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1 Bapak Drh. R. Kurnia Achjadi, MS selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dalam memberikan bimbingan, arahan, dan nasihat yang membangun serta motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 2 Ibu Dr. Drh. Hj. Upik Kesumawati Hadi, MS sebagai dosen pembimbing akademik yang telah banyak memberikan nasehat dan memotivasi penulis dalam menjalankan studi di FKH IPB serta menjadi orang tua penulis dalam menyelesaikan studi. 3 Bapak Ir. Hariyanto, MBA selaku general manager PT Widodo Makmur Perkasa atas izin yang telah diberikan untuk melakukan studi kasus ini. 4 Bapak Bertha Yudhistira, S.Pt beserta seluruh staff PT Widodo Makmur Perkasa Cianjur yang telah membantu dalam pengumpulan data 5 Keluarga tercinta (Bapak, Mamah, kang Riza, kang Egi dan kang Risyda) atas cinta, kasih sayang, kelembutan, perhatian serta pengorbanannya baik moral maupun materi kepada penulis. 6 Hamidah yang telah banyak berkorban dan memberikan semangat serta kasih sayang disetiap waktunya kepada penulis. 7 Teman-teman seperjuangan di KEJEVET (Wandi, Ferdi, Syifa, Ikhsan), goblet FKH 42, dan Himpunan Mahasiswa Tjiandjoer (HIMAT). 8 Bapak Drh. Rahmat Hidayat, M.Si atas kesediaan bapak mengajarkan saya kesabaran dan ikhlas serta kesempatan yang telah diberikan kepada saya untuk berpetualang di fakultas tercinta. 9 Winda Aryani Asyifa dan Khairunnisa Pratikno yang telah memberikan semangat dan kasih sayang kepada penulis. 10 Syamsuddin Fathi yang telah memberikan nuansa berbeda dalam hidup terutama dalam hal bebagi pengalaman kehidupan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Februari 2010 Fahmi

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 22 Agustus 1988 di Cianjur, Jawa Barat. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara, putra pasangan Bapak Haerudin Asyari dan Ibu Euis Lia Yulipah. Penulis menyelesaikan sekolah dasar di SD Negeri 2 Ciranjang pada tahun 1999, kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke SLTP Negeri 1 Ciranjang dan lulus pada tahun Pada tahun 2005 penulis menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 1 Cianjur dan diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Selama kuliah penulis aktif dalam organisasi internal maupun eksternal kampus. Untuk organisasi internal kampus, pada tahun 2006 penulis aktif sebagai anggota Himpunan Minat dan Profesi Ornithologi dan Unggas (ORNITH) dan anggota Dewan Keluarga Mushola An-nahl. Pada tahun 2007 penulis menjabat sebagai ketua komisi eksternal Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor (DPM FKH IPB) sekaligus merangkap jabatan sebagai anggota Majelis Perwakilan Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (MPM KM IPB). Untuk organisasi eksternal kampus, pada tahun 2008 penulis aktif sebagai ketua PTKP Himpunan Mahasiswa Islam (HMI Komisariat FKH IPB) dan bendahara Komunitas Petualang Kelompok Jelajah Veteriner (KEJEVET).

10 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... i DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... iv DAFTAR LAMPIRAN... v PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan... 3 TINJAUAN PUSTAKA Reproduksi Sapi Brahman Cross... 4 Cara Mengukur Performance Reproduksi... 4 Reproduksi Sapi Brahman Cross Jantan... 6 Pubertas... 6 Libido dan Kemampuan Mengawini... 7 Faktor yang Mempengaruhi Fertilitas Spermatozoa... 8 Reproduksi Sapi Brahman Cross Betina... 8 Kunci Kesuburan... 8 Siklus Reproduksi... 9 Program Breeding Manajemen Kelompok Body Condition Scores (BCS) Energi Untuk Breeding Kontrol Perkawinan Manajemen Dara Program Breeding dan Non Breeding Untuk Perbaikan Produksi Daging Nilai Genetik Sapi Brahman Cross Inseminasi Buatan Pada Sapi Sistem Breeding MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Pelaksanaan Metode Pelaksanaan Parameter yang diamati HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum PT Widodo Makmur Perkasa Stuktur Organisasi Bangsa Sapi yang Dipelihara i

11 Manajemen Peternakan Sistem Perkandangan Manajemen Pakan Manajemen Reproduksi Penampilan Reproduksi Sapi Brahman Cross Betina Penampilan Reproduksi Sapi Brahman Cross Jantan Gangguan Reproduksi KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ii

12 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 Persentase beranak dan pejantan yang tidak aktif pada peternakan rakyat di Indonesia... 7 Tabel 2 Efek dari Body Condition Score (BCS) terhadap Postpartum Interval Tabel 3 Efek Body Condition Score (BCS) terhadap persentasi kebuntingan Tabel 4 Hubungan BCS dengan rata-rata sapi bunting kembali setelah penyapihan Tabel 5 Hubungan BCS dengan kekuatan anak untuk berdiri pada kelahiran Tabel 6 Data populasi Sapi Brahman Cross pada bulan Juli Tabel 7 Pertambahan bobot badan harian sapi murni Tabel 8 Formulasi Ransum di PT Widodo Makmur Perkasa Tabel 9 Penampilan Reproduksi Sapi Brahman Cross Betina di PT Widodo Makmur Perkasa Cikalong Kulon Kabupaten Cianjur iii

13 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 Siklus Estrus Gambar 2 Sapi Brahman Cross Gambar 3 Bagan Struktur Organisasi PT Widodo Makmur Perkasa Cianjur iv

14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Lampiran Kuisioner Program Breeding Sapi Potong Brahman Cross di PT Widodo Makmur Perkasa Cianjur, Jawa Barat Lampiran 2 Foto-Foto di Peternakan PT Widodo Makmur Perkasa Cianjur, Jawa Barat Lampiran 3 Recording IB v

15 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia dalam perjalanannya pernah menjadi negara pengekspor sapi potong ke luar negeri (Hongkong pada tahun ), namun sejak tahun populasi sapi cenderung menurun dan sejak 2005 sampai saat ini ada kecenderungan untuk naik kembali ( ekor tahun 1998 dan ekor tahun 2008). Jumlah sapi yang dipotong di Indonesia saat ini mencapai jumlah 2,1 juta ekor/tahun, 1,6 juta ekor berasal dari ternak lokal dan 0,5 juta ekor berasal dari ternak impor. Impor sapi bakalan juga meningkat dari 28% (2006) menjadi 32% (2008). Jumlah pemotongan sapi untuk konsumsi masyarakat yang populasinya cenderung meningkat tidak dapat diimbangi oleh jumlah kelahiran ternak setiap tahunnya, dan apabila tidak dilakukan berbagai program yang langsung menyentuh kepada masyarakat petani peternak maka bangsa Indonesia akan terus bergantung kepada ternak dari negeri lain. Upaya pemerintah untuk mengatasi hal tersebut telah dilakukan sejak tahun 2003 dengan mengalokasikan sejumlah dana untuk mendukung perbibitan ternak di pedesaan yang dikelola dalam bentuk kelompok yang mencakup berbagai aktivitas, antara lain penyediaan bibit untuk kebutuhan lokal, perbaikan mutu pakan dan pelayanan kesehatan hewan, sistem perkawinan dan sebagainya (Achjadi 2009). Menurut Achjadi (2009) program swasembada daging yang semula dicanangkan tahun dan diperkuat dengan program percepatan swasembada daging (P2SDS) menimbulkan berbagai pro dan kontra terhadap sinyalemen tersebut dan saat ini diundur waktunya hingga tahun Dari telaahan secara makro, program yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Peternakan dalam kurun lima tahun terakhir untuk mendorong peningkatan populasi sapi betina produktif, sejak tahun telah dilakukan penyebaran ternak sapi potong jenis Brahman Cross ± 7800 ekor yang disebarkan ke 32 provinsi, 85 kabupaten dan 157 kelompok petani peternak, dan hingga tahun 2008 telah diperoleh kelahiran 4806 ekor. Dari evaluasi yang dilakukan pada tahun 2008 terhadap penyebaran sapi Brahman Cross tersebut, 11 kabupaten diantaranya mengalami berbagai masalah dan hambatan (berupa kematian induk dan anak,

16 2 penjualan ternak induk dan anak, dsb), yang antara lain disebabkan oleh SDM penerima yang tidak memadai, limgkungan budidaya yang tidak mendukung serta lemahnya penegakan aturan (low enforcement) dan aspek kelembagaan. Upaya untuk mengatasi masalah tersebut di atas terus dilakukan melalui berbagai program baik berupa teknis, peningkatan aspek koordinasi, peningkatan sarana dan prasarana, dsb. Ada beberapa sistem perbibitan yang biasa dilakukan untuk memperbaiki keturunan (generasi). Sistem yang diambil disesuaikan dengan tujuan dari pada usaha peternakan yang dilakukan atau perbaikan ternak yang direncanakan di daerah tertentu (Sosroamidjojo 1990). Menurut Sosroamidjojo (1990) sistem perbibitan yang dikenal antaranya adalah: (1) Purebreeding, ialah suatu cara dengan mengawinkan ternak jantan dan betina yang sama bangsanya. Contohnya peternakan sapi Bali di Bali dan sapi Madura di Pulau Madura. Sistem ini dimaksudkan untuk mempertinggi homozigot dari gen-gen sehingga diharapkan terjadinya sifat-sifat yang uniform dan menurun, tetapi sistim ini bila tidak disertai dengan seleksi dan pengawasan dalam perkawinan secara ketat mudah menjurus terjadinya sistem yang di sebut inbreeding; (2) Inbreeding, yakni suatu cara dimana dilakukan perkawinan antara ternak-ternak jantan dan betina yang masih ada hubungan famili; (3) Outcrosing, adalah cara yang dilakukan dengan cara mengawinkan seekor pejantan dari suatu kelompok dengan betina-betina dari kelompok lain, tetapi kesemuanya masih dalam satu ras yang sama; (4) Crossbreeding, ialah perkawinan silang dari dua bangsa ternak yang berdarah murni; serta (5) Upgrading, ialah suatu cara untuk memperbaiki mutu ternak rakyat dengan mempergunakan pejantan dari bangsa ternak yang dikenal mutunya, yang umumnya didatangkan dari luar negeri. Pejantan yang didatangkan tersebut dikawinkan dengan ternak-ternak betina setempat. Inseminasi buatan (IB) merupakan salah satu cara yang dilakukan untuk mempercepat peningkatan mutu genetik dan populasi ternak (Toliehere 1981). Inseminasi buatan merupakan suatu bentuk modifikasi memasukan semen ke dalam saluran kelamin betina melalui alat buatan manusia (Salisburry et al. 1978). Keuntungan dari inseminasi buatan adalah: 1) menambah keragaman genetik; 2)

17 3 mempermudah transportasi material genetik; 3) memperpanjang masa hidup sperma; 4) menambah efisiensi dari perkawinan antar sapi; 5) menurunkan atau mengurangi perlakuan kepada jantan atau betina yang ada di peternakan, disamping itu IB dapat pula menjaga dan mengontrol peluang terjadinya penyakit seperti brucellosis penyebab abortus. Selain itu IB mempunyai beberapa kekurangan. Kekurangan inseminasi buatan adalah Inbreeding dan memiliki potensi yang besar dalam tidak akurasinya perkawinan. Keberhasian IB tergantung pada fertilitas sperma yang digunakan, penanganan semen yang baik, waktu yang tepat dan posisi yang benar (Cole dan Cupps, 1977). Permasalahan reproduksi yang sering terjadi menyertai proses IB bisa dari faktor teknis maupun hewannya sendiri. Faktor teknis yaitu kesalahan operator dalam melakukan proses inseminasi. Sedangkan faktor hewannya yaitu keadaan fisiologis reproduksi hewan tidak normal yang meliputi abortus, retensio sekundinae, hipofungsi ovari, dan repeat breeder. Seluruh aktivitas reproduksi baik pada hewan jantan maupun betina dipengaruhi oleh daya kerja hormon. Tetapi pada hewan betina kerja hormon ini sangat kompleks, mulai dari terjadinya siklus berahi, ovulasi, fertilisasi sampai dengan proses kelahiran fetus. Cara mengukur performance reproduksi adalah dengan mengukur angka kebuntingan atau Conception Rate (CR), Service per Conception (S/C) dan Calving Interval (CI) (Salisbury dan Vandemark 1985). Tujuan 1. mempelajari manajemen program breeding pada peternakan sapi potong Brahman Cross. 2. mengetahui keberhasilan IB dalam peningkatan produktivitas sapi potong Brahman Cross. 3. mengetahui masalah-masalah yang sering muncul dalam pemeliharaan sapi Brahman Cross. 4. mengetahui penampilan reproduksi sapi potong Brahman Cross dalam upaya peningkatan populasi.

18 4 TINJAUAN PUSTAKA Reproduksi Sapi Brahman Cross Cara Mengukur Performance Reproduksi Menurut Toelihere (1994) reproduksi adalah suatu kemewahan fungsi tubuh yang secara fisiologis tidak vital bagi kehidupan suatu individu tapi sangat penting bagi kelanjutan keturunan suatu jenis atau bangsa hewan. Proses reproduksi ini baru dapat berlangsung setelah hewan mencapai masa pubertas (dewasa kelamin), dimana kejadian ini diatur oleh sistem endokrin (Cole dan Cupps 1977). Sapi merupakan jenis ternak yang tergolong dalam famili Bovidae atau ruminansia, memiliki siklus reproduksi kompleks dan terintegrasi. Berbagai tingkatan fisiologis yang lebih dikenal dan lebih diperhatikan adalah: pembentukan sel kelamin (gamet) yang sehat dan normal, pelepasan gamet-gamet tersebut dari gametogenik, perkawinan untuk mempertemukan gamet jantan dan gamet betina (fertilisasi), fusi antara kedua pronuklei, pertumbuhan, diferensiasi dan perkembangan zigot sampai dengan kelahiran normal (Toelihere 1994). Untuk terjadinya proses reproduksi, dimulai dengan aktifitas organ reproduksi. Hewan jantan memiliki organ reproduksi yang meliputi organ kelamin primer atau gonad yaitu testis, organ kelamin pelengkap yang terdiri dari epididimis, duktus deferens, kelenjar vesikularis, kelenjar prostate dan kelenjar bulbouretralis, kemudian dilengkapi dengan organ untuk kopulasi yaitu penis (Noakes 1988). Hewan betina memiliki organ reproduksi yang terdiri dari organ kelamin primer dan sekunder. Organ kelamin primer mencakup ovarium yang berfungsi untuk menghasilkan ovum dan hormon kelamin betina. Organ kelamin sekunder mencakup saluran reproduksi yang terdiri dari tuba fallopii (oviduct), uterus, serviks, vagina dan vulva yang berfungsi untuk menyalurkan dan menerima sel kelamin jantan atau betina, serta sangat berperan dalam proses kelahiran (Toelihere 1994). Seluruh aktifitas reproduksi baik pada hewan jantan maupun betina dipengaruhi oleh daya kerja hormon. Tetapi pada hewan betina kerja hormon ini

19 5 sangat kompleks, mulai dari terjadinya siklus birahi, ovulasi, fertilisasi sampai dengan proses kelahiran fetus. Cara mengukur performance reproduksi adalah dengan mengukur angka kebuntingan atau Conception Rate (CR), Service per Conception (S/C) dan Calving Interval (CI) (Salisbury dan Vandemark 1985). Conception Rate (CR) Angka dari persentase sapi betina yang bunting pada inseminasi pertama disebut dengan nilai CR atau angka konsepsi yang ditentukan berdasarkan hasil diagnosa kebuntingan oleh dokter hewan dalam waktu hari sesudah inseminasi (Partodihardjo 1987). Menurut Toelihere (1993) angka konsepsi ditentukan oleh tiga faktor, yaitu: kesuburan pejantan, kesuburan betina dan teknik inseminasi. Karena pengaruh ketiga kombinasi tersebut, angka konsepsi dapat mencapai 64%. Dengan teknik inseminasi yang baik dan benar akan mempertahankan nilai tersebut. Service per Conception (S/C) Nilai S/C diperoleh dari banyaknya servis atau pelayanan IB dibagi dengan jumlah sapi yang bunting (Partodihardjo 1987). Menurut Toelihere (1993) nilai S/C normal berkisar antara 1,6 2,0. Menurut Vandeplassche (1982) nilai S/C yang rendah sangat penting dalam arti ekonomis, baik dalam perkawinan alam maupun melalui IB. Nilai S/C dianggap tidak baik apabila melebihi angka 2,0 karena hal ini menunjukan gambaran reproduksi yang tidak efisien dan akan merugikan secara ekonomis. Calving Interval (CI) Calving Interval (CI) adalah jarak antara dua kelahiran yang berurutan yang dapat dihitung dengan menjumlahkan lama kebuntingan dan jarak dari melahirkan sampai terjadi konsepsi kembali (Vanderplassche 1982). Vanderplassche melanjutkan bahwa jarak optimum untuk CI sapi adalah 12 bulan. Efisiensi yang buruk ditandai dengan interval kelahiran yang lebih panjang.

20 6 Reproduksi Sapi Brahman Cross Jantan Pubertas Definisi pubertas pada ternak peliharaan adalah bila ternak jantan telah menghasilkan spermatozoa hidup pada semennya dan dapat mengawini betina. Timbulnya pubertas pada hewan jantan ditandai oleh sifat-sifat kelamin sekunder, keinginan seksual, kesanggupan berkopulasi, dan adanya sperma hidup di dalam ejakulat. Timbulnya pubertas tidak menandakan kapasitas reproduksi sepenuhnya (Toelihere 1981). Tidak ada satu kesamaan tentang definisi pubertas pada ternak jantan, oleh karena itu umur pubertas pada ternak jantan yang dilaporkan pada berbagai laporan ilmiah sangat bervariasi, bergantung pada kriteria yang dipakai untuk mendefinisikan pubertas serta faktor-faktor yang mempengaruhi saat terjadi pubertas. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi perkembangan pubertas pada ternak jantan, tetapi faktor genetik, nutrisi dan sosial merupakan hal yang terpenting (Tomaszewska et al. 1991). Faktor genetik biasanya sebagian bertanggung jawab terhadap variasi waktu terjadinya pubertas pada ternak jantan. Dalam suatu daerah tertentu, galur yang lebih kecil umumnya lebih cepat mencapai pubertas dibandingkan galur yang lebih besar. Sebagai contoh, sapi Jersey mencapai pubertas pada umur yang lebih muda (6-8 bulan) dibandingkan sapi Santa Gertrudis (14-18 bulan) bila dipelihara pada kondisi yang sama. Sapi jantan silangan mencapai pubertas pada umur yang lebih muda daripada sapi jantan murni (Tomaszewska et al. 1991). Nutrisi merupakan salah satu faktor penting yang mengatur saat terjadinya pubertas pada ternak. Ternak muda biasanya lebih sensitif terhadap pengaruh nutrisi dibandingkan dengan ternak dewasa sebab ternak muda sedang dalam masa pertumbuhannya. Oleh karena itu, kekurangan nutrisi terutama energi akan menghambat perkembangan seksual dan pubertas. Pengaruh tersebut melalui pertumbuhan badan secara umum dan melalui fungsi endokrin. Sapi jantan yang diberi pakan masing-masing 100% dan 60% TDN mencapai pubertas pada umur 11 bulan dan 12 bulan pada bobot badan masing-masing 267 kg dan 160 kg (Tomaszewska et al. 1991).

21 7 Libido dan Kemampuan Mengawini Tomaszewska et al. (1991) menyatakan bahwa sistem manajemen setelah penyapihan dapat berpengaruh terhadap tingkah laku sosial dan seksual sapi Brahman jantan. Sapi jantan yang dilepas pada padang penggembalaan tampaknya malu-malu dan lambat mendekati sapi betina birahi dengan waktu reaksinya 40,0 ± 26, 3 menit. Libido yang dinyatakan pada waktu tertentu mungkin tidak menggambarkan potensi pejantan tersebut karena libido sangat tergantung pada faktor-faktor lingkungan disamping faktor-faktor genetika. Misalnya apabila seekor pejantan berulang-ulang berkopulasi dengan betina yang sama pada situasi yang tidak berubah, sikap acuh tak acuh secara seksual mungkin terjadi, suatu keadaan yang disebut satiasi atau kepuasan seksual (Toelihere 1994). Beberapa cara telah dipergunakan untuk menentukan libido: (a) interval antar kopulasi yang berturut-turut ; (b) jumlah kopulasi untuk mencapai kepuasan seksual apabila stimulus lingkungan tidak berubah; (c) waktu yang dibutuhkan untuk pulih kembali sesudah satiasi seksual terhadap stimulus yang sama; atau (d) derajat peninggian respons seksual terhadap hewan baru sebagai stimulus (Toelihere 1994). Menurut Tomaszewska et al. (1991) contoh masalah rendahnya libido dan persentase beranak di Indonesia diperlihatkan dalam tabel 1. Tabel 1 Persentase beranak dan pejantan yang tidak aktif pada peternakan rakyat di Indonesia Bangsa % beranak %pejantan yang tidak aktif Brahman murni Persilangan Brahman Santa Gertrudis Droughmaster Persilangan Sahiwal Sumber: Tomaszewska et al. (1991) 22,4 25,3 23,5 35,4 58,8 20,5 50,8 33,3 9,5 7,1

22 8 Faktor yang Mempengaruhi Fertilitas Spermatozoa Hewan jantan setiap harinya dapat memproduksi spermatozoa dalam jumlah yang banyak. Volume ejakulat untuk sapi adalah 5-8 ml/ejakulat, dengan jumlah spermatozoa sebanyak 3 x 10 9 (Toelihere 1994). Untuk keberhasilan perkawinan atau inseminasi buatan, semen harus diproduksi dalam jumlah dan kualitas yang baik. Kuantitas, terutama kualitas semen yang menurun memperkecil pula angka konsepsi yang dicapai. Namun demikian tidak semua faktor yang mempengaruhi angka konsepsi pada ternak diketahui dengan gamblang. Beberapa faktor yang dahulu dianggap menentukan kini mungkin tidak berarti. Namun secara garis besar, faktor-faktor yang mempengaruhi fertilitas spermatozoa diantaranya adalah pakan, suhu dan musim, frekuensi ejakulasi, penyakit, umur dan herediter (Toelihere 1994). Reproduksi Sapi Brahman Cross Betina Kunci Kesuburan Sapi betina tidak hanya memproduksi sel kelamin yang sangat penting untuk mengawali kehidupan turunan yang baru, tetapi ia menyediakan pula tempat beserta lingkungannya untuk perkembangan individu baru itu, dimulai dari waktu pembuahan ovum dan memeliharanya selama awal kehidupannya. Tugas ini dilaksanakan oleh alat reproduksi primer dan sekunder. Alat reproduksi primer, yaitu ovaria memproduksi ovum dan hormon betina. Organ reproduksi sekunder terdiri dari tuba fallopii, uterus, cerviks, vagina dan vulva. Fungsi alat-alat ini adalah menerima dan mempersatukan sel kelamin jantan dan betina, memelihara dan melahirkan individu baru. Seringkali kelenjar susu digolongkan sebagai pelengkap alat kelamin, karena kelenjar ini berhubungan erat dengan proses reproduksi dan penting untuk memberi makan anaknya yang baru dilahirkan selama beberapa waktu (Salisbury dan Vandemark 1985). Produksi hormon oleh ovarium merupakan sebagai peranan penting yang kedua. Fungsi ini sangat penting dalam memelihara aktifitas kelamin sapi betina. Keinginan untuk kawin, ovulasi dan banyak proses lainnya sehubungan dengan pengembangan, pemeliharaan dan pengeluaran anak semuanya adalah fungsi yang dipengaruhi aktifitas hormon dari ovarium. Proses produksi hormon ovarium

23 9 dikendalikan terutama oleh hormon gonadotropin dari hipofisa. Hormon-hormon ini terdiri dari FSH (Follicle Tropic Hormone), LH (Luteinizing Hormone) dan LTH (Luteo Tropic Hormone) atau prolactin, merangsang pertumbuhan folikelfolikel, menyebabkan ovulasi dan pembentukan corpus luteum, dan meyebabkan corpus luteum bersekresi (Salisbury dan Vandemark 1985). Siklus Reproduksi Siklus Estrus Siklus estrus adalah jarak antara estrus yang satu sampai pada estrus yang berikutnya, dan estrus itu sendiri adalah saat dimana hewan betina bersedia menerima pejantan untuk menerima pejantan untuk aktivitas reproduksi (Partodiharjo 1987). Interval ini disertai dengan perubahan fisiologis di dalam saluran kelamin betina. Aktifitas siklus estrus diatur oleh suatu mekanisme endokrin, dimana fase estrus ditandai dengan banyaknya hormon estrogen yang disekresikan oleh folikel de graff preovulatorik (Hafez 1980). Menurut Salisbury dan Vandemark (1985) siklus estrus dapat diklasifikasikan menjadi empat fase, periode tersebut dikenal dengan fase proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Disamping fase tersebut juga dapat dikelompokan menjadi fase folikuler atau estrogenik yang meliputi proestrus dan estrus, serta fase luteal atau progestational yang terdiri dari metestrus dan diestrus. Waktu terjadinya pada hari ke nol fase estrus diikuti oleh fase metestrus pada hari ke 1-4, kemudian untuk fase diestrus pada hari ke 5-8 bersamaan dengan terjadinya fase luteal. Sedangkan fase proestrus terjadi pada hari ke sebelum estrus, dimana siklus estrus pada sapi dapat terjadi dalam waktu 21 hari setelah beranak (Lech et al. 2000).

24 10 Gambar 1. Siklus Estrus (Sumber: Proestrus merupakan fase sebelum estrus yang ditandai dengan adanya peningkatan aktifitas sistem reproduksi dan terjadi perkembangan folikel atas pengaruh follicle stimulating hormon (FSH) (Arthur et al. 1989). Fase ini merupakan fase persiapan yang berlangsung 2-3 hari (Salisbury dan Vandemark 1985). Pada akhir fase ini hewan betina biasanya memperlihatkan perhatian pada hewan jantan (Toelihere 1994) dan juga terjadi perubahan tingkah laku seperti gelisah dan mengeluarkan suara-suara yang tidak biasa didengar (Partodihardjo 1987). Estrus adalah suatu periode dimana adanya keinginan untuk kawin yang ditandai oleh manifestasi birahi secara fisik, seperti sapi kelihatan tidak tenang, vulva membengkak serta mengeluarkan lendir jernih dan kental (Salisbury dan Vandemark 1985). Keadaan ini akan terlihat pada sikap betina yang siap menerima pejantan untuk melakukan kopulasi. Ovulasi pada sapi terjadi sekitar 12 jam setelah akhir estrus (Arthur et al. 1989). Metestrus atau postestrus terjadi segera setelah fase estrus berakhir. Fase ini ditandai dengan berakhirnya birahi puncak, dimana bekas folikel setelah proses ovulasi mengalami penyusutan dan pengeluaran lendir terhenti (salisbury dan Vandemark 1985), pada fase ini dapat terjadi pendarahan pada awal metetrus, hal

25 11 ini terjadi karena pada epithel karunkula uterus sangat hiperemis sehingga dapat terjadi hemoragis kapiler karena berkurangnya jumlah estrogen (Toelihere 1994). Diestrus merupakan periode corpus luteum (CL) mulai berkembang sempurna dan dipengaruhi oleh hormon progesteron yang dihasilkan dan tampak pengaruhnya pada dinding uterus (Salisbury dan Vandemark 1985). Pada fase ini kelenjar-kelenjar pada uterus mengalami hiperplasia dan hipertropia (Arthur et al. 1989). Lamanya siklus estrus pada sapi menurut Chapman dan Caside dalam Salisbury dan Vandemark (1985), berkisar antara hari. Sedangkan lama estrus pada sapi menurut Hammond dalam Salisbury dan Vandemark (1985) antara 6-30 jam dengan rataan sekitar 17 jam. Menurut Perry (1960) dalam Toelihere (1993) menyatakan lamanya estrus pada sapi adalah 18 jam. Musim Kawin Hewan-hewan betina beberapa spesies memperlihatkan siklus reproduksi yang terus-menerus sepanjang tahun apabila tidak terjadi kebuntingan. Pada hewan-hewan betina spesies lain, kejadian siklus berahi yang berturut-turut pada betina yang tidak bunting hanya terbatas pada musim tertentu dalam satu tahun, yang disebut musim kawin atau breeding season (Toelihere 1994). Sapi adalah pekawin terus-menerus (continuous breeders) sepanjang tahun. Manusia kini dapat mengendalikan msim kawin pada sapi untuk kepentingan ekonominya. Sapi-sapi betina biasanya dikawinkan untuk menghasilkan anak pada musim semi karena rumput yang berlimpah selama musim tersebut dan selama musim panas, dan anak-anak sapi tersebut sudah cukup besar untuk disapih pada musim gugur (Toelihere 1994). Menurut Toelihere (1994) faktor-faktor yang mempengaruhi musim kawin diantaranya karena suhu udara, lamanya siang hari dan jumlah makanan yang berbeda-beda dari satu musim ke musim yang lainnya. Program Breeding Potensi untuk meningkatkan potensi reproduksi ternak betina lebih rendah daripada ternak jantan. Hal ini karena jumlah sel telur yang tersedia sangat

26 12 terbatas dan setelah beranak tidak ada lagi produksi sel telur baru seperti halnya produksi spermatozoa yang terus-menerus selamahidup ternak jantan. Lebih lanjut, proses yang perlu dikontrol pada ternak betina adalah lebih rumit (Tomaszewska et al. 1991). Menurut Tomaszewska et al. (1991) terdapat 9 aspek fisiologis betina dalam batas-batas tertentu yang dapat dikontrol, diantaranya: (1) mengurangi interval generasi dengan jalan mempercepat pubertas dan/atau memperpendek periode laktasi tanpa berahi. (2) meningkatkan ovulasi untuk alih janin atau kawin alam. (3) sinkroniasi berahi dan ovulasi pada kelompok ternak. (4) Deteksi berahi. (5) Diagnosis kebuntingan. (6)Pengendalian waktu beranak dan menurunkan tingkat kematian sekitar kelahiran. (7) Mengurangi kematian embrio (8) Induksi berahi dan ovulasi di luar musim kawin. (9) pembuahan secara invitro, alih janin, dan teknik mutakhir lainnya. Manajemen Kelompok Body Condition Scores (BCS) Body Condition Scores (BCS) adalah angka yang dipergunakan untuk mengukur kegemukan atau komposisi tubuh sapi. Peternak perlu untuk mengkalibrasi sistem yang mereka pergunakan dalam peternakan dengan ternaknya sendiri untuk melihat BCS lebih tepat guna (Glaze 2009). BCS umumnya dipakai angka 1-9 untuk mengukur dari yang paling kurus hingga yang paling gemuk. Angka 1-3 untuk ukuran kurus, 4 untuk ukuran sedang, 5-7 untuk ukuran optimum dan 8-9 untuk ukuran gemuk (Glaze 2009). Menurut Glaze (2009) terdapat hubungan antara BCS dengan interval beranak, persentasi kebuntingan, persentasi kebuntingan pasca penyapihan dan kekuatan anak untuk berdiri segera setelah lahir (Tabel 2, Tabel 3, Tabel 4 dan Tabel 5).

27 13 Tabel 2 Efek dari BCS terhadap Postpartum Interval Skor Sumber: Glaze (2009) Postpartum Interval (hari) 88,5 69,7 59,4 51,7 30,6 Tabel 3 Efek BCS terhadap persentasi kebuntingan Skor Kebuntingan (%) 4 50,0 5 81,0 6 88,0 7 90,0 Sumber: Glaze (2009) Tabel 4 Hubungan BCS dengan rata-rata sapi bunting kembali setelah penyapihan Skor 3 atau kurang atau lebih Sumber: Glaze (2009) Persentasi 75,5 85,4 93,8 95,6 95,6

28 14 Tabel 5 Hubungan BCS dengan kekuatan anak untuk berdiri pada kelahiran Skor Sumber: Glaze (2009) Kekuatan untuk berdiri (menit) 59,9 63,6 43,3 35,0 Energi Untuk Breeding Masalah gangguan reproduksi disebabkan oleh banyak kasus, dan sering mengalami kesulitan bila peneliti dihadapkan pada manfaat pakan yang digunakan untuk reproduksi (Salisbury dan Vandemark 1985). Energi. Pemberian energi yang tidak cukup (kekurangan pakan) barangkali merupakan penyebab terbesar terjadinya gangguan reproduksi pada sapi karena faktor makanan. Percobaan pertama di Missouri yang menunjukan bahwa sapisapi dara tipe perah dengan pemberian makan yang berlebih, mencapai dewasa kelamin lebih awal daripada sapi dara yang diberi makanan lebih ringan. Pengaruh yang menguntungkan dari pemberian konsentrat yang kaya akan protein dan karbohidrat dan campuran mineral kepada sapi dara di daerah lapangan pengembalaan yang miskin di Nigeria Utara, telah dilaporkan. Pada penelitian ini 27 dari 32 sapi dara yang diberi tambahan konsentrat mencapai dewasa kelamin dan menjadi bunting pada tahun percobaan, sedangkan hanya 3 dari 19 sapi dara sebagai kontrol yang hanya digembalakan saja mencapai masak kelamin dan menjadi bunting. Kenaikan berat badan selama tahun percobaan bagi sapi dara yang diberi tambahan konsentrat mencapai 2x lipat dibandingkan dengan pada kelompok yang hanya digembalakan dan kelompok yang digembalakan dengan diberi tambahan campuran mineral (Salisbury dan Vandemark 1985). Menurut Tomaszewska et al. (1991) pakan dan sistem pemberian pakan tidak diragukan lagi memainkan peranan yang sangat penting pada reproduksi ternak. Penampilan reproduksi ternak di seluruh dunia bervariasi sangat luas disebabkan oleh banyaknya perbedaan genetika jenis ternak, beragamnya sistem pengelolaan, kondisi iklim, dan sosial ekonomi.

29 15 Kontrol Perkawinan Manusia memanipulasi proses reproduksi ternak untuk meningkatkan kemampuan reproduksi dan menggunakan seleksi genetika untuk memperoleh ternak yang mempunyai kemampuan produksi tertinggi dan paling menguntungkan. Untuk melaksanakan hal ini, beberepa faktor yang tercakup dalam pubertas, proses perkawinan, dan saat mulainya musim kawin (di negaranegara sub-tropis) harus dimengerti dengan jelas. Reproduksi dikontrol oleh faktor-faktor dari eksternal dan internal (Tomaszewska et al. 1991). Penggunaan pewarna ekor untuk mendeteksi berahi telah mulai dugunakan. Cat luminous dioleskan pada ekor sapi betina pada salah satu sisi ekornya. Sapi betina yang dalam keadaan berahi akan sering dinaiki dan cat akan kabur dari salah satu sisi ekornya. Dengan menggunakan metode ini kejadian berahi yang tidak dideteksi lebih rendah dari 5% (Tomaszewska et al. 1991). Manajemen Dara Pada tahap awal kehidupan sapi dara, pertumbuhan fisiknya telah diarahkan untuk tujuan produksi susu atau produksi di kemudian hari. Pada sapi dara yang masih muda perkembangan organ reproduksi sangat tergantung pada perkembangan fisik. Karena periode menjelang pubertas dan beberapa waktu sesudahnya tak produktif, banyak kalangan para peternak memandang bahwa periode itu tidak penting untuk diperhatikan di bidang pemeliharaan sapi bertumbuh kurang baik, tidak berkembang dan terlambat mencapai umur yang produktif dan reproduktif. Selain itu pakan yang berlebihan dapat berakibat terlalu gemuk, tidak ekonomis dan dianggap sebagai bahaya potensial terhadap alat reproduksi dan kemampuan bereproduksi (Salisbury dan Vandemark 1985). Pertumbuhan Normal Bila sapi dara diberi makan dan dipelihara sewajarnya, ia akan tumbuh sesuai dengan sifat-sifat bangsanya. Terdapat perbedaan angka pertumbuhan diantara bangsa sapi, dan garis keturunan tertentu di dalam bangsa akan bervariasi dari nilai rata-rata yang diketemukan (Salisbury dan Vandemark 1985).

30 16 Pengaruh Asupan Pakan Telah diketahui bahwa pertumbuhan sapi dara dikendalikan oleh kualitas dan sifat makanan yang diberikan. Penelitian muthakhir yang lebih mendetil menyimpulkan dari laporan-laporan terdahulu dan menunjukan bahwa meskipun angka pertumbuhan terganggu karena kurang makan, tetapi besar badan akhir akan sama bila sapi itu diberi makan cukup untuk melanjutkan pertumbuhan dan produksi sesudah beranak pertama. Umur Pubertas Bangsa, tingkat makanan, iklim dn mungkin faktor-faktor lainnya mempengaruhi umur pubertas. Karena begitu banyak faktor-faktor yang mempengaruhinya, maka umur berahi pertama yang normal dapat mencakup kisaran yang luas (Salisbury dan Vandemark 1985). Program Breeding dan Non Breeding Untuk Perbaikan Produksi Daging Nilai Genetik Sapi Brahman Cross Menurut Tunner (1997) sapi Brahman Cross pada awalnya dikembangkan di stasiun CSIRO S Tropical Cattle Research Centre di Rockhampton Australia. Materi dasarnya adalah sapi American Brahman, Hereford dan Shorthorn. Sapi Brahman Cross mempunyai proporsi 50% darah Brahman, 25 % darah Hereford dan 25% darah Shorthorn. Secara fisik bentuk fenotif sapi Brahman Cross lebih cenderung mirip sapi American Brahman karena proporsi darahnya yang lebih dominan, seperti punuk dan gelambir lebih jelas, bentuk kepala dan telinga besar menggantung, sedangkan pola warna kulit sangat bervariasi mewarisi tetuanya. Sapi Brahman Cross memiliki sifat-sifat seperti: (1) persentase kelahiran 81,2%; (2) rataan bobot lahir 28,4 kg, bobot umur 13 bulan mencapai 212 kg dan umur 18 bulan mencapai 295 kg; (3) angka mortilitas postnatal sampai umur 7 hari sebesar 5,2%, mortalitas sebelum disapih 4,4%, mortalitas lepas sapih sampai umur 15 bulan sebesar 1,2% dari mortalitas dewasa sebesar 0,6%; (4) daya tahan terhadap panas cukup tinggi karena produksi panas basal rendah dengan pengeluaran panas yang efektif; (5) ketahanan terhadap parasit dan penyakit

31 17 sangat baik; serta (6) efisiensi penggunaan pakan terletak antara sapi Brahman dan persilangan Hereford-Shorthorn (Tunner 1997). Gambar 2. Sapi Brahman Cross (sumber: Arsip PT WMP cianjur) Inseminasi Buatan Pada Sapi Inseminasi Buatan (IB) merupakan salah satu teknik untuk perbaikan mutu genetika. Semen dari seekor sapi jantan dapat dipergunakan untuk menginseminasi sampai 1000 ekor sapi betina. Di Selandia Baru, seekor sapi jantan yang telah diketahui unggul secara genetika dapat menghasilkan anak per tahun. Dibandingkan dengan data tersebut, perbaikan melalui superovulasi pada ternak betina dan embrio transfer (alih janin) tidak ada artinya (Tomaszewska et al. 1991). Tehnik Inseminasi buatan telah diperkenalkan di Indonesia sejak permulaan tahun 50an (Toelihere 1994). Menurut Tomaszewska et al. (1991) keuntungan IB antara lain: hanya pejantan yang baik yang dapat dipergunakan meningkatkan seleksi diferensial yang akhirnya dapat menyebabkan peningkatan genetika yang lebih cepat, dapat menghemat biaya pemeliharaan pejantan lain, penularan penyakit kelamin dari ternak yang di-ib dapat dibatasi atau dicegah. Sistem Breeding Umur Untuk Perkawinan Pertama

32 18 Walaupun ternak sudah memasuki masa puber, tetapi belum boleh dilakukan tindakan-tindakan perkawinan, mengingat ternak yang baru masuk masa puber masih memerlukan pertumbuhan tubuh untuk mencapai dewasa tubuh, sehingga apabila dikawinkan dan terjadi kebuntingan akan mengakibatkan kerugian-kerugian baik terhadap pertumbuhannya maupun terhadap keturunannya. Perkawinan baru boleh dilakukan terhadap ternak-ternak muda beberapa waktu kemudian dari timbulnya masa puber, dan untuk menjaga agar tidak terjadi perkawinan yang terlalu muda maka pada penempatan anak-anak jantan dan betina, harus sudah diadakan pemisahan menjelang memasuki masa puber (Sosroamidjojo dan Soeradji 1990) Menurut Sosroamidjojo dan Soeradji (1990) Untuk mendapatkan keturunan yang baik dan menghindarkan kerugian-kerugian maka perkawinan pertama hendaknya dilakukan pada umur 1,0-1,75 tahun untuk sapi jantan eropa dan 1,5 2,0 tahun untuk sapi betina eropa dan 1,5 2,0 tahun untuk sapi brahman jantan dan 2,5 3,0 tahun untuk sapi brahman betina. Umur dan Kesuburan Ternak Tiap-tiap jenis ternak mempunyai masa-masa tertentu dimana ia dapat memproduksi dengan sebaik-baiknya, baik itu produksi anak, maupun produksilain, dan pada umur tertentu pula ia mulai menurun dalam berproduksi dan bahkan pada suatu saat tidak mempunyai kemampuan lagi. Demikian halnya dengan ternak bibit. Bibit betina umumnya keturunan yang terbaik, yaitu anak yang kedua sampai anak keempat yang digunakan sebagai bibit (Sosroamidjojo dan Soeradji 1990). Menurut Sosroamidjojo dan Soeradji (1990) bibit jantan dapat digunakan sampai umur sekitar 15 tahun dan ternak betina masih bisa diambil keturunannya hingga umur sekitar 18 tahun. Karena pertimbangan ekonomis, umumnya penggunaan bibit, baik jantan maupun betina tidak sampai batas-batas umur tersebut.

33 19 Memilih Bibit Memilih bibit adalah suatu keharusan di dalam usaha peternakan, karena bibit merupakan salah satu kunci untuk berhasilnya usaha peternakan. Pemilihan bibit dapat dilakukan dengan dengan berbagai cara, yaitu dengan cara: (1) menilai bentuk eksteriurnya dan dihubungkan dengan tipenya; (2) seleksi berdasarkan silsilah dengan perkiraan bahwa ternak dari keturunan ternak-ternak yang baik akan baik pula sifat-sifatnya; (3) seleksi berdasarkan hasil penilaian dan kontes; serta (4) seleksi berdasarkan apa yang disebut dengan istilah production test yaitu penilaian berdasarkan catatan produksi yang dihasilkan (Sosroamidjojo 1990). Sistem Perbibitan Ada beberapa sistem perbibitan yang biasa dilakukan untuk memperbaiki keturunan (generasi). Sistem yang diambil disesuaikan dengan tujuan dari pada usaha peternakan yang dilakukan atau perbaikan ternak yang direncanakan di daerah tertentu (Sosroamidjojo 1990). Menurut Sosroamidjojo (1990) sistem perbibit yang dikenal antaranya adalah: (1) Purebreeding, ialah suatu cara dengan mengawinkan ternak jantan dan betina yang sama bangsanya. Contohnya peternakan sapi Bali di Bali dan sapi Madura di Pulau Madura. Sistem ini dimaksudkan untuk mempertinggi homozigot dari gen-gen sehingga diharapkan terjadinya sifat-sifat yang uniform dan menurun, tetapi sistim ini bila tidak disertai dengan seleksi dan pengawasan dalam perkawinan secara ketat mudah menjurus terjadinya sistem yang di sebut inbreeding; (2) Inbreeding, yakni suatu cara dimana dilakukan perkawinan antara ternak-ternak jantan dan betina yang masih ada hubungan famili; (3) Outcrosing, adalah cara yang dilakukan dengan cara mengawinkan seekor pejantan dari suatu kelompok dengan betina-betina dari kelompok lain, tetapi kesemuanya masih dalam satu ras yang sama; (4) Crossbreeding, ialah perkawinann silang dari dua bangsa ternak yang berdarah murni; serta (5) Upgrading, ialah suatu cara untuk memperbaiki mutu ternak rakyat dengan mempergunakan pejantan dari bangsa ternak yang dikenal mutunya, yang umumnya didatangkan dari luar negeri.

34 20 Pejantan yang didatangkan tersebut dikawinkan dengan ternak-ternak betina setempat. Pengebirian/Kastrasi Pengebirian pada ternak adalah suatu tindakan untuk menghentikan fungsi kelenjar kelamin atau membuangnya dari dalam tubuh sehingga ternak yang bersangkutan tidak dapat menghasilkan keturunan. Pengebirian erat hubungannya dengan pemuluia-biakan, karena pengebirian dilakukan sebagai tindak lanjut daripada seleksi, guna memperbaiki mutu ternak. Selain sebagai tindakan perbaikan mutu, dengan kastrasi dapat diperoleh perbaikan dari mutu daging, yaitu dapat menghilangkan bau pada daging yang kurang disenangi oleh konsumen misalnya bau pada kambing jantan yang sangat merangsang/ tajam dapat dihilangkan (Sosroamidjojo 1990).

35 21 MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Pelaksanaan Kegiatan studi kasus ini dilaksanakan bulan Juli 2009 sampai September 2009, bertempat di PT Widodo Makmur Perkasa, Cianjur, Jawa Barat. Metode Pelaksanaan Pelaksanaan studi kasus ini akan dilakukan dengan cara: 1. Pengumpulan data primer melalui wawancara dengan manager, staff dan para pegawai PT Widodo Makmur Perkasa serta pengamatan langsung. 2. Pengumpulan data sekunder dari PT Widodo Makmur Perkasa dari bulan April hingga Agustus Parameter yang diamati Parameter yang diamati dalam studi kasus ini berupa struktur populasi (induk, dara, anak, dan pejantan), banyaknya kelahiran, Conseption Rate (CR), Service Per Conseption (S/C), penampilan reproduksi dari sapi Brahman Cross jantan dan betina, serta efektifitas Inseminasi Buatan yang dilakukan, yang dianalisa dengan perhitungan Calving Interval (CI) dari 491 ekor sapi Brahman Cross betina yang ada di lokasi.

36 22 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum PT Widodo Makmur Perkasa PT Widodo Makmur Perkasa merupakan perusahaan peternakan sapi potong yang memiliki populasi sapi terbanyak saat ini di kabupaten cianjur, yaitu sebanyak kurang lebih 5000 ekor. Perusahaan ini berlokasi di Kampung Cinangsi Rt 04/01 Desa Cinangsi, Kecamatan Cikalong Kulon, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. Secara geografis, Kabupaten Cianjur berada pada kedudukan 106 o 42' BT - 107º 25' BT dan 6 o 21 LS - 7 o 32 LS dengan letak administrasi bagian utara berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Purwakarta, bagian Barat dengan Kabupaten Sukabumi, bagian Selatan dengan Samudera Indonesia, dan bagian Timur dengan Kabupaten Bandung dan Garut. Cianjur memiliki morfologi daerah yang datar, perbukitan berelief halus (datar bergelombang), perbukitan berelief sedang (datar berbukit), perbukitan berelief agak kasar (berbukit), perbukitan berelief kasar, perbukitan berbukit sangat kasar (terjal), dengan luas wilayah Ha dan berada pada ketinggian m d.p.l dengan suhu berkisar antara 17 o C 32 o C dan kelembaban 70% -80%. Kondisi hidrologi cukup besar dalam memenuhi kebutuhan air di Kabupaten Cianjur adalah air permukaan (sungai) maupun air tanah yang dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan domestik, pertanian, industri dan yang lainnya. Tipe iklimnya tropis, menurut Koppen di Kab. Cianjur beriklim Af (basah) dengan curah hujan berkisar antara mm per tahun. Jenis tanah di Kabupaten Cianjur adalah Aluvial, regosol, andosol, grumosol, mediteran, dan podsolik. Penggunaan lahan di Kabupaten Ciajur adalah Pertanian lahan basah 16,10 %, Pertanian lahan kering 13,94%, Hutan produksi 20,03%, Peternakan/perikanan 18,11%, Permukiman dan lain-lain 31, 39%, dan Tanaman tahunan 0,43%. PT. Widodo Makmur Perkasa, Cikalong Kulon Kabupaten Cianjur mempunyai luas lahan seluruhnya sekitar 40 hektar (ha) pada lahan yang berelief sedang. Lahan tersebut digunakan untuk perkantoran, tempat tinggal pekerja, lahan hijauan pakan ternak, gudang pakan hijauan kering, gudang konsentrat (feedmill), kandang penggemukan, kandang karantina, kandang kawin, kandang bunting dan menyusui, dan kandang sapih. Lahan hijauan memiliki luas 20 ha.

37 23 Tanaman yang ada di lahan hijauan adalah rumput gajah. Lahan hijauan ini mampu memenuhi kebutuhan hijauan untuk pakan ternak. Secara garis besar fasilitas yang ada di perusahaan feedlot WMP adalah: (1) Loading chute atau loading ramp, yang berfungsi untuk tempat menaikan sapi ke truk. Lebarnya 4 meter dengan kemiringan 30 o sampai 40 o. (2) timbangan, menggunakan timbangan jenis elektrik. (3) Paddock, yang berfungsi untuk penanganan ternak sementara. biasannya digunakan saat seleksi berat badan, ras, maupun kesehatan dan berfungsi juga sebagai tempat menunggu saat sapi dinaikan ke truk. (4) Gudang pakan, merupakan tempat pembuatan dan penyimpanan konsentrat. (5) Tempat pengolahan limbah, yang digunakan untuk mengolah limbah kotoran sapi menjadi kompos. Jarak antara peternakan dengan pemukiman penduduk relatif jauh, dengan keadaan pemukiman yang belum padat sehingga aktifitas peternakan ini tidak menggangu masyarakat sekitar. Jalur transportasi dari dan keluar perusahaan sangat baik, didukung oleh jalan raya beraspal yang merupakan jalur umum lintas kota. Populasi sapi sapi yang terdapat di PT Widodo Makmur Perkasa tahun 2009 dapat dilihat pada tabel 6. Tabel 6 Data populasi Sapi Brahman Cross pada bulan Juli 2009 Stuktur Populasi Populasi Ternak Fattening: Jantan dan betina Breeding: Betina Bunting 442 Betina Kosong 49 Betina menyusui 3 Jantan 11 Pedet 67 Jumlah Sumber : Arsip PT Widodo Makmur Perkasa Kabupaten Cianjur tahun 2009

38 24 Stuktur Organisasi Dalam melaksanakan berbagai aktifitas hariannya, PT Widodo Makmur Perkasa Sebagai sebuah perusahaan yang memiliki struktur kerja yang jelas dengan didukung oleh staff dan karyawan. Struktur organisasi di PT Widodo Makmur Perkasa dapat dilihat pada bagan di bawah ini. Komisaris Utama Ir. Tumiyono, MBA Adviser Prof. Dr. Ir. Trinil Susilawati, MS Manager Pemasaran Suyatmi, SE General Manager Hariyanto, A.Md Manajer Produksi & Administrasi Ir. Agung Bakti S Staff Administrasi Dedeh S Staff Produksi Bertha Y, S.Pt Lingkungan dan Keamanan Iwang Sambas, SH Maintenance Yasmin Instruktur Kandang Endang Breeding Ajat Gambar 3. Bagan Struktur Organisasi PT Widodo Makmur Perkasa (Sumber : Arsip PT widodo Makmur Perkasa Cianjur) Bangsa Sapi yang Dipelihara Ternak sapi potong yang dipelihara di PT. Widodo Makmur Perkasa berasal dari Australia bekerja sama dengan eksportir Scott, Hallen, dan SEALS (South East Asian Livestock Service). Bangsa sapi yang diimpor adalah Brahman Cross dengan bobot badan sapi bakalan tersebut antara 300 sampai dengan 500 kg. Sapi yang didatangkan tidak semuanya melewati proses penggemukan (fattening) namun ada yang langsung dijual cepat (fast trading).

39 25 Menurut Tunner (1997) sapi Brahman Cross adalah sapi yang mempunyai proporsi 50% darah Brahman, 25 % darah Hereford dan 25% darah shorthorn. Sapi tersebut merupakan hasil persilangan antar bangsa (Cross Breeding) yang dilakukan di Australia. Pada sapi potong umumnya disilangkan sapi Bos Taurus yang memiliki sifat baik dan bertubuh besar, reproduksi tinggi, kecepatan pertumbuhan sedang sampai tinggi dengan Bos Indicus yang mempunyai kelebihan dapat memanfaatkan pakan berkualitas rendah, tahan terhadap panas dan beberapa parasit, serta mempunyai sifat keindukan (mothering ability) yang baik. Menurut Hardjosubroto dan Astuti (1994), tujuan dari persilangan tersebut adalah untuk menggabungkan dua sifat atau lebih yang berbeda yang semula terdapat dalam dua bangsa ternak ke dalam satu hasil persilangan. Menurut Sugeng (1992), pertambahan bobot badan setiap jenis sapi berbeda-beda seperti digambarkan pada Tabel 7. Tabel 7 Pertambahan bobot badan harian sapi murni Bangsa Murni Brahman Shorthorn Hereford Aberdeen Angus Charolais Sumber: Sugeng (1992) Pertambahan Bobot Badan (Kg/hari) 0,91 1,04 1,04 0,95 1,32 Menurut data yang diperoleh dari hasil wawancara dengan pegawai, pertambahan bobot badan rata-rata sapi yang berada di peternakan tersebut adalah 1,20 untuk fattening (penggemukan) dan 1,00 untuk breeding. Setiap sapi dikelompokan ke dalam beberapa jenis yaitu Heifer (dara), Steer (jantan kastrasi), Bull (jantan tidak kastrasi) dan Cows (induk). Selain itu dilakukan pengelompokan berdasarkan bobot badan yaitu Grade A (>350 kg), Grade B ( kg), Grade C ( kg) dan Grade D (<250 kg).

40 26 Pengelompokan ini berperan dalam seleksi sapi untuk ditempatkan di kandangkandang yang telah ditentukan. Menurut hasil wawancara, sapi yang dipergunakan untuk breeding hanya sapi yang masuk ke dalam Grade B ( kg) atau skor 5-6 untuk Body Condition Scores (BCS) yang skalanya 1-9. Hal tersebut dilakukan agar kualitas reproduksi sapi breeding baik, dimana sapi tidak terlalu kurus ataupun tidak terlalu gemuk. Akan tetapi untuk mencapai bobot tersebut relatif sulit untuk sapi bakalan. Sehingga hampir semua sapi yang dijadikan breeding di PT Widodo Makmur Perkasa bobot tubuh pertamanya hanya berkisar 300 kg atau masuk skor 5 dalam BCS. Menurut Glaze (2009) efek BCS terhadap terjadinya kebuntingan apabila skornya 5 adalah 81%. Padahal apabila skornya mencapai 6 atau 7 persentase kebuntingan sapi mencapai 88% atau 90%. Akan tetapi karena proses maintenance yang baik, bobot sapi tersebut bertambah naik dan mencapai bobot rata-rata 350 untuk kebuntingan kedua atau masuk kedalam skor 6. Sehingga secara otomatis persentasi kebuntingannya pun meningkat. Dalam melakukan seleksi sapi yang akan dijadikan breeding, PT Widodo Makmur Perkasa Cianjur tidak hanya melihat Body Condition Scores (BCS) tetapi dilakukan juga pengukuran tinggi tubuh dimana tinggi minimal sapi 120 cm, umurnya harus antara 1,5 2,5 tahun dan alat reproduksinya harus dipastikan dalam keadaan normal yaitu dengan pemeriksaan palpalsi perektal. Manajemen Peternakan Sistem Perkandangan Tipe kandang yang digunakan di PT Widodo Makmur Perkasa adalah kandang koloni. Sedangkan jenis kandang yang digunakan adalah kandang terbuka dengan atap menutupi seluruh bagian kandang. Arah kandang memanjang dari arah timur ke barat. Tiang utama penopang atap kandang terbuat dari besi dan rangka atap terbuat dari kayu dengan penutup berbahan asbes yang kurang baik dalam menyerap panas akan tetapi ekonomis. Bentuk atap yang digunakan adalah atap monitor untuk ventilasi di sepanjang kandang. Tinggi sisi dalam atap adalah 4,5 meter dan tinggi sisi luar atap adalah 3 meter. Dinding yang digunakan

41 27 sebagai penyekat antar pen terbuat dari besi. Lantai kandang terbuat dari semen dengan kemiringan 3 o ke arah bagian samping kandang. Fasilitas yang terdapat di kandang tersebut berupa lorong (gang way) di bagian tengah, tempat pakan hijauan di sisi luar, tempat pakan konsentrat di sisi dalam dan tempat minum berada di kedua sisi samping kandang. Akan tetapi dalam pelaksanaanya tempat pakan yang digunakan hanya yang di bagian sisi dalam karena waktu pemberian pakan hijauan dan konsentrat berbeda, tidak sekaligus diberikan keduanya sehingga dalam pengerjaannya lebih gampang, dimana apabila terjadi pakan yang tidak habis dalam tempat pakan tersebut bisa langsung dibersihkan dan satu jam kemudian diberi pakan konsentrat apabila pakan sebelumnya adalah hijauan dan sebaliknya, untuk setiap pagi dan sore hari. Kandang yang dimiliki oleh PT Widodo Makmur Perkasa berjumlah 8 yang terdiri dari kandang A,B,C,D,E,F,G,H. Kandang A,B,C,E dan F merupakan kandang untuk sapi fattening dan fast trading, kandang D untuk sapi breeding dan kandang G dan H untuk kandang isolasi. Kandang A,B,C dan E terbagi menjadi 10 pen (A1-A10, B1-B10, C1-C10, E1-E10), kandang D 13 pen (D1-D13), kandang F 12 pen (F1-F12), kandang G dan H 8 pen (G1-G8, H1-H8). Secara keseluruhan kandang terbagi menjadi 81 pen dan berdaya tampung maksimal 6000 ekor sapi. Kegiatan pembersihan kandang umumnya dilakukan setiap hari. Kotoran sapi (feses dan urin) di alirkan ke bak penampungan limbah yang terdapat di bagian timur peternakan. Limbah tersebut diolah menjadi pupuk kompos dan kemudian dijual. Luas kandang berbeda-beda begitu pula dengan kepadatannya. menurut Santosa (1995), luas kandang untuk sapi potong sebaiknya tidak kurang dari 2 m 2 /ekor. Rumus untuk mengetahui kepadatan ideal adalah: luas_ kandangx150 BB 2 kepadatanideal : 2m (Santosa 1995) Manajemen Pakan Pakan yang diberikan di PT Widodo Makmur Perkasa Terdiri dari dua macam yaitu hijauan dan konsentrat. Hijauan yang digunakan adalah jerami padi sedangkan konsentrat yang digunakan adalah konsentrat buatan feedmill milik

42 28 sendiri. Bahan pakan konsentrat yang digunakan berasal dari tanaman seperti : pollard, kopra, klentheng, jagung halus, tepung daun lamtoro, onggok, bungkil sawit, dedak, kulit buah cokelat, molases dan corn gluttein feed. Konsentrat juga ditambah limbah pabrik kue seperti wafer dan juga di tambah premix. Konsentrat dibagi menjadi empat jenis yang disesuaikan dengan tujuan pemeliharaan, yaitu: konsentrat recondition, konsentrat fattening starter, konsentrat fattening finisher, dan konsentrat trading. Formula ransum yang menyusun masing-masing konsentrat tersebut dapat dilihat pada tabel 8. Tabel 8 Formulasi Ransum di PT Widodo Makmur Perkasa No Bahan Pakan Reconditi on (%) Fattening Starter (%) Fattening Finisher (%) Trading (%) 1 Corn Gluttein feed 2,42 2,42 2,42 2,42 2 Pollard 5 6, Kopra Klentheng ,9 5 Jagung 7,56 7,5 8 9,56 6 Wafer Kulit Buah Cokelat Tepung Daun Lamtoro 5 2,5 2,5 2,5 9 Onggok 22, Dedak 6, Bungkil Sawit Molases Premix 7, Sumber data : Arsip Feedmill PT Widodo Makmur Perkasa Cikalong Kulon Kabupaten Cianjur

43 29 Pakan yang diberikan untuk sapi breeding yaitu 80% hijauan dan 20% konsentrat. Konsentrat yang digunakan adalah konsentrat BR yang spesifikasi formulanya sama dengan konsentrat fattening starter karena konsentrat tersebut cocok untuk memenuhi kebutuhan pakan untuk reproduksi, tetapi dengan kadar mineral dan vitamin yang lebih tinggi untuk memenuhi kebutuhan makro dan mikronya Manajemen Reproduksi Dalam manajemen reproduksi ternak, dikenal cara perkawinan secara alami dan inseminasi buatan (IB). PT Widodo Makmur Perkasa Cikalong Kulon Kabupaten Cianjur dalam manajemen reproduksi menggunakan teknik inseminasi buatan (IB). Mereka berpendapat Teknik IB pada sapi lebih efisien dan ekonomis karena keterbatasan bibit pejantan unggul yang mereka miliki dan sifat sapi pejantan yang tidak mau untuk kopulasi apabila banyak gangguan di sekitarnya. Saat ini PT Widodo Makmur Perkasa hanya memiliki pejantan 11 ekor sedangkan untuk betina produktif jumlahnya mencapai 491 ekor. Sehingga 1 ekor pejantan untuk 50 ekor betina. Pejantan tersebut digunakan hanya sebagai cadangan untuk betina yang kemungkinan estrus terjadi pada malam hari saat operator IB tidak berada di kandang. Sumber semen yang digunakan adalah semen beku sapi Brahman yang berasal dari Balai Inseminasi Buatan (BIB) Lembang. Biaya yang dikeluarkan untuk membayar setiap IB sekitar Rp /ekor.

44 30 Penampilan Reproduksi Sapi Brahman Cross Betina Penampilan reproduksi sapi Brahman Cross dapat dilihat pada tabel 9. Tabel 9 Penampilan Reproduksi Sapi Brahman Cross Betina di PT WMP, Cikalong Kulon Kabupaten Cianjur Penampilan Reproduksi Sapi Brahman Cross Betina Siklus estrus Lama siklus estrus Umur sapi pertama kali estrus Bobot badan sapi saat pertama kali estrus Umur sapi pertama kali dikawinkan Waktu yang tepat di-ib Lama kebuntingan Jumlah anak yang dilahirkan Calving Interval S/C PT WMP hari 24 jam 2 tahun Rata-rata 300 kg 1,5 3 tahun 6-12 jam estrus 300 hari 1-2 ekor 12 bulan 1,5 Literatur hari (Salisbury dan Vandemark 1985) 6-30 jam (Salisbury dan Vandemark 1985) bulan (Menurut Hafez 1980) 260 kg (Hunter 1980) 2,5 3 tahun (Sosroamidjojo, 1990) 6 12 jam estrus (Salisbury dan Vandemark 1985) 285 hari (Salisbury dan Vandemark 1985) 1 2 ekor (Toelihere 1993) 12 bulan (Vanderplassche 1982) 1,6 2,0 (Toelihere 1993) CR 46% 64% (Toelihere (1993) Sumber : Hasil wawancara dengan para pekerja dan arsip PT WMP Kabupaten Cianjur tahun 2009 dan literatur. Berdasarkan data diatas, siklus estrus pada sapi Brahman Cross berkisar antara hari. Menurut Chapman dan Caside dalam Salisbury dan Vandemark (1985), siklus estrus pada sapi berkisar antara hari. Data

45 31 tersebut sudah sesuai dengan literatur. Siklus estrus digunakan untuk menghitung waktu perkiraan sapi yang akan di IB. PT Widodo Makmur Perkasa melakukan penyerempakan siklus estrus agar lebih memudahkan dalam IB dan pencatatan. Lamanya estrus yang diamati oleh pekerja adalah 24 jam. menurut Salisbury dan Vandemark (1985) lama estrus sapi adalah 6-30 jam. Umur sapi pertama kali estrus adalah 2 tahun, menurut Hafez (1980) sapi mencapai pubertas pada umur bulan. Data tersebut sudah sesuai dengan literatur yang ada. Bobot badan sapi saat pertama kali estrus menurut wawancara rata-rata 300 kg. Menurut Hunter (1980) bobot badan sapi yang mencapai pubertas adalah 260 kg. Hal tersebut terjadi karena pakan yang diberikan terkontrol dengan baik, selain itu faktor genetik mempengaruhi bobot badan sapi brahman cross saat pertama kali estrus. Umur sapi pertama di kawinkan menurut hasil wawancara adalah yang berumur 1,5 3 tahun dan dilakukan IB setelah 6-12 jam estrus. Menurut Sosroamidjojo (1990) sapi brahman pertama dikawinkan pada umur 2,5 3 tahun dan menurut Salisbury dan Vandemark (1985) waktu optimal sapi untuk di-ib adalah 6 12 jam estrus. Data tersebut sudah sangat sesuai dengan literatur. Menurut data yang diperoleh, lama kebuntingan sapi yang ada di PT Widodo Makmur Perkasa berkisar sekitar 300 hari dengan jumlah anak yang dilahirkan antara 1-2 ekor. Sapi Brahman Cross yang terdapat di PT Widodo Makmur Perkasa Cianjur menurut hasil wawancara setiap 2 bulan sudah bunting kembali. jadi, Calving Interval (CI) sapi Brahman Cross mencapai 12 bulan. Menurut Vandeplassche (1982) jarak optimum untuk CI adalah 12 bulan. Sehingga data tersebut sudah sesuai dengan literatur. Berdasarkan data tahun 2009 di PT Widodo Makmur Perkasa dari 39 ekor sapi Brahman Cross yang di-ib diperoleh hasil nilai Service per Conception (S/C) sebesar 1,5 dan nilai Conception Rate (CR) sebesar 46%. Menurut Toelihere (1993) nilai S/C normal adalah 1,6 2,0 dan nilai CR optimum adalah 64%. Dari data tersebut terlihat nilai S/C berada di atas rata-rata. Hal tersebut terjadi karena sapi hanya memerlukan sedikit pelayanan IB dan sapi sudah bunting. Untuk nilai CR dari data yang diperoleh masih dibawah rata-rata, hal tersebut terjadi karena sapi tidak langsung bunting pada inseminasi pertama. Hal tersebut terjadi karena

46 32 berbagai faktor, yaitu tidak tepatnya waktu IB, kesuburan semen beku, fertilitas pejantan, kesalahan dalam melakukan IB maupun kesalahan pada saat thawing (peencairan semen beku). Jumlah kebuntingan pertama yang di inseminasi buatan sebanyak 18 ekor dari 39 ekor sapi Brahman Cross. Penampilan Reproduksi Sapi Brahman Cross Jantan Berdasarkan hasil wawancara, PT Widodo Makmur Perkasa Cianjur tidak memiliki data mengenai penampilan reproduksi sapi Brahman Cross jantan, sehinggga penulis tidak membahasnya. Gangguan Reproduksi Menurut hasil wawancara, masalah reproduksi yang pernah terjadi di PT Widodo Makmur Perkasa adalah abortus dan distokia. Kasus Abortus terjadi mungkin karena masalah mekanis seperti kepadatan kandang dan betina sudah bunting pada saat dibeli sehingga strees pada saat diperjalanan. Hal tersebut karena PT Widodo Makmur Perkasa pernah melakukan uji brucellosis dengan sampel sebanyak 200 ekor dan semuanya negatif. Masalah distokia relatif jarang kejadinnya, dan masih bisa ditangani oleh paramedis. Distokia terjadi disebabkan karena kelalaian dalam seleksi bibit.

47 33 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Program breeding yang dilakukan di PT. Widodo Makmur Perkasa adalah menggunakan Inseminasi Buatan dengan semen beku Sapi Brahman yang diperoleh dari BIB Lembang. 2. Keberhasilan kebuntingan pada inseminasi buatan masih kurang baik dengan nilai CR hanya 46% 3. Calving Interval (CI) sapi Brahman Cross yang dipelihara di PT. Widodo Makmur Perkasa sudah baik yaitu 12 bulan. 4. Sistem pakan yang diberikan sudah baik terlihat dari sedikitnya kemajiran dan bobot badan sapi saat bunting sampai melahirkan meningkat yang awalnya berkisar 300 kg setelah melahirkan menjadi kg. 5. Kelainan reproduksi jarang terjadi, kalaupun terjadi hal tersebut disebabkan karena kelalaian dalam seleksi bibit sehingga terjadi distokia dan kelainan secara mekanis seperti abortus akibat transportasi. Saran 1. Pengkajian terhadap aspek bibit perlu ditingkatkan untuk mengkaji dan menjelaskan aspek potensi genetik yang muncul. 2. Diperlukan adanya pelatihan bagi pekeja untuk meningkatkan pengetahuan manajemen peternakan. 3. Replacement sapi-sapi impor oleh pedet hasil breeding.

48 34 DAFTAR PUSTAKA Achjadi, K.R Peran Dokter Hewan Dalam Perkembangan Sapi Potong di Indonesia. Makalah Penunjang 100 Tahun Dokter Hewan Indonesia. PBPDHI. Bogor Arthur, G.H., E.N. David and H. Pearson Veterinary reproduction and Obstetrics (Theriogenology). 6 th Ed. Bailliere Tindall. London. Bambang S dan Nazarudin Ternak Komersial. Penebar Swadaya. Jakarta. Cole. H. H. dan P. T. Cupps Reproduction in Domestic Animal. 2nd ed. Academic Press New York and London. Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan Buku Statistik Peternakan Direktorat Jenderal Bina Produksi Peternakan. Jakarta. Glaze, J.B Body Condition Scoring (BCS) in Beef Cattle. bcs_pres_carl.pdf [01 Oktober 2009]. Hafez, E.S.E Reproduction in Farm Animal. 4 th Ed. Lea and Fabier. Philadelphia. Hafez, E.S.E Reproduction in Farm Animal. 6 th Ed. Lea and Fabier. Philadelphia. Hardjosubroto W dan Astuti Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Grasindo. Jakarta Hunter, R.H.F Physiology of Reproduction in Female Domestic Animal. Academic Press. New York Lech, M.E., R.D. Allrich, L.A. Horstman and C.J. Callahan Reproduction of Dairy Cattle: Normal Post Partum Physiology html Noakes, D.E Veterinary Endocrinology and Reproduction. 4 th Ed. Bailliere Tindall. London Partodihardjo, S Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara Sumber Widya. Jakarta Salisbury, G.W dan N.L. Van Demark Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan pada Ternak Sapi. Terjemahan Djanuar. Universitas Gajah Mada Press. Yogyakarta.

49 35 Salisbury, G. W. and N.L. Vandemark Physiology of reproduction and Artificial Insemination of Cattle. W. H. Freeman and CO. San Fransisco. Santosa U Tata Laksana Pemeliharaan Sapi. Penebar Swadaya. Jakarta Sosroamidjojo, M. S. dan Soeradji Peternakan Umum. Yasaguna. Jakarta. Sugeng YB Sapi Potong. Cetakan 1. Penebar Swadaya. Jakarta Thalib, C., K. Entwistle, A. Siregar, S.Budiarti-Turner, and D. Lindsay Survey of population and production dynamics of Bali cattle and existing breeding programs in Indonesia. In. K.Entwistle and D.R. Lindsay (Eds.).Strategies to Improve Bali Cattle ineastern Indonesia. ACIAR Proc. No.110: 3-9. Toelihere, M. R Ilmu Kemajiran pada Ternak. FKH. IPB. Bogor. Toelihere, M. R Inseminasi Buatan Pada Ternak. Angkasa Bandung. Toelihere, M. R Fisiologi Reproduksi Pada Ternak. Angkasa Bandung. Tomaszewska, M. W., I.K. Sutama, I.G. Putu, T.D. Chaniago Reproduksi, Tingkah Laku, dan Produksi ternak di Indonesia. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Trikesowo, N Peluang dan Kendala Pengembangan Agribisnis Peternakan Sapi. Lokakarya Intern. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Turner, J. W Brahman European crosses versus other breeds in feedlot. University of Florida Press, Gainesville. Vandeplassche, M Reproductive Efficiency in Cattle: A Guideline for Projects in Developing Countries. Food and Agriculture Organization of the United Nation. Rome.

50 LAMPIRAN 36

51 37 Lampiran 1 Lampiran Kuisioner Program Breeding Sapi Potong Brahman Cross di PT Widodo Makmur Perkasa Cianjur, Jawa Barat Form: Kuisoner untuk penulisan karya ilmiah sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana kedokteran hewan di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor Nomor kuisioner :. 1. Identitas Ternak 1. jumlah sapi: a. induk bunting..ekor b. Induk laktasi.ekor c. Induk kosong ekor d. Pejantan.ekor e. Anak e.1 jantan...ekor e.2 betina ekor 2. jenis sapi:... II. Aspek Reproduksi: 1. Cara perkawinan Sapi: a. Seluruhnya di IB b. Seluruhnya kawin alami c. keduanya dilakukan 2. Tindakan bila terjadi birahi: a. melapor pada inseminator b. dikawinkan secara alami c. lainnya..

52 38 3. Selang kedatangan petugas setelah melapor ( bila menjawab a pada nomor sebelumnya): a. 1-6 jam b jam c jam d >24 jam 4. Tempat melapor bila sapi birahi: a. Inseminator b. lainnya.. 5. Waktu pengamatan birahi: a. pagi b. siang c. sore 6. Berapa kali dilakukan pengamatan: a. satu kali b. dua kali c. tiga kali d. tidak tentu 7. lama birahi yang diketahui:..jam 8. lama siklus birahi yang diketahui: jam 9. Umur sapi pertama kali birahi:..tahun 10. Umur sapi pertama di kawinkan: tahun 11. Bobot sapi saat pertama kali birahi:.kg 12. lama kebuntingan: bulan 13. jumlah anak yang dilahirkan:..ekor 14. apakah anda mendapat kartu untuk pencatatan IB: a. ya b. tidak 15. Apakah petugas melakukan pencatatan tentang IB: a. ya b. tidak 16. berapa lama sapi kembali birahi setelah melahirkan:.

53 berapa lama sapi kembali dikawinkan setelah melahirkan: berapa lama jarak antar kelahiran sapi: berapa kali sapi dikawinkan sampai terjadi kebuntingan: a. 1 kali b. 2 kali c. 3 kali d. kali 20. Bagaimana cara perawatan kebuntingan: a. dirawat sendiri b. diperiksa Drh atau perawat c. lainnya. 21. penyakit atau gangguan reproduksi yang sering terjadi: tindakan saat partus: a. ditangani sendiri b. ditangani oleh dokter hewan atau mantri c. ditangani sendiri dan apabila mengalami kesulitan melapor 23. tindakan petugas saat partus: a. perawatan khusus b. tidak ada perawatan khusus 24. kejadian abortus pada sapi: a. sering b. jarang c. lainnya..

54 40 Lampiran 2 Foto-Foto di Peternakan PT Widodo Makmur Perkasa Cianjur, Jawa Barat Foto Udara Kandang Kantor Feedmil Tempat Penyimpanan Jerami Pedet Sapi Brahman Cross

55 41 Tempat Penampungan Air Aliran Pembuangan Limbah Penampungan Limbah Paddock Loading chute Tempat Pakan Tempat Minum

TINJAUAN PUSTAKA. Reproduksi Sapi Brahman Cross

TINJAUAN PUSTAKA. Reproduksi Sapi Brahman Cross 4 TINJAUAN PUSTAKA Reproduksi Sapi Brahman Cross Cara Mengukur Performance Reproduksi Menurut Toelihere (1994) reproduksi adalah suatu kemewahan fungsi tubuh yang secara fisiologis tidak vital bagi kehidupan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum PT Widodo Makmur Perkasa

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum PT Widodo Makmur Perkasa 22 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum PT Widodo Makmur Perkasa PT Widodo Makmur Perkasa merupakan perusahaan peternakan sapi potong yang memiliki populasi sapi terbanyak saat ini di kabupaten cianjur,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan

I. PENDAHULUAN. jika ditinjau dari program swasembada daging sapi dengan target tahun 2009 dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging dan merupakan komoditas peternakan yang sangat potensial. Dalam perkembangannya, populasi sapi potong belum mampu

Lebih terperinci

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat

menghasilkan keturunan (melahirkan) yang sehat dan dapat tumbuh secara normal. Ternak yang mempunyai kesanggupan menghasilkan keturunan atau dapat UKURAN KRITERIA REPRODUKSI TERNAK Sekelompok ternak akan dapat berkembang biak apalagi pada setiap ternak (sapi) dalam kelompoknya mempunyai kesanggupan untuk berkembang biak menghasilkan keturunan (melahirkan)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. dibagikan. Menurut Alim dan Nurlina ( 2011) penerimaan peternak terhadap BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Persepsi Peternak Terhadap IB Persepsi peternak sapi potong terhadap pelaksanaan IB adalah tanggapan para peternak yang ada di wilayah pos IB Dumati terhadap pelayanan IB

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A.

II. TINJAUAN PUSTAKA A. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Perah Peranakan Friesian Holstein Sapi peranakan Fresian Holstein (PFH) merupakan sapi hasil persilangan sapi-sapi jantan FH dengan sapi lokal melalui perkawinan alam (langsung)

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambaran Umum PT Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambaran Umum PT Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum PT Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung Gambar 3. Foto Udara PT.Widodo Makmur Perkasa Propinsi Lampung (Sumber: arsip PT.Widodo Makmur Perkasa) PT. Widodo Makmur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk

I. PENDAHULUAN. Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Propinsi Lampung memiliki potensi sumber daya alam yang sangat besar untuk pengembangan ternak sapi potong. Kemampuan menampung ternak sapi di Lampung sebesar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk PENDAHULUAN Latar Belakang Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk mencapai swasembada protein asal ternak khususnya swasembada daging pada tahun 2005, maka produkksi ternak kambing

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. kebutuhan sehingga sebagian masih harus diimpor (Suryana, 2009). Pemenuhan BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi potong merupakan salah satu ternak penghasil daging di Indonesia. Daging sapi merupakan salah satu sumber protein hewani yang banyak dibutuhkan konsumen, namun sampai

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20 HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Bahan Kering (BK) Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh ternak yang akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok, produksi, dan reproduksi. Ratarata konsumsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Peranakan Ongole Sapi PO adalah sapi persilangan antara sapi Ongole (Bos-indicus) dengan sapi lokal. Sapi ini tahan terhadap iklim tropis dengan musim kemaraunya (Yulianto

Lebih terperinci

PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33

PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33 PUBERTAS DAN ESTRUS 32 Pubertas 32 Estrus 32 Waktu kawin 33 HORMON KEBUNTINGAN DAN KELAHIRAN 33 Peranan hormon dalam proses kebuntingan 33 Kelahiran 34 MASALAH-MASALAH REPRODUKSI 35 FERTILITAS 35 Faktor

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masyarakat pedesaan pada umumnya bermatapencaharian sebagai petani, selain usaha pertaniannya, usaha peternakan pun banyak dikelola oleh masyarakat pedesaan salah satunya

Lebih terperinci

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB).

CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB). CARA MUDAH MENDETEKSI BIRAHI DAN KETEPATAN WAKTU INSEMINASI BUATAN (IB) PADA SAPI INSEMINASI BUATAN(IB). Peningkatan produktifitas ternak adalah suatu keharusan, Oleh karena itu diperlukan upaya memotivasi

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan

BAB I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kebutuhan daging sapi dari tahun ke tahun terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Indonesia. Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Ternak Sapi Bali Sapi Bali merupakan plasma nutfah dan sebagai ternak potong andalan yang dapat memenuhi kebutuhan daging sekitar 27% dari total populasi sapi potong Indonesia.

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Bone Bolango merupakan salah satu kabupaten diantara 5 Kabupaten yang terdapat di provinsi Gorontalo dan secara geografis memiliki

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009).

KAJIAN KEPUSTAKAAN. sangat besar dalam memenuhi kebutuhan konsumsi susu bagi manusia, ternak. perah. (Siregar, dkk, dalam Djaja, dkk,. 2009). II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1. Karakteristik Sapi Perah FH (Fries Hollands) Sapi perah merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibandingkan dengan ternak perah lainnya. Sapi perah memiliki kontribusi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan kambing lokal Indonesia. Kambing jenis ini banyak diternakkan di pesisir pantai utara (Prawirodigdo et al., 2004). Kambing Jawarandu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk yang terus meningkat sehingga membutuhkan ketersediaan makanan yang memiliki gizi baik yang berasal

Lebih terperinci

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Karakteristik Sapi perah Sapi perah (Bos sp.) merupakan ternak penghasil susu yang sangat dominan dibanding ternak perah lainnya dan sangat besar kontribusinya dalam memenuhi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Tempat Penelitian 4.1.1. Sejarah UPTD BPPTD Margawati Garut Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Pengembangan Perbibitan Ternak Domba atau disingkat UPTD BPPTD yaitu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kambing Jawarandu Kambing Jawarandu merupakan bangsa kambing hasil persilangan kambing Kacang dengan kambing Ettawa. Kambing Jawarandu merupakan hasil persilangan pejantan

Lebih terperinci

PEMBIBITAN SAPI BRAHMAN CROSS EX IMPORT DIPETERNAKAN RAKYAT APA MUNGKIN DAPAT BERHASIL?

PEMBIBITAN SAPI BRAHMAN CROSS EX IMPORT DIPETERNAKAN RAKYAT APA MUNGKIN DAPAT BERHASIL? PEMBIBITAN SAPI BRAHMAN CROSS EX IMPORT DIPETERNAKAN RAKYAT APA MUNGKIN DAPAT BERHASIL? Trinil Susilawati (email : Trinil_susilawati@yahoo.com) Dosen dan Peneliti Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya-

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Peranakan Ongole (PO) Sapi Peranakan Ongole (PO) merupakan salah satu sapi yang banyak dibudidayakan oleh masyarakat di Indonesia. Populasi sapi PO terbesar berada di

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Mekar, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Lokasi

HASIL DAN PEMBAHASAN. Mekar, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Lokasi IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum PT. UPBS Pangalengan 4.1.1. Kondisi Lingkungan Perusahaan PT. UPBS (Ultra Peternakan Bandung Selatan) berlokasi di Desa Marga Mekar, Kecamatan Pangalengan, Kabupaten

Lebih terperinci

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat

penampungan [ilustrasi :1], penilaian, pengenceran, penyimpanan atau pengawetan (pendinginan dan pembekuan) dan pengangkutan semen, inseminasi, pencat Problem utama pada sub sektor peternakan saat ini adalah ketidakmampuan secara optimal menyediakan produk-produk peternakan, seperti daging, telur, dan susu untuk memenuhi kebutuhan gizi masyarakat akan

Lebih terperinci

5 KINERJA REPRODUKSI

5 KINERJA REPRODUKSI 5 KINERJA REPRODUKSI Pendahuluan Dengan meningkatnya permintaan terhadap daging tikus ekor putih sejalan dengan laju pertambahan penduduk, yang diikuti pula dengan makin berkurangnya kawasan hutan yang

Lebih terperinci

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour

Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour Sexual behaviour Parturient behaviour Nursing & maternal behaviour Rangsangan seksual libido Berkembang saat pubertas dan setelah dewasa berlangsung terus selama hidup Tergantung pada hormon testosteron

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa Sapi Sapi Brahman Cross (BX)

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa Sapi Sapi Brahman Cross (BX) TINJAUAN PUSTAKA Bangsa Sapi Bangsa (breed) sapi adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Berdasarkan karakteristik tersebut, sapi dapat dibedakan dari ternak lainnya meskipun

Lebih terperinci

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI

BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN AGRIBISNIS TERNAK RIMUNANSIA BAB VI TEKNOLOGI REPRODUKSI KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Perkembangan zaman dengan kemajuan teknologi membawa pengaruh pada peningkatan pendapatan, taraf hidup, dan tingkat pendidikan masyarakat yang pada akhirnya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali TINJAUAN PUSTAKA Sapi Bali Sapi bali berasal dari banteng (Bibos banteng) yang telah didomestikasi berabad-abad lalu. Beberapa sinonim sapi bali yaitu Bos javanicus, Bos banteng dan Bos sondaicus. Sapi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas

I. PENDAHULUAN. Selatan. Sapi pesisir dapat beradaptasi dengan baik terhadap pakan berkualitas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sapi pesisir merupakan salah satu bangsa sapi lokal yang banyak di pelihara petani-peternak di Sumatera Barat, terutama di Kabupaten Pesisir Selatan. Sapi pesisir dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan

I. PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Ketahanan pangan merupakan prioritas ke-5 tingkat Nasional dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Kementrian Pertanian Tahun 2010-- 2014 (Anonim

Lebih terperinci

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :...... LAMPIRAN 50 Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama :... 2. Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :... 4. Pendidikan Terakhir :.. 5. Mata Pencaharian a. Petani/peternak

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A.

BAB I. PENDAHULUAN A. 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Aplikasi bioteknologi reproduksi di bidang peternakan merupakan suatu terobosan untuk memacu pengembangan usaha peternakan. Sapi merupakan salah satu jenis ternak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. khususnya daging sapi dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. khususnya daging sapi dari tahun ke tahun di Indonesia mengalami peningkatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan alam yang melimpah.ternak dan hasil produksinya merupakan sumber bahan pangan protein yang sangat penting untuk peningkatan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole. Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole. Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Persilangan Simmental dan Peranakan Ongole Sapi hasil persilangan antara sapi peranakan Ongole (PO) dan sapi Simmental dengan nama SIMPO. Sapi SIMPO merupakan hasil

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam

I. PENDAHULUAN. Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sapi perah merupakan salah satu penghasil protein hewani, yang dalam pemeliharaannya selalu diarahkan pada peningkatan produksi susu. Sapi perah bangsa Fries Holland (FH)

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. domestik dari banteng ( Bibos banteng) adalah jenis sapi yang unik. Sapi asli

I. TINJAUAN PUSTAKA. domestik dari banteng ( Bibos banteng) adalah jenis sapi yang unik. Sapi asli I. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Sapi Bali Sapi Bali merupakan sapi potong asli Indonesia yang merupakan hasil domestik dari banteng ( Bibos banteng) adalah jenis sapi yang unik. Sapi asli Indonesia ini sudah lama

Lebih terperinci

HUBUNGAN BODY CONDITION SCORE (BCS),

HUBUNGAN BODY CONDITION SCORE (BCS), HUBUNGAN BODY CONDITION SCORE (BCS), ph DAN KEKENTALAN SEKRESI ESTRUS TERHADAP NON RETURN RATE (NR) DAN CONCEPTION RATE (CR) PADA INSEMINASI BUATAN (IB) SAPI PERANAKAN FRIES HOLLAND Arisqi Furqon Program

Lebih terperinci

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup II KAJIAN KEPUSTAKAAN 2.1 Sapi Potong Sapi potong adalah jenis sapi yang khusus dipelihara untuk digemukkan karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup baik. Sapi

Lebih terperinci

EFISIENSI REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN MOJOKERTO. Oleh : Donny Wahyu, SPt*

EFISIENSI REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN MOJOKERTO. Oleh : Donny Wahyu, SPt* EFISIENSI REPRODUKSI SAPI POTONG DI KABUPATEN MOJOKERTO Oleh : Donny Wahyu, SPt* Kinerja reproduksi sapi betina adalah semua aspek yang berkaitan dengan reproduksi ternak. Estrus pertama setelah beranak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Sejarah Sapi Potong Sapi adalah hewan ternak terpenting dari jenis-jenis hewan ternak yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Sejarah Sapi Potong Sapi adalah hewan ternak terpenting dari jenis-jenis hewan ternak yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Sejarah Sapi Potong Sapi adalah hewan ternak terpenting dari jenis-jenis hewan ternak yang dipelihara manusia sebagai sumber daging, susu, tenaga kerja, dan kebutuhan manusia

Lebih terperinci

Rini Ramdhiani Muchtar, Bandiati, S K P, Tita D. Lestari Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Jatinangor, Sumedang ABSTRAK

Rini Ramdhiani Muchtar, Bandiati, S K P, Tita D. Lestari Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran Jatinangor, Sumedang ABSTRAK EVALUASI PRODUKTIVITAS ANAK DOMBA LOKAL MENGGUNAKAN RUMUS PRODUKTIVITAS MELALUI PENERAPAN TEKNOLOGI REPRODUKSI (Kasus di Peternakan Rakyat Desa Neglasari Kecamatan Darangdan Kabupaten Purwakarta) Rini

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sapi Potong Keberhasilan reproduksi akan sangat mendukung peningkatan populasi sapi potong. Namun kondisi sapi potong di usaha peternakan rakyat masih dijumpai adanya kasus

Lebih terperinci

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA Tatap muka ke : 10 POKOK BAHASAN VIII VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA Tujuan Instruksional Umum : Mengetahui peranan ternak babi dalam usaha penyediaan daging. Mengetahui sifat-sifat karakteristik

Lebih terperinci

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh.

MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO. DOSEN PENGAMPU Drh. MAKALAH BIOTEKNOLOGI PETERNAKAN PENINGKATAN POPULASI DAN MUTU GENETIK SAPI DENGAN TEKNOLOGI TRANSFER EMBRIO DOSEN PENGAMPU Drh. BUDI PURWO W, MP SEMESTER III JUNAIDI PANGERAN SAPUTRA NIRM 06 2 4 10 375

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Domba Lokal

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Domba Lokal TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Bangsa domba secara umum diklasifikasikan berdasarkan atas hal-hal tertentu diantaranya berdasarkan perbandingan banyaknya daging atau wol, ada tidaknya tanduk atau berdasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan kebutuhan daging sapi lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan daging sapi. Ternak sapi,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 8 Tabel 1 Panduan interpretasi hasil uji hipotesis berdasarkan kekuatan korelasi, nilai p, dan arah korelasi (Dahlan 2001) No. Parameter Nilai Interpretasi 1. Kekuatan Korelasi (r) 2. Nilai p 3. Arah korelasi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda 3 TINJAUAN PUSTAKA Siklus Reproduksi Kuda Siklus reproduksi terkait dengan berbagai fenomena, meliputi pubertas dan kematangan seksual, musim kawin, siklus estrus, aktivitas seksual setelah beranak, dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Pedaging

TINJAUAN PUSTAKA Sapi Pedaging TINJAUAN PUSTAKA Sapi Pedaging Bangsa sapi pedaging di dunia dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu bangsa Sapi Kontinental Eropa, Sapi Inggris dan Sapi Persilangan Brahman (India). Bangsa sapi keturunan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia Sapi lokal memiliki potensi sebagai penghasil daging dalam negeri. Sapi lokal memiliki kelebihan, yaitu daya adaptasi terhadap lingkungan tinggi, mampu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Konsumsi Pakan

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Konsumsi Pakan HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi PT. Purwakarta Agrotechnopreneur Centre (PAC), terletak di desa Pasir Jambu, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Bogor. Berdasarkan data statistik desa setempat, daerah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk

PENDAHULUAN. pemotongan hewan (TPH) adalah domba betina umur produktif, sedangkan untuk 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Domba merupakan ternak yang dapat menyediakan kebutuhan protein hewani bagi masyarakat Indonesia selain dari sapi, kerbau dan unggas. Oleh karena itu populasi dan kualitasnya

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi Bali (Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos/Bibos banteng) merupakan plasma

BAB I. PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sapi Bali (Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos/Bibos banteng) merupakan plasma BAB I. PENDAHULUAN Latar Belakang Sapi Bali (Bos sondaicus, Bos javanicus, Bos/Bibos banteng) merupakan plasma nutfah nasional Indonesia, hasil domestikasi dari banteng liar beratus-ratus tahun yang lalu.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sebesar 90-95% dari total kebutuhan daging sapi dalam negeri, sehingga impor

II. TINJAUAN PUSTAKA. sebesar 90-95% dari total kebutuhan daging sapi dalam negeri, sehingga impor 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Swasembada Daging Sapi Swasembada daging sapi adalah kemampuan penyediaan daging produksi lokal sebesar 90-95% dari total kebutuhan daging sapi dalam negeri, sehingga impor sapi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kelinci New Zealand White Kelinci New Zealand White (NZW) bukan berasal dari New Zealand, tetapi dari Amerika (Masanto dan Agus, 2013). Kelinci New Zealand White memiliki

Lebih terperinci

Pembibitan dan Budidaya ternak dapat diartikan ternak yang digunakan sebagai tetua bagi anaknya tanpa atau sedikit memperhatikan potensi genetiknya. B

Pembibitan dan Budidaya ternak dapat diartikan ternak yang digunakan sebagai tetua bagi anaknya tanpa atau sedikit memperhatikan potensi genetiknya. B Budidaya Sapi Potong Berbasis Agroekosistem Perkebunan Kelapa Sawit BAB III PEMBIBITAN DAN BUDIDAYA PENGERTIAN UMUM Secara umum pola usahaternak sapi potong dikelompokkan menjadi usaha "pembibitan" yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kelamin sehingga tidak menimbulkan kematian pada anak atau induk saat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kelamin sehingga tidak menimbulkan kematian pada anak atau induk saat 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkawinan Perkawinan yang baik yaitu dilakukan oleh betina yang sudah dewasa kelamin sehingga tidak menimbulkan kematian pada anak atau induk saat melahirkan (Arif, 2015).

Lebih terperinci

KAWIN SUNTIK/INSEMINASI BUATAN (IB) SAPI

KAWIN SUNTIK/INSEMINASI BUATAN (IB) SAPI KAWIN SUNTIK/INSEMINASI BUATAN (IB) SAPI Terbatasnya sapi pejantan unggul di Indonesia, merupakan persoalan dalam upaya meningkatkan populasi bibit sapi unggul untuk memenuhi kebutuhan daging yang masih

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Potong. potong adalah daging. Tinggi rendahnya produksi penggemukan tersebut

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Potong. potong adalah daging. Tinggi rendahnya produksi penggemukan tersebut BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sapi Potong Sapi potong merupakan jenis sapi yang diarahkan untuk memproduksi daging, oleh karena itu penggemukan yang dilakukan bertujuan untuk mencapai bobot badan secara maksimal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai

I. PENDAHULUAN. dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kerbau merupakan salah satu ternak ruminansia yang dikembangkan dengan tujuan untuk menghasilkan daging, susu, dan sumber tenaga kerja sebagai hasil utama serta pupuk organik

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum BBPTU-HPT Baturraden Balai Besar Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak (BBPTU-HPT) Baturraden merupakan pusat pembibitan sapi perah nasional yang ada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan teknologi yang diikuti dengan kemajuan ilmu

I. PENDAHULUAN. Perkembangan dan kemajuan teknologi yang diikuti dengan kemajuan ilmu I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Perkembangan dan kemajuan teknologi yang diikuti dengan kemajuan ilmu pengetahuan mendorong meningkatnya taraf hidup masyarakat yang ditandai dengan peningkatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Populasi dan produktifitas sapi potong secara nasional selama beberapa tahun terakhir menunjukkan kecenderungan menurun dengan laju pertumbuhan sapi potong hanya mencapai

Lebih terperinci

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN A. Kesimpulan Secara umum kinerja produksi ternak sapi dan kerbau di berbagai daerah relatif masih rendah. Potensi ternak sapi dan kerbau lokal masih dapat ditingkatkan

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh ISTI PRAHESTI

SKRIPSI. Oleh ISTI PRAHESTI PERBEDAAN INTENSITAS BERAHI GENERASI PERTAMA DAN KEDUA PADA SAPI HASIL PERSILANGAN SIMMENTAL- PERANAKAN ONGOLE DI DESA PLOSOSARI, KECAMATAN SUKOREJO, KABUPATEN KENDAL SKRIPSI Oleh ISTI PRAHESTI PROGRAM

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada

I. PENDAHULUAN. tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pertumbuhan penduduk di Indonesia yang semakin meningkat serta kesadaran tentang pentingnya protein hewani untuk kesehatan tubuh berdampak pada peningkatan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang. kelahiran anak per induk, meningkatkan angka pengafkiran ternak, memperlambat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. kelahiran anak per induk, meningkatkan angka pengafkiran ternak, memperlambat 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Reproduksi merupakan sifat yang sangat menentukan keuntungan usaha peternakan sapi perah. Inefisiensi reproduksi dapat menimbulkan berbagai kerugian pada usaha peterkan sapi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Asal-usul, Karakteristik dan Penampilan Reproduksi Kambing Kacang

TINJAUAN PUSTAKA. Asal-usul, Karakteristik dan Penampilan Reproduksi Kambing Kacang 4 TINJAUAN PUSTAKA Asal-usul, Karakteristik dan Penampilan Reproduksi Kambing Kacang Kambing Kacang merupakan kambing asli Malaysia dan Indonesia. Dari berbagai bangsa kambing yang terdapat di wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Balai Pembibitan Ternak Unggul Hijauan Pakan Ternak (BPTU-HPT)

BAB I PENDAHULUAN. Balai Pembibitan Ternak Unggul Hijauan Pakan Ternak (BPTU-HPT) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Balai Pembibitan Ternak Unggul Hijauan Pakan Ternak (BPTU-HPT) Padang Mengatas didirikan pada zaman Hindia Belanda yaitu pada tahun 1916. BPTU-HPT Padang Mengatas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem

BAB I PENDAHULUAN. berkaitan dengan timbulnya sifat-sifat kelamin sekunder, mempertahankan sistem BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Estrogen merupakan hormon steroid yang dihasilkan oleh sel granulosa dan sel teka dari folikel de Graaf pada ovarium (Hardjopranjoto, 1995). Estrogen berkaitan dengan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Gambaran Umum BBPTU-HPT Baturraden Jawa Tengah. Lokasi Balai Benih Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Gambaran Umum BBPTU-HPT Baturraden Jawa Tengah. Lokasi Balai Benih Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak II. TINJAUAN PUSTAKA A. Gambaran Umum BBPTU-HPT Baturraden Jawa Tengah Lokasi Balai Benih Pembibitan Ternak Unggul dan Hijauan Pakan Ternak Baturraden berada pada wilayah yang meliputi 3 (tiga) area, yaitu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepatnya yang berada di daerah Batur, Banjarnegara (Noviani et al., 2013). Domba

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepatnya yang berada di daerah Batur, Banjarnegara (Noviani et al., 2013). Domba 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Domba Batur Domba Batur merupakan salah satu domba lokal yang ada di Jawa Tengah tepatnya yang berada di daerah Batur, Banjarnegara (Noviani et al., 2013). Domba Batur sangat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Keadaan Umum Lokasi Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian Lokasi dan Tata Letak PT Lembu Jantan Perkasa (LJP) Serang-Banten merupakan salah satu peternakan sapi potong yang bergerak di bidang breeding, fattening

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketenangan dan akan menurunkan produksinya. Sapi Friesien Holstein pertama kali

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketenangan dan akan menurunkan produksinya. Sapi Friesien Holstein pertama kali 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Friesien Holstein Sapi perah adalah jenis sapi yang dipelihara dengan tujuan untuk menghasilkan susu (Blakely dan Bade, 1992) ditambahkan pula oleh Sindoredjo (1960) bahwa

Lebih terperinci

PERFORMANS REPRODUKSI SAPI BALI DAN SAPI PO DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR

PERFORMANS REPRODUKSI SAPI BALI DAN SAPI PO DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR PERFORMANS REPRODUKSI SAPI BALI DAN SAPI PO DI KECAMATAN SUNGAI BAHAR Disajikan oleh: Dessy Ratnasari E 10013168, dibawah bimbingan: Ir. Darmawan 1) dan Ir. Iskandar 2) Jurusan Peternakan, Fakultas peternakan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian

PENDAHULUAN. Latar Belakang Penelitian 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian Tujuan umum pembangunan peternakan, sebagaimana tertulis dalam Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal Peternakan Tahun 2010-2014, adalah meningkatkan penyediaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Laju pertambahan penduduk yang terus meningkat menuntut

I. PENDAHULUAN. Indonesia. Laju pertambahan penduduk yang terus meningkat menuntut I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Peningkatan produksi daging merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan ketahanan pangan sekaligus memajukan tingkat kecerdasan sumber daya manusia Indonesia.

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kinerja Induk Parameter yang diukur untuk melihat pengaruh pemberian fitoestrogen ekstrak tempe terhadap kinerja induk adalah lama kebuntingan, dan tingkat produksi anak

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Materi Prosedur MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Desa Cibeureum Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor pada Bulan Maret sampai Agustus. Pemilihan daerah Desa Cibeureum sebagai tempat penelitian

Lebih terperinci

UMUR SAPIH OPTIMAL PADA SAPI POTONG

UMUR SAPIH OPTIMAL PADA SAPI POTONG UMUR SAPIH OPTIMAL PADA SAPI POTONG Dalam industri sapi potong, manajemen pemeliharaan pedet merupakan salahsatu bagian dari proses penciptaan bibit sapi yang bermutu. Diperlukan penanganan yang tepat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) berasal dari dataran Eropa tepatnya dari Provinsi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Friesian Holstein (FH) berasal dari dataran Eropa tepatnya dari Provinsi II. TINJAUAN PUSTAKA A. Sapi Perah Sapi Friesian Holstein (FH) berasal dari dataran Eropa tepatnya dari Provinsi North Holland dan West Friesland negeri Belanda yang memiliki temperatur lingkungan kurang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang mayoritas adalah petani dan peternak, dan ternak lokal memiliki beberapa

I. PENDAHULUAN. yang mayoritas adalah petani dan peternak, dan ternak lokal memiliki beberapa I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ternak lokal berperan penting dalam kehidupan masyarakat pedesaan yang mayoritas adalah petani dan peternak, dan ternak lokal memiliki beberapa sifat unggul dibandingkan

Lebih terperinci

PERFORMA REPRODUKSI PADA SAPI POTONG PERANAKAN LIMOSIN DI WILAYAH KECAMATAN KERTOSONO KABUPATEN NGANJUK

PERFORMA REPRODUKSI PADA SAPI POTONG PERANAKAN LIMOSIN DI WILAYAH KECAMATAN KERTOSONO KABUPATEN NGANJUK PERFORMA REPRODUKSI PADA SAPI POTONG PERANAKAN LIMOSIN DI WILAYAH KECAMATAN KERTOSONO KABUPATEN NGANJUK ABSTRAK Tinggi rendahnya status reproduksi sekelompok ternak, dipengaruhi oleh lima hal sebagai berikut:

Lebih terperinci

UPAYA PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI TERNAK DOMBA DI TINGKAT PETAN TERNAK

UPAYA PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI TERNAK DOMBA DI TINGKAT PETAN TERNAK UPAYA PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI TERNAK DOMBA DI TINGKAT PETAN TERNAK HASTONO Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 ABSTRAK Salah satu upaya peningkatan sefisensi reproduksi ternak domba

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Tapir asia dapat ditemukan dalam habitat alaminya di bagian selatan Burma, Peninsula Melayu, Asia Tenggara dan Sumatra. Berdasarkan Tapir International Studbook, saat ini keberadaan

Lebih terperinci

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH

HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH HUBUNGAN HORMON REPRODUKSI DENGAN PROSES GAMETOGENESIS MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Teknologi Informasi dalam Kebidanan yang dibina oleh Bapak Nuruddin Santoso, ST., MT Oleh Devina Nindi Aulia

Lebih terperinci

DUKUNGAN TEKNOLOGI PENYEDIAAN PRODUK PANGAN PETERNAKAN BERMUTU, AMAN DAN HALAL

DUKUNGAN TEKNOLOGI PENYEDIAAN PRODUK PANGAN PETERNAKAN BERMUTU, AMAN DAN HALAL DUKUNGAN TEKNOLOGI PENYEDIAAN PRODUK PANGAN PETERNAKAN BERMUTU, AMAN DAN HALAL Prof. Dr. Ir. Achmad Suryana MS Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian I. PENDAHULUAN Populasi penduduk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Hasil Evaluasi Karakteristik Semen Ayam Arab pada Frekuensi Penampungan yang Berbeda

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2. Hasil Evaluasi Karakteristik Semen Ayam Arab pada Frekuensi Penampungan yang Berbeda HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil evaluasi semen secara makroskopis (warna, konsistensi, ph, dan volume semen) dan mikroskopis (gerakan massa, motilitas, abnormalitas, konsentrasi, dan jumlah spermatozoa per

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum KPSBU Lembang

HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum KPSBU Lembang 17 HASIL DAN PEMBAHASAN Gambaran Umum KPSBU Lembang Koperasi Peternak Sapi Bandung Utara (KPSBU) Lembang terletak di Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung yang berjarak sekitar 22 km di sebelah utara Kota

Lebih terperinci

MASALAH MANAJEMEN REPRODUKSI SAPI TERHADAP PERFORMAN OVARIUM SAPI. Agung Budiyanto

MASALAH MANAJEMEN REPRODUKSI SAPI TERHADAP PERFORMAN OVARIUM SAPI. Agung Budiyanto MASALAH MANAJEMEN REPRODUKSI SAPI TERHADAP PERFORMAN OVARIUM SAPI Agung Budiyanto Dosen FKH, Master dan Doctoral Degree Pasca Sarjana UGM Sekretaris Bagian Reproduksi dan Kebidanan FKH UGM Ketua Asosisasi

Lebih terperinci

KAJIAN PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI BRAHMAN CROSS PROGRAM AKSI PERBIBITAN DI INDONESIA

KAJIAN PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI BRAHMAN CROSS PROGRAM AKSI PERBIBITAN DI INDONESIA KAJIAN PENAMPILAN REPRODUKSI SAPI BRAHMAN CROSS PROGRAM AKSI PERBIBITAN DI INDONESIA SKRIPSI BENEDICTUS BOBBY CHRISENTA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 HALAMAN PENGESAHAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan

BAB I PENDAHULUAN. Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Permasalahan yang dihadapi Provinsi Jambi salah satunya adalah pemenuhan kebutuhan daging sapi yang sampai saat ini masih mengandalkan pemasukan ternak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ukuran tubuh berlebihan, lebar dan dalam. 2). Meat type = pork type (babi tipe daging) Ukuran tubuh panjang, dalam dan halus.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ukuran tubuh berlebihan, lebar dan dalam. 2). Meat type = pork type (babi tipe daging) Ukuran tubuh panjang, dalam dan halus. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Tipe Babi Pada pokoknya babi bisa dibedakan menjadi tiga tipe (Sihombing, 2006) : 1). Lard type (babi tipe lemak) Termasuk kelompok babi tipe lemak ialah yang memili ciri-ciri

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kinali dan Luhak Nan Duomerupakandua wilayah kecamatan dari. sebelaskecamatan yang ada di Kabupaten Pasaman Barat. Kedua kecamatan ini

I. PENDAHULUAN. Kinali dan Luhak Nan Duomerupakandua wilayah kecamatan dari. sebelaskecamatan yang ada di Kabupaten Pasaman Barat. Kedua kecamatan ini I. PENDAHULUAN A. LatarBelakang Kinali dan Luhak Nan Duomerupakandua wilayah kecamatan dari sebelaskecamatan yang ada di Kabupaten Pasaman Barat. Kedua kecamatan ini terletak berdampingan.secara geografis

Lebih terperinci