MODEL PELESTARIAN FUNGSI LINGKUNGAN PERKOTAAN BERBASIS EKOSANITA-IPLT (Dengan Studi Kasus Kota Majalaya Di DAS Citarum Hulu)

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "MODEL PELESTARIAN FUNGSI LINGKUNGAN PERKOTAAN BERBASIS EKOSANITA-IPLT (Dengan Studi Kasus Kota Majalaya Di DAS Citarum Hulu)"

Transkripsi

1 MODEL PELESTARIAN FUNGSI LINGKUNGAN PERKOTAAN BERBASIS EKOSANITA-IPLT (Dengan Studi Kasus Kota Majalaya Di DAS Citarum Hulu) DISERTASI R. PAMEKAS SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 006

2 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam disertasi saya yang berjudul MODEL PELESTARIAN FUNGSI LINGKUNGAN PERKOTAAN BERBASIS EKOSANITA-IPLT (dengan studi kasus kota Majalata di DAS Citarum Hulu), merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan pembimbingan Komisi Pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Disertasi ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya. Bogor, Desember 006 R Pamekas P /PSL

3 ABSTRAK R PAMEKAS. Model Pelestarian Fungsi Lingkungan Perkotaan Berbasis EkoSanita-IPLT (Dengan Studi Kasus Kota Majalaya di DAS Citarum Hulu). Dibimbing oleh BIBIANA W LAY sebagai ketua; SURJONO H SUTJAHJO; PARULIAN M HUTAGAOL DAN HARTRISARI HARDJOMIDJOJO sebagai anggota komisi pembimbing. Pelestarian fungsi lingkungan perkotaan atau upaya memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan perkotaan sangat berpengaruh terhadap kualitas kehidupan dan penghidupan penduduk. Pelestarian fungsi lingkungan hidup di daerah perkotaan, mencerminkan kinerja pengelolaan lingkungan perkotaan. Namun, melakukan pengawasan dan pengendalian lingkungan hidup melalui penilaian kinerja program pengelolaan lingkungan perkotaan di Indonesia adalah tugas yang tidak mudah karena belum ada ukuran baku yang dapat dipakai untuk melakukan evaluasi. Sementara itu, pengelolaan air limbah rumah tangga yang merupakan bagian penting dari pelestarian fungsi lingkungan perkotaan di Indonesia sejak pembangunan lima tahun ketiga, belum memperoleh hasil yang optimal. Prasarana dan sarana sanitasi yang dibangun belum berfungsi sesuai harapan, pencemaran air oleh limbah rumah tangga masih relatif tinggi, sumber air minum penduduk masih tercemar lumpur tinja, kasus penyakit diare dan kematian bayi yang diakibatkan sanitasi buruk masih terjadi. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengembangkan (dua) model pengelolaan lingkungan perkotaan yang berkelanjutan. Model tersebut akan digunakan untuk sarana atau perangkat kebijakan pelestarian fungsi lingkungan perkotaan. Untuk mencapai tujuan tersebut digunakan pendekatan sistem dengan membangun model indeks pelestarian fungsi lingkungan perkotaan (IPFLH) berbasis statistik dan model EkoSanita-IPLT berbasis sistem dinamis. Model IPFLH digunakan untuk menilai kinerja program pelestarian fungsi lingkungan perkotaan, sedangkan model EkoSanita-IPLT digunakan untuk merumuskan kebijakan dan strategi perbaikan kinerja sistem pengelolaan air limbah rumah tangga yang ada melalui proses simulasi. Penelitian ini menyimpulkan bahwa keadaan optimal pelestarian fungsi lingkungan perkotaan dicapai pada 50% penduduk yang mendapat akses ke fasilitas sanitasi yang diperbaiki (improved). Nilai optimal tersebut adalah 0.89 skala IPFLH (indeks pelestarian fungsi lingkungan hidup) untuk setiap persen peningkatan cakupan pelayanan. Perbaikan kinerja pengelolaan air limbah rumah tangga, mencapai keadaan optimal apabila cakupan pelayanan mencapai 60% penduduk di 6 (enam) kota kecamatan, efisiensi pengangkutan lumpur tinja 100%, efisiensi sistem setempat 70%. Nilai optimal tersebut adalah 4,88 skala IDTL (indeks daya tampung lingkungan) untuk setiap persen peningkatan cakupan pelayanan. Hasil simulasi kedua model yang dikembangkan tersebut menunjukkan kemampu terapan model untuk perangkat kebijakan.. Kata kunci: Model, Sanitasi, lumpur tinja, Perangkat Kebijakan

4 ABSTRACT R PAMEKAS. Model For Urban Conservation of Urban Environmental Function Based On Ekosanita-IPLT (Case study of Town of Majalaya at the Catchment Area of Upstream Citarum). Advised by: BIBIANA W LAY as Chairman; SURJONO H SUTJAHJO; PARULIAN M HUTAGAOL DAN HARTRISARI HARDJOMIDJOJO as a member of the Advisor Committee. The conservation for Urban Environmental Function or the effort to maintain the sustainability of the urban environmental carrying capacity as well as assimilative capacity lead to a siqnificantly influence the quality of life of the people. The conservation of urban environmental function, representing the performance of the urban environmental management. However, a task to monitor and to control the environment quality through evaluating the performance of urban environmental management in Indonesia is not easy task due to the fact that there is no standard measure that can be utililised for evaluation. Meanwhile, the domestic wastewater management as an important part of the conservation of urban environment function in Indonesia since the third of five national development plan, have not meet optimal results. The developed sanitation infrastructures have not function as expected, the domestic water polution still relatively high, the sources of drinking water contaminated by faecal sludge, the cases of diarhe deseases and the infant mortality due to bad sanitation still happens. This research is aimed to develop (two) models for sustainability managing the urban environment. This models will be used for policy tools for conserving the funktion of urban environment.. To achieve this objective, the system based approach is used through the development of statistically based Indekx Conservation of the Function of Urban Environment (ICFUE) and the EkoSanita-IPLT based on system dinamic The ICFUE model is used to evaluate the performance of the conservation of urban environment functions, whereas the EkoSanita-IPLT model is used to formulate policy and straegy to improve the performance of domestic wastewater management through simulation processes. This research conclude that the optimal condition to conserve the funktion of urban environment is achieved at 50% of the population that get access to the improved sanitation facilities. This optimum value is 0.89 of ICFUE scale for each percent of increase in coverage. The improvement of the performance of domestic wastewater management had reach the optimimum condition if the population coverage of sic kecamatan served area is 60%, the efficiency of faecal sludge transportation is 100%, the efficiency of on-site treatment facilities is 70%. This optimum value is 4.88 of the Indeks of Urban Environment Assimilative Capacity (IUEAC) scale. The simulation result of the developed model had proved their aplicability to be used in policy tools. Key words: Model, Sanitation, faecal sludge, policy tools

5 @Hak cipta milik Institute Pertanian Bogor, tahun 006 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa ijin tertulis dari Institute Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, microfilm, dan sebagainya.

6 MODEL PELESTARIAN FUNGSI LINGKUNGAN PERKOTAAN BERBASIS EKOSANITA-IPLT (Dengan Studi Kasus Kota Majalaya Di DAS Citarum Hulu) R. PAMEKAS Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Bidang Pengelolaan Lingkungan dan Sumberdaya Alam SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 006

7 Judul Disertasi Nama Mahasiswa Nomor Pokok : Model Pelestarian Fungsi Lingkungan Perkotaan Berbasis Ekosanita IPLT (Dengan Studi Kasus Kota Majalaya di DAS Citarum Hulu) : R. Pamekas : P Disetujui Komisi Pembimbing Prof Dr drh Bibiana Widiati Lay Ketua Dr Ir Surjono H Sutjahjo, MS Anggota Dr Ir Parulian M Hutagaol Anggota Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Dr Ir Hartrisari Hardjomidjojo Anggota Dekan Sekolah Pasca Sarjana Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodipuro Tanggal: i

8 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala karunia NYA sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 005 adalah Sanitasi dengan judul Model Pelestarian Fungsi Lingkungan Perkotaan berbasis Ekosanita-IPLT (dengan studi kasus kota Majalaya di DAS Citarum Hulu). Penelitian disertasi ini ditujukan untuk menghasilkan model pengelolaan air limbah berbasis IPLT yang berkelanjutan (Ekosanita-IPLT) sehingga dapat digunakan sebagai perangkat kebijakan untuk meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan. Penelitian ini dilakukan di kota Majalaya, kabupaten Bandung yang terletak di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu. Alasan pemilihan kota Majalaya sebagai kota studi kasus didasarkan pada fakta bahwa di kota ini terdapat (dua) instalasi pengolahan lumpur tinja (IPLT) yang menganggur sehingga dikhawatirkan akan mengurangi kinerja pengolahan air limbah dan meningkatkan pencemaran. Penelitian ini menggunakan pendekatan sistem dan pemodelan dinamis karena pengelolaan air limbah pada umumnya dan khususnya pengelolaan lumpur tinja merupakan sistem yang kompleks dan melibatkan aspek-aspek ekologi, ekonomi dan sosial serta kelembagaan. Pemodelan dinamis menggunakan pendekatan sistem keras (hard system) karena persoalan yang akan ditangani merupakan persoalan struktural, pola pendekatannya berdasarkan cara dan hasil (means and end), variabelvariabel yang digunakan bersifat kuantitatif, berorientasi pada tujuan dan mensistemkan kejadian nyata. Dua perangkat atau alat bantu manajemen lingkungan telah dihasilkan dari penelitian ini yaitu alat (perangkat) untuk menilai kinerja program pengelolaan fungsi lingkungan perkotaan dan alat (perangkat) untuk merumuskan kebijakan dan strategi meningkatkan kinerja pengelolaan lingkungan hidup. Dengan kedua perangkat tersebut diharapkan dapat menambah aset atau kekayaan ilmiah yang dapat digunakan dalam menunjang upaya untuk mempertahankan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup pada umumnya dan khususnya lingkungan hidup di daerah perkotaan. Peningkatan upaya tersebut, diharapkan membuka peluang yang lebih besar untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan penghidupan penduduk perkotaan maupun perdesaan secara berkesinambungan. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada Prof. Dr. drh. Bibiana Widiati Lay, Dr. Ir. Sur jono H Sutjahjo MS, Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, Dr. Ir Parulian M Hutagaol selaku Komisi pembimbing yang telah memberi arahan dan masukan yang kritis sampai tersusunnya disertasi ini dengan baik. Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada pimpinan IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana dan Ketua Program Studi Pengelolaan Lingkungan dan Sumberdaya Alam (Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo) yang juga menjadi anggota komisi pembimbing. Ucapan terima kasih, penulis sampaikan pula kepada semua dosen yang telah memberikan ilmu dasar pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan yang sangat relevan dengan tema dan sasaran penelitian ini. Akhirnya, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan disertasi ini, hanya penulis yang bertanggung jawab. Semoga Allah SWT memberi ba lasan berkah dan hidayah kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis, Amien. Bogor, Desember 006 R Pamekas ii

9 RIWAYAT HIDUP Penulis lahir pada tanggal 15 Oktober 1949 di kota Bogor, Jawa Barat dari pasangan R Yaman Sutiawidjaja (almarhum) dan R Moerminah Ratih (almarhum). Penulis menikah pada tanggal 18 April tahun 1976 dengan mojang priangan Kiki Tarkiah. Dari pernikahan tersebut, penulis dikaruniai 4 (empat) orang anak, 3 (tiga) laki-laki dan 1 (satu) perempuan yaitu R Priatmanto (Peppy), R Nurdewayani (Pipit), R Restianto (Tio) dan R Krisma Hadianto (Mima). Penulis sudah dikaruniai (dua) orang cucu, satu orang dari anak pertama yang diberi nama Ali Jazi Rasyid dan satu orang dari anak kedua yang diberi nama Khairyu Kevin Dzaky Nababan.. Dari sejak lahir sampai dengan kelas dua sekolah dasar, penulis menikmati masa kecil di kota Bogor yang dikenal sebagai kota hujan. Kelas tiga sampai dengan kelas empat sekolah dasar, penulis menikmati tinggal di desa di lereng gunung Lawu Jawa Timur. Sejak kelas lima sekolah dasar sampai lulus sekolah menengah, penulis tinggal di Surabaya yang dikenal sebagai kota pahlawan. Sejak tahun 1969, penulis meninggalkan kota Surabaya untuk meneruskan sekolah di Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan Teknik Penyehatan. Pada tahun kedua mengikuti pendidikan di ITB, penulis mulai bekerja sebagai juru gambar dan asisten perencanaan di Biro Konsultan sampai lulus sarjana muda tahun 197. Sebagai sarjana muda, penulis mendapat kesempatan bekerja selama satu tahun pada Cowiconsult (konsultan Denmark) untuk menangani masalah air minum kotamadya Bandung. Mulai tahun 1973, penulis bekerja di biro konsultan milik negara yaitu PT Persero Indah Karya sebagai asisten teknik. Penulis berhasil menyelesaikan pendidikan di ITB pada tahun 1975 dan satu tahun kemudian diangkat menjadi kepala bagian Teknik Penyehatan di PT Indah Karya. Pada tahun 1981 atau 6 (enam) tahun sejak lulus dari pendidikan S-1, penulis mendapat kesempatan melanjutkan studi di Asian Institute of Technology (AIT) Bangkok, Thailand dan lulus serta memperoleh gelar Master of Engineering (M.Eng) di bidang manajemen lingkungan pada bulan Maret Pada tahun 004 atau 1 (duapuluh satu) tahun setelah menyelesaikan pendidikan S- dan memiliki masa kerja selama 9 (duapuluh sembilan) tahun, penulis menempuh pendidikan S-3 di bidang Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan di Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor (IPB) di Bogor dan selesai pada tahun 006. Selama 5 tahun lebih, penulis bekerja di lingkungan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bidang Pekerjaan Umum dengan berbagai penugasan profesional di bidang Air Minum, Persampahan, Air Limbah, Penyiapan Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu/P3KT dan AMDAL. Pada tahun 1998, penulis ditarik dari penugasannya di PT Persero Indah Karya dan diberi tugas baru sebagai Kepala Bagian AMDAL merangkap sebagai Ketua Tim Teknis Komisi AMDAL Departemen Pekerjaan Umum. Dari tahun , tugas penulis berturut turut adalah sebagai Analis Kebijakan konstruksi di Kementerian Pekerjaan Umum, pejabat auditor di Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (Kimpraswil), Kepala Bidang Tata Operasional Puslitbang Permukiman Balitbang Kimpraswil, Direktur Evaluasi Manfaat, Perwujudan Ruang dan Lingkungan Hidup BRR NAD-Nias dan Kepala Pusat Pengendalian Lingkungan dan Konservasi Sumberdaya Alam di kedeputian Operasi BRR NAD-Nias. iii

10 DAFTAR ISI Halaman Pengesahan... Prakata... Riwayat Hidup... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman i ii iii iv x xii xiv I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan Penelitian Kerangka Pemikiran Penelitian Manfaat Penelitian Novelty (kebaruan) Penelitian Batasan Penelitian... 9 II. TINJAUAN PUSTAKA.1. Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) Konsepsi Pembangunan Berkelanjutan dan IPLT Komponen Sistem Yang Mempengaruhi IPLT Ekosanita-IPLT Pengertian Ekosanita-IPLT Ekosanita-IPLT dan Pengelolaan Lingkungan DAS Pelestarian Fungsi Lingkungan Perkotaan Pelestarian dan Degradasi Lingkungan Permukiman dan Infrastruktur Lingkungan Perkotaan Kebijakan Pelestarian Fungsi Lingkungan Perkotaan Model dan Pendekatan Sistem Model dan Pemodelan

11 .4.. Sistem dan Pendekatan Sistem Penelitian Bidang Sanitasi dan Pelestarian Fungsi Lingkungan Penelitian Ekologi Sanitasi Penelitian Sanitasi di Indonesia Konsepsi dan Kebaruan (Novelty) Model Pelestarian Fungsi Lingkungan Perkotaan Berbasis EkoSanita IPLT III. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi Penelitian Permasalahan Penelitian Rancangan Penelitian Analisis Kondisi Eksisting Pelestarian Fungsi Lingkungan Tujuan Analisis Metoda Pengumpulan Data Variabel yang Diamati Metoda Analisis Pemodelan Menggunakan Analisis Faktor Pemodelan Menggunakan Analisis Taxonomi Pemodelan Menggunakan Analisis Skalogram Analisis Kondisi Eksisting Pengelolaan Air Limbah Rumah Tangga Tujuan Analisis Metoda Pengumpulan Data Variabel yang Diamati Metoda Analisis Pengembangan Model Ekosanita-IPLT Analisis Kebutuhan Rumusan Masalah Identifikasi Sistem Penyusunan Model Sistem Dinamis Gambaran Kondisi yang Diinginkan Batasan Model... 6 v

12 Struktur Model Perumusan Model Sistem Dinamis Sub Model Bangkitan dan Pewadahan Lumpur Tinja Sub Model Pengangkutan dan Pengolahan Lumpur Tinja Sub Model Kinerja Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) Sub Model Daya Tampung Lingkungan Kota (Lingkungan Keairan) Sub Model Biaya Operasional Pengelolaan Sistem IPLT Kalibrasi, Verifikasi dan Validasi Model Implementasi dan Analisis Kebijakan IV. KEADAAN LINGKUNGAN DAERAH PENELITIAN 4.1. Pembagian Wilayah Kajian Keadaan Lingkungan Fisik Kependudukan Ketersediaan Prasarana dan Sarana Pelestarian Fungsi Lingkungan Kota Prasarana dan Sarana Kesehatan Prasarana dan Sarana Pendidikan Prasarana dan Sarana Air Minum & Sanitasi Prasarana dan Sarana Perumahan Keadaan Sosial Ekonomi Keadaan Kesehatan Masyarakat Pendidikan Masyarakat Ekonomi Masyarakat Pengelolaan Sanitasi Lingkungan Sistem Pengelolaan Air Limbah Domestik Pengelolaan Lumpur Tinja Pewadahan Lumpur Tinja Pengangkutan Lumpur Tinja Pengolahan Lumpur Tinja di IPLT vi

13 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Keadaan Pelestarian Fungsi Lingkungan Perkotaan Analisis Faktor Untuk Indeks Pelestarian Fungsi Lingkungan Perkotaan Indeks Pelestarian Fungsi Lingkungan Kota Majalaya dan Sekitarnya Indeks Ketersediaan Prasarana dan Sarana Lingkungan Kota Indeks Keadaan Kehidupan dan Penghidupan Penduduk Efektifitas Investasi Prasarana dan Sarana Lingkungan Peringkat Pelestarian Fungsi Lingkungan Perkotaan Kontribusi Sektor Pada Pelestarian Fungsi Lingkungan Perkotaan Dinamika Pelestarian Fungsi Lingkungan Perkotaan Segilima Pelestarian Fungsi Lingkungan Perkotaan Pelestarian Fungsi Lingkungan Perkotaan Secara Spasial Simulasi Pelestarian Fungsi Lingkungan Indeks Pelestarian Fungsi Lingkungan Kota Majalaya Ditinjau dari Tiga Metoda Dinamika Penyediaan Prasarana dan Sarana Lingkungan Kota Dinamika Peningkatan Kualitas Kehidupan dan Penghidupan Penduduk Dinamika Pengelolaan Lingkungan Perkotaan Efektifitas Pelestarian Fungsi Lingkungan Perkotaan Peringkat Kinerja Pengelolaan Lingkungan Perkotaan Keadaan Pengelolaan Sanitasi Lingkungan Keadaan Pengelolaan Air Limbah Domestik Pewadahan Limbah Cair Rumah Tangga Pengangkutan Limbah Cair Rumah Tangga vii

14 Pengolahan Limbah Cair Rumah Tangga Keadaan Pengelolaan Lumpur Tinja Pewadahan Lumpur Tinja Pengangkutan Lumpur Tinja Pengolahan Lumpur Tinja Pemanfaatan Produk Pengolahan Lumpur Tinja Biaya Operasi & Pemeliharaan Sistem IPLT Model Ekosanita IPLT Sub Model Bangkitan dan Pewadahan Lumpur Tinja Sub Model Pengangkutan dan Pengolahan Lumpur Tinja Sub Model Kinerja Instalasi Pengolahan Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) Sub Model Daya Tampung Lingkungan Kota (Lingkungan Keairan) Sub Model Biaya Operasional Pengelolaan Sistem IPLT Uji Model EkoSanita IPLT Simulasi Model EkoSanita-IPLT Perbandingan Model Eksisting dengan Model Ideal Dampak Peningkatan Cakupan Pelayanan Dampak Peningkatan Efisiensi Pengangkutan Lumpur Tinja Dampak Peningkatan Kapasitas IPLT Dampak Peningkatan Efisiensi Sistem Setempat (On-Site) Dampak Perluasan Daerah Pelayanan Dampak Pengendalian Konsumsi Air Rumah Tangga Dampak Kombinasi Kebijakan Perbaikan Kinerja Pengelolaan Air Limbah Rumah Tangga VI. RUMUSAN REKOMENDASI KEBIJAKAN DAN STRATEGI IMPLEMENTASINYA 6.1 Sintesa Hasil Simulasi Pelestarian Fungsi Lingkungan Perkotaan Peningkatan Pelayanan Pengelolaan Air Limbah viii

15 6. Rmusan Kebijakan Peningkatan Cakupan Pelayanan Rumusan Kebijakan Pengangkutan Lumpur Tinja Secara Terjadwal Rumusan Kebijakan Peningkatan Kapasitas IPLT dan Efisiensi Sistem Setempat Rumusan Kebijakan Pengendalian Konsumsi Air Rumah Tangga Rumusan Kebijakan Tarif Jasa Sanitasi dan Investasi Rumusan Kebijakan Pengendalian Konsumsi Air Bersih Rumusan Kebijakan Investasi IPLT Baru Rumusan Kebijakan Tarif Jasa Sanitasi dan Investasi Rekomendasi Kebijakan Urutan Langkah Implementasi Kebijakan VII. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA 17 ix

16 DAFTAR TABEL Halaman 1. Efisiensi Unsur-Unsur Sistem Setempat (On-site System) Efisiensi Unsur-Unsur Sistem IPLT Rangkuman Penelitian yang Berorientasi pada Model Kebijakan di Bidang Sanitasi Matrik Rangkuman Rancangan Penelitian Daftar Data Yang Dikumpulkan Daftar Variabel Yang Digunakan Dalam Analisis Analisis Kebutuhan Stakeholder pada Pelestarian Lingkungan Identifikasi Adanya Perbedaan Kebutuhan (Permasalahan) Keadaan Lingkungan Fisik Daerah Penelitian Keadaan Kependudukan Daerah Penelitian ( ) Keadaan Prasarana dan Sarana Kesehatan ( ) Keadaan Prasarana dan Sarana Pendidikan ( ) Prasarana dan Sarana Air Minum dan Sanitasi ( ) Keadaan Prasarana dan Sarana Rumah ( ) Keadaan Kesehatan Masyarakat (00-004) Keadaan Pendidikan Masyarakat ( ) Keadaan Ekonomi Masyarakat (00-004) Pengelolaan Air Limbah Domestik di Daerah Penelitian Umur Tangki Septik di 3 (tiga) Kecamatan Ukuran Tangki Septik di 3 (tiga) Kecamatan Frekuensi Penyedotan Tangki Septik di 4 (empat) Kecamatan Penggunaan Jasa Truk Tinja di 3 (tiga) Kecamatan Biaya Penyedotan Tinja di 3 (tiga) Kecamatan Hasil Analisis Faktor Untuk Indeks Pelestarian Lingkungan Kota Hasil Pendugaan Parameter Model IKPS Hasil Pendugaan Parameter Model IKPP Kontribusi Sektor Pada Pelestarian Fungsi Lingkungan Perkotaan (00-004) x

17 8 Hasi; Uji Model Pelestarian Fungsi Lingkungan Perkotaan Hasil Pendugaan Parameter Model IPLH Efektifitas Pelestarian Fungsi Lingkungan Kota Majalaya Peringkat Pengelolaan Lingkungan 6 Kecamatan Kota ( ) Kandungan Bahan Pencemaran Air Limbah Rumah Tangga Ukuran Standar Tangki Septik Berdasarkan Jumlah Pemakai Kriteria Evaluasi Kesesuaian IPLT dengan Kriteria Perencanaan Evaluasi Kinerja Pengolahan IPLT Cibeet Hasil Uji Variabel Model EkoSanita-IPLT Matriks Data untuk Rancangan Simulasi Kebijakan Perbandingan Kinerja Model Eksisting dan Model Ideal Hasil Simulasi Peningkatan Cakupan Pelayanan Hasil Simulasi Peningkatan Efisiensi Angkutan Tinja Hasil Simulasi Peningkatan Kapasitas IPLT Hasil Simulasi Peningkatan Efisiensi On-Site Hasil Simulasi Perluasan Daerah Pelayanan Hasil Simulasi Pengendalian Konsumsi Air Rumah Tangga Hasil Simulasi Kombinasi Kebijakan Optimal Rumusan Skenario Kebijakan Pengelolaan Air Limbah xi

18 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Unsur-Unsur Sistem Pengelolaan Air Limbah Rumah Tangga dan Berbagai Cara Kombinasinya Bagan Alir Pemilihan Teknologi Pengolahan Air Limbah Manusia Peta Lokasi Penelitian Penyederhanaan Langkah Operasionalisasi Penelitian Konsep Dasar Pelestarian Fungsi Lingkungan Perkotaan Diagram Lingkar Sebab-Akibat (Causal Loop Diagram) Pelestarian Fungsi Lingkungan Perkotaan Diagram Lingkar Sebab-Akibat (Causal Loop Diagram) Pengelolaan Lumpur Tinja Berkelanjutan Penyederhanaan Diagram Input-Output Pengolahan Lumpur Tinja Berkelanjutan Pembagian Wilayah Kajian Dinamika IKPS Kota Majalaya Dinamika IKPP Kota Majalaya Grafik Efektifitas Investasi Pembangunan Prasarana dan Sarana Lingkungan Kota Majalaya Peringkat Pelestarian Lingkungan Kota Majalaya ( ) Dinamika Pelestarian Fungsi Lingkungan Kota Majalaya Segilima Pelestarian Fungsi Lingkungan Kota Majalaya Peta Pelestarian Fungsi Lingkungan Kota Kecamatan di Kabupaten Bandung ( ) Skenario Kebijakan Pelestarian Fngsi Lingkungan Perkotaan Dinamika Penyediaan Prasarana dan Sarana Lingkungan Kota Majalaya Dinamika Peningkatan Kehidupan dan Penghidupan Penduduk Kota Majalaya Dinamika Pelestarian Fungsi Lingkungan Kota Majalaya Bagan Pengolahan Air Limbah Kota Majalaya Bagan Proses Pewadahan Lumpur Tinja xii

19 4. Bagan Aliran Pengangkutan Lumpur Tinja dengan 3 Ritasi/hari Bagan Proses Pengolahan Lumpur Tinja di Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) Perilaku Model Bangkitan Limbah Kota Majalaya Perilaku Model Bangkitan Limbah Kota Kecamatan di daerah Pelayanan IPLT Perilaku Model Pengangkutan Lumpur Tinja Kota Majalaya Perilaku Model Pengangkutan Lumpur Tinja Kota Kecamatan di Daerah Pelayanan IPLT Dampak Peningkatan Cakupan Pelayanan Dampak Peningkatan Efisiensi Pengangkutan Lumpur Tunja Dampak Peningkatan Kapasitas IPLT Dampak Peningkatan Efisiensi Sistem Setempat (On-site) Dampak Perluasan Daerah Pelayanan Dampak Pengendalian Konsumsi Air Minum Rumah Tangga pada Beban Cemaran Air Limbah Dampak Pengendalian Konsumsi Air Minum Rumah Tangga pada Daya Tampung Lingkungan Dampak Kombinasi Kebijakan pesimis, moderat, optimis dan ideal pada Daya Tampung Lingkungan Perkotaan Dampak Kombinasi Kebijakan Optimal 1-4 pada Daya Tampung Lingkungan Perkotaan Dampak Kombinasi Kebijakan Optimal 5-8 pada Daya Tampung Lingkungan Perkotaan Dampak Kombinasi Kebijakan Optimal 9 dan 10 pada Daya Tampung Lingkungan Perkotaan xiii

20 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Hasil Pemeriksaan Bakteriologis Kualitas Air Bersih (dilengkapi keterangan jam pengambilan dan lokasi tintik sampling) Tabel Hasil Perhitungan Indeks Persamaan Powersim untuk Model EkoSanita IPLT Struktur Model EkoSanita IPLT dan Rekaman Hasil Simulasi. 07 xiv

21 Bab I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) adalah unsur/komponen sistem pengelolaan air limbah rumah tangga yang dibangun di daerah perkotaan dan berfungsi mengolah lumpur tinja (faecal sludge) yang berasal dari tangki septik (septic tank). IPLT merupakan bagian dari unsur/komponen sistem setempat (on site) atau sistem terdesentralisasi (decentralized system) yang dikembangkan untuk menggantikan pendekatan sistem konvensional dan/atau sistem terpusat (centralized system) yang dinilai kurang berhasil mengatasi masalah pencemaran air di daerah perkotaan (Bakir 001, Koottatep et al. 003, Parkinson dan Tayler 003). Pengolahan lumpur tinja di IPLT tersebut merupakan pengolahan lanjutan karena lumpur tinja yang telah diolah di tangki septik, belum layak dibuang ke media lingkungan. Dampak pembuangan lumpur tinja yang tidak higienis terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat telah dikemukakan oleh Strauss (1991), Shaban (1999), Keraita et al. (003), Tyrrel and Quinton (003). Oleh karena itu, pengolahan lumpur tinja di IPLT ditujukan untuk memastikan bahwa lumpur tinja yang dibuang lebih higienis sehingga tidak mencemari lingkungan. Namun, pengelolaan lumpur tinja tersebut belum mendapat perhatian yang memadai di dalam pengembangan sistem pengelolaan air limbah rumah tangga (Ingallinella et al. 00) sehingga meningkatkan risiko pencemaran air minum dan membahayakan kesehatan masyarakat. Hal tersebut berakibat pada keberhasilan pembangunan Sanitasi Global pada abad 19 maupun abad 0 yang relatip belum berubah yaitu sekitar 50 %. Hal itu berarti bahwa sebanyak (dua) milyar penduduk dunia, dinilai masih belum aman terhadap penyakit yang ditularkan melalui media air. Indikasinya adalah bahwa jumlah kasus kematian anak yang diakibatkan oleh diarhe masih sekitar 6000 anak per hari. Di negaranegara berkembang, sekitar 90 anak per 15 menit atau sekitar 6 (enam) anak per detik meninggal dunia akibat pelayanan air yang buruk dan sanitasi yang tidak memadai (IMF dan Bank Dunia 003). Bahkan di China, India dan Indonesia angka kematian balita mencapai dua kali angka tersebut (WEHAB 00).

22 Keadaan tersebut mendorong masyarakat dunia dalam menempatkan aspek sanitasi dan kesehatan sebagai unsur kunci untuk menilai keberhasilan pembangunan lingkungan global yang dikenal dengan MDGs-015 atau the Millenium Development Goals 015 (Mehta, Andreas 004). Untuk mencapai MDGs-015 tersebut, aspek sanitasi dan kesehatan diintegrasikan kedalam strategi pengelolaan sumberdaya air terpadu atau Integrated Water Resources Management Strategy (Lenton, Wreight 004). EkoSanita-IPLT merupakan pengembangan konsep sistem pengelolaan air limbah rumah tangga berbasis IPLT. EkoSanita-IPLT memasukkan aspek pemanfaatan hasil pengolahan lumpur tinja ke dalam model sistem pengelolaan air limbah rumah tangga. Pengembangan konsep sistem tersebut mempertimbangkan kotoran manusia sebagai sumber daya yang mempunyai nilai ekonomi maupun lingkungan dan menempatkan sumber air bukan sebagai tempat buangan atau media pembuangan limbah maupun sampah, namun sebagai sumberdaya yang harus dipelihara daya dukung dan daya tampungnya. Pelestarian fungsi lingkungan perkotaan adalah upaya untuk mempertahankan daya tampung dan daya dukung lingkungan di daerah perkotaan. Upaya tersebut perlu lebih ditingkatkan intensitasnya karena pelayanan umum sanitasi, khususnya pengelolaan air limbah rumah tangga, masih rendah sehingga pencemaran air di daerah perkotaan semakin meningkat. Tinja dan urine adalah salah satu faktor yang menentukan derajat keberhasilan pengelolaan air limbah dan sanitasi lingkungan (Sasimartoyo 00). Kualitas dan kuantitas pelayanan sanitasi melalui pengelolaan air limbah rumah tangga di Indonesia, tidak meningkat secara berarti semenjak tahun 1980 sehingga tidak dapat mengejar kebutuhan yang selalu meningkat akibat laju pertambahan penduduk. Sampai dengan tahun 1993, secara nasional hanya 5% keluarga yang mempunyai akses terhadap fasilitas sanitasi yang telah diperbaiki (improved sanitation). Sebesar 78% di antaranya terdapat di daerah perkotaan dan 39% di daerah perdesaan (DepKes 001). Pada tahun 003, akses penduduk terhadap fasilitas sanitasi menurun menjadi 51.3%. Pelayanan di daerah perkotaan menurun dari 78% menjadi 67.6% sedangkan di perdesaan menurun

23 3 dari 39% menjadi 37.85%. Sementara itu, 97.84% pelayanan sanitasi masih menggunakan fasilitas sanitasi setempat (on-site). (Kimpraswil 003). Air limbah rumah tangga adalah sumber utama pencemaran badan air di daerah perkotaan dan 76.% beban organik di sungai pada daerah perkotaan berasal dari sumber ini. Limbah cair rumah tangga (domestik) juga mencemari sumber air minum yang berasal dari air tanah dangkal. Suatu survey sumur dangkal di Jakarta menunjukkan bahwa 84% sampel air tanah telah tercemar oleh tinja. Hal ini ditunjukkan oleh tingginya faecal coliform pada sampel tersebut. Faecal coliform adalah indikator yang lazim digunakan untuk mengukur pencemaran tinja (KMNLH 1997). Selain itu, survey air minum yang dilakukan di 16 propinsi di Indonesia menunjukkan bahwa 3.4% sampel air minum dari perpipaan dan 54.16% sampel air minum sistem non perpipaan belum memenuhi persyaratan bakteriologis (DepKes 001). Pencemaran air telah berdampak negatif terhadap kesehatan manusia terutama meningkatnya penyakit diare. Penyakit ini menyebabkan malnutrisi sehingga menurunkan daya tahan tubuh dan meningkatkan kematian, terutama kematian ibu dan anak balita (EcoSanRes 00). Telaah empiris menunjukkan bahwa penurunan fasilitas pelayanan sanitasi setempat (on-site) sebesar 10% dapat meningkatkan kasus kematian balita sebesar 0 kasus per 1000 kelahiran (Nomura 1997). Sebaliknya, peningkatan 10% dari upaya pelayanan sanitasi dapat menurunkan kasus penyakit diare sebesar 6.37 kasus per 1000 penduduk dan menurunkan kasus kematian bayi sebesar 17.9 kasus per 1000 kelahiran. Sementara itu, peningkatan pelayanan air bersih sebesar 10% dapat menurunkan kasus kematian bayi sebesar 18.7 kasus per 1000 kelahiran (Kimpraswil 003). Pencemaran air, selain berdampak pada kesehatan juga berdampak pada peningkatan biaya pengolahan air baku untuk keperluan air minum. Bahkan seringkali terjadi bahwa sumber air baku setempat sudah terlalu tercemar untuk diolah menjadi air minum sehingga air baku harus didatangkan dari daerah lain yang lebih jauh sehingga menambah biaya penyediaan air minum. Suatu telaahan empiris menunjukkan pula bahwa biaya produksi air minum meningkat sebesar Rp 10.- untuk setiap 1 mg/liter KOB (Kebutuhan Organik Biologi). KOB adalah indikator pencemaran yang biasa digunakan untuk mengukur pencemaran air oleh

24 4 limbah rumah tangga. Apabila KOB rata-rata air baku adalah sebesar 30 mg/liter, maka biaya produksi air minum meningkat sebesar Rp per m 3 air yang diproduksi atau sekitar 30% dari tarif rata-rata air minum (Kimpraswil 003). Sampai saat ini, belum banyak diketahui tentang pola pelestarian fungsi lingkungan hidup berbasis pengelolaan air limbah rumah tangga yang sesuai untuk kota kecil dan kota sedang, yang selain dapat meningkatkan kualitas lingkungan fisik, juga dapat mendukung kehidupan sosial ekonomi masyarakat secara berkelanjutan. Pembangunan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) merupakan salah satu upaya pelestarian fungsi lingkungan perkotaan, khususnya yang berhubungan dengan pencemaran tinja. Dengan menggunakan pendekatan standar modular, dari sejak Pembangunan Lima Tahun Ketiga (Pelita-III) telah dibangun sekitar 700 (dua ribu tujuh ratus) unit IPLT, tetapi sebagian besar belum berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Bahkan, banyak di antaranya tidak berfungsi atau tidak dapat dioperasikan sama sekali seperti yang terjadi di kota Majalaya. Kota Majalaya terletak di Kabupaten Bandung dan juga di Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum Hulu. Di kota ini terdapat (dua) unit Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) yang tidak dioperasikan yaitu IPLT Cibeet dan IPLT Babakan (Puskim 004). Keadaan tersebut dapat menurunkan kinerja tangki septik yang fungsi utamanya adalah mematikan bakteri penyakit dan virus yang terdapat di dalam kotoran manusia. Lingkungan yang menerima hasil olahan air limbah yang tidak memadai, merupakan habitat yang baik bagi tumbuh dan berkembangnya bakteri patogen. Dampak lanjutannya adalah timbulnya berbagai jenis wabah penyakit seperti tipes, kolera, disentri, diare dan penyakit lainnya yang ditularkan oleh lalat melalui media air, media tanah, sampah, air minum dan makanan (Schoning dan Stenstron 004, Austin 001). Di DAS Citarum terdapat 3 (tiga) waduk serbaguna yaitu waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur yang telah tercemar limbah rumah tangga dan limbah industri. Sekitar 80% bahan cemaran organik yang mencemari ketiga waduk di DAS Citarum, berasal dari Citarum Hulu. Waduk Saguling menerima sekitar 51% beban limbah organik yang berasal dari kegiatan penduduk perkotaan dan sisanya sebesar 49% berasal dari pencemaran Industri (PLN 1998).

25 5 Kasus tidak beroperasinya IPLT kota Majalaya dapat menurunkan akses penduduk ke fasilitas sanitasi yang diperbaiki (improved sanitation) dan menimbulkan pencemaran tinja. Penanganan yang telah dilakukan yaitu melalui kampanye publik tentang fungsi dan manfaat IPLT serta pemberian bantuan subsidi biaya operasi, belum berhasil memfungsikan IPLT secara berkelanjutan. Hal tersebut membuktikan bahwa pendekatan teknis operasional dan pendekatan dari atas (top down) belum mampu mengatasi masalah yang dihadapi sehingga memberi indikasi bahwa terdapat faktor penyebab lain yang belum tergali. Hal tersebut juga mengindikasikan bahwa masalah yang dihadapi merupakan masalah kompleks karena variabel-variabel yang mempengaruhinya tidak hanya faktor teknis teknologis, tetapi juga faktor kelembagaan, ekonomi, sosial dan bahkan kemungkinan juga faktor budaya. Faktor-faktor tersebut saling terkait sehingga harus diselesaikan secara holistik melalui pendekatan sistem. Untuk menyelesaikan masalah yang kompleks tersebut diperlukan suatu model pelestarian fungsi lingkungan perkotaan yang sesuai bila ditinjau dari aspek teknis pengelolaan lumpur tinja dan aspek-aspek lainnya yang berkaitan seperti aspek ekonomi, sosial dan budaya masyarakat, serta aspek kelembagaan pemerintah maupun masyarakat. Pada penelitian ini akan ditunjukkan bahwa model yang dikembangkan berdasarkan pendekatan sistem dapat digunakan senbagai perangkat pengambilan keputusan atau perangkat kebijakan. Model pelestarian fungsi lingkungan perkotaan (PFLH) dapat digunakan sebagai perangkat untuk melakukan evaluasi kinerja pengelolaan lingkungan, sedangkan model Ekosanita-IPLT untuk merumuskan kebijakan dan strategi penanganan berbagai masalah pengelolaan air limbah rumah tangga pada umumnya dan khususnya pengelolaan lumpur tinja. Penjabaran hasil rumusan kebijakan dan strategi ke dalam tindakan operasional, diharapkan mampu meningkatkan kinerja pengelolaan air limbah rumah tangga maupun kinerja pengelolaan lumpur tinja. Peningkatan kinerja secara terus menerus, diharapkan dapat mengantisipasi timbulnya pencemaran tinja terhadap sumber air minum penduduk yang berasal dari air sumur sehingga dan peningkatan kasus penyakit yang mengganggu kesehatan masyarakat dapat dicegah.

26 1. Tujuan Penelitian 6 Penelitian ini ditujukan untuk menghasilkan model pengelolaan air limbah rumah tangga berbasis IPLT berkelanjutan (Ekosanita-IPLT) yang dapat digunakan sebagai sarana atau perangkat untuk (i) menilai kinerja pengelolaan lingkungan perkotaan, dan (ii) merumuskan kebijakan dan strategi pengelolaan air limbah rumah tangga yang berkelanjutan. Hasil rumusan kebijakan dan strategi tersebut dapat dijabarkan ke dalam tindakan operasional yang mampu mendorong peningkatan intensitas pelestarian fungsi lingkungan hidup di daerah perkotaan. Secara khusus, penelitian ini ditujukan untuk: a. Mengetahui kondisi eksisting pelestarian fungsi lingkungan hidup di daerah perkotaan untuk acuan penilaian kinerja pengelolaan lingkungan b. Mengetahui kondisi eksisting sistem pengelolaan air limbah daerah perkotaan untuk acuan identifikasi kebutuhan perbaikan sistem c. Membangun model sistem pengelolaan air limbah rumah tangga yang berkelanjutan yang disebut model PFLH dan EkoSanita-IPLT d. Membandingkan kondisi eksisting pengelolaan air limbah perkotaan dengan model PFLH maupun model Ekosanita-IPLT e. Melakukan simulasi model PFLH dan EkoSanita IPLT untuk merumuskan rekomendasi kebijakan dan strategi serta tindakan perbaikan sistem pengelolaan air limbah kota Majalaya. 1.3 Kerangka Pemikiran Penelitian Kualitas lingkungan permukiman perkotaan, pada dasarnya ditentukan oleh 3 (tiga) aspek, yaitu (i) penduduk yang tinggal di kawasan tersebut, (ii) ketersediaan sumberdaya lahan, dan (iii) ketersediaan sumberdaya air. Pemanfaatan sumberdaya lingkungan perkotaan diakibatkan adanya kebutuhan terhadap tempat tinggal dan pasokan air bersih. Hunian yang sehat, selain memerlukan pekarangan yang relatif luas, perlu pula didukung oleh konstruksi bangunan yang kokoh, difasilitasi oleh utilitas penerangan listrik dan prasarana dan sarana air bersih serta sanitasi yang memadai. Penyediaan prasarana dan sarana lingkungan permukiman perkotaan perlu direncanakan secara baik, karena terkait dengan penyediaan lahan, bangkitan sampah, peningkatan konsumsi

27 7 air bersih dan bangkitan limbah domestik dan non domestik serta bangkitan lumpur tinja yang berasal dari pengoperasian fasilitas sistem sanitasi setempat (on-site system). (Gambar 1) Kawasan Permukiman Perkotaan (Kota Sedang dan Kota kecil) Penduduk Ketersediaan Lahan Ketersediaan Air Bangkitan Limbah Padat dan Tindakan Pengelolaannya Daya Dukung Sumber Daya Lahan Daya Dukung Sumber Daya Air Daya Tampung Sumber Daya Air Kehidupan Sosial Ekonomi Penduduk Penyediaan dan Utilisasi Prasarana dan Sarana Beban Cemaran terhadap tanah yang Diijinkan Peningkatan Kebutuhan Lahan dan Kepadatan Lahan yang Diijinkan Perencanaan Penyediaan Prasarana dan Sarana yang Ramah Lingkungan Kondisi yang terjadi dalam praktek Peningkatan Kebutuhan Air Bersih dan Bangkitan Limbah Cair Tindakan Pengendalan Konsumsi Air Rumah Tangga Kondisi yang diharapkan (Ideal) Kesenjangan Kualitas Lingkungan Rumusan Kebijakan & Strategi Tindakan Pengelolaan Limbah Rumah Tangga Ruang Lingkup Penelitian ini Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian Peningkatan kebutuhan lahan, peningkatan bangkitan sampah dan limbah harus dikendalikan agar tidak menimbulkan degradasi terhadap sumber daya lingkungan yang ada di daerah perkotaan. Berbagai tindakan pengelolaan lingkungan perkotaan harus direncanakan dan dilaksanakan secara baik agar daya dukung dan daya tampung lingkungan dapat terpelihara kelangsungannya. Adanya

28 8 kesenjangan antara kebutuhan penduduk untuk meningkatkan kualitas kehidupan dan penghidupannya dengan ketersediaan sumberdaya lingkungan yang ada di daerah perkotaan tertentu, merupakan acuan untuk merumuskan tindakan yang diperlukan. Namun, kepadatan rumah dan pengambilan air tanah serta beban cemaran harus dijaga pada tingkat yang masih dapat diterima oleh lingkungan di sekitarnya. Suatu model pengelolaan air limbah rumah tangga yang berkelanjutan (Ekosanita-IPLT) dikembangkan untuk memberi gambaran kondisi yang diharapkan yaitu dengan memberikan akses penduduk ke pelayanan sanitasi yang baik. Model tersebut digunakan untuk sarana (perangkat) evaluasi kinerja pengelolaan lingkungan dan perumusan kebijakan serta strategi dalam rangka mendorong upaya peningkatan pelayanan sanitasi secara komprehensif dan berkelanjutan. Akhirnya, alternatif pemecahan masalah yang dihasilkan digunakan sebagai acuan dalam merumuskan rekomendasi perbaikan kinerja pengelolaan lumpur tinja dan peningkatan intensitas pelestarian fungsi lingkungan hidup di daerah perkotaan. Tindakan perbaikan kinerja tersebut dila ksanakan secara bertahap berdasarkan skala prioritas sesuai dengan ketersediaan sumber daya yang dapat dialokasikan. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: a) Menyediakan masukan ilmiah dalam merumuskan kebijakan dan strategi pengelolaan lumpur tinja secara berkelanjutan. b) Menyediakan masukan ilmiah dalam pengelolaan sumber daya air limbah untuk mengatasi pencemaran lingkungan dan perbaikan kerusakan lingkungan akibat air limbah serta mengurangi krisis sumber daya air. 1.5 Novelty (kebaruan) Penelitian Hal-hal baru yang membedakan penelitian ini dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya (novelty) adalah sebagai berikut: a. Pengembangan alat (sarana) untuk mengukur keberhasilan pengelolaan lingkungan perkotaan yang mempertimbangkan ketersediaan dan utilisasi prasarana dan sarana kesehatan, pendidikan, perumahan, air minum dan sanitasi serta keadaan ekonomi masyarakat.

29 9 Pengembangan perangkat yang menggunakan data yang telah tersedia serta dipublikasikan oleh Biro Pusat Statistik di tingkat kabupaten merupakan salah satu kebaruan (novelty) dari penelitian ini. b. Kompleksitas masalah yang diselesaikan melalui pendekatan komprehensif dengan menggunakan skala indeks dan penggunaan data yang sudah biasa tersedia dan dipublikasikan di tingkat kabupaten serta kesederhanaan proses perhitungan merupakan unggulan penelitian ini. c. Pengembangan model sistem dinamis tentang pengelolaan air limbah rumah tangga (domestik) yang mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, budaya serta lingkungan kota sedang dan kecil untuk sarana (alat) bantu dalam merumuskan kebijakan dan strategi perbaikan sistem sanitasi kota sedang dan kecil, merupakan kebaruan (novelty) berikutnya dari penelitian ini. d. Kompleksitas masalah pengelolaan air limbah rumah tangga termasuk pengelolaan lumpur tinja yang diselesaikan dengan menggunakan pendekatan sistem dinamis dan memperhitungkan umpan balik dari setiap perubahan alternatif kebijakan adalah hal baru di bidang sanitasi Penggunaan variabel keputusan yang memperhitungkan peningkatan akses penduduk ke fasilitas sanitasi yang diperbaiki (improved) dan berasal dari sumber endogen (sebagian laba dari penerimaan tarif jasa pelayanan sanitasi secara terjadwal) merupakan keunggulan penelitian ini. 1.6 Batasan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli 005 sampai dengan Februari 006 dengan batasan-batasan sebagai berikut: a. Aspek sanitasi yang dikaji terbatas pada air limbah rumah tangga (domestik). b. Kajian pengelolaan air limbah di batasi pada limbah rumah tangga yang berasal dari daerah perkotaan, khususnya kota sedang dan kecil. c. Kajian pelestarian fungsi lingkungan hidup dibatasi pada kecamatan kota yang terletak di kabupaten Bandung. d. Pemodelan dengan menggunakan Sistem Dinamis dibatasi pada sistem pengelolaan Lumpur Tinja (pewadahan, pengangkutan, dan pengolahannya di IPLT).

30 Bab II TINJAUAN PUSTAKA.1 Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT).1.1 IPLT dan Konsepsi Pembangunan Berkelanjutan Pembangunan berkelanjutan adalah upaya memenuhi kebutuhan saat ini dengan tidak mengabaikan kemampuan generasi masa datang untuk memenuhi kebutuhannya (Marten 001). Perangkat kebijakan untuk mencapai tujuan pembangunan tersebut adalah AGENDA 1 yaitu suatu Cetak Biru (Blue Print) untuk acuan melakukan kegiatan atau tindakan (action) pembangunan berkelanjutan (sustainable development) pada abad 1. Agenda ini memuat berbagai hal yang mencakup aspek fisik, biologi, sosial ekonomi dan budaya termasuk di dalamnya penerapan pembangunan itu sendiri. Konsepsi dasar pembangunan berkelanjutan di dalam Agenda 1 tersebut adalah membangun yang tidak merusak lingkungan yaitu pembangunan yang arif dan bijaksana sehingga kualitas lingkungan selalu terjaga sepanjang masa. Agenda 1 dunia digunakan sebagai acuan untuk menyusun Agenda masingmasing negara termasuk Indonesia. Kebijakan pengelolaan limbah tertera pada bagian ke- Agenda 1 dunia (Konservasi dan pengelolaan sumberdaya alam untuk pembangunan), dan bagian ke- Agenda 1 Indonesia (Pengelolaan limbah). Strategi untuk mengimplementasikan kebijakan tersebut adalah (i) minimisasi limbah, (ii) maksimisasi daur ulang dan pengomposan, (iii) meningkatkan pelayanan, (iv) meningkatkan pengolahan dan pembuangan limbah yang akrab lingkungan (KMNLH 1997). Untuk mengukur tingkat keberhasilan pembangunan berkelanjutan, maka pada konferensi tingkat tinggi bangsa-bangsa di Johanesburg 00 disepakati untuk menetapkan tujuan pembangunan yang harus dicapai pada akhir tahun 015. Tujuan pembangunan tersebut dikenal dengan Millenium Development Goal 015 (MDG-015). Adapun sasaran yang hendak dicapai adalah bahwa setengah penduduk yang belum memperoleh akses terhadap hasil pembangunan, harus sudah terlayani pada akhir tahun 015. Di bidang sanitasi, setengah dari penduduk yang belum mendapat akses ke fasilitas sanitasi yang diperbaiki, harus sudah terlayani pada akhir tahun 015. Rumusan

31 11 sasaran tersebut adalah : Penduduk dilayani tahun 015 = [Fraksi Penduduk dilayani pada tahun (fraksi penduduk dilayani tahun 015 fraksi penduduk dilayani tahun 000)] Jumlah Penduduk tahun 015. Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) merupakan salah satu upaya terencana untuk meningkatkan pengolahan dan pembuangan limbah yang akrab lingkungan. IPLT adalah unsur/komponen sistem pengelolaan air limbah rumah tangga yang dibangun di daerah perkotaan dan berfungsi mengolah lumpur tinja (faecal sludge) sehingga hasil olahannya tidak mencemari lingkungan, bahkan dapat digunakan kembali untuk keperluan pertanian. Bahan baku IPLT adalah lumpur tinja yang terakumulasi di cubluk dan tangki septik yang secara reguler dikuras atau dikosongkan kemudian diangkut ke IPLT dengan menggunakan truk tinja. Volume lumpur tinja yang terakumulasi di dalam cubluk atau tangki septik adalah sekitar liter/kapita/tahun (Eawag-Sandec 003). Hasil olahan IPLT berupa lumpur kering dan fraksi air yang pada derajat kualitas tertentu sudah dapat diterima oleh lingkungan sekitarnya dan dapat dimanfaatkan kembali untuk keperluan pertanian. Pengolahan lumpur tinja di IPLT merupakan pengolahan lanjutan karena lumpur tinja yang telah diolah di tangki septik, belum layak dibuang ke media lingkungan. Oleh karena itu, pengolahan lumpur tinja di IPLT ditujukan untuk memastikan bahwa lumpur tinja yang dibuang lebih higienis sehingga tidak mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan masyarakat. Di dalam pengelolaan lingkungan hidup, pengelolaan lumpur tinja merupakan sebagian dari upaya untuk memelihara lingkungan hidup. Sistem IPLT merupakan salah satu pendekatan atau pilihan teknologi dalam sistem pengelolaan air limbah rumah tangga (domestik). Sebagaimana tertera pada Gambar, sistem pengelolaan air limbah terdiri dari berbagai unsur, dan penerapannya berbeda dari lokasi yang satu dengan lokasi lainnya. Pengelolaan kotoran manusia di daerah perdesaan umumnya menggunakan kakus jongkok yang diletakkan diatas lubang tanah yang disebut cubluk (pit latrine) atau yang dibawahnya diberi tempat pengumpul tinja. Kotoran tinja padat dapat diolah di tempat (di dalam cubluk) atau diangkut dengan gerobak ke suatu lokasi tertentu

32 untuk diolah. Pengolahan kotoran padat tersebut dilakukan dengan menggunakan teknologi kompos yang menghasilkan pupuk organik atau gas bio. 1 Ember/Bin Gerobak Gas Bio Kakus Jongkok Cubluk Kering Komposter Pupuk Kakus Gelontor Siram Cubluk Basah Truk Tinja IPLT Budidaya Kolam Air Kakus Gelontor dg bak Penggelontor Tangki Septik (TS) Pipa Outlet (TS) Bidang Resapan IPAL Komunal Air Tanah Irigasi Air Baku Minum Sewerasi (perpipaan) IPAL Terpusat Air Permukaan (Sungai, danau dll) Irigasi TEMPAT BUANGAN (DISPOSAL) PENGUMPULAN PENGANGKUTAN PENGOLAHAN PEMBUANGAN PEMANFAATAN (DAUR ULANG) Keterangan: Elemen atau unsur-unsur sistem Sanitasi (Air Limbah) kota berbasis IPLT Aliran proses pengelolaan Air Limbah berbasis IPLT Eksisting Potensi Pemanfaatan hasil olahan air limbah (Daur Ulang) di Indonesia SUMBER: Diolah dari PACEY (1978), UNEP/GPA (000), Straus dan Monttangero (003), Eawag/Sandec (003) Gambar. Unsur-Unsur Sistem Pengelolaan Air Limbah Rumah Tangga dan Berbagai Cara Kombinasinya Pengelolaan air limbah di daerah perkotaan, umumnya menggunakan sistem setempat (on-site system) atau sistem terpusat (centralized system atau off site system). Hasil olahan limbah yang menggunakan sistem setempat maupun sistem terpusat, apabila pengolahannya memadai, secara teoritis dapat dimanfaatkan kembali misalnya untuk irigasi, pupuk organik dan air baku air minum. Sistem IPLT (faecal sludge treatment), merupakan bagian dari sistem sanitasi setempat (on-site system) dan dikelola secara terdesentralisasi (decentralized). Sistem IPLT

33 13 dibangun di pinggiran kota (peri urban) atau di kota sedang dan kota kecil, khususnya negara-negara berkembang yang pendapatannya termasuk kategori menengah ke bawah. Pengelolaan air limbah dengan pendekatan konvensional dan terpusat (centralized) yang mengalirkan air limbah melalui sistem pipa (sewerasi) ke Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) umumnya digunakan untuk kota besar dan/atau kota kota yang penduduknya padat. Pengelolaan air limbah terpusat untuk kategori kota sedang dan kota kecil serta pinggiran kota banyak mengalami kegagalan dalam memenuhi kebutuhan masyarakat untuk mengumpulkan, membuang limbah rumah tangga dan lumpur tinja dari tangki septik. Hal tersebut disebabkan karena biaya investasi maupun biaya operasi serta pemeliharaan sistem terpusat relatif mahal sehingga keberlanjutan operasionalnya sulit dijamin bila diaplikasikan di daerah pinggiran kota atau kota sedang dan kota kecil. Oleh karena itu, penerapan sistem terdesentralisasi merupakan perubahan paradigma dalam sistem pengelolaan air limbah rumah tangga (Bakir 001, Ingallinella et al. 00, Parkinson dan Tayler 003).Walaupun demikian, pengembangan sistem IPLT harus disertai dengan peningkatan kapasitas (capacity building) kepada lembaga pengelolanya maupun kepada masyarakat pemilik tangki septik dan peningkatan teknologi sistem sanitasi setempat sedemikian sehingga lebih dapat dijamin keberlanjutannya. IPLT mengolah lumpur tinja dari tangki septik dan fasilitas sanitasi setempat yang sejenis. Oleh karena itu, keberadaan dan kelangsungan operasionalnya sangat tergantung kepada keberadaan dan kemajuan teknologi tangki septik. Sejalan dengan pengembangan IPLT, dilakukan pula berbagai upaya perbaikan teknologi tangki septik untuk meningkatkan efisiensi dan daya reduksinya terhadap bahan pencemaran yang masuk. Pengembangan tangki septik bersekat banyak (multi baffled), dilakukan oleh Ingallinella et al. (003), Wanasen (003). Sekat tersebut ditujukan untuk memperbesar kemampuan reduksi beban cemaran yang masuk ke dalam tangki septik. Selain itu, perbaikan teknologi dilakukan pula terhadap unit pengolah tambahan di luar tangki septik (Koné dan Straus 004) misalnya bidang resapan bervegetasi (vegetated leach field) dan lahan basah terkonstruksi (constructed wetland). Perbaikan teknologi tersebut selain untuk

34 14 meningkatkan daya reduksi beban cemaran di sumbernya, juga ditujukan untuk memperingan beban operasional IPLT..1. Komponen sistem yang mempengaruhi IPLT Kelangsungan operasional IPLT dipengaruhi oleh komponen/unsur masingmasing sub sistem pengumpulan, pengangkutan, pengolahan dan pembuangan serta pemanfaatan kembali lumpur tinja. Unsur-unsur yang mempengaruhi sub komponen sistem pengumpulan lumpur tinja meliputi (i) keberadaan dan jumlah serta sebaran fasilitas sanitasi setempat (cubluk, tangki septik), (ii) kemampuan fasilitas sistem sanitasi setempat (on-site system) mengolah beban cemaran (Tabel 1), (iii) waktu dan frekuensi penyedotan atau pengurasan, (iv) kemauan dan kemampuan masyarakat membayar tarif penyedotan dan pengangkutan serta pengolahan lumpur tinja. Tabel 1. Efisiensi Unsur-Unsur Sistem Setempat (On-site System) Besarnya Reduksi Beban Cemaran No Jenis Unit Pengolah KOB Padatan tersuspensi Amonia Fosfor Koli tinja (*) (1) () (3) (4) (5) (6) (7) 1 Tangki Septik (TS) tanpa bidang peresapan Tangki Septik (TS) dengan bidang peresapan Catatan: (*) dalam jumlah/100 ml Sumber: UNEP/GPA (000) 60% mg/l mg/l 6-7 mg/l mg 0-10 mg/l 0-40 mg/l 0- mg/l Sebagaimana tertera pada Tabel 1 tersebut, kemampuan tangki septik mengolah beban cemaran organik yang diukur dari parameter Kebutuhan Oksigen Biologis (KOB) dapat mencapai 60%. Kemampuan tangki septik mengolah padatan tersuspensi, amonia, fosfor dan koli tinja masing-masing adalah mg/l, mg/l, 6-7 mg/l dan /100 ml. Bila tangki septik dilengkapi dengan bidang peresapan, maka KOB berkurang 10 mg/l, reduksi padatan tersuspensi mencapai 80 mg/l, reduksi amonia mencapai 100%, reduksi fosfor mencapai 9 mg/l dan reduksi koli tinja mencapai /100 ml. Fungsi utama tangki septik, pada dasarnya sama dengan unit pengolah pendahuluan (primary treatment plant) pada Instalasi Pengolahan Air Limbah

35 (IPAL) terpusat yaitu mengendapkan partikel tersuspensi dan menurunkan sebagian beban cemaran organik yang masuk. Perbedaannya terletak pada proses pengelolaan lumpur yang dihasilkan. Pada sistem tangki septik, lumpur tinja harus dikeluarkan dan diangkut ke IPLT, sedangkan pada IPAL, pengolahan lumpur menjadi bagian sistem integral dari IPAL terpusat. Tangki septik yang diintegrasikan dengan IPAL komunal, dapat meningkatkan mutu hasil pengolahan air limbah dan mengurangi beban air tanah. Unsur-unsur yang mempengaruhi sub komponen sistem pengangkutan (transportasi) lumpur tinja meliputi (i) volume truk pengangkut lumpur tinja, (ii) jarak dan waktu tempuh serta frekuensi atau ritasi pengangkutan lumpur tinja, (iii) kepadatan lalu lintas, (iv) organisasi pengelola jasa pengangkutan lumpur tinja, (v) tarif pengangkutan dan pengolahan lumpur tinja di IPLT. Unsur-unsur yang mempengaruhi sub komponen sistem pengolahan lumpur tinja meliputi (i) tepat atau tidaknya disain IPLT dengan kualitas lumpur tinja yang akan diolah, (ii) kemampuan IPLT mengolah lumpur tinja (Tabel ), (iii) kemampuan operator mengoperasikan dan memelihara IPLT, (iv) alokasi biaya pengoperasian dan pemeliharaan IPLT, dan (v) kemampuan operator memanfaatkan kembali produk IPLT misalnya pupuk, biogas, pakan ikan. Walaupun demikian, efektifitas pemanfaatan kembali produk IPLT juga dipengaruhi oleh kemasan produk yang dihasilkan, kemampuan operator dalam memasarkan produk yang dihasilkan, kegiatan pertanian dan peternakan penduduk di sekitar lokasi IPLT dan kemauan masyarakat menggunakan pupuk organik. Tabel. Efisiensi Unsur-Unsur Sistem IPLT No Jenis Unit Pengolah KOB Besarnya Reduksi Beban Cemaran Padatan tersuspensi Amonia Fosfor Koli tinja (*) (1) () (3) (4) (5) (6) (7) 1 IPLT sistem Kolam-kolam IPLT sistem Lahan Basah alami 0-30 mg/l Catatan: (*) dalam jumlah/100 ml Sumber: UNEP/GPA (000) mg/l 0-30 mg/l 5-7 mg/l mg/l 5-0 mg/l 5-15 mg/l 0-10 mg/l

36 16 Sebagaimana tertera pada Tabel tersebut, kemampuan IPLT sistem kolamkolam dalam mereduksi beban cemaran organik yang diukur dari parameter Kebutuhan Oksigen Biologis (KOB) dapat mencapai 0-30 mg/l, padatan tersuspensi mencapai mg/l, amonia mencapai 0-30 mg/l, fosfor mencapai 5-7 mg/l dan koli tinja mencapai /100 ml. Bahkan PLT dengan sistem lahan basah kemampuannya lebih tinggi lagi sehingga sisa beban cemaran menjadi lebih kecil bila dibandingkan dengan IPLT yang menggunakan sistem kolam-kolam.. Ekosanita-IPLT..1 Pengertian Ekosanita-IPLT Istilah Ekosanita-IPLT diambil dari kata-kata Ekologi, Sanitasi dan IPLT. Ekologi adalah ilmu tentang hubungan timbal balik mahluk hidup dengan lingkungan hidupnya. Ekologi berasal dari bahasa yunani yaitu Oikos yang berarti rumah dan Logos yang berarti ilmu. Karena itu, Ekologi berarti ilmu tentang mahluk hidup dalam rumahnya atau dapat diartikan pula sebagai ilmu tentang rumah tangga mahluk hidup (Sumarwoto 1989). Sanitasi adalah kegiatan yang merupakan kebutuhan mendesak dari keluarga dan masyarakat untuk mengelola kotoran manusia secara pribadi sehingga lingkungan menjadi bersih dan sehat. Di dalam pengertian yang lebih luas lagi, sanitasi meliputi pengumpulan, pengolahan dan pembuangan limbah cair dan sampah padat (Mehta dan Andreas 004). Penyelenggaraan sanitasi ditujukan untuk melindungi dan melestarikan sumber-sumber air terhadap kerusakan atau gangguan yang disebabkan oleh faktor alam termasuk kekeringan dan yang disebabkan oleh tindakan manusia misalnya pencemaran air (UU-7 004). Ekologi-Sanitasi (Ecological Sanitation) yang disingkat EkoSan adalah pendekatan ekosistem siklus tertutup (closed loop ecosystem) untuk mengelola kotoran manusia. Sebelum memasuki media tanah, kotoran manusia yang berupa urine dan faeses, diproses terlebih dahulu menjadi pupuk yang aman untuk menyuburkan tanaman pangan dan menghasilkan makanan yang akhirnya dikonsumsi oleh manusia. EkoSan menganut 3 (tiga) prinsip dasar yaitu (i) mencegah penularan penyakit dan memperbaiki kesehatan, (ii) konservasi sumber

37 17 daya dan melindungi lingkungan, (iii) memulihkan dan mendaur ulang zat hara. Hal tersebut didasarkan pada asumsi bahwa kotoran adalah sumber daya dan sumber air bukan tempat buangan atau media sampah. Di abad 19 kedua asumsi tersebut sesuai dengan konsep pembangunan berkelanjutan. Faktor penentu keberhasilan EkoSan adalah adanya indikator, perubahan pendekatan dan tata pikir serta norma-norma keberlanjutan. Prosesproses di dalam konsep EkoSan mencakup (i) containment atau penghilangan mikroorganisme patogen dengan cara memperburuk habitatnya, (ii) sanitization atau tindakan menyehatkan, dan (iii) daur ulang (recycling) kotoran manusia (Esrey 001). Menurut SANDEC 1998, EkoSan merupakan pendekatan sanitasi yang bersifat strategis dan komprehensif karena mengintegrasikan semua aspek sanitasi (kotoran manusia, sampah, air limbah non kakus atau greywater dan drainase) serta menghubungkan sanitasi dengan pertanian. Sistem Ekologi Sanitasi harus memenuhi 6 (enam) kriteria yaitu (i) sederhana, (ii) terjangkau, (iii) dapat diterima, (iv) mengembalikan zat hara, (v) melindungi lingkungan, dan (vi) mencegah wabah penyakit. Berdasarkan pengertian tersebut, maka EkoSanita-IPLT atau Sistem pengelolaan air limbah rumah tangga berbasis IPLT yang berkelanjutan merupakan kombinasi antara unsur-unsur kakus untuk semua tipe dengan tangki septik, bidang peresapan dan IPLT (kompos dan kolam-kolam) yang mampu meningkatkan kesehatan masyarakat sekaligus memperbaiki kualitas sumber air baku air minum... Ekosanita-IPLT dan Pengelolaan Lingkungan DAS Daerah Aliran Sungai (DAS) yang sering pula disebut sebagai Daerah Pengaliran Sungai (DPS) adalah suatu kawasan yang merupakan kesatuan wilayah tata air dan terbentuk secara alamiah, dibatasi oleh pemisah topografis yang dapat berfungsi menampung, menyimpan atau meresapkan curah hujan yang jatuh di atasnya, dan/atau mengalirkan air di permukaan ke sungai yang mengalir ke danau atau lautan maupun di dalam tanah ke sungai dan anak-anak sungainya dari hulu hingga ke hilir atau muara sungai sebelum akhirnya masuk ke laut (Puskim 004). Sebagaimana halnya dengan kawasan permukiman perkotaan, berfungsinya DAS perlu didukung adanya infrastruktur alami maupun buatan. Infrastruktur

38 18 alami berupa hutan primer, danau dan situ alami, kelokan-kelokan sungai (meander). Infrastruktur buatan berupa waduk, embung, sistem teras, sistem pemilihan tanaman budi daya dan jenis infrastruktur lainnya yang mampu menahan dan mengatur serta mengalirkan air secara seimbang. Berbeda dengan infrastruktur yang berfungsi menahan dan mengalirkan air tersebut, infrastruktur sistem EkoSanita-IPLT berperan memelihara kualitas airnya. Dengan terpeliharanya kualitas air di bagian hulu, maka pemanfaatan sumber daya air di bagian hulu maupun hilir DAS menjadi lebih optimal. Pengguna air memerlukan biaya yang lebih ringan untuk mengolah air baku sebelum digunakan untuk berbagai keperluan misalnya air minum, air irigasi dan air industri. Pengelolaan lingkungan DAS akan berhubungan dengan upaya-upaya untuk memelihara sumber daya alam (air, lahan, udara) dan sumber daya buatan (infrastruktur atau prasarana dan sarana serta utilitas) yang terdapat di lingkungan perkotaan maupun lingkungan DAS. Penyediaan, pengoperasian dan pemeliharaan infrastruktur lingkungan buatan atau binaan di kawasan perkotaan maupun DAS, dapat dikategorikan sebagai upaya untuk memelihara daya dukung dan daya tampung lingkungan di kawasan itu. Sampai saat ini, belum ada standar baku mengenai ukuran keberhasilan pelestarian fungsi lingkungan untuk kedua kawasan tersebut. Selain itu, ukuran mengenai tingkat pelayanan prasarana dan sarana lingkungan yang sudah dapat dilakukan adalah untuk prasarana dan sarana perkotaan yaitu berdasarkan pedoman Standar Pelayanan Minimum atau SPM (Kimpraswil 001) sedangkan untuk DAS belum ada pedomannya. Berdasarkan pedoman SPM perkotaan tersebut, maka sumber daya lingkungan binaan (manmade environment) yang digunakan untuk memelihara dan/atau meningkatkan kualitas lingkungan permukiman perkotaan maupun perdesaan dapat diperkirakan besarannya. Hasil perkiraan tersebut digunakan untuk merumuskan upaya-upaya pengendalian dampak pembangunan, sedemikian rupa sehingga fungsi sumber daya lingkungan perkotaan dan perdesaan yang ada dapat terpelihara untuk kemanfaatan generasi sekarang maupun generasi mendatang (konsep pembangunan berkelanjutan).

39 19.3 Pelestarian Fungsi Lingkungan Perkotaan.3.1 Pelestarian dan Degradasi Lingkungan Pelestarian fungsi lingkungan hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup (UU-3/1997). Daya dukung lingkungan adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan mahluk hidup lain, sedangkan daya tampung lingkungan adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya. Daya tampung lingkungan dapat disebut pula sebagai daya lenting yaitu kemampuan suatu sistem untuk pulih setelah terkena gangguan (Sumarwoto 1989). Semakin cepat sistem pulih atau semakin pendek masa pulih setelah menerima gangguan atau semakin besar gangguan yang dapat ditanggulangi, maka semakin tinggi daya tampung atau daya lenting sistem tersebut. Semakin tinggi daya tampungnya, maka semakin besar pula daya dukungnya. Konsep daya dukung lingkungan dikembangkan berdasarkan fakta bahwa lingkungan manusia yaitu bumi ini, pada dasarnya mempunyai keterbatasan misalnya lahan di bumi yang dapat ditanami adalah sekitar 3. milyar ha. Sekira 50% dari luas tersebut telah menghasilkan makanan, sedangkan sisanya masih memerlukan modal besar sebelum mampu menghasilkan makanan. Pasokan air tawar, logam dan minyak juga sudah menurun meskipun dengan harga tinggi. Kemampuan lingkungan untuk menyerap beban cemaran yang berasal dari kegiatan pertanian dan industri juga terbatas (Randers dan Meadow 1973). Daya dukung lingkungan tersebut dinyatakan dalam jumlah maksimum individu manusia, binatang atau populasi spesies yang dapat didukung dalam suatu lingkungan atau daerah tertentu tanpa adanya degradasi sumber daya alam yang dapat menurunkan populasi maksimumnya di masa datang (Sitorus 004). Degradasi sumber daya tanah merupakan salah satu bentuk degradasi sumber daya alam karena tanah dapat menyediakan unsur hara yang diperlukan untuk pertumbuhan maupun berproduksinya tanaman. Selain itu, sumber daya tanah juga menjadi media tempat berpijaknya akar tanaman serta tumbuh dan tempat penyimpanan air tanah yang sangat diperlukan bagi kelangsungan hidup tanaman. Degradasi sumber daya tanah tersebut dapat terjadi secara alami akibat

40 0 pembentukan tanah dan juga dapat diakibatkan oleh kegiatan manusia misalnya pengolahan lahan pertanian, pengelolaan lahan perkotaan dan pengelolaan lahan industri. Pencemaran oleh sampah dan air limbah domestik maupun industri berhubungan dengan pengelolaan lahan perkotaan dan industri yang tidak memadai (Barrow 1991)..3. Permukiman dan Infrastruktur Lingkungan Perkotaan Permukiman adalah bagian lingkungan hidup di luar kawasan lindung yang berupa perkotaan maupun perdesaan dan berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan. Perkotaan atau kawasan kota adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dan berfungsi sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi (UU-4 199). Berdasarkan jumlah penduduknya, kota dibagi ke dalam 4 (empat) kategori yaitu kota metropolitan (> 1 juta jiwa), kota besar ( juta jiwa), kota sedang ( juta jiwa), kota kecil ( jiwa). Untuk menjamin bahwa fungsi-fungsi permukiman perkotaan tersebut dapat berlangsung sebagaimana mestinya, diperlukan infrastruktur atau prasarana dan sarana serta utilitas lingkungan. Prasarana lingkungan (misalnya jaringan jalan, air limbah, drainase, persampahan) adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan sedangkan sarana lingkungan (sarana-sarana niaga, pendidikan, pelayanan kesehatan, pelayanan umum, ruang terbuka hijau, ruang pertemuan, perpustakaan umum) adalah fasilitas penunjang yang berfungsi untuk penyelenggaraan dan pengembangan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya. Utilitas umum (air minum, listrik, telepon, pemadam kebakaran) adalah sarana penunjang untuk pelayanan lingkungan (UU )..3.3 Kebijakan Pelestarian Fungsi Lingkungan Perkotaan Kebijakan adalah keputusan yang dirancang untuk menangani berbagai masalah (Nagel 1984). Kebijakan pelestarian fungsi lingkungan perkotaan yang telah ada berhubungan dengan pemilihan dan penetapan teknologi pengolahan air limbah.

41 1 Alternatif pilihan teknologi pengolahan air limbah rumah tangga yang ditawarkan terdiri dari (dua) sistem setempat (onsite-system) dan sistem terpusat (off-site system). Sistem setempat yang ditawarkan terdiri dari 4 (empat) elemen yaitu (i) cubluk kembar atau twin leaching pit, (ii) tangki septik dengan bidang resapan, (iii) tangki septik pribadi dengan upflow filter, (iv) tangki septik kolektif dengan upflow filter. Adapun sistem terpusat yang ditawarkan adalah sistem sewerasi yang dilengkapi dengan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Variabel keputusan yang digunakan untuk menyaring terdiri dari 8 (delapan) kriteria yaitu (i) kepadatan penduduk, (ii) jenis sumber air, (iii) konsumsi air minum, (iv) jarak ke sumber air, (v) kedalaman muka air tanah, (vi) permeabilitas tanah, (vii) pendapatan perkapita, dan (viii) tingkat pendidikan masyarakat. Pendekatan tersebut telah digunakan sebagai acuan dalam proses penyusunan Master Plan Air Limbah kota Cimahi (DLH Cimahi 004). Outputnya adalah kebutuhan teknologi pengolahan air limbah di setiap bagian wilayah administratif kota sampai setingkat kelurahan. Gambar 3 menjelaskan proses pemilihan dan penetapan teknologi pengolahan air limbah rumah tangga. Namun, dalam penerapan model kebijakan tersebut masih ditemukan kesulitan-kesulitan, misalnya dalam menetapkan kawasan prioritas pembangunan yang disesuaikan dengan ketersediaan dana pembangunan. Model kebijakan lainnya yang telah digunakan adalah model disain IPLT secara modular. Model tersebut merupakan standardisasi kapasitas disain IPLT yang ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk kota atau daerah pelayanan yang ditetapkan. Penerapan kebijakan tersebut dapat membantu mempercepat proses pembangunan karena waktu yang diperlukan untuk menyiapkan dokumen kontrak menjadi lebih pendek. Namun, dalam praktek banyak ditemukan hasil disain yang terlalu kecil sehingga tidak mampu menampung kebutuhan yang sebenarnya. Akibatnya, beban IPLT menjadi terlalu berat sehingga hasil olahannya tidak memenuhi syarat yang ditentukan. Dampak lanjutannya adalah peningkatan pencemaran air dan gangguan bau. Sebaliknya, apabila disain IPLT menjadi terlalu besar, maka investasi IPLT menjadi tidak efisien sehingga pengeluaran

42 biaya operasi dan pemeliharaan menjadi lebih besar dari penerimaan retribusi atau menimbulkan kerugian operasional. Kepadatan Penduduk (jiwa/ha) A < 300, B < 500 Jenis Sumber Air Minum (PAM/Sumur) Konsumsi Air Minum (< 50 l/or/hari) Jarak Pembuangan kotoran ke sumber air Minum (>10m) Kedalaman Air Tanah (> 3 m dari permukaan tanah) Permeabilitas Tanah (Tinggi) ya ya ya ya ya A??? tdk?? tdk tdk tdk tdk tdk ya? ya? ya tdk PDAM/ Lainnya ya ya tdk? tdk ya? tdk B 1? ya? ya? ya? ya? tdk tdk tdk tdk tdk tdk?? ya tdk tdk 4 ya Pendapatan Keluarga (Rp/KK/Bulan) Tingkat Pendidikan Keluarga (> SD) tdk?? ya tdk ya tdk?? ya tdk? ya ya? tdk PILIHAN TEKNOLOGI Cubluk Kembar pribadi Tangki Septik pribadi dg bidang resapan Tangki Septik pribadi dg Upflow Filter Sumber: Dikemas ulang dari Puskim, 004 dan DLH Cimahi, 004 Tangki Septik komunal dg Upflow filter Tangki Septik Upflow filter, Tangki Bio Filter, UASB. Sistem Sewerasi (perpipaan) Gambar 3. Bagan Alir Pemilihan Teknologi Pengolahan Air Limbah Manusia Karena investasi IPLT dibiayai dari pinjaman bank, meskipun dengan pinjaman lunak atau dengan bunga pinjaman yang ringan, pengelola seringkali mengalami kesulitan mengembalikan pinjaman modalnya. Sampai saat ini, belum ada standar baku untuk pemilihan lokasi IPLT yang paling baik apabila ditinjau dari aspek teknis, lingkungan dan ekonomi serta keuangan. Namun, telah ada kriteria yang biasa digunakan dalam memilih lokasi IPLT misalnya (i) dibangun

43 3 dalam radius kurang dari 15 km, (ii) dekat dengan badan air, (iii) berjarak minimum 5 km dari lokasi permukiman. Selain itu, kriteria-kriteria yang tertera dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang tata cara pemilihan lokasi Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah sering digunakan pula sebagai acuan dalam memilih lokasi IPLT (DPU 1991). Meskipun kriteria-kriteria tersebut telah mewakili aspek teknis operasional, lingkungan dan sosial-ekonomi, hasil pemilihan lokasi sering tidak sesuai dengan keinginan pemerintah daerah setempat. Oleh karena itu, dalam proses pemilihan lokasi IPLT mulai digunakan pendekatan partisipatif dan hasilnya dianalisis dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) yang dikembangkan oleh Saaty (1980). Variabel-variabel keputusan yang digunakan dan ditawarkan kepada stakeholder dipilih dari kriteria-kriteria yang tertera dalam SNI ditambah variabel lain yang diusulkan oleh stakeholder pada saat proses perumusan berlangsung. Pendekatan inipun seringkali belum memuaskan, karena sangat dipengaruhi oleh pemahaman dan persepsi perwakilan stakeholder pada masalah yang dihadapi dan harus diselesaikan. Oleh karena itu, ketika yang mewakili berubah, maka keputusan yang telah dicapai pada proses sebelumnya seringkali berubah sehingga waktu yang diperlukan dalam pengambilan keputusan secara partisipatif menjadi bertambah..4 Model Dan Pendekatan Sistem.4.1 Model dan Pemodelan Model, adalah abstraksi atau penyederhanaan dari sistem atau dari keadaan yang sebenarnya atau suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses (Muhammadi et al. 001). Model, pada dasarnya merupakan gambaran suatu realitas dari seorang pemodel dan menjadi jembatan antara dunia nyata (real world) dengan dunia berpikir (thinking) untuk memecahkan masalah (Fauzi dan Anna 005). Atas dasar hal tersebut, maka pemodelan (modeling) merupakan proses berpikir melalui urutan urutan yang logis. Model dapat dikelompokkan menjadi model non fisik (kuantitatif, kualitatif) dan model fisik atau ikonik. Model kuantitatif adalah model yang

44 4 berbentuk rumus-rumus matematik, statistik, atau komputer. Model kualitatif adalah model yang berbentuk gambar, diagram, atau matriks, yang menyatakan hubungan antar unsur. Dalam model kualitatif tidak digunakan rumus-rumus matematik, statistik, atau komputer. Model ikonik adalah model yang mempunyai bentuk fisik sama dengan barang yang ditirukan, meskipun skalanya dapat diperbesar atau diperkecil. Dengan model ikonik tersebut dapat diadakan percobaan untuk mengetahui perilaku gejala atau proses yang ditirukan. Pendekatan untuk membangun model, juga bervariasi tergantung jenis dan tujuannya. Dalam membangun model fisik, bentuk yang ditirukan sama dengan bentuk yang akan dibangun, namun dibedakan ukuran atau skalanya. Model fisik skala laboratorium, meskipun ukurannya kecil proses operasinya harus sama dengan keadaan yang sebenarnya. Oleh karena itu, model Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) skala laboratorium yang ukurannya bisa dirancang 1/10 atau 1/100 skala sebenarnya, dioperasikan dengan mengalirkan air limbah yang kuantitasnya disesuaikan dengan ukuran atau skala laboratorium tersebut. Model fisik skala laboratorium tersebut dibangun untuk mempelajari efisiensi dan efektifitas unit yang dimodelkan sebelum dibangun skala prototipnya. Hasil model fisik tersebut adalah kriteria disain dan syarat syarat operasi dan pemeliharaan apabila diinginkan tingkat efisiensi dan efektifitas tertentu. Model kuantitatif yang menggunakan rumus matematis dikembangkan dengan menggunakan pendekatan statistik dan dibantu pengolahannya dengan alat komputer. Lohani (1979, 1981) mengembangkan model untuk menilai efektifitas pengelolaan sampah di beberapa negara asia dengan menggunakan analisis taxonomi dan analisis faktor. Model tersebut merupakan angka komposit dari sejumlah variabel yang terkait dengan pengelolaan sampah. Model yang dihasilkan memberi gambaran tentang keadaan dan peringkat pengelolaan sampah negara-negara yang termasuk ke dalam penilaian. Model matematis dengan menggunakan analisis Skalogram (Rustandi et al. 004) dilakukan untuk menilai perkembangan wilayah. Model ini juga merupakan angka komposit dari sejumlah variabel yang terkait dengan perkembangan wilayah. Model yang dihasilkan memberi gambaran tentang keadaan dan peringkat perkembangan wilayah dan

45 5 kemampuan wilayah dalam melayani penduduknya. Model matematis lainnya yang dikembangkan dalam rangka menilai keadaan atau peringkat program pembangunan manusia, program peningkatan kesejahteraan masyarakat dan program peningkatan kesetaraan gender dilakukan oleh BPS, Bappenas, UNDP (004). Model-model tersebut memberi gambaran tentang keadaan dan peringkat wilayah-wilayah yang diperbandingkan dalam meningkatkan kesejahteraan penduduknya yang dinilai dari Human Development Index (HDI), Human Poverty Index (HPI), Gender related Development Index (GDI) dan Gender Empowerment Measure (GEM). Model yang menggunakan pendekatan sistem dinamis, telah dikembangkan untuk menjawab berbagai pertanyaan strategis dari ratusan perusahaan dan lembaga pemerintah selama lebih dari 40 tahun (Sterman 000, Mayo dan Wichman 003). Masalah-masalah yang dikaji dan diselesaikan bervariasi seperti masalah rantai pengadaan (Ge et al. 005, Venkateswaran dan Song 005, Vieira dan César Jr. 005), sumberdaya air (Simonovic 00, 003), pendidikan (Park, Chan dan Verma 003), mitigasi lingkungan (Saeed dan Fukuda 003), pengelolaan tempat pembuangan sampah akhir secara tebar urug atau Sanitary Landfill (Tipton dan Wigal 004). Namun, sebagian besar penerapannya berhubungan dengan kebijakan dan manajemen. Sementara itu, kharakteristik pendekatan sistem dinamis adalah adanya hubungan sebab akibat, adanya umpan balik (feed back loop), ada respons waktu tunda, ada respons non linier, ada gambaran aturan pengambilan keputusan. Dengan karakteristik tersebut, pemodelan sistem dinamis telah dilakukan untuk 3 (tiga) tujuan (Angerhofer dan Angelides 000) yaitu (i) membangun teori, (ii) penyelesaian masalah (Kummerow 1999, Hines and House 001, Black and Repeening 001, Powell at al. 00), dan (iii) perbaikan pendekatan pemodelan itu sendiri (Maani and Maharaj 004, Schwaninger 004). Upaya membangun teori dan perbaikan model meskipun dilakukan melalui kombinasi konsep system thinking, soft operation research dan sistem dinamik. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh penemu sistem dinamik (Forrester 1994), struktur umpan balik level (tampungan) dan rate (aliran) di dalam sistem dinamik tetap merupakan landasan untuk menggambarkan keadaan nyata dari sistem sosial dan sistem fisik.

46 6 Model-model non fisik untuk membantu proses pengambilan keputusan, khususnya yang menggunakan pendekatan sistem dinamik, dapat dinyatakan baik apabila kesalahan atau simpangan hasil simulasi terhadap gejala atau proses yang ditirukan relatif kecil. Model yang memenuhi syarat dan mampu dijadikan sarana analisis kebijakan haruslah merupakan wahana untuk menemukan jalan dan cara intervensi yang efektif dalam suatu sistem (Tasrif 001). Oleh karena itu, model yang dibentuk untuk tujuan tersebut harus memenuhi syarat berikut: a. Mempunyai unsur waktu karena pengaruh intervensi kebijakan merupakan kejadian berikutnya b. Mampu mensimulasikan berbagai intervensi dan dapat memunculkan perilaku sistem karena adanya intervensi tersebut c. Perilaku sistem tersebut dapat merupakan perilaku yang pernah dialami dan teramati (historis) ataupun perilaku yang belum pernah teramati d. Memungkinkan mensimulasikan suatu intervensi yang pengaruhnya dapat berbeda secara dramatik dalam jangka pendek maupun jangka panjang e. Mampu menjelaskan me gapa suatu perilaku tertentu dapat terjadi Penggunaan model akan sangat bermanfaat bila menghadapi suatu sistem yang kompleks (Muhammadi et al. 001). Di dalam menghasilkan bangunan pemikiran (model) yang bersifat sistemik, terdapat lima langkah yang dapat ditempuh yaitu (i) identifikasi proses menghasilkan kejadian nyata, (ii) identifikasi kejadian yang diinginkan, (iii) identifikasi kesenjangan antara kenyataan dengan keinginan, (iv) identifikasi dinamika menutup kesenjangan, (v) analisis kebijakan. Identifikasi proses dilakukan untuk mengungkapkan pemikiran tentang proses nyata (actual transformation) yang menimbulkan kejadian nyata (actual state). Proses nyata tersebut merujuk kepada objektivitas dan bukan proses yang didasarkan atau subyektivitas. Selanjutnya, identifikasi kejadian yang diinginkan dilakukan untuk memikirkan kejadian yang seharusnya, yang diinginkan, yang dituju, yang ditargetkan ataupun yang direncanakan (desired state). Proses tersebut merujuk kepada waktu mendatang, pandangan ke depan atau visi. Agar visi tidak dianggap mimpi, maka perumusannya harus memenuhi kriteria layak (feasible) dan dapat diterima (acceptable). Layak artinya dapat diantisipasi akan

47 7 menjadi kenyataan, sedangkan dapat diterima artinya dapat diantisipasi tidak akan menimbulkan tantangan. Dengan dua kriteria tersebut, maka pemikiran terhadap batasan kejadian dengan kinerja sistem yang direncanakan akan bersifat mantap (stable) dalam dalam mengantisipasi dinamika perubahan masa lampau maupun masa mendatang. Identifikasi kesenjangan antara kenyataan dengan yang diinginkan diperlukan untuk mengukur tingkat kesenjangan yang terjadi. Ukuran tingkat kesenjangan dinyatakan dalam ukuran kuantitatif atau kualitatif. Selanjutnya, identifikasi mekanisme menutup kesenjangan dilakukan untuk mengenali dinamika variabel-variabel dan mekanisme proses untuk menutup kesenjangan yang terjadi. Dinamika tersebut merupakan aliran informasi tentang keputusankeputusan yang telah bekerja dalam sistem. Keputusan-keputusan tersebut pada dasarnya adalah pemikiran yang dihasilkan melalui proses pembelajaran (learning), yang dapat bersifat reaktif ataupun kreatif. Pemikiran reaktif ditunjukkan dengan tindakan yang bentuk atau polanya sama dengan tindakan masa lampau dan kurang antisipatif terhadap kemungkinan kejadian masa mendatang. Sebaliknya, pemikiran kreatif ditunjukkan dengan tindakan yang bentuk atau polanya berbeda dengan tindakan masa lampau dan dapat bersifat penyesuaian tindakan masa lampau (adjustment) ataupun berorientasi ke masa datang (visionary), bersifat baru atau terobosan. Sebagai sebuah proses dinamis, mekanisme tersebut bekerja dalam dimensi waktu karena perencanaan suatu tindakan sampai ke pelaksanaannya memerlukan waktu. Sementara itu sistem yang ada tetap bekerja menghasilkan kinerja dan mempengaruhi tingkat kesenjangan antara kejadian aktual dengan seharusnya. Analisis kebijakan adalah proses penyusunan alternatif tindakan atau keputusan (policy) yang akan diambil untuk mempengaruhi proses nyata (actual transformation) sebuah sistem dalam menciptakan kejadian nyata (actual state). Keputusan tersebut dimaksudkan untuk mencapai kejadian yang diinginkan (desired state). Alternatif tersebut dapat satu atau kombinasi bentuk-bentuk intervensi, baik yang bersifat struktural atau fungsional. Intervensi struktural bersifat mempengaruhi mekanisme interaksi pada sistem, sedangkan intervensi fungsional bersifat mempengaruhi fungsi unsur dalam sistem. Pengembangan dan

48 8 penetapan alternatif intervensi tersebut dipilih setelah melakukan pengujian dengan simulasi komputer ataupun simulasi pendapat. Kriteria yang digunakan untuk memilih alternatif adalah aman dan efektif. Aman berarti keputusan yang diambil tidak mengakibatkan sistem menjadi labil atau collaps, sedangkan efektif menyatakan berfungsinya keputusan untuk mencapai kejadian yang diinginkan..4. Sistem dan Pendekatan Sistem Sistem adalah gugus/kumpulan dari elemen/komponen yang saling terkait dan terorganisasi untuk mencapai tujuan/gugus tujuan. Menurut Muhammadi et al. (001), sistem adalah keseluruhan interaksi antar unsur atau benda yang konkrit maupun abstrak dari sebuah objek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja untuk mencapai tujuan. Dalam kaitannya dengan sanitasi, maka sistem sanitasi merupakan keseluruhan interaksi antara unsur-unsur yang terdapat dalam proses pengumpulan, pengolahan dan pembuangan limbah cair dan sampah. Kombinasi unsur-unsur infrastruktur di dalam keseluruhan komponen proses pembuangan kotoran, pengangkutan, pengolahan, pembuangan atau pemanfaatan kembali (daur ulang) hasil olahan akan membentuk berbagai variasi sistem. Kata kumpulan atau keseluruhan dalam sistem mencerminkan kekuatan (power) yang dihasilkan oleh elemen/komponen/unsur yang saling terkait dan berinteraksi secara terorganisasi. Keterkaitan dan interaksi mencerminkan adanya ikatan atau hubungan antar unsur yang memberi bentuk atau struktur kepada objek sehingga dapat membedakan dengan objek lain dan mempengaruhi perilaku dari objek itu sendiri. Elemen/komponen/unsur adalah benda, baik konkrit atau abstrak yang menyusun objek suatu sistem. Unjuk kerja atau kinerja sistem ditentukan oleh fungsi elemen-elemennya. Gangguan terhadap salah satu fungsi elemen atau unsur sistem akan mempengaruhi unsur lain sehingga mempengaruhi kinerja sistem secara keseluruhan. Unsur yang menyusun sistem ini disebut juga bagian sistem atau subsistem. Objek adalah sistem yang menjadi perhatian dalam suatu batas tertentu sehingga dapat dibedakan antara sistem dengan lingkungan sistem. Artinya semua yang di luar batas sistem adalah lingkungan sistem. Pada umumnya, semakin luas

49 9 bidang perhatian semakin kabur batas sistem. Demikian juga sebaliknya, semakin/konkrit objek semakin jelas batas sistem. Dengan demikian, jelas bahwa batas objek dengan lingkungan cenderung bersifat konseptual, terutama terhadap objek-objek non-fisik. Dalam hubungannya dengan batas sistem tersebut, maka sistem dapat digolongkan pada (dua) jenis yaitu sistem terbuka dan sistem tertutup. Sistem terbuka adalah sebuah sistem dimana output yang dihasilkan merupakan tanggapan dari input, tetapi tidak ada pengaruhnya terhadap output. Sistem terbuka dapat diartikan pula sebagai sistem yang tidak menyediakan sarana koreksi sehingga memerlukan faktor eksternal untuk melakukan koreksi yang diperlukan. Sistem tertutup adalah sistem dimana output yang dihasilkan akan merupakan tanggapan dari input dan perilaku sistem dipengaruhi oleh output tersebut. Sistem tertutup juga dapat diartikan sebagai sistem yang dalam mencapai tujuannya, menyediakan sarana koreksi di dalam sistem itu sendiri. Pengertian tujuan dalam sistem adalah kinerja sistem yang teramati atau diinginkan. Kinerja yang teramati merupakan hasil yang telah dicapai oleh kerja sistem, yaitu hasil keseluruhan interaksi antar unsur dalam batas lingkungan tertentu. Kinerja yang diinginkan merupakan hasil yang akan diwujudkan oleh sistem melalui keseluruhan interaksi antar unsur dalam batas lingkungan tertentu. Perumusan tujuan sistem ini akan membantu memudahkan menarik garis batas dari sistem yang menjadi perhatian. Hal itu berarti bahwa benda, baik konkrit maupun abstrak, yang telah menyumbang secara langsung terhadap pencapaian tujuan sistem dikategorikan sebagai elemen/komponen/unsur. Sebaliknya, benda yang mempengaruhi dan/atau memberi sumbangan tidak langsung dapat dikategorikan sebagai lingkungan. Pendekatan sistem (system approach) adalah cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan mengidentifikasi sejumlah kebutuhan sehingga menghasilkan operasi sistem yang dianggap efektif (Eriyatno 003). Umumnya, pendekatan sistem ditandai (dua) hal, yaitu (i) mencari faktor penting yang ada untuk mendapatkan solusi yang baik dalam menyelesaikan permasalahan, dan (ii) membuat suatu model kuantitatif untuk membantu pengambilan keputusan secara rasional. Di dalam penelitiannya tentang pengelolaan lumpur tinja yang

50 30 menggunakan pendekatan sistem, Ramirez et al. (000), menyatakan bahwa faktor penting yang harus diperhatikan adalah keberadaan bakteri penyakit didalam koli tinja, emisi logam berat & zat beracun terhadap udara air dan tanah, energi yang digunakan atau diproduksi, pemanasan global (ekivalen terhadap CO ) dan utrofikasi. Selanjutnya, pengembangan model kuantitatif yang digunakan untuk membantu pengembilan keputusan didasarkan pada proses proses yang berhubungan dengan pengelolaan lumpur tinja yaitu (i) pengolahan air limbah (wastewater treatment) yang terdiri dari pengolahan biologis dan kimiawi (ii) pengolahan lumpur tinja (sludge treatment) yang terdiri dari pengomposan dan pemeraman (digestion) dan (iii) pembuangan/pemanfaatan hasil olahan (disposal/use) yang dilakukan melalui sistem rebar urug higienis (sanitary landfill) dan pemanfaatannya untuk pertanian. Pendekatan sistem dapat diartikan pula sebagai suatu pendekatan analisis organisatoris yang menggunakan ciri-ciri sistem sebagai titik tolak analisis (Marimin 004). Selanjutnya, manajemen sistem dilakukan dengan mengarahkan perhatian kepada berbagai ciri dasar sistem yang perubahan dan gerakannya akan mempengaruhi keberhasilan suatu sistem. Dengan cara tersebut diketahui faktorfaktor yang mempengaruhi perilaku dan keberhasilan suatu organisasi atau suatu sistem. Langkah-langkah yang diperlukan dalam melakukan pendekatan sistem adalah (i) analisis kebutuhan, (ii) perumusan masalah, (iii) identifikasi sistem, (iv) pemodelan sistem, (v) kalibrasi dan verifikasi, dan (vi) implementasi (Eriyatno 003, Marimin 004). Analisis kebutuhan dilakukan untuk memberi gambaran mengenai kebutuhan-kebutuhan yang ada, kemudian melakukan pengembangan terhadap kebutuhan-kebutuhan yang dijelaskan tersebut. Analisis ini juga ditujukan untuk memperoleh gambaran tentang persamaan maupun perbedaan kebutuhan para pihak yang berkepentingan (stakeholder) yang wajib atau bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi (AusGUIDE 000). Perumusan masalah dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai kebutuhankebutuhan yang saling bertentangan sehingga memerlukan penyelesaian. Analisis kebutuhan selalu menyangkut interaksi antara respons yang timbul dari seorang pengambil keputusan terhadap jalannya sistem. Analisis ini dapat dilakukan

51 31 melalui survey, pendapat seorang ahli, diskusi, observasi lapangan dan lain sebagainya. Identifikasi sistem merupakan rantai hubungan antara pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dengan pernyataan khusus dari masalah yang harus dipecahkan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Identifikasi sistem digambarkan dalam diagram lingkar sebab akibat (causal-loop) kemudian menginterpretasikannya ke dalam konsep kotak gelap (black box). Interpretasi tersebut berisi informasi yang dikategorikan menjadi 3 (tiga) golongan yaitu (i) peubah input terkendali maupun tak terkendali, (ii) peubah output yang diinginkan maupun yang tidak diinginkan, dan (iii) parameter-parameter yang membatasi struktur sistem (Eriyatno 003). Pemodelan (modelling) sistem yang merupakan proses merepresentasikan suatu realitas seorang pemodel, pada dasarnya adalah teknik untuk membantu menyusun konsep model sistem, kemudian mengukur keandalannya dengan cara memperkirakan konsekuensi sistem terhadap tindakan yang dilakukan. Upaya penyederhanaan tersebut membawa konsekuensi bahwa model yang dibangun tidak pernah sempurna (Sterman 000). Namun, pemodelan memberi manfaat pada percepatan proses pengambilan keputusan. Apabila tidak dilakukan melalui pemodelan dan tindakan-tindakan yang diperlukan dicobakan secara langsung terhadap sistem sebenarnya, maka biaya analisisnya lebih mahal, waktu yang diperlukan lebih lama, tidak dapat dilakukan manipulasi melalui perubahan variabel-variabelnya, biaya kesalahan lebih besar dan alternatif solusinya terbatas. Sterman (000), menjelaskan bahwa validasi berasal dari kata latin verus-truth sedangkan verifikasi adalah mengembangkan kepercayaan dan ketelitian atau mewujudkan kepercayaan dan ketelitian. Lebih lanjut dikatakan pula bahwa valid adalah mendapatkan kesimpulan secara benar dari suatu dalil. Atas dasar pengertian tersebut, Sterman menyatakan pula bahwa tidak ada model yang dapat divalidasi dan verifikasi karena semua model baik mental model atau model formal memiliki keterbatasan karena merupakan penyederhanaan dari keadaan atau dunia nyata (real world). Oleh karena itu, kalibrasi, verifikasi dan validasi semata-mata dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan dan keyakinan

52 3 pemodel dan stakeholdernya bahwa model yang dihasilkan dapat digunakan sesuai dengan tujuannya. Kalibrasi dilakukan untuk mengukur atau menguji tingkat kesesuaian (tuning) model. Verifikasi model dilakukan untuk menguji kebenaran model, terutama strukturnya dengan yang terjadi di dunia nyata, sedangkan validasi dilakukan untuk menguji kebenaran model dari aspek kinerjanya (performanya). Kalibrasi, verifikasi maupun validasi dilakukan terhadap parameter dan konstanta yang digunakan dalam model. Kalibrasi dan verifikasi dapat dilakukan dengan memasukkan data ke dalam model dan memeriksa hasilnya. Validasi model sistem yang dibangun dengan pendekatan kuantitatif (hard system) dapat dilakukan setelah verifikasi model, sedangkan validasi model yang dibangun dengan pendekatan kualitatif dilakukan setelah model diimplementasikan di lapangan..5 Penelitian Bidang Sanitasi dan Pelestarian Fungsi Lingkungan Penelitian ini dapat dikelompokkan ke dalam (dua) bagian yaitu (i) rekayasa fisik yang menghasilkan berbagai variasi model sistem secara fisik dan (ii) model kebijakan yang menghasilkan berbagai variasi model sistem non fisik misalnya model sistem pendukung keputusan (decision support system), model optimasi perencanaan maupun manajemen sistem, model-model simulasi berbasis trial and error maupun berbasis sistem dinamis. Kedua kategori penelitian tersebut, pada dasarnya dapat saling melengkapi untuk landasan pengambilan keputusan..5.1 Penelitian Ekologi Sanitasi Program penelitian dibidang sanitasi yang berorientasi pada ekologi sanitasi (Sanitation Research) dan disingkat SanRes mulai diluncurkan pada tahun 1993 oleh Swedish International Development Corporation Agency (Sida). Mandat penelitian selama 9 (sembilan) tahun tersebut telah diselesaikan pada tahun 001 dan dinilai berhasil karena pendekatan tersebut dapat diterima secara global dan menjadi bagian dari strategi pencapaian tujuan pembangunan global yang dikenal dengan Millennium Development Goals 015, MDGs-015

53 33 (EcoSanRes 00). Walaupun demikian, penelitian yang dilakukan sebagian besar berhubungan dengan pengembangan dan penerapan model fisik atau ikonik. Pelajaran dan pengetahuan (lesson learned) dari hasil penelitian maupun penerapan Ecosan di daerah perdesaan maupun perkotaan diperoleh dari beberapa proyek percontohan peserta SanRes. Pelajaran dan pengetahuan tersebut berhubungan dengan (i) pembangunan dan pengoperasian serta pemeliharaan sistem Ecosan, (ii) siklus dan banyaknya nutrien dan fosfor yang dibangkitkan dari kotoran manusia, (iii) pemanfaatan kotoran manusia untuk pertanian, (iv) berbagai jenis teknologi yang diaplikasikan dilapangan (biogas, toilet kering, eco toilet), (v) percepatan pembangunan dan pendekatan desentralisasi serta pendekatan sosial termasuk gender. Peneltian EcoSan yang berhubungan dengan konstruksi, operasi dan pemeliharaan antara lain dilakukan oleh Jiang (001), Jiayi dan Jungi (001), Gajurel et al. (001), Schattauer et al. (001), Nyiraneza dan Huber (001), Janssen 001). Penelitian EcoSan yang berhubungan dengan produksi dan siklus penggunaan nutrien dan fosfor, dilakukan oleh Gumbo dan Savenije (001). Penelitian EcoSan yang berhubungan dengan aspek kesehatan manusia dan pencemaran air dilakukan oleh Schonning dan Stenstron (004), Austin (001) Holmqvist and Stenstorm (001), Jonsson et al. (001), Peasey (001), Shunchang et al (001). Penelitian EcoSan yang berhubungan dengan aspek pemanfaatan produk untuk pertanian antara lain dilakukan oleh Bo (001), Wudi et al. (001). Penelitian EcoSan yang berhubungan dengan pengembangan alternatif teknologi terapan antara lain dilakukan oleh Guzha (001), Breslin (001), Chao (001), Jiang (001), Redinger et al. (001), Funamizu et al. (001), Clark (001), Nguyen et al. (001). Penelitian EcoSan yang berhubungan dengan prospek pembangunan dan strategi desentralisasi serta pendekatan sosial termasuk gender antara lain dilakukan oleh Andreas (001), Cross and Salifu (00), Hannan and Andersson (001), Werner et al. (001), Drangert (001). Penelitian penelitian Ekologi Sanitasi tersebut berhubungan dengan pengembangan dan penerapan model model fisik dari unsur unsur atau komponen komponen sistem pengeolaan air limbah setempat. Penelitian tersebut umumnya difokuskan untuk mendapatkan model fisik yang lebih efisien.

54 .5. Penelitian Sanitasi di Indonesia 34 Penelitian Sanitasi di Indonesia juga terdiri dari (dua) kelompok yaitu penelitian rekayasa fisik untuk menghasilkan model-model fisik atau ikonik, penelitian non fisik yang menghasilkan model-model kebijakan baik kualitatif maupun kuantitatif Penelitian rekayasa fisik, pada umumnya dilakukan terhadap unsur-unsur fisik elemen-elemen sistem pengelolaan air limbah. Melalui penelitian rekayasa fisik tersebut dapat dikembangkan berbagai alternatif inovasi teknologi yang lebih sesuai untuk diaplikasikan di suatu daerah tertentu. Sekitar 118 (seratus delapan belas) fakta teknologi telah diidentifikasi dapat berpotensi menjadi objek penelitian (EPA 1978). Hasil penelitian tersebut diharapkan mampu menghasilkan berbagai alternatif teknologi yang dapat memenuhi tujuan spesifik yang ditetapkan yaitu (i) meningkatkan daur ulang dan pemanfaatan kembali (reuse) air, nutrien dan sumberdaya alam, (ii) meningkatkan konservasi, pemulihan kembali (recovery), pemanfaatan dan daur ulang energi, (iii) meningkatkan efektifitas penggunaan biaya untuk mencapai tujuan peningkatan kualitas air dan (iv) meningkatkan pengelolaan bahan beracun dan berbahaya. Objek penelitian rekayasa teknik di Indonesia, pada umumnya dilakukan terhadap unsur-unsur sistem sanitasi setempat (on-site) seperti pengembangan cubluk kembar dan tangki septik. Contohnya adalah penelitian tangki septik multi kompartemen (Puskim 000). Penelitian ini selain ditujukan untuk mengamati tingkat penurunan kualitas air limbah setelah melalui setiap kompartemen, juga untuk mengetahui efektifitas pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan sampai dengan pengoperasiannya. Contoh lain adalah penelitian tangki anaerobik bermedia kontak, ditujukan untuk mendapatkan alternatif teknologi pengolahan air limbah rumah tangga setempat secara anaerobik dengan menggunakan media kontak bahan lokal (Sarbidi dan Sumijan 1999). Penelitian yang berhubungan dengan perencanaan dan kebijakan, pada umumnya diarahkan untuk menyediakan informasi dalam rangka pembenaran (justifikasi) terhadap usulan pembangunan infrastruktur pengolahan air limbah. Namun, penelitian yang dilakukan masih bersifat kasus per kasus sehingga belum tararah dan terstruktur secara baik. Contoh penelitian yang berhubungan dengan

55 35 perencanaan dan kebijakan (pre-emtif) yang bersifat spesifik lokasi adalah (i) studi kajian sumber pencemaran dan kualitas air sungai Citarum di Kabupaten Bandung (DLH Kab Bandung 003) dan (ii) perhitungan daya tampung dengan pemodelan kualitas air DAS Citarum Hulu dan Tengah (BPLHD 001). Kedua penelitian tersebut menghasilkan informasi mengenai tingkat pencemaran air sungai Citarum beserta anak-anak sungainya dan identifikasi sumber termasuk prakiraan beban pencemaran domestik maupun non domestik. Hasilnya digunakan sebagai acuan untuk merumuskan rekomendasi mengenai upaya-upaya pengendalian pencemaran yang harus dilakukan melalui pembangunan infrastruktur pengolahan air limbah. Variabel yang digunakan dalam analisis terfokus pada aspek teknis yang berhubungan dengan kualitas maupun kuantitas air. Selain daripada itu, ke dalam penelitian tersebut belum termasuk penelitian daya dukung dan daya tampung setiap kawasan yang mempertimbangkan aspek lingkungan, sosial ekonomi dan sosial budaya serta kelembagaan. Rekomendasi penanganan pencemaran lingkungan belum dilengkapi dengan skala prioritas pelaksanaannya. Contoh penelitian kebijakan yang berhubungan dengan sanitasi skala nasional adalah (i) pengembangan fasilitas dan pelayanan air minum dan sanitasi berbasis masyarakat (Dikun 00) dan (ii) studi kebijakan pembangunan prasarana dan sarana air bersih dan penyehatan lingkungan berbasis lembaga (Waspola 003). Hasil kedua penelitian tersebut berupa arah kebijakan umum dan strategi pelaksanaannya yang dianalisis dan disintesakan dari serangkaian jajak pendapat. Oleh karena itu, masih perlu dijabarkan kedalam kebijakan-kebijakan operasional. Namun, didalam laporan tersebut tidak tercantum instrumen analisis yang digunakan sehingga keandalannya belum teruji secara ilmiah. Penelitian-penelitian kebijakan tersebut, meskipun menggunakan model kualitatif dan kuantitatif, belum mempertimbangkan pengaruh umpan balik dari kebijakan yang dikembangkan. Penelitian di bidang sanitasi, khususnya bidang pengelolaan sampah perkotaan yang menggunakan sistem dinamis dan mempertimbangkan aspek umpan balik adalah penelitian yang dilakukan oleh Sumarto (1979). Pada penelitian tersebut, variabel kebijakan yang digunakan untuk merumuskan perbaikan manajemen pengelolaan sampah adalah cakupan

56 36 pelayanan sampah oleh dinas kebersihan kota dan ritasi pengangkutan sampah dari tempat pembuangan sampah sementara (TPS) ke tempat pembuangan akhir sampah (TPA). Sementara itu, variabel keputusan yang digunakan untuk acuan peningkatan kinerja pengelolaan sampah adalah banyaknya volume sampah yang dapat diangkut ke TPA. Penelitian terkini di Indonesia yang berhubungan dengan lingkungan dan menggunakan pendekatan sistem dinamik, antara lain adalah yang dilakukan oleh Tasrif (001), Rahardjo dan Saraswati (001), Darsiharjo (004), Pranoto (005). Model sistem dinamik untuk merumuskan kebijakan energi yang berwawasan lingkungan merupakan karya penelitian Tasrif (001). Pada penelitian ini, variabel kebijakan yang digunakan analisis adalah deregulasi harga energi, pajak energi dan akselerasi lingkungan melalui konservasi energi, pengembangan pemanfaatan hidro dan panas bumi serta energi terbarukan lainnya. Variabel keputusan yang digunakan untuk acuan pengambilan keputusan adalah banyaknya emisi CO yang dibangkitkan dari berbagai simulasi variabel kebijakan. Model sistem dinamik untuk memperkirakan pengimbuhan air tanah dikembangkan oleh Rahardjo dan Saraswati (001). Pada penelitian ini variabel kebijakan yang digunakan sebagai landasan simulasi adalah tutupan lahan terhadap ketepatan Rencana Tata Ruang Wilayah, sedangkan variabel keputusan yang digunakan adalah banyaknya imbuhan air tanah. Model sistem dinamik untuk memperkirakan kesesuaian pemanfaatan lahan berkelanjutan di daerah hulu sungai dikembangkan oleh Darsihardjo (004). Pada penelitian ini, variabel kebijakan yang digunakan adalah ketebalan tanah, koefisien aliran permukaan, biaya konservasi dan jenis tanaman yang menguntungkan. Variabel keputusan yang digunakan dalam simulasi adalah penghasilan petani. Model sistem dinamis untuk merumuskan kebijakan pembangunan perdesaan berkelanjutan dalam kerangka Agropilitan dikembangkan oleh Pranoto (004). Pada penelitian ini, variabel kebijakan yang digunakan untuk simulasi model adalah komoditi unggulan yang dapat diproduksi seperti bawang daun, cabe dan wortel, sedangkan variabel keputusan yang digunakan adalah bangkitan

57 limbah pertaniaan terhadap kerusakan dan daya dukung lingkungan serta pertumbuhan keuntungan petani. Penelitian yang berhubungan dengan sanitasi dan berorientasi pada model non fisik (kebijakan dan perencanaan) dirangkum pada Tabel 3. Tabel 3. Rangkuman Penelitian yang Berorientasi pada Model Kebijakan di Bidang Sanitasi No Tujuan Penelitian (Metoda) Peneliti Skala Hasil Variabel (1) () (3) (4) (5) (6) Model Pengelolaan Sampah Perkotaan (Sistem Dinamis) Mengembangkan Model untuk menilai efekti fitas Pengelolaan Sampah di Asia (Analisis Faktor dan Taxonomi) Mengevaluasi Proses Pengelolaan Lumpur Tinja (Pendekatan System) Mengkaji Daya Tampung Sungai (ModKual) Mengembangkan Model Kebijakan Energi yang berwawasan lingkungan (Sistem Dinamis) Memperkirakan Pengimbuhan Air Tanah di Depok (Sistem Dinamis) Pengembangan Kebijakan Pelayanan Air Minum dan Sanitasi (Focus Group Discussion) Monitoring dan Evaluasi Pencemaran Sungai Citarum (Studi Kasus) Menilai Tingkat kesejahteraan masyarakat (Skala Penilaian & Pembobotan) Memperkirakan kesesuaian pemanfaatan Lahan di DAS Cikapundung (Sistem Dinamis) Memperkirakan Komoditi Unggulan daerah Agropolitan (Analisis Kwadran, Sistem Dinamis) Membangun Model untuk perangkat kebijakan pelestarian fungsi lingkungan perkotaan yang berkelanjtan (Analisis Faktor, Taxonomi, Skalogram dan Sistem Dinamis) Sumarto, 1979 Lohani, 1979, 1981 Ramirez, 000 BPLHD, 001 Tasrif, 001 Rahardjo, Saraswati 001 Dikun 001, Waspola 003 DLH 003 BPS, Bappenas, UNDP 004 Darsihardjo 004 Sugimin Pranoto 005 R Pamekas 005 Mikro, Sektoral Regional & Sektoral Mikro Sektoral Mikro, Lokal, Sektoral Makro, Nasional Mikro, Lokal Makro, Nasional Mikro, Sektoral Makro Nasional Mikro, Lokal Mikro, Lokal Mikro, Lokal, multi sektor Rumusan Kebijakan Operasional Peringkat Negara negara yang dinilai Alternatif Pengolahan dan pemanfaatan limbah Indeks Potensi Pencemaran Sungai (IPPS) Kebijakan Pengembangan Energi Nasional Kebijakan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Kebijakan dan Strategi Air Minum dan Sanitasi Nasional Sumber Pencemaran Air Sungai Indeks dan Peringkat Kesejahteraan Kebijakan pemanfaatan lahan berkelanjutan Kebijakan Pembangunan Perdesaan dalam kerangka Agropilitan Model IPFLH untuk evaluasi fungsi lingkungan perkotaan dan model EkoSanita IPLT untuk kebijakan & strategi perbaikan sanitasi Penduduk, Bangkitan Sampah, Ritasi angkutan sampah 9 Variabel (Bangkitan Sampah, Kepadatan rumah, kepadatan penduduk, pengumpulan sampah, upah pekerja, rasio pekerja per penduduk 37 Keberadaan bakteri, emisi logam berat, konsumsi energi, pemanasan global Kualitas Air (Fisik dan Kimiawi) Pajak, harga energi, akselerasi lingkungan, Emisi CO Tutupan Lahan, Imbuhan Air Tanah Kebutuhan dasar Air Minum, kelembagaan masyarakat Limbah Domestik, pertanian, peternakan, industri Angka Harapan hidup, Daya Beli, Angka Partisipasi Sekolah, Kebutuhan dasar Ketebalan tanah, aliran peemukaan, biaya konservasi, jenis tanah, penghasilan petani Komoditi unggulan, bangkitan limbah pertanian, pendapatan petani Variabel IPFLH: Investasi dan Utilisasi (kesehatan, pendidikan, Perumahan, Air Minum dan Sanitasi, Ekonomi). Variabel EkoSanita IPLT: Cakupan pelayanan, jadwal angkut, konsumsi air, daya tampung keairan

58 .5.3 Konsepsi dan kebaruan (novelty) Model Pelestarian Fungsi Lingkungan Perkotaan Berbasis EkoSanita-IPLT Sistem pengolahan sanitasi pada umumnya dan khususnya pengelolaan air limbah domestik (rumah tangga) maupun non domestik yang telah dikembangkan dari berbagai upaya penelitian, belum mampu mengimbangi kecepatan pertumbuhan dan kebutuhan penduduk perkotaan. Dengan urbanisasi yang cepat dan semakin lebarnya kesenjangan pendapatan serta meningkatnya kelangkaan air, mengakibatkan semakin mahalnya sistem konvensional serta semakin kompleksnya penanganan air limbah. Sistem konvensional selalu menimbulkan permasalahan baru, misalnya pembuangan produk akhir Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) ke badan air sering menimbulkan perubahan warna air sungai dan badan air penerima lainnya menjadi hitam. Di dalam sistem konvensional, air limbah diasumsikan sebagai kotoran yang hanya layak untuk dibuang sehingga teknologi konvensional umumnya dirancang untuk membuang kotoran tersebut. Pendekatan linier tersebut belum mempertimbangkan siklus nutrien untuk mencegah pencemaran dan melindungi kesehatan manusia. Akibatnya, air tanah dan air permukaan terkontaminasi sehingga biaya pengendalian pencemaran dan pemulihan lingkungan yang rusak semakin mahal. Selain itu, dengan hanya setengah dari jumlah penduduk yang memiliki akses ke infrastruktur sanitasi berbasis sistem konvensional tersebut, maka angka penyebaran penyakit menular dan kasus kematian balita relatif masih tinggi. Untuk meningkatkan pencapaian sasaran pelayanan sanitasi nasional maupun global, penelitian-penelitian ekologi sanitasi dan penerapan hasil hasilnya di daerah perkotaan merupakan kecenderungan baru dalam penanganan masalah masalah sanitasi masa depan. Oleh karena itu, penelitian sanitasi dengan konsepsi siklus tertutup (closed loop ecosystem) dalam pengelolaan kotoran manusia digunakan sebagai acuan dasar dalam penelitian ini. Konsepsi ini juga menempatkan kotoran sebagai sumberdaya yang dapat dimanfaatkan kembali untuk mendukung kehidupan dan penghidupan manusia karena memiliki nilai ekonomis maupun ekologis. Dengan konsepsi tersebut, sumberdaya air yang terdapat dilingkungan perkotaan seperti air tanah dangkal, rawa, sungai, situ dan 38

59 39 kolam retensi alami lainnya harus dipandang sebagai sumberdaya lingkungan yang harus dipelihara kualitasnya dan kuantitasnya dan bukan sebagai tempat pembuangan akhir limbah maupun sampah. Upaya memelihara kualitas dan kuantitas sumberdaya air tersebut merupakan bagian dari upaya memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Upaya tersebut disebut pelestarian fungsi lingkungan hidup. Hasil penelitian sistem sanitasi setempat (on-site system) yang telah dilakukan di indonseia dan dikenal dengan pengembangan teknologi tepat guna, pada umumnya merupakan prototipe yang dikembangkan dari model fisik yang nantinya akan dikelola secara individu oleh pemiliknya. Tujuannya adalah untuk mendapatkan teknologi yang mampu mendaur ulang air limbah dan memanfaatkannya untuk berbagai keperluan misalnya sebagai air irigasi taman, pupuk tanaman atau energi dari gas biologi, tetapi mampu dikelola sendiri oleh pemiliknya. Hasil penelitian kebijakan yang ada, meskipun menghasilkan alternatif perencanaan, pada umumnya masih bersifat sektoral dan bersifat makro nasional maupun regional sehingga belum mengakomodasikan kebutuhan otonomi daerah. Penelitian melalui pengembangan model pelestarian fungsi lingkungan perkotaan berbasis Ekosanita-IPLT merupakan penelitian kebijakan yang bersifat spesifik lokasi yaitu untuk kota kecil dan sedang. Penelitian dilakukan terhadap sistem yang dikelola oleh lembaga pengelola daerah yaitu dinas kebersihan dan keindahan kota yang dalam kasus ini adalah dinas setingkat kabupaten, sehingga sesuai untuk menyelesaikan masalah yang kompleks dan berhubungan dengan perkuatan pelaksanaan otonomi daerah. Penelitian pelestarian fungsi lingkungan perkotaan berbasis Ekosanita IPLT, mempertimbangkan aspek ketersediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana lingkungan perkotaan (kesehatan, pendidikan, perumahan, air minum dan sanitasi, fasilitas sosial dan ekonomi). Ketersediaan prasarana dan sarana lingkungan perkotaan tersebut, pada dasarnya merupakan hasil investasi untuk mempertahankan kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan perkotaan. Ketersediaan dan tingkat pemanfaatan atau utilisasi aset perkotaan

60 40 untuk mendukung kehidupan dan penghidupan penduduk perkotaan merupakan ukuran keberhasilan pengelolaan lingkungan perkotaan. Pengembangan alat (sarana) untuk mengukur keberhasilan pengelolaan lingkungan perkotaan yang mempertimbangkan ketersediaan dan utilisasi prasarana dan sarana kesehatan, pendidikan, perumahan, air minum dan sanitasi serta keadaan ekonomi masyarakat dan menggunakan data yang telah tersedia serta dipublikasikan oleh Biro Pusat Statistik di tingkat kabupaten merupakan salah satu kebaruan (novelty) dari penelitian ini. Kompleksitas masalah yang diselesaikan melalui pendekatan komposit dengan menggunakan skala indeks, penggunaan data yang sudah biasa tersedia dan dipublikasikan di tingkat kabupaten serta kesederhanaan perhitungan merupakan unggulan penelitian ini. Pengembangan model sistem dinamis yang mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, budaya serta lingkungan kota sedang dan kecil untuk sarana (alat) bantu dalam merumuskan kebijakan dan strategi perbaikan sistem sanitasi kota sedang dan kecil, merupakan kebaruan (novelty) berikutnya dari penelitian ini. Kompleksitas masalah pengelolaan air limbah rumah tangga termasuk pengelolaan lumpur tinja yang diselesaikan, penggunaan pendekatan sistem dinamis yang memperhitungkan umpan balik dari setiap perubahan alternatif kebijakan serta penggunaan variabel keputusan yang memperhitungkan peningkatan akses penduduk ke fasilitas sanitasi yang diperbaiki (improved) dan berasal dari sumber endogen (sebagian laba dari tarif jasa pelayanan sanitasi secara terjadwal, merupakan keunggulan penelitian ini.

61 Bab III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di kota kecamatan Majalaya yang terletak di DAS Citarum Hulu (Gambar 4). Kab DT II Cianjur Kab DT II Cianjur S. Patenggang Cipeundeuy Cipongkor Gununghalu g Cipatat g Padalarang g Cikalaong Wetan S. Cileunca Kab. DT II Purwakarta Cisarua g g Kota Cimahi Lembang g Kota Bandung Banjaran Baleendah Pangalengan Maribaya Cililin Margahayu g g Dayeuhkolot Soreang Ketatapang g g g Kertasari Kab. DT II Subang Ciparay Paseh Kab. DT II Sumedang Rancaekek g Nagreg MAJALAYA Cikacung g g Ibun Cicalengka U Lokasi Penelitian Kab. DT II Garut Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian Pemilihan lokasi penelitian tersebut didasarkan pada pertimbangan pertimbangan berikut ini. a) Di sekitar kota Majalaya, terdapat (dua) unit Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) yang tidak beroperasi. b) Sekitar 80% pencemaran Sungai Citarum berasal dari DAS Citarum Hulu (PLN 1998). c) Kota kecamatan Majalaya yang berpenduduk jiwa pada tahun 004 adalah kota sedang terpadat penduduknya di Kabupaten Bandung dan juga kota industri terbesar di DAS Citarum Hulu.

62 4 d) Perkembangan perumahan di kawasan sekitar kota Majalaya relatif cepat dan fasilitas pembuangan air limbahnya pada umumnya menggunakan tangki septik. 3. Permasalahan Penelitian Kegiatan penduduk di daerah perkotaan, pada dasarnya akan semakin meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk termasuk perubahan terhadap kondisi sosial ekonomi dan budayanya. Sementara itu, luas lahan dan volume air bersih untuk mendukung kehidupan penduduk perkotaan tersebut tidak berubah. Akibatnya, kepadatan rumah per luas lahan dan pasokan air bersih perkapita semakin menurun dari waktu ke waktu. Oleh karena itu, apabila daya dukung lahan dan daya tampung sumberdaya air tidak dipelihara, maka kerusakan yang ditimbulkannya akan berdampak balik pada kehidupan dan penghidupan penduduk itu sendiri. Tidak berfungsinya IPLT secara optimal bahkan ada yang menganggur, peningkatan beban limbah rumah tangga di perairan, peningkatan pencemaran air oleh limbah rumah tangga, pencemaran sumber-sumber air minum oleh lumpur tinja, peningkatan kasus penyakit diare, peningkatan kasus kematian bayi merupakan indikasi terjadinya degradasi terhadap lingkungan dan menurunnya daya dukung serta daya tampung lingkungan. Kualitas kehidupan dan penghidupan penduduk permukiman perkotaan harus tetap ditingkatkan. Namun, degradasi terhadap sumberdaya lahan dan sumberdaya air harus dapat dihindari. Atas dasar hal tersebut, permasalahan penelitian ini adalah mendapatkan bentuk atau model penyediaan prasarana dan sarana perkotaan, khususnya prasarana pengelolaan air limbah domestik yang mampu memelihara daya dukung dan daya tampung lingkungan perkotaan. Dengan kata lain mendapatkan bentuk atau model pelestarian fungsi lingkungan kota yang selain dapat memperbaiki kinerja pengelolaan lumpur tinja, juga memberi manfaat terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya secara berkelanjutan. Untuk menyelesaikan permasalahan penelitian tersebut, maka pertanyaan-pertanyaan penelitiannya adalah sebagai berikut: a) Bagaimana keadaan pelestarian fungsi lingkungan hidup di kota studi saat ini dan bagaimana dinamika perubahan yang terjadi sebelumnya?

63 43 b) Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pelestarian fungsi lingkungan hidup? c) Bagaimana keadaan pengelolaan air limbah di kota studi saat ini dan faktor apa yang menyebabkan tidak berfungsinya Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) yang ada? Bagaimana memfungsikan kembali IPLT secara berkelanjutan? d) Apakah pelestarian fungsi lingkungan hidup di daerah perkotaan terkait dengan kinerja pengelolaan lumpur tinja? e) Apakah pengelolaan lumpur tinja yang melibatkan masyarakat dan swasta dapat menjamin keberlanjutan pengelolaan IPLT dan meningkatkan pelestarian fungsi lingkungan hidup di daerah perkotaan? f) Dapatkah model Ekosanita-IPLT digunakan sebagai perangkat untuk menghasilkan kebijakan dan strategi dalam rangka mendorong peningkatan pelestarian fungsi lingkungan perkotaan? 3.3 Rancangan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan sistem yang dimulai dengan mencari faktor penting dan membuat model kuantitatif untuk membantu memperoleh jawaban rasional terhadap pertanyaan pertanyaan penelitian. Keadaan pelestarian fungsi lingkungan hidup di kota studi dan perilaku perubahan masa lalu serta faktor penting yang mempengaruhinya akan dikaji dengan menggunakan analisis faktor. Keadaan pengelolaan air limbah kota studi dan faktor faktor penyebab tidak berfungsinya IPLT akan dikaji dengan metoda deskriptif dari hasil observasi lapangan. Upaya memfungsikan kembali IPLT, keterkaitan pelestarian fungsi lingkungan perkotaan dengan kinerja pengelolaan lumpur tinja dan upaya meningkatkan pelestarian fungsi lingkungan perkotaan akan dikaji melalui simulasi terhadap model yang dikembangkan yaitu model pelestarian fungsi lingkungan perkotaan (PFLH) dan model Ekosanita-IPLT. Tabel 4 adalah rangkuman rancangan penelitian yang menjelaskan tujuan, metoda pengumpulan data, variabel yang diamati, metoda analisis data, dan output yang dihasilkan, sedangkan langkah-langkah pelaksanaan penelitian atau operasionalisasi penelitian disajikan pada Gambar 5.

64 44 Tabel 4. Matrik Rangkuman Rancangan Penelitian NO TUJUAN METODA PENGUMPULAN DATA VARIABEL YANG DIAMATI METODA ANALISIS DATA OUTPUT (1) () (3) (4) (5) (6) Mengetahui Kondisi Eksisting pelestarian fungsi lingkungan dan pengelolaan air limbah kota studi Membangun Model PFLH dan EkoSanita IPLT Membandingkan Kondisi Eksisting dg kondisi ideal Simulasi untuk merumuskan Kebijakan Dan Strategi Perbaikan Sistem a. Data sekunder diperoleh dari BPS, b. data primer diperoleh dengan menggunakan kuisiner, c. data kualitas air diperoleh melalui sampling dan analisis laboratorium d. data sistem diperoleh melalui observasi lapangan Kesehatan, Pendidikan, Air minum, Sanitasi, Perumahan, Ekonomi Variabel model (terkendali dan tak terkendali) IPFLH, Limbah di Badan air, Daya Tampung Lingkungan Cakupan Layanan, Efisiensi Angkutan Lumpur Tinja, Kapsitas IPLT, Efisiensi On-site, daerah layanan dan konsumsi air rumah tangga Analisis Faktor, Analisis Stattistik dan Analisis Deskriftif Analisis R, MAD, AME, AVE, KF Analisis komparatif (benchmarking) Analisis skenario hasil simulasi Dinamika pelestarian fungsi lingkungan dan Kinerja Sistem Model PFLH dan Ekosanita IPLT Perbedaan Kinerja Rekomendasi kebijakan dan strategi implementasinya Analisis Kondisi Eksisting Pelestarian Fungsi Lingkungan Tujuan Analisis Tujuan analisis ini adalah untuk memperoleh gambaran tentang dinamika pelestarian fungsi lingkungan hidup di daerah perkotaan. Dinamika pelestarian fungsi lingkungan perkotaan menggambarkan perubahan yang terjadi terhadap upaya memelihara daya dukung dan daya tampung lingkungan yang dalam penelitian ini mencakup (i) perubahan ketersediaan prasarana dan sarana lingkungan kota, dan (ii) perubahan kehidupan dan penghidupan penduduk dari tahun 000 s/d tahun Metoda Pengumpulan Data Mengacu pada matrik rangkuman rancangan penelitian (Tabel 4) dan langkah operasionalisasi penelitian (Gambar 5), maka data primer maupun data sekunder yang dikumpulkan adalah sebagaimana dirangkum pada Tabel 5.

65 45 TINJAUAN PUSTAKA PEMAHAMAN DAN PENGEMBANGAN MODEL IDEAL PENDEKATAN SISTEM a. Analisis kebutuhan b. Rumusan masalah c. Identifikasi Sistem d. Pemodelan Dinamis e. Verifikasi dan Validasi f. Implementasi MULAI MODEL IDEAL SIMULASI MODEL PENGUMPULAN DATA Kunjuungan ke BPS, dan Dinas Terkait, Wawancara, Sampling, Observasi Lapangan ADA GAP? YA ALTERNATIF TINDAKAN DAN SKALA PRIORITAS ANALISIS DATA KONDISI (MODEL) EKISISTING TIDAK REKOMENDASI KEBIJAKAN Analisis Faktor, Analisi Deskriptif, Analisi statistic, Analisis Komparatif (Benchmarking) SELESAI Gambar 5. Penyederhanaan Langkah Operasionalisasi Penelitian Sebagaimana tertera pada Tabel 5, data yang dikumpulkan dibagi ke dalam 6 (enam) kategori data yaitu (i) penduduk dan geografi, (ii) kesehatan, (iii) pendidikan, (iv) air minum dan sanitasi, (v) perumahan, dan (vi) ekonomi. Jumlah keseluruhan data terdiri dari 39 jenis data. Data keadaan lingkungan fisik diperoleh dari Bakosurtanal. Data aspek kesehatan, pendidikan, perumahan, ekonomi, air minum dan sanitasi diperoleh dari BPS tahun 000, 001, 00, 003 dan 004 dan data Suseda tahun 00, 003 dan 004. Selain data sekunder tersebut, dikumpulkan pula data primer dari masyarakat dan hasil kunjungan ke lokasi studi kasus. Data primer dari masyarakat dibagi ke dalam 5 (lima) kelompok pertanyaan yaitu (i) data air

66 minum, (ii) data air buangan, (iii) data pengelolaan sampah, (iv) data drainase, dan (v) data rumah serta pengeluaran keluarga. Jumlah keseluruhan pertanyaan adalah sebanyak 66 pertanyaan. Tabel 5. Daftar Data Yang Dikumpulkan No Sektor & Jenis Data Satuan No Sektor & Jenis Data Satuan (1) () (3) (1) () (3) A 1 Penduduk & Geografi Jumlah Penduduk per kecamatan Jumlah penduduk usia kerja 3 Jumlah Penduduk Bekerja 4 Luas Wilayah Per Kecamatan Orang 1 Orang Orang 3 Jumlah Guru (TK, SD, SLTP, SLTA) Penduduk >10 thn yang bisa baca tulis Jumlah Penduduk dengan ijazah tertinggi >10 thn (SD, SLTP, SLTA, PT) Orang Orang Orang Ha 4 Angka Partisipasi Sekolah Rasio 5 Julah Desa Per Kecamatan Unit Desa D Air Minum & Sanitasi 6 Curah Hujan 1) Mm/thn 5 Jumlah Ledeng Unit 7 Ketinggian 1) m 6 Jumlah PMA Unit 8 Jenis Lereng 1) % 7 Jumlah Sumur Gali + SPT Unit 9 Jenis tanah 1) - 8 Jumlah RT dengan Air Minum komunal & Non Komunal B Kesehatan 9 Jumlah SPAL Unit 10 Jumlah Puskesmas (Pustu Jumlah & Jenis Fasilitas 30 + Keliling) Unit pembuangan tinja Unit 11 Jumlah Klinik Swasta Unit 31 Jumlah Jamban Keluarga Unit 1 Jumlah Posyandu Unit 3 Jumlah Beban Pencemaran ) ton/hari 13 Jumlah Dokter Orang E Perumahan 14 Jumlah Paramedis Orang Jumlah Rumah Sakit Unit Jumlah Tempat tidur Unit Jumlah penderita diare Kasus Jumlah Kasus Penyakit Selain diare Kasus 37 Jumlah Rumah dengan listrik Jumlah Rumah dengan dinding Jumlah Rumah berdasrakan jenis lantai (Plester, tegel, keramik & Tanah) Jumlah KK di rumah tak layak huni Jumlah rumah berdasarkan luas lantai (<0, 0-49, 50-99, , >150 m ) C Pendidikan 38 Kepadatan Rumah Unit/Ha Jumlah Kelas (TK, SD, 19 Unit F Ekonomi SLTP, SLTA) 0 Jumlah Murid (TK, SD, SLTP, SLTA) Orang 39 Sumber: BPS dan Suseda Catatan: 1) Data dari Bakosurtanal ) Data dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung Konsumsi Rata-rata per kapita (Makanan & Non Makanan) Unit Unit Unit Unit Unit Unit 46 Rupiah/ kapita

67 Variabel yang Diamati Variabel data untuk menghitung IKLH, IKPS, IKPP dan IPFLH yang dikembangkan dari data pada Tabel 5 berjumlah 6 (duapuluh enam) variabel (Tabel 6). Tabel 6. Daftar Variabel Yang Digunakan Dalam Analisis Sektor Variabel Input dan proses Variabel Output & Outcome (1) () (3) 1 Dokter/Paramedis Kesehatan Pendidikan Air Minum & Sanitasi Perumahan Ekonomi Masyarakat. Fasilitas Kesehatan 3. Tempat Tidur 4. Guru/Murid 5. Murid/Kelas 6. Angka Partisipasi Sekolah 7. Ledeng/unit rumah 8. TS/Unit Rumah 9. SPAL 10. Jumlah Jamban Keluarga 11. AM Komunal/Non Komunal 1. Rumah tembok 13. Rumah lantai keramik 14. Rumah dengan listrik 15, Rmh dgn lantai > Kepadatan Rumah 17. Pegawai/buruh 18. Konsumsi RT 19. Penduduk usaha sendiri 0. Angka partisipasi bekerja Sumber: BPS, Suseda, Bakosurtanal, DLH Kab Bandung (diolah) Metoda Analisis 1. Pendd berijazah > SMA. Penduduk bisa baca tulis 3. Beban Cemaran 4. KK yang tinggal di rumah tak layak 5. kasus diare 6. Penyakit lain Analisis data sekunder dilakukan untuk memperoleh gambaran komprehensif tentang pelestarian fungsi lingkungan kota Majalaya dan sekitarnya dari sejumlah variabel data yang digunakan (Gambar 6). Analisis data dilakukan untuk menetapkan 3 (tiga) model Indeks yaitu (i) Indeks Ketersediaan Prasarana dan Prasarana Lingkungan (IKPS), (ii) Indeks Kehidupan dan Penghidupan Penduduk (IKPP), dan (iii) Indeks Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup (IPFLH).

68 48 IKLA Indeks Kualitas Lingkungan Alami IKPS Indeks Ketersediaan Prasarana dan Sarana IPFLH IKPP Indeks Kehidupan dan Penghidupan Penduduk Gambar 6. Konsep Dasar Pelestarian Fungsi Lingkungan Perkotaan Indeks tersebut adalah angka komposit dari sejumlah variabel data yang terkait dengan ketiga indeks tersebut. Indeks Ketersediaan Prasarana dan Sarana beserta proses pemanfaatannya menjelaskan besarnya masukan (input) investasi dan upaya pemanfaatannya. Indeks Kehidupan dan Penghidupan Penduduk (IKPP) menjelaskan output (keluaran) dan hasil (outcome) dari investasi dan proses pemanfaatan investasi yang telah dilakukan. Indeks Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup (IPFLH) yang merupakan resultante dari IKPS dan IKPP menjelaskan keseluruhan upaya untuk mempertahankan daya dukung dan daya tampung lingkungan kota dalam rangka mempertahankan kemampuan lingkungan untuk mendukung kehidupan dan penghidupan manusia. Pehitungan Indeks tersebut dilakukan dengan menggunakan model yang koefisiensnya dibangun berdasarkan hasil analisis faktor, analisis taxonomi dan analisis skalogram.

69 Pemodelan Menggunakan Analisis Faktor Model evaluasi kinerja program pengelolaan lingkungan perkotaan yang menggunakan Indeks Pelestarian fungsi Lingkungan Hidup (IPFLH) dan dibangun berdasarkan hasil analisis faktor adalah sebagai berikut: n p Bk IPFLH j = N k Z i= 1 k= 1 λk i j... (3-1) Dimana, IPFLH : Indeks Pelestarian Lingkungan kota/kecamatan ke -j j Z : Bobot faktor variabel ke-i (1,,3... n) untuk kota/kecamatan ke-j ij (1,,3... m). Bobot faktor dan nilai faktor diperoleh dari hasil analisis faktor yang menggunakan SPSS versi 10 N : Nilai Faktor k B : Variabel ke-i terkoreksi (terstandardisasi) untuk kota/kecamatan ke-j k λ : Nilai eigen untuk faktor ke-k (1,,3,...l) k Pemodelan Menggunakan Analisis Taxonomi Model evaluasi kinerja program pengelolaan lingkungan perkotaan yang menggunakan Indeks Pelestarian fungsi Lingkungan Hidup (IPFLH) dan dibangun berdasarkan hasil analisis taxonomi adalah sebagai berikut: 0,5 n IPFLH j = ( Zij Z J ( ideal) )... (3-) i= 1 Z ij = X ij X SD i i Dimana, IPFLH : Indeks Pelestarian Lingkungan kota/kecamatan ke -j j Z : Variabel ke-i terkoreksi (terstandardisasi) untuk kota/kecamatan ke-j ij j(ideal) Z : Variabel ideal terkoreksi (terstandardisasi) untuk kota/kecamatan ke-j mencerminkan sasaran (target) yang ingin dan harus dicapai misalnya kasus penyakit nilainya harus paling kecil (minimum) sedangkan ketersediaan prasarana nilainya harus paling besar (maksimum)..

70 50 X : Variabel ke-i untuk kota/kecamatan ke-j ij X i : Nilai rata rata variabel ke-i, SD : Standar deviasi variabel ke -i i Pemodelan Menggunakan Analisis Skalogram Model evaluasi kinerja program pengelolaan lingkungan perkotaan yang menggunakan Indeks Pelestarian fungsi Lingkungan Hidup (IPFLH) dan dibangun berdasarkan hasil analisis skalogram adalah sebagai berikut: IPFLH j = n i= 1 Z ij... (3-3) Z ij = X ij X SD i(min i) i Dimana, IPFLH : Indeks Pelestarian Lingkungan kota/kecamatan ke -j j Z : Variabel ke-i terkoreksi (terstandardisasi) untuk kota/kecamatan ke-j ij X : Variabel ke-i untuk kota/kecamatan ke-j ij X : Nilai terkecil variabel ke -i i(min) SD : Standar deviasi variabel ke -i i 3.3. Analisis Kondisi Eksisting Pengelolaan Air Limbah Rumah Tangga Tujuan Analisis Analisis kondisi eksisting sistem pengelolaan air limbah rumah tangga (domestik) termasuk sistem pengelolaan lumpur tinja, dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang kesesuaian elemen-elemen sistem dengan standar perencanaan maupun standar hasil operasional sistem Metoda Pengumpulan Data Data untuk analisis kondisi eksising, selain menggunakan data sekunder untuk acuan analisis kondisi pelestarian fungsi lingkungan perkotaan (data sanitasi), dikumpulkan pula data primer dengan cara survey ke lokasi studi. Data

71 51 primer tentang elemen-elemen sistem pengelolaan air limbah kota Majalaya terdiri dari data pewadahan lumpur tinja, transportasi lumpur tinja dan operasionalisasi IPLT termasuk pemeriksaan bakteriologis kualitas air bersih di 15 (lima belas) titik pengambilan. Data primer dikumpulkan dengan menggunakan kuisiner secara random (acak). Kuisioner yang terkumpul kembali berasal dari responden yang mewakili penduduk 4 (empat) kecamatan yaitu kecamatan Kota Majalaya, Kecamatan Ibun, Kecamatan Ciparay dan kecamatan Rancaekek. Penduduk keempat kecamatan tersebut berjumlah jiwa (1 340 KK), sedangkan jumlah sampel (kuisioner) yang dibutuhkan berdasarkan rumus n=n/(nd +1) adalah sampel (dibulatkan 100 sampel). Dengan jumlah kuisioner yang kembali sebanyak 77 responden, maka jumlah sampel yang digunakan lebih besar dari kebutuhan Variabel yang diamati Variabel yang diamati adalah cakupan penduduk yang memperoleh akses ke pelayanan fasilitas sanitasi setempat (Tangki Septik), bangkitan lumpur tinja, konsumsi air bersih yang terkait dengan bangkitan lumpur tinja, fasilitas transportasi lumpur tinja, frekuensi penyedotan dan pengangkutan lumpur tinja dan kinerja pengolahan lumpur tinja di Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT), tarif penyedotan dan pengangkutan lumpur tinja, kesanggupan dan/atau kemauan masyarakat membayar tarif jasa penyedotan lumpur tinja Metoda Analisis Analisis dilakukan sesuai dengan alur prosesnya yang mencakup proses pengumpulan atau pewadahan, proses transportasi air limbah dan lumpur tinja, proses pengolahan air limbah maupun lumpur tinja dan proses pembuangan akhir hasil pengolahan air limbah maupun lumpur tinja. Analisis terhadap proses pengumpulan (pewadahan) lumpur tinja dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai penyebaran dan jumlah tangki septik, frekuensi penyedotan dan biaya penyedotan serta kemampuan masyarakat membayar tarif penyedotan. Analisis terhadap proses transportasi dilakukan untuk memperoleh gambaran mengenai jarak dan waktu tempuh serta ritasinya, organisasi pengelola, jumlah dan kapasitas mobil tinja yang digunakan serta biaya pengangkutan per km atau per m 3 lumpur yang diangkut. Analisis terhadap proses

72 5 pengolahan lumpur tinja diarahkan pada fungsi-fungsi dan kinerja unit proses, organisasi pengelola dan biaya pengolahan per m 3 lumpur tinja. Analisis terhadap proses pembuangan dan/atau pemanfaatan hasil olahan dilakukan untuk mengetahui media lingkungan penerimanya, prakiraan dampak lingkungan dan jenis pemanfaatan yang telah ada serta penerimaan yang diperoleh dari pemanfaatan produk hasil olahan. Analisis dilakukan dengan metoda deskriptif dengan membandingkan unsur-unsur yang dianalisis terhadap kriteria perencanaan yang telah baku. 3.4 Pengembangan Model Ekosanita-IPLT Model yang dibangun atau dikembangkan adalah pelestarian fungsi lingkungan kota (PLFH) berbasis Ekosanita-IPLT. Pengembangan model dilakukan dengan menggunakan pendekatan sistem yang mencakup (i) analisis kebutuhan, (ii) rumusan masalah, (iii) identifikasi sistem, (iv) penyusunan model, (v) kalibrasi dan verifikasi model, dan (vi) implementasi model melalui simulasi untuk mempelajari perilaku sistem Analisis Kebutuhan Dijelaskan pada Bab bahwa analisis ini ditujukan untuk memperoleh gambaran tentang persamaan maupun perbedaan kebutuhan para pihak yang berkepentingan (stakeholder) yang wajib atau bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Upaya-upaya untuk mempertahankan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup beserta berbagai masalah yang dihadapi untuk mencapainya, pada dasarnya merupakan kebutuhan yang wajib diselesaikan. Upaya dimaksud disebut pelestarian (fungsi) lingkungan kota yang dalam penelitian ini disingkat Pelestarian Lingkungan kota. Analisis kebutuhan pada penelitian ini dilakukan secara komprehensif dengan mempertimbangkan semua aspek yang terkait dengan upaya mempertahankan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Namun, aspek pengelolaan lumpur tinja merupakan bagian integral dari pelestarian lingkungan kota. Pendekatan yang digunakan adalah melalui kajian pustaka untuk mengidentifikasi kebutuhan teoritis atau kebutuhan hipotesis masing-masing stakeholder terhadap pelestarian lingkungan (Tabel 7).

73 53 Tabel 7. Analisis Kebutuhan Stakeholder Pada Pelestarian Lingkungan No STAKEHOLDER PRAKIRAAN KEBUTUHAN STAKEHOLDER (1) () (3) A B C D E Masyarakat (Pemilik cubluk, Tangki Septik) Pemerintah Pusat cq. Departemen Teknis Pemerintah Kota/Kabupaten cq Dinas Kebersihan Penyedia jasa penyedotan dan pengangkutan Lumpur tinja. Pengelola WC/MCK Umum 1. Tarif retribusi murah. Sumur air bersih tidak tercemar 1. Masyarakat mengolah kotorannya sebelum dibuang ke media lingkungan.. Tangki septik dikosongkan secara reguler 3. Masyarakat pemiik tangki septik membayar retribusi yang memadai 4. Masyarakat berhemat dalam memakai air 1. Swasta (penyedia jasa penyedot tinja) memanfaatkan IPLT. Masyarakat menyediakan tangki septik yang baik 3. Masyarakat membayar tarif air limbah 1. Ada pembebasan tarif pembuangan lumpur di IPLT. Lumpur tinja dapat disedot setiap hari Penerimaan jasa air limbah dapat ditingkatkan 1. Lingkungan MCK/WC Umum tetap bersih. Dibebaskan dari retribusi pengelolaan air limbah 3.4. Rumusan Masalah Di dalam rangkaian pengembangan model dinamis, rumusan masalah ditujukan untuk mengidentifikasi kebutuhan-kebutuhan yang saling bertentangan dan berpengaruh terhadap upaya peningkatan kinerja pengelolaan lumpur tinja dan pelestarian lingkungan kota. Pada dasarnya, kebutuhan stakeholder tidak selalu sama satu dengan lainnya. Adanya perbedaan kepentingan tersebut merupakan permasalahan yang harus diselesaikan. Permasalahan adalah rincian kebutuhan dari para stakeholder (aktor) yang saling bertentangan dan memerlukan pemecahan. Permasalahan atau perbedaan kepentingan dapat terjadi antara (dua) aktor atau lebih. Permasalahan yang terjadi, pada dasarnya diakibatkan adanya perbedaan persepsi terhadap hak dan tanggung jawab untuk mengelola lingkungan. Tabel 8 merupakan identifikasi permasalahan yang dijabarkan dari hasil analisis kebutuhan.

74 54 Tabel 8. Identifikasi Adanya Perbedaan Kebutuhan (Permasalahan) No Faktor (*) Keterangan 3 (1) () (3) Tarif Jasa penyedotan Tinja Konsumsi Air Rumah Tangga Fasilitas Sanitasi Setempat Kesehatan Masyarakat Penerimaan Retribusi Air Limbah Pengumpulan, pengangkutan Lumpur tinja Pengolahan Air Limbah dan Produk Olahan Masyarakat menghendaki tarif yang semurah-murahnya sedangkan pengelola menghendaki penerimaan tarif yang maksimal. Perbedaan kepentingan ini bepengaruh pada mutu hasil pengolahan air limbah setempat apabila pemeliharaan fasilitasnya tidak memadai. Kuantitas air baku setempat (dari air sumur) yang berkualitas relatif terbatas. Tetapi jumlah penduduk cenderung meningkat sehingga volume air yang dikonsumsi juga meningkat. Hal itu berakibat pada peningkatan volume air limbah yang harus diolah sebelum dialirkan ke media lingkungan. Pemerintah menghendaki agar fasilitas Sanitasi setempat (Tangki Septik atau Cubluk) yang disediakan masyarakat telah memenuhi standar yang ditetapkan sehingga berfungsi optimum. Namun, masyarakat dan juga pengembang menyesuaikan dengan daya yang dapat disediakan. Akibatnya, mutu fasilitas sanitasi bervariasi. Bahkan dalam banyak hal tidak memenuhi standar minimal. Akibatnya, produk olahan fasilitas sanitasi tidak memenuhi syarat dan sumber air baku semakin tercemar. Pemerintah menghendaki agar memanfaatkan lumpur tinja yang higienis, memelihara kesehatan lingkungan dan kualitas air tanah dangkal dari pencemaran air limbah yang berasal dari dapur dan tempat cuci (grey water). Pemerintah juga menghendaki agar kasus kematian Balita dapat ditekan serendah mungkin. Untuk itu diperlukan kontribusi dari masyarakat secara memadai. Namun, pengetahuan Masyarakat tentang hal tersebut relatif terbatas. Hal tersebut dapat dipelajari dari kecenderungannya dalam menyediakan anggaran yang terbatas untuk fasilitas sanitasi. Masyarakat ingin tarif murah atau bahkan gratis, pemerintah ingin agar tarif berbasis cost recovery, artinya harus ada retribusi dengan nilai yang memadai. Retribusi tersebut diperlukan untuk kelancaran pengelolaan lumpur tinja. Pemerintah menghendaki agar pengumpulan dan pengangkutan lumpur tinja dilakukan sendiri. Swasta menghendaki sebaliknya sedangkan masyarakat menginginkan pelayanan yang baik dan murah. Swasta yang menyediakan jasa angkutan, menghendaki agar tidak dipungut biaya retribusi Pengolahan Lumpur Tinja. Tetapi pemerintah atau operator memerlukan biaya Operasi & Pemeliharaan yang memadai untuk memenuhi standar produk olahan. Pengelolaan sumber daya lingkungan di pekarangan rumah, baik yang terlihat di permukaan tanah maupun yang terdapat di dalam tanah tergantung pada pemahaman dan kesadaran pemiliknya. Pemahaman tentang keterbatasan daya

75 55 asimilasi air tanah untuk menerima beban cemaran, terkait pula dengan tingkat pendidikan masyarakat yang memiliki rumah beserta pekarangannya. Sebelum masalah terjadi misalnya kekeringan sumur atau air sumur menjadi bau dan berasa, maka pengambilan air tanah cenderung tanpa batas. Demikian pula pengaliran air limbah ke media lingkungan cenderung tidak dilengkapi dengan fasilitas pengolah air limbah. Sementara itu, hak dan kewajiban masyarakat maupun pemerintah telah diatur dalam undang-undang pengelolaan lingkungan hidup. Di dalam pasal 5 UU-3/1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup, ditegaskan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, termasuk menerima informasi mengenai lingkungan hidup dan perannya dalam pengelolaan lingkungan hidup. Hak-hak masyarakat untuk berperan dan pelaksanaan perannya dalam pengelolaan lingkungan hidup, diatur pula dalam pasal 7 undang-undang pengelolaan lingkungan tersebut. Sebaliknya, di dalam pasal 6 UU-3/1997 ditegaskan mengenai kewajiban setiap orang untuk memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Kewajiban dan kewenangan pemerintah di dalam melaksanakan pengelolaan lingkungan dan mengatur serta menguasai sumber daya lingkungan, masing-masing diatur di dalam pasal 10 dan pasal 8 UU-3/1997 tersebut. Hal tersebut disebabkan adanya perbedaan kepentingan maupun standar kehidupan Identifikasi Sistem. Identifikasi sistem diperlukan sebagai landasan pengembangan model dinamis. Identifikasi sistem didekati dengan metoda input-output dan diagram lingkar sebab akibat (causal-loop) yang menggunakan faktor-faktor permasalahan yang dikembangkan pada Tabel 8. Hasil identifikasi sistem dengan menggunakan metode diagram lingkar sebab-akibat (causal loop) disajikan pada Gambar 7 (skala pelestarian fungsi lingkungan perkotaan) dan Gambar 8 (skala pengelolaan air limbah rumah tangga). Identifikasi sistem skala pengelolaan air limbah rumah tangga dengan menggunakan pendekatan input-output disajikan pada Gambar 9.

76 56 kebijakan pembangunan perumahan dan permukiman Kebijakan pelayanan minima PS Air Minum & Sanitasi - Rumah Tak Sehat + Kebijakan pelayanan Kesehatan PS Perumahan + PS Kesehatan PS Air Minum Dan Sanitasi - - Beban Cemaran + + Penduduk Berobat - - Lingkungan Tak Sehat Kasus Penyakit + - Kebijakan Pelayanan Pendidikan PS Ekonomi Ps Pendidikan + Penduduk Melek Huruf + Penduduk Berijazah + Penduduk Bersekolah Penduduk Bekerja Daya Beli Masyarakat Kebijakan pembangunan prasarana dan sarana perekonomian + + Peluang Bekerja + Gambar 7. Diagram Lingkar Sebab-akibat (Causal loop diagram) Pelestarian Fungsi Lingkungan Perkotaan Diagram lingkar sebab akibat (causal loop diagram) pelestarian fungsi lingkungan perkotaan pada Gambar 7, menjelaskan tentang keterkaitan antara unsur-unsur pelestarian fungsi lingkungan hidup yang terdapat di dalam sistem perkotaan. Variabel-variabel prasarana dan sarana lingkungan kota (PS Kesehatan, PS Pendidikan, PS Perumahan, PS Air Minum dan Sanitasi serta PS Ekonomi) berinteraksi dengan variabel beban cemaran, rumah tak sehat, penduduk berobat, penduduk bersekolah, penduduk bisa baca tulis, penduduk bekerja, daya beli masyarakat, kasus penyakit dan lingkungan tak sehat. Tanda positif menjelaskan keselarasan atau kesamaan (similarity) hubungan sedangkan tanda negatif menjelaskan ketidakselarasan hubungan atau hubungan yang bertentangan (opposite).

77 57 Hubungan antar variabel yang dijelaskan oleh diagram tersebut adalah sebagai berikut: a. Peningkatan prasarana dan sarana air minum dan sanitasi akan mengurangi beban cemaran yang masuk ke media lingkungan (hubungan yang tidak selaras atau negatif). Pengurangan beban cemaran di media lingkungan akan mengurangi areal lingkungan yang tidak sehat (hubungan yang selaras atau positif). Akhirnya, pengurangan areal lingkungan yang tidak sehat akan mengurangi kebutuhan fasilitas air minum dan sanitasi (hubungan yang selaras atau positif). b. Peningkatan prasarana dan sarana air minum dan sanitasi akan mengurangi kebutuhan prasarana dan sarana kesehatan (hubungan yang tidak selaras atau negatif). Peningkatan prasarana dan sarana kesehatan akan menambah jumlah penduduk yang berobat (hubungan yang selaras atau positif) sehingga banyaknya penduduk berobat akan mengurangi kasus penyakit (hubungan yang tidak selaras atau negatif). Akhirnya, berkurangnya kasus penyakit mengindikasikan berkurangnya areal lingkungan yang tidak sehat (hubungan yang selaras atau positif). c. Peningkatan jumlah prasarana dan sarana perumahan yang mengikuti standar minimal akan mengurangi jumlah rumah yang tidak sehat dan bertkurangnya rumah tak sehat akan mengurangi areal lingkungan yang tidak sehat. d. Peningkatan prasarana dan sarana pendidikan akan meningkatkan penduduk yang bersekolah, meningkatkan jumlah penduduk yang memiliki ijazah, meningkatkan jumlah penduduk yang melek huruf dan keduanya akan meningkatkan jumlah penduduk yang bekerja. e. Bertambahnya jumlah penduduk bekerja akan meningkatkan daya beli masyarakat (hubungan selaras) dan mengurangi areal atau kawasan yang tidak sehat (hubungan yang tidak selaras) karena kemampuan memelihara lingkungan meningkat. f. Peningkatan keseluruhan prasarana dan sarana lingkungan perkotaan akan meningkatkan ketersediaan prasarana dan sarana ekonomi sehingga

78 58 peluang bekerja dan penduduk bekerja meningkat yang akhirnya meningkatkan ketersediaan prasarana dan sarana ekonomi. Adanya hubungan yang selaras akan memacu pertumbuhan, sebaliknya hubungan yang tidak selaras akan mengurangi pertumbuhan sehingga terjadi keseimbangan dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Peningkatan prasarana dan sarana air minum dan sanitasi pada sistem pelestarian fungsi lingkungan perkotaan tersebut, pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kinerja pelayanan kepada masyarakat sedemikian sehingga kehidupan dan penghidupan penduduk di daerah perkotaan dapat ditingkatkan. Hubungan pelayanan air minum dengan pelayanan sanitasi juga menghasilkan hubungan yang selaras karena peningkatan konsumsi air minum akan meningkatkan kebutuhan pelayanan sanitasi. Peningkatan pelayanan air minum berarti meningkatkan konsumsi air rumah tangga dan peningkatan konsumsi air rumah tangga akan meningkatkan volume air limbah yang harus dikelola secara baik sebelum dialirkan kembali ke media lingkungan, karena mengandung bahan cemaran. Variabel-variabel pengelolaan air limbah rumah tangga dan sifat hubungannya disajikan dalam Gambar 8. Diagram lingkar sebab akibat (causal loop diagram) pengelolaan air limbah rumah tangga, khususnya pengelolaan lumpur tinja pada Gambar 8 tersebut, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem pelestarian fungsi lingkungan hidup daerah perkotaan. Diagram tersebut menjelaskan tentang keterkaitan antara unsur-unsur pengelolaan lumpur tinja di dalam sistem pelestarian lingkungan kota. Variabel-variabel sosial budaya (penduduk, konsumsi air, pembuangan kotoran dan air limbah, kesehatan dan kematian balita) berinteraksi dengan variabel ekologi (sumber air baku air minum) dalam hal peningkatan beban pencemaran. Variabel teknologi (pengolahan setempat, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan lumpur tinja) menawarkan alternatif untuk mengurangi beban limbah rumah tangga sehingga pencemaran sumber air baku dapat dikendalikan. Variabel sosial ekonomi (pemanfaatan produk pengolahan lumpur tinja, alternatif tarif retribusi dan penerimaan masyarakat) berinteraksi dengan variabel-variabel teknologi dalam hal penentuan kinerja sistem. Seperti diagram pelestarian fungsi lingkungan perkotaan, pada diagram

79 59 pengelolaan lumpur tinja berkelanjutan juga terdapat hubungan-hubungan yang selaras maupun yang tidak selaras. Analisis terhadap hubungan-hubungan tersebut merupakan proses untuk merumuskan upaya peningkatan kinerja pengelolaan lumpur tinja dengan menggali berbagai alternatif intervensi sistem, baik secara struktural maupun fungsional. Kematian Balita - Kesehatan Lingkungan + Penduduk Ketersediaan Sumber Air Kotoran Manusia Konsumsi Air Rumah Tangga Kebijakan Tarif Pengambilan Air Tanah dan Tarif Air Minum + Pemanfaatan Lumpur Tinja Secara Tak Higienis Pemanfaatan Lumpur Tinja Secara Higienis Air Limbah Rumah Tangga + Pembuangan Air Limbah Ke Lingkungan Sistem Stempat (Jamban, TS, Cubluk) + Kualitas Effuent Sistem Setempat Pembuangan Lumpur Tinja ke Lingkungan Standar Konstruksi dan Operasi serta Pemeliharaan + Produk IPLT + Kebijakan Pengangkutan dan pembuangan lumpur tinja + Angkutan Lumpur Tinja + + Pengolahan Lumpur Tinja Kebijakan Investasi IPLT kebijakan Investasi Sarana Angkutan Lumpur Tinja + + Kebijakan Tarif Retribusi Penerimaan Retribusi + + Gambar 8. Diagram Lingkar Sebab Akibat (Causal Loop Diagram) Pengelolaan Lumpur Tinja Berkelanjutan Diagram input-output pengelolaan lumpur tinja berkelanjutan pada Gambar 9 menjelaskan sasaran atau target keluaran (output) untuk menurunkan tingkat pencemaran sumber air baku dan peningkatan kesehatan masyarakat. Untuk mencapai sasaran output tersebut diperlukan input endogen yaitu input terkendali dan input tak terkendali serta input eksogen atau input lingkungan. Input terkendali mencakup (i) konsumsi air rumah tangga, (ii) volume air limbah, (iii) pengolahan setempat, (iv) akumulasi lumpur tinja, (v) pengumpulan dan transportasi lumpur tinja, (vi) pengolahan lumpur tinja termasuk potensi pemanfaatannya, dan (vii) tarif retribusi.

80 60 INPUT TAK TERKENDALI: 1. Penduduk. Penerimaan Masyarakat INPUT TERKENDALI: 1. Konsumsi Air Rumah Tangga. Volume Air Limbah 3. Pengolahan Setempat 4. Akumulasi Lumpur Tinja 5. Pengumulan dan Transportasi Lumpur Tinja 6. Pengolahan Lumpur Tinja 7. Pemanfaatan Produk lumpur tinja 8. Penerimaan Operasi INPUT LINGKUNGAN 1. UU-SDA. PP Pengendalian Pencemaran 3. RPP Air Limbah dan Sampah 4. RTRWK Model Ekosanita IPLT PARAMETER RANCANG BANGUN: 1. Nilai ambang batas Baku Mutu Lingkungan. Kemampuan Masyarakat membayar tarip Retribusi Pengolahan Lumpur Tinja Berkelanjutan OUTPUT YG DIINGINKAN: 1. Penurunan Pencemaran sumber air baku. Peningkatan Kesehatan Masyarakat OUTPUT YANG TIDAK DIINGINKAN: 1. Kasus penyakit diare meningkat. Beban Limbah Rumah Tangga meningkat 3. Kasus pencemaran meningkat Gambar 9. Penyederhanaan Diagram Input-Output Pengolahan Lumpur Tinja Berkelanjutan Input tak terkendali mencakup perkembangan penduduk dan penerimaan masyarakat, sedangkan input lingkungan berupa peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pengelolaan air limbah. Input-input tersebut merupakan peubah sistem untuk melaksanakan fungsi yang dikehendaki, sedangkan parameter rancang bangun merupakan ukuran yang menentukan keberhasilan pengelolaan lumpur tinja yang dilaksanakan Penyusunan Model Sistem Dinamis Sebagaimana dijelaskan pada sub bab identifikasi sistem, pengelolaan lumpur tinja berkelanjutan merupakan bagian dari sistem pelestarian fungsi lingkungan hidup daerah perkotaan. Oleh karena itu, peningkatan kinerja pengelolaan lumpur tinja secara berkelanjutan akan mempengaruhi kinerja pelestarian fungsi lingkungan perkotaan. Atas dasar hal tersebut, model sistem dinamis yang disusun adalah model sistem dinamis untuk pengelolaan lumpur tinja berkelanjutan.

81 Gambaran Kondisi Yang Diinginkan 61 Sebagaimana dijelaskan pada Bab II, kondisi pengelolaan lumpur tinja yang diinginkan adalah mengolah air limbah tanpa menambah beban cemaran baru atau seluruh hasil olahan limbah dapat dimanfaatkan kembali. Hal itu berarti bahwa tidak ada lumpur yang terakumulasi di unit pengolah air limbah setempat yang melampaui batasan volume ruang lumpur yang disediakan. Selain daripada itu, proses pengumpulan dan pengangkutan lumpur tinja dapat berjalan sesuai dengan waktu yang ditetapkan. Akhirnya, lumpur tinja yang diolah di instalasi lumpur tinja dapat menghasilkan produk yang dapat dimanfaatkan kembali misalnya untuk pupuk, energi biogas, pakan ikan dari budidaya air. Apabila proses tersebut berjalan sebagaimana yang diharapkan, maka fungsi tangki septik lebih optimal, sumber daya air tanah dapat dipertahankan kelestariannya, habitat penyakit dapat diperburuk sehingga membatasi penyebaran penyakit yang mempengaruhi kesehatan masyarakat. Hasil identifikasi sistem pelestarian fungsi lingkungan perkotaan dan sistem pengelolaan lumpur tinja berkelanjutan dengan menggunakan diagram lingkar sebab-akibat mengindikasikan bahwa kedua sistem tersebut saling bersinergi untuk mencapai tujuan sistem yaitu kehidupan dan penghidupan penduduk perkotaan yang lebih baik. Hal itu berarti bahwa peningkatan kinerja pengelolaan lumpur tinja akan meningkatkan kinerja pelestarian fungsi lingkungan perkotaan. Meningkatnya kinerja pelestarian fungsi lingkungan berarti meningkatkan upaya memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup. Indikasi tercapainya upaya tersebut, sebagaimana digambarkan dalam diagram input output pengelolaan lumpur tinja berkelanjutan adalah menurunnya pencemaran terhadap sumber air baku air minum dan meningkatnya kesehatan masyarakat. Sebaliknya, peningkatan kasus penyakit, meningkatnya beban limbah rumah tangga yang belum diolah ke badan air permukaan (sungai, danau, situ dll) dan ke dalam air tanah serta meningkatnya kasus pencemaran, merupakan indikasi belum berhasilnya pelestarian fungsi lingkungan hidup daerah perkotaan.

82 Batasan Model 6 Hasil identifikasi sistem menjelaskan mengenai variabel-variabel utama yang membentuk model pelestarian fungsi lingkungan perkotaan pada umumnya dan khususnya pengelolaan air limbah termasuk pengelolaan lumpur tinja berkelanjutan (Model Ekosanita-IPLT). Pertanyaan-pertanyaan yang perlu dijawab dari interaksi variabel-variabel tersebut antara lain adalah (i) apa yang menentukan besaran aliran materi air limbah? (ii) apa yang menentukan besaran materi lumpur tinja? (iii) apa yang menentukan besaran lumpur tinja yang diolah di instalasi pengolahan lumpur tinja (IPLT)? (iv) apa yang menentukan keberlanjutan pengoperasian IPLT? (v) apa komposisi materi yang dapat didaur ulang? (vi) bagaimana mengurangi volume air limbah maupun lumpur tinja yang memasuki badan air tanpa diolah terlebih dahulu? (vii) Bagaimana meningkatkan fraksi materi yang dapat didaur ulang? (viii) bagaimana mengurangi lumpur tinja yang dibuang bebas ke media lingkungan? (ix) bagaimana meningkatkan akses penduduk ke fasilitas sanitasi yang telah diperbaiki (improved) seraya mengurangi volume air limbah yang memasuki perairan? Berdasarkan pertanyaan-pertanyaan tersebut, maka fokus pertama adalah mempelajari dinamika sumber lumpur tinja. Untuk itu, dibuat model pengumpulan, pewadahan, transportasi, pengolahan dan kemungkinan daur ulang lumpur tinja yang telah diolah. Fokus kedua terkait dengan dinamika lingkungan penerima limbah yaitu lingkungan air tanah maupun air permukaan yang berhubungan dengan ketersediaan dan kelayakannya untuk digunakan sebagai sumber air baku air minum. Fokus ketiga adalah dinamika kependudukan dan kesehatan masyarakat. Dengan batasan-batasan tersebut, maka akan ditetapkan variabel-variabel endogenous maupun eksogenous yang mampu menjawab permasalahan penelitian. Variabel-variabel endogenous berhubungan dengan besaran-besaran aspek sosial dan ekonomi serta lingkungan secara menyeluruh. Variabel-variabel seperti volume air limbah yang dibangkitkan dari kegiatan penduduk, pengolahan air limbah dan akumulasi lumpur tinja serta pengumpulan, transportasi dan pengolahannya digunakan sebagai besaran-besaran yang cukup representatif untuk menggambarkan dinamika pola-pola transisi perubahan yang menjadi fokus utama

83 63 dalam penelitian ini. Selain itu, dikaji pula pemanfaatan produk hasil olahan terhadap tarif retribusi air limbah dan akumulasi lumpur tinja serta sumber daya air dan kesehatan masyarakat. Variabel eksogenous selain merepresentasikan besaran-besaran yang tidak dipengaruhi oleh perubahan-perubahan sistem yang dimodelkan, juga merepresentasikan besaran-besaran yang berhubungan dengan kebijakan investasi prasarana dan sarana air limbah. Besaran-besaran variabel eksogenous dimaksud antara lain adalah standar kualitas lingkungan hidup, kebijakan investasi, ketersediaan dana luar negeri untuk keperluan investasi perbaikan sistem maupun pembangunan baru Struktur Model Mengacu pada gambaran kondisi yang diinginkan, maka interaksi antar unsur-unsur yang tertera pada Gambar 3-5 menghasilkan 4 (empat) simpal (loop) positif dan 3 (tiga) simpal negatif. Dalam perspektif berpikir sistem, simpal positif akan menghasilkan suatu perilaku pertumbuhan (growth) atau penurunan dengan cepat, sedangkan simpal negatif akan menghasilkan suatu perilaku pencapaian tujuan (goal seeking) yang merupakan proses penyeimbangan (balancing process). Simpal-1 merepresentasikan peningkatan kotoran manusia yang terkait dengan peningkatan jumlah penduduk sebagai akibat dari peningkatan kesehatan masyarakat dan penurunan kasus kematian balita. Peningkatan kesehatan masyarakat tersebut terkait dengan pengelolaan lumpur tinja yang memadai (penyedotan dan pengangkutan lumpur tinja secara berkala, pengolahan lumpur tinja di IPLT, pemanfaatan lumpur tinja hasil olahan yang higienis). Simpal ini bersifat positif dan merupakan mesin pertumbuhan kotoran manusia. Simpal- dan simpal-3 merepresentasikan peningkatan konsumsi air rumah tangga dan grey water yaitu air limbah yang berasal dari dapur dan kamar mandi serta tempat cuci piring. Peningkatan tersebut berhubungan dengan berfungsinya pengolahan setempat yang mampu mempertahankan daya asimilasi sumber air baku air minum. Kelayakan pemakaian air tanah sebagai sumber air baku air minum akan meningkatkan konsumsi air rumah tangga dan meningkatkan volume grey water. Kelayakan pemakaian air tanah juga akan

84 64 meningkatkan kesehatan masyarakat, menurunkan kasus kematian balita dan meningkatkan jumlah penduduk yang pada akhirnya akan meningkatkan volume air limbah. Simpal ini bersifat positif dan merupakan mesin pertumbuhan volume air limbah rumah tangga. Simpal-4 dan simpal-5 merepresentasikan pengurangan konsumsi air rumah tangga dan volume air limbah yang terkait dengan pembuangan lumpur tinja secara bebas ke media lingkungan. Pembuangan lumpur tinja ke lingkungan akan menimbulkan pencemaran sumber-sumber air baku karena sistem pengolahan setempat tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Hal tersebut berakibat pada peningkatan pencemaran air dan mengurangi kelayakan pemakaian air tanah sebagai sumber air baku air minum. Di sisi lain, pembuangan lumpur tinja secara bebas ke lingkungan hidup memperbesar kemungkinan pemakaian lumpur tinja yang tidak higienis sehingga memperbesar kemungkinan kontak antara manusia dengan bakteri patogen. Hal tersebut menimbulkan dampak negatif pada kesehatan masyarakat dan berpotensi meningkatkan kasus kematian. Pengurangan jumlah penduduk dan kelayakan pemakaian air tanah sebagai air baku air minum akan mengurangi volume air limbah. Simpal ini bersifat negatif karena merupakan proses penyeimbangan volume air limbah yang dibangkitkan dari kegiatan penduduk. Simpal-6 dan simpal-7 merepresentasikan peningkatan penerimaan retribusi pengelolaan lumpur tinja yang diperoleh dari kegiatan penyedotan dan pengangkutan lumpur tinja dan penjualan produk hasil olahan IPLT. Penyedotan dan pengangkutan lumpur tinja secara terjadwal akan menyediakan baku lumpur tinja yang siap diolah di IPLT. Berfungsinya IPLT akan menghasilkan produk olahan yang dapat dimanfaatkan kembali untuk keperluan pertanian dan peternakan. Simpal ini juga bersifat positif dan merupakan sumber pendapatan bagi penyedia jasa angkutan lumpur tinja dan pengelola IPLT. Pola umpan balik positif maupun negatif mengambarkan adanya pertumbuhan bangkitan air limbah domestik maupun lumpur tinja dan pertumbuhan penerimaan retribusi jasa pengelolaan lumpur tinja. Namun, penurunan pengambilan air baku air minum akibat pencemaran air, akan mengurangi pertumbuhan tersebut.

85 3.4.5 Perumusan Model Sistem Dinamis 65 Sebagaimana disebutkan pada bab terdahulu, penyusunan model sistem dinamis difokuskan pada pengelolaan lumpur tinja berkelanjutan. Oleh karena itu, perumusan model sistem dinamis dilakukan terhadap variabel-variabel yang membentuk model sistem pengelolaan lumpur tinja berkelanjutan. Model sistem dinamis pengelolaan lumpur tinja dibagi ke dalam 5 (lima) sub model yang saling berkaitan membentuk model yang utuh. Kelima sub model dimaksud adalah (i) sub model bangkitan dan pewadahan lumpur tinja, (ii) sub model pengangkutan dan pengolahan lumpur tinja, (iii) sub model kinerja instalasi pengolahan lumpur tinja (PILT), (iv) sub model daya tampung lingkungan kota (lingkungan keairan), dan (v) sub model biaya operasional pengelolaan sistem IPLT Sub Model Bangkitan dan Pewadahan Lumpur Tinja Sub model ini ditujukan untuk memperkirakan volume limbah rumah tangga yang dibangkitkan, volume limbah rumah tangga yang memasuki perairan penerima air limbah (sungai, situ, rawa, kolam retensi alami, dll), volume lumpur tinja yang dibangkitkan dan harus dikeluarkan atau dikosongkan dari tangki septik, serta volume air yang berasal dari air limbah yang telah diolah dan dikembalikan ke air tanah. Volume air limbah rumah tangga yang dihasilkan merupakan fungsi dari penduduk, konsumsi air rumah tangga (air minum, air cuci, air mandi, air untuk keperluan sanitasi, air untuk menyiram taman, dll), serta fraksi air yang dibuang terhadap seluruh air yang dikonsumsi tersebut. Gambaran matematis dari pertambahan jumlah penduduk dan volume air limbah yang dibangkitkan dirumuskan pada persamaan 3-4 dan 3-5. ( dpop POP ) POP... (3-4) dimana, t = POP( t 1) + ( t 1) POP t : Jumlah Penduduk (Jiwa) dpop : Pertambahan Jumlah Penduduk (% / tahun) Q LRT = POP KART FLB... (3-5)

86 dimana, 66 Q LRT : Bangkitan Limbah Rumah Tangga (m 3 /hari) POP : Penduduk (Jiwa) KART : Konsumsi Air Rumah Tangga (m 3 /orang/hari) FLB : Fraksi Air Limbah (% KART) Analisis dimensi: 3 3 ( orang ) (( m / orang )/ hari) % = m hari Q LRT = / Sebagian air limbah rumah tangga yang dibangkitkan di daerah perkotaan, pada umumnya dialirkan ke fasilitas sanitasi setempat yaitu tangki septik yang berfungsi mematikan sebagian besar bakteri penyakit dan virus yang keluar dari tubuh manusia dan mengolah sebagian kandungan bahan pencemar yang terdapat dalam air limbah tersebut. Bahan cemaran tersebut umumnya diukur dari kebutuhan oksigen biologis (KOB) dan kebutuhan oksigen kimiawi (KOK). Air limbah yang keluar dari tangki septik dialirkan ke bidang resapan yang berfungsi menurunkan sisa beban cemaran yang keluar dari tangki septik sehingga masih mampu diterima (ditampung) oleh lingkungan penerimanya yaitu air tanah. Di dalam praktek, tidak semua air limbah yang keluar dari tangki septik dapat dialirkan ke bidang resapan atau fasilitas pengolahan lanjutan lainnya, sehingga ada bagian air limbah yang dialirkan ke saluran drainase yang akhirnya memasuki badan air penerima. Gambaran matematis volume air limbah yang masuk tangki septik, air limbah yang keluar dari tangki septik dan diolah di bidang resapan atau fasilitas pengolah lainnya, volume air yang kembali ke air tanah, volume air limbah yang keluar dari tangki septik dan memasuki saluran drainase dirumuskan pada persamaan-persamaan 3-6 sampai dengan persamaan 3-9. Q LTS = POP KART FLB POP _ LYN...(3-6) dimana, Q LTS : Aliran Limbah ke Tangki Septik (m 3 /hari) KART : Konsumsi Rumah Tangga (m 3 /orang/hari) FLB : Fraksi Air Limbah (% KART) POP_LYN : Penduduk dilayani (orang) Q LTS 3 3 ( m /orang )/hari ) (%) = ( m /hari ) = orang orang

87 Q LRT _ BA LRT QLTS + = A...(3-7) ETS _ SAL 67 dimana, Q LRT_BA : Aliran Limbah Rumah Tangga ke Badan Air (m 3 /hari) Q ETS_SAL : Aliran Effluen Tangki Septik ke Saluran (m 3 /hari) Q ETS _ BR = A A...(3-8) ETS ETS _ SAL dimana, Q ETS_BR : Aliran Effluen Tangki Septik ke Bidang Resapan (m 3 /hari) Q ETS : Aliran Effluen Tangki Septik (m 3 /hari) Q ETS_SAL : Aliran Effluen Tangki Septik ke Saluran (m 3 /hari) Q KAT QETS _ BR =...(3-9) Vp dimana, Q KAT : Kambuh Air Tanah (m 3 /mm) Q ETS_BR : Aliran Effluen Tangki Septik ke Bidang Resapan (m 3 /hari) V p 3 ( m hari) ( mm/ hari) : Kecepatan Perkolasi (mm/hari) / 3 ( m mm) Q KAT = = / Air limbah rumah tangga yang dialirkan ke dalam tangki septik, diolah secara biologis menghasilkan lumpur tinja dan berbagai gas seperti gas H S, CO dan CH 4 (methane). Lumpur tinja yang terakumulasi di tangki septik, setelah kurang lebih -3 tahun harus dikuras sedemikian sehingga tangki septik dapat berfungsi normal sebagai unit pengolahan pendahuluan. Akumulasi lumpur tinja selama -3 tahun tersebut untuk memberikan waktu yang cukup untuk mematikan bakteri penyakit dan virus serta telur cacing yang keluar dari tubuh manusia sehingga memperkecil kemungkinan penularan kepada ke orang lain. Gambaran matematis banyaknya lumpur tinja, termasuk air limbah yang dikuras pada saat pengurasan, fraksi rumah terhadap penduduk, fraksi tangki septik terhadap jumlah

88 68 rumah dan kebutuhan tangki septik, dirumuskan pada persamaan 3-10 sampai dengan persamaan ( POP FR FTS Vol. TS ) Q LT =...(3-10) 1095hari TR FR =...(3-11) POP TSTot FT =...(3-1) TR dimana, POP : Populasi (jiwa) FR : Fraksi Rumah (Total Unit Rumah/Total Penduduk) TR : Total Rumah (unit) FT : Fraksi TS (Unit TS/Unit Rumah) TS Tot : Total Tangki Septik (Unit) Vol TS : Volume Tangki Septik (m 3 ) Q LT = 3 ( Jiwa ( Rumah/ Jiwa ) ( UnitTS / UnitRumah) ( m / UnitTS ) 3 = m / hari hari JM QLT 1095 _ TS = [unit]...(3-13) Vol. TS dimana, JM_TS : Jumlah Tangki Septik (unit) Vol TS : Volume Tangki Septik (m 3 /Unit TS) 3 ( m / hari) hari Unit JM _ TS = = 3 m / UnitTS Sub Model Pengangkutan dan Pengolahan Lumpur Tinja Lumpur tinja yang telah dikuras dari tangki septik harus diangkut ke Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) untuk diolah lebih lanjut sebelum hasilnya digunakan kembali untuk pupuk (fraksi padat) dan air irigasi (fraksi air). Dalam praktek, karena alasan yang berhubungan dengan efisiensi pengangkutan, tidak seluruh lumpur tinja yang dibangkitkan dapat diangkut ke IPLT. Gambaran matematis banyaknya lumpur tinja diangkut ke IPLT, banyaknya lumpur tinja yang mungkin masih dibuang ke lingkungan, banyaknya lumpur tinja yang diolah

89 69 dan menghasilkan pupuk atau digunakan sebagai air irigasi untuk menghasilkan pakan ikan, beban cemaran lumpur tinja yang diolah di IPLT, dirumuskan pada persamaan 3-14 sampai dengan persamaan 3-1. Q TR _ LT QLT = F...(3-14) TR _ LT dimana, Q TR_LT : Transportasi Lumpur Tinja (m 3 /hari) Q LT : Bangkitan Lumpur Tinja (m 3 /hari) F TR_LT : Fraksi Transportasi Lumpur (%Q LT ) 3 3 Q = ( m / hari) (%) m hari TR _ LT = / Q LT _ LK = Q Q...(3-15) TR _ LT LT _ OL Q = LT _ OL QIPLT...(3-16) dimana, Q LT_LK : Aliran Lumpur Tinja ke Lingkungan (m 3 /hari) Q IPLT_M5 : Kapasitas IPLT (Modul 5) (m 3 /hari) Q LT_OL : Aliran Lumpur Tinja Diolah (m 3 /hari) Q ( m / hari) ( m / hari) m hari LT _ LK = = / Q LTK = F Q...(3-17) PLT LT _ OL Q LCT = F Q...(3-18) LCT LT _ OL dimana, Q LTK : Aliran Lumpur Tinja Kering (m 3 /hari) Q LCT : Aliran Limbah Cair Terolah (m 3 /hari) F PLT : Fraksi Padat Lumpur Tinja (%) F LCT : Fraksi Cair Lumpur Tinja (%) Q BCM _ IPLT KOB LT = Q...(3-19) LT _ OL dimana, Q BCM_IPLT : Aliran Beban Cemaran Masuk IPLT (Kg/hari) KOB LT : Beban Cemaran Organik (mg/l) Analisis dimensi :

90 Q BCM mg 1000l 1000mg g kg _ IPLT = = = 10 l hari hari hari hari 3 70 JM TTJ QTR _ LT = V Ritasi TTJ...(3-0) dimana, JM TTJ : Jumlah Truk Tinja (Unit ) V Truk : Volume Truk Tinja (m 3 /Unit) Ritasi : Konstanta Analisis dimensi : 3 3 m m JM TTJ = Ritasi = unit hari unit JM IPLT QLT _ OL =... (3-1) Q IPLT M Sub Model Kinerja Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) Di dalam Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT), beban cemaran dikurangi secara bertahap oleh unit-unit instalasi pengolahan yang ada di IPLT. Pengurangan beban cemaran tersebut menggambarkan kinerja masing-masing unit pengolahan dan juga menggambarkan efisiensi IPLT secara keseluruhan. Atas dasar hal tersebut, maka gambaran matematis untuk menghitung kinerja unit-unit IPLT dan sisa beban cemaran yang akan dialirkan kembali ke sungai penerimanya, dirumuskan dalam persamaan 3- sampai dengan persamaan 3-8. KNJ = BV VOL...(3-) BAK_ 1 BAK_1 BAK_1 Q KOB _ 1 = Q KNJ...(3-3) BCM _ IPLT BAK_1 dimana, KNJ BAK_1 : Kinerja Bak 1 (Kg/hari) Bv BAK_1 : Beban Volumetrik Bak 1 (g/m 3.hari) VOL BAK_1 : Volume Bak 1 (m 3 ) Q KOB_1 : Aliran Keluar KOB dari Bak-1 (Kg/hari) Q BCM_IPLT : Aliran Beban Cemaran Masuk IPLT (Kg/hari) Analisis Dimensi :

91 ( g / m. hari) m Kg hari KNJ BAK _ 1 = = / 1000 ( Kg / hari) ( Kg / hari) Kg hari Q KOB = / _ 1 = KNJ = BV VOL...(3-4) BAK_ BAK_ BAK_ Q KOB _ = Q KNJ...(3-5) KOB_1 BAK_ K = BV VOL...(3-6) NJ _ BAK_ 3 BAK_3 BAK_3 Q KOB _ 3 = Q KNJ...(3-7) KOB _ BAK_ 3 QBCM _ IPLT QKOB_3 EF IPLT = 100%...(3-8) Q dimana, BCM _ IPLT EF IPLT : Efisiensi IPLT Sub Model Daya Tampung Lingkungan Kota (Lingkungan Keairan) Sisa beban cemaran dari IPLT maupun sisa cemaran air limbah yang keluar dari tangki septik dan memasuki saluran drainase kemudian masuk ke badan air penerimanya akan merubah konsentrasi beban cemaran yang telah ada (beban awal) di aliran air sungai penerimanya. Sementara itu, kemampuan sungai tersebut menerima sisa beban cemaran dipengaruhi oleh besarnya debit sungai dan kandungan bahan cemaran asal yang telah terbawa dalam aliran sungai. Kemampuan sungai menerima sisa beban cemaran yang masuk disebut daya tampung sungai yang dihitung dengan menggunakan persamaan keseimbangan masa (mass balance) yang menggunakan prinsip pencampuran sempurna (Rau dan Wooten 1980). Gambaran matematis daya tampung sungai penerima hasil olahan lumpur tinja di IPLT dan daya tampung sungai penerima air limbah dari daerah perkotaan dirumuskan pada persamaan 3-9 sampai dengan persamaan 3-35

92 7 A. Sungai penerima hasil olahan IPLT Q...(3-9) HLR 1 = QKOB _ 3 + QKOB _ HLU 1 Q...(3-30) KOB _ HLU 1 = QS HLU 1 KOBHLU 1 DTL...(3-31) = IPLT DTijin 1 QKOB _ HLR 1 dimana, Q KOB_HLU-1 Q KOB_HLR-1 QS HLU DTL IPLT KOB HLU -1 DT ijin-1 : Aliran KOB di Hulu IPLT (sebelum menerima effluen dari IPLT) (Kg/hari) : Aliran KOB di Hilir IPLT (sesudah menerima effluen dari IPLT) (Kg/hari) : Debit sungai di hulu IPLT (sebelum menerima effluen dari IPLT) (m 3 /hari) : Daya Tampung Lingkungan di hilir IPLT (Kg/hari) : Kebutuhan Oksigen Biologis sebelum menerima effluen dari IPLT (mg/l) : Daya Tampung sungai ke-1 penerima hasil olahan IPLT (Kg/hari) B. Sungai penerima buangan air limbah dari kota Q KOB _ HLR = QKOB _ HLU + QKOB_ AB...(3-3) Q...(3-33) KOB _ HLU = QS HLU KOBHLU ( Q KOB ) + ( Q KOB ) + ( Q KOB ) Q KOB _ AB = LRT _ BA LRT ETS _ SAL ETS LT _ LK LT (3-34) dimana, Q KOB_HLU- : Aliran KOB di Hulu Kota (sebelum menerima buangan air limbah kota) (Kg/hari) Q KOB_HLR- : Aliran KOB di Hilir Kota (sesudah menerima buangan air limbah kota) (Kg/hari) KOB HLU - : Kebutuhan Oksigen Biologis sebelum menerima air limbah dari kota (mg/l) KOB LRT : Kebutuhan Oksigen Biologis Limbah Rumah Tangga (mg/l) KOB ETS : Kebutuhan Oksigen Biologis Limbah Effluen dari Tangki Septik (mg/l) KOB LT : Kebutuhan Oksigen Biologis Lumpur Tinja (mg/l) DTL...(3-35) = Kota DTijin QKOB _ HLR dimana, DTL KOTA : Daya Tampung Lingkungan Kota (Kg/hari)

93 Sub Model Biaya Operasional Sistem Pengelolaan Sistem IPLT 73 Pengoperasian dan pemeliharaan sistem pengelolaan lumpur tinja, pada dasarnya memerlukan biaya yang diperoleh dari tarif retribusi jasa pelayanan sanitasi (pengurasan dan pengangkutan lumpur tinja). Biaya operasi dan pemeliharaan sistem diperlukan untuk pengoperasian dan pemeliharaan sarana angkutan lumpur tinja dan juga pengoperasian dan pemeliharaan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT) termasuk biaya penyusutan aset. Laba/rugi operasi dan pemeliharaan, merupakan selisih dari penerimaan dari tarif retribusi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk pengoperasian dan pemeliharaan komponen-komponen sistem. Sebagian dari laba operasional yang diperoleh diasumsikan dapat digunakan kembali untuk investasi dan penambahan jumlah penduduk yang dilayani. Atas dasar hal tersebut, maka gambaran matematis untuk menghitung penerimaan tarif retribusi, pengeluaran operasional, laba/rugi operasional dan tabungan investasi dirumuskan pada persamaan 3-36 sampai dengan persamaan POP _ LYN REV RET = TARIF KK dimana, RET...(3-36) REV RET : Penerimaan Retribusi (Rp) POP_LYN : Penduduk dilayani (orang) TARIF RET : Tarif Retribusi per bulan (Rp) KK : Jumlah Kepala Keluarga (orang) COST dimana, TR _ LT V TR _ LT = TARIF...(3-37) TR _ LT COST TR_LT : Biaya Pengangkutan Lumpur Tinja (Rp) V TR_LT : Volume Lumpur Tinja yang Diangkut (m 3 ) TARIF TR_LT : Tarif Pengangkutan Lumpur Tinja per bulan (Rp/m 3 ) COST = V TARIF...(3-38) PLT dimana, PLT PLT COST PLT : Biaya Pengolahan Lumpur Tinja (Rp)

94 V PLT : VolumeLumpur Tinja yang Diolah (m 3 ) TARIF PLT : Tarif Pengolahan Lumpur Tinja per bulan (Rp/m 3 ) 74 LB/ RG = REV RET COST TOT...(3-39) dimana, LB / RG COST TOT : Laba atau Rugi : Biaya Total Kalibrasi, Verifikasi Dan Validasi Model Model yang dibangun, diuji terlebih dahulu sebelum digunakan sebagai perangkat perumusan kebijakan. Uji model mencakup kalibrasi, verifikasi dan validasi. Kalibrasi dilakukan untuk mengetahui tingkat ketelitian rumusan empiris yang dikembangkan dari data statistik dan digunakan dalam model seperti model pertumbuhan penduduk. Verifikasi dan validasi akan dilakukan terhadap kesesuaian teoritis maupun kestabilan struktur serta konsistensi dimensi variabelvariabel sistem yang telah teridentifikasi. Model pelestarian fungsi lingkungan perkotaan diuji dengan menggunakan galat baku (R ) dan mean absolute deviation (MAD). Model EkoSanita-IPLT diuji dengan menggunakan absolute means error (AME), absolute variation error (AVE) dan kalman filter (KF). AME menjelaskan penyimpangan antara nilai rata rata simulasi terhadap aktual, sedangkan AVE menjelaskan penyimpangan nilai variasi simulasi terhadap aktual. KF menjelaskan kesesuaian (fitting) antara simulasi terhadap aktual. Batas penyimpangan yang dapat diterima untuk AME dan AVE adalah 5-10%, sedangkan batas yang diijinkan adalah < 0.5 (Aminullah dkk 001). Uji model yang dibangun dengan menggunakan sistem dinamis, selain diuji kesesuaian teoritisnya juga dilakukan uji kestabilan struktur dan konsistensi dimensi variabelvariabel sistem yang telah teridentifikasi. Konsistensi dimensi atau satuan-satuan yang digunakan untuk mengukur besaran-besaran variabel, dilakukan terhadap variabel-variabel sosial, ekonomi dan ekologi serta kombinasi-kombinasinya.

95 3.4.7 Implementasi Model Dan Analisis Kebijakan 75 Implementasi atau aplikasi model dinamis digunakan sebagai acuan analisis kebijakan. Tahapan ini merupakan tahapan untuk mempelajari secara lebih mendetail tentang alternatif-alternatif tindakan kebijakan dalam rangka menyelesaikan suatu masalah. Analisis kebijakan dilakukan untuk menghasilkan berbagai alternatif tentang upaya peningkatan kinerja pengelolaan lumpur tinja yang mampu meningkatkan intensitas pelestarian lingkungan kota. Untuk mencapai tujuan tersebut, akan dilakukan simulasi dinamis dan mempelajari respons dan perilaku model sistem Ekosanita-IPLT terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Perilaku dinamis akan dipelajari dari perubahan-perubahan terhadap variabel-variabel kebijakan yang dalam penelitian ini terdiri dari (i) cakupan pelayanan, (ii) jadwal pengangkutan lumpur tinja, (iii) konsumsi air rumah tangga, (iv) daerah pelayanan IPLT, (v) tarif retribusi, (vi) perbaikan teknologi sanitasi yang ada, dan (vii) kombinasi variabel-variabel kebijakan tersebut. Sementara itu, variabel keputusan yang digunakan dalam analisis adalah (i) volume air limbah maupun lumpur tinja yang memasuki badan air, (ii) daya tampung sungai penerima air limbah yang belum dan sudah diolah, (iii) tambahan penduduk dilayani dari investasi baru yang menggunakan sebagian perolehan laba operasional. Simulasi akan dilakukan dengan melakukan intervensi yang bersifat struktural maupun fungsional terhadap jalannya sistem. Intervensi struktural dilakukan untuk mempengaruhi mekanisme interaksi pada sistem sedangkan intervensi fungsional dilakukan untuk mempengaruhi unsur-unsur dalam sistem. Intervensi struktural yang akan dipelajari antara lain adalah (i) kemungkinan pengumpulan dan pengangkutan lumpur tinja secara terjadwal, (ii) pemberlakuan tarif bulanan, (iii) pengelolaan jasa penyedotan, dan pengangkutan lumpur tinja serta IPLT oleh swasta. Kemungkinan pembagian peran pengelolaan lumpur tinja oleh masyarakat, operator pemerintah atau swasta akan dipelajari pula termasuk pengaruh-pengaruhnya terhadap peningkatan kinerja sistem pengelolaan lumpur tinja yang dihasilkan. Alternatif kebijakan yang

96 76 dikembangkan dari intervensi-intervensi struktural tersebut akan dikaji kelayakannya terhadap kemampuan masyarakat membayar tarif retribusi air limbah. Intervensi struktural lainnya yang akan dipelajari adalah kemungkinan pengurangan volume lumpur tinja dan grey water di sumbernya. Pengurangan volume lumpur tinja di sumbernya dapat dilakukan apabila kotoran manusia ditampung di komposter sehingga mengurangi volume lumpur tinja yang terakumulasi di tangki septik. Pengurangan volume grey water dapat dilakukan apabila konsumsi air minum rumah tangga dapat dikendalikan. Misalnya melalui peningkatan penyediaan air minum dari PDAM ditingkatkan sehingga penyediaan air melalui sumur pribadi dapat berkurang. Sejalan dengan hal tersebut akan dikaji pula kemungkinan pemberlakuan kebijakan tarif progresif yang ditujukan untuk mengendalikan pemakaian air yang berlebihan oleh konsumennya. Intervensi fungsional yang akan dipelajari adalah kemungkinan perbaikan fasilitas sanitasi setempat misalnya perbaikan konstruksi jamban, cubluk, pengadaan tangki septik komunal, perbaikan IPLT dan fasilitas pengumpul dan pengangkut lumpur tinja. Alternatif peningkatan kinerja sistem yang dipelajari dari analisis kebijakan merupakan hasil dari satu atau kombinasi-kombinasi intervensi-intervensi tersebut. Kelayakan dan dapat diterimanya alternatif kebijakan yang dihasilkan akan dikaji pula berdasarkan kemampuan pemerintah menyediakan anggaran pembangunan dan kesiapan masyarakat menerima perubahan-perubahan yang ditawarkan.

97 Bab IV KEADAAN LINGKUNGAN DAERAH PENELITIAN 4.1 Pembagian Wilayah Kajian Pembagian wilayah kajian, ditujukan untuk memperoleh gambaran tentang tingkat pelestarian fungsi lingkungan hidup antara kota Majalaya dengan kecamatan kota lainnya yang termasuk ke dalam wilayah penelitian. Pada penelitian ini daerah penelitian dibagi ke dalam 3 (tiga) skala wilayah kajian (Gambar 10) yaitu (i) kota Majalaya, (ii) daerah pelayanan IPLT dikurangi Majalaya yang terdiri dari kecamatan Ibun, kecamatan Paseh, kecamatan Pacet, kecamatan Ciparay dan kecamatan Rancaekek, dan (iii) kabupaten Bandung dikurangi kota-kota kecamatan yang terletak di dalam daerah pelayanan IPLT. Gambar 10. Pembagian Wilayah Kajian Atas dasar hal tersebut, maka pelestarian fungsi lingkungan kota Majalaya dibandingkan dengan rata-rata 5 (lima) kecamatan di daerah pelayanan IPLT dan

98 78 dengan rata-rata 39 (tiga puluh sembilan) kecamatan lainnya di kabupaten Bandung. 4. Keadaan Lingkungan fisik Keadaan lingkungan fisik daerah penelitian dikaji dari aspek (i) luas wilayah administratif, (ii) curah hujan, (iii) kelas lereng, (iv) ketinggian dan (v) jenis tanah. Tabel 9 merangkum keadaan daerah penelitian yang ditinjau dari keempat aspek tersebut. Tabel 9. Keadaan Lingkungan Fisik Daerah Penelitian No Indikator Lingkungan Fisik Majalaya Daerah Pelayanan IPLT Kabupaten Bandung (1) () (3) (4) (5) 1 Luas wilayah administratif kecamatan (Ha) Curah Hujan (mm/tahun) Kelas Lereng (%) 3-8% 15-5% 15-5% 4 Ketinggian (m dpl) m m m 5 Jenis Tanah Asosiasi andosol Latosol coklat coklat dan dan kemerahan* regosol Latosol * Dominan kedua setelah jenis aluvial Luas wilayah kota Majalaya relatif kecil bila dibandingkan dengan luas rata-rata kecamatan di dalam daerah pelayanan IPLT maupun kabupaten Bandung. Curah hujan relatif tinggi meskipun lebih rendah bila dibandingkan dengan kecamatan yang berada di dataran tinggi daerah pelayanan IPLT seperti kecamatan Ibun dan kecamatan Pacet. Ketinggian lokasi dan kelas kelerengan kota Majalaya lebih rendah bila dibandingkan dengan kecamatan yang terletak di dataran tinggi daerah pelayanan IPLT. Sementara itu, jenis tanah di lokasi kota Majalaya (latosol coklat) termasuk jenis tanah yang tingkat permeabilitasnya termasuk kategori lambat sampai sedang atau mempunyai kemampuan yang lebih tinggi untuk meresapkan air ke dalam tanah (Darsihardjo 004). Hal itu berarti bahwa volume aliran permukaan di wilayah kota Majalaya relatif tinggi, tetapi pengalirannya relatif lebih lambat dari daerah di hulunya. Dengan demikian, wilayah kota Majalaya mempunyai kemampuan untuk memurnikan air limbah secara alami (daya tampung) yang lebih rendah bila dibandingkan dengan daerah hulunya. Namun,

99 apabila ditinjau dari aspek pengisian kembali air tanah, kemampuannya lebih tinggi bila dibandingkan dengan daerah hulunya. 4.3 Kependudukan Kependudukan, memberi gambaran tentang banyaknya manusia yang harus didukung kehidupan dan penghidupannya oleh sumber daya lingkungan yang ada di suatu wilayah. Keadaan kependudukan di daerah penelitian dari tahun 000 sampai dengan tahun 004 dirangkum pada Tabel 10. Tabel 10. Keadaan Kependudukan Daerah Penelitian ( ) No Uraian Satuan (1) () (3) (4) (5) (6) (7) (8) 1 3 Majalaya a.jumlah penduduk Orang b.penduduk usia sekolah Orang ND ND c.penduduk usia bekerja Orang ND ND Daerah Pelayanan IPLT a.jumlah penduduk Orang b.penduduk usia sekolah Orang ND ND c.penduduk usia bekerja Orang ND ND Kabupaten Bandung a.jumlah penduduk Orang b.penduduk usia sekolah Orang ND ND c.penduduk usia bekerja Orang ND ND Sumber : BPS dan Suseda Penduduk kota Majalaya pada tahun 004 mencapai 0.57% dari penduduk daerah pelayanan IPLT dan 3.41% dari penduduk kecamatan lain di kabupaten Bandung. Pertumbuhan penduduk kota Majalaya secara aritmatik diperhitungkan sebesar.11% per tahun, sedangkan pertumbuhan penduduk di daerah pelayanan IPLT dan kabupaten Bandung masing-masing sebesar 1.95% dan.34% per tahun. Pertumbuhan penduduk kota Majalaya lebih besar daripada rata-rata daerah pelayanan IPLT, tetapi lebih kecil daripada rata-rata kabupaten Bandung. Hal tersebut mengindikasikan bahwa upaya pelestarian lingkungan kota Majalaya harus lebih besar daripada 5 (lima) kecamatan lainnya yang terletak di daerah pelayanan IPLT. Rasio penduduk usia sekolah dan penduduk usia bekerja terhadap total penduduk kota Majalaya pada tahun 004 adalah 65.83% dan 78.87%. Sementara 79

100 80 itu, rasio penduduk usia sekolah dan penduduk usia bekerja di daerah pelayanan IPLT adalah 63.61% dan 77.94% sedangkan di kabupaten Bandung adalah 63.34% dan 79.84%. Rasio penduduk usia sekolah di kota Majalaya lebih besar daripada kedua kawasan lainnya. Rasio penduduk bekerja di kota Majalaya juga lebih besar daripada daerah pelayanan IPLT, tetapi lebih kecil daripada kabupaten Bandung. Hal itu mengindikasikan bahwa dukungan prasarana dan sarana pendidikan untuk kota Majalaya harus lebih besar daripada kedua skala kawasan lainnya. Kota Majalaya juga memerlukan dukungan prasarana ekonomi yang lebih besar daripada 5 (lima) kecamatan lainnya di daerah pelayanan IPLT. 4.4 Ketersediaan Prasarana dan Sarana Pelestarian Fungsi Lingkungan Perkotaan Ketersediaan prasarana dan sarana di suatu kawasan kota tertentu memberi gambaran tentang kemampuan kota dalam mendukung kehidupan dan penghidupan penduduk yang tinggal di kota itu. Semakin tersedia prasarana dan sarana di suatu kota, maka semakin besar kemampuannya mendukung kehidupan dan penghidupan penduduk yang tinggal di kota itu. Prasarana dan sarana lingkungan permukiman kota terdiri dari prasarana dan sarana (i) kesehatan, (ii) pendidikan, (iii) rumah atau hunian beserta fasilitas dan utilitasnya, (iv) air minum dan sanitasi Prasarana dan Sarana Kesehatan Ketersediaan prasarana dan sarana kesehatan dikaji dari pelayanan (i) dokter dan paramedis, (ii) fasilitas kesehatan yaitu puskesmas, puskesmas pembantu dan puskesmas keliling, (iii) fasilitas tempat tidur untuk rawat inap. Ketersediaan prasarana dan sarana kesehatan di wilayah penelitian tahun dirangkum pada Tabel Pada tahun 004 kota Majalaya telah dilayani oleh 3.75 dokter dan paramedis per penduduk serta 1.7 fasilitas kesehatan per penduduk dan 9.0 tempat tidur per penduduk. Pelayanan dokter dan paramedis di Kota Majalaya lebih besar daripada daerah pelayanan IPLT, tetapi lebih kecil daripada pelayanan kabupaten Bandung. Sebaliknya, pelayanan fasilitas

101 kesehatan kota Majalaya lebih kecil daripada daerah pelayanan IPLT dan lebih besar daripada kabupaten Bandung. Tabel 11. Keadaan Prasarana dan Sarana Kesehatan ( ) No Uraian Satuan (1) () (3) (4) (5) (6) (7) (8) Majalaya a. dokter-paramedis Org/ jiwa b. fasilitas kesehatan Unit/1 000 jiwa c. tempat tidur Unit/1 000 jiwa ND Daerah Pelayanan IPLT a. dokter-paramedis Org/ jiwa b. fasilitas kesehatan Unit/1 000 jiwa , c. tempat tidur Unit/1 000 jiwa ND Kabupaten Bandung a. dokter-paramedis Org/ jiwa b. fasilitas kesehatan Unit/1 000 jiwa c. tempat tidur Unit/1 000 jiwa ND Sumber: BPS, diolah Hal ini mengindikasikan bahwa distribusi dokter dan paramedis tidak seimbang dengan distribusi fasilitas pelayanan kesehatan. Pelayanan fasilitas tempat tidur untuk rawat inap di kota Majalaya lebih besar daripada kedua daerah lainnya. Hal itu mengindikasikan bahwa kapasitas fasilitas Rumah Sakit di kota Majalaya melampaui kebutuhan kota Majalaya itu sendiri Prasarana dan Sarana Pendidikan Ketersediaan prasarana dan sarana pendidikan dikaji dari (i) rasio guru dan murid, dan (ii) rasio murid dan ruang kelas. Ketersediaan prasarana dan sarana pendidikan di daerah penelitian dirangkum pada Tabel 1. Pelayanan guru relatif merata dan relatif tidak berubah pada lima tahun terakhir yaitu sekitar 100 murid dilayani oleh 4 (empat) guru atau setiap guru melayani 5 (dua puluh lima) murid. Pelayanan ruang kelas bervariasi dalam lima tahun terakhir di ketiga skala kawasan yang dikaji. Utilisasi ruang kelas di kota Majalaya lebih besar daripada di kedua skala kawasan lainnya. Hal tersebut mengindikasikan bahwa penggunaan ruang kelas di kota Majalaya lebih padat dibandingkan di kedua skala wilayah studi lainnya atau kurang ideal untuk melaksanakan proses pembelajaran. 81

102 Tabel 1. Keadaan Prasarana dan Sarana Pendidikan ( ) 8 No Uraian Satuan (1) () (3) (4) (5) (6) (7) (8) Majalaya a. Guru/murid Rasio b. murid/kelas Rasio Daerah Pelayanan IPLT a. Guru/murid Rasio b. murid/kelas Rasio Kabupaten Bandung a. Guru/murid Rasio b. murid/kelas Rasio Sumber : BPS (d iolah) Prasarana dan Sarana Air Minum & Sanitasi Ketersediaan prasarana dan sarana Air Minum dan Sanitasi dikaji dari (i) presentase penduduk yang mendapat akses ke PDAM, (ii) proporsi keberadaan tangki septik terhadap jumlah rumah, (iii) proporsi Sarana Pengelolaan Air Limbah (SPAL) terhadap total prasarana sanitasi, dan (iv) presentase cakupan pelayanan jamban keluarga (Jaga). Ketersediaan prasarana dan sarana air minum dan sanitasi di daerah penelitian, dirangkum pada Tabel 13. Pada tahun 004, proporsi penduduk kota Majalaya yang mendapat akses pelayanan PDAM adalah sebesar 8.60%. Angka tersebut lebih kecil daripada angka nasional tahun 00 yang mencapai 39% dari penduduk perkotaan (Kimpraswil-UN Habitat 003). Namun, pelayanan PDAM kota Majalaya masih lebih tinggi daripada di daerah pelayanan IPLT dan di kabupaten Bandung. Dari cara memperoleh air PDAM, penduduk kota Majalaya yang memperoleh air PDAM secara bersama (komunal) lebih sedikit bila dibandingkan dengan penduduk di daerah pelayanan IPLT maupun di kabupaten Bandung atau lebih banyak yang memperolehnya secara individu (non komunal). Hal itu mengindikasikan bahwa daya dukung prasarana air PDAM kota Majalaya lebih tinggi daripada daerah lainnya. Berbeda dengan pelayanan PDAM, pelayanan sanitasi kota Majalaya lebih rendah bila dibandingkan dengan kecamatan lain di daerah pelayanan IPLT maupun di skala kabupaten Bandung.

103 83 Tabel 13. Prasarana dan Sarana Air Minum dan Sanitasi ( ) No Uraian Satuan (1) () (3) (4) (5) (6) (7) (8) 1 3 Majalaya a. Ledeng % total ND b. Tangki Septik Unit/total rumah ND ND c. SPAL Unit/total sarana ND ND 0.17 d. AM Komunal/Non Komunal Rasio ND ND e. Jamban Keluarga % total Daerah Pelayanan IPLT a. Ledeng % total ND b. Tangki Septik Unit/total rumah ND ND c. SPAL Unit/total sarana d. AM Komunal/Non Komunal Rasio ND ND e. Jamban Keluarga % total Kabupaten Bandung a. Ledeng % total ND b. Tangki Septik Unit/total rumah ND ND c. SPAL Unit/total sarana d. AM Komunal/Non Komunal Rasio ND ND e. Jamban Keluarga % total Sumber : BPS dan Suseda (diolah) Proporsi penduduk kota Majalaya yang memperoleh akses ke pelayanan sanitasi yang telah diperbaiki (improved) adalah tangki septik 0%, SPAL 17% dan jamban keluarga 49.7%. Sementara itu, di daerah pelayanan IPLT, akses ke tangki septik 38%, SPAL 8% dan jamban keluarga 5.91%. Pada skala kabupaten Bandung, akses ke tangki septik 48%, SPAL 7% dan jamban keluarga 51.3%. Hal itu mengindikasikan bahwa daya dukung prasarana dan sarana sanitasi di kota Majalaya lebih rendah bila dibandingkan rata-rata daerah pelayanan IPLT maupun rata-rata di kabupaten Bandung. Keadaan sanitasi kota Majalaya tersebut berpotensi mencemari sumber air minum penduduk, terutama yang berasal dari sumur gali maupun sumur pipa yang menggunakan pompa tangan maupun pompa listrik. Berdasarkan hasil pemeriksaan kualitas air sumur penduduk di 15 (limabelas) lokasi menyimpulkan bahwa 73.33% sumber air penduduk kota Majalaya telah tercemar lumpur tinja. Jumlah bakteri koli di 10 lokasi mencapai bakteri koli (total coliform)/100ml dan jumlah koli tinja berkisar antara

104 84-49 koli tinja (faecal coliform)/100ml. Syarat maksimum yang diperbolehkan untuk air bersih adalah 50 total coliform/100ml atau 0 koli tinja (faecal coli)/100ml (PerMenKes 1990). Hal itu berarti bahwa fasilitas sanitasi kota Majalaya belum terpelihara secara memadai sehingga limbah rumah tangga diperkirakan telah mencemari sumber air penduduk. Penyediaan prasarana dan sarana sanitasi, pada dasarnya terkait dengan banyaknya air limbah rumah tangga yang dibangkitkan. Banyaknya air limbah rumah tangga terkait erat dengan konsumsi air minum rumah tangga Dari hasil analisis data primer terhadap konsumsi air minum menyimpulkan bahwa konsumsi rata-rata air minum kota Majalaya adalah liter/orang/hari, sedangkan angka maksimum dan minimumnya adalah 356 liter/orang/hari dan liter/orang/hari. Hal itu berarti bahwa volume bangkitan air limbah kota Majalaya pada tahun 005 adalah 80% x liter/orang/hari x ( ) jiwa = m 3 /hari Prasarana dan Sarana Perumahan Ketersediaan dan keadaan prasarana dan sarana perumahan dikaji dari banyaknya rumah (i) berdinding tembok, (ii) berlantai keramik, (iii) berfasilitas listrik, dan (iv) berukuran luas lantai > 45 m, serta (v) kepadatannya dalam suatu kawasan. Secara umum, rumah penduduk di daerah penelitian relatif baik karena lebih dari 67% berdinding tembok, lebih dari 97% berlantai keramik dan 97% berfasilitas listrik. Namun, dari ketiga aspek tersebut, kota Majalaya masih lebih baik bila dibandingkan dengan kecamatan lain di daerah pelayanan IPLT maupun di kabupaten Bandung. Ditinjau dari keberadaan rumah yang memiliki luas lantai > 45 m, di kota Majalaya jumlahnya lebih sedikit bila dibandingkan dengan kecamatan lain di daerah pelayanan IPLT maupun kabupaten Bandung. Namun demikian, kepadatan rumah di kota Majalaya lebih tinggi bila dibandingkan kecamatan lain di daerah pelayanan IPLT maupun di kabupaten Bandung. Ditinjau dari angka perubahannya selama 3 (tiga) tahun, rumah tembok di kota Majalaya cenderung bertambah, rumah berlantai keramik cenderung berkurang dan rumah berfasilitas listrik relatif tetap, tetapi rumah dengan luas lantai > 45 m cenderung turun.

105 85 Sementara itu kepadatan rumah cenderung meningkat. Hal itu mengindikasikan bahwa tipe rumah yang dibangun di kota Majalaya adalah rumah tipe lebih kecil dengan ukuran luas < 45 m. Ketersediaan dan keadaan prasarana dan sarana perumahan dari tahun dirangkum pada Tabel 14. Tabel 14. Keadaan Prasarana dan Sarana Rumah ( ) No Uraian Satuan (1) () (3) (6) (7) (8) 1 3 Majalaya a. Rumah tembok unit/total rumah b. Rumah lantai keramik unit/total rumah c. Rumah dengan listrik (PLN+Non PLN) unit/total rumah d. Rmh dgn lantai > 45 unit/total rumah e. Kepadatan Rumah unit/ha Daerah Pelayanan IPLT a. Rumah tembok unit/total rumah b. Rumah lantai keramik unit/total rumah c. Rumah dengan listrik (PLN+Non PLN) unit/total rumah d. Rmh dgn lantai > 45 unit/total rumah e. Kepadatan Rumah unit/ha Kabupaten Bandung a. Rumah tembok unit/total rumah b. Rumah lantai keramik unit/total rumah c. Rumah dengan listrik (PLN+Non PLN) unit/total rumah d. Rmh dgn lantai > 45 unit/total rumah e. Kepadatan Rumah unit/ha Sumber : Suseda, (diolah) Pada skala daerah pelayanan IPLT, rumah tembok relatif tidak berubah, rumah berlantai keramik cenderung turun, rumah berfasilitas listrik relatif tetap, rumah dengan luas lantai > 45 m dan kepadatan rumah cenderung bertambah. Pada skala kabupaten Bandung, rumah tembok cenderung turun tetapi rumah berlantai keramik cenderung bertambah. Rumah berfasilitas listrik dan rumah dengan luas lantai > 45 m serta kepadatan rumah cenderung bertambah, Dinamika perubahan fasilitas rumah di ketiga kategori wilayah tersebut mengindikasikan terjadinya pergeseran pembangunan rumah dengan luas lantai > 45 m keluar kota Majalaya.

106 Keadaan Sosial Ekonomi Keadaan sosial ekonomi di suatu kawasan kota tertentu memberi gambaran tentang tingkat kehidupan dan penghidupan penduduk kota setelah menerima dan memanfaatkan prasarana dan sarana kota yang tersedia dan/atau disediakan oleh masyarakat bersama-sama pemerintah kota yang bersangkutan. Semakin baik tingkat kehidupan dan penghidupan penduduk suatu kota, memberi indikasi tingkat pemanfaatan dan kemanfaatan prasarana dan sarana kota yang bersangkutan. Selain itu, penduduk yang berkehidupan dan penghidupan lebih tinggi akan lebih kuat dalam menghadapi berbagai dampak lingkungan Keadaan Kesehatan Masyarakat Keadaan kesehatan masyarakat dikaji dari (i) banyaknya kasus penyakit diare, dan (ii) kasus penyakit lain selain penyakit diare. Ketersediaan dan keadaan kesehatan masyarakat tahun dirangkum pada Tabel 15. Tabel 15. Keadaan Kesehatan Masyarakat (00-004) 1 3 No Uraian Satuan (1) () (3) (6) (7) (8) Majalaya a. Kasus Diare Kasus/1 000 penduduk b. Kasus Penyakit lain Kasus/1 000 penduduk Daerah Pelayanan IPLT a. Kasus Diare Kasus/1 000 penduduk b. Kasus Penyakit lain Kasus/1 000 penduduk Kabupaten. Bandung a. Kasus Diare Kasus/1 000 penduduk b. Kasus Penyakit lain Kasus/1 000 penduduk Sumber : Suseda, (diolah) Kasus penyakit diare di kota Majalaya pada tahun 00 tercatat sebanyak kasus per penduduk. Tetapi pada tahun 003 meningkat menjadi 31.8 kasus dan menurun kembali pada tahun 004 menjadi 8.05 kasus per penduduk. Kecuali pada tahun 003, jumlah kasus penyakit diare di kota Majalaya lebih kecil bila dibandingkan dengan rata-rata kecamatan lain di daerah pelayanan IPLT. Pada tahun 00 dan 003, jumlah kasus penyakit diare di kota

107 87 Majalaya lebih tinggi, tetapi pada tahun 004 lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata kecamatan lain di kabupaten Bandung. Kecenderungan yang sama terjadi pula pada kasus penyakit lain selain penyakit diare. Pada tahun 00 di kota Majalaya tercatat sebanyak kasus per penduduk. Jumlah tersebut meningkat menjadi kasus pada tahun 003 dan menurun menjadi pada tahun 004. kecuali pada tahun 003, jumlah kasus penyakit di kota Majalaya lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata kecamatan lain di daerah pelayanan IPLT. Pada tahun 00 dan tahun 003, kasus penyakit lain di kota Majalaya lebih tinggi, tetapi pada tahun 004 lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata kecamatan lain di kabupaten Bandung. Hal itu mengindikasikan bahwa tingkat kesehatan penduduk kota Majalaya lebih baik bila dibandingkan dengan kecamatan lainnya Pendidikan Masyarakat Keadaan pendidikan penduduk daerah penelitian dikaji dari aspek (i) banyaknya penduduk yang memliliki ijazah, (ii) angka partisipasi sekolah, dan (iii) banyaknya penduduk yang melek huruf. Keadaan pendidikan penduduk wilayah penelitian dirangkum pada Tabel 16. Tabel 16. Keadaan Pendidikan Masyarakat ( ) No Uraian Satuan (1) () (3) (4) (5) (6) 1 3 Majalaya a. Penduduk berijazah (>sma) Orang/total penduduk b. Penduduk melek huruf Orang/total penduduk c. Angka partisipasi sekolah Rasio* Daerah Pelayanan IPLT a. Penduduk berijazah (>sma) Orang/total penduduk b. Penduduk melek huruf Orang/total penduduk c. Angka partisipasi sekolah Rasio* Kabupaten Bandung a. Penduduk berijazah (>sma) Orang/total penduduk b. Penduduk melek huruf Orang/total penduduk c. Angka partisipasi sekolah Rasio* * rasio murid SD s/d SMA terhadap penduduk usia sekolah > 5 tahun s/d 18 tahun Sumber : BPS dan Suseda, (diolah) Penduduk kota Majalaya yang memiliki ijazah pendidikan tinggi tercatat sebesar 17% dari total penduduk. Angka tersebut lebih tinggi bila dibandingkan

108 88 dengan rata-rata kecamatan lain di daerah pelayanan IPLT dan di kabupaten Bandung. Angka melek huruf di kota Majalaya mencapai 78% dari total penduduk. Demikian pula halnya dengan angka partisipasi sekolah pada tahun 004 yang mencapai 73% dari jumlah penduduk. Penduduk berijazah perguruan tinggi di kota Majalaya lebih tinggi bila dibandingkan dengan rata-rata kecamatan lain di daerah pelayanan IPLT maupun rata-rata di kabupaten Bandung. Namun, banyaknya penduduk yang mampu membaca dan penduduk yang bersekolah di ketiga wilayah penelitian relatif seimbang. Hal tersebut mengindikasikan bahwa secara umum, tingkat pendidikan penduduk kota Majalaya lebih baik bila dibandingkan dengan kecamatan kota lainnya Ekonomi Masyarakat Keadaan ekonomi penduduk dikaji dari aspek (i) konsumsi rata-rata per kapita, (ii) penduduk usaha sendiri, dan (iii) angka partisipasi bekerja. Seperti tertera pada Tabel 4-9 penduduk yang berusaha sendiri (wiraswasta) di kota Majalaya lebih besar daripada kecamatan lain di daerah pelayanan IPLT maupun di seluruh kecamatan di kabupaten Bandung. Penduduk yang bekerja sebagai buruh/karyawan di kota Majalaya juga lebih tinggi bila dibandingkan kecamatan lain. Konsumsi atau pengeluaran penduduk kota Majalaya pada tahun 00 dan tahun 003 lebih tinggi bila dibandingkan dengan rata-rata kecamatan di daerah pelayanan IPLT dan di kabupaten Bandung. Namun, pada tahun 004 lebih rendah dari kecamatan lainnya di daerah pelayanan IPLT maupun di seluruh kecamatan di kabupaten Bandung. Berdasarkan hasil survey lapangan di 3 (tiga) lokasi kecamatan di daerah pelayanan IPLT yaitu kecamatan Ibun, Rancaekek dan Ciparay, penghasilan rata-rata bulanan per kepala keluarga diperhitungkan sebesar Rp Sementara itu, berdasarkan data Suseda (Tabel 17) angka konsumsi rata-rata bulanan di daerah pelayanan IPLT adalah Rp Dengan demikian, maka rasio pengeluaran (konsumsi) terhadap penghasilan rata-rata bulanan adalah 0.13%. Meskipun angka penghasilan responden kemungkinan jauh lebih kecil daripada keadaan nyata, rasio tersebut menggambarkan adanya peluang masyarakat untuk menabung.

109 89 Tabel 17. Keadaan Ekonomi Masyarakat (00-004) No Uraian Satuan (1) () (3) (6) (7) (8) 1 3 Majalaya a. Konsumsi rata-rata per kapita Rp / Kapita b. Penduduk Wiraswasta Orang/pend bekerja c. Angka Partisipasi Bekerja Rasio* Daerah Pelayanan IPLT a. Konsumsi rata-rata per kapita Rp / Kapita b. Penduduk Wiraswasta Orang/pendd bekerja c. Angka Partisipasi Bekerja Rasio Kabupaten Bandung a. Konsumsi rata-rata per kapita Rp / Kapita b. Penduduk Wiraswasta Orang/pendd bekerja c. Angka Partisipasi Bekerja Rasio * Buruh/karyawan dan usaha sendiri Sumber : Suseda (diolah) 4.6 Pengelolaan Sanitasi Lingkungan Sistem Pengelolaan Air Limbah Domestik Sistem pengelolaan limbah cair domestik di wilayah penelitian terdiri dari sistem terpusat (off-site) dan sistem setempat (on-site). Sistem terpusat hanya terdapat di kota Soreang sedangkan bagian wilayah lainnya dilayani sistem setempat. Keterangan singkat mengenai kedua sistem tersebut dirangkum pada Tabel Sebagaimana dijelaskan pada bab cakupan fasilitas pengelolaan air limbah di kota Majalaya dan sekitarnya yang telah diperbaiki (improved) atau fasilitas tangki septik yang dilengkapi dengan bidang resapan, masih relatif rendah yaitu sekitar 14.9% dari prasarana dan sarana pengelolaan air limbah domestik yang ada. Oleh karena itu, 85.10% air limbah domestik yang dialirkan ke dalam media lingkungan belum diolah secara memadai. Selain itu, 3.55% penduduk kabupaten Bandung masih membuang kotorannya secara langsung ke media lingkungan hidup dan sisanya sebesar 53.41% membuang kotorannya melalui jamban pribadi sedangkan 3.03% melalui jamban bersama.

110 90 Sebesar 35.33% dari limbah rumah tangga yang dibangkitkan, diolah terlebih dahulu di dalam tangki septik dan 4% efluent dari tangki septik dialirkan melalui SPAL. Tabel 18. Pengelolaan Air Limbah Domestik di Daerah Penelitian ELEMEN SISTEM SISTEM SOREANG SISTEM CIBEET SISTEM BABAKAN (1) () (3) (4) PENGUMPULAN (PEWADAHAN) TRANSPORTASI PENGOLAHAN PEMBUANGAN AKHIR unit Sambungan Rumah (SR) dari 1000 SR yang ditargetkan. Air Limbah dialirkan melalui sistem jaringan perpipaan Melalui sistem jaringan pipa yang terletak di jalan Cipatik, di belakang kantor Pemda Kabupaten Bandung 1. Jenis pengolahan:. Septik tank besar 3. Unit aerasi 4. Bak pengering lumpur 5. Kapasitas pengolahan 10,6 l/dt 6. Sudah pernah dioperasikan 7. Saat ini tidak lagi beroperasi dengan benar, limbah dari ujung saluran tidak masuk ke instalasi Efluen dari aerasi dibuang ke sumur resapan 1. Tangki septik : dengan sebaran, Kec.Majalaya, Kec.Paseh, Kec.Ciparay dan Kec.Ibun,. Konstruksi tangki septik/ Cubluk 3. Mobil tinja di pool di Soreang, bukan di daerah operasinya 1. Jarak tempuh: 5 15 km dari daerah pelayanan. Waktu tempuh : + 1 jam 3. Frekuensi :musim kemarau jarang, musim hujan sering 4. Trafik : jalan sempit, menanjak & berkelok 5. Pengelola Swasta & DPU Kebersihan 6. Mobil tangki: DPUK : 4 buah & 6 trailer 7. Mobil swasta 1. Disain memadai, kecuali kolam maturasi kurang luas. Fasilitas Kolam anaerob, Kolam fakultatif, Kolam maturasi, Bak pengering lumpur 3. Kapasitas: 5 m 3 /hari 4. Operasi tidak optimal 5. Bangunan tidak terpelihara 6. Tidak ada fasilitas air bersih dan fasilitas listrik 7. Pengelola : DPU Kebersihan Kab.Bandung 8. Retribusi ditarik saat penyedotan 1. Pembuangan akhir : ke saluran drainase. Hasil lumpur kering, untuk pupuk, di lokasi IPLT Dari Tangki Septik daerah pelayanan Ciparay Jarak km dari kota Ciparay Jalan sempit, berkelok 1. Fasilitas Imhoff tank, Bak Fakultatif, Bak maturasi, Bak Pengering Lumpur. Kapasitas 0 m 3 /hari 3. Belum pernah difungsikan sama sekali 4. Pompa lumpur tinja dari imhoff tank ke bak fakultatif hilang 5. Sarana penunjang rusak tidak dapat digunakan 6. Pengelola DPU Kebersihan Kabupaten Bandung Dibuatkan bak resapan untuk meresapkan efluen ke tanah

111 91 Hal itu mengindikasikan bahwa efluent dari tangki septik yang disaring sebelum dialirkan ke dalam tanah adalah sebesar 67.93% dari volume limbah yang diolah di tangki septik. Sistem sanitasi terpusat kota Soreang terdiri dari sistem jaringan perpipaan Air Limbah dan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Soreang tersebut dibangun pada tahun 1993 melalui program BUDP II. Sistem sanitasi setempat terdiri dari tangki septik, sarana angkutan lumpur tinja (truk tinja) dan Instalasi Pengolahan Lumpur Tinja (IPLT). Pada tahun 1996 dibangun IPLT Babakan yang berkapasitas 0 m 3 /hari melalui bantuan proyek Propinsi Jawa Barat. Pada tahun 1999 dibangun IPLT Cibeet yang berkapasitas 5 m 3 /hari melalui program West Java Urban Development (Sector) Project (WJUDSP). IPLT Cibeet dirancang untuk melayani penduduk di sekitar kota Majalaya sampai dengan tahun 003. IPLT Cibeet terletak di desa Cibeet Kecamatan Ibun yang berjarak 5 km dari kota Majalaya. Jalan utama ke lokasi IPLT Cibeet merupakan jalan aspal berkelok-kelok dengan tanjakan cukup terjal yang kondisinya relatif baik. Jalan akses ke lokasi IPLT panjangnya sekitar 100 m merupakan jalan aspal dengan tanjakan yang sedang. Lokasi IPLT Cibeet terletak di daerah bukit, dengan luas + 1 ha, di tepi jalan yang menghubungkan kota Majalaya dengan kecamatan Ibun dan kecamatan lainnya di bagian selatan kabupaten Bandung. IPLT Cibeet menggunakan sistem pengolahan biologis dengan aliran gravitasi atau memanfaatkan perbedaan ketinggian yang tersedia. Pada tahap perencanaan awal, IPLT Cibeet dimaksudkan untuk melayani daerah sekitar kota Majalaya yang terdiri dari empat kecamatan, yaitu Kecamatan Majalaya (18 Kelurahan/Desa), kecamatan Paseh (4 Kelurahan/Desa), kecamatan Ciparay (7 Kelurahan/Desa), kecamatan Ibun ( Kelurahan/Desa) dan daerah lain yang berada pada radius pelayanan + 10 km dari lokasi IPLT. Pada awal tahun 00 dilakukan serah terima dari pengelola terdahulu yaitu PDAM Cimahi kepada pengelola yang baru yaitu Dinas Pekerjaan Umum Kebersihan Kabupaten Bandung. Setelah serah terima tersebut, daerah pelayanan IPLT Cibeet diperluas sampai ke wilayah bagian timur Kabupaten Bandung, yang meliputi Kecamatan Cicalengka, Rancaekek, Ciparay, dan Bale Endah.

112 9 Pada awal beroperasinya IPLT Cibeet oleh PDAM Cimahi, mobil tinja yang ditempatkan di cabang dinas di Rancaekek. Setelah dikelola DPU kabupaten Soreang, truk tinja ditempatkan di kantor DPU Kebersihan di Soreang. Hal ini menambah jarak tempuh pengoperasian truk tinja, sehingga menambah biaya pengangkutan. Sementara itu, mobil pengangkut tinja yang dioperasikan pihak swasta tarifnya jauh lebih murah dari tarif yang ditetapkan oleh pihak DPU Kebersihan. Pengusaha penyedot tinja swasta tidak membuang muatannya ke IPLT, sehingga pemanfaatan kapasitas IPLT sebesar 5 m 3 /hari tidak pernah tercapai. IPLT Babakan dirancang dengan kapasitas pengolahan sebesar 0 m 3 /hari. Bangunan instalasi terdiri dari sebuah Imhoff tank, Kolam Fakultatif, Kolam Maturasi dan dilengkapi dengan unit pengering lumpur. Pada perencanaannya, efluent dari kolam maturasi dibuang langsung ke tanah, dengan membuat bidang resapan di sekitar lokasi outlet kolam maturasi. Tetapi karena penduduk sekitar tidak melihat saluran untuk penampung efluen, mereka berpendapat bahwa efluent yang keluar dari kolam maturasi akan mencemari lingkungan, sehingga terjadi penolakan pada operasi IPLT tersebut. Untuk menegaskan penolakan mereka terhadap IPLT, terjadi perusakan bangunan kantor dan rumah jaga, selain itu terjadi pencurian pompa air, sehingga bangunan IPLT tidak dapat berfungsi sama sekali Pengelolaan Lumpur Tinja Pengelolaan lumpur tinja terdiri dari komponen (i) pewadahan lumpur tinja, (ii) pengangkutan lumpur tinja, (iii) pengolahan lumpur tinja, dan (iv) pembuangan atau pemanfaatan hasil pengolahan lumpur tinja Pewadahan Lumpur Tinja Lumpur tinja yang berasal dari kotoran manusia dikumpulkan di dalam tangki septik (septic tank). Oleh karena itu, banyaknya lumpur tinja yang terkumpul setiap tahunnya bergantung kepada jumlah tangki septik yang ada di wilayah studi. Sampai dengan tahun 004 jumlah tangki septik di 6 (enam) kecamatan daerah pelayanan IPLT mencapai 38% dari total rumah yang ada atau

113 sekitar unit. Sementara itu jumlah tangki septik di kota Majalaya mencapai 0% dari jumlah rumah yang ada atau sekitar unit. Sampai dengan tahun 005, tangki septik sebagian besar telah berusia antara 7 1 tahun (Tabel 19). Tabel 19. Umur Tangki Septik di 3 (tiga) Kecamatan Tahun Pembangunan Tangki Ciparay Rancaekek Rata rata (%) Ibun (%) Septik (%) (%) (1) () (3) (4) (5) a. < 3 tahun b. 3 6 tahun yg lalu c. 7 1 tahun yg lalu d tahun yg lalu e. > 0 tahun yg lalu Tidak Menjawab Jumlah Sumber: Hasil Survey 005 Apabila diasumsikan bahwa setiap (dua) atau 3 (tiga) tahun dilakukan pengurasan tangki septik dan volume rata rata tangki septik adalah.9 m3/unit (Tabel 0), maka pada tahun 005 volume lumpur tinja kota Majalaya yang harus dikuras diperhitungkan sebesar unit x.9 m3/unit = m3. Apabila diasumsikan bahwa waktu kerja per tahun adalah 56 hari, maka volume lumpur tinja yang harus diangkut setiap harinya diperhitungkan sebesar m3/tahun : 56 hari = m3/hari. Tabel 0. Ukuran Tangki Septik di 3 (tiga) Kecamatan Kapasitas Tangki Septik Ibun (%) Ciparay (%) Rancaekek (%) Rata rata (%) Rata-rata volume (1) () (3) (4) (5) (6) a. < m b. m 3,5 m c.,5 m 3 3,5 m d. 3,5 m 3 4,5 m e. > 5 m Tidak Menjawab Jumlah Sumber : Hasil Survey Pengangkutan Lumpur Tinja Pengangkutan lumpur tinja, pada dasarnya terkait dengan frekuensi penyedotan tangki septik. Sampai dengan tahun 005 penyedotan tangki septik mencapai kali dalam periode 13 tahun atau rata rata 7.96 kali per tahun. 93

114 Namun, sekitar 11.5% atau sekitar unit tangki septik belum pernah disedot (Tabel 1). Hal tersebut berati bahwa jumlah unit tangki septik yang dilayani untuk setiap pengangkutan lumpur tinja adalah ( ) : = unit tangki septik. Sementara itu, rasio jasa penyedotan yang dilakukan pemerintah dengan swasta adalah 1.71 berbanding 4.48 atau penggunaan jasa swasta hampir (dua) kali lebih besar dari pemerintah. Tabel 1. Frekuensi Penyedotan Tangki Septik di 4 (empat) Kecamatan Frekuensi Penyedotan Ibun Majalaya Ciparay Rancaekek Rata rata (%) (%) (%) (%) (%) (1) () (3) (4) (5) (6) a. 1 kali b. kali c. 3 kali d. 4 kali e. lebih dari 4 kali f. tidak pernah Tidak Menjawab Jumlah Sumber: Hasil Survey 005 Keadaan tersebut memberi indikasi bahwa masyarakat lebih menyukai pelayanan yang dilakukan oleh swasta daripada oleh pemerintah (Tabel ). Hal tersebut kemungkinan ada kaitannya dengan tawaran tarif swasta yang lebih murah. Tabel. Penggunaan Jasa Truk Tinja di 3(tiga) Kecamatan Jasa Truk Tinja yang digunakan Kecamatan Ibun (%) Kecamatan Ciparay (%) Kecamatan Rancaekek (%) 94 Rata-rata (%) (1) () (3) (4) (5) a. milik pemerintah daerah b. milik perusahaan swasta c. lain-lain Tidak Menjawab Jumlah Sumber: Hasil Survey 005 Ditinjau dari besarnya biaya penyedotan tinja (Tabel 3), tampak bahwa 5.19% responden menyatakan membayar tarif lebih kecil dari Rp untuk setiap kali penyedotan tinja. Sekitar 9.33% responden menyatakan membayar tarif antara Rp sampai Rp dan 3.4% menyatakan membayar tarif antara Rp sampai Rp Walaupun demikian, rata-rata kesanggupan membayar retribusi pelayanan pengurasan

115 tangki septik adalah sekitar Rp atau setengah dari tarif yang telah dibayar sebelumnya. Apabila frekuensi pengurasan tangki septik rata rata diasumsikan tahun sekali dan tarif pengurasan tersebut dikonversikan menjadi tarif bulanan, maka untuk tarif sebesar Rp ekivalen dengan Rp /pelanggan/bulan, tarif sebesar Rp ekivalen dengan Rp /pelanggan/bulan. Tabel 3. Biaya Penyedotan Tinja di 3 (tiga) kecamatan Biaya Penyedotan Tinja Kecamatan Ibun (%) Kecamatan Ciparay (%) Kecamatan Rancaekek (%) 95 Rata-rata (%) (1) () (3) (4) (5) a. < Rp b. Rp Rp c. Rp Rp d. Rp Rp e. > Rp Tidak Menjawab Jumlah Sumber: Hasil Survey Pengolahan Lumpur Tinja di IPLT Pengolahan lumpur tinja terkait erat dengan frekuensi pengangkutan dan volume lumpur tinja yang disedot. Volume lumpur yang disedot per hari diperkirakan sebesar m 3 /hari atau % dari volume lumpur tinja kota Majalaya dan 7.59 % dari total volume lumpur yang dibangkitkan di daerah pelayanan IPLT. Sementara itu, pengoperasian IPLT Cibeet tidak berlangsung setiap hari, bahkan menganggur. Hal itu mengindikasikan bahwa lumpur tinja yang telah disedot tidak dikirim ke IPLT untuk diolah, melainkan dibuang ke media lingkungan seperti sungai dan lahan kosong.

116 BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Keadaan Pelestarian Fungsi Lingkungan Perkotaan Uraian pada Bab IV telah menjelaskan keadaan lingkungan daerah penelitian secara sektoral, tetapi belum dapat memberi gambaran menyeluruh tentang kondisi pelestarian fungsi lingkungan kota Majalaya dan kota kecamatan lainnya yang terletak di daerah pelayanan IPLT maupun kota lain yang terletak di kabupaten Bandung, tetapi di luar daerah pelayanan IPLT. Walaupun demikian, keadaan sanitasi di kota Majalaya dinilai paling buruk bila dibandingkan kota kecamatan lainnya. Pada bab berikut ini akan dibahas keadaan pelestarian fungsi lingkungan perkotaan dengan mengunakan pendekatan komprehensif yang dibangun dari variabel yang terkait Analisis Faktor Untuk Indeks Pelestarian Fungsi Lingkungan Perkotaan Evaluasi terhadap keadaan pelestarian fungsi lingkungan perkotaan di daerah penelitian didasarkan pada hasil perhitungan dan analisis variabel-variabel yang menjelaskan (dua) aspek yang berbeda yaitu (i) ketersediaan prasarana dan sarana kota termasuk proses pemanfaatannya oleh masyarakat, dan (ii) keadaan kehidupan dan penghidupan penduduk yang memanfaatkan prasarana dan sarana kota yang disediakan. Ketersediaan prasarana dan sarana beserta proses pemanfaatannya menjelaskan besarnya masukan (input) investasi dan upaya pemanfaatannya. Keadaan kehidupan dan penghidupan penduduk menjelaskan output (keluaran) dan hasil (outcome) dari investasi dan proses pemanfaatan investasi yang telah dilakukan. Hasil analisis yang menggunakan metoda Analisis Faktor (Tabel 4) menghasilkan jumlah faktor yang berbeda untuk setiap tahun pengamatan. Namun persen kumulatif yang dihasilkan berkisar antara 69.94% (000) hingga 79.0% (004). Hal tersebut mengindikasikan bahwa parameter yang membentuk setiap variabel telah merepresentasikan pelestarian fungsi lingkungan perkotaan. Nilai bobot faktor dan komunalitas bobot faktor berkisar antara 0.35(0.70) hingga

117 97 0.9(0.89) mengindikasikan bahwa tingkat pentingnya variabel telah menjelaskan bahwa tingkat variasi dari variabel pelestarian fungsi lingkungan relatif baik. Tabel 4. Hasil Analisis Faktor Untuk Indeks Pelestarian Lingkungan Kota No Uraian (1) () (3) (4) (5) (6) (7) 1 Jumlah Faktor (kelompok variabel) Persen Kumulatif Jumlah Variabel Bobot Faktor Maksimum Komunalitas Bobot Faktor Maksimum Nama Variabel dengan Bobot Maksimum dokpar dokpar rtembok Rtembok Rtembok 7 Bobot Faktor Minimum Komunalitas Bobot Faktor Minimum Nama Variabel dengan Bobot Minimum cemaran Murkls rkramik Aps Aps Dari variabel yang memiliki bobot variabel maksimum beserta komunalitasnya, dapat diketahui bahwa ketersediaan prasarana dan sarana kesehatan lebih menentukan pelestarian fungsi lingkungan tahun , sedangkan pelestarian fungsi lingkungan perkotaan tahun lebih ditentukan oleh banyaknya penduduk yang tinggal di rumah layak huni (rumah tembok, berlantai keramik, memiliki fasilitas sanitasi yang memadai). Walaupun demikian, utilisasinya dipengaruhi oleh banyaknya penduduk bersekolah yang memiliki fasilitas pendidikan yang memadai pula Indeks Pelestarian Fungsi Lingkungan Kota Majalaya dan Sekitarnya Indeks Ketersediaan Prasarana dan Sarana Lingkungan Kota Hasil perhitungan Indeks Ketersediaan Prasarana dan Sarana Lingkungan (IKPS) Kota Majalaya dan kota kecamatan lain di daerah pelayanan IPLT dan di kabupaten Bandung tahun , disajikan pada Gambar 11. Seperti terlihat pada Gambar 11, IKPS Majalaya menurun pada periode tahun kemudian meningkat tajam pada periode tahun , kemudian menurun kembali secara tajam pada periode tahun Pola yang sama terjadi pula pada IKPS rata-rata kecamatan di kabupaten Bandung (tanpa kota Majalaya dan kecamatan di daerah pelayanan IPLT) dan IKPS maksimum di kecamatan yang terletak di daerah pelayanan IPLT.

118 98 10 IKPS Tahun rata dp iplt rata non dp iplt rata kab max dp iplt max non dp majalaya Gambar 11. Dinamika IKPS Kota Majalaya Untuk mengetahui fungsi dinamika yang diperoleh dari perhitungan indeks pada Gambar 11, digunakan regresi sederhana dan regresi polinomial. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa regresi polinomial memberikan gambaran fungsi yang lebih mendekati keadaan yang sebenarnya. Hal tersebut diketahui dari nilai koefisien determinasi (R ) regresi polinomial yang nilainya R =1,0 lebih baik daripada regresi sederhana yang menghasilkan nilai R < 0,50. Hasil pendugaan parameter Indeks Ketersediaan Prasarana dan Sarana Lingkungan (IKPS) dengan menggunakan model polinomial dirangkum pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil Pendugaan Parameter Model IKPS IKPS Koefisien Regresi Model Polinomial (R =1) a b c d e AJK Koef regresi Majalaya Rata-rata DP IPLT Rata-rata Kabupaten Rata-rata total Max DP IPLT Max Kabupaten Catatan: IKPS=aX 4 + bx 3 +cx + dx + e (a,b,c,d,e = koefisien regresi dan X=tahun) Apabila koefisien fungsi-fungsi model IKPS polinomial dikompositkan dengan menggunakan akar jumlah kuadrat, maka didapat gambaran mengenai tingkat ketersediaan prasarana dan sarana lingkungan di masing-masing wilayah

119 99 yang dapat diperbandingkan. Sebagaimana tertera pada Tabel 5, perkembangan IKPS kota Majalaya selama lima tahun, 4.97% lebih rendah daripada rata-rata daerah pelayanan IPLT, tetapi 31.1% lebih tinggi dari rata-rata kabupaten. Hal tersebut mengindikasikan bahwa perkembangan daya dukung kota Majalaya pada lima tahun yang lalu lebih rendah bila dibandingkan dengan ratarata kecamatan lain di daerah pelayanan IPLT, tetapi lebih tinggi daripada ratarata kecamatan lain di kabupaten Bandung Indeks Keadaan Kehidupan dan Penghidupan Penduduk Hasil perhitungan IKPP Kota Majalaya dan kecamatan lain di daerah pelayanan IPLT dan di kabupaten Bandung tahun , disajikan pada Gambar 1. Berbeda dengan dinamika IKPS, IKPP kota Majalaya setiap tahun berubah naik dan turun. Pada periode tahun meningkat, tetapi pada periode tahun menurun tajam. Pada periode tahun meningkat kembali secara tajam dan pada periode menurun kembali secara tajam pula. Pola IKPP lainnya relatif serupa dengan pola IKPS menurun pada tahun pertama dan meningkat pada tiga tahun berikutnya. IKPP Tahun majalaya rata dp iplt rata non dp iplt rata kab max dp iplt max non dp Gambar 1. Dinamika IKPP Kota Majalaya Seperti halnya pada IKPS, untuk mengetahui fungsi dinamika yang diperoleh dari perhitungan indeks pada Gambar 1, digunakan regresi sederhana dan regresi polinomial. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa regresi polinomial juga memberikan gambaran fungsi yang lebih mendekati keadaan yang sebenarnya. Hal tersebut diketahui dari nilai koefisien determinasi (R )

120 regresi polinomial yang nilainya R = 1.0 lebih baik daripada regresi sederhana 100 yang menghasilkan nilai R < Hasil pendugaan parameter Indeks Kehidupan dan Penghidupan Penduduk (IKPP) dengan menggunakan model polinomial untuk kota Majalaya dan kota-kota kecamatan lainnya dirangkum pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil Pendugaan Parameter Model IKPP IKPP Koefisien Regresi Model Polinomial (R =1) a b c d AJK koef regresi Majalaya Rata-rata DP IPLT Rata-rata Kabupaten Rata-rata total max DP IPLT max Kabupaten Catatan: IKPS=aX 4 + bx 3 +cx + dx + e (a,b,c,d,e = koefisien regresi dan X=tahun) Sebagaimana tercermin pada Gambar 1, IKPP kota Majalaya sangat dinamis. Oleh karena itu, meskipun, perkembangan IKPS Kota Majalaya 4.97% lebih rendah daripada rata-rata daerah pelayanan IPLT, perkembangan IKPP Kota Majalaya 5.9 kali lebih besar dari kecamatan lainnya di daerah pelayanan IPLT. Perkembangan IKPP Kota Majalaya juga lebih besar dari seluruh skenario kecamatan di kabupaten Bandung. Hal tersebut memberi indikasi bahwa perkembangan pemanfaatan prasarana dan sarana lingkungan kota Majalaya selama periode 5 (lima) tahun yang lalu sangat efektif bila dibandingkan dengan kota kecamatan lainnya Efektifitas Investasi Prasarana dan Sarana Lingkungan Efektifitas investasi pembangunan prasarana dan sarana lingkungan diukur dengan cara membandingkan hasil (outcome) investasi dengan inputnya. Semakin besar rasio hasil investasi dengan investasi yang dilakukan, maka semakin efektif investasi itu. Sebagaimana yang tertera pada Gambar 13, kecuali pada tahun 00, investasi prasarana dan sarana lingkungan kota Majalaya lebih efektif bila dibandingkan investasi yang dilakukan di kecamatan lainnya di daerah pelayanan IPLT maupun di kabupaten Bandung. Walaupun demikian, nilai efektifitas

121 101 investasi prasarana dan sarana lingkungan kota Majalaya cenderung menurun selama lima tahun terakhir % efektivitas 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 0,00 10,00 0, Majalaya 46,47 79,8 64,66 dp IPLT 76,86 68,46 54,18 Kabupaten 40,55 40,83 44,13 Gambar 13. Grafik Efektifitas Investasi Pembangunan Prasarana dan Sarana Lingkungan Kota Majalaya Peringkat Pelestarian Fungsi Lingkungan Perkotaan Dari sebanyak 45 kecamatan kota di kabupaten Bandung, pelestarian lingkungan kota Majalaya selama periode tahun 000 sampai dengan tahun 004 selalu menempati peringkat 3 (tiga) besar (Gambar 14). Peringkat kedua didapat oleh kecamatan Rancaekek yang pernah mendapat peringkat pertama pada tahun 00 dan diikuti berturut-turut oleh kecamatan Ciparay, kecamatan Paseh, Kecamatan Pacet dan Kecamatan Ibun. Kecamatan Ciparay pernah menduduki peringkat kedua pada tahun 00 ketika kecamatan Rancaekek menduduki peringkat pertama. Kecamatan Paseh pernah menduduki peringkat ketiga pada tahun 001 ketika kecamatan Kota Majalaya menduduki peringkat kedua. Adanya perubahan peringkat tersebut memberi gambaran terjadinya kompetisi antar wilayah dalam rangka mempertahankan daya dukung dan daya tampung wilayahnya masing-masing.

122 10 Ciparay Majalaya Rancaekek Paseh Ibun Pacet Gambar 14. Peringkat Pelestarian Lingkungan Kota Majalaya ( ) Upaya mempertahankan daya dukung dan daya tampung lingkungan tersebut pada dasarnya ditujukan untuk mempertahankan kualitas kehidupan dan penghidupan penduduk yang telah dicapai sebelumnya dan bilamana memungkinkan ditingkatkan kualitasnya Kontribusi Sektor Pada Pelestarian Fungsi Lingkungan Perkotaan Prasarana dan sarana lingkungan kota terdiri dari prasarana dan sarana kesehatan, pendidikan, perumahan, air minum dan sanitasi dan ekonomi. Prioritas penyediaan prasarana dan sarana tersebut tidak sama dari tahun ke tahun tergantung kebutuhan masing-masing wilayah. Oleh karena itu, ketersediaan prasarana dan sarana untuk setiap penduduk per tahunnya dapat berbeda dari sektor yang satu dengan sektor lainnya. Sebagaimana yang tertera pada Tabel 7, pada tahun 00, kontribusi sektor Air minum dan sanitasi (AMSAN) dan sektor pendidikan disemua wilayah paling kecil dibandingkan dengan sektor lainnya. Pada tahun 003, terdapat peningkatan kontribusi di kedua sektor tersebut, namun pada tahun 004, kontribusi sektor AMSAN berkurang secara tajam meskipun masih lebih tinggi daripada tahun 00.

123 103 Tabel 7. Kontribusi Sektor Pada Pelestarian Fungsi Lingkungan Perkotaan (00-004) Tahun Wilayah Aspek AMSAN EKO KES DIK PERUM IPLH Majalaya Daerah Pelayanan IPLT Kabupaten. Bandung Majalaya Daerah Pelayanan IPLT Kabupaten. Bandung Majalaya Daerah Pelayanan IPLT Kabupaten. Bandung Kontribusi sektor ekonomi cukup besar pada tahun 00 dan 003. Hal tersebut dapat dipahami karena pembangunan infrastruktur ekonomi dapat meningkatkan PDB dan peningkatan PDB tersebut kemudian mendorong peningkatan penyerapan tenaga kerja. Peningkatan PDB dan penyerapan tenaga kerja tersebut akhirnya dapat mengurangi kemiskinan (Yudhoyono 004). Pengurangan kemiskinan berarti meningkatkan kualitas kehidupan dan penghidupan penduduk. Kombinasi dari kontribusi sektor yang berbeda memberikan hasil indeks pelestarian fungsi lingkungan yang berbeda setiap tahunnya. Namun, kombinasi pada tahun 003 untuk kota Majalaya memberikan angka indeks tertinggi dalam tiga tahun terakhir. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kombinasi investasi yang tepat dapat memberikan nilai pelestarian fungsi lingkungan yang optimal Dinamika Pelestarian Fungsi Lingkungan Perkotaan Pelestarian lingkungan kota merupakan akumulasi dari upaya penyediaan prasarana dan sarana beserta proses pemanfaatannya termasuk perubahan kehidupan dan penghidupan penduduk yang diakibatkan oleh adanya investasi dan proses pemanfaatan investasi yang telah dilakukan. Besarnya pelestarian lingkungan kota tersebut dinyatakan dengan Indeks Pelestarian Fungsi Lingkungan Kota (IPFLH) yang merupakan angka komposit dari seluruh variabel yang digunakan untuk mengukur perubahan yang terjadi. Sebelum digunakan untuk prediksi kedepan, dilakukan uji statistik terhadap model IPFLH yang

124 104 dikembangkan. Hasil uji model pelestarian fungsi lingkungan perkotaan (IPFLH) dirangkum pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil Uji Model Pelestarian Fungsi Lingkungan Perkotaan No Uji Model R Nilai eror* (1) () (3) (4) 1 Model IPFLH Majalaya Model IPFLH Dp-IPLT Model IPFLH Kab Bandung *Diambil dari nilai MAD (Mean Absolute Deviation) Selanjutnya, dengan menggunakan model IPFLH yang dikembangkan, dilakukan perhitungan dan proyeksi IPFLH kedepan. Hasil perhitungan IPFLH Kota Majalaya dan kecamatan lain di daerah pelayanan IPLT dan di kabupaten Bandung tahun , disajikan pada Gambar Index PLH majalaya rata dp iplt rata non dp iplt rata kab max non dp max dp iplt Tahun Gambar 15. Dinamika Pelestarian Fungsi Lingkungan Kota Majalaya Seperti terlihat pada grafik tersebut, pola IPLH kota Majalaya relatif sama dengan pola IKPS yaitu menurun pada periode tahun kemudian meningkat tajam pada periode tahun , kemudian menurun kembali secara tajam pada periode tahun Pola yang sama terjadi pula pada IPLH maksimum kabupaten Bandung. Seperti halnya fungsi IPKS dan IKPP, fungsi dinamika IPLH yang diperoleh dari perhitungan indeks pada Gambar 15, juga mendekati regresi polinomial. Selanjutnya, untuk mengetahui tingkat perkembangan IPLH lima tahun yang lalu digunakan pula pendekatan yang sama dengan fungsi-fungsi

125 105 IPKS dan IKPP yaitu dengan mengkompositkan koefisien regresi polinomial yang diperoleh. Hasil pendugaan koefisien regresi polinomial parameter Indeks Pelestarian Lingkungan Kota (IPLH) dirangkum pada Tabel 9. Tabel 9. Hasil Pendugaan Parameter Model IPLH IPLH Koefisien Regresi Model Polinomial a b c d e AJK koeff regresi Majalaya Rata-rata DP IPLT Rata-rata Kabupaten Rata-rata total Max DP IPLT Max Kabupaten Catatan: IPLH=aX 4 + bx 3 +cx + dx + e (a,b,c,d,e = koefisien regresi dan X=tahun) Perkembangan pelestarian lingkungan kota Majalaya selama lima tahun yang lalu dan digambarkan dengan nilai komposit dari koefisien regresi model polinomial adalah sebagai berikut: a. Pertumbuhan pelestarian fungsi lingkungan kota Majalaya selama 5 (lima) tahun yang lalu lebih besar bila dibandingkan dengan kecamatan lain yang terletak di daerah pelayanan IPLT maupun kecamatan lain di kabupaten Bandung. b. Pertumbuhan pelestarian fungsi lingkungan kota Majalaya lebih rendah 9.16% dari rata-rata total kecamatan di kabupaten Bandung. c. Pertumbuhan pelestarian fungsi lingkungan kota Majalaya lebih rendah dari pertumbuhan maksimum kota kecamatan yang terletak di daerah pelayanan IPLT, tetapi lebih tinggi daripada pertumbuhan maksimum di kabupaten. Hal tersebut memberi indikasi bahwa pertumbuhan pelestarian lingkungan kota atau pertumbuhan terhadap upaya-upaya untuk mempertahankan daya dukung dan daya tampung lingkungan kota Majalaya praktis lebih tinggi bila dibandingkan dengan angka rata-rata pertumbuhan daerah lainnya di kabupaten Bandung. Walaupun demikian, percepatan pertumbuhan tersebut tidak akan berlangsung terus, melainkan akan mencapai batas pertumbuhan (limit to growth) rata-rata total kecamatan di wilayah kabupaten dan angka pertumbuhan rata-rata daerah pelayanan IPLT.

126 Segilima Pelestarian Fungsi Lingkungan Perkotaan 106 Perkembangan pelestarian lingkungan kota untuk aspek-aspek (i) kesehatan, (ii) pendidikan, (iii) perumahan, (iv) ekonomi, dan (v) air minum dan sanitasi digambarkan dalam segilima pelestarian lingkungan kota (Gambar 16). Sebagaimana tertera pada gambar tersebut, bentuk segilima (pentagon atau diamond) IPLH tidak simetris (asimetris) dari tahun ke tahun. Hal tersebut mengindikasikan perkembangan yang tidak seimbang diantara aspek-aspek yang memberi kontribusi pada pelestarian lingkungan kota. 000 Kesehatan Kesehatan AM&sanitasi 0.00 Pendidikan AM&sanitasi 0.00 Pendidikan Ekonomi Perumahan Ekonomi Perumahan 00 AM&sanitasi Kesehatan Pendidikan AM&sanitasi Kesehatan Pendidikan Ekonomi Perumahan Ekonomi Perumahan 004 AM&sanitasi Kesehatan Pendidikan Keterangan: Majalaya DP IPLT Kabupaten Bandung *Tampilan pada grafik tahun berupa segi tiga dikarenakan kurangnya data pada tahun tersebut Ekonomi Perumahan Gambar 16. Segilima Pelestarian Fungsi Lingkungan Kota Majalaya Ketidakselarasan pembangunan langkaan data, diperkirakan berpengaruh pada angka indeks yang diperoleh dan mempengaruhi bentuk segilima IPLH tersebut. Namun, secara keseluruhan IPLH kota Majalaya selalu lebih tinggi dari daerah lainnya meskipun perkembangannya sangat dinamis yang menggambarkan adanya urutan prioritas dalam pembangunan prasarana dan sarana serta tingkat pemanfaatannya.

127 Pelestarian Fungsi Lingkungan Kota Secara Spasial 107 Gambar 17 berikut ini menyajikan hasil perhitungan Indeks Pelestarian lingkungan kota Majalaya dan kota-kota kecamatan lain di kabupaten Bandung secara spasial tahun 004. Gambar 17. Peta Pelestarian Fungsi Lingkungan Kota Kecamatan di Kabupaten Bandung ( ) Hasil pemetaan spasial pada Gambar 17 tersebut menyimpulkan bahwa pelestarian lingkungan di 8 (delapan) dari 45 (empat puluh lima) kota kecamatan di kabupaten Bandung termasuk kategori baik, pelestarian lingkungan kota Majalaya dan kota Rancaekek termasuk kategori lebih baik bila dibandingkan kota kecamatan lainnya di 6 (enam) kecamatan yang berada di dalam daerah pelayanan IPLT (Majalaya, Rancaekek, Ciparay, Ibun, Pacet dan Paseh). Pelestarian lingkungan kota-kota kecamatan lain yang termasuk kategori lebih baik dari kecamatan yang terletak di luar daerah pelayanan IPLT adalah kecamatan Cipongkor, Soreang, Cikancung dan Pangalengan.

MODEL PELESTARIAN FUNGSI LINGKUNGAN PERKOTAAN BERBASIS EKOSANITA-IPLT (Dengan Studi Kasus Kota Majalaya Di DAS Citarum Hulu)

MODEL PELESTARIAN FUNGSI LINGKUNGAN PERKOTAAN BERBASIS EKOSANITA-IPLT (Dengan Studi Kasus Kota Majalaya Di DAS Citarum Hulu) MODEL PELESTARIAN FUNGSI LINGKUNGAN PERKOTAAN BERBASIS EKOSANITA-IPLT (Dengan Studi Kasus Kota Majalaya Di DAS Citarum Hulu) DISERTASI R. PAMEKAS SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

Lebih terperinci

Bab VII KESIMPULAN DAN SARAN

Bab VII KESIMPULAN DAN SARAN Bab VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan Berikut ini adalah berapa kesimpulan yang dapat dirumuskan dari penelitian ini. 7.1.1 Keadaan eksisting 1. Keadaan pelestarian fungsi lingkungan kota Majalaya,

Lebih terperinci

Bab VI RUMUSAN REKOMENDASI KEBIJAKAN DAN STRATEGI IMPLEMENTASINYA

Bab VI RUMUSAN REKOMENDASI KEBIJAKAN DAN STRATEGI IMPLEMENTASINYA Bab VI RUMUSAN REKOMENDASI KEBIJAKAN DAN STRATEGI IMPLEMENTASINYA 6.1 Sintesa Hasil Simulasi 6.1.1 Pelestarian Fungsi Lingkungan Perkotaan Hasil analisis terhadap keberadaan prasarana dan sarana kota menunjukkan

Lebih terperinci

) MODEL FOR URBAN CONSERVATION OF URBAN ENVIRONMENTAL FUNCTION BASED ON EKOSANITA-IPLT

) MODEL FOR URBAN CONSERVATION OF URBAN ENVIRONMENTAL FUNCTION BASED ON EKOSANITA-IPLT MODEL PELESTARIAN FUNGSI LINGKUNGAN PERKOTAAN BERBASIS EKOSANITA-IPLT (Studi kasus Kota Majalaya di DAS Citarum Hulu ) MODEL FOR URBAN CONSERVATION OF URBAN ENVIRONMENTAL FUNCTION BASED ON EKOSANITA-IPLT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BUKU PUTIH SANITASI KOTA CIREBON I - 1

BAB I PENDAHULUAN BUKU PUTIH SANITASI KOTA CIREBON I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Sanitasi adalah segala upaya yang dilakukan untuk menjamin terwujudnya kondisi yang memenuhi persyaratan kesehatan. Layanan yang tidak optimal dan buruknya kondisi

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL

ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL ANALISIS KEMAUAN MEMBAYAR MASYARAKAT PERKOTAAN UNTUK JASA PERBAIKAN LINGKUNGAN, LAHAN DAN AIR ( Studi Kasus DAS Citarum Hulu) ANHAR DRAKEL SEKOLAH PASCSARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kota Bandung terus berkembang dengan melakukan pembangunan di segala bidang yang diikuti dengan peningkatan jumlah penduduk yang cukup signifikan, sehingga menuntut

Lebih terperinci

INSTALASI PENGOLAHAN LUMPUR TINJA JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA BAB I PENDAHULUAN

INSTALASI PENGOLAHAN LUMPUR TINJA JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Setiap hari manusia menghasilkan air limbah rumah tangga (domestic waste water). Air limbah tersebut ada yang berasal dari kakus disebut black water ada pula yang

Lebih terperinci

MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS

MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS MENUJU KETERSEDIAAN AIR YANG BERKELANJUTAN DI DAS CIKAPUNDUNG HULU : SUATU PENDEKATAN SYSTEM DYNAMICS TESIS Karya tulis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister dari Institut Teknologi

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF DIAGRAM SISTEM SANITASI PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK KABUPATEN WONOGIRI. (C) Pengangkutan / Pengaliran

RINGKASAN EKSEKUTIF DIAGRAM SISTEM SANITASI PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK KABUPATEN WONOGIRI. (C) Pengangkutan / Pengaliran RINGKASAN EKSEKUTIF Strategi Sanitasi Kabupaten Wonogiri adalah suatu dokumen perencanaan yang berisi kebijakan dan strategi pembangunan sanitasi secara komprehensif pada tingkat kabupaten yang dimaksudkan

Lebih terperinci

Infrastruktur PLP dalam Mendukung Kesehatan Masyarakat

Infrastruktur PLP dalam Mendukung Kesehatan Masyarakat Infrastruktur PLP dalam Mendukung Kesehatan Masyarakat Direktorat Pengembangan PLP Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat APA YANG DISEBUT SANITASI?? Perpres 185/2014

Lebih terperinci

Bab IV KEADAAN LINGKUNGAN DAERAH PENELITIAN

Bab IV KEADAAN LINGKUNGAN DAERAH PENELITIAN Bab IV KEADAAN LINGKUNGAN DAERAH PENELITIAN 4.1 Pembagian Wilayah Kajian Pembagian wilayah kajian, ditujukan untuk memperoleh gambaran tentang tingkat pelestarian fungsi lingkungan hidup antara kota Majalaya

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A

STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN CILINCING JAKARTA UTARA IRWAN A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 STRATEGI PENGELOLAAN KUALITAS PERAIRAN PELABUHAN PERIKANAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan kebutuhan pokok bagi makhluk hidup, karena selain dibutuhkan oleh seluruh makhluk hidup, juga dibutuhkan untuk kebutuhan rumah tangga, pertanian, industri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN SSK. I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN SSK. I.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Kondisi umum sanitasi di Indonesia sampai dengan saat ini masih jauh dari kondisi faktual yang diharapkan untuk mampu mengakomodir kebutuhan dasar bagi masyarakat

Lebih terperinci

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR

- 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR - 1 - PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA AIR DI PROVINSI JAWA TIMUR I. UMUM Air merupakan karunia Tuhan sebagai salah satu sumberdaya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laju pertambahan penduduk yang tinggi banyak terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, telah menghabiskan surplus sumberdaya alam yang diperuntukkan bagi pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Buku Putih Sanitasi (BPS) Kota Bima

BAB I PENDAHULUAN. Buku Putih Sanitasi (BPS) Kota Bima BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sanitasi merupakan salah satu pelayanan dasar yang kurang mendapatkan perhatian dan belum menjadi prioritas pembangunan di daerah. Dari berbagai kajian terungkap bahwa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan. Dampak tersebut harus dikelola dengan tepat, khususnya dalam

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan. Dampak tersebut harus dikelola dengan tepat, khususnya dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan penduduk yang begitu cepat terutama di wilayah perkotaan menimbulkan dampak yang sangat serius terhadap penurunan daya dukung lingkungan. Dampak

Lebih terperinci

Sia Tofu (Bersama dan Bersatu) dan Visi Pembangunan Kabupaten Pulau Taliabu Tahun

Sia Tofu (Bersama dan Bersatu) dan Visi Pembangunan Kabupaten Pulau Taliabu Tahun .1 Visi dan Misi Sanitasi Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional menjelaskan bahwa visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada akhir periode

Lebih terperinci

LAPORAN STUDI ENVIRONMENTAL HEALTH RISK ASSESSMENT (EHRA) KABUPATEN BANJARNEGARA. Kelompok Kerja Sanitasi Kabupaten Banjarnegara

LAPORAN STUDI ENVIRONMENTAL HEALTH RISK ASSESSMENT (EHRA) KABUPATEN BANJARNEGARA. Kelompok Kerja Sanitasi Kabupaten Banjarnegara LAPORAN STUDI ENVIRONMENTAL HEALTH RISK ASSESSMENT (EHRA) KABUPATEN BANJARNEGARA Kelompok Kerja Sanitasi Kabupaten Banjarnegara Kabupaten Banjarnegara September 2011 DAFTAR ISI DAFTAR ISI... 1 DAFTAR TABEL...

Lebih terperinci

LAPORAN IPLT KEPUTIH KOTA SURABAYA PROPINSI JAWA TIMUR

LAPORAN IPLT KEPUTIH KOTA SURABAYA PROPINSI JAWA TIMUR LAPORAN IPLT KEPUTIH KOTA SURABAYA PROPINSI JAWA TIMUR IPLT Keputih Kota Surabaya DESEMBER 2010 1 A. Gambaran Umum Wilayah; Geografis Kota Surabaya terletak antara 112 36 112 54 BT dan 07 21 LS, dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Bab Latar Belakang. BPS Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung

PENDAHULUAN. Bab Latar Belakang. BPS Kabupaten Pesawaran Provinsi Lampung Bab - 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sanitasi merupakan salah satu pelayanan dasar yang kurang mendapatkan perhatian dan belum menjadi prioritas pembangunan di daerah. Dari berbagai kajian terungkap

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI. Kabupaten Balangan. 2.1 Visi Misi Sanitasi

BAB II KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI. Kabupaten Balangan. 2.1 Visi Misi Sanitasi II-1 BAB II KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI 2.1 Visi Misi Sanitasi Visi Pembangunan Tahun 2011-2015 adalah Melanjutkan Pembangunan Menuju Balangan yang Mandiri dan Sejahtera. Mandiri bermakna harus mampu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang

Lebih terperinci

BAB 04 STRATEGI PEMBANGUNAN SANITASI

BAB 04 STRATEGI PEMBANGUNAN SANITASI BAB 04 STRATEGI PEMBANGUNAN SANITASI Pada bab ini akan dibahas mengenai strategi pengembangan sanitasi di Kota Bandung, didasarkan pada analisis Strength Weakness Opportunity Threat (SWOT) yang telah dilakukan.

Lebih terperinci

Bab III METODE PENELITIAN

Bab III METODE PENELITIAN Bab III METODE PENELITIAN.1 Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di kota kecamatan Majalaya yang terletak di DAS Citarum Hulu (Gambar 4). Kab DT II Cianjur Kab DT II Cianjur S. Patenggang Cipeundeuy

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang. Berdasarkan pengalaman masa lalu pelaksanaan pembangunan sanitasi di Kab. Bima berjalan secara lamban, belum terintegrasi dalam suatu perencanaan komprehensipif dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Model

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Model TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Model Pemodelan merupakan suatu aktivitas pembuatan model. Secara umum model memiliki pengertian sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari sebuah objek atau situasi aktual.

Lebih terperinci

BAB IV RENCANA PROGRAM PENGEMBANGAN SAAT INI

BAB IV RENCANA PROGRAM PENGEMBANGAN SAAT INI BAB IV RENCANA PROGRAM PENGEMBANGAN SAAT INI 4.1 Visi dan Misi AMPL Kabupaten Klaten A. VISI Visi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) Kabupaten Klaten : Terpenuhinya air minum dan sanitasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Buku Putih Sanitasi (BPS) Kabupaten Kapuas Hulu Tahun Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Buku Putih Sanitasi (BPS) Kabupaten Kapuas Hulu Tahun Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Buku Putih Sanitasi berisi tentang pengkajian dan pemetaan sanitasi awal kondisi sanitasi dari berbagai aspek, yaitu mengenai Persampahan, Limbah Domestik, Drainase

Lebih terperinci

STRATEGI SANITASI KABUPATEN KABUPATEN TANGGAMUS PROPINSI LAMPUNG

STRATEGI SANITASI KABUPATEN KABUPATEN TANGGAMUS PROPINSI LAMPUNG PROGRAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN SANITASI PERMUKIMAN TAHUN 2013 STRATEGI SANITASI KABUPATEN KABUPATEN TANGGAMUS PROPINSI LAMPUNG POKJA SANITASI KABUPATEN TANGGAMUS POKJA BADAN SANITASI PERENCANAAN KABUPATEN

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI

BAB III KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI BAB III KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI 3.1. Visi dan Misi Sanitasi Visi merupakan harapan kondisi ideal masa mendatang yang terukur sebagai arah dari berbagai upaya sistematis dari setiap elemen dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Air merupakan sumber daya alam yang memenuhi hajat hidup orang banyak sehingga perlu dilindungi agar dapat bermanfaat bagi hidup dan kehidupan manusia serta mahkluk

Lebih terperinci

MODEL PENGELOLAAN SAMPAH DOMESTIK PERMUKIMAN PENDUDUK DI PINGGIR SUNGAI MUSI KOTA PALEMBANG DENGAN PENDEKATAN REDUCE, REUSE, RECYCLE DAN PARTISIPASI

MODEL PENGELOLAAN SAMPAH DOMESTIK PERMUKIMAN PENDUDUK DI PINGGIR SUNGAI MUSI KOTA PALEMBANG DENGAN PENDEKATAN REDUCE, REUSE, RECYCLE DAN PARTISIPASI MODEL PENGELOLAAN SAMPAH DOMESTIK PERMUKIMAN PENDUDUK DI PINGGIR SUNGAI MUSI KOTA PALEMBANG DENGAN PENDEKATAN REDUCE, REUSE, RECYCLE DAN PARTISIPASI ABAS KURIB SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Strategi Sanitasi Kabupaten Pasaman. ( Refisi 2012 ) I.1

Strategi Sanitasi Kabupaten Pasaman. ( Refisi 2012 ) I.1 1.1. Latar Belakang. Dalam kontek Program Pembangunan Sektor Sanitasi Indonesia (ISSDP), sanitasi didefinisikan sebagai tindakan memastikan pembuangan tinja, sullage dan limbah padat agar lingkungan rumah

Lebih terperinci

BAB 2 Kerangka Pengembangan Sanitasi

BAB 2 Kerangka Pengembangan Sanitasi BAB 2 Kerangka Pengembangan Sanitasi 2.1. Visi Misi Sanitasi Visi Kabupaten Pohuwato Tabel 2.1: Visi dan Misi Sanitasi Kabupaten/Kota Misi Kabupaten Pohuwato Visi Sanitasi Kabupaten Pohuwato Misi Sanitasi

Lebih terperinci

Modul 1: Pengantar Pengelolaan Sumber Daya Air

Modul 1: Pengantar Pengelolaan Sumber Daya Air vii B Tinjauan Mata Kuliah uku ajar pengelolaan sumber daya air ini ditujukan untuk menjadi bahan ajar kuliah di tingkat sarjana (S1). Dalam buku ini akan dijelaskan beberapa pokok materi yang berhubungan

Lebih terperinci

Kajian Pengenaan PPN atas Penyediaan Air Bersih dan Biaya Jasa Penggelolaan SDA (BPSDA)

Kajian Pengenaan PPN atas Penyediaan Air Bersih dan Biaya Jasa Penggelolaan SDA (BPSDA) Kajian Pengenaan PPN atas Penyediaan Air Bersih dan Biaya Jasa Penggelolaan SDA (BPSDA) Oleh : Benny Gunawan Ardiansyah, Peneliti Badan Kebijakan Fiskal 1. Pendahuluan Pasal 33 Undang- undang Dasar 1945

Lebih terperinci

L a p o r a n S t u d i E H R A K a b. T T U Hal. 1

L a p o r a n S t u d i E H R A K a b. T T U Hal. 1 Bab I PENDAHULUAN Studi Environmental Health Risk Assessment (EHRA) atau Studi Penilaian Risiko Kesehatan Lingkungan adalah sebuah survey partisipatif di tingkat Kabupaten/kota yang bertujuan untuk memahami

Lebih terperinci

KOTA TANGERANG SELATAN

KOTA TANGERANG SELATAN PEMERINTAH KOTA TANGERANG SELATAN KOTA TANGERANG SELATAN PROGRAM PERCEPATAN PEMBANGUNAN SANITASI PERMUKIMAN POKJA AMPL KOTA TANGERANG SELATAN 2011 Daftar Isi Bagian 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang...

Lebih terperinci

Tersedianya perencanaan pengelolaan Air Limbah skala Kab. Malang pada tahun 2017

Tersedianya perencanaan pengelolaan Air Limbah skala Kab. Malang pada tahun 2017 Sub Sektor Air Limbah Domestik A. Teknis a. User Interface Review Air Limbah Buang Air Besar Sembarangan (BABS), pencemaran septic tank septic tank tidak memenuhi syarat, Acuan utama Air Limbah untuk semua

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kepadatan penduduk di Kota Bandung yang telah mencapai 2,5 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni. Perumahan

Lebih terperinci

BERITA DAERAH KOTA BEKASI

BERITA DAERAH KOTA BEKASI BERITA DAERAH KOTA BEKASI NOMOR : 2015 SERI : PERATURAN WALIKOTA BEKASI NOMOR 45 TAHUN 2015 TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BEKASI, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

BAB 2 KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI

BAB 2 KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI BAB 2 KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI Sebagai sebuah dokumen rencana strategis berjangka menengah yang disusun untuk percepatan pembangunan sektor sanitasi skala kota, kerangka kebijakan pembangunan sanitasi

Lebih terperinci

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI

PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI PERANAN PRODUKSI USAHATANI DAN GENDER DALAM EKONOMI RUMAHTANGGA PETANI LAHAN SAWAH: STUDI KASUS DI KABUPATEN BOGOR SOEPRIATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya

Lebih terperinci

Bab 3 Kerangka Pengembangan Sanitasi

Bab 3 Kerangka Pengembangan Sanitasi 3.1. Visi dan misi sanitasi Bab 3 Kerangka Pengembangan Sanitasi Dalam rangka merumuskan visi misi sanitasi Kabupaten Lampung Tengah perlu adanya gambaran Visi dan Misi Kabupaten Lampung Tengah sebagai

Lebih terperinci

DOKUMEN ATURAN BERSAMA DESA KARANGASEM, KECAMATAN PETARUKAN, KABUPATEN PEMALANG

DOKUMEN ATURAN BERSAMA DESA KARANGASEM, KECAMATAN PETARUKAN, KABUPATEN PEMALANG DOKUMEN ATURAN BERSAMA DESA KARANGASEM, KECAMATAN PETARUKAN, KABUPATEN PEMALANG KONDISI FAKTUAL KONDISI IDEAL ATURAN BERSAMA YANG DISEPAKATI A. LINGKUNGAN 1. Jaringan Jalan dan Drainase Banyak rumah yang

Lebih terperinci

DESKRIPSI PROGRAM UTAMA

DESKRIPSI PROGRAM UTAMA DESKRIPSI PROGRAM UTAMA PERCEPATAN PEMBANGUNAN SANITASI PERMUKIMAN LATAR BELAKANG Sanitasi sebagai salah satu aspek pembangunan memiliki fungsi penting dalam menunjang tingkat kesejahteraan masyarakat,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Urbanisasi merupakan salah satu penyebab utama tumbuhnya kotakota di Indonesia. Salah satu kota yang memiliki populasi penduduk terbesar di dunia adalah Jakarta. Provinsi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sampai saat ini sepertiga populasi dunia tinggal di negara yang mengalami kesulitan air dan sanitasi yang bervariasi dari mulai sedang hingga sangat tinggi. Masalah

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI. Tabel 2.1 : Visi Misi Sanitasi Kabupaten Aceh Jaya. Visi Sanitasi Kabupaten

BAB II KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI. Tabel 2.1 : Visi Misi Sanitasi Kabupaten Aceh Jaya. Visi Sanitasi Kabupaten BAB II KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI 2.1 Visi Misi Sanitasi Tabel 2.1 : Visi Misi Sanitasi Kabupaten Aceh Jaya Visi Kabupaten Misi Kabupaten Visi Sanitasi Kabupaten Misi Sanitasi Kabupaten Kabupaten Aceh

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dengan tidak mengorbankan kelestarian sumberdaya alam itu sendiri.

I. PENDAHULUAN. dengan tidak mengorbankan kelestarian sumberdaya alam itu sendiri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumberdaya alam dan jasa lingkungan merupakan aset yang menghasilkan arus barang dan jasa, baik yang dapat dikonsumsi langsung maupun tidak untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Lebih terperinci

STUDI IDENTIFIKASI PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK KECAMATAN SEMARANG TENGAH, SEMARANG TIMUR, GAYAMSARI, DAN GENUK KOTA SEMARANG

STUDI IDENTIFIKASI PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK KECAMATAN SEMARANG TENGAH, SEMARANG TIMUR, GAYAMSARI, DAN GENUK KOTA SEMARANG STUDI IDENTIFIKASI PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK KECAMATAN SEMARANG TENGAH, SEMARANG TIMUR, GAYAMSARI, DAN GENUK KOTA SEMARANG Nureka Yuliani, Wiharyanto Oktiawan, dan Mochtar Hadiwidodo Program Studi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pencapaian target MDGs di bidang sanitasi memerlukan kebijakan dan strategi yang efektif. Oleh karena itu, diperlukan berbagai program dan kegiatan yang terukur dan

Lebih terperinci

Buku Putih Sanitasi Kota Bogor

Buku Putih Sanitasi Kota Bogor BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kondisi sanitasi merupakan salah satu komponen yang ikut mempengaruhi kondisi kesehatan masyarakat dan lingkungan yang secara tidak langsung juga turut berkontribusi

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG SALINAN PERATURAN DAERAH PROVINSI DAERAH KHUSUS IBUKOTA JAKARTA NOMOR 7 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN DAERAH NOMOR 10 TAHUN 1991 TENTANG PERUSAHAAN DAERAH PENGELOLAAN AIR LIMBAH DAERAH

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF PEMERINTAH KABUPATEN WAKATOBI KELOMPOK KERJA SANITASI KABUPATEN WAKATOBI

RINGKASAN EKSEKUTIF PEMERINTAH KABUPATEN WAKATOBI KELOMPOK KERJA SANITASI KABUPATEN WAKATOBI RINGKASAN EKSEKUTIF Program Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (Program PPSP) merupakan program yang dimaksudkan untuk mengarusutamakan pembangunan sanitasi dalam pembangunan, sehingga sanitasi

Lebih terperinci

BAB IV RENCANA PROGRAM PENGEMBANGAN SAAT INI

BAB IV RENCANA PROGRAM PENGEMBANGAN SAAT INI BAB IV RENCANA PROGRAM PENGEMBANGAN SAAT INI 4.1 Visi dan Misi AMPL Kabupaten Klaten A. VISI Visi Pembangunan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) Kabupaten Klaten : Terpenuhinya air minum dan sanitasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Buku Putih Sanitasi Kabupaten Grobogan Halaman 1 1

BAB I PENDAHULUAN. Buku Putih Sanitasi Kabupaten Grobogan Halaman 1 1 BAB I PENDAHULUAN 2.1 LATAR BELAKANG Rendahnya kepedulian masyarakat dan pemerintah terhadap peranan penyehatan lingkungan dalam mendukung kualitas lingkungan menyebabkan masih rendahnya cakupan layanan

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Program dan kegiatan Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP) diharapkan dapat memberikan pengaruh terhadap kesehatan, meningkatkan produktifitas dan meningkatkan

Lebih terperinci

Oleh: Auliya Ul Fikry Staf Subdit Kebijakan dan Strategi Dit. Bina Program

Oleh: Auliya Ul Fikry Staf Subdit Kebijakan dan Strategi Dit. Bina Program Pechakucha #14 Oleh: Auliya Ul Fikry Staf Subdit Kebijakan dan Strategi Dit. Bina Program MENJAGA KELESTARIAN AIR DAN LINGKUNGAN PADA KAWASAN KUMUH DENGAN PENERAPAN ALTERNATIF TEKNOLOGI SEDERHANA Kementerian

Lebih terperinci

KEBIJAKAN DAN PENANGANAN PENYELENGGARAAN AIR MINUM PROVINSI BANTEN Oleh:

KEBIJAKAN DAN PENANGANAN PENYELENGGARAAN AIR MINUM PROVINSI BANTEN Oleh: KEBIJAKAN DAN PENANGANAN PENYELENGGARAAN AIR MINUM PROVINSI BANTEN Oleh: R.D Ambarwati, ST.MT. Definisi Air Minum menurut MDG s adalah air minum perpipaan dan air minum non perpipaan terlindung yang berasal

Lebih terperinci

Lampiran A. Kerangka Kerja Logis Air Limbah

Lampiran A. Kerangka Kerja Logis Air Limbah Lampiran A. Kerangka Kerja Logis Air Limbah Permasalahan Mendesak Tujuan Sasaran Strategi Program Kegiatan 1. Meningkatnya pembangunan Tersedianya Tersedianya Penyusunan Masterplan Penyusunan Masterplan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mendorong peran dan membangun komitmen yang menjadi bagian integral

BAB I PENDAHULUAN. untuk mendorong peran dan membangun komitmen yang menjadi bagian integral BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Strategi kebijakan pelaksanaan pengendalian lingkungan sehat diarahkan untuk mendorong peran dan membangun komitmen yang menjadi bagian integral dalam pembangunan kesehatan

Lebih terperinci

BAB 1 : PENDAHULUAN. dan pengelolaan yang berkelanjutan air dan sanitasi untuk semua. Pada tahun 2030,

BAB 1 : PENDAHULUAN. dan pengelolaan yang berkelanjutan air dan sanitasi untuk semua. Pada tahun 2030, BAB 1 : PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Upaya kesehatan lingkungan berdasarkan Sustainable Development Goals (SDGs) tahun 2030 pada sasaran ke enam ditujukan untuk mewujudkan ketersediaan dan pengelolaan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso

KATA PENGANTAR. RTRW Kabupaten Bondowoso KATA PENGANTAR Sebagai upaya mewujudkan perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif, efisien dan sistematis guna menunjang pembangunan daerah dan mendorong perkembangan wilayah

Lebih terperinci

Profil Sanitasi Wilayah

Profil Sanitasi Wilayah BAB 3 Profil Sanitasi Wilayah 3.1. Kajian Wilayah Sanitasi Wilayah kajian sanitasi Kabupaten Nias adalah desa yang menjadi area sampel studi EHRA (Environmental Health Risk Assessment) yang terdiri dari

Lebih terperinci

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN

ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN ANALISIS PEREKONOMIAN PROVINSI MALUKU UTARA: PENDEKATAN MULTISEKTORAL MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ii ABSTRACT MUHAMMAD ZAIS M. SAMIUN. Analysis of Northern

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Air merupakan kebutuhan pokok untuk kehidupan manusia dengan segala macam kegiatannya, dipergunakan untuk keperluan rumah tangga, keperluan umum, industri, perdagangan,

Lebih terperinci

KINERJA PENGELOLAAN AIR DAN AIR LIMBAH DI PT TIFICO TANGERANG EMBOYO RETNO

KINERJA PENGELOLAAN AIR DAN AIR LIMBAH DI PT TIFICO TANGERANG EMBOYO RETNO KINERJA PENGELOLAAN AIR DAN AIR LIMBAH DI PT TIFICO TANGERANG EMBOYO RETNO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara 88 I. PENDAHULUAN Kawasan pesisir memerlukan perlindungan dan pengelolaan yang tepat dan terarah. Keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup menjadi tujuan akhir yang berkelanjutan. Telah

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG,

PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, SALINAN NOMOR 2/2017 PERATURAN DAERAH KOTA MALANG NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MALANG, Menimbang : a. bahwa dalam rangka meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh semua lapisan masyarakat yang memenuhi syarat kuantitas dan kualitasnya.

BAB I PENDAHULUAN. oleh semua lapisan masyarakat yang memenuhi syarat kuantitas dan kualitasnya. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Air sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia seharusnya dapat di akses oleh semua lapisan masyarakat yang memenuhi syarat kuantitas dan kualitasnya. Tapi

Lebih terperinci

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI

ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI ANALISIS STRUKTUR, PERILAKU DAN KINERJA INDUSTRI PAKAN TERNAK AYAM DI PROPINSI LAMPUNG DAN JAWA BARAT ANNA FITRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kepadatan penduduk di Kabupaten Garut telah mencapai 2,4 juta jiwa pada tahun 2006 memberikan konsekuensi pada perlunya penyediaan perumahan yang layak huni

Lebih terperinci

JENIS DAN KOMPONEN SPALD

JENIS DAN KOMPONEN SPALD LAMPIRAN I PERATURAN MENTERI PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT NOMOR 04/PRT/M/2017 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK JENIS DAN KOMPONEN SPALD A. KLASIFIKASI SISTEM PENGELOLAAN

Lebih terperinci

PROFIL KABUPATEN / KOTA

PROFIL KABUPATEN / KOTA PROFIL KABUPATEN / KOTA KOTA PINANG SUMATERA UTARA KOTA KOTA PINANG ADMINISTRASI Profil Kota Pinang merupakan ibukota kecamatan (IKK) dari Kecamatan Kota Pinang dan merupakan bagian dari kabupaten Labuhan

Lebih terperinci

Bab 1 Pendahuluan PEMUTAKHIRAN STRATEGI SANITASI KABUPATEN KUDUS. Pendahuluan 1.1. LATAR BELAKANG

Bab 1 Pendahuluan PEMUTAKHIRAN STRATEGI SANITASI KABUPATEN KUDUS. Pendahuluan 1.1. LATAR BELAKANG 1.1. LATAR BELAKANG Bab 1 Sektor sanitasi merupakan sektor yang termasuk tertinggal jika dibandingkan dengan sektor lain. Berdasarkan data yang dirilis oleh UNDP dan Asia Pacific MDGs Report 2010, disampaikan

Lebih terperinci

POKJA PPSP KABUPATEN SAROLANGUN BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

POKJA PPSP KABUPATEN SAROLANGUN BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pencapaian target MDGs di bidang sanitasi memerlukan kebijakan dan strategi yang efektif. Oleh karena itu, diperlukan berbagai program dan kegiatan yang terukur dan

Lebih terperinci

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG AIR TANAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang Mengingat : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal

Lebih terperinci

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... 1 HALAMAN PENGESAHAN... II PERNYATAAN... III ABSTRACT... IV INTISARI... V KATA PENGANTAR... VI DAFTAR ISI...

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... 1 HALAMAN PENGESAHAN... II PERNYATAAN... III ABSTRACT... IV INTISARI... V KATA PENGANTAR... VI DAFTAR ISI... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... 1 HALAMAN PENGESAHAN... II PERNYATAAN... III ABSTRACT... IV INTISARI... V KATA PENGANTAR... VI DAFTAR ISI... IX DAFTAR TABEL... XI DAFTAR GAMBAR... XII DAFTAR LAMPIRAN... XV

Lebih terperinci

PROFIL KABUPATEN / KOTA

PROFIL KABUPATEN / KOTA PROFIL KABUPATEN / KOTA KOTA SIDAMANIK SUMATERA UTARA KOTA SIDAMANIK ADMINISTRASI Profil Kota Kota Kisaran merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Simalungun Propinsi Sumatera Utara. PENDUDUK Jumlah

Lebih terperinci

BUPATI BANGKA SELATAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

BUPATI BANGKA SELATAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG BUPATI BANGKA SELATAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM AIR LIMBAH DOMESTIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Lebih terperinci

3.1 Rencana Kegiatan Air Limbah

3.1 Rencana Kegiatan Air Limbah 3.1 Rencana Kegiatan Air Limbah Salah satu sasaran pengelolaan pembangunan air limbah domestik Kota Tangerang yang akan dicapai pada akhir perencanaan ini adalah akses 100% terlayani (universal akses)

Lebih terperinci

RINGKASAN EKSEKUTIF PEMUTAKHIRAN STRATEGI SANITASI KABUPATEN SUMBAWA BARAT 2016

RINGKASAN EKSEKUTIF PEMUTAKHIRAN STRATEGI SANITASI KABUPATEN SUMBAWA BARAT 2016 KABUPATEN SUMBAWA BARAT 2016 RINGKASAN EKSEKUTIF Dokumen Pemutakhiran Strategi Sanitasi Kota (SSK) Tahun 2016 ini merupakan satu rangkaian yang tidak terpisahkan dengan dokumen lainnya yang telah tersusun

Lebih terperinci

KELOMPOK KERJA PPSP KABUPATEN SOPPENG TAHUN 2012 BAB I PENDAHULUAN

KELOMPOK KERJA PPSP KABUPATEN SOPPENG TAHUN 2012 BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat, Pemerintah Indonesia menetapkan sejumlah kebijakan yang mendukung percepatan kinerja pembangunan air minum dan sanitasi,

Lebih terperinci

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BREBES Nomor : 21 Tahun : 2008 PERATURAN DAERAH KABUPATEN BREBES NOMOR 13 TAHUN 2008 TENTANG I R I G A S I DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BREBES, Menimbang : a. bahwa

Lebih terperinci

Tujuan Penyediaan Prasarana

Tujuan Penyediaan Prasarana PERTEMUAN III Karakteristik Komponen yang memberi input kepada penduduk meliputi prasarana air minum dan listrik Komponen yang mengambil output dari penduduk meliputi prasarana drainase/ pengendalian banjir,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penduduk dapat ditampung dalam ruang-ruang sarana sosial dan ekonomi, tetapi tidak akan berjalan dengan baik tanpa didukung oleh pelayanan infrastruktur yang

Lebih terperinci

W ALIKOTA M AKASSAR PROVINSI SULAW ESI SELATAN

W ALIKOTA M AKASSAR PROVINSI SULAW ESI SELATAN WALIKOTA MAKASSAR PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KOTA MAKASSAR NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG PENGELOLAAN AIR LIMBAH DOMESTIK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA MAKASSAR, Menimbang : a.

Lebih terperinci

Strategi Perolehan Air Bersih dari Beberapa Kegiatan dan Aktivitas Masyarakat serta Industri di Indonesia

Strategi Perolehan Air Bersih dari Beberapa Kegiatan dan Aktivitas Masyarakat serta Industri di Indonesia Presentasi Workshop RKDM Kemenristek, 24 September 2014 Strategi Perolehan Air Bersih dari Beberapa Kegiatan dan Aktivitas Masyarakat serta Industri di Indonesia Dr. Ir. Setijo Bismo, DEA. dan Team RKDM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. situ, sungai, maupun cekungan air tanah. Indonesia memiliki lebih dari

BAB I PENDAHULUAN. situ, sungai, maupun cekungan air tanah. Indonesia memiliki lebih dari BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap tanggal 22 Maret, dunia memperingati Hari Air Sedunia (HAD), hari dimana warga dunia memperingati kembali betapa pentingnya air untuk kelangsungan hidup untuk

Lebih terperinci

PROFIL KABUPATEN / KOTA

PROFIL KABUPATEN / KOTA PROFIL KABUPATEN / KOTA KOTA BALIGE SUMATERA UTARA KOTA BALIGE ADMINISTRASI Profil Kota Kota Balige merupakan ibukota Kabupaten (IKAB) dari kabupaten Toba Samosir yang terletak di propinsi Sumatera Utara.

Lebih terperinci

2.1 Visi Misi Sanitasi

2.1 Visi Misi Sanitasi Penyiapan kerangka pembangunan sanitasi adalah merupakan milestone kedua dalam penyusunan Strategi Sanitasi Kota (SSK) dimana didalamnya terdapat sebuah tahapan yaitu formulasi visi misi. Berdasarkan Permendagri

Lebih terperinci

PERATURAN DESA SEGOBANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA SEGOBANG,

PERATURAN DESA SEGOBANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA SEGOBANG, PERATURAN DESA SEGOBANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA SEGOBANG, Menimbang Mengingat : a. bahwa lingkungan hidup yang baik merupakan hak asasi

Lebih terperinci

Lampiran 2: Hasil analisis SWOT

Lampiran 2: Hasil analisis SWOT LAMPIRANLAMPIRAN Lampiran : Hasil analisis SWOT o Tabel Skor untuk menentukan isu strategis dari isuisu yang diidentifikasi (teknis dan nonteknis) Subsektor Air Limbah Sub Sektor : AIR LIMBAH No. Faktor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan di Kabupaten Pasuruan dilaksanakan secara partisipatif, transparan dan akuntabel dengan berpegang teguh pada prinsip-prinsip dan pengertian dasar pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi

Lebih terperinci