I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang"

Transkripsi

1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengentasan kemiskinan (poverty allevation) telah menjadi komitmen dan kesepakatan bagi semua pihak. Secara global kesepakatan merujuk pada Tujuantujuan Pembangunan Millenium (Millenium Development Goals/MDGs) dengan sasaran indikator yang ingin dicapai yaitu mengurangi setengah angka kemiskinan pada tahun Di Indonesia urusan penanggulangan kemiskinan dijamin secara tegas dalam UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera. Komitmen Pemerintah Indonesia dalam pengentasan kemiskinan secara terinci dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang disusun berdasarkan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK, 2005), dengan target untuk mengurangi angka kemiskinan dari 18,2 persen pada tahun 2002 menjadi 8,2 persen pada tahun Pengentasan kemiskinan memiliki tantangan yang sangat besar untuk dicapai, karena permasalahan dan fenomena kemiskinan memiliki sifat dan karakteristik yang sangat beragam. Kemiskinan bukan hanya terkait dengan aspek ekonomi, akan tetapi juga terkait dengan aspek sosial, budaya, politik dan dimensi wilayah (spatial) serta rentan terhadap eksternalitas (RPJM dan Smeru 2008). Standing (2006) memandang sebab-sebab kemiskinan tidak berasal dari gejala sesaat, tetapi merupakan masalah struktural yang disebutnya kerentanan ekonomi (economic insecurity), yang dipengaruhi oleh risiko-risiko sosial ekonomi dan ketidakpastian serta kemampuan yang terbatas untuk mengatasi dan memulihkan diri (to recover). Di Indonesia terdapat pergerakan yang signifikan keluar masuknya penduduk di bawah garis kemiskinan. Contohnya, 38 persen rumah tangga miskin pada tahun 2004 ternyata tidak miskin pada tahun 2003 (Bank Dunia 2006). Di Kabupaten Barru juga terjadi pergerakan keluar masuknya rumah tangga di bawah garis kemiskinan, sekitar 14 persen rumah tangga miskin pada tahun 2006 tidak miskin pada tahun Guncangan pendapatan dan pengeluaran rumah tangga seperti kehilangan pekerjaan, gagal usaha, gagal panen, krisis moneter, kenaikan 1

2 harga BBM, bencana alam dan hilangnya pendapatan yang disebabkan oleh sakit dan biaya pengobatan, atau naiknya harga bahan pokok makanan seperti beras, dapat menyebabkan perubahan-perubahan mendadak dalam tingkat kemiskinan rumah tangga miskin (Smeru, 2008). Sedangkan Islam (2001), menyebutkan bahwa kerentanan dapat terjadi karena adanya guncangan pada tingkat mikro seperti pencari nafkah sakit atau meninggal dunia, pada tingkat meso seperti adanya gagal panen, fluktuasi harga produk dan degradasi lingkungan, dan pada tingkat makro karena krisis moneter atau finansial. Bank Dunia (2006) melaporkan bahwa angka kemiskinan nasional menyembunyikan sejumlah besar penduduk yang hidup sedikit saja di atas garis kemiskinan nasional. Hampir 42 persen dari seluruh penduduk Indonesia hidup diantara garis kemiskinan US$1 dan US$2 per hari. Hal ini menunjukkan bahwa kerentanan rumah tangga untuk jatuh miskin sangat tinggi di Indonesia. Dengan demikian, maka penelitian dan pemahaman tentang kerentanan dalam penanggulangan kemiskinan dianggap sangat penting, mengingat bahwa risiko sebagian besar rumah tangga di Indonesia akan jatuh ke bawah garis kemiskinan ketika terjadi ketidakpastian ekonomi atau guncangan (shock). Dalam kebijakan pengentasan kemiskinan aspek makro ekonomi yang sering dianggap perlu adalah pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan. Pertumbuhan ekonomi, merupakan syarat perlu tapi belumlah cukup, artinya perlu kebijakan lain seperti pengendalian tingkat inflasi dan tingkat suku bunga. Kebijakan yang terkait dengan individu atau rumah tangga dalam tataran mikro serta aspek spasial perlu menjadi perhatian khusus, karena terkait dengan kemampuan internal dalam pengentasan kemiskinan. Beberapa penelitian yang telah dilakukan terkait dengan kemiskinan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif menunjukkan hasil yang berbeda antara satu lokasi dan waktu. Dari aspek makro beberapa penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan dalam mengurangi kemiskinan, namun magnitude pengaruh tersebut relatif tidak besar. Inflasi maupun populasi penduduk juga berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan, namun besaran pengaruh masing-masingnya relatif kecil (Wahyuniarti dan Siregar 2007; Ravallion, 2001; dan Adams 2004). Peningkatan share sektor pertanian dan share 2

3 sektor industri juga signifikan mengurangi jumlah kemiskinan. Variabel yang signifikan dan relatif besar pengaruhnya terhadap penurunan jumlah kemiskinan adalah pendidikan. Fenomena kemiskinan berdasarkan wilayah menunjukkan karakteristik dan penciri yang berbeda sebagaimana dilaporkan beberapa penelitian terdahulu, terutama di negara-negara berkembang tidak terkecuali Indonesia. Studi yang dilakukan oleh Harniati (2007) di Indonesia menunjukkan bahwa kemiskinan berasosiasi kuat dengan faktor lokasi (spasial) berdasarkan agroekosistem. Tipologi kemiskinan berbeda pada setiap agroekosistem dimana hutan memiliki insiden kemiskinan tertinggi dibandingkan agroekosistem lainnya diikuti oleh lahan campuran. Agroekosistem dataran tinggi, lahan basah dan lahan kering serta pesisir/pantai insiden kemiskinannya berada di bawah angka insiden nasional. Namun, jumlah rumah tangga miskin di lahan kering dan dataran tinggi jauh lebih besar daripada di lahan basah dan pesisir/pantai. Selanjutnya disebutkan bahwa, kerentanan terhadap kemiskinan di lahan basah lebih rentan terhadap perubahan misalnya perubahan harga barang dan jasa yang termasuk dalam bundel garis kemiskinan. Ternyata, rumah tangga di kawasan hutan relatif paling rendah kerentanannya dibandingkan dengan agroekosistem lainnya. Studi yang dilakukan oleh Usman et al. (2005) di Indonesia menemukan bahwa pada sisi karakteristik wilayah, daerah pegunungan ternyata memiliki risiko kemiskinan lebih tinggi dibandingkan daerah pantai dan dataran rendah. Sementara itu, daerah pantai memiliki risiko kemiskinan paling rendah. Daerah pegunungan dengan potensi yang terbatas seperti lahan tandus, berada pada kemiringan, terisolir serta terbatasnya infrastruktur fisik dan sosial ekonomi. Kondisi ini menyebabkan rendahnya kualitas sumberdaya manusia, dan penduduk dalam melakukan aktivitas ekonominya membutuhkan biaya tinggi sehingga produktivitasnya rendah sebagai penyebab tingginya risiko penduduk terhadap kemiskinan. Di samping itu, perbedaan potensi dan kondisi infrastruktur fisik, sosial dan ekonomi antar wilayah menyebabkan perbedaan peluang-peluang ekonomi rumah tangga antar wilayah pula. Selanjutnya, hal ini berpengaruh pula pada perbedaan peluang atau kerentanan rumah tangga terhadap kemiskinan. Sejalan dengan itu, 3

4 pemahaman tentang karakteristik wilayah dan keluarga miskin pada tataran mikro secara lokalitas dianggap penting dan strategis dalam konteks pendalaman permasalahan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat miskin, serta diagnosis dalam perumusan intervensi kebijakan penanggulangan kemiskinan ke depan. Dalam studi ini karakteristik wilayah disesuaikan dengan demografi dan tipologi Kabupaten Barru sebagai lokasi penelitian. Kabupaten Barru mempunyai tiga tipologi wilayah, yaitu wilayah pesisir, dataran rendah, dan pegunungan. Lima kecamatan dari tujuh kecamatan yang ada di Kabupaten Barru merupakan wilayah kecamatan yang memiliki pantai/pesisir dan dua kecamatan lainnya tidak memiliki wilayah pesisir dan pantai. Dari 54 desa/kelurahan yang ada, 29 diantaranya berada pada lokasi pesisir/pantai dan 13 desa/kelurahan berada pada daerah pegunungan serta 12 desa/kelurahan merupakan daerah dataran rendah. Berbagai upaya telah dilakukan baik oleh Pemerintah maupun Pemerintah Daerah bahkan melibatkan lembaga internasional dan lembaga swadaya masyarakat (Non Government Organization/NGO) dengan waktu dan biaya yang tidak terhitung jumlahnya. Hal ini seiring dengan diimplementasikannya otonomi daerah yang dibarengi dengan desentralisasi fiskal, dimana pemerintah daerah diberikan kewenangan besar dalam menetapkan kebijakan publik melalui APBD termasuk dalam alokasi anggaran pengentasan kemiskinan. Berdasarkan pada berbagai program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan tersebut dan semakin meningkatnya atau membaiknya asumsi-asumsi makroekonomi, maka seyogyanya jumlah penduduk miskin dapat ditanggulangi secara signifikan dan permanen. Namun demikian, upaya tersebut belum memberikan hasil yang optimal sesuai dengan yang telah ditetapkan. Secara nasional target penurunan jumlah kemiskinan menjadi 8,2 persen pada tahun 2009 seperti dijelaskan sebelumnya sudah dapat dipastikan tidak akan tercapai. Realitas di sebagian besar daerah Kabupaten/Kota di Indonesia menunjukkan bahwa hal ini belum terpenuhi (Hirawan 2007). Indikasi menguatnya permasalahan atau melemahnya kinerja penanggulangan kemiskinan dapat dilihat dari naik-turunnya jumlah penduduk miskin, baik antar waktu maupun antar wilayah. Pada periode proporsi penduduk miskin mengalami penurunan dari 20,23 persen menjadi 20,11 persen 4

5 pada daerah perdesaan, dan di perkotaan menurun dari 13,57 persen menjadi 12,13 persen. Dalam periode , proporsi penduduk miskin mengalami peningkatan yang relatif signifikan, dimana pada daerah perdesaan meningkat dari 19,5 persen menjadi 21,9 persen dan di perkotaan dari 11,4 persen menjadi 13,4 persen. Sedangkan pada periode secara proporsional terjadi penurunan kembali yaitu dari 20,37 persen menjadi 18,93 persen di daerah perdesaan dan di daerah perkotaan menurun dari 12,52 persen menjadi 11,65 persen (BPS 2008). Secara umum perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia pada periode menunjukkan hasil yang berfluktuasi dari tahun ke tahun meskipun terlihat ada kecenderungan menurun pada periode sebagaimana dilihat pada Tabel 1 berikut (BPS 2008). Tabel 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin di Indonesia Menurut Wilayah, periode ) 2) 3) Tahun ) ) ) ) ) ) ) ) ) Jumlah Penduduk Miskin (juta) Persentase Penduduk Miskin (%) Kota Desa Kota+ Desa Kota Desa Kota+ Desa 12,30 26,40 38,70 14,60 22,38 19,14 8,60 29,30 37,90 9,76 24,84 18,41 13,30 25,10 38,40 14,46 21,10 18,20 12,20 25,10 37,30 13,57 20,23 17,42 11,40 24,80 36,10 12,13 20,11 16,66 12,40 22,70 35,10 11,68 19,98 15,97 14,49 24,81 39,30 13,47 21,81 17,75 13,56 23,61 37,17 12,52 20,37 16,58 12,77 22,19 34,96 11,65 28,93 15,42 Catatan:Dihitung dengan metode 1998 Dihitung berdasarkan data Susenas Kor 2000 dan 2001 Dihitung berdasarkan data Susenas Panel Modul Konsumsi Feb 2003, 2004, dan 2005 Dihitung berdasarkan data Susenas Panel Modul Konsumsi Maret 2006, 2007, dan 2008 Sedangkan perkembangan jumlah dan persentase penduduk miskin di Kabupaten Barru tahun , juga menunjukkan hasil yang berfluktuasi pada tiga dimensi wilayah. Tingkat persentase rumah tangga miskin di Barru yang tertinggi adalah pada wilayah pesisir, disusul wilayah pegunungan dan paling rendah pada wilayah dataran rendah. Pada periode yang sama kecenderungan terjadinya fluktuasi pada semua wilayah sebagaimana digambarkan Tabel 2. Dari Tabel 2 tersebut, dapat disimpulkan bahwa penanganan masalah kemiskinan baik di Indonesia maupun di Kabupaten Barru belum berhasil dengan baik dan menunjukkan kecenderungan yang berfluktuasi. Keluar masuknya rumah tangga di bawah garis kemiskinan, di samping disebabkan oleh ketidakmampuan 5

6 untuk mengatasi permasalahan kemiskinan yang melilitnya, juga dipengaruhi oleh adanya eksternalitas seperti kebijakan pengentasan kemiskinan dan gejolak atau guncangan ekonomi. Artinya, kebijakan penanggulangan kemiskinan yang dilakukan selama ini masih bersifat universal terhadap rumah tangga di satu sisi, padahal di sisi lain rumah tangga miskin memiliki karakteristik permasalahan yang berbeda antara satu dengan lainnya (individu dan rumah tangga) serta antar waktu dan antar wilayah. Di samping itu, sebagian besar program pengentasan kemiskinan masih bersifat top-down, parsial dan tidak berkelanjutan serta kurangnya inovasi baru dari pemerintah daerah dalam kebijakan pengentasan kemiskinan yang disesuaikan dengan fenomena dan permasalahan lokal yang dihadapi (Smeru 2008 dan Hardojo et al, 2008). Tabel 2. Tingkat Perkembangan Rumah Tangga Miskin (RTM) berdasarkan karakateristik wilayah di Kabupaten Barru ( ) Tahun Jumlah RTM RTM Pesisir Persentase (%) Jumlah RTM D. Rendah Persentase (%) Jumlah RTM Pegunungan Persentase (%) Sumber : Diolah dari data Badan Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Barru Mengacu pada uraian dan beberapa hasil penelitian tersebut di atas menunjukkan kompleksitas permasalahan kemiskinan baik dari segi penyebab, lokasi dan hirarki penanganannya. Kemiskinan merupakan masalah yang sangat 6

7 besar dan tidak bisa dibiarkan berlarut-larut atau dibiarkan semakin parah, karena pada akhirnya akan menimbulkan konsekuensi politik dan sosial yang besar pada keberlangsungan suatu negara (Tambunan 2003). Bahkan, Smeru (2001) mengatakan bahwa setidaknya ada empat aspek utama mengapa upaya pengentasan kemiskinan menjadi penting bagi daerah maupun secara nasional, yaitu aspek kemanusiaan, aspek ekonomi, aspek sosial dan politik, dan aspek keamanan. Menyadari pentingnya pengentasan kemiskinan, maka dalam penelitian ini di fokuskan pada kerentanan dan determinan kemiskinan dengan menggunakan pendekatan mikro dan makro yang dikaitkan dengan karakteristik wilayah pada lokasi dan unit analisis yang lebih kecil di Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan Perumusan Masalah Kemiskinan identik dengan ketidakadilan, ketidakberdayaan atau ketidakmampuan, ketidakadaan akses, dan keterbelakangan. Serba ketidakadaan ini mengepung orang miskin dan menjadi perangkap kemiskinan poverty trap sehingga orang miskin sulit untuk keluar dari garis kemiskinan. Munandar (2003) menyebutkan bahwa penduduk menjadi miskin karena terbatasnya sumberdaya yang mereka miliki, pendidikan rendah, kekurangmampuan mereka dalam hal teknis dan manajemen, keterbatasan akses pada sumber permodalan, ketimpangan distribusi lahan, ketimpangan jender, bencana alam, dan kealpaan pemerintah melalui kebijakan yang kurang berpihak pada penduduk miskin. Kondisi kemiskinan tidak hanya membuat mereka memiliki pendapatan rendah, melainkan juga menghadapi kerentanan yang tinggi, suara mereka kurang didengar, keberadaan mereka luput diperhatikan, dan mereka tersingkir dari komunikasi global. Faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan sangat beragam, berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain, dari satu wilayah dengan wilayah lain, bahkan dari satu waktu ke waktu lain. Karena itu, kebijakan penanggulangan kemiskinan yang bersifat universal dan sifatnya memberi santunan tidak terlalu tepat. Secara umum permasalahan kemiskinan dipengaruhi oleh beberapa faktor 7

8 yang terkait dengan aspek mikro-makro ekonomi dan aspek wilayah sebagai berikut (Menko Kesra 2007; Smeru 2006; Todaro dan Smith 2003; dan Rustiadi et al. 2009) : 1. Ketidakadilan dalam memperoleh akses di bidang permodalan, pendidikan, kesehatan, pangan dan insfrastruktur serta peluang usaha dan peluang kerja yang berakibat kegagalan kepemilikan terhadap tanah dan modal. Ketidakadilan tersebut berdampak pada tingkat pendidikan, derajat kesehatan, pemenuhan kebutuhan dasar, dan rendahnya produktivitas masyarakat yang pada akhirnya berpengaruh kepada tingkat pendapatan masyarakat karena upahnya pun rendah 2. Ketidakadilan pertumbuhan dalam strata ekonomi, antar daerah dan antar sektor. Pertumbuhan ekonomi merupakan variabel utama yang digunakan untuk mengukur kemajuan suatu negara atau wilayah serta digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan. Namun demikian, pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap penanggulangan kemiskinan sangat dipengaruhi oleh ketimpangan pendapatan masyarakat. Artinya, pertumbuhan ekonomi berpengaruh secara signifikan terhadap penanggulangan kemiskinan ketika ketimpangan awal tidak terlalu lebar, dan juga terjadi secara signifikan pada negara-negara maju atau negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Sementara pada negara yang pertumbuhan ekonominya rendah dengan ketimpangan pendapatan yang lebar pengaruh pertumbuhan ekonomi tidak signifikan dalam menanggulangi kemiskinan. Blank (2003) menyimpulkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan memiliki hubungan tergantung pada waktu dan tempat. 3. Kerentanan dan ketidakmampuan menghadapi guncangan karena: krisis ekonomi, kegagalan panen, PHK, konflik sosial politik, korban kekerasan sosial dan rumah tangga, bencana alam dan musibah. Ketidakmampuan menghadapi guncangan atau eksternalitas karena kekurangmampuan atau keterbatasan sumberdaya sosial, ekonomi, dan politik yang dimiliki. Oleh karena itu, kebijakan penanggulangan kemiskinan yang berfokus pada rumah tangga miskin tanpa memerhatikan secara mendalam klasifikasi atau kategori kemiskinan, seperti kemiskinan kronik, miskin serta rumah tangga yang rentan 8

9 atau berada sedikit di atas garis kemiskinan memicu pelaksanaan program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan yang tidak optimal yang ditunjukkan oleh adanya kecenderungan keluar masuknya rumah tangga dalam kemiskinan tanpa terkendali. 4. Tidak adanya suara yang mewakili dan terpuruknya ketidakberdayaan di dalam institusi negara dan masyarakat karena: tidak ada kepastian hukum, kebijakan publik yang tidak mendukung upaya penanggulangan kemiskinan serta rendahnya posisi tawar masyarakat miskin. 5. Kebijakan pembangunan yang bias perkotaan dan bias sektor. Kebijakan pembangunan yang berfokus pada perkotaan tanpa memerhatikan keterkaitan antara kota dan desa yang baik memicu timbulnya eksploitasi yang saling merugikan, di perkotaan muncul fenomena berupa polusi, pengangguran, kemacetan, kriminalitas dan lainnya. Sementara di perdesaan memicu matinya inovasi dan kreasi yang diakibatkan oleh adanya backwash effect yang massif dan terjadinya brain drain. 6. Adanya perbedaan sumberdaya manusia dan perbedaan antar sektor ekonomi antar wilayah. Perbedaan sumberdaya manusia dan perbedaan sektor ekonomi antar wilayah menyebabkan produktivitas dan tingkat pembentukan modal berbeda. Di samping itu, perbedaan tersebut menimbulkan distribusi pendapatan yang timpang, penduduk miskin hanya memiliki sumberdaya dalam jumlah yang terbatas dan kualitasnya rendah. Perbedaan ini mengindikasikan bahwa intervensi program penanggulangan kemiskinan harusnya berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya. 7. Keterbelakangan dan keterisolasian secara geografis. Keterbelakangan dan keterisolasian menyebabkan produktivitas yang tidak maksimal yang diakibatkan dengan tingginya biaya produksi dan biaya mobilitas tenaga kerja dan produksi. Perbedaan biaya produksi antar wilayah menyebabkan perbedaan kesempatan untuk meraih peluang-peluang ekonomi antar wilayah, sehingga berdampak pada perbedaan dalam tingkat kesejahteraan. Dalam penelitian ini beberapa permasalahan kemiskinan tersebut di atas, dijadikan sebagai rujukan untuk melihat fenomena kemiskinan yang terkait dengan kerentanan dan determinan kemiskinan di Kabupaten Barru. Kabupaten 9

10 Barru merupakan salah satu dari 199 kabupaten tertinggal di Indonesia yang ditetapkan oleh Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (Keputusan Menteri Pembangunan Daerah Tertinggal Nomor. 001/KEP/M-PDT/2005). Dalam kurun waktu pertumbuhan ekonomi Kabupaten Barru selalu positif, kecuali tahun 1998 (-5,97%). Demikian halnya dengan indikator indeks pembangunan manusia (IPM) menunjukkan hasil yang semakin baik selama lima tahun terakhir. Diterapkannya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal berimplikasi juga pada meningkatnya secara signifikan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yaitu dari Rp pada tahun 1990 meningkat menjadi Rp pada tahun Jumlah investasi juga mengalami peningkatan dari Rp ,- pada tahun 2004 menjadi Rp ,- pada tahun Di samping itu, jumlah kredit investasi dan modal kerja yang disalurkan oleh perbankan juga mengalami peningkatan sebesar Rp ,- pada tahun 2000 menjadi sebesar Rp , pada tahun 2004 atau mengalami peningkatan sebesar persen (BPS Kabupaten Barru 2008). Angka kemiskinan di Kabupaten Barru memperlihatkan kecenderungan yang berfluktuasi dan masih berada di atas rata-rata kemiskinan Provinsi Sulawesi Selatan dan nasional. Proporsi atau persentase rumah tangga miskin berdasarkan wilayah di Kabupaten Barru, menunjukkan bahwa rumah tangga miskin yang terbesar persentasenya berada pada wilayah pesisir, kemudian disusul oleh wilayah pegunungan dan terkecil pada wilayah dataran rendah (Grafik 1). Dari Grafik dapat ditunjukkan bahwa pada saat krisis moneter tahun 1997/1998 terjadi peningkatan kemiskinan di Kabupaten Barru dan mencapai puncaknya pada tahun Demikian halnya pada wilayah pesisir pada awalnya mengalami penurunan pada tahun 1998, hal ini diakibatkan oleh meningkatnya harga komoditi perikanan pada awal resesi ekonomi. Di sisi lain, peningkatan harga komoditi perikanan yang memiliki nilai ekspor sifatnya hanya sementara, karena dengan terjadinya krisis moneter juga berdampak pada kontraksi pertumbuhan ekonomi yang berdampak menurunnya sisi permintaan. Di samping 10

11 itu, peningkatan harga komoditi perikanan tidak berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat banyak dan hanya dinikmati oleh segelintir orang. Hal tersebut dibuktikan oleh meingkatnya jumlah penduduk miskin pada tahun 1999, yang diindikasikan bukan hanya disebabkan oleh krisis moneter pada tahun 1997/1998, akan tetapi juga dipengaruhi oleh terjadinya bencana alam berupa banjir yang melanda Kabupaten Barru khususnya pada wilayah pesisir dan dataran rendah pada tahun Banjir yang melanda Kabupaten Barru pada tahun 1998, menyebabkan penduduk yang berdomisili di wilayah pesisir dan dataran rendah mengalami gagal panen (sawah dan tambak). Di samping kegagalan panen yang terjadi pada wilayah pesisir dan dataran rendah akibat banjir juga berdampak pada rusaknya rumah penduduk pada kedua wilayah. Kedua kondisi ini berperan dalam mendorong peningkatan jumlah penduduk miskin terutama pada wilayah pesisir dari 47,24 persen pada tahun 1998 menjadi 59,06 persen pada tahun Grafik 1. Perkembangan Rumah Tangga Miskin di Kabupaten Barru Berdasarkan Karakteristik Wilayah ( ). Persentase RTM thdp Total RT Kab Barru (%) Sumber : Diolah dari Data Badan Kependudukan dan Catatan Sipil dan BPS Kabupaten Barru, Selanjutnya, di wilayah pegunungan pada saat krisis moneter tahun 1997/1998 pada awalnya mengalami penurunan jumlah penduduk miskin, akan tetapi berangsur-angsur mengalami peningkatan, tetapi tidak sebesar dibandingkan peningkatan jumlah penduduk miskin pada wilayah pesisir. Penurunan penduduk miskin pada wilayah pegunungan disebabkan oleh beberapa 1998 Pesisir (%) D.Rendah (%) Pegunungan (%) Total (%)

12 hal seperti meningkatnya harga produk pertanian yang memiliki nilai eksport tinggi seperti coklat, kemiri, kopi dan jambu mete. Di samping itu, fluktuasi kemiskinan di wilayah pegunungan juga disebabkan oleh adanya bencana alam berupa angin puting beliung (Angin Barubu) yang secara siklus terjadi dan terparah pada tahun Dari uraian dan data tersebut di atas menunjukkan bahwa, adanya eksternalitas seperti bencana alam dan krisis moneter berdampak pada meningkatnya penduduk miskin. Hal tersebut merupakan salah satu penyebab gagalnya program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan dalam mengatasi masalah kemiskinan. Selain penyebab tersebut, menurut Prihatini (2008) bahwa pada dasarnya ada dua faktor penting yang menyebabkan kegagalan program dan kegiatan penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Pertama, program-program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Kedua, yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga programprogram penanggulangan kemiskinan serta program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal dan waktu. Sementara itu Sumodiningrat 2005; Ritonga 2003; dan Mega 2003; menyatakan bahwa kegagalan program-program penanggulangan kemiskinan disebabkan oleh beberapa kelemahan mendasar, antara lain (1) pembangunan terlalu berorientasi pada pertumbuhan ekonomi dan kurang memerhatikan pemerataan, (2) cenderung lebih menekankan pendekatan sektoral dan kuatnya arogansi sektoral, (3) kurang mempertimbangkan persoalan-persoalan kemiskinan yang multidimensi, (4) cenderung terfokus pada orientasi kedermawanan, (5) menganggap diri lebih hebat dan tahu segala-galanya, (6) monopoli pemerintah dalam upaya penanggulangan kemiskinan, dan (7) kurangnya pemahaman tentang akar penyebab kemiskinan. 12

13 Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Bagaimana karakteristik rumah tangga miskin berdasarkan tipologi wilayah di Kabupaten Barru? 2. Bagaiamana pengaruh tingkat pendidikan, kesehatan, aksesibilitas, kondisi ekonomi rumah tangga, dan tingkat partisipasi dalam proses pembangunan terhadap kerentanan kemiskinan di Kabupaten Barru?. 3. Apakah kerentanan rumah tangga miskin di Kabupaten Barru berbeda magnitutnya berdasarkan karakteristik wilayah (pesisir, dataran rendah, dan pegunungan?. 4. Apakah pertumbuhan ekonomi, belanja pemerintah, pendapatan asli daerah, inflasi, share sektor terhadap PDRB, dan krisis moneter berpengaruh secara nyata dan signifikan terhadap kemiskinan di Kabupaten Barru? 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan uraian dan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini secara umum bertujuan untuk : 1. Mengidentifikasi karakteristik rumah tangga miskin berdasarkan tipologi wilayah di Kabupaten Barru. 2. Menganalisis pengaruh tingkat pendidikan, kesehatan, aksesibilitas, kondisi ekonomi rumah tangga, dan tingkat partisipasi masyarakat dalam proses pembangungan, serta aspek kewilayahan terhadap kerentanan kemiskinan di Kabupaten Barru. 3. Menganalisis tingkat kerentanan rumah tangga miskin berdasarkan karakteristik wilayah di Kabupaten Barru. 4. Menganalisis pengaruh pertumbuhan ekonomi, belanja pemerintah, pendapatan asli daerah, peningkatan harga barang dan jasa (GDP_Deflator), share sektor terhadap PDRB, dan krisis moneter terhadap kemiskinan di Kabupaten Barru. 13

14 1.4. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi dunia akademik dalam memperkaya khasanah pengetahuan tentang pengentasan kemiskinan di Indonesia, terutama yang terkait dengan kerentanan dan determinan kemiskinan pada wilayah pesisir, dataran rendah, dan pegunungan. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam pengambilan kebijakan yang terkait dengan percepatan penanggulangan kemiskinan di Indonesia pada umumnya dan khususnya Pemerintah Daerah Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian. Penelitian ini difokuskan pada analisis kerentanan rumah tangga miskin yang terkait dengan aspek mikro atau aspek internal rumah tangga dan individu. Dalam aspek mikro variabel yang terkait dengan kerentanan rumah tangga miskin meliputi jenis kelamin, umur, jumlah anggota/tanggungan rumah tangga, pendidikan, kesehatan, kepemilikan lahan/aset, akses ke pelayanan publik, tingkat partisipasi dalam proses pembangunan, dan aspek kewilayahan. Sedangkan dalam aspek makro, faktor determinan yang berpengaruh dalam penelitian ini adalah variabel yang terkait dengan pertumbuhan ekonomi (PDRB per kapita), belanja pemerintah (yang diarahkan untuk bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan pertanian), pendapatan asli daerah (PAD), peningkatan harga barang dan jasa secara keseluruhan (GDP_Deflator), share sektor terhadap PDRB, dummy desentralisasi fiskal dan dummy krisis moneter. Dalam menganalisis karakteristik rumah tangga miskin berdasarkan wilayah dilakukan dengan pendekatan deskriptif berupa tabel dan grafik. Namun, untuk mempertegas perbedaan karakteristik rumah tangga berdasarkan wilayah dilakukan analisis atau uji beda nilai tengah (Anova). Sementara dalam menganalisis kerentanan rumah tangga miskin dilakukan dengan pendekatan ekonometrika dengan persamaan regresi logit (Binary Logistic Regression). Sedangkan untuk menganalisis determinan kemiskinan atau faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan berdasarkan aspek makro dianalisis dengan menggunakan pendekatan ekonometrika dengan persamaan kuadrat terkecil (Ordinary Least Square atau OLS). 14

15 1.6. Kebaruan (Novelty) Penelitian. Kebaruan novelty dari penelitian analisis kerentanan dan determinan kemiskinan berdasarkan karakteristik wilayah di Kabupaten Barru dapat dilihat dari dua aspek sebagai berikut : 1. Mengkonfirmasi atau mengkonfrontir beberapa hasil penelitian terkait dengan kerentanan rumah tangga miskin berdasarkan karakteristik wilayah. Usman (2005) menyebutkan bahwa kerentanan rumah tangga terhadap kemiskinan tertinggi pada wilayah pegunungan, demikian halnya dengan insiden kemiskinan terbesar pada wilayah pegunungan. Sedangkan Harniati (2007) menyebutkan bahwa kerentanan rumah tangga terhadap kemiskinan tertinggi pada agroekosistem lahan basah dan rumah tangga di kawasan hutan relatif paling rendah kerentanannya dibanding agroekosistem lainnya. 2. Pendekatan kebijakan tidak bisa dilakukan secara universal atau homogen pada seluruh wilayah Indonesia, maka diperlukan penelitian atau pengkajian fenomena dan karakteristik kemiskinan secara lokalitas, dimana Di Kabupaten Barru Provinsi Sulawesi Selatan belum ada penelitian yang mengkaji tentang kerentanan dan determinan kemiskinan. 15

III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS III. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1. Kerangka Pemikiran Saat ini komitmen global menempatkan masalah kemiskinan sebagai prioritas utama. Begitu pentingnya masalah kemiskinan, sehingga Rencana Kerja

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan ekonomi. Permasalahan kemiskinan dialami oleh setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang.

Lebih terperinci

V. TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN

V. TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN V. TIPOLOGI KEMISKINAN DAN KERENTANAN Pada tahap pertama pengolahan data, dilakukan transfer data dari Podes 2003 ke Susenas 2004. Ternyata, dari 14.011 desa pada sample SUSENAS 13.349 diantaranya mempunyai

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atau struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi.

I. PENDAHULUAN. membangun infrastruktur dan fasilitas pelayanan umum. pasar yang tidak sempurna, serta eksternalitas dari kegiatan ekonomi. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan yang dilakukan oleh setiap pemerintahan terutama ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, membuka kesempatan kerja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. multidimensi, yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek. hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi.

BAB I PENDAHULUAN. multidimensi, yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek. hidupnya sampai suatu taraf yang dianggap manusiawi. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang bersifat multidimensi, yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya. Kemiskinan juga didefinisikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. terbukti PBB telah menetapkan Millenium Development Goals (MDGs). Salah

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. terbukti PBB telah menetapkan Millenium Development Goals (MDGs). Salah BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Dewasa ini, masalah kemiskinan telah menjadi masalah internasional, terbukti PBB telah menetapkan Millenium Development Goals (MDGs). Salah satu tujuan yang ingin dicapai

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan hal itu, hasil-hasil pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh

I. PENDAHULUAN. Berdasarkan hal itu, hasil-hasil pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan adalah usaha untuk menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat yang mencakup berbagai aspek kehidupan baik aspek politik, ekonomi, idiologi, sosial budaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada saat ini bangsa Indonesia harus menghadapi perubahan internal dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi dengan berbagai masalah yang belum tuntas terpecahkan

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Gambaran Umum Inflasi di Pulau Jawa

IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Gambaran Umum Inflasi di Pulau Jawa IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Gambaran Umum Inflasi di Pulau Jawa Selama periode 2001-2010, terlihat tingkat inflasi Indonesia selalu bernilai positif, dengan inflasi terendah sebesar 2,78 persen terjadi pada

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pembangunan

I. PENDAHULUAN. yang lebih baik dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pembangunan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan sebagai suatu proses berencana dari kondisi tertentu kepada kondisi yang lebih baik dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan. Pembangunan tersebut bertujuan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh si miskin. Penduduk miskin pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat

BAB I PENDAHULUAN. oleh si miskin. Penduduk miskin pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan situasi serba kekurangan yang terjadi bukan dikehendaki oleh si miskin. Penduduk miskin pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat pendidikan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan dalam bangsa, yaitu peningkatan pertumbuhan ekonomi, perubahan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan dalam bangsa, yaitu peningkatan pertumbuhan ekonomi, perubahan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang dinamis dalam mengubah dan meningkatkan kesehjateraan masyarakat. Ada tiga indikator keberhasilan suatu pembangunan dalam

Lebih terperinci

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN

RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN Lampiran I Peraturan Bupati Pekalongan Nomor : 17 Tahun 2015 Tanggal : 29 Mei 2015 RENCANA KERJA PEMERINTAH DAERAH (RKPD) KABUPATEN PEKALONGAN TAHUN 2016 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut

BAB I PENDAHULUAN. baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut 16 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana pemerintah daerah dan seluruh komponen masyarakat mengelola berbagai sumber daya yang ada dan membentuk pola

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah. Pembangunan adalah kenyataan fisik sekaligus keadaan mental (state

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Masalah. Pembangunan adalah kenyataan fisik sekaligus keadaan mental (state BAB 1 PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Pembangunan adalah kenyataan fisik sekaligus keadaan mental (state of mind) dari suatu masyarakat yang telah melalui kombinasi tertentu dari proses sosial,

Lebih terperinci

MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1

MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1 MENINGKATKAN PERAN SEKTOR PERTANIAN DALAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN 1 A. KONDISI KEMISKINAN 1. Asia telah mencapai kemajuan pesat dalam pengurangan kemiskinan dan kelaparan pada dua dekade yang lalu, namun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak

BAB I PENDAHULUAN. untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan serangkaian usaha dalam suatu perekonomian untuk mengembangkan kegiatan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak tersedia, perusahaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan kemakmuran masyarakat yaitu melalui pengembangan. masalah sosial kemasyarakatan seperti pengangguran dan kemiskinan.

BAB I PENDAHULUAN. mewujudkan kemakmuran masyarakat yaitu melalui pengembangan. masalah sosial kemasyarakatan seperti pengangguran dan kemiskinan. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses yang terintegrasi dan komprehensif dari perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian yang tidak terpisahkan. Di samping mengandalkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah

BAB I PENDAHULUAN. dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah yang bersifat multidimensional yang berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, dan aspek lainnya yang menjadi masalah dalam pembangunan.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menentukan maju tidaknya suatu negara. Menurut Adam Smith (2007) tidak ada masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. menentukan maju tidaknya suatu negara. Menurut Adam Smith (2007) tidak ada masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan masalah sosial terbesar yang dihadapi oleh setiap negara di dunia dan setiap negara berusaha untuk mengatasinya. Kemiskinan adalah faktor yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Posisi manusia selalu menjadi tema sentral dalam setiap program pencapaian pembangunan. Dalam skala internasional dikenal tujuan pembangunan milenium (Millenium

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya,

BAB I PENDAHULUAN. fiskal maupun moneter. Pada skala mikro, rumah tangga/masyarakat misalnya, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Secara umum angka inflasi yang menggambarkan kecenderungan umum tentang perkembangan harga dan perubahan nilai dapat dipakai sebagai informasi dasar dalam pengambilan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Pikir Penelitian Kemiskinan adalah fenomena yang begitu mudah ditemukan dimanamana. Fakta kemiskinan baik menyangkut individu maupun masyarakat akan mudah dilihat,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena melibatkan seluruh sistem yang terlibat dalam suatu negara. Di negara-negara berkembang modifikasi kebijakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (NSB) termasuk Indonesia sering berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan

I. PENDAHULUAN. (NSB) termasuk Indonesia sering berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Program ekonomi yang dijalankan negara-negara Sedang Berkembang (NSB) termasuk Indonesia sering berorientasi kepada peningkatan pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang. Kemiskinan merupakan isu sentral yang dihadapi oleh semua negara di dunia termasuk negara sedang berkembang, seperti Indonesia. Kemiskinan menjadi masalah kompleks yang

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Penerapan desentralisasi di Indonesia sejak tahun 1998 menuntut daerah untuk mampu mengoptimalkan potensi yang dimiliki secara arif dan bijaksana agar peningkatan kesejahteraan

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini Bab I Pendahuluan Di setiap negara manapun masalah ketahanan pangan merupakan suatu hal yang sangat penting. Begitu juga di Indonesia, terutama dengan hal yang menyangkut padi sebagai makanan pokok mayoritas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi Daerah sebagai wujud dari sistem demokrasi dan desentralisasi merupakan landasan dalam pelaksanaan strategi pembangunan yang berkeadilan, merata, dan inklusif. Kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1994). Proses pembangunan memerlukan Gross National Product (GNP) yang tinggi

BAB I PENDAHULUAN. 1994). Proses pembangunan memerlukan Gross National Product (GNP) yang tinggi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan yang meluas merupakan tantangan terbesar dalam upaya Pembangunan (UN, International Conference on Population and Development, 1994). Proses pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kebutuhan manusia selalu berkembang sejalan dengan tuntutan zaman, tidak sekedar memenuhi kebutuhan hayati saja, namun juga menyangkut kebutuhan lainnya seperti

Lebih terperinci

Penilaian Tingkat Keberlanjutan Pembangunan di Kabupaten Bangkalan sebagai Daerah Tertinggal

Penilaian Tingkat Keberlanjutan Pembangunan di Kabupaten Bangkalan sebagai Daerah Tertinggal JURNAL TEKNIK POMITS Vol.,, () ISSN: 7-59 (-97 Print) Penilaian Tingkat Keberlanjutan Pembangunan di Kabupaten Bangkalan sebagai Daerah Tertinggal Yennita Hana Ridwan dan Rulli Pratiwi Setiawan Jurusan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, memperluas lapangan pekerjaan, meratakan pembagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem desentralistik atau otonomi daerah merupakan salah satu keberhasilan reformasi sosial politik di Indonesia. Reformasi tersebut dilatarbelakangi oleh pelaksanaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Proses pembangunan memerlukan Gross National Product (GNP) yang tinggi

I. PENDAHULUAN. Proses pembangunan memerlukan Gross National Product (GNP) yang tinggi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Proses pembangunan memerlukan Gross National Product (GNP) yang tinggi dan pertumbuhan ekonomi yang cepat. Di banyak negara syarat utama bagi terciptanya penurunan kemiskinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pada sebuah ketidakseimbangan awal dapat menyebabkan perubahan pada sistem

BAB I PENDAHULUAN. pada sebuah ketidakseimbangan awal dapat menyebabkan perubahan pada sistem BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perencanaan merupakan sebuah upaya untuk mengantisipasi ketidak seimbangan yang terjadi yang bersifat akumulatif, artinya perubahan yang terjadi pada sebuah ketidakseimbangan

Lebih terperinci

II. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 II. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu orientasi pembangunan berubah dan berkembang pada setiap urutan waktu yang berbeda. Setelah Perang Dunia Kedua (PDII), pembangunan ditujukan untuk mengejar pertumbuhan

Lebih terperinci

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia

Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Ringkasan eksekutif: Di tengah volatilitas dunia Perlambatan pertumbuhan Indonesia terus berlanjut, sementara ketidakpastian lingkungan eksternal semakin membatasi ruang bagi stimulus fiskal dan moneter

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang menimbulkan ketimpangan dalam pembangunan (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya makin kaya sedangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sampai saat ini, karena itulah program-program pengentasan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sampai saat ini, karena itulah program-program pengentasan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan masih menjadi permasalahan utama di sejumlah daerah di Indonesia sampai saat ini, karena itulah program-program pengentasan kemiskinan nampaknya juga akan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas,

I. PENDAHULUAN. percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas, I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan utama kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal adalah percepatan terwujudnya peningkatan kesejahteraan seluruh rakyat (Bappenas, 2007). Untuk mewujudkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang baik. Perencanaan berfungsi sebagai alat koordinasi antar lembaga pemerintahan

BAB I PENDAHULUAN. yang baik. Perencanaan berfungsi sebagai alat koordinasi antar lembaga pemerintahan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keberhasilan pembangunan suatu negara tidak terlepas dari proses perencanaan yang baik. Perencanaan berfungsi sebagai alat koordinasi antar lembaga pemerintahan untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dewasa ini tergolong miskin sebagaimana dilaporkan oleh The World Bank

I. PENDAHULUAN. dewasa ini tergolong miskin sebagaimana dilaporkan oleh The World Bank I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan telah menjadi isu dunia karena seperempat penduduk dunia dewasa ini tergolong miskin sebagaimana dilaporkan oleh The World Bank (2004). Kemiskinan di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara di dunia, terutama negara sedang berkembang. Secara umum

BAB I PENDAHULUAN. negara di dunia, terutama negara sedang berkembang. Secara umum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan (poverty) merupakan masalah yang dihadapi oleh seluruh negara di dunia, terutama negara sedang berkembang. Secara umum kemiskinan dipahami sebagai keadaan

Lebih terperinci

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 ANALISIS KERENTANAN DAN DETERMINAN KEMISKINAN BERDASARKAN KARAKTERISTIK WILAYAH DI KABUPATEN BARRU PROVINSI SULAWESI SELATAN ABUSTAN Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor Pada

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN. produktivitas tenaga kerja di semua sektor.

VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN. produktivitas tenaga kerja di semua sektor. VIII. KESIMPULAN, IMPLIKASI KEBIJAKAN DAN SARAN 8.1. Kesimpulan 1. Dalam jangka pendek peningkatan pendidikan efektif dalam meningkatkan produktivitas tenaga kerja pertanian dibanding dengan sektor industri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi ekonomi di Kalimantan Timur periode , secara umum

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi ekonomi di Kalimantan Timur periode , secara umum BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi ekonomi di Kalimantan Timur periode 2010-2015, secara umum pertumbuhan ekonomi mengalami fluktuasi, dimana pertumbuhan ekonomi pada tahun 2010-2015, laju pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembangunan ekonomi, pertumbuhan ekonomi, dan teori konvergensi. BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai teori yang menjadi dasar dari pokok permasalahan yang diamati. Teori yang dibahas dalam bab ini terdiri dari pengertian pembangunan ekonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fisik/fasilitas fisik (Rustiadi, 2009). Meier dan Stiglitz dalam Kuncoro (2010)

BAB I PENDAHULUAN. fisik/fasilitas fisik (Rustiadi, 2009). Meier dan Stiglitz dalam Kuncoro (2010) BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Pembangunan merupakan proses perubahan untuk mengalami kemajuan ke arah yang lebih baik. Pembangunan di berbagai negara berkembang dan di Indonesia seringkali diartikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembahasan mengenai kesejahteraan merupakan suatu pembahasan yang mempunyai cakupan atau ruang lingkup yang luas. Pembahasan mengenai kesejahteraan berkaitan erat

Lebih terperinci

CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA. Abstrak

CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA. Abstrak CAPAIAN PERTUMBUHAN EKONOMI BERKUALITAS DI INDONESIA Abstrak yang berkualitas adalah pertumbuhan yang menciptakan pemerataan pendapatan,pengentasan kemiskinan dan membuka kesempatan kerja yang luas. Di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan suatu negara sangat tergantung pada jumlah penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan suatu negara sangat tergantung pada jumlah penduduk BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemajuan suatu negara sangat tergantung pada jumlah penduduk miskinnya. Semakin banyak jumlah penduduk miskin, maka negara itu disebut negara miskin. Sebaliknya semakin

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. dihadapi oleh semua negara di dunia. Amerika Serikat yang tergolong sebagai

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. dihadapi oleh semua negara di dunia. Amerika Serikat yang tergolong sebagai BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Sharp et al. (1996) mengatakan kemiskinan merupakan masalah yang dihadapi oleh semua negara di dunia. Amerika Serikat yang tergolong sebagai negara maju dan merupakan

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012

KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012 KAJIAN EKONOMI REGIONAL Triwulan IV 2012 Januari 2013 Kinerja Ekonomi Daerah Cukup Kuat, Inflasi Daerah Terkendali Ditengah perlambatan perekonomian global, pertumbuhan ekonomi berbagai daerah di Indonesia

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemiskinan adalah masalah bagi negara-negara di dunia terutama pada negara yang

I. PENDAHULUAN. Kemiskinan adalah masalah bagi negara-negara di dunia terutama pada negara yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan adalah masalah bagi negara-negara di dunia terutama pada negara yang sedang berkembang. Bagi Indonesia yang merupakan salah satu negara berkembang yang ada di

Lebih terperinci

BAB VII P E N U T U P

BAB VII P E N U T U P BAB VII P E N U T U P Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Bupati Akhir Tahun 2012 diharapkan dapat memberikan gambaran tentang berbagai capaian kinerja, baik makro maupun mikro dalam penyelenggaraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan pendapatan perkapita sebuah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan menghambat tercapainya demokrasi, keadilan dan persatuan.

BAB I PENDAHULUAN. Kemiskinan menghambat tercapainya demokrasi, keadilan dan persatuan. BAB I PENDAHULUAN Kemiskinan menghambat tercapainya demokrasi, keadilan dan persatuan. Penanggulangan kemiskinan memerlukan upaya yang sungguh-sungguh, terusmenerus, dan terpadu dengan menekankan pendekatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle

I. PENDAHULUAN. sembilan persen pertahun hingga disebut sebagai salah satu the Asian miracle I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini peranan minyak bumi dalam kegiatan ekonomi sangat besar. Bahan bakar minyak digunakan baik sebagai input produksi di tingkat perusahaan juga digunakan untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. orang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu sandang, pangan, dan papan.

I. PENDAHULUAN. orang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu sandang, pangan, dan papan. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan adalah kondisi dimana ketidakmampuan seseorang atau sekelompok orang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu sandang, pangan, dan papan. Masalah kemiskinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan syarat yang diperlukan dalam melaksanakan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan juga merupakan ukuran utama keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan

Lebih terperinci

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Bertambahnya jumlah penduduk berarti pula bertambahnya kebutuhan konsumsi secara agregat. Peningkatan pendapatan diperlukan

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut. 1. Selama periode penelitian tahun 2008-2012, ketimpangan/kesenjangan kemiskinan antarkabupaten/kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hilir tahun adalah Indragiri Hilir berjaya dan gemilang Pada

BAB I PENDAHULUAN. Hilir tahun adalah Indragiri Hilir berjaya dan gemilang Pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Visi pembangunan jangka panjang dalam dokumen Kabupaten Indragiri Hilir tahun 2005 2025 adalah Indragiri Hilir berjaya dan gemilang 2025. Pada perencanaan jangka menengah,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Reformasi yang dimulai beberapa tahun lalu telah merambah ke seluruh aspek kehidupan. Salah satu aspek reformasi yang dominan adalah aspek pemerintahan yaitu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis, dan Berkeadilan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 telah menggariskan bahwa Visi Pembangunan 2010-2014 adalah Terwujudnya Indonesia yang Sejahtera, Demokratis,

Lebih terperinci

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD)

BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) BAB III ASUMSI-ASUMSI DASAR DALAM PENYUSUNAN RANCANGAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH (RAPBD) 3.1. Asumsi Dasar yang Digunakan Dalam APBN Kebijakan-kebijakan yang mendasari APBN 2017 ditujukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (Pemekaran setelah Undang-Undang Otonomi Khusus) yang secara resmi

BAB I PENDAHULUAN. (Pemekaran setelah Undang-Undang Otonomi Khusus) yang secara resmi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi khusus bagi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (Pemekaran setelah Undang-Undang Otonomi Khusus) yang secara resmi diberlakukan pada tanggal 21 November

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu isi deklarasi milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu isi deklarasi milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu isi deklarasi milenium Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang pembangunan dan kemiskinan (United Nations Millenium Declaration (2000) seperti dikutip dalam Todaro

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada masa Orde Baru dilakukan secara sentralistik, dari tahap perencanaan sampai dengan tahap implementasi ditentukan oleh pemerintah pusat dan dilaksanakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Riau mempunyai Visi Pembangunan Daerah Riau untuk jangka panjang hingga tahun 2020 yang merupakan kristalisasi komitmen seluruh lapisan masyarakat Riau, Visi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kerangka desentralisasi yang dicanangkan dengan berlakunya Undang

I. PENDAHULUAN. Kerangka desentralisasi yang dicanangkan dengan berlakunya Undang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerangka desentralisasi yang dicanangkan dengan berlakunya Undang Undang nomor 22 tahun 1999 dan telah direvisi menjadi Undang Undang nomor 32 tahun 2004 telah membawa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang, termasuk Indonesia. Masalah kemiskinan yang melanda sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. berkembang, termasuk Indonesia. Masalah kemiskinan yang melanda sebagian besar 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingginya kemiskinan perdesaan telah menjadi isu utama dari sebuah negara berkembang, termasuk Indonesia. Masalah kemiskinan yang melanda sebagian besar masyarakat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari

I. PENDAHULUAN. Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Implementasi desentralisasi fiskal yang efektif dimulai sejak Januari 2001 telah memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah daerah untuk merencanakan dan melaksanakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perubahan besar dalam struktur sosial, sikap-sikap mental yang sudah terbiasa

I. PENDAHULUAN. perubahan besar dalam struktur sosial, sikap-sikap mental yang sudah terbiasa I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan proses multidimensional yang melibatkan perubahan besar dalam struktur sosial, sikap-sikap mental yang sudah terbiasa dan lembaga nasional

Lebih terperinci

D A F T A R I S I Halaman

D A F T A R I S I Halaman D A F T A R I S I Halaman B A B I PENDAHULUAN I-1 1.1 Latar Belakang I-1 1.2 Dasar Hukum Penyusunan I-2 1.3 Hubungan RPJM dengan Dokumen Perencanaan Lainnya I-3 1.4 Sistematika Penulisan I-7 1.5 Maksud

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian 205 VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis atas data yang telah ditabulasi berkaitan dengan dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selain persoalan kemiskinan. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa

BAB I PENDAHULUAN. selain persoalan kemiskinan. Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemiskinan terus menjadi masalah fenomenal sepanjang sejarah Indonesia sebagai nation state, sejarah sebuah Negara yang salah memandang dan mengurus kemiskinan. Dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan desentralisasi tercatat mengalami sejarah panjang di Indonesia. Semenjak tahun 1903, Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan Desentralisatie wet yang menjadi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Jangka Panjang tahun 2005 2025 merupakan kelanjutan perencanaan dari tahap pembangunan sebelumnya untuk mempercepat capaian tujuan pembangunan sebagaimana

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator

I. PENDAHULUAN. Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keberhasilan perekonomian suatu negara dapat diukur melalui berbagai indikator ekonomi antara lain dengan mengetahui pendapatan nasional, pendapatan per kapita, tingkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penduduk miskin, kepada tingkatan yang lebih baik dari waktu ke waktu.

BAB I PENDAHULUAN. penduduk miskin, kepada tingkatan yang lebih baik dari waktu ke waktu. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tujuan dasar dan paling essensial dari pembangunan tidak lain adalah mengangkat kehidupan manusia yang berada pada lapisan paling bawah atau penduduk miskin, kepada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional telah mengamanatkan bahwa agar perencanaan pembangunan daerah konsisten, sejalan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan

BAB I PENDAHULUAN. perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan adalah proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi nasional,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals

BAB I PENDAHULUAN. Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hak atas pangan telah diakui secara formal oleh banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Akhir -akhir ini isu pangan sebagai hal asasi semakin gencar disuarakan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah kemiskinan merupakan salah satu persoalan mendasar yang menjadi pusat perhatian pemerintah di Negara manapun (Sumodiningrat, 2009). Di Indonesia kemiskinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena

BAB I PENDAHULUAN. Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu mengenai ketimpangan ekonomi antar wilayah telah menjadi fenomena global. Permasalahan ketimpangan bukan lagi menjadi persoalan pada negara dunia ketiga saja. Kesenjangan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. poranda, ditandai dengan banyaknya pemutusan hubungan kerja dan

BAB I PENDAHULUAN. poranda, ditandai dengan banyaknya pemutusan hubungan kerja dan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 telah menyebabkan perekonomian dalam skala makro dan mikro porak poranda, ditandai dengan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Kemiskinan merupakan salah satu isu penting dalam pelaksanaan pembangunan, bukan hanya di Indonesia melainkan hampir di semua negara di dunia. Dalam Deklarasi Millenium Perserikatan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Per Kapita dan Struktur Ekonomi Tingkat pertumbuhan ekonomi Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam lima tahun terakhir

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tingkat kemiskinan ekstrem yang mencolok (Todaro dan Smith, 2011:

BAB I PENDAHULUAN. memiliki tingkat kemiskinan ekstrem yang mencolok (Todaro dan Smith, 2011: BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan permasalahan yang selalu terjadi dalam proses pembangunan di negara berkembang. Sebagian besar negara berkembang memiliki tingkat kemiskinan ekstrem

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS KERAGAAN 22 KABUPATEN TERTINGGAL. Kajian mengenai karakteristik kondisi masing-masing wilayah diperlukan

BAB IV ANALISIS KERAGAAN 22 KABUPATEN TERTINGGAL. Kajian mengenai karakteristik kondisi masing-masing wilayah diperlukan BAB IV ANALISIS KERAGAAN 22 KABUPATEN TERTINGGAL 4.1. Karakteristik Daerah/Wilayah Kajian mengenai karakteristik kondisi masing-masing wilayah diperlukan untuk mengetahui program pembangunan yang tepat

Lebih terperinci

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jambi

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Provinsi Jambi BAB III ANALISIS ISU ISU STRATEGIS 3.1 Permasalahan Pembangunan 3.1.1 Permasalahan Kebutuhan Dasar Pemenuhan kebutuhan dasar khususnya pendidikan dan kesehatan masih diharapkan pada permasalahan. Adapun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Ketenagakerjaan merupakan masalah yang selalu menjadi perhatian utama

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Ketenagakerjaan merupakan masalah yang selalu menjadi perhatian utama BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ketenagakerjaan merupakan masalah yang selalu menjadi perhatian utama pemerintah dari masa ke masa. Permasalahan ini menjadi penting mengingat erat kaitannya dengan

Lebih terperinci