SUMBER SERAT UNTUK MENINGKATKAN KEKENYALAN MIE KERING

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "SUMBER SERAT UNTUK MENINGKATKAN KEKENYALAN MIE KERING"

Transkripsi

1 PEMANFAATAN IOTA KARAGINAN (Eucheuma spinosum) DAN KAPPA KARAGINAN (Kappaphycus alvarezii) SEBAGAI SUMBER SERAT UNTUK MENINGKATKAN KEKENYALAN MIE KERING Oleh : MARYA ULFAH C PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

2 RINGKASAN MARYA ULFAH. C Pemanfaatan Iota Karaginan (Eucheuma spinosum) dan Kappa Karaginan (Kappaphycus alvarezii) sebagai Sumber Serat untuk Meningkatkan Kekenyalan Mie Kering. Dibimbing oleh JOKO SANTOSO dan UJU. Mie kering adalah salah satu bentuk pangan olahan dari tepung terigu yang banyak dikonsumsi dan digemari oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan mie dapat disajikan secara cepat, mudah dan juga dapat disajikan dalam berbagai variasi makanan atau digunakan sebagai substitusi nasi. Mie merupakan produk pangan dengan segmentasi kosumen yang luas, sehingga dipilih dalam penelitian ini untuk ditambahkan karaginan yang berfungsi dalam meningkatkan kandungan serat pangan dan memberikan karakteristik sensori yang lebih baik dari segi kekenyalannya. Tujuan umum penelitian adalah untuk pemanfaatan kappa dan iota karaginan sebagai bahan tambahan (fortifikasi) dalam pembuatan mie kering. Tujuan khususnya adalah mempelajari ekstraksi dan karakterisasi sifat fisikokimia kappa dan iota karaginan serta pengaruh penambahan kappa dan iota karaginan dalam formulasi mie kering dan evaluasi karakteristiknya (organoleptik, fisik dan kimia). Eucheuma spinosum dan Kappaphycus alvarezii digunakan dalam proses pembuatan iota karaginan dan kappa karaginan. Kedua jenis karaginan ini menghasilkan karakteristik fisika dan kimia yang telah memenuhi standar yang ditetapkan FAO, FCC dan EEC, kecuali dari rendemen dan kadar sulfat kappa karaginan. Karaginan yang dihasilkan ditambahkan ke dalam mie kering dengan berbagai konsentrasi 0%; 0,25%; 0,5%; dan 0,75%. Mie kering selanjutnya diuji hedonik dan uji perbandingan pasangan terhadap parameter warna mie mentah, warna mie matang, aroma, rasa, kekenyalan dan penampakan. Penambahan iota atau kappa karaginan masing-masing pada konsentrasi 5%, menghasilkan mie yang disukai panelis berdasarkan uji hedonik. Hasil uji perbandingan pasangan mie iota karaginan 0,5% memiliki penampakan, aroma, rasa dan kekenyalan lebih baik dari mie komersial, sedangkan mie kappa karaginan 0,5% memiliki aroma, rasa dan kekenyalan yang lebih baik dari mie komersial. Pengujian karakteristik kimia menunjukkan bahwa terjadi peningkatan kadar air mie kering iota dan kappa karaginan masing-masing menjadi 3,75% dan 3,95%; kadar abu menjadi 2,66% dan 2,78%; sedangkan kadar protein mengalami penurunan menjadi 8,51% dan 8,41%; karbohidrat menjadi 79,10% dan 78,96%, dan kadar lemak tidak berbeda nyata apabila dibandingkan dengan kontrol dan mie komersial. Kandungan serat pangan larut dan serat pangan tidak larut mie iota karaginan 0,5% dan mie kappa karaginan 0,5% lebih besar dibandingkan mie kontrol dan mie komersial. Hal ini sesuai dengan persen AKG serat pangan larut mie iota dan kappa karaginan sebesar 17,70% dan 19,94% dan persen AKG serat pangan tidak larut mie iota dan kappa karaginan sebesar 5,82% dan 5,79%.

3 PEMANFAATAN IOTA KARAGINAN (Eucheuma spinosum) DAN KAPPA KARAGINAN (Kappaphycus alvarezii) SEBAGAI SUMBER SERAT UNTUK MENINGKATKAN KEKENYALAN MIE KERING Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor Oleh : Marya Ulfah C PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009

4 Judul : PEMANFAATAN IOTA KARAGINAN (Eucheuma spinosum) DAN KAPPA KARAGINAN (Kappaphycus alvarezii) SEBAGAI SUMBER SERAT UNTUK MENINGKATKAN KEKENYALAN MIE KERING Nama Mahasiswa : Marya Ulfah NRP : C Menyetujui Pembimbing I Pembimbing II Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si Uju, S.Pi, M.Si NIP : NIP : Mengetahui Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP : Tanggal lulus :

5 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Pemanfaatan Iota Karaginan (Eucheuma spinosum) dan Kappa Karaginan (Kappaphycus alvarezii) sebagai Sumber Serat untuk Meningkatkan Kekenyalan Mie Kering adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, Januari 2009 Marya Ulfah NRP : C

6 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 8 Mei 1985 di Bekasi Jawa Barat. Penulis adalah anak terakhir dari tujuh bersaudara, dari pasangan Bapak H. Kurtubi dan (Alm) Ibu Hj. Zenab. Penulis memulai jenjang pendidikan formal di SDN Burangkeng 02 Bekasi lulus pada tahun Kemudian penulis melanjutkan di MTsN Sukamanah Tasikmalaya lulus pada tahun 2001 dan melanjutkan ke MAN Sukamanah Tasikmalaya dan lulus pada tahun Pada tahun yang sama penulis diterima menjadi mahasiswa IPB melalui jalur USMI (undangan seleksi Masuk IPB) di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Departemen Teknologi Hasil Perairan. Selama menjalani aktivitas studi di IPB, penulis aktif sebagai pengurus HIMASILKAN dan FPC Penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Perikanan dan Ilmu Kelautan pada Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, dengan judul Pemanfaatan Iota Karaginan (Eucheuma spinosum) dan Kappa Karaginan (Kappaphycus alvarezii) sebagai Sumber Serat untuk Meningkatkan Kekenyalan Mie Kering di bawah bimbingan Bapak Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si dan Bapak Uju, S.Pi, M.Si.

7 KATA PENGANTAR Puji dan syukur Penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul Pemanfaatan Iota Karaginan (Eucheuma spinosum) dan Kappa Karaginan (Kappaphycus alvarezii) sebagai Sumber Serat untuk Meningkatkan Kekenyalan Mie Kering. Adapun tujuan dari penyusunan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi di Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si dan Uju S.Pi, M.Si sebagai pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, saran kepada penulis selama ini. 2. Ir. Wini Trilaksani, M.Sc dan Dra. Pipih Suptijah, MBA sebagai dosen penguji atas arahan dan saran yang sangat berharga. 3. Ir. Anna Carolina Erungan, MS sebagai pembimbing akademik atas saran dan arahannya. 4. Bapak H. Kurtubi dan (alm) Ibu Hj. Zenab serta kakak dan tetehku tercinta atas semua dukungan dan kasih sayang yang diberikan, baik moril maupun material serta doa yang tidak terbatas kepada penulis. 5. Bapak Djoko Poernomo, Ibu Ema, Ibu Rubiah dan Bapak Junaedi serta temanteman di SEAFAST terima kasih atas bantuan dan sarannya kepada penulis. 6. Seluruh dosen, staf TU, dan pegawai di THP (Mas Mail, Pak Ade, Pak Jamhuri, Pak Tatang, Mba Heni, Bu Yati dan Umi), terima kasih atas bantuannya kepada penulis. 7. Teman-teman satu perjuangan : Ari, Fuji, Deslina, Rijal, dan Mas Candra. 8. Teman-teman An-nur (Yanti, Eka, Dila, Nia, Astri, Santi, Laswati, Prima, Ayu, Nita, Reta dan Mba Nur) dan al-demi (Amel, Estrid, Iis, Ranti, Didi, Sikah, Enif danvika). 9. Anak-anak THP 41 ( Rijan, Ratna, Risti, Theta, Vera, Ika, Sereli, Haris, Glory, Anang, Laler, Dwi, Indah, Yudha, Yuga, Gilang, Bojong, Nujul dan Alim serta seluruh teman THP 41 yang tidak bisa disebutkan satu persatu).

8 10. Mas Sigit, Mas Deden, Mba Oke, dan Mba Finda terima kasih atas sarannya. 11. Kakak THP 40 serta adik-adik THP 42 dan 43 yang telah banyak membantu selama ini. 12. Teman-temanku seasrama dulu (Yanti Barasa, Anggi dan Ani). 13. Windhyka Priyatmoko, S.Pi atas segala kesabaran, dukungan, kasih sayang, semangat, dan pengalaman indah kepada penulis. 14. Terakhir, kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan disini, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya atas semua dukungannya. Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Penulis sangat mengharapkan saran dan bantuan dari semua pihak untuk kesempurnaan skripsi ini. Bogor, Januari 2009 Marya Ulfah

9 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... Halaman DAFTAR LAMPIRAN... xii 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan TINJAUAN PUSTAKA Kappaphycus alvarezii Eucheuma spinosum Karaginan Jenis karaginan Sifat-sifat dasar karaginan Pembentukan gel Stabilitas Spesifikasi mutu karaginan Mie Kering Bahan yang Digunakan dalam Pembuatan Mie Kering Proses Pembuatan Mie Keing Serat Pangan METODOLOGI Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Bahan Alat Tahapan Penelitian Penelitian tahap pertama Penelitian tahap kedua Prosedur Analisis Analisis karaginan (1) Rendemen karaginan (FMC Corp. 1977) (2) Kekuatan gel (FMC Corp. 1977) (3) Viskositas (FMC Corp. 1977) x xi

10 (4) Kadar sulfat (FMC Corp. 1977) (5) Kadar abu (Food Chemical Codex 1981) (6) Titik leleh (Suryaningrum dan Utomo 2000) (7) Titik jendal (Suryaningrum dan Utomo 2000) Uji hedonik Uji perbandingan pasangan Analisis fisik mie kering (1) Cooking time (2) Daya serap air (DSA) ( Fardiaz et al. 1992) (3) Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) (Oh et al. 1985) (4) Elongasi (5) Tekstur profil analisis metode Tekstur Analyzer by TA-XT 29 (6) Warna (Soekarto 1990) Analisis Kimia Mie Kering (1) Kadar air ( AOAC 1995) (2) Kadar abu (AOAC 1995) (3) Kadar protein (AOAC 1995) (4) Kadar lemak (AOAC 1995) (5) Kadar karbohidrat (by difference) (6) Kadar serat pangan metode enzimatik (Sulaeman et al. 1993) Rancangan Percobaan dan Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian tahap pertama Penelitian tahap kedua Uji hedonik (1) Warna mie mentah (2) Warna mie matang (3) Aroma (4) Rasa (5) Kekenyalan (6) Penampakan Uji perbandingan pasangan (1) Warna mie mentah (2) Warna mie matang (3) Aroma (4) Rasa (5) Kekenyalan (6) Penampakan Analisis fisik mie kering (1) Cooking time (2) Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) (3) Daya serap air (DSA) (4) Kekerasan... 53

11 (5) Kekenyalan (6) Elongasi (7) Warna Karakteristik kimia mie kering (1) Analisis proksimat (2) Serat pangan Informasi nilai gizi mie kering KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 70

12 DAFTAR TABEL Halaman 1. Komposisi kimia rumput laut Kappaphycus alvarezii Komposisi kimia rumput laut kering Eucheuma spinosum Sifat-sifat karaginan Spesifikasi mutu karaginan Persyaratan mutu mie kering Formulasi pembuatan mie kering Karakteristik fisika dan kimia iota dan kappa karaginan Komposisi proksimat mie kering Angka kecukupan gizi... 63

13 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Rumput laut Kappaphycus alvarezii Rumput laut Eucheuma spinosum Struktur kimia karaginan Diagram alir pembuatan karaginan dari Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma spinosum Diagram alir pembuatan mie kering Nilai rata-rata uji hedonik terhadap warna mie mentah karaginan Nilai rata-rata uji hedonik terhadap warna mie matang karaginan Nilai rata-rata uji hedonik terhadap aroma karaginan Nilai rata-rata uji hedonik terhadap rasa karaginan Nilai rata-rata uji hedonik terhadap kekenyalan karaginan Nilai rata-rata uji hedonik terhadap penampakan karaginan Nilai rata-rata tingkat penilaian uji perbandingan pasangan mie iota dan kappa karaginan dengan mie komersial Nilai rata-rata cooking time mie kering Nilai rata-rata kehilangan padatan akibat pemasakan mie kering Nilai rata-rata daya serap air mie kering Nilai rata-rata kekerasan mie kering Nilai rata-rata kekenyalan mie kering Nilai rata-rata elongasi air mie kering Nilai rata-rata warna mie kering Nilai rata-rata serat pangan mie kering... 60

14 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Score sheet uji hedonik mie kering iota dan kappa karaginan Score sheet uji perbandingan berpasangan Rekapitulasi uji hedonik mie karaginan Rekapitulasi uji perbandingan pasangan Hasil perankingan data uji organoleptik (uji hedonik) pada mie kering iota dan kappa karaginan Hasil uji Multiple Comparison data organoleptik (uji hedonik) pada mie kering kappa karaginan Hasil uji Multiple Comparison data organoleptik (uji hedonik) pada mie kering iota karaginan Analisis ragam dan uji Tukey terhadap data cooking time mie kering Analisis ragam dan uji Tukey terhadap data KPAP mie kering Analisis ragam dan uji Tukey terhadap data DSA mie kering Analisis ragam dan uji Tukey terhadap data kekerasan mie kering Analisis ragam dan uji Tukey terhadap data kekenyalan mie kering Analisis ragam dan uji Tukey terhadap data elongasi mie kering Analisis ragam dan uji Tukey terhadap data warna b mie kering Analisis ragam dan uji Tukey terhadap data kadar air mie kering Analisis ragam dan uji Tukey terhadap data kadar abu mie kering Analisis ragam dan uji Tukey terhadap data kadar protein mie kering Analisis ragam dan uji Tukey terhadap data lemak mie kering Analisis ragam dan uji Tukey terhadap data kadar karbohidrat mie kering Analisis ragam dan uji Tukey terhadap data serat larut mie kering Analisis ragam dan uji Tukey terhadap data serat tidak larut mie kering Analisis ragam dan uji Tukey terhadap data total serat pangan mie kering Pembuatan mie kering dengan penambahan karaginan... 94

15 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan panjang garis pantai kurang lebih km, kaya akan berbagai jenis sumber hayati terutama rumput laut. Potensi rumput laut ini dapat dikembangkan dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat, dimana rumput laut dari dulu telah digunakan sebagai bahan makanan dan obat-obatan. Akan tetapi belum semua rumput laut yang ada dimanfaatkan secara optimal. Rumput laut termasuk salah satu komoditas ekspor yang potensial untuk dikembangkan. Produksi rumput laut kering di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan dimana pada tahun 2004 sekitar ton dan meningkat hingga ton pada tahun 2007 (Numberi 2007). Peningkatan produksi ini didukung karena Indonesia memiliki sumberdaya yang cukup besar baik yang alami maupun budidaya. Salah satu jenis rumput laut Indonesia yang memiliki nilai ekonomis penting adalah Rhodophyceae (ganggang merah). Rumput laut ini merupakan penghasil agar-agar dan karaginan. Beberapa jenis rumput laut penghasil agar-agar yaitu Gracilaria sp., Gelidium sp., Gellidiopsis sp. dan rumput laut penghasil karaginan adalah Eucheuma sp. Budidaya Eucheuma sp. tersebar di Kepulauan Seribu, Pantai Jawa bagian Selatan, Madura, Bali, NTB, Kepulauan Riau, Pantai Barat Sumatera dan Sulawesi Selatan (Anggadiredja 2006). Karaginan merupakan suatu jenis galaktan yang memiliki karakteristik unik dan memiliki daya ikat air yang cukup tinggi. Peranan karaginan tidak kalah penting bila dibandingkan dengan agar-agar maupun alginat. Berdasarkan sifat-sifatnya karaginan digunakan sebagai pengemulsi, penstabil, pengental, dan bahan pembentuk gel. Karaginan umumnya digunakan pada industri makanan sebagai pengemulsi, selain itu juga dimanfaatkan pada industri kosmetik, tekstil, obat-obatan dan cat. Karaginan terdiri dari dua fraksi yaitu kappa karaginan dan iota karaginan. Kappa karaginan terdapat pada Kappaphycus alvarezii yang larut dalam air panas, sedangkan iota karaginan berasal dari jenis Eucheuma spinosum larut dalam air dingin (Aslan 1998). Gel yang terbentuk dari kappa karaginan

16 berwarna agak gelap dan mempunyai tekstur mudah retak, sedangkan gel yang terbentuk dari jenis iota karaginan berwarna lebih jernih dibandingkan kappa dan mempunyai tekstur empuk dan elastis (Fardiaz 1989). Pergeseran pola makan masyarakat Indonesia dari pola makanan berserat tinggi ke pola makanan berserat rendah dapat menimbulkan berbagai penyakit degeneratif seperti diabetes mellitus, kegemukan, jantung koroner, stroke, kolesterol tinggi, kanker usus dan wasir. Penyakit degeneratif tersebut dapat dicegah dengan mengkonsumsi serat pangan (Muchtadi 2001). Oleh karena itu, perlu upaya diversifikasi serat pangan yang dapat memenuhi kebutuhan gizi masyarakat dengan cara menambahkannya ke dalam produk pangan. Mie kering merupakan produk pangan dengan segmentasi konsumen yang luas, sehingga dipilih dalam penelitian ini untuk ditambahkan karaginan yang berfungsi dalam meningkatkan kandungan serat pangan dan memberikan karakteristik sensori yang lebih baik dari segi kekenyalannya. Mie kering adalah salah satu bentuk pangan olahan dari tepung terigu yang banyak dikonsumsi dan digemari oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia. Hal ini dikarenakan mie dapat disajikan secara cepat, mudah dan juga dapat disajikan dalam berbagai variasi makanan atau digunakan sebagai substitusi nasi. Sejauh ini, pangsa pasar mie kering secara nasional mencapai 70 sampai 80 persen dengan kapasitas 150 ribu ton yang terkonsentrasi di Pulau Jawa. Pergeseran konsumsi dari mie basah ke mie kering membuat pangsa pasar produk ini semakin besar (Mogoginta 2007). Secara umum, mie dapat digolongkan menjadi dua, mie kering dan mie basah. Pada umumnya, mie basah adalah mie yang belum dimasak (nama-men) dimana kandungan airnya cukup tinggi sehingga cepat basi. Jenis mie ini biasanya hanya tahan 1 hari. Kategori kedua adalah mie kering (kan-men), seperti ramen, soba dan beragam mie instant yang banyak kita jumpai di pasaran. Keunggulan mie kering dibandingkan dengan mie basah yaitu daya awet yang lebih lama, karena kandungan air dalam mie kering lebih sedikit.

17 1.2. Tujuan Tujuan umum penelitian ini adalah pemanfaatan kappa dan iota karaginan sebagai bahan tambahan (fortifikasi) dalam pembuatan mie kering. Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1. mengekstraksi kappa dan iota karaginan masing-masing dari rumput laut Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma spinosum serta mengevaluasi karakteristik fisiko-kimianya; 2. mempelajari pengaruh penambahan kappa dan iota karaginan dalam formulasi mie kering dan evaluasi karakteristiknya (organoleptik, fisik dan kimia).

18 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kappaphycus alvarezii Kappaphycus alvarezii adalah salah satu jenis rumput laut dari kelas Rhodophyceae (ganggang merah). Gambar rumput laut Kappaphycus alvarezii disajikan pada Gambar 1. Klasifikasi rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii menurut Atmadja et al. (1996) adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisio : Rhodophyta Kelas : Rhodophyceae Ordo : Gigartinales Famili : Solieriaceae Genus : Kappaphycus Spesies : Kappaphycus alvarezii Gambar 1. Kappaphycus alvarezii (Indonetwork.co.id) Nama Euchema cottonii, umumnya lebih dikenal dan biasa dipakai dalam dunia perdagangan nasional maupun internasional, sebagai komoditas ekspor dan bahan baku industri penghasil karaginan. Karaginan yang dihasilkan adalah tipe kappa karaginan. Oleh karena itu, jenis ini secara taksonomi diubah namanya dari Eucheuma cottonii menjadi Kappaphycus alvarezii (Atmadja et al. 1996). Ciri fisik Kappaphycus alvarezii mempunyai thallus silindris, permukaan licin, kartilogineous, warna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah. Penampakan thallus bervariasi mulai bentuk sederhana sampai kompleks. Duri-duri pada

19 thallus runcing memanjang, agak jarang-jarang dan tidak bersusun melingkari thallus. Percabangan ke berbagai arah dengan batang-batang utama keluar saling berdekatan ke daerah basal. Tumbuh melekat ke substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang-cabang pertama dan kedua tumbuh membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri khusus mengarah kearah datangnya sinar matahari (Atmadja et al. 1996). Kandungan utama rumput laut segar adalah air yang mencapai 80-90%, sedangkan kadar protein dan lemaknya sangat kecil. Walaupun kadar lemak rumput laut sangat rendah, tetapi susunan asam lemaknya sangat penting bagi kesehatan. Lemak rumput laut mengandung asam lemak omega 3 dan omega 6 dalam jumlah yang cukup tinggi. Kedua asam lemak ini merupakan asam lemak yang penting bagi tubuh, terutama sebagai pembentuk membran jaringan otak, syaraf, retina mata, plasma darah dan organ reproduksi. Dalam 100 g rumput laut kering mengandung asam lemak omega 3 berkisar mg dan asam lemak omega 6 berkisar mg (Winarno 1996). Komposisi kimia rumput laut Kappaphycus alvarezii dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi kimia rumput laut Kappaphycus alvarezii Komponen Jumlah Protein (%) 0,7 Lemak (%) 0,2 Abu (%) 3,4 Serat pangan tidak larut (g/100 g)* 58,6 Serat pangan larut (g/100 g)* 10,7 Mineral Zn (mg/g) 0,01 Mineral Mg (mg/g) 2,88 Mineral Ca (mg/g) 2,80 Mineral K (mg/g) 87,10 Mineral Na (mg/g) 11,93 Sumber : Santoso et al. (2003) Keterangan * = basis kering 2.2. Eucheuma spinosum Eucheuma spinosum adalah salah satu jenis rumput laut dari kelas Rhodophyceae (ganggang merah). Gambar rumput laut Eucheuma spinosum disajikan pada Gambar 2. Klasifikasi Eucheuma spinosum menurut Atmadja et al. (1996) adalah sebagai berikut:

20 Kingdom Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Plantae : Rhodophyta : Rhodophyceae : Gigartinales : Solieriaceae : Eucheuma : Eucheuma spinosum Gambar 2. Eucheuma spinosum (Iptek.net.id) Eucheuma spinosum dikenal dengan nama ilmiah Eucheuma muricatum dan Eucheuma denticulatum merupakan penghasil utama iota karaginan. Ciri fisik Eucheuma spinosum mempunyai bentuk thallus bulat tegak, dengan ukuran panjang 5-30 cm, transparan, warna coklat kekuningan sampai merah kekuningan. Permukaan thallus tertutup oleh tonjolan yang berbentuk seperti duri-duri runcing yang tidak beraturan, duri tersebut ada yang memanjang seolah berbentuk seperti cabang. Tanaman tegak karena percabangannya yang rimbun dapat membentuk rumpun. Percabangan thallus tumbuh pada bagian yang tua ataupun muda tidak beraturan. Di daerah Cirebon, Solor, Selat Sunda dikenal sebagai rambu kasang, di Madura dikenal sebagai bulung agar dan di Pulau Seribu dikenal sebagai agar patah tulang (Atmadja et al. 1996). Komposisi senyawa organik dari rumput laut Eucheuma spinosum yang tumbuh di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2.

21 Tabel 2. Komposisi kimia rumput laut kering Eucheuma spinosum Komponen Jumlah Air (%) 12,90 Protein kasar (%) 5,12 Lemak (%) 0,13 Karbohidrat (%) 13,38 Serat kasar (%) 1,39 Abu (%) 14,21 Kalsium (ppm) 52,85 Besi (ppm) 0,108 Tembaga (ppm) 0,768 Vitamin B 1 (mg/100 g) 0,21 Vitamin B 2 (mg/100 g) 2,26 Vitamin C (mg/100 g) 43,00 Karaginan (%) 65,75 Sumber: Poncomulyo (2006) 2.3. Karaginan Karaginan merupakan getah rumput laut yang diekstrak dengan air atau larutan alkali dari spesies tertentu dari kelas Rhodophyceae (alga merah). Karaginan merupakan senyawa hidrokoloid yang terdiri dari ester kalium, natrium, magnesium, dan kalsium sulfat, dengan galaktosa dan 3,6-anhidrogalaktopolimer (Winarno 1996). Karaginan tersusun dari unit D-galaktosa dan 3,6-anhidro-D-galaktosa dengan ikatan -1,3 dan -1,4 pada polimer heksosanya (Glicksman 1983). Pada atom hidroksil, terikat gugus sulfat dengan ikatan ester kda (Angka dan Suhartono 2000). Berat molekul karaginan cukup tinggi yaitu berkisar Sumber karaginan untuk daerah tropis adalah dari spesies Kappaphycus alvarezii yang menghasilkan kappa karaginan, Eucheuma spinosum yang menghasilkan iota karaginan. Kedua jenis rumput laut tersebut banyak terdapat di sepanjang pantai Filipina dan Indonesia. Sebagian besar karaginan sebetulnya diproduksi dari jenis Chondrus crispus yang berwarna merah tua, bentuknya seperti daun parsley, dan hidup pada kedalaman sekitar 3 meter (Winarno 1996) Jenis karaginan Karaginan merupakan kompleks campuran dari lima polimer yaitu kappa, lamda, iota, mu dan nu (Fennema dan Rol 1985). Struktur kimia karaginan dapat dilihat pada Gambar 3.

22 Gambar 3. Struktur kimia karaginan (Imenson 2000) Kappa karaginan tersusun dari unit D-galaktosa-4-sulfat dengan ikatan -1,3 dan unit 3,6-anhidro-D-galaktosa dengan ikatan -1,4. Disamping itu karaginan sering mengandung D-galaktosa-6-sulfat ester dan 3,6-anhidro-D-galktosa-2-sulfat ester. Kappa karaginan terbentuk sebagai hasil aktivitas enzim dekinkase yang mengkatalis µ(mu)-karaginan menjadi kappa karaginan dengan cara menghilangkan atom C 6 pada ikatan 1,4 galaktosa-6-sulfat (Glicksman 1983). Adanya gugusan 6-sulfat, dapat menurunkan daya gelasi dari karaginan, tetapi dengan pemberian alkali mampu menyebabkan terjadinya transeliminasi gugusan 6-sulfat, yang menghasilkan terbentuknya 3,6-anhidro-D-galaktosa. Dengan demikian derajat keseragaman molekul meningkat dan daya gelasinya juga bertambah (Winarno 1996). Peningkatan kandungan unit 3,6-anhidro-D-galaktosa akan menyebabkan peningkatan sensitivitas terhadap ion kalium yang pada akhirnya dapat meningkatkan kekuatan gel dari karaginan. Kappa karaginan yang baik mempunyai kandungan 3,6-anhidro-D-galaktosa yang hampir mendekati 35% (Glicksman 1983). Iota karaginan merupakan jenis karaginan dengan kandungan sulfat berada di antara lamda dan kappa karaginan. Iota karaginan dapat membentuk gel dengan sifat yang elastis. Iota karaginan ditandai dengan adanya ikatan

23 1,3-D-galaktosa-4-sulfat dan ikatan 1,4 dari unit 3,6-anhidro-D-galaktosa-2-sulfat. Iota karaginan terbentuk karena hilangnya sulfat pada atom C 6 dari (nu)-karaginan sehingga terbentuk 3,6-anhidro-D-galaktosa yang selanjutnya menjadi iota karaginan (Glicksman 1983). Gugusan 2-sulfat ester tidak dapat dihilangkan oleh proses pemberian alkali seperti halnya kappa karaginan. Iota karaginan sering mengandung beberapa gugusan 6-sulfat ester yang menyebabkan kurangnya keseragaman molekul yang dapat dihilangkan dengan pemberian alkali (Winarno 1996). Perbedaan utama antara iota dengan kappa karaginan adalah adanya gugus 2-sulfat pada 3,6-anhidro-D-galaktosa pada iota karaginan yang mempengaruhi sensitivitas terhadap ion kalium. Peningkatan gugus 2-sulfat hingga 25-50% menyebabkan penurunan sensitivitas terhadap ion kalium yang juga mengakibatkan penurunan kekuatan gel yang terbentuk. Walaupun demikian, adanya gugus 2-sulfat ester hingga 80% akan menyebabkan peningkatan sensitivitas terhadap ion kalsium. Hal inilah yang akan menyebabkan iota karaginan akan membentuk gel yang kuat bila dicampur dengan ion kalsium (Glicksman 1983). Lamda karaginan tersusun dari ikatan 1,3-D-galaktosa-2-sulfat dan 1,4-D-galaktosa-2,6-disulfat. Lamda karaginan berbeda dengan kappa dan iota karaginan, karena memilki sebuah residu disulfat (1,4) D-galaktosa. Tidak seperti halnya pada kappa dan iota karaginan yang selalu memiliki gugus 4-fosfat ester. Lamda karaginan yang terekstraksi oleh alkali kuat akan menjadi -karaginan dengan melepas 6-sulfat dari ikatan 1,4-D-galaktosa-2,6-disulfat untuk membentuk 3,6-anhidro-D-galaktosa (Glicksman 1983). Posisi sulfat dapat dengan mudah ditentukan dengan infrared spectrophotometer (Winarno 1996) Sifat-sifat dasar karaginan Sifat-sifat yang dimiliki karaginan antara lain: kelarutan, ph, stabilitas, viskositas, pembentukan gel dan reaktifitas dengan protein. Sifat-sifat tersebut sangat dipengaruhi oleh adanya unit bermuatan (ester sulfat) dan penyusun dalam polimer karaginan. Karaginan biasanya mengandung unsur berupa garam sodium dan kalium yang juga berfungsi untuk menentukan sifat-sifat karaginan

24 (Pebrianata 2006). Perbedaan sifat dari ketiga jenis karaginan dapat dilihat dari Tabel 3. Tabel 3. Sifat-sifat karaginan Karakteristik Kappa Iota Lamda Ester sulfat 25-30% 28-35% 32-39% 3,6-anhidro-Dgalaktosa 28-35% - 30% Kelarutan Air panas Larut > 70 o C Larut > 70 o C Larut Air dingin Susu panas Susu dingin Larut garam Na +, K +, tidak dalam Ca 2+ Mengembang baik Tidak larut Larut garam Na +, tidak dalam K + dan Ca 2+ Larut Tidak larut Semua garam Larut mengental Larut panas Larutan gula Larut panas Sulit larut Larut panas Larutan garam Pelarut organik Gelasi Pengaruh kation Tipe gel Tidak larut Tidak larut Pengaruh Sineresis locus bean gum Stabilitas ph netral Stabil dan alkali Asam (ph Gel stabil 3,5) Sumber : Glicksman (1983) Gel lebih kuat dengan ion K + Kuat dan sineresis Larut panas Tidak larut Gel lebih kuat dengan ion Ca 2+ Elastis dan tidak sineresis Tidak sineresis Stabil Tergantung panas Tidak larut Tidak membentuk gel Tidak membentuk gel Membentuk gel dan tidak sineresis Stabil Hidrolisis (1) Kelarutan Air merupakan pelarut utama karaginan. Kelarutan karaginan di dalam air dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: suhu, ada tidaknya kation, tipe ion yang berhubungan dengan polimer, ada tidaknya senyawa organik yang larut dalam air dan garam (Towle 1973). Semua jenis karaginan larut dalam air panas. Di dalam larutan garam kation K + atau Ca 2+, kedua jenis karaginan tersebut tidak dapat larut dan hanya menunjukkan pengembangan, yang dipengaruhi oleh beberapa faktor

25 yaitu: jenis dan konsentrasi kation, densitas karaginan, suhu, ph, adanya ion penghambat dan lain-lain (Glicksman 1983). Lamda karaginan larut di dalam air dingin dan larutan garam segala jenis kation. Jenis lamda adalah karaginan yang tidak dapat membentuk gel. Diantara semua tipe karaginan, lamda karaginan larut baik di dalam cairan susu dingin. Di dalam susu panas, semua karaginan dilaporkan larut (Glicksman 1983). Bahan terlarut lain seperti gula dan garam menurunkan kelarutan karaginan dalam air. Kappa dan lamda karaginan larut dalam sukrosa pekat panas (sampai dengan 60%), sedangkan iota hanya sedikit larut. Dalam larutan garam sampai 25% lamda dan iota larut, sedangkan kappa mengendap. Pada konsentrasi garam di atas 25% ketiga jenis karaginan tersebut mengendap (Guiseley et al. 1980). Faktor terpenting dalam pengamatan kelarutan karaginan adalah sifat hidrofilik molekul yaitu pada kelompok ester-sulfat dan unit galaktopiranosa, sedangkan unit 3,6-anhidro-galaktopiranosa bersifat hidrofobik. Kappa dan lamda karaginan larut dalam larutan gula jenuh dalam keadaan panas, tetapi iota karaginan mempunyai gel yang bersifat elastis, bebas sineresis, dan reversible sehingga lebih mudah larut dalam air dingin dan larutan garam natrium (Glicksman 1983). (2) Viskositas Viskositas adalah daya aliran molekul dalam sistem larutan. Suspensi koloid dalam larutan dapat meningkat dengan cara mengentalkan cairan sehingga terjadi absorbsi dan pengembangan koloid. Pada prinsipnya pengukuran viskositas adalah mengukur ketahanan gesekan lapisan molekul cairan yang berdekatan. Viskositas yang tinggi dari suatu materi disebabkan karena gesekan internal yang besar sehinga cairannya mengalir (Glicksman 1983). Viskositas meningkat secara eksponensial dengan konsentrasi. Sifat ini berlaku pada polimer linear yang mempunyai beberapa gugus dan sebagai akibat meningkatnya konsentrasi interaksi antara rantai-rantai polimer (Stanley 1987 dalam Winata 2008). Viskositas larutan karaginan akan turun oleh peningkatan suhu. Perubahan tersebut berbentuk eksponensial dan bersifat reversible jika pemanasan dilakukan pada ph sekitar 9 dan tidak berlangsung dalam waktu yang lama sehingga terjadi degradasi secara thermal (Towle 1973).

26 Pendinginan iota dan kappa karaginan akan meningkatkan viskositas, khususnya jika mendekati suhu pembentukan gel dan adanya kation K + dan Ca 2+ karena mulai terjadi interaksi antar rantai-rantai polimer. Oleh karena itu, biasanya pengukuran viskositas dilakukan pada suhu tinggi (misalnya 75 o C untuk mencegah terjadinya pembentukan gel) (Guiseley et al. 1980) Pembentukan gel Pembentukan gel merupakan suatu fenomena pengikatan silang rantai-rantai polimer sehingga membentuk suatu jala tiga dimensi bersambungan. Selanjutnya jala ini dapat menangkap atau mengimobilisasikan air di dalamnya dan membentuk struktur yang kuat dan kaku. Sifat pembentukan gel tergantung pada jenis hidrokoloidnya. Gel mungkin mengandung sampai 99,9% air. Gel mempunyai sifat seperti padatan, khususnya sifat elastis dan kekakuan (Fardiaz 1989). Pada umumnya karaginan dapat melakukan interaksi dengan makromolekul yang bermuatan, misalnya protein sehingga mampu menghasilkan berbagai jenis pengaruh seperti peningkatan viskositas, pembentukan gel, pengendapan dan penyaringan stabilisasi. Hasil interaksi dari karaginan dan protein sangat tergantung pada ph larutan serta ph isoelektrik dari protein (Winarno 1996). Proses pembentukan gel terjadi karena adanya ikatan antar rantai polimer sehingga membentuk struktur tiga dimensi yang mengandung pelarut pada celah-celahnya (Glickman 1983). Pembentukan kerangka tiga dimensi oleh double helix akan mempengaruhi pembentukan gel. Proses pemanasan dengan suhu yang lebih tinggi dari suhu pembentukan gel mengakibatkan polimer karaginan menjadi acak. Bila suhu diturunkan maka larutan polimer akan membentuk pilinan ganda dan apabila penurunan suhu dilanjutkan maka polimer ini akan membentuk stuktur tiga dimensi (Glicksman 1983). Kemampuan pembentukan gel pada kappa dan iota karaginan terjadi pada saat larutan panas yang dibiarkan menjadi dingin, karena mengandung gugus 3,6-anhidro-D-galaktosa. Proses ini bersifat reversible, artinya gel akan mencair bila dipanaskan dan apabila didinginkan akan membentuk gel kembali. Adanya perbedaan jumlah, tipe dan posisi sulfat serta adanya ion-ion akan mempengaruhi proses pembentukan gel. Ion monovalen yaitu K +, NH + 4, Rb + dan Cs + membantu

27 pembentukan gel. Kappa karaginan membentuk gel yang keras dan elastis. Dari semua karaginan, kappa karaginan memberikan gel yang paling kuat. Iota karaginan membentuk gel yang kuat dan stabil bila ada ion Ca 2+. Ion Na + dilaporkan menghambat pembantukan gel jenis kappa dan lamda (Angka dan Suhartono 2000). Karaginan berfungsi sebagai penstabil, pengental, pengemulsi, pembentuk gel, tablet kapsul, plester. Karaginan banyak digunakan pada produk pangan dan non-pangan. Kurang lebih 80% produksi karaginan digunakan pada industri makanan, farmasi, dan kosmetik (Whistler dan Miller 1973) Stabilitas Karaginan akan stabil pada ph 7 atau lebih, tetapi pada ph yang rendah stabilitasnya akan menurun bila terjadi peningkatan suhu (Glicksman 1983). Karaginan kering dapat disimpan dengan baik selama 1,5 tahun pada suhu kamar dengan ph 5 6,9 karena selama penyimpanan pada ph tersebut tidak terjadi penurunan kekuatan gel. Asam dan unsur pengoksidasi dapat menghidrolisis karaginan dalam larutan yang menyebabkan kehilangan sifat-sifat fisik melalui pemutusan ikatan glikosidik. Penurunan ph menyebabkan hidrolisis dari ikatan glikosidik yang mengakibatkan kehilangan viskositas dan potensi untuk membentuk gel. Hidrolisis dipercepat oleh panas pada ph rendah (Moirano 1977). Karaginan akan mengalami depolimerisasi secara perlahan-lahan selama penyimpanan. Dua sifat penting karaginan yaitu kekuatan gel dan reaktivitas dengan protein dipengaruhi oleh proses polimerisasi ini. Kappa dan iota karaginan biasanya memiliki daya kekuatan gel serta kekuatan reaksi terhadap protein dan tidak terpengaruh oleh proses depolimerisasi. Penyimpanan dalam suhu kamar selama satu tahun, penurunan kekuatan gelnya tidak dapat dideteksi karena terlalu kecil (Winarno 1996) Spesifikasi mutu karaginan Indonesia belum mempunyai standar mutu karaginan tetapi secara internasional telah dikeluarkan spesifikasi mutu karaginan sebagai persyaratan minimum yang diperlukan bagi suatu industri pengolahan baik dari segi teknologi maupun dari segi ekonomi yang meliputi kualitas hasil ekstraksi rumput laut

28 (Doty 1986). Angka dan Suhartono (2000) mengemukakan bahwa spesifikasi mutu karaginan ditentukan oleh kandungan beberapa senyawa seperti senyawa mudah menguap, sulfat, abu, abu tidak larut asam, beberapa logam berat dan kehilangan karena pengeringan. Secara internasional spesifikasi kemurnian karaginan dikeluarkan oleh Food Agriculture Organization (FAO), Food Chemical Codex (FCC), dan European Economic Community (ECC). Standar mutu karaginan ini dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Spesifikasi mutu karaginan Spesifikasi FAO FCC ECC Zat volatil (%) Maks. 12 Maks. 12 Maks. 12 Sulfat (%) Kadar abu (%) Maks Viskositas (cps) Min Kadar abu tidak larut asam (%) - Maks. 1 Maks. 2 Logam berat : Pb (ppm) As (ppm) Cu 2+ dan Zn (ppm) Zn (ppm) Maks. 10 Maks Maks. 10 Maks Maks. 10 Maks. 3 Maks. 50 Maks. 25 Kehilangan karena pengeringan (%) - Maks Sumber : A/S Kobenhvsn Pektinfabrik (1978) 2.4. Mie Kering Mie kering adalah produk makanan kering yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan lain yang diijinkan, berbentuk khas mie. Dilihat dari bahan dasarnya, mie dapat dibuat dari berbagai macam tepung, seperti tepung terigu, tepung beras, tepung kanji, tepung jagung dan tepung kacang hijau. Dari jenis tepung di atas, mie dari tepung terigu paling banyak digunakan khususnya untuk membuat mie instant (Sutomo 2006). Menurut Winarno (1991), mie dalam bentuk kering harus mempunyai padatan minimal 87%, artinya kandungan airnya harus dibawah 13%. Secara umum mie dapat digolongkan menjadi dua, mie kering dan mie basah. Pada umumnya mie basah adalah mie yang belum dimasak (nama-men) kandungan airnya cukup tinggi sehingga cepat basi, jenis mie ini biasanya hanya tahan 1 hari. Kategori kedua adalah mie kering (kan-men), seperti ramen, soba dan beragam mie instant yang banyak kita jumpai di pasaran (Sutomo 2006).

29 Persyaratan mutu mie kering berdasarkan pada SNI dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Persyaratan mutu mie kering Jenis Uji Satuan Persyaratan Mutu I Mutu II Bau - Normal Normal Keadaan Warna - Normal Normal Rasa - Normal Normal Air % (b/b) Maks. 8 Maks. 10 Protein (N x 6,25) % (b/b) Min. 11 Min. 8 BTM Boraks - Tidak boleh ada Pewarna tambahan - Sesuai SNI Cemaran Timbal (Pb) mg/kg Maks. 1 Maks.1 logam Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 10 Maks. 10 Seng (Zn) mg/kg Maks. 40 Maks. 40 Timah (Sn) mg/kg Maks. 0,05 Maks. 0,05 Arsen (As) mg/kg Maks. 0,5 Maks. 0,5 Cemaran mikroba Angka lempeng total Coliform APM/g Maks. 10 Maks. 10 Kapang koloni/g Maks. 1x 10 4 Maks.1x 10 4 Sumber : Badan Standardisasi Nasional (1996) koloni/g Maks. 1 x 10 6 Maks.1 x 10 6 Kualitas mie kering ditentukan oleh warna, kualitas pemasakan dan teksturnya. Karakteristik mie kering yang disukai adalah memiliki penampakan warna yang cerah, sedikit yang pecah saat pemasakan dan memiliki permukaan yang lembut serta tidak ditumbuhi mikroba (Oh et al. 1983) Bahan yang Digunakan dalam Pembuatan Mie Kering Bahan utama pembuatan mie kering secara umum yaitu tepung terigu, air dan garam, sedangkan bahan tambahan yang sering digunakan dalam pembuatan mie kering adalah garam alkali, pewarna dan bahan lainnya (Astawan 2002). 1. Tepung terigu Tepung terigu merupakan bahan dasar pembuatan mie. berfungsi membentuk struktur mie, sumber protein dan karbohidrat. Tepung terigu Tepung terigu yang umumnya digunakan untuk menghasilkan mie berkualitas tinggi adalah hard flour (mengandung protein 12-13%). Mutu terigu yang dikehendaki adalah terigu yang memiliki kadar air 14%, kadar protein 8-12%, kadar abu 0,25-0,60%, dan gluten basah 24-36%. Kandungan protein utama tepung terigu

30 yang berperan dalam pembentukan gluten adalah gliadin (prolamin dalam gandum) dan glutenin. Protein dalam tepung terigu untuk pembuatan mie harus dalam jumlah yang cukup tinggi supaya mie menjadi elastis dan tahan terhadap penarikan sewaktu proses produksinya (Astawan 2002). 2. Air Air berfungsi sebagai media reaksi antara gluten dan karbohidrat, melarutkan garam, dan membentuk sifat kenyal gluten. Pati dan gluten akan mengembang dengan adanya air. Air yang digunakan sebaiknya memiliki ph antara 6 9, hal ini disebabkan absorpsi air makin meningkat dengan naiknya ph. Makin banyak air yang diserap, mie menjadi tidak mudah patah. Jumlah air yang optimum membentuk pasta yang baik (Anonim 2007). Jumlah air yang ditambahkan pada mie umumnya sekitar 28-38% dari campuran bahan yang digunakan. Jika lebih dari 38% adonan akan menjadi sangat lengket, jika kurang dari 28% adonan akan menjadi rapuh sehingga sulit dicetak (Astawan 2002). 3. Garam dapur Garam berperan dalam memberi rasa, memperkuat tekstur mie, meningkatkan fleksibilitas dan elastisitas mie serta mengikat air. Selain itu garam dapur dapat menghambat aktivitas enzim protease dan amylase sehingga pasta tidak bersifat lengket dan tidak mengembang secara berlebihan (Astawan 2002). 4. Garam alkali Garam alkali yang biasa digunakan dalam produk mie adalah natrium karbonat (Na 2 CO 3 ), kalium karbonat (K 2 CO 3 ), dan kalium polifosfat (KH 2 PO 4 ). Garam alkali ini bisa juga disebut air abu, kansui, atau soda abu. Garam alkali dapat ditambahkan masing-masing atau kombinasi dari 2-3 alkali. Fungsi masing-masing dari alkali tersebut berbeda-beda. Natrium karbonat berfungsi untuk meningkatkan kehalusan dan tekstur mie. Kalium karbonat berfungsi meningkatkan sifat kekenyalan mie dan kalium polifosfat untuk elastisitas dan fleksibilitas mie (Astawan 2002). Penambahan larutan alkali dapat mempengaruhi warna adonan mie. Adonan mie dapat menjadi kuning yang berasal dari tepung terigu.

31 5. Telur Secara umum, penambahan telur dimaksudkan untuk meningkatkan mutu protein mie dan menciptakan adonan yang lebih liat sehingga tidak mudah terputus-putus. Penggunaan telur 5% dapat meningkatkan kandungan gizi terutama protein, mengurangi keluarnya padatan saat mie direbus, memperbaiki warna, aroma, dan sifat adonan supaya lebih liat dan tidak mudah putus-putus (Astawan et al. 2003). Kuning telur berfungsi untuk mengembangkan adonan dan mempercepat hidrasi karena adanya lesitin. Penambahan kuning telur juga akan memberikan warna yang seragam, sedangkan putih telur dapat membentuk elastisitas yang kuat dan membentuk lapisan tipis pada permukaaan mie untuk mencegah penyerapan miyak. Pemakaian putih telur yang berlebihan dapat menurunkan kemampuan mie menyerap air (daya rehidrasi) waktu direbus (Astawan 2002) Proses Pembuatan Mie Kering Proses pembuatan mie secara umum dapat dilakukan pada beberapa tahap yaitu pencampuran, pembentukan lembaran, pencetakan mie, pengukusan, dan pengovenan (Astawan 2002). 1. Pencampuran Proses pencampuran bertujuan agar hidrasi air dengan tepung berlangsung merata dan untuk menarik serat-serat gluten sehingga terbentuk adonan yang elastis dan halus. Adonan terbentuk karena gluten mengembang ketika menyerap air. Peremasan menyebabkan serat gluten tersusun dengan baik (bersilang) dan terbungkus dengan pati sehingga adonan menjadi halus dan elastis. Pencampuran bahan-bahan harus dilakukan sampai benar-benar homogen. Kehomogenan adonan akan mempengaruhi keseragaman produk akhir yang dihasilkan baik karakteristik fisik, kimia maupun organoleptik (Sunaryo 1985). Faktor yang harus diperhatikan dalam proses ini adalah jumlah air yang ditambahkan, suhu adonan dan waktu pengadukan. Penambahan air ke dalam adonan menurut Hatcher dalam Owens (2001) berkisar antara 30-35% dengan waktu pengadukan kurang dari 20 menit. Waktu pengadukan terbaik adalah menit. Lebih dari 25 menit adonan menjadi rapuh, keras dan kering, sedangkan kurang dari 15 menit adonan menjadi lunak dan lengket. Suhu adonan

32 yang terbaik adalah sekitar o C (Astawan 2002). Apabila suhu kurang dari 25 o C adonan menjadi keras, rapuh dan kasar, sedangkan bila lebih dari 40 o C menyebabkan adonan menjadi lengket dan mie menjadi kurang elastis. 2. Pembentukan lembaran Pembentukan lembaran adonan bertujuan untuk menghaluskan serat-serat gluten dan membuat adonan menjadi lembaran. Proses ini dilakukan dengan melewatkan adonan diantara dua rol logam. Tujuan tersebut dapat tercapai dengan jalan melewatkan adonan berulang-ulang diantara dua rol logam. Faktor yang mempengaruhi proses ini adalah suhu dan jarak antar rol. Suhu yang diharapkan adalah sekitar 37 o C. Di bawah suhu tersebut adonan menjadi kasar dan pecah-pecah, mutu mie kasar dan mudah patah, terjadi pemborosan bahan baku. Adonan yang diharapkan akan membentuk lembaran yang halus, homogen, tidak terputus, serta mempunyai ketebalan 1,5 mm (Astawan 2002). 3. Pencetakan mie Lembaran adonan yang tipis selanjutnya dimasukkan ke mesin pencetak mie yang berfungsi mengubah lembaran mie menjadi untaian mie yang bergelombang. Lebar untaian mie yang dihasilkan umumnya sekitar 1-2 mm (Astawan 2002). 4. Pengukusan Dalam proses pengukusan pita-pita mie ini dimasak dengan menggunakan uap air. Pemanasan ini menyebabkan gelatinisasi pati meleleh ke permukaan mie membentuk lapisan tipis (film) yang dapat mengurangi penyerapan minyak dan memberikan kelembutan mie (Sunaryo 1985). Gelatinisasi ini juga meningkatkan daya cerna pati dan mempengaruhi daya rehidrasi mie. Terjadi perubahan pati beta menjadi pati alfa yang lebih mudah dimasak sehingga struktur alfa ini harus dipertahankan dalam mie kering dengan cara dehidrasi (pengeringan) (Astawan 2002). 5. Pengovenan Pengovenan bertujuan untuk mengeringkan mie secara sempurna (kadar air 11-12%), menjadikan produk kering dan renyah, serta terbentuk lapisan protein. Proses ini juga bertujuan untuk menurunkan kadar air sehingga mie dapat disimpan lebih lama.

33 2.7. Serat Pangan Serat pangan (dietary fiber) dalam arti fisiologi yaitu polisakarida tumbuhan dan lignin yang tahan terhadap hidrolisis enzim pencernaan manusia (Trowell 1976 dalam Hasanah 2007). Definisi serat pangan menurut Theander dan Aman (1979) dalam Astawan et al. (2003) adalah grup polisakarida dan polimer-polimer lain yang tidak dapat dicerna oleh sistem sekresi normal pada sistem gastrointestinal bagian atas tubuh manusia, namun demikian beberapa jenis komponennya dapat dicerna oleh mikroflora dalam usus besar menjadi produkproduk terfermentasi. Secara umum serat pangan dapat dibagi menjadi 3 golongan berdasarkan fungsi tumbuhannya, yaitu: (1) polisakarida struktural, termasuk selulosa dan non-selulosa, seperti hemiselulosa, pektin, karaginan, asam alginat; (2) non-polisakarida struktural, yaitu lignin; (3) polisakarida non-struktural contohnya gum dan musilase (Schneeman 1996). Berdasarkan sifat kelarutannya di dalam air serat pangan dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu yang bersifat larut (soluble dietary fiber ) dan tidak larut (insoluble dietary fiber ). Adapun yang dimaksud dengan serat larut adalah serat yang dapat terdispersi di dalam air dan bukan sebagai kelarutan kimiawi, sedangkan serat tidak larut ditunjukan pada serat yang tidak terdispersi di dalam air (Gallaher dan Schneeman 1996). Serat yang bersifat larut air adalah pektin, beta glukan, gum dan musilase. Serat yang bersifat larut ini mempunyai peranan fisiologis penting dalam menurunkan kadar kolesterol dan glukosa serum, serta mencegah penyakit jantung dan hipertensi (Astawan et al. 2003). Sumber serat tidak larut adalah selulosa, sebagian besar hemiselulosa, lignin, sejumlah kecil kitin, lilin tanaman dan terkadang senyawa pektat yang tidak larut. Pengkonsumsian serat pangan yang dianjurkan US FDA adalah 25 g/2000 kkal atau 30 g/2500 kkal. The American Cancer Society, The American Heart Association dan The American Diabetic Association menyarankan g fiber/hari dari berbagai bahan makanan. Orang dewasa mestinya mengkonsumsi serat g per hari atau g per 1000 kkal tiap hari, sedangkan untuk anakanak dan remaja yang memiliki umur antara 2 hingga 20 tahun kebutuhan serat sama dengan umur yang ditambah dengan 5 gram serat setiap hari (Setiawan

34 2007). Konsumsi serat rata-rata penduduk Indonesia adalah sekitar g per hari. Angka konsumsi tersebut tentu saja masih sangat jauh dari angka kecukupan yang dianjurkan. Menurut IOM (2002) dalam WNPG (2004) kecukupan serat makanan bagi anak 1 tahun berkisar antara g/kap/hari atau g/1000 kkal dengan rasio serat makanan tidak larut dan serat makanan larut 3 : 1. Bila karbohidrat terlalu rendah akan memicu glukoneogenesis yang tidak efisien (energically expensive) dan harus dicegah, yang mana untuk menghasilkan 50 g glukosa harus dipecah 80 g protein. Salah satu bahan pangan yang mempunyai keistimewaan dalam kandungan serat pangan adalah rumput laut. Serat pangan rumput laut terletak pada alginat, agar dan karaginan. Serat pangan, khususnya yang bersifat larut telah diketahui berperan penting dalam menurunkan kadar kolesterol plasma. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa rumput laut yang mengandung komponen alginat, agar dan karaginan mempunyai pengaruh kuat dalam menurunkan kadar kolesterol plasma. Alginat memiliki afinitas yang tinggi terhadap logam berat dan unsur radioaktif, maka konsumsi alginat sangat membantu membersihkan polusi logam berat dan unsur radioaktif dalam makanan yang dikonsumsi manusia (Winarno 1996). Ren et al. (1994) dalam Astawan et al. (2003) mempelajari efek hipokolesterolemik, dimana agar dapat menurunkan kolesterol darah hingga 26% dan 39%, sedangkan alginat juga mempunyai potensi tinggi dalam menurunkan kolesterol darah melalui penghambatan absorpsi di usus. Selain itu berdasarkan penelitian Fahrenbach et al. (1966) dalam Muchtadi (2001), penambahan karaginan dalam ransum yang diberikan pada anak ayam dapat menurunkan kadar kolesterol plasma yaitu, penambahan 1% karaginan menunjukkan kadar kolesterol 89%, karaginan 2% menunjukkan kadar kolesterol 72%, dan 3% karaginan menunjukkan kadar kolesterol 49% terhadap kontrol.

35 3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni-Oktober Penelitian tahap pertama terdiri dari proses ekstraksi karaginan yang dilakukan di Laboratorium Biokimia, Departemen Teknologi Hasil Perairan, FPIK, IPB dan analisis karaginan di Laboratorium Pengolahan Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA, IPB. Penelitian tahap kedua terdiri dari proses pembuatan mie kering dilakukan di Laboratorium SEAFAST, IPB. Pengujian organoleptik dilakukan di Laboratorium Organoleptik, Departemen Teknologi Hasil Perairan, FPIK, IPB; analisis fisika dan kimia mie kering dilakukan di Laboratorium Pengolahan Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA, IPB Bahan dan Alat Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini ada tiga kelompok, yaitu bahan untuk pembuatan karaginan, bahan pembuatan mie dan bahan untuk analisis. Bahan-bahan untuk pembuatan karaginan adalah rumput laut jenis Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma spinosum yang diperoleh dari Pulau Pari Kepulauan Seribu DKI Jakarta, KOH, NaOH, IPA (isopropil alkohol) dan akuades. Bahanbahan untuk pembuatan mie adalah tepung terigu, garam dapur, air, telur dan air abu (kansui = campuran Na 2 CO 3, K 2 CO 3, KH 2 PO 4 ). Bahan-bahan lainnya yang digunakan untuk analisis adalah akuades, H 2 SO 4, NaOH, asam borat, HCl, natrium fosfat, etanol, aseton, BaSO 4 dan NaCl Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini terbagi dalam dua kelompok, yaitu alat untuk pembuatan mie dan karaginan, serta alat untuk analisis. Alat untuk pembuatan mie dan karaginan antara lain: timbangan digital, blender, kompor listrik, pisau, termometer, nilon ukuran 150 dan 300 mesh, gelas ukur, roll press pembuat mie, steamer, baskom, sendok, saringan plastik, dan oven. Alat-alat yang digunakan untuk analisis kimia dan organoleptik antara lain: cawan petri, labu gelas, saringan, bunsen, tanur, erlenmeyer, corong buchener, kertas saring,

36 vortex, sentrifuse, tekstur analyzer XT2, viscometer Brookfield dan peralatan gelas lainnya Tahapan Penelitian Penelitian dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap pertama dan tahap kedua. Tahap pertama bertujuan untuk mengekstraksi dan mengkarakterisasi karaginan dari rumput laut Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma spinosum. Tahap kedua bertujuan untuk pembuatan mie kering dengan penambahan iota dan kappa karaginan dan mengevaluasi karakteristiknya (organoleptik, fisik dan kimia) Penelitian tahap pertama Proses ekstraksi karaginan pada dasarnya terdiri atas proses penyiapan bahan, pemisahan karaginan dari ekstraknya, pemurnian, pengeringan, dan penepungan. Rumput laut direndam selama 24 jam dengan air, dicuci, dipotong dan dihancurkan dengan menggunakan blender. Selanjutnya Kappaphycus alvarezii diekstraksi dengan KOH 0,5% dan Eucheuma spinosum diekstraksi dengan NaOH 1% pada suhu 90 o C sambil diaduk selama 3 jam. Setelah itu dilakukan penyaringan dengan nilon berukuran 150 dan 300 mesh. Proses pengendapan dilakukan dengan penambahan IPA dengan perbandingan volume ekstraksi rumput laut dan IPA 1:1,5 (v/v). Selanjutnya karaginan dikeringkan di bawah sinar matahari, setelah itu dihancurkan sampai berbentuk serbuk atau tepung. Diagram alir proses pembuatan karaginan murni mengacu pada metode yang dilakukan oleh Uju (2005) sebagai berikut:

37 Rumput laut kering Perendaman 24 jam dengan air Pencucian dan pegecilan ukuran Ekstraksi 1:40 (b/v) (rumput laut: air), suhu 90 o C, 3 jam ph 9-10, jenis basa KOH 0,5% untuk K.alvarezii dan NaOH 1% untuk E.spinosum Penyaringan 150 mesh Residu Filtrat Penyaringan 300 mesh Residu Pengendapan filtrat dengan IPA (1:1,5) (v/v) Pengeringan Penepungan Tepung kappa dan iota karaginan Gambar 4. Diagram alir pembuatan karaginan dari Kappaphycus alvarezii dan Eucheuma spinosum (Uju 2005) Penelitian tahap kedua Pada penelitian tahap kedua dilakukan pembuatan mie dengan menambahkan kappa atau iota karaginan pada berbagai konsentrasi yaitu: 0,25%; 0,5%; dan 0,75%. Prosedur pembuatan mie kering mengacu pada Astawan et al.

38 (2003). Pembuatan mie diawali dengan pencampuran tepung terigu, kappa atau iota karaginan dan garam selama 2 menit dan diberi air, telur serta garam alkali (kansui). Proses ini dilakukan untuk menyeragamkan penyebaran air dan mengembangkan gluten sehingga membentuk suatu ikatan yang kuat dan tidak mudah putus setelah bercampur menjadi mie. Adonan kemudian dipipihkan sehingga membentuk lembaran dengan menggunakan alat berupa dua rol logam setebal 2 mm dan dimasukkan ke dalam mesin pencetak mie. Setelah mengalami penggilingan, adonan kemudian dipotong-potong sepanjang 15 cm sehingga menghasilkan mie mentah. Mie yang telah terbentuk dikukus selama 15 menit dan dikeringkan dalam oven selama 1,5 jam pada suhu 60 o C hingga mie terlihat mengering. Formulasi mie kering dapat dilihat pada Tabel 6. Bahan Tepung terigu Telur Kansui Garam Air Tabel 6. Formulasi pembuatan mie karaginan (Modifikasi dari Astawan et al. 2003) Komposisi Kontrol Perlakuan 1 Perlakuan 2 Perlakuan g 100 g 100 g 100 g 5 g 1 g 2 g ml Karaginan* 0% 0,25% 0,5% 0,75% Keterangan : penambahan karaginan berdasarkan berat bahan dasar 108 g *: modifikasi dari Astawan et al. (2003) Setelah diperoleh produk mie kering maka dilakukan analisis mutu mie kering secara organoleptik, yaitu uji hedonik dan uji perbandingan pasangan meliputi warna mie mentah, warna mie matang, rasa, kekenyalan, penampakan dan aroma mie dengan menggunakan 30 panelis semi-terlatih. Selanjutnya dianalisis secara fisik dan kimia. Diagram alir proses pembuatan mie kering dapat dilihat pada Gambar 5.

39 Tepung terigu 100 g Kansui 1 g, garam 2 g, air ml Pencampuran (10-20 menit, o C) Telur 5 g, karaginan* 0,25%; 0,5% dan 0,75% Pengistirahatan (resting)* Pembentukan lembaran Pencetakan Pengukusan (15 menit) Pengovenan (1,5 jam, 65 o C)* Mie kering Gambar 5. Diagram alir pembuatan mie kering (Modifikasi dari Astawan et al. 2003*) 3.4. Prosedur Analisis Metode analisis pada penelitian ini dibagi menjadi 4 bagian, yaitu analisis karaginan, uji hedonik, uji perbandingan pasangan dan analisis fisiko-kimia mie kering Analisis karaginan (1) Rendemen karaginan (FMC Corp. 1977) Rendemen sebagai hasil ekstraksi dihitung berdasarkan rasio antara berat karaginan yang dihasilkan dengan berat rumput laut kering. Rendemen (%)=

40 (2) Kekuatan gel (FMC Corp. 1977) Larutan karaginan 1,6% dan KCl 0,16% dipanaskan dalam bak air mendidih dengan pengadukan secara teratur sampai suhu 80 o C. Volume larutan dibuat sekitar 50 ml. Larutan panas dimasukkan ke dalam cetakan berdiameter kira-kira 4 cm dan dibiarkan pada suhu 10 o C selama 2 jam. Gel yang terbentuk diukur kekuatan gelnya dengan LFRA Tekstur Analyzer dengan probe TA 25/100, distance 10 mm dan test speed 0,5 mm/sec. (3) Viskositas (FMC Corp. 1977) Larutan karaginan dengan konsentrasi 1,5% dipanaskan dalam bak air mendidih sambil diaduk secara teratur sampai suhu mencapai o C. Larutan karaginan tersebut diukur dengan spindle viscometer Brookfield yang berputar pada kecepatan 60 rpm dengan jarum spindle no.2. Spindel terlebih dahulu dipanaskan pada suhu 75 o C kemudian dipasangkan ke alat ukur viscometer Brookfield. Posisi spindle dalam larutan panas diatur sampai tepat, viscometer diputar dan suhu larutan diukur. Ketika suhu larutan mencapai 75 o C termometer dikeluarkan dan nilai viskositas diketahui dengan pembacaan viscometer pada skala 1 sampai 100. Pembacaan dilakukan setelah satu menit putaran penuh. Hasil pembacaan digandakan 5 kali untuk spindle no.2 bila dijadikan centipoises. (4) Kadar sulfat (FMC Corp. 1977) Karaginan sebanyak 1 g dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer, kemudian ditambahkan 50 ml HCl 0,2 N dan direfluks sampai mendidih selama 1 jam. Selanjutnya ditambahkan 25 ml larutan H 2 O 2 ( 1:10) dan direfluks selama 6 jam sampai larutan menjadi jernih. Larutan ini dipindahkan ke dalam gelas piala dan dipanaskan sampai mendidih. Selanjutnya ditambahkan 10 ml larutan BaCl 2 (tetes demi tetes sambil diaduk) di atas penangas air selama 2 jam. Endapan yang terbentuk disaring dengan kertas saring tak berbau dan dicuci dengan akuades mendidih hingga bebas klorida. Kertas saring dikeringkan ke dalam oven pengering, kemudian diabukan pada suhu 1000 o C sampai didapat abu yang berwarna putih. Abu didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Perhitungan kadar sulfat adalah sebagai berikut :

41 Kadar sulfat (%) = Keterangan : P = Berat endapan BaSO 4 (mg) (5) Kadar abu (Food Chemical Codex 1981) Karaginan sebanyak kurang lebih 2 g dimasukkan ke dalam cawan porselin yang telah dikeringkan dan diketahui beratnya, kemudian dipijarkan di tanur pada suhu 600 o C selama 6 jam sampai bebas dari arang. Cawan beserta abu didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang. Jika A berat cawan dan karaginan setelah dipijarkan dan B adalah berat cawan, maka kadar abu dapat dihitung dengan rumus : Kadar abu (%) = (6) Titik leleh (Suryaningrum dan Utomo 2000) Larutan karaginan dengan konsentrasi 6,67% disiapkan dengan akuades. Sampel diinkubasi pada suhu 10 ºC selama kurang lebih 2 jam. Pengukuran titik leleh dilakukan dengan cara memanaskan gel karaginan dalam waterbath. Di atas gel karaginan tersebut diletakkan gotri dan ketika gotri jatuh maka suhu tersebut dinyatakan sebagai titik leleh karaginan. (7) Titik jendal (Suryaningrum dan Utomo 2000) Larutan karaginan dengan konsentrasi 6,67% disiapkan dengan akuades dalam gelas ukur volume 15 ml. Suhu sampel diturunkan secara perlahan-lahan dengan cara menempatkan dalam wadah yang diberi pecahan es. Titik jendal diukur pada saat karaginan mulai membentuk gel dengan menggunakan termometer Uji hedonik (Soekarto 1985) Uji hedonik dilakukan terhadap produk akhir mie kering dengan menggunakan tes tingkat kesukaan konsumen. Uji ini bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi terbaik berdasarkan pilihan (preferensi) panelis semiterlatih yang dilakukan oleh 30 orang. Penilaian panelis terhadap parameter ditunjukkan dengan penilaian berupa angka dengan skala satu sampai tujuh, dimana 1 = sangat tidak suka, 2 = tidak

42 suka, 3 = agak tidak suka, 4 = netral, 5 = agak suka, 6 = suka, 7 = sangat suka. Hasil dari uji ini diolah dengan perangkat lunak SPSS 13.0 menggunakan uji Kruskal Wallis dan uji lanjut Multiple Comparison apabila pengujian berbeda nyata Uji perbandingan pasangan (Soekarto 1985) Uji perbandingan pasangan adalah uji yang digunakan untuk mengetahui kelebihan dari satu sampel dibandingkan dengan sampel yang lainnya dengan membandingkan beberapa sampel dengan sampel komersial. Uji ini dilakukan terhadap panelis semi-terlatih (mahasiswa) sebanyak 30 orang. Masing-masing panelis diberikan dua sampel, salah satu sampel adalah mi kering dengan penambahan karaginan dan satu sampel lagi adalah produk mie kering komersial Cap Atoom Bulan yang diproduksi oleh PT Kuala Pangan Bogor. Prosedur tersebut dilakukan dengan cara, panelis diberikan dua sampel secara bersamaan, kemudian panelis diminta untuk membandingkan antara mie yang ditambahkan karaginan dengan mie komersial. Penilaian dari panelis dinyatakan dalam skor dari +3 sampai dengan -3 (+3 = sangat lebih baik, +2 = lebih baik, +1 = agak lebih baik, 0 = tidak berbeda, -1 = agak kurang, -2 = kurang, 3 = sangat kurang) Analisis fisik mie kering (1) Cooking time Mie kering ditimbang sebanyak 5 g dan air sebanyak 150 ml dididihkan, setelah air mendidih mie kering dimasukkan dan stop watch dinyalakan. Pemasakan dihentikan bila sudah tidak terbentuknya garis putih bila ditekan dengan dua potong kaca. (2) Daya serap air (DSA) (Fardiaz et al. 1992) Sebanyak 1 g contoh ditimbang, kemudian dimasukkan ke dalam tabung sentrifuse. Selanjutnya ditambahkan 10 ml air dan dikocok dengan menggunakan vortex mixer. Kemudian disentrifuse dengan kecepatan 3500 rpm selama 30 menit. Selanjutnya volume supernatant diukur dengan menggunakan gelas ukur 10 ml. Daya serap air dihitung sebagai berikut: DSA (ml/g) =

43 (3) Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) (Oh et al. 1985) Cooking loss atau kehilangan padatan akibat pemasakan merupakan banyaknya padatan yang terkandung dalam mie kering yang keluar serta terlarut ke dalam air selama pemasakan. Penentuan KPAP dilakukan dengan cara merebus 5 g mie dalam 150 ml air. Setelah mencapai waktu optimum perebusan, mie ditiriskan dan disiram air. Kemudian ditiriskan kembali selama 5 menit. Mie kemudian ditimbang dan dikeringkan pada suhu 105 o C sampai berat konstan. Kemudian ditimbang kembali. KPAP (% bk) = (4) Elongasi (Astawan et al. 2003) Elongasi atau pemanjangan mie diukur dengan menggunakan alat Tensile Strenght Tester. Sampel mie yang telah direhidrasi dengan panjang 18 cm disiapkan kemudian ujungnya dipasang pada bagian penjepit (klem) atas dari alat dan dikeraskan (dikunci). Ujung mie lainnya dipasang pada klem bawah dan dikeraskan. Selanjutnya pengunci bagian klem atas dikendorkan sehingga klem atas dapat bergerak bebas untuk mendapatkan penempatan contoh uji yang benar (vertikal dan tidak terpuntir). Pengukuran elongasi mie siap dilakukan. Untuk memulai pengukuran, tuas yang ada disebelah kanan ditekan ke bawah sehingga alat akan menarik klem bawah dan sampel mie mendapat beban tarik tertentu. Bersamaan dengan itu jarum penunjuk bergerak ke atas menunjuk angka tertentu sesuai dengan beban tarik yang bekerja pada sampel mi. Pada saat tertentu sampel mie akan putus dan jarum penunjuk berhenti bergerak. Nilai yang ditunjuk oleh jarum pada skala piringan di bagian atas kanan alat menunjukkan nilai pemanjangannya. Pemanjangan (%) = (5) Tekstur profil analisis metode Tekstur Analyzer by TA-XT Mie direbus dalam air mendidih selama 10 menit. Setelah itu langsung disiram dengan air dingin dan ditiriskan selama 15 menit sehingga menjadi kering. Alat tekstur analyzer dinyalakan dan disetting pengujian Tekstur profil

44 analisis dengan probe 35 mm. Mie diletakkan ditengah papan pengukuran dan Tekstur Analyzer dimulai. Hasil yang keluar di komputer dicetak dan parameter berupa hardness (kekerasan) dan resiliencey (kekenyalan) digunakan untuk data sifat fisik mie. (6) Warna (Soekarto 1990) Warna diukur dengan menggunakan alat cromameter Cr-200 dengan mengukur nilai L, a dan b. Sampel dimasukkan ke dalam plastik bening. Sensor kromameter dihubungkan ke data prosesor. Kabel dihubungkan ke power supply, kemudian cromameter dinyalakan. Kalibrasi dilakukan dengan menambahkan sensor ke white caliberation plate. Sensor cromameter ditembakkan pada sampel, kemudian nilai yang tertera pada monitor dicatat. Nilai L menunjukkan antara warna putih ke hitam, nilai a menunjukkan antara warna merah ke hijau, serta nilai b menunjukkan warna kuning ke biru Analisis kimia mie kering (1) Kadar air ( AOAC 1995) Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven. Sebanyak 3 g sampel dimasukkan ke dalam cawan alumunium yang telah diketahui beratnya, kemudian dikeringkan di dalam oven pada suhu 105 o C selama 4-6 jam hingga beratnya konstan. Kadar air sampel dihitung dengan rumus sebagai berikut: Kadar air (%) (2) Kadar abu (AOAC 1995) Sampel yang diperoleh dari pengujian kadar air dimasukkan ke dalam tanur listrik dengan temperatur o C selama 2 jam. Setelah selesai, cawan dikeluarkan dan dimasukkan desikator untuk didinginkan, lalu ditimbang. Persentase kadar abu dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Kadar abu (%) =

45 %N x6,25 (3) Kadar protein (AOAC 1995) Sampel seberat 0,2 g dimasukkan dalam labu Kjeldahl 100 ml, kemudian dtambahkan 2 g K 2 SO 4 dan HgO (1:1) serta 2 ml H 2 SO 4 pekat. Setelah itu didestruksi selama 30 menit sampai diperoleh cairan hijau jernih. Setelah dingin, ditambah 35 ml akuades dan 10 ml NaOH pekat sampai berwarna coklat kehitaman lalu didestilasi. Hasil destilasi ditampung dalam erlenmeyer 125 ml yang berisi 5 ml H 3 PO 3. Kemudian dititrasi dengan HCl 0,02 N dengan menggunakan indikator. Hal yang sama dilakukan untuk blanko. Persentase nitrogen dan kadar protein kasar dihitung dengan rumus sebagai berikut : Kadar Nitrogen (%) = Kadar protein (%) = % N x 6,25 (4) Kadar lemak (AOAC 1995) Sampel mie kering seberat 5 g dimasukkan ke dalam selongsong pengekstrak, kemudian dimasukkan dalam labu soxhlet yang awalnya dikeringkan dalam oven dan telah ditimbang beratnya dan diekstraksi dengan petroleum eter di atas waterbath selama 6 jam. Hasil ekstraksi diuapkan dengan cara destilasi, lalu labu tersebut dipanaskan dalam oven 105 o C sampai diperoleh berat tetap, didinginkan dalam desikator dan ditimbang berat labu akhir. Persentase kadar lemak dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: Kadar lemak (%) = (5) Kadar karbohidrat (by difference) Kadar karbohidrat dihitung dengan cara pengurangan terhadap kadar air, abu, protein, dan lemak. Perhitungan kadar karbohidrat adalah sebagai berikut: Kadar karbohidrat (%) =100% - % kadar air - % kadar protein % kadar abu - % kadar lemak (6) Kadar serat pangan metode enzimatik (Sulaeman et al. 1993) Penentuan kadar serat pangan terdiri dari persiapan sampel dan penentuan kadar serat pangan tidak larut serta serat larut.

46 1. Persiapan sampel Sampel kering homogen diekstrak lemaknya dengan petroleum benzena pada suhu kamar selama 15 menit, jika kadar lemak sampel melebihi 6-8%. Penghilangan lemak dari sampel bertujuan untuk memaksimumkan degradasi pati. Sebanyak 1 g sampel dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer. Kemudian ditambahkan 25 ml buffer natrium fosfat ke dalam labu erlenmeyer dan dibuat menjadi suspensi. Penambahan buffer dimaksudkan untuk menstabilkan enzim termamyl. Sebanyak 100 µl termamyl dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer. Labu ditutup dan diinkubasi pada suhu 100 ºC selama 15 menit, sambil sekali-sekali diaduk. Tujuan penambahan termamyl dan pemanasan adalah untuk memecahkan pati dengan menggelatinisasi lebih dulu. Labu diangkat dan didinginkan, kemudian ditambahkan 200 ml air destilata dan phnya diatur sampai menjadi 1,5 dengan menambahkan HCl 4 M. Selanjutnya ditambahkan 100 mg pepsin. Pengaturan ph hingga 1,5 dimaksudkan untuk mengkondisikan agar aktivitas enzim pepsin maksimum. Erlenmeyer ditutup dan diinkubasi pada suhu 40 ºC dan digoyang dengan diagitasi selam 60 menit. Sebanyak 20 ml air destilata ditambahkan dan ph diatur menjai 6,8 dengan NaOH. Pengaturan ph menjadi 6,8 ditujukan untuk memaksimumkan aktivitas enzim pankreatin. Selanjutnya ditambahkan 100 mg enzim pankreatin ke dalam larutan. Labu ditutup dan diinkubasi pada suhu 40 ºC selama 60 menit sambil diagitasi. Selanjutnya ph diatur dengan HCl menjadi 4,5. Larutan disaring melalui crucible kering yang telah ditimbang beratnya (porositas 2) yang mengandung 0,5 g celite kering (serta tepat diketahui). Kemudian dicuci dengan 2 x 10 ml air destilata sehingga diperoleh residu dan filtrat. Residu digunakan untuk penentuan serat pangan tidak larut, sementara filtrat digunakan untuk penentuan serat pangan larut. 2. Penentuan serat pangan tidak larut Residu dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton kemudian dikeringkan pada suhu 105 ºC, sampai berat tetap (sekitar 12 jam) dan ditimbang setelah didinginkan dalam desikator (D1). Selanjutnya residu diabukan di dalam

47 tanur 500 ºC selama paling sedikit 5 jam, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang setelah dingin (I1) 3. Penentuan serat pangan larut Volume filtrat diatur dengan air sampai 100 ml dan sebanyak 400 ml aseton 95% hangat (60 ºC) ditambahkan dan diendapkan selama 1 jam. Larutan disaring dengan crucible kering (porositas 2) yang mengandung 0,5 g celite kering kemudian dicuci dengan 2 x 10 ml etanol 78%; 2 x 10 ml etanol 95% dan 2 x 10 ml aseton. Endapan dikeringkan pada suhu 105 ºC semalam (sampai berat konstan) dan didinginkan dalam desikator dan ditimbang (D2). Selanjutnya residu diabukan pada tanur 500 ºC selama paling sedikit 5 jam. Kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang (I2). 4. Penentuan serat pangan total Serat pangan total diperoleh dengan menjumlahkan nilai serat pangan tidak larut (IDF) dan serat pangan larut (SDF). Blanko untuk serat pangan larut dan serat pangan tidak larut diperoleh dengan cara yang sama, tetapi tanpa sampel. Nilai blanko sekali-kali perlu diperiksa ulang, terutama jika menggunakan enzim dari kemasan yang baru. Rumus perhitungan IDF dan SDF: Nilai IDF (%) = Nilai SDF (%) = Nilai TDF (%) = Nilai IDF (%) + Nilai SDF (%) Keterangan : W = Berat contoh (g) B = Berat blanko bebas serat (g) D = Berat setelah analisis dan dikeringkan (g) I = Berat setelah diabukan (g) 3.5. Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap dengan satu faktor, yaitu penambahan karaginan murni yang terdiri dari 4 taraf, yaitu karaginan 0% (kontrol); 0,25%; 0,5%; dan 0,75% dan dilakukan

48 2 kali ulangan. Model rancangan percobaannya berdasarkan Steel dan Torrie (1993) adalah : Y ij = + i + ij Dimana : i = 1,2,3,4 j = 1,2 Keterangan: Y ij =Respon pengaruh faktor penggunaan karaginan murni pada mie pada konsentrasi ke-i dan ulangan ke-j i ij = Nilai rata-rata umum = Pengaruh penambahan karaginan pada konsentrasi ke-i = Pengaruh galat percobaan Hipotesis yang diuji adalah sebagai berikut: H 0 = Penambahan karaginan murni tidak berpengaruh terhadap karakteristik mie yang dihasilkan H 1 = Penambahan karaginan murni berpengaruh terhadap karakteristik mie yang dihasilkan. Analisis data dilakukan dengan menggunakan analisis ragam pada taraf beda nyata 5% (p<0,05). Jika hasil analisis ragam berbeda nyata, dilanjutkan dengan uji lanjut beda nyata jujur (uji Tukey) dengan rumus sebagai berikut: BNJ = q( p, dbs) Keterangan: S r 2 BNJ : Nilai beda nyata jujur pada selang kepercayaan : Selang kepercayaan 95% q p dbs S 2 r : Nilai tabel q : Banyaknya perlakuan : Derajat bebas sisa : Nilai kuadrat tengah sisa : Banyak ulangan Data hasil uji organoleptik diuji dengan uji nonparametrik Kruskal Wallis. Uji Kruskal Wallis ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan yang nyata antara perlakuan dan ranking. Apabila hasil analisis menunjukkan adanya pengaruh nyata maka dilanjutkan dengan uji Multiple Comparison yang

49 bertujuan untuk mengetahui perlakuan mana saja yang memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap parameter yang dianalisis. Langkah-langkah metode pengujian Kruskal Wallis adalah sebagai berikut: 1) Merumuskan H 0 dan H 1 2) Perankingan 3) Membuat tabel ranking 4) Menghitung jumlah T(t-1)(t+1) 5) Menghitung faktor koreksi atau pembagi Pembagi = 1-6) Menghitung H T (n -1)(n 12 R i H = n (n + 1) n i 7 ) Menghitung H Pembagi = 1- T (n -1)(n + 1)n 2 + 1)n 3 (n + 1) 8) Melihat X 2 tabel dengan : 0,05 db (v) = k-1 Jika x 2 hitung > x 2 tabel = tolak H 0 = uji lanjut Multiple Comparison Jika x 2 hitung < x 2 tabel = gagal tolak H 0 Keterangan : T n i R i 2 t = (t-1)(t+1) = Banyaknya pengamatan dalam perlakuan = Jumlah ranking dalam perlakuan ke-i = Banyaknya pengamatan seri dalam kelompok H = H terkoreksi Hasil yang berbeda nyata diuji dengan uji lanjut Multiple Comparison dengan rumus sebagai berikut : R i R j >< Z a/k(k 1) N(N+ 1) 1 12 ni + 1 n j

50 R i R j N K n i n j = Rata rata ranking perlakuan ke-i = Rata rata ranking perlakuan ke-j = Banyaknya data = Banyaknya perlakuan = Jumlah data perlakuan ke-i = Jumlah data perlakuan ke-j

51 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penelitian Tahap Pertama Pada penelitian tahap pertama dilakukan ekstraksi karaginan dan karakterisistik fisiko-kimia tepung karaginan yang dihasilkan. Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini adalah rumput laut kering jenis Kappaphycus alvarizii penghasil kappa karaginan dan Eucheuma spinosum penghasil iota karaginan yang berasal dari Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Tepung karaginan yang dihasilkan dianalisis karakteristik fisik maupun kimianya meliputi rendemen, viskositas, kekuatan gel, derajat putih, titik leleh, titik jendal, kadar abu dan kadar sulfat. Hasil dari analisis karaginan ini kemudian dibandingkan dengan standar yang telah ditetapkan oleh FAO, FCC dan EEC. Hasil analisis fisika dan kimia kappa dan iota karaginan serta standar yang ditetapkan oleh FAO, FCC dan EEC dapat dilihat dari Tabel 7. Tabel 7. Karakteristik fisika dan kimia iota dan kappa karaginan Karakterisasi Iota karaginan Kappa karaginan Standar* FAO FCC ECC Rendemen (%) 25,31 ± 0,43 15,47 ± 0, Viskositas (cps) 43,00 ± 0,00 37,50 ± 0,00 Min Derajat putih (%) 45,00 ± 0,13 32,55 ± 0, Kekuatan gel (g/cm 2 ) 760,63 ± 36,05 853,14 ± 17, Titik leleh ( o C) 23,45 ± 0,07 39,45 ± 0, Titik jendal ( o C) 23,95 ± 8,27 33,15 ± 0, Kadar abu (%) 34,31 ± 0,26 27,95 ± 0, Maks Kadar sulfat (%) 20,83 ± 0,33 12,64 ± 0, Sumber * : A/S Kobenhvsn Pektinfabrik (1978) Rendemen karaginan merupakan berat karaginan yang terkandung dalam rumput laut kering dan dinyatakan dalam persen. Semakin tinggi nilai rendemen semakin besar output yang dihasilkan. Rendemen karaginan Kappaphycus alvarezii adalah 15,47%, sedangkan rendemen Eucheuma spinosum adalah 25,31%. Rendemen Kappaphycus alvarezii masih di bawah standar dan Eucheuma spinosum memenuhi standar. SNI mensyaratkan kadar karaginan rumput laut kering tidak kurang dari 25%. Metode penyaringan dua tahap dalam proses pembuatan karaginan diduga dapat menyebabkan nilai

52 rendemen karaginan menjadi lebih rendah. Selain itu Chapman dan Chapman (1980) menyatakan bahwa rendemen dipengaruhi oleh spesies, iklim, metode ekstraksi, waktu pemanenan dan lokasi budidaya. Viskositas adalah daya aliran molekul dalam suatu larutan. Pengukuran viskositas dilakukan untuk menentukan nilai kekentalan suatu larutan yang dinyatakan dalam centipoise (cps). Nilai rata-rata viskositas yaitu 43,00 cps untuk iota karaginan dan 37,50 cps untuk kappa karaginan. Hasil dari penelitian ini telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh FAO yaitu mimimal 5 cps. Menurut Guiseley et al. (1980) dalam Pebrianata (2006) viskositas karaginan berkisar antara cps yang diukur pada konsentrasi 1,5% dan suhu 75 o C dengan menggunakan viscometer Brookfield. Nilai viskositas iota karaginan lebih tinggi dibandingkan viskositas kappa karaginan. Hal ini dipengaruhi kandungan sulfat yang dapat menyebabkan larutan menjadi kental. Sulfat mempengaruhi adanya gaya tolak-menolak antar kelompok ester yang bermuatan sama dengan molekul air yang terikat dalam karaginan. Kandungan sulfat iota karaginan lebih tinggi dibandingkan kappa karaginan sehingga menyebabkan viskositas iota karaginan lebih tinggi. Derajat putih merupakan salah satu faktor untuk menentukan nilai mutu dari produk tepung. Nilai derajat putih iota karaginan adalah 45,00% dan nilai derajat putih kappa karaginan adalah 32,55%. Dari hasil ini menunjukkan bahwa kappa karaginan memiliki warna yang lebih coklat dibandingkan dengan iota karaginan. Warna kecoklatan karaginan diduga disebabkan masih adanya selulosa, pigmen fikoeritrin dan fikosianin. Imeson (2000) menyatakan bahwa selulosa dapat menyebabkan warna karaginan menjadi keruh. Dengan adanya penyaringan dua kali yaitu dengan nilon 150 dan 300 mesh berfungsi mengurangi kandungan selulosa pada karaginan. Penyaringan memisahkan selulosa dengan filtrat dari rumput laut. Terpisahnya selulosa yang berwarna kecoklatan menyebabkan warna yang dihasilkan semakin cerah. Warna tepung karaginan yang lebih putih akan mempermudah dalam aplikasi produk khususnya produk pangan. Hasil analisis kekuatan gel iota karaginan adalah 760,63 g/cm 2, sedangkan kekuatan gel kappa karaginan adalah 853,14 g/cm 2. Kappa karaginan mempunyai nilai kekuatan gel yang lebih tinggi dibandingkan iota karaginan. Hal ini

53 disebabkan kandungan sulfat iota karaginan lebih tinggi, dimana tingginya kadar sulfat dapat menyebabkan terputusnya ikatan 3,6-anhidro-D-galaktosa sehingga kekuatan gelnya menurun. Tingginya kadar sulfat meningkatkan viskositas karaginan, sedangkan kekuatan gelnya menurun. Menurut McHugh (2003) kekuatan gel dipengaruhi oleh kandungan sulfat dan kandungan 3,6-anhidro-D-galaktosa. Kandungan sulfat dapat menghambat pembentukan gel sehingga polimer terdapat dalam bentuk sol, sedangkan kandungan 3,6-anhidro- D-galaktosa menyebabkan sifat beraturan dalam polimer dan akan meningkatkan potensi pembentukan double helix. Titik jendal adalah suhu pada saat karaginan mulai membentuk gel, sedangkan titik leleh adalah suhu dimana gel karaginan mulai mencair (Winata 2008). Hasil dari analisis titik leleh iota karaginan dan kappa karaginan adalah 23,45 o C dan 39,45 o C, sedangkan titik jendal iota karaginan dan kappa karaginan adalah 23,95 o C dan 33,15 o C. Titik leleh dan titik jendal kappa karaginan lebih tinggi dibandingkan titik leleh dan titik jendal iota karaginan. Hal ini karena titik leleh dan titik jendal berbanding lurus dengan kandungan sulfat dan kandungan 3,6-anhidro-D-galaktosa. Menurut Glicksman (1983) kappa karaginan memiliki kandungan 3,6-anhidro-D-galaktosa hampir mendekati 35%. Selain itu menurut Philips dan Williams (2002) dalam Winata (2008) kappa karaginan memiliki kandungan 3,6-anhidro-D-galaktosa yang lebih tinggi dan kandungan sulfat yang lebih sedikit dibandingkan iota karaginan. Hasil analisis kadar abu iota karaginan dan kappa karaginan adalah 27,95% dan 34,31%. Dari hasil penelitian ini kadar abu kappa dan iota karaginan memenuhi standar yang ditetapkan FAO dan EEC berkisar antara 15-40%. Menurut Winarno (1996) tingginya kadar abu karaginan dipengaruhi oleh adanya garam dan mineral lain yang menempel pada rumput laut seperti natrium, kalsium dan kalium. Kadar sulfat merupakan parameter yang digunakan untuk berbagai jenis polisakarida yang terdapat dalam alga merah (Winarno 1996). Kadar sulfat iota karaginan dan kappa karaginan adalah 20,83% dan 12,64%. Kadar sulfat iota karaginan memenuhi standar, sedangkan kappa karaginan tidak memenuhi standar yang ditetapkan oleh FAO, FCC, dan EEC. Kandungan sulfat iota karaginan

54 lebih tinggi dibandingkan dengan kappa karaginan. Hal ini akan mempengaruhi terhadap kekuatan gel dan viskositas karaginan. Menurut Guiseley et al. (1980) kadar sulfat berbanding terbalik dengan kekuatan gel dan berbanding lurus dengan viskositas. Kandungan sulfat dipengaruhi oleh tipe karaginan, konsentrasi, kadar air, jenis dan umur panen (Pamungkas 1987; Suryaningrum 1989). Tingginya kadar sulfat disebabkan oleh kurang sempurnanya proses eliminasi sulfat sehingga tidak semua sulfat dapat dikonversi. Selain itu, diduga adanya endapan lain yang ikut mempengaruhi berat sulfat Penelitian Tahap Kedua Penelitian tahap kedua dilakukan untuk menentukan satu konsentrasi karaginan terbaik yang ditambahkan ke dalam mie kering yang masih dapat diterima oleh panelis untuk kappa karaginan dan iota karaginan dengan uji hedonik. Selanjutnya konsentrasi terbaik dari masing-masing karaginan dibandingkan dengan mie komersial dengan uji perbandingan pasangan dan dianalisis karakteristik fisik dan kimia mie kering Uji hedonik Uji hedonik dilakukan untuk menentukan formulasi mie kering terbaik yang masih dapat diterima oleh panelis. Uji hedonik dilakukan terhadap mie yang belum dimasak dan telah dimasak. Uji hedonik terhadap mie yang belum dimasak hanya dari warna, sedangkan mie yang telah dimasak dilakukan uji hedonik terhadap warna, aroma, kekenyalan, rasa, dan penampakan. Uji hedonik dilakukan dengan menggunakan panelis semi-terlatih sebanyak 30 orang. Penilaian uji hedonik ini, yaitu berupa angka skala 1 sampai dengan 7, nilai kesukaan dari (1) sangat tidak suka sampai dengan (7) sangat suka. 1) Warna mie mentah Warna merupakan parameter sensori yang dapat dilihat langsung oleh panelis. Pada umumnya hal pertama yang menjadi pertimbangan konsumen untuk memilih suatu produk adalah warna bahan sebelum parameter lain seperti rasa dan nilai gizi. Menurut Winarno (1997) suatu bahan yang dinilai bergizi, enak dan teksturnya sangat baik tidak akan dimakan apabila warnanya tidak enak dipandang atau memberi penilaian menyimpang dari warna yang seharusnya.

55 Warna yang diinginkan dalam produk mie adalah warna kuning. Penilaian warna mie mentah dapat dilihat pada Gambar 6. Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf superscript (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p< 0,05) untuk masing-masing jenis karaginan. Gambar 6. Nilai rata-rata uji hedonik terhadap warna mie mentah karaginan Nilai rata-rata warna mie mentah kappa karaginan adalah 5,07-6,27 (agak suka-suka) dan iota karaginan berkisar 4,53-6,27 (netral-suka). Berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa tingkat penambahan tepung karaginan berbeda nyata (p<0,05) terhadap tingkat kesukaan warna mie mentah. Uji lanjut Multiple Comparison menunjukkan bahwa tingkat kesukaan terhadap warna mie mentah pada mie kappa karaginan dan iota karaginan pada penambahan karaginan 0,25% dan 0,5% tidak berbeda nyata dengan mie kontrol, sedangkan pada penambahan karaginan 0,75% berbeda nyata terhadap semua perlakuan. Nilai rata-rata tingkat kesukaan terhadap warna mie mentah dengan penambahan iota karaginan memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan mie kering kappa karaginan. Hal ini diduga karena nilai derajat putih dari iota karaginan yaitu 45,00% lebih tinggi dibandingkan kappa karaginan yaitu 32,55%. Warna karaginan yang dihasilkan adalah putih kecoklatan sehingga mie yang dihasilkan menunjukkan warna kuning kecoklatan/gelap. Dengan demikian, warna kuning kecoklatan pada mie kering berbanding lurus dengan penambahan karaginan. Warna mie kering semakin kuning kecoklatan dengan bertambahnya konsentrasi karaginan.

56 2) Warna mie matang Warna mie matang merupakan salah satu parameter yang pertama kali dilihat sebelum produk tersebut dikonsumsi. Warna mie matang akan mempengaruhi terhadap selera seseorang untuk mengkonsumsi mie. Bila warna yang dilihat sebelum dikonsumsi tidak enak dipandang maka akan menurunkan selera makan. Penilaian warna mie matang dapat dilihat pada Gambar 7. Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf superscript berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p< 0,05) untuk masing-masing jenis karaginan. Gambar 7. Nilai rata-rata uji hedonik terhadap warna mie matang karaginan Nilai rata-rata warna mie matang kappa karaginan adalah 3,57-4,73 (agak tidak suka-netral) dan iota karaginan berkisar 4,53-4,73 (netral). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa penambahan kappa karaginan memberikan pengaruh yang berbeda nyata (p<0,05) terhadap tingkat kesukaan warna mie matang, sedangkan penambahan iota karaginan tidak berbeda nyata (p>0,05). Hasil uji lanjut Multiple Comparison menunjukkan bahwa penambahan kappa karaginan 0,25% tidak berbeda nyata dengan kontrol (p>0,05) dan penambahan kappa karaginan 0,5% tidak berbeda nyata dengan kontrol dan 0,75%, sedangkan penambahan 0,75% berbeda nyata dengan kontrol dan 0,25%. Penerimaan warna mie matang iota karaginan lebih baik dibandingkan kappa karaginan, karena warna mie matang iota karaginan untuk semua perlakuan tidak berbeda nyata dengan kontrol. Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan iota karaginan tidak mempengaruhi terhadap parameter warna mie matang, diduga adanya perbedaan tingkat derajat putih tepung karaginan yang dihasilkan. Sebaliknya penambahan kappa karaginan menghasilkan warna kuning lebih

57 coklat, terkait dengan nilai derajat putih kappa karaginan yang lebih rendah (32,55%). 3) Aroma Aroma merupakan salah satu daya tarik tersendiri bagi panelis dalam menentukan nilai kesukaan terhadap suatu produk. Produk makanan yang banyak disukai oleh konsumen biasanya dapat diketahui dari segi aromanya. Penilaian aroma mie kering karaginan dapat dilihat pada Gambar 8. Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf superscript sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p> 0,05) untuk masing-masing jenis karaginan Gambar 8. Nilai rata-rata uji hedonik terhadap aroma mie karaginan Nilai rata-rata aroma mie kappa karaginan adalah 4,77-4,93 (netral) dan mie iota karaginan berkisar 4,70-4,93 (netral). Tingkat kesukaan panelis terhadap aroma mie kering iota karaginan dan kappa karaginan tidak dipengaruhi secara nyata (p>0,05) oleh penambahan masing-masing jenis karaginan pada berbagai konsentrasi. Hal ini menunjukkan bahwa penambahan karaginan tidak mempengaruhi aroma mie kering. Pada proses pembuatan mie kering karaginan ditambahkan telur, yang mempunyai fungsi selain menambahkan nilai gizi juga dapat memberikan aroma yang enak setelah pemasakan. Penggunaan dari tepung terigu juga dalam adonan dapat menutupi aroma khas karaginan (Astawan et al. 2003). 4) Rasa Rasa merupakan salah satu faktor penting untuk menentukan diterima atau tidaknya suatu bahan pangan atau makanan. Meskipun warna dan aroma baik, jika tidak diikuti rasa yang enak maka makanan tersebut tidak akan diterima oleh

58 konsumen. Rasa suatu bahan pangan dipengaruhi oleh beberapa faktor senyawa kimia, temperatur, konsistensi dan interaksi dengan komponen rasa yang lain serta jenis dan lama pemasakan (Winarno 1997). Penilaian rasa mie kering karaginan dapat dilihat pada Gambar 9. Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf superscript sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p> 0,05) untuk masing-masing jenis karaginan Gambar 9. Nilai rata-rata uji hedonik terhadap rasa mie kering karaginan Nilai rata-rata rasa mie kappa karaginan adalah 4,60-4,97 (netral) dan mie iota karaginan berkisar 4,73-5,13 (netral-agak suka). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa perlakuan penambahan kappa dan iota karaginan tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap tingkat kesukaan rasa mie kering karaginan. Karaginan tidak memiliki rasa sehingga tidak mempengaruhi terhadap rasa mie kering. Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan karaginan memberikan pengaruh yang netral terhadap produk mie kering. 5) Kekenyalan Penilaian tingkat kesukaan terhadap tekstur mie kering dengan cara menilai kehalusan dan kekenyalan serta dinilai juga kemudahan patah dari mie tersebut. Kekenyalan mie kering dapat dilihat setelah dimasak. Penilaian uji hedonik terhadap kekenyalan mi kering karaginan dapat dilihat pada Gambar 10.

59 Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf superscript berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p< 0,05) untuk masing-masing jenis karaginan Gambar 10. Nilai rata-rata uji hedonik terhadap kekenyalan mie kering karaginan Nilai rata-rata kekenyalan mie kappa karaginan adalah 3,73-6,37 (agak tidak suka - suka) dan mie iota karaginan berkisar 3,73-6,20 (agak tidak suka - suka). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa penambahan iota dan kappa karaginan memberikan pengaruh yang berbeda nyata untuk semua perlakuan. Uji lanjut Multiple Comparison menunjukkan bahwa penambahan kappa karaginan 0,25%; 0,5% dan 0,75% berbeda nyata dengan kontrol. Pada penambahan iota karaginan 0,5% tidak berbeda nyata dengan 0,75% dan berbeda nyata dengan kontrol, sedangkan penambahan iota karaginan 0,25% berbeda nyata dengan semua perlakuan. Kekenyalan mie berkaitan dengan gluten yang terbentuk sebagai hasil interaksi antara protein glutenin dan gliadin. Selain itu penambahan karaginan juga meningkatkan kekenyalan, karena karaginan mampu berinteraksi dengan makromolekul seperti protein yang dapat mempengaruhi pembentukan gel (Winarno 1996). Kekenyalan mie kering iota karaginan lebih tinggi dibandingkan kappa karaginan. Gel iota karaginan lebih kenyal dan tidak sineresis, sedangkan gel kappa karaginan kuat tetapi gelnya bersifat rigid sehingga menghasilkan mie yang kurang kenyal dibandingkan iota karaginan. Selain itu proses pengukusan pada mie dapat mempengaruhi tekstur mie yang dihasilkan. Proses yang terjadi selama pengukusan adalah gelatinisasai pati dan koagulasi protein, sehingga massa mie yang dihasilkan lebih kenyal dan kompak. Menurut Astawan et al. (2003) gelatinisasi menyebabkan pati meleleh, selanjutnya akan membentuk lapisan tipis pada permukaan mie yang dapat memberikan kelembutan mie, meningkatkan daya cerna pati dan mempengaruhi daya rehidrasi mie.

60 6) Penampakan Penampakan merupakan penilaian secara keseluruhan konsumen terhadap suatu produk dan umumnya konsumen cenderung memilih produk yang penampakannya lebih menarik. Penampakan keseluruhan pada mie kering meliputi warna mie mentah, warna mie matang, aroma, rasa dan kekenyalan. Penilaian uji hedonik terhadap penampakan keseluruhan mie kering karaginan dapat dilihat pada Gambar 11. Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf superscript berbeda (a,b,c) menunjukkan berbeda nyata (p< 0,05) untuk masing-masing jenis karaginan. Gambar 11. Nilai rata-rata uji hedonik terhadap penampakan Nilai rata-rata penampakan kappa karaginan adalah 4,07-5,30 (netral agak suka) dan iota karaginan berkisar 4,47-5,30 (netral agak suka). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa penambahan karaginan berpengaruh nyata terhadap penampakan mie kering. Uji lanjut Multiple Comparison menunjukkan bahwa penambahan kappa karaginan 0,5% tidak berpengaruh nyata dengan penambahan kappa karaginan 0,75% dan kontrol, sedangkan penambahan kappa karaginan 0,25% berpengaruh nyata dengan kontrol dan 0,5%. Penambahan iota karaginan 0,75% berpengaruh nyata terhadap kontrol, sedangkan penambahan 0,25% dan 0,5% tidak berpengaruh nyata dengan kontrol dan 0,75%. Meskipun pada penelitian ini menggunakan metode pembuatan mie yang sama, tetapi mie dengan perlakuan berbeda penambahan karaginan menunjukkan penampakan berbeda. Hal ini dimungkinkan karena sifat fisik mie kering berbeda menurut perlakuannya sehingga mempengaruhi pembentukan mie saat pencetakan, pengukusan maupun pengovenan.

61 Uji perbandingan pasangan Uji perbandingan pasangan bertujuan untuk membandingkan produk terbaik hasil uji hedonik dengan produk komersial. Uji perbandingan pasangan ini dilakukan untuk membandingkan mie kering dengan penambahan karaginan yaitu kappa dan iota karaginan terbaik hasil uji organoleptik hedonik dengan mie kering komersial. Uji perbandingan pasangan dilakukan dengan nilai antara (+3) yaitu sangat lebih baik hingga (-3) yang menyatakan sangat kurang baik jika dibandingakan dengan mie kering komersial. Mie kering komersial yang digunakan dalam uji ini adalah mie telor asli Cap Atoom Bulan yang diproduksi oleh PT Kuala Pangan Bogor. Uji ini dilakukan terhadap 30 orang panelis semiterlatih. Parameter yang diujikan adalah warna mie mentah, warna mie matang, aroma, rasa, kekenyalan, dan penampakan. Mie kering yang diujikan adalah mie kering dengan penambahan 0,5% kappa karaginan dan 0,5% iota karaginan. Kedua formulasi ini dipilih karena memiliki nilai yang tidak berbeda nyata dengan kontrol yaitu pada parameter warna, aroma dan rasa. Selain itu penambahan karaginan 0,5% dapat menghasilkan kekenyalan mie yang cukup baik dan tidak jauh berbeda dengan mie yang ditambahkan karaginan 0,75%. Mie kering yang dipilih merupakan mie yang tidak berbeda dengan mi kontrol agar memiliki penerimaan konsumen yang lebih baik. Hasil uji perbandingan pasangan yang telah dilakukan dapat dilihat pada Gambar 12. Hasil uji perbandingan pasangan mie kering karaginan dengan mie kering komersial menunjukkan bahwa mie dengan penambahan kappa karaginan menghasilkan mie yang relatif sama pada penampakan, warna mie matang, aroma dan kekenyalan serta dihasilkan rasa mie yang lebih baik namun warna mie mentah memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan dengan mie komersial. Mie dengan penambahan iota karaginan menghasilkan mie dengan penampakan dan aroma yang tidak berbeda, tetapi rasa dan kekenyalan yang dihasilkan lebih baik serta warna mie mentah lebih rendah dibandingkan dengan mie komersial.

62 Gambar 12. Nilai rata-rata tingkat penilaian uji perbandingan pasangan mie iota dan kappa karaginan dengan mie komersial 1) Warna mie mentah Warna mie mentah merupakan parameter yang dilihat pertama kali sebelum konsumen membeli suatu produk. Hal ini dikarenakan warna adalah parameter yang pertama kali dilihat konsumen sebelum dikonsumsi. Terutama untuk mie kering, karena dijual dipasaran dalam keadaan mentah (belum matang). Nilai rata-rata penilaian panelis terhadap warna mie mentah adalah -0,83 untuk mie kering kappa karaginan dan -0,5 untuk mie kering iota karaginan. Hal ini menunjukkan bahwa kedua jenis mie karaginan memiliki warna mie mentah agak kurang baik dibandingkan dengan mi kering komersial. Kurang baiknya penilaian panelis terhadap warna mie mentah karaginan dikarenakan rendahnya nilai derajat putih karaginan yang menyebabkan warna mie kering menjadi kuning agak lebih gelap. Selain itu warna kuning pada mie kering menurut Astawan (2002) disebabkan karena reaksi antara alkali dengan pigmen flavonoid yang berasal dari tepung terigu. 2) Warna mie matang Warna mie matang merupakan parameter yang penting karena dapat mempengaruhi selera konsumen ketika mengkonsumsi mie kering yang telah matang. Oleh karena itu, dilakukan uji perbandingan pasangan parameter warna mie matang untuk membandingkan warna mie kering karaginan dengan mie komersial. Berdasarkan nilai rata-rata penilaian panelis dari uji perbandingan pasangan warna mie matang -0,3 untuk mie kering kappa karaginan dan -0,23 untuk mie kering iota karaginan. Warna mie kering kappa dan iota karaginan

63 matang menunjukkan nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan mie kering mentah. Peningkatan nilai organoleptik ini dikarenakan adanya proses pengolahan lanjutan berupa perebusan yang membuat warna kedua mie menjadi lebih baik dan tidak berbeda nyata dengan mie komersial. 3) Aroma Aroma dapat mempengaruhi selera makan seseorang terhadap suatu makanan, hal ini karena bila seseorang telah mencium bau yang kurang enak dari suatu makanan maka akan menurunkan selera makan orang itu terhadap makanan tersebut. Berdasarkan penilaian panelis dari uji perbandingan pasangan diperoleh nilai rata-rata 0,37 untuk mie kappa karaginan dan 0,4 untuk mie iota karaginan. Hal ini dapat diartikan bahwa mie kering karaginan memiliki nilai yang tidak berbeda dengan mie kering komersial. Menurut hasil penelitian Ristanti (2003) dalam Lestari (2006), tepung rumput laut memiliki aroma yang relatif tidak disukai karena rumput laut memiliki bau khas (amis). Aroma rumput laut yang khas dapat menurun seiring dengan proses pengolahan untuk menghasilkan tepung karaginan yang diaplikasikan pada pembuatan mie kering. Penurunan aroma rumput laut diduga disebabkan selama perendaman, pemanasan dalam pembuatan karaginan dan selama pemasakan mie. 4) Rasa Rasa merupakan salah satu parameter yang penting terhadap suatu makanan karena jika suatu produk memiliki rasa yang tidak disukai akan cenderung kurang laku dipasaran. Oleh karena itu, dilakukan uji perbandingan pasangan mie karaginan dengan mie komersial. Hasil uji perbandingan pasangan diperoleh ratarata 0,57 untuk mie kering kappa karaginan dan 1,03 untuk mie kering iota karaginan. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa mie kering karaginan memiliki nilai agak lebih baik dibandingkan dengan mie komersial. 5) Kekenyalan Salah satu faktor yang penting dalam menentukan kualitas mie kering adalah tekstur, salah satunya adalah kekenyalan. Berdasarkan hasil uji perbandingan pasangan diperoleh nilai rata-rata 0,37 untuk mie kering kappa

64 karaginan dan 0,5 untuk mie iota karaginan. Hal ini menunjukkan mie kering karaginan memiliki nilai kisaran sama tidak berbeda dan agak lebih baik dengan mie kering komersial. Menurut Astawan (2002), kekenyalan mie dipengaruhi oleh kandungan gluten dari tepung terigu, sifat gluten yang elastis dapat menyebabkan mie menjadi lebih elastis dan tidak mudah putus. Selain itu menurut Winarno (1996), kappa dan iota karaginan dapat berinteraksi dengan makromolekul yang bermuatan, misalnya protein yang mampu menghasilkan berbagai pengaruh diantaranya membentuk gel. Molekul tersebut membentuk ikatan double heliks yang mengikat rantai menjadi bentuk jaringan tiga dimensi (gel). Dari hasil tersebut dapat dikatakan bahwa penambahan karaginan 0,5% dapat meningkatkan kekenyalan mie dibandingkan dengan mie komersial. 6) Penampakan Berdasarkan penilaian panelis tehadap uji perbandingan pasangan mie kering karaginan terhadap mie komersial. Penampakan keseluruhan adalah penilaian secara keseluruhan mie kering karaginan dengan mie komersial. Nilai rata-rata hasil uji perbandingan pasangan diperoleh -0,27 untuk mie kering kappa karaginan dan 0,17 untuk mie kering iota karaginan. Hal tersebut menunjukkan bahwa penampakan keseluruhan mie karaginan memiliki nilai tidak berbeda atau sama dengan mie kering komersial. Penampakan dipengaruhi juga oleh teknologi yang digunakan, pada pembuatan mie kering komersial lebih modern sehingga mie yang dihasilkan memiliki penampakan yang lebih menarik Karakteristik fisik mie kering Karakteristik fisik mie kering karaginan dilakukan pada beberapa parameter, yaitu cooking time, kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP), warna, kekenyalan dan elongasi. 1) Cooking time Mie disukai oleh konsumen salah satu penyebabnya adalah waktu pemasakannya yang relatif singkat. Menurut Miskelly (1996) dalam Lestari (2006), cooking time pada mie umumnya sekitar 180 hingga 240 detik.

65 Cooking time merupakan banyaknya air yang mampu masuk ke dalam mie dengan waktu tertentu. Hasil analisis cooking time dapat dilihat pada Gambar 13. Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf superscript berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p< 0,05) Gambar 13. Nilai rata-rata cooking time mie kering Nilai rata-rata mie kering berkisar 200,1-211,35 detik. Berdasarkan analisis ragam dengan uji Tukey menunjukkan bahwa cooking time mie kering komersial, kontrol dan kappa karaginan tidak berbeda nyata, sedangkan mie kering iota karaginan berbeda nyata. Iota karaginan memiliki nilai rata-rata cooking time yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, komersial dan kappa karaginan. Hal ini berkaitan dengan kandungan sulfat yang dimiliki oleh iota karaginan lebih tinggi, sehingga akan meningkatkan daya serap air dan akan mempengaruhi nilai cooking time yang relatif lama. 2) Kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP) Kehilangan padatan akibat pemasakan/cooking loss merupakan jumlah padatan (pati) yang hilang atau keluar dari mie selama proses pemasakan. Tepung terigu mengandung gluten pati yang dapat mencegah pelepasan komponen pati. Pada saat perebusan terjadi penetrasi air ke dalam granula pati sehingga menyebabkan terjadinya pengembangan granula pati dan peningkatan kekentalan pada pati (Hoseney 1998). Fraksi pati yang keluar menyebabkan kuah mie menjadi lebih keruh dan lebih kental. Kehilangan padatan akibat pemasakan dapat dilihat pada Gambar 14. Nilai rata-rata mie kering adalah 91,22-93,25%. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa nilai rata-rata KPAP dipengaruhi secara nyata oleh jenis formulasi mie. Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa mie kontrol tidak berbeda

66 nyata dengan mie kering iota karaginan dan mie kering komersial, sedangkan mie kappa karaginan berbeda nyata dengan mie kontrol, mie kering iota karaginan dan mie kering komersial. Tingginya KPAP pada mie kering dapat menyebabkan tekstur mie menjadi lemah dan kurang licin. Hal ini disebabkan kurang optimumnya matriks pati tergelatinisasi dalam mengikat pati yang tidak tergelatinisasi (Kurniawati 2006 dalam Merdiyanti 2008). Dengan adanya penambahan karaginan dapat menurunkan nilai KPAP, hal ini diduga karena karaginan dapat mengikat makromolekul seperti protein sehingga dapat meningkatkan kekentalan adonan dan proses gelatinisasi menjadi lebih optimum serta mie yang dihasilkan mempunyai tekstur yang lebih kompak. Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf superscript berbeda (a,b,c) menunjukkan berbeda nyata (p< 0,05) Gambar 14. Nilai rata-rata kehilangan padatan akibat pemasakan mie kering 3) Daya serap air (DSA) Daya serap air (rehidrasi) merupakan kemampuan mie kering untuk menyerap air kembali setelah mengalami proses pengeringan, sedangkan waktu rehidrasi adalah lamanya bahan pangan tersebut untuk melakukan rehidrasi (Astawan et al. 2003). Secara umum DSA, menggambarkan perubahan bentuk mie selama proses pemasakan. Semakin tinggi nilai DSA maka mie akan semakin banyak menyerap air dan mie semakin mengembang. Hasil pengukuran daya serap air mie kering dapat dilihat pada Gambar 15. Nilai rata-rata daya serap air mie kering adalah 3,59-4,02 ml/g. Nilai ratarata daya serap air mie kering dipengaruhi secara nyata oleh jenis formulasi mie. Hasil uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa mie kering iota karaginan berbeda nyata dengan mie kering komersial. Mie kering iota karaginan memiliki nilai

67 DSA paling tinggi dibandingkan mie kering kappa karaginan, kontrol dan komersial. Hal ini menunjukkan bahwa mie kering iota karaginan mengembang lebih baik ketika direhidrasi karena mampu menyerap air lebih banyak. Selain itu karaginan juga mudah mengikat air dengan adanya gugus sulfat pada rantai molekulnya dan bersifat reversible, yaitu air tersebut akan mudah dilepaskan kembali (Chapman dan Chapman 1980). Keadaan ini menyebabkan semakin banyaknya air yang terikat dan pada saat diberi beban atau diberi tekanan, air itu akan dilepaskan kembali sehingga menghasilkan nilai DSA yang tinggi. Serat pangan tidak larut juga mempengaruhi terhadap daya serap air. Iota karaginan memiliki serat pangan tidak larut yang cukup tinggi sehingga dapat menyerap air lebih banyak. Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf superscript berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p< 0,05) 4) Kekerasan Gambar 15. Nilai rata-rata daya serap air mie kering Kekerasan merupakan besarnya gaya tekan untuk memecah produk pangan. Kekerasan ini juga merupakan salah satu faktor untuk menentukan kualitas mie kering selain dari kekenyalan dan tidak mudah putus. Nilai kekerasan mie kering dapat dilihat pada Gambar 16. Nilai rata-rata kekerasan adalah 2585, ,73%. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis formulasi mie tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap nilai kekerasan. Kekerasan pada mie salah satunya dapat diakibatkan oleh retogradasi pati. Menurut Kurniawati (2006) dalam Merdiyanti (2008) retogradasi adalah proses terbentuknya ikatan antara amilosa-amilosa yang telah terdispersi kedalam air. Semakin banyak amilosa yang terdispersi, maka proses

68 retogradasi pati semakin menurun. Penambahan karaginan pada mie kering tidak mempengaruhi proses retogradasi pati, sehingga nilai rata-rata kekerasan mie kering tidak berbeda nyata. Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf superscript sama (a) menunjukkan tidak berbeda nyata (p> 0,05) 5) Kekenyalan Gambar 16. Nilai rata-rata kekerasan mie kering Kekenyalan pada mie merupakan salah satu faktor penting untuk menentukan kualitas mie. Sifat khas dari mie adalah kenyal dan elastis. Faktor utama yang mempengaruhi kekenyalan mie adalah dari penggunaan tepung terigu sebagai bahan dasar dalam pembuatan mie. Komponen utama pada protein tepung terigu adalah gliadin dan glutenin dapat membentuk gluten dengan adanya air dan pengadonan, yang bersifat kenyal dan elastis. Protein dalam tepung terigu pada pembuatan mie harus dalam jumlah yang cukup tinggi agar mie yang dihasilkan menjadi elastis dan tahan terhadap tarikan sewaktu proses produksinya (Astawan 2002). Nilai kekenyalan mie kering pada penelitian mie kering dapat dilihat pada Gambar 17. Mie kering yang ditambahkan iota karaginan mempunyai nilai kekenyalan tertinggi. Hal ini diduga karena iota karaginan dapat berinteraksi dengan molekul bermuatan seperti protein yang dapat mempengaruhi pembentukan gel. Sifat dari gel iota karaginan ini adalah elastis dan tidak mudah pecah seperti kappa karaginan. Selain itu kekenyalan mie kering diduga karena adanya protein dan telur yang berinteraksi dengan karaginan dapat meningkatkan kekenyalan pada mie kering. Analisis ragam menunjukkan bahwa penambahan karaginan memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap kekenyalan mie kering. Hasil uji

69 lanjut Tukey menunjukkan bahwa kekenyalan mie kering dengan penambahan iota dan kappa karaginan tidak berbeda dengan kontrol, sedangkan mie kering komersial berbeda nyata dengan mie kering iota karginan, kappa karaginan dan kontrol. Berdasarkan hasil uji perbandingan pasangan bahwa mie kering iota dan kappa karaginan lebih baik dari kekenyalannya dibandingkan dengan mie kering komersial yaitu 0,5 dan 0,37. Hal ini menunjukkan bahwa mie kering dengan penambahan karaginan 0,5% dapat meningkatkan kekenyalan. Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf-huruf superscript yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p< 0,05) 6) Elongasi Gambar 17. Nilai rata-rata kekenyalan mie kering Elongasi merupakan pertambahan panjang mie sampai pada titik tertentu mie putus atau patah. Nilai elongasi pada penelitian mie kering dapat dilihat pada Gambar 18. Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b,c) menunjukkan berbeda nyata (p< 0,05) Gambar 18. Nilai rata-rata elongasi mie kering Nilai rata-rata elongasi mie kering adalah 110,60-187,14%. Hasil analisis ragam menunjukkan adanya pengaruh penambahan karaginan terhadap nilai

70 elongasi mie kering. Penambahan iota karaginan memiliki nilai elongasi yang paling tinggi sebesar 187,14% dan mie kering komersial memiliki nilai elongasi yang paling rendah sebesar 110,60%. Hal ini menunjukkan bahwa mie dengan penambahan iota karaginan dapat menghasilkan mie yang tidak mudah putus dan elastis. Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa penambahan iota karaginan tidak berbeda nyata dengan kappa karaginan dan berbeda nyata dengan mie kering komersial dan kontrol, sedangkan mie kering kappa karaginan berbeda nyata dengan mie kering komersial dan tidak berbeda nyata dengan mie kering kontrol dan iota karaginan. Dari hasil analisis proksimat kadar protein mie kering komersial lebih tinggi dibandingkan mie kering iota karaginan. Semakin rendah protein maka semakin berkurangnya gluten yang terbentuk. Meskipun demikian, penambahan karaginan pada pembuatan mie dapat meningkatkan elongasi mie. Hal ini diduga karena karaginan mampu berinteraksi dengan makromolekul seperti protein sehingga dapat mempengaruhi pembentukan gel. Gel yang terbentuk oleh iota karaginan bersifat elastis. Tingginya nilai elongasi pada mie kering iota karaginan diduga karena iota karaginan berinteraksi dengan protein khususnya telur sehingga akan membentuk gel yang elastis dan menyebabkan elongasi mie lebih panjang. 7) Warna Pengukuran warna mie kering menggunakan Chromameter. Warna yang diukur pada mie kering meliputi nilai L, a dan b. Nilai L menyatakan parameter kecerahan dan mempunyai nilai dari 0 (hitam) sampai 100 (putih). Nilai a merupakan pengukuran warna merah ke hijau, dan b merupakan pengukuran warna dari kuning ke biru. Hasil analisis warna kuning mie kering dapat dilihat pada Gambar 19. Nilai rata-rata warna kuning mie kering adalah 12,69-20,16. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan penambahan karaginan memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap warna mie kering. Nilai rata-rata warna b mie kering iota karaginan lebih tinggi dari pada warna b kappa karaginan. Hal ini menunjukkan warna iota karaginan lebih kuning dibandingkan warna kappa karaginan, karena derajat putih iota karaginan lebih putih yaitu 45,00%

71 dibandingkan kappa karaginan yaitu 32,55%. Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa mie iota karaginan dan kappa karaginan tidak berbeda nyata dengan kontrol dan berbeda nyata dengan komersial. Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p< 0,05) Gambar 19. Nilai rata-rata warna mie kering Mie komersial memiliki warna paling kuning (nilai b paling tinggi). Hal ini diduga karena mie komersial dibuat dengan penambahan pewarna dan telur sehingga menyebabkan warna lebih kuning. Warna kuning mie iota karaginan dan kappa karaginan tidak berbeda dengan mie kontrol. Hal ini berarti tidak adanya pengaruh penambahan karaginan terhadap warna kuning mie kering Karakteristik kimia mie kering Karakteristik kimia mie merupakan salah satu faktor untuk menentukan kualitas mie terutama protein dan air yang memiliki batas minimum dalam SNI Analisis kimia mie karaginan meliputi analisis proksimat dan serat pangan. 1) Analisis Proksimat Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui sifat kimia dari mie kering karaginan dengan mie kering kontrol dan mie kering komersial. Analisis yang dilakukan meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak dan karbohidrat. Parameter kimia utama mie kering telah memenuhi standar yang ditetapkan SNI yaitu kadar air dan kadar protein. Hasil analisis proksimat dapat dilihat pada Tabel 8.

72 Parameter Mie kontrol Tabel 8. Komposisi proksimat mie kering Iota karaginan Kappa karaginan Mie komersial SNI Mutu I Mutu II Air (%) 2,54 ± 0,13 a 3,75 ± 0,15 b 3,95 ± 0,00 c 2,48 ± 0,08 a Maks.8 Maks.10 Abu (%) 2,38 ± 0,06 b 2,66 ± 0,07 c 2,78 ± 0,05 c 2,22 ± 0,14 a - - Protein (%) 9,08 ± 0,15 c 8,51± 0,16 a 8,41 ± 0,04 a 8,72 ± 0,10 b Min.11 Min.8 Lemak (%) 6,08 ± 0,01 a 5,98 ± 0,44 a 5,91 ± 0,08 a 6,09 ± 0,19 a - - Karbohidrat 79,92 ± (%) 0,09 b 79,10 ± 0,44 a 78,96 ± 80,50 ± 0,08 a 0,19 c - - Angka-angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b,c) menunjukkan berbeda nyata (p< 0,05) Air merupakan parameter penting dalam bahan pangan karena dapat mempengaruhi tekstur, penampakan dan cita rasa makanan. Kadar air mempunyai peranan penting dalam menentukan daya awet bahan pangan karena dapat mempengaruhi sifat fisik, perubahan fisik, perubahan mikrobiologi dan perubahan enzimatis (Buckle et al. 1987). Berdasarkan Tabel 8. dapat diketahui bahwa kadar air mie kering kontrol, iota karaginan, kappa karaginan dan komersial memenuhi standar yang ditetapkan SNI yaitu batas maksimal kadar air mutu I adalah 8% dan mutu II adalah 10%. Hasil uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa mie kering iota berbeda nyata dengan kontrol, komersial dan kappa karaginan. Penambahan karaginan pada pembuatan mie kering dapat meningkatkan kadar air mie kering. Hal ini diduga karena karaginan mengandung serat pangan tidak larut yang lebih tinggi dibandingkan kontrol dan komersial. Serat pangan tidak larut dapat mengikat air dan memerangkap dalam matriks setelah pembentukan gel karaginan. Selain itu pada saat pengovenan, mie kering yang ditambahkan karaginan akan mengalami pembentukan gel yang akan membentuk lapisan film sehingga molekul-molekul air terperangkap. Air yang terdapat dalam lapisan film tidak dapat dikeluarkan sehingga kadar air dalam mie kering semakin meningkat dengan adanya penambahan karaginan. Abu merupakan ukuran dari komponen organik yang ada dalam suatu bahan makanan. Kadar abu tidak selalu ekuivalen dengan bahan mineral yang hilang selama pembakaran dan penguapan (Astawan et al. 2003). Dari Tabel 8. dapat diketahui bahwa kadar abu mie kering 2,22-2,78%. Hasil tersebut

73 menunjukkan bahwa penambahan karaginan meningkatkan kadar abu pada pembuatan mie kering. Semakin banyak karaginan yang ditambahkan maka kadar abu produk semakin meningkat. Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa penambahan iota karaginan tidak berbeda nyata dengan kappa karaginan, tetapi berbeda nyata dengan kontrol dan komersial. Perbedaan kadar abu mie kering karaginan dengan kontrol dan komersial adalah karaginan yang ditambahkan pada pembuatan mie kering memiliki kadar abu yang cukup tinggi yaitu sebesar 34,31% dan 27,95%. Protein dalam tubuh berfungsi sebagai zat pembangun dan pemelihara tubuh. Sumber protein utama dari mie kering pada penelitian ini adalah telur. Penambahan 5% telur dalam pembuatan mie kering bertujuan untuk meningkatkan kandungan gizi terutama protein, mengurangi keluarnya padatan saat mie direbus, memperbaiki warna, aroma, dan sifat adonan supaya lebih liat dan tidak mudah putus-putus (Astawan et al. 2003). Berdasarkan Tabel 8. kadar protein berkisar 8,41-9,08%. Hasil analisis ragam diketahui bahwa penambahan karaginan berpengaruh nyata terhadap kadar protein. Uji lanjut Tukey menunjukkan kadar protein mie kering iota dan kappa karaginan berbeda nyata dengan kontrol dan komersial. Tepung terigu yang digunakan pada penelitian ini adalah jenis hard flour dengan merk Cakra Kembar mengandung protein 12-13% (Astawan 2002). Penurunan protein pada mie kering semakin tinggi dengan adanya penambahan karaginan. Berdasarkan hasil analisis ragam kadar lemak diperoleh bahwa mie kering karaginan tidak berpengaruh nyata. Kadar karbohidrat pada mie kering dari hasil analisis ragam menunjukkan berbeda nyata antara mie kering karaginan dengan kontrol dan komersial. 2) Serat pangan Serat pangan adalah suatu karbohidrat kompleks di dalam bahan pangan yang tidak dapat dihidrolisis oleh enzim pencernaan manusia. Serat pangan terdiri dari serat pangan larut, serat pangan tidak larut dan total serat pangan. Hasil analisis serat pangan mie kering dapat dilihat pada Gambar 20.

74 Angka-angka pada diagram batang yang diikuti dengan huruf superscript yang berbeda (a,b,c,d) menunjukkan berbeda nyata (p< 0,05) untuk masing-masing jenis serat pangan Gambar 20. Nilai rata-rata serat pangan mie kering Kadar serat pangan larut berkisar antara 1,42-1,78%; serat pangan tidak larut 1,12-1,56%; dan total serat pangan 2,54-3,33%. Penambahan karaginan berpengaruh nyata terhadap kadar serat pangan larut, serat pangan tidak larut dan total serat pangan mie kering. Uji lanjut Tukey menunjukkan bahwa serat pangan larut, serat pangan tidak larut dan total serat pangan untuk keempat jenis mie kering menunjukkan nilai yang berbeda nyata untuk setiap jenis mie kering. Serat pangan dapat memperlambat laju penyerapan makanan pada saluran pencernaan dan menghambat pergerakan enzim sehingga proses pencernaan menjadi lambat. Kadar serat larut yang tinggi dapat membantu mereduksi absorbsi glukosa usus sehingga dapat bermanfaat bagi penderita diabetes mellitus (Anonim 2008). Menurut Department of Nutrition, Ministry of Health an Insitute of Health (1999) dalam Hasanah (2007) menyatakan bahwa makanan dapat diklaim sebagai sumber serat pangan jika mengandung serat pangan sebesar 3-6 g/100 g. Dengan demikian mie kering dengan penambahan karaginan 0,5% dapat dikatakan sebagai pangan fungsional sumber serat karena mengandung serat pangan total 3,14% dan 3,33% masing-masing untuk mie iota karaginan dan mie kappa karaginan. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan serat pangan dalam mie kering dapat memberikan sumbangan kebutuhan serat pangan dalam diet manusia. 4.3 Informasi Nilai Gizi Mie Kering Angka kecukupan gizi merupakan taraf konsumsi zat gizi esensial, yang berdasarkan pengetahuan ilmiah dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan hampir

75 semua orang sehat (Almatsier 2003). Hasil penghitungan AKG mie kering yang diasumsikan diserap oleh tubuh berdasarkan golongan umur antara tahun, berat badan 50 kg, tinggi badan 154 cm untuk mencukupi kebutuhan kalori 2000 kkal dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Angka kecukupan gizi Mie kontrol Mie iota karaginan Mie kappa karaginan Mie komersial Takaran per saji (70 g) % AKG Takaran per saji (70 g) % AKG Takaran per saji (70 g) % AKG Takaran per saji (70 g) % AKG Total protein (6,36 g) 12,46 Total protein (5,96 g) 11,68 Total protein (5,89 g) 11,54 Total protein (6,10 g) 11,97 Total Lemak (4,26 g) 6,55 Total lemak (4,19 g) 6,44 Total lemak (4,14 g) 6,36 Total lemak (4.26 g) 6,56 Total Karbohidrat (55,94 g) 18,65 Total Karbohidrat (55,37 g) 18,46 Total Karbohidrat (55,27 g) 18,42 Total Karbohidrat (56,35 g) 18,78 Total serat pangan larut (1,01 g) Total serat pangan tidak larut (0,81g) Total kalori (kkal) 16,13 4,29 545,94 Total serat pangan larut (1,11 g) Total serat pangan tidak larut (1,09 g) Total kalori (kkal) 17,70 5,82 538,90 Total serat pangan larut (1,25 g) Total serat pangan tidak larut (1,09 g) Total kalori (kkal) Keterangan: Persen angka kecukupan gizi berasarkan pada diet 2000 kkal 19,94 5,79 537,54 Total serat pangan larut (0,99 g) Total serat pangan tidak larut (0,78 g) Total kalori (kkal) 15,90 4,18 548,62 Tabel angka kecukupan gizi menunjukkan jumlah persen AKG yang dapat disumbangkan oleh konsumsi mie kering komersial, mie kering kontrol, mie kering dengan penambahan kappa maupun iota karaginan berdasarkan diet 2000 kkal. Hasil perhitungan persen AKG protein mie kering berkisar pada angka 11,54-12,46%; AKG lemak berkisar 6,36-6,56%; AKG karbohidrat berkisar 18,42-18,78%; AKG serat larut berkisar 15,90-19,94% dan AKG serat tidak larut berkisar 4,18-5,82%. Pengukuran total kalori diperoleh dari jumlah lemak yang dikalikan 9, serta jumlah proten dan karbohidrat masing-masing dikalikan 4 (Almatsier 2003). Pada tabel angka kecukupan gizi berdasarkan pada diet 2000 kkal terlihat bahwa total kalori yang dihasilkan untuk konsumsi mie kappa karaginan adalah sebesar 537,54 kkal dan mie iota karaginan adalah sebesar 538,90 kkal. Konsumsi mie

76 kontrol menyumbang asupan kalori sebesar 545,94 kkal dan konsumsi mie komersial sebesar 548,62 kkal. Hasil perhitungan ini menunjukkan bahwa total kalori yang disumbangkan oleh konsumsi mie kappa karaginan dan iota karaginan tidak terlalu jauh dengan total kalori yang diperoleh dari konsumsi mie komersial dan mie kontrol. Oleh karenanya konsumsi mie kering dengan penambahan iota maupun kappa karaginan bisa menjadi alternatif pengganti mie komersial yang telah beredar di pasaran (Mie Atoom Bulan) karena mampu mencukupi jumlah kalori konsumsi mie kering pada umumnya didasarkan pada diet 2000 kkal. Tambahan pula, jumlah kandungan serat pangan larut dan serat pangan tidak larut pada mie kering dengan penambahan kappa maupun iota karaginan memiliki nilai yang lebih besar dibandingkan dengan mie kering kontrol maupun mie kering komersial yang tentu saja lebih baik untuk kesehatan dan proses metabolisme pencernaan manusia. Almatsier (2003) menyatakan bahwa serat pangan larut mudah difermentasi sehingga dapat menyebabkan pertambahan berat feses dan gas yang terbentuk selama fermentasi dapat membantu gerakan sisa makanan melalui kolon, sedangkan serat pangan tidak larut memiliki kemampuan dalam menyerap air dan meningkatkan tekstur feses sehingga makanan dapat melewati usus besar dengan cepat dan mudah.

77 5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Secara umum karakteristik fisika dan kimia iota dan kappa karaginan memenuhi standar yang ditetapkan FAO, FCC dan EEC, kecuali dari rendemen dan kadar sulfat kappa karaginan tidak memenuhi standar. Hasil uji organoleptik yaitu uji hedonik dan uji perbandingan pasangan terhadap warna mentah dan matang, aroma, rasa, kekenyalan, dan penampakan menunjukkan bahwa penambahan iota dan kappa karaginan yang masih dapat diterima oleh panelis adalah 0,5%. Adanya penambahan karaginan ini dapat meningkatkan cooking time, daya serap air, kekenyalan, elongasi, sedangkan KPAP dan warna mengalami penurunan serta tidak mempengaruhi terhadap kekerasan. Pengujian karakteristik kimia menunjukkan peningkatan kadar air dan kadar abu mie kering iota karaginan menjadi 3,75% dan 2,66%; sedangkan kadar air dan kadar abu kappa karaginan menjadi 3,95% dan 2,78%. Kadar protein dan kadar karbohidrat iota karaginan mengalami penurunan menjadi 8,51% dan79,10%; sedangkan kadar protein dan karbohidrat kappa karaginan menjadi 8,41% dan 78,96%. Kadar lemak tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan mie kontrol dan mie komersial. Kandungan serat pangan larut dan serat pangan tidak larut mie iota karaginan dan mie kappa karaginan lebih besar dibandingkan mie kontrol dan mie komersial. Hal ini sesuai dengan persen AKG serat pangan larut mie iota dan kappa karaginan sebesar 17,70% dan 19,94% dan persen AKG serat pangan tidak larut mie iota dan kappa karaginan sebesar 5,82% dan 5,79%. 5.2 Saran Saran yang dapat penulis berikan untuk pengembangan mie kering karaginan adalah: 1. Perlu dilakukan pemucatan pada proses pembuatan kappa dan iota karaginan agar warna karaginan lebih putih sehingga mudah diaplikasikan ke produk mie kering. 2. Perlu dilakukan rasio kappa dan iota karaginan untuk mengetahui kekenyalan mie.

78 3. Perlu dilakukan substitusi tepung terigu dengan tepung tapioka atau tepung lainnya agar penggunaan tepung terigu dapat diminimalkan dalam pembuatan mie kering karaginan. 4. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui daya simpan mie kering karaginan.

79 DAFTAR PUSTAKA Almatsier S Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia. Anggadiredja JT, Zatnika A, Purwoto H, Istini S Rumput Laut. Jakarta: Penebar Swadaya. Angka SL, Suhartono MT Bioteknologi Hasil Laut. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan, InstitutPertanian Bogor. [Anonim] Teknologi Mie Instant. [terhubung berkala]. [13 April 2008]. [Anonim] Manfaat Kesehatan. [terhubung berkala]. [8 Juni 2008]. [AOAC] Official Method of Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist Arlington, USA: Published by The Association of Official Analytical of Chemist Inc. Aslan IL Budidaya Rumput Laut. Yogyakarta: Kanisius. Astawan M Membuat Mi dan Bihun. Jakarta: Penebar Swadaya. Astawan M, Wresdiyati T, Koswara S Pemanfaatan iodium dan serat pangan dari rumput laut untuk peningkatan kecerdasan dan pencegahan penyakit degeneratif [laporan akhir penelitian hibah bersaing]. Bogor: Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. Atmadja WS, Kadi A, Sulistijo, Rahmaniar S Pengenalan Jenis-jenis Rumput Laut Indonesia. Jakarta : Puslitbang Oseanologi LIPI. A/S Kobenhvsn pektinfabrik Carrageenan. Denmark: Lilleskensved. [BSN] Badan Standardisasi Nasional SNI Mie Kering. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. Buckle KA, Edwards RA, Fleet GH, Wootton M Ilmu Pangan. Edisi ke-2. Purnomo H, Adiono, penerjemah. Jakarta: UI Press. Terjemahan dari : Food Science. Chapman VJ, Chapman DJ Seaweed and Their Uses. Third edition. London: Chapman and Hall, Ltd.

80 Doty MS Biotechnological and Economic Approaches to Industrial Development Based on Marine Algae in Indonesia. Summary. Workshop on Marine Algae Biotechnology. Fellow P Food Processing Technology Principle and Practice. Oxford England : Ellis Hordwoad. Fennema OR, Rol L Industrial gum: polysaccharides and their derivates. Di dalam: Fennema OR, (ed). Food Chemistry. Second edition, revised and expanded. New York : Marcell Dekker, Inc. Fardiaz D, Andarwulan HW, Puspitasari NL Teknik dan Analisis Sifat Kimia dan Fungsional Komponen Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Fardiaz D Hidrokoloid. Bogor: Laboratorium Kimia dan Biokimia Pangan, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. FMC Corp Carrageenan. Marine Colloid Monograph Number One. Marine Colloid Division FMC Corporation. New Jersey: Springfield. [FCC] Food Chemical Codex Carrageenan. Washington: National Academy Press. Gallaher DD, Schneeman BO Dietary fiber. Dalam Ziegler EE, Filler LJ (eds). Modern Nutrition in Health and Disease. Edisi Ke-7. Washington DC: ILSI Press. Glickman Food Hydrocolloid vol 1I. Florida: CRC Press Inc Boca Raton. Guiseley KB, Stanley NF, Whitchouse PA Carrageenan. Di dalam: Whistler RL (ed). Handbook of Water Solube Gums and Resins. New York: McGraw Hill Book Co. Hasanah RU Pemanfaatan rumput laut (Gracilaria sp.) dalam meningkatkan kandungan serat pangan pada sponge cake [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Honseney R.C Principles of Cereal Science and Technology. Second edition. Minnesota: American Association of Cereal Chemistry Inc. Imeson AP Carragenan. Di dalam: Phillips GO, Williams PA (Eds). Handbook of Hydrocolloids. Boca Raton: CRC Press. Indonetwork Kappaphycus alvarezii. [terhubung berkala]. alvarezii. [8 Desember 2008].

81 Ipteknet Eucheuma spinosum. [terhubung berkala]. spinosum. [8 Desember 2008]. Lestari OK Pengaruh konsentrasi substitusi tepung terigu dengan tepung rumput laut dan jenis rumput laut terhadap kandungan serat pangan dan iodium mie kering [skripsi]. Karawaci: Jurusan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Industri,Universitas Pelita Harapan. Merdiyanti A Paket teknologi pembuatan mi kering dengan memanfaatkan bahan baku tepung jagung [skripsi]. Bogor: Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. McHugh D J A Guide to the Seaweed Industry. Rome: FAO of the United Nations. Mogoginta J Produsen Makanan Tetap Tahan Harga. [terhubung berkala]. [3 Desember 2008] Moirano AL Sulfated polysaccharides. Di dalam: Graham HD (ed). Food Colloid. Westport, Connecticut: The AVI Publishing Company Inc. Hal Muchtadi D Kajian terhadap Serat Makanan dan Antioksidan dalam Berbagai Jenis Sayuran untuk Mencegah Penyakit Degeneratif. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Numberi Marine Aquaculture. [terhubung berkala]. c-getz-science.blogspot.com. [19 Maret 2008]. Oh NH, Seib PA, Deyoe, Ward AB Measuring the textural extraction rate, particle size and starch damage on quality characteristics of dry noodles. Cereal Chemistry. 62 (6): Owens, G Cereal processing Technology. Cambridge: CRC Press. Pamungkas KT Mempelajari hubungan antara umur panen dengan kandungan karagenan dan kimia [masalah khusus]. Bogor: Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Poncomulyo Budidaya dan Pengolahan Rumput Laut. Jakarta: Agro Media Pustaka. Pebrianata E Pengaruh pencampuran kappa dan iota karagenan terhadap kekuatan gel dan viskositas karagenan campuran [skripsi]. Bogor: Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

82 Santoso J, Yumiko Y, Takeshi S Mineral, faty acid and dietary fiber compositions in several Indonesian seaweed. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia. 11: Schneeman BO, Tietyen J Dietary fiber. Di dalam: Shil ME, Olson JA, Hike M (eds). Modern Nutrition in Health and Disease. Edisi. Ke-8. Philadelphia : A Waverly Company. Setiawan AB Serat Makanan dan Kesehatan. [terhubung berkala]. [19 Maret 2008]. Setyaningrum AW, Marsono Y Pengkayaan vitamin A dan vitamin E dalam pembuatan mie instant menggunakan minyak sawit merah. Di dalam Kumpulan Hasil Penelitian Terbaik Bogasari Nugraha Winarno FG, Lukito W, Abdurrachim, Made MA, Wijaya B. (eds) Bogasari. Jakarta. [SNI] Standar Nasional Indonesia SNI Rumput Laut Kering. Jakarta: Standar Nasional Indonesia. Soekarto ST Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Penelitian. Jakarta: Bhratara Karya Aksara. Soekarto ST Dasar-dasar Pengawasan dan Standarisasi Mutu Pangan. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sulaeman A, Anwar F, Rimbawan, Marliyanti SA Metode Penetapan Zat Gizi. Bogor: Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Sunaryo E Pengolahan produk serelia dan biji-bijian [skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Suryaningrum TD, Soekarto ST, Manullang M Kajian sifat-sifat mutu komoditi rumput laut budidaya jenis Eucheuma cottonii dan eucheuma spinosum. Jurnal Penelitian Pasca Panen. 68: Sutomo Sejarah dan aneka jenis Mie. [terhubung berkala]. [19 Maret 2008]. Swinkel JJM Starch, sources, chemistry and physics In: Beynum GMA, Roels JA (eds). Starch Conversion Technology. New York: Marcell Dekker Inc. Towle Carrageenan. Dalam: Whisler RL (ed). Industrial Gums: Polysaccharides and Their Derivatives. New York: Academic Press. Hal

83 Uju Kajian pemurnian dan pengkonsentrasian karaginan dengan membran mikrofiltrasi [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Whistler RL, JNB Miller Industrial gum: polysaccharides and polysaccharide gel and Network. Di dalam. Adv. Carbohydrate Chemistry and Biochemistry. Edinburg, Scotland. 24: Winata J Pengaruh rasio kappa karaginan dan iota karaginan terhadap karakteristik marshmallow [skripsi]. Karawaci: Jurusan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pangan, Universitas Pelita Harapan. Winarno FG Teknologi Produksi dan Kualitas Mie. Makalah disajikan dalam Seminar Sehari Serba Mie. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Winarno FG Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Winarno FG Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: P.T Gramedia Pustaka Utama. [WNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi Angka kecukupan energi, protein, dan serat pangan. WNPG VIII. Jakarta: LIPI Press.

84

85 Lampiran 1. Score sheet uji hedonik mie kering iota karaginan dan kappa karaginan (Soekarto 1985). UJI HEDONIK Nama : Tanggal : Produk : Mie kering Jenis Uji : Hedonik Berilah penilaian terhadap warna mie mentah, warna mie matang, aroma, kekenyalan, rasa, dan penampakan keseluruhan tanpa membandingkan sampel satu dengan yang lainnya dengan nilai : 7 = Sangat suka 6 = Suka 5 = Agak suka 4 = Netral 3 = Agak tidak suka 2 = Tidak suka 1 = Sangat tidak suka Parameter A1A A1B A1C A1D A2A A2B A2C Warna mie mentah Warna mie matang Aroma Kekenyalan Rasa Penampaakan keseluruhan

86 Lampiran 2. Score sheet uji perbandingan pasangan mie kering iota karaginan dan kappa karaginan (Soekarto 1985) UJI PERBANDINGAN PASANGAN Nama : Tanggal : Produk : Mie kering Jenis Uji : Perbandingan pasangan Bandingkan warna, rasa, aroma, kekenyalan, dan penampakkan keseluruhan sampel (C1B dan D1A) dengan kontrol (R) dengan nilai: +3 = sangat lebih baik +2 = lebih baik +1 = agak lebih baik 0 = tidak berbeda -1 = agak kurang baik -2 = kurang baik -3 = sangat kurang baik Parameter C1B D1A Warna mie mentah Warna mie matang Aroma Kekenyalan Rasa Penampaakan keseluruhan

87 Lampiran 3. Rekapitulasi data uji hedonik mie kering iota dan kappa karaginan a) Warna mie mentah No Warna mie mentah Kappa Warna mie mentah iota Kontrol K 0,25% K 0,5% K 0,75% IK 0,25% IK 0,5% IK 0,75%

88 b) Warna mie matang No Warna mie mentah Kappa Warna mie mentah iota Kontrol K 0,25% K 0,5% K 0,75% IK 0,25% IK 0,5% IK 0,75%

89 c) Penampakan No Penampakan kappa Penampakan iota Kontrol K 0,25% K 0,5% K 0,75% IK 0,25% IK 0,5% IK 0,75%

90 d) Rasa No Rasa mie kappa Rasa mie iota Kontrol K 0,25% K 0,5% K 0,75% IK 0,25% IK 0,5% IK 0,75%

91 e) Aroma Aroma mie kappa Aroma mie iota No Kontrol K 0,25% K 0,5% K 0,75% IK 0,25% IK 0,5% IK 0,75%

92 f) Kekenyalan No Kekenyalan kappa Kekenyalan iota Kontrol K 0,25% K 0,5% K 0,75% IK 0,25% IK 0,5% IK 0,75%

93 Lampiran 4. Rekapitulasi uji perbandingan pasangan a) Uji perbandingan pasangan kappa Warna mie No Penampakan matang Aroma Rasa Kekenyalan Warna mie mentah Rata-rata

94 b).uji perbandingan pasangan iota karaginan No Penampakan Warna Warna Aroma Rasa Kekenyalan matang mentah Rata-rata

95 Lampiran 5. Hasil perankingan data uji hedonik pada mie kering iota dan kappa karaginan a) Kappa karaginan Perlakuan N Mean Rank Warna mie mentah kappa kontrol 30 78,67 kappa 0,25% 30 63,40 kappa 0,5% 30 66,23 kappa 0,75% 30 33,70 Total 120 Warna mie matang kappa kontrol 30 74,12 kappa 0,25% 30 72,98 kappa 0,5% 30 54,97 kappa 0,75% 30 39,93 Total 120 Aroma kappa kontrol 30 62,47 iota 0,25% 30 61,78 iota 0,5% 30 60,92 iota 0,75% 30 56,83 Total 120 Rasa kappa kontrol 30 65,65 kappa 0,25% 30 61,42 kappa 0,5% 30 59,03 kappa 0,75% 30 55,9 Total 120 Kekenyalan kappa kontrol 30 24,95 iota 0,25% 30 47,2 iota 0,5% 30 69,1 iota 0,75% ,75 Total 120 Penampakan kappa kontrol 30 79,73 kappa 0,25% 30 41,13 kappa 0,5% 30 68,17 kappa 0,75% 30 52,97 Total 120 b) Iota karaginan

96 Perlakuan N Mean Rank kontrol 30 78,13 Warna mie mentah iota iota 0,25% 30 71,03 iota 0,5% 30 66,57 iota 0,75% 30 26,27 Total 120 Warna mie matang iota kontrol 30 63,83 iota 0,25% 30 60,45 iota 0,5% 30 58,18 iota 0,75% 30 59,53 Total 120 Aroma iota kontrol 30 63,17 iota 0,25% 30 63,53 iota 0,5% 30 58,97 iota 0,75% 30 56,33 Total 120 Rasa iota kontrol 30 60,73 iota 0,25% 30 65,45 iota 0,5% 30 61,58 iota 0,75% 30 54,23 Total 120 Kekenyalan iota kontrol 30 23,88 iota 0,25% 30 52,28 iota 0,5% 30 89,55 iota 0,75% 30 76,28 Total 120 Penampakan iota kontrol 30 76,38 iota0,25% 30 60,87 iota 0,5% 30 52,35 iota 0,75% 30 52,40 Total 120

97 Lampiran 6. Hasil uji Multiple Comparison terhadap data uji hedonik pada mie kering kappa karaginan 1) Warna mie mentah kappa Konsentrasi mie kering kappa N = 0, kappa 0,75% 30 5,067 kappa 0,25% 30 5,867 kappa 0,5% 30 5,933 kontrol 30 6,267 Sig, 1 0,856 2) Warna mie matang kappa Konsentrasi mie kering N = 0,05 kappa 1 2 Kappa 0,75% 30 3,567 kappa 0,5% 30 4,067 4,067 kappa 0,25% 30 4,667 kontrol 30 4,733 Sig, 0,283 0,085 3) Aroma kappa Konsentrasi mie kering kappa N = 0,05 1 iota 0,75% 30 4,767 iota 0,5% 30 4,867 kontrol 30 4,933 iota 0,25% 30 4,933 Sig, 0,941 4) Rasa kappa Konsentrasi mie kering kappa N = 0,05 kappa 0,75% 30 4,600 kappa 0,5% 30 4,700 kappa 0,25% 30 4,833 kontrol 30 4,967 Sig, 0,614 1

98 5) Kekenyalan kappa Konsentrasi mie kering N = 0,05 kappa kontrol 30 3,733 iota 0,25% 30 4,567 iota 0,5% 30 5,233 iota 0,75% 30 6,367 Sig, ) Penampakan kappa Konsentrasi mie kering N iota = 0, kappa 0,25% 30 4,067 kappa 0,75% 30 4,467 4,467 kappa 0,5% 30 4,900 4,900 kontrol 30 5,300 Sig, 0,364 0,293 0,364 Lampiran 7. Hasil uji Multiple Comparison terhadap data uji hedonik pada mie kering iota karaginan 1) Warna mie mentah iota Konsentrasi mie kering N = 0,05 iota 1 2 iota 0,75% 30 4,533 iota 0,5% 30 5,933 iota 0,25% 30 6,067 kontrol 30 6,267 Sig, 1,000 0,368 2) Warna mie matang iota Konsentrasi mie = 0,05 N kering iota 1 iota 0,75% 30 4,5333 iota 0,5% 30 4,5667 iota 0,25% 30 4,6667 kontrol 30 4,7333 Sig, 0,9185

99 3) Aroma iota Konsentrasi mie N = 0,05 kering iota 1 iota 0,75% 30 4,700 iota 0,5% 30 4,800 kontrol 30 4,933 iota 0,25% 30 4,967 Sig, 0,797 4) Rasa iota Konsentrasi = 0,05 N mie kering iota 1 iota 0,75% 30 4,733 kontrol 30 4,967 iota 0,5% 30 5,000 iota 0,25% 30 5,133 Sig, 0,537 5) Kekenyalan iota Konsentrasi mie kering N = 0,05 iota kontrol 30 3,733 iota 0,25% 30 4,867 iota 0,75% 30 5,733 iota 0,5% 30 6,200 Sig, 1 1 0,160 6) Penampakan iota Konsentrasi mie = 0,05 N kering iota 1 2 kappa 0,5% 30 4,467 kappa 0,75% 30 4,533 4,533 kappa 0,25% 30 4,767 4,767 kontrol 30 5,3 Sig, 0,750 0,057

100 Lampiran 8. Analisis ragam, dan uji Tukey terhadap data cooking time mie kering a) Analisis ragam Perlakuan Jumlah kuadrat db Kuadrat tengah F hitung Signifikan 346, ,583 8,426 0,003 Galat 164, ,718 Total 511, b) Uji Tukey Konsentrasi mie kering N = 0, Komersial 4 200,1 Kontrol 4 201,15 Kappa 0,5% 4 207,75 207,75 Iota 0,5% 4 211,35 Sig, 0,054 0,537 Lampiran 9. Analisis ragam, dan uji Tukey terhadap data KPAP mie kering a) Analisis ragam Jumlah kuadrat db Kuadrat tengah F hitung Signifikan Perlakuan 9, ,177 12,418 0,001 Galat 3, ,256 Total 12, b) Uji Tukey Konsentrasi = 0,05 mie kering N Kappa 0,5% 4 91,218 Iota 0,5% 4 91,788 91,788 Kontrol 4 92,595 92,595 Komersial 4 93,245 Sig, 0,418 0,163 0,312

101 Lampiran 10. Analisis ragam, dan uji Tukey terhadap data DSA mie kering a) Analisis ragam Jumlah kuadrat db Kuadrat tengah F hitung Signifikan Perlakuan 0, ,199 5,740 0,011 Galat 0, ,035 Total 1, b) Uji Tukey Konsentrasi mie kering N = 0, Komersial 4 3,585 Kontrol 4 3,646 3,646 Kappa 0,5% 4 3,973 3,973 Iota 0,5% 4 4,023 Sig, 0,052 0,060 Lampiran 11. Analisis ragam, dan uji Tukey terhadap data kekerasan mie kering a) Analisis Ragam Jumlah kuadrat db Kuadrat tengah F hitung Signifikan Perlakuan , ,3 3,090 0,068 Galat , ,36 Total , b)uji Tukey = 0,05 Konsentrasi mie kering N Iota 0,5% ,2 Kappa 0,5% ,825 Kontrol ,225 Komersial ,725 Sig, 0,125 1

102 Lampiran 12. Analisis ragam, dan uji Tukey terhadap data kekenyalan mie kering a)analisis ragam Jumlah kuadrat db Kuadrat tengah F hitung Signifikan Perlakuan 0, ,01 7,36 0,00 Galat 0, ,00 Total 0, b)uji Tukey Konsentrasi mie kering N = 0, Komersial 4 0,345 Kontrol 4 0,426 Kappa 0,5% 4 0,440 Iota 0,5% 4 0,465 Sig, 1 0,502 Lampiran 13. Analisis ragam, dan uji Tukey terhadap data elongasi mie kering a) Analisis ragam Jumlah kuadrat db Kuadrat tengah F hitung Signifikan Perlakuan 13408, ,483 40,098 0,000 Galat 1337, ,465 Total 14746,02 15 b) Uji Tukey Konsentrasi = 0,05 mie kering N Komersial 4 110,603 Kontrol 4 164,795 Kappa 0,5% 4 172, ,595 Iota 0,5% 4 187,135 Sig, 1 0,728 0,260

103 Lampiran 14. Analisis ragam, dan uji Tukey terhadap data warna mie kering a) Analisis ragam warna b Jumlah Kuadrat db kuadrat tengah F hitung Signifikan Perlakuan 121, ,565 10,865 0,001 Galat 44, ,733 Total 166, b) Uji Tukey warna b Konsentrasi mie kering N = 0, Kappa 0,5% 4 12,685 Iota 0,5% 4 14,67 Kontrol 4 15,035 Komersial 4 20,155 Sig, 0,356 1 Lampiran 15. Analisis ragam, dan uji Tukey terhadap data kadar air mie kering a) Analisis ragam Jumlah kuadrat Perlakuan db Kuadrat tengah F hitung Signifikan 7, , ,724 0,000 Galat 0, ,008 Total 7, b) Uji Tukey Konsentrasi mie = 0,05 kering N Komersial 4 2,477 Kontrol 4 2,542 Iota 0,5% 4 3,748 Kappa 0,5% 4 3,945 Sig, 0,

104 Lampiran 16. Analisis ragam, dan uji Tukey terhadap data kadar abu mie kering a) Analisis ragam Jumlah kuadrat Perlakuan db Kuadrat tengah F hitung Signifikan 0, ,260 61,625 0,000 Galat 0, ,004 Total 0, b) Uji Tukey Konsentrasi = 0,05 mie kering N Komersial 4 2,218 Kontrol 4 2,383 Iota 0,5% 4 2,657 Kappa 0,5% 4 2,778 Sig, 1 1 0,088 Lampiran 17. Analisis ragam, dan uji Tukey terhadap data kadar protein mie kering a) Analisis ragam Jumlah kuadrat Perlakuan db Kuadrat tengah F hitung Signifikan 1, ,352 41,027 0,000 Galat 0, ,009 Total 1, b) Uji Tukey Konsentrasi = 0,05 mie kering N Kappa 0,5% 4 8,412 Iota 0,5% 4 8,509 Komersial 4 8,719 Kontrol 4 9,082 Sig, 0,

105 Lampiran 18. Analisis ragam, dan uji Tukey terhadap data kadar karbohidrat mie kering a) Analisis ragam Jumlah kuadrat Perlakuan db Kuadrat tengah F hitung Signifikan 6, ,085 92,449 0,000 Galat 0, ,023 Total 6, b) Uji Tukey Konsentrasi = 0,05 mie kering N Kappa 0,5% 4 78,960 Iota 0,5% 4 79,104 Kontrol 4 79,917 Komersial 4 80,499 Sig, 0, Lampiran 19. Analisis ragam, dan uji Tukey terhadap data kadar lemak mie kering a) Analisis ragam Perlakuan Jumlah kuadrat db Kuadrat tengah F hitung Signifikan 0, ,029 3,228 0,061 Galat 0, ,009 Total 0, b) Uji Tukey Konsentrasi mie kering = 0,05 iota N Kappa 0,5% 4 5,906 Iota 0,5% 4 5,982 Kontrol 4 6,076 Komersial 4 6,087 Sig, 0,081 1

106 Lampiran 20. Analisis ragam, dan uji Tukey terhadap data serat larut mie kering a) Analisis ragam Jumlah kuadrat Perlakuan db Kuadrat tengah F hitung Signifikan 0, ,114 35,286 0,000 Galat 0, ,003 Total 0, b) Uji Tukey Konsentrasi = 0,05 mie kering N Komersial 4 1,417 Kontrol 4 1,440 Iota 0,5% 4 1,581 Kappa 0,5% 4 1,784 Sig, 0, Lampiran 21. Analisis ragam, dan uji Tukey terhadap data serat tidak larut mie kering a) Analisis ragam Jumlah kuadrat db Kuadrat tengah F hitung Signifikan Perlakuan 0, ,233 74,154 0,000 Galat 0, ,003 Total 0, b) Uji Tukey Konsentrasi mie kering N = 0, Komersial 4 1,118 Kontrol 4 1,154 Kappa 0,5% 4 1,546 Iota 0,5% 4 1,560 Sig, 0,797 0,983

107 Lampiran 22. Analisis ragam, dan uji Tukey terhadap data total serat pangan mie kering a) Analisis ragam Jumlah kuadrat Perlakuan db Kuadrat tengah F hitung Signifikan 2, , ,958 0,000 Galat 0, ,000 Total 2, b) Uji Tukey Konsentrasi mie kering N = 0, Komersial 4 2,534 Kontrol 4 2,591 Iota 0,5% 4 3,141 Kappa 0,5% 4 3,329 Sig,

108 Lampiran 23. Pembuatan mie kering dengan penambahan karaginan Bahan-bahan Pencampuran/pengadonan Adonan mie Pengukusan Pencetakan mie Pengepresan Pengovenan Mie kering

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun sebenarnya dalam dunia ilmu pengetahuan diartikan sebagai alga (ganggang) yang berasal dari bahasa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Deskripsi dan Kedudukan Taksonomi Kluwih (Artocarpus communis)

TINJAUAN PUSTAKA. A. Deskripsi dan Kedudukan Taksonomi Kluwih (Artocarpus communis) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi dan Kedudukan Taksonomi Kluwih (Artocarpus communis) Kluwih merupakan kerabat dari sukun yang dikenal pula dengan nama timbul atau kulur. Kluwih dianggap sama dengan buah

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PRODUK MARSHMALLOW DARI GELATIN KULIT IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.)

PENGEMBANGAN PRODUK MARSHMALLOW DARI GELATIN KULIT IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) PENGEMBANGAN PRODUK MARSHMALLOW DARI GELATIN KULIT IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) Oleh : Dwi Sartika C34104025 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tepung Jagung Swasembada jagung memerlukan teknologi pemanfaatan jagung sehingga dapat meningkatkan nilai tambahnya secara optimal. Salah satu cara meningkatkan nilai tambah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Mie merupakan salah satu bahan pangan yang bernilai ekonomis tinggi. Mie

I. PENDAHULUAN. Mie merupakan salah satu bahan pangan yang bernilai ekonomis tinggi. Mie 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mie merupakan salah satu bahan pangan yang bernilai ekonomis tinggi. Mie adalah produk pasta atau ekstruksi yang tidak asing bagi masyarakat Indonesia (Teknologi Pangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. produk mie yang dikeringkan hingga mencapai kadar air sekitar 8-10% (Mulyadi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. produk mie yang dikeringkan hingga mencapai kadar air sekitar 8-10% (Mulyadi 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Mie kering Mie adalah produk olahan makanan yang berbahan dasar tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan (Faridah

Lebih terperinci

Prarencana Pabrik Karagenan dari Rumput Laut Eucheuma cottonii I-1

Prarencana Pabrik Karagenan dari Rumput Laut Eucheuma cottonii I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, termasuk salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia yaitu 95.181 km dan memiliki keanekaragaman hayati laut berupa

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Standar Nasional Indonesia mendefinisikan tepung terigu sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Standar Nasional Indonesia mendefinisikan tepung terigu sebagai 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tepung Terigu Standar Nasional Indonesia 01-3751-2006 mendefinisikan tepung terigu sebagai tepung yang berasal dari endosperma biji gandum Triticum aestivum L.(Club wheat) dan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK BAKSO KERING IKAN PATIN (Pangasius sp.) Oleh : David Halomoan Hutabarat C

KARAKTERISTIK BAKSO KERING IKAN PATIN (Pangasius sp.) Oleh : David Halomoan Hutabarat C KARAKTERISTIK BAKSO KERING IKAN PATIN (Pangasius sp.) Oleh : David Halomoan Hutabarat C34103013 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

denaturasi pada saat pemanasan dan mempertahankan bentuk pada produk akhir. Pati yang merupakan komponen utama dalam tepung (sekitar 67%) pada proses

denaturasi pada saat pemanasan dan mempertahankan bentuk pada produk akhir. Pati yang merupakan komponen utama dalam tepung (sekitar 67%) pada proses BAB III PEMBAHASAN Pembuatan mie kering umumnya hanya menggunakan bahan dasar tepung terigu namun saat ini mie kering dapat difortifikasi dengan tepung lain agar dapat menyeimbangkan kandung gizi yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu

I. PENDAHULUAN. dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman labu kuning adalah tanaman semusim yang banyak ditanam di Indonesia dan dikenal dengan nama latin Cucurbita moschata (Prasbini et al., 2013). Labu kuning tergolong

Lebih terperinci

KARAKTERISASI MUTU FISIKA KIMIA GELATIN KULIT IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) HASIL PROSES PERLAKUAN ASAM. Oleh : Ima Hani Setiawati C34104056

KARAKTERISASI MUTU FISIKA KIMIA GELATIN KULIT IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) HASIL PROSES PERLAKUAN ASAM. Oleh : Ima Hani Setiawati C34104056 KARAKTERISASI MUTU FISIKA KIMIA GELATIN KULIT IKAN KAKAP MERAH (Lutjanus sp.) HASIL PROSES PERLAKUAN ASAM Oleh : Ima Hani Setiawati C34104056 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. satunya adalah rumput laut. Menurut Istini (1985) dan Anggraini (2004),

BAB I PENDAHULUAN. satunya adalah rumput laut. Menurut Istini (1985) dan Anggraini (2004), BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia adalah negara kepulauan dengan kawasan pesisir dan lautan yang memiliki berbagai sumber daya hayati sangat besar dan beragam, salah satunya adalah rumput

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2)

I PENDAHULUAN. Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2) I PENDAHULUAN Pada pendahuluan menjelaskan mengenai (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

PEMANFAATAN CANGKANG RAJUNGAN (Portunus sp.) SEBAGAI FLAVOR. Oleh : Ismiwarti C

PEMANFAATAN CANGKANG RAJUNGAN (Portunus sp.) SEBAGAI FLAVOR. Oleh : Ismiwarti C PEMANFAATAN CANGKANG RAJUNGAN (Portunus sp.) SEBAGAI FLAVOR Oleh : Ismiwarti C34101018 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005 RINGKASAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang sangat kaya hasil alam terlebih hasil perairan. Salah satunya rumput laut yang merupakan komoditas potensial dengan nilai ekonomis tinggi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu

I PENDAHULUAN. (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Singkong atau ubi kayu merupakan tanaman umbi umbian yang dikenal luas di masyarakat Indonesia. Pada tahun 2013 produksi singkong di Indonesia mencapai 23 juta ton

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah,

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7)

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang

I PENDAHULUAN. selain sebagai sumber karbohidrat jagung juga merupakan sumber protein yang I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai: (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Penelitian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis

Lebih terperinci

BAB Ι PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB Ι PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB Ι PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbagai macam obat dikonsumsi manusia untuk menjaga tubuhnya tetap sehat. Tetapi ada beberapa jenis obat yang bila dikonsumsi memiliki rasa atau aroma tidak enak sehingga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Produk pangan fungsional (fungtional food) pada beberapa tahun ini telah

I. PENDAHULUAN. Produk pangan fungsional (fungtional food) pada beberapa tahun ini telah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Produk pangan fungsional (fungtional food) pada beberapa tahun ini telah berkembang dengan cepat. Pangan fungsional yang merupakan konvergensi antara industri, farmasi

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Faktor Lingkungan Faktor lingkungan yang dimaksud adalah kondisi oseanografi dan meteorologi perairan. Faktor oseanografi adalah kondisi perairan yang berpengaruh langsung terhadap

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan meliputi pembuatan tepung jerami nangka, analisis sifat fisik dan kimia tepung jerami nangka, serta pembuatan dan formulasi cookies dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merah (Oriza sativa) merupakan beras yang hanya dihilangkan kulit bagian luar atau sekamnya, sehingga masih mengandung kulit ari (aleuron) dan inti biji beras

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: Penaeus sp, stick, limbah kulit udang PENDAHULUAN

ABSTRAK. Kata kunci: Penaeus sp, stick, limbah kulit udang PENDAHULUAN PEMANFAATAN LIMBAH KULIT UDANG (Penaeus sp) UNTUK PENGANEKARAGAMAN MAKANAN RINGAN BERBENTUK STICK Tri Rosandari dan Indah Novita Rachman Program Studi Teknoogi Industri Pertanian Institut Teknologi Indonesia

Lebih terperinci

Pemanfaatan: pangan, farmasi, kosmetik. Komoditas unggulan. total luas perairan yang dapat dimanfaatkan 1,2 juta hektar

Pemanfaatan: pangan, farmasi, kosmetik. Komoditas unggulan. total luas perairan yang dapat dimanfaatkan 1,2 juta hektar Komoditas unggulan Pemanfaatan: pangan, farmasi, kosmetik diperkirakan terdapat 555 species rumput laut total luas perairan yang dapat dimanfaatkan 1,2 juta hektar luas area budidaya rumput laut 1.110.900

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Kappaphycus alvarezii Rumput laut merupakan tanaman laut yang sangat populer dibudidayakan di laut. Ciri-ciri rumput laut adalah tidak mempunyai akar, batang maupun

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

I. PENDAHULUAN. kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram (Pleurotus oestreatus) merupakan jamur konsumsi dari jenis jamur kayu yang memiliki nilai gizi tinggi dan dapat dimanfaaatkan untuk berbagai jenis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumping merupakan makanan tradisional yang berasal dari Bali, pada di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sumping merupakan makanan tradisional yang berasal dari Bali, pada di 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumping Sumping merupakan makanan tradisional yang berasal dari Bali, pada di Indonesia sumping dikenal dengan kue nagasari. Sumping umumnya dibuat dari tepung beras, santan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang

I. PENDAHULUAN. Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Ubi jalar (Ipomoea batatas L) merupakan salah satu hasil pertanian yang mengandung karbohidrat dan sumber kalori yang cukup tinggi, sumber vitamin (A, C,

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (6) Hipotesa dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (6) Hipotesa dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pikiran, (6) Hipotesa dan (7) Tempat dan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Balai Riset dan Standardisasi Industri Lampung, Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian, Laboratoriun

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan dengan panjang garis pantai 81.000 km merupakan kawasan pesisir dan lautan yang memiliki berbagai sumberdaya hayati yang sangat besar

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bekatul Bekatul merupakan hasil samping penggilingan gabah yang berasal dari berbagai varietas padi. Bekatul adalah bagian terluar dari bagian bulir, termasuk sebagian kecil endosperm

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Eucheuma cottonii

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Eucheuma cottonii 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Eucheuma cottonii Menurut Doty (1985), Eucheuma cottonii merupakan salah satu jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) dan berubah nama menjadi Kappaphycus alvarezii karena

Lebih terperinci

II TINJAUN PUSTAKA. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Rumput Laut, (2) Rumput Laut

II TINJAUN PUSTAKA. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Rumput Laut, (2) Rumput Laut 11 II TINJAUN PUSTAKA Bab ini menguraikan mengenai: (1) Rumput Laut, (2) Rumput Laut Eucheuma spinosum, (3) Karaginan, (4) Ekstraksi Karaginan, (5) Pelarut, dan (6) Kegunaan Karaginan. 2.1. Rumput Laut

Lebih terperinci

PEMANFAATAN TEPUNG TULANG IKAN MADIDIHANG (Thunnus albacares) SEBAGAI SUPLEMEN DALAM PEMBUATAN BISKUIT (CRACKERS) Oleh : Nurul Maulida C

PEMANFAATAN TEPUNG TULANG IKAN MADIDIHANG (Thunnus albacares) SEBAGAI SUPLEMEN DALAM PEMBUATAN BISKUIT (CRACKERS) Oleh : Nurul Maulida C PEMANFAATAN TEPUNG TULANG IKAN MADIDIHANG (Thunnus albacares) SEBAGAI SUPLEMEN DALAM PEMBUATAN BISKUIT (CRACKERS) Oleh : Nurul Maulida C34101045 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN

Lebih terperinci

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat

1 I PENDAHULUAN. Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat 1 I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1) Latar Belakang, (1.2) Identifikasi Masalah, (1.3) Maksud dan tujuan Penelitian, (1.4) Manfaat Peneltian, (1.5) Kerangka Pemikiran, (1.6) Hipotesis Penelitian

Lebih terperinci

EVALUASI SENSORI KONSUMEN PADA DODOL RUMPUT LAUT (Eucheuma cottoni) DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG KANJI DAN TEPUNG KETAN.

EVALUASI SENSORI KONSUMEN PADA DODOL RUMPUT LAUT (Eucheuma cottoni) DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG KANJI DAN TEPUNG KETAN. EVALUASI SENSORI KONSUMEN PADA DODOL RUMPUT LAUT (Eucheuma cottoni) DENGAN PENAMBAHAN TEPUNG KANJI DAN TEPUNG KETAN Ira Maya Abdiani Staf Pengajar Jurusan Budidaya Perairan FPIK Universitas Borneo Tarakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan berklorofil. Dilihat dari ukurannya, rumput laut terdiri dari jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan berklorofil. Dilihat dari ukurannya, rumput laut terdiri dari jenis BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Rumput laut atau sea weeds secara ilmiah dikenal dengan istilah alga atau ganggang. Rumput laut termasuk salah satu anggota alga yang merupakan tumbuhan berklorofil.

Lebih terperinci

PEMANFAATAN GELATIN DARI KULIT IKAN PATIN (Pangasius sp) SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN EDIBLE FILM. Oleh : Melly Dianti C

PEMANFAATAN GELATIN DARI KULIT IKAN PATIN (Pangasius sp) SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN EDIBLE FILM. Oleh : Melly Dianti C PEMANFAATAN GELATIN DARI KULIT IKAN PATIN (Pangasius sp) SEBAGAI BAHAN BAKU PEMBUATAN EDIBLE FILM Oleh : Melly Dianti C03400066 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Tepung Tulang Ikan Rendemen tepung tulang ikan yang dihasilkan sebesar 8,85% dari tulang ikan. Tepung tulang ikan patin (Pangasius hypopthalmus) yang dihasilkan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Gembili Menurut Nur Richana (2012), gembili diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Plantae ( tumbuh- tumbuhan) Divisio : Magnoliophyta ( tumbuhan berbiji

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai

I. PENDAHULUAN. baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan ataupun minuman bagi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. kesehatan. Nutrisi dalam black mulberry meliputi protein, karbohidrat serta

I PENDAHULUAN. kesehatan. Nutrisi dalam black mulberry meliputi protein, karbohidrat serta I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi masalah, (3) Maksud dan tujuan penelitian, (4) Manfaat penelitian, (5) Kerangka pemikiran, dan (6) Hipotesis. 1.1 Latar

Lebih terperinci

PEMBUATAN MIE SUKUN (KAJIAN SUBTITUSI SUKUN KUKUS DAN PENAMBAHAN TELUR) SKRIPSI. Oleh : INDARTY WIJIANTI

PEMBUATAN MIE SUKUN (KAJIAN SUBTITUSI SUKUN KUKUS DAN PENAMBAHAN TELUR) SKRIPSI. Oleh : INDARTY WIJIANTI PEMBUATAN MIE SUKUN (KAJIAN SUBTITUSI SUKUN KUKUS DAN PENAMBAHAN TELUR) SKRIPSI Oleh : INDARTY WIJIANTI 0533010013 JURUSAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka

I PENDAHULUAN. masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

mi. Sekitar 40% konsumsi gandum di Asia adalah mi (Hoseney, 1994).

mi. Sekitar 40% konsumsi gandum di Asia adalah mi (Hoseney, 1994). I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mi bukan merupakan makanan asli budaya Indonesia. Meskipun masih banyak jenis bahan makanan lain yang dapat memenuhi karbohidrat bagi tubuh manusia selain beras, tepung

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Mie adalah produk makanan yang pada umumnya dibuat dari tepung terigu

I. PENDAHULUAN. Mie adalah produk makanan yang pada umumnya dibuat dari tepung terigu I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mie adalah produk makanan yang pada umumnya dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan (food additives). Penggantian

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Proksimat Komposisi rumput laut Padina australis yang diuji meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar abu tidak larut asam dilakukan

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi

I PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai : (1.1.) Latar Belakang, (1.2.) Identifikasi Masalah, (1.3.) Maksud dan Tujuan Penelitian, (1.4.) Manfaat Penelitian, (1.5.) Kerangka Pemikiran, (1.6.) Hipotesis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi

I. PENDAHULUAN. Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan

Lebih terperinci

PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Kombinasi Protein Koro Benguk dan Karagenan Terhadap Karakteristik Mekanik (Kuat Tarik dan Pemanjangan)

PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Kombinasi Protein Koro Benguk dan Karagenan Terhadap Karakteristik Mekanik (Kuat Tarik dan Pemanjangan) 4. PEMBAHASAN 4.1. Pengaruh Kombinasi Protein Koro Benguk dan Karagenan Terhadap Karakteristik Mekanik (Kuat Tarik dan Pemanjangan) Karakteristik mekanik yang dimaksud adalah kuat tarik dan pemanjangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram putih (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang dewasa ini sudah banyak dikenal dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK ALKALI TREATED COTTONII (ATC) DARI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii PADA BERBAGAI KONSENTRASI KOH, LAMA PEMASAKAN DAN SUHU PEMANASAN OLEH :

KARAKTERISTIK ALKALI TREATED COTTONII (ATC) DARI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii PADA BERBAGAI KONSENTRASI KOH, LAMA PEMASAKAN DAN SUHU PEMANASAN OLEH : KARAKTERISTIK ALKALI TREATED COTTONII (ATC) DARI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii PADA BERBAGAI KONSENTRASI KOH, LAMA PEMASAKAN DAN SUHU PEMANASAN OLEH : AMRY MUHRAWAN KADIR G 621 08 011 Skripsi Sebagai salah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepung terigu yang ditambahkan dengan bahan bahan tambahan lain, seperti

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tepung terigu yang ditambahkan dengan bahan bahan tambahan lain, seperti 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biskuit Menurut SNI 2973-2011, biskuit merupakan salah satu produk makanan kering yang dibuat dengan cara memanggang adonan yang terbuat dari bahan dasar tepung terigu atau

Lebih terperinci

Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI

Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI 1 Deskripsi PROSES PRODUKSI DAN FORMULASI MI JAGUNG KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN TEPUNG JAGUNG TERMODIFIKASI Bidang Teknik Invensi Invensi ini berhubungan dengan suatu proses pembuatan mi jagung kering.

Lebih terperinci

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KARAKTERISTIK KERUPUK IKAN SAPU-SAPU (Hyposarcus pardalis) Oleh : Iis Istanti C

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KARAKTERISTIK KERUPUK IKAN SAPU-SAPU (Hyposarcus pardalis) Oleh : Iis Istanti C PENGARUH LAMA PENYIMPANAN TERHADAP KARAKTERISTIK KERUPUK IKAN SAPU-SAPU (Hyposarcus pardalis) Oleh : Iis Istanti C34101028 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS

KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS KAJIAN PEMBUATAN EDIBEL FILM KOMPOSIT DARI KARAGENAN SEBAGAI PENGEMAS BUMBU MIE INSTANT REBUS ENDANG MINDARWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2 0 0 6 Judul Tesis Nama NIM : Kajian

Lebih terperinci

Yoghurt Sinbiotik - Minuman Fungsional Kaya Serat Berbasis Tepung Pisang

Yoghurt Sinbiotik - Minuman Fungsional Kaya Serat Berbasis Tepung Pisang AgroinovasI Yoghurt Sinbiotik - Minuman Fungsional Kaya Serat Berbasis Tepung Pisang Pisang kaya akan karbohidrat dan mempunyai kandungan gizi yang baik yaitu vitamin (provitamin A, B dan C) dan mineral

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diizinkan, berbentuk khas mie (Badan Standarisasi Nasional, 1992). Berdasarkan survey oleh USDA dalam Anonim A (2015) mengenai

BAB I PENDAHULUAN. diizinkan, berbentuk khas mie (Badan Standarisasi Nasional, 1992). Berdasarkan survey oleh USDA dalam Anonim A (2015) mengenai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mie merupakan salah satu masakan yang sangat populer di Asia, salah satunya di Indonesia. Mie adalah produk pangan yang terbuat dari terigu dengan atau tanpa penambahan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kappaphycus alvarezii sering juga disebut cottonii, merupakan jenis rumput laut

TINJAUAN PUSTAKA. Kappaphycus alvarezii sering juga disebut cottonii, merupakan jenis rumput laut II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kappaphycus alvarezii Kappaphycus alvarezii sering juga disebut cottonii, merupakan jenis rumput laut penghasil kappa kraginan yang dibudidayakan secara komersial di daerah tropis

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Selatan. Buah naga sudah banyak di budidayakan di Negara Asia, salah satunya di

II. TINJAUAN PUSTAKA. Selatan. Buah naga sudah banyak di budidayakan di Negara Asia, salah satunya di 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Buah Naga Buah naga atau dragon fruit merupakan buah yang termasuk kedalam kelompok tanaman kaktus. Buah naga berasal dari Negara Mexico, Amerika Tengah dan Amerika Selatan.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Daging ayam juga merupakan bahan pangan kaya akan gizi yang sangat. diperlukan manusia. Daging ayam dalam bentuk segar relatif

TINJAUAN PUSTAKA. Daging ayam juga merupakan bahan pangan kaya akan gizi yang sangat. diperlukan manusia. Daging ayam dalam bentuk segar relatif II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Nugget Ayam Bahan pangan sumber protein hewani berupa daging ayam mudah diolah, dicerna dan mempunyai citarasa yang enak sehingga disukai banyak orang. Daging ayam juga merupakan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Jenis Penelitian Jenis penelitian adalah penelitian eksperimen di bidang Teknologi Pangan. B. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat pembuatan cake rumput laut dan mutu organoleptik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia diantaranya pisang ambon, pisang raja, pisang mas, pisang kepok

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia diantaranya pisang ambon, pisang raja, pisang mas, pisang kepok BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pisang merupakan buah-buahan dengan jenis yang banyak di Indonesia diantaranya pisang ambon, pisang raja, pisang mas, pisang kepok dan masih banyak lagi. Menurut Kementrian

Lebih terperinci

PEMANFAATAN Gracilaria sp. DALAM PEMBUATAN PERMEN JELLY

PEMANFAATAN Gracilaria sp. DALAM PEMBUATAN PERMEN JELLY PEMANFAATAN Gracilaria sp. DALAM PEMBUATAN PERMEN JELLY Ella Salamah 1), Anna C Erungan 1) dan Yuni Retnowati 2) Abstrak merupakan salah satu hasil perikanan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dan menjadi

Lebih terperinci

1 Mahasiswa Program Studi Teknologi Hasil PerikananFakultas Ilmu-Ilmu Pertanian UNG 2 Tenaga Pengajar di Fakultas Ilmu-Ilmu Pertanian

1 Mahasiswa Program Studi Teknologi Hasil PerikananFakultas Ilmu-Ilmu Pertanian UNG 2 Tenaga Pengajar di Fakultas Ilmu-Ilmu Pertanian 1 2 KARAKTERISTIK KIMIAWI HASIL ORGANOLEPTIK PRODUK MIE KERING YANG DISUBSTITUSI DENGAN RUMPUT LAUT Kappaphycus alvarezii Mahdawita Sahi 1, Rieny Sulistijowati 2, Nikmawatisusanti Yusuf 2 ABSTRAK Tujuan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras.

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. 2 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung merupakan palawija sumber karbohidrat yang memegang peranan penting kedua setelah beras. Jagung juga mengandung unsur gizi lain yang diperlukan manusia yaitu

Lebih terperinci

PEMBUATAN MIE TEPUNG KULIT PISANG KEPOK SKRIPSI

PEMBUATAN MIE TEPUNG KULIT PISANG KEPOK SKRIPSI PEMBUATAN MIE TEPUNG KULIT PISANG KEPOK (Kajian Substitusi Tepung Kulit Pisang Kepok Pada Tepung Terigu Dan Penambahan Telur) SKRIPSI Oleh : Fery Rois NPM : 0633010039 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Mie Mie merupakan salah satu jenis masakan yang sangat popular di Asia khususnya Asia timur dan Asia tenggara. Menurut catatan sejarah, mie dibuat pertama kali di daratan cina

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. terpenting, selain gandum dan padi. Jagung (Zea mays L.) adalah tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. terpenting, selain gandum dan padi. Jagung (Zea mays L.) adalah tanaman TINJAUAN PUSTAKA Jagung Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan dunia yang terpenting, selain gandum dan padi. Jagung (Zea mays L.) adalah tanaman semusim yang mempunya batang berbentuk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk

HASIL DAN PEMBAHASAN Pembuatan Adonan Kerupuk HASIL DAN PEMBAHASAN Peubah yang diamati dalam penelitian ini, seperti kadar air, uji proksimat serka kadar kalsium dan fosfor diukur pada kerupuk mentah kering, kecuali rendemen. Rendemen diukur pada

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Jagung (Zea mays) Menurut Effendi S (1991), jagung (Zea mays) merupakan salah satu tanaman pangan dunia yang terpenting selain padi dan gandum. Kedudukan tanaman ini menurut

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi,

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Ubi Kayu Ubi kayu yang sering pula disebut singkong atau ketela pohon merupakan salah satu tanaman penghasil bahan makanan pokok di Indonesia. Tanaman ini tersebar

Lebih terperinci

4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu Cooking Time

4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu Cooking Time 4. PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Fisik Mi Kering Non Terigu 4.1.1. Cooking Time Salah satu parameter terpenting dari mi adalah cooking time yaitu lamanya waktu yang dibutuhkan untuk rehidrasi atau proses

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai macam umbi-umbian dapat dipergunakan sebagai sumber. kalori/karbohidrat, salah satunya adalah singkong. Singkong kaya akan

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai macam umbi-umbian dapat dipergunakan sebagai sumber. kalori/karbohidrat, salah satunya adalah singkong. Singkong kaya akan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berbagai macam umbi-umbian dapat dipergunakan sebagai sumber kalori/karbohidrat, salah satunya adalah singkong. Singkong kaya akan karbohidrat yaitu sekitar 80-90%

Lebih terperinci

5.1 Total Bakteri Probiotik

5.1 Total Bakteri Probiotik V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Total Bakteri Probiotik Berdasarkan hasil pengamatan (Lampiran 3) menunjukkan bahwa perlakuan penambahan bakteri L. acidophilus pada perbandingan tepung bonggol pisang batu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. pembuatan tahu adalah kacang kedelai (Glycine max Merr) dengan kandungan

II. TINJAUAN PUSTAKA. pembuatan tahu adalah kacang kedelai (Glycine max Merr) dengan kandungan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ampas Tahu Ampas tahu merupakan limbah dari pembuatan tahu. Bahan utama pembuatan tahu adalah kacang kedelai (Glycine max Merr) dengan kandungan protein sekitar 33-42% dan kadar

Lebih terperinci

LOGO BAKING TITIS SARI

LOGO BAKING TITIS SARI LOGO BAKING TITIS SARI PENGERTIAN UMUM Proses pemanasan kering terhadap bahan pangan yang dilakukan untuk mengubah karakteristik sensorik sehingga lebih diterima konsumen KHUSUS Pemanasan adonan dalam

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu dampak negatif perkembangan zaman yang begitu pesat saat ini adalah adanya pergeseran pola makan, dari pola makan yang seimbang dan alami menjadi pola makan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I. PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, dan (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I. PENDAHULUAN Bab ini akan membahas mengenai : (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

PEMANFAATAN LIMBAH TULANG IKAN TUNA (Thunnus sp.) SEBAGAI SUMBER KALSIUM DENGAN METODE HIDROLISIS PROTEIN. Oleh : Muhammad Nabil C

PEMANFAATAN LIMBAH TULANG IKAN TUNA (Thunnus sp.) SEBAGAI SUMBER KALSIUM DENGAN METODE HIDROLISIS PROTEIN. Oleh : Muhammad Nabil C PEMANFAATAN LIMBAH TULANG IKAN TUNA (Thunnus sp.) SEBAGAI SUMBER KALSIUM DENGAN METODE HIDROLISIS PROTEIN Oleh : Muhammad Nabil C03400041 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan Mutu Organoleptik Biskuit Selama Penyimpanan Uji kesukaan dan mutu hedonik merupakan salah satu cara untuk uji sensori suatu produk. Uji kesukaan dan mutu hedonik dilakukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Rumput laut adalah salah satu sumber daya hayati yang terdapat di wilayah pesisir dan laut. Sumberdaya ini biasanya dapat ditemui di perairan yang berasiosiasi dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. pisang raja berasal dari kawasan Asia Tenggara dan pulau-pulau pasifik barat. Selanjutnya

TINJAUAN PUSTAKA. pisang raja berasal dari kawasan Asia Tenggara dan pulau-pulau pasifik barat. Selanjutnya II. TINJAUAN PUSTAKA 1.1. Pisang Raja Pisang raja termasuk jenis pisang buah. Menurut ahli sejarah dan botani secara umum pisang raja berasal dari kawasan Asia Tenggara dan pulau-pulau pasifik barat. Selanjutnya

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. untuk memenuhi kebutuhan protein (Suherman, 2012). Koro pedang (Canavalia

I PENDAHULUAN. untuk memenuhi kebutuhan protein (Suherman, 2012). Koro pedang (Canavalia I PENDAHULUAN Bab ini menguraikan mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi masalah, (3) Maksud dan tujuan penelitian, (4) Manfaat penelitian, (5) Kerangka pemikiran, dan (6) Hipotesis. 1.1. Latar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. saji kaya protein yang bersumber dari bahan pangan hewani, memengaruhi

I. PENDAHULUAN. saji kaya protein yang bersumber dari bahan pangan hewani, memengaruhi 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi setiap orang. Berbagai produk olahan pangan baik pangan nabati maupun hewani beredar luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan mulai

BAB I PENDAHULUAN. oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan mulai BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mi merupakan produk pangan yang banyak dikonsumsi dan disukai oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan mulai anak-anak hingga orang dewasa. Mi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Karakteristik tepung yang digunakan akan menentukan karakteristik cookies yang

I PENDAHULUAN. Karakteristik tepung yang digunakan akan menentukan karakteristik cookies yang I PENDAHULUAN Cookies merupakan salah satu produk yang banyak menggunakan tepung. Karakteristik tepung yang digunakan akan menentukan karakteristik cookies yang dihasilkan. Tepung kacang koro dan tepung

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian,

I PENDAHULUAN. (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, I PENDAHULUAN Bab ini menjelaskan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang

I. PENDAHULUAN. Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Jamur tiram (Pleurotus ostreatus) merupakan salah satu jenis sayuran sehat yang dewasa ini sudah banyak dikenal dan dikonsumsi oleh berbagai kalangan masyarakat.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. tapioka menjadi adonan yang kemudian dibentuk menjadi bola-bola seukuran bola

II. TINJAUAN PUSTAKA. tapioka menjadi adonan yang kemudian dibentuk menjadi bola-bola seukuran bola II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Bakso Ayam Bakso merupakan salah satu makanan tradisional Indonesia yang terbuat dari daging. Dihasilkan dengan mencampur daging, garam, bawang, dan tepung tapioka menjadi adonan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. food menurut Food and Agriculture Organization didefinisikan sebagai makanan

BAB I PENDAHULUAN. food menurut Food and Agriculture Organization didefinisikan sebagai makanan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Makanan jajanan sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Makanan jajanan yang dijual oleh pedagang

Lebih terperinci

KAJIAN PENGGUNAAN ZEOLIT DAN PENGUKUSAN (STEAMING) TERHADAP MUTU SABUN DARI LIMBAH MINYAK IKAN LEMURU (Sardinella lemuru) DINA AMALIA

KAJIAN PENGGUNAAN ZEOLIT DAN PENGUKUSAN (STEAMING) TERHADAP MUTU SABUN DARI LIMBAH MINYAK IKAN LEMURU (Sardinella lemuru) DINA AMALIA 63 KAJIAN PENGGUNAAN ZEOLIT DAN PENGUKUSAN (STEAMING) TERHADAP MUTU SABUN DARI LIMBAH MINYAK IKAN LEMURU (Sardinella lemuru) DINA AMALIA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyebut tanaman jali dengan sebutan hanjali, hanjaeli, jali,-jali, jali, maupun jelai.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. menyebut tanaman jali dengan sebutan hanjali, hanjaeli, jali,-jali, jali, maupun jelai. 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biji Jali Tanaman jali termasuk dalam tanaman serealia lokal. Beberapa daerah menyebut tanaman jali dengan sebutan hanjali, hanjaeli, jali,-jali, jali, maupun jelai. Klasifikasi

Lebih terperinci