2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Ikan

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Ikan"

Transkripsi

1 11 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Ikan Pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan di perairan Indonesia sudah dilakukan sejak lama oleh masyarakat dan pemerintah. Sampai saat ini, hasil perikanan dari kegiatan penangkapan khususnya dari laut masih menjadi sumber produksi utama. Pengelolaan perikanan yang baik dan bertanggungjawab terutama perikanan tangkap haruslah benar-benar memperhatikan daya dukung sumberdaya perikanan di wilayah perairan Indonesia, bahkan Purwanto (2003), secara eksplisit mengungkapkan apabila sumberdaya ikan laut yang hidup dalam wilayah perairan Indonesia dimanfaatkan secara benar dan bertanggungjawab yaitu tidak melebihi daya dukungnya, sumberdaya tersebut akan dapat menghasilkan produksi maksimum lestari sekitar 6,4 juta ton per tahun. Selain itu masyarakat Indonesia juga memiliki peluang untuk memanfaatkan sumberdaya ikan di laut lepas (high sea). Sebaliknya bila sumberdaya ikan tersebut dimanfaatkan melebihi daya dukungnya, kelestarian sumberdaya ikan akan terancam dan produksinya akan menurun. Upaya pengelolaan dan pengembangan perikanan laut dimasa mendatang akan terasa lebih berat sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan seni (IPTEKS). Tetapi dengan pemanfaatan IPTEKS itu pula diharapkan akan mampu mengatasi keterbatasan sumberdaya melalui suatu langkah yang rasional untuk mendapatkan manfaat yang optimal dan berkelanjutan. Langkah pengelolaan dan pengembangan tersebut juga harus mempertimbangkan aspek biologi, teknis, sosial, budaya dan ekonomi (Barus, 1991). Ketersediaan (stok) sumberdaya ikan pada beberapa daerah penangkapan (fishing ground) di Indonesia ternyata telah dimanfaatkan melebihi daya dukungnya sehingga kelestariannya terancam. Beberapa spesies ikan bahkan dilaporkan telah sulit didapatkan dan nyaris hilang dari perairan Indonesia (Purwanto, 2003). Lebih lanjut dikatakan pula bahwa ancaman ini diperkirakan akan meningkat pada dekade ini, karena terjadi pergeseran daerah penangkapan

2 12 armada perikanan dunia ke daerah yang masih potensial, termasuk perairan Indonesia, baik secara legal maupun ilegal. Peningkatan jumlah penduduk dunia menyebabkan peningkatan kebutuhan akan bahan pangan dan gizi yang lebih baik. Peningkatan ikan terus meningkat dari tahun ketahun. Asia, selain sebagai produsen ikan terbesar, diperkirakan juga menjadi konsumen terbesar dari hasil perikanan dunia. Perhatian utama dalam perikanan berkelanjutan adalah penekanan pada penangkapan ikan yang melebihi batas optimum lestari yang menyebabkan over fishing, membatasi penangkapan ikan yang merusak ekosistem lingkungan dengan memanfaatkan hukum dan kebijakan yang berlaku serta pengaturan kawasan lindung untuk pemulihan daerah yang sudah mengalami kelebihan tangkap (over fishing). Charles (2001) menyatakan proses pembangunan perikanan berkelanjutan dapat dilihat dari empat komponen dasar antara lain: 1) Keberlanjutan ekologi, memperhatikan data perkembangan hasil tangkapan ikan dan keseimbangan ekosistem untuk menghindari penipisan stok sumberdaya ikan; 2) Keberlanjutan sosial ekonomi, berfokus pada pertahanan atau peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi dalam jangka panjang; 3) Keberlanjutan komunitas, terfokus pada ide yang menyatakan bahwa perikanan berkelanjutan berjalan untuk pemenuhan kesejahteraan masyarakat dan seluruh warga negara; 4) Keberlanjutan kelembagaan, mengacu pada lembaga yang mengelola perikanan baik nelayan, pemerintah atau masyarakat.

3 13 Komponen keberlanjutan ini dapat dilihat seperti gambar segitiga keberlanjutan berikut: Keberlanjutan ekologi Keberlanjutan kelembagaan Keberlanjutan Sosial ekonomi Keberlanjutan masyarakat Gambar 2 Segitiga keberlanjutan. Hilborn (2005) membedakan tiga cara untuk mendefinisikan perikanan berkelanjutan: 1) Hasil penangkapan yang konstan dalam jangka panjang atau keadaan yang stabil dengan perubahan yang sangat kecil dari tahun ketahun menyatakan bahwa ekosistem alam tidak terganggu. Penangkapan pada nilai MSY menyatakan perikanan yang stabil. 2) Menjaga atau melestarikan stok perikanan antar generasi dengan memahami perubahan alam yang berkaitan dengan kegiatan yang merusak habitat atau pengurasan stok perikanan pada level tertentu. 3) Mempertahankan sistem biologi, sosial dan ekonomi dengan mempertimbangkan keseimbangan ekosistem manusia dan ekosistem laut. Apabila ekosistem lingkungan tidak mendukung untuk pertumbuhan spesies ikan maka proses keberlanjutan tidak akan berjalan. Tujuan menyeluruh dari pendekatan berbasis ekosistem untuk pengelolaan perikanan adalah untuk menjaga dan melestarikan struktur dan fungsi ekosistem laut dengan mengelola perikanan dan mempertimbangkan keterkaitan ekologis serta hubungan antara spesies dan lingkungan, termasuk menggunakan manusia dan nilai-nilai sosial (Garcia et al., 1989).

4 14 Populasi ikan dan komponen ekosistem lainnya dapat dipengaruhi oleh kegiatan perikanan seperti: penggunaan alat tangkap yang tidak selektif, polusi yang ditimbulkan oleh kapal, waktu penangkapan, lokasi penangkapan, by-catch dan metode perpindahan ikan secara alamiah. Penggunaan setiap jenis teknologi penangkapan ikan mulai dari yang sederhana hingga yang moderen sedikit atau banyak akan memberikan dampak negatif terhadap sumberdaya ikan dan lingkungan. Besarnya dampak yang ditimbulkan secara umum sangat tergantung dari 4 faktor (Purbayanto et al., 2010) antara lain: 1) Daya tangkap (fishing power), ditentukan oleh dimensi, metode pengoperasian, dan tingkat selektivitas dari alat tangkap tersebut, 2) Intensitas penangkapan, ditentukan oleh durasi atau frekuensi operasi penangkapan ikan yang dilakukan pada suatu perairan, 3) Bahan atau material dari komponen alat tangkap, dapat memberi dampak terhadap lingkungan sebagai contoh: penggunaan material sintesis yang tidak dapat didaur ulang secara alami (non-biodegradable material) dan penggunaan material dari bahan-bahan alami seperti batu karang dan kayu mangrove yang dapat mengganggu keseimbangan ekosistem pantai, 4) Lokasi pengoperasian alat tangkap ikan akan menentukan tingkat interaksi atau kontak alat tangkap dengan habitat perairan. Menurut Dahuri (2000), dalam pemanfaatan sumberdaya yang bersifat milik bersama (common property), keseimbangan jangka panjang dalam usaha perikanan tidak dapat dipertahankan, karena adanya peluang untuk meningkatkan keuntungan (access profit) bagi usaha penangkapan ikan, sehingga terjadi ekstensifikasi usaha secara besar-besaran, disertai masuknya pengusaha baru yang tergiur dengan nilai rente yang cukup besar tersebut. Pemanfaatan sumberdaya perikanan harus memperhatikan aspek sustainability, agar dapat memberikan manfaat yang sama, dimasa yang akan datang, yang tidak hanya terfokus pada masalah ekonomi, tetapi juga masalah lain seperti teknis, sosial dan budaya. Tingkat pemanfaatan sumberdaya optimal melalui pendekatan Maximum Sustainable Yield (MSY) dan Maximum Economic Yield (MEY). Pendekatan MSY akan memberikan hasil lestari secara fisik, namun demikian dalam praktek

5 15 pengelolaan sumberdaya perikanan, tingkat tangkapan MEY akan lebih baik, karena selain memberikan keuntungan secara ekonomi juga memberikan keuntungan secara ekologi, yang dapat mempertahankan diversitas yang besar. Pengelolaan sumberdaya perikanan umumnya didasarkan pada konsep hasil maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield) atau juga disebut dengan MSY. Konsep MSY berangkat dari model pertumbuhan biologis yang dikembangkan oleh seorang ahli biologi bernama Schaefer pada tahun Inti dari konsep ini adalah menjaga keseimbangan biologi dari sumberdaya ikan, agar dapat dimanfaatkan secara maksimum dalam waktu yang panjang. Pendekatan konsep ini berangkat dari dinamika suatu stok ikan yang dipengaruhi oleh 4 (empat) faktor utama, yaitu recruitment, pertumbuhan, mortalitas dan hasil tangkapan. Pengelolaan sumberdaya ikan seperti ini lebih berorientasi pada sumberdaya (resource oriented) yang lebih ditujukan untuk melestarikan sumberdaya dan memperoleh hasil tangkapan maksimum yang dapat dihasilkan dari sumberdaya tersebut. Dengan kata lain, pengelolaan seperti ini belum berorientasi pada perikanan secara keseluruhan (fisheries oriented), apalagi berorientasi pada manusia (social oriented). Pengelolaan sumberdaya ikan dengan menggunakan pendekatan Maximum Sustainable Yield telah mendapat tantangan yang cukup berat, terutama dari para ahli ekonomi yang berpendapat bahwa pencapaian yield yang maksimum pada dasarnya tidak mempunyai arti secara ekonomi. Hal ini berangkat dari adanya masalah diminishing return yang menunjukkan bahwa kenaikan yield akan berlangsung semakin lambat dengan adanya penambahan effort (Lawson, 1978). Pemikiran dengan memasukan unsur ekonomi didalam pengelolaan sumberdaya ikan, telah menghasilkan pendekatan baru yang dikenal dengan Maximum Economic Yield atau lebih popular dengan MEY. Pendekatan ini pada intinya adalah mencari titik yield dan effort yang mampu menghasilkan selisih maksimum antara total revenue dan total cost. Selanjutnya hasil kompromi dari kedua pendekatan diatas kemudian melahirkan konsep Optimum Sustainable Yield (OSY), sebagaimana dikemukakan oleh (Lawson, 1984). Secara umum konsep ini dimodifikasi dari konsep MSY, sehingga menjadi relevan baik dilihat dari sisi ekonomi, sosial, lingkungan dan faktor lainnya. Dengan demikian,

6 16 besaran dari OSY adalah lebih kecil dari MSY dan besaran dari konsep inilah yang kemudian dikenal dengan Total Allowable Catch (TAC). Konsep pendekatan ini mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan MSY, diantaranya adalah : 1) Berkurangnya resiko terjadinya deplesi dari stok ikan; 2) Jumlah tangkapan per unit effort akan menjadi semakin besar; 3) Fluktuasi TAC juga akan menjadi semakin kecil dari waktu ke waktu. Hasil pengkajian terakhir yang telah dilakukan terhadap sumberdaya ikan Indonesia, menunjukan bahwa jumlah potensi lestari adalah sebesar 6,409 juta ton ikan/tahun, dengan tingkat eksploitasi pada tahun terakhir mencapai angka 4,069 juta ton ikan/tahun (63,49%). Dengan demikian, masih ada cukup peluang untuk meningkatkan produksi perikanan nasional. Namun demikian, yang perlu diperhatikan adalah adanya beberapa zona penangkapan yang kondisi sumberdaya ikannya cukup memprihatinkan dan sudah melampaui potensi lestarinya (over fishing). 2.2 Sumberdaya Ikan Demersal Ikan demersal adalah ikan yang sebagian besar hidupnya berada pada lapisan yang lebih dalam hingga dasar perairan dan umumnya hidup secara soliter dalam lingkungan spesiesnya. Berdasarkan urutan nilai komersialnya, ikan demersal dapat dibagi menjadi empat kelompok utama, yaitu: 1) komersial utama, seperti: ikan kakap merah, kerapu, bawal putih, manyung dan janaha; 2) ikan komersial kedua, seperti: ikan layur, bawal hitam, kurisi, baronang, gerot-gerot, kuro, pari dan ketang-ketang; 3) komersial ketiga, seperti: ikan beloso, mata merah, pepetek, kuniran, besot, gabus laut, sidat dan lain lain; 4) ikan campuran, seperti: ikan lidah, sebelah, kapas-kapas, serinding dan lain-lain (Simbolon, 2011). Keberadaan sumberdaya ikan demersal dalam pembangunan kelautan mempunyai potensi yang cukup besar. Apabila potensi sumberdaya tersebut dimanfaatkan secara optimal maka akan memberikan kontribusi yang besar bagi peningkatan pendapatan nelayan maupun bagi pembangunan. Pada umumnya komoditas sumberdaya ikan demersal bernilai ekonomis penting. Kondisi tersebut menyebabkan peningkatan eksploitasi yang intensif pada wilayah tertentu, yang

7 17 apabila tidak dikendalikan dengan baik dapat mengancam kelestarian sumberdaya yang bersangkutan (Badrudin, 2006). Dari 9 wilayah pengelolaan sumberdaya ikan demersal, 5 wilayah pengelolaan telah mengalami kelebihan tangkap (over exploited) yaitu Selat Malaka, Laut Jawa, Laut Flores, Laut Banda, dan Samudera Hindia, 3 wilayah pengelolaan masih berada pada tangkapan rendah (under exploited) yaitu Laut China Selatan, Laut Seram dan Samudera Pasifik, dan satu wilayah tangkap penuh (fully exploited) yaitu Laut Arafuru. Sumberdaya ikan demersal Indonesia terdiri dari banyak jenis dan menyebar hampir diseluruh wilayah pengelolaan, namun produktiviktas berbeda menurut perairan. Di Laut Jawa (Badrudin at al., 1998 dalam Mallawa, 2006 ) misalnya terdapat kurang lebih 100 jenis ikan demersal ekonomis penting yang termasuk kedalam 20 famili. Jenis-jenis ikan tersebut antara lain : kakap merah/bambangan (Lutjanidae), manyung (Ariidae), gerot-gerot (Pomadasyidae), kurisi (Nemipteridae), beloso (Synodontidae), kuniran (Mullidae), layur (Trichiuridae), pepetek (Leiognathidae), dan bawal putih (Stromateidae) Ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) Ikan kakap merah memiliki klasifikasi sebagai berikut: Kingdom: Animalia, Filum: Chordata, Kelas: Actinopterygii, Ordo: Perciformes, Famili: Lutjanidae, Genus: Lutjanus dan Spesies: Lutjanus malabaricus. Ikan kakap merah hidup di laut dan lingkungan yang berasosiasi dengan terumbu karang dan biasanya mendiami perairan dengan kedalaman 9 90 m. Ciri-ciri fisik yang dimiliki antara lain: memiliki sirip punggung yang berjumlah 10 buah dengan duri lunak sirip punggung berjumlah buah, memiliki sirip dubur sebanyak 3 buah dengan duri lunak sirip dubur sebanyak 8-9 buah, hidung agak meruncing, profil bagian punggung dari kepala menurun tajam. Pada umumnya ikan kakap merah berwarna merah terang atau merah muda pada waktu segar dengan lebih intens pigmen pada bagian belakang, sirip merah atau orange, juvenile dibawah 10 cm memiliki ujung sirip caudal yang kehitaman, sering kali juga sebuah tanda kehitaman agak melengkung ditengah sirip caudal, kadang kala juga dengan garis lateral ditengah yang berwarna kekuningan mulai dari sisi operculum hingga bagian tengah sirip caudal. Biasanya hidup soliter atau

8 18 dalam kelompok kecil. Kakap merah merupakan ikan konsumsi dengan harga yang tinggi (Froese dan Paully, 2011) Ikan kakap putih (Lates calcarifer) Ikan kakap putih merupakan ikan yang mempunyai toleransi yang cukup besar terhadap kadar garam (euryhaline). Ikan kakap putih termasuk dalam Kingdom: Animalia, Filum: Chordata, Subfilum: Vertebrata, Kelas: Pisces, Subkelas: Teleostei, Ordo: Percomorphi, Famili: Centroponidae, Genus: Lates, Spesies: Lates calcarifer. Ikan kakap putih dewasa akan bermigrasi kearah muara untuk melakukan pemijahan. Ciri-ciri fisik ikan kakap putih yaitu memiliki sirip punggung sebanyak 7-9 buah dengan sirip punggung lunak sebanyak buah, memiliki sirip anus sebanyak 3 buah dengan sirip anus lunak sebanyak 7-8 buah dengan bentuk badan memanjang, mulut besar, rahang atas terdapat dibelakang mata Froese dan Pauly (2011) Ikan kerapu sunu (Plectropormus leopardus) Ikan kerapu sunu biasanya memakan jenis-jenis ikan, krustacea dan jenis cumi-cumi. Ikan ini memiliki klasifikasi sebagai berikut: Kingdom: Animalia Filum: Chordata, Kelas: Actinopterygii, Ordo: Perciformes, Famili: Serranidae, Genus: Plectropomus, Spesies: Plectropomus leopardus. Ikan ini memiliki panjang maksimum 120 cm dengan panjang yang umum ditemukan 35 cm dengan panjang at first maturity pada rentang cm. Ikan kerapu sunu biasanya hidup pada kedalaman m. Ciri-ciri yang dimiliki ikan ini antara lain: memiliki sirip punggung berjumlah 7-8 buah dengan sirip punggung lunak sebanyak buah, sirip dubur sebanyak 3 buah dengan dirip dubur lunak sebanyak 8 buah. Ikan ini berwarna kuning langsat sampai coklat kemerahan Froese dan Pauly (2011) Ikan kuwe (Caranx sexfasciatus) Ikan kuwe atau yang lebih dikenal dengan nama blue fin treavllyu termasuk ikan dasar dari golongan predator yang banyak ditemui pada daerah disekitar terumbu karang. Ikan kuwe memiliki klasifikasi sebagai berikut: Kingdom:

9 19 Animalia, Filum: Chordata, Kelas: Actinopterygii, Ordo: Perciformes, Subordo: Percoidei, Superfamili: Percoidea, Famili: Carangidae, Genus: Caranx, Spesies: Caranx sexfasciatus. Ikan ini memiliki panjang maksimum 120 cm dengan panjang umum 60 cm. Ikan kuwe hidup pada iklim 26 o C -29 o C. Ikan yang aktif mencari makan pada malam hari ini biasanya memakan jenis ikan dan krustacea. Ikan ini biasanya memiliki ciri-ciri fisik sebagai berikut: memiliki sirip punggung berjumlah 9 buah dengan sirip punggung lunak sebanyak buah, memiliki sirip dubur sebanyak 3 buah dengan sirip dubur lunak sebanyak buah. Tubuh berwarna-warni mulai dari hijau muda bagian punggung dan bagian bawah berwarna putih keperakan dengan sirip dada melengkung lancip Froese dan Pauly (2011). 2.3 Pengembangan Perikanan Pengembangan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi dibidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik (Bahari 1989 dalam Pulu, 2011). Pengembangan dapat diartikan sebagai suatu usaha perubahan dari suatu yang dinilai kurang baik menjadi sesuatu yang lebih baik atau dari suatu yang sudah baik menjadi lebih baik. Dengan kata lain pengembangan adalah suatu proses yang menuju pada suatu kemajuan. Pengembangan usaha perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi dibidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik. Prioritas kebijakan pengembangan perikanan khususnya untuk komoditas sumberdaya ikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dimasing-masing daerah akan berbeda-beda. Aspek yang harus dipenuhi dalam pengembangan suatu jenis teknologi penangkapan ikan antara lain: 1) jika ditinjau dari segi biologi tidak merusak dan mengganggu kelestarian sumberdaya; 2) secara teknis efektif digunakan; 3) secara sosial dapat diterima masyarakat dan nelayan dan; 4) secara ekonomi teknologi tersebut bersifat menguntungkan. Pengembangan jenis-jenis teknologi penangkapan ikan di Indonesia.

10 20 Aspek terbesar pada peningkatan produksi adalah kurangnya peningkatan teknologi, perluasan pasar dan biaya operasional yang tinggi, untuk itu diperlukan bantuan dari berbagai pihak untuk menyediakan modal usaha atau modal operasional yang meringankan nelayan dalam melaksanakan kegiatannya. Mengingat masih banyak lembaga keuangan yang membatasi kredit atau penyaluran modal bagi usaha bidang perikanan, terutama perikanan tangkap (Sparre dan Vanema 1999). Salah satu komponen pokok yang sensitif dan selalu menjadi ciri khas pada usaha perikanan tangkap skala kecil dan menengah adalah permasalahan permodalan. Permasalahan modal bukan disebabkan oleh tidak adanya lembaga keuangan dan kurangnya uang yang beredar, namun disebabkan sebagian besar lembaga keuangan di Indonesia kurang berminat pada kegiatan usaha perikanan, karena dianggap beresiko tinggi (high risk) mengingat hasil tangkapan nelayan tidak pasti. Lembaga keuangan pada umumnya menetapkan syarat agunan (collateral) yang sulit untuk dapat dipenuhi oleh pelaku usaha penangkapan ikan skala kecil untuk memperoleh pinjaman. Permasalahan dalam implementasi pengembangan armada perikanan tangkap dapat diklasifikasikan ke dalam dua bagian (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2001) yaitu: 1) Mikroteknis, yakni masalah yang muncul dan disebabkan oleh kondisi internal pengembangan armada perikanan tangkap, 2) Makro-struktural (kebijakan ekonomi makro yang kurang kondusif) yakni masalah yang muncul dan disebabkan oleh kondisi eksternal, baik ekonomimakro, politik, hukum, maupun kelembagaan. Masalah Mikroteknis meliputi : 1) Tingkat kemiskinan nelayan yang tinggi Masalah utama dalam bidang perikanan tangkap adalah tingkat kemiskinan nelayan. Hal ini terlihat dari kondisi wilayah pesisir yang identik dengan kekumuhan dan ketertinggalan. Kemiskinan struktural masyarakat pesisir yang terjadi, merupakan resultante dari berbagai masalah lainnya.

11 21 2) Rendahnya Produktivitas Dalam perikanan tangkap rendahnya produktivitas nelayan disebabkan karena tiga faktor utama, yakni sebagian besar nelayan masih merupakan nelayan tradisional dengan teknologi penangkapan yang tradisional pula, sehingga kapasitas tangkapnya rendah. Mereka memiliki berbagai keterbatasan, antara lain dalam hal pengetahuan, keterampilan, akses permodalan dan pasar serta telah terjadinya kerusakan ekosistem lingkungan laut, seperti kerusakan hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun (seagrass beds), yang merupakan habitat ikan dan organisme laut lainnya untuk memijah, mencari makan, atau membesarkan diri (nursery ground). Kerusakan lingkungan laut ini juga disebabkan oleh pencemaran, baik yang berasal dari kegiatan manusia di darat maupun di laut. 3) Gejala tangkap lebih Berkaitan dengan gejala tangkap lebih di beberapa kawasan, jenis stok sumberdaya perikanan yang telah mengalami tangkap lebih adalah udang (hampir mengalami tangkap lebih di seluruh perairan Indonesia, kecuali Laut Seram sampai Teluk Tomini, Laut Sulawesi, Samudera Pasifik, dan Samudera Hindia). Kondisi tersebut menjadi permasalahan tersendiri bagi pengelolaan sumberdaya perikanan Indonesia. Mengingat kemampuan nelayan-nelayan kita masih sangat terbatas sehingga sulit melakukan ekspansi penangkapan pada perairan ZEEI. 4) Rendahnya kemampuan penanganan dan pengolahan hasil perikanan. Diakui bahwa kemampuan teknologi pasca panen (penanganan dan pengolahan) produk perikanan sesuai dengan selera konsumen dan standarisasi mutu produk secara internasional (seperti HACCP, persyaratan sanitasi, dan lainnya) masih lemah. 5) Lemahnya kemampuan pemasaran produk perikanan Pemasaran komoditas perikanan Indonesia di pasar dalam negeri maupun ekspor, sebagian besar masih ditentukan oleh para pembeli/konsumen (buyer market). Hal ini mengakibatkan harga jual produk perikanan seringkali kurang menguntungkan pihak produsen (nelayan atau petani ikan). Ada dua faktor utama yang membuat pemasaran produk perikanan

12 22 Indonesia masih lemah. Pertama, karena lemahnya market intelligence yang meliputi penguasaan informasi tentang pesaing, segmen pasar, dan selera (preference) para konsumen. Kedua, belum memadainya prasarana dan sarana sistem transportasi dan komunikasi untuk mendukung distribusi atau penyampaian (delivery) produk perikanan dari produsen ke konsumen secara tepat waktu. 6) Tidak stabilnya harga-harga faktor produksi Panjangnya rantai pemasaran dalam proses pembelian faktor-faktor produksi berakibat pada besarnya beban harga yang harus dibayar nelayan. Selain itu, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang merupakan 60% dari biaya operasi penangkapan juga telah meningkatkan harga-harga kebutuhan nelayan. 7) Pengembangan teknologi, data dan informasi Keterbatasan teknologi informasi menyebabkan sumberdaya yang tersedia tidak dapat teridentifikasi secara memadai. Data dan informasi tentang perikanan masih tersebar dan belum tertata dengan baik dalam suatu sistem jaringan sehingga sulit mengaksesnya untuk menetapkan suatu kebijakan. Selain itu tingkat akurasi dan validasinya juga masih diragukan. Masalah Makro struktural yang meliputi : 1) Ekonomi makro yang belum kondusif bagi kemajuan perikanan Sebagai suatu sistem aquabisnis, keberhasilan perikanan tidak hanya ditentukan oleh tiga sub-sistem utamanya, yakni: (1) produksi, (2) pasca panen (penanganan dan pengolahan), dan (3) pemasaran; tetapi juga oleh sub-sistem penunjangnya yang meliputi: (1) sarana dan prasarana, (2) finansial/keuangan, (3) sumberdaya manusia dan IPTEKS, dan (4) hukum dan kelembagaan. Kebijakan pemerintah di ketujuh sub-sistem (bidang) aquabisnis perikanan dinilai secara umum belum mendukung kemajuan pembangunan perikanan, seperti kebijakan tentang kredit murah dan lunak yang belum ada, misalnya bunga sekitar 10% untuk mendukung usaha perikanan tangkap ataupun industri pengolahan dan tidak terpenuhinya investasi yang seharusnya dibutuhkan disektor perikanan tangkap dan sulitnya melakukan investasi.

13 23 2) Sistem hukum dan kelembagaan perikanan yang masih lemah Dari sisi peraturan dan perundang-undangan pada bidang perikanan, jika ditinjau dari segi materi peraturan dan perundang-undangan sudah relatif memadai, namun yang belum memadai adalah implementasinya. Untuk dapat menerapkan kebijakan pembangunan perikanan diperlukan instrumen hukum dan kelembagaan yang memadai. Kesepakatan pakar dan pengamat pembangunan perikanan dari dalam maupun luar negeri, bahwa implementasi dan penegakkan hukum (law enforcement) bidang perikanan di Indonesia dinilai masih lemah. Sanksi hukum bagi perusak lingkungan masih terlalu ringan, seperti bagi pengguna bahan-bahan peledak, bahan beracun (cyanida), dan juga aktivitas penangkapan ikan secara ilegal, penambangan karang untuk bahan bangunan, reklamasi pantai, kegiatan pariwisata yang kurang bertanggungjawab, dan seterusnya. Disisi lain, terjadi juga tumpang tindih (over lapping) kebijakan yang seringkali menimbulkan konflik kewenangan. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengelolaan wilayah-wilayah tersebut ditangani lebih dari satu departemen yang tentu saja memiliki kepentingan yang berbeda. Padahal hubungan ekologis, biologis dan ekonomi daerah pesisir, pantai, laut, sungai maupun danau saling terkait satu dengan lainnya. Adanya tumpang tindih juga dapat dilihat dari pemahaman yang sempit mengenai otonomi daerah, khususnya yang menyangkut kewenangan dalam pengelolaan wilayah laut, baik oleh sebagian aparat di daerah, nelayan maupun masyarakat luas. Hal ini menyebabkan terjadinya konflik antar nelayan dibeberapa daerah sehubungan dengan perebutan daerah penangkapan, dispute antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi, kabupaten atau kota, pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten atau kota, maupun antar pemerintah kabupaten atau kota. Apabila kondisi ini berlangsung terus maka pelaksanaan pembangunan perikanan tangkap sangat dimungkinkan akan mengalami hambatan.

14 Alat Penangkapan Teknologi penangkapan merupakan disiplin ilmu yang berkaitan dengan dengan studi pengembangan, serta penerapan berbagai ilmu-ilmu sains dan teknologi. Tujuannya adalah untuk mengoptimalkan baik hasil maupun operasi penangkapan. Disiplin ini didasari oleh penerapan riset dan pengembangan untuk tujuan praktisnya. Pengkajian atau pengukuran dari keberhasilannya maupun kegagalannya didasarkan pada derajat keuntungan maupun manfaat yang ditarik dari perikanan komersial, populasi bidang perikanan dan masyarakat. Hal-hal yang berkaitan langsung dengan penangkapan mencakup: kapal ikan, alat penangkap, berbagai peralatan bantu dan instrumentasi yang dipadukan membentuk unit operasi penangkapan dengan beragam desain dan bentukbentuknya yang spesifik sesuai dengan kekhusuan yang dikehendaki. Menurut Gunarso (1985), penyediaan tempat-tempat untuk bersembunyi maupun berlindung bagi ikan sebagai salah satu jenis pikatan yang telah lama dipraktekkan orang Bubu Martasuganda (2003) menyatakan bubu adalah alat tangkap yang umum dikenal dikalangan nelayan, yang berupa jebakan, dan bersifat pasif. Bubu sering juga disebut perangkap traps dan penghadang guiding barriers. Bubu memiliki bentuk, ukuran dan teknik pengoperasian yang beranekaragam. Menurut bentuk dan teknik operasionalnya Bubu dikategorikan menjadi 3 bagian, antara lain : 1) Bubu dasar (stationary fish pots) Ukuran bubu dasar bervariasi menurut besar kecilnya yang dibuat berdasarkan kebutuhan. Dalam operasional penangkapannya bisa tunggal (umumnya bubu berukuran besar), bisa ganda (umumnya bubu berukuran sedang atau kecil) yang dalam pengoperasiannya dirangkai dengan tali panjang yang pada jarak tertentu diikatkan bubu tersebut. Hasil tangkapan dengan bubu umumnya terdiri dari jenis-jenis ikan, udang, baronang, kerapu, kakap dan lainnya.

15 25 2) Bubu apung (floating fishpots) Tipe bubu apung berbeda dengan bubu dasar. Bubu apung dilengkapi dengan pelampung dari bambu yang penggunaannya diatur sedemikian rupa yaitu ada yang diletakkan tepat pada bagian atasnya atau kurang lebih demikian. Sementara itu kadang-kadang digantungkan pada rakit bambu. Rakit bambu tersebut dilabuh melalui tali panjang dan dihubungkan dengan jangkar. Panjang tali yang digunakan biasanya 1,5 kali dari kedalaman perairan. Berbeda dengan bubu dasar, hasil tangkapan bubu apung adalah ikan-ikan pelagis. 3) Bubu hanyut (drifting fishpots) Disebut bubu hanyut karena dalam operasional penangkapannya, bubu dihanyutkan. Bubu hanyut yang terkenal adalah Pakaja. Operasionalnya dilakukan sebagai berikut : Pada sekeliling mulut pakaja diikatkan rumput laut kemudian pakaja disusur kedalam kelompok yang satu dengan yang lain berhubungan melalui tali penonda (drifting line). Bubu merupakan alat penangkapan yang efektif digunakan di perairan terumbu karang. Alat tangkap ini sangat membantu nelayan bermodal kecil karena biaya pembuatannya relatif murah dan mudah dalam pengoperasiannya (Ismail dan Nuraini, 1983). Imai (2001) menyatakan bahwa bubu dapat digunakan untuk menangkap ikan hias maupun ikan yang hidup di karang lainnya. Kelemahan bubu konvensional adalah pemasangannya biasa menggunakan karang sebagai jangkar penahan sehingga merusak karang. Ikan baru dapat dipanen setelah bubu diletakkan selama satu malam atau lebih. Untuk mengetahui berapa ikan yang telah terperangkap, nelayan harus mengangkat bubu ke permukaan atau nelayan menyelam. Keuntungan bubu adalah ikan tertangkap dalam kondisi hidup dan hanya ikan-ikan jenis tertentu saja yang tertangkap (tergantung ukuran pintu dan ukuran mess size). Irawaty (2002) menyatakan, bubu merupakan salah satu alat tangkap yang bersifat pasif dan digunakan untuk menangkap ikan karang salah satunya adalah kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus). Bubu memiliki pintu masuk yang berbentuk corong yang memungkinkan ikan mudah masuk tetapi akan sulit keluar

16 26 (non return device). Bubu memiliki dinding dengan ukuran mata yang relatif kecil sehingga memungkinkan ikan kecil yang belum memiliki nilai ekonomi tinggi akan tertangkap dan tidak dapat meloloskan diri Pancing Pancing merupakan alat tangkap yang paling umum dikenal, pada prinsipnya pancing terdiri dari komponen utama yaitu: tali (line) dan mata pancing (hook). Tali pancing dapat terbuat dari bahan benang katun, nilon, polyethylen, plastik (senar) dan lain-lain. Mata pancing terbuat dari: kawat, baja, kuningan atau bahan lain yang tahan karat. Mata pancing tersebut umumnya berkait balik, namun ada juga yang tanpa kait balik. Jumlah mata pancing yang terdapat pada tiap perangkat bisa tunggal maupun ganda tergantung dari jenis pancingnya. Sedangkan ukuran mata pancing bervariasi disesuaikan dengan ukuran ikan yang akan ditangkap (Subani dan Barus, 1989). Berdasarkan cara pengoperasinnya pancing dapat ditarik dibelakang kapal yang sedang berjalan, penangkapan dapat dilakukan pada lapisan permukaan air, pertengahan dan dasar perairan. Dapat dioperasikan pada siang dan malam hari dan dapat digunakan sepanjang tahun tanpa mengenal musim. Baskoro (2006) menyatakan dalam pengoperasiannya alat tangkap pancing bisa dipasang menetap pada suatu perairan, ditarik dari dalam perahu/kapal yang sedang dalam keadaan berjalan, dihanyutkan maupun langsung diulur/ditarik dengan tangan. Banyak jenis dari alat tangkap pancing mulai dari bentuk yang sederhana, misalnya yang digunakan untuk kesenangan semata, sampai dalam bentuk ukuran skala besar yang digunakan untuk perikanan industri. Bentuk mata pancing yang baik untuk perairan karang berdasarkan percobaan di Maldves adalah jenis circlehooks atau bentuk G. Bentuk seperti ini diperlukan untuk menghindari agar mata pancing tidak mudah tersangkut pada batu karang (FAO, 1982 dalam Baskoro et al., 2011). Menurut (Gabriel at al., 2005) penomoran mata pancing diberikan nomor 1 sampai dengan nomor 20. Semakin besar ukuran mata pancing maka semakin kecil nomor yang diberikan. Penomoran mata pancing secara baku berdasarkan lebar celah (gap) dan diameter batang (wire).

17 27 Penomoran mata pancing menurut (Prado 1990 dalam Baskoro at al., 2011) dibedakan berdasarkan tipe mata pancing, yang ditentukan oleh penampang shank pancing tersebut. Untuk shank berpenampang bulat disebut dengan tipe regular hooks. Pada tipe ini nomor mata pancing semakin kecil maka ukuran mata pancing semakin beasar. Sedangkan untuk tipe forget adalah mata pancing berpenampang shank bulat memanjang. Untuk jenis ini semakin kecil nomor maka ukuran pancing juga semakin kecil. 2.5 Metode Surplus Produksi Metode surplus produksi berhubungan dengan seluruh stok, seluruh upaya penangkapan dan total hasil tangkapan yang diperoleh dari stok, tanpa memasukkan parameter pertumbuhan dan kematian atau efek ukuran mess size pada umur ikan yang tertangkap dan sebagainya. Model surplus produksi diperkenalkan oleh Graham pada tahun 1935, akan tetapi model-model surplus produksi sering disebut model Schaefer (Sparre dan Vanema 1999). Tujuan penggunaan model surplus produksi adalah untuk menentukan tingkat upaya optimum, yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan tangkapan maksimum yang lestari tanpa mempengaruhi produktiifitas stok secara jangka panjang yang biasa disebut hasil tangkapan maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield /MSY). Gulland 1983, diacu dalam Ghandi (2010) menguraikan bahwa Maximum Sustainable Yield (MSY) adalah hasil tangkapan berimbang yang dapat dipertahankan sepanjang masa pada suatu intensitas penangkapan tertentu yang mengakibatkan biomassa sediaan ikan pada akhir suatu periode tertentu sama dengan sediaan biomassa pada permulaan periode tertentu tersebut. Maximum Sustainable Yield (MSY) mencakup tiga hal penting, yaitu memaksimalkan kuantitas beberapa komponen perikanan, memastikan bahwa kuantitas-kuantitas tersebut dapat dipertahankan dari waktu kewaktu dan besarnya hasil tangkapan merupakan alat ukur yang layak untuk menunjukkan keadaan perikanan. Parameter populasi yang disebut produksi merupakan pertambahan biomassa suatu stok ikan dalam waktu tertentu pada suatu wilayah. Jika kuantitas biomassa yang diambil melalui kegiatan perikanan persis sama dengan surplus

18 28 produksi, ini berarti perikanan tersebut berada dalam keadaan equilibrium atau seimbang. Upaya penangkapan harus mengalami perubahan substansial selama waktu yang dicakup (Sparre dan Vanema 1999). Asumsi yang digunakan dalam model surplus produksi adalah: 1) Stok ikan dianggap sebagai unit tunggal tanpa memperhatikan struktur populasinya, 2) Penyebaran ikan pada setiap periode dalam wilayah perairan dianggap merata 3) Stok ikan dalam keadaan seimbang (steady state) 4) Masing-masing unit penangkapan ikan memiliki kemampuan yang sama untuk menangkap ikan. Metode surplus produksi terdiri dari model Schaefer dan Fox, menurut Spaerre dan Vanema (1999) tidak dapat dibuktikan kalau salah satu model tersebut lebih baik dari model yang lainnya. Langkah-langkah dalam metode surplus produksi adalah: 1) Tabulasi hasil tangkapan dan upaya penanfkapan (effort) dan kemudian dihitung nilai CPUE 2) Pengeplotan nilai effort (f) terhadap nilai CPUE (c/f) dan menduga nilai intercept (a) dan slope (b) dengan regresi linier Y= a+bx 3) Pendugaan potensi lestari (MSY) 2.6 Pertumbuhan Ikan Pertumbuhan secara umum adalah pertambahan ukuran panjang atau berat dalam suatu waktu yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pertumbuhan dalam individu adalah pertambahan jaringan akibat dari pembelahan sel secara mitosis. Hal ini terjadi apabila ada kelebihan input energi dan asam amino (protein) yang berasal dari makanan. Bahan makanan yang masuk ke dalam tubuh akan digunakan oleh tubuh untuk metabolisme dasar, pergerakan, produksi organ seksual, perawatan bagian-bagian tubuh atau mengganti sel-sel yang tidak terpakai (Effendie, 1997).

19 29 Lebih lanjut Effendi (1997) menyatakan bahwa pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor dalam (keturunan, sex, umur, parasit dan penyakit) dan faktor luar (makanan, suhu perairan dan faktor-faktor kimia), 1) Keturunan Faktor keturunan dapat dikontrol dengan mengadakan seleksi untuk mencari ikan yang memiliki pertumbuhan paling baik untuk dijadikan sebagai induk sehingga akan menghasilkan keturunan yang baik juga berbeda jika kondisi ikan hidup di alam maka faktor keturunan tidak dapat dikontrol. 2) Sex Faktor ini tidak dapat dikontrol karena ada ikan betina yang memiliki pertumbuhan yang lebih baik dari ikan jantan atau sebaliknya, ada pula spesies ikan yang tidak memiliki perbedaan pertumbuhan antara ikan betina dan jantan. 3) Umur Umur sangat berperan pada pertumbuhan dimana pertumbuhan cepat terjadi pada ikan berumur 3-5 tahun. Pada ikan tua walaupun pertumbuhan terus terjadi tetapi akan berjalan sangat lambat karena sebagian besar makanan digunakan untuk pemeliharaan tubuh dan pergerakan. Tercapainya kematangan gonad untuk pertama kalinya menjadikan pertumbuhan menjadi sangat lambat, sebagian dari makanan tertuju untuk perkembangan gonad. 4) Parasit dan penyakit Dalam pertumbuhan parasit dan penyakit juga mempengaruhi terutama jika menyerang alat pencernaan makanan atau organ lain yang vital sehingga efisiensi berkurang karena kekurangan makanan yang berguna untuk pertumbuhan, namun sebaliknya pada ikan yang diserang oleh parasit yang tidak begitu hebat menyebabkan pertumbuhan ikan tersebut lebih baik dari pada ikan yang tidak diserang parasit, hal ini terjadi karena ikan lebih banyak mengambil makanan dari biasanya sehingga terdapat kelebihan makanan untuk pertumuhan. 5) Makanan Makanan yang berlebih akan menyebabkan pertumbuhan lebih pesat. Terlalu banyak individu dalam suatu perairan akan menyebabkan kompetisi terhadap makanan sehingga dalam suatu keturunan ditemukan ikan dengan ukuran yang bervariasi.

20 30 6) Suhu perairan Pada daerah yang bermusin empat dapat ditemukan suhu perairan yang turun di bawah 10 o C maka ikan perairan panas yang berada di daerah tersebut akan berhenti mengambil makanan atau mengambil makan hanya sedikit saja untuk keperluan mempertahankan kondisi tubuh. Apabila ada ikan pada daerah tropik dapat mencapai 30 cm dengan berat > 1kg dalam 1 tahun maka ikan yang sama spesiesnya di daerah bermusim empat ukuran tersebut dapat dicapai pada waktu dua atau tiga tahun. 7) Faktor-faktor kimia Pertumbuhan juga dipengaruhi faktor-faktor kimia seperti oksigen, karbon dioksida, hidrogen, sulfida, keasaman dan alkalinitas. Dalam keadaan ekstrim faktor-faktor tersebut memberikan pengaruh yang sangat hebat terhadap makanan sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan, misalnya di bagian dasar suatu perairan terdapat hidrogen sulfida dan methana sehingga banyak ikan akan lari kepermukaan, karena ruang gerak semakin sempit akan terjadi kompetisi terhadap makanan sehingga menyebabkan pertumbuhan terganggu. Pada hubungan panjang-berat maka berat dapat dianggap sebagai fungsi dari panjang. Harga n atau b ialah harga pangkat yang harus cocok dengan panjang ikan agar sesuai dengan berat ikan menurut Carlander, 1969 dalam Effendie (1997) bahwa harga eksponen ini telah diketahui dari 398 populasi ikan berkisar 1,2-4,0, namun kebanyakan berkisar 2,4-3,5. Bilamana harga n atau b sama dengan 3 menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan tidak berubah bentuknya atau dengan kata lain pertambahan panjang ikan seimbang dengan pertambahan beratnya atau sering disebut dengan istilah pertumbuhan isometrik. Sedangkan apabila harga n atau b lebih kecil dari 3 dinamakan pertumbuhan allometrik negatif yang artinya suatu keadaan ikan yang mana pertambahan panjang lebih cepat dari pertambahan beratnya, jika sebaliknya harga n atau b lebih besar dari 3 maka dinamakan pertumbuhan allometrik positif yang artinya ikan tersebut montok atau pertambahan berat lebih cepat dari pertambahan panjangnya.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permintaan ikan yang meningkat memiliki makna positif bagi pengembangan perikanan, terlebih bagi negara kepulauan seperti Indonesia yang memiliki potensi perairan yang

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis). 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Kuniran 2.1.1 Klasifikasi Ikan Kuniran Upeneus moluccensis, Bleeker 1855 Dalam kaitan dengan keperluan pengkajian stok sumberdaya ikan, kemampuan untuk mengidentifikasi spesies

Lebih terperinci

PEMANFAATAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN DEMERSAL DI SIBOLGA PROVINSI SUMATERA UTARA IRNAWATI SINAGA

PEMANFAATAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN DEMERSAL DI SIBOLGA PROVINSI SUMATERA UTARA IRNAWATI SINAGA PEMANFAATAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN DEMERSAL DI SIBOLGA PROVINSI SUMATERA UTARA IRNAWATI SINAGA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. Gambar 3 Peta lokasi penelitian.

3 METODOLOGI. Gambar 3 Peta lokasi penelitian. 31 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan data untuk kebutuhan penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2011 hingga Mei 2011 bertempat di Sibolga Propinsi Sumatera Utara (Gambar 3).

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Analisis Komparasi

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Analisis Komparasi 6 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Analisis Komparasi Kabupaten Klungkung, kecamatan Nusa Penida terdapat 16 desa yang mempunyai potensi baik sekali untuk dikembangkan, terutama nusa Lembongan dan Jungutbatu. Kabupaten

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) dan berdasarkan habitatnya di laut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan 6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan Daerah penangkapan ikan kakap (Lutjanus sp.) oleh nelayan di Kabupaten Kupang tersebar diberbagai lokasi jalur penangkapan.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rajungan (Portunus pelagicus) Menurut www.zipcodezoo.com klasifikasi dari rajungan adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Malacostrata Ordo : Decapoda

Lebih terperinci

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5.1 Pendahuluan Pemanfaatan yang lestari adalah pemanfaatan sumberdaya perikanan pada kondisi yang berimbang, yaitu tingkat pemanfaatannya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini menyebabkan terumbu karang memilki spesies yang amat beragam. Terumbu karang menempati areal

Lebih terperinci

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974).

spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). 7 spesies yaitu ikan kembung lelaki atau banyar (Rastrelliger kanagurta) dan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma)(sujastani 1974). Ikan kembung lelaki terdiri atas ikan-ikan jantan dan betina, dengan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi perikanan Indonesia diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2005 telah mencapai 4,408 juta ton, dan tahun 2006 tercatat

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jenis Hasil Tangkapan Hasil tangkapan pancing ulur selama penelitian terdiri dari 11 famili, 12 genus dengan total 14 jenis ikan yang tertangkap (Lampiran 6). Sebanyak 6

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR 1 PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR (Trichiurus sp.) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA BARAT Adnan Sharif, Silfia Syakila, Widya Dharma Lubayasari Departemen Manajemen Sumberdaya

Lebih terperinci

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4.1 Kondisi Alat Tangkap dan Armada Penangkapan Ikan merupakan komoditas penting bagi sebagian besar penduduk Asia, termasuk Indonesia karena alasan budaya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 25 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi umum perairan Teluk Banten Perairan Karangantu berada di sekitar Teluk Banten yang secara geografis terletak pada 5 0 49 45 LS sampai dengan 6 0 02

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN Hasil analisis LGP sebagai solusi permasalahan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan tangkap memiliki peran penting dalam penyediaan pangan, kesempatan kerja, perdagangan dan kesejahteraan serta rekreasi bagi sebagian penduduk Indonesia (Noviyanti

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran Klasifikasi dan tata nama

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran Klasifikasi dan tata nama 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Kuniran 2.1.1. Klasifikasi dan tata nama Menurut www.fishbase.org (2010) taksonomi ikan kuniran (Gambar 2) dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum

Lebih terperinci

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 2 ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prospek pasar perikanan dunia sangat menjanjikan, hal ini terlihat dari kecenderungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat I. PENDAHULUAN Waduk merupakan salah satu bentuk perairan menggenang yang dibuat dengan cara membendung aliran sungai sehingga aliran air sungai menjadi terhalang (Thohir, 1985). Wibowo (2004) menyatakan

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi 93 6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu Unit penangkapan bagan yang dioperasikan nelayan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar berukuran panjang lebar tinggi adalah 21 2,10 1,8 m, jika dibandingkan

Lebih terperinci

VI. ANALISIS BIOEKONOMI

VI. ANALISIS BIOEKONOMI 111 VI. ANALISIS BIOEKONOMI 6.1 Sumberdaya Perikanan Pelagis 6.1.1 Produksi dan Upaya Penangkapan Data produksi yang digunakan dalam perhitungan analisis bioekonomi adalah seluruh produksi ikan yang ditangkap

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian. 14 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di PPI Labuan, Provinsi Banten. Ikan contoh yang diperoleh dari PPI Labuan merupakan hasil tangkapan nelayan disekitar perairan Selat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang bersifat terbarukan (renewable). Disamping itu sifat open access atau common property yang artinya pemanfaatan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Malaysia, ZEE Indonesia India, di sebalah barat berbatasan dengan Kab. Pidie-

PENDAHULUAN. Malaysia, ZEE Indonesia India, di sebalah barat berbatasan dengan Kab. Pidie- PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah Pengelolaan Perikanan 571 meliputi wilayah perairan Selat Malaka dan Laut Andaman. Secara administrasi WPP 571 di sebelah utara berbatasan dengan batas terluar ZEE Indonesia

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Kepulauan Selayar merupakan wilayah yang memiliki ciri khas kehidupan pesisir dengan segenap potensi baharinya seperti terumbu karang tropis yang terdapat di

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Partisipatif Daerah Penangkapan Ikan kurisi dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Kapal dengan alat tangkap cantrang memiliki

Lebih terperinci

6 STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT CIREBON

6 STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT CIREBON 6 STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT CIREBON Pada dasarnya pengelolaan perikanan tangkap bertujuan untuk mewujudkan usaha perikanan tangkap yang berkelanjutan. Untuk itu, laju

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA Prosiding Seminar Antarabangsa Ke 8: Ekologi, Habitat Manusia dan Perubahan Persekitaran 2015 7 POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN

Lebih terperinci

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac.

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac. KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta rinda@ut.ac.id ABSTRAK Aktivitas usaha perikanan tangkap umumnya tumbuh dikawasan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan pembangunan terpusat seperti pada era lalu dianggap tidak akan mampu lagi mengikuti dinamika masyarakat dan perubahan eksternal yang berkembang semakin cepat,

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut memiliki sifat spesifik, yakni akses terbuka (open access). Sumberdaya perikanan juga bersifat kepemilikan bersama (common property). Semua individu

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan 2.2 Komoditas Hasil Tangkapan Unggulan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan 2.2 Komoditas Hasil Tangkapan Unggulan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan Pengembangan merupakan suatu istilah yang berarti suatu usaha perubahan dari suatu yang nilai kurang kepada sesuatu yang nilai baik. Menurut

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan subsektor perikanan tangkap semakin penting dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor perikanan dalam PDB kelompok pertanian tahun

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan layur (Trichiurus lepturus) (Sumber :

2. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Ikan layur (Trichiurus lepturus) (Sumber : 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Layur (Tricihurus lepturus) Layur (Trichiurus spp.) merupakan ikan laut yang mudah dikenal dari bentuknya yang panjang dan ramping. Ikan ini tersebar di banyak perairan dunia.

Lebih terperinci

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

Gambar 7. Peta kawasan perairan Teluk Banten dan letak fishing ground rajungan oleh nelayan Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu 24 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Juni 2012 yang meliputi: observasi lapang, wawancara, dan pengumpulan data sekuder dari Dinas

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap Definisi perikanan tangkap Permasalahan perikanan tangkap di Indonesia

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap Definisi perikanan tangkap Permasalahan perikanan tangkap di Indonesia 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap 2.1.1 Definisi perikanan tangkap Penangkapan ikan berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 45 Tahun 2009 didefinisikan sebagai kegiatan untuk memperoleh

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian

3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Peralatan 3.3 Metode Penelitian 21 3. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan dan pengumpulan data di lapangan dilakukan pada Bulan Maret sampai dengan April 2009. Penelitian dilakukan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata kedalaman

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemerintah Indonesia dalam amanat Undang-Undang No 31/2004 diberikan tanggungjawab menetapkan pengelolaan sumberdaya alam Indonesia untuk kepentingan seluruh masyarakat

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 2.2. Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan 2.2. Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pengelolaan perikanan adalah proses terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi

Lebih terperinci

9.1 Pola pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan demersal yang berkelanjutan di Kota Tegal

9.1 Pola pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan demersal yang berkelanjutan di Kota Tegal 9 PEMBAHASAN UMUM Aktivitas perikanan tangkap cenderung mengikuti aturan pengembangan umum (common development pattern), yaitu seiring dengan ditemukannya sumberdaya perikanan, pada awalnya stok sumberdaya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luas terumbu karang Indonesia kurang lebih 50.000 km 2. Ekosistem tersebut berada di wilayah pesisir dan lautan di seluruh perairan Indonesia. Potensi lestari sumberdaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian mengenai dinamika stok ikan peperek (Leiognathus spp.) dilaksanakan di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Terisi Menurut Richardson (1846) (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut :

2. TINJAUAN PUSTAKA Ikan Terisi Menurut Richardson (1846)  (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut : 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ikan Terisi Menurut Richardson (1846) www.fishbase.org (2010) klasifikasi ikan terisi (Gambar 2) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Chordata Subfilum : Vertebrata

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Pengertian Kebijakan

BAB 1 PENDAHULUAN Pengertian Kebijakan BAB 1 PENDAHULUAN Secara umum, analisis kebijakan menghasilkan pengetahuan mengenai dan dipahami sebagai proses untuk dalam proses kebijakan yang bertujuan untuk menyediakan para pengambil keputusan berupa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah penangkapan ikan merupakan wilayah perairan tempat berkumpulnya ikan, dimana alat tangkap dapat dioperasikan sesuai teknis untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR

5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR 5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR 5.1 Sumberdaya Ikan Sumberdaya ikan (SDI) digolongkan oleh Mallawa (2006) ke dalam dua kategori, yaitu SDI konsumsi dan SDI non konsumsi. Sumberdaya ikan konsumsi

Lebih terperinci

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004).

Gambar 5 Peta daerah penangkapan ikan kurisi (Sumber: Dikutip dari Dinas Hidro Oseanografi 2004). 24 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2011 sampai dengan bulan Oktober 2011. Lokasi penelitian berada di Selat Sunda, sedangkan pengumpulan data dilakukan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Menurut klasifikasi Bleeker, sistematika ikan selanget (Gambar 1) adalah sebagai berikut (www.aseanbiodiversity.org) :

Lebih terperinci

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA 73 VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA Pengelolaan ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kecamatan Kayoa saat ini baru merupakan isu-isu pengelolaan oleh pemerintah daerah, baik

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknologi Penangkapan 2.2 Alat Tangkap Perangkap ( Traps

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknologi Penangkapan 2.2 Alat Tangkap Perangkap ( Traps 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Teknologi Penangkapan Teknologi penangkapan ikan yang akan dikembangkan setidaknya harus memenuhi empat aspek pengkajian bio-techniko-socio-economic-approach yaitu: (1) Bila ditinjau

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Produktivitas 2.2 Musim

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Produktivitas 2.2 Musim 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Produktivitas Secara umum produktivitas diartikan sebagai hubungan antara hasil yang diperoleh secara nyata maupun fisik dengan masukan yang sebenarnya. Artinya produktivitas sama

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1. 1.Kondisi umum Perairan Utara Jawa Perairan Utara Jawa dulu merupakan salah satu wilayah perikanan yang produktif dan memilki populasi penduduk yang padat. Panjang

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam pesisir merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati (biotik) dan komponen nir-hayati (abiotik) yang dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T No.714, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN KP. Larangan. Pengeluaran. Ikan. Ke Luar. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/PERMEN-KP/2014 TENTANG LARANGAN

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 6 0'0"S 6 0'0"S 6 0'0"S 5 55'0"S 5 50'0"S 28 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada Maret 2011. Penelitian dilakukan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Karangantu

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di beberapa negara, telah mendorong meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu. Meningkatnya

Lebih terperinci

3 HASIL DAN PEMBAHASAN

3 HASIL DAN PEMBAHASAN 9 dan MSY adalah: Keterangan : a : Perpotongan (intersept) b : Kemiringan (slope) e : Exponen Ct : Jumlah tangkapan Ft : Upaya tangkap (26) Model yang akan digunakan adalah model yang memiliki nilai korelasi

Lebih terperinci

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap Kabupaten Cilacap sebagai kabupaten terluas di Provinsi Jawa Tengah serta memiliki wilayah geografis berupa

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN

PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN PENDUGAAN STOK IKAN TONGKOL DI SELAT MAKASSAR SULAWESI SELATAN Edy H.P. Melmambessy Staf Pengajar Univ. Musamus-Merauke, e-mail : edymelmambessy@yahoo.co.id ABSTRAK Ikan tongkol termasuk dalam golongan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) merupakan salah satu provinsi yang masih relatif muda. Perjuangan keras Babel untuk menjadi provinsi yang telah dirintis sejak

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Lele Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Filum: Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies :

Lebih terperinci

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing).

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing). I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi sumberdaya perikanan di Indonesia cukup besar, baik sumberdaya perikanan tangkap maupun budidaya. Sumberdaya perikanan tersebut merupakan salah satu aset nasional

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun memiliki hak yang sama untuk mengambil atau mengeksploitasi sumberdaya didalamnya. Nelayan menangkap

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun

1. PENDAHULUAN. Tabel 1. Volume dan nilai produksi ikan lemuru Indonesia, tahun Tahun 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ikan lemuru merupakan salah satu komoditas perikanan yang cukup penting. Berdasarkan data statistik perikanan Indonesia tercatat bahwa volume tangkapan produksi ikan lemuru

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan

5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan 50 5 PEMBAHASAN 5.1 Komposisi Hasil Tangkapan Kegiatan penangkapan ikan oleh nelayan bubu di Kecamatan Mempawah Hilir, Kabupaten Pontianak ditujukan untuk menangkap ikan kakap merah (Lutjanus sanguineus),

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah

Lebih terperinci

3 KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Upaya Penangkapan

3 KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Upaya Penangkapan 3 KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Upaya Penangkapan Optimalisasi upaya penangkapan udang sesuai potensi lestari di Delta Mahakam dan sekitarnya perlu dilakukan. Kebijakan dan program yang bertalian dengan upaya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. besar maupun sedikit. Di perairan Indo-Pasifik terdapat 3 spesies ikan Kembung

TINJAUAN PUSTAKA. besar maupun sedikit. Di perairan Indo-Pasifik terdapat 3 spesies ikan Kembung TINJAUAN PUSTAKA Ikan Kembung (Rastrelliger spp.) Ikan Kembung merupakan salah satu ikan pelagis yang sangat potensial di Indonesia dan hampir seluruh perairan Indonesia ikan ini tertangkap dalam jumlah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. mata jaring ke arah panjang atau ke arah horizontal (mesh length) jauh lebih

TINJAUAN PUSTAKA. mata jaring ke arah panjang atau ke arah horizontal (mesh length) jauh lebih TINJAUAN PUSTAKA Alat Tangkap Jaring Insang (Gill net) Jaring insang (gill net) yang umum berlaku di Indonesia adalah salah satu jenis alat penangkapan ikan dari bahan jaring yang bentuknya empat persegi

Lebih terperinci

FLUKTUASI HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DENGAN ALAT TANGKAP JARING INSANG HANYUT (DRIFT GILLNET) DI PERAIRAN DUMAI, PROVINSI RIAU

FLUKTUASI HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DENGAN ALAT TANGKAP JARING INSANG HANYUT (DRIFT GILLNET) DI PERAIRAN DUMAI, PROVINSI RIAU FLUKTUASI HASIL TANGKAPAN IKAN PELAGIS DENGAN ALAT TANGKAP JARING INSANG HANYUT (DRIFT GILLNET) DI PERAIRAN DUMAI, PROVINSI RIAU Helisha Damayanti 1), Arthur Brown 2), T. Ersti Yulika Sari 3) Email : helishadamayanti@gmail.com

Lebih terperinci

Potensi Lestari Ikan Kakap di Perairan Kabupaten Sambas

Potensi Lestari Ikan Kakap di Perairan Kabupaten Sambas Vokasi Volume 9, Nomor 1, Februari 2013 ISSN 1693 9085 hal 1-10 Potensi Lestari Ikan Kakap di Perairan Kabupaten Sambas LA BAHARUDIN Jurusan Ilmu Kelautan dan Perikanan, Politeknik Negeri Pontianak, Jalan

Lebih terperinci

PENGANTAR ILMU PERIKANAN. Riza Rahman Hakim, S.Pi

PENGANTAR ILMU PERIKANAN. Riza Rahman Hakim, S.Pi PENGANTAR ILMU PERIKANAN Riza Rahman Hakim, S.Pi Bumi Yang Biru begitu Kecilnya dibandingkan Matahari Bumi, Planet Biru di antara Planet lain The Blue Planet 72 % Ocean and 28 % Land Laut Dalam Al Qur

Lebih terperinci

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang

5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang 5.5 Status dan Tingkat Keseimbangan Upaya Penangkapan Udang Pemanfaatan sumberdaya perikanan secara lestari perlu dilakukan, guna sustainability spesies tertentu, stok yang ada harus lestari walaupun rekrutmen

Lebih terperinci

Ikan kakap putih (Lates calcarifer, Bloch 1790) Bagian 1: Induk

Ikan kakap putih (Lates calcarifer, Bloch 1790) Bagian 1: Induk Standar Nasional Indonesia ICS 65.150 Ikan kakap putih (Lates calcarifer, Bloch 1790) Bagian 1: Induk Badan Standardisasi Nasional BSN 2014 Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang mengumumkan dan

Lebih terperinci

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang 4.1.1 Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang Produksi ikan terbang (IT) di daerah ini dihasilkan dari beberapa kabupaten yang

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001).

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001). I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian mencakup kegiatan usahatani perkebunan, perhutanan, peternakan, dan perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan ragam. Dari sakala

Lebih terperinci