PEMANFAATAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN DEMERSAL DI SIBOLGA PROVINSI SUMATERA UTARA IRNAWATI SINAGA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMANFAATAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN DEMERSAL DI SIBOLGA PROVINSI SUMATERA UTARA IRNAWATI SINAGA"

Transkripsi

1 PEMANFAATAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN DEMERSAL DI SIBOLGA PROVINSI SUMATERA UTARA IRNAWATI SINAGA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pemanfaatan dan Strategi Pengembangan Perikanan Demersal di Sibolga Provinsi Sumatera Utara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Oktober 2012 Irnawati Sinaga C

4

5 ABSTRACT IRNAWATI SINAGA. The Utilization and Development Strategy of Demersal Fisheries in Sibolga, North Sumatera Province. Under direction of ARI PURBAYANTO and AM AZBAS TAURUSMAN. Demersal fish spend most of their life cycle in deeper sea column down to sea bottom. There were two main fishing gears that employed for demersal fishing in Sibolga namely trap and handline. The objectives of this study are to estimate utilization level of demersal fish resource, to identify the demersal fish size caught by traps and hand lines, to determine growth pattern of fish caught by traps and hand lines and to determine strategy for sustainable management of demersal fisheries in the study area. This study was conducted in Sibolga from December 2011 to May 2012 using survey method. Data were analyzed by means of surplus production model, length-weight relationships, and SWOT (Strengths, Weakness, Opportunities and Threats) to formulate strategies for sustainable demersal fisheries management in Sibolga. There were four dominant and most valuable economic demersal spesies caught in Sibolga: red snapper (Lutjanus malabaricus), white snapper (Lates calcarifer), sunu grouper (Plectropormus leopardus), and trevally (Caranx sexfasciatus). The result showed that catch level of red snapper had reached the optimum sustainable yield. Meanwhile the catch level of white snappers, grouper and trevally were still below their optimum sustainable yield. Traps and hand lines were considerably sustainable fishing gears due to the majority of catches have reached their length at first maturity. SWOT analysis was formulated for demersal fisheries development strategies in Sibolga. The analysis showed that the development should be focused on export markets, minimizing IUU fishing, laboratory quality assurance and enhancing cooperation among stakeholders. Keywords: demersal fish, development strategy, Sibolga, utilization level,

6

7 RINGKASAN IRNAWATI SINAGA. Pemanfaatan dan Strategi Pengembangan Perikanan Demersal di Sibolga Provinsi Sumatera Utara. Dibimbing oleh ARI PURBAYANTO dan AM AZBAS TAURUSMAN. Permintaan ikan yang meningkat memiliki makna positif bagi pengembangan perikanan, terlebih bagi negara kepulauan seperti Indonesia yang memiliki potensi perairan yang luas dan potensial untuk dikembangkan. Sibolga merupakan salah satu daerah yang sangat strategis bagi pengembangan sumberdaya perikanan di perairan pantai Barat Sumatera. Tingginya aktivitas perikanan yang ada di Sibolga dapat dilihat dari keberadaan Pelabuhan Perikanan Nusantara Sibolga serta tangkahan-tangkahan swasta yang mampu menampung hasil tangkapan nelayan yang kemudian dipasarkan untuk pemenuhan kebutuhan perikanan lokal, luar daerah bahkan ekspor. Salah satu komoditas ikan yang memiliki nilai jual tinggi adalah ikan demersal, dimana nelayan Sibolga menangkap ikan ini dengan mempergunakan pancing dan bubu. Tujuan penelitian ini antara lain: mengestimasi potensi lestari sumberdaya ikan demersal, mengetahui ukuran ikan demersal yang didaratkan dengan alat tangkap bubu dan pancing, menganalisis pola pertumbuhan ikan hasil tangkapan bubu dan pancing dan menyusun strategi pengembangan teknologi penangkapan ikan demersal yang berkelanjutan di Sibolga. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Pengukuran terhadap 4 jenis ikan ekonomis penting, yaitu ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus), kakap putih (Lates calcarifer), kerapu sunu (Plectropormus leopardus) dan kuwe (Caranx sexfasciatus). Analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini antara lain: analisis surplus produksi untuk menduga stok ikan dan menentukan jumlah trip penangkapan yang optimal, analisis panjang ikan untuk menentukan komposisi ikan yang layak tangkap berdasarkan nilai lenght at first maturity (LM), analisis panjang berat untuk menentukan pola pertumbuhan ikan dan analisis SWOT untuk merumuskan strategi pengembangan ikan demersal di Sibolga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan yang didaratkan di Sibolga berasal dari penangkapan nelayan di pantai Barat Sumatera. Stok ikan yang dapat dimanfaatkan sesuai dengan nilai MSY yaitu 1494,41 ton/tahun ikan kakap merah, 1260,89 ton/tahun ikan kakap putih, 1408,37 ton/tahun ikan kerapu dan 1750,00 ton/tahun ikan kuwe. Pengukuran sampel ikan hasil tangkapan bubu menunjukkan ikan yang tertangkap pada nilai di atas lenght at first maturity sebesar 13% ikan kakap merah, 85% ikan kakap putih, 100% ikan kerapu sunu. Sedangkan pengukuran sampel ikan hasil tangkapan pancing menunjukkan ikan yang tertangkap pada nilai di atas lenght at first maturity sebesar 8% ikan kakap merah, 83% ikan kakap putih, 99% ikan kerapu sunu dan 4% ikan kuwe. Hubungan panjang dan berat tubuh ikan berguna untuk menilai pertumbuhan dari individu-individu dan menentukan stok dari spesies yang sama. Pola pertumbuhan ikan kakap merah, ikan kakap putih, ikan kerapu sunu dan ikan kuwe dengan nilai b<3 bersifat alometrik negatif dimana pertambahan berat lebih

8 lambat dari pertambahan panjangnya. Adapun hal-hal yang mempengaruhi proses pertumbuhan adalah: kematangan gonad, pemijahan, umur, penyakit, parasit, makanan, suhu perairan dan faktor-faktor kimia yang berada dalam perairan. Berdasarkan matriks IFAS dan EFAS dibentuk perumusan pengembangan perikanan demersal di Sibolga. Perumusan strategi ini dibentuk dengan kombinasi antara kekuatan dan peluang, kekuatan dengan ancaman, kelemahan dengan peluang serta kelemahan dengan ancaman. Strategi SO menghasilkan sasaran strategi perbaikan sistem pendistribusian hasil tangkapan untuk tujuan ekspor serta mengadakan pengembangan terhadap fasilitas-fasilitas untuk kebutuhan pemasaran ikan. Hasil tangkapan nelayan dikumpulkan oleh pihak tangkahan yang dalam hal ini harga ikan ditentukan oleh pihak tangkahan sehingga nelayan tidak tahu pasti standar yang dipergunakan pihak tangkahan dalam penentuan grade ikan. Peranan pemerintah sangat dibutuhkan untuk mengatasi monopoli yang dilakukan pihak tangkahan kepada para nelayan misalnya dengan mendirikan koperasi. Strategi ST menghasilkan sasaran strategi perlunya meningkatkan pengawasan daerah penangkapan ikan untuk meminimalisasi terjadinya IUU fishing. Strategi lain yang dihasilkan adalah meningkatkan kerjasama dengan pihak pemerintah dan tangkahan dalam pengembangan perikanan demersal serta peningkatan kualitas ikan hasil tangkapan. Strategi WO menghasilkan sasaran strategi berupa perlunya mendirikan laboratorium penjamin mutu hasil tangkapan dan dukungan sarana transportasi pemasaran. Strategi lain yang dihasilkan yaitu pembentukan unit koperasi nelayan yang memfasilitasi sistem simpan pinjam bagi pelaku usaha perikanan. Strategi ini perlu didukung dengan peningkatan kegiatan penyuluhan kepada pihak nelayan dengan harapan tercapainya akses informasi yang sinergis antara pemerintah dengan nelayan. Pengembangan strategi ini dapat diwujudkan dalam pembentukan kelompok usaha bersama, sehingga pemerintah lebih mudah mengelola program bantuan atau pemberdayaan masyarakat. Strategi WT menghasilkan sasaran strategi melalui peningkatan kegiatan kemitraan antara pemerintah dengan pelaku usaha perikanan. Kegiatan peningkatan kemitraan didukung dengan berbagai kegiatan penyuluhan khususnya dalam upaya peningkatan kapasitas masyarakat nelayan. Dengan adanya kegiatan penyuluhan upaya peningkatan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pemanfaatan ikan demersal secara efektif dan efisien akan lebih mudah tercapai. Kata kunci : ikan demersal, strategi pengembangan, Sibolga, tingkat pemanfaatan,

9 Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilimiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

10

11 PEMANFAATAN DAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN DEMERSAL DI SIBOLGA PROVINSI SUMATERA UTARA IRNAWATI SINAGA Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Mayor Teknologi Perikanan Tangkap SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

12 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M.Si

13 Judul Tesis : Pemanfaatan dan Strategi Pengembangan Perikanan Demersal di Sibolga Provinsi Sumatera Utara Nama Mahasiswa NRP Program Studi : Irnawati Sinaga : C : Teknologi Perikanan Tangkap Disetujui, Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc Ketua Dr.Am Azbas Taurusman, S.Pi,M.Si Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Teknologi Perikanan Laut Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Prof. Dr. Ir. Mulyono S Baskoro, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr Tanggal Ujian: 2 Juli 2012 Tanggal Lulus:

14

15 KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis ucapakan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-nya kepada penulis sehingga penulisan laporan tesis yang berjudul Pemanfaatan dan Strategi Pengembangan Perikanan Demersal di Sibolga Provinsi Sumatera Utara ini dapat diselesaikan. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan pada program pasca sarjana Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada : 1. Ketua Sekolah Tinggi Perikanan Sibolga, Bapak Lucien Pahala Sitanggang, S.Pi.,M.Si yang telah memberikan kesempatan bagi penulis untuk melanjutkan studi. 2. Ibu ketua yayasan pendidikan Hajjah Hasnah Nasution, S.MhK yang telah memberi izin kepada penulis untuk melanjutkan studi. 3. Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Utara yang telah memberikan beasiswa BPPS kepada penulis. 4. Bapak Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc selaku ketua komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis hingga tesis ini dapat selesai. 5. Bapak Dr. Am Azbas Taurusman, S.Pi.,M.Si selaku anggota komisi pembimbing yang telah mengarahkan penulis dalam menyelesaikan tesis ini. 6. Papa, mama, ibu mertua dan bapak mertua yang selalu memberikan dukungan kepada penulis. 7. Suami (Jonris Simanjuntak) yang selalu memberikan cinta kasih serta motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan pendidikan. 8. Anakku (Messi Aryanto Simanjuntak) yang menjadi motivasi bagi penulis untuk menyelesaikan studi. 9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi penulis, pembaca dan pihak yang memerlukannya. Sibolga, Oktober 2012 Penulis

16

17 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sibolga pada tanggal 2 November 1982 dari ayah Akim Sinaga, S.IP dan ibu Resinta Simbolon. Penulis merupakan putri kelima dari tujuh bersaudara. Penulis menikah dengan Jonris Simanjuntak pada tanggal 6 Agustus Penulis lulus Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Sibolga pada tahun Pada tahun yang sama penulis masuk Universitas Riau (UNRI) melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) dan terdaftar sebagai mahasiswa jurusan Sosial Ekonomi Perikanan Fakultas Perikanan dan dinyatakan lulus S1 tahun Pada tahun 2007 sampai sekarang penulis bekerja di Sekolah Tinggi Perikanan Sibolga. Pada tahun 2008 penulis mendapatkan beasiswa dari Direktorat Pendidikan Tinggi (DIKTI) untuk melanjutkan pendidikan program Magister pada sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan memilih program mayor Teknologi Perikanan Tangkap (TPT). Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains, penulis melakukan penelitian dengan judul Pemanfaatan dan Strategi Pengembangan Perikanan Demersal di Sibolga Provinsi Sumatera Utara. Penelitian yang dilakukan dibimbing oleh Prof. Dr. Ir. Ari Purbayanto, M.Sc dan Dr.Am Azbas Taurusman, S.Pi,M.Si.

18

19 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... i DAFTAR ISI... ii DAFTAR GAMBAR... iv DAFTAR TABEL... v DAFTAR LAMPIRAN... vi DAFTAR ISTILAH... vii 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Ikan Sumberdaya Ikan Demersal Ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) Ikan kakap putih (Lates calcarifer) Ikan kerapu sunu (Plectropormus leopardus) Ikan kuwe (Caranx sexfasciatus) Pengembangan Perikanan Alat Penangkapan Ikan Bubu Pancing Metode Surplus Produksi Pertumbuhan Ikan METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Metode Penelitian Tahapan Pelaksanaan Penelitian Pengumpulan Data i

20 3.5 Analisis Data Analisis surplus produksi Analisis hubungan panjang-berat Analisi SWOT KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Kota Sibolga Kondisi Perikanan Tangkap Kapal Alat tangkap Nelayan HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Potensi Lestari Ikan Demersal Ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) Ikan kakap putih (Lates calcarifer) Ikan kerapu (Serranidae) Ikan kuwe (Caranx sexfasciatus) Analisi Hasil Tangkapan Ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) Ikan kakap putih (Lates calcarifer) Ikan kerapu sunu (Plectropormus leopardus) Ikan kuwe (Caranx sexfasciatus) Pola Pertumbuhan Ikan Demersal Ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) Ikan kakap putih (Lates calcarifer) Ikan kerapu sunu (Plectropormus leopardus) Ikan kuwe (Caranx sexfasciatus) Pengembangan Perikanan Demersal Sibolga KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ii

21 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Kerangka pemikiran penelitian Segitiga keberlanjutan Peta lokasi penelitian Diagram alir tahapan penelitian Produksi hasil tangkapan ikan kakap merah yang didaratkan di Sibolga Grafik maximum sustainable yield ikan kakap merah di pantai Barat Sumatera Produksi hasil tangkapan ikan kakap putih yang didaratkan di Sibolga Grafik maximum sustainable yield ikan kakap putih di pantai Barat Sumatera Produksi hasil tangkapan ikan kerapu yang didaratkan di Sibolga Grafik maximum sustainable yield ikan kerapu di pantai Barat Sumatera Grafik maximum sustainable yield ikan kuwe di pantai Barat Sumatera Ukuran ikan kakap merah hasil tangkapan bubu (a) dan pancing (b) Ukuran ikan kakap putih hasil tangkapan bubu (a) dan pancing (b) Ukuran ikan kerapu sunu hasil tangkapan bubu (a) dan pancing (b) Ukuran ikan kuwe hasil tangkapan bubu (a) dan pancing (b) Grafik hubungan panjang berat ikan kakap merah yang tertangkap dengan bubu (a) dan pancing (b) Grafik hubungan panjang berat ikan kakap putih yang tertangkap dengan bubu (a) dan pancing (b) Grafik hubungan panjang berat ikan kerapu sunu yang tertangkap dengan bubu (a) dan pancing (b) Grafik hubungan panjang berat ikan kuwe yang tertangkap dengan bubu (a) dan pancing (b) iii

22 iv

23 DAFTAR TABEL Halaman 1. Responden dan jumlah sampel responden Jenis data dan metode pengumpulan data Jumlah dan jenis kapal di perairan Sibolga periode Jumlah alat tangkap di Sibolga tahun Jumlah nelayan pemilik armada perikanan di Sibolga tahun Perbandingan antara lima model untuk menghitung stok ikan kakap merah Perbandingan antara lima model untuk menghitung stok ikan kakap putih Perbandingan antara lima model untuk menghitung stok ikan kerapu Perbandingan antara lima model untuk menghitung stok ikan kuwe Matriks IFAS pengembangan perikanan demersal di Sibolga Matriks EFAS pengembangan perikanan demersal di Sibolga Matriks SWOT pengembangan perikanan demersal di Sibolga v

24 vi

25 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Perhitungan maximum sustainable yield ikan kakap merah Perhitungan maximum sustainable yield ikan kakap putih Perhitungan maximum sustainable yield ikan kerapu merah Perhitungan maximum sustainable yield ikan kuwe Gambar ikan hasil tangkapan bubu dan pancing Gambar alat tangkap pancing Gambar alat tangkap bubu vii

26 viii

27 DAFTAR ISTILAH Alat penangkapan ikan : Alat yang dirancang (dibuat) untuk menangkap ikan. Armada penangkapan : Unit kapal yang digunakan dalam operasi penangkapan ikan. Berkelanjutan : Pemanfaatan sumberdaya secara lestari, yaitu dimana laju pemanfaatan harus lebih kecil atau sama dengan laju pemulihan sumberdaya tersebut. Bubu : Suatu jenis alat tangkap berupa jebakan yang bersifat pasif dan selektif, memiliki bentuk serta ukuran yang beraneka ragam dan teknik pengoperasiannya ada yang diletakkan pada dasar perairan, mengapung dan dihanyutkan. By catch : Hasil tangkapan sampingan dari operasi penangkapan ikan. Code of conduct responsible fisheries (CCRF) Daerah penangkapan ikan (fishing ground) : Prinsip-prinsip dan standar internasional dalam kegiatan perikanan yang bertanggungjawab. : Lokasi perairan dimana dilakukan operasi penangkapan. Demersal : Jenis ikan yang habitatnya berada pada bagian dasar perairan. Ekosistem : Suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik yang tak terpisahkan antara makhluk hidup dengan lingkungannya. Fishing power index : Perbandingan kemampuan tangkap antar unit alat tangkap yang selanjutnya dinyatakan dalam indek Ghost fishing : Suatu kondisi dimana alat penangkapan hilang akibat lepas, terputus atau fenomena alam. Habitat : Lingkungan tempat tumbuhan atau satwa dapat hidup dan berkembang secara alami. ix

28 Hasil tangkapan (catch) : Ikan yang didapatkan saat melakukan operasi penangkapan di daerah penangkapan ikan. Hasil tangkapan per satuan unit upaya (catch per unit effort CPUE) Jumlah tangkapan yang diperboluhkan (JTB) : Jumlah hasil tangkapan yang diambil per unit alat tangkap. : Jumlah maksimum sumberdaya ikan yang boleh ditangkap di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia dengan memperhatikan kelestarian sumberdaya ikan. Kebijakan : Arah kegiatan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan; atau intervensi pemerintah (dan publik) untuk mencari pemecahan masalah dalam pembangunan dan mendukung proses pembangunan yang lebih baik. Nelayan : Orang yang memiliki mata pencaharian memanfaatkan atau menangkap ikan di laut atau perairan umum perairan. Maximum sustainable yield (MSY) : Keuntungan maksimum dalam usaha penangkapan. Metode produksi surplus : Metode yang digunakan untuk menghitung potensi lestari (MSY). Open Access : Pemanfaatan sumberdaya ikan secara bebas, tidak ada larangan bagi pengguna sumberdaya ikan untuk ikut memanfaatkan dan meningkatkan jumlah kapal atau upaya penangkapan (effort). Over capacity : Kondisi dimana kapasitas penangkapan yang digunakan melebihi kebutuhan untuk operasi penangkapan. Over fishing : Kondisi tangkap lebih, dimana upaya penangkapan melebihi upaya maksimum. Pakar (expert) : Seseorang yang mempunyai pengalaman yang luas dan pengetahuan yang intuitive tentang suatu domain tertentu. x

29 Pengembangan : Usaha perubahan dari suatu nilai yang kurang kepada suatu yang lebih baik; proses yang menuju pada suatu kemajuan. Perikanan : Semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungannya mulai dari pra produksi, produksi, pengelolaan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Perikanan tangkap : Kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah dan atau mengawetkannya. Stakeholders : Pihak yang berkepentingan atau para pemangku kepentingan. Sumberdaya ikan : Segala jenis ikan yang muncul secara alami dan dapat digunakan untuk pemenuhan kebutuhan manusia pada umumnya. Unit penangkapan ikan : Suatu kesatuan teknis dalam suatu operasi penangkapan ikan yang terdiri dari kapal perikanan, alat tangkap dan nelayan. xi

30

31 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permintaan ikan yang meningkat memiliki makna positif bagi pengembangan perikanan, terlebih bagi negara kepulauan seperti Indonesia yang memiliki potensi perairan yang cukup luas dan potensial untuk pengembangan perikanan. Tuntutan pemenuhan kebutuhan akan ikan sebagai sumber protein hewani maupun sebagai penyumbang devisa negara akan diikuti oleh tekanan eksploitasi sumberdaya ikan. Jika kegiatan perikanan tidak dikelola secara bijaksana dikhwatirkan pemanfaatan sumberdaya ikan secara intensif akan mendorong usaha perikanan pada pengurasan stok bahkan dapat menyebabkan kepunahan dan terjadinya berbagai konflik pemanfaatan sumberdaya ikan tersebut. Potensi sumberdaya ikan yang besar pada suatu wilayah perairan, belum cukup untuk menggambarkan bahwa kegiatan perikanan pada daerah tersebut akan berkembang baik, apabila sarana dan prasarana perikanan belum memadai, keterbatasan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia, karakteristik sumberdaya ikan, teknologi pemanfaatan, kemampuan investasi dan permodalan yang minim merupakan faktor-faktor yang dapat menghambat keberhasilan pembangunan perikanan pada suatu daerah. Pemanfaatan sumberdaya ikan yang dilakukan secara benar akan menyebabkan kelimpahan sumberdaya ikan dan keanekaragaman hayatinya dapat dipertahankan pada tingkat optimum dan memberikan jaminan kelangsungan usaha penangkapan ikan. Pemanfaatan sumberdaya ikan secara bertanggungjawab berarti memanfaatkan sumberdaya tersebut secara benar sesuai dengan daya dukungnya sehingga tercapai manfaat yang optimal dan berkelanjutan serta menjamin kelestariannya. Kegiatan penangkapan ikan di perairan Indonesia pada umumnya belum memperhatikan code of conduct for responsible fisheries. Hasil tangkapan ikan yang didaratkan sebagian besar ditangkap oleh nelayan dengan mempergunakan alat tangkap yang sangat beragam dan umumnya tidak ramah lingkungan misalnya: arad (mini trawl), bagan tancap, dogol/cantrang dan lain sebagainya.

32 2 Meskipun berbagai kebijakan telah dibuat dan diberlakukan, namun karena lemahnya pengawasan dan kurangnya kesadaran akan arti kelestarian sumberdaya perikanan dan juga karena lebih kepada tuntutan hidup yang harus dijalani nelayan akibat kemiskinan struktural, maka mengakibatkan terancammya kelestarian sumberdaya dan rusaknya lingkungan (Imron, 2008). Pengembangan teknologi penangkapan ikan harus memenuhi kriteria berwawasan lingkungan serta ditujukan untuk menangkap ikan yang tergolong komoditi unggulan. Persoalan umum yang selalu dihadapi dalam menangkap ikan adalah diperolehnya ikan hasil tangkapan yang tidak diinginkan (by-catch). Berbagai percobaan penangkapan telah dilakukan dengan mempergunakan berbagai macam alat tangkap yang ditujukan untuk mendapatkan alat tangkap yang ramah lingkungan, namun dalam kenyataanya masih banyak dijumpai alat tangkap yang membahayakan kelestarian sumberdaya ikan. Tantangan bagi pengelola adalah menciptakan suatu kerangka kerja institusional dan legal melalui perundang-undangan atau peraturan-peraturan dimana tingkat upaya penangkapan ikan yang dikehendaki dapat dilaksanakan. Teknik pengelolaan perikanan dapat dilakukan dengan beberapa cara diantaranya (Widodo dan Suadi, 2006) : 1) Pengaturan ukuran mata jaring yang digunakan, 2) Pengaturan batas ukuran ikan yang boleh ditangkap, didaratkan atau dipasarkan, 3) Kontrol terhadap musim penangkapan ikan (opened or closed seasons), 4) Kontrol terhadap daerah penangkapan (opened or closed areas), 5) Pengaturan terhadap alat tangkap serta perlengkapannya di luar pengaturan ukuran mata jaring (mesh size), 6) Perbaikan dan peningkatan stok ikan (stock enhancement), 7) Pengaturan hasil tangkapan total per jenis ikan dan kelompok jenis ikan, 8) Pengaturan setiap tindakan langsung yang berhubungan dengan konservasi semua jenis ikan dan sumberdaya hayati lainnya dalam wilayah perairan. Penangkapan berlebih atau over fishing sudah menjadi kenyataan pada berbagai perikanan tangkap di dunia. Menurunnya stok perikanan menyebabkan masalah keberlanjutan sumberdaya perikanan yang penting untuk dibahas. Hal ini

33 3 juga sesuai dengan penerbitan Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) pada tahun 1995 oleh Food and Agricultural Organization (FAO) dimana terjadinya pergeseran paradigma tentang pendekatan pengelolaan perikanan yang mengarah pada pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan. Sibolga yang terletak di pantai Barat Sumetera Utara merupakan salah satu daerah perikanan yang memiliki aktivitas penangkapan ikan yang cukup tinggi. Tingginya aktivitas perikanan yang ada di Sibolga dapat dilihat dari keberadaan Pelabuhan Perikanan Nusantara Sibolga yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan serta keberadaan tangkahan-tangkahan (pelabuhan swasta) yang mampu menampung hasil tangkapan nelayan yang kemudian dipasarkan untuk pemenuhan kebutuhan perikanan lokal, luar daerah bahkan ekspor. Perairan di sepanjang pantai Barat Pulau Sumatera yang dibatasi oleh barisan kepulauan antara lain Pulau Simelue, Kepulauan Banyak, Pulau Nias, Pulau Pini, Kepulauan Batu, Kepulauan Mentawai, Pulau Pagai dan Pulau Enggano merupakan daerah penangkapan sumberdaya ikan. Salah satu komoditas perikanan di pantai Barat Sumatera yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi adalah ikan-ikan demersal. Pemanfaatan ikan demersal yang dilakukan oleh nelayan Sibolga biasanya mempergunakan alat tangkap berupa perangkap (traps) dan pancing. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan nomor 45/men/2011 menyatakan bahwa potensi produksi perikanan demersal yang dapat dihasilkan di WPP 572 yaitu Barat Sumatera sebesar ton/tahun (Purwanto dan Wudianto, 2011). Potensi sumberdaya ikan yang sangat besar ini mendorong masyarakat untuk memanfaatkannya. Sumberdaya ikan demersal dibagi menjadi 3 kelompok berdasarkan kategori nilai ekonomisnya (Dwiponggo 1989 dalam Isnaniah 2009) antara lain: 1) Kelompok komersial utama : terdiri dari ikan kerapu (Ephinephelus sp), bambangan (Lutjanus spp), bawal putih (Pampus spp), kakap (Lates calcarifer), mayung (Arius spp) dan kuwe (Carangoides spp). 2) Kelompok komersial kedua: terdiri dari ikan bawal hitam (Formio niger), kurisi (Nemipterus spp), layur (Trichiurus savala), kurau (Eletheronema

34 4 tetredactylum), ketang-ketang (Drepane punctata) dan baronang (Siganus spp). 3) Kelompok komersial ketiga: terdiri dari ikan pepetek (Leiognathidae), beleso (Saurida, spp), kuniran (Upeneus sulphureus), mata merah (Priacanthus spp), kerong-kerong (Therapon spp) dan sidat (Muraenesox sp) Dwiponggo et al., 1992 dalam Rijal 2004 menyatakan bahwa beberapa jenis ikan demersal yang mempunyai nilai ekonomis penting antara lain kakap putih (Lates calcarifer), kerapu (Serranidae), kakap merah (Lutjanus spp) dan gerotgerot (Pomadasys spp). Keberadaan sumberdaya ikan demersal dalam pembangunan kelautan mempunyai potensi yang cukup besar. Apabila potensi sumberdaya tersebut dimanfaatkan secara optimal maka akan memberikan kontribusi yang besar bagi peningkatan pendapatan nelayan maupun bagi pembangunan. Kondisi tersebut menyebabkan peningkatan eksploitasi yang intensif pada wilayah tertentu, yang apabila tidak dikendalikan dengan baik dapat mengancam kelestarian sumberdaya. Secara bio-ekologi jenis ikan-ikan demersal umumnya memerlukan pemulihan sekitar 1,4-4,4 tahun atau dikategorikan memiliki daya lenting (resilience) tingkat menengah terhadap dampak eksploitasi (Froese dan Pauly, 2011). Sebagai konsekuensinya pada kegiatan perikanan yang banyak mengeksploitasi jenis-jenis ikan yang dapat pulih memerlukan manajemen penangkapan yang tepat yang memungkinkan jenis-jenis tersebut pulih. Hal ini juga menjadi salah satu alasan untuk mengadakan kajian ilmiah demi menciptakan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang efisien dan menghasilkan strategi untuk pengembangannya. Untuk mempertahankan keberlanjutan perikanan demi pemenuhan kebutuhan akan sumberdaya ikan masa depan perlu diadakan penelitian dengan judul Pemanfaatan dan Strategi Pengembangan Perikanan Demersal di Sibolga Provinsi Sumatera Utara.

35 5 1.2 Perumusan Masalah Perkembangan perikanan yang cenderung semakin mengarah kepada pemanfaatan yang tidak mengenal kesepakatan batas-batas wilayah pengelolaan maupun penggunaan teknologi yang tidak sejalan dengan konsep ramah lingkungan menyebabkan pengelolaan perikanan tangkap saat ini bukan lagi pada mencari pilihan tetapi cenderung berada pada kondisi tidak ada pilihan. Perikanan tangkap sebagai sistem yang memiliki peran penting dalam penyediaan pangan, kesempatan kerja, perdagangan dan peningkatan kesejahteraan bagi sebagian penduduk Indonesia sehingga perikanan perlu dikelola dengan berorientasi jangka panjang (sustainability management). Beberapa permasalahan dalam pengembangan perikanan di Sibolga, yaitu: 1) Sibolga yang berada pada daerah pantai Barat Sumatera memiliki potensi sumberdaya ikan yang potensial untuk dimanfaatkan. Kapasitas stok sumberdaya ikan demersal belum diketahui dengan baik. 2) Usaha perikanan tangkap yang dikembangkan nelayan lebih didasarkan pada kebiasaaan turun temurun. Kebanyakan nelayan tidak memiliki pengetahuan tentang sumberdaya perikanan demersal sehingga dalam operasi penangkapan tidak memperhatikan aspek-aspek penting dari ikan yang menjadi target tangkapan. Sehingga ukuran hasil tangkapan semakin menurun dan daerah penangkapan ikan juga semakin jauh. 3) Alat tangkap yang dipergunakan oleh nelayan Sibolga sangat bervariasi dan belum diketahui teknologi yang paling tepat dipergunakan untuk menangkap ikan demersal. 4) Kegiatan pengelolaan perikanan di Sibolga belum berjalan dengan efektif dan efisien, hal ini disebabkan karena kurangnya koordinasi yang baik diantara lembaga perikanan yang ada. 5) Belum adanya kebijakan pemerintah dalam mengatasi permasalahanpermasalahan yang dihadapi oleh nelayan. Dari perumusan masalah yang ada maka beberapa pertanyaan yang muncul berkaitan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Seberapa besar potensi lestari ikan demersal yang dapat dimanfaatkan di Sibolga;

36 6 2) Berapa ukuran ikan demersal yang didaratkan nelayan Sibolga; 3) Bagaimana pola pertumbuhan ikan demersal di Sibolga; 4) Strategi apa yang perlu dilakukan untuk pengembangan perikanan demersal di Sibolga. 1.3 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Mengestimasi potensi lestari sumberdaya ikan kakap merah, ikan kakap putih, ikan kerapu sunu dan ikan kuwe; 2) Mengetahui ukuran ikan demersal yang didaratkan dengan alat tangkap bubu dan pancing; 3) Mengestimasi pola pertumbuhan ikan hasil tangkapan bubu dan pancing; 4) Menyusun strategi pengembangan teknologi penangkapan ikan demersal yang berkelanjutan di Sibolga. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi: 1) Pengembangan perikanan demersal di Sibolga; 2) Pemerintah Kota Sibolga dalam membuat kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan demersal; 3) Pengembangan IPTEKS perikanan demersal di Sibolga. 1.5 Kerangka Pemikiran Untuk mendukung pengembangan perikanan tangkap dalam menciptakan sumberdaya perikanan demersal yang berkelanjutan perlu memperhatikan berbagai aspek dalam pengelolaannya. Permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan adalah pemanfaatan yang bersifat open access sehingga semua orang bebas memanfaatkan sumberdaya perikanan yang ada di alam tanpa memperhatikan daya dukung dari alam tersebut sehingga hasil tangkapan nelayan semakin menurun dan daerah fishing ground semakin jauh, kurangnya pengetahuan nelayan dalam menerima perkembangan teknologi sehingga dalam memanfaatkan sumberdaya alam hanya mengandalkan pengetahuan turun

37 7 temurun tanpa mengadopsi kemajuan teknologi yang sudah berkembang serta kurangnya perhatian pemerintah terhadap pengembangan nelayan kecil. Adanya strategi pengembangan perikanan tangkap akan dapat membantu pengelolaan perikanan, sehingga tingkat keberhasilannya akan lebih terukur. Hal ini sesuai dengan pendapat Charles (2001) yang menyatakan bahwa di dalam pengelolaan perikanan, penetapan tujuan-tujuan yang jelas merupakan hal yang penting untuk keberhasilan upaya-upaya dalam pengembangan perikanan. Dalam model Charles terdapat empat indikator keberlanjutan perikanan antara lain: 1) Keberlanjutan ekologi, memperhatikan data perkembangan hasil tangkapan ikan dan keseimbangan ekosistem untuk menghindari penipisan stok sumberdaya ikan; 2) Keberlanjutan sosial ekonomi, berfokus pada pertahanan atau peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi dalam jangka panjang; 3) Keberlanjutan komunitas, terfokus pada ide yang menyatakan bahwa perikanan berkelanjutan berjalan untuk pemenuhan kesejahteraan masyarakat dan seluruh warga negara; 4) Keberlanjutan kelembagaan, mengacu pada lembaga yang mengelola perikanan baik nelayan, pemerintah atau masyarakat. CCRF menyediakan asas dan standar yang bisa diterapkan pada konservasi, pengelolaan dan pembangunan perikanan. CCRF juga mencakup penangkapan, pengolahan, dan perdagangan ikan serta produk perikanan, operasi penangkapan, akuakultur/budidaya, penelitian perikanan dan keterpaduan perikanan ke dalam pengelolaan kawasan pesisir (FAO, 1995). Sasaran dari CCRF adalah untuk : 1) Menetapkan asas, sesuai dengan aturan hukum internasional yang terkait, bagi penangkapan ikan dan kegiatan perikanan yang bertanggungjawab, dengan memperhatikan seluruh aspek biologi, teknologi, ekonomi, sosial, lingkungan dan komersial yang relevan; 2) Menetapkan asas dan kriteria bagi penjabaran dan pelaksanaan kebijakan nasional untuk konservasi sumberdaya perikanan dan pengelolaan serta pembangunan perikanan yang bertanggungjawab; 3) Berfungsi sebagai sebuah perangkat rujukan untuk membantu negara-negara dalam menetapkan atau meningkatkan kerangka kelembagaan dan hukum yang diperlukan bagi berlangsungnya perikanan yang bertanggungjawab dan dalam perumusan serta pelaksanaan langkah yang sesuai; 4) Menyediakan tuntunan yang bisa digunakan, bila diperlukan; dalam perumusan dan pelaksanaan

38 8 perjanjian internasional berikut perangkat hukum lain, baik yang bersifat mengikat maupun sukarela; 5) Memberi kemudahan dan memajukan kerjasama teknis, pembiayaan dan lainnya dalam konservasi sumberdaya perikanan dan pengelolaan serta pembangunan perikanan; 6) Meningkatkan kontribusi perikanan bagi ketahanan pangan dan mutu pangan, memberikan prioritas untuk kebutuhan gizi komunitas lokal; 7) Meningkatkan upaya perlindungan sumberdaya hayati akuatik serta lingkungannya dan kawasan pesisir; 8) Menggalakkan perdagangan ikan dan produk perikanan sesuai dengan aturan internasional yang relevan dan menghindari penggunaan langkah yang merupakan hambatan terselubung bagi perdagangan tersebut; 9) Memajukan penelitian mengenai perikanan demikian pula mengenai ekosistem terkait dan faktor lingkungan relevan; 10) Menyediakan standar pelaksanaan untuk semua sektor yang terlibat dalam perikanan. Kerangka pemikiran pemanfaatan sumberdaya ikan demersal dan strategi pengembangannya di Sibolga dapat dilihat pada Gambar 1.

39 9 Perikanan demersal Permasalahan perikanan di Sibolga berdasarkan hasil wawancara dan survei antara lain: 1) Potensi sumberdaya ikan yang belum dimanfaatkan secara optimal. 2) Kurangnya pengetahuan nelayan tentang sumberdaya perikanan. 3) Ukuran hasil tangkapan semakin menurun. 4) Daerah penangkapan ikan juga semakin jauh. 5) Pengelolaan perikanan belum berjalan dengan efektif dan efisien. 6) Belum efektifnya kebijakan pemerintah dalam mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh nelayan. Landasan teori: 1) Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF, FAO 1995), 2) Pembangunan perikanan berkelanjutan secara ekologi, sosial ekonomi, komunitas dan institusi (Charles, 2001). Permasalahan Aspek pemanfaatan sumberdaya ikan demersal Aspek hasil tangkapan Aspek pengembangan perikanan Input 1) FPI 2) CPUE 3) MSY Kelayakan sumberdaya ikan demersal 1) Panjang 2) Berat Kelayakan biologis hasil tangkapan SWOT Kelayakan pengembangan perikanan Proses Output Strategi pengembangan perikanan Tujuan Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.

40 10

41 11 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Ikan Pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan di perairan Indonesia sudah dilakukan sejak lama oleh masyarakat dan pemerintah. Sampai saat ini, hasil perikanan dari kegiatan penangkapan khususnya dari laut masih menjadi sumber produksi utama. Pengelolaan perikanan yang baik dan bertanggungjawab terutama perikanan tangkap haruslah benar-benar memperhatikan daya dukung sumberdaya perikanan di wilayah perairan Indonesia, bahkan Purwanto (2003), secara eksplisit mengungkapkan apabila sumberdaya ikan laut yang hidup dalam wilayah perairan Indonesia dimanfaatkan secara benar dan bertanggungjawab yaitu tidak melebihi daya dukungnya, sumberdaya tersebut akan dapat menghasilkan produksi maksimum lestari sekitar 6,4 juta ton per tahun. Selain itu masyarakat Indonesia juga memiliki peluang untuk memanfaatkan sumberdaya ikan di laut lepas (high sea). Sebaliknya bila sumberdaya ikan tersebut dimanfaatkan melebihi daya dukungnya, kelestarian sumberdaya ikan akan terancam dan produksinya akan menurun. Upaya pengelolaan dan pengembangan perikanan laut dimasa mendatang akan terasa lebih berat sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan seni (IPTEKS). Tetapi dengan pemanfaatan IPTEKS itu pula diharapkan akan mampu mengatasi keterbatasan sumberdaya melalui suatu langkah yang rasional untuk mendapatkan manfaat yang optimal dan berkelanjutan. Langkah pengelolaan dan pengembangan tersebut juga harus mempertimbangkan aspek biologi, teknis, sosial, budaya dan ekonomi (Barus, 1991). Ketersediaan (stok) sumberdaya ikan pada beberapa daerah penangkapan (fishing ground) di Indonesia ternyata telah dimanfaatkan melebihi daya dukungnya sehingga kelestariannya terancam. Beberapa spesies ikan bahkan dilaporkan telah sulit didapatkan dan nyaris hilang dari perairan Indonesia (Purwanto, 2003). Lebih lanjut dikatakan pula bahwa ancaman ini diperkirakan akan meningkat pada dekade ini, karena terjadi pergeseran daerah penangkapan

42 12 armada perikanan dunia ke daerah yang masih potensial, termasuk perairan Indonesia, baik secara legal maupun ilegal. Peningkatan jumlah penduduk dunia menyebabkan peningkatan kebutuhan akan bahan pangan dan gizi yang lebih baik. Peningkatan ikan terus meningkat dari tahun ketahun. Asia, selain sebagai produsen ikan terbesar, diperkirakan juga menjadi konsumen terbesar dari hasil perikanan dunia. Perhatian utama dalam perikanan berkelanjutan adalah penekanan pada penangkapan ikan yang melebihi batas optimum lestari yang menyebabkan over fishing, membatasi penangkapan ikan yang merusak ekosistem lingkungan dengan memanfaatkan hukum dan kebijakan yang berlaku serta pengaturan kawasan lindung untuk pemulihan daerah yang sudah mengalami kelebihan tangkap (over fishing). Charles (2001) menyatakan proses pembangunan perikanan berkelanjutan dapat dilihat dari empat komponen dasar antara lain: 1) Keberlanjutan ekologi, memperhatikan data perkembangan hasil tangkapan ikan dan keseimbangan ekosistem untuk menghindari penipisan stok sumberdaya ikan; 2) Keberlanjutan sosial ekonomi, berfokus pada pertahanan atau peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi dalam jangka panjang; 3) Keberlanjutan komunitas, terfokus pada ide yang menyatakan bahwa perikanan berkelanjutan berjalan untuk pemenuhan kesejahteraan masyarakat dan seluruh warga negara; 4) Keberlanjutan kelembagaan, mengacu pada lembaga yang mengelola perikanan baik nelayan, pemerintah atau masyarakat.

43 13 Komponen keberlanjutan ini dapat dilihat seperti gambar segitiga keberlanjutan berikut: Keberlanjutan ekologi Keberlanjutan kelembagaan Keberlanjutan Sosial ekonomi Keberlanjutan masyarakat Gambar 2 Segitiga keberlanjutan. Hilborn (2005) membedakan tiga cara untuk mendefinisikan perikanan berkelanjutan: 1) Hasil penangkapan yang konstan dalam jangka panjang atau keadaan yang stabil dengan perubahan yang sangat kecil dari tahun ketahun menyatakan bahwa ekosistem alam tidak terganggu. Penangkapan pada nilai MSY menyatakan perikanan yang stabil. 2) Menjaga atau melestarikan stok perikanan antar generasi dengan memahami perubahan alam yang berkaitan dengan kegiatan yang merusak habitat atau pengurasan stok perikanan pada level tertentu. 3) Mempertahankan sistem biologi, sosial dan ekonomi dengan mempertimbangkan keseimbangan ekosistem manusia dan ekosistem laut. Apabila ekosistem lingkungan tidak mendukung untuk pertumbuhan spesies ikan maka proses keberlanjutan tidak akan berjalan. Tujuan menyeluruh dari pendekatan berbasis ekosistem untuk pengelolaan perikanan adalah untuk menjaga dan melestarikan struktur dan fungsi ekosistem laut dengan mengelola perikanan dan mempertimbangkan keterkaitan ekologis serta hubungan antara spesies dan lingkungan, termasuk menggunakan manusia dan nilai-nilai sosial (Garcia et al., 1989).

44 14 Populasi ikan dan komponen ekosistem lainnya dapat dipengaruhi oleh kegiatan perikanan seperti: penggunaan alat tangkap yang tidak selektif, polusi yang ditimbulkan oleh kapal, waktu penangkapan, lokasi penangkapan, by-catch dan metode perpindahan ikan secara alamiah. Penggunaan setiap jenis teknologi penangkapan ikan mulai dari yang sederhana hingga yang moderen sedikit atau banyak akan memberikan dampak negatif terhadap sumberdaya ikan dan lingkungan. Besarnya dampak yang ditimbulkan secara umum sangat tergantung dari 4 faktor (Purbayanto et al., 2010) antara lain: 1) Daya tangkap (fishing power), ditentukan oleh dimensi, metode pengoperasian, dan tingkat selektivitas dari alat tangkap tersebut, 2) Intensitas penangkapan, ditentukan oleh durasi atau frekuensi operasi penangkapan ikan yang dilakukan pada suatu perairan, 3) Bahan atau material dari komponen alat tangkap, dapat memberi dampak terhadap lingkungan sebagai contoh: penggunaan material sintesis yang tidak dapat didaur ulang secara alami (non-biodegradable material) dan penggunaan material dari bahan-bahan alami seperti batu karang dan kayu mangrove yang dapat mengganggu keseimbangan ekosistem pantai, 4) Lokasi pengoperasian alat tangkap ikan akan menentukan tingkat interaksi atau kontak alat tangkap dengan habitat perairan. Menurut Dahuri (2000), dalam pemanfaatan sumberdaya yang bersifat milik bersama (common property), keseimbangan jangka panjang dalam usaha perikanan tidak dapat dipertahankan, karena adanya peluang untuk meningkatkan keuntungan (access profit) bagi usaha penangkapan ikan, sehingga terjadi ekstensifikasi usaha secara besar-besaran, disertai masuknya pengusaha baru yang tergiur dengan nilai rente yang cukup besar tersebut. Pemanfaatan sumberdaya perikanan harus memperhatikan aspek sustainability, agar dapat memberikan manfaat yang sama, dimasa yang akan datang, yang tidak hanya terfokus pada masalah ekonomi, tetapi juga masalah lain seperti teknis, sosial dan budaya. Tingkat pemanfaatan sumberdaya optimal melalui pendekatan Maximum Sustainable Yield (MSY) dan Maximum Economic Yield (MEY). Pendekatan MSY akan memberikan hasil lestari secara fisik, namun demikian dalam praktek

45 15 pengelolaan sumberdaya perikanan, tingkat tangkapan MEY akan lebih baik, karena selain memberikan keuntungan secara ekonomi juga memberikan keuntungan secara ekologi, yang dapat mempertahankan diversitas yang besar. Pengelolaan sumberdaya perikanan umumnya didasarkan pada konsep hasil maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield) atau juga disebut dengan MSY. Konsep MSY berangkat dari model pertumbuhan biologis yang dikembangkan oleh seorang ahli biologi bernama Schaefer pada tahun Inti dari konsep ini adalah menjaga keseimbangan biologi dari sumberdaya ikan, agar dapat dimanfaatkan secara maksimum dalam waktu yang panjang. Pendekatan konsep ini berangkat dari dinamika suatu stok ikan yang dipengaruhi oleh 4 (empat) faktor utama, yaitu recruitment, pertumbuhan, mortalitas dan hasil tangkapan. Pengelolaan sumberdaya ikan seperti ini lebih berorientasi pada sumberdaya (resource oriented) yang lebih ditujukan untuk melestarikan sumberdaya dan memperoleh hasil tangkapan maksimum yang dapat dihasilkan dari sumberdaya tersebut. Dengan kata lain, pengelolaan seperti ini belum berorientasi pada perikanan secara keseluruhan (fisheries oriented), apalagi berorientasi pada manusia (social oriented). Pengelolaan sumberdaya ikan dengan menggunakan pendekatan Maximum Sustainable Yield telah mendapat tantangan yang cukup berat, terutama dari para ahli ekonomi yang berpendapat bahwa pencapaian yield yang maksimum pada dasarnya tidak mempunyai arti secara ekonomi. Hal ini berangkat dari adanya masalah diminishing return yang menunjukkan bahwa kenaikan yield akan berlangsung semakin lambat dengan adanya penambahan effort (Lawson, 1978). Pemikiran dengan memasukan unsur ekonomi didalam pengelolaan sumberdaya ikan, telah menghasilkan pendekatan baru yang dikenal dengan Maximum Economic Yield atau lebih popular dengan MEY. Pendekatan ini pada intinya adalah mencari titik yield dan effort yang mampu menghasilkan selisih maksimum antara total revenue dan total cost. Selanjutnya hasil kompromi dari kedua pendekatan diatas kemudian melahirkan konsep Optimum Sustainable Yield (OSY), sebagaimana dikemukakan oleh (Lawson, 1984). Secara umum konsep ini dimodifikasi dari konsep MSY, sehingga menjadi relevan baik dilihat dari sisi ekonomi, sosial, lingkungan dan faktor lainnya. Dengan demikian,

46 16 besaran dari OSY adalah lebih kecil dari MSY dan besaran dari konsep inilah yang kemudian dikenal dengan Total Allowable Catch (TAC). Konsep pendekatan ini mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan MSY, diantaranya adalah : 1) Berkurangnya resiko terjadinya deplesi dari stok ikan; 2) Jumlah tangkapan per unit effort akan menjadi semakin besar; 3) Fluktuasi TAC juga akan menjadi semakin kecil dari waktu ke waktu. Hasil pengkajian terakhir yang telah dilakukan terhadap sumberdaya ikan Indonesia, menunjukan bahwa jumlah potensi lestari adalah sebesar 6,409 juta ton ikan/tahun, dengan tingkat eksploitasi pada tahun terakhir mencapai angka 4,069 juta ton ikan/tahun (63,49%). Dengan demikian, masih ada cukup peluang untuk meningkatkan produksi perikanan nasional. Namun demikian, yang perlu diperhatikan adalah adanya beberapa zona penangkapan yang kondisi sumberdaya ikannya cukup memprihatinkan dan sudah melampaui potensi lestarinya (over fishing). 2.2 Sumberdaya Ikan Demersal Ikan demersal adalah ikan yang sebagian besar hidupnya berada pada lapisan yang lebih dalam hingga dasar perairan dan umumnya hidup secara soliter dalam lingkungan spesiesnya. Berdasarkan urutan nilai komersialnya, ikan demersal dapat dibagi menjadi empat kelompok utama, yaitu: 1) komersial utama, seperti: ikan kakap merah, kerapu, bawal putih, manyung dan janaha; 2) ikan komersial kedua, seperti: ikan layur, bawal hitam, kurisi, baronang, gerot-gerot, kuro, pari dan ketang-ketang; 3) komersial ketiga, seperti: ikan beloso, mata merah, pepetek, kuniran, besot, gabus laut, sidat dan lain lain; 4) ikan campuran, seperti: ikan lidah, sebelah, kapas-kapas, serinding dan lain-lain (Simbolon, 2011). Keberadaan sumberdaya ikan demersal dalam pembangunan kelautan mempunyai potensi yang cukup besar. Apabila potensi sumberdaya tersebut dimanfaatkan secara optimal maka akan memberikan kontribusi yang besar bagi peningkatan pendapatan nelayan maupun bagi pembangunan. Pada umumnya komoditas sumberdaya ikan demersal bernilai ekonomis penting. Kondisi tersebut menyebabkan peningkatan eksploitasi yang intensif pada wilayah tertentu, yang

47 17 apabila tidak dikendalikan dengan baik dapat mengancam kelestarian sumberdaya yang bersangkutan (Badrudin, 2006). Dari 9 wilayah pengelolaan sumberdaya ikan demersal, 5 wilayah pengelolaan telah mengalami kelebihan tangkap (over exploited) yaitu Selat Malaka, Laut Jawa, Laut Flores, Laut Banda, dan Samudera Hindia, 3 wilayah pengelolaan masih berada pada tangkapan rendah (under exploited) yaitu Laut China Selatan, Laut Seram dan Samudera Pasifik, dan satu wilayah tangkap penuh (fully exploited) yaitu Laut Arafuru. Sumberdaya ikan demersal Indonesia terdiri dari banyak jenis dan menyebar hampir diseluruh wilayah pengelolaan, namun produktiviktas berbeda menurut perairan. Di Laut Jawa (Badrudin at al., 1998 dalam Mallawa, 2006 ) misalnya terdapat kurang lebih 100 jenis ikan demersal ekonomis penting yang termasuk kedalam 20 famili. Jenis-jenis ikan tersebut antara lain : kakap merah/bambangan (Lutjanidae), manyung (Ariidae), gerot-gerot (Pomadasyidae), kurisi (Nemipteridae), beloso (Synodontidae), kuniran (Mullidae), layur (Trichiuridae), pepetek (Leiognathidae), dan bawal putih (Stromateidae) Ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) Ikan kakap merah memiliki klasifikasi sebagai berikut: Kingdom: Animalia, Filum: Chordata, Kelas: Actinopterygii, Ordo: Perciformes, Famili: Lutjanidae, Genus: Lutjanus dan Spesies: Lutjanus malabaricus. Ikan kakap merah hidup di laut dan lingkungan yang berasosiasi dengan terumbu karang dan biasanya mendiami perairan dengan kedalaman 9 90 m. Ciri-ciri fisik yang dimiliki antara lain: memiliki sirip punggung yang berjumlah 10 buah dengan duri lunak sirip punggung berjumlah buah, memiliki sirip dubur sebanyak 3 buah dengan duri lunak sirip dubur sebanyak 8-9 buah, hidung agak meruncing, profil bagian punggung dari kepala menurun tajam. Pada umumnya ikan kakap merah berwarna merah terang atau merah muda pada waktu segar dengan lebih intens pigmen pada bagian belakang, sirip merah atau orange, juvenile dibawah 10 cm memiliki ujung sirip caudal yang kehitaman, sering kali juga sebuah tanda kehitaman agak melengkung ditengah sirip caudal, kadang kala juga dengan garis lateral ditengah yang berwarna kekuningan mulai dari sisi operculum hingga bagian tengah sirip caudal. Biasanya hidup soliter atau

48 18 dalam kelompok kecil. Kakap merah merupakan ikan konsumsi dengan harga yang tinggi (Froese dan Paully, 2011) Ikan kakap putih (Lates calcarifer) Ikan kakap putih merupakan ikan yang mempunyai toleransi yang cukup besar terhadap kadar garam (euryhaline). Ikan kakap putih termasuk dalam Kingdom: Animalia, Filum: Chordata, Subfilum: Vertebrata, Kelas: Pisces, Subkelas: Teleostei, Ordo: Percomorphi, Famili: Centroponidae, Genus: Lates, Spesies: Lates calcarifer. Ikan kakap putih dewasa akan bermigrasi kearah muara untuk melakukan pemijahan. Ciri-ciri fisik ikan kakap putih yaitu memiliki sirip punggung sebanyak 7-9 buah dengan sirip punggung lunak sebanyak buah, memiliki sirip anus sebanyak 3 buah dengan sirip anus lunak sebanyak 7-8 buah dengan bentuk badan memanjang, mulut besar, rahang atas terdapat dibelakang mata Froese dan Pauly (2011) Ikan kerapu sunu (Plectropormus leopardus) Ikan kerapu sunu biasanya memakan jenis-jenis ikan, krustacea dan jenis cumi-cumi. Ikan ini memiliki klasifikasi sebagai berikut: Kingdom: Animalia Filum: Chordata, Kelas: Actinopterygii, Ordo: Perciformes, Famili: Serranidae, Genus: Plectropomus, Spesies: Plectropomus leopardus. Ikan ini memiliki panjang maksimum 120 cm dengan panjang yang umum ditemukan 35 cm dengan panjang at first maturity pada rentang cm. Ikan kerapu sunu biasanya hidup pada kedalaman m. Ciri-ciri yang dimiliki ikan ini antara lain: memiliki sirip punggung berjumlah 7-8 buah dengan sirip punggung lunak sebanyak buah, sirip dubur sebanyak 3 buah dengan dirip dubur lunak sebanyak 8 buah. Ikan ini berwarna kuning langsat sampai coklat kemerahan Froese dan Pauly (2011) Ikan kuwe (Caranx sexfasciatus) Ikan kuwe atau yang lebih dikenal dengan nama blue fin treavllyu termasuk ikan dasar dari golongan predator yang banyak ditemui pada daerah disekitar terumbu karang. Ikan kuwe memiliki klasifikasi sebagai berikut: Kingdom:

49 19 Animalia, Filum: Chordata, Kelas: Actinopterygii, Ordo: Perciformes, Subordo: Percoidei, Superfamili: Percoidea, Famili: Carangidae, Genus: Caranx, Spesies: Caranx sexfasciatus. Ikan ini memiliki panjang maksimum 120 cm dengan panjang umum 60 cm. Ikan kuwe hidup pada iklim 26 o C -29 o C. Ikan yang aktif mencari makan pada malam hari ini biasanya memakan jenis ikan dan krustacea. Ikan ini biasanya memiliki ciri-ciri fisik sebagai berikut: memiliki sirip punggung berjumlah 9 buah dengan sirip punggung lunak sebanyak buah, memiliki sirip dubur sebanyak 3 buah dengan sirip dubur lunak sebanyak buah. Tubuh berwarna-warni mulai dari hijau muda bagian punggung dan bagian bawah berwarna putih keperakan dengan sirip dada melengkung lancip Froese dan Pauly (2011). 2.3 Pengembangan Perikanan Pengembangan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi dibidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik (Bahari 1989 dalam Pulu, 2011). Pengembangan dapat diartikan sebagai suatu usaha perubahan dari suatu yang dinilai kurang baik menjadi sesuatu yang lebih baik atau dari suatu yang sudah baik menjadi lebih baik. Dengan kata lain pengembangan adalah suatu proses yang menuju pada suatu kemajuan. Pengembangan usaha perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan produksi dibidang perikanan dan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik. Prioritas kebijakan pengembangan perikanan khususnya untuk komoditas sumberdaya ikan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi dimasing-masing daerah akan berbeda-beda. Aspek yang harus dipenuhi dalam pengembangan suatu jenis teknologi penangkapan ikan antara lain: 1) jika ditinjau dari segi biologi tidak merusak dan mengganggu kelestarian sumberdaya; 2) secara teknis efektif digunakan; 3) secara sosial dapat diterima masyarakat dan nelayan dan; 4) secara ekonomi teknologi tersebut bersifat menguntungkan. Pengembangan jenis-jenis teknologi penangkapan ikan di Indonesia.

50 20 Aspek terbesar pada peningkatan produksi adalah kurangnya peningkatan teknologi, perluasan pasar dan biaya operasional yang tinggi, untuk itu diperlukan bantuan dari berbagai pihak untuk menyediakan modal usaha atau modal operasional yang meringankan nelayan dalam melaksanakan kegiatannya. Mengingat masih banyak lembaga keuangan yang membatasi kredit atau penyaluran modal bagi usaha bidang perikanan, terutama perikanan tangkap (Sparre dan Vanema 1999). Salah satu komponen pokok yang sensitif dan selalu menjadi ciri khas pada usaha perikanan tangkap skala kecil dan menengah adalah permasalahan permodalan. Permasalahan modal bukan disebabkan oleh tidak adanya lembaga keuangan dan kurangnya uang yang beredar, namun disebabkan sebagian besar lembaga keuangan di Indonesia kurang berminat pada kegiatan usaha perikanan, karena dianggap beresiko tinggi (high risk) mengingat hasil tangkapan nelayan tidak pasti. Lembaga keuangan pada umumnya menetapkan syarat agunan (collateral) yang sulit untuk dapat dipenuhi oleh pelaku usaha penangkapan ikan skala kecil untuk memperoleh pinjaman. Permasalahan dalam implementasi pengembangan armada perikanan tangkap dapat diklasifikasikan ke dalam dua bagian (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, 2001) yaitu: 1) Mikroteknis, yakni masalah yang muncul dan disebabkan oleh kondisi internal pengembangan armada perikanan tangkap, 2) Makro-struktural (kebijakan ekonomi makro yang kurang kondusif) yakni masalah yang muncul dan disebabkan oleh kondisi eksternal, baik ekonomimakro, politik, hukum, maupun kelembagaan. Masalah Mikroteknis meliputi : 1) Tingkat kemiskinan nelayan yang tinggi Masalah utama dalam bidang perikanan tangkap adalah tingkat kemiskinan nelayan. Hal ini terlihat dari kondisi wilayah pesisir yang identik dengan kekumuhan dan ketertinggalan. Kemiskinan struktural masyarakat pesisir yang terjadi, merupakan resultante dari berbagai masalah lainnya.

51 21 2) Rendahnya Produktivitas Dalam perikanan tangkap rendahnya produktivitas nelayan disebabkan karena tiga faktor utama, yakni sebagian besar nelayan masih merupakan nelayan tradisional dengan teknologi penangkapan yang tradisional pula, sehingga kapasitas tangkapnya rendah. Mereka memiliki berbagai keterbatasan, antara lain dalam hal pengetahuan, keterampilan, akses permodalan dan pasar serta telah terjadinya kerusakan ekosistem lingkungan laut, seperti kerusakan hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun (seagrass beds), yang merupakan habitat ikan dan organisme laut lainnya untuk memijah, mencari makan, atau membesarkan diri (nursery ground). Kerusakan lingkungan laut ini juga disebabkan oleh pencemaran, baik yang berasal dari kegiatan manusia di darat maupun di laut. 3) Gejala tangkap lebih Berkaitan dengan gejala tangkap lebih di beberapa kawasan, jenis stok sumberdaya perikanan yang telah mengalami tangkap lebih adalah udang (hampir mengalami tangkap lebih di seluruh perairan Indonesia, kecuali Laut Seram sampai Teluk Tomini, Laut Sulawesi, Samudera Pasifik, dan Samudera Hindia). Kondisi tersebut menjadi permasalahan tersendiri bagi pengelolaan sumberdaya perikanan Indonesia. Mengingat kemampuan nelayan-nelayan kita masih sangat terbatas sehingga sulit melakukan ekspansi penangkapan pada perairan ZEEI. 4) Rendahnya kemampuan penanganan dan pengolahan hasil perikanan. Diakui bahwa kemampuan teknologi pasca panen (penanganan dan pengolahan) produk perikanan sesuai dengan selera konsumen dan standarisasi mutu produk secara internasional (seperti HACCP, persyaratan sanitasi, dan lainnya) masih lemah. 5) Lemahnya kemampuan pemasaran produk perikanan Pemasaran komoditas perikanan Indonesia di pasar dalam negeri maupun ekspor, sebagian besar masih ditentukan oleh para pembeli/konsumen (buyer market). Hal ini mengakibatkan harga jual produk perikanan seringkali kurang menguntungkan pihak produsen (nelayan atau petani ikan). Ada dua faktor utama yang membuat pemasaran produk perikanan

52 22 Indonesia masih lemah. Pertama, karena lemahnya market intelligence yang meliputi penguasaan informasi tentang pesaing, segmen pasar, dan selera (preference) para konsumen. Kedua, belum memadainya prasarana dan sarana sistem transportasi dan komunikasi untuk mendukung distribusi atau penyampaian (delivery) produk perikanan dari produsen ke konsumen secara tepat waktu. 6) Tidak stabilnya harga-harga faktor produksi Panjangnya rantai pemasaran dalam proses pembelian faktor-faktor produksi berakibat pada besarnya beban harga yang harus dibayar nelayan. Selain itu, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang merupakan 60% dari biaya operasi penangkapan juga telah meningkatkan harga-harga kebutuhan nelayan. 7) Pengembangan teknologi, data dan informasi Keterbatasan teknologi informasi menyebabkan sumberdaya yang tersedia tidak dapat teridentifikasi secara memadai. Data dan informasi tentang perikanan masih tersebar dan belum tertata dengan baik dalam suatu sistem jaringan sehingga sulit mengaksesnya untuk menetapkan suatu kebijakan. Selain itu tingkat akurasi dan validasinya juga masih diragukan. Masalah Makro struktural yang meliputi : 1) Ekonomi makro yang belum kondusif bagi kemajuan perikanan Sebagai suatu sistem aquabisnis, keberhasilan perikanan tidak hanya ditentukan oleh tiga sub-sistem utamanya, yakni: (1) produksi, (2) pasca panen (penanganan dan pengolahan), dan (3) pemasaran; tetapi juga oleh sub-sistem penunjangnya yang meliputi: (1) sarana dan prasarana, (2) finansial/keuangan, (3) sumberdaya manusia dan IPTEKS, dan (4) hukum dan kelembagaan. Kebijakan pemerintah di ketujuh sub-sistem (bidang) aquabisnis perikanan dinilai secara umum belum mendukung kemajuan pembangunan perikanan, seperti kebijakan tentang kredit murah dan lunak yang belum ada, misalnya bunga sekitar 10% untuk mendukung usaha perikanan tangkap ataupun industri pengolahan dan tidak terpenuhinya investasi yang seharusnya dibutuhkan disektor perikanan tangkap dan sulitnya melakukan investasi.

53 23 2) Sistem hukum dan kelembagaan perikanan yang masih lemah Dari sisi peraturan dan perundang-undangan pada bidang perikanan, jika ditinjau dari segi materi peraturan dan perundang-undangan sudah relatif memadai, namun yang belum memadai adalah implementasinya. Untuk dapat menerapkan kebijakan pembangunan perikanan diperlukan instrumen hukum dan kelembagaan yang memadai. Kesepakatan pakar dan pengamat pembangunan perikanan dari dalam maupun luar negeri, bahwa implementasi dan penegakkan hukum (law enforcement) bidang perikanan di Indonesia dinilai masih lemah. Sanksi hukum bagi perusak lingkungan masih terlalu ringan, seperti bagi pengguna bahan-bahan peledak, bahan beracun (cyanida), dan juga aktivitas penangkapan ikan secara ilegal, penambangan karang untuk bahan bangunan, reklamasi pantai, kegiatan pariwisata yang kurang bertanggungjawab, dan seterusnya. Disisi lain, terjadi juga tumpang tindih (over lapping) kebijakan yang seringkali menimbulkan konflik kewenangan. Tidak dapat dipungkiri bahwa pengelolaan wilayah-wilayah tersebut ditangani lebih dari satu departemen yang tentu saja memiliki kepentingan yang berbeda. Padahal hubungan ekologis, biologis dan ekonomi daerah pesisir, pantai, laut, sungai maupun danau saling terkait satu dengan lainnya. Adanya tumpang tindih juga dapat dilihat dari pemahaman yang sempit mengenai otonomi daerah, khususnya yang menyangkut kewenangan dalam pengelolaan wilayah laut, baik oleh sebagian aparat di daerah, nelayan maupun masyarakat luas. Hal ini menyebabkan terjadinya konflik antar nelayan dibeberapa daerah sehubungan dengan perebutan daerah penangkapan, dispute antara pemerintah pusat dengan pemerintah provinsi, kabupaten atau kota, pemerintah provinsi dengan pemerintah kabupaten atau kota, maupun antar pemerintah kabupaten atau kota. Apabila kondisi ini berlangsung terus maka pelaksanaan pembangunan perikanan tangkap sangat dimungkinkan akan mengalami hambatan.

54 Alat Penangkapan Teknologi penangkapan merupakan disiplin ilmu yang berkaitan dengan dengan studi pengembangan, serta penerapan berbagai ilmu-ilmu sains dan teknologi. Tujuannya adalah untuk mengoptimalkan baik hasil maupun operasi penangkapan. Disiplin ini didasari oleh penerapan riset dan pengembangan untuk tujuan praktisnya. Pengkajian atau pengukuran dari keberhasilannya maupun kegagalannya didasarkan pada derajat keuntungan maupun manfaat yang ditarik dari perikanan komersial, populasi bidang perikanan dan masyarakat. Hal-hal yang berkaitan langsung dengan penangkapan mencakup: kapal ikan, alat penangkap, berbagai peralatan bantu dan instrumentasi yang dipadukan membentuk unit operasi penangkapan dengan beragam desain dan bentukbentuknya yang spesifik sesuai dengan kekhusuan yang dikehendaki. Menurut Gunarso (1985), penyediaan tempat-tempat untuk bersembunyi maupun berlindung bagi ikan sebagai salah satu jenis pikatan yang telah lama dipraktekkan orang Bubu Martasuganda (2003) menyatakan bubu adalah alat tangkap yang umum dikenal dikalangan nelayan, yang berupa jebakan, dan bersifat pasif. Bubu sering juga disebut perangkap traps dan penghadang guiding barriers. Bubu memiliki bentuk, ukuran dan teknik pengoperasian yang beranekaragam. Menurut bentuk dan teknik operasionalnya Bubu dikategorikan menjadi 3 bagian, antara lain : 1) Bubu dasar (stationary fish pots) Ukuran bubu dasar bervariasi menurut besar kecilnya yang dibuat berdasarkan kebutuhan. Dalam operasional penangkapannya bisa tunggal (umumnya bubu berukuran besar), bisa ganda (umumnya bubu berukuran sedang atau kecil) yang dalam pengoperasiannya dirangkai dengan tali panjang yang pada jarak tertentu diikatkan bubu tersebut. Hasil tangkapan dengan bubu umumnya terdiri dari jenis-jenis ikan, udang, baronang, kerapu, kakap dan lainnya.

55 25 2) Bubu apung (floating fishpots) Tipe bubu apung berbeda dengan bubu dasar. Bubu apung dilengkapi dengan pelampung dari bambu yang penggunaannya diatur sedemikian rupa yaitu ada yang diletakkan tepat pada bagian atasnya atau kurang lebih demikian. Sementara itu kadang-kadang digantungkan pada rakit bambu. Rakit bambu tersebut dilabuh melalui tali panjang dan dihubungkan dengan jangkar. Panjang tali yang digunakan biasanya 1,5 kali dari kedalaman perairan. Berbeda dengan bubu dasar, hasil tangkapan bubu apung adalah ikan-ikan pelagis. 3) Bubu hanyut (drifting fishpots) Disebut bubu hanyut karena dalam operasional penangkapannya, bubu dihanyutkan. Bubu hanyut yang terkenal adalah Pakaja. Operasionalnya dilakukan sebagai berikut : Pada sekeliling mulut pakaja diikatkan rumput laut kemudian pakaja disusur kedalam kelompok yang satu dengan yang lain berhubungan melalui tali penonda (drifting line). Bubu merupakan alat penangkapan yang efektif digunakan di perairan terumbu karang. Alat tangkap ini sangat membantu nelayan bermodal kecil karena biaya pembuatannya relatif murah dan mudah dalam pengoperasiannya (Ismail dan Nuraini, 1983). Imai (2001) menyatakan bahwa bubu dapat digunakan untuk menangkap ikan hias maupun ikan yang hidup di karang lainnya. Kelemahan bubu konvensional adalah pemasangannya biasa menggunakan karang sebagai jangkar penahan sehingga merusak karang. Ikan baru dapat dipanen setelah bubu diletakkan selama satu malam atau lebih. Untuk mengetahui berapa ikan yang telah terperangkap, nelayan harus mengangkat bubu ke permukaan atau nelayan menyelam. Keuntungan bubu adalah ikan tertangkap dalam kondisi hidup dan hanya ikan-ikan jenis tertentu saja yang tertangkap (tergantung ukuran pintu dan ukuran mess size). Irawaty (2002) menyatakan, bubu merupakan salah satu alat tangkap yang bersifat pasif dan digunakan untuk menangkap ikan karang salah satunya adalah kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus). Bubu memiliki pintu masuk yang berbentuk corong yang memungkinkan ikan mudah masuk tetapi akan sulit keluar

56 26 (non return device). Bubu memiliki dinding dengan ukuran mata yang relatif kecil sehingga memungkinkan ikan kecil yang belum memiliki nilai ekonomi tinggi akan tertangkap dan tidak dapat meloloskan diri Pancing Pancing merupakan alat tangkap yang paling umum dikenal, pada prinsipnya pancing terdiri dari komponen utama yaitu: tali (line) dan mata pancing (hook). Tali pancing dapat terbuat dari bahan benang katun, nilon, polyethylen, plastik (senar) dan lain-lain. Mata pancing terbuat dari: kawat, baja, kuningan atau bahan lain yang tahan karat. Mata pancing tersebut umumnya berkait balik, namun ada juga yang tanpa kait balik. Jumlah mata pancing yang terdapat pada tiap perangkat bisa tunggal maupun ganda tergantung dari jenis pancingnya. Sedangkan ukuran mata pancing bervariasi disesuaikan dengan ukuran ikan yang akan ditangkap (Subani dan Barus, 1989). Berdasarkan cara pengoperasinnya pancing dapat ditarik dibelakang kapal yang sedang berjalan, penangkapan dapat dilakukan pada lapisan permukaan air, pertengahan dan dasar perairan. Dapat dioperasikan pada siang dan malam hari dan dapat digunakan sepanjang tahun tanpa mengenal musim. Baskoro (2006) menyatakan dalam pengoperasiannya alat tangkap pancing bisa dipasang menetap pada suatu perairan, ditarik dari dalam perahu/kapal yang sedang dalam keadaan berjalan, dihanyutkan maupun langsung diulur/ditarik dengan tangan. Banyak jenis dari alat tangkap pancing mulai dari bentuk yang sederhana, misalnya yang digunakan untuk kesenangan semata, sampai dalam bentuk ukuran skala besar yang digunakan untuk perikanan industri. Bentuk mata pancing yang baik untuk perairan karang berdasarkan percobaan di Maldves adalah jenis circlehooks atau bentuk G. Bentuk seperti ini diperlukan untuk menghindari agar mata pancing tidak mudah tersangkut pada batu karang (FAO, 1982 dalam Baskoro et al., 2011). Menurut (Gabriel at al., 2005) penomoran mata pancing diberikan nomor 1 sampai dengan nomor 20. Semakin besar ukuran mata pancing maka semakin kecil nomor yang diberikan. Penomoran mata pancing secara baku berdasarkan lebar celah (gap) dan diameter batang (wire).

57 27 Penomoran mata pancing menurut (Prado 1990 dalam Baskoro at al., 2011) dibedakan berdasarkan tipe mata pancing, yang ditentukan oleh penampang shank pancing tersebut. Untuk shank berpenampang bulat disebut dengan tipe regular hooks. Pada tipe ini nomor mata pancing semakin kecil maka ukuran mata pancing semakin beasar. Sedangkan untuk tipe forget adalah mata pancing berpenampang shank bulat memanjang. Untuk jenis ini semakin kecil nomor maka ukuran pancing juga semakin kecil. 2.5 Metode Surplus Produksi Metode surplus produksi berhubungan dengan seluruh stok, seluruh upaya penangkapan dan total hasil tangkapan yang diperoleh dari stok, tanpa memasukkan parameter pertumbuhan dan kematian atau efek ukuran mess size pada umur ikan yang tertangkap dan sebagainya. Model surplus produksi diperkenalkan oleh Graham pada tahun 1935, akan tetapi model-model surplus produksi sering disebut model Schaefer (Sparre dan Vanema 1999). Tujuan penggunaan model surplus produksi adalah untuk menentukan tingkat upaya optimum, yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan tangkapan maksimum yang lestari tanpa mempengaruhi produktiifitas stok secara jangka panjang yang biasa disebut hasil tangkapan maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield /MSY). Gulland 1983, diacu dalam Ghandi (2010) menguraikan bahwa Maximum Sustainable Yield (MSY) adalah hasil tangkapan berimbang yang dapat dipertahankan sepanjang masa pada suatu intensitas penangkapan tertentu yang mengakibatkan biomassa sediaan ikan pada akhir suatu periode tertentu sama dengan sediaan biomassa pada permulaan periode tertentu tersebut. Maximum Sustainable Yield (MSY) mencakup tiga hal penting, yaitu memaksimalkan kuantitas beberapa komponen perikanan, memastikan bahwa kuantitas-kuantitas tersebut dapat dipertahankan dari waktu kewaktu dan besarnya hasil tangkapan merupakan alat ukur yang layak untuk menunjukkan keadaan perikanan. Parameter populasi yang disebut produksi merupakan pertambahan biomassa suatu stok ikan dalam waktu tertentu pada suatu wilayah. Jika kuantitas biomassa yang diambil melalui kegiatan perikanan persis sama dengan surplus

58 28 produksi, ini berarti perikanan tersebut berada dalam keadaan equilibrium atau seimbang. Upaya penangkapan harus mengalami perubahan substansial selama waktu yang dicakup (Sparre dan Vanema 1999). Asumsi yang digunakan dalam model surplus produksi adalah: 1) Stok ikan dianggap sebagai unit tunggal tanpa memperhatikan struktur populasinya, 2) Penyebaran ikan pada setiap periode dalam wilayah perairan dianggap merata 3) Stok ikan dalam keadaan seimbang (steady state) 4) Masing-masing unit penangkapan ikan memiliki kemampuan yang sama untuk menangkap ikan. Metode surplus produksi terdiri dari model Schaefer dan Fox, menurut Spaerre dan Vanema (1999) tidak dapat dibuktikan kalau salah satu model tersebut lebih baik dari model yang lainnya. Langkah-langkah dalam metode surplus produksi adalah: 1) Tabulasi hasil tangkapan dan upaya penanfkapan (effort) dan kemudian dihitung nilai CPUE 2) Pengeplotan nilai effort (f) terhadap nilai CPUE (c/f) dan menduga nilai intercept (a) dan slope (b) dengan regresi linier Y= a+bx 3) Pendugaan potensi lestari (MSY) 2.6 Pertumbuhan Ikan Pertumbuhan secara umum adalah pertambahan ukuran panjang atau berat dalam suatu waktu yang dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pertumbuhan dalam individu adalah pertambahan jaringan akibat dari pembelahan sel secara mitosis. Hal ini terjadi apabila ada kelebihan input energi dan asam amino (protein) yang berasal dari makanan. Bahan makanan yang masuk ke dalam tubuh akan digunakan oleh tubuh untuk metabolisme dasar, pergerakan, produksi organ seksual, perawatan bagian-bagian tubuh atau mengganti sel-sel yang tidak terpakai (Effendie, 1997).

59 29 Lebih lanjut Effendi (1997) menyatakan bahwa pertumbuhan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor dalam (keturunan, sex, umur, parasit dan penyakit) dan faktor luar (makanan, suhu perairan dan faktor-faktor kimia), 1) Keturunan Faktor keturunan dapat dikontrol dengan mengadakan seleksi untuk mencari ikan yang memiliki pertumbuhan paling baik untuk dijadikan sebagai induk sehingga akan menghasilkan keturunan yang baik juga berbeda jika kondisi ikan hidup di alam maka faktor keturunan tidak dapat dikontrol. 2) Sex Faktor ini tidak dapat dikontrol karena ada ikan betina yang memiliki pertumbuhan yang lebih baik dari ikan jantan atau sebaliknya, ada pula spesies ikan yang tidak memiliki perbedaan pertumbuhan antara ikan betina dan jantan. 3) Umur Umur sangat berperan pada pertumbuhan dimana pertumbuhan cepat terjadi pada ikan berumur 3-5 tahun. Pada ikan tua walaupun pertumbuhan terus terjadi tetapi akan berjalan sangat lambat karena sebagian besar makanan digunakan untuk pemeliharaan tubuh dan pergerakan. Tercapainya kematangan gonad untuk pertama kalinya menjadikan pertumbuhan menjadi sangat lambat, sebagian dari makanan tertuju untuk perkembangan gonad. 4) Parasit dan penyakit Dalam pertumbuhan parasit dan penyakit juga mempengaruhi terutama jika menyerang alat pencernaan makanan atau organ lain yang vital sehingga efisiensi berkurang karena kekurangan makanan yang berguna untuk pertumbuhan, namun sebaliknya pada ikan yang diserang oleh parasit yang tidak begitu hebat menyebabkan pertumbuhan ikan tersebut lebih baik dari pada ikan yang tidak diserang parasit, hal ini terjadi karena ikan lebih banyak mengambil makanan dari biasanya sehingga terdapat kelebihan makanan untuk pertumuhan. 5) Makanan Makanan yang berlebih akan menyebabkan pertumbuhan lebih pesat. Terlalu banyak individu dalam suatu perairan akan menyebabkan kompetisi terhadap makanan sehingga dalam suatu keturunan ditemukan ikan dengan ukuran yang bervariasi.

60 30 6) Suhu perairan Pada daerah yang bermusin empat dapat ditemukan suhu perairan yang turun di bawah 10 o C maka ikan perairan panas yang berada di daerah tersebut akan berhenti mengambil makanan atau mengambil makan hanya sedikit saja untuk keperluan mempertahankan kondisi tubuh. Apabila ada ikan pada daerah tropik dapat mencapai 30 cm dengan berat > 1kg dalam 1 tahun maka ikan yang sama spesiesnya di daerah bermusim empat ukuran tersebut dapat dicapai pada waktu dua atau tiga tahun. 7) Faktor-faktor kimia Pertumbuhan juga dipengaruhi faktor-faktor kimia seperti oksigen, karbon dioksida, hidrogen, sulfida, keasaman dan alkalinitas. Dalam keadaan ekstrim faktor-faktor tersebut memberikan pengaruh yang sangat hebat terhadap makanan sehingga akan mempengaruhi pertumbuhan, misalnya di bagian dasar suatu perairan terdapat hidrogen sulfida dan methana sehingga banyak ikan akan lari kepermukaan, karena ruang gerak semakin sempit akan terjadi kompetisi terhadap makanan sehingga menyebabkan pertumbuhan terganggu. Pada hubungan panjang-berat maka berat dapat dianggap sebagai fungsi dari panjang. Harga n atau b ialah harga pangkat yang harus cocok dengan panjang ikan agar sesuai dengan berat ikan menurut Carlander, 1969 dalam Effendie (1997) bahwa harga eksponen ini telah diketahui dari 398 populasi ikan berkisar 1,2-4,0, namun kebanyakan berkisar 2,4-3,5. Bilamana harga n atau b sama dengan 3 menunjukkan bahwa pertumbuhan ikan tidak berubah bentuknya atau dengan kata lain pertambahan panjang ikan seimbang dengan pertambahan beratnya atau sering disebut dengan istilah pertumbuhan isometrik. Sedangkan apabila harga n atau b lebih kecil dari 3 dinamakan pertumbuhan allometrik negatif yang artinya suatu keadaan ikan yang mana pertambahan panjang lebih cepat dari pertambahan beratnya, jika sebaliknya harga n atau b lebih besar dari 3 maka dinamakan pertumbuhan allometrik positif yang artinya ikan tersebut montok atau pertambahan berat lebih cepat dari pertambahan panjangnya.

61 31 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan data untuk kebutuhan penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2011 hingga Mei 2011 bertempat di Sibolga Propinsi Sumatera Utara (Gambar 3). Gambar 3 Peta lokasi penelitian. 3.2 Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei dengan melakukan pengukuran terhadap 4 jenis ikan ekonomis penting, yaitu ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus), kakap putih (Lates calcarifer), kerapu sunu (Plectropormus leopardus) dan kuwe (Caranx sexfasciatus). 3.3 Tahapan Pelaksanaan Penelitian Tahapan yang dilakukan dalam pelaksanaan penelitian ini antara lain: 1) Pengumpulan data hasil tangkapan, armada dan alat tangkap yang dipergunakan nelayan Sibolga untuk menangkap ikan kakap merah, kakap putih, kerapu sunu dan kuwe;

62 32 2) Mengestimasi tingkat upaya pemanfaatan ikan kakap merah, kakap putih, kerapu sunu dan kuwe di Perairan pantai Barat Sumatera; 3) Mengukur panjang dan berat ikan kakap merah, kakap putih, kerapu sunu dan kuwe hasil tangkapan bubu dan pancing yang didaratkan di Sibolga; 4) Menghitung pola pertumbuhan ikan kakap merah, kakap putih, kerapu sunu dan kuwe hasil tangkapan bubu dan pancing yang didaratkan di Sibolga; 5) Merumuskan suatu strategi pengembangan perikanan demersal dengan menggunakan analisis SWOT. Mulai Pengumpulan data lapangan tentang kondisi kegiatan perikanan demersal: 1. Hasil tangkapan dan tingkat pemanfaatan ikan demersal di Sibolga 2. Keragaan armada dan alat penangkap ikan demersal 3. Keadaan nelayan penangkap ikan demersal 4. Kebijakan pemerintah untuk perikanan demersal Pendugaan potensi perikanan demersal (Metode surplus produksi) Analisis hasil tangkapan ikan demersal (Hubungan panjang-berat) Analisis Strategi pengembangan perikanan demersal (Analisis SWOT) Menyusun strategi pengembangan perikanan demersal di perairan Sibolga Selesai Gambar 4 Diagram alir tahapan penelitian.

63 Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan melakukan pengukuran langsung terhadap panjang dan berat ikan hasil tangkapan nelayan yang mempergunakan alat tangkap bubu dan pancing. Sampel yang dikumpulkan sebanyak 75 ekor ikan per spesies dari setiap jenis alat tangkap. Pengambilan sampel terhadap armada penangkapan yang mengoperasikan bubu dan pancing sebanyak 5 trip. Wawancara dilakukan dengan mempergunakan kuesioner terhadap pihak terkait yang dibagi menjadi: nelayan (bubu dan pancing), pedagang, stakeholder (Dinas perikanan Sibolga, PPN, Tangkahan dan Pol-Air) dan pihak akademisi (Tabel 1). Tabel 1 Responden dan jumlah sampel responden No Responden Jumlah sampel (orang) 1 Nelayan bubu 4 2 Nelayan pancing 4 3 Pedagang 2 4 Dinas perikanan Kota Sibolga 2 5 Pelabuhan Perikanan Nusantara Sibolga 2 6 Tangkahan (Pelabuhan swasta) 2 7 Pol-Air 2 8 Akademisi 3 Sumber: Data primer 2011 Data sekunder dikumpulkan dari instansi terkait berupa laporan statistik perikanan dari tahun 2006 sampai 2010 (Tabel 2).

64 34 Tabel 2 Jenis data dan metode pengumpulan data No Jenis Data Metode Alat Fungsi Data primer: 1 Panjang ikan hasil tangkapan bubu dan pancing Pengukuran panjang Penggaris 2 Berat ikan hasil tangkapan bubu dan pancing 3 Jenis alat tangkap ikan demersal yang dipergunakan oleh nelayan Data sekunder: 4 Statistik perikanan kota Sibolga tahun Pengukuran berat Timbangan Mengetahui nilai length at first maturity Melihat pola pertumbuhan ikan hasil tangkapan Survei Kuesioner Mengetahui jenis alat tangkap yang dipergunakan nelayan DKP Statistik perikanan Menghitung hasil tangkapan lestari 3.5 Analisis Data Analisis surplus produksi Metode surplus produksi digunakan untuk menentukan tingkat upaya penangkapan optimum (ƒ opt ) yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan hasil tangkapan maksimum lestari (MSY). Model surplus produksi dapat diterapkan dengan mempergunakan data hasil tangkapan (catch) per unit upaya tangkap (effort) atau CPUE pada suatu daerah perairan tertentu dengan menggunakan data time series minimal lima tahun (Sparre dan Venema 1999). CPUE = c / f keterangan : c = total hasil tangkapan (ton, kg) f = total upaya penangkapan (trip) CPUE = hasil tangkapan per upaya penangkapan (kg/trip) Perhitungan nilai potensi lestari (Maximum Sustainable Yield / MSY) adalah: 1) Hubungan antara jumlah hasil tangkapan per satuan upaya penangkapan dengan upaya penangkapan (f): CPUE i = a + bf 2) Hubungan antara hasil tangkapan (c) dengan upaya penangkapan (f): c = CPUE x f c = af + bf 2

65 35 3) Upaya penangkapan optimum (E opt ) diperoleh dengan cara menyamakan turunan pertama hasil tangkapan (c) terhadap upaya penangkapan (f) dengan nol: c = af + bf 2 2 ƒ 4) MSY diperoleh dengan cara mensubstitusikan nilai upaya penangkapan optimum (E opt ): MSY = af + bf 2 MSY = (a x E op ) + (b x E 2 op ) MSY = 2 5) CPUE optimum diperoleh diperoleh dengan membagi nilai MSY yang telah diperoleh dengan nilai upaya penangkapan optimum (E opt ): Apabila mempergunakan persamaan (a) dan (b) maka: CPUE opt = CPUE opt = CPUE opt = Paremeter intersep (a) dan slope (b) secara matematik dapat dicari dengan menggunakan persamaan regresi linier sederhana, Y = a + bx. Dalam rumus surplus production, model hanya berlaku bila parameter b bernilai negatif, artinya penambahan upaya penangkapan akan menyebabkan penurunan CPUE. Sebelum melakukan perhitungan catch per unit effort (CPUE), perlu dilakukan standarisasi alat tangkap yang digunakan dengan menghitung Fishing Power Indeks (FPI). Alat tangkap yang digunakan sebagai standar adalah alat tangkap yang memiliki produktivitas tertinggi dan memiliki nilai FPI sama dengan satu. Perhitungan FPI adalah sebagai berikut :

66 36 FPIi = CPUEi / CPUEs FPIs = CPUEs / CPUEs = 1 CPUEs = Cs / Fes CPUEi = Ci / Fei Effort/upaya penangkapan standar diperoleh dengan rumus : Effort Standar (Es) = keterangan : CPUEs = Catch per unit effort atau jumlah hasil tangkapan per satuan unit penangkapan standar pada tahun ke-i CPUEi = Catch per unit effort atau jumlah hasil tangkapan per satuan upaya jenis alat tangkap yang akan distandarisasi Cs = Catch/jumlah hasil tangkapan alat tangkap yang dijadikan standar pada tahun ke-i Ci = Catch/jumlah hasil tangkapan alat tangkap yang akan distandarisasi pada tahun ke-i FEs = Jumlah upaya penangkapan (effort) jenis alat tangkap yang dijadikan standar pada tahun ke-i FEi = Jumlah upaya penangkapan (effort) jenis alat tangkap yang akan distandarisasi pada tahun ke-i FPIs = Fishing power indeks atau indeks daya tangkap jenis alat tangkap standar pada tahun ke-i FPIi = Fishing power indeks atau indeks daya tangkap jenis alat tangkap yang akan distandarisasi pada tahun ke-i Es = Effort standard/upaya penangkapan hasil standarisasi pada tahun ke-i i = 1,2,3..n

67 Analisis hubungan panjang berat Hubungan panjang-berat digunakan untuk mengetahui dan mengestimasi model pertumbuhan dan persamaan yang dipakai dalam penghitungan berat ikan adalah (Effendie, 1997): W = al b keterangan: W : Berat estimasi ikan L : Panjang ikan a, b : Konstanta panjang-berat Konstanta nilai panjang berat masing-masing ikan selanjutnya dibandingkan dengan metadata fish base (Froese dan Paully, 2011) untuk mengetahui ukuran ikan yang layak tangkap antara lain dengan indikator lenght at first maturity Analisis SWOT Penyusunan strategi pengembangan perikanan demersal dilakukan dengan pendekatan analisis SWOT. Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities) namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threast). Strategi yang diambil diidentifikasi dengan mempergunakan berbagai faktor internal dan eksternal secara sistematik dan dilanjutkan dengan perumusan. Kemudian membandingkan antara faktor internal yaitu kekuatan (Strengths) dan kelemahan (Weakness) dengan faktor eksternal yaitu peluang (Opportunities) dan ancaman (Threats) (Rangkuti, 2006). Proses yang harus dilakukan dalam analisis SWOT agar keputusan yang diperoleh lebih tepat maka perlu melalui tahapan sebagai berikut : 1) Tahap pengumpulan data, yaitu pengumpulan data, pengklasifikasian dan pra-analisis faktor eksternal dan internal. 2) Tahap analisis yaitu pembuatan matriks internal, matriks eksternal dan Matriks SWOT. 3) Tahap pengambilan keputusan

68 38 Tahap pengambilan data internal dan eksternal diadakan dengan melakukan wawancara, diskusi, survei, observasi dan menanyakan pendapat para ahli perikanan tentang: 1) kekuatan yang dimiliki dalam pengembangan perikanan demersal; 2) kelemahan-kelemahan yang menjadi penghalang dalam pengembangan perikan demersal di Sibolga; 3) peluang yang dimiliki dalam mengembangkan perikanan serta; 4) ancaman yang akan menghalangi pengembangan perikanan demersal di Sibolga. Keempat faktor tersebut merupakan kebutuhan yang akan dirumuskan untuk membuat sebuah kebijakan. Tahapan selanjutnya adalah membuat matriks faktor strategi internal (IFAS/internal strategic factor summary) dan matriks faktor strategi eksternal (EFAS/external strategic factors summary). 1) Matriks IFAS Setelah faktor-faktor strategi internal untuk pengembangan perikanan demersal di Sibolga diidentifikasi tahap selanjutnya merumuskan faktor-faktor strategi internal tersebut dalam kerangka strength dan weakness. Tahapan yang diperlukan adalah sebagai berikut: a) Penentuan faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan. b) Pemberian bobot masing-masing faktor dengan skala mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai 0,0 (tidak penting), berdasarkan pengaruh terhadap posisi strategis untuk pengembangan perikanan demersal di Sibolga. (Semua bobot jumlahnya tidak boleh melebihi skor total 1,0). c) Penghitungan peringkat (rating) untuk masing-masing faktor dengan skala mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor), berdasarkan pengaruhnya terhadap pengembangan perikanan demersal di Sibolga. Pemberian nilai rating untuk kekuatan bersifat positif (semakin besar kekuatan semakin besar pula nilai rating yang diberikan), sedangkan untuk kelemahan dilakukan sebaliknya. d) Selanjutnya perkalian bobot dengan rating, untuk menentukan skor bobot pada masing-masing faktor. e) Penjumlahan skor untuk menentukan kondisi internal pengembangan perikanan demersal di Sibolga.

69 39 2) Matriks EFAS Untuk membuat matrik faktor strategi eksternal diperlukan perumusan faktor-faktor strategi opportunities dan threats. Tahapan-tahapan yang diperlukan antara lain: a) Penentuan faktor-faktor yang menjadi peluang dan ancaman. b) Pemberian bobot masing-masing faktor mulai dari 1,0 (sangat penting) sampai dengan 0,0 (tidak penting) berdasarkan pengaruhnya terhadap faktor strategis. (Semua bobot jumlahnya tidak boleh melebihi skor total 1,0). c) Penghitungan rating untuk masing-masing faktor dengan skala mulai dari 4 (outstanding) sampai dengan 1 (poor), berdasarkan pengaruhnya terhadap kondisi pengembangan perikanan demersal di Sibolga. Pemberian nilai rating untuk peluang bersifat positif (semakin besar peluang semakin besar pula nilai rating yang diberikan), sedangkan untuk ancaman dilakukan sebaliknya (semakin besar ancaman semakin kecil nilai rating). d) Selanjutnya perkalian bobot dengan rating, untuk menentukan skor terbobot pada masing-masing faktor. e) Penjumlahan skor untuk menentukan kondisi eksternal pengembangan perikanan demersal di Sibolga. f) Selanjutnya penjumlahan total skor pembobotan untuk masing-masing faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman). Untuk memperoleh strategi yang tepat maka nilai tersebut diplotkan pada kuadran yang sesuai untuk kemudian dilakukan pembuatan matriks SWOT yang akan menjelaskan alternatif strategi yang dilakukan. Dari matriks IFAS dan matriks EFAS dapat diketahui posisi kuadran kondisi sistem saat ini. Setelah itu, dibuat matriks SWOT yang menjelaskan berbagai alternatif yang mungkin untuk strategi pengembanga perikanan demersal di Sibolga. Menurut Nurani (2010), penyusunan matriks SWOT merupakan alat pencocokan yang penting untuk mengembangkan empat tipe strategi, dimana pencocokan memerlukan kecermatan dan tidak ada satupun kecocokan terbaik.

70 40 Dalam matriks ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki. Matriks ini dapat menghasilkan empat kemungkinan alternatif strategis yaitu (Rangkuti, 2006) : 1) Strategi S-O, strategi ini memanfaatkan seluruh kekuatan untuk mendapatkan dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya. 2) Strategi S-T, strategi ini menggunakan unsur kekuatan untuk mengatasi ancaman. 3) Strategi W-O, strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan meminimalkan unsur kelemahan. 4) Strategi W-T, strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensive dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman. Tahapan selanjutnya adalah pengambilan keputusan, dalam tahapan ini perlu merujuk kembali matriks internal eksternal yang menghasilkan posisi sistem saat ini, dengan melihat posisi kuadran dari sistem sehingga dapat diketahui kombinasi strategi yang tepat (Marimin, 2004).

71 41 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Kota Sibolga Sibolga merupakan sentra produksi perikanan laut dan juga sentra distribusi/pemasaran hasil perikanan laut yang terletak di pantai Barat Indonesia tepatnya berada di pantai Barat Sumatera. Luas wilayah Sibolga sebesar 10,77 km 2 atau ha atau hanya sebesar 0,02% dari keseluruhan wilayah Sumatera Utara ( ha), wilayah Sibolga terdiri dari daratan Sumatera seluas 889,16 ha dan daratan kepulauan 187,84 ha. Kota Sibolga berada antara 1 sampai 50 meter di atas permukaan laut sehingga termasuk dalam daerah daratan rendah. Secara geografis Kota Sibolga terletak pada garis 1 o 44'-1 o 52' Lintang Utara dan 98 o 47'-98 o 50' Bujur Timur. Daerah Kota Sibolga memiliki batas sebagai berikut: sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah; sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah; sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Tengah; dan sebelah barat berbatasan dengan Teluk Tapian Nauli Kabupaten Tapanuli Tengah. Daerah ini memiliki iklim tropis dengan suhu maksimum mencapai 32,3 o C di bulan Mei Curah hujan di Kota Sibolga cenderung tidak teratur di sepanjang tahunnya. Curah hujan tertinggi terjadi di bulan September 2009 (526,1 mm), hari hujan terbanyak berada di bulan Nopember 2009 (25 hari). Sedangkan Kecepatan angin tertinggi mencapai 8 knot (bulan Juli Agustus dan September) dan terendah 6 knot terjadi di Bulan Februari Juni dan Desember. Secara ratarata, tingkat kelembapan udara di Kota Sibolga cenderung merata. Tingkat kelembaban udara paling tinggi terjadi di bulan Nopember yaitu sebesar 86 mm sedangkan yang paling rendah terjadi di Bulan Juni berkisar 76 mm (BPS Kota Sibolga, 2010). 4.2 Kondisi Perikanan Tangkap Daerah Sibolga merupakan salah satu daerah yang memiliki perairan laut di Provinsi Sumatera Utara. Pemanfaatan sumberdaya perikanan dilakukan oleh masyarakat nelayan dengan mempergunakan armada penangkapan dan alat

72 42 tangkap yang beraneka ragam. Hal ini disesuaikan dengan daerah tujuan penangkapan (fishing ground) dan jenis ikan yang menjadi target penangkapan Kapal Kegiatan penangkapan ikan merupakan sumber penghasilan utama masyarakat pesisir Sibolga. Nelayan yang melakukan usaha penangkapan ikan biasanya mempergunakan kapal sebagai armada penangkapan untuk menuju daerah fishing ground. Jenis armada perikanan yang ada diperairan laut Sibolga dibedakan menjadi beberapa kelompok yaitu: perahu tanpa motor, motor tempel, kapal yang memiliki ukuran 0 sampai >30 GT. Kapal tanpa motor biasanya dipergunakan nelayan sebagai alat penggangkut dari daerah fishing base menuju dermaga pada perairan yang memiliki kedalaman perairan yang tidak memadai sebagai tempat berlabuh kapal. Motor tempel biasanya dipergunakan nelayan sebagai alat transportasi bagi nelayan yang mempergunakan alat tangkap bagan tancap dan gillnet. Kapal dengan ukuran 0 sampai 10 GT biasanya dipergunakan untuk mengoperasikan alat tangkap bubu, dan pancing. Kapal dengan ukuran 30 sampai >50 GT biasanya dipergunakan untuk mengoperasikan pukat ikan, pukat cincin dan bagan apung. Jumlah dan jenis kapal di perairan Sibolga dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3 Jumlah dan jenis kapal di perairan Sibolga periode Tahun Perahu tanpa motor Motor tempel Kapal 0-10 GT Kapal GT Kapal 30->50 GT Sumber: Dinas perikanan dan kelautan kota Sibolga 2010 Perahu tanpa motor memiliki jumlah yang paling sedikit dibandingkan dengan perahu motor tempel dan kapal 0 sampai >50 GT. Tahun 2008 perahu tanpa motor mengalami penurunan sebesar 16 unit sedangkan pada tahun 2009 sampai 2010 mengalami peningkatan sebesar 42 unit. Motor tempel mengalami peningkatan dari tahun 2006 sampai tahun 2010 hal ini disebabkan karena nelayan lebih memilih motor tempel untuk

73 43 dipergunakan. Dalam hal penyimpanan mesin yang dipergunakan dapat dibawa dan disimpan kedalam rumah sehingga keamanan mesin lebih terjamin. Kapal 0 sampai 10 GT pada tahun 2009 mengalami penurunan sebesar 35 unit kapal hal ini disebabkan banyak nelayan menjual kapal yang berukuran kecil untuk diganti menjadi kapal yang berukuran lebih besar agar dapat mencapai daerah operasi (fishing ground) yang lebih jauh. Kapal dengan ukuran 30 sampai >50 GT mengalami penurunan dari tahun 2008 hal ini dikarenakan banyak nelayan yang melakukan perpindahan daerah penangkapan sehingga kapal tersebut tidak menyandarkan kapalnya diperairan Sibolga Alat tangkap Upaya untuk memanfaatkan sumberdaya perikanan yang ada di pantai Barat Sumatera, biasanya nelayan Sibolga mempergunakan alat tangkap seperti: pukat cincin, bagan terapung/perahu, bagan tancap, rawai tetap, gillnet, pukat ikan, pancing ulur, bubu dan serok. Untuk melihat komposisi jumlah alat tangkap di Sibolga dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Jumlah alat tangkap di Sibolga tahun No Jenis Alat Tangkap Pukat cincin Bagan terapung/perahu Bagan tancap Rawai tetap Gillnet Pukat ikan Pancing ulur Bubu Trammel net Serok Jumlah Sumber: Dinas perikanan dan kelautan kota Sibolga 2010 Alat tangkap yang paling dominan dipergunakan masyarakat Sibolga adalah pukat cincin dan bagan terapung. Alat tangkap tersebut merupakan alat tangkap yang dioperasikan nelayan untuk menangkap ikan-ikan pelagis.

74 44 Alat tangkap yang dipergunakan nelayan Sibolga untuk menangkap ikan demersal antara lain: pukat ikan, pancing ulur dan bubu. Penurunan alat tangkap pukat ikan dari tahun ke tahun disebabkan banyaknya nelayan yang berpindah daerah fishing ground sehingga nelayan berpindah daerah pendaratan ikan. Penurunan jumlah alat tangkap bubu disebabkan oleh nelayan beralih pada alat tangkap pancing Nelayan Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan usaha penangkapan ikan. Keberhasilan kegiatan operasi penangkapan ikan ditentukan oleh sumberdaya nelayan dalam menggunakan dan mengoperasikan unit penangkapan ikan yang dimiliki. Berdasarkan kepemilikan unit penangkapan ikan yang digunakan untuk usaha penangkapan ikan, nelayan dikelompokkan berdasarkan nelayan pemilik dan nelayan buruh. Nelayan pemilik adalah orang yang memiliki armada penangkapan ikan sedangkan nelayan buruh adalah orang yang bertugas untuk mengoperasikan armada penangkapan ikan. Umumnya nelayan ini memperoleh biaya operasional penangkapan ikan dari nelayan pemilik armada penangkapan. Dalam pembagian hasil tangkapan, para nelayan buruh ini mendapatkan bagian yang sudah ditentukan. Untuk lebih jelasnya nelayan berdasarkan kepemilikan armada terdapat pada Tabel 5. Tabel 5 Jumlah nelayan pemilik armada perikanan di Sibolga tahun Tahun Perahu tanpa motor Motor tempel Kapal 0-30GT Kapal >30GT Sumber: Dinas Kelautan dan Perikanan Tahun 2010

75 45 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Potensi Lestari Sumberdaya Ikan Demersal Potensi lestari sumberdaya ikan demersal dalam penelitian ini dikaji dengan menduga stok ikan dan menentukan jumlah trip dari armada penangkapan yang optimal. Fishing Power Indeks (FPI) digunakan untuk melakukan standarisasi alat tangkap (Gulland, 1983), model surplus produksi digunakan untuk menduga tingkat upaya penangkapan optimal (ƒ opt ) yaitu upaya untuk memperoleh tangkapan maksimum lestari (MSY). Model surplus produksi pada perairan pantai Barat Sumatera dihitung dengan menggunakan data hasil tangkapan (catch) per upaya penangkapan (effort) dengan menggunakan data time series lima tahun Ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) Hasil tangkapan per unit upaya penangkapan atau catch per unit effort (CPUE) membutuhkan data hasil tangkapan dan effort. Kontribusi dari alat tangkap bubu, pancing dan pukat ikan, terhadap hasil tangkapan ikan kakap merah yang didaratkan dari tahun 2006 sampai dengan 2010 adalah: 22,2%, 17,7%, 20,2%, 19,1% dan 20,8%. Hasil tangkapan ini dihasilkan oleh alat tangkap bubu (39,96%), pancing ulur (30,42%) dan pukat ikan (29,62%). Alat tangkap standar untuk menangkap ikan kakap merah yang sesuai berdasarkan nilai FPI (nilai terbesar) adalah bubu. Hasil tangkapan bubu tertinggi berada pada tahun 2008 (48,3%) dan pada tahun 2009 sampai 2010 mengalami penurunan (43,5% dan 33,3%). Penurunan hasil tangkapan bubu diiringi oleh penurunan jumlah alat tangkap yang dipergunakan oleh nelayan. Hal ini terjadi karena tingginya biaya operasional yang dibutuhkan untuk mengoperasikan alat tangkap bubu. Khususnya biaya yang dibutuhkan nelayan dalam pembuatan alat tangkap yang memiliki umur teknis selama (± 3 bulan) dengan harga Rp /unit. Nelayan bubu banyak mengalihkan usaha penangkapannya pada alat tangkap pancing. Hal ini ditempuh karena biaya operasional khususnya dari segi biaya alat tangkap lebih murah jika dibandingkan dengan alat tangkap bubu

76 46 sementara hasil tangkapan pancing juga tergolong bagus karena ikan juga tertangkap dalam kondisi hidup. Hasil tangkapan pancing dari tahun 2008 sampai dengan 2010 berbanding terbalik dari hasil tangkapan bubu. Hasil tangkapan mengalami kenaikan dari 26,6% pada tahun 2008 menjadi 40,3% pada tahun 2010 (Gambar 5). 800 Produksi (ton) Tahun Pancing ulur Bubu Pukat ikan Gambar 5 Produksi hasil tangkapan ikan kakap merah yang di daratkan di Sibolga. Dari kelima model yang telah diujikan (Schnute, Walter-Hilborn, Equilibrium Schaefer, Dis-Equilibrium Schaefer dan Clark Yoshimato Pooley) maka model Walter-Hilborn merupakan model yang paling sesuai digunakan untuk menghitung maximum sustainable yield (MSY) untuk ikan kakap merah (Tabel 6). Tabel 6 Perbandingan antara lima model untuk menghitung stok ikan kakap merah Model Kesesuaian R 2 Rata-rata tanda validasi C MSY E MSY Schnute Sesuai 0, , , Walter-Hilborn Sesuai 0, , , Equilibrium Schaefer Sesuai 0, , , ,00021 Dis-equilibrium Schaefer Tidak sesuai Clark Yoshimato Pooley Tidak sesuai

77 47 Walter-Hilborn merupakan model yang dipilih karena telah memenuhi syarat, yaitu tanda sesuai dengan persamaan (nilai intercept adalah positif, nilai variabel 1 dan 2 negatif), memiliki nilai R 2 paling tinggi yaitu 0,95511 dan ratarata nilai validasi paling rendah yaitu sebesar 0, Hasil perhitungan model Walter-Hilborn menunjukkan effort optimum untuk ikan kakap merah sebesar 2350 trip bubu per tahun dan catch MSY 1494,41 ton/tahun (Lampiran 1). Data produksi aktual tahun 2006 menunjukkan bahwa pemanfaatan ikan kakap merah telah melewati batas optimum lestari (1518,40 ton/tahun), pada tahun 2007 penangkapan belum melewati batas optimum lestari (1214,30 ton/tahun) tetapi telah melebihi effort optimum lestari (2387 trip/tahun), sedangkan untuk tahun 2008 sampai 2010 produksi masih berada di bawah batas optimum lestari (Gambar 6). Produksi (ton) Effort bubu (trip) Data aktual Batas MSY Kurva produksi surplus Gambar 6 Grafik maximum sustainable yield ikan kakap merah di pantai Barat Sumatera. Pada tahun 2006 sampai dengan 2010 hasil tangkapan kakap merah mengalami fluktuasi. Hasil penangkapan kakap merah meningkat dari tahun 2009 sampai 2010 seiring bertambahnya jumlah upaya penangkapan. Hal ini menunjukkan bahwa perikanan kakap merah di pantai Barat Sumatera berpotensi untuk dikembangkan dengan keberadaan ekosistem karang yang masih baik. Berbeda halnya dengan kondisi perikanan kakap di Bangka Belitung (Suryana, 2012) dengan nilai C MSY = 259,10 ton/tahun dan E MSY = hari operasi/tahun.

78 48 Pemanfaatan sumberdaya sudah mengalami over fishing pada tahun 2006 sampai tahun 2008 (335,89 ton/tahun, 305,19 ton/tahun, 265,37 ton/tahun) bahkan sudah terindikasi pengurasan stok sumberdaya (depleted) pada tahun (144,49 ton/tahun, 126,51 ton/tahun). Pada tahun 2009 dan 2010 walaupun tingkat upaya yang dikerahkan terus ditingkatkan ternyata tingkat produksi tetap mengalami penurunan, hal ini mengindikasikan bahwa tingkat pemanfaatan telah pengalami deplesi. Ikan kakap merah merupakan spesies yang hidup sampai pada kedalaman 60 meter, memiliki sifat soliter dan mampu melakukan migrasi dengan perbedaan salinitas yang cukup tinggi (Simbolon, 2011). Sesuai dengan hasil penelitian, ikan kakap merah di pantai Barat Sumatera dapat ditemukan sepanjang tahun dan hasil tangkapan nelayan relatif stabil. Ikan kakap merah memiliki kebiasaan melakukan migrasi ke daerah mangrove pada saat akan memijah. Umumnya ikan kakap merah yang memilih habitat karang adalah ikan yang telah berukuran dewasa dan mencari makan di sekitar karang. Sesuai dengan pernyataan Lee dan Kim (1992), ikan kakap akan mencari makan dan berlindung pada celah karang setelah memasuki tahap dewasa. Penangkapan ikan kakap merah disekitar karang juga membantu pelestarian sumberdaya ikan tersebut, karena ikan yang berada di sekitar karang tidak dalam kondisi matang gonad. Sesuai dengan pernyataan Lee dan Kim (1992), sifat ikan kakap yang beruaya pada daerah mangrove saat matang gonad menjadikan alat tangkap yang dioperasikan pada sekitar karang tetap menjaga kelestarian ikan tersebut. Hal ini juga menjadikan alat tangkap bubu merupakan alat tangkap standar untuk menangkap ikan ini. Alat tangkap bubu yang dioperasikan nelayan Sibolga diletakkan pada daerah sekitar terumbu karang dengan kedalaman sampai 70 meter. Diduga ikan kakap merah yang masuk dalam bubu merupakan ikan yang sedang berlindung pada daerah terumbu karang atau ikan-ikan yang sedang mencari makan dan masuk dalam perangkap.

79 Ikan kakap putih (Lates calcarifer) Ikan kakap putih yang didaratkan di Sibolga berasal dari perairan pantai Barat Sumatera, diperoleh dengan mempergunakan alat tangkap pancing, bubu dan pukat ikan. Hasil penangkapan ikan kakap putih dari tahun 2006 sampai dengan 2010 yaitu 20,9%, 21,5%, 16,4%, 20,5% dan 20,7%. Ketiga alat tangkap ini merupakan jenis alat tangkap yang mendominasi penangkapan ikan kakap putih sepanjang tahun. Fluktuasi hasil tangkapan nelayan Sibolga sangat dipengaruhi oleh cuaca yang terjadi di pantai Barat Sumatera. Daerah penangkapan ikan kakap putih di pantai Barat Sumatera merupakan perairan yang mendekati Samudera Hindia dan cenderung sangat di pengaruhi oleh arus. Alat tangkap yang memberikan kontribusi terbesar dalam menghasilkan ikan kakap putih adalah alat tangkap bubu, dengan proporsi yang dihasilkan pada tahun 2006 sampai dengan 2010 yaitu 46,3%, 45,0%, 48,7%, 47,5% dan 47,5%. Sedangkan kontribusi hasil tangkapan terendah dihasilkan oleh pancing dengan proporsi yang dihasilkan dari tahun 2006 sampai 2010 yaitu 13,4%, 18,0%, 23,8%, 24,4% dan 24,4%. 600 Produksi (ton) Tahun Pancing ulur Bubu Pukat ikan Gambar 7 Produksi hasil tangkapan ikan kakap putih yang di daratkan di Sibolga. Gambar 7 menunjukkan produksi ikan kakap putih yang didaratkan di Sibolga berfluktuasi dari tahun ke tahun. Fluktuasi produksi ikan kakap putih dipengaruhi oleh pengurangan jumlah alat tangkap yang dioperasikan nelayan Sibolga karena tingginya biaya operasional melaut serta banyak nelayan yang

80 50 berpindah daerah pendaratan ikan seperti ke Sumatera Barat dan Tanjung Balai Asahan untuk mengurangi biaya operasional melaut, hal lain yang mempengaruhi produksi ikan kakap putih yaitu faktor alam seperti cuaca, musim, angin dan arus. Nilai hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE) menunjukkan besarnya produktivitas armada perikanan dan kelimpahan sumberdaya ikan. Berdasarkan perhitungan nilai FPI diperoleh bahwa bubu menjadi alat tangkap standar yang dipergunakan untuk menangkap ikan kakap putih. Model yang dipilih untuk menghitung MSY adalah Walter-Hilborn. Model ini dipilih karena memiliki tanda yang sesuai dengan persamaan, nilai R 2 paling tinggi 0,95168 dengan nilai validasi terendah 0,13419 (Tabel 7). Tabel 7 Perbandingan antara lima model untuk menghitung stok ikan kakap putih Model Kesesuaian R 2 Rata-rata tanda validasi C MSY E MSY Schnute Sesuai 0, , , Walter-Hilborn Sesuai 0, , , Equilibrium Schaefer Sesuai 0, , , ,00027 Dis-equilibrium Schaefer Tidak sesuai Clark Yoshimato Pooley Tidak sesuai Model Walter-Hilborn menghasilkan nilai effort optimum sebanyak 1772 trip bubu per tahun dan catch MSY sebesar 1260,89 ton/tahun. Gambar 8 menunjukkan maximum sustainable yield ikan kakap putih di pantai Barat Sumatera. Produksi (ton) Effort bubu (trip) Data aktual Batas MSY Kurva produksi surplus Gambar 8 Grafik maximum sustainable yield ikan kakap putih di pantai Barat Sumatera.

81 51 Pemanfaatan sumberdaya ikan kakap putih secara lestari berada pada nilai 1260,89 ton/tahun, pada tahun 2006 sampai 2010 pemanfaatan masih berada di bawah batas pemanfaatan lestari (Lampiran 2). Data tersebut diperoleh dari hasil tangkapan yang berfluktuasi dari tahun ketahun, hasil tangkapan tertinggi terjadi pada tahun 2007 dan terendah berada pada tahun 2008 hal ini terjadi karena pada tahun 2008 terjadi penurunan jumlah effort yang sangat signifikan dari tahun 2006 dan 2007 karena adanya kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga bahan bakar minyak sehingga nelayan banyak tidak melaut. Pada tahun 2009 dan 2010 meskipun effort mengalami penurunan namun memberikan hasil tangkapan yang lebih tinggi bila dibandingkan tahun Ikan kakap putih merupakan target penangkapan dari alat tangkap bubu. Bubu yang dioperasikan nelayan Sibolga diletakkan pada daerah sekitar terumbu karang yang menjadi habitat dari ikan kakap putih dengan perendaman selama 7 sampai 10 hari. Kakap putih merupakan kelompok ikan karang yang termasuk dalam keluarga Lutjanidae. Sifat ikan ini cenderung mendiami ekosistem yang relatif berpindah saat terjadi perubahan usia (Jeyaseelan, 1998). Ikan ini akan mendiami ekosistem mangrove saat masih berukuran juvenil dan jika akan memijah, kemudian saat mulai tumbuh dewasa ikan kakap putih akan mulai memasuki perairan yang lebih dalam dan bergerak ke arah padang lamun. Ikan kakap putih memiliki sifat sedentary yaitu menetap dalam waktu yang cukup lama setelah berumur dewasa. Sesuai dengan hasil tangkapan bubu nelayan Sibolga, ikan kakap putih yang masuk pada bubu rata-rata memiliki ukuran bobot di atas 600 gram. Jika nilai bobot ini dikorelasikan dengan nilai length at first maturity kakap putih, ukuran panjang 30 cm telah memberikan bobot sebesar 400 gram. Perbandingan nilai ini telah menunjukkan bahwa ikan kakap putih yang tertangkap oleh bubu telah memiliki ukuran yang layak tangkap Ikan kerapu (Epinephelus sp) Komposisi hasil tangkapan ikan kerapu yang didaratkan di Sibolga berasal perairan pantai Barat Sumatera dengan mempergunakan alat tangkap bubu, pancing ulur dan pukat tarik. Hasil tangkapan dari tahun 2006 sampai 2010 adalah 17,0%, 19,9%, 17,8%, 22,7% dan 22,5%. Persentase alat tangkap yang

82 52 memberikan kontribusi paling tinggi adalah bubu. Bubu memberikan kontribusi ikan kerapu dari tahun 2006 sampai 2010 sebesar 36,5%, 43,1%, 48,9%, 48,9% dan 49,7%. Kontribusi bubu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. (Gambar 9). 600 Produksi (ton) Bubu Pancing ulur Pukat tarik Tahun Gambar 9 Produksi hasil tangkapan ikan kerapu yang didaratkan di Sibolga. Perhitungan hasil tangkapan per unit upaya penangkapan (CPUE) diperoleh nilai fishing power indeks (FPI) tertinggi pada alat tangkap bubu, dimana alat tangkap ini memberikan kontribusi sebesar 49,4% dari seluruh alat tangkap yang menangkap ikan kerapu. Model yang dipilih untuk menghitung maximum sustainable yield (MSY) pada ikan kerapu adalah Walter-Hilborn dengan nilai R 2 0, Nilai rata-rata validasi dari perhitungan hasil tangkapan kerapu diperoleh sebesar 0,28. Model Walter-Hilborn menunjukkan nilai effort optimum sebanyak 2250 trip bubu per tahun dan catch MSY 1408,37 ton/tahun (Tabel 8).

83 53 Tabel 8 Perbandingan antara lima model untuk menghitung stok ikan kerapu Model Kesesuaian R 2 Rata-rata tanda validasi C MSY E MSY Schnute Sesuai 0, , , Walter-Hilborn Sesuai 0, , , Equilibrium Schaefer Tidak sesuai Dis-equilibrium Schaefer Tidak sesuai Clark Yoshimato Pooley Tidak sesuai Perhitungan dengan mempergunakan model Walter-Hilborn menghasilkan nilai effort optimum sebanyak 2250 trip bubu per tahun dan catch MSY sebesar1408,38 ton/tahun. Gambar 10 menunjukkan grafik produksi surplus ikan kerapu. Data aktual hasil tangkapan ikan kerapu menunjukkan bahwa penangkapan belum mengalami batas over fishing, namun pada tahun 2006 effort telah melebihi batas optimum lestari Produksi (ton) Effort bubu (trip) Data aktual Batas MSY Kurva produksi surplus Gambar 10 Grafik maximum sustainable yield ikan kerapu di pantai Barat Sumatera. Hasil tangkapan ikan kerapu menunjukkan peningkatan yang signifikan dari tahun 2008 sampai tahun Penurunan jumlah upaya penangkapan ikan kerapu pada Tahun 2009 telah memberikan pengaruh yang signifikan pada kenaikan jumlah hasil tangkapan. Pada tahun 2010 upaya penangkapan ikan kerapu mulai mengalami penurunan dan hasil tangkapan nelayan terhadap ikan kerapu tidak mengalami peningkatan. Perubahan hasil tangkapan ini menunjukkan

84 54 bahwa pengoperasian alat tangkap terhadap sumberdaya ikan karang tidak sematamata dipengaruhi oleh jumlah upaya penangkapan. Sesuai dengan pernyataan Cann (1990), profitabilitas sebuah alat tangkap sangat dipengaruhi oleh kemampuan alat tangkap dalam menghasilkan ikan target. Ikan kerapu yang tertangkap oleh bubu di pantai Barat Sumatera kemungkinan besar telah berada pada ukuran yang layak tangkap, sehingga penurunan upaya penangkapan kerapu dengan bubu justru memberikan kesempatan kepada ikan berukuran besar untuk masuk ke dalam perangkap. Hal ini semakin diperkuat dengan hasil pengukuran kerapu yang didominasi pada ukuran melebihi nilai length at first maturity. Ikan kerapu merupakan jenis ikan demersal yang banyak ditemukan pada daerah karang di paparan benua tropis (Lounghurst dan Pauly, 1987). Sesuai dengan pernyataan ini, pantai Barat Sumatera merupakan ekosistem yang cukup baik untuk pertumbuhan ikan karang. Hal ini diperkuat dengan hasil tangkapan nelayan yang mampu menangkap ikan kerapu sepanjang tahun tanpa adanya pengaruh musim. Ikan kerapu tergolong pada kelompok ikan demersal yang hidup menetap dan memiliki pola gerak yang cenderung lambat. Ikan demersal dengan pola gerak seperti ini akan memiliki kandungan eritrosit dan haemoglobin yang relatif lebih rendah (Techilina, 1992). Sifat ikan yang memiliki pola gerak lambat akan mempengaruhi pola migrasinya, sehingga ikan kerapu cenderung tertangkap sepanjang tahun pada bubu yang ditempatkan di sekitar karang Ikan kuwe (Caranx sexfasciatus) Ikan kuwe merupakan ikan demersal yang hidup berasosiasi dengan karang. Pukat ikan merupakan alat tangkap standar yang dapat digunakan untuk menangkap ikan kuwe di pantai Barat Sumatera. Untuk menghitung hasil tangkapan per unit upaya penangkapan atau catch per unit effort (CPUE) maka diperlukan data hasil tangkapan dan effort. Alat yang dipergunakan nelayan Sibolga untuk menangkap ikan kuwe antara lain: pukat ikan, pukat cincin, jaring insang, pancing ulur dan bubu. Hasil tangkapan ikan kuwe yang didaratkan di Sibolga dari tahun 2006 sampai dengan 2010 adalah: 17,5%, 22,8%, 17,3%, 23,5% dan 19%. Pada tahun 2009 merupakan

85 55 hasil tangkapan ikan kuwe yang paling banyak (23,5%) dan pada tahun 2010 mengalami penurunan menjadi 19%. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari nelayan bahwa hasil tangkapan ikan kuwe yang didaratkan di Sibolga berasal dari penangkapan ikan di perairan pantai Barat Sumatera. Berdasarkan nilai FPI diperoleh hasil bahwa pukat ikan merupakan alat tangkap standar yang dipergunakan untuk menangkap ikan kuwe. Pukat ikan memberikan kontribusi hasil tangkapan sebesar 73,4% dari seluruh alat tangkap yang menangkap ikan kuwe. Perhitungan potensi ikan kuwe dapat dilihat pada Lampiran 4. Schnute merupakan model yang paling sesuai untuk menghitung MSY ikan kuwe. Model ini memenuhi syarat dengan tanda sesuai dengan persamaan (intercept bernilai positif serta variabel 1 dan 2 bernilai negatif), memiliki nilai R 2 paling tinggi yaitu 0,98 dan nilai rata-rata validasi paling kecil sebesar 0,23. Model Schnute untuk ikan kuwe menunjukkan effort optimum sebanyak 5280 trip pukat ikan per tahun dengan nilai catch MSY sebesar 1750,98 ton/tahun (Tabel 9). Tabel 9 Perbandingan antara lima model untuk menghitung stok ikan kuwe Model Kesesuaian R 2 Rata-rata tanda validasi C MSY E MSY Schnute Sesuai 0,98 0, , Walter-Hilborn Tidak sesuai Equilibrium Schaefer Sesuai 0,76 0,96 0, ,00019 Dis-equilibrium Schaefer Tidak sesuai Clark Yoshimato Pooley Tidak sesuai Gambar 11 menunjukkan grafik MSY untuk ikan kuwe. Kurva produksi surplus menunjukkan bahwa produksi ikan kuwe dari tahun 2006 sampai 2010 masih berada pada garis yang belum terindikasi kelebihan tangkap. Penurunan effort dari tahun 2009 sampai 2010 menyebabkan penurunan produksi.

86 Produksi (ton) Effort pukat ikan (trip) Data aktual Batas MSY Kurva produksi surplus Gambar 11 Grafik maximum sustainable yield ikan kuwe di pantai Barat Sumatera. Ikan kuwe memiliki sifat bermigrasi aktif dan berenang secara scholing serta tidak mendiami daerah ekosistem karang dalam waktu yang cukup lama. Sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan, pukat ikan merupakan alat tangkap standar yang digunakan untuk menangkap ikan kuwe. Ikan kuwe sering dikategorikan sebagai ikan demersal karena sering tertangkap bersama kelompok ikan karang yang lain. Sebenarnya ikan ini merupakan jenis ikan yang melakukan asosiasi terhadap ekosistem terumbu karang, sering berada di celah karang untuk mencari makanan dan tergolong sebagai predator aktif dalam rantai makanan yang terbentuk pada ekosistem terumbu karang. Sesuai dengan pernyataan (Lee dan Kim, 1992) variasi kelimpahan ikan kuwe sangat dipengaruhi oleh musim. Ikan kuwe dapat melakukan migrasi yang cenderung lebih jauh jika dibandingkan dengan ikan kerapu. Secara vertikal daerah renang ikan kuwe sering ditemukan pada perairan menengah sampai perairan dasar. Hasil perhitungan penangkapan ikan kuwe yang didaratkan di Sibolga menunjukkan bahwa pukat ikan merupakan alat yang paling produktif menangkap jenis ikan tersebut. Alat ini merupakan jenis alat tangkap yang dioperasiakn pada perairan menengah sampai perairan dasar. Pada saat melakukan migrasi untuk mencari makan, ikan ini sering tertangkap pada kantong jaring pukat ikan. Menurut Subani dan Barus (1989), pengoperasian pukat ikan sangat dipengaruhi oleh gerakan massa air atau arus. Alat ini dioperasikan pada mid

87 57 water yang memiliki kecepatan arus di bawah 1,54 m/s. Pantai Barat Sumatera merupakan karakteristik yang cukup baik bagi pengoperasian pukat ikan. Kesuksesan pengoperasian pukat ikan juga ditunjang oleh dinamika oseaonografi yang relatif stabil. Kondisi seperti ini merupakan daerah perairan yang disukai oleh kelompok ikan Carrangidae seperti jenis kuwe untuk mencari makan (feeding area). Perairan yang memiliki kondisi oseanografi relatif stabil akan mempengaruhi kelimpahan fitoplakton, sehingga akan membentuk pola rantai makanan yang kompleks. Pola rantai makanan yang berjalan dengan baik akan mempengaruhi ketersediaan sumberdaya ikan di sekitar daerah tersebut. Kondisi ini telah menunjang usaha penangkapan ikan kuwe dengan pukat ikan di pantai Barat Sumatera. 5.2 Analisis Hasil Tangkapan Ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) Pengukuran ikan kakap merah sebanyak 75 ekor untuk alat tangkap bubu secara berturut-turut di dominasi pada ukuran cm sebanyak 44%, ukuran diatas 40 cm sebanyak 29% dan ukuran cm sebanyak 27%. Alat tangkap pancing secara berturut-turut mengangkap ikan kakap merah dengan ukuran cm sebanyak 55%, ukuran diatas 40 cm sebanyak 28%, ukuran cm sebanyak 16% dan ukuran dibawah 20 cm sebanyak 1% (Gambar 12). Ikan kakap merah berada pada nilai panjang pertama kali matang gonad menurut metadata (Froese dan Paully, 2011) adalah pada ukuran 47,3 cm. Hasil pengukuran panjang total (total length) ikan kakap merah yang diperoleh dengan alat tangkap bubu didominasi pada ukuran dibawah 47,3 cm sebanyak 65 ekor (87%) dan ukuran diatas 47,3 cm sebanyak 10 ekor (13%). Ikan kakap merah yang diperoleh dengan alat tangkap pancing juga didominasi pada ukuran dibawah 47,3 cm sebanyak 69 ekor (92%) dan pada ukuran dibawah 47,3 cm sebanyak 6 ekor (8%).

88 58 Jumlah (%) Length at first maturity 47,3 cm Jumlah (%) Length at first maturity 47,3 cm >40 0 < >40 Rata-rata panjang total (cm) Rata-rata panjang total (cm) (a) Gambar 12 Ukuran ikan kakap merah hasil tangkapan bubu (a) dan pancing (b). (b) Pengukuran panjang ikan hasil tangkapan bubu dan pancing bila dibandingkan nilai panjang pertama kali matang gonad pada metadata (Froese dan Paully, 2011) bahwa ikan kakap merah tertangkap dengan bubu dan pancing sebanyak 89,5% merupakan ikan yang masih muda sedangkan 10,5% merupakan ikan yang berada pada ukuran yang sudah melewati panjang pertama kali ikan matang gonad. Hasil pengukuran sampel yang dilakukan pada hasil tangkapan bubu diperoleh ukuran panjang minimum 25 cm dengan berat 300 gram dengan panjang maksimum 54 cm dengan berat 1900 gram. Sedangkan hasil pengukuran hasil tangkapan pancing diperoleh ukuran panjang minimum 20 cm dengan berat 250 gram dan panjang maksimum 65 cm dengan berat gram. Ikan kakap merah merupakan ikan yang tersebar luas di perairan Indonesia. Berdasarkan data statistik perikanan Indonesia tahun 2000, bahwa setiap provinsi di Indonesia menghasilkan ikan kakap merah. Penyebaran daerah penangkapan ikan kakap merah sumatera adalah: sebelah utara dan barat Perairan Aceh, pantai Timur dan Barat Sumatera Utara, Bengkalis, Bangka-Belitung, pantai Sumatera Barat, Bengkulu dan pantai Timur Lampung (DIRJEN PERIKANAN, 1979 dalam Simbolon, 2011). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Andamari et al. (2004) bahwa ukuran ikan kakap merah betina terkecil yang didaratkan di Sape dan Kupang dengan

89 59 bobot 400 gram yang diperoleh pada bulan Juli 2001, sedangkan ikan jantan terkecil yang didaratkan di Sape pada ukuran panjang 23 cm dan bobot 370 gram serta terbesar pada ukuran 69 cm dengan bobot 8100 gram. Di Kupang ukuran jantan yang terkecil mempunyai panjang 24,2 cm dan bobot 400 gram serta yang terbesar mempunyai panjang 70,4 cm dengan bobot 7750 gram. Selanjutnya disebutkan juga bahwa di Sape dan Kupang ukuran terkecil ikan kakap merah matang gonad dengan panjang standar 42 cm dan berat 2000 gram. Ikan kakap merah ini mulai terdapat gonad (tingkat I) pada ukuran panjang standar 24 cm dengan berat 400 gram. Penelitian Brouard dan Grandperrin (1984) dalam Andamari et al.(2004) di Vanuatu ikan Lutjanus malabaricus matang gonad pada ukuran panjang 35 cm. Penelitian yang dilakukan oleh Rijal (2004) bahwa ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) yang tertangkap dengan pancing rawai di perairan Karimun Jawa yang didaratkan di Juwana pada bulan Juli 2003 dengan sampel sebanyak 161 ekor diperoleh ukuran panjang dengan kisaran 24 cm sampai 72 cm dengan kisaran berat 250 gram sampai gram. Jika dibandingkan dengan hasil tangkapan nelayan Sibolga, ikan kakap merah yang ditangkap oleh nelayan Karimun Jawa memiliki ukuran yang relatif sama dengan kakap merah di pantai Barat Sumatera. Menurut Longhurst dan Pauly (1987), ada banyak ikan tropis dari kelompok bentik dan demersal yang memiliki pola pertumbuhan yang sama. Ketersediaan makanan dan kondisi ekosistem yang relatif sama dengan keberadaan terumbu karang telah membuat ikan kakap merah banyak ditemukan di sepanjang perairan dasar Indonesia. Ditambahkan Longhurst dan Pauly (1987) perubahan distribusi ikan demersal juga dipengaruhi oleh kondisi oseanografi di sekitar habitatnya. Sesuai dengan pernyataan tersebut, pantai Barat Sumatera cenderung memiliki perubahan arus ekstrim yang lebih besar dari pada Karimun Jawa karena perairan ini lebih terbuka dan bersinggungan dengan laut lepas. Hal ini telah mendorong proses migrasi pada kakap merah lebih sering terjadi di pantai Barat Sumatera daripada Karimun Jawa. Pola migrasi yang lebih aktif akan memberikan pengaruh pertumbuhan terhadap ikan, sehingga kakap merah pada perairan Karimum Jawa

90 60 dan Kupang cenderung memiliki bobot yang lebih besar dari perairan pantai Barat Sumatera. Ikan kakap merah termasuk kelompok ikan buas (predator) yang bersifat carnivor, aktif mencari makan pada malam hari (nocturnal) dan makanan utamanya adalah ikan-ikan kecil, invertebrata dasar, kepiting, udang dan krustasea. Ikan ini juga memiliki sifat multiple spawner (dapat memijah beberapa kali dalam satu musim pemijahan). Hal ini terlihat pada gonad Lutjanus malabaricus yang bersifat asynchronous yaitu dalam satu gonad terdapat beberapa tingkat kematangan (Andamari et al., 2004). Sesuai dengan hasil penelitian ini, ikan kakap merah yang memiliki sel telur dan sperma berada pada ukuran yang bervariasi. Ikan kakap merah hasil tangkapan bubu dan pancing pada umumnya tidak berada pada kondisi matang gonad. Hal ini dipertegas oleh Jeyaseelan (1998) bahwa kakap merah akan melakukan migrasi menuju mangrove pada saat matang gonad. Hal ini memberikan bukti bahwa ikan kakap merah yang tertangkap oleh bubu dan pancing pada umumnya merupakan ikan dewasa yang sedang mencari makan dan berlindung di sekitar celah karang Ikan kakap putih (Lates calcarifer) Ikan kakap putih yang tertangkap dengan mempergunakan alat tangkap bubu pada ukuran cm sebanyak 14 ekor atau 19% dari total ikan sampel, ukuran cm sebanyak 43 ekor atau 57% dan ukuran di atas 40 cm sebanyak 18 ekor atau 24%, sedangkan ikan kakap putih yang tertangkap dengan pancing pada ukuran cm sebanyak 16 ekor (21%), ukuran cm sebanyak 41 ekor (55%) dan ukuran diatas 40 cm sebanyak 18 ekor (24%). Berdasarkan metadata (Froese dan Paully, 2011) ikan kakap putih mengalami fase length at first maturity pada ukuran cm. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa ikan kakap putih hasil tangkapan bubu ukuran diatas 29 cm berjumlah 64 ekor (85%) dan dibawah 29 cm berjumlah 11 ekor (15%). Pengukuran hasil tangkapan pancing yang tertangkap pada ukuran di atas 29 cm berjumlah 62 ekor (83%) dan di bawah 29 cm berjumlah 13 ekor (17%) (Gambar 13).

91 Jumlah (%) Length at first maturity 29 cm Jumlah (%) Length at first maturity 29 cm > >40 Rata-rata panjang total (cm) Rata-rata panjang total (cm) (a) Gambar 13 Ukuran ikan kakap putih hasil tangkapan bubu (a) dan pancing (b). (b) Ikan kakap putih merupakan salah satu target tangkapan utama bubu dan pancing. Ikan ini memiliki sifat soliter oleh sebab itu ikan ini sering tertangkap dalam ukuran yang bervariasi. Berdasarkan hasil pengukuran yang dilakukan bahwa ikan kakap putih yang tertangkap dengan mempergunakan bubu dan pancing mayoritas ikan yang sudah dewasa. Hal ini sesuai dengan sifat ikan tersebut yang akan melakukan ruaya ke daerah muara untuk memijah, ikan-ikan kecil akan bertumbuh pada daerah muara dan kan-ikan dewasa akan bermigrasi ke laut yang lebih dalam dan akan menetap dalam waktu yang lebih lama di sekitar daerah mangrove. Penyebaran habitat dan kecepatan pertumbuhan ikan kakap putih sangat dipengaruhi oleh kelimpahan makanan dan kondisi lingkungan. Ikan ini akan bermigrasi ke tempat lain yang lebih sesuai (cocok) apabila habitatnya tercemar. Perkembanga larva di tempat pemijahan (spawning area) sangat tergantung pada persediaan makanan. Tingkat keberhasilan rekruitment telur/larva menjadi ikan dewasa juga sangat tergantung pada kehadiran hewan pemangsa (predator) disekitar spawning area (Simbolon, 2011). Sesuai dengan pernyataan Jayaseelan (1998) kakap putih merupakan jenis ikan katadromous yaitu ikan yang didibesarkan di air tawar tetapi mengalami perkawinan di laut. Secara tidak langsung, ikan kakap putih yang tertangkap pada pancing dan bubu merupakan ikan yang sudah dalam kondisi dewasa. Hal ini

92 62 dikarenakan bubu dan pancing nelayan dioperasikan pada perairan laut yang ada di sepanjang pantai barat Ikan kerapu sunu (Plectropormus leopardus) Hasil tangkapan ikan kerapu sunu dengan mempergunakan alat tangkap bubu 35% berada pada ukuran diatas 40 cm, 33% pada ukuran cm dan 32% ukuran cm. Hasil tangkapan dengan mempergunakan pancing paling banyak diperoleh pada ukuran di atas 40 cm sebanyak 57%, ukuran cm sebanyak 27 %, ukuran 21-30cm sebanyak 15% dan ukuran di bawah 20 cm sebanyak 1% (Gambar 14) Jumlah (%) Length at first maturity 21 cm Jumlah (%) Length at first maturity 21 cm >40 0 < >40 Rata-rata panjang total (cm) Rata-rata panjang total (cm) (a) Gambar 14 Ukuran ikan kerapu sunu hasil tangkapan bubu (a) dan pancing (b). (b) Ikan kerapu sunu berada pada panjang pertama kali matang gonad berdasarkan metadata (Froese dan Paully, 2011) yaitu dengan ukuran panjang cm, berdasarkan pengukuran sampel diperoleh 99,5% ikan kerapu sunu yang tertangkap dengan alat tangkap bubu dan pancing sudah barada pada panjang pertama kali ikan mengalami matang gonad. Sementara 0,5% adalah hasil tangkapan ikan muda. Biasanya ikan muda yang tertangkap sengaja dipancing nelayan untuk dijadikan sebagai umpan, tetapi ikan yang tidak habis terpakai sebagai umpan tetap didaratkan nelayan sebagai hasil tangkapan.

93 63 Ikan kerapu sunu merupakan ikan yang menyebar pada perairan tropis dan sub tropis (Simbolon, 2011) dimana pantai Barat Sumatera merupakan salah satu daerah tempat ikan ini ditemukan. Ikan kerapu sunu biasanya ditemukan di daerah terumbu karang sehingga bubu dan pancing merupakan alat tangkap yang paling cocok dipergunakan untuk menangkap ikan tersebut. Penelitian yang dilakukan Andamari (2005) diperoleh deskripsi panjang dan bobot ikan kerapu sunu yang disampling dari perairan Maluku Tengah (Teluk Piru), Sulawesi Utara (Manado), Gorontalo dan Pulau Bacan (Maluku Utara) dengan panjang 18,5 cm sampai 43,7 cm dengan bobot 230 gram sampai gram. Beliau juga menyimpulkan bahwa ikan kerapu sunu yang di daratkan di Perairan Sulawesi dan Maluku berada pada tahap awal matang gonad dan belum ada yang hidrasi pada ukuran 625 gram. Hasil pengukuran sampel yang dilakukan bahwa ikan kerapu sunu yang didaratkan di Sibolga memiliki berat minimum 250 gram dan berat maksimum gram. Bila hasil sampling yang dilakukan di Maluku Tengah dibandingkan dengan hasil pengukuran terhadap hasil tangkapan nelayan Sibolga tidak memberikan hasil yang begitu berbeda. Hal ini juga didukung oleh kondisi terumbu karang di perairan pantai Barat Sumatera yang masih tergolong bagus yang dijadikan sebagai daerah COREMAP II oleh Departemen Kelautan dan Perikanan. Salah satu ukuran untuk menentukan tingkat kematangan gonad adalah indeks kematanagan gonad (IKG). Hal ini diterapkan bila tidak dilakukan pengamatan gonad secara histologi. Andamari (2005) yang melakukan penelitian secara histologi dan membandingkan penghitungan indeks kematangan gonad menyimpulkan bahwa ikan yang lebih panjang dan lebih berat tidak selalu mempunyai nilai IKG yang tinggi. Nilai IKG lebih ditentukan oleh tingkat kematangan gonadnya sendiri. Ukuran ikan yang lebih kecil tetapi berada pada kondisi tingkat kematangan gonad yang sudah lanjut (TKG V) akan mempunyai nilai IKG yang lebih tinggi. Ikan kerapu sunu termasuk jenis ikan hermaprodit protogini yaitu berubah kelamin dari betina menjadi jantan pada ukuran tertentu. Pergantian kelamin (sex reversal) tidak dapat ditentukan secara visual karena dari pengamatan gonad

94 64 secara histologis ikan kerapu sunu pada ukuran yang sama dapat berjenis kelamin betina, jantan ataupun hermaprodit (Andamari, 2005). Menurut Taurusman (2011) secara ekologis, eksploitasi yang meningkat pada biota demersal dan ikan karang akan lebih merugikan keberlanjutan sumberdaya ikan bila dibandingkan dengan eksploitasi pada ikan pelagis. Intensitas kegiatan penangkapan ikan pada ekosistem terumbu karang berdampak merusak bagi ekosistem tersebut Ikan kuwe (Caranx sexfasciatus) Pengukuran ikan kuwe hasil tangkapan bubu didominasi oleh ukuran cm sebanyak 67%, ukuran dibawah 20 cm sebanyak 20% dan sisanya pada ukuran cm sebanyak 13%. Pengukuran hasil tangkapan dengan mempergunakan pancing didominasi pada ukuran cm sebanyak 61%, ukuran dibawah 20 cm sebanyak 24%, ukuran sebanyak 9% dan sisanya pada ukuran diatas 40 cm sebanyak 5% (Gambar 15) Jumlah (%) Length at first maturity 42 cm Jumlah (%) Length at first maturity 42 cm 0 < >40 Rata-rata panjang total (%) 0 < >40 Rata-rata panjang total (cm) (a) (b) Gambar 15 Ukuran ikan kuwe hasil tangkapan bubu (a) dan pancing (b). Ikan kuwe yang tertangkap dengan alat tangkap bubu dan pancing mayoritas ikan-ikan muda (98%) sedangkan 2% berada pada kondisi length at first maturity. Ikan-ikan yang tertangkap pada kondisi muda dalam jumlah yang banyak akan

95 65 mengakibatkan kondisi growth over fishing karena ikan sudah tertangkap sebelum ikan melakukan pemijahan. Menurut Jeyaseelan (1998), keseimbangan ekologi sumberdaya ikan karang sangat dipengaruhi oleh pola penangkapan ikan tersebut. Penangkapan ikan pada kondisi muda sebenarnya telah memberikan pengaruh yang negatif terhadap nilai ekonomi ikan tersebut. Hasil tangkapan ikan kuwe pada pantai Barat Sumatera akan masuk pada kategori ekspor jika telah berukuran lebih dari 1000 gram. Pola penangkapan ikan kuwe yang tertangkap pada bubu dan pancing harus mulai diperbaiki melalui metode penangkapan yang berwawasan lingkungan. Secara ekologi, memberikan kesempatan ikan kuwe untuk melewati masa pemijahan dalam sekali siklus hidupnya akan membantu kelangsungan sumberdaya ikan tersebut. Sesuai dengan ekosistem pantai Barat Sumatera yang memiliki pulau-pulau kecil, daerah ini banyak ditumbuhi vegetasi mangrove. Mangrove merupakan daerah spawning ground yang sangat baik untuk ikan kuwe, sehingga jika nelayan memperbaiki metode penangkapan ikan kuwe dengan memperbesar mesh size kawat bubu atau mata pancing maka keberlangsungan sumberdaya ikan kuwe dapat terus terjaga. 5.3 Pola Pertumbuhan Ikan Demersal Analisis tentang panjang berat sangat penting dalam perikanan sebagai informasi dasar untuk biologi perikanan dan dinamika populasi sehingga dapat menentukan pola pemanfaatan dan pengelolaan yang sesuai dengan sumberdaya perikanan yang ada. Hubungan panjang tubuh dan berat badan berguna untuk menilai pertumbuhan dari individu-individu dan menentukan stok dari spesies yang sama (King 2007 dalam Hossain 2010). Adapun hal-hal yang mempengaruhi proses pertumbuhan adalah: kematangan gonad, pemijahan, umur, penyakit, parasit, makanan, suhu perairan dan faktor-faktor kimia yang berada dalam perairan. Menurut Lee dan Kim (1992) pertumbuhan ikan demersal juga sangat dipengaruhi oleh pola gerak ikan tersebut. Ikan demersal memiliki pola gerakan yang relatif lebih sedikt dari ikan pelagis, hal ini menyebabkan kandungan eritrosit dan haemoglobin pada ikan demersal lebih rendah dari pada ikan pelagis sehingga pertumbuhan bobot ikan demersal

96 66 cenderung lebih cepat jika dibandingkan dengan pertumbuhan panjangnya. Ikan demersal ekonomis penting yang diukur pada penelitian ini rata-rata menghasilkan pola pertumbuhan alometrik negatif. Hasil penelitian ini bertentangan dengan pernyataan Lee dan Kim (1992). Perbedaan ini mungkin turut dipengaruhi oleh karakteristik daerah penangkapan ikan di pantai Barat Sumatera. Pola gerakan arus yang kuat dan siklus pasang surut yang lebih ekstrim pada paparan benua di laut tropis memberikan dampak terhadap kelimpahan sumberdaya ikan disekitarnya (Gross, 1990). Pernyataan ini juga mendukung hasil penelitian di pantai Barat Sumatera. Ikan demersal khususnya pada famili kakap putih dan kakap merah memiliki bobot yang relatif lebih kecil dibandingkan famili kerapu sunu dan kuwe. Sifat Katadormus yang dimiliki ikan kakap menyebabkan ikan ini melakukan migrasi dalam jarak yang lebih jauh saat terjadi perubahan arus yang ekstrim. Pola migrasi ikan kakap memberikan peluang tertangkap yang lebih besar pada saat ukuran ikan belum mengalami length first at maturity Ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) Hasil penelitian menunjukkan persamaan regresi linear setelah melakukan transformasi (ln), dimana y = ln berat ikan (gram) dan x = Ln panjang total ikan (cm). Hasil pengukuran sampel diperoleh hubungan panjang dan berat ikan kakap merah dengan alat tangkap bubu : y = 2,557x 2,544 dengan nilai R 2 =0,969, dan dengan alat tangkap pancing adalah y = 2,591x 2,718 dengan nilai R 2 = 0,897. Dari persamaan tersebut diperoleh nilai b dari ikan kakap merah yang ditangkap dengan bubu (2,557) dan ikan yang ditangkap dengan alat tangkap pancing (2,591) sehingga dapat disimpulkan nilai b lebih kecil dari 3. Berarti ikan kakap merah yang didaratkan di Sibolga memiliki pola pertumbuhan alometrik negatif yang artinya bahwa pertumbuhan panjang tidak seimbang dengan pertumbuhan beratnya (Gambar 16).

97 ln - W 6 y = 2.557x R² = ln - W 6 y = 2.591x R² = ln- TL ln - TL (a) (b) Gambar 16 Grafik hubungan panjang berat ikan kakap merah yang tertangkap dengan bubu (a) dan pancing (b). Hasil penelitian Andamari et al., (2004) yang dilaksanakan di perairan Sape dan Kupang menyatakan ikan kakap merah yang didaratkan pada daerah ini memiliki nilai b kecil dari 3 dengan pola pertumbuhan alometrik negatif. Pertumbuhan ikan pada suatu perairan banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan antara lain: ukuran makanan yang dimakan, jumlah ikan pada perairan tersebut, jenis makanan yang tersedia, kondisi oseanografi perairan (suhu, oksigen) serta kondisi ikan (umur, keturunan dan genetik) (Sukimin et al., 2002 dalam Nugraha dan Mardlijah 2006). Sesuai dengan penelitian di pantai Barat Sumatera, ikan kakap merah yang tertangkap pada bubu dan pancing memiliki pola pertumbuhan bobot yang lebih lambat dari pola pertumbuhan panjang. Hal ini dipengaruhi oleh sifat ikan yang mampu bermigrasi dalam jarak yang jauh. Ikan kakap memiliki karakteristik yang unik dalam melakukan migrasi, ikan ini mampu beradaptasi sampai pada kedalaman 200 meter dan akan beruaya menuju pantai saat akan melakukan pemijahan (Simbolon 2011). Sesuai dengan penelitian Lee dan Kim (1992), ikan yang cenderung tinggal menetap akan memiliki pola pertumbuhan yang lebih cepat jika dibandingkan dengan ikan yang sering berpindah. Hasil penelitian ini telah menunjukkan bahwa pola pertumbuhan panjang ikan kakap merah lebih cepat jika dibandingkan dengan pola pertambahan beratnya.

98 Ikan kakap putih (Lates calcarifer) Hasil pengukuran sampel ikan kakap putih yang berjumlah 75 ekor tanpa melihat komposisi jenis kelamin yang tertangkap dengan bubu diperoleh persamaan regresi: y = 2,656x 2,991 dengan nilai R 2 = 0,893 dan hasil pengukuran ikan yang tertangkap dengan pancing diperoleh persamaan regresi: y=2,486x 2,2297 dengan nilai R 2 =0,898 (Gambar 17). 9 9 ln - W 6 y = 2.656x R² = ln - W 6 y = 2.486x R² = ln - TL ln - TL (a) (b) Gambar 17 Grafik hubungan panjang berat ikan kakap putih yang tertangkap dengan bubu (a) dan pancing (b). Berdasarkan persamaan tersebut diperoleh nilai b untuk hasil tangkapan bubu sebesar 2,656 dan untuk hasil tangkapan pancing sebesar 2,486. Dari hasil tersebut dinyatakan bahwa ikan kakap putih yang didaratkan di Sibolga yang berasal dari alat tangkap bubu dan pancing memiliki pola pertumbuhan alometrik negatif yang artinya bahwa pertambahan bobot ikan kakap putih tidak secepat pertambahan panjangnya. Perbandingan nilai b berdasarkan jenis alat tangkap menunjukkan bahwa alat tangkap bubu memiliki koefisien pertumbuhan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil tangkapan pancing nelayan. Untuk nilai keeratan hubungan atau (R 2 ) alat tangkap bubu dan pancing memiliki nilai yang relatif sama.

99 69 Perhitungan panjang berat ikan dapat diduga berat dari panjang ikan atau sebaliknya, keterangan mengenai ikan tentang pertumbuhan, kemontokan dan perubahan dari lingkungan (Effendi 1991). Kemampuan ikan kakap putih dalam mentoleransi perbedaan salinitas air laut memberikan pengaruh dalam migrasi ikan tersebut. Sesuai dengan penelitian Lounghurst dan Pauly (1987), kakap putih yang berada di sekitar karang merupakan ikan yang telah berada pada usia dewasa. Ikan kakap akan menuju perairan laut saat berumur dewasa dan akan melakukan perkawinan, sedangkan saat akan memijah ikan kakap putih akan bergerak menuju pantai. Penangkapan ikan kakap putih denga bubu dan pancing tentunya ditujukan untuk memperoleh ikan dewasa, karena pengoperasian alat tangkap ini dilakukan pada daerah karang yang memiliki kedalaman mencapai 70 meter. Hasil tangkapan nelayan Pantai Barat Sumatera menujukkan bahwa ikan kakap yang diperoleh memiliki pola pertumbuhan bobot yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan pertumbuhan panjangnya. Secara ekologi dimungkinkan migrasi yang dilakukan kakap sangat dipengaruhi oleh ketersediaan makanan disekitarnya. Ikan ini merupakan kelompok ikan predator aktif yang melakukan aktivitas dengan sifat nocturnal. Ikan kakap putih masuk pada bubu dimungkinkan karena faktor mencari makanan. Ikan kakap putih telah terlebih dahulu melihat adanya mangsa dalam bubu dengan ukuran yang lebih kecil, sehingga ikan mencoba masuk dan tidak dapat keluar kembali. Ikan yang telah masuk ke dalam bubu tentunya adalah ikan yang telah memasuki ukuran dewasa. Pengoperasian pancing yang dilakukan nelayan Sibolga biasanya berlangsung pada malam hari. Pengoperasian alat ini sering sekali dikombinasikan dengan alat tangkap lain. Besar kemungkinan ikan kakap putih yang tertangkap pada pancing merupakan ikan yang aktif mencari makan pada saat malam. Sesuai dengan pernyataan Lee dan Kim (1992), pencarian ikan pada malam hari dilakukan untuk menangkap spesies ikan nocturnal yang mencari makan. Pancing sering dioperasikan di sekitar karang yang merupakan habitat ikan kakap berukuran dewasa. Secara ekologi ikan kakap yang mendiami ekosistem karang merupakan ikan dari kelompok konsumen tingkat tinggi atau ikan karnivora utama. Untuk mencapai tingkatan seperti ini pada rantai makanan di ekosistem

100 70 terumbu karang, ikan kakap putih setidaknya harus memiliki ukuran yang relatif lebih besar dari pada jenis ikan karang lainnya. Sistem rantai makanan yang terjadi pada ekosistem karang telah mempengaruhi hasil tangkapan pancing dan bubu nelayan Sibolga. Secara tidak langsung hasil tangkapan nelayan bubu dan pancing seharusnya telah berada pada ukuran layak tangkap Ikan kerapu sunu (Plectropormus leopardus) Hubungan panjang berat ikan kerapu sunu yang tertangkap dengan alat tangkap bubu adalah: y = 2,131x 1,305 dengan nilai R 2 = 0,909. Sedangkan hubungan panjang berat ikan kerapu sunu yang tertangkap dengan alat tangkap pancing adalah: y = 2,212x 1,452 dengan nilai R 2 = 0,915 (Gambar 18). 9 9 ln - W 6 y = 2.131x R² = ln - W 6 y = 2.212x R² = ln - TL ln - TL (a) (b) Gambar 18 Grafik hubungan panjang berat ikan kerapu sunu yang tertangkap dengan bubu (a) dan pancing (b). Pada hubungan tersebut diperoleh nilai b lebih kecil dari 3 yang berarti bahwa pertumbuhan ikan kerapu sunu dalam penelitian ini bersifat alometrik negatif yang artinya pertambahan berat lebih lambat dari pertambahan panjangnya. Perbandingan nialai b antara bubu dan pancing menunjukkan nilai koefisien pertumbuhan hasil tangkapan pancing lebih tinggi daripada bubu. Untuk

101 71 nilai keeratan hubungan panjang dan bobot, nilai determinan (R 2 ) relatif hampir sama. Hasil penelitian hubungan panjang berat ikan yang didaratkan di Sibolga berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Andamari (2005) pada perairan Sulawesi dan Maluku diperoleh nilai b = 3 yang berarti bahwa pertumbuhan ikan kerapu sunu tersebut bersifat isometrik yang artinya pertambahan bobot seimbang dengan pertambahan panjangnya. Pertumbuhan panjang pada kerapu sunu di pantai Barat Sumatera lebih cepat jika dibandingkan dengan bobot dimungkinkan karena pengaruh karakteristik daerah penangkapan. Karakteristik daerah penangkapan ikan di pantai Barat Sumatera banyak dilakukan pada paparan Samudera Hindia yang merupakan lautan terbuka. Posisi daerah penangkapan seperti ini telah memberikan pengaruh yang signifikan terhadap pola gerakan arus dan kelimpahan fitoplankton di sekitarnya. Menurut Gross (1990), pola arus pada laut terbuka sangat dipengaruhi oleh gerakan massa air yang dibawa oleh proses pasang surut. Pergerakan angin akibat perbedaan suhu juga memberikan pengaruh terhadap gelombang pada permukaan air. Selain arus, gerakan massa air ini sering membawa palakton dan nutrien lain yang menjadi makanan bagi ikan-ikan kecil. Secara tidak langsung proses pergerakan arus juga sangat mempengaruhi ketersediaan makanan bagi ikan demersal yang berada di sekitar karang. Bentuk topografi yang memiliki karang dengan lereng terjal memberikan pola gerakan arus yang lebih lemah terhadap ekosistem karang. Pengoperasian bubu dan pancing oleh nelayan Sibolga untuk menangkap kerapu sunu dioperasikan hanya di sekitar ekosistem karang. Ketersediaan makanan pada ekosistem karang akan menyebabkan ikan kerapu sunu mendiami habitat tersebut dalam waktu yang lebih lama. Ikan kerapu sunu mampu hidup pada perairan dengan kedalaman 120 meter, hal ini mempengaruhi pola kemampuan gerak ikan dalam mencari makanan. Semakin lama ikan kerapu sunu mendiami sebuah habitat maka akan meningkatkan pola pertumbuhan berat ikan tersebut. Hasil penelitian menunjukkan pertambahan panjang yang lebih dominan dari berat disebabkan karena ikan kerapu sunu pada pantai Barat Sumatera lebih banyak

102 72 melakukan migrasi jika dibandingkan dengan ikan kerapu pada daerah Sulawesi seperti hasil penelitian Andamari (2005). Pada spesies yang sama bisa saja terjadi perbedaan nilai b dimana hubungan panjang dan berat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: jumlah sampel yang dianalisis, variasi ukuran ikan sampel, waktu (musim). Pada umumnya nilai b berkisar antara 2 sampai 3,5 (Royce, 1984 dalam Andamari, 2005). Secara umum hasil penelitian pertumbuhan kerapu sunu di pantai Barat Sumatera menunjukkan bahwa koefisien nilai b sangat dipengaruhi oleh pola migrasi ikan di dasar perairan. Alat tangkap pancing dan bubu menangkap ikan kerapu sunu dengan ukuran maksimum 3200 gram dengan panjang 65 cm. Secara ekonomi ikan kerapu sunu pada ukuran seperti ini telah memenuhi permintaan pasar ekspor di Sibolga. Ukuran minimum permintaan pasar pada spesies kerapu sunu adalah 1000 gram Ikan kuwe (Caranx sexfasciatus) Tanpa membedakan jenis kelamin dari ikan kuwe diperoleh persamaan hubungan panjang berat : y = 2,599x 1,357 dengan nilai R 2 = 0,722 untuk yang tertangkap dengan alat tangkap bubu dan y = 2,423x 0,756 dengan nilai R 2 = 0,820 untuk yang tertangkap dengan pancing (Gambar 19). 9 9 ln - W 7 ln - FL 7 y = 2.599x R² = y = 2.423x R² = ln - TL ln - TL (a) (b) Gambar 19 Grafik hubungan panjang berat ikan kuwe yang tertangkap dengan bubu (a) dan pancing (b).

103 73 Dari persamaan tersebut dapat dikatakan bahwa ikan kuwe yang tertangkap dengan bubu dan pancing memiliki pola pertumbuhan allometrik negatif dengan nilai b lebih kecil dari 3 (2,599 hasil tangkapan bubu dan 2,433 hasil tangkapan pancing), hal ini menunjukkan bahwa pertambahan bobot dari ikan kuwe tidak secepat pertambahan panjangnya. Berdasarkan nilai keeratan hubungan bobot dengan panjang, hasil tangkapan pancing memiliki nilai determinasi yang lebih tinggi daripada bubu. Dari perhitungan panjang berat ikan dapat diduga berat dari panjang ikan atau sebaliknya, keterangan tentang ikan mengenai pertumbuhan, kemontokan dan perubahan dari lingkungan (Effendie, 1997). Koefisien regresi yang diperoleh dari hubungan panjang berat tidak hanya berbeda antar spesies tetapi juga kadang berbeda dalam suatu spesies yang sama. Perbedaan ini dapat dikarenakan perbedaan jenis kelamin, kematangan gonad, musim dan kondisi lingkungan seperti polusi (Olurin dan Aderibigbe, 2006 dalam Putri dan Tjahjo, 2010). Penangakapan di pantai Barat Sumatera dilakukan sepanjang tahun karena hasil tangkapan bubu dan pancing umumnya bervariasi sesuai dengan musim. Pada saat musim timur (Maret sampai Juni) hasil tangkapan nelayan di Sibolga cenderung meningkat. Pada musim ini ikan kuwe yang berukuran kecil sangat sering tertangkap pada bagan tancap (lift net) yang beroperasi di sekitar pinggir pantai. Hal ini menunjukkan bahwa pada masa tersebut, ikan kuwe banyak yang mengalami proses perkawinan dan memijah di sekitar ekosistem mangrove yang ada disepanjang pantai Barat Sumatera. Sesuai dengan pernyataan Jeyaseelan (1998) ukuran hasil tangkapan ikan karang juga dipengaruhi oleh musim yang sedang berlangsung. Ikan kuwe memiliki karakteristik berenang secara schooling, hal ini ditunjukkan dengan hasil tangkapan nelayan yang sering tergantung pada musim. Gerakan ikan yang bermigrasi secara aktif telah mempengaruhi pola pertumbuhan ikan kuwe. Sesuai dengan pernyataan Lounghurst dan Pauly (1987) pertumbuhan ikan yang cenderung menetap pada sebuah ekosistem akan lebih didominasi pertambahan bobot daripada ukurannya. Sesuai dengan pernyataan tersebut, hasil tangkapan kuwe oleh nelayan Sibolga menujukkan bahwa ikan kuwe yang tertangkap pada bubu dan pancing adalah ikan yang melakukan migrasi dalam

104 74 jarak yang cukup jauh. Migrasi pada ikan kuwe dimungkinkan karena faktor mencari makanan, berlindung dan memijah saat matang gonad. 5.4 Pengembangan Perikanan Demersal Sibolga Dalam menganalisis strategi pengembangan perikanan tangkap dilakukan dengan analisis SWOT, yaitu menyangkut analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman (strength, weakness, opportunities and threats). Analisis internal dijadikan untuk memanfaatkan kekuatan yang dimiliki serta mengatasi kelemahan-kelemahan yang terjadi. Faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dijabarkan sebagai berikut: 1. Kekuatan 1) Potensi sumberdaya ikan demersal (ikan kakap merah, ikan kakap putih, ikan kerapu sunu dan ikan kuwe) yang cukup tinggi 2) Kualitas ikan demersal hasil tangkapan bubu dan pancing yang tergolong baik sehingga lebih mempermudah proses pemasaran khususnya tujuan ekspor 3) Tersedianya pinjaman lunak yang diberikan pihak tangkahan untuk nelayan bubu dan pancing 4) Banyaknya tangkahan (pelabuhan perikanan swasta) yang mampu menampung hasil tangkapan nelayan 5) Adanya Pelabuhan Perikanan Nusantara Sibolga yang mampu memfasilitasi kebutuhan nelayan 2. Kelemahan 1) Terbatasnya modal yang dimiliki oleh nelayan bubu dan pancing untuk mengembangkan usaha perikanan 2) Pendidikan dan pengetahuan nelayan yang relatif rendah menyebabkan sulitnya penerimaan konsep pembangunan perikanan berkelanjutan 3) Belum tersedianya laboratorium penjamin mutu hasil perikanan sebagai syarat ekspor 4) Kurangnya kesadaran masyarakat untuk bergabung dengan organisasi menyebabkan pemikiran nelayan kurang berkembang. Kerugian lain yang

105 75 dialami nelayan adalah tidak mengetahui jika ada bantuan yang sedang turun dan sulitnya mendapat bantuan karena tidak terorganisisir 5) Kurangnya akses informasi dan koordinasi terhadap lembaga pemerintahan Tabel 10 Matriks Internal Strategic Factors Summary (IFAS) pengembangan perikanan demersal di Sibolga No Faktor Bobot Rating Bobot* Rating Kekuatan 1 Potensi sumberdaya ikan demersal yang cukup tinggi 0,20 4 0,80 2 Kualitas ikan demersal hasil tangkapan bubu dan pancing yang tergolong baik sehingga lebih mempermudah proses pemasaran khususnya tujuan ekspor 0,15 3 0,45 3 Tersedianya pinjaman lunak yang diberikan pihak tangkahan untuk memenuhi kebutuhan melaut 0,05 2 0,10 4 Banyaknya tangkahan (pelabuhan perikanan swasta) yang mampu menampung hasil tangkapan nelayan 0,10 3 0,30 5 Adanya Pelabuhan Perikanan Nusantara Sibolga yang mampu menfasilitasi kebutuha 0,05 2 0,10 nelayan Kelemahan 1 Terbatasnya modal yang dimiliki oleh nelayan untuk mengembangkan usaha perikanan 0,15 4 0,60 2 Pendidikan dan pengetahuan nelayan yang relatif rendah menyebabkan sulitnya penerimaan konsep pembangunan perikanan 0,10 2 0,20 berkelanjutan 3 Belum tersedianya laboratorium penjamin mutu hasil perikanan sebagai syarat ekspor 0,05 3 0,15 4 Kurangnya kesadaran masyarakat untuk bergabung dengan organisasi menyebabkan pemikiran nelayan kurang berkembang. Kerugian lain yang dialami nelayan adalah 0,05 2 0,10 tidak mengetahui jika ada bantuan yang sedang turun dan sulitnya mendapat bantuan karena tidak terorganisisir. 5 Kurangnya akses informasi dan koordinasi terhadap lembaga pemerintahan 0,10 2 0,20 Total 1,00 3,00

106 76 Berdasarkan tabel IFAS diketahui bahwa pengembangan perikanan demersal di Sibolga memiliki skor 3,00. Pada matriks ini terdapat beberapa kelemahan yang harus diatasi agar dapat meraih peluang dengan memanfaatkan kekuatan yang dimiliki. Analisis eksternal diperlukan untuk melihat peluang apa saja yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan perikanan demersal di Sibolga serta persiapan menghadapi atau meminimalisir ancaman yang akan terjadi. Faktor-faktor eksternal (peluang dan ancaman) dijabarkan sebagai berikut: 1. Peluang 1) Permintaan pasar terhadap ikan demersal baik pemasaran lokal maupun ekspor 2) Peluang pekerjaan dalam bidang perikanan akan terbentuk jika kegiatan perikanan dapat berkesinambungan 3) Harga ikan ekspor yang cukup tinggi 4) Perkembangan informasi dan teknologi akan membantu mempermudah kegiatan penangkapan ikan. 5) Potensi daerah penangkapan ikan yang belum optimal 2. Ancaman 1) Berkembang pesatnya teknologi penangkapan nelayan asing. 2) Potensi terjadinya IUU (illegal, unreported, unregulated) fishing di lepas pantai akan menyebabkan degradasi lingkungan yang mengakibatkan kerusakan ekologi yang akan berdampak terhadap sumberdaya ikan 3) Banyaknya produk subsitusi ikan

107 77 Tabel 11 Matriks EFAS pengembangan perikanan demersal di Sibolga No Faktor Bobot Rating Bobot* Rating Peluang 1 Permintaan pasar terhadap ikan demersal baik pemasaran lokal maupun ekspor 0,20 4 0,80 2 Peluang pekerjaan dalam bidang perikanan akan terbentuk jika kegiatan 0,05 1 0,05 perikanan dapat berkesinambungan 3 Harga ikan ekspor yang cukup tinggi 0,15 2 0,30 4 Perkembangan informasi dan teknologi akan membantu mempermudah kegiatan penangkapan ikan. 0,10 1 0,10 5 Potensi daerah penangkapan ikan yang belum optimal 0,10 3 0,30 Ancaman 1 Berkembang pesatnya teknologi penangkapan nelayan asing 0,05 2 0,10 2 Potensi terjadinya IUU (illegal, unreported, unregulated) fishing di lepas pantai akan menyebabkan degradasi lingkungan yang 0,15 3 0,45 mengakibatkan kerusakan ekologi yang akan berdampak terhadap sumberdaya ikan. 3 Banyaknya produk subsitusi ikan 0,20 4 0,80 Total 1,00 2,90 Pemberian bobot dan rating dilakukan untuk memperoleh matriks EFAS (Tabel 8). Nilai total perkalian bobot dan rating adalah 2,90. Peluang pengelolaan perikanan demersal memiliki nilai yang lebih tinggi sehingga sangat memungkinkan untuk melakukan pengembangan perikanan demersal. Berdasarkan matriks IFAS dan EFAS dibentuk perumusan pengembangan perikanan demersal di Sibolga. Perumusan strategi ini dibentuk dengan kombinasi antara kekuatan dan peluang, kekuatan dengan ancaman, kelemahan dengan peluang serta kelemahan dengan ancaman. Tabel 9 menyajikan matriks SWOT pengembangan perikanan demersal di Sibolga.

108 78 78 Tabel 12 Matriks SWOT pengembangan perikanan demersal di Sibolga Eksternal Internal Peluang (O) 1) Permintaan pasar terhadap ikan demersal baik pemasaran lokal maupun ekspor 2) Peluang pekerjaan dalam bidang perikanan akan terbentuk jika kegiatan perikanan dapat berkesinambungan 3) Harga ikan ekspor yang cukup tinggi 4) Perkembangan informasi dan teknologi akan membantu mempermudah kegiatan penangkapan ikan. 5) Potensi daerah penangkapan ikan yang belum optimal Kekuatan (S) Kelemahan (W) 1) Potensi sumberdaya ikan demersal yang cukup tinggi 2) Kualitas ikan demersal hasil tangkapan bubu dan pancing yang tergolong baik sehingga lebih mempermudah proses pemasaran khususnya tujuan ekspor 3) Tersedianya pinjaman lunak yang diberikan pihak tangkahan untuk memenuhi kebutuhan melaut 4) Banyaknya tangkahan-tangkahan swasta yang mampu menampung hasil tangkapan nelayan 5) Adanya Pelabuhan Perikanan Nusantara Sibolga yang mampu memfasilitasi kebutuhan nelayan Strategi SO 1) Perbaikan sistem pendistribusian hasil tangkapan untuk tujuan ekspor (S1, S2, S5, 01,03) 2) Pengembangan fasilitas ekspor (S1, S2,O3) 1) Terbatasnya modal yang dimiliki oleh nelayan untuk mengembangkan usaha perikanan 2) Pendidikan dan pengetahuan nelayan yang relatif rendah menyebabkan sulitnya penerimaan konsep pembangunan perikanan berkelanjutan 3) Belum tersedianya laboratorium penjamin mutu hasil perikanan sebagai syarat ekspor 4) Kurangnya kesadaran nelayan untuk bergabung dengan organisasi menyebabkan pemikiran nelayan kurang berkembang, bantuan, sulit mendapat bantuan karena tidak terorganisisir, 5) Kurang akses informasi dan koordinasi terhadap lembaga pemerintahan Strategi WO 1) Pembentukan koperasi simpan pinjam bagi nelayan (W1, O2, O3) 2) Perlunya mendirikan laboratorium penjaminan mutu hasil tangkapan dan dukungan sarana transportasi pemasaran (W3, O1, O3) 3) Meningkatkan kegiatan penyuluhan bagi nelayan (W2, W4, O4, O5) 4) Pembentukan kelompok usaha bersama yang difasilitasi oleh pemerintah (W4, W5, O2,O4) Ancaman (T) 1) Berkembang pesatnya teknologi penangkapan nelayan asing 2) Terjadinya IUU (illegal, unreported, unregulated) fishing di lepas pantai akan menyebabkan degradasi lingkungan yang mengakibatkan kerusakan ekologi yang akan berdampak terhadap sumberdaya ikan. 3) Banyaknya produk substitusi ikan Strategi ST 1) Peningkatan pengawasan daerah penangkapan ikan (S1, S5, T1, T3) 2) Kerjasama PPN dan tangkahan swasta khusunya dalam pengembangan perikanan demersal (S4, S5, T1, T3) 3) Peningkatan kualitas perikanan demersal (S1, S2, T2) 4) Penyuluhan kepada masyarakat akan pentingnya omega 3,6,9 yang terdapat pada ikan (S1, S2, T3) Strategi WT 1) Membentuk kemitraan dengan pihak pemerintah (W1, W5, T3) 2) Peningkatan kapasitas nelayan Sibolga (W2, W4, T1, T3)

109 79 SWOT merupakan analisis yang mengkombinasikan dua strategi pengembangan. Strategi SO untuk menghasilkan industri perikanan demersal yang bekerjasama dengan pihak pemerintah dalam meningkatkan nilai jual ikan. Pengembangan perikanan demersal akan semakin mudah karena didukung oleh keberadaan PPN Sibolga dan banyaknya tangkahan swasta sebagai pihak investor. Perbaikan pendistribusian dapat dimulai dari penanganan hasil tangkapan pada saat di palkah kemudian dilanjutkan dengan proses packing yang memenuhi standarisasi Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) agar dapat diterima oleh negara tujuan. Strategi SO menghasilkan sasaran strategi perbaikan sistem pendistribusian hasil tangkapan untuk tujuan ekspor serta mengadakan pengembangan terhadap fasilitas-fasilitas untuk kebutuhan pemasaran ikan. Hasil tangkapan nelayan dikumpulkan oleh pihak tangkahan yang dalam hal ini harga ikan ditentukan oleh pihak tangkahan sehingga nelayan tidak memiliki kepastian standard yang dipergunakan pihak tangkahan dalam penentuan grade ikan. Peranan pemerintah sangat dibutuhkan untuk mengatasi monopoli yang dilakukan pihak tangkahan kepada para nelayan misalnya dengan mendirikan koperasi. Sesuai dengan Cann dan Mounsey (1990) menyatakan bahwa profitabilitas usaha penangkapan ikan harus menjadi dasar pengembangan usaha perikanan demersal yang berkelanjutan. Kualitas hasil tangkapan ikan demersal di Sibolga tentunya akan sangat mempengaruhi harga atau nilai jual ikan di pasar. Kendala monopoli pengklasifikasian kualitas ikan oleh pemilik tangkahan telah menyebabkan kerugian finansial pada nelayan. Saat ini keberadaan Pelabuhan Perikanan Nusantara Sibolga harus didorong oleh pemerintah pusat untuk melaksanakan tugas dan fungsi khususnya dalam kegiatan pelelangan ikan. Fasilitas coldstorage dan sarana pendukung lain yang telah ada di Pelabuhan Perikanan Nusantara belum dioptimalkan secara baik. Strategi pengembangan perikanan demersal di pantai Barat Sumatera harus dimulai dari peran serta pemerintah dalam mengoptimalkan pelayanan publik dan sarana yang tersedia di pelabuhan tersebut.

110 80 Strategi ST menghasilkan sasaran strategi perlunya meningkatkan pengawasan daerah penangkapan ikan untuk meminimalisasi terjadinya IUU fishing. Strategi lain yang dihasilkan adalah meningkatkan kerjasama dengan pihak pemerintah dan tangkahan dalam pengembangan perikanan demersal serta peningkatan kualitas ikan hasil tangkapan. Sesuai dengan Dirjen Perikanan Tangkap (2006) tingkat pencurian ikan dapat dikurangi dengan melakukan pengawasan yang lebih baik dan rutin. Perairan pantai Barat Sumatera sering menjadi sasaran pencurian ikan oleh nelayan Thailand. Kerjasama pihak P2SDKP bersama Angkatan Laut dan Polairut dapat menjadi solusi dalam meningkatkan upaya pemberantasan IUU fishing di Sibolga. Strategi WO menghasilkan sasaran strategi berupa perlunya mendirikan laboratorium penjamin mutu hasil tangkapan dan dukungan sarana transportasi pemasaran. Strategi lain yang dihasilkan yaitu pembentukan unit koperasi nelayan yang memfasilitasi sistem simpan pinjam bagi pelaku usaha perikanan. Strategi ini perlu didukung dengan peningkatan kegiatan penyuluhan kepada pihak nelayan dengan harapan tercapainya akses informasi yang sinergis antara pemerintah dengan nelayan. Pengembangan strategi ini dapat diwujudkan dalam pembentukan kelompok usaha bersama, sehingga pemerintah lebih mudah mengelola program bantuan atau pemberdayaan masyarakat. Strategi WT menghasilkan sasaran strategi melalui peningkatan kegiatan kemitraan antara pemerintah dengan pelaku usaha perikanan. Kegiatan peningkatan kemitraan didukung dengan berbagai kegiatan penyuluhan khususnya dalam upaya peningkatan kapasitas masyarakat nelayan. Dengan adanya kegiatan penyuluhan upaya peningkatan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pemanfaatan ikan demersal secara efektif dan efisien akan lebih mudah tercapai. Ancaman lain yang mendominasi terhambatnya pengembangan perikanan demersal di pantai Barat Sumatera adalah perkembangan alat tangkap nelayan asing yang tidak mampu diimbangi oleh nelayan Sibolga. Penggunaan mesin kapal, alat akustik dan sarana pendukung penangkapan lain sampai saat ini masih sangat minim dan cenderung bersifat turun temurun. Pemerintah pusat sering memberikan bantuan kepada nelayan Sibolga dalam bentuk barang, namun

111 81 bantuan ini sering sekali tidak tepat sasaran dan cenderung tidak dapat digunakan nelayan. Proses sosialisasi dan praktek penggunaan alat dapat dijadikan sebagai langkah awal sebelum memberikan bantuan kepada nelayan. Saat ini keterlibatan masyarakat dapat menjadi alat utama pengurangan IUU fishing di perairan pantai Barat Sumatera jika pemerintah lebih mengaktifkan pola kemitraan yang telah dibangun. Keberadaan POKMASWAS yang belum berjalan secara baik dapat direstrukturisasi dengan melakukan evaluasi dan peremajaan anggota. Perbaikan sistem komunikasi antara pemerintah dan masyarakat nelayan pengawas sumberdaya dapat diperbaiki dengan melakukan pertemuan secara berkala. Penyediaan sarana komunikasi yang belum tercipta di beberapa daerah dapat menjadi fokus pemerintah dalam meningkatkan kegiatan POKMASWAS di pantai Barat Sumatera.

112 82

113 83 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1) Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan demersal secara optimal sesuai dengan nilai MSY adalah: 1494,41 ton/tahun ikan kakap merah, 1260,89 ton/tahun ikan kakap putih, 1408,37 ton/tahun ikan kerapu dan 1750,98 ton/tahun ikan kuwe. 2) Persentase hasil tangkapan bubu dan pancing yang layak tangkap berdasarkan nilai length at first maturity adalah sebesar 10,5% ikan kakap merah, 85% ikan kakap putih, 99,5% ikan kerapu sunu dan 2% ikan kuwe. 3) Pola pertumbuhan ikan kakap merah, kakap putih, kerapu sunu dan kuwe hasil tangkapan bubu dan pancing bersifat alometrik negatif dengan nilai b<3 yang artinya pertambahan berat lebih lambat dari pertambahan panjangnya. 4) Strategi pengembangan perikanan dilakukan antara lain: melakukan perbaikan sistem pendistribusian hasil tangkapan untuk tujuan ekspor, meningkatkan pengawasan daerah penangkapan ikan untuk meminimalisasi terjadinya IUU fishing, mendirikan laboratorium penjamin mutu hasil tangkapan dan peningkatan kegiatan kemitraan antara pemerintah dengan pelaku usaha perikanan. 6.2 Saran Untuk pengembangan perikanan demersal yang berkelanjutan perlu disarankan: 1) Diperlukan adanya pembentukan peraturan terkait pemanfaatan sumberdaya ikan demersal yang diwujudkan dalam bentuk Peraturan Daerah (PERDA) 2) Adanya penelitian lanjutan yang mengkaji aspek ekologi ikan demersal 3) Penelitian lanjutan mengenai hubungan panjang berat berdasarkan jenis kelamin ikan agar keberlangsungan sumberdaya ikan dapat terjaga.

114

115 85 DAFTAR PUSTAKA Andamari R, Milton D, Velde TVD, Sumiono B Pengamatan aspek biologi reproduksi ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) dari perairan Sape dan Kupang. Sumberdaya dan penangkapan. 10: Andamari R Aspek reproduksi ikan kerapu sunu (Plectropomus leopardus) di Perairan Sulawesi dan Maluku. Penelitian perikanan Indonesia. 11:7-12. Astarini JE Pengembangan perikanan tangkap berbasis code of conduct for responsible fisheries (CCRF) di Perairan Ternate, Provinsi Maluku Utara [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. 111 hal. Badrudin Strategi pengelolaan perikanan demersal kasus armada trawl di Jambi. [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Barus Sistem Informasi Geografi. Bogor: Laboratorium Penginderaan Jauh dan Kartografi, Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian IPB. 73 hal. Baskoro M, Taurusman AA, Sudirman H Tingkah Laku Ikan Hubungannya dengan Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap. Bandung. Lubuk Agung. 258 hal. Baskoro M Alat Penangkapan Ikan Berwawasan Lingkungan dalam Kumpulan Pemikiran Tentang Teknologi Perikanan Tangkap yang Bertanggungjawab. Kenangan Purnabakti Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja. Bogor. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Hal [BPS] Badan Pusat Statistik Kota Sibolga Sibolga dalam Angka Sibolga. BPS. Cann B, Mounsey R An assessment of the profitability of a demersal trap fishery in the waters adjacent to the nothern territory. Technical Buletin no. 157 Charles AT Sustainable Fishery System. New York. Oxford: Blackwell scientific. Dahuri R Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan untuk Kesejahteraan Rakyat. Lembaga Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia (LISPI) Bekerjasama dengan Direktorat Jenderal Pesisir, Pantai dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan. 145 Halaman. Departemen Pertanian, Balai Penelitian Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian Perikanan Laut. Jakarta.

116 86 Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap Pengawasan dan Pengendalian Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Disampaikan pada pelatihan teknis calon hakim adhoc pengadilan perikanan. Jakarta. Effendie MI Biologi Perikanan. Yogyakarta. Yayasan Pustaka Nusatama. 163 hal. FAO (Food and Agriculture Organization), Sorghum and Millets in HumanNutrition. FAO Food and Nutrition Series, No. 27. FAO, Roma. [FAO] Food and Agricultural Organization FAO International Plan of Action to Prevent Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing. Rome. Froese R, Paully D Fishbase. World Wide Web Electronic Publication. [8 November 2011]. Gabriel O, Lange K, Dahm E, Wendt T Fishing Catching Methods of the World. Oxford. Editorial offices: Blackwell Publishing Ltd Garsington Road. 523 pg. Garcia S, Sparre P, Csirki J Estimating surplus production and maximum sustainable yield from biomass data when catch and efford time series are not available. Fisheries Research 8: Ghandi M Analisis pengembangan perikanan gillnet di Kabupaten Pontianak Provinsi Kalimantan Barat [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. 113 hal. Gulland JA Fish Stock Assesment, A. Manual of Basic Methods Rome: FAO, 223. P. Gunarso W Tingkah Laku Ikan dalam Hubungan dengan Alat, Metoda dan Taktik Penangkapan. [diktat kuliah]. Bogor. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Hilborn R Reinterpreting the State of Fisheries and their Management Ecosystems. Imai Eksploitasi dan perdagangan dalam perikanan karang di Indonesia. Bogor. International Marinelife Alliance Indonesia. Imron M Pemanfaatan sumberdaya perikanan demersal yang berkelanjutan di Perairan Tegal Jawa Tengah [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. 226 hal.

117 87 Irawaty R Studi tingkah laku pelolosan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) pada bubu yang dilengkapi dengan celah pelolosan (escaping gap). [skripsi]. Bogor: Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Ismail W, Nuraini S Studi benih ikan baronang (Siganus sp) dan Ikan kerapu (Ephinephelus sp) dengan alat tangkap bubu. Balai Penelitian Perikanan Laut. Isnaniah Pengembangan perikanan tangkap berbasis sumberdaya ikan demersal di Perairan Kota Dumai Provinsi Riau [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. 81 hal. Jeyaseelan MJP Manual of fish egg and larvae from Asia Mangrove Waters. UNESCO. Lawson AE The development and validation of a classroom test of formal reasing. Research in sience teaching: 15:11-24 Lee TW dan Kim GC The Demersal Fishes of Asan Bay. 2. Diurnal and Seasonal Variation in Abundance and Species Composition. Bulletin of Korean Fisheries Society. 25: Longhurst AR, Pauly D Ecology of Tropical Oceans. California. Academic Press. 407 pg Mallawa A Pengelolaan Sumberdaya Ikan Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Lokakarya Agenda Penelitian Program COREMAP II. Benteng. Marimin Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Jakarta. PT. Grasindo. Martasuganda S Bubu (Traps). Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Murdiyanto B, Nurhidayat, Bahar D Analisis hasil tangkapan ikan kakap merah dengan bubu pada berbagai kedalaman di perairan sekitar kepulauan Karimun Jawa. Edisi Sumberdaya dan Penangkapan. 8: Nasution HA Uji Coba bubu buton di Perairan Pulau Batanta, Kabupaten Sorong, Provinsi Papua [skripsi]. Bogor : Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Nugraha B, Mardlijah S Hubungan panjang bobot, perbandingan jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad tuna mata besar (Thunnus obesus) di perairan Laut Banda. Penelitian perikanan Indonesia. 12:

118 88 Nurani TW Proses Hierarki Analitik (Analytical Hierarcy Process) Suatu Metode untuk Analisis Kebijakan Pengelolaan Perikanan dan Kelautan. Bogor. Laboratorium Sistem dan Pemodelan Perikanan Tangkap. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Nurani TW Model Pengelolaan Perikanan Suatu Kajian Pendekatan Sistem. Bogor. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. 298 hal. Pulu J Kebijakan pengembangan perikanan tangkap dikawasan perbatasan Kabupaten Kepulauan Talaud. [disertasi]. Bogor : Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. 136 hal. Purbayanto A, Riyanto M, Purnama AD Fisiologi dan Tingkah Laku Ikan pada Perikanan Tangkap. Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Purbayanto A, Susanto A, Husni E Pengaruh penggunaan umpan dan konstruksi funnel terhadap hasil tangkapan bubu laut dalam di Teluk Pelabuhanratu. Biota 12: Purwanto, Wudianto Perkembangan dan optimasi produksi perikanan laut di Indonesia. Kebijakan Perikanan Indonesia. 3: Purwanto Pengelolaan Sumberdaya Perikanan. Jakarta. Direktorat Jendral Perikanan Tangkap, Departemen Kelautan dan Perikanan. Putri MRA, Tjahjo DWH Analisis hubungan panjang bobot dan pendugaan parameter pertumbuhan ikan nila (Oreochromis niloticus) di Waduk Ir. H. Djuanda. Bawal. 3: Rangkuti F Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis : Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad 21. Jakarta. PT.Gramedia Pustaka Utama. 188 hal. Rijal M Penangkapan ikan kakap merah dengan pancing rawai dasar di perairan Karimun Jawa. Buletin teknik litkayasa sumberdaya dan penangkapan. 2:1-3. Rounsefelt WHE Fishery Science. John Willey and Sons Inc. New York. Pg Simbolon D Bioekologi dan Dinamika Daerah Penangkapan Ikan. Bogor. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. 211 hal. Sparre P, Venema SC Introduksi Pengkajian Stok Ikan Tropis. diterjemahkan oleh pusat penelitian dan pengembangan perikanan. Jakarta.

119 89 Subani W, Barus HR Alat Penangkap Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No.50. Tahun 1988/1989. Edisi Khusus. Jakarta. Balai Penelitian Perikanan Laut. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Jakarta. 248 hal. Sumiono B, Bahruddin M Musim Penangkapan Ikan di Indonesia. Balai Riset Perikanan Laut. Suryana A Pengelolaan sumberdaya kakap merah (Lutjanus spp) secara berkelanjutan di perairan Kabupaten Belitung Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. 112 hal. Taurusman AA Pengujian indikator ekologis perikanan berkelanjutan: struktur komunitas hasil tangkapan ikan di Kabupaten Kotabaru, Kalimantan Selatan. Buletin PSP. 19:1-12. Techilina LV Summer Haematologic Characteristics of Marine Fishes. Tirtana S Selektivitas ukuran ikan kakap (Lutjanus sp) pada bubu yang dilengkapi dengan celah pelolosan (escaping gates) [skripsi]. Bogor. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Widodo J, Suadi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press. 252 hal.

120 90

121 LAMPIRAN 91

122

123 91 Lampiran 1 Perhitungan maximum sustainable yield ikan kakap merah Standarisasi alat tangkap Pancing Ulur Bubu Pukat ikan Catch Effort CPUE Catch Effort CPUE Catch Effort CPUE Tahun (ton) (trip) (ton/trip) (ton) (trip) (ton/trip) (ton) (trip) (ton/trip) , , , , , , , , , , , , , , ,67304 Total 2, , , , , ,93946 Rata-rata , , ,58789 FPI Estd Tahun Pancing Ulur Bubu Pukat ikan , , , , ,89 Total ,22 Rata-rata ,84 Tahun C total E std CPUE std , , , , , , , , , ,75962 Total 6, ,53803 Rata-rata 1, ,

124 92 92 Lampiran 1 lanjutan Walter-Hilborn Tahun C total E std CPUE std Y X1 X , ,57-0, , , ,51 0, , , ,82 0, , , ,88-0, , , ,76 SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0, R Square 0, Adjusted R Square 0, Standard Error 0, Observations 4 ANOVA df SS MS F Significance F Regression 2 0, , , , , , Residual Total 3 0, Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95,0% Upper 95,0% Intercept 6, , , , , , , , X Variable 1-5, , , , , , , , X Variable 2-0, , , , , , , ,

125 93 Lampiran 1 lanjutan k = a/(b1*b2) = 894,67 Emsy (a/2b) = 2350 a = q*k = 1,27209 Cmsy (a 2 /4b) = 1494,41 b = q 2 *k/r = 0,00027 Fungsi produksi: Y (CPUE) = ae=be2 = 1,27209E 0,00027E2 Validasi Tahun C aktual E aktual C dugaan Validasi VALIDASI ABS , ,03 1,61 0, , ,19 22,12 0, , ,07 0,06 0, , ,69 0,01 0, , ,71 0,18 0,01 Rata-rata 1370, ,34 4,80 0,04 Perbandingan antara lima model untuk menghitung stok ikan kakap merah Kesesuaian R2 Rata-rata CMSY EMSY Model Tanda Validasi Schnute Sesuai 0, , , Walter-Hilborn Sesuai 0, , , Equilibrium Schaefer Sesuai 0, , , ,00021 Dis-equilibrium Schaefer Tidak sesuai Clark Yoshimato Pooley Tidak sesuai

126 94 94 Lampiran 2 Perhitungan maximum sustainable yield ikan kakap putih Standarisasi alat tangkap Pancing Ulur Bubu Pukat ikan Catch Effort CPUE Catch Effort CPUE Catch Effort CPUE Tahun (ton) (trip) (ton/trip) (ton) (trip) (ton/trip) (ton) (trip) (ton/trip) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,59518 Total 1.185,80 0, ,10 3, ,50 2,64609 Rata-rata 237,16 0, ,42 0, ,70 0,52922 FPI Estd Tahun Pancing ulur Bubu Pukat ikan ,22 1,00 0, ,25 1,00 0, ,27 1,00 0, ,19 1,00 0, ,17 1,00 0,66 Total 1,09 5,00 3,86 Rata-rata 0,22 1,00 0,77 Lampiran 2 lanjutan Tahun C total E std CPUE std , , , , , , , , , ,90337 Total 5.746, ,50730 Rata-rata 1.149, ,70146

127 95 Walter-Hilborn Tahun C total E std CPUE std Y X1 X , ,57 0, , , ,61-0, , , ,56 0, , , ,86 0, , , ,90 SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0, R Square 0, Adjusted R Square 0, Standard Error 0, Observations 4 ANOVA df SS MS F Significance F Regression 2 0, , , , , , Residual Total 3 0, Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95,0% Upper 95,0% Intercept 4, , , , , , , , X Variable 1-2, , , , ,3824 5, , , X Variable 2-0, , , , , , , ,

128 96 Lampiran 2 lanjutan k = a/(b1*b2) = 1240,85 Emsy (a/2b) = 1772 a = q*k = 1,42310 Cmsy (a 2 /4b) = 1260,89 b = q 2 *k/r = 0,00040 Fungsi produksi: Y (CPUE) = ae=be2 = 1,42310E 0,00040E2 Validasi Tahun C aktual E aktual C dugaan Validasi VALIDASI ABS , ,01 0,06 0, , ,08 0,68 0, , ,80 157,70 0, , ,59 18,51 0, , ,52 13,53 0,11 Rata-rata 1149, ,20 38,09 0,13 Perbandingan antara lima model untuk menghitung stok ikan kakap putih Model Kesesuaian tanda R 2 Rata-rata validasi CMSY EMSY Schnute Sesuai 0, , , Walter-Hilborn Sesuai 0, , , Equilibrium Schaefer Sesuai 0, , , , Dis-equilibrium Schaefer Tidak sesuai Clark Yoshimato Pooley Tidak sesuai

129 97 97 Lampiran 3 Perhitungan maximum sustainable yield ikan kerapu Standarisasi alat tangkap Tahun Pancing Ulur Bubu Pukat tarik Catch Effort CPUE Catch Effort CPUE Catch Effort CPUE (ton) (trip) (ton/trip) (ton) (trip) (ton/trip) (ton) (trip) (ton/trip) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,40 Total 1.350,80 0, ,50 3, , ,80 Rata-rata 270,16 0, ,50 0, ,66 270,16 FPI Estd Tahun Pancing Ulur Bubu Pukat ikan ,47 1,00 1, ,38 1,00 0, ,31 1,00 0, ,21 1,00 0, ,18 1,00 0,53 Total 1,54 5,00 3,57 Rata-rata 0,31 1,00 0,71 Tahun C total E std CPUE std , , , , , , , , , ,91811 Total 5.111, ,51 3,14393 Rata-rata 1.022, ,90 0,62879

130 98 98 Lampiran 3 lanjutan Walter-Hilborn Tahun C total E std CPUE std Y X1 X , ,32 0, , , ,48 0, , , ,55 0, , , ,88 0, , , ,92 SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0, R Square 0, Adjusted R Square -0,17703 Standard Error 0, Observations 4 ANOVA df SS MS F Significance F 2 0, , , , , , Regression Residual Total 3 0, Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95,0% Upper 95,0% Intercept 2, , , , , , , ,85238 X Variable 1-2, , , , , , , ,67112 X Variable 2-0, , ,7626 0, , , , ,009142

131 99 99 Lampiran 3 lanjutan k = a/(b1*b2) = 2145,01 Emsy (a/2b) = 2250 a = q*k = 1,25210 Cmsy (a 2 /4b) = 1408,37 b = q 2 *k/r = 0,00028 Fungsi produksi: Y (CPUE) = ae=be2 = 1,25210E 0,00028E2 Validasi Tahun C aktual E aktual C dugaan Validasi VALIDASI ABS , ,87 268,86 0, , ,29 144,48 0, , ,62 179,37 0, , ,57 0,09 0, , ,69 0,31 0,02 Rata-rata 1022, ,81 118,62 0,28 Perbandingan antara lima model untuk menghitung stok ikan kerapu Model Kesesuaian tanda R 2 Rata-rata validasi CMSY EMSY Schnute Sesuai 0, , , Walter-Hilborn Sesuai 0, , , Equilibrium Schaefer Tidak sesuai Dis-equilibrium Schaefer Tidak sesuai Clark Yoshimato Pooley Tidak sesuai

132 Lampiran 4 Perhitungan maximum sustainable yield ikan kuwe Standarisasi alat tangkap Pukat Ikan Pukat Cincin Jaring Insang Pancing Ulur Bubu Tahun Catch Effort CPUE Catch Effort CPUE Catch Effort CPUE Catch Effort CPUE Catch Effort CPUE (ton) (trip) (ton/trip) (ton) (trip) (ton/trip) (ton) ( trip) (ton/trip) (ton) (trip) (ton/trip) (ton) (trip) (ton/trip) , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,28878 Total 621, ,00 0, , ,00 0, , ,00 0, , ,00 0, , ,28325 Rata-rata 124,24 716,80 0, , ,40 0, , ,00 0, , ,80 0, ,96 796,80 0,25665 Estd FPI Tahun C total E std CPUE std , , , , , , , , , ,2 Total 3.322, ,4 1,2 Rata-rata 664, ,3 0,2 Tahun ,00 0,19 0,04 0,36 0, ,00 0,20 0,02 0,20 0, ,00 0,26 0,05 0,27 0, ,00 0,31 0,06 0,28 0, ,00 0,31 0,04 0,26 0,26 Total 5,00 1,28 0,21 1,38 1,38 Rata-rata 1,00 0,26 0,04 0,28 0,28 Pancing ulur Bubu Jaring insang Pukat cincin Pukat ikan

133 101 Lampiran 4 lanjutan Scnute Tahun C total E std CPUE std Y X1 X , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,57204 SUMMARY OUTPUT Regression Statistics Multiple R 0, R Square 0, Adjusted R Square 0, Standard Error 0, Observations 4 ANOVA df SS MS F Significance F Regression 2 0, , , , , , Residual Total 3 0, Coefficients Standard Error t Stat P-value Lower 95% Upper 95% Lower 95,0% Upper 95,0% Intercept 7, , , , , , , , X Variable 1-12, , , , , , , , X Variable 2-0, , , , , , , ,

134 102 Lampiran 4 lanjutan k = a/(b1*b2) = 877,21 Emsy (a/2b) = 5280 a = q*k = 0,66330 Cmsy (a 2 /4b) = 1750,98 b = q 2 *k/r = 0,00006 Fungsi produksi: Y (CPUE) = ae=be2 = 0,66330E 0,00006E2 Validasi Tahun C aktual E aktual C dugaan Validasi VALIDASI ABS , ,11 347,38 0, , ,13 15,40 0, , ,86 9,18 0, , ,58 4,12 0, , ,50 0,93 0,04 Rata-rata 664, ,84 75,40 0,23 Perbandingan antara lima model untuk menghitung stok ikan kakap kuwe Model Kesesuaian tanda R 2 Rata-rata validasi CMSY EMSY Schnute Sesuai 0,98 0, , Walter-Hilborn Tidak sesuai Equilibrium Schaefer Sesuai 0,76 0,96 0, ,00019 Dis-equilibrium Schaefer Tidak sesuai Clark Yoshimato Pooley Tidak sesuai

135 103 Lampiran 5. Gambar ikan hasil tangkapan bubu dan pancing Ikan kakap merah (Lutjanus malabaricus) Ikan kakap putih (Lates calcarifer)

136 104 Lampiran 5 lanjutan Ikan kerapu sunu (Plectropormus leopardus) Ikan kuwe (Caranx sexfasciatus)

137 Lampiran 6 Gambar alat tangkap pancing 105

138 106 Lampiran 7 Gambar alat tangkap bubu

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permintaan ikan yang meningkat memiliki makna positif bagi pengembangan perikanan, terlebih bagi negara kepulauan seperti Indonesia yang memiliki potensi perairan yang

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. Gambar 3 Peta lokasi penelitian.

3 METODOLOGI. Gambar 3 Peta lokasi penelitian. 31 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Pengambilan data untuk kebutuhan penelitian ini dilakukan pada bulan Maret 2011 hingga Mei 2011 bertempat di Sibolga Propinsi Sumatera Utara (Gambar 3).

Lebih terperinci

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR

PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR 1 PENDUGAAN STOK IKAN LAYUR (Trichiurus sp.) DI PERAIRAN TELUK PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, PROPINSI JAWA BARAT Adnan Sharif, Silfia Syakila, Widya Dharma Lubayasari Departemen Manajemen Sumberdaya

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Ikan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Ikan 11 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Ikan Pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan di perairan Indonesia sudah dilakukan sejak lama oleh masyarakat dan pemerintah. Sampai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di beberapa negara, telah mendorong meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu. Meningkatnya

Lebih terperinci

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac.

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac. KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta rinda@ut.ac.id ABSTRAK Aktivitas usaha perikanan tangkap umumnya tumbuh dikawasan

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi. Hal ini menyebabkan terumbu karang memilki spesies yang amat beragam. Terumbu karang menempati areal

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan 6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan Daerah penangkapan ikan kakap (Lutjanus sp.) oleh nelayan di Kabupaten Kupang tersebar diberbagai lokasi jalur penangkapan.

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi perikanan Indonesia diestimasi sekitar 6,4 juta ton per tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 2005 telah mencapai 4,408 juta ton, dan tahun 2006 tercatat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun memiliki hak yang sama untuk mengambil atau mengeksploitasi sumberdaya didalamnya. Nelayan menangkap

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya tersebut diolah dan digunakan sepuasnya. Tidak satupun pihak yang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut memiliki sifat spesifik, yakni akses terbuka (open access). Sumberdaya perikanan juga bersifat kepemilikan bersama (common property). Semua individu

Lebih terperinci

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL

5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5 POTENSI DAN TINGKAT PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DEMERSAL 5.1 Pendahuluan Pemanfaatan yang lestari adalah pemanfaatan sumberdaya perikanan pada kondisi yang berimbang, yaitu tingkat pemanfaatannya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu isu penting perikanan saat ini adalah keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya dan lingkungannya. Upaya pemanfaatan spesies target diarahkan untuk tetap menjaga

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Laut dan sumberdaya alam yang dikandungnya dipahami secara luas sebagai suatu sistem yang memberikan nilai guna bagi kehidupan manusia. Sebagai sumber kehidupan, potensi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia merupakan negara maritim dengan garis pantai sepanjang 81.290 km dan luas laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 5,8 juta km 2 (Dahuri et al. 2002).

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan sebagai salah satu sektor unggulan dalam pembangunan nasional mempunyai peranan penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi di masa mendatang, serta mempunyai

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan subsektor perikanan tangkap semakin penting dalam perekonomian nasional. Berdasarkan data BPS, kontribusi sektor perikanan dalam PDB kelompok pertanian tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia telah melakukan kegiatan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sejak jaman prasejarah. Sumberdaya perikanan terutama yang ada di laut merupakan

Lebih terperinci

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah laut Indonesia terdiri dari perairan teritorial seluas 0,3 juta km 2, perairan laut Nusantara seluas 2,8 juta km 2 dan perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Malaysia, ZEE Indonesia India, di sebalah barat berbatasan dengan Kab. Pidie-

PENDAHULUAN. Malaysia, ZEE Indonesia India, di sebalah barat berbatasan dengan Kab. Pidie- PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah Pengelolaan Perikanan 571 meliputi wilayah perairan Selat Malaka dan Laut Andaman. Secara administrasi WPP 571 di sebelah utara berbatasan dengan batas terluar ZEE Indonesia

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA

STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA STUDI PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI KABUPATEN NIAS SABAR JAYA TELAUMBANUA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI

ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN EKONOMI KELAUTAN DI PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KASTANA SAPANLI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pelaksanaan Strategi Strategi adalah istilah yang sering kita dengar untuk berbagai konteks pembicaraan, yang sering diartikan sebagai cara untuk mencapai keinginan tertentu

Lebih terperinci

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA

POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN RIAU, INDONESIA Prosiding Seminar Antarabangsa Ke 8: Ekologi, Habitat Manusia dan Perubahan Persekitaran 2015 7 POTENSI PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH (KKPD) KABUPATEN NATUNA PROVINSI KEPULAUAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang

PENDAHULUAN. Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan salah satu jenis sumberdaya alam yang bersifat terbarukan (renewable). Disamping itu sifat open access atau common property yang artinya pemanfaatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104.000 km dengan jumlah

Lebih terperinci

2 KERANGKA PEMIKIRAN

2 KERANGKA PEMIKIRAN 2 KERANGKA PEMIKIRAN Berdasarkan latar belakang, perumusan masalah dan tujuan penelitian yang telah dirumuskan pada Bab Pendahuluan, maka penelitian ini dimulai dengan memperhatikan potensi stok sumber

Lebih terperinci

KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG

KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN SAMPINGAN PUKAT UDANG: STUDI KASUS DI LAUT ARAFURA PROVINSI PAPUA AZMAR MARPAUNG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 KAJIAN PENGELOLAAN HASIL TANGKAPAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) dan berdasarkan habitatnya di laut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan akan bahan pangan dan gizi yang lebih baik, permintaan ikan terus meningkat dari tahun ke tahun. Permintaan ikan

Lebih terperinci

5 PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN PANCING DENGAN RUMPON DI PERAIRAN PUGER, JAWA TIMUR

5 PERUMUSAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERIKANAN PANCING DENGAN RUMPON DI PERAIRAN PUGER, JAWA TIMUR 45 Komposisi hasil tangkapan yang diperoleh armada pancing di perairan Puger adalah jenis yellowfin tuna. Seluruh hasil tangkapan tuna yang didaratkan tidak memenuhi kriteria untuk produk ekspor dengan

Lebih terperinci

3 KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Upaya Penangkapan

3 KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Upaya Penangkapan 3 KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Upaya Penangkapan Optimalisasi upaya penangkapan udang sesuai potensi lestari di Delta Mahakam dan sekitarnya perlu dilakukan. Kebijakan dan program yang bertalian dengan upaya

Lebih terperinci

9.1 Pola pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan demersal yang berkelanjutan di Kota Tegal

9.1 Pola pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan demersal yang berkelanjutan di Kota Tegal 9 PEMBAHASAN UMUM Aktivitas perikanan tangkap cenderung mengikuti aturan pengembangan umum (common development pattern), yaitu seiring dengan ditemukannya sumberdaya perikanan, pada awalnya stok sumberdaya

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Kajian tentang konsep kapasitas penangkapan ikan berikut metoda pengukurannya sudah menjadi isu penting pada upaya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. The Code of

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan tangkap memiliki peran penting dalam penyediaan pangan, kesempatan kerja, perdagangan dan kesejahteraan serta rekreasi bagi sebagian penduduk Indonesia (Noviyanti

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi

6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu 6.2 Analisis Faktor Teknis Produksi 93 6 PEMBAHASAN 6.1 Unit Penangkapan Bagan Perahu Unit penangkapan bagan yang dioperasikan nelayan di Polewali, Kabupaten Polewali Mandar berukuran panjang lebar tinggi adalah 21 2,10 1,8 m, jika dibandingkan

Lebih terperinci

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing).

kumulatif sebanyak 10,24 juta orang (Renstra DKP, 2009) ikan atau lebih dikenal dengan istilah tangkap lebih (over fishing). I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi sumberdaya perikanan di Indonesia cukup besar, baik sumberdaya perikanan tangkap maupun budidaya. Sumberdaya perikanan tersebut merupakan salah satu aset nasional

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten di Pemerintah Aceh yang memiliki potensi sumberdaya ikan. Jumlah sumberdaya ikan diperkirakan sebesar 11.131 ton terdiri

Lebih terperinci

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN

ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 2 ANALISIS EKONOMI PERIKANAN YANG TIDAK DILAPORKAN DI KOTA TERNATE, PROVINSI MALUKU UTARA I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prospek pasar perikanan dunia sangat menjanjikan, hal ini terlihat dari kecenderungan

Lebih terperinci

Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab

Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) adalah salah satu kesepakatan dalam konferensi Committee

Lebih terperinci

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN

4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4 KERAGAAN PERIKANAN DAN STOK SUMBER DAYA IKAN 4.1 Kondisi Alat Tangkap dan Armada Penangkapan Ikan merupakan komoditas penting bagi sebagian besar penduduk Asia, termasuk Indonesia karena alasan budaya

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis).

2 TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Ikan kuniran (Upeneus moluccensis). 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ikan Kuniran 2.1.1 Klasifikasi Ikan Kuniran Upeneus moluccensis, Bleeker 1855 Dalam kaitan dengan keperluan pengkajian stok sumberdaya ikan, kemampuan untuk mengidentifikasi spesies

Lebih terperinci

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah

Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah Maspari Journal 03 (2011) 24-29 http://masparijournal.blogspot.com Analisis Potensi Lestari Sumberdaya Perikanan Tuna Longline di Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah Onolawe Prima Sibagariang, Fauziyah dan

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu pilihan yang strategis untuk dikembangkan, terutama di Kawasan Timur Indonesia (KTI) karena memiliki potensi yang sangat

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai

Lebih terperinci

TEKNOLOGI PENANGKAPAN PILIHAN UNTUK IKAN CAKALANG DI PERAIRAN SELAYAR PROPINSI SULAWESI SELATAN

TEKNOLOGI PENANGKAPAN PILIHAN UNTUK IKAN CAKALANG DI PERAIRAN SELAYAR PROPINSI SULAWESI SELATAN TEKNOLOGI PENANGKAPAN PILIHAN UNTUK IKAN CAKALANG DI PERAIRAN SELAYAR PROPINSI SULAWESI SELATAN ANDI HERYANTI RUKKA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR B O G O R 2 0 0 6 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemetaan Partisipatif Daerah Penangkapan Ikan kurisi dapat ditangkap dengan menggunakan alat tangkap cantrang dan jaring rampus. Kapal dengan alat tangkap cantrang memiliki

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki wilayah perairan yang luas, yaitu sekitar 3,1 juta km 2 wilayah perairan territorial dan 2,7 juta km 2 wilayah perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA 73 VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA Pengelolaan ekosistem wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Kecamatan Kayoa saat ini baru merupakan isu-isu pengelolaan oleh pemerintah daerah, baik

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

6 STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT CIREBON

6 STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT CIREBON 6 STATUS PEMANFAATAN SUMBER DAYA IKAN DI WILAYAH PESISIR DAN LAUT CIREBON Pada dasarnya pengelolaan perikanan tangkap bertujuan untuk mewujudkan usaha perikanan tangkap yang berkelanjutan. Untuk itu, laju

Lebih terperinci

MALUKU SEBAGAI LUMBUNG IKAN NASIONAL: TINJAUAN ATAS SUATU KEBIJAKAN

MALUKU SEBAGAI LUMBUNG IKAN NASIONAL: TINJAUAN ATAS SUATU KEBIJAKAN MALUKU SEBAGAI LUMBUNG IKAN NASIONAL: TINJAUAN ATAS SUATU KEBIJAKAN Dionisius Bawole *, Yolanda M T N Apituley Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas

Lebih terperinci

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan wilayah yang memberikan kontribusi produksi perikanan yang sangat besar dan tempat aktivitas manusia paling banyak dilakukan; bahkan menurut

Lebih terperinci

Potensi Lestari Ikan Kakap di Perairan Kabupaten Sambas

Potensi Lestari Ikan Kakap di Perairan Kabupaten Sambas Vokasi Volume 9, Nomor 1, Februari 2013 ISSN 1693 9085 hal 1-10 Potensi Lestari Ikan Kakap di Perairan Kabupaten Sambas LA BAHARUDIN Jurusan Ilmu Kelautan dan Perikanan, Politeknik Negeri Pontianak, Jalan

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis dan Batas Administrasi Secara geografis Kabupaten Halmahera Utara terletak antara 127 O 17 BT - 129 O 08 BT dan antara 1 O 57 LU - 3 O 00 LS. Kabupaten

Lebih terperinci

1.1 Latar Belakang Selanjutnya menurut Dahuri (2002), ada enam alasan utama mengapa sektor kelautan dan perikanan perlu dibangun.

1.1 Latar Belakang Selanjutnya menurut Dahuri (2002), ada enam alasan utama mengapa sektor kelautan dan perikanan perlu dibangun. 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia telah menjadi krisis multidimensional yang dampaknya masih dirasakan dalam setiap aspek kehidupan bangsa. Untuk itu agenda

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem di wilayah pesisir yang kompleks, unik dan indah serta mempunyai fungsi biologi, ekologi dan ekonomi. Dari fungsi-fungsi tersebut,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN Pengertian Kebijakan

BAB 1 PENDAHULUAN Pengertian Kebijakan BAB 1 PENDAHULUAN Secara umum, analisis kebijakan menghasilkan pengetahuan mengenai dan dipahami sebagai proses untuk dalam proses kebijakan yang bertujuan untuk menyediakan para pengambil keputusan berupa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, yang memiliki ± 18.110 pulau dengan garis pantai sepanjang 108.000 km, serta

Lebih terperinci

5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR

5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR 5 KONDISI PERIKANAN TANGKAP KABUPATEN CIANJUR 5.1 Sumberdaya Ikan Sumberdaya ikan (SDI) digolongkan oleh Mallawa (2006) ke dalam dua kategori, yaitu SDI konsumsi dan SDI non konsumsi. Sumberdaya ikan konsumsi

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 44 4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Selat Malaka Perairan Selat Malaka merupakan bagian dari Paparan Sunda yang relatif dangkal dan merupakan satu bagian dengan dataran utama Asia serta

Lebih terperinci

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI

KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI KAJIAN EKONOMI SUMBERDAYA PERIKANAN DI PERAIRAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS EKA SUPRIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT

MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT MODEL BIONOMI PEMANFAATAN SUMBERDAYA IKAN BAWAL PUTIH DI PERAIRAN PANGANDARAN JAWA BARAT JEANNY FRANSISCA SIMBOLON SKRIPSI PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Berdasarkan data PBB pada tahun 2008, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 95.181 km, serta

Lebih terperinci

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH

POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH Bimafika, 2010, 2, 141-147 1 POTENSI BERKELANJUTAN SUMBER DAYA IKAN PELAGIS BESAR DI KABUPATEN MALUKU TENGAH Achmad Zaky Masabessy * FPIK Unidar Ambon ABSTRACT Maluku Tengah marine water has fish resources,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. Kenaikan Rata-rata *) Produksi

1 PENDAHULUAN. Kenaikan Rata-rata *) Produksi 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan dan industri yang bergerak dibidang perikanan memiliki potensi yang tinggi untuk menghasilkan devisa bagi negara. Hal tersebut didukung dengan luas laut Indonesia

Lebih terperinci

POSITION PAPER KPPU TERKAIT KEBIJAKAN KLASTER PERIKANAN TANGKAP

POSITION PAPER KPPU TERKAIT KEBIJAKAN KLASTER PERIKANAN TANGKAP POSITION PAPER KPPU TERKAIT KEBIJAKAN KLASTER PERIKANAN TANGKAP KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA REPUBLIK INDONESIA 2010 1 POSITION PAPER KPPU TERKAIT KEBIJAKAN KLASTER PERIKANAN TANGKAP Sektor perikanan

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS ARMADA PENANGKAPAN DAN POTENSI PRODUKSI PERIKANAN UDANG DI LAUT ARAFURA

PRODUKTIVITAS ARMADA PENANGKAPAN DAN POTENSI PRODUKSI PERIKANAN UDANG DI LAUT ARAFURA PRODUKTIVITAS ARMADA PENANGKAPAN DAN POTENSI PRODUKSI PERIKANAN UDANG DI LAUT ARAFURA FISHING FLEET PRODUCTIVITY AND POTENTIAL PRODUCTION OF SHRIMP FISHERY IN THE ARAFURA SEA ABSTRAK Purwanto Anggota Komisi

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN Hasil analisis LGP sebagai solusi permasalahan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah

Lebih terperinci

7 KONSEP PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN TELUK BONE

7 KONSEP PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN TELUK BONE 7 KONSEP PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP DI KAWASAN TELUK BONE 7.1 Pendahuluan Menurut Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tentang perikanan bahwa pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang

Lebih terperinci

STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO

STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN JARING ARAD YANG BERBASIS DI KOTA TEGAL BENI PRAMONO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK BENI PRAMONO. Strategi Pengelolaan Perikanan Jaring

Lebih terperinci

VI. ANALISIS BIOEKONOMI

VI. ANALISIS BIOEKONOMI 111 VI. ANALISIS BIOEKONOMI 6.1 Sumberdaya Perikanan Pelagis 6.1.1 Produksi dan Upaya Penangkapan Data produksi yang digunakan dalam perhitungan analisis bioekonomi adalah seluruh produksi ikan yang ditangkap

Lebih terperinci

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pertanian merupakan suatu jenis produksi yang berlandaskan pada

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pertanian merupakan suatu jenis produksi yang berlandaskan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan suatu jenis produksi yang berlandaskan pada pertumbuhan tanaman, hewan, dan ikan. Pertanian juga berarti kegiatan pemanfaatan sumber daya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan investasi atau penanaman modal merupakan salah satu kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. Kegiatan investasi atau penanaman modal merupakan salah satu kegiatan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kegiatan investasi atau penanaman modal merupakan salah satu kegiatan pembangunan karena investasi dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Era

Lebih terperinci

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A

ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A ANALISIS KEBERLANJUTAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT GUGUS PULAU KALEDUPA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT S U R I A N A SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS

ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS ANALISIS PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN DENGAN PEMBERDAYAAN EKONOMI MASYARAKAT PESISIR DI KECAMATAN PEMANGKAT KABUPATEN SAMBAS SYARIF IWAN TARUNA ALKADRIE SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan

Lebih terperinci

III. KERANGKA PEMIKIRAN

III. KERANGKA PEMIKIRAN 51 III. KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Kerangka Teori Selama ini, pengelolaan sumberdaya perikanan cenderung berorientasi pada pertumbuhan ekonomi semata dengan mengeksploitasi sumberdaya perikanan secara besar-besaran

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumber daya perikanan dapat dipandang sebagai suatu komponen dari ekosistem perikanan dan memiliki peranan ganda sebagai faktor produksi yang diperlukan untuk menghasilkan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perairan Selat Sunda secara geografis menghubungkan Laut Jawa serta Selat Karimata di bagian utara dengan Samudera Hindia di bagian selatan. Topografi perairan ini secara

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Wilayah Sebaran Penangkapan Nelayan Labuan termasuk nelayan kecil yang masih melakukan penangkapan ikan khususnya ikan kuniran dengan cara tradisional dan sangat tergantung pada

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN DI BIDANG PENANGKAPAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI

Lebih terperinci

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR

BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jenis Hasil Tangkapan Hasil tangkapan pancing ulur selama penelitian terdiri dari 11 famili, 12 genus dengan total 14 jenis ikan yang tertangkap (Lampiran 6). Sebanyak 6

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN PERIKANAN BUBU UNTUK KEBERLANJUTAN USAHA NELAYAN SIBOLGA LUCIEN PAHALA SITANGGANG

PENGEMBANGAN PERIKANAN BUBU UNTUK KEBERLANJUTAN USAHA NELAYAN SIBOLGA LUCIEN PAHALA SITANGGANG PENGEMBANGAN PERIKANAN BUBU UNTUK KEBERLANJUTAN USAHA NELAYAN SIBOLGA LUCIEN PAHALA SITANGGANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan 2.2 Komoditas Hasil Tangkapan Unggulan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan 2.2 Komoditas Hasil Tangkapan Unggulan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Potensi Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan Pengembangan merupakan suatu istilah yang berarti suatu usaha perubahan dari suatu yang nilai kurang kepada sesuatu yang nilai baik. Menurut

Lebih terperinci

TINGKAT PEMANFAATAN PERIKANAN DEMERSAL DI PERAIRAN KABUPATEN REMBANG. Utilization Levels of Demersal Fisheries in Rembang Regency Seawaters

TINGKAT PEMANFAATAN PERIKANAN DEMERSAL DI PERAIRAN KABUPATEN REMBANG. Utilization Levels of Demersal Fisheries in Rembang Regency Seawaters TINGKAT PEMANFAATAN PERIKANAN DEMERSAL DI PERAIRAN KABUPATEN REMBANG Utilization Levels of Demersal Fisheries in Rembang Regency Seawaters Pratama Saputro 1 Bambang Argo Wibowo 2 Abdul Rosyid 2 1 Mahasiswa

Lebih terperinci

MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN PANGKEP

MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN PANGKEP Jurnal Galung Tropika, 5 (3) Desember 2016, hlmn. 203-209 ISSN Online 2407-6279 ISSN Cetak 2302-4178 MODEL PENGELOLAAN PERIKANAN RAJUNGAN DALAM MENINGKATKAN PENDAPATAN NELAYAN DI KABUPATEN PANGKEP Crab

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sub-sektor perikanan tangkap merupakan bagian integral dari pembangunan kelautan dan perikanan yang bertujuan untuk : (1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Lebih terperinci