BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Transkripsi

1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini diuraikan mengenai teori-teori yang terkait dengan studi, di antaranya adalah tinjauan mengenai peri-urban (meliputi definisi, proses, jenis, masalah, dsb), tinjauan mengenai pengembangan lahan termasuk pengembangan lahan skala besar, tinjauan mengenai sosial ekonomi masyarakat, serta pengalaman peri-urban di wilayah lain. Pada bagian akhir dari bab ini dipaparkan secara singkat mengenai relevansi tinjauan teoritis terhadap kegiatan studi. II.1. Tinjauan Umum mengenai Peri-Urban Zona transisi urban-rural dapat dianggap sebagai zona yang sensitif dari keseluruhan sistem urban maupun rural. Zona ini memegang peranan penting dalam hubungan pusat kota dan suburban, perubahan fungsi urban, serta memonitor pertumbuhan urban (Wang et al., 2002). Dalam mengenal area transisi, ada banyak terminologi yang digunakan untuk mendeskripsikan masing-masing bagian dalam sistem tersebut. Istilah-istilah ini kadang tertukar, bahkan kadang tumpang tindih untuk beberapa tingkatan (Martin, 1975a dalam Bryant dkk, 1982), sebut saja istilah fringe, inner fringe, rural-urban fringe, urban shadow, exurban zone, rurban fringe dan sebagainya. Wehrwein (1942:218 dalam Bryant dkk, 1982) mencatat, lebih dari 30 tahun lalu, fringe adalah area transisi antara area yang dikenal sebagai lahan perkotaan (urban) dan area pertanian. Sementara itu Pryor (1968:206 dalam Bryant dkk 1982) menyebutkan bahwa fringe adalah zona transisi dalam karakteristik penggunaan lahan, sosial dan demografi, terjadi antara area terbangun kota dan area suburban dari pusat kota, dengan lahan desa yang karakteristiknya hampir tidak dilengkapi dengan tempat tinggal, pekerjaan dan guna lahan non-pertanian. Mengidentifikasi fringe relatif mudah, tetapi tidak mudah menanganinya, salah satunya adalah karena perubahan dari seluruh indikator yang ada (struktur properti, penggunaan lahan, struktur pertanian, struktur sosial dan komunitas). Keberadaan fringe tergantung pada tekanan akibat pertumbuhan dan ini tidak sama untuk semua bagian. Adapun pertumbuhan tersebut sering diakibatkan oleh 13

2 akses atau terkonsentrasi pada area yang menarik untuk dikembangkan. Sementara itu urban shadow merupakan suatu area yang jika dilihat secara fisik, pengaruh urban pada lahannya dinilai minim atau sedikit, tetapi terdapat urban dan metropolitan melalui kepemilikan lahan non-pertanian, tempat tinggal nonpertanian yang tersebar, daerah estate, dan pola commuting yang terjadi dari urban shadow ini keluar ke komunitas-komunitas kecil dan kota-kota (Gertler dan Hind-Smith, 1962 dalam Bryant dkk,1982). Sedangkan Hammond (dalam Muhlisin, 2005) mengemukakan lima alasan tumbuhnya wilayah pinggiran kota, yaitu (1) peningkatan pelayanan transportasi kota sehingga memudahkan orang bertempat tinggal jauh dari tempat kerjanya, (2) pertumbuhan penduduk, (3) meningkatnya taraf hidup masyarakat, (4) gerakan pendirian bangunan untuk masyarakat melalui bantuan pemerintah, dan (5) dorongan dari hakikat manusia (seperti adanya keinginan untuk tinggal di tempat yang nyaman dan terjaga privacy-nya). Adapun sehubungan dengan pertumbuhan penduduk yang dikemukakan oleh Hammond tersebut, Bryant dkk (1982) juga mengemukakan bahwa pertumbuhan populasi merupakan kondisi pertama dalam perkembangan fringe. Bryant dkk (1982) memaparkan beberapa faktor utama yang mempengaruhi fringe dan shadow, yaitu peningkatan mobilitas/pergerakan populasi dalam tiga dekade terakhir, peningkatan kepemilikan mobil yang akan meningkatkan jarak lokasi pilihan rumah tangga untuk tempat tinggal, dan meningkatkan jarak tempat kerja dengan tempat tinggal, terbentuknya masyarakat yang terurbanisasi dan terindustrialisasi. Adapun faktor yang terakhir ini juga dipengaruhi beberapa hal, seperti adanya industri teknik produksi massal (angkutan), adanya jalan dan bentuk-bentuk infrastruktur lainnya, adanya publik transit yang memiliki fungsi dormitory dari yang sebelumnya yakni permukiman desa, adanya kereta api dan jalur relnya, masuknya jaringan telepon, televisi dan jaringan energi lainnya, dan yang terakhir adalah adanya aksesibilitas. Faktor ekonomi, sosial dan budaya juga turut menentukan perkembangan struktur area tersebut (Bryant dkk, 1982), faktor ekonomi ini terkait dengan biaya transport yang dikeluarkan serta biaya-biaya lainnya seperti biaya lahan dan rumah, pajak dan pelayanan lainnya. 14

3 Bryant dkk (1982) juga membagi fringe menjadi inner fringe dan outer fringe. Inner fringe merupakan karakteristik lahan dengan tingkat transisi dari penggunaan lahan desa ke penggunaan kota lahan berada dalam konstruksi, terbagi dalam beberapa rencana yang telah disepakati dalam waktu singkat lahan yang tadinya tidak berorientasi perkotaan dan bukan menjadi bagian dari fungsi kota pada akhirnya mengalami konversi atau perubahan ke penggunaan kota. Outer fringe, bersama-sama dengan inner fringe membentuk rural-urban fringe, yang kadang disebut juga urban fringe, yakni suatu area yang didominasi penggunaan lahan desa serta terdapat infiltrasi atau masuknya elemen urban (urban oriented). Keduanya (inner dan outer fringe) memiliki penggunaan lahan seperti makam, halaman untuk pembuangan sampah atau barang-barang rongsokan dan halaman persediaan yang umumnya berada di sekeliling batas luar kota, karena pengunaan lahan tersebut membutuhkan ruang yang besar dan harga lahan yang murah, seolah-olah ditolak oleh area urban karena adanya karakteristik gangguan yang melekat padanya. Dengan kata lain area fringe ini cenderung untuk penggunaan yang nilainya rendah. Rural-urban fringe merupakan zona perbatasan di luar area urban. Di zona ini penggunaan lahan rural dan urban saling bercampur. Dalam perkembangannya, karakteristik fringe dapat berubah dari rural yang luas menjadi urban yang luas. Dulunya banyak orang yang berpendapat bahwa urban fringe berkembang oleh adanya mobilitas dan juga didukung oleh adanya jaringan jalan. Lambat laun dipahami bahwa tidak hanya faktor fisik saja yang menentukan berubahnya suatu wilayah tetapi juga aspek sosiologisnya. Dalam literatur tentang sosiologi, ruralurban fringe (Martin, 1953 dalam Bryant dkk, 1982) dilihat sebagai suatu wilayah yang terpisah dari city dan country dalam dua hal, yaitu terkait dengan demografi dan sosial. Lebih lanjut, bentuk tersebut merupakan suatu gambaran wilayah yang terjadi pada masa post industri (Bryant dkk, 1982: Bell: 1973), di Amerika Utara sering disebut sebagai regional city, namun ada pula beberapa istilah lain untuk hal ini, seperti urban field (Friedmann 1973a; Hogde 1974 dalam Bryant dkk, 1982) dan urban ecological field (Gertler, 1972 dalam Bryant dkk, 1982). Jaringan yang menghubungkan regional city merupakan salah satu faktor penting yang 15

4 mempengaruhi tumbuhnya regional city ini, terlebih lagi jika jaringan tersebut banyak dan digunakan oleh orang banyak. Dalam sistem regional city terdapat satu titik sentral yang memiliki peran penting bagi daerah di sekitarnya dan ada kemungkinan terjadi perpindahan dari regional city ke batas struktur megalopolitan (Gottman, 1961 dalam Bryant dkk, 1982). Sumber : Bryant dkk, 1982 (diadaptasi dari Russwurm, 1975b:151) Gambar II.1. Bentuk Regional City Berbagai variasi zona dalam regional city dapat dilihat pada Gambar II.1. Variasi tersebut merupakan hasil dari proses yang sangat kompleks dan dinamis, namun tidak selalu terjadi seluruhnya (Bryant dkk, 1982). Rural, peri-urban dan urban membentuk suatu sistem yang saling berhubungan dan merupakan rangkaian yang multidimensi (Iaquinta dan Drescher, 2000). Salah satu ciri yang nampak dalam regional cities ini adalah adanya pergeseran struktur tenaga kerja dari sektor primer dan manufaktur ke sektor pelayanan administrasi (jasa) dan aktivitas yang lebih berorientasi pada lingkungan. Dalam pergeseran ini ada beberapa hal yang menyertai, yaitu mobilitas yang meningkat, teknologi komunikasi yang baik, waktu senggang yang lebih banyak dan adanya perhatian pada lingkungan. Regional city terjadi pada wilayah yang luas dan kompleks (Bryant dkk, 1982), sebagai contoh adalah kasus di Montreal, Vancouver, London, Paris, San Francisco; regional city merupakan wilayah yang berada sekitar 80 sampai dengan 100 km dari kota (city), dengan populasi satu juta orang atau lebih, area metropolitan besar yang lebih jauh lagi sampai pada area untuk weekend dan untuk bermain pada musim-musim tertentu oleh orang- 16

5 orang dari urban, pada jarak 80 km menyediakan tempat tinggal > km 2 dan untuk kota kecil pada radius 40 sampai dengan 80 km dari kota menyediakan tempat tinggal < km 2. Ada beberapa aspek penting yang menjadi karakteristik dari regional city (Bryant dkk, 1982), yaitu (1) adanya percampuran antara titik-titik penggunaan lahan yang intensif dan aktivitas manusia yang tersebar di tengah-tengah lahan pertanian, perhutanan dan kadang-kadang rawa. Percampuran ini bisa terjadi pada kota kecil, kota, desa, komunitas baru, estate yang terbagi-bagi pada desa. Adapun jika dilihat dari pola pengembangannya berupa pola pita (ribbon), bersilangan (crossroad) dan terisolasi (isolated). (2) Adanya banyak pilihan dalam hal lingkungan tempat tinggal. Tempat tinggal tersebut bisa berupa kota kecil, kota dan desa, daerah yang memiliki lahan pertanian, kehutanan, danau dan sungai, serta area bukit. (3) Adanya perpindahan orang dan barang. Pola pergerakan ini biasanya terkonsentrasi pada pusat kota. Terjadi suatu pola yang kompleks dan berbeda, disertai dengan titik-titik aktivitas besar maupun kecil pada bagianbagian yang tersebar dari regional city, dan orang-orang bergerak keluar dari kota menuju titik-titik aktivitas tersebut. Pada akhirnya terjadi pola-pola yang berbeda fungsinya, ada yang untuk ruang kerja, ruang bermain, ruang berbelanja, dan ruang sosial. Hal yang bisa dikaitkan antara variasi zona tersebut di atas dengan topik penelitian yang diangkat adalah mengenai peri-urban. Peri-urban sering diidentikkan dengan proses area desa yang berubah menjadi karakter kota, baik dalam hal fisik, ekonomi, sosial dan sebagainya. Ada beberapa definisi peri-urban, di antaranya adalah melalui sudut pandang spasial seperti yang diungkapkan oleh Rakodi dan Adell (1998 dan 1999 dalam Webster, 2002), bahwa peri-urban merupakan zona transisi antara lahan di kota yang secara keseluruhan terurbanisasi dengan area yang didominasi fungsi pertanian. Karakteristiknya dipengaruhi oleh kombinasi penggunaan lahan dan tidak mempengaruhi batasbatas dalam (inner) maupun luar (outer), serta tipenya terbagi-bagi antara sejumlah area administratif. 17

6 ...the transition zone between fully urbanised land in cities and areas in predominantly agricultural use. It is characterised by mixed land uses and indeterminate inner and outer boundaries, and typically is split between a number of administrative areas (Rakodi,1998, Adell 1999). Wilayah ini juga bisa juga disebut sebagai open city (Bryant, 1982) mengingat adanya peluang dalam memilih berbagai lingkungan tempat tinggal, peluang pekerjaan, gaya hidup dan spasial sekitarnya. Peri-urban merupakan tempat terdapatnya tekanan sosial serta perubahan sosial yang dinamis (Iaquinta dan Drescher, 2000). Peri-urban juga kerap dianggap sebagai zona transisi yang tersebar serta tidak memiliki batas yang jelas. Sumber: Iaquinta dan Dresche,r, 2000 Gambar II.2. Tipologi Peri-urban Dilihat dari proses sosial demografi, khususnya migrasi, Iaquinta dan Drescher (2000) membagi peri-urban menjadi lima tipe. Dalam hal ini migrasi dianggap sebagai suatu hal yang secara langsung melekat pada dinamika rural-urban. Tipe peri-urban tersebut adalah Village Peri-urban (VPU) atau kampung peri-urban, Diffuse Peri-urban (DPU) / peri-urban yang menyebar, Chain Peri-urban (CPU) / peri-urban yang berantai, In-place Peri-urban (IPU) / peri-urban yang pada lokasi 18

7 itu sendiri dan Absorbed Peri-urban (APU) / peri-urban yang terserap. Masingmasing tipe peri-urban tersebut ada yang berada dekat dengan kota, pinggiran kota, jauh dari kota dan sebagainya (dapat dilihat pada Gambar II.3.). Village Peri-urban (VPU) tidak dekat dengan kota baik secara geografis maupun waktu perjalanannya, berasal dari persinggahan, sirkulasi dan migrasi. Diffuse Periurban (DPU) secara geografis merupakan pinggiran kota dan berasal dari migrasi yang bersumber pada banyak (multi) titik. Chain Peri-urban (CPU) secara geografis merupakan pinggiran kota dan utamanya berasal dari rangkaian migrasi. In-place Peri-urban (IPU) secara geografis dekat dengan kota dan juga pinggiran kota, berasal dari urbanisasi dalam lokasi itu sendiri, pertumbuhan alami dan beberapa migrasi. Absorbed Peri-urban (APU) secara geografis berada pada kota itu sendiri (terserap), berasal dari pergantian/perpindahan dan tradisionalisme (ritual). Sementara itu Bryant dkk (1982) melihat peri-urban sebagai city s countryside, yang merupakan kombinasi antara desa dan kota. Ada beberapa tekanan yang bisa menimbulkan perubahan pada city s countryside, yaitu pertumbuhan populasi dan pengembangan transportasi. Countryside memiliki fungsi utama dalam menyediakan pangan, tempat untuk hidup dan tempat untuk beraktivitas menghabiskan waktu senggang. Meskipun memiliki beragam hubungan, satu hal yang jelas, apapun hubungan antara countryside dan kota, keduanya merupakan bagian-bagian integral dari kesamaan sistem sosial dan ekonomi (Jung, 1971 dalam Bryant dkk, 1982). Wilayah kota dapat dilihat sebagai suatu sistem yang telah berekspansi dan menjadi terintegrasi (bergabung) dengan countryside, sehingga countryside adalah bagian integral dari bentuk permukiman. Untuk itu perubahan kota dan countryside adalah saling bergantung (Bryant dkk, 1982). City s countryside dapat dilihat sebagai perbandingan tiga lingkungan yang saling terkait (Bryant dkk, 1982), yaitu lingkungan alam (nature), lingkungan ekonomi (economic) dan lingkungan budaya (cultural). Sebagai nature, countryside menyediakan sistem pendukung untuk kehidupan (makanan, udara, air dan sumber daya lainnya), lingkungan ekonomi meliputi beberapa aktivitas yang digunakan oleh sumber daya alam dan sumber daya manusia untuk memenuhi kebutuhan manusia, sedangkan pada lingkungan budaya beserta subsistem sosial 19

8 dan politik terdapat aktivitas-aktivitas utama untuk berbagai hal selain untuk keuntungan atau mendukung penghidupan. Sumber : Bryant dkk, 1982 Gambar II.3. Lingkungan City s Countryside Ada beberapa masalah yang kerap terjadi pada city s countryside (Bryant dkk, 1982), masalah tersebut salah satunya adalah mengenai penggunaan lahan dan konversi lahan. Hal ini terjadi karena konflik konversi lahan berhubungan langsung dengan perubahan pola kepemilikan lahan dan ini sebagian besar terjadi pasar real estate menengah yang membuat nilai-nilai ekonomi dan budaya diterjemahkan ke dalam penggunaan lahan. Struktur kepemilikan dan bentuk kepentingan yang dimiliki terhadap lahan kemudian membuat adanya investasi lahan, hal ini tidak nampak dari penglihatan tetapi jika dilihat secara keseluruhan tanda-tandanya, terdapat kemungkinan perubahan fungsi di masa yang akan datang. Di samping itu masalah lainnya adalah berkaitan dengan dampak urbanisasi pada sumber daya dasar, isu-isu sosial serta adanya kesulitan dalam manajemen politik. Peri-urban tidak terlepas dari proses urbanisasi yang terjadi di dalamnya. Urbanisasi dalam banyak makna, merujuk pada sekumpulan proses dengan proporsi populasi country terkonsentrasi pada area urban yang meningkat seiring dengan berjalannya waktu (Tisdale 1942; Hauser dan Schnore 1965 dalam Bryant dkk, 1982). Proses urbanisasi sangat berhubungan dengan perkembangan yang terjadi di sektor utama, khususnya pertanian, salah satu hasilnya adalah reduksi 20

9 (pengurangan) dalam jumlah tenaga kerja pada sektor primer untuk memenuhi tingkat permintaan; pada saat yang sama peningkatan manufaktur dan aktivitas non-primer lainnya menempati atau menjadi konsentrasi dalam aktivitas ekonomi di area utama urban. Suatu ukuran yang tepat dari ubanisasi mungkin adalah proporsi populasi orang yang tinggal di wilayah urban perbatasan fungsional. Wilayah ini memiliki beragam istilah, ciy region, urban field, daily urban system, commuting zone dan regional cities. Apapun terminologi yang digunakan, ide dasarnya adalah sama, yaitu elemen geografis dari suatu daerah yang bertalian bersama-sama dengan suatu orientasi pada satu atau lebih pusat kota. Istilah urbanisasi sering digunakan untuk mengambarkan proses infiltrasi countryside oleh elemen non pertanian, dan sama artinya dengan pengembangan guna lahan non pertanian. Urbanisasi bukan hanya sekedar pertambahan permintaan akan lahan, tetapi juga menimbulkan suatu tekanan yang bisa merubah countryside. Di dunia barat, urbanisasi menunjukkan manifestasi geografi dari pembangunan dan pertumbuhan ekonomi yang berhubungan dengan standar hidup yang tinggi, lebih banyak waktu senggang dan pendapatan yang tinggi. II.2. Tinjauan mengenai Pengembangan Lahan Lahan merupakan salah satu sumber daya yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Tidak hanya sebagai tempat tinggal, lahan juga menjadi ruang tempat bergerak untuk melakukan aktivitas. Lahan sebagai sumber daya dan komoditas memiliki empat fungsi dasar (Russwurm 1975a dalam Bryant dkk, 1982) yaitu: - Place/tempat. - Protection/perlindungan - Production/produksi - Play/beraktivitas atau berkegiatan Sebagai tempat atau place, lahan menyediakan tempat untuk melakukan berbagai aktivitas. Sementara itu fungsi protection lebih mengacu pada fungsi lahan sebagai sumber daya yang berkaitan dengan biologi. Melalui fungsi production lahan dapat dilihat fungsinya sebagai sumber daya tanah, mineral dan juga biologi, misalnya lahan untuk pertanian, pertambangan dan sebagainya. Sedangkan dengan fungsi play, lahan dapat dilihat sebagai lingkungan alam ataupun sumber daya yang dapat digunakan untuk kepentingan lainnya, seperti 21

10 rekreasi. Melalui fungsi production dan play lahan dapat dilihat sebagai komoditas (Bryant dkk, 1982) berdasarkan perpaduan antara kapabilitas dan aksesibilitas. Sedemikian pentingnya lahan, tidak jarang sumber daya ini menimbulkan berbagai konflik, salah satunya adalah berkenaan dengan konversi lahan. Hal ini merupakan suatu bentuk perubahan pada lahan, yang perubahan tersebut dapat terjadi pada beberapa hal yakni (Bryant dkk, 1982); - dari yang tadinya sedikit pengembangan menjadi pengembangan besar; - dari yang tadinya sedikit pelayanan menjadi banyak pelayanan (kolektif); - dari yang tadinya kurang terhadap pengawasan proses perencanaan menjadi suatu kondisi dengan aturan yang teradministrasi dengan baik. Melihat beberapa kriteria perubahan di atas, maka suatu pengembangan lahan skala besar juga dapat dilihat sebagai salah satu bentuk konversi lahan. Suatu pengembangan lahan skala besar umumnya dilakukan oleh suatu perusahaan atau pengembang yang menguasai sejumlah area lahan yang luas, membelinya dengan harga relatif murah (Bryant dkk, 1982), dan kemudian mengolahnya menjadi suatu area dengan fungsi tertentu lengkap dengan komponen utama serta berbagai infrastruktur pendukungnya. Konversi lahan dapat terjadi di perkotaan, pedesaan maupun di daerah transisinya. Konversi lahan maupun pengembangan lahan dalam skala besar di daerah pedesaan maupun daerah transisi dapat menimbulkan berkurangnya lahan pertanian (Bryant dkk, 1982) sekaligus juga mampu merubah karakteristik daerah tersebut. Konversi lahan juga berhubungan dengan fungsifungsi atau sumber daya lainnya, seperti perikanan, kehutanan dan sebagainya, yang tergeser oleh adanya aktivitas-aktivitas yang mendukung fungsi kota, di antaranya (Bryant dkk, 1982) adalah konstruksi untuk pertambangan mineral, bangunan reservoir dan pengelolaan air kotor, transportasi, fasilitas komunikasi, komersial dan pengembangan industri. Ada berbagai dampak yang bisa ditimbulkan dari suatu pengembangan lahan. Pengembangan lahan yang dilakukan dalam skala besar kerap disalahkan karena memberikan pengaruh yang besar terhadap harga rumah (Bryant dkk, 1982). Seiring dengan pengembangan lahan tersebut harga rumah maupun lahan jadi meningkat tajam dan sulit dicapai, padahal pengembangan itu sendiri dilakukan 22

11 untuk memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat akan tempat tinggal. Namun ada pula yang menyebutkan bahwa pengembangan skala besar, melalui tandatandanya, belum bisa dikatakan mengubah harga lahan secara signifikan (Greespan 1978; US National Academy of Science and National Academy og Enggineering 1972). Hal tersebut merupakan salah satu dampak dari suatu pengembangan lahan skala besar yang masih menjadi perdebatan antara beberapa pihak. Dampak lain dari pengembangan lahan, khususnya ketika dilakukan pada wilayah yang dekat dengan kota, di antaranya adalah berkurangnya lahan pertanian, masalah lalu lintas (Wolfe, 1964), ketidakcocokan penggunaan, bergesernya fungsi-fungsi (Bryant dkk, 1982) seperti perikanan, kehutanan menjadi aktivitasaktivitas yang mendukung fungsi kota, dan sebagainya. Adapun aktivitas yang mendukung fungsi kota tersebut di antaranya (Bryant dkk, 1982) adalah berupa sumber daya fisik seperti konstruksi untuk pertambangan mineral, bangunan reservoir dan pengelolaan air kotor, transportasi, fasilitas komunikasi, komersial dan pengembangan industri. Ada beberapa dampak lain yang diakibatkan oleh suatu konversi lahan bagi lingkungan alam (natural) pada city s countryside (Bryant, dkk, 1982), di antaranya adalah : (1) dampak terhadap pertahanan ekologis, (2) polusi, (3) kenyamanan serta (4) potensi di masa yang akan datang. Dalam hal pertahanan ekologis, konversi lahan menimbulkan perubahan pada struktur alam, untuk itu ada beberapa hal dari alam yang perlu untuk diperhatikan, di antaranya adalah habitat binatang dan keanekaragaman vegetasi. Di samping itu juga perlu diperhatikan fungsi hidrologis (Bryant, dkk, 1982) yang merupakan fungsi signifikan bagi kehidupan baik mengenai pendaur ulangannya, penyimpanan dan pengisian ulang dalam penyediaan air. Dampak terhadap polusi juga perlu diperhatikan dalam suatu konversi lahan, mengingat areanya yang dekat dengan kota maka banyak polusi yang diserap akibat dari konsentrasi orang beserta aktivitasnya. Berbagai polusi terserap baik dari polusi udara, air, tanah dan sebagainya. Dalam hal kenyamanan, konversi lahan pada city s countryside menimbulkan perubahan pada nilai budaya yang dikenal sederhana dan tidak banyak keanekaragaman karena masyarakatnya adalah mayoritas atau relatif 23

12 homogen. Perubahan budaya tradisional tersebut menimbulkan konflik dalam hal nilai kenyamanan (Bryant, dkk, 1982). Sedangkan dalam hal dampak konversi lahan terhadap potensi di masa yang akan datang, lahan dilihat sebagai sumber daya yang potensial untuk berbagai tipe penggunaan. Lahan juga merupakan komoditas (Bryant, dkk, 1982) untuk berbagai bentuk aktivitas, baik untuk saat ini, terlebih lagi untuk di masa yang akan datang. II.3. Tinjauan Sosial Ekonomi Masyarakat Peri-urban Perkembangan peri-urban biasanya melibatkan perubahan sosial yang cepat, dengan komunitas pertanian yang berubah menjadi suatu kota atau kehidupan industri dalam waktu yang singkat (Webster, 2002). Sementara itu seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa perubahan pada suatu wilayah peri-urban tidak hanya karena faktor fisik (mobilitas, jalan dsb), tetapi juga terkait dengan aspek sosial ekonominya. Migrasi pada tingkat yang tinggi merupakan faktor penting dalam perubahan sosial. Migrasi dalam hal ini dapat juga dianggap sebagai komponen utama yang mempengaruhi proses peri-urbanisasi. Migrasi adalah proses berpindahnya penduduk dari suatu tempat ke tempat lain melewati batas wilayah tertentu yang dilalui dalam perpindahan tersebut (BPS Jabotabek, 2001). Dalam terminologi migrasi dan urbanisasi, lingkungan peri-urban memiliki peran sebagai penengah (media) bagi rural dan urban (Iaquinta dan Drescher, 2000). Migrasi dalam jumlah besar biasanya terjadi dari wilayah miskin, tempat yang baru dianggap memiliki demand sangat besar, dan para migran tersebut menaruh harapan besar pada tempat tujuan, termasuk dalam hal pelayanan sosial dan komunitasnya. Tekanan lingkungan di area peri-urban bisa menjadi sesuatu yang penting, misalnya sehubungan dengan semakin meluasnya permukiman peri-urban, polusi yang bersumber dari industri maupun permukiman, serta ketidakcukupan sumber daya keuangan sektor publik untuk menanggulangi perkembangan yang cepat itu. Berbagai permasalahan tersebut diperburuk dengan terbagi-baginya wilayah ini secara spasial ke dalam beberapa pemerintah lokal, sementara kelembagaan publik lokal memiliki kapasitas yang rendah untuk menanggulangi permasalahan tersebut (Webster, 2002). 24

13 Seperti yang diuraikan pada bagian sebelumnya bahwa peri-urbanisasi awalnya diakibatkan oleh perpindahan orang atau individu, baik dari desa maupun dari kota, ke area transisi, yang selanjutnya area ini akan berkembang dengan pesat serta mendapat pengaruh dari karakteristik rural dan juga urban. Sehubungan dengan hal tersebut, jika dilihat dari komponen pelayanan yang didapatkan dari lingkungan sekitar rumah atau tempat tinggalnya, ada tiga kategori alasan orang melakukan perpindahan yaitu (Clark, 1986): karaktersitik unit rumah, karakteristik lingkungan di sekitar dan aksesibilitas. Bauer dan Roux (1976 dalam Bryant dkk, 1982) melihat ekspansi populasi penduduk ke city s countryside sebagai suatu letusan dari populasi pada skala subregional atau subwilayah yang menempati titik-titik (kutub-kutub) tertentu yang telah dikembangkan sampai pada lingkup wilayah atau skala makro. Penduduk di countryside pindah dari kota yang ada di sekitarnya atau dari wilayah-wilayah yang berbatasan dengan desa tersebut (e.g. Brunet & Lepine 1981; Mc Quinn 1978; AREA 1973 dalam Bryant dkk, 1982). Fenomena perpindahan masyarakat pada countryside dapat membawa kelompok-kelompok masyarakat ke dalam perbedaan, setidaknya dalam hal pekerjaan, keaslian dan gaya hidup (Walker 1976: Lewis dan Maund 1976 dalam Bryant dkk, 1982). Dalam hal ini tekanan dan adaptasi merupakan dua hal yang tidak dapat dielakkan. Di samping itu, perpindahan populasi juga memberikan dampak yang signifikan bagi perubahan sosial, proses politik dan kemampuan dasar masyarakat untuk memenuhi standar kehidupan bagi populasi mereka. Di sisi lain, migrasi tidak mengakibatkan suatu kepakuman. Transformasi dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat moderen merupakan salah satu dampak dari terjadinya migrasi. Mobilitas transisi menyatakan bahwa ada suatu peristiwa yang berturutturut dan kuat membentuk aktivitas dan migrasi manusia (Zelinski, 1971:231 dalam Clark, 1986). Perubahan sosial akibat migrasi mengakibatkan pertukaran ide dan penyebaran informasi yang jauh lebih besar. Perpindahan ke urban region (wilayah yang berada di luar area terbangun kota) terjadi karena beberapa hal, di antaranya adalah karena adanya demand untuk tenaga kerja dan perbedaan standar hidup antara desa dan kota (Bryant dkk, 1982). Perpindahan tersebut memberikan pengaruh pada kedua tempat, pada rural 25

14 tempat migran berasal dan juga pada komunitas baru yang menjadi tujuannya. Komunitas tersebut selanjutnya berkembang menjadi populasi non pertanian di urban region. Sementara menurut Bryant dkk (1982) pada city s countryside di dunia barat, masyarakatnya tidak lagi bekerja sebagai petani. Adapun sebagai akibat perpindahan dan perkembangan tersebut terjadi peningkatan permintaan akan lahan untuk berbagai fungsi yang berorientasi pada urban, yang kemudian akan semakin meningkatkan urban region itu sendiri. Selanjutnya demand dan kompetisi di countryside pun menjadi tempat yang menarik dan dicari, sehingga hal ini menjadi suatu efek urbanisasi pada countryside. Efek tersebut di antaranya adalah masyarakat kehilangan lahan pertanian, spekulasi lahan dan dihentikannya produktivitas lahan (misal: dengan adanya spekulan yang kemudian menjadi pemilik lahan serta adanya pihak-pihak yang menggali lahan untuk pertambangan). Perpindahan serta perkembangan yang terjadi juga dipengaruhi atau mempengaruhi perubahan dalam gaya hidup atau life style. Beberapa orang memilih rumah di countryside karena biaya hidup lebih murah (McQiunn, 1978; Russwurm, 1977b dalam Bryant dkk, 1982). Beberapa orang karena ingin kehidupan desa atau kembali ke alam (McQiunn, 1978; Russwurm, 1977b dalam Bryant dkk, 1982). Ada pula yang karena ingin membawa keluarganya ke lingkungan yang bersih, tempat yang kejadian kriminal dan peredaran obatobatan terlarangnya dirasa kurang (McKay 1976, dalam Bryant dkk, 1982). Sementara itu ada Russwurm (1977a dalam Bryant dkk, 1982) memaparkan lima alasan yang merupakan faktor penarik (pull factor) untuk tinggal di countryside (Russwurm 1977a; Australian Department of Urban and Regional Development 1975; AREA 1973) yaitu: (1) keinginan untuk memiliki ruang privacy dan personal yang lebih besar, (2) nilai yang melekat pada manusia yang terbentuk serta kenyamanan lingkungan alam pada countryside, (3) kebebasan untuk melakukan aktivitas yang tidak diijinkan di kota seperti memelihara binatang, (4) merupakan tempat yang menarik untuk membesarkan anak, dan (4) harapan untuk memperoleh keuntungan dari sisi ekonomi. Tetapi sekarang alasan sosiokultural lebih besar pengaruhnya daripada faktor ekonomi. 26

15 Di samping pull factor, ada pula push factor yang merupakan image negatif lingkungan kota bagi exurbanite (AREA, 1973 dalam Bryant dkk, 1982). Salah satunya adalah mengenai beberapa hal yang membuat orang tinggal di kota menjadi tidak nyaman atau dengan kata lain enggan tinggal di kota. Kengganan tersebut dapat dilihat dari lima faktor berikut (AREA, 1973 dalam Bryant dkk, 1982): (1) kurangnya privacy, (2) kurang nyamannya lingkungan perkotaan, (3) kurang baik untuk membesarkan anak, (4) tidak bisa melakukan aktivitas-aktivitas tertentu, dan (5) biaya untuk tempat tinggal (rumah). Sementara itu ada pula beberapa masalah lainnya, yaitu adanya masalah yang berhubungan dengan kepenuh sesakkan/kemacetan, polusi udara, serta sindrom psikologis rat race terhadap kehidupan perkotaan, dengan kata lain merasa dirugikan baik secara fisik maupun psikologis oleh lingkungan kota karena telah memilihnya sebagai tempat tinggal. Berdasarkan survei yang dilakukan di Winnipeg, Canada, ada beberapa alasan penduduk memilih pindah ke country, yakni area yang kurang padat, bentang alam yang menarik, lebih banyak visual privacy di sekitar rumah, pajak yang rendah serta ingin lahan yang lebih luas. Sementara pada studi yang dilakukan di sekitar Kota Thunder Bay, Ontario, masyarakat tinggal di countryside karena beberapa alasan yaitu untuk memperoleh manfaat dari gaya hidup pedesaan, polusi rendah dan lebih banyak pemandangan indah, pajak yang rendah, hargaharga murah serta untuk investasi (dengan harga murah bisa dapat lahan yang luas). Berdasarkan studi dari Perancis (AREA 1973) di Plaine de Versailles barat daya Paris, disebutkan beberapa faktor positif dari lingkungan pedesaan yaitu dukungan dari sektor pertanian, lebih mudah mendapatkan ruang terbuka untuk pemandangan, olagraga berkendaraan dan jalan kaki, lambat dalam hal perkembangan jaman, kualitas udara yang baik, dekat dengan alam. Dari studi yang sama disebutkan pula beberapa faktor negatif dari lingkungan perkotaan, yaitu adanya ancaman dari lingkungan alam serta kurangnya kebebasan personal. Dalam city s countryside, ada yang dinamakan sebagai exurbanite yaitu suatu populasi yang tinggal pada permukiman di luar area terbangun kota, dengan sistem perencanaan fisik yang masih belum ada (Bryant dkk, 1982). Exurbanite yang dulunya tinggal di area urban, bersama petani hidup berdampingan satu 27

16 sama lain. Petani lebih banyak menggunakan lahannya untuk fungsi produksi, sedangkan exurbanite menggunakan lahan untuk kepentingan lain (place dan play). Meskipun berbagai hal (seperti media massa) sudah masuk ke wilayah tersebut, namun mereka tetap nampak berbeda dalam hal penampilan maupun perilaku (Walker 1976; Council & Rural Development Canada 1979), sehingga di sini konflik sosial dan lainnya rentan terjadi. Sementara itu seiring dengan masuknya para pendatang (exurbanite) maka pertumbuhan pun terjadi, dari yang sebelumnya hanya terdapat sedikit rumah menjadi ribuan orang. Di sisi lain, peningkatan permukiman pada wilayah pedesaan ini juga dianggap memberikan beberapa aspek positif seperti tersedianya ruang terbuka, perhatian terhadap kenyamanan, jaringan listrik, jaringan jalan, fasilitas sosial, peribadatan dan sebagainya. Jika ditelusuri lebih lanjut, banyak perubahan aktivitas ekonomi dan budaya dalam city s countryside yang terjadi akibat perubahan dalam pola kepemilikan lahan (Bryant dkk, 1982). Bauer dan Roux (1976 dalam Bryant dkk, 1982), melalui analisis rurbanizationnya, melihat bahwa pada city s countryside sebagian besar masyarakatnya masuk dalam kategori sosial yang relatif lebih baik dibandingkan dengan area suburban. Di wilayah ini terdapat masyarakat yang bekerja sebagai pengusaha atau wiraswastawan, eksekutif manager dan profesional lainnya. Sementara dari hasil analisis yang sama, terdapat sedikit masyarakat dengan kelas sosial yang lebih rendah. Bryant dkk (1982) juga menyebutkan bahwa struktur atau karakteristik masyarakat yang tinggal pada city s countryside di Perancis, terdiri dari profesional manager, pekerja yang bergelut di bidang produksi, masyarakat berpenghasilan tinggi serta masyarakat dengan pendidikan universitas II.4. Pengalaman Peri-urban di Wilayah Lain Berikut ini adalah beberapa pengalaman peri-urban di tempat lain, khususnya yang terkait dengan transformasi sosial ekonomi masyarakatnya. Peri-urban Hubli-Dharwad Daerah yang dikenal sebagai peri-urban Hubli-Dharwad ini karakteristiknya dekat dengan wilayah Kota Hubli-Dharwad, tetapi berada di luar inti area urban dan dikelilingi desa-desa yang berhubungan dengan Hubli dan Dharwad oleh layanan 28

17 bis kota (Universitas Birmingham, 1998b dalam Brook dan Davila, 2000). Hubli- Dharwad merupakan salah satu wilayah yang ada di Karnataka, sebuah Negara bagian India. dan Afrika (Peri-urban Hubli-Dharwad meliputi lima area yang berada di sekeliling Wilayah Dharwad (Dharwad District), yaitu Dharwad, Hubli, Kalghatgi, Kundgol dan Navalgund. Wilayah-wilayah tersebut memiliki perbedaan dalam hal iklim dan fisiografisnya. Kalghatgi yang berada di sebelah barat daya dari kota merupakan area berbukit dengan curah hujan yang tinggi. Dharwad merupakan area semi berbukit. Sedangkan Hubli, Kundgol dan Navalgund merupakan area datar, dengan curah hujan semakin ke timur semakin berkurang, terutama di Navalgund dan Kundgol (Universitas Birmingham, 1998b dalam Brook dan Davila, 2000). Di samping itu, hal lainnya yang juga berbeda dari wilayah-wilayah tersebut adalah kualitas dan tipe tanahnya. Pada tahun 1991 wilayah (city region) tersebut memiliki populasi sebesar jiwa, 50,5% diklasifikasikan sebagai urban, sementara itu sisanya, merupakan area rural dan semi rural. Adapun antara tahun 1981 sampai dengan tahun 1991 area rural dan semi rural ini diketahui memiliki pertumbuhan rata-rata 2,7% per tahun. Angka tersebut menunjukkan pertumbuhan yang lebih cepat dari Kota Administratif Hubli-Dharwad yang hanya memiliki pertumbuhan sebesar 2,1% per tahunnya (Universitas Birmingham, 1998b dalam Brook dan Davila, 2000). Sementara itu jika dilihat dari populasinya, masing-masing desa tersebut memiliki jumlah yang beragam mulai dari jiwa di Kalghatgi, sampai dengan jiwa di Navalgund. Sebagian besar desa-desa di wilayah ini berlokasi di tanah yang subur (black cotton soil) dan dilengkapi dengan sistem irigasi. Meskipun demikian, di tahun 1980-an desa-desa ini justru kehilangan sebagian populasinya. Hal ini terjadi karena adanya migrasi keluar (out migration) menuju daerah bagian selatan. Daerah yang banyak menjadi tujuan bagi para migran tersebut adalah desa Dharwad. Lokasinya yang lebih dekat dengan kota ternyata mengakibatkan pertumbuhan desa ini lebih cepat dibandingkan dengan desa-desa lainnya yang jaraknya lebih jauh terhadap kota. Selain itu daerah peri-urban Hubli Dharwad juga memiliki kelebihan lain yang tidak dimiliki oleh daerah lain di sekitarnya, di antaranya adalah kondisi yang beragam dalam hal produkivitas, kemakmuran dan 29

18 juga beragamnya mata pencaharian bagi penghuni peri-urban (Brook dan Davila, 2000). Hal ini didukung pula oleh faktor fisik lingkungan dan sistem pertaniannya yang dinamis. Wilayah Hubli-Dharwad cenderung lebih bersifat rural (Brook dan Davila, 2000). Pertanian merupakan aktivitas ekonomi yang paling penting dan wilayah ini sangat bergantung pada sifat asli produktivitas tanah. Suatu studi (Baseline Study) memaparkan bahwa karakteristik awal dari perubahan aktivitas produksi di peri urban, utamanya dapat dilihat dari sistem pertaniannya (Hunshal, 1997 dalam Brook dan Davila, 2000), dan hal ini terjadi di peri-urban Hubli-Dharwad, yakni dalam hal pola panennya. Perubahan pada pola panen di sini dapat dihubungkan dengan dibukanya pasar lokal (city region), dan juga meningkatnya akses pada pasar regional yang lebih luas, termasuk didalamnya akses antara Bangalore dan Bombay melalui Hubli-Dharwad. Dengan demikian seiring dengan berjalannya waktu, pertanian Hubli-Dharwad semakin mengalami maju. Sektor pertanian masih menjadi sektor penting bagi wilayah peri-urban ini, namun masing-masing desa di dalamnya memiliki karakteristik yang berbeda-beda, di antaranya dalam hal jenis dan bentuk produksi, luas lahan, akses untuk irigasi dan juga pemasaran. Secara umum area yang berada di bagian timur, pertaniannya lebih berorientasi ke urban, di sini hasil panennya merupakan sesuatu yang bernilai komersil untuk memenuhi pasar urban. Sedangkan di bagian barat dari wilayah ini lebih berorientasi pada rural, pertanian masih menjadi roda penggerak perekonomian dengan produksi panen masih bersifat tradisional, seperti produksi beras yang masih menjadi hasil utama. Pertanian di sini juga dapat dilihat dari mekanisme yang digunakannya, misalnya untuk yang tradisional masih menggunakan tenaga hewan, sedangkan untuk yang telah berorientasi ke urban akan lebih mengurangi tenaga kerja atau pekerjaan yang sifatnya manual (Hunshal, 1997 dalam Brook dan Davila, 2000). Perkembangan peri-urban Hubli Dharwad ini juga dapat dilihat dari perubahan besarnya lahan yang tidak dapat dimanfaatkan di wilayah ini. Pada tahun 1991, lahan yang tidak dapat diolah atau dimanfaatkan mencapai 4,1%, jika dibandingkan dengan besaran lahan yang tidak dapat dimanfaatkan di tahun 1981, nampak terjadi penurunan yang signifikan, yakni mencapai 34,6% (Universitas 30

19 Birmingham, 1998b dalam Brook dan Davila, 2000). Di sini diperkirakan lahanlahan di peri-urban tersebut telah mengalami perubahan kepemilikan dan telah dikuasai oleh sektor swasta untuk dikembangkan. Belakangan diketahui bahwa lahan-lahan tersebut dikuasai untuk berbagai tujuan, di antaranya lahan berubah fungsi untuk permukiman, spekulan dan untuk industri. Pada tahap selanjutnya, dalam kasus di wilayah ini pemerintah melalui kebijakannya kemudian menggalakkan industrialisasi city region dengan mengandalkan lokasi Hubli- Dharwad yang strategis, sehingga dengan demikian industrialisasi pun semakin berkembang di wilayah ini, walaupun pemerintah pusat tetap berupaya untuk memperhatikan sektor pertaniannya. Peri-urban Kumasi Kumasi merupakan suatu wilayah yang terletak di Ghana sebuah negara di Afrika Barat. Bagi wilayah ini faktor kedekatan dengan kota ternyata tidak berpengaruh dominan terhadap peri-urban Kumasi, karena masih ada faktor lainnya yang juga cukup mempengaruhi, salah satunya adalah karena tingginya harga di Kumasi. Pengaruh faktor kedekatan kota yang tidak dominan ini juga didukung melalui hasil studi yang dilakukan Adam dkk (1997 dalalm Brook dan Davila, 2000) pada enam desa yang berjarak 8 sampai 30 km dari pusat kota Kumasi. Dari enam desa tersebut hanya dua desa yang berlokasi di tepi jalan utama, namun empat desa lainnya itu justru mengalami pertumbuhan yang cukup pesat, bahkan satu atau dua di antaranya mengalami migrasi keluar (out migration) yang jauh lebih besar daripada migrasi ke dalamnya (in migration). Peri-urban di Kumasi sering dikaitkan dengan sejumlah desa yang berjarak antara 4 sampai dengan 47 km dari pusat Kumasi, disertai dengan pertimbangan bahwa di wilayah ini tidak hanya terdapat lahan pertanian, tetapi juga terdapat kompetisi lahan untuk penggunaan non-pertanian (Holland dkk, 1996a dalam Brook dan Davila, 2000). Wilayah konurbasi Kumasi terdiri dari Kumasi City Council (KCC) dan empat daerah yang berbatasan dengan Kumasi yaitu Kwabre, Atwima- Kwanwoma, Ejisu Juaben dan Atwima-Nwabiagya. Kelima daerah tersebut biasa disebut sebagai The Greater Kumasi City Region (GKCR). GKCR dalam strategi dan program pengembangannya dilihat sebagai satu kesatuan meskipun bukan sebagai satu kesatuan administratif. Perkembangannya dipengaruhi oleh beberapa 31

20 hal, seperti in-migration (migrasi ke dalam) ke peri-urban Kumasi, pemasaran produksi pertanian, persediaan bahan makanan ke dan dari Kumasi dan sekitarnya, perubahan berbagai infrastruktur penting, dan indikator lainnya yang terkait. Berbagai hal tersebut dianggap bisa merubah ekonomi dan penghidupan populasi di GKCR. Pada peri-urban Kumasi, pertanian masih menjadi sektor penting dan masih digeluti oleh masyarakatnya. Menurut Kasanga (1998 dalam Brook dan Davila, 2000) terdapat suatu perubahan tren dalam perekonomian desa-desa yang berada di peri-urban Kumasi. Hal ini dapat dilihat dari perubahan jumlah tenaga kerja di sektor pertanian antara tahun 1970 sampai dengan tahun 1996 pada desa-desa yang berada di sekitar pusat Kumasi. Desa yang jaraknya dekat dengan kota, seperti Atamanso yang berada 7 km dari pusat Kumasi, Esereso, Akokoamong dan Maase yang berada 13 km dari pusat Kumasi, mengalami penurunan prosentase tenaga kerja sektor pertanian. Sementara itu, pada desa yang terpencil seperti Behenease yang berada 24 km dari pusat Kumasi, mengalami peningkatan tenaga kerja di sektor pertanian. Perubahan tren ini juga didukung oleh Blake dkk (1975a dalam Brook dan Davila, 2000) yang menyatakan bahwa pertanian masih dianggap sebagai sumber penghidupan tetapi sudah tidak menjadi mata pencaharian utama masyarakat lagi, terutama bagi kaum mudanya. Tren lain juga ditunjukkan Holland dkk (1996a dalam Brook dan Davila, 2000) yang melihat perbandingan struktur mata pencaharian masyarakat Kumasi dengan empat daerah di sekitarnya dalam beberapa sektor. Melalui data tahun 1984, Kumasi saat itu memiliki jumlah tenaga kerja yang kecil di sektor pertanian (12,3%), dan jumlah tenaga kerja yang lebih besar di sektor-sektor lainnya, yaitu perdagangan dan restoran (41,9%), layanan sosial (25%) dan manufaktur (20%). Sementara empat daerah di sekitarnya justru masih memiliki tenaga kerja yang relatif lebih besar di sektor pertanian yaitu masing-masing lebih dari 50%, dan jumlah yang relatif kecil di sektor-sektor lainnya (non-pertanian). Hal ini menunjukkan bahwa Kumasi pada saat itu sudah mulai mendapat pengaruh urban melalui bergesernya struktur mata pencaharian utama masyarakat dari sektor pertanian ke non-pertanian. 32

21 Perkembangan peri-urban sekitar Kumasi ini juga dapat dilihat dari perubahan populasinya. Kasanga (1998 dalam Brook dan Davila, 2000) menunjukkan antara tahun 1970 sampai dengan tahun 1996 hampir seluruh desa tersebut mengalami peningkatan populasi, kecuali Behenease yang merupakan desa paling jauh dengan jarak sekitar 24 km dari pusat kota, mengalami penurunan populasi. Melalui data di tahun-tahun tersebut desa yang berada dekat dengan pusat Kumasi memiliki tingkat pertumbuhan populasi yang lebih besar dibandingkan dengan desa yang letaknya lebih jauh dari pusat Kumasi, seperti yang terjadi pada Atamanso yang berada 7 km dari pusat Kumasi memiliki pertumbuhan 8,8 % per tahun (Kasanga, 1998 dalam Brook dan Davila, 2000), sementara Okyerekrom yang berada 15 km dari pusat Kumasi memiliki pertumbuhan 1,9 % per tahun (Kasanga, 1998 dalam Brook dan Davila, 2000). Perubahan populasi ini juga diwarnai oleh migrasi penduduk, terutama ke desa-desa yang relatif lebih dekat dengan pusat Kumasi. Perbandingan Peri-urban Hubli-Dharwad dan Peri-urban Kumasi Zona peri-urban sering diidentikkan dengan suatu area yang mengalami perubahan cepat (Brook dan Davila, 2000), dan adanya suatu pertemuan antara sistem urban dan sistem rural yang berdampak bagi masyarakat. Hal ini juga terjadi pada peri-urban Hubli-Dharwad dan peri-urban Kumasi. Berikut adalah beberapa perbandingan antara kedua peri-urban tersebut, terkait dengan perkembangan yang terjadi di dalamnya: Tabel II.1. Perbandingan Peri-urban Hubli-Dharwad dan Kumasi Peri-urban Hubli-Dharwad Peri-urban Kumasi Mengalami peningkatan populasi Mengalami peningkatan populasi Masih ada kegiatan pertanian, namun sudah tidak Masih ada kegiatan pertanian, namun sudah tidak menjadi sektor utama menjadi sektor utama Terdapat pergeseran struktur mata pencaharian Terdapat pergeseran struktur mata pencaharian masyarakat, dari pertanian ke non-pertanian masyarakat, dari pertanian ke non-pertanian (industri dan konstruksi) (manufaktur dan perdagangan) Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan peri-urban: - Kedekatan dengan kota (faktor utama) - Kemudahan akses - Upah bekerja di desa yang tidak tetap, kemampuan yang rendah untuk bekerja di desa, pendapatan bekerja di desa tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar - Produktivitas pertanian di desa rendah karena curah hujan tidak menentu, irigasi yang minim Sumber: Disarikan dari Brook dan Davilla, 2000 Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan peri-urban: - Kedekatan dengan kota - Kemudahan akses - Orang (migran) mencari pekerjaan agar tingkat penghidupannya jadi lebih baik. - Tingginya harga rumah di pusat kota Kumasi 33

22 Dari berbagai perbandingan tersebut, peri-urban Hubi-Dharwad memiliki kecenderungan berkembang karena kedekatannya dengan kota (batas spasial). Dalam hal ini orang-orang melakukan perpindahan ke daerah peri-urban sebagai suatu ekspansi terhadap kota dan juga adanya suatu pertimbangan ekonomi (mencari pekerjaan di kota untuk memperoleh pendapatan yang lebih baik). Hal lainnya yang juga turut mempengaruhi adalah kemudahan akses, upah yang tidak tetap, pendapatan di desa yang rendah serta produktivitas pertanian di desa yang semakin menurun. Sementara itu peri-urban Kumasi memperlihatkan beberapa hal lain yang mempengaruhi perkembangan suatu peri-urban tidak hanya semata-mata karena kedekatan dengan kota. Peri-urban Kumasi berkembang lebih karena desakan kota, sehingga wilayah ini terkena pengaruh berbagai bentuk modernisasi dan luapan dari kota tersebut. Selain itu masih ada beberapa faktor lainnya yang juga mempengaruhi perkembangan peri-urban Kumasi, di antaranya adalah faktor kedekatan dengan kota itu sendiri, kemudahan akses, pertimbangan ekonomi serta tingginya harga rumah di pusat kota Kumasi. II.5. Kesimpulan Tinjauan Pustaka Berdasarkan tinjauan literatur yang telah dilakukan, diketahui bahwa ada beberapa perubahan atau transformasi sosial ekonomi yang terjadi pada area peri-urban. Perubahan tersebut diantaranya adalah pertumbuhan penduduk (peningkatan populasi), migrasi atau pergerakan penduduk, peluang pekerjaan, pergeseran struktur tenaga kerja dari sektor primer ke sektor non-primer, perubahan gaya hidup, kebebasan masyarakat dalam memilih tempat tinggal dan tempat bekerja (berkaitan dengan jarak), meningkatnya taraf hidup masyarakat, terbentuknya masyarakat yang terurbanisasi dan terindustrialisasi, waktu senggang yang lebih banyak, tingkat pendidikan masyarakat yang lebih baik, masyarakat yang lebih memperhatikan lingkungan, komunikasi dalam masyarakat yang lebih baik, dan sebagainya. Berbagai transformasi pada peri-urban tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor, beberapa diantaranya yakni: perkembangan atau konsentrasi pada area yang menarik untuk dikembangkan, akses yang semakin membaik (sirkulasi), 34

23 pengembangan transportasi (seperti jalan, angkutan, kereta api, dll), pengembangan infrastruktur lainnya (seperti listrik, air, telepon, dsb), adanya persinggahan, kedekatan dengan kota, urbanisasi, migrasi serta pertumbuhan alami. Untuk proses migrasi yang terjadi, ada banyak alasan para migran memilih untuk pindah ke area peri-urban, antara lain untuk mencari penghidupan yang lebih baik, lingkungan yang nyaman, lokasi yang relatif dekat dengan kota serta ditunjang dengan akses yang baik. Adapun khusus untuk para migran yang berasal dari kota, ada beberapa faktor yang mempengaruhi perpindahannya diantaranya adalah biaya hidup di peri-urban yang relatif lebih rendah (biaya lahan, rumah, transportasi, pajak, dsb), keinginan memiliki ruang privacy, keinginan memiliki, lahan yang lebih luas, area yang kurang padat, bentang alam yang menarik, kualitas udara yang baik, merupakan lingkungan yang bersih (khususnya untuk membesarkan anak), lebih mudah mendapatkan ruang terbuka, dan sebagainya. Lebih lanjut, berbagai perubahan transformasi yang terjadi dapat menimbulkan eksternalitas positif dan negatif. Seiring dengan berkurangnya fungsi lahan pertanian akibat perubahan guna lahan, eksternalitas negatif yang mungkin muncul dari perkembangan peri-urban ini salah satunya adalah adanya tenaga kerja di sektor pertanian (primer) yang kehilangan mata pencahariannya. Selain itu maraknya perubahan guna lahan juga memungkinkan adanya pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan terutama melihat di area peri-urban terdapat aktivitas non-primer (seperti kegiatan komersil) yang berkembang dengan pesat, dan juga memungkinkan terganggunya fungsi atau pertahanan ekologis. Eksternalitas negatif lainnya adalah kemungkinan munculnya kaum marginal khususnya ketika migrasi yang terjadi dalam jumlah besar dan faktor penarik para migran berlangsung dengan sangat kuat, dan juga kemungkinan timbulnya konflik sosial antara pendatang dan penduduk asli mengingat adanya perbedaan latar belakang, kebiasaan, kondisi ekonomi keluarga dan sebagainya. Sementara itu, eksternalitas positif yang bisa diperoleh dari transformasi sosial ekonomi ini diantaranya adalah adanya peluang tenaga kerja (khususnya di sektor non-primer), semakin meningkatnya fungsifungsi serta pelayanan yang mendukung kehidupan masyarakat (seperti pelayanan transportasi, komersial, industri, komunikasi, dan sebagainya), serta adanya 35

BAB I PENDAHULUAN I.1.

BAB I PENDAHULUAN I.1. BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Proses pembangunan di Indonesia terus bergulir dan ekspansi pemanfaatan ruang terus berlanjut. Sejalan dengan ini maka pengembangan lahan terus terjadi dan akan berhadapan

Lebih terperinci

BAB VI PENUTUP VI.1. Temuan Studi

BAB VI PENUTUP VI.1. Temuan Studi BAB VI PENUTUP Pada bab terakhir ini dipaparkan beberapa hal sebagai bagian penutup, yakni mengenai temuan studi, kesimpulan, rekomendasi, kelemahan studi serta saran studi lanjutan. VI.1. Temuan Studi

Lebih terperinci

BAB V TRANSFORMASI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT SEKITAR PENGEMBANGAN LAHAN SKALA BESAR BUMI SERPONG DAMAI (BSD)

BAB V TRANSFORMASI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT SEKITAR PENGEMBANGAN LAHAN SKALA BESAR BUMI SERPONG DAMAI (BSD) BAB V TRANSFORMASI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT SEKITAR PENGEMBANGAN LAHAN SKALA BESAR BUMI SERPONG DAMAI (BSD) Melalui tinjauan literatur yang telah dilakukan, ada beberapa perubahan sosial ekonomi yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota sebagai pusat pertumbuhan menyebabkan timbulnya daya tarik yang tinggi terhadap perekonomian sehingga menjadi daerah tujuan untuk migrasi. Dengan daya tarik suatu

Lebih terperinci

POLA KERUANGAN DESA A. Potensi Desa dan Perkembangan Desa-Kota Bintarto

POLA KERUANGAN DESA A. Potensi Desa dan Perkembangan Desa-Kota Bintarto POLA KERUANGAN DESA A. Potensi Desa dan Perkembangan Desa-Kota Pengertian desa dalam kehidupan sehari-hari atau secara umum sering diistilahkan dengan kampung, yaitu suatu daerah yang letaknya jauh dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan hunian sudah menjadi hal yang pokok dalam menjalankan kehidupan, terlebih lagi dengan adanya prinsip sandang, pangan, dan papan. Kehidupan seseorang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. arah perubahan struktural desa-kota diharapkan dapat berlangsung secara seimbang

BAB I PENDAHULUAN. arah perubahan struktural desa-kota diharapkan dapat berlangsung secara seimbang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkembangan dan pertumbuhan suatu daerah terkait dengan interaksi yang terjadi dengan daerah-daerah sekitarnya. Interaksi tersebut membentuk tatanan yang utuh dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. lukisan atau tulisan (Nursid Sumaatmadja:30). Dikemukakan juga oleh Sumadi (2003:1) dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. lukisan atau tulisan (Nursid Sumaatmadja:30). Dikemukakan juga oleh Sumadi (2003:1) dalam II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Geografi Dari asal katanya, geografi berasal dari kata geo yang berarti bumi, dan graphein yang berarti lukisan atau tulisan (Nursid Sumaatmadja:30).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengenai faktor-faktor yang tidak hanya berasal dari faktor demografi saja

BAB I PENDAHULUAN. mengenai faktor-faktor yang tidak hanya berasal dari faktor demografi saja BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kependudukan adalah studi yang membahas struktur dan proses kependudukan yang terjadi di suatu wilayah yang kemudian dikaitkan dengan aspek-aspek non demografi. Struktur

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN KOTA DI AKSES UTAMA KAWASAN INDUSTRI: Studi kasus SIER, Surabaya. Rully Damayanti Universitas Kristen Petra, Surabaya

PERTUMBUHAN KOTA DI AKSES UTAMA KAWASAN INDUSTRI: Studi kasus SIER, Surabaya. Rully Damayanti Universitas Kristen Petra, Surabaya PERTUMBUHAN KOTA DI AKSES UTAMA KAWASAN INDUSTRI: Studi kasus SIER, Surabaya Rully Damayanti Universitas Kristen Petra, Surabaya rully@petra.ac.id Abstrak 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Setelah lebih dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu ciri perekonomian Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang adalah adanya kegiatan ekonomi subsistence, yakni sebagian besar penduduk yang berpenghasilan

Lebih terperinci

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Bab 5 5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan 5.2.1 Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan Perhatian harus diberikan kepada kendala pengembangan,

Lebih terperinci

STUDI MANAJEMEN ESTAT PADA KAWASAN SUPERBLOK MEGA KUNINGAN, JAKARTA (Studi Kasus: Menara Anugrah dan Bellagio Residences) TUGAS AKHIR

STUDI MANAJEMEN ESTAT PADA KAWASAN SUPERBLOK MEGA KUNINGAN, JAKARTA (Studi Kasus: Menara Anugrah dan Bellagio Residences) TUGAS AKHIR STUDI MANAJEMEN ESTAT PADA KAWASAN SUPERBLOK MEGA KUNINGAN, JAKARTA (Studi Kasus: Menara Anugrah dan Bellagio Residences) TUGAS AKHIR Oleh: DIAN RETNO ASTUTI L2D 004 306 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Latar Belakang Perancangan. Pusat perbelanjaan modern berkembang sangat pesat akhir-akhir ini.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Latar Belakang Perancangan. Pusat perbelanjaan modern berkembang sangat pesat akhir-akhir ini. BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1.1.1. Latar Belakang Perancangan Pusat perbelanjaan modern berkembang sangat pesat akhir-akhir ini. Khususnya di DKI Jakarta. Di berbagai wilayah terus tumbuh pusat-pusat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi perekonomian kota Binjai dilihat dari struktur PDRB riil kota Binjai yang menunjukkan karakteristik sebagai berikut : 2

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi perekonomian kota Binjai dilihat dari struktur PDRB riil kota Binjai yang menunjukkan karakteristik sebagai berikut : 2 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Sumatera Utara merupakan salah satu provinsi yang memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang semakin maju di Indonesia. Di provinsi Sumatera Utara terdapat beberapa kota

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seli Septiana Pratiwi, 2014 Migran PKl dan dampaknya terhadap ketertiban sosial

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seli Septiana Pratiwi, 2014 Migran PKl dan dampaknya terhadap ketertiban sosial BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam menjalani kehidupan manusia tidak dapat hidup sendiri, oleh sebab itu manusia tersebut menyatu pada struktur masyarakat guna mencapai tujuan yang di cita-citakan.

Lebih terperinci

Banyak Kota di Dunia Tidak Dapat Menyediakan Akses yang Layak ke Angkutan Massal Bagi Setengah Penduduknya

Banyak Kota di Dunia Tidak Dapat Menyediakan Akses yang Layak ke Angkutan Massal Bagi Setengah Penduduknya Press Release 18 Oktober 2016 Banyak Kota di Dunia Tidak Dapat Menyediakan Akses yang Layak ke Angkutan Massal Bagi Setengah Penduduknya Hanya 16% Penduduk Jabodetabek yang Mempunyai Akses Layak ke Angkutan

Lebih terperinci

Pokok Bahasan : Konsep Ekologi 2 Sub Pokok Bahasan : a. Lingkungan alamiah dan buatan b. Ekologi kota c. Ekologi kota sebagai lingkungan terbangun

Pokok Bahasan : Konsep Ekologi 2 Sub Pokok Bahasan : a. Lingkungan alamiah dan buatan b. Ekologi kota c. Ekologi kota sebagai lingkungan terbangun MINGGU 4 Pokok Bahasan : Konsep Ekologi 2 Sub Pokok Bahasan : a. Lingkungan alamiah dan buatan b. Ekologi kota c. Ekologi kota sebagai lingkungan terbangun Lingkungan Alamiah Dan Buatan Manusia Para dipahami

Lebih terperinci

MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW ) Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW ) Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA MATA KULIAH PRASARANA WILAYAH DAN KOTA I (PW 09-1303) RUANG TERBUKA HIJAU 7 Oleh Dr.Ir.Rimadewi S,MIP J P Wil h d K t Jur. Perencanaan Wilayah dan Kota FTSP INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER SURABAYA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tingkat pertumbuhan jumlah penduduk di Kota Medan saling berkaitan dengan pertambahan aktivitas yang ada di kota, yaitu khususnya dalam kegiatan sosial-ekonomi. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Yogyakarta Urban Kampung

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Yogyakarta Urban Kampung BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Urban Kampung Kampung Kota menurut Antony Sihombing adalah simply a traditional, spontaneous and diverse settlement in urban area.ciri khas kampung adalah dimana

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 Geografis dan Administratif Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 0 50 7 0 50 Lintang Selatan dan 104 0 48 108 0 48 Bujur Timur, dengan batas-batas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah IMAM NAWAWI, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah IMAM NAWAWI, 2014 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang direncanakan sebagai salah satu upaya manusia dalam meningkatkan kualitas hidupnya. Begitu pun dengan pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan pembangunan nasional suatu negara yakni melalui jumlah dan

BAB I PENDAHULUAN. keberhasilan pembangunan nasional suatu negara yakni melalui jumlah dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian suatu negara dapat tercermin melalui jumlah penduduk dan pendapatan perkapita di suatu negara. Penduduk merupakan salah satu faktor keberhasilan pembangunan

Lebih terperinci

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 92 IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN 4.1. Kota Bekasi dalam Kebijakan Tata Makro Analisis situasional daerah penelitian diperlukan untuk mengkaji perkembangan kebijakan tata ruang kota yang terjadi

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL, PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN KAWASAN BERORIENTASI TRANSIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA

Lebih terperinci

2. Tata Ruang adalah wujud struktur dan pola pemanfaatan ruang baik yang direncanakan maupun tidak (Kamus Tata Ruang, Ditjen Cipta Karya, 1997).

2. Tata Ruang adalah wujud struktur dan pola pemanfaatan ruang baik yang direncanakan maupun tidak (Kamus Tata Ruang, Ditjen Cipta Karya, 1997). Oleh: Zaflis Zaim * Disampaikan dalam acara Sosialisasi Kebijakan Pengendalian Pemanfaatan Ruang, Hotel Sapadia Pasir Pengaraian, 21 Desember 2011. (*) Dosen Teknik Planologi, Program Studi Perencanaan

Lebih terperinci

Bab I PENDAHULUAN. sarana dan prasarana mencakup pada sarana transportasi. Transportasi merupakan

Bab I PENDAHULUAN. sarana dan prasarana mencakup pada sarana transportasi. Transportasi merupakan Bab I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.1.1 Perkembangan Transportasi Kota Pertumbuhan penduduk khususnya di Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Meningkatnya pertumbuhan penduduk ini disertai

Lebih terperinci

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tam

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tam BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.1408, 2017 KEMEN-ATR/BPN. Pengembangan Kawasan Berorientasi Transit. PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR

Lebih terperinci

KAJIAN FENOMENA URBANISME PADA MASYARAKAT KOTA UNGARAN KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR

KAJIAN FENOMENA URBANISME PADA MASYARAKAT KOTA UNGARAN KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR KAJIAN FENOMENA URBANISME PADA MASYARAKAT KOTA UNGARAN KABUPATEN SEMARANG TUGAS AKHIR Oleh: YUNITAVIA SRI ANAWATI L2D 001 465 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGIRO

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jumlah penduduk di Indonesia terus bertambah setiap tahun. Laju pertumbuhan penduduk Indonesia tidak menunjukkan peningkatan, justru sebaliknya laju pertumbuhan penduduk

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengurangan tingkat..., Arini Yunita, FE UI, Universitas Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengurangan tingkat..., Arini Yunita, FE UI, Universitas Indonesia 1 BAB 1 PENDAHULUAN Salah satu permasalahan kota Jakarta yang hingga kini masih belum terpecahkan adalah kemacetan lalu lintas yang belakangan makin parah kondisinya. Ini terlihat dari sebaran lokasi kemacetan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. seiring perjalanan waktu, baik dimensi kenampakan fisik maupun non fisiknya.

BAB I PENDAHULUAN. seiring perjalanan waktu, baik dimensi kenampakan fisik maupun non fisiknya. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suatu kawasan (wilayah) akan selalu bertumbuh dan berkembang dinamis seiring perjalanan waktu, baik dimensi kenampakan fisik maupun non fisiknya. Perubahan(evolusi)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan jumlah 17.506 pulau besar dan kecil, dengan total garis pantai yang diperkirakan mencapai 81.000 Km, Indonesia

Lebih terperinci

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Perkembangan fisik yang paling kelihatan adalah perubahan penggunaan

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Perkembangan fisik yang paling kelihatan adalah perubahan penggunaan BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 6.1. Kesimpulan 1. Perkembangan fisik Kota Taliwang tahun 2003-2010 Perkembangan fisik yang paling kelihatan adalah perubahan penggunaan lahan dari rawa, rumput/tanah

Lebih terperinci

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Indonesia adalah negara agraris dimana mayoritas penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Berbagai hasil pertanian diunggulkan sebagai penguat

Lebih terperinci

: Pendekatan ekologi terhadap tata guna lahan. b. Pemakaian Lahan Kota Secara Intensif

: Pendekatan ekologi terhadap tata guna lahan. b. Pemakaian Lahan Kota Secara Intensif MINGGU 7 Pokok Bahasan Sub Pokok Bahasan : Pendekatan ekologi terhadap tata guna lahan : a. Permasalahan tata guna lahan b. Pemakaian Lahan Kota Secara Intensif Permasalahan Tata Guna Lahan Tingkat urbanisasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan terkonsentrasi dan ada tempat-tempat dimana penduduk atau kegiatannya

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan terkonsentrasi dan ada tempat-tempat dimana penduduk atau kegiatannya BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Di dalam suatu wilayah tertentu, ada tempat-tempat dimana penduduk atau kegiatan terkonsentrasi dan ada tempat-tempat dimana penduduk atau kegiatannya yang

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 26 Administrasi Kabupaten Sukabumi berada di wilayah Propinsi Jawa Barat. Secara geografis terletak diantara 6 o 57`-7 o 25` Lintang Selatan dan 106 o 49` - 107 o 00` Bujur

Lebih terperinci

VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK

VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK VII KETERKAITAN EKONOMI SEKTORAL DAN SPASIAL DI DKI JAKARTA DAN BODETABEK Ketidakmerataan pembangunan yang ada di Indonesia merupakan masalah pembangunan regional dan perlu mendapat perhatian lebih. Dalam

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi 69 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Letak dan Luas Daerah Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi Lampung yang letak daerahnya hampir dekat dengan daerah sumatra selatan.

Lebih terperinci

ALTERNATIF POLA HUBUNGAN KOTA TEGAL DALAM KONTEKS KAWASAN BREGAS TUGAS AKHIR

ALTERNATIF POLA HUBUNGAN KOTA TEGAL DALAM KONTEKS KAWASAN BREGAS TUGAS AKHIR ALTERNATIF POLA HUBUNGAN KOTA TEGAL DALAM KONTEKS KAWASAN BREGAS TUGAS AKHIR Oleh: DONY WARDONO L2D 098 426 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2003 iv

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu keberlanjutan (sustainability) merupakan isu yang kian melekat dengan proses perencanaan dan perancangan lingkungan binaan. Dengan semakin rumitnya

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. (Heady dan Jensen, 2001) penggunaan lahan paling efisien secara ekonomi adalah

TINJAUAN PUSTAKA. (Heady dan Jensen, 2001) penggunaan lahan paling efisien secara ekonomi adalah TINJAUAN PUSTAKA Definisi Land Rent Land rent adalah penerimaan bersih yang diterima dari sumberdaya lahan. Menurut (Heady dan Jensen, 2001) penggunaan lahan paling efisien secara ekonomi adalah hasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebagai Negara berkembang mirip dengan Negara lainnya. Pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. sebagai Negara berkembang mirip dengan Negara lainnya. Pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Pola pertumbuhan kota dan tingkat urbanisasi yang terjadi di Indonesia sebagai Negara berkembang mirip dengan Negara lainnya. Pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Peran pertumbuhan kawasan perkotaan sangat besar dalam persebaran dan pergerakan penduduk. Keberadaan berbagai kegiatan ekonomi sekunder dan tersier di bagian wilayah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri. Seiring dengan semakin meningkatnya aktivitas perekonomian di suatu wilayah akan menyebabkan semakin

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. heterogen dan materialistis di bandingkan dengan daerah belakangnya.

BAB I PENDAHULUAN. heterogen dan materialistis di bandingkan dengan daerah belakangnya. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota diartikan sebagai suatu sistem jaringan kehidupan manusia yang ditandai dengan kepadatan penduduk yang tinggi dan diwarnai dengan strata ekonomi,sosial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sumber daya lahan yang terdapat pada suatu wilayah, pada dasarnya merupakan modal dasar pembangunan yang perlu digali dan dimanfaatkan dengan memperhatikan karakteristiknya.

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH

BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH BAB 4 ANALISIS ISU STRATEGIS DAERAH Perencanaan dan implementasi pelaksanaan rencana pembangunan kota tahun 2011-2015 akan dipengaruhi oleh lingkungan strategis yang diperkirakan akan terjadi dalam 5 (lima)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kota berkembang dari tempat-tempat pemukiman yang sangat sederhana hingga

BAB I PENDAHULUAN. kota berkembang dari tempat-tempat pemukiman yang sangat sederhana hingga 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kota sebagai salah satu kenampakan di permukaan bumi, menurut sejarahnya kota berkembang dari tempat-tempat pemukiman yang sangat sederhana hingga timbullah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kekayaan sumberdaya ekonomi melimpah. Kekayaan sumberdaya ekonomi ini telah dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. laju pertumbuhan penduduk yang pesat sebagai akibat dari faktor-faktor

BAB I PENDAHULUAN. laju pertumbuhan penduduk yang pesat sebagai akibat dari faktor-faktor BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kota-kota besar di negara-negara berkembang umumnya mengalami laju pertumbuhan penduduk yang pesat sebagai akibat dari faktor-faktor alami yaitu kelahiran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Urbanisasi dapat menjadi masalah yang cukup serius bagi kita apabila pemerintah tidak dapat mengatur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman, pertumbuhan penduduk dari tahunketahun

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perkembangan zaman, pertumbuhan penduduk dari tahunketahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Seiring dengan perkembangan zaman, pertumbuhan penduduk dari tahunketahun bertambah dengan pesat sedangkan lahan sebagai sumber daya keberadaannya relatif tetap. Pemaanfaatan

Lebih terperinci

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lahan merupakan sumber daya alam yang memiliki fungsi yang sangat luas dalam memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Di lihat dari sisi ekonomi, lahan merupakan input

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. sesuatu yang merupakan penunjang terselenggaranya suatu proses (usaha,

BAB 1 PENDAHULUAN. sesuatu yang merupakan penunjang terselenggaranya suatu proses (usaha, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infrastruktur, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah segala sesuatu yang merupakan penunjang terselenggaranya suatu proses (usaha, pembangunan, proyek, dsb);

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kesiapan Kebijakan dalam Mendukung Terwujudnya Konsep Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT)

BAB V PEMBAHASAN 5.1 Kesiapan Kebijakan dalam Mendukung Terwujudnya Konsep Kawasan Strategis Cepat Tumbuh (KSCT) BAB V PEMBAHASAN Pembahasan ini berisi penjelasan mengenai hasil analisis yang dilihat posisinya berdasarkan teori dan perencanaan yang ada. Penelitian ini dibahas berdasarkan perkembangan wilayah Kecamatan

Lebih terperinci

BAB 8 SUMBER DAYA LAHAN

BAB 8 SUMBER DAYA LAHAN BAB 8 SUMBER DAYA LAHAN 8.1. Beberapa Konsep Dasar Ekonomi Lahan Lahan mempunyai tempat yang khusus dalam kelompok sumber daya, karena lahan diperlukan dalam semua aspek kehidupan manusia dan lahan juga

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini

Bab I. Pendahuluan. memberikan bantuan permodalan dengan menyalurkan kredit pertanian. Studi ini Bab I Pendahuluan Di setiap negara manapun masalah ketahanan pangan merupakan suatu hal yang sangat penting. Begitu juga di Indonesia, terutama dengan hal yang menyangkut padi sebagai makanan pokok mayoritas

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Kabupaten Malinau

Lebih terperinci

PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR: TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN KAWASAN BERORIENTASI TRANSIT

PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR: TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN KAWASAN BERORIENTASI TRANSIT Versi 23 Mei 2017 PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR: TENTANG PEDOMAN PENGEMBANGAN KAWASAN BERORIENTASI TRANSIT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI AGRARIA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk yang hidup dan tinggal di daerah kota tersebut. Penduduk yang

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk yang hidup dan tinggal di daerah kota tersebut. Penduduk yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan dan perkembangan sebuah kota sangat erat kaitannya dengan jumlah penduduk yang hidup dan tinggal di daerah kota tersebut. Penduduk yang banyak dan berkualitas

Lebih terperinci

PENGERTIAN GREEN CITY

PENGERTIAN GREEN CITY PENGERTIAN GREEN CITY Green City (Kota hijau) adalah konsep pembangunan kota berkelanjutan dan ramah lingkungan yang dicapai dengan strategi pembangunan seimbang antara pertumbuhan ekonomi, kehidupan sosial

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. merupakan Upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan terlebih dulu

BAB 2 LANDASAN TEORI. merupakan Upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan terlebih dulu 15 BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Redevelopment Salah satu pengertian redevelopment menurut Prof. Danisworo merupakan Upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan terlebih dulu melakukan pembongkaran

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki beragam suku bangsa yang menyebar dan menetap pada berbagai pulau besar maupun pulau-pulau kecil yang membentang dari Sabang sampai

Lebih terperinci

Perubahan Regional (Urbanisasi dalam Perencanaan Wilayah)

Perubahan Regional (Urbanisasi dalam Perencanaan Wilayah) Perubahan Regional (Urbanisasi dalam Perencanaan Wilayah) Permalahan : Persebaran (distribusi) dan kesenjangan (disparitas) penduduk yang terlalu besar antara desa dengan kota dapat menimbulkan berbagai

Lebih terperinci

Tata Guna Lahan Perkotaan dan Pedesaan. Salmina W Ginting, ST., MT.

Tata Guna Lahan Perkotaan dan Pedesaan. Salmina W Ginting, ST., MT. Tata Guna Lahan Perkotaan dan Pedesaan Salmina W Ginting, ST., MT. Perbedaan Karakteristik Tanah perkotaan Tanah Perdesaan Jalur transportasi + - Fasilitas Umum + - Kegiatan Pertanian - + Jaringan Infrastruktur

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dan pengembangan wilayah merupakan dinamika daerah menuju kemajuan yang diinginkan masyarakat. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dalam memajukan kondisi sosial,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan Isu Perkembangan Properti di DIY

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan Isu Perkembangan Properti di DIY BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan 1.1.1 Isu Perkembangan Properti di DIY Jogjakarta semakin istimewa. Kekuatan brand Jogja di industri properti merupakan salah satu kota atau daerah paling

Lebih terperinci

EVALUASI STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN PERUMAHAN MELALUI PENDEKATAN URBAN REDEVELOPMENT DI KAWASAN KEMAYORAN DKI JAKARTA TUGAS AKHIR

EVALUASI STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN PERUMAHAN MELALUI PENDEKATAN URBAN REDEVELOPMENT DI KAWASAN KEMAYORAN DKI JAKARTA TUGAS AKHIR EVALUASI STRATEGI PENGEMBANGAN KAWASAN PERUMAHAN MELALUI PENDEKATAN URBAN REDEVELOPMENT DI KAWASAN KEMAYORAN DKI JAKARTA TUGAS AKHIR Oleh : MANDA MACHYUS L2D 002 419 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemakaian energi karena sumbernya telah menipis. Krisis lingkungan sangat mempengaruhi disiplin arsitektur di setiap

BAB I PENDAHULUAN. pemakaian energi karena sumbernya telah menipis. Krisis lingkungan sangat mempengaruhi disiplin arsitektur di setiap BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Arsitek pada jaman ini memiliki lebih banyak tantangan daripada arsitekarsitek di era sebelumnya. Populasi dunia semakin bertambah dan krisis lingkungan semakin menjadi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi ialah untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan ekonomi ialah untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan 1.1. Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN Pemerataan pembangunan ekonomi merupakan hasil yang diharapkan oleh seluruh masyarakat bagi sebuah negara. Hal ini mengingat bahwa tujuan dari pembangunan

Lebih terperinci

Makalah Pembangunan Berkelanjutan BAB I PENDAHULUAN

Makalah Pembangunan Berkelanjutan BAB I PENDAHULUAN Makalah Pembangunan Berkelanjutan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Permasalahan pembangunan berkelanjutan sekarang telah merupakan komitmen setiap orang, sadar atau tidak sadar, yang bergelut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. merupakan pelayanan mendasar bagi masyarakat kota. Sejalan dengan fungsi ini,

BAB I PENDAHULUAN. merupakan pelayanan mendasar bagi masyarakat kota. Sejalan dengan fungsi ini, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Prasarana kota berfungsi untuk mendistribusikan sumber daya perkotaan dan merupakan pelayanan mendasar bagi masyarakat kota. Sejalan dengan fungsi ini, kualitas dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Riset ini dilaksanakan untuk menstudi implikasi perpindahan penduduk yang

BAB I PENDAHULUAN. Riset ini dilaksanakan untuk menstudi implikasi perpindahan penduduk yang 1 BAB I PENDAHULUAN Riset ini dilaksanakan untuk menstudi implikasi perpindahan penduduk yang terjadi dari desa ke kota, terhadap kebutuhan akan tempat bermukim di Kota Bangli. Penelitian ini memfokuskan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Gambar1.1 Kemacetan di Kota Surabaya Sumber: 25/4/

BAB I PENDAHULUAN. Gambar1.1 Kemacetan di Kota Surabaya Sumber:  25/4/ BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada masa kini pola kehidupan manusia terlebih masyarakat kota besar atau masyarakat urban semakin modern, serba cepat, serba instan, sistematis, dan mekanis. Hal-

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dapat memberikan pengaruh positif sekaligus negatif bagi suatu daerah. Di negara maju pertumbuhan penduduk mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemecahan dan pencegahan timbulnya masalah lingkungan. Lingkungan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. pemecahan dan pencegahan timbulnya masalah lingkungan. Lingkungan merupakan BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini merupakan pembahasan awal dalam penulisan skripsi yang berjudul Implementasi Kebijakan Pembangunan Lingkungan berbasis karakter Peduli Lingkungan di Kelurahan Tlogomas Kota

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS DAN KONTRIBUSI TENAGA KERJA SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN BOYOLALI

PRODUKTIVITAS DAN KONTRIBUSI TENAGA KERJA SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN BOYOLALI PRODUKTIVITAS DAN KONTRIBUSI TENAGA KERJA SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN BOYOLALI Yetti Anita Sari Fakultas Geografi UGM; Yogyakarta E-mail: yettianitasari@gmail.com ABSTRAK Sektor pertanian merupakan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Transportasi merupakan salah satu hal yang penting dalam kehidupan manusia. Hampir semua orang di dunia bergantung pada transportasi untuk melangsungkan hidupnya, seperti

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS)

LAPORAN AKHIR PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS) LAPORAN AKHIR PANEL PETANI NASIONAL (PATANAS) Oleh: A. Rozany Nurmanaf Adimesra Djulin Herman Supriadi Sugiarto Supadi Nur Khoiriyah Agustin Julia Forcina Sinuraya Gelar Satya Budhi PUSAT PENELITIAN DAN

Lebih terperinci

Analisis Isu-Isu Strategis

Analisis Isu-Isu Strategis Analisis Isu-Isu Strategis Permasalahan Pembangunan Permasalahan yang ada pada saat ini dan permasalahan yang diperkirakan terjadi 5 (lima) tahun ke depan yang dihadapi Pemerintah Kabupaten Bangkalan perlu

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan :

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan : 54 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Tata Guna Lahan Kabupaten Serang Penggunaan lahan di Kabupaten Serang terbagi atas beberapa kawasan : a. Kawasan pertanian lahan basah Kawasan pertanian lahan

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

IV. KONDISI UMUM WILAYAH 29 IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 LS dan 104 48-104 48 BT dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. utama. Industrialisisasi dimasa sekarang tidak dapat terlepas dari usaha dalam

I. PENDAHULUAN. utama. Industrialisisasi dimasa sekarang tidak dapat terlepas dari usaha dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian dewasa ini masih sering dianggap sebagai penunjang sektor industri semata. Meskipun sesungguhnya sektoral pertanian bisa berkembang lebih dari hanya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Keputusan migrasi didasarkan pada perbandingan untung rugi yang berkaitan

I. PENDAHULUAN. Keputusan migrasi didasarkan pada perbandingan untung rugi yang berkaitan 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Migrasi merupakan perpindahan orang dari daerah asal ke daerah tujuan. Keputusan migrasi didasarkan pada perbandingan untung rugi yang berkaitan dengan kedua daerah

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (1) pertumbuhan, (2) penanggulangan kemiskinan, (3) perubahan atau

I. PENDAHULUAN. (1) pertumbuhan, (2) penanggulangan kemiskinan, (3) perubahan atau I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya pembangunan ekonomi mempunyai empat dimensi pokok yaitu: (1) pertumbuhan, (2) penanggulangan kemiskinan, (3) perubahan atau transformasi ekonomi, dan (4)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perhatian yang khusus oleh pemerintah seperti halnya sektor industri dan jasa.

BAB I PENDAHULUAN. perhatian yang khusus oleh pemerintah seperti halnya sektor industri dan jasa. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Di Indonesia sektor pertanian mempunyai peran yang sangat penting dalam pertumbuhan perekonomian. Banyaknya tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

Secara umum pembagian wilayah berdasarkan pada keadaan alam (natural region) dan tingkat kebudayaan penduduknya (cultural region).

Secara umum pembagian wilayah berdasarkan pada keadaan alam (natural region) dan tingkat kebudayaan penduduknya (cultural region). GEOGRAFI KELAS XII IPS - KURIKULUM GABUNGAN 20 Sesi NGAN WILAYAH, PERWILAYAHAN, DAN PUSAT PERTUMBUHAN : 1 A. PENGERTIAN WILAYAH Wilayah adalah suatu area yang memiliki karakteristik tertentu atau sifat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan dan pertumbuhan jumlah penduduk, industri dan perdagangan merupakan unsur utama dalam perkembangan kota Pematangsiantar. Keadaan ini juga

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. kembali adalah upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan cara

BAB 2 LANDASAN TEORI. kembali adalah upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan cara BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Pengertian Redevelopment Redevelopment atau yang biasa kita kenal dengan pembangunan kembali adalah upaya penataan kembali suatu kawasan kota dengan cara mengganti sebagian dari,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bandar Lampung telah terus berkembang dari sisi jumlah penduduk, kewilayahan dan ekonomi. Perkembangan ini menuntut penyediaan sarana angkutan umum yang sesuai

Lebih terperinci

MIGRASI PENDUDUK MENUJU DAERAH PINGGIRAN KOTA BANDUNG DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KUALITAS LINGKUNGAN PERMUKIMAN

MIGRASI PENDUDUK MENUJU DAERAH PINGGIRAN KOTA BANDUNG DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KUALITAS LINGKUNGAN PERMUKIMAN MIGRASI PENDUDUK MENUJU DAERAH PINGGIRAN KOTA BANDUNG DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KUALITAS LINGKUNGAN PERMUKIMAN Iwan Setiawan iwan4671@gmail.com Jurusan Pendidikan Geografi FPIPS UPI Jl. Setiabudi No 229

Lebih terperinci

BAB III DESKRIPSI PROYEK

BAB III DESKRIPSI PROYEK 38 3.1 Gambaran Umum BAB III DESKRIPSI PROYEK Gambar 3. 1 Potongan Koridor Utara-Selatan Jalur Monorel (Sumber : Studi Pra Kelayakan Koridor 1 Dinas Perhubungan Kota Bandung Tahun 2014) Pemilihan lokasi

Lebih terperinci

Urbanisasi dalam Perencanaan Wilayah

Urbanisasi dalam Perencanaan Wilayah Urbanisasi dalam Perencanaan Wilayah Permalahan : Persebaran (distribusi) dan kesenjangan (disparitas) penduduk yang terlalu besar antara desa dengan kota dapat menimbulkan berbagai permasalahan kehidupan

Lebih terperinci