KAJIAN SIFAT KRISTALISASI LEMAK PADA MINYAK SAWIT KASAR SKRIPSI HANNA MERY AULIA F

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KAJIAN SIFAT KRISTALISASI LEMAK PADA MINYAK SAWIT KASAR SKRIPSI HANNA MERY AULIA F"

Transkripsi

1 KAJIAN SIFAT KRISTALISASI LEMAK PADA MINYAK SAWIT KASAR SKRIPSI HANNA MERY AULIA F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 STUDY OF FAT CRYSTALLIZATION PROPERTIES OF CRUDE PALM OIL Hanna Mery Aulia, Nur Wulandari Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Engineering and Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia Phone: , ABSTRACT Indonesia is the biggest crude palm oil (CPO) producer in the world. Study on fat crystallization of CPO is needed to improve the knowledge of CPO handling during storage and transportation. The aim of this study is to characterize fat crystallization properties of CPO related to storage and transportation. Solid fat content (SFC) of CPO were decreased in higher temperature. After four weeks storage, SFC of CPO were increased at 20 ºC and 25 ºC, but were decreased at ºC. CPO crystallized in slow cooling rate (0.2 ºC/minute) had higher SFC, meanwhile CPO crystallized in faster cooling rate (0.5 ºC/minute and 1 ºC/minute) had lower SFC. CPO which crystallized under slow cooling resulted higher Avrami constant (k) and lower Avrami exponent (n) than CPO which crystallized under fast cooling. The Avrami constant on cooling rate 0.2 ºC/minute, 0.5ºC/minute, and 1 ºC/minute were 0.013, 0.003, and respectively. CPO which crystallized under fast cooling had higher induction time and crystallization half time. The Avrami exponent on cooling rate 0.2 ºC/minute, 0.5 ºC/minute, and 1 ºC/minute was 1.614, 2.032, and repectively. Faster crystallization occured on higher shear rate. CPO which crystallized under higher shear rate had longer induction time than lower shear rate. Key words : crude palm oil, solid fat content, crystallization.

3 HANNA MERY AULIA. F Kajian Sifat Kristalisasi Lemak pada Minyak Sawit Kasar. Di bawah bimbingan Nur Wulandari RINGKASAN Indonesia merupakan negara penghasil minyak sawit kasar/crude palm oil (CPO) terbesar di dunia dengan volume ekspor CPO yang selalu meningkat setiap tahunnya. Dengan meningkatnya volume ekspor CPO Indonesia maka diperlukan upaya peningkatan penanganan CPO selama penyimpanan dan transportasi. Pada proses penyimpanan dan transportasi sering kali terjadi permasalahan yaitu kristalisasi lemak pada CPO. Kristalisasi lemak selama proses penyimpanan menyebabkan terbentuknya fraksi stearin dan olein. Kristal lemak yang terbentuk selama transportasi akan menyumbat pipa sehingga laju alirnya akan terhambat. Proses pemanasan perlu dilakukan agar kristal yang terbentuk meleleh sehingga laju alir CPO kembali lancar. Untuk mengefisiensikan pemanasan dan meminimalkan kristal yang terbentuk diperlukan informasi yang cukup mengenai kristalisasi lemak pada CPO. Komposisi minyak sawit yang terdiri dari 50% asam lemak jenuh dan 50% asam lemak tidak jenuh memungkinkan terjadinya kristalisasi selama proses penyimpanan dan transportasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi kristalisasi lemak pada CPO adalah suhu, laju pendinginan, dan shear rate. Adanya kotoran dan komponen minor juga turut berperan dalam proses kristalisasi lemak. Data lengkap mengenai kristalisasi lemak pada CPO sangat diperlukan untuk mengontrol terbentuk kristal lemak pada proses penyimpanan dan transportasi CPO. Penelitian ini bertujuan memperoleh data dan informasi lengkap mengenai karakteristik kristalisasi minyak sawit kasar atau crude palm oil (CPO), beserta parameter kinetika kristalisasinya. Penelitian ini terbagi menjadi empat tahap yaitu (1) analisis mutu dan profil solid fat content (SFC) atau kadar lemak padat pada CPO, (2) kajian perubahan nilai SFC selama penyimpanan, (3) kajian pengaruh laju pendinginan terhadap nilai SFC, kinetika kristalisasi dan mikrostruktur kristal lemak, dan (4) kajian pengaruh laju pendinginan dan shear rate terhadap kinetika kristalisasi. Pada penelitian tahap 1 digunakan lima sampel CPO yang berasal dari lima wilayah di Indonesia. Kelima sampel CPO berasal dari PT. Sinar Meadow Internasional Indonesia Jakarta (CPO A), PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII Banten (CPO B), PTPN XIII Perkebunan Gunung Meliau Kalimantan Barat (CPO C), dan PTPN XIII Perkebunan Ngabang Kalimantan Barat (CPO D), dan PT. Wilmar Internasional Riau (CPO E). Hasil analisis mutu CPO menunjukkan tidak semua sampel CPO memenuhi syarat yang telah ditetapkan dalam Standar Nasional Indonesia (SNI) tentang minyak sawit kasar yang mencakup warna visual jingga kemerah-merahan, kadar air dan kotoran (maksimal 0.5%), kadar asam lemak bebas (ALB) (sebagai asam palmitat, maksimal 0.5%), dan bilangan Iod (50-55 g Iod/100 g). Sampel CPO E tidak memenuhi syarat kadar air dan kadar kotoran. CPO E memiliki kadar air sebesar 0.55% dan kadar kotoran 4.84%. ALB semua sampel CPO menunjukkan nilai yang lebih tinggi dari 0.5% sehingga tidak memenuhi syarat mutu yang ditetapkan dalam SNI tahun Namun ALB tersebut masih memenuhi standar yang ditetapkan dalam SNI (ALB maksimal 5%) dan hanya sampel CPO A yang melebihi standar. Bilangan Iod kelima sampel CPO sudah memenuhi standar yang ditetapkan dalam SNI tahun Hasil analisis profil SFC CPO menunjukkan bahwa SFC CPO mengalami penurunan dengan semakin tingginya suhu pengukuran. Suhu pengukuran yang diterapkan adalah 5-60 ºC untuk mendapatkan SFC CPO 0%. Nilai SFC yang menurun terjadi akibat adanya kristal lemak yang meleleh. SFC CPO pada suhu 60 ºC berkisar 3.5%-6.8% belum mencapai 0%. Hal ini diakibatkan

4 oleh kandungan asam palmitat pada minyak sawit baru meleleh pada suhu 64 ºC. Selain itu adanya kotoran pada CPO juga menyebabkan SFC CPO pada suhu 60 ºC belum mencapai 0%. Untuk mengetahui adanya hubungan antara karakteritik kimia dengan profil SFC CPO maka dilakukan analisis Pearson correlation antara karakteristik kimia dengan profil SFC pada suhu 25 ºC. Hasil analisis Pearson correlation menunjukkan nilai SFC pada suhu 25 ºC tidak memiliki korelasi dengan bilangan Iod, kadar ALB, dan kadar air. Tidak adanya korelasi pada hasil penelitian ini karena kisaran bilangan Iod yang digunakan kecil (50-55 g Iod/100 g lemak) sesuai dengan yang ditetapkan dalam SNI Selain itu juga diakibatkan bilangan Iod dan kadar ALB yang bervariasi pada setiap sampel sehingga tidak dapat dilihatnya pengaruh dari salah satu faktor saja. Kadar kotoran mempunyai korelasi dengan nilai SFC pada suhu 25 ºC, dimana kadar kotoran yang tinggi akan menghasilkan nilai SFC yang juga tinggi. Selama penyimpanan CPO terjadi pemisahan antara fraksi padat (stearin) dan fraksi cair (olein) pada CPO akibat perbedaan titik leleh triacylglicerol (TAG) penyusun CPO. Penyimpanan pada suhu 20 dan 25 ºC tidak menyebabkan pemisahan antara fraksi padat dan fraksi cair karena fraksi stearin dan olein telah mengkristal pada kedua suhu tersebut. Penyimpanan pada suhu ºC menunjukkan pemisahan antara fraksi padat dan fraksi cair karena pada suhu tersebut hanya stearin saja yang telah mengkristal. Penyimpanan pada suhu 30 ºC menunjukkan jumlah fraksi padat yang terbentuk lebih banyak karena TAG dan asam lemak yang mengkristal lebih banyak. Terjadi perubahan nilai SFC CPO selama penyimpanan, yaitu meningkat saat disimpan pada suhu 20 dan 25 ºC dan menurun saat disimpan pada suhu ºC. Hal ini dikarenakan penyimpanan pada suhu 20 dan 25 ºC menyebabkan kristalisasi olein yang terus bertambah dengan semakin lamanya penyimpanan. Penurunan nilai SFC CPO selama penyimpanan pada suhu ºC terjadi akibat adanya reaksi hidrolisis yang menghasilkan ALB. Adanya ALB menyebabkan struktur kristal lemak tidak beraturan sehingga kristal lemak yang terbentuk sedikit dan mengakibatkan nilai SFC semakin rendah (Foubert et al. 2004). Hasil ANOVA dengan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa nilai SFC CPO berubah secara signifikan pada minggu ketiga saat disimpan pada suhu 20 ºC, sedangkan saat disimpan pada suhu 25 ºC sudah berubah secara signifikan pada minggu kedua. Sampel CPO yang disimpan pada suhu ºC berubah secara signifikan pada minggu keempat. Laju pendinginan yang berbeda akan menghasilkan nilai SFC, kinetika kristalisasi, dan mikrostruktur kristal lemak yang berbeda. Nilai SFC pada suhu akhir kristalisasi 25 ºC dengan laju pendinginan 0.2 ºC/menit lebih tinggi dibandingkan dengan nilai SFC pada laju pendinginan 0.5 dan 1 ºC/menit. Waktu pembentukan kristal yang lebih lama menyebabkan kristal lemak yang terbentuk lebih banyak sehingga menghasilkan nilai SFC yang lebih tinggi. Laju pendinginan cepat menghasilkan kristal lemak yang berukuran kecil dan seragam. Laju pendinginan mempengaruhi kinetika kristalisasi lemak. Parameter kinetika kristalisasi lemak yang dikaji pada penelitian ini adalah waktu induksi, SFC maksimum, waktu setengah kristalisasi (t 1/2 ), konstanta Avrami (k), dan eksponen Avrami (n). Waktu induksi pada laju pendinginan 0.2, 0.5, dan 1 o C/menit adalah 2, 5, dan 7 menit. Waktu induksi yang rendah pada laju pendinginan 0.2 ºC/menit menandakan pembentukan inti kristal lebih cepat terjadi pada laju pendinginan 0.2 ºC/menit. Eksponen Avrami (n) dan konstanta Avrami (k) dihitung dengan menggunakan model persamaan Avrami. Nilai n dari persamaan Avrami yang didapat adalah 2.170, 2.034, dan untuk laju pendinginan 1, 0.5, dan 0.2 o C/menit. Terjadi peningkatan nilai n pada laju pendinginan cepat. Nilai n yang didapat bisa dibulatkan menjadi n=2 yang menggambarkan mekanisme pertumbuhan kristal silindris. Konstanta Avrami pada laju pendinginan 1, 0.5, dan 0.2 ºC/menit adalah 0.002, 0.003, dan Nilai k meningkat pada laju pendinginan lambat yang menandakan kristalisasi lebih mudah terjadi pada laju pendinginan lambat.

5 Adanya agitasi/shear rate akan mempengaruhi kristalisasi pada minyak sawit. Pada penelitian ini dikaji pengaruh kombinasi laju pendinginan dan pemberian shear rate terhadap kinetika kristalisasi yang dipelajari melalui pengamatan kenaikan viskositas. Adanya pembentukan kristal menyebabkan kenaikan viskositas. Pemberian shear rate mempunyai dua pengaruh terhadap kristalisasi, yaitu merusak kristal lemak yang terbentuk dan mempercepat terjadinya kristalisasi. Hasil penenlitian tahap ini menunjukan pemberian shear rate yang lebih tinggi mempercepat terjadinya kristalisasi yang dapat dilihat dengan waktu induksi yang lebih rendah. Hal ini terjadi karena adanya shear rate memicu terjadinya secondary nucleation. Hasil pengamatan juga menunjukkan kristalisasi lemak pada CPO saat suhu kristalisasi 25 ºC hanya terjadi dalam satu tahap kristalisasi untuk setiap laju pendinginan dan shear rate. Untuk meminimalisasi pembentukkan kristal lemak pada CPO selama penyimpanan maka sebaiknya CPO memiliki kadar kotoran yang rendah dan disimpan pada suhu 40 ºC. Penyimpanan pada suhu 40 ºC dilakukan dalam waktu yang singkat, apabila CPO akan disimpan dalam waktu laam sebaiknya disimpan pada suhu ºC untuk meminimalkan kerusakan. Dalam proses transportasi menggunakan pipa sebaiknya menggunakan laju pendinginan lambat dan shear rate tinggi untuk meminimalisasi pembentukkan kristal lemak yang dapat menghambat aliran CPO.

6 KAJIAN SIFAT KRISTALISASI LEMAK PADA MINYAK SAWIT KASAR SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh HANNA MERY AULIA F FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

7 Judul Skripsi Nama NIM : Kajian Sifat Kristalisasi Lemak pada Minyak Sawit Kasar : Hanna Mery Aulia : F Menyetujui, Dosen Pembimbing Nur Wulandari, STP, M.Si NIP Mengetahui, Plt. Ketua Departemen Dr. Ir Nurheni Sri Palupi, M.Si NIP Tanggal lulus : 15 September 2011

8 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Kajian Sifat Kristalisasi Lemak pada Minyak Sawit Kasar adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademik dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, September 2011 Yang membuat pernyataan Hanna Mery Aulia F

9 Hak cipta milik Hanna Mery Aulia, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya.

10 BIODATA PENULIS Hanna Mery Aulia dilahirkan di Jakarta tanggal 10 Mei 1989, dari pasangan Bapak Arifin dan Ibu Mimi. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Penulis mengawali pendidikan formalnya di Taman Kanak-kanak Tunas Bangsa kemudian melanjutkan ke SDN Pondok Bambu 15 Pagi hingga tahun Penulis melanjutkan Sekolah Menengah Pertama (SMP) di SMP Negeri 6 Jakarta pada tahun , kemudian pendidikan ke SMA Negeri 12 Jakarta pada tahun Pada tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor melalui ujian saringan masuk IPB (USMI). Selama menjalani perkuliahan di IPB, penulis terlibat dalam beberapa organisasi kemahasiswaan, yaitu Uni Konservasi Fauna (UKF) IPB dan Koran Kampus IPB. Penulis juga aktif pada berbagai kepanitiaan yaitu Ekspedisi Global UKF IPB Taman Nasional Ujung Kulon, UKF EXPO 2009, seminar dan pelatihan PLASMA. Penulis mendapatkan dana hibah dari DIKTI melalui program PKM di bidang penelitian pada tahun dan menjadi finalis pada Chemical Product Design Competion Departemen Teknik Kimia Universitas Indonesia tahun Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian dengan judul Kajian Sifat Kristalisasi Lemak pada Minyak Sawit Kasar dibawah Nur Wulandari, STP, M.Si.

11 KATA PENGANTAR Penulis memanjatkan syukur ke hadirat Allah SWT karena dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Kajian Sifat Kristalisasi Lemak pada Minyak Sawit Kasar yang ditulis berdasarkan hasil penelitian pada bulan Januari sampai Juni Penelitian ini dilaksanakan di Southeast Asian Food and Agricultural Science and Technology dan Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pangan IPB. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjan Teknologi Pertanian pada Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan memperoleh data dan informasi lengkap mengenai karakteristik kristalisasi minyak sawit kasar (CPO) beserta parameter kinetika kristalisasinya. Ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada: 1. Keluarga tercinta : Mama, Bapak, Ka Citra atas doa, perhatian, dan dukungan yang diberikan selama penulisan skripsi. 2. Nur Wulandari, STP, M.Si selaku dosen pembimbing atas waktu, masukan, dan arahan yang diberikan kepada penulis selama menyelesaikan skripsi ini. 3. Dr. Ir. Budiatman Setiawihardja, M.Si dan Dr.Ir. Soenar Soekopitojo, M.Si atas kesediaan waktu menjadi penguji dan masukan yang diberikan. 4. Teman-teman seperjuangan Renny Permatasari, Desir Detak Insani, dan Ricky Alberto atas kerjasama, dukungan, dan bantuan selama melakukan penelitian dan penulisan skripsi. 5. Teman-teman UKF, khususnya UKF angkatan 5, Aidell, Yudia, Risma, Ika, Dini, Atik, Indi, Mamih, Nisa, Agung, Azis, Adam, Angga, Izzu, Soni, Dendi, Bagus, Gilang, Juli, Akrom, Hermin, dan teman-teman UKF lainnya atas keceriaan, kekeluargaan dan kenangan yang telah diberikan semasa kuliah. 6. Teman-teman ITP 44 Fitri, Lia, Esti, Ashari, Ria, Sri, dan teman-teman ITP lainnya yang sudah memberikan dukungan dan kenangan semasa perkuliahan. 7. Penghuni Wisma Lasapiensa Hesti, Febri, Insan atas keceriaannya selama penulis menyelesaikan skripsi. 8. Para teknisi laboratorium Mba Yane, Pak Karna, Pak Wahid, Pak Yahya, Pak Rozak. 9. Pihak-pihak lain yang terkait Penulis berharap skripsi ini dapat memberikan informasi dalam teknologi pangan dan dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya. Bogor, September 2011 Penulis iii

12 DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI... iv DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... vii DAFTAR LAMPIRAN... viii I. PENDAHULUAN... 1 A. LATAR BELAKANG... 1 B. TUJUAN... 2 C. MANFAAT... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA... 3 A. MINYAK SAWIT KASAR/ CRUDE PALM OIL (CPO) Botani Kelapa Sawit Teknologi Produksi CPO... 4 B. SIFAT FISIKO KIMIA MINYAK SAWIT Sifat Kimia Minyak Sawit Sifat Fisik Minyak Sawit... 7 C. KRISTALISASI LEMAK Mekanisme Kristalisasi Lemak Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kristalisasi Lemak Kinetika Kristalisasi Lemak Polimorfisme Lemak D. KRISTALISASI MINYAK SAWIT III. METODE PENELITIAN A. ALAT DAN BAHAN B. METODEL PENELITIAN Analisis Mutu CPO dan Profil SFC CPO Kajian Perubahan Nilai SFC selama Penyimpanan Kajian Pengaruh Laju Pendinginan terhadap Nilai SFC, Kinetika Kristalisasi, dan Mikrostruktur Kristal Lemak Kajian Pengaruh Laju Pendinginan dan Shear Rate terhadap Kinetika Kristalisasi C. METODE ANALISIS Kadar Air Kadar Kotoran Asam Lemak Bebas Bilangan Iod Analisis Statisitik IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS MUTU CPO Analisis Mutu Kimia CPO Analisis Profil SFC CPO Korelasi Mutu Kimia CPO dengan SFC CPO B. PERUBAHAN NILAI SFC CPO SELAMA PENYIMPANAN iv

13 C. PENGARUH LAJU PENDINGINAN TERHADAP SFC, KINETIKA KRISTALISASI DAN MIKROSTRUKTUR KRISTAL LEMAK D. PENGARUH LAJU PENDINGINAN DAN SHEAR RATE TERHADAP KINETIKA KRISTALISASI LEMAK E. REKOMENDASI PENANGANAN CPO UNTUK MEMINIMALISASI PEMBENTUKAN KRISTAL V. SIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSATAKA LAMPIRAN v

14 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 Beda tebal tempurung dari berbagai tipe kelapa sawit... 3 Tabel 2 Sifat fisiko kimia minyak sawit kasar dan minyak inti sawit... 5 Tabel 3 Asam lemak penyusun minyak sawit... 6 Tabel 4 Komposisi TAG penyusun minyak sawit... 6 Tabel 5 Kandungan komponen minor pada CPO... 7 Tabel 6 Karakteristik fisik minyak sawit... 8 Tabel 7 Hubungan antara mekanisme pertumbuhan kristal lemak dengan eksponen Avrami (n) Tabel 8 Identifikasi bentuk polimorf lemak berdasarkan analisis difraksi sinar X pada spasi pendek (short spacings), sifat dan ukuran Tabel 9 Perlakuan pengaruh laju pendinginan dan laju geser terhadap proses kristalisasi Tabel 10 Hasil analisis mutu lima CPO dari beberapa lokasi di Indonesia Tabel 11 Pengaruh perubahan suhu terhadap profil SFC CPO Tabel 12 Perubahan nilai SFC CPO A selama penyimpanan pada beberapa suhu Tabel 13 Parameter kinetika kristalisasi CPO pada beberapa laju pendinginan yang dipelajari melalui pengukuran SFC isotermal di suhu 25 ºC Tabel 14 Parameter kinetika kristalisasi CPO pada beberapa laju pendinginan dan shear rate yang dipelajari melalui kenaikan viskositas isothermal di suhu 25 ºC vi

15 DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 Penampang melintang buah kelapa sawit... 4 Gambar 2 Laju perubahan polimorfisme kristal lemak (Marangoni & McGauley 2002) Gambar 3 Kurva hubungan suhu dengan SFC pada sampel RBDPO (Smith 2001) Gambar 4 Termogram DSC pada pendinginan CPO dari 70 ºC hingga -30 ºC pada beberapa laju pendinginan (-10, -5, dan -0.5 o C/menit). Berat masing-masing sampel 11.1, 9, dan 11.4 mg (Tarabukina et al. 2009) Gambar 5 Viskositas terukur RBDPO pada kristalisasi selama 30 menit pada beberapa laju geser dan suhu kristalisasi 25 ºC (Graef et al 2008) Gambar 6 Bentuk kristali lemak RBDPO yang dipotret menggunakan mikroskop polarisasi cahaya yang dikristalisasi pada suhu 25 ºC selama 60 menit pada beberapa laju geser (g) 1 s -1, (h) 10 s -1, dan (i) 110 s-1 (Graef et al. 2009) Gambar 7 Nuclear Magnetic Resonance (NMR) yang digunakan untuk mengukur kandungan lemak padat (SFC) CPO Gambar 8 Haake Rotoviscometer RV 20 yang digunakan untuk menerapkan perlakuan pengaruh laju pendinginan dan shear rate Gambar 9 Reaksi hidrolisis menghasilkan asam lemak bebas (ALB) (Ketaren 2005) Gambar 10 Profil SFC lima CPO di Indonesia Gambar 11 Pemisahan fraksi padat dan fraksi cair pada CPO selama empat minggu penyimpanan pada suhu 40 ºC Gambar 12 Perubahan nilai SFC CPO A selama penyimpanan pada beberapa suhu penyimpanan selama empat minggu Gambar 13 Pengaruh laju pendinginan terhadap nilai SFC Gambar 14 Kenaikan SFC selama suhu kristalisasi isothermal 25 ºC pada laju pendinginan 1 ºC/menit Gambar 15 Kenaikan SFC selama suhu kristalisasi isothermal 25 ºC pada laju pendinginan 0.5 ºC/menit Gambar 16 Kenaikan SFC selama suhu kristalisasi isothermal 25 ºC pada laju pendinginan 0.2 ºC/menit Gambar 17 Hubungan ln (t) dengan ln[-ln(1-f)] pada CPO A yang telah mengalami laju pendinginan 0.2 ºC/menit menuju suhu kristalisasi 25 ºC dan ditahan selama 40 menit Gambar 18 Bentuk kristal lemak pada laju pendinginan 1 ºC/menit setelah ditahan isotermal pada suhu 25 ºC selama (a) 25 menit (b) 35 menit Gambar 19 Bentuk kristal lemak pada laju pendinginan 0.5 ºC/menit setelah ditahan isotermal pada suhu 25 ºC selama (a) 25 menit (b) 35 menit Gambar 20 Bentuk kristal lemak pada laju pendinginan 0.2 ºC/menit setelah ditahan isotermal pada suhu 25 ºC selama (a) 25 menit (b) 35 menit Gambar 21 Pengaruh shear rate terhadap viskositas terukur sampel CPO yang telah mengalami laju pendinginan 1 ºC/menit menuju suhu kristalisasi 25 ºC yang ditahan isotermal selama 60 menit Gambar 22 Pengaruh shear rate terhadap viskositas terukur sampel CPO yang telah mengalami laju pendinginan 0.5 ºC/menit menuju suhu kristalisasi 25 ºC yang ditahan isotermal selama 60 menit Gambar 23 Pengaruh shear rate terhadap viskositas terukur sampel CPO yang telah mengalami laju pendinginan 0.2 ºC/menit menuju suhu kristalisasi 25 ºC yang ditahan isotermal selama 60 menit vii

16 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Karakteristik lima sampel CPO Lampiran 2 Hasil ANOVA dengan uji lanjut Duncan pada analisis mutu kimia kelima sampel CPO Lampiran 3 Analisis profil SFC lima sampel CPO Lampiran 4 Analisis korelasi mutu kimia dengan SFC CPO pada suhu 25 ºC Lampiran 5 Analisis SFC CPO selama penyimpanan Lampiran 6 Hasil ANOVA dengan uji lanjut Duncan pada perubahan SFC CPO selama Penyimpanan di beberapa suhu penyimpanan Lampiran 7 Data SFC CPO pada beberapa laju pendinginan Lampiran 8 Data perubahan SFC selama ditahan isothermal pada suhu 25 ºC Lampiran 9 Perhitungan persamaan Avrami Lampiran 10 Model persamaan Avrami pada ketiga laju pendinginan Lampiran 11 Data parameter kinetika kristalisasi CPO pada beberapa laju pendinginan yang dipelajari melalui pengukuran SFC isothermal di suhu 25 ºC Lampiran 12 Data parameter kinetika kristalisasi CPO pada beberapa laju pendinginan dan shear rate yang dipelajari melalui pengukuran viskositas pada suhu isothermal di 25 ºC Lampiran 13 Hasil ANOVA univariate dengan uji lanjut Duncan pada pengaruh laju pendinginan dan shear rate terhadap waktu induksi viii

17 I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan negara penghasil minyak sawit kasar (crude palm oil/cpo) terbesar di dunia. Luas lahan perkebunan kelapa sawit Indonesia meningkat setiap tahunnya. Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menunjukkan bahwa volume ekspor CPO Indonesia tahun 2010 mencapai ton, naik 0.8% dibanding ekspor 2009 yang sebesar ton. Dengan meningkatnya volume ekspor CPO Indonesia, maka upaya penanganan CPO selama penyimpanan dan transportasi perlu terus dilakukan agar daya saing CPO Indonesia semakin meningkat. Salah satu permasalahan yang sering terjadi dalam proses penyimpanan dan transportasi CPO adalah terjadinya kristalisasi lemak. Proses kristalisasi lemak pada CPO mengakibatkan terbentuknya fraksi stearin dengan titik leleh tinggi dan fraksi olein dengan titik leleh rendah. Komposisi CPO terdiri dari 50% asam lemak jenuh dan 50% asam lemak tidak jenuh yang mengakibatkan minyak sawit akan mengalami kristalisasi pada suhu rendah dan terpisah menjadi fraksi stearin dan olein (Deffense 1985). Kristalisasi lemak merupakan salah satu parameter penting dalam rekayasa proses penyimpanan dan transportasi CPO. Kristalisasi lemak pada CPO terjadi apabila suhu transportasi atau penyimpanan tidak sesuai yang membuat lemak pada CPO memadat dan kemudian membentuk kristal. Suhu penyimpanan dan transportasi yang dipilih harus dapat meminimalkan pembentukan kristal dan kerusakan mutu CPO. Codex Alimentarius Commision (CAC) (2005) merekomendasikan suhu maksimal dalam transportasi CPO sebesar 55 ºC dan suhu penyimpanan maksimal 40 ºC. Hal ini menyebabkan perlu adanya pemanasan dari proses penyimpanan sebelum transportasi. Pembentukkan kristal lemak selama proses penyimpanan dan transportasi menggunakan pipa akan merugikan. Kristal lemak yang terbentuk selama transportasi akan menyumbat pipa sehingga laju alirnya akan terhambat. Proses pemanasan perlu dilakukan agar kristal lemak yang terbentuk meleleh sehingga laju alir CPO kembali lancar. Proses pemanasan untuk melelehkan kristal lemak memerlukan energi dan biaya tambahan. Untuk mengefisiensikan pemanasan dan meminimalkan kristal yang terbentuk diperlukan informasi yang cukup mengenai kristalisasi lemak pada CPO. Kristalisasi lemak terjadi pada proses pendinginan lemak hingga mencapai suhu tertentu saat terbentuk kristal. Kristalisasi lemak dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu pembentukan nuklei dan perkembangan kristal (Ariana & Purboyo 1995). Lemak yang mengalami kristalisasi membentuk molekul/atom yang rigrid, beraturan (highly ordered) dan berbentuk tiga dimensi (Nawar 1985). Kristalisasi lemak merupakan proses yang kompleks. Parameter-parameter proses seperti suhu, gaya geser, agitasi, dan laju aliran produk sangat menentukan terjadinya kristalisasi (Man et al. 1989). Tinjauan terhadap beberapa hasil penelitian sebelumnya tentang kristalisasi minyak/lemak menunjukkan bahwa proses kristalisasi minyak/lemak sangat dipengaruhi oleh faktor suhu, laju pendinginan, serta gaya geser yang diterapkan. Penelitian yang terkait dengan sifat kristalisasi minyak sawit telah dilakukan oleh beberapa peneliti antara lain Graef et al. (2008; 2009), Braipson dan Gibon (2007); serta Tarabukina et al. (2009). Penelitian tersebut mempelajari sifat kristalisasi lemak pada sampel minyak sawit yang 1

18 telah mengalami pemurnian (refined bleached deodorized palm oil/rbdpo), sedangkan penelitian mengenai karakteristik kristalisasi CPO belum banyak dilakukan. Miskandar et al. (2003) serta Metin dan Hartel (2005) menyatakan bahwa adanya komponen minor atau kotoran yang terdapat di dalam minyak sawit kasar sangat besar pengaruhnya pada proses kristalisasi yang terjadi, sehingga fenomena kristalisasi antara minyak sawit yang telah mengalami pemurnian sangat berbeda dengan yang terjadi pada minyak sawit kasar. Dengan demikian, kajian sifat kristalisasi yang fokus pada sampel CPO perlu dilakukan. Pada penelitian ini dilakukan kajian terhadap sifat kristalisasi lemak pada CPO. Parameter-parameter yang mempengaruhi kristalisasi lemak yaitu suhu, laju pendinginan, dan shear rate akan dikaji pada pada penelitian ini. B. TUJUAN Penelitian ini bertujuan memperoleh data dan informasi lengkap mengenai karakteristik kristalisasi minyak sawit kasar atau crude palm oil (CPO), beserta parameter kinetika kristalisasinya. C. MANFAAT Manfaat yang diharapkan melalui penelitian ini adalah dapat dikembangkannya teknik kendali kristalisasi selama penyimpanan dan transportasi CPO berdasarkan data dasar yang diperoleh. 2

19 II. TINJAUAN PUSTAKA A. MINYAK SAWIT KASAR/ CRUDE PALM OIL (CPO) 1. Botani Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinneensis Jacq) merupakan tumbuhan tropis golongan palma yang termasuk tanaman tahunan. Kelapa sawit (Elaies guinneensis Jacq) adalah tanaman perkebunan berupa pohon batang lurus dari famili Palmae. Tanaman tropis yang dikenal sebagai penghasil minyak nabati ini berasal dari Benua Amerika. Brazil dipercaya sebagai tempat dimana pertama kali kelapa sawit tumbuh (Lubis 1992). Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada daerah tropika basah di sekitar 15 ºLintang Utara- 15 ºLintang Selatan pada ketinggian m di atas permukaan laut (Lubis 1992). Curah hujan minimum untuk pertumbuhan kelapa sawit adalah mm/tahun dan terbagi rata sepanjang tahun. Suhu optimum pertumbuhan tanaman kelapa sawit sebesar 26 o C dengan kelembaban rata-rata 75%. Tanaman kelapa sawit dapat tumbuh pada bermacammacam tanah, dengan syarat gembur, aerasi dan drainase baik, dan kaya akan humus pada ph optimum (LITPAN 1992). Menurut Naibaho (1998), tanaman kelapa sawit sudah mulai menghasilkan buah pada usia bulan dan mencapai puncaknya setelah tahun. Buah yang pertama keluar masih dinyatakan dalam buah pasir yang memiliki arti belum dapat diolah dalam pabrik karena masih mengandung kadar minyak yang rendah. Buah sawit berukuran kecil antara gram/butir yang duduk pada bulir. Setiap bulir terdiri dari butir tergantung pada kesempurnaan penyerbukan. Beberapa bulir bersatu membentuk tandan. Saat ini terdapat empat tipe atau varietas kelapa sawit yang biasa ditanam oleh petani ataupun perusahaan sawit. Menurut Ketaren (2005), keempat varietas tersebut dibedakan berdasarkan ketebalan tempurung seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1 Beda tebal tempurung dari berbagai tipe kelapa sawit. Tipe Tebal Tempurung (mm) Macrocarya >5 Dura 3-5 Tenera 2-3 Pisifera <2 Sumber : Ketaren (2005) Buah sawit mempunyai warna bervariasi dari hitam, ungu, hingga merah tergantung bibit yang digunakan. Buah terdiri dari tiga lapisan, yaitu eksokarp, mesokarp, dan endokarp. Penampang melintang buah kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 1. Menurut Naibaho (1998), hasil utama dari buah sawit adalah minyak sawit dan minyak inti sawit. Minyak sawit terdapat pada bagian mesokarp, sedangkan minyak inti sawit terdapat pada bagian endokarp. Minyak sawit dan minyak inti sawit terbentuk setelah 100 hari setelah penyerbukan dan berhenti setelah 180 hari atau setelah minyak dalam buah sudah jenuh. Pembentukan minyak akan berakhir jika tandan yang bersangkutan telah terdapat buah yang membrondol. 3

20 Mesokarp Kernel Tempurung Gambar 1. Penampang melintang buah kelapa sawit. Penggunaan kelapa sawit sangat luas, yaitu 90% digunakan untuk bahan pangan dan 10% untuk bahan non-pangan. Komponen dalam minyak sawit yang digunakan sebagai bahan pangan adalah minyaknya, baik minyak sawit maupun minyak inti sawit. 2. Teknologi Produksi CPO Pengolahan buah kelapa sawit menjadi CPO melalui beberapa stasiun proses, yaitu: a. Stasiun penerimaan buah (fruit reception) Stasiun ini berfungsi menerima buah sawit yang telah dipanen dari kebun. Pada stasiun ini dilakukan penimbangan terhadap buah sawit. Untuk menghindari kerusakan akibat penimbunan tandan buah segar (TBS), maka TBS harus segera diproses (Corley & Tinker 2003) b. Stasiun perebusan (sterilizer) Buah yang telah ditimbang selanjutnya direbus dengan menggunakan uap panas. Proses sterilisasi umumnya dilakukan pada bejana tekan horizontal (Basiron 2005). Proses sterilisasi dilakukan dengan uap bertekanan 3 kg/cm 2 pada suhu 143 ºC selama satu jam (Basiron 2005 dan Corley & Tinker 2003). Perebusan yang terlalu lama dapat menyebabkan penurunan kadar minyak dan pemucatan kernel, namun perebusan yang terlalu cepat menyebabkan buah tidak dapat rontok dari tandannya. Tujuan perebusan pada tahapan produksi CPO adalah mematikan enzim lipase yang menyebabkan kenaikan asam lemak bebas (ALB), mempermudah pelepasan buah dari tandan dan inti dari cangkang, memperlunak buah sehingga mempermudah saat proses penebahan, dan mengkoagulasikan protein sehingga memudahkan saat pemurnian minyak (Basiron 2005). c. Stasiun penebahan (threshing station) Buah yang telah distrerilisasi selanjutnya dikirim ke stasiun penebahan untuk dipisahkan dari tangkainya (Corley & Tinker 2003). Menurut Basiron (2005) ada dua metode pemisahan buah dari tangkai, yaitu dengan getaran dan pukulan. Namun saat ini pemisahan buah dari tangkainya sudah menggunakan drum yang berputar dengan kecepatan rpm. Brondolan buah sawit yang keluar dari bagian bawah drum ditampung oleh sebuah conveyor lalu diangkat dengan fruit elevator untuk dikirim ke bagian digesting dan pressing. d. Stasiun kempa (pressing station) Pada stasiun ini daging buah dan biji diekstrak atau diperas sehingga menghasilkan minyak. Proses ekstraksi dilakukan pada suhu ºC selama 20 menit (Basiron 2005). 4

21 e. Stasiun pemurnian minyak (clarification station) Minyak kasar hasil pengepresan mengandung 66% minyak, 24% air, dan 10% padatan (Basiron 2005). Menurut Corley dan Tinker (2003) proses pemurnian minyak bertujuan mendapatkan kadar air, kadar kotoran, dan ALB yang sesuai dengan standar. Tahapan proses di stasiun klarifikasi adalah tahap penyaringan crude oil dengan vibrating screen, tahap pemisahan minyak pada tangki, tahap pemurnian minyak, tahap pengambilan minyak dari sludge, dan tahap pengurangan kadar air. B. SIFAT FISIKO KIMIA MINYAK SAWIT 1. Sifat Kimia Minyak Sawit Menurut Naibaho (1998) tanaman kelapa sawit menghasilkan dua jenis minyak nabati, yaitu minyak sawit dan minyak inti sawit. Kedua jenis minyak tersebut mempunyai perbedaan karakteristik seperti tersaji pada Tabel 2. Minyak sawit merupakan hasil ekstraksi daging buah (mesokarp) dari tanaman Elaeis guinneensis. Minyak inti sawit merupakan hasil pengepresan endokarp dari tanaman Elaeis guinneensis. Sumber : Ketaren (2005) Tabel 2 Sifat fisiko kimia minyak sawit kasar dan minyak inti sawit Sifat Minyak Sawit Minyak Inti Sawit Bobot jenis pada suhu kamar Indeks bias D (40 ºC) Bilangan Iod (g Iod/100 g minyak) Bilangan penyabunan (mg KOH/g minyak) Bilangan Iod menggambarkan derajat ketidakjenuhan suatu lemak yang dihitung berdasarkan perbandingan asam lemak jenuh dan tidak jenuh penyusun lemak tersebut. Data pada Tabel 2 menunjukan bilangan Iod minyak sawit dan minyak inti sawit adalah dan g Iod/100 g minyak. Perbedaan ini terjadi karena asam lemak penyusun kedua minyak tersebut berbeda. Asam lemak dominan penyusun minyak sawit adalah 47% asam palmitat dan 41% asam oleat (Basiron 2005). Keseimbangan antara asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh penyusun minyak sawit menyebabkan bilangan Iod minyak sawit berkisar g Iod/100 g minyak. Minyak inti sawit tersusun atas 48% asam laurat, 16% asam miristat, dan 15% asam oleat (Pantrazis & Basiron 2002). Asam lemak dominan penyusun minyak inti sawit adalah asam laurat yang merupakan asam lemak jenuh. Hal inilah yang menyebabkan bilangan Iod minyak inti sawit rendah yaitu berkisar g Iod/100 g minyak. Menurut Ketaren (2005), bilangan penyabunan adalah jumlah alkali yang dibutuhkan untuk menyabunkan sejumlah minyak. Bilangan penyabunan dinyatakan dalam miligram kalium hidroksida yang dibutuhkan untuk menyabunkan satu gram minyak atau lemak. Kalium hidroksida akan bereaksi dengan asam lemak membentuk garam asam lemak. Bilangan penyabunan minyak sawit lebih rendah daripada bilangan penyabunan minyak inti sawit karena pada minyak sawit terdapat komponen yang tidak tersabunkan. Menurut Lin (2002) dalam minyak sawit terdapat komponen yang tidak dapat disabunkan seperti sterol, pigmen, dan hidrokarbon. CPO tersusun atas 50% asam lemak jenuh dan 50% asam lemak tidak jenuh. Keseimbangan antara asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh menyebabkan CPO lebih stabil terhadap oksidasi dibanding minyak nabati lainnya dan CPO berwujud semisolid 5

22 pada suhu ruang (Basiron 2005). Menurut Rohani et al. (2006), komponen utama dalam CPO adalah triacylglicerol (TAG) yaitu sebesar 95%. TAG merupakan kombinasi dari gliserol dan tiga asam lemak. Komposisi asam lemak dan TAG penyusun minyak sawit dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4 Tabel 3 Asam lemak penyusun minyak sawit. Jenis asam lemak Komposisi (%) Asam kaprat (C10:0) 1-3 Asam laurat (C12:0) Asam miristat (C14:0) Asam palmitat (C16:0) Asam palmitoleat (C16:1) Asam stearat (C18:0) Asam oleat (C18:1) Asam linoleat (C18:2) Asam linolenat (C18:3) Asam arakhidonat (C20:0) Sumber : Basiron (2005) Tabel 4 Komposisi TAG penyusun minyak sawit Jenuh 1 ikatan ganda 2 ikatan ganda 3 ikatan ganda 4 ikatan ganda [%b/b] [%b/b] [%b/b] [%b/b] [%b/b] MPP 0.29 MOP 0.83 MLP 0.26 MLO 0.14 PLL 1.08 PMP 0.22 MPO 0.15 MOO 0.43 PLO 6.59 OLO 1.71 PPP 6.91 POP PLP 6.36 POL 3.39 OOL 1.76 PPS 1.21 POS 3.5 PLS 1.11 SLO 0.60 OLL 0.56 PSP 0.12 PMO 0.22 PPL 1.17 SOL 0.30 LOL 0.14 PPO 7.16 SPL 0.10 OSL 0.11 PSO 0.68 POO OOO 5.38 SOS 0.15 SOO 1.81 OPL 0.61 SPO 0.63 SPO 1.86 OSO 0.81 Lainnya Total M : asam lemak miristat P: asam lemak palmitat S: asam lemak stearat O: asam lemak oleat L : asam lemak linolenat Sumber : Gee (2007) CPO memiliki dua komponen asam lemak terbesar yaitu asam palmitat dan asam oleat. Kandungan asam palmitat pada minyak sawit sebesar %, sedangkan asam oleat sebesar % (Basiron 2005). Asam palmitat adalah asam lemak jenuh rantai panjang yang memiliki titik cair (melting point) yang tinggi, yaitu 64 ºC (Belitz & Grosch 1999). Kandungan asam palmitat yang tinggi membuat minyak sawit tahan terhadap oksidasi. Asam oleat adalah asam lemak tidak jenuh dengan rantai panjang C 18 dan memiliki dua ikatan rangkap. Titik cair oleat adalah 14 ºC (Ketaren 2005). TAG dominan penyusun minyak sawit adalah POP dengan titik leleh 38 ºC (Smith 2001). Setiap TAG memiliki titik leleh tertentu yang bergantung pada derajat kejenuhan dan panjang rantai asam lemak penyusunnya. 6

23 Selain kandungan asam lemak terdapat juga komponen minor pada minyak sawit yang mempengaruhi kualitasnya. Kandungan komponen minor pada CPO dapat dilihat pada Tabel 5. Kandungan komponen minor mempunyai peranan penting dalam kestabilan minyak walaupun kandungannya hanya 1%. Faktor lain yang menentukan kualitas minyak sawit adalah bau, flavor, dan warna. Menurut Ketaren (2005), asam lemak dan TAG tidak berwarna. Bau khas minyak sawit ditimbulkan oleh gugus beta ionone dari karotenoid. Bau menyimpang pada minyak sawit terbentuk akibat kerusakan asam lemak rantai pendek. Tabel 5 Kandungan komponen minor pada CPO Komponen minor Kandungan (ppm) Karoten Tokoferol dan tokotrienol Sterol Ubiquinone Squalene Phospolipid Triterpene alkohol Metil sterol Alifatik alkohol Sumber : Lin (2002) CPO mempunyai warna merah yang diakibatkan oleh adanya karotenoid. CPO mengandung ppm karotenoid (Basiron 2005). Karotenoid yang terdeteksi terdiri dari α-karoten, β-karoten, dan likopen dalam jumlah yang sedikit sekali (Muchtadi & Sugiyono 1992). Karotenoid sangat larut dalam minyak. Bila minyak dihidrogenasi maka warna merah dari karotenoid akan berkurang. Karotenoid memiliki sifat tidak stabil pada suhu tinggi. Pada minyak sawit, kandungan karotenoid jarang dihilangkan sepenuhnya karena merupakan pro vitamin A (Winarno 1992). Menurut Hartley (1987) terdapat dua jenis warna buah sawit yang berbeda, satu berwarna merah dan lainnya berwarna oranye. Kedua warna buah tersebut memberikan kandungan karoten yang berbeda. Pada buah yang berwarna merah, total karoten di dalam mesokarp kering berkisar 207 mg per 100 gram, dan total karoten dalam minyak berkisar 2560 ppm, sedangkan untuk buah yang berwarna oranye, total karoten di dalam mesokarp hanya 89 mg per 100 gram, dan total karoten dalam minyak hanya 1100 ppm. Perbedaan lain antara minyak sawit dengan minyak nabati lainnya adalah adanya kandungan tokoferol dan tokotrienol. Menurut Law dan Thiaharajan (1989), tokoferol dan tokotrienol (vitamin E) ditemukan dalam produk minyak sawit berkisar dari ppm dengan komposisi 83% tokotrienol dari total vitamin E. Menurut Basiron (2005) kandungan tokoferol dan tokotrienol pada minyak sawit yang telah dimurnikan akan berkurang sebesar 50%. Tokoferol dan tokotrienol sangat penting bagi kesehatan karena befungsi sebagai antioksidan alami (pengikat radikal bebas). 2. Sifat Fisik Minyak Sawit Sifat fisik minyak sawit yang penting untuk diketahui antara lain densitas, indeks refraktif, slip melting point (SMP), dan solid fat content (SFC). Menurut Winarno (1992), SMP merupakan suhu saat minyak atau lemak berubah wujud dari padat menjadi cair. Titik leleh minyak atau lemak ditentukan oleh ada tidaknya ikatan rangkap pada asam lemak 7

24 penyusunnya. Komposisi asam lemak pada CPO beraneka ragam yang masing-masing memiliki titik leleh berbeda-beda sehingga titik leleh CPO merupakan suatu kisaran. Menurut Lin (2002), SFC merupakan jumlah kandungan lemak padat yang terdapat pada suatu lemak. Lemak padat dihasilkan dari proses kristalisasi. Nilai SFC sering digunakan untuk menggambarkan daya oles (spreadability) suatu bahan pangan pada suhu tertentu. Karakteristik fisik minyak sawit yang diteliti oleh Lin (2002) dan Basiron (2005) tersaji pada Tabel 6. Tabel 6 Karakteristik fisik minyak sawit Karakteristik Kisaran Rata-rata Indeks Refraktif (50 ºC) Densitas (50 ºC) Slip Melting Point (ºC) Solid Fat Content (SFC) (a) (a) (b) (b) (a) (a) (b) (b) (a) (b) 34.2 (b) 5 ºC (b) 60.5 (b) 10 ºC 15 ºC 20 ºC 25 ºC 30 ºC 35 ºC 40 ºC (a) 53.7 (a) (b) 49.6 (b) (a) 39.1 (a) (b) 34.7 (b) (a) 26.1 (a) (b) 22.5 (b) (a) 16.3 (a) (b) 13.5 (b) (a) 10.5 (a) (b) 9.2 (b) (a) 7.9 (a) (b) 6.6 (b) (a) 4.6 (a) (b) 4 (b) 45 ºC 0.7 (b) Sumber : (a) Lin (2002) (b) Basiron (2005) SFC menunjukkan banyaknya kandungan lemak padat pada suatu lipid. Menurut Basiron (2005), kandungan TAG menentukan SFC CPO. Pada suhu 10 ºC, SFC CPO mencapai 50% dan akan berkurang menjadi separuhnya saat suhu 20 ºC. Penambahan 10% diacylgliserol (DAG) akan menurunkan 20% SFC. 8

25 C. KRISTALISASI LEMAK 1. Mekanisme Kristalisasi Lemak Pada proses pengolahan produk pangan berbasis lemak, sangat penting untuk mengontrol kristalisasi lemak untuk mendapatkan jumlah, ukuran, polimorfisme, dan fase dispersi kristal yang diinginkan. Pada produk pangan berbasis lemak, kristalisasi lemak sangat dipengaruhi oleh kristalisasi TAG, namun kristalisasi komponen lemak lainnya yaitu DAG, monoacylglicerol (MAG), dan fosfolipid juga turut berperan besar. Menurut Winarno (1992), bila suatu lemak didinginkan, hilangnya panas akan memperlambat gerakan molekul-molekul dalam lemak, sehingga jarak antar molekul lebih kecil. Jika jarak antar molekul tersebut mencapai 5Ǻ, maka akan timbul gaya tarik menarik antar molekul. Akibat adanya gaya ini, radikal-radikal asam lemak dalam molekul lemak akan tersusun berjajar dan saling bertumpuk serta membentuk ikatan kristal. Pemadatan lemak akibat proses kristalisasi merupakan proses yang tidak sederhana. Parameter-parameter proses seperti suhu, gaya geser, agitasi, dan laju aliran produk sangat menentukan terjadinya kristalisasi (Man et al. 1989). Faktor-faktor tersebut juga menentukan bentuk struktur kristalin produk berlemak. Menurut Lawler dan Dimick (2002), proses kristalisasi dari larutan membutuhkan kondisi lewat jenuh (supersaturation), dilanjutkan dengan kondisi lewat dingin (supercooling), sehingga akan terjadi pembentukan inti (nucleation) dan pertumbuhan kristal (crystal growth). Menurut Metin dan Hartel (2005), driving force untuk terjadinya kristalisasi adalah adanya perbedaan suhu aktual (T) di bawah suhu titik leleh (melting temperature, T m ) TAG. Pada lemak alami, terjadi interaksi yang kompleks diantara campuran TAG dengan jenis asam lemak dan titik leleh yang berbeda. Hal ini menyebabkan lemak alami memiliki kisaran titik leleh yang lebar. Beberapa peneliti menggunakan titik leleh TAG tertinggi sebagai acuan driving force kristalisasi. Bila lemak didinginkan di bawah titik leleh dari komponen TAG dengan titik leleh tertinggi, akan terdapat rasio antara lemak padat terhadap lemak cair yang tergantung pada kondisi campuran TAG, yang dikenal dengan kandungan lemak padat (solid fat content/sfc). Menurut Lawler dan Dimick (1998), saat bulk minyak dikristalisasi, massa minyak tidak terkristalisasi secara serempak. Pada kenyataannya, kristalisasi dimulai pada sisi-sisi tertentu saat suhu mencapai tingkat yang mampu membentuk inti kristal. Dengan demikian, saat lemak yang dilelehkan mengalami pendinginan, akan terbentuk produk dengan tekstur granular akibat kristalisasi yang terjadi secara bertahap (gradual) pada setiap gliserida. Kristalisasi pada lemak alami diawali dengan pembentukan kristal yang tipis dan berupa platelet yang cukup panjang, dan dilanjutkan dengan agregasi kristal lemak membentuk spherulites dari ukuran beberapa mikron hingga 300 mm. Bila kristalisasi terjadi sangat lambat, kristal spherulites yang sangat besar akan terbentuk. Sebaliknya, pendinginan yang cepat pada suhu rendah akan menghasilkan kristal yang halus dan acak. Dengan demikian, laju pendingian merupakan faktor yang paling penting dalam menentukan mikrostruktur kristal lemak (Metin & Hartel 2005). Menurut Richard et al.(2000), lemak yang telah dilelehkan memiliki kecenderungan untuk mengingat struktur dan bentuk kristal sebelum dilelehkan. Untuk menghilangkan ingatan tersebut, lemak harus dipanaskan pada suhu 30 o C di atas titik lelehnya. 9

26 2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kristalisasi Lemak Parameter yang mempengaruhi kristalisasi lemak juga akan mempengaruhi kinetika kristalisasinya. Parameter yang mempengaruhi kristalisasi lemak meliputi komposisi TAG, laju pendinginan, agitasi, suhu kristalisasi, dan komponen minor pada lemak. a. Laju Pendinginan (Cooling Rate) Kristalisasi lemak sangat dipengaruhi oleh laju pendinginan. Pendinginan cepat menyebabkan nukleasi terjadi pada suhu yang lebih rendah dibanding dengan pendinginan lambat. Laju pendinginan juga berpengaruh pada laju nukleasi, yang mempengaruhi ukuran kristal. Pendinginan cepat sampai suhu rendah menyebabkan laju nukleasi cepat dan mengakibatkan pembentukan kristal kecil. Ketika lemak didinginkan dengan lambat, kristal terbentuk dengan ukuran yang lebih besar. Laju pendinginan juga mempengaruhi mikrostruktur kristal (Metin & Hartel 2005) Pada laju pendinginan cepat, akan terbentuk kristal-kristal lemak yang lebih kecil dan seragam dibandingkan bila pendinginan dilakukan pada laju lambat. Bila pada lemak terlalu banyak kristal-kristal kecil (dari tipe kristal α), struktur lemak akan menjadi terlalu rapat. Kapiler antar padatan akan menyempit, dan mengakibatkan kristal-kristal saling mengunci dengan cairan yang ada di sekelilingnya (Che & Swe 1995). Menurut Lawson (1995), ketika MAG didinginkan secara cepat, kristal pertama yang terbentuk adalah bentuk α. Bentuk kristal ini akan berubah secara irreversible menjadi bentuk β yang lebih stabil. Pada akhirnya kristal β akan berubah menjadi bentuk kristal β yang merupakan bentuk kristal paling stabil. Pada proses pendinginan minyak dan lemak yang dilakukan secara mendadak, terjadi pembentukan kristal campuran dari TAG yang bertitik leleh tinggi dan rendah (Man et al. 1989). Di lain pihak, pendinginan cepat yang dibantu dengan proses pengadukan menyebabkan terjadinya kristalisasi TAG bertitik leleh tinggi dan rendah pada waktu yang bersamaan (Borwanker et al. 1992). Pengadukan dan agitasi juga dapat memperlunak tekstur produk dan menurunkan kadar lemak padat (solid fat content/sfc) selama penyimpanan (Herrera & Hartel 2000). b. Komponen Minor Menurut Metin dan Hartel (2005), komponen minor yang dapat mempengaruhi kristalisasi lemak adalah lemak yang lebih polar seperti DAG, MAG, asam lemak bebas, fosfolipid, dan sterol. Kehadiran komponen ini mempercepat proses kristalisasi lemak tetapi pada keadaan lain dapat menghambat. Adanya komponen-komponen pengotor lain selain lemak (impurities), akan berpengaruh terhadap terjadinya kristalisasi (Miskandar et al. 2003). Menurut Timms (1997), adanya kotoran dalam minyak biasanya menyebabkan penurunan laju nukleasi. Diasumsikan bahwa kotoran tersebut mengotori sisi pertumbuhan kristal pada inti kristal. Sejumlah kecil pengotor dapat menurunkan laju nukleasi hingga beberapa kali lipat. Metin dan Hartel (2005) menyebutkan bahwa adanya pengotor pada crude oil akan mempercepat terjadinya kristalisasi lemak. Dengan demikian proses kristalisasi CPO akan berlangsung lebih kompleks dibandingkan kristalisasi RBDPO. Menurut Siew dan Ng (1996), kristalisasi RBD olein ditentukan oleh adanya perbedaan titik leleh dari komponen TAG maupun adanya gliserida parsial lain seperti DAG dan MAG. 10

27 c. Komposisi TAG Lemak alami mengandung beberapa jenis TAG dengan asam lemak yang berbeda panjang rantainya, dan derajat kejenuhannya. Basiron (2005) mengemukakan bahwa minyak sawit mengandung kombinasi asam-asam lemak dengan panjang rantai dan derajat ketidakjenuhan yang berbeda, dan di dalamnya terkandung TAG dengan titik leleh yang rendah dan tinggi. Kristalisasi minyak sawit pada pendinginan yang terkontrol diikuti dengan proses separasi akan menghasilkan fase cairan bertitik leleh rendah (olein), dan fase padat bertitik leleh tinggi (stearin), dengan rasio olein terhadap stearin sekitar 7:3 (Ong et al. 1995). CPO mengandung 4-8% DAG, yang dapat membentuk campuran eutectic dengan TAG, yang menghasilkan kadar padatan yang rendah dan dapat memperlambat laju kristalisasi. MAG dalam CPO kurang dari 1% dan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap proses kristalisasi (Basiron 2005). d. Agitasi Kecepatan pengadukan umumnya mempengaruhi nukleasi dan pertumbuhan kristal. Namun, pengaruh laju pengadukan sangat kompleks karena terkadang sulit untuk mengetahui perbedaan pengadukan dan laju pendinginan pada kristalisasi. Menurut Metin dan Hartel (2005), agitasi menaikkan nukleasi karena adanya mekanisme penggangguan terhadap supply energi. Laju pendinginan lambat dan agitasi lambat pada lemak menghasilkan kenaikan sejumlah kristal sehingga cakupan pelelehan meningkat. Laju agitasi tinggi menghasilkan laju kristalisasi yang tinggi pula dan kristal lemak yang kecil. e. Suhu Kristalisasi Parameter yang paling penting dalam mempengaruhi kristalisasi lemak adalah suhu kristalisasi dimana lemak membeku di bawah titik lelehnya. Ketika suhu kristalisasi dinaikkan, maka suhu nukleasi meningkat dan waktu induksi untuk kristalisasi bertambah. Pada lemak alami dimana panjang rantai asam lemaknya berbeda, kristal lemak dapat terbentuk jika panjang rantai dan titik lelehnya berdekatan (Metin & Hartel 2005). 3. Kinetika Kristalisasi Lemak Pengetahuan mengenai kinetika kristalisasi lemak penting untuk menentukan parameter proses (suhu kristalisasi dan laju pendinginan) yang tepat agar dihasilkan produk dengan jumlah, ukuran, dan polimorfisme kristal lemak yang diinginkan. Pemodelan kinetika kristalisasi lemak telah dilakukan, yaitu model Avrami dan model Fisher-Turnbull. Model Fisher-Turnbull melihat nukleasi berdasarkan pada perubahan energi (Metin & Hartel 2005). Menurut Himawan et al. (2006), model Avrami banyak digunakan untuk melihat kinetika kristalisasi lemak saat isotermal. Model Avrami menggambarkan laju kristalisasi dan mekanisme pembentukan inti kristal lemak (nucleation). Menurut Metin dan Hartel (2005), persamaan Avrami (Persamaan 1), banyak digunakan untuk menggambarkan proses nukleasi dan pertumbuhan kristal lemak. 1 F = exp[ kt n ] (1) 11

28 F adalah fraksi kristal yang terbentuk selama waktu kristalisasi t (menit), k adalah laju kristalisasi konstan yang ditentukan terutama oleh suhu kristalisasi, dan n adalah eksponen Avrami. Eksponen Avrami (n) adalah fungsi dari dimensi pertumbuhan kristal, dan menggambarkan mekanisme nukleasi dan pertumbuhan kristal secara detail (Tabel 7). Metin dan Hartel (1998) menggunakan model persamaan Avrami untuk melihat kinetika kristaliasi lemak pada cocoa butter, lemak susu, dan milk fat fraction. Eksponen Avrami (n) untuk cocoa butter, lemak susu, dan milk fat fraction masing-masing bernilai 4,3, dan 2. Nilai eksponen Avrami (n) bernilai 4, 3, dan 2 menunjukkan pembentukan inti secara heterogenous nucleation, instantaneous nuclei, dan high nucleation rate. Tabel 7. Hubungan antara mekanisme pertumbuhan kristal lemak dengan eksponen Avrami (n) Mekanisme pertumbuhan kristal Polyhedral Plate-like Silinder ** n = indeks persamaan Avrami. Sumber : Toro et al. (2002). Nilai konstanta n** Nilai k secara langsung berhubungan dengan waktu setengah kristalisasi (t 1/2 ). Laju kristalisasi (k) sangat dipengaruhi oleh suhu kristalisasi. Menurut Martini et al.(2002), suhu kristalisasi yang tinggi menyebabkan driving force kristalisasi rendah sehingga laju kristalisasi rendah. Selain itu, laju kristalisasi mempunyai hubungan terbalik dengn waktu induksi dan waktu setengah kristalisasi. Waktu induksi merupakan waktu ketika fraksi kristal yang terbentuk bertambah secara cepat dari fraksi kristal awal (Metin & Hartel 1998). Waktu setengah kristalisasi (t 1/2 ) menunjukkan jumlah waktu dalam menit yang dibutuhkan untuk membentuk 50% fraksi kristal (Martini et al. 2002). 4. Polimorfisme Lemak Pada minyak alami banyak terkandung berbagai jenis TAG dengan panjang asam lemak dan derajat ketidakjenuhan yang berbeda. Perbedaan komposisi ini menyebabkan terjadinya proses kristalisasi yang sangat kompleks. Dalam pembentukan latis (lattice) kristal, molekul TAG dapat mengalami beberapa bentuk kristal yang sangat ditentukan oleh kondisi proses, dan fenomena ini dikenal dengan polimorfisme (Metin & Hartel 2005). Sifat kristalisasi TAG yang mencakup laju kristalisasi, ukuran kristal, morfologi, dan total kristalinitas dipengaruhi oleh polimorfisme. Polimorfisme dipengaruhi oleh struktur molekul TAG, dan faktor eksternal seperti suhu, tekanan, laju kristalisasi, adanya pengotor, dan laju geser. Menurut Metin dan Hartel (2005) terdapat tiga kategori bentuk polimorfik lemak yaitu α, β dan β. Bentuk α paling tidak stabil dengan titik leleh dan panas laten peleburan paling rendah, sedangkan bentuk β bersifat paling stabil. Setiap polimorfik memiliki short spacings atau spasi pendek (jarak antara gugus asil paralel pada TAG), sifat dan ukuran yang berbeda, yang dapat digunakan untuk membedakan bentuk polimorfik berdasarkan pola difraksi sinar X (Tabel 8). 12

29 Tabel 8 Identifikasi bentuk polimorf lemak berdasarkan analisis difraksi sinar X pada spasi pendek (short spacings), sifat, dan ukuran. Bentuk polimorf Sel unit (a) Garis dan spasi pendek (Ǻ) (a) α Heksagonal Satu garis tebal dan sangat lebar pada 4.15 Sifat (b) Rapuh, transparan, pipih β Ortorombik Dua garis tebal pada 4.2 dan 3.8 β Triklinik Sebuah garis tebal pada 4.6 Besar-besar dan berkelompok Sumber : (a) Metin dan Hartel (2005) (b) Fenema (1976) dalam Winarno (1992) Ukuran (µm) (b) 5 Jarum halus 1 kadangkadang 100 Metin dan Hartel (2005) mengemukakan bahwa bentuk polimorfik yang paling tidak stabil biasanya terbentuk lebih dahulu pada lemak cair yang lewat dingin karena energi permukaannya yang lebih rendah. Laju transformasi polimorfik pada lemak alami yang mengandung banyak TAG berjalan sangat lambat. Bentuk α terjadi saat lemak mengalami pendinginan cepat, dan segera berubah menjadi bentuk β. Bentuk β dan β dapat bertahan pada waktu yang cukup panjang (beberapa jam atau hari). Untuk beberapa lemak tidak terjadi perubahan dari bentuk β menjadi β seperti yang terjadi pada lemak sawit. Menurut Sato dan Ueno (2005), perubahan bentuk polimorfisme dari α menjadi β yang paling stabil terjadi secara irreversible. Laju perubahan polimorfisme yang terbentuk sangat bergantung pada waktu dan suhu. Laju perubahan polimorfisme kristal lemak dapat dilihat pada Gambar 2. Gambar 2 Laju perubahan polimorfik kristal lemak (Marangoni & McGauley 2003) Setiap lemak atau minyak mempunyai bentuk polimorf kristal lemak yang berbeda-beda. Menurut Marangoni dan McGauley (2003), cocoa butter mempunyai enam bentuk kristal lemak yaitu γ, α, β 2, β 1, β 2, dan β 1 dengan titik leleh dan kestabilan yang meningkat. Menurut Sato dan Ueno (2005), bentuk polimorfik kristal lemak yang pada minyak sawit ada tiga, yaitu α, β, dan β dengan kestabilan yang meningkat. Bentuk α dan β terbentuk pada laju pendinginan cepat, sedangkan bentuk β terbentuk pada laju pendinginan lambat. Menurut O Brien (2009), bentuk polimorfik yang dominan pada minyak sawit adalah β. 13

30 D. KRISTALISASI MINYAK SAWIT Menurut Smith (2001), komposisi minyak sawit yang terdiri dari beraneka ragam TAG membuat minyak sawit tidak mengkristal pada suhu tertentu. Parameter untuk melihat terjadinya kristalisasi lemak pada minyak sawit salah satunya adalah solid fat content (SFC). SFC merupakan jumlah kandungan lemak padat pada suatu lipid. Nilai SFC mempunyai hubungan terbalik dengan suhu yang berarti semakin tinggi suhu akan menghasilkan SFC yang semakin kecil. Kurva hubungan suhu dengan SFC RBDPO ditunjukkan oleh Gambar 3. Gambar 3 Kurva hubungan suhu dengan SFC pada sampel RBDPO (Smith 2001) Tarabukina et al. (2009) telah melakukan pengujian profil kristalisasi lemak RBDPO dengan menggunakan instrumen Differential Scanning Calorimetry (DSC) pada beberapa laju pendinginan (10, 5, dan 0.5 o C/menit). Laju pendinginan ternyata berpengaruh nyata terhadap entalpi kristalisasi dan waktu terjadinya kristalisasi tahap pertama. Melalui Gambar 4 dapat diketahui bahwa pada laju pendinginan yang lambat akan terjadi peningkatan suhu peak kristalisasi. Gambar 4 Termogram DSC pada pendinginan CPO dari 70 o C hingga -30 o C pada beberapa laju pendinginan (-10, -5, dan -0.5 o C/menit). Berat masing-masing sampel 11.1, 9, dan 11.4 mg (Tarabukina et al. 2009). Pengaruh laju pendinginan terhadap sifat kristalisasi CPO telah dikaji oleh Chong et al. (2007) dengan instrumen coupling time-resolved synchrotron X-ray diffraction dan DSC 14

31 sensitivitas tinggi. Pengujian dilakukan pada laju pendinginan 0.1 dan 0.4 C/menit, dari titik lelehnya hingga suhu -20 C, untuk mengetahui bentuk penataan TAG sebagai fungsi dari suhu dan perlakuan panas. Pada laju pendinginan lambat, TAG CPO mengkristal secara bertahap dalam 2 struktur lamellar dengan panjang ikatan rangkap dua 41.9 Å dan panjang ikatan rangkap tiga 62.8 Å yang menumpuk, yang menunjukkan tipe kristal β. Hasil tersebut berkorelasi dengan dua puncak eksotermik pada suhu 26 and 8 C. Pada CPO terjadi transisi tak dapat balik kristal β β yang ditentukan oleh waktu. Proses ini terjadi pada suhu yang rendah, namun hanya terjadi pada populasi TAG yang sangat sedikit. Pemanasan bertahap pada laju pemanasan 1 C/min menunjukkan tidak adanya penataan ulang struktur kristalin saat belum mencapai suhu pelelehan akhir. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar sistem berada pada kondisi ekuilibrium. Chong et al. (2007) juga mengemukakan bahwa kristalisasi CPO pada 0.4 o C/menit menunjukkan pembentukan struktur-struktur tambahan. Terdapat temuan yang tidak diduga yaitu adanya dua garis yang terkait dengan struktur 2L (bilayered) dan titik isobestic pada 4.42 Å. Dengan analisis yang sangat hati-hati, kedua garis tersebut dapat dipisahkan, dan keberadaan keduanya terkait dengan fenomena epitaxy/eutectic, yang ditunjukkan dengan munculnya susunan 3L (trilayered) pada waktu yang sama dengan saat rusaknya susunan 2L dan saat terjadinya titik isobestic. Munculnya bentuk kristal β dan β secara bersamaan pada suhu yang tinggi menunjukkan bahwa seluruh sistem tersebut tidak berada dalam domain tiga fase, tetapi lebih menyerupai tiga fase (kristal β + β + cairan) dimana tidak seluruh molekul TAG dapat tepat tersusun ke dalam struktur tunggal β. Hal ini sepertinya terkait dengan terjadinya pemisahan fase granular seperti yang terjadi pada margarin. Vuillequez et al. (2010) telah mempelajari pengaruh laju perubahan suhu (q = -0.5 C/menit hingga -50 C/menit) terhadap pembentukan fase RBDPO pada suhu rendah, dengan menggunakan analisis kalorimetri dan optik. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa laju pendinginan merubah polimorfisme TAG. Diperoleh dua fraksi yaitu fraksi cair dan fraksi padat yang mengandung fraksi cair TAG. Laju sentrifugasi dalam pemisahan fraksi olein dan stearin tidak berpengaruh pada jumlah fraksi yang diperoleh. Fraksi padat RBDPO lebih sensitif terhadap pengaruh laju pendinginan. Dengan mengubah laju pendinginan q, diketahui bahwa q = -3 o C/menit menjadi batas antara laju pendinginan lambat dan laju pendinginan cepat. Pada laju pendinginan lambat, TAG memiliki waktu yang cukup untuk berinteraksi. Sebaliknya pada laju pendinginan cepat, TAG tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengatur diri dalam konformasi yang lebih stabil. Hasil mikrograf menunjukkan bahwa kristal yang dihasilkan berupa spherulites, dengan ukuran kristal berbeda pada laju pendingian yang berbeda. Graef et al. (2008) telah mengembangkan metode reologi baru untuk memantau terjadinya kristalisasi RBDPO pada gaya geser tertentu. Metode tersebut dapat dibagi menjadi 2 tahap yaitu tahap 1 berupa pemberian gaya geser pada waktu tertentu dan kristalisasi dimonitor dengan mengukur viskositas terukur sebagai fungsi waktu isotermal. Pada tahap 2, gaya geser dihentikan dan osilasi diterapkan selama 30 detik dan dicatat sudut modulus dan fasenya. Sudut modulus dan fase tersebut dicatat sebagai karakteristik sampel yang dikristalisasi pada gaya geser dan waktu tertentu. Prosedur ini dilakukan pada beberapa waktu pemberian gaya geser di tahap pertama, dan sudut modulus kompleks dan fase diplotkan sebagai fungsi waktu isotermal pada beberapa gaya geser yang berbeda. Hasil tersebut kemudian dibandingkan dengan data kristalisasi yang diperoleh dari time resolved X-ray diffraction and polarized light microscopy. Selain itu Graef et al. (2009) juga telah mempelajari pengaruh gaya geser terhadap sifat polimorfik dan pengembangan mikrostruktur selama proses kristalisasi RBDPO (Gambar 5). Gaya geser pada laju geser yang rendah dan waktu yang singkat dapat memicu terjadinya 15

32 kristalisasi primer. Selain itu, adanya perlakuan gaya geser yang mengawali tahap kristalisasi statis juga sangat berpengaruh pada pengembangan mikrostruktur kristal RBDPO. Gambar 5 Viskositas terukur RBDPO pada kristalisasi selama 30 menit pada beberapa laju geser dan suhu kristalisasi 25 o C (Graef et al. 2008). Pengaruh gaya geser terhadap kristal lemak yang terbentuk pada sampel RBDPO juga diamati oleh Graef et al. (2009) secara mikroskopi dengan mikroskop polarisasi cahaya (polarized light microscope/plm) (Gambar 6). Pada laju geser yang semakin meningkat (1, 10 dan 100 s -1 ) yang diterapkan selama 30 menit, dan dilanjutkan proses kristalsasinya selama 30 menit berikutnya, akan dihasilkan ukuran kristal yang lebih besar. Agregat kristal pada laju geser yang lebih besar juga dihubungkan dengan kristal-kristal baru yang berperan dalam membentuk struktur jaringan lemak padat. Gambar 6 Bentuk kristal lemak RBDPO yang dipotret menggunakan mikroskop polarisasi cahaya yang dikristalisasi pada suhu 25 o C selama 60 menit pada beberapa laju geser (g) 1 s -1, (h) 10 s -1, dan (i) 110 s -1 (Graef et al. 2009) 16

33 III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah CPO yang berasal dari lima perusahaan kelapa sawit di Indonesia, yaitu PT. Sinar Meadow Internasional Indonesia Jakarta (CPO A), PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII Banten (CPO B), PTPN XIII Perkebunan Gunung Meliau Kalimantan Barat (CPO C), dan PTPN XIII Perkebunan Ngabang Kalimantan Barat (CPO D), dan PT. Wilmar Internasional Riau (CPO E). Bahan lain yang digunakan dalam analisis kimia adalah n-heksana, larutan NaOH 0.1 N, ethanol 95%, indikator fenolftalein, kristal kaliumhidrogenftalat (KHP), sikloheksana, larutan Wijs, larutan KI 15%, larutan Na 2 S 2 O N, indikator pati, dan air destilata. Peralatan yang digunakan untuk mengukur karakteristik kristalisasi lemak CPO adalah Nuclear Magnetic Resonance (NMR) Analyzer Bruker Minispec PC 100 untuk mengukur kadar lemak padat (solid fat content/sfc), Haake Viscometer RV20 (Karlsruhe, Jerman) untuk menerapkan shear rate, serta mikroskop polarisasi Olympus CX untuk mengamati mikrostruktur kristal lemak. Peralatan yang digunakan untuk analisis kimia adalah oven, penyaring vakum, spektrofotometer, gelas piala, buret, erlenmeyer, pipet mohr, dan labu takar. B. METODE PENELITIAN Sifat kristalisasi lemak CPO dipelajari melalui empat tahap penelitian, yaitu (1) analisis mutu dan profil SFC CPO, (2) kajian perubahan nilai SFC selama penyimpanan, (3) kajian pengaruh laju pendinginan terhadap SFC kinetika kristalisasi dan mikrostruktur kristal lemak, dan (4) kajian pengaruh laju pendinginan dan shear rate terhadap kinetika kristalisasi lemak. 1. Analisis Mutu dan Profil SFC CPO Kajian analisis mutu CPO ditujukan untuk mengetahui kualitas lima CPO berdasarkan parameter yang ditetapkan dalam SNI Sampel CPO yang digunakan merupakan sampel yang baru dihasilkan industri pengolah CPO, serta belum mengalami proses transportasi dan penyimpanan dalam waktu yang lama. Dengan demikian, diharapkan komposisi kimia dan kondisi kristal lemak di dalamnya belum mengalami perubahan akibat terjadinya pelelehan dan kristalisasi lemak yang berulang. Analisis mutu CPO yang digunakan dilakukan berdasarkan atribut mutu yang ditetapkan dalam standar spesifikasi CPO menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) yang mencakup warna visual jingga kemerah-merahan, kadar air dan kotoran (maksimal 0.5%), kadar asam lemak bebas (sebagai asam palmitat, maksimal 0.5%), dan bilangan Iod (50-55 g Iod/100 g). Salah satu parameter sifat fisik yang penting dalam mempelajari kristalisasi lemak adalah nilai solid fat content (SFC) atau kandungan lemak padat. Profil SFC CPO pada beberapa suhu diukur berdasarkan metode IUPAC ex untuk non tempering fat menggunakan Nuclear Magnetic Resonance (NMR) Bruker Minispec 100 NMR Analyzer (Gambar 7). Sebelum dilakukan pengukuran terlebih dahulu dilakukan pretreatment. Prosedur stabilisasi atau pretreatment sangat menentukan jumlah dan tipe kristal lemak yang terbentuk dan memiliki konsekuensinya terhadap nilai SFC yang diukur dengan NMR. 17

34 Gambar 7 Nuclear Magnetic Resonance (NMR) yang digunakan untuk mengukur kandungan lemak padat (SFC) CPO. Sampel CPO diisikan ke dalam tabung NMR setinggi cm. Sebelum dianalisis, sampel CPO dipanaskan pada suhu 80 o C selama 30 menit agar meleleh sempurna untuk meyakinkan homogenitasnya. Kemudian sampel yang telah meleleh dipertahankan pada suhu 60 o C selama 5 menit. Selanjutnya sampel disimpan pada suhu 0 o C selama 60 menit. Sebelum dilakukan pengukuran SFC, sampel dipertahankan dulu pada masing-masing suhu pengukurannya selama menit. SFC sampel CPO diukur pada suhu yang berbeda yaitu pada kisaran suhu 5 o C hingga suhu saat SFC bernilai 0%, dengan kenaikan suhu pada setiap pengukuran sebesar 5 o C, yaitu suhu 25, 30, 35, 40, 45, 50, 55, dan 60 ºC. Pengujian profil SFC CPO dilakukan secara triplo. 2. Kajian Perubahan Nilai SFC selama Penyimpanan Menurut Brulenno et al. (2003), nilai SFC pada produk berlemak akan berubah selama penyimpanan akibat pengaruh suhu dan lama penyimpanan. Pengujian terhadap perubahan SFC CPO selama penyimpanan perlu dilakukan untuk mengetahui perubahan fraksi lemak padat CPO selama penyimpanan akibat pengaruh suhu dan waktu penyimpanan. Pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap perubahan SFC CPO dipelajari dalam penelitian ini dengan mensimulasikan kondisi penyimpanan sesuai dengan rekomendasi Codex Alimentarius Commision (CAC) (2005). Sampel CPO (CPO A) dimasukkan ke dalam tabung NMR setinggi cm. Sampel dipanaskan sampai 55 ºC dengan kenaikan suhu 5 ºC/hari. Setelah sampel mencapai suhu 55 ºC, sampel tersebut disimpan pada suhu 20, 25, 30, 35, dan 40 ºC selama 4 minggu. Sampel diukur nilai SFC-nya setiap minggu. Pengujian perubahan SFC terhadap suhu dan waktu penyimpanan dilakukan secara duplo. 3. Kajian Pengaruh Laju Pendinginan terhadap Nilai SFC, Kinetika Kristalisasi, dan Mikrostruktur Kristal Lemak. Menurut Wiking et al. (2009), salah satu parameter yang mempengaruhi kristalisasi lemak adalah laju pendinginan. Laju pendinginan mempengaruhi kinetika kristalisasi dalam hal mekanisme pembentukan nuklei dan laju kristalisasi (Campos et al. 2002). Pada penelitian ini ingin diketahui pengaruh laju pendinginan terhadap nilai SFC CPO, kinetika kristalisasi lemak, dan mikrostruktur kristal lemak Sampel CPO (CPO A) sebelumnya dimasukkan ke dalam tabung NMR setinggi +2.5 cm. Sampel tersebut kemudian dipanaskan dalam water bath hingga mencapai suhu saat SFC bernilai 0% yaitu suhu 55 ºC selama 30 menit. Selanjutnya suhu water bath diturunkan kembali dengan laju pendinginan 1, 0.5, dan 0.2 ºC/menit dan kemudian diukur nilai SFC-nya pada suhu 50, 45, 40, 35, 30, dan 25 ºC. Setelah suhu water bath mencapai 25 ºC, suhu tersebut 18

35 dipertahankan hingga diperoleh nilai SFC tetap. Pengukuran SFC dilakukan setiap 2 menit sekali. Pengujian pengaruh laju pendinginan terhadap kristalisasi lemak dilakukan secara triplo Kinetika kristalisasi dipelajari menggunakan model Avrami dengan parameter laju kristalisasi (k) dan koefisien Avrami (n) (Metin & Hartel 2005). Nilai n dan k dihitung dari bentuk linier persamaan Avrami (Persamaan 2), sebagai slope dan intercept pada ln t = 0. F adalah fraksi kristal yang terbentuk selama waktu kristalisasi t (menit). ln ( ln 1 F = ln k + n[ln t ] (2) Nilai k secara langsung berhubungan dengan waktu setengah kristalisasi (t 1/2 ). Waktu setengah kristalisasi dihitung dengan persamaan Arhenhius. (t 1/2 ) n = 0.693/k (3) Menurut Martini et al. (2002), nilai fraksi kristal ditentukan saat SFC pada waktu tertentu dinormalisasi dengan nilai SFC maksimal yang diperoleh pada kondisi percobaan tersebut. Untuk memperoleh parameter yang memberikan ketepatan yang tinggi pada persamaan Avrami, digunakan analisis regresi linier. Untuk mengetahui morfologi dan distribusi ukuran kristal lemak sampel CPO yang terbentuk selama perlakuan, dilakukan pengamatan kristal lemak di bawah mikroskop sinar polarisasi (polarized light microscopy) sesuai dengan metode yang dilakukan oleh Martini et al. (2002). Sampel CPO yang telah mengalami laju pendinginan tertentu dan telah mencapai suhu kristalisasi isotermal (25 ºC) diteteskan di atas kaca preparat. Kaca preparat yang telah berisi sampel disimpan pada ruangan yang bersuhu 25 ºC selama 25 menit. Setelah itu kaca preparat diletakan di bawah mikroskop polarisasi cahaya untuk melihat pembentukan kristal lemak. Kaca preparat didiamkan kembali pada suhu 25 ºC tanpa diangkat dari mikroskop polarisasi cahaya selama 10 menit. Pengamatan kristal lemak dilakukan pada menit ke-35 untuk melihat pertambahan jumlah dan perubahan ukuran kristal lemak. 4. Kajian Pengaruh Laju Pendinginan dan Shear Rate terhadap Kinetika Kristalisasi CPO akan mengalami perubahan proses kristalisasi akibat adanya pengaruh shear rate selama transportasi. Sifat kristalisasi lemak selama transportasi ditentukan oleh laju pendinginan dan shear rate. Untuk mengkaji kedua faktor tersebut, dilakukan pengujian dengan pendekatan sesuai kondisi transportasi, yang dicobakan dengan menggunakan Haake Rotoviscometer RV20 (Gambar 8). Gambar 8 Haake Rotoviscometer RV 20 yang digunakan untuk menerapkan perlakuan laju pendinginan dan shear rate. 19

36 Sampel CPO dipanaskan dari suhu 25 o C sampai suhu 55 ºC pada shear rate 5 s -1 dengan laju kenaikan suhu 1 ºC/menit. Selanjutnya suhu sampel dipertahankan selama 10 menit dan kemudian diturunkan suhunya hingga mencapai suhu kristalisasi 25 o C, dengan perlakuan laju pendinginan dan shear rate tertentu. Setelah mencapai 25 ºC, suhu sampel dipertahankan selama 60 menit untuk melihat fenomena kristalisasi yang terjadi melalui pengamatan kenaikan nilai viskositas terukur. Perlakuan laju pendinginan dan shear rate yang diterapkan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Perlakuan pengaruh laju pendinginan dan laju geser terhadap proses kristalisasi Perlakuan Laju pendinginan Shear rate (s -1 ) C. METODE ANALISIS 1. Kadar Air (BSN 2006) Kadar air dianalisis berdasarkan SNI tentang minyak sawit kasar dan dihitung sebagai berat yang hilang setelah contoh uji dipanaskan pada suhu 103±2 ºC selama 3 jam atau 130±2 ºC selama 30 menit. Mula-mula cawan alumunium dikeringkan pada oven 103±2 ºC selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator lalu ditimbang. Minyak yang akan menjadi sampel uji dilelehkan pada suhu 50 ºC sambil diaduk hingga rata. Minyak tersebut lalu ditimbang 5-10 g dan dimasukkan dalam cawan alumunium. Cawan yang berisi sampel dipanaskan dalam oven 103±2 ºC selama 3 jam, kemudian segera dimasukkan ke dalam desikator dan didinginkan selama 15 menit. Setelah dingin, cawan tersebut ditimbang sampai diperoleh berat yang konstan. Kadar air dihitung dengan rumus: W (W 1 W 2 ) x 100 % W Keterangan : W : bobot contoh sebelum dikeringkan (g) W 1 : bobot contoh dan cawan sesudah dikeringkan (g) : bobot cawan kosong kering (g) W 2 2. Kadar Kotoran (BSN 2006) Pengujian kadar kotoran dianalisis berdasarkan SNI tentang minyak sawit kasar dengan menggunakan contoh uji hasil penentuan kadar air yang sudah diketahui beratnya. Alat penyaring (kertas Whatman No. 41) dicuci menggunakan pelarut n-heksana lalu dikeringkan dalam oven pada suhu 103 ºC selama 30 menit. Setelah dikeringkan kertas Whatman No. 41 didinginkan dalam desikator selama 15 menit dan ditimbang. Sebanyak 50 20

37 ml pelarut ditambahkan ke dalam sampel uji dan dipanaskan pada penangas air, sambil digoyang-goyangkan sampai minyak larut semua. Sampel uji kemudian disaring dengan menggunakan alat penyaring. Pencucian dilakukan beberapa kali dengan menggunakan pelarut sampai kertas Whatman No. 41 bersih dari minyak. Kertas Whatman No. 41 kemudian dikeringkan ke dalam oven suhu 103±2 ºC selama 30 menit dan didinginkan dalam desikator selama 15 menit. Kertas Whatman No. 41 kemudian ditimbang hingga diperoleh berat yang konstan. Kadar kotoran dihitung dengan rumus : W (W 1 W 2 ) x 100 W Keterangan : W : bobot contoh (g) W 1 : bobot alat penyaring setelah dikeringkan (g) : bobot alat penyaring kering (g) W 2 3. Kadar Asam Lemak Bebas (BSN 2006) Kadar asam lemak bebas dianalisis berdasarkan SNI tentang minyak sawit kasar dan dihitung sebagai persentase berat (b/b) dari asam lemak bebas yang terkandung dalam CPO dimana berat molekul asam lemak bebas tersebut dianggap sebesar 256 (sebagai asam palmitat). Sampel yang akan diuji dipanaskan pada suhu o C dan diaduk hingga homogen. Sampel sebanyak 5 g dilarutkan dalam 50 ml ethanol 95% yang telah dinetralkan lalu dipanaskan sampai suhu 40 ºC. Ke dalam larutan tersebut ditambahkan indikator fenolftalein 1% sebanyak 1-2 tetes. Larutan tersebut dititrasi menggunakan NaOH 1N sambil digoyang-goyang hingga mencapai titik akhir yang ditandai dengan perubahan warna menjadi merah muda yang stabil minimal 30 detik. Asam lemak bebas dinyatakan sebagai asam palmitat dihitung dengan rumus : Kadar ALB (%) = 25.6xNxV W Keterangan : V : volume titrat yang digunakan (ml) N : normalitas larutan titrat (N) W : berat contoh (g) 25.6 : konstanta untuk menghitung kadar asam lemak bebas sebagai asam palmitat 4. Bilangan Iod Bilangan Iod dianalisis berdasarkan SNI tentang minyak sawit kasar dan dinyatakan sebagai gram Iod yang diserap per 100 g minyak. Mula-mula sampel yang akan diuji dilelehkan pada suhu o C sambil diaduk hingga rata. Contoh uji tersebut lalu ditimbang sebanyak g dan dimasukkan ke dalam erlenmeyer bertutup asah 250 ml. Sebanyak 15 ml sikloheksana dan 25 ml larutan Wijs ditambahkan ke dalam erlenmeyer. Erlenmeyer yang berisi sampel tersebut dikocok dan disimpan dalam ruang gelap selama 30 menit, kemudian ditambahkan 10 ml larutan KI 10% dan 50 ml air suling ke dalam sampel. Sampel dititrasi dengan larutan natrium tiosulfat 0.1 N sampai terjadi perubahan warna dari biru tua menjadi kuning muda. Sebanyak 1-2 ml indikator pati 1% ditambahkan ke dalam larutan tersebut dan titrasi dilanjutkan sampai larutan berwarna bening. Perhitungan bilangan Iod berdasarkan perhitungan di bawah ini: 21

38 Bilangan Iod = N (V 2 V 1 ) W Keterangan N : normalitas larutan natrium tiosulfat 0.1 N (N) V 2 : volume natrium tiosulfat yang digunakan pada penetapan blanko (ml) V 1 : volume natrium tiosulfat yang digunakan pada penetapan contoh (ml) W : berat contoh (g) : konstanta untuk menghitung bilangan Iod. 5. Analisis Statistik Data yang diperoleh dari hasil pengukuran selanjutnya dilakukan uji secara statistik. Pengujian statistik menggunakan program SPSS 16.0 dengan uji Pearson correlation two tailed untuk mengetahui korelasi antar faktor, ANOVA one way, dan ANOVA univariate untuk mengetahui perbedaan karakterisitik pada setiap perlakuan. Setelah diketahui perbedaannya maka dilakukan uji lanjut Duncan. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan apakah terdapat perbedaan nyata pada tiap sampel (Lea et al. 1997). 22

39 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS MUTU CPO CPO merupakan minyak nabati berwarna jingga kemerah-merahan yang diperoleh dari hasil pengempaan (ekstraksi) daging buah tanaman Elaeis guinneensis (BSN 2006). Mutu CPO ditentukan oleh karakteristik kimia dan fisik. Karakteristik kimia yang dikaji pada penelitian ini sesuai dengan standar yang ditetapkan dalam SNI meliputi kadar kadar air dan kotoran, kadar asam lemak bebas (ALB), dan bilangan Iod, sedangkan karakteristik fisik yang dikaji adalah profil solid fat content (SFC) CPO. Selain itu juga dilakukan analisis korelasi antara karakteristik kimia dengan nilai SFC yang didapatkan. Beberapa penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara sifat kimia suatu minyak dengan profil SFC-nya. Bilangan Iod dan ALB memiliki hubungan terbalik dengan SFC (Basiron 2005; Foubert et al. 2004). Menurut Metin dan Hartel (2005) kadar kotoran memiliki hubungan searah terhadap SFC. 1. Analisis Mutu Kimia CPO Kualitas CPO ditentukan oleh beberapa parameter yaitu kadar air dan kotoran, kadar ALB, dan bilangan Iod. Mutu CPO di Indonesia diatur dalam SNI tentang minyak sawit kasar. Hasil pengujian mutu CPO tersaji pada Tabel 10 dengan data lengkap pada Lampiran 1. Tabel 10 Hasil analisis mutu lima CPO dari beberapa lokasi di Indonesia Sampel CPO Parameter Kadar air & kotoran (%) ALB (%) Bilangan Iod (g/100g) A 0.33 (a) 5.80 (a) (a) B 0.68 (b) 3.88 (b) (ab) C 0.67 (b) 3.84 (b) (b) D 0.67 (b) 4.58 (c) (c) E 5.39 (c) 4.60 (c) (a) SNI * Maks 0.5 Maks Nilai yang diikuti oleh huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang signifikan (p<0.05) Sumber : *BSN (2006) Hasil analisis mutu kimia CPO pada Tabel 10 menunjukkan semua sampel CPO yang dianalisis tidak memenuhi standar mutu yang telah ditetapkan dalam SNI tentang minyak sawit kasar. Hal ini diakibatkan oleh proses produksi yang tidak terkontrol dan adanya penimbunan CPO di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) yang menyebabkan terjadinya penurunan mutu CPO. Uji statistik ANOVA one way dengan uji lanjut Duncan dilakukan untuk melihat apakah terdapat perbedaan karakteristik mutu kimia antar sampel CPO yang digunakan. Hasil ANOVA one way dengan uji lanjut Duncan (Lampiran 2) menunjukkan bahwa kelima sampel memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Perbedaan karakteristik dari kelima sampel CPO dimungkinkan akibat perbedaan kematangan buah saat pemanenan dan proses produksi yang diterapkan oleh masing-masing perusahaan. 23

40 Kadar air merupakan persentase kandungan air dengan kandungan bahan kering pada suatu bahan. Kadar kotoran merupakan jumlah bahan-bahan yang tidak larut dalam minyak seperti mineral. Kadar air dan kadar kotoran disebut juga sebagai kadar kemurnian CPO. Hasil pengujian kadar air dan kadar kotoran pada Tabel 10 menunjukkan kadar air dan kadar kotoran setiap sampel CPO bervariasi dan hanya CPO A saja yang memenuhi standar dalam SNI Banyaknya sampel CPO yang tidak memenuhi syarat diakibatkan oleh pemanenan buah sawit yang dilakukan saat lewat matang dan kontaminasi dari tangki penyimpanan atau alat pengolahan minyak sawit. Buah yang dipanen saat lewat matang akan memiliki kadar air yang tinggi. Menurut Naibaho (1998) kotoran pada CPO terjadi akibat adanya kontaminasi dari tangki penampungan CPO. CPO C memiliki kadar air dan kadar kotoran tertinggi yaitu 4.84%. Kadar air dan kadar kotoran yang tinggi dapat menyebabkan kerusakan CPO. Kadar air yang tinggi akan memicu terjadinya reaksi hidrolisis yang menghasilkan ALB pada CPO. Mineral seperti Cu dan Fe dapat mengkatalisis reaksi oksidasi lemak sehingga akan terbentuk senyawa peroksida yang akan menyebabkan ketengikan pada minyak (CAC 2005). Asam lemak bebas (ALB) merupakan salah satu parameter kerusakan pada produk minyak atau lemak. Hasil analisis menunjukkan kelima sampel CPO tidak memenuhi standar ALB yang ditetapkan dalam SNI yaitu batas maksimal ALB pada CPO adalah 0.5%. Namun ALB dari CPO tersebut masih memenuhi standar yang ditetapkan dalam SNI CPO sebelum revisi 2006 (SNI ) yaitu maksimal 5% dan hanya CPO A yang melebihi 5%. Nilai ALB yang tinggi menandakan minyak atau lemak sudah mengalami kerusakan. ALB terbentuk ketika asam lemak terpisah dari TAG, DAG, atau MAG akibat adanya reaksi kimia atau enzimatis (Rohani et al. 2006). Menurut Codex Alimentarius Commision (CAC) (2005) nilai ALB yang tinggi diakibatkan oleh reaksi hidrolisis. Reaksi hidrolisis dipicu oleh adanya air dalam minyak. Hidrolisis lemak akan menghasilkan gliserol dan ALB yang menyebabkan ketengikan pada minyak. Proses reaksi hidrolisis TAG dapat dilihat pada Gambar 9. Gambar 9 Reaksi hidrolisis menghasilkan Asam Lemak Bebas (ALB) (Ketaren 2005) Proses tahapan sterilisasi pada produksi CPO dilakukan dengan suhu 135 ºC. Proses tersebut bertujuan mematikan enzim lipase sehingga kenaikkan ALB akibat reaksi enzimatis dapat dicegah (Rohani et al. 2006). Kenaikan ALB juga diakibatkan oleh suhu penyimpanan yang tinggi. Menurut Naibaho (1998) kematangan buah saat pemanenan sangat menentukan ALB dan rendemen yang dihasilkan. Apabila buah dipanen pada saat belum masak maka 24

41 akan menghasilkan ALB dan rendemen yang rendah. Pemanenan yang dilakukan saat buah lewat masak akan menghasilkan ALB dan rendemen yang tinggi. Bilangan Iod menunjukkan derajat ketidakjenuhan suatu lemak atau minyak. Menurut Ketaren (2005) bilangan Iod menyatakan jumlah gram Iod yang digunakan untuk mengadisi 100 gram lemak/minyak. Bilangan Iod ditentukan dengan perbandingan antara asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh penyusun suatu lemak atau minyak. Komposisi minyak sawit kasar terdiri dari 50% asam lemak jenuh dan 50% asam lemak tidak jenuh (Basiron 2005). Oleh karena itu bilangan Iod pada minyak sawit adalah g Iod/100 g sampel (BSN 2006). Hasil analisis menunjukkan bahwa kelima sampel CPO mempunyai bilangan Iod yang sesuai dengan yang ditetapkan dalam SNI. 2. Analisis Profil SFC CPO SFC menunjukkan banyaknya kristal lemak dalam suatu lipid, yang dihitung sebagai fungsi dari suhu (Zaliha et al. 2003). Suhu pengukuran yang diterapkan adalah 5-60 o C untuk mendapatkan nilai SFC hingga 0%. Pengukuran SFC CPO menggunakan lima sampel CPO dari beberapa daerah di Indonesia untuk mendapatkan kisaran nilai SFC CPO pada suhu tertentu. Pengukuran SFC CPO menggunakan alat Nuclear Magnetic Resonance (NMR) yang mengukur kandungan lemak padat berdasarkan kecepatan mobilitas elektron yang berbeda pada fase padat dan cair. Resonansi elektron akan menginduksi signal yang akan dipancarkan oleh alat NMR sehingga akan mewakili jumlah fase cair ataupun padat pada sampel (Satiawihardja et al. 2001). Dalam analisis SFC, dilakukan proses pretreatment terlebih dahulu pada sampel yang akan diujikan. Pada preatreatment atau prosedur stabilisasi, CPO terlebih dahulu dipanaskan sampai 80 ºC selama 30 menit untuk meyakinkan homogenitasnya serta menghilangkan ingatan mengenai kristal dan disimpan pada suhu 0 ºC selama 60 menit untuk memastikan terbentuknya kristal lemak. CPO dipertahankan pada suhu pengukuran selama 30 menit. Hal ini dimaksudkan agar kristal yang terbentuk telah stabil. Hasil pengujian pada Gambar 10 dan Tabel 11 menunjukkan bahwa nilai SFC CPO berbanding terbalik dengan suhu pengukuran. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Salimon dan Abdullah (2009) bahwa semakin tinggi suhu pengukuran, maka nilai SFC akan menurun. Data mengenai nilai SFC selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 3. Bentuk kurva profil SFC CPO yang didapatkan pada penelitian ini sesuai dengan kurva SFC minyak sawit (RBDPO) oleh Smith (2001) (Gambar 2 ). Gambar 10 Profil SFC lima sampel CPO. 25

42 Gambar 10 dan Tabel 11 menunjukkan bahwa nilai SFC kurang dari 10% pada suhu di atas 40 ºC. Nilai SFC yang rendah menandakan bahwa kristal lemak pada CPO sudah meleleh akibat pengaruh suhu. Titik leleh merupakan faktor penting dalam kristalisasi lemak karena lemak akan mengkristal apabila suhu berada di bawah titik lelehnya. Titik leleh minyak sawit adalah kisaran dari nilai-nilai yang menunjukkan gliserida penyusunnya yang terdiri dari asam-asam lemak dengan titik cair yang berbeda (Satiawihardja et al. 2001). Menurut Himawan et al. (2006), titik leleh minyak sawit adalah 40 ºC. Hasil pengujian profil SFC minyak sawit pada penelitian ini menunjukkan nilai yang berbeda dengan hasil pengujian yang dilakukan oleh Zaliha et al. (2003). Perbedaan ini diakibatkan kedua penelitian menggunakan sampel minyak sawit yang berbeda. Pada penelitian Zaliha et al. (2003) digunakan sampel refined bleached deodorized palm oil (RBDPO) yang telah mengalami pemurnian, sedangkan pada penelitian ini menggunakan CPO yang masih menggandung kadar kotoran dan komponen minor. Menurut Metin dan Hartel (2005) adanya komponen minor dan kotoran pada minyak sawit kasar turut berperan dalam proses kristalisasi lemak pada CPO. Adanya kotoran mendukung terjadinya kristalisasi sehingga nilai SFC semakin besar. Hal inilah yang menyebabkan nilai SFC pada penelitian yang dilakukan oleh Zaliha et al.(2003) pada suhu 40 ºC sudah mencapai 0%, sedangkan pada penelitian ini masih berkisar %. Nilai SFC minyak sawit yang didapatkan pada penelitian ini cenderung sama dengan nilai SFC pada penelitian yang dilakukan oleh Himawan et al. (2006) kecuali nilai SFC pada suhu 10 dan 15 ºC. Tabel 11 Pengaruh perubahan suhu terhadap profil SFC CPO* Suhu (ºC) Kisaran SFC (%) Rata-rata *Pengukuran dilakukan menggunakan lima sampel CPO Faktor penting yang mempengaruhi nilai SFC salah satunya adalah slip melting point (SMP). SMP merupakan suhu saat lemak pada pipa kapiler mulai meleleh. Menurut Goh dan Ker (1991), SMP lemak dapat ditentukan ketika SFC menunjukan nilai di bawah 5%. Data SFC pada Tabel 11 menunjukan penurunan nilai SFC hingga di bawah 5% terjadi antara suhu ºC yang menandakan SMP CPO ºC. Kisaran SMP CPO yang didapatkan pada penelitian ini berada dalam kisaran SMP yang diteliti oleh Lin (2002). Lin (2002) menyebutkan SMP minyak sawit berkisar ºC. 26

43 Faktor lain yang mempengaruhi kristalisasi lemak adalah komposisi triacylglicerol (TAG) pada suatu lemak atau minyak. CPO mengandung banyak TAG dengan asam lemak yang berbeda panjang rantainya, derajat kejenuhannya, dan letak gliserolnya (Basiron 2005). SFC pada suhu di atas 40 ºC sudah tidak mengalami penurunan yang besar karena asam lemak penyusun CPO telah meleleh. Asam lemak dominan pada CPO adalah asam palmitat dengan panjang rantai C 16. Asam palmitat memiliki titik leleh yang tinggi yaitu 64 ºC (Ketaren 2005). Hal inilah yang menyebabkan SFC CPO pada suhu 60 ºC berkisar % belum mencapai 0%. 3. Korelasi Mutu Kimia CPO dengan SFC CPO Untuk mengetahui adanya hubungan antara mutu kimia dengan SFC dilakukan analisis Pearson correlation. Analisis Pearson correlation dilakukan untuk setiap parameter kimia dengan nilai SFC pada suhu 25 ºC. Suhu 25 ºC dipilih karena analisis mutu kimia hanya dilakukan pada suhu ruang (25 ºC). Hasil analisis Pearson correlation pada penelitian ini (Lampiran 4) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara nilai SFC dengan bilangan Iod, kadar asam lemak bebas, dan kadar air. Ada atau tidaknya korelasi antar kedua faktor ditentukan dengan nilai Pearson correlation dan signifikansinya. Nilai Pearson correlation untuk bilangan Iod dengan SFC bernilai dengan signifikansi lebih besar dari 0.05 yang menandakan korelasi antar kedua faktor tersebut cukup namun tidak signifikan. Kadar asam lemak bebas dengan SFC mempunyai nilai Pearson correlation dengan signifikansi lebih besar dari 0.05 yang berarti korelasi antar kedua fakor cukup dan berbanding terbalik namun tidak signifikan. Nilai Pearson correlation untuk kadar air dengan SFC bernilai dengan signifikansi lebih besar dari 0.05 yang berarti korelasi antara kedua faktor kuat namun tidak signifikan. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Basiron (2005) dan Foubert et al. (2004) menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara bilangan Iod dan kadar asam lemak bebas dengan nilai SFC. Menurut Basiron (2005), bilangan Iod mempunyai korelasi negatif dengan SFC yaitu semakin rendah bilangan Iod maka nilai SFC akan semakin tinggi. Bilangan Iod yang rendah menandakan kandungan asam lemak jenuh lebih banyak daripada asam lemak tidak jenuh dalam suatu lemak. Asam lemak jenuh memiliki titik leleh lebih tinggi dibanding dengan asam lemak tidak jenuh. Rantai jenuh yang panjang memiliki konformasi goyang yang memanjang sehingga struktur ini dapat dikemas dengan cukup teratur seperti dalam kristal (Hart 2003). Menurut Foubert et al. (2004), kandungan ALB yang tinggi menyebabkan struktur lemak menjadi tidak beraturan dan memiliki titik leleh lebih rendah. Selain itu Wright et al. (2000) juga menyebutkan adanya asam lemak bebas pada suatu lemak menyebabkan titik lelehnya lebih rendah sehingga kandungan lemak padatnya lebih rendah. Pada penelitian ini tidak terlihat adanya korelasi antara bilangan Iod dan kadar asam lemak bebas dengan SFC. Hal ini karena kisaran bilangan Iod yang digunakan pada penelitian ini kecil (50-55 g Iod/100 g sampel) sesuai dengan persyaratan SNI Basiron (2005) menggunakan sampel dengan kisaran bilangan Iod yang lebih besar (24-50 g Iod/100 g sampel). Selain itu bilangan Iod dan kadar asam lemak bebas yang bervariasi pada setiap sampel penelitian ini menyebabkan tidak dapat dilihatnya pengaruh dari salah satu faktor saja. Hasil analisis Pearson correlation antara kadar kotoran dengan SFC menunjukkan adanya korelasi antar keduanya. Pearson correlation yang bernilai dengan signifikansi lebih kecil dari 0.05 menandakan korelasi antara kedua faktor bersifat searah, yang berarti 27

44 semakin tinggi kadar kotoran maka nilai SFC akan semakin besar. Keberadaan kotoran dapat mempercepat terjadinya kristalisasi. Metin dan Hartel (2005) menyatakan adanya kotoran dapat mengurangi energi bebas untuk pembentukkan inti (nukleasi) sehingga nukleasi lebih mudah terjadi. Kotoran akan menghubungkan fase padat dan fluida lewat jenuh (supersaturated) sehingga terjadi interaksi yang menyebabkan terbentuknya inti kristal. Berdasarkan hasil analisis korelasi yang telah dilakukan dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak terlihat adanya korelasi antara nilai SFC CPO dengan bilangan Iod, kadar asam lemak bebas, dan kadar air. Korelasi antara SFC CPO dengan mutu kimia hanya terlihat pada kadar kotoran. Kadar kotoran CPO mempunyai hubungan searah dengan nilai SFC CPO yang berarti semakin tinggi kadar kotoran akan menghasilkan nilai SFC yang semakin tinggi pula. B. PERUBAHAN SFC CPO SELAMA PENYIMPANAN Penyimpanan CPO menyebabkan terjadinya perubahan pada karakteristik CPO. Menurut List et al. (2005) minyak yang disimpan pada suhu tinggi dalam waktu lama akan mengalami penurunan mutu. Hal ini dikarenakan penyimpanan pada suhu tinggi dapat mempercepat terjadinya kerusakan. Menurut Brulenno et al. (2003) nilai SFC pada produk berlemak juga akan berubah selama penyimpanan. Pada tahap ini dikaji perubahan SFC CPO selama penyimpanan pada berbagai suhu. Sampel yang digunakan pada tahap ini adalah sampel CPO A. Pemilihan CPO A didasarkan pada bilangan Iod CPO A yang paling rendah yaitu g Iod/100 g sampel. Bilangan Iod yang rendah menandakan potensi pembentukan kristal lemak yang lebih banyak karena memiliki kandungan asam lemak jenuh yang lebih banyak. Hal ini dapat mensimulasikan kondisi penyimpanan dan transportasi saat sampel CPO yang ditangani memiliki potensi kristalisasi yang tinggi. Penyimpanan CPO dilakukan selama empat minggu pada suhu penyimpanan ºC. CAC (2005) menetapkan suhu maksimal pada penyimpanan minyak nabati adalah 40 ºC. Sebelum disimpan pada masing-masing suhu penyimpanan, CPO terlebih dahulu dipanaskan sampai suhu 55 ºC dengan kenaikan suhu 5 ºC/hari. Pemanasan hingga suhu 55 ºC sebelum penyimpanan dimaksudkan untuk mensimulasikan proses transportasi selama bongkar muatan CPO. CAC (2005) dan Naibaho (1998) menyatakan kenaikan suhu 5 ºC/hari untuk meminimalkan terjadinya kerusakan pada CPO. Pemanasan sampai suhu 55 ºC menyebabkan CPO meleleh sehingga ketika CPO disimpan pada suhu penyimpanan ºC terjadi pemisahan fase padat dengan fase cair pada CPO. Menurut Metin dan Hartel (2005), bila lemak didinginkan di bawah titik leleh dari komponen TAG dengan titik leleh tertinggi, akan terdapat rasio antara lemak padat terhadap lemak cair yang tergantung pada kondisi campuran TAG. Fraksi cair disebut sebagai fraksi olein yang terdiri dari asam lemak tidak jenuh dengan titik leleh rendah, sedangkan fraksi padat disebut sebagai fraksi stearin yang terdiri dari asam lemak jenuh dengan titik leleh tinggi. Contoh terjadinya pemisahan antara fraksi padat dan fraksi cair pada CPO saat penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 11 28

45 Fraksi cair Fraksi padat Gambar 11 Pemisahan fraksi padat dan fraksi cair pada CPO setelah empat minggu penyimpanan pada suhu 40 ºC. CPO yang disimpan pada suhu 20 dan 25 ºC tidak menunjukkan pemisahan antara fraksi cair dan fraksi padat. Hal ini karena semua fraksi pada CPO telah mengkristal pada suhu 20 dan 25 ºC. Menurut Gee (2007) titik leleh stearin adalah ºC, sedangkan titik leleh olein adalah 24 ºC (BSN 1998). CPO yang disimpan pada suhu ºC menunjukkan terjadinya pemisahan antara fraksi cair dan fraksi padat dengan fraksi cair berada di atas. Hal ini dikarenakan pada suhu penyimpanan tersebut hanya fraksi stearin saja yang mengkristal sedangkan fraksi olein belum mengkristal. Komponen asam lemak penyusun CPO (Tabel 3) memiliki titik leleh yang berbeda-beda bergantung pada tingkat kejenuhannya. Asam lemak kaprat dan asam lemak palmitoleat belum mengkristal pada suhu 35 ºC. Asam lemak kaprat (C10:0) memiliki titik leleh 31.5 ºC (Ketaren 2005) dan asam lemak palmitoleat (C16:1) memiliki titik leleh 33 ºC (Gunstone 1994). Selain asam lemak, TAG penyusun CPO juga turut berperan pada kristalisasi lemak pada CPO. Kompisisi TAG penyusun CPO (Tabel 4) memiliki titik leleh yang berbeda bergantung pada panjang rantai dan tingkat kejuenuhan asam lemak penyusunnya. TAG POP memiliki titik leleh 38 ºC (Sato & Ueno 2005), POS, PSO, dan SPO memiliki titik leleh 37.8 ºC, PPO memiliki titik leleh 35 ºC, dan PLS memiliki titik leleh 30 ºC (O Brien 2009). Suhu yang lebih rendah menyebabkan komponen TAG dan asam lemak penyusun CPO lebih banyak yang mengkristal. Hal inilah yang menyebabkan fraksi padat yang terbentuk pada suhu 30 ºC lebih banyak dibanding dengan fraksi padat pada suhu 40 dan 35 ºC. Hasil pengujian perubahan SFC CPO selama penyimpanan menunjukkan korelasi dengan pembentukan fraksi cair. Perubahan nilai SFC selama penyimpanan pada beberapa suhu penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 12. Data lengkap mengenai perubahan SFC CPO A selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 5. Hasil analisis SFC CPO pada Tabel 12 menunjukkan bahwa CPO yang disimpan pada suhu yang lebih rendah memiliki nilai SFC yang lebih tinggi. Tabel 12 Perubahan nilai SFC CPO A selama penyimpanan pada beberapa suhu. Lama Penyimpanan (minggu) Suhu Penyimpanan (ºC)

46 Nilai SFC CPO meningkat selama penyimpanan pada suhu 20 dan 25 ºC tetapi menurun selama disimpan pada suhu ºC. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Brulenno et al. (2003) yang menyatakan bahwa terjadi kristalisasi lemak selama penyimpanan pada suhu rendah yang diamati dengan peningkatan SFC. Peningkatan nilai SFC CPO selama penyimpanan pada suhu 20 dan 25 ºC akibat mengkristalnya fraksi olein. Kristal yang terbentuk semakin banyak dengan semakin lamanya penyimpanan. Penyimpanan CPO pada suhu ºC menyebabkan penurunan nilai SFC akibat adanya reaksi hidrolisis selama penyimpanan. Suhu optimum hidrolisis adalah ºC (Saloko 2011). Reaksi hidrolisis menghasilkan gliserol dan asam lemak bebas (ALB). Gan et al. (2004) menyebutkan terjadi peningkatan nilai ALB selama penyimpanan minyak sawit. Adanya ALB menyebabkan struktur kristal lemak tidak beraturan sehingga kristal lemak yang terbentuk sedikit yang berakibat nilai SFC semakin rendah (Foubert et al. 2004). Penyimpanan pada suhu 20 dan 25 ºC tidak menyebabkan pemisahan antara fraksi padat dan fraksi cair, tetapi hanya mempunyai nilai SFC yang berkisar berkisar %. Hal ini karena fraksi cair berada di dalam fraksi padat sehingga tidak menyebabkan pemisahan fraksi. Menurut Che dan Swe (1995) jika lemak mengandung kristal, struktur lemak akan menjadi padat sehingga kapiler antar kristal menyempit. Kapiler yang menyempit mengakibatkan kristal-kristal saling mengunci dengan cairan yang berada di sekelilingnya. Uji ANOVA dengan uji lanjut Duncan dilakukan untuk mengetahui perbedaan signifikan dengan taraf kepercayaan 95% pada perubahan SFC CPO selama penyimpanan. Dengan uji Duncan data-data yang tidak berbeda signifikan akan berada pada subset yang sama, sedangkan data-data yang berbeda signifikan akan berada pada subset yang berbeda. Hasil ANOVA dengan uji lanjut Duncan (Lampiran 6) menunjukkan bahwa nilai SFC CPO berubah secara signifikan pada minggu ketiga saat disimpan pada suhu 20 ºC, sedangkan saat disimpan pada suhu 25 ºC sudah berubah secara signifikan pada minggu kedua. Sampel CPO yang disimpan pada suhu ºC berubah secara signifikan pada minggu keempat. SFC (%) aabb b c c b a a a abb a a a b a ab ab b minggu 2 minggu 3 minggu 4 minggu Suhu ( ºC) Gambar 12 Perubaban nilai SFC CPO A selama penyimpanan pada beberapa suhu penyimpanan selama empat minggu. Menurut Marangoni dan McGauley (2003) selama penyimpanan produk berlemak pada suhu rendah terjadi perubahan polimorfisme kristal lemak. Perubahan polimorfisme kristal lemak dapat dilihat dari peningkatan nilai SFC selama penyimpanan. Menurut Sato dan Ueno (2005) perubahan polimorfisme lemak dipengaruhi oleh suhu dan waktu. Perubahan polimorfisme kristal lemak dapat terjadi melalui dua cara, yaitu solid-solid dan melt mediated transformation. Model 30

47 solid-solid terjadi ketika kristalisasi lemak berlangsung pada waktu yang lama. Model melt mediated transformation terjadi ketika lemak dilelehkan dan dikristalisasi secara berulang. Perubahan polimorfisme kristal lemak hanya terjadi saat CPO disimpan pada suhu 20 dan 25 ºC. Perubahan polimorfisme ini terjadi melalui model solid-solid. Kristal lemak dibagi menjadi tiga yaitu α, β, dan β dengan kestabilan yang meningkat. Menurut Metin dan Hartel (2005) ketika lemak yang telah meleleh didinginkan kembali maka kristal α akan terbentuk. Bentuk kristal α ini tidak bertahan lama hanya sekitar satu jam dan segera berubah menjadi bentuk yang lebih stabil (β ). Bentuk β pada minyak sawit bertahan lama dan merupakan bentuk kristal yang paling sering dijumpai (Wong 1989). Penyimpanan CPO pada suhu ºC tidak menyebabkan perubahan polimorfisme kristal lemak. Hal ini karena penyimpanan CPO pada suhu ºC tidak menyebabkan terjadinya pelelehan dan kristalisasi berulang. C. PENGARUH LAJU PENDINGINAN TERHADAP SFC, KINETIKA KRISTALISASI, DAN MIKROSTUKTUR KRISTAL LEMAK. CPO dialirkan dari truk ke tangki kapal saat bongkar muatan. Pengaliran CPO dari truk ke tangki kapal memerlukan nilai SFC yang rendah agar pengaliran dapat dilakukan dengan mudah. Berdasarkan hasil penelitian tahap sebelumnya, SFC yang rendah didapatkan pada suhu tinggi yaitu di atas titik leleh CPO atau di atas 40 ºC. Saat CPO dialirkan, suhu CPO mengalami penurunan suhu akibat adanya kontak dengan suhu lingkungan yang lebih rendah. Penurunan suhu terjadi dengan laju pendinginan tertentu yang akan mempengaruhi nilai SFC-nya. Menurut Wiking et al. (2009) kristalisasi lemak dipengaruhi oleh laju pendinginan (cooling rate). Pengaruh laju pendinginan terhadap perubahan nilai SFC tersaji pada Gambar 13 dengan data lengkap pada Lampiran 7. Suhu tertinggi pada pengujian ini adalah 55 ºC yang didasarkan pada rekomendasi CAC (2005) untuk suhu pengaliran CPO. Pengujian tidak dilakukan pada suhu di atas 55 ºC untuk menjaga kandungan karoten pada CPO tetap tinggi. Karoten merupakan pigmen alami pada CPO yang sangat sensitif dan mudah rusak pada suhu tinggi. Suryadarma et al. (2008) menyebutkan karoten belum mengalami kerusakan pada suhu di bawah 60 ºC. Gambar 13 Pengaruh laju pendinginan terhadap nilai SFC. Lemak yang didinginkan di bawah titik lelehnya akan mengalami kristalisasi, yang diamati dengan meningkatnya SFC. Laju pendinginan yang berbeda akan menghasilkan proses kristalisasi yang berbeda seperti yang dapat dilihat pada Gambar 13 dan Lampiran 7. Nilai SFC 31

48 pada laju pendinginan 0.2 ºC/menit lebih rendah dibanding dengan laju pendinginan lainnya saat suhu di atas 40 ºC. Hal ini karena suhu di atas 40 ºC menyebabkan kristal lemak meleleh. Pada laju pendinginan 0.2 ºC/menit, waktu untuk kristal lemak meleleh lebih lama sehingga kristal lemak yang meleleh lebih banyak. Kristal lemak yang meleleh menyebabkan penurunan nilai SFC. Namun, ketika suhu diturunkan menjadi 25 ºC dengan ketiga laju tersebut, nilai SFC pada laju pendinginan 0.2 ºC/menit meningkat lebih tinggi dibandingkan dengan kedua laju pendinginan lainnya. Waktu pembentukan kristal yang lebih lama menyebabkan kristal yang terbentuk juga lebih banyak yang menyebabkan kenaikan nilai SFC. Pengukuran SFC pada tahap ini dilakukan dalam kondisi transisi saat suhu kristalisasi belum setimbang. Pengujian kristalisasi lemak ini merupakan pengujian secara non isotermal. Menurut Talbot et al. (2005), pada kristalisasi non isotermal, sampel lemak diturunkan suhunya dengan laju pendinginan tertentu hingga mencapai suhu di bawah titik lelehnya tanpa dipertahankan suhunya secara isotermal. Metin dan Hartel (2005) menyatakan bahwa molekul lipid mempunyai waktu untuk mengatur, membentuk lapisan tipis, dan ikatan pada pendinginan lambat. Sebagian besar kristalisasi telah terjadi saat suhu kristalisasi diatur tercapai pada laju pendinginan lambat. Sebaliknya pada pendinginan cepat, kristalisasi dimulai setelah sampel mencapai suhu kristalisasi (Martini et al. 2002). Hal inilah yang menyebabkan nilai SFC akhir saat suhu 25 ºC pada laju pendinginan 0.2 ºC/menit lebih besar dibandingkan dengan laju pendinginan lainnya. CPO yang dialirkan dari truk ke tangki penampungan dengan laju pendinginan tertentu, suhunya akan stabil pada titik tertentu (isotermal). Pada keadaan isotermal, kristalisasi tetap terjadi yang diamati dengan meningkatnya SFC. Menurut Marangoni (1998), kurva kristalisasi lemak yang dipantau dengan meningkatnya SFC terhadap waktu berbentuk sigmoid. Kurva tersebut terdiri dari tiga fase yaitu fase lag, fase logaritmik, dan fase stasioner. Kenaikan nilai SFC tidak berlangsung secara cepat, tetapi melewati fase lag terlebih dahulu dengan kenaikan nilai SFC yang lambat. Selanjutnya diikuti oleh fase log dengan kenaikan nilai SFC yang berlangsung secara cepat dan kemudian mencapai nilai SFC yang stabil. Kenaikan SFC CPO saat suhu isotermal 25 ºC setelah mengalami laju pendinginan tertentu ditunjukkan pada Gambar 14, 15, dan 16 dengan data selengkapnya yang dapat dilihat pada Lampiran 8. SFC (%) Waktu (menit) Gambar 14 Kenaikan SFC selama suhu kristalisasi isotermal 25 ºC pada laju pendinginan 1 ºC/menit. 32

49 SFC (%) Waktu (menit) Gambar 15 Kenaikan SFC selama suhu kristalisasi isotermal 25 ºC pada laju pendinginan 0.5 ºC/menit SFC (%) Waktu (menit) Gambar 16 Kenaikan SFC selama suhu kristalisasi isotermal 25 ºC pada laju pendinginan 0.2 ºC/menit Laju pendinginan mempengaruhi kinetika kristalisasi lemak. Analisis kinetika kristalisasi lemak pada tahap ini menggunakan model persamaan Avrami. Menurut Metin dan Hartel (2005), model persamaan Avrami paling banyak digunakan untuk mengamati kinetika kristalisasi lemak dibanding model Fisher-Turbbull dan model Gormetz. Model persamaan Avrami menggunakan parameter eksponen Avrami (n) dan konstanta Avrami (k) untuk melihat kinetika kristalisasi lemak. Nilai n dan k didapatkan dengan memplotkan ln (t) sebagai sumbu x dan ln[-ln(1-f)] sebagai sumbu y. Nilai F merupakan ratio antara hasil pengurangan SFC pada waktu tertentu dengan SFC awal dan hasil pengurangan SFC maksimal dengan SFC awal. Perhitungan nilai ln[-ln(1-f)] selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 9. Hasil plot antara ln(t) sebagai sumbu x dengan ln[-ln(1-f)] sebagai sumbu y (Lampiran 10) akan menghasilkan persamaan regresi linier berupa y = a+bx. Nilai a merupakan ln dari konstanta Avrami (k), sedangkan b merupakan eksponen Avrami (n). Contoh hubungan ln (t) dengan ln[-ln(1-f)] pada laju pendinginan 0.2 ºC/menit dapat dilihat pada Gambar

50 y = 1.562x R² = ln(-ln(1-f) ln(t) Gambar 17 Hubungan ln (t) dengan ln[-ln(1-f)] pada CPO A yang telah mengalami laju pendinginan 0.2 ºC/menit menuju suhu kristalsasi 25 ºC dan ditahan selama 40 menit. Parameter kinetika kristalisasi lemak yang dikaji pada tahap ini adalah waktu induksi, SFC maksimum, waktu setengah kristalisasi (t 1/2 ), konstanta Avrami (k), dan eksponen Avrami (n). Pengaruh laju pendinginan terhadap parameter kinetika kristalisasi tersaji pada Tabel 13 dan data selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 11. Tabel 13 Parameter kinetika kristalisasi lemak pada CPO dengan beberapa laju pendinginan yang dipelajari melalui pengukuran SFC isotermal di suhu 25 ºC Parameter Laju pendinginan (ºC/menit) Eksponen Avrami (n) Konstanta Avrami (k) Waktu Induksi (menit) SFC maksimum (%) t ½ (menit) Waktu induksi merupakan interval waktu pada fase lag. Waktu induksi pada laju pendinginan 0.2 ºC/menit adalah 2 menit. Nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan waktu induksi pada laju pendinginan 0.5 dan 1 o C/menit yang masing-masing bernilai 5 dan 7 menit. Menurut Metin dan Hartel (2005) pembentukan inti kristal (nucleation) terjadi selama waktu induksi. Hal ini menandakan pembentukan inti kristal lemak lebih cepat terjadi pada laju pendinginan lambat yang dibuktikan dengan waktu induksi yang lebih cepat. Nukleasi terjadi apabila lemak berada dalam kondisi lewat dingin (supercooling) saat berada di bawah titik lelehnya. Perbedaan antara suhu aktual dengan titik leleh merupakan driving force terjadinya kristalisasi. Apabila driving force terus berlangsung maka akan terjadi pertumbuhan kristal lemak (crystal growth) (Metin & Hartel 2005). Pertumbuhan kristal lemak ditandai dengan kenaikan nilai SFC yang berlangsung cepat (fase log) hingga mencapai SFC maksimum. SFC maksimum merupakan SFC saat fase stasioner atau saat tidak ada pembentukan 34

51 kristal lagi. Pada laju pendinginan lambat, SFC maksimum lebih tinggi daripada laju pendinginan cepat. Eksponen Avrami (n) dan konstanta Avrami (k) dihitung dengan menggunakan model persamaan Avrami. Eksponen Avrami (n) menggambarkan dimensi pertumbuhan kristal dan mekanisme nukleasi (Metin & Hartel 2005; Campos et al. 2002). Nilai n dari persamaan Avrami yang didapat adalah 2.170, 2.032, dan untuk laju pendinginan 1, 0.5, dan 0.2 o C/menit. Data tersebut menunjukkan bahwa terjadi peningkatan nilai n pada laju pendinginan cepat. Menurut Campos et al. (2002) nilai n yang tinggi menunjukkan kristalisasi terjadi secara spontan. Hal ini terjadi karena pada laju pendinginan cepat, driving force kristalisasi lebih besar dibanding laju pendinginan lambat sehingga memicu terjadinya kristalisasi secara spontan. Nilai n yang diperoleh dari ketiga laju pendinginan tersebut dapat dibulatkan menjadi n=2. Menurut Toro et al. (2002), mekanisme pertumbuhan kristal dengan nilai n=2 adalah silindris. Nilai eksponen Avrami (n) yang didapatkan pada penelitian ini berbeda dengan eksponen Avrami yang didapatkan pada penelitian Kawamura (1979). Kawamura (1979) dalam Metin dan Hartel (1998) menyebutkan bahwa nilai n pada minyak sawit adalah 4. Perbedaan ini terjadi karena sampel yang digunakan pada kedua penelitian berbeda. Pada penelitian Kawamura (1979) digunakan minyak sawit yang telah dimurnikan, sedangkan pada penelitian ini menggunakan minyak sawit kasar yang belum mengalami pemurnian. Minyak sawit kasar masih mengandung kotoran yang mempengaruhi kinetika kristalisasinya. Metin dan Hartel (2005) menyebutkan adanya kotoran mendukung terjadinya kristalisasi lemak. Eksponen Avrami dengan n=2 menunjukkan bahwa laju nukleasi terjadi secara cepat (Metin & Hartel 1998). Konstanta Avrami (k) menggambarkan laju pertumbuhan kristal sebagai fungsi dari suhu (Metin & Hartel 1998). Selain itu, konstanta Avrami (k) juga menggambarkan laju kristalisasi dan berhubungan dengan waktu setengah kristalisasi (t 1/2 ). Nilai k pada laju pendinginan 0.2 ºC/menit sebesar dan lebih tinggi dibandingkan dengan nilai k pada laju pendinginan 0.5 dan 1 ºC/menit yang masing-masing bernilai dan Nilai k yang tinggi pada laju pendinginan lambat menandakan kristalisasi lebih mudah terjadi, yang ditunjukkan dengan waktu induksi dan waktu setengah kristalisasi yang lebih rendah. Waktu setengah kristalisasi pada laju pendinginan 0.2 ºC/menit adalah menit dan lebih rendah dibanding dengan kedua laju pendinginan lainnya. Waktu setengah kristalisasi (t 1/2 ) menunjukkan jumah waktu dalam menit yang dibutuhkan untuk membentuk 50% fraksi kristal (Martini et al. 2002). Laju pendinginan juga mempengaruhi mikrostruktur kristal lemak yang terbentuk. Pada tahap ini dilakukan pengamatan menggunakan mikroskop polarisasi untuk mengetahui bentuk kristal. Hasil mikrostruktur kristal dengan menggunakan perbesaran 40x10 pada ketiga laju pendinginan terlihat pada Gambar 18, 19, dan 20. Gambar 18, 19, dan 20 menunjukkan pertambahan dan perubahan ukuran kristal lemak selama proses isotermal di suhu 25 ºC. Martinez et al. (2006), menyebutkan bahwa terjadi perubahan ukuran dan jumlah kristal lemak saat lemak ditahan pada suhu isotermal. Kristal yang terbentuk selama proses isotermal semakin banyak dan semakin besar pada waktu kristalisasi yang lebih lama. Ukuran kristal lemak saat ditahan isotermal selama 35 menit lebih besar daripada ukuran kristal lemak saat ditahan isotermal selama 25 menit. Pertambahan jumlah kristal dapat terlihat dengan semakin meningkatnya nilai SFC dengan semakin lamanya waktu kristalisasi. 35

52 (a) Gambar 18 Bentuk kristal lemak pada laju pendinginan 1 ºC/menit setelah ditahan isotermal pada suhu 25 ºC selama (a) 25 menit (b) 35 menit (b) (a) Gambar 19 Bentuk kristal lemak pada laju pendinginan 0.5 ºC/menit setelah ditahan isotermal pada suhu 25 ºC selama (a) 25 menit (b) 35 menit (b) (a) (b) Gambar 20 Bentuk kristal lemak pada laju pendinginan 0.2 ºC/menit setelah ditahan isotermal pada suhu 25 ºC selama (a) 25 menit (b) 35 menit Pada laju pendinginan 1 ºC/menit kristal lemak yang terbentuk berukuran lebih kecil dibandingkan dengan laju pendinginan lainnya. Menurut Metin dan Hartel (2005) laju pendinginan berpengaruh pada laju nukleasi, yang mempengaruhi ukuran kristal. Pendinginan cepat sampai suhu rendah mengakibatkan pembentukan kristal lebih kecil. Kristal terbentuk dengan ukuran besar ketika lemak didinginkan dengan lambat. Menurut Wiking et al. (2009) kristal lemak yang terbentuk pada laju pendinginan cepat lebih seragam dibandingkan dengan laju pendinginan lambat. Pada laju pendinginan lambat, nukleasi terjadi pada suhu yang lebih tinggi dan mengakibatkan pembentukan inti lebih sedikit sehingga kristal berkembang menjadi lebih besar. 36

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. MINYAK SAWIT KASAR/ CRUDE PALM OIL (CPO) 1. Botani Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinneensis Jacq) merupakan tumbuhan tropis golongan palma yang termasuk tanaman tahunan.

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah CPO yang berasal dari lima perusahaan kelapa sawit di Indonesia, yaitu PT. Sinar Meadow Internasional

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PROFIL MUTU MINYAK SAWIT KASAR Minyak sawit kasar (CPO) yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari PT Sinar Meadow Internasional Jakarta, PTPN VIII Banten, PT Wilmar

Lebih terperinci

Penggunaan Data Karakteristik Minyak Sawit Kasar untuk Pengembangan Transportasi Moda Pipa

Penggunaan Data Karakteristik Minyak Sawit Kasar untuk Pengembangan Transportasi Moda Pipa 174 PEMBAHASAN UMUM Selama ini, pemanfaatan moda pipa dalam transportasi minyak sawit kasar (crude palm oil atau CPO) telah diterapkan di industri, namun hanya untuk jarak yang dekat hingga maksimal 3

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Varietas Kelapa Sawit 1. Varietas Kelapa Sawit Berdasarkan Ketebalan Tempurung dan Daging Buah Ada beberapa varietas tanaman kelapa sawit yang telah dikenal. Varietasvarietas itu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA A. MINYAK SAWIT

II. TINJAUAN PUSTAKA A. MINYAK SAWIT II. TINJAUAN PUSTAKA A. MINYAK SAWIT Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis JACQ) merupakan tanaman berkeping satu yang termasuk dalam famili palmae. Nama genus Elaeis berasal dari bahasa Yunani yaitu

Lebih terperinci

VII. FAKTOR-FAKTOR DOMINAN BERPENGARUH TERHADAP MUTU

VII. FAKTOR-FAKTOR DOMINAN BERPENGARUH TERHADAP MUTU VII. FAKTOR-FAKTOR DOMINAN BERPENGARUH TERHADAP MUTU Faktor-faktor dominan yang mempengaruhi mutu komoditas dan produk sawit ditentukan berdasarkan urutan rantai pasok dan produk yang dihasilkan. Faktor-faktor

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA A. MINYAK SAWIT

TINJAUAN PUSTAKA A. MINYAK SAWIT III. TINJAUAN PUSTAKA A. MINYAK SAWIT Minyak sawit merupakan minyak yang didapatkan dari buah tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis jacq) seperti yang terlihat pada Gambar 3. Menurut Hartley (1977) kelapa

Lebih terperinci

Bab I Pengantar. A. Latar Belakang

Bab I Pengantar. A. Latar Belakang A. Latar Belakang Bab I Pengantar Indonesia merupakan salah satu produsen kelapa sawit (Elaeis guineensis) terbesar di dunia. Produksinya pada tahun 2010 mencapai 21.534 juta ton dan dengan nilai pemasukan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT B. METODE PENELITIAN. 1. Analisis Mutu Minyak Sawit Kasar. 2. Pengukuran Densitas Minyak Sawit Kasar

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT B. METODE PENELITIAN. 1. Analisis Mutu Minyak Sawit Kasar. 2. Pengukuran Densitas Minyak Sawit Kasar III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak sawit kasar (crude palm oil/cpo) CPO yang berasal dari empat perusahaan di Indonesia, yaitu PT. Sinar Meadow

Lebih terperinci

3. PENGARUH SUHU TERHADAP SIFAT FISIK MINYAK SAWIT KASAR

3. PENGARUH SUHU TERHADAP SIFAT FISIK MINYAK SAWIT KASAR 42 3. PENGARUH SUHU TERHADAP SIFAT FISIK MINYAK SAWIT KASAR Pendahuluan Sifat fisik minyak dan lemak sangat ditentukan oleh suhu yang dialaminya. Istilah minyak dan lemak merupakan petunjuk mengenai sifat

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut 7 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Minyak Kelapa Sawit Sumber minyak dari kelapa sawit ada dua, yaitu daging buah dan inti buah kelapa sawit. Minyak yang diperoleh dari daging buah disebut dengan minyak kelapa

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. KARAKTERISTIK MINYAK SAWIT DAN OLEIN SAWIT Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah minyak sawit, olein sawit 1, dan olein sawit 2. Ketiganya diambil langsung dari

Lebih terperinci

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab II Tinjauan Pustaka A. Minyak Sawit Bab II Tinjauan Pustaka Minyak sawit berasal dari mesokarp kelapa sawit. Sebagai minyak atau lemak, minyak sawit adalah suatu trigliserida, yaitu senyawa gliserol dengan asam lemak. Sesuai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. KELAPA SAWIT Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) merupakan tumbuhan tropis golongan palma yang termasuk tanaman tahunan. Tanaman ini adalah tanaman berkeping satu yang

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL ANALISIS BEBERAPA PARAMETER MUTU PADA CRUDE PALM OLEIN YANG DIPEROLEH DARI PENCAMPURAN CPO DAN RBD PALM OLEIN TERHADAP TEORETIS

PERBANDINGAN HASIL ANALISIS BEBERAPA PARAMETER MUTU PADA CRUDE PALM OLEIN YANG DIPEROLEH DARI PENCAMPURAN CPO DAN RBD PALM OLEIN TERHADAP TEORETIS PERBANDINGAN HASIL ANALISIS BEBERAPA PARAMETER MUTU PADA CRUDE PALM OLEIN YANG DIPEROLEH DARI PENCAMPURAN CPO DAN RBD PALM OLEIN TERHADAP TEORETIS Zul Alfian Departemen Kimia FMIPA Universitas Sumatera

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. minyak yang disebut minyak sawit. Minyak sawit terdiri dari dua jenis minyak

II. TINJAUAN PUSTAKA. minyak yang disebut minyak sawit. Minyak sawit terdiri dari dua jenis minyak II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Kelapa Sawit Buah kelapa sawit terdiri dari 80% bagian perikarp (epikarp dan mesokarp) dan 20% biji (endokarp dan endosperm), dan setelah di ekstraksi akan menghasilkan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS MUTU MINYAK SAWIT KASAR Mutu minyak sawit kasar (crude palm oil/cpo) merupakan hal yang penting untuk diperhatikan dalam proses produksi CPO. Pengolahan dan penyimpanan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kelapa Sawit 2.1.1 Sejarah Perkelapa Sawitan Mengenai daerah asal kelapa sawit terdapat beberapa pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa kalapa sawit berasal dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pangan yang digunakan untuk menghasilkan minyak goreng, shortening,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pangan yang digunakan untuk menghasilkan minyak goreng, shortening, BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Goreng Kelapa Sawit Minyak sawit terutama dikenal sebagai bahan mentah minyak dan lemak pangan yang digunakan untuk menghasilkan minyak goreng, shortening, margarin,

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PENGUJIAN BAHAN BAKU 1. Bilangan Iod Bilangan iod menunjukkan jumlah rata-rata ikatan rangkap yang terdapat pada sampel minyak sehingga selain menunjukkan tingkat ketidakjenuhan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Asam Palmitat Asam palmitat adalah asam lemak jenuh rantai panjang yang terdapat dalam bentuk trigliserida pada minyak nabati maupun minyak hewani disamping juga asam lemak

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengolahan tandan buah segar (TBS) di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dimaksudkan untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Pengolahan tandan buah segar (TBS) di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dimaksudkan untuk BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengolahan tandan buah segar (TBS) di Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dimaksudkan untuk memperoleh minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil) dari daging buah dan inti sawit (kernel)

Lebih terperinci

III. TINJAUAN PUSTAKA

III. TINJAUAN PUSTAKA III. TINJAUAN PUSTAKA A. MINYAK KELAPA SAWIT Berdasarkan FAO (2000), minyak kepala sawit merupakan minyak yang didapatkan dari bagian daging buah tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis jacq) dengan kandungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menghasilkan produk-produk dari buah sawit. Tahun 2008 total luas areal

I. PENDAHULUAN. menghasilkan produk-produk dari buah sawit. Tahun 2008 total luas areal I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Propinsi Lampung merupakan salah satu daerah paling potensial untuk menghasilkan produk-produk dari buah sawit. Tahun 2008 total luas areal perkebunan kelapa

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. minyak adalah kelapa sawit. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis Jack) adalah

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. minyak adalah kelapa sawit. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis Jack) adalah BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelapa Sawit Salah satu dari beberapa tanaman golongan palm yang dapat menghasilkan minyak adalah kelapa sawit. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis Jack) adalah tanaman berkeping

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Minyak atau lemak merupakan ester dari gliserol dan asam lemak, tersusun atas campuran sebagian besar triasilgliserol dan sebagian kecil senyawa pengotor (di-gliserida dan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. lemaknya, minyak sawit termasuk golongan minyak asam oleat-linolenat. Minyak

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. lemaknya, minyak sawit termasuk golongan minyak asam oleat-linolenat. Minyak BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Kelapa Sawit Sebagai minyak atau lemak, minyak sawit adalah suatu trigliserida, yaitu senyawa gliserol dengan asam lemak. Sesuai dengan bentuk bangun rantai asam lemaknya,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis Jack) berasal dari Nigeria, Afrika

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis Jack) berasal dari Nigeria, Afrika 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis Jack) berasal dari Nigeria, Afrika Barat. Meskipun demikian ada yang menyatakan bahwa kelapa sawit berasal dari Amerika

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT Bahan utama yang digunakan di dalam penelitian ini adalah minyak sawit kasar (crude palm oil/cpo) yang diperoleh dari PT Sinar Meadow Internasional Indonesia, Jakarta.

Lebih terperinci

BAB2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB2 TINJAUAN PUSTAKA BAB2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Proses Pengolahan Kelapa Sawit Secara umum pengolahan kelapa sawit terbagi menjadi dua hasil akhir, yaitu pengolahan minyak kelapa sawit (CPO) dan pengolahan inti sawit (kernel).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sebesar 11,4 juta ton dan 8 juta ton sehingga memiliki kontribusi dalam

BAB I PENDAHULUAN. sebesar 11,4 juta ton dan 8 juta ton sehingga memiliki kontribusi dalam BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara terbesar kedua setelah Malaysia dalam produksi minyak sawit. Pada tahun 2004, produksi dan ekspor negara Malaysia mencapai masing-masing

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan di Indonesia yang memiliki masa depan cukup cerah. Perkebunan kelapa sawit

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 37 METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Pusat Pengembangan Ilmu dan Teknologi Pangan dan Pertanian Asia Tenggara (SEAFAST Center), IPB, Bogor serta Laboratorium

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Penentuan ph optimum dan rendemen VCO VCO diproduksi dengan menggunakan metode pengasaman, oleh sebab itu perlu dilakukan penentuan ph optimum dari krim kelapa.

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Hasil yang diperoleh selama periode Maret 2011 adalah data operasional PMS Gunung Meliau, distribusi penerimaan TBS di PMS Gunung Meliau, distribusi penerimaan fraksi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Nabati Minyak nabati adalah cairan kental yang diambil atau diekstrak dari tumbuhtumbuhan. Komponen utama penyusun minyak nabati adalah trigliserida asam lemak, yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit

TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit TINJAUAN PUSTAKA Botani Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) berasal dari Afrika dan termasuk famili Aracaceae (dahulu: Palmaceae). Tanaman kelapa sawit adalah tanaman monokotil

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. satu yang termasuk dalam famili palmae. Nama genus Elaeis berasal dari bahasa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. satu yang termasuk dalam famili palmae. Nama genus Elaeis berasal dari bahasa BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Crude Palm Oil (CPO) Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis JACQ) adalah tanaman berkeping satu yang termasuk dalam famili palmae. Nama genus Elaeis berasal dari bahasa yunani

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Pada penelitian yang telah dilakukan, katalis yang digunakan dalam proses metanolisis minyak jarak pagar adalah abu tandan kosong sawit yang telah dipijarkan pada

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sekilas Sejarah Pabrik Minyak Sawit dan Perkebunan Kelapa Sawit

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Sekilas Sejarah Pabrik Minyak Sawit dan Perkebunan Kelapa Sawit BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sekilas Sejarah Pabrik Minyak Sawit dan Perkebunan Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis JACQ) adalah tanaman berkeping satu yang termasuk dalam famili Palmae.

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. PERSIAPAN BAHAN Bahan baku pada penelitian ini adalah buah kelapa segar yang masih utuh, buah kelapa terdiri dari serabut, tempurung, daging buah kelapa dan air kelapa. Sabut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rasa bahan pangan. Produk ini berbentuk lemak setengah padat berupa emulsi

BAB I PENDAHULUAN. rasa bahan pangan. Produk ini berbentuk lemak setengah padat berupa emulsi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Margarin adalah produk makanan yang biasa digunakan dalam industri baking dan cooking yang bertujuan untuk memperbaiki tekstur dan menambah cita rasa bahan pangan.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. minyak adalah kelapa sawit (Elaeis guinensis JACQ). Kelapa sawit (Elaeis guinensis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. minyak adalah kelapa sawit (Elaeis guinensis JACQ). Kelapa sawit (Elaeis guinensis BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sawit dan Inti Sawit 2.1.1 Sawit Salah satu dari beberapa tanaman golongan palm yang dapat menghasilkan minyak adalah kelapa sawit (Elaeis guinensis JACQ). Kelapa sawit (Elaeis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman kelapa sawit (Elais guinensis jacq) adalah tanaman berkeping satu yang termasuk dalam family Palmae. Tanaman genus Elaeis berasal dari bahasa Yunani Elaion

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISASI MINYAK Sabun merupakan hasil reaksi penyabunan antara asam lemak dan NaOH. Asam lemak yang digunakan pada produk sabun transparan yang dihasilkan berasal dari

Lebih terperinci

KELAPA SAWIT dan MANFAATNYA

KELAPA SAWIT dan MANFAATNYA KELAPA SAWIT dan MANFAATNYA Oleh : BENNY RIO FERNANDEZ 2015 KELAPA SAWIT dan MANFAATNYA Tanaman kelapa sawit (Elaeis Guineensis Jacq.) merupakan tanaman yang berasal dari Afrika Barat, terutama disekitar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa sawit yang ada. Tahun 2012 luas areal kelapa sawit Indonesia mencapai 9.074.621 hektar (Direktorat

Lebih terperinci

Prarancangan Pabrik Margarin dari RBDPO (Refined, Bleached, Deodorized Palm Oil) Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN

Prarancangan Pabrik Margarin dari RBDPO (Refined, Bleached, Deodorized Palm Oil) Kapasitas Ton/Tahun BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Pembangunan industri merupakan bagian dari usaha pembangunan ekonomi jangka panjang, yang diarahkan untuk menciptakan struktur ekonomi yang lebih kokoh dan seimbang.

Lebih terperinci

Gun Gun Gumilar, Zackiyah, Gebi Dwiyanti, Heli Siti HM Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan Indinesia

Gun Gun Gumilar, Zackiyah, Gebi Dwiyanti, Heli Siti HM Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan Indinesia PENGARUH PEMANASAN TERHADAP PROFIL ASAM LEMAK TAK JENUH MINYAK BEKATUL Oleh: Gun Gun Gumilar, Zackiyah, Gebi Dwiyanti, Heli Siti HM Jurusan Pendidikan Kimia FPMIPA Universitas Pendidikan Indinesia Email:

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel)

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel) HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel) Minyak nabati (CPO) yang digunakan pada penelitian ini adalah minyak nabati dengan kandungan FFA rendah yaitu sekitar 1 %. Hal ini diketahui

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SABUN TRANSPARAN

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SABUN TRANSPARAN II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 SABUN TRANSPARAN SNI (1994) mendefinisikan sabun sebagai pembersih yang dibuat melalui reaksi kimia antara basa natrium atau kalium dengan asam lemak dari minyak nabati atau lemak

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN PEMBUATAN MONO DAN DIACYLGLYCEROL DARI MINYAK KELAPA SAWIT DENGAN PROSES GLISEROLISIS

LAPORAN PENELITIAN PEMBUATAN MONO DAN DIACYLGLYCEROL DARI MINYAK KELAPA SAWIT DENGAN PROSES GLISEROLISIS LAPORAN PENELITIAN PEMBUATAN MONO DAN DIACYLGLYCEROL DARI MINYAK KELAPA SAWIT DENGAN PROSES GLISEROLISIS Disusun Oleh : 1. FETRISIA DINA PUSPITASARI 1131310045 2. GRADDIA THEO CHRISTYA PUTRA 1131210062

Lebih terperinci

8 PEMBAHASAN UMUM. Karakteristik Minyak Kelapa. Komposisi Asam Lemak

8 PEMBAHASAN UMUM. Karakteristik Minyak Kelapa. Komposisi Asam Lemak 93 8 PEMBAHASAN UMUM Komposisi Asam Lemak Karakteristik Minyak Kelapa Minyak dan lemak adalah suatu campuran triasilgliserol, yaitu ester dari gliserol dan asam lemak. Minyak dan lemak yang diperoleh dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN (Ditjen Perkebunan, 2012). Harga minyak sawit mentah (Crude Palm

I. PENDAHULUAN (Ditjen Perkebunan, 2012). Harga minyak sawit mentah (Crude Palm I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang dan Masalah Indonesia merupakan salah satu negara penghasil kelapa sawit terbesar di dunia dengan volume ekspor minyak kelapa sawit mencapai16,436 juta ton pada tahun

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 KARAKTERISASI MINYAK Sabun merupakan hasil reaksi penyabunan antara asam lemak dan NaOH. Asam lemak yang digunakan untuk membuat sabun transparan berasal dari tiga jenis minyak,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Margarin merupakan salah satu produk berbasis lemak yang luas

BAB I PENDAHULUAN. Margarin merupakan salah satu produk berbasis lemak yang luas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Margarin merupakan salah satu produk berbasis lemak yang luas penggunaannya dalam proses pengolahan makanan. Margarin biasa digunakan sebagai olesan untuk langsung

Lebih terperinci

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin.

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin. Lemak dan minyak merupakan senyawa trigliserida atau trigliserol, dimana berarti lemak dan minyak merupakan triester dari gliserol. Dari pernyataan tersebut, jelas menunjukkan bahwa lemak dan minyak merupakan

Lebih terperinci

VI. PENINGKATAN MUTU PRODUK KOMODITAS BERBASIS KELAPA SAWIT

VI. PENINGKATAN MUTU PRODUK KOMODITAS BERBASIS KELAPA SAWIT VI. PENINGKATAN MUTU PRODUK KOMODITAS BERBASIS KELAPA SAWIT QFD (Quality Function Deployment) adalah suatu alat untuk membuat pelaksanaan TQM (Total Quality Management) menjadi efektif untuk mentranslasikan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. minyak adalah kelapa sawit (Elaeis guinensis JACQ). Kelapa sawit (Elaeis guinensis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. minyak adalah kelapa sawit (Elaeis guinensis JACQ). Kelapa sawit (Elaeis guinensis BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sawit dan Inti Sawit 2.1.1. Sawit Salah satu dari beberapa tanaman golongan palm yang dapat menghasilkan minyak adalah kelapa sawit (Elaeis guinensis JACQ). Kelapa sawit (Elaeis

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Saat ini, telah beredar asumsi di masyarakat bahwa minyak goreng yang lebih bening adalah yang lebih sehat. Didukung oleh hasil survey yang telah dilakukan untuk mengetahui

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Minyak dan Lemak Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang artinya lemak). Lipida larut dalam pelarut nonpolar dan tidak larut dalam air.

Lebih terperinci

2. KAJIAN MUTU DAN SIFAT FISIK MINYAK SAWIT KASAR

2. KAJIAN MUTU DAN SIFAT FISIK MINYAK SAWIT KASAR 11 2. KAJIAN MUTU DAN SIFAT FISIK MINYAK SAWIT KASAR Pendahuluan Volume produksi minyak sawit kasar atau crude palm oil (CPO) Indonesia yang sangat besar dan terus meningkat dari tahun ke tahun, membutuhkan

Lebih terperinci

Penggolongan minyak. Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri

Penggolongan minyak. Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri Penggolongan minyak Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri Definisi Lemak adalah campuran trigliserida yang terdiri atas satu molekul gliserol yang berkaitan dengan tiga molekul asam lemak.

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. adalah kelapa sawit (Elaeis guinensis JACQ). Kelapa sawit (Elaeis guinensis JACQ)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. adalah kelapa sawit (Elaeis guinensis JACQ). Kelapa sawit (Elaeis guinensis JACQ) BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Kelapa Sawit Salah satu dari beberapa tanaman golongan palm yang dapat menghasilkan minyak adalah kelapa sawit (Elaeis guinensis JACQ). Kelapa sawit (Elaeis guinensis

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. mempunyai nilai ekonomi tinggi sehingga pohon ini sering disebut pohon

I PENDAHULUAN. mempunyai nilai ekonomi tinggi sehingga pohon ini sering disebut pohon I PENDAHULUAN Tanaman kelapa merupakan tanaman serbaguna atau tanaman yang mempunyai nilai ekonomi tinggi sehingga pohon ini sering disebut pohon kehidupan (tree of life) karena hampir seluruh bagian dari

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA Salah satu dari beberapa tanaman golongan Palm yang dapat menghasilkan minyak adalah kelapa sawit (Elaeis Guinensis JACQ). kelapa sawit (Elaeis Guinensis JACQ), merupakan komoditas

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Proses pengolahan kelapa sawit menjadi crude palm oil (CPO) di PKS,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Proses pengolahan kelapa sawit menjadi crude palm oil (CPO) di PKS, II. TINJAUAN PUSTAKA A. Proses Pengolahan Kelapa Sawit Proses pengolahan kelapa sawit menjadi crude palm oil (CPO) di PKS, terdiri dari beberapa stasiun yang menjadi alur proses dalam pemurnian kelapa

Lebih terperinci

SEPARASI FRAKSI KAYA VITAMIN E DARI BIODIESEL CRUDE PALM OIL (CPO) MENGGUNAKAN DESTILASI MOLEKULER. Hendrix Yulis Setyawan (F )

SEPARASI FRAKSI KAYA VITAMIN E DARI BIODIESEL CRUDE PALM OIL (CPO) MENGGUNAKAN DESTILASI MOLEKULER. Hendrix Yulis Setyawan (F ) SEPARASI FRAKSI KAYA VITAMIN E DARI BIODIESEL CRUDE PALM OIL (CPO) MENGGUNAKAN DESTILASI MOLEKULER Hendrix Yulis Setyawan (F351050091) Program Studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pasca Sarjana Institut

Lebih terperinci

PENGARUH TEMPERATUR DAN F/S TERHADAP EKSTRAKSI MINYAK DARI BIJI KEMIRI SISA PENEKANAN MEKANIK

PENGARUH TEMPERATUR DAN F/S TERHADAP EKSTRAKSI MINYAK DARI BIJI KEMIRI SISA PENEKANAN MEKANIK PENGARUH TEMPERATUR DAN F/S TERHADAP EKSTRAKSI MINYAK DARI BIJI KEMIRI SISA PENEKANAN MEKANIK Ariestya Arlene*, Steviana Kristanto, Ign Suharto Jurusan Teknik Kimia, Fakultas Teknologi Industri, Universitas

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prospek agroindustri perkebunan kelapa sawit di Indonesia sangat bagus, hal ini bisa dilihat dari semakin luasnya lahan tanam yang ada. Luas lahan yang sudah ditanami

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Minyak kelapa sawit merupakan salah satu komoditas pertanian utama dan

I. PENDAHULUAN. Minyak kelapa sawit merupakan salah satu komoditas pertanian utama dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Minyak kelapa sawit merupakan salah satu komoditas pertanian utama dan unggulan di Indonesia, serta sebagai pendorong tumbuh dan berkembangnya industri hilir berbasis

Lebih terperinci

ANALISA KEBUTUHAN UAP PADA STERILIZER PABRIK KELAPA SAWIT DENGAN LAMA PEREBUSAN 90 MENIT

ANALISA KEBUTUHAN UAP PADA STERILIZER PABRIK KELAPA SAWIT DENGAN LAMA PEREBUSAN 90 MENIT ANALISA KEBUTUHAN UAP PADA STERILIZER PABRIK KELAPA SAWIT DENGAN LAMA PEREBUSAN 90 MENIT Tekad Sitepu Staf Pengajar Departemen Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara Abstrak Sterilizer

Lebih terperinci

4 Pembahasan Degumming

4 Pembahasan Degumming 4 Pembahasan Proses pengolahan biodiesel dari biji nyamplung hampir sama dengan pengolahan biodiesel dari minyak sawit, jarak pagar, dan jarak kepyar. Tetapi karena biji nyamplung mengandung zat ekstraktif

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. dari tempurung dan serabut (NOS= Non Oil Solid).

BAB II LANDASAN TEORI. dari tempurung dan serabut (NOS= Non Oil Solid). BAB II LANDASAN TEORI II.1. Pemurnian Minyak Sawit Minyak sawit yang keluar dari tempat pemerasan atau pengepresan masih berupa minyak sawit kasar karena masih mengandung kotoran berupa partikelpertikel

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Kualitas minyak dapat diketahui dengan melakukan beberapa analisis kimia yang nantinya dibandingkan dengan standar mutu yang dikeluarkan dari Standar Nasional Indonesia (SNI).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Minyak Goreng 1. Pengertian Minyak Goreng Minyak goreng adalah minyak yang berasal dari lemak tumbuhan atau hewan yang dimurnikan dan berbentuk cair dalam suhu kamar dan biasanya

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 1. Pembuatan sediaan losio minyak buah merah a. Perhitungan HLB butuh minyak buah merah HLB butuh minyak buah merah yang digunakan adalah 17,34. Cara perhitungan HLB

Lebih terperinci

Kualitas Minyak Kelapa Sawit Kaya Karoten dari Brondolan Kelapa Sawit. Hajar Setyaji Fakultas Pertanian Universitas Jambi

Kualitas Minyak Kelapa Sawit Kaya Karoten dari Brondolan Kelapa Sawit. Hajar Setyaji Fakultas Pertanian Universitas Jambi Kualitas Minyak Kelapa Sawit Kaya Karoten dari Brondolan Kelapa Sawit Hajar Setyaji Fakultas Pertanian Universitas Jambi Setyaji2013@gmail.com Ringkasan Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Kelapa (Cocos Nucifera Linn.) merupakan tanaman yang tumbuh di negara yang beriklim tropis. Indonesia merupakan produsen kelapa terbesar di dunia. Menurut Kementerian

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. hutan Brazil dibanding dengan Afrika. Pada kenyataannya tanaman kelapa sawit

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. hutan Brazil dibanding dengan Afrika. Pada kenyataannya tanaman kelapa sawit BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perkembangan Kelapa Sawit di Indonesia Tanaman kelapa sawit (Elaeis guinensis Jack.) berasal dari Nigeria, Afrika Barat. Meskipun demikian, ada yang menyatakan bahwa kelapa

Lebih terperinci

STUDI KUALITAS MINYAK GORENG DENGAN PARAMETER VISKOSITAS DAN INDEKS BIAS

STUDI KUALITAS MINYAK GORENG DENGAN PARAMETER VISKOSITAS DAN INDEKS BIAS Berkala Fisika ISSN : 1410-9662 Vol 11,No.2, April 2008, hal 53-58 STUDI KUALITAS MINYAK GORENG DENGAN PARAMETER VISKOSITAS DAN INDEKS BIAS Sutiah, K. Sofjan Firdausi, Wahyu Setia Budi Laboratorium Optoelektronik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Penelitian Salah satu parameter mutu asam stearat blended bermutu premium, adalah heat stability/kestabilan warna, selain warna, bilangan iodium dan komposisi asam

Lebih terperinci

DEFINISI. lipids are those substances which are

DEFINISI. lipids are those substances which are MINYAK DAN LEMAK TITIS SARI K. DEFINISI lipids are those substances which are insoluble in water; soluble in organic solvents such as chloroform, ether or benzene; contain long-chain hydrocarbon groups

Lebih terperinci

KAJIAN MUTU MINYAK SAWIT KASAR DAN ANALISIS KARAKTERISTIK OLEIN SERTA STEARIN SEBAGAI HASIL FRAKSINASINYA SKRIPSI RICKY ALBERTO SINAGA F

KAJIAN MUTU MINYAK SAWIT KASAR DAN ANALISIS KARAKTERISTIK OLEIN SERTA STEARIN SEBAGAI HASIL FRAKSINASINYA SKRIPSI RICKY ALBERTO SINAGA F KAJIAN MUTU MINYAK SAWIT KASAR DAN ANALISIS KARAKTERISTIK OLEIN SERTA STEARIN SEBAGAI HASIL FRAKSINASINYA SKRIPSI RICKY ALBERTO SINAGA F24070084 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Perlakuan Terhadap Sifat Fisik Buah Pala Di Indonesia buah pala pada umumnya diolah menjadi manisan dan minyak pala. Dalam perkembangannya, penanganan pascapanen diarahkan

Lebih terperinci

PRODUKSI BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL MELALUI REAKSI DUA TAHAP

PRODUKSI BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL MELALUI REAKSI DUA TAHAP PRODUKSI BIODIESEL DARI CRUDE PALM OIL MELALUI REAKSI DUA TAHAP Eka Kurniasih Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Lhokseumawe Jl. Banda Aceh-Medan km. 280 Buketrata Lhokseumawe Email: echakurniasih@yahoo.com

Lebih terperinci

Ekstraksi Biji Karet

Ekstraksi Biji Karet Ekstraksi Biji Karet Firdaus Susanto 13096501 DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2001 TK-480 PENELITIAN 1 dari 9 BAB I PENDAHULUAN Biji karet berpotensi menjadi

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. adalah kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq). Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. adalah kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq). Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kelapa sawit Salah satu dari tanaman golongan palm yang dapat menghasilkan minyak adalah kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq). Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) adalah tanaman

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. SIFAT FISIKO-KIMIA BIJI DAN MINYAK JARAK PAGAR Biji jarak pagar (Jatropha curcas L.) yang digunakan dalam penelitian ini didapat dari PT. Rajawali Nusantara Indonesia di daerah

Lebih terperinci

LAPORAN PENELITIAN PRAKTIKUM KIMIA BAHAN MAKANAN Penentuan Asam Lemak Bebas, Angka Peroksida Suatu Minyak atau Lemak. Oleh : YOZA FITRIADI/A1F007010

LAPORAN PENELITIAN PRAKTIKUM KIMIA BAHAN MAKANAN Penentuan Asam Lemak Bebas, Angka Peroksida Suatu Minyak atau Lemak. Oleh : YOZA FITRIADI/A1F007010 LAPORAN PENELITIAN PRAKTIKUM KIMIA BAHAN MAKANAN Penentuan Asam Lemak Bebas, Angka Peroksida Suatu Minyak atau Lemak Oleh : YOZA FITRIADI/A1F007010 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA FAKULTAS KEGURUAN DAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe

HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Karakterisasi Bahan Baku Karet Crepe IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakterisasi Bahan Baku 4.1.2 Karet Crepe Lateks kebun yang digunakan berasal dari kebun percobaan Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Ciomas-Bogor. Lateks kebun merupakan

Lebih terperinci

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Bab IV Hasil dan Pembahasan Bab IV Hasil dan Pembahasan Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Penelitian penelitian pendahuluan dilakukan untuk mendapatkan jenis penstabil katalis (K 3 PO 4, Na 3 PO 4, KOOCCH 3, NaOOCCH 3 ) yang

Lebih terperinci

INTERESTERIFIKASI INTERESTERIFIKASI 14/01/2014

INTERESTERIFIKASI INTERESTERIFIKASI 14/01/2014 Adalah ester asam lemak bereaksi dengan ester atau asam lemak lain membentuk ester baru melalui reaksi pertukaran gugus asam lemak. TG mengandung 3 gugus ester peluang pertukaran banyak Gugus asil dapat

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lemak dan Minyak Minyak dan lemak tidak berbeda dalam bentuk umum trigliseridanya, tetapi hanya berbeda dalam bentuk (wujud). Perbedaan ini didasarkan pada perbedaan titik lelehnya.

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. tebu, bit, maple, siwalan, bunga dahlia dan memiliki rasa manis. Pohon aren adalah

I PENDAHULUAN. tebu, bit, maple, siwalan, bunga dahlia dan memiliki rasa manis. Pohon aren adalah I PENDAHULUAN Pada bab ini akan diuraikan mengenai : (1) Latar Belakang Penelitian, (2) Identifikasi Masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfaat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis jacq) merupakan penamaan dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis jacq) merupakan penamaan dari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Kelapa Sawit Tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis jacq) merupakan penamaan dari Nama Elais guineensis diberikan oleh Jacquin pada tahun 1763. Berdasarkan pengamatan

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ 20:1 berturut-turut BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL 5. Reaksi Transesterifikasi Minyak Jelantah Persentase konversi metil ester dari minyak jelantah pada sampel MEJ 4:1, MEJ 5:1, MEJ 9:1, MEJ 10:1, MEJ 12:1, dan MEJ

Lebih terperinci

BAB VII IMPLEMENTASI, VALIDASI DAN VERIFIKASI

BAB VII IMPLEMENTASI, VALIDASI DAN VERIFIKASI BAB VII IMPLEMENTASI, VALIDASI DAN VERIFIKASI 7.1 Implemetasi Sistem SINKUAL-BIODIESEL dirancang untuk membantu proses pengambilan keputusan pada bagian pengedalian kualitas (quality control) yang diaplikasikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pabrik Kelapa Sawit (PKS) merupakan perusahaan industri yang bergerak

I. PENDAHULUAN. Pabrik Kelapa Sawit (PKS) merupakan perusahaan industri yang bergerak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pabrik Kelapa Sawit (PKS) merupakan perusahaan industri yang bergerak dibidang pengolahan bahan baku Tandan Buah Segar (TBS) kelapa sawit dengan tujuan memproduksi

Lebih terperinci