KEEFEKTIFAN KOMBINASI PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA DAN UNSUR MIKRO DALAM PENGENDALIAN PENYAKIT ANTRAKNOSA PADA CABAI MERAH

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KEEFEKTIFAN KOMBINASI PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA DAN UNSUR MIKRO DALAM PENGENDALIAN PENYAKIT ANTRAKNOSA PADA CABAI MERAH"

Transkripsi

1 KEEFEKTIFAN KOMBINASI PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA DAN UNSUR MIKRO DALAM PENGENDALIAN PENYAKIT ANTRAKNOSA PADA CABAI MERAH WINAR NUR AISYAH FATIMAH DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

2

3 i PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keefektifan Kombinasi Plant Growth Promoting Rhizobacteria dan Unsur Mikro dalam Pengendalian Penyakit Antraknosa pada Cabai Merah adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Desember 2014 Winar Nur Aisyah Fatimah NIM A

4 ii

5 3 ABSTRAK WINAR NUR AISYAH FATIMAH. Keefektifan Kombinasi Plant Growth Promoting Rhizobacteria dan Unsur Mikro dalam Pengendalian Penyakit Antraknosa pada Cabai Merah. Dibimbing oleh WIDODO. Antraknosa merupakan penyakit penting pada buah cabai yang disebabkan oleh cendawan Colletotrichum sp.. Patogen tersebut menginfeksi buah cabai muda hingga buah cabai yang siap panen. Kerugian akibat antraknosa berkisar dari 40-80%, bahkan buah cabai bisa hancur 100%. Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) merupakan bakteri perakaran pemacu pertumbuhan yang memiliki manfaat sebagai zat pengatur tumbuh, agens pengendali hayati yang memiliki kemampuan bersaing dalam mendapatkan zat makanan, dan secara tidak langsung memproduksi enzim yang dapat melarutkan dinding sel cendawan. PGPR saat ini mulai banyak dikembangkan dalam pengendalian penyakit antraknosa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keefektifan PGPR yang terdiri dari bakteri Pseudomonas fluorescens dan Bacillus polymixa yang dikombinasikan dengan unsur mikro MnSO %, PGPR dengan unsur mikro ZnSO %, PGPR dengan unsur mikro MnSO %+ZnSO %, dan PGPR dengan pupuk komersial Growmore dalam menekan tingkat keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai. Percobaan dilakukan di lapangan dalam rancangan acak kelompok (RAK) dengan 6 perlakuan dan 3 blok. Adapun peubah yang diamati meliputi perkecambahan benih, tinggi tanaman, jumlah daun tanaman, dan keparahan penyakit antraknosa. Hasil pengamatan menunjukkan seluruh kombinasi perlakuan memiliki potensi dalam meningkatkan perkecambahan benih, tinggi tanaman, dan jumlah daun tanaman, akan tetapi tidak dapat menekan keparahan penyakit antraknosa. Kombinasi perlakuan PGPR dengan unsur mikro MNSO 4 adalah kombinasi perlakuan paling baik dalam meningkatkan tinggi tanaman, jumlah daun, dan jumlah buah cabai Kata kunci: Antraknosa, cabai, Plant Growth Promoting Rhizobacteria, unsur mikro.

6 4

7 5 ABSTRACT WINAR NUR AISYAH FATIMAH. The Effectiveness Combination of Plant Growth Promoting Rhizobacteria and Micronutrients in Anthracnose Disease Control in Chilli Red Pepper. Supervised by WIDODO. Anthracnose is an important disease on chili pepper caused by Colletotrichum sp.. The pathogen can attack from early stage of fruit until harvesting. The losses due to this disease ranging from 40-80%, and even up to 100%. Plant Growth Promoting Rhizobacteria (PGPR) is a group of bacteria which growth and colonize arround roots area (rhizosphere), that has some beneficial effects in plant, such as growth promoting and as biological control agent. The purpose of this research was to determine the effectiveness of PGPR consisting of Pseudomonas fluorescens and Bacillus polymixa, combined with micronutrients MnSO %, ZnSO %, MnSO %+ ZnSO %, and commercial fertilizer Growmore , to suppress anthracnose disease on chili pepper. This experiment used a Randomized Block Design (RBD) with 6 treatments and 3 blocks. Variables measured were seed germination, plant height, number of leaves, and the severity of anthracnose disease. The results showed that the treatments with PGPR and or combined with micronutrients could not suppress the disease severity comparing with conventional control measure. Combining with micronutrients (MnSO 4 ) increased the PGPR capability on plant growth promoting effects. Keywords: Anthracnose, chili, micronutrients, Plant Growth Promoting Rhizobacteria.

8 6

9 7 Hak Cipta Milik IPB, tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

10 viii

11 ix KEEFEKTIFAN KOMBINASI PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA DAN UNSUR MIKRO DALAM PENGENDALIAN PENYAKIT ANTRAKNOSA PADA CABAI MERAH WINAR NUR AISYAH FATIMAH Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

12 x

13

14 vi

15 vii Judul Skripsi : Keefektifan Kombinasi Plant Growth Promoting Rhizobacteria dan Unsur Mikro dalam Pengendalian Penyakit Antraknosa pada Cabai Merah Nama Mahasiswa : Winar Nur Aisyah Fatimah NIM : A Disetujui oleh Dr. Ir. Widodo, MS Dosen Pembimbing Diketahui oleh Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, MSi Ketua Departemen Tanggal Lulus:

16 viii

17 ix PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir yang berjudul Keefektifan Kombinasi Plant Growth Promoting Rhizobacteria dan Unsur Mikro dalam Pengendalian Penyakit Antraknosa pada Cabai Merah sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada kedua orang tua tercinta, Ibu Engkis Djunkisah dan Bapak Edi Suhaedi, serta kelima kakak atas doa yang senantiasa dipanjatkan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Widodo MS selaku dosen pembimbing yang telah banyak memberikan ilmu, arahan, motivasi, dan bimbingan selama ini. Terima kasih kepada Dr. Ir. Abdul Munif MScAgr. selaku dosen pembimbing akademik, dan seluruh dosen Departemen Proteksi Tanaman yang telah banyak memberikan bimbingan dan motivasi selama penulis meyelesaikan studi di Departemen Proteksi Tanaman. Terima kasih kepada Prof. Dr. Muhammad Syukur SP MSi, Undang, dan Abdul. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Wirathazia E. L. Chenta, Endah Wahyuni, Siti Nurul Benowati, Hagia Sophia Khairani, Widi Astuti, Dian Novitasari, Supriyanto, Almira Pintari Supraba, Gita Sri Lestari, Miranti Sasmita, Susilawati, Titah Nurjanah, Rian Andini, M. Ridho Rasyid, Mia Sri Listiani Ahmad, Lilis Heryati, dan Ratna Dwi Hirma W. atas bantuan, dukungan, saran dan semangat yang diberikan. Terima kasih kepada rekan-rekan Laboratorium Mikologi Tumbuhan, teman-teman Proteksi Tanaman 47, dan seluruh adik serta kakak tingkat yang tidak bisa disebutkan satu per satu atas persahabatan, kebersamaan, dan telah membantu penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi kita. Bogor, Desember 2014 Winar Nur Aisyah Fatimah

18 vi

19 vii DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ix DAFTAR GAMBAR ix DAFTAR LAMPIRAN ix PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 3 Manfaat Penelitian 3 METODE PENELITIAN 4 Waktu dan Tempat Penelitian 4 Metode Penelitian 4 Bahan Penelitian 4 Penyemaian Benih 4 Penanaman 4 Pengamatan Agronomi 5 Pengamatan Keparahan Penyakit 5 Rancangan Percobaan dan Analisis Data 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 6 Pengaruh PGPR terhadap Perkecambahan dan Karakter Agronomi di Persemaian 6 Pengaruh PGPR terhadap Karakter Agronomi di Lapangan 7 Keparahan Penyakit Antraknosa 9 Kejadian Penyakit Layu Bakteri di Lapangan 11 Pembahasan Umum 12 SIMPULAN DAN SARAN 15 Simpulan 15 Saran 15 DAFTAR PUSTAKA 16 LAMPIRAN 20 RIWAYAT HIDUP 23

20 viii

21 ix DAFTAR TABEL 1 Perlakuan PGPR di lapangan 4 2 Skoring penyakit antraknosa berdasarkan skala kerusakan a 5 3 Pengaruh perlakuan kombinasi PGPR terhadap persentase daya berkecambah di persemaian 6 4 Pengaruh perlakuan kombinasi PGPR terhadap tinggi dan jumlah daun bibit pada 6 MSS 7 5 Pengaruh perlakuan kombinasi PGPR terhadap tinggi tanaman di lapangan 8 6 Pengaruh perlakuan kombinasi PGPR terhadap jumlah daun tanaman di lapangan 8 7 Pengaruh perlakuan kombinasi PGPR terhadap persentase keparahan penyakit antraknosa 10 8 Pengaruh perlakuan kombinasi PGPR terhadap jumlah dan bobot buah cabai 11 9 Pengaruh perlakuan kombinasi PGPR terhadap kejadian penyakit layu di lapangan 12 DAFTAR GAMBAR 1 Gejala penyakit antraknosa pada buah cabai 9 2 Gejala layu bakteri di lapangan 11 DAFTAR LAMPIRAN 1 Hasil analisis ragam keparahan penyakit antraknosa 20 2 Hasil analisis ragam tinggi tanaman di lapangan 20 3 Hasil analisis ragam jumlah daun tanaman di lapangan 21 4 Hasil analisis ragam jumlah buah cabai 22 5 Hasil analisis ragam bobot buah cabai 22 6 Hasil analisis ragam jumlah tanaman layu 22

22 x

23 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Cabai merah (Capsicum annum L.) merupakan komoditas sayuran yang penting dan bernilai ekonomi tinggi di Indonesia (Syukur et al. 2012). Cabai merupakan salah satu yang paling populer dan banyak ditanam sayuran di dunia dan yang paling populer di Asia (Makari et al. 2009). Namun, seorang mayor masalah bagi produksi cabai di daerah tropis dan subtropis daerah adalah penyakit antraknosa (Sharma et al. 2005). Cabai selain dimanfaatkan sebagai bumbu masak cabai juga digunakan sebagai bahan baku berbagai industri makanan, minuman dan obat-obatan, dapat dipasarkan dalam bentuk segar dan olahan sehingga menambah pentingnya komoditas tersebut. Sebagai salah satu komoditas unggulan hortikultura Indonesia, persentase luas pertanaman cabai 20.46% atau paling tinggi dibandingkan dengan sayuran lainnya (Syukur et al. 2012). Produksi cabai merah segar dengan tangkai tahun 2012 sebanyak ribu ton. Dibandingkan tahun 2011, terjadi kenaikan produksi sebanyak ribu ton (7.37%). Kenaikan ini disebabkan oleh kenaikan produktivitas sebanyak 0.59 ton per hektar (8.04%) sementara luas panen terjadi penurunan seluas 788 hektar (0.65%) dibandingkan tahun 2011 (BPS 2013). Dalam upaya meningkatkan produksi cabai dalam negeri, tidak sedikit permasalahan yang dihadapai oleh petani Indonesia. Kendala yang paling penting dalam proses produksi dan dapat menyebabkan kehilangan hasil yang tinggi adalah kualitas benih, kesuburan tanah, teknik budidaya, penanganan pasca panen, serta gangguan hama dan penyakit (Maria 2010). Penyakit yang umumnya terjadi pada tanaman cabai dapat disebabkan oleh bakteri, cendawan, nematoda, dan virus. Antraknosa pada cabai merupakan penyakit yang paling sering ditemukan dan hampir selalu terjadi di setiap areal tanaman cabai. Penyakit antraknosa pada tanaman cabai disebabkan oleh tiga spesies cendawan Colletotrichum yaitu Colletotrichum acutatum, Colletotrichum gloeosporioides, dan Colletotrichum capsici (AVRDC 2003). Colletotrichum gloeosporioides merupakan spesies yang paling luas serangannya pada tanaman Solanaceae terutama pada tanaman cabai namun akhir-akhir ini spesies yang utama menyerang cabai adalah spesies C. acutatum (Park 2005). Colletotrichum capsici (Syd.) Butl. & Bisby. termasuk ke dalam divisi Amastigomycota, subdivisi Deuteromycotina, kelas Deuteromycetes, subkelas Coelomycetidae, ordo Melanconiales, famili Melanconiaceae dan genus Colletotrichum (Alexopolus 1996). Penyakit ini selain mengakibatkan penurunan hasil juga dapat merusak nilai estetika dari cabai itu sendiri. Infeksi patogen ini dapat terjadi baik sebelum maupun setelah panen. Antraknosa atau sering disebut sebagai penyakit patek. Penyakit antraknosa ini menyebabkan kerugian yang sangat besar baik di daerah tropis maupun subtropis. Gejala penyakit timbul terutama pada buah masak, berupa bercak sirkular berlekuk yang ukuran diameternya dapat mencapai 30 mm. Warnanya cokelat sementara jaringan di bawahnya berwarna hitam karena dipenuhi setae dan konidium cendawan. Serangan berat dapat menyebabkan seluruh buah mengering dan mengerut

24 2 (keriput). Buah yang seharusnya berwarna merah menjadi berwarna seperti jerami (Agrios 2005). Gejala pada biji berupa kegagalan berkecambah dan pada kecambah menyebabkan layu semai, yang sudah dewasa menyebabkan mati pucuk, pada daun dan batang yang terserang menyebabkan busuk kering. Buah yang terserang C. capsici menjadi busuk dengan warna seperti terekspos sinar matahari (terbakar) yang diikuti busuk basah berwarna hitam, karena penuh dengan rambut hitam (setae), jamur ini pada umumnya menyerang buah cabai menjelang masak (buah berwarna kemerahan). Jamur C. gloeosporioides memiliki dua strain yaitu strain R dan G. Strain R hanya menyerang buah cabai masak yang berwarna merah, sedangkan strain G dapat menyerang semua bagian tanaman, termasuk buah cabai yang masih berwarna hijau maupun buah yang berwarna merah (Piay et al. 2010). Selama ini pengendalian penyakit ini masih bertumpu pada penggunaan fungisida. Saat ini varietas cabai komersial berdaya hasil tinggi dan tahan terhadap penyakit busuk antraknosa masih belum ada. Umumnya spesies cabai yang memiliki ketahanan terhadap antraknosa berdaya hasil rendah dan bentuk buahnya tidak disukai pasar (Syukur et al. 2009). Meskipun telah dilakaukan pengendalian sangat intensif menggunakan fungisida di daerah Brebes, Jawa Tengah, penyakit ini masih menyebabkan kerugian hingga 45%, di Demak hingga 65%, sedangkan di Sumatera Barat mencapai 35% (Sastrosumarjo 2003). Strategi pengendalian penyakit antraknosa yang mulai banyak dikembangkan saat ini adalah dengan PGPR (plant growth promoting rhizobacteria) atau di Indonesia memiliki istilah bakteri perakaran pemacu pertumbuhan. PGPR adalah agens (mikroba) yang bersifat menguntungkan bagi tanaman, dan termasuk sebagai agens penginduksi ketahanan. PGPR, yaitu kelompok bakteri yang dapat mengkolonisasi perakaran tanaman dan memiliki kemampuan untuk memacu pertumbuhan tanaman (Nelson 2004). Mikroorganisme yang bisa hidup pada daerah rizosfir sangat sesuai digunakan sebagai agen pengendalian hayati ini mengingat bahwa rizosfer adalah daerah yang utama dimana akar tumbuhan terbuka terhadap serangan patogen. Jika terdapat mikroorganisme antagonis pada deerah ini patogen akan berhadapan selama menyebar dan menginfeksi akar (Hasanudin 2003). Kemampuan PGPR sebagai agens pengendalian hayati adalah karena kemampuannya bersaing untuk mendapatkan zat makanan, bersifat antibiosis, sebagai hormon pertumbuhan, dan ramah lingkungan. Bacillus dan Pseudomonas adalah genus yang paling banyak diteliti, potensinya tinggi sebagai agens pengendali hayati. Bacillus polymixa adalah bakteri yang hidup di bagian rizosfer dan dapat melarutkan fosfor di alam menjadi bentuk yang dapat langsung digunakan oleh tanaman. Pseudomonas fluorescens bersifat patogenik dan saprofit pada tanah dan daerah rizosfer tanaman. Bakteri tersebut mengkolonisasi tanah, permukaan tanaman, dan memanfaatkan bahan organik sebagai nutrisi untuk pertumbuhannya (Ratdiana 2007). Unsur hara mikro adalah unsur hara yang diperlukan tanaman dalam jumlah yang sangat kecil, tetapi fungsinya penting dan tidak tergantikan. Mangan berfungsi sebagai katalisator berbagai enzim yang berperan dalam proses perombakan karbohidrat dan metabolisme nitrogen. Seng berfungsi sebagai katalisator dalam pembentukan protein, mengatur pembentukan asam indoleasetik

25 (asam yang berfungsi sebagai zat pengatur tumbuh tanaman), dan berperan aktif dalam transformasi karbohidrat (Kobraee et al. 2011). Hasil penelitian Widodo (1993) menunjukkan keefektifan bakteri Pseudomonas spp. kelompok fluorescens yang diaplikasikan pada benih dan tanah dalam menekan luas dan intensitas serangan penyakit akar gada pada caisin yang disebabkan oleh Plasmodiophora brassicae Wor. Maria (2010) dalam penelitiannya menyebutkan perlakuan PGPR (P. fluorescens, B. polymixa, dan campuran keduanya) dapat meningkatkan pertumbuhan vegetatif tanaman cabai genotipe IPB C10, IPB C5, dan Kopay meskipun perlakuan PGPR tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap produksi tanaman maupun kejadian penyakit antraknosa dan layu bakteri. Pada penelitian lain, kombinasi B. polymixa dan P. fluorescens sangat efektif dalam menurunkan tingkat kejadian penyakit antraknosa pada cabai (Sutariati 2005). Kombinasi PGPR dan unsur mikro belum banyak diuji terhadap penyakit antraknosa. Berdasarkan beberapa hal di atas, perlu dilakukan pengujian untuk mengetahui manfaat yang dapat diperoleh dari kombinasi PGPR dan unsur mikro. Penggunaan kedua bahan tersebut dengan aplikasi kombinasi dapat menjadi alternatif pengendalian yang efektif, efisien, dan ramah lingkungan. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan menguji beberapa kombinasi PGPR dan unsur mikro dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman cabai dan menekan keparahan penyakit antraknosa. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan kombinasi PGPR dan unsur mikro yang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman cabai dan menekan keparahan penyakit antraknosa. 3

26 4 METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan dari bulan Desember 2013 sampai Juni 2014 di Kebun Percobaan Leuwikopo, Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Metode Penelitian Bahan Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini di antaranya benih cabai varietas Seloka IPB, formulasi PGPR komersial berbahan aktif Bacillus polymixa dan Pseudomonas fluorescens dengan konsentrasi 10 g/l, larutan MnSO4 0.05%, larutan ZnSO4 0.05%, dan pupuk komersial Growmore konsentrasi 1 g/l. Kombinasi perlakuan yang akan diuji keefektifannya disajikan dalam tabel berikut: Tabel 1 Perlakuan PGPR di lapangan No Perlakuan 1 Konvensional a 2 PGPR b 3 PGPR+MnSO 4 4 PGPR+ZnSO 4 5 PGPR+MnSO 4 +ZnSO 4 6 PGPR+Growmore c a Berdasarkan budidaya secara umum. b Formulasi PGPR komersial berbahan aktif Bacillus polymixa dan Pseudomonas fluorescens. c pupuk komersial Growmore Penyemaian Benih Media semai yang digunakan adalah Super Metan dan Bio Phoska dengan perbandingan 1:1. Benih direndam dalam setiap cairan perlakuan selama 2 jam, untuk perlakuan Konvensional, benih direndam dengan air hangat selama 15 menit. Kemudian benih dikeringanginkan, dan ditanam pada tray 50 lubang yang telah diisi media semai, masing-masing lubang diisi dua benih. Dilakukan penyiraman setiap hari, penyiraman berbagai cairan perlakuan saat 3 minggu setelah semai (MSS) sebanyak 10 ml/bibit, dan pada umur bibit 6 minggu dilakukan pindah tanam ke lapangan. Penanaman Lahan dipersiapkan dengan pengolahan tanah yakni gulma dibersihkan, tanah digemburkan, dilakukan pengapuran, dibuat bedengan dan saluran drainase. Lahan yang telah diolah kemudian diberikan pupuk dasar yaitu pupuk kandang 20 ton/ha, urea 250 kg/ha, SP kg/ha, KCl 400 kg/ha, NPK 700 kg/ha. Selanjutnya dilakukan pemasangan mulsa plastik dan pembuatan lubang tanam.

27 Bibit ditanam dengan jarak tanam 50 cm x 60 cm. Masing-masing perlakuan dilakukan dalam 3 blok sebagai ulangan, dan masing-masing ulangan terdiri dari 16 tanaman. Jumlah tanaman yang diamati sebanyak 288 tanaman. Perawatan tanaman dilakukan dengan memberikan pupuk NPK Mutiara 16:16 dengan dosis 10 g/l setiap minggu sebanyak 250 ml/tanaman. Pada saat 30 hari setelah tanam (HST) dilakukan penyiraman berbagai cairan perlakuan sebanyak 100 ml/tanaman, dan aplikasi kedua sebanyak 200 ml/tanaman pada umur 60 HST. Perlakuan Konvensional diberikan pestisida sintetik dengan merek dagang Curacron 500 EC, fungisida dengan merek dagang Antracol, penyemprotan dilakukan setiap minggu sampai 3 hari sekali. Pengamatan Agronomi Karakter agronomi yang diamati diantaranya daya kecambah, tinggi bibit dan jumlah daun bibit pada saat 6 MSS, tinggi tanaman, dan jumlah daun tanaman 2-8 minggu setelah tanam (MST). Jumlah buah per tanaman dan bobot buah per tanaman dihitung pada setiap pemanenan. Pengamatan Keparahan Penyakit Pengamatan keparahan penyakit dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: 5 ni: jumlah tanaman terinfeksi pada skor ke-i Vi: skor ke-i z: skor tertinggi N: jumlah tanaman yang diamati Tabel 2 Skoring penyakit antraknosa berdasarkan skala kerusakan a Skor Kerusakan tanaman 1 0% % % % 5 >60% a (Herwidyarti et al. 2013) Rancangan Percobaan dan Analisis Data Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3 kali ulangan. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan ANOVA dengan menggunakan program Statistical Analysis System (SAS) for windows versi Perlakuan yang berpengaruh diuji lanjut dengan uji Duncan pada α=5%.

28 6 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh PGPR terhadap Perkecambahan dan Karakter Agronomi di Persemaian Daya berkecambah diamati pada 2 MSS (Tabel 3). Sutariati (2005) melaporkan dalam penelitiannya, perlakuan benih dengan agens biokontrol B. polymixa dan P. fluorescens mampu meningkatkan hasil, mutu fisiologis, dan patologis benih cabai. Akan tetapi, perlakuan Konvensional memiliki persentase daya berkecambah paling tinggi dibanding perendaman benih menggunakan PGPR, kombinasi PGPR dengan unsur mikro, dan kombinasi PGPR dengan pupuk komersial Growmore. Benih yang direndam larutan PGPR+MnSO 4 +ZnSO 4 menunjukkan persentase daya berkecambah paling tinggi di antara perlakuan PGPR yang lain. Daya berkecambah untuk setiap perlakuan berkisar dari 91-99%, artinya benih dapat dikatakan bermutu baik. Hal ini sesuai dengan ketetapan Deptan (2003) mengenai standar mutu benih, bahwa benih bermutu baik adalah benih yang memiliki daya berkecambah 80%. Tabel 3 Pengaruh perlakuan kombinasi PGPR terhadap persentase daya berkecambah di persemaian Perlakuan Daya berkecambah (%) Konvensional 99 PGPR 91 PGPR+MnSO 4 95 PGPR+ ZnSO 4 95 PGPR+MnSO 4 +ZnSO 4 97 PGPR+Growmore 93 Penyiraman berbagai kombinasi perlakuan PGPR saat umur bibit 3 MSS memberikan dampak positif bagi pertumbuhan bibit cabai, di antaranya tinggi bibit dan jumlah daun bibit (Tabel 4). Tinggi bibit pada tabel di bawah merupakan rata-rata dari 20 sampel bibit yang diukur untuk setiap perlakuan, satu tray merupakan satu perlakuan. Tinggi bibit pada perlakuan PGPR+ZnSO 4 lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan Konvensional, dan menunjukkan nilai paling tinggi dari perlakuan yang lain. Perlakuan PGPR+ZnSO 4 merupakan PGPR yang disuspensikan ke dalam larutan ZnSO %. Unsur mikro seng (Zn) adalah katalisator dalam pembentukan asam indoleasetik (zat pengatur tumbuh), dan berfungsi dalam transformasi karbohidrat. Perlakuan PGPR+MnSO 4 dan perlakuan PGPR+Growmore memiliki tinggi bibit berturut-turut 7.67 cm dan 7.33 cm. Sedangkan untuk perlakuan PGPR+MnSO 4 +ZnSO 4 dan PGPR saja memiliki nilai tinggi bibit paling rendah yaitu 6.75 cm dan 6.00 cm. Jumlah daun bibit paling banyak terdapat pada perlakuan Konvensional, namun nilai tersebut memiliki selisih yang kecil dengan perlakuan PGPR+MnSO 4, PGPR+ZnSO 4, dan PGPR+Growmore. Perlakuan PGPR+MnSO 4 +ZnSO 4 dan PGPR memiliki jumlah daun paling sedikit seperti halnya tinggi bibit yaitu 7.50 dan 6.65 helai/bibit. Hal

29 ini diduga perlakuan PGPR saja yang tidak dikombinasikan maupun PGPR yang dikombinasikan dengan dua unsur mikro sekaligus kurang efektif dalam meningkatkan pertumbuhan bibit di persemaian. PGPR yang dikombinasikan dengan satu unsur mikro (MnSO 4 atau ZnSO 4 ) menunjukkan nilai yang lebih baik dalam meningkatkan efektivitas pertumbuhan bibit. Tabel 4 Pengaruh perlakuan kombinasi PGPR terhadap tinggi dan jumlah daun bibit pada 6 MSS Perlakuan Tinggi bibit (cm) Jumlah daun bibit (helai) Konvensional PGPR PGPR+MnSO PGPR+ ZnSO PGPR+MnSO 4 +ZnSO PGPR+Growmore Pengaruh PGPR terhadap Karakter Agronomi di Lapangan Keberhasilan aplikasi PGPR di lapangan sangat dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya yaitu faktor lingkungan (suhu, kelembaban), pupuk, kombinasi PGPR dengan unsur mikro. Meskipun dalam penelitian laboratorium dan rumah kaca pengaruh PGPR memiliki pengaruh signifikan untuk mengontrol patogen tanaman, namun hasil di lapangan tidak konsisten. Keberhasilan PGPR tergantung pada pembentukan kepadatan populasi yang efektif dari sel aktif dalam rizosfer tanaman (Pracoyo 2013). Berdasarkan pengamatan pada 2 MST di lapangan (Tabel 5), perlakuan PGPR+ZnSO 4 memiliki rata-rata tinggi tanaman paling tinggi dibanding perlakuan lainnya. Namun, berdasarkan uji Duncan taraf 5%, aplikasi PGPR memiliki pengaruh yang sama terhadap tinggi tanaman saat berumur 2 MST. Perbedaan terlihat pada 4, 5, dan 7 MST. Pada minggu terakhir pengamatan, yaitu 8 MST, tidak terdapat perbedaan yang nyata di setiap perlakuan. Rata-rata tinggi tanaman paling tinggi pada pengamatan terakhir adalah perlakuan Konvensional. Hal ini karena tanaman pada perlakuan Konvensional memiliki jumlah tanaman lebih banyak pada setiap ulangannya. Sedangkan pada perlakuan lainnya, tanaman mengalami kelayuan, sehingga hal tersebut memengaruhi nilai rata-rata. Menurut hasil pengamatan, jumlah daun tanaman di lapangan pada umur tanaman 3 dan 4 MST pada setiap perlakuan memiliki pengaruh sama (Tabel 6). Pada umur tanaman 5 dan 6 MST penyiraman berbagai perlakuan memberikan pengaruh yang positif dalam meningkatkan jumlah daun tanaman. Hal ini dibuktikan pada perlakuan PGPR+MnSO 4 yang memiliki jumlah daun paling banyak di antara perlakuan PGPR lainnya, meskipun jumlah daun paling banyak adalah perlakuan Konvensional. Pada pengamatan terakhir yaitu umur tanaman 6 MST, perlakuan Konvensional memiliki jumlah daun terbanyak yaitu

30 8 helai/tanaman, dan perlakuan PGPR saja memiliki jumlah daun paling sedikit yaitu helai/tanaman. Tabel 5 Umur tanaman (MST) Pengaruh perlakuan kombinasi PGPR terhadap tinggi tanaman di lapangan Konv. Tinggi tanaman (cm) pada setiap perlakuan PGPR PGPR+ MnSO 4 PGPR+ ZnSO 4 PGPR+MnS O 4 +ZnSO 4 PGPR+ Growmore a 20.04a 22.17a 22.32a 21.00a 22.08a a 22.09a 23.84a 23.81a 21.65a 23.28a a 25.75b 28.78a 27.81a 26.50ab 27.65ab a 27.41b 31.59a 30.18ab 29.04ab 30.23ab a 31.46a 31.91a 32.19a 31.88a 33.40a a 29.85b 35.01a 33.16ab 33.87ab 34.50a a 28.45a 34.85a 33.66a 34.01a 32.88a a Angka pada satu baris yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (uji Duncan α=5%). Tabel 6 Pengaruh perlakuan kombinasi PGPR terhadap jumlah daun tanaman di lapangan Perlakuan Jumlah daun (helai) 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST Konvensional 33.35a 57.65a a a PGPR 27.52a 42.86a 76.77b b PGPR+MnSO a 60.00a ab a PGPR+ ZnSO a 50.67a ab ab PGPR+MnSO 4 +ZnSO a 43.67a 83.63b ab PGPR+Growmore 30.96a 50.58a 99.29ab ab a Angka pada satu kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (uji Duncan α=5%).

31 Keparahan Penyakit Antraknosa Keparahan penyakit antraknosa pada buah cabai diamati pada setiap pemanenan. Gejala penyakit antraknosa terlihat saat buah masih hijau hingga buah siap dipanen. Buah cabai yang terinfeksi cendawan genus Colletotrichum sp. memiliki bercak hitam cekung yang akan terus melebar pada permukaan buahnya. Menurut Setiadi (2008), baik buah muda atau buah yang telah matang akan tampak bercak-bercak yang semakin lama akan semakin melebar, selanjutnya buah akan mengerut dan mengering dengan warna kehitaman. serta memiliki bobot buah yang lebih ringan dibanding buah cabai yang sehat. 9 Gambar 1 Gejala penyakit antraknosa pada buah cabai Aplikasi berbagai kombinasi PGPR belum dapat menekan keparahan penyakit antraknosa di lapangan, terlihat pada Tabel 7 yang menunjukkan persentase keparahan cukup tinggi untuk semua perlakuan. Hal ini kurang sesuai dengan pernyataan Sutariati (2005) bahwa aplikasi campuran bakteri B. polymixa dan P. fluorescens efektif dalam menurunkan tingkat kejadian penyakit antraknosa. Perlakuan Konvensional dan perlakuan PGPR+MnSO 4 +ZnSO 4 memiliki persentase keparahan lebih rendah dari perlakuan lainnya, yaitu 72.07% dan 73.87%. Sedangkan perlakuan PGPR, kombinasi PGPR dengan salah satu unsur mikro, dan kombinasi PGPR dengan pupuk komersial Growmore memiliki persentase keparahan penyakit cukup tinggi, yakni >80%. Akan tetapi nilai keparahan penyakit antraknosa tersebut tidak menunjukkan perbedaan yang nyata untuk semua perlakuan. Tingginya persentase keparahan penyakit pada setiap perlakuan diduga karena lahan di lapangan merupakan lahan marjinal, sehingga pertumbuhan tanaman cabai kurang optimal. Lahan marjinal merupakan lahan yang memiliki mutu dan unsur hara rendah. Lahan tersebut kehilangan kemampuan untuk mendukung kegiatan fisiologis tumbuhan yang terjadi akibat pembentukan, kerusakan alam, atau akibat aktivitas manusia, yang membutuhkan perlakuan lebih untuk kegiatan pertanian (Yuwono 2009). Selain itu, lahan tersebut memang sudah diketahui endemik terhadap berbagai penyakit, terutama penyakit antraknosa, karena selalu ditanami cabai setiap musim dan sepanjang tahun.

32 10 Faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban juga sangat berpengaruh. Untuk menjadi efektif PGPR, bakteri harus mampu mengkolonisasi akar karena bakteri perlu populasi yang cukup untuk menghasilkan efek yang menguntungkan (Ashrafuzzaman et al. 2009). Tabel 7 Pengaruh perlakuan kombinasi PGPR terhadap persentase keparahan penyakit antraknosa Perlakuan Persentase keparahan penyakit (%) a Konvensional 72.07a PGPR 85.80a PGPR+MnSO a PGPR+ ZnSO a PGPR+MnSO 4 +ZnSO a PGPR+Growmore 80.51a a Angka pada satu kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (uji Duncan α=5%). Pemanenan dimulai pada umur tanaman 10 MST, dan dilanjutkan setiap minggu sampai tanaman berumur 16 MST. Pada setiap pemanenan, dilakukan penghitungan jumlah buah dan pengukuran bobot buah. Penyiraman berbagai kombinasi perlakuan PGPR pada saat umur tanaman 30 dan 60 HST diharapkan dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas buah. Perlakuan benih dengan agens biokontrol dapat meningkatkan tinggi tanaman, diameter batang, jumlah cabang primer dan sekunder, jumlah buah, dan bobot buah tanaman cabai (Sutariati 2005). Berdasarkan pengamatan, aplikasi PGPR dapat memberikan pengaruh positif terhadap jumlah buah cabai, namun tidak pada bobot buah cabai meskipun memiliki pengaruh berbeda pada setiap perlakuan (Tabel 8). Penyakit antraknosa (patek) yang disebabkan oleh patogen Colletotrichum sp. bergejala mati pucuk yang berlanjut ke bagian tanaman sebelah bawah. Daun, ranting dan cabang menjadi kering berwarna coklat kehitam-hitaman. Pada batang cabai aservulus cendawan terlihat seperti tonjolan (Duriat et al.2007). Patogenitas Colletotrichum sangat kuat sehingga dapat menurunkan produksi cabai. Jumlah buah cabai terbanyak terdapat pada perlakuan PGPR+MnSO 4 dengan jumlah buah buah/tanaman dan bobot buah g/tanaman. Meskipun pada perlakuan PGPR+MnSO 4 jumlah buah cabai per tanaman lebih banyak daripada jumlah buah cabai pada perlakuan Konvensional, namun perlakuan PGPR+MnSO 4 memiliki bobot buah cabai yang lebih ringan dibanding perlakuan Konvensional. Hal tersebut karena ukuran buah cabai perlakuan Konvensional lebih besar dibanding perlakuan PGPR+MnSO 4 pada setiap pemanenan, dan jumlah buah yang terinfeksi juga lebih sedikit sesuai yang telah dibahas sebelumnya, sehingga tanaman perlakuan Konvensional memiliki bobot buah lebih besar.

33 Tabel 8 Pengaruh perlakuan kombinasi PGPR terhadap jumlah dan bobot buah cabai Perlakuan Jumlah buah Bobot buah (buah/tanaman) (g/tanaman) Konvensional 20.38a 99.80a PGPR 16.15a 52.24b PGPR+MnSO a 82.93ab PGPR+ ZnSO a 70.93ab PGPR+MnSO 4 +ZnSO a 48.43b PGPR+Growmore 16.42a 53.11b a Angka pada satu kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (uji Duncan α=5%). Kejadian Penyakit Layu Bakteri di Lapangan Pengamatan gejala layu di lapangan bertujuan sebagai pembanding dalam melihat keefektifan PGPR dan kombinasi dengan unsur mikro dalam mengendalikan penyakit antraknosa yang disebabkan oleh cendawan dan layu yang disebabkan oleh bakteri. Pengamatan dilakukan setiap minggu. Gejala layu bakteri ditandai dengan adanya gejala layu mendadak dan menyeluruh pada individu tanaman. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Purwanto dan Tjahjono (2001), gejala layu bakteri adalah tanaman muda yang terinfeksi akan segera mati, sedangkan tanaman tua menunjukkan daun layu, menguning, kerdil dan akhirnya mati. Tanaman muda akan segera mati, tanaman tua akan menunjukkan layu pada daun yang muda, atau layu pada satu bagian tanaman dan pertumbuhan terhambat sehingga tanaman akan layu secara permanen kemudian mati (Schaad 2001). 11 Gambar 2 Gejala layu bakteri di lapangan Apabila bagian batang dipotong, dari jaringan pembuluh akan keluar massa bakteri seperti lendir berwarna putih susu dan lendir lebih banyak keluar bila potongan batang diletakkan di tempat lembab. Jika potongan batang sakit dimasukkan ke dalam gelas berisi air jernih, selama beberapa menit akan terlihat benang-benang putih halus yang akan putus bila gelas digoyang dan air berubah menjadi keruh. Benang putih tersebut merupakan massa bakteri yang biasa disebut dengan oose (Purwanto dan Tjahjono 2001, McCarter 2006). Oose inilah yang membedakan tanaman yang tersinfeksi layu bakteri dengan layu akibat cendawan maupun layu akibat gangguan fisiologis (McCarter 2006).

34 12 Kejadian penyakit layu bakteri mulai muncul pada saat tanaman berumur 4 MST. Penyiraman berbagai perlakuan PGPR di lapangan berdampak positif terhadap persentase jumlah tanaman yang layu meskipun tidak menunjukkan pengaruh berbeda nyata pada masing-masing perlakuan. Perlakuan PGPR+MnSO 4 +ZnSO 4 cukup efektif dalam menekan kejadian layu bakteri, terbukti dengan persentase tanaman layu pada perlakuan tersebut paling rendah. Akan tetapi pada perlakuan PGPR+MnSO 4 memiliki persentase tanaman layu paling tinggi. Perlakuan Konvensional yang menggunakan pestisida sintetik memiliki persentase tanaman layu lebih tinggi dibanding perlakuan PGPR+Growmore, PGPR+ZnSO 4, dan PGPR+MnSO 4 +ZnSO 4. Tabel 9 Pengaruh perlakuan kombinasi PGPR terhadap kejadian penyakit layu di lapangan Perlakuan persentase tanaman layu (%) a Konvensional 13.38a PGPR 14.71a PGPR+MnSO a PGPR+ZnSO a PGPR+MnSO 4 +ZnSO a PGPR+Growmore 12.80a a Angka pada satu kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata (uji Duncan α=5%). Pembahasan Umum Cabai termasuk komoditas unggulan nasional dan sumber vitamin C (Duriat 1995; Kusandriani dan Muharam 2005; Rahmawati et al. 2009; Wahyudi dan Tan 2010). Daerah penanamannya luas karena dapat diusahakan di dataran rendah maupun dataran tinggi, sehingga banyak petani di Indonesia yang menanam cabai merah (Kusandriani 1996; Ameriana et al. 1998). Dalam menghadapi persaingan pada era global, agribisnis sayuran dituntut dapat memenuhi persyaratan budidaya dalam upaya menghasilkan efisiensi produksi yang tinggi, produk yang berkualitas, dan keuntungan. Penyakit antraknosa merupakan penyebab utama kerugian ekonomi produksi cabai di seluruh dunia, terutama daerah tropis dan subtropis (Pakdeevaraporn et al. 2005). Adanya penyakit antraknosa menyebabkan penurunan kualitas dan kuantitas buah cabai, bahkan jika infeksi berat dapat menyebabkan kegagalan panen. Buah cabai merah yang terinfeksi cendawan Colletotrichum sp. tentu tidak dapat dipasarkan. Keberhasilan PGPR tergantung pada pembentukan kepadatan populasi yang efektif dari sel aktif dalam rizosfer tanaman. Karena hal ini merupakan prinsip yang sederhana, telah terbukti sulit untuk menentukan pengaruh respon terhadap dosis di mana tingkat peningkatan pertumbuhan tanaman atau penekanan penyakit bisa langsung berkorelasi dengan ukuran populasi PGPR. Secara umum, suspensi bakteri PGPR siap dengan kepadatan cfu/ml untuk pencelupan akar dan inokulasi tanah. Setelah inokulasi dengan kepadatan yang tinggi, jumlah sel akan mengalami penurunan dengan cepat tergantung pada steril tidaknya tanah yang

35 digunakan. Pada tanah yang diautoklaf/ disterilkan, inokulum biasanya akan bertahan pada kepadatan sel cfu/g tanah selama beberapa minggu. Dalam tanah yang tidak steril di mana terdapat persaingan dengan flora penghuni tanah, pemangsaan oleh protozoa dan nematoda, populasi bakteri akan menurun dengan cepat per minggunya hingga populasi mencapai keseimbangan dengan lingkungannya. Hal ini kemungkinan besar karena perbedaan yang diamati dalam studi laboratorium dan rumah kaca di mana tanah yang disterilkan, dibandingkan di lapangan dimana hasil dari inokulasi PGPR jauh lebih tidak konsisten (Viveros et al. 2010). Secara umum, mekanisme PGPR dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman adalah (1) biostimulan, PGPR mampu menghasilkan atau mengubah konsentrasi hormon tanaman seperti asam indolasetat, asam giberelin, sitokinin, dan etilen di dalam tanaman, tidak bersimbiosis dalam fiksasi N2, melarutkan fosfat mineral; (2) bioprotektan, PGPR memberi efek antagonis terhadap patogen tanaman melalui beberapa cara yaitu produksi antibiotik, siderofore, enzim kitinase, parasitisme, kompetisi sumber nutrisi dan relung ekologi, menginduksi ketahanan tanaman secara sistemik (Khalimi dan Wirya 2009). Menurut Glick dan Pasternak (2003), keuntungan dari mekanisme PGPR dibedakan menjadi dua yaitu secara langsung dan tidak langsung. Keuntungan secara langsung pada tanaman mencakup mampu memfiksasi nitrogen dan memberikannya pada tanaman, meningkatkan ketersediaan atau menyimpan besi dan fosfor dari tanah, menyediakan mineral-mineral tersebut dalam bentuk yang dapat digunakan oleh tanaman, mensintesis enzim yang dapat mengatur tingkat hormon etilen tanaman, dan mensintesis fitohormon seperti auksin, sitokinin, atau giberelin yang memicu perkembangbiakan sel tanaman. PGPR ini dapat menekan penyakit dengan cara menginduksi ketahanan terhadap penyakit. Mekanisme PGPR dalam menginduksi ketahanan terhadap tanaman adalah menaikkan produksi fitohormon, melawan mikroorganisme patogenik dengan memproduksi siderofor, mengsintesis antibiotik, enzim, dan komponen fungisida, serta melarutkan mineral fosfat dan nutrisi/ mineral lain (Gholami et al. 2009). Induksi ketahanan sistemik akibat perlakuan PGPR ini berspektrum luas. Karena PGPR ini menginduksi ketahanan terhadap bakteri, cendawan, maupun virus. Dengan pengaplikasian PGPR maka tanaman akan lebih tahan terhadap penyakit yang disebabkan oleh cendawan, bakteri maupun virus. Bacillus dan Pseudomonas sebagai kelompok PGPR merupakan genus yang paling banyak diteliti dan berpotensi tinggi sebagai agens pengendali penyakit tanaman. Keduanya dilaporkan mampu menekan patogen secara langsung dengan mengeluarkan senyawa antibiotik dan induksi ketahanan sistemik pada tanaman (Wardanah 2007). Selain itu, bakteri P. fluorescens dapat memproduksi IAA (indole acetic acid) yang merupakan senyawa pemacu pertumbuhan tanaman (Dey et al. 2004). Menurut Bakker et al. (2007), Bacillus spp. sebagai PGPR dapat menghasilkan 2,3 butanadiol yang volatil yang dapat menginduksi ketahanan tanaman. Sedangkan menurut Hariprasad et al. (2011), B. subtilis adalah bakteri gram positif, bersifat saprofit dan dapat membentuk spora (Nihorimbere et al. 2010). Sama halnya dengan P. fluorescens, B. subtilis juga merupakan bakteri yang mengkolonisasi akar tanaman. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan 13

36 14 Nawangsih (2006) maupun Handini (2011), B. subtilis AB89 dapat memacu pertumbuhan tanaman, bahkan dalam penelitian Handini (2011), B. subtilis AB89 dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman tomat dua kali lebih besar bila dibandingkan dengan tanaman kontrol. Pseudomonas fluorescens dapat menghasilkan enzim kitinolitik sebagai anti cendawan. P. fluorescens adalah bakteri yang dapat ditemukan dimana saja (ubiquitos) dan biasanya ditemukan pada permukaan daun dan akar (Supriadi 2006). P. fluorescens dapat menghasilkan pigmen pyoverdin dan atau fenazin pada media King s B dan akan berpendar di bawah sinar ultra violet (λnuv= 200 nm). Selain itu, P. fluorescens juga dapat menekan populasi patogen dengan cara melindungi akar dari serangan patogen dengan mengkolonisasi akar, menghasilkan senyawa kimia berupa antimikroba dan antibiotik, dan melakukan kompetisi dalam penyerapan Fe2 + (Lo 1998, Couillerot et al. 2009). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Handini (2011), perlakuan tunggal P. fluorescens RH4003 juga dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman tomat, meskipun perlakuan kombinasi P. fluorescens RH4003 dengan isolat bakteri endofit BC10 meningkatkan pertumbuhan tanaman tomat lebih baik. Aplikasi tunggal telah membuktikan bahwa PGPR mempunyai kentungan yang dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Pada penelitian ini, bakteri perakaran yang digunakan adalah PGPR komersial yang di dalamnya terkandung dua spesies bakteri yaitu P. fluorescens dan B. polymyxa. Perlakuan kombinasi antara PGPR komersial dan unsur mikro (dengan MnSO 4, ZnSO 4, dan MnSO 4 +ZnSO 4 ), PGPR komersial dengan Growmore diharapkan lebih efektif dalam mengendalikan penyakit antraknosa, akan tetapi pelakuan kombinasi ini tidak berpengaruh nyata terhadap keparahan penyakit. Hal ini kemungkinan karena adanya kompetisi antara agen biokontrol yang ada pada PGPR dengan unsur mikro maupun Growmore. Kompetisi yang terjadi ini adalah kompetisi dalam mendapatkan ruang untuk tumbuh, dan kompetisi dalam mendapatkan nutrisi (Pracoyo 2013). Pada pengamatan tinggi, jumlah daun, jumlah buah, dan bobot buah cabai perlakuan kombinasi PGPR dengan salah satu unsur mikro MnSO 4 menghasilkan nilai yang lebih baik dibanding perlakuan kombinasi PGPR dengan unsur mikro ZnSO 4, MnSO 4 +ZnSO 4, dan Growmore. Hal ini sesuai dengan penelitian Maria (2010) bahwa perlakuan PGPR campuran (PG01 + BG25), mampu menghasilkan buah dengan bobot dan jumlah yang lebih tinggi dibanding dengan tanpa PGPR. Hasil penelitian Wardani (2012) menunjukkan bahwa perlakuan kombinasi kurang memberikan hasil yang baik terhadap pertumbuhan tanaman tomat. Hal ini dapat terjadi karena adanya kompetisi antara dua bakteri yang diaplikasikan. Kompetisi ruang dan nutrisi dapat terjadi sehingga mempengaruhi penghambatan patogen. Nutrisi yang kurang pada media tanam akan memperparah kompetisi antar dua agens biokontrol dan hal ini akan membuat patogen lebih leluasa untuk berkembang sehingga pertumbuhan tanaman akan terganggu (Nurbaya et al. 2011).

37 15 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan PGPR yang dikombinasikan dengan salah satu unsur mikro (MnSO 4 atau ZnSO 4 ) cukup efektif dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman, namun PGPR yang dikombinasikan dengan dua unsur mikro sekaligus (MnSO 4 +ZnSO 4 ) dan PGPR saja kurang efektif dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman. Kombinasi perlakuan PGPR+MnSO 4 terlihat lebih efektif dalam meningkatkan tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah buah, dan bobot buah cabai dibanding perlakuan Konvensional. Seluruh kombinasi perlakuan PGPR maupun Konvensional belum mampu menekan keparahan penyakit antraknosa di lapangan. Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan menggunakan kombinasi unsur mikro yang lebih beragam dan meningkatkan frekuensi aplikasi PGPR dan kombinasinya di lapangan sehingga memungkinkan semakin tingginya kolonisasi PGPR pada akar.

38 16 DAFTAR PUSTAKA Agrios GN Plant Pathology. Edisi ke-5. London (GB): Elsevier Academic Press. Alexopoulus JC Introductory Mycology. Edisi ke-4. New York (US): John Wiley&Sons. Ameriana M, W Adiyoga, dan L Setiawati Pola konsumsi dan selera konsumsi cabai dan kentang tingkat lembaga. Buletin Penelitian Hortikultura 8(3): AVRDC Evaluation of Phenotypic and Moleculer Criteria for the Identification for Colletotrichum spesies Causing Pepper Antrachnose in Taiwan, p In AVRDC Report Taiwan. [BPS]. Badan Pusat Statistik Produksi cabai besar, cabai rawit, dan bawang merah tahun 2012 [Internet]. [diunduh 2013 Agu 1]. Tersedia pada: Bakker PAHM, Pieterse CMJ, Van Loon LC Induced systemic resistance by fluorescent Pseudomonas spp. The Nature and Application of Biocontrol Microbes III: Pseudomonas spp. 97 (2): Couillerot O, Combaret CP, Mellado JC, Loccoz YM Pseudomonas fluorescens and closely-related fluorescent pseudomonas as biocontrol agents of soil-borne phytopathogens. Letters in Apllied Microbiology. 48(2009): doi: /j X x. [DEPTAN]. Departemen Pertanian Mutu standardisasi benih [Internet] [diunduh 2014 Jul 22]. Tersedia pada: STANDARDISASI /STANDAR- MUTU/Standar_nasional/SNI_Horti/Benih/SNI pdf. Dey R, Pal KK, Bhatt DM, Chauhan SM Growth promotion and yield enhancement of peanut (Arachis hypogaea L.) by application of plant growth promoting rhizobacteria. Microbiology Research. 159(4): Duriat AS Hasil penelitian cabai merah TA 1993/1994. Prosiding Seminar dan Evaluasi Hasil Penelitian Hortikultura; Jakarta. Jakarta (ID): hlm Duriat AS, N Gunaeni, dan AW Wulandari Penyakit Penting Pada Tanaman Cabai dan Pengendaliannya. Bandung (ID): Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Gholami A, Shahsavani S, Nezarat S The effect of plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) on germination, seedling growth and yield of maize. Journal World Academy of Science, Engineering and Technology. 49: Glick BR, Pasternak JJ Molecular Biotechnology. Edisi ke-3. Washington DC (US): ASM Press. Handini ZVT Keefektifan bakteri endofit dan Plant Growth Promoting Rhizobacteria dalam menekan penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) pada tomat [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

39 Hariprasad P, Divakara ST, Niranjana SR Isolation and characterization of chitinolytic rhizobacteria for the management of Fusarium wilt in tomato. Crop Protection [internet]. [diunduh 2014 Okt 2]; (30): Tersedia pada: Hasanudin Peningkatan Peranan Mikroorganisme dalam Sistem Pengendalian Penyakit Tumbuhan Secara Terpadu. Sumatera Utara (ID): USU Digital Library. Herwidyarti KH, Ratih S, Sembodo DRJ Keparahan penyakit antraknosa pada cabai (Capsicum annum L.) dan berbagai jenis gulma. Jurnal Agrotek Tropika. 1(1): Khalimi K, Wirya GNAS Pemanfaatan plant growth promoting rhizobacteria untuk biostimulants dan bioprotectants. Ecotrophic. 4(2): Kobraee S, Shamsi K, Rasekhi B Effect of micronutriens application on yield and yield components of soybean. Annals of Biological Research. [Internet] [diunduh 2013 Nov 3]; 2(2): Tersedia pada: Kusandriani Y Pengaruh naungan kasa terhadap hasil beberapa kultivar cabai. Jurnal Hortikultura. 6(1): Kusandriani Y, Muharam A Produksi Benih Cabai. Lembang (ID): Balai Penelitian Tanaman Sayuran. Lo CT General mechanisms of action of microbial biocontrol agents. Plant Pathology Bulletin. (7): Makari HK, Ravikumer PHS, Abhilash M, Mohan KHD. (2009). Genetic diversity in commercial varieties of chilli as revealed by RAPD method. Indian Journal Science Technology. (2): Maria S Pengaruh aplikasi bakteri perakaran pemacu pertumbuhan tanaman pada tiga genotipe cabai (Capsicum annum L.) terhadap pertumbuhan tanaman serta kejadian penting penyakit cabai [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Jones JB, Jones JP, Stall RE, Zitter TA, editor Compendium of Tomato Diseases. Minnesota [US]: The American Phytopathological Society. Nawangsih AA Seleksi dan karakterisasi bakteri biokontrol untuk mengendalikan penyakit layu bakteri (Ralstonia solanacearum) pada tomat [disertasi]. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor. Nelson LM Plant growth promoting rhizobacteria (PGPR): prospects for new inoculants. Crop Management. [Internet] [diunduh 2014 Jun 20]; 3(1):2-10. Tersedia pada: Nihorimbere V, Ongena M, Cawoy H, Brostaux Y, Kakana P, Jourdan E, Thonart P Beneficial effect of Bacillus subtilis on field-grown tomato in Burundi: reduction of local Fusarium disease and growth promotion. African Journal of Microbiology Research. 4(11): Nurbaya, Rahim MD, Kuswinanti T, Baharuddin Sinergisme antar isolat bakteri antagonis dalam mengendalikan penyakit layu bakteri (R.solanacearum) pada sistem budidaya aeroponik tanaman kentang. Seminar dan Pertemuan Tahunan XXI PEI, PFI Komda Sulawesi Selatan 17

40 18 dan Dinas Perkebunan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan; 2011 Jun 7; Makassar [internet]. [diunduh 2013 Okt 2]. Tersedia pada: Pakdeevaraporn P, Wasee S, Taylor PWJ, Mongkolporn O. (2005). Inheritance of resistance to anthracnose caused by Colletotrichum capsici in Capsicum. Plant Breeding. (124): Park Differential interaction between pepper genotypes and colletotrichum isolates causing anthracnose [tesis]. Seoul (KR): Seoul Nath. Univ. Piay SS, Tyasdjaja A, Ermawati Y, Hantoro FRP Budidaya dan Pascapanen Cabai Merah (Capsicum annum L.). Ungaran (ID): BPTP Jawa Tengah. Pracoyo A Pengaruh plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) dan pupuk mikro terhadap penyakit karat puru dan pertumbuhan tanaman sengon (Paraserianthes falcataria) di lapangan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Purwanto S, Tjahjono B Pengamatan penyakit layu bakteri pada tomat di greenhouse dan pengujian agens antagonis. Di dalam: Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Prosiding Kongres Nasional XVI dan seminar Ilmiah; 2001 Agu 22-24; Bogor [internet]. [diunduh 2014 Okt 7]. Tersedia pada: hlm Rahmawati R, Deviani MR, Suriani N Pengaruh suhu dan lama penyimpanan terhadap kandungan vitamin C pada cabai rawit putih (Capsicum frustescens). Jurnal Biologi. 13(2): Ratdiana Kajian pemanfaatan air kelapa dan limbah cair peternakan sebagai media alternatif perbanayakan Pseudomonas fluorescens serta uji potensi antagonismenya terhadap Ralstonia solanacearum [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Sastrosumarjo S Pembentukan Varietas Cabai Tahan Penyakit Antraknosa dengan Pendekatan Metode Konvensional dan Bioteknologi. Laporan Akhir Riset Unggulan Terpadu VIII Bidang Teknologi Hasil Pertanian. Kementrian Riset dan Teknologi RI: Lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia. Schaad NW, Jones JB, Chun W, editor Plant Pathogenic Bacteria. Ed ke- 3. Amerika (US): APS Press. Setiadi Bertanam Cabai. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Sharma PN, Kaur M, Sharma OP, Sharma P, Pathania A Morphological, pathological and molecular variability in Colletotrichum capsici, the cause of fruit rot of chillies in the subtropical region of north-western. Indian Journal Phytopathology. (153): Supriadi Analisis risiko agens hayati untuk pengendalian patogen pada tanaman. Jurnal Litbang Pertanian. 25 (3): Sutariati GAK, Widodo, Sudarsono, Ilyas S Pengaruh perlakuan rizobakteri pemacu pertumbuhan tanaman terhadap viabilitas benih serta pertumbuhan bibit tanaman cabai. Buletin Aronomi. 34 (1): 46 54

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Kombinasi Agens Biokontrol terhadap Kejadian Penyakit Layu Bakteri

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Kombinasi Agens Biokontrol terhadap Kejadian Penyakit Layu Bakteri HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Kombinasi Agens Biokontrol terhadap Kejadian Penyakit Layu Bakteri Kejadian penyakit adalah angka yang menunjukkan jumlah tanaman sakit dibandingkan dengan jumlah tanaman

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Penyiapan tanaman uji

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Penyiapan tanaman uji BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2010 Maret 2011. Penelitian dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penyiapan Tanaman Uji Pemeliharaan dan Penyiapan Suspensi Bakteri Endofit dan PGPR

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penyiapan Tanaman Uji Pemeliharaan dan Penyiapan Suspensi Bakteri Endofit dan PGPR 17 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan di Rumah Kaca, University Farm,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan komoditas sayuran yang banyak

I. PENDAHULUAN. Cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan komoditas sayuran yang banyak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan komoditas sayuran yang banyak digemari oleh masyarakat. Ciri dari jenis sayuran ini adalah rasanya yang pedas dan aromanya yang

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan di Desa Manjung, Kecamatan Sawit, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Kecamatan Sawit memiliki ketinggian tempat 150 m dpl. Penelitian ini dilaksanakan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT PADA BUDIDAYA CABAI MERAH

IDENTIFIKASI DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT PADA BUDIDAYA CABAI MERAH IDENTIFIKASI DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT PADA BUDIDAYA CABAI MERAH Nurbaiti Pendahuluan Produktifitas cabai di Aceh masih rendah 10.3 ton/ha (BPS, 2014) apabila dibandingkan dengan potensi produksi yang

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan dan Rumah Kaca University Farm, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Ditinjau dari aspek pertanaman maupun nilai produksi, cabai (Capsicum annuum L. ) merupakan salah satu komoditas hortikultura andalan di Indonesia. Tanaman cabai mempunyai luas

Lebih terperinci

TAHLIYATIN WARDANAH A

TAHLIYATIN WARDANAH A PEMANFAATAN BAKTERI PERAKARAN PEMACU PERTUMBUHAN TANAMAN (PLANT GROWTH- PROMOTING RHIZOBACTERIA) UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT MOSAIK TEMBAKAU (TOBACCO MOSAIC VIRUS) PADA TANAMAN CABAI TAHLIYATIN WARDANAH

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh PGPR terhadap Laju Pertambahan Tinggi Tanaman Kedelai

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh PGPR terhadap Laju Pertambahan Tinggi Tanaman Kedelai 23 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh PGPR terhadap Laju Pertambahan Tinggi Tanaman Kedelai PGPR sebagai rizobakteria memberikan pengaruh tertentu terhadap pertumbuhan tanaman kedelai yang diujikan di rumah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pembiakan P. fluorescens pada Beberapa Formulasi Limbah Organik Populasi P. fluorescens pada beberapa limbah organik menunjukkan adanya peningkatan populasi. Pengaruh komposisi limbah

Lebih terperinci

PENGARUH RIZOBAKTERI DAN PUPUK FOSFAT DALAM MENINGKATKAN PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN TETUA BETINA JAGUNG HIBRIDA

PENGARUH RIZOBAKTERI DAN PUPUK FOSFAT DALAM MENINGKATKAN PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN TETUA BETINA JAGUNG HIBRIDA 31 PENGARUH RIZOBAKTERI DAN PUPUK FOSFAT DALAM MENINGKATKAN PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN TETUA BETINA JAGUNG HIBRIDA Abstract The use of quality seeds from improved varieties will produce more productive

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman cabai (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu komoditas hortikultura yang banyak dibudidayakan oleh petani di Indonesia, karena memiliki harga jual yang tinggi.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kesuburan tanah menurun cepat, pencemaran air dan tanah, bahaya residu

I. PENDAHULUAN. kesuburan tanah menurun cepat, pencemaran air dan tanah, bahaya residu I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gerakan kembali ke alam (back to nature) yang dilandasi oleh kesadaran pentingnya kesehatan dan kelestarian lingkungan kini menjadi sebuah gaya hidup masyarakat dunia.

Lebih terperinci

ADAPTASI BEBERAPA GALUR TOMAT (Lycopersicon esculentum Mill.) DI LAHAN MEDIUM BERIKLIM BASAH DI BALI DENGAN BUDIDAYA ORGANIK

ADAPTASI BEBERAPA GALUR TOMAT (Lycopersicon esculentum Mill.) DI LAHAN MEDIUM BERIKLIM BASAH DI BALI DENGAN BUDIDAYA ORGANIK ADAPTASI BEBERAPA GALUR TOMAT (Lycopersicon esculentum Mill.) DI LAHAN MEDIUM BERIKLIM BASAH DI BALI DENGAN BUDIDAYA ORGANIK Ida Bagus Aribawa dan I Ketut Kariada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Klasifikasi dan Deskripsi Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutescensl.)

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Klasifikasi dan Deskripsi Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutescensl.) 8 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Deskripsi Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutescensl.) Menurut Cronquist (1981), klasifikasi tanaman cabai rawit adalah sebagai berikut : Kerajaan Divisi Kelas

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Bahan Waktu dan Tempat Penelitian Rancangan Percobaan ProsedurPenelitian

BAHAN DAN METODE Bahan Waktu dan Tempat Penelitian Rancangan Percobaan ProsedurPenelitian 11 BAHAN DAN METODE Bahan Bahan tanaman yang digunakan adalah benih jagung hibrida varietas BISI 816 produksi PT. BISI International Tbk (Lampiran 1) dan benih cabai merah hibrida varietas Wibawa F1 cap

Lebih terperinci

PENGARUH APLIKASI STARTER SOLUTION PADA TIGA GENOTIPE CABAI (Capsicum annuum L.) TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN SERTA KEJADIAN PENYAKIT PENTING CABAI

PENGARUH APLIKASI STARTER SOLUTION PADA TIGA GENOTIPE CABAI (Capsicum annuum L.) TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN SERTA KEJADIAN PENYAKIT PENTING CABAI PENGARUH APLIKASI STARTER SOLUTION PADA TIGA GENOTIPE CABAI (Capsicum annuum L.) TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN SERTA KEJADIAN PENYAKIT PENTING CABAI Triyani Dumaria DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS

Lebih terperinci

PENYAKIT PENYAKIT YANG SERING MENYERANG CABAI MERAH (Capsicum annuum L.)

PENYAKIT PENYAKIT YANG SERING MENYERANG CABAI MERAH (Capsicum annuum L.) PENYAKIT PENYAKIT YANG SERING MENYERANG CABAI MERAH (Capsicum annuum L.) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Masalah yang sering dihadapi dan cukup meresahkan petani adalah adanya serangan hama

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Budidaya Cabai Keriting Hibrida TM 999 secara Konvensional dan PHT

HASIL DAN PEMBAHASAN Budidaya Cabai Keriting Hibrida TM 999 secara Konvensional dan PHT HASIL DAN PEMBAHASAN Budidaya Cabai Keriting Hibrida TM 999 secara Konvensional dan PHT Budidaya konvensional merupakan budidaya cabai yang menggunakan pestisida kimia secara intensif dalam mengendalikan

Lebih terperinci

Pengaruh Pupuk Hayati Terhadap Produktivitas Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutescens L.) Varietas Bhaskara di PT Petrokimia Gresik

Pengaruh Pupuk Hayati Terhadap Produktivitas Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutescens L.) Varietas Bhaskara di PT Petrokimia Gresik TUGAS AKHIR - SB09 1358 Pengaruh Pupuk Hayati Terhadap Produktivitas Tanaman Cabai Rawit (Capsicum frutescens L.) Varietas Bhaskara di PT Petrokimia Gresik Oleh : Shinta Wardhani 1509 100 008 Dosen Pembimbing

Lebih terperinci

PENGARUH TEPUNG DAUN CENGKEH TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TOMAT ORGANIK

PENGARUH TEPUNG DAUN CENGKEH TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TOMAT ORGANIK PENGARUH TEPUNG DAUN CENGKEH TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TOMAT ORGANIK (Effect of Cloves (Syzygium aromaticum) Leaves Powder on The Growth and Yield of Organik Tomatoes (Solanum lycopersicum )) Evita

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tomat (Lycopersicum esculantum Mill.) merupakan salah satu komoditas

BAB I PENDAHULUAN. Tomat (Lycopersicum esculantum Mill.) merupakan salah satu komoditas BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tomat (Lycopersicum esculantum Mill.) merupakan salah satu komoditas yang bersifat multiguna dan banyak diminati oleh masyarakat, khususnya di Indonesia, saat ini tomat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Teknologi pertanian, khususnya dalam pengendalian penyakit tanaman di

BAB I PENDAHULUAN. Teknologi pertanian, khususnya dalam pengendalian penyakit tanaman di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Teknologi pertanian, khususnya dalam pengendalian penyakit tanaman di Indonesia masih banyak mengandalkan penggunaan pestisida. Penggunaan pestisida yang tidak bijaksana

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu penelitian Bahan dan Alat Isolasi dan Uji Reaksi Hipersensitif Bakteri Penghasil Siderofor

BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu penelitian Bahan dan Alat Isolasi dan Uji Reaksi Hipersensitif Bakteri Penghasil Siderofor BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dari Oktober 2010

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum 16 HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Keadaan tanaman cabai selama di persemaian secara umum tergolong cukup baik. Serangan hama dan penyakit pada tanaman di semaian tidak terlalu banyak. Hanya ada beberapa

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE. Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dari bulan Februari sampai

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tabel 1 Kombinasi perlakuan yang dilakukan di lapangan

BAHAN DAN METODE. Tabel 1 Kombinasi perlakuan yang dilakukan di lapangan 13 BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu Penelitian ini dilaksanakan di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor serta di Laboratorium Bakteriologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

TERM OF REFFERENCE (TOR) PENINGKATAN SERAPAN HARA, PENGISIAN TONGKOL, DAN PENCEGAHAN SERANGAN PENYAKIT HAWAR DAUN PADA TANAMAN JAGUNG (Zea mays)

TERM OF REFFERENCE (TOR) PENINGKATAN SERAPAN HARA, PENGISIAN TONGKOL, DAN PENCEGAHAN SERANGAN PENYAKIT HAWAR DAUN PADA TANAMAN JAGUNG (Zea mays) TERM OF REFFERENCE (TOR) PENINGKATAN SERAPAN HARA, PENGISIAN TONGKOL, DAN PENCEGAHAN SERANGAN PENYAKIT HAWAR DAUN PADA TANAMAN JAGUNG (Zea mays) 2016 PENDAHULUAN Daerah rhizosper tanaman banyak dihuni

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit antraknosa pada tanaman cabai disebabkan oleh tiga spesies cendawan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit antraknosa pada tanaman cabai disebabkan oleh tiga spesies cendawan 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Antraknosa Cabai Penyakit antraknosa pada tanaman cabai disebabkan oleh tiga spesies cendawan Colletotrichum yaitu C. acutatum, C. gloeosporioides, dan C. capsici (Direktorat

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Pembiakan P. fluorescens dari Kultur Penyimpanan

BAHAN DAN METODE. Pembiakan P. fluorescens dari Kultur Penyimpanan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor mulai bulan Februari

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada di lahan sawah milik warga di Desa Candimas

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan pada di lahan sawah milik warga di Desa Candimas 16 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada di lahan sawah milik warga di Desa Candimas Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan. Penelitian ini dilakukan

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENYEBAB PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA TANAMAN TEMBAKAU DI PROBOLINGGO

KARAKTERISTIK PENYEBAB PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA TANAMAN TEMBAKAU DI PROBOLINGGO KARAKTERISTIK PENYEBAB PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA TANAMAN TEMBAKAU DI PROBOLINGGO Pendahuluan Tembakau merupakan salah satu komoditas perkebunan yang strategis dan memiliki nilai ekonomi cukup tinggi.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Komoditas hortikultura terutama jenis sayur-sayuran dan buah-buahan sangat diminati oleh konsumen. Sayuran diminati konsumen karena kandungan gizinya baik dan dapat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan, tetapi juga untuk mendukung

I. PENDAHULUAN. bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pangan, tetapi juga untuk mendukung 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai [Glycine max (L.) Merril] merupakan komoditas strategis di Indonesia. Oleh karena itu, upaya untuk berswasembada kedelai tidak hanya bertujuan untuk memenuhi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi Bakteri Endofit Asal Bogor, Cipanas, dan Lembang Bakteri endofit yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari tiga tempat yang berbeda dalam satu propinsi Jawa Barat. Bogor,

Lebih terperinci

PENGENDALIAN LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN PISANG (Musa paradisiaca L.) SECARA KULTUR TEKNIS DAN HAYATI MIFTAHUL HUDA

PENGENDALIAN LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN PISANG (Musa paradisiaca L.) SECARA KULTUR TEKNIS DAN HAYATI MIFTAHUL HUDA PENGENDALIAN LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN PISANG (Musa paradisiaca L.) SECARA KULTUR TEKNIS DAN HAYATI MIFTAHUL HUDA DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 ABSTRAK MIFTAHUL

Lebih terperinci

III. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian dilakukan di Laboratorium dan Lahan Percobaan Fakultas

III. TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Penelitian dilakukan di Laboratorium dan Lahan Percobaan Fakultas III. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium dan Lahan Percobaan Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan dilaksanakan pada bulan Juli

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sebagian besar produk perkebunan utama diekspor ke negara-negara lain. Ekspor. teh dan kakao (Kementerian Pertanian, 2015).

PENDAHULUAN. Sebagian besar produk perkebunan utama diekspor ke negara-negara lain. Ekspor. teh dan kakao (Kementerian Pertanian, 2015). 12 PENDAHULUAN Latar Belakang Sub-sektor perkebunan merupakan penyumbang ekspor terbesar di sektor pertanian dengan nilai ekspor yang jauh lebih besar dibandingkan nilai impornya. Sebagian besar produk

Lebih terperinci

BUDIDAYA CABAI PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

BUDIDAYA CABAI PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA BUDIDAYA CABAI PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA 1. PERENCANAAN TANAM 1. Pemilihan lokasi tanam 2. Sistem tanam 3. Pola tanam 4. Waktu tanam 5. Pemilihan varietas Perencanaan Persyaratan Tumbuh

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian 10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Dramaga, Bogor. Sejarah lahan sebelumnya digunakan untuk budidaya padi konvensional, dilanjutkan dua musim

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jagung manis (Zea mays var. saccarata) adalah tanaman pangan yang kebutuhan

I. PENDAHULUAN. Jagung manis (Zea mays var. saccarata) adalah tanaman pangan yang kebutuhan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jagung manis (Zea mays var. saccarata) adalah tanaman pangan yang kebutuhan setiap tahunnya meningkat sehubungan dengan pertambahan penduduk yang senang mengkonsumsinya.

Lebih terperinci

Tabel 1 Persentase penghambatan koloni dan filtrat isolat Streptomyces terhadap pertumbuhan S. rolfsii Isolat Streptomyces spp.

Tabel 1 Persentase penghambatan koloni dan filtrat isolat Streptomyces terhadap pertumbuhan S. rolfsii Isolat Streptomyces spp. 4 Tinggi tanaman kumulatif dikonversi menjadi LADKT (luasan area di bawah kurva perkembangan tinggi tanaman) menggunakan rumus sama seperti perhitungan LADKP. KB dihitung dengan rumus (Sutopo 2002): Perhitungan

Lebih terperinci

I. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung.

I. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung. I. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung, Bandar Lampung. Waktu penelitian dilaksanakan sejak bulan Mei 2010 sampai dengan panen sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Cabai (Capsicum annuum L.) adalah salah satu komoditas hortikultura

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Cabai (Capsicum annuum L.) adalah salah satu komoditas hortikultura 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cabai (Capsicum annuum L.) adalah salah satu komoditas hortikultura yang mempunyai prospek pengembangan dan pemasaran yang cukup baik karena banyak dimanfaatkan oleh

Lebih terperinci

Jurnal Cendekia Vol 12 No 1 Januari 2014 ISSN

Jurnal Cendekia Vol 12 No 1 Januari 2014 ISSN PENGARUH DOSIS PUPUK AGROPHOS DAN JARAK TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI TANAMAN CABAI (Capsicum Annum L.) VARIETAS HORISON Pamuji Setyo Utomo Dosen Fakultas Pertanian Universitas Islam Kadiri (UNISKA)

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu Penelitian. Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di kebun percobaan Cikabayan-University Farm IPB, Darmaga Bogor. Areal penelitian bertopografi datar dengan elevasi 250 m dpl dan curah

Lebih terperinci

MENGENAL LEBIH DEKAT PENYAKIT LAYU BEKTERI Ralstonia solanacearum PADA TEMBAKAU

MENGENAL LEBIH DEKAT PENYAKIT LAYU BEKTERI Ralstonia solanacearum PADA TEMBAKAU PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO DINAS PERKEBUNAN DAN KEHUTANAN JL. RAYA DRINGU 81 TELPON 0335-420517 PROBOLINGGO 67271 MENGENAL LEBIH DEKAT PENYAKIT LAYU BEKTERI Ralstonia solanacearum PADA TEMBAKAU Oleh

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Isolasi dan Identifikasi Cendawan Patogen

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Isolasi dan Identifikasi Cendawan Patogen 14 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Percobaan dilaksanakan dari bulan Maret sampai bulan Juli 2012 di Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. industri masakan dan industri obat-obatan atau jamu. Pada tahun 2004, produktivitas

BAB I PENDAHULUAN. industri masakan dan industri obat-obatan atau jamu. Pada tahun 2004, produktivitas 2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Cabai (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu komoditas unggulan hortikultura Indonesia, selain digunakan untuk keperluan rumah tangga, saat ini cabai juga

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cabai Klasifikasi ilmiah cabai adalah Kingdom : Plantae Divisi : Magnolyophyta Kelas : Magnolyopsida Ordo : Solanales Famili : Solanaceae Genus : Capsicum Spesies : Capsicum

Lebih terperinci

Teknologi Pengendalian Penyakit Antraknos Pada Tanaman Cabai

Teknologi Pengendalian Penyakit Antraknos Pada Tanaman Cabai Teknologi Pengendalian Penyakit Antraknos Pada Tanaman Cabai Tidak ada yang dapat memungkiri bahwa antraknos atau yang lebih dikenal dengan istilah patek adalah penyakit yang hingga saat ini masih menjadi

Lebih terperinci

EKSPLORASI Pseudomonad fluorescens DARI PERAKARAN GULMA PUTRI MALU (Mimosa invisa)

EKSPLORASI Pseudomonad fluorescens DARI PERAKARAN GULMA PUTRI MALU (Mimosa invisa) EKSPLORASI Pseudomonad fluorescens DARI PERAKARAN GULMA PUTRI MALU (Mimosa invisa) A. Pendahuluan Pseudomonad fluorescens merupakan anggota kelompok Pseudomonas yang terdiri atas Pseudomonas aeruginosa,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sukabanjar Kecamatan Gedong Tataan

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sukabanjar Kecamatan Gedong Tataan 21 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Desa Sukabanjar Kecamatan Gedong Tataan Kabupaten Pesawaran dan Laboratorium Agronomi Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu 15 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di laboratorium dan rumah kaca Hama dan Penyakit dan rumah kaca Balai penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITTRO), Bogor; pada bulan Oktober

Lebih terperinci

SELEKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERI ENDOFIT UNTUK MENEKAN KEJADIAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA TANAMAN TOMAT IKA DAMAYANTI

SELEKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERI ENDOFIT UNTUK MENEKAN KEJADIAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA TANAMAN TOMAT IKA DAMAYANTI SELEKSI DAN KARAKTERISASI BAKTERI ENDOFIT UNTUK MENEKAN KEJADIAN PENYAKIT LAYU BAKTERI (Ralstonia solanacearum) PADA TANAMAN TOMAT IKA DAMAYANTI DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

INTENSITAS SERANGAN PENYAKIT ANTRAKNOSA (Colletotrichum sp) PADA VARIETAS/GALUR DAN HASIL SORGUM

INTENSITAS SERANGAN PENYAKIT ANTRAKNOSA (Colletotrichum sp) PADA VARIETAS/GALUR DAN HASIL SORGUM INTENSITAS SERANGAN PENYAKIT ANTRAKNOSA (Colletotrichum sp) PADA VIETAS/GALUR DAN HASIL SORGUM Soenartiningsih dan A. Haris Talanca Balai Penelitian Tanaman Serealia Maros ABSTRAK Penyakit antraknosa yang

Lebih terperinci

PERLAKUAN AGEN ANTAGONIS DAN GUANO UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT DAN HAMA PENGGEREK BUAH TANAMAN TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill) DI LAPANGAN

PERLAKUAN AGEN ANTAGONIS DAN GUANO UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT DAN HAMA PENGGEREK BUAH TANAMAN TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill) DI LAPANGAN PERLAKUAN AGEN ANTAGONIS DAN GUANO UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT DAN HAMA PENGGEREK BUAH TANAMAN TOMAT (Lycopersicum esculentum Mill) DI LAPANGAN IZZATI SHABRINA DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas 24 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Lampung dari bulan September 2012 sampai bulan Januari 2013. 3.2 Bahan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Cabai merupakan salah satu komoditas hortikultura yang banyak. dibudidayakan oleh petani di Indonesia, karena memiliki harga jual yang

I. PENDAHULUAN. Cabai merupakan salah satu komoditas hortikultura yang banyak. dibudidayakan oleh petani di Indonesia, karena memiliki harga jual yang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cabai merupakan salah satu komoditas hortikultura yang banyak dibudidayakan oleh petani di Indonesia, karena memiliki harga jual yang tinggi dan memiliki beberapa manfaat

Lebih terperinci

FORMULASI BAKTERI PERAKARAN (PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA-PGPR)

FORMULASI BAKTERI PERAKARAN (PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA-PGPR) FORMULASI BAKTERI PERAKARAN (PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA-PGPR) Pendahuluan Pemanfaatan bakteri perakaran atau PGPR dalam bidang perlindungan telah banyak dilaporkan pada beberapa tanaman dan dilaporkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. udara yang baik untuk pertumbuhan tanaman cabai adalah 25-27º C pada siang

II. TINJAUAN PUSTAKA. udara yang baik untuk pertumbuhan tanaman cabai adalah 25-27º C pada siang 10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Umum Tanaman Cabai Tanaman cabai mempunyai daya adaptasi yang cukup luas. Tanaman ini dapat diusahakan di dataran rendah maupun dataran tinggi sampai ketinggian 1400

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Rizobakteri Pemacu Pertumbuhan Tanaman (PGPR) Enzim ACC Deaminase dan Etilen

TINJAUAN PUSTAKA Rizobakteri Pemacu Pertumbuhan Tanaman (PGPR) Enzim ACC Deaminase dan Etilen TINJAUAN PUSTAKA Rizobakteri Pemacu Pertumbuhan Tanaman (PGPR) Rizobakteri pemacu tumbuh tanaman yang populer disebut plant growth promoting rhizobacteria (PGPR) diperkenalkan pertama kali oleh Kloepper

Lebih terperinci

BAHAN. bulan Juli diremajakan. pertumbuhan. Gambar 4

BAHAN. bulan Juli diremajakan. pertumbuhan. Gambar 4 14 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian serta di Rumah Kaca University Farm, Institut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cabai merah merupakan jenis tanaman hortikultura yang cukup banyak

BAB I PENDAHULUAN. Cabai merah merupakan jenis tanaman hortikultura yang cukup banyak BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cabai merah merupakan jenis tanaman hortikultura yang cukup banyak ditanam di Indonesia yang memiliki nilai dan permintaan cukup tinggi (Arif, 2006). Hal tersebut dibuktikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Kedelai menjadi tanaman terpenting ketiga setelah padi dan jagung

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Kedelai menjadi tanaman terpenting ketiga setelah padi dan jagung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kedelai (Glycine max L.) merupakan salah satu komoditas strategis di Indonesia. Kedelai menjadi tanaman terpenting ketiga setelah padi dan jagung (Danapriatna, 2007).

Lebih terperinci

Peluang Usaha Budidaya Cabai?

Peluang Usaha Budidaya Cabai? Sambal Aseli Pedasnya Peluang Usaha Budidaya Cabai? Tanaman cabai dapat tumbuh di wilayah Indonesia dari dataran rendah sampai dataran tinggi. Peluang pasar besar dan luas dengan rata-rata konsumsi cabai

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung di Desa Muara Putih Kecamatan Natar Kabupaten Lampung

Lebih terperinci

PENGARUH PEMBERIAN NITROGEN DAN KOMPOS TERHADAP KOMPONEN PERTUMBUHAN TANAMAN LIDAH BUAYA (Aloe vera)

PENGARUH PEMBERIAN NITROGEN DAN KOMPOS TERHADAP KOMPONEN PERTUMBUHAN TANAMAN LIDAH BUAYA (Aloe vera) PENGARUH PEMBERIAN NITROGEN DAN KOMPOS TERHADAP KOMPONEN PERTUMBUHAN TANAMAN LIDAH BUAYA (Aloe vera) ABSTRAK Noverita S.V. Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Sisingamangaraja-XII Medan Penelitian

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan tanaman hortikultura yang tergolong sayuran rempah dengan manfaatkan bagian umbinya. Bawang merah berfungsi sebagai pelengkap

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi dan Reaksi Hipersensitif Bakteri Penghasil Siderofor Asal Cipanas dan Lembang Daerah perakaran tanaman tomat sehat diduga lebih banyak dikolonisasi oleh bakteri yang bermanfaat

Lebih terperinci

PENGARUH KOMPOSISI MEDIA LIMBAH PLTU TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN TOMAT DAN INTENSITAS SERANGAN PENYAKIT LAYU FUSARIUM

PENGARUH KOMPOSISI MEDIA LIMBAH PLTU TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN TOMAT DAN INTENSITAS SERANGAN PENYAKIT LAYU FUSARIUM PENGARUH KOMPOSISI MEDIA LIMBAH PLTU TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN TOMAT DAN INTENSITAS SERANGAN PENYAKIT LAYU FUSARIUM KARYA ILMIAH TERTULIS (SKRIPSI) Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat untuk Menyelesaikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Nanas (Ananas comosus L. (Merr)) merupakan salah satu tanaman yang banyak

I. PENDAHULUAN. Nanas (Ananas comosus L. (Merr)) merupakan salah satu tanaman yang banyak I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Nanas (Ananas comosus L. (Merr)) merupakan salah satu tanaman yang banyak ditemukan di hampir semua daerah di Indonesia karena mudah dibudidayakan di lahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Antraknosa merupakan salah satu penyakit tanaman yang dapat menurunkan produksi tanaman bahkan dapat mengakibatkan gagal panen. Penyakit ini menyerang hampir semua tanaman.

Lebih terperinci

Ketahanan Penyakit Antraknosa terhadap Cabai Lokal dan Cabai Introduksi. Resistance to Anthracnose on Local and Introduction Chilies

Ketahanan Penyakit Antraknosa terhadap Cabai Lokal dan Cabai Introduksi. Resistance to Anthracnose on Local and Introduction Chilies Ketahanan Penyakit Antraknosa terhadap Cabai Lokal dan Cabai Introduksi Resistance to Anthracnose on Local and Introduction Chilies Abdul Hakim 1, Muhamad Syukur 1*, Widodo 2 1 Departemen Agronomi dan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah tanaman semusim yang tumbuh

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah tanaman semusim yang tumbuh 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Bawang merah (Allium ascalonicum L.) adalah tanaman semusim yang tumbuh membentuk rumpun dengan tinggi tanaman mencapai 15 40 cm. Perakarannya berupa akar

Lebih terperinci

KEPARAHAN PENYAKIT ANTRAKNOSA PADA CABAI (Capsicum annuum L) DAN BERBAGAI JENIS GULMA

KEPARAHAN PENYAKIT ANTRAKNOSA PADA CABAI (Capsicum annuum L) DAN BERBAGAI JENIS GULMA J Agrotek Tropika ISSN 2337-4993 102 Jurnal Agrotek Tropika 1(1):102-106, 2013 Vol 1, No 1: 102 106, Januari 2013 KEPARAHAN PENYAKIT ANTRAKNOSA PADA CABAI (Capsicum annuum L) DAN BERBAGAI JENIS GULMA Kristina

Lebih terperinci

Peluang Usaha Budidaya Cabe Merah

Peluang Usaha Budidaya Cabe Merah KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS Peluang Usaha Budidaya Cabe Merah NAMA : HERRY WICOYO NIM : 11.12.5939 KELAS : 11-SI-SI-08 STIMIK AMIKOM YOGYAKARTA KATA PENGANTAR Puji Syukur kita panjatkan kepada Allah SWT

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung (POLINELA). Waktu

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung (POLINELA). Waktu III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Politeknik Negeri Lampung (POLINELA). Waktu penelitian dilaksanakan sejak bulan Mei 2011 sampai dengan panen sekitar

Lebih terperinci

PENGARUH PENYIMPANAN DAN FREKUENSI INOKULASI SUSPENSI KONIDIA Peronosclerospora philippinensis TERHADAP INFEKSI PENYAKIT BULAI PADA JAGUNG

PENGARUH PENYIMPANAN DAN FREKUENSI INOKULASI SUSPENSI KONIDIA Peronosclerospora philippinensis TERHADAP INFEKSI PENYAKIT BULAI PADA JAGUNG PENGARUH PENYIMPANAN DAN FREKUENSI INOKULASI SUSPENSI KONIDIA Peronosclerospora philippinensis TERHADAP INFEKSI PENYAKIT BULAI PADA JAGUNG Burhanuddin Balai Penelitian Tanaman Serealia ABSTRAK Tanaman

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Terpadu dan Laboratorium Ilmu

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Terpadu dan Laboratorium Ilmu III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Lapang Terpadu dan Laboratorium Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Lampung dan dilaksanakan dari bulan

Lebih terperinci

PEMBUATAN BAHAN TANAM UNGGUL KAKAO HIBRIDA F1

PEMBUATAN BAHAN TANAM UNGGUL KAKAO HIBRIDA F1 PEMBUATAN BAHAN TANAM UNGGUL KAKAO HIBRIDA F1 Wahyu Asrining Cahyowati, A.Md (PBT Terampil Pelaksana) Balai Besar Perbenihan dan Proteksi Tanaman Perkebunan Surabaya I. Pendahuluan Tanaman kakao merupakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai

II. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani, Klasifikasi, dan Syarat Tumbuh Tanaman Cabai Cabai merupakan tanaman perdu dari famili terung-terungan (Solanaceae). Keluarga ini memiliki sekitar 90 genus dan sekitar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. allin dan allisin yang bersifat bakterisida (Rukmana, 1994).

BAB I PENDAHULUAN. allin dan allisin yang bersifat bakterisida (Rukmana, 1994). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bawang merah (Allium ascalonicum) merupakan salah satu komoditas unggulan di beberapa daerah di Indonesia, meskipun bukan merupakan kebutuhan pokok tetapi hampir selalu

Lebih terperinci

PENGARUH PENGGUNAAN PUPUK KANDANG DAN NPK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN KACANG TANAH

PENGARUH PENGGUNAAN PUPUK KANDANG DAN NPK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN KACANG TANAH Buana Sains Vol 6 No 2: 165-170, 2006 165 PENGARUH PENGGUNAAN PUPUK KANDANG DAN NPK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN KACANG TANAH Fauzia Hulopi PS Budidaya Pertanian, Fak. Pertanian, Universitas

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN HASIL BAWANG DAUN (Allium fistulosum L.) VARIETAS LINDA AKIBAT PEMBERIAN PUPUK KANDANG AYAM DAN PUPUK UREA

PERTUMBUHAN DAN HASIL BAWANG DAUN (Allium fistulosum L.) VARIETAS LINDA AKIBAT PEMBERIAN PUPUK KANDANG AYAM DAN PUPUK UREA PERTUMBUHAN DAN HASIL BAWANG DAUN (Allium fistulosum L.) VARIETAS LINDA AKIBAT PEMBERIAN PUPUK KANDANG AYAM DAN PUPUK UREA GROWTH AND YIELD OF SPRING ONION (Allium fistulosum L.) LINDA VARIETY DUE TO CHICKEN

Lebih terperinci

BUDIDAYA CABAI KERITING DALAM POT. Oleh: YULFINA HAYATI

BUDIDAYA CABAI KERITING DALAM POT. Oleh: YULFINA HAYATI BUDIDAYA CABAI KERITING DALAM POT Oleh: YULFINA HAYATI PENDAHULUAN Tanaman cabai (Capsicum annum) dalam klasifikasi tumbuhan termasuk ke dalam family Solanaceae. Tanaman ini berasal dari Amerika Tengah

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 13 HASIL DAN PEMBAHASAN Percobaan 1. Pengaruh Perendaman Benih dengan Isolat spp. terhadap Viabilitas Benih Kedelai. Aplikasi isolat TD-J7 dan TD-TPB3 pada benih kedelai diharapkan dapat meningkatkan perkecambahan

Lebih terperinci

PENGARUH PUPUK ORGANIK CAIR (POC) LIMBAH TERNAK DAN LIMBAH RUMAH TANGGA PADA TANAMAN KANGKUNG (Ipomoea reptans Poir) Oleh : Sayani dan Hasmari Noer *)

PENGARUH PUPUK ORGANIK CAIR (POC) LIMBAH TERNAK DAN LIMBAH RUMAH TANGGA PADA TANAMAN KANGKUNG (Ipomoea reptans Poir) Oleh : Sayani dan Hasmari Noer *) Jurnal KIAT Universitas Alkhairaat 8 (1) Juni 2016 e-issn : 2527-7367 PENGARUH PUPUK ORGANIK CAIR (POC) LIMBAH TERNAK DAN LIMBAH RUMAH TANGGA PADA TANAMAN KANGKUNG (Ipomoea reptans Poir) Oleh : Sayani

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Bawang Merah. yang merupakan kumpulan dari pelepah yang satu dengan yang lain. Bawang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Bawang Merah. yang merupakan kumpulan dari pelepah yang satu dengan yang lain. Bawang II. TINJAUAN PUSTAKA A. Bawang Merah Bawang merah termasuk dalam faimili Liliaceae yang termasuk tanaman herba, tanaman semusim yang tidak berbatang, hanya mempunyai batang semu yang merupakan kumpulan

Lebih terperinci

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Yogyakarta, GreenHouse di Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah

TATA CARA PENELITIAN. A. Tempat dan Waktu Penelitian. Yogyakarta, GreenHouse di Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah III. TATA CARA PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di lahan kering, Desa Gading PlayenGunungkidul Yogyakarta, GreenHouse di Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan dan Alat Metode Penelitian 15 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Percobaan dilaksanakan di Kebun Percobaan Margahayu Lembang Balai Penelitian Tanaman Sayuran 1250 m dpl mulai Juni 2011 sampai dengan Agustus 2012. Lembang terletak

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Cabai keriting (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu jenis sayuran penting

I. PENDAHULUAN. Cabai keriting (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu jenis sayuran penting 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Cabai keriting (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu jenis sayuran penting di Indonesia. Selain memiliki nilai gizi yang cukup tinggi, cabai juga memiliki

Lebih terperinci

Aviva Aviolita Parama Putri, M. Martosudiro dan T. Hadiastono

Aviva Aviolita Parama Putri, M. Martosudiro dan T. Hadiastono Jurnal HPT Volume 1 Nomor 3 September 2013 ISSN : 2338-4336 1 PENGARUH PLANT GROWTH PROMOTING RHIZOBACTERIA (PGPR) TERHADAP INFEKSI SOYBEAN MOSAIC VIRUS (SMV), PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI PADA TANAMAN KEDELAI

Lebih terperinci

PENGARUH AGENSIA HAYATI PSEUDOMONAD FLUORESEN TERHADAP PERKEMBANGAN PENYAKIT LAYU (Fusarium sp.) DAN PERTUMBUHAN TANAMAN CABAI (Capsicum Annum L.

PENGARUH AGENSIA HAYATI PSEUDOMONAD FLUORESEN TERHADAP PERKEMBANGAN PENYAKIT LAYU (Fusarium sp.) DAN PERTUMBUHAN TANAMAN CABAI (Capsicum Annum L. PENGARUH AGENSIA HAYATI PSEUDOMONAD FLUORESEN TERHADAP PERKEMBANGAN PENYAKIT LAYU (Fusarium sp.) DAN PERTUMBUHAN TANAMAN CABAI (Capsicum Annum L.) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam

Lebih terperinci

PENGARUH DOSIS PUPUK ANORGANIK NPK MUTIARA DAN CARA APLIKASI PEMUPUKAN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN MENTIMUN

PENGARUH DOSIS PUPUK ANORGANIK NPK MUTIARA DAN CARA APLIKASI PEMUPUKAN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN MENTIMUN Jurnal Cendekia Vol 11 Nomor 2 Mei 2013 PENGARUH DOSIS PUPUK ANORGANIK NPK MUTIARA DAN CARA APLIKASI PEMUPUKAN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL TANAMAN MENTIMUN (Cucumis sativus L.) VARIETAS HARMONY Oleh:

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian

BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian 14 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Terpadu Fakultas Pertanian Universitas Lampung Gedung Meneng, Kecamatan raja basa, Bandar Lampung

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai Cabai (Capsicum annuum L.) termasuk dalam genus Capsicum yang spesiesnya telah dibudidayakan, keempat spesies lainnya yaitu Capsicum baccatum, Capsicum pubescens,

Lebih terperinci

KAJIAN INTRODUKSI RHIZOBAKTERIA PSEUDOMONAD FLUORESCENS TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI CABAI DI LAPANG ABSTRAK

KAJIAN INTRODUKSI RHIZOBAKTERIA PSEUDOMONAD FLUORESCENS TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI CABAI DI LAPANG ABSTRAK KAJIAN INTRODUKSI RHIZOBAKTERIA PSEUDOMONAD FLUORESCENS TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI CABAI DI LAPANG Yenny Wuryandari, Sri Wiyatiningsih, Agus Sulistyono ABSTRAK Penggunaan rhizobakteria PGPR (Plant

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai nilai ekonomis tinggi serta mempunyai peluang pasar yang baik.

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai nilai ekonomis tinggi serta mempunyai peluang pasar yang baik. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cabai (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu komoditas sayuran yang mempunyai nilai ekonomis tinggi serta mempunyai peluang pasar yang baik. Buahnya dikenal sebagai

Lebih terperinci