TINGKAT KEJERAAN TIGA SPESIES TIKUS HAMA TERHADAP RODENTISIDA DAN UMPAN SERTA FAKTOR PENYEBABNYA MINKHAYA SILVIANA PUTRI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "TINGKAT KEJERAAN TIGA SPESIES TIKUS HAMA TERHADAP RODENTISIDA DAN UMPAN SERTA FAKTOR PENYEBABNYA MINKHAYA SILVIANA PUTRI"

Transkripsi

1 i TINGKAT KEJERAAN TIGA SPESIES TIKUS HAMA TERHADAP RODENTISIDA DAN UMPAN SERTA FAKTOR PENYEBABNYA MINKHAYA SILVIANA PUTRI DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 ii ABSTRACT MINKHAYA SILVIANA PUTRI. Level of Shyness on Three Species of Rat Pest to Rodenticide and Bait with Factors Impact. Super vised by SWASTIKO PRIYAMBODO. Rat is a gnawing animal that is often associated with human life, both beneficial and detrimental. Rat senses especially smell, hearing, taste, and touch are very important in poison shyness and bait shyness against several rodenticides (acute and chronic) as well as neophobic or suspect is easy for several bait and trap. The objective of this research is to understand and calculate the level of shyness on ricefield rats, haouse rats, and wood rats against acute, chronic, and botanical rodenticide that is often applied in the field and settlement, the level of rat shyness against the basic feed (unhulled rice and rice), as well as find out the factors that lead to the level of shyness. This research is expected to provide information on the level of shyness of bait and rodenticide is often applied in the fields and settlements against ricefield rats, house rats, and wood rats. Likewise, understanding the factors that lead to the level of shyness bait and rodenticide, it can provide information and alternative control measures. Research compiled by doing testing ricefield rats 1.228, house rats 367, and wood rats 644 as well as questionnaires to farmers and people around the place of taking rat test. After performed test against rodenticide and bait, calculatie the percentage level of rats with shyness using scoring scale. Results of the questionnaire data used to support the discussion in the search for the cause factors the level of shyness rat. The results of this research showed that the ricefield rats Subang has the highest shyness compare with ricefield rats Pati, house rats Bogor, wood rats Bogor. These factors caused by pressure level of shyness used by farmers as intensive control causes being easily suspicious behavior of rats, therefor the level of shyness has continued to increase. Keywords: Ricefield rats, house rats, wood rats, level of shyness, bait, rodenticide, factors impact.

3 iii ABSTRAK MINKHAYA SILVIANA PUTRI. Tingkat Kejeraan Tiga Spesies Tikus Hama terhadap Rodentisida dan Umpan serta Faktor Penyebabnya. Dibimbing oleh SWASTIKO PRIYAMBODO. Tikus merupakan hewan pengerat yang seringkali berhubungan dengan kehidupan manusia, baik menguntungkan maupun merugikan. Indera tikus khususnya penciuman, pendengaran, perasa, dan peraba sangat berperan dalam jera umpan dan jera racun terhadap beberapa jenis rodentisida (akut dan kronis) serta neophobia atau mudah curiga untuk beberapa jenis umpan dan perangkap. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui dan menghitung tingkat kejeraan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap rodentisida akut, kronis, maupun botanis yang sering diaplikasikan di lapangan dan permukiman, tingkat kejeraan tikus terhadap umpan dasar (gabah dan beras), serta mengetahui faktor yang menyebabkan tingkat kejeraan tersebut. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang tingkat kejeraan terhadap umpan dan rodentisida yang sering diaplikasikan di lapang dan permukiman terhadap tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon. Demikian juga mengetahui faktor yang menyebabkan tingkat kejeraan umpan dan rodentisida tersebut sehingga dapat memberikan informasi dan tindakan pengendalian alternatif. Penelitian disusun dengan melakukan pengujian terhadap tikus sawah, 367 tikus rumah, dan 644 tikus pohon serta pemberian kuesioner kepada petani dan masyarakat sekitar tempat pengambilan tikus uji tersebut. Setelah dilakukan pengujian terhadap rodentisida dan umpan, maka dilakukan perhitungan persentase tingkat kejeraan tikus dengan skala skoring. Hasil data kuesioner digunakan untuk mendukung pembahasan dalam mencari faktor penyebab tingkat kejeraan tikus tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tikus sawah Subang memiliki tingkat kejeraan tertinggi dibandingkan dengan tikus sawah Pati, tikus rumah Bogor, dan tikus pohon Bogor. Faktor penyebab tingkat kejeraan tersebut adalah tekanan yang dilakukan oleh manusia seperti pengendalian yang intensif menyebabkan perilaku tikus menjadi mudah curiga, sehingga tingkat kejeraan tersebut terus meningkat. Kata kunci: Tikus sawah, tikus rumah, tikus pohon, tingkat kejeraan, umpan, rodentisida, faktor penyebab.

4 iv TINGKAT KEJERAAN TIGA SPESIES TIKUS HAMA TERHADAP RODENTISIDA DAN UMPAN SERTA FAKTOR PENYEBABNYA MINKHAYA SILVIANA PUTRI A Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

5 v Judul Skripsi : Tingkat Kejeraan Tiga Spesies Tikus Hama terhadap Rodentisida dan Umpan serta Faktor Penyebabnya Nama Mahasiswa : Minkhaya Silviana Putri NIM : A Disetujui, Dosen Pembimbing Dr. Ir. Swastiko Priyambodo, M.Si NIP Diketahui, Ketua Departemen Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si. NIP Tanggal lulus: 17 Februari 2012

6 vi RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Bandar Lampung pada tanggal 14 April 1990, sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan Bapak Dimin dan Ibu Kustiah. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah lanjutan atas di SMA Taruna Nusantara, Magelang ( ). Pada tahun 2008 penulis melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk (USMI) IPB pada kurikulum berbasis mayor-minor. Penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB dan mengikuti masa Tingkat Persiapan Bersama selama 1 tahun. Pada tahun berikutnya penulis melanjutkan pendidikannya pada Mayor Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian dan dengan Minor Ekonomi Pertanian dari Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan, Fakultas Ekonomi dan Manajemen, IPB. Selama masa kuliah, penulis aktif bergabung dengan beberapa organisasi seperti BEM (Badan Eksekutif Mahasiswa) Fakultas pertahun , Omda IKMP IPB (Ikatan Keluarga Mahasiswa Pati), E-club (Entomology Club), dan Photography Club (Capung), serta mengikuti kepanitiaan pada beberapa acara kampus, dan mengikuti beberapa pelatihan (Diklat Bindes Nasional, pelatihan kewirausahaan, dan pelatihan jurnalistik). Penulis juga pernah mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa bidang Penelitian (PKMP) pada tahun Selama masa kuliah penulis memperoleh beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA). Penulis menjadi asisten dosen praktikum Mata kuliah Vertebrata Hama pada tahun 2011 dan memiliki pengalaman magang kerja di Laboratorium Vertebrata Hama pada tahun 2010 dan Balai Karantina Tumbuhan Surabaya pada tahun 2011.

7 vii PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat, hidayah serta kasih sayang-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Tingkat Kejeraan Tida Spesies Tikus Hama terhadap Rodentisida dan Umpan serta Faktor Penyebabnya. Penelitian dan penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman dari bulan September sampai Desember Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada: 1. Dr. Ir. Swastiko Priyambodo, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak ilmu, pengetahuan, saran, dan motivasi. 2. Dr. Ir. Suryo Wiyono, M.Sc. Agr selaku dosen penguji tamu yang telah memberikan saran dan motivasi. 3. Dra. Dewi Sartiami, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan saran dan arahan. 4. Ahmad Soban selaku laboran Laboratorium Vertebrata Hama yang membantu penulis dalam penyelesaian penelitian. 5. Kedua orang tua, adik, dan keluarga besar yang selalu memberikan dukungan dan motivasi. 6. Faisal Ariza Harca yang selalu memberi motivasi dan semangat serta membantu dalam penyusunan. 7. Sahabat yang selalu ada dalam suka dan duka, Riska Dwi Octaviani, Aldila Rachmawati, dan Widya Nutrise Sahnursal. 8. Teman-teman seperjuangan yang bekerja di Laboratorium Vertebrata Hama, Dwi Dinar Murjani, Putri Setya Utami, dan Rizky Nazarreta. 9. Teman-teman kost Puri Fikriyah dan semua teman-teman yang selalu mendukung penulis tetapi tidak dapat disebutkan satu persatu. 10. Rasa terima kasih penulis sampaikan juga kepada seluruh mahasiswa Departemen Proteksi Tanaman, khususnya angkatan 45 atas semangat yang selalu berkobar. Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Bogor, Januari 2012 Minkhaya Silviana Putri

8 viii DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... x DAFTAR GAMBAR... x DAFTAR LAMPIRAN... xi PENDAHULUAN... 1 Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 4 Manfaat Penelitian... 4 TINJAUAN PUSTAKA... 5 Tikus Sawah (Rattus argentiventer)... 5 Taksonomi dan Morfologi... 5 Bologi dan Ekologi... 5 Tikus Rumah (Rattus rattus diardii)... 6 Taksonomi dan Morfologi... 6 Bologi dan Ekologi... 6 Tikus Pohon (Rattus tiomanicus)... 8 Taksonomi dan Morfologi... 8 Bologi dan Ekologi... 8 Kerugian yang Disebabkan oleh Tikus Sawah, Tikus Rumah, dan Tikus Pohon... 9 Metode Pengendalian Tikus Sawah, Tikus Rumah, dan Tikus Pohon Rodentisida Rodentisida Akut Rodentisida Kronis Rodentisida Nabati Umpan Dasar Beras Gabah BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan Metode Tahap Persiapan Tahap Pengujian Rodentisida Tahap Pengujian Umpan Dasar Tahap Pengujian Kuesioner... 23

9 ix Perhitungan Tingkat Kejeraan Tikus terhadap Umpan dan Rodentisida Rancangan Percobaan HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah dan Tikus Rumah terhadap Rodentisida Seng Fosfida Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah dan Tikus Pohon terhadap Rodentisida Kumatetralil Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah, Tikus Rumah, dan Tikus Pohon terhadap Rodentisida Bromadiolon Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah, Tikus Rumah, dan Tikus Pohon terhadap Rodentisida Brodifakum Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah dan Tikus Pohon terhadap Rodentisida Flokumafen Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah, Tikus Rumah, dan Tikus Pohon terhadap Rodentisida Nabati Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah, Tikus Rumah, dan Tikus Pohon terhadap Umpan Dasar Perbandingan Tingkat Kejeraan Tikus antara Rodentisida dan Umpan Pembahasan Umum KESIMPULAN DAN SARAN DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 50

10 x DAFTAR TABEL Halaman 1 Skoring tingkat kejeraan tikus terhadap umpan dan rodentisida Tingkat kejeraan tikus sawah dan tikus rumah terhadap seng fosfida Tingkat kejeraan tikus sawah dan tikus pohon terhadap kumatetralil Tingkat kejeraan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap bromadiolon Tingkat kejeraan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap brodifakum Tingkat kejeraan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap brodifakum Tingkat kejeraan tikus sawah dan tikus pohon terhadap flokumafen Tingkat kejeraan tikus sawah dan tikus rumah terhadap Rodentisida nabati Tingkat kejeraan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap umpan Tingkat kejeraan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap beras Rata-rata presentase kejeraan tikus terhadap rodentisida dan umpan DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Timbangan elektronik Timbangan manual Kurungan tunggal (single case) Rodentisida akut Rodentisida kronis Rodentisida nabati Umpan dasar (beras dan gabah)... 26

11 xi DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Matriks perlakuan tikus sawah dan tikus rumah terhadap seng fosfida Matriks perlakuan tikus sawah dan tikus pohon terhadap kumatetralil Matriks perlakuan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap bromadiolon Matriks perlakuan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap brodifakum Matriks perlakuan tikus sawah dan tikus pohon terhadap flokumafen Matriks perlakuan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap rodentisida nabati Matriks perlakuan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap Umpan dasar Hasil kuesioner wawancara terhadap petani tempat tikus sawah uji diambil di Kabupaten Subang Hasil kuesioner wawancara terhadap petani tempat tikus sawah uji diambil di Kabupaten Pati Hasil kuesioner wawancara terhadap petani tempat tikus rumah uji diambil di Kabupaten Bogor Hasil kuesioner wawancara terhadap petani tempat tikus pohon uji diambil di Kabupaten Bogor Sidik ragam tingkat kejeraan (%) tikus sawah, tikus rumah, dan Tikus pohon terhadap brodifakum Sidik ragam tingkat kejeraan (%) tikus sawah, tikus rumah, dan Tikus pohon terhadap beras... 65

12 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pertanian merupakan sektor komoditas utama di Indonesia. Negara yang terdiri dari kepulauan dengan lahan yang luas adalah faktor yang mendukung Indonesia untuk menjadi negara yang berbasis pertanian. Pertanian di Indonesia masih menggunakan sistem yang konvensional, karena adanya anggapan bahwa petani adalah orang yang tidak berpendidikan, padahal sektor pertanian yang dominan dalam mendukung kelangsungan perekonomian negara. Dengan demikian perlu adanya petani berdasi yang dapat memajukan pertanian di Indonesia. Pertanian secara sempit terdiri atas pertanian pada subsektor tanamanan pangan dan hortikultura serta perkebunan. Pertanian pangan dan hortikultura adalah pertanian yang menghasilkan kebutuhan pokok makanan untuk manusia. Sedangkan pertanian perkebunan menghasilkan tanaman tahunan yang dapat menambah devisa negara serta untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pada semua subsektor pertanian tersebut banyak kendala yang dihadapi seperti keadaan cuaca atau iklim yang tidak menentu, ketersediaan air, dan yang paling mengganggu adalah Organisme Pengganggu Tanaman (OPT). Organisme pengganggu tanaman ini dapat menimbulkan kerugian secara ekonomis terhadap petani maupun masyarakat. Tikus merupakan salah satu satwa liar yang menjadi hama penting bagi kehidupan manusia baik dalam bidang pertanian, perkebunan, maupun permukiman. Tikus sawah merupakan salah satu hama utama padi yang dapat menimbulkan kerusakan di seluruh bagian tanaman padi pada berbagai stadia pertumbuhan. Tikus pohon biasanya hidup di perkebunan, pekarangan, dan persawahan sedangkan tikus rumah biasanya hidup di permukiman manusia, rumah, dan gudang. Pada saat ini tikus pohon dan tikus rumah dapat menyebabkan kerusakan di permukaan maupun di areal perkebunan. Hal ini disebabkan banyaknya areal perkebunan yang tidak jauh dari tempat permukiman manusia dan tidak tersedianya pakan yang cukup untuk tikus disalah satu habitat tersebut. Tikus pohon dan tikus rumah dapat menyebabkan kerusakan pada bahan pangan yang disimpan di rumah seperti jagung, gandum,

13 2 gabah, dan beras. Selain itu tikus pohon dan tikus rumah juga dapat menyebabkan kerusakan pada bahan bangunan karena sifat mengeratnya, kemampuannya menurunkan produksi pertanian dan menyebarkan penyakit pada manusia. Berdasarkan hal tersebut tikus sering dipandang oleh manusia sebagai hewan yang memiliki efek negatif dalam ekosistem (Dickman 1988). Pengendalian tikus dapat dikelompokkan ke dalam beberapa metode pengendalian antara lain: pengendalian secara kultur teknis, fisik mekanis, biologi, dan kimia. Pengendalian secara fisik mekanis bertujuan untuk mengubah faktor lingkungan fisik menjadi di atas atau di bawah toleransi tikus secara langsung dengan menggunakan tangan atau dengan bantuan alat. Pengendalian kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan racun, baik yang bersifat akut maupun kronis (Priyambodo 2003). Metode pengendalian yang dilakukan harus sesuai dengan konsep IPM (Integrated Pest Management) dengan harapan agar populasi hama dapat terus ditekan di bawah ambang ekonomi, penggunaan redentisida dikurangi sehingga mengurangi bahaya akibat samping, penggunaan non-rodentisida ditingkatkan, keseluruhan program itu harus efektif, efisien, aman, dan tidak mahal (Sigit 2006). Pengendalian tikus yang sering dilakukan saat ini dan mendapatkan hasil yang efektif adalah pengendalian secara kimiawi dengan menggunakan rodentisida sintetik. Rodentisida yang diaplikasikan dengan baik akan didapatkan hasil produksi yang melebihi hasil rata rata petani. Metode tersebut sekarang banyak digunakan, meskipun menurut konsep PHT seharusnya metode ini digunakan sebagai alternatif terakhir jika semua cara lain yang digunakan belum memberikan hasil yang memadai (Priyambodo 2003). Rodentisida sintetik yang diberikan pada tikus menunjukkan daya bunuh yang efektif serta memberikan hasil kematian tikus yang nyata meskipun penggunaan rodentisida sintetik tidak ramah terhadap lingkungan. Alternatif dari rodentisida sintesis adalah rodentisida nabati yang termasuk pestisida organik atau pestisida nabati, yaitu merupakan bahan aktif tunggal atau majemuk yang berasal dari tumbuhan yang biasa digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tanaman.

14 3 Tikus sebagai hewan omnivora (pemakan segala) biasanya mau mengonsumsi semua makanan yang dapat dimakan oleh manusia, baik yang berasal dari tumbuhan (nabati) maupun yang berasal dari hewan (hewani). Sifat tikus yang mudah curiga terhadap setiap benda yang ditemuinya, termasuk pakannya, disebut dengan neophobia. Adapun sifat tikus yang enggan memakan umpan beracun yang diberikan karena tidak melalui umpan pendahuluan disebut dengan jera umpan (bait shyness) atau jera racun (poison shyness) (Priyambodo 2003). Indera tikus khususnya penciuman, pendengaran, perasa, dan peraba sangat berperan dalam sifat jera umpan dan jera racun terhadap beberapa jenis rodentisida (akut dan kronis) serta neophobia atau mudah curiga untuk beberapa jenis umpan dan perangkap. Neophobia jika diartikan menurut arti katanya adalah ketakutan pada sesuatu yang baru tetapi jika dilihat dari maknanya adalah menghindari benda yang tidak dikenali, termasuk bau, rasa, suara, dan makanan asing yang ada disekitarnya. Sifat neophobia berbeda antara setiap spesies tikus, respon tikus bervariasi dan mempunyai rangsangan yang unik. Pertumbuhan dari perilaku neophobia terhadap tikus merupakan hal yang biasa oleh karena itu seleksi untuk banyak generasi selama perolehan dan pemeliharaan dari habitat biasanya. Kegagalan pada aplikasi rodentisida di lapang berdasarkan pada resistensi perilaku (behavioral resistance) yaitu kondisi keengganan terhadap rodentisida, bukan berdasarkan resistensi fisiologis (physiological resistance). Perilaku demikian dapat membantu tikus untuk menghindari mengonsumsi dosis yang mematikan dari rodentisida. (Priyambodo 2002). Sampai saat ini semakin banyak pengendalian secara kimia dengan menggunakan rodentisida sintetik yang tidak sesuai aturan pakai, menyebabkan tikus tersebut lebih jera umpan (bait shyness) dan jera racun (poison shyness), karena sifat tikus yang mudah curiga. Dengan demikian perlu dilakukan penelitian tentang tingkat kejeraan umpan (beras dan gabah) dan kejeraaan racun dari tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap beberapa rodentisida sintetis dan nabati serta mencari faktor penyebab dari tingkat kejeraan umpan dan racun tersebut.

15 4 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menghitung tingkat kejeraan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap rodentisida (akut, kronis, dan nabati) yang sering diaplikasikan di lapangan dan permukiman, dan terhadap umpan dasar (gabah dan beras), serta mengetahui faktor yang menyebabkan tingkat kejeraan tersebut. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang tingkat kejeraan tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon terhadap rodentisida dan umpan yang sering diaplikasikan di lapang dan permukiman. Demikian juga untuk mengetahui faktor yang menyebabkan tingkat kejeraan rodentisida dan umpan tersebut sehingga dapat memberikan informasi dan tindakan pengendalian alternatif.

16 5 TINJAUAN PUSTAKA Tikus Sawah (Rattus argentiventer) Taksonomi dan Morfologi Tikus sawah mempunyai klasifikasi sebagai berikut Kelas Mammalia, Subkelas Theria, Infra Kelas Eutheria, Ordo Rodentia, Subordo Mymorpha, Famili Muridae, dan Subfamili Murinae, Genus Rattus, Spesies R. argentiventer (CPC 2002). Tikus sawah mempunyai ciri morfologi yaitu tekstur rambut agak kasar, bentuk hidung kerucut, bentuk badan silindris, warna badan dorsal coklat kelabu kehitaman, warna badan ventral kelabu pucat atau putih kotor, warna ekor ventral coklat gelap, bobot badan g, panjang badan mm, panjang ekor mm, panjang secara keseluruhan dari kepala sampai ekor mm, lebar daun telinga mm, panjang telapak kaki belakang mm, lebar sepasang gigi seri pengerat pada rahang atas 3 mm, formula puting susu pasang (Priyambodo 2003). Biologi dan Ekologi Tikus sawah bersifat omnivora serta memerlukan pakan yang banyak mengandung zat tepung (karbohidrat) seperti biji padi, kelapa, dan umbi. Jagung dan tebu pada umumnya kurang disukai oleh tikus sawah (Kalshoven 1981). Tikus sawah menyerang padi pada malam hari. Pada siang hari tikus bersembunyi di dalam lubang pada tanggul irigrasi, jalan sawah, pematang, dan daerah perkampungan dekat sawah. Pada periode sawah bera sebagian besar tikus sawah bermigrasi ke daerah perkampungan dekat sawah dan kembali ke sawah setelah pertanaman padi menjelang generatif. Kehadiran tikus di daerah persawahan dapat dideteksi dengan memantau keberadaan jejak kaki (foot print), jalur jalan (run way), kotoran, lubang aktif, dan gejala serangan. Tikus betina bunting sekitar hari dan mampu beranak rata-rata sejumlah 10 ekor. Tikus dapat berkembang biak apabila makanannya banyak mengandung zat tepung. Populasi tikus sawah sangat ditentukan oleh ketersediaan makanan dan tempat persembunyian yang memadai.

17 6 Tempat persembunyian tikus antara lain tanaman, semak belukar, rumpun bambu, pematang sawah yang ditumbuhi gulma, dan kebun yang kotor (Sudarmaji 2005). Tanaman padi merupakan pakan utama bagi tikus sawah dan semua stadia pertumbuhan dapat dirusak. Daur perkembangan hidup tikus betina dan besarnya kerusakan yang ditimbulkan oleh tikus sawah berkaitan erat dengan fase pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi. Jumlah anakan padi yang dikerat oleh seekor tikus sawah dalam semalam tergantung musim dan fase pertumbuhan tanaman. Kerusakan tanaman padi pada waktu bunting dan bermalai adalah yang sangat berpengaruh terhadap turunnya produksi (Brooks dan Rowe 1979). Tikus Rumah (Rattus rattus diardii) Taksonomi dan Morfologi Tikus rumah mempunyai klasifikasi sebagai berikut Kelas Mammalia, Subkelas Theria, Infra Kelas Eutheria, Ordo Rodentia, Subordo Mymorpha, Famili Muridae, dan Subfamili Murinae, Genus Rattus, Spesies R. rattus (CPC 2002). Tikus rumah memiliki ciri morfologi tekstur rambut agak kasar, bentuk badan silindris, bentuk hidung kerucut, telinga berukuran besar tidak berambut pada bagian dalam dan dapat menutupi mata jika ditekuk ke depan, warna badan bagian perut dan punggung coklat hitam kelabu, warna ekor coklat hitam, bobot tubuh g, panjang badan mm, ukuran ekor terhadap kepala dan badan bervariasi (lebih pendek, sama, atau panjang) (Priyambodo 2003). Pada tikus betina memiliki puting susu 2 pasang di dada dan 3 pasang di perut (10 buah) (Rochman 1992). Biologi dan Ekologi Tikus rumah mempunyai distribusi geografi yang menyebar di seluruh dunia sehingga disebut hewan kosmopolit (Priyambodo 2003). Tikus rumah biasanya hidup di lingkungan perumahan, pasar, dan membuat sarang di loteng atau atap. Apabila bahan makanan berkurang, tikus rumah ini akan mencari pakan di sawah sekitar rumah atau gudang dan pekarangan di sekitar kandang ternak (Rochman dan Soekarna 1988).

18 7 Tikus rumah mempunyai kemampuan berkembang biak dengan cepat dan melahirkan anak sepanjang tahun tanpa mengenal musim, oleh sebab itu tikus disebut sebagai hewan poliestrus. Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh faktor habitat, iklim, dan pakan. Selama mempertahankan kelangsungan hidupnya, tikus rumah memanfaatkan pakan yang mengandung karbohidrat (gula pasir), lemak, protein, mineral, dan vitamin (Meehan 1984). Tikus rumah memiliki kemampuan reproduksi yang tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan adanya kemampuan melahirkan anak sebanyak 5-8 ekor dalam sekali melahirkan. Jumlah anak yang dilahirkan tergantung ketersediaan makanan. Masa bunting tikus selama 21 hari dan pada saat dilahirkan anak tikus tidak memiliki rambut dan mata tertutup. Pada umur 4-5 minggu tikus mulai mencari makan sendiri, terpisah dari induknya. Pada usia tersebut tikus dapat dengan mudah diperangkap. Tikus rumah mencapai usia dewasa setelah berumur hari (Kalshoven 1981). Tikus rumah termasuk hewan arboreal yang dicirikan dengan adanya ekor yang panjang serta tonjolan pada telapak kaki yang relatif besar dan kasar (Priyambodo 2003). Tikus termasuk hewan omnivora, menyukai makanan yang berasal dari bijibijian, buah-buahan, sayur-sayuran, daging, ikan, dan telur. Dalam sehari tikus biasanya membutuhkan pakan dalam keadaan kering sebanyak 10% dari bobot tubuhnya, namun apabila pakan dalam keadaan basah kebutuhan pakan dapat mencapai 15% dari bobot tubuhnya. Tikus rumah biasanya akan mengenali dan mengambil pakan yang telah tersedia atau yang ditemukan dalam jumlah sedikit untuk mencicipi atau untuk mengetahui reaksi yang terjadi pada tubuhnya. Apabila tidak terjadi reaksi yang membahayakan, maka tikus akan menghabiskan pakan yang tersedia atau pakan yang ditemukan (Priyambodo 2003).

19 8 Tikus Pohon (Rattus tiomanicus) Taksonomi dan Morfologi Tikus pohon mempunyai klasifikasi sebagai berikut Kelas Mammalia, Subkelas Theria, Infra Kelas Eutheria, Ordo Rodentia, Subordo Mymorpha, Famili Muridae, dan Subfamili Murinae, Genus Rattus, Spesies R. tiomanicus (CPC 2002). Tikus pohon termasuk sebagai spesies tikus yang berukuran kecil hingga menengah. Ciri khas yang dapat membedakan tikus pohon dengan spesies tikus yang lainnya yaitu mempunyai ekor yang lebih panjang dari pada kepala dan badan, tubuh bagian dorsal berwarna coklat kekuningan dan bagian ventralnya berwarna putih, putih kekuningan, atau krem (Aplin, Brown, Jacob, Krebs, Singleton 2003). Tikus pohon memiliki memiliki bentuk rambut agak kasar, bentuk hidung kerucut, bentuk badan silindris serta warna ekor bagian atas dan bawah coklat hitam. Tikus pohon memiliki bobot tubuh g, panjang kepala dan badan mm. Tikus betina memiliki lima pasang puting susu yaitu dua pasang di dada dan tiga pasang di perut (Rochman 1992). Biologi dan Ekologi Tikus pohon merupakan jenis tikus yang memiliki kemampuan meloncat, mengerat, memanjat, dan berenang dengan baik (Rochman 1992). Kemampuan tikus pohon dalam memanjat didukung oleh adanya tonjolan pada telapak kaki yang disebut dengan footpad yang relatif besar dan dengan permukaan yang kasar. Footpad ini masih ditambah oleh cakar yang berguna untuk memperkuat pegangan, serta ekor sebagai alat untuk keseimbangan pada saat memanjat (Priyambodo 2003). Selain itu, tikus pohon mempunyai kemampuan mengerat yang tinggi sebagai aktivitas untuk mengurangi pertumbuhan gigi seri yang tumbuh terus menerus. Hal ini dapat dilihat dari adanya keratin pada kelapa, tebu, dan benda lain yang dikeratnya (Walker 1999). Penyebaran dari tikus pohon dipengaruhi oleh penyebaran sumberdaya pakan di lingkungannya. Habitat setiap spesies tikus berbeda-beda, tetapi hal tersebut tidak membatasi wilayah penyebaran dari spesies tikus tersebut (Meehan 1984). Tikus

20 9 pohon pada umumnya ditemukan pada berbagai tanaman perkebunan seperti kelapa, kelapa sawit, tebu, dan kakao. Pada tanaman kelapa sawit, tikus pohon membuat sarang di antara pelepah daun kelapa sawit atau celah celah yang ada diantara pohon. Selain itu tikus pohon juga ditemukan pada lahan persawahan, areal pertanian, lapangan terbuka, dan pekarangan rumah (Priyambodo 2003). Tikus pohon termasuk golongan omnivora (pemakan segala) tetapi cenderung untuk memakan biji-bijian atau serealia. Kebutuhan pakan dalam bentuk kering bagi seekor tikus pohon setiap hari kurang lebih sekitar 10% dari bobot tubuhnya, sedangkan untuk pakan dalam bentuk pakan basah sekitar 15% dari bobot tubuhnya (Priyambodo 2003). Kerugian yang Disebabkan oleh Tikus Sawah, Tikus Rumah dan Tikus Pohon Tikus sawah (R. argentiventer) merupakan hama utama padi yang dapat menimbulkan kerusakan besar pada semua stadia pertumbuhan padi dari persemaian hingga panen, bahkan juga di gudang penyimpanan. Kerusakan parah terjadi jika tikus menyerang padi pada stadia generatif, karena tanaman padi tidak mampu lagi membentuk anakan yang baru. Tikus merusak tanaman padi mulai dari tengah petak, kemudian meluas ke arah pinggir, dan menyisakan satu sampai dua baris padi di pinggir petakan pada keadaan serangan berat. Kerusakan tanaman padi pada waktu bunting dan bermalai adalah yang sangat berpengaruh terhadap turunnya produksi (Brooks & Rowe 1979). Asosiasi tikus dengan manusia banyak bersifat parasitisme. Tikus rumah (R. rattus diardii) menyebabkan banyak kerugian yaitu kerusakan pada bangunan rumah, kantor, gudang, dan pabrik. Aktivitas tikus dalam mengeratkan gigi serinya dan menggali tanah atau membuat sarang dapat menimbulkan kerusakan pada bangunan kantor, pabrik, gudang, atau rumah. Tikus rumah juga dapat menyebabkan berkurangnya simpanan bahan makanan di rumah dan gudang makanan, kontaminasi pada bahan makanan, terbawanya patogen seperti bakteri Salmonella sp. dan

21 10 Leptospira sp., amoeba Entamoeba histolytica, Giardia muris dari tikus ke manusia dan hewan peliharaan (zoonosis) (Priyambodo 2003). Serangan tikus pohon (R. tiomanicus) menyebabkan kerugian yang cukup besar pada bidang pertanian di Indonesia dan di banyak negara. Tikus pohon mampu menyerang tanaman kelapa sawit, baik yang belum maupun yang sudah menghasilkan. Pada tanaman yang baru ditanam dan belum menghasilkan, tikus mengerat serta memakan bagian pangkal pelepah daun, sehingga mengakibatkan pertumbuhan tanaman terhambat atau bahkan tanaman dapat mati jika keratan tikus mengenai titik tumbuhnya. Pada tanaman kelapa sawit yang sudah menghasilkan, tikus pohon dapat memakan buahnya (Sipayung, Sudharto, Lubis 1987). Bila pakan yang ada di sekitar tikus berlimpah, maka tikus akan berkembang biak sangat cepat sehingga kerusakan yang ditimbulkan juga semakin besar. Perkembangan tikus sangat dipengaruhi oleh keadaan pakan dan lingkungan sekitar (Aplin et al 2003). Metode Pengendalian Tikus Sawah, Tikus Rumah dan Tikus Pohon Pengendalian tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon telah banyak dikembangkan, hal ini bertujuan untuk mengurangi dampak kerugian yang ditimbulkan. Pengendalian yang dapat dilakukan antara lain dengan cara kultur teknis yaitu dengan membuat lingkungan yang tidak menguntungkan atau tidak mendukung bagi kehidupan dan perkembangan populasi tikus, seperti membatasi makanan dan tempat perlindungannya. Modifikasi lingkungan atau sanitasi merupakan pengendalian jangka panjang, sedangkan penggunaan perangkap dan umpan beracun merupakan pengendalian jangka pendek. Pengendalian sanitasi dengan melakukan tindakan mengelola dan memelihara lingkungan sehingga tidak menarik dan tidak sesuai bagi kehidupan dan perkembangbiakan tikus (Priyambodo 2003). Pengendalian fisik-mekanis dengan usaha untuk mengubah lingkungan fisik menjadi di atas atau di bawah toleransi tikus dan juga merupakan usaha manusia untuk mematikan atau memindahkan tikus secara langsung dengan menggunakan tangan atau dengan bantuan alat (Priyambodo 2003). Penggunaan perangkap merupakan pengendalian fisik-mekanik terhadap tikus yang paling tua digunakan,

22 11 dalam aplikasinya metode ini merupakan cara yang efektif, aman, dan ekonomis karena perangkap dapat mengurangi jumlah tenaga kerja (Darmawansyah 2008). Penggunaan perangkap juga merupakan cara yang ramah lingkungan karena dalam aplikasinya tidak menggunakan bahan kimia. Pengendalian biologis adalah pengendalian menggunakan parasit, patogen dan predator dan secara genetik yang dilakukan dengan pelepasan individu tikus yang membawa gen perusak dan pelepasan individu steril atau mandul pada populasi tikus untuk menurunkan laju reproduksi tikus. Pengendalian kimiawi dapat dilakukan dengan menggunakan bahan kimia yang mampu mematikan atau mengganggu aktivitas tikus (Priyambodo 2003). Dalam upaya menekan kerusakan oleh tikus, pengendalian hama tikus secara kimia merupakan alternatif yang paling umum dilakukan dibandingkan dengan upaya pengendalian lainnya. Metode ini sangat mudah diaplikasikan dan didapatkan hasil yang nyata. Meskipun demikian penggunaan bahan kimia dapat menimbulkan beberapa masalah yaitu dapat meracuni hewan bukan sasaran, berbahaya bagi lingkungan, serta harganya yang mahal menyebabkan cara ini kurang ekonomis. Menurut cara kerjanya, rodentisida dibedakan menjadi racun akut dan racun kronis. Racun akut bekerja lebih cepat dalam membunuh tikus dengan cara merusak system syaraf dan melumpuhkannya. Racun kronis (antikoagulan) bekerja lebih lambat dengan cara menghambat proses koagulasi atau penggumpalan darah serta memecah pembuluh darah kapiler (Priyambodo 2003). Rodentisida Rodentisida merupakan bahan kimia yang digunakan dalam mengendalikan tikus. Ditinjau dari cara penggunaannya, terdapat dua macam rodentisida yang umum digunakan yaitu fumigasi dan umpan beracun. Fumigasi bersifat racun nafas dan bahan yang biasanya banyak digunakan yaitu belerang oksida. Umpan beracun bersifat racun perut yang berdasarkan cara kerjanya dibagi menjadi dua golongan yaitu racun akut dan racun kronis atau antikoagulan (Prakash 1988).

23 12 Rodentisida sintetik memberikan dampak negatif seperti keracunan bagi manusia juga mencemari lingkungan tetapi keracunan pada manusia akibat racun tikus tergantung kepada kandungan bahan aktif. Gejala keracunan akibat konsumsi rodentisida ini akan terlihat dalam waktu yang cukup lama yaitu lebih dari dari 24 jam (Meehan 1984), sehingga diperlukan penggunaan rodentisida nabati yang lebih ramah lingkungan. Keunggulan rodentisida nabati adalah murah dan mudah dalam proses pembuatan, aman terhadap lingkungan, serta sulit menimbulkan resistensi pada tikus (Sudarmo 2005). Rodentisida Akut Rodentisida akut merupakan kelompok rodentisida yang dapat menyebabkan kematian tikus dalam 24 jam atau kurang setelah pemberian pada dosis yang mematikan (Buckle dan Smith 1996). Kurun waktu tersebut berhubungan dengan tingkat dosis yang diberikan, akibat dari peracunan dapat terlihat nyata dengan waktu yang sangat cepat ketika diberikan rodentisida dalam jumlah besar. Racun akut bekerja lebih cepat dalam membunuh tikus dengan cara merusak system syaraf dan melumpuhkannya (Priyambodo 2003). Rodentisida akut merupakan racun yang sangat berbahaya dan tidak memiliki antidot yang spesifik, oleh karena itu jenis rodentisida ini dibatasi keberadaannya di beberapa negara. Biasanya rodentisida ini hanya diizinkan digunakan oleh profesional. Salah satu rodentisida akut yang sering digunakan dan merupakan satusatunya rodentisida akut yang diizinkan untuk digunakan oleh non profesional adalah rodentisida yang berbahan aktif seng fosfida. Bahan aktif lain dari rodentisida yang tergolong rodentisida akut adalah brometalin, crimidine, dan arsen trioksida. Keseluruhan bahan aktif tersebut bekerja secara cepat dengan cara merusak jaringan syaraf dalam saluran pencernaan dan masuk ke dalam aliran darah (Priyambodo 2003). Seng Fosfida (Zn 3 P 2 ). Seng fosfida umum digunakan sebagai rodentisida akut dan merupakan satu-satunya bahan aktif yang tersedia sangat luas dan diizinkan digunakan oleh non profesional. Jenis ini umumnya tersedia dalam bentuk serbuk

24 13 berwarna hitam atau abu-abu dengan kemurnian 80-95%, mempunyai bau yang menyengat, dan merupakan racun dengan kisaran luas pada hewan pengerat. Seng fosfida diaplikasikan dengan menggunakan umpan dengan kisaran konsentrasi 1-5% walaupun konsentrasi 1% merupakan konsentrasi yang paling banyak digunakan. Formulasi yang tersedia merupakan bentuk siap pakai untuk langsung digunakan (Ready-for-use) khususnya di Amerika Serikat. Menurut Corrigan (1997) seng fosfida adalah suatu tepung yang berwarna hitam keabu-abuan, dengan bau seperti bawang putih, yang diproduksi dengan cara mengarahkan kombinasi antara seng dengan fosfor. Seng fosfida telah dikenal sejak dulu sebagai racun tikus yang efektif, dapat tercampur dalam karbon disulfida dan benzene, tetapi tidak dapat larut dalam alkohol dan air. LD 50 seng fosfida terhadap tikus adalah 45.7 mg/kg. Burung juga sangat sensitif terhadap racun ini. Racun akut ini telah digunakan secara luas terhadap tikus. Lama kematian tikus setelah mengkonsumsi rodentisida antara 17 menit sampai dengan beberapa jam. Bahan aktif seng fosfida menghasilkan gas fosfin (PH 3 ) yang dapat merusak saluran pencernaan, masuk ke aliran darah dan menghancurkan liver (hati). Rodentisida ini juga membunuh hewan vertebrata lainnya seperti anjing, kucing, babi, ayam, dan itik dengan LD 50 seng fosfida terdapat pada kisaran mg/kg (Buckle 1996). Rodentisida Kronis Rodentisida kronis merupakan racun yang bekerja secara lambat dengan cara mengganggu metabolime vitamin K serta menganggu proses pembekuan darah (Oudejans 1991). Menurut Sunarjo (1992) rodentisida kronis adalah kelompok rodentisida yang mengandung senyawa yang dapat menghambat pembentukan protrombin (bahan yang di dalam darah bertanggung jawab terhadap pembekuan darah) dan merusak pembuluh kapiler sehingga merusak pembuluh darah internal. Bahan aktif pada rodentisida kronis berdasarkan saat produksi terbagi menjadi dua yaitu generasi I seperti warfarin, kumatetralil, fumarin, difasinon, pival dan generasi II seperti bromadiolon, difenakum, brodifakum, flokumafen (Priyambodo

25 ). Rodentisida antikoagulan generasi II dibuat karena sudah terjadi atau diperkirakan akan terjadi resistensi tikus terhadap racun antikoagulan generasi I. Dengan diproduksinya rodentisida antikoagulan generasi II ini diharapkan resistensi tikus dapat dicegah. Rodentisida kronis lebih sering digunakan dibandingkan dengan racun akut dalam pengendalian tikus karena dapat mengurangi sifat curiga dari tikus yang lain. Bahan aktif dari rodentisida kronis bekerja dalam tubuh tikus dengan lambat sehingga tikus tidak langsung mati di tempat setelah mengonsumsi racun (Smith 1996). Kumatetralil (C 19 H 16 O 3 ). Kumatetralil merupakan salah satu dari sekian banyak rodentisida antikoagulan generasi pertama yang tersebar luas dan ditemukan di Jerman beberapa tahun yang lalu dan racun tersebut tidak tersedia di Amerika Serikat. Rodentisida ini berbentuk bubuk kristal berwarna putih kekuningan, tidak dapat larut dalam air tetapi dapat larut dalam aseton dan ethanol. Rodentisida ini merupakan suatu antikoagulan yang tidak menyebabkan jera umpan. Formulasi yang digunakan sebesar % yang telah dicampur dengan umpan. LD 50 akut oral 16 mg/kg, tikus betina lebih peka terhadap racun ini dari pada tikus jantan (Prakash 1988). Bromadiolon (C 10 H 23 BrO 4 ). Bromadiolon merupakan jenis rodentisida yang digunakan untuk mengendalikan hewan pengerat pada bidang pertanian dan bekerja dengan cara mengganggu peredaran darah normal. Bromadiolon termasuk racun antikoagulan generasi kedua yang efektif terhadap tikus dan hewan pengerat lainnya, juga terhadap tikus yang tahan terhadap racun antikoagulan generasi pertama. Konsentrasi yang banyak digunakan yaitu 0.005% yang hanya memerlukan 24 jam untuk dapat membunuh tikus sawah dan lima hari untuk membunuh tikus rumah (Prakash 1988). Bromadiolon merupakan jenis rodentisida yang digunakan untuk mengendalikan tikus dan mencit pada bidang pertanian dan perumahan (Meehan 1984). Bentuk fisik racun ini adalah blok berwarna hijau gelap atau biru. Brodifakum (C 31 H 23 BrO). Brodifakum merupakan salah satu rodentisida antikoagulan generasi II yang potensial, terutama efektif terhadap spesies tikus yang resisten terhadap rodentisida jenis warfarin (Corrigan 1997). Bentuk fisik racun ini

26 15 adalah blok dengan warna hijau dan biru sedangkan bentuk asli racun ini berupa bubuk putih (Oudejans 1991). Cara kerjanya ditunjukkan dengan aktivitas dari senyawanya yang dapat membuat tikus mati hanya satu hari setelah mengkonsumsi umpan, yang merupakan bagian dari pakannya. Brodifakum merupakan produk yang hampir tidak dapat larut dalam air. LD 50 untuk tikus jantan adalah 0.27 mg/kg dan untuk tikus betina 0.4 mg/kg. Hewan pengerat dapat menyerap dosis yang mematikan dengan hanya 50 mg bahan aktif/ kg umpan sebagai bagian pakanannya. Brodifakum bekerja sebagai antikoagulan yang tidak langsung terhadap tikus, termasuk juga terhadap strain tikus yang resisten terhadap antikoagulan jenis lainnya (Oudejans 1991). Flokumafen. Flokumafen merupakan senyawa kimia yang sama dengan brodifakum, tidak larut dalam air, sedikit larut dalam alkohol dan larut dalam aseton. Senyawa ini direkomendasikan penggunaannya dengan konsentrasi 0.005% pada umpan beracun. Bentuk fisik racun ini adalah bentuk padat berwarna biru. Rodentisida Nabati Rodentisida nabati termasuk pestisida organik atau pestisida nabati, yaitu merupakan bahan aktif tunggal atau majemuk yang berasal dari tumbuhan yang biasa digunakan untuk mengendalikan organisme pengganggu tumbuhan. Penggunaan rodentisida nabati dapat mengurangi pencemaran lingkungan, selain itu harga relatif lebih murah dibandingkan dengan rodentisida sintetik. Rodentisida nabati dapat dibuat secara sederhana berupa larutan hasil perasan, rendaman, ekstrak, dan rebusan bagian tumbuhan. Keunggulan rodentisida nabati yaitu murah dan mudah dalam proses pembuatan, aman terhadap lingkungan, serta sulit menimbulkan resistensi pada tikus. Selain itu terdapat pula kelemahannya yaitu daya kerja relatif lambat, kurang praktis, serta tidak tahan disimpan (Sudarmo 2005). Kelompok tumbuhan rodentisida nabati adalah kelompok tumbuhan yang menghasilkan pestisida pengendali hewan rodentia. Tumbuhan-tumbuhan ini terbagi menjadi dua jenis yaitu sebagai penekan kelahiran (efek aborsi atau kontrasepsi) dan penekan populasi (efek mortalitas). Tumbuhan yang termasuk kelompok penekan

27 16 kelahiran umumnya mengandung steroid, sedangkan yang tergolong penekan populasi biasanya mengandung alkaloid. Gadung. Dalam bahasa latin gadung disebut Dioscorea hispidae Denust. Umbi gadung ini memiliki kandungan % diosgenin dan 0.044% dioscorine. Racun ini dapat menyebabkan kelumpuhan sistem saraf pusat (Flach and Rumawas 1996). Rodentisida dari umbi tanaman merambat ini menjadi salah satu bahan yang dapat digunakan sebagai racun tikus yang berbahan alamiah yang bersifat mudah terurai di alam sehingga tidak akan mengakibatkan pencemaran terhadap lingkungan sekitar. Mahoni. Mahoni (Swietenia mahagoni Jacq.) merupakan tanaman yang termasuk dalam Famili Meliaceae. Untuk tanaman mahoni yang akan digunakan sebagai tanaman obat, maka tidak boleh diberi pupuk kimia (anorganik) maupun pestisida. Kandungan kimia mahoni ada dua macam, masing-masing saponin dan flavonoida. Saponin banyak dijumpai dalam biji-biji seperti pada kedelai dan kecipir. Dalam jumlah besar, saponin dapat memberi pengaruh negatif terhadap ternak (Tangendjaja et al. 1991). Jarak. Jarak (Ricinus communis) merupakan tanaman anggota Famili Euphorbiaceae yang mempunyai sinonim R. inermis, R. speciosus, R. viridis, dan Croton spinosa. Biji jarak memiliki kandungan ricin, suatu protein yang bersifat toksin terhadap manusia, hewan, dan insekta. Semua bagian dari tanaman ini mengandung ricin, namun konsentrasi tertinggi racun tersebut terdapat pada bijinya. Mekanisme zat aktif ini menghalangi proses penyusunan protein esensial tubuh yang dapat menyebabkan keabnormalan fungsi organ, seperti gagal ginjal. Racun lain yang terkandung dalam biji jarak adalah RCA (Ricinus Comunic Agglutinin) yang menyebabkan penggumpalan darah dan sebagai akibatnya hemolisis yang mengakibatkan pecahnya sel-sel darah. Bintaro. Bintaro (Cerbera odollam Gaertn.) merupakan tanaman yang termasuk dalam Famili Apocynaceae. Walaupun berbentuk indah namun buah bintaro tidak dapat dikonsumsi karena mengandung zat yang bersifat racun terhadap manusia. Dinamakan Cerbera karena bijinya dan semua bagian pohonnya mengandung racun

28 17 yang disebut cerberin yaitu racun yang dapat menghambat saluran ion kalsium di dalam otot jantung manusia, sehingga mengganggu detak jantung dan dapat menyebabkan kematian. Bahkan asap dari pembakaran kayunya dapat menyebabkan keracunan (Wibowo 2009). Umpan Dasar Beras Beras merupakan makanan pokok bagi sebagian besar penduduk dunia. Produksi beras dunia menempati peringkat ke dua setelah gandum (Tasar 2000). Beras merupakan bagian dalam dari gabah yang telah digiling dan ditumbuk. Permukaan beras ditutupi oleh selaput tipis yang mengandung protein, vitamin, karbohidrat, mineral, dan lemak. Selaput tipis yang melingkupi permukaan beras ini menentukan warna beras. Berdasarkan selaput yang melingkupi permukaan beras, beras terbagi menjadi tiga yaitu beras ketan putih, beras merah, dan beras ketan hitam (Soemadi dan Mutholib 1994). Beras merupakan pangan paling penting di dunia untuk konsumsi manusia. Sebagian terbesar karbohidrat di beras adalah pati dan hanya sebagian kecil pentosa, selulosa, hemiselulosa, dan gula. Antara 85% hingga 90% dari berat kering beras berupa pati. Pati pada endosperm beras berbentuk granula polyhedral berukuran 3 5 μm (Haryadi 2006). Di gudang penyimpanan, beras merupakan media yang sangat baik untuk perkembangan hama tikus dan hama gudang lainnya. Serangan hama pada perumahan dan gudang penyimpanan dapat menurunkan kualitas dan kuantitas beras karena jumlahnya yang melimpah sehingga sangat memungkinkan jika beras dapat mengundang kedatangan hama (Nurdono 1990). Selain itu, beras juga digunakan dalam campuran pada racun kronis dengan memenuhi kriteria umpan campuran pada racun karena menarik bagi tikus (Davis 1970).

29 18 Gabah Gabah merupakan bulir atau buah pada tanaman padi yang telah dipisahkan dari jeraminya dan akan menjadi beras setelah dipisahkan dari kulitnya. Semua stadia pertumbuhan padi sangat rentan terhadap serangan tikus. Tikus rumah dan tikus pohon dapat menyerang pertanaman padi di sawah, terutama apabila ketersediaan pakan di habitatnya berkurang. Biasanya pertanaman tersebut dekat dengan perkebunan dan perumahan (Buckle and Smith 1996). Selain menyerang pertanaman di sawah, tikus juga menyerang gabah pada tempat penyimpanan. Serangan tikus dapat menyebabkan berkurangnya simpanan gabah. Kerusakan yang ditimbulkan jauh lebih besar dari pada yang dikonsumsinya karena cara makan yang sedikit demi sedikit pada bulir gabah. Untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya, tikus lebih banyak memakan bulir padi dan nyisakan bekas bulir yang tidak dapat digunakan lagi (Nurdono 1990). Tikus menyerang tanaman padi pada berbagai stadia pertumbuhan. Pada stadia persemaian, tikus merusak tanaman padi dengan mencabut benih yang sudah mulai tumbuh (bibit) untuk memakan bagian biji yang masih tersisa (endosperm). Pada stadia vegetative, tikus memotong bagian pangkal batang untuk memakan bagian batangnya. Pada stadia generatif, tikus dapat menyerang bagian malai atau bulir tanaman padi (Priyambodo 2003).

30 19 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor serta daerah pengambilan tikus uji di Kabupaten Bogor (Kampung Carangpulan, Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga), Kabupaten Subang (Kecamatan Patok Beusi) dan Kabupaten Pati (Desa jambean, Kecamatan Margorejo). Penilian berlangsung dari bulan September hingga Desember Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah gelas tempat air minum, mangkok tempat makan, pinset, bumbung bambu tempat persembunyian tikus, timbangan elektronik (analytical top loading animal balance) (Gambar 1), timbangan manual (triple beam animal balance) (Gambar 2), kandang tunggal (single cage) (Gambar 3) sebagai tempat pengujian. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tikus sawah (R. argentiventer), tikus rumah (R. rattus diardii) dan tikus pohon (R. tiomanicus), rodentisida [berbahan aktif seng fosfida 1%, kumatetralil 0.005%, bromadiolon 0.005%, brodifakum 0.005%, flokumafen 0.005%, gadung (10%, 20%, 25%, 30%), mahoni (8%, 16%, 24%, 32%), jarak (8%, 16%, 24%, 32%), bintaro (8%, 16%, 24%, 32%)], umpan dasar (beras dan gabah). Serta kuesioner mengenai pemahaman, sikap, dan tindakan petani dari berbagai daerah tempat tikus uji tersebut diambil yang berjumlah sebanyak 67 responden.

31 20 Gambar 1 Timbangan elektronik Gambar 2 Timbangan manual Gambar 3 Kurungan tunggal (single case) Metode Tahap Persiapan Sebelum dilakukan penelitian, maka terlebih dahulu dilakukan persiapan pada hewan uji, rodentisida, umpan dasar dan kuesioner. Persiapan hewan uji dengan mendatangkan tikus sawah dari hasil penangkapan di lahan persawahan Kabupaten Subang dan Pati. Tikus rumah dan tikus pohon berasal dari hasil penangkapan (trapping) di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Tikus yang

32 21 digunakan dalam pengujian ini sebanyak ekor tikus sawah, 367 ekor tikus rumah, dan 644 ekor tikus pohon. Data juga didapatkan dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti di Laboratorium Vertebrata Hama sejak Januari 2010 sampai Agustus 2011 yang digunakan untuk membandingkan tingkat kejeraan tikus terhadap umpan dan rodentisida jika dilihat dari waktu pengambilan tikus uji tersebut. Untuk dapat digunakan sebagai hewan uji, tikus tikus tersebut harus memenuhi kriteria sebagai berikut: tidak bunting, berat badan lebih dari 70 g, dewasa, perbandingan jenis kelamin 1:1, dan dalam keadaan sehat. Sebelum dilakukan pengujian tikus yang diperoleh dari lapang tersebut perlu diadaptasikan terlebih dahulu dengan diberi pakan gabah dan minuman yang berlimpah (ad libium) setiap hari selama tiga sampai tujuh hari. Setelah diadaptasikan tikus tersebut dipindahkan ke kandang tunggal (single cage) yang sebelumnya ditimbang dahulu bobotnya dengan menggunakan timbangan elektronik atau timbangan manual serta dilihat jenis kelaminnya. Setelah itu segera diberi rodentisida atau umpan yang digunakan untuk pengujian. Persiapan berikutnya adalah persiapan umpan dan rodentisida. Umpan yang digunakan dalam pengujian ini adalah umpan dasar seperti gabah dan beras. Gabah dan beras tersebut didapatkan dari penggilingan padi yang berada di sekitar kampus IPB, Dramaga, Bogor serta dibeli dari toko. Rodentisida akut yang digunakan adalah rodentisida berbentuk tepung yang aplikasinya dicampur dengan beras dan diberi sedikit minyak nabati agar tepung menempel pada beras yang berbahan aktif seng fosfida 1%. Rodentisida siap pakai (ready to use) yang digunakan adalah rodentisida kronis yang berbahan aktif warfarin 0.005%, kumatetralil 0.005%, bromadiolon 0.005%, brodifakum 0.005%, flokumafen 0.005%. Rodentisida nabati yang digunakan dibuat dengan mengambil ekstrak tumbuhan gadung (10%, 20%, 25%, 30%), mahoni (8%, 16%, 24%, 32%), jarak (8%, 16%, 24%, 32%), bintaro (8%, 16%, 24%, 32%). Untuk gadung, umbinya dibuat dalam bentuk blok sedangkan mahoni, jarak merah, dan bintaro dalam bentuk ekstrak kasar yang campur dengan beras dan sedikit bahan tambahan.

33 22 Persiapan yang terakhir adalah pembuatan kuesioner. Kuesioner tersebut berisikan tentang pemahaman, sikap, dan tindakan petani tentang tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon yang berada di daerah tempat tikus uji tersebut diambil. Kuesioner tersebut berisi 20 pertanyaan dan diberikan kepada 67 responden. Tahap Pengujian Rodentisida Pengujian rodentisida dilakukan untuk mengetahui tingkat kejeraan tikus terhadap rodentisida. Pengujian tingkat kejeraan tikus tersebut menggunakan metode tanpa pilihan (no choice test). Asumsi konsumsi untuk setiap jenis rodentisida adalah jika blok atau capuran umpan dan rodentisida tersebut telah dimakan 1 g. Rodentisida akut (Gambar 4) yang berbahan aktif seng fosfida sebanyak 1% dicampur dengan beras dan ditambah minyak nabati agar bubuk seng fosfida tersebut menempel pada beras. Campuran beras dan bubuk seng fosfida tersebut ditaruh pada mangkok sebanyak g. Campuran tersebut diberikan pada tikus dan dilihat jumlah hari penundaan konsumsi oleh tikus tersebut untuk menentukan tingkat kejeraan tikus tersebut. Rodentisida kronis (Gambar 5) yang berbahan aktif kumatetralil, bromadiolon, brodifakum, dan flokumafen diletakkan pada mangkok sebanyak 4-5 blok (tergantung bobot tubuh tikus). Sebelum diberikan kepada tikus, rodentisida kronis ditimbang dahulu bobot blok tersebut. Blok tersebut diberikan pada tikus dan dilihat jumlah hari penundaan konsumsi oleh tikus tersebut untuk menentukan tingkat kejeraan tikus tersebut. Rodentisida nabati (Gambar 6) yang berbahan aktif gadung diberikan dalam bentuk blok. Setiap mangkok diberi 1 blok yang sebelumnya ditimbang terlebih dahulu bobotnya. Untuk bahan aktif mahoni, jarak merah, dan bintaro diberikan dalam ekstrak kasar yang dicampur dengan beras dan bahan tambahan lainnya. Setiap mangkok diberikan g. Rodentisida tersebut diberikan pada tikus dan dilihat jumlah hari penundaan kansumsi oleh tikus tersebut untuk menentukan tingkat kejeraan tikus tersebut.

34 23 Semua rodentisida tersebut diujikan pada tikus sawah, tikus rumah dan tikus pohon. Pengamatan dilakukan setiap hari untuk menghitung konsumsi terhadap rodentisida dengan cara mengurangi bobot awal dengan bobot akhir termasuk rodentisida yang tercecer pada bagian dasar kandang. Setelah konsumsi tikus tersebut sudah dihitung makan dapat diketahui tingkat kejeraaan tikus dari rodentisida yang diberikan. Pencatatan dilakukan terhadap jumlah hari penundaan konsumsi. Kemudian dilakukan perhitungan persentasi terhadap tingkat jera tikus terhadap rodentisida dengan skala skoring. Tahap Pengujian Umpan Dasar Pengujian tingkat jera umpan pada tikus sawah, tikus rumah, dan tikus pohon dengan umpan dasar (Gambar 7) yaitu beras dan gabah. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat kejeraan tikus terhadap umpan dasar serta sebagai pembanding terhadap rodentisida. Pengujian dilakukan dengan memberikan beras dan gabah sebesar g setiap mangkok kepada tikus uji. Pengamatan dilakukan setiap hari dan dicatat konsumsi tikus terhadap umpan dasar tersebut (asumsi konsumsi adalah umpan tersebut telah dimakan 1 g) serta jumlah hari penundaan konsumsi. Setalah itu dilakukan perhitungan persentase tingkat jera tikus terhadap umpan dengan skala skoring. Tahap Pemberian Kuesioner Metode ini dilakukan untuk mengetahui faktor penyebab tingkat kejeraan tikus terhadap umpan dan rodentisida dengan melakukan wawancara dan pemberian kuesioner terhadap petani yang sawahnya digunakan untuk mengambil tikus sawah di Kabupaten Subang dan Pati. Demikian juga pemberian kuesioner kepada masyarakat yang rumahnya digunakan untuk mengambil tikus rumah dan petani yang ladangnya digunakan untuk mengambil tikus pohon di Desa Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Kuesioner tersebut berisi kurang lebih 20 pertanyaan yang diberikan kepada 67 responden tentang pemahaman, sikap, dan tindakan terhadap tikus yang dapat mempengaruhi tingkat kejeraan tikus terhadap umpan dan

35 24 rodentisida. Data tersebut dikumpulkan, diolah, dilihat pengaruhnya, serta dihubungkan dan dibandingkan dengan hasil perhitungan tingkat kejeraan tikus terhadap umpan dan rodentisida. Dari hasil pembandingan tersebut dapat diambil korelasi faktor yang menjadi penyebab tingkat kejeraan tersebut. Gambar 4 Rodentisida akut kumatetralil granural kumatetralil blok bromadiolon 2 bromadiolon 3 bromadiolon 4 brodifakum 1 brodifakum 2 brodifakum 3 brodifakum 5

36 25 brodifakum 7 brodifakum 8 brodifakum 10 brodifakum 13 brodifakum 15 brodifakum 16 brodifakum 17 flokumafen Gambar 5 Rodentisida kronis gadung mahoni jarak bintaro Gambar 6 Rodentisida nabati

37 26 beras gabah Gambar 7 Umpan dasar (beras dan gabah) Perhitungan Tingkat Kejeraan Tikus terhadap Umpan dan Rodentisida Perhitungan tingkat kejeraan umpan dan rodentisida didapatkan dengan metode skoring jera konsumsi umpan dan rodentisida. Tabel 1 Skoring tingkat kejeraan tikus terhadap umpan dan rodentisida Skala Skor Konsumsi Tikus Hari ke- Tingkat Kejeraan 0 0 tidak ada sangat rendah rendah sedang tinggi 5 >8 sangat tinggi Setelah dikelompokkan tingkat kejeraan konsumsi tikus terhadap umpan dan rodentisida maka dilanjutkan dengan menghitung persentasi tingkat kejeraan dengan menggunakan rumus: PK = x 100%

TINJAUAN PUSTAKA. Tikus Sawah (Rattus argentiventer)

TINJAUAN PUSTAKA. Tikus Sawah (Rattus argentiventer) 5 TINJAUAN PUSTAKA Tikus Sawah (Rattus argentiventer) Taksonomi dan Morfologi Tikus sawah mempunyai klasifikasi sebagai berikut Kelas Mammalia, Subkelas Theria, Infra Kelas Eutheria, Ordo Rodentia, Subordo

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Alat dan Bahan 19 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor serta daerah pengambilan tikus uji

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tikus Rumah, Tikus Pohon, dan Tikus Sawah Klasifikasi dan Morfologi Bioekologi

TINJAUAN PUSTAKA Tikus Rumah, Tikus Pohon, dan Tikus Sawah Klasifikasi dan Morfologi Bioekologi 3 TINJAUAN PUSTAKA Tikus Rumah, Tikus Pohon, dan Tikus Sawah Klasifikasi dan Morfologi Berdasarkan karakter dan ciri morfologi yang dimiliki, tikus rumah (Rattus rattus diardii) digolongkan ke dalam kelas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tikus

TINJAUAN PUSTAKA Tikus 5 TINJAUAN PUSTAKA Tikus Tikus merupakan salah satu satwa liar yang menjadi hama penting bagi kehidupan manusia baik dalam bidang pertanian, perkebunan, maupun permukiman. Lebih dari 150 spesies tikus

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah (R. argentiventer) dan Tikus Rumah (R. rattus diardii) terhadap Rodentisida Seng Fosfida

HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah (R. argentiventer) dan Tikus Rumah (R. rattus diardii) terhadap Rodentisida Seng Fosfida 28 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Tingkat Kejeraan Tikus Sawah (R. argentiventer) dan Tikus Rumah (R. rattus diardii) terhadap Rodentisida Seng Fosfida Pengujian tingkat kejeraan tikus sawah dan tikus

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tikus Sawah Klasifikasi dan Morfologi Biologi dan Ekologi

TINJAUAN PUSTAKA Tikus Sawah Klasifikasi dan Morfologi Biologi dan Ekologi 4 TINJAUAN PUSTAKA Tikus Sawah Klasifikasi dan Morfologi Tikus sawah merupakan hewan pengerat yang termasuk dalam Filum Chordata, Subfilum Vertebrata, Kelas Mamalia, Subkelas Theria, Infrakelas Eutheria,

Lebih terperinci

SELEKSI DAN IDENTIFIKASI AKTINOMISET SEBAGAI AGENS HAYATI UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT KRESEK YANG DIAKIBATKAN OLEH

SELEKSI DAN IDENTIFIKASI AKTINOMISET SEBAGAI AGENS HAYATI UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT KRESEK YANG DIAKIBATKAN OLEH SELEKSI DAN IDENTIFIKASI AKTINOMISET SEBAGAI AGENS HAYATI UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT KRESEK YANG DIAKIBATKAN OLEH Xanthomonas oryzae pv. oryzae PADA PADI NUR IZZA FAIQOTUL HIMMAH DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

Lebih terperinci

TINGKAT KEJERAAN RACUN DAN UMPAN PADA TIKUS SAWAH

TINGKAT KEJERAAN RACUN DAN UMPAN PADA TIKUS SAWAH TINGKAT KEJERAAN RACUN DAN UMPAN PADA TIKUS SAWAH (Rattus argentiventer Rob. & Klo.), TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii Linn.), DAN TIKUS POHON (Rattus tiomanicus Mill.) JOHAN PERMADA DEPARTEMEN PROTEKSI

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Ketertarikan Tikus Sawah terhadap Rodentisida dan Umpan (Choice Test) Konsumsi Tikus Sawah terhadap Empat Formulasi Rodentisida Bromadiolon Tikus sawah yang mempunyai habitat

Lebih terperinci

PERANCANGAN DAN PENGUJIAN PERANGKAP, PENGUJIAN JENIS RODENTISIDA DALAM PENGENDALIAN TIKUS POHON

PERANCANGAN DAN PENGUJIAN PERANGKAP, PENGUJIAN JENIS RODENTISIDA DALAM PENGENDALIAN TIKUS POHON PERANCANGAN DAN PENGUJIAN PERANGKAP, PENGUJIAN JENIS RODENTISIDA DALAM PENGENDALIAN TIKUS POHON (Rattus tiomanicus Mill.), TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii Linn.), DAN TIKUS SAWAH (Rattus argentiventer

Lebih terperinci

TERHADAP UMPAN DAN RODENTISIDA. Rizka Yudha Aryata A

TERHADAP UMPAN DAN RODENTISIDA. Rizka Yudha Aryata A PREFERENSI (Rattus tiomanicus MAKAN TIKUS MILLER) POHON TERHADAP UMPAN DAN RODENTISIDA Rizka Yudha Aryata A44102051 PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 20 HASIL DAN PEMBAHASAN Pengujian Konsumsi pada Perlakuan Kontrol Gabah, Beras, dan Jagung (No Choice Test) Hasil yang diperoleh dari pengujian konsumsi tikus terhadap umpan gabah, beras, dan jagung (no

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 21 HASIL DAN PEMBAHASAN Kemampuan Makan Bondol Peking dan Bondol Jawa Pengujian Individu terhadap Konsumsi Gabah Bobot tubuh dan konsumsi bondol peking dan bondol jawa terhadap gabah dapat dilihat pada

Lebih terperinci

PENGARUH PEMUASAAN TERHADAP KONSUMSI, BOBOT TUBUH, DAN LAMA HIDUP TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L.) DAN TIKUS POHON (Rattus tiomanicus Miller)

PENGARUH PEMUASAAN TERHADAP KONSUMSI, BOBOT TUBUH, DAN LAMA HIDUP TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L.) DAN TIKUS POHON (Rattus tiomanicus Miller) PENGARUH PEMUASAAN TERHADAP KONSUMSI, BOBOT TUBUH, DAN LAMA HIDUP TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L.) DAN TIKUS POHON (Rattus tiomanicus Miller) NUR RACHMAN A44104056 PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Kurungan tunggal

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Kurungan tunggal 15 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dimulai dari bulan

Lebih terperinci

This document is created with trial version of Document2PDF Pilot 2.4. TINJAUAN PUSTAKA

This document is created with trial version of Document2PDF Pilot 2.4. TINJAUAN PUSTAKA 5 TINJAUAN PUSTAKA Tikus Rumah (Rattus rattus diardii) Klasifikasi dan Morfologi Tikus rumah ( R. rattus diardii ) berdasarkan karakter ciri morfologinya digolongkan ke dalam kelas Mamalia, Ordo Rodentia,

Lebih terperinci

AGROVIGOR VOLUME 6 NO. 2 SEPTEMBER 2013 ISSN

AGROVIGOR VOLUME 6 NO. 2 SEPTEMBER 2013 ISSN AGROVIGOR VOLUME 6 NO. 2 SEPTEMBER 2013 ISSN 1979 5777 145 PREFERENSI DAN EFIKASI RODENTISIDA BRODIFAKUM TERHADAP TIGA JENIS TIKUS HAMA Swastiko Priyambodo dan Rizky Nazarreta Dept. Proteksi Tanaman, Fak.

Lebih terperinci

UJI BENTUK UMPAN DAN RODENTISIDA RACUN AKUT TERHADAP TIGA SPESIES TIKUS NURIHIDAYATI

UJI BENTUK UMPAN DAN RODENTISIDA RACUN AKUT TERHADAP TIGA SPESIES TIKUS NURIHIDAYATI UJI BENTUK UMPAN DAN RODENTISIDA RACUN AKUT TERHADAP TIGA SPESIES TIKUS NURIHIDAYATI DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 ABSTRAK NURIHIDAYATI. Uji Bentuk Umpan

Lebih terperinci

JENIS_JENIS TIKUS HAMA

JENIS_JENIS TIKUS HAMA JENIS_JENIS TIKUS HAMA Beberapa ciri morfologi kualitatif, kuantitatif, dan habitat dari jenis tikus yang menjadi hama disajikan pada catatan di bawah ini: 1. Bandicota indica (wirok besar) Tekstur rambut

Lebih terperinci

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP HAMA PERMUKIMAN SERTA PENGENDALIAN TIKUS DI BOGOR DAN TANGERANG ANIEF NUGROHO

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP HAMA PERMUKIMAN SERTA PENGENDALIAN TIKUS DI BOGOR DAN TANGERANG ANIEF NUGROHO PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP HAMA PERMUKIMAN SERTA PENGENDALIAN TIKUS DI BOGOR DAN TANGERANG ANIEF NUGROHO DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 ABSTRAK ANIEF NUGROHO.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi dan Ekologi Tikus Sawah Rattus rattus argentiventer Rob & Kloss

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi dan Ekologi Tikus Sawah Rattus rattus argentiventer Rob & Kloss TINJAUAN PUSTAKA Biologi dan Ekologi Tikus Sawah Rattus rattus argentiventer Rob & Kloss Tikus merupakan salah satu hama utama pada kegiatan pertanian. Kerusakan yang ditimbulkan oleh serangan hama tikus

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tebu diklasifikasikan sebagai berikut, Kingdom: Plantae; Subkingdom:

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tebu diklasifikasikan sebagai berikut, Kingdom: Plantae; Subkingdom: II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tebu Tebu diklasifikasikan sebagai berikut, Kingdom: Plantae; Subkingdom: Tracheobionta; Super Divisi: Spermatophyta ; Divisi: Magnoliophyta; Kelas: Liliopsida; Sub Kelas: Commelinidae;

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

BAHAN DAN METODE. Gambar 1 Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. 11 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (Gambar 1), dari Bulan Oktober hingga

Lebih terperinci

Si Pengerat Musuh Petani Tebu..

Si Pengerat Musuh Petani Tebu.. Si Pengerat Musuh Petani Tebu.. Embriani BBPPTP Surabaya Gambar. Tanaman Tebu Yang Terserang Tikus Hama/pest diartikan sebagai jasad pengganggu bisa berupa jasad renik, tumbuhan, dan hewan. Hama Tanaman

Lebih terperinci

UJI KETERTARIKAN WIROK KECIL (Bandicota bengalensis. Gray & Hardwicke) TERHADAP UMPAN DAN RODENTISIDA SYARIF SYUKRI HARAHAP A

UJI KETERTARIKAN WIROK KECIL (Bandicota bengalensis. Gray & Hardwicke) TERHADAP UMPAN DAN RODENTISIDA SYARIF SYUKRI HARAHAP A UJI KETERTARIKAN WIROK KECIL (Bandicota bengalensis. Gray & Hardwicke) TERHADAP UMPAN DAN RODENTISIDA SYARIF SYUKRI HARAHAP A44102059 PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dari bulan Februari sampai Juli 2011.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tikus dan mencit adalah hewan pengerat (rondensia) yang lebih dikenal sebagai hama tanaman pertanian, perusak barang digudang dan hewan pengganggu yang menjijikan di

Lebih terperinci

PENYEDIAAN PROTEIN HEWANI UNTUK MENINGKATKAN KONSUMSI TIKUS POHON DAN TIKUS SAWAH TERHADAP RODENTISIDA ARIEF YANA FUJILESTARI

PENYEDIAAN PROTEIN HEWANI UNTUK MENINGKATKAN KONSUMSI TIKUS POHON DAN TIKUS SAWAH TERHADAP RODENTISIDA ARIEF YANA FUJILESTARI PENYEDIAAN PROTEIN HEWANI UNTUK MENINGKATKAN KONSUMSI TIKUS POHON DAN TIKUS SAWAH TERHADAP RODENTISIDA ARIEF YANA FUJILESTARI DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

Mengenal Tikus Sawah

Mengenal Tikus Sawah AgroinovasI Mengenal Tikus Sawah Tikus sawah (Rattus argentiventer Rob & Kloss) merupakan hama utama tanaman padi dari golongan mammalia (binatang menyusui), yang mempunyai sifat-sifat yang sangat berbeda

Lebih terperinci

STUDI PALATABILITAS UMPAN PENDETEKSI TIKUS PADA TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L) DI LABORATORIUM FAJAR ANALIS A

STUDI PALATABILITAS UMPAN PENDETEKSI TIKUS PADA TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L) DI LABORATORIUM FAJAR ANALIS A STUDI PALATABILITAS UMPAN PENDETEKSI TIKUS PADA TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L) DI LABORATORIUM FAJAR ANALIS A44102030 PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN PERANGKAP UNTUK PENGENDALIAN TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii Linn.) PADA HABITAT PERMUKIMAN ADE DARMAWANSYAH

RANCANG BANGUN PERANGKAP UNTUK PENGENDALIAN TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii Linn.) PADA HABITAT PERMUKIMAN ADE DARMAWANSYAH RANCANG BANGUN PERANGKAP UNTUK PENGENDALIAN TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii Linn.) PADA HABITAT PERMUKIMAN ADE DARMAWANSYAH PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BIOLOGI TIKUS BIOLOGI TIKUS. Kemampuan Fisik. 1. Menggali (digging)

BIOLOGI TIKUS BIOLOGI TIKUS. Kemampuan Fisik. 1. Menggali (digging) BIOLOGI TIKUS BIOLOGI TIKUS Kemampuan Fisik 1. Menggali (digging) Tikus terestrial akan segera menggali tanah jika mendapat kesempatan, yang bertujuan untuk membuat sarang, yang biasanya tidak melebihi

Lebih terperinci

PREFERENSI MAKAN TIKUS RIUL (Rattus norvegicus Berk.) TERHADAP JENIS DAN VARIASI PENGOLAHAN PAKAN YANG BERBEDA SERTA PENGUJIAN RODENTISIDA

PREFERENSI MAKAN TIKUS RIUL (Rattus norvegicus Berk.) TERHADAP JENIS DAN VARIASI PENGOLAHAN PAKAN YANG BERBEDA SERTA PENGUJIAN RODENTISIDA PREFERENSI MAKAN TIKUS RIUL (Rattus norvegicus Berk.) TERHADAP JENIS DAN VARIASI PENGOLAHAN PAKAN YANG BERBEDA SERTA PENGUJIAN RODENTISIDA PRINGGO WIBOWO PUTRO DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

PENGUJIAN ANTIKOAGULAN BROMADIOLON PADA TIKUS SAWAH (Rattus argentiventer Rob. & Klo.) PUTRI SETYA UTAMI

PENGUJIAN ANTIKOAGULAN BROMADIOLON PADA TIKUS SAWAH (Rattus argentiventer Rob. & Klo.) PUTRI SETYA UTAMI PENGUJIAN ANTIKOAGULAN BROMADIOLON PADA TIKUS SAWAH (Rattus argentiventer Rob. & Klo.) PUTRI SETYA UTAMI DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 ABSTRAK PUTRI

Lebih terperinci

TINDAKAN MASYARAKAT PERKOTAAN DI BOGOR TERHADAP KEHADIRAN TIKUS SHERLY ASRILIA A

TINDAKAN MASYARAKAT PERKOTAAN DI BOGOR TERHADAP KEHADIRAN TIKUS SHERLY ASRILIA A TINDAKAN MASYARAKAT PERKOTAAN DI BOGOR TERHADAP KEHADIRAN TIKUS SHERLY ASRILIA A44103062 PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 TINDAKAN MASYARAKAT

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), hama walang sangit dapat di klasifikasikan sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), hama walang sangit dapat di klasifikasikan sebagai TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Walang Sangit (Leptocorisa acuta T.) berikut : Menurut Kalshoven (1981), hama walang sangit dapat di klasifikasikan sebagai Kelas Ordo Famili Genus Species : Insekta : Hemiptera

Lebih terperinci

MENGIDENTIFIKASI dan MENGENDALIKAN HAMA PADA PADI. Oleh : M Mundir BP3K Nglegok

MENGIDENTIFIKASI dan MENGENDALIKAN HAMA PADA PADI. Oleh : M Mundir BP3K Nglegok MENGIDENTIFIKASI dan MENGENDALIKAN HAMA PADA PADI Oleh : M Mundir BP3K Nglegok I. LATAR BELAKANG Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) adalah semua organisme yang menggangu pertumbuhan tanaman pokok dalam

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dari bulan Maret sampai Juni 2011.

Lebih terperinci

UJI BENTUK UMPAN DAN RODENTISIDA RACUN AKUT TERHADAP TIGA SPESIES TIKUS NURIHIDAYATI

UJI BENTUK UMPAN DAN RODENTISIDA RACUN AKUT TERHADAP TIGA SPESIES TIKUS NURIHIDAYATI UJI BENTUK UMPAN DAN RODENTISIDA RACUN AKUT TERHADAP TIGA SPESIES TIKUS NURIHIDAYATI DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 ABSTRAK NURIHIDAYATI. Uji Bentuk Umpan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. D.I.Yogyakarta tahun mengalami penurunan. Pada tahun 2013

I. PENDAHULUAN. D.I.Yogyakarta tahun mengalami penurunan. Pada tahun 2013 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah Istimewa Yogyakarta (D.I.Yogyakarta) masih memiliki areal pertanian yang cukup luas dan merupakan salah satu daerah pemasok beras dan kebutuhan pangan lainnya di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jamur merang merupakan salah satu jenis jamur pangan yang memiliki nilai gizi yang tinggi dan permintaan pasar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jamur merang merupakan salah satu jenis jamur pangan yang memiliki nilai gizi yang tinggi dan permintaan pasar BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Jamur merang merupakan salah satu jenis jamur pangan yang memiliki nilai gizi yang tinggi dan permintaan pasar yang terus meningkat. Menurut Trubus (2012), permintaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mudah ditembus oleh alat-alat pertanian dan hama atau penyakit tanaman

BAB I PENDAHULUAN. mudah ditembus oleh alat-alat pertanian dan hama atau penyakit tanaman BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kubis merupakan salah satu jenis sayuran yang banyak dikonsumsi karena berbagai manfaat yang terdapat di dalam kubis. Kubis dikenal sebagai sumber vitamin A, B, dan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian 10 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Percobaan ini dilaksanakan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Dramaga, Bogor. Sejarah lahan sebelumnya digunakan untuk budidaya padi konvensional, dilanjutkan dua musim

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Rodensia merupakan salah satu hewan yang tergolong sangat banyak spesiesnya. Terdapat lebih dari 2700 spesies rodensia di dunia Menurut Aplin et al. (2003), 42% dari semua spesies

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil. Kondisi Umum

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil. Kondisi Umum 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Kondisi Umum Tanaman padi saat berumur 1-3 MST diserang oleh hama keong mas (Pomacea caanaliculata). Hama ini menyerang dengan memakan bagian batang dan daun tanaman yang

Lebih terperinci

STUDI POTENSI RODENTISIDA NABATI BIJI JENGKOL UNTUK PENGENDALIAN HAMA TIKUS PADA TANAMAN JAGUNG

STUDI POTENSI RODENTISIDA NABATI BIJI JENGKOL UNTUK PENGENDALIAN HAMA TIKUS PADA TANAMAN JAGUNG STUDI POTENSI RODENTISIDA NABATI BIJI JENGKOL UNTUK PENGENDALIAN HAMA TIKUS PADA TANAMAN JAGUNG Terry Pakki 1), Muhammad Taufik 1),dan A.M. Adnan 2) 1). Jurusan Agroteknologi, Konsentrasi Hama dan Penyakit

Lebih terperinci

TERHADAP UMPAN DAN RODENTISIDA. Rizka Yudha Aryata A

TERHADAP UMPAN DAN RODENTISIDA. Rizka Yudha Aryata A PREFERENSI (Rattus tiomanicus MAKAN TIKUS MILLER) POHON TERHADAP UMPAN DAN RODENTISIDA Rizka Yudha Aryata A44102051 PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PEMASANGAN PERANGKAP, PEMERIKSAAN (IDENTIFIKASI), DAN PENYISIRAN TIKUS (PENANGKAPAN EKTOPARASIT)

PEMASANGAN PERANGKAP, PEMERIKSAAN (IDENTIFIKASI), DAN PENYISIRAN TIKUS (PENANGKAPAN EKTOPARASIT) LAPORAN PRAKTIKUM PENGENDALIAN VEKTOR PEMASANGAN PERANGKAP, PEMERIKSAAN (IDENTIFIKASI), DAN PENYISIRAN TIKUS (PENANGKAPAN EKTOPARASIT) OLEH AGUS SAMSUDRAJAT S J 410040028 PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

Lebih terperinci

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP HAMA PERMUKIMAN SERTA PENGENDALIAN TIKUS DI BOGOR DAN TANGERANG ANIEF NUGROHO

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP HAMA PERMUKIMAN SERTA PENGENDALIAN TIKUS DI BOGOR DAN TANGERANG ANIEF NUGROHO PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP HAMA PERMUKIMAN SERTA PENGENDALIAN TIKUS DI BOGOR DAN TANGERANG ANIEF NUGROHO DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 ABSTRAK ANIEF NUGROHO.

Lebih terperinci

kelas Mammalia, ordo Rodentia, famili Muridae, dan genus Rattus (Storer et al.,

kelas Mammalia, ordo Rodentia, famili Muridae, dan genus Rattus (Storer et al., Tikus Sawah (Raftus argentiventer Rob. & Klo. ) Tikus sawah (Rattzts argentiventer) diklasifikasikan dalam filum Chordata, kelas Mammalia, ordo Rodentia, famili Muridae, dan genus Rattus (Storer et al.,

Lebih terperinci

1 Menerapkan pola tanam yang teratur dan waktu tanam yang serempak (tidak lebih dari 2 minggu)

1 Menerapkan pola tanam yang teratur dan waktu tanam yang serempak (tidak lebih dari 2 minggu) Hama dan penyakit merupakan cekaman biotis yang dapat mengurangi hasil dan bahkan dapat menyebabkan gagal panen. Oleh karena itu untuk mendapatkan hasil panen yang optimum dalam budidaya padi, perlu dilakukan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Milik Negara (BUMN), Perkebunan Swasta Nasional atau Asing. Namun petani (Perkebunan

I. PENDAHULUAN. Milik Negara (BUMN), Perkebunan Swasta Nasional atau Asing. Namun petani (Perkebunan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan komoditi tanaman yang dewasa ini sangat diminati untuk dikelola atau ditanam (dibudidayakan), baik oleh pihak Badan Usaha

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Laju Dekomposisi Jerami Padi pada Plot dengan Jarak Pematang 4 meter dan 8 meter Laju dekomposisi jerami padi pada plot dengan jarak pematang 4 m dan 8 m disajikan pada Tabel

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Spodoptera litura F. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Filum Kelas Ordo Famili Subfamili Genus : Arthropoda : Insecta

Lebih terperinci

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah :

1. Jenis-jenis Sapi Potong. Beberapa jenis sapi yang digunakan untuk bakalan dalam usaha penggemukan sapi potong di Indonesia adalah : BUDIDAYA SAPI POTONG I. Pendahuluan. Usaha peternakan sapi potong mayoritas masih dengan pola tradisional dan skala usaha sambilan. Hal ini disebabkan oleh besarnya investasi jika dilakukan secara besar

Lebih terperinci

Pengendalian Hama Tikus Terpadu Tikus memiliki karakter biologi

Pengendalian Hama Tikus Terpadu Tikus memiliki karakter biologi Pengendalian Hama Tikus Terpadu Tikus memiliki karakter biologi yang berbeda dibanding hama padi yang lain seperti serangga dan moluska (bangsa siput). Oleh karena itu, penanganan hama tikus di lapangan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman lada (Piper nigrum L) merupakan salah satu komoditi ekspor.

I. PENDAHULUAN. Tanaman lada (Piper nigrum L) merupakan salah satu komoditi ekspor. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanaman lada (Piper nigrum L) merupakan salah satu komoditi ekspor. Sebagai salah satu tanaman rempah yang bernilai ekonomi tinggi, tanaman lada dijadikan komoditas

Lebih terperinci

PENGELOLAAN ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN SECARA TERPADU

PENGELOLAAN ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN SECARA TERPADU PENGELOLAAN ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN SECARA TERPADU Oleh : Awaluddin (Widyaiswara) I. LATAR BELAKANG A. Pendahuluan Program peningkatan produksi dan produktivitas tanaman masih banyak kendala yang

Lebih terperinci

PENGUJIAN PREFERENSI PAKAN, PERANGKAP, DAN UMPAN BERACUN PADA TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L.) DAN MENCIT RUMAH (Mus musculus L.

PENGUJIAN PREFERENSI PAKAN, PERANGKAP, DAN UMPAN BERACUN PADA TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L.) DAN MENCIT RUMAH (Mus musculus L. PENGUJIAN PREFERENSI PAKAN, PERANGKAP, DAN UMPAN BERACUN PADA TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii L.) DAN MENCIT RUMAH (Mus musculus L.) Nana Setiana A06400024 PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Upaya mengurangi ketergantungan konsumsi beras masyarakat Indonesia adalah

II. TINJAUAN PUSTAKA. Upaya mengurangi ketergantungan konsumsi beras masyarakat Indonesia adalah 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Beras Analog Upaya mengurangi ketergantungan konsumsi beras masyarakat Indonesia adalah dengan mengembangkan alternatif pangan. Program diversifikasi pangan belum dapat berhasil

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor struktur tanah, pencemaran, keadaan udara, cuaca dan iklim, kesalahan cara

BAB I PENDAHULUAN. faktor struktur tanah, pencemaran, keadaan udara, cuaca dan iklim, kesalahan cara BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Gangguan pada tanaman dapat disebabkan oleh faktor biotik ataupun abiotik. Faktor pengganggu biotik adalah semua penyebab gangguan yang terdiri atas organisme atau makhluk

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 15 HASIL DAN PEMBAHASAN Sebelum perlakuan penelitian, terlebih dahulu dilakukan uji pendahuluan dengan konsentrasi 20%, 25%, dan 30% terhadap 2 tikus sawah pada masingmasing konsentrasi. Didapatkan hasil

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden Hasil survei terhadap 30 responden di setiap lokasi mengenai tingkat pendidikan masyarakat di Daerah Sindang Barang, Cibanteng, Balio, dan Ciledug dapat

Lebih terperinci

PERMASALAHAN HAMA TIKUS DAN STRATEGI PENGENDALIANNYA (CONTOH KASUS PERIODE TANAM )

PERMASALAHAN HAMA TIKUS DAN STRATEGI PENGENDALIANNYA (CONTOH KASUS PERIODE TANAM ) PERMASALAHAN HAMA TIKUS DAN STRATEGI PENGENDALIANNYA (CONTOH KASUS PERIODE TANAM 2003-2004) Djoko Pramono Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) PENDAHULUAN Serangan tikus terjadi setiap tahun

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN PERANGKAP UNTUK PENGENDALIAN TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii Linn.) PADA HABITAT PERMUKIMAN ADE DARMAWANSYAH

RANCANG BANGUN PERANGKAP UNTUK PENGENDALIAN TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii Linn.) PADA HABITAT PERMUKIMAN ADE DARMAWANSYAH RANCANG BANGUN PERANGKAP UNTUK PENGENDALIAN TIKUS RUMAH (Rattus rattus diardii Linn.) PADA HABITAT PERMUKIMAN ADE DARMAWANSYAH PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. keberhasilan usaha pengembangan peternakan disamping faktor bibit dan

TINJAUAN PUSTAKA. keberhasilan usaha pengembangan peternakan disamping faktor bibit dan TINJAUAN PUSTAKA Sumberdaya Pakan Pakan adalah bahan makanan tunggal atau campuran, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diberikan kepada hewan untuk kelangsungan hidup, berproduksi, dan berkembang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Biologi Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae)

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Biologi Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae) TINJAUAN PUSTAKA 1. Biologi Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae) Gambar 1: Telur, larva, pupa dan imago S. oryzae S. oryzae ditemukan diberbagai negara di seluruh dunia terutama beriklim panas.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A dan C, minyak atsiri, zat warna kapsantin, karoten. Cabai merah juga mengandung

BAB I PENDAHULUAN. A dan C, minyak atsiri, zat warna kapsantin, karoten. Cabai merah juga mengandung BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Cabai digunakan sebagai bumbu untuk menambahkan rasa pedas pada makanan. Di dalam cabai diketahui terkandung kapcaisin, dihidrokapcaisin, vitamin A dan C, minyak atsiri,

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat

BAHAN DAN METODE. Waktu dan Tempat 15 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Vertebrata Hama, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, dari bulan September sampai Desember

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi dan Morfologi Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros) kelapa sawit di Indonesia adalah kumbang tanduk O. rhinoceros.

TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi dan Morfologi Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros) kelapa sawit di Indonesia adalah kumbang tanduk O. rhinoceros. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi dan Morfologi Kumbang Tanduk (Oryctes rhinoceros) Kumbang penggerek pucuk yang menimbulkan masalah pada perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah kumbang tanduk O. rhinoceros.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman pangan sumber utama untuk

I. PENDAHULUAN. Padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman pangan sumber utama untuk 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Padi (Oryza sativa L.) merupakan tanaman pangan sumber utama untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dalam tubuh. Kandungan nutrisi yang terdapat pada beras diantaranya

Lebih terperinci

LAPORAN AKHIR PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA

LAPORAN AKHIR PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA LAPORAN AKHIR PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA PENGUJIAN EFEK SEKUNDER DARI TIKUS YANG MENGONSUMSI RODENTISIDA SEBAGAI MANGSA BURUNG HANTU CELEPUK (Otus sp.) SERTA PREFERENSINYA TERHADAP UMPAN BIDANG KEGIATAN

Lebih terperinci

Uji Efektifitas Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L.) Sebagai Pestisida Nabati terhadap Perilaku Makan Tikus Hama (Rattus argetiventer)

Uji Efektifitas Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L.) Sebagai Pestisida Nabati terhadap Perilaku Makan Tikus Hama (Rattus argetiventer) Uji Efektifitas Buah Mengkudu (Morinda citrifolia L.) Sebagai Pestisida Nabati terhadap Perilaku Makan Tikus Hama (Rattus argetiventer) Rahmawasiah, Rahman Hairuddin dan Abdul Jalil Universitas Cokroaminoto

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara agraris dimana mata pencaharian mayoritas penduduknya adalah melakukan budidaya berbagai komoditas pertanian. Secara geografis Indonesia merupakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. daerah tropika. Tumbuhan yang termasuk suku polong-polongan ini memiliki

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. daerah tropika. Tumbuhan yang termasuk suku polong-polongan ini memiliki I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kacang hijau adalah tanaman budidaya palawija yang dikenal luas di daerah tropika. Tumbuhan yang termasuk suku polong-polongan ini memiliki banyak manfaat dalam kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terhadap sayuran sawi sehari-harinya relatif cukup tinggi, sehingga

BAB I PENDAHULUAN. terhadap sayuran sawi sehari-harinya relatif cukup tinggi, sehingga BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tanaman sawi (Brassica juncea L.) merupakan salah satu jenis sayuran yang digemari dan dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat. Untuk konsumsi sehari-hari, sawi biasa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. penyediaan bahan pangan pokok terutama ketergantungan masyarakat yang besar

BAB I PENDAHULUAN. penyediaan bahan pangan pokok terutama ketergantungan masyarakat yang besar BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Indonesia saat ini menghadapi masalah yang serius berkaitan dengan usaha penyediaan bahan pangan pokok terutama ketergantungan masyarakat yang besar terhadap padi,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat bersifat racun, menghambat pertumbuhan/perkembangan, tingkah

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat bersifat racun, menghambat pertumbuhan/perkembangan, tingkah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pestisida berasal dari kata pest, yang berarti hama dan cida, yang berarti pembunuh, jadi pestisida adalah substansi kimia digunakan untuk membunuh atau mengendalikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kekurangan protein merupakan salah satu masalah gizi utama di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kekurangan protein merupakan salah satu masalah gizi utama di BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kekurangan protein merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia. Oleh karena itu peningkatan konsumsi protein perlu digalakkan, salah satunya melalui penganekaragaman

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Biakan murni merupakan tahapan awal di dalam pembuatan bibit jamur. Pembuatan biakan murni diperlukan ketelitian, kebersihan, dan keterampilan. Pertumbuhan miselium

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani Tanaman Jagung (Zea Mays L.) Jagung (Zea mays L) adalah tanaman semusim dan termasuk jenis rumputan/graminae yang mempunyai batang tunggal, meski terdapat kemungkinan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan IPB Cikarawang, Darmaga, Bogor. Penelitian dilakukan mulai dari bulan Oktober 2010 sampai Februari 2011. Analisis tanah dan hara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pupuk dan Pemupukan

TINJAUAN PUSTAKA Pupuk dan Pemupukan 4 TINJAUAN PUSTAKA Pupuk dan Pemupukan Pupuk adalah bahan yang ditambahkan ke dalam tanah untuk menyediakan unsur-unsur esensial bagi pertumbuhan tanaman (Hadisuwito, 2008). Tindakan mempertahankan dan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat Metode Penelitian BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2011 Maret 2012. Persemaian dilakukan di rumah kaca Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian,

Lebih terperinci

Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama

Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama Embriani BBPPTP Surabaya Pendahuluan Adanya suatu hewan dalam suatu pertanaman sebelum menimbulkan kerugian secara ekonomis maka dalam pengertian

Lebih terperinci

KOMPOSISI KIMIA BEBERAPA BAHAN LIMBAH PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN

KOMPOSISI KIMIA BEBERAPA BAHAN LIMBAH PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN KOMPOSISI KIMIA BEBERAPA BAHAN LIMBAH PERTANIAN DAN INDUSTRI PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN NINA MARLINA DAN SURAYAH ASKAR Balai Penelitian Ternak, P.O. Box 221, Bogor 16002 RINGKASAN Salah satu jenis pakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tanaman padi merupakan salah satu komoditas pangan yang harus

I. PENDAHULUAN. Tanaman padi merupakan salah satu komoditas pangan yang harus I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tanaman padi merupakan salah satu komoditas pangan yang harus terpenuhi kecukupannya untuk menunjang kelangsungan hidup sebahagian besar penduduk Indonesia.Jumlah penduduk

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Burung Pemakan Biji-bijian

TINJAUAN PUSTAKA Burung Pemakan Biji-bijian 5 TINJAUAN PUSTAKA Burung Pemakan Biji-bijian Burung pemakan biji memiliki ukuran tubuh kecil dan bergerak cukup gesit serta lincah, sehingga susah ditangkap. Beberapa jenis burung pemakan biji antara

Lebih terperinci

Gambar 1. Gejala serangan penggerek batang padi pada stadium vegetatif (sundep)

Gambar 1. Gejala serangan penggerek batang padi pada stadium vegetatif (sundep) HAMA PENGGEREK BATANG PADI DAN CARA PENGENDALIANNYA Status Penggerek batang padi merupakan salah satu hama utama pada pertanaman padi di Indonesia. Berdasarkan luas serangan pada tahun 2006, hama penggerek

Lebih terperinci

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian

2015 LUWAK. Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian 2015 LUWAK Direktorat Pengembangan Usaha dan Investasi Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian Kementerian Pertanian LUWAK A. Biologi Luwak Luwak merupakan nama lokal dari jenis musang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi,

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi, II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum Ubi Kayu Ubi kayu yang sering pula disebut singkong atau ketela pohon merupakan salah satu tanaman penghasil bahan makanan pokok di Indonesia. Tanaman ini tersebar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu komoditas sayuran yang banyak

I. PENDAHULUAN. Cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu komoditas sayuran yang banyak I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu komoditas sayuran yang banyak digemari masyarakat Indonesia, sehingga memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Cabai merah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max L.Mer) merupakan salah satu komoditi pangan

BAB I PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max L.Mer) merupakan salah satu komoditi pangan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Kedelai (Glycine max L.Mer) merupakan salah satu komoditi pangan dari famili leguminoseae yang dibutuhkan tubuh. Kedelai memiliki kandungan gizi tinggi yang berperan

Lebih terperinci

(Rattus tiomanicus MILLER) MENUJU. Dhamayanti A.

(Rattus tiomanicus MILLER) MENUJU. Dhamayanti A. METODE PENGENDALIAN HAMA TIKUS (Rattus tiomanicus MILLER) MENUJU PERTANIAN BERKELANJUTAN oleh Dhamayanti A. PENGENDALIAN TIKUS, Rattus tiomanicus MILLER Sebelum th 1970, rodentisida (Klerat, ratropik dengan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini TINJAUAN PUSTAKA Biologi Hama Penggerek Buah Kopi (Hypothenemus hampei Ferr.) Menurut Kalshoven (1981) hama Penggerek Buah Kopi ini diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Filum Kelas Ordo Family Genus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tanaman sayuran, kacang-kacangan, tomat, jagung dan tembakau. Helicoverpa

BAB I PENDAHULUAN. tanaman sayuran, kacang-kacangan, tomat, jagung dan tembakau. Helicoverpa 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Helicoverpa armigera (Hubner) merupakan hama yang umum menyerang tanaman sayuran, kacang-kacangan, tomat, jagung dan tembakau. Helicoverpa armigera (Hubner) merupakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking

TINJAUAN PUSTAKA. perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking TINJAUAN PUSTAKA Itik Peking Itik peking adalah itik yang berasal dari daerah China. Setelah mengalami perkembangan di Inggris dan Amerika Serikat, itik ini menjadi popular. Itik peking dapat dipelihara

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. mampu mengimbangi kebutuhan pangan penduduk yang jumlahnya terus. dapat mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan.

II. TINJAUAN PUSTAKA. mampu mengimbangi kebutuhan pangan penduduk yang jumlahnya terus. dapat mencemari lingkungan dan mengganggu kesehatan. II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pertanian Anorganik Dan Organik Padi merupakan salah satu sumber makanan pokok bagi sebagian besar bangsa Indonesia (Idham & Budi, 1994). Menurut Pracaya (2002) upaya untuk mampu

Lebih terperinci

BAB I KLARIFIKASI HASIL PERTANIAN

BAB I KLARIFIKASI HASIL PERTANIAN SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017 MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN TEKNIK PENGOLAHAN HASIL PERTANIAN BAB I KLARIFIKASI HASIL PERTANIAN KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA

Lebih terperinci