PERBEDAAN JUMLAH EOSINOFIL, NEUTROFIL SPUTUM, DAN VOLUME EKSPIRASI PAKSA DETIK PERTAMA AKIBAT PEMBERIAN VITAMIN C PADA ASMA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERBEDAAN JUMLAH EOSINOFIL, NEUTROFIL SPUTUM, DAN VOLUME EKSPIRASI PAKSA DETIK PERTAMA AKIBAT PEMBERIAN VITAMIN C PADA ASMA"

Transkripsi

1 PERBEDAAN JUMLAH EOSINOFIL, NEUTROFIL SPUTUM, DAN VOLUME EKSPIRASI PAKSA DETIK PERTAMA AKIBAT PEMBERIAN VITAMIN C PADA ASMA TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Magister Kedokteran Keluarga Minat Utama Biomedik Oleh Imron Riyatno NIM S PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2013 commit i to user

2 PERBEDAAN JUMLAH EOSINOFIL, NEUTROFIL SPUTUM, DAN VOLUME EKSPIRASI PAKSA DETIK PERTAMA AKIBAT PEMBERIAN VITAMIN C PADA ASMA TESIS Oleh Imron Riyatno NIM S Komisi Pembimbing Nama Tanda Tangan Tanggal Pembimbing I Dr. Eddy Surjanto, dr., SpP(K) NIP Pembimbing II Prof. Dr. Suradi, dr., SpP(K), MARS NIP Telah dinyatakan memenuhi syarat pada tanggal Mengetahui Ketua Program Studi Magister Kedokteran Keluarga Dr. Hari Wujoso, dr., SpF, MM NIP commit ii to user

3 LEMBAR PENGESAHAN PERBEDAAN JUMLAH EOSINOFIL, NEUTROFIL SPUTUM, DAN VOLUME EKSPIRASI PAKSA DETIK PERTAMA AKIBAT PEMBERIAN VITAMIN C PADA ASMA TESIS Oleh Imron Riyatno NIM S Tim Penguji: Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal Ketua Dr. Hari Wujoso, dr., SpF, MM NIP Sekretaris Prof. Dr. Muchsin D., dr., MARS, PFarK, AIFO NIP Anggota 1. Dr. Eddy Surjanto, dr., SpP(K) Penguji NIP Prof. Dr. Suradi, dr., SpP(K), MARS NIP Telah dipertahankan di depan penguji Dinyatakan telah memenuhi syarat pada tanggal Direktur Program Pascasarjana UNS Ketua Program Studi Magister Kedokteran Keluarga Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, MS NIP Dr. Hari Wujoso, dr., SpF, MM NIP commit iii to user

4 PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI ISI TESIS Saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa : 1. Tesis yang berjudul JUMLAH EOSINOFIL, NEUTROFIL SPUTUM, DAN VOLUME EKSPIRASI PAKSA DETIK PERTAMA AKIBAT PEMBERIAN VITAMIN C PADA ASMA plagiat, serta tidak terdapat karya ilmiah yang pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik serta tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis digunakan sebagai acuan dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber acuan serta daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan peraturan perundangundangan (Permendiknas No 17, tahun 2010). 2. Publikasi sebagian atau keseluruhan isi tesis pada jurnal atau forum ilmiah lain harus seijin dan menyertakan tim pembimbing sebagai author dan PPs UNS sebagai institusinya. Apabila dalam waktu sekurang-kurangnya satu semester sejak pengesahan tesis saya tidak melakukan publikasi dari sebagian atau keseluruhan tesis ini, maka Prodi Magister Kedokteran Keluarga UNS berhak mempublikasikannya pada jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Prodi Magister Kedokteran Keluarga PPs-UNS. Apabila saya melakukan pelanggaran dari ketentuan publikasi ini, maka saya bersedia mendapatkan sanksi akademik yang berlaku. Surakarta, Mahasiswa Imron Riyatno NIM: S commit iv to user

5 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah SWT penulis ucapkan atas terselesaikannya tesis ini. Tesis ini merupakan sebagian persyaratan mencapai derajat Magister Kesehatan dan Pendidikan Dokter Spesialis Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Upaya kerjasama berbagai pihak, bimbingan, pengarahan dan bantuan para guru, keluarga, teman sejawat residen paru, karyawan rumah sakit, serta para pasien selama penulis menjalani pendidikan merupakan kunci keberhasilan penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada Dr. Hari Wujoso, dr., SpF., MM selaku Ketua Program Studi Magister Kedokteran Keluarga dan Afiono Agung Prasetyo, dr., PhD selaku Ketua Minat Utama Biomedik, para guru besar dan seluruh staf pengajar serta petugas administrasi Pasca Sarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta atas kesempatan dan bimbingan yang diberikan kepada penulis untuk memperoleh dan menyelesaikan pendidikan Magister Kesehatan di Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggitingginya kepada: 1. Prof. Dr. Suradi, dr., SpP(K), MARS Ketua Program Studi PPDS Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta sekaligus pembimbing II penelitian ini yang telah memberikan arahan, bimbingan, dorongan, petunjuk, dan koreksi yang sangat bermanfaat. 2. Dr. Eddy Surjanto, dr., SpP(K) Kepala Bagian Pulmonologi RSUD Dr. Moewardi Surakarta sekaligus pemxx bimbing I penelitian ini yang telah memberikan arahan, bimbingan, dorongan, petunjuk, dan koreksi yang sangat bermanfaat.. 3. Dr. Hadi Subroto, SpP(K), MARS commit v to user

6 Beliau menanamkan kemandirian, percaya diri, kebersamaan dan dedikasi tinggi terhadap kemajuan pendidikan kedokteran khususnya di bidang Pulmonologi yang memberikan makna yang dalam buat penulis. Penulis mengucapkan terima kasih atas nasehat dan saran beliau terhadap kemajuan ilmu Pulmonologi. 4. Yusup Subagio Sutanto, dr., SpP(K) Wakil Direktur Pelayanan RSUD Dr. Moewardi Surakarta dan pengajar di bagian Pulmonologi yang telah memberikan petunjuk, bimbingan, saran dan kritik yang membangun. Beliau selalu menanamkan nilai-nilai kedisiplinan yang sangat berarti. Beliau juga mengajarkan ilmu manajemen pelayanan yang sangat bermanfaat bagi penulis. 5. Dr. Reviono, dr., SpP(K) Pembantu Dekan II Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta sekaligus pengajar di bagian Pulmonologi yang senantiasa membimbing, mendorong, dan memberi masukan yang bermanfaat selama pendidikan, disela kesibukannya. Terima kasih penulis ucapkan atas ilmu dan petunjuk yang telah diberikan selama menjalani pendidikan pulmonologi. 6. Ana Rima Setijadi, dr., SpP(K) Sekretaris Program Studi PPDS dan pengajar di bagian Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta yang senantiasa membimbing, mendorong, dan memberi masukan yang baermanfaat selama pendidikan. Terima kasih penulis ucapkan atas bimbingan, saran, koreksi dan kritik yang telah diberikan selama penulis menjalani pendidikan di bagian Pulmonologi. 7. Harsini, dr., SpP Beliau senantiasa membimbing, mendorong dan memberi masukan yang bermanfaat selama pendidikan. Terima kasih penulis ucapkan atas bimbingan, saran, koreksi dan kritik yang telah diberikan selama penulis menjalani pendidikan di bagian Pulmonologi. commit vi to user

7 8. Jatu Aphridasari, dr., SpP Beliau senantiasa membimbing, mendorong dan memberi masukan yang bermanfaat selama pendidikan. Terima kasih penulis ucapkan atas bimbingan, saran, koreksi dan kritik yang telah diberikan selama penulis menjalani pendidikan di bagian Pulmonologi. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada staf pengajar lain yaitu: Fordiastiko, dr., SpP, Hasto Nugroho, dr., SpP, IGN. Widyawati, dr., SpP, Windu Prasetya, dr., SpP, Dwi Bambang, dr., SpP, Juli Purnomo, dr., SpP atas bimbingan dan pengarahan yang sangat berguna selama penulis mengikuti pendidikan keahlian. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih juga kepada: 1. Direktur RSUD Dr. Moewardi Surakarta 2. Direktur Pasca Sarjana UNS Surakarta 3. Dekan Fakultas Kedokteran UNS Surakarta 4. Kepala Bagian Imu Bedah RSUD Dr. Moewardi/FK UNS 5. Kepala Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. Moewardi/FK UNS 6. Kepala Bagian Radiologi RSUD Dr. Moewardi/FK UNS Surakarta 7. Kepala Bagian Kardiologi RSUD Dr. Moewardi/FK UNS Surakarta 8. Kepala Bagian Kesehatan Anak RSUD Dr. Moewardi/FK UNS Surakarta 9. Kepala Bagian Anestesi RSUD Dr. Moewardi/FK UNS Surakarta 10. Kepala Instalasi Gawat Darurat RSUD Dr. Moewardi Surakarta 11. Direktur Rumah Sakit Paru Dr. Ario Wirawan Salatiga 12. Direktur RSUD Sragen 13. Kepala BKPM Semarang 14. Kepala BKPM Klaten 15. Kepala BKPM Pati 16. Kepala BKPM Magelang beserta seluruh staf atas bimbingan dan ilmu pengetahuan yang diberikan selama penulis mengikuti tugas pendidikan. commit vii to user

8 Penghargaan, penghormatan, dan rasa terima kasih yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada ayahanda Soekono dan ibunda tercinta Mukajatin atas asuhan, didikan, pengorbanan, dukungan, ketulusan, dan doa yang senantiasa dipanjatkan. Kepada istri tercinta Rahayu Susilowati yang senantiasa setia, menerima apa adanya dan mendukung setiap langkah suami sampai akhirnya dapat menyelesaikan pendidikan ini. Untuk anak tercinta: Fatin Yurin Azimah, Zarid Yurin Ganendra, dan Fizara Yurin Mahestri, buah hati tersayang yang mampu mengubah suasana sedih dan letih menjadi riang. Kepada seluruh keluarga tercinta, kakak, adik dan keponakan-keponakan yang selalu memberi dukungan dan bantuan penulis sepenuh hati untuk menyelesaikan pendidikan ini. Rasa hormat dan terima kasih penulis sampaikan kepada senior yang telah lebih dulu menyelesaikan pendidikan: Wayan Agus Putra, dr., SpP, Joko Susilo, dr., SpP, Eny, dr., SpP, Eva LM, dr., SpP, Rianasari, dr., SpP, Juli P,, dr., SpP, M Irpan, dr., SpP, M Gani, dr., SpP, Niwan T, dr., SpP, Sofyan B, dr., SpP, Dyah, dr., SpP, Novita, dr., SpP, Rita, dr., SpP, Fitri, dr., SpP, Aji, dr., SpP, Rudi, dr., SpP, Wawan, dr., SpP, dan seluruh rekan PPDS Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FK UNS/ RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Ucapan terima kasih khusus penulis ucapkankan kepada rekan seangkatan: Yudi Prasetyo, dr.,spp, dan Farih Raharjo, dr., yang telah banyak membantu dan memberi motivasi sehingga terlaksananya penelitian. Terima kasih pula penulis ucapkan kepada: Natalie Duyen, dr., Ratna, dr., Miftahuddin, dr., Nugroho, dr., Aprilludin, dr., Anita, dr., Yusvi, dr., Lulu, dr., Reni, dr., Dwi Indrayani, dr., Yunita, dr., Musdalifah, dr., Dina, dr., Magdalena Sutanto, dr., Leonardo, dr., Nisfi, dr., Lydia, dr., Prima, dr.,naifarat, dr., Hayu, dr., serta seluruh rekan peserta PPDS yang lain atas bantuan selama penelitian berlangsung. Penghargaan dan terima kasih penulis sampaikan kepada seluruh pasien, semua rekan perawat poliklinik paru (bu Krisni, bu Lestari, pak Ranto, pak Kuswanto) dan bangsal rawat/poliklinik paru di RSUD Dr. Moewardi, RSUD Sragen, RSP Dr. Ario Wirawan Salatiga, BKPM Klaten, BKPM Pati, BKPM Magelang, dan commit viii to user

9 BKPM Semarang serta rekan kerja di SMF paru (mas Waluyo, mbak Yamti, mbak Anita, mbak Ira dan mas Arif), dan mas Harnoko. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan, saran serta kritik penulis harapkan dalam rangka perbaikan penulisan tesis ini. Semoga dengan rahmat dan anugerah Allah SWT atas ilmu dan pengalaman yang penulis miliki dapat bermanfaat bagi sesama. Surakarta, Desember 2012 Penulis commit ix to user

10 Imron Riyatno (NIM S ) Perbedaan Jumlah Eosinofil, Neutrofil Sputum, dan Volume Ekspirasi Paksa Detik Pertama akibat Pemberian Vitamin C Pada Asma. Tesis. Supervisor I: Dr. Eddy Surjanto, dr., SpP(K). II: Prof. Dr. Suradi, dr., Sp.P(K),MARS. Program Pendidikan Dokter Spesialis Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi Fakultas Kedokteran Universtas Sebelas Maret Surakarta. RINGKASAN PERBEDAAN JUMLAH EOSINOFIL, NEUTROFIL SPUTUM, DAN VOLUME EKSPIRASI PAKSA DETIK PERTAMA AKIBAT PEMBERIAN VITAMIN C PADA ASMA Imron Riyatno Pendahuluan: Inflamasi kronik saluran napas pasien asma mengakibatkan kondisi stres oksidatif yang terjadi karena peningkatan produksi oksidan dan atau berkurangnya produksi antioksidan. Vitamin C dapat berperan sebagai antioksidan dan imunoregulator sehingga dapat menurunkan gen proinflamasi. Eosinofil dan neutrofil merupakan indikator derajat inflamasi di saluran napas, nilai VEP 1 menunjukkan derajat obstruksi saluran napas. Tujuan: Mengetahui dan menganalisis perbedaan jumlah eosinofil, neutrofil sputum dan VEP 1 pada asma terkontrol sebagian dan tidak terkontrol terhadap pemberian vitamin C. Metode: Rancangan penelitian adalah uji klinis quasi-experimental, consecutive sampling, rancangan pretest-postest. Subyek penelitian adalah pasien asma terkontrol sebagian dan tidak terkontrol. Variabel bebas adalah vitamin C 2x500 mg selama 14 hari. Variabel tergantung adalah jumlah eosinofil, neutrofil sputum dan %VEP 1. Hasil: Subyek yang dianalisis 30 pasien, terdiri dari 15 pasien (50%) asma terkontrol sebagian dan 15 pasien (50%) asma tidak terkontrol. Sebelum dan sesudah pemberian vitamin C pada asma terkontrol sebagian didapatkan rerata eosinofil 3,93±2,66% dan 3,07±1,75% (p=0,126), neutrofil 48,80±25,52% dan 33,87±18,56% (p= 0,030), %VEP 1 82,27±14,78% dan 86,98±22,61% (p=0,355). Sebelum dan sesudah pemberian vitamin C pada asma tidak terkontrol didapatkan rerata eosinofil 5,80±2,40 dan 6,40±5,90% (p=0,587), neutrofil 56,13±22,79% dan 48,87±15,43% (p=0,349), %VEP 1 74,79±28,59% dan 83,91±19,09% (p=0,046). Kesimpulan: Terdapat penurunan jumlah neutrofil pada asma terkontrol sebagian dan kenaikan %VEP 1 pada asma tidak terkontrol yang bermakna sesudah pemberian vitamin C. Terdapat perbedaan yang tidak bermakna eosinofil sputum dan % VEP 1 penderita asma terkontrol sebagian, serta jumlah eosinofil dan neutrofil sputum pasien asma tidak terkontrol antara sebelum dan sesudah pemberian vitamin C. Kata kunci: Vitamin C, asma, eosinofil, neutrofil, dan %VEP 1. commit x to user

11 Imron Riyatno (NIM S ) Differences of Eosinophils, Neutrophils Sputum and FEV 1 after Administration of Vitamin C in Asthmatic Patient. Tesis. Supervisor I: Dr. Eddy Surjanto, dr., SpP(K). II: Prof. Dr. Suradi, dr., Sp.P(K),MARS. Master Program in Family Medicine, Post-Graduate Program, Sebelas Maret University Surakarta. ABSTRACT DIFFERENCES OF EOSINOPHILS, NEUTROPHILS SPUTUM AND FEV 1 AFTER ADMINISTRATION OF VITAMIN C IN ASTHMATIC PATIENT Imron Riyatno Introduction: Chronic inflammation of the asthmatic airways of patients results from increasing oxidative stress either due to elevation of oxidant production or depression of antioxidants production. Vitamin C acts as antioxidants and imunoregulator thus reducing proinflammatory genes. Eosinophils and neutrophils counts are the indicator of airway inflammation degree. The value of FEV 1 indicates airway obstruction degree. Objective: The studi was conducted to determine and analyze the differences of sputum eosinophils and neutrophils counts, FEV 1 value on partly controlled and uncontrolled asthmatic subject after vitamin C administration. Methods: The study design was quasi-experimental clinical trial, consecutive sampling, pretest-posttest design. Subjects were partly-controlled and uncontrolled asthmatic patients. The independent variable was vitamin C 500 mg twice a day for 14 days. Dependent variable were sputum eosinophils and neutrophils counts, and % FEV 1 value. Results: Total sample were 30 patients, consist of 15 patients (50%) partly controlled asthma and 15 patients (50%) uncontrolled asthma. The sputum eosinophils count before and after vitamin C administration on partly-controlled asthmatic patient were 3.93 ± 2.66% and 3.07 ± 1.75% (p = 0.126), neutrophils count were ± 25.52% and ± 18.56% (p = 0.030), %FEV 1 were ± 14.78% and ± 22.61% (p = 0.355). The sputum eosinophils count before and after vitamin C administration on uncontrolled asthmatic patient were 5.80 ± 2.40% and 6.40 ± 5.90% (p = 0.587), neutrophils count were ± 22.79% and ± 15.43% (p = 0.349), %FEV 1 were ± 28.59% and ± 19.09% (p = 0.046). Conclusion: There was a decreasing sputum neutrophils count on partly-controlled of asthmatic patient and increasing %FEV 1 in uncontrolled asthmatic patient after vitamin C administration. There were no significant differences of sputum eosinophils and %FEV 1 in partly controlled asthmatic patient, as well as eosinophils and neutrophils count sputum in uncontrolled asthmatic patients before and after vitamin C administration. Keywords: Vitamin C, asthma, eosinophils, neutrophils, and %FEV 1. commit xi to user

12 DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii PERNYATAAN ORISINALITAS DAN PUBLIKASI ISI TESIS...iv KATA PENGANTAR... v RINGKASAN...xi ABSTRACT...xii DAFTAR ISI... xiii DAFTAR SINGKATAN KATA... xvii DAFTAR GAMBAR DAN TABEL...xix DAFTAR LAMPIRAN...xxi BAB I. PENDAHULUAN A. Latar belakang penelitian... 1 B. Rumusan masalah... 6 C. Tujuan penelitian... 6 D. Manfaat penelitian... 7 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A Tingkat Kontrol Asma Sel Inflamasi Pada Asma...10 a) Sel mast b) Limfosit T... c) Makrofag d) Neutrofil...13 e) Sel dendritik f) Basofil g) Eosinofil commit xii to user

13 h) Sel epitel dan fibroblas...16 i) Sitokin Patogenesis Asma Peran Stres Oksidatif Pada Patogenesis Patologi Asma Patofisiologi Asma a) Obstruksi saluran napas b) Hiperesponsivitas saluran napas c) Hipersekresi mukus 8. Peran Stres Oksidatif Pada Patofisiologi Asma Pemeriksaan Faal Paru pada B. VITAMIN C Biokimia vitamin C Peran vitamin C pada sistem imunitas...` Vitamin C sebagai antioksidan...37 C. KERANGKA KONSEPTUAL...41 D. HIPOTESIS...44 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. RANCANGAN PENELITIAN B. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN...45 C. POPULASI PENELITIAN D. KRITERIA INKLUSI, EKSKLUSI DAN DISKONTINYU E. JUMLAH SAMPEL.PENELITIAN...46 F. IDENTIFIKASI VARIABEL G. DEFINISI OPERASIONAL H. ANALISIS DATA...51 I. CARA PENELITIAN J. TEKNIK PEMERIKSAAN...52 commit xiii to user

14 K. ETIKA PENELITIAN L. ALUR PENELITIAN BAB IV.HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN B. PEMBAHASAN BAB V. SIMPULAN DAN SARAN A B. SARAN DAFTAR PUSTAKA...83 LAMPIRAN...90 commit xiv to user

15 DAFTAR SINGKATAN KATA AA : asam askorbat APC : antigen precenting cells APE : arus puncak ekspirasi BAL : bronchoalveolar lavage CD : cluster differentiation COX-2 : cycloxygenase-2 CTL : cytotoxic T lymphocyte DALYs : disability-adjusted life years) DHA : asam dehidroaskorbat DNA : deoxyribo nucleid acid ECP : eosinophil cationic protein EDN : eosinophil derived neurotoxin EPO : eosinophil peroxidase FEF : forced expiratory flow GINA : global initiative for asthma GM-CSF : granulocyt monocyt-colony stimulating factor HAA : hydroxyanthranilate ICAM-1 : intercellular adhesion molecule-1 IFN- : interferon gamma IgE : imunoglobulin E IL : interleukin inos : inducible nitric oxide synthase KV : kapasitas paksa KVP : kapasitas vital paksa LPS : lipopoly-saccharide LTB4 : leucotrien B4 MBP : major basic protein MCP-1 : monocyte chemotactic protein-1 commit xv to user

16 MHC : major histocompatibility complex MIP : macrophage inflammatory protein NF- : nuclear factor- NHLBI : National Institute of Health National Heart, Lung, and Blood Institute Nrf 2 : nuclear factor like 2 PAF : platelet activating factor PDGF : platelet derived growth factor PDPI : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia PGF2 : prostaglandin F2 RANTES : regulation on activation normal T cell expressed and secreted ROS : reactive oxygen species SOD : superoxide dismutase STAT : signal transducer and activator of transcription TGF : transforming growth factor TGF- : transforming growth factor- Th 2 : T helper 2 TLR : toll like receptor TNF- : tumor necrosis factor- VCAM-1 : vascular cell adhesion molecule -1 VEP 1 : volume ekspirasi paksa detik pertama WHO : world health organization -FGF : basic fibroblast growth factor commit xvi to user

17 DAFTAR GAMBAR DAN TABEL Halaman Gambar 1 : Peran sitokin pada asma Gambar 2 : Patogenesis asma 23 Gambar 3 : Peran stres oksidatif pada asma 26 Gambar 4 : Patofisiologi asma 32 Gambar 5 : Skema 41 Gambar 6 : Skema inhibisi sinyal GM-CSF oleh vitamin C Gambar 7 : Kerangka konseptual Gambar 8 : Alur penelitian...57 Gambar 9 : Jumlah sampel menurut jenis kelamin Gambar 10 : Distribusi jenis kelamin pada kelompok asma Gambar 11 : Distribusi umur commit xvii to user

18 DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 : Karakteristik dasar subyek penelitian Tabel 2 : Uji normaltas menggunakan parameter Shapiro-Wilk Tabel 3 : Perbedaan jumlah eosinofil, neutrofil sputum dan volume ekspirasi paksa detik pertama pada asma terkontrol sebagian terhadap pem- 64 Tabel 4 : Perbedaan jumlah eosinofil, neutrofil sputum dan volume ekspirasi paksa detik pertama pada asma tidak terkontrol terhadap pemberian vitamin C...66 Tabel 5 : Perbedaan jumlah eosinofil, neutrofil sputum dan volume ekspirasi paksa detik pertama antara asma terkontrol sebagian dengan asma tidak terkontrol sebelu 68 Tabel 6 : Perbedaan jumlah eosinofil, neutrofil sputum dan volume ekspirasi paksa detik pertama pada asma terkontrol sebagian dan tidak 69 commit xviii to user

19 DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 : Lembar penjelasan kepada penderita Lampiran 2 : Lembar persetujuan mengikuti penelitian Lampiran 3 : Lembar data penderita Lampiran 4 : Lembar teknik pemeriksaan...97 Lampiran 5 : Lembar isian kelaikan etik...98 Lampiran 6 : Kelaikan etik Lampiran 7 : Jadwal penelitian Lampiran 8 : Rekapitulasi hasil pemeriksaan laboratorium Lampiran 9 : Rekapitulasi data Lampiran 10: Analisis data SPSS commit xix to user

20 1 BAB I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG PENELITIAN Asma tidak hanya menyebabkan masalah kesehatan tetapi juga masalah ekonomi dan sosial. Data World Health Organization (WHO) menyebutkan prevalensi total penderita asma di dunia diperkirakan 1-18 %, dan diperkirakan meningkat hingga 400 juta pada tahun Prevalensi asma meningkat di banyak negara terutama pada anak. Kematian karena asma diperkirakan jiwa setiap tahun dan diperkirakan 15 juta disability-adjusted life years (DALYs) hilang setiap tahun, hal ini mewakili 1% total penyakit global (NHLBI 2009). Prevalensi asma di Indonesia pada tahun 1995 sekitar 13/1000 (1,3 %) lebih tinggi dibanding bronkitis kronik (1,1 %) (PDPI 2004). Proses penyakit asma melibatkan inflamasi kronik pada saluran napas. Reaksi inflamasi tersebut mengakibatkan peningkatan stres oksidatif yang berperan dalam patogenesis asma (Cho dan Moon 2010). Stres oksidatif terjadi karena peningkatan produksi oksidan atau berkurangnya produksi antioksidan sehingga mengakibatkan gangguan kesetimbangan antara oksidan dan antioksidan. Peningkatan produksi oksidan diantaranya disebabkan inflamasi pada saluran napas pasien asma. Sel makrofag saluran napas pasien asma menghasilkan kadar superoksida lebih tinggi dibanding subyek normal. Polusi udara juga merangsang peningkatan oksidan eksogen yang berpengaruh terhadap insidensi asma. Penurunan kapasitas pertahanan antioksidan pada asma juga berpengaruh terhadap peningkatan stres oksidatif. 1

21 2 Beberapa gangguan pertahanan antioksidan pada asma mekanismenya sudah diketahui, diantaranya: berkurangnya kadar selenium (elemen penting aktivasi glutathione peroxidase), serta berkurangnya kadar tembaga dan seng yang mengandung superoxide dismutase (Cu, Zn-SOD). Polimorfisme genetik pada pengaturan antioksidan enzimatik Mangan yang mengandung superoxide dismutase (Mn-SOD), glutathione S-transferase, nuclear factor like 2 (Nrf 2 ) dan peroksiredoksin juga didapatkan pada penderita asma (Dworski 2000, Cho dan Moon 2010). Kondisi stres oksidatif dapat meningkatkan sitokin proinflamasi dan perubahan fungsi enzimatik. Reaksi oksidatif akan merubah struktur protein penyusun enzim intrasel sehingga aktivitasnya berubah. Perubahan aktivitas enzim menyebabkan aktivasi faktor transkripsi yang berdampak peningkatan ekspresi gen penyebab proliferasi sitokin. Kondisi tersebut diatas akan memperberat reaksi inflamasi dan cedera jaringan (Kregel dan Zhang 2007, Holguin dan Fitzpatrick 2010). Kehilangan kontrol oksidan di saluran napas menimbulkan inisiasi sel T helper 2 (Th 2 ) yang merupakan fase awal perkembangan inflamasi alergi dalam saluran napas. Peningkatan kadar reactive oxygen species (ROS) dalam antigen presenting cel (APC) mempengaruhi sistem imunitas akibat respon Th 2 (Peterson et al. 1998). Stres oksidatif berperan terhadap perkembangan atau kelangsungan inflamasi saluran napas dengan cara menginduksi beragam mediator proinflamasi. Perkembangan dan kelangsungan inflamasi tersebut menimbulkan peningkatan hiperresponsivitas saluran napas, stimuli kontraksi otot polos 2

22 3 bronkus, dan stimulasi sekresi mukus. Semua hal tersebut diatas terkait dengan tingkat keparahan asma (Terada 2006, Fitzpatrick et al. 2009, Cho dan Moon 2010). Reaksi inflamasi dalam saluran napas penderita asma menyebabkan aktivasi eosinofil, sehingga jumlahnya meningkat. Terdapat hubungan jumlah eosinofil, derajat asma, hiperreaktivitas bronkus dan tingkat eksaserbasi pada pasien asma (Filipofic dan Cekic 2001, Surjanto 2005, Apter dan Weiss 2008). Penelitian membuktikan bahwa jumlah eosinofil di darah perifer dan bilasan bronkus pasien asma berhubungan dengan berat klinis asma (Bousquet et al. 2000). Saluran napas penderita asma akut dan kronik terdapat peningkatan jumlah dan aktivasi neutrofil (Monteseirin 2009). Peningkatan kadar neutrofil menyebabkan kerusakan saluran napas akibat pelepaskan sitokin dan kemokin seperti interleukin (IL)-1, IL-6, IL-8, dan tumor necrosis factor- (TNF- metabolisme oksigen, protease, dan bahan kationik (Kips 2001, PDPI 2004). Tujuan utama pengobatan asma adalah untuk mencapai keadaan asma terkontrol (NHLBI 2009). Tingkat kontrol asma adalah manifestasi perubahan berupa berkurang atau hilangnya gejala dan tanda asma setelah mendapat terapi (Taylor et al. 2008). Kondisi asma terkontrol dapat meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (PDPI 2004). Kriteria tingkat kontrol asma menurut Global Initiative for Asthma meliputi: asma 3

23 4 terkontrol, terkontrol sebagian, dan tidak terkontrol. Tingkat kontrol asma tidak hanya menunjukkan kondisi klinis tingkat keparahan asma tapi juga dapat dipakai sebagai petunjuk untuk mengetahui derajat inflamasi yang mendasari patofisiologi asma. Derajat inflamasi yang semakin berat akan meningkatkan obstruksi saluran napas dan meningkatkan risiko eksaserbasi (NHLBI 2009). Gejala asma ditandai dengan adanya keterbatasan aliran udara yang bisa diukur dengan alat spirometri. Derajat obstruksi dapat dinilai dengan penurunan volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP 1 ). Pemeriksaan spirometri juga dapat menilai reversibilitas setelah pemberian bronkodilator (NHLBI 2009). Mekanisme pertahanan antioksidan meliputi non-enzimatik (vitamin antioksidan dan tiol) serta enzimatik (superoxide dismutases/ SOD, katalase, dan glutathione peroxidase) (Terada 2006). Vitamin C termasuk salah satu antioksidan nonenzimatik, bersifat larut air, dan berperan penting pada fungsi metabolisme tubuh. Vitamin ini terbagi menjadi dua bentuk biologis aktif yaitu asam askorbat (AA) dan asam dehidroaskorbat (DHA). Vitamin C bertindak sebagai donor elektron untuk membalikkan reaksi oksidasi sehingga bisa berfungsi sebagai antioksidan yang bereaksi dengan radikal bebas dan mendeaktivasi oksidan sebelum terjadi kerusakan pada protein atau lipid (Padayatty et al. 2003). Sebagai antioksidan kuat dapat membantu menetralisir polutan dan toksin serta mampu menghambat histamin, suatu senyawa penting yang dilepaskan selama reaksi alergi yang mendasari 4

24 5 patogenesis asma (Ottobani F dan Ottobani A 2005). Vitamin C berperan dalam sistem regulasi intraselular (imunoregulator) yang mengakibatkan menurunnya ekspresi gen proinflamasi (Carcamo et al. 2002, Carcamo et al. 2004). Vitamin C dapat meregenerasi antioksidan lain (vitamin E), sintesis kolagen, substansi interselular yang membentuk struktur otot, pembuluh darah jaringan, tulang, tendon dan ligamen. Vitamin C memainkan peran dalam sintesis beberapa hormon peptida penting dan neurotransmiter serta karnitin juga meningkatkan penyerapan zat besi dari makanan yang diperlukan untuk metabolisme asam empedu (Ottobani F dan Ottobani A 2005). Terdapat bukti hubungan antara fungsi paru dengan asupan buah, sayuran, vitamin A, C, dan E pada anak. Asupan vitamin A, C, dan E rendah dikaitkan dengan penurunan kapasitas vital paksa (KVP), VEP 1, dan forced expiratory flow % (FEF %) (Gilliland et al. 2003). Tingkat fungsi paru lebih rendah pada anak juga dihubungkan dengan rendahnya asupan makanan yang mengandung vitamin antioksidan (Harik et al. 2004). Pemberian vitamin C dosis 1000 mg per oral pada penderita asma dapat meningkatkan dosis metakolin yang dibutuhkan untuk menurunkan nilai VEP 1 sebesar 40% (pd40) (Mohsenin et al. 1983). Penelitian tentang pemberian per oral vitamin C 1000 mg / hari secara bermakna dapat menurunkan kebutuhan kortikosteroid inhalasi pada penderita asma (Fogarty et al. 2006). 5

25 6 Seberapa besar peran pemberian vitamin C sebagai antioksidan dan imunoregulator terhadap inflamasi dan derajat obstruksi saluran napas pada asma belum diketahui. Berdasar hal tersebut dilakukan penelitian untuk mengetahui peran vitamin C terhadap jumlah eosinofil dan neutrofil sputum sebagai penanda inflamasi serta nilai VEP 1 sebagai penanda obstruksi saluran napas penderita asma terkontrol sebagian dan tidak terkontrol. B. RUMUSAN MASALAH Rumusan masalah pada penelitian ini adalah: 1. Apakah pemberian vitamin C dapat menurunkan jumlah eosinofil dan neutrofil sputum pada penderita asma terkontrol sebagian. 2. Apakah pemberian vitamin C dapat meningkatkan nilai VEP 1 pada penderita asma terkontrol sebagian. 3. Apakah pemberian vitamin C dapat menurunkan jumlah eosinofil dan neutrofil sputum pada penderita asma tidak terkontrol. 4. Apakah pemberian vitamin C dapat meningkatkan nilai VEP 1 pada penderita asma tidak terkontrol. C. TUJUAN PENELITIAN 1. Tujuan umum: Mengetahui dan menganalisis peran vitamin C terhadap sel inflamasi dan tingkat obstruksi penderita asma terkontrol sebagian dan tidak terkontrol. 2. Tujuan khusus: 2.1. Mengetahui dan menganalisis perbedaan jumlah eosinofil dan neutrofil pasien asma terkontrol sebagian akibat pemberian vitamin C. 6

26 Mengetahui dan menganalisis perbedaan nilai VEP 1 pasien asma terkontrol sebagian akibat pemberian vitamin C Mengetahui dan menganalisis perbedaan jumlah eosinofil, neutrofil sputum pasien asma tidak terkontrol akibat pemberian vitamin C Mengetahui dan menganalis perbedaan nilai VEP 1 pasien asma tidak terkontrol akibat pemberian vitamin C. D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat keilmuan Membuktikan peran vitamin C untuk memperbaiki kondisi stres oksidatif dalam saluran napas penderita asma terkontrol sebagian dan tidak terkontrol. 2. Manfaat praktis Perbaikan hasil pemeriksaan eosinofil, neutrofil sputum, dan VEP 1 akibat pemberian vitamin C menjadi dasar pertimbangan terapi tambahan pada penderita asma terkontrol sebagian dan tidak terkontrol. 3. Manfaat untuk program Magister Kedokteran Keluarga Perwujudan salah satu Tridharma Perguruan Tinggi yaitu penelitian khususnya dibidang kedokteran. Hasil penelitian dapat dipakai acuan jawaban permasalahan ilmiah, pengembangan penelitian lebih lanjut serta sebagai acuan penanganan klinis pada praktik pelayanan kesehatan dokter keluarga. 7

27 8 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. ASMA Asma merupakan penyakit saluran napas kronik yang menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia. Tingkat keparahan asma bervariasi mulai ringan dan tidak mengganggu aktivitas sampai yang berat/ menetap dan mengganggu aktivitas bahkan kegiatan harian. Asma juga dapat menyebabkan kecacatan serta menurunankan produktivitas dan kualitas hidup (PDPI 2004). 1. Definisi Asma Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiper-responsif saluran napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batukbatuk terutama malam dan atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan (PDPI 2004). Inflamasi saluran napas pada asma merupakan proses yang sangat kompleks, melibatkan faktor genetik, antigen, berbagai sel inflamasi, interaksi antar sel dan mediator yang membentuk proses inflamasi kronik dan remodeling (Rahmawati et al. 2003). Faktor lingkungan dan genetik masing-masing meningkatkan risiko penyakit asma. Pajanan lingkungan meningkatkan risiko asma pada individu yang mempunyai predisposisi genetik asma (PDPI 2004, NHLBI 2009). Proses inflamasi pada asma khas 8

28 9 ditandai dengan peningkatan eosinofil, sel mast, makrofag serta limfosit-t di lumen dan mukosa saluran napas. Proses ini dapat terjadi pada asma yang asimptomatik dan bertambah berat sesuai dengan berat klinis penyakit (Rahmawati et al. 2003). 2. Tingkat Kontrol Asma Tingkat kontrol asma adalah manifestasi perubahan berupa berkurang atau hilangnya gejala dan tanda asma setelah mendapat terapi (Taylor et al. 2008). Penatalaksanaan asma ditujukan untuk mencapai kontrol optimal yaitu meminimalisasi gejala dan penggunaan agonis 2 kerja singkat, mencegah bronkokonstriksi sehingga mengurangi risiko eksaserbasi yang mengancam jiwa dan kematian (Juniper et al. 1999). Pemakaian antiinflamasi seperti steroid inhalasi dapat meredakan gejala asma dengan cepat, walaupun efeknya relatif kecil dalam mengurangi hiperreaktivitas bronkus (Barnes 1993). Global Initiative for Asthma (GINA) membagi tingkat kontrol asma berdasarkan kriteria sebagai berikut (NHLBI 2009): Asma terkontrol : Didapatkan seluruh kriteria berikut : Gejala harian asma tidak ada atau kurang dua kali / minggu. Keterbatasan aktivitas tidak ada. Gejala malam tidak ada. Kebutuhan obat pelega tidak ada atau kurang dua kali / minggu. Nilai faal paru normal. 9

29 10 Asma terkontrol sebagian : Dalam kurun waktu Gejala harian asma > 2 kali / minggu. Keterbatasan aktivitas ada. Gejala malam ada. Kebutuhan obat pelega > 2 kali / minggu. Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP 1 ) < 80% prediksi atau nilai terbaik. Asma tidak terkontrol : Dalam beberapa minggu didapatkan 3 atau lebih kriteria asma terkontrol sebagian. 3. Sel Inflamasi Pada Asma Elemen selular berperan pada inflamasi kronik saluran napas pasien asma. Sel mast, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil, sel dendritik, dan sel epitel merupakan sel yang banyak terlibat pada patogenesis asma (PDPI 2004, NHLBI 2009). Sel-sel penyusun struktur saluran napas yang lain (sel fibroblas dan sel otot polos juga berperan terhadap kelangsungan inflamasi dan cedera jaringan (Jarjour dan Kelly 2002). Uraian singkat peran elemen selular dijelaskan sebagai berikut: a. Sel mast Sel mast berperan kunci pada respon awal alergi, biasanya mulai dalam beberapa menit dari pajanan antigen yang sesuai (Jarjour dan 10

30 11 Kelly 2002). Sel mast beredar di sirkulasi sebagai sel mononuklear cluster of differentiation (CD)-34, kemudian bermigrasi ke mukosa dan sub-mukosa saluran napas serta mengalami maturasi spesifik di jaringan. Sel mast menghasilkan berbagai sitokin diantaranya adalah IL-1, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, granulocyte macrophage colony stimulating factor (GM-CSF), interferon gamma (IFN- tumor necrosis factor (TNF)-. Sel mast diketahui berperan pada proses remodeling, diferensiasi, pro-liferasi, adhesi dan motilitas sel-sel radang, serta morfogenesis jaringan saluran napas. (PDPI 2004, Boushey et al. 2005, Mangatas et al. 2006). Kemokin yang dihasilkan sel mast antara lain macrophage inflammatory protein (MIP)-1a, MIP- 1b, monocyte chemoattractant protein (MCP), dan regulated on activation normal T cell expressed and secreted (RANTES) (Jarjour dan Kelly 2002). b. Sel limfosit T Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe Th 2. Limfosit T ini berfungsi sebagai orkestra inflamasi saluran napas dengan mengeluarkan berbagai sitokin (PDPI 2004). Sitokin yang dihasilkan diantaranya adalah IL-4, IL-5, IL-9, dan IL-1. Melalui sitokin tersebut, sel Th 2 berperan dalam rekrutmen dan aktivasi eosinofil, produksi IgE, sekresi mukus, serta meningkatkan ekspresi molekul adhesi seperti vascular cell adhesion molecule (VCAM)-1 yang penting untuk merekrut eosinofil (Jarjour dan Kelly 2002). 11

31 12 Interleukin-4 berperan dalam menginduksi Th 0 ke arah Th 2 dan bersama-sama IL-13 menginduksi sel limfosit B mensintesis imunoglobulin (Ig)E, IL-3, IL-5 serta GM-CSF berperan pada maturasi, aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup eosinofil (Jarjour dan Kelly 2002). Sel T yang belum terpajan dengan antigen disebut sel T naif atau Th 0. Pajanan antigen menyebabkan sel T naif membentuk ikatan dengan major histo-compatibility complex (MHC) dan dipresentasikan oleh antigen-precenting cells (APC) atau rangsangan sitokin spesifik yang berkembang menjadi subset sel T-CD4 + dan CD8 +. Sel T CD4 + dipengaruhi sitokin IL-4, IL-5, IL-10, dan IL-13 yang dilepas sel mast berkembang menjadi sel Th 2 yang merangsang sel B untuk meningkatkan produksi antibodi (Baratawidjaja 2006). c. Makrofag Makrofag merupakan anggota famili leukosit mononuklear, didistribusikan secara luas hampir ke seluruh jaringan. Fenotif makrofag sangat bervariasi tergantung pada lingkungan mikro lokal. Makrofag memainkan peran penting untuk memperkuat respons inflamasi dengan cara stimulasi sitokin pada sel yang tidak merespon bakteri atau produk bakteri. Sel fagosit mononuklear, neutrofil dan sel endotel menghasilkan kemokin CXC saat merespons lipopolysaccharide (LPS). Makrofag alveolar secara aktif menghambat proliferasi sel T. Pada asma terjadi perubahan kondisi lingkungan 12

32 13 mikro sehingga hambatan makrofag terhadap proliferasi sel T akan berkurang setelah pajanan alergen (Toews 2009). Alergen mengaktivasi sel monosit akan berubah menjadi makrofag. Makrofag melepaskan berbagai mediator antara lain leukotrien B4 (LTB4), prostaglandin F2 (PGF2), platelet activating factor (PAF), IL-1, IL-8, IL-10, GM-CSF, dan TNF- Sel ini juga melepaskan platelet derived growth factors (PDGF), basic fibroblast growth factor -FGF), dan transforming growth factor (TGF)- yang berperan pada proses remodeling saluran napas (Rahmawati et al. 2003, PDPI 2004, Mangatas et al. 2006). d. Neutrofil Neutrofil merupakan jenis sel paling banyak dalam sputum orang sehat dan penderita asma. Jumlah neutrofil tidak meningkat pada sekresi saluran napas pasien asma ringan dan sedang, tetapi meningkat lebih tinggi dari normal pada asma berat (Fahyi 2009). Neutrofil berperan dalam patogenesis asma akut maupun kronik melalui produksi berbagai sitokin dan kemokin seperti IL-1, IL-3, IL- 6, IL-8, IL-12, TNF-, IFN-, GMCSF, MIP, dan TGF- Monteseirin 2009). Mediator yang berhubungan dengan reaksi asma fase cepat diantaranya: matrix metalloproteinase (MMP)-9, elastase, laktoferin, myeloperoxidase (MPO), molekul adhesi, thromboxane A 2 (TXA 2 ) sedangkan mediator yang terlibat dalam reaksi asma fase lambat adalah IL-8 dan eosinophil cationic protein (ECP). MMP-9 diproduksi 13

33 14 neutrofil atas pengaruh IL-8. Terdapat peningkatan kadar MMP-9 teraktivasi pada cairan BAL penderita asma. Penelitian terhadap pajanan alergen spesifik menunjukkan adanya korelasi antara kadar MMP-9, perubahan nilai VEP 1, dan kadar neutrofil sputum. Produksi elastase oleh neutrofil pada asma melalui mekanisme IgE dependent. Elastase terlibat dalam patofisiologi asma diantaranya mengakibatkan cedera epitel, meningkatkan permeabilitas vaskular, hipersekresi mukus, metaplasi kelenjar mukus, bronkokonstriksi, dan hiperreaktivitas bronkus. Eosinophil cationic protein disekresi oleh neutrofil akibat stimuli oleh alergen atau antibodi anti-ige. Eosinophil cationic protein (ECP) terlibat dalam patofisiologi asma dengan merangsang pelepasan histamin dan laktoferin oleh basofil yang mengakibatkan hipersekresi mukus (Monteseirin 2009). e. Sel dendritik Fungsi utama sel dendritik adalah sebagai antigen presenting cell (APC) yang menyajikan antigen ke sel T. Sel ini mempunyai potensi terbesar menginisisasi dan mempertahanakan inflamasi dalam saluran napas. Sel dendritik ditemukan di dalam dan dibawah lapisan epitel, sehingga sangat ideal untuk menangkap, memproses kemudian mempresentasikan antigen. Sel ini berasal dari sel sumsum tulang atau dari prekursor monosit dalam darah dan hanya bertahan hidup selama kurang dari dua hari (Boushey 2005). 14

34 15 Sel dendritik juga mensekresi beberapa mediator inflamasi diantaranya IL-12, PGE2, dan IL-10. Mediator ini akan memicu perkembangan dan diferensiasi sel T (Boushey 2005). Sel dendritik berasal dari sel progenitor di sumsum tulang dan sel di bawah epitel saluran napas. Sel dendritik akan bermigrasi ke jaringan limfe lokal di bawah pengaruh GMCSF (Rahmawati et al. 2003). f. Basofil Sel basofil berasal dari sel CD 34 + di sumsum tulang, yang berdeferensiasi dan matur di sumsum tulang kemudian masuk sirkulasi darah serta mempunyai reseptor IgE afinitas tinggi yaitu Fc RI seperti sel mast. Sel basofil merupakan efektor dari respons imun yang diperantarai IgE, termasuk asma dan penyakit alergi yang lain (Arinobu et al. 2009). Sel ini mampu melepaskan histamin dan LTB4, sehingga diduga berperan dalam patogenesis asma. Didapatkan sedikit peningkatan basofil pada saluran napas penderita asma setelah pajanan alergen (PDPI 2004, Rahmawati et al. 2003). g. Eosinofil Eosinofil berasal dari progenitor sel pluripoten CD34 + yang mengalami diferensiasi dan maturasi di sumsum tulang, akibat pengaruh IL-3, IL-5, dan GM-CSF (Filipofic dan Cekic 2001). Eosinofil meninggalkan sumsum setelah matur menuju sirkulasi darah selanjutnya ke jaringan dan bertahan hidup selama 4-10 hari (Feong et al. 2007). 15

35 16 Eosinofil mengandung granula yang memproduksi mediator inflamasi toksik dan disintesis setelah terjadi interaksi aktivasi sel. Granula tersebut mengandung inti kristaloid yang terdiri dari major basic protein (MBP), eosinophil cationic protein (ECP), eosinophil derived neurotoxin (EDN), dan eosinophil peroxidase (EPO). Major basic protein (MBP) dapat menyebabkan kerusakan saluran napas dan berperan pada hiperresponsivitas saluran napas. Eosinofil juga memproduksi leukotrien, sitokin, matriks metaloproteinase, dan reaktif oksigen spesies yang berperan pada obstruksi dan cedera saluran napas (Jarjour dan Kelly 2002). Jumlah eosinofil dalam darah bisa digunakan sebagai marker inflamasi secara tidak langsung pada saluran napas penderita asma. Jumlah eosinofil mencerminkan aktivitas asma, dapat digunakan untuk menentukan dosis steroid dan deteksi dini eksaserbasi (Filipofic dan Cekic 2001, Surjanto 2005). Peningkatan jumlah eosinofil dalam darah perifer dan hasil sekresi saluran napas merupakan gambaran khas pada asma dan berhubungan dengan derajat keparahan asma. Kelompok asma eosinofilia menunjukkan subepithelial basement membrane lebih tebal dibanding noneosinofilia (Mitchell 2009). h. Sel epitel dan fibroblas Sel epitel dan fibroblas merupakan sel penyusun struktur saluran napas. Sel tersebut juga berperan pada inflamasi dan cedera saluran napas melalui pelepasan sitokin dan kemokin, serta matriks selain 16

36 17 protein (elastin, fibronektin, laminin, dan kolagen) (Jarjour dan Kelly 2002). Miofibroblas menyebabkan penebalan membran basal retikuler (PDPI 2004, Barnes dan Rennard 2002). i. Sitokin Sitokin yang terlibat dalam proses inflamasi saluran napas pada asma meliputi: Interleukin-4 Interleukin-4 terutama dihasilkan oleh Th 2, sel mast, basofil, dan eosinofil. Sintesis IL-4 diinduksi oleh stimulasi reseptor antigen dalam sel T. Peran IL-4 berhubungan dengan aktivasi limfosit B dengan jalan meningkatkan ekspresi molekul MHC kelas II, CD-23, reseptor Fc RI CD-40 dan reseptor IL-2. Sitokin ini mampu meningkatkan sintesis IgE dan IgG4 oleh sel B (Chung dan Barnes 1999). Stimuli IL-4 terhadap IgE akan mengaktivasi sel mast yang berperan penting dalam perkembangan reaksi alergi tipe cepat. Interleukin-4 juga dapat menyebabkan obstruksi saluran napas melalui induksi gen musin dan hipersekresi mukus. Ekspresi eotaksin dan sitokin inflamasi dari fibroblas yang lain juga ditingkatkan oleh IL-4 sehingga akan menyebabkan inflamasi dan remodeling saluran napas (John et al. 1999). Efek IL-4 di sisi lain juga menghambat biosintesis metalloproteinase oleh makrofag alveolar, menghambat sintesis oksida nitrat oleh sel epitel serta menurunkan ekspresi RANTES 17

37 18 dan IL l-8 pada sel otot polos saluran napas (Chung dan Barnes 1999). Vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1) pada endotel juga distimuli oleh IL-4, sehingga dapat meningkatkan inflamasi pada pasien asma (John dan Larry 2001). Interaksi VCAM-1 dengan IL-4 secara langsung menyebabkan migrasi limfosit T, monosit, basofil, dan eosinofil ke daerah inflamasi (Moser et al. 1992). Aktivitas biologis IL-4 dapat mengendalikan diferensiasi sel limfosit Th 0 menjadi Th 2, yang bisa mensekresikan IL-4, IL-5, IL-9, dan IL-13 (Scott et al. 2001). Ekspresi IL-4 pada CD4+, CD8+, eosinofil, dan sel mast penderita asma atopi maupun nonatopi meningkat. Terdapat bukti peningkatan jumlah limfosit yang mengekspresikan IL-4 dan IL-5 secara bersama-sama pada cairan BAL setelah pajanan alergen (Chung dan Barnes 1999). Interleukin-5 Interleukin-5 diproduksi oleh limfosit T dan peningkatan ekspresi IL-5 mrna ditunjukkan pada sel CD4+ saluran napas pasien asma. Sel CD8+ dan eosinofil diduga juga dapat mensekresi IL-5. Sitokin ini berperan pada produksi, maturasi, aktivasi dan menjaga kelangsungan hidup eosinofil. Interleukin-5 merupakan sitokin utama yang mengaktifkan eosinofil pada respons tipe lambat setelah pajanan antigen. Pemberian IL-5 18

38 19 eksogen terbukti menyebabkan eosinofilia pada model percobaan invivo (Chung dan Barnes 1999). Interleukin-5 berperan penting dalam recruitment eosinofil dari darah ke jaringan, serta memicu aktivasi eosinofil jaringan yang mengalami inflamasi (Scott et al. 2001). Sitokin ini juga berfunsi sebagai kemoatraktan dan terlibat dalam peningkatan hiperresponsivitas saluran napas. Peningkatan ekspresi IL-5 dalam sel dan jaringan penderita asma mendukung keterlibatan sitokin ini dalam patogenesis asma (Chung dan Barnes 1999). Interleukin-9 Interleukin-9 dihasilkan oleh Th 2 dan sebelumnya diidentifikasi sebagai faktor pertumbuhan sel T. Interleukin-9 merangsang proliferasi sel T yang telah teraktivasi, meningkatkan produksi IgE dari sel B, merangsang proliferasi dan diferensiasi sel mast dari haematopoietic progenitor (Chung dan Barnes 1999). Sitokin ini juga berperan dalam hiperplasia sel goblet dan perkembangan sel mast (Yuhong et al. 2001). Pada percobaan hewan peningkatan ekspresi IL-9 berhubungan dengan infiltrasi eosinofil dan limfosit yang masif serta peningkatan jumlah sel mast pada saluran napas. Percobaan yang lain menunjukkan terjadi peningkatan hiperresponsivitas saluran napas tanpa terjadi penurunan diameter saluran napas (Chung dan Barnes 1999). 19

39 20 Interleukin-13 Interleukin-13 disintesis oleh sel T CD4+ dan CD8+ yang teraktivasi, akibat respon terhadap rangsang antigen spesifik. Aktivitas biologis dan struktur reseptor IL-13 mirip dengan IL-4 (Chung dan Barnes 1999). Peran IL-13 pada asma overlap dengan IL-14 diantaranya merangsang sel B untuk mensintesis Ig E, mengatur ekspresi reseptor Ig E, mengatur peningkatan ekspresi VCAM-1 meningkatkan survival eosinofil, kemotaksis dan aktivasi fibroblas, serta merangsang produksi mukus (Humbert et al. 1997). Peran sitokin pada asma terlihat pada gambar satu. Gambar 1. Sitokin yang terlibat dalam patogenesis asma. Berbagai sitokin dikeluarkan oleh sel inflamasi dan sel pembentuk struktur saluran napas, membentuk suatu orkestra inflamasi. Dikutip dari (Barnes dan Rennard 2002) 20

40 21 4. Patogenesis Asma Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan beberapa sel, menyebabkan pelepasan mediator yang dapat mengaktivasi sel target saluran napas sehingga terjadi bronkokonstriksi, kebocoran mikrovaskular, edema, hipersekresi mukus dan stimulasi refleks saraf (Barnes dan Rennard 2002). Asma berhubungan dengan peningkatan kepekaan saluran napas sehingga memicu episode mengi berulang, sesak napas dan batuk terutama pada malam atau dini hari. Gejala ini berhubungan dengan luas inflamasi, menyebabkan obstruksi saluran napas yang bervariasi derajatnya dan bersifat reversible secara spontan maupun dengan pengobatan (Barnes dan Rennard 2002) Proses inflamasi pada asma khas ditandai dengan peningkatan eosinofil, sel mast, makrofag serta limfosit-t di lumen dan mukosa saluran napas. Proses ini mulai terjadi pada asma yang asimptomatik dan bertambah berat sesuai dengan berat klinis penyakit (Bousquet et al. 2000). Sel inflamasi yang terlibat dalam asma adalah sel limfosit, eosinofil, basofil, neutrofil, makrofag, dan sel mast. Limfosit yang berperan pada asma adalah limfosit T-CD4 + subtipe Th 2. Limfosit ini mengeluarkan sitokin antara lain IL-3, IL-4, IL-5, IL-13 dan GM-CSF. Interleukin-5 dan GM-CSF memicu pembentukan eosinofil di sumsum tulang. Neutrofil berperan sebagai efektor reaksi inflamasi melalui fungsi fagositosis, pelepasan zat sitotoksik, serta memproduksi beberapa enzim. 21

41 22 Neutrofil juga menghasilkan sitokin dan kemokin seperti IL- -6, IL- 8, dan TNFmembuat dan mensekresi activator plasminogen dan metalloproteinase yang dapat merusak komponen matriks ekstraseluler saluran napas (Mangatas et al. 2006). Inflamasi terdapat pada semua derajat asma (asma intermiten maupun asma persisten) serta ditemukan pada berbagai bentuk asma (asma alergi, non alergi, asma kerja, dan asma yang dicetuskan oleh aspirin) (PDPI 2004). Patogenesis asma terlihat pada gambar dua. Gambar 2. Patogenesis asma. Dikutip dari (Jarjour dan Kelly 2002) Ekspresi protein inflamasi (sitokin, enzim, reseptor, molekul adhesi) secara bersamaan berpengaruh terhadap proses inflamasi pada asma. Faktor transkripsi menginduksi protein inflamasi berperan 22

42 23 meningkatkan transkripsi gen target. Nuclear factor- (NFmerupakan salah satu faktor transkripsi yang memainkan peran penting dalam asma. Faktor transkripsi ini diaktivasi oleh banyak rangsangan termasuk aktivator protein C kinase, oksidan, dan sitokin proinflamasi (seperti IL- - dan Rennard 2002). 5. Peran Stres Oksidatif Pada Patogenesis Asma Stres oksidatif terjadi karena peningkatan produksi oksidan atau berkurangnya produksi antioksidan sehingga mengakibatkan gangguan kesetimbangan antara oksidan dan antioksidan. Peningkatan produksi oksidan diantaranya disebabkan inflamasi pada saluran napas pasien asma. Sel makrofag saluran napas pasien asma menghasilkan kadar superoksida lebih tinggi dibanding subyek normal. Polusi udara juga merangsang peningkatan oksidan eksogen yang berpengaruh terhadap insidensi asma. Pengurangan produksi antioksidan pada asma disebabakan oleh beberapa gangguan yang mekanismenya sudah diketahui yaitu berkurangnya kadar selenium (elemen penting aktivitas aktivasi glutathione peroxidase), serta berkurangnya aktivitas tembaga dan seng yang mengandung superoxide dismutase (Cu, Zn-SOD) pada sel epitel bronkus dan cairan BAL. Terdapat bukti adanya polimorfisme genetik pada antioksidan enzimatik Mn-SOD dan glutathione S-transferase pada penderita asma (Dworski 2000). Penelitian pada model hewan coba asma menunjukkan adanya penurunan kadar nuclear factor like 2 (Nrf 2 ) dan peroksiredoksin intraselular. Data tersebut diatas mendukung pendapat bahwa penurunan 23

43 24 aktivitas pertahanan antioksidan intraselular berpengaruh terhadap perkembangan asma (Cho dan Moon 2010). Kehilangan kontrol oksidan di saluran napas dapat menimbulkan inisiasi sel Th 2 yang merupakan fase awal perkembangan inflamasi alergi dalam saluran napas. Peningkatan kadar ROS dalam APC mempengaruhi sistem imunitas akibat respon Th 2 (Peterson et al. 1998). Kondisi stres oksidatif menyebabkan gangguan maturasi sel dendritik ditandai penurunan sekresi IL-12 dan IFN- yang berdampak down regulation terhadap Th 1 (Kim et al. 2007, Kroening et al. 2010). Pajanan oksidan terhadap sel dendritik terbukti meningkatkan produksi IL-4, IL-8 dan TNF- (Verhasselt et al. 1998). Sel makrofag yang mengalami stres oksidatif akan mengalami peningkatan produksi IL-6 dan IL-10 dan akan mendeferensiasi Th 0 ke arah respons Th 2 (Murata et al. 2002). Peningkatan stres oksidatif juga berkontribusi pada perkembangan atau kelangsungan inflamasi saluran napas, menimbulkan peningkatan hiperresponsivitas saluran napas, stimulasi sekresi mukus, dan induksi berbagai mediator kimia proinflamasi. Semua hal tersebut diatas terkait dengan tingkat keparahan asma (Fitzpatrick et al. 2009). Sel makrofag saluran napas pasien asma menghasilkan kadar superoksida lebih tinggi dibanding subyek normal. Pajanan antigen juga terbukti meningkatkan kadar ROS saluran napas. Sel inflamasi pada sirkulasi diduga juga menjadi sumber stres oksidatif. Monosit darah perifer teraktivasi oleh ikatan IgE dengan membran reseptor dan 24

44 perpustakaan.uns.ac.id 25 mensekresi superoksida. Isolasi eosinofil dari pasien asma setelah pajanan antigen selama 24 jam menghasilkan kadar hidrogen peroksida lebih tinggi. Eosinofil dan monosit darah pasien asma terbukti juga mengandung kadar ROS lebih tinggi dibandingkan dengan subyek normal. Data tersebut di atas menunjukkan bahwa sel-sel inflamasi saluran napas maupun intravaskular berkontribusi pada peningkatan stres oksidatif pada asma (Bowler dan Crapo 2002). Peran stres oksidatif terhadap perkembangan asma terlihat pada gambar tiga. Gambar 3. Peran stres oksidatif pada asma. Dikutip dari (Cho dan Moon 2010) Sebagian besar bukti epidemiologis dan klinis mendukung adanya hubungan antara peningkatan ROS dan patogenesis asma bronkial. Molekul yang terlibat dalam stres oksidatif lebih banyak ditemukan dari sampel biologi yang diambil dari pasien asma dibandingkan dengan 25

45 26 kontrol subyek normal. Insidensi pasien asma juga dilaporkan lebih tinggi di daerah dengan polusi udara, menunjukkan adanya pengaruh rangsang oksidan eksogen terhadap asma (Cho dan Moon 2010). Kenaikan ROS pada asma terkait dengan kerusakan berbagai molekul biologis di paru. Peningkatan nitrotyrosine dan chlorotyrosine pada sampel cairan BAL menunjukkan adanya kerusakan protein, yang berhubungan dengan penurunan aktivitas 1 protease inhibitor (Bowler dan Crapo 2002). 6. Patologi Asma Inflamasi saluran napas pada asma melibatkan interaksi berbagai sel dan mediator berperan sentral pada patologi asma (Barnes dan Rennard 2002). Mediator inflamasi dan protein hasil sekresi sel-sel inflamasi berperan terhadap perubahan struktur dan fungsi saluran napas. Proses inflamasi kronik tersebut akan mengakibatkan perubahan struktur berupa peningkatan epitel, hiperplasia sel goblet, peningkatan jumlah pembuluh darah, peningkatan dan perubahan matriks ekstraselular (extra-cellular matrix / ECM) serta pe-ningkatan massa otot polos saluran napas (airway smooth muscle / ASM) (Postma dan Timens 2006). Analisis patologi penderita asma berat menunjukkan terjadi peningkatan sebagian besar unsur dinding saluran napas (otot polos, jaringan ikat, dan kelenjar mukus). Peningkatan ini terjadi pada saluran napas semua ukuran kecuali kelenjar mukus. Perubahan patologis saluran napas penderita asma ringan kurang menonjol. Perubahan terutama hanya 26

46 27 di saluran napas kecil dengan diameter 2-4 mm. Ketebalan dinding saluran napas juga berhubungan dengan derajat keparahan dan lama penyakit (Homer dan Elias 2005). Penyebab terpenting penebalan saluran napas adalah peningkatan massa otot polos karena hipertrofi dan hiperplasia (Larsson 2010). Penebalan lapisan kolagen saluran napas penderita asma juga menonjol. Tebal lapisan kolagen saluran napas normal sekitar 5 m. Tebal lapisan kolagen pasien asma meningkat menjadi 20 m (Larsson 2010). Penebalan ini semula hanya digambarkan sebagai penebalan basement membrane. Kelainan juga terjadi pada matriks nonkolagen termasuk elastin, proteoglikan, dan kartilago. Fibrosis subepitel memberikan kontribusi terjadi perubahan distensibilitas saluran napas dan mungkin berhubungan dengan hiperesponsif saluran napas pada asma. Fibrosis subepitel merupakan tanda sangat dini fenotipe asma pada anak-anak dan tidak berkorelasi dengan lama waktu atau tingkat keparahan inflamasi (Homer dan Elias 2005). Peningkatan vaskularisasi juga memberikan kontribusi terhadap penebalan dinding saluran napas pada asma dan berhubungan dengan keparahan penyakit. Angiogenesis merupakan gambaran khas asma berat tetapi juga muncul pada beberapa kasus asma ringan (Larsson 2010). Penderita asma berat memiliki jumlah pembuluh darah mukosa saluran napas lebih banyak dibanding penderita asma ringan. Peningkatan vaskularisasi terjadi pada kapiler dan venula yang terletak di bawah 27

47 28 epitel saluran napas. Dinding pembuluh kapiler dan venula penderita asma terjadi edema dan penebalan subendothelial basement membrane, hipotrofi atau atrofi miosit serta fibrosis arteriol. Pembuluh darah penderita asma menunjukkan recruitment eosinofil, aktivasi, dan lisis intravaskular (Homer dan Elias 2005). Dilatasi, kongesti, dan edema dinding pembuluh darah mukosa bronkus merupakan gambaran yang muncul konsisten pada asma berat dan dapat menjelaskan penyebab penebalan dan kekakuan dinding saluran napas (Larsson 2010). 7. Patofisiologi Asma Respons inflamasi kronik pada asma mendasari kelainan faal paru. Kelainan faal paru tersebut akibat kerusakan epitel saluran napas, fibrosis subepitel saluran napas, hiperplasia dan hipertrofi saluran napas, vasodilatasi pembuluh darah, kebocoran plasma, hipersekresi mukus, serta aktivasi saraf sensorik (Barnes dan Rennard 2002). Perubahan faal paru pada asma diantaranya adalah: a. Obstruksi saluran napas Obstruksi saluran napas pada asma bersifat difus dan derajatnya ber-variasi, dapat membaik dengan atau tanpa pengobatan. Penyebab utama obstruksi adalah kontraksi otot polos bronkus yang diprovokasi oleh mediator yang dilepaskan sel inflamasi (Rahmawati et al. 2003). Fibrosis subepitel saluran napas dengan penimbunan kolagen berhubungan dengan obstruksi dan hiperesponsivitas saluran napas 28

48 29 yang terdapat pada penderita asma. Peningkatan aliran darah mukosa saluran napas menyebabkan peningkatan volume pembuluh darah diduga juga berperan terhadap penyempitan saluran napas yang mengakibatkan obstuksi. Peningkatan produksi mukus berperan dalam peningkatan viskositas mucus plugs yang dapat menyebabkan oklusi saluran napas penderita asma (Barnes dan Rennard 2002). b. Hiperesponsivitas saluran napas Mekanisme hiperresponsivitas saluran napas belum diketahui secara pasti. Salah satu penyebabnya diduga karena perubahan sifat otot polos saluran napas sekunder terhadap perubahan fenotip kontraktilitas. Inflamasi dinding saluran napas terutama di daerah peribronkial dapat menambah penyempitan saluran napas selama kontraksi otot polos. Hiperesponsivitas saluran napas dapat diukur dengan uji provokasi bronkus. Pada penderita asma terjadi peningkatan pemendekan otot polos bronkus saat kontraksi isotonik. Perubahan fungsi kontraksi mungkin disebabkan oleh perubahan aparatus kontraksi (Rahmawati et al. 2003). Kerusakan epitel saluran napas diduga penting dalam kontribusi terjadinya hiperesponsivitas saluran napas. Kerusakan epitel dapat terjadi melalui beberapa mekanisme yaitu: kehilangan fungsi pertahanan untuk melawan masuknya alergen, kehilangan enzim (neural peptidase) yang secara normal menurunkan mediator inflamasi, kehilangan faktor relaksasi, dan kerusakan saraf sensorik. Kerusakan kontrol saraf otonom diduga 29

49 30 juga berperan dalam hiperresponsivitas saluran napas pada penderita asma (Barnes dan Rennard 2002). c. Hipersekresi mukus Saluran napas penderita asma terjadi hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet, sehingga menyebabkan penyumbatan saluran napas oleh mukus. Hipersekresi mukus akan mengurangi gerakan silia, mempengaruhi lama inflamasi dan menyebabkan kerusakan struktur / fungsi epitel (Rahmawati et al. 2003). Peningkatan respons sekresi ini mungkin akibat dari aktivitas mediator inflamasi pada kelenjar submukosa dan akibat dari stimulasi elemen saraf (Barnes dan Rennard 2002). Gambaran patofisiologi asma terlihat pada gambar empat. Gambar 4. Patofisiologi asma. Dikutip dari (Barnes dan Rennard 2002). 30

50 31 8. Peran Stres Oksidatif Pada Patofisiologi Asma Stres oksidatif berperan pada peningkatan dan kelangsungan inflamasi saluran napas berdampak pada peningkatan hiperresponsivitas saluran napas, merangsang sekresi mukus, dan menginduksi mediator proinflamasi, yang semua terkait dengan derajat keparahan asma (Fitzpatrick et al. 2009). Peningkatan produksi ROS berkorelasi terbalik dengan FEV 1 (Bowler dan Crapo 2002). Kekurangan asupan makanan yang mengandung antioksidan juga terkait dengan peningkatan insiden asma (Grievink et al. 1998). Pajanan polusi udara juga menyebabkan peningkatan keparahan dan frekuensi serangan. Peningkatan stres oksidatif pada pasien asma juga ber-hubungan dengan penurunan fungsi paru (Cho dan Moon 2010). Kadar antioksidan sirkulasi rendah darah atau asupan antioksidan yang rendah diduga menjadi faktor risiko asma. Reaktif oksigen spesies secara langsung dapat menimbulkan eksaserbasi melalui efek pada otot polos saluran napas dan sekresi mukus. Reaktif oksigen spesies juga menurunkan -adrenergik pada paru, serta meningkatkan kepekaan kontraksi otot polos saluran napas terhadap induksi asetilkolin. Hidrogen peroksida mampu mengaktivasi mitogen-activated kinase dalam sel otot serta me-rangsang kontraksi otot polos saluran napas (Bowler dan Crapo 2002). 31

51 32 9. Peran Steroid Terhadap Tingkat Stres Oksidatif Glukokortikoid terbukti tidak bisa menghambat pembentukan oksidan dalam eosinofil pada percobaan invitro, tetapi inhalasi glukokortikoid mampu menurunkan kadar H 2 O 2 dalam udara ekshalasi napas pasien asma. Dosis rendah glukokortikoid inhalasi juga mampu menurunkan konsentrasi nitrat total dan nitrit dalam udara ekshalasi maupun dahak pasien asma stabil. Inhalasi glukokortikoid juga memperbaiki kekurangan kadar CuZn-SOD dalam epitel. Mekanisme glukokortikoid pada asma terkait dengan keseimbangan oksidan dan antioksidan belum diketahui secara pasti (Bowler dan Crapo 2002). Terapi steroid terbukti menunjukkan ada korelasi antara inflamasi dan stres oksidatif. Peningkatan spesies oksigen reaktif pada asma eksaserbasi akut menimbulkan peningkatan pertahanan antioksidan endogen. Kadar glutation saluran napas meningkat pada pasien asma, akan tetapi rasio glutation teroksidasi dibanding glutation tereduksi juga me-ningkat. Peningkatan glutation tereduksi menunjukkan respons adaptif pada asma eksaserbasi akut, namun sebaliknya kadar antioksidan saluran napas yang lain seperti -tokoferol dan asam askorbat mengalami penurunan. Aktivitas SOD dalam sel hasil bilasan dan sikatan bronkus berkurang pada pasien asma (Bowler dan Crapo 2002). Peningkatan stres oksidatif pada saluran napas mengawali perkembangan inflamasi alergi, hiperresponsivitas saluran napas, peningkatan sekresi mukus dan proses lain pada pasien asma (Cho dan Moon 2010). 32

52 33 Hubungan antara inflamasi dan ROS menunjukkan umpan balik positif yang bisa mempertahankan cedera pada paru. Sitokin seperti TNF- heparin bound epidermal growth factor, fibroblast growth factor 2, angiotensin II, serotonin, dan trombin ditemukan di paru selama proses inflamasi. Aktivasi oksidasi dapat menyebabkan peningkatan ROS pada percobaan dengan kultur sel. Target ROS belum diketahui secara pasti, diduga berefek pada receptor kinases, fosfatase, fosfolipid, atau nonreceptor tyrosine kinases, mitogen activated protein kinases (Bowler dan Crapo 2002). Berdasar hasil penelitian para ahli berkesimpulan bahwa peningkatan ROS berperan penting pada induksi inflamasi alergi saluran napas. Kontrol stres oksidatif intraseluler pada saat yang tepat penting untuk penatalaksanaan asma yang efektif (Cho dan Moon 2010). Target radikal bebas lain yang banyak diteliti adalah oksida nitrat. Terdapat bukti bahwa peningkatan nitrat oksida menyebabkan disregulasi pada asma. Udara ekshalasi pasien asma terbukti memiliki kadar oksida nitrat lebih tinggi dibanding subyek sehat, dan kadar oksida nitrat ini menurun pada pemberian kortikosteroid. Identifikasi peran nitrat oksida di paru sulit karena terdapat tiga sumber berbeda sintesis oksida nitrat (nitric oxide synthases/ NOS). Nitric oxide synthases 1 disebut juga neuronal NOS (nnos) ditemukan di nonadrenergic nervus terminalis otot polos, diduga dapat menyebabkan bronkodilatasi. Nitric oxide synthases 2 (inducible NOS) ditemukan pada berbagai jenis sel inflamasi 33

53 34 dan epitel. Nitric oxide synthases 3 (ekstraseluler NOS) terutama ditemukan pada endotel, berfungsi memediasi vasodilatasi. Nitric oxide synthases 2 merupakan penyebab utama peningkatan oksida nitrat pada pasien asma. Peran oksida nitrat pada patogenesis asma masih belum jelas. Efek bronkodilatasi oksida nitrat pada pasien asma tidak signifikan, hal diduga adanya gangguan jalur signaling dalam sel otot polos. Gangguan sinyal oksida nitrat mungkin dimediasi oleh reaksi oksida nitrat dengan ROS yang lain. Oksida nitrat cepat bereaksi dengan superoksida untuk membentuk peroxynitrite. Pembentukan peroxynitrite meningkat selama inflamasi dan mempunyai efek toksik bagi mikroba, namun peroxynitrite juga meningkatkan hiperresponsivitas saluran napas. Pembentukan peroxynitrite akan menurunkan kadar oksida nitrat. Dua mekanisme perlu diupayakan untuk melindungi sinyal oksida nitrat adalah: 1. Merubah nitrat oksida menjadi spesies yang lebih stabil, seperti S-nitrosoglutathione. 2. Mengurangi konsentrasi ROS lokal dengan mengguna-kan enzim antioksidan ekstraseluler konsentrasi tinggi. S-nitrosoglutathione diduga menjadi kontributor utama relaksasi otot polos saluran napas pasien asma (Fang et al. 2000). Famili enzim SOD berperan penting dalam mempertahankan aktivitas oksida nitrat. Peningkatan kadar EC-SOD dalam sel otot polos saluran napas dan pembuluh darah paru diduga berperan untuk mempertahankan tingkat bronkodilatasi otot polos dan regulasi pembuluh darah selama terjadi stress oksidatif (Bowler dan Crapo 2002). 34

54 Pemeriksaan Faal Paru Pada Asma Pemeriksaan faal paru pada penderita asma menggunakan alat spirometri yang dapat mengukur beberapa parameter yaitu kapasitas vital (KV), kapasitas vital paksa (KVP), volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP 1 ), dan arus puncak ekspirasi (APE) (Alsagaf dan Mangunnegoro 1993) Nilai VEP 1 adalah volume udara ekspirasi satu detik pertama pada pengukuran KVP. Orang normal dapat mengeluarkan udara pernapasan 80% dari kapasitas vitalnya pada detik pertama. Nilai VEP 1 orang dewasa normal yang berumur antara tahun, akan menurun kira-kira 28 ml setiap tahun. Teknik pengukuran VEP 1 dapat diukur dengan perasat yang sama dengan pengukuran KVP dan biasanya kedua pengukuran tersebut dilakukan sekaligus/bersamaan (Alsagaf dan Mangunnegoro 1993, Barreiro dan Perillo 2004). Pada asma didapatkan peningkatan perbaikan VEP 1 B. VITAMIN C Vitamin C atau sering disebut asam askorbat, asam hexuronic atau vitamin antiskorbut mempunyai rumus kimia L-ascorbic acid (2,3-endiol-L-gulonic acid-g-lactone), dehydro-l-ascorbic acid (2-oxo-L-gulonic acid- g-lacton. Vitamin C bersifat larut dalam air, dan pertama kali ditemukan pada tahun Manusia, primata lain, dan babi memenuhi kebutuhan vitamin C tergantung pada sumber eksternal, karena spesies tersebut tidak mampu 35

55 36 mensintesis vitamin C dari glukosa dan galaktosa dalam tubuh mereka (Padayatty et al. 2003). 1. Biokimia Vitamin C Vitamin C mengandung enam karbon lacton yang disintesis dari glukosa di hati sebagian besar spesies mamalia, kecuali manusia, primata selain manusia manusia dan babi. Spesies ini tidak memiliki enzim gulonolactone oksidase, prekursor langsung 2-keto-l-gulonolactone yang penting untuk sintesis asam askorbat. Pengkodean DNA untuk gulonolactone oksidase telah mengalami mutasi besar, mengakibatkan tidak adanya enzim fungsional (Nishikimi et al. 1994). Manusia yang tidak mendapatkan asupan vitamin C dalam diet mereka akan menimbulkan defisiensi yang ditandai berbagai manifestasi klinis yang luas (Padayatty et al. 2003). Penelitian berbagai disiplin ilmu tentang sifat-sifat molekul, seluler, serta manifestasi klisnis pada asam askorbat mengungkapkan bahwa asam askorbat memainkan peran penting pada sistem imun, fungsi enzimatik, antioksidan, dan fungsi regulasi (Ottoboni F dan Ottobani A 2005). Vitamin C bertindak sebagai donor elektron sehingga mampu menyebabkan reaksi reduksi terhadap beberapa senyawa. Efek fisiologis dan biokimia vitamin C berdasarkan aksinya sebagai donor elektron. Asam askorbat menyumbangkan dua elektron pada setiap ikatan ganda antara karbon kedua dan ketiga dari molekul 6 karbon. Vitamin C berpotensi sebagai antioksidan karena, mampu menyumbang elektron untuk mencegah reaksi 36

56 37 oksidasi senyawa lain. Reaksi ini akan menyebabkan vitamin C teroksidasi (Padayatty et al. 2003). 2. Peran Vitamin C Pada Sistem Imunitas Terdapat bukti bahwa asam askorbat mempunyai aktivitas antibakteri in vivo dan in vitro. Kadar asam askorbat dalam leukosit (yang bertanggung jawab untuk pertahanan host) sekitar 80 kali lebih tinggi dibanding dalam plasma. Hasil penelitian tersebut mendukung peran asam askorbat dalam sistem imunitas (Ottoboni F dan Ottobani A 2005). Insulin mengangkut glukosa dan asam askorbat ke semua sel tubuh, termasuk sel fagositosis. Sistem transportasi ini menimbulkan kompetisi antara glukosa dan asam askorbat. Kadar glukosa yang tinggi akan menghambat pengangkutan asam askorbat, sehingga apabila dibutuhkan efek asam askorbat dosis besar maka hambatan oleh glukosa harus diatasi. Glukosa tidak hanya menghambat pengangkutan asam askorbat ke semua sel tubuh tetapi juga menghambat stimulasi asam askorbat terhadap heksosa monofosfat (HMP) pada sistem imunitas (Ottoboni F dan Ottobani A 2005). 3. Vitamin C Sebagai Antioksidan Dalam Sistem Biologi Vitamin C dapat teroksidasi oleh berbagai spesies radikal bebas yang terlibat dalam penyakit manusia. Spesies yang dapat menerima elektron dan direduksi oleh vitamin C, dibagi menjadi beberapa kelas, yaitu: 1. Senyawa dengan elektron tidak berpasangan seperti ROS, sulfur radikal, dan RNS. 2. Senyawa yang reaktif tetapi bukan radikal, termasuk asam 37

57 38 hipoklorit, nitrosamin dan senyawa nitrat yang lain, dan ozon. 3. Senyawa yang terbentuk oleh reaksi dengan salah satu dari dua kelas tersebut diatas kemudian bereaksi dengan vitamin C. Contoh reaksi tersebut adalah pembentukan radikal alfa tocopheroxyl, yang dihasilkan interaksi oksidan eksogen berinteraksi dengan alfa tokoferol dalam low density lipoprotein (LDL). Radikal tocopheroxyl dapat direduksi kembali menjadi alfa tokoferol oleh asam askorbat (Padayatty et al. 2003). 4. Transisi reaksi yang dimediasi metal yang melibatkan zat besi dan tembaga, misalnya reduksi terutama besi oleh askorbat dapat menyebabkan pembentukan radikal lain melalui reaksi Fenton (Carr dan Frei 1999). Zat besi dalam bentuk tereduksi menguntungkan bagi tubuh karena penyerapan dalam usus meningkat (Padayatty et al. 2003). Antioksidan asam askorbat dapat melawan reaksi oksidasi pada lipid, protein, dan DNA. Reaksi oksidasi lipid dapat terjadi pada membran sel dan lipoprotein dalam sirkulasi seperti low density lipoprotein (LDL) mengakibatkan peroksidasi lipid. Asam askorbat dapat mengurangi ROS sehingga mampu menghambat terjadinnya peroksidasi lipid. Asam askorbat juga mencegah reaksi oksidasi lebih lanjut yang membentuk lipid hydroperoxides. Protein mengalami oksidasi melalui beberapa mekanisme (Berlett dan Stadtmant 1997). Sebuah rantai peptida dapat dipecah oleh oksidan dan asam amino spesifik juga dapat teroksidasi. Asam amino yang paling rentan terjadi reaksi oksidatif adalah sistein dan metionin. Asam amino lain yang juga rentan terjadi reaksi oksidasi 38

58 39 adalah arginin, prolin, treonin, tirosin, histidin, triptofan, valin, dan lisin. Asam askorbat dapat mencegah oksidasi protein atau asam amino. Proses oksidatif dapat terjadi pada DNA secara langsung ataupun secara tidak langsung melalui oksidasi lipid dan protein (Halliwell 2000). Mekanisme tidak langsung oleh oksidasi protein menyebabkan kerusakan pada repair enzim dan DNA polimerase. Reaksi ROS dengan lipid menghasilkan lipid peroksidasi yang bereaksi dengan DNA dapat menginduksi mutasi (Lee et al. 2001). Nitrogen reaktif species juga dapat merusak protein yang dibutuhkan untuk sistem pertahanan terhadap oksidan atau DNA repair sehingga dapat mengakibatkan kerusakan sel lebih lanjut. Oksidan diduga juga dapat menyebabkan kerusakan nukleotida dalam DNA secara langsung. Guanin paling rentan terhadap serangan oksidatif, membentuk 8 hydroxyguanine (8OHG/ 8-oxoG) dan derivatnya yaitu 8-hydroxy-2-deoxyguanosine (8OHdG/ 8-oxodG). Kedua senyawa ini dapat diukur secara langsung (Halliwell 2000). Asam askorbat dapat mengurangi kerusakan DNA dengan mereduksi spesies radikal secara langsung, menurunkan pembentukan reaktif spesies seperti hidroperoksida lipid atau mencegah serangan radikal terhadap protein dan DNA repair. Askorbat sebagai antioksidan juga dapat mencegah pembentukan nitrosamine, sehingga dapat mencegah pembentukan beberapa spesies nitrogen reaktif yang dapat berakibat kerusakan gen (Padayatty et al. 2003). Skema regulasi vitamin C pada stres oksidatif seperti terlihat pada gambar lima dan enam. 39

59 perpustakaan.uns.ac.id 40 Gambar 5. Skema regulasi vitamin C pada sel. Dikutip dari (Carcamo et al. 2004) Gambar 6. Skema inhibisi sinyal GM-CSF oleh vitamin C Dikutip dari (Carcamo et al. 2002) 40

60 41 C. KERANGKA KONSEPTUAL Berdasarkan tinjauan pustaka di atas dapat disimpulkan bahwa stres oksidatif berperan penting dalam patogenesis asma. Kehilangan kontrol oksidan di saluran napas dapat menimbulkan inisiasi sel Th 2 yang merupakan fase awal perkembangan inflamasi alergi dalam saluran napas. Peningkatan kadar ROS dalam APC mempengaruhi sistem imunitas akibat respon Th 2 (Peterson et al. 1998). Kondisi stres oksidatif menyebabkan gangguan maturasi sel dendritik ditandai penurunan sekresi IL-12 dan IFN- yang berdampak down regulation terhadap Th 1 (Kim et al. 2007, Kroening et al. 2010). Pajanan oksidan terhadap sel dendritik terbukti meningkatkan produksi IL-4, IL-8 dan TNF- (Verhasselt et al. 1998). Sel makrofag yang mengalami stres oksidatif akan mengalami peningkatan produksi IL-6 dan IL-10 dan akan mendeferensiasi Th 0 ke arah respons Th 2 (Murata et al. 2002). Peningkatan stres oksidatif juga berkontribusi pada perkembangan atau kelangsungan inflamasi saluran napas, menimbulkan peningkatan hiperresponsivitas saluran napas, stimulasi sekresi mukus, dan induksi berbagai mediator kimia proinflamasi. Semua hal tersebut diatas terkait dengan tingkat keparahan asma (Fitzpatrick et al. 2009). Reaksi inflamasi dalam saluran napas penderita asma menyebabkan aktivasi eosinofil (Filipofic dan Cekic 2001, Surjanto 2005, Apter dan Weiss 2008) dan aktivasi neutrofil (Monteseirin 2009), sehingga jumlahnya meningkat di saluran napas. Respons inflamasi menimbukan gejala klinis asma berupa penurunan faal paru berupa gambaran obstruksi. Perbandingan 41

61 42 VEP 1 dengan KVP merupakan parameter untuk menentukan derajat obstruksi (Alsagaf dan Mangunnegoro 1993, Davies dan Moores 2003, Barreiro dan Perillo 2004). Peningkatan derajat inflamasi pada asma akan mempengaruhi derajat obstruksi (NHLBI 2009). Mekanisme pertahanan antioksidan mampu memperbaiki kesetimbangan antara oksidan dan antioksidan serta menurunkan kondisi stres oksidatif. Vitamin C sebagai antioksidan bertindak sebagai donor elektron sehingga mampu menimbulkan reaksi reduksi terhadap beberapa senyawa (Padayatty et al. 2003). Vitamin C juga bertindak sebagai inhibitor histamin, suatu senyawa yang dilepaskan selama reaksi alergi. Sebagai antioksidan kuat dapat menetralisir radikal bebas dan membantu menetralisir polutan dan toksin. Kerangka konseptual secara ringkas terlihat pada gambar 7. 42

62 43 Gambar 7. Kerangka konsep penelitian Stres oksidatif pada asma menyebabkan gangguan maturasi sel dendritik, menimbulkan penurunan sekresi IL-12 dan IFN- serta peningkatan IL-6, IL-8, dan IL-10. Kondisi ini akan menyebabkan deferensiasi Th o kearah respon Th 2, berakibat peningkatan inflamasi dan peningkatan obstruksi jalan napas. 43

63 44 D. HIPOTESIS Berdasarkan tinjauan pustaka diatas ditetapkan hipotesis penelitian yaitu: 1. Pemberian vitamin C dapat menurunkan jumlah eosinofil dan neutrofil sputum pada penderita asma terkontrol sebagian. 2. Pemberian vitamin C dapat meningkatkan nilai VEP 1 pada penderita asma terkontrol sebagian. 3. Pemberian vitamin C dapat menurunkan jumlah eosinofil dan neutrofil sputum pada penderita asma tidak terkontrol. 4. Pemberian vitamin C dapat meningkatkan nilai VEP 1 pada penderita asma tidak terkontrol. 44

64 45 BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. RANCANGAN PENELITIAN Rancangan penelitian menggunakan uji klinis quasi experimental. B. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN Tempat penelitian dilakukan di poliklinik paru RSUD Dr. Moewardi, RSP Dr. Ario Wirawan Salatiga, RSUD Sragen, dan BKPM Klaten. Waktu penelitian dimulai bulan September - Oktober C. POPULASI PENELITIAN Populasi penelitian ini adalah pasien asma terkontrol sebagian dan tidak terkontrol. Populasi terjangkau adalah pasien asma terkontrol sebagian dan tidak terkontrol pengunjung poliklinik paru. D. PENENTUAN SAMPEL Pemilihan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling yaitu pengumpulan sampel dilakukan berurutan sampai jumlah sampel terpenuhi. E. KRITERIA INKLUSI, EKSKLUSI DAN DISKONTINYU 1. Kriteria inklusi: Penderita terdiagnosis sebagai asma terkontrol sebagian dan tidak terkontrol serta tidak dalam eksaserbasi. Umur tahun. Riwayat memakai steroid > 14 hari. Bersedia diikutkan dalam penelitian. 45

65 46 2. Kriteria eksklusi: Asma disertai infeksi pernapasan akut (ISPA, pneumonia, abses paru, empiema) maupun infeksi saluran napas kronik (tuberkulosis dan bronkiektasis). Riwayat penyakit paru kronik selain asma (penyakit paru obstruktif kronik/ PPOK dan tumor paru). Perokok. Asma dengan penyakit jantung dan diabetes melitus. Hamil / menyusui. Klinis gangguan gastrointestinalis. 3. Kriteria diskontinyu: Penderita mengalami eksaserbasi. Tidak terlacak lagi saat follow up. Mengundurkan diri. Muncul efek samping terhadap vitamin C selama penelitian berlangsung. F. JUMLAH SAMPEL Penentuan jumlah sampel berdasarkan rumus (Dahlan 2010): n = n = Jumlah sampel (Z +Z ). S 2 X 1 X 2 = T : 1.64 = Power :

66 47 S = Simpang baku hasil penelitian sebelumnya: eosinofil= 6, neutrofil= 9 (Yildiz et al. 2003), VEP 1 = 0,80 (Schunemann et al. 2001). X 1 X 2 = Selisih rerata minimal yang dianggap bermakna: eosinofil: 3, neutrofil: 4,5, VEP 1 : 0,40 (judgement) n = 24,6 sampel (dibulatkan menjadi 25 sampel). Menurut perhitungan rumus diatas dibutuhkan 25 sampel. Fraenkel dan Wallen Dikutip dari (Kasjono 2009) menyatakan bahwa untuk penelitian eksperimental dibutuhkan paling sedikit 15 sampel setiap kelompok. Berdasarkan pernyataan tersebut direncanakan 30 sampel yang terdiri dari 15 orang penderita asma terkontrol sebagian dan 15 orang penderita asma tidak terkontrol. G. IDENTIFIKASI VARIABEL 1. Variabel tergantung: Jumlah eosinofil sputum penderita asma terkontrol sebagian dan tidak terkontrol. Jumlah neutrofil sputum penderita asma terkontrol sebagian dan tidak terkontrol. Nilai VEP 1 penderita asma terkontrol sebagian dan tidak terkontrol. 2. Variabel bebas: Vitamin C dosis 2 x 500 mg. 3. Variabel perancu: Asupan makanan yang mengandung vitamin C. 47

67 48 Dikendalikan dengan cara pemilihan rancangan penelitian pretest dan postest dengan mempertahankan kebiasaan pola makan pada subyek penelitian. Kondisi lingkungan. Penelitian dilakukan sebelum musim hujan untuk menghindari pajanan perubahan cuaca. H. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL 1. Diagnosis asma Penyakit paru dengan gejala klinis batuk, dada terasa berat, sesak napas, dan mengi berulang. Frekuensi dan berat ringan serangan bervariasi. Perbandingan VEP 1 dengan KVP pada spirometri merupakan parameter dapat digunakan menentukan derajat obstruksi. Nilai VEP1/KVP < 75%. menunjukkan adanya tanda obstruksi. Obstruksi pada asma bersifat reversibel ditandai dengan peningkatan VEP 1 uji bronkodilator. 2. Eksaserbasi akut Peningkatan episodik progresif dari salah satu gejala: sesak napas, batuk, mengi, dada terasa berat atau kombinasi dari gejala tersebut. Pemeriksaan faal paru menunjukkan penurunan nilai arus puncak ekspirasi (APE). 3. Asma terkontrol sebagian Adalah penilaian tingkat kontrol asma berdasarkan GINA 2009, yaitu dalam Gejala harian asma > 2 kali / minggu. 48

68 49 Ada keterbatasan aktivitas. Ada gejala malam. Kebutuhan obat pelega > 2 kali / minggu. Volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP 1 ) < 80% prediksi atau nilai terbaik. 4. Asma tidak terkontrol Adalah penilaian tingkat kontrol asma berdasarkan GINA 2009, yaitu dalam beberapa minggu didapatkan 3 atau lebih kriteria asma terkontrol sebagian. 5. Perokok Adalah orang yang merokok lebih dari 100 batang rokok sepanjang hidupnya dan saat ini masih merokok atau telah berhenti merokok kurang dari 1 tahun. 6. Vitamin C Sediaan tablet vitamin C 100 mg produksi pabrik Kimia Farma, diminum 5 tablet 2 kali sehari. 7. Induksi sputum Sputum dari ekspektorasi setelah nebulisasi dengan cairan salin hipertonik 3%. 8. Umur Selisih hari kelahiran dengan ulang tahun yang terakhir pada saat penelitian. 9. Jenis kelamin Laki-laki dan perempuan. 49

69 Neutrofil Salah satu jenis sel inflamasi polimorfonuklear berbentuk bulat mengandung granula sitoplasmik dan inti sel yang dihubungkan dengan benang kromatin. Pada pengecatan tampak sitoplasma kemerahan dengan inti dan granula berwarna ungu. 11. Eosinofil Salah satu jenis sel inflamasi polimorfonuklear bentuk hampir sama dengan neutrofil, granula sitoplasmik lebih besar dan kasar berwarna merah atau oranye serta berlobus. 12. VEP 1 Adalah volume udara yang diekspirasi secara paksa pada detik pertama setelah inspirasi maksimal. 13. Efek samping vitamin C Efek samping vitamin C berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan ditemukan gejala gastroenteritis seperti mual, muntah dan diare. 14. Gangguan gastrointestinal Adanya gangguan gatrointestinal (dispepsi, gastritis, gastroenteritis) baik akut maupun kronik. 15. Penyakit jantung Keluhan akibat kelainan fungsi jantung baik akut maupun kronik berupa dispneu defort, orthopneu dan paroxismal nocturnal dispneu. 50

70 51 I. ANALISIS DATA Data yang dianalisis adalah hasil data sebelum dan sesudah pemberian vitamin C. Semua data disajikan dalam angka rerata (mean) dan standar deviasi. Uji statistik menggunakan program SPSS 15, untuk mengetahui perbedaan antar variabel menggunakan uji t berpasangan (parametrik) jika sebaran data normal, jika sebaran data tidak normal digunakan uji nonparametrik yang sesuai (Dahlan 2011). 0,05 dan dianggap tidak bermakna jika nilai p > 0,05. J. CARA PENELITIAN Penderita asma pengunjung poliklinik paru dicatat sebagai subyek penelitian. Pencatatan meliputi identitas, umur, jenis kelamin, riwayat merokok, pengobatan sebelumnya, dan lain-lain sesuai formulir yang telah disediakan. Data awal subyek diperoleh dengan anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan spirometri, jumlah eosinofil dan neutrofil induksi sputum, serta %VEP 1. Subyek yang masuk kriteria eksklusi dikeluarkan dari penelitian, yang masuk kriteria inklusi diminta persetujuan tertulis untuk mengikuti penelitian. Subyek diberikan perlakuan obat vitamin C dosis 2x500 mg selama 14 hari. Obat asma yang biasa dipakai ( yaitu 2, xantin maupun kortikosteroid) tetap digunakan seperti biasa. Evaluasi efek samping obat melalui telepon setiap hari jika ada keluhan dan pada hari ke-15 selesai perlakuan ditanyakan kembali apakah ada gejala efek samping vitamin C. 51

71 52 Hari ke-15 selesai perlakuan subyek kembali diperiksa jumlah eosinofil dan neutrofil induksi sputum serta %VEP 1. K. TEKNIK PEMERIKSAAN 1. Pemeriksaan eosinofil dan neutrofil sputum. Pemeriksaan eosinofil dan neutrofil sputum dilakukan di laboratorium klinik yang tersertifikasi, dilakukan oleh petugas analis kesehatan sepengetahuan peneliti serta dibawah tanggung jawab dokter spesialis patologi klinik. Pemeriksaan menggunakan metode Romanowsky dengan tatacara sebagai berikut: Sampel sputum diambil dengan cara batuk setelah diinduksi dengan nebulisasi larutan salin hipertonik 3%. Spesimen ± 1cc dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang sudah terisi NaCl dengan perbandingan NaCl : spesimen= 4:1. Tabung berisi spesimen dan NaCl disentrifuge ± mnt. Supernatan diambil dengan pipet, kemudia dibuat sediaan hapus pada obyek gelas. Fiksasi dengan metanol absolut, biarkan kering di udara. Sediaan ditetesi dengan larutan giemsa 10% sampai menutupi seluruh permukaan, biarkan selama 5-10 menit. Bilas dengan air mengalir perlahan-lahan, larutan giemsa tidak boleh dibuang terlebih dahulu, tetapi harus dihanyutkan dengan air. Sediaan dikeringkan. 52

72 53 Penghitungan eosinofil dan neutrofil memakai cara manual menggunakan mikroskop. Mencatat hasil. 2. Pemeriksaan nilai % VEP 1 Pemeriksaan nilai %VEP 1 dilakukan dengan tatacara sebagai berikut: a) Bahan dan alat Spirometer merk Fukuda sangyo tipe ST-75. Mouth piece sekali pakai. Tabel nilai standar faal paru Pneumobile Project Indonesia. b) Persiapan pasien Pasien disarankan tidak makan terlalu kenyang sebelum pemeriksaan. Berpakaian tidak terlalu ketat. Penggunaan bronkodilator terakhir minimal 8 jam sebelum pemeriksaan. c) Langkah-langkah pemeriksaan Tinggi badan dan umur pasien dicatat kemudian ditentukan besar nilai dugaan berdasarkan nilai standar faal paru Pneumobile Project Indonesia. Posisi pasien sebaiknya berdiri. on lat. Masukkan data pasien (nomor registrasi, nama, umur, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan, ras, dan status merokok), dengan terlebih dulu menekan tombol patient data. 53

73 54 Tekan menu kemudian pilih tombol FVC untuk pemeriksaan kapasitas vital paksa (KVP), VEP 1, dan arus puncak ekspirasi (APE), Tekan tombol start setelah pasien memasukan mouth piece, kemudian pasien disuruh menarik napas maksimal dengan cepat kemudian sesegera mungkin udara dikeluarkan melalui mouth piece dengan tenaga maksimal hingga udara dapat dikeluarkan sebanyakbanyaknya. Tekan tombol stop segera setelah selesai ekspirasi. Pemeriksaan dilakukan sampai mendapat paling sedikit 3 nilai yang reprodusibel (jika perbedaan antara 2 nilai terbesar dari ketiga perasat yang dapat pemeriksaan dilakukan sampai selesai, awal uji dilakukan harus cukup baik, ekspirasi paksa tidak ragu-ragu dan cepat mencapai puncak yang tajam. Tekan SVC untuk mengetahui kapasitas vital (KV), setelah pasien memasukkan mouth pace ke dalam mulut, tekan tombol start pasien menghirup udara sebanyak mungkin dan kemudian udara dikeluarkan sebanyak mungkin melalui mouth piece (tanpa perasat paksa). Tekan tombol stop setelah ekspirasi selesai. Pemeriksaan dilakukan sampai mendapat paling sedikit 3 nilai yang reprodusibel (jika perbedaan antara 2 nilai terbesar dari ketiga perasat yang dapat diterima 54

74 55 Mencatat dan menghitung hasil. L. ETIKA PENELITIAN Persetujuan penelitian diajukan kepada Panitia Kelaikan Etik Fakultas Kedokteran UNS Surakarta/ RSUD Dr. Moewardi Surakarta, sebelum dilakukan penelitian. Subyek penelitian diberikan penjelasan yang terperinci tentang tujuan dan manfaat penelitian sebelum dilakukan prosedur penelitian. Setelah subyek mengerti dan setuju mengikuti penelitian, subyek diminta menandatangani lembar persetujuan dan isian data penderita. 55

75 56 M. ALUR PENELITIAN Pasien Asma rawat jalan Usia tahun Kortikosteroid > 14 hari 56

76 57 BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL PENELITIAN Jumlah keseluruhan subyek yang terlibat dalam penelitian ini adalah 36 pasien asma di poliklinik paru RSUD Dr. Moewardi Surakarta, RSUD Sragen, BKPM Klaten dan RSP Dr. Ariowirawan Salatiga. Enam pasien tidak dapat menyelesaikan penelitian dengan perincian: satu pasien mengalami eksaserbasi setelah enam hari perlakuan, satu pasien dihentikan karena mengalami efek samping mual dan muntah setelah tujuh hari perlakuan serta empat pasien tidak datang pada pengamatan akhir penelitian. Pasien yang mengikuti penelitian sampai selesai dan dapat dianalisis adalah 30 orang terdiri dari 15 pasien asma terkontrol sebagian dan 15 pasien asma tidak terkontrol. Uji normalitas data penelitian menggunakan parameter Shapiro-Wilk, sebaran data dianggap normal jika nilai p > 0,05. Apabila sebaran data normal analisis data menggunakan uji parametrik t berpasangan, jika sebaran data tidak normal analisis data menggunakan uji non-parametrik Wilcoxon (Dahlan 2011). Hasil penelitian menurut karakteristik dasar subyek penelitian sebagai berikut (tabel 1). 57

77 58 Tabel 1. Karakteristik dasar subyek penelitian. Keterangan: ATS=asma terkontrol sebagian, ATT= asma tidak terkontrol, SABA= short acting beta 2 agonis. Hasil uji normalitas data sampel penelitian berdasarkan metode analitik parameter Shapiro-Wilk (tabel 2). Wilk Tabel 2. Uji normalitas data menggunakan parameter Shapiro- iabel Var Kelompok Um ur Kedua kelom.419 Eos inofil (pre Asma test) terkontrol sebagian,068 Asma tidak terkontrol,570 Eos Asma inofil (post terkontrol sebagian,106 D istribusi N ormal n ormal n ormal n ormal 58

78 test) trofil test) trofil test) Neu (pre Neu (post Asma tidak terkontrol,000 Asma terkontrol sebagian.539 Asma tidak terkontrol.108 Asma terkontrol sebagian.259 Asma tidak terkontrol.040 VE P 1 % (pre Asma test) terkontrol sebagian.221 Asma tidak terkontrol.618 VE P 1 % (post Asma test) terkontrol sebagian.793 Asma tidak terkontrol Karakteristik subyek menurut jenis kelamin idak normal ormal ormal ormal idak normal ormal ormal ormal ormal T N N N T N N N N Subyek penelitian berjumlah 30 orang terdiri dari 9 laki-laki (30%) dan 21 perempuan (70%) (gambar 9). Gambar 9. Jumlah sampel menurut jenis kelamin.

79 Kelompok penelitian terdiri dari 15 pasien asma terkontrol sebagian (4 laki-laki/ 13, 33% dan 11 perempuan/ 36,67%) dan 15 pasien asma tidak terkontrol (5 laki-laki/ 16,67% dan 10 perempuan/ 33,33%) (gambar 10). Gambar 10. Distribusi jenis kelamin pada kelompok asma. Keterangan: P: perempuan, L: laki-laki, ATS: asma terkontrol sebagian, ATT: asma tidak terkontrol. 2. Karakteristik subyek menurut umur Rerata umur subyek penelitian keseluruhan adalah 42,13 12,342, umur paling muda 18 tahun dan paling tua 64 tahun. Subyek terbanyak pada kelompok umur tahun sebanyak 11 pasien (36,67%) dan paling sedikit pada kelompok umur tahun sebanyak 4 pasien (13,33%). Kelompok asma terkontrol sebagian mempunyai rerata umur 39,20 12,90 tahun dan asma tidak terkontrol mempunyai rerata umur 45,07 11,44 (gambar 11).

80 Gambar 11. Distribusi kelompok umur subyek. 3. Karakteristik subyek menurut riwayat alergi Riwayat alergi pada subyek penelitian terdapat pada 25 pasien (83,33%) terutama terhadap debu dan udara dingin. Pasien yang tidak mempunyai riwayat alergi terdapat pada 5 pasien (16,67%). 4. Karakteristik subyek menurut indeks massa tubuh Frekuensi indeks massa tubuh (IMT) responden penelitian ini terbanyak adalah termasuk IMT normal yaitu 19 orang (63,33%) disusul IMT lebih sebanyak 8 orang (26,67%) dan IMT kurang sebanyak 3 (10%). 5. Karakteristik subyek menurut keluhan

T E S I S. Oleh YUDI PRASETYO S

T E S I S. Oleh YUDI PRASETYO S PERBEDAAN JUMLAH EOSINOFIL, NEUTROFIL SPUTUM DAN VOLUME EKSPIRASI PAKSA DETIK PERTAMA PADA ASMA TERKONTROL SEBAGIAN DAN TIDAK TERKONTROL TERHADAP PEMBERIAN KALSITRIOL T E S I S Oleh YUDI PRASETYO S 6007006

Lebih terperinci

PENGARUH AZITROMISIN DOSIS RENDAH TERHADAP LAMA WAKTU PERBAIKAN KLINIS, KADAR IL-8 DAN NEUTROFIL SPUTUM PENDERITA PNEUMONIA

PENGARUH AZITROMISIN DOSIS RENDAH TERHADAP LAMA WAKTU PERBAIKAN KLINIS, KADAR IL-8 DAN NEUTROFIL SPUTUM PENDERITA PNEUMONIA PENGARUH AZITROMISIN DOSIS RENDAH TERHADAP LAMA WAKTU PERBAIKAN KLINIS, KADAR IL-8 DAN NEUTROFIL SPUTUM PENDERITA PNEUMONIA TESIS LEONARDO HELASTI SIMANJUNTAK S501108051 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun

BAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Asma merupakan penyakit kronik yang sering ditemukan dan merupakan salah satu penyebab angka kesakitan pada anak di seluruh dunia. Di negara maju dan negara berkembang

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada 4 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Atopi dan uji tusuk kulit Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada tempatnya dan sering digunakan untuk menggambarkan penyakit yang diperantarai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia secara geografis merupakan negara tropis yang kaya akan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan. Seiring perkembangan dunia kesehatan, tumbuhan merupakan alternatif

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. HASIL Penelitian ini dilakukan pada penderita asma rawat jalan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta pada bulan Agustus-September 2016. Jumlah keseluruhan subjek yang

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Asma 2.1.1. Definisi Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan berbagai sel inflamasi sehingga menimbulkan gejala yang berhubungan dengan luas inflamasi,

Lebih terperinci

HUBUNGAN ANTARA KADAR 25-HYDROXYVITAMIN D PLASMA DAN DERAJAT ASMA PADA PASIEN ASMA BRONKIAL DI RSUP SANGLAH DENPASAR

HUBUNGAN ANTARA KADAR 25-HYDROXYVITAMIN D PLASMA DAN DERAJAT ASMA PADA PASIEN ASMA BRONKIAL DI RSUP SANGLAH DENPASAR TESIS HUBUNGAN ANTARA KADAR 25-HYDROXYVITAMIN D PLASMA DAN DERAJAT ASMA PADA PASIEN ASMA BRONKIAL DI RSUP SANGLAH DENPASAR NI KETUT DONNA PRISILIA. T FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA 2017 TESIS

Lebih terperinci

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur

BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur immunitas, inflamasi dan hematopoesis. 1 Sitokin adalah salah satu dari sejumlah zat yang disekresikan oleh

Lebih terperinci

ABSTRAK ASPEK KLINIS PEMERIKSAAN PERSENTASE EOSINOFIL, HITUNG EOSINOFIL TOTAL, DAN IMUNOGLOBULIN E SEBAGAI PENUNJANG DIAGNOSIS ASMA BRONKIAL

ABSTRAK ASPEK KLINIS PEMERIKSAAN PERSENTASE EOSINOFIL, HITUNG EOSINOFIL TOTAL, DAN IMUNOGLOBULIN E SEBAGAI PENUNJANG DIAGNOSIS ASMA BRONKIAL ABSTRAK ASPEK KLINIS PEMERIKSAAN PERSENTASE EOSINOFIL, HITUNG EOSINOFIL TOTAL, DAN IMUNOGLOBULIN E SEBAGAI PENUNJANG DIAGNOSIS ASMA BRONKIAL Samuel, 2007 Pembimbing I : J. Teguh Widjaja, dr.,sp.p. Pembimbing

Lebih terperinci

DAFTAR ISI SAMPUL DEPAN LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR SINGKATAN DAFTAR LAMPIRAN ABSTRAK

DAFTAR ISI SAMPUL DEPAN LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR SINGKATAN DAFTAR LAMPIRAN ABSTRAK DAFTAR ISI SAMPUL DEPAN LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR SINGKATAN DAFTAR LAMPIRAN ABSTRAK ABSTRACT i ii iii iv vii ix xi xii xiv xv xvi BAB

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Asma Dari waktu ke waktu, definisi asma mengalami perubahan beberapa kali karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai patologi, patofisiologi,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan jumlah ookista dalam feses merupakan salah satu indikator bahwa zat yang diberikan dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Rataan jumlah ookista pada feses ayam berdasarkan

Lebih terperinci

Migrasi Lekosit dan Inflamasi

Migrasi Lekosit dan Inflamasi Migrasi Lekosit dan Inflamasi Sistem kekebalan bergantung pada sirkulasi terusmenerus leukosit melalui tubuh Untuk Respon kekebalan bawaan - berbagai limfosit, granulosit, dan monosit dapat merespon Untuk

Lebih terperinci

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PATOGENESIS REAKSI INFLAMASI ALERGI. Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PATOGENESIS REAKSI INFLAMASI ALERGI. Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari 6 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PATOGENESIS REAKSI INFLAMASI ALERGI Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari oleh reaksi hipersensitifitas yang diperantarai IgE, 1,2,3 yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011).

BAB 1 PENDAHULUAN. negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia (Mangunugoro, 2004 dalam Ibnu Firdaus, 2011). Asma merupakan penyakit inflamasi

Lebih terperinci

PENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi,

PENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi, PENGETAHUAN DASAR IMUNOLOGI KULIT Dr. Ariyati Yosi, SpKK PENDAHULUAN Kulit: end organ banyak kelainan yang diperantarai oleh proses imun kulit berperan secara aktif sel-sel imun (limfoid dan sel langerhans)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya

BAB I PENDAHULUAN. Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya 1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Cedera ginjal akut (Acute Kidney Injury / AKI) memiliki insidensi yang terus meningkat setiap tahunnya (Cerda et al., 2008). Berbagai macam strategi pencegahan telah

Lebih terperinci

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI

CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi

BAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang World Allergy Organization (WAO) tahun 2011 mengemukakan bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi dunia. 1 World Health Organization (WHO) memperkirakan

Lebih terperinci

SKRIPSI PENGARUH TEKNIK PERNAPASAN BUTEYKO TERHADAP SKOR KONTROL ASMA DI POLIKLINIK PARU RSUD WANGAYA

SKRIPSI PENGARUH TEKNIK PERNAPASAN BUTEYKO TERHADAP SKOR KONTROL ASMA DI POLIKLINIK PARU RSUD WANGAYA SKRIPSI PENGARUH TEKNIK PERNAPASAN BUTEYKO TERHADAP SKOR KONTROL ASMA DI POLIKLINIK PARU RSUD WANGAYA OLEH: KADEK YUNITA PRADNYAWATI NIM. 1002105012 PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian dilakukan pada penderita PPOK eksaserbasi akut yang dirawat inap di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dan RSUD Ario Wirawan Salatiga pada tanggal 18 Maret sampai

Lebih terperinci

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.

Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5. L/O/G/O Buku pedoman ASMA DEFINISI : Prevalens Nasional : 5,0% 5 Kabupaten/Kota dengan prevalens tertinggi: 1.Aceh Barat 13,6% 2.Buol 13,5% 3.Pahwanto 13,0% 4.Sumba Barat 11,5% 5.Boalemo 11,0% Riskesdas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis alergika merupakan suatu penyakit yang sering kita jumpai di masyarakat yang dikenal juga sebagai dermatitis atopik (DA), yang mempunyai prevalensi 0,69%,

Lebih terperinci

UJI DIAGNOSTIK PLATELET LYMPHOCYTE RATIO DAN FIBRINOGEN PADA DIAGNOSIS TUMOR PADAT GANAS

UJI DIAGNOSTIK PLATELET LYMPHOCYTE RATIO DAN FIBRINOGEN PADA DIAGNOSIS TUMOR PADAT GANAS UJI DIAGNOSTIK PLATELET LYMPHOCYTE RATIO DAN FIBRINOGEN PADA DIAGNOSIS TUMOR PADAT GANAS TESIS Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Magister Kedokteran Keluarga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sepsis merupakan kondisi yang masih menjadi masalah kesehatan dunia karena pengobatannya yang sulit sehingga angka kematiannya cukup tinggi. Penelitian yang dilakukan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang diperantarai IgE yang terjadi setelah mukosa hidung terpapar alergen. 1,2,3 Penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Istilah atopik pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat alergi/hipersensitivitas

Lebih terperinci

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN

BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN Sel yang terlibat dalam sistem imun normalnya berupa sel yang bersirkulasi dalam darah juga pada cairan lymph. Sel-sel tersebut dapat dijumpai dalam

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Susu formula yang diberikan kepada bayi sebagai pengganti ASI, kerap kali memberikan efek samping yang mengganggu kesehatan bayi seperti alergi. Susu formula secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Malaria merupakan salah satu penyakit menular utama di sebagian wilayah Indonesia seperti di Maluku Utara, Papua Barat, dan Sumatera Utara. World Malaria Report - 2008,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah penyakit paru kronik

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah penyakit paru kronik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) adalah penyakit paru kronik yang ditandai dengan hambatan aliran udara saluran nafas, dimana hambatan aliran udara saluran nafas

Lebih terperinci

PENGARUH IRIGASI HIDUNG TERHADAP DERAJAT SUMBATAN HIDUNG PADA PEROKOK LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH

PENGARUH IRIGASI HIDUNG TERHADAP DERAJAT SUMBATAN HIDUNG PADA PEROKOK LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH PENGARUH IRIGASI HIDUNG TERHADAP DERAJAT SUMBATAN HIDUNG PADA PEROKOK LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH Diajukan untuk memenuhi sebagai persyaratan guna mencapai derajat sarjana strata- 1 kedokteran

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Merokok telah menjadi kebiasaan masyarakat dunia sejak ratusan tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. Merokok telah menjadi kebiasaan masyarakat dunia sejak ratusan tahun BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Merokok telah menjadi kebiasaan masyarakat dunia sejak ratusan tahun lalu. Sekitar satu milyar penduduk dunia merupakan perokok aktif dan hampir 80% dari total tersebut

Lebih terperinci

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang

Mekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung

BAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis, BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak tiga jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,

Lebih terperinci

7.2 CIRI UMUM SITOKIN

7.2 CIRI UMUM SITOKIN BAB 7 SITOKIN 7.1 PENDAHULUAN Defnisi: Sitokin adalah senyawa protein, dengan berat molekul kira-kira 8-80 kda, yang merupakan mediator larut fase efektor imun natural dan adaptif. Nama dari sitokin bermacam-macam

Lebih terperinci

GASTROPATI HIPERTENSI PORTAL

GASTROPATI HIPERTENSI PORTAL BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka konseptual VIRUS SEL KUFFER SIMVASTATIN NFkβ IL 6 TNF α IL 1β TGF β1 HEPATOSIT CRP FIBROSIS ECM D I S F U N G S I E N D O T E L KOLAGEN E SELEKTIN inos

Lebih terperinci

PENGARUH AZITROMISIN DOSIS RENDAH TERHADAP LAMA WAKTU PERBAIKAN KLINIS, KADAR IL-8 DAN NEUTROFIL SPUTUM PENDERITA PNEUMONIA

PENGARUH AZITROMISIN DOSIS RENDAH TERHADAP LAMA WAKTU PERBAIKAN KLINIS, KADAR IL-8 DAN NEUTROFIL SPUTUM PENDERITA PNEUMONIA PENGARUH AZITROMISIN DOSIS RENDAH TERHADAP LAMA WAKTU PERBAIKAN KLINIS, KADAR IL-8 DAN NEUTROFIL SPUTUM PENDERITA PNEUMONIA TESIS LEONARDO HELASTI SIMANJUNTAK S501108051 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS

Lebih terperinci

NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S)

NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S) NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S) RESPON INFLAMASI (RADANG) Radang pada umumnya dibagi menjadi 3 bagian Peradangan akut, merupakan respon awal suatu proses kerusakan jaringan. Respon imun,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang

BAB 1 PENDAHULUAN. udara ekspirasi yang bervariasi (GINA, 2016). Proses inflamasi kronis yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma merupakan penyakit heterogen dengan karakteristik adanya inflamasi saluran napas kronis. Penyakit ini ditandai dengan riwayat gejala saluran napas berupa wheezing,

Lebih terperinci

FAKTOR IMUNOLOGI PATOGENESIS ENDOMETRIOSIS

FAKTOR IMUNOLOGI PATOGENESIS ENDOMETRIOSIS FAKTOR IMUNOLOGI PATOGENESIS ENDOMETRIOSIS FATMAWATI MADYA SP2FER S ENDOMETRIOSIS Telah banyak hipotesa diajukan untuk menerangkan patogenesis endometriosis, tapi hingga kini belum ada satupun teori yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis alergika disebut juga dermatitis atopik yang terjadi pada orang dengan riwayat atopik. Atopik ditandai oleh adanya reaksi yang berlebih terhadap rangsangan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. ke waktu karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta. pemahaman mengenai patologi, patofisiologi, imunologi, dan genetik

BAB II LANDASAN TEORI. ke waktu karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta. pemahaman mengenai patologi, patofisiologi, imunologi, dan genetik BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Asma a. Definisi Asma Definisi asma mengalami perubahan beberapa kali dari waktu ke waktu karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes melitus (DM) telah dikategorikan sebagai penyakit yang terjadi di seluruh dunia oleh World Health Organization (WHO) dengan jumlah pasien yang terus meningkat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebiasaan merokok dapat menyebabkan timbulnya berbagai macam

BAB I PENDAHULUAN. Kebiasaan merokok dapat menyebabkan timbulnya berbagai macam BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebiasaan merokok dapat menyebabkan timbulnya berbagai macam penyakit seperti kanker paru dan tumor ganas lainnya, penyakit paru obstruksi kronis (PPOK), dan kardiovaskular.

Lebih terperinci

LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH. Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar sarjana strata-1 Kedokteran Umum

LAPORAN HASIL PENELITIAN KARYA TULIS ILMIAH. Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai gelar sarjana strata-1 Kedokteran Umum PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK KUNYIT (Curcuma longa) TERHADAP JUMLAH EOSINOFIL DI JARINGAN PARU PADA PENYAKIT ALERGI Studi Eksperimental pada Mencit BALB/c yang Diinduksi Ovalbumin LAPORAN HASIL PENELITIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan jumlah penyandang diabetes cukup besar untuk tahun-tahun

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan jumlah penyandang diabetes cukup besar untuk tahun-tahun BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidens dan prevalensi diabetes melitus (DM) tipe 2 di berbagai penjuru dunia. WHO

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. multifaktorial yang diinduksi interaksi gen lingkungan. Untuk menimbulkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. multifaktorial yang diinduksi interaksi gen lingkungan. Untuk menimbulkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rinitis Alergi 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Rinitis alergi (RA) adalah reaksi inflamasi pada mukosa hidung yang diperantarai oleh IgE 2. Gejala khas rinitis alergi ditandai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan paling banyak ditemui menyerang anak-anak maupun dewasa. Asma sendiri

BAB I PENDAHULUAN. dan paling banyak ditemui menyerang anak-anak maupun dewasa. Asma sendiri BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Asma bronkial merupakan penyakit kronik tidak menular yang paling sering dan paling banyak ditemui menyerang anak-anak maupun dewasa. Asma sendiri berkorelasi

Lebih terperinci

D. Kerangka Teori E. Kerangka Konsep F. Hipotesis... 36

D. Kerangka Teori E. Kerangka Konsep F. Hipotesis... 36 vi DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii PERNYATAAN... iii KATA PENGANTAR... iv DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR SINGKATAN... x INTISARI... xi ABSTRACT...

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah

BAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah BAB VI PEMBAHASAN Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah Yogyakarta. Banyaknya mencit yang digunakan adalah 24

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rhinitis berasal dari dua kata bahasa Greek rhin rhino yang berarti hidung dan itis yang berarti radang. Demikian rhinitis berarti radang hidung atau tepatnya radang

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Analisis jumlah limfosit T CD4+ pada penelitian ini dijadikan baseline yang juga

BAB VI PEMBAHASAN. Analisis jumlah limfosit T CD4+ pada penelitian ini dijadikan baseline yang juga 54 BAB VI PEMBAHASAN Analisis jumlah limfosit T CD4+ pada penelitian ini dijadikan baseline yang juga berperan sebagai Immunological recovery pada saat memulai terapi ARV sehingga dapat memaksimalkan respon

Lebih terperinci

ASTHMA Wiwien Heru Wiyono

ASTHMA Wiwien Heru Wiyono ASTHMA Wiwien Heru Wiyono Dept. of Pulmonology and Respiratory Medicine, Faculty of Medicine - University of Indonesia Persahabatan Hospital - Jakarta INTRODUCTION Asthma is the most common and serious

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis adalah suatu penyakit kulit (ekzema) yang menimbulkan peradangan. Dermatitis alergika yang sering dijumpai dalam kehidupan seharihari adalah dermatitis atopik.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menolak dan tidak tahan terhadap zat-zat yang sebenarnya tidak berbahaya

BAB I PENDAHULUAN. menolak dan tidak tahan terhadap zat-zat yang sebenarnya tidak berbahaya BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Alergi adalah suatu perubahan reaksi atau respon pertahanan tubuh yang menolak dan tidak tahan terhadap zat-zat yang sebenarnya tidak berbahaya (Candra et al., 2011).

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Angka kejadian penyakit asma akhir-akhir ini mengalami peningkatan dan relatif sangat tinggi dengan banyaknya morbiditas dan mortalitas. WHO memperkirakan 100-150 juta

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan kisaran usia 5-14 tahun (Gerald dkk, 2004). Prevalens asma di Indonesia belum

BAB I PENDAHULUAN. dengan kisaran usia 5-14 tahun (Gerald dkk, 2004). Prevalens asma di Indonesia belum 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Asma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, terdapat sekitar 300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi pada anak-anak

Lebih terperinci

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS

MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gastritis adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peradangan pada lapisan lambung. Berbeda dengan dispepsia,yang bukan merupakan suatu diagnosis melainkan suatu

Lebih terperinci

Bab I. Pendahuluan. yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya

Bab I. Pendahuluan. yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya Bab I Pendahuluan Latar Belakang Penelitian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinisikan sebagai penyakit yang ditandai oleh progresivitas obstruksi jalan nafas yang tidak sepenuhnya reversibel,

Lebih terperinci

DI RT 06 RW 02 DESA KUDU KELURAHAN BAKI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAKI I SUKOHARJO

DI RT 06 RW 02 DESA KUDU KELURAHAN BAKI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAKI I SUKOHARJO ASUHAN KEPERAWATAN KELUARGA PADA KELUARGA Tn. S DENGAN MASALAH ASMAPADA Ny. L DI RT 06 RW 02 DESA KUDU KELURAHAN BAKI DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS BAKI I SUKOHARJO Karya Tulis Ilmiah Diajukan Sebagai Salah

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Asma Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai pada masa kanak-kanak. Merupakan salah satu reaksi hipersentivitas saluran napas, baik saluran

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli

BAB I PENDAHULUAN. reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Asma merupakan penyakit jalan napas obstruktif intermiten yang bersifat reversible di mana trakea dan bronkus berespon secara hiperaktif terhadap stimuli tertentu yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pada pria dan 21,6% pada wanita (Zhu et al., 2011). Data tahun 2012 pada populasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pada pria dan 21,6% pada wanita (Zhu et al., 2011). Data tahun 2012 pada populasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Prevalensi hiperurisemia pada populasi manusia cukup tinggi. Studi di Amerika tahun 2011 menunjukkan bahwa prevalensi hiperurisemia sebesar 21,2% pada pria dan 21,6%

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Transplantasi ginjal merupakan pilihan pengobatan untuk pasien yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Transplantasi ginjal merupakan pilihan pengobatan untuk pasien yang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Transplantasi ginjal merupakan pilihan pengobatan untuk pasien yang memiliki penyakit ginjal stadium akhir, pasien dengan transplantasi ginjal mempunyai harapan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) masih menjadi salah satu masalah kesehatan dunia,

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) masih menjadi salah satu masalah kesehatan dunia, BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) masih menjadi salah satu masalah kesehatan dunia, dimana 2-3 milyar penduduk dunia diperkirakan telah terinfeksi TB (World Health Organization, 2015).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum

BAB I PENDAHULUAN. Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Psoriasis merupakan penyakit kulit yang penyebabnya sampai saat ini masih belum diketahui. Penyakit ini tidak mengancam jiwa, namun lesi kulit yang terjadi menimbulkan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respons imun yang didapat. Inflamasi dapat diartikan

Lebih terperinci

ASMA BRONKIALE: KENALI LEBIH DEKAT DAN KENDALIKAN KEKAMBUHANNYA

ASMA BRONKIALE: KENALI LEBIH DEKAT DAN KENDALIKAN KEKAMBUHANNYA ASMA BRONKIALE: KENALI LEBIH DEKAT DAN KENDALIKAN KEKAMBUHANNYA Oleh : dr. Safriani Yovita Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang menjadi masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Subyek Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan penurunan kadar HsCRP dan tekanan darah antara pemberian

Lebih terperinci

PENGARUH OMEGA 3 FATTY ACID TERHADAP KADAR INTERLEUKIN 6 DAN PERBAIKAN KLINIS PADA PASIEN PNEUMONIA KOMUNITAS

PENGARUH OMEGA 3 FATTY ACID TERHADAP KADAR INTERLEUKIN 6 DAN PERBAIKAN KLINIS PADA PASIEN PNEUMONIA KOMUNITAS PENGARUH OMEGA 3 FATTY ACID TERHADAP KADAR INTERLEUKIN 6 DAN PERBAIKAN KLINIS PADA PASIEN PNEUMONIA KOMUNITAS TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Magister

Lebih terperinci

HUBUNGAN KADAR IMUNOGLOBULIN E DALAM SERUM DAN EOSINOFIL DARAH DENGAN DERAJAT PENYAKIT DERMATITIS ATOPIK PADA SISWA SLTP TESIS

HUBUNGAN KADAR IMUNOGLOBULIN E DALAM SERUM DAN EOSINOFIL DARAH DENGAN DERAJAT PENYAKIT DERMATITIS ATOPIK PADA SISWA SLTP TESIS HUBUNGAN KADAR IMUNOGLOBULIN E DALAM SERUM DAN EOSINOFIL DARAH DENGAN DERAJAT PENYAKIT DERMATITIS ATOPIK PADA SISWA SLTP TESIS Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan

BAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola makan modern yang banyak mengandung kolesterol, disertai intensitas makan yang tinggi, stres yang menekan sepanjang hari, obesitas dan merokok serta aktivitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. vulgaris disertai dengan suatu variasi pleomorfik dari lesi, yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. vulgaris disertai dengan suatu variasi pleomorfik dari lesi, yang terdiri dari BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Akne vulgaris merupakan suatu penyakit dari unit pilosebasea yang dapat sembuh sendiri, terutama dijumpai pada anak remaja. Kebanyakan kasus akne vulgaris disertai

Lebih terperinci

BAB 5 PEMBAHASAN. penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20

BAB 5 PEMBAHASAN. penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20 70 BAB 5 PEMBAHASAN Telah dilakukan penelitian pada 41 penderita stroke iskemik. Subyek penelitian terdiri atas pria sebanyak 21 (51,2%) dan wanita sebanyak 20 (48,8%). Rerata (SD) umur penderita stroke

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. beberapa dekade terakhir. Penyakit alergi adalah reaksi hipersensitivitas sistem

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. beberapa dekade terakhir. Penyakit alergi adalah reaksi hipersensitivitas sistem BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alergi Istilah allergie didefinisikan oleh Clemens von Pirquet tahun 1906 sebagai suatu keadaan respon imun yang menyimpang dari respon imun yang biasanya protektif. 1,18 Angka

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN 0 BAB 5 HASIL PENELITIAN Berdasarkan pengamatan menggunakan mikroskop dengan pembesaran 4x dan 10x terhadap 60 preparat, terlihat adanya peradangan yang diakibatkan aplikasi H 2 O 2 10%, serta perubahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired

BAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) dan AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. AIDS didefinisikan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan. aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba

BAB 1 PENDAHULUAN. Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan. aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Asma adalah suatu inflamasi kronik dari saluran nafas yang menyebabkan aktivitas respirasi terbatas dan serangan tiba- tiba memerlukan tatalaksana segera dan kemungkinan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hanya dari segi medis namun juga psikososial, sedangkan bagi masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. hanya dari segi medis namun juga psikososial, sedangkan bagi masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit kusta merupakan salah satu penyakit infeksi kronis yang hingga saat ini masih menimbulkan permasalahan yang bersifat kompleks baik bagi penderita maupun masyarakat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Istilah asma berasal dari bahasa Yunani yang artinya terengahengah dan berarti serangan napas pendek. Meskipun dahulu istilah ini digunakan untuk menyatakan

Lebih terperinci

SEL SISTEM IMUN SPESIFIK

SEL SISTEM IMUN SPESIFIK SEL SISTEM IMUN SPESIFIK Diana Holidah Bagian Farmasi Klinik dan Komunitas Fakultas Farmasi Universitas Jember Components of the Immune System Nonspecific Specific Humoral Cellular Humoral Cellular complement,

Lebih terperinci

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013

ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013 ABSTRAK PREVALENSI INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT SEBAGAI PENYEBAB ASMA EKSASERBASI AKUT DI POLI PARU RSUP SANGLAH, DENPASAR, BALI TAHUN 2013 Data WHO 2013 dan Riskesdas 2007 menunjukkan jumlah penderita

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dunia sekarang mengalami penderitaan akibat dampak epidemik dari berbagai penyakit penyakit akut dan kronik yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Penyakit penyakit

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Alergi merupakan suatu keadaan hipersensitivitas terhadap kontak atau pajanan zat asing (alergen) tertentu dengan akibat timbulnya gejala-gejala klinis, yang mana

Lebih terperinci

EFEK PEMBERIAN EKSTRAK BUAH PARE

EFEK PEMBERIAN EKSTRAK BUAH PARE EFEK PEMBERIAN EKSTRAK BUAH PARE (Momordica charantia) TERHADAP AKTIVASI Vascular Cell Adhesion Molecule-1 (VCAM-1) PADA AORTA TIKUS WISTAR JANTAN YANG DIBERI DIET ATEROGENIK SKRIPSI Oleh Lilis Rahmawati

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Di zaman modern sekarang ini banyak hal yang memang dibuat untuk memudahkan manusia dalam melakukan aktivitasnya, termasuk makanan instan yang siap saji. Kemudahan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum HIV/AIDS HIV merupakan virus yang menyebabkan infeksi HIV (AIDSinfo, 2012). HIV termasuk famili Retroviridae dan memiliki genome single stranded RNA. Sejauh ini

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Merokok merupakan salah satu gaya hidup masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Merokok merupakan salah satu gaya hidup masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Merokok merupakan salah satu gaya hidup masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan manusia. Seseorang yang telah lama merokok mempunyai prevalensi tinggi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kelompok gangguan saluran pernapasan kronik ini. Dalam beberapa

BAB I PENDAHULUAN. termasuk kelompok gangguan saluran pernapasan kronik ini. Dalam beberapa BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit asma masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia tidak terkecuali di Indonesia. Walaupun penyakit asma mempunyai tingkat fitalitas yang rendah namun

Lebih terperinci

BAB VI PEMBAHASAN. Pemberian asam lemak trans dosis 5 % dan 10 % selama 8 minggu dapat

BAB VI PEMBAHASAN. Pemberian asam lemak trans dosis 5 % dan 10 % selama 8 minggu dapat BAB VI PEMBAHASAN Pemberian asam lemak trans dosis 5 % dan 10 % selama 8 minggu dapat menyebabkan perlemakan hati non alkohol yang ditandai dengan steatosis hati, inflamasi dan degenerasi ballooning hepatosit

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kontrol (hanya terapi empirik). Dua biomarker yaitu kadar TNF- serum diukur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. kontrol (hanya terapi empirik). Dua biomarker yaitu kadar TNF- serum diukur digilib.uns.ac.id BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. HASIL Penelitian dilakukan pada pasien pneumonia yang dirawat inap di RSUD Dr.Moewardi Surakarta. Selama bulan September 2015 hingga Oktober 2015 diambil

Lebih terperinci

BAB 5 HASIL PENELITIAN

BAB 5 HASIL PENELITIAN 25 BAB 5 HASIL PENELITIAN Preparat jaringan yang telah dibuat, diamati dibawah mikroskop multinokuler dengan perbesaran 4x dan 10x. Semua preparat dapat dibaca berdasarkan tolok ukur skor tingkat peradangan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGESAHAN...ii. SURAT PERNYATAAN... iii. PRAKATA... iii. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR SINGKATAN...

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. HALAMAN PENGESAHAN...ii. SURAT PERNYATAAN... iii. PRAKATA... iii. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR SINGKATAN... DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PENGESAHAN...ii SURAT PERNYATAAN... iii PRAKATA... iii DAFTAR ISI... vi DAFTAR SINGKATAN... x DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji tantang virus AI H5N1 pada dosis 10 4.0 EID 50 /0,1 ml per ekor secara intranasal menunjukkan bahwa virus ini menyebabkan mortalitas pada ayam sebagai hewan coba

Lebih terperinci

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG SADARI TERHADAP PENGETAHUAN DAN SIKAP DALAM MELAKUKAN SADARI PADA IBU

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG SADARI TERHADAP PENGETAHUAN DAN SIKAP DALAM MELAKUKAN SADARI PADA IBU PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG SADARI TERHADAP PENGETAHUAN DAN SIKAP DALAM MELAKUKAN SADARI PADA IBU TESIS Disusun untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Magister

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit yang dapat dicegah dan diobati berupa hambatan aliran udara yang progresif, ditandai dengan inflamasi

Lebih terperinci