BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PATOGENESIS REAKSI INFLAMASI ALERGI. Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari
|
|
- Suharto Kusuma
- 7 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 6 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. PATOGENESIS REAKSI INFLAMASI ALERGI Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari oleh reaksi hipersensitifitas yang diperantarai IgE, 1,2,3 yang ditandai oleh hidung gatal, hidung beringus, bersin-bersin dan hidung tersumbat. 1.,2,3 Awal terjadinya reaksi alergi tersebut sebenarnya dimulai dengan respon pengenalan oleh sel makrofag dan atau sel dendritik 5,11 Sel-sel penyaji antigen (antigen presenting cell;apc) seperti sel dendrit, makrofag dan limfosit B yang berada di epitel saluran nafas berperan sebagai sel penyaji allergen yang menempel ke mukosa hidung. 11,17,18 Dalam sel APC tersebut, terbentuk fragmen peptide imunogenik pendek yang bergabung dengan MHC kelas II di permukaan sel APC dan dipresentasikan kepada sel T spesifik. Ikatan antara MHC kelas II di permukaan APC dengan reseptor di permukaan sel T akan meng aktivasi sel T sehingga mengeluarkan IL-4 yang akan mempengaruhi sel Th0 berdifferensiasi menjadi sel Th2. Sitokin sel Th2 terutama IL-4 memiliki efek langsung terhadap sel B untuk memproduksi IgE. 11 IL-13 dapat memacu sel B memproduksi Ig-E dalam keadaan kadar IL-4 rendah. 19 Paparan alergen dosis rendah yang terus-menerus dan presentasi alergen oleh sel-sel penyaji antigen (APC) kepada sel B disertai adanya pengaruh sitokin IL-4 membuat sel B akan memproduksi Ig E yang terus bertambah yang akan berada bebas dalam sirkulasi, berikatan dengan reseptornya di sel basofil yang kemudian keluar dari sirkulasi berada dalam jaringan
2 7 termasuk mukosa hidung. Dalam fase ini maka seseorang sudah dalam keadaan sensitif/tersensitisasi. 11 Paparan ulang alergen serupa pada mukosa yang sudah sensitif menyebabkan ikatan antara dua molekul Ig E pada permukaan sel mast dengan alergen memacu terjadinya degranulasi sel mast yaitu penglepasan granula yang mengandung mediator-mediator histamin, triptase, PGD2, LTS dan sitokin-sitokin. Mediator yang dilepas tersebut menyebabkan terjadinya reaksi alergi fase segera (RAFS) yang mencapai puncaknya pada menit pasca paparan alergen dan berakhir pada sekitar 60 menit kemudian. Efek yang terjadi mukosa hidung berupa vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan gejala buntu hidung dan hipersekresi. Sedangkan bersin disebabkan oleh rangsangan aferen saraf melalui reseptor nosiseptif yang dimulai dengan rasa gatal. Selain itu histamin yang dibebaskan mempunyai kemampuan merangsang akson refleks dan melepaskan neuropeptida (substansi P dan tachykinin) yang mempunyai potensi memacu degranulasi sel mast.reaksi alergi akan berlanjut terus sebagai reaksi alergi fase lambat (RAFL) sampai 24 bahkan 48 jam kemudian 20 Tanda khas RAFL adalah terlihatnya akumulasi sel-sel inflamasi di jaringan sasaran dengan puncak akumulasi antara 4-8 jam. Sel yang paling konsisten bertambah banyak adalah eosinofil. 6 Disamping itu yang bertambah adalah limfosit, basofil, neutrofil monosit dan makrofag tetapi jumlahnya tidak konsisten. 6 Sepanjang RAFL terdapat beberapa fenomena penting 11 yaitu pertama; sitokin IL5 bersama IL3 mempengaruhi eosinofil menjadi aktif dan melepas berbagai protein yaitu Mayor Basic Protein (MBP) yang memiliki daya destruksi terhadap
3 8 epitel mukosa dan Eosinofil Cationic Protein (ECP) yang menstimulasi kelenjarkelenjar mukosa, submukosa, dan sel goblet sehingga terjadilah hipersekresi. Kedua; eosinofil teraktifkan berinteraksi dengan epitel mukosa hidung menghasilkan IL8, RANTES (regulated upon activation normal T cell expressed dan secreted) dan GM- CSF (Granulocyte macrophage colony stimulating factor). Ketiga; IL-3 bersama IL-4 akan mengaktivasi basofil melepas histamin, leukotrien dan sitokin-sitokin. Keempat; telah lama diketahui juga sel-sel monosit, limfosit yang berakumulasi akan melepas histamine releasing factor (HRFs) yang mampu memacu mastosit, juga basofil melepas histamin lebih banyak lagi PERAN SITOKIN PADA RINITIS ALERGI Sejak ditemukan oleh Mosmann dkk (1986) sitokin mendapat perhatian para ahli. Sel TH (CD4) cenderung memproduksi 2 jenis sitokin yang berbeda. Sel Th1 menghasilkan IFN- dan IL-2. Sel Th2 menghasilkan IL-3, IL-4,IL-5,IL-10,IL Profil sitokin tergantung tipe antigen, dosis, tipe APC, lingkungan sitokin, sinyal kostimulator yang diterima sel T dan faktor genetik. 22 Sitokin Th1 menghambat produksi sitokin Th2 dan sebaliknya. Sekali sel T CD4 + secara penuh berdiferensiasi menjadi efektor Th1 dan Th2 maka profil sitokin menjadi tetap. 22,23 IFN- dianggap sebagai prototip sitokin Th1 sedangkan IL-4 merupakan prototip sitokin Th2 karena disamping berpengaruh penting pada sel-sel lain, kedua sitokin tersebut dapat meningkatkan diferensiasi sel Th0 menjadi efektor Th1 dan Th2. 21,22,23
4 INTERLEUKIN - 4 (IL-4) IL-4 adalah glikoprotein kd terdiri dari 153 asam amino yang diproduksi oleh sel T, sel mast dan sel basofil. Produksi IL-4 cepat dan bersifat transient, dapat dideteksi dalam 1-5 jam dan ekspresinya hilang setelah jam. 21 Efek IL-4 yang paling penting adalah perkembangan sel Th2 dan memerintahkan sel B untuk memproduksi Ig E dan Ig G 4,sedangkan pada endotel IL-4 meningkatkan ekspresi VCAM INTERLEUKIN -13 (IL-13) IL-13 adalah suatu sitokin dengan ukuran 12 kd yang dihasilkan oleh sel T yang teraktivasi. Gen pengkode terletak pada kromosom 5q3l, bersama dengan kelompok sitokin IL-4, IL-5. Reseptor IL-13 adalah heterodimer terdiri dari rantai IL-4R dan protein dengan berat kd yang disebut IL-13R 1, dan memerlukan protein binding IL-13R 2. IL-13R diekspresikan pada sel makrofag, sel B, eosinofil, sel mast, sel endotel, fibroblast, epitel saluran nafas. 23 Efek biologik IL-13 memiliki sejumlah kemiripan dengan IL-4, oleh karena berbagi reseptor yang sama pada IL-4R. Kedua sitokin diketahui berperan pada kejadian alergi dengan mengatur isotype class switcing pada sel B untuk menghasilkan Ig E, menginduksi ekspresi MHC kelas II dan CD 23, menginduksi VCAM 1, eotaksin, mengaktivasi sel mast dan eosinofil INTERLEUKIN-5 (IL-5) IL-5 adalah sitokin dengan ukuran sekitar 20 kd yang diproduksi oleh sel T CD4+ dan sel mast yang teraktivasi. IL-5 berinteraksi dengan reseptor spesifik IL- 5Rs suatu heterodimer yang mengandung IL-5R dan rantai (CD 131) yang berbagi dengan GM-CSFR dan IL-3R. 23
5 10 Fungsi IL-5 yang paling penting adalah kemampuan untuk menstimulasi pertumbuhan dan diferensiasi eosinofil dan aktivasi sel eosinofil matur. 22 IL-5 juga bersifat kemotaktik terhadap eosinofil, menyebabkan sekresi eosinofil dan meningkatkan antibody dependent cytotoxicity. Mekanisme lain menyebabkan akumulasi eosinofil pada kelainan alergi dengan kemampuannya meningkatkan respon kemokin dan d 2 integrin pada eosinofil, yang mengakibatkan pengikatan terhadap VCAM -1 yang diekspresikan sel endotel dan selanjutnya terjadi migrasi eosinofil melewati celah endotel (diapedesis) INTERFERON GAMMA (IFN- ) IFN- adalah suatu glikoprotein dengan ukuran kd merupakan aktifator bagi mononuklear fagosit dikenal mempunyai efek antivirus dan diproduksi oleh sel NK, sel Th1 yang teraktifasi dan sel T sitotoksik jika terdapat pemicu. 21,25 Sebagai pemicu aktifasi sel Th1 adalah reaksi silang kompleks reseptor sel T dengan IL-12, sedangkan sel NK sebagai pemicunya adalah sitokin yang dihasilkan oleh makrofag berupa TNF- dan IL-12 serta IFN- sendiri. Dalam respon primernya terhadap rangsang antigen aktifasi sel Th ditentukan oleh pengaruh lingkungan mikro sitokin yang ada. IFN- dan IL-12 terlibat dalam keputusan untuk menjadi fenotipe Th1 sedangkan IL-4 mengarah menjadi fenotipe Th INTERLEUKIN- 12 (IL-12) IL-12 strukturnya suatu kovalen dimer dari peptida 35 dan 40 kd merupakan sitokin yang diproduksi oleh sel dendrit, neutrofil dan makrofag yang dipicu secara langsung oleh lipopolisakarida atau produk mikroorganisme patogen.. Sitokin IL-12 terbukti merupakan salah satu pengatur sentral imunitas seluler yang mengaktifkan
6 11 sel NK, merupakan mediator esensial utama untuk diferensiasi sel Th0 ke Th1 dan secara langsung memacu sekresi IFN- oleh sel Th1 dan sel NK. 22,23,26 Sementara itu IL-12 secara aktif terpicu di dalam makrofag dan monosit oleh sekresi IFNsehingga respon Th1 distabilkan oleh suatu jalur feed back positif. Gangguan kerja IL-12 mengakibatkan tidak ada respon Th1 yang persisten, sementara itu produksi IL-12 oleh monosit dapat ditekan oleh sitokin lain termasuk IL-4, IL-10 yang merupakan produk sel Th2. 22,23,26 Sel Th0 yang sudah mengalami differensiasi penuh menjadi sel efektor Th1 atau Th2 akan memproduksi sitokin yang relatif tetap, demikian juga sel Th memori yang sudah mengalami polarisasi. Sementara itu sel Th memori yang belum mengalami polarisasi (sel Th resting) profil sitokinnya dapat dirubah sesuai lingkungan mikrositokin yang ada, dengan demikian sel memori Th2 dapat menghasilkan sitokin Th1 jika diaktifkan bersamaan dengan IL-12 yang merupakan pemicu IFN- yang poten. Suatu penemuan yang menunjukkan bahwa profil sitokin dari populasi sel memori relatif fleksibel dan dapat dirubah merupakan konsep penting dan mempunyai arti yang bermakna untuk pengobatan penyakit alergi. 22,23, IMUNOTERAPI SPESIFIK Imunoterapi spesifik (ITS) adalah pemberian penyuntikan alergen spesifik kepada subjek alergi dengan dosis meningkat bertahap dan interval waktu penyuntikan bertahap dengan tujuan menghilangkan gejala yang selalu timbul apabila berkontak dengan alergen spesifik tertentu. 27 ITS pertama kali dilaporkan oleh Curtis (1900) yaitu dengan penyuntikan ekstrak tepung sari rumput untuk mengurangi gejala RA pada musim tepung sari
7 12 yang berhasil baik. 12,27 Selama 80 tahun ITS digunakan untuk mengobati penderita penyakit alergi yang disebabkan alergen hirup dan gigitan serangga. 12,14,27 Oleh Freeman (1914) dilaporkan bahwa perbaikan gejala klinis RA masih bermakna sampai 1 th setelah ITS dihentikan. Keberhasilan ITS sangat dipengaruhi oleh lama dan dosis total alergen yang diberikan dan kurang dipengaruhi oleh banyaknya jenis alergen yang disuntikkan. 27. Keberhasilan imunoterapi spesifik tidak selalu terjadi. Dilaporkan berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan ITS, yaitu: dosis alergen yang tidak adekuat terdapat alergen yang tidak diketahui pada saat tes alergi kontrol lingkungan yang tidak adekuat significant exposure to non-allergic triggers (contoh: asap rokok). 28 Cara pemberian ITS subkutan merupakan cara yang lazim dibandingkan cara yang lain seperti ITS sublingual. ITS suntikan ada beberapa cara yaitu cara lambat (klasik), cara cepat (rush), cara cluster (mirip rush) dan modifikasinya. 29 Jadwal penyuntikan terdiri dari 2 fase yaitu fase inisial (eskalasi) dimana dosis vaksin alergen diberikan secara bertahap sampai mencapai dosis maksimal dengan interval waktu dua kali seminggu, dan fase pemeliharaan yaitu dosis maksimal dilanjutkan sampai jangka waktu 6 bulan sekali sampai kurang lebih tiga tahun. 27 Selain dengan pemberian dosis yang meningkat secara bertahap, untuk mengurangi kemungkinan terjadinya efek samping sistemik maka ITS tidak dianjurkan pada penderita yang mempunyai resiko tinggi seperti umur lebih dari 50 tahun, fungsi paru kurang dari 70% dan riwayat asma berat. 11 Selain itu terdapat
8 13 kontraindikasi untuk imunoterapi yaitu menderita penyakit kardiovaskular seperti gagal jantung, angina pektoris, infark miokard akut; gagal ginjal serta penyakit paru kronik. 11,14,29 Pasien yang mendapat terapi beta blocker juga tidak diperkenankan mendapat imunoterapi karena efek paradoksalnya terhadap epinefrin dapat meningkatkan refleks vagal, meningkatkan bronkokonstriksi, meningkatkan pelepasan mediator serta menyebabkan AV Blok dan bradikardi. 11,14,29 Saat ITS diberikan, pasien diharuskan datang secara berkala untuk dimonitor dan mendapatkan suntikan. Pengobatan simtomatis boleh diberikan jika gejala klinis masih mengganggu penderita. Jika sudah tercapai perbaikan klinis maka menurut kesepakatan para ahli alergi, ITS harus dilanjutkan dengan dosis terapi selama 3-5 th untuk mendapatkan efek yang bertahan lama. 14,30 Efek imunologis ITS terlihat dengan ditemukannya peningkatan Ig G bloking antibodi, penurunan Ig E, berkurangnya sel eosinofil mukosa dan berkurangnya penglepasan mediator. 27,31,32 Pada ITS dapat terjadi penurunan produksi IL-4 dan IL-5 oleh sel Th2 juga terjadi pergeseran ke arah produksi IFN-. 14 Pada dosis eskalasi ITS terjadi kenaikan rasio IL-4/IFN- yang kemudian turun setelah mendapat dosis terapi. 11,16. Imunoterapi spesifik selain merubah respon sel T pembuluh darah tepi, juga mengakibatkan hal yang sama di mukosa hidung. Peningkatan ekspresi IL-12 mrna, IFN- -10 mrna, peningkatan konsentrasi IFNpenurunan konsentrasi IL-5 di mukosa hidung terjadi setelah pemberian ITS. 33. Diduga pengaturan keseimbangan respon sel T mukosa hidung memainkan peranan penting dalam keberhasilan imunoterapi spesifik. 34
9 SKEMA MEKANISME IMUNOTERAPI PADA RA Alergen ITS APC APC Sel Tho Sel Tho Sel Th2 ( - ) Sel Th1 IL4 IL 5, IL 13 ( - ) IFN Sel B VCAM 1 Sel B Alergen kontak kedua IgE Ig G Blocking AB degranulasi Sel mast basofil Eosinofil mukosa degranulasi Degranulasi mastosit Histamin Prostaglandin Leukotrien PAF Rx. cepat Gejala dan tanda klinik RA Rx. lambat MBP ECP EDN EPO Histamin Gejala klinis Frek. Serangan Memicu Menghambat
10 Kerangka teori ITS RA IL- 4 (Th2) IFN - (Th1) Faktor Pengganggu - alergi lain - lama sakit - beratnya serangan - usia - sosial ekonomi - genetik - T regulator Gejala klinis 2.6. Kerangka konsep ITS RA IL- 4 IFN - Faktor Pengganggu - alergi lain - lama sakit - beratnya serangan - usia - genetik Gejala klinis
11 HIPOTESIS Berdasarkan latar belakang permasalahan, tinjauan pustaka dan tujuan penelitian dapat dibuat hipotesis sebagai berikut: 1. Pemberian imunoterapi dosis eskalasi menurunkan rasio IL-4/IFN- pada penderita Rinitis Alergi. 2. Penurunan rasio IL-4/IFNdengan perbaikan gejala klinik pada penderita Rinitis Alergi.
BAB 1. PENDAHULUAN. hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai
1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Rinitis alergi (RA) adalah manifestasi penyakit alergi pada membran mukosa hidung akibat reaksi hipersensitifitas tipe I yang diperantarai IgE yang ditandai dengan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rinitis alergi adalah gangguan fungsi hidung akibat inflamasi mukosa hidung yang diperantarai IgE yang terjadi setelah mukosa hidung terpapar alergen. 1,2,3 Penyakit
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah. mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan pada mukosa hidung
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Rhinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
Lebih terperinciMekanisme Pertahanan Tubuh. Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang
Mekanisme Pertahanan Tubuh Kelompok 7 Rismauzy Marwan Imas Ajeung P Andreas P Girsang Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar
Lebih terperinciBAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada
4 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Atopi dan uji tusuk kulit Atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos, yang memiliki arti tidak pada tempatnya dan sering digunakan untuk menggambarkan penyakit yang diperantarai
Lebih terperinciBAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN. Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur
BAB 2 TERMINOLOGI SITOKIN Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan pengatur immunitas, inflamasi dan hematopoesis. 1 Sitokin adalah salah satu dari sejumlah zat yang disekresikan oleh
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Istilah atopik pertama kali diperkenalkan oleh Coca (1923), yaitu istilah yang dipakai untuk sekelompok penyakit pada individu yang mempunyai riwayat alergi/hipersensitivitas
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
8 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Imunopatogenesis Rinitis Alergi Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi mukosa hidung yang didasari oleh reaksi hipersensitifitas yang diperantarai IgE. 1 Imunopatogenesis
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis alergika merupakan suatu penyakit yang sering kita jumpai di masyarakat yang dikenal juga sebagai dermatitis atopik (DA), yang mempunyai prevalensi 0,69%,
Lebih terperinci7.2 CIRI UMUM SITOKIN
BAB 7 SITOKIN 7.1 PENDAHULUAN Defnisi: Sitokin adalah senyawa protein, dengan berat molekul kira-kira 8-80 kda, yang merupakan mediator larut fase efektor imun natural dan adaptif. Nama dari sitokin bermacam-macam
Lebih terperinciBAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Penelitian dilakukan di klinik alergi Bagian / SMF THT-KL RS Dr. Kariadi
29 BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. HASIL PENELITIAN 4.1.1. Jumlah Sampel Penelitian Penelitian dilakukan di klinik alergi Bagian / SMF THT-KL RS Dr. Kariadi Semarang, didapatkan 44 penderita rinitis alergi
Lebih terperinciMENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS
MENJELASKAN STRUTUR DAN FUNGSI ORGAN MANUSIA DAN HEWAN TERTENTU, KELAINAN/ PENYAKIT YANG MUNGKIN TERJADI SERTA IMPLIKASINYA PADA SALINGTEMAS KD 3.8. Menjelaskan mekanisme pertahanan tubuh terhadap benda
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
HASIL DAN PEMBAHASAN Penurunan jumlah ookista dalam feses merupakan salah satu indikator bahwa zat yang diberikan dapat berfungsi sebagai koksidiostat. Rataan jumlah ookista pada feses ayam berdasarkan
Lebih terperinciCATATAN SINGKAT IMUNOLOGI
CATATAN SINGKAT IMUNOLOGI rina_susilowati@ugm.ac.id Apakah imunologi itu? Imunologi adalah ilmu yang mempelajari sistem imun. Sistem imun dipunyai oleh berbagai organisme, namun pada tulisan ini sistem
Lebih terperinciDAFTAR ISI SAMPUL DEPAN LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR SINGKATAN DAFTAR LAMPIRAN ABSTRAK
DAFTAR ISI SAMPUL DEPAN LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PERNYATAAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR SINGKATAN DAFTAR LAMPIRAN ABSTRAK ABSTRACT i ii iii iv vii ix xi xii xiv xv xvi BAB
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia secara geografis merupakan negara tropis yang kaya akan berbagai jenis tumbuh-tumbuhan. Seiring perkembangan dunia kesehatan, tumbuhan merupakan alternatif
Lebih terperinciIMUNITAS HUMORAL DAN SELULER
BAB 8 IMUNITAS HUMORAL DAN SELULER 8.1. PENDAHULUAN Ada dua cabang imunitas perolehan (acquired immunity) yang mempunyai pendukung dan maksud yang berbeda, tetapi dengan tujuan umum yang sama, yaitu mengeliminasi
Lebih terperinciSOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006
SOAL UTS IMUNOLOGI 1 MARET 2008 FARMASI BAHAN ALAM ANGKATAN 2006 1. Imunitas natural :? Jawab : non spesifik, makrofag paling berperan, tidak terbentuk sel memori 2. Antigen : a. Non spesifik maupun spesifik,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sepsis merupakan kondisi yang masih menjadi masalah kesehatan dunia karena pengobatannya yang sulit sehingga angka kematiannya cukup tinggi. Penelitian yang dilakukan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Susu formula yang diberikan kepada bayi sebagai pengganti ASI, kerap kali memberikan efek samping yang mengganggu kesehatan bayi seperti alergi. Susu formula secara
Lebih terperinciBAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN
BAB II KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM SISTEM STEM IMUN Sel yang terlibat dalam sistem imun normalnya berupa sel yang bersirkulasi dalam darah juga pada cairan lymph. Sel-sel tersebut dapat dijumpai dalam
Lebih terperinciTahapan Respon Sistem Imun Respon Imune Innate Respon Imunitas Spesifik
Tahapan Respon Sistem Imun 1. Deteksi dan mengenali benda asing 2. Komunikasi dengan sel lain untuk merespon 3. Rekruitmen bantuan dan koordinasi respon 4. Destruksi atau supresi penginvasi Respon Imune
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. patofisiologi, imunologi, dan genetik asma. Akan tetapi mekanisme yang mendasari
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Definisi Asma Dari waktu ke waktu, definisi asma mengalami perubahan beberapa kali karena perkembangan dari ilmu pengetahuan beserta pemahaman mengenai patologi, patofisiologi,
Lebih terperinciPENGETAHUAN DASAR. Dr. Ariyati Yosi,
PENGETAHUAN DASAR IMUNOLOGI KULIT Dr. Ariyati Yosi, SpKK PENDAHULUAN Kulit: end organ banyak kelainan yang diperantarai oleh proses imun kulit berperan secara aktif sel-sel imun (limfoid dan sel langerhans)
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reaksi hipersensitivitas tipe I atau reaksi alergi adalah reaksi imunologis (reaksi peradangan) yang diakibatkan oleh alergen yang masuk ke dalam tubuh menimbulkan
Lebih terperinciMigrasi Lekosit dan Inflamasi
Migrasi Lekosit dan Inflamasi Sistem kekebalan bergantung pada sirkulasi terusmenerus leukosit melalui tubuh Untuk Respon kekebalan bawaan - berbagai limfosit, granulosit, dan monosit dapat merespon Untuk
Lebih terperinciBAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak tiga jenis teripang yang berasal dari Pantai Timur Surabaya (Paracaudina australis,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 8,7% di tahun 2001, dan menjadi 9,6% di tahun
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Asma merupakan penyakit kronik yang sering ditemukan dan merupakan salah satu penyebab angka kesakitan pada anak di seluruh dunia. Di negara maju dan negara berkembang
Lebih terperinciBAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis Alergi Rinitis Alergi adalah peradangan mukosa saluran hidung yang disebabkan alergi terhadap partikel, antara lain: tungau debu rumah, asap, serbuk / tepung sari yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit alergi sebagai reaksi hipersensitivitas tipe I klasik dapat terjadi pada individu dengan kecenderungan alergi setelah adanya paparan ulang antigen atau alergen
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. multifaktorial yang diinduksi interaksi gen lingkungan. Untuk menimbulkan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rinitis Alergi 2.1.1 Definisi dan Klasifikasi Rinitis alergi (RA) adalah reaksi inflamasi pada mukosa hidung yang diperantarai oleh IgE 2. Gejala khas rinitis alergi ditandai
Lebih terperinciBAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN
33 BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. HASIL 4.1.1. Gambaran Umum Penelitian ini dilakukan di Klinik Alergi Bagian THT-KL RS Dr. Kariadi Semarang, dari Bulan April 2004 sampai dengan Bulan Oktober 2005. Semula
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebagai hipersensitivitas cepat (immediate hypersensitivity) karena reaksi
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alergi 2.1.1 Definisi Alergi Alergi merupakan bagian dari reaksi hipersensivitas, yaitu respon imun yang berlebihan terhadap suatu antigen atau alergen, dikenal dengan istilah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. menolak dan tidak tahan terhadap zat-zat yang sebenarnya tidak berbahaya
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Alergi adalah suatu perubahan reaksi atau respon pertahanan tubuh yang menolak dan tidak tahan terhadap zat-zat yang sebenarnya tidak berbahaya (Candra et al., 2011).
Lebih terperinciSEL SISTEM IMUN SPESIFIK
SEL SISTEM IMUN SPESIFIK Diana Holidah Bagian Farmasi Klinik dan Komunitas Fakultas Farmasi Universitas Jember Components of the Immune System Nonspecific Specific Humoral Cellular Humoral Cellular complement,
Lebih terperinciRespon imun adaptif : Respon humoral
Respon imun adaptif : Respon humoral Respon humoral dimediasi oleh antibodi yang disekresikan oleh sel plasma 3 cara antibodi untuk memproteksi tubuh : Netralisasi Opsonisasi Aktivasi komplemen 1 Dua cara
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Alergi merupakan suatu keadaan hipersensitivitas terhadap kontak atau pajanan zat asing (alergen) tertentu dengan akibat timbulnya gejala-gejala klinis, yang mana
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang World Allergy Organization (WAO) tahun 2011 mengemukakan bahwa prevalensi alergi terus meningkat mencapai 30-40% populasi dunia. 1 World Health Organization (WHO) memperkirakan
Lebih terperinciBAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Atopi, atopic march dan imunoglobulin E pada penyakit alergi Istilah atopi berasal dari bahasa Yunani yaitu atopos yang berarti out of place atau di luar dari tempatnya, dan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi lokal jaringan terhadap infeksi atau cedera dan melibatkan lebih banyak mediator dibanding respons imun yang didapat. Inflamasi dapat diartikan
Lebih terperinci2 Sebutkan macam-macam klas sel limfosit dan apa fungsi dasar masingmasing limfosit tersebut
TUGAS IMUNOLOGI DASAR TUGAS I : CELLS AND TISSUE IN THE IMMUNE SYSTEM 1 Sebutkan jaringan dan sel yang terlibat dalam system imun Jaringan yang terlibat dalam system imun adalah : a. Primer Bone Marrow
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rhinitis berasal dari dua kata bahasa Greek rhin rhino yang berarti hidung dan itis yang berarti radang. Demikian rhinitis berarti radang hidung atau tepatnya radang
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. membuat kadar kolesterol darah sangat sulit dikendalikan dan dapat menimbulkan
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pola makan modern yang banyak mengandung kolesterol, disertai intensitas makan yang tinggi, stres yang menekan sepanjang hari, obesitas dan merokok serta aktivitas
Lebih terperinciSISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH)
SISTEM IMUN (SISTEM PERTAHANAN TUBUH) FUNGSI SISTEM IMUN: Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Endometriosis merupakan salah satu penyakit ginekologi yang sering ditemukan pada wanita usia reproduksi berupa implantasi jaringan (sel-sel kelenjar dan
Lebih terperinciPENGARUH VAKSINASI BCG TERHADAP RASIO IL-4/IFN-γ DAN PERBAIKAN GEJALA KLINIK RINITIS ALERGI
PENGARUH VAKSINASI BCG TERHADAP RASIO IL-4/IFN-γ DAN PERBAIKAN GEJALA KLINIK RINITIS ALERGI (THE EFFECT OF BCG VACCINATION ON IL-4/IFN-γ RATIO AND THE IMPROVEMENT OF CLINICAL SYMPTOMS IN ALLERGIC RHINITIS)
Lebih terperinciNONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S)
NONSTEROIDAL ANTI-INFLAMMATORY DRUGS (NSAID S) RESPON INFLAMASI (RADANG) Radang pada umumnya dibagi menjadi 3 bagian Peradangan akut, merupakan respon awal suatu proses kerusakan jaringan. Respon imun,
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. beberapa dekade terakhir. Penyakit alergi adalah reaksi hipersensitivitas sistem
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alergi Istilah allergie didefinisikan oleh Clemens von Pirquet tahun 1906 sebagai suatu keadaan respon imun yang menyimpang dari respon imun yang biasanya protektif. 1,18 Angka
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Rinitis alergi (RA) merupakan rinitis kronik non infeksius yang paling
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rinitis Alergi 2.1.1 Definisi dan klasifikasi Rinitis alergi (RA) merupakan rinitis kronik non infeksius yang paling umum dijumpai. RA didefinisikan sebagai suatu penyakit
Lebih terperinciBAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rinitis alergi 2.1.1. Definisi Secara klinis, rinitis alergi didefinisikan sebagai kelainan simtomatis pada hidung yang diinduksi oleh inflamasi yang diperantarai IgE (Ig-E
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. karena semakin banyaknya peralatan-peralatan yang mengandung nikel digunakan seharihari
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Dermatitis kontak nikel 2.1.1 Pendahuluan Dermatitis kontak terhadap nikel semakin lama semakin sulit untuk dihindari, karena semakin banyaknya peralatan-peralatan yang mengandung
Lebih terperinciTuberkulosis merupakan penyakit yang telah lama ada. Tetap menjadi perhatian dunia Penyebab kematian kedua pada penyakit infeksi
LOGO Pendahuluan Tuberkulosis merupakan penyakit yang telah lama ada. Tetap menjadi perhatian dunia Penyebab kematian kedua pada penyakit infeksi Kasus baru didunia : 8,6 juta & Angka kematian : 1,3 juta
Lebih terperinciBAB VI PEMBAHASAN. Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari. Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah
BAB VI PEMBAHASAN Mencit Balb/C yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari Laboratorium Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah Yogyakarta. Banyaknya mencit yang digunakan adalah 24
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rinitis Alergi RA merupakan masalah global yang menyerang 10 20% jumlah populasi penduduk diseluruh dunia. Studi epidemiologi mengindikasikan bahwa prevalensi RA semakin meningkat
Lebih terperinciSISTEM IMUN. Pengantar Biopsikologi KUL VII
SISTEM IMUN Pengantar Biopsikologi KUL VII SISTEM KEKEBALAN TUBUH Imunologi : Ilmu yang mempelajari cara tubuh melindungi diri dari gangguan fisik, kimiawi, dan biologis. . SISTEM IMUN INNATE : Respon
Lebih terperinciGambar: Struktur Antibodi
PENJELASAN TENTANG ANTIBODY? 2.1 Definisi Antibodi Secara umum antibodi dapat diartikan sebagai protein yang dapat ditemukan pada plasma darah dan digunakan oleh sistem kekebalan tubuh untuk mengidentifikasikan
Lebih terperinciBAB II KAJIAN PUSTAKA
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Gambaran Umum HIV/AIDS HIV merupakan virus yang menyebabkan infeksi HIV (AIDSinfo, 2012). HIV termasuk famili Retroviridae dan memiliki genome single stranded RNA. Sejauh ini
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. gejala klinis yang khas berupa plak eritematosa berbatas tegas dalam berbagai
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Psoriasis vulgaris adalah suatu penyakit peradangan kulit kronis, dengan gejala klinis yang khas berupa plak eritematosa berbatas tegas dalam berbagai ukuran yang ditutupi oleh
Lebih terperinciFISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH. TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed
FISIOLOGI SISTEM PERTAHANAN TUBUH TUTI NURAINI, SKp., M.Biomed 1 PENDAHULUAN Sistem imun melindungi tubuh dari sel asing & abnormal dan membersihkan debris sel. Bakteri dan virus patogenik adalah sasaran
Lebih terperinciKONSEP DASAR IMUNOLOGI
KONSEP DASAR IMUNOLOGI Oleh : DR. I Ketut Sudiana,MS Staf Pengajar : Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Program Pascasarjana Universitas Airlangga TUJUAN DARI PENULISAN INI ADALAH UNTUK MEMBANTU
Lebih terperinciSistem Imun BIO 3 A. PENDAHULUAN SISTEM IMUN. materi78.co.nr
Sistem Imun A. PENDAHULUAN Sistem imun adalah sistem yang membentuk kekebalan tubuh dengan menolak berbagai benda asing yang masuk ke tubuh. Fungsi sistem imun: 1) Pembentuk kekebalan tubuh. 2) Penolak
Lebih terperinciFAKTOR IMUNOLOGI PATOGENESIS ENDOMETRIOSIS
FAKTOR IMUNOLOGI PATOGENESIS ENDOMETRIOSIS FATMAWATI MADYA SP2FER S ENDOMETRIOSIS Telah banyak hipotesa diajukan untuk menerangkan patogenesis endometriosis, tapi hingga kini belum ada satupun teori yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. tubuh yaitu terjadinya kerusakan jaringan tubuh sendiri (Subowo, 2009).
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Imunitas merupakan suatu mekanisme untuk mengenal suatu zat atau bahan yang dianggap sebagai benda asing terhadap dirinya, selanjutnya tubuh akan mengadakan tanggapan
Lebih terperinciSistem Imun. Leukosit mrpkn sel imun utama (disamping sel plasma, 3. Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal
Kuntarti, SKp Sistem Imun Fungsi: 1. Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan virus, serta tumor)
Lebih terperincimenurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk negara berkembang telah menggunakan obat herbal
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang Penggunaan obat tradisional telah lama digunakan diseluruh dunia dan menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk
Lebih terperinciserta terlibat dalam metabolisme energi dan sintesis protein (Wester, 1987; Saris et al., 2000). Dalam studi epidemiologi besar, menunjukkan bahwa
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam tubuh manusia, sistem imun sangat memegang peranan penting dalam pertahanan tubuh terhadap berbagai antigen (benda asing) dengan memberantas benda asing tersebut
Lebih terperinciUniversitas Sumatera Utara
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rinitis Alergi RA merupakan masalah global yang menyerang masyarakat disegala usia dan suku bangsa. Berdasarkan Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma-World Health Organization
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rinitis alergi merupakan penyakit imunologi yang sering ditemukan (Madiadipora, 1996). Berdasarkan studi epidemiologi, prevalensi rinitis alergi diperkirakan berkisar
Lebih terperinciB A B I PENDAHULUAN. penyakit akibat pajanan debu tersebut antara lain asma, rhinitis alergi dan penyakit paru
B A B I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pajanan debu kayu yang lama dapat menyebabkan berbagai gangguan pada sistem pernafasan, pengaruh pajanan debu ini sering diabaikan sehingga dapat menimbulkan berbagai
Lebih terperinciACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR
ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME ZUHRIAL ZUBIR PENDAHULUAN Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) adalah penyakit yg disebabkan oleh virus HIV (Human Immunodeficiency Virus) HIV : HIV-1 : penyebab
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Istilah asma berasal dari bahasa Yunani yang artinya terengahengah dan berarti serangan napas pendek. Meskipun dahulu istilah ini digunakan untuk menyatakan
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. metabolisme karbohidrat, lemak dan protein. Terjadinya diabetes melitus ini
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Diabetes melitus (DM) yang juga dikenal di Indonesia dengan istilah penyakit kencing manis adalah kelainan metabolisme yang disebabkan oleh banyak faktor dengan gejala
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis adalah suatu penyakit kulit (ekzema) yang menimbulkan peradangan. Dermatitis alergika yang sering dijumpai dalam kehidupan seharihari adalah dermatitis atopik.
Lebih terperinciASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN. SISTEM IMUNITAS Asuhan Keperawatan Pada Pasien dengan Gangguan Sistem Immunitas Niken Andalasari Sistem Imunitas Sistem imun atau sistem kekebalan tubuh
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penggunaan obat tradisional telah lama digunakan diseluruh dunia dan menurut World Health Organization (WHO), sekitar 65% dari penduduk negara maju dan 80% dari penduduk
Lebih terperinciImmunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age
Immunology Pattern in Infant Born with Small for Gestational Age Dr. Nia Kurniati, SpA (K) Manusia mempunyai sistem pertahanan tubuh yang kompleks terhadap benda asing. Berbagai barrier diciptakan oleh
Lebih terperinciPATOGENESIS DAN RESPON IMUN TERHADAP INFEKSI VIRUS. Dr. CUT ASMAUL HUSNA, M.Si
PATOGENESIS DAN RESPON IMUN TERHADAP INFEKSI VIRUS Dr. CUT ASMAUL HUSNA, M.Si PATOGENESIS INFEKSI VIRUS Port d entree Siklus replikasi virus Penyebaran virus didalam tubuh Respon sel terhadap infeksi Virus
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis alergika disebut juga dermatitis atopik yang terjadi pada orang dengan riwayat atopik. Atopik ditandai oleh adanya reaksi yang berlebih terhadap rangsangan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan agen penyebab Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) dan AIDS merupakan tahap akhir dari infeksi HIV. AIDS didefinisikan
Lebih terperinciBAB V PEMBAHASAN. Dari hasil uji statistik diperlihatkan bahwa pemaparan asap rokok, tanpa
BAB V PEMBAHASAN \ Dari hasil uji statistik diperlihatkan bahwa pemaparan asap rokok, tanpa pemberian asam askorbat atau teh hijau, selama 10 ataupun 20 hari t memberikan hasil skoring kerusakan yang sama.
Lebih terperinciGASTROPATI HIPERTENSI PORTAL
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka konseptual VIRUS SEL KUFFER SIMVASTATIN NFkβ IL 6 TNF α IL 1β TGF β1 HEPATOSIT CRP FIBROSIS ECM D I S F U N G S I E N D O T E L KOLAGEN E SELEKTIN inos
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons,
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tindakan pembedahan ekstremitas bawah,dapat menimbulkan respons, mencangkup beberapa komponen inflamasi, berpengaruh terhadap penyembuhan dan nyeri pascabedah.sesuai
Lebih terperinciStruktur dan Fungsi Hewan Tujuan Instruksional Khusus
Struktur dan Fungsi Hewan Tujuan Instruksional Khusus Menjelaskan: Struktur Hewan Fungsi Hayati Hewan Energi dan Materi Kuliah Hewan 1 Homeostasis Koordinasi dan Pengendalian Kuliah Kontinuitas Kehidupan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dermatitis alergika merupakan suatu reaksi hipersensitivitas, yang disebut juga sebagai dermatitis atopik. Penderita dermatitis atopik dan atau keluarganya biasanya
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Asma Asma merupakan penyakit kronis saluran pernapasan yang sering dijumpai pada masa kanak-kanak. Merupakan salah satu reaksi hipersentivitas saluran napas, baik saluran
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma
3 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luka adalah terjadinya diskontinuitas kulit akibat trauma baik trauma tajam, tumpul, panas ataupun dingin. Luka merupakan suatu keadaan patologis yang dapat menganggu
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) masih menjadi salah satu masalah kesehatan dunia,
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Tuberkulosis (TB) masih menjadi salah satu masalah kesehatan dunia, dimana 2-3 milyar penduduk dunia diperkirakan telah terinfeksi TB (World Health Organization, 2015).
Lebih terperinciBAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa nematoda menjadikan manusia sebagai pejamunya. Beberapa
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Soil Transmitted Helminth Beberapa nematoda menjadikan manusia sebagai pejamunya. Beberapa nematoda yang menginfeksi usus manusia ditularkan melalui tanah dan disebut dengan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. berhasil mencapai target Millenium Development Goal s (MDG s), peningkatan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan masyarakat yang menjadi tantangan global. Meskipun program pengendalian TB di Indonesia telah berhasil mencapai target
Lebih terperinciABSTRAK ASPEK KLINIS PEMERIKSAAN PERSENTASE EOSINOFIL, HITUNG EOSINOFIL TOTAL, DAN IMUNOGLOBULIN E SEBAGAI PENUNJANG DIAGNOSIS ASMA BRONKIAL
ABSTRAK ASPEK KLINIS PEMERIKSAAN PERSENTASE EOSINOFIL, HITUNG EOSINOFIL TOTAL, DAN IMUNOGLOBULIN E SEBAGAI PENUNJANG DIAGNOSIS ASMA BRONKIAL Samuel, 2007 Pembimbing I : J. Teguh Widjaja, dr.,sp.p. Pembimbing
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.000 wanita didiagnosa dengan kanker ovarium di seluruh dunia dan 125.000
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Inflamasi merupakan reaksi yang kompleks terhadap agen penyebab jejas, seperti mikroba dan kerusakan sel. Respon inflamasi berhubungan erat dengan proses penyembuhan,
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. selain kelainan vaskular ( Junaidi, 2011). Terdapat dua macam stroke,
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Stroke menurut World Health Organization (WHO) adalah sindrom klinis yang berkembang cepat akibat gangguan otak fokal maupun global dengan gejala yang berlangsung selama
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. diperantarai oleh lg E. Rinitis alergi dapat terjadi karena sistem
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Definisi Rinitis Alergi (RA) menurut ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) merupakan reaksi inflamasi pada mukosa hidung akibat reaksi hipersensitivitas
Lebih terperinciFAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN RINOSINUSITIS PADA PENDERITA RINITIS ALERGI LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH
FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEJADIAN RINOSINUSITIS PADA PENDERITA RINITIS ALERGI LAPORAN HASIL KARYA TULIS ILMIAH Diajukan sebagai syarat untuk mengikuti ujian hasil Karya Tulis Ilmiah mahasiswa program
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dunia sekarang mengalami penderitaan akibat dampak epidemik dari berbagai penyakit penyakit akut dan kronik yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Penyakit penyakit
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan berupa
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kondiloma akuminata (KA) merupakan infeksi menular seksual yang disebabkan oleh Human Papillomavirus (HPV) tipe tertentu dengan kelainan berupa fibroepitelioma pada
Lebih terperinciHASIL DAN PEMBAHASAN
18 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil uji tantang virus AI H5N1 pada dosis 10 4.0 EID 50 /0,1 ml per ekor secara intranasal menunjukkan bahwa virus ini menyebabkan mortalitas pada ayam sebagai hewan coba
Lebih terperinciANTIGEN, ANTIBODI, KOMPLEMEN. Eryati Darwin Fakultas Kedokteran Universitas andalas
ANTIGEN, ANTIBODI, KOMPLEMEN Eryati Darwin Fakultas Kedokteran Universitas andalas IMUNOGEN: ANTIGEN vs IMUNOGEN SUBSTAN YANG MAMPU MENGINDUKSI RESPON IMUN HUMORAL ATAU SELULER IMUNOGENIK ANTIGEN: SUBSTAN
Lebih terperinciBAB 3. METODA PENELITIAN. Tenggorok sub bagian Alergi dan Imunologi. Waktu penelitian : tahun
17 BAB 3. METODA PENELITIAN 3.1. RUANG LINGKUP PENELITIAN Ruang lingkup penelitian ini adalah Ilmu Kesehatan Telinga Hidung dan Tenggorok sub bagian Alergi dan Imunologi. 3.2. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN
Lebih terperinci