BAB I PENDAHULUAN. dengan kisaran usia 5-14 tahun (Gerald dkk, 2004). Prevalens asma di Indonesia belum

Transkripsi

1 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Asma merupakan penyakit kronik yang paling umum di dunia, terdapat sekitar 300 juta penduduk dunia yang menderita penyakit ini. Asma dapat terjadi pada anak-anak maupun dewasa, dengan prevalens yang lebih besar terjadi pada anak-anak (Global Initiative for Asthma, 2015). Angka prevalens asma pada anak mencapai 69,8 kasus per 1000 anak dengan kisaran usia 5-14 tahun (Gerald dkk, 2004). Prevalens asma di Indonesia belum diketahui dengan pasti, namun diperkirakan 10% dari 25 juta penduduk Indonesia. Prevalens penyakit asma meningkat dari tahun ke tahun. Departemen kesehatan memperkirakan penyakit asma merupakan 10 besar penyebab morbiditas dan mortalitas di rumah sakit. Angka kejadian asma pada anak dan bayi 10-85%, lebih tinggi 10-45% dari orang dewasa (Oemati dkk, 2010). Asma merupakan penyakit kronis yang sebenarnya tidak termasuk ke dalam kelompok penyakit yang mematikan. Angka kematian akibat penyakit asma dilaporkan meningkat dalam beberapa tahun terakhir. World Health Organization (WHO) melaporkan angka mortalitas asma mencapai pada tahun 2008 (Kartasasmita dkk, 2013). Penanganan asma yang optimal tidak hanya mencakup mengontrol gejala klinis, namun juga mencakup memonitor fungsi paru dan analisis gas darah (Global Initiative for Asthma, 2015). Patofisiologi penyakit asma merupakan kombinasi 3 faktor yang memengaruhi derajat obstruksi bronkial, yaitu hiperesponsif bronkial, inflamasi saluran napas, dan remodeling saluran napas. Faktor-faktor ini harus dipahami dengan baik untuk memberikan penanganan terbaik. Menurut National Heart, Lung and Blood Institute (NHLBI) 2007, pada individu yang rentan, gejala asma berhubungan dengan inflamasi yang

2 2 akan menyebabkan obstruksi dan hiperesponsivitas dari saluran pernapasan yang derajatnya bervariasi. Pada umumnya praktisi klinis saat ini hanya menggunakan gejala untuk mengevaluasi beratnya asma. Serangan asma merupakan kasus emergensi yang memerlukan pemeriksaan yang seksama mengenai tingkat oksigenasi, ventilasi, dan keseimbangan asam basa pasien. Pemeriksaan akurat mengenai fungsi paru dan keseimbangan asam basa dalam darah sangat diperlukan untuk menentukan beratnya serangan asma. Mortalitas asma sebagian besar dapat dicegah dengan diagnosis dan penanganan yang optimal (Yosefy dkk, 2004). Pengukuran fungsi paru sangat berguna untuk meningkatkan nilai diagnostik. Tes fungsi paru dapat menilai derajat keparahan hambatan aliran udara, reversibilitas, dan meningkatkan akurasi diagnosis asma. Spirometri merupakan alat pengukuran objektif, tidak invasif dan mudah dikerjakan yang digunakan untuk mengukur tingkat keparahan penyakit asma. Spirometri direkomendasikan sebagai alat untuk skrining, diagnosis, dan memonitor penyakit-penyakit pada respirasi (Fuhlbrigge dkk, 2006). The National Asthma Education and Prevention Program (NAEPP) Expert Panel Report 2 Guidelines merekomendasikan spirometri untuk mendiagnosis dan mengukur tingkat keparahan asma dalam memberikan penatalaksanaan asma yang tepat. The National Heart, Lung, Blood Institute (NHLBI) guidelines for management of asthma merekomendasikan tes spirometri untuk asma pada anak, sekurang-kurangnya setiap 1-2 tahun untuk menjaga fungsi saluran respirasi (Cabana dkk, 2006). Pengukuran FEV-1 (Forced Expiratory Volume 1 second) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui spirometri. Penyakit respirasi yang menimbulkan obstruksi jalan napas menimbulkan penurunan FEV-1. Beberapa penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang kuat antara

3 3 hiperesponsif jalan napas dengan variasi spirometri diurnal pada anak dengan asma. Variasi ini dapat digunakan untuk mengukur tingkat keparahan asma (Brower dkk, 2008). Salah satu alat diagnosis lain yang penting untuk mengevaluasi pasien dengan serangan asma adalah pemeriksaan analisis gas darah (Rashid dkk, 2008). Guidelines on the Management of Asthma merekomendasikan bahwa pemeriksaan analisis gas darah harus dilakukan pada semua pasien yang datang ke rumah sakit dengan serangan asma. Perubahan pada analisis gas darah sangat terlihat pada progresi serangan asma dari serangan ringan, serangan sedang, serangan berat dan sangat berat. Saat awal serangan asma, nilai PO2 dan PCO2 perlahan menurun disertai dengan peningkatan ph arteri. Bila serangan bertambah berat sampai pada titik dimana paru-paru sudah tidak mampu lagi untuk memompa CO2 keluar saat ekspirasi. Saat itu terjadi perubahan keseimbangan dimana PCO2 akan semakin meningkat, dan ph arteri akan semakin menurun. Hal ini terutama terjadi bila serangan asma sudah mencapai derajat sangat berat (Kartasasmita dkk, 2013). Pemeriksaan analisis gas darah bersifat lebih invasif dan traumatik bagi anak dibandingkan pemeriksaan spirometri. Kedua pemeriksaan tersebut direkomendasikan sebagai alat pemeriksaan tambahan untuk mengevaluasi berat serangan asma. Gejala pada penyakit asma timbul karena adanya obstruksi bronkus. Obstruksi ini terjadi karena proses inflamasi, bronkokonstriksi, hipersekresi mukus pada bronkus. Obstruksi tersebut selanjutnya menyebabkan hambatan aliran udara (air trapping) yang bersifat reversibel. Beratnya obstruksi akan terlihat pada besar penurunan nilai FEV-1 pada pemeriksaan spirometri, dan beratnya air trapping yang terjadi akan terlihat pada nilai PCO2 pada darah arteri.

4 4 Air trapping menyebabkan CO2 sulit diekskresikan keluar dari paru. Pada serangan asma berat akan menimbulkan peningkatan jumlah CO2 dalam darah. Penelitian mengenai FEV-1 dan analisis gas darah pada serangan asma telah banyak dilakukan. Forced Expiratory Volume in 1 second terbukti memiliki hubungan bermakna dengan berat derajat serangan asma. Nilai PCO2 dan PO2 juga terbukti berhubungan dengan berat derajat serangan asma. Penelitian mengenai hubungan antara FEV-1 dan PCO2, PO2 belum banyak dilakukan. Penelitian sebelumnya oleh Fard dan Zarezadeh (2004) yang mengambil sampel pada pasien dewasa bronkitis kronis membuktikan bahwa FEV-1 memiliki hubungan positif dengan PO2 dan hubungan negatif dengan PCO2. Shibel dan Moser (1970) menggunakan sampel pasien emfisema mendapatkan hasil nilai korelasi yang lemah antara volume spirometri dengan analisis gas darah. Data penelitian serupa pada penyakit asma baik pada orang dewasa ataupun anak-anak belum pernah diteliti sebelumnya. Pemeriksaan penunjang spirometri dan analisis gas darah dikerjakan secara rutin pada anak asma di negara maju. Ketersediaan alat spirometri di negara berkembang seperti Indonesia belum merata di pusat pelayanan kesehatan. Spirometri merupakan pemeriksaan yang mudah dikerjakan dan tidak invasif dibandingkan pemeriksaan analisis gas darah. Pemeriksaan spirometri tidak rutin dikerjakan di pusat pelayanan medis di Denpasar Bali, Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah. Penelitian lebih lanjut mengenai spirometri pada anak asma diperlukan untuk dapat merekomendasikan spirometri sebagai salah satu pemeriksaan rutin pada anak serangan asma untuk menggantikan pemeriksaan analisis gas darah.

5 5 1.2 Rumusan Masalah 1. Apakah penurunan FEV-1 berkorelasi dengan peningkatan PCO2 pada anak serangan asma? 2. Apakah penurunan FEV-1 berkorelasi dengan penurunan PO2 pada anak serangan asma? 3. Apakah nilai FEV-1 lebih rendah pada anak asma serangan berat dibandingkan asma serangan ringan sedang? 4. Apakah nilai PCO2 lebih tinggi pada anak asma serangan berat dibandingkan asma serangan ringan sedang? 5. Apakah nilai PO2 lebih rendah pada anak asma serangan berat dibandingkan asma serangan ringan sedang? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui korelasi antara nilai tes fungsi paru dengan spirometri dan pemeriksaan analisis gas darah pada anak serangan asma Tujuan khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk membuktikan : 1. Korelasi antara penurunan nilai FEV-1 dengan peningkatan nilai PCO2 pada anak serangan asma. 2. Korelasi antara penurunan nilai FEV-1 dengan penurunan nilai PO2 pada anak serangan asma.

6 6 3. Penurunan nilai FEV-1 pada anak asma serangan berat dibandingkan asma serangan ringan sedang. 4. Peningkatan nilai PCO2 pada anak asma serangan berat dibandingkan asma serangan ringan sedang. 5. Penurunan nilai PO2 pada anak asma serangan berat dibandingkan asma serangan ringan sedang. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah : Manfaat praktis 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai variasi nilai FEV-1 pada pemeriksaan fungsi paru dengan spirometri dalam menilai derajat serangan asma pada anak. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai variasi nilai analisis gas darah dalam menilai derajat serangan asma pada anak. 3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai korelasi nilai FEV-1 pada tes spirometri dan nilai PCO2 dan PO2 pada pemerikaan analisis gas darah terhadap derajat serangan asma pada anak. 4. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan untuk klinisi dalam menggunakan alat pemeriksaan yang tepat untuk menilai derajat serangan asma pada anak. 5. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam merekomendasikan kebijakan untuk menggunakan pemeriksaan spirometri yang bersifat tidak invasif

7 7 dan mudah dikerjakan sebagai pemeriksaan rutin untuk anak serangan asma di RSUP Sanglah. 6. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi mengenai indikasi dilakukan pemeriksaan analisis gas darah yang bersifat invasif dan traumatik bagi anak berdasarkan nilai FEV-1 pada pemeriksaan spirometri Manfaat akademis 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi untuk penelitian selanjutnya di bidang respirologi, baik oleh dokter ataupun tenaga medis lainnya.