PEMODELAN PENGARUH JARAK JANGKAU RUANG TERBUKA HIJAU TERHADAP SUHU PERMUKAAN DI PERKOTAAN ( Studi Kasus : Kota Bogor ) PUTRI YASMIN NURUL FAJRI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PEMODELAN PENGARUH JARAK JANGKAU RUANG TERBUKA HIJAU TERHADAP SUHU PERMUKAAN DI PERKOTAAN ( Studi Kasus : Kota Bogor ) PUTRI YASMIN NURUL FAJRI"

Transkripsi

1 PEMODELAN PENGARUH JARAK JANGKAU RUANG TERBUKA HIJAU TERHADAP SUHU PERMUKAAN DI PERKOTAAN ( Studi Kasus : Kota Bogor ) PUTRI YASMIN NURUL FAJRI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2 ABSTRAK PUTRI YASMIN NURUL FAJRI, Pemodelan Jarak Jangkau Ruang Terbuka Hijau terhadap Suhu Permukaaan di Perkotaan (Studi Kasus : Bogor, Jawa Barat). Dibimbing oleh TANIA JUNE dan LILIK BUDI PRASETYO Penelitian ini dilakukan di Bogor pada koordinat 106 o 48'40'' BT-106 o 46'22'' BT dan 6 o 30'53'' LS - 6 o 40'08'' LS. Tujuan penelitian ini adalah untuk mempelajari pengaruh jarak ruang terbuka hijau terhadap iklim mikro khususnya suhu permukaan di perkotaan sehingga menghasilkan pemodelan yang dapat menghubungkan jarak ruang terbuka hijau yang efektif dalan perencanaan tata ruang perkotaan. Metode yang digunakan untuk mencapai tujuan ini adalah dengan menggunakan penginderaan jauh dengan menggunakan satelit Landsat 5 TM+. Selanjutnya, dari citra satelit tersebut, dilakukan klasifikasi panutupan lahan yang dibedakan ke dalam tujuh tutupan lahan yang meliputi badan air, lahan terbangun, semak, sawah, vegetasi tinggi, ladang dan sawit. Pada penutupan lahan bervegetasi (semak, sawah, vegetasi tinggi, ladang dan sawit), dilakukan penghitungan jarak dengan menggunakan prinsip euclidean distance. Dengan demikian, fungsi ruang terbuka hijau pada penelitian ini merupakan fungsi jarak antar kelas vegetasi. Selain itu, dilakukan juga penghitungan komponen-komponen neraca energi yang meliputi radiasi netto (Rn), soil heat flux (G), sensible heat flux (H) dan latent heat flux (LE) pada tiap tutupan lahan baik tutupan lahan bervegetasi maupun tutupan lahan tidak bervegetasi. Berdasarkan hasil analisis, diperoleh model dengan persamaan = albedo Ln(Rn) Ln(Dsawah Ln(Ladang) di mana albedo merupakan nisbah radiasi pantul terhadap radiasi datang, Rn adalah radiasi netto, Dsawah adalah jarak titik amatan terhadap sawah dan Dladang adalah jarak titik amatan terhadap ladang. Persamaan ini memiliki koefisien determinasi (R 2 ) 88% dan hasil validasi menunjukkan korelasi 93.3% antara suhu permukaan hasil dugaan dengan suhu permukaan sebenarnya. Dalam persamaan ini vegetasi tinggi tidak berpengaruh nyata terhadap suhu permukaan diduga karena tingginya nilai LE di wilayah Bogor dan pengaruh vegetasi tinggi tertutup oleh vegetasi yang lain yang menutup lahan di Bogor. Kata kunci : Penginderaan jauh, vegetasi, neraca energi, perkotaan.

3 ABSTRACT PUTRI YASMIN NURUL FAJRI, Modelling The Effect Of Greenspace On Surface Temperature in Urban Area (Case Study: Bogor, West Java). Supervised by TANIA JUNE and LILIK BUDI PRASETYO This research was conducted in Bogor, located at 106 o 48'40'' E-106 o 46'22'' E and 6 o 30'53''S -6 o 40'08'' S. The research aimed at determining the influence of greenspace distance on micro climate especially on surface temperature, and therefore the effective distance of greenspace can be determined for urban spatial planning consideration. Urban surface temperature is the function of energy balance components and greenspace distance. Information of greenspace was derived from satellite image of Landsat 5 TM +.The image wa classified into seven land cover types i.e water bodies, constructed land, bush, paddy field (sawah), high vegetation, field (ladang), and oil palm. Distance to each greenspace type (bush, paddy field, high vegetation, field, and palm), were calculated using Euclidean distance principle. Energy balance components of each land cover class that include net radiation (Rn), soil heat flux (G), sensible heat flux (H), and latent heat flux (LE) were extracted from band 1,2,3 and 6 of Landsat 5 TM image data. Analysis result showed the influence of energy balance component and greenspace distance to surface temperature is satisfactorily described by the following : = albedo Ln(Rn) Ln(Dsawah Ln(Ladang) where albedo is the ratio of radiation reflected to incoming radiation. Rn is the net radiation, Dsawah is the distance of observation point on the paddy field, and Dladang is the distance of observation point on the field. The equation has a coefficient of determination (R 2 ) 88% and validation results showed a correlation 93,3% between the estimated surface temperature with the actual surface temperature. High vegetation do not affect significantly affect Bogor. Keywords: remote sensing, vegetation, energy balance, urban environment.

4 PEMODELAN PENGARUH JARAK JANGKAU RUANG TERBUKA HIJAU TERHADAP SUHU PERMUKAAN DI PERKOTAAN ( Studi Kasus : Kota Bogor ) PUTRI YASMIN NURUL FAJRI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

5 PEMODELANPENGARUH JARAK JANGKAU RUANG TERBUKA HIJAU TERHADAP SUHU PERMUKAAN DI PERKOTAAN ( Studi Kasus : Bogor ) PUTRI YASMIN NURUL FAJRI Skripsi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sains pada Mayor Meteorologi Terapan DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

6 LEMBAR PENGESAHAN Judul : Pemodelan Pengaruh Jarak Jangkau Ruang Terbuka Hijau Terhadap Suhu Permukaan Di Perkotaan ( Studi Kasus : Kota Bogor ) Nama : Putri Yasmin Nurul Fajri NRP : G Menyetujui, Dr. Ir. Tania June, M.Sc Prof. Dr. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc NIP NIP Mengetahui, Ketua Departeman Geofisika dan Meteorologi Dr. Ir. Rini Hidayati, M.S NIP Tanggal Lulus :

7 KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah SWT atas segala Rahmat dan Karunia Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi ini menguraikan hasil penelitian selama Oktober Mei 2011 dengan fokus pada iklim mikro perkotaan dengan judul Pemodelan Pengaruh Jarak Jangkau Ruang Terbuka Hijau terhadap Suhu Permukaan Di Perkotaan. Studi Kasus Bogor, Jawa Barat. Dalam penyusunan skripsi dan pelaksanaan penelitian tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, dan pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Tania June, M.Sc dari Departemen Geofisika dan Meteorologi dan Prof. Dr. Lilik Budi Prasetyo dari Departemen Konservasi Sumberdaya dan Ekowisata selaku pembimbing yang selalu memberikan saran dan bimbingan dalam penyelesaian skripsi ini. 2. Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi beserta seluruh dosen dan karyawan atas bantuan dan dukungannya selama mengikuti pendidikan. 3. Dr. Ir. Muhammad Nur Aidi, MS dari Departemen Statistika atas bimbingan dan bantuannya. 4. Bapak Umar Saleh, Ibu Rozinah Zakaria dan Putri Balqies selaku keluarga yang bantuan dan doa restu yang senantiasa diberikan. 5. Rizky Oktavian, Tuti Purwaningtyas, Iqrarul Fata, Muis Fajar dan Muhammad Iqbal yang telah membantu selama penelitian berlangsung. Penulis menyadari dalam skripsi ini belum sempurna, sehingga diharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca. Penulis juga berharap semoga karya ilmiah ini dapat memberikan informasi dan bermanfaat bagi ilmu pengetahuan serta kepada seluruh pihak yang memerlukannya. Bogor, Juni 2011 Putri Yasmin Nurul.Fajri

8 RIWAYAT HIDUP Penulis lahir pada 12 Juni 1989 di Bekasi, Jawa Barat, dari ibu bernama Rozinah Zakari dan ayah bernama Umar Saleh. Penulis adalah anak kedua dari dua bersaudara. Menyelesaikan pendidikan tingkat dasar di SD Muhammadiyah 02 Pekalongan pada tahun 2002, pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 2 Pekalongan pada tahun 2004 dan pendidikan tingkat atas di SMA Negeri 2 Pekalongan pada tahun Pada tahun 2007, penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor Departemen Geofisika dan Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama perkuliahan, penulis ikut berperan aktif dalam organisasi kemahasiswaan. Beberapa organisasi yang pernah diikuti yaitu, BEM-FMIPA periode 2009, HIMAGRETO, Organisasi Mahasiswa Pekalongan, Serambi Ruhiyah Mahasiswa FMIPA dan Organisasi Penerima Beasiswa Karya Salemba Empat-IPB. Penulis pernah menjabat sebagai ketua departemen keilmuan HIMAGRETO dan ketua departemen Informasi dan Komunikasi Organisasi Mahasiswa Pekalongan (IMAPEKA).

9 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... i DAFTAR GAMBAR... ii DAFTAR LAMPIRAN... iii I. PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian... 1 II. TINJAUAN PUSTAKA Ruang Terbuka Hijau Citra satelit Landsat Pengertian dan komponen neraca energi NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) Suhu Permukaan Neraca energi tiap penutupan lahan bervegetasi... 6 III. METODOLOGI Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Metode Penelitian Pemrosesan data citra Penentuan jarak dengan metode euclidean distance Neraca energi Pembuatan model IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi umum kota Bogor Klasifikasi penutupan lahan dengan menggunakan citra satelit landsat Pendugaan komponen neraca energi pada beberapa penutupan lahan Pendugaan albedo Pendugaan radiasi netto Pendugaan soil heat flux (G), sensible heat flux (H), dan latent heat flux (LE) Perbandingan nilai indeks vegetasi (NDVI) dengan komponen neraca energi Penentuan pengaruh neraca energi dan suhu permukaan Penentuan pengaruh jarak jangkau tiap jenis vegetasi dan suhu yasmin jei ik permukaan Vegetasi tinggi Ladang dan Rumput/Semak Sawah... 26

10 Sawit Penentuan pengaruh neraca energi, jarak jangkau RTH dan suhu permukaan Pengaruh RTH Di Bogor V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Saran VI. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 32

11 DAFTAR TABEL Tabel 1 Fungsi dan panjang gelombang tiap kanal dalam satelit Landsat ETM Tabel 2 Neraca energi pada vegetasi tinggi dan rumput... 7 Tabel 3 Aliran energi dan massa... 8 Tabel 4 Neraca energi (MJm -2 ) pada ladang singkong di sabana pada musim basah... 8 Tabel 5 Parameter perhitungan albedo Tabel 6 Klasifikasi penutupan lahan Bogor tahun Tabel 7 Klasifikasi penutupan lahan kota Bogor tahun Tabel 8 Kisaran nilai komponen radiasi netto (Wm -2 ) tiap penutupan lahan Tabel 9 Rata-rata komponen soil heat flux (H) Bogor tahun Tabel 10 Rata- rata suhu permukaan Bogot tahun Tabel 11 Rata- rata komponen Sensible heat flux (H) Bogor tahun Tabel 12 Rata- rata komponen Latent heat flux (LE) Bogor tahun Tabel 13 Suhu titik amatan dan jarak terhadap vegetasi tinggi di Kota Bogor i

12 DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Ilustrasi Komponen Neraca Energi... 3 Gambar 2 Peta lokasi penelitian... 8 Gambar 3 Diagram alir tahapan penelitian... 9 Gambar 4 Diagram alir klasifikasi terbimbing penutupan lahan Gambar 5 Badan air Gambar 6 Sawah berair Gambar 7 Sawah kering Gambar 8 Semak /rumput Gambar 9 Vegetasi rapat Gambar 10 Sawit Gambar 11 Lahan terbangun Gambar 12 Ladang Gambar 13 Diagram alir penentuan Euclidean distance Gambar 14 Diagram alir penentuan suhu permukaan dan neraca energi Gambar 15 Training area pada klasifikasi lahan Gambar 16 Proporsi penggunaan neraca energi pada berbagai penutupan lahan di Bogor Gambar 17 Kondisi lingkungan sekitar lahan bervegetasi tinggi Gambar 18 Kondisi lingkungan sekitar lahan perkebunan sawit Gambar 19 Peta sebaran Normalized Vegetation Index pada lokasi penelitian Gambar 20 Grafik hubungan radiasi netto terhadap NDVI Gambar 21 Gambar 22 Gambar 23 Peta titik sampel pengaruh vegetasi terhadap suhu permukaan di perkotaan Uji kenormalan residual vegetasi tinggi terhadap suhu yasminm permukaan Uji kenormalan residual vegetasi tinggi terhadap suhu permukaan Gambar 24 Uji kenormalan residual sawah terhadap suhu permukaan Gambar 25 Diagram tabur (scatter plot) suhu permukaan (peubah respon) terhadap RTH dan komponen neraca energi Gambar 26 Tranformasi box cox suhu permukaan Gambar 27 Uji kenormalan residual vegetasi tinggi terhadap suhu yasmin j permukaan ii

13 DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Peta Penutupan Lahan Bogor Lampiran 2. Peta Fluks Radiasi Netto Bogor Lampiran 3. Peta Fluks Panas Tanah Bogor Lampiran 4. Peta Fluks Panas Udara Bogor Lampiran 5. Peta Fluks Panas Laten Bogor Lampiran 6. Peta Titik Sampel Bogor Lampiran 7. Lampiran 8. Analisis Regresi radiasi netto, albedo, sawah, ladang, semak dan vegetasi terhadap suhu permukaan Analisis Regresi radiasi netto, albedo, sawah dan ladang terhadap suhu permukaan Lampiran 9. Analisis Regresi tiap penutupan lahan bervegetasi Lampiran 10. Korelasi tiap penutupan lahan bervegetasi terhadap suhu permukaan Lampiran 11. Data Pembuatan Model dan Yang Digunakan Untuk Validasi Lampiran 12. Uji akurasi klasifikasi lahan iii

14 I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suhu permukaan merupakan salah satu unsur iklim mikro yang dapat mempengaruhi karakteristik unsur iklim mikro lainnya seperti suhu udara, arah angin dan sebagainya. Pada daerah perkotaan, unsur-unsur fisis atmosfer sangat dipengaruhi oleh aktivitas manusia dan aktivitas penggunaan lahan. Aktivitas tersebut membentuk karakteristik iklim mikro yang khas di perkotaan. Salah satu karakteristik iklim mikro yang tampak adalah dengan terbentuknya pulau panas (urban heat island) di mana terdapat perbedaan yang nyata antara suhu rata-rata daerah urban dengan daerah sub-urban. Pada dasarnya, penggunaan lahan dapat berpengaruh terhadap penerimaan radiasi matahari dan kemampuan bahan penutup lahan tersebut dalam melepaskan panas yang diterima dari radiasi matahari. Menurut Wardhani (2006), penutupan lahan berupa penutupan vegetasi, dapat menurunkan suhu di pusat kota dibandingkan dengan daerah pinggiran kota. Dengan pertimbangan tersebut, maka diperlukan eksistesi ruang terbuka hijau di wilayah perkotaan. Namun demikian, Perencanaan wilayah perkotaan seringkali kurang memperhatikan aspek fisis perkotaan. Umumnya, pembangunan ruang terbuka hijau hanya dilakukan pada lahanlahan yang kosong dan kurang mencukupi sebagai peredam panas perkotaan. Oleh Karena itu, diperlukan perumusan dalam penentuan jarak antar-ruang terbuka hijau di daerah perkotaan agar ruang terbuka hijau tersebut dapat secara efektif menciptakan iklim mikro diperkotaan yang nyaman. Pendugaan jarak ruang terbuka hijau yang efektif dapat ditempuh dengan observasi pengaruh ruang terbuka hijau terhadap iklim mikro khususnya suhu udara di perkotaan. Akan tetapi, untuk dapat diperoleh data yang menggambarkan pengaruh ruang terbuka hijau terhadap suhu permukaan dengan tepat, maka diperlukan kondisi cuaca yang menghampiri kondisi normal di mana tidak terjadi fenomena ENSO pada tahun tersebut. Oleh sebab itu, pendugaan sebaran suhu permukaan pada area yang luas, dilakukan dengan menggunakan teknik teknik penginderaan jauh. Teknik pengindraan jauh selain dapat menghemat biaya dan waktu, dapat pula menyediakan data yang relatif cepat, mudah dan berkelanjutan serta meliputi area kajian yang luas. Dengan demikian, perumusan jarak antar-ruang terbuka hijau di daerah perkotaan dapat diperoleh melalui ekstraksi komponen neraca energi, suhu permukaan dan jarak antar-ruang terbuka hijau sehingga dapat memudahkan penentu kebijakan dalam perencanaan pembangunan tata kota dan wilayah perencanaan tata ruang di perkotaan Tujuan penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk membangun model hubungan antara jarak RTH terhadap iklim mikro khususnya suhu permukaan di perkotaan. Berdasarkan model tersebut, didapatkan jarak RTH yang efektif, sehingga dapat digunakan sebagai pertimbangan perencanaan tata ruang perkotaan. II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ruang Terbuka Hijau Dalam Undang-Undang no 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang pasal 1 ayat 31 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Pada pasal 29 ayat 2 UU No. 26 tahun 2007 disebutkan bahwa proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota. Selanjutnya, pada pasal 29 ayat 3 UU No. 26 tahun 2007 disebutkan bahwa Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas wilayah kota. Menurut Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1998 Tentang Penataan Ruang Terbuka Hijau di wilayah perkotaan, terdapat tujuh bentuk RTH berdasarkan tujuan penggunaannya, yaitu : RTH yang berlokasi dikarenakan adanya tujuan konservasi, RTH untuk tujuan keindahan kota, RTH karena adanya tuntutan fungsi kegiatan tertentu, misalnya RTH rekreasi dan RTH pusat kegiatan olahraga, RTH untuk tujuan pengaturan lalu lintas kota, 1

15 RTH sebagai sarana olahraga bagi kepentingan perumahan, RTH untuk kepentingan flora dan fauna seperti kebun binatang, RTH untuk halaman maupun bangunan rumah dan bangunan Menurut Wardhani (2006), ruang terbuka hijau sangat efektif dalam mengurangi climatological heat effect pada lokasi pemusatan bangunan tinggi yang berakibat pada timbulnya anomali pergerakan zat pencemar udara yang berdampak destruktif baik terhadap fisik bangunan maupun makhluk hidup Citra Satelit Landsat Menurut Kieffer & Lillesand (1997), Penginderaan jauh (inderaja) secara umum didefinisikan sebagai suatu cara untuk memperoleh informasi dari objek tanpa mengadakan kontak fisik dengan objek tersebut, sedangkan secara khusus adalah usaha untuk mendeteksi gelombang elektromagnetik baik yang dipancarkan atau dipantulkan oleh objek. Menurut fungsinya satelit inderaja dibedakan menjadi satelit sumber daya alam dan satelit lingkungan-cuaca. Satelit yang termasuk sumber alam diantaranya adalah SPOT dan LANDSAT, sedangkan satelit lingkungan dan cuaca diantaranya METEOR dan COSMOS (USSER), TIROS-N dan NOAA-N (USA). The United States Geological Survey USGS (2002), menyebutkan bahwa pemantauan sumber daya yang ada di bumi dapat dilakukan dengan menggunakan Satelit Landsat 5 yang diluncurkan pada tanggal 1 maret Satelit ini mengorbit pada ketinggian orbit pada 705 km, sun synchronous, dan memetakan bumi dengan siklus pengulangan 16 hari sekali pada pukul waktu setempat. Tabel 1 Fungsi dan panjang gelombang tiap kanal dalam satelit Landsat ETM+ ( Lillesan dan Kiefer, 1997) Kanal Panjang Gelombang(µm) Warna Spektral Kegunaan Biru Tembus terhadap tubuh air, dapat untuk pemetaan air, pantai, pemetaan tanah, pemetaan tumbuhan, pemetaan kehutanan dan mengidentifikasi budidaya manusia Hijau Untuk pengukuran nilai pantul hijau pucuk tumbuhan dan penafsiran aktifitasnya, juga untuk pengamatan kenampakan budidaya manusia Merah Dibuat untuk melihat daerah yang menyerap klorofil, yang dapat digunakan untuk membantu dalam pemisahan spesies tanaman juga untuk pengamatan budidaya manusia Infra merah dekat Untuk membedakan jenis tumbuhan aktifitas dan kandungan biomassa untuk membatasi tubuh air dan Infra merah sedang Infra Merah Termal Infra merah sedang Sistem Landsat-5 dirancang untuk bekerja 7 kanal atau kanal energi pantulan (kanal 1, 2, 3, 4, 5, 7) dan satu kanal energi emisi (kanal 6). Sensor ETM+ bekerja pada tiga resolusi, yaitu : pemisahan kelembaban tanah Menunjukkan kandungan kelembaban tumbuhan dan kelembaban tanah, juga untuk membedakan salju dan awan. Untuk menganalisis tegakan tumbuhan, pemisahan kelembaban tanah dan pemetaan panas. Berguna untuk pengenalan terhadap mineral dan jenis batuan, juga sensitif terhadap kelembaban tumbuhan.. Kanal spektral yaitu kanal 1 hingga kanal 5 dan kanal 7 untuk resolusi 30 meter Kanal 6 bekerja dengan resolusi 120 meter. 2

16 Dalam menganalisis suhu permukaan, maka kanal yang digunakan adalah kanal 6 yang merupakan satu- satunya kanal yang memilki sensor terhadap thermal IR pada sistem penginderaan jauh. Panjang gelombang yang ditangkap oleh kanal tersebut adalah µm, di mana secara umum memiliki fungsi untuk mencari lokasi kegiatan geothermal, mengukur tingkat stress tanaman, kebakaran, dan kelembaban tanah Pengertian dan komponen neraca energi Radiasi netto (Rn) Permukaan matahari dengan suhu sekitar 6000 Kelvin akan memancarkan radiasi sebesar 73,5 juta Wm -2. Radiasi yang sampai di puncak atmosfer rata-rata 1360 Wm -2, hanya sekita 50% yang diserap oleh permukaan bumi, 20% diserap oleh air dan partikel-partikel atmosfer, sedangkan 30% dipantulkan oleh permukaan bumi, awan dan atmosfer. Matahari dapat memancarkan radiasi gelombang pendek, sedangkan benda di alam yang mempunyai suhu permukaan lebih besar dari 0 Kelvin (atau -273 o C) dapat memancarkan radiasi gelombang panjang yang nilainya berbanding lurus dengan pangkat empat suhu permukaan benda tersebut (Hukum Stefan-Bolzman). Sebagian dari radiasi matahari akan diserap dan dipancarkan lagi dalam bentuk gelombang panjang. Selisih antara gelombang pendek netto dan gelombang panjang yang datang ke permukaan dengan gelombang pendek dan gelombang panjang yang hilang disebut radiasi netto yang dirumuskan sebagai berikut: R n = R s +R s +R l +R l (1) dengan R s adalah radiasi gelombang pendek yang datang, Rs adalah radiasi gelombang pendek yang dipantulkan, R l radiasi gelombang penjang yang dipantulkan dan R l adalah radiasi gelombang penjang yang datang. Sebagian dari radiasi gelombang pendek dipantulkan dan diserap atau diteruskan. Seberapa besar energi pantulannya tergantung pada albedo (α) permukaanya. Gambar 1 Ilustrasi komponen-komponen neraca energy. Sumber : Langensiepen (2003). Berdasarkan pemanfaatan radiasi netto sebagaimana Gambar 1, radiasi netto dapat pula dirumuskan sebagai R n = H+G+λE+S (2) dimana H adalah sensible heat flux, G adalah soil heat flux, λe adalah latent heat flux, S adalah storage. Samson dan Lemeur (2001) dalam tulisannya menyebutkan bahwa radiasi netto yang diterima oleh obyek di muka bumi akan digunakan untuk proses-proses fisis dan biologis yang dirumuskan ke dalam persamaan berikut : R n = S a +S g +S w +S v +S p. (3) di mana R n merupakan radiasi netto, S a adalah sensible heat flux yang seringkali dilambangkan dengan H, S g adalah soil heat flux yang sering dilambangkan dengan G, S w adalah latent heat flux yang sering dilambangkan dengan λe, S v adalah bimass heat storage dan S p adalah photosynthesis heat storage. Keseluruhan pemanfaatan radiasi netto tersebut dinyatakan dalam satuan Wm -2. Berbeda dengan Samson dan Lemeur (2001), Mayers dan Hollinger (2003) dalam tulisannya menjelaskan bahwa G berbeda dengan S g. Menurut Mayers dan Hollinger (2003), S g merupakan ground heat storage di atas soil heat flux plate (G). Mayers dan Hollinger (2003) juga menyebutkan bahwa terdapat komponen pemanfaatan radiasi netto untuk pemanasan kandungan air (S c ). Dengan demikian, persamaan radiasi netto menurut Mayers dan Hollinger (2003) adalah : R n = H+G+λE+S v +S p +S c. (4) Proses-proses pemanfaatan radiasi netto ke dalam berbagai komponenkomponen di atas akab berinteraksi dengan berbagai obyek di permukaan, termasuk interaksinya terhadap tumbuhan. Pengaruh interaksi radiasi terhadap tumbuhan dibagi menjadi tiga bagian (Ross, 1975 dalam Impron 1999) : 3

17 Pengaruh thermal radiasi hampir 70% diserap oleh tanaman dan diubah sebagai lengas dan energi untuk respirasi, serta untuk pertukaran panas dengan lingkungannya. Pengaruh fotosintesis karena hampir 28% dari energi yang ada diserap untuk fotosintesis dan disimpan dalam bentuk energi kimia Pengaruh fotomorfogenetik yaitu sebagai regulator dan pengendali proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Sensible Heat Flux (H) Sensible Heat Flux (H) atau yang dikenal dengan lengas terasa atau fluks pemanasan udara merupakan energi yang digunakan untuk memindahkan panas dari permukaan ke udara (Maharani, 2005). Fluks lengas terasa pada umumnya berlangsung secara konveksi di mana panas dipindahkan bersama-sama dengan fluida yang bergerak. Proses tersebut dirumuskan kedalam persamaan berikut :..(5) di mana H adalah fluks pemanasan udara (Wm -2 ), ρ adalah kerapatan udara kering (Kgm -3 ), C p adalah panas jenis udara pada tekanan tetap (JKg -1 K -1 ), T s adalah suhu permukaan ( o C), T a adalah suhu udara ( o C) dan Γ a adalah tahanan aerodinamik. Berdasarkan persamaan 5 diatas, diketahui bahwa semakin besar perbedaan antara suhu permukaan dengan suhu udara diatasnya dengan tahanan aerodinamik yang kecil, maka jumlah energi akan menjadi besar. Proses pemanasan udara melalui konveksi lebih efektif dibandingkan dengan konduksi atau radiasi. Oleh karena itu, proses pemanasan udara dalam neraca energi hanya diwakili oleh proses konveksi, sehingga nilai H ~ Rn. Latent Heat Flux (LE) Latent heat flux (LE) merupakan limpahan energi yang digunakan untuk menguapkan air ke atmosfer. Menurut Monteith dan Unsworth (1990), fluks panas laten adalah jumlah energi yang diperlukan untuk mengubah satu unit massa air menjadi uap pada suhu yang sama. Bila terjadi evaporasi, maka sistem yang berevaporasi mengalami pengurangan energi, sedangkan aliran energi akan bersifat positif (Michael, 2006). Pada proses ini terjadi konversi panas laten menjadi lengas terasa yang kemudian meningkatkan suhu udara dan menurunkan suhu permukaaan. Soil Heat Flux (G) Soil Heat Flux (G) merupakan sejumlah energi matahari yang sampai pada permukaan tanah dan digunakan untuk berbagai proses fisik dan biologi tanah. Bentuk aliran energi pada fluks panas udara berupa konduksi di mana sebagian energi kinetik molekul benda/medium yang bersuhu lebih tinggi dipindahkan ke molekul benda yang lebih rendah melalui tumbukan molekul-molekul tersebut. Hal ini ditunjukkan melalui persamaan berikut :..(6) di mana G adalah fluks pemanasan tanah (Wm -2 ), k adalah koefisien konduktifitas tanah (Wm -2 K -1 ) dan adalah gradient suhu (Km -1 ). Menurut Pusmahasib (2002), limpahan lengas tanah yang sampai di permukaan tanah akan berkurang seiring dengan meningkatnya indeks luas daun suatu vegetasi. Storage (S) Sebagaimana persamaan 2, diketahui bahwa pemanfaatan radiasai netto selain digunakan untuk sensible heat flux, soil heat flux dan latent heat flux, radiasi netto yang diserap akan digunakan sebagai komponen storage. Menurut Mayers dan Hollinger (2003), komponen storage terdiri dari penggunaan radiasi netto untuk adveksi, pengubahan energi menjadi biomasa (S v ), energy untuk fotosintesis (S p ) dan memanaskan sejumlah air yang terkandung di dalam suatu obyek terutama pada vegetasi (S c ). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Jing et. al. (2006), adveksi merupakan pemanfaatan radiasi netto untuk proses pemanasan secara horizontal. Adveksi dipengaruhi oleh energi yg tersedia, kandungan air, kecepatan angin dan gradien vertical dari suhu udara.dalam penelitian tersebut, didapatkan pula adanya ragam spasial pada proses adveksi. Samson dan Lemeur (2001) menyebutkan bahwa penggunaan komponen storage pada radiasi nettto tidak sebesar pemanfaatan radiasi netto untuk G, LE dan H. Terkadang, komponen S hanya dipertimbangkan sebagai fraksi yang tetap pada pemanfaatan R n oleh suatu obyek karena sulitnya menentukan heat storage terutama S p ( (Aston (1985) dalam Samson dan Lemeur (2001)). Penelitian yang dilakukan oleh Samson dan Lemeur (2001) di Belgia (50 o 58 LU 4

18 dan 3 o 49 BT) menyatakan bahwa peningkatan dan penurunan penggunaan radiasi netto mengubah energi menjadi biomasa (S v ) sebanding dengan sensible heat flux. Selain itu, Samson dan Lemeur (2001) juga menyebutkan bahwa pemanfaatan radiasi netto untuk proses fotosintesis (S p ) pada tumbuhan pinus hanya sebesar 3% dari keseluruhan radiasi netto yang diterima vegetasi tersebut NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) Departemen Kehutanan 2001 mendefinisikan NDVI ( Normalized Difference Vegetation Index ) sebagai suatu nilai hasil pengolahan indeks vegetasi dari citra satelit kanal infra merah dan kanal merah dekat yang menunjukkan tingkat konsentrasi klorofil daun yang berkorelasi dengan kerapatan vegetasi berdasarkan nilai spektral pada setiap piksel. Sementara Panuju (2009) mendefinisikan NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) sebagai nilai indeks tanpa satuan yang menggambarkan kondisi vegetasi pada suatu hamparan yang dirumuskan sebagai (7) di mana NIR adalah gelombang infra merah dekat ( µm) dan IR adalah gelombang infra merah ( µm). Menurut Knipling (1970), vegetasi memiliki reflektansi yang rendah terhadap gelombang cahaya tampak dan IR karena sebagian besar gellombang cahaya tampak tersebut diserap oleh klorofil dan sebagian besar IR pada panjang gelombang di atas 1.3 µm akan diserap oleh air. Sebaliknya, vegetasi akan merefleksikan sebagian besar gelombang infra merah dekat yang diterimanya. Perhitungan NDVI merupakan perbandingan antara reflektansi gelombang infra merah dekat dengan gelombang cahaya tampak. Nilai NDVI berkisar dari -1 hingga +1. Nilai tersebut mengindikasikan tingkat kesuburan dan kerapatan vegetasi dari suatu penutupan lahan. Semakin rapat dan subur suatu vegetasi, maka nilai NDVI akan menunjukkan nilai yang tinggi, sedangkan pada area yang telah terjadi pembukaan lahan akan menunjukkan nilai NDVI yang rendah. Nilai NDVI positif (+) terjadi apabila suatu obyek lebih banyak memantulkan gelombang inframerah dekat dibandingkan dengan infra merah. Nilai NDVI nol (0) terjadi apabila pemantulan gelombang inframerah sama dengan pemantulan gelombang infra merah. Nilai NDVI negatif (-) terjadi apabila suatu awan, salju dan badan air memantulkan gelombang infra merah yang lebih banyak dibandingkan dengan gelombang inframerah dekat. Menurut Allen et. al (2001) terdapat hubungan antara nilai NDVI, soil heat flux (G), radiasi netto, albedo dan suhu permukaan : G = f (R n, T s, α, NDVI ).(8) dirumuskan sebagai berikut : NDVI 4 )..(9) ( di mana : G = soil heat flux (Wm -2 ) Ts = suhu permukaan (K) NDVI = indeks vegetasi Rn = radiasi netto (Wm -2 ) α = albedo. Panuju (2009) menyatakan bahwa pendugaan indeks vegetasi dengan menggunakan NDVI memiliki berbagai keuntungan. Pertama, NDVI potensial untuk mempelajari tanaman. Kedua, NDVI dapat digunakan untuk memisahkan tipe permukaan bervegetasi. Ketiga, NDVI merupakan indeks vegetasi yang relatif tidak sensitif terhadap topografi. Menurut Darmawan (2005), berdasarkan beberapa studi menunjukkan bahwa indeks vegetasi (NDVI) menunjukkan bahwa NDVI sebagai parameter terbaik dalam membedakan berbagai kelas vegetasi. Minimum NDVI adalah nilai NDVI minimal dan umumnya merupakan titik terendah dari kegiatan fotosintesis, sementara maksimum NDVI adalah nilai maksimum yang merupakan titik tertinggi aktivitas fotosintesis Suhu Permukaan Menurut Rosenberg (1974), suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu objek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan untuk vegetasi dapat dipandang sebagai suhu permukaan kanopi tumbuhan, dan pada tubuh air merupakan suhu dari permukaan air tersebut. Ketika radiasi melewati permukaan suatu objek, fluks energi tersebut akan meningkatkan suhu permukaan objek. 5

19 Hal ini akan meningkatkan fluks energi yang keluar dari permukaan benda tersebut. Energi panas tersebut akan dipindahkan dari permukaan yang lebih panas ke udara diatasnya yang lebih dingin. Sebaliknya, jika udara lebih panas dan permukaan lebih dingin, panas akan dipindahkan dari udara ke permukaan dibawahnya. Perubahan suhu permukaan obyek tidaklah sama. Hal ini tergantung pada karakteristik objek tersebut. Karakteristik yang menyebabkan perbedaan tersebut diantaranya emisivitas, kapasitas panas jenis dan konduktivitas thermal. Suhu permukaan objek akan meningkat bila memiliki emisivitas dan kapasitas panas yang rendah dan konduktivitas termalnya tinggi (Adiningsih, 2001). Emisivitas, konduktivitas dan kapasitas panas sangat berpengaruh terhadap suhu permukaan. Emisivitas adalah rasio total energi radian yang diemisikan suatu benda per unit waktu per unit luas pada suatu permukaan dengan panjang gelombang tertentu pada temperatur benda hitam pada kondisi yang sama. Konduktivitas termal dapat didefinisikan sebagai kemampuan fisik suatu benda untuk menghantarkan panas dengan pergerakan molekul. Kapasitas panas merupakan jumlah panas yang dikandung oleh suatu benda (Handayani 2007 ) Neraca Energi Tiap Penutupan Lahan bervegetasi Menurut Waspadadi (2007), ruang terbuka hijau dengan luasan 30x30 meter mampu menurunkan suhu udara di lahan terbangun sebesar 0,0631 o C. Berdasarkan penelitian tersebut, maka dapat diidentifikasi bahwa bila RTH mampu menurunkan suhu udara. Oleh karena itu, RTH juga mampu menurunkan suhu permukaan pada penutupan lahan non-vegetasi. Dengan demikian, dapat dipertimbangkan bahwa luasan RTH mempengaruhi kondisi suhu permukaan disekitaanya dan dapat digunakan sebagai peubah penjelas dari peubah respon berupa suhu permukaan. Pada penelitian yang dilakukan Waspadadi (2007) juga diketahui bahwa dengan penambahan 213,75 m lahan bervegetasi pada 3 poligon ( m 2 ) mampu menggeser rentang suhu permukaan yaitu dari selang o C menjadi o C. Persawahan Pusmahasib (2002) menjelaskan bahwa pada lahan bervegetasi tanaman padi sawah, radiasi netto yang mencapai permukaan tanah akan berkurang. Hal ini terjadi karena sebagian dari radiasi netto akan mengenai tanaman sebelum mencapai permukaan tanah. Selanjutnya, dijelaskan pula bahwa untuk penutupan lahan berupa persawahan, nilai fluks pemanasan udara (H) berfluktuasi sesuai dengan perkembangan umur tanaman padi. Fluks pemanasan udara relatif besar terjadi pada awal umur tanaman padi dan akan menurun ketika tajuk tanaman mulai rapat. Kondisi ini dikarenakan pada saat tersebut tanaman masih muda dengan rumpun yang masih renggang, sehingga radiasi global yang datang langsung mengenai air pada lahan sawah. Akibatnya suhu air akan tinggi dan akan terjadi peningkatan limpahan lengas terasa. Ketika tanaman mulai tumbuh dan tajuk tanaman mulai rapat, radiasi yang sampai ke permukaan tanah akan menurun karena tajuk tanaman padi yang rapat menghalangi penerimaan langsung radiasi ke tanah. Nilai H pada persawahan akan meningkat saat menjelang panen karena terjadi perontokan tanaman padi dan pembukaan lahan akibat proses pemanenan. Pada rujukan yang sama, diketahui bahwa untuk daerah persawahan, LE (latent heat) yang terjadi cukup tinggi dan berbanding lurus terhadap penerimaan radiasi netto yang mengenai kawasan persawahan tersebut. Nilai LE akan menurun seiring dengan umur tanaman dan akan meningkat pada saat menjelang panen. Hal ini dikarenakan pada saat umur tanaman masih muda, lahan sawah masih terairi sehingga kelembaban udara di sekitar tanaman akan meningkat dan defisit tekanan uap air akan menurun, akibatnya nilai LE akan berkurang. Sebaliknya, pada saat akhir tanam, pengairan pada lahan mulai dikurangi, maka kelembaban udara akan turun sehingga terjadi peningkatan defisit tekanan dan mengakibatkan LE juga akan meningkat. Sementara itu, untuk nilai fluks panas tanah (G) pada persawahan, nilainya akan berkurang seiring dengan pertambahan umur tanaman padi sawah dan akan meningkat kembali pada saat tanaman padi sawah menggugurkan daunnya ketika menjelang panen. Vegetasi tinggi Dalam Impron (1999), kanopi tanaman memiliki tiga sifat optikal, yaitu refleksivitas, transmisivitas dan absorbsivitas. Refleksivitas merupakan proporsi kerapatan fluks radiasi matahari 6

20 yang direfleksikan oleh unit indeks luas daun atau kanopi, sedangkan transmisivitas adalah proporsi kerapatan fluks radiasi yang ditransmisikan oleh unit indeks luas daun. Absorbsivitas dapat didefinisikan sebagai proporsi kerapatan fluks radiasi yang diabsorbsi oleh unit indeks luas daun. Dalam June (1993), radiasi surya yang sampai di permukaan kanopi tanaman ± 85% akan diserap dan kurang dari 10% akan dipantulkan. Sedangkan bagian yang tidak diintersepsi akan diteruskan atau ditransmisikan ke bagian bawah kanopi sebesar 5%. Proses penyerapan, pemantulan dan penerusan radiasi pada area tanaman akan menyebabkan terjadinya perubahan spektrum dari radiasi surya di puncak, tengah dan dasar kanopi. Keadaan ini mempunyai implikasi penting untuk tanaman yang tumbuh di bawah kanopi yang tebal. Faktor yang mempengaruhi penetrasi radiasi surya ke dalam tajuk meliputi sudut berdirinya daun, sifat permukaan daun, ketebalan daun (transmisi radiasi), ukuran daun, elevasi matahari serta proporsi dari radiasi langsung dan baur tajuk tanaman. Dalam suatu vegetasi, bila indeks pantulan yang terjadi adalah (ρ), indeks transmisi (η), dan indeks absorbsi (α), maka keseimbangan radiasi yang terjadi adalah sebagai berikut (Impron, 1999) : ρ + η + α = 100%...(10) Koefisien pemadaman (extinction coefficient) tajuk tanaman menggambarkan besarnya kemampuan tajuk dalam mengintersepsi radiasi yang melewati tajuk tanaman, mulai dari puncak tajuk menuju permukaan tanah (June, 1993). Distribusi cahaya dalam kanopi tanaman merupakan faktor penting dalam pertumbuhan tanaman dan efisiensi konversi penerimaan radiasi menjadi bahan kering (June, 1993). Koefisien pemadaman dapat menjelaskan bagaimana hubungan karakteristik kanopi tanaman dan intersepsi radiasi. Nilai koefisien pemadaman (k) bergantung pada spesies, tipe tegakan, dan distribusi daun. Nilai k kurang dari 1 terdapat pada kondisi dedaunan yang tidak horizontal atau distribusi daun tidak merata (merumpun). Sementara nilai k lebih dari 1 terdapat pada distribusi daun yang tersebar merata (June, 1993). Yoshida (2009) menyatakan bahwa pada penutupan lahan berupa hutan dengan vegetasi tinggi yang rapat, akan memancarkan 70% fluks panas laten dan 30% lengas terasa dari radiasi netto yang diterimanya. Untuk daerah urban, radiasi netto yang diserap oleh vegetasi menjadi lebih besar dibandingkan dengan wilayah hutan. Selanjutnya disebutkan dalam Rauf (2009) bahwa kandungan air pada tajuk vegetasi tinggi lebih besar dibandingkan dengan rumput, sehingga kebutuhan panas laten untuk mengevaporasikan air pada permukaan tajuk vegetasi tinggi lebih besar dibandingkan dengan rumput. Rumput/semak Menurut Newton & Blackman (1970), rumput memiliki tekstur daun yang kasar dan berujung runcing, tekstur ini menyebabkan radiasi yang diterimanya akan dipancarkan lebih besar dibandingkan dengan daun yang bertekstur halus. Hal ini menyebabkan rumput akan memancarkan suhu permukaan yang lebih tinggi dibandingkan dengan suhu permukaan pada daun bertekstur halus. Tabel 2 Neraca energi pada vegetasi tinggi dan rumput Hutan/ Variabel Vegetasi Rumput neraca tinggi (MJm -2 hari -1) energi (MJm -2 hari -1) Rn 11.28± ±2.5 LE 8.41± ±2.4 H 2.85± G 0.02± ±0.2 Sumber : Rauf (2009) Pada penelitian yang dilakukan Rauf (2009) diketahui bahwa radiasi global yang diterima rumput akan lebih besar nilainya dibandingkan dengan radiasi global yang diterima oleh vegetasi tinggi. Di kawasan Babahaleka Taman Nasional Lore Lindu, padang rumput menerima radiasi global MJm -2 hari -1, sedangkan vegetasi tinggi akan menerima radiasi global sebesar MJm -2 hari -1 pada hari tidak hujan. Selain itu, terdapat pula perbedaan radiasi netto pada rumput dan vegetasi tinggi yang disebabkan oleh perbedaan albedo kedua penutupan lahan tersebut. Monteith (1975) melaporkan hasil penelitian Marriam (1961) dan Leyton (1967) bahwa kapasitas tajuk rumput adalah mm. 7

21 Tabel 3 Aliran energi dan massa Variabel neraca energi Vegetasi tinggi (MJm -2 hari -1 ) Rumput (MJm -2 hari -1 ) Rn 11.28± ±2.53 LE 8.41± ±2.48 LE/Rn H 2.85± H/Rn Aliran massa Sumber : Rauf (2009) Ladang Pada penelitian yang dilakukan oleh Jose dan Berrade (1983) di Calobozo Biological Station, USA, dihasilkan bahwa dengan penghitungan Radiasi netto, sensible heat flux, latent heat flux dan soil heat flux melalui pendekatan neraca energi selama musim basah dihasilkan radiasi netto yang diserap oleh tanaman ladang ladang seperti singkong dengan radiasi yang cukup rendah pada siang hari, pada umumnya radiasi netto yang diru bah menjadi panas laten sebesar 76 hingga 86 persen. Proses tersebut bergantung pada fase-fase pertumbuhan tanaman pada ladang dan tutupan kanopi tanaman tersebut. Selanjutnya, disebutkan bahwa sensile heat flux pada ladang akan mencapai maksimum terjadi pada tengah hari. Tabel 4 Neraca energi (MJm -2 ) pada ladang singkong di sabana pada musim basah komponen Periode observasi Hari setelah pemupukan Rl Rn G H LE Sumber : Lean, III METODOLOGI 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan dari bulan Oktober 2010 sampai dengan bulan April 2011 di Laboratorium Agrometeorologi Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB dan Laboratorium Analisis Lingkungan dan Pemodelan Spasial Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata IPB. Gambar 2 Peta lokasi penelitian Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam analisis dan pengolahan data diantaranya: Perangkat lunak Erdas 9.1 untuk mengklasifikasikan penutupan lahan pada wilayah kajian serta menentukan berbagai komponen-komponen NDVI, neraca energi, suhu permukaan dan albedo. Perangkat lunak ArcGIS 9.3 digunakan untuk menentukan jarak dengan prinsip Euclidean distance, menentukan titik amatan dan memperoleh berbagai komponen-komponen sebagai peubah penjelas dan peubah respon berdasarkan titik amatan. Perangkat lunak Ms. Office 2010 untuk mengolah data yang diperoleh dan melaporkan hasil penelitian. Perangkat lunak Minitab 15.0 sebagai perangkat lunak yang digunakan untuk menganalisis data yang diperoleh menggunakan alasisa statistik Perangkat lunak R untuk mentransformasi matrik yang diperoleh pada Erdas

22 Seperangkat komputer dan printer GPS (Ground Control Point) sebagai alat yang digunakan untuk memperoleh ground check point (GCP). Bahan bahan yang digunakan antara lain : 1. Data citra Landsat TM+ Path/Row 122/065, tanggal akuisisi 18 Mei 2006 dengan penutupan awan 0%. 2. Peta dasar wilayah Kota Bogor 3. Data iklim Kota Bogor ( ) 3.3. Metode Penelitian Pemrosesan Data Citra Pemrosesan awal citra satelit dilakukan sebelum analisis spasial dan atribut, yaitu untuk mendapatkan informasi yang diinginkan dari suatu data citra. Beberapa tahapan yang dilakukan pada pemrosesan data citra dilakukan sebagai berikut: Landsat 5 TM+ Koreksi citra Subset image Kanal 1,2,3 dan 6 Kanal 1,2,3,4,5 dan 7 Komponen neraca energi Rn G H LE Albedo Ts Klasifikasi terbimbing Badan air Lahan bervegetasi Sawah Ladang Sawit Lahan terbangun Rumput/ semak Vegetasi tinggi Transformasi Titik amatan Uji asumsi Euclidean distance Transformasi Tidak Terpenuhi Tidak Tidak Nyata Ya Analisis regresi Tidak Nyata Nyata Model Validasi Gambar 3 Diagram alir tahapan penelitian. 9

23 a. Koreksi Geometrik Koreksi geometrik dilakukan dengan menggunakan analisis titik kontrol medan (ground control point / GCP) yang dapat dikenali pada citra satelit dan peta acuan. Koreksi ini dilakukan untuk memproyeksikan citra ke dalam suatu system proyeksi tertentu. Pada penelitian ini, proyeksi yang digunakan adalah UTM (Universal Transverse Mercator). Penggunaan system proyeksi UTM sangat ideal bagi Indonesia karena dapat memberikan distorsi minimal untuk kondisi geografis Indonesia yang berada di sekitar katulistiwa. b. Koreksi Radiometrik Koreksi radiometrik dilakukan untuk mengoreksi data akibat pengaruh kondisi atmosfer yang disebabkan oleh variasi cuaca dan sudut matahari, pengaruh dan perubahan reflektan spektral dari obyek di permukaan. Koreksi radiometrik dilakukan dengan metode dark object dimana dark object tiap kanal dalam satu scene diperoleh dari data histogram. Pengaruh haze akan meningkatkan nilai digital number. Oleh karena itu, secara keseluruhan data akan dikurangi dengan selisih nilai antara dark object dan nilai nol. Hal ini ditempuh dengn asumsi bahwa keseluruhan data dalam scene tersebut mendapatkan pengaruh atmosfer yang sama. c. Subset Wilayah Kajian Dari data citra satelit Landsat TM+ path/row 122/065, dilakukan cropping dengan data vektor Kodya Bogor pada koordinat 106 o 48'40'' BT dan -6 o 30'53'' LS sampai dengan106 o 46'22'' BT dan -6 o 40'08'' LS. Subset ini dimaksudkan untuk memudahkan dalam mengolah dan menganalisis daerah kajian. d. Klasifikasi Penutup Lahan Pada penelitian ini, proses klasifikasi penutupan lahan menggunakan metode klasifikasi terbimbing (Supervised Classification) dengan teknik maximum likelyhood. Metode klasifikasi ini menggunakan kanal 5, 4 dan 3. Klasifikasi terbimbing dilakukan dengan mencocokkan hasil penutupan lahan pada citra dengan kondisi di lapangan pada daerah kajian. Klasifikasi lahan dibedakan berdasarkan penutupan lahan dengan spektral paling nyata pada daerah kajian. Di wilayah Bogor, penutupan lahan dibedakan menjadi tujuh bagian, yaitu badan air, lahan terbangun, sawah, rumput/semak, ladang, vegetasi tinggi dan sawit. Badan air pada penelitian ini didefinisikan sebagai kumpulan air yang besarnya antara lain bergantung pada relief permukaan bumi, curah hujan, suhu, dan sebagainya misal; sungai, rawa, danau, laut, dan samudra. Lahan terbangun didefinisikan sebagai perkerasan hasil tangan manusia baik berupa rumah, jalan beraspal dan sebagainya. Citra Landsat Layer Stacking Subset Image Geo Correction Supervised classification Recode Focal Majority Fill Uji Akurasi Ya Peta Tutupan Lahan Erdas Imagine 9.1 Titik Uji Tidak Gambar 4 Diagram alir klasifikasi terbimbing penutupan lahan. Sawah adalah tanah yang digarap dan diairi untuk tempat menanam padi Rumput/semak adalah tumbuhan jenis ilalang yang berbatang kecil, batangnya beruas, daunnya sempit panjang atau tumbuhan perdu yg mempunyai kayukayuan kecil dan rendah Ladang adalah tanah yg diusahakan dan ditanami (ubi, jagung, dsb) dengan tidak diairi. Vegetasi tinggi didefinisikan sebagai tumbuhan yang berbatang keras, besar dan berkayu. Sawit merupakan perkebunan dengan dominasi kelapa sawit sebagai 10

24 komoditas utama penutupan lahan pada area tersebut. Proses selanjutnya, dilakukan uji akurasi untuk mengetahui akurasi dari klasifikasi lahan berdasarkan titik hasil peninjauan di lapangan. Bila nilai akurasi lebih besar dari 85%, maka klasifikasi layak digunakan, tetapi bila nilai akurasi kurang dari 85% maka dilakukan klasifikasi ulang.. Gambar 5 Badan air. Gambar 6 Semak/rumput. Gambar 7 Sawah kering. Gambar 8 Vegetasi tinggi. Gambar 9 Sawah berair. Gambar 10 Sawit. 11

25 Gambar 11 Lahan terbangun. Gambar 12 Ladang Penentuan jarak dengan metode euclidean distance Klasifikasi Lahan Polygon Polygon sawah, rumput/semak, sawit, vegetasi tinggi,dan ladang Spatial Analysis Euclidean distance Zonal Statistic Titik amatan Jarak (Dsawah, Dsawit, Dveg, Dladang dan Dr/s) Arc Map 9.3 Gambar 13 Diagram alir penentuan Euclidean distance. Euclidean distance merupakan teknik penghitungan jarak antara dua objek dengan menggunakan teorema Phytagoras. Dalam penelitian ini, tiap lahan bervegetasi yang meliputi sawah, ladang, rumput/semak, sawit dan vegetasi tinggi akan dihubungkan dengan penutupan lahan yang serupa. Dengan demikian, akan dihasilkan fungsi jarak antar sawah yang satu dengan sawah yang lainnya dalam lokasi penelitian, begitupun dengan vegetasi tinggi, ladang, rumput/semak dan sawit. Jarak-jarak tersebut digunakan sebagai peubah penjelas yang selanjutnya akan digunakan sebagai penduga suhu permukaan di suatu titik amatan Neraca Energi a. Perhitungan Suhu Permukaan (Ts) Suhu permukaan diperoleh melalui kanal 6 yang kemudian diekstraksi menjadi digital number, spectral radiance, suhu kecerahan dan suhu permukaan tiap penutupan lahan. Konversi nilai Digital Number (DN) ke dalam nilai Spectral Radiance Persamaan yang digunakan untuk menghitung nilai spektral radiance dari nilai DN dalam Landsat 7 science data Users Handbook-chapter 11 (2003), adalah sebagai berikut : L λ = Gain * QCAL + Offset... (11) Atau dapat juga dituliskan : L L QCAL... (12) MAX ( i) MAX L MIN ( i) QCAL MIN QCAL QCALMIN LMIN ( i) di mana : L λ = Spectral radiance pada kanal ke-i (Wm -2 sr -1 µm -1 ) QCAL = Nilai digital number kanal ke-i L MINi = Nilai minimum spectral radiance kanal ke-i L MAXi = Nilai maksimum spectral radiance kanal ke-i, minimum pixel value QCAL MIN = 1 (LGPS Products) 0 (NPLAS Products) QCAL MAX = Maksimum Pixel value (255) Konversi nilai Spectral Radiance ke dalam suhu kecerahan Emisivitas, konduktivitas dan kapasitas panas sangat berpengaruh terhadap suhu permukaan. Spektral yang dapat digunakan untuk mengkaji kondisi suhu pada obyek di permukaan bumi adalah spektral termal. 12

26 Penggunaan spektral termal ini dapat dilakukan dengan analisis brightness temperature. Brightness temperature (T B ) adalah perhitungan dari intensitas radiasi termal yang diemisikan oleh obyek. Satuan yang digunakan adalah satuan suhu, sebab terdapat korelasi antara intensitas radiasi yang diemisikan dan suhu fisik dari badan radiasi, di mana diasumsikan bahwa emisi radiasi pada permukaan obyek berwarna hitam adalah 1,0 (Khomarudin, 2005). Suhu kecerahan dihitung dengan menggunakan nilai spectral radiance yang diperoleh dari nilai digital number (USGS, 2002). Dengan mengetahui nilai spectral radiance, maka dapat diketahui nilai suhu kecerahannya melalui persamaan: T s R s Kanal 6 Spectral radiance T s Subset image wilayah Kota Bogor Path/Row 122/ 065 Albedo (α) Kanal 3,4 NDVI di mana : R s R s T S T B Suhu Permukaan yang terkoreksi = (K) = Suhu kecerahan (K) R n G δ = (δ = 1,438 X ) ζ = Tetapan Boltzman ( 1,38 X JK -1 ) λ = Panjang gelombang radiasi emisi (11,5 m) ε = Emisivitas Nilai emisivitas untuk lahan nonvegetasi yaitu sekitar 0.96 dan untuk lahan vegetasi sekitar Sedangkan nilai emisivitas untuk air sekitar 0.98 (Artis dan Carnahan 1982 dalam Hermawan 2005). K...(14) 2 TB K 1 ln 1 L dengan K 1 = Wm -2 sr -1 m -1 dan K 2 = Kelvin untuk Landsat ETM sedangkan untuk Landsat TM, K 1 = 607,76 Wm -2 sr -1 m -1 dan K 2 = Kelvin, T B adalah suhu kecerahan (Kelvin) dan L λ adalah Spectral radiance pada kanal ke-i yang nilainya (17,04/255 ) DN (Radiance (Wm -2 sr -1 m -1 ). Persamaan suhu permukaan adalah sebagai berikut : λe Komponen Neraca Energi Gambar 14 Diagram alir penentuan suhu permukaan dan neraca energi. b. Albedo Pendugaan albedo dari citra Landsat dalam USGS (2002) dapat ditentukan melalui persamaan : di mana :..(15) d = jarak astronomi bumimatahari ESUN λ = rata-rata nilai solar spectral radiance Cos ө = sudut zenith matahari Nilai d 2 dapat diketahui dengan menentukan JD (Julian Date) yaitu jumlah hari dalam satu tahun yang dihitung sampai tanggal akuisisi data citra tersebut. Persamaan yang digunakan dalam penentuan jarak astronomi bumi-matahari d2 = ( Cos (0.98 JD-4)) 2...(16) H 13

27 Tabel 5 Parameter perhitungan albedo Parameter Kanal 1 Kanal 2 Kanal 3 Sudut elevasi ' ' ' matahari Irradiasi matahari jarak bumi ke matahari Fluks Panas Tanah Fluks panas tanah dihitung berdasarkan hubungan antara radiasi netto (R n ), suhu permukaan (T s ), albedo ( ) dan NDVI yang dirumuskan oleh Allen et. al 2001 : ( (17) Fluks Panas Udara Fluks pemanasan udara dapat dihampiri melalui persamaan :..(18) di mana H adalan Sensible Heat Flux, R n adalan radiasi netto, G adalah fluks pemanasan udara dan adalah nisbah bowen. Nisbah bowen merupakan nilai perbandingan antara besarnya fluks pemanasan udara terhadap panas laten yang dirumuskan ebagai berikut:..(19) Pembuatan model Data yang diperoleh dari hasil interpretasi pada citra, selanjutnya dijadikan sebagai peubah untuk menentukan atau menduga pengaruh luas dan jarak ruang terbuka hijau terhadap suhu permukaan. Tahapan pembuatan model dapat dilakukan sesuai tahapan pada Gambar 3. Penentuan Peubah Penentuan peubah dilakukan untuk mengetahui jenis peubah yang mempengaruhi ataupun dipengaruhi oleh model. Dalam menentukan jenis peubah, terlebih dahulu perlu dilakukan analisa hubungan tiap peubah. Pada penelitian kali ini, terdapat sepuluh peubah yang menjadi kajian penelitian, yaitu suhu permukaan, albedo, radiasi netto, fluks pemanasan tanah, fluks panas udara, sawah, sawit, vegetasi tinggi, rumput/semak dan ladang. Peubah penjelas berupa sawah, sawit, vegetasi tinggi, rumput/semak dan ladang merupakan fungsi jarak yang diperoleh dari tahap Penentuan Titik amatan Titik yang digunakan adalah titik pada penutupan lahan berupa lahan terbangun pada wilayah kajian. Pada titik-titik tersebut akan ditentukan berbagai peubah penjelas yang selanjutnya akan diekstraksi sebagai suatu model. Uji Asumsi Dalam memodelkan dengan menggunakan analisis regresi, maka diharapkan data mengikuti asumsi sebagai berikut : a) Galat dari peubah penjelas menyebar normal b) Ragam pada peubah penjelas homogen (homoskendastisitas) c) Diantara peubah penjelas tidak terdapat multikolinieritas dan bila terdapat multikolinieritas, maka hanya digunakan peubah inti yang merupakan peubah utama yang paling berpengaruh terhadap suhu permukaan. d) Galat pada model linier bersifat bebas antara satu observasi dengan observasi berikutnya atau yang biasa disebut dengan tidak ada autokorelasi antar galat pada model. Untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi, dapat dilakukan dengan menggunakan statistik uji Durbin-Watson. Apabila nilai D-W berada di mendekati angka 2, maka tidak terjadi autokorelasi. Analisis Regresi Analisis regresi yang digunakan adalah dengan menghubungkan fluks pemanasan udara (heat), albedo, fluks pemanasan tanah, radiasi netto, vegetasi tinggi, rumput/semak, sawah, ladang dan sawit RTH yang diperoleh dari data yang telah diolah. Selanjutnya, ketiga prediktor tersebut akan dihubungkan dengan suhu permukaan titik amatan yang didasarkan pada koordinat titik tersebut. Penentuan Peubah yang Berpengaruh Pada saat meregresikan suatu prediktor terhadap peubah respon, akan ada beberapa prediktor yang tidak berpengaruh terhadap peubah penjelas,. Pada kondisi demikian, perlu adanya pemilihan prediktor yang berpengaruh dan selanjutnya dilakukan kembali analisis regresi. Transformasi Box-Cox Transformasi Box Cox diberlakukan kepada variabel respon, Y, yang harus 14

28 bertanda positif, dinyatakan dalam transformasi kuasa dengan persamaan berikut : ( )..(20) { Salah satu metode penaksiran yang dapat digunakan ialah metode maksimum likelihood (Draper & Smith, 1981). Validasi Model Proses validasi model dimaksudkan untuk menguji kelayakan model untuk menduga titik-titik lain di wilayah kajian. Validasi dilakukan dengan menggunakan 20% dari titik amatan. Pada penelitian ini, diambil 229 titik amatan, sehingga data yang digunakan untuk validasi adalah sebanyak 59 data dengan titik tersebar secara acak dan mewakili seluruh wilayah kajian. Bila hasil validasi dianggap baik, maka persamaan dapat diaplikasikan kepada berbagai pihak yang terkait. training area (Gambar 15) yang diperoleh dari pengecekan di lapang. Badan air Vegetasi tinggi Rumput/semak Sawah Lahan terbangun Ladang IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Umum Kota Bogor Secara astronomis, Kota Bogor terletak pada 106 o BT 106 o BT dan 6 o LS 6 o LS dengan luas wilayah adalah Km 2. Dalam penelitian ini, wilayah Bogor yang dikaji terletak pada 106 o 48'40'' BT o 46'22'' BT dan 6 o 30'53'' LS - 6 o 40'08'' LS. Kota Bogor berada pada ketinggian 190 hingga 300 meter di atas permukaan laut. Wilayah ini terbilang sejuk dengan suhu udara rata-rata tiap bulannya adalah 26 o C dengan kelembaban nisbi pada tahun 2006 sebesar 81%. Suhu terendah Bogor mencapai 21.8 o C yang sering terjadi pada bulan Desember hingga Januari Klasifikasi Penutupan Lahan Menggunakan Citra Satelit Landsat Klasifiikasi penutupan lahan di Bogor melalui interpretasi citra satelit Landsat 5 TM+ pada tanggal akuisisi 18 Mei 2006 dilakukan dengan menggunakan klasifikasi terbimbing (supervised classification) menggunakan teknik maaximum likelyhood. Penutupan lahan (land cover) pada wilayah kajian diklasifikasikan menjadi tujuh kelas, yaitu badan air, lahan terbangun, ladang, rumput/semak, sawah, sawit dan vegetasi tinggi. Masing masing diklasifikasikan berdasarkan kelas spektral melalui beberapa Sawit Gambar 15 Trainning area pada klasifikasi tutupan lahan. Akurasi klasifikasi lahan tersebut diperoleh dengan mecocokkan hasil ground check dengan hasil klasifikasi pada citra. Berdasarkan uji akurasi, didapatkan bahwa klasifikasi lahan pada penelitian di area studi, sebesar 95.65% dan nilai kappa statistik sejumlah Nilai akurasi dan kappa tersebut menunjukkan adanya kesalahan klasifikasi sebesar 4.35% dengan perbedaan hasil klasifikasi terhadap ground truth sebesar 5.46% dari kondisi sebenarnya. Dengan demikian, klasifikasi penutupan pada penelitian ini telah menghampiri kondisi penutupan lahan yang sebenarnya pada wilayah kajian. Hal ini ditandai dengan nilai akurasi dan kappa statistik yang lebih dari 85%. Tabel 6 Klasifikasi penutupan lahan Bogor tahun 2006 Penutupan Luas Lahan (Ha) Luas (%) Badan air Sawah Vegetasi tinggi Semak/rumput

29 Sawit Ladang Lahan terbangun Total Hasil klasifikasi penutupan lahan pada daerah studi menunjukkan bahwa wilayah Bogor didominasi oleh lahan pertanian sebesar 65.95% dari keseluruhan penutupan lahan di Bogor. Penutupan lahan berupa vegetasi tinggi hanya menempati 11,65% dari total luas di Bogor pada daerah kajian. Hal ini disebabkan oleh adanya konversi lahan dari vegetasi menjadi lahan terbangun maupun lahan pertanian seiring dengan meningkatnya jumah penduduk, pembangunan infrastruktur dan berbagai perkembangan kegiatan pembangunan di Bogor. Badan air sebagian besar terletak terdapat di Sungai Ciliwung, sungai Cisadane dan sumber badan air lainnya. Tabel 7 Klasifikasi penutupan lahan Kota Bogor tahun 2006 Penutupan lahan Luas Ha % Badan air Sawah Vegetasi tinggi Lahan terbangun Semak/rumput Ladang Total Untuk wilayah di Kota Bogor, penutupan lahan didominasi oleh lahan terbangun terbangun dengan persentase penutupan lahan sebesar 45% dari keseluruhan penutupan lahan di Kota Bogor. Luas area terbuka hijau semakin terdesak dengan maraknya pembangunan yang dilakukan di area Kota Bogor. Dengan terkonsentrasinya lahan terbangun di wilayah perkotaan seperti Kota Bogor dibandingkan wilayah sekitar kota (rural), mengindikasikan akan adanya fenomena urban heat island di mana secara wilayah perkotaan akan cenderung lebiih panas dibandingkan wilayah di pinggir kota sehingga membentuk seperti kubah di pusat kota. Luasan pada masing masing penutupan lahan tidak sepenuhnya menunjukkan kondisi yang sebenarnya di lapangan. Hasil luasan pada masing-masing penutupan lahan tersebut dipengaruhi oleh beberapa kesalahan seperti faktor galat secara spasial ketika klasifikasi penutupan lahan Pendugaan Komponen Neraca Energi Pada Beberapa Penutupan Lahan Pendugaan Albedo Albedo merupakan nisbah antara radiasi pantul dengan radiasi datang. Dalam penelitian ini, nilai albedo diperoleh dari data citra Landsat 5 TM+ dengan memanfaatkan fungsi kanal 1, 2 dan 3. Pada wilayah kajian ini, diperoleh bahwa lahan terbuka memiliki nilai albedo yang lebih tinggi dibandingkan dengan penutupan lahan berupa vegetasi dan badan air. Hasil pengolahan citra Landsat diperoleh banwa nilai rata-rata albedo pada badan air, lahan bervegetasi (sawah, ladang, vegetasi tinggi, sawit dan semak/rumput) dan lahan terbangun bernilai , dan Nilai tersebut menunjukkan bahwa lahan terbangun memiliki nilai radiasi pantul yang lebih besar dibandingkan dengan lahan bervegetasi maupun badan air. Badan air memiliki nilai albedo terendah. Kondisi ini disebabkan oleh karakteristik air yang memiliki nilai kapasitas kalor yang paling besar yaitu 4.18x10-6 m -3o C -1 dibandingkan dengan vegetasi (2.51x10-6 m -3o C -1 ) dan lahan terbangun (2.17x10-6 m -3o C -1 ). Dengan kapasitas kalor yang besar, maka badan air mampu menampung energi radiasi yang lebih besar. Hal ini menyebabkan radiasi yang dipantulkan juga akan cenderung lebih kecil dibandingkan penutupan lahan yang lain. Pada lahan bervegetasi baik berupa tutupan rendah seperti semak/rumput dan ladang maupun vegetasi dan juga vegetasi terendam seperti sawah, memiliki radiasi pantul yang lebih rendah dibandingkan dengan lahan terbangun. Hal ini disebabkan energi yang diterima oleh tumbuhan sebagian besar digunakan untuk metabolisme tumbuhan dan hanya beberapa bagian yang dipantulkan kembali ke atmosfer. Kondisi ini berbeda dengan karakteristik penutupan lahan pada lahan terbuka. Untuk lahan terbuka, sebagian besar energi yang diterima digunakan untuk memanaskan udara sehingga banyak dari radiasinya digunakan untuk memanaskan atmosfer. 16

30 Pendugaan Radiasi Netto Radiasi netto merupakan nilai yang menunjukkan selisih radiasi yang diterima permukaan bumi terhadap radiasi yang meninggalkan permukaan bumi. Pada siang hari, radiasi netto bernilai positif, sedangkan pada malam hari radiasi netto bernilai negative. Radiasi netto yang bernilai positif ini yang digunakan untuk memanaskan udara, lautan dan permukaan bumi. Berdasarkan data citra Landsat 5 TM+ dengan tanggal akuisisi 18 Mei 2006, diperoleh bahwa terdapat perbedaan radiasi netto yang serap oleh permukaan tiap penutupan lahan. Radiasi netto pada badan air, vegetasi dan lahan terbangun dapat dilihat pada Tabel 8. Nilai radiasi gelombang panjang pada penelitian ini hanya diambil dari nilai radiasi gelombang panjang yang dipancarkan oleh bumi, karena radiasi gelombang panjang yang dating dari radiasi matahari nilainya sangat kecil. Nilai radiasi netto diperoleh dari selisih antara radiasi radiasi gelombang pendek yang diperoleh melalui nilai albedo dan radiasi gelombang panjang yang diperoleh dari suhu permukaan. Pada penelitian ini, dilakukan penghitungan radiasi netto yang merupakan penjumlahan radiasi gelombang pendek yang dating dan yang dipantulkan serta radiasi gelombang panjang yang dipantulkan dariobyek. Dalam penelitian ini,r adiasi gelombang panjng yang beradal dari obyek di bumi tidak dipertimbangkan. Hal ini didasarkan pada nilai radiasi gelombang panjang yang dipantulkan memiliki nilai yang menghampiri nilai radiasi gelombang panjang yang dipantulkan. Berdasarkan Tabel 8 terlihat adanya perbedaan penerimaan radiasi netto untuk setiap penutupan lahan. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan karakteristik penutupan lahan baik dari nilai albedo, radiasi gelombang pendek maupun radiasi gelombang panjang. Secara umum, nilai radiasi gelombang pendek yang dipantulkan memiliki nilai yang relatif lebih kecil bila dibandingkan dengan radiasi gelombang panjang yang dipantulkan. Hal ini dikarenakan pada siang hari, radiasi yang dating dari matahari lebih dominan dibandingkan dengan radiasi yang yang berasal dari bumi. Penerimaan radiasi netto pada lahan terbangun menempati nilai terendah dibandingkan dengan enam penutupan lainnya pada Tabel 8. Kondisi ini disebabkan albedo yang tinggi pada lahan terbangun sehingga radiasi gelombang pendek yang diterimanya akan lebih dominan untuk dipantulkan dibandingkan dengan radiasi gelombang panjang yang dipancarkan. Selain itu, proses ini juga berkaitan dengan kapasitas kalor pada perkerasan (man made) yang cenderung lebih rendah, sehingga kemampuan obyek dalam menyimpan energi yang diterimanya menjadi rendah dibandingkan energi yang dipantulkan. Hal ini pula yang menyebabkan lahan terbangun akan memiliki suhu permukaan lebih tinggi dibandingkan dengan penutupan lahan lainnya bila dilihat melalui penginderaan jauh. Penutupan lahan berupa sawah, memiliki nilai radiasi netto yang lebih tinggi dibandingkan dengan lahan terbangun, tetapi tidak lebih tinggi dibandingkan dengan badan air dan jenis tumbuhan lainnya. Pada dasarnya, penggunaan radiasi netto pada sawah cenderung variatif tergantung pada umur tanaman padi. Tabel 8 Kisaran nilai komponen radiasi netto (Wm -2 ) tiap penutupan lahan Penutupan lahan R s R s R l R n Lahan terbangun Sawah Badan air Semak/rumput Lading Vegetasi tinggi Sawit Pada awal penanaman, sawah akan tergenangi oleh air di mana kanopi sawah pada saat tersebut masih relatif kecil sehingga energi yang diterimanya sebagian digunakan untuk pertumbuhan dan penyerapan oleh air, sedangkan sisanya dilepaskan ke atmosfer dalam bentuk panas. Penerimaan radiasi netto akan terus meningkat seiring dengan fase pertumbuhan tanaman padi dan akan menurun kembali pada saat menjelang panen karena daun dan bulir padi akan gugur. Kondisi yang beragam ini menyebabkan pada saat pemotretan citra satelit Landsat 5 pada pukul waktu setempat akan cenderung merekam kondisi terkini pada waktu tersebut. Berdasarkan analisa menggunakan pengindraan jauh, sebagian lahan yang 17

31 teridentifikasi sebagai persawahan masih tergenangi oleh air. Sehingga nilai radiasi netto akan lebih rendah dibandingkan dengan radiasi netto pada badan air. Berbeda dengan sawah, badan air memiliki kapasitas kalor yang lebih besar sehingga dapat menampung energi yang lebih besar dibandingkan dengan sawah. Akan tetapi, penggunaan radiasi netto oleh badan air pada umumnya digunakan untuk merubah air menjadi uap air pada suhu tetap dan menghidupi organisme-organisme didalamnya. Pada lahan bervegetasi tinggi, nilai radiasi netto yang diterimanya lebih besar dibandingkan dengan radiasi netto pada keempat penutupan lahan lainnya selain penutupan lahan berupa perkebunan sawit. Hal ini disebabkan oleh karakteristik vegetasi yang memanfaatkan sebagian besar energi yang diterimanya untuk proses metabolisme dan proses fisiologis tumbuhan. Berdasarkan Tabel 8, radiasi yang diserap oleh vegetasi tinggi sebesar 39.83% terhadap radiasi yang datang. Dari 39.83% radiasi tersebut,70% akan diubah menjadi lengas dan energi untuk respirasi, serta untuk pertukaran panas dengan lingkungannya. Selanjutnya, 28% dari energi tersebut akan digunakan untuk fotosintesis dan disimpan dalam bentuk energi kimia dan sisanya akan digunakan untuk fotomorfogenetik. Pada hasil pengecekan di lapangan, diketahui bahwa pohon beringin, mahoni dan kenari mendominasi penutupan lahan berupa vegetasi tinggi di daerah Kota Bogor. Ketiga vegetasi tersebut merupakan vegetasi daerah tropis, sehingga dalam penggunaan radiasi tidak sebesar tanaman kelapa sawit. Kelapa sawit merupakan tanaman daerah kering sehingga membutuhkan energi yang besar baik pemanfaatannya untuk merubah radiasi netto menjadi lengas maupun fungsiologis lainnya. Selain itu, tanaman kelapa sawit yang termasuk ke dalam wilayah kajian penelitian merupakan tanaman perkebunan sehingga penerimaan radiasi netto cenderung seragam dan marupakan penutupan lahan yang paling besar dalam menggunakan radiasi netto. Semak/rumput pada dasarnya menghampiri kenampakan pada ladang. Akan tetapi, secara ekofisiologi, kedua penutupan lahan ini memiliki karakteristik yang berbeda dalam hal penangkapan radiasi yang diterimanya. Rumput/semak memiliki morfologi daun dengan tekstur kasar dan meruncing sehingga akan cenderung membaurkan radiasi yang diterimanya dan hanya sebagian kecil radiasi yang diserapnya bila dibandingkan dengan tanaman ladang. Hal ini ditunjukkan dengan nilai radiasi netto rumput yang lebih rendah bila dibandingkan dengan radiasi netto pada ladang. Sebaliknya, pada tanaman ladang, radiasi netto diserap dan digunakan untuk proses fisiologis tumbuhan sebagaimana yang dilakukan pada vegetasi tinggi. Akan tetapi, karena tinggi tanaman ladang yang terbatas, maka penggunaan tanaman ladang tidak akan sebesar vegetasi tinggi. Tekstur daun pada tanaman ladang juga mempengaruhi responnya terhadap radiasi yang diterimanya. Pada umumnya, tanaman ladang memiliki tekstur daun yang halus sehingga akan menyerap radiasi lebih besar dibandingkan dengan radiasi yang dipancarkan maupun dipantulkan. Hal ini tampak jelas pada warna yang terlihat pada pengindraan jauh bila dibandingkan dengan spectrum yang dipancarkan oleh rumput Pendugaan Soil Heat Flux (G), Sensible Heat Flux (H) dan Latent Heat Flux (LE) Pada dasarnya, Soil Heat Flux (G) merupakan bagian dari radiasi netto yang sampai pada permukaan tanah dan digunakan untuk proses fisik dan biologi tanah. Fluks panas tanah ini dipengaruhi oleh perbedaan suhu permukaan dengan suhu tanah.dalam penelitian ini, nilai G diperoleh dari hubungan suhu permukaan, radiasi netto, albedo dan NDVI. Tabel 9 Rata-rata komponen Soil Heat Flux (H) Bogor tahun 2006 (Wm -2 ) Penutupan G/Rn G Rn lahan (%) Sawit Ladang Vegetasi tinggi Semak/rumput Badan air Sawah Lahan terbangun Berdasarkan pengolahan citra Landsat 5 dengan tanggal akuisisi 18 Mei 2006, diketahui bahwa pada pukul waktu setempat, terdapat perbedaan penggunaan energi pada tiap penutupan lahan di mana 18

32 variabilitasnya didasarkan karakteristik tiap penutupan lahan. Dalam penelitian ini penggunaan radiasi netto untuk fotosintesis diabaikan karena nilainya sangat kecil. Tabel 10. Rata-rata komponen Sensible Heat Flux (H) Bogor tahun 2006 (Wm -2 ) Penutupan H/Rn H Rn lahan (%) badan air Sawah semak/rumput Ladang vegetasi tinggi Sawit lahan terbangun Lahan terbangun Lahan terbangun merupakan penutupan lahan yang paling dominan di Kota Bogor dan menyebabkan timbulnya fenomena urban heat island yang ditunjukkan oleh tingginya nilai panas pada penutupan ini ( Lampiran 3). Pada penutupan lahan berupa lahan terbangun. Proporsi penggunaan radiasi netto menjadi soil heat flux (G) menempati nilai tertinggi (13.13%) bila dibandingkan dengan penutupan lahan lainnya. Hal ini disebabkan lahan terbangun memanfaatkan sebagian besar radiasi netto untuk memanaskan tanah dan permukaan dibandingkan dengan jenis penutupan lahan lainnya. Faktor lain yang turut mempengaruhi nilai G pada lahan terbangun adalah tingginya nilai konduktivitas thermal pada lahan tersebut. Karena sebagian besar radiasi netto pada lahan terbangun digunakan untuk memanaskan tanah dan permukaan, maka sensible heat flux akan tinggi sebanding dengan soil heat flux. Berdasarkan Gambar 16, diketahui bahwa sensible heat flux merupakan prioritas utama pada lahan terbangun dalam penggunaan radiasi netto yang diterimanya. Hal ini ditunjukkan dengan perbandingan sensible heat flux : soil heat flux :latent heat flux, yaitu 10 : 2 : 3. Kondisi tersebut menyebabkan tingginya suhu permukaan dan suhu udara pada lahan terbangun. Gambar 16 Proporsi penggunaan neraca energi pada berbagai penutupan lahan di Bogor. 19

33 Bila dilihat pada perbandingan penggunaan radiasi netto pada lahan terbangun di daerah Bogor, terlihat bahwa penggunaan radiasi netto untuk fluks panas laten lebih besar bila dibandingkan dengan fluks panas tanah (3:2). Kondisi ini menggambarkan bahwa pada daerah Bogor memiliki kandungan uap air yang cukup besar. sehingga alokasi pemanfaatan radiasi netto lebih banyak digunakan untuk mengubah air menjadi uap air pada suhu konstan dibandingkan untuk memanaskan permukaan tanah. Dengan kandungan uap air yang cukup besar, maka nilai suhu permukaan pada lahan terbangun memiliki selisih nilai yang tidak terpaut jauh dengan penutupan lahan terbangun pada lokasi penelitian Badan air Badan air merupakan satu-satunya penutupan lahan dimana air secara permanen mendominasi suatu lahan. Selain karakteristik air seperti yang telah disebutkan pada pembahasan mengenai albedo dan radiasi netto, diketahui pula bahwa fluks panas laten merupakan prioritas utama dalam penggunaan radiasi netto oleh badan air di mana pengubahan energi menjadi panas laten sebesar 80.24% (Tabel 11). Pengubahan energi yang diserap oleh badan air yang digunakan sebagai sensible heat fluxdan soil heat flux hanya sebesar 8.02% dan 11.21%. Tabel 11 Rata-rata suhu permukaan Bogor tahun 2006 Penutupan Lahan T s ( o C) Badan air 28 Sawah 29 Vegetasi tinggi 28 Semak/rumput 29 Ladang 28 Sawit 25 Lahan terbangun 31 Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat bahwa penggunaan radiasi netto yang diterima oleh badan air didominasi untuk merubah air menjadi uap air pada suhu konstan dibandingkan untuk merubah energi kedalam panas baik panas tanah maupun panas terasa. Hal ini mengakibatkan suhu permukaan pada badan air pada siang hari akan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan suhu lingkungan Sawah Berdasarkan Gambar 16, terlihat bahwa karakter sawah menghampiri karakter badan air dalam hal pemanfaatan radiasi netto. Hanya saja, sawah menggunakan energi dari radiasi netto untuk sensible heat flux lebih besar dibandingkan dengan badan air. Pemanfaatan radiasi netto oleh sawah untuk sensile heat adalah empat kali lipat lebih besar dibandingkan dengan pemanfaatan sensile heat oleh badan air. Hal ini disebabkan tanaman padi sawah memiliki karakteristik tertentu dalam merespon radiasi matahari seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan mengenai radiasi netto (subbab 4.3.2). Penutupan lahan berupa sawah memiliki alokasi pemanfaatan radiasi netto sebagai lengas terasa (sensile heat) dan latent heat dengan perbandingan 2:1. Pada kondisi tersebut, menyebabkan suhu permukaan pada sawah akan cenderung tinggi dan stabil (simpangan baku suhu permukaan sawah hanya berkisar ± 1.3 o C). Variabilitas suhu permukaan di sawah cenderung lebih rendah bila dibandingkan dengan badan air yang memiliki simpangan baku sebesar ± 2 o C Vegetasi tinggi dan sawit Berdasarkan Gambar 16, terlihat bahwa perbandingan pemanfaatan radiasi netto pada vegetasi tinggi menyerupai penggunaan radiasi netto pada sawit. Perbandingan pemanfaataan radiasi netto pada kedua penutupan ini adalah 3:6:1 (H:LE:G). Kedua penutupan lahan ini memprioritaskan penggunaan radiasi netto yang diterimanya untuk panas laten dibandingkan untuk memanaskan udara maupun untuk memanaskan tanah. hal ini disebabkan oleh karakteristik Bogor yang memiliki kandungan air yang cukup besar di atmosfer pada lapisan pembatas. Akan tetapi, kedua penutupan lahan ini memiliki respon yang berbeda dalam merepresentasikan suhu permukaannya Vegetasi tinggi memiliki suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelapa sawit dan memiliki ragam suhu permukaan yang cukup besar (ragam suhu permukaaan vegetasi tinggi = 4 o C). Sebaliknya, perkebunan kelapa sawit memiliki suhu permukaan terendah (25 o C) diantara keenam penutupan lahan lainnya. Selain itu, perkebunan sawit memiliki ragam suhu permukaan yang lebih rendah dibandingkan dengan vegetasi tinggi (0.25 o C). Hal ini disebabkan terdapat perbedaan kondisi lingkungan untuk kedua penutupan lahan 20

34 ini. Pada wilayah studi penelitian ini, lahan bervegetasi tinggi yang paling dominan terdapat di pusat Kota Bogor dan hutan penelitian Cifor. Gambar 17 Kondisi lingkungan sekitar lahan bervegetasi tinggi. (i) (ii) Gambar 18 (i) dan (ii) Kondisi lingkungan sekitar Lahan perkebunan sawit. Pada lokasi ini, terjadi aliran panas secara konveksi dari penutupan lahan disekitarnya terhadap penutupan lahan bervegetasi tinggi. Aliran panas ini disebabkan oleh adanya gradien panas antara vegetasi tinggi dengan penutupan lainnya. Dengan berpindahnya panas tersebut menuju gradien panas yang lebih rendah (vegetasi tinggi), maka suhu udara pada vegetasi tinggi akan tergantikan. Dengan besarnya perbedaan gradient suhu antara permukaan dengan suhu pada vegetasi tinggi, maka tahanan aerodinamik akan semakin kecil. Hal inilah yang menyebabkan tingginya suhu permukaan pada vegetasi tinggi dibandingkan dengan perkebunan sawit. Sebaliknya, perkebunan sawit yang terletak di Bantar Kambing, Bogor memiliki penutupan lahan yang seragam dan terpusat pada lokasi tertentu. Selain itu, perkebunan sawit memiliki lingkungan yang didominasi oleh tumbuhan sejenis dan terdapat badan air disekitarnya. Dengan kondisi lingkungan ini, gradient panas antara lingkungan dengan perkebunan tidak berbeda nyata sehingga suhu permukaan akan rendah. Tabel 12 Rata-rata komponen Latent Heat Flux (LE) Bogor tahun 2006 Penutupan lahan LE (Wm -2 ) Rn (Wm -2 ) LE/Rn (%) Lahan terbangun Sawah Semak/rumput Ladang Vegetasi tinggi Sawit Badan air Ladang dan Rumput/Semak Ladang memanfaatkan sebagian besar energi radiasi yang diserapnya untuk dirubah menjadi energi panas yang terdistribusikan 11.37% untuk soil heat flux, 30.78% untuk sensible heat fluxdan59.52% untuk latent heat flux. Pemanfaatan radiasi netto sebagai soil heat flux pada ladang lebih besar dibandingkan dengan rumput/semak yang hanya 11.29%. Kondisi ini disebabkan pada ladang, terdapat tanah yang tidak tertutup kanopi tanaman, sehingga penerimaan radiasi oleh tanah menjadi besar. Sebaliknya, pada lahan yang berumput/semak, hampir keseluruhan tanah tertutup rumput/semak secara merata, sehingga pemanasan tanah menjadi tertahan oleh vegetasi. Dengan adanya perbedaan kuantitas G pada ladang dan rumput/semak, maka distribusi LE dan H juga akan berbeda. Alokasi pemanfaatan Rn sebagai G yang 21

35 besar mengakibatkan nilai LE dan H ladang lebih rendah dibandingkan dengan rumput/semak. Seperti halnya pemanfaatan radiasi netto pada vegetasi tinggi, sawitsawah dan badan air, kedua penutupan lahan ini juga memprioritaskan pengubahan radiasi netto menjadi panas laten sebagai prioritas utamanya karena tersedianya air pada bagian-bagian tubuh penutupan lahan ini Perbandingan nilai indeks vegetasi (NDVI) dengan komponen neraca energi Nilai indeks vegetasi yang digambarkan melalui nilai NDVI (Normalized Difference Vegetation Index) merupakan indeks yang menggambarkan proporsi reflektan infra merah dekat dengan infra merah. Secara teoritis, pada lahan yang bukan vegetasi akan lebih banyak memantulkan infra merah dekat dibandingkan dengan infra merah. Selain itu, nilai NDVI juga menggambarkan tingkat kesuburan dan kerapatan tanaman di mana semakin tinggi nilai NDVI, maka tingkat kerapatan dan kesuburan tanaman tersebut semakin tinggi. Sebaliknya, lahan dengan nilai NDVI yang rendah menggambarkan lahan yang kurang subur dan telah terjadi pembukaan lahan pada daerah tersebut. Untuk mempermudah melihat pengaruh NDVI terhadap neraca energi, maka dilakukan penggabungan pada beberapa klasifikasi lahan yang didasarkan pada nilai NDVI yang serupa. Lahan terbangun Badan air Sawah Vegetasi rapat Vegetasi rendah Gambar 19 Diagram hubungan radiasi netto terhadap NDVI. Klasifikasi penutupan lahan dibedakan ke dalam lima kelas di mana terdiri dari lahan terbangun, badan air, sawah, vegetasi rapat (sawit dan vegetasi tinggi) dan vegetasi rendah (rumput/semak dan ladang). Dengan menghubungkan antara radiasi netto terhadap NDVI, maka dapat diketahui karakter neraca energi pada indeks vegetasi pada penutupan lahan tertentu. Merujuk pada Gambar 16 dan Tabel 12, terlihat bahwa pada lahan bervegetasi, penggunaan radiasi netto sebagian besar digunakan untuk fluks pemanasan laten (LE) pada lahan bervegetasi. Nilai LE berbanding lurus dengan nilai NDVI. di mana semakin banyak vegetasi di daerah tersebut, maka nilai LE akan semakin besar dan H serta G akan semkin rendah. Akan tetapi, pada penutupan lahan berupa badan air, berlaku sifat yang berbeda. Badan air memiliki nilai NDVI yang rendah tetapi nilai LE akan tinggi. Kondisi ini disebabkan pemanfaatan radiasi netto yang diterima lebih banyak digunakan untuk evaporasi. Berdasarkan Tabel 6, penutupan lahan di Bogor yang didominasi oleh vegetasi (ladang, vegetasi tinggi, rumput/semak, sawah dan sawit), maka dapat dipastikan bahwa pemanfaatan energi radiasi netto di wilayah Bogor sebagian besar digunakan untuk panas laten. dengan demikian, kandungan uap air di Bogor cenderung besar. 22

36 Gambar 20 Peta sebaran Normalized Difference Vegetation Index pada lokasi penelitian Penentuan Pengaruh Neraca Energi dan Suhu Permukaan Hasil analisis hubungan neraca energi terhadap suhu permukaan pada tahun 2006 didapatkan bahwa galat dari neraca energi (Rn, G, H dan LE) menyebar normal dan memiliki ragam yang homogen. Namun, bila ditinjau dari pola hubungan antar peubah penjelas, terlihat adanya multikolinierasi antar parameter-parameter neraca energi. Bentuk hubungan multikolinierasi ini terdapat pada hubungan antara radiasi netto dengan soil heat flux dan sensible heat. Peubah penjelas berupa soil heat flux dan sensible heat juga saling bermultikolinierasi dengan erat. Akan tetapi, baik soil heat flux, sensible heat dan radiasi netto tidak bermultikolinierasi terhadap albedo. Kondisi ini disebabkan adanya pola hubungan yang erat antara radiasi netto, soil heat flux dan sensible heat flux. Soil Heat flux dan sensible heat flux merupakan komponen dari radiasi netto melalui persamaan neraca energi di mana Rn = G + H + LE, sehingga kedua peubah ini. Oleh karena itu, dalam menentukan suhu permukaan, fluks panas 23

37 dapat diwakili oleh dua peubah saja yaitu radiasi dan albedo. Albedo tidak bermultikolinierasi terhadap ketiga peubah penjelas tersebut karena albedo merupakan nilai nisbah antara radiasi pantul dengan radiasi datang. Oleh karena itu, walaupun dalam persamaan 4 disebutkan bahwa nilai G sebanding dengan nilai albedo, tetapi kedua peubah ini tidak memiliki korelasi yang nyata. Hal ini ditunjukkan dengan nilai galat yang mendekati Penentuan Pengaruh Jarak Jangkau Tiap Jenis Vegetasi dan Suhu Permukaan Sebelum menentukan pengaruh secara keseluruhan antara ruang terbuka hijau (sawah, ladang, rumput/semak, vegetasi tinggi dan sawit) terhadap suhu permukaan, perlu adanya peninjauan pengaruh tunggal diantara peubah-peubah penjelas tersebut terhadap peubah responnya Vegetasi Tinggi Untuk menganalisa pengaruh tunggal vegetasi tinggi terhadap suhu permukaan terutama diperkotaan, perlu adanya perhatian khusus terhadap lingkungan disekitarnya. Dalam kasus pengaruh vegetasi tinggi terhadap suhu di perkotaan, sangatlah penting melakukan tracking dengan menggunakan titik-titik sampling pada penutupan terbangun dengan jarak yang semakin menjauh dari vegetasi tinggi. Pada penelitian ini dilakukan tracking pada Kebun Raya Bogor seperti tampak pada Gambar 21. Hal ini disebabkan lingkungan yang mempengaruhi perpindahan panas pada vegetasi hanya terdapat dua kondisi yaitu vegetasi tinggi yang berada di pusat Kota Bogor (Kebun Raya Bogor dan jalur hijau yang diantaranya berada di Jalan Pajajaran, Doktor Semeru, Cimanggu Pahlawan dan Jend. Sudirman, Haji Juanda dan sebagainya) dan vegetasi tinggi yang berada di daerah sub-urban (Cifor dan Cijeruk). Gambar 21 Peta titik sampel pengaruh vegetasi terhadap suhu permukaan di perkotaan. Gambar 21 menunjukkan bahwa suhu di dalam Kebun Raya Bogor dengan penutupan lahan berupa vegetasi tinggi, memiliki suhu rata-rata 28 o C. Titik-titik di Kebun Raya Bogor ini dijadikan sebagai titik referensi pengaruh vegetasi terhadap suhu permukaan di perkotaan. Selanjutnya, terlihat bahwa suhu permukaan akan meningkat seiring dengan bertambahnya 24

38 jarak terhadap vegetasi tinggi. Hal ini seperti terlihat pada Tabel 13. Tabel 13. Suhu titik amatan dan jarak terhadap vegetasi tinggi di Kota Bogor Keterangan suhu ( o C) Ratarata Jarak (meter) maksimum Titik Referensi Lapisan ke: Hubungan pengaruh eksistensi vegetasi terhadap suhu permukaaan di Perkotaan berbentuk non-linier dengan persamaan T s = Ln(Dv) di mana T s merupakan suhu permukaan di perkotaan dan Dv adalah jarak titik amatan terhadapvegetasi tinggi. Pada plot pengaruh vegetasi tinggi terhadap suhu permukaan, memiliki residual yang menyebar normal dengan P value lebih dari Vegetasi tinggi berpengaruh tunggal terhadap suhu permukaan di perkotaan karena vegetasi tinggi dapat menyebabkan adanya gradien suhu antara lingkungan berupa lahan terbangun terhadap suhu di penutupan lahan bervegetasi tinggi di mana dengan adanya perbedaan gradien suhu tersebut, aliran panas akan mengalir secara konveksi dan konduksi seperti yang telah dijalaskan pada sub-bab Gambar 22 Uji kenormalan residual vegetasi tinggi terhadap suhu permukaan. Bila keseluruhan vegetasi tinggi di wilayah penelitian dibuat hubungan pengaruh vegetasi tinggi terhadap suhu permukaan, vegetasi tinggi hanya berkontribusi sebesar 8.6% dalam menjelaskan persamaan T s = Ln(Dv). Residual persamaan pengaruh jarak vegetasi tiggi ini menyebar normal dengan P value lebih dari Ladang dan Rumput/Semak Berbeda dengan vegetasi tinggi, dalam analisa pengaruh ladang dan rumput/semak terhadap suhu permukaan hanya menggunakan analisis regresi linier dan tidak menggunakan metode tracking. Hal ini dilakukan karena sebaran ladang mendominasi penutupan lahan di daerah kajian secara keseluruhan, sehingga faktor lain (di luar faktor pengaruh ladang dan rumput/semak) dapat diminimumkan. Berdasarkan hasil analisis, ladang dan suhu permukaan memiliki hubungan sebesar 45.8% dengan kontribusi pengaruh ladang terhadap suhu permukaan sebesar 32.4% dalam persamaan T s = Ln (DLadang). Persamaan ini memiliki P value sebesar di mana nilai ini berarti terima hipotesis bahwa residual menyebar normal. 25

39 Gambar 23 Uji kenormalan residual vegetasi tinggi terhadap suhu permukaan. Penutupan lahan berupa rumput/semak memiliki hubungan sebesar 42.8% terhadap suhu permukaan di perkotaan. Konstribusi semak terhadap suhu permukaan secara liner hanya 17.8% dalam persamaan T s = (Dsemak) di mana Dsemak adalah jarak titik amatan terhadap semak. Pada penelitian ini, sangat sulit mencari hubungan pengaruh semak terhadap suhu permukaan karena plot residual persamaan yang menghubungkan suhu permukaan dan semak memiliki sebaran yang tidak normal yaitu dengan P value yang kurang dari Kondisi ini berbeda dengan pengaruh ladang terhadap suhu permukaan. Adanya perbedaan pengaruh antara ladang dan rumput/semak disebabkan oleh tekstur daun pada rumput/semak dan ladang seperti yang dijelaskan pada sub bahasan Sawah Sawah memiliki hubungan sebesar 46.4% terhadap suhu permukaan dan berkonstribusi secara linier dalam menjelaskan persamaan T s = (Dsawah) sebesar 21.5% di mana Dsawah adalah jarak titik amatan terhadap sawah. Residual pada pengaruh sawah terhadap suhu permukaan menyebar normal dengan P value sebesar Gambar 24 Uji kenormalan residual sawah terhadap suhu permukaan. Pengaruh sawah terhadap suhu permukaan disebabkan pada pengambilan citra, sebagian besar sawah sedang dalam kondisi tergenang air dan sawah memiliki respon khusus terhadap penerimaan radiasi netto seperti yang dijelaskan pada sub bahasan dan Sawit Di wilayah kajian penelitian, jarak terdekat perkebunan sawit dari pusat kota Bogor ± kilometer. Dengan jarak yang cukup jauh dan penutupan lahan sawit yang hanya hektar dengan luas total daerah penelitian adalah 106, kilometer -2 maka akan sangat sulit bagi 26

40 penutupan lahan berupa perkebunan sawit untuk mempengaruhi suhu permukaan di Kota Bogor Penentuan Pengaruh Neraca Energi, Jarak Jangkau RTH Dan Suhu Permukaan Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan ruang terbuka hijau adalah wilayah dengan penutupan lahan yang mengandung vegetasi didalamnya dan bukan merupakan badan air atau lahan terbangun. Selanjutnya, dengan pengertian tersebut akan ditentukan pengaruh dari keempat penutupan lahan berupa vegetasi tinggi, rumput/semak, sawah dan vegetasi tinggi terhadap suhu permukaan di perkotaan. Berdasarkan sub bahasan 4.4.1, perkebunan sawit tidak dimasukkan sebagai prediktor. Dengan merujuk pada Gambar 25, dapat diketahui bahwa suhu akan meningkat seiring dengan bertambahnya radiasi netto. Akan tetapi, pada komponen albedo, nilainya beragam sesuai dan hampir seragam dengan memusat pada selang nilai 0.06 hingga Pola hubungan penutupan lahan bervegetasi terhadap suhu permukaan mengikuti sebaran asimtot y di mana semakin dekat jarak suatu titik terhadap lahan bervegetasi, semakin rendah suhu permukaannya. Namun, semakin menjauh suatu titik terhadap lahan bervegetasi, maka suhu permukaannya akan konstan dan mendekati batas maksimum suhu di suatu daerah. Berdasarkan prediktor prediktor tersebut, dilakukan analisis regresi linier mengenai pengaruh dari masing-masing prediktor terhadap suhu permukaan. Hasil analisis bentuk hubungan antara masingmasing lahan bervegetasi dan neraca energi terhadap suhu permukaan didapatkan bahwa prediktor radiasi netto, albedo, sawah dan ladang berpengaruh terhadap suhu permukaan di perkotaan, tetapi vegetasi tinggi dan rumput/semak tidak berpengaruh nyata terhadap suhu permukaan di perkotaan. Hal ini ditunjukkan oleh nilai P value pada rumput/semak dan vegetasi tinggi yaitu dan Oleh karena itu, kedua prediktor tersebut tidak digunakan sebagai penduga suhu permukaan di wilyah kajian. 27

41 Gambar 25 Scatter plot suhu permukaan (peubah respon) terhadap RTH dan komponen neraca energi. Pemodelan selanjutnya hanya menggunakan empat prediktor yaitu radiasi netto, albedo, sawah dan ladang. Model dibangun dengan mentransformasikan nilai suhu permukaan dengan menggunakan Box Cox transformation agar residual suhu permukaan dapat menyebar normal sehingga dapat memenuhi asumsi analisis regresi. Karena sebaran pada sawah dan ladang menghampiri fungsi asimtot y, maka agar memenuhi asumsi residual yang menyebar normal dilakukan transformasi berupa logaritmik natural untuk nilai Rn, sawah dan ladang. Untuk peubah penjelas berupa albedo tidak dilakukan transformasi karena nilainya menyebar secara merata (Gambar 22). Dari hasil regresi tersebut, dihasilkan model : = albedo Ln(Rn) Ln(Dsawah Ln(Ladang).(21) di mana albedo merupakan nisbah radiasi pantul terhadap radiasi datang, Rn adalah radiasi netto, D sawah adalah jarak titik amatan terhadap sawah dan D ladang adalah jarak titik amatan terhadap ladang dimana titik amatan adalah titik-titik yang tersebar di lahan terbangun di pusat kota yang akan diekstraksi sebagai pembangkit model. Gambar 26 Tranformasi Box Cox terhadap suhu permukaan. Persamaan 21 memiliki koefisien determinasi sebesar 88.0%. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa model tersebut cukup menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi suhu permukaan di Bogor. Berdasarkan hasil uji normalitas Kolmogorov-Smirnov, diperoleh bahwa residual dari persamaan tersebut menyebar normal dengan nilai kemungkinan lebih dari Pada uji autokorelasi dengan menggunakan metode Durbin-Watson, diperoleh nilai uji D-W adalah Nilai 28

42 tersebut mendekati nilai 2, sehingga dapat dikatakan bahwa galat model tersebut tidak saling berautokorelasi. Selanjutnya, untuk menilai kualitas persamaan 21, maka dilakukan validasi dengan menggunakan 20% dari data titik amatan yang terdiri dari berbagai tipe land cover. Berdasarkan hasil validasi, diperoleh bahwa suhu permukaan hasil dugaan memiliki nilai korelasi sebesar 93.3%. nilai korelasi ini terbilang besar dalam menduga suhu permukaan berdasarkan keempat prediktor tersebut. Gambar 27 Uji kenormalan residual vegetasi tinggi terhadap suhu permukaan Pengaruh RTH Di Bogor Pengaruh vegetasi tinggi di Bogor tidak nyata pada daerah perkotaan karena kondisi Bogor memiliki iklim yang basah dan memiliki nilai LE yang besar. Selain itu, tersebarnya berbagai vegetasi di Bogor mengakibatkan dampak eksistensi vegetasi tinggi tidak terlihat dengan nyata karena denga LE yang besar, panas akan digunakan untuk merubah air menjadi uap air dari pada untuk menaikkan suhu. Bila ditinjau dari sebaran vegetasi tinggi di Bogor, dengan pengambilan titik amatan yang ditujukan di atas penutupan lahan berupa lahan terbangun, pengambilan sampel akan terpusat pada daerah di Kota Bogor. Kondisi ini disebabkan pada penutupan lahan bervegetasi tinggi di daerah sub-urban dengan lingkungan yang sedikit lahan terbangun, titik sampel yang diambil tidak sebanding dengan daerah kota. Dengan melihat kecenderungan analisis regresi yang akan mengambil nilai dominan dari data yang ada, maka pengaruh vegetasi tinggi yang akan diambil adalah pada daerah kota yang sangat dipengaruhi oleh fenomena pulau panas. Di samping itu, berdasarkan nilai indeks vegetasi pada Gambar 19 dan Gambar 20, didapatkan bahwa hampir seluruh Bogor memiliki nilai indeks vegetasi yang lebih dari 0.1, sehingga pengaruh vegetasi tinggi akan terredam oleh pengaruh vegetasi-vegetasi lainnya. Selain pengaruh vegetasi tinggi yang tidak nyata, pengaruh rumut/semak juga tidak terlihat pada wilayah daerah kajian. Kondisi ini diakibatkan radiasi netto yang ada di daerah penelitian lebih ditujukan untuk panas laten dibandingkan untuk pemanasan tanah maupun pemanasan udara, sehingga suhu permukaan tidak akan terlalu bervariasi. Jika ditinjau pada sub-bahasan 4.4.1, nilai hubungan vegetasi tinggi terhadap suhu permukaan cukup besar sementara berdasarkan sub-bahasan 4.5.1, hubungan ini kemudian menghilang. Kondisi ini mengindikasikan bahwa luasan Kebun Raya Bogor dan jalur hijau sebagai penyedia lahan bervegetasi tinggi belum cukup memenuhi kebutuhan Kota Bogor dalam meredam suhu permukaan. V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Penentuan bentuk hubungan RTH dan suhu permukaan menghasilkan persamaan terpilih non-linier yaitu = albedo Ln(Rn) Ln(Dsawah Ln(Ladang). Model persamaan RTH dan suhu permukaan terpilih memiliki pola sebanding di mana 29

43 semakin dekat jarak lahan terbangun terhadap RTH, maka suhu permukaan pada lahan terbangun akan semakin rendah. RTH yang berpengaruh nyata di Bogor adalah ladang dan sawah karena luasan vegetasi tinggi belum cukup dalam memenuhi kebutuhan Kota Bogor Saran Penelitian ini masih didasarkan pada asumsi-asumsi yang dapat menyebabkan kesalahan dalam perhitungannya, seperti mensyaratkan kondisi tidak terdapat awan dan neraca energi dihitung pada pukul waktu setempat. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan akurasi dan presisi pendugaan. Selain itu, perlu dipertimbangkan pula pengaruh jarak badan air terhadap suhu permukaan di lahan terbangun dan pengaruhnya terhadap vegetasi. Merujuk pada hasil penelitian, maka disarankan agar adanya penambahan RTH di Kota Bogor dan berpola menyebar sehingga pengaruh RTH akan efektif terhadap penurunan suhu permukaan pada lahan terbangun di perkotaan. DAFTAR PUSTAKA Adiningsih E S, Dyas W, Imam S Studi Pulau Panas di Jakarta dan Sekitarnya Dengan Menggunakan Data Satelit. Majalah LAPAN No. 68. LAPAN : Jakarta. Allen R G, Masahiro T, Kramber W J, Trezza R dan Wright J L Crop Evapotyranspiration-Guidelines for Computing Crop Water Requirement- FAO Irrigation and Drainage Paper 56. FAO-Food and Agricultue Organization of The United Nation. Rome. Darmawan M Pemetaan Liputan Lahan Skala Regional Menggunakan Metode Phenological Analisis. TIS:XIV:255. Draper N R dan Smith H Applied Regression Analysis, 2nd ed. New York : John Wiley and Sons. Handayani N Identifikasi Kapasitas Panas Kawasan Perkotaan Dengan Menggunakan Citra LANDSAT TM/ETM+ (Studi Kasus : Kodya Bogor) [Skripsi]. Departemen Geofisika dan Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Intitut Pertanin Bogor. Handoko Klimatologi Dasar. Pustaka Jaya. Bogor. Hermawan E Analisis Perubahan Komponen Neraca Energi Permukaan, Distribusi Urban Heat Island dan THI (Temperature Heat Index) Akibat Perubahan Penutup Lahan Dengan Menggunakan Citra Landsat TM/ETM+ (Studi Kasus Kanalung tahun 1991 dan 2001) [skripsi]. Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB. Bogor. Impron Neraca radiasi tanaman. Pelatihan Dosen-dosen Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian Barat dalam Bidang Agrometeorologi. Bogor 1-12 Februari Bogor. Jing H, Fienhua Z, Xiaomin S, Zilin Z dan Yanlian Z Study Of Model Correcting For The Effect Of Horrizontal Advection On Surfaces Fluxes Measurement Based Of Remote Sensing. Science in China Series: 49 : Jose JJS dan Berrade F Transfer Energy in A Cassava Community (Manihot esculenta Crantz cv. Cubana) 2 CO2 in Savanna Climate. Annals of Botany : 52 : June T Ekofisiologi tanaman. Pelatihan Dosen-dosen Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian Timur dalam Bidang Agrometeorologi. Bogor 26 Juli- 7 Agustus Bogor. Kiefer R W dan Lillesan T M Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Dulbahri et al, penerjemah. Yogyakarta : Gadjah Mada Unversity Press. Terjemahan dari : RemoJansete Sensing and Image Interpretation Khomarudin M R Pendugaan Evapotranspirasi Skala Regional Menggunakan Data Satelit Penginderaan Jauh [Thesis]. Sekolah Pascasarjana. IPB. Bogor. Knipling E B Physical And Physiological Basis For The Reflectance Of Visible and Near- Infrared Radiation from Vegetation. Remote Sensing of Environment : 1 : Lean J, Nobre C A dan Rowntree P R The Simulated of Amazonian Deforestation on Climate Using Measure ABRACOS Vegetation 30

44 Characteristics. New York : John Willey&Sons. Langensiepen M Evaporation and Energy Balance Encyclopedia of Water Science. Taylor & Francis : 1 : 153. Maharani L P, Khomarudin M R dan Santosa Imam Identifikasi Neraca Energi Untuk Deskripsi Potensi Kekeringan Dengan Data Landsat Tm (Studi Kasus Kota Semarang dan Sekitarnya). MBA : XIV : Meyers T P dan Hollinger S E An Assessment Of Storage Terms In The Surface Energy Balance Of Maize And Soybean. Agrformet : 125 : Michael R The Physical Environment. faculty/ritter/geog101/textbook/energ y/energy_balance.html [11 April 2011]. Monteith JL Vegetation and Atmosphere. Academic Press, London : 278. Newton E J dan Lackman G E The Penetration of Solar Radiation through Leaf Canopies of Different Structure. Annals of Botany : 34: Panuju R Telaah Pola Musiman Penutupan Lahan Beroegetasi dengan Xl2ARlMA pada NDVI SPOT VEGETATION [Prosding]. Institut Pertanian Bogor. Pusmahasib Perhitungan Neraca Energi Dan Neraca Air Pada Tanaman Padi [Skripsi]. Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA- IPB. Bogor Rauf A Intersepsi Hujan dan Pengaruhnya Terhadap Pemindahan Energi dan Massa pada Hutan Tropika Basah (Studi Kasus : Taman Nasional Lore Lindu). Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Rosenberg, Norman J Microclimate : The Biological Environment. John Willey&Sons. New York. Samson R dan Lemeur R Energy Balance Storage Terms And Big-Leaf Evapotranspiration In A Mixed Deciduous Forest. INRA : 58 : USGS Landsat 7 Science Data Users Handbook. /handbook_htmls/chapter111.html. [5 Juli 2010] Wardhani D E Pengkajian Suhu Udara Dan Indeks Kenyamanan Dalam Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Kota Semarang) [Skripsi]. Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB. Bogor. Waspadadi B L Metode Kuantifikasi Neraca Energi Pengaruh Luas dan Jarak Terhadap Kondisi Suhu Udara Dengan Menggunakan Data Citra Landsat TM/ETM+ [skripsi]. Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB. Bogor. Yoshida A Field Measurement on Energy Budgetof an Isolated Plant Unit. Department of Mechanical Engineering. Osaka Prefecture University 31

45 Lampiran 1. Peta Penutupan Lahan (Wm -2 ) Di Lokasi Penelitian 32

46 Lampiran 2. Peta Radiasi Netto (Wm -2 ) Di Lokasi Penelitian 33

47 Lampiran 3. Peta Fluks Panas Tanah (Wm -2 ) Di Lokasi Penelitian 34

48 Lampiran 4. Peta Fluks Panas Udara (Wm -2 ) Di Lokasi Penelitian 35

Tabel 3 Aliran energi dan massa III METODOLOGI. Variabel neraca energi. Vegetasi tinggi (MJm -2 hari -1 )

Tabel 3 Aliran energi dan massa III METODOLOGI. Variabel neraca energi. Vegetasi tinggi (MJm -2 hari -1 ) Tabel 3 Aliran energi dan massa Variabel neraca energi Vegetasi tinggi (MJm -2 hari -1 ) Rumput (MJm -2 hari -1 ) Rn 11.28±2.74 10.21±2.53 LE 8.41± 6.50 4.21±2.48 LE/Rn 74.56 41.23 H 2.85±6.16 6.00 2.69

Lebih terperinci

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut :

Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : Indeks Vegetasi Bentuk komputasi nilai-nilai indeks vegetasi matematis dapat dinyatakan sebagai berikut : NDVI=(band4 band3)/(band4+band3).18 Nilai-nilai indeks vegetasi di deteksi oleh instrument pada

Lebih terperinci

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997

Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 LAMPIRAN Lampiran 1. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 1997 17 Lampiran 2. Peta klasifikasi penutup lahan Kodya Bogor tahun 2006 18 Lampiran 3. Peta sebaran suhu permukaan Kodya Bogor tahun

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian dilakukan dari bulan Juli sampai September 2011 di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium Analisis Lingkungan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Citra Satelit Landsat

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Citra Satelit Landsat I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan penduduk merupakan faktor utama yang mempengaruhi perkembangan pemukiman dan kebutuhan prasarana dan sarana. Peningkatan jumlah penduduk yang disertai dengan

Lebih terperinci

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s

Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s 11 Nilai Io diasumsikan sebagai nilai R s, dan nilai I diperoleh berdasarkan hasil penghitungan nilai radiasi yang transmisikan oleh kanopi tumbuhan, sedangkan nilai koefisien pemadaman berkisar antara

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang.

III. METODOLOGI. Gambar 1. Peta Administrasi Kota Palembang. III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli-Oktober 2010. Lokasi penelitian di Kota Palembang dan Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan, Departemen Konservasi Sumberdaya

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian

PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian METODE Waktu dan Tempat Penelitian PENDAHULUAN Latar Belakang Kejadian kebakaran wilayah di Indonesia sudah menjadi peristiwa tahunan, khususnya di Pulau Sumatera dan Kalimantan. Pada tahun 2013 kebakaran di Pulau Sumatera semakin meningkat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 11 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu bulan Juli-Agustus 2010 dengan pemilihan lokasi di Kota Denpasar. Pengolahan data dilakukan di Laboratorium

Lebih terperinci

BAB III. METODOLOGI 2.5 Pengindraan Jauh ( Remote Sensing 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Data dan Alat Penelitian Data yang digunakan

BAB III. METODOLOGI 2.5 Pengindraan Jauh ( Remote Sensing 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian  3.2 Data dan Alat Penelitian Data yang digunakan 5 Tabel 2 Kisaran nilai albedo (unitless) tiap penutup lahan Penutup Lahan Albedo (Unitless) Min Max Mean Hutan alam 0.043 0.056 0.051 Agroforest Karet 0.048 0.058 0.052 Monokultur 0.051 0.065 0.053 Karet

Lebih terperinci

PENYUSUNAN METODE UNTUK MENDUGA NILAI RADIASI ABSORBSI DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS HUTAN GUNUNG WALAT SUKABUMI)

PENYUSUNAN METODE UNTUK MENDUGA NILAI RADIASI ABSORBSI DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS HUTAN GUNUNG WALAT SUKABUMI) PENYUSUNAN METODE UNTUK MENDUGA NILAI RADIASI ABSORBSI DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS HUTAN GUNUNG WALAT SUKABUMI) ANDIKA PRAWANTO DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software For evaluation only. 23 LAMPIRAN

Generated by Foxit PDF Creator Foxit Software  For evaluation only. 23 LAMPIRAN 23 LAMPIRAN 24 Lampiran 1 Diagram Alir Penelitian Data Citra LANDSAT-TM/ETM Koreksi Geometrik Croping Wilayah Kajian Kanal 2,4,5 Kanal 1,2,3 Kanal 3,4 Spectral Radiance (L λ ) Albedo NDVI Class Radiasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kesetimbangan radiasi pada vegetasi hutan adalah ρ + τ + α = 1, di mana α adalah proporsi kerapatan fluks radiasi matahari yang diabsorbsi oleh unit indeks luas daun,

Lebih terperinci

memberikan informasi tentang beberapa daftar penelitian LAI dengan pendekatan optik dan hukum Beer-Lambert.

memberikan informasi tentang beberapa daftar penelitian LAI dengan pendekatan optik dan hukum Beer-Lambert. 6 memberikan informasi tentang beberapa daftar penelitian LAI dengan pendekatan optik dan hukum Beer-Lambert. 2.7. Konsep Dasar Penginderaan Jauh Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Perubahan Rasio Hutan Sebelum membahas hasil simulasi model REMO, dilakukan analisis perubahan rasio hutan pada masing-masing simulasi yang dibuat. Dalam model

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pendugaan Parameter Input 4.1.1. Pendugaan Albedo Albedo merupakan rasio antara radiasi gelombang pendek yang dipantulkan dengan radiasi gelombang pendek yang datang. Namun

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Permukaan Suhu permukaan dapat diartikan sebagai suhu terluar suatu obyek. Untuk suatu tanah terbuka, suhu permukaan adalah suhu pada lapisan terluar permukaan tanah. Sedangkan

Lebih terperinci

METODE NERACA ENERGI UNTUK PERHITUNGAN LEAF AREA INDEX (LAI) DI LAHAN BERVEGETASI MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT RUDI SETIAWAN

METODE NERACA ENERGI UNTUK PERHITUNGAN LEAF AREA INDEX (LAI) DI LAHAN BERVEGETASI MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT RUDI SETIAWAN METODE NERACA ENERGI UNTUK PERHITUNGAN LEAF AREA INDEX (LAI) DI LAHAN BERVEGETASI MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT RUDI SETIAWAN DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penutupan Lahan 5.1.1 Penutupan lahan Kabupaten Sidoarjo Penutupan lahan (land cover) merupakan perwujudan fisik dari obyek dan yang menutupi permukaan tanpa mempersoalkan

Lebih terperinci

BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN 11 BAB III. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Klasifikasi dan Perubahan Penutupan Analisis yang dilakukan pada penelitian ini ditujukan untuk mengetahui tipe penutupan lahan yang mendominasi serta lokasi lahan

Lebih terperinci

BAB III DATA DAN METODOLOGI

BAB III DATA DAN METODOLOGI BAB III DATA DAN METODOLOGI 3.1 Data Dalam tugas akhir ini data yang di gunakan yaitu data meteorologi dan data citra satelit ASTER. Wilayah penelitian tugas akhir ini adalah daerah Bandung dan sekitarnya

Lebih terperinci

ix

ix DAFTAR ISI viii ix x DAFTAR TABEL Tabel 1.1. Emisivitas dari permukaan benda yang berbeda pada panjang gelombang 8 14 μm. 12 Tabel 1.2. Kesalahan suhu yang disebabkan oleh emisivitas objek pada suhu 288

Lebih terperinci

(Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah) MOCHAMMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN

(Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah) MOCHAMMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN PENYERAPAN RADIASI MATAHARI OLEH KANOPI HUTAN ALAM : KORELASI ANTARA PENGUKURAN DAN INDEKS VEGETASI (Studi kasus : Taman Nasional Lore-Lindu, Sulawesi Tengah) MOCHAMMAD TAUFIQURROCHMAN ABDUL AZIZ ZEIN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002.

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 3Perubahan tutupan lahan Jakarta tahun 1989 dan 2002. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi geografis daerah kajian Kota Jakarta merupakan ibukota Republik Indonesia yang berkembang pada wilayah pesisir. Keberadaan pelabuhan dan bandara menjadikan Jakarta

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 7 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum dan Distribusi Titik Panas (hotspot)provinsi Jambi Provinsi Jambi secara geografis terletak antara 0 o 45-2 o 45 LS dan 101 o 104 o 55 BT, terletak di tengah Pulau Sumatera

Lebih terperinci

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian 22 METODOLOGI Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kota Sukabumi, Jawa Barat pada 7 wilayah kecamatan dengan waktu penelitian pada bulan Juni sampai November 2009. Pada lokasi penelitian

Lebih terperinci

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL

BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL BAB IV PENGOLAHAN DATA DAN HASIL 4.1 Pengolahan Awal Citra ASTER Citra ASTER diolah menggunakan perangkat lunak ER Mapper 6.4 dan Arc GIS 9.2. Beberapa tahapan awal yang dilakukan yaitu konversi citra.

Lebih terperinci

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO

ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO ANALISIS KELEMBABAN TANAH PERMUKAAN MELALUI CITRA LANDSAT 7 ETM+ DI WILAYAH DATARAN KABUPATEN PURWOREJO Usulan Penelitian Untuk Skripsi S-1 Program Studi Geografi Disusun Oleh: Sediyo Adi Nugroho NIM:

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Suhu Udara Perkotaan Menurut Santosa (1986), kepadatan penduduk kota yang cukup tinggi akan mengakibatkan bertambahnya sumber kalor sebagai akibat dari aktifitas dan panas metabolisme

Lebih terperinci

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu

PEMANASAN BUMI BAB. Suhu dan Perpindahan Panas. Skala Suhu BAB 2 PEMANASAN BUMI S alah satu kemampuan bahasa pemrograman adalah untuk melakukan kontrol struktur perulangan. Hal ini disebabkan di dalam komputasi numerik, proses perulangan sering digunakan terutama

Lebih terperinci

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR

BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Hasil Pengolahan Band VNIR dan SWIR Hasil pengolahan dari nilai piksel band VNIR dan SWIR yang dibahas pada bab ini yaitu citra albedo, NDVI dan emisivitas. Ketiganya

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 2. TINJAUAN PUSTAKA

1. PENDAHULUAN 2. TINJAUAN PUSTAKA 1. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Suhu permukaan merupakan salah satu parameter yang utama dalam seluruh interaksi antara permukaan darat dengan atmosfer. Suhu permukaan darat merupakan contoh fenomena

Lebih terperinci

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002) BAB III METODA 3.1 Penginderaan Jauh Pertanian Pada penginderaan jauh pertanian, total intensitas yang diterima sensor radar (radar backscattering) merupakan energi elektromagnetik yang terpantul dari

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1.1 Latar Belakang BAB I. PENDAHULUAN Suhu menunjukkan gambaran umum energi kinetik suatu obyek, demikian juga dengan suhu udara. Oleh karena itu, tidak semua bentuk energi yang dikandung suatu obyek

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI PERUBAHAN KAPASITAS PANAS KAWASAN PERKOTAAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : KODYA BOGOR) NANIK HANDAYANI

IDENTIFIKASI PERUBAHAN KAPASITAS PANAS KAWASAN PERKOTAAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : KODYA BOGOR) NANIK HANDAYANI IDENTIFIKASI PERUBAHAN KAPASITAS PANAS KAWASAN PERKOTAAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : KODYA BOGOR) NANIK HANDAYANI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN

Lebih terperinci

LOKASI PENELITIAN 12/20/2011. Latar Belakang. Tujuan. Manfaat. Kondisi Umum

LOKASI PENELITIAN 12/20/2011. Latar Belakang. Tujuan. Manfaat. Kondisi Umum 12/2/211 Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Berdasarkan Distribusi Suhu Permukaan dan Temperature Humidity Index (THI) di Kota Palembang Muis Fajar E3462536 Dosen Pembimbing Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo,

Lebih terperinci

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011)

Gambar 1.1 Siklus Hidrologi (Kurkura, 2011) BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Air merupakan kebutuhan yang mutlak bagi setiap makhluk hidup di permukaan bumi. Seiring dengan pertambahan penduduk kebutuhan air pun meningkat. Namun, sekarang

Lebih terperinci

BAB III DATA DAN METODOLOGI PENELITIAN

BAB III DATA DAN METODOLOGI PENELITIAN BAB III DATA DAN METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Data Ada 3 data utama yang digunakan dalam penelitian ini. Data yang pertama adalah data citra satelit Landsat 7 ETM+ untuk daerah cekungan Bandung. Data yang

Lebih terperinci

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN Rahayu *), Danang Surya Candra **) *) Universitas Jendral Soedirman

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 6 3.3.5 Persamaan Hubungan RTH dengan Suhu Udara Penjelasan secara ilmiah mengenai laju pemanasan/pendinginan suhu udara akibat pengurangan atau penambahan RTH adalah mengikuti hukum pendinginan Newton,

Lebih terperinci

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321

Gambar 11. Citra ALOS AVNIR-2 dengan Citra Komposit RGB 321 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Analisis Spektral Citra yang digunakan pada penelitian ini adalah Citra ALOS AVNIR-2 yang diakuisisi pada tanggal 30 Juni 2009 seperti yang tampak pada Gambar 11. Untuk dapat

Lebih terperinci

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas

Pemanasan Bumi. Suhu dan Perpindahan Panas Pemanasan Bumi Meteorologi Suhu dan Perpindahan Panas Suhu merupakan besaran rata- rata energi kine4k yang dimiliki seluruh molekul dan atom- atom di udara. Udara yang dipanaskan akan memiliki energi kine4k

Lebih terperinci

HIDROMETEOROLOGI TATAP MUKA KEEMPAT (RADIASI SURYA)

HIDROMETEOROLOGI TATAP MUKA KEEMPAT (RADIASI SURYA) HIDROMETEOROLOGI TATAP MUKA KEEMPAT (RADIASI SURYA) Dosen : DR. ERY SUHARTANTO, ST. MT. JADFAN SIDQI FIDARI, ST., MT 1.PANCARAN RADIASI SURYA Meskipun hanya sebagian kecil dari radiasi yang dipancarkan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bandung, Provinsi Jawa Barat. Penelitian dilakukan dari tahun 2009 hingga tahun 2011. Penelitian dibagi

Lebih terperinci

SEMINAR NASIONAL GEOGRAFI UMS 2016 Farid Ibrahim, Fiqih Astriani, Th. Retno Wulan, Mega Dharma Putra, Edwin Maulana; Perbandingan Ekstraksi

SEMINAR NASIONAL GEOGRAFI UMS 2016 Farid Ibrahim, Fiqih Astriani, Th. Retno Wulan, Mega Dharma Putra, Edwin Maulana; Perbandingan Ekstraksi PERBANDINGAN EKSTRAKSI BRIGHTNESS TEMPERATUR LANDSAT 8 TIRS TANPA ATMOSPHERE CORRECTION DAN DENGAN MELIBATKAN ATMOSPHERIC CORRECTION UNTUK PENDUGAAN SUHU PERMUKAAN Farid Ibrahim 1, Fiqih Atriani 2, Th.

Lebih terperinci

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel.

menunjukkan nilai keakuratan yang cukup baik karena nilai tersebut lebih kecil dari limit maksimum kesalahan rata-rata yaitu 0,5 piksel. Lampiran 1. Praproses Citra 1. Perbaikan Citra Satelit Landsat Perbaikan ini dilakukan untuk menutupi citra satelit landsat yang rusak dengan data citra yang lainnya, pada penelitian ini dilakukan penggabungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagai bintang yang paling dekat dari planet biru Bumi, yaitu hanya berjarak sekitar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagai bintang yang paling dekat dari planet biru Bumi, yaitu hanya berjarak sekitar BAB NJAUAN PUSAKA Sebagai bintang yang paling dekat dari planet biru Bumi, yaitu hanya berjarak sekitar 150.000.000 km, sangatlah alami jika hanya pancaran energi matahari yang mempengaruhi dinamika atmosfer

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. 3.1 Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa :

BAB III PEMBAHASAN. 3.1 Data. Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa : 3.1 Data BAB III PEMBAHASAN Data yang digunakan dalam penelitian ini berupa : 1. Citra Landsat-5 TM, path 122 row 065, wilayah Jawa Barat yang direkam pada 2 Juli 2005 (sumber: LAPAN). Band yang digunakan

Lebih terperinci

Berkala Fisika ISSN : Vol. 17, No. 2, April 2014, hal 67-72

Berkala Fisika ISSN : Vol. 17, No. 2, April 2014, hal 67-72 Berkala Fisika ISSN : 1410-9662 Vol. 17, No. 2, April 2014, hal 67-72 ANALISIS DISTRIBUSI TEMPERATUR PERMUKAAN TANAH WILAYAH POTENSI PANAS BUMI MENGGUNAKAN TEKNIK PENGINDERAAN JAUH DI GUNUNG LAMONGAN,

Lebih terperinci

Analisis Rona Awal Lingkungan dari Pengolahan Citra Landsat 7 ETM+ (Studi Kasus :Daerah Eksplorasi Geothermal Kecamatan Sempol, Bondowoso)

Analisis Rona Awal Lingkungan dari Pengolahan Citra Landsat 7 ETM+ (Studi Kasus :Daerah Eksplorasi Geothermal Kecamatan Sempol, Bondowoso) JURNAL TEKNIK POMITS Vol. X, No. X, (Mar, 2013) ISSN: 2301-9271 Analisis Rona Awal Lingkungan dari Pengolahan Citra Landsat 7 ETM+ (Studi Kasus :Daerah Eksplorasi Geothermal Kecamatan Sempol, Bondowoso)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara beriklim tropis dengan posisi geografis diantara dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (Samudera Hindia dan Samudera

Lebih terperinci

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan)

Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan) Aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Monitoring Perubahan Ruang Terbuka Hijau (Studi Kasus : Wilayah Barat Kabupaten Pasuruan) Ardiawan Jati, Hepi Hapsari H, Udiana Wahyu D Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas

Lebih terperinci

Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur)

Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur) Pemetaan Tingkat Kekeringan Berdasarkan Parameter Indeks TVDI Data Citra Satelit Landsat-8 (Studi Kasus: Provinsi Jawa Timur) Diah Witarsih dan Bangun Muljo Sukojo Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik

Lebih terperinci

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: ( Print)

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: ( Print) ANALISA RELASI PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN DAN SUHU PERMUKAAN TANAH DI KOTA SURABAYA MENGGUNAKAN CITRA SATELIT MULTISPEKTRAL TAHUN 1994 2012 Dionysius Bryan S, Bangun Mulyo Sukotjo, Udiana Wahyu D Jurusan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS).

TINJAUAN PUSTAKA. Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o o LU. (perhitungan luas menggunakan perangkat GIS). TINJAUAN PUSTAKA Daerah Aliran Sungai (DAS) Besitang Sekilas Tentang DAS Besitang Secara geografis DAS Besitang terletak antara 03 o 45 04 o 22 44 LU dan 97 o 51 99 o 17 56 BT. Kawasan DAS Besitang melintasi

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Pengolahan Awal Citra (Pre-Image Processing) Pengolahan awal citra (Pre Image Proccesing) merupakan suatu kegiatan memperbaiki dan mengoreksi citra yang memiliki kesalahan

Lebih terperinci

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG

PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG Pengaruh Fenomena La-Nina terhadap SPL Feny Arafah PENGARUH FENOMENA LA-NINA TERHADAP SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN KABUPATEN MALANG 1) Feny Arafah 1) Dosen Prodi. Teknik Geodesi Fakultas Teknik Sipil

Lebih terperinci

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi

IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi 31 IV. METODOLOGI 4.1. Waktu dan Lokasi Waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakan penelitian ini adalah dimulai dari bulan April 2009 sampai dengan November 2009 yang secara umum terbagi terbagi menjadi

Lebih terperinci

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian

Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian 10 BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Maret 2011 dan berakhir pada bulan Oktober 2011. Penelitian ini terdiri atas pengamatan di lapang dan analisis

Lebih terperinci

IV. METODE PENELITIAN

IV. METODE PENELITIAN IV. METODE PENELITIAN 4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Taman Nasional Kerinci Seblat, tepatnya di Resort Batang Suliti, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah IV, Provinsi

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii PERNYATAAN... iii INTISARI... iv ABSTRACT... v KATA PENGANTAR... vi DAFTAR ISI... viii DAFTAR TABEL... xi DAFTAR GAMBAR... xiii DAFTAR LAMPIRAN...

Lebih terperinci

POLA SUHU PERMUKAAN DAN UDARA MENGGUNAKAN CITRA SATELIT LANDSAT MULTITEMPORAL

POLA SUHU PERMUKAAN DAN UDARA MENGGUNAKAN CITRA SATELIT LANDSAT MULTITEMPORAL Wiweka: Pola Suhu Permukaan dan Udara Menggunakan Citra Satelit Landsat Multitemporal POLA SUHU PERMUKAAN DAN UDARA MENGGUNAKAN CITRA SATELIT LANDSAT MULTITEMPORAL ESURFACE AND AIR TEMPERATURE PATTERN

Lebih terperinci

DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010

DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2010 PEMETAAN SEBARAN SUHU PERMUKAAN DAN HUBUNGANNYA TERHADAP PENUTUPAN LAHAN DENGAN MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT LANDSAT TM 5 (Studi Kasus: Kota Medan dan Kabupaten Deli Serdang) SKRIPSI Oleh : EDEN DESMOND

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian didasarkan pada penelitian Botanri (2010) di Pulau Seram Maluku. Analisis data dilakukan di Laboratorium Analisis Spasial Lingkungan,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang rawan terjadi kekeringan setiap tahunnya. Bencana kekeringan semakin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia dengan pola dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) xviii BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo) Evapotranspirasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh

Lebih terperinci

MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA

MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA MODEL PENDUGA BIOMASSA MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT HARLYN HARLINDA DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

,Variasi Spasial Temporal Suhu Permukaan Daratan Kota Metropolitan Bandung Raya Tahun

,Variasi Spasial Temporal Suhu Permukaan Daratan Kota Metropolitan Bandung Raya Tahun ,Variasi Spasial Temporal Suhu Permukaan Daratan Kota Metropolitan Bandung Raya Tahun 2014 2016 Safirah Timami 1, Sobirin 2, Ratna Saraswati 3 1 Mahasiswa Departemen Geografi. Fakultas MIPA, Universitas

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kebakaran Hutan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Definisi dan Tipe Kebakaran Hutan dan Lahan Kebakaran hutan adalah sebuah kejadian terbakarnya bahan bakar di hutan oleh api dan terjadi secara luas tidak

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kawasan Hutan Adat Kasepuhan Citorek, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Pengambilan data lapangan dilaksanakan bulan Februari

Lebih terperinci

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei

3. BAHAN DAN METODE. Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei 3. BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian yang meliputi pengolahan data citra dilakukan pada bulan Mei sampai September 2010. Lokasi penelitian di sekitar Perairan Pulau Pari, Kepulauan Seribu,

Lebih terperinci

Fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) bagi Kesetimbangan Lingkungan Atmosfer Perkotan

Fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) bagi Kesetimbangan Lingkungan Atmosfer Perkotan Fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) bagi Kesetimbangan Lingkungan Atmosfer Perkotan bagian 1 : Pendekatan perhitungan Suhu udara, Damping depth dan Diffusivitas thermal Oleh : Pendahuluan Ruang terbuka hijau

Lebih terperinci

Luas Luas. Luas (Ha) (Ha) Luas. (Ha) (Ha) Kalimantan Barat

Luas Luas. Luas (Ha) (Ha) Luas. (Ha) (Ha) Kalimantan Barat II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Hujan Tropis Hujan hujan tropis adalah daerah yang ditandai oleh tumbuh-tumbuhan subur dan rimbun serta curah hujan dan suhu yang tinggi sepanjang tahun. Hutan hujan tropis

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI PERUBAHAN KAPASITAS PANAS KAWASAN PERKOTAAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : KODYA BOGOR) NANIK HANDAYANI

IDENTIFIKASI PERUBAHAN KAPASITAS PANAS KAWASAN PERKOTAAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : KODYA BOGOR) NANIK HANDAYANI IDENTIFIKASI PERUBAHAN KAPASITAS PANAS KAWASAN PERKOTAAN DENGAN MENGGUNAKAN CITRA LANDSAT TM/ETM+ (STUDI KASUS : KODYA BOGOR) NANIK HANDAYANI DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kandungan air kanopi (Canopy Water Content) sangat erat kaitannya dalam kajian untuk mengetahui kondisi vegetasi maupun kondisi ekosistem terestrial pada umumnya. Pada

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 17 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Provinsi Kalimantan Barat. Provinsi Kalimantan Barat terletak di bagian barat pulau Kalimantan atau di antara

Lebih terperinci

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian

III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian 3.2 Lokasi Penelitian III. METODOLOGI 3.1 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Februari sampai September 2011. Kegiatan penelitian ini meliputi tahap prapenelitian (persiapan, survei), Inventarisasi (pengumpulan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN

III. METODOLOGI PENELITIAN III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan mulai bulan Febuari 2009 sampai Januari 2010, mengambil lokasi di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Pengolahan dan Analisis

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI DEDIKASI KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI. Halaman HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI DEDIKASI KATA PENGANTAR DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL i HALAMAN PENGESAHAN ii PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI iii MOTTO iv DEDIKASI v KATA PENGANTAR vi DAFTAR ISI viii DAFTAR TABEL xi DAFTAR GAMBAR xii DAFTAR LAMPIRAN xiv DAFTAR

Lebih terperinci

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN

KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN KOREKSI RADIOMETRIK CITRA LANDSAT-8 KANAL MULTISPEKTRAL MENGGUNAKAN TOP OF ATMOSPHERE (TOA) UNTUK MENDUKUNG KLASIFIKASI PENUTUP LAHAN Rahayu *), Danang Surya Candra **) *) Universitas Jendral Soedirman

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat Dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di laboratorium dan di lapang. Pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial dan penentuan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE taman nasional oleh Menteri Kehutanan tahun 1993 dengan luas kurang lebih mencapai 229.000 ha. Secara administratif pemerintahan berada pada Kabupaten Donggala dan Kabupaten Poso, Propinsi dati I Sulawesi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumatera Utara memiliki luas total sebesar 181.860,65 Km² yang terdiri dari luas daratan sebesar 71.680,68 Km² atau 3,73 % dari luas wilayah Republik Indonesia. Secara

Lebih terperinci

Jurnal Geodesi Undip Januari 2016

Jurnal Geodesi Undip Januari 2016 ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN TERHADAP DISTRIBUSI SUHU PERMUKAAN DAN KETERKAITANNYA DENGAN FENOMENA URBAN HEAT ISLAND Sendi Akhmad Al Mukmin, Arwan Putra Wijaya, Abdi Sukmono *) Program Studi

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Persiapan Tahap persiapan merupakan tahapan penting dalam penelitian ini. Proses persiapan data ini berpengaruh pada hasil akhir penelitian. Persiapan yang dilakukan meliputi

Lebih terperinci

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1 Self Dryer dengan kolektor terpisah. (sumber : L szl Imre, 2006).

BAB II DASAR TEORI. Gambar 2.1 Self Dryer dengan kolektor terpisah. (sumber : L szl Imre, 2006). 3 BAB II DASAR TEORI 2.1 Pengering Surya Pengering surya memanfaatkan energi matahari sebagai energi utama dalam proses pengeringan dengan bantuan kolektor surya. Ada tiga klasifikasi utama pengering surya

Lebih terperinci

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanfaatan penggunaan lahan akhir-akhir ini semakin mengalami peningkatan. Kecenderungan peningkatan penggunaan lahan dalam sektor permukiman dan industri mengakibatkan

Lebih terperinci

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I

11/25/2009. Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi. Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Introduction to Remote Sensing Campbell, James B. Bab I Sebuah gambar mengandung informasi dari obyek berupa: Posisi Ukuran Hubungan antar obyek Informasi spasial dari obyek Pengambilan data fisik dari

Lebih terperinci

METODE NERACA ENERGI UNTUK PERHITUNGAN INDEKS LUAS DAUN MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT MULTI SPEKTRAL

METODE NERACA ENERGI UNTUK PERHITUNGAN INDEKS LUAS DAUN MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT MULTI SPEKTRAL J. Agromet Indonesia 21 (2) : 27 38, 2007 METODE NERACA ENERGI UNTUK PERHITUNGAN INDEKS LUAS DAUN MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT MULTI SPEKTRAL (Energy Balance Method for Determining Leaf Area Index Land

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN HUTAN TERHADAP IKLIM DI PULAU KALIMANTAN MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL (REMO) SOFYAN AGUS SALIM G

ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN HUTAN TERHADAP IKLIM DI PULAU KALIMANTAN MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL (REMO) SOFYAN AGUS SALIM G ANALISIS DAMPAK PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN HUTAN TERHADAP IKLIM DI PULAU KALIMANTAN MENGGUNAKAN MODEL IKLIM REGIONAL (REMO) SOFYAN AGUS SALIM G02400013 DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

Gambar 5 Peta administrasi DKI Jakarta (Sumber : Jakarta.go.id)

Gambar 5 Peta administrasi DKI Jakarta (Sumber : Jakarta.go.id) 6 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Wilayah Kajian Jakarta terletak pada lintang 106 o 22 42 BT s.d. 106 o 58 18 BT dan 5 o 10 12 LS s.d. 6 o 23 54 LS. Berdasarkan Keputusan Gubernur Nomor 1227

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008).

TINJAUAN PUSTAKA. non hutan atau sebaliknya. Hasilnya, istilah kebakaran hutan dan lahan menjadi. istilah yang melekat di Indonesia (Syaufina, 2008). 3 TINJAUAN PUSTAKA Kebakaran hutan didefenisikan sebagai suatu kejadian dimana api melalap bahan bakar bervegetasi, yang terjadi didalam kawasan hutan yang menjalar secara bebas dan tidak terkendali di

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN 12 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama enam bulan mulai dari Bulan Juni sampai dengan Bulan Desember 2009. Penelitian ini terbagi atas pengambilan dan pengumpulan

Lebih terperinci

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E

DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E DISTRIBUSI HUTAN ALAM DAN LAJU PERUBAHANNYA MENURUT KABUPATEN DI INDONESIA LUKMANUL HAKIM E14101043 DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 RINGKASAN LUKMANUL HAKIM.

Lebih terperinci

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik 5. PEMBAHASAN Penginderaan jauh mempunyai peran penting dalam inventarisasi sumberdaya alam. Berbagai kekurangan dan kelebihan yang dimiliki penginderaan jauh mampu memberikan informasi yang cepat khususnya

Lebih terperinci

BAB V RADIASI. q= T 4 T 4

BAB V RADIASI. q= T 4 T 4 BAB V RADIASI Radiasi adalah proses perpindahan panas melalui gelombang elektromagnet atau paket-paket energi (photon) yang dapat merambat sampai jarak yang sangat jauh tanpa memerlukan interaksi dengan

Lebih terperinci

STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS

STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS STUDI PERUBAHAN SUHU PERMUKAAN LAUT (SPL) MENGGUNAKAN SATELIT AQUA MODIS Oleh : Dwi Ayu Retnaning Anggreyni 3507.100.017 Dosen Pembimbing: Prof.Dr.Ir. Bangun M S, DEA, DESS Lalu Muhammad Jaelani, ST, MSc

Lebih terperinci

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS

ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS ANALISA KESEHATAN VEGETASI MANGROVE BERDASARKAN NILAI NDVI (NORMALIZED DIFFERENCE VEGETATION INDEX ) MENGGUNAKAN CITRA ALOS Oleh : Tyas Eka Kusumaningrum 3509 100 001 LATAR BELAKANG Kawasan Pesisir Kota

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE III. BAHAN DAN METODE 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di daerah Daerah Aliran Sungai (DAS) Cipunagara dan sekitarnya, Jawa Barat (Gambar 1). DAS Cipunagara berada dibawah pengelolaan

Lebih terperinci

ANALISIS PERUBAHAN ALBEDO, SUHU PERMUKAAN DAN SUHU UDARA SEBAGAI DAMPAK PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT LANDSAT

ANALISIS PERUBAHAN ALBEDO, SUHU PERMUKAAN DAN SUHU UDARA SEBAGAI DAMPAK PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT LANDSAT ANALISIS PERUBAHAN ALBEDO, SUHU PERMUKAAN DAN SUHU UDARA SEBAGAI DAMPAK PERUBAHAN PENUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN DATA CITRA SATELIT LANDSAT (Studi Kasus : Provinsi Jambi, Path/Row 125/61) RYAN KARIDA PRATAMA

Lebih terperinci