PENGARUH ASAL TALUS TERHADAP PRODUKTIVITAS Eucheuma cottonii DAN Eucheuma spinosum DI PERAIRAN DESA SOMBANO KALEDUPA KABUPATEN WAKATOBI SKRIPSI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PENGARUH ASAL TALUS TERHADAP PRODUKTIVITAS Eucheuma cottonii DAN Eucheuma spinosum DI PERAIRAN DESA SOMBANO KALEDUPA KABUPATEN WAKATOBI SKRIPSI"

Transkripsi

1 PENGARUH ASAL TALUS TERHADAP PRODUKTIVITAS Eucheuma cottonii DAN Eucheuma spinosum DI PERAIRAN DESA SOMBANO KALEDUPA KABUPATEN WAKATOBI SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pada Jurusan Pendidikan Biologi AMALUDDIN A1C FAKULTAS KEGURUAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2017 i

2 ii

3 iii

4 Motto Kesuksesan hanya dapat diraih dengan segala upaya Dan usaha yang disertai dengan doa, karena sesungguhnya Nasib seseorang manusia tidak akan berubah dengan sendirinya Tanpa adanya usaha. iv

5 PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama NIM Jurusan Fakultas : Amaluddin : A1C : Pendidikan Biologi : Keguruan dan Ilmu Pendidikan Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini benarbenar tulisan saya, dan bukan merupakan plagiasi atau hasil karya orang lain sebagian atau seluruhnya. Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa skripsi ini bukan hasil karya saya atau hasil plagiasi, baik sebagian atau seluruhnya, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Kendari, Januari 2017 Yang Membuat Pernyataan, Amaluddin v

6 ABSTRAK Amaluddin (A1C212058); Pengaruh Asal Talus Terhadap Produktivitas Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum di Perairan Desa Sombano Kaledupa Kabupaten Wakatobi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh bagian asal talus terhadap produktivitas Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum. Jenis penelitian adalah penelitian eksperimen. Variabel bebas (X) yaitu asal talus bagian tengah dan ujung Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum. Variabel terikat (Y) yaitu produktivitas antara talus bagian ujung dan tengah Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum. Teknik analisis data menggunakan analisis deskriptif dan analisis Uji Beda (Independent-Sample t Test) dengan menggunakan bantuan program software SPSS ver. 16,0. Desain penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pada biomassa basah bagian ujung talus dan tengah talus Eucheuma cottonii mempunyai pengaruh yang signifikan dibandingkan dengan biomasaa basah bagian ujung talus dan tengah talus Eucheuma spinosum. Sementara pada pengukuran biomassa kering bagian ujung talus dan tengah talus Eucheuma spinosum mempunyai pengaruh yang signifikan dibandingkan dengan biomassa kering bagian ujung talus dan tengah talus Eucheuma cottonii. Kata Kunci : Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum asal talus, produktivitas. vi

7 DAFTAR ISI Halaman HALAMAN SAMPUL... i HALAMAN PERSETUJUAN... ii HALAMAN MOTTO... iii PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN... iv ABSTRAK... v DAFTAR ISI... vi DAFTAR TABEL... viii DAFTAR GAMBAR... ix DAFTAR LAMPIRAN... x PRAKATA... xi BAB I PENDAHULUAN... 1 A. Latar Belakang... 1 B. Rumusan Masalah... 3 C. Tujuan Penelitian... 3 D. Manfaat Penelitian... 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 4 A. Kajian Teori Biologi Alga Laju Pertumbuhan Alga 7 3. Produktivitas Alga Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Alga Klasifikasi Alga Reproduksi Alga Habitat Dan Penyebaran Pengadaan Dan Pemeliharaan Jarak Tanam Predator Pertumbuhan Alga B. Kajian Empirik C. Kerangka Berpikir D. Hipotesis BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian B. Variabel, Definisi Operasional dan Indikator Penelitian C. Sampel Penelitian D. Desain Penelitian E. Instrumen Penelitian dan Prosedur Pengumpulan Data vii

8 F. Teknik Analisis Data BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian B. Pengujian Hipotesis C. Pembahasan BAB V PENUTUP A. Simpulan B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN viii

9 DAFTAR TABEL No. Teks Halaman 3.1 Desain Penelitian Alat dan Kegunaan dalam Penelitian Bahan dan Kegunaan dalam Penelitian Hasil Pengukuran Faktor Lingkungan Lokasi Penelitian Rearata Biomassa Basah Dan Biomassa Kering Eucheuma cottonii Berdasarkan Asal Talus Rearata Biomassa Basah Dan Biomassa Kering Eucheuma spinosum Berdasarkan Asal Talus Uji Hipotesis perbedaan produktivitas Eucheuma cottonii dengan Eucheuma spinosum yang ditanam dari Ujung Talus pada Taraf Kepercayaan 95% Uji Hipotesis perbedaan produktivitas Eucheuma cottonii dengan Eucheuma spinosum yang ditanam dari Tengah Talus pada Taraf Kepercayaan 95% ix

10 DAFTAR GAMBAR No. Teks Halaman Alga Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum Alur Kerangka Berpikir Kurva pertumbuhan Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum Grafik Perbandingan Biomassa Basah pada Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum ditanam dari bagian Ujung Talus Grafik Perbandingan Biomassa Basah pada Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum ditanam dari bagian Ujung Talus Grafik Perbandingan Biomassa Basah pada Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum ditanam dari bagian Tengah Talus Grafik Perbandingan Biomassa Basah pada Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum ditanam dari bagian Tengah Talus x

11 DAFTAR LAMPIRAN No. Teks Halaman 1. Data Mentah Hasil Penelitian Hasil Analisis dengan Menggunakan Program Software SPSS ver 16, Dokumentasi Penelitian Peta Penelitian xi

12 PRAKATA Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang selalu memberikan rahmat dan hidayah-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian ini tepat pada waktunya. Shalawat serta salam juga tidak lupa penulis panjatkan kehadirat Rasulullah SAW. Penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini dapat berhasil hanya karena izin dan pertolongan dari Allah SWT. Penyelesaian penulisan Skripsi ini tidak terlepas dari kerja sama, dorongan, bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak, baik moril maupun materil. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Safilu, M.Si., selaku pembimbing I dan Damhuri, S.Pd., M.P., selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk memberikan bimbingan, arahan dan nasehat yang sangat berharga. Tidak lupa pula ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Jahidin, S.Pd., M.Si., Drs. La Kolaka, M.Si., Drs. Hittah Wahi Sudrajat, M.Kes, dan Lili Darlian, S.Si., M.Si., yang telah memberikan saran dan nasehat yang sangat berharga. Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada : 1. Rektor Universitas Halu Oleo. 2. Dekan FKIP Universitas Halu Oleo. 3. Koordinator dan sekertaris Jurusan/Program Studi Pendidikan Biologi. 4. Kepala Laboratorium Pengembangan Unit Pendidikan Biologi 5. Kepala Pengelola Asrama dan Pembina Putra Bidik Misi Universitas Halu Oleo xii

13 6. Dr. Safilu, M. Si yang telah memberikan bimbingan dan nasehat akademik selama menempuh perkuliahan di Program Studi Pendidikan Biologi. 7. Bapak dan Ibu dosen dalam Lingkup Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, khususnya Program Studi Pendidikan Biologi yang telah memberikan bimbingan yang sangat berharga selama di bangku perkuliahan. 8. Seluruh Asisten Laboratorium Pengembangan Unit Pendidikan Biologi, khususnya Muh. Subandri, S.Pd., Tarlin Yanzah, S.Pd., La Ode Imba, S.Pd dan Nasrudin Gito, S.Pd, Insar Arbain, S.Pd atas bimbingannya selama menempuh perkuliahan di Program Studi Pendidikan Biologi. 9. Saudara saudariku, Makra Wati, Nuning Martianingsih, Febriayanti Yunita, Lamrad Nur Putri A.A, Rosnia, Sofiana Imas, sahabatku Muhammad Uksim Alrazik yang telah banyak memberikan bantuan berupa nasehat dan tenaganya dan seluruh angkatan 2012 Pendidikan Biologi yang selalu memberikan doa dan dukungan kepada penulis. 10. Teman-teman Aktivis Dakwah Kampus (LDK) HTI dan seluruh pengurus HMPS Pend. Biologi Periode , serta teman-teman penerima beasiswa bidik misi angkatan yang selalu memberikan doa dan dukungan kepada penulis. Rasa Hormat, cinta, serta terima kasih yang tulus penulis sampaikan secara khusus kepada kedua orang tua tercinta ayahanda La Ode Ndaiki dan Almarhuma ibunda Wa Ampo yang telah membesarkan, mengasuh, mendidik dan selalu mendoakan penulis. Terima kasih kepada kakakku tersayang La Ode Samsuri, xiii

14 S.Pd dan La Ode Ariaddin, S.Pd yang selalu membantu dan menyengamati penulis selamah penempuh studi sampai menyelesaikan skripsi ini. Kendari, Januari 2017 Penyusun xiv

15 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Alga merupakan salah satu komoditas budidaya. Alga, orang awam menyebutnya rumput laut yang dapat diandalkan dan mudah dibudidayakan. Alga juga mempunyai prospek pasar yang baik serta dapat meningkatkan pemberdayaan masyarakat pantai. Berdasarkan morfologinya, alga tidak memperlihatkan adanya perbedaan antara akar, batang dan daun. Secara keseluruhan, tanaman ini mempunyai morfologi yang mirip, walaupun sebenarnya berbeda. Bentuk-bentuk tersebut sebenarnya hanyalah talus belaka. Keadaan warna tidak selalu tetap, kadang-kadang berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah. Perubahan warna sering terjadi hanya karena faktor lingkungan. Kejadian ini merupakan suatu proses adaptasi kromatik yaitu penyusaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan (Aslan, 2011 : 7). Struktur anatomi talus untuk tiap jenis alga berbeda-beda. Pada Eucheuma cottoni dan Eucheuma spinosum bentuk talus yang melintang mempunyai susunan sel yang berbeda. Perbedaan ini membantu dalam pengenalan berbagai jenis rumput laut baik dalam mengidentifikasi jenis, genus ataupun famili (Aslan, 2011 : 8). Sutrian (2004 : 11) menyatakan jaringan mudah atau meristem dapat terjadi dari sel-sel muda (Initiating cell) yang kegiatannya selalu meristematis. Meristem ujung (apikal) adalah jaringan muda yang terbentuk oleh sel-sel initial (muda). Letak jaringan ini terdapat di ujung dari talus, meristem 1

16 2 samping (lateral) adalah jaringan muda yang terbentuk oleh sel-sel initial, letak jaringan ini di tepi (lateral) talus, sedangkan meristem interkalar adalah jaringan muda yang terletak antara bagian jaringan dewasa. Pertumbuhan alga dikenal dengan dengan The Apical Cell Theory atau teori sel ujung yaitu tumbuhan-tumbuhan yang kenyataannya banyak mengandung sel apikal dengan sifatnya yang tersendiri. Pada pucuk talus terdapat sel initial. Sel initial ini kegiatannya selalu membelah untuk membentuk sel baru (Sutrian, 2004 : 12). Berdasarkan hasil observasi awal, dengan meninjau kondisi lingkungan perairan Desa Sombano, sangat memungkinkan untuk dilakukannya penanaman alga. Kondisi lingkungan tidak selalu panas, dan bila ditinjau dari arus air laut cocok untuk penanaman alga. Berdasarkan tata letak geografis, daerah lokasi penelitian memiliki berbagai macam ekosistem yang dapat menunjang proses pertumbuhan alga itu sendiri, mulai dari mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Lokasi tempat penelitian merupakan lokasi yang juga dilakukan oleh masyarakat untuk melakukan penanaman alga. Area penelitian ini juga berada pada area tempat penanaman alga yang dilakukan oleh seluruh masyarakat setempat. Masyarakat dalam melakukan proses penanaman alga tidak memperhatikan teknik budidaya. Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik melakukan penelitian yang memberikan pemahaman baru kepada seluruh masyarakat terkait bagaimana menggunakan bibit alga atau rumput laut dalam proses penanaman alga dengan menggunakan rakit apung. Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang Pengaruh Asal Talus Terhadap Produktivitas

17 3 Alga Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum di Perairan Desa Sombano Kaledupa Kabupaten Wakatobi. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka rumusan masalah yang hendak dikaji di dalam penelitian ini adalah Apakah ada perbedaan produktivitas alga Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum yang ditanam dari asal talus yang berbeda? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai di dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui perbandingan produktivitas alga Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum yang ditanam dari asal talus yang berbeda. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Memberikan informasi kepada masyarakat mengenai perbandingan produktivitas alga Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum yang ditanam dari asal talus yang berbeda. 2. Sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya yang relevan. 3. Sebagai latihan dan pengembangan diri bagi penulis untuk mengemukakan ide atau pemikiran secara ilmiah.

18 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Biologi Alga Morfologi alga tidak memperlihatkan adanya perbedaan antara akar, batang dan daun. Secara keseluruhan, tanaman ini mempunyai morfologi yang mirip, walaupun sebenarnya berbeda. Bentuk-bentuk tersebut sebenarnya hanyalah talus belaka. Morfologi Eucheuma cottonii adalah permukaan licin, Cartilogeneus Thalli (kerangka tubuh tumbuhan) bulat silindris atau gepeng, warnanya merah, abu-abu, hijau kuning, dan hijau, bercabang berselang tidak teratur, Dichotomous atau trikhoyomous, memiliki benjolan-benjolan (blunt nodule) dan duri-duri atau spines, dan substansi thalli gelatinus dan kartilagenus (lunak seperti tulang rawan). Keadaan warna tidak selalu tetap, kadang-kadang berwarna hijau, hijau kuning, abu-abu atau merah. Perubahan warna sering terjadi hanya karena faktor lingkungan. Kejadian ini merupakan suatu proses adaptasi kromatik yaitu penyesuaian antara proporsi pigmen dengan berbagai kualitas pencahayaan (Atmadja, 1996 : 9). Penampakan talus bervariasi mulai dari bentuk sederhana sampai kompleks. Duri-duri pada talus runcing memanjang, agak jarang dan tidak bersusun melingkari talus. Percabangan keberbagai arah dengan batang utama saling berdekatan ke daerah basal (pangkal). Tumbuh melekat ke substrat dengan alat perekat berupa cakram. Cabang-cabang pertama dan 4

19 5 kedua tumbuh dengan membentuk rumpun yang rimbun dengan ciri khusus mengarah ke arah datangnya sinar matahari (Atmadja, 1996 : 9). Struktur anatomi thalli (rangka tubuh tumbuhan) untuk tiap jenis alga berbeda-beda. Pada Eucheuma cottoni dan Eucheuma spinosum bentuk talus yang melintang mempunyai susunan sel yang berbeda. Perbedaan ini membantu dalam pengenalan berbagai jenis rumput laut baik dalam mengidentifikasi jenis, genus ataupun famili (Atmadja, 1996 : 9). Istilah talus (thallus, plural, thalli; dari kata Yunani thallos, kecambah) mengacuh pada tubuh alga yang mirip dengan tumbuhan. Akan tetapi, tidak seperti tubuh tumbuhan, talus tidak memiliki akar, batang dan daun sejati. Talus biasanya terdiri atas hold fast yang mirip sekali dengan akar yang berfungsi untuk menambatkan alga; dan stipe yang mirip dengan batang, berfungsi untuk mendukung blade, bagian serupa daun. Blade menyediakan sebagian besar permukaan fotosintetik bagi alga (Campbell, 2012 : 151). Alga coklat mendiami zona intertidal harus mengatasi air yang diaduk-aduk oleh ombak dan angin bersama dengan surutnya yang memaparkan alga pada udara yang kering dan pancaran sinar matahari. Alga coklat merupakan komoditas yang penting bagi manusia karena memiliki fungsi yang dapat dijadikan sebagai bahan makanan seperti membuat sup. Zat yang membentuk gel dalam dinding sel alga coklat disebut algin yang digunakan untuk mengentalkan banyak makanan olahan, termasuk puding, es krim dan dressing salad (Campbell, 2012 : 151). Banyak di antara 6000 spesies alga merah (red algae atau rhodophyta, dari kata Yunani rhodos, merah) yang telah dikeatahui

20 6 berwarna merah akibat pigmen fotosintetik aksesoris yang disebut fikoeritrin (phycoerythrin), yang menawarkan warna hijau klorofil. Akan tetapi spesies yang teradaptasi terhadap perairan yang lebih dangkal memiliki lebih sedikit fikoetritin. Akibatnya spesies alga merah mungkin akan berwarna merah kehijaun di perairan yang sangat dangkal, merah cerah pada kedalaman yang sedang, dan nyaris hitam pada kedalaman yang dalam. Alga merah merupakan alga berukuran besar yang paling berlimpah di perairan pesisir yang hangat di lautan tropis. Pigmen aksesorisnya memungkinkan mereka menyerap cahaya biru dan hijau, yang menembus cukup jauh ke dalam air (Campbell, 2012 : 154). Kebanyakan alga merah bersifat multiselular. Walaupun tidak ada yang sebesar kelp cokelat raksasa, alga merah multiselular yang paling besar mencakup alga yang secara informal disebut rumput laut. Talus dari dari banyak jenis alga merah berbentuk filamen, seringkali bercabang-cabang dan terjadi dalam pola sulaman. Alga merah memiliki siklus hidup yang sangat beranekaragam, dan penggilingan generasi umum terjadi. Alga merah berbeda dengan alga yang lain, karena tidak memiliki tahap berflagela pada siklus hidupnya dan bergantung pada arus air untuk menyatukan gametgamet pada saat fertilisasi (Campbell, 2012 : 155). Alga hijau terbagi menjadi dua kelompok utama, Chlorophyta (dari kata Yunani chloros, hijau) charophyta. Lebih dari spesies chlorophyta telah diidentifikasi. Kebanyakan hidup di perairan tawar, namun ada juga banyak spesies yang hidup di laut dan daratan. Chlorophyta yang paling sederhana adalah organisme uniselular seperti Chlamydomonas, yang menyerupai gamet dan

21 7 zoospora dari chlorophyta yang hidup mendiami tanah yang lembab (Campbell, 2012 : 155). 2. Laju Pertumbuhan Alga Pertumbuhan adalah proses pertambahan panjang atau berat dari suatu organisme hidup selama selang waktu tertentu. Penambahan biomassa rumput laut disebabkan adanya proses terjadinya persaingan diantara tanaman dalam memperoleh zat makanan, ruang gerak dan cahaya matahari (Shadhori, 1995 : 76). Yang paling umum, pertumbuhan berarti pertambahan ukuran. Organisme multisel tumbuh dari zigot, pertambahan itu bukan hanya dalam volume, tapi juga dalam bobot pada tumbuhan itu sendiri Salisbury (1995 : 2). Syaputra (2005: 45) pertumbuhan adalah perubahan ukuran diameter, panjang dan talus pada rumput laut dalam waktu tertentu. Pertumbuhan rumput laut sangat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang berpengaruh antara lain jenis, galur, bagian talus dan umur. Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh antara keadaan fisik dan kimiawi perairan. Namun demikian, faktor lain yang sangat menentukan keberhasilan pertumbuhan dari rumput laut yaitu pengelolaan yang dilakukan oleh manusia. Faktor pengelolaan yang harus diperhatikan seperti substrat perairan dan juga jarak tanaman bibit dalam satu rakit apung. Pertumbuhan juga merupakan salah satu aspek biologi yang harus diperhatikan. Ukuran bibit rumput laut yang ditanam sangat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan dan bibit talus yang berasal dari bagian ujung yang akan memberikan laju pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan dengan

22 8 bibit talus dari bagian pangkal. Menurut Sukirman (2014 : 12) laju pertumbuhan rumput laut yang dianggap cukup menguntungkan adalah di atas 30% pertambahan berat / hari. Proses pertumbuhan alga dapat pula berlangsung karena adanya peran aktif dari zat fitohormon, yakni zat organik yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit, namun jumlah yang sedikit ini dapat menentukan berlangsungnya suatu proses fisiologis. Fitohormon ini berupa zat-zat yang membantu proses pertumbuhan, sering juga disebut zat penumbuh atau hormon pertumbuhan (Dawes, 1981 : 94). Sutrian (2004 : 11) mengatakan jaringan mudah atau meristem dapat terjadi dari sel-sel muda (Initiating cell) yang kegiatannya selalu meristematis. Meristem ujung adalah jaringan muda yang terbentuk oleh sel-sel initial (muda). Letak jaringan ini terdapat di ujung-ujung dari talus, meristem samping adalah jaringan muda yang terbentuk oleh sel-sel initial, letak jaringan ini di tepi dari talus, sedangkan meristem interkalar adalah jaringan mudah yang terletak antara bagian jaringan-jaringan dewasa. Pertumbuhan alga dikenal dengan dengan The Apical Cell Theory atau teori sel ujung yaitu tumbuhan-tumbuhan yang kenyataannya banyak mengandung sel apikal dengan sifatnya yang tersendiri. Pada pucuk talus terdapat sel initial. Sel initial ini kegiatannya selalu membelah untuk membentuk sel baru (Sutrian, 2004 : 11). Pertumbuhan alga dikategorikan dalam pertumbuhan somatik dan pertumbuhan fisiologi. Pertumbuhan somatik merupakan pertumbuhan yang diukur berdasarkan pertambahan berat atau panjang talus, sedangkan

23 9 pertumbuhan fisiologi dilihat berdasarkan reproduksi dan kandungan koloidnya (Kamlasi, 2008 : 12). 3. Produktivitas Alga Produktivitas alga yang rendah mengacu pada keterbatasan produksi yang dihasilkan yang berdampak pada pendapatan petani rumput laut. Menurut Kadi (2004 : 25) penurunan produksi alami maupun budidaya ini biasanya dipengaruhi kondisi panen yang tidak tepat waktu petik atau oleh pengaruh penyimpangan musim yang berakibat buruk tehadap pertumbuhan alga sebagai akibat dari faktor hidrologi yang tidak sesuai. Pertumbuhan alga akan kerdil atau mati. Pertumbuhan dan kelangsungan hidup juga ditunjang oleh kestabilan substrat sebagai tempat tumbuh, yakni pengaruh aktivitas manusia sehari-hari di atas substrat "reef flats" di daerah terumbu karang yang dapat menimbulkan tekanan terhadap kehadiran dan keanekaragaman alga. Menurut Departemen Pertanian (1999), penanaman merupakan kegiatan terencana untuk pemeliharaan sumberdaya hayati yang dilakukan pada suatu areal lahan untuk diambil manfaat atau hasil panennya. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan penanaman adalah kegiatan atau upaya manusia dalam bentuk pemeliharaan dan pengembangan sumber daya alam hayati dengan mengguanakan modal, teknologi dan sumber daya lain guna diambil manfaatnya. Rumput laut atau sea weed secara ilmiah dikenal dengan istilah alga atau ganggang. Menurut Kordi (2011), ada beberapa metode yang dikembangkan dalam penanaman alga yaitu metode dasar, metode lepas

24 10 dasar, metode rakit, metode tali panjang dan metode tali gantung. Menurut Pratikto, dkk (1997), perairan pantai merupakan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Ada beberapa kondisi parameter perairan pantai yang digunakan dalam penanaman alga yaitu suhu, arus, salinitas, kedalaman dan kecerahan. produksi dan produktivitas. Menurut Nursid, (1997) mengemukakan bahwa produksi adalah kegiatan manusia untuk menghasilkan barang dan jasa atau kegiatan menambah nilai suatu barang. Syarif (1990), mengartikan produktivitas sebagai perbandingan totalitas pengeluaran pada waktu-waktu tertentu dibagi totalitas masukan selama periode tersebut. Menurut Kartasapoetra (1986), pendapatan merupakan jumlah barang-barang ataupun jasa yang dapat dihasilkan setiap tahunnya, merupakan hasil produksi bersama-sama dari masyarakat yang dapat diukur dengan uang dan masih merupakan pendapatan kotor, setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan barulah merupakan penghasilan bersih. Untuk menentukan tingkat produktivitas penanaman alga ditentukan pada parameter perairan yang mendukung penanaman alga, jumlah produksi dan jumlah pendapatan. Hal ini menunjukkan apabila tingkat produktivitasnya tinggi maka pendapatan yang dihasilkan juga tinggi. Apabila pendapatan tinggi akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 4. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Produktivitas Alga a. Suhu Suhu perairan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mempelajari gejala-gejala fisika air laut dan perairan yang dapat

25 11 mempengaruhi kehidupan hewan dan tumbuhan pada perairan tersebut. Suhu perairan mempengaruhi laju fotosintesis. Nilai suhu perairan yang optimal untuk laju fotosintesis berbeda pada setiap jenis. Secara prinsip suhu yang tinggi dapat menyebabkan protein mengalami denaturasi, serta dapat merusak enzim dan membran sel yang bersifat labil terhadap suhu yang tinggi. Pada suhu yang rendah, protein dan lemak membran dapat mengalami kerusakan sebagai akibat terbentuknya kristal di dalam sel (Nontji, 2005 : 53). Alga laut mempunyai kisaran suhu yang spesifik karena adanya kandungan enzim pada alga laut. Alga laut akan tumbuh dengan subur pada daerah yang sesuai dengan suhu pertumbuhannya. Dawes (1974 : 79), menyatakan bahwa Eucheuma isoforme, Eucheuma sp, gelidium masingmasing mencapai nilai optimum pada suhu 21 0 C, 24 0 C dan C yang berada pada kondisi intensitas cahaya yang sama. Selanjutnya dikatakan pada kondisi intensitas cahaya yang berbeda, laju fotosintesis dipengaruhi juga oleh suhu perairan. Menurut Sulistijo dan Atmadja (1996 : 48) kisaran suhu perairan yang baik untuk alga Eucheuma sp. adalah C, sedangkan menurut Zatnika (1987) dalam Supit (1989: 24) adalah sebesar C. b. Salinitas Alga pada salinitas yang tinggi. Penurunan salinitas akibat air tawar yang masuk akan menyebabkan pertumbuhan rumput laut menjadi tidak normal. Salinitas yang dianjurkan untuk penanaman alga sebaiknya jauh dari mulut muara sungai. Salinitas yang dianjurkan untuk penanaman alga

26 12 K. alvarezii adalah ppt). Namun, pertumbuhan optimalnya dicapai pada salinitas ppt (Parenrengi, dkk., 2010: 28). Salinitas perairan penting bagi organisme laut terutama dalam mengatur tekanan osmosis yang ada dalam tubuh organisme dengan lingkungannya. Zatnika dan Angkasa (1994 : 15) menyatakan bahwa salinitas perairan untuk budidaya rumput laut jenis Eucheuma sp berkisar antara ppt. Dimana salinitas perairan selama penelitian berkisar antara ppt, salinitas maksimum terjadi pada minggu ke-1 dan ke-7, dari hasil penelitian nilai salinitas cenderung konstan karena diduga adanya aliran arus yang sedang dan merata sehingga memperlihatkan bahwa salinitas pada perairan ini cukup menunjang pertumbuhan dan perkembangan rumput laut Eucheuma sp. c. Kecerahan Kecerahan matahari merupakan sumber energi dalam proses fotosintesis. Dalam proses fotosintesis terjadi pembentukkan bahan organik yang diperlukan bagi pertumbuhan dan perkembangan yang normal. Kecerahan perairan berhubungan erat dengan penetrasi cahaya matahari. Kecerahan perairan yang ideal lebih dari 1 m. Air yang keruh (biasanya mengandung lumpur) dapat menghalangi tembusnya cahaya matahari di dalam air sehingga proses fotosintesis menjadi terganggu (DKP, 2006: 45). Selanjutnya Sujatmiko dan Angkas (2004) dalam Asjan (2014: 14) menambahkan bahwa kedalaman air yang baik tidak kurang dari 5 m dilihat dari jarak pandang secara horizontal.

27 13 Kecerahan merupakan ukuran transpirasi perairan yang ditentukan secara visual dengan menggunakan sechi disk. Nilai ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu pengukuran, kekeruhan, padatan tersuspensi dan ketelitian orang melakukan pengukuran (Effendy :2003) dalam Asjan (2014:15). d. Pergerakan air Pergerakan air adalah faktor ekologi utama yang mengontrol kondisi komunitas alga laut. Arus dan gelombang memiliki pengaruh yang besar terhadap aerasi, transportasi nutrien dan pengadukan air. Pengadukan air berperan untuk menghindari fluktuasi suhu yang besar. Soegiarto (1999 : 67) mengemukakan bahwa semakin kuat arus suatu perairan maka pertumbuhan alga laut akan semakin cepat karena difusi nutrien ke dalam sel talus semakin banyak, sehingga metabolisme dipercepat. Pergerakan massa air yang cukup kuat mampu menjaga alga bersih dari sedimen sehingga semua bagian talus dapat berfungsi untuk melakukan fotosintesis. Semakin cepat arus, maka semakin banyak nutrien inorganik yang terbawa air dan dapat diserap oleh tumbuhan melalui proses difusi. Pada air yang diam tumbuhann kurang mendapatkan nutrien, sehingga mengganggu proses fotosintesis. Maka dari itu benih rumput laut harus ditanam pada daerah dimana terdapat arus yang kuat yaitu kisaran cm/detik Sulistijo (2002 : 67). Arus juga merupakan salah satu penyebab stadia reproduksi dan persporaan alga laut. Hal ini penting terutama dalam penyebab spora,

28 14 peletakkan dan pertumbuhannya. Winarno (1996 : 90) menyatakan bahwa pergerakkan air atau arus dapat memindahkan atau menyuplai hara dari bagian perairan sekitarnya. Alasan rumput laut biasanya tumbuh dengan baik di daerah dengan pergerakkan arus yang baik adalah jika tidak bergerak, maka rumput laut akan mengambil nutrien yang tersedia dalam jumlah terbatas, jika tersedia pergerakan air lebih aktif, maka nutrien yang tersedia akan lebih banyak. Arus yang lebih cepat dan ombak yang terlalu tinggi dapat menimbulkan kerusakan tanaman, seperti dapat patah, robek ataupun terlepas dari substratnya. Selain itu penyebaran unsur hara akan terhambat dan air laut menjadi keruh (Indriani dan Sumiarsih, 1999 : 106). Menurut Sulistijo dan Atmadja (1996 : 67) salah satu syarat untuk menentukan lokasi Euchema sp. adalah adanya arus dengan kecepatan 0,33-0,66 m/detik. Adapun tinggi gelombang yang baik untuk pertumbuhan alga laut yaitu tidak lebih dari 30 cm (Apriyana, 2006 : 17). e. Pasang surut Naik turunnya permukaan laut secara periodik selama interval waktu tertentu disebut pasang surut. Hal serupa juga dikatakan oleh Bhatt (1978 : 47) bahwa pasut adalah periode naik turunnya permukaan air laut yang merupakan hasil gaya tarik-menarik bumi dan bulan, dan sebagian kecil disebabkan gaya tarik menarik bumi dan matahari. Pasang surut dapat memperbesar atau memperkecil pergerakan arus-arus lain, fenomena seperti ini terutama sekali muncul di perairan pantai. Secara umum dapat dikatakan bahwa kekuatan arus pasut dipengaruhi oleh kondisi pasang dan surut.

29 15 Menurut Nontji (1993 : 20) ada beberapa faktor yang mempengaruhi sifat pasut diantaranya kedalaman laut, posisi kedudukan bulan dan matahari relatif terhadap bumi serta pantai. Semua ini menimbulkan penyimpangan dari kondisi yang ideal dan dapat menimbulkan ciri-ciri pasut yang berbedabeda dari suatu lokasi ke lokasi yang lainnya. Dalam kaitannya dengan fenomena biologi bahwa pengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap fenomena biologi laut, seperti distribusi dan suksesi organisme. Frekuensi pasang surut juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan alga laut diwilayah intertidal. Pada pasang semidiurnal yang memiliki frekuensi yang lebih besar dari pada pasang diurnal lebih menyokong bermacam-macam populasi alga laut. f. Substrat Substrat perairan merupakan dasar perairan dimana alga laut dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Penyebaran alga laut dan kepadatannya di suatu perairan tergantung pada tipe substrat, musim dan komposisi jenis. Mubarak dan Wahyuni (1981) dalam Legit (2014 : 19) menyatakan bahwa jenis-jenis substrat yang dapat ditumbuhi oleh alga laut adalah pasir, lumpur dan pecahan karang. Tipe substrat yang paling baik bagi pertumbuhan alga laut adalah campuran pasir, karang dan pecahan karang. Pada substrat perairan yang lunak seperti pasir dan lumpur, akan banyak dijumpai jenis-jenis alga laut Halimeda sp, Caulerpa sp, Gracillaria sp. Sedangkan dasar perairan yang bersubstrat keras seperti karang hidup, batu karang dan pecahan karang akan banyak di jumpai jenis-jenis alga laut Sargassum sp, Turbinaria sp, Ulvasp, dan Entermorpha sp.

30 16 Nontji (1993) dalam Alhamdu (2014 : 18) menyatakan bahwa sedikitnya alga laut yang terdapat pada perairan dengan dasar pasir atau berlumpur, disebabkan karena terbatasnya benda keras yang cukup kokoh untuk tempat melekatnya. Susunan kimia dari substrat tidak mempengaruhi kehidupan alga laut, hanya sebagai tempat melekatnya alga laut pada dasar perairan. Alga laut Eucheuma sp. paling baik pertumbuhannya adalah pada dasar perairan berkarang. g. Kedalaman Kedalaman perairan sangat tergantung dengan metode budidaya yang akan dipilh. Pemilihan kedalaman perairan yang tepat dilakukan untuk menghindari kekeringan dan mengoptimalkan pencapaian sinar matahari ke alga. Penanaman alga ke dalam air berkisar cm pada surut terendah pada kedalaman antara 0-30 cm dan cm, pertumbuhan alga masih berlangsung cukup baik (Effendy, 2003 : 79). Kedalaman perairan rata-rata yang diperlukan untuk pertumbuhan rumput laut tergantung pada jumlah intensitas cahaya matahari. Menurut Soegianto dan Sulistijo (1978 : 31 ). Kedalaman yang ideal bagi pertumbuhan rumput laut di Kepulauan Seribu dengan metode dasar dalam 0,3-0,6 m pada surut terendah. Keadaan yang demikian dapat mencegah kekeringan bagi tanaman Syahputra (2005 : 31). DKP (2006) dalam Asjan (2014 : 15) menyatakan bahwa kedalaman perairan yang baik untuk pertumbuhan alga jenis Eucheuma spinosum yaitu berkisar antara cm saat surut terendah.

31 17 h. Unsur hara Rumput laut atau alga sebagaimana tanaman berklorofil lainnya memerlukan unsur hara sebagai bahan baku untuk proses fotosintesis. Untuk menunjang pertumbuhan diperlukan ketersediaan unsur hara dalam perairan. Masuknya material atau unsur hara ke dalam jaringan tubuh alga adalah dengan jalan proses difusi yang terjadi pada seluruh bagian permukaan tubuh alga. Bila difusi makin banyak akan mempercepat proses metabolisme sehingga akan meningkatkan laju pertumbuhan. Proses difusi dipengaruhi oleh faktor lingkungan terutama oleh adanya gerakan air (Doty dan Glenn 1981 : 71). Unsur hara yang dibutuhkan oleh tumbuhan termasuk fitoplankton dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu makronutrien, dibutuhkan dalam jumlah banyak dan mikronutrien, dibutuhkan dalam jumlah yang sedikit. Yang termasuk makro nutrien yang dibutuhkan oleh alga adalah sulfat, potasium, kalsium, magnesium, karbon, nitrogen, dan fosfor. Sulfat dibutuhkan untuk sintesis protein berupa ikatan sulfat dan produksi polisakarida sulfat (karaginan). Potasium sebagai aktifator enzim, magnesium untuk sintesis klorofil, kalsium untuk pembentukan membran sel dan dinding sel, karbon untuk pembentukan karbohidrat (karaginan), nitrogen untuk pertumbuhan tanaman dan fosfor untuk pembangkitan energi dan proses transfer, sedangkan yang termasuk mikro nutrien meliputi Fe, Mn, Cu, Si, Zn, Na, Mo, Cl dan V. (Baracca, 1999) dalam Asjan (2014 : 21) menyataka bahwa unsur N dan P diperlukan untuk pertumbuhan, reproduksi dan untuk pembentukan cadangan makanan berupa kandungan zat-zat organik seperti karbohidrat protein dan lemak.

32 18 i. Nitrat (NO3) Nitrat merupakan sumber nitrogen yang terbaik untuk pertumbuhan alga. Kombinasi nitrogen dan fosfor yang berbanding 5:1 adalah optimum untuk pertumbuhan. Sama hal dengan nitrat, fosfor merupakan komponen penting untuk pertumbuhan alga (Yusuf, 2004 : 57). Kadar nitrat-nitrogen pada perairan alami biasanya jarang melebihi 0,1 mg/l. Kadar nitrat yang melebihi 5 mg/l. menggambarkan terjadinya pencemaran antropogenik yang berasal dari aktivitas manusia dan tinja hewan. Kadar nitrat-nitrogen yang melebihi 0,2 mg/l dapat mengakibatkan terjadinya eutrofikasi (pengayaan) perairan yang selanjutnya menstimulasi pertumbuhan alga dan tumbuhan air secara pesat (blooming) Effendi, 2003 : 38). Nitrat merupakan salah satu unsur yang dibutuhkan untuk produktivitas alga. Nitrat diperairan laut, digambarkan sebagai senyawa mikronutrien pengontrol produktivitas primer dilapisan permukaan daerah eufotik. Kadar nitrat didaerah eufotik sangat dipengaruhi oleh transportasi nitrat di daerah tersebut. Menurut Effendi (2003 : 25) bahwa kadar nitratnitrogen pada perairan alami hampir tidak pernah lebih dari 0,1 mg/l, akan tetapi jika kadar nitrat lebih besar dari 0,2 mg/l akan mengakibatkan eutrofikasi (pengayaan) yang selanjutnya menstimulir pertumbuhan alga dan tumbuhan air secara pesat. j. Fosfat (PO4) Fosfat adalah satu dari beberapa untuk kunci yang esensial untuk pertumbuhan ganggang dalam air. Fosfat merupakan unsur esensial berasal dari pencemaran industri, hanyutan dari pupuk, limbah kosmetik, hancuran

33 19 bahan organik dan mineral-mineral fosfat, sehingga unsur hara yang menjadi komponen penting bagi pertumbuhan alga adalah nitrat (NO3) dan fosfat (PO4) tanaman (Yusuf, 2004:39). Fosfor merupakan unsur penting bagi semua aspek kehidupan terutama berfungsi untuk transformasi energi metabolik yang perannya tak dapat digantikan oleh unsur lain (Kuhl, 1974 : ). Unsur fosfor merupakan penyusun ikatan pirofosfat dari adenosin trifosfat (ATP) yang kaya energi dan merupakan bahan bakar bagi semua kegiatan dalam semua sel hidup serta merupakan penyusun sel yang penting. Senyawa fosfat merupakan penyusun fosfolipid yang penting sebagai penyusun membran dan terdapat dalam jumlah besar. Energi yang dibebaskan dari hidrosis pirofosfat dan berbagai ikatan fosfat organik digunakan untuk mengendalikan berbagai reaksi kimia (Noggle dan Fritz, 1986 : 33). Kandungan fosfor dalam sel alga mempengaruhi laju serapan fosfat, yaitu berkurang sejalan dengan meningkatnya kandungan fosfat dalam sel. Beberapa jenis alga mampu menyerap fosfat pada konsentrasi yang sangat rendah serta mempunyai enzim alkaline. Dapat dikatakan bahwa kekurangan fosfat akan lebih kritis bagi tanaman akuatik termasuk tanaman alga, dibandingkan dengan bila kekurangan nitrat di perairan. Dilain pihak fosfor walaupun ketersediannya dalam perairan sering melimpah dalam bentuk berbagai senyawa fosfat namun hanya dalam bentuk ortofosfat (PO4) yang dapat dimanfaatkan langsung oleh tanaman akuatik (Fritz, 1986 : 33). Kebutuhan fosfat untuk pertumbuhan optimum bagi alga dipengaruhi oleh senyawa nitrogen. Batas tertinggi konsentrasi fosfat akan lebih rendah

34 20 jika nitrogen berada dalam bentuk garam amonium. Sebaliknya jika nitrogen dalam bentuk nitrat, konsentrasi tertinggi fosfat yang diperlukan akan lebih tinggi. Batas terendah konsentrasi untuk pertumbuhan optimum alga laut berkisar antara 0,018-0,090 ppm P-PO4 apabila nitrogen dalam bentuk nitrat, sedangkan bila nitrogen dalam bentuk amonium batas tertinggi berkisar pada 1,78 ppm P-PO4 (Fritz, 1986 : 34). Senyawa fosfat dalam perairan berasal dari sumber alami seperti erosi tanah, buangan hewan dan lapukan tumbuhan serta dari laut itu sendiri. Fosfat diabsorbsi oleh fitoplankton dan seterusnya masuk ke dalam rantai makanan. Dalam air laut, kadar rata-rata fosfat adalah sekitar 2ug at PO4-p/l (Fritz, 1986 : 34).

35 21 5. Klasifikasi Alga Klasifikasi Alga Euchema menurut Anggadiredja dkk (2010: 7) adalah sebagai berikut Regnum : Plantae Divisio Classis Ordo Familia Genus Spesies : Rhodophyta : Rhodophyceae : Gigartinales : Soliericeae : Eucheuma : Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum Gambar. 1 Alga Euchema cottonii dan Euchema spinosum (Poncomulyo, 2006 : 26) Rumput laut (Seaweed) secara biologi termasuk salah satu anggota alga yang terdiri dari satu atau banyak sel, berbentuk koloni, hidupnya bersifat bentik di daerah perairan dangkal, berpasir, berkarang atau berpasir, daerah pasut, jernih dan biasanya menempel pada karang mati, potongan kerang dan substrat yang keras lainnya baik terbentuk secara alamiah maupun buatan. Dari segi morfologi alga tidak memperlihatkan adanya perbedaan

36 22 antara akar, batang dan daun. Secara keseluruhan tumbuhan ini mempunyai bentuk yang mirip, walaupun sebenarnya berbeda. Bentuk-bentuk tersebut hanyalah talus belaka (Aslan, 1991 : 15). Deskripsi alga Eucheuma memiliki talus bulat silindris, warna hijau tua, percabangan tidak teratur, dikhotomous, mempunyai benjolan, duri yang pendek dan talus lunak seperti tulang rawan (Asmadin, 2009 : 6). Ciri-ciri dari Eucheuma adalah mempunyai talus kasar, agak pipih dan bercabang tidak teratur, yaitu bercabang dua atau tiga, ujung-ujung percabangan ada yang runcing dan tumpul dengan permukaan bergerigi, agak kasar dan berbintik-bintik. Adapun warna dari rumput laut ini biasanya kuning kecoklatan hingga merah ungu (Afrianto dan Liviawati, 1993 : 76). Alga mempunyai peranan penting dalam ekosistem laut dangkal karena menduduki posisi sebagai produsen utama. Randal Eldrek (1983) dalam Mukti (1987 : 31) rumput laut merupakan sumber makanan utama bagi beberapa invertebrata ikan, di samping itu rumput laut juga merupakan tempat perlindungan dan tempat mencari makan bagi beberapa jenis hewan laut, sehingga keberadaan rumput laut pada suatu perairan dapat menjadi parameter kesuburan perairan tersebut. 6. Reproduksi Alga Reproduksi rumput laut umumnya dilakukan melalui tiga cara yaitu secara vegetatif (seksual dengan gamet), generatif (aseksual dengan spora) dan pembelahan sel. Secara generatif terjadi dengan adanya peleburan antara gamet-gamet yang berbeda yaitu antara spermatozoid yang dihasilkan dalam antheridia dengan sel telur atau ovum yang dihasilkan dalam oogenium.

37 23 Reproduksi secara fragmentasi terjadi pada alga uniseluler yaitu dengan cara pembelahan sel sedangkan pada alga multiseluler, talus akan patah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil kemudian tiap bagian tersebut akan tumbuh menjadi individu baru (Sumiarsih dan Indriani, 2003 : 23). Reproduksi secara vegetatif yaitu mula-mula tanaman tetrasporofit yang hidup bebas (diploid) sel-selnya menjalani proses meiosis. Tetraspora kemudian dilepaskan dan berkembang menjadi gametofit jantan dan betina yang haploid. Gametofit jantan yang telah dewasa menghasilkan sel-sel spermatangial yang nantinya menjadi sel spermatangia, sedangkan gametofit betina menghasilkan sel khusus yang disebut karpogonia yang dihasilkan dari cabang-cabang karpogonial (Sumiarsih dan Indriani, 2003 : 23). Proses fertilisasi terjadi setelah spermatium mencapai trikogin dan karpogonium, meleburkan intinya dan bersatu dengan inti telur. Zygot yang dihasilkan mengalami pembelahan menjadi sel-sel yang bersifat diploid. Kelompok sel yang diploid tersebut dinamakan karposporofit. Karposporofit dapat dianggap sebagai gametofit betina karena mengambil makanan darinya. Inti-inti diploid tersebut dapat terbawa ke sel-sel lain dalam gametofit betina melalui filamen coblast. Akibatnya dalam satu kali fertilisasi dapat terbentuk karposporofit diploid yang akan tumbuh menjadi tetrasporofit ( Dawes, 1981: 27). Menurut Kadi dan Atmadja (1988 : 45) menyatakan bahwa berbagai faktor-faktor lingkungan sangat berpengaruh dalam proses reproduksi rumput laut seperti suhu, salinitas, cahaya, gerakan air (arus) dan unsur hara (nitrat dan fosfat). Perkembangbiakan alga pada dasarnya ada dua macam, yaitu secara kawin dan tidak kawin. Pada perkembangbiakan secara kawin, gametofit

38 24 jantan melalui pori spermatangia akan menghasilkan sel jantan yang disebut spermatia. Spermatia ini akan membuahi sel betiana pada cabang carpogonia dari gametofit betina. Hasil pembuahan ini akan keluar sebagai caspospora. Setelah terjadi proses germinasi akan tumbuh menjadi tanaman yang tidak beralat kelamin atau disebut sporofit (Poncomulyo, dkk, 2006 : 5). 7. Habitat dan penyebaran Alga adalah tumbuhan berklorofil yang terdapat satu atau banyak sel, berbentuk koloni, hidupnya bersifat bentik pada tempat-tempat yang perairannya dangkal dan dasar perairannya berpasir, berlumpur atau pasir berlumpur. Alga menyenangi daerah yang pasang surut yang perairannya jernih dan menempel pada karang, potongan karang, maupun substrat keras lainnya, baik yang di bentuk secara alamiah maupun buatan. Kondisi yang cocok bagi pertumbuhan alga adalah perairan yang jernih dengan ombak yang tidak terlalu besar (Afrianto dan Liviawaty, 1993 : 98). Tempat tumbuh alga tersebut berfungsi sebagai tempat menempel agar tahan terhadap terpaan ombak. Setelah memerlukan tempat menempel alga juga memerlukan sinar matahari untuk melangsungkan fotosintesis. Tempat hidup Clorophyceae umumnya lebih dekat dengan pantai, lebih ketengah lagi phaeophyceae dan yang lebih dalam lagi Rhodophyceae (Indriani dan Sumiarsih, 1991 : 86). 8. Pengadaan dan pemeliharaan Bibit alga berasal dari stok alam atau dari hasil budidaya. Keuntungan bila bibit dari berasal dari stok alam adalah di samping mudah pengadaanya, juga cocok dengan persyaratannya pertumbuhan secara alami. Sedangkan

39 25 kerugiannya adalah bibit sering tercampur dengan jenis alga lain. Bibit yang berasal dari tanaman induk yang sehat, segar dan bebas dari jenis lain dan tanaman induk yang sehat dipilih dari hasil penanaman bukan stok alam (Tim penulis PS, 2003 : 22). Bibit alga yang baik untuk ditanam adalah monospesies, muda, bersih, dan segar. Selanjutnya pengumpulan, pengangkutan dan penyimpanan bibit harus dilakukan dalam keadaan lembab serta terhindar dari panas, minyak, air tawar dan bahan kimia lain (Kolang et al., 1996). Kualitas dan kuantitas produksi budidaya alga sangat ditentukan oleh bibit alga itu sendiri, maka kegiatan penyediaan bibit harus direncanakan dan memperhatikan sumber perolehan (Sumiarsih dan Indriani, 2003 : 22). Lama penyimpanan harus diperhatikan dengan seksama, hindari terkena bahan bakar minyak, kehujanan, dan kekeringan. Menurut Kadi dan Atmadja (1988 : 95) persyaratan lingkungan yang harus dipenuhi bagi budidaya Eucheuma cottonii yaitu bersubstrat pasir, dasar perairan terdiri dari campuran karang mati dan karang kasar, terlindung dari ombak yang terlalu kuat dan umumnya di daerah terumbu karang, tempat dan lingkungan perairan tidak mengalami pencemaran, kedalaman air pada waktu surut terendah cm, perairan dilalui arus tetap dari laut lepas sepanjang tahun, kecepatan arus m/detik, jauh dari mulut sungai, perairan tidak mengandung lumpur dan airnya jernih, suhu air laut sekitar C dan salinitas sekitar ppt. Sulistijo (2002 : 76) menyatakan bahwa alga yang baik adalah bercabang banyak dan rimbun, tidak terdapat penyakit bercak putih dan

40 26 mulus tanpa ada cacat terkelupas. Bibit alga yang terpilih tidak lebih dari 24 jam penyimpanan ditempat kering dan harus terlindung dari sinar matahari juga pencemaran (terutama minyak), tidak boleh direndam air laut dalam wadah, penyimpanan yang baik adalah di laut dalam jaring agar sirkulasi air terjaga sementara. Bibit yang diperoleh adalah bagian ujung tanaman (muda) umumnya memberikan pertumbuhan yang baik dan hasil produktivitas mengandung karaginan yang lebih tinggi dibandingkan dengan bibit dari sisa hasil produktivitas atau tanaman tua (Indriani dan Sumiarsih, 1999 : 86). Saat yang baik untuk penebaran maupun penanaman bibit adalah pada saat cuaca teduh (tidak mendung) dan yang paling baik adalah pagi hari atau sore hari menjelang malam. Tahap pemeliharaan dilakukan seminggu setelah penanaman, bibit yang ditanam harus diperiksa dan dipelihara dengan baik melalui pengawasan yang teratur dan kontinyu. Bila kondisi perairan kurang baik, seperti ombak yang keras, angin serta suasana perairan yang dipengaruhi musim hujan atau kemarau, maka perlu pengawasan 2-3 hari sekali, sedangkan hal lain yang penting diperhatikan adalah menghadapi serangan predator dan penyakit (Indriani dan Sumiarsih, 1999 : 86). 9. Jarak tanam Winarno (1996 : 98). menyatakan bahwa jarak tanam yang menggunakan rakit apung yaitu dengan jarak 30 cm menunjukkan pertumbuhan harian yang paling tinggi sebesar 3,59% perhari. Pertumbuhan rumput laut juga dipengaruhi oleh jarak bibit yang diikat pada tali. Afrianto dan Liviawati (1993: 103) menyarankan jarak tanam antara bibit tidak kurang dari 20 cm. menyatakan jarak tanam yang memberikan

41 27 pertumbuhan yang baik adalah cm. Jarak tanam 20 cm menurut Indriani dan Sumiarsih (1999: 76), untuk metode rakit, sedangkan untuk metode lepas dasar bibit diikat pada jarak 30 cm. 10. Predator Pertumbuhan Alga Salah satu fungsi ekologi dari rumput laut dimana areal komunitas rumput laut dijadikan spawning area dan nursery area oleh organisme laut yang dapat menjadi hama. Hama alga umumnya adalah organisme laut yang memangsa alga sehingga akan menimbulkan kerusakan fisik talus dimana talusakan mudah terkupas, patah ataupun habis dimakan hama Tim Penulis (1991 : 15) Ditjen Perikanan (2004) dalam Tim Penulis (1991 : 15) menyatakan bahwa hama penyerang alga dibagi menjadi dua menurut ukuran hama, yaitu hama mikro merupakan organisme laut yang mempunyai panjang kurang dari 2 cm dan hama makro yang terdapat di lokasi budidaya dan sudah dalam bentuk ukuran besar atau dewasa. Hama yang hidup menumpang pada talus rumput laut, misalnya larva bulu babi (Tripneustes sp) yang bersifat planktonik, melayang-layang didalam air dan kemudian menempel pada tanaman alga. Beberapa hama makro yang sering dijumpai pada budidaya alga adalah ikan Beronang (Siganus sp), bintang laut (Protoreaster nodosus), bulu babi (Diademasetosum sp), bulu babi duri pendek (Tripneustes sp), penyu hijau (Cheloniamydas). Alga penempel dalam koloni yang cukup besar akan menggaggu pertumbuhan alga. Alga penempel tersebut antara lain adalah Hipnea, Dictyota, acanthopora, Laurensia, padina, Amphiroa dan alga filamen seperti chaetomorpha, Lyngbya dan Symploca (Atmadja dan Sulistijo, 1977 : 65).

42 28 B. Kajian Empirik Jenis penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh: 1. Mamang (2010), menyimpulkan bahwa alga asal ujung thallus pertumbuhannya cenderung lebih baik dari pada asal tengah thallus dan pangkal. 2. Misrah (2011), Produktivitas Rumput Laut Eucheuma cottonii Berdasarkan Bagian Thallus (Ujung, Tengah dan Pangkal) Dengan Metode Rakit Apung. 3. Hamid (2009), Pengaruh Berat Bibit Awal Dengan Metode Apung (Floating Method) Terhadap Persentase Produktivitas Harian Rumput Laut (Eucheuma cottonii).

43 29 C. Kerangka Berpikir Produktivitas Eucheuma cottonii Eucheuma spinosum Faktor Eksternal Faktor Internal Lingkungan Perairan Laut Bagian Talus Bobot Bibit Tengah Ujung 100gr Berat Basah Berat Kering Keterangan : Diteliti Tidak diteliti Gambar 2.2. Alur Kerangka Berpikir

44 30 D. Hipotesis Penelitian Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada perbedaan produktivitas antara Eucheuma cottonii dengan Eucheuma spinosum yang ditanam dari asal talus yang berbeda Berdasarkan hipotesis tersebut maka dapat dirumuskan hipotesis statistiknya sebagai berikut: H o : µ 1 = µ 2, (Tidak ada perbedaan produktivitas antara Eucheuma cottonii dengan Eucheuma spinosum yang ditanam dari asal talus yang berbeda) H 1 :µ 1 µ 1, (Ada perbedaan produktivitas antara Eucheuma cottonii dengan Eucheuma spinosum yang ditanam dari asal talus yang berbeda )

45 31 BAB III METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan pada tanggal 24 Juni sampai 28 Juli 2016 bertempat di perairan Desa Sombano, Kecamatan Kaledupa, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara. B. Variabel, Definisi Operasional dan Indikator Penelitian 1. Variabel Penelitian Variabel yang diamati di dalam penelitian ini adalah: a. Variabel bebas (X) yaitu asal talus bagian tengah dan ujung Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum. b. Variabel terikat (Y) yaitu produktivitas alga antara bagian ujung dan tengah Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum. 2. Definisi Operasional Definisi operasional dari penelitian ini adalah Produktivitas alga pertambahan bobot basah dan kering untuk bagian ujung talus dan tengah talus Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum dengan menggunakan metode rakit apung selama 35 hari penanaman di perairan laut Desa Sombano Kecamatan Kaledupa Kabupaten Wakatobi. 3. Indikator Penelitian Indikator produktivitas dalam penelitian ini adalah bobot basah dan kering asal talus Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum selama penanaman (35) hari. 31

46 32 C. Sampel Penelitian Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah 1 rakit apung penanaman alga yang berukuran 8 x 4 meter dengan masing-masing jarak antara tali ris 50 cm. D. Desain dan Rancangan Penelitian 1. Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen. Perlakuan yang diberikan berupa potongan asal talus pada bagian tengah dan ujung dengan bobot awal bibit yang sama (100) gram, sehingga dapat diketahui produktivitas selama waktu pengamatan. Penelitian eksperimen data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan menggunakan Analisis Deskriptif untuk menentukan rerata Produktivitas. Selain itu dilakukan Analisis inferensial berupa uji beda (Uji t sampel bebas). Uji t sampel bebas dilakukan menggunakan bantuan program software SPSS ver. 16,0 pada taraf kepercayaan 95 % (α = 0,05). 2. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 2 perlakuan yaitu asal talus pada bagian, ujung (X 1 ) dan tengah (X 2 ). Secara skematik desain penelitian ini tercantum pada Tabel 1.

47 Tabel 1.Desain Penelitian produktivitas alga Eucheuma cottonii dan Euchema spinosum berdasarkan Asal Talus di perairan Desa Sombano Kecamatan Kaledupa Kabupaten Wakatobi. Desain Berdasarkan Hasil Perambangan RAK Eucheuma cottonii Eucheuma spinosum Ujung Tengah Ujung Tengah X 1 A,1,2,3 n X 2 A,1,2,3 n X 1 A,1,2,3 n X 2 A,1,2,3 n X 1 A,1,2,3 n X 2 A,1,2,3 n X 1 A,1,2,3 n X 2 A,1,2,3 n X 1 A,1,2,3 n X 2 A,1,2,3 n X 1 A,1,2,3 n X 2 A,1,2,3 n X 1 A,1,2,3 n X 2 A,1,2,3 n X 1 A,1,2,3 n X 2 A,1,2,3 n X 1 A,1,2,3 n X 2 A,1,2,3 n X 1 A,1,2,3 n X 2 A,1,2,3 n 33 Keterangan: X 1 X 2 A 1,2,3 n = Bagian Ujung Talus = Bagian Tengah Talus = Asal talus Ulangan ke-n

48 34 E. Instrumen Penelitian dan Prosedur Pengumpulan Data 1. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian ini menggunakan dua pengumpulan data, yaitu alat dan bahan untuk digunakan dalam penelitian. a. Alat yang digunakan Alat yang digunakan dalam penelitian ini tercantum pada Tabel.1. Tabel 1. Alat yang Digunakan dalam Penelitian No. Nama Alat Fungsi Pisau Timbangan Neraca Pegas Termometer ph meter Meteran Ember plastik Perahu Kamera Stopwatch Handrefractometer Untuk memotong talus rumput laut (tengah dan ujung) Untuk menimbang berat talus Untuk mengukur suhu perairan Untuk mengukur ph air laut Untuk mengukur panjang tali Untuk menyimpan rumput laut selama penimbangan berlangsung Untuk sarana transportasi selama penanaman, pengukuran lingkungan dan panen. Alat dokumentasi selama penelitian berlangsung Untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan selama pengukuran kecepatan arus Mengukur kadar garam/salinitas

49 35 b. Bahan yang digunakan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini tercantum pada Tabel.2. Tabel 2. Bahan yang Digunakan dalam Penelitian No Nama Bahan Fungsi Bibit Euchema cottoniidan Euchema spinosum Tali polietilen Tali cincin Bambu (Palang) Bendera Untuk obyek atau sampel penelitian Sebagai tali utama dan tali ris tempat mengikat bibit Untuk mengikat bibit Sebagai tempat untuk mengikat tali ris utama Sebagai tanda atau kode lokasi penelitian 2. Prosedur Pengumpulan Data a. Tahap Persiapan 1)Penentuan lokasi penelitian Lokasi penelitian merupakan pusat Penanaman alga yang telah dilakukan sejak dulu oleh masyarakat setempat. Adapun lokasi yang ditetapkan diusahakan merupakan daerah yang memiliki potensi alga yang cukup besar. Selain itu, parameter fisika air laut perlu diperhatikan karena dapat menunjang hasil penelitian. 2) Persiapan bibit Bibit yang digunakan diambil disekitar lokasi penelitian. Bibit yang ada selanjutnya dipilah dan dipilih yang sehat bebas dari hama dan penyakit, padat berisi dan berwarna cerah, setelah dipilih kemudian dipisahkan bagian talusnya antara bagian tengah dan ujung dengan berat yang sama.

50 36 b. Teknik Penanaman Metode penanaman alga dalam penelitian ini adalah rakit apung. Metode ini merupakan cara penanaman yang dilakukan pada permukaan air dan terapung sehingga mengikuti naik turunnya permukaan air. Metode ini diambil berdasarkan dari keputusan Direktorat Jenderal Perikanan (2004 : 25) menyatakan bahwa metode yang paling baik digunakan diantara ketiga metode yaitu metode rakit apung, selain itu berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa metode rakit apung lebih baik dibandingkan dengan metode lepas dasar. Bibit yang akan digunakan ditimbang dengan bobot bibit yang sama. Satu-satunya teknik penanaman bibit talus dalam penanaman alga selama ini adalah secara fragmentasi. Talus dipotong-potong dengan menggunakan pisau dari bagian ujung, tengah dan pangkal. Dasar penggunaan bibit dari ujung, tengah dan pangkal (asal talus) didasari pada hasil laju pertumbuhan yang akan diperoleh saat panen, sehingga dapat diketahui bagian talus yang paling baik untuk dijadikan bibit dalam penanaman alga. Selanjutnya masing-masing rakit apung diikat bibit basah yang dilakukan di darat pada rakit yang telah dibuat. Adapun langkahlangkahnya sebagai berikut: 1) Pada rakit yang telah dibuat, dipasang kurang lebih 4 talis ris dengan jarak tiap tali ris 50 cm dengan masing-masing panjang tali ris sekitar 8 meter. Lalu pada rakit apung dipasang bibit alga dengan bagian talus ujung dan tengah yang telah ditentukan tiap tali risnya.

51 37 2) Benih alga diikat pada tali nilon atau tali rafia yang telah disimpulkan pada tali ris dengan jarak antara simpul sama yaitu 30 cm dengan asal talus bagian ujung dan tengah. 3) Jarak antara tali ris yang satu dengan tali ris yang lain disamakan dengan perlakuan jarak tanam yang digunakan, artinya jika jarak tanam yang digunakan 30 cm, maka jarak antara tali risnya sekitar 50 cm. c. Teknik Pengamatan 1) Talus yang akan diuji,akan ditimbang dengan berat yang sama 100 gram, kemudian ditimbang setiap minggu sekali untuk mengukur pertambahan produktivitas, untuk dicatat pertambahan bobot talus sampai 35 hari. 2) Sampel alga disetiap tali ris ditimbang secara berurutan dengan cara membuka ikatan tali ris satu persatu. Sampel yang sudah ditimbang kemudian langsung dikeringkan untuk penimbangan bobot kering. 3) Selama masa penanaman alga tidak diberi perlakuan apapun termasuk dibersihkan dari kotoran yang menempel. Tujuannya adalah supaya hasil produktivits murni dipengaruhi oleh keadaan lingkungan, tanpa campur tangan manusia. 4) Pengukuran parameter lingkungan dilakukan secara bersamaan setiap minggu pada saat pengukuran pertumbuhan bobot basah talus alga. Parameter fisika seperti suhu, kecerahan, kedalaman, kecepatan dan arah arus, gelombang, pasang surut, posisi, cuaca dan substrat dasar diukur secara langsung di lokasi penelitian (in situ). Pengukuran suhu permukaan air diukur dengan menggunakan termometer analog yang dicelupkan sekitar ½ m dari permukaan air dengan tiga kali ulangan tiap satu waktu.

52 38 Pengukuran kedalaman diukur dengan menggunakan alat pengukur panjang, dan dilakukan sebelum peletakan rakit apung dengan menggunakan alat pengukur panjang. Kecepatan arus diukur dengan menggunakan floating droudge dengan prinsip membandingkan jarak yang ditempuh dengan lamanya pergerakan floating droudge adapun prosedurnya dengan dilepas ke permukaan air dan dicatat waktu yang dibutuhkan untuk mencapai jarak 1 meter dari posisi awal, setelah itu tentukan arah arus dengan menggunakan kompas. 5) Pengukuran parameter biologi dilakukan secara bersamaan setiap minggu pada saat pengukuran pertumbuhan bobot basah dan bobot kering talus alga. Pengukuran bobot alga dilakukan tiap pengamatan dengan menggunakan neraca pegas 2 kg dengan ketelitian 0,1 gr. 6) Pengukuran pada lokasi penelitian dilakukan tiap hari yang telah ditentukan. Waktu pengambilan data dilakukan setiap pekan, untuk mengukur pertumbuhan dengan menimbang bobot setiap minggunya. F. Teknik Analisis Data Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis dengan menggunakan Analisis Deskriptif untuk menentukan rerata produktivitas. Selain itu dilakukan Analisis inferensial berupa uji beda (Uji t sampel bebas). Uji ini dilakukan menggunakan bantuan program software SPSS ver. 16,0 pada taraf kepercayaan 95 % (α = 0,05).

53 39 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Penelitian 1. Faktor Lingkungan di Lokasi Penelitian Secara geografis lokasi penelitian merupakan daerah pesisir laut dangkal dengan kedalaman berkisar 1-2 meter. Kondisi ombak di wilayah ini tergolong lemah dan masih dipengaruhi oleh pasang surut. Faktor lingkungan lain yang diukur dalam penelitian ini tercantum pada Tabel 4.1. Tabel 4.1. Hasil Pengukuran Faktor Lingkungan di Lokasi Penelitian No. Faktor Lingkungan Hasil Pengukuran Suhu ( 0 C) Salinitas (ppt) ph Kedalaman (cm) Kecepatan Arus (m/s) Berdasarkan data pada Tabel 4.1 terlihat bahwa kisaran faktor lingkungan yang teramati selama penelitian relatif kecil. Sementara itu fluktuasi yang paling terlihat pada faktor kecepatan arus karena dipengaruhi oleh kecepatan angin setempat. 2. Kurva Pertumbuhan Berdasarkan data pengukuran dengan indikator biomassa basah terlihat bahwa setiap minggu pengukuran pertumbuhan talus ujung selalu lebih tinggi dibandingkan dengan talus tengah, baik pada Eucheuma cottonii maupun Eucheuma spinosum sebagaima yang disajikan pada Gambar

54 Gr E.cottonii Ujung E.cottonii tengah E.spinosum ujung E.spinosum tengah Minggu ke- Gambar 4.1 Kurva Pertumbuhan Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum pada setiap pemanenan 3. Pertumbuhan Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum Perbandingan produktivitas Eucheuma cottonii berdasarkan asal talus yang ditanam dengan indikator biomassa tercantum pada Tabel 4.2. Tabel 4.2 Rerata Biomassa Basah dan Biomassa Kering Talus Ujung Berdasarkan Jenis Spesies yang Ditanam Perlakuan Rerata Biomassa Waktu Pemanenan Basah (gram) Kering (gram) Panen ke Panen ke Eucheuma cottonii Eucheuma spinosum Panen ke Panen ke Panen ke Panen ke Panen ke Panen ke Panen ke Panen ke Berdasarkan hasil analisis deskriptif terhadap rerata biomassa basah talus ujung sebagaimana yang tercantum pada Tabel 4.1 terlihat bahwa Eucheuma cottonii menunjukan produktivitas yang berbeda dengan

55 41 Eucheuma spinosum. Pada pengukuran pertama Eucheuma cottonii memiliki berat basah 147 gram sedangkan Eucheuma spinosum 140 gram. Begitupula dengan pengukuran selanjutnya ditemukan hasil serupa, dimana Eucheuma cottonii menunjukan biomassa basah yang lebih besar. Hal serupa terlihat pada hasil pengukuran biomassa kering. Konsistensi perbedaan tersebut secara visual dapat dilihat pada Gambar 4.2 dan Gr E. cottonii E.spinosum Gambar 4.2 Gambar Gr Grafik Perbandingan Biomassa Basah (Eucheuma cottonii dengan Eucheuma spinosum yang ditanam dari bagian Ujung Talus Minggu ke- E. cottonii E.spinosum Minggu ke- Grafik Perbandingan Biomassa Kering (Eucheuma cottonii dengan Eucheuma spinosum yang ditanam dari bagian Ujung Talus.

56 Pada pengamatan terhadap talus tengah terlihat adanya produktivitas yang berbeda antara Eucheuma cottonii dengan Eucheuma spinosum sebagaimana yang tercantum Tabel 4.3. Tabel 4.3 Rerata Biomassa Basah dan Biomassa Kering Talus Tengah Berdasarkan Jenis Spesies yang Ditanam 42 Perlakuan Eucheuma cottonii Eucheuma spinosum Rerata Biomassa Waktu Pemanenan Basah (gram) Kering (gram) Panen ke Panen ke Panen ke Panen ke Panen ke Panen ke Panen ke Panen ke Panen ke Panen ke Berdasarkan data pada Tabel 4.3 dan grafik pada Gambar 4.3 terlihat bahwa ada perbedaan produktivitas antara Eucheuma cottonii dengan Eucheuma spinosum yang ditanam dari talus tengah. Rerata pengukuran biomassa basah pada pemanenan pertama diperoleh nilai 128 dan 132 gram masing-masing untuk Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum. Sementara itu untuk biomassa kering menunjukkan hasil yang serupa, yakni 11,9 dan 18,4 gram. Pada pemanenan kedua terlihat hasil yang berbeda, dimana untuk biomassa basah diperoleh nilai 200 dan 165 gram masing-masing untuk Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum. Sementara untuk biomassa kering diperoleh hasil 22.6 dan 20.2 gram. Hal ini menunjukkan bahwa Eucheuma cottonii menunjukkan hasil yang lebih besar dari pada Eucheuma spinosump berbeda dengan hasil pengukuran biomassa kering dimana Eucheuma spinosum

57 43 menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan Eucheuma cottonii. Fluktuasi ini terulang pada pemanenan berikutnya, dimana untuk biomassa basah Eucheuma cottonii selalu menunjukkan hasil yang lebih tinggi, kecuali pada pemanenan pertama. Sementara pada biomassa kering Eucheuma spinosum menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibandingkan Eucheuma cottonii, kecuali pada panen kelima. Data tersebut dapat digambarkan dalam bentuk grafik seperti yang tercantum pada Gambar 4.4 dan Gambar Gr E.cottonii E.spinosum Minggu ke- Gambar 4.4 Grafik Perbandingan Biomassa Basah (Eucheuma cottonii dengan Eucheuma spinosum yang ditanam dari bagian Tengah Talus Gr E.cottonii E.spinosum Minggu ke- Gambar 4.5 Grafik Perbandingan Biomassa Kering Eucheuma cottonii dengan Eucheuma spinosum yang ditanam dari bagian Tengah Talus.

58 44 B. Pengujian Hipotesis Pengujian statistik untuk analisis inferensial dalam upaya membuktikan hipotesis penelitian dilakukan dengan menggunakan uji t (Independet-sample t Test). Uji t independen (Independent-Sample T Test) dilakukan untuk melihat ada tidaknya perbedaan produktivitas Alga Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum. Uji dilakukan dengan menggunakan program SPSS ver Hasil uji t pada taraf kepercayaan 95% untuk melihat perbedaan produktivitas Eucheuma cottonii dengan Eucheuma spinosum yang ditanam dari ujung talus tercantum pada Tabel 4.8. Tabel 4.8 Uji Hipotesis perbedaan produktivitas Eucheuma cottonii dengan Eucheuma spinosum yang ditanam dari ujung talus pada Taraf Kepercayaan 95% Biomassa t hitung t tabel df Sig (1 arah) Keterangan Basah Tolak H 0 Kering Tolak H 0 Berdasarkan hasil analisis data yang tercantum pada Tabel 4.8 terlihat bahwa nilai t hitung untuk biomassa basah adalah 9.982>1.859 dari t tabel pada taraf kepercayaan 95%, yakni. Data ini juga diperkuat dengan hasil analisis SPSS yang memberikan nilai probabilitas (sig) sebesar jauh lebih kecil dari α=0.05. Hal ini menunjukan bahwa H 0 ditolak yang berarti ada perbedaan produktivitas antara Eucheuma cottonii dengan Eucheuma spinosum yang ditanam dari ujung talus. Hasil analisis terhadap biomassa kering memberikan nilai t hitung 2.095>1.859 dari t tabel. Begitu pula dengan output SPSS dengan nilai probabilitas Nilai tersebut berada di bawah nilai sig 0.05

59 (0.0069<0.05). Hal ini menunjukkan bahwa pada biomassa kering H 0 juga ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan produktivitas antara Eucheuma cottonii dengan Eucheuma spinosum yang ditanam dari ujung talus. Pada pengujian hipotesis untuk perbedaan produktivitas Eucheuma cottonii dengan Eucheuma spinosum yang ditanam dari bagian tengah talus tercantum pada Tabel 4.9. Tabel 4.9 Uji Hipotesis perbedaan produktivitas Eucheuma cottonii dengan Eucheuma spinosum yang ditanam dari Tengah talus pada Taraf Kepercayaan 95% Biomassa t hitung t tabel df Sig (1 arah) Keterangan Basah Tolak H 0 Kering Tolak H 0 45 Berdasarkan hasil analisis data yang tercantum pada Tabel 4.9 terlihat bahwa nilai t hitung > t tabel Sementara nilai probabilitas untuk biomassa basah adalah Nilai ini lebih kecil dari α=0.05 (0.002<0.05). Kedua hasil analisis tersebut menunjukan bahwa H 0 ditolak yang berarti ada perbedaan produktivitas antara Eucheuma cottonii dengan Eucheuma spinosum yang ditanam dari bagian tengah talus. Hasil analisis terhadap biomassa kering menghasilkan nilai t hitung 3.266>1.859 dari nilai t tabel. Data pembanding dari output SPSS memberika nilai probabilitas Nilai tersebut lebih kecil dari nilai sig 0.05 (0.011<0.05). Hal ini menunjukkan bahwa pada biomassa kering H 0 ditolak sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan produktivitas antara Eucheuma cottonii dengan Eucheuma spinosum yang ditanam dari ujung talus dengan indikator biomassa kering.

60 46 C. Pembahasan Pertumbuhan pada organisme multiseluler didefinisikan sebagai pertambahan ukuran yang mecakup pertambahan jumlah, volume dan bobot sel (Salisbury dan Ross, 1995 : 65). Berdasarkan teori tersebut, pertumbuhan dapat diukur dan bersifat kuantitatif. Akumulasi dari pertumbuhan sebagai akibat dari proses pertambahan jumlah sel dapat diukur melalui perubahan biomassa sesuai dengan perubahan waktu. Hasil analisis deskriptif pada produktivitas Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum dengan indikator biomassa basah dan biomassa kering menunjukan pola pertumbuhan yang hampir serupa. Pertumbuhan cenderung bergerak lambat di awal dan tidak terlihat perbedaan pertumbuhan yang mencolok antara bagian ujung talus dan bagian tengah talus. Berdasarkan hasil pengukuran pada minggu pertama terhadap rerata biomassa basah talus ujung terlihat bahwa Eucheuma cottonii menunjukan produktivitas yang tidak jauh berbeda dengan Eucheuma spinosum. Pada pemanenan pertama Eucheuma cottonii memiliki berat basah 147 gram sedangkan Eucheuma spinosum 140 gram. Begitu pula pengamatan pada talus tengah pemanenan pertama diperoleh nilai 128 dan 132 gram biomassa basah untuk Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum. Hal ini karena pada tahap awal proses metabolisme masih menyesuaikan dengan kondisi lingkungan untuk beralih dari fase dorman ke aktif. Selain itu, proses metabolisme lebih diarahkan pada proses restitusi (penyembuhan luka). Akumulasi substansi fenolik dan proteinaceus pada bagian sel-sel korteks dan medulla di lapisan sel di bawah luka untuk membentuk lapisan sel baru membutuhkan waktu beberapa hari (Harrison and

61 47 Lobban, 1994 : 66). Oleh karena itu, proses metabolisme untuk membentuk sel-sel apikal baru menjadi berkurang. Hal ini berlaku baik pada perlakuan dengan bagian ujung talus maupun bagian tengah talus. Produktivitas pada dasarnya ditentukan oleh faktor-faktor tertentu, baik faktor internal sel maupun faktor eksternal, Faktor internal yang mempengaruhi pertumbuhan terkait dengan sifat genetik suatu organisme dan menjadi penentu pola pertumbuhan yang utama (Salisbury dan Ross, 1995 : 66). Setiap organisme multiseluler memiliki pola produktivitas yang berbedabeda. Hal ini ditentukan oleh letak titik tumbuh pada organisme tersebut. Begitu pula dengan Alga. Pada genus Eucheuma pola produktivitas bersifat multiaksial, dimana setiap percabangan memiliki titik tumbuh sendiri-sendiri. Keberadaan titik tumbuh ini pada dasarnya dipengaruhi oleh hormon pertumbuhan terutama auksin yang dihasilkan pada ujung tunas (Harrison and Lobban, 1994 : 63). Berdasarkan hasil analisis data produktivitas yang meliputi indikator biomassa basah dan biomassa kering pada Eucheuma cottoni menunjukan adanya perbedaan produktivitas bagian ujung dan tengah talus. Pada pengukuran biomassa basah perbedaan rata-rata adalah 56.2 gram dengan rentang 29.1 hingga 83.3 gram. Hasil serupa terlihat pada hasil pengukuran biomassa kering yang menunjukkan perbedaan rata-rata 3.81 gram. Secara keseluruhan data ini menunjukkan bahwa produktivitas bibit yang berasal dari ujung talus lebih baik dari pada bagian tengah talus. Perbedaan produktivitas dari bibit yang berasal dari bagian ujung talus dan tengah talus dapat dijelaskan dari teori titik tumbuh. Menurut (Harrison

62 48 and Lobban, 1994 : 63) produktivitas Alga dipengaruhi oleh keberadaan substansi pertumbuhan, utamanya auksin yang berada di ujung tunas. Meskipun produktivitas Eucheuma bersifat multiaksial namun Eucheuma cottonii memiliki jumlah tunas yang lebih banyak pada talus di bagian ujung, dibandingkan bagian tengah talus. Oleh karena itu, adanya titik tumbuh yang relatif lebih banyak mempercepat laju pertumbuhan dibandingkan dengan pada bagian tengah talus yang pada dasarnya sebagian besar sel-sel telah terdiferensiasi menjadi sel dewasa. Pertumbuhan Eucheuma spinosum, meskipun hasil analisis deskriptif menunjukan adanya perbedaan rata-rata produktivitas bagian ujung talus dengan bagian tengah talus. Perbedaan produktivitas bagian ujung talus dan bagian tengah talus pada Eucheuma spinosum dapat dijelaskan dengan mempertimbangkan morfologi spesies tersebut. Titik tumbuh berada pada ujung talus sehingga cenderung tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan bagian tengah talus. Selain itu, perbedaan pertumbuhan yang tampak dari hasil analisis deskriptif dapat diakibatkan oleh perbedaan lama waktu yang diperlukan untuk membangun sel-sel baru pada daerah pemotongan, dimana pada ujung talus hanya terdapat satu titik pemotongan, sementara bagian tengah terdapat dua wilayah sayatan. Hal ini menyebabkan talus tengah membutuhkan waktu lebih banyak untuk memperbaiki sel-sel yang telah rusak dan membangun sel-sel baru. Hasil analisis inferensial untuk melihat adanya perbedaan produktivitas antara Euchema cottonii dengan Euchema spinosum, baik pada bagian ujung talus maupun tengah talus. Berdasarkan analisis statistik

63 49 inferensial terlihat bahwa Ho selalu ditolak pada seluruh indikator yang digunakan yang meliputi biomassa basah dan biomassa kering. Hal ini menunjukan bahwa ada perbedaan yang signifikan produktivitas antara kedua spesies tersebut. Produktivitas Alga dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti cahaya matahari, suhu perairan (Dawes, 1974: 79), gerakan air (Sulistijo, 2002: 67), kedalaman dan salinitas (Parerengi dkk, 2010: 28) serta faktor internal yang berasal dari alga sendiri. Namun, dalam penelitian ini faktor eksternal diasumsikan homogen pada seluruh perlakuan sehingga tidak mempengaruhi perbedaan produktivitas pada kedua spesies. Oleh karena itu, perbedaan produktivitas yang teramati dalam penelitian lebih mengacu pada faktor internal. Faktor internal yang mempengaruhi produktivitas alga diantaranya adalah titik tumbuh yang menentukan penambahan sel-sel baru pada talus. Titik tumbuh ini umumnya berupa jaringan sel-sel muda yang selalu membelah dan berada pada bagian tunas (Sutrian, 2004: 11). Secara morfologi Euchema cottonii memiliki sebaran mata tunas yang lebih banyak dibandingkan dengan Euchema spinosum. Hal ini menyebabkan perbedaan pertumbuhan sel-sel baru pada kedua spesies ini yang berakibat pada perbedaan laju produktivitas keduanya karena setiap sel merupakan unit fungsional untuk menjalankan fungsi metabolism. Faktor internal lain yang mempengaruhi produktivitas alga adalah kadar klorofil yang terkandung dalam sel yang berperan dalam menyerap cahaya matahari (Campbell, 2012: 154) dan luas permukaan talus yang

64 50 menentukan laju penyerapan nutrisi, daerah penerimaan sinar matahari dan penyerapan karbondioksida. Secara morfologi Eucheuma cottonii yang ditanam dalam penelitian ini memiliki warna yang lebih hijau dibandingkan dengan Euchema spinosum yang cenderung berwarna kekuningan. Perbedaan warna ini merupakan gambaran perbedaan kadar klorofil yang terkadung dalam sel. Warna yang lebih hijau pada Eucheuma cottonii menunjukkan kadar klorofil yang lebih tinggi dibandingkan dengan Eucheuma spinosum yang memiliki pigmen aksesoris lebih dominan. Perbedaan kadar klorofil pada Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum berdampak pada efektifitas penyerapan cahaya untuk fotosintesis. Hal ini juga didukung oleh kondisi morfologi Eucheuma cottonii yang memiliki ukuran talus dan memiliki luas permukaan lebih besar sehingga memiliki bidang penyerapan yang lebih besar pula. Oleh karena itu, Eucheuma cottonii memiliki laju fotosintesis yang lebih besar daripada Eucheuma spinosum. Hal ini pada akhirnya menyebabkan perbedaan produktivitas pada kedua spesies tersebut.

65 51 BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Bagian talus ujung dan talus tengah ada perbedaan produktivitas yang signifikan antara Eucheuma cottonii dengan Eucheuma spinosum. 2. Eucheuma spinosum memiliki produktivitas yang lebih tinggi dilihat dari biomassa kering talus, baik pada ujung maupun talus tengah, dengan rerata 26.0 gram untuk Eucheuma cottonii dan 28.5 gram untuk Eucheuma spinosum pada talus ujung, sementara pada talus tengah rerata produktivitas adalah 22.2 gram untuk Eucheuma cottonii dan 26.4 untuk Eucheuma spinosum. B. Saran Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut dengan panjang talus alga, dengan menggunakan metode rakit apung dan biomassa bibit yang samadi perairan Desa Sombano Kaledupa Kabupaten Wakatobi. 51

66 52 DAFTAR PUSTAKA Afrianto, dan Liviawati, Budidaya Rumput Laut dan cara Pengolahannya. Bhratara. Jakarta. Apriyana, D, Studi hubungan Karakteristik Habitat terhadap Kelayakan pertumbuhan dan kandungan Karagenan Alga Eucheuma spinosum di Perairan kecamatan Bluto Kabupaten Sumenep.Tesis (tidak dipublikasikan). Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Asjan, 2014.Pengaruh Berat Bibit Terhadap Pertumbuhan dan Kadar Keraginan Rumput Laut Euchema spinosum yang dipelihara Menggunakan Metode Kurungan Rakit Jaring Apung Diperairan Desa Tanjung Tiram.Skripsi.Uviversitas Halu Oleo.Kendari. Asmadin, 2009.Rumput Laut Indonesia Jenis Dan Upaya Pemanfaatannnya. Unhalu Press.Kendari. Atmadja, W. S., A. Kadi., Sulistijo, dan Rachmaniar Pengenalan Jenis- Jenis Rumput Laut Indonesia. Puslitbang Oseanologi. LIPI. Jakarta. Atmadja, W. S dan Sulistijo, 1977.Usaha pemanfaatan bibit Stek Alga Laut Eucheuma Spinosum (L) J. Agradh di Pulau-pulau Seribu untuk dibudidayakan.dalam : Teluk Jakarta, Sumberdaya, Sifat-sifat Oseanologis serta permasalahannya. Editor : M. Hutomo, K. Romimohtarto dan Burhanuddin. LON-LIPI, Jakarta. Atmadja, W. S. A.,Kadi., Sulistijo, dan Rachmaniar, Pengenalan Jenis- Jenis Rumput Laut Indonesia. Puslitbang Oseanologi. LIPI. Jakarta. Anggadireja, J.T, Zatnika A, Istini, S., Rumput Laut. Swadaya.Jakarta. Bhatt, J. J., Oceanography Exploring the Planet Ocean. D von Nonstrand Company. Toronto. Campbell. N. A, dan Reece. J.B, 2012.Biologi. Edisi Kedelapan. Jilid 2.Erlangga. Jakarta. Dawes, C. J., Marine Botany.John Wiley and Sons. University of South Florida. New York. Dawes, C. J., J. W. LaClaire, and R. E. Moon, 1974.Culture Studies oneucheuma nudum J. Agarth, carrageenan producing red alga from Florida. Aquaculture. Direktorat Jenderal Perikanan Hama dan Penyakit Rumput Laut. 52

67 53 Departemen Kelautan dan Perikanan, 2006.Revitalisasi perikanan. Jakarta. Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kepulauan Sangihe Wilayah Perairan Kabupaten Kepulauan Sangihe. Doty, M. S., Eucheuma Farming for Carrageenan.Univ. Hawaii. Sea Grant Report.Unihi Seagrant.United States of Amerika. Doty, M.S., dan E. P. Glenn, Aquatic Botany.Photosynthesis and Respiration of the Tropical Red Seaweeds, Eucheuma striatum (Tambalang and Elkhorn Varieties) and E. denticulatum.elseiver Scientific Publishing Company. Amsterdam. Effendy, H., Telaah Kualitas Air.Kanisisus.Yogyakarta. Fritz, G. J The Stucture and Reproduction of The Algae Volume 2. Vicas Publisher House Iba., Dedy, P., dan Abdul R., Pengaruh Jarak Tanam dan Bobot Bibit Terhadap Pertumbuhan Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii) Menggunakan Metode Vertikultur.Jurnal Minat Indonesia.Vol. 03 No. 12 Sep (94-112). Indriani, H., dan E, Sumiarsih, Budidaya, Pengolahan, dan Pemasaran Rumput Laut (cetakan 7), Penebar Swadaya, Jakarta. Kadi, Ahmad. (2004). Potensi Beberapa Rumput Laut Di Beberapa Perairan Pantai Indonesia. Kamlasi, Y Kajian Ekologis Dan Biologi Untuk Pengembangan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottonii) Di Kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang.Bogor : IPB Kartasapoetra, A. G Pembentukan Perusahan Industri. Jakarta: Pt Bina Aksara Kordi, K. M. G. H., Kiat Sukses Budidaya Rumput Laut di Laut dan Tambak.Yogyakarta: Penerbit ANDI Kuhl, A Phosphorus in : Stewart W. D. P. (ed). Algae Phisiology and Biochemistry. Legit, D., 2014.Pengaruh Jarak Tanam Terhadap Pertumbuhan dan Kadar Keraginan Rumput Laut (Kappaphycus alvarezii) Strain Coklat Menggunakan Bibit Hasil Kultur Jaringan dengan Metode Long Line.Skripsi.Uviversitas Halu Oleo.Kendari.

68 Lobban. C. S. and P. J. Harrison Seaweed Ecology and Physology. Cambridge University perss. Cambridge. Mukti, E. D. W., Ekstraksi dan Analisa Sifat Fisika-Kimia Karaginan Dari Rumput Laut jenis Eucheuma cattonii.skripsi (tidak dipublikasikan).jurusan Teknologi Pangan dan Gizi.Fakultas teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nursid Geografi Ekonomi Masyarakat Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara Nontji, A., Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. Poncomulyo, T, dkk Budi Daya dan Pengolahan Rumput Laut.Jakarta Selatan.PT Agro Media Pustaka. Parenrengi A. M, Madeali, N Rangka, 2010.Penyediaan benih dalam menunjang pengembangan budidaya rumput laut. Workshop Rumput Laut.Makassar. Safilu, Pedoman Penulisan Proposal Penelitian dan Skripsi. Universitas Halu Oleo. Kendari. Salisbury, F. B., dan Ross, W. C, Fisiologi Tumbuhan. Jilid 3.Edisi keempat.itb. Bandung. Shadhori, S., 1995.Budidaya Rumput Laut. Balai Pustaka. Jakarta. Soegiarto, A. W., Sulistijo., dan H., Mubarak, Rumput laut (Algae) Manfaat.Potensi dan Usaha Budidayanya.Lembaga Oseanologi Nasional.LIPI. Jakarta. Soegiarto, A. W., Sulistijo., dan H. Mubarak Rumput laut (Algae) Manfaat. Potensi dan Usaha Budidayanya.Lembaga Oseanologi Nasional.LIPI. Jakarta. Sukirman, L., Pertumbuhan Thallus Baru pada Rumput Laut (Euchema cottonii) dengan Metode Kurungan Jaring Apung Diperairan Pantai Lakeba Kota Bau-Bau Provinsi Sulawesi Tenggra. Skripsi.Uviversitas Halu Oleo.Kendari. Sulistijo, dan W. S., Atmadja, 1996.Perkembangan budidaya Rumput Laut di Indonesia. Puslitbang Oseanografi LIPI. Jakarta. Sulistijo, 2002.Penelitian Budidaya Rumput Laut (Algae Makro/Seaweed) di Indonesia. Pidato Pengukuhan Ahli Penelitian Utama Bidang Akuakultur, Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. 54

69 55 Supit, S. D., Karakteristik Pertumbuhan dan kandungan Caragenan Rumput Laut (Eucheuma cattonii) yang berwarna Abu-abu Cokelat dan Hijau yang Ditanam di Goba lambungan Pasir Pulau Pari. Karya Ilmiah (tidak dipublikasikan). Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sutrian, Y Pengantar Anatomi Tumbuhan-Tumbuhan Tentang Jaringan Sel Dan Jaringan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Syahputra, Y., Pertumbuhan dan kandungan karaginan Budidaya Rumput Laut Eucheuma cattonii pada Kondisi Lingkungan yang Berbeda dan Perlauan Jarak Tanam di Teluk Lhok Seudu.Tesis (tidak di publikasikan). Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tim PS., 2003.Rumput Laut. Swadaya. Jakarta. Winarno, F. G Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar harapan. Jakarta. Yusuf, M.I., Produksi, Pertumbuhan dan Kandungan Karaginan Rumput Laut Kappaphycus alvarezii (Doty) Doty (1998) yang Dibudidayakan Dengan Sistem Air Media dan Tallus Benih Yang Berbeda. (Disertasi) Program Pasca Sarjana Universitas Hasanudin, Makassar. Zatnika, A., dan W. I., Angkasa, 1994.Teknologi Budidaya Rumput Laut. Makalah pada seminar Pekan Akuakultur V.TimRumput Laut BPPT. Jakarta. Zatnika, A., dan W. I., Angkasa, 1994.Teknologi Budidaya Rumput Laut. Makalah pada seminar Pekan Akuakultur V.TimRumput Laut BPPT. Jakarta.

70 56 Lampiran 1. Data Mentah Hasil Penelitian Pengaruh Asal Talus Terhadap Produktivitas Eucheuma cottonii dan Eucheuma spinosum Di Perairan Desa Sombano Kaledupa Kabupaten Wakatobi No. Panen ke- Eucheuma cottonii Eucheuma spinosum Basah Kering Basah Kering Ujung Tengah Ujung tengah Ujung Tengah Ujung Tengah Bobot/Gram Bobot/Gram Bobot/Gram Bobot/gram Bobot/Gram Bobot/Gram Bobot/Gram Bobot/gram 1. Pemasangan

71 No. Panen ke- Suhu ( 0 C) Salinitas (ppt) faktor-faktor lingkungan ph Kedalaman (cm) Kec. Arus (m/s) 1. Penanaman 29 35%

72 Lampiran 3. Dokumentasi Penelitian 58

73 V 59

74 60

75 61

76 62

77 63 Lampiran 4. Lokasi Penelitian Rumput Laut Eucheuma cottonii dan Eucheuma Spinosum U S Keterangan : : Stasiun Penelitian : Desa Sombano

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Seaweed dalam dunia perdagangan dikenal sebagai rumput laut, namun sebenarnya dalam dunia ilmu pengetahuan diartikan sebagai alga (ganggang) yang berasal dari bahasa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Dawson (1946) dalam Soegiarto, dkk,(1978), secara umum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Dawson (1946) dalam Soegiarto, dkk,(1978), secara umum BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Gracilaria salicornia Menurut Dawson (1946) dalam Soegiarto, dkk,(1978), secara umum Gracilaria salicornia dapat di klasifikasikan sebagai berikut:

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Fisika Kimia Perairan Lokasi budidaya rumput laut diketahui memiliki dasar perairan berupa substrat pasir dengan serpihan karang mati. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. berkembang pada substrat dasar yang kuat (Andi dan Sulaeman, 2007). Rumput laut

1. PENDAHULUAN. berkembang pada substrat dasar yang kuat (Andi dan Sulaeman, 2007). Rumput laut 1 1. PENDAHULUAN Rumput laut atau yang biasa disebut seaweed tidak memiliki akar, batang dan daun sejati. Sargassum talusnya berwarna coklat, berukuran besar, tumbuh dan berkembang pada substrat dasar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. internasional. Menurut Aslan (1991), ciri-ciri umum genus Eucheuma yaitu : bentuk

I. PENDAHULUAN. internasional. Menurut Aslan (1991), ciri-ciri umum genus Eucheuma yaitu : bentuk I. PENDAHULUAN Eucheuma cottonii merupakan salah satunya jenis rumput laut merah (Rhodophyceae) yang mempunyai nilai ekonomi tinggi karena mengandung karaginan yang berupa fraksi Kappa-karaginan. Rumput

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. kali di terjemahkan seaweed bukan sea grass yang sering di sebut dengan

II. TINJAUAN PUSTAKA. kali di terjemahkan seaweed bukan sea grass yang sering di sebut dengan II. TINJAUAN PUSTAKA A. Rumput laut Rumput laut atau seaweed merupakan nama dalam perdagangan nasional untuk jenis alga yang banyak di panen di laut. Rumput laut atau alga yang sering kali di terjemahkan

Lebih terperinci

Alga (ganggang) Alga sering disebut ganggang.

Alga (ganggang) Alga sering disebut ganggang. Alga (ganggang) Alga sering disebut ganggang. Alga termasuk golongan tumbuhan berklorofil tubuh disebut talus yaitu tidak punya akar, batang dan daun. Alga dianggap sebagai bentuk tumbuhan rendah karena

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 45 hari dengan menggunakan 4 perlakuan yakni perlakuan A (Perlakuan dengan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 45 hari dengan menggunakan 4 perlakuan yakni perlakuan A (Perlakuan dengan 4.1. Laju Pertumbuhan Mutlak BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Laju pertumbuhan mutlak Alga K. alvarezii dengan pemeliharaan selama 45 hari dengan menggunakan 4 perlakuan yakni perlakuan A (Perlakuan dengan

Lebih terperinci

Kerangka Pemikiran 2 TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Kappaphycus alvarezii

Kerangka Pemikiran 2 TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Kappaphycus alvarezii 3 Kerangka Pemikiran Penempatan posisi tanam pada kedalaman yang tepat dapat meningkatkan produksi rumput laut dan kualitas kandungan karaginan rumput laut. Untuk lebih jelas, kerangka pemikiran penelitian

Lebih terperinci

TUGAS LINGKUNGAN BISNIS KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS BUDIDAYA RUMPUT LAUT

TUGAS LINGKUNGAN BISNIS KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS BUDIDAYA RUMPUT LAUT TUGAS LINGKUNGAN BISNIS KARYA ILMIAH PELUANG BISNIS BUDIDAYA RUMPUT LAUT DISUSUN OLEH : NAMA : ANANG SETYA WIBOWO NIM : 11.01.2938 KELAS : D3 TI-02 STMIK AMIKOM YOGYAKARTA 2012/2013 TEKNOLOGI BUDIDAYA

Lebih terperinci

Pertumbuhan Rumput Laut

Pertumbuhan Rumput Laut BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Laju pertumbuhan Laju pertumbuhan rumput laut Kappaphycus alvarezii yang diperoleh selama penelitian terdapat pada Tabel 1 berikut : Tabel 1.PertumbuhanRumputLautSetelah

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Volvocales. : Tetraselmis. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki

II. TINJAUAN PUSTAKA. : Volvocales. : Tetraselmis. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tetraselmis sp. Menurut B u t c h e r ( 1 9 5 9 ) klasifikasi Tetraselmis sp. adalah sebagai berikut: Filum : Chlorophyta Kelas : Chlorophyceae Ordo : Volvocales Sub ordo Genus

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Taksonomi Rumput Laut

TINJAUAN PUSTAKA. Taksonomi Rumput Laut TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Rumput Laut Rumput laut terdiri dari karaginofit, agarofit dan alginofit. Karaginofit merupakan rumput laut yang mengandung bahan utama polisakarida karaginan. Agarofit penghasil

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii PADA KEDALAMAN PENANAMAN YANG BERBEDA

PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii PADA KEDALAMAN PENANAMAN YANG BERBEDA Media Litbang Sulteng III (1) : 21 26, Mei 2010 ISSN : 1979-5971 PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI RUMPUT LAUT Eucheuma cottonii PADA KEDALAMAN PENANAMAN YANG BERBEDA Oleh : Novalina Serdiati, Irawati Mei Widiastuti

Lebih terperinci

LAJU PERTUMBUHAN BIBIT RUMPUT LAUT

LAJU PERTUMBUHAN BIBIT RUMPUT LAUT LAJU PERTUMBUHAN BIBIT RUMPUT LAUT Eucheuma cattonii DENGAN PERLAKUAN ASAL THALLUS TERHADAP BOBOT BIBIT DI PERAIRAN LAKEBA, KOTA BAU-BAU, SULAWESI TENGGARA Oleh : Nurfadly Mamang C 64104014 PROGRAM STUDI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu sumberdaya hayati laut Indonesia yang cukup potensial adalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu sumberdaya hayati laut Indonesia yang cukup potensial adalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu sumberdaya hayati laut Indonesia yang cukup potensial adalah rumput laut atau yang dikenal dengan sebutan ganggang laut atau alga laut. Beberapa diantaranya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 17.508 pulau, dengan garis pantai sekitar 81.000 km. Wilayah lautannya meliputi 5,8 juta km2 atau

Lebih terperinci

Faktor Pembatas (Limiting Factor) Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 9 April 2018

Faktor Pembatas (Limiting Factor) Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 9 April 2018 Faktor Pembatas (Limiting Factor) Siti Yuliawati Dosen Fakultas Perikanan Universitas Dharmawangsa Medan 9 April 2018 Faktor Pembatas Keadaan yang mendekati atau melampaui batas toleransi. Kondisi batas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti

TINJAUAN PUSTAKA. memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif seperti hewan. Inti II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Biologi Tetraselmis sp. Tetraselmis sp. merupakan alga bersel tunggal, berbentuk oval elips dan memiliki empat buah flagella. Flagella ini bergerak secara aktif

Lebih terperinci

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA

BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA BAB IV DESKRIPSI DAN ANALISIS DATA A. Deskripsi Data 1. Kondisi saluran sekunder sungai Sawojajar Saluran sekunder sungai Sawojajar merupakan aliran sungai yang mengalir ke induk sungai Sawojajar. Letak

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai (Odum, 1996). dua cara yang berbeda dasar pembagiannya, yaitu : 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari mata air, air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Aliran air

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm.

2. TINJAUAN PUSTAKA. berflagel. Selnya berbentuk bola berukuran kecil dengan diameter 4-6 µm. 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Nannochloropsis sp Mikroalga adalah tumbuhan tingkat rendah yang memiliki klorofil, yang dapat digunakan untuk melakukan proses fotosintesis. Mikroalga tidak memiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Usaha budidaya ikan pada dewasa ini nampak semakin giat dilaksanakan baik secara intensif maupun ekstensif. Usaha budidaya tersebut dilakukan di perairan tawar, payau,

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil

HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pertumbuhan Pada Tabel 2 dijelaskan bahwa pada minggu pertama nilai bobot biomasa rumput laut tertinggi terjadi pada perlakuan aliran air 10 cm/detik, dengan nilai rata-rata

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan berklorofil. Dilihat dari ukurannya, rumput laut terdiri dari jenis

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tumbuhan berklorofil. Dilihat dari ukurannya, rumput laut terdiri dari jenis BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rumput Laut Rumput laut atau sea weeds secara ilmiah dikenal dengan istilah alga atau ganggang. Rumput laut termasuk salah satu anggota alga yang merupakan tumbuhan berklorofil.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 10 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Botani dan Syarat Tumbuh Tanaman Jambu Biji Merah Nama ilmiah jambu biji adalah Psidium guajava. Psidium berasal dari bahasa yunani yaitu psidium yang berarti delima, guajava

Lebih terperinci

Prarencana Pabrik Karagenan dari Rumput Laut Eucheuma cottonii I-1

Prarencana Pabrik Karagenan dari Rumput Laut Eucheuma cottonii I-1 BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara kepulauan, termasuk salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di dunia yaitu 95.181 km dan memiliki keanekaragaman hayati laut berupa

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya

III. METODE PENELITIAN. Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya III. METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi dan objek penelitian analisis kesesuaian perairan untuk budidaya rumput laut ini berada di Teluk Cikunyinyi, Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Budidaya laut (marinecultur) merupakan bagian dari sektor kelautan dan perikanan yang mempunyai kontribusi penting dalam memenuhi target produksi perikanan. Walaupun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pemupukan

TINJAUAN PUSTAKA Pemupukan TINJAUAN PUSTAKA Pemupukan Pupuk adalah penyubur tanaman yang ditambahkan ke tanah untuk menyediakan unsur-unsur yang diperlukan tanaman. Pemupukan merupakan suatu upaya untuk menyediakan unsur hara yang

Lebih terperinci

Lumut/Bryophyta. Alat perkembangbiakan lumut hati

Lumut/Bryophyta. Alat perkembangbiakan lumut hati Lumut/Bryophyta 1. Ciri-ciri dan sifat lumut Pada umumnya kita menyebut "lumut" untuk semua tumbuhan yang hidup di permukaan tanah, batu, tembok atau pohon yang basah, bahkan yang hidup di air. Padahal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Deskripsi Kacang Hijau Kacang hijau (Vigna radiata L.) merupakan salah satu komoditas tanaman kacang-kacangan yang banyak dikonsumsi rakyat Indonesia. Kacang hijau termasuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kesuksesan budidaya. Kebutuhan pakan meningkat seiring dengan meningkatnya

I. PENDAHULUAN. kesuksesan budidaya. Kebutuhan pakan meningkat seiring dengan meningkatnya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pakan merupakan kebutuhan penting dan berpengaruh besar dalam kesuksesan budidaya. Kebutuhan pakan meningkat seiring dengan meningkatnya usaha budidaya perikanan. Pakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mikroorganisme banyak ditemukan di lingkungan perairan, di antaranya di ekosistem perairan rawa. Perairan rawa merupakan perairan tawar yang menggenang (lentik)

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. luas di seluruh dunia sebagai bahan pangan yang potensial. Kacang-kacangan

II. TINJAUAN PUSTAKA. luas di seluruh dunia sebagai bahan pangan yang potensial. Kacang-kacangan 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Tanaman Kacang Hijau Kacang-kacangan (leguminosa), sudah dikenal dan dimanfaatkan secara luas di seluruh dunia sebagai bahan pangan yang potensial. Kacang-kacangan

Lebih terperinci

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh 45 4.2 Pembahasan Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan memperhatikan syarat tumbuh tanaman dan melakukan pemupukan dengan baik. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kacang Hijau

TINJAUAN PUSTAKA. A. Kacang Hijau 4 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kacang Hijau Kacang hijau termasuk dalam keluarga Leguminosae. Klasifikasi botani tanman kacang hijau sebagai berikut: Divisio : Spermatophyta Subdivisio : Angiospermae Classis

Lebih terperinci

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi. Jl. Kampus Unsrat Bahu, Manado 95115, Sulawesi Utara, Indonesia.

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Sam Ratulangi. Jl. Kampus Unsrat Bahu, Manado 95115, Sulawesi Utara, Indonesia. Aquatic Science & Management, Edisi Khusus 2, 31-35 (Oktober 2014) Pascasarjana, Universitas Sam Ratulangi http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jasm/index ISSN 2337-4403 e-issn 2337-5000 jasm-pn00066

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Pupuk dan Pemupukan

TINJAUAN PUSTAKA Pupuk dan Pemupukan 4 TINJAUAN PUSTAKA Pupuk dan Pemupukan Pupuk adalah bahan yang ditambahkan ke dalam tanah untuk menyediakan unsur-unsur esensial bagi pertumbuhan tanaman (Hadisuwito, 2008). Tindakan mempertahankan dan

Lebih terperinci

Produksi rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii) Bagian 2: Metode long-line

Produksi rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii) Bagian 2: Metode long-line Standar Nasional Indonesia Produksi rumput laut kotoni (Eucheuma cottonii) Bagian 2: Metode long-line ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi...i Prakata...ii 1 Ruang lingkup...

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL Oleh : Nurul Dhewani dan Suharsono Lokakarya Muatan Lokal, Seaworld, Jakarta, 30 Juni 2002 EKOSISTEM LAUT DANGKAL Hutan Bakau Padang Lamun Terumbu Karang 1 Hutan Mangrove/Bakau Kata

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Fisika dan Kimia Perairan Pulau Karya Tabel 2. Data parameter fisika dan kimia lokasi transplantasi di perairan Pulau Karya bulan September 2010 sampai dengan Juli

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Sumber oksigen terlarut dalam perairan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Oksigen Terlarut Oksigen terlarut dibutuhkan oleh semua jasad hidup untuk pernapasan, proses metabolisme, atau pertukaran zat yang kemudian menghasilkan energi untuk pertumbuhan

Lebih terperinci

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan

2.2. Parameter Fisika dan Kimia Tempat Hidup Kualitas air terdiri dari keseluruhan faktor fisika, kimia, dan biologi yang mempengaruhi pemanfaatan 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Chironomida Organisme akuatik yang seringkali mendominasi dan banyak ditemukan di lingkungan perairan adalah larva serangga air. Salah satu larva serangga air yang dapat ditemukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. PLANKTON Plankton merupakan kelompok organisme yang hidup dalam kolom air dan selalu terbawa arus karena memiliki kemampuan renang yang terbatas (Wickstead 1965: 15; Sachlan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Spirulina sp.

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Spirulina sp. II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Biologi Spirulina sp. Spirulina sp. merupakan mikroalga yang menyebar secara luas, dapat ditemukan di berbagai tipe lingkungan, baik di perairan payau, laut dan tawar. Spirulina

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem padang lamun (seagrass) merupakan suatu habitat yang sering dijumpai antara pantai berpasir atau daerah mangrove dan terumbu karang. Padang lamun berada di daerah

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian Parameter pertumbuhan yang diamati pada penelitian ini adalah diameter batang setinggi dada ( DBH), tinggi total, tinggi bebas cabang (TBC), dan diameter tajuk.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Rumput Laut Klasifikasi Rumput Laut

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Rumput Laut Klasifikasi Rumput Laut II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Biologi Rumput Laut Rumput laut atau algae merupakan tumbuhan laut yang secara morfologis tidak dapat dibedakan antara akar, batang dan daun secara jelas. Seluruh tubuh rumput

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peningkatan kesejahteraan hidup rakyat melalui pembangunan di bidang industri, nampak memberikan dampak terhadap perubahan lingkungan perairan pesisir dan laut karena

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kerangka Teoritis 2.1.1. Botani dan Klasifikasi Tanaman Gandum Tanaman gandum dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Kelas : Monokotil Ordo : Graminales Famili : Graminae atau

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Tanaman. Hasil sidik ragam 5% terhadap tinggi tanaman menunjukkan bahwa

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Pertumbuhan Tanaman. Hasil sidik ragam 5% terhadap tinggi tanaman menunjukkan bahwa 1. Tinggi tanaman IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pertumbuhan Tanaman Hasil sidik ragam 5% terhadap tinggi tanaman menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Hasil Uji

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan yang dialami ekosistem perairan saat ini adalah penurunan kualitas air akibat pembuangan limbah ke perairan yang menyebabkan pencemaran. Limbah tersebut

Lebih terperinci

BAB 50. Pengantar Ekologi dan Biosfer. Suhu Suhu lingkungan. dalam pesebaran. membeku pada suhu dibawah 0 0 C,dan protein.

BAB 50. Pengantar Ekologi dan Biosfer. Suhu Suhu lingkungan. dalam pesebaran. membeku pada suhu dibawah 0 0 C,dan protein. BAB 50 Pengantar Ekologi dan Biosfer Faktor abiotik dalam Biosfer Iklim dan faktor abotik lainnya adalah penentu penting persebaran organisme dalam biosfer lingkungan merupakan faktor penting dalam pesebaran

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Limbah Cair Industri Tempe. pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karna tidak

TINJAUAN PUSTAKA. A. Limbah Cair Industri Tempe. pada suatu saat dan tempat tertentu tidak dikehendaki lingkungan karna tidak II. TINJAUAN PUSTAKA A. Limbah Cair Industri Tempe Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses industri maupun domestik (rumah tangga), yang lebih di kenal sebagai sampah, yang kehadiranya

Lebih terperinci

Nur Rahmah Fithriyah

Nur Rahmah Fithriyah Nur Rahmah Fithriyah 3307 100 074 Mengandung Limbah tahu penyebab pencemaran Bahan Organik Tinggi elon Kangkung cabai Pupuk Cair Untuk mengidentifikasi besar kandungan unsur hara N, P, K dan ph yang terdapat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Penelitian Penanaman rumput B. humidicola dilakukan di lahan pasca tambang semen milik PT. Indocement Tunggal Prakasa, Citeurep, Bogor. Luas petak yang digunakan untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lebih besar dari luas daratan, oleh karena itu dikenal sebagai negara maritim. Total

BAB I PENDAHULUAN. lebih besar dari luas daratan, oleh karena itu dikenal sebagai negara maritim. Total BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki luas wilayah lautan lebih besar dari luas daratan, oleh karena itu dikenal sebagai negara maritim. Total panjang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Species: Allium ascalonicum L. (Rahayu dan Berlian, 1999). Bawang merah memiliki batang sejati atau disebut discus yang bentuknya

TINJAUAN PUSTAKA. Species: Allium ascalonicum L. (Rahayu dan Berlian, 1999). Bawang merah memiliki batang sejati atau disebut discus yang bentuknya Botani Tanaman TINJAUAN PUSTAKA Bawang merah diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom: Plantae, Divisio: Spermatophyta, Subdivisio: Angiospermae, Kelas: Monocotyledonae, Ordo: Liliales/ Liliflorae, Famili:

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mikroalga Tetraselmis sp. merupakan salah satu mikroalga hijau.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Mikroalga Tetraselmis sp. merupakan salah satu mikroalga hijau. 1 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tetraselmis sp. Mikroalga Tetraselmis sp. merupakan salah satu mikroalga hijau. Klasifikasi Tetraselmis sp. menurut Bold & Wynne (1985) adalah sebagai berikut: Filum Kelas Ordo

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Tanah Tanah adalah kumpulan benda alam di permukaan bumi yang tersusun dalam horison-horison, terdiri dari campuran bahan mineral, bahan organik, air dan udara,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi dan Variasi Temporal Parameter Fisika-Kimiawi Perairan Kondisi perairan merupakan faktor utama dalam keberhasilan hidup karang. Perubahan kondisi perairan dapat mempengaruhi

Lebih terperinci

EKOSISTEM. Yuni wibowo

EKOSISTEM. Yuni wibowo EKOSISTEM Yuni wibowo EKOSISTEM Hubungan Trofik dalam Ekosistem Hubungan trofik menentukan lintasan aliran energi dan siklus kimia suatu ekosistem Produsen primer meliputi tumbuhan, alga, dan banyak spesies

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Selada merupakan tanaman semusim polimorf (memiliki banyak bentuk),

II. TINJAUAN PUSTAKA. Selada merupakan tanaman semusim polimorf (memiliki banyak bentuk), 8 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Selada Selada merupakan tanaman semusim polimorf (memiliki banyak bentuk), khususnya dalam hal bentuk daunnya. Tanaman selada cepat menghasilkan akar tunggang diikuti

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Clownfish Klasifikasi Clownfish menurut Burges (1990) adalah sebagai berikut: Kingdom Filum Ordo Famili Genus Spesies : Animalia : Chordata : Perciformes

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III. HASIL DAN PEMBAHASAN III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Berikut ini adalah hasil penelitian dari perlakuan perbedaan substrat menggunakan sistem filter undergravel yang meliputi hasil pengukuran parameter kualitas air dan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI SPESIES ALGA KOMPETITOR Eucheuma cottonii PADA LOKASI YANG BERBEDA DI KABUPATEN SUMENEP

IDENTIFIKASI SPESIES ALGA KOMPETITOR Eucheuma cottonii PADA LOKASI YANG BERBEDA DI KABUPATEN SUMENEP IDENTIFIKASI SPESIES ALGA KOMPETITOR Eucheuma cottonii PADA LOKASI YANG BERBEDA DI KABUPATEN SUMENEP Moh Hadi Hosnan 1, Apri Arisandi 2, Hafiludin 2 Mahasiswa Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

II. Tinjuan Pustaka. A. Bulu Babi Tripneustes gratilla. 1. Klasifikasi dan ciri-ciri

II. Tinjuan Pustaka. A. Bulu Babi Tripneustes gratilla. 1. Klasifikasi dan ciri-ciri II. Tinjuan Pustaka A. Bulu Babi Tripneustes gratilla 1. Klasifikasi dan ciri-ciri Bulu babi Tripneustes gratilla termasuk dalam filum echinodermata dengan klasifikasi sebagai berikut (Anon 2011 ) : Kingdom

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berbagai jenis substrat. Substrat yang umum dapat ditumbuhi lumut adalah pada

BAB I PENDAHULUAN. berbagai jenis substrat. Substrat yang umum dapat ditumbuhi lumut adalah pada BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lumut merupakan kelompok tumbuhan kecil yang tumbuh menempel pada berbagai jenis substrat. Substrat yang umum dapat ditumbuhi lumut adalah pada pohon, kayu mati, kayu

Lebih terperinci

Pemanfaatan: pangan, farmasi, kosmetik. Komoditas unggulan. total luas perairan yang dapat dimanfaatkan 1,2 juta hektar

Pemanfaatan: pangan, farmasi, kosmetik. Komoditas unggulan. total luas perairan yang dapat dimanfaatkan 1,2 juta hektar Komoditas unggulan Pemanfaatan: pangan, farmasi, kosmetik diperkirakan terdapat 555 species rumput laut total luas perairan yang dapat dimanfaatkan 1,2 juta hektar luas area budidaya rumput laut 1.110.900

Lebih terperinci

KANDUNGAN KLOROFIL, FIKOERITRIN DAN KARAGINAN PADA RUMPUT LAUT Eucheuma spinosum YANG DITANAM PADA KEDALAMAN YANG BERBEDA

KANDUNGAN KLOROFIL, FIKOERITRIN DAN KARAGINAN PADA RUMPUT LAUT Eucheuma spinosum YANG DITANAM PADA KEDALAMAN YANG BERBEDA KANDUNGAN KLOROFIL, FIKOERITRIN DAN KARAGINAN PADA RUMPUT LAUT Eucheuma spinosum YANG DITANAM PADA KEDALAMAN YANG BERBEDA Veronika dan Munifatul Izzati Abstrak Telah dilakukan penelitian tentang perbedaan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Semangka merupakan tanaman semusim yang termasuk ke dalam famili

II. TINJAUAN PUSTAKA. Semangka merupakan tanaman semusim yang termasuk ke dalam famili II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Botani Tanaman Semangka Semangka merupakan tanaman semusim yang termasuk ke dalam famili Cucurbitaceae sehingga masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan melon (Cucumis melo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tingkat genetika (Saptasari, 2007). Indonesia merupakan negara dengan

BAB I PENDAHULUAN. tingkat genetika (Saptasari, 2007). Indonesia merupakan negara dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Keanekaragaman hayati merupakan kehadiran berbagai macam variasi bentuk penampilan, jumlah, dan sifat yang terlihat pada berbagai tingkatan jenis, dan tingkat genetika

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Selada (Lactuca sativa L.) merupakan salah satu tanaman sayur yang dikonsumsi

I. PENDAHULUAN. Selada (Lactuca sativa L.) merupakan salah satu tanaman sayur yang dikonsumsi 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Selada (Lactuca sativa L.) merupakan salah satu tanaman sayur yang dikonsumsi masyarakat dalam bentuk segar. Warna, tekstur, dan aroma daun selada dapat

Lebih terperinci

Gambar 5. Pertumbuhan Paspalum notatum Fluegge Setelah Ditanam

Gambar 5. Pertumbuhan Paspalum notatum Fluegge Setelah Ditanam HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Suhu rumah kaca berkisar antara C hingga 37 C, kondisi yang cukup baik bagi pertumbuhan tanaman. Menurut Sarief (1985) kisaran maksimum pertumbuhan tanaman antara 15 C

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan 5 TINJAUAN PUSTAKA Estuari Estuari merupakan suatu komponen ekosistem pesisir yang dikenal sangat produktif dan paling mudah terganggu oleh tekanan lingkungan yang diakibatkan kegiatan manusia maupun oleh

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kappaphycus alvarezii sering juga disebut cottonii, merupakan jenis rumput laut

TINJAUAN PUSTAKA. Kappaphycus alvarezii sering juga disebut cottonii, merupakan jenis rumput laut II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kappaphycus alvarezii Kappaphycus alvarezii sering juga disebut cottonii, merupakan jenis rumput laut penghasil kappa kraginan yang dibudidayakan secara komersial di daerah tropis

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN

PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Suatu ekosistem dapat terbentuk oleh adanya interaksi antara makhluk dan lingkungannya, baik antara makhluk hidup dengan makhluk hidup

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai. (Sosrodarsono et al., 1994 ; Dhahiyat, 2013). 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Perairan Sungai Sungai adalah suatu perairan yang airnya berasal dari air hujan, air permukaan dan mengalir secara terus menerus pada arah tertentu. Air sungai dingin dan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh

TINJAUAN PUSTAKA. Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh TINJAUAN PUSTAKA Ekosistem Sungai Air merupakan zat yang paling penting dalam kehidupan setelah udara. Oleh karena itu, sumber air sangat dibutuhkan untuk dapat menyediakan air yang baik dari segi kuantitas

Lebih terperinci

TIGA PILAR UTAMA TUMBUHAN LINGKUNGAN TANAH

TIGA PILAR UTAMA TUMBUHAN LINGKUNGAN TANAH EKOFISIOLOGI TIGA PILAR UTAMA TUMBUHAN TANAH LINGKUNGAN Pengaruh salinitas pada pertumbuhan semai Eucalyptus sp. Gas-gas atmosfer, debu, CO2, H2O, polutan Suhu udara Intensitas cahaya, lama penyinaran

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi dan Kelimpahan Plankton Hasil identifikasi plankton sampai tingkat genus pada tambak udang Cibalong disajikankan pada Tabel 1. Hasil identifikasi komunitas plankton

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun

II. TINJAUAN PUSTAKA. vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tanaman Padi Tanaman padi merupakan tanaman tropis, secara morfologi bentuk vegetasinya termasuk rumput-rumputan, berakar serabut, batang monokotil, daun berbentuk pita dan berbunga

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Cabai (Capsicum annuum L.) merupakan komoditas sayuran yang mempunyai

I. PENDAHULUAN. Cabai (Capsicum annuum L.) merupakan komoditas sayuran yang mempunyai 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Cabai (Capsicum annuum L.) merupakan komoditas sayuran yang mempunyai prospek cerah untuk dapat dikembangkan. Cabai dimanfaatkan oleh masyarakat dalam kehidupan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi untuk tanaman dan

I. PENDAHULUAN. berfungsi sebagai gudang dan penyuplai hara atau nutrisi untuk tanaman dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tanah adalah lapisan permukaan bumi yang secara fisik berfungsi sebagai tempat tumbuh dan berkembangnya perakaran tanaman. Secara kimiawi tanah berfungsi sebagai

Lebih terperinci

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa media tanam yang digunakan berpengaruh terhadap berat spesifik daun (Lampiran 2) dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Morfologi Bawang Merah ( Allium ascalonicum L.)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Morfologi Bawang Merah ( Allium ascalonicum L.) 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Morfologi Bawang Merah ( Allium ascalonicum L.) Menurut Rahayu dan Berlian ( 2003 ) tanaman bawang merah dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Tabel 1. Botani Bawang Merah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. saat ini adalah pembibitan dua tahap. Yang dimaksud pembibitan dua tahap

TINJAUAN PUSTAKA. saat ini adalah pembibitan dua tahap. Yang dimaksud pembibitan dua tahap TINJAUAN PUSTAKA Pembibitan Kelapa Sawit Pada budidaya kelapa sawit dikenal dua sistem pembibitan, yaitu pembibitan satu tahap dan pembibitan dua tahap, namun yang umum digunakan saat ini adalah pembibitan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena

I. PENDAHULUAN. Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Pisang merupakan komoditas buah-buahan yang populer di masyarakat karena harganya terjangkau dan sangat bermanfaat bagi kesehatan. Pisang adalah buah yang

Lebih terperinci

PUPUK DAN PEMUPUKAN PADA BUDIDAYA BAWANG MERAH PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

PUPUK DAN PEMUPUKAN PADA BUDIDAYA BAWANG MERAH PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA PUPUK DAN PEMUPUKAN PADA BUDIDAYA BAWANG MERAH PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA UNSUR HARA MAKRO UTAMA N P K NITROGEN Phosfat Kalium UNSUR HARA MAKRO SEKUNDER Ca Mg S Kalsium Magnesium Sulfur

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Sungai Air merupakan salah satu sumber daya alam dan kebutuhan hidup yang penting dan merupakan sadar bagi kehidupan di bumi. Tanpa air, berbagai proses kehidupan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

Praktikum IV Biologi Laut

Praktikum IV Biologi Laut Praktikum IV Biologi Laut Rumput laut (seaweed), alga, ganggang dan lamun (seagrass) adalah tumbuhan yang memiliki perbedaan. Makroalga, rumput laut, dikenal sebagai tumbuhan thallus (Thallophyta), karena

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai berlindung, laguna, dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang

Lebih terperinci