ANALISIS KESENJANGAN PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH PEMBANGUNAN DI KABUPATEN ALOR YUNUS ADIFA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISIS KESENJANGAN PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH PEMBANGUNAN DI KABUPATEN ALOR YUNUS ADIFA"

Transkripsi

1 ANALISIS KESENJANGAN PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH PEMBANGUNAN DI KABUPATEN ALOR YUNUS ADIFA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

2 ABSTRAK YUNUS ADIFA. Analisis Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah Pembangunan di Kabupaten Alor. (ERNAN RUSTIADI sebagai Ketua dan SETIA HADI sebagai Anggota Komisi Pembimbing). Strategi perencanaan yang berspektif keterpaduan dan keterkaitan antar sektor dan antar spasial yang mendasari penyusunan tata ruang wilayah sebagai induk dari proses pembangunan suatu wilayah yang efisien, adil dan berkelanjutan, sangat diperlukan untuk mengurangi tingkat kesenjangan pembangunan antar wilayah. Tujuan penelitian ini adalah: menganalisis besarnya kesenjangan pembangunan antar satuan Wilayah Pengembangan (SWP), dan menentukan sektor-sektor basis/komoditi unggulan yang mendukung satuan Wilayah Pengembangan di Kabupaten Alor guna memperkuat struktur ekonomi wilayah dan pendapatan masyarakat. Metode analisis yang digunakan adalah, Indeks Williamson, Indeks Skalogram, Indeks Entropy dan Entropy Interaksi Spasial tanpa Kendala (Unconstrained Entropy Model) dan analisis deskriptif, Location Quotient (LQ) dan analisis Shift Share (SSA). Hasil analisis menunjukkan adanya kesenjangan Pembangunan antar Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) di Kabupaten Alor. Dari ketiga Satuan Wilayah Pengembangan yang ada, SWP-B memperlihatkan tingkat perkembangan wilayah yang lebih baik. Tingkat kesenjangan pembangunan yang paling lebar ditemukan pada SWP-C. Ini terjadi karena lemahnya keterkaitan/keterpaduan antar sektor dan spasial dalam kinerja pembangunan wilayah, terutama berkaitan dengan pendistribusian sumberdaya yang bersifat asimetrik. Kata Kunci : Kesenjangan pembangunan, Sektor/komoditi basis, Wilayah pembangunan, Interaksi spasial.

3 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Analisis Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah Pembangunan di Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari Penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar pustaka. Bogor, Mei 2007 Yunus Adifa Nrp.A

4 ANALISIS KESENJANGAN PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH PEMBANGUNAN DI KABUPATEN ALOR - PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR YUNUS ADIFA Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007

5 Judul Tesis Nama Nomor Pokok : Analisis Kesenjangan Pembangunan antar Wilayah Pembangunan di Kabupaten Alor - Provinsi Nusa Tenggara Timur. : Yunus Adifa : A Program Studi : Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Disetujui, Komisi Pembimbing Dr.Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. Ketua Dr. Ir. Setia Hadi, MSi Anggota Diketahui, Ketua Program Studi Ilmu-Ilmu Dekan Sekolah Pascasarjana Perencanaan Pembangunan Institut Pertanian Bogor, Wilayah dan Perdesaan Prof.Ir. Isang Gonarsyah,Ph.D Prof. Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro,MS Tanggal Ujian : 05 Mei 2007 Tanggal Lulus :...

6 @ hak cipta milik Yunus Adifa, Tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, mikrofilm, dan sebagainya.

7 KATA PENGANTAR Puji syukur Penulis Panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena hanya atas tuntunan dan karunia-nya, sehingga penyusunan Tesis yang berjudul Analisis Kesenjangan Pembangunan Antar Wilayah Pembangunan di Kabupaten Alor dapat diselesaikan. Pengambilan Judul penelitian sebagaimana tersebut di atas, didasari pada suatu kerangka pemikiran Penulis, bahwa pelaksanaan otonomi daerah yang sementara bergulir, akan dapat lebih efektif, jika setiap daerah otonom lebih dahulu memahami apa yang menjadi kesenjangan pembangunan selama ini, seberapa besar kesenjangan itu dapat terjadi dan apa yang sebenarnya harus dilakukan untuk mereduksi kesenjangan pembangunan dimaksud. Setiap daerah otonom yang selalu membuka diri dan berupaya memahami dan menyadari berbagai kesenjangan pembagunan di daerahnya, dipastikan akan menekan tingkat ketidakpastian (uncertainty) dalam pengambilan keputusan alokasi sumber daya pembangunan wilayah yang cenderung asimetrik dan stagnan. Salah satu tolok ukur untuk mereduksi tingkat kesenjangan pembangunan adalah bagaimana membangun suatu keterpaduan dan keterkaitan antar sektor dan antar spasial yang mendasari pada Tata ruang wilayah sebagai Induk dari proses pembangunan suatu wilayah yang lebih efisien, adil dan berkelanjutan. Namun demikian kelangkaan sumber daya manusia pada berbagai wilayah otonom, terutama wilayah wilayah marjinal, sering menjadi tantangan untuk menemukan berbagai kesenjangan pembangunan baik antar sektor maupun antar wilayah pembangunan sebagai dasar pengambilan keputusan alokasi sumber daya pembangunan yang simetrik dan dinamik. Sehubungan dengan itu penelitian ini, selain sebagai syarat akademik bagi Penulis dalam mengakhiri proses Studi Pascasarjana pada Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan IPB, diharapkan sedikitnya bisa menjawab berbagai tantangan daerah otonom khususnya Kabupaten Alor dalam upaya menemukan informasi yang lebih konsisten sebagai acuan transformasi perencanaan pembangunan wilayah ke depan. Disadari bahwa penulisan Tesis ini dapat terselesaikan, karena kontribusi setiap pihak, sehingga tiada sesuatu yang lebih berharga, kecuali ungkapan terimakasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada :

8 1. Dr.Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr, dan Dr. Ir. Setia Hadi, MSi selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Anggota yang telah meluangkan waktu, pikiran dan Literatur sejak proses penelitian hingga terselesaikannya penulisan Tesis ini. 2. Prof. Ir. Isang Gonarsyah, Ph.D, Selaku Ketua Program Studi Ilmu-Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, dan Prof.Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro,MS, selaku Dekan Pascasarjana Institut Pertanian Bogor bersama civitas Akedemiknya yang telah meluangkan waktu, pikiran dan legalitas administrasi selama proses studi hingga terselesaikannya Tesis ini. 3. Para Dosen dan Karyawan Program Study Ilmu-Ilmu Perencanaan dan Perdesaan Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, yang telah memberikan Ilmu dan dukungan administrasi selama dalam proses study. 4. Prof.Dr.W.H.Limbong, Msc selaku Moderator Kolokium II dan Dr.Hedi.M.Idris, selaku Dosen Penguji Luar Komisi dari Bappenas, atas masukan perbaikan Draft selama dalam proses Seminar dan ujian Tesis. 5. Rekan-rekan Mahasiswa Angkatan 2003, Angkatan 2004, Angkatan 2005, Senior S3 PWD dan teman-teman bimbingan Pak Ernan yang berkenan meluangkan waktu menghadiri kolokium dan berbagai kesempatan diskusi yang cukup memberikan berbagai masukan yang sangat berharga bagi terselesaikannya penulisan Tesis ini. 6. Pemerintah Kabupaten Alor dan DPRD, yang telah merekomendasikan dan memfasilitasi Penulis selama dalam proses studi di PWD-IPB dan kegiatan penelitian. Termasuk Pimpinan dan staf seunit kerja Bappeda dan unit kerja terkait, yang cukup memberikan dukungan data, tenaga dan moril dalam proses Studi dan proses penelitian di Kabupaten Alor, hingga terselesaikannya Tesis ini. 7. Istri dan anak-anak serta keluarga, yang dalam segala ketabahan memberikan dukungan doa dan materi, sehingga Penulisan Tesis ini dapat terselesai. Kendatipun berbagai pihak telah ada andil di dalamnya, namun demikian Penulis menyadari bahwa penulisan Tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karenanya Penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan dari setiap pihak yang peduli bagi penyempurnaan tulisan ini, dihaturkan terimakasih. Bogor, Mei 2007 Penulis,

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Weman - Alor Selatan Kabupaten Alor Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tanggal 12 Nopember Merupakan anak kedua dari dua bersaudara kandung dari pasangan suami istri Karel Adifa dan Juliana Letsibuda dan 7 saudara tiri. Namun sejak balita Penulis diasuh, dibesarkan dan disekolahkan sebagai anak asuh dari 6 bersaudara pasangan ayah dan ibu asuh Anderias Letsibuda dan Sarci Lakatina. Penulis mengawali Pendidikan Dasar (SD) pada SD GMIT Kabola Kalabahi Alor Tahun dan menamatkannya Tahun 1976 pada SD GMIT Silaipui Alor Selatan, setelah itu tamat pada SMP Negeri Kalabahi Alor Tahun 1980 dan pada SMA Negeri Kalabahi Alor Tahun Kemudian menamatkan Sarjana Peternakan Tahun 1990 pada Fakultas Peternakan Universitas Negeri Nusa Cendana Kupang Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pada Tahun 2003 Penulis melanjutkan Pendidikan pada Program Magister Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan, Institut Pertanian Bogor. Sebelum melanjutkan Pendidikan pada Program Magister Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan Institut Pertanian Bogor, Penulis bekerja sebagai Asisten Manager Koperasi Unit Desa di Alor Selatan dan Alor Timur Laut Tahun Kemudian bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Kantor Camat Pembantu Alor Timur Tahun dalam jabatan Plt. Sekertaris wilayah Kecamatan. Setelah itu bekerja dalam jabatan Kepala Sub bidang Pertanian pada Bagian Ekonomi Kantor Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Alor Tahun Disamping itu sebagai Dosen pengajar Luar Biasa pada Jurusan Sosiologi Fakultas Sosial Politik Universitas Muhamadyah Kupang kelas Khusus Kalabahi Tahun

10 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xii DAFTAR GAMBAR... xiv I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Deskripsi Kerangka teori keterkaitan antar sektor dan spasial Kerangka teori kesenjangan dan keberimbangan pembangunan antar wilayah a.urgensi keberimbangan Pembangunan wilayah b.teori Ketidakseimbangan Pertumbuhan Wilayah c. Faktor-faktor penyebab Kesenjangan Pembangunan d. Penataan Ruang e.teori Pusat Pertumbuhan f.teori Interaksi Spasial g.teori Resource Endowment h.teori Eksport Base i.teori Keunggulan Komparatif dan Kompetitif j.teori Multiplier effect (dampak Pengganda) k.teori Kemiskinan dan Indeks kemiskinan manusia l. Teori Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Deskripsi Hasil Penelitian Terdahulu III METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Hipotesis Lokasi dan waktu penelitian Sumber dan Jenis data Metode pengumpulan data Metode analisis Analisis kesenjangan antar wilayah pembangunan Analisis Sektor Basis/Komoditi Unggulan Antar Wilayah Pembangunan IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Profil wilayah Kabupaten Alor Keadaan Fisik Letak geografis dan Administrasi wilayah... 72

11 Topografi, Iklim, Sumberdaya air, dan Penggunaan lahan Sumberdaya Fisik Laut Perkembangan kependudukan dan sosial ekonomi Kependudukan Sosial budaya Ekonomi wilayah Perkembangan infrastruktur/fasilitas sosial dan ekonomi Fasilitas sosial Infrastuktur ekonomi Analisis Kesenjangan Pembangunan Antar SWP Analisis Sektor Basis/Komoditi Unggulan Antar SWP Sintesa dan alternatif rencana strategis pembangunan wilayah Berimbang V. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

12 DAFTAR TABEL Halaman 1 Data Penyebaran Potensi Komoditi di Kabupaten Alor Tahun Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Alor Tahun Atas Dasar Harga Konstan Tahun Prosentase Konstribusi Sektor Terhadap PDRB Kabupaten Alor Tahun Atas Dasar Harga Konsatan Tahun Data Realisasi Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan di Kabupaten Alor Tahun Prosentase Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kemiskinan (IKM) di Kabupaten Alor Tahun 1999 dan Beberapa Indikator Pembangunan antar Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) Matriks Analisis Skalogram Matriks Rangkuman Kerangka Penelitian Analisis Kesenjangan Pembangunan Antar Pembangunan Wilayah Penggunaan lahan berdasarkan luas wilayah daratan Tahun Penyebaran jumlah penduduk dan mata pencaharian Penduduk antar SWP di Kabupaten Alor Tahun Perkembangan penduduk Alor berumur 10 tahun ke atas, berdasarkan tingkatan Ijazah pendidikan yang dimiliki Tahun Perkembangan jumlah murid, Guru dan rasio murid terhadap Guru menurut tingkatan sekolah di Kabupaten Alor Tahun Perkembangan beberapa indikator pembangunan kesehatan antar Satuan wilayah pengembangan di Kabupaten Alor Tahun Perkembangan jumlah penganut agama antar satuan wilayah pengembangan di Kabupaten Alor Tahun Ratio pertumbuhan PDRB Per kapita Kabupaten Alor terhadap PDRB Per kapita Provinsi NTT dan PDB Per kapita Indonesia Tahun Perkembangan perdagangan komoditi Antar pulau/ eksport dan Penerimaan sumbangan Pihak ketiga (SP3) di Kabupaten Alor periode Perkembangan pembangunan infrastruktur sosial antar SWP di Kabupaten Alor Tahun Perkembangan pembangunan infrastruktur Ekonomi antar SWP di Kabupaten Alor Tahun Indeks Williamson untuk SWP A, SWP B dan SWP C di Kabupaten Alor pada kurun waktu Perkembangan desa hirarki Antar SWP berdasarkan indeks Skalogram Tahun

13 21 Indeks Perkembangan hirarki Ibu Kota Kecamatan Tahun Nilai Entropy penyebaran Alokasi APBD Pembangunan di Kabupaten Alor TA.1997/ Hasil Analisis Entropy Interaksi spasial (Pengiriman dan Penerimaan Berita melalui Saluran SSB ) di Kabupaten Alor Tahun Orientasi Perjalanan/Bepergian Penduduk Pada SWP A, B dan C Prosentase Kemiskinan Penduduk Antar SWP Di Kabupaten Alor Tahun Hasil Analisis LQ Komoditi Unggulan Antar Satuan Wilayah Pengembangan di Kabupaten Alor Keadaan Tahun Pergeseran Pertumbuhan komoditi unggulan antar Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) di Kabupaten Alor Tahun 1998 dan Tahun Matriks kombinasi hasil analisis LQ dengan SSA terhadap 17 jenis komoditi unggulan daerah di Kabupaten Alor

14 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Peta Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) di Kabupaten Alor Tahun Peta Kota hirarki antar Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) di Kabupaten Alor Tahun Bagan Kerangka Pemikiran Analisis Kesenjangan Pembangunan Antar Wilayah Pembangunan di Kabupaten Alor Peta Lokasi Penyelaman di Taman laut Selat Pantar Perkembangan penduduk Kabupaten Alor Tahun Prosentase Pertumbuhan penduduk kabupaten Alor Tahun Prosentase perkembangan struktur ekonomi Kabupaten Alor Tahun 1988 dan Tahun Peta Penyebaran jalan di Kabupaten Alor Kesenjangan pembangunan antar-inter SWP A, B dan C di Kabupaten Alor kurun waktu Peta Perkembangan hirarki wilayah di Kabupaten Alor Atas dasar Indeks Skalogram Tahun Nilai Entropy penyebaran APBD Pembangunan di Kabupaten Alor TA.1997/ Prosentase Alokasi APBD Pembangunan antar SWP TA.1997/ Entropi Interaksi Spasial (pengiriman berita melalui SSB) antar hirarki wilayah di Kabupaten Alor Tahun Entropi Interaksi Spasial (Penerimaan Berita Melalui SSB ) antar Hirarki Wilayah di Kabupaten Alor Tahun Rataan orientasi bepergian penduduk pada SWP A Rataan orientasi bepergian penduduk pada SWP B Rataan orientasi bepergian penduduk pada SWP C Perkembangan jumlah interaksi spasial / pergerakan arus penumpang, barang dan hewan yang menyinggahi Pelabuhan Kalabahi antar dan inter regional Periode Prosentase perkembangan interaksi spasial /pergerakan arus penumpang, orang dan hewan yang menyinggahi pelabuhan Kalabahi antar dan inter regional Periode Perkembangan interaksi spasial /pergerakan jenis barang yang di bongkar/masuk melalui pelabuhan Kalabahi Prosentase perkembangan interaksi spasial /pergerakan jenis barang yang di bongkar/masuk melalui pelabuhan Kalabahi Perkembangan interaksi spasial /pergerakan jenis barang yang di muat/keluar melalui pelabuhan Kalabahi Prosentase perkembangan interaksi spasial /pergerakan jenis barang yang di muat/keluar melalui pelabuhan Kalabahi Jalur interaksi spasial komoditi/barang antar pulau/antar regional Tahun

15 25 Jumlah frekwensi pesawat dan bongkar/muat penumpang dan barang melalui Bandara Mali Tahun Proporsi penumpang dan barang yang dibongkar dan di muat melalui Bandara Mali Tahun Pergeseran Pertumbuhan Komoditi Unggulan Antar SWP di Kabupaten Alor Tahun 1998 dan Tahun Bagan Keterkaitan hasil analisis kesenjangan pembangunan antar satuan wilayah pengembangan (SWP)di Kabupaten Alor Model keterkaitan/keterpaduan didalam Rencana Strategis Pembangunan wilayah berimbang di Kabupaten Alor Stadia Pengembangan Wilayah melalui demand side Strategy di Kabupaten Alor GERBADESTAN sebagai strategi opersional rencana Strategis pembangunan Kabupaten Alor Tahun Bagan kerangka keterkaitan sintesa hasil analisis kesenjangan pembangunan wilayah dan alternatif Rencana strategi pembangunan wilayah berimbang (Renstrabangwilbang)

16 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Tabel Analisis Kesenjangan Pendapatan (Penerimaan PBB) antar SWP Periode (Model Indeks Williamson) Tabel Rekapitulasi Analisis Skalogram Perkembangan kota hirarki antar SWP di Kabupaten Alor Tahun Tabel Analisis Kesenjangan Alokasi APBD Antar SWP di Kab. Alor Periode 1997/ (Model Indeks Entropy) Tabel Data Interaksi Spasial (Arus informasi berita) melalui SSB Pemerintah Kabupaten Alor Tahun Tabel Rekapitulasi hasil analisis entropi interaksi spasial (pengiram dan penerimaan berita melalui saluran SSB) di Kabupaten Alor Tahun Analisis Entropy Interaksi spasial (pengiram dan penerimaan berita ) melalui saluran SSB antar kota hirarki di Kabupaten Alor Tahun Tabel Analisis Location Quoentient (LQ) Sektor/Komoditi unggulan antar SWP di Kabupaten Alor Tahun Tabel Analisis Shift Share (SSA) Sektor/Komoditi unggulan antar SWP di Kabupaten Alor Tahun 1998 dantahun Penyebaran Kota hirarki/pusat aktivitas antar SWP menurut RUTRW Kabupaten Alor Tahun

17 I. PENDAHULUAN 1.1. Latarbelakang Kabupaten Alor merupakan salah satu daerah otonom dari 16 Kabupaten/kota di Provinsi Nusa Tenggara Timur dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kabupaten ini dibentuk seiring dengan Penetapan Undang- Undang Nomor 69 Tahun 1958 Tentang Pembentukan Daerah Daerah Tingkat II Dalam Wilayah Daerah Daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1958 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara RI Nomor 1655). Dalam konteks Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional Posisi Kabupaten Alor sebagai salah satu Kabupaten Kepulauan Nusa Tenggara dan juga sebagai Kawasan Perbatasan Maritim dengan Negara Timor Leste. Sebagai Wilayah Kepulauan, Kabupaten ini terdiri atas 17 gugusan pulau, dimana 9 pulau dihuni penduduk sedang 8 pulau di antaranya adalah pulau-pulau kecil yang masih merupakan potensi pengembangan. Kabupaten ini memiliki luas daratan 2.864, 64 Km 2 dan luas wilayah perairan laut seluas , 62 km 2 dengan penduduk yang berjumlah jiwa, tersebar pada 9 kecamatan, 158 desa dan 17 kelurahan, dengan rata-rata kepadatan penduduk 59 orang/km 2. Sebahagian besar luas daratan merupakan gunung dan berbukit-bukit yang dibatasi lembah dan jurang dalam, dengan kemiringan di atas 40 % seluas 64,25 % (BPS, 2003)*. Posisi Kabupaten Alor sebagai wilayah perbatasan negara, kondisinya tidak jauh berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Soegijoko (1997), bahwa wilayah perbatasan sebagai bagian integral dari wilayah nasional pada umumnya merupakan kawasan penyangga yang memungkinkan terjadinya gangguan maupun kerja sama dengan wilayah negara tetangga. Untuk itu, daerah perbatasan semestinya diberikan perhatian yang lebih besar untuk dibangun secara layak sebagaimana daerah-daerah lain. Wilayah perbatasan merupakan kawasan khusus karena perbatasan dengan wilayah negara tetangga,sehingga penanganan pembangunannya memerlukan kekhususan. Pada umumnya daerah perbatasan nasional merupakan bagian wilayah yang terpencil dan rendah aksesibilitasnya oleh moda transportasi umum, terbelakang dan masih belum berkembang secara mantap, kritis dan rawan dalam ketertiban dan keamanan. Daerah perbatasan pada dasarnya termasuk dalam kategori daerah rawan, tetapi bersifat strategis. Bila dibandingkan dengan keadaan

18 2 wilayah negara tetangga yang berbatasan, pasti tampak adanya kesenjangan sosial-ekonomi dan sosial-budaya. Gejala seperti ini mudah menimbulkan kerawanan, karena penduduk kawasan perbatasan cenderung berorientasi ke kawasan negara tetangga untuk pemenuhan berbagai kepentingan mereka. Apabila tidak diwaspadai dan dibina sejak dini, kerawanan itu dapat tumbuh menjadi ancaman terhadap berbagai aspek kepentingan nasional, terlebih bila dikaitkan dengan adanya potensi sumberdaya alam strategis di kawasan perbatasan dan sekitarnya. Wilayah kepulauan dengan kondisi geofisik dan geostrategis wilayah perbatasan seperti di atas, umumnya rawan terhadap pertahanan keamanan teritorial serta rawan bencana seperti gempa, longsoran, banjir, kekeringan dan kebakaran selalu memperparah laju pertumbuhan pembangunan wilayah yang cenderung lamban. Sehingga tak dapat dipungkiri bila rata-rata penduduk masih banyak yang miskin dan hidup terisolasi dari aksesibilitas aktivitas ekonomi dan pelayanan sosial. Kondisi yang demikian apabila tidak diimbangi dengan suatu kebijaksanaan perencanaan pembangunan wilayah yang komprehensif dan akomodatif dalam perspektif keterpaduan dan keterkaitan akan berdampak pada kemerosotan struktur ekonomi wilayah dan kualitas hidup masyarakat. Kabupaten Alor sebenarnya memiliki sumberdaya domestik yang beraneka ragam, baik migas dan non migas, serta panorama alam (sebagai obyek wisata bahari dan alam) yang apabila dikelola dan dimanfaatkan secara optimal, tentu memberikan kontribusi yang signifikan bagi struktur perekonomian wilayah baik secara domestik, regional maupun nasional. Sumberdaya domestik wilayah yang sudah atau sedang dan akan dikembangkan sebagai komoditas unggulan dan andalan untuk memenuhi permintaan domestik, regional, dan nasional antara lain seperti diperlihatkan dalam Tabel 1. Dari sejumlah Potensi domestik, yang tertera pada Tabel 1, potensi pertambangan dan penggalian masih dalam bentuk desain potensi kecuali batu hitam sudah menjadi komoditi eksport/antar pulau. Khusus potensi minyak dan gas (migas), serta sumberdaya laut di Selat Ombay merupakan potensi strategis dalam kawasan perbatasan negara, telah menjadi ajang perebutan antara negara Timor Leste, Australia dan Indonesia. Berkaitan dengan eksploitasi migas di Celah Timor, Australia lebih unggul dalam teknologi pengelolaan sumberdaya dasar laut dibandingkan dengan Indonesia dan Timor Leste.

19 3 Tabel 1 Penyebaran Potensi Komoditi di Kabupaten Alor Tahun No Jenis Sektor/ Komoditi Luas Areal/ Panen (Ha) Kapasitas/ Jumlah Produksi (Ton) Kecamatan /Lokasi Basis Pengembangan Keterangan I Pertambangan & penggalian 1 Minyak Bumi - - Pantar, Panbar,dan abad potensi 2 Emas - - Pantar,abad & Alsel potensi 3 Timah - - Alsel,Altim & Altim Laut potensi 4 Gypsum - - Panbar & Abad potensi 5 Sumber Panas - - Altim & Altim Laut potensi 6 Batu Hitam Alsel,Altim, Abad,Panbar eksport/ap II Pertanian Tanaman 7 Kemiri Kec. eksport/ap 8 Kelapa Kec. eksport/ap 9 Kopi Kec Jambu Mente Kec. eksport/ap 11 Cengkeh Abal,Alsel,Telmut,Abad, Pantar eksport/ap 12 Pinang Kec. kecuali.panbar eksport/ap 13 Vanili Alsel eksport/ap 14 Kakao Telmut, Abal & Alsel - 15 Lada Abad, Alsel - 16 Asam Kec. eksport/ap 17 Sirlack Kec. eksport/ap 18 Kacang hijau Kec. AP (2001) 19 Kacang tanah Kec.kecuali Telmut, Altu - 20 Sawah Kec.kecuali Telmut,Pantar - 21 Padi Ladang Kec Jagung Kecamatan - III Perikanan dan Kelautan 23 Tangkapan Ikan Kec (110 desa ) eksport/ap 24 Kerang Mutiara ekor Telmut dan Abad eksport/ap 25 Rumput laut Telmut, Panbar, Pantar budidaya 26 Tambak Telmut, Abal budidaya 27 Ikan kerapu 60 - Pantar, Abad, Altim potensi 28 Teripang 40 - Telmut, Altim laut, Abal,Abad potensi 29 Ikan hias 35 - Abal,Telmut,Altim laut, Abad potensi IV Peternakan 30 Sapi ekor 9 Kec Kerbau - 13 ekor Pantar, Abad, Altim Laut, Alsel - 32 Kambing ekor 9 Kec Babi ekor 9 Kec Rusa ekor 7 Kec. kecuali Alsel, Altim Laut - Sumber : BPS ( Alor Dalam Angka, 2003). Katerangan : AP= Antara Pulau; Kec = Kecamatan: Telmut = Teluk Mutiara; Abal = Alor Barat laut, Abad = Alor Barat Daya, Alsel = Alor Selatan; Altu =Alor Tengah Utara, Altim = Alor Timur, Altim Laut = Alor Timuir Laut dan Panbar =Pantar Barat. Di lain sisi, mencermati akan potensi domestik yang dimiliki Kabupaten Alor sebagaimana yang ditampilkan pada Tabel 1 seharusnya masyarakat Alor tidak harus miskin, apabila limpahan sumberdaya domestik tersebut dapat dikelola secara efisien dan efektif. Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya domestik yang belum efisien dan efektif merupakan bias alokasi sumberdaya pembangunan dari pemerintah pusat maupun provinsi yang sangat tidak proporsional pada masa lalu, untuk membangun infrastruktur wilayah yang dapat mendorong investasi sumberdaya manusia (human capital), modal usaha,

20 4 teknologi dan informasi untuk mengembangkan sumberdaya domestik (resources endowment) yang ada menjadi produktif dalam skala ekonomik (economic scale) Sehubungan dengan itu Teori Resource endowment menyatakan bahwa pengembangan ekonomi wilayah bergantung pada sumberdaya alam yang dimiliki dan permintaan terhadap komoditas yang dihasilkan dari sumberdaya itu, dimana dalam jangka pendek, sumberdaya wilayah tersebut merupakan suatu aset untuk memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkan (Perloff and Wingo, 1961). Dengan demikian suatu sumberdaya wilayah akan menjadi berharga jika dapat dimanfaatkan dalam bentuk-bentuk produksi dan ada permintaan. Disamping kesenjangan dalam distribusi alokasi sumberdaya pembangunan yang tidak proporsional terhadap kondisi spesifik wilayah seperti yang dipaparkan di atas, kesenjangan tersebut juga terjadi karena pendekatan perencanaan pembangunan daerah selama ini, juga lebih berbasis sektoral dan administratif, kurang berbasis pada pengembangan wilayah. Pendekatan pembangunan yang menekankan pada pembangunan sektoral, kurang memperhatikan aspek ruang secara keseluruhan dan lebih memperlihatkan ego sektor ketimbang keterkaitan sektor, sehingga kesenjangan pembagunan antar sektor menjadi semakin melebar. Menurut Rustiadi et al. (2004), salah satu bentuk dari terjadinya kegagalan pemerintahan (government failure) di masa lalu adalah kegagalan dalam menciptakan keterpaduan sektoral yang sinergis dalam kerangka pembangunan wilayah. Lembaga-lembaga (instansi) sektoral di tingkat wilayah/ daerah sering hanya menjadi berupa perpanjangan lembaga sektoral di tingkat nasional/pusat dengan sasaran pembangunan, pendekatan dan perilaku yang tidak sinergis dengan lembaga yang dibutuhkan sektoral di tingkat daerah. Akibatnya lembaga pemerintah daerah gagal menangkap kompleksitas pembangunan yang ada di wilayahnya, dan partisipasi masyarakat lokal tidak mendapat tempat sebagaimana mestinya. Sedangkan wilayah yang berkembang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan antar sektor ekonomi wilayah, dalam arti terjadi transfer input dan output barang dan jasa antar sektor yang sangat dinamis Permasalahan. Akibat krisis ekonomi 1997 (wilayah-wilayah di Indonesia mengalami hal yang sama) pertumbuhan ekonominya lebih lambat pulih dari krisis moneter 1997 hampir selalu dibawah rata-rata proporsi. Hal ini memberikan kesadaran

21 5 bahwa dampak krisis yang meluas tidak luput dari kebijaksanaan pembangunan, termasuk perencanaan wilayah yang tidak tepat masa lalu, sehingga saat krisis merupakan saat untuk memikirkan kembali arah kebijaksanaan pembangunan wilayah (Nurzaman, 2002). Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Alor mencapai tingkat minus 2,50% pada tahun 1998, namun mulai berangsur membaik pada awal otonomi daerah seperti ditunjukkan pada Tabel 2 Tabel 2 Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Alor Tahun Atas Dasar Harga Konstan (1993) Tahun Kabupaten Alor Propinsi NTT Nasional ,50-2,73-13, ,44 2,73 0, ,44 4,17 4, ,74 5,10 3, ,49 5,96 3, ,63 5,87 4,10 Sumber: BPS (PDRB Kabupaten Alor 2003 dan PDB Nasional 2003). Secara makro pertumbuhan ekonomi mulai membaik dalam 4 tahun terakhir perberlakuan otonomi daerah atau setelah krisis, bahkan berada di atas rata-rata nasional dan berada sedikit di bawah rata-rata Propinsi NTT. Akan tetapi timbul pertanyaan: (1) apakah trend pertumbuhan ekonomi yang meningkat tersebut diikuti oleh semakin kuatnya keterkaitan antar sektor yang memperkokoh struktur ekonomi wilayah yang lebih dinamik?; (2) apakah pertumbuhan ekonomi yang cenderung meningkat tersebut masih tergantung pada sektor-setor tertentu yang hanya memberikan nilai tambah ekonomi yang berkurang (diminishing)?. Hal ini bisa diperlihatkan dengan perkembangan pangsa (share) masing-masing sektor terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah dalam kurun waktu lima tahun terakhir seperti pada Tabel 3. Dari Tabel 3, dapat disimak beberapa hal sebagai berikut: (1) sektor pertanian pada satu sisi merupakan penyumbang terbesar bagi pertumbuhan ekonomi Kabupaten Alor, namun kontribusinya menurun dari 42,2% pada tahun 1998 menjadi 34,58% pada tahun Hal ini menunjukkan telah terjadi trasformasi struktur ekonomi dari sektor primer (sektor pertanian) ke sektor modern (industri dan jasa). Walaupun demikian, sektor pertanian masih menjadi sektor andalan di dalam penyerapan tenaga kerja 82,79%; (2) Pada sisi yang lain, sektor industri yang diharapkan dapat menyerap surplus usaha dan tenaga kerja sektor pertanian justru tidak memperlihatkan kinerja yang meningkat.

22 6 Tabel 3 Prosentase kontribusi Sektor terhadap PDRB Kabupaten Alor Tahun Atas Dasar Harga Konstan (1993) No Sektor Pertanian a.tanaman bhn makanan b.perkebunan c.peternakan d.kehutanan e.perikanan Pertambangan & penggalian Industri Pengolahan Listrik,Gas dan Air minum a.listrik b.air minum Bangunan/Konstruksi Perdagangan, rumah makan dan hotel a.perdagangan besar & eceran b.restoran/rmh makan c.perhotelan Angkutan & Komunikasi a.angkutan Jalan raya Penyeberangan Laut Udara Jasa penunjang b.komunikasi Keuangan,Persewaan & Jasa Perusahaan a.bank b.nir Bank c.sewa Bangunan d.jasa perusahaan Jasa-jasa a.pemerintahan umum b.swasta Sosial kemasyarakatan Hiburan dan rekreasi Perorangan & rumahtangga Total PDRB Sumber : BPS (PDRB Kabupaten Alor 2003). Pertumbuhan sektor industri cenderung stagnan bahkan mengalami penurunan dari 2,17% pada tahun 1998 menjadi 1,91% pada tahun 2003; dan hanya mampu menyerap tenaga kerja sebesar 1,47% pada tahun 2003; (3) Hal yang sama terjadi pada sektor perdagangan. Sebagai salah satu sektor modern, sektor perdagangan juga mengalami pertumbuhan yang fluktuatif. Pertumbuhan sektor perdagangan pada tahun 1998 mencapai 12,81%, kemudian meningkat naik 14,7% menurun lagi menjadi 12,7% pada tahun 2003, dan hanya mampu menyerap tenaga kerja 3,58 persen; (4) Sektor jasa-jasa mengalami tingkat pertumbuhan yang cukup signifikan dari 24,97% meningkat menjadi 32,6% pada tahun 2003 dan mampu menyerap tenaga kerja sebesar 10,07%. Akan tetapi

23 7 prosentase terbesar terdapat pada jasa pemerintahan umum, sehingga perlu dikritisi apakah surplus tenaga kerja di sektor pertanian terserap di sektor jasa pemerintahan umum? (5) Pergeseran sektor pertanian dengan pertumbuhan industri yang stagnan apakah dapat memperkuat pertumbuhan ekonomi yang dinamik? Lima hal yang dikritisi dari tabel tersebut di atas merupakan hal yang menarik untuk dikaji apakah ada kaitan dengan keterkaitan antar sektor yang masif atau lemah?, sementara Teori dualisme Lewis menegaskan bahwa struktur ekonomi yang lebih didominasi hanya oleh satu sektor, perkembangan wilayah tersebut akan menjadi stagnan. Teori dualisme Lewis tersebut, mengisyaratkan agar resources endowment wilayah dapat diproduksi kembali dalam wilayah menjadi barang dan jasa, sehingga dapat menyerap surplus tenaga kerja subsisten dari sektor pertanian ke sektor industri yang memberikan nilai tambah domestik yang lebih efisien dan indikasi terjadinya kebocoran wilayah yang melebar dapat ditekan. Bagaimana dapat memenuhi isyarat teori Lewis, maka pengenalan akan resources endowment suatu wilayah yang memiliki kekuatan utama dalam penyediaan bahan baku industri domestik, merupakan tekanan utama untuk dikaji, karena suatu industri domestik akan berkembang jika didukung oleh bahan baku industri domestik yang cukup tersedia secara kontinyu. Di lain sisi pengetahuan akan resources endowment wilayah, diharapkan dapat menekan inefisiensi dalam alokasi sumber daya antar pembangunan wilayah. Secara spasial, perkembangan sektor-sektor ekonomi yang memberikan nilai tambah yang cenderung menurun (diminishing) dan pergeseran sektor pertanian yang semakin menurun tanpa diikuti pergeseran tenaga kerja yang signifikan ke sektor modern seperti yang dikritisi di atas, apakah terkait dengan pembangunan struktur wilayah yang belum memberikan rangsangan yang berarti bagi introduksi investasi sektor modern ( industri dan jasa ) pada wilayahwilayah pengembangan yang di arahkan dalam Struktur Tata Ruang Wilayah Kabupaten, adalah hal menarik yang perlu dikaji dalam kaitan dengan kesenjangan pembangunan antar wilayah pembagunan. Sehubungan dengan itu Pemerintah Kabupaten Alor secara de facto telah menyusun Rencana Tata Ruang wilayah pada Tahun 1991, dan secara dejoure di tetapkan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Alor Nomor: 7 Tahun 1999 Tentang Rencana Umum Tata Ruang Daerah (RUTRD) Kabupaten Daerah

24 8 Tingkat II Alor. RUTRD tersebut membagi wilayah Kabupaten menjadi tiga Satuan Wilayah Pengembangan (SWP), yakni SWP A, SWP B dan SWP C. Setiap SWP ditetapkan beberapa hirarki/pusat aktivitas ekonomi dan sosial yang terdiri atas Kota Ordo I (kota ordo utama) yang berpusat di Ibu kota Kabupaten dan Kota Orde II yang berpusat pada beberapa ibu kota kecamatan dan ibu kota desa yang dapat dikembangkan sebagai wilayah kerja pelabuhan serta kota Orde III dan IV yang berpusat pada beberapa ibu kota kecamatan dan beberapa ibu kota desa, seperti pada Gambar 1 dan 2. RUTRD tersebut, diharapkan menjadi pedoman umum bagi semua stakeholders dalam berbagai aktivitas pembangunan wilayah, akan tetapi bagaimana implementasi yang konsisten dan simetrik sesuai dengan hakekat RUTRD yang sebenarnya, sering menjadi dilema dalam kesenjangan pembangunan wilayah. Apalagi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang disusun akhirnya mengalami stagnasi dan mengalami situasi Masterplan syndrome, dari pada sebagai arahan kebijakan pembangunan wilayah (Rustiadi et al ) karena terkait dengan kebijaksanaan pembangunan yang sentralis tik yang sangat syarat dengan ego kepentingan, dan sektoral, kemungkinan besar untuk melakukan investasi sumberdaya pembangunan secara terpadu dan terkait sesuai hakekat RUTRW untuk menciptakan keseimbangan pembangunan wilayah menjadi masif atau tidak konsisten. Pada kenyataannya wilayah-wilayah pengembangan di Kabupaten Alor yang potensial sebagai sentra-sentra produksi yang seharusnya mendapat prioritas pembangunan, karena dapat menciptakan multiplier effect bagi pembangunan wilayah secara utuh selalu saja menjadi bagian kegiatan yang kurang prioritas, sehingga wilayah wilayah tersebut masih dililit ketertutupan dari aksesibilitas jaringan transportasi dan informasi yang mendorong daya tarik investasi sumberdaya produksi dan pemasaran. Pembangunan hirarki pusatpusat aktivitas sosial ekonomi yang mendorong kegiatan interaksi spasial dari kota hirarki utama ke kota-kota hirarki II, III dan IV yang ditunjukkan dengan jumlah dan kualitas infrastruktur wilayah, nampaknya belum menunjukkan interaksi spasial yang memberikan efek sebar bagi wilayah-wilayah hinterland. Sebagai contoh, transportasi jalan yang berkualifikasi baik hanya 32,34% dari ruas panjang jalan (1 422,33 km).

25 9 Kondisi infrastruktur wilayah yang belum memadai tersebut, apakah ada hubungannya dengan tingkat kesejahteraan masyarakat Kabupaten Alor yang masih memprihatinkan?. Hal ini dapat ditunjukkan oleh beberapa indikator RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN ALOR Teluk Blangmerang Baranusa P.PANTAR KEC. PANTAR BARAT Kabir Bakalang KEC. PANTAR SEL A T PANTA R KEC. A LO R BA RAT LA UT Tg. Margeta Kokar Kalabahi Moru KEC. TELUK MUTIARA KEC. ALOR BARAT DAYA Mebung Teluk Benlelang KEC. ALO R TENG AH UTA RA Apui P. A L O R KEC. ALO R SELATAN KEC. ALO R TIMUR LA UT Bukapiting KEC. ALOR T I M U R Maritaing P E T A SATUAN WILAYAH PENGEMBANGAN (SWP) K A B U P A T E N A L O R Ibukota Kabupaten Ibukota Kecamatan Batas Kabupaten Batas Kecamatan Jalan Aspal Jalan Batu Sungai Batas W P Tg. Delaki U Hirarki I B S T Hirarki II Hirarki III Hirarki IV Km Gambar 1 Peta Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) di Kabupaten Alor Tahun PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN ALOR BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH B A P P E D A Jl. El Tari No. 19 Telepon (0386) RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN ALOR P E T A SATUAN WILAYAH PENGEMBANGAN (SWP) Teluk Blangmerang Baranusa P.PANTAR KEC. PANTAR BARAT Kabir Bakalang KEC. PANTAR SEL AT PANTA R KEC. A LO R BA RAT LA UT Tg. Margeta Kokar Kalabahi Moru KEC. ALOR BARAT DAYA KEC. TELUK MUTIARA Mebung Teluk Benlelang KEC. ALO R TENGAH UTARA Apui P. A L O R KEC. ALO R SELATAN KEC. ALO R TIMUR LA UT Bukapiting KEC. ALOR T I M U R Maritaing K A B U P A T E N A L O R Ibukota Kabupaten Ibukota Kecamatan Batas Kabupaten Batas Kecamatan Jalan Aspal Jalan Batu Sungai Batas W P Hirarki I Hirarki II Tg. Delaki Hirarki III Hirarki IV U B T S Km PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN ALOR BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH B A P P E D A Jl. El Tari No. 19 Telepon (0386) Gambar 2 Peta kota hirarki antar satuan wilayah Pengembangan di Kabupaten Alor Tahun 1991.

26 10 kesejahteraan masyarakat antara lain berdasarkan Data Susenas Tahun 2003 bahwa prosentase kemiskinan penduduk Kabupaten Alor berdasarkan indikator keluarga sejahtera (prasejahtera + sejahtera 1) mencapai 71,52 %; sedangkan indikator kemiskinan berdasarkan daya beli masyarakat (rata-rata pengeluaran rumahtangga penduduk), yang kurang dari Rp per bulan mencapai 99,79% dan angka pengangguran terbuka mencapai 4,59% (BPS, 2003). Selain tingkat pendapatan rendah yang ditunjukkan oleh daya beli masyarakat tersebut di atas, maka secara relatif dapat pula diperlihatkan dari Data realisasi penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagai salah satu representase penerimaan pendapatan daerah dari berbagai lapangan usaha. Perkembangan realisasi penerimaan PBB pada kurun waktu Tahun dapat diperlihatkan pada Tabel 4. Tabel 4 Data realisasi penerimaan PBB di Kabupaten Alor Tahun No Tahun Jumlah Wajib Pajak (RT) Target Penerimaan (Rp) Realisasi Penerimaan (Rp) Prosentase (%) Sumber : Dispenda Kabupaten Alor, 2004 (Laporan Bulanan Penerimaan PBB Tahun ). Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa prosentase realisasi penerimaan PBB menurun tajam pada Tahun 1998 (masa krisis), kemudian mulai meningkat di atas 60 persen antara Tahun , walaupun mengalami fluktuasi pada Tahun 2000 (55,59 %), setelah itu mengalami pergeseran yang cukup signifikan, yakni mencapai 94,60 persen pada Tahun 2003, namun masih di bawah realisasi 100 persen. Dampak lain dari buruknya Infrastruktur wilayah yang terkait dengan rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat adalah kondisi pendidikan dan kesehatan yang disinyalir buruk. Kondisi pendidikan dan kesehatan yang buruk berimplikasi pada indeks pembangunan manusia (IPM) Alor yang rendah dan Indeks kemiskinan Manusia (IKM) Alor yang tinggi. Secara emperik, dapat dilihat pada Laporan BPS BAPPENAS dan UNDP Tahun 2004,seperti tertera pada Tabel 5.

27 11 Tabel 5 Prosentase Indeks Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Kemiskinan (IKM ) di Kabupaten Alor Tahun 1999 dan 2002 Nomor Wilyah IPM IKM Kabupaten Alor Provinsi NTT Indonesia Sumber : Laporan Pembangunan Manusia (HDR. 2004). Mencermati data pada Tabel 5, memperlihatkan IPM Alor, sedikit membaik pada Tahun 2002 bila dibanding Tahun 1999, tetapi masih jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan tingkat Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Indonesia. Sedangkan IKM Alor, nampak memburuk pada tahun 2002 bila dibanding Tahun Demikian pula bila dibandingkan dengan Tingkat Nasional, IKM Alor nampak lebih buruk, tapi sedikit lebih baik bila dibandingkan dengan tingkat Provinsi. Berdasarkan kondisi umum kesenjangan pembangunan tersebut di atas, dapat diperlihatkan dengan data kesenjangan antar wilayah pembangunan berdasarkan beberapa indikator pembangunan wilayah seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 6. Tabel 6, menunjukkan bahwa (1) Dari aspek ekonomi, memperlihatkan bahwa limpahan sumber daya domestik wilayah (resources endowment) terbesar berada di wilayah pengembangan C, tetapi pengelolaan dan pemanfaatan masih jauh dari optimal; bila dibanding dengan wilayah Pengembangan A dan B; (2) Infrastruktur jalan sebagai sarana aksesibilitas dalam proses produksi dan pemasaran sumber daya domestik terutama pada wilayah pengembangan C, jauh lebih rendah bila dibanding dengan wilayah pengembangan A dan B dan lebih terkonsentrasi pada wilayah pengembangan B; (3) Dari aspek Kesehatan, antara lain penyebaran Puskesmas /Pustu pada ketiga wilayah pengembangan rata-rata berada di atas proporsi 1/1000 penduduk, tetapi tidak diimbangi dengan tenaga medis dan para medis secara proporsional; (4) Dari aspek pendidikan, memperlihatkan bahwa rasio murid terhadap ruang kelas dan guru hampir proporsional antar wilayah pengembangan, tetapi dari status pendidikan guru pada wilayah pengembangan C terlihat lebih rendah dari wilayah pengembangan A dan B, bahkan status pendidikan guru Diploma/S1 lebih terkonsentrasi pada wilayah pengembangan B. Begitu pula murid putus Sekolah Dasar, wilayah pengembangan C lebih tinggi dibanding wilayah pengembangan A dan B (5) Tingkat kemiskinan berdasarkan indikator Keluarga prasejahtera pada wilayah pengembangan C lebih tinggi,

28 12 setelah itu diikuti wilayah pengembangan A dan B; (6) Apakah kesenjangan yang ditunjukkan dalam Tabel 6 tersebut, terkait dengan lemahnya interaksi dan keterkaitan atau keterpaduan antar wilayah pembangunan? Tabel 6 Beberapa Indikator Pembangunan pada Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) di Kabupaten Alor keadaan Tahun No Proporsi Satuan wilayah Potensi dan indikator Kabupaten pengembangan (SWP) (%) pembangunan Alor SWP A SWP B SWP C 1 Proporsi luas wilayah Ha 2 Proporsi jumlah peduduk Jiwa 3 Kepadatan penduduk org/km^2 4 Sumberdaya Alam 4.1 Lahan basah (sawah) A.Potensi Ha B.Luas panen Ha 4.2 Lahan kering A.Potensi Ha B.Luas panen Ha 4.3 Perkebunan A.Potensi Ha B.Luas produksi Ha 4.4 Kehutanan A.Lindung Ha B.Produksi Ha C.Konversi Ha D.Cagar alam Ha 4.5 Padang rumput Ha 4.6 Produksi perikanan Ton 5 Infrastruktur Jalan A.Aspal KM B.Telfort KM C.Tanah KM 6 Kesehatan A Jumlah Rumah sakit/ Puskesmas/Pustu unit B.Jumlah tenaga medis/paramedis orang C.Rasio jumlah penduduk terhadap rumah sakit/puskesmas/ pustu orang D.Rasio jumlah penduduk terhadap tenaga medis/paramedis orang 7 Pendidikan Dasar (SD) A.Jumlah ruang kelas unit B.Rasio murid-ruang kelas % C.Rasio murid-guru % D.Proporsi murid putus SD % E.Proporsi guru SD menurut Tingkat Pendidikan 1).SMTA Kejuruan orang 2).DIPLOMA/S orang 8 Proporsi keluarga miskin 76,55 66, % Sumber: Diolah dari Data BPS 2003; ( Alor Dalam Angka dan Kecamatan Dalam Angka 2003) dan dari Dinas Kesehatan Kabupaten Alor Tahun 2003 (Laporan Tahunan). Tentu saja kesenjangan pembangunan tersebut di atas tidak terlepas dari bias kebijakan pembangunan nasional masa lalu sebagai wilayah marjinal dengan alokasi sumberdaya yang jauh di bawah proporsional sehingga untuk membangun suatu struktur wilayah yang spesifik dan strategis seperti uraian di

29 13 atas secara berimbang dan cepat adalah sesuatu yang mustahil (impossible). Namun yang lebih penting adalah apabila alokasi sumberdaya yang terbatas itu direncanakan dan diimplementasikan dalam suatu pemahaman bersama, secara terpadu dan terintegrasi yang berorientasi pada skala prioritas dalam kerangka pengembangan wilayah, maka kesenjangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah seharusnya tidak terlalu melebar. Pelaksanaan otonomi daerah akan lebih efektif jika didukung dengan informasi mengenai kesenjangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah pembangunan yang konsisten sebagai arah berpijak bagi proses pembangunan yang berimbang. Proses pembangunan yang berimbang tidak selalu berarti bahwa semua wilayah harus mempunyai perkembangan yang sama, atau mempunyai tingkat industrialisasi yang sama, atau mempunyai pola ekonomi yang sama, atau mempunyai kebutuhan pembangunan yang sama. Akan tetapi yang lebih penting adalah adanya pertumbuhan yang seoptimal mungkin dari potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah sesuai dengan kapasitasnya. Dengan demikian diharapkan keuntungan dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan merupakan hasil dari sumbangan interaksi yang saling memperkuat diantara semua wilayah yang terlibat (Murty, 2000 ). Untuk mengetahui lebih lanjut penyebab dan seberapa besar kesenjangan pembangunan antar wilayah pembangunan, diperlukan suatu kajian sistematis dengan penggunaan alat analisis ekonomi wilayah yang lebih memperjelas adanya kesenjangan wilayah, sehingga menjadi acuan transformasi kebijakan perencanaan pembangunan wilayah ke depan. Hal inilah yang mendorong sebagai langkah awal untuk melakukan suatu penelitian yang berjudul Analisis Kesenjangan Pembangunan Antar Wilayah Pembangunan di Kabupaten Alor 1.3. Perumusan Masalah Dari deskripsi latar belakang dan permasalahan yang diuraikan diatas, maka di berikan batasan permasalahan penelitian sebagai berikut: 1. Seberapa besar tingkat kesenjangan Pembangunan antar wilayah Pembangunan, yang berdampak terhadap pendapatan per kapita dan kesejahteraan masyarakat, yang ditinjau dari aspek : (1) Kesenjangan pendapatan antar Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) (2) Kesenjangan perkembangan infrastruktur (sarana dan prasarana) antar Satuan Wilayah Pengembangan

30 14 (3) Kesenjangan proporsi alokasi APBD Pembangunan antar Satuan Wilayah Pengembangan (4) Kesenjangan interaksi spasial antar Satuan Wilayah Pengembangan. 2. Seberapa besar sektor basis/komoditi unggulan antar Satuan Wilayah Pengembanga yang memperkuat struktur ekonomi wilayah dan pendapatan masyarakat Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Menganalisis seberapa besar kesenjangan Pembangunan antar wilayah pembangunan, yang berdampak pada pendapatan per kapita dan kesejahteraan masyarakat; yang ditinjau dari aspek : (1) Kesenjangan pendapatan antar Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) (2) Kesenjangan perkembangan infrastruktur (sarana dan prasarana) antar Satuan Wilayah Pengembangan. (3) Kesenjangan proporsi alokasi APBD Pembangunan antar Satuan Wilayah Pengembangan. (4) Kesenjangan interaksi spasial antar Satuan Wilayah Pengembangan. 2. Menganalisis seberapa besar sektor basis/komoditi unggulan antar Satuan wilayah Pengembangan yang memperkuat struktur ekonomi wilayah dan pendapatan masyarakat 1.5. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi Pemerintah Kabupaten Alor dalam rangka perumusan kebijaksanaan perencanaan pembangunan wilayah kedepan, terutama dalam merumuskan kebijaksanaan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian pembangunan wilayah yang berorientasi pada skala prioritas serta keterpaduan dan keterkaitan antar sektor dan antar wilayah pembangunan yang konsisten dan simetris.

31 15 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian dan Deskripsi Menurut Chaniago et al. (2000), bahwa kesenjangan dapat diartikan sebagai suatu kondisi ketidakseimbangan atau ketidakberimbangan atau ketidaksemetrisan. Sehingga bila dikaitkan dengan pembangunan sektor dan wilayah, maka kesenjangan pembangunan tidak lain adalah suatu kondisi ketidakberimbangan/ketidaksemetrisan pembangunan antar sektor dan antar wilayah. Ketidakberimbangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah lazim ditunjukkan dengan perbedaan pertumbuhan antar wilayah. Dimana kesenjangan pertumbuhan antar wilayah tersebut sangat tergantung pada perkembangan struktur ekonomi (perkembangan sektor-sektor ekonomi) dan struktur wilayah (perkembangan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi seperti sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, perumahan, transportasi (darat, laut dan udara), telekominikasi, air besih, penerangan) serta keterkaitan dalam interaksi spasial secara optimal yang didukung dengan perkembangan peningkatan kualitas sumberdaya manusia (pengetahuan dan ketrampilan) serta penguatan kelembagaan. Selanjutnya mengenai pengertian pembangunan, para ahli memberikan definisi yang bermacam-macam. Namun secara umum ada suatu kesepakatan bahwa pembangunan merupakan proses untuk melakukan perubahan. Sehingga secara sederhana pembangunan diartikan sebagai suatu upaya untuk melakukan perubahan menjadi lebih baik (Riyadi dan Bratakusumah 2003). Sedangkan Saefulhakim (2003) mengartikan pembangunan sebagai suatu proses perubahan yang terencana (terorganisasikan) kearah tersedianya alternatif-alternatif /pilihanpilihan yang lebih banyak bagi pemenuhan tuntutan hidup yang paling manusiawi sesuai dengan tata nilai yang berkembang di dalam masyarakat. Menurut Siagian (1994) yang diacu Riyadi dan Bratakusumah (2003), Pembangunan sebagai suatu perubahan mewujudkan suatu kondisi kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang lebih baik dari kondisi sekarang, sedangkan pembangunan sebagai suatu pertumbuhan menunjukkan kemampuan suatu kelompok untuk terus berkembang, baik secara kualitatif maupun kuantitatif dan merupakan sesuatu yang mutlak harus terjadi dalam pembangunan. Definisi ini memberikan suatu pemahaman bahwa pembangunan tidak dapat dipisahkan dari pertumbuhan, dalam arti pembangunan dapat menyebabkan terjadinya pertumbuhan dan pertumbuhan akan terjadi sebagai akibat adanya

32 16 pembangunan. Dalam hal ini pertumbuhan dapat berupa pengembangan atau perluasan (expansion) atau peningkatan (improvement) dari aktivitas yang dilakukan oleh suatu komunitas masyarakat. Sedangkan Wiranto (1997) mendefinisikan pembangunan dalam konsep pembangunan yang bertumpuh pada masyarakat adalah untuk mengembangkan kehidupan suatu masyarakat dan harus dapat dilakukan dari, oleh dan untuk masyarakat. Selain itu Bappenas (1999) mendefinisikan pembangunan sebagai suatu rangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan yang dilakukan secara terencana dan berkelanjutan dengan memanfaatkan dan memperhitungkan kemampuan sumberdaya, informasi, dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memperhatikan perkembangan global. Sedangkan pembangunan daerah adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang dilaksanakan melalui otonomi daerah, pengaturan sumberdaya nasional, yang memberi kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja daerah yang berdaya guna dalam penyelenggaraan pemerintah dan layanan masyarakat, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah secara merata dan berkeadilan. Pembangunan sebagai suatu proses perubahan tidak akan bisa lepas dari perencanaan maka perencanaan pembangunan didefinisikan sebagai suatu proses perumusan alternatif-alternatif atau keputusan-keputusan yang didasarkan pada data-data dan fakta-fakta yang akan digunakan sebagai bahan untuk melaksanakan suatu rangkaian kegiatan atau aktivitas kemasyarakatan, baik yang bersifat fisik (material) maupun non fisik (mental dan spritual), dalam rangka mencapai tujuan yang lebih baik (Riyadi dan Bratakusumah 2003). Namun demikian suatu perencanaan pembangunan sangat terkait dengan unsur wilayah atau lokasi dimana suatu aktivitas kegiatan akan dilaksanakan, sehingga Riyadi dan Bratakusumah (2003) mendefinisikan perencanaan pembangunan wilayah/daerah sebagai suatu proses perencanaan pembangunan yang dimaksudkan untuk melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik, bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan lingkungan dalam wilayah/daerah tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumberdaya yang ada, dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap, tapi tetap berpegang pada azas prioritas. Sedangkan Hadi (2001) mengartikan perencanaan pembangunan wilayah sebagai suatu proses atau tahapan pengarahan kegiatan pembangunan di suatu wilayah tertentu yang

33 17 melibatkan interaksi antara sumberdaya manusia dengan sumberdaya lain, termasuk sumberdaya alam dan lingkungan melalui investasi. Selanjutnya Istilah wilayah atau daerah sering di pertukarkan penggunaannya dalam beberapa Literatur, namun berbeda dalam cakupan ruang, dimana wilayah digunakan untuk pengertian ruang secara umum, sedangkan istilah daerah digunakan untuk ruang yang terkait dengan batas administrasi pemerintahan (Tarigan 2004). Tarigan mendefinisikan wilayah sebagai satu kesatuan ruang secara geografis yang mempunyai tempat tertentu tanpa terlalu memperhatikan soal batas dan kondisinya, sedangkan daerah dapat didefinisikan sebagai wilayah yang mempunyai batas secara jelas berdasarkan jurisdiksi administratif. Definisi ini hampir sejalan dengan Murty (2000) yang mendefinisikan wilayah sebagai suatu area geografis, teritorial atau tempat, yang dapat berwujud sebagai suatu negara, negara bagian, provinsi, distrik dan perdesaan.tapi suatu wilayah pada umumnya tidak sekedar merujuk suatu tempat atau area, melainkan merupakan satu kesatuan ekonomi, polotik, sosial administrasi, iklim hingga geografis, sesuai dengan tujuan pembangunan atau kajian. Menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang, Wilayah didefinisikan sebagai ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administrasi dan atau aspek fungsional. Kemudian menurut Rustiadi et al. (2003), wilayah didefinisikan sebagai suatu unit geografis dengan batas-batas spesifik (tertentu) dimana komponen-komponen di dalamnya (sub wilayah) satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional (memiliki keterkaitan dan hubungan fungsional). Dari definisi ini memperlihatkan bahwa tidak ada batasan spesifik dari luasan suatu wilayah. Batasan yang ada lebih bersifat meaningful untuk perencanaan, pelaksanaan, monotoring dan evaluasi. Sedangkan pengertian wilayah berdasarkan tipologinya diklasifikasikan atas bagian (1) wilayah homogen (uniform); (2) wilayah sistem/fungsional; dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programing region). Ketiga kerangka konsep wilayah ini dianggap lebih mampu menjelaskan berbagai konsep wilayah yang telah dikenal selama ini, dimana dalam pendekatan klasifikasi konsep wilayah yang terakhir, wilayah nodal dipandang sebagai salah satu bentuk dari konsep wilayah sistem, sedangkan dalam kelompok konsep wilayah

34 18 perencanaan, terdapat wilayah administratif - politis dan wilayah perencanaan fungsional (Rustiadi et al. 2003). Wilayah homogen adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan bahwa faktor-faktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan bisa saja beragam (heterogen). Secara umum terdapat dua penyebab homogenitas wilayah yakni (1) homogenitas alamiah (kemampuan lahan, iklim dan berbagai faktor alam lainnya); dan (2) homogenitas artifisial, penyebab homogenitas yang bukan berasal dari faktor alam (fisik) tetapi faktor sosial, misalnya wilayah kemiskinan karena faktor penciri yang menonjol pada wilayah tersebut adalah kemiskinan. Pemahaman terhadap wilayah homogen ini penting karena bermanfaat dalam proses perencanaan dan kebijakan yang akan dibuat, karena pembangunan suatu wilayah harus diprioritaskan pada pengembangan faktor-faktor dominan yang secara kuat dapat mendorong pertumbuhan suatu wilayah terutama keunggulan potensi sumberdaya alam dan iklim yang memiliki comparative adventage. Pada umumnya wilayah homogen sangat dipengaruhi oleh sumberdaya alam dan permasalahan spesifik yang seragam. Dengan demikian konsep wilayah homogen sangat bermanfaat dalam (1) menentukan sektor basis perekonomian wilayah sesuai dengan potensi/daya dukung utama yang ada (comparative advantage); (2) pengembangan pola kebijakan yang tepat sesuai dengan permasalahan masing-masing wilayah. Sehingga wilayah homogen biasanya berhubungan dengan program perwilayahan komoditas karena beberapa alasan mendasar diantaranya: (1) budidaya bermacam-macam komoditas dalam satuan wilayah yang kecil tidak efisien; (2) upaya untuk menurunkan biaya pendistribusian input dan pendistribusian output; dan (3) untuk memudahkan manajemen. Sedangkan wilayah fungsional atau wilayah sistem ditunjukkan oleh adanya saling ketergantungan antar wilayah yang satu dengan wilayah yang lain, misalnya saling ketergantungan ekonomi (Hoover 1985). Hal ini dilandasi atas pemikiran bahwa suatu wilayah adalah suatu entitas yang terdiri atas komponen-komponen atau bagian-bagian yang memiliki keterkaitan, ketergantungan dan saling berinteraksi satu sama lain dan tidak terpisahkan dalam kesatuan (Rustiadi et al. 2003). Lebih lanjut dikatakan bahwa struktur-komponen-komponen yang membentuk wilayah fungsional dapat dipilah atas wilayah sistem sederhana (dikotomis) dan sistem kompleks (non dikotomis).

35 19 Sistem dikotomis adalah sistem yang bertumpuh atas ketergantungan atau keterkaitan antara dua komponen wilayah, dimana bentuk wilayah tersebut mencakup wilayah nodal, wilayah (kawasan) perkotaan dan perdesaan, kawasan budidaya dan non budidaya. Sedangkan sistem kompleks menunjukkan suatu deskripsi wilayah sebagai suatu sistem yang bagian-bagiannya (komponen-komponen) didalamnya bersifat kompleks baik jumlah, jenis serta keragaman bentuk hubungan yang banyak. Bentuk wilayah sistem kompleks tersebut mencakup sistem ekologi (ekosistem), sistem sosial dan sistem ekonomi. Menurut Hoover (1985) bahwa bentuk wilayah nodal didasarkan pada hirarki suatu hubungan perdagangan. Struktur pusat wilayah diasumsikan menyerupai kehidupan sel atau atom yang dikelilingi oleh plasma (nucleus). Dimana inti (simpul) adalah pusat-pusat pelayanan dan atau permukiman sedangkan plasma adalah daerah belakang (hinterland), yang mempunyai sifatsifat tertentu dan mempunyai hubungan fungsional (Rustiadi et al. 2003). Lebih lanjut diutarakan bahwa Inti (pusat) wilayah berfungsi sebagai: (1) tempat terkonsentrasinya penduduk (permukiman); (2) sebagai pusat pelayanan terhadap daerah hinterland; (3) pasar bagi komoditas-komoditas pertanian maupun industri; dan (4) sebagai lokasi pemusatan industri manufaktur (manufactory) yang diartikan sebagai kegiatan mengorganisasikan faktor-faktor produksi untuk menghasilkan suatu output tertentu. Sedangkan hinterland berfungsi sebagai: (1) pemasok (produsen) bahan-bahan mentah dan atau bahan baku; (2) pemasok tenaga kerja melalui proses urbanisasi dan commuting (menglaju); (3) sebagai daerah pemasaran barang dan jasa industri manufaktur; dan (4) penjaga keseimbangan ekologis. Kemudian Konsep wilayah administratif politis didasarkan pada suatu kenyataan bahwa wilayah berada dalam satu kesatuan politis yang umumnya dipimpin oleh suatu sistem birokrasi atau sistem kelembagaan dengan otonomi tertentu, sehingga wilayah administratif sering disebut sebagai wilayah otonomi. artinya suatu wilayah yang mempunyai suatu otoritas melakukan keputusan dan kebijaksanaan sendiri dalam pengelolaan sumberdaya-sumberdaya di dalamnya, misalnya negara, provinsi, kabupaten dan desa/kelurahan. Berdasarkan deskripsi dan definisi wilayah dan pembagunan wilayah/daerah seperti di atas, maka wilayah pembangunan dapat didefinisikan sebagai wilayah tertentu yang secara spasial di tetapkan atau diarahkan untuk perencanaan pembangunan wilayah

36 20 yang melibatkan interaksi antara sumberdaya manusia dengan sumberdaya lain, termasuk sumberdaya alam dan lingkungan melalui investasi. Dimana wilayah pembangunan tersebut bisa mencakup kawasan perkotaan, kawasan perdesaan, kawasan pengembangan ekonomi, kawasan budidaya, dan lain sebagainya. Lebih spesifik wilayah pembangunan yang dimaksudkan dalam konteks penelitian ini adalah satuan wilayah pengembangan (SWP) dengan Hirarki/pusat aktivitasnya, yang diarahkan dalam Struktur Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten merupakan salah satu wujud Perecanaan Tata Ruang yang diatur dalam pasal 22 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten merupakan arahan kebijakan dan strategi pemanfaatan ruang wilayah Kabupaten /kota yang berisikan: (1) tujuan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pertahanan keamanan; (2) rencana struktur ruang dan pola pemanfaatan wilayah kabupaten; (3) pengelolaan kawasan lindung dan budidaya; (4) pengelolaan kawasan perdesaan, kawasan perkotaan, kawasan budidaya dan kawasan tertentu; (5) rencana pengembangan sistem kegiatan pembangunan dan system permukiman pedesaan dan perkotaan; (6) rencana pengembangan system prasarana transportasi, telekominikasi, energi, pengairan dan prasarana pengelolaan lingkungan; penata gunaan tanah, penata gunaan air, penata gunaan udara dan penataan sumberdaya alam lainnya serta memperhatikan keterpaduan dengan sumberdaya manusia dan sumberdaya buatan; (7) pedoman pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten; dan (8) penetapan dan pengelolaan kawasan prioritas kabupaten. Selanjutnya RTRW Kabupaten yang disusun, dimaksudkan untuk menjadi pedoman bagi: (1) perumusan kebijakan pokok pemanfaatan ruang wilayah kabupaten; (2) program-program pembangunan daerah kabupaten; (3) mewujudkan keterpaduan, keterkaitan dan keseimbangan perkembangan antar wilayah didalam wilayah kabupaten serta keserasian antar sektor; (4) penetapan lokasi investasi di wilayah kabupaten; (5) penyusunan rencana rinci tata ruang di kabupaten; dan (6) pelaksanaan pembangunan dalam rangka pemanfaatan ruang.

37 21 Sehubungan dengan definisi kesenjangan pembangunan di atas, maka perlu kelengkapan kerangka teori yang dapat menginspirasi kerangka pemikiran dasar perlunya penelitian ini antara lain: Kerangka teori keterkaitan antar sektor dan spasial. Keterkaitan antar sektor dan antar spasial, sebenarnya bertujuan untuk mencapai suatu perubahan struktur ekonomi dan struktur wilayah yang dapat bertumbuh secara berimbang. Ada keseimbangan keterkaitan antar sektor untuk memberikan kontribusi bagi struktur ekonomi wilayah. Perubahan struktur ekonomi wilayah yang diharapkan dari dampak keterkaitan adalah pergeseran surplus produksi dan tenaga kerja subsisten dari sektor primer (pertanian, pertambangan) ke sektor sekunder (manufaktur dan konstruksi) dan sektor tersier (transportasi dan komunikasi, perdagangan, pemerintah dan jasa lainnya) Fisher (1935) sebagai orang pertama yang memperkenalkan kegiatan usaha primer, sekunder dan tersier menilai bahwa negara perlu diklasifikasikan berdasarkan proporsi tenaga kerja yang ada di tiap sektor. Kemudian Clark (1951) juga mendukung pandangan Fisher dengan kumpulan analisis data untuk mengukur dan membandingkan karakteristik ekonomi sektoral pada tingkat pendapatan per kapita yang berbeda. Menurut Clark (1951) bahwa pada saat ekonomi negara tinggi, proporsi tenaga kerja yang terkait dengan sektor primer menurun; proporsi tenaga kerja pada sektor sekunder meningkat mencapai tingkat tertentu; proporsi tenaga kerja pada sektor tersier meningkat setelah sektor primer dan sekunder telah mencapai keseimbangan. Perubahan proporsi tenaga kerja di setiap sektor menunjukkan bahwa pergerakan tenaga kerja akan terjadi dari sektor primer menuju sektor sekunder dan tersier karena adanya perbedaan produktivitas tenaga kerja dan kemajuan teknologi di setiap kegiatan. Teori dualisme ekonomi yang dikembangkan oleh Lewis yang diacu Rustiadi et al. (2003) menyatakan bahwa perkembangan suatu wilayah akan mengalami stagnasi bila hanya satu sektor saja di kembangkan. Misalkan perkembangan sektor pertanian yang tanpa diikuti oleh perkembangan sektor industri akan memperburuk tawar-menawar (term of trade) sektor pertanian tersebut akibat kelebihan produksi atau tenaga kerja, akhirnya pendapatan disektor pertanian menjadi anjlok (depresif) dan rangsangan penanaman modal dan pembaharuan menjadi tidak terangsang.

38 22 Demikian juga pembangunan ekonomi yang dipusatkan pada industri yang mengabaikan pertanian, akhirnya akan menghambat proses pembangunan itu sendiri. Adanya sektor industri yang mampu menampung surplus produksi pertanian akan meningkatkan pendapatan sektor pertanian. Demikian juga bila terjadi surplus tenaga kerja di sektor pertanian yang dapat ditampung di sektor industri akan menjaga tingkat pendapatan yang tinggi di sektor pertanian. Tingkat pendapatan yang tinggi merangsang berbagai kebutuhan akan barangbarang non pertanian. Demikian juga perkembangan sektor pertanian dan industri pengolahan tanpa diikuti sektor ekonomi lain seperti sektor Perbankan, swasta serta sektor infrastruktur dalam menopang kegiatan pertanian dan industri pengolahan mengakibatkan pertumbuhan ekonomi wilayah menjadi stagnan. Misalnya pembangunan sektor infrastruktur yang tidak memadai dalam mendukung sektor pertanian dan industri maka pergerakan ekonomi wilayah menjadi tidak efisien. Laporan Bappenas (2002), mengisyaratkan bahwa Sektor infrastruktur dituntut untuk makin mampu berperan mendukung pergerakan orang, barang dan jasa nasional demi mendukung timbulnya perekonomian nasional dan pengembangan wilayah dan sekaligus mempersempit kesenjangan pembangunan antar daerah. Infrastruktur dituntut untuk memiliki korelasi yang tinggi dengan pertumbuhan ekonomi wilayah, kesesuaian tata ruang, dan kelestarian lingkungan hidup. Pembangunan infrastruktur harus menjadi salah satu alternatif bagi pemulihan pertumbuhan ekonomi pasca krisis 1997 untuk dapat menyerap banyak tenaga kerja, membangkitkan sektor riil, dan memicu produksi dan konsumsi masyarakat serta dapat mengurangi kesenjangan antar daerah dan mengurangi kemiskinan. Sehubungan dengan itu Sipayung (2000) menyatakan bahwa sektor pertanian dan non petanian merupakan suatu sistem dalam perekonomian oleh karena itu sektor pertanian dengan sektor non pertanian memiliki keterkaitan ekonomi yang saling mempengaruhi kinerja kedua sektor. Rangrajan (1982) menyatakan bahwa terdapat 5 (lima) mekanisme keterkaitan ekonomi antara sektor pertanian dan non petanian sebagai berikut :Pertama, sektor pertanian dan non pertanian menghasilkan bahan baku bagi sektor non pertanian. Produksi sektor pertanian berupa bahan pangan dan non pangan merupakan input utama dari sektor non petanian seperti industri pengolahan hasil pertanian dan perdagangan, restoran. Ke dua, sektor non

39 23 pertanian menghasilkan input yang diperlukan oleh sektor pertanian. Pupuk, pestisida, mesin peralatan pertanian dan berbagai jenis jasa merupakan hasil sektor non pertanian yang menjadi input sektor pertanian. Ke tiga, sektor pertanian (rumahtangga pertanian) merupakan pasar bagi output akhir sektor non pertanian. Bahan pangan olahan, sandang dan papan serta berbagai jenis jasa-jasa merupakan hasil sektor non pertanian di konsumsi oleh rumahtangga pertanian. Ke empat, keterkaitan melalui tabungan pemerintah dan investasi publik. Peningkatan output sektor akan secara langsung meningkatkan penerimaan pajak tak langsung pemerintah yang selanjutnya digunakan untuk membiayai investasi publik. Peningkatan investasi publik ini akan meningkatkan permintaan barang-barang modal yang dihasilkan sektor non pertanian. Kelima, keterkaitan melalui prilaku investasi swasta. Harga komoditas pertanian yang relatif rendah dan stabil, akan merangsang investasi swasta pada sektor non pertanian. Hal ini disebabkan karena naik turunnya harga komoditas pertanian baik melalui kenaikan atau penurunan biaya bahan baku maupun upah tenaga kerja. Dengan keterkaitan demikian, pertumbuhan sektor pertanian dengan pertumbuhan sektor non pertanian secara teoritis akan saling mendukung pertumbuhan ekonomi secara agregat. Namun demikian berbagai hasil studi emperis menggambakan bahwa keterkaitan sektor pertanian dengan sektor non pertanian menunjukkan keterkaitan yang lemah dimana antara pertumbuhan sektor pertanian dengan sektor non pertanian cenderung menurunkan peranan sektor pertanian dalam pembentukan PDB. Namun belum menunjukkan faktor-faktor apa yang dapat menyebabkan lemahnya keterkaitan tersebut. Penurunan pangsa sektor pertanian dalam perekonomian yang bertumbuh disebabkan oleh tiga faktor utama yaitu penurunan harga relatif komoditas pertanian terhadap harga produk non pertanian, perbedaan laju perubahan teknologi dan perubahan relatif faktor produksi (Martin and Warr, 1993). Budiharsono (1996) mengemukakan bahwa terjadinya penyimpangan pola normal transformasi struktur produksi antar daerah terutama disebabkan karena relatif kecilnya keterkaitan antar sektor pertanian dan dengan sektor industri. Dari hasil analisis dengan menggunakan model input-output ternyata keterkaitan sektor pertanian dengan sektor industri relatif kecil. Sedangkan salah satu ukuran kemajuan suatu daerah adalah adanya keseimbangan antar sektor pertanian dan industri (Todaro, 1978).

40 Kerangka teori kesenjangan dan keberimbangan pembangunan antar wilayah. a. Urgensi keberimbangan pembangunan wilayah. Menurut Rustiadi et al. (2003 ) bahwa setiap pemerintah baik di negara berkembang (developing countries) maupun belum berkembang (less developed countries) selalu berusaha untuk meningkatkan keterkaitan yang simetris antar wilayah dan mengurangi kesenjangan karena beberapa alasan, antara lain: (1) Untuk mengembangkan perekonomian secara simultan dan bertahap; (2) Untuk mengembangkan ekonomi secara cepat; (3) Untuk mengoptimalkan pengembangan kapasitas dan mengkonservasi sumber daya; (4) Untuk meningkatkan lapangan kerja;(5) Untuk mengurangi beban sektor pertanian; (6) Untuk mendorong desentralisasi; (7) Untuk menghindari konflik lepas kendali dan instabilitas politik disintegratif; (8) Untuk meningkatkan Ketahanan Nasional. Menurut Hill (1996) yang diacu Hadi (2001), isu pemerataan pembangunan wilayah sangat penting dengan beberapa alasan pokok: (1) terdapat ketimpangan antar wilayah dalam berbagai aspek seperti pertumbuhan ekonomi, kepadatan penduduk, potensi sumberdaya alam, potensi sumberdaya manusia; (2) alasan politis dalam bentuk permasalahan etnis yang mendiami wilayah yang tersebar, dimana isu ketidakmerataan distribusi sumberdaya alam daerah yang harus diserahkan seluruhnya kepada pusat dan bukannya kepada daerah penghasil itu sendiri; dan (3) permasalahan dinamika spasial yang terjadi di daerah-daerah, yaitu sebagai suatu warisan historis dengan adanya ketidakseimbangan yang mencolok antara Jawa dan luar Jawa. b. Teori Ketidakseimbangan Pertumbuhan Wilayah. Menurut Tamenggung (1997) bahwa Teori ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah muncul terutama sebagai reaksi terhadap konsep kestabilan dan keseimbangan pertumbuhan dari teori Neoklasik. Tesis utama dari teori ini adalah bahwa kekuatan pasar sendiri tidak dapat menghilangkan perbedaanperbedaan antar wilayah dalam suatu negara; bahkan sebaliknya kekuatankekuatan ini cenderung akan menciptakan dan bahkan memperburuk perbedaan-perbedaan itu. Dalam kritiknya terhadap teori keseimbangan pertumbuhan, Myrdal (1975) berpendapat bahwa perubahan-perubahan dalam suatu sistem sosial tidak diikuti oleh penggantian perubahan-perubahan pada arah yang berlawanan. Beranjak dari pendapat ini, ia mengembangkan teori penyebab kumulatif dan berputarnya proses sosial untuk menjelaskan ketimpangan internasional dan antar wilayah. Menurut Myrdal, terdapat dua kekuatan yang

41 25 bekerja dalam proses pertumbuhan ekonomi, efek balik negatif (backwash effect) dan efek penyebaran (spread effect). Kedua kekuatan itu digunakan untuk menunjukkan konsekuensi spasial dari pertumbuhan ekonomi terpusat baik negatif maupun positif. Kekuatan efek penyebaran mencakup penyebaran pasar hasil produksi bagi wilayah belum berkembang, penyebaran inovasi dan teknologi; sedangkan kekuatan efek balik negatif biasanya melampaui efek penyebaran dengan ketidakseimbangan aliran modal dan tenaga kerja dari wilayah tidak berkembang ke wilayah berkembang. Jadi, interaksi antar wilayah pada sistem pasar bebas cenderung memperburuk kinerja ekonomi wilayah yang belum berkembang. Menurut Myrdal, kondisi ini memberikan pengesahan terhadap intervensi mekanisme pasar untuk mengatasi efek balik negatif yang akan menimbulkan kesenjangan wilayah. Teori ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah lebih jauh dikembangkan oleh Kaldor (1970) dan berdasarkan pandangan Kaldor teori ini diperjelas oleh Dixon dan Thirwall (1975). Menurut Kaldor, pertumbuhan output wilayah ditentukan oleh adanya peningkatan skala pengembalian, terutama dalam kegiatan manufaktur. Hal ini berarti bahwa wilayah dengan kegiatan utama sektor industri pengolahan akan mendapat keuntungan produktivitas yang lebih besar dibandingkan wilayah yang bergantung pada sektor primer, sehingga dapat disimpulkan bahwa wilayah dengan sektor industri akan tumbuh lebih cepat dibandingkan wilayah yang bergantung pada sektor primer. Dixon dan Thirwall mengembangkan teori Kaldor dengan menekankan dampak proses penyebab kumulatif terhadap pertumbuhan ekonomi wilayah. Pertumbuhan output wilayah menentukan tingkat perubahan teknologi dan pertumbuhan rasio modal dan tenaga kerja. Kedua faktor ini lebih lanjut akan menentukan pertumbuhan dan tingkat produktivitas wilayah. Pertumbuhan ekspor suatu wilayah bergantung pada daya saing relatif terhadap wilayah lainnya; dengan kata lain, pertumbuhan wilayah bergantung pada produktivitas wilayah itu sendiri, dan hal ini berarti bahwa suatu peningkatan produktivitas akan mempengaruhi pertumbuhan dan tingkat ekspor suatu wilayah. Pada masalah ini, proses penyebab kumulatif pertumbuhan ekonomi akan terjadi secara menyeluruh, karena pertumbuhan ekspor wilayah menentukan pertumbuhan output wilayah. Keterkaitan antara pertumbuhan output wilayah dan pertumbuhan produktivitas juga dikenal sebagai efek Verdoorn.

42 26 Teori pertumbuhan yang tidak seimbang menggambarkan bahwa pada saat suatu wilayah mencapai manfaat pertumbuhan, manfaat itu akan terus dipertahankan melalui efek Verdoorn. Semakin sering suatu wilayah memproduksi barang-barang dengan elastisitas permintaan yang tinggi terhadap pasar-pasar ekspor, semakin cepat tingkat pertumbuhan produktivitas sehingga wilayah lain akan menemukan kesulitan untuk menahan persaingan terhadap wilayah itu. Hirchman (1958) dan Myrdal (1957) yang diacu Alonso (1979) menemukan mode - model polarisasi spatial ekonomi yang mirip sekali di dalam proses perkembangan. Pada tahap-tahap permulaan perkembangan, keuntungan terletak pada pusat-pusat yang sudah maju, yang menikmati fasilitas yang lebih lengkap, keuntungan-keuntungan ekstern, kekuatan politik, preferensi wilayah dari pada pembuat keputusan, masuknya unsur-unsur yang lebih bersemangat dan terpelajar dari daerah-daerah yang masih terbelakang, mengalirnya dana yang berasal dari tanah yang kaya di daerah pedalaman ke pasar-pasar uang di kota-kota, serta berbagai macam faktor-faktor lainnya. Faktor-faktor tersebut dapat menimbulkan polarisasi, yakni konsentrasi di kotakota besar dan bertambah besarnya perbedaan pendapatan antara daerahdaerah. Akan tetapi setelah melewati titik tertentu efek-efek penurunan (tricle down effect) tertentu akan kelihatan. Di lain sisi meningkatnya jumlah penduduk yang melek huruf, peluasan pelaksanaan birokrasi, meningkatnya pengetahuan pada daerah-daerah terbelakang, pembukaan jaringan-jaringan angkutan untuk mencapai daerahdaerah terbelakang, dapat membuka akses pasar bagi pusat-pusat yang sudah maju juga memberikan kemungkinan bagi terbukanya daerah-daerah itu bagi kegiatan-kegiatan yang produktif, pendidikan yang merata dan standardisasi seluruh segi kehidupan akan membawah integrasi pada ekonomi wilayah (space economy) dan dengan mengusahakan berbagai eksternalitas menjadi hampir sama untuk semua daerah, peluang-peluang yang terletak lebih jauh akan semakin berarti dan semakin penting bagi pembangunan. Demikianlah dalam pandangan ini pada tahap-tahap permulaan perkembangan, terjadi kesenjangan yang makin meningkat antar daerah yang sudah maju dengan daerah yang masih terbelakang, akan tetapi kemudian terdapat kecenderungan kearah pemerataan pendapatan pada waktu perekonomian mulai memasuki tahap pendewasaan. Myrdal lebih pesemis dari

43 27 pada Hischman dalam hal konfergensi akhir (eventual convergence) ini dan menghentikan analisisnya dengan apa yang disebutnya Lingkaran setan backwash effects yang dapat disamakan dengan polarisasi Hirschman. Pandangan Hirschman dan Myrdal diperkuat dengan penemuan Williamson (1965) bahwa: (1) disparitas regional lebih besar di negara-negara berkembang dan lebih kecil di negara-negara maju; (2) disparitas ini makin lama makin meningkat di negara-negara berkembang, sebaliknya akan menurun di negaranegara maju, penemuan ini benar-benar menunjukkan bahwa ketidak merataan regional jika digambarkan dalam kaitannya dengan perkembangan ekonomi akan menghasilkan kurva berbentuk lonceng yang beberapa titik puncaknya dicapai pada saat peralihan dari tahap lepas landas menuju tahap pendewasaan. c. Faktor-faktor penyebab Kesenjangan Pembangunan. Sebagaimana pada uraian di atas bahwa kesenjangan antar daerah dalam suatu perekonomian nasional maupun regional merupakan fenomena dunia. Hal ini terjadi pada semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan hal tersebut adalah struktur sosial ekonomi dan distribusi spasial dari sumberdaya bawaan. Pada umumnya kesenjangan antar daerah lebih tajam terjadi pada negara sedang berkembang karena kekakuan sosial ekonomi (social economic rigidities) dan imobilitas faktor (factor immobilities). Dalam mengatasi masalah kesenjangan tersebut, hampir semua negara berusaha menerapkan kebijakan khusus untuk pembangunan daerah terbelakang (Uppal dan Handoko 1986 yang diacu Budiharsono 1996). Namun yang terjadi di Indonesia, proses pembangunan yang dilaksanakan selama ini ternyata disisi lain telah menimbulkan kesenjangan pembangunan antar wilayah yang cukup melebar. Sehubungan dengan itu, Hanafiah (1988) menyatakan bahwa secara alami tingkat pembangunan di berbagai wilayah dalam suatu daerah atau negara adalah tidak sama. Dengan demikian, dalam suatu wilayah tertentu dapat diidentifikasikan adanya wilayah yang kaya, maju, dinamis, dan berkembang serta wilayah yang miskin, tradisional, statis, dan terbelakang. Wilayah yang kaya adalah wilayah yang mempunyai sumberdaya alam melimpah dan diikuti oleh kegiatan manusia yang tinggi sehingga berkembang menjadi wilayah yang maju. Sedangkan wilayah yang miskin adalah wilayah yang mempunyai sumberdaya alam yang terbatas dan kegiatan penduduk yang masih rendah sehingga wilayah tersebut lambat berkembang atau wilayah tersebut belum berkembang akibat sumberdaya alamnya yang belum dieksploitasi secara optimal

44 28 dan berkelanjutan. Akibat adanya perbedaan tingkat perkembangan wilayah dan tingkat pembangunan dalam suatu wilayah atau daerah tertentu maka terjadi jurang kesejehteraan masyarakat antara wilayah kaya dan wilayah miskin. Apabila tidak ada campur tangan pemerintah secara aktif, keadaan tersebut akan bertambah buruk bagi corak pembangunan selanjutnya. Campur tangan pemerintah yang efektif akan mengatasi kekurangan penyediaan modal dan kapasitas teknologi di wilayah pendukung dalam proses pertumbuhan (Gerschenkron 1962). Hadi (2001), juga menandaskan bahwa pertimbangan pemerataan dan keberlanjutan pembangunan antar wilayah, sering menjadi masalah yang belum dapat di atasi secara baik sampai saat ini. Apabila hal ini tidak diperhatikan maka daerah terbelakang tetap tertinggal dan yang sudah berkembang melaju lebih berkembang. Secara umum penyebab terjadinya kesenjangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah antara lain faktor geografi, sejarah, politik, kebijakan pemerintah, administrasi, sosial dan ekonomi ( Murty 2000; Rustiadi et al ). Secara geografis, pada suatu wilayah yang cukup luas akan terjadi perbedaan spasial baik jumlah maupun mutu sumberdaya mineral, sumberdaya pertanian, topografi, iklim, curah hujan dan sebagainya. Apabila wilayah tersebut memiliki kondisi geografis yang baik, maka wilayah tersebut akan lebih berkembang. Faktor sejarah memberikan inspirasi bahwa tingkat perkembangan suatu masyarakat dalam suatu wilayah cenderung tergantung pada apa yang telah dilakukan pada masa yang lalu. Bentuk organisasi/kelembagaan dan kehidupan perekonomian pada masa yang lalu merupakan penyebab yang cukup penting, terutama yang terkait dengan sistem insentif terhadap kapasitas kerja dan enterpreneurship. Sebagai contoh sistem feodalistik atau sistem kolonial cenderung tidak memberikan iklim yang bisa memacu prestasi dan kerja keras; contoh lain adanya budaya-budaya paternalistik dan egalatarian, dilain sisi dapat menguatkan social capital, tetapi dalam kenyataannya cenderung melemahkan sistem insentif terhadap kapasitas kerja dan enterpreneurship. Oleh karenanya perlu sistem yang dapat menciptakan kebebasan atau menekan tekanan psikis untuk bekerja dan berusaha yang dapat mendorong orang untuk berkembang lebih cepat. Faktor instabilitas politik sangat mempengaruhi proses perkembangan dan pembangunan di suatu wilayah. Politik yang tidak stabil akan menyebabkan

45 29 ketidakpastian atau keraguan orang atau investor untuk mengembangkan usaha atau menanamkan modal disuatu wilayah, sehingga wilayah tersebut tidak akan mengalami pertumbuhan. Bahkan seringkali terjadi pelarian modal keluar wilayah, untuk diinvestasikan ke wilayah lain yang kondisinya relatif lebih stabil (Rustiadi et al, 2004). Lebih lanjut Rustiadi et al. (2004) menyatakan bahwa kesenjangan yang terjadi sebagai akibat kebijakan pemerintah, diantaranya adalah kebijakan pembangunan nasional masa lalu yang menekankan pertumbuhan ekonomi dan membangun pusat-pusat pertumbuhan telah menimbulkan kesenjangan pembangunan yang luar biasa. Tricle down effect yang diharapkan bisa terjadi, dalam kenyataannya malah digantikan oleh backwash effect (pengurasan sumberdaya berlebihan) dari wilayah belakang (hinterland). Di katakan pula bahwa dalam era desentralisasi dan otonomi daerah kesenjangan pembangunan bisa terjadi, jika kebijakan pemerintah daerah untuk memperoleh PAD yang besar, kemudian menetapkan retribusi daerah yang tinggi bisa saja berdampak terhadap insentif permintaan yang rendah terhadap produksi rakyat. Melakukan eksplorasi sumberdaya alam tanpa mempertimbangkan aspek keberlanjutan, keterkaitan antar sektor dan wilayah sering menjadi dilema., dan lain sebagainya. Rustiadi et al. (2004) menyatakan pula bahwa kesenjangan pembangunan yang terjadi sebagai akibat dari faktor administrasi, sering terjadi pada wilayahwilayah dengan sumberdaya manusia yang menjalankan fungsi administrator tersinyalir kurang jujur, kurang terpelajar, kurang terlatih dengan sistem administrasi yang kurang efisien. Sehingga pelayanan publik dalam bentuk perizinan usaha dll, menjadi rumit dan berbelit. Wilayah yang demikian dipastikan tidak memiliki insentif untuk kegiatan investasi dan pertumbuhan wilayah menjadi stagnan. Selanjutnya kesenjangan pembangunan yang terjadi sebagai akibat dari faktor sosial, sering terjadi pada wilayah-wilayah yang masih tertinggal atau terisolasi dan yang masih kental dengan kehidupan atau kepercayaankepercayaan primitif, kepercayaan-kepercayaan tradisional dan nilai-nilai sosial yang sangat kontra produktif terhadap perkembangan ekonomi. Ciri sosial budaya masyarakat seperti itu umumnya tidak memiliki institusi dan prilaku yang kondusif bagi berkembangnya perekonomian. Sebaliknya wilayah dengan masyarakat yang relatif maju umumnya memiliki institusi dan prilaku yang

46 30 kondusif untuk berkembang. Mereka percaya pada agama, tradisi, nilai-nilai sosial yang lebih mendorong tumbuh dan berkembangnya intelektualisme, profesionalisme, moralitas dan social cohesiveness bagi kemajuan untuk semua (Rustiadi et al. 2004) Rustiadi et al. (2004) juga menyatakan bahwa kesenjangan pembangunan yang terjadi sebagai akibat dari faktor ekonomi, antara lain mencakup : (1) Perbedaan kuantitas dan kualitas faktor produksi yang dimiliki seperti lahan, tenaga kerja, modal, teknologi, infrastruktur, organisasi dan perusahaan. (2) Proses akumulasi dari berbagai faktor seperti lingkaran setan kemiskinan (Comulative causation of poverty propensity). Ada dua tipe lingkaran setan kemiskinan di wilayah-wilayah tertinggal. Pertama, sumberdaya terbatas dan ketertinggalan masyarakat menjadi sebab dan akibat dari kemiskinan. Kedua, kondisi masyarakat yang tertinggal, standar hidupnya rendah, efisiensi rendah, produktivitas rendah, pendapatan rendah, konsumsi rendah, tabungan rendah, investasi rendah, pengangguran meningkat dan pada akhirnya masyarakat menjadi semakin tertinggal. (3) Pengaruh pasar bebas yang berpengaruh pada spread effect dan backwash effect. Pengaruh atau kekuatan pasar bebas telah mengakibatkan faktorfaktor ekonomi (tenaga kerja, modal, perusahaan) dan aktivitas ekonomi (industri, perdagangan, perbankan dan asuransi) yang dalam ekonomi maju memberikan hasil (return) yang lebih besar cenderung terkonsentrasi di wilayah-wilayah berkembang (maju). Perkembangan wilayah-wilayah ini ternyata terjadi karena penyerapan sumberdaya dari wilayah-wilayah sekitarnya (backwash effect). Spread effect yang diharapkan terjadi, ternyata lebih lemah dibanding dengan backwash effect. Sebagai akibatnya wilayahwilayah atau kawasan yang beruntung akan semakin berkembang sedangkan wilayah-wilayah atau kawasan yang kurang beruntung akan semakin tertinggal. (4) Terjadi distorsi pasar seperti immobilitas, kebijakan harga, keterbatasan spesialisasi, keterbatasan ketrampilan tenaga kerja dan sebagainya d. Penataan Ruang. Berbicara menyangkut kesenjangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah pembangunan, tidak akan bisa terlepas dari kebijaksanaan penataan ruang karena penataan ruang merupakan salah satu bagian dari perencaan pembangunan wilayah, dimana kedudukannya adalah sebagai induk dari

47 31 semua proses perencanaan pembangunan wilayah. Penataan ruang merupakan bagian dari proses menciptakan keseimbangan antar wilayah sebagai wujud dari pembangunan yang berkeadilan. Penataan ruang mengisyaratkan, bagaimana membangun struktur keterkaitan pembangunan sektor dan wilayah yang seimbang dan berkeadilan, mencegah terjadinya kesenjangan pembangunan yang rawan menimbulkan berbagai konflik dan atau mengurangi kesenjangan tingkat pertumbuhan antar wilayah. Undang-Undang No Tentang Penataan Ruang menegaskan bahwa Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya. Akan tetapi Ruang yang merupakan bagian dari alam tersebut dapat pula menimbulkan suatu pertentangan jika tidak diatur dan direncanakan dengan baik dalam penggunaan dan pengendaliannya. Oleh karena itu perlunya suatu perencanaan tata ruang yang lebih komprehensif dan akomodatif terhadap semua kepentingan yang berspektif efisien, adil dan keberlanjutan. Dalam hal ini sejalan dengan apa yang diulas oleh Rustiadi et al. (2003) bahwa di masa sekarang dan akan datang diperlukan suatu pendekatan baru penataan ruang yang berbasis pada hal- hal berikut: (1) sebagai bagian dari upaya memenuhi kebutuhan masyarakat untuk melakukan perubahan atau upaya untuk mencegah terjadinya perubahan yang tidak diinginkan; (2) menciptakan keseimbangan pembangunan antar wilayah; (3) menciptakan keseimbangan pemanfaatan sumberdaya di masa sekarang dan masa yang akan datang (pembangunan berkelanjutan); dan (4) disesuaikan dengan kapasitas pemerintah dan masyarakat untuk mengimplementasikan perencanaan yang disusun. Untuk melakukan suatu perencanaan tata ruang yang berbasis pada paradigma baru sebagaimana yang di ungkapkan diatas, tentunya diperlukan suatu kajian yang mendalam terhadap pola dan struktur tata ruang suatu wilayah yang sudah ada, karena pada umumnya suatu perencanaan wilayah yang di lakukan sebelum era otonomi daerah, dapat diprediksi banyak kekurangannya baik dari sisi proses perencanaan maupun pada implementasi dan pengendaliannya. Menurut Rustiadi, et al (2003) bahwa setidaknya terdapat dua unsur penataan ruang, yakni unsur pertama terkait dengan proses penataan fisik ruang

48 32 dan unsur kedua adalah unsur institusional/kelembagaan penataan ruang (non fisik). Dimana unsur non fisik mencakup aspek-aspek organisasi penataan ruang dan aspek-aspek mengenai Aturan-aturan main penataan ruang. Sedangkan unsur fisik penataan ruang mencakup: (1) penataan pemanfaatan ruang; (2) penataan struktur/hirarki pusat-pusat wilayah aktivitas sosial ekonomi; (3) pengembangan jaringan keterkaitan antar pusat-pusat aktivitas; dan (4) pengembangan infrastruktur. Pada umumnya proses perencanaan tata ruang hanya di lihat sebagai suatu kegiatan pembagian zonasi (pengaturan penggunaan lahan) dan dianggap sebagai perencanaan fisik yang paling utama dalam proses penataan ruang, namun sekarang ini semakin disadari bahwa penataan penggunaan lahan (tata guna tanah) tanpa kelengkapan penataan unsur-unsur esensial lainnya, tidak akan pernah efektif, karena penatagunaan lahan tidak bersifat independent dari perencanaan struktur hirarki pusat-pusat pelayanan, struktur jaringan jalan dan perencanaan infrastruktur lainnya yang menyeluruh, termasuk unsur-unsur kelembagaan yang berperan (Rustiadi et al. 2003). Rustiadi et al. (2003) menyatakan pula bahwa penataan struktur hirarki sebenarnya penting sebagai upaya meningkatkan fungsi dan peran wilayahwilayah pusat pertumbuhan agar lebih berkembang sesuai potensi yang dimilikinya sekaligus dapat memberikan manfaat sosial (social benefit) yang optimal. Tetapi konsentrasi spatial (Aglomerasi) jika tidak diimbangi dengan implementasi perencanaan yang baik maka akan terjadi ketimpangan pertumbuhan wilayah karena perbedaan economic rent antara lokasi yang satu dengan lokasi yang lain. Di lain sisi suatu aktivitas pusat ekonomi tidak akan memberikan economic rent, apabila tidak diimbangi dengan pembentukan jaringan keterkaitan (linkage) antara pusat-pusat aktivitas yang dapat memfasilitasi aliran barang, jasa dan informasi. Demikian pula pengembangan infrastruktur yang mencirikan suatu aktivitas ekonomi wilayah dapat bertumbuh dan berkembang. e. Teori Pusat Pertumbuhan Salah satu model pengembangan wilayah yang erat kaitannya dengan aspek tata ruang adalah konsep pusat-pusat pertumbuhan. Konsep ini didasarkan kepada 2 (dua) hipotesa dasar, yaitu: (1) pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dimulai dan mencapai puncaknya pada sejumlah pusat-pusat tertentu; (2) pertumbuhan dan perkembangan ekonomi dijalarkan (disebarkan) di pusat-pusat pertumbuhan ini,

49 33 secara nasional melalui hirarkhi kota-kota secara regional dari pusat-pusat perkotaan (urban centre) ke daerah belakang (hinterland) masing-masing. Gagasan konsep tersebut pertama kali dikemukakan oleh Walter Christaler (1933) yang kemudian dikenal sebagai teori tempat sentral (Central Theory) yang selanjutnya dikembangkan oleh Losh, Berry dan Garrison (Hanafiah 1985, Pradhan 2003). Menurut teori ini pertumbuhan dari suatu kota merupakan akibat penyediaan barang dan jasa pada daerah belakangnya. Dengan kata lain, pertumbuhan daerah perkotaan adalah fungsi dari penduduk dan tingkat pendapatan daerah belakangnya, sedangkan laju peningkatan pertumbuhannya tergantung pada laju peningkatan permintaan dari daerah belakang atas barang dan jasa atau pelayanan perkotaan (Richardson, 1969 yang diacu Sitohang, 1991). Pusat-pusat pertumbuhan tersebut berdasarkan studi di India telah dimodifikasikan dan dapat dibedakan atas: (1) pusat pelayanan pada tingkat lokal; (2) titik pertumbuhan pada tingkat sub-wilayah; (3) pusat pertumbuhan pada tingkat wilayah; (4) kutub pertumbuhan pada tingkat nasional. Pusat suatu wilayah juga merupakan pusat barang dan jasa yang secara terperinci dinyatakan sebagai pusat perdagangan, perbankan, organisasi perusahaan, jasa profesional, jasa administrasi, pelayanan pendidikan dan hiburan bagi daerah hinterland. Permintaan antar hinterland sangat bervariasi dan berbanding terbalik dengan jarak dari pusat pertumbuhan karena adanya perbedaan dalam biaya transportasi. Dari uraian tersebut, terlihat bahwa jarak merupakan faktor kunci bagi Teori Christaler. Jarak didefinisikan sebagai maksimum jarak yang ingin ditempuh oleh seseorang untuk membeli barang tertentu yang ditawarkan pada suatu tempat. Model teori pusat pertumbuhan yang dinyatakan oleh Christaler ini dapat digunakan jika memenuhi asumsi-asumsi berikut: (1) populasi penduduk tersebar di suatu wilayah secara homogen; (2) pusat menyediakan barang-barang dan jasa-jasa untuk hinterland-hinterland-nya, sehingga jika terdapat dua tempat sentral yang mampu menyediakan pelayanan yang sama akan mempunyai hinterland dengan ukuran yang sama pula; (3) pusat mempunyai pola memaksimumkan lokasi spasialnya (misalnya: dalam penggunaan lahan); (4) pusat membentuk suatu hirarkhi. Dengan demikian dapat dikemukakan, bahwa fasilitas pelayanan dalam aspek tata ruang, kualitas dan jumlahnya berkaitan erat dengan tingkat kesejahteraan masyarakat. Sehingga dapat diidentifikasi, bahwa peningkatan kesejahteraan masyarakat ini ditentukan oleh derajad penyediaan fasilitas pelayanan yang tersedia. Ketersediaan fasilitas pelayanan pada gilirannya juga akan mendorong aktivitas

50 34 ekonomi yang makin maju. Sebagaimana dikemukakan oleh Hanafiah (1985), bahwa sistem pusat-pusat pertumbuhan sebagai salah satu implementasi pembangunan wilayah akan menciptakan perubahan-perubahan sosial ekonomi dalam masyarakat, yaitu menurut suatu hirarkhi yang akan menciptakan suatu struktur dan organisasi tata ruang baru bagi kegiatan manusia. Selanjutnya dalam menelaah pembangunan wilayah terutama dengan pendekatan pusat pertumbuhan dan wilayah pendukungnya, perlu diketahui hubungan atau interaksi pusat pelayanan dengan daerah belakangnya (hinterland) dalam ruang lingkup kegiatan sosial ekonomi. Hubungan tersebut dapat berupa spread effect yang menguntungkan daerah belakang, ataupun sebaliknya yaitu fenomena back-wash effect yang akan merugikan daerah belakang (hinterland). Dengan demikian dari penjelasan tersebut terlihat, bahwa adanya hubungan yang erat antara pusat-pusat pertumbuhan yang menyediakan berbagai fasilitas pelayanan dengan aktivitas-aktivitas dan kegiatan sosial ekonomi masyarakat, baik yang berada di daerah pusat pertumbuhan itu sendiri maupun daerah belakangnya. Menurut Tarigan (2004), bahwa hubungan antara pusat pertumbuhan dan wilayah pendukung dapat dikategori atas 3 bentuk hubungan, yakni : (1) Hubugan generatif, yakni hubungan yang saling menguntungkan atau saling menyumbangkan antara daerah yang lebih maju dengan daerah yang ada di belakangnya. Daerah kota atau wilayah pusat dapat menyerap tenaga kerja atau memasarkan produksi dari daerah pedalaman (wilayah yang lebih terbelakang). Sedangkan wilayah pedalaman berfungsi untuk memasarkan produk-produk yang dihasilkan oleh industri perkotaan, dan sekaligus dapat memenuhi kebutuhan wilayah belakang. Selain itu wilayah pusat (kota) berperan sebagai tempat inovasi dan modernisasi yang dapat diserap oleh daerah pedalaman. Adanya pertukaran dan saling ketergantungan ini akan menyebabkan terjadinya pertumbuhan dan perkembangan sejajar antara wilayah pusat dan wilayah belakang. (2). Hubungan Parasitif, yakni hubungan yang terjadi dimana wilayah kota (wilayah yang lebih maju) tidak banyak membantu atau menolong wilayah belakangnya (hinterland). Wilayah kota yang bersifat parasit, umumnya kota yang belum banyak berkembang industrinya dan masih berciri wilayah pertanian, tetapi berciri wilayah perkotaan sekaligus. (3) Hubungan enclave (tertutup), yakni hubungan dimana wilayah pusat (kota yang lebih maju), seakan-akan terpisah sama sekali dengan daerah sekitarnya yang lebih terbelakang. Buruknya sarana dan prasarana, perbedaan taraf hidup dan pendidikan yang mencolok dan faktor-faktor lainnya dapat menyebabkan kurang hubungan antar wilayah pusat dan hinterland. Untuk menghindari hal ini, wilayah-wilayah terbelakang perlu didorong

51 35 pertumbuhannya, sedangkan wilayah yang lebih maju dapat berkembang atas kemampuannya sendiri. Selanjutnya dikatakan pula bahwa tidak semua kota generatif dapat dikategorikan sebagai pusat pertumbuhan, karena pusat pertumbuhan harus memiliki empat ciri, yakni : (1) Adanya hubungan internal dari berbagai macam kegiatan yang memiliki nilai ekonomi. Hubungan internal sangat menentukan dinamika sebuah kota. Ada keterkaitan antara sektor dan sektor lainnya sehingga apabila ada satu sektor yang tumbuh akan mendorong pertumbuhan sektor lainnya, karena saling terkait. Pertumbuhan tidak terlihat pincang, ada sektor yang tumbuh cepat tetapi ada sektor lainnya yang tidak terkena imbas sama sekali. Berbeda halnya dengan sebuah kota, yang fungsinya sebagai perantara (transit). Dimana kota tersebut hanya berfungsi mengumpulkan berbagai macam komoditi dari wilayah di belakangnya dan menjual ke kota lain yang lebih besar dan selanjutnya dapat membeli berbagai macam kebutuhan masyarakat dari kota lain untuk didistribusikan ke wilayah yang ada di belakangnya. Kota dengan ciri perantara, tidak terdapat banyak pengolahan ataupun kegiatan yang dapat menciptakan nilai tambah (value edded) atau tidak ada proses industri yang menghasilkan value edded. (2) Adanya efek pengganda (multiplier effect). Keberadaan sektor-sektor yang saling terkait dan saling mendukung akan menciptakan efek ganda. Apabila ada suatu sektor disuatu wailayah mengalami kenaikan permintaan yang berasal dari luar wilayah, maka produksi sektor tersebut akan meningkat, karena ada keterkaitan dengan sektor-sektor lain, maka produksi sektor-sektor lain juga meningkat dan terjadi beberapa kali putaran pertumbuhan, sehingga total kenaikan produksi bisa beberapa kali lipat dibandingkan dengan kenaikan permintaan awal yang berasal dari luar wilayah tersebut. Unsur efek pengganda tersebut sangat berperan untuk membuat sebuah kota dapat memacu pertumbuhan wilayah di belakangnya, karena terjadi peningkatan produksi pada sektor di wilayah yang lebih maju, akan memacu dan meningkatkan permintaan bahan baku dari wilayah-wilayah yang berada di belakangnya. (3) Adanya konsentarasi geografis. Konsentarasi geografis dari berbagai sektor atau fasilitas, selain bisa menciptakan efisiensi di antara sektor-sektor yang saling membutuhkan, juga meningkatkan daya tarik (attractivennes) dari wilayah yang lebih maju tersebut. Orang yang datang ke wilayah tersebut, dapat memperoleh berbagai kebutuhan pada lokasi yang berdekatan. Dengan demikian dapat menghemat waktu, tenaga dan biaya. Hal tersebut menjadi daya tarik untuk dikunjungi orang, karena volume

52 36 interaksi yang semakin meningkat akan menciptakan economic of scale sehingga terjadi efisiensi lanjutan. (4) Bersifat mendorong pertumbuhan daerah belakangnya. Hal ini berarti antara wilayah yang lebih maju dan wilayah belakangnya terdapat hubungan yang harmonis. Wilayah yang lebih maju membutuhkan bahan baku dari wilayah belakangnya untuk mengembangkan diri, apabila wilayah yang lebih maju memiliki hubungan yang harmonis dengan daerah belakangnya dan juga memiliki ketiga ciri di atas, maka wilayah tersebut akan berfungsi mendorong wilayah belakangnya. f. Teori Interaksi spasial. Interaksi antar wilayah (interaksi spasial) merupakan suatu mekanisme yang menggambarkan dinamika yang terjadi di suatu wilayah karena aktivitas yang dilakukan oleh sumber daya manusia di dalam suatu wilayah. Aktivitas-aktivitas yang dimaksudkan mencakup diantaranya mobilitas kerja, migrasi, arus informasi dan arus komoditas, mobilitas pelajar dan aktivitas-aktivitas konferensi, seminar, lokakarya atau kegiatan sejenisnya, pemanfaatan fasilitas pribadi dan atau fasilitas umum bahkan tukar menukar pengetahuan (Kingsley E. Hayes, 1984 yang diacu Saefulhakim, 2003). Analisis interaksi spasial mempelajari hubungan berupa pergerakan komoditi, barangbarang, orang, informasi dan lainnya antara titik-titik dalam ruang. Analisis ini menekankan pada saling ketergantungan dari tempat dan area. Interaksi spasial semakin menurun karena jarak. Salah satu persamaan kurva yang menggambarkan hubungan aliran dan jarak adalah F = ad -ß, dimana F adalah aliran, D adalah jarak dan ß adalah nilai konstanta. Para analis spasial lebih tertarik pada nilai konstanta ß. Nilai ß yang rendah mengindikasikan slope yang rendah dengan aliran-aliran dalam area yang lebih luas. Nilai ß yang tinggi mengindikasikan penurunan yang tajam dari aliran-aliran yang disebabkan oleh jarak, sehingga aliran-aliran hanya akan terjadi di area yang terbatas. Salah satu metode yang banyak digunakan untuk meduga besarnya interaksi spasial adalah model gravitasi. Persamaan model gravitasi tersebuit dapat digunakan untuk menganalisis dan menduga pola interaksi spasial. Model gravitasi tersebut pada dasarnya merupakan bentuk analogi fenomena Hukum Fisika Gravitasi Newton yang kemudian dikembangkan untuk ilmu sosial. Secara klasik, konsep gravitasi interaksi manusia mendalilkan bahwa kekuatan yang membuahkan interaksi diantara dua wilayah dari aktivitas manusia diciptakan oleh massa populasi kedua wilayah, dan jarak kedua wilayah. Yaitu bahwa interaksi antara dua (2) pusat pemusatan populasi bervariasi, berbanding lurus dengan fungsi ukuran populasi dari dua pusat dan bebanding terbalik fungsi jarak di antara keduanya (Carrothers,1956 yang diacu Saefulhakim 2003). Hipotesis tersebut didasarkan

53 37 pada alasan bahwa : (a) Untuk memproduksi interaksi, individu-individu harus berkominikasi, secara langsung atau tidak langsung dengan yang lainnya; (b) individu sebagai unit dari group yang besar, mungkin dipertimbangkan untuk membentuk pengaruh interaksi yang sama dengan individu lainnya dan (c) Frekwensi interaksi yang dibentuk oleh individu dalam lokasi tertentu berbanding terbalik secara proporsional dengan kesulitan pencapaian, atau kominikasi dalam lokasi tersebut. Konsep model gravitasi yang dikembangkan dari persamaan gravitasi Newton tersebut berkaitan dengan 2 hal pokok ; (a) dampak skala, yaitu sejauhmana dampak yang telah ditimbulkan oleh suatu aktivitas tertentu di suatu lokasi tertentu terhadap daerah sekitarnya. Sebagai contoh suatu lokasi dengan jumlah populasi lebih besar cenderung akan membangkitkan dan menarik aktivitas lebih banyak dibandingkan dengan kota lain yang mempunyai populasi lebih sedikit. Dapat dihipotesiskan bahwa skala usaha aktivitas berkaitan dengan besarnya daya tarik aktivitas tersebut; (b) dampak jarak, yaitu seberapa jauh dampak yang mampu ditimbulkan oleh suatu aktivitas di suatu lokasi terhadap lokasi disekitarnya. Sebagai contoh, makin jauh jarak antara 2 lokasi, maka kecil interaksi yang terjadi antara 2 lokasi tersebut. Pengertian jarak yang dimaksudkan tidak selalu berarti jarak fisik, tetapi juga yang mencakup pengertian jarak tempuh (waktu), biaya transportasi, hingga jarak psikologis (Saefulhakim, 2003). Selain itu salah satu penurunan dari model gravitasi adalah model potensial, yang dapat digunakan untuk menghitung indeks derajat aksesibilitas setiap sub-sub wilayah terhadap total wilayah. Wilayah dengan indeks potensial tertinggi merupakan wilayah-wilayah dengan potensi/hirarki sebagai pusat pelayanan yang tinggi. Model lain dari penurunan model gravitasi adalah model entropy interaksi spasial (Hukum entropy) yang dikembangkan oleh Wilson (1967, 1970) yang diacu Saefulhakim (2003) menyatakan bahwa apabila terdapat N buah indi vidu yang melakukan mobilitas spasial (misalnya: commuting, transportasi, perdagangan, dsb.) antara satu dan i buah alternatif tempat asal (origins) dengan satu dan j buah alternatif tempat tujuan (destinations). Yang dimaksud dengan individu bisa berupa orang, kendaraan, barang, informasi dsb. Yang dimaksud dengan tempat (lokasi) bisa berupa desa, kecamatan, kabupaten/kota, provinsi, dsb. Model entropi interaksi spasial secara matematis dapat dirumuskan sebagai memaksimumkan fungsi entropi: Max S(E ij ) = Eij Π N! Eij i, j!... (1)

54 38 dengan fungsi-fungsi kendala: (a). (b). E ij = Fij = Oi... (2) j j E ij = Fij = D i... (3) i i (c). i j Keterangan : d E = d F T... (4) ij ij ij ij = i j F ij : banyak individu yang melakukan mobilitas spasial antara tempat asal ke-i dengan tempat tujuan ke-j. E ij : nilai harapan (expected value) banyaknya individu yang melakukan mobilitas spasial antara tempat asal ke-i dengan tempat tujuan ke-j d ij : O i : D i : T : N : jarak tempuh (rataan biaya mobilitas spasial per individu) antara tempat asal ke-i dengan tempat tujuan ke-j banyaknya individu yang melakukan mobilitas spasial berasal dan tempat asal ke-i. banyaknya individu yang melakukan mobilitas spasial menuju ke tempat tujuan ke-j total jarak tempuh yang dilakukan (total biaya mobilitas spasial yang dikeluarkan) oleh keseluruhan N buah individu. keseluruhan individu yang melakukan mobilitas spasial S(E ij ) : nilai entropi dan mobilitas spasial yang diharapkan dilakukan oleh keseluruhan N buah individu antar berbagai altematif tempat asal i (1=1,2,..., i) dengan berbagai alternative tempat tujuan j (j=1,2,., j) Untuk memudahkan perhitungan maka pemaksimuman fungsi entropi pada Persamaan (1) adalah ekivalen dengan pemaksimuman nilai Ioganitma dari fungsi entropi tersebut. Dan dengan menggunakan aproksimasi Stirling maka dapat ditulis: ln... (5) N! [ S ( E )] = ln = ln ( N!) ( E ln E E ) ij i, j E ij Dengan demikian yang dimaksud dengan Model Entropi Interaksi Spasial adalah pemaksimuman fungsi logaritma entropi pada Persarnaan (5) dengan memperhatikan kendala-kendala pada Persamaan (2) sampai dengan Persamaan (4). Secara umum Model Entropi Interaksi Spasial dikategorikan kedalam 4 jenis, yaitu: i j ij ij ij

55 39 1) Model Entropi Interaksi Spasial Tanpa Kendala (Unconstrained Entropy Model), yakni pemaksimuman fungsi logaritma entropi pada persamaan (5) dengan hanya memperhatikan fungsi kendala (c) pada persamaan (4). 2) Model Entropi Interaksi Spasial dengan Kendala Produksi (Production- Constrained Entropy Model), yakni pemaksimuman fungsi logaritma entropi pada persamaan (5) dengan hanya memperhatikan fungsi kendala (a) pada persamaan (2) dan fungsi kendala (c) pada persamaan (4). 3) Model Entropi Interaksi Spasial dengan Kendala Tarikan (Attraction- Constrained Entropy Model), yakni pemaksimuman fungsi logaritma entropi pada persamaan (5) dengan hanya memperhatikan fungsi kendala (b) pada persamaan (3) dan fungsi kendala (c) pada persamaan (4). 4) Model Entropi Interaksi Spasial dengan Kendala Ganda (Doubly Constrained Entropy Model). yakni pemaksimuman fungsi logaritma entropi pada persamaan (5) dengan memperhatikan fungsi kendala (a) pada persamaan (2), fungsi kendala (b) pada persamaan (3) dan fungsi kendala (c) pada persamaan (4). Berpijak pada model-model interaksi spasial tersebut di atas, Edward Ullman (1995) yang diacu Rustiadi et al. (2004), menyatakan bahwa terdapat tiga hal yang mendasari adanya interaksi, yaitu (1) Hubungan komplemeter antara dua tempat (hubungan supply-demand) yang saling melengkapi antara dua tempat; (2) adanya penghalang kesempatan (intervieving opporttunities), yang menyebabkan adanya interaksi antara dua tempat yang komplementer sehingga diperlukan sumber alternatif supply dari tempat lain; dan (3) Adanya biaya pergerakan (transferability cost) yang berlebihan dapat mengurangi interaksi meskipun hubungan antara dua tempat bersifat komplementer dan tidak ada penghalang, hal ini menyiratkan lebih dari sekedar jarak. Transferability merujuk kepada biaya transportase yang karakteristik setiap produknya berbeda. g. Teori Resource Endowment Teori resource endowment dari suatu wilayah menyatakan bahwa pengembangan ekonomi wilayah bergantung pada sumberdaya alam yang dimiliki dan permintaan terhadap komoditas yang dihasilkan dari sumberdaya itu (Perloff and Wingo 1961). Dalam jangka pendek, sumberdaya yang dimiliki

56 40 suatu wilayah merupakan suatu aset untuk memproduksi barang dan jasa yang dibutuhkan. Nilai dari suatu sumberdaya merupakan nilai turunan dan permintaan terhadapnya merupakan permintaan turunan. Suatu sumberdaya menjadi berharga jika dapat dimanfaatkan dalam bentuk-bentuk produksi. Tingkat dan distribusi pendapatan, pola perdagangan, dan struktur produksi merupakan variabel-variabel yang mempengaruhi tingkat permintaan (permintaan menengah dan permintaan akhir) terhadap sumberdaya wilayah. Variabelvariabel itu dapat mengubah keuntungan relatif wilayah dalam memberikan masukan yang dibutuhkan perekonomian regional dan nasional. Teori resource endowment secara implisit mengasumsikan bahwa dalam perkembangannya, sumberdaya yang dimiliki suatu wilayah akan digunakan untuk memproduksi barang dan jasa yang berbeda bila terjadi perubahan permintaan (Tamenggung 1997). Selain itu Ghalib (2005) juga menyatakan bahwa Perubahan wilayah kepada kondisi yang lebih makmur tergantung kepada usaha-usaha di wilayah tersebut, dalam menghasilkan barang-barang dan jasa-jasa, serta usaha-usaha pembangunan yang diperlukan. h.teori Export Base Teori export base atau teori economic base, pertama kali dikembangkan oleh North (1955). Menurut North, pertumbuhan wilayah jangka panjang bergantung pada kegiatan industri ekspornya. Kekuatan utama dalam pertumbuhan wilayah adalah permintaan eksternal akan barang dan jasa, yang dihasilkan dan diekspor oleh wilayah itu. Permintaan eksternal ini mempengaruhi penggunaan modal, tenaga kerja, dan teknologi untuk menghasilkan komoditas ekspor. Dengan kata lain, permintaan komoditas ekspor akan membentuk keterkaitan ekonomi, baik ke belakang (kegiatan produksi) maupun ke depan (sektor pelayanan). Suatu wilayah memiliki sektor ekspor karena sektor itu menghasilkan keuntungan dalam memproduksi barang dan jasa, mempunyai sumberdaya yang unik untuk memproduksi barang dan jasa, mempunyai lokasi pemasaran yang unik, dan mempunyai beberapa tipe keuntungan transportasi. Dalam perkembangannya, perekonomian wilayah cenderung membentuk kegiatan pendukung yang dapat menguatkan posisi yang menguntungkan dalam sektor ekspor di wilayah itu. Penekanan teori ini ialah pentingnya keterbukaan wilayah yang dapat meningkatkan aliran modal dan teknologi yang dibutuhkan untuk kelanjutan pembangunan wilayah.

57 41 Teori export base mengandung daya tarik intuitif dan kesederhanaan, seperti halnya dianggap sebagai dasar teori, berdasarkan konsep beberapa sektor ekonomi lokal mengantarkan kekuatan ekonomi eksternal ke dalam wilayah untuk menstimulasikan perubahan secara cepat. Perubahan pendapatan wilayah bergantung pada perubahan permintaan ekspor. Ekspor meningkat jika permintaan bergeser ke kanan atau terjadi peningkatan posisi menguntungkan dalam wilayah, sedangkan ekspor menurun pada saat permintaan bergeser ke kiri atau kehilangan posisi menguntungkan. Sasaran pertama teori export base sebagai teori umum pembangunan ekonomi wilayah adalah sebagai teori economic base yang lebih tepat diperuntukkan bagi wilayah-wilayah yang kecil dengan ekonomi sederhana dan untuk penelitian jangka pendek tentang pengembangan ekonomi wilayah. Dalam kasus yang lebih besar, semakin kompleks perekonomian dan semakin panjang analisis pertumbuhan wilayahnya, variabel-variabel lain dapat berperan penting seperti ekspor. Sasaran kedua, teori economic base gagal menjelaskan bagaimana pengembangan wilayah dapat terjadi walaupun terjadi penurunan ekspor, sedangkan di lain pihak sektor nonekspor lainnya dapat tumbuh untuk mengimbangi penurunan itu (Tibout, 1956; Richardson, 1973 yang diacu Tamenggung 1997). Menurut Bendavid (1991), bahwa fondasi analisis ekonomi dasar adalah teori ekonomi dasar. Jantung atau Inti dari teori ekonomi dasar merupakan masalah pertumbuhan ekonomi wilayah yang pada akhirnya tergantung pada permintaan keluar tehadap produknya, Dan berbicara tentang economi dasar berarti berbicara tentang industri export yang menjadi ekonomi dasar atau sektor basis wilayah. Apakah suatu daerah tumbuh atau merosot dan apa nilainya ditentukan oleh bagaimana memainkan wilayahnya sebagai suatu eksportir kepada dunia lainnya, dalam wujud barang-barang dan jasa-jasa, termasuk tenaga kerja, yang mengalir keluar daerah ke para pembeli, atau dalam wujud pembelian di dalam daerah oleh para pembeli yang biasanya berada atau bertempat tinggal di tempat lain. Jika permintaan terhadap ekspor wilayah meningkat, maka ada ekspansi sektor basis, yang pada gilirannya, menghasilkan suatu aktivitas pendukung bagi ekspansi sektor non basis. Merujuk pada pendapat Bendavid diatas, Ghalib (2005) menyatakan bahwa ditinjau dari segi akademis aktivitas ekonomi wilayah dapat dibedakan atas dua jenis sektor aktivitas, yakni sektor aktivitas basis (basic sector) dan sektor

58 42 aktivitas bukan basis (non-basic sector). Aktivitas basis merupakan kegiatan yang mengeksport barang-barang dan pelayanan ke luar wilayah ekonominya atau memasarkan barang-barang dan pelayanan untuk keperluan penduduk yang tinggal di wilayah ekonomi sendiri. Sedangkan aktivitas bukan basis tidak mengeksport barang atau pelayanan ke luar wilayah. Ghalib (2005) menegaskan pula bahwa meningkatnya jumlah aktivitas ekonomi basis disuatu wilayah akan membentuk arus pendapatan ke wilayah tersebut. Dengan meningkatnya arus pendapatan tersebut akan meningkat pula permintaan akan barang-barang dan jasa-jasa di wilayah tersebut yang dihasilkan oleh sektor bukan basis. Sebaliknya menurunya aktivitas sektor basis di suatu wilayah akan mengakibatkan berkurangnya pendapatan yang mengalir ke wilayah tersebut, dan akan mengurangi permintaan akan sektor bukan basis. Oleh karena itu aktivitas sektor basis sewajarnya berperan sebagai penggerak utama bagi setiap perubahan dan berpengaruh ganda (multiplier) terhadap wilayah tersebut. Sektor basis akan memperluas kesempatan kerja, baik di sektor basis sendiri maupun sektor bukan basis sebagai pengaruh aktivitasnya. Seberapa besar perluasan kesempatan kerja yang diciptakan dapat dihitung sebagai angka pengganda pemanfaatan tenaga kerja seperti formula berikut : Total tenaga kerja Pengganda basis = (1) Tenaga kerja sektor basis Total tenaga kerja = Tenaga kerja sektor basis x Pengganda basis Apabila memiliki data sektor basis dan prospeknya dimasa yang akan datang, serta angka pengganda pemanfaatan tenaga kerja perekonomian di wilayah tersebut dapat diperkirakan jumlah tenaga kerja yang akan diserap di masa yang akan datang maka perlu dilakukan modifikasi formula (1) sebagai berikut : Perubahan pada total tenaga kerja Pengganda basis = (2) Perubahan pada tenaga kerja sektor basis Menurut Glasson (1990), yang diacu Ghalib (2005) bahwa teori basis tersebut memiliki kelemahan terutama adanya kesulitan dalam menilai sektor basis dan bukan basis di lapangan, misalnya kasus sebuah produk industri (tambang) yang dijual terlebih dahulu kepada perusahaan dalam wilayah, kemudian sebagian menyalurkannya ke pabrik-pabrik didalam wilayah dan sebagian lain mengekspor ke luar wilayah. Hasil perhitungan angka pengganda

59 43 industri pertambangan jelas menjadi bukan sektor basis, yang basis adalah sektor perdagangan. Kelemahan ini kemudian dapat di atasi dengan analisis Location Quotient (LQ). i. Teori keunggulan komparatif dan kompetitif. Teori keunggulan komparatif dan kompetitif tidak dapat terlepas dari teori resouces endowment dan exsport base atau economic base yang telah diuraikan di atas, karena teori keunggulan komparatif dan kompettif, menyatakan konsentrasi sektor atau komoditi pada suatu wilayah (memiliki keunggulan komparatif), dimana nilai strategis dari sektor atau komoditi tersebut menjadi pendorong utama (prime mover) pertumbuhan wilayah, dalam arti bahwa sektor tersebut memberikan keuntungan ganda dalam menciptakan barang dan jasa sebagai sektor basis yang memiliki daya saing dengan pergeseran pertumbuhan yang cepat (memiliki keunggulan kompetitif). Sehubungan dengan itu menurut Samuelson (1955) yang diacu Setiawan (2006), bahwa setiap wilayah perlu mengetahui sektor atau komoditi apa yang memiliki potensi besar (comparative advantage) dan dapat dikembangkan dengan cepat, baik karena potensi alam maupun karena sektor itu memiliki keunggulan kompetitif (Competitif advantage) untuk dikembangkan, artinya dengan kebutuhan modal yang sama sektor tersebut dapat memberikan nilai tambah (value added) yang lebih besar, dapat berproduksi dalam waktu relatif singkat dan sumbangan untuk perekonomian wilayah menjadi cukup besar. Produk tersebut bisa menjamin pasar untuk dieksport keluar daerah atau keluar negeri dan selanjutnya bisa mendorong sektor lain untuk turut berkembang sehingga perekonomian wilayah secara keseluruhan dapat bertumbuh karena ada saling keterkaitan antar sektor yang memberikan multiplier effect. Menurut Rustiadi at al. (2004) bahwa untuk mengetahui potensi aktivitas ekonomi yang merupakan basis atau bukan basis dan atau sektor/komoditi mana yang terkonsentrasi atau tersebar dapat digunakan metode Location Quotient (LQ). Hal tersebut sejalan dengan Bendavid (1991) bahwa Location Quotient (LQ) adalah suatu indeks untuk mengukur tingkat spesialisasi (relatif) suatu sektor atau sub sektor ekonomi suatu wilayah tertentu. Pengertian relatif disini diartikan sebagai tingkat perbandingan suatu wilayah dengan wilayah yang lebih luas (wilayah referensinya), dimana wilayah yang diamati merupakan bagian dari wilayah yang lebih luas. Lebih lanjut dikatakan bahwa LQ dapat

60 44 dinyatakan dalam beragam ukuran, namun yang sering digunakan adalah ukuran kesempatan kerja (employment) sektor atau sub sektor dan ukuran nilai tambah produk (value added). Selain itu menurut Blakely (1994), yang diacu Saefulhakim (2003), manyatakan bahwa LQ merupakan suatu teknis analisis yang digunakan untuk melengkapi analisis lain yaitu Shift Share Analisis (SSA). Namun secara umum, metode analisis ini digunakan untuk mengetahui keunggulan komparatif suatu wilayah yakni mengetahui kapasitas eksport suatu wilayah serta tingkat kecukupan barang/jasa dari produk lokal suatu wilayah. Secara opersional, LQ didefinisikan sebagai ratio presentase dari total aktivitas dari sub wilayah ke-i terhadap prosentase aktivitas terhadap wilayah yang diamati. Asumsi yang digunakan dalam analisis ini adalah bahwa (1) kondisi geografis relatif seragam, (2) pola-pola aktivitas bersifat seragam dan (3) setiap aktivitas menghasilkan produk yang sama. Selanjutnya untuk mengukur aktivitas ekonomi suatu wilayah apakah mengalami pergeseran struktur aktivitas yang cepat atau lamban dan atau memiliki kemampuan berkompetisi yang memberikan gambaran kinerja aktivitas ekonomi suatu wilayah, dapat digunakan Shift share analysis (Rustiadi et al. 2004). Shift share analysis (SSA) merupakan salah satu dari sekian banyak teknik analisis untuk memahami pergerseran struktur aktivitas di suatu lokasi tertentu, dibandingkan dengan suatu referensi (dengan cakupan wilayah lebih luas) dalam dua titik waktu. Pemahaman struktur aktivitas dari hasil analisis Shift share juga menjelaskan kemampuan berkompetisi (competitiveness) aktifitas tertentu di suatu wilayah secara dinamis atau perubahan aktivitas dalam cakupan wilayah lebih luas. Hasil analisis shift share menjelaskan kinerja (performance) suatu aktivitas di suatu sub wilayah dan membandingkannya dengan kinerjanya di dalam wilayah total. Analisis Shift share mampu memberikan gambaran sebab-sebab terjadinya pertumbuhan suatu aktivitas di suatu wilayah. Sebab-sebab yang dimaksud dibagi menjadi tiga bagian yaitu sebab yang berasal dari dinamika lokal (sub wilayah), sebab dari dinamika aktivitas/sektor (total wilayah) dan sebab dari dinamika wilayah secara umum. Dari hasil analisis shift share akan diperoleh gambaran kinerja aktivitas suatu wilayah. Gambaran kinerja tersebut akan dapat dijelaskan dari tiga

61 45 komponen hasil analisis, yaitu (a) Komponen laju pertumbuhan total (komponen share). Komponen ini menyatakan pertumbuhan total wilayah pada dua titik waktu yang menunjukkan dinamika total wilayah; (b) Komponen pergeseran proporsional (komponen proportional shift). Komponen ini menyatakan pertumbuhan total aktivitas tertentu secara relatif, dibandingkan dengan pertumbuhan secara umum dalam total wilayah yang menunjukkan dinamika sektor/aktivitas total dalam wilayah; dan (c) Komponen pergeseran diferensial (Komponen differential shift). Ukuran ini menjelaskan bagaimana tingkat kompitisi (competitiveness) suatu aktivitas tertentu dibandingkan dengan pertumbuhan total sektor/aktivitas tersebut dalam wilayah. Komponen ini menggambarkan dinamika keunggulan dan ketidak unggulan suatu sektor/aktivitas tertentu di sub wilayah tertentu terhadap aktivitas tersebut di sub wilayah lain. j. Teori Multiplier effect (Dampak pengganda). Pengganda (multiplier) adalah pengukuran suatu respon atau merupakan dampak dari stimulus ekonomi. Pengganda juga didefinisikan sebagai koefisien yang menyatakan kelipatan dampak langsung dari meningkatnya permintaan akhir suatu sektor sebesar satu unit terhadap produksi total semua sektor di suatu daerah (Miller and Blair, 1985, Rustiadi et al. 2004). Stimulus ekonomi yang dimaksud dapat berupa output, pendapatan dan atau kesempatan kerja, dimana masing-masing pengganda tersebut dikategori atas dua tipe yaitu Tipe I dan Tipe II. Masing-masing pengganda dapat diuraikan sebagai berikut:: (1) Pengganda Output (output multiplier ). Untuk Pengganda output tipe I bertujuan untuk mengestimasi berapa besar pengaruh kenaikan permintaan akhir suatu sektor didalam perekonomian suatu wilayah terhadap output sektor lain, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sedangkan tipe II bertujuan untuk mengestimasi berapa besar pengaruh kenaikan permintaan akhir suatu sektor didalam perekonomian suatu wilayah terhadap output sektor lain, baik secara langsung, tidak langsung maupun induksi (dampak dari peningkatan pendapatan rumah tangga terhadap perubahan-perubahan konsumsi rumah tangga). (2) Pengganda pendapatan (income multiplier). Untuk pengganda pendapatan tipe I menyatakan besarnya peningkatan pendapatan pada sektor perekonomian sebagai dampak dari meningkatnya permintaan akhir output suatu sektor sebesar satu unit. Apabila permintaan terhadap output sektor tertentu meningkat sebesar satu Dollar atau Rupiah, maka akan meningkatkan

62 46 pendapatan rumah tangga yang bekerja pada seluruh sektor perekonomian sebesar nilai pengganda pendapatan sektor yang bersangkutan. Sedangkan untuk pengganda pendapatan tipe II selain menghitung pengaruh langsung dan tidak langsung juga menghitung pengaruh induksi (induce effects). (3) Pengganda tenaga kerja (employment multiplier). Untuk pengganda tenaga kerja tipe I menunjukkan kesempatan kerja yang tersedia pada sektor tersebut dan sektor lainnya akibat penambahan permintaan akhir dari suatu sektor sebesar satu satuan secara langsung dan tidak langsung. Sedangkan pengganda tenaga kerja tipe II, dapat memperhitungkan pula pengaruh induksi (induce effects). (4) Pengganda Pajak (Tax multiplier) yaitu dampak meningkatnya permintaan akhir terhadap peningkatan pajak tak langsung netto. (5) Pengganda PDRB (Total value edded) multiplier ) adalah dampak meningkatnya permintaan akhir sesuatu sektor terhadap peningkatan PDRB. (6) Pengganda penggunaan tanah (Land use multiplier) dampak meningkatnya permintaan akhir sesuatu sektor terhadap perluasan tanah. Menurut Kuncoro (2003), Perilaku perusahan-perusahan dalam suatu Agroindustri tidak pernah lepas dari struktur industri dan pasar yang dihadapi oleh masing-masing perusahaan. Prilaku yang ditempu oleh perusahaan, yang didasarkan pada struktur industri yang ada, akan berpengaruh terhadap kinerja perusahan dan industri yang bersangkutan. Untuk menganalisis prilaku sub sektor industri, digunakan alat analisis efek multiplier type I dan II untuk output, pendapatan dan tenaga kerja dari tiap-tiap sektor agroindustri. Untuk menghitung ratio multiplier type I dan II, Kuncoro membangun formula sebagai berikut : direct+indirect effect Ratio type I = initial effect direct, indirect and induced effect Rati type II = Initial effect Lebih lanjut dikatakan bahwa efek total multiplier pada dasarnya merupakan penjumlahan dari empat macam elemen efek yang saling berkaitan, yaitu efek peningkatan output sektor yang bersangkutan (initial effect), efek pembelian langsung (direct effect), efek tidak langsung (indirect effect) dan efek peningkatan konsumsi (consumption induced). Initial effect merupakan besarnya perubahan output pada sektor yang bersangkutan akibat adanya

63 47 perubahan permintaan akhir di sektor itu sendiri. Efek pembelian langsung (direct effect) adalah besarnya nilai transaksi yang akan terjadi secara langsung antar industri jika terjadi peningkatan permintaan akhir sebesar satu mata uang. Efek tidak langsung (indirect effect) merupakan dampak peningkatan pembelian dari suatu sektor kepada sektor lain dalam perekonomian akibat terjadi peningkatan permintaan akhir dalam sektor yang bersangkutan. Efek pendapatan rumah tangga adalah (induced effect) adalah efek peningkatan pembelian input sector yang bersangkutan terhadap sector rumah tangga, yang diwujudkan dalam peningkatan permintaan tenaga kerja,pada gilirannya berdampak pada peningkatan pendapatan rumah tangga. Berdasarkan hasil perhitungan multiplier output terhadap Agroindustri Indonesia Tahun 1980,1985 dan 1990, menunjukkan adanya kecenderungan positif, yakni semakin meningkatnya keterkaitan antar sektor dalam agroindustri. Peningkatan keterkaitan yang diiringi dengan peningkatan nilai multiplier effect akan berakibat pada peningkatan kinerja sektor-sektor ekonomi dalam perekonomian secara simultan. Peningkatan volume produksi suatu sektor akibat peningkatan permintaan pasar akan berdampak posotif dan luas terhadap sektor ekonomi lain. Gejala yang muncul adalah bahwa sektor-sektor yang memiliki nilai multiplier output tinggi umumnya adalah industri pengolahan output yang menghasilkan produk pertanian primer dan atau dengan kata lain multiplier output terkecil adalah sektor pertanian penghasil output primer. Selain itu dampak yang ditimbulkan dari hasil perhitungan multiplier income dan employment menunjukkan kecenderungan yang sama, walaupun terdapat perbedaan kecil dalam nilai nominal total effect dan initial effect. Apabila suatu sektor memiliki multiplier tenaga kerja tinggi, maka berarti peningkatan permintaan akhir pada sektor tersebut akan menyebabkan peningkatan permintaan terhadap tenaga kerja dalam jumlah yang relative lebih besar. Peningkatan penyerapan tenaga kerja pada akhirnya akan meningkatkan permintaan terhadap tenaga kerja dan dampak yang terjadi kemudian adalah peningkatan nilai upah nominal dan peningkatan jumlah pekerja. Pada tahap selanjutnya efek tersebut berakibat pada peningkatan pendapatan rumah tangga. Sektor rumah tangga akan mengalami peningkatan pendapatan sejalan dengan peningkatan upah dan kesempatan kerja yang terbuka di sektor produktif.

64 48 k.teori Kemiskinan dan Indeks kemiskinan manusia Secara hakiki, kemiskinan didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana tingkat pendapatan seseorang menyebabkan dirinya tidak dapat mengikuti tata nilai dan norma norma yang berlaku di masyarakat. Sesuatu tingkat kemiskinan tertentu menyebabkan sekelompok masyarakat tidak berkesempatan pergi ke mesjid atau gereja karena harus berjuang mengejar sesuap nasi. Jika suatu kelompok masyarakat juga tidak mempunyai kemampan membeli pakaian yang layak bagaimana anggota masyarakat yang memiliki tata nilai kesopanan dalam berpakaian, maka kelompok tersebut dikatakan miskin (Rustiadi et al. 2004). Lebih lanjut dikatakan bahwa berbagai upaya menetapkan tolok ukur kemiskinan telah bayak dilakukan oleh banyak pakar. Beberapa tolok ukur yang telah banyak dikenal selama ini adalah : (1) Rasio barang dan jasa yang dikonsumsi (Good service ratio.=gsr). Konsep ini bertolak dari fakta yang menunjukkan bahwa semakin tinggi kesejahteraan seseorang semakin besar prosentase pendapatan (income) yang digunakan untuk konsumsi jasa. Dengan demikian semakin kecil nilai rasio barang dan jasa yang dikonsumsi, makin tinggi kesejahteraan seseorang. Tetapi konsep ini memiliki kelemahan selama tidak ada kejelasan perbedaan antara barang dan jasa. Dilain pihak sering diperhadapkan dengan ketidak jelasan dalam membedakan antara konsumsi dengan biaya. (2) Persentase/rasio pendapatan yang digunakan untuk konsumsi makanan. Sebagai kebutuhan pokok yang paling hakiki, konsumsi terhadap makanan akan selalu menjadi prioritas utama dalam pola konsumsi manusia. Konsep ini bertolak dari pemikiran bahwa seseorang akan terlebih dahulu memenuhi kebutuhan konsumsi makanannya sebelum mengkonsumsi komoditi-komoditi lainnya. Seseoarang akan mengkonsumsi komoditi lainnya setelah terlebih dahulu memenuhi konsumsi makanannya. Semakin tinggi pendapatan seseorang, semakin tinggi kesempatan mengkonsumsi komoditi selain makanan. Dengan demikian berdasarkan tolok ukur ini semakin rendah persentase pengeluaran untuk makanan terhadap total pendapatan seseorang, semakin tinggi tingkat kesejahteraannya.

65 49 (3) Pendapatan setara harga beras. Profesor Sayogyo dari IPB telah membuat ambang batas kemiskinan berdasarkan harga setara beras. Dengan didasarkan pada kebutuhan kalori sebesar 120 kkal/kapita/tahun, ditentukan ambang kemiskinan di desa dan di kota masing-masing jika pendapatannya kurang dari 240 kg/kapita/tahun. Dengan adanya perkembangan, aspirasi masyarakat telah meningkat, sehingga ukuran relatif dari ambang kemiskinan tersebut menurut Profesor Teken perlu ditingkatkan menjadi 360 kg/kapita/tahun untuk perkotaan. Namun konsep ini juga mempunyai beberapa kelemahan karena (a) tidak semua masyarakat dan golongan masyarakat di Indonesia memilih beras sebagai makanan pokoknya, (b) terjadinya diferensiasi harga yang terlalu besar terutama di perdesaan dan (c) harga komoditi beras yang ada tergantung pada harga komoditi yang disubsidi atau kredit dari pemerintah (pupuk, pestisida dan sebagainya). (4) Kebutuhan pokok. Pengukuran kesejahteraan berdasarkan kebutuhan sembilan bahan pokok ini dikembangkan oleh Direktorat Jendral Tata Guna Tanah atas prakarsa Prof.I. Made Sandy, dengan menetapkan kebutuhan baku minimal, kemudian kebutuhan bahan baku minimal tersebut dikalikan dengan harga dan ditotalkan sembilan kebutuhan pokok tersebut. Tingkat pengeluaran tiap keluarga dihitung dalam rupiah, kemudian baru disusun suatu kriteria perbandingan antara total pendapatan dengan indeks kebutuhan sembilan bahan pokok. Hasil yang diperoleh kurang dari 75 % tergolong sangat miskin, persen hampir sangat miskin, miskin dan lebih dari 125 % tidak miskin. Konsep inipun memiliki beberapa kelemahan diantaranya adalah (a) kesulitan dalam menentukan satuan fisik kebutuhan minimal karena kebutuhan tiap wilayah beragam, (b) sebagian dari sembilan bahan pokok tersebut disubsidi pemerintah dan sebagian lainnya tidak sehingga kurang homogen. Disamping itu penggunaan istilah miskin dan tidak miskin selama ini sering meresahkan beberapa kalangan akibat penggolongan daerah miskin, sangat miskin dan seterusnya dalam kehidupan sehari-hari seringkali berkonotasi merendahkan. Pada prinsipnya ketiga kriteria tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut (a) semakin besar persentase pendapatan yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan akan barang-barang dibandingkan terhadap jasa maka seseorang

66 50 dikategori semakin miskin. (b) Semakin besar persentase pendapatan yang dikeluarkan untuk pemenuhan kebutuhan akan bahan pangan dari pada non pangan maka seseorang dikategorikan semakin miskin, dan (c) Semakin besar kemampuan seseorang untuk memenuhi sembilan bahan pokok maka seseorang dikategori semakin kaya. Mencermati beberapa indikator kemiskinan dari para pakar yang di ulas di atas, pada prinsipnya ukuran kemiskinan atau angka kemiskinan yang diperoleh, menggunakan pendekatan pendapatan. Ukuran kemiskinan dengan pendekatan pendapatan (angka kemiskinan) yang mengukur proporsi penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan, yakni ukuran yang menggunakan derivasi pada standar kehidupan yang dicapai, nampaknya mempunyai sudut pandang yang berbeda menurut ukuran Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) atau Human Poverty Index (HPI) yang dikembangkan United Nation Development Programme (UNDP) dalam Laporan Pembangunan Manusia (Human development report=hdr), namun kedua ukuran tersebut (IKM dan Angka kemiskinan) akan memberikan gambaran yang menarik jika digabungkan (HDR, 2004). Indeks pembangunan manusia dapat dihitung dengan menggunakan indikator deprivasi yang paling mendasar yaitu berumur pendek, ketidak tersediaan pendidikan dasar serta ketidak tersediaan akses terhadap pelayanan dasar (sumber daya publik dan sumber daya privat). Masing-masing indikator diwakili oleh persentase penduduk yang diperkirakan tidak mencapai usia 40 tahun, persentase penduduk dewasa yang buta huruf, persentase penduduk yang tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan dan air bersih dan persentase anak berumur lima tahun ke bawah dengan berat badan rendah. Ukuran indikator IKM tersebut dapat diformulasikan dalam rumus sebagai berikut : IKM = [1/3 (P1 3 + P2 3 + P3 3 (1/3 (P 31 +P 32 +P 33 )] 1/3 Dimana : IKM = Indeks Kemiskinan manusia, P1 = Persentase penduduk wilayah ke-i yang tidak mencapai usia 40 tahun. P2 = Angka buta huruf penduduk umur dewasa (15 tahun ke atas) P3 = Keterbatasan akses terhadap pelayanan dasar. P 31 = Persentase penduduk tanpa akses terhadap air bersih (Persentase rumah tangga yang tidak menggunakan air

67 51 PAM, air pompa atau air sumur yang letaknya lebih dari 10 meter dari septik tank) P 32 = Persentase penduduk yang tidak memiliki akses sarana kesehatan (prosentase penduduk yang tinggal di tempat yang jaraknya 5 km atau lebih dari sarana kesehatan) P 33 = Persentase anak berumur kurang dari lima tahun (Balita) dengan status gizi kurang ( prosentase balita yang tergolong dalam golongan status gizi rendah dan menengah). Untuk mengatasi kesenjangan kemiskinan, Kuncoro (2003) menyimpulkan beberapa alternatif solusi dari beberapa pakar ekonomi berdasarkan pengalaman di negara-negara Asia yang menunjukkan adanya berbagai model mobilasai perekonomian perdesaan untuk memerangi kemiskinan, yaitu Pertama mendasarkan pada mobilisasi tenaga kerja yang masih belum didayagunakan dalam rumah tangga petani gurem agar terjadi pembentukan modal di perdesaan (Nurkse, 1951); Kedua menitik beratkan pada transfer sumber daya dari pertanian ke industri melalui mekanisme pasar (Lewis, 1954, Fei dan Ranis, 1964); Ketiga menyoroti potensi pesatnya pertumbuhan dalam sektor pertanian yang dibuka dengan kemajuan teknologi dan kemungkinan sektor pertanian menjadi sektor yang memimpin (Schultz,1963; Mellor, 1976). l. Teori Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menurut PBB adalah nilai yang menunjukkan tingkat kemiskinan, kemampuan baca tulis, pendidikan, harapan hidup, dan faktor-faktor lainnya pada negara-negara di seluruh dunia. Indeks ini dikembangkan pada tahun 1990 oleh ekonom Pakistan Mahbub ul Haq, dan telah digunakan sejak tahun 1993 oleh UNDP pada laporan tahunannya ( Nilai IPM menunjukkan pencapaian rata-rata pada sebuah negara dalam tiga dimensi dasar pembangunan manusia, yakni: Usia yang panjang dan sehat, yang diukur dengan angka harapan hidup Pendidikan, yang diukur dengan dengan tingkat baca tulis dengan pembobotan dua per tiga; serta angka partisipasi kasar dengan pembobotan satu per tiga Standar hidup yang layak, yang diukur dengan produk domestik bruto (PDB) per kapita pada paritas daya beli dalam mata uang Dollar AS. Dalam laporan pembangunan manusia yang di publikasi United Nations Development Programme (UNDP) Tahun 1990, menyatakan bahwa

68 52 pembangunan manusia adalah suatu proses untuk memperbanyak pilihan-pilihan yang dimiliki manusia. Diantara berbagai pilihan tersebut, pilihan yang terpenting adalah untuk berumur panjang dan sehat, untuk berilmu pengetahuan dan untuk mempunyai akses terhadap sumber daya yang dibutuhkan agar dapat hidup secara layak. Diantara pilihan lain yang tak kalah pentingnya adalah kebebasan politik, jaminan atas hak asasi dan harga diri. Hal ini berarti konsep pembangunan manusia mempunyai cakupan yang lebih luas dari teori konvensional pembangunan ekonomi. Model pembangunan ekonomi konvensional lebih menekankan pada peningkatan Produk Nasional Bruto (PNB) dari pada memperbaiki kualitas hidup manusia. Pembangunan sumber daya manusia cenderung untuk memperlakukan manusia sebagai input proses produksi, yakni sebagai alat, bukannya sebagai tujuan akhir. Pendekatan kesejahteraan melihat manusia sebagai penerima dan bukan sebagai agen dari perubahan dalam proses pembangunan. Adapun pendekatan kebutuhan dasar terfokus pada penyediaan barang-barang dan jasa-jasa untuk kelompok masyarakat tertinggal, bukannya memperluas pilihan yang dimiliki manusia di segala bidang. Sedangkan pendekatan pembangunan manusia menggabungkan aspek produksi dan distribusi komoditas, serta peningkatan pemanfaatan kemampuan manusia. Pembangunan manusia melihat secara bersamaan semua isu dalam masyarakat, yakni pertumbuhan ekonomi, perdagangan, ketenagakerjaan, kebebasan politik ataupun nilai-nilai kultural dari sudut pandang manusia. Dengan demikian pembangunan manusia tidak hanya memperhatikan sektor sosial, tetapi merupakan pendekatan yang komprehensif dari semua sektor. Pembangunan manusia mempunyai empat elemen utama (HDR, 1995 yang diacu HDR 2004), yakni : Produktivitas. Masyarakat harus dapat meningkatkan produktivitas mereka dan berpartisipasi secara penuh dalam proses memperoleh penghasilan dan pekerjaan berupah. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi adalah salah satu jenis pembangunan manusia. Ekuitas. Masyarakat harus punya akses untuk memperoleh kesempatan yang adil. Semua hambatan terhadap peluang ekonomi dan politik harus dihapus agar masyarakat dapat berpartisipasi didalam dan memperoleh manfaat dari kesempatan-kesempatan ini.

69 53 Kesinambungan. Akses untuk memperoleh kesempatan harus dipastikan tidak hanya untuk generasi sekarang tapi juga generasi yang akan datang. Segala bentuk permodalan fisik, manusia, lingkungan hidup harus dilengkapi. Pemberdayaan. Pembangunan harus dilakukan oleh masyarakat, dan bukan hanya untuk mereka. Masyarakat harus berpartisipasi penuh dalam mengambil keputusan dan proses-proses yang mempengaruhi kehidupan mereka. Indeks pembangunan manusia merupakan angka agregat yang dapat diartikan sebagai jarak yang harus ditempu shortfall suatu wilayah untuk mencapai nilai maksimum 100. Bagi suatu wilayah angka IPM yang diperoleh menggambarkan kemajuan pembangunan manusia di daerah tersebut dan merupakan tantangan yang harus dihadapi, dan upaya apa yang harus dilakukan untuk mengurangi jarak yang harus ditempu. Dengan demikian IPM mengukur pencapaian keseluruhan dari suatu negara atau wilayah dalam tiga dimensi dasar pembangunan manusia, yaitu lamanya hidup, yang diukur dari harapan hidup sejak lahir, pengetahuan / tingkat pendidikan, diukur dengan kombinasi antara angka melek huruf pada penduduk dewasa (dengan bobot dua per tiga) dan rata-rata lama sekolah (dengan bobot satu per tiga) dan suatu standar hidup yang layak, diukur dengan pengeluaran perkapita dalam Dollar atau Rupiah. Ukuran IPM tersebut dapat diformulasikan dalam Rumus sebagai berikut : IPM = 1/3 (indeks X 1 + Indeks X 2 + Indeks X 3 ) Dimana : X 1 = lama hidup (angka harapan hidup), X 2 = Tingkat pendidikan (angka melek huruf/rerata lama sekolah) X 3 = Tingkat kehidupan (Pengeluaran per kapita) Kemudian Indeks X 1, Indeks X 2 dan Indeks X 3 dihitung dengan formula : Indeks X (i,j) = (X (i,j) X (i-min) ) / (X (i-max) X (i-min) ) Dimana : X (i,j) = Indikator ke-i dari daerah j (i=1,2,3 j=1,2...n) X (i-min) = Nilai minimum dari X i X (i-max) = Nilai maksimum dari X i Mencermati sejumlah kerangka teori yang diulas di atas maka untuk menganalisis kesenjangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah pembangunan biasanya didekati dengan beberapa metode antara lain: (1) metode analisis I-O untuk melihat keterkaitan dan kerekaan antar sektor; (2) Indeks Williamson untuk melihat kesenjangan pertumbuhan PDRB, Pendapatan perkapita, penyebaran tenaga kerja dan aprosimaksinya; entropy interaksi

70 54 spasial untuk melihat kuat lemahnya interaksi spasial antar wilayah pembangunan; (3) Indeks skalogram untuk melihat perkembangan kemajuan suatu wilayah melalui penyediaan sarana dan prasarana ekonomi dan sosial, (4) berbagai indikator kesejahteraan masyarakat seperti IPM,IKM; (5) Metode Location quotient (LQ), Shift share analysis (SSA), dan Margin Tataniaga untuk melihat sektor basis atau komoditi unggulan setiap daerah dengan tingkat pergeseran dan daya kompetetif yang didukung dengan tingkat kelembagaan pemasaran yang efisien ( Rustiadi et al. 2004) Deskripsi Hasil Penelitian Terdahulu Salah satu alat analisis ekonomi yang digunakan untuk melihat kesenjangan pembangunan antar negara atau wilayah adalah Indeks williamson. Indeks Williamson lazim digunakan untuk melihat Kesenjangan PDRB antar wilayah. Semakin tinggi indeks williamson maka proses kesenjangan antar daerah semakin besar. Suatu penelitian yang dilakukan oleh Budiharsono (1996) untuk menganalisis Trasformasi struktural dan pertumbuhan ekonomi antar Daerah di Indonesia Tahun 1969 sampai dengan 1987, dengan menggunakan Indeks Williamson menunjukkan bahwa Indeks williamson di Indonesia pada kurun waktu 1969 sampai 1987 berkisar antara 0,8864 sampai 0,9199 sedangkan apabila tanpa minyak, Indeks Williamson berkisar antara 0,340 sampai 0,5240. Sedangkan Indeks Williamson untuk KBI berkisar 0,8569 sampai 0,9015 dan untuk KTI berkisar antara 0,8121 sampai 0,8461. Hal ini menunjukkan bahwa kesenjangan pendapatan (PDRB) antar daerah lebih tinggi untuk seluruh Indonesia dibandingkan dengan di KBI dan KTI. Demikian juga kesenjangan pandapatan (PDRB) antar daerah di KBI lebih tinggi dari pada di KTI. Fenomena ini menunjukkan bahwa Pendapatan Daerah (PDRB) di KTI relatif lebih seragam jika dibandingkan dengan Indonesia maupun KBI, tetapi pada tingkat pendapatan yang rendah. Relatif tingginya kesenjangan pendapatan (PDRB) antar daerah di KBI jika dibandingkan dengan di KTI disebabkan karena beberapa provinsi pertumbuhannya cepat sedangkan provinsi lainnya pertumbuhannya lambat. Pertumbuhan PDRB KBI yang cepat karena berkembangnya sektor (primer, sekunder dan tersier) berkembang lebih cepat dibanding KTI. Begitupula pendapatan perkapita penduduk KTI lebih rendah dibanding KBI. Kondisi ini kurang mendorong pertumbuhan sektor-sektor riil yang mendorong pertumbuhan PDRB.

71 55 Selain itu hasil penelitian yang dilakukan Nurzaman (2002) terhadap perkembangan struktur ekonomi di Indonesia untuk membandingkan dampak krisis tahun 1997 terhadap kesenjangan sektor di Indonesia dengan menggunakan Indeks Williamson (Vw), memperlihatkan bahwa sektor yang secara relatif merata dan terkonsentrasi di seluruh Indonesia adalah sektor pertanian. Dimana sub sektor yang mempunyai peranan besar terhadap meratanya sektor pertanian adalah sub sektor bahan makanan (0,3077) dan peternakan (0,5598). Akan tetapi hal ini bisa dimengerti karena kedua sub sektor tersebut merupakan kebutuhan dasar yang sudah mengakar kuat di setiap wilayah. Sektor Industri hampir mempunyai penyebaran yang sama dengan sektor ekonomi Indonesia secara keseluruhan, akan tetapi dirinci berdasarkan industri migas dan migas, terlihat bahwa industri nonmigas lebih merata. Selain dari dua kasus di atas masih banyak kasus kesenjangan wilayah yang diduga dengan Indeks Williamson, namun pada umumnya penelitian kesenjangan pembangunan dengan indeks williamson belum banyak diterapkan pada struktur wilayah yang terbawa, baru pada tingkat nasional dan provinsi. Sedangkan kesenjangan pembangunan lebih terasa adalah wilayah-wilayah level bawah yang membutuhkan keadilan dan derajat hidup yang perlu diperbaiki, kondisi ini juga berlaku untuk indeks entropy (IE), entropy interaksi spasial, SSA dan LQ lebih memperlihatkan kondisi makro secara agregat dibanding mikro ditingkat perdesaan dan kecamatan sebagai wilayah kerja pembangunan masih sangat kurang untuk mendapat perhatian.

72 56 III. METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Pemikiran. Kesenjangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah memang merupakan fenomena semua negara di dunia, apakah negara maju maupun negara berkembang. Sehingga merupakan suatu kewajaran apabila dalam suatu negara terdapat daerah terbelakang dibanding daerah lainnya karena ada faktorfaktor yang menyebabkan hal tersebut, antara lain faktor struktur sosial ekonomi dan distribusi spasial dari sumberdaya bawaan yang mencakup faktor geografi, sejarah, polotik, kebijakan pemerintah, administrasi, sosial budaya, dan ekonomi (Budiharsono 1996; Murty 2000; Rustiadi et al. 2003). Namun demikian pada negara-negara maju kondisi itu bisa dieliminir sekicil mungkin, dengan kebijakan pemerintah yang optimal dalam proses pembangunan, bila dibandingkan dengan negara-negara berkembang tingkat kesenjangannya sangat tajam. Proses pembangunan yang dilakukan pada negara-negara berkembang selama ini belum banyak mereduksi ketajaman kesenjangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah karena faktor kekakuan sosial ekonomi (sosio-economic regidities) dan imobilitas faktor (factor immobilities). Di Indonesia, kebijakan pemerintah dalam proses pembangunan nasional yang dilaksanakan selama ini ternyata disisi lain telah menimbulkan masalah pembangunan yang cukup melebar dan kompleks. Proses pembangunan yang dilakukan dengan pendekatan sektoral secara tersentralisasi dari pemerintah pusat dalam berbagai kebijakan investasi serta pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya bagi pencapaian sasaran utama pertumbuhan makro ekonomi yang tinggi, tetapi tanpa diimbangi dengan distribusi secara proporsional, telah memicu kesenjangan pertumbuhan yang amat melebar antar wilayah/daerah di Indonesia. Daerah-daerah di pulau Jawa relatif mengalami perkembangan ekonomi yang lebih baik bila dibandingkan dengan daerah-daerah di luar pulau Jawa. Kawasan Barat Indonesia (KBI) relatif lebih maju di bandingkan dengan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Daerah kota berkembang lebih cepat dibanding daerah perdesaan. Trickle down effect yang diharapkan dari sasaran perencanaan pembangunan masa lalu ternyata pergerakannya sangat lamban. Di lain sisi sumberdaya di beberapa daerah semakin terkuras tidak terkendali mengalir ke pusat, sehingga terjadi apa yang di sebut sebagai backwash effect, sementara daerah-daerah yang sumberdayanya dianggap terbatas dan terisolasi

73 57 dimarjinalkan, distribusi alokasi sumberdaya amat di bawah proporsional. Akibatnya, wilayah seperti itu tidak mampu membangun struktur wilayah yang mendorong kemampuan endowment atau sumberdaya domestik wilayah untuk berkembang, sehingga yang diharapkan bahwa pusat pertumbuhan dengan daerah belakang (hinterland) dapat berkembang bersama-sama secara berimbang kurang diwujudkan dalam implementasinya bahkan hanya merupakan suatu retorika perencanaan. Sedangkan pembangunan yang sebenarnya, harus menghasilkan otonomi yang lebih besar bagi masyarakat secara internal maupun eksternal (Goenarsyah 2004), lebih lanjut menyatakan bahwa kesenjangan pembangunan antara KBI dan KTI, bukan saja lebih disebabkan karena kesenjangan dalam redistribusi pendapatan, tetapi kesenjangan yang terjadi adalah bagaimana membangun struktur/hirarki pertumbuhan wilayah yang mendorong iklim investasi ke wilayah KTI. Kesenjangan tersebut apabila tidak dieliminir secara hati-hati dalam kebijaksanaan proses pembangunan saat ini dan kedepan bisa saja akan menimbulkan permasalahan yang lebih kompleks dan dalam konteks makro sangat merugikan proses pembangunan yang ingin di capai sebagai suatu bangsa yang utuh. Kenyataan emperik menunjukkan bahwa cukup banyak wilayah wilayah di KTI yang tergolong sebagai wilayah-wilayah marjinal yang memerlukan proses pembangunan yang spesifik. Proses pembangunan itu hanya bisa terjadi jika ada kemauan politik pemerintah pusat dengan memberikan investasi yang proporsional serta pemberian kesempatan perdagangan internasional dan mendorong peningkatan investasi swasta (Budiharsono 1996; Hadi 2001). Sebagai wilayah marjinal, bukan berarti tidak ada proses pembangunan sama sekali, akan tetapi pendekatan pembangunan yang sektoral dengan alokasi sumberdaya yang sangat tidak proporsional tak akan mungkin membangun suatu struktur wilayah yang simetrik. Berbagai program pembangunan telah digalakan pemerintah baik yang berbasis kawasan ekonomi maupun yang berbasis perdesaan. Program pembangunan yang berbasis kawasan ekonomi seperti Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET), Program Pengembangan Wilayah Strategis/Wilayah Perbatasan, Program Pengembangan Kawasan Terpadu (PKT), Program Pengembangan Kawasan sentra produksi (KSP) dan sebagainya. Sedangkan program yang

74 58 berbasis pada pengembangan desa Tertinggal seperti Inpres Desa Tertinggal (IDT), Inpres Sekolah Dasar, Inpres Sarana Kesehatan, Program Pembangunan Prasarana Desa Tertinggal (P3DT), Program Pengembangan Kecamatan (PPK) dan lain sebagainya tetapi belum banyak mereduksi kesenjangan pembangunan antar sektor dan antar wilayah. Hal ini berarti kesenjangan yang terjadi bukan saja karena alokasi sumber dana yang terbatas, tetapi yang terpenting adalah bagaimana memanfaatkan alokasi sumber dana terbatas yang ada, dalam suatu keterpaduan antar sektor dan antar wilayah secara dinamis dalam kerangka pengembangan wilayah belum mendapat peran sebagaimana mestinya. Sehubungan dengan diberlakukannya Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 (sudah diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, yang sekarang sudah diperbaharui pula dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004), secara langsung maupun tidak langsung akan berimplikasi luas dalam sistem perencanaan pembangunan di daerah. Pemerintah daerah sudah diberikan kewenangan yang lebih besar didalam merencanakan arah pembangunannya. Pada sisi lain, pemerintah daerah juga ditantang kemandiriannya didalam memecahkan permasalahan-permasalahan di daerahnya. Otonomi daerah juga mengisyaratkan semakin pentingnya pendekatan pembangunan berbasis pengembangan wilayah dibanding pendekatan pembangunan dengan pendekatan sektoral. Pembangunan berbasis pengembangan wilayah memandang pentingnya keterpaduan sektoral, spasial serta keterpaduan antar pelaku-pelaku pembangunan di dalam dan antar wilayah (Rustiadi et al. 2003). Salah satu aspek pembangunan berbasis wilayah yang harus diperhatikan adalah aspek penataan ruang karena penataan ruang merupakan bagian dari proses menciptakan keseimbangan antar wilayah sebagai wujud dari pembangunan yang berkeadilan atau berimbang. Dengan demikian implementasi otonomi daerah akan kurang efektif, apabila suatu wilayah otonom kurang memperhatikan aspek penataan ruang sebagai pedoman dalam berbagai kegiatan pembangunan sektor ekonomi wilayah oleh karena hakekat penataan ruang adalah bagaimana membangun struktur keterkaitan pembangunan antar sektor dan antar wilayah yang seimbang dan berkeadilan, mencegah terjadinya kesenjangan pembangunan yang rawan menimbulkan berbagai konflik dan atau mengurangi kesenjangan tingkat pertumbuhan antar wilayah.

75 59 Menurut Rustiadi et al. (2003) bahwa ruang merupakan bagian dari alam yang dapat pula menimbulkan suatu pertentangan jika tidak diatur dan direncanakan dengan baik dalam penggunaan dan pengendaliannya. Oleh karena itu penyusunan suatu perencanaan tata ruang wilayah yang lebih komprehensif dan akomodatif terhadap semua kepentingan yang berspektif efisien, adil dan keberlanjutan, akan menjadi landasan dalam membangun keterpaduan antar sektor dan antar spasial yang lebih optimal. Oleh karenanya penyusunan Tata Ruang Wilayah Kabupten yang lebih komprehensif dan akomodatif, berdasarkan paradigma otonomi yang melibatkan semua pihak sebagai pelaku pembangunan di daerah sudah seharusnya menjadi kebutuhan yang tak pelu ditunggu lagi. Keterpaduan sektoral menuntut adanya keterkaitan fungsional dan sinergis antar sektor-sektor pembangunan, sehingga setiap program pembangunan di dalam kelembagaan sektoral hendaknya dilakukan dalam kerangka pembangunan wilayah. Keterpaduan tersebut tidak hanya mencakup hubungan antar lembaga pemerintah tetapi juga antar pelaku-pelaku ekonomi secara luas dengan latar sektor yang berbeda. Dimana pada perencanaan pembangunan masa lalu hal ini kurang mendapat tempat, sehingga ego sektor lebih dominan ketimbang keterkaitan sektor sehingga kesenjangan antar sektor semakin melebar dan berimplikasi pada struktur ekonomi wilayah yang rapuh. Sedangkan menurut Rustiadi et al. (2004) bahwa wilayah yang berkembang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan antara sektor ekonomi wilayah, dalam arti terjadi transfer input dan output barang dan jasa antar sektor yang sangat dinamis. Demikianpula keterpaduan spasial membutuhkan adanya interaksi spasial yang optimal antar berbagai wilayah pembangunan baik intra maupun inter wilayah dengan maksud terjadi struktur keterkaitan antar wilayah yang dinamis. Keterpaduan spasial ini dibutuhkan karena didasari pada suatu kenyataan bahwa sumberdaya alam serta aktivitas sosial ekonomi di suatu wilayah tak akan mungkin tersebar secara merata dan seragam, sehingga diperlukan adanya mekanisme interaksi didalam dan keluar wilayah secara optimal. Di lain sisi keterpaduan spasial juga diperlukan agar pusat-pusat aktivitas sosial ekonomi yang sudah diruangkan dapat dimanfaatkan secara berimbang dalam menjawab tantangan kesejahteraan masyarakat terhadap sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Penyediaan sarana dan prasarana wilayah yang optimal antar

76 60 wilayah akan mendorong intensitas interaksi spasial yang optimal dan saling memperkuat. Disadari bahwa dalam suatu proses perencanaan, keterbatasan sumberdaya selalu menjadi constraint, maka pemahaman bersama dalam menentukan skala prioritas pembangunan amat diperlukan. Dari sudut dimensi sektor pembangunan, suatu skala perioritas didasarkan pada pemahaman bahwa: (1) setiap sektor memiliki sumbangan langsung dan tidak langsung yang berbeda terhadap pencapaian sasaran sasaran pembangunan seperti penyerapan tenaga kerja, pendapatan regional, pendapatan perkapita regional dan masyarakat); (2) setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dengan karakteristik yang berbeda-beda; dan (3) aktivitas sektoral tersebar secara tidak merata dan spesifik, beberapa sektor cenderung memiliki aktivitas yang terpusat dan terkait dengan sebaran sumberdaya alam, sumberdaya buatan (infrastruktur) dan sumberdaya sosial yang ada (Rustiadi et al. 2004). Berpijak pada pemikiran di atas, dapat dipahami bahwa di setiap wilayah selalu terdapat sektor-sektor yang bersifat strategis akibat besarnya sumbangan yang diberikan dalam perekonomian wilayah serta keterkaitan sektoral dan spasialnya. Perkembangan sektor strategis tersebut memiliki dampak langsung dan tidak langsung yang signifikan. Dampak tidak langsung terwujud akibat perkebangan sektor tersebut berdampak berkembangnya sektor-sektor lainnya, dan secara spasial berdampak secara luas di seluruh wilayah sasaran. Karakteristik struktur ekonomi wilayah yang ditunjukkan dengan distribusi sumbangan sektoral, serta keterkaitan sektoral dan regional perekonomian wilayah, secara teknis dapat dijelaskan dengan menggunakan Analisis Input- Output (Analisis I-O) walaupun dengan keterbatasan-keterbatasan tertentu. Selain Analisis I-O keterkaitan aktivitas ekonomi wilayah biasanya didekati pula dengan model entropy interaksi spasial. Namun demikian akumulasi nilai yang dihasilkan dari keterkaitan sektor antar wilayah sering tidak berimbang. Kesenjangan nilai tambah yang dicerminkan dalam PDRB perkapita atau indikator indikator lain yang bisa menggambarkan nilai pendapatan dari semua unit lapangan usaha antar wilayah. Kesenjangan seperti ini lazim diduga dengan Indeks Williamson, sekalipun memiliki kelemahan yaitu tidak mampu menjelaskan adanya keterkaitan dan interaksi antar wilayah. Dilain sisi keterkaitan sektor dan interaksi antar wilayah akan optimal apabila hirarki-pusat-

77 61 pusat aktivitas sosial ekonomi wilayah didukung dengan fasilitas ekonomi dan pelayanan yang berimbang dan memadai antar wilayah maka diperlukan analisis indeks skalogram untuk mengestimasi perkembangan hirarki wilayah. Suatu wilayah akan memiliki keterkaitan kuat apabila wilayah tersebut memiliki sumberdaya domestik yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dalam arti memiliki komoditi unggulan yang didukung dengan kelembagaan pemasaran yang efisien, maka dibutuhkan analisis Location Quontient (LQ) untuk mengestimasi sektor basis atau komoditi unggulan pada setiap wilayah pembangunan, dan bagaimana perkembangan pergeseran dan daya saingnya diperlukan analisis Shift share. Berpijak pada pemahaman tersebut di atas, maka dalam kerangka otonomi yang sedang bergulir ini, urgensi keterpaduan antar sektor dan antar wilayah dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya domestik wilayah yang mendasari pada Rencana Tata Ruang wilayah sebagai pedoman perwujudan keterpaduan antar sektor dan antar wilayah dalam menciptakan pembangunan wilayah yang berimbang sudah semestinya menjadi juru kunci efektifnya pelaksanaan otonomi daerah. Atas dasar pemahaman tersebut dibangun kerangka pemikiran dasar seperti yang dilukiskan pada Gambar Hipotesis. Berdasarkan Latarbelakang permasalahan dan kerangka-kerangka teori serta kerangka pemikiran dasar yang dipaparkan di atas, dapat ditarik hipotesis penelitian sebagai berikut : 1. Diduga kesenjangan pembangunan antar satuan wilayah pengembangan (SWP), yang diduga dari aspek kesenjangan: penerimaan pendapatan, ketersediaan infrastruktur wilayah (sarana dan prasarana wilayah), penyebaran alokasi APBD Pembangunan dan intensitas interaksi spasial (arus barang, orang dan informasi) antar hirarki/pusat aktivitas SWP menunjukkan SWP C lebih senjang dan atau keterkaitan dan interaksi yang lebih lemah bila dibandingkan SWP A dan SWP B. Dimana SWP B diduga lebih berkembang dan atau keterkaitan dan interaksi lebih kuat sehingga berdampak pada pendapatan per kapita dan kesejahteraan masyarakat lebih baik atau lebih tinggi dibanding SWP A dan C. 2. Diduga satuan wilayah pengembangan (SWP) B lebih banyak atau lebih cepat mengelola dan memanfaatkan aneka potensi komoditas unggulan

78 62 wilayah, menjadi sektor /komoditi basis yang memperkuat struktur ekonomi wilayah dan pendapatan masyarakat dibanding SWP A dan SWP C. Dimana SWP C diduga lebih lamban. Gambar 3 Bagan Kerangka Pemikiran Analisis Kesenjangan Pembangunan Antar Wilayah Pembangunan di Kabupaten Alor.

79 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan di Kabupaten Alor Propinsi Nusa Tenggara Timur, dengan waktu pengumpulan data berlangsung kurang lebih 3 bulan terhitung bulan Agustus sampai dengan bulan Oktober Sedangkan proses analisis data sampai finalisasi penulisan Tesis dilakukan terhitung bulan Nopember 2005 sampai dengan akhir Desember Sumber dan Jenis Data Jenis data yang dihimpun dalam penelitian ini mencakup : a. Data Primer. Data primer yang dimaksudkan disini adalah data yang diperoleh di tingkat lapangan yang ada relavansi dengan tujuan penelitian ini, yakni untuk memperoleh sumber dan jenis data yang berada di Ibu kota kecamatan dan desa/kelurahan yang diarahkan sebagai pusat-pusat aktivitas ekonomi dalam RUTRW Kabupaten (46 kota hiarki) yang tersebar pada 3 satuan wilayah pengembangan (SWP), yakni SWP A (13 lokasi), SWP B (18 lokasi) dan SWP C (15 lokasi). Data primer yang dibutuhkan terutama yang terkait dengan jaringan interaksi spasial antar kota-kota hirarki melalui jaringan informasi SSB yang berada di Kantor Kecamatan dan orientasi interaksi spasial (bepergian) penduduk dalam aktivitas memenuhi kebutuhan dan kegiatan usaha sekaligus mereview perkembangan wilayah pembangunan berdasarkan data sekunder yang diperoleh dari BPS dan Dinas/ Instansi Daerah yang ada relevansinya dengan tujuan penelitian ini. b. Data Sekunder. Data sekunder yang dimaksudkan disini adalah data yang telah diperoleh dari BPS dan instansi-instansi terkait di Kabupaten Alor yang relevan dengan tujuan penelitian ini. 3.5 Metode Pengumpulan Data. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengambilan sampel non-probabilitas/non acak, yakni dengan teknik quota sampling. Teknik quota sampling ini digunakan dengan pertimbangan bahwa responden yang dapat dipilih adalah orang-orang yang terkait secara fungsional dapat menjawab atau dapat memberikan informasi yang relevan dengan tujuan penelitian dan dapat mewakili populasi yang ada. Namun jumlah responden yang terpilih sebanyak 20 persen dari populasi (jumlah rumah tangga penduduk Tahun 2003) pada masing-masing lokasi

80 64 sebagai kota hirarki /pusat aktivitas pelayanan dalam RUTRW Kabupaten Alor Tahun 1991, dengan menggunakan Model Sloven dan Gay yang diacu Umar ( 2005). Model N Sloven sebagai berikut : n = 2 1+ N e Di mana : n = ukuran sampel N = ukuran populasi e = persen kelonggaran ketidaktelitian karena kesalahan pengambilan sampel yang masih dapat ditolerir atau diinginkan ( 20 % ). Menurut Gay yang diacu Umar (2005), bahwa ukuran minimum sampel yang dapat diterima berdasarkan pada desain penelitian yang digunakan untuk metode deskriptif, minimal 10 %, namun untuk populasi yang relatif kecil minimum 20 % dari populasi. Dengan demikian data yang dikumpulkan dalam penelitian ini telah semaksimal menggunakan data sekunder yang tersedia di Kantor BPS dan atau diberbagai Lembaga atau intansi yang terkait, dengan cara wawancara secara semi struktural dengan informan-informan kunci, yakni dengan pihak Pemerintah Daerah, Bappeda Kabupaten, Dispenda, Kantor SSB dan Dinas/Instansi terkait yang ada di Kabupaten serta beberapa Stakeholder selain lingkup pemerintah daerah, yakni LSM, Direktur perusahaan daerah, Perguruan Tinggi setempat, swasta, dan beberapa organisasi sosial politik dan masyarakat. Kemudian dilanjutkan dengan review dan pengumpulan data di tingkat lapangan dengan metode wawancara dengan sumber-sumber informan kunci di Tingkat Kecamatan dan beberapa desa/kelurahan sebagai lokasi pusat-pusat aktivitas sosial ekonomi yang diarahkan dalam RUTRW Kabupaten dengan berpedoman pada Daftar koesioner. Informan kunci ditingkat lapangan yang diwawancarai sebanyak responden atau 20 persen dari populasi (lihat Lampiran 11) untuk setiap lokasi yang meliputi unsur-unsur antara lain Camat, Kepala desa/lurah, Petugas/operator SSB, Petugas UPTD Kecamatan dan desa, Pengelola Pasar, Ketua Kontak Tani, Penyuluh lapangan, para kader desa dan Institusi lain ditingkat kecamatan dan desa sebagai lokasi hirarki/pusat aktivitas Metode Analisis Analisis Kesenjangan Pembangunan Antar Wilayah 1) Analisis kesenjangan pendapatan berdasarkan Indeks Williamson. Salah satu alat analisis kuantitatif yang lazim digunakan untuk menganalisis kesenjangan pembangunan antar wilayah adalah dengan menggunakan Williamson index (Williamson 1965). Indeks ini umumnya membandingkan kesenjangan pembangunan antar wilayah yang dicerminkan oleh nilai tambah

81 65 aktivitas ekonomi dari suatu wilayah seperti pendapatan perkapita, proporsi penyerapan tenaga kerja sektor suatu wilayah dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Namun demikian data PDRB kecamatan jarang dipublikasi, maka salah satu parameter yang akan dipakai dalam analisis kesenjangan pembangunan antar wilayah kecamatan dalam penelitian ini adalah data Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) karena dengan asumsi bahwa PBB merupakan salah satu representasi penerimaan pendapatan seluruh penduduk dari berbagai lapangan usaha di suatu wilayah Pembangunan. Indeks Williamson dihitung dengan menggunakan formula: Vw Dimana: = yi y _ y Vw = indeks Williamson yi = penerimaan PBB wilayah Pengembangan i y 2 fi n, 0 < Vw = total penerimaan PBB Kabupaten fi = jumlah wajib PBB Pengembangan i n = jumlah wajib PBB Kabupaten Semakin tinggi Indeks Williamson, maka proses kesenjangan antar daerah semakin besar. Namun kelemahan dari indeks williamson adalah bahwa pertumbuhan suatu wilayah tidak ada keterkaitan satu wilayah dengan wilayah lain. 2) Analisis kesenjangan perkembangan infrastruktur berdasarkan Indeks Skalogram. Indeks Skalogram merupakan salah satu alat analisis untuk mengukur tingkat kesenjangan perkembangan suatu wilayah pengembangan sebagai hirarki pusat-pusat aktivitas sosial ekonomi. Metoda ini digunakan untuk menghitung jumlah sarana dan jumlah jenis sarana dan prasarana pelayanan yang ada pada suatu pusat aktivitas sosial ekonomi. Sarana dan prasarana yang akan di hitung dalam penelitian ini mencakup fasilitas perekonomian, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, fasilitas penerangan, fasilitas informasi dan fasilitas ibadah keagamaan, yang tersebar pada 9 Kecamatan. Dimana jumlah sarana dan jumlah jenis sarana tersebut selalu berkorelasi dengan jumlah penduduk. Pendekatan dengan metode analisis skalogram didasarkan pada suatu asumsi bahwa semakin banyak/tinggi tingkat penyediaan fasilitas pada suatu lokasi, maka wilayah itu semakin berkembang sebaliknya semakin sedikit jumlah < 1

82 66 sarana dan jenis sarana prasarana pelayanan maka wilayah tersebut dikategori terbelakang. Secara statistik metoda analisis skalogram dapat diformulasikan berdasarkan formula yang dibangun Rustiadi et al. (2003 ) sebagai berikut: n n IP i = ( J ' ik. ) fk Dimana : I ik j J ' = indeks perkembangan ke-k di wilayah i ik = J ik J SD k min I ik = nilai indeks perkembangan ke-k yang terkoreksi (terstandarisasi) wilayah ke-i I k min = nilai indeks perkembangan ke-k terkecil (minimum) SD k = standar deviasi perkembangan ke k IP i = indeks perkembangan wilayah ke i Untuk keperluan analisis tersebut di atas, terlebih dahulu semua nama pusat wilayah, jumlah penduduk, jumlah jenis dan sarana pelayanan dicatat terlebih dahulu dalam format matriks seperti pada Tabel 7. Tabel 7 Matriks Analisis skalogram No WP i JP i F(j) J 1... J k... J m JJF JF RJF PI(i) R(i) 1 W1 J J 1k... J 1m F 1 F 1 /m 2 W2 J 12 J 2k J 2m F 2 F 2 /m i Wi J i1... J ik... J im F i F i /m n Wn J n1... J n2... J nm F n F n /m Jumlah WP f 1... f k... fm memiliki fasilitas Ratio WP memiliki fasilitas fi/n... n/f m... f m /m Bobot fasilitas (Fk) n/f 1... n/f k... n/f m SDk Keterangan: WP(i)= Wilayah Pengembangan, JP(i) = Jumlah penduduk, F(j) = Fasilitas, JJF= Jumlah jenis fasilitas, JF= Jumlah fasilitas, RJF= Rasio jenis fasilitas, Ipi= Indeks perkembangan, R= Ranking, SDk=Standar deviasi. 3) Analisis kesenjangan penyebaran proporsi APBD Pembangunan berdasarkan Indeks Entropy (IE) Perkembangan suatu wilayah dapat ditunjukkan dari semakin meningkatnya komponen wilayah yang antara lain ditunjukkan dengan semakin luasnya hubungan k

83 67 yang dapat dijalin antara sub wilayah - sub wilayah dalam sistem tersebut maupun sistem sekitarnya. Perluasan jumlah komponen aktivitas tersebut diduga dengan indeks entropi penyebaran. Pemanfaatan konsep entropy ini dapat digunakan untuk banyak hal. Dalam penelitian ini Konsep entropy penyebaran ini digunakan untuk menganalisis Penyebaran alokasi APBD Pembangunan antar Satuan Wilayah Pembangunan (SWP), dimana alokasi APBD pembangunan dalam suatu SWP merupakan akumulasi alokasi APBD pada Sub-Sub wilayah Kecamatan sebagai Unit Daerah Kerja Pembangunan (UDKP). Bagaimana perkembangan SWP yang ditunjukkan dengan jumlah komponen aktivitas alokasi APBD Pembangunan antar sub-sub wilayah, digunakan analisis Entropy penyebaran dengan formula yang dibangun Saefulhakim, (2003) sebagai berikut : IE = n i = 1 P i ln P i Dimana : IE : Indeks Entropi Pi : Xi /Σxi Xi : Alokasi APBD SWP ke-i (Rp) Untuk menjustifikasi tingkat perkembangan, maka ada ketentuan bahwa jika Indeks entropy (IE) semakin tinggi maka tingkat perkembangan semakin tinggi atau semakin merata 4) Analisis kesenjangan interaksi spasial (arus informasi pelayanan pemerintah) berdasarkan model entropi interaksi spasial tanpa kendala (unconstrained entropy model ). Untuk menganalisis kesenjangan interaksi spasial (arus informasi pelayanan pemerintah ) antar wilayah pembangunan berdasarkan hirarki aktivitas sosial ekonomi dari kota Ordo utama ke kota ordo II, III, IV dan sebaliknya dapat diduga dengan model entropi interaksi spasial tanpa kendala (Unconstrained Entropy Model) yang dikembangkan oleh Wilson (1967, 1970) yang diacu Saefulhakim (2003 ). Secara matematis diformulasikan sebagai berikut : F ij Dimana: ( k + β ) = Exp. d + ij ε atau ij ln = + β. ij d ij ε ij F k + = Banyaknya intensitas interaksi spasial antara tempat asal Fij ke-i dengan tempat tujuan ke- j = kendala yang berkaitan dengan tempat asal ke-i dengan dij tempat tujuan ke j

84 68 k = Parameter konstanta yang besarnya diduga dengan model dari data = Parameter hambatan mobilitas spasial, yang besarnya β diduga dengan model dari data ε ij = Parameter Galat yaitu besarnya kesalahan pendugaan model terhadap banyaknya interaksi spasial dari tempat asal ke -i dengan tempat tujuan ke-j. Model analisis interaksi spasial ini dimaksudkan untuk menganalisis hubungan timbal balik antara pusat-pusat kegiatan sosial ekonomi dalam suatu wilayah pembangunan yang difokuskan pada aliran informasi aktivitas pelayanan pemerintah melalui alat komunikasi pemerintah daerah yang tersedia antar hirarki wilayah pembangunan. Model analisis interaksi spasial ini digunakan untuk melihat kuat lemahnya intensitas interaksi spasial antar hirarki wilayah dalam kaitannya dengan aktivitas pelayanan pemerintah. Selain analisis entropi interaksi spasial tanpa kendala (uncostrained entropy model), untuk menganalisis arus informasi pelayanan pemerintah, juga digunakan analisis Deskriptif untuk melihat pola interaksi spasial (arus distribusi barang (komoditi) dan orang antar hirarki/pusat aktivitas sosial ekonomi antar SWP Analisis Sektor Basis/Komoditi Unggulan Antar Wilayah Pembangunan Sektor basis/komoditi unggulan adalah sektor/komoditi yang memiliki keunggulan dalam memenuhi permintaan eksternal akan barang dan jasa, yang dihasilkan dan diekspor dari wilayah tersebut, dan memiliki kekuatan utama dalam memenuhi pertumbuhan wilayah. Dengan kata lain sebagai sektor/komoditas eksport yang membentuk keterkaitan ekonomi, baik ke belakang (kegiatan produksi) maupun ke depan (sektor pelayanan). Metode analisis yang umum dipakai dalam pembangunan ekonomi wilayah, terutama untuk mengetahui sektor basis atau komoditi unggulan suatu wilayah adalah: 1) Metode Location Quotient (LQ) Secara matematik, perhitungan LQ dilakukan dengan menggunakan formulasi sebagai berikut: p p ij i * LQ = ij P j P *

85 69 Dimana: LQ ij = Nilai LQ untuk aktifitas ke-j di wilayah Pengembangan ke-i p ij = produksi/aktifitas sektor/komoditi ke-j pada wilayah pengembangan ke-i p i. * = produksi/ aktifitas sektor/komoditi total pada wilayah pengembangan ke-i P * = Produksi/ aktifitas sektor/komoditi total wilayah Kabupaten P j = Produksi/aktifitas sektor/komoditi ke-j pada total wilayah Kabupaten i = Wilayah pengembangan yang diteliti j = Aktifitas ekonomi yang dilakukan Interpretasi hasil analisis LQ adalah sebagai berikut: a. Apabila nilai LQ ij > 1, menunjukan bahwa sektor/komoditi tersebut merupakan sektor basis/komoditi unggul/andalan, mempunyai pangsa relatif yang lebih besar dibanding sektor lainya b. Apabila nilai LQ ij = 1, menunjukan bahwa sektor/komoditi tersebut setara dengan sektor daerah atau mempunyai pangsa aktifitas setara dengan pangsa total. c. Apabila nilai LQ ij < 1, menunjukan bahwa sektor tersebut tergolong sektor/komoditi non basis, yang mempunyai pangsa relatif yang lebih kecil dan hanya memenuhi konsumsi lokal. 2) Shift Share Analysis (SSA) Merupakan salah satu teknik analisis untuk memahami pergeseran struktur aktivitas di suatu wilayah tertentu dibandingkan dengan cakupan wilayah yang lebih luas pada dua titik waktu. Secara matematik dapat diformulasikan sebagai berikut : SSA = X X 1..( t1) +..( to) a X X i( t1) i( to) b X X..( t1)..( to) X + X ij( t1) ij( to) c X X i( t1) i( to) Dimana: SSA = komponen shift share a = komponen share b = komponen proportional shift c = komponen diferential shift X = nilai total produksi komoditas/aktivitas dalam total wilayah (kabupaten) Xi = nilai total jenis komoditas/aktivitas tertentu dalam total wilayah kabupaten Xij = nilai jenis komoditas/aktivitas tertentu dalam wilayah Pengembangan (WP) t 1 = titik tahun terakhir (2003) t 0 = titik tahun awal (1998)

86 70 Intepretasi hasil analisis SSA sebagai berikut: a. Apabila nilai SSA > 0, menunjukan bahwa sektor/komoditi tersebut memiliki keunggulan kompetitif dan pergeseran yang cepat. b. Apabila nilai SSA = 0, menunjukan bahwa sektor/komoditi tersebut dapat dikembangkan lebih lanjut menjadi sektor/komoditi basis c. Apabila nilai SSA < 0, menunjukan bahwa sektor /komoditi tersebut tidak memiliki keunggulan kompetitif dan pergeseran pertumbuhannya lamban. Secara singkat rangkuman kegiatan pengumpulan jenis dan sumber data dan pendekatan metode analisis serta output yang akan di hasilkan diperlihatkan pada Tabel 8 berikut : Tabel 8 Matriks rangkuman kerangka penelitian analisis kesenjangan pembangunan antar wilayah pembangunan di Kabupaten Alor Tujuan 1. Menganalisis kesenjangan pembangunan antar wilayah pembangunan : (1) Kesenjangan pendapatan Metode analisis Indeks Williamson Jenis dan sumber data Data Penerimaan PBB Kecamatan Tahun (Rp) Sumber : Dispenda Kab. Alor Output yang diharapkan Mengetahui kesenjangan pendapatan antar SWP (2) Kesenjangan Indeks Data fasilitas ekonomi Mengetahui perkembangan Skalogram (pasar, Bank, took/kios, kesenjangan infrastruktur perusahaan,koperasi perkembangan Sosial-ekonomi obyek wisata, dan hirarki/ pusat pertamina aktivitas Social Data fasilitas ekonomi antar SWP Perhubungan (darat, laut dan udara) Data fasilitas pendidikan (SD,SLTP,SLTA dan PT) Data fasilitas Kesehatan (Rumah sakit,puskesmas, Pustu,Polindes dan Balai Pengobatan) Data fasilitas informasi dan Telekomunikasi Data fasilitas Penerangan Data fasilitas penyediaan air bersih Data fasilitas Peribadatan Data fasilitas Publik dan swasta. Sumber : BPS Kab.Alor Dengan unit data: desa/kelurahan.

87 71 Sambungan Tabel 8. (3) Kesenjangan Indeks penyebaran Entropy (IE) alokasi APBD Data alokasi RAPBD Kab.Alor TA: 1997/ per Kecamatan Mengetahui kesenjangan proporsi aloksi APBD pembangunan dalam unit (Rp) pembangunan wilayah Sumber : Bappeda Kab.Alor (4) Kesenjangan Entropy inte- Data arus informasi Mengetahui keseninteraksi spasial raksi spasial pelayanan pemerintah jangan interaksi antar hirarki/ tanpa kendala melalui saluran SSB pelayanan pemepusat aktivitas (unconstrained (informasi pasar, bencana rintah antar hirarki/ wilayah Entropy model) alam, kegiatan program/ pusat aktivitas pembangunan Proyek, kunjungan kerja) wilayah pemba- Tahun 2003 per kecamatan ngunan Deskriptif Data aliran orang Mengetahui pola antar SWP Tahun 2004 interaksi spasial Data aliran orang, barang antar hirarki/pusat dan angkutan antar -inter aktivitas wilayah regional Tahun pembangunan dan 2003 antar regional Data IPM,IKM,Tahun 1999 Mengetahui derajat dan 2002 per Kabupaten kesejahteraan Data kemiskinan,tahun masyarakat per kecamatan Penyebaran penduduk, Per desa Tahun 2003 Data perkembangan kesehatan dan pendidikan Per kecamatan (2003) Data pendapatan Perkapita Kabupaten Tahun Data RUTRW 1991 Sumber : Kantor SSB Kab.Alor, BPS Pusat dan Alor, Syahbandar Alor, Koperasi TKBM dan data Primer (orientasi interaksi Spasial antar SWP) 2.Menganalisis Location Data produksi dan harga Mengetahui jumlah seberapa besar Quotient komoditas unggulan/ dan jenis komoditas sektor/komoditi (LQ) Strategis Tahun 2003 unggulan/ strategis unggulan/strate- antar SWP (yang gis antar wilayah memiliki keunggulpembangunan an komparatif/ dan pendapatan sentra) masyarakat ang memperkuat Shift Share Data produksi dan harga Mengetahui pergestruktur ekonomi Analysis konstan komoditas ung- seran pertumbuhan dan pendapatan (SSA) gulan/strategis dengan dan kemampuan masyarakat tahun awal 1998 dan ta- kompetitif komodihun akhir 2003 tas unggulan/stra- Sumber : BPS Kab.Alor, gis antar SWP Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kab.Alor

88 72 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Profil Umum Kabupaten Alor Keadaan Fisik Letak geografis dan Administrasi wilayah Kabupaten Alor sebagai salah satu Kabupaten dari 16 Kabupaten/Kota di Propinsi Nusa Tenggara Timur, secara geografis terletak antara 8 o 6 o Lintang Selatan arah Utara, 8 o 36 o Lintang Selatan arah Selatan dan o Bujur Timur arah Timur dan 123 o 48 o Bujur Timur arah Barat. Sedangkan secara Administratif wilayah, batas Kabupaten Alor adalah sebagai berikut : Di sebelah Utara : berbatasan dengan Laut Flores (Propinsi Sulawesi Selatan). Di sebelah Selatan : berbatasan dengan Selat Ombay (Negara Timor Leste, dan Timor Barat ). Di sebelah Barat : berbatasan dengan Selat Lomblen (Kabupaten Lembata) Di sebelah Timur : berbatasan dengan Pulau-Pulau Maluku Tenggara. Kabupaten Alor mempunyai luas wilayah daratan 2.864,64 Km 2 atau Ha. Merupakan Kabupaten kepulauan yang mencakup 17 buah gugusan pulau dengan luas wilayah perairan laut seluas , 62 km 2. Dari 17 buah gugusan pulau pulau tersebut, hanya 9 pulau yang dihuni penduduk sedangkan 8 pulau diantaranya merupakan pulau-pulau kecil yang masih merupakan potensi pengembangan kedepan. Dari kesembilan pulau yang dihuni penduduk, hanya terdapat dua pulau yang relatif lebih besar yaitu pulau Alor ( Ha) dan pulau Pantar ( Ha). Kemudian diikuti pulau Pura ( Ha), pulau Kangge (1.368 Ha ), Sedangkan pulau-pulau berpenghuni lain seperti pulau Treweng, pulau Ternate, pulau Buaya, pulau Kepa, dan pulau Kura memiliki luas dibawah 400 Ha. Delapan pulau pulau kecil yang tidak berpenghuni adalah pulau Rusa, pulau Kambing, pulau Lapang, pulau Batang, pulau Sika, pulau Kapas, pulau Tikus dan pulau Nuba ( BPS, 2002). Kabupaten Alor yang dibentuk dari 17 buah gugusan pulau, pada awal Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Alor Tahun 1991, wilayah administratif Pemerintahan hanya terdiri dari 6 Kecamatan, 3 Kecamatan Pembantu dan 58 desa. Dalam kurun waktu tahun 1990 tahun 2004 wilayah administrasi pemerintahan mengalami 2 tahap pemekaran, sehingga sampai keadaan tahun 2004 wilayah administratif pemerintahan terdiri dari 9 Kecamatan

89 73 dan 175 Desa/Kelurahan (301,72 %) dari tahun Dari 175 desa /Kelurahan tersebut, 62,86 persen (110 desa/kelurahan) merupakan desa/kelurahan pesisir. Perkembangan wilayah administratif yang meningkat drastis tersebut, lebih mempertimbangkan kemudahan jangkauan pelayanan pemerintah, karena faktor keterisolasian dan permukiman yang tersebar. Dari 9 Kecamatan tersebut dimekarkan lagi menjadi 17 Kecamatan pada Tahun 2005 berdasarkan PERDA Kabupaten Alor Nomor 15 Tahun 2005 Tentang Pembentukan Kecamatan di Kabupaten Alor Topografi, Iklim,Sumberdaya air dan Penggunaan lahan. Kabupaten Alor secara geofisik, sebagian besar luas wilayah daratan merupakan gunung dan berbukit-bukit yang dibatasi lembah dan jurang dalam, dengan kemiringan di atas 40 derajat seluas ,12 Ha (64,25 %); Kemiringan derajat seluas ,44 Ha (23,61 %); kemiringan derajat seluas ,72 Ha (12,14 %). Dengan kondisi geomorfologi yang demikian juga memberikan iklim yang variatif bagi pengembangan aneka komoditi, namun dalam upaya pengembangannya, memerlukan penerapan tekhnologi konservasi yang intensif. Kabupaten Alor, termasuk dalam daerah dengan keadaan iklim subtropis (semiarid) dengan rata rata temperatur 27,41 derajat celcius atau rata - rata berkisar antara (23,15-31,73 o C). Rata-rata penyinaran matahari 80,5 persen dan kelembaban nisbih (79,58 %). Musim hujan (3-4 bulan) berlangsung pada bulan Nopember/Desember sampai dengan Maret/April dan Musim panas (8-9 bulan) berlangsung bulan April/Mei sampai dengan Oktober/Nopember. Sumber daya air di Kabupaten Alor, pada umumnya didominasi oleh tipe sungai kering ( 64,88 %) dari jumlah sungai di Kabupaten Alor (168 sungai) dan air tanah dalam. Dari 59 (32.12 % ) sungai berair, dimana 18 sungai ( % ) berada di SWP A, 26 sungai (40.07 %) berada di SWP B dan 15 sungai (25.42 %) berada di SWP C (Alor Dalam Angka 2002). Sungai-Sungai berair di SWP A pada umumnya memiliki debet air yang sangat kecil, sehingga wilayah ini lebih krisis dalam penyediaan sumber daya air. Sistem pertanian hanya mengandalkan pada pertanian lahan kering. Sedangkan pada SWP B dan SWP C, sumber daya air sungai yang sudah diarahkan untuk irigasi pertanian setengah tekhnis 227 Ha dan pengairan sederhana 1 684,25 Ha dari luas potensi lahan sawah (3354,50 Ha ) di Kabupaten Alor. Dimana 93,16 persen Irigasi pertanian tersebut berada di SWP C.

90 74 Penggunaan lahan di Kabupaten Alor keadaan Tahun 2003 dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Penggunaan lahan berdasarkan luas wilayah daratan Tahun NO Uraian penggunaan lahan Luas lahan (Ha) SWPA SWP B SWP C Kabupaten 1 Lahan sawah Lahan kering (tegalan+ladang) Lahan perkebunan Hutan lindung Hutan produksi Hutan konversi Hutan cagar alam Padang rumput Lahan pekarangan/pemukiman Kolam/empang Lahan tidak diusahakan/kritis Lainya Jumlah Sumber : BPS, 2003 (Alor Dalam Angka,2003). Dinas Kehutanan dan Perkebunan, 2004 (Laporan Tahunan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Alor Tahun 2003). Penggunaan lahan sebagaimana pada Tabel 9, pada umumnya didominasi potensi lahan kering (99,88 %) luas wilayah Kabupaten Alor. Lahan yang bisa diarahkan untuk pengembangan sawah hanya 1,17 persen dan tersebar pada 16 daerah irigasi di Kabupaten Alor. Luas lahan sawah tersebut yang sudah dimanfaatkan menjadi irigasi setengah tekhnis dan irgasi sederhana seluas 1911,25 Ha (56.98 %), dan 43,02 persen masih merupakan potensi. Sedangkan penggunaan lahan kering untuk pertanian (tegalan, ladang dan perkebunan), produktivitas penggunaannya baru mencapai Ha (18.47 %) dari luas potensi ,10 Ha (32.53 % ) luas daratan Kabupaten Alor. Pengarahan penggunaan lahan untuk pertanian tersebut, sedikit mengalami pergeseran (bertambah ) 10, 63 persen dari Tahun 1990 (83 289,50 Ha ) sebagai tahun awal penyusunan RUTRW Kabupaten Alor Tahun Penggunaan lahan untuk hutan (Lindung, produksi, konversi dan cagar alam) seluas ,90 Ha (36,03 %) luas daratan Kabupaten Alor. Luas hutan juga mengalami perkembangan seluas ,90 Ha (32,46 %) dari Tahun 1990 (69 700,00 Ha). Demikian juga Padang rumput (padang penggembalaan) mengalami perluasan dari 7149,00 Ha menjadi Ha atau bertambah persen pada tahun 2003 dan telah di investigasi pada lima kawasan (Lawalu, et al. 2003).

91 75 Sedangkan danau/kolam/empang/ mengalami pergeseran dari 197 Ha tahun 1990 menjadi Ha pada tahun 2003, karena ada penggunaan lahan, untuk pembangunan embung-embung bagi kegiatan konservasi dan irigasi lahan pertanian. Selain itu arahan penggunaan lahan yang mengalami pengurangan adalah lahan yang sementara tidak diusahakan/kritis, pada tahun 1990 seluas ,50 mengalami penurunan menjadi Ha pada tahun 2003 atau menurun 31,65 persen Sumberdaya fisik Laut. Kabupaten Alor secara geografis seperti uraian di atas, merupakan wilayah kepulauan, dengan luas laut ,62 Km 2 atau kurang lebih 4 kali (383,07 persen) luas daratan Kabupaten Alor. Panjang garis pantai mencapai 669,64 Km 2. Dari garis pantai seluas 669,64 Km 2 tersebut, dikelilingi hutan bakau (mangrove) seluas 1 665,71 Ha. Perairan laut cukup kaya dengan keaneragaman biota laut, karena fungsi natural bawah laut masih tersinyalir alamih dan sangat unik dan belum tersentuh ulah tangan manusia. Maka oleh beberapa petualangan atau penggemar wisata bahari mancanegara antara lain Karl Muller seorang dave master asal Australia, Cedrik Lechat seorang warga Perancis dan Prof.Dr.John Steward seorang ahli kelautan berkebangsaan Kanada yang melakukan observasi bawah laut di perairan laut Alor, menyatakan bahwa diving di selat Pantar (Gambar 4) sangat unik dan mengasyikan, dan mereka mengkategorikan Taman laut selat Pantar sebagai Taman laut berkelas dunia yang memiliki luas hektar dengan 26 titik diving (Bentara Wisata, 2006). Hasil pengamatan mereka terhadap jenis flora dan fauna yang hidup diperairan laut Alor, jarang ditemukan di perairan lainya yang mempunyai ekosistem sejenis. Adanya gua-gua dan kontur dasar perairan lebih dari derajat yang ditumbuhi terumbu karang yang khas, sehingga memiliki keunikan tersendiri. Prosentase keunikan untuk flora (70 %) dan fauna (66 %) di banding dengan yang mereka temukan di Taman laut Maldavic di laut Karabia, Great Barier Rief di Australia, Bunaken di Manado, Padaido di Biak dan Seram di perairan Maluku. Adanya keunikan alam bawah laut Alor, telah mengikat seorang petualang diving dunia asal Perancis Cedrik Lechat sekeluarga untuk menetap di Alor (pulau Kepa) sejak 1997 sampai sekarang. Disamping itu Potensi lestari sumber daya perikanan Kabupaten Alor diperkirakan ton pertahun dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan

92 76 sebear , 44 ton pertahun. Total Produksi perikanan di Kabupaten Alor Tahun 2004 baru mencapai ton (14,96 %) dari jumlah potensi penangkapan yang diperbolehkan. Hal ini berarti peluang untuk potensi penangkapan masih sangat besar yakni ton pertahun ( 85,04 % ). Gambar 4. Peta Lokasi Penyelaman di Taman laut Selat Pantar. Keterangan : 26 titik penyelaman (1. Kal's Dream - 2. The Bullet - 3. Tri-Top - 4. School's Out - 5. Sharks Galore - 6. Clown Valley - 7. Slab City - 8. The Boardroom - 9. Smart's Lament Coconut Grove The Arch Babylon Coral Cliffs The Edge Cave Point Crocodile Rock Peter's Prize Half Moon Bay Fault Line The Patch Nite Delight The Mini Wall No Man's Land The Cathedral Sea Apple Slopes Batu Pantar) Disamping Sumber daya perikanan, perairan laut Alor (selat ombai) juga tersimpan sumber daya tambang migas. Hasil investigasi Dinas Pertambangan Propinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2003, menemukan adanya dua titik rembesan minyak bumi, yakni di Sifala Alor Barat Daya dan di Beang Pantar Barat. Selain itu Galian C berupa Batu hias (batu hitam), sudah dieksploitasi sebagai salah satu komoditi eksport di Kabupaten Alor Perkembangan kependudukan dan sosial - ekonomi Kependudukan Jumlah penduduk Kabupaten Alor pada tahun 2003, mencapai orang atau naik 16,83 persen dari tahun 1990 ( orang). Penduduk perempuan berjumlah orang (51.12 %) dan laki-laki orang (48.88 %). Sedangkan rumah tangga penduduk sebanyak rumah tangga, dengan rata rata kepadatan penduduk 59 orang/km 2. Perkembangan tingkat pertumbuhan penduduk Kabupaten Alor tahun , diperlihatkan pada Gambar 5 dan 6.

93 Perkembangan Jumlah Penduduk Alor Tahun Jumlah Penduduk (Jiwa) Perkembangan Jumlah Penduduk Alor Tahun Tahun Gambar 5 Perkembangan Penduduk Kabupaten Alor Tahun % pertumbuhan Prosentase pertumbuhan penduduk Alor Tahun Tahun Gambar 6 Prosentase pertumbuhan penduduk Kabupaten Alor Tahun Prosentase pertumbuhan penduduk Alor Tahun Perkembangan tingkat pertumbuhan dari tahun ke tahun nampak berfluktuasi, hal ini dipengaruhi oleh tiga faktor yakni kelahiran, kematian dan migrasi. Jumlah angkatan kerja penduduk sebanyak orang (62,61%), yang bekerja orang (92,67%) dan yang masih mencari kerja orang (7.33 %). Sedangkan yang dikategori sebagai bukan angkatan kerja sebanyak orang (37,39%). Dari 92,67 persen angkatan kerja penduduk yang bekerja, pada umumnya mengguluti pada mata pencaharian sebagai Petani (78,40%). Secara rinci penyebaran jumlah dan kepadatan penduduk serta mata pencaharian penduduk antar satuan wilayah pengembangan (SWP) diperlihatkan pada Tabel 10.

94 78 Tabel 10 Penyebaran jumlah penduduk dan mata pencaharian penduduk antar SWP di Kabupaten Alor Tahun No Jumlah SWP A SWP B SWP C Kabupaten penduduk dan Orang % Orang % Orang % Orang % mata pencahaian 1 Rumah Tangga (RT) Penduduk Laki-laki Perempuan Kepadatan Petani Peternak Nelayan Penambang Pedagang Industri kerajinan PNS/TNI/POLRI/ Pensiunan lainya Sumber : BPS, 2003 (Alor Dalam Angka 2003, Kecamatan Dalam Angka 2003, Podes dan Profil desa 2003). Secara agregat jumlah angkatan kerja yang bekerja menurut lapangan usaha utama yakni disektor pertanian sebanyak orang (82,79%), pertambangan dan penggalian sebanyak 124 orang (0,17% ), industri pengolahan sebanyak orang (1,41 %), perdagangan sebanyak orang (3,58%), jasa sebanyak orang (10,07 %), angkutan sebanyak 663 orang (0,89 %) dan lainnya sebanyak 815 orang (1,09 %) Sosial budaya Perkembangan sosial budaya di kabupaten Alor keadaan Tahun 2003, yang diperlihatkan dari beberapa indikator pembangunan wilayah sebagai berikut : a. Aspek pendidikan. Produktivitas suatu wilayah sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia, khususnya aspek tingkatan pendidikan yang dicapai dari berbagai displin ilmu. Berdasarkan hasil Susenas tahun 2003, tercatat orang (4,04%) penduduk Alor berumur 10 tahun keatas, yang tidak atau belum pernah sekolah (tidak berijazah). Yang tidak atau belum tamat SD/MI (23,58 %) dan diantaranya sebanyak orang (4,87%) adalah tidak mengenal huruf (tidak bisa baca dan tulis), tamat SD/MI (39,91%), tamat SMTP (18,59 %), tamat SMTA (11,9 %) dan yang tamat perguruan tinggi hanya (1,98 %). Perkembangan tingkatan pendidikan tersebut mengindikasikan bahwa kualitas

95 79 sumber daya pembangun wilayah di Alor masih sangat riskan. Secara rinci perkembangan penduduk berumur 10 tahun ke atas berdasarkan tingkatan Ijazah pendidikan yang dimiliki, terlihat pada Tabel 11 berikut: Tabel 11 Perkembangan penduduk Alor berumur 10 tahun ke atas, berdasarkan tingkatan Ijazah pendidikan yang dimiliki Tahun No Status pendidikan Jumlah penduduk (orang) Prosentase (%) 1 Tidak/belum sekolah Tidak/belum tamat SD/MI SD/MI SMTP sederajat SMU Sederajat SMK sederajad Diploma I-II Diploma III Universitas (S1+ S2) Total Alor Sumber : BPS, 2003 (Alor Dalam Angka, 2003) Selain dari perkembangan penduduk berdasarkan tingkatan pendidikan yang dicapai, maka dapat ditunjukkan pula perkembangan jumlah murid, Guru dan rasio murid terhadap Guru antar tingkatan sekolah di Kabupaten Alor Tahun 2003, seperti pada Tabel 12. Tabel 12 Perkembangan jumlah murid, Guru dan rasio murid terhadap Guru menurut tingkatan sekolah di Kabupaten Alor Tahun No Tingkatan pendidikan SWP A SWP B SWPC Kabupaten I Taman kanak kanak (TK) 1 Murid Guru Rasio II Sekolah Dasar 1 Murid Guru Rasio III Sekolah Menengah Tingkat Pertama (SMTP) 1 Murid Guru Rasio IV Sekolah Menengah Tingkat Atas (SMTA) 1 Murid Guru Rasio Sumber : BPS, 2003 (Alor Dalam Angka,2003).

96 80 b.aspek kesehatan. Aspek kesehatan merupakan salah satu indikator pembangunan wilayah yang mencerminkan tinggi rendahnya indeks pembangunan manusia (IPM) secara dinamik sebagaimana aspek pendidikan. Oleh karena produktivitas pembangunan wilayah yang selalu berkembang secara dinamik sangat ditentukan oleh kualitas sumber daya manusia yang sehat. Pada umumnya perkembangan pembangunan kesehatan yang ingin dicapai, ditentukan oleh beberapa indikator pembangunan kesehatan seperti yang tertera pada Tabel 13. Tabel 13 Perkembangan beberapa indikator pembangunan kesehatan antar Satuan wilayah pengembangan di Kabupaten Alor Tahun Indikator Pembangunan Kesehatan Wilayah Pembangunan SWP A SWP B SWP C Kabupaten 1.Angka harapan hidup (%) Angka Kelahiran Bayi/1000 kelahiran (%) Angka Kematian Bayi/1000 kehamilan (%) Angka kematian Ibu hamil/melahirkan/ 1000 ibu hamil (%) Gizi buruk/kep Nyata (%) Jumlah Dokter (orang) Jumlah paramedis (orang) Jumlah Bidan Desa (orang) Pekarya (Orang) Posyandu (Buah) Aksektor KB Aktif (orang) Cakupan air bersih/rumah tangga (%) Sumber : Dinas Kesehatan, 2003 (Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Kabupaten Alor Tahun 2003). Tabel 13 menunjukkan bahwa rata-rata angka harapan hidup (AHH) masyarakat Kabupaten Alor berada dibawah 70 tahun, sementara angka kematian per seribu kehamilan ibu/kelahiran bayi mencapai persen, sedangkan angka kematian ibu hamil per seribu ibu hamil mencapai persen. Sedangkan Status gizi buruk (kronik energi protein/kep nyata) rata-rata 3.2 persen, nilai KEP ini lebih baik dibanding Tahun 2002 mencapai 10 persen. Demikian pula cakupan air minum bersih rata-rata mencapai persen dari total rumah tangga penduduk Alor ( RT). Demikian pula penyediaan tenaga Dokter, Paramedis, dan Bidan masih sangat terbatas, belum mengimbangi jumlah fasilitas kesehatan yang telah dibangun. Sejumlah fasilitas kesehatan yang sudah dibangun seperti PUSTU dan Polindes banyak yang mubazir karena keterbatasan tenaga medis/bidan untuk ditempatkan disana.

97 81 c. Aspek Agama (Religion). Pada umumnya terdapat lima (5) agama yang dianut penduduk Kabupaten Alor, yakni Islam, Kristen Khatolik, Kristen Protestan dan Hindu/Budha. Perkembangan masing-masing jumlah penganut agama antar satuan wilayah pengembangan di Kabupaten Alor, diperlihatkan pada Tabel 14. Tabel 14 Perkembangan jumlah penganut agama antar satuan wilayah pengembangan di Kabupaten Alor Tahun SWP Jumlah Penganut Agama (orang) Islam K.Khatolik K.Protestan Hindu/Budha Total antar SWP A B C Kabupaten Sumber : BPS, 2003 ( Alor Dalam Angka, 2003). Tabel 14, memperlihatkan bahwa perkembangan jumlah penganut Agama di Kabupaten Alor, didominasi agama Kristen Protestan (74.44%), diikuti agama Islam (21.71%), agama Kristen Khatolik (3.75%) dan agama Hindu/Budha (0.10 %). Dalam hubungannya dengan kerukunan hidup antar agama di Kabupaten Alor, kerukunannya masih sangat harmonis, belum ada intimidasi dari pihak agama manapun yang mencedrai kebebasan umat beragama untuk menjalankan ibadahnya masing-masing. Kekentalan hubungan kekeluargaan dalam menjalani silahturahmi antar umat beragama, baik pada peringatan harihari raya keagamaan, pembangunan tempat ibadah, MTQ, hubungan kawin mawin, khitanan dan hubungan kekerabatan lainya merupakan potensi sosial yang masih sangat dihargai sampai saat ini. Namun demikian seiring dengan perkembangan global dan stabilitas politik Dalam Negeri yang labil, tidak menutup kemungkinan adanya infiltrasi kepentingan dan teroris, untuk mencedrai kerukunan kehidupan beragama di Kabupaten Alor yang selama ini terpelihara, bisa saja dapat terjadi, maka perlu diwaspadai, dengan upaya meningkatkan intensitas dialog antar umat beragama yang dinamik, merupakan solusi yang lebih humanis, dalam menjamin ketahanan wilayah yang lebih kondusif terhadap penyusupan konflik horisontal yang berdampak SARA. d. Aspek keragaman ethnis, budaya dan kekerabatan sosial.

98 82 Penduduk Kabupaten Alor memiliki keragaman suku asli (50 suku asli) dan kelompok suku pendatang dari luar Kabupaten Alor antara lain suku Cina, Bugis Makasar, Buton, Batak, Ambon, Padang, Jawa, Manado, Dayak, Bali, Bima, Flores, Sumba, Timor, Rote, Sabu, dll. Dalam hubungannya dengan interaksi sosial baik antar suku asli maupun suku pendatang, masih sangat harmonis karena ada keterikatan budaya dan fungsional yang mutualisme. Dalam kaitannya dengan keterkaitan budaya, penduduk Alor sejak lama dalam menjalani kekerabatan sosial antar suku-suku asli maupun suku suku tetangga di luar pulau Alor telah tertanam nilai-nilai kekerabatan sosial yang dikenal dengan hubungan bela dan hubungan egalatarian. Kedua nilai kekerabatan sosial tersebut, masih dijunjung tinggi sampai saat ini, sebagai salah satu modal sosial yang memiliki kekuatan dalam mempersatukan perbedaan suku, agama, adat-istiadat dalam kehidupan sosial kemasyarakatan di Alor. Kemudian keterkaitan fungsional antara suku asli dan suku pendatang, yang masih terpelihara keharmonisan, karena suku asli memandang suku pendatang sebagai pembawa inovasi dan pasar input dan pasar output produk suku asli, yang masih berorientasi produk tradisional. Namun demikian kesenjangan pendapatan antar suku asli dan suku pendatang serta kebocoran wilayah yang tak terkendali, merupakan dilema yang perlu diwaspadai saat ini dan kedepan, sehingga selalu dalam keseimbangan. Dampak negatif lain yang sering timbul dari hubungan bela dan egalatarian yang tak terkendali adalah mengurasnya ekonomi penduduk (pemborosan) demi suatu prestise sosial merupakan salah satu lingkaran setan kemiskinan di Alor. Kabupaten Alor yang terdiri atas keragaman suku asli, tidak terlepas dari keragaman ethnolinguistik (56 bahasa ibu) yang dikelompokan dalam 13 rumpun bahasa, yang satu sama lain sangat berbeda untuk dimengerti, sehingga dalam interaksi sosial antar penduduk di Kabupaten Alor selalu menggunakan bahasa Indonesia sebagai satu-satunya bahasa komunikasi antar suku-suku di Alor. Selain keragaman ethnolinguistik, juga memiliki keragaman budaya, kurang lebih terdapat 37 jenis peninggalan benda-benda cagar budaya atau megalitik termasuk Al quran kuno bertuliskan tangan yang masih dilestarikan dan sedang tersimpan dalam museum daerah. Disamping itu terdapat tari-tarian dan syair budaya, yang intinya sebagai media dalam menjamin kekerabatan atau interaksi sosial dalam keberagaman. Diantaranya tarian lego-lego dan untaian syair pemersatu Taramiti Tominuku (bersehati kita teguh, bersama kita bisa),

99 83 Webuk wangkape (yang jauh/ berbeda diikat menjadi dekat/satu). Nilai-nilai budaya ini masih dihormati dalam kelembagaan adat, dan jauh lebih ampuh sebagai alat penyelesaian konflik konflik horisontal dan atau berbagai aspek pembangunan lainnya. Seharusnya dalam kerangka otonomi daerah, nilai-nilai budaya ini haruslah mendapat tempat yang lebih strategis, untuk menjawab tantangan pembangunan wilayah, namun nilai nilai budaya dan peran kelembagaan adat dan lembaga non formal lainnya belum diintigrasikan secara optimal dalam pengambilan kebijakan pembangunan wilayah. Seharusnya diperlukan suatu regulasi yang mengintegrasikan peran kelembagaan adat dan nilai nilai budaya sebagai suatu modal sosial yang menggerakan dan memberdayakan ekonomi penduduk dan aspek pembangunan lainnya untuk berkembang maju adalah suatu prestise sosial yang lebih humanis dan dinamis Ekonomi wilayah. Perkembangan ekonomi wilayah dapat ditunjukkan oleh beberapa indikator pembangunan sebagai berikut : a.produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Perkembangan pertumbuhan ekonomi wilayah yang ditunjukkan dengan nilai PDRB sebagaimana pada Tabel 2, pada tahun 1998 menunjukkan minus 2,50 persen dan tahun 1999 (0,44%), namun mulai berangsur membaik menjadi 5,63 persen pada Tahun 2003, namun dari sisi prosentase kontribusi PDRB Kabupaten Alor tehadap PDB Nasional pada tahun masih sangat rendah rata-rata 0,03 persen. Sedangkan kontribusinya terhadap PDRB Propinsi NTT pada tahun 2000 sebesar 3,97 persen, tahun 2001 (3,96 %), tahun 2002 (3,91%) dan tahun 2003 (3,92 %) b.pendapatan Perkapita. Perkembangan pendapatan perkapita yang ditunjukkan oleh PDRB perkapita, memperlihatkan peningkatan yang cukup signifikan. Namun demikian bagaimana rasio perkembangan PDRB perkapita Kabupaten Alor terhadap PDB Nasional dan Provisi NTT dapat ditunjukkan pada Tabel 15 Tabel 15 memperlihatkan bahwa rasio perkembangan PDRB perkapita Kabupaten Alor terhadap PDB Nasional masih rendah yakni pada tahun 2000 dan 2001 hanya mencapai 0,11 %, sedangkan tahun 2002 dan 2003 sedikit bergeser menjadi 0,12 %. Sedangkan rasio pertumbuhan PDRB per kapita Kabupaten Alor terhadap PDRB Provinsi NTT cukup tinggi, pada tahun 2000

100 84 mencapai 88,17 persen, dan sedikit menurun tahun 2001 (87,62%), kemudian meningkat menjadi 90,35 persen pada tahun 2002 dan tahun 2003 (94,94%). Tabel 15 Ratio Pertumbuhan PDRB Perkapita Kabupaten Alor terhadap PDRB Per kapita Provinsi NTT dan PDB Per kapita Indonesia Tahun Tahun Kabupaten Alor Provinsi NTT Indonesia PDRB Per kapita (Rp) PDRB Per kapita (Rp) Ratio PDRB Alor terhadap Per kapita NTT PDB Per kapita (Rp) Ratio PDRB Alor terhadap Per kapita Indonesia (%) (%) Sumber : BPS, 2003 ( PDRB Kabupaten Alor Tahun 2003 dan PDB Indonesia Tahun 2003). Hal ini menunjukkan bahwa kontribusi PDRB Kabupaten Alor terhadap rata-rata PDRB Perkapita NTT cukup signifikan, namun terhadap PDB Nasional amat lemah. C. Struktur ekonomi. Struktur ekonomi wilayah, sebagaimana pada Tabel 3 masih didominasi pada sektor pertanian (primer), walaupun prosentase proporsi sektor primer dari tahun menunjukkan pergeseran yang menurun. Pada Tahun 1998 prosentase proporsi Sektor pertanian terhadap PDRB sebesar 42,2 persen menurun menjadi 34,58 persen, bila dibanding tahun 1988 sebagai tahun dasar penyusunan RUTRW Kabupaten Alor, proporsi Sektor pertanian terhadap PDRB mencapai 56,9 persen. Pertambangan dan penggalian tahun 1998 sebesar 1,38 persen, tahun 2003 menurun menjadi 1,2 persen, sedangkan tahun 1988 (0,6 %). Kemudian sektor industri (sekunder) perkembangannya masih tidak menentu (berfluktuatif), tahun 1988 sebesar 0,8 persen meningkat 2,17 persen pada tahun 1998, namun menurun drastis menjadi 1,91 persen pada tahun Namun ada peningkatan sektor sekunder pada sektor bangunan dan konstruksi, pada tahun 1988 sebesar 0,4 persen, meningkat menjadi 5,47 persen pada tahun 1998 dan 5,76 persen tahun Sedangkan Sektor tersier (perdagangan, komunikasi dan jasa) mengalami peningkatan yang berfluktuatif kecuali sektor sektor angkutan dan jasa-jasa, mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Sektor perdagangan, rumah makan dan hotel pada tahun 1988 memberikan kontribusi terhadap PDRB sebesar 10,7 persen, tahun ,81 persen dan sedikit menurun menjadi 12,7 persen tahun Pengangkutan dan

101 85 komunikasi tahun 1988 sebesar 5,4 persen, tahun 1998 sebesar 5.72 persen dan tahun persen. Sektor jasa keuangan, persewahan dan jasa perusahaan, tahun 1988 sebesar 3.3 persen, tahun 1998 sebesar 4.67 persen dan tahun 2003 sedikit menurun menjadi 4.12 persen. Sedangkan jasa pemerintahan umum, listrik dan air minum serta jasa swasta pada tahun 1988 sebesar 16,8 persen, meningkat menjadi 25,58 persen tahun 1998 dan 35,15 persen pada tahun Secara Grafik prosentase perkembangan Struktur ekonomi Kabupaten Alor tahun dapat dilihat pada Gambar 7. % Sektor -10 Tah Gambar 7 Prosentase Perkembangan Struktur ekonomi Kabupaten Alor Tahun 1988 dan Tahun Secara parsial Tabel 3 dan Gambar 7 menunjukkan keterkaitan perkembangan struktur ekonomi wilayah yang lemah, pergeseran sektor pertanian yang menurun tidak diimbangi dengan laju pertumbuhan sektor industri yang signifikan. Hal ini bisa dilihat dari prosentase proporsi sektor industri terhadap PDRB Kabupaten Alor yang semakin menurun. Perkembangan industri masih terbatas pada industri kecil dan rumah tangga. Sedangkan keterkaitan antara sektor primer (pertanian) dengan sektor tersier menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan, walaupun pada beberapa komoditi menunjukkan fluktuatif. Hal ini bisa dilihat dari data perdagangan komoditi antar pulau di Kabupaten Alor Tahun pada Tabel 16. Penerimaan jasa sumbangan Pihak ketiga (SP3), sebagaimana pada Tabel 16 adalah jasa perizinan perdagangan komoditi antar pulau sebagai salah satu Pos penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun dalam realitasnya

102 86 No Tabel 16 Perkembangan perdagangan komoditi Antar pulau/eksport dan Penerimaan sumbangan Pihak ketiga (SP3) di Kabupaten Alor periode Jenis komoditi Jumlah komoditi (Kg/Liter/P) SP3 (Rp) Jumlah komoditi (Kg/Liter/P) SP3 (Rp) Jumlah komoditi (Kg/Liter/P) SP3 (Rp) 1 Kemiri ,559,931,341 2 Kopra Biji Mente Serlack Asam Cengkeh Pinang Kenari Vanili Kunyit Madu Uburubur Anakan Mutiara Agar-agar/ R.laut Batu hitam Batu puyu Total Sumber : Dispenda 2005 (Laporan Bulanan Penerimaan SP3 Komoditi Antar Pulau di Kabupaten Alor Tahun ). terdapat indikasi kebocoran wilayah (penyulundupan) yang tidak terkendali karena regulasinya yang masih lemah. Jumlah komoditi yang diantarpulaukan selalu melampoui izin yang diberikan, rata-rata persen/tahun dan atau menimbulkan kerugian daerah sebesar Rp (Dua Milyart Delapan ratus tiga juta Sembilan ratus tiga puluh empat ribu enam ratus lima belas rupiah) /tahun. Selisih perhitungan ini diperoleh dari jasa perizinan perdagangan komoditi yang di keluarkan oleh Dinas pendapatan Kabupaten Alor Tahun sebagaimana pada Tabel 16, dibandingkan dengan data perdagangan komoditi pada tahun yang sama, pada Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) Pelabuhan Kalabahi. Data TKBM dianggap cukup konsisten, karena upah tenaga kerja pelabuhan dibayar berdasarkan berat barang yang diangkut setiap bongkar muat Kapal. Kondisi ini apabila tidak segera dieleminir dengan suatu Peraturan Daerah yang mengatur tugas dan fungsi serta mekanisme pengelolaan SP3 komoditi antar pulau, maka kebocoran

103 87 wilayah akan lebih besar dan juga tidak menutup kemungkinan adanya indikasi rent seekers yang turut mengkerdilkan struktur ekonomi wilayah Perkembangan infrastruktur/fasilitas sosial dan ekonomi. Perkembangan suatu wilayah, umumnya ditentukan oleh jumlah dan kualitas infrastruktur sosial ekonomi yang dibangun pada suatu wilayah pembangunan. Secara parsial perkembangan fasilitas sosial ekonomi tersebut dapat diuraikan sebagai berikut : Fasilitas sosial. Pembangunan fasilitas sosial, penting untuk dibangun dalam rangka memaksimalkan interaksi sosial, pelayanan publik dan memudahkan system aliran informasi dan sumber daya antar pusat atau antar sub wilayah pengembangan yang diharapkan berimbang (simetrik). Beberapa indikator pembagunan fasilitas sosial yang dimaksukan antara lain fasilitas pendidikan, kesehatan, air bersih, olahraga dan seni budaya, keagamaan, penerangan dan telekomunikasi serta fasilitas pelayanan publik dan swasta. Perkembangan masing-masing infrastruktur/fasilitas sosial dimaksud antar satuan wilayah pengembangan (SWP) dapat ditunjukkan pada Tabel 17. Secara parsial perkembangan infrastruktur sosial sebagaimana pada Tabel 17, menunjukkan adanya kesenjangan antar wilayah, kecuali fasilitas pelayanan publik setempat (Kantor desa/lurah) sudah dimiliki oleh seluruh desa/kelurahan di Kabupaten Alor. Setelah itu fasilitas pendidikan dasar (SD) sudah cukup tersebar (93,14 %), dari jumlah desa/kelurahan di Kabupaten Alor, tetapi belum diimbangi dengan penempatan guru yang merata. Pembangunan fasilitas Pendidikan Menengah Tingkat Pertama, untuk ketiga wilayah pengembangan, cukup tersedia namun masih kekurangan guru, untuk beberapa mata pelajaran Sains dan Bahasa Inggris dan fasilitas Laboratorium. Demikian pula fasilitas pendidikan SLTA, selain kekurangan guru dan fasilitas Laboratorium sebagaimana pada tingkat SLTP, masih ada kesenjangan pada SWP C yang belum ada fasilitas pendidikan SLTA. Para lulusan SLTP pada SWP C harus melanjutkan pendidikan SLTA ke kota (SWP B), dengan jarak tempuh Km untuk jalan darat dan Km dengan pelayaran laut. Dari aspek fasilitas kesehatan, untuk ketiga pengembangan wilayah, khusunya penyediaan Puskesmas, Pustu dan Polindes hampir berimbang antar wilayah, namun belum diimbangi dengan ketersediaan Medis dan Paramedis, serta fasilitas rawat dan obat-obatan yang tersedia secara kontinue.

104 88 Selain itu terdapat Pustu dan Polindes yang sudah dibangun tetapi mubazir, karena keterbatasan tenaga medis dan paramedis, serta penyebaran Bidan desa yang belum merata, sementara ratio ketersediaan Bidan desa dan ketersediaan polindes 1,46. Seharusnya 144 Bidan desa yang ada, minimal seorang Bidan desa sudah harus ditempatkan pada 98 Polindes yang tersebar pada 98 desa. Sedangkan 46 Bidan desa lainnya bisa melengkapi tenaga paramedis pada Rumah sakit, Puskesmas dan Pustu. Tetapi pada kenyataanya 80 persen Polindes di Alor belum berfungsi sebagaimana mestinya. Tabel 17 Perkembangan pembangunan infrastruktur sosial antar SWP di Kabupaten Alor Tahun No Jenis Infrastruktur/ Penyebaran jumlah jenis fasilitas pada desa antar SWP fasilitas sosek SWP A SWP B SWP C Kabupaten unit Desa/ Lurah unit Desa/ Lurah unit desa/ Lurah Unit Desa/ Lurah A Pendidikan 1 Taman Kanak (TK) Sekolah Dasar (SD) SMTP SMTA Perguruan Tinggi B Kesehatan 1 Rumah sakit Puskesmas Pustu Balai pengobatan Polindes Air bersi (Leding) C Keagamaan 1 Mesjid/Mushola Gereja Puri D Olahraga dan seni budaya 1 stadiun olah raga Sanggar seni budaya Musem E Penerangan dan Telekomunikasi 1 PLN Listrik Non PLN Listrik Tenaga Surya Pemancar Telekom Pemancar Televisi Telephon umum/ Sellular Telp. Satelit T.Surya Saluran SSB F Pelayanan publik dan swasta (Perkantoran) 1 Pemerintahpusat/ Cabang/Kabupaten Pemerintah setempat Kerjasama Luar 3 Negari Kantor Swasta Sumber : BPS, 2003 ( Alor Dalam Angka, 2003, Potensi dan Profil Desa 2003).

105 89 Dari aspek Penerangan, menunjukkan bahwa dari 175 desa/ kelurahan di Kabupaten Alor memperlihatkan 65 desa/kelurahan (37,14%) yang mendapat fasilitas penerangan dari Perusahaan Listrik Negara (PLN), Non PLN 52 desa (29,71 %) yakni listrik tenaga disel yang diperoleh dari swadaya masyarakat desa dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Sedangkan perusahaan listrik tenaga surya (PLTS) mencakup 22 desa (12,57 %). Dengan demikian masih terdapat 36 desa/kelurahan (20,57 %) yang sama sekali belum terjamah oleh penerangan listrik. Dari aspek infrastruktur telekomunikasi, menunjukkan bahwa, saluran telephon/sellular masih terbatas pada sub wilayah pengembangan B (kota hirarki utama). Komunikasi antar SWP lebih banyak menggunakan Saluran SSB (channel single Band) yang sudah terpasang pada 17 desa/kelurahan pada tiga SWP. Namun 87 persen penggunaannya didominasi oleh informasi aktivitas pemerintah dalam rangka pelayanan masyarakat antar SWP Infrastuktur ekonomi. Pembangunan infrastruktur ekonomi suatu wilayah amat penting, untuk mendorong aliran sumber daya (informasi, barang dan jasa) yang efisien, meningkatkan produktivitas dan interaksi spasial yang saling memperkuat. Pembangunan infrastruktur ekonomi yang dimaksudkan adalah fasilitas pasar, tokoh, perusahaan, jaringan perhubungan dan obyek wisata yang mendorong interaksi dan keterkaitan ekonomi antar SWP dan antar regional. Perkembangan infrastruktur ekonomi antar SWP tersebut, dilihat pada Tabel 18. Perkembangan infrastruktur ekonomi wilayah sebagaimana pada Tabel 18, menunjukkan bahwa terdapat 53 pasar yang telah dibangun di Kabupaten Alor, dan tersebar pada 52 desa/ Kelurahan. Dalam opersionalnya hanya 2 pasar yang beroperasi secara kontinue 7 hari, sedangkan pasar lainnya masih bersifat pasar mingguan yang beroperasi rata rata 3 hari dalam seminggu, kecuali tokoh/kios rata-rata dibuka secara kontinue dalam seminggu; namun diantara 175 desa/kelurahan masih dijumpai 24 (13,71 %) desa yang belum ada toko atau kios yang menyediakan sembako bagi pemenuhan kebutuhan dasar. Desa-desa tersebut tergolong yang paling terisolasi. Perkembangan pembangunan fasilitas Bank di Kabupaten Alor, mencakup 3 unit Bank (BNI 1946, BRI dan Bank Pembangunan Daerah NTT). Dari ketiga unit Bank tersebut, hanya Bank BRI yang sudah membuka tiga unit Cabang, 2 unit cabang berada di SWP B dan 1 unit cabang berada di SWP A. Dengan demikian

106 90 terdapat 6 unit Bank di Kabupaten Alor, yang memperkuat Struktur ekonomi wilayah. Demikian juga Lembaga keuangan lainnya (Nir Bank) terdiri dari 6 unit. Selain Bank dan Nir Bank, Koperasi sebagai salah satu Lembaga ekonomi masyarakat, yang berperan untuk memperkuat basis ekonomi masyarakat perdesaan, juga telah berkembang sebanyak 66 unit pada 47 desa/kelurahan, Tabel 18 Perkembangan pembangunan infrastruktur Ekonomi antar SWP di Kabupaten Alor Tahun No Jenis Infrastruktur/ fasilitas sosek Penyebaran jumlah jenis fasilitas antar SWP SWP A SWP B SWP C Kabupaten unit desa unit desa unit desa unit Desa A Pasar B Bank C Nir Bank D Tokoh/Kios E Koperasi/KUD F Perusahan/Pabrik G Restoran/R.makan H Hotel/Wisma I Obyek Wisata J Depot pertamina K L Perhubungan darat 1 Jalan aspal Kend.roda 4 penumpang K.roda 4 non penumpang Kendaraan roda dua Perhubungan laut 1 Pel. niaga/pangkalan AL Pelabuhan ferri (ASDP) Pel. Tengker Pertamina Pel. Pelayaran rakyat Kapal niaga Kapal Perintis Kapal ferri Perahu motor Speadbood M Perhubungan Udara 1 Bandara Pesawat F Pesawat cassa Sumber : BPS, 2003 ( Alor Dalam Angka, 2003, Potensi dan Profil Desa 2003). kendatipun 89,40 persen masih berada di kota (Sub wilayah B). Dari 66 unit Koperasi tersebut, 18 unit diantaranya merupakan fasilitas pembangunan tempat pelayanan koperasi (TPK) unit desa dari 9 Koperasi Unit Desa di Kabupaten Alor. Akan tetapi dari 18 TPK unit desa yang tersedia, yang berfungsi hanya 55,56 persen, sedangkan 44,44 persen tidak berfungsi. Hal ini disebabkan oleh kendala organisasi dan manajemen. Perkembangan suatu wilayah tidak bisa terlepas dari pembangunan fasilitas perusahaan/pabrik, restoran/rumah makan dan hotel/wisma, yang memperkuat keterkaitan struktur ekonomi wilayah. Terdapat 11 unit perusahaan/pabrik berskala mikro dan menengah di Kabupaten Alor, 39 unit Rumah makan/restoran

107 91 dan 6 unit Hotel/Wisma, dimana 97,44 persen ketiga pembangunan fasilitas tersebut masih terpusat di kota (Sub SWP B). Khusus perkembangan fasilitas hotel, rata-rata masih pada kelas melati, jumlah kamar tidur yang tersedia masih terbatas (87 unit) dengan rata rata kunjungan tamu 166 orang perbulan pada tahun Dari rata-rata kunjungan tamu tersebut 8,35 persen merupakan tamu mancanegara, dan bila dibanding tahun 2002, jumlah kunjungan mancanegara meningkat 14,18 persen dari tahun 2002 sebanyak 134 pengunjung. Sedangkan pengunjung nusantara mengalami penurunan 0,76 persen pada tahun 2003 dari jumlah pengunjung nusantara tahun 2002 sebanyak orang. Perkembangan jumlah pengunjung baik mancanegara maupun nusantara, terkait dengan daya tarik wilayah, antara lain potensi parawisata daerah. Terdapat 19 obyek parawisata daerah (wisata bahari, senibudaya dan panorama alam), namun belum didukung dengan infrastruktur yang memadai. Pengelolaan obyek Parawisata daerah yang sudah dibangun fasilitas sederhana, baru mencapai 47,37 persen dari 19 obyek potensi wisata yang teridentifikasi. Untuk melaksanakan semua aktivitas sosial ekonomi suatu wilayah, harus diimbangi dengan pasokan sumber energi yang cukup dan kontinue, maka fasilitas energi yang sudah dibangun berupa sebuah pelabuhan tengker pertamina dan sebuah Depot distribusi. Namun demikian Depot distribusi pertamina yang hanya satu, sering mnyebabkan kemacetan lalulintas setiap hari, pada saat antrian distribusi energi pada kendaraan dan tempayan untuk konsumsi rumah tangga penduduk. Selain pembangunan infrastruktur ekonomi dan sosial sebagaimana pada Tabel 17 dan Tabel 18 yang diuraikan di atas, maka pembangunan infrastruktur perhubungan atau transportasi merupakan bagian pembangunan fasilitas pembangunan wilayah yang sangat vital dalam rangka membangun jaringan keterkaitan dan interaksi sosial ekonomi antar dan inter wilayah pembangunan. Perkembangan infrastruktur jaringan transportasi di Kabupaten Alor sebagaimana pada Tabel 18, pada umumnya menunjukkan perkembangan yang masih jauh dari optimal untuk membangun jaringan keterkaitan dan interaksi spasial yang kuat. Pembangunan jalan aspal yang menghubungkan kota hirarki utama dan kota-kota hinterland (kota kecamatan) baru menjangkau 59,43 persen dari 175 desa/kelurahan di Kabupaten Alor. Dari 59, 43 persen desa/kelurahan yang telah dijangkau jalan aspal tersebut, 33,40 persen dari 463,18 Km panjang

108 92 jalan beraspal di Kabupaten Alor adalah berkualitas jelek (rusak). Rata-rata klasifikasi jalan di Kabupaten Alor adalah jalan kelas III, dengan rincian: panjang jalan negara 95,20 Km dari total panjang jalan di Kabupaten Alor (1 432,33 Km), jalan propinsi 172 Km dan jalan kabupaten 1 164,93 Km (Gambar 8 Peta penyebaran jalan di Kabupaten Alor). Selain itu penyediaan kendaraan roda 4 dan roda 2 juga masih sangat terbatas antar satuan wilayah pengembangan. RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN ALOR DATA DASAR P E T A JARINGAN JALAN DI KABUPATEN ALOR Ibukota Kabupaten Ibukota Kecamatan Jalan Negara Jalan Propinsi Jalan Kabupaten Jalan Desa U B T S 1 : Km PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN ALOR BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH B A P P E D A Jl. El Tari No. 19 Telepon (0386) Gambar 8. Peta penyebaran jalan di Kabupaten Alor Kabupaten Alor sebagai salah satu Kabupaten kepulauan, maka pembangunan infrastruktur transportasi laut dan udara, memiliki peran strategis dalam membangun keterkaitan dan interaksi spasial antar regional dan inter wilayah Pembangunan. Untuk antar regional Kabupaten Alor sudah memiliki 2 Pelabuhan niaga, dengan lokasi Kalabahi dan Maritaing (berperan pula sebagai pangkalan Angkatan Laut) untuk menjaga teritorial wilayah NKRI dengan negara Timor Leste, dan satu unit pelabuhan ferri di Kalabahi. Sedangkan antar inter wilayah pembangunan di Kabupaten Alor sudah di bangun 3 unit pelabuhan pelayaran rakyat (PELRA) yakni 1 unit pada SWP C di Marataing dan 2 unit pada SWP A masing-masing di Bakalang dan Baranusa dan sejumlah pembangunan tambatan perahu pada pulau-pulau kecil dan jalur selatan pulau Alor. Dari 3 unit PELRA tersebut, yang sudah secara kontinue disinggahi Kapal niaga dan kapal

ANALISIS KESENJANGAN PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH PEMBANGUNAN DI KABUPATEN ALOR YUNUS ADIFA

ANALISIS KESENJANGAN PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH PEMBANGUNAN DI KABUPATEN ALOR YUNUS ADIFA ANALISIS KESENJANGAN PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH PEMBANGUNAN DI KABUPATEN ALOR YUNUS ADIFA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK YUNUS ADIFA. Analisis Kesenjangan Pembangunan antar

Lebih terperinci

ANALISIS KESENJANGAN PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH PEMBANGUNAN DI KABUPATEN ALOR YUNUS ADIFA

ANALISIS KESENJANGAN PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH PEMBANGUNAN DI KABUPATEN ALOR YUNUS ADIFA ANALISIS KESENJANGAN PEMBANGUNAN ANTAR WILAYAH PEMBANGUNAN DI KABUPATEN ALOR YUNUS ADIFA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK YUNUS ADIFA. Analisis Kesenjangan Pembangunan antar

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang desentralisasi membuka peluang bagi daerah untuk dapat secara lebih baik dan bijaksana memanfaatkan potensi yang ada bagi peningkatan kesejahteraan dan kualitas

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN

STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN STRATEGI PENGEMBANGAN PERKEBUNAN SEBAGAI SEKTOR UNGGULAN DALAM MENINGKATKAN SUMBER PENERIMAAN PETANI DI PEDESAAN (Studi Kasus di Kecamatan Kampar Kiri Hulu Kabupaten Kampar Provinsi Riau) RAHMAT PARULIAN

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan akan transportasi sangat diperlukan dalam pembangunan suatu negara ataupun daerah. Dikatakan bahwa transportasi sebagai urat nadi pembangunan kehidupan politik,

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting dalam perekonomian dan sektor basis baik tingkat Provinsi Sulawsi Selatan maupun Kabupaten Bulukumba. Kontribusi sektor

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI

ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI ANALISIS KETERKAITAN KREDIT DAN KONSUMSI RUMAH TANGGA DALAM PEMBANGUNAN EKONOMI REGIONAL PROVINSI JAWA BARAT DHONA YULIANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN

ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN ANALISIS MANFAAT KEMITRAAN DALAM MENGELOLA HUTAN BERSAMA MASYARAKAT (MHBM) DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN INDUSTRI DI PROVINSI SUMATERA SELATAN WULANING DIYAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Atas dukungan dari semua pihak, khususnya Bappeda Kabupaten Serdang Bedagai kami sampaikan terima kasih. Sei Rampah, Desember 2006

KATA PENGANTAR. Atas dukungan dari semua pihak, khususnya Bappeda Kabupaten Serdang Bedagai kami sampaikan terima kasih. Sei Rampah, Desember 2006 KATA PENGANTAR Untuk mencapai pembangunan yang lebih terarah dan terpadu guna meningkatkan pembangunan melalui pemanfaatan sumberdaya secara maksimal, efektif dan efisien perlu dilakukan perencanaan, pelaksanaan

Lebih terperinci

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN

ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN ANALISIS PEWILAYAHAN, HIRARKI, KOMODITAS UNGGULAN DAN PARTISIPASI MASYARAKAT PADA KAWASAN AGROPOLITAN (Studi Kasus di Bungakondang Kabupaten Purbalingga) BUDI BASKORO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Kata kunci : jumlah alumni KKD, opini audit BPK, kinerja pembangunan daerah.

Kata kunci : jumlah alumni KKD, opini audit BPK, kinerja pembangunan daerah. HERTANTI SHITA DEWI. Kinerja Pembangunan Daerah : Suatu Evaluasi terhadap Kursus Keuangan Daerah. Dibimbing oleh EKA INTAN KUMALA PUTRI dan BAMBANG JUANDA. Sejak diberlakukan otonomi daerah di bidang keuangan,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur Provinsi Kalimantan Timur terletak pada 113 0 44-119 0 00 BT dan 4 0 24 LU-2 0 25 LS. Kalimantan Timur merupakan

Lebih terperinci

Bupati Murung Raya. Kata Pengantar

Bupati Murung Raya. Kata Pengantar Bupati Murung Raya Kata Pengantar Perkembangan daerah yang begitu cepat yang disebabkan oleh semakin meningkatnya kegiatan pambangunan daerah dan perkembangan wilayah serta dinamisasi masyarakat, senantiasa

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kemajuan yang diperoleh Bangsa Indonesia selama tiga dasawarsa pembangunan ternyata masih menyisakan berbagai ketimpangan, antara lain berupa kesenjangan pendapatan dan

Lebih terperinci

BAB VII PENGEMBANGAN WILAYAH MALUKU TAHUN 2011

BAB VII PENGEMBANGAN WILAYAH MALUKU TAHUN 2011 BAB VII PENGEMBANGAN WILAYAH MALUKU TAHUN 2011 7.1. Kondisi Wilayah Maluku Saat Ini Perkembangan terakhir pertumbuhan ekonomi di wilayah Maluku menunjukkan tren meningkat dan berada di atas pertumbuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau.

I. PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan. terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang pulau. I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang mempunyai lebih kurang 18.110 pulau. Sebaran sumberdaya manusia yang tidak merata

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR. KATALOG BPS :

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR. KATALOG BPS : BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR. KATALOG BPS : Katalog BPS : 9302008.53 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR KINERJA PEREKONOMIAN NUSA TENGGARA TIMUR 2013 KINERJA PEREKONOMIAN

Lebih terperinci

BAB I GEOGRAFIS DAN IKLIM

BAB I GEOGRAFIS DAN IKLIM BAB I GEOGRAFIS DAN IKLIM LUAS WILAYAH PROVINSI JAMBI TAHUN 2015... 1 STATISTIK GEOGRAFIS PROVINSI JAMBI... 2 NAMA IBUKOTA KAB/KOTA DAN JARAK KE IBUKOTA PROVINSI MENURUT KAB/KOTA TAHUN 2015... 3 JUMLAH

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Jumlah petani di Indonesia menurut data BPS mencapai 45% dari total angkatan kerja di Indonesia, atau sekitar 42,47 juta jiwa. Sebagai negara dengan sebagian besar penduduk

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Kondisi Wilayah Letak Geografis dan Wilayah Administrasi Wilayah Joglosemar terdiri dari kota Kota Yogyakarta, Kota Surakarta dan Kota Semarang. Secara geografis ketiga

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pada dasarnya pembangunan ekonomi ditujukan untuk mengatasi kemiskinan, penggangguran, dan ketimpangan. Sehingga dapat terwujudnya masyarakat yang sejahtera, makmur,

Lebih terperinci

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR. Katalog BPS :

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR. Katalog BPS : BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR Katalog BPS : 9302008.53 KINERJA PEREKONOMIAN NUSA TENGGARA TIMUR 2013 KINERJA PEREKONOMIAN NUSA TENGGARA TIMUR 2013 Anggota Tim Penyusun : Pengarah :

Lebih terperinci

3. Pola hubungan spasial intra-interregional di Kapet Bima dapat diamati dari pergerakan arus barang dan penduduk antar wilayah, yakni dengan

3. Pola hubungan spasial intra-interregional di Kapet Bima dapat diamati dari pergerakan arus barang dan penduduk antar wilayah, yakni dengan VI. PENUTUP 6.1. Kesimpulan Dari hasil analisis dan pembahasan tentang studi pengembangan wilayah di Kapet Bima dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Kapet Bima memiliki beragam potensi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jawa Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki peran penting bagi perekonomian nasional. Berdasarkan sisi perekonomian secara makro, Jawa Barat memiliki

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 5.1. Letak dan Luas Wilayah Kabupaten Seluma Kabupaten Seluma merupakan salah satu daerah pemekaran dari Kabupaten Bengkulu Selatan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 3

Lebih terperinci

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah 2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah Provinsi Kalimantan Timur dengan ibukota Samarinda berdiri pada tanggal 7 Desember 1956, dengan dasar hukum Undang-Undang

Lebih terperinci

KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN KARAKTERISTIK TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS

KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN KARAKTERISTIK TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS KETERKAITAN SEKTOR UNGGULAN DAN KARAKTERISTIK TIPOLOGI WILAYAH DALAM PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS Studi Kasus Kawasan Kedungsapur di Provinsi Jawa Tengah DYAH KUSUMAWATI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan merupakan serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat melalui beberapa proses dan salah satunya adalah dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan pembangunan daerah di Indonesia pada dasarnya didasari oleh kebijaksanaan pembangunan nasional dengan mempertimbangkan karakteristik dan kebutuhan daerah. Kebijaksanaan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT. 4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT

BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT. 4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT BAB IV GAMBARAN UMUM PROVINSI NTT 4.1 Keadaan Geografis dan Administratif Provinsi NTT Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terdiri dari pulau-pulau yang memiliki penduduk yang beraneka ragam, dengan latar

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Sektor unggulan di Kota Dumai diidentifikasi dengan menggunakan

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. Sektor unggulan di Kota Dumai diidentifikasi dengan menggunakan BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Sektor unggulan di Kota Dumai diidentifikasi dengan menggunakan beberapa alat analisis, yaitu analisis Location Quetiont (LQ), analisis MRP serta Indeks Komposit. Kemudian untuk

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU 4.1 Kondisi Geografis Secara geografis Provinsi Riau membentang dari lereng Bukit Barisan sampai ke Laut China Selatan, berada antara 1 0 15 LS dan 4 0 45 LU atau antara

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM

BAB IV GAMBARAN UMUM BAB IV GAMBARAN UMUM A. Kondisi Geografis dan Kondisi Alam 1. Letak dan Batas Wilayah Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi yang ada di pulau Jawa, letaknya diapit oleh dua provinsi besar

Lebih terperinci

MEMBANGUN SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS DI NUSA TENGGARA BARAT

MEMBANGUN SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS DI NUSA TENGGARA BARAT MEMBANGUN SISTEM DAN USAHA AGRIBISNIS DI NUSA TENGGARA BARAT Peranan dan kinerja agribisnis dalam pembangunan ekonomi Faktor produksi utama sektor pertanian di NTB adalah lahan pertanian. Berdasarkan hasil

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

IV. KONDISI UMUM WILAYAH 29 IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 LS dan 104 48-104 48 BT dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan

I. PENDAHULUAN. Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Kemajuan dan perkembangan ekonomi Kota Bandar Lampung menunjukkan trend ke arah zona ekonomi sebagai kota metropolitan, kondisi ini adalah sebagai wujud dari

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Otonomi daerah sudah dilaksanakan sejak tahun 2001. Keadaan ini telah memberi kesadaran baru bagi kalangan pemerintah maupun masyarakat, bahwa pelaksanaan otonomi tidak bisa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan masyarakat. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan masyarakat. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat diperlukan pertumbuhan

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 Nomor Katalog : 9302001.9416 Ukuran Buku : 14,80 cm x 21,00 cm Jumlah Halaman

Lebih terperinci

ANALISIS PELAKSANAAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PEMERATAAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH

ANALISIS PELAKSANAAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PEMERATAAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH ANALISIS PELAKSANAAN DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP PEMERATAAN KEMAMPUAN KEUANGAN DAN KINERJA PEMBANGUNAN DAERAH (Studi Kasus Kabupaten/Kota Di Provinsi Banten) DUDI HERMAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Struktur Ekonomi Sumbawa Barat Sebelum Transformasi Sektor pertambangan memiliki peran yang sangat signifikan bagi pembentukan nilai output Kabupaten Sumbawa Barat dengan nilai

Lebih terperinci

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL

ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL ANALISIS KETERKAITAN DAYA DUKUNG EKOSISTEM TERUMBU KARANG DENGAN TINGKAT KESEJAHTERAAN NELAYAN TRADISIONAL (Studi Kasus Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Propinsi DKI Jakarta)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bogor merupakan sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Barat. Kedudukan Kota Bogor yang terletak di antara wilayah Kabupaten Bogor dan dekat dengan Ibukota Negara

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Kabupaten Malinau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Riau mempunyai Visi Pembangunan Daerah Riau untuk jangka panjang hingga tahun 2020 yang merupakan kristalisasi komitmen seluruh lapisan masyarakat Riau, Visi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah memiliki kaitan erat dengan demokratisasi pemerintahan di tingkat daerah. Agar demokrasi dapat terwujud, maka daerah harus memiliki kewenangan yang lebih

Lebih terperinci

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Sains dan Teknologi ABSTRAK Penelitian

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAMBI. Undang-Undang No. 61 tahun Secara geografis Provinsi Jambi terletak

IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAMBI. Undang-Undang No. 61 tahun Secara geografis Provinsi Jambi terletak IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAMBI 4.1 Keadaan Umum Provinsi Jambi secara resmi dibentuk pada tahun 1958 berdasarkan Undang-Undang No. 61 tahun 1958. Secara geografis Provinsi Jambi terletak antara 0º 45

Lebih terperinci

ANALISIS PROYEKSI SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI MALUKU UTARA. Abstract

ANALISIS PROYEKSI SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI MALUKU UTARA. Abstract ANALISIS PROYEKSI SEKTOR PERTANIAN DI PROVINSI MALUKU UTARA Disusun oleh : Karmila Ibrahim Dosen Fakultas Pertanian Universitas Khairun Abstract Analisis LQ Sektor pertanian, subsektor tanaman pangan,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara besar dengan pemilikan sumber daya alam yang melimpah, dalam pembangunan ekonomi yang merupakan bagian dari pembangunan nasional

Lebih terperinci

3.1 Penilaian Terhadap Sistem Perekonomian / Agribisnis

3.1 Penilaian Terhadap Sistem Perekonomian / Agribisnis 3.1 Penilaian Terhadap Sistem Perekonomian / Agribisnis 3.1.1 Kelembagaan Agro Ekonomi Kelembagaan agro ekonomi yang dimaksud adalah lembaga-lembaga yang berfungsi sebagai penunjang berlangsungnya kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan proses perubahan sistem yang direncanakan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan proses perubahan sistem yang direncanakan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan proses perubahan sistem yang direncanakan kearah perbaikan yang orientasinya pada pembangunan bangsa dan sosial ekonomis. Untuk mewujudkan pembangunan

Lebih terperinci

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan Berdasarkaan uraian sebelumnya, maka kesimpulan yang diperoleh adalah sebagai berikut: 1. Topografinya, Kabupaten Subang dapat dibagi ke dalam 3 (tiga) zona/klasifikasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan

I. PENDAHULUAN Industri Pengolahan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor utama perekonomian di Indonesia. Konsekuensinya adalah bahwa kebijakan pembangunan pertanian di negaranegara tersebut sangat berpengaruh terhadap

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Letak Geografis Kabupaten Lombok Timur merupakan salah satu dari delapan Kabupaten/Kota di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Secara geografis terletak antara 116-117

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembentukan Gross National Product (GNP) maupun Produk Domestik Regional

I. PENDAHULUAN. pembentukan Gross National Product (GNP) maupun Produk Domestik Regional I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Peranan sektor pertanian dalam pembangunan Indonesia sudah tidak perlu diragukan lagi. Peran penting sektor pertanian tersebut sudah tergambar dalam fakta empiris yang

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY

ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY ANALISIS POTENSI LAHAN SAWAH UNTUK PENCADANGAN KAWASAN PRODUKSI BERAS DI KABUPATEN AGAM - SUMATERA BARAT NOFARIANTY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 YANG SELALU DI HATI Yang mulia:

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. tujuan penelitian. Wilayah yang akan dibandingkan dalam penelitian ini

III. METODOLOGI PENELITIAN. tujuan penelitian. Wilayah yang akan dibandingkan dalam penelitian ini III. METODOLOGI PENELITIAN A. Konsep Dasar dan Definisi Operasional Konsep dasar dan definisi operasional dalam penelitian ini mencakup semua pengertian yang digunakan dalam memperoleh dan menganalisis

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini

I. PENDAHULUAN. daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam menilai keberhasilan pembangunan dan upaya memperkuat daya saing ekonomi daerah, masalah pertumbuhan ekonomi masih menjadi perhatian yang penting. Hal ini dikarenakan

Lebih terperinci

ANALISIS DATA/INFORMASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN KABUPATEN KAMPAR. Lapeti Sari Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Riau ABSTRAK

ANALISIS DATA/INFORMASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN KABUPATEN KAMPAR. Lapeti Sari Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Riau ABSTRAK ANALISIS DATA/INFORMASI PERENCANAAN PEMBANGUNAN KABUPATEN KAMPAR Lapeti Sari Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Riau ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah menghitung berbagai indikator pokok yang

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karakteristik potensi wilayah baik yang bersifat alami maupun buatan, merupakan salah satu unsur yang perlu diperhatikan dalam proses perencanaan pembangunan. Pemahaman

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan dititikberatkan pada pertumbuhan sektor-sektor yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tujuan pembangunan pada dasarnya mencakup beberapa

Lebih terperinci

V. DESKRIPSI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

V. DESKRIPSI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR 61 V. DESKRIPSI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR 5.1. Keadaaan Geografis dan Administrasi Daerah Provinsi NTT terletak antara 8 0-12 0 Lintang Selatan dan 118 0-125 0 Bujur Timur. Luas wilayah daratan 48 718.10

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS DAN KONTRIBUSI TENAGA KERJA SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN BOYOLALI

PRODUKTIVITAS DAN KONTRIBUSI TENAGA KERJA SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN BOYOLALI PRODUKTIVITAS DAN KONTRIBUSI TENAGA KERJA SEKTOR PERTANIAN KABUPATEN BOYOLALI Yetti Anita Sari Fakultas Geografi UGM; Yogyakarta E-mail: yettianitasari@gmail.com ABSTRAK Sektor pertanian merupakan salah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah

BAB I PENDAHULUAN. perkapita sebuah negara meningkat untuk periode jangka panjang dengan syarat, jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pembangunan ekonomi adalah proses yang dapat menyebabkan pendapatan perkapita sebuah

Lebih terperinci

KATA PENGANTAR. Cibinong, Maret Bupati Bogor, Hj. NURHAYANTI LAPORAN KINERJA PEMERINTAH (LAKIP) KABUPATEN BOGOR

KATA PENGANTAR. Cibinong, Maret Bupati Bogor, Hj. NURHAYANTI LAPORAN KINERJA PEMERINTAH (LAKIP) KABUPATEN BOGOR KATA PENGANTAR Alhamdulillah, segala puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan hidayah-nya, maka Laporan Kinerja Pemerintah Kabupaten Bogor Tahun 2015 dapat

Lebih terperinci

PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM

PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM Konsentrasi pembangunan perekonomian Kota Batam diarahkan pada bidang industri, perdagangan, alih kapal dan pariwisata. Akibat krisis ekonomi dunia pada awal tahun 1997 pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. upaya mencapai tingkat pertumbuhan pendapatan perkapita (income per capital) dibandingkan laju pertumbuhan penduduk (Todaro, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. upaya mencapai tingkat pertumbuhan pendapatan perkapita (income per capital) dibandingkan laju pertumbuhan penduduk (Todaro, 2000). BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses perubahan yang mengarah kearah yang lebih baik dalam berbagai hal baik struktur ekonomi, sikap, mental, politik dan lain-lain. Dari

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 Geografis dan Administratif Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 0 50 7 0 50 Lintang Selatan dan 104 0 48 108 0 48 Bujur Timur, dengan batas-batas

Lebih terperinci

II PENDAHULUAN PENDAHULUAN

II PENDAHULUAN PENDAHULUAN I II PENDAHULUAN PENDAHULUAN Pembangunan dapat diartikan berbeda-beda oleh setiap orang tergantung dari sudut pandang apa yang digunakan oleh orang tersebut. Perbedaan cara pandang mengenai proses pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Ketika krisis melanda Indonesia sejak tahun 1997 usaha kecil berperan

I. PENDAHULUAN. Ketika krisis melanda Indonesia sejak tahun 1997 usaha kecil berperan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ketika krisis melanda Indonesia sejak tahun 1997 usaha kecil berperan besar untuk menggerakkan roda perekonomian. Pada saat usaha besar tidak mampu mempertahankan eksistensinya,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan. masyarakat meningkat dalam periode waktu yang panjang.

BAB I PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan. masyarakat meningkat dalam periode waktu yang panjang. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi di definisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan masyarakat meningkat dalam

Lebih terperinci

Sebagai upaya untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan di

Sebagai upaya untuk mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan di 120 No. 1 2 3 4 Tabel 3.5 Kegiatan Pembangunan Infrastruktur dalam MP3EI di Kota Balikpapan Proyek MP3EI Pembangunan jembatan Pulau Balang bentang panjang 1.314 meter. Pengembangan pelabuhan Internasional

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS NASIONAL DALAM PEMBANGUNAN PROVINSI RIAU M. RUSLI ZAINAL

PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS NASIONAL DALAM PEMBANGUNAN PROVINSI RIAU M. RUSLI ZAINAL PENGEMBANGAN KAWASAN STRATEGIS NASIONAL DALAM PEMBANGUNAN PROVINSI RIAU M. RUSLI ZAINAL SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Allah swt, atas berkat

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang jumlah potensinya cukup besar di Provinsi Jawa Barat sehingga diharapkan

BAB I PENDAHULUAN. yang jumlah potensinya cukup besar di Provinsi Jawa Barat sehingga diharapkan BAB I PENDAHULUAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai pengembangan sumber daya mineral yang jumlah potensinya cukup besar di Provinsi Jawa Barat sehingga diharapkan dapat mendukung bagi perekonomian

Lebih terperinci

5 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

5 GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN 27 Secara rinci indikator-indikator penilaian pada penetapan sentra pengembangan komoditas unggulan dapat dijelaskan sebagai berikut: Lokasi/jarak ekonomi: Jarak yang dimaksud disini adalah jarak produksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Era reformasi saat ini telah banyak perubahan dalam berbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. Era reformasi saat ini telah banyak perubahan dalam berbagai bidang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Era reformasi saat ini telah banyak perubahan dalam berbagai bidang pembangunan dan pemerintahan. Perubahan dalam pemerintahan adalah mulai diberlakukannya

Lebih terperinci

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN

ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN ANALISIS DAN STRATEGI PEMANFAATAN RUANG DI KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT SANUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis dengan judul Analisis

Lebih terperinci

BAB-6 BAB VI ARAH PENGEMBANGAN JARINGAN TRANSPORTASI

BAB-6 BAB VI ARAH PENGEMBANGAN JARINGAN TRANSPORTASI BAB-6 BAB VI ARAH PENGEMBANGAN JARINGAN TRANSPORTASI 6.1 Potensi dan kendala Dalam menyusun kebijakan dan program perlu memperhatikan potensi dan kendala memperhatikan faktor internal Pemerintah dan faktor

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; A. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan salah satu indikator yang

Lebih terperinci

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN DENGAN PENDEKATAN LOCATION QUATION KABUPATEN PELALAWAN. Anthoni Mayes, Yusni Maulida dan Toti Indrawati

ANALISIS SEKTOR UNGGULAN DENGAN PENDEKATAN LOCATION QUATION KABUPATEN PELALAWAN. Anthoni Mayes, Yusni Maulida dan Toti Indrawati ANALISIS SEKTOR UNGGULAN DENGAN PENDEKATAN LOCATION QUATION KABUPATEN PELALAWAN Anthoni Mayes, Yusni Maulida dan Toti Indrawati Jurusan Ilmu Ekonomi Prodi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Isu strategis yang kini sedang dihadapi dunia adalah perubahan iklim global, krisis pangan dan energi dunia, harga pangan dan energi meningkat, sehingga negara-negara

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan 16 I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Otonomi daerah adalah hak dan wewenang daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Urusan rumah tangga sendiri ialah urusan yang lahir atas dasar prakarsa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan adalah kemajuan yang diharapkan oleh setiap negara. Pembangunan adalah perubahan yang terjadi pada semua struktur ekonomi dan sosial. Selain itu

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. ini adalah wilayah penelitian Kota Bandar Lampung dengan wilayah. arah tersedianya pemenuhan kebutuhan masyarakat.

III. METODOLOGI PENELITIAN. ini adalah wilayah penelitian Kota Bandar Lampung dengan wilayah. arah tersedianya pemenuhan kebutuhan masyarakat. 43 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Konsep dasar dan Defenisi Operasional Konsep dasar dan defenisi operasional dalam penelitian ini mencakup semua pengertian yang digunakan dalam memperoleh dan menganalisa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

PENENTUAN TIPOLOGI PERKEMBANGAN KECAMATAN DI KABUPATEN PEKALONGAN TUGAS AKHIR

PENENTUAN TIPOLOGI PERKEMBANGAN KECAMATAN DI KABUPATEN PEKALONGAN TUGAS AKHIR PENENTUAN TIPOLOGI PERKEMBANGAN KECAMATAN DI KABUPATEN PEKALONGAN TUGAS AKHIR Oleh: MUHAMMAD SYAHRIR L2D 300 369 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO S E M A R A

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan indikator ekonomi makro yang dapat digunakan untuk melihat tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah. Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Majalengka

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Penerapan desentralisasi di Indonesia sejak tahun 1998 menuntut daerah untuk mampu mengoptimalkan potensi yang dimiliki secara arif dan bijaksana agar peningkatan kesejahteraan

Lebih terperinci

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar BAB II PROFIL WILAYAH KAJIAN Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) adalah rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut

I. PENDAHULUAN. (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Paradigma pembangunan pertanian dewasa ini telah berorientasi bisnis (agribisnis) terdiri dari kelompok kegiatan usahatani pertanian yang disebut usahatani (on-farm agribusiness)

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Kata Pengantar..

DAFTAR ISI. Kata Pengantar.. DAFTAR ISI Halaman Kata Pengantar.. Daftar Isi. Daftat Tabel. Daftar Gambar i-ii iii iv-vi vii-vii BAB I PENDAHULUAN 1 I.1. Latar Belakang. 1 I.2. Dasar Hukum...... 4 I.3. Tujuan..... 5 I.4. Manfaat......

Lebih terperinci