IDENTIFIKASI DAN UJI PATOGENISITAS PENYEBAB BUSUK PANGKAL BATANG PADA JERUK (Citrus spp.) DARI BEBERAPA SENTRA PRODUKSI JERUK DI INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "IDENTIFIKASI DAN UJI PATOGENISITAS PENYEBAB BUSUK PANGKAL BATANG PADA JERUK (Citrus spp.) DARI BEBERAPA SENTRA PRODUKSI JERUK DI INDONESIA"

Transkripsi

1 i IDENTIFIKASI DAN UJI PATOGENISITAS PENYEBAB BUSUK PANGKAL BATANG PADA JERUK (Citrus spp.) DARI BEBERAPA SENTRA PRODUKSI JERUK DI INDONESIA JULINDA BENDALINA DENGGA HENUK SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

2 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Identifikasi dan Uji Patogenisitas Penyebab Busuk Pangkal Batang pada Jeruk (Citrus spp.) dari Beberapa Sentra Produksi Jeruk di Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Nopember 2010 Julinda Bendalina Dengga Henuk NRP A

3 iii ABSTRACT JULINDA BENDALINA DENGGA HENUK. Identification and Patogenicity Test of Basal Stem Rot Disease on Citrus spp. from Citrus Central Production Area in Indonesia. Under the direction of MEITY SURADJI SINAGA and SRI HENDRASTUTI HIDAYAT Basal stem rot (gummosis) is one of the important diseases in citrus. This disease can be caused by several species of Phytophthora, such as Phytophthora nicotianae Dast., P. palmivora and P. citrophthora, Lasiodiplodia theobromae (synonyms Botryodiplodia theobromae and Diplodia natalensis; teleomorph Botryosphaeria rhodina). The objectives of the study are to identify the species of pathogenic fungi causing basal stem rot from several citrus central production in Indonesia based on morphological and molecular characteristics and to evaluate the pathogenicity differences between species of pathogenic fungi in citrus basal stem rot from Indonesia. This study includes four activities: (1) collection, isolation and identification of pathogenic fungi from basal stem rot, (2) extraction of DNA genomic and amplification DNA fragment using PCR technique, (3) analysis of genetic diversity, (4) pathogenicity test of pathogenic fungi of basal stem rot. Based on morphological characteristics and confirmation with DNA sequence data from the internal transcribed spacer regions (ITS4 and ITS5), basal stem rot was caused by Botryodiplodia theobromae Pat. (teleomorph Botryosphaeria rhodina (Cooke) Arx.)) and P. citrophthora. Nine isolates of Botryosphaeriaceae from citrus and other hosts from different location further genetic analysis showed that those isolates can be differentiated into two clusters, showing the possible genetic differences among them. Pathogenicity test showed positive result on citrus seedlings and citrus explant in vitro. Keyword: citrus, basal stem rot, morphology and molecular identification, pathogenicity.

4 iv RINGKASAN JULINDA BENDALINA DENGGA HENUK. Identifikasi dan Uji Patogenisitas Penyebab Busuk Pangkal Batang Jeruk (Citrus sp.) dari Beberapa Sentra Produksi Jeruk di Indonesia. Dibimbing oleh MEITY SURADJI SINAGA dan SRI HENDRASTUTI HIDAYAT. Penyakit busuk pangkal batang (BPB) merupakan salah satu penyakit penting karena dapat mematikan tanaman dan saat ini telah berkembang luas di beberapa sentra produksi jeruk di Indonesia. Penyakit disebabkan oleh beberapa spesies seperti Phytophthora nicotianae Dast., P. palmivora dan P. citrophthora, Botryodiplodia theobromae dan atau Diplodia natalensis. Sampai saat ini belum ada identifikasi yang tepat mengenai patogen utamanya. Oleh karena itu, perlu dilakukan identifikasi yang akurat dalam identifikasi awal patogen tanaman sebagai dasar untuk menentukan strategi pengendalian penyakit yang efektif dan efisien. Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi spesies patogen BPB jeruk dari 11 sentra produksi jeruk di Indonesia berdasarkan karakteristik morfologi dan molekulernya, dan mengevaluasi patogenisitas tiap spesies patogen BPB jeruk dari beberapa sentra produksi jeruk di Indonesia. Peubah yang diamati secara makroskopis yaitu warna dan bentuk koloni, lama tumbuh patogen. Secara mikroskopis, karakter morfologis Phytophthora yang diamati yaitu bentuk dan ukuran sporangium, papilla, ada tidaknya sekat dan klamidospora; sedangkan karakter morfologis Diplodia atau Botryodiplodia yang diamati yaitu hifa, stroma, piknidia, konidiofor, klamidospora, bentuk dan ukuran konidia. Identifikasi spesies Phytophthora menggunakan kunci identifikasi Erwin & Ribeiro 1996 sedangkan Diplodia dan atau Botryodiplodia menurut Barnett & Hunter (1998). Identifikasi secara molekuler menggunakan PCR dengan pasangan primer ITS4 dan ITS5. Karakteristik molekuler yang diamati yaitu ukuran fragmen pasangan basa (pb) atau sekuen DNA hasil amplifikasi. Peubah yang diamati pada uji patogenisitas yaitu kejadian penyakit berdasarkan gejala yang terbentuk setelah inokulasi patogen. Hasil isolasi diperoleh 12 isolat yang terdiri dari 1 isolat Phytophthora sp. dari Desa Oehala, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT); 11 isolat Botryodiplodia sp. dan atau Diplodia sp. dari Berastagi (Sumatera Utara), Kampar (Riau), Muaro Jambi (Jambi), Tulang Bawang Barat (Lampung), Garut (Jawa Barat), Jember dan Batu-Malang (Jawa Timur), Bangli (Bali), TTS (NTT), Banjarmasin dan Banjarbaru (Kalimantan Selatan). Karakter morfologi Phytophthora sp. antara lain koloni berwarna putih, pada PDA rosaceous sedangkan pada V8, biakan muda stellate dan biakan tua cottony. Pada suhu kamar, Phytophthora sp. di PDA dapat memenuhi cawan petri pada 21 HSI, sedangkan di V8 pada 10 HSI. Koloni memiliki hifa hialin, tidak bersekat, bercabang, corraloid dan membengkak. Klamidospora globose terbentuk secara interkalar. Bentuk sporangia bervariasi yaitu globose, ellipsoid, ovoid, limoniform, dan beberapa bentuk distorsi atau asimetris. Ukuran sporangia berbeda-beda dengan rerata µm x µm. Hasil identifikasi berdasarkan karakteristik morfologi menurut kunci identifikasi Erwin & Ribeiro

5 (1996), isolat Phytophthora sp. yang berasal dari Desa Oehala, TTS (NTT) adalah Phytophthora citrophthora (RE Smith & EH Smith) Leonian (1925). Isolat Diplodia sp. dan atau Botryodiplodia sp. dapat memenuhi cawan petri 3 7 HSI jika dikulturkan pada media PDA. Miseliumnya aerial, awalnya putih, menjadi hitam kehijauan sampai abu-abu akhirnya menjadi hitam. Hifa bersekat, hialin kemudian menjadi coklat. Klamidospora terbentuk secara interkalar. Piknidia lebih cepat tumbuh jika ditanam pada WA yang diberi potongan jerami padi steril, yaitu ± 2 minggu setelah isolasi, sedangkan isolat yang diisolasi pada PDA, piknidia tumbuh sangat lambat yaitu ± 1 bulan setelah isolasi. Piknidia terbentuk secara berkelompok dalam stroma, konidiofor tunggal, konidia dihasilkan di dalam piknidia. Konidia terdiri dari konidia muda dan konidia matang. Keduanya berbentuk ovoid dan ellipsoid. Konidia muda hialin, dindingnya terdiri dari 2 lapisan, granular dan tidak bersekat sedangkan konidia matang berwarna coklat, dinding selnya 1 lapisan dan memiliki satu sekat. Ukuran konidia bervariasi dengan rerata µm x µm. Hasil identifikasi menggunakan sistem klasifikasi Saccardo menurut Barnett & Hunter (1998), 11 isolat dari lokasi berbeda memiliki karakter yang merupakan ciri khas Botryodiplodia theobromae Pat. Identifikasi molekuler dengan PCR menggunakan primer ITS4 dan ITS5 mampu mengamplifikasi fragmen DNA B. theobromae dan P. citrophthora. Produk hasil amplifikasi isolat B. theobromae berukuran ± 550 bp, sementara isolat P. citrophthora berukuran ± 700 bp. Ukuran produk hasil PCR sesuai yang diharapkan. Hasil BLAST menunjukkan kesepuluh isolat target mempunyai kemiripan yang tinggi (lebih dari 90%, e-value 0.0) dengan B. theobromae (sinonimnya Lasiodiplodia theobromae; teleomorp Botryosphaeria rhodina). Artinya hasil identifikasi yang telah dilakukan secara konvensional sudah tepat. Hasil analisis kekerabatan menunjukkan hubungan kekerabatan isolat-isolat B. theobromae dari 10 lokasi sentra produksi jeruk di Indonesia berbeda atau terpisah dengan isolat dari GenBank sehingga terbagi menjadi dua kelompok utama. Isolat Indonesia sendiri terbagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok pertama terdiri dari Muaro Jambi, Jember dan Kampar, sedangkan kelompok kedua terdiri dari Bangli, TTS, Malang, Banjarbaru, Berastagi, Garut dan Tulang Bawang Barat. Hasil analisis identitas matriks menunjukkan sesama isolat Indonesia sendiri mempunyai kesamaan yang tinggi ditunjukkan dengan nilai kesamaannya >90%, sedangkan jika dibandingkan dengan isolat-isolat dari GeneBank, ternyata isolat Indonesia mempunyai nilai kesamaan yang sangat rendah (<50%). Uji patogenisitas pada tanaman eksplan secara in vitro yang dilakukan oleh peneliti lain dengan menggunakan isolat B. theobromae dan P. citrophthora yang sama, secara berturut-turut menunjukkan gejala klorosis, berkembang menjadi nekrosis, membentuk gum sampai mengakibatkan kematian (8 HSI jika diinokulasi dengan P. citrophthora, dan 12 HSI jika diinokulasi dengan B. theobromae). Sedangkan Uji patogenisitas yang dilakukan di rumah kasa memperlihatkan gejala yang positif meskipun perkembangan gejalanya sangat lambat. Kata kunci: Jeruk, busuk pangkal batang, identifikasi morfologi dan molekuler, patogenisitas. v

6 vi Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah. b. Pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

7 IDENTIFIKASI DAN UJI PATOGENISITAS PENYEBAB BUSUK PANGKAL BATANG PADA JERUK (Citrus spp.) DARI BEBERAPA SENTRA PRODUKSI JERUK DI INDONESIA vii JULINDA BENDALINA DENGGA HENUK Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Fitopatologi, Departemen Proteksi Tanaman SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Abdul Muin Adnan, M.Si viii

9 ix Judul Tesis Nama NRP : Identifikasi dan Uji Patogenisitas Penyebab Busuk Pangkal Batang pada Jeruk (Citrus spp.) dari Beberapa Sentra Produksi Jeruk di Indonesia : Julinda Bendalina Dengga Henuk : A Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Meity Suradji Sinaga, M.Sc Ketua Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc Anggota Diketahui Ketua Mayor Fitopatologi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S Tanggal Ujian : Tanggal Lulus:

10 x PRAKATA Puji Tuhan karena atas pertolongan dan kasih karunia-nya, tesis dengan judul Identifikasi dan Uji Patogenisitas penyebab Busuk Pangkal Batang pada Jeruk (Citrus spp.) dari Beberapa Sentra Produksi Jeruk di Indonesia dapat diselesaikan dengan baik. Penulis mempersembahkan rasa terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga kepada Prof. Dr. Ir. Meity Suradji Sinaga, M.Sc. dan Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc. atas kesempatan dan kepercayaan yang diberikan kepada penulis serta segala bimbingan yang diberikan dengan setulus hati kepada penulis demi terelesaikannya tesis ini. Penelitian ini dapat terlaksana dengan adanya bantuan sebagian dana penelitian melalui program KKP3T Kementrian Pertanian RI, Tahun Anggaran 2009 atas nama Prof. Dr. Ir. Meity Suradji Sinaga, M.Sc. dan dukungan bahan-bahan untuk identifikasi molekuler dari Laboratorium Virologi Tumbuhan IPB atas ijin dari Dr. Ir. Sri Hendrastuti Hidayat, M.Sc. Terima kasih penulis sampaikan kepada Pak Dadang selaku laboran dan teknisi Laboratorium Mikologi Tumbuhan yang telah membantu kelancaran pelaksanaan penelitian di laboratorium; saudari Tuti S. Legiastuti, yang dengan sabar telah memberikan pengarahan kepada penulis selama bekerja di Laboratorium Virologi Tumbuhan IPB, saudari Rut Normasari, Pak Irwan Lakani dan saudari Devi Agustina yang telah membantu menganalisis hasil sekuensing, serta Pak Sodik yang membantu pelaksanaan penelitian di rumah kasa Departemen Proteksi Tanaman IPB. Terima kasih juga penulis sampaikan untuk semua anggota Laboratorium Mikologi Tumbuhan dan Virologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman IPB serta teman-teman Fitopatologi khususnya angkatan 2008 (Nilda, Pipit, Tri dan Wawan), Keluarga Besar Persekutuan Oikumene Kampus IPB, dan Keluarga Besar Mahasiswa Nusa Tenggara Timur (Gamanusratim) untuk semua kebersamaan kita dan dengan tulus telah memberikan kontribusi dengan caranya masing-masing terutama doa, kasih sayang dan semangat. Semoga Bapa Sorgawi senantiasa melimpahi berkat terutama kesuksesan dan kebahagiaan bagi kita semua. Rasa terima kasih dan penghargaan yang tak terhingga penulis peruntukkan bagi papa Yesaya Yunus Pandie Henuk, S.H. (Alm), mama Yane Baceba Pandie Henuk Manafe, adik Novi dan Ai; kakak sekaligus kekasihku Arie serta keluarga besar Laukapitang atas limpahan doa, cinta, kasih sayang, fasilitas, pengorbanan, serta semangat yang tiada henti dan tulus demi terselesaikannya tesis ini. Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi kemajuan dan pengembangan ilmu pengetahuan di masa yang akan datang. Bogor, Nopember 2010 Julinda B. D. Henuk

11 xi RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Kupang pada tanggal 7 Juli 1979 dari ayah Yesaya Yunus Pandie Henuk, S.H. (Alm) dan ibu Yane Baceba Pandie Henuk Manafe. Penulis merupakan anak sulung dari tiga bersaudara. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Umum pada SMU Negeri 1 Kupang pada tahun Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi Ilmu Hama dan penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Nusa Cendana (Undana) melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK). Gelar Sarjana diperoleh pada tahun Sejak tahun 2005, penulis menjadi staf dosen di Program Studi Ilmu Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Undana, Kupang. Tahun 2008 penulis terdaftar sebagai mahasiswa program Magister Sains pada Program Studi Fitopatologi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor dengan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) dari Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Selama menjadi mahasiswa pascasarjana, penulis aktif mengikuti berbagai seminar dan pelatihan yang berhubungan dengan bidang proteksi tanaman dan biologi molekuler; penulis juga menjadi anggota Paduan Suara Gita Pascasarjana (GSP) IPB.

12 xii DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman xiv xv xvii PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Tujuan Penelitian... 4 Manfaat Penelitian... 4 TINJAUAN PUSTAKA Penyakit Busuk Pangkal Batang: Gejala, Penyebab dan Pengendalian... 5 Sifat-sifat Umum Phytophthora spp Sifat-sifat Umum Diplodia sp. dan atau Botryodiplodia sp Identifikasi Cendawan Berdasarkan Karakter Morfologi Identifikasi Cendawan Berdasarkan Karakter Molekuler BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Metode Pelaksanaan Pengumulan Sampel Tanaman Sakit Isolasi Phytophthora, Diplodia dan atau Botryodiplodia dari Jaringan Tanaman Sakit Isolasi spora Tunggal Phytophthora, Diplodia dan atau Botryodiplodia Identifikasi Phytophthora, Diplodia dan atau Botryodiplodia Berdasarkan Karakter Morfologi Identifikasi Phytophthora, Diplodia dan atau Botryodiplodia Menggunakan Teknik PCR Ekstraksi DNA Genomik Cendawan Amplifikasi DNA Visualisasi Perunutan Nukleotida dan Analisis Filogenetik Uji Patogenisitas HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Cendawan Patogen BPB Berdasarkan Karakter Morfologi Identifikasi Cendawan Patogen BPB Jeruk Menggunakan Teknik PCR Perunutan Nukleotida (Sekuensing) Uji Patogenisitas... 42

13 xiii SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 49

14 xiv DAFTAR TABEL Halaman 1 Daftar Lokasi Pengambilan Sampel Tanaman Sakit Isolat Patogen yang diperoleh dari Bagian Pangkal Batang Jeruk Sakit dan dari tanah (rizosfer) Ukuran Sporangia P. citrophthora (panjang x lebar) Ukuran Konidia Diplodia sp. dan atau Botryodiplodia sp Daftar Hasil Runutan Nukleotida Isolat penelitian dari Hasil Analisis BLAST Sekuen Sepuluh Isolat Penelitian Daftar Runutan Nukleotida yang Digunakan untuk Analisis Kekerabatan Identitas Matriks Isolat-isolat Penelitian Dibandingkan dengan Outgroup dan Isolat dari GeneBank... 41

15 xv DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Morfologi Sporangium P. nicotianae (A), P. palmivora (B), dan P. citrophthora (C) menurut Erwin & Ribeiro (1996) Morfologi Piknidia Diplodia spp. (A) dan Botryodiplodia spp. (B) Menurut Barnett & Hunter (1998) Gejala BPB di Pembibitan Jeruk di KP Punten (Loka Penelitian Tanaman Jeruk dan Hortikultura Subtropik, Batu Malang) Gejala BPB di Lapangan (Kabupaten TTS NTT) Tipe koloni P. citrophthora Morfologi Hifa, Miselium, dan Klamidospora P. citrophthora Bentuk dan Papilla Sporangia P. citrophthora Asal Desa Oehala (TTS) Perkembangan Warna Koloni Miselium Diplodia dan atau Botryodiplodia dalam PDA pada Suhu Ruang (25 30 o C) Pembentukan Hifa dan Klamidospora B. theobromae Morfologi Stroma, Piknidia, Konidia dan Konidiofor B. theobromae Konidia B. theobromae (Perbesaran 400x pada mikroskop cahaya) Isolat Fusarium spp Isolat Mortierella sp Hasil Amplifikasi 11 Isolat B. theobromae dan 1 Isolat P. citrophthora Menggunakan Primer ITS4 dan ITS Filogeni Sekuen Isolat B. theobromae Hasil Penelitian Dibandingkan dengan beberapa Famili Botryosphaeriaceae dari Jeruk dan beberapa Inang yang Lain Asal Beberapa Wilayah di Asia. Polymyxa graminis dengan Nomor Aksesi EU Digunakan sebagai Outgroup. Angka pada Percabangan Menunjukkan Tingkat Kepercayaan Perpisahan Cabang... 39

16 16 Gejala yang Muncul pada Uji Patogenisitas Uji Patogenisitas pada Tanaman Eksplan Secara in vitro xvi

17 xvii DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Komposisi Medium PDA (1 liter) Komposisi Medium V8 Agar (1 liter) Protokol Penyiapan Inokulum Phytophthora (AVRDC Mycology 2000) Cara Kalibrasi Mikrometer Okuler dan Objektif pada Mikroskop Binokuler Sistem Klasifikasi Saccardo (Barnett & Hunter 1998) Pertumbuhan Koloni Diplodia dan atau Botryodiplodia dalam PDA pada Suhu Kamar (25 30 o C) Konidia Botryodiplodia theobromae (Perbesaran 100x dan 400x pada Mikroskop Binokuler) Hasil Perunutan Nukleotida Sepuluh Isolat B. theobromae (Format Contiq) Hasil Penjajaran Nukleotida Isolat penelitian dan Isolat dari GeneBank... 58

18 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Jeruk merupakan salah satu tanaman hortikultura yang memiliki arti penting sebagai sumber pendapatan karena merupakan komoditas perdagangan nasional dan internasional. Saat ini jeruk nasional cenderung kalah bersaing dengan jeruk impor dan luas panen pun cenderung menurun. Produksi jeruk nasional tahun 2007 sebesar 2.60 juta ton dengan luas panen 67,592 ha, jika dibandingkan dengan data 2 tahun sebelumnya yaitu tahun 2006 (72,390 ha, 2.78 juta ton) dan 2005 (67,883 ha, 2.62 juta ton), maka produksi dan luas panen jeruk tahun 2007 cenderung menurun (Basisdata Deptan 2009). Salah satu kendala utama yang menyebabkan penurunan produksi dan luas panen jeruk di Indonesia adalah penyakit busuk pangkal batang (BPB) atau disebut juga penyakit blendok atau gummosis yang merupakan salah satu penyakit penting pada jeruk setelah penyakit citrus vein phloem degeneration (CVPD). Penyakit BPB menjadi sangat penting karena dapat mematikan tanaman di lapang maupun saat masih di pembibitan. Saat ini, penyakit BPB telah berkembang luas di beberapa sentra produksi jeruk di Indonesia. Selama ini penyebab penyakit BPB pada jeruk diidentifikasi sebagai Phytophthora spp., tetapi ternyata cendawan patogen lain yang berbeda juga dapat menimbulkan penyakit BPB, yaitu Diplodia natalensis dan atau Botryodiplodia theobromae. Namun sampai saat ini belum ada laporan dan identifikasi yang tepat mengenai patogen utama yang menyebabkan penyakit BPB di Indonesia. Siviero et al. (2006) melaporkan Phytophthora spp. sebagai penyebab penyakit BPB telah menyebar di seluruh dunia dan bertanggung jawab terhadap kerugian pada budidaya jeruk. Menurut Erwin & Ribeiro (1996), penyakit BPB jeruk disebabkan Phytophthora spp. yaitu P. parasitica dan atau P. citrophthora; menurut Leoni & Ghini (2006) penyakit ini disebabkan oleh P. nicotianae (P. parasitica) dan P. citrophthora. Demikian pula Vial et al. (2006) melaporkan bahwa P. citrophthora (Smith & Smith) Leonian dan P. parasitica Dastur (sin. P. nicotianae Breda de Haan) telah diidentifikasi sebagai spesies yang paling banyak menimbulkan kerusakan akibat penyakit gumosis. Selanjutnya menurut

19 2 Ashari (1995), Phytophthora spp. yang penting dalam menyebabkan penyakit ini adalah P. nicotianae (dulu: P. parasitica Dast), P. citrophthora (dulu: Pythiacytic citrophthora R.E. Sm. Et E.H. Sm), P. palmivora (Butl), dan diantara ketiga spesies tersebut, spesies yang utama adalah P. nicotianae var. parasitica. Sedangkan menurut Timmer et al. (2000), penyakit ini disebabkan oleh Lasiodiplodia theobromae (Pat.) Griffon dan Maubl. (Sinonimnya Diplodia natalensis Pole-Evans dan Botryodiplodia theobromae Pat.; teleomorph Botryosphaeria rhodina (Cooke) Arx). Identifikasi Diplodia dan Botryodiplodia hingga spesies juga belum dilaporkan. Pada dasarnya Phytophthora maupun Diplodia dan atau Botryodiplodia mempunyai sebaran inang yang relatif luas. Spesies Phytophthora dapat menginfeksi beberapa ratus spesies tanaman di seluruh dunia, termasuk sayuran, buah-buahan, tanaman hias dan tanaman hutan (Erwin & Ribeiro 1996; Camele 2005). P. nicotianae (P. parasitica) diketahui merupakan spesies penting penyebab penyakit lebih dari 40 tanaman, bahkan P. cinnamomi Rands dilaporkan menginfeksi lebih dari 1000 spesies tanaman (Ho & Lu 1997), meskipun beberapa spesies dilaporkan mempunyai sebaran inang yang sangat terbatas, seperti P. colocasiae dan P. fragariae Hickman (Erwin dan Ribeiro 1997; Drenth & Guest 2004). Demikian pula dengan beberapa spesies Botryosphaeriaceae diketahui merupakan patogen penting lebih dari 50 spesies tanaman (Begoude et al. 2009; Wet et al. 2008; Slippers et al. 2005; Phillips et al. 2005); B. theobromae adalah cendawan polifag yang dapat menyerang bermacam-macam tumbuhan termasuk jeruk (Semangun 2000). Oleh karena itu, dalam satu spesies tanaman yang menunjukkan gejala dan tanda yang sama, ada kemungkinan ditemukan lebih dari satu spesies patogen. Dalam hal ini penyakit BPB kemungkinan dapat disebabkan oleh Phytophthora, Diplodia dan atau Botryodiplodia secara tunggal atau pun secara bersama-sama. Diagnosis patogen dan penyakit merupakan hal yang mendasar pada hampir semua aspek yang berhubungan dengan ilmu penyakit tanaman. identifikasi yang akurat dalam identifikasi awal patogen tanaman sebagai dasar untuk menentukan strategi pengendalian penyakit yang efektif dan efisien (Ma & Themis 2007). Identifikasi dapat dilakukan secara konvensional berdasarkan karakteristik

20 3 morfologi dan identifikasi secara molekuler menggunakan teknologi polymerase chain reaction (PCR). Identifikasi spesies secara morfologi relatif lebih murah dibandingkan dengan identifikasi secara molekuler dan sudah bisa memberikan informasi yang jelas, tetapi memiliki kelemahan karena isolasi dan penetapan karakter morfologis dan fisiologis sulit dilakukan karena memerlukan waktu yang cukup lama; memerlukan keahlian khusus; sering bersifat subjektif dan sangat ditentukan oleh pengetahuan dan pengalaman karena beberapa karakter fenotipik taksonomi bisa saling tumpang tindih di antara spesies dan variasi yang sangat nyata dapat terjadi antara isolat dari spesies yang sama dapat dipengaruhi oleh lingkungan (Watanabe 2002). Sebaliknya identifikasi secara molekuler akan menghasilkan informasi genetik dengan ketepatan yang lebih akurat, relatif lebih cepat, spesifik, sensitif, dan hasilnya tidak dipengaruhi oleh lingkungan tetapi kelemahannya memerlukan bahan dan alat yang sangat mahal dan sebagian bahan berbahaya bagi kesehatan manusia (Ma & Themis 2007). Perkembangan teknik molekuler yang sedemikian pesat pada tiga dasawarsa terakhir memberikan peluang yang besar bagi dikembangkannya perangkat deteksi yang sensitif dan spesifik dan dapat dilakukan dalam jangka waktu yang relatif singkat. Pendekatan molekuler pada berbagai bidang penelitian semakin dipermudah dengan ditemukannya metode PCR untuk mengamplifikasi DNA secara in vitro. Perbedaan profil fragmen DNA hasil amplifikasi dengan PCR dapat digunakan sebagai alat untuk membedakan mikroba pada tingkat genus, spesies bahkan genotipe spesifik dari patogen (Edel 1998). Pentingnya pemahaman dan kemampuan identifikasi keragaman spesies patogen, kaitan antara hubungan kekerabatan antar spesies patogen dan sifat virulensi antar spesies tersebut menjadi dasar utama untuk strategi pengendalian penyakit BPB pada beberapa sentra produksi jeruk di Indonesia.

21 4 Tujuan Penelitian Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi spesies cendawan patogen BPB jeruk dari beberapa sentra produksi jeruk di Indonesia berdasarkan karakteristik morfologi dan molekulernya; mengevaluasi perbedaan patogenisitas antar spesies cendawan patogen BPB jeruk dari beberapa sentra produksi jeruk di Indonesia. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai spesies cendawan patogen utama BPB jeruk di Indonesia sehingga dapat menjadi dasar dalam menyusun strategi pengendalian penyakit yang sesuai demi keberhasilan pengendalian penyakit BPB di Indonesia.

22 5 TINJAUAN PUSTAKA Penyakit Busuk Pangkal Batang: Gejala, Penyebab dan Pengendalian Penyakit BPB umumnya terjadi pada bagian pangkal batang, atau bagian sambungan antara batang atas dan bawah untuk bibit jeruk okulasi. Gejala awal tampak berupa bercak basah yang berwarna gelap pada kulit batang. Pembusukan dimulai dari pangkal batang dekat permukaan tanah sampai titik okulasi (40 cm). Jaringan kulit kayu bahkan permukaan kulit, kambium, kayu yang terinfeksi mengalami perubahan warna, lama-kelamaan akan mengelupas kulitnya dan jatuh sehingga menyebabkan luka lebar terutama pada serangan lanjut. Kulit batang yang terserang, permukaannya cekung dan mengeluarkan gum, dan pada tanaman terserang sering berbentuk kalus (Ploetz 2003). Kematian tanaman akibat serangan penyebab penyakit ini terjadi apabila bercak pada kulit melingkari batang. Perkembangan bercak ke bagian atas, umumnya terbatas hingga 60 cm di atas permukaan tanah, sedangkan perkembangan ke bagian bawah dapat meluas ke bagian akar tanaman (Lutz & Menge 1986). Gejala yang timbul pada pembibitan adalah menguningnya daun, kelayuan dan diikuti dengan kematian atau apabila pada pembibitan yang disiram dengan air tercemar patogen dapat menyebabkan kematian serentak. Pada kasus ini akar-akar tanaman menjadi busuk (Graham et al. 1992). Penyakit BPB jeruk dapat disebabkan oleh Phytophthora spp., Diplodia dan atau Botryodiplodia spp.. Erwin & Ribeiro (1996) melaporkan terdapat 11 spesies Phytophthora yang dapat diisolasi dari pohon jeruk sakit, yaitu P. boehmeriae, P. cactorum, P. cinnamomi, P. citricola, P. citropthora, P. drecshleri, P. hibernalis, P. megasperma, P. palmivora, P. parasitica (P. nicotianae), dan P. syringae namun di Indonesia dilaporkan terdapat tiga spesies Phytophthora yang penting yaitu P. parasitica Dast. (P. nicotianae), P. palmivora dan P. citraphthora, dan diantara ketiga spesies tersebut, spesies yang utama adalah P. nicotianae var parasitica (Ashari 1995). Penyakit lebih banyak terjadi pada kebun dengan ketinggian lebih dari 400 m dari permukaan laut. Tingkat ketahanan varietas sangat berpengaruh terhadap serangan patogen ini. Jeruk manis, jeruk nipis, sitrun italia, dan rough

23 6 lemon (RL) sangat rentan terhadap penyakit ini, sedangkan japanese citrun (JC) dan sour orange relatif lebih tahan. Tanah basah, adanya kabut, dan fluktuasi suhu yang kecil, ph tanah yang agak masam yaitu 6.0 sampai 6.5 merupakan kondisi yang cocok untuk perkembangan patogen (Ploetz 2003). Pengendalian terpadu lebih diutamakan untuk memperoleh hasil maksimal yaitu penerapan pengendalian secara kultur teknis, mekanis atau fisik, biologi, genetika, dan kimia (Agrios 2005). Menurut Feichtenberger (2001) dalam Siviero et al. (2006), strategi utama untuk mengendalikan penyakit ini antara lain dengan menggunakan bibit tanaman yang sehat, menghindari terjadinya kontaminasi pada area yang kelembabannya tinggi, menghindari luka pada tanaman, meningkatkan kandungan bahan organik dalam tanah, dan pengendalian kimiawi dengan produk yang sistemik. Meskipun demikian, penggunaan kultivar resisten merupakan metode yang paling ekonomis dan efisien untuk mengendalikan penyakit ini. Secara kultur teknis, pengendalian penyakit yang dianjurkan adalah menanam jeruk di atas gundukan-gundukan setinggi cm, tetapi tanaman tidak dibumbun agar batang atas tidak berhubungan dengan tanah; menggunakan benih dengan mata tempel setinggi cm dari permukaan tanah, untuk mengurangi kemungkinan batang atas yang rentan terinfeksi cendawan dari tanah; menghindari air pengairan terkena langsung pangkal batang dengan membuat selokan melingkari batang; mengurangi kelembaban kebun dengan mengatur drainase, jarak tanam, pemangkasan, dan sanitasi lingkungan atau kebun; menghindari terjadinya pelukaan pada akar maupun pangkal batang pada waktu pemeliharaan atau penyiangan; pemupukan; pengamatan pangkal batang jeruk secara teliti dan teratur, terutama pada musim hujan, agar gejala penyakit dapat diketahui secara dini; ph tanah diupayakan lebih dari 6.5 dengan pemberian dolomit (Mehrotra & Ashok 2003). Secara mekanis, membongkar tanaman (termasuk akarnya) yang terserang berat, kemudian dibakar; memotong atau membuang bagian tanaman yang sakit, termasuk 1 sampai 3 cm bagian kulit sekitarnya yang sehat, kemudian diolesi fungisida 6.2% karbendazim % mankozeb atau tembaga oksiklorida; menggunakan kaki ganda (multiple foot stock) dengan teknik sambung samping (aaneting) dengan batang bawah sehat satu atau beberapa, tergantung besar

24 7 tanaman yang akan ditolong untuk membantu fungsi akar dan pohon yang rusak (Khan 2007). Secara biologi, mengunakan agens antagonis cendawan Trichoderma spp., Gliocladium spp. yang dicampur dengan pupuk kandang atau kompos (Ashari 1995). Secara genetika atau dengan varietas tahan, menggunakan batang bawah yang tahan terhadap Phytophthora spp., misalnya Poncirus trifoliata dan Cleopatra mandarin; varietas tahan terhadap Phytophthora dan salinitas, yaitu taiwanica dan citromello 4475 (Ploetz 2003). Secara kimia, mengolesi pangkal batang dan akar-akar yang tampak dari luar dengan ter (Carbolineum plantarum 50%) sampai setinggi 50 cm. Perlakuan tersebut dimulai tahun ketiga setelah penanaman dan setiap awal musim hujan. Agar batang yang berwarna hitam tidak banyak menyerap panas sehingga kulitnya rusak (untuk mencegah infeksi setelah diberi ter), maka bagian yang diberi ter ditutup dengan larutan kapur yang ditambah dengan garam dapur (25 kg kapur mati, 2 kg garam dapur, dan L air); mengoles luka (bekas tanaman yang terinfeksi yang dibuang) dengan bubur california, bubur bordeux, Carbolineum:parafin (8 : 92), mankozeb, atau tembaga oksiklorida. Kemudian luka ditutup dengan obat penutup luka, seperti ter, setelah kulit mengalami regenerasi; dan membersihkan alat-alat pertanian yang akan digunakan, misal dengan klorok (Mehrotra & Ashok 2003). Sifat-sifat Umum Phytophthora spp. P. nicotianae sporangiumnya berbentuk jorong sampai agak bulat berbentuk buah pir dengan papilla yang jelas dan sporangiofor lebih halus dari pada hifa. Kadang-kadang terdapat dua papilla pada satu sporangium. Panjang sporangianya berkisar antara µm dan lebarnya antara µm (rerata x µm). Sporangiofor tidak beraturan atau percabangan simpodial. Spora mempunyai dua bulu cambuk (flagella) dan membentuk klamidospora bulat berdinding agak tebal. Klamidospora terbentuk pada interkalar atau terminal. Koloni pada potato dextrose agar (PDA) berbentuk arachnoid, tetapi pada V8 juice agar lebih halus atau seperti benang halus (Graham et al. 1998).

25 8 P. citrophthora sporangiumnya berbentuk jorong atau berbentuk buah jeruk sitrun dan terbentuk pada bagian tengah atau ujung sporangiofor. Sporangiofor bercabang tidak teratur. Spora mempunyai 2 bulu cambuk. Patogen juga dapat membentuk klamidospora yang hialin. Pada PDA, koloni petalatte, sedangkan pada cornmeal agar, tipe koloninya stellate, lanose, indeterminate antara rosette dan lanose (Erwin & Ribeiro 1996). Selanjutnya menurut Timmer et al. (2000), P. citrophthora mempunyai sporangia dengan papilla yang di bawah kondisi sesuai akan melepaskan sejumlah zoospora yang memiliki dua flagella. Sporangia P. citrophthora, biasanya lebih panjang dibandingkan sporangia P. palmivora tetapi memiliki bentuk sporangia yang sangat bervariasi. P. citrophthora tidak menghasilkan oospora, temperatur optimum untuk pertumbuhan miselia yaitu o C. P. palmivora mempunyai sporangium jorong, dan dapat membentuk klamidospora berbentuk bulat dengan diameter µm. Sporangia sporocysts kadang-kadang tidak mempunyai papilla. Sporangia dapat berkecambah secara langsung dengan membentuk pembuluh kecambah, atau tidak langsung dengan membentuk zoospora atau spora kembara yang dapat berenang. Membentuk miselium bercabang dan tidak bersekat ketika muda, tetapi membentuk sekat pada hifa yang sudah tua, yaitu pada saat pembentukan organ reproduktif. Karakter koloni pada umumnya memounyai pinggiran yang tidak rata dan berwarna putih, tipe rosaceous, stelate dan cottony (Erwin & Ribeiro 1996). Sporangia lonjong, bentuknya seperti pir dengan ukuran x µm. Menghasilkan klamidospora yang melimpah, oospora berukuran µm, dan temperatur optimum untuk pertumbuhan miselia yaitu o C (Timmer et al. 2000). Pada pembibitan cendawan ini dapat menyerang pada kondisi tanah atau air tercemar, tanah basah dengan ph agak asam yaitu Cendawan dapat bertahan dalam tanah dalam bentuk sporangium dan klamidiospora. Cendawan terutama dipencarkan oleh air hujan dan air pengairan (run off) yang mengalir di atas permukaan tanah. Infeksi terjadi melalui luka alami, luka karena alat pertanian atau luka karena serangga (Ploetz 2003). Penyakit ini mampu menyerang banyak tanaman inang yang lain (polifag), yaitu kemiri, karet, kakao, cabai, anggrek vanda, kacang tanah, ubi kayu, tapak dara, ubi kayu, jarak, sirsak,

26 9 srikaya, aren, pepaya, kelapa, terung belanda, durian, pala, sirih, dan lada (Graham et al. 1998). Penyakit ini berkembang pada kebun-kebun yang mempunyai temperatur tanah cukup tinggi. Suhu cardinal antara 10 o C, o C, dan 37 o C membantu perkembangan P. nicotianae. Penularan Phytophthora dalam tanah melalui spora yang aktif dalam air. Karena itu perkembangannya sangat cepat pada keadaan lembab dan umumnya kerusakan akar terjadi pada musim hujan. Jenis jeruk yang peka adalah batang bawah RL, sedangkan sour orange dan JC relatif lebih tahan. Varietas keprok dan manis sangat peka terhadap Phytophthora spp. Sambungan yang sangat dekat dengan tanah atau tanah tergenang di bedengan merupakan kondisi yang memudahkan terjadinya infeksi (Ploetz 2003). Di antara spesies Phytophthora yang menyerang jeruk, P. citropthora aktif pada suhu yang moderat yaitu kurang dari 30 o C, sedangkan P. nicotianae, aktif pada suhu tinggi yaitu di atas 30 o C (Erwin & Ribeiro 1996). Selanjutnya dilaporkan pula bahwa pada iklim mediteranian, misalnya di California, P. citropthora aktif selama musim dingin dan musim semi, tetapi tidak pada musim panas. Sebaliknya P. parasitica kebanyakan aktif selama musim panas. P. hibernalis dan P. syringae merupakan patogen pada suhu rendah yang aktif pada suhu 15 sampai 20 o C. P. palmivora umumnya menyerang jeruk di daerah tropik dan kadang-kadang di daerah subtropik dan bagian mediteranian selama musim panas dan lembab (Timmer et al. 2000). Cendawan dapat bertahan dalam tanah atau akar yang telah rusak atau membusuk dalam bentuk klamidospora atau oospora (Lutz & Menge 1986). Klamidospora berkecambah ketika ada kelembapan dan segera membentuk sporangia. Infeksi biasanya melalui zoospora yang dikeluarkan dari sporangia ketika kelembapan tinggi. Zoospora tertarik pada luka atau bagian ujung akar yang memanjang tempat zoospora akan berkecambah dan melakukan penetrasi secara pasif. Oleh karena itu luka sangat penting supaya bisa terjadi infeksi pada pangkal batang. P. citrophthora dan P. palmivora menghasilkan sporangia yang melimpah pada permukaan buah yang disebarkan melalui tiupan angin pada saat hujan, sebaliknya P. nicotianae bersifat tular tanah dan propagul terbawa melalui percikan tanah, akibatnya kebanyakan infeksinya tidak lebih dari satu meter di atas permukaan tanah (Graham et al. 1998). Sedangkan menurut Mehrotra & Ashok

27 10 (2003), P. citrophthora terdapat dalam tanah yang kedalamannya satu meter atau lebih dan dapat disebarkan ke buah dan daun oleh percikan air hujan. Infeksi terjadi pada kulit batang yang basah dan hanya terjadi melalui jaringan dimana terdapat propagul yang berkecambah. Spesies Phytophthora yang lain dapat bertahan dalam tanah untuk sementara waktu. Bagian testa benih dari benih jeruk yang terinfeksi akan membawa patogen ke kebun benih yang baru dan melalui transplantasi pada kebun bibit. Infeksi dapat terjadi melalui luka alami, luka karena alat pertanian atau luka karena serangga. Infeksi terjadi terutama pada musim hujan dan dibantu oleh ph tanah agak asam (6,0 6.5). Infeksi patogen juga dibantu oleh kabut dan fluktuasi suhu yang kecil yang akan memperlambat penguapan. Penyakit ini mampu menyerang banyak tanaman perkebunan yang lain (Ploetz 2003). Sifat-sifat Umum Diplodia sp. atau Botryodiplodia sp. Botryosphaeriaceae merupakan kelompok cendawan yang memuat sejumlah spesies yang tersebar pada beberapa genus anamorp, diantaranya yang paling dikenal adalah Diplodia, Lasiodiplodia, Neofusicoccum, Pseudofusicoccum, Dothiorella, dan Sphaeropsis (Crous et al. 2006). Anggota Botryosphaeriaceae mempunyai distribusi yang sangat luas dan terjadi dalam varietas yang luas pada berbagai tanaman inang termasuk monokotiledon, dikotiledon, gymnospermae dan angiospermae, dimana anggota-anggota Botryosphaeriaceae ini dapat berperan sebagai saprofit, parasit, dan endofit (Begoude et al. 2009). Von Arx (1987) dalam Begoude et al. 2009, melaporkan bahwa spesies-spesies pada Botryosphaeriaceae telah lama dikenal sebagai patogen penting pada beberapa tanaman. Tanaman yang terinfeksi menunjukkan gejala yang beragam misalnya die-back, kanker, hawar, dan busuk pada seluruh organ tanaman bagian atas. Berdasarkan gejalanya, Diplodia dibedakan menjadi Diplodia basah dan Diplodia kering. Diplodia basah ditunjukkan dengan reaksi tanaman setelah terinfeksi yaitu batang, cabang atau ranting yang terserang mengeluarkan gum berwarna kuning keemasan dan pada stadia lanjut, kulit tanaman mengelupas atau bahkan bisa mengakibatkan kematian. Cendawan berkembang di antara kulit dan kayu, merusak kambium, sehingga apabila serangan telah mengelilingi batang,

28 11 tanaman akan mati. Pada tahap awal patogen masuk pada kulit di daerah ketiak cabang terutama kulit yang luka, serangan di antara kulit dan kayu mengakibatkan tanaman mengeluarkan gum sebagai reaksi tanaman atas serangan patogen. Gum yang dikeluarkan tidak selalu mengandung patogen (Naqvi 2004). Pada Diplodia kering, gejala awal lebih sulit diamati karena kulit batang atau cabang tanaman yang terserang tidak mengeluarkan gum tetapi akan mengelupas dan langsung mengering. Pada permukaan kulit terdapat celah-celah kecil yang mengandung massa spora cendawan berwarna putih atau hitam, selanjutnya kulit yang terserang akan mengering dan mengelupas. Serangan pada batang utama akan lebih berbahaya dibanding pada cabang atau ranting. Serangan yang melingkar pada batang atau cabang mengakibatkan bagian tanaman di atas serangan akan kering atau mati dan berwarna hitam. D. nataliensis memiliki piknidium berwarna hitam dan letaknya tersebar, tidak berstroma dibedakan dengan B. theobromae Pat. yang memiliki piknidium berkumpul dan berstroma. Penetrasi menyebabkan tanaman bereaksi dengan mengeluarkan substansi pertahanan berupa gum berwarna kuning. Gum dikeluarkan oleh tanaman sebagai bentuk reaksi setelah adanya serangan patogen dalam jaringan, gum diproduksi untuk melokalisasi patogen agar tidak berkembang lebih luas. Gum yang keluar dari permukaan kulit jaringan tanaman menunjukkan tingkat serangan yang sudah lanjut. Patogen ini tumbuh sangat cepat pada medium PDA pada kisaran suhu o C, membentuk miselium aerial berwarna putih sampai abu-abu terang atau abu-abu tua. Piknidia lebih cepat terbentuk jika dibiakkan pada potongan ranting jeruk yang steril. Piknidia berbentuk subglobose sampai globose, diameternya µm, terbentuk secara tunggal atau berkelompok di dalam stroma, dapat menghasilkan spora berukuran µm x µm. Konidium muda hialin, nonsepta dan granular, sedangkan konidium dewasa tampak striated, berwarna gelap, tidak mempunyai lapisan lendir di luarnya dan memiliki satu sekat, (Timmer et al. 2000). Pada kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan untuk berkembang, patogen dapat membentuk struktur bertahan. Pada kondisi dimana kelembaban, nutrisi dan suhu tinggi, patogen akan segera berkecambah dan kemudian melakukan penetrasi ke dalam jaringan tanaman. Kondisi suhu lingkungan yang

29 12 berbeda sangat tinggi antara siang dan malam terutama musim kemarau merupakan lingkungan yang mempermudah perkembangan cendawan ini. Kondisi tanaman yang lemah didukung oleh kelembaban yang tinggi akan mendukung terjadinya penetrasi pada jaringan tanaman inang baru. Penetrasi pada pamelo (C. maxima Merr.) terutama terjadi pada pertengahan musim hujan karena kelembaban memenuhi syarat bagi pertumbuhan cendawan atau pada musim kemarau dimana kondisi tanaman kurang optimal sehingga pertahanan tanaman kurang. Penetrasi yang sudah berhasil selanjutnya akan terjadi kolonisasi dan cendawan akan tumbuh dan memperbanyak pada jaringan tanaman inang. Fase-fase kritis patogen adalah pada saat sebelum terjadi penetrasi, pada fase ini pengendalian akan lebih efektif dibanding apabila sudah lanjut. Umumnya pengendalian yang dilakukan untuk patogen ini yaitu : 1. Menjaga kebersihan kebun; memangkas ranting kering, memotong bagian cabang yang terinfeksi dan bekas potongannya diolesi parafin atau bahkan membongkar tanaman terinfeksi berat. Bekas pemangkasan, pemotongan dan pembongkaran dibakar atau ditimbun. Drainase kebun perlu diperbaiki. 2. Menjaga kebersihan alat pertanian; pisau, gunting pangkas maupun gergaji atau alat lainnya, sebelum dan setelah digunakan dicuci bersih dan kemudian sebaiknya diolesi kapas yang dibasahi alkohol 70% atau 10% pemutih atau kloroks. 3. Menyaput batang utama, cabang primer dan sekunder dengan fungisida yang ada (bahan aktif benomil atau Cu) atau dengan bubur california yang dapat dibuat sendiri. Penyaputan batang dilakukan paling sedikit dua kali setahun, yaitu pada awal dan akhir musim hujan. Bagian tanaman yang akan disaput, dibersihkan dari gumosis dan kulit kering yang mengelupas dengan cara disikat. Identifikasi Cendawan Berdasarkan Karakter Morfologi Langkah pertama dan paling penting dalam mengelola penyakit tanaman adalah identifikasi yang akurat. Beberapa penyakit dapat diidentifikasi dengan cepat melalui pengamatan gejala, tetapi banyak penyakit yang lain diperlukan identifikasi melalui gejala, tanda dan postulat Koch atau pengujian lain di

30 13 laboratorium untuk diagnosis dan identifikasi. Prosedur laboratorium yang dikerjakan mungkin memerlukan waktu beberapa hari atau minggu untuk menyelesaikan diagnosis dan identifikasi tersebut, untuk beberapa kasus relatif insensitif (Flynn 1994). Pengamatan dapat dilakukan dalam berbagai tingkatan, mulai dari pengamatan dengan mata telanjang atau secara visual melalui mikroskop stereo atau mikroskop compound sampai menggunakan mikroskop elektron. Akan tetapi dengan mikroskop compound saja, identifikasi sudah dapat dilakukan dan cendawan dapat diberi nama dengan jelas dalam kaitannya dengan kemampuan individual pada pengamatan morfologi, atau kemampuan teknikal untuk menginduksi sporulasi pada media kultur (Watanabe 2002). Spora merupakan salah satu karakteristik morfologi yang paling penting untuk identifikasi. Terdapat berbagai tipe spora yang dimiliki oleh cendawan. Berdasarkan morfologi spora maka cendawan dengan mudah dapat diklasifikasikan, tetapi beberapa cendawan mungkin diidentifikasi berdasarkan karakteristik morfologi yang lain selain spora, misalnya hifa, miselia, tubuh buah, kebiasaan tumbuh dan berbagai organ morfologi yang secara alami dapat diamati dalam kultur (Barnett & Hunter 1987). Pengamatan di bawah mikroskop compound merupakan cara pengamatan yang konvensional. Tanpa menggunakan cover slip, cara sporulasi, rangkaian spora, atau kepala spora dapat diamati di bawah mikroskop. Penting juga dengan menggunakan minyak imersi untuk pengamatan mikroskopis pada perbesaran kuat. Akan tetapi identifikasi secara konvensional harus dilakukan oleh orang yang ahli dan berpengalaman, bahkan pengamatan harus diulang beberapa kali untuk mengetahui karakteristik morfologis secara detail dan untuk akses takson yang sesuai sehingga diperlukan cukup banyak waktu (Watanabe 2002). Selanjutnya dinyatakan bahwa kunci identifikasi juga harus dipersiapkan pada berbagai level, termasuk pada level divisi, klas, ordo, famili, genus dan spesies. Meskipun pengamatan karakteristik morfologi paling penting untuk identifikasi, tetapi karakteristik kultur juga penting untuk beberapa cendawan dan tidak dapat diabaikan begitu saja. Beberapa point perlu diperhatikan dan diikuti untuk pengamatan, walaupun masing-masing cendawan mempunyai perbedaan secara individu. Lagipula karakteristik fisiologis, misalnya suhu, respon dan

31 14 kisaran inang dimasukkan dalam kunci identifikasi dan dapat dipelajari bersama-sama dengan karakteristik morfologisnya. Setelah disesuaikan dengan literatur untuk mencocokkan kembali morfologinya, barulah identifikasi selesai (Domsch et al. 1980). Watanabe (2002) mengemukakan beberapa karakteristik kultur, morfologi dan fisiologi yang dapat digunakan sebagai acuan untuk identifikasi, yaitu antara lain : 1. Karakteristik kultur : Warna pada permukaan dan dasar koloni, bau, kuantitas hifa aerial, tekstur koloni permukaan (cottony, shrunken, sloppy, resupinate, velvety, powdery atau floury, crustaceous, water soaked, embedded, yeast-like, sticky, homogenous atau heterogenous, ada atau tidaknya elevasi), tepi koloni (halus, tidak beraturan, terbatas, menyebar), pola (zonate, radiate, flowery, arachnoid), pigmen eksudat (berwarna, transparan), organ yang dibentuk (struktur tubuh buah, sklerotia, rhizomorf, synnema, sporodochia, stroma, setae). 2. Karakteristik morfologi : Ukuran (panjang, lebar, ketebalan, dan lain-lain), warna (mengacu pada warna standar yang dipetakan), bentuk hifa (septa, aseptat, lokasi septa, clamp connection, hyphopodia), appresoria, klamidospora, dan berbagai struktur yang berbeda pada masing-masing klas, bentuk perkecambahan (secara langsung melalui tabung kecambah, tidak langsung melalui zoospora), pola formasi struktur tubuh buah (discrete, aggregate, caespitose). 3. Karakteristik fisiologi : Suhu (suhu pertumbuhan, suhu optimum untuk pertumbuhan, suhu kardinal untuk pertumbuhan, suhu rata-rata untuk pertumbuhan), kebutuhan media dan nutrisi untuk pertumbuhan (yang cocok untuk sporulasi), reaksi terhadap reagent dan pewarna (lactophenol, cotton blue, acid fuchsin, KOH, F e SO 4, melzer reagent), resisten terhadap bahan kimia, anastomosis hifa, reaksi kultur, parasitit alami, patogenisitas.

32 15 Identifikasi Cendawan Berdasarkan Karakter Molekuler Identifikasi secara molekuler dilakukan dengan amplifikasi daerah internal transcribed spacer (ITS) dari DNA ribosom (rdna) menggunakan polymerase chain reaction (PCR) dengan pasangan primer oligonukleotida tertentu, baik yang general maupun yang spesifik. PCR merupakan teknik yang mulai berkembang pesat sekitar tahun Teknik PCR merupakan teknik untuk keperluan amplifikasi DNA secara in vitro yang seringkali mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang tinggi (Mullis et al. 1986). Pada dasarnya, PCR mampu mengenali dan memperbanyak (amplifikasi) segmen DNA sasaran walaupun dalam konsentrasi yang sangat rendah. Reaksi amplifikasi sangat bergantung dari keberadaan enzim polymerase sebagai katalisator, terutama yang tahan panas. Enzim yang paling terkenal dan paling banyak digunakan adalah polimerase DNA Taq (Taq polymerase) yang diisolasi dari bakteri tahan panas thermus aquaticus (Bartlett and David. 2003). Bahan lain yang diperlukan adalah deoxynucleotide triphosphates (dntps), yang terdiri dari deoxyguanidine triphosphates (dgtp), deoxycytidine triphosphates (dctp), dan deoxythymidine triphosphates (dttp), serta buffer PCR yang mengandung MgCl 2 (Taylor 1991). Salah satu faktor yang penting yang mempengaruhi kualitas PCR adalah pemilihan primer yang tepat (Ryclik 1995). Primer merupakan oligonukleotida yang berfungsi sebagai pemancing amplifikasi molekul DNA. Primer terdiri dari dua macam yaitu forward dan reverse. Primer forward mengawali amplifikasi cetakan DNA ke arah kanan dengan arah sintesis dari ujung 5 P ke 3 OH. Sebaliknya primer reverse mengawali amplifikasi cetakan DNA ke arah kiri. Dengan adanya kedua primer tersebut, maka gen target akan teramplifikasi sepanjang PCR berlangsung. Amplikasi DNA secara in vitro dengan PCR terdiri atas beberapa siklus, yang setiap siklusnya terdiri dari 3 tahap reaksi dengan kondisi suhu yang berbeda secara berulang yaitu denaturasi, pelekatan primer (annealing) dan pemanjangan (elongation). Dengan reaksi amplifikasi DNA secara simultan, maka jumlah DNA sasaran akhir telah dilipatgandakan secara eksponensial (McPherson et al. 1992). Tahap denaturasi adalah pembentukan DNA utas tunggal dari DNA utas ganda (putusnya ikatan hydrogen dari kedua utas tunggal DNA komplementer) yang umumnya terjadi pada suhu 95 o C. Tahapan annealing, yaitu pelekatan

33 16 primer yang terjadi pada suhu antara o C, bergantung pada panjang atau pendeknya oligonukleotida primer yang digunakan. Tahap elongation terjadi sebagai hasil aktifitas polymerase oleh enzim taq DNA polymerase, umumnya terjadi pada suhu 70 o C (Madigan et al. 1997).

34 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian telah dilaksanakan dari bulan Oktober 2009 sampai Agustus Kegiatan isolasi dan identifikasi cendawan patogen BPB berdasarkan karakter morfologi dilakukan di laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Insitut Pertanian Bogor (IPB). Ekstraksi DNA genomik dan amplifikasi fragmen DNA dengan teknik PCR dilakukan di laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, IPB. Purifikasi dan perunutan nukleotida dilakukan dengan mengirimkan sampel ke Macrogen Incorporation (Seoul Korea Selatan). Uji patogenisitas dilakukan di rumah kasa Departemen Proteksi Tanaman, IPB. Metode Pelaksanaan Pengumpulan Sampel Tanaman Sakit Sampel tanaman sakit diambil dari 11 lokasi sentra produksi jeruk di Indonesia (Tabel 1). Penentuan sampel dilakukan secara terarah (purposive) yaitu hanya pada tanaman jeruk yang menunjukkan gejala dan tanda terserang cendawan patogen BPB, yaitu gejala awal tampak berupa bercak basah yang berwarna gelap pada bagian kulit batang. Pembusukan dimulai dari pangkal batang dekat permukaan tanah sampai ke titik okulasi (40 cm). Jaringan kulit kayu bahkan permukaan kulit, kambium, dan kayu yang terserang mengalami perubahan warna, lama-kelamaan kulitnya akan mengelupas dan jatuh ke tanah sehingga menyebabkan luka lebar terutama pada serangan lanjut. Bagian kulit batang yang terserang, permukaannya cekung dan mengeluarkan blendok atau gum. Sampel diambil pada pangkal batang, akar dan tanah di sekitar pohon jeruk sakit. Untuk setiap lokasi, diambil 5 sampel yaitu pohon yang terletak pada titik perpotongan diagonal. Patogen BPB diisolasi dari jaringan tanaman sakit yaitu pangkal batang atau akar, dan dari tanah (bagian permukaan dan bagian rizosfer).

35 18 Tabel 1 Daftar lokasi pengambilan sampel tanaman sakit No Kabupaten/ Propinsi Kotamadya Kecamatan Desa 1 Sumatera Utara Berastagi - *) - 2 Riau Kampar Tambang Tambang 3 Jambi Muaro Jambi Lampung Tulang Bawang Tulang Bawang Kagungan Barat Udik 5 Jawa Barat Garut Cikajang Bayongbong Cisurupan Samarang Wanaraja Ratu Cikajang Jawa Timur Jember Tanggul - 7 Jawa Timur Batu Malang Bumiaji Dau Punten - 8 Bali Bangli Kintamani Bayung Gede 9 Nusa Tenggara Timur (NTT) Timor Tengah Selatan (TTS) Mollo Utara Mollo Tengah Mollo Selatan Fatumnasi Kuanfatu Ajobaki dan Sikam Oelbubuk dan Oelekam Oehala Fatumnasi Kakan dan Kuanfatu 10 Kalimantan Banjarbaru Cempaka Sitiung Selatan 11 Kalimantan Selatan Banjarmasin Sambung Makmur Simpang Empat Baliangin - Nama desa dan kecamatan tidak tercatat *) Isolasi Phytophthora, Diplodia dan atau Botryodiplodia dari Jaringan Tanaman Sakit Isolasi patogen dari batang sakit dilakukan dengan cara dicuci pada air mengalir untuk membersihkan bagian batang dari kotoran yang mungkin menempel, kemudian dilakukan desinfeksi permukaan menggunakan kloroks 0.5% selama 30 detik, dibilas dengan akuades steril sebanyak 3 kali dan dilanjutkan dengan penanaman jaringan yang diambil dari batas antara jaringan sehat dan sakit pada medium PDA (Lampiran 1). Cendawan yang tumbuh dibiakkan dan dimurnikan pada medium yang sama sampai diperoleh biakan murni, kecuali koloni cendawan yang menunjukkan ciri koloni Phytophthora ditumbuhkan pada media V8 (Lampiran 2) untuk merangsang sporulasinya.

36 19 Sampel tanah diambil pada kedalaman 15 sampai 25 cm dari permukaan tanah dan dari bagian rizosfer. Isolasi patogen dari sampel tanah dilakukan dengan cara pengumpanan pada buah apel dan jeruk. Pengumpanan dilakukan dengan cara melubangi buah apel dengan cork borer sedalam ± 1 cm, kemudian tanah dimasukkan ke dalam lubang tersebut, lalu diinkubasi selama 3 hari atau jika telah terlihat bercak berwarna coklat maka buah apel tersebut dibelah dan diambil bagian bercak yang agak jauh dari tanah yang menempel pada buah tersebut, kemudian dikulturkan pada media PDA dan V8. Cara isolasi lainnya adalah dengan menggenangi sampel tanah dengan air steril, kemudian buah jeruk sehat yang dilubangi diletakkan di atas genangan tanah tersebut dan diinkubasi sampai buah menunjukkan bercak coklat. Selanjutnya jaringan sakit diisolasi dan ditumbuhkan pada media PDA atau V8 untuk merangsang sporulasinya. Isolasi Spora Tunggal Phytophthora, Diplodia dan atau Botryodiplodia Isolasi spora tunggal dilakukan menurut Choi et al. (1999) yang telah dimodifikasi. Masing-masing isolat cendawan ditumbuhkan pada media yang sesuai selama 5 sampai 7 hari pada suhu kamar (± o C), kemudian air steril dimasukkan ke dalam biakan tersebut dan disiapkan sebagai suspensi yang diencerkan sampai konsentrasi tertentu. Suspensi diteteskan ke water agar (WA) dan diinkubasi pada 25 o C selama jam. Cawan petri tidak dibungkus agar tetesan suspensi mengering dan mengurangi kontaminasi. Spora diperiksa setelah 12 jam, selanjutnya setiap 24 jam untuk melihat perkecambahannya. Saat spora telah berkecambah, digunakan jarum steril untuk mengambil bagian agar yang mengandung spora. Bagian agar yang diambil harus setipis mungkin. Untuk memastikan bahwa spora yang diambil hanya satu maka slide tersebut disiapkan dan diamati pada mikroskop binokuler. Jika spora tidak berkecambah setelah 12 jam, maka cawan dibungkus dengan parafilm dan diamati secara periodik. Sepuluh kecambah spora dipindahkan dan didistribusikan pada PDA dan diinkubasi pada 25 o C sampai koloni tumbuh ± 1 2 cm. Sebagian kecil miselium dipotong dan dipindahkan pada cawan lain dan diinkubasikan selama beberapa hari. Jika tidak ada kontaminasi, maka biakan murni telah diperoleh. Selanjutnya untuk merangsang pembentukan sporangia Phytophthora spp. dan penyiapan

37 preparat inokulum untuk pengamatan karakter secara mikroskopis digunakan protokol menurut AVRDC Mycology 2000 (Lampiran 3). 20 Identifikasi Phytophthora, Diplodia dan atau Botryodiplodia Berdasarkan Karakter Morfologi Identifikasi spesies Phytophtora dilakukan berdasarkan kriteria morfologi sporangium dan papilla menurut Erwin & Ribeiro (1996) (Gambar 1), sedangkan untuk spesies Diplodia dan atau Botryodiplodia dilakukan menggunakan kunci identifikasi morfologi piknidia dan konidia Diplodia sp.; piknidia, pembentukan konidiofor dan konidia Botryodiplodia sp. menurut Barnett & Hunter (1998) (Gambar 2). Untuk keperluan ini, sporangium tunggal Phytophtora sp. ditumbuhkan pada media PDA dan V8, sedangkan spora tunggal Diplodia sp. atau Botryodiplodia sp. ditumbuhkan pada PDA. Masing-masing biakan ditumbuhkan pada suhu kamar selama beberapa hari atau sampai koloni memenuhi cawan petri diameter 9 cm. Pengamatan dilakukan secara makroskopis dan mikroskopis. Pengamatan makroskopis dilakukan secara visual, sedangkan pengamatan mikroskopis menggunakan mikroskop binokuler yang dilengkapi dengan mikrometer okuler dan mikrometer objektif. Pengamatan secara makroskopis yaitu warna koloni, bentuk atau tipe koloni dan waktu atau lama tumbuh patogen yang diamati setiap hari dimulai sejak 1 HSI (Hari Setelah Isolasi) sampai koloni tumbuh memenuhi cawan petri diameter 9 cm. Pengamatan secara mikroskopis, terhadap karakter morfologis Phytophthora sp. meliputi bentuk dan ukuran (panjang dan lebar) sporangium, sporangiofor, papilla, warna sporagiosfor, ada tidaknya sekat dan klamidospora; sedangkan karakter morfologis Diplodia sp. atau Botryodiplodia sp. yang diamati yaitu pembentukan hifa, stroma, piknidia, konidiofor, klamidospora, bentuk dan ukuran konidium. Morfologi sporangium Phytophthora sp. (panjang, lebar, rasio panjang/lebar), ukuran konidium Diplodia sp. dan atau Botryodiplodia sp. diukur dengan mikrometer dan disajikan dalam bentuk tabel dan gambar; sedangkan karakter morfologi secara makroskopis dan mikroskopis lainnya dideskripsikan dan ditampilkan dalam bentuk gambar.

38 21 A B \ \ Gambar 1 C Morfologi sporangium dan papilla P. nicotianae (A), P. palmivora (B), dan P. citrophthora (C) menurut Erwin & Ribeiro (1996) A B C Gambar 2 Morfologi piknidia dan konidia Diplodia sp. (A) dan piknidia, pembentukan konidiofor dan konidia Botryodiplodia sp. (B) menurut Barnett & Hunter (1998), pembentukan konidia dan konidia Lasiodiplodia spp. (C) (Burgess et al. 2006)

39 Identifikasi Phytophthora spp., Diplodia spp. dan atau Botryodiplodia spp. Menggunakan Teknik PCR Identifikasi secara molekuler dilakukan dengan amplifikasi daerah internal transcribed spacer (ITS) DNA ribosom (rdna) dengan teknik PCR, menggunakan pasangan primer universal cendawan yaitu primer forward ITS4 (5 -TCCTCCGCTTATTGATATGC-3 ) dan primer reverse ITS5 (5 -GGAAGTAAAAGTCGTAACAAGG-3 ) (White et al. 1990). 22 Ekstraksi DNA Genomik Cendawan Isolat cendawan ditumbuhkan pada medium potato dextrose broth (PDB) dalam tabung erlenmeyer sebanyak 100 ml, digoyang dengan kecepatan 125 rpm pada suhu kamar selama 7 hari. Miselia disaring dengan kertas Whatman nomor 1, dicuci dengan phosphate buffer saline (PBS) sebanyak 3 kali, dan siap digunakan untuk ekstraksi DNA. Ekstraksi DNA cendawan patogen dilakukan menurut metode Abd-Elsalam et al. (2003) yang telah dimodifikasi. Miselium cendawan diinokulasi pada PDB selama 3 hari, kemudian dipanen dan digerus bersama nitrogen cair sampai halus. Selanjutnya ditambahkan bufer ekstraksi (200 mm Tris-HCl ph 8.5; 250 mm NaCl, 25 mm EDTA, 0.5% SDS) sebanyak 1 ml dan 10 µl merkaptoetanol kemudan dihomogenkan dengan cara divorteks. Setelah itu dipanaskan pada penangas air 65 o C selama 30 menit dan didinginkan pada suhu ruang. Sebanyak 750 µl chloroform isoamil (24:1) ditambahkan ke dalam tabung tersebut dan divorteks lagi kemudian dipresipitasi dengan sentrifugasi pada rpm selama 10 menit. Supernatan dipindahkan ke tabung yang baru dan ditambahkan dengan 1/10 volume Natrium asetat dan 2.5 x volume etanol absolut, dihomogenkan, diinkubasi pada -20 o C selama 30 menit, dipresipitasi lagi pada rpm selama 10 menit. Pelet dicuci dengan dengan 500 µl etanol 70% yang dingin kemudian disentrifugasi singkat. DNA dikeringkan dan dilarutkan dalam 100 µl bufer TE (10 mm Tris-HCl ph 8.1 mm EDTA) kemudian disimpan pada -20 o C atau langsung digunakan.

40 23 Amplifikasi DNA Amplifikasi DNA menggunakan pasangan primer universal cendawan ITS4 dan ITS5. Komponen dan komposisi bahan PCR disiapkan yaitu terdiri dari 15.3 µl ddh 2 O; 2.5 µl buffer 10x + Mg 2+ ; 2.5 µl sucrose cresol 10x; 0.5 µl dntp 10 mm; masing-masing 1 µl primer forward dan reverse; 0.2 µl enzim Taq DNA polimerase rekombinan 5U/µl; 2 µl DNA sampel konsentrasi ng/µl. Volume campuran reaksi 25 µl. Amplifikasi dilakukan dengan thermocycler GeneAmp PCR System 9700 sebanyak 35 siklus melalui tiga tahapan, yaitu denaturasi awal suhu 94 o C selama 5 menit, denaturasi pada suhu 94 o C selama 1 menit; penempelan primer (annealing) pada suhu 52 o C selama 1 menit; dan pemanjangan (extension) pada suhu 72 o C selama 2 menit. Setelah 35 siklus, PCR dibiarkan pada suhu 72 o C selama 10 menit kemudian suhunya diturunkan sampai 4 o C. Visualisasi Visualisasi hasil amplifikasi DNA dilakukan secara elektroforesis pada 1% gel agarosa TBE. Sebanyak 0.2 g agarosa, 20 ml 0.5x TBE dipanaskan pada microwave selama 1 menit, diaduk rata dan dibiarkan sampai hangat. Selanjutnya ditambahkan 1 µl etidium bromida (0.5 µl/10 ml agarosa) kemudian diaduk rata. Gel tersebut dimasukkan ke dalam cetakan, dibiarkan dingin dan mengeras ( 30 menit). Disiapkan 1 µl loading buffer (6x), ditambahkan produk PCR 5 µl, dimasukkan ke dalam sumuran. Ladder DNA diletakkan sesuai kebutuhan, dielektroforesis dengan arus listrik 70 V selama 30 menit atau 130 volt selama 15 menit. Gel hasil elektroforesis diletakkan di atas transluminator ultra violet dan difoto untuk dokumentasi. Perunutan Nukleotida dan Analisis Filogenetik Fragmen DNA hasil amplifikasi digunakan untuk perunutan asam nukleat (sekuensing). Sampel DNA hasil PCR dan pasangan primer ITS4 dan ITS5 dikirim ke Macrogen Inc. Korea Selatan untuk dipurifikasi dan disekuensing. Purifikasi fragmen DNA menggunakan QIAquick gel extraction kit (Qiagen). Hasil sekuensing diedit menggunakan program Genetix Win versi 4.0, kemudian

41 24 dilakukan penjajaran menggunakan Clustal X (Thompson et al. 1997) dan Mega versi 4.0 (Tamura et al. 2007). Analisis homologi nukleotida dilakukan melalui basic local alignment search tool (BLAST). Untuk analisis filogenetik, masingmasing runutan isolat yang ditemukan pada penelitian ini dan runutan homologinya yang dipilih dari GeneBank ( disejajarkan menggunakan software ClustalW ( kemudian hasil penjajaran nukleotida ditransfer ke Mega versi 4.0 (Tamura et al. 2007) untuk menghasilkan penjajaran final yang akan dipakai untuk membuat pohon filogenetik. Rekonstruksi filogeni menggunakan metode maximum parsimony (MP) dengan bootstrap 1000 kali. Perhitungan identitas matriks dilakukan untuk mengetahui kedekatan isolat cendawan asal Indonesia dengan isolat lainnya yang diambil dari GeneBank. Uji Patogenisitas Batang jeruk sehat kultivar japanese citrun (JC) disemprot dengan air steril untuk menghilangkan kontaminan yang mungkin menempel pada permukaan kulit batang yang akan diinokulasi, kemudian diolesi dengan kloroks 0.5% dan dinetralkan dengan akuades. Permukaan batang jeruk dilukai dengan cara ditusuk dengan jarum sebanyak 5 tusukan (kedalaman tusukan ± 1 mm). Potongan inokulum Phytophthora sp., Diplodia sp. dan atau Botryodiplodia sp. berumur 6 hari ditempelkan pada bagian luka buatan tersebut, kemudian dilapisi dengan kapas lembab untuk merangsang perkecambahan dan infeksi patogen, dan diselotip. Peubah yang diamati adalah kejadian penyakit untuk melihat gejala yang terbentuk akibat inokulasi patogen.

42 25 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Cendawan Patogen BPB Berdasarkan Karakter Morfologi Identifikasi berdasarkan karakter morfologi dilakukan untuk mengamati setiap isolat cendawan patogen BPB secara makroskopis dan mikroskopis. Untuk keperluan tersebut diawali dengan survai dan pengambilan sampel ke 11 lokasi sentra produksi jeruk di Indonesia (Tabel 1). Di antara kesebelas lokasi tersebut, peneliti hanya berkesempatan untuk melakukan survai ke dua lokasi saja yaitu ke lokasi pembibitan jeruk di kebun percobaan (KP) Desa Punten (loka penelitian tanaman jeruk dan hortikultura subtropik, Kota Batu Malang) dan lokasi penanaman jeruk di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Propinsi NTT. Di TTS (NTT), peneliti melakukan survai dan pengambilan sampel di 8 lokasi (desa dan kecamatan) yang diketahui mempunyai populasi jeruk cukup banyak, yaitu Ajobaki dan Sikam (Mollo Utara), Oelbubuk dan Oelekam (Mollo Tengah), Oehala (Mollo Selatan), Fatumnasi (Fatumnasi), Kakan dan Kuanfatu (Kuanfatu). Ketinggian tempat di TTS secara keseluruhan berkisar antara meter di atas permukaan laut (dpl), dengan rerata suhu 24 o C (NTT dalam Angka 2009). Tanaman jeruk di pembibitan maupun pada tanaman dewasa yang terkena penyakit BPB menunjukkan gejala yang khas. Pada pembibitan, permukaan kulit batang yang terserang menjadi cekung dan mengeluarkan gum yang pada saat basah terlihat bening, tetapi setelah mengering warnanya menjadi coklat keemasan. Bercak dapat meluas sampai mengelilingi batang. Gejala terjadi pada pangkal batang dekat permukaan tanah atau di dekat sambungan antara batang atas dan batang bawah (Gambar 3). Jika akar tanaman dibongkar terlihat akarnya membusuk sehingga bibit akan mengalami kematian. Gejala ini sesuai dengan deskripsi menurut Ploetz (2003) yaitu kulit batang yang terserang, permukaannya cekung dan mengeluarkan gum, serta pada tanaman terserang sering berbentuk kalus. Kematian tanaman akibat serangan penyakit ini terjadi apabila bercak pada kulit melingkari batang, perkembangan bercak ke bagian atas umumnya terbatas hingga 60 cm di atas permukaan tanah, sedangkan perkembangan ke bagian bawah dapat meluas ke bagian akar tanaman (Lutz & Menge 1986).

43 26 A B C Gambar 3 Gejala BPB di pembibitan jeruk di KP Punten (loka penelitian tanaman jeruk dan hortikultura subtropik, Batu Malang). Batang yang terserang menjadi cekung dan mengeluarkan gum (A), bercak nekrosis mengelilingi batang (B), gum yang masih basah (C) Gejala penyakit BPB pada tanaman jeruk dewasa hampir sama dengan gejala di pembibitan dan mudah dikenali. Namun pada tanaman dewasa yaitu pada kulit batangnya, terdapat banyak luka-luka yang meluas tapi dangkal yang lama-kelamaan akan mengelupas dan terlepas dengan sendirinya. Di bagian luka juga terlihat gum yang telah mengering sehingga kelihatan mengkilap sekalipun dilihat dari jarak yang cukup jauh. Pada serangan lanjut dapat menyebabkan kematian tanaman secara keseluruhan (Gambar 4). A B C Gambar 4 Gejala BPB di lapangan (Kabupaten TTS NTT). Gum pada kulit batang (A); kulit batang yang mengelupas (B); bercak melingkari batang, berkembang ke bagian bawah dan meluas ke bagian akar tanaman yang menyebabkan kematian tanaman (C) Gum yang telah mengering diambil dari pembibitan maupun dari lapangan dan diisolasi dalam medium PDA, namun tidak ditemui adanya patogen. Hal ini

44 sesuai dengan Naqvi (2004) yang menyatakan bahwa tanaman mengeluarkan gum sebagai reaksi tanaman atas serangan patogen, namun gum yang dikeluarkan tidak selalu mengandung patogen. Gum dihasilkan untuk melokalisasi patogen agar tidak berkembang lebih luas. Gum yang keluar dari permukaan kulit jaringan tanaman menunjukkan tingkat serangan yang sudah lanjut (Agrios 2005). Diperoleh 12 isolat dari bagian pangkal batang sakit dan dari tanah (rizosfer) yang terdiri atas satu isolat Phytophthora sp. berasal dari Desa Oehala, TTS (NTT) dan 11 isolat Botryodiplodia sp. dan atau Diplodia sp. yang masingmasing berasal dari Berastagi (Sumatera Utara), Kampar (Riau), Muaro Jambi (Jambi), Tulang Bawang Barat (Lampung), Garut (Jawa Barat), Jember dan Batu Malang (Jawa Timur), Bangli (Bali), TTS (NTT), Banjarmasin dan Banjarbaru (Kalimantan Selatan) (Tabel 2). Tabel 2 Isolat patogen yang diperoleh dari bagian pangkal batang jeruk sakit dan dari tanah (rizosfer) No Asal isolat Hasil isolasi 1 Oehala (TTS NTT) Phytophthora sp. 2 Berastagi (Sumatera Utara) Botryodiplodia sp. dan atau Diplodia sp. 3 Kampar (Riau) Botryodiplodia sp. dan atau Diplodia sp. 4 Muaro Jambi (Jambi) Botryodiplodia sp. dan atau Diplodia sp. 5 Tulang Bawang Barat Botryodiplodia sp. dan atau Diplodia sp. (Lampung) 6 Garut (Jawa Barat) Botryodiplodia sp. dan atau Diplodia sp. 7 Jember (Jawa Timur) Botryodiplodia sp. dan atau Diplodia sp. 8 Batu Malang (Jawa Timur) Botryodiplodia sp. dan atau Diplodia sp. 9 Bangli (Bali) Botryodiplodia sp. dan atau Diplodia sp. 10 TTS (NTT) Botryodiplodia sp. dan atau Diplodia sp. 11 Banjarbaru (Kalimantan Botryodiplodia sp. dan atau Diplodia sp. Selatan) 12 Banjarmasin (Kalimantan Selatan) Botryodiplodia sp. dan atau Diplodia sp. 27 Karakter morfologi Phytophthora sp. mencakup koloni berwarna putih, di media PDA berbentuk rosaceous (Gambar 5A), sedangkan di V8, biakan muda berbentuk stellate (Gambar 5B) dan biakan tua berbentuk cottony (Gambar 5C). Pada suhu kamar, Phytophthora sp. yang dibiakkan dalam PDA tumbuh memenuhi cawan petri diameter 9 cm pada 21 HSI, sedangkan dalam V8 pada 10 HSI. Secara mikroskopis, koloni memiliki hifa tidak bersekat, bercabang,

45 28 corraloid, hialin, halus sampai kasar, membengkak, bulat sampai lonjong (ovoid) dan tidak beraturan (Gambar 6 A C). Klamidospora globose terbentuk secara interkalar (Gambar 6D). Terdapat beberapa bentuk sporangia (Gambar 7), yaitu globose (A, E G), ellipsoid (B), ovoid (C), limoniform (D), dan beberapa bentuk distorsi atau asimetris (H J). Masing-masing tipe sporangia mempunyai ukuran yang berbeda, dengan rerata µm x µm (Tabel 3). Berdasarkan karakteristik morfologi menurut kunci identifikasi Erwin & Ribeiro (1996), isolat Phytophthora sp. yang berasal dari Desa Oehala (TTS) adalah Phytophthora citrophthora (RE Smith & EH Smith) Leonian (1925). A B C Gambar 5 Tipe koloni P. citrophthora. Rossaceous pada media PDA (A); stellate (C), dan cottony (D) pada media V8 A B C D Gambar 6 Morfologi hifa, miselium dan klamidospora P. citrophthora. Hifa muda, tidak bersekat, hialin, belum membengkak, bercabang (A); miselium corraloid (B); hifa yang membengkak (C); pembentukan klamidospora secara interkalar (D).

46 29 A B C D E F G H I J Gambar 7 Bentuk dan papilla sporangia P. citrophthora asal Desa Oehala (TTS). Globose, semipapillate (A); ellipsoid, semipapillate (B); ovoid, nonpapillate (C); limoniform, nonpapillate (D); globose, bipapillate (E G); bentuk distorsi (asimetris) (H J); papillate sporangium (H, I); bilobed (2 apices), nonpapillate (J). Perbesaran 1200x Tabel 3 Ukuran sporangia P. citrophthora (panjang x lebar) Bentuk sporangia Ukuran sporangia (µm) Rerata (µm) Rasio (p/l) A. globose B. ellipsoid x x C. ovoid x x D. limoniform x x E. globose, bipapillate F. globose, bipapillate G. globose, bipapillate H distorsi (asimetris) x x I. distorsi (asimetris) x x J. distorsi (asimetris) x x Umumnya isolat Diplodia sp. dan atau Botryodiplodia sp. (Lampiran 6) mempunyai kemampuan tumbuh sangat cepat yaitu antara 3 7 HSI jika dikulturkan pada media PDA. Isolat Berastagi, Kampar, Muaro Jambi, Tulang

47 30 Bawang Barat, Garut, Batu Malang, TTS, Banjarmasin dan Banjarbaru mampu memenuhi cawan petri pada 3 HSI, Jember pada 4 HSI dan Bangli pada 7 HSI. Koloni miseliumnya aerial, awalnya putih, setelah 4 5 hari menjadi hitam kehijauan sampai abu-abu, kemudian setelah 10 hari miselium menjadi hitam (Gambar 8). A Gambar 8 B Perkembangan warna koloni miselium Diplodia sp. dan atau Botryodiplodia sp. dalam PDA pada suhu ruang (25 30 o C). Miselium aerial berwarna putih (A); permukaan atas berwarna abu-abu, permukaan bawah berwarna hitam kehijauan (B); miselium menjadi hitam (C). C Secara mikroskopis, hifa awalnya hialin kemudian menjadi coklat dan bersekat. Saat akan membentuk sekat, hifa awalnya berbentuk lonjong kemudian akan memanjang dan mengelembung (pear shape) pada ujung sekat (Gambar 9 A D). Klamidospora terbentuk secara interkalar (Gambar 9 E, F). A B C D E F Gambar 9 Pembentukan hifa dan klamidospora B. theobromae. Pembentukan hifa (A D); pembentukan klamidospora secara interkalar (E, F)

48 31 Piknidia akan terbentuk jika kondisi lingkungan tidak menguntungkan, oleh karena itu piknidia akan lebih cepat tumbuh yaitu ± 2 minggu setelah isolasi jika isolat ditanam pada media yang miskin nutrisi yaitu WA yang diberi potongan jerami padi steril (Gambar 10D). Isolat yang diisolasi pada media PDA (Gambar 10 A, B), piknidia tumbuh sangat lambat yaitu ± 1 bulan setelah isolasi. Piknidia terbentuk secara berkelompok dalam stroma (Gambar 10B), sedangkan konidiofor tunggal (Gambar 10 H). A B C D E F G H Gambar 10 Morfologi stroma, piknidia, konidia dan konidiofor B. theobromae. Piknidia pada PDA (A); piknidia terbentuk dalam stroma (B); stroma pada PDB (C); piknidia ditumbuhkan pada potongan jerami padi dalam WA (D); piknidia pada potongan jerami padi (E); piknidia terbentuk secara berkelompok pada E diamati secara mikroskopis (300x) (F); massa konidia muda yang keluar dari dalam piknidia (100x) (G); konidiofor tunggal (400x) (H) Konidia dihasilkan di dalam piknidia. Konidia terdiri dari konidia muda dan konidia matang. Keduanya berbentuk ovoid, dan ellipsoid, bedanya konidia muda hialin, dindingnya terdiri dari dua lapisan, granular dan tidak bersekat, sedangkan

49 32 konidia matang berwarna coklat, dinding selnya hanya satu lapisan, berwarna coklat tua dan memiliki satu sekat sehingga membentuk dua sel (Gambar 11). Konidia yang dihasilkan masing-masing isolat dari setiap lokasi terlihat pada Lampiran 7. Konidia matang akan berwarna gelap (coklat) dan bersekat hanya setelah keluar dari piknidia. Ukuran konidia bervariasi yaitu panjangnya µm dan lebarnya µm, atau rerata panjang x lebar = x µm (Tabel 4). A B C Gambar 11 Konidia B. theobromae (perbesaran 400x pada mikroskop cahaya). Konidia muda yang tidak bersekat, transparan, dinding yang tebal (2 lapisan) dan granular (A); konidia matang yang bersekat, coklat dan bersekat (B); konidia muda dan konidia matang (C) Berdasarkan hasil identifikasi menggunakan sistem klasifikasi Saccardo (Lampiran 5) menurut Barnett & Hunter (1998), 11 isolat dari setiap lokasi yang berbeda diketahui memiliki karakter antara lain konidia terbentuk dalam badan buah aseksual (piknidia); konidia berbentuk globose dan atau ellipsoid; umumnya konidia terdiri dari 2 sel; konidia berpigmen gelap; dan piknidia terbentuk secara berkelompok di dalam stroma. Dari beberapa karakter di atas diketahui bahwa isolat-isolat tersebut memiliki karakter yang merupakan ciri khas Botryodiplodia theobromae Pat.. Menurut Timmer et al (2000), B. theobromae Pat. merupakan sinonim dari Lasiodiplodia theobromae (Pat.) Griffon dan Maubl. dan Diplodia natalensis Pole-Evans; sedangkan teleomorphnya yaitu Botryosphaeria rhodina (Cooke) Arx). Jika dibandingkan dengan beberapa sumber pustaka, antara lain menurut Phillips (2002) konidia Lasiodiplodia spp. pada awalnya hialin kemudian menjadi berwarna dan memiliki satu sekat. Melanin tersimpan dalam bantuk garis yang teratur dan tetap pada bagian sebelah dalam dinding konidia, sehingga

50 33 kelihatan seperti garis yang membujur; demikian pula Sato et al. (2008) melaporkan konidia matang Lasiodiplodia spp. berwarna coklat tua, berdinding tebal, memiliki garis membujur di sekelilingnya dan terdapat satu sekat melintang pada bagian tengah konidia (Gambar 2C). Menurut Barnett & Hunter (1998), morfologi Diplodia spp. hampir sama dengan Botryodiplodia sp. Perbedaannya hanya pada bentuk konidia matang dan piknidia, yaitu pada Diplodia sp. konidia matang lebih lonjong dan piknidiumnya tidak berkelompok (Gambar 2A). Berdasarkan uraian di atas dan gambar rujukan pada Gambar 2, maka 11 isolat patogen yang berhasil dieksplorasi dari setiap lokasi yang berbeda merupakan B. theobromae Pat. (teleomorph B. rhodina (Cooke) Arx.)). Tabel 4 Ukuran konidia Diplodia sp. dan atau Botryodiplodia sp. Asal isolat Ukuran konidia in vitro (pxl) Rerata(µm) Rasio (p/l) Berastagi x x Kampar x x Muaro Jambi x x Tulang x x Bawang Barat Garut x x Jember x x Batu Malang x x Bangli x x TTS x x Banjarbaru x x Banjarmasin x x Selain P. citrophthora dan B. theobromae, dari sampel tanaman jeruk sakit dari setiap lokasi juga berhasil diisolasi Fusarium spp. (Gambar 12) dan Mortierella sp. (Gambar 13). Hal ini sesuai dengan pernyataan Erwin & Ribeiro (1996), yaitu pada pertanaman jeruk terdapat banyak cendawan patogen lain yang berasosiasi dengan patogen BPB antara lain Pythium dan Fusarium, yang biasanya dapat ditemukan dimana saja dan berasosiasi dengan tanaman yang sakit tapi tidak menjadi penyebab penyakit yang penting; sedangkan Mortierella belum diketahui peranannya terhadap tanaman jeruk.

51 34 A B C D E Gambar 12 Isolat Fusarium spp. (A-C) ; hifa hialin, bersekat (D); mikrokonidia (tdk bersekat, 1 sel) dan makrokonidia (bersekat, 2 4 sel) (E); klamidospora yang terbentuk secara terminal pada makrokonidia (F) F A B C D Gambar 13 Isolat Mortierella sp. (A; sporangiofor dan sporangia (B,C); sporangia (D) Identifikasi Cendawan Patogen BPB Jeruk Menggunakan Teknik PCR Identifikasi molekuler dengan teknik PCR menggunakan pasangan primer universal cendawan yaitu ITS4 dan ITS5 mampu mengamplifikasi daerah ITS rdna semua isolat sampel, yaitu B. theobromae asal 11 lokasi sentra produksi jeruk di Indonesia dan P. citrophthora asal Desa Oehala (TTS). Produk hasil amplifikasi isolat B. theobromae berukuran ± 550 bp, sementara P. citrophthora berukuran ± 700 bp (Gambar 14). Pasangan primer yang digunakan adalah primer universal yang dirancang untuk mengamplifikasi sebagian sub unit kecil

52 18S, keseluruhan daerah ITS4 dan ITS5 serta 5.8S, dan sebagian sub unit besar 28S rdna berbagai jenis cendawan (White et al. 1990). 35 B. theobromae P. citrophthora M BR KM MJ TB GR JM MG BG TS BB BM M Pc 550 bp 700 bp Gambar 14 Hasil amplifikasi 11 isolat B. theobromae dan 1 isolat P. citrophthora menggunakan primer ITS4 dan ITS5. Marker 1 kb (M), Berastagi (BR), Kampar (KM), Muaro Jambi (MJ), Tulang Bawang Barat (TB), Garut (GR), Jember (JM), Batu Malang (MG), Bangli (BG), TTS (TS), Banjarbaru (BB), Banjarmasin (BM) dan isolat P. citrophthora asal TTS (Pc) Ukuran produk hasil PCR tersebut sesuai dengan yang diharapkan seperti yang dilaporkan oleh Slippers et al. (2005) yang memperoleh ukuran DNA Botryosphaeria sp. sebesar 550 bp dengan menggunakan pasangan primer ITS1 dan ITS4; Begoude et al. (2009) memperoleh ukuran DNA Botryosphaericeae yang bersasosiasi dengan Terminalia catappa sebesar ~580 bp jika diamplifikasi menggunakan pasangan primer ITS1 dan ITS4; Ippolito et al. (2002) memperoleh ukuran DNA Phytophthora spp. sebesar 700 bp dengan menggunakan pasangan primer ITS4 dan Ph2; Silvar et al. (2005) memperoleh ukuran sebesar 700 bp untuk DNA semua anggota ordo Peronosporales misalnya Phytophthora, Pythium dan penyebab downy mildews jika menggunakan pasangan primer DC6 dan ITS4. Perbedaan ukuran fragmen antara B. theobromae dan P. citrophthora disebabkan oleh adanya variasi panjang pendeknya daerah ITS pada masing-masing rdna cendawan. Daerah ITS sebagai daerah yang tingkat konservasinya rendah sedangkan daerah sub unit kecil 18S, 5.8S, sub unit besar 28S dan 5S diketahui

53 36 sebagai daerah yang sangat konservatif pada rdna yang mempunyai sekuen hampir pasti sama di antara organisme (Darmono et al. 2006). Walaupun demikian identifikasi dengan teknik PCR harus dilanjutkan dengan tahapan perunutan nukleotida (sekuensing) untuk memastikan identitas cendawan yang teramplifikasi. Perunutan Nukleotida (Sekuensing) Hasil perunutan nukleotida telah diperoleh untuk 10 isolat sampel DNA B. theobromae yang diamplifikasi dengan PCR (Tabel 5). Hasil perunutan tersebut digunakan untuk analisis penjajaran dengan program BLAST untuk mengetahui identitas B. theobromae. Hasil analisis nukleotida menunjukkan bahwa sekuen kesepuluh isolat penelitian mempunyai kemiripan yang tinggi (lebih dari 90%, e-value 0.0) dengan isolat cendawan B. rhodina dan L. theobromae (Tabel 6). Clavarie & Notredame (2003) menyatakan bahwa dua gen atau fragmen DNA dikatakan homolog jika 70% urutan nukleotida atau 25% urutan asam aminonya identik, dengan panjang urutan minimal 100. Berdasarkan hasil analisis penjajaran dengan program BLAST maka dapat dipastikan bahwa produk PCR kesepuluh isolat target asal jeruk dari lokasi yang berbeda adalah B. theobromae (sinonimnya L. theobromae; teleomorp B. rhodina). Hal ini berarti bahwa hasil identifikasi yang telah dilakukan berdasarkan karakter morfologi sudah tepat. Sekuen nukleotida B. theobromae yang tersimpan di GeneBank menggunakan nama teleomorphnya yaitu B. rhodina dan L. theobromae (sinonim dari B. theobromae). Hal ini terjadi karena sekuen nukleotida tersebut umumnya berasal dari negara subtropis yang memungkinkan ditemukannya fase seksual (teleomorp) patogen untuk bertahan pada kondisi tertekan (stress), antara lain karena temperatur yang terlalu tinggi atau terlalu rendah, kekeringan yang sangat ekstrim dan ada atau tidaknya tumbuhan inang. Untuk analisis kekerabatan (filogenetik), masing-masing runutan nukleotida isolat yang ditemukan pada penelitian ini dan runutan beberapa famili Botryosphaeriaceae yang dipilih dari GeneBank (Tabel 7) disejajarkan menggunakan software ClustalW ( kemudian hasil penjajaran nukleotida ditransfer ke Mega versi 4.0 (Tamura et al. 2007) untuk

54 37 menghasilkan penjajaran final (Lampiran 8) yang digunakan untuk membuat pohon filogenetik. Hasil penjajaran nukleotida menunjukkan bahwa kesepuluh isolat penelitian tidak memiliki kesamaan dengan outgroup dan sembilan isolat cendawan dari famili Botryosphaeriaceae yang terpilih dari GeneBank tetapi hanya memiliki kesamaan antar isolat penelitian saja. Hal ini diindikasikan dengan kolom-kolom nukleotida yang tidak terkonsentrasi dengan baik (Lampiran 9). Tabel 5 Daftar hasil runutan nukleotida isolat penelitian dari tanaman jeruk No Isolat Lokasi Fragmen (bp) 1 B. theobromae Berastagi (Sumatera Utara) B. theobromae Kampar (Riau) B. theobromae Muaro Jambi (Jambi) B. theobromae Tulang Bawang Barat (Lampung) B. theobromae Garut (Jawa Barat) B. theobromae Jember (Jawa Timur) B. theobromae Batu Malang (Jawa Timur) B. theobromae Bangli (Bali) B. theobromae TTS (NTT) B. theobromae Banjarbaru (Kalimantan Selatan) B. theobromae Banjarmasin (Kalimantan Selatan - *) 12 P. citrophthora Oehala (TTS NTT) - **) * ) tidak ada data nukleotida karena kualitas DNA yang rendah ** ) tidak ada fragmen kemungkinan DNA terkontaminasi dengan cendawan lainnya Tabel 6 Hasil analisis BLAST sekuen sepuluh isolat penelitian No. aksesi Spesies Asal aksesi Inang % homologi *) Asal isolat EU B. rhodina Brazil Mangga 100 Banjarbaru EU B. rhodina Brazil Mangga 100 Bangli EU B. rhodina Brazil Mangga 100 Berastagi EU B. rhodina Brazil Mangga 99 Tulang Bawang Barat FJ L. theobromae Kenya Mimba 100 Muaro Jambi FJ L. theobromae Kenya Mimba 99 Kampar EU B. rhodina Brazil Mangga 100 Batu-Malang EU B. rhodina Brazil Mangga 98 TTS GQ L. theobromae Taiwan Mangga 100 Garut HM L. theobromae Taiwan Alpukat 99 Jember *) Aksesi dipilih berdasarkan sekuen dengan % homologi tertinggi

55 Tabel 7 Daftar runutan nukleotida yang digunakan untuk analisis kekerabatan Outgroup dan Famili Botryosphaeriaceae No. Aksesi Asal aksesi (tahun) Inang 38 Ukuran Fragmen (bp) Polymyxa graminis EU Switzerland (2007) Gandum 610 Lasiodiplodia sp. GU Malaysia (2010) Jeruk 545 Botryosphaeria parva EF Australia (2007) Jeruk 515 Botryosphaeria sp. GU Malaysia (2009) Jeruk 548 L. pseudotheobromae EF Suriname (2008) Jeruk 542 Lasiodiplodia sp. AB Kaltim-Indonesia Meranti 539 (2007) Sphaeropsis sapinea AY Sumut-Indonesia Pinus 504 (2003) B. rhodina EU China (2008) Nangka 542 L. theobromae GQ Taiwan (2009) Mangga 533 L. theobromae GU Malaysia (2009) Sirsak 545 Hasil analisis kekerabatan menunjukkan hubungan kekerabatan isolatisolat B. theobromae dari 10 lokasi sentra produksi jeruk di Indonesia berbeda atau terpisah dengan 10 isolat yang terpilih dari GeneBank tersebut sehingga terbagi menjadi dua kelompok utama (Gambar 15). Isolat dari Indonesia membentuk kelompok tersendiri pada kelompok pertama sedangkan B. parva_australia_jeruk [EF ], Sphaeropsis sapinea_ Sumut-Indonesia_pinus [AY ], Lasiodiplodia sp._kaltim- Indonesia_meranti [AB ], Lasiodiplodia sp._malaysia_jeruk [GU ], L. theobromae_malaysia_sirsak [GU ], B. rhodina_china_nangka [EU ], Botryosphaeria sp._malaysia_jeruk [GU ], L. theobromae_taiwan_mangga [GQ ], dan L. pseudotheobromae_suriname_jeruk [EF ] berada pada kelompok kedua. Isolat dari Indonesia sendiri terbagi lagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok pertama terdiri dari Muaro Jambi, Jember dan Kampar, sedangkan kelompok kedua terdiri dari Bangli, TTS, Batu Malang, Banjarbaru, Berastagi, Garut dan Tulang Bawang Barat. Dari hasil analisis identitas matriks menunjukkan sesama isolat Indonesia sendiri mempunyai kesamaan yang tinggi ditunjukkan dengan nilai kesamaannya >90% (Tabel 8), sedangkan jika dibandingkan dengan isolat-isolat dari GeneBank, ternyata isolat Indonesia mempunyai nilai kesamaan yang sangat rendah (<50%).

56 39 Garut Banjarbaru Bangli Kintamani Malang Berastagi TTS Soe Tulang Lampung Bawang Barat Kampar Muaro Jambi Jambi Jember BP Australia jeruk SS Sumut pinus L Kaltim meranti L Malaysia jeruk LT Malaysia sirsak BR China Artocarpus B Malaysia jeruk LT Taiwan mangga LP Suriname jeruk PG Switzerland gandum Gambar 15 Filogeni sekuen isolat B. theobromae hasil penelitian dibandingkan dengan beberapa famili Botryosphaeriaceae dari jeruk dan beberapa inang yang lain asal beberapa wilayah di Asia. Polymyxa graminis dengan nomor aksesi EU digunakan sebagai outgroup. Angka pada percabangan menunjukkan tingkat kepercayaan perpisahan cabang Berdasarkan komunikasi pribadi dengan Prof. Dr. Ir. Meity S. Sinaga, M.Sc, pengelompokan pada isolat B. theobromae dari 11 lokasi di Indonesia sesuai dengan asal daerah bibit jeruk. Misalnya pada sentra produksi Kampar dan Muaro Jambi, bibit jeruk berasal dari Jember; Banjarbaru, Berastagi dan Tulang Bawang Barat, bibit jeruk berasal dari Garut; TTS mengambil bibit jeruk dari Malang atau disiapkan di TTS dengan bantuan teknisi dari Malang; sedangkan Bangli, bibit berasal dari daerah itu sendiri karena ada larangan

57 40 pengambilan bibit dari luar daerah. Perbedaan yang terjadi antara isolat penelitian dari Indonesia dan isolat-isolat yang tersimpan di GeneBank menggambarkan kemungkinan telah terjadinya evolusi dalam waktu yang relatif singkat. Hal ini mungkin terjadi karena pada dasarnya B. theobromae merupakan cendawan dari kelas Deuteromycetes yang relatif mudah melakukan perubahan genetik yang akan membentuk ras baru. Perubahan atau evolusi tergantung pada waktu generasi, jumlah unit reproduksi yang dibentuk per generasi, mekanisme keragaman genetik dan tekanan ekstrim untuk pertumbuhan dan perkembangannya (Agrios 2005). Perubahan-perubahan yang terjadi pada patogen dapat menyebabkan peningkatan atau penurunan sifat patogenisitasnya, dengan demikian pada suatu saat akan dapat terbentuk suatu ras baru yang lebih virulen dan dapat menyerang varietas inang yang resisten atau sebaliknya dapat terbentuk ras patogen yang avirulen (Sinaga 2006).

58 41 Tabel 8 Identitas matriks isolat-isolat penelitian dibandingkan dengan outgroup dan isolat dari GeneBank Sekuen Garut 2 Tulang Bawang Berastagi Banglitamani Malang Muaro Jambi Kampar Jember Banjarbaru Soe L_Malaysia_Jeruk BR_China_Nangka LT_Malaysia_sirsak B_Malaysia_jeruk LT_Taiwan_mangga LP_Suriname_jeruk L_Kaltim_meranti BP_Australia_jeruk SS_Sumut_pinus PG_Switzerland_gandum

59 42 Uji Patogenisitas Uji patogenisitas yang dilakukan di rumah kasa memperlihatkan perkembangan gejala yang positif meskipun perkembangan gejalanya sangat lambat. Pada permukaan batang, umumnya gejala terlihat kurang jelas, tetapi bila pada titik inokulasi disayat, terlihat perbedaan yang jelas antara perlakuan dengan patogen dan kontrol. Gejala terlihat lebih jelas lagi bila disayat sampai permukaan jaringan kayu. Pada perlakuan patogen terjadi nekrosis beberapa milimeter, sedangkan pada kontrol tidak ada gejala (Gambar 16). A Gambar 16 B Gejala pada uji patogenisitas. Nekrosis pada permukaan jaringan kayu (A), tidak ada gejala (B). (Foto oleh Tri Maryono) Menurut Umezurike (1979), nekrosis yang terjadi karena adanya aktivitas patogen yang menghasilkan enzim selulolitik untuk mendegradasi selulosa dan hemiselulosa pada jaringan kayu bibit jeruk sehingga menjadi partikel-partikel yang lebih kecil dan dapat dimanfaatkan oleh patogen dan sebagai akibatnya jaringan tersebut mati. Agrios (2005) menjelaskan bahwa enzim selulolitik yang disekresikan oleh patogen berperan untuk melunakkan dan menguraikan bahan penyusun dinding sel. Enzim-enzim tersebut memudahkan penetrasi dan penyebaran patogen dalam inang dan menyebabkan pecah dan terurainya struktur seluler sehingga dapat terjadi penyakit. Sementara menurut Begoude et al. (2009), cendawan patogen ini dapat hidup sebagai endofit dalam organ tanaman, dalam fase laten, tanpa menghasilkan gejala dan tanda yang jelas, dan penyakit hanya muncul apabila kondisi lingkungan tidak menguntungkan bagi tanaman.

60 43 Hal ini mengimplikasikan bahwa patogen akan dengan mudah berpindah melalui bagian tanaman yang digunakan untuk perbanyakan tanaman. Tipe berkembangan gejala penyakit seperti ini disebut gejala laten, yaitu merupakan tipe perkembangan yang berbahaya dan menyulitkan dalam pengendalian bila tindakan pengendalian didasarkan pada munculnya gejala karena pada saat gejala sudah dapat dilihat maka tanaman harus dipotong atau dimusnahkan. Uji patogenisitas pada tanaman jeruk eksplan secara in vitro yang dilakukan oleh peneliti lain dalam tim penelitian penyakit BPB jeruk dengan menggunakan isolat B. theobromae dan P. citrophthora yang sama, secara berturut-turut menunjukkan gejala klorosis, berkembang menjadi nekrosis, membentuk gum sampai mengakibatkan kematian (Gambar 17). A Gambar 17 B Uji patogenisitas pada tanaman eksplan secara in vitro. P. citrophthora (A), B. theobromae (B). Gejala nekrosis (anak panah), gejala gumosis (lingkaran). (Foto oleh Windi Ditha) Perkembangan gejala dan tanda akibat inokulasi P. citrophthora lebih lambat dibandingkan dengan B. theobromae, meskipun diawali dengan klorosis pada waktu yang sama yaitu pada 3 HSI. Gum yang terbentuk pada tanaman yang diinokulasi dengan P. citrophthora kelihatan lebih encer bila dibandingkan dengan gum pada tanaman yang diinokulasi dengan B. theobromae. Tanaman akan mengalami kematian setelah 12 HSI jika diinokulasi dengan P. citrophthora, dan 8 HSI jika diinokulasi dengan B. theobromae, selanjutnya inokulum patogen tumbuh memenuhi seluruh bagian tanaman kemudian membentuk stroma yang mengandung piknidia.

61 44 SIMPULAN DAN SARAN SIMPULAN Identifikasi berdasarkan karakteristik morfologi dan molekuler menunjukkan bahwa penyebab penyakit BPB pada 11 lokasi sentra produksi di Indonesia (Berastagi, Kampar, Muaro Jambi, Tulang Bawang Barat, Garut, Jember, Batu Malang, Bangli, TTS, Banjarbaru, dan Banjarmasin) adalah B. theobromae Pat. sedangkan penyebab penyakit BPB jeruk pada Desa Oehala (TTS), Propinsi NTT adalah P. citrophthora. Uji patogenisitas secara in vitro maupun in vivo menunjukkan bahwa kedua spesies patogen yang diisolasi memiliki patogenisitas yang tinggi. SARAN Eksplorasi ke pertanaman jeruk dengan gejala BPB masih perlu dilakukan di daerah lain untuk memastikan penyebab utama penyakit BPB (gumosis) di Indonesia. Penetapan penyebab utama BPB tersebut sangat ditentukan oleh hasil uji patogenisitas masing-masing isolat menggunakan metode inokulasi yang tepat dan benar.

62 DAFTAR PUSTAKA Agrios GN Plant Pathology. Ed ke-5. New York: Elsevier Academic Press. Ashari S Hortikultura Aspek Budidaya Indonesia. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Barnett HL, Hunter BB Ilustrated Genera of Imperfect Fungi. Ed ke-4. Minnesota: Burgess Publishing Company. Bartlett JMS, David S PCR Protocols vol 226: Methods in Moleculer Biology. Ed ke-2. Totowa, New Jersey: Humana Press. Begoude BAD, Bernard S, Michael JW, dan Jolanda R Botryosphaeriaceae associated with Terminalia cattapa in Cameroon, South Africa and Madagascar. Mycological Progress 9: Burgess TI, Paul AB, Sari M, Geoff P, Wilhem de B, Michael JW The new Lasiodiplodia spp. from the tropics, recognized based on DNA sequence comparison and morphology. Mycologia 98: Camele I, Carmine M, Gennaro C Detection and identification of Phytophthora species in southern Italy by RFLP and sequence analysis of PCR-amplified nuclear ribosomal DNA. European Journal of Plant Pathology 113:1-14. Choi YW, Kevin DH, Wellcome WHH Single spore isolation of fungi. Fungal Diversity 3: Crous PW, Slippers B, Wangfield MJ, Rheeder J, Marasas WFO, Phillips AJL, Alves A, Burgess T, Barber P, Groenewald JZ Phylogenetics lineages in Botryospaeriacea. Studies in Mycology 55: Darmono TW, Ilyas J, Dwi AS Pengembangan penanda molekuler untuk deteksi Phytophthora palmivora pada tanaman kakao. Menara Perkebunan 74:87-96 [Deptan] Departemen Pertanian Data luas panen, produksi dan produktivitas tanaman hortikultura Tahun Dalam www. deptan.go.id. Diakses tanggal 10 April Domsch KH, Gams W, Anderson TH. 1980a. Compendium of Soil Fungi Vol 2. London: Academic Press. Edel, V Polymerase chain reaction in mycology: an overview. Di dalam: Bridge PD et al. (editor). Applications of PCR in Mycology. United Kingdom: CAB International. p Erwin DC, Bartnicki-Garcia S, Tsao PH, editor Phytophthora: Its Biology, Taxonomy, Ecology and Pathology. St Paul, Minnesota: APS Press. Erwin DC, Ribeiro OK Phytophthora Disease Worldwide. St Paul, Minnesota: APS Press.

63 Flynn PH Plant Disease Diagnosis. Di dalam: Glenda DW, editor. Biotechnology Information Series. Iowa: Office of Biotechnology, Iowa State University. Godwin R, Mchau A, Coffey MD Isozyme diversity in Phytophthora palmivora evidence for Southeast Asian center of origin. Mycological Research 98: Graham JH, Timmer LW Phytophthora Disease of Citrus. Di dalam: Kumar J, Chaube HS, Singh US, Mukhopodhy AN, editor. Plant Disease of International Importance Vol III Disease of Fruit Crops. New Jersey: Prentice Hall. hlm Graham JH, Timmer LW, Drouillard D, Peever TL Charactherization of Phytophthora spp. causing outbreaks citrus brown rot in Florida. Phytopathology 88: Ho HH, JY Lu A synopsis of the occurrence and patgogenicity of Phytophthora species in mainland China. Mycopathologia 138: Ippolito A, Leonardo S, Franco N Detection of Phytophthora nicotianae and P. citrophthora in roots and soils by nested PCR. European Journal of Plant Pathology 108: Khan IA Citrus Genetics, Breeding and Biotechnology. Washington DC: CAB International. Leoni C, R Ghini Sewage sludge effect on management of Phytophthora nicotianae in citrus Crop protection 25: Lutz A, Menge J Citrus root health II: Phytophthora root rot. Citrograph 72: Ma Z, Themis JM Approaches for eliminating PCR inhibitors and designing PCR primers for the detection of phytopathogenic fungi. Crop Protection 26: Madigan MT, Martinko JM, Parker J Brock, the Biology of Microorganism. Ed ke-8. New Jersey: Prentice Hall. Manohara, D. and N. Sato Morphological and physiological observation on the Phytophthora isolates from black pepper. Industrial Crops Research Journal 4: McPherson MJ, Oliver RJ, Gurr SJ The Polymerase Chain Reaction. Di dalam Gurr SJ, McPherson MJ, Bowles DJ, editor. Moleculer Plant Pathology Vol 1 a Practical Approach. Oxford: Oxford University Press. hlm Mehrotra RS, Ashok A Plant Pathology. Ed ke-2. New Delhi: Tata McGraw-Hill. Motulo HFJ Keragaman genetik beberapa isolat Phytophthora palmivora penyebab gugur buah kakao berdasarkan penanda random amplified polymorphic DNA (RAPD) [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. 46

64 Motulo HFJ, Meity SS, Alex H, Gede S, Hajrial A Karakter morfologi dan molekuler isolat Phytophthora palmivora asal kakao dan kelapa. Jurnal Littri 3: Mullis KB, Faloona FA, Scharf SJ, Saiki RK, Horn GT, Erlich HA Specific enzimatic amplification of DNA in vitro: the polymerase chain reaction. Symp Quant Biol 51: Naqvi SAMH Disease of Fruit and Vegetables: Diagnosis and Management. Vol II. Dordrecht. Kluwer Academic Publishers. Orozco-Castillo C. Chalmers KJ, Waugh R, Powell W Detection of genetic diversity and selective gene introgession in coffee using RAPD markers. Theoretical and Applied Genetics 89: Phillips AJL, IC Rumbos, A Alves dan A Correia Morphology and phylogeny of Botryosphaeria dothidea causing fruit rot of olives. Mycopathologia 159: Phillips AJL Anamorph genera associated with Botryosphaeria. Centro de Recursos Microbiológicos, Faculdade de Ciências e Tecnologia, Universidade Nova de Lisboa, Caparica, Portugal. Ploetz RC Disease of International. 47 Tropical Fruit Crops. Washington DC: CAB Ristaino JB, Madritch M, Trout CL, Parra G PCR amplification of ribosomal DNA for species identification in the plant pathogen genus Phytophthora. Applied and Environmental Microbiology 64: Rychlick W Selection of primer for polymerase chain reaction. Molecular Biotechnology 3: Sato T, Yumi I, Keisuke T, Satoshi T, Atsushi O, Kazuko T Black band of Jew s marrow caused by Lasiodiplodia theobromae. Journal of General Plant Pathology 74: Semangun H Penyakit-penyakit Tanaman Hortikultura di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Silvar C, JM Duncan, DEL Cooke, NA William, J Diaz, F Merino Development of specific primers for identification and detection of Phytophthora capsici Leon. European Journal of Plant Pathology 112: Sinaga MS Dasar-dasar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Ed ke-2. Penebar Swadaya. Jakarta. Siviero A, Mariangela C, Edson LF, Antonio AFG, Alexandre SGC, Marcos AM Identification of QTLs associated with citrus resistance to Phytophthora gummosis. Journal of Applied Genetics 47: Slippers B, Greg IJ, Pedro WC, Teresa AC, Brenda DW, dan Michael JW Phylogenetic and morphological re-evoluation of the Botryosphaeria species causing disease of Mangifera indica. Mycologia 97:

65 Tamura K, Dudley J, Nei M, Kumar S MEGA4: Molecular Evalutionary Genetics Analysis (MEGA) software version 4.0. Molecular Biology and Evolution /molbev/msm092. Taylor GR Polymerase Chain Reaction Di dalam: McPherson MJ, P Quirke, Taylor GR, editor. PCR Basic Principles and Automation. Oxford: Oxford University Press. hlm Thompson JD et al The Clustal X Windows Interface: flexible strategies for multiple sequence alignment aided by quality analysis tools. Nucleid Acids Research 24: Timmer LW, SM Garnsey, JH Graham Compendium of Citrus Disease. Ed ke-2. Minnesota: APS Press. Toruan-Mathius N, T Hutabarat, D Suhendi The use of RAPD to evaluate genetic variability of hybrid parent in Theobromae cacao L. Plants Menara Perkebunan 65: Vial A, Bernardo AL, Juan O. Characterization of Phytophthora citrophthora and P. inundata associated to foot and root rot of citrus trees in Chile Cien. Inv. Agr. 33: Wahyuno D, Dyah M, Dwi NS Variasi morfologi dan virulensi Phytophora capsici asal lada. Buletin Plasma Nutfah 13: Waller JM, JM Lenne, SJ Waller Plant Pathologist s Pocketbook. Ed ke-3. New York: CABI Publishing. Watanabe T Pictorial Atlas of Soil and Seed Fungi: Morfologies of Cultured Fungi and Key to Species. Ed ke-2. United State of america: CRC Press. Wet JD, Bernard S, Oliver P, Brenda DW, dan Michael JW Phylogeny of the Botryosphaeriaceae reveals patterns of host association. Molecular Phylogenetics and Evolution 46: White TJ, Bruns T, Lee S, Taylor J Amplification and Direct Sequencing of Fungal Ribosomal RNA Genes for Phylogenetics. Di dalam: Innis MA, (editor). PCR Protocols: a Guide to Methods and Application. San Diego: Academic Press. hlm Zadoks JC, Schein RD Epidemiology and Plant Disease Management. Oxford: Oxford University Press. 48

66 49 Lampiran 1 Komposisi Medium PDA (1 liter) No Bahan Takaran 1 Kentang 200 g 2 Dekstrosa 15 g 3 Agar 20 g 4 Air steril 1000 ml 200 g kentang yang telah dikupas dan dipotong-potong direbus dalam 1000 ml air steril dan dididihkan sampai empuk. Air hasil rebusan disaring dan ditambahkan air steril lagi hingga volumenya menjadi 1 L, kemudian 15 g dextrosa dan 20 g agar dimasukkan ke dalamnya dan diautoklaf. Dextrosa dapat diganti dengan sukrosa untuk merangsang sporulasi berbagai jenis cendawan. Lampiran 2 Komposisi Medium V8 Agar (1 liter) No Bahan Takaran 1 V8 jus 200 ml 2 Agar 20 g 3 CaCO 3 3 g 4 Air steril 800 ml Media ini digunakan untuk membantu pertumbuhan merangsang sporulasi berbagai jenis cendawan sebagai pengganti PDA. 200 ml sari V8 jus, 3 g CaCO 3, 20 g agar dicampurkan dengan 800 ml air steril. ph-nya diatur dengan cara mengatur banyaknya jus yang dipakai atau diberikan CaCO 3. Jika sari mengandung banyak serat, sebaiknya disentrifius dan disaring terlebih dahulu dengan kertas saring.

67 Lampiran 3 Protokol penyiapan inokulum Phytophthora (AVRDC Mycology 2000) 1. Tumbuhkan Phytophthora pada medium V8 jus agar. Pindahlan 7 mm potongan miselial ke bagian tengan cawan petri diameter 9 cm dan inkubasi pada 28 o C dengan lampu yang tetap menyala selama 4 hari. 2. Potong setiap kultur agar menjadi empat bagian dengan ukuran yang sama menggunakan pisau steril; pindahkan setiap potongan pada cawan petri baru yang steril dan potong menjadi beberapa bagian berbentuk kotak berukuran ± 0,5 cm Tambahkan air steril sampai menutupi agar block dan inkubasi pada suhu ruang selama 1 jam; tuang airnya dan ganti dengan 18 ml air steril sampai menutupi seluruh permukaan agar block. 4. Inkubasi selama 24 jam pada 28 o C dengan lampu yang tetap menyala untuk pembentukan sporangia. 5. Pindahkan lagi ke incubator (4 o C) selama 2 jam untuk inisiasi pembentukan zoospora. 6. Kembalikan lagi pada incubator yang tetap menyala suhu 28 o C selama 1 jam untuk pelepasan zoospora. 7. Tuang suspensi zoospora dan jika diperlukan cuci agar block untuk mendapatkan zoospora baru yang lebih besar (menggunakan cheese cloth). 8. Pindahkan suspensi sampel yang representatif ke haemocytometer dan panaskan slide pada pemanas (50 o C selama 1 menit) dengan tujuan agar zoospora menjadi tidak bergerak sehingga mudah dihitung. 9. Sediaan suspensi zoospora harus disimpan di tempat yang dingin atau dalam air dingin. 50

68 51 Lampiran 4 Cara kalibrasi mikrometer okuler dan objektif pada mikroskop binokuler 1 skala mikrometer objektif = 0,01 mm atau 10 µm; sedangkan 1 skala okuler = Jarak yang diketahui antara 2 garis pada mikrometer objektif Jarak skala pada mikrometer okuler = 0,01 x skala objektif (dalam mm) skala okuler = 10 x skala objektif (dalam µm) skala okuler Lampiran 5 Sistem klasifikasi Saccarado (Barnett & Hunter 1998) SPHAEROPSIDALES 1a. Conidia globose to oblong or ellipsoid, not filiform 2 1b. Conidia filiform, at least several times longer than wide, 1-to several-celled (scolecosporous).62 2a. Conidia 1-celled...3 2b. Conidia typically 2-celled..45 2c. Conidia typically 3-to several-celled.52 45a. Conidia hyaline b. Conidia with distinct dark pigment a. Pycnidia separate, not in stroma...diplodia 51b. Pycnidia clustered in stroma..botryodiplodia

69 Lampiran 6 Berastagi (3 HSI) Pertumbuhan koloni Diplodia dan atau Botryodiplodia dalam PDA pada suhu kamar (25 30 o C) Asal Isolat Permukaan atas Permukaan bawah 52 Kampar (3 HSI) Muaro Jambi (3 HSI) Tulang Bawang Barat (3 HSI) Garut (3 HSI) Jember (4 HSI)

70 53 Lampiran 6 (Lanjutan) Batu - Malang (3 HSI) Bangli (7 HSI) TTS (3 HSI) Banjarbaru (3 HSI) Banjarmasin(3 HSI)

71 Lampiran 7 Konidia B. theobromae (perbesaran 100x dan 400x pada mikroskop binokuler) Berastagi Asal Isolat Hasil Foto Mikroskopis 54 Kampar Muaro Jambi Tulang Bawang Barat Garut Jember

72 55 Lampiran 7 (Lanjutan) Batu - Malang Bangli TTS Banjarbaru Banjarmasin

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Penyebab Berdasarkan Karakter Morfologi

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Penyebab Berdasarkan Karakter Morfologi 19 HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Penyebab Berdasarkan Karakter Morfologi Dalam pengembangan jeruk di lahan basah, penyakit Busuk Pangkal Batang yang disebabkan oleh organisme mirip cendawan (fungal

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 14 HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Penyakit oleh B. theobromae Penyakit yang disebabkan oleh B. theobromae pada lima tanaman inang menunjukkan gejala yang beragam dan bagian yang terinfeksi berbeda-beda (Gambar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Jeruk

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Jeruk 4 TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Jeruk Tanaman jeruk (Citrus spp.) merupakan tanaman hortikultura dataran tinggi tropis yang beriklim kering. Jeruk dikenal berasal dari Asia Tenggara, yaitu India, Cina Selatan,

Lebih terperinci

Identifikasi Penyebab Penyakit Busuk Pangkal Batang pada Jeruk. Identification of Citrus Basal Stem Rot Disease

Identifikasi Penyebab Penyakit Busuk Pangkal Batang pada Jeruk. Identification of Citrus Basal Stem Rot Disease ISSN: 0215-7950 Volume 10, Nomor 3, Juni 2014 Halaman 93 97 DOI: 10.14692/jfi.10.3.93 Identifikasi Penyebab Penyakit Busuk Pangkal Batang pada Jeruk Identification of Citrus Basal Stem Rot Disease Eka

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI PENYEBAB BUSUK PANGKAL BATANG JERUK (Citrus spp.) SERTA UJI ANTAGONISME in vitro DENGAN Trichoderma harzianum DAN Gliocladium virens

IDENTIFIKASI PENYEBAB BUSUK PANGKAL BATANG JERUK (Citrus spp.) SERTA UJI ANTAGONISME in vitro DENGAN Trichoderma harzianum DAN Gliocladium virens 1 IDENTIFIKASI PENYEBAB BUSUK PANGKAL BATANG JERUK (Citrus spp.) SERTA UJI ANTAGONISME in vitro DENGAN Trichoderma harzianum DAN Gliocladium virens EKA RETNOSARI DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Nilai Ekonomi Cendawan Botryodiplodia theobromae

TINJAUAN PUSTAKA Nilai Ekonomi Cendawan Botryodiplodia theobromae TINJAUAN PUSTAKA Nilai Ekonomi Cendawan Botryodiplodia theobromae B. theobromae dilaporkan telah menyebabkan berbagai penyakit diantaranya mati ujung, busuk akar, busuk buah, bercak daun, dan sapu setan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Alexopoulus dan Mims (1979), klasifikasi jamur C. cassiicola. : Corynespora cassiicola (Berk. & Curt.) Wei.

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Alexopoulus dan Mims (1979), klasifikasi jamur C. cassiicola. : Corynespora cassiicola (Berk. & Curt.) Wei. 19 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Penyakit Menurut Alexopoulus dan Mims (1979), klasifikasi jamur C. cassiicola adalah sebagai berikut : Divisio Sub Divisio Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Eumycophyta : Eumycotina

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun klasifikasi Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc. menurut. : Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc.

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun klasifikasi Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc. menurut. : Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Penyakit Adapun klasifikasi Colletotrichum gloeosporioides Penz. Sacc. menurut Dwidjoseputro (1978) sebagai berikut : Divisio Subdivisio Kelas Ordo Family Genus Spesies : Mycota

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Cendawan Botryodiplodia theobromae Taksonomi Cendawan Bioekologi dan Nilai Ekonomi

TINJAUAN PUSTAKA Cendawan Botryodiplodia theobromae Taksonomi Cendawan Bioekologi dan Nilai Ekonomi 3 TINJAUAN PUSTAKA Cendawan Botryodiplodia theobromae Taksonomi Cendawan Klasifikasi cendawan Botryodiplodia theobromae (Alexopoulos et al. 1996) adalah sebagai berikut: Domain : Eukaryota Kingdom : Fungi

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Perbanyakan P. citrophthora dan B. theobromae dilaksanakan di Laboratorium Mikologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor,

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN TAHUNAN PENYAKIT PADA KOMODITAS PEPAYA. disusun oleh: Vishora Satyani A Listika Minarti A

LAPORAN PRAKTIKUM HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN TAHUNAN PENYAKIT PADA KOMODITAS PEPAYA. disusun oleh: Vishora Satyani A Listika Minarti A LAPORAN PRAKTIKUM HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN TAHUNAN PENYAKIT PADA KOMODITAS PEPAYA disusun oleh: Lutfi Afifah A34070039 Vishora Satyani A34070024 Johan A34070034 Listika Minarti A34070071 Dosen Pengajar:

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi jamur Corynespora cassiicola menurut Alexopolus dan Mims. : Corynespora cassiicola (Berk. & Curt.

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi jamur Corynespora cassiicola menurut Alexopolus dan Mims. : Corynespora cassiicola (Berk. & Curt. TINJAUAN PUSTAKA Biologi Penyakit Klasifikasi jamur Corynespora cassiicola menurut Alexopolus dan Mims (1979) adalah sebagai berikut : Divisi Sub Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Eumycophyta :

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Agrios (1996) taksonomi penyakit busuk pangkal batang

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Agrios (1996) taksonomi penyakit busuk pangkal batang TINJAUAN PUSTAKA Biologi Jamur Busuk Pangkal Batang Menurut Agrios (1996) taksonomi penyakit busuk pangkal batang (Ganoderma spp.) adalah sebagai berikut: Kingdom Phylum Class Subclass Order Family Genus

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kitin dan Bakteri Kitinolitik Kitin adalah polimer kedua terbanyak di alam setelah selulosa. Kitin merupakan komponen penyusun tubuh serangga, udang, kepiting, cumi-cumi, dan

Lebih terperinci

V. PEMBAHASAN Penyakit gugur buah kelapa dan busuk buah kakao merupakan penyakit penting secara ekonomi dan dipandang sebagai ancaman utama pada

V. PEMBAHASAN Penyakit gugur buah kelapa dan busuk buah kakao merupakan penyakit penting secara ekonomi dan dipandang sebagai ancaman utama pada V. PEMBAHASAN Penyakit gugur buah kelapa dan busuk buah kakao merupakan penyakit penting secara ekonomi dan dipandang sebagai ancaman utama pada perusahaan perkebunan dan petani kelapa dan kakao di Indonesia.

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit antraknosa pada tanaman cabai disebabkan oleh tiga spesies cendawan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit antraknosa pada tanaman cabai disebabkan oleh tiga spesies cendawan 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penyakit Antraknosa Cabai Penyakit antraknosa pada tanaman cabai disebabkan oleh tiga spesies cendawan Colletotrichum yaitu C. acutatum, C. gloeosporioides, dan C. capsici (Direktorat

Lebih terperinci

WASPADA PENYAKIT Rhizoctonia!!

WASPADA PENYAKIT Rhizoctonia!! WASPADA PENYAKIT Rhizoctonia!! I. Latar Belakang Luas areal kebun kopi di Indonesia sekarang, lebih kurang 1,3 juta ha, sedangkan produksi kopi Indonesia sekarang, lebih kurang 740.000 ton dengan produksi

Lebih terperinci

Pengendalian Penyakit pada Tanaman Jagung Oleh : Ratnawati

Pengendalian Penyakit pada Tanaman Jagung Oleh : Ratnawati Pengendalian Penyakit pada Tanaman Jagung Oleh : Ratnawati Tanaman jagung disamping sebagai bahan baku industri pakan dan pangan pada daerah tertentu di Indonesia dapat juga sebagai makanan pokok. Karena

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 : Pengamatan mikroskopis S. rolfsii Sumber :

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 : Pengamatan mikroskopis S. rolfsii Sumber : 4 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Penyebab Penyakit Jamur penyebab penyakit rebah semai ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Fungi : Basidiomycota : Basidiomycetes

Lebih terperinci

TINJAUAN LITERATUR. Klasifikasi jamur Corynespora cassiicola menurut Alexopolus dan Mims. : Corynespora cassiicola (Berk. & Curt.

TINJAUAN LITERATUR. Klasifikasi jamur Corynespora cassiicola menurut Alexopolus dan Mims. : Corynespora cassiicola (Berk. & Curt. TINJAUAN LITERATUR Biologi Penyakit Klasifikasi jamur Corynespora cassiicola menurut Alexopolus dan Mims (1979) adalah sebagai berikut : Divisi Sub Divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Eumicophyta

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Jeruk ( Citrus sp.) Jeruk Japanshe Citroen ( Citrus limonia Osbeck)

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Jeruk ( Citrus sp.) Jeruk Japanshe Citroen ( Citrus limonia Osbeck) TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Jeruk (Citrus sp.) Tanaman jeruk adalah tanaman buah tahunan yang berasal dari Asia. Jeruk pertama kali tumbuh di Negara Cina kemudian menyebar ke negara-negara lain. Sejak ratusan

Lebih terperinci

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO

PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO Jalan Raya Dringu Nomor 81 Telp. (0335) 420517 Fax. (4238210) PROBOLINGGO 67271 POTENSI JAMUR ANTAGONIS Trichoderma spp PENGENDALI HAYATI PENYAKIT LANAS DI PEMBIBITAN TEMBAKAU

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Kasa Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat

BAHAN DAN METODE. Kasa Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan dan di Rumah Kasa Fakultas Pertanian, Medan dengan ketinggian tempat + 25 m dpl pada Bulan Mei

Lebih terperinci

Penyakit Layu Bakteri pada Kentang

Penyakit Layu Bakteri pada Kentang Penyakit Layu Bakteri pada Kentang Penyakit layu bakteri dapat mengurangi kehilangan hasil pada tanaman kentang, terutama pada fase pembibitan. Penyakit layu bakteri disebabkan oleh bakteri Ralstonia solanacearum

Lebih terperinci

Pengenalan Penyakit yang Menyerang Pada Tanaman Kentang

Pengenalan Penyakit yang Menyerang Pada Tanaman Kentang 1 Pengenalan Penyakit yang Menyerang Pada Tanaman Kentang Kelompok penyakit tanaman adalah organisme pengganggu tumbuhan yang penyebabnya tidak dapat dilihat dengan mata telanjang seperti : cendawan, bakteri,

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT PADA BUDIDAYA CABAI MERAH

IDENTIFIKASI DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT PADA BUDIDAYA CABAI MERAH IDENTIFIKASI DAN PENANGGULANGAN PENYAKIT PADA BUDIDAYA CABAI MERAH Nurbaiti Pendahuluan Produktifitas cabai di Aceh masih rendah 10.3 ton/ha (BPS, 2014) apabila dibandingkan dengan potensi produksi yang

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman jarak pagar berupa perdu dengan tinggi 1 7 m, daun tanaman

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman jarak pagar berupa perdu dengan tinggi 1 7 m, daun tanaman TINJAUAN PUSTAKA A. Morfologi Tanaman Jarak Pagar Tanaman jarak pagar termasuk famili Euphorbiaceae, satu famili dengan karet dan ubi kayu. Klasifikasi tanaman jarak pagar sebagai berikut (Hambali, dkk.,

Lebih terperinci

MENGENAL LEBIH DEKAT PENYAKIT LAYU BEKTERI Ralstonia solanacearum PADA TEMBAKAU

MENGENAL LEBIH DEKAT PENYAKIT LAYU BEKTERI Ralstonia solanacearum PADA TEMBAKAU PEMERINTAH KABUPATEN PROBOLINGGO DINAS PERKEBUNAN DAN KEHUTANAN JL. RAYA DRINGU 81 TELPON 0335-420517 PROBOLINGGO 67271 MENGENAL LEBIH DEKAT PENYAKIT LAYU BEKTERI Ralstonia solanacearum PADA TEMBAKAU Oleh

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi Cendawan Rhizosfer Hasil eksplorasi cendawan yang dilakukan pada tanah rhizosfer yang berasal dari areal tanaman karet di PT Perkebunan Nusantara VIII, Jalupang, Subang,

Lebih terperinci

PEMANFAATAN KOMPOS DAN ZEOLIT UNTUK PENGENDALIAN BUSUK PANGKAL BATANG (BPB) PADA TANAMAN LADA JEKVY HENDRA

PEMANFAATAN KOMPOS DAN ZEOLIT UNTUK PENGENDALIAN BUSUK PANGKAL BATANG (BPB) PADA TANAMAN LADA JEKVY HENDRA PEMANFAATAN KOMPOS DAN ZEOLIT UNTUK PENGENDALIAN BUSUK PANGKAL BATANG (BPB) PADA TANAMAN LADA JEKVY HENDRA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Alexopoulus dan Mims (1979), jamur Ceratocystis fimbriata

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Alexopoulus dan Mims (1979), jamur Ceratocystis fimbriata 4 TINJAUAN PUSTAKA Biologi Ceratocystis fimbriata. Menurut Alexopoulus dan Mims (1979), jamur Ceratocystis fimbriata dapat diklasifikasikan sebagai berikut, Kingdom : Myceteae, Divisi : Amastigomycota,

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Oktober 2011 sampai Maret 2012 di Rumah Kaca

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan pada Oktober 2011 sampai Maret 2012 di Rumah Kaca III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada Oktober 2011 sampai Maret 2012 di Rumah Kaca dan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian Universitas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Agrios (1996), penyakit bercak coklat sempit diklasifikasikan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Agrios (1996), penyakit bercak coklat sempit diklasifikasikan TINJAUAN PUSTAKA Patogen C. oryzae Miyake Biologi Menurut Agrios (1996), penyakit bercak coklat sempit diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom Divisio Sub divisi Kelas Ordo Famili Genus Spesies : Myceteae

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. enam instar dan berlangsung selama hari (Prayogo et al., 2005). Gambar 1 : telur Spodoptera litura

TINJAUAN PUSTAKA. enam instar dan berlangsung selama hari (Prayogo et al., 2005). Gambar 1 : telur Spodoptera litura S. litura (Lepidoptera: Noctuidae) Biologi TINJAUAN PUSTAKA Telur berbentuk hampir bulat dengan bagian datar melekat pada daun (kadangkadang tersusun 2 lapis), berwarna coklat kekuning-kuningan diletakkan

Lebih terperinci

Strategi Pengelolaan untuk Mengurangi Serangan Phythopthora capsici pada Tanaman Lada

Strategi Pengelolaan untuk Mengurangi Serangan Phythopthora capsici pada Tanaman Lada Strategi Pengelolaan untuk Mengurangi Serangan Phythopthora capsici pada Tanaman Lada Lada merupakan salah satu komoditas ekspor tradisional andalan yang diperoleh dari buah lada black pepper. Meskipun

Lebih terperinci

Lampiran 1 Komposisi Medium PDA (1 liter) 1 Kentang 200 g 2 Dekstrosa 15 g 3 Agar 20 g 4 Air steril 1000 ml

Lampiran 1 Komposisi Medium PDA (1 liter) 1 Kentang 200 g 2 Dekstrosa 15 g 3 Agar 20 g 4 Air steril 1000 ml 49 Lampiran 1 Komposisi Medium PDA (1 liter) No Bahan Takaran 1 Kentang 200 g 2 Dekstrosa 15 g 3 Agar 20 g 4 Air steril 1000 ml 200 g kentang yang telah dikupas dan dipotong-potong direbus dalam 1000 ml

Lebih terperinci

KONSEP, DIAGNOSIS, DAN KLASIFIKASI PENYAKIT TANAMAN

KONSEP, DIAGNOSIS, DAN KLASIFIKASI PENYAKIT TANAMAN KONSEP, DIAGNOSIS, DAN KLASIFIKASI PENYAKIT TANAMAN DEFINISI PENYAKIT TANAMAN Whetzel (1929), penyakit adalah suatu proses fisiologi tumbuhan yang abnormal dan merugikan yang disebabkan oleh faktor primer

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Klasifikasi dan Deskripsi Tanaman Cabai Merah (Capsicum annuum L.)

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Klasifikasi dan Deskripsi Tanaman Cabai Merah (Capsicum annuum L.) II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Deskripsi Tanaman Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Tanaman cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan tanaman sayuran yang tergolong tanaman tahunan berbentuk perdu.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai

TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai 3 TINJAUAN PUSTAKA Botani dan Morfologi Cabai Cabai (Capsicum annuum L.) termasuk dalam genus Capsicum yang spesiesnya telah dibudidayakan, keempat spesies lainnya yaitu Capsicum baccatum, Capsicum pubescens,

Lebih terperinci

PENYAKIT VASCULAR STREAK DIEBACK (VSD) PADA TANAMAN KAKAO (THEOBROMA CACAO L) DAN. Oleh Administrator Kamis, 09 Februari :51

PENYAKIT VASCULAR STREAK DIEBACK (VSD) PADA TANAMAN KAKAO (THEOBROMA CACAO L) DAN. Oleh Administrator Kamis, 09 Februari :51 Kakao (Theobroma cacao L) merupakan satu-satunya diantara 22 spesies yang masuk marga Theobroma, Suku sterculiacecae yang diusahakan secara komersial. Kakao merupakan tanaman tahunan yang memerlukan lingkungan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. merata sepanjang tahun. Curah hujan (CH) untuk pertanaman pepaya berkisar

TINJAUAN PUSTAKA. merata sepanjang tahun. Curah hujan (CH) untuk pertanaman pepaya berkisar 4 TINJAUAN PUSTAKA Pepaya (Carica papaya L.) Asal-usul Pepaya Pepaya merupakan tanaman buah berupa herba yang diduga berasal dari Amerika Tropis, diantaranya Meksiko dan Nikaragua. Penyebaran tanaman pepaya

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Isolasi dan Identifikasi Cendawan Patogen

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan Penelitian Metode Penelitian Isolasi dan Identifikasi Cendawan Patogen 14 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Percobaan dilaksanakan dari bulan Maret sampai bulan Juli 2012 di Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. serius karena peranannya cukup penting dalam perekonomian nasional. Hal ini

I. PENDAHULUAN. serius karena peranannya cukup penting dalam perekonomian nasional. Hal ini 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Masalah Kakao merupakan salah satu komoditi perkebunan yang mendapatkan perhatian serius karena peranannya cukup penting dalam perekonomian nasional. Hal ini terlihat

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 10 HASIL DAN PEMBAHASAN Survei Buah Sakit Survei dilakukan di kebun percobaan Leuwikopo, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, di lahan ini terdapat 69 tanaman pepaya. Kondisi lahan tidak terawat

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tabel 1 Kombinasi perlakuan yang dilakukan di lapangan

BAHAN DAN METODE. Tabel 1 Kombinasi perlakuan yang dilakukan di lapangan 13 BAHAN DAN METODE Tempat dan waktu Penelitian ini dilaksanakan di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor serta di Laboratorium Bakteriologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN KUBIS PADA TIGA SISTEM BUDI DAYA A. MUBARRAK

PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN KUBIS PADA TIGA SISTEM BUDI DAYA A. MUBARRAK PERKEMBANGAN HAMA DAN PENYAKIT TANAMAN KUBIS PADA TIGA SISTEM BUDI DAYA A. MUBARRAK SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK A. MUBARRAK. Perkembangan Hama dan Penyakit Tanaman

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium cepa L. Aggregatum group) salah satu komoditas sayuran penting di Asia Tenggara karena seringkali

I. PENDAHULUAN. Bawang merah (Allium cepa L. Aggregatum group) salah satu komoditas sayuran penting di Asia Tenggara karena seringkali I. PENDAHULUAN 1. Latar belakang Bawang merah (Allium cepa L. Aggregatum group) merupakan salah satu komoditas sayuran penting di Asia Tenggara karena seringkali digunakan sebagai bahan penyedap masakan

Lebih terperinci

Laboratorium Budidaya Tanaman Anggrek DD Orchids Nursery Kota. mahasiswa dan dosen, termasuk bidang kultur jaringan tanaman.

Laboratorium Budidaya Tanaman Anggrek DD Orchids Nursery Kota. mahasiswa dan dosen, termasuk bidang kultur jaringan tanaman. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Mikroorganisme terdapat di berbagai tempat seperti tanah, debu, air, udara, kulit dan selaput lendir. Mikroorganisme dapat berupa bakteri, fungi, protozoa dan lain-lain.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit Eucalyptus spp. Ada beberapa penyakit penting yang sering menyerang tanaman. Eucalyptus spp.

TINJAUAN PUSTAKA. Penyakit Eucalyptus spp. Ada beberapa penyakit penting yang sering menyerang tanaman. Eucalyptus spp. TINJAUAN PUSTAKA Penyakit Eucalyptus spp Ada beberapa penyakit penting yang sering menyerang tanaman Eucalyptus spp. antara lain: 1. Penyakit pada akar a. Busuk akar Phytophthora Penyakit ini disebabkan

Lebih terperinci

MENGIDENTIFIKASI DAN MENGENDALIKAN PENYAKIT BLAST ( POTONG LEHER ) PADA TANAMAN PADI

MENGIDENTIFIKASI DAN MENGENDALIKAN PENYAKIT BLAST ( POTONG LEHER ) PADA TANAMAN PADI MENGIDENTIFIKASI DAN MENGENDALIKAN PENYAKIT BLAST ( POTONG LEHER ) PADA TANAMAN PADI Disusun Oleh : WASIS BUDI HARTONO PENYULUH PERTANIAN LAPANGAN BP3K SANANKULON Penyakit Blas Pyricularia oryzae Penyakit

Lebih terperinci

PENYAKIT PENYAKIT YANG SERING MENYERANG CABAI MERAH (Capsicum annuum L.)

PENYAKIT PENYAKIT YANG SERING MENYERANG CABAI MERAH (Capsicum annuum L.) PENYAKIT PENYAKIT YANG SERING MENYERANG CABAI MERAH (Capsicum annuum L.) Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Masalah yang sering dihadapi dan cukup meresahkan petani adalah adanya serangan hama

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENYEBAB PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA TANAMAN TEMBAKAU DI PROBOLINGGO

KARAKTERISTIK PENYEBAB PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA TANAMAN TEMBAKAU DI PROBOLINGGO KARAKTERISTIK PENYEBAB PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA TANAMAN TEMBAKAU DI PROBOLINGGO Pendahuluan Tembakau merupakan salah satu komoditas perkebunan yang strategis dan memiliki nilai ekonomi cukup tinggi.

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Pra-pengamatan atau survei

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Pra-pengamatan atau survei BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Pusat Kajian Buah-Buahan Tropika IPB (PKBT-IPB) Pasir Kuda, Desa Ciomas, Bogor, dan Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai berbentuk perdu dengan tinggi lebih kurang cm.

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman kedelai berbentuk perdu dengan tinggi lebih kurang cm. TINJAUAN PUSTAKA Sistematika dan Biologi Tanaman Kedelai berikut: Menurut Sharma (2002), kacang kedelai diklasifikasikan sebagai Kingdom Divisio Subdivisio Class Family Genus Species : Plantae : Spermatophyta

Lebih terperinci

Ralstonia solanacearum

Ralstonia solanacearum NAMA : Zuah Eko Mursyid Bangun NIM : 6030066 KELAS : AET-2A Ralstonia solanacearum (Bakteri penyebab penyakit layu). Klasifikasi Kingdom : Prokaryotae Divisi : Gracilicutes Subdivisi : Proteobacteria Famili

Lebih terperinci

PENGENDALIAN LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN PISANG (Musa paradisiaca L.) SECARA KULTUR TEKNIS DAN HAYATI MIFTAHUL HUDA

PENGENDALIAN LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN PISANG (Musa paradisiaca L.) SECARA KULTUR TEKNIS DAN HAYATI MIFTAHUL HUDA PENGENDALIAN LAYU FUSARIUM PADA TANAMAN PISANG (Musa paradisiaca L.) SECARA KULTUR TEKNIS DAN HAYATI MIFTAHUL HUDA DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 ABSTRAK MIFTAHUL

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian a. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jamur yang memiliki tubuh buah, serasah daun, ranting, kayu

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus hidup S. litura berkisar antara hari (lama stadium telur 2 4

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus hidup S. litura berkisar antara hari (lama stadium telur 2 4 TINJAUAN PUSTAKA Spodoptera litura (Lepidoptera: Noctuidae) Biologi Siklus hidup S. litura berkisar antara 30 60 hari (lama stadium telur 2 4 hari, larva yang terdiri dari 6 instar : 20 26 hari, pupa 8

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu 15 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di laboratorium dan rumah kaca Hama dan Penyakit dan rumah kaca Balai penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITTRO), Bogor; pada bulan Oktober

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman tembakau dalam sistem klasifikasi tanaman masuk dalam famili

I. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman tembakau dalam sistem klasifikasi tanaman masuk dalam famili I. TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Tanaman Tembakau 1.1.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman tembakau dalam sistem klasifikasi tanaman masuk dalam famili Solanaceae. Secara sistematis, klasifikasi tanaman tembakau

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Isolasi Cendawan Rizosfer

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Isolasi Cendawan Rizosfer 10 HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Lokasi pengambilan sampel berada di dua tempat yang berbeda : lokasi pertama, Kabupaten Bogor. Kabupaten Bogor memiliki ketinggian + 400 m dpl (diatas permukaan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Cabai (Capsicum annum L.) merupakan salah satu komoditas sayuran penting dan bernilai ekonomi tinggi di Indonesia. Tanaman cabai dikembangkan baik di dataran rendah maupun

Lebih terperinci

Akibat Patik Setitik, Rusaklah Penghasilan Petani

Akibat Patik Setitik, Rusaklah Penghasilan Petani Akibat Patik Setitik, Rusaklah Penghasilan Petani Oleh Vikayanti, S.Si POPT Muda BBPPTP Surabaya Senada dengan peribahasa akibat nila setitik rusak susu sebelanga, serangan patik dapat diibaratkan sebagai

Lebih terperinci

PENGARUH APLIKASI STARTER SOLUTION PADA TIGA GENOTIPE CABAI (Capsicum annuum L.) TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN SERTA KEJADIAN PENYAKIT PENTING CABAI

PENGARUH APLIKASI STARTER SOLUTION PADA TIGA GENOTIPE CABAI (Capsicum annuum L.) TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN SERTA KEJADIAN PENYAKIT PENTING CABAI PENGARUH APLIKASI STARTER SOLUTION PADA TIGA GENOTIPE CABAI (Capsicum annuum L.) TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN SERTA KEJADIAN PENYAKIT PENTING CABAI Triyani Dumaria DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS

Lebih terperinci

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. cendawan MVA, sterilisasi tanah, penanaman tanaman kedelai varietas Detam-1.

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. cendawan MVA, sterilisasi tanah, penanaman tanaman kedelai varietas Detam-1. IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahapan, yakni perbanyakan inokulum cendawan MVA, sterilisasi tanah, penanaman tanaman kedelai varietas Detam-1. Perbanyakan inokulum

Lebih terperinci

TINJAUAN LITERATUR. Klasifikasi penyakit C. gloeosporioides (Penz.) Sacc menurut

TINJAUAN LITERATUR. Klasifikasi penyakit C. gloeosporioides (Penz.) Sacc menurut TINJAUAN LITERATUR Biologi penyakit Klasifikasi penyakit C. gloeosporioides (Penz.) Sacc menurut Dwidjoseputro (1978) sebagai berikut: Divisio Sub divisi Kelas Ordo Family Genus Species : Mycota : Eumycotyna

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Benih adalah ovule atau bakal biji yang masak yang mengandung suatu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Benih adalah ovule atau bakal biji yang masak yang mengandung suatu II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kuaiitas dan Kesehatan Benih Cabai Benih adalah ovule atau bakal biji yang masak yang mengandung suatu tanaman mini atau embrio yang biasanya terbentuk dari bersatunya sel-sel

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Fungi mikoriza arbuskular (FMA) merupakan fungi obligat, dimana untuk

TINJAUAN PUSTAKA. Fungi mikoriza arbuskular (FMA) merupakan fungi obligat, dimana untuk II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Fungi Mikoriza Arbuskular Fungi mikoriza arbuskular (FMA) merupakan fungi obligat, dimana untuk kelangsungan hidupnya fungi berasosiasi dengan akar tanaman. Spora berkecambah dengan

Lebih terperinci

Mengenal Penyakit Busuk Batang Vanili. Oleh : Umiati

Mengenal Penyakit Busuk Batang Vanili. Oleh : Umiati Mengenal Penyakit Busuk Batang Vanili Oleh : Umiati Vanili (Vanilla planifolia Andrews) merupakan salah satu tanaman industri yang mempunyai nilai terbaik dengan kadar vanillin 2,75% (Hadisutrisno,2004).

Lebih terperinci

BUDIDAYA DURIAN PENDAHULUAN

BUDIDAYA DURIAN PENDAHULUAN BUDIDAYA DURIAN PENDAHULUAN Saat ini, permintaan dan harga durian tergolong tinggi, karena memberikan keuntungan menggiurkan bagi siapa saja yang membudidayakan. Sehingga bertanam durian merupakan sebuah

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Pembiakan P. fluorescens dari Kultur Penyimpanan

BAHAN DAN METODE. Pembiakan P. fluorescens dari Kultur Penyimpanan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor mulai bulan Februari

Lebih terperinci

LAPORAN PRAKTIKUM DASAR-DASAR PERLINDUNGAN HUTAN

LAPORAN PRAKTIKUM DASAR-DASAR PERLINDUNGAN HUTAN LAPORAN PRAKTIKUM DASAR-DASAR PERLINDUNGAN HUTAN ACARA 1 PENGENALAN GEJALA DAN TANDA PENYAKIT PADA HUTAN DISUSUN OLEH : NAMA NIM SIFT CO.ASS : SIWI PURWANINGSIH : 10/301241/KT/06729 : Rabu,15.30 : Hudiya

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kacang Tanah Kacang tanah berasal dari Amerika Selatan, namun saat ini telah menyebar ke seluruh dunia yang beriklim tropis atau subtropis. Cina dan India merupakan penghasil

Lebih terperinci

PERAN AGENS ANTAGONIS DAN TEKNIK BUDIDAYA DALAM PENGENDALIAN TERPADU PENYAKIT LAYU FUSARIUM PADA PISANG LANDES BRONSON SIBARANI

PERAN AGENS ANTAGONIS DAN TEKNIK BUDIDAYA DALAM PENGENDALIAN TERPADU PENYAKIT LAYU FUSARIUM PADA PISANG LANDES BRONSON SIBARANI PERAN AGENS ANTAGONIS DAN TEKNIK BUDIDAYA DALAM PENGENDALIAN TERPADU PENYAKIT LAYU FUSARIUM PADA PISANG LANDES BRONSON SIBARANI PROGRAM STUDI HAMA DAN PENYAKIT TUMBUHAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kondisi Umum Tanaman Phalaenopsis pada setiap botol tidak digunakan seluruhnya, hanya 3-7 tanaman (disesuaikan dengan keadaan tanaman). Hal ini disebabkan oleh pertumbuhan tanaman

Lebih terperinci

TEKNIK BUDIDAYA TOMAT

TEKNIK BUDIDAYA TOMAT TEKNIK BUDIDAYA TOMAT 1. Syarat Tumbuh Budidaya tomat dapat dilakukan dari ketinggian 0 1.250 mdpl, dan tumbuh optimal di dataran tinggi >750 mdpl, sesuai dengan jenis/varietas yang diusahakan dg suhu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Cabai Klasifikasi ilmiah cabai adalah Kingdom : Plantae Divisi : Magnolyophyta Kelas : Magnolyopsida Ordo : Solanales Famili : Solanaceae Genus : Capsicum Spesies : Capsicum

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi penyakit busuk pangkal batang (Ganodermaspp.) Spesies : Ganoderma spp. (Alexopolus and Mims, 1996).

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi penyakit busuk pangkal batang (Ganodermaspp.) Spesies : Ganoderma spp. (Alexopolus and Mims, 1996). 5 TINJAUAN PUSTAKA Biologi penyakit busuk pangkal batang (Ganodermaspp.) Kingdom Divisio Class Ordo Famili Genus : Myceteae : Eumycophyta : Basidiomycetes : Aphyllophorales : Ganodermataceae : Ganoderma

Lebih terperinci

II. TELAAH PUSTAKA. bio.unsoed.ac.id

II. TELAAH PUSTAKA. bio.unsoed.ac.id II. TELAAH PUSTAKA Koloni Trichoderma spp. pada medium Malt Extract Agar (MEA) berwarna putih, kuning, hijau muda, dan hijau tua. Trichoderma spp. merupakan kapang Deutromycetes yang tersusun atas banyak

Lebih terperinci

*

* Identifikasi Cendawan Mikroskopis yang Berasosiasi dengan Penyakit Busuk Pangkal Batang Tanaman Lada (Piper nigrum L.) di Desa Batuah Kecamatan Loa Janan Kutai Kartanegara Ayu Laila Dewi 1,*, Linda Oktavianingsih

Lebih terperinci

Diagnosa Penyakit Akibat Jamur pada Tanaman Padi (Oryza sativa) di Sawah Penduduk Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat

Diagnosa Penyakit Akibat Jamur pada Tanaman Padi (Oryza sativa) di Sawah Penduduk Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat Diagnosa Penyakit Akibat Jamur pada Tanaman Padi (Oryza sativa) di Sawah Penduduk Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat Rahmawati 1)*, Achmad Jailanis 2), Nurul Huda 1) 1) Program

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Eli Korlina PENDEKATAN PHT

PENDAHULUAN. Eli Korlina PENDEKATAN PHT PENDAHULUAN Eli Korlina Salah satu masalah dalam usahatani bawang putih adalah gangguan hama dan penyakit. Keberadaan hama dan penyakit dalam usahatani mendorong petani untuk menggu-nakan pestisida pada

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Kacang Panjang (Vigna sinensis L.)

TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Kacang Panjang (Vigna sinensis L.) II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi dan Morfologi Tanaman Kacang Panjang (Vigna sinensis L.) Menurut Fachruddin (2000) tanaman kacang panjang termasuk famili leguminoceae. Klasifikasi tanaman kacang panjang

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung dari bulan Januari sampai

III. METODE PENELITIAN. dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung dari bulan Januari sampai 23 III. METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Lampung dari bulan Januari sampai

Lebih terperinci

MODUL-12 MENGENAL GEJALA PENYAKIT DAN TANDA PADA TANAMAN. Yos. F. da Lopes, SP, M.Sc & Ir. Abdul Kadir Djaelani, MP A. KOMPTENSI DASAR B.

MODUL-12 MENGENAL GEJALA PENYAKIT DAN TANDA PADA TANAMAN. Yos. F. da Lopes, SP, M.Sc & Ir. Abdul Kadir Djaelani, MP A. KOMPTENSI DASAR B. MENGENAL GEJALA PENYAKIT DAN TANDA PADA TANAMAN MODUL-12 Yos. F. da Lopes, SP, M.Sc & Ir. Abdul Kadir Djaelani, MP Department of Dryland Agriculture Management, Kupang State Agriculture Polytechnic Jl.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. akar-akar cabang banyak terdapat bintil akar berisi bakteri Rhizobium japonicum

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Tanaman. akar-akar cabang banyak terdapat bintil akar berisi bakteri Rhizobium japonicum TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Susunan akar kedelai pada umumnya sangat baik, pertumbuhan akar tunggang lurus masuk kedalam tanah dan mempunyai banyak akar cabang. Pada akar-akar cabang banyak terdapat

Lebih terperinci

Oleh Kiki Yolanda,SP Jumat, 29 November :13 - Terakhir Diupdate Jumat, 29 November :27

Oleh Kiki Yolanda,SP Jumat, 29 November :13 - Terakhir Diupdate Jumat, 29 November :27 Lada (Piper nigrum L.) merupakan tanaman rempah yang menjadi komoditas ekspor penting di Indonesia. Propinsi Kepulauan Bangka Belitung menjadi salah satu sentra produksi utama lada di Indonesia dan dikenal

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA 5 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kakao Tanaman kakao mempunyai sistematika sebagai berikut (Tjitrosoepomo, 1988 dalam Syakir et al., 2010) Divisi Sub Divisi Kelas Sub Kelas Famili Ordo Genus : Spermatophyta

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Isolasi Bakteri Endofit Asal Bogor, Cipanas, dan Lembang Bakteri endofit yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari tiga tempat yang berbeda dalam satu propinsi Jawa Barat. Bogor,

Lebih terperinci

KARAKTERISASI CENDAWAN Botryodiplodia theobromae DAN Rhizoctonia solani DARI BERBAGAI TANAMAN INANG BERDASARKAN MORFOLOGI DAN POLA RAPD-PCR

KARAKTERISASI CENDAWAN Botryodiplodia theobromae DAN Rhizoctonia solani DARI BERBAGAI TANAMAN INANG BERDASARKAN MORFOLOGI DAN POLA RAPD-PCR KARAKTERISASI CENDAWAN Botryodiplodia theobromae DAN Rhizoctonia solani DARI BERBAGAI TANAMAN INANG BERDASARKAN MORFOLOGI DAN POLA RAPD-PCR YAYU SITI NURHASANAH DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Penyiapan tanaman uji

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Penyiapan tanaman uji BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Juli 2010 Maret 2011. Penelitian dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di kebun PT NTF (Nusantara Tropical Farm) Way

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di kebun PT NTF (Nusantara Tropical Farm) Way 31 III. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di kebun PT NTF (Nusantara Tropical Farm) Way Jepara, Lampung Timur dan Laboratorium Penyakit Tumbuhan, Bidang Proteksi

Lebih terperinci

Volume 5 No. 1 Februari 2017 ISSN:

Volume 5 No. 1 Februari 2017 ISSN: IDENTIFIKASI MIKROBA ASAL EKSTRAK BUAH YANG DIAPLIKASIKAN PADA PERTANAMAN JERUK ORGANIK DI KABUPATEN PANGKEP Dian Ekawati Sari e-mail: dianekawatisari@rocketmail.com Program Studi Agroteknologi Fakultas

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Persiapan alat dan bahan yang akan digunakan. Pembuatan media PDA (Potato Dextrose Agar)

III. METODE PENELITIAN. Persiapan alat dan bahan yang akan digunakan. Pembuatan media PDA (Potato Dextrose Agar) III. METODE PENELITIAN A. Bagan Alir Penelitian Persiapan alat dan bahan yang akan digunakan Pembuatan media PDA (Potato Dextrose Agar) Pengambilan sampel tanah dekat perakaran tanaman Cabai merah (C.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi Tanaman Bawang merah (Allium ascalonicum L) merupakan tanaman semusim yang membentuk rumpun, tumbuh tegak dengan tinggi mencapai 15-50 cm (Rahayu, 1999). Menurut

Lebih terperinci

PENYIAPAN BIBIT UBIKAYU

PENYIAPAN BIBIT UBIKAYU PENYIAPAN BIBIT UBIKAYU Ubi kayu diperbanyak dengan menggunakan stek batang. Alasan dipergunakan bahan tanam dari perbanyakan vegetatif (stek) adalah selain karena lebih mudah, juga lebih ekonomis bila

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Daerah Jawa Barat merupakan salah satu provinsi Indonesia yang memiliki bagi perekonomian Nasional dalam berbagai bidang. Kontribusi yang cukup besar bagi perekonomian

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Pengambilan sampel tanaman nanas dilakukan di lahan perkebunan PT. Great

BAHAN DAN METODE. Pengambilan sampel tanaman nanas dilakukan di lahan perkebunan PT. Great III. BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Pengambilan sampel tanaman nanas dilakukan di lahan perkebunan PT. Great Giant Pineapple (GGP) di Lampung Timur dan PT. Nusantara Tropical Farm, Lampung

Lebih terperinci

BUDIDAYA DAN TEKNIS PERAWATAN GAHARU

BUDIDAYA DAN TEKNIS PERAWATAN GAHARU BUDIDAYA DAN TEKNIS PERAWATAN GAHARU ketiak daun. Bunga berbentuk lancip, panjangnya sampai 5 mm, berwarna hijau kekuningan atau putih, berbau harum. Buah berbentuk bulat telur atau agak lonjong, panjangnya

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Peremajaan Aktinomiset dari Kultur Penyimpanan Perbanyakan Sclerotium rolfsii dari Kultur Penyimpanan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Peremajaan Aktinomiset dari Kultur Penyimpanan Perbanyakan Sclerotium rolfsii dari Kultur Penyimpanan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) mulai Maret 2011 sampai

Lebih terperinci