PERANCANGAN MODEL FAKTOR ERGONOMI MAKRO TERHADAP PRODUKTIVITAS SISTEM KERJA PADA PABRIK GULA FARRY APRILIANO HASKARI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "PERANCANGAN MODEL FAKTOR ERGONOMI MAKRO TERHADAP PRODUKTIVITAS SISTEM KERJA PADA PABRIK GULA FARRY APRILIANO HASKARI"

Transkripsi

1 PERANCANGAN MODEL FAKTOR ERGONOMI MAKRO TERHADAP PRODUKTIVITAS SISTEM KERJA PADA PABRIK GULA FARRY APRILIANO HASKARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

2 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Perancangan Model Faktor Ergonomi Makro Terhadap Produktivitas Sistem Kerja Pada Pabrik Gula adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Oktober 2008 Farry Apriliano Haskari NIM F

3 iii ABSTRACT FARRY APRILIANO HASKARI. Model Scheme of Macro Ergonomics Factor for Work System Productivity in Sugar Mill. Under supervision of SAM HERODIAN and LENNY SAULIA. Sugar mill is a part of sugar industry representing a dynamic work system which occupies machine and human labour. The good scheme ergonomic covers the micro and macro ergonomics to improve productivity of work system. This research was conducted in order to learn and determine the macro and micro parameter of ergonomics at the work system in a sugar mill. The determination of these parameters was applied in model scheme of micro and macro ergonomic factors to improve work system productivity. The illumination, temperature, humidity, noise, vibration, and operator perceptions ware collected as data input for modelling system using artificial neural network. As the result, the optimum productivity level in PG Bungamayang can be reached if the combination of macro and micro ergonomic factors for the illumination lux, temperature 25 0 C, humidity 60-70%, noise 85 db, vibration m/s 2 and very care to organizational work system of the operator perception level with the predicted productivity level equals to ton cane/shift, and in PG Jatitujuh can be reached if illumination lux, temperature C, humidity 62-66%, noise 80 db, vibration m/s 2 and very care to organizational work system of the operator perception level, with the predicted productivity level equals to ton cane / shift. Keywords: macro ergonomic, work system, productivity.

4 iv RINGKASAN FARRY APRILIANO HASKARI. Perancangan Model Faktor Ergonomi Makro Terhadap Produktivitas Sistem Kerja pada Pabrik Gula. Dibimbing oleh SAM HERODIAN dan LENNY SAULIA. Pabrik gula adalah bagian dari industri gula yang merupakan sebuah sistem kerja yang dinamis yang memiliki hubungan yang erat antara teknologi sebagai mesin dan manusia sebagai tenaga kerja. Perancangan ergonomi yang baik mencakup ergonomi makro dan mikro yang dikaitkan dengan organisasi akan memberikan keuntungan ekonomi yang juga baik. Sesuai dengan definisi ergonomi, dimana sebuah sistem kerja harus dapat menjamin keamanan, kesehatan dan keselamatan kerja, serta terpenuhinya kebutuhan hidup mendasar, akan memberikan dampak terhadap hasil kerja tersebut yaitu meningkatnya efektifitas dan efisiensi industri. Dampak lainnya adalah sedikitnya absensi karyawan, kualitas produk meningkat, kecelakaan kerja berkurang, biaya kesehatan dan asuransi berkurang dan tingkat keluar masuk karyawan (turnover) juga berkurang. Pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan perusahan dan mengurangi pengeluaran (walaupun pada awalnya perlu investasi ergonomi). Produktivitas kerja berhubungan erat dengan kemampun kerja manusia (human factor). Dalam rangka meningkatkan produktivitas, perbaikan prestasi kerja operator merupakan salah satu syarat penting. Sebagai dua perusahan besar yang bergerak dalam produksi gula, PG Jatitujuh dan PG Bungamayang menjalankan produksi dengan menggunakan mesin-mesin untuk memproduksi produk dalam skala besar. Dengan adanya mesin-mesin tersebut, pekerjaan dengan bahan baku sangat besar dapat ditangani dengan baik serta menambah efisiensi kerja. Namun, di sisi lain dengan adanya mesin-mesin tersebut tanpa disadari menimbulkan dampak yang kurang baik bagi kesehatan jika tidak diperhatikan dengan cermat. Kebisingan, getaran dari mesin-mesin yang digunakan oleh para tenaga kerja dan keadaan iklim lingkungan kerja seperti temperatur udara, pencahayaan dan kelembaban secara tidak langsung dapat merugikan kesehatan, menurunkan performansi dan Produktivitas tenaga kerja. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan menentukan parameter ergonomi mikro dan makro pada sistem kerja pengolahan tebu di pabrik gula yang diaplikasikan dalam perancangan model faktor ergonomi makro terhadap produktivitas sistem kerja pada pabrik gula. Penelitian ini telah dilaksanakan di dua pabrik gula yaitu di PT. Perkebunan Nusantara VII (Persero) unit usaha PG Bungamayang dan PG Jatitujuh Cirebon. Pemilihan dua pabrik tersebut dengan pertimbangan perbedaan tingkat produktivitas. Waktu penelitian dimulai pada bulan Mei sampai Juni Prosedur penelitian yang digunakan secara garis besar terdiri dari studi pendahuluan, pengambilan data, pemodelan sistem, kalibrasi dan validasi, kemudian dilanjutkan dengan analisa dan kesimpulan. Hasil pengukuran kondisi lingkungan fisik meliputi tingkat pencahayaan (illuminasi), suhu, kelembaban, kebisingan dan getaran. Pengukuran ini dilakukan di kedua pabrik gula pada stasiun gilingan, pemurnian, pemasakan, pengupan, puteran, boiler dan power house dengan mengukur kondisi lingkungan fisik di tempat operator bekerja. Pada PG Bungamayang dilakukan pada 24 titik pengukuran dan di PG Jatitujuh dilakukan pada 48 titik pengukuran dengan 10 kali ulangan pada masing-masing titik. Pengukuran beban kerja dilakukan dengan pengukuran detak jantung dengan heart rate dan menggunakan kuisioner. Pengukuran beban kerja

5 v dilakukan pada tiga shift yaitu pagi, siang dan malam. Kegiatan yang diamati pada stasiun ini yaitu kegiatan mengatur bagas pada tungku pembakaran boiler. Perspektif operator terhadap beban kerja, kecelakaan kerja, kelelahan dan lingkungan organisasi dengan menggunakan kuisiner dilakukan pada 79 orang responden di PG Bungamayang dan 54 orang responden di PG Jatitujuh. Data ergonomi mikro dan makro ini kemudian digunakan dalam simulasi jaringan syaraf tiruan (JST) menggunakan software Matlab R2008a dengan menggunakan neural network toolbox. Model JST yang dibangun terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pertama terdiri dari enam parameter input antara lain pencahayaan, suhu, kelembaban, keisingan, getaran dan perspektif operator terhadap lingkungan organisasinya dengan tiga parameter output antara lain beban kerja, kecelakaan kerja dan kelelahan. Model JST tahap kedua menggunakan tiga parameter input antara lain beban kerja, kecelakaan kerja dan kelelahan dengan satu parameter output yaitu tingkat produktivitas (ton cane/shift). Dari hasil kalibrasi dan validasi model JST untuk PG Bungamayang, tahap pertama diperoleh model JST dengan jumlah sepuluh node pada hidden layer, memiliki nilai kalibrasi R 2 =0.768 dan nilai validasi R 2 = Model JST tahap kedua diperoleh model JST dengan tiga node pada hidden layer, memiliki nilai kalibrasi R 2 =0.789 dan nilai validasi R 2 = Sedangkan untuk PG Jatitujuh, hasil kalibrasi dan validasi model JST tahap pertama diperoleh model JST dengan jumlah node 300 pada hidden layer, memiliki nilai kalibrasi R 2 =0.881 dan validasi R 2 = Dan untuk model JST tahap kedua diperoleh model JST dengan 300 node pada hidden layer menunjukkan nilai kalibrasi R 2 = dan validasi R 2 = Optimasi model dilakukan untuk mendapatkan bentuk rancangan sistem kerja berdasarkan pertimbangan ergonomi mikro dan makro yang optimum sehingga dalam proses produksi sesuai dengan kondisi ergonomi mikro dan makro yang sesuai dengan nilai ambang batas bagi operator. Berdasar hasil optimasi disimpulkan bahwa tingkat produktivitas yang optimum di PG Bungamayang dapat dicapai dengan mengoptimasi enam parameter ergonomi mikro dan makro yaitu dengan illuminasi antara lux, suhu 25 0 C, kelembaban antara 60-70%, kebisingan 85 db, getaran antara m/s 2 dan operator peduli sampai sangat peduli pada lingkungan organisasinya, maka tingkat produktivitas yang dicapai antara ton cane/shift, memberikan peningkatan tingkat produktivitas sebesar % ( ton cane/day), dan 1.5% (94.5 ton cane/day) apabila parameter illuminasi yang dioptimasi menjadi 120 lux, sedangkan lima parameter ergonomi lainya mendekati kondisi lingkungan fisik normal. Tingkat produktivitas yang optimum di PG Jatitujuh dapat dicapai dengan mengoptimasi enam parameter ergonomi mikro dan makro yaitu dengan illuminasi antara lux, suhu C, kelembaban antara 62-66%, kebisingan 80 db, getaran antara m/s 2 dan operator sangat peduli pada lingkungan organisasinya dengan tingkat produktivitas yang dicapai antara ton cane/shift, memberikan peningkatan tingkat produktivitas sebesar % ( ton cane/day), dan 4.36% (196 ton cane/day) apabila parameter illuminasi yang dioptimasi menjadi 260 lux, sedangkan lima parameter ergonomi lainya mendekati kondisi lingkungan fisik normal. Kata kunci : makro ergonomi, sistem kerja, produktivitas

6 vi Hak Cipta milik IPB, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

7 vii PERANCANGAN MODEL FAKTOR ERGONOMI MAKRO TERHADAP PRODUKTIVITAS SISTEM KERJA PADA PABRIK GULA FARRY APRILIANO HASKARI Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

8 viii Judul Tesis Nama NIM : Perancangan Model Faktor Ergonomi Makro Terhadap Produktivitas Sistem Kerja pada Pabrik Gula : Farry Apriliano Haskari : F Disetujui Komisi Pembimbing Dr. Ir. Sam Herodian, M.S. Ketua Dr. Lenny Saulia, S.TP, M.Si. Anggota Diketahui Ketua Program Studi Ilmu Keteknikan Pertanian Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Armansyah H.T, M.Agr. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S. Tanggal Ujian: 16 Oktober 2008 Tanggal Lulus:

9 ix PRAKATA Alhamdulillah, Segala Puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan berkah dan Rahmat-Nya sehingga dengan perkenan-nya jualah Tesis ini dapat diselesaikan. Penulis menyadari bahwa akanlah sulit untuk dapat menyelesaikan penelitian tesis ini tanpa bantuan moril dan semangat dari banyak pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya pada : 1 Dr. Ir. Sam Herodian, M.S, selaku Ketua Pembimbing yang selalu memberi bimbingan, arahan, waktu dalam penelitian dan penulisan tesis dan semangat untuk berkarya dengan sebaik-baiknya. 2 Dr. Lenny Saulia, S.TP, M.Si., Pembimbing anggota yang memberikan bimbingan, arahan, waktu, bantuan dalam penelitian dan penulisan tesis. 3 Dr. Ir. I Wayan Astika, M.Si., sebagai dosen penguji yang telah meluangkan waktunya menjadi penguji penulisan tesis ini. 4 Departemen Perguruan Tinggi Negeri (DIKTI) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program peningkatan kemampuan Strata-2 di Institut Pertanian Bogor melalui sumber dana BPPS. 5 PG Bungamayang dan PG Jatitujuh atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melakukan kegiatannya dalam rangka riset ergonomi pada proses pabrikasi gula. 6 Teman-teman Program Studi Keteknikan Pertanian 2006 yang telah banyak memberikan semangat dalam penyelesaian tesis ini, terkhusus pada tim peneliti (Lamto Widodo, Sukris TC, Budi Santoso, Ludi C, Heru, Bayu, Tania, Malik dan Vidy) 7 Keluarga besar Sagiman dan Fachsor Lanwi Gumay, khususnya istriku tercinta Nesty Gumayeka serta buah hatiku Azzahra Raudhah Ramadhani dan Muhammad Azmi atas kesabaran, dukungan dan do anya. 8 Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat. Bogor, Oktober 2008 Farry Apriliano Haskari

10 x RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Curup, 14 April 1976 dan merupakan anak kedua dari empat bersaudara pasangan Ayahanda Mayor. Purn. Sagiman dan Ibunda Suparmi. Pendidikan yang telah ditempuh penulis adalah di SDN No.2 Sukarami tahun , kemudian SMPN 40 Palembang tahun , dan SMAN 13 Palembang tahun Pendidikan tinggi ditempuh di Universitas Sriwijaya, Palembang, Pada Fakultas Pertanian (FP) Jurusan Teknologi Pertanian dan lulus pada tahun Selanjutnya penulis bekerja sebagai staf pengajar di Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Palembang sejak tahun 2003 sampai dengan sekarang. Pada tahun 2006 penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan studi pada program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Program Studi Keteknikan Pertanian dengan mendapatkan Beasiswa BPPS dari DIKTI.

11 xi DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... xiv DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... 1 PENDAHULUAN... 1 i 1.1 Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Batasan Masalah dan Asumsi TINJAUAN PUSTAKA Ergonomika Ergonomi Mikro Kebisingan Suhu dan Kelembaban Pencahayaan Getaran Ergonomi Makro Beban Kerja, Kelelahan dan Kecelakaan Kerja Kelelahan Definisi Kelelahan Jenis Kelelahan Gejala-Gejala Kelelahan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelelahan Mekanisme Terjadinya Kelelahan Beban Kerja Kecelakaan Kerja Produktifitas METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Obyek dan Alat Metode Penelitian Studi Pendahuluan Pengambilan Data Pengumpulan Data Sistem Kerja di Lingkungan Pabrik Pengukuran Beban Kerja Pengukuran Makro Ergonomi Pemodelan Sistem Proses Pembelajaran Model JST Verifikasi dan Validasi Model JST HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Perusahaan Pabrik Gula Jatitujuh Sejarah Perusahaan Mesin dan Peralatan Produksi Sarana Penunjang dalam Proses Produksi Stasiun Boiler Stasiun Instrument listrik xvii xxii

12 Proses Produksi Pabrik Gula Bungamayang Sejarah Perusahaan Proses Produksi Stasiun Penerimaan Bahan Baku Stasiun Pemerahan Nira Stasiun Pemurnian Nira Stasiun Penguapan Stasiun Kristalisasi Stasiun Puteran Stasiun Boiler Stasiun Listrik Ergonomi Mikro Pecahayaan Shift Pagi Shift Siang Shift Malam Suhu Shift Pagi Shift Siang Shift Malam Kelembaban Shift Pagi Shift Siang Shift Malam Kebisingan Shift Pagi Shift Siang Shift Malam Getaran Shift Pagi Shift Siang Shift Malam Ergonomi Makro Pabrik Gula Jatitujuh Struktur Organisasi Fasilitas dan Sistem Pengupahan Pabrik Gula Bungamayang Struktur Organisasi Fasilitas dan Sistem Pengupahan Beban Kerja, Kecelakaan Kerja dan Kelelahan Beban Kerja Menggunakan Heart Rate Beban Kerja Stasiun Boiler PG Jatitujuh Shift Pagi Shift Siang Shift Malam Beban Kerja Stasiun Boiler PG Bungamayang Shift Pagi Shift Siang Shift Malam Kuisioner Beban Kerja, Kecelakaan Kerja dan Kelelahan Simulasi Sebaran Data xii

13 xiii Analisis Model Verifikasi Model JST Verifikasi Model JST tahap Pertama untuk PG Bungamayang Verifikasi Model JST tahap Kedua untuk PG Bungamayang Verifikasi Model JST tahap Pertama untuk PG Jatitujuh Verifikasi Model JST tahap Kedua untuk PG Jatitujuh Validasi Model JST Validasi Model JST tahap Pertama untuk PG Bungamayang Validasi Model JST tahap Kedua untuk PG Bungamayang Validasi Model JST tahap Pertama untuk PG Jatitujuh Validasi Model JST tahap Kedua untuk PG Jatitujuh Prediksi Model Illuminasi Suhu Kelembaban Kebisingan Getaran Lingkungan Organisasi Optimasi Rancangan Sistem Kerja KESIMPULAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

14 xiv DAFTAR TABEL Halaman 1 Effek kebisingan dibawah 85 db Beberapa standar nilai ambang batas kebisingan dan lama kerja kontinyu yang diperkenankan Pemandu untuk illuminasi Tingkat beban kerja fisik yang diukur berdasarkan parameter fisiologis Tabel konversi BME ekuivalen dengan VO 2 berdasarkan luas permukaan tubuh Katagori pekerjaan berdasarkan IRHR Rincian penggunaan areal unit usaha Bungamayang Kondisi suhu dan tekanan masing-masing badan penguapan Illuminasi pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift pagi Illuminasi pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift siang Illuminasi pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift malam Temperatur udara pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift pagi Temperatur udara pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift siang Temperatur udara pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift malam Kelembaban udara pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift pagi Kelembaban udara pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift siang Kelembaban udara pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift malam Kebisingan pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift pagi Kebisingan pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift siang Kebisingan pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift malam Getaran pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift pagi Getaran pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift siang... 65

15 xv 23 Getaran pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift malam Karakteristik operator pengukuran pertama pada pekerjaan bagian pengumpan tungku boiler di stasiun boiler Karakteristik operator pengukuran kedua pada pekerjaan bagian pengumpan tungku boiler di stasiun boiler Denyut jantung operator pertama pada saat step test Tabel hubungan TEC ST dengan IRHR berdasarkan hasil step test pada operator pertama Denyut jantung operator kedua (mulyadi) pada saat step test Tabel hubungan TEC ST dengan IRHR berdasarkan hasil step test pada operator kedua Energy cost pada operator pertama dan kedua Energy cost pada kedua operator pada shift siang Energy cost pada kedua operator pada shift malam Karakteristik operator pengukuran pertama pada pekerjaan bagian pengumpan tungku boiler di stasiun boiler Denyut jantung operator pertama pada saat step test Tabel hubungan TEC ST dengan IRHR berdasarkan hasil step test pada operator pertama Karakteristik operator pengukuran kedua pada pekerjaan bagian pengumpan tungku boiler di stasiun boiler Denyut jantung operator kedua pada saat step test Tabel hubungan TEC ST dengan IRHR berdasarkan hasil step test pada operator kedua Energy cost pada operator pertama dan kedua pada shift pagi Karakteristik operator pengukuran pertama pada pekerjaan bagian pengumpan tungku boiler di stasiun boiler Denyut jantung operator pertama pada saat step test Tabel hubungan TEC ST dengan IRHR berdasarkan hasil step test pada operator pertama pada shift siang Karakteristik operator pengukuran kedua pada pekerjaan bagian pengumpan tungku boiler di stasiun boiler Denyut jantung operator kedua pada saat step test Tabel hubungan TEC ST dengan IRHR berdasarkan hasil step test pada operator kedua Energy cost pada operator pertama dan kedua pada shift siang Karakteristik operator pengukuran pertama pada pekerjaan bagian pengumpan tungku boiler di stasiun boiler Denyut jantung operator pertama pada saat step test... 98

16 xvi 49 Tabel hubungan TEC ST dengan IRHR berdasarkan hasil step test pada operator pertama pada shift malam Karakteristik operator pengukuran kedua pada pekerjaan bagian pengumpan tungku boiler di stasiun boiler Denyut jantung operator kedua pada saat step test Tabel hubungan TEC ST dengan IRHR berdasarkan hasil step test pada operator kedua Energy cost pada operator pertama dan kedua pada shift malam Indikator tingkat beban kerja secara subyektif Indikator tingkat kecelakaan kerja secara subyektif Indikator tingkat kelelahan secara subyektif Indikator tingkat perspektif karyawan terhadap lingkungan organisasi Perspektif operator terhadap beban kerja, kecelakaan kerja, kelelahan dan lingkungan organisasi secara umum pada proses produksi gula Perspektif operator shift pagi terhadap beban kerja, kecelakaan kerja, kelelahan dan lingkungan organisasi pada proses produksi gula Perspektif operator shift siang terhadap beban kerja, kecelakaan kerja, kelelahan dan lingkungan organisasi pada proses produksi gula Perspektif operator shift malam terhadap beban kerja, kecelakaan kerja, kelelahan dan lingkungan organisasi pada proses produksi gula Sebaran data input pada enam parameter ergonomi untuk model JST tahap pertama Beberapa model JST yang dibangun untuk tahap pertama Perbandingan output data (Target) dengan output hasil model JST (Training) dengan 10 node pada hidden layer Beberapa model JST yang dibangun untuk tahap kedua Beberapa model JST yang dibangun untuk tahap pertama Perbandingan output data (Target) dengan output hasil model JST (Training) dengan 300 node pada hidden layer Beberapa model JST yang dibangun untuk tahap kedua Pengaruh variasi jumlah node dalam validasi model JST yang dibangun Beberapa model JST yang dibangun untuk tahap kedua Pengaruh variasi jumlah node dalam model JST yang dibangun Pengaruh variasi jumlah node dalam model JST yang dibangun Nilai input JST yang digunakan dalam optimasi tingkat produktivitas

17 xvii DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja pada pabrik gula Diagram alir metode penelitian Alat ukur temperatur digital Vibrationmeter Tachometer Skema pemodelan dengan Jaringan Syaraf Tiruan Model JST tahap I yang dikembangkan pada tiap shift kerja Model JST tahap II yang dikembangkan pada tiap shift kerja Ilustrasi pembelajaran backpropagation Grafik pemetaan denyut jantung operator pertama saat step test pada shift pagi Grafik hubungan IRHR dengan TEC ST operator pertama Grafik pemetaan denyut jantung operator kedua saat step test pada shift pagi Grafik hubungan IRHR dengan TEC ST operator kedua Grafik pemetaan denyut jantung operator pertama pada saat step test sebelum bekerja pada shift pagi Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator pertama melakukan kerja pada shift pagi Grafik pemetaan denyut jantung operator kedua pada saat step test sebelum bekerja Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator kedua (mulyadi) melakukan kerja pada shift pagi Grafik pemetaan denyut jantung operator pertama saat step test sebelum bekerja pada shift siang Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator pertama melakukan kerja pada shift siang Grafik pemetaan denyut jantung operator kedua saat step test sebelum bekerja pada shift siang Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator kedua melakukan kerja pada shift siang Grafik pemetaan denyut jantung operator pertama pada saat step test sebelum kerja pada shift malam Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator pertama melakukan kerja pada shift malam... 82

18 xviii 24 Grafik pemetaan denyut jantung operator kedua pada saat step test sebelum bekerja pada shift malam Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator kedua melakukan kerja pada shift malam Grafik pemetaan denyut jantung operator pertama saat step test pada shift pagi Grafik hubungan IRHR dengan TEC ST operator pertama Grafik pemetaan denyut jantung operator kedua saat step test pada shift pagi Grafik hubungan IRHR dengan TEC ST operator kedua Grafik pemetaan denyut jantung operator pertama pada saat step test sebelum bekerja pada shift pagi Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator pertama melakukan kerja pada shift pagi Grafik pemetaan denyut jantung operator kedua pada saat step test sebelum bekerja Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator kedua melakukan kerja pada shift pagi Grafik pemetaan denyut jantung operator peratama saat step test pada shift siang Grafik hubungan IRHR dengan TEC ST operator pertama pada shift siang Grafik pemetaan denyut jantung operator kedua saat step test pada shift siang Grafik hubungan IRHR dengan TEC ST operator kedua Grafik pemetaan denyut jantung operator pertama pada saat step test sebelum bekerja pada shift siang Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator pertama melakukan kerja pada shift siang Grafik pemetaan denyut jantung operator kedua pada saat step test sebelum bekerja Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator kedua melakukan kerja pada shift siang Grafik pemetaan denyut jantung operator peratama saat step test pada shift malam Grafik Hubungan IRHR dengan TEC ST operator pertama Grafik pemetaan denyut jantung operator kedua saat step test pada shift malam Grafik hubungan IRHR dengan TEC ST operator kedua Grafik pemetaan denyut jantung operator pertama pada saat step test sebelum bekerja pada shift malam

19 xix 47 Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator pertama melakukan kerja pada shift malam Grafik pemetaan denyut jantung operator kedua pada saat step test sebelum bekerja Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator kedua melakukan kerja pada shift malam Pola hubungan data nilai beban kerja model A1 pada beberapa tingkatan illuminasi (lux) Pola hubungan data nilai kelelahan model A1 pada beberapa tingkatan illuminasi (lux) Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A1 pada beberapa tingkatan illuminasi (lux) Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B1 pada beberapa tingkatan illuminasi (lux) Pola hubungan data nilai beban kerja model A2 pada beberapa tingkatan illuminasi (lux) Pola hubungan data nilai kelelahan model A2 pada beberapa tingkatan illuminasi (lux) Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A2 pada beberapa tingkatan illuminasi (lux) Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B2 pada beberapa tingkatan illuminasi (lux) Pola hubungan data nilai beban kerja model A1 pada beberapa tingkatan suhu ( 0 C) Pola hubungan data nilai kelelahan model A1 pada beberapa tingkatan suhu ( 0 C) Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A1 pada beberapa tingkatan suhu ( 0 C) Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B1 pada beberapa tingkatan suhu ( 0 C) Pola hubungan data nilai beban kerja model A2 pada beberapa tingkatan suhu ( 0 C) Pola hubungan data nilai kelelahan model A2 pada beberapa tingkatan suhu ( 0 C) Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A2 pada beberapa tingkatan suhu ( 0 C) Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B2 pada beberapa tingkatan suhu ( 0 C) Pola hubungan data nilai beban kerja model A1 pada beberapa tingkatan kelembaban (%) Pola hubungan data nilai kelelahan model A1 pada beberapa tingkatan kelembaban (%)

20 xx 68 Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A1 pada beberapa tingkatan kelembaban (%) Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B1 pada beberapa tingkatan kelembaban (%) Pola hubungan data nilai beban kerja model A2 pada beberapa tingkatan kelembaban (%) Pola hubungan data nilai kelelahan model A2 pada beberapa tingkatan kelembaban (%) Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A2 pada beberapa tingkatan kelembaban (%) Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B2 pada beberapa tingkatan kelembaban (%) Pola hubungan data nilai beban kerja model A1 pada beberapa tingkatan kebisingan (db) Pola hubungan data nilai kelelahan model A1 pada beberapa tingkatan kebisingan (db) Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A1 pada beberapa tingkatan kebisingan (db) Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B1 pada beberapa tingkatan kebisingan (db) Pola hubungan data nilai beban kerja model A2 pada beberapa tingkatan kebisingan (db) Pola hubungan data nilai kelelahan model A2 pada beberapa tingkatan kebisingan (db) Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A2 pada beberapa tingkatan kebisingan (db) Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B2 pada beberapa tingkatan kebisingan (db) Pola hubungan data nilai beban kerja model A1 pada beberapa tingkatan getaran (m/s 2 ) Pola hubungan data nilai kelelahan model A1 pada beberapa tingkatan getaran (m/s 2 ) Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A1 pada beberapa tingkatan getaran (m/s 2 ) Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B1 pada beberapa tingkatan getaran (m/s 2 ) Pola hubungan data nilai beban kerja model A2 pada beberapa tingkatan getaran (m/s 2 ) Pola hubungan data nilai kelelahan model A2 pada beberapa tingkatan getaran (m/s 2 ) Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A2 pada beberapa tingkatan getaran (m/s 2 )

21 xxi 89 Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B2 pada beberapa tingkatan getaran (m/s 2 ) Pola hubungan data nilai beban kerja model A1 pada beberapa tingkatan persepsi operator terhadap lingkungan organisasi Pola hubungan data nilai kelelahan model A1 pada beberapa tingkatan persepsi operator terhadap lingkungan organisasi Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A1 pada beberapa tingkatan persepsi operator terhadap lingkungan organisasi Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B1 pada beberapa tingkatan persepsi operator terhadap lingkungan organisasi Pola hubungan data nilai beban kerja model A2 pada beberapa tingkatan persepsi operator terhadap lingkungan organisasi Pola hubungan data nilai kelelahan model A2 pada beberapa tingkatan persepsi operator terhadap lingkungan organisasi Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A2 pada beberapa tingkatan persepsi operator terhadap lingkungan organisasi Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B2 pada beberapa tingkatan persepsi operator terhadap lingkungan organisasi Form untuk membuat model JST Form untuk membuat parameter yang digunakan pada model JST Proses training pada model JST yang dibuat Grafik performance dari nilai MSE dan Ulangan Grafik regresi hasil training, validasi dan test model JST Stet test dengan bangku step test dengan ketinggian bangku 30 cm Heart rate yang digunakan untuk mengukur detak jantung Interface yang digunakan untuk mecatat detak jantung dan mentransfer detak jantung pada komputer

22 xxii DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Data simulasi ergonomi untuk Pabrik Gula Bungamayang dengan tiga shift kerja Data simulasi ergonomi untuk Pabrik Gula Jatitujuh dengan tiga shift kerja Data ergonomi yang digunakan untuk prediksi model pada PG Bungamayang Data ergonomi yang digunakan untuk prediksi model pada PG Jatitujuh Kuisioner persepsi operator terhadap beban kerja, kecelakaan kerja, kelelahan dan lingkungan organisasi Teladan perhitungan laju penggunaan energi (kkal/menit) Model JST yang dibangun dengan menggunakan Neural Network Tools Box di MATLAB R2008a Step Test dan Heart rate beserta interface Titik pengukuran (tanda +) faktor ergonomi mikro dan makro di PG Bungamayang Titik pengukuran (tanda x) faktor ergonomi mikro dan makro di PG Jatitujuh

23 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gula merupakan komoditas kedua di Indonesia setelah beras, konsumsi gula kristal yang tinggi sekitar 3.5 juta ton/tahun menjadikan gula sebagai salah satu kebutuhan pokok. Indonesia sebagai negara agraris dengan kondisi iklim yang sesuai untuk pertumbuhan tebu belum mampu memenuhi kebutuhan gula nasional. Perkebunan gula sebagai real sugar factory memegang peranan paling penting bagi industri gula sebagai pemasok bahan baku tebu. Pengembangan perkebunan tebu melalui pembukaan areal baru menjadi alternatif untuk memenuhi kebutuhan gula nasional. Perkebunan tebu di luar jawa pada umumnya merupakan hak guna usaha (HGU) oleh swasta sehingga dalam pengelolaanya sepenuhnya merupakan tanggung jawab perusahan (IKAGI 2007). Pabrik gula yang merupakan bagian dari industri gula merupakan sebuah sistem kerja yang dinamis yang memiliki hubungan yang erat antara teknologi sebagai mesin dan manusia sebagai tenaga kerja. Pada waktu musim giling, pabrik beoperasi selama 24 jam. Para operator dibagi dalam 3 shift, setiap shift selama 8 jam. Kondisi kerja di lingkungan pabrik secara ergonomi perlu penelitian lebih lanjut karena tingkat kebisingan di atas ambang batas (80 db), temperatur kerja di beberapa titik mencapai C. Kondisi ini mempengaruhi kesehatan dan keselamanatan kerja pegawai, apalagi jika harus bekerja dalam waktu yang cukup lama yakni 8 jam. Nagamachi (1996) telah mengkaji masalah hubungan antara perancangan sistem kerja, ergonomi makro dan produktivitas. Dari hasil penelitiannya disimpulkan bahwa perlu dilakukan harmonisasi antara teknologi dan manusia sehingga didapat sistem yang produktivitasnya meningkat. Hendrick (2002) mempublikasikan bahwa perancangan ergonomi yang baik mencakup ergonomi makro dan mikro yang dikaitkan dengan organisasi akan memberikan keuntungan ekonomi yang juga baik. Sesuai dengan definisi ergonomi, dimana sebuah sistem kerja harus dapat menjamin keamanan, kesehatan dan keselamatan kerja, serta terpenuhinya kebutuhan hidup mendasar, akan memberikan dampak terhadap hasil kerja tersebut yaitu

24 2 meningkatnya efektifitas dan efisiensi industri. Dampak lainnya adalah sedikitnya absensi karyawan, kualitas produk meningkat, kecelakaan kerja berkurang, biaya kesehatan dan asuransi berkurang dan tingkat keluar masuk karyawan (turnover) juga berkurang. Pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan perusahan dan mengurangi pengeluaran (walaupun pada awalnya perlu investasi ergonomi). Produktifitas kerja berhubungan erat dengan kemampun kerja manusia (human factor). Dalam rangka meningkatkan produktifitas, perbaikan prestasi kerja operator merupakan salah satu syarat penting. Sebagai dua perusahan besar yang bergerak dalam produksi gula, PG Jatitujuh dan PG Bungamayang menjalankan produksi dengan menggunakan mesin-mesin untuk memproduksi produk dalam skala besar. Dengan adanya mesin-mesin tersebut, operatoran dengan bahan baku sangat besar dapat ditangani dengan baik serta menambah efisiensi kerja. Namun, di sisi lain dengan adanya mesin-mesin tersebut tanpa disadari menimbulkan dampak yang kurang baik bagi kesehatan jika tidak diperhatikan dengan cermat. Kebisingan, getaran dari mesin-mesin yang digunakan oleh para tenaga kerja dan keadaan iklim lingkungan kerja seperti temperatur udara, pencahayaan dan kelembaban secara tidak langsung dapat merugikan kesehatan, menurunkan performansi dan produktifitas tenaga kerja. Kebisingan, getaran, temperatur udara, pencahayan dan kelembaban yang kurang baik dapat berakibat fatal bagi operator, seperti kehilangan pendengaran, terganggunya keseimbangan, gangguan konsentrasi, meningkatnya kadar emosi, dan juga dapat mengganggu sistem metabolisme tubuh. Hal tersebut mungkin kurang disadari oleh para tenaga kerja yang bekerja sehari-hari di dalam pabrik. Untuk mengetahui karakteristik kebisingan, getaran, temperatur udara, pencahayaan dan kelembaban dan beban kerja yang dialami tenaga kerja dalam suatu lingkungan kerja serta tinjauannya dan aspek kesehatan, kenyamanan dan keselamatan kerja dalam industri perlu dilakukan penelitian dengan pendekatan ergonomika. Aplikasi ilmu ergonomika bertujuan untuk menghasilkan hubungan yang sinergi antara manusia, mesin, dan lingkungan kerja dengan tolak ukur kesehatan, kenyamanan, dan keselamatan kerja sehingga dihasilkan produktifitas kerja yang optimal.

25 3 1.2 Perumusan Masalah Permasalahan ergonomik secara mikro dan makro dalam hubungan dengan produktivitas kerja di dalam pabrik gula serta faktor-faktor yang mempengaruhinya belum terukur secara tepat. Aspek ergonomi mikro dan makro sangat berhubungan dan menentukan tingkat kemampuan dan kenyamanan operator atau karyawan dalam menjalankan tugasnya di pabrik gula. Oleh karena itu perlu dikaji seberapa besar pengaruh ergonomi mikro dan makro terhadap kemampuan operator atau karyawan dalam menjalankan tugasnya di pabrik gula sehingga diperoleh produktivitas kerja yang optimal. Secara keseluruhan parameter yang berpengaruh terhadap produktivitas kerja operator atau karyawan pada pabrik gula ditampilkan pada Gambar 1. Gambar 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja pada pabrik gula

26 4 1.3 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari dan menentukan parameter ergonomi mikro dan makro pada sistem kerja pengolahan tebu di pabrik gula yang diaplikasikan dalam perancangan model faktor ergonomi makro terhadap produktivitas sistem kerja pada pabrik gula. 1.4 Batasan Masalah dan Asumsi Penelitian ini dibatasi untuk ruang lingkup sebagai berikut : 1 Sistem kerja yang dikaji adalah sistem kerja di lingkungan pabrikasi gula mencakup stasiun-stasiun yang terlibat dalam proses pabrikasi gula. 2 Pengamatan mikro ergonomik mencakup illuminasi, suhu udara, kelembaban udara, kebisingan dan getaran. Sedang makro ergonomik mencakup pembagian kerja (shift kerja), sistem pengupahan, lingkungan organisasi (persepsi operator) serta sarana penunjang baik fisik maupun sosial. 3 Pemodelan sistem menggunakan Jaringan Saraf Tiruan (JST). 4 Sistem kerja di pabrik pada waktu pabrikasi berjalan diamati dengan rentang selama 3 shift kerja per hari. Dalam pengambilan dan pengolahan data, beberapa asumsi yang digunakan adalah sebagai berikut : 1 Tidak terjadi gejolak moneter, sosial, politik serta bencana alam yang luar biasa sehingga optimasi sistem kerja dapat dilakukan dengan baik. 2 Perilaku operatoran yang diamati diambil secara rata-rata. 3 Suplai bahan baku tebu selalu tersedia dan kemacetan pada setiap stasiun minimal. 4 Faktor-faktor diluar parameter mikro dan makro ergonomi yang diamati dianggap tidak berpengaruh atau tetap.

27 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ergonomika Ergonomi berasal dari bahasa Yunani yang tersusun dari dua kata, yaitu ergos yang berarti kerja dan nomos yang berarti aturan atau hukum. Ergonomi didefinisikan oleh Sutalaksana (1979) sebagai suat cabang ilmu yang sitematis untuk memanfaatkan informasi mengenai sifat, kemampuan dan keterbatasan manusia dalam merancang suatu sitem kerja yang baik, efektif, aman nyaman. Menurut International Ergonomics Association (IEA) ergonomika dapat diartikan sebagai disiplin ilmu yang mempelajari tentang interaksi antara manusia dan elemen lainnya dalam sistem yang berhubungan dengan perancangan, operatoran, produk dan lingkungan untuk mendapatkan kesesuaian antara kebutuhan, kemampuan dan keterbatasan manusia (Syuaib 2003). Human factors (disebut juga human engineering) adalah nama lain dari ergonomika yang biasa digunakan di Amerika Utara dan sebagian Amerika Serikat. Pada dasarnya ergonomika memiliki dua tujuan penting, yaitu pertama adalah untuk menaikkan efektifitas dan efisiensi pakerjaan dan aktivias lain yang dilakukan, termasuk menaikkan kemampuan penggunaan, mengurangi kesalahan dan meningkatkan produktifitas dan yang kedua adalah untuk menaikkan keinginan tertentu manusia seperti keselamatan, kenyamanan, penerimaan pengguna, kepuasan kerja dan kualitas kehidupan, sama halnya dengan mengurangi kelelahan dan stres (Fitriyani 2003). Sampai saat ini ada dua pendekatan perancangan secara ergonomi yaitu pendekatan ergonomi mikro dan ergonomi makro. 2.2 Ergonomi Mikro Pada awal perkembangan ergonomi, para ergonom lebih memfokuskan pada perancangan sistem kerja yang menitikberatkan pada kaitan kesesuaian kemampuan manusia dengan operatoran/tugas yang harus diselesaikan. Pendekatan seperti ini menurut pulat (1991) adalah ciri khas dari ergonomi mikro.

28 6 Tahapan proses dari pendekatan ergonomi mikro adalah sebagai berikut: 1 Identifikasi masalah. 2 Pembandingan operatoran/tugas dengan kemampuan manusia. Kemudian memverifikasi apakah benar-benar ada masalah dengan persoalan yang dimaksud. 3 Pengembangan solusi alternatif, mencakup solusi teknis dan administratif. 4 Memilih solusi terbaik. 5 Mengimplementasi solusi. 6 Melakukan tindak lanjut (follow up). Dari tahapan di atas terlihat bahwa interaksi di luar lingkungan fisik hanya diperhatikan pada saat implementasi dan tindak lanjut. Pendekatan ini yang nantinya diubah dalam ergonomi makro. Pengukuran mikro ergonomik meliputi pencahyaan, suhu udara, kelembaban udara, kebisingan dan getaran Kebisingan Bunyi atau suara didefinisiakan sebagai serangkaian gelombang yang merambat dari suatu sumber getar sebagai akibat perubahan kerapatan dan juga tekanan udara. Kebisingan adalah terjadinya bunyi yang tidak dikehendaki termasuk bunyi yang tidak beraturan dan bunyi yang dikeluarkan oleh transportasi dan industri sehingga mengganggu dan membahayakan kesehatan (Wilson 1989). Bunyi dikatakan bising apabila menggangu pembicaraan, membahayakan pendengaran dan mengurangi efektifitas kerja. Woodson (1981), telah meneliti pengaruh kebisingan terhadap prestasi manusia, meskipun kebisingan dibawah 90 db tidak menimbulkan ancaman terhadap telinga manusia, tetapi kebisingan dapat menurunkan prestasi kerja dan ganguan. Tabel 1 memperlihatkan dampak dari kebisingan tersebut. Tabel 1 Effek kebisingan dibawah 85 db Tingkat Kebisingan (db) Effek atau akibat 80 Kesulitan untuk berkomunikasi 75 Berbicara dengan keras bila saling berkomunikasi 70 Level tertinggi untuk berkomunikasi 65 Level tertinggi yang dapat diterima untuk lingkungan bising 60 Level yang diterima untuk kondisi siang hari 55 Level tertinggi untuk lingkungan tenang 50 Level yang diterima orang-orang yang menginginkan ketenagan 40 Sangat baik untuk berkonsentrasi <30 Level kebisingan terendah

29 7 Jenis-jenis kebisingan yang sering ditemukan di lingkungan kerja menurut Suma'mur (1988) adalah: 1 Kebisingan kontinyu dengan spektrum frekuensi yang luas (steady state, wide band noise) misalnya, mesin-mesin, kipas angin, dapur pijar dan lain-lain. 2 Kebisingan kontinyu dengan spektrum frekuensi sempit (steasy state, narrow band noise) misalnya, gergaji sirkuler, katup gas,dan lain-lain. 3 Kebisingan terputus-putus (intermitten) misalnya, lalu lintas, pesawat terbang di lapangan udara, dan lain-lain. 4 Kebisingan impulsif (impact atau impulsif noise) misalnya, pukulan tukul, tembakan bedil atau meriam, ledakan dan lain-lain. 5 Kebisingan impulsif berulang misalnya, mesin tempa di perusahan. Kebisingan yang terjadi dalam pabrik dapat mengganggu kinerja operator dan pada taraf yang buruk dapat menyebabkan ketulian. Pada lingkungan kerja, kebisingan yang terjadi tidak boleh menimbulkan kerugian bagi operator yang ada. Untuk menghindari hal tersebut, maka perlu dilakukan perancangan lingkungan kerja yang nyaman. Ada dua hal yang menentukan kualitas bunyi, yaitu: a) Frekuensi Frekuensi adalah jumlah gelombang lengkap yang merambat persatuan waktu (cps = cycle per second), yang disebut Hertz. Bunyi yang dapat diterima oleh telinga manusia biasanya mempunyai batas frekuensi antara Hz. Apabila kurang dari 20 Hz maka disebut infrasound dan bila lebih dari Hz disebut ultrasound dan tidak dapat didengar oleh telinga manusia. b) Intensitas bunyi diartikan sebagai daya fisik penerapan bunyi. Kuantitas intensitas bunyi tergantung jarak dari kekuatan sumber bunyi yang menyebabkan getaran, semakin besar daya intensitas maka intensitas bunyi semakin tinggi. Lama mendengar ditentukan oleh beban bising, yaitu jumlah perbandingan antara waktu mendengar pada tingkat bising bersangkutan, seperti pada Tabel 2.

30 8 Tabel 2 Beberapa standar nilai ambang batas kebisingan dan lama kerja kontinyu yang diperkenankan Intensitas (db) ISO OSHA Indonesia (MENAKER) Waktu kerja (jam) Sumber (Sudirman 1992 dalam Wijaya A 2005) Perhitungan lama mendengar yang diizinkan dapat dihitung dengan menggunakan beberapa standar, diantaranya adalah The U.S. Department of Defense standard (standar DOD) dan Occuptional Safety and Health Administration standard (standar OSHA). Rumus yang digunakan pada pada kedua standar adalah: Waktu 8 ( jam) = ( ) DOD... (1) L 84 / 2 4 Waktu 8 ( jam) = ( ) OSHA... (2) L 90 / 2 5 Dimana : L = intensitas kebisingan (db) Untuk meminimalisasi efek kebisingan yang ditimbulkan terhadap kesehatan manusia, upaya pengendalian kebisingan diantaranya sebagai berikut: Pengendalian keteknikan, yaitu memodifikasi peralatan penyebab kebisingan, modifikasi proses dan modifikasi lingkungan dimana peralatan dan proses tersebut berjalan. Pengendalian sumber kebisingan, yang dilakukan dengan subtitusi antar mesin, proses dan material terutama penambahan penggunaan spesifikasi kebisingan pada peralatan baru. Perlindungan diri, yaitu dengan menggunakan sumbat telinga Alat-alat tersebut dapat mengurangi intensitas kebisingan sekitar db.

31 Suhu dan Kelembaban Sudah merupakan suatu kondisi umum bahwa di area pabrik dimana aktivitas mesin berjalan sepanjang hari akan menghasilkan panas yang cukup tinggi di lingkungan sekitar. Suhu kerja adalah suhu lingkungan tempat kerja yang merupakan kombinasi suhu udara, kelembaban udara, kecepatan gerak dan suhu radiasi. Kelembaban adalah banyaknya air yang terkandung dalam udara (dinyatakan dalam %) dan sangat dipengaruhi oleh temperatur udara Dalam bekerja diperlukan suhu lingkungan yang baik, misalnya ditempat kita bekerja ditanami pohon-pohonan agar memberikan rasa sejuk bagi operator. Seorang operator dalam melakukan kegiatannya sebaiknya dalam keadaan suhu badan yang normal agar konsentrasi operatorannya tidak tergangganggu. Berdasarkan penelitian suhu optimum kerja daerah tropis (di Indonesia) antara C. Suhu konstan den gan sedikit fluktuasi di sekitar 37 C terdapat di bagian dalam otak, jantung, dan o rgan bagian dalam (suhu inti). Suhu inti yang konstan diperlukan agar alat-alat itu dapat berfungsi normal, sedang perubahan yang menyolok tidak baik karena tidak akan sesuai dengan kehidupan makhluk yang berdarah panas (Sulistyadi dan Susanty 2003). Menurut Sulistyadi (2003) kelembaban relative normal pada saat bekerja antara 50-70% Pencahayaan Menurut Susanty (2003), ada tiga aspek penting tentang pencahayaan yaitu kekuatan, arah datang dan jenis cahaya. Kesalahan sering dilakukan karena pemahaman yang tidak benar yaitu semakin terang berarti semakin baik. Pada kenyataannya kekuatan cahaya yang berlebihan akan cepat melelahkan mata sebagaimana halnya pencahayaan yang kurang: mata akan silau akibat pantulan cahaya yang terlampau kuat, dan bekerja berat bila cahaya tak mencukupi. Jumlah pencahayaan yang dibutuhkan pada berbagai aktivitas terdapat pada Tabel 3. Tabel 3 Pemandu untuk illuminasi Kebutuhan illuminasi Hasil operatoran Jenis operatoran Tidak cermat Agak cermat Cermat/Teliti Amat Teliti Melihat Memasang Mambaca, menggambar Mencocokkan

32 10 Illuminasi didefinsikan sebagai kepadatan (density) sinar yang mengalir dari sebuah sumber cahaya (sumber energi radian). Satuan internasional yang dipakai adalah lux ialah banyaknya cahaya yang menerpa sebuah bidang (1 lux = 1 lm m -2 ). Selain itu sering dipakai satuan lumen (lm) dan candel (Cd). Kecerahan (luminance) merupakan ukuran dari sebuah permukaan yang memancarkan sinar atau yang memantulkan sinar dan surnber cahaya. Pencahayaan sangat mempengaruhi kemampuan manusia untuk melihat obyek secara jelas, cepat, tanpa menimbulkan kesalahan. Kebutuhan akan pencahayaan yang baik akan makin diperlukan pada saat mengerjakan suatu operatoran yang memerlukan ketelitian pada penglihatan. Kemampuan mata untuk dapat melihat obyek dengan jelas ditentukan oleh ukuran obyek, derajat kontras diantara obyek dan sekelilingnya, luminensi (brigntness) dan lama kegiatan melihat. Arah yang salah dari datangnya cahaya dapat menyebabkan silau sehingga menimbulkan bayangan pada permukaan pandang. Keadaan bayangan dapat ditentukan oleh jenis cahaya. Cahaya lampu pijar menimbulkan bayangan yang tajam, berbeda dengan lampu neon, sementara itu jenis lampu dapat berperan dalam mencitrakan warna Getaran Getaran mekanis merupaka getaran yang ditimbulkan oleh alat mekanis. Besarnya getaran sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: 1 Intensitas 2 Frekuensi, dan 3 Lamanya getaran Getaran tersebut dapat menyebabkan tergangunya konsentrasi kerja, mempercepat proses kelelahan dan menyebabkan gangguan pada anggota tubuh seperti: mata, telinga, syaraf, otot dan lain-lain (Sulistyadi 2003). Menurut Bridger (2003), getaran dengan frekwensi antara 4-8 Hz sangat berbahaya. Menurut ISO (ISO ), getaran dengan percepatan lebih besar dari 0.32 m/s 2 dapat menimbulkan efek yang sangat serius bagi kesehatan seperti kesulitan dalam menulis atau minum, sulit bicara dan pandangan mata kabur.

33 Ergonomi Makro Hendrick (1987, 2002) menyampaikan suatu pendekatan perancangan sistem kerja yang dikaitkan dengan struktur organisasi, interaksi manusia dan organisasi serta aspek motivasi dalam operatoran. Pendekatan ini dikenal dengan Macro Ergonomics. Di dalam sistem industri, pendekatan ini disebut juga dengan Organizational Design (OD) dan digunakan dalam perancangan struktur organisasi dan hubungan antar komponen struktur tersebut. Dalam paper yang berjudul Macro Ergonomics : A Concep Whose Time Has Come, Hendrick menyampaikan bahwa ada 3 urutan generasi pengembangan. Generasi pertama adalah ergonomi yang memfokuskan pada perancangan tugas secara spesifik, kelompok kerja, hubungan manusia-mesin, termasuk display, pengaturan ruang kerja, lingkungan fisik kerja. Penelitian ergonomi dalam tahap ini diarahkan pada antropometri dan karakteristik fisik manusia dan implikasinya dalam perancangan alat. Menurut IEA, definisi ergonomi generasi pertama ini disebut Physical Ergonomics. Generasi kedua menitikberatkan pada peningkatan perhatian faktor kognitif kerja yang direfleksikan dalam perancangan sistem. Model pengembangan yang ditekankan adalah user-system interface technology. Pengembangan egonomi di era kedua ini menjadi dasar pada pengembangan selanjutnya karena sudah mulai banyak menyentuh masalah sistem teknologi. Pendekatan yang serupa ini di Amerika Serikat disebut juga Human Faktor Engineering. Menurut IEA, hal ini disebut dengan Cognitive Ergonomics. Generasi ketiga yang menurut IEA disebut dengan Organizational Ergonomics, lebih menitikberatkan pada perancangan sistem secara makro, optimisasi sistem kerja dalam kaitannya dengan perilaku organisasi dan psikologi organisasi. Model pengembangan yang ditekankan adalah organization-machine interface technology. Pendekatan ini disebut dengan ergonomi makro, dimana dalam proses perancangan dilakukan penilaian terhadap organisasi dari atas ke bawah menggunakan pendekatan sistem sosio-teknik. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa perancangan level komponen atomistik spesifik tidak dapat dilakukan secara efektif tanpa diawali dengan membuat keputusan ilmiah tentang keseluruhan organisasi, termasuk bagaimana hal tersebut nantinya akan diatur.

34 Beban Kerja, Kelelahan dan Kecelakaan Kerja Kelelahan Definisi Kelelahan Tarwaka dkk (2004) mengatakan definisi kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh terhindar dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi pemulihan setelah istirahat. Kelelahan adalah aneka keadaan yang disertai penurunan efisiensi dan ketahanan dalam bekerja (Sedarmayanti 1996). Ramandhani dalam Budiono dkk (2003) mengatakan definisi kelelahan kerja adalah suatu pola yang timbul pada suatu keadaan yang secara umum terjadi pada setiap orang, yang telah tidak sanggup lagi untuk melakukan kegiatan. Kelelahan adalah suatu kondisi yang telah dikenal dalam kehidupan sehari hari yang mengarah pada kondisi melemahnya tenaga untuk melakukan suatu kegiatan (Suma'mur 1989) Jenis Kelelahan Jenis kelelahan terbagi menjadi dua menurut Ramandhani dalam Budiono (2003), yaitu: A Kelelahan Otot (Muscular Fatique) Adalah suatu kelelahan yang ditunjukkan melalui gejala sakit nyeri yang luar biasa, seperti: ketegangan otot pada daerah sendi. Fenomena berkurangnya kinerja otot setelah terjadinya tekanan melalui fisik untuk suatu waktu tertentu disebut kelelahan otot. Secara fisiologi dan gejala yang ditunjukkan tidak hanya berupa berkurangnya tekanan fisik namun juga pada makin rendahnya gerakan. Kelelahan fisik ini dapat menyebabkan sejumlah hal yang kurang menguntungkan seperti melemahnya kemampuan tenaga kerja dalam melakukan operatorannya dan meningkatnya kesalahan dalam melakukan kegiatan dan akibat fatalnya adalah terjadinya kecelakaan kerja. Kelelahan otot adalah gejala nyeri atau sakit mendadak yang terjadi pada otot yang mengalami pembebanan berlebihan yang terlokalisir ditempat tersebut. Tanda-tandanya: kekuatan kontraksinya melemah, kontraksi dan relaksasi melamban serta fase laten memanjang. Otot yang lelah akan menyebabkan gangguan koordinasi, sehingga dapat meningkatkan resiko atau kemungkinan terjadinya kesalahan dan kecelakaan kerja, disamping itu pada otot yang lelah

35 13 kandungan asam laktat dan karbondioksidanya akan meningkat (Kurniawan 2000). B Kelelahan Umum (General fatique) Adalah suatu perasaan letih yang luar biasa dan terasa aneh yang berupa perasaan lamban dan keengganan untuk melakukan aktivitas. Beberapa jenis kelelahan fisik secara umurn dapat dikelompokkan sebagai berikut: 1 Kelelahan penglihatan muncul dari terlalu letihnya mata 2 Kelelahan seluruh tubuh sebagai akibat terlampau besarnya beban fisik bagi seluruh organ tubuh 3 Kelelahan mental penyebabnya dipicu oleh operatoran yang bersifat mental dan intelektual 4 Kelelahan saraf penyebabnya oleh karena terlalu tertekannya salah satu bagian dari sistem psikomotorik 5 Terlalu monotonnya operatoran dan suasana sekitarnya 6 Kelelahan kronis sebagai akibat terjadinya akumulasi efek kelelahan pada jangka waktu panjang 7 Kelelahan siklus hidup sebagai bagian dari irama hidup siang dan malam serta pertukaran periode tidur Menurut Nurmianto (1926) bahwa jenis kelelahan kerja terbagi menjadi dua, yaitu: A Kelelahan Otot Adalah kondisi dinamis dari operatoran yang akan meningkatkan sirkulasi darah yang juga mengirim zat-zat makanan bagi otot dan mengusir asam laktat. Suasana kerja dengan otot statis, aliran darah agak menurun, sehingga asam laktat terakumulasi dan mengakibatkan kelelahan otot lokal, disamping itu juga dikarenakan beban otot yang tidak merata pada sejumlah jaringan tertentu yang pada akhirnya akan mempengaruhi kineria (performance) seseorang. B Kelelahan Umum Perasaan adanya kelelahan urnum yang ditandai dengan berbagai kondisi, antara lain: 1 Kelelahan visual (indera penglihatan) 2 Kelelahan seluruh tubuh 3 Kelelahan mental 4 Kelelahan urat saraf

36 14 5 Stress (pikiran tegang) 6 Rasa malas bekerja (circadian fatique) Gejala-Gejala Kelelahan Gambaran mengenai gejala kelelahan (fatique symptom) secara subjektif dan objektif menurut Ramandhani dalam Budiono dkk (2003), antara lain: 1 Perasaan lesu, ngantuk dan pusing 2 Tidak atau kurang mampu berkonsentrasi 3 Berkurangnya tingkat kewaspadaan 4 Persepsi yang buruk dan lambat 5 Tidak atau berkurangnya gairah untuk kerja 6 Menurunnya kinerja jasmani maupun rohani Bila kelelahan telah merupakan keadaan penyakit, kelelahan tersebut telah bersifat medis dan gejala-gejala yang ditemukan pada tenaga kerja menurut Suma'mur (1989), adalah: 1 Pusing kepala 2 Jantung berdebar-debar 3 Nafas sesak 4 Hilang nafsu makan 5 Gangguan pencernaan 6 Tidak bisa tidur Kelelahan klinis ini terjadi pada tenaga kerja yang memiliki konflik-konflik kejiwaan atau kesulitan psikologis. Gejala atau perasaan lelah akibat kegiatan menurut Sedarmayanti (1996), antara lain dapat menyebabkan: 1 Kepala berat 2 Lelah seluruh badan 3 Kaki terasa berat 4 Banyak menguap 5 Pikiran kacau 6 Mengantuk 7 Rasa berat pada mata 8 Gerakan kaku atau canggung 9 Berdiri tidak seimbang 10 Ingin berbaring

37 15 Nurmianto (1996) mengatakan bahwa kelelahan dapat ditandai dengan kondisi yang cenderung untuk mengantuk, Gejala-gejalanya adalah 1 Rasa letih, lelah, lesu dan lemah (4 L) 2 Mengantuk 3 Motivasi kerja menurun 4 Rasa pesimis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kelelahan Terdapat 5 kelompok sebab kelelahan menurut suma'mur (1989), yaitu: 1 Keadaan monoton 2 Beban dan lamanya operatoran baik fisik maupun mental 3 Keadaan lingkungan seperti: cuaca kerja, penerangan dan kebisingan 4 Keadaan kejiwaan seperti: tanggung jawab, kekhawatiran dan konflik 5 Penyakit, perasaan sakit dan keadaan gizi Budiono dkk (2003) mengatakan bahwa terdapat 6 kelompok penyebab kelelahan, yaitu: 1 Intensitas dan lamanya upaya fisik dan psikis 2 Masalah lingkungan kerja: kebisingan dan penerangan 3 Irama detak jantung 4 Masalah-masalah fisik: tanggung jawab, kecemasan dan konflik 5 Nyeri dan penyakit lainnya 6 Gizi atau nutrisi Menurut Grandjean (1991) menjelaskan bahwa faktor penyebab terjadinya kelelahan di industri sangat bervariasi, dan untuk memelihara / mempertahankan kesehatan dan efisiensi, proses penyegaran harus dilakukan di luar tekanan (cancel out the stress). Penyegaran terjadi terutama selama waktu tidur malam, tetapi periode istirahat dan waktu-waktu berhenti kerja juga dapat memberikan penyegaran. Masalah lingkungan kerja seperti yang disebutkan di atas, dapat dijelaskan sebagai berikut: 1 Penerangan Penerangan di tempat kerja adalah salah satu sumber cahaya yang menerangi benda-benda di tempat kerja (Habsari dalam Budiono dkk 2003). Penerangan dapat berasal dari cahaya alami dan cahaya buatan. Banyak obyek

38 16 kerja beserta benda atau alat dan kondisi di sekitar yang perlu dilihat oleh tenaga kerja. Hal ini penting untuk menghindari kecelakaan yang mungkin terjadi. Selain itu penerangan yang memadai memberikan kesan pemandangan yang lebih baik dan keadaan lingkungan yang menyegarkan (Habsari dalam Budiono dkk 2003). Upaya mata yang melelahkan menjadi sebab kelelahan mental, gejala yang ditimbulkannya yaitu: sakit kepala, penurunan intelektual daya konsentrasi dan kecepatan berfikir (Suma'mur 1988). Sinar yang terlalu kuat, menyilaukan atau terlalu lemah akan menimbulkan pembebanan bagi tenaga kerja yang menyebabkan kelelahan lebih mudah terjadi (Kurniawan 2000). 2 Kebisingan Bising adalah suara atau bunyi yang tidak diinginkan yang sangat mengganggu aktivitas atau kegiatan manusia sehingga dapat mengurangi konsentrasi dalam bekerja (Habsari dalam Budiono dkk 2003). Kebisingan mengganggu perhatian yang perlu terus menerus dicurahkan, maka dari itu tenaga kerja yang melakukan pengamatan dan pengawasan terhadap satu proses produksi atau hasil dapat membuat kesalahan-kesalahan, akibat dari terganggunya konsentrasi. Ada tenaga kerja yang sangat peka terhadap kebisingan terutama pada nada tinggi, salah satu sebabnya mungkin reaksi psikologis, juga kebisingan berakibat meningkatnya tingkat kelelahan (Suma'mur 1988). Kebisingan adakalanya dapat diadaptasikan oleh telinga, sampai seberapa tinggi tingkat kebisingan dapat dianggap tidak mengganggu masih sulit ditetapkan. Perlu dijaga agar tingkat bising tidak sampai mengakibatkan hilangnya kesempatan istirahat karena akan menyebabkan lelah kronis (Sedarmayanti 1996) 3 Lingkungan Kerja Panas (Iklim kerja) Tarwaka dkk (2004) mengatakan bahwa operator di dalam lingkungan panas, seperti disekitar boiler, tungku pemanasan atau bekerja di luar ruangan di bawah terik matahari dapat mengalami tekanan panas. Selama aktivitas pada lingkungan panas tersebut, tubuh secara otomatis akan memberikan reaksi untuk memelihara suatu kisaran panas lingkungan yang konstan dengan menyeimbangkan antara panas yang diterima dari luar tubuh dengan kehilangan panas dari dalam tubuh. Secara lebih rinci gangguan kesehatan akibat pemaparan suhu lingkungan panas yang berlebihan salah satunya adalah

39 17 gangguan perilaku dan performance kerja seperti, terjadinya kelelahan, sering melakukan istirahat curian Mekanisme Terjadinya Kelelahan Suma'mur (1989) mengatakan bahwa kelelahan diatur secara sentral oleh otak. Pada susunan saraf pusat, terdapat sistem aktivasi dan sistem imbibisi. Kedua sistem ini saling mengimbangi tetapi kadang-kadang salah satu dari padanya lebih dominan sesuai dengan keperluan. Sistem aktivasi bersifat simpatis, sedangkan sistem imbibisi bersifat parasimpatis. Agar tenaga kerja berada dalam keserasian dan keseimbangan, kedua sistem tersebut harus berada pada kondisi yang memberikan stabilitas kepada tubuh. Kelelahan adalah reaksi fungsionil dari pusat kesadaran yaitu cortex cerebri, yang dipengaruhi oleh dua sistem antagonistik yaitu: sistem penghambat (inhibisi) dan sistem penggerak (aktivasi). Sistem penghambat terdapat dalam thalamus yang mampu menurunkan kemampuan manusia bereaksi dan menyebabkan kecenderungan untuk tidur. Adapun sistem penggerak terdapat dalam formatio retikularis yang dapat merangsang pusat-pusat vegetatif untuk konversi ergotropis dari peralatan, dalam tubuh ke arah bekerja, berkelahi, dan melarikan diri. Apabila sistem penghambat yang kuat, seseorang berada dalam kelelahan, sebaliknya manakala sistem aktivasi yang kuat, seseorang dalam keadaan segar untuk bekerja Beban Kerja Menurut Mc.Cormick dan Sanders (1993), metabolisme merupakan proses kimia yang mengubah bahan makanan menjadi dua bentuk, yaitu energi panas dan energi mekanik. Energi panas terjadi akibat kita melakukan suatu operatoran, dan energi mekanik digunakan untuk kegiatan internal tubuh (proses pernafasan maupun pencernaan) dan kegiatan eksternal seperti bekerja, berjalan maupun kegiatan lainnya. Energi yang tersedia dalam tubuh dihasilkan melalui proses metabolisme yang terjadi di dalam sel-sel otot tubuh. Metabolisme ini berkaitan dengan kelancaran transportasi bahan-bahan metabolik ke seluruh tubuh yang diedarkan oleh sistem transportasi tubuh. Kelancaran sistem peredaran darah ini dapat dipantau melalui jumlah denyut jantung dan nadi per satuan waktu yang berperan layaknya pompa darah. Semakin besar kebutuhan tenaga dalam

40 18 melakukan suatu aktifitas maka akan semakin cepat pula jantung dan nadi itu berdenyut. Beban kerja merupakan beban seseorang ketika melakukan suatu operatoran. Beban ini akan diketahui pada saat operator menanggapi kerja dengan memberikan respon seperti denyut jantung yang tinggi atau keringat yang keluar. Kapasitas kerja manusia dibatasi dan terutama ditentukan oleh kemampuan untuk menyediakan oksigen dan makanan yang cukup. Konsumsi energi sebesar 20 kj per menit, termasuk energi untuk metabolisme basal sebesar 4.2 kj adalah nilai tetap maksimum yang dapat dihasilkan seorang pria dewasa. Pengukuran beban kerja fisik dapat dilakukan dengan memperhatikan empat parameter fisiologis sebagai berikut (Zanders 1972): 1 Suhu Tubuh Peningkatan beban kerja akan menaikkan suhu tubuh, sehingga suhu tubuh dapat dijadikan parameter pengukuran beban kerja fisik. Pada operator yang bekerja pada suhu udara tinggi, peningkatan suhu tubuh tidak proporsional dengan laju konsumsi O 2, sifat ini dapat dijadikan indikasi pengukuran heat stress. 2 Konsumsi Oksigen (O 2 ) Perubahan karbohidrat, lemak, dan protein menjadi energi memerlukan O 2, dengan demikian konsumsi O 2 dapat dijadikan parameter untuk pengukuran benda kerja, dengan mengequivalenkan antara kebutuhan energi dan kebutuhan O 2 diperoleh hubungan yang nyata antara keduanya. Konsumsi energi bersih per kegiatan dapat diukur dengan cara menguranginya dengan energi yang diperlukan untuk metabolisme basal. 3 Laju Paru-Paru dan Frekuensi Pernafasan Laju paru-paru dan frekuensi pernafasan seimbang dengan konsumsi O 2, sehingga dengan mengetahui laju paru-paru dan frekuensi pernafasan dapat dihitung besarnya konsumsi O 2 dan dapat diketahui besarnya beban kerja. 4 Denyut Jantung Kerja jantung akan meningkat jika tubuh melakukan tenaga mekanis. Laju denyut jantung yang tinggi akan diikuti oleh konsumsi O 2 yang rendah, biasanya menunjukkan kelelahan otot, terutama untuk operatoran statis (Zander 1972 dan Sanders 1987).

41 19 Berdasarkan pengujian dengan menggunakan parameter-parameter di atas, tingkat beban kerja fisik dapat digolongkan dalam beberapa tingkat, seperti terdapat dalam Tabel 4. Tabel 4 Tingkat kerja Tingkat beban kerja fisik yang diukur berdasarkan parameter fisiologis Konsumsi energi dalam 8 jam (kkal) Konsumsi energi (kkal/menit) Konsumsi oksigen (liter/menit) Denyut jantung/menit Isirahat < 720 < 1.5 < Sangat Ringan Ringan Sedang Berat Sangat Berat Luar Biasa Berat >6000 >12.5 >2.5 >180 Sumber: American Industrial Hygiene Association dalam Mc. Cormick Pengukuran beban kerja fisik yang termudah untuk dilakukan pada kondisi lapang adalah dengan mempergunakan pengukuran denyut jantung. Tetapi, pengukuran ini memiliki kelemahan, karena hasil pengukuran tidak hanya dipengaruhi oleh usaha-usaha fisik, melainkan juga oleh kondisi dan tekanan mental. Kelemahan lainnya adalah bervariasinya karakter denyut jantung pada setiap orang, dan dapat pula terjadi penyimpangan (Hayashi. et al 1997). Salah satu metode yang dipergunakan untuk kalibrasi pengukuran denyut jantung ini adalah dengan mempergunakan metode step test atau metode langkah, selain dari sepeda ergometer. Dengan metode step test dapat diusahakan suatu selang yang pasti dari beban kerja dengan hanya mengubah tinggi bangku step test dan intensitas langkah. Metode ini juga lebih mudah, karena dapat dilakukan dimana-mana, terutama di lapang, dibandingkan dengan mengguanakan sepeda ergometer (Hayashi. et al 1997). Menurut Hayashi. et al (1997), denyut jantung sebanding dengan konsumsi oksigen. Beban kerja yang pasti dapat diketahui dengan mengkalibrasi antara kurva denyut jantung saat bekerja dengan beban kerja (denyut jantung) yang ditetapkan sebelum bekerja (metode step test). Step test mempunyai komponen pengukuran yang mudah, selalu tersedia dimana saja dan kapan saja, sehingga dengan demikian dengan metode ini ketidakstabilan denyut jantung seseorang dapat dengan mudah dianalisa (Hayashi. et al 1997). Dengan metode ini beberapa faktor individual seperti umur, jenis kelamin, berat dan tinggi badan, harus diperhatikan sebagai faktor penting untuk menentukan karakteristik individu yang diukur (Herodian 1998).

42 Kecelakaan Kerja Keberhasilan seseorang operator dalam bekerja sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor tersebut harus diperhatikan agar dapat memaksimalkan fungsi kerja operator sehingga marnpu menyelesaikan operatoran dengan cepat dan dapat meningkatkan produktivitas kerja Untuk menghindari kecelakaan kerja dari awal seseorang operator perlu memperhatikan faktor tersebut Secara garis besar faktor tersebut dapat dibedakan menjadi dua (2) kelompok, yaitu: 1 Kelompok faktor diri (individual), dan 2 Kelompok faktor situasional Kelompok faktor diri terdiri dari beberapa faktor yang datang dari diri operator itu sendiri. Beberapa hal seperti penalaran, pengalaman, dan pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi kemampuan seseorang bekerja. Kelompok faktor situasional terdiri dari faktor yang dapat diubah atau diatur. Faktor ini berada di luar diri manusia Kelompok faktor situasional terbagi ke dalam dua sub kelompok yaitu: 1 Faktor sosial keorganisasiannya seperti kepuasan kerja dan semangat dalam bekerja 2 Faktor fisik operatoran yang bersangkutan seperti keterkaitan antara seseorang yang bekerja dengan alat, mesin dan lingkungan kerja 2.5 Produktifitas Rendahnya produktivitas tenaga kerja yang terlibat dalam sektor industri merupakan salah satu faktor yang ikut bertanggung jawab atas rendahnya sumbangan industri pada produk domestik bruto. Dalam konsep manajemen, manusia diharapkan mau memanfaatkan tenaga sepenuhnya atau seoptimum mungkin untuk meningkatkan produktivitas, yang diikuti oleh terciptanya hubungan kerja yang bermutu dengan konotasi yang menyenangkan. Usaha ini menuntut keterlibatan seluruh perusahaan dimana setiap orang dapat merasakan pentingnya produktivitas yang meningkat lalu berperan serta (Kussriyanto 1986). Unsur utama yang menyebabkan suatu lingkungan tertentu memberikan motivasi adalah gabungan dari kondisi fisik dan sikap mental. Sejauh mana salah satu unsur tersebut lebih penting, bergantung pada sifat dan pentingnya operatoran bagi karyawan. Hasil kerja yang sangat memuaskan dapat dicapai

43 21 dalam suatu keadaan yang buruk, manakala hasrat karyawan untuk berprestasi amat kuat. Sebaliknya, kondisi yang sangat baik tidak berarti menghalangi munculnya hasil kerja yang justru sangat mengecewakan apabila para karyawan tidak mempunyai gairah untuk berprestasi. Karyawan yang bermotivasi tinggi dapat membuat "keajaiban" di dalam lingkungan yang buruk. Sebagai contoh misalnya operatoran-operatoran teknik para tawanan perang yang mereka laksanakan dalam usaha melarikan diri. Tanpa peralatan yang lengkap, terpaksa bekerja di tempat yang gelap, terputusputus dan dibayangi rasa ketakutan kalau-kalau ketahuan, mereka membuat terowongan, mendesain dan memasang sistem ventilasi serta merancang cara membuang berton-ton tanah tanpa diketahui oleh lawan. Dengan motivasi tinggi para tawanan itu tidak menghiraukan kondisi lingkungan kerja yang buruk dan mereka terus maju untuk mencapai sasaran. Mereka benar-benar dipimpin oleh orang-orang yang mernberikan berbagai pengarahan secara jelas dan yang selalu memberikan dorongan, sehingga semangat kerja mereka terjaga terus dalam keadaan apa pun. Kepemimpinan yang baik membantu orang mengatasi lingkungan kerja yang buruk (Kussriyanto 1986).

44 22 3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ini akan dilaksanakan di dua pabrik gula yaitu di PT. Perkebunan Nusantara VII (Persero) unit usaha PG Bungamayang dan PG Jatitujuh Cirebon. Pemilihan dua pabrik tersebut dengan pertimbangan perbedaan tingkat produktivitas. Waktu penelitian dimulai pada bulan Februari sampai Agustus Obyek dan Alat Obyek yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah : Sistem kerja di tempat pabrikasi: Penelitian difokuskan pada jumlah dan komposisi karyawan, shift kerja, alat/mesin yang ditangani, lingkungan kerja dan fasilitas pendukung. Dalam penelitian ini alat-alat yang digunakan untuk mengukur kondisi kerja operator dan lingkungan kerja adalah sebagai berikut ; 1 Kuisioner persepsi 2 Timbangan badan 3 Vibration meter 4 Humidity & IR Temperatur Meter 5 Lux & Light Meter 6 Sound Level Meter 7 Disto-meter Digital 8 Heart Rate Monitor 3.3 Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 2, yang secara garis besar terdiri dari studi pendahuluan, pengambilan data, pemodelan sistem, verifikasi dan validasi, kemudia dilanjutkan dengan analisa dan kesimpulan, penjelasan masing-masing tahap adalah sebagai berikut.

45 23 Gambar 2 Diagram alir metode penelitian Studi Pendahuluan Penelitian ini dimulai dengan studi pendahuluan meliputi studi awal lapangan dan studi pustaka/ literatur. Berdasarkan studi pendahuluan, kemudian masalah dapat dirumuskan yaitu rancangan sistem kerja berbasis pendekatan ergonomi makro Pengambilan Data Pengumpulan Data Sistem Kerja di Lingkungan Pabrik Data yang diambil adalah data jumlah dan komposisi karyawan, shift kerja, pembagian kerja, lingkungan kerja, alat yang digunakan sampai fasilitas pendukung. Lingkungan kerja yang dimaksud meliputi luas ruang, temperatur, kelembaban, kebisingan, getaran, pencahayaan. Sedangkan fasilitas pendukung antara lain poliklinik, tempat ibadah, sarana sosial dan pendidikan.

46 24 Teknik pengukuran lingkungan kerja adalah sebagai berikut: 1 Pengukuran Luas Ruangan Pengukuran luas ruangan dimaksud disini adalah luas ruangan yang akan menjadi objek penelitian. Alat yang digunakan untuk pengukuran luas ruangan ini yaitu meteran dan distro meter. Alat distro meter ini digunakan karena lebih praktis dan teliti karena telah memanfaatkan sinar infra merah sebagai sebagai sensor alat ukurnya. 2 Pengukuran Temperatur dan Kelembaban Pengukuran temperatur dan kelembaban dilakukan pada stasiun kerja. Alat yang digunakan yaitu pengukur tempertur digital dengan menggunakan sensor infra merah (Gambar 3) dan alat pengukur kelembaban (RH meter). Gambar 3 Alat ukur temperatur digital Pengukuran akan dilakukan pada beberapa titik pada masing-masing stasiun pengukuran dan pada tingkat waktu tertentu (diseuaikan dengan shift kerja), sehingga sebaran temperatur dan kelembaban pada suatu waktu di dalam stasiun kerja dapat diketahui. 3 Pengukuran Pencahayaan Pengukuran pencahayaan dilakukan pada stasiun kerja. Pengukuran ini menggunakan alat ukur pencahayaan digital dan dilakukan pada titik-titik yang telah ditentukan untuk melihat pola sebaran intensitas cahaya. Pengukuran juga dilakuan pada tingkat waktu tertentu untuk melihat adanya perubahan pola sebaran intensitas cahaya berdasarkan waktu.

47 25 4 Pengukuran Kebisingan Pengukuran kebisingan dilakukan dengan cara memetakan tingkat kebisingan pada stasiun-stasiun pengolahan. Pengukuran kebisingan dilakukan pada titik-titik yang telah ditentukan sebelumnya.tingkat kebisingan diukur dengan menggunakan Sound Level Meter dengan tinggi alat pada saat pengukuran ± 160 cm dari lantai atau setara dengan rata-rata tinggi telinga orang Indonesia. Memberikan kuesioner kepada beberapa operator yang bekerja di stasiun-stasiun pengolahan untuk mengetahui keluhan-keluhan atau dampak yang ditimbulkan dari kondisi lingkungan kerja. 5 Pengukuran Getaran Data tingkat getaran mekanis yang dihasilkan mesin, diukur dengan cara : 1 Mengukur getaran mekanis pada mesin searah sumbu x, y, dan z menggunakan vibrationmeter (Gambar 4). Pengukuran ini bertujuan untuk mengetahui nilai getaran sumber. Gambar 4 Vibrationmeter 2 Mengukur putaran poros mesin (rpm) menggunakan tachometer (Gambar 5). Pengukuran ini bertujuan mengetahui frekuensi getaran sumber.

48 26 Gambar 5 Tachometer 3 Mengukur getaran yang merambat ke lantai atau tempat lain dimana getaran merambat dengan menempelkan vibrationmeter Pengukuran Beban Kerja Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh rancangan sistem kerja terhadap karyawan adalah dengan mengukur beban kerja. Pengukuran beban kerja dilakukan dengan metode subyektif yaitu dengan kuisioner persepsi karyawan dan secara obyektif dilakukan dengan mengukur kelelahan dan melihat prestasi kerja karyawan. Data beban kerja operator dapat diketahui berdasarkan parameter denyut jantung operator, yang diukur dengan Heart Rate Monitor. Alat ini disetel secara otomatis merekam denyut jantung operator setiap 5 detik untuk mengetahui tingkat beban kerja yang dialami operator pada saat bekerja. Verifikasi pengukuran beban kerja dengan parameter denyut jantung dilakukan dengan metode step-test. Verifikasi ini dilakukan sebelum pengukuran denyut jantung dilakukan pada beberapa subyek yang berbeda. Metoda step test dilakukan dengan cara melangkah naik turun bangku step test setingi 30 cm dengan ritme kecepatan langkah yang berbeda yang diatur dengan alat digital metronome. Ritme kecepatan langkah yang diukur yaitu 20 siklus/menit, 25 siklus/menit, dan 30 siklus/menit. Setiap masing-masing ritme dilakukan selama 3 menit dengan diselingi istirahat selama 5 menit. Rata-rata denyut jantung dan tenaga yang digunakan saat melakukan step-test diplotkan dalam bentuk grafik dicari persamaan hubungan antara denyut jantung dan tenaga. Untuk menghindari subjektivitas nilai denyut jantung (HR) yang umumnya sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor personal, psikologis dan lingkungan, maka perhitungan nilai HR harus dinormalisasikan agar diperoleh nilai HR yang objektif (Syuaib 2003). Normalisasi nilai denyut jantung dilakukan dengan cara

49 27 perbandingan HR relatif saat kerja terhadap HR saat istirahat. Nilai perbandingan HR tersebut dinamakan IRHR (Increase Ratio of Heart Rate). Perbandingan tersebut dirumuskan sebagai berikut: HR work IRHR =... (2) HR rest Dimana: HR work HR rest = denyut jantung saat melakukan pekerjaan (beats/ minute) = denyut jantung saat istirahat (beats / minute) Kemudian untuk memperoleh Total Energy Cost Step Test (TEC ST ) yaitu total energi yang digunakan pada step test digunakan persamaan berikut ini: TEC..2. /( ST = w g f h. t)... (3) Diamana: TEC ST = Total Energy Cost saat step test (kkal/menit) w = Berat badan (kg) g = Percepatan gravitasi (9.8 m/detik 2 ) f = Frekwensi step test h = Tinggi bangku step test (meter) 4.2 = Faktor kalibrasi satuan dari joule menjadi kalori t = waktu (menit) Kemudian dibuat grafik korelasi antara TEC ST dengan IRHR sehingga diperoleh permsamaan dengan bentuk umum untuk seorang subjek sebagai berikut:.... (4) Dimana: Y = TEC ST (kkal/menit) X = IRHR

50 28 Persamaan ini kemudian digunakan untuk mengkonversi nilai IRHR menjadi TEC W pada saat melakukan aktivitas. Untuk mengetahui nilai energi yang dikeluarkan sebenarnya untuk melakukan pekerjaan perlu dihitung nilai WEC (Work Energy Cost) dengan persamaan sebagai berikut:... (5) Dimana: WEC TEC BME = Work Energy Cost (kkal/min) = Total Energy Cost (kkal/min) = Basal Metabolic Energy (kkal/min) Basal Metabolic Energy (BME) adalah energi basal yang dikeluarkan manusia setiap menitnya untuk melakukan aktivitas fungsi organ tubuhnya. Nilai BME itu ekuivalen dengan nilai VO 2 (ml/min) dan nilai VO 2 itu sendiri dipengaruhi oleh luas permukaan tubuh (A) setiap manusia dan jenis kelamin. Persamaan untuk menghitung luas permukaan tubuh yaitu: A = h. w (6) Dimana: A = Luas Permukaan Tubuh (m 2 ) h = Tinggi Tubuh (cm) w = Berat Tubuh (kg) Untuk meperoleh nilai VO 2 dapat digunakan tabel konversi yang tersedia pada Tabel 5. Menurut Sanders (1993), secara umum konsumsi 1 liter oksigen ekuivalen dengan konsumsi tenaga sebesar 5 kkal. Karena berat badan seseorang mempengaruhi beban kerja yang diterima, maka untuk mengetahui nilai beban kerja yang sebenarnya (WEC ) yang diterima oleh operator pada saat melakukan kerja maka pengaruh berat badan harus ditiadakan. Untuk mendapatkan nilai WEC (Work Energy Cost per Weight) digunakan persamaan dibawah ini:

51 29 /... (7) Dimana: WEC WEC w = Work Energy Cost per Weight (kal/kg.menit) = Work Energy Cost (kal/menit) = Berat Badan (kg) Tabel 5 Tabel konversi BME ekuivalen dengan VO 2 berdasarkan luas permukaan tubuh 1/100 m catatan : untuk perempuan nilai VO 2 harus dikalikan 0.95 Untuk mengetahui nilai tingkat beban kerja dapat diperoleh dengan membandingkan nilai IRHR saat kerja dengan Tabel 6 untuk mengetahui tingkat beban kerja tersebut. (Syuaib 2003). Berikut katagori pekerjaan berdasarkan IRHR Tabel 6 Katagori pekerjaan berdasarkan IRHR Katagori Nilai IRHR Ringan 1.00 <IRHR< 1.25 Sedang 1.25 <IRHR< 1.50 Berat 1.50 <IRHR< 1.75 Sangat Berat 1.75 <IRHR< 2.00 Luar Biasa Berat 2.00 < IRHR Berdasarkan keputusan Menteri Tenaga Kerja (KEP.51/MEN/1999), beban kerja dikatagorikan berdasarkan kebutuhan kalori menjadi tiga tingkatan yaitu: 1 Beban kerja ringan membutuhkan kalori kkal/jam 2 Beban kerja sedang membutuhkan kalori > kkal/jam 3 Beban kerja berat membutuhkan kalori > kkal/jam

52 Pengukuran Makro Ergonomi Pengukuran makro ergonomi dengan cara: 1 Inventarisasi fasilitas umum yang tersedia antara lain perumahan, transportasi, klinik kesehatan, sekolah, tempat ibadah, fasilitas olah raga, fasilitas rekreasi, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, dll 2 Kuisioner persepsi karyawan terhadap lingkungan organisasi (Lampiran 5) Pemodelan Sistem Untuk melihat pengaruh dan prilaku dari setiap parameter terhadap tingkat produktivitas sistem kerja di pabrik gula dilakukan dengan menggunakan model Jaringan Syaraf Tiruan (JST) yang ditampilkan pada Gambar 6. Model JST yang dikembangkan terdiri dari dua model yaitu model JST I dan model JST II dengan masukan (input) data dari aspek mikro dan makro ergonomi dalam tiga shift kerja yang diberlakukan dalam proses produksi gula dengan keluaran (output) berupa model JST produktivitas sistem kerja di pabrik gula (ton cane/shift). PABRIK GULA SHIFT KERJA SHIFT KERJA PAGI SHIFT KERJA SIANG SHIFT KERJA MALAM ASPEK ERGONOMI: 1. MIKRO - KEBISINGAN - GETARAN - SUHU - KELEMBABAN - PENCAHAYAAN - BEBAN KERJA 2. MAKRO - FASILITAS UMUM YANG TERSEDIA - PERSEPSI KARYAWAN TERHADAP LINGKUNGAN FISIK DAN LINGKUNGAN ORGANISASI ASPEK ERGONOMI: 1. MIKRO - KEBISINGAN - GETARAN - SUHU - KELEMBABAN - PENCAHAYAAN - BEBAN KERJA 2. MAKRO - FASILITAS UMUM YANG TERSEDIA - PERSEPSI KARYAWAN TERHADAP LINGKUNGAN FISIK DAN LINGKUNGAN ORGANISASI ASPEK ERGONOMI: 1. MIKRO - KEBISINGAN - GETARAN - SUHU - KELEMBABAN - PENCAHAYAAN - BEBAN KERJA 2. MAKRO - FASILITAS UMUM YANG TERSEDIA - PERSEPSI KARYAWAN TERHADAP LINGKUNGAN FISIK DAN LINGKUNGAN ORGANISASI MODEL JST I dan MODEL JST II MODEL JST PRODUKTIVITAS SISTEM KERJA DI PABRIK GULA Gambar 6 Skema pemodelan dengan Jaringan Syaraf Tiruan

53 31 Lapisan keluaran dibuat berdasarkan nilai pengukuran ergonomi mikro dan makro yang menghasilkan produktivitas kerja, dengan rangkaian model dengan menggunakan dua tahap JST dengan masing-masing terdiri dari tiga lapisan atau multi layer. Tahap I (Gambar 7): 1 Lapisan masukan menggunakan parameter ergonomi mikro dan parameter ergonomi makro 2 Lapisan tersembunyi, sebagai lapisan pemrosesan atau pembanding antara lapisan masukan dan lapisan keluaran yang menghasilkan nilai pembobot diantara lapisan-lapisan tersebut 3 Lapisan keluaran terdiri dari 3 unit keluaran yaitu kelelahan, kecelakan kerja, dan beban kerja KEBISINGAN GETARAN KELELAHAN SUHU KELEMBABAN KECELAKAAN KERJA PENCAHAYAAN LINGKUANGAN ORGANISASI BEBAN KERJA Gambar 7 Model JST tahap I yang dikembangkan pada tiap shift kerja Tahap II (Gambar 8): 1 Lapisan masukan menggunakan parameter ergonomi hasil JST tahap I 2 Lapisan tersembunyi, sebagai lapisan pemrosesan atau pembanding antara lapisan masukan dan lapisan keluaran yang menghasilkan nilai pembobot diantara lapisan-lapisan tersebut 3 Lapisan keluaran terdiri dari 1 unit keluaran yaitu produktivitas sistem kerja pabrik gula

54 32 Gambar 8 Model JST tahap II yang dikembangkan pada tiap shift kerja Dari model yang dikembangkan memungkinkan untuk mengetahui dan menganalisa pengaruh masing-masing parameter input (ergonomi mikro dan ergonomi makro) pada setiap shift kerja terhadap produktivitas sistem kerja pada pabrik gula Proses Pembelajaran Model JST Data sampel hasil pengukuran digunakan sebagai bahan pada proses pembelajaran (training), dengan menggunakan metode back propagation (Siang J.J 2005) - Input pada lapisan masukan merupakan input bagi lapisan tersembunyi = i Hj V x ij i, j = 1, 2,...h... (8) K Dimana: H j I k H M I = W y, k = 1,2,...m... (9) i kj j = input pada lapisan tersembunyi node j = input pada lapisan keluaran (output) node k = jumlah node pada lapisan tersembunyi = jumlah node pada lapisan keluaran (output)

55 33 Gambar 9 Ilustrasi pembelajaran backpropagation - Perhitungan nilai output node j pada lapisan tersembunyi dan output node k pada lapisan keluaran dengan persamaan berikut: ) ( j j H f y =, j = 1,2,...k... (10) ) ( k k I f z =, k = 1,2,...m... (11) Sehingga persamaan keluaran output pada lapisan keluaran ke k dengan masukan nilai input x adalah: = = = )) ( ) ( j j kj j j kj k x H f W f y W f I f z = i i ji j kj x V f W f... (12) fungsi (f) yang digunakan pada proses pembelajaran merupakan fungsi aktivasi log-sigmoid: ) ( 1 1 ) ( H j j e H f β + =... (13) ) ( 1 1 ) ( I k k e I f β + =... (14)

56 34 - Prinsip backpropagation adalah mengoptimalkan nilai fungsi dengan memperkecil nilai galat (error) hingga mencapai minimum global, melalui perbaikan nilai pembobot dengan membandingkan nilai output jaringan dengan nilai target yang diberikan dengan menggunakan persamaan jumlah kuadrat galat: p p ( t ) 2 k z E = 1 k... (15) 2 dimana: t = target dan z = keluaran JST - Perbaikan nilai pembobot dilakukan untuk memperkecil nilai galat dengan menggunakan metode delta rule: W = ηδ y... (16) kj k j dimana: η = konstanta laju pembelajaran W kj = perubahan nilai pembobot W kj δ k = galat output ke k y j ji = fungsi log-sigmoid V = ηδ x... (17) j i Dari persamaan-persamaan diatas maka nilai pembobot dapat dirumuskan melalui persamaan berikut: W V baru kj baru ji lama lama ' = W + W = W + η y ( t z ) f ( I )... (18) kj kj kj j k k lama lama = V ji + V ji = V ji + η x j f '( H j ) k δ kwkj... (19) k - Semua proses diatas dilakukan secara berulang-ulang melalui pemberian nilai input-output, proses aktivasi dan perubahan nilai pembobot. Kinerja jaringan dievaluasi melalui nilai Mean Square Error (MSE), hal ini untuk melihat tingkat ketelitian model yang telah dibangun. ( Y T ) k MSError = n dimana : Y k = nilai prediksi jaringan T k n k 2... (20) = nilai target yang diberikan pada jaringan = jumlah contoh data pada set validasi

57 Verifikasi dan Validasi model JST Verifikasi model dilakukan untuk melihat hasil ketelitian pada proses pembelajaran (training) JST, sedangkan validasi model dilakukan sebagai pengujian ketepatan (akurasi) prediksi JST untuk memberikan jawaban yang benar melalui pemberian sampel data baru di luar data yang digunakan pada proses pembelajaran. Verifikasi dan akurasi model dirumuskan sebagai nilai R 2 (koefesien determinasi) yang berada pada selang 0 1, dimana nilainya akan semakin meningkat dengan semakin baik tingkat akurasinya.

58 36 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Profil Perusahaan Pabrik Gula Jatitujuh Sejarah Perusahaan Pada tahun 1971, Pemerintah Indonesia menjalin kerjasama dengan Bank Dunia dalam rangka membentuk Indonesia Sugar Study atau disingkat ISS. Salah satu program dari ISS adalah mencari areal baru yang berorientasi pada lahan kering. Pada thun 1972 diadakan survei untuk mengetahui wilayah atau daerah yang mempunyai lahan kering dan survei ini dilakukan di seluruh Indoneisa, termasuk diantaranya adalah hutan Loyang, Jatimunggul dan Jatitujuh yang berada di daerah Jawa Barat. Untuk menindak lanjuti dari kerjasama antara Pemerintah Indonesia dengan Bank Dunia maka pada tanggal 23 Juni 1975, Menteri Pertanian mengeluarkan SK No. 795/Mentan/VI/1975 mengenai izin pendirian pabrik di Jatitujuh yang dikenal dengan nama Proyek Gula Jatitujuh, kemudian menyusul pada tanggal 10 Juni 1975 dikeluarkan SK Dirjen Kehutaanan No. 2033/DJ/J/1975 yang berisi tentang dasar-dasar pengaturan lebih lanjut tentang pelaksanaan SK Menteri tersebut. Pada tanggal 9 Agustus 1976, berdasarkan atas Sk Mentan No. 481/KPTS/UM/76 areal yang ada di kawasan kehutanan BKPH Jatimungul Cibenda dan BKPH Jatimungul Kerticala dibebaskan untuk dikelola oleh PNP XIV Proyek Gula Jatitujuh. Tanggal 1 November 1977, berdasarkan pada SK Menteri Pertanian No.654/KPTS/Org/10/1977 tanggal 31 Oktober 1977, maka PNP XIV yang didirikan pada tahun 1968 harus melepaskan tanggung jawabnya atas Proyek Gula Jatitujuh dan pengelolaan selanjutnya dilakukan oleh staf Bina Perusahaan Negara (BPN) yang pada waktu itu beranama SBM atau Staf Bantuan Menteri. Pabrik Gula Jatitujuh diresmikan tanggal 5 September 1980 oleh presiden RI yang pada waktu itu dijabat oleh bapak Soeharto. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1981 tanggal 1 April 1981, PNP XIV berubah statusnya menjadi PT. Perkebunan XIV (Persero dimana PG Jatitujuh menjadi salah satu pabrik gula yang bernaung dibawah PTP.XIV (Persero) tersebut.

59 37 Dalam perjalanan usahannya, PTP XIV banyak mengalami hambatan baik teknis maupun manajemen sehingga selama berdiri belum pernah memperoleh laba, bahakan akhirnya terlilit hutang dalam jumlah yang besar sehingga mengakibatkan timbulnya masalah finansial yang sangat berat. Dalam rangka untuk menyehatkan usahannya, pengelolaan PTP XIV diserahkan kepada PT. Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) berdasarkan SK Menteri Keuangan No. 1326/MK/13/1988 pada tanggal 30 Desember Pengaturan ini berlangsung tuntas secara fisik tada tanggal 30 Januari PT. Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) yang disingkat PT RNI merupakan BUMN yang berada di bawah Departemen Keuangan dengan ciri usaha yaitu melaksanakan kegiatan dibidang pengeleolaan manajemen produksi, pemasaran dan distribusi baik dilaksananakn sendiri, kerjasama operasi, kerjasama investasi maupun berbagai bentuk kerjasama lainya sepanjang masih terkait dengan bidang usaha utamanya. Perkembangan selanjutnya dengan adanya perubahan anggaran dasar perseroan yang termuat dalam akta No. 94 tanggal 28 Agustus 1996 yang dibuat oleh Notaris Achmad Abid SH, nama PT. Perkebunan XIV berubah menjadi PT PG Rajawali II dan Pabrik Gula Jatitujuh merupakan salah satu unit produksinya. Pembangunan pabrik dilaksanakan dari bulan Maret 1976 sampai Sepetember 1978 dengan kontraktor Perancis (Fiver Caoil Babcock). Adapun tujuan dari pendirian pabrik adalah untuk meningkatkan produksi gula guna memenuhi konsumen dalam negeri, mencipatakanlapangan kerja dan meningkatkan taraf hidup masyarakat tersebut, meningkatkan pendapatan negara dari sektor non-migas dan menggunakan kembali bekas tanah hutan yang tidak produktif. Pabrik-pabrik yang dimiliki oleh PT. Rajawali diantaranya adalah: 1 PG Rajawali I : PG Candi Baru, PG Krebet Baru, PG Rejo Agung Baru, PG Madu Kismo 2 PG Rajawali II : PG Tersana Baru, PG Karang Suwu, PG Sindang Laut, PG Jatitujuh, PG Subang 3 PG Rajawali III : PG Telage Mula Lokasi areal PG Jatitujuh terletak pada dua Kabupaten aitu Majalengka dan Indramayu. PG Jatitujuh terletak antara BT dan LS. Jarak dari kota Cirebon adalah 77 kilometer, sedang jarak ke Kabupaten Majalengka maupun Indramayu adalah 32 kilometer. Lokasi PG Jatitujuh merupakan wilayah yang sebelumnya berupa hutan yang subur dan

60 38 memiliki curah hujan yang cukup sehingga cocok untuk tanaman tebu yang memerlukan tanah yang tidak terlalu kering dan tidak terlalu basah serta tidak menggangu areal tanaman pangan, air untuk keperluan pabrik diambil dari sungai Cimanuk yang berjarak sekitar 7 kilometer dari pabrik. Selain itu, lokasi PG Jatitujuh cukup jauh dari pemukiman penduduk sehingga tidak menggangu lingkungan sekitarnya. Berdasarkan SK menteri pertanian tanggal 9 Agustus 1976 bahwa areal PG Jatitujuh ditetapkan seluas ha terdiri dari : Kabupaten Majalengka ha (BKPH. Jatitujuh: ha dan BKPH Cibenda : ha) serta kabupaten Indramayu ha (BKPH Kerticala : Ha dan BKPH Jatimunggul : Ha). Juga ada penambahan dari Perhutani sebesar 1,091 ha, jadi luas lahan secara kelseluruhan adalah ha. Topografi atau keadaan permukaan tanah mulai dari rata (landai) hingga bergelombang. Jenis tanah yang terdapat pada areal PG Jatitujuh terdiri dari : Mediteran (47%), Kambisol (22%), Assosiasi (22%), Grumosol (6%), Podsolik (2%), Allevial (1%). Secara umum, iklim di wilayah Pg Jatitujuh termasuk tipe C dan D dengan curah huhan kurang dari 1500 mm per tahun. Perbedaan suhu udara rata-rata terhadap rata-rata tahunan umurnya lebih besar dari 1 0 C. Kondisi-kondisi lainya adalah sebagai berikut: 1 Suhu rata-rata tertinggi C pada bulan September, sedangkan suhu rata-rata terendah C pada bulan Januari 2 RH rata-rata tahunan adalah 78-82%. Tertinggi 87-88% pada bulan Januari-Februari, terendah 66-73% pada bulan Agustus-September. Perbedaan kelembaban kurang dari 5% terhadap rata-rata tahunan 3 Kecepatan angin Km/jam pada bulan-bulan lain. Rata-rata 3.97 Km/jam per tahun Mesin dan Peralatan Produksi Peralatan merupakan suatu benda atau perkakas yang digunakan untuk membantu manusia dalam menyelesaikan suatu operatoran/proses sehingga waktu penyelesaian menjadi lebih singkat dengan jumlah produk lebih banyak. Sedangkan mesin adalah gabungan dari beberapa peralatan yang bekerja secara sinergis dan menjalankan suatu fungsi tertentu PG Jatitujuh menggunakan berbagai peralatan industri untuk mendukung kinerjanya.

61 39 Peralatan tersebut dapat dikelompokkan berdasarkan fungsi dalam setiap stasiun di pabrik. Fungsi dan Sarana Penunjang dalam Proses Produksi Sarana penunjang adalah fasilitas dan/atau tempat, dan/atau alat khusus yang keberadaanya mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap kelencaran proses produksi. Sarana tersebut biasanya tidak berhubungan secara langsung dengan jalannya aliran proses. Beberapa sarana penunjang yang dimiliki oleh PG Jatitutuh adalah Pembangkit Tenaga Uap (Stasiun Boiler). Stasiun Instrumen Listik (Power house), Stasiun Terapung Penyedia Air, Stasiun Water Tretment, Besali, Instalasi Kapur (pemadam kapur) dan instalasi SO 2 (tobong belerang), Pusat Penelitian Agronomi (Puslitagro) Stasiun Boiler Stasiun boiler merupakan sumber energi uap yang akan digunakan untuk menggerakkan mesin-mesin pabrik. PG Jatitujuh terdapat 3 unit boiler, 2 unit buatan Fives cail Babcock (FBC) Perancis, dan satu unit yang lain buatan Hitachi, Jepang. Kapasitas uap yang dihasilkan tiap boiler adalah 55 ton/jam. Air yang dibutuhkan tiap boiler adalah 40 ton/jam. Air yang dimasukkan ke dalam ketel harus dihilangkan kandungan oksigennya, hal ini bertujuan agar penguapan tidak menimbulkan gelembung-gelembung gas. Penghilangan oksigen dalam air ini dilakukan dengan menggunakan destilator. Sumber panas pada boiler berasal dari tungku, bahan bakar dari tungku ada 2 jenis, yaitu bahan bakar minyak (BBM) atau bagase (ampas tebu). BBM dirasa cukup mahal, BBM hanya digunakan disaat tidak ada bagase. BBM yang digunakan jenis IDO (International Diesel Oil). IDO bersifat kental, sehingga perlu diencerkan terlebih dahulu dengan pemanasan sebelum digunakan. Bila ampas telah tersedia, maka bahan bakar yang digunakan adalah bagase, hal ini bertujuan untuk mengurangi biaya operasional. Proses yang terjadi pada boiler dengan bahan bakar ampas adalah sebagai berikut: Bagase dari gilingan (Kadar air kurang lebih 5%) diangkut oleh konveyor, pada conveyor terdapat lubang pemasukan (input) bagase menuju ke tungku. Lubang pemasukan dari tungku dihubungkan oleh cerobong, yang di dalamnya terdapat distributor yang berfungsi untuk mengatur jatuhnya bagase ke tungku. Bagase dari lubang pemasukan di sedot dengan udara paksa yang berasal dati blower, hal ini bertujuan agar pembakaran di dalam tungku lebih merata. Pada tempat jatuhnya

62 40 bagase ke tungku sering terjadi penumpukan bagase, sehingga harus diumpankan ke dalam tungku setiap beberpa menit. Abu yang dihasilkan dari proses pembakaran dibuang melalui saluran yang terdapat di bawah tungku. Antara tungku dan saluran dipisahkan oleh saringan yang terbuat dari besi baja. Abu yang berada dalam saluran kemudian dialirkan ke lahan. Panas yang dihasilkan di dalam tungku digunakan untuk memanaskan air yang berada di dalam ketel. Uap yang dihasilkan oleh ketel adalah uap basah. Uap ini kemudian diubah menjadi uap kering oleh separator. Pengubahan uap kering dikarenakan generator tidak bisa berputar bila uap yang digunakan uap basah. Uap yang dihasilkan dari boiler kemudian disalurkan ke stasiun penggilingan, turbin uap penghasil energi listrik, unigrator, dan lain-lain Stasiun Instrument listrik Stasiun ini merupakan stasiun penyedia energi listrik. Energi listrik dihasilkan dari pembangkit listrik tenaga uap. PG Jatitujuh memiliki 2 buah generator pembangkit listrik dengan tegangan 6000 volt/generator. Uap kering yang digunakan untuk menggerakkan generator berasal dari stasiun boiler. Penggunaan uap kering dikarenakan turbin generator tidak dapat bergerak dengan memakai uap basah. Energi listrik yang dihasilkan digunakan untuk menggerakkan pompa, motor listrik, penerangan, dan lain-lain. Pembangkit listrik tenaga uap ini digunakan selama musim giling, sedangkan pada waktu tidak giling menggunakan pembangkit listrik tenaga diesel. Energi listrik dari pembangkit diesel ini digunakan untuk penerangan pabrik dan perumahan karyawan Proses Produksi Proses produksi yang berlangsung di PG Jatitujuh menggunakan sistem sulfitasi rangkap dua, untuk menghasilkan gula SHS. Secara keseluruhan proses pembuatan gula dibagi menjadi 5 stasiun, yaitu: 1 Stasiun gilingan 2 Stasiun pemurnian 3 Stasiun penguapan 4 Stasiun masakan 5 Stasiun puteran

63 41 1 Stasiun Penggilingan Tebu yang telah ditimbang diletakkan pada Cane Yard. Cane Yard berfungsi untuk menarnpung tebu disaat meja tebu penuh. Tebu dari Cane Yard didorong dan diangkat oleh cane stacker (canter pillar) ke meja tebu. Meja tebu berfungsi untuk mengatur pemasukan tebu ke dalam cane carrier (roller). Meja tebu bekerja dengan sistem rantai yang berputar dengan penggerak elektromotor, rantai tersebut memiliki kisi-kisi yang runcing, berfungsi untuk membawa (menahan) tebu. Pada meja tebu terdapat leveller yang berfungsi untuk meratakan tebu. Pemasukan tebu dan gerakan leveller diatur oleh operator. PG Jatitujuh dilengkapi dengan 2 unit meja tebu yang terletak disebelah utara dan selatan cane carrier. Pada tahun ini PG Jatitujuh menambahkan 1 unit meja tebu sebagai tambahan pemasukan tebu ke cane carrier, hal ini dikarenakan kedua meja tebu yang telah ada sering mengalami kerusakan ( rantai sering putus). Cane carrier (roller) berfungsi untuk mengangkut tebu ke pencacah pisau dan unigrator (semi hammer shradder). Cane carrier digerakkan oleh motor listrik yang kecepatannya dapat diatur sesuai dengan kapasitas yang dikehendaki. Dari cane carrier tebu masuk ke pencacah pisau, pencacah ini berfungsi untuk memotong tebu menjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Tebu kemudian dibawa ke unigrator. Unigrator berfungsi untuk mencacah tebu yang telah terpotong menjadi bagian-bagian yang halus, sehingga sel-sel tebu yang mengandung gula dapat terbuka. Pada tahun ini penggerak pencacah pisau dan unigrator diganti oleh turbin uap, pada tahun-tahun sebelumnya menggunakan penggerak motor listrik, penggantian ini dilakukan karena penggerak motor listrik sering berhenti akibat dari beban yang berlebihan. Dari unigrator tebu diangkut oleh belt conveyor menuju ke stasiun gilingan. Gilingan berfungsi untuk memerah nira dalam tebu dan menekan kehilangan gula dalam ampas. PG Jatitujuh mempunyai 4 buah gilingan yang digerakkan oleh turbin uap. Setiap gilingan terdiri dari 3 rol. dimana setiap rol terdapat alur yang bertujuan untuk memperlebar permukaan pemerahan. memperkuat daya cengkeram antar rol, serta tempat mengalirnya nira hasil perahan. Tekanan hidrolik yang diberikan pada gilingan sebesar 200 Kg/cm 3. Semakin besar tekanan yang diberikan maka ampas yang dihasilkan semakin halus.

64 42 Tebu dari unigrator masuk ke gilingan 1, nira yang dihasilkan dari gilingan 1 masuk ke saringan nira mentah, sedangkan ampasnya diberi imbibisi (pelarut) nira dari gilingan 3. Ampas ini kemudian dibawa oleh conveyor ke gilinga 2. Nira dari gilingan 2 masuk ke saringan nira mentah, sedangkan ampasnya di tambah imbibisi nira dari gilingan 4, kemudian dibawa oleh conveyor ke gilingan 3. Nira yang dihasilkan dari gilingan 3, masuk ke saringan nira mentah. Ampas yang dihasilkan dari gilingan 3 diberi imbibisi air panas, kemudian dibawa oleh conveyor masuk ke gilingan 4. Air yang digunakan sebagai imbibisi merupakan campuran dari air panas dan air dingin hingga mencapai suhu C. Perlakuan ini bertujuan untuk menyedot ni ra dalam ampas, sehingga ampas yang dihasilkan mempunyai kandungan gula (pol) yang rendah, dan dapat mempermudah pembakaran. Nira yang dihasilkan dari gilingan 4 digunakan sebagai imbibisi pada ampas yang dihasilkan dari gilingan 2. Ampas yang dihasilkan dari gilingan 4 sudah tidak digiling lagi, tetapi dibawa oleh conveyor menuju ke stasiun boiler sebagai bahan bakar. Nira yang dihasilkan dari gilingan kemudian ditampung dalam cush-cush elevator yang dilengkapi saringan untuk menyaring nira mentah. Nira mentah yang telah tersaring kemudian dikirim ke stasiun pemurnian untuk diproses lebih lanjut. Ampas yang keluar dari gilingan 4 dibawa oleh belt conveyor menuju ke stasiun boiler sebagai bahan bakar. Pada tahun ini di stasiun gilingan ditambahkan alat baru, yaitu hagglund yang dipasang pada gilingan 2 dan 3. Alat ini berfungsi untuk mengurangi kehilangan zat gula yang menempel pada ampas, dan mengurangi kadar air ampas. 2 Stasiun Pemurnian Stasiun ini bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang ada dalam nira mentah. Sistem pemurnian yang digunakan adalah sulfitasi. Bahan pemurnian yang dipakai adalah susu kapur, belerang dan bahan penggumpal (flokulan). Nira mentah dari gilingan (ph 6.4) dipompa dan disalurkan ke timbangan nira mentah. Timbangan berfungsi untuk melakukan pengawasan terhadap berapa nira mentah yang dihasilkan dan berapa tebu yang digiling. Timbangan ini berkapasitas 300 ton/jam, dengan penggerak hidrolik. Dari timbangan, nira kemudian masuk ke tangki nira tertimbang. Dari tangki nira tertimbang, nira dipompa ke heater 1. Pada heater ini nira di panaskan hingga suhu 75 C. Tujuan pemanasan adalah untuk mempercepat reaksi, mematikan bakteri, mengurangi buih, dan sifat dari sukrosa yang tidak tahan terhadap temperatur

65 43 yang tinggi sehingga perlu dilakukan pemanasan bertahap. Cara kerja dari heater adalah: tangki heater disekat, dari tengah-tengah tangki dialirkan uap panas yang berasal dari evaporator. Dari heater 1 kemudian nira dialirkan ke defekator 1. Di defekator ini nira diberi larutan susu kapur (Ca(OH) 2 ) hingga ph nya 7.5. Tujuan pemberian susu kapur adalah untuk menimbulkan endapan secara bertahap. Nira mentah kemudian masuk ke defekator 2. Di defekator 2 nira diberi susu kapur lagi hingga ph nya 8.6. Dari defekator 2 nira kemudian masuk ke proses sulfitasi 1 (Pemberian gas SO 2 ). Gas SO 2 berasal dari reaksi sulfur (belerang) dengan oksigen bebas di udara (dibakar), kemudian uap belerang ini diisap dan dicampurkan ke larutan nira. Sulfitasi berlangsung hingga ph nya 7.2. Tujuan suifitasi adalah untuk menetralkan kelebihan kapur yang berasal dari defekator. Kadar belerang yang ditambahkan pada proses sulfitasi adalah kg/l00 ton tebu. Kadar kapur yang ditambahkan dapat diatur dengan menurunkan atau menaikkan ph hingga mencapai ph 7. Pengaturan ini dilakukan dengan mengatur defekator 2, secara otomatis valve susu kapur akan membuka atau menutup, ph 7 dapat diketahui dari skala yang tertera pada panel. Dari proses sulfitasi kemudian nira ditambah phospat. Tujuan penambahan phospat adalah membantu mempercepat pembentukan endapan, serta mengurangi pembentukan kerak pada evaporator. Nira kemudian dialirkan ke tangki netralisator. Dari tangki netralisator nira dipompa ke heater 2. Pemanasan pada heater 2 berlangsung pada suhu 105 C. Tujuan pemanasan a dalah untuk menyenpurnakan dan mempercepat reaksi, serta membunuh mikroorganisme yang terdapat dalam nira. Nira mentah kemudian masuk ke prefloc tower, dalam prefloc tower nira akan membentuk siklo yang menyusur dinding bejana sehingga tidak ada oksigen yang berbentuk gelembung atau gas-gas terembun yang turut masuk, bila gelembung gas tersebut turut masuk akan dapat memperlambat proses pengendapan kotoran. Dalam prefloc tower dilakukan penambahan flokulan yang berfungsi untuk mempercepat pengendapan kotoran, yaitu dengan menarik kotoran-kotoran dalam nira, sehingga membentuk gumpalan kotoran yang lebih besar yang berakibat kotoran cepat mengendap. Bahan yang digunakan sebagai flokulan adalah flokulan jenis anion bermerek superfloc.

66 44 Dari prefloc tower nira dialirkan ke tangki Clarifier (tangki pengendap), yang berfungsi untuk mengendapkan kotoran. Cara kerja tangki ini adalah: Tangki terdiri dari 4 kompartement kerucut berpengaduk dengan RPM Nira masuk dari bagian atas kompartemen yang paling atas, nira kotor akan berada pada bagian dinding nira kotor, sedangkan nira jernih berada dibagian nira jernih. Nira jernih dipompa saringan nira jernih untuk disaring. Dari saringan, kemudian nira ditampung pada tangki nira jernih, kemudian dipompa ke stasiun penguapan. Nira kotor dari Clarifier diproses lagi untuk diambil gulanya. Proses yang terjadi adalah: Nira kotor yang berada di bagian paling bawah dipompa dan dicampur ampas halus dalam mixer feeder, dari sini kemudian masuk ke dalam Rotary Vacum Filter (RVF) untuk dipisahkan antara nira dan kotoran padat (blotong). Pada RVF terdapat vacum tinggi yang bertekanan CmHg dan vacum rendah 5 CmHg. Campuran ampas dan nira dialirkan ke bak yang terletak di bagian bawah RVF. Di dalam bak ini nira disedot oleh vacum rendah. Pada RVF terdapat padatan yang lembek dan menyatu yang disebut blotong. Setelah disedot oleh vacum rendah blotong disiram air panas, yang sekaligus disedot oleh vacum tinggi agar tidak terlepas dari vacum. Penyiraman air bertujuan agar zat gula yang tersisa dalam blotong bisa tercuci dan masuk ke bak untuk diserap kembali. Pada RVF terdapat banyak sekali pipa kecil yang berfungsi untuk mengalirkan nira atau filtrat yang telah disedot ke bagian pipa filtrat yang kemudian diteruskan ke tangki nira mentah. Blotong dari vacum tinggi masuk ke bagian bebas vacum, ruang bebas vacum ini bertujuan agar blotong mudah dilepaskan oleh scrapper. Blotong yang telah terlepas kemudian dibawa oleh belt conveyor untuk disalurkan ke bagian pengumpul blotong, blotong kemudian dimasukkan ke dalam truk untuk digunakan sebagai pupuk organik. Nira dari tangki nira jernih dipompa ke heater 3. Pada heater 3, nira dipanaskan hingga suhunya 115 C (Mendidih). Pemanasan ini bertujuan agar dalam stasiun penguapan tidak terjadi pendidihan. Bila dalam stasin penguapan terjadi proses pendidihan, maka waktu proses akan semakin lama. 3 Stasiun penguapan Tujuan penguapan adalah untuk menguapkan sebagian besar air yang terdapat dalam nira, sehingga dihasilkan nira yang kental. Nira jernih. yang

67 45 dilhasilkan dalam proses pemurnian merupakan nira yang relatif encer, sehingga perlu diuapkan. Faktor yang perlu diperhatikan dalam proses penguapan adalah, proses penguapan harus berlangsung singkat. Keadaan ini akan menjaga agar tidak terjadi kerusakan sukrosa. Proses penguapan menghasilkan nira pekat, nira pekat merupakan keadaan dimana nira mendekati konsentrasi jenuh, sebelum terbentuk kristal di dalamnnya. PG Jatitujuh memiliki 6 unit pan penguapan (evaporator), dengan 1 unit evaporator bergilir untuk dibersihkan, sehingga hanya memakai 5 unit pan penguapan. Uap yang digunakan bertekanan 1.5 Kg/cm 2, uap ini berasal dari uap bekas turbin gilingan, unigrator, dan turbin alternator. Pan penguapan disusun seri, sehingga tekanan pada tiap pan penguapan berbeda-beda. Alur dari proses penguapan adalah: Uap bekas dan nira jernih masuk ke evaporator 1. Nira yang telah diuapkan di evaporator l, masuk ke evaporator 2, Uap nira dari evaporator 1 digunakan untuk menguapkan nira dievaporator 2. Uap dari evaporator 2, digunakan untuk menguapkan nira pada evaporator 3, dan digunakan untuk pemanas pada heater 1. Uap dari evaporator 3 digunakan untuk menguapkan nira pada evaporator 4. Uap pada evaporator 4 digunakan untuk menguapkan nira pada evaporator 5. Uap dari evaporator 5 dikondensasi menjadi air. Air yang dihasilkan dalam proses kondensasi di badan penguap 1 dan 2 digunakan untuk mengisi boiler, sedangkan pada badan penguap 3, 4. dan 5 digunakan untuk prosesing. Nira yang dihasilkan akan ditampung dalam tangki nira kental, nira yang dihasilkan berwarna gelap kecoklatan, warna ini disebabkan oleh suhu yang terlalu tinggi di evaporator (proses karamelisasi). Nira kental kemudian masuk ke Juice Syrup Purification (JSP). Di dalam JSP, nira kental dimurnikan dengan cara mengapungkan kotoran-kotoran yang terbawa dalam nira. Bahan pembantu yang digunakan untuk pemurnian dalam JSP antara lain asam phospat, susu kapur, dan flokulan anion. Kotoran-kotoran dalam JSP dicampur dengan air panas, kemudian dipompa ke stasiun pemurnian. Dari JSP nira masuk ke proses sulfitasi nira kental (penambahan gas SO 2 ). Sulfitasi nira kental bertujuan agar gula yang dihasilkan berwarna putih, dan untuk mereduksi logam-logam yang ada di dalam nira. Dari proses sulfitasi nira kental, kemudian nira dipompa ke peti nira kental, kemudian diproses lebih lanjut dalam stasiun masakan.

68 46 Dengan penguapan diharapkan jumlah nira kental yang dihasilkan tinggal 20% dari nira jernih yang dimasukkan, namun keadaan ini jarang dicapai. Di PG Jatitujuh terdapat 2 jenis evaporator yaitu evaporator dengan prinsip dijatuhkan dari atas dan prinsip semburan pipa. Cara kerja prinsip semburan pipa: Nira jernih dipompa dan dimasukkan ke bagian dasar badan penguap sampai 1/3 dari tinggi pipa. Nira jernih dipompa terus, maka nira akan menyembur ke atas. Di tengah-tengah evaporator terdapat pipa uap, nira yang menyembur itu kemudian diuapkan. Nira hasil penguapan akan diuapkan pada penguap berikutnya. Prinsip semburan pipa digunakan pada pan penguap 2 sampai 6. Cara kerja evaporator dengan prinsip hujan: Nira jernih dipompa ke bagian dasar evaporator, selanjutnya disaring, dipompa dan dimasukkan ke bagian atas dari evaporator. Nira kemudian didistribusikan ke dalam kisi-kisi. Kisi-kisi ini berisi nira dan uap yang berselang-seling. Nira kemudian dijatuhkan (seperti hujan) dan ditampung dalam bak di bagian dasar evaporator untuk disalurkan ke penguapan selanjutnya. Pemasukan uap berasal dari samping badan penguap. Prinsip jatuhan dari atas ini digunakan agar harapan penguapan dapat tercapai. Penguapan dengan prinsip jatuhan dari atas hasil penguapannya lebih cepat bila dibanding dengan prinsip semburan pipa. 4 Stasiun masakan atau kristalisasi Stasiun masakan bertujuan untuk mengambil semaksimal mungkin sukrosa dalam bentuk kristal, dan mencegah kehilangan sukrosa seminimal mungkin. Proses masakan menggunakan sistem A, C, dan D. Stasiun masakan memiliki 6 unit pan masakan, Pan 1, 2, dan 6 adalah pan masakan A, pan 3 adalah pan masakan C, pan 4 adalah pan pembibitan C dan D, sedangkan pan 5 adalah pan masakan D. Dalam proses masakan diusahakan agar tercapai hasil kristal gula yang memenuhi syarat, kehilangan gula yang sekecil-kecilnya, waktu proses yang singkat, dan biaya yang dilakukan dalam proses murah. Prinsip kristalisasi adalah pembesaran inti kristal, yaitu inti kristal sengaja ditambah dengan nira kental atau stroop. Masakan A bertujuan untuk mengkristalkan nira kental dan nira leburan. Bahan dasar masakan A adalah nira kental, klare A, nira leburan, gula C, dan bibit A. Proses masakan dimulai dengan proses pembuatan bibit A, bahannya

69 47 adalah campuran nira kental dan Fine Crystal Seed (FCS) sebanyak ml. Untuk kapasitas masakan 400 Hl. FCS adalah bubuk gula murni sebagai inti dari kristal. Nira kental dan FCS dipanaskan terus hingga mencapai titik jenuh, maka akan keluar inti kristal. Inti kristal ini disebut bibit yang akan diperbesar dalam pan masakan A. Bibit A sebanyak 200 Hl ditambah dengan nira kental dan nira leburan hingga mencapai volume 450 Hl. Campuran ini dipanaskan hingga tua atau terbentuk kristal gula yang besarnya mm. Setelah tua kemudian masakan diturunkan ke palung pendingin masakan A. Dari palung pendingin kemudian masakan A dipompa ke stasiun puteran dan menghasilkan gula SHS dan stroop A. Masakan C bertujuan untuk mengkristalkan gula pada stroop A. Bahan dasar masakan C adalah stroop A, gula D2 dan bibit C. Proses masakan dimulai dengan proses pembuatan bibit C, bahannya adalah campuran stroop A dan Fine Crystal Seed (FCS) sebanyak ml, untuk kapasitas masakan 400 Hl. Stroop A dan FCS dipanaskan terus hingga mencapai titik jenuh, maka akan keluar inti kristal. Inti kristal ini disebut bibit yang akan diperbesar dalam pan masakan C. Kemudian bibit C sebanyak 200 Hl ditambah dengan stroop A hingga mencapai volume 450 Hl. Campuran ini dipanaskan hinga tua atau terbentuk kristal gula yang besarnya mm. Setelah tua kemudian masakan diturunkan ke palung pendingin masakan C. Dari palung pendingin kemudian masakan C dipompa ke stasiun puteran dan menghasilkan gula C dan stroop C. Masakan D bertujuan untuk mengkristalkan gula pada stroop C. Bahan dasar masakan D adalah stroop C, dan klare D2. Bahan-bahan tersebut dimasak dalam pan D hingga berwujud seperti benang. Kemudian masakan diturunkan dalam palung pendingin gula D. Masakan D memiliki 6 unit palung pendingin, palung ini berfungsi untuk mendinginkan hasil masakan dan diharapkan akan terjadi kristal lanjut. Perjalanan gula D dari palung 1 sampai 6 membutuhkan waktu kurang lebih 24 jam, hal ini disebabkan karena setelah gula dingin dan terjadi kristal lanjut gula dipanaskan lagi dengan pipa pengaduk yang didalamnya terdapat air panas hingga suhu gula mencapai C. Pemanasan ini b ertujuan agar gula mudah dipompa. Dari palung 6 gula dipompa ke mixer feeder D2, Di dalam mixer feeder maskan diputar lagi hingga suhunya 60 C. Kemudian hasil masakan D dipompa

70 48 ke stasiun puteran menghasilkan gula D1 dan tetes. Gula D1 diputar menghasilkan gula D2 dan klare D2. Gula D2 digunakan sebagai bahan dasar masakan C, sedangkan klare D2 digunakan sebagai bahan baku masakan D. Urutan operatoran pada proses pemasakan yang terjadi dari masakan A, C dan D hampir sama, yaitu: 1 Penarikan hampa (ruangan dalam pan masakan divakumkan) hingga bertekanan lebih dari 60 CmHg, dengan memompa udara di dalam pan ke luar. Dengan ruang yang hampa maka dapat menarik bahan yang akan dimasak 2 Memasukkan bibit, untuk masakan A dan C, dan klare D2 untuk masakan D, hingga volumenya 200 Hl. 3 Memasukkan uap kedalam pan dan memanaskan bahan yang ada didalamnya hingga terbentuk kristal yang rapat (kristal berukuran kecilkecil). 4 Menambahkan nira kental, untuk pan masakan A hingga volumenya 450 Hl. Menambahkan stroop A, untuk pan masakan C hingga volumenya 450 Hl. Dan menambahkan stroop C dan klare D untuk pan masakan D. 5 Memanaskan bahan yang ada di dalam pan sampai terbentuk kristal gula yang berukuran mm untuk pan A dan C, sedangkan pan D hanya sampai terbentuk seperti benang. 6 Menetralkan ruang pan atau membuang hampa dengan membuka kran pemasukan udara. 7 Mengeluarkan masakan ke palung pendingin. Pada saat bahan masakan turun, pan masakan diberi uap dan air panas. Pemberian uap dan air panas ini bertujuan untuk membersihkan kristal gula yang menempel pada dinding pan masakan. Hasil dalam proses kristalisasi dipengaruhi oleh kecepatan kristalisasi, dan besarnya tekanan yang diberikan. Kecepatan kristalisasi dipengaruhi oleh kandungan kotoran dalarn larutan, viskositas larutan dan sirkulasi larutan. 5 Stasiun puteran Stasiun puteran bertujuan untuk memisahka kristal gula dengan stroop dan kotoran yang terbawa dalam masakan. Pemisahan kristal diiakukan dengan menggunakan saringan yang bekerja dengan gaya sentrifugal. Ada 2 jenis puteran yang digunakan pada stasiun puteran, yaitu puteran kontinyu dan puteran diskontinyu.

71 49 Puteran kontinyu (BMA) atau Low Grade Centrifugal (LGC) digunakan untuk memutar masakan D, yaitu untuk memisahkan tetes (molasses) dari kristal gula, dan memisahkan gula D2 serta klare D2, dan puteran diskontinyu atau High Grade Centrifugal (HGC) atau puteran gula SHS yang digunakan untuk memisahkan kristal gula dengan stroop. Stasiun puteran memiliki 5 unit puteran HGC, yaitu 3 unit untuk masakan A, dan 2 unit untuk masakan C. Puteran LGC ada 7 unit, 5 unit untuk memutar masakan D1, dan 2 unit untuk memutar masakan D2. Untuk puteran HGC diberikan air panas bersuhu kurang lebih 50 C sebagai pencuci, agar gula yang dihasilkan le bih putih. Gula yang dihasilkan dikirim ke stasiun penyelesaian. Puteran yang dipakai berupa basket dengan dinding berlubang. Dinding bagian dalam dilapisi saringan sebanyak 2 lapis, dimana lapisan pertama berbentuk gas (saringan yang bergelombang), sedangkan lapisan kedua berbentuk saringan tembaga. Puteran ini bekerja dengan berputar, sehingga bila masakan dituangkan ke dalamnya akan terlempar ke dinding karena adanya gaya sentrifugal, sedangkan kristalnya tertahan pada saringan. Cairan yang keluar dari saringan ditampung pada lapisan dinding luar kemudian dikeluarkan dari basket Pabrik Gula Bungamayang Sejarah Perusahaan Unit Usaha Bungamayang didirikan sebagai salah satu perwujudan usaha pemerintah untuk memenuhi dan melestarikan swasembada gula. Pembangunan kebun dan pabrik dirintis sejak tahun 1982 dan giling perdana pada tahun 1984 dibawah naungan Management PTP. XXI-XXII (persero) hingga tahun Selanjutnya pada thun 1990 sampai 1995 management di kelola oleh PTP. XXXI (Persero) dan pada tanggal 11 Maret 1996 PT. Perkebunan XXXI (Persero) bergabung dengan PT. Perkebunan X (Persero) menjadi PT. Perkebunan Nusantara VII (Persero). Unit Usaha Bungamayang merupakan salah satu unit produksi dilingkungan PTP. Nusantara VII (Persero) yang mengusahakan komoditi tebu, memiliki lahan HGU serta unit pengolahan (Pabrik) untuk mengolah hasil tanaman tebu sendiri (TS) maupun tebu rakyat (TR) dengan sistim jual beli tebu.

72 50 Unit Usaha Bungamayang terletak di Kecamatan Sungkai Selatan Kabupaten Lampung Utara pada Bujur Timur, Lintang Selatan dan ketinggi m diatas permukaan laut, dengan topografi bergelombang dan kemiringan 0-8%. Jenis tanah dan iklim secara umum di Unit Usaha Bungamayang yaitu: - Jenis tanah : podzolik merah kuning dan cokelat kuning - ph tanah antara : Ketebalan topsoil : 5 15 cm - Kedalaman air tanah : meter. - Curah hujan antara mm/tahun dengan hari jujan hari - Kelembaban udara rata-rata 81% pada Tabel 7. Luas areal Hak Guna Usaha pada Unit Usaha Bungamayang dapat dilihat Tabel 7 Rincian penggunaan areal unit usaha Bungamayang No Penggunaan Areal Luas (ha) 1. Ditanami tebu Jalan Emplasement / Barak Kantor / Perumahan / Lain-lain Rawa / tanah tidak produktif Total Dasar Hukum HGU: - Rayon I : Nomor HGU: 7/SKS/ Rayon II: Nomor HGU: 21 Tahun 1995 Pabrik pada Unit usaha memiliki kapasitas giling sebagai berikut: - Kapasitas Design Awal : 4000 Ton Tebu per hari (TCD) - Kapasitas Giling Inclusive saat ini : 6000 TCD - Rencana Pengembangan Kapasitas (Expandable) : TCD Proses Produksi Proses pengolahan tebu menjadi gula merupakan suatu rangkaian proses sejak diterimanya bahan baku dari kebun sampai menjadi gula produk yang memenuhi standar konsumen. Prosesnya dilakukan melalui beberapa stasiun yang dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) stasiun, yaitu Pengolahan dan Pendukung.

73 51 Satasiun Pengolahan terdiri dari : 1 Penerimaan bahan baku 2 Proses Pemerahan nira 3 Proses Pemurnian nira 4 Proses Penguapan 5 Proses Kristalisasi 6 Proses Putaran, Pengering dan Pendingin, Pengemasan gula sampai penyimpanan di Gudang Stasiun Penerimaan Bahan Baku 1 Tebu ditebang dari kebun yang masuk ke pabrik ditentukan beratnya dengan jembatan timbang 2 Pengangkuatan dari kebun dengan truck, container, traktor container 3 Pencatatan timbangan dilakukan dengan sistem komputer untuk menghindari kesalahan manusia 4 Tebu tertimbang digiling berdasarkan urutan masuk (FIFO Fist In Fisrt Out) 5 Tebu yang belum digiling (tunggu urutan) diletakkan di Cane Yard dengan cara: a Dilasah di Cane Yard (Grounded) b Ditaruh dalam Container c Dalam bak truk Stasiun Pemerahan Nira Pemerahan nira tebu umumnya dilakukan dengan cara penggilingan tebu. Namun beberapa menggunakan cara diffusi dan ini dilakukan pula pada Unit Usaha Bungamayang. Untuk mendapatkan hasil pemerahan yang maksimal umumnya didahului dengan Sistem Pengerjaan Pendahuluan. 2.1 Stasiun Pengerjaan Pendahuluan (Preparasi) 1 Dengan memakai Truck Tippler, Cane Stacker dan Hilo, tebu dimasukkan Cane Carrier melalui meja tebu menuju ke pengerjaan pendahuluan 2 Dalam Stasiun pengerjaan pendahuluan terjadi proses: Pemotongan batang tebu pada Cane Cutter Pencacahan potongan-potongan tebu pada Shredder Bentuk cacahan berupa potongan sabut dengan panjang ± 5 cm.

74 52 3 Hasil dari Stasiun pengerjaan pendahuluan adalah perubahan bentuk tebu menjadi sabut dengan spesifikasi sebagai berikut: Tidak ada nira terperah Bukaan sel tebu (Cell Opening / Preparasi Index) : 90-93% 2.2 Stasiun Pemerahan Nira / Diffuser 1 Tebu berbentuk cacahan secara merata dan ajeg masuk ke Diffuser yang terdiri dari 12 tray yang sudah berisi air imbibisi pda Tray-Tray genap 2, 4, 6, 8, 10 dan 12 (suhu ± 70 0 C) 2 Pompa-pompa dijalankan berturut-turut dari no. 2, 4, 6, 8, 10 dan 12 saat ampas melewati Tray-Tray tersebut. Setelah ampas melewati Tray 10 air imbibisi mulai diberikan dan selanjutnya pompa no ganjil ( 1 s/d 11) dijalankan. Pemberian susu kapur dimulai bila ampas mencapai Diffuser (Tray 12) 3 Pompa Scalding Juice, Unscreen dan Screened Juice dijalanka jika sudah memenuhi syarat Min Brix ± 6% serta isi Tangki ± 50% 4 Yang harus dijaga agar didapat hasil pemerahan nira optimal adalah : - Kerataaan dan ketebalan ampas meter - Suhu ± 70 0 C - ph ± (6.0) - Kecepatan maksimal 0.9 m/menit 5 Ampas dari Diffuser (megas) dengan kadar air ± 70% diperah pada Dewatering dan Drying Mill untuk mengeluarkan air dan sebagian dalam ampas, sehingga diharapkan ampas keluar Drying Mill sebagai berikut: - %pol ampas <1 - Kadar Zat Kering >50 6 Hasil perahan nira dari Dewatering dan Drying Mill dikembalikan ke Diffuser masuk ke Tray no.9 7 Ampas dari Drying Mill dikirim ke Boiler sebagai bahan bakar Stasiun Pemurnian Nira 1 Nira dari stasiun Gilingan / Diffuser di Pompa ke Stasiun Pemurnian Nira melalui Flow Meter secara ajeg (kontinyu) 2 Nira dari Diffuser dipanasi di Juice heater sampai suhu 75 0 C 3 Pemberian susu kapur dengan 6 Be dalam Tangki Reaksi dilakukan dalam 2 (dua) tahap, yaitu pada:

75 53 - Tangki Reaksi I (Pre Liming Tank) hingga ph menjadi dilengkapi dengan pengaduk untuk mendapatkan reaksi yang homogen dengan waktu tinggal dalam Tangki Reaksi I selama ± 3 menit - Tangki Reaksi II (Secondary Liming Tank) hingga ph menjadi Tangki ini juga dilengkapi dengan pengaduk. Waktu tinggal dalam Tangki Reakasi II adalah detik, agar terbentuk inti endapan Ca Phospat, Al Hydroksida, endapatan-endapan koloid dan Tri Calsium Phospat 4 Nira terkapur direaksikan dengan Gas SO 2 di Sulphur Tower, agar terbentuk inti endapan Calsium Sulphit 5 Nira dipasi sampai suhu ± C pada pemanas nira II (PP II) 6 Nira dari PP II yang telah mengandung inti endapan dikirim ke Clarifier melalui Flash Tank untuk reaksi lanjut dan pengendapan 7 Floculant diberikan pada dosis ppm sebelum nira masuk Clarifier 8 Pengendapan kotoran terjadi dalam Single Tray Clarifier dimana waktu tinggal nira ± 45 menit 9 Nira jernih dari Single Tray Clarifier langsung dikirim ke Stasiun Penguapan untuk diuapkan sehingga menjadi nira kental 10 Nira kotor dikeluarkan dari bagian bawah Single Tray Clarifier ditambah Basilo selanjutnya dikirim ke Rotary Vacuum Filter 11 Hasil dari Rotary Vacuum Filter, berupa nira tapis dan blotong, nira tapis, selanjutnya dicampur ke Pre Liming tank untuk diproses ulang. Blotong dimanfaatkan untuk pupuk tanaman tebu Stasiun Penguapan 1 Nira jernih dari Clarifier dengan suhu ± C dipisahkan dari kotoran kasar pada DSM Screen sebelum dimasukkan ke Tangki Nira Jernih 2 Dengan Pompa Nira Jernih dikirim ke badan penguapan yang bekerja secara Quadruple (4 badan seri) 3 Kondisi suhu dan tekanan masing-masing badan penguapan (Tabel 8) sebagai berikut:

76 54 Tabel 8 Kondisi suhu dan tekanan masing-masing badan penguapan Uraian Tekanan Suhu uap Tekanan uap uap pemanas nira pemanas Suhu uap nira BADAN I BADAN II BADAN III BADAN IV 0.9 kg/cm 0.5 kg/cm 5 cmhg 30 cmhg C C 95 0 C 75 0 C 0.5 kg/cm 0-5 cmhg 30 cmhg 64 cmhg C 95 0 C 75 0 C 58 0 C 4 Brix nira jernih masuk badan penguapan 10-13% brix dan keluar badan penguapan (nira kental) ± 64% brix 5 Nira kental dengan % brix = 64 dipompa ke Sulphitator direaksikan dengan gas SO 2 untuk Bleaching (pemucatan warna) sampai ph nira kental keluar Sulphitator menjadi Stasiun Kristalisasi a b Masakan Utama - Nira kental tersulfitir ditampung di Peti Nira Kental Bibitan Masakan Utama (A) inti kristalnya dari C atau D II dengan menambahkan leburan gula / Clare SHS. Diupayakan Bibitan Masakan Utama untuk 2-3 Masakan utama dengan HK bibit 88 dan ukuran kristal Membesarkan kristal masakan A dengan menambahkan nira kental - Masakan A HK : 83-87; brix turun = dengan ukuran kristal mm Masakan C - Bibit Masakan C dibuat dari inti kristal gula D II dengan menambahkan Stroop A - Membesarkan kristal Masakan C dengan menambahkan Stroop A sampai dengan volume yang diinginkan - Masaan C pada saat turun - HK : Brix : Ukuran kristal : mm

77 55 c Masakan D - Bibitan Masakan D dibuat untuk 2 (dua) Masakan D dengan fine crystal sebagai inti kristal dan menambahkan Stroop A/Clare D/Stroop C. HK D III : 69 HK D II : 66 HK D I : 60 - Urut-urutan penambahan Stroop/Clare dimulai dari yang ber-hk tinggi ke HK rendah untuk mempercepat proses kristalisasi - Masakan D turun dengan HK dan brix=97-99 serta ukuran kristasl ± 0.3 mm rata (max 3 ukuran) - Untuk pemakaian Continous Vacuum Pan ( UU. Bungamayang) pembuatan bibit dilakukan di pan Konvensional, sedangkan pembesaran kristal di Continous Vacuum Pan Stasiun Puteran 1 Masakan Utama - Masakan Utama diputar dalam 2 (dua) tahap - Puteran pertama yaitu Puteran A dilakukan untuk memisahkan gula A dari Stroop A dengan RPM sesuai standar - Untuk membantu pemisahan Stroop A dari gula A digunakan air panas yang disemprotkan pada saat pemutaran - Stroop hasil Puteran dikirim ke Stasiun Masakan untuk diproses lebih lanjut - Gula A hasil Puteran A dilakukan pencucian dalam Mingler untuk selanjutnya diputar pada Puteran II (Puteran SHS) - Pada Puteran SHS, disemprotkan air padas dan Steam yang berfungsi untuk membantu pemisahan gula dari Stroopnya dan pengeringan - Clare SHS hasil pemutaran dikirim ke Stasiun Masakan untuk proses kristalisasi lebih lanjut - Gula SHS dari Puteran SHS dengan kadar air ± 0.1% dikeringkan di Sugar Dryer dengan dihembuskan udara kering (± 80 0 C dan dihembuskan udar kering pada suhu kamar (40 0 C)

78 56 - Gula produk (SHS) yang sudah kering disimpan di Sugar Bin untuk dilakukan pengarungan 2 Masakan Bibit - Pemutaran Masakan C dilakukan dalam 1 (satu) tahap yang bertujuan untuk memisahkan hasil gula C dengan Stroop C - Dalam pemutaran diharapkan tidak banyak gula C yang pecah / hancur dan terikut dengan Stroop C - Pada pemuataran disemprotkan air seminimal mungkin untuk membantu pemisahan gula dengan Stroopnya - Diharapkan gula C sebagai bibit adalah: HK Gula Kristal tidak pecah (ukuran ± 0.5 mm rata) 3 Masakan Akhir - Pemutaran Masakan akhir dilakukan dalam 2 (dua) tahap - Masakan D sebelum diputar harus dilakukan kristalisasi lanjut di Crystalizer sampai 18 jam, sehingga suhunya turun dari ± 60 0 C menjadi ± 45 0 C C - Sebelum diputar Masakan D perlu dipanasi dalam re-heater hingga suhu putran C - Puteran I menghasilkan gula D-I dan tetes - Diharapkan hasil Puteran I sebagai berikut: HK Tetes 34 dengan brix =90-93 Gula D-I tidak pecah (hancur) dengan HK ± 88 - Gula D-I diberi pengencer dengan Clare D atau air panas - Putaran II menghasilkan gula D II sebagai inti Bibitan Masakan dan Clare D yang dihasilkan diproses / diskristalisasi lebih lanjut Stasiun Boiler Boiler merupakan suatu alat untuk menghasilkan uap pada tekanan tertentu, dengan memindahkan panas dari bahan bakar ke air dalam suatu bejana tertutup. a Bahan Bakar Pada saat operasi normal bahan bakar utama yang digunakan adalah ampas (Bagasse) yangkeluar dari gilingan akhir atau dari gudang ampas. Suplai

79 57 residu dipergunakan pada saat awal gilingan atau dalam keadaan darurat, antara lain: - Sistem tranportasi ampas ada gangguan - Tidak giling dan ampas habis - Fluktuasi beban terlalu besar - Ampas basah - Ampas mengandung banyak tanah/pasir b Air Pada saat operasi normal air yang digunakan adalah condensat tidak mengandung gula yang diperlukan dari hasil kondensasi (pengembunan) uap yang dipakai pada Stasiun Pengupan dan Stasiun Masakan. Pada saat-saat tertentu mempergunakan Deep Wheel yang sudah melalui Water Treatment / Water Softener, apabila: - Pada awal giling atau dalam keadaan darurat - Sistem pengaman penyaluran air Condensat terjadi ganguan - Jumalah air Condensat kurang c Uap Uap yang dihasilkan diharapkan dengan tekanan 20 kg/cm 2 dan temperaturnya C. Uap yang dihasilkan disalurkan ke : - Turbin Uap Boiler : Feed Water Pump ; FD. Fan dan ID. Fan - Stasiun Gilingan untuk Turbin Uap : Cane Cutter, Semi Hammer Shredder dan Mill - Stasiun Listrik untuk Turbin Uap : Generator - Stasiun Boiling untuk krengsengan, Sugar Dryer, tekanan uap diturunkan melalui Pressure Reducer dari 20 kg/cm 2 menjadi 3 kg/cm 2 - Sistem Suplai uap untuk proses melalui : Pressure Reducer tekanan uap diturunkan dari 20 kg/cm 2 menjadi 1 kg/cm 2 dan melalui Desuperheater dengan dibantu air dari Feed Water, tempertur uap diturunkan dari C menjadi C d Abu - Abu kasar dan abu halus yang ditangkap oleh Dust Collector serta kotoran hasil pembakaran dikirim ke lahan tebu. -

80 58 e Udara Udara yang diperlukan untuk pembakaran didapat dari udara luar yang dipanaskan dalam suatu alat pemanas udara Stasiun Listrik 1 Pada saat operasi normal dalam masa giling, tenaga listrik yang dipakai dihasilkan dari Turbin Generator. Pada saat awal giling atau dalam keadaan darurat, misalnya ada ganggunan pada Turbin Generator, tenaga listrik yang diperlukan diperoleh dari Diesel Generator. 2 Diluar masa giling, sumber tenaga listrik dihasilkan dari Diesel Generator 3 Tenaga listrik yang dihasilkan disalurkan untuk: - Memenuhi seluruh keperluan tenaga listrik dalam pabrik - Bengkel Induk - Penerangan Jalan - Perumahan 4 Tenaga listrik yang dihasilkan dari Turbin / Diesel Generator adalah 6000 Volt, kemudian ditransformasikan menjadi 380 / 220 Volt 4.2 Ergonomi Mikro Pecahayaan Shift Pagi Tabel 9 Illuminasi pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift pagi No Stasiun Illuminasi (lux) PG Bungamayang PG Jatitujuh 1. Gilingan Pemurnian Penguapan Masakan Puteran Power House Boiler Dari hasil pengukuran illuminasi (lux) seperti tampak pada Tabel 9, diperoleh bahwa illuminasi (lux) untuk tujuh stasiun pada proses produksi pabrik PG Bungamayang pada shift pagi memiliki kisaran antara lux, dengan tingkat pencahyaan terendah terjadi di stasiun power house dan tertinggi

81 59 di stasiun gilingan. Sedang pada PG Jatitujuh memiliki kisaran antara lux. Dengan illuminasi terendah terdapat di stasiun pemurnian dan illuminasi tertinggi terdapat di stasiun gilingan Shift Siang Tabel 10 Illuminasi pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift siang No Stasiun Illuminasi (lux) PG Bungamayang PG Jatitujuh 1. Gilingan Pemurnian Penguapan Masakan Puteran Power House Boiler Dari hasil pengukuran illuminasi (lux) pada shift siang seperti tampak pada Tabel 10, diperoleh bahwa illuminasi (lux) untuk tujuh stasiun pada proses produksi pabrik PG Bungamayang pada shift siang memiliki kisaran antara lux, dengan iluminasi terendah terjadi di stasiun power house dan tertinggi di stasiun gilingan. Sedang pada PG Jatitujuh memiliki kisaran antara lux. Dengan illuminasi terendah terdapat di stasiun power house dan illuminasi tertinggi terdapat di stasiun gilingan Shift Malam Tabel 11 Illuminasi pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift malam No Stasiun Illuminasi (lux) PG Bungamayang PG Jatitujuh 1. Gilingan Pemurnian Penguapan Masakan Puteran Power House Boiler Pada shift malam (Tabel 11) illuminasi (lux) untuk tujuh stasiun pada proses produksi pabrik PG Bungamayang memiliki kisaran antara lux, dengan iluminasi terendah terjadi di stasiun pemurnian dan tertinggi di stasiun gilingan. Sedang pada PG Jatitujuh memiliki kisaran antara

82 60 lux. Dengan illuminasi terendah terdapat di stasiun puteran dan illuminasi tertinggi terdapat di stasiun gilingan Suhu Shift Pagi Tabel 12 Temperatur udara pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift pagi No Stasiun Temperatur udara ( 0 C) PG Bungamayang PG Jatitujuh 1. Gilingan Pemurnian Penguapan Masakan Puteran Power House Boiler Dari hasil pengukuran temperatur udara ( 0 C) (Tabel 12), temperatur udara untuk tujuh stasiun pada proses produksi pabrik PG Bungamayang memiliki kisaran antara C, dengan temperatur udara terendah terjadi di stasiun gilingan dan tertinggi di stasiun power house. Sedang pada PG Jatitujuh memiliki kisaran antara C. Dengan temperatur udara terendah terdapat di stasiun boiler dan temperatur udara tertinggi terdapat di stasiun pemurnian Shift Siang Tabel 13 Temperatur udara pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift siang No Stasiun Temperatur udara ( 0 C) PG Bungamayang PG Jatitujuh 1. Gilingan Pemurnian Penguapan Masakan Puteran Power House Boiler Dari hasil pengukuran temperatur udara ( 0 C) (Tabel 13), temperatur udara pada shift siang untuk tujuh stasiun pada proses produksi pabrik PG Bungamayang memiliki kisaran antara C, dengan temperatur

83 61 udara terendah terjadi di stasiun gilingan dan tertinggi di stasiun gilingan. Sedang pada PG Jatitujuh memiliki kisaran antara C. Dengan temperatur udara terendah terdapat di stasiun boiler dan temperatur udara tertinggi terdapat di stasiun pemurnian Shift Malam Tabel 14 Temperatur udara pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift malam No Stasiun Temperatur udara ( 0 C) PG Bungamayang PG Jatitujuh 1. Gilingan Pemurnian Penguapan Masakan Puteran Power House Boiler Pada shift malam (Tabel 14) temperatur udara ( 0 C) untuk tujuh stasiun pada proses produksi pabrik PG Bungamayang memiliki kisaran antara C, dengan temperatur udara terendah terjadi di stasiun gilingan dan tertinggi di stasiun pemurnian. Sedang pada PG Jatitujuh memiliki kisaran antara C. Dengan temperatur udara terendah terdapat di stasiun boiler dan temperatur udara tertinggi terdapat di stasiun puteran Kelembaban Shift Pagi Tabel 15 Kelembaban udara pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift pagi No Stasiun Kelembaban (%) PG Bungamayang PG Jatitujuh 1. Gilingan Pemurnian Penguapan Masakan Puteran Power House Boiler Pada shift pagi (Tabel 15) kelembaban udara (%) untuk tujuh stasiun pada proses produksi pabrik PG Bungamayang memiliki kisaran antara

84 % dengan kelembaban udara terendah terjadi di stasiun puteran dan tertinggi di stasiun gilingan. Sedang pada PG Jatitujuh memiliki kisaran antara %. Dengan kelembaban udara terendah terdapat di stasiun pemurnian dan kelembaban udara tertinggi terdapat di stasiun gilingan Shift Siang Tabel 16 Kelembaban udara pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift siang No Stasiun Kelembaban (%) PG Bungamayang PG Jatitujuh 1. Gilingan Pemurnian Penguapan Masakan Puteran Power House Boiler Pada shift siang (Tabel 16) kelembaban udara (%) untuk tujuh stasiun pada proses produksi pabrik PG Bungamayang memiliki kisaran antara % dengan kelembaban udara terendah terjadi di stasiun boiler dan tertinggi di stasiun gilingan. Sedang pada PG Jatitujuh memiliki kisaran antara %. Dengan kelembaban udara terendah terdapat di stasiun pemurnian dan kelembaban udara tertinggi terdapat di stasiun boiler Shift Malam Tabel 17 Kelembaban udara pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift malam No Stasiun Kelembaban (%) PG Bungamayang PG Jatitujuh 1. Gilingan Pemurnian Penguapan Masakan Puteran Power House Boiler Pada shift malam (Tabel 17) kelembaban udara (%) untuk tujuh stasiun pada proses produksi pabrik PG Bungamayang memiliki kisaran antara % dengan kelembaban udara terendah terjadi di stasiun puteran dan tertinggi di stasiun gilingan. Sedang pada PG Jatitujuh memiliki kisaran antara

85 %. Dengan kelembaban udara terendah terdapat di stasiun puteran dan kelembaban udara tertinggi terdapat di stasiun gilingan Kebisingan Shift Pagi Tabel 18 Kebisingan pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift pagi No Stasiun Kebisingan (db) PG Bungamayang PG Jatitujuh 1. Gilingan Pemurnian Penguapan Masakan Puteran Power House Boiler Kebisingan (db) pada shift pagi untuk tujuh stasiun pada proses produksi pabrik PG Bungamayang memiliki kisaran antara db dengan kebisingan terendah terjadi di stasiun gilingan dan tertinggi di power house. Sedang pada PG Jatitujuh memiliki kisaran antara db. Dengan kebisingan terendah terdapat di stasiun gilingan dan kebisingan tertinggi terdapat di stasiun puteran Shift Siang Tabel 19 Kebisingan pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift siang No Stasiun Kebisingan (db) PG Bungamayang PG Jatitujuh 1. Gilingan Pemurnian Penguapan Masakan Puteran Power House Boiler Kebisingan (db) pada shift siang untuk tujuh stasiun pada proses produksi pabrik PG Bungamayang memiliki kisaran antara db dengan kebisingan terendah terjadi di stasiun gilingan dan tertinggi di boiler. Sedang pada PG Jatitujuh memiliki kisaran antara db. Dengan

86 64 kebisingan terendah terdapat di stasiun gilingan dan kebisingan tertinggi terdapat di stasiun power house Shift Malam Tabel 20 Kebisingan pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift malam No Stasiun Kebisingan (db) PG Bungamayang PG Jatitujuh 1. Gilingan Pemurnian Penguapan Masakan Puteran Power House Boiler Kebisingan (db) pada shift malam untuk tujuh stasiun pada proses produksi pabrik PG Bungamayang memiliki kisaran antara db dengan kebisingan terendah terjadi di stasiun gilingan dan tertinggi di boiler. Sedang pada PG Jatitujuh memiliki kisaran antara db. Dengan kebisingan terendah terdapat di stasiun gilingan dan kebisingan tertinggi terdapat di stasiun puteran Getaran Shift Pagi Tabel 21 Getaran pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift pagi No Stasiun Getaran (m/s 2 ) PG Bungamayang PG Jatitujuh 1. Gilingan Pemurnian Penguapan Masakan Puteran Power House Boiler Getaran (m/s 2 ) pada shift pagi untuk tujuh stasiun pada proses produksi pabrik PG Bungamayang memiliki kisaran antara m/s 2 dengan getaran terendah terjadi di stasiun puteran dan tertinggi di pemurnian. Sedang pada PG Jatitujuh memiliki kisaran antara m/s 2. Dengan getaran terendah terdapat di boiler dan getaran tertinggi terdapat di stasiun gilingan.

87 Shift Siang Tabel 22 Getaran pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift siang No Stasiun Getaran (m/s 2 ) PG Bungamayang PG Jatitujuh 1. Gilingan Pemurnian Penguapan Masakan Puteran Power House Boiler Getaran (m/s 2 ) pada shift siang untuk tujuh stasiun pada proses produksi pabrik PG Bungamayang memiliki kisaran antara m/s 2 dengan getaran terendah terjadi di stasiun gilingan dan tertinggi di gilingan. Sedang pada PG Jatitujuh memiliki kisaran antara m/s 2. Dengan getaran terendah terdapat di boiler dan getaran tertinggi terdapat di stasiun gilingan Shift Malam Tabel 23 Getaran pada tujuh stasiun untuk PG Bungamayang dan PG Jatitujuh pada shift malam No Stasiun Getaran (m/s 2 ) PG Bungamayang PG Jatitujuh 1. Gilingan Pemurnian Penguapan Masakan Puteran Power House Boiler Getaran (m/s 2 ) pada shift malam untuk tujuh stasiun pada proses produksi pabrik PG Bungamayang memiliki kisaran antara m/s 2 dengan getaran terendah terjadi di stasiun gilingan dan tertinggi di gilingan. Sedang pada PG Jatitujuh memiliki kisaran antara m/s 2. Dengan getaran terendah terdapat di boiler dan getaran tertinggi terdapat di stasiun gilingan.

88 Ergonomi Makro Pabrik Gula Jatitujuh Struktur Organisasi Pengorganisasian merupakan salah satu unsur manajemen untuk mencapai suatu tujuan, oleh karena itu diperlukan suatu organisasi yang mantap dalam pengelolaan pabrik gula. PG Jatitujuh menganut sistem spesialisasi (sistem teritorial yang dulu dipakai dan dianggap tidak efektif) dengan tujuan untuk meningkatkan keterampilan para pelaksana sesuai dengan bidang tugas yang dilimpahkannya sehingga mudah dalam pelaksanaannya. PG Jatitujuh dipimpin oleh seorang General Manager (GM) yang bertugas melaksanakan manajemen keseluruhan kegiatan termasuk keputusan dan kebijakan yang telah ditetapkan oleh RNI (Rajawali Nusantara Indonesia) pusat. GM mempertanggungjawabkan segala kegiatan yang terjadi di PG Jatitujuh kepada direksi PT PG Rajawali. Dalam melaksanakan tugas GM dibantu oleh: 1. Kepala Bagian Tanaman (Plantation Manager) yang mempunyai tanggungjawab atas penyediaan lahan, pengolahan lahan, penanaman tebu, pemeliharaan tanaman, penebangan, dan pengakutan tebu ke pabrik 2. Kepala Bagian Pabrikasi (Processing Manager) yang bertanggung jawab mengkoordinasikan kegiatan proses produksi gula dari tebu hasil angkut hingga menjadi gula kristal, peningkatan efisiensi proses, serta menjaga kelangsungan proses produksi 3. Kepala Bagian Instalasi (Engineering Manager) yang mempunyai tanggungjawab atas pemakaian dan perawatan peralatan dan mesin yang digunakan dalam proses produksi 4. Kepala Bagian Tata Usaha dan Ketenagakerjaan/TUK (Finance and Administration Manager) yang mempunyai tanggungjawab atas keuangan, mengkoordinasikan dan memimpin kegiatan pengolahan anggaran dan biaya produksi, kegiatan pembelian dan penjualan, serta mengawasi hasil produksi di gudang gula Karyawan yang bekerja di lingkungan PG Jatitujuh dapat dibedakan menjadi beberapa tingkatan dan memiliki jumlah yang berbeda pada masa giling

89 67 dengan di luar masa giling. Tingkatan tersebut adalah karyawan staf, karyawan bulanan, karyawan harian, karyawan kampanye (hanya pada masa giling), karyawan musiman (hanya pada masa giling), karyawan tebang (hanya pada massa giling) dan karyawan garapan tebu. Secara keseluruhan, karyawan PG Jatitujuh berjumlah orang. Pada musim giling karyawan pabrikasi dan instalasi masuk 24 jam dengan pergantian jam kerja sebagai berikut: Pagi : Siang : Malam : Sedangkan pada waktu diluar giling, karyawan tersebut masuk pada jam kerja pagi. Untuk karyawan bagian tanaman dan bagian TUK masuk setip hari, kecuali hari minggu dan hari libur pada jam kerja pagi Fasilitas dan Sistem Pengupahan Perusahaan selalu berusaha mensejahterakan para operator dengan memberi berbagai fasilitas, seperti: pengadaan rumah dinas, sarana ibadah, olahraga dan kesenian, kendaraan bermotor, pendidikan, kesehatan, dan hakhak lainya yang diatur dalam peraturan perusahaan. PG Jatitujuh dalam rangka menunjang pengembangan perusahaan dan Sumber Daya Manusia memerlukan tenaga-tenaga terampil dan berpengalaman luas yang dapat menguasai tugas di bidang masing-masing. Oleh karena itu, perusahaan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan secara rutin kepada karyawan baik dilakukan di lingkungan perusahaan maupun di luar lingkungan perusahaan. Pelaksanaan kegiatan ini biasanya bekerjasama dengan Lembaga Pendidikan Perkebunan (LPP) Yogyakarta dan Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI). Sistem pengupahan diberikan setiap bulan dalam bentuk gaji. Pemberian gaji antara karyawan tingkat pimpinan, pelaksana dan musiman berbeda. Tingkat pimpinan gaji diberikan melalui pabrik dan dikirim (transfer) ke rekening masingmasing, sedangkan untuk tingkat pelaksana dan musiman gaji diberikan melalui loket di bagian Tata Usaha dan Ketenagakerjaan (TUK).

90 Pabrik Gula Bungamayang Struktur Organisasi PT. Perkebunan Nusantara VII (Persero) merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dengan Kantor Direksi berkedudukan di jalan Teuku Umar No. 300 Bandar Lampung Telpon Nomor (0721) dan Fax (0721) / Kebun PT. Perkebunan Nusantara VII (Persero) terletak di tiga propinsi/wilayah yaitu: 1. Propinsi Sumatera Selatan 2. Propinsi Lampung 3. Propinsi Bengkulu PTP. Nusantara VII (Persero) memiliki 25 Unit Usaha terdiri dari: Unit Usaha Wilayah Lampung: 1 Unit Usaha Kedaton Utara 2 Unit Usaha Tulung Buyut. 3 Unit Usaha Rejo Sari 4 Unit Usaha Bekri 5 Unit Usaha Bergen-Kalianda 6 Unit Usaha Blambangan Umpuh 7 Unit Usaha Way Lima 8 Unit Usaha Way Berulu 9 Unit Usaha Padang Ratu 10 Unit Usaha Bungamayang Unit Usaha Wilayah Sumatera Selatan: 1 Unit Usaha Betung. 2 Unit Usaha Talang Sawit. 3 Unit Usaha Pagar Alam. 4 Unit Usaha Suli Inti. 5 Unit Usaha Sungai Niru. 6 Unit Usana Beringin / Baturaja. 7 Unit UsahaTebenan. 8 Unit Usaha Musi Landas. 9 Unit Usaha Sungai Lengi Plasma. 10 Unit Usaha Cinta Manis. 11 Unit Usaha Senabing / Sungai Berau. Unit Usaha Wilayah Bengkulu: 1 Unit Usaha Padang Pelawi 2 Unit Usaha Ketahun. 3 Unit Usaha Seluma. 4 Unit Usaha Talo Pino.

91 69 PT. Perkebunan Nusantara VII (persero) mempunyai tipe kebun sesuai Surat Keputusan Direksi nomor : 7.1/KPTS/01/1998 tanggal 29 September Tipe Unit Usaha ditetapkan berdasarkan bobot Tanaman dan pabrik sebagai berikut: Selain dari pada kebun, PT. Perkebunan Nusantara VII (Persero) juga memiliki tiga Kantor Perwakilan yaitu: 1 Kantor Perwakilan Palembang 2 Kantor Perwakilan Jakarta 3 Kantor Perwakilan Bengkulu Bebeapa jenis komoditi yang dikelola oleh PT. Perkebunan Nusantara VII (Persero) antara lain: 1 Tanaman Kelapa Sawit 2 Tanaman Karet 3 Tanaman Kakao 4 Tanaman Teh 5 Tanaman Kelapa Hibrida 6 Tanaman Kelapa Konsumsi 7 Tanaman Tebu (gula) PT. Perkebunan VII (persero) dipimpin oleh seorang Direktur Utama (Dirut) yang dalam menjalankan tugasnya dibantu oleh 4 orang Direktur Bidang yaitu: 1 Direktur Produksi (Dirprod) 2 Direktur Keuangan (Dirkeu) 3 Direktur Pemasaran (Dirpam) 4 Direktur SDM Umum (Dirsum) Unit Usaha Bungamayang merupakan salah satu Unit Usaha yang ada di wilayah Lampung, dengan dipimpin oleh seorang General Manager (GM) dengan dibantu oleh : 1 Sinka (Sinder Kepala) Tan (Tanaman) TS (Tebu Sendiri) 2 Sinka TMA (Tebang Muat Angkut) 3 Sinka Peltek (Pelayanan Teknik) 4 Sinka Teknik 5 Sinka Pengolahan 6 Sinka LitBang 7 Sinka TUK

92 70 Masing-masing Sinka dibantu oleh Sinder, Mandor Besar, Mandor dan Opertor/Mekanik/Juru. Jenjang kepangkatan di PT. Perkbunan Nusantara VII (Persero) adalah KTS, KTB dan KTH. Pembinaan sumber daya manusia (PSDM) ditempuh melalui training/kursus, L2P (Lembaga Latihan Perkebunan ) di UU. Rejosari, Lembaga pendidikan perkebunan Medan dan Yogya, dan tugas belajar ke Universitas dalam negri dan luar negri Fasilitas dan Sistem Pengupahan Sarana sosial yang disediakan oleh PG Bungamayang antara lain: 1 Sarana Perumahan : Untuk karyawan tetap UU. Buangmayang disediakan sarana perumahan sbb: a Tipe 250 : 1 unit b Tipe 200 : 5 unit c Tipe 120 : 5 unit d Tipe 100 : 81 unit e Tipe 50 : 132 unit f Tipe 36 : 490 unit 2 Sarana tempat Ibadah : Untuk menunjang kegiatan ibadah karyawan disediakan 1 buah Masjid dan 5 buah Musholla 3 Sarana Pendidikan : Untuk anak-anak karyawan dan masyarakat umum disediakan sarana pendidikan sebagai berikut: a b c TK, jumlah murid 130 orang dengan tenaga pengasuh 5 orang SD, jumlah murid 564 orang dengan tenaga guru 22 orang SMP, jumlah murid 333 orang dengan tenga guru 21 orang 4 Sarana Olah Raga : Untuk menjaga kebugaran karyawan disediakan Lapangan Bola Kaki, Lapangan Volley Ball, Lapangan Bola Tenis, dan Lapangan Tenis Meja 5 Sarana Pertemuan : Sebagai wadah kegiatan sosial disediakan satu Unit Gedung Pertemuan untuk kegiatan sosial, rapat kerja, pertemuan IKI (Ikatan Kekeluargaan Ibu-Ibu), pentas seni dengan daya tampung ± 200 orang yang dilengkapi pula dengan 1 set gamelan dan kulintang 6 Sarana Kesehatan : Untuk menjag kesehatan karyawan disediakan satu Unit Balai Kesehatan Kebun dengan tenaga paramedis 7 Keselamatan Kerja : Guna menjaga keselamatan kerja karyawan, perusahaan memiliki :

93 71 Organisasi Panitia K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) Jaminan Sosial Tenaga Kerja Sistem pengupahan karyawan tetap KTS, KTB, dan KTH di PTP. Nusantara VII (persero) diatur berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan atas dasar usulan Badan Musyawarah Direksi seluruh Indonesia yang dituangkan dalam surat Keputusan Direksi. Untuk penguapahan karyawan tetap diatur sesuai UMR berdasarkan surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI yang dituangkan dalam Surat Keputusan Direksi PTP. Nusantara VII (Persero). PT. Nusantara VII (Persero) dalam memberi jaminan sosial berdasarkan peraturan pemeriantah dan hasil Keputusan Badan Musyawarah, yang disesuaikan dengan kemampuan perusahaan seperti : - Tunjangan bahan bakar - Tunjangan transport - Bagi karyawan tetap harian mendapat tunjangan sembako masingmasing sebesar : a. Karyawan 15 kg b. Istri 10 kg c. Anak 7.5 kg setiap bulan - Cuti tahunan diberikan sesuai peraturan Pemerintah, bahkan untuk KTS ada cuti panjang setiap enam tahun sekali. - Bagi karyawan tetap diberikan pakaian dinas serta penghargaan masa kerja 25 tahun, 30 tahun dan 35 tahun. 4.4 Beban Kerja, Kecelakaan Kerja dan Kelelahan Beban Kerja Menggunakan Heart Rate Pengukuran beban kerja dilakukan dengan pengukuran detak jantung dan menggunakan kuisioner. Pengukuran deta jantung dilakukan pada stasiun boiler dengan pertimbangan bahwa lingkungan kerja di stasiun boiler memiliki aktivitas fisik yang besar, dan kondisi iklim serta getaran dan kebisingan yang cukup tinggi. Pengukuran beban kerja dilakukan pada tiga shift yaitu pagi, siang dan malam. Kegiatan yang diamati pada stasiun ini yaitu kegiatan mengatur bagas pada tunggu pembakaran boiler.

94 Beban Kerja Stasiun Boiler PG Jatitujuh Sebelum dilakukan pengukuran beban kerja setiap operator yang pengukuran dilakukan proses kalibrasi dengan metode step test dengan tujuan untuk mengetahui korelasi antara denyut jantung dengan peningkatan beban kerja masing-masing operator. Penetapan operator yang diteliti dilakukan oleh mandor stasiun boiler. Tabel 24 dan Tabel 25. Karakteristik operator pengukuran dapat dilihat pada Tabel 24 Karakteristik operator pengukuran pertama pada pekerjaan bagian pengumpan tungku boiler di stasiun boiler Uraian Jenis Kelamin Umur Tinggi Berat Pengalaman Kerja Keterangan Laki-laki 50 tahun 162 cm 59.2 kg 26 tahun Tabel 25 Karakteristik operator pengukuran kedua pada pekerjaan bagian pengumpan tungku boiler di stasiun boiler Uraian Jenis Kelamin Umur Tinggi Berat Pengalaman Kerja Keterangan Laki-laki 29 tahun 166 cm 71.9 kg 3 tahun

95 Shift Pagi Pengukuran Denyut Jantung pada Step Test A Operator Pertama HR (Heart Rate) R#1 ST#1 R#2 ST#2 R#3 ST#3 0:00:00 0:01:20 0:02:40 0:04:00 0:05:20 0:06:40 0:08:00 0:09:20 0:10:40 0:12:00 0:13:20 0:14:40 0:16:00 0:17:20 0:18:40 0:20:00 0:21:20 0:22:40 0:24:00 0:25:20 0:26:40 0:28:00 0:29:20 0:30:40 0:32:00 0:33:20 Keterangan : Time Gambar 10 R#N : Istirahat ke N ST#1 : Step test 20 siklus/menit ST#2 : Step test 25 siklus/menit ST#3 : Step test 30 siklus/menit Grafik pemetaan denyut jantung operator pertama saat step test pada shift pagi Grafik pemetaan denyut jantung operator pertama pada saat step test dapat dilihat pada Gambar 10. Pola denyut jantung operator sesuai dengan pola step test dimana denyut operator semakin meningkat seiring dengan meningkatnya ritme step test. Rata-rata denyut jantung step test untuk setiap ulangan dapat dilihat pada Tabel 26. Tabel 26 Denyut jantung operator pertama pada saat step test Kondisi Denyut Jantung Rata-rata R# ST# R# ST# R# ST# Setiap operator memiliki respon fisiologis (denyut jantung) yang berbedabeda terhadap beban kerja, oleh karena itu perlu dilakukan pencarian persamaan hubungan antara respon fisiologis dengan beban kerja yang diterima oleh operator dengan menghitung nilai IRHR dan TEC pada saat step test, maka akan diperoleh sebuah persamaan yang menggambarkan hubungan antara IRHR dan TEC ST. Increase rate heart rate (IRHR) diperoleh dengan membagi nilai denyut

96 74 jantung pada saat bekerja dengan denyut jantung pada saat istirahat sebelum melakukan kerja, nilai IRHR tersebut dapat menunjukkan seberapa besar tingkat beban kerja yang dirasakan oleh seorang operator (Tabel 27). Tabel 27 Tabel hubungan TEC ST dengan IRHR berdasarkan hasil step test pada operator pertama Step Test TEC ST WEC (kkal/min) (kal/kg.min) IRHR Persamaan TEC = (IRHR) Hubungan TEC ST dan IRHR dapat digambarkan dalam bentuk grafik seperti pada Gambar 11. TEC ST (kkal/min) y = 2.057x R² = IRHR Gambar 11 Grafik hubungan IRHR dengan TEC ST operator pertama Dari Gambar 11 terlihat bahwa perubahan nilai IRHR cenderung linier dengan kenaikan nilai energi (daya) yang digunakan oleh tubuh untuk melakukan step test, hal ini terlihat dengan nilai R 2 yang besar yaitu

97 75 B Operator Kedua HR (Heart Rate) R#1 ST#1 R#2 ST#2 R#3 ST#3 0:00:00 0:01:40 0:03:20 0:05:00 0:06:40 0:08:20 0:10:00 0:11:40 0:13:20 0:15:00 0:16:40 0:18:20 0:20:00 0:21:40 0:23:20 0:25:00 0:26:40 0:28:20 0:30:00 0:31:40 0:33:20 Time Keterangan : R#N : Istirahat ke N ST#1 : Step test 20 siklus/menit ST#2 : Step test 25 siklus/menit ST#3 : Step test 30 siklus/menit Gambar 12 Grafik pemetaan denyut jantung operator kedua saat step test pada shift pagi Rata-rata denyut jantung pada saat step test untuk setiap ulangan dapat dilihat pada Tabel 28. Tabel 28 Denyut jantung operator kedua pada saat step test Kondisi Denyut Jantung Rata-rata R# ST# R# ST# R# ST# Setiap operator memiliki respon fisiologis (denyut jantung) yang berbedabeda terhadap beban kerja, oleh karena itu perlu dilakukan pencarian persamaan hubungan antara respon fisiologis dengan beban kerja yang diterima oleh operator dengan menghitung nilai IRHR dan TEC pada saat step test, maka akan diperoleh sebuah persamaan yang menggambarkan hubungan antara IRHR dan TEC ST. Increase rate heart rate (IRHR) diperoleh dengan membagi nilai denyut jantung pada saat bekerja dengan denyut jantung pada saat istirahat sebelum melakukan kerja, nilai IRHR tersebut dapat menunjukkan seberapa besar tingkat beban kerja yang dirasakan oleh seorang operator (Tabel 29).

98 76 Tabel 29 Tabel hubungan TEC ST dengan IRHR berdasarkan hasil step test pada operator kedua Step Test TEC ST WEC (kkal/min) (kal/kg.min) IRHR Persamaan TEC = (IRHR) Hubungan TEC ST dan IRHR dapat digambarkan dalam bentuk grafik seperti pada Gambar 13. TEC ST (kkal/min) Gambar 13 Grafik hubungan IRHR dengan TEC ST operator kedua Dari Gambar 13 terlihat bahwa perubahan nilai IRHR cenderung linier dengan kenaikan nilai energi (daya) yang digunakan oleh tubuh untuk melakukan step test, hal ini terlihat dengan nilai R 2 yang cukup besar yaitu Analisis Beban Kerja Fisik y = 5.516x R² = IRHR HR (Heart Date) :00:00 0:00:30 0:01:00 0:01:30 0:02:00 0:02:30 0:03:00 0:03:30 0:04:00 0:04:30 0:05:00 0:05:30 0:06:00 0:06:30 0:07:00 0:07:30 0:08:00 0:08:30 0:09:00 0:09:30 0:10:00 0:10:30 0:11:00 0:11:30 0:12:00 R#1 ST#1 Time Keterangan : Gambar 14 R#N : Istirahat ke N ST#1 : Step test 20 siklus/menit Grafik pemetaan denyut jantung operator pertama pada saat step test sebelum bekerja pada shift pagi

99 77 Sebelum bekerja operator pertama melakukan step test dengan 20 siklus/menit seperti terlihat pada Gambar 14, bertujuan untuk kalibrasi denyut jantung. Dari hasil perhitungan rata-rata denyut jantung saat istirahat (HR rest) untuk step test ini yaitu bpm. HR (Heart Rate) Kerja 0:00:00 0:00:10 0:00:20 0:00:30 0:00:40 0:00:50 0:01:00 0:01:10 0:01:20 0:01:30 0:01:40 0:01:50 0:02:00 0:02:10 0:02:20 0:02:30 0:02:40 0:02:50 0:03:00 Time Gambar 15 Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator pertama melakukan kerja pada shift pagi Kegiatan kerja operator pengumpan bagas untuk tungku boiler tidak menentu tergantung dari tingkat tekanan pada boiler, dengan tekanan kerja pada boiler dipertahankan antara bar. Kalau tekanan boiler antara bar merupakan tekanan boiler dalam status awas sehingga operator pengumpan bagas akan bersiap untuk melakukan pengumpanan untuk meningkatkan atau mempertahankan tingkat tekanan di dalam boiler, dan bila tekanan antara bar merupakan tekanan boiler dalam status bahaya, karena tekanan dalam kisaran ini dapat menyebabkan proses pabrikasi berhenti total dan merusak proses produksi. Biasanya tekanan di dalam boiler dengan status bahaya ini sangat menyibukkan operator pengumpan bagas untuk tungku boiler, dan bila proses pengumpanan dengan bagas gagal meningkatkan tekanan boiler, digunakan bahan bakar minyak untuk meningkatkan pembakan pada tungku boiler sehingga tekanan boiler meningkat. Namun boiler jarang dalam status bahaya kecuali terjadi kerusakan alat seperti macetnya konveyor pemasukan bagas dari stasiun gilingan atau bagas terlalu basah dan bagas cadangan terlambat diumpan bila bagas dari stasiun gilingan tidak ada (tebu habis). Kegiatan kerja operator pertama dapat dilihat pada Gambar 15, pada saat kerja operator pertama, tekanan boiler dalam status bahaya karena mengalami ganguan pada konveyor pengangkut bagas dari gilingan dan kurangnya suplai dari bagas cadangan, diperparah dengan rusaknya salah satu pompa injeksi

100 78 bahan bakar sebagai penyuplai bahan bakar untuk boiler. Status bahaya ini dapat ditangulangi dengan cepat lebih kurang 10 menit, sehingga proses pabrikasi tidak terhenti. Dari hasil perhitungan diperoleh IRHR untuk operator pertama saat bekerja sebesar 1.46 dengan katagori tingkat beban kerja sedang. HR (Heart Rate) R#1 ST#1 0:00:00 0:00:25 0:00:50 0:01:15 0:01:40 0:02:05 0:02:30 0:02:55 0:03:20 0:03:45 0:04:10 0:04:35 0:05:00 0:05:25 Time 0:05:50 0:06:15 0:06:40 0:07:05 0:07:30 0:07:55 0:08:20 0:08:45 0:09:10 0:09:35 Keterangan : Gambar 16 R#N : Istirahat ke N ST#1 : Step test 20 siklus/menit Grafik pemetaan denyut jantung operator kedua pada saat step test sebelum bekerja Sebelum bekerja operator kedua juga melakukan step test dengan 20 siklus/menit seperti terlihat pada Gambar 16, bertujuan untuk kalibrasi denyut jantung. Dari hasil perhitungan rata-rata denyut jantung saat istirahat untuk step test ini yaitu bpm. HR (Heart Rate) Kerja Isti rah at Kerja Istirahat 0:00:00 0:00:10 0:00:20 0:00:30 0:00:40 0:00:50 0:01:00 0:01:10 0:01:20 0:01:30 0:01:40 0:01:50 0:02:00 0:02:10 0:02:20 0:02:30 0:02:40 0:02:50 0:03:00 0:03:10 0:03:20 0:03:30 0:03:40 0:03:50 0:04:00 0:04:10 0:04:20 0:04:30 0:04:40 Time Gambar 17 Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator kedua melakukan kerja pada shift pagi Kegiatan kerja operator kedua dapat dilihat pada Gambar 17, pada saat kerja operator kedua, juga sama dengan kondisi saat operator pertama bekerja yaitu tekanan boiler dalam status bahaya. Dari hasil perhitungan diperoleh IRHR untuk operator kedua saat bekerja sebesar 1.52 dengan katagori tingkat beban kerja berat.

101 79 Persamaan daya yang diperoleh pada saat step test dijadikan acuan untuk menghitung konsumsi energi (daya) yang dikeluarkan pada saat bekerja dengan memasukkan nilai IRHR kedalam persamaan. Dengan demikian maka dapat diklasifikasikan beban kerja yang dialami berdasarkan IRHR saat bekerja (Tabel 30). Tabel 30 Energy cost pada operator pertama dan kedua Tingkat TEC BME WEC WEC' Operator IRHR Beban Kerja (kkal/min) (kal/kg.min) sedang berat Shift Siang Pengukuran Denyut Jantung pada Step Test A Operator Pertama HR (Heart Rate) R#1 ST#1 0:00:00 0:00:35 0:01:10 0:01:45 0:02:20 0:02:55 0:03:30 0:04:05 0:04:40 0:05:15 0:05:50 0:06:25 Time 0:07:00 0:07:35 0:08:10 0:08:45 0:09:20 0:09:55 0:10:30 0:11:05 0:11:40 0:12:15 0:12:50 Keterangan : Gambar 18 R#N : Istirahat ke N ST#1 : Step test 20 siklus/menit Grafik pemetaan denyut jantung operator pertama saat step test sebelum bekerja pada shift siang Grafik pemetaan denyut jantung operator pertama pada saat step test sebelum kerja dapat dilihat pada Gambar 18. Dari grafik diatas diperoleh HR rest adalah bpm.

102 80 HR (Heart Rate) :13:45 0:13:40 0:13:35 0:13:30 0:13:25 0:13:20 0:13:15 0:13:10 0:13:05 0:13:00 0:12:55 0:12:50 0:12:45 Gambar 19 Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator pertama melakukan kerja pada shift siang kerja sedang. Time Dari hasil perhitungan IRHR kerja diperoleh nilai 1.31, termasuk beban B Operator Kedua HR (Heart Rate) R#1 ST#1 0:00:00 0:00:30 0:01:00 0:01:30 0:02:00 0:02:30 0:03:00 0:03:30 0:04:00 0:04:30 0:05:00 0:05:30 0:06:00 0:06:30 0:07:00 0:07:30 0:08:00 0:08:30 0:09:00 0:09:30 0:10:00 0:10:30 0:11:00 0:11:30 Time Keterangan : Gambar 20 R#N : Istirahat ke N ST#1 : Step test 20 siklus/menit Grafik pemetaan denyut jantung operator kedua saat step test sebelum bekerja pada shift siang Grafik pemetaan denyut jantung operator kedua pada saat step test sebelum bekerja dapat dilihat pada Gambar 20. Pola denyut jantung operator kedua pada saat step test hampir sama dengan pola denyut jantung operator satu. Dari grafik diatas diperoleh HR rest adalah

103 81 HR (Heart Rate) :04:00 0:04:05 0:04:10 0:04:15 0:04:20 0:04:25 Gambar 21 Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator kedua melakukan kerja pada shift siang 0:04:30 Time 0:04:35 0:04:40 0:04:45 0:04:50 0:04:55 0:05:00 Dari hasil perhitungan IRHR kerja diperoleh nilai 1.46 sehingga termasuk beban kerja sedang Analisis Beban Kerja Fisik Dari persamaan daya dari operator pertama dan kedua (Gambar 11 dan Gambar 13) diperoleh Total Energy Cost (Tabel 31) untuk operator satu dan operator dua pada shift siang, dengan IRHR kerja operator pertama 1.31 yang termasuk beban kerja sedang dengan TEC kerja 2.04 kkal/menit, sedang IRHR kerja operator kedua 1.46 yang termasuk beban kerja sedang dengan TEC kerja 1.21 kkal/menit. Tabel 31 Energy cost pada kedua operator pada shift siang Tingkat TEC BME WEC WEC' Operator IRHR Beban Kerja (kkal/min) (kal/kg.min) Sedang Sedang

104 Shift Malam Pengukuran Denyut Jantung pada Step Test A Operator Pertama HR (Heart Rate) R#1 ST#1 0:00:00 0:00:40 0:01:20 0:02:00 0:02:40 0:03:20 0:04:00 0:04:40 0:05:20 0:06:00 0:06:40 0:07:20 0:08:00 0:08:40 0:09:20 0:10:00 0:10:40 0:11:20 0:12:00 0:12:40 0:13:20 Time Keterangan : Gambar 22 R#N : Istirahat ke N ST#1 : Step test 20 siklus/menit Grafik pemetaan denyut jantung operator pertama pada saat step test sebelum kerja pada shift malam Grafik pemetaan denyut jantung operator pertama pada saat step test sebelum kerja dapat dilihat pada Gambar 22. Dari grafik diatas diperoleh HR rest adalah bpm. HR (Heart Rate) :00:00 0:00:05 0:00:10 0:00:15 0:00:20 0:00:25 0:00:30 Time 0:00:35 0:00:40 0:00:45 0:00:50 0:00:55 0:01:00 Gambar 23 Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator pertama melakukan kerja pada shift malam kerja sedang. Dari hasil perhitungan IRHR kerja diperoleh nilai 1.41, termasuk beban

105 83 B Operator Kedua HR (Heart Rate) R#1 ST#1 0:00:00 0:00:35 0:01:10 0:01:45 0:02:20 0:02:55 0:03:30 0:04:05 0:04:40 0:05:15 0:05:50 Time 0:06:25 0:07:00 0:07:35 0:08:10 0:08:45 0:09:20 0:09:55 0:10:30 0:11:05 0:11:40 Keterangan : Gambar 24 R#N : Istirahat ke N ST#1 : Step test 20 siklus/menit Grafik pemetaan denyut jantung operator kedua pada saat step test sebelum bekerja pada shift malam Dari grafik diatas diperoleh HRrest adalah HR (Heart Rate) :01:35 0:01:40 0:01:45 0:01:50 0:01:55 0:02:00 0:02:05 Time Gambar 25 Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator kedua melakukan kerja pada shift malam 0:02:10 0:02:15 0:02:20 0:02:25 0:02:30 0:02:35 Dari hasil perhitungan IRHR kerja diperoleh nilai 1.55 sehingga termasuk beban kerja berat Analisis Beban Kerja Fisik Dari persamaan daya dari operator pertama dan kedua diperoleh TEC kerja shift malam yaitu untuk operator pertama dengan IRHR kerja 1.41 bmp yang termasuk tingkat beban kerja sedang, dengan nilai TEC kerja sebesar 2.70 kkal/min, sedang untuk operator kedua dengan IRHR kerja 1.55 yang termasuk tingkat beban kerja berat memerlukan TEC kerja sebesar 7.53 kkal/min.

106 84 Tabel 32 Energy cost pada kedua operator pada shift malam Tingkat TEC BME WEC WEC' Operator IRHR Beban Kerja (kkal/min) (kal/kg.min) Sedang Berat Beban Kerja Stasiun Boiler PG Bungamayang Shift Pagi Pengukuran Denyut Jantung pada Step Test A Operator P1 Sebelum dilakukan pengukuran beban kerja setiap operator yang pengukuran dilakukan proses kalibrasi dengan metode step test dengan tujuan untuk mengetahui korelasi antara denyut jantung dengan peningkatan beban kerja masing-masing operator. Penetapan operator yang diteliti dilakukan oleh mandor stasiun boiler. Tabel 33. Karakteristik operator pengukuran dapat dilihat pada Tabel 33 Karakteristik operator pengukuran P1 pada pekerjaan bagian pengumpan tungku boiler di stasiun boiler Uraian Jenis Kelamin Umur Tinggi Berat Pengalaman Kerja Keterangan Laki-laki 48 tahun 152 cm 45.4 kg 23.4 tahun

107 :00:00 0:01:20 0:02:40 0:04:00 0:05:20 0:06:40 0:08:00 0:09:20 0:10:40 0:12:00 0:13:20 0:14:40 0:16:00 0:17:20 0:18:40 0:20:00 0:21:20 0:22:40 0:24:00 0:25:20 0:26:40 0:28:00 HR (Heart Rate) R#1 ST#1 R#2 ST#2 R#3 ST#3 Gambar 26 Keterangan : Time R#N : Istirahat ke N ST#1 : Step test 20 siklus/menit ST#2 : Step test 25 siklus/menit ST#3 : Step test 30 siklus/menit Grafik pemetaan denyut jantung operator P1 saat step test pada shift pagi Grafik pemetaan denyut jantung operator P1 pada saat step test dapat dilihat pada Gambar 26. Pola denyut jantung operator sesuai dengan pola step test dimana denyut operator semakin meningkat seiring dengan meningkatnya ritme step test. Rata-rata denyut jantung step test untuk setiap ulangan dapat dilihat pada Tabel 34, dengan HR rest = bpm. Tabel 34 Denyut jantung operator P1 pada saat step test Kondisi Denyut Jantung Rata-rata R# ST# R# ST# R# ST# Setiap operator memiliki respon fisiologis (denyut jantung) yang berbedabeda terhadap beban kerja, oleh karena itu perlu dilakukan pencarian persamaan hubungan antara respon fisiologis dengan beban kerja yang diterima oleh operator dengan menghitung nilai IRHR dan TEC pada saat step test, maka akan diperoleh sebuah persamaan yang menggambarkan hubungan antara IRHR dan TEC ST. Increase rate heart rate (IRHR) diperoleh dengan membagi nilai denyut jantung pada saat bekerja dengan denyut jantung pada saat istirahat sebelum melakukan kerja, nilai IRHR tersebut dapat menunjukkan seberapa besar tingkat beban kerja yang dirasakan oleh seorang operator (Tabel 35).

108 86 Tabel 35 Tabel hubungan TEC ST dengan IRHR berdasarkan hasil step test pada operator P1 Step Test TEC ST WEC (kkal/min) (kal/kg.min) IRHR Persamaan TEC = (IRHR) Hubungan TEC ST dan IRHR dapat digambarkan dalam bentuk grafik seperti pada Gambar 27. TECST(kkal/min) y = 3.607x R² = IRHR Gambar 27 Grafik hubungan IRHR dengan TEC ST operator P1 Dari Gambar 27 terlihat bahwa perubahan nilai IRHR cenderung linier dengan kenaikan nilai energi (daya) yang digunakan oleh tubuh untuk melakukan step test, hal ini terlihat dengan nilai R 2 yang besar yaitu B Operator P2 Pada operator P2 juga dilakukan proses kalibrasi dengan metode step test dengan tujuan untuk mengetahui korelasi antara denyut jantung dengan peningkatan beban kerja masing-masing operator. Penetapan operator yang diteliti dilakukan oleh mandor stasiun boiler. Karakteristik operator pengukuran dapat dilihat pada Tabel 36. Tabel 36 Karakteristik operator pengukuran P2 pada pekerjaan bagian pengumpan tungku boiler di stasiun boiler Uraian Jenis Kelamin Umur Tinggi Berat Pengalaman Kerja Keterangan Laki-laki 41 tahun 168 cm 56.9 kg 20 tahun

109 87 HR (Heart Rate) R#1 ST#1 R#2 ST#2 R#3 ST#3 0:00:00 Gambar 28 0:01:25 0:02:50 0:04:15 0:05:40 0:07:05 Keterangan : 0:08:30 0:09:55 0:11:20 0:12:45 0:14:10 0:15:35 Time R#N : Istirahat ke N ST#1 : Step test 20 siklus/menit ST#2 : Step test 25 siklus/menit ST#3 : Step test 30 siklus/menit Grafik pemetaan denyut jantung operator P2 saat step test pada shift pagi 0:17:00 0:18:25 0:19:50 0:21:15 0:22:40 0:24:05 0:25:30 0:26:55 0:28:20 Grafik pemetaan denyut jantung operator P2 pada saat step test dapat dilihat pada Gambar 28. Rata-rata denyut jantung pada saat step test untuk setiap ulangan dapat dilihat pada Tabel 37, dengan HR rest adalah bpm. Tabel 37 Denyut jantung operator P2 pada saat step test Kondisi Denyut Jantung Rata-rata R# ST# R# ST# R# ST# Operator kedua memiliki respon fisiologis (denyut jantung) yang berbedabeda terhadap beban kerja, oleh karena itu perlu dilakukan pencarian persamaan hubungan antara respon fisiologis dengan beban kerja yang diterima oleh operator kedua dengan menghitung nilai IRHR dan TEC pada saat step test, maka akan diperoleh sebuah persamaan yang menggambarkan hubungan antara IRHR dan TEC ST. Increase rate heart rate (IRHR) diperoleh dengan membagi nilai denyut jantung pada saat bekerja dengan denyut jantung pada saat istirahat sebelum melakukan kerja, nilai IRHR tersebut dapat menunjukkan seberapa besar tingkat beban kerja yang dirasakan oleh operator P2 (Tabel 38).

110 88 Tabel 38 Tabel hubungan TEC ST dengan IRHR berdasarkan hasil step test pada operator P2 Step Test TEC ST WEC (kkal/min) (kal/kg.min) IRHR Persamaan TEC = (IRHR) Hubungan TEC ST dan IRHR dapat digambarkan dalam bentuk grafik seperti pada Gambar 29. TEC ST (kkal/min) y = 1.666x R² = IRHR Gambar 29 Grafik hubungan IRHR dengan TEC ST operator P2 Dari Gambar 29 terlihat bahwa perubahan nilai IRHR cenderung linier dengan kenaikan nilai energi (daya) yang digunakan oleh tubuh untuk melakukan step test, hal ini terlihat dengan nilai R 2 yang besar yaitu Analisis Beban Kerja Fisik HR (Heart Rate) R#1 ST#1 0:00:00 0:00:20 0:00:40 0:01:00 0:01:20 0:01:40 0:02:00 0:02:20 0:02:40 0:03:00 0:03:20 0:03:40 0:04:00 0:04:20 0:04:40 0:05:00 0:05:20 0:05:40 0:06:00 0:06:20 Gambar 30 Keterangan : R#N : Istirahat ke N Time ST#1 : Step test 20 siklus/menit Grafik pemetaan denyut jantung operator P1 pada saat step test sebelum bekerja pada shift pagi

111 89 Sebelum bekerja operator P1 melakukan step test dengan 20 siklus/menit seperti terlihat pada Gambar 30, bertujuan untuk kalibrasi denyut jantung. Dari hasil perhitungan rata-rata denyut jantung saat istirahat (HR rest) untuk step test ini yaitu bpm. HR (Heart Rate) :13:15 0:13:20 0:13:25 0:13:30 0:13:35 0:13:40 0:13:45 Time 0:13:50 0:13:55 0:14:00 0:14:05 0:14:10 0:14:15 Gambar 31 Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator P1 melakukan kerja pada shift pagi Kegiatan kerja operator P1 dapat dilihat pada Gambar 31, pada saat kerja operator P1, tekanan boiler dalam status aman dengan tekanan dalam boiler bar. Dari hasil perhitungan diperoleh IRHR untuk operator P1 saat bekerja sebesar 1.42 dengan katagori tingkat beban kerja sedang. HR (Heart Rate) R#1 ST#1 Gambar 32 0:03:50 0:04:20 0:04:50 0:05:20 Keterangan : 0:05:50 R#N : Istirahat ke N 0:06:20 0:06:50 0:07:20 0:07:50 0:08:20 Time 0:08:50 0:09:20 0:09:50 0:10:20 0:10:50 0:11:20 0:11:50 ST#1 : Step test 20 siklus/menit Grafik pemetaan denyut jantung operator P2 pada saat step test sebelum bekerja Sebelum bekerja operator P2 melakukan step test dengan 20 siklus/menit seperti terlihat pada Gambar 32, bertujuan untuk kalibrasi denyut jantung. Dari hasil perhitungan rata-rata denyut jantung saat istirahat untuk step test ini yaitu bpm.

112 90 HR (Heart Rate) Gambar 33 0:01:35 0:01:40 0:01:45 0:01:50 0:01:55 0:02:00 0:02:05 Time Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator P2 melakukan kerja pada shift pagi 0:02:10 0:02:15 0:02:20 0:02:25 0:02:30 0:02:35 Kegiatan kerja operator P2 dapat dilihat pada Gambar 33, pada saat kerja operator P2, juga sama dengan kondisi saat operator P1 bekerja yaitu tekanan boiler dalam status aman. Dari hasil perhitungan diperoleh IRHR untuk operator P2 saat bekerja sebesar 1.33 dengan katagori tingkat beban kerja sedang. Persamaan daya yang diperoleh pada saat step test dijadikan acuan untuk menghitung konsumsi energi (daya) yang dikeluarkan pada saat bekerja dengan memasukkan nilai IRHR kedalam persamaan. Dengan demikian maka dapat diklasifikasikan beban kerja yang dialami berdasarkan IRHR saat bekerja (Tabel 39). Tabel 39 Energy cost pada operator P1 dan P2 pada shift pagi Tingkat TEC BME WEC WEC' Operator IRHR Beban Kerja (kkal/min) (kal/kg.min) Sedang Sedang Shift Siang Pengukuran Denyut Jantung pada Step Test A Operator S1 Sebelum dilakukan pengukuran beban kerja operator S1 dilakukan proses kalibrasi dengan metode step test dengan tujuan untuk mengetahui korelasi antara denyut jantung dengan peningkatan beban kerja masing-masing operator. Penetapan operator yang diteliti dilakukan oleh mandor stasiun boiler. Karakteristik operator pengukuran dapat dilihat pada Tabel 40.

113 91 Tabel 40 Karakteristik operator pengukuran S1 pada pekerjaan bagian pengumpan tungku boiler di stasiun boiler Uraian Jenis Kelamin Umur Tinggi Berat Pengalaman Kerja Keterangan Laki-laki 45 tahun 159 cm 70.9 kg 21 tahun HR (Heart Rate) R#1 ST#1 R#2 ST#2 R#3 ST#3 0:00:00 0:01:15 0:02:30 0:03:45 0:05:00 0:06:15 0:07:30 0:08:45 0:10:00 0:11:15 0:12:30 0:13:45 0:15:00 Time 0:16:15 0:17:30 0:18:45 0:20:00 0:21:15 0:22:30 0:23:45 0:25:00 0:26:15 Keterangan : Gambar 34 R#N : Istirahat ke N ST#1 : Step test 20 siklus/menit ST#2 : Step test 25 siklus/menit ST#3 : Step test 30 siklus/menit Grafik pemetaan denyut jantung operator S1 saat step test pada shift siang Grafik pemetaan denyut jantung operator S1 pada saat step test dapat dilihat pada Gambar 34. Pola denyut jantung operator sesuai dengan pola step test dimana denyut operator semakin meningkat seiring dengan meningkatnya ritme step test. Rata-rata denyut jantung step test untuk setiap ulangan dapat dilihat pada Tabel 41, dengan HR rest operator S bpm. Tabel 41 Denyut jantung operator S1 pada saat step test Kondisi Denyut Jantung Rata-rata R# ST# R# ST# R# ST# Setiap operator memiliki respon fisiologis (denyut jantung) yang berbedabeda terhadap beban kerja, oleh karena itu perlu dilakukan pencarian persamaan hubungan antara respon fisiologis dengan beban kerja yang diterima oleh

114 92 operator dengan menghitung nilai IRHR dan TEC pada saat step test, maka akan diperoleh sebuah persamaan yang menggambarkan hubungan antara IRHR dan TEC ST. Increase rate heart rate (IRHR) diperoleh dengan membagi nilai denyut jantung pada saat bekerja dengan denyut jantung pada saat istirahat sebelum melakukan kerja, nilai IRHR tersebut dapat menunjukkan seberapa besar tingkat beban kerja yang dirasakan oleh seorang operator (Tabel 42). Tabel 42 Tabel hubungan TEC ST dengan IRHR berdasarkan hasil step test pada operator S1 pada shift siang Step Test TEC ST WEC (kkal/min) (kal/kg.min) IRHR Persamaan TEC = (IRHR) Hubungan TEC ST dan IRHR dapat digambarkan dalam bentuk grafik seperti pada Gambar 35. TECST(kkal/min) y = 4.008x R² = IRHR Gambar 35 Grafik hubungan IRHR dengan TEC ST operator S1 pada shift siang Dari Gambar 35 terlihat bahwa perubahan nilai IRHR cenderung linier dengan kenaikan nilai energi (daya) yang digunakan oleh tubuh untuk melakukan step test, hal ini terlihat dengan nilai R 2 yang besar yaitu B Operator S2 Pada operator S2 juga dilakukan proses kalibrasi dengan metode step test dengan tujuan untuk mengetahui korelasi antara denyut jantung dengan peningkatan beban kerja masing-masing operator. Penetapan operator yang diteliti dilakukan oleh mandor stasiun boiler. Karakteristik operator pengukuran dapat dilihat pada Tabel 43.

115 93 Tabel 43 Karakteristik operator pengukuran S2 pada pekerjaan bagian pengumpan tungku boiler di stasiun boiler Uraian Jenis Kelamin Umur Tinggi Berat Pengalaman Kerja Keterangan Laki-laki 34 tahun 158 cm 59.1 kg 12 tahun HR (Heart Rate) R#1 ST#1 R#2 ST#2 R#3 ST#3 0:00:00 0:01:35 0:03:10 0:04:45 0:06:20 Keterangan : 0:07:55 0:09:30 0:11:05 0:12:40 0:14:15 0:15:50 Time R#N : Istirahat ke N ST#1 : Step test 20 siklus/menit ST#2 : Step test 25 siklus/menit 0:17:25 0:19:00 0:20:35 0:22:10 0:23:45 0:25:20 0:26:55 ST#3 : Step test 30 siklus/menit Gambar 36 Grafik pemetaan denyut jantung operator S2 saat step test pada shift siang 0:28:30 Grafik pemetaan denyut jantung operator S2 pasa saat step test dapat dilihat pada Gambar 36. Rata-rata denyut jantung pada saat step test untuk setiap ulangan dapat dilihat pada Tabel 44, dengan HR rest adalah Tabel 44 Denyut jantung operator kedua pada saat step test Kondisi Denyut Jantung Rata-rata R# ST# R# ST# R# ST# Operator S2 memiliki respon fisiologis (denyut jantung) yang berbedabeda terhadap beban kerja, oleh karena itu perlu dilakukan pencarian persamaan hubungan antara respon fisiologis dengan beban kerja yang diterima oleh operator S2 dengan menghitung nilai IRHR dan TEC pada saat step test, maka

116 94 akan diperoleh sebuah persamaan yang menggambarkan hubungan antara IRHR dan TEC ST. Increase rate heart rate (IRHR) diperoleh dengan membagi nilai denyut jantung pada saat bekerja dengan denyut jantung pada saat istirahat sebelum melakukan kerja, nilai IRHR tersebut dapat menunjukkan seberapa besar tingkat beban kerja yang dirasakan oleh operator S2 (Tabel 45). Tabel 45 Tabel hubungan TEC ST dengan IRHR berdasarkan hasil step test pada operator S2 Step Test TEC ST WEC (kkal/min) (kal/kg.min) IRHR Persamaan TEC = (IRHR) Hubungan TEC ST dan IRHR dapat digambarkan dalam bentuk grafik seperti pada Gambar 37. TECST(kkal/min) y = 1.786x R² = IRHR Gambar 37 Grafik hubungan IRHR dengan TEC ST operator S2 Dari Gambar 37 terlihat bahwa perubahan nilai IRHR cenderung linier dengan kenaikan nilai energi (daya) yang digunakan oleh tubuh untuk melakukan step test, hal ini terlihat dengan nilai R 2 yang besar yaitu

117 Analisis Beban Kerja Fisik HR (Hear Rate) R#1 ST#1 0:00:00 0:00:30 0:01:00 0:01:30 0:02:00 0:02:30 0:03:00 0:03:30 0:04:00 0:04:30 0:05:00 0:05:30 0:06:00 0:06:30 0:07:00 0:07:30 0:08:00 0:08:30 0:09:00 Time Keterangan : Gambar 38 R#N : Istirahat ke N ST#1 : Step test 20 siklus/menit Grafik pemetaan denyut jantung operator S1 pada saat step test sebelum bekerja pada shift siang Sebelum bekerja operator S1 melakukan step test dengan 20 siklus/menit seperti terlihat pada Gambar 38, bertujuan untuk kalibrasi denyut jantung. Dari hasil perhitungan rata-rata denyut jantung saat istirahat (HR rest) untuk step test ini yaitu bpm. HR (Heart Rate) :02:45 0:02:40 0:02:35 0:02:30 0:02:25 0:02:20 0:02:15 0:02:10 0:02:05 0:02:00 0:01:55 0:01:50 0:01:45 Time Gambar 39 Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator S1 melakukan kerja pada shift siang Kegiatan kerja operator S1 dapat dilihat pada Gambar 39, pada saat kerja operator S1, tekanan boiler dalam status aman dengan tekanan dalam boiler bar. Dari hasil perhitungan diperoleh IRHR untuk operator S1 saat bekerja sebesar 1.67 dengan katagori tingkat beban kerja berat.

118 96 HR (Heart Rate) R#1 ST#1 0:00:00 0:00:35 0:01:10 0:01:45 0:02:20 0:02:55 0:03:30 0:04:05 0:04:40 0:05:15 0:05:50 0:06:25 0:07:00 0:07:35 0:08:10 0:08:45 0:09:20 Time Keterangan : Gambar 40 R#N : Istirahat ke N ST#1 : Step test 20 siklus/menit Grafik pemetaan denyut jantung operator S2 pada saat step test sebelum bekerja Sebelum bekerja operator S2 melakukan step test dengan 20 siklus/menit seperti terlihat pada Gambar 40, bertujuan untuk kalibrasi denyut jantung. Dari hasil perhitungan rata-rata denyut jantung saat istirahat untuk step test ini yaitu bpm. HR (Heart Rate) :01:20 0:01:25 0:01:30 0:01:35 0:01:40 0:01:45 0:01:50 Time 0:01:55 0:02:00 0:02:05 0:02:10 0:02:15 Gambar 41 Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator S2 melakukan kerja pada shift siang Kegiatan kerja operator kedua dapat dilihat pada Gambar 41, pada saat kerja operator S2, juga sama dengan kondisi saat operator S1 bekerja yaitu tekanan boiler dalam status aman. Dari hasil perhitungan diperoleh IRHR untuk operator S2 saat bekerja sebesar 1.42 dengan katagori tingkat beban kerja sedang. Persamaan daya yang diperoleh pada saat step test dijadikan acuan untuk menghitung konsumsi energi (daya) yang dikeluarkan pada saat bekerja dengan memasukkan nilai IRHR kedalam persamaan. Dengan demikian maka

119 97 dapat diklasifikasikan beban kerja yang dialami berdasarkan IRHR saat bekerja (Tabel 46). Tabel 46 Energy cost pada operator S1 dan S2 pada shift siang Tingkat TEC BME WEC WEC' Operator IRHR Beban Kerja (kkal/min) (kal/kg.min) berat Sedang Shift Malam Pengukuran Denyut Jantung pada Step Test A Operator M1 Sebelum dilakukan pengukuran beban kerja operator M1 dilakukan proses kalibrasi dengan metode step test dengan tujuan untuk mengetahui korelasi antara denyut jantung dengan peningkatan beban kerja masing-masing operator. Penetapan operator yang diteliti dilakukan oleh mandor stasiun boiler. Karakteristik operator pengukuran dapat dilihat pada Tabel 47. Tabel 47 Karakteristik operator pengukuran M1 pada pekerjaan bagian pengumpan tungku boiler di stasiun boiler Uraian Jenis Kelamin Umur Tinggi Berat Pengalaman Kerja Keterangan Laki-laki 45 tahun 160 cm 67.4 kg 20.3 tahun

120 98 HR (Heart Rate) R#1 R#2 R#3 ST#1 ST#2 ST#3 Gambar 42 0:00:00 0:01:40 0:03:20 0:05:00 Keterangan : 0:06:40 0:08:20 0:10:00 0:11:40 0:13:20 0:15:00 Time R#N : Istirahat ke N ST#1 : Step test 20 siklus/menit ST#2 : Step test 25 siklus/menit 0:16:40 0:18:20 0:20:00 0:21:40 0:23:20 0:25:00 ST#3 : Step test 30 siklus/menit Grafik pemetaan denyut jantung operator M1 saat step test pada shift malam 0:26:40 Grafik pemetaan denyut jantung operator M1 pada saat step test dapat dilihat pada Gambar 42. Pola denyut jantung operator sesuai dengan pola step test dimana denyut pekerja semakin meningkat seiring dengan meningkatnya ritme step test. Rata-rata denyut jantung step test untuk setiap ulangan dapat dilihat pada Tabel 48, dengan nilai HR rest adalah Tabel 48 Denyut jantung operator M1 pada saat step test Kondisi Denyut Jantung Rata-rata R# ST# R# ST# R# ST# Setiap operator memiliki respon fisiologis (denyut jantung) yang berbedabeda terhadap beban kerja, oleh karena itu perlu dilakukan pencarian persamaan hubungan antara respon fisiologis dengan beban kerja yang diterima oleh operator dengan menghitung nilai IRHR dan TEC pada saat step test, maka akan diperoleh sebuah persamaan yang menggambarkan hubungan antara IRHR dan TEC ST. Increase rate heart rate (IRHR) diperoleh dengan membagi nilai denyut jantung pada saat bekerja dengan denyut jantung pada saat istirahat sebelum melakukan kerja, nilai IRHR tersebut dapat menunjukkan seberapa besar tingkat beban kerja yang dirasakan oleh seorang operator (Tabel 49).

121 99 Tabel 49 Tabel hubungan TEC ST dengan IRHR berdasarkan hasil step test pada operator M1 pada shift malam Step Test TEC ST WEC (kkal/min) (kal/kg.min) IRHR Persamaan TEC = (IRHR) Hubungan TEC ST dan IRHR dapat digambarkan dalam bentuk grafik seperti pada Gambar 43. TECST(kkal/min) y = 2.523x R² = IRHR Gambar 43 Grafik Hubungan IRHR dengan TEC ST operator M1 Dari Gambar 43 terlihat bahwa perubahan nilai IRHR cenderung linier dengan kenaikan nilai energi (daya) yang digunakan oleh tubuh untuk melakukan step test, hal ini terlihat dengan nilai R 2 yang besar yaitu 1. b Operator M2 Pada operator M2 juga dilakukan proses kalibrasi dengan metode step test dengan tujuan untuk mengetahui korelasi antara denyut jantung dengan peningkatan beban kerja masing-masing operator. Penetapan operator yang diteliti dilakukan oleh mandor stasiun boiler. Karakteristik operator pengukuran dapat dilihat pada Tabel 50. Tabel 50 Karakteristik operator pengukuran M2 pada pekerjaan bagian pengumpan tungku boiler di stasiun boiler Uraian Jenis Kelamin Umur Tinggi Berat Pengalaman Kerja Keterangan Laki-laki 41 tahun 170 cm 84.7 kg 18 tahun

122 :00:00 0:01:20 0:02:40 0:04:00 0:05:20 0:06:40 0:08:00 0:09:20 0:10:40 0:12:00 0:13:20 0:14:40 0:16:00 0:17:20 0:18:40 0:20:00 0:21:20 0:22:40 0:24:00 0:25:20 0:26:40 0:28:00 HR (Heart Rate) R#1 ST#1 R#2 ST#2 R#3 ST#3 Time Keterangan : R#N : Istirahat ke N ST#1 : Step test 20 siklus/menit ST#2 : Step test 25 siklus/menit ST#3 : Step test 30 siklus/menit Gambar 44 Grafik pemetaan denyut jantung operator M2 saat step test pada shift malam Grafik pemetaan denyut jantung operator M2 pasa saat step test dapat dilihat pada Gambar 44. Rata-rata denyut jantung pada saat step test untuk setiap ulangan dapat dilihat pada Tabel 44, dengan HR rest adalah 85 bpm. Tabel 51 Denyut jantung operator M2 pada saat step test Kondisi Denyut Jantung Rata-rata R# ST# R# ST# R# ST# Operator M2 memiliki respon fisiologis (denyut jantung) yang berbedabeda terhadap beban kerja, oleh karena itu perlu dilakukan pencarian persamaan hubungan antara respon fisiologis dengan beban kerja yang diterima oleh operator M2 dengan menghitung nilai IRHR dan TEC pada saat step test, maka akan diperoleh sebuah persamaan yang menggambarkan hubungan antara IRHR dan TEC ST. Increase rate heart rate (IRHR) diperoleh dengan membagi nilai denyut jantung pada saat bekerja dengan denyut jantung pada saat istirahat sebelum melakukan kerja, nilai IRHR tersebut dapat menunjukkan seberapa besar tingkat beban kerja yang dirasakan oleh operator M2 (Tabel 52).

123 101 Tabel 52 Tabel hubungan TEC ST dengan IRHR berdasarkan hasil step test pada operator M2 Step Test TEC ST WEC (kkal/min) (kal/kg.min) IRHR Persamaan TEC = (IRHR) Hubungan TEC ST dan IRHR dapat digambarkan dalam bentuk grafik seperti pada Gambar 45. TEC ST (kkal/min) y = 4.396x R² = IRHR Gambar 45 Grafik hubungan IRHR dengan TEC ST operator M2 Dari Gambar 45 terlihat bahwa perubahan nilai IRHR cenderung linier dengan kenaikan nilai energi (daya) yang digunakan oleh tubuh untuk melakukan step test, hal ini terlihat dengan nilai R 2 yang besar yaitu Analisis Beban Kerja Fisik HR (Heart Rate) R#1 ST#1 0:00:00 0:00:40 0:01:20 0:02:00 0:02:40 0:03:20 0:04:00 0:04:40 0:05:20 0:06:00 0:06:40 0:07:20 Time 0:08:00 0:08:40 0:09:20 0:10:00 0:10:40 0:11:20 0:12:00 0:12:40 0:13:20 Keterangan : Gambar 46 R#N : Istirahat ke N ST#1 : Step test 20 siklus/menit Grafik pemetaan denyut jantung operator M1 pada saat step test sebelum bekerja pada shift malam

124 102 Sebelum bekerja operator M1 melakukan step test 20 siklus/menit seperti terlihat pada Gambar 46, bertujuan untuk kalibrasi denyut jantung. Dari hasil perhitungan rata-rata denyut jantung saat istirahat (HR rest) untuk step test ini yaitu bpm. HR (Heart Rate) :03:20 0:03:15 0:03:10 0:03:05 0:03:00 0:02:55 0:02:50 0:02:45 0:02:40 0:02:35 0:02:30 0:02:25 0:02:20 Time Gambar 47 Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator M1 melakukan kerja pada shift malam Kegiatan kerja operator M1 dapat dilihat pada Gambar 47, pada saat kerja operator M1, tekanan boiler dalam status aman dengan tekanan dalam boiler bar. Dari hasil perhitungan diperoleh IRHR untuk operator M1 saat bekerja sebesar 1.39 dengan katagori tingkat beban kerja sedang. HR (Heart Rate) R#1 ST#1 0:00:00 0:00:40 0:01:20 0:02:00 0:02:40 0:03:20 0:04:00 0:04:40 0:05:20 0:06:00 0:06:40 0:07:20 0:08:00 0:08:40 0:09:20 0:10:00 0:10:40 0:11:20 0:12:00 0:12:40 Time Keterangan : Gambar 48 R#N : Istirahat ke N ST#1 : Step test 20 siklus/menit Grafik pemetaan denyut jantung operator M2 pada saat step test sebelum bekerja Sebelum bekerja operator M2 melakukan step test 20 siklus/menit seperti terlihat pada Gambar 48, bertujuan untuk kalibrasi denyut jantung. Dari hasil

125 103 perhitungan rata-rata bpm. denyut jantung saat istirahat untuk step test ini yaitu HR (Heart Rate) :01:50 0:01:55 0:02:00 0:02:05 0:02:10 0:02:15 0:02:20 Time 0:02:25 0:02:30 0:02:35 0:02:40 0:02:45 0:02:50 Gambar 49 Salah satu grafik denyut jantung pada saat operator M2 melakukan kerja pada shift malam Kegiatan kerja operator M2 dapat dilihat pada Gambar 49, pada saat kerja operator M2, juga sama dengan kondisi saat operator M1 bekerja yaitu tekanan boiler dalam status aman. Dari hasil perhitungan diperoleh IRHR untuk operator M2 saat bekerja sebesar 1.48 dengan katagori tingkat beban kerja sedang. Persamaan daya yang diperoleh pada saat step test dijadikan acuan untuk menghitung konsumsi energi (daya) yang dikeluarkan pada saat bekerja dengan memasukkan nilai IRHR kedalam persamaan. Dengan demikian maka dapat diklasifikasikan beban kerja yang dialami berdasarkan IRHR saat bekerja (Tabel 53). Tabel 53 Energy cost pada operator M1 dan M2 pada shift malam Tingkat TEC BME WEC WEC' Operator IRHR Beban Kerja (kkal/min) (kal/kg.min) sedang sedang

126 Kuisioner Beban Kerja, Kecelakaan Kerja dan Kelelahan Tabel 54. Indikator untuk tingkat beban kerja secara subyektif dapat dilihat pada Tabel 54 Indikator tingkat beban kerja secara subyektif Tingkat Beban Kerja Skor Normal 0-<6 Ringan 6<12 Sedang 12-<18 Berat Indikator untuk tingkat kecelakaan kerja secara subyektif dapat dilihat pada Tabel 55. Tabel 55 Indikator tingkat kecelakaan kerja secara subyektif Tingkat Kecelakaan Kerja Skor Normal 0-<17 Ringan 17-<34 Sedang 34-<51 Berat Tabel 56: Indikator untuk tingkat kelelahan secara subyektif dapat dilihat pada Tabel 56 Indikator tingkat kelelahan secara subyektif Tingkat Kelelahan Skor Normal 0-<11 Ringan 11-<22 Sedang 22-<33 Berat Indikator untuk tingkat perspektif karyawakan terhadap lingkungan organisasi dapat dilihat pada Tabel 57. Tabel 57 Indikator tingkat perspektif karyawan terhadap lingkungan organisasi Lingkungan Organisasi Skor Tidak Peduli 0-<5 Agak Peduli 5-<10 Peduli 10-<15 Sangat Peduli Dari hasil kuisioner perspektif karyawan terhadap beban kerja, kecelakaan kerja, kelelahan dan lingkungan organisasi pada pabrik gula Bungamayang dan Jatitujuh dapat dilihat pada Tabel 58.

127 105 Tabel 58 Perspektif operator terhadap beban kerja, kecelakaan kerja, kelelahan dan lingkungan organisasi secara umum pada proses produksi gula Jati Tujuh Bunga Mayang Stasiun Beban Kecelakaan Lingkunan Beban Kecelakaan Lingkungan Kelelahan Kelelahan Kerja Kerja Organisasi Kerja Kerja Organisasi Boiler Berat Sedang Sedang Sangat Peduli Berat Ringan Ringan Sangat Peduli Evaporator Sedang Sedang Sedang Sangat Peduli Sedang Sedang Sedang Sangat Peduli Gilingan Sedang Sedang Ringan Sangat Peduli Berat Sedang Ringan Sangat Peduli Masakan Ringan Ringan Ringan Peduli Sedang Ringan Berat Sangat Peduli Pemurnian Ringan Ringan Ringan Peduli Sedang Ringan Ringan Sangat Peduli Power House Sedang Sedang Sedang Sangat Peduli Berat Sedang Berat Sangat Peduli Puteran Sedang Sedang Sedang Sangat Peduli Berat Sedang Sedang Sangat Peduli Tabel 59 Perspektif operator shift pagi terhadap beban kerja, kecelakaan kerja, kelelahan dan lingkungan organisasi pada proses produksi gula Jati Tujuh Bunga Mayang Stasiun Beban Kecelakaan Lingkunan Beban Kecelakaan Lingkungan Kelelahan Kelelahan Kerja Kerja Organisasi Kerja Kerja Organisasi Boiler Berat Sedang Sedang Sangat Peduli Berat Ringan Sedang Sangat Peduli Evaporator Sedang Sedang Sedang Sangat Peduli Sedang Sedang Sedang Sangat Peduli Gilingan Sedang Sedang Ringan Sangat Peduli Berat Sedang Berat Sangat Peduli Masakan Ringan Ringan Ringan Peduli Sedang Ringan Berat Sangat Peduli Pemurnian Ringan Sedang Ringan Sangat Peduli Sedang Ringan Ringan Sangat Peduli Power House Berat Sedang Sedang Sangat Peduli Berat Sedang Ringan Sangat Peduli Puteran Sedang Sedang Sedang Sangant Peduli Sedang Ringan Sedang Sangat Peduli Tabel 60 Perspektif operator shift siang terhadap beban kerja, kecelakaan kerja, kelelahan dan lingkungan organisasi pada proses produksi gula Jati Tujuh Bunga Mayang Stasiun Beban Kecelakaan Kelelahan Lingkunan Beban Kecelakaan Lingkungan Kelelahan Kerja Kerja Organisasi Kerja Kerja Organisasi Boiler Sedang Sedang Sedang Sangat Peduli Berat Ringan Sedang Sangat Peduli Evaporator Sedang Sedang Sedang Sangat Peduli Sedang Sedang Sedang Sangat Peduli Gilingan Sedang Sedang Sedang Sangat Peduli Ringan Sedang Ringan Sangat Peduli Masakan Ringan Sedang Sedang Sangat Peduli Berat Ringan Sedang Sangat Peduli Pemurnian Sedang Ringan Sedang Peduli Sedang Ringan Ringan Sangat Peduli Power House Sedang Ringan Sedang Sangat Peduli Berat Ringan Berat Sangat Peduli Puteran Sedang Sedang Sedang Sangat Peduli Sedang Sedang Berat Sangat Peduli Tabel 61 Perspektif operator shift malam terhadap beban kerja, kecelakaan kerja, kelelahan dan lingkungan organisasi pada proses produksi gula Jati Tujuh Bunga Mayang Stasiun Beban Kecelakaan Kelelahan Lingkunan Beban Kecelakaan Lingkungan Kelelahan Kerja Kerja Organisasi Kerja Kerja Organisasi Boiler Berat Sedang Sedang Sangat Peduli Berat Ringan Berat Sangat Peduli Evaporator Berat Sedang Berat Sangat Peduli Berat Ringan Ringan Sangat Peduli Gilingan Sedang Sedang Ringan Sangat Peduli Berat Sedang Ringan Sangat Peduli Masakan Sedang Ringan Ringan Peduli Berat Sedang Sedang Sangat Peduli Pemurnian Ringan Ringan Ringan Peduli Sedang Ringan Ringan Sangat Peduli Power House Sedang Sedang Sedang Sangat Peduli Berat Sedang Berat Sangat Peduli Puteran Sedang Sedang Sedang Sangat Peduli Berat Sedang Sedang Sangat Peduli

128 Simulasi Sebaran Data Aplikasi model dengan menggunakan jaringan syaraf tiruan (JST) dipengaruhi oleh pola sebaran data yang digunakan dalam proses training (pembelajaran), aplikasi model JST tidak akan memberikan hasil yang baik jika fenomena yang diamati berada di luar sebaran data yang digunakan pada proses training. Ada enam parameter yang dijadikan sebagai data input pada model JST tahap pertama, dengan sebaran data untuk pabrik gula PG Bungamayang dan PG Jatitujuh seperti pada Tabel 62. Tabel 62 Sebaran data input pada enam parameter ergonomi untuk model JST tahap pertama Parameter Data Input Sebaran Data PG Bungamayang PG Jatitujuh Illuminasi lux lux Suhu Lingkungan C C Kelembaban % % Kebisingan db db Getaran m/s m/s 2 Persepsi Operator terhadap Lingkungan Organisasi Sumber : Hasil pengukuran pada PG Bungamayang dan PG Jatitujuh dalam tiga shift kerja. Selain data input yang digunakan pada proses training (pembelajaran) model JST pada tahap pertama, digunakan juga data output yang memiliki tiga parameter yaitu : 1. Data persepsi karyawan pabrik gula PG Bungamayang dan PG Jatitujuh terhadap beban kerja digunakan sebagai indikator beban kerja pada proses produksi dengan sebaran data pada selang Data persepsi karyawan pabrik gula PG Bungamayang dan PG Jatitujuh terhadap kecelakaan kerja digunakan sebagai indikator kecelakaan kerja pada proses produksi dengan sebaran data pada selang Data persepsi karyawan pabrik gula PG Bungamayang dan PG Jatitujuh terhadap kelelahan kerja digunakan sebagai indikator kelelahan kerja pada proses produksi dengan sebaran data pada selang 1-4. Selanjutnya dilakukan proses training (pembelajaran) model JST pada tahap kedua, yang menggunakan data input dari data output model JST tahap pertama dengan hasil akhir (output) model JST tahap kedua adalah tingkat produktivitas jumlah ton tebu yang digiling (ton cane/shift). Sebaran data

129 107 produktivitas pada pabrik gula PG Bungamayang dan PG Jatitujuh adalah sebagai berikut: 1 Data produktivitas kerja pada pabrik gula PG Bungamayang menyebar pada selang ton cane/shift. 2 Data produktivitas kerja pada pabrik gula PG Jatitujuh menyebar pada selang ,7 ton cane/shift Analisis Model Analisis model dilakukan dengan mengverifikasi dan memvalidasi pada model JST tahap pertama dan model JST tahap kedua, pada masing-masing pabrik gula Verifikasi Model JST Verifikasi Model JST tahap Pertama untuk PG Bungamayang Verifikasi model dilakukan guna melihat kesesuaian antara data output yang digunakan pada proses training dengan data output yang dihasilkan dari model JST yang dibangun (Tabel 64). Model JST tahap pertama yang dibangun diuji coba dengan beberapa variasi jumlah hidden layer (lapisan tersembunyi) dan variasi jumlah node pada hidden layer. Tabel 63 Beberapa model JST yang dibangun untuk tahap pertama Model JST Jumlah Hidden Layer Jumlah Node pada Hidden Nilai R 2 Training Layer Dari Tabel 63 terlihat bahwa nilai untuk model JST dengan jumlah node 10 pada hidden layer, memiliki nilai R 2 yang terbaik. Nilai R 2 berkorelasi dengan nilai error model, dimana semakin besar nilai R 2 maka nilai error model akan semakin kecil. Hal ini karena nilai error model merupakan selisih dari nilai output dugaan (model) dengan output yang diberikan sebagai data training. Data error dihitung dengan menggunakan mean square error (MSE).

130 108 Tabel 64 Perbandingan output data (Target) dengan output hasil model JST (Training) dengan 10 node pada hidden layer Tar get Trai ning Data Beban Kerja Kecelakaan Kerja Kelelahan Beban Kerja Kecelakaan Kerja 2,9 2,9 2,9 2,9 2,9 2,9 2,9 2,9 2,9 2,9 Kelelahan Verifikasi Model JST tahap Kedua untuk PG Bungamayang Proses verifikasi untuk model JST tahap kedua dilakukan juga dengan memberikan beberapa variasi jumlah hidden layer (lapisan tersembunyi) dan variasi jumlah node pada hidden layer. Beberapa model JST tahap kedua yang diuji antara lain dapat dilihat pada Tabel 65. Tabel 65 Beberapa model JST yang dibangun untuk tahap kedua Model JST Jumlah Hidden Layer Jumlah Node pada Hidden Nilai R 2 Training Layer Dari Tabel 65 terlihat bahwa model JST dengan 3 node pada hidden layer menunjukkan nilai R 2 terbesar dengan nilai R 2 = Nilai R 2 yang semakin besar (mendekati 1) menunjukkan bahwa output yang dihasilkan oleh model semakin mendekati nilai output data Verifikasi Model JST tahap Pertama untuk PG Jatitujuh Verifikasi model JST tahap pertama juga dilakukan pada model JST untuk PG Jatitujuh. Verifikasi ini juga dilakukan guna melihat kesesuaian antara data output yang digunakan pada proses training dengan data output yang dihasilkan dari model JST yang dibangun (Tabel 67). Model JST tahap pertama yang dibangun diuji coba dengan beberapa variasi jumlah hidden layer (lapisan tersembunyi) dan variasi jumlah node pada hidden layer.

131 109 Tabel 66 Beberapa model JST yang dibangun untuk tahap pertama Model JST Jumlah Hidden Layer Jumlah Node pada Hidden Nilai R 2 Training Layer Dari Tabel 66 terlihat bahwa nilai untuk model JST dengan jumlah node 300 pada hidden layer, memiliki nilai R 2 yang terbaik. Nilai R 2 berkorelasi dengan nilai error model, dimana semakin besar nilai R 2 maka nilai error model akan semakin kecil. Hal ini karena nilai error model merupakan selisih dari nilai output dugaan (model) dengan output yang diberikan sebagai data training. Data error dihitung dengan menggunakan mean square error (MSE). Tabel 67 Perbandingan output data (Target) dengan output hasil model JST (Training) dengan 300 node pada hidden layer Data Beban Kerja Target Kecelakaan Kerja Kelelahan Beban Kerja Training Kecelakaan Kerja Kelelahan 2,2 2,1 2,4 2,4 2,4 2,4 2,4 2,4 2,4 2, Verifikasi Model JST tahap Kedua untuk PG Jatitujuh Proses verifikasi untuk model JST tahap kedua pada PG Jatitujuh dilakukan juga dengan memberikan beberapa variasi jumlah hidden layer (lapisan tersembunyi) dan variasi jumlah node pada hidden layer. Beberapa model JST tahap kedua yang diuji antara lain dapat dilihat pada Tabel 68.

132 110 Tabel 68 Beberapa model JST yang dibangun untuk tahap kedua Model JST Jumlah Hidden Layer Jumlah Node pada Hidden Nilai R 2 Training Layer Dari Tabel 68 terlihat bahwa model JST dengan 300 node pada hidden layer menunjukkan nilai R 2 terbesar dengan nilai R 2 = Nilai R 2 yang semakin besar (mendekati 1) menunjukkan bahwa output yang dihasilkan oleh model semakin mendekati nilai output data Validasi Model JST Validasi Model JST tahap Pertama untuk PG Bungamayang Validasi model JST tahap pertama dilakukan dengan membandingkan hasil keluaran model dengan data baru diluar data yang digunakan pada proses training, dengan tujuan untuk melihat ketepatan model dalam melakukan pendugaan atau prediksi terhadap parameter-parameter yang digunakan dalam model. Validasi model JST dilakukan dengan cara merubah variasi jumlah node hidden layer, dengan hasil terbaik pada model JST dengan jumlah node 10 pada hidden layer yang memiliki nilai R 2 =0.765 (Tabel 69). Tabel 69 Pengaruh variasi jumlah node dalam validasi model JST yang dibangun Model JST Jumlah Hidden Layer Jumlah Node pada Hidden Nilai R 2 Validasi Layer Validasi Model JST tahap Kedua untuk PG Bungamayang Validasi model JST tahap kedua sama seperti yang dilakukan pada validasi model JST tahap pertama yaitu dilakukan dengan membandingkan hasil keluaran model dengan data baru diluar data yang digunakan pada proses training, dengan tujuan untuk melihat ketepatan model dalam melakukan

133 111 pendugaan atau prediksi terhadap parameter-parameter yang digunakan dalam model. Validasi model JST dilakukan dengan cara merubah variasi jumlah node hidden layer, dengan hasil terbaik pada model JST dengan jumlah node 3 pada hidden layer yang memiliki nilai R 2 =0.818 (Tabel 70). Tabel 70 Beberapa model JST yang dibangun untuk tahap kedua Model JST Jumlah Hidden Layer Jumlah Node pada Hidden Nilai R 2 Validasi Layer Validasi Model JST tahap Pertama untuk PG Jatitujuh Validasi model JST tahap pertama dilakukan dengan membandingkan hasil keluaran model dengan data baru diluar data yang digunakan pada proses training, dengan tujuan untuk melihat ketepatan model dalam melakukan pendugaan atau prediksi terhadap parameter-parameter yang digunakan dalam model. Validasi model JST dilakukan dengan cara merubah variasi jumlah node hidden layer, dengan hasil terbaik pada model JST dengan jumlah node 300 pada hidden layer yang memiliki nilai R 2 =0.858 (Tabel 71). Tabel 71 Pengaruh variasi jumlah node dalam model JST yang dibangun Model JST Jumlah Hidden Layer Jumlah Node pada Hidden Nilai R 2 Validasi Layer Validasi Model JST tahap Kedua untuk PG Jatitujuh Validasi model JST tahap kedua sama seperti yang dilakukan pada validasi model JST tahap pertama yaitu dilakukan dengan membandingkan hasil keluaran model dengan data baru diluar data yang digunakan pada proses training, dengan tujuan untuk melihat ketepatan model dalam melakukan pendugaan atau prediksi terhadap parameter-parameter yang digunakan dalam model. Validasi model JST dilakukan dengan cara merubah variasi jumlah node hidden layer, dengan hasil terbaik pada model JST dengan jumlah node 300 pada hidden layer yang memiliki nilai R 2 = (Tabel 72).

134 112 Tabel 72 Pengaruh variasi jumlah node dalam model JST yang dibangun Model JST Jumlah Hidden Layer Jumlah Node pada Hidden Nilai R 2 Validasi Layer Prediksi Model Model ergonomi dengan menggunakan jaringan syaraf tiruan (JST) dibuat untuk menduga pengaruh masing-masing parameter input (faktor ergonomi mikro dan makro) terhadap output (beban kerja, kecelakaan kerja, kelelahan dan produktivitas kerja) pada proses pabrikasi gula di dua pabrik gula yang memiliki proses produksi dan kapasitas produksi yang berbeda. Pada pabrik gula PG Bungamayang memiliki kapasitas produksi sebesar 6000 TCD sedangkan pabrik gula PG Jatitujuh memiliki kapasitas produksi sebesar 4500 TCD. Pengaruh parameter-parameter input terhadap parameter output dianalisa dengan cara memasukkan nilai parameter input yang bervariasi ke dalam JST dan kemudian mengamati kecendrungan nilai parameter output. Untuk mempelajari suatu parameter input, variasi tingkatan nilai paramter tersebut dimasukkan kedalam model JST sementara nilai paramtere-parameter input yang lain dianggap tetap (ceteris paribus). Nilai input yang digunakan pada prediksi model adalah seperti pada Lampiran 3 dan 4. Hasil keluaran model ditampilkan dalam bentuk grafik sedangkan interaksi atau keterkaian antar komponen input-output dalam sistem proses produksi gula digambarkan dalam bentuk diagram sebab-akibat (causal loop). Pengaruh masing-masing parameter input terhadap parameter output diprediksi dengan menggunakan model JST tahap pertama dan model JST tahap kedua masing-masing pabrik gula. Untuk memudahkan dalam membandingkan pengaruh masing-masing parameter input pada kedua pabrik gula maka dilakukan perubahan nama masing-masing model JST yang dibuat seperti berikut: 1 Model JST tahap pertama pada PG Bungamayang disebut model A1. 2 Model JST tahap kedua pada PG Bungamayang disebut model B1. 3 Model JST tahap pertama pada PG Jatitujuh disebut model A2. 4 Model JST tahap kedua pada PG Jatitujuh disebut model B2. Pengaruh parameter input yang diduga adalah sebagai berikut:

135 Illuminasi PG Bungamayang Dari hasil prediksi model A1 terlihat bahwa hubungan antara illuminasi (lux) dengan beban kerja (Gambar 50), kelelahan (Gambar 51), kecelakaan kerja (Gambar 52), dan produktivitas kerja (Gambar 53). Dari hasil prediksi terlihat bahwa pada tinggi illuminasi (lux) dibawah lux akan berpengaruh meningkatkat beban kerja, hal ini karena aktivitas meningkat menyebabkan tingkat kelelahan meningkat yang berpotensi meningkatkan tingkat kecelekaan kerja. Pada kisaran illuminasi diatas lux, Beban kerja akan akan mencapai puncaknya dan hal ini menyebabkan kelelahan yang tinggi pada operator, hal ini menyebabkan potensi kecelakaan kerja sangat tinggi. Dengan makin tingginya tingkat kelelahan (diatas lux), operator akan semakin berkurang aktivitasnya sehingga kecelakaan kerja juga akan menurun, dengan menurunnya aktivitas kerja operator akan menurunkan tingkat produktivitas. Beban Kerja y = - 1E-11x 2 + 2E-07x R² = Illuminasi (lux) beban kerja Poly. (beban kerja) Gambar 50 Pola hubungan data nilai beban kerja model A1 pada beberapa tingkatan illuminasi (lux)

136 114 Kelelahan y = - 2E-12x 3 + 2E-08x 2-3E-05x R² = Illuminasi (lux) kelelahan Poly. (kelelahan) Gambar 51 Pola hubungan data nilai kelelahan model A1 pada beberapa tingkatan illuminasi (lux) Kecelakan Kerja y = - 2E-13x 3 + 3E-09x 2-1E-05x R² = Illuminasi (lux) kecelakaan kerja Poly. (kecelakaan kerja) Gambar 52 Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A1 pada beberapa tingkatan illuminasi (lux) Produktivitas kerja (ton cane/shift) y = - 3E-14x4 + 6E-10x3-4E-06x x R² = Illuminasi (lux) produktivitas Poly. (produktivitas) Gambar 53 Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B1 pada beberapa tingkatan illuminasi (lux)

137 PG Jatitujuh Hasil dari prediksi model A2 untuk illuminasi (lux) di pabrik gula PG Jatitujuh terlihat bahwa tingkat kelelahan operator akan sangat tinggi pada illuminasi diatas lux, kelelahan operator ini dipengaruhi oleh tingkat beban kerja yang meningkat dan tingkat usia operator yang 37% antara tahun. Dengan makin tinggi tingkat kelelahan operator, berpotensi meningkatkan tingkat kecelakaan kerja. Kelelahan yang tinggi ini menyebabkan operator mengurangi aktivitasnya sehingga tingkat produktivitas juga akan menurun. Beban Kerja y = -3E-12x 3 + 8E-08x x R² = Illuminasi (lux) beban kerja Poly. (beban kerja) Gambar 54 Pola hubungan data nilai beban kerja model A2 pada beberapa tingkatan illuminasi (lux) 3.5 Kelelahan y = - 9E-12x 3 + 1E-07x 2-0,000x + 2,405 R² = 0, Illuminasi (lux) kelelahan Poly. (kelelahan) Gambar 55 Pola hubungan data nilai kelelahan model A2 pada beberapa tingkatan illuminasi (lux)

138 116 Kecelakaan Kerja y = 1E-12x 3-5E-09x 2 + 5E-05x + 1,959 R² = 0, Illuminasi (lux) kecelakaan kerja Poly. (kecelakaan kerja) Gambar 56 Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A2 pada beberapa tingkatan illuminasi (lux) Produktivitas kerja (ton cane/shift) y = 1E-12x 4-1E-08x 3 + 5E-05x 2-0,084x , R² = 0, Illuminasi (lux) produktivitas Poly. (produktivitas) Gambar 57 Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B2 pada beberapa tingkatan illuminasi (lux) Suhu PG Bungamayang Dari hasil prediksi model A1 terlihat bahwa meningkatnya suhu lingkungan diatas 31 0 C, akan menurunkan beban kerja operator hal ini disebabkan operator mengurangi aktivitasnya dan ini menunjukkan bahwa opertor tidak dapat beradaptasi pada suhu diatas 31 0 C hal ini dimungkinkan karena usia operator yang 73% antara tahun. Menurunnya aktivitas operator berdampak pada tingkat kelelahan yang menurun dan juga tingkat kecelakaan kerja juga akan menurun. Penurunan aktivitas operator pada akhirnya akan menurunkan tingkat produktivitas.

139 117 Beban Kerja y = 0,001x 4-0,141x 3 + 6,854x 2-146,9x , R² = 0, Suhu ( 0 C) beban kerja Poly. (beban kerja) Gambar 58 Pola hubungan data nilai beban kerja model A1 pada beberapa tingkatan suhu ( 0 C) Kelelahan y = -0,001x 5 + 0,193x 4-12,48x x ,x R² = 0, Suhu ( 0 C) kelelahan Poly. (kelelahan) Gambar 59 Pola hubungan data nilai kelelahan model A1 pada beberapa tingkatan suhu ( 0 C) Kecelakaan Kerja y = -0,001x 4 + 0,152x 3-7,653x ,8x , R² = 0, Suhu ( 0 C) kecelakaan kerja Poly. (kecelakaan kerja) Gambar 60 Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A1 pada beberapa tingkatan suhu ( 0 C)

140 118 Produktivitas (Ton Cane/Shift) y = 0,065x 3-5,601x ,3x R² = 0, Suhu ( 0 C) produktivitas Poly. (produktivitas) Gambar 61 Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B1 pada beberapa tingkatan suhu ( 0 C) PG Jatitujuh Dari prediksi model A2 terlihat bahwa semakin meningkatnya suhu lingkungan diatas 31 0 C, akan meningkatkan beban kerja, dan meningkatkan kelelahan kerja. Dengan meningkatnya kelelahan ini operator akan mengurangi aktivitas kerjanya dan hal ini menurunkan potensi tingkat kecelakaan kerja. Penurunan aktivitas kerja operator karena suhu lingkungan yang tidak nyaman menyebabkan tingkat produktivitas menurun. Beban Kerja y = x x x x R² = Suhu ( 0 C) beban kerja Poly. (beban kerja) Gambar 62 Pola hubungan data nilai beban kerja model A2 pada beberapa tingkatan suhu ( 0 C)

141 y = -6E-05x 6 + 0,011x 5-0,994x ,87x ,x x R² = 0,989 Kelelahan Suhu ( 0 C) kelelahan Poly. (kelelahan) Gambar 63 Pola hubungan data nilai kelelahan model A2 pada beberapa tingkatan suhu ( 0 C) Kecelakaan Kerja y = x x x x x R² = Suhu ( 0 C) kecelakaan kerja Poly. (kecelakaan kerja) Gambar 64 Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A2 pada beberapa tingkatan suhu ( 0 C)

142 120 Produktivitas (Ton Cane/Shift) y = x x x x x 2 + 4E+06x - 2E+07 R² = Suhu ( 0 C) produktivitas Poly. (produktivitas) Gambar 65 Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B2 pada beberapa tingkatan suhu ( 0 C) Kelembaban PG Bungamayang Dari hasil simulasi model A1, memperlihatkan pada kelembaban sebesar 60% akan mengakibatkan beban kerja mencapai tingkat tertinggi, sehingga meningkatkan juga tingkat kelelahan dan kecelakaan kerja. Tetapi tingkat kelembaban ini tidak berpengaruh langsung terhadap aktivitas operator sehingga operator masih dapat bekerja dengan baik sehingga produktivitas tetap tinggi. Tetapi tingkat produktivitas tidak mengalami peningkatan pada kelembaban diatas 75%. Beban Kerja y = -6E-10x 2 + 5E-08x + 4 R² = Kelembaban (%) beban kerja Poly. (beban kerja) Gambar 66 Pola hubungan data nilai beban kerja model A1 pada beberapa tingkatan kelembaban (%)

143 121 Kelelahan y = 4E-09x 4-9E-07x 3 + 8E-05x x R² = Kelembaban (%) kelelahan Poly. (kelelahan) Gambar 67 Pola hubungan data nilai kelelahan model A1 pada beberapa tingkatan kelembaban (%) Kecelakaan Kerja y = -2E-06x x x R² = Kelembaban (%) kecelakaan kerja Poly. (kecelakaan kerja) Gambar 68 Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A1 pada beberapa tingkatan kelembaban (%) Produktivitas (ton cane/shift) y = x x x R² = Kelembaban (%) produktivitas Poly. (produktivitas) Gambar 69 Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B1 pada beberapa tingkatan kelembaban (%)

144 PG Jatitujuh Dari hasil prediksi model A2, pada kelembaban antara 60-75%, beban kerja mencapai titik tertinggi, ini menunjukkan operator dapat beraktivitas dengan baik pada kisaran kelembaban ini. Dengan aktivitas yang tinggi cenderung meningkatkan tingkat kecelakaan kerja. Tetepi kelembaban ini tidak berpengaruh langsung terhadap tingkat kelelahan walaupun cenderung meningkat dengan semakin menigkatnya kelembaban. Dengan aktivitas operator yang baik dapat meningkatkan tingkat produktivitas, dan tingkat produktivitas ini relatif tidak mengalami peningkatan apabila kelembaban diatas 75%. Beban Kerja y = 1E-05x x x R² = Kelembaban (%) beban kerja Poly. (beban kerja) Gambar 70 Pola hubungan data nilai beban kerja model A2 pada beberapa tingkatan kelembaban (%) Kelelahan y = -1E-06x x x x R² = Kelembaban (%) kelelahan Poly. (kelelahan) Gambar 71 Pola hubungan data nilai kelelahan model A2 pada beberapa tingkatan kelembaban (%)

145 123 Kecelakaan Kerja y = 8E-11x 6-4E-08x 5 + 5E-06x x x x R² = Kelembaban (%) kecelakaan kerja Poly. (kecelakaan kerja) Gambar 72 Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A2 pada beberapa tingkatan kelembaban (%) Produktivitas (ton cane/shift) y = -2E-07x 6 + 6E-05x x x x x R² = Kelembaban (%) produktivitas Poly. (produktivitas) Gambar 73 Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B2 pada beberapa tingkatan kelembaban (%) Kebisingan PG Bungamayang Dari prediksi model A1 bahwa pada tingkat kebisingan 84.4 db akan meningkatkan beban kerja pada tingkat yang tertinggi, hal ini menunjukkan operator masih dapat bekerja dengan baik, namun dengan semakin meningkatnya tingkat kebisingan diatas 84.4 db akan menyebabkan kelelahan yang tinggi pada operator, dan ini meningkatkan potensi kecelakaan kerja. Dengan tingginya tingkat kelelahan pada operator menyebabkan menurunya aktivitas operator, yang berdampak pada menurunya tingkat produktivitas.

146 124 Beban Kerja y = 3E-09x 3-9E-07x 2 + 9E-05x R² = Kebisingan (db) beban kerja Poly. (beban kerja) Gambar 74 Pola hubungan data nilai beban kerja model A1 pada beberapa tingkatan kebisingan (db) Kelelahan y = 8E-06x x x R² = Kebisingan (db) kelelahan Poly. (kelelahan) Gambar 75 Pola hubungan data nilai kelelahan model A1 pada beberapa tingkatan kebisingan (db) Kecelakaan Kerja y = 1E-07x 4-6E-05x x x R² = Kebisingan (db) kecelakaan kerja Poly. (kecelakaan kerja)

147 125 Gambar 76 Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A1 pada beberapa tingkatan kebisingan (db) Produktivias (ton cane/shift) y = 8E-07x x x x x R² = Kebisingan (db) produktivitas Poly. (produktivitas) Gambar 77 Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B1 pada beberapa tingkatan kebisingan (db) PG Jatitujuh Dari prediksi model A2 terlihat bahwa tingkat kebisingan antara db akan cenderung meningkatkan beban kerja karena operator masih dapat beraktivitas dengan baik. Dengan aktivitas yang baik ini akan cenderung meningkatkan kelelahan dan berpotensi meningkatkan kecelakaan kerja. Namun pada tingkat kebisingan diatas 80 db, operator tidak dapat beradaptasi dengan baik hal ini ditunjukkan dengan meningkatnya kelelahan, sehingga menurunkan aktivitas opertor dan dengan semakin rendahnya tingkat aktivitas operator potensi kecelakaan kerja juga menurun. Tingkat produktivitas akan tetap baik pada kisaran db dan dan cenderung menurun pada kebisingan diatas 80 db. Beban Kerja y = 2E-05x x x x R² = Kebisingan (db) beban kerja Poly. (beban kerja) Gambar 78 Pola hubungan data nilai beban kerja model A2 pada beberapa tingkatan kebisingan (db)

148 126 Kelelahan y = -8E-05x x x R² = kelelahan Kebisingan (db) Poly. (kelelahan) Gambar 79 Pola hubungan data nilai kelelahan model A2 pada beberapa tingkatan kebisingan (db) Kecelakaan Kerja y = 4E-06x x x x R² = Kebisingan (db) kecelakaan kerja Poly. (kecelakaan kerja) Gambar 80 Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A2 pada beberapa tingkatan kebisingan (db) Produktivitas (ton cane/shift) y = -1E-06x x x x x x R² = Kebisingan (db) produktivitas Poly. (produktivitas) Gambar 81 Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B2 pada beberapa tingkatan kebisingan (db)

149 Getaran PG Bungamayang Dari prediksi model A1 terlihat bahwa getaran pada kisaran m/s 2 masih dapat di adaptasi oleh operator dengan akitvitas yang baik, hal ini terlihat dengan meningkatnya beban kerja. Dengan aktivitas operator yang baik ini cenderung meningkatkan kelelahan dan berpotensi meningkatkan kecelakaan kerja, dan dengan aktivitas operator yang baik ini akan meningkatkan tingkat produktivitas. Namun pada getaran diatas m/s 2, operator cenderung menurunkan aktivitasnya, hal ini terlihat dengan menurunya tingkat beban kerja, menurunya kelelahan dan menurunnya tingkat kecelakaan kerja. Hal ini berdampak pada menurunya tingkat produktivitas. Beban Kerja y = -2E-07x 3 + 6E-07x 2 + 8E-07x + 4 R² = Getaran (m/s 2 ) beban kerja Poly. (beban kerja) Gambar 82 Pola hubungan data nilai beban kerja model A1 pada beberapa tingkatan getaran (m/s 2 ) Kelelahan y = -3E-05x x x x R² = Getaran (m/s 2 ) kelelahan Poly. (kelelahan) Gambar 83 Pola hubungan data nilai kelelahan model A1 pada beberapa tingkatan getaran (m/s 2 )

150 128 Kecelakaan Kerja y = x x x R² = Getaran (m/s 2 ) kecelakaan kerja Poly. (kecelakaan kerja) Gambar 84 Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A1 pada beberapa tingkatan getaran (m/s 2 ) Produktivitas (ton cane/shift) y = x x x R² = Getaran (m/s 2 ) produktivitas Poly. (produktivitas) Gambar 85 Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B1 pada beberapa tingkatan getaran (m/s 2 ) PG Jatitujuh Dari hasil prediksi model A2 dapat dilihat bahwa getaran pada kisaran m/s 2, akan meningkatkan beban kerja, hal ini menunjukkan aktivitas operator tetap baik dan tidak meningkatnya kelelahan pada operator. Dengan meningkatnya aktivitas operator akan berpotensi meningkatnya kecelakaan kerja. Aktivitas yang baik ini meningkatkan tingkat produktivitas. Tetapi apabila getaran diatas 1.8 m/s 2, operator tidak dapat lagi beraktivitas dengan baik, hal ini ditunjukkan dengan menurunya beban kerja dan kelelahan, tetapi getaran yang tinggi ini sendiri berpotensi meningkatkan kecelakaan kerja. Dengan aktivitas operator yang tidak baik maka tingkat produktivitas juga cenderung menurun.

151 129 Beban Kerja y = x x x x R² = Getaran (m/s 2 ) beban kerja Poly. (beban kerja) Gambar 86. Pola hubungan data nilai beban kerja model A2 pada beberapa tingkatan getaran (m/s 2 ). Kelelahan y = 0.005x x x x R² = Getaran (m/s 2 ) kelelahan Poly. (kelelahan) Gambar 87 Pola hubungan data nilai kelelahan model A2 pada beberapa tingkatan getaran (m/s 2 ) Kecelakaan Kerja y = 0.004x x x R² = Getaran (m/s 2 ) kecelakaan kerja Poly. (kecelakaan kerja) Gambar 88 Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A2 pada beberapa tingkatan getaran (m/s 2 )

152 130 Produktivitas (ton cane/shift) y = 0.112x x x x x x R² = Getaran (m/s 2 ) produktivitas Poly. (produktivitas) Gambar 89 Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B2 pada beberapa tingkatan getaran (m/s 2 ) Lingkungan Organisasi PG Bungamayang Dari hasil prediksi model A1 terlihat bahwa persepsi operator terhadap lingkungan organisasi kurang berpengaruh terhadap beban kerja, kecelakaan kerja dan tingkat kelelahan operator. Prediksi model B1 untuk tingkat produktivitas juga tidak dipengaruhi oleh persepsi operator terhadap lingkungan organisasinya. Hal ini terjadi karena persepsi operotor terhadap lingkungan organisasi tidak memiliki keragaman yang cukup, dimana persepsi operator terhadap lingkungan organisasi pada PG Bungamayang pada umumya sangat peduli. Beban kerja y = 4 R² = 2E Persepsi Operator beban kerja Expon. (beban kerja) Gambar 90 Pola hubungan data nilai beban kerja model A1 pada beberapa tingkatan persepsi operator terhadap lingkungan organisasi

153 131 Kelelahan y = R² = 6E Persepsi Operator kelelahan Linear (kelelahan) Gambar 91 Pola hubungan data nilai kelelahan model A1 pada beberapa tingkatan persepsi operator terhadap lingkungan organisasi 4.00 Kecelakaan kerja y = 2.9 R² = 1E Persepsi Operator kecelakaan kerja Linear (kecelakaan kerja) Gambar 92 Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A1 pada beberapa tingkatan persepsi operator terhadap lingkungan organisasi 2000 Produktivitas (ton cane/shift) y = 2E-12x R² = 1E Persepsi Operator produktivitas Linear (produktivitas) Gambar 93 Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B1 pada beberapa tingkatan persepsi operator terhadap lingkungan organisasi

154 PG Jatitujuh Dari hasil prediksi model A2 terlihat bahwa persepsi operator terhadap lingkungan organisasi tidak mempengaruhi tingkat kelelahan, kecelakaan kerja dan beban kerja. Prediksi model B2 untuk tingkat produktivitas juga tidak dipengaruhi oleh persepsi operator terhadap lingkungan organisasinya. Hal ini terjadi karena persepsi operator terhadap lingkungan organisasi tidak memiliki keragaman yang cukup, dimana persepsi operator terhadap lingkungan organisasi pada PG Jatitujuh pada umumya sangat peduli. Beban Kerja y = R² = 2E Persepsi Operator beban kerja Linear (beban kerja) Gambar 94 Pola hubungan data nilai beban kerja model A2 pada beberapa tingkatan persepsi operator terhadap lingkungan organisasi Kelelahan y = R² = Persepsi Operator kelelahan Linear (kelelahan) Gambar 95 Pola hubungan data nilai kelelahan model A2 pada beberapa tingkatan persepsi operator terhadap lingkungan organisasi

155 133 Kecelakaan Kerja y = R² = 2E Persepsi Operator kecelakaan kerja Linear (kecelakaan kerja) Gambar 96 Pola hubungan data nilai kecelakaan kerja model A2 pada beberapa tingkatan persepsi operator terhadap lingkungan organisasi 2000 Produktivitas (ton cane/shift) y = R² = 7E Persepsi Operator produktivitas Expon. (produktivitas) Gambar 97 Pola hubungan data nilai produktivitas kerja model B2 pada beberapa tingkatan persepsi operator terhadap lingkungan organisasi Optimasi Rancangan Sistem Kerja Optimasi rancangan sistem kerja dilakukan untuk mendapatkan bentuk rancangan sistem kerja berdasarkan pertimbangan ergonomi mikro dan makro yang optimum sehingga dalam proses produksi sesuai dengan kondisi ergonomi mikro dan makro yang sesuai dengan nilai ambang batas bagi operator. Metode optimasi yang dipakai adalah random search, yaitu dengan memasukkan parameter input ergonomi mikro dan makro yang bervariasi kedalam model JST kesatu dan model JST kedua dan kemudian memilih nilai output terbaik dari variasi input tersebut.

156 134 Untuk mendapatkan nilai produktivitas yang optimum, nilai parameter input yang digunakan adalah nilai parameter optimum yang memenuhi syarat ergonomi atau sesuai dengan ambang batas yang dijinkan (Tabel 73). Tabel 73 Nilai input JST yang digunakan dalam optimasi tingkat produktivitas Parameter Input Ergonomi Nilai Input JST Illuminasi lux Suhu C Kelembaban 50-70% Kebisingan db Getaran 0-2 m/s 2 Persepsi L. Organisasi 3-4 Dari Tabel 73 kemudian dibuat pasangan kombinasi input JST yang digunakan dalam pendugaan tingkat produktivitas pada PG Bungamayang dan PG Jatitujuh yang optimum, pasangan kombinasi ini terdiri dari enam parameter input data yang membentuk 2,196,150 kombinasi input JST. Pasangan kombinasi parameter ergonomi ini kemudian simulasikan kedalam model JST yang telah dibangun, untuk PG Bungamayang menggunakan model A1 dan B1, sedangkan untuk PG Jatitujuh menggunakan model A2 dan B2. Dari hasil prediksi model A1 dan B1, untuk tingkat produktivitas dengan menggunakan lima parameter ergonomi mikro dan makro yang mendekati kondisi lingkungan fisik normal namun masih dibawah ambang batas dengan suhu 29 0 C, kelembaban 70%, kebisingan 85 db, getaran 2 m/s 2 dan operator sangat peduli pada lingkungan organisasinya, sedang untuk tingkat illuminasi ditingkatkan atau diperbaiki dari kondisi normalnya menjadi 120 lux, maka akan diperoleh tingkat produktivitas sebesar ton cane/shift yang berarti apabila pembebanan tingkat produktivitas pada PG Bungamayang sebesar 90% dari kapasitas maksimal (6000 ton cane/day), maka optimasi ini akan memberikan peningkatan tingkat produktivitas sebesar 1.58% (94.5 ton cane/day), sedangkan apabila enam parameter ergonomi mikro dan makro dioptimasi maka prediksi tingkat produktivitas optimum yang dapat dicapai PG Bungamayang untuk tingkat produktivitas sebesar ton cane/shift dengan kombinasi input untuk illuminasi antara lux, suhu 25 0 C, kelembaban antara 60-70%, kebisingan 85 db, getaran antara m/s 2 dan operator peduli sampai sangat peduli pada lingkungan organisasinya. Apabila pembebanan tingkat produktivitas pada PG Bungamayang sebesar 90% dari kapasitas maksimal (6000 ton

157 135 cane/day), maka optimasi ini akan memberikan peningkatan tingkat produktivitas sebesar % ( ton cane/day). Hasil prediksi model A2 dan B2, untuk tingkat produktivitas dengan menggunakan lima parameter ergonomi mikro dan makro yang mendekati kondisi lingkungan fisik normal namun masih dibawah ambang batas dengan suhu 29 0 C, kelembaban 70%, kebisingan 85 db, getaran 2 m/s 2 dan operator sangat peduli pada lingkungan organisasinya, sedang untuk tingkat illuminasi ditingkatkan atau diperbaiki dari kondisi normalnya menjadi 260 lux, maka akan diperoleh tingkat produktivitas sebesar 1415,3 ton cane/shift yang berarti apabila pembebanan tingkat produktivitas pada PG Jatitujuh sebesar 90% dari kapasitas maksimal (4500 ton cane/day), maka optimasi ini akan memberikan peningkatan tingkat produktivitas sebesar 4.36% (196 ton cane/day), sedangkan apabila enam parameter ergonomi mikro dan makro dioptimasi maka tingkat produktivitas optimum PG Jatitujuh dicapai sebesar ton cane/shift dengan kombinasi input untuk illuminasi antara lux, suhu C, kelembaban antara 62-66%, kebisingan 80 db, getaran antara m/s 2 dan operator sangat peduli pada lingkungan organisasinya. Apabila pembebanan tingkat produktivitas pada PG Jatitujuh sebesar 90% dari kapasitas maksimal (4500 ton cane/day), maka optimasi ini akan memberikan peningkatan tingkat produktivitas sebesar % ( ton cane/day).

158 136 5 KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1 Faktor ergonomi mikro (illuminasi, suhu, kelembaban, kebisingan, dan getaran) dan makro (shift kerja, lingkungan organisasi) memiliki pengaruh terhadap tingkat produktivitas di proses pabrikasi gula pada PG Bungamayang dan PG Jatitujuh. 2 Tingkat produktivitas yang optimum di PG Bungamayang dapat dicapai dengan mengoptimasi enam parameter ergonomi mikro dan makro yaitu dengan illuminasi antara lux, suhu 25 0 C, kelembaban antara 60-70%, kebisingan 85 db, getaran antara m/s 2 dan operator peduli sampai sangat peduli pada lingkungan organisasinya, maka tingkat produktivitas yang dicapai antara ton cane/shift, memberikan peningkatan tingkat produktivitas sebesar % ( ton cane/day), dan 1.5% (94.5 ton cane/day) apabila parameter illuminasi yang dioptimasi menjadi 120 lux, sedangkan lima parameter ergonomi lainya mendekati kondisi lingkungan fisik normal. 3 Tingkat produktivitas yang optimum di PG Jatitujuh dapat dicapai dengan mengoptimasi enam parameter ergonomi mikro dan makro yaitu dengan illuminasi antara lux, suhu C, kelembaban antara 62-66%, kebisingan 80 db, getaran antara m/s 2 dan operator sangat peduli pada lingkungan organisasinya dengan tingkat produktivitas yang dicapai antara ton cane/shift, memberikan peningkatan tingkat produktivitas sebesar % ( ton cane/day), dan 4.36% (196 ton cane/day) apabila parameter illuminasi yang dioptimasi menjadi 260 lux, sedangkan lima parameter ergonomi lainya mendekati kondisi lingkungan fisik normal.

159 Saran 1 Perlu penelitian lebih lanjut pengaruh jadwal waktu istirahat dan lamanya dalam tiga shift kerja terhadap tingkat produktivitas. 2 Perlu penelitian lebih lanjut pengaruh tingkat polusi udara seperti debu, bau-bauan, dan gas berbahaya. 3 Operator disarankan menggunakan APD (alat pelindung diri) sesuai dengan kondisi lingkungan fisik dimana operator bekerja. 4 Perlu adanya uji validasi kuisioner persepsi operator.

160 138 DAFTAR PUSTAKA Anthon Industri Gula Indonesia Semakin Seksi. Jakarta: Agro Observer, Oktober Bridger RS Introduction to Ergonomics. Ed ke-2. New York: Taylor and Francis Inc. Budiono, Sugeng AM. Bunga Rampai Hiperkes dan Keselamatan Kerja. Ed ke-1. Solo: PT. Tri Tunggal Tata Fajar. Fitriani D Uji Getaran Mekanis dan Kebisingan Terhadap Operator Traktor Roda Dua Yanmar YST- DX dan Perkasa 850- DI Pada Pengoperasian di Lahan Kering [Skripsi]. Bogor: Departemen Teknik Pertanian, FATETA, IPB. Grandjean E Fitting The Task to The Man. Ed ke-4. London: Taylor and Francis Inc. Hayashi, Moriizumi dan Jin The Step Test as a New Type of Ergonometer Using Both Oxygen Consumtion and Heart Rate. Prosiding Kongres CIOSTA-CIGR ke XXVII. hlm Hendrick HW. 1987, Macro Ergonomics: A Concept Whose Time Has Come. Human Factor Society Bulletin; February Hendrick HW Good Ergonomics is Good Economics, Prosiding International Seminar On Egonomics and Sport Physiology; Denpasar, Oktober Denpasar. Herodian S, Morgan K, dan Saulia L Pedoman Praktikum Ergonomika Ergonomika Proyek Peningkatan Perguruan Tinggi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Kurniawan D Pengaruh Gizi dan Kesehatan Tenaga Kerja Wanita terhadap Peningkatan Produktivitas. Majalah Hiperkes dan Kesehatan Kerja; Volume XXXIII No.2 April Juni Jakarta. Kussriyanto B Meningkatkan Produktivitas Karyawan. Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo McCormick EJ and Sanders MS Human Factor Engineering. New York: Mc Graw-Hill Book Co. Nagamachi M Relationship Between Job Design, Macroergonomics, And Productivity [Abstract], Di dalam: International Journal Of Human Factor In Manufacturing, 1996 John Wiley and Sons, Volume 6 Issue 4, Pages [18 October 2005].

161 139 Nurmianto E Ergonomi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Surabaya: Guna Widya. Pulat, Babur M dan Alexander D. 1991, Industrial Ergonomics Case Study. New York: Mc Graw Hill, Inc. Sander MS, McCormick EJ Human Factor In Engineering And Design. New York : McGraw-Hill. Sedarmayanti Tata Kerja dan Produktivitas Kerja. Bandung: CV. Mandar Maju. Sulistyadi K. dan Susanty SL Perancangan Sistem Kerja dan Ergonomi. Jakarta: Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknik, Universitas Sahid Suma mur PK Ergonomi untuk Produktivitas Kerja. Jakarta: Yayasan Swasembada Karya Sutalaksana IA, Ruhan A dan Tjakraatmadja JH. 1979, Teknik Tata Cara Kerja, Bandung: Departemen Teknik Industri, Institut Teknologi Bandung. Syuaib MF Ergonomic Study on the Proces of Matering Tractor Operation. Desertasi. Japan: Tokyo University of Agriculture and Technology, Tokyo Tarwaka dkk Ergonomi untuk Keselamatan, Kesehatan Kerja dan Produktivitas. Surakarta: PT. UNISBA Press. Wijaya TA Analisis Kebisingan dan Getaran Mekanis di Ruang Engineering Divisi Cold Storage PT Citra Pertiwi Bahari, Lampung. [Skripsi]. Bogor: Departemen Teknik Pertanian, FATETA, IPB. Wilson EC Noise Control, Measurement, Analysis and Control Of Sound and Vibration. New York: Harper and Row Publisher. Woodson W Human Factors Design Handbook. New York: McGraw-Hill Book Co. Zander J Ergonomics in Machine Design. Wageningen: N. V. Veenman and Zonen.

162 LAMPIRAN 140

163 141 Lampiran 1 Data simulasi ergonomi untuk Pabrik Gula Bungamayang dengan tiga shift kerja cahaya suhu kelem baban kebising an getaran L.organi sasi beban kerja kecelak aan kerja kelela han produksi

164 142 Lampiran 1 Data simulasi ergonomi untuk Pabrik Gula Bungamayang dengan tiga shift kerja (lanjutan) cahaya suhu kelem baban kebising an getaran L.organi sasi beban kerja kecelak aan kerja kelela han produksi

165 143 Lampiran 2 Data simulasi ergonomi untuk Pabrik Gula Jatitujuh dengan tiga shift kerja cahaya suhu kelem baban kebisi ngan getaran L.organi sasi beban kerja kecela kaan kerja kelela han produksi

166 144 Lampiran 2. Data simulasi ergonomi untuk Pabrik Gula Jatitujuh dengan tiga shift kerja (lanjutan) cahaya suhu kelem baban kebisi ngan getaran L.organi sasi beban kerja kecela kaan kerja kelela han produksi

167 145 Lampiran 3 Data ergonomi yang digunakan untuk prediksi model pada PG Bungamayang Illuminasi Suhu Kelembaban Kebisingan Getaran Lingkungan Organisasi

168 146 Lampiran 3 Data ergonomi yang digunakan untuk prediksi model pada PG Bungamayang (lanjutan) Illuminasi Suhu Kelembaban Kebisingan Getaran Lingkungan Organisasi

169 147 Lampiran 3 Data ergonomi yang digunakan untuk prediksi model pada PG Bungamayang (lanjutan) Illuminasi Suhu Kelembaban Kebisingan Getaran Lingkungan Organisasi

170 148 Lampiran 4 Data ergonomi yang digunakan untuk prediksi model pada PG Jatitujuh Illuminasi Suhu Kelembaban Kebisingan Getaran Lingkungan Organisasi

171 149 Lampiran 4 Data ergonomi yang digunakan untuk prediksi model pada PG Jatitujuh (lanjutan) Illuminasi Suhu Kelembaban Kebisingan Getaran Lingkungan Organisasi

172 150 Lampiran 4 Data ergonomi yang digunakan untuk prediksi model pada PG Jatitujuh (lanjutan) Illuminasi Suhu Kelembaban Kebisingan Getaran Lingkungan Organisasi

173 151 Lampiran 5 Kuisioner persepsi operator terhadap beban kerja, kecelakaan kerja, kelelahan dan lingkungan organisasi Nama : Pendidikan : Umur : Jumlah Anak : Pengalaman Kerja : Rumah : Milik sendiri/sewa/lainlain* Status Menikah/Belum* Jarak Rumah ke Pabrik :...km Kerja di stasiun/bagian : Cara ke Pabrik : Sepeda Motor/ Mobil* pribadi/ lain-lain Shift : I. BEBAN KERJA No Pertanyaan Ya Tidak 1. Apakah pekerjaan anda pada stasiun ini termasuk kerja berat. 2. Apakah kerja anda tergangu karena suhu yang tinggi. 3. Apakah kerja anda tergangu karena kebisingan yang tinggi. 4. Apakah kerja anda tergangu karena cahaya lampu yang kurang. 5. Apakah kerja anda tergangu karena getaran yang tinggi. 6. Pekerjaan anda membutuhkan konsentrasi yang tinggi. 7. Apakah anda bisa beristirahat disela-sela pekerjaan anda. 8. Apakah anda bisa makan atau minum disela-sela pekerjaan anda. 9. Apakah anda bisa berkomunikasi dengan baik dengan pekerja lain selama bekerja. 10. Apakah khusus pekerjaan anda dapat dikerjakan sendiri. II. LINGKUNGAN ORGANISASI Ragu- Ragu Tidak Tahu No Pertanyaan Ya Tidak 1. Apakah ada yang mengawasi pekerjaan anda. 2. Jika terjadi kemacetan pada stasiun lain apakah anda merasa bertanggung jawab. 3. Jika terjadi kemacetan di stasiun dimana anda berkerja apakah anda merasa stres (tertekan). 4. Apakah pekerjaan sekarang sudah sesuai dengan keahlian anda. 5. Apakah anda menerima pola shift kerja sekarang. Ragu- Ragu Tidak Tahu III. KECELAKAAN KERJA No Pertanyaan Ya Tidak 1. Apakah anda pernah mengalami kecelakaan ringan (tidak menimbulkan cacat tubuh) pada stasiun ini. 2. Apakah anda pernah mengalami kecelakaan sedang (menimbulkan cacat tubuh ringan) pada stasiun ini. 3. Apakah anda pernah mengalami kecelakaan berat (menimbulkan cacat tubuh berat/perlu tindakan medis) pada stasiun ini. 4. Apakah kecelakaan tersebut karena cahaya lampu yang kurang. 5. Apakah kecelakaan tersebut karena getaran yang tinggi. 6. Apakah kecelakaan tersebut karena suhu yang tinggi. 7. Apakah kecelakaan tersebut karena kebisingan yang tinggi. Ragu- Ragu Tidak Tahu

174 152 No Pertanyaan Ya Tidak 8. Apakah kecelakaan tersebut karena anda tidak menggunakan alat pelindung diri. 9. Apakah kecelakaan tersebut karena anda tidak bisa berkonsentrasi/lelah. 10. Apakah akibat kecelakaan tersebut anda merasa terganggu dalam pekerjaan sehari-hari. 11. Apakah perusahaan membantu biaya pengobatan/medis jika anda mengalamai kecelakaan kerja. 12. Apakah anda diasuransikan. 13. Jika anda sakit apakah anda diizinkan untuk tidak masuk kerja. 14. Apakah menurut anda tingkat kecelakaan distasiun anda bekerja tinggi. 15. Apakah anda pernah melihat terjadinya kecelakaan kerja pada pekerja lain di stasiun ini. 16. Apakah kecelakaan tersebut ringan. 17. Apakah kecelakaan tersebut sedang. 18. Apakah kecelakaan tersebut berat. 19. Apakah kecelakaan tersebut terjadi pada pekerja tetap. 20. Apakah kecelakan tersebut terjadi pada pekerja musiman/tidak tetap. 21. Apakah kecelakaan kerja sering terjadi pada pekerja yang tidak berpengalaman/baru. 22. Apakah kecelakaan kerja sering terjadi pada pekerja yang berpengalaman/lama Ragu- Ragu Tidak Tahu III. KELELAHAN No Pertanyaan Ya Tidak 1. Apakah anda dalam bekerja mengeluh persaaan berat di kepala. 2. Apakah anda dalam bekerja mengeluh lelah seluruh badan. 3. Apakah anda dalam bekerja mengeluh kaki terasa berat. 4. Apakah anda dalam bekerja merasa kacau pikiran. 5. Apakah anda dalam bekerja mengeluh tidak seimbang dalam berdiri. 6. Apakah anda merasa haus dalam bekerja. 7. Apakah anda merasa nyeri dipunggung. 8. Apakah anda merasa kaku di bahu. 9. Apakah anda merasa gemetaran pada anggota badan. 10. Apakah anda dalam bekerja mengeluh mengantuk. 11. Apakah anda bekerja tidak memperhatikan waktu. 12. Apakah anda merasa cemas terhadap sesuatu. 13. Apakah anda dalam bekerja merasa pernafasan tertekan. 14. Apakah menurut anda tingkat kecelakaan distasiun anda bekerja tinggi. 15. Apakah anda bekerja merasakan beban pada mata. Ragu- Ragu Tidak Tahu

175 153 Lampiran 6 Teladan perhitungan laju penggunaan energi (kkal/menit) s = jarak (meter) = n (siklus/menit) x 2 (langkah/siklus) x tinggi bangku step test (meter) x waktu (menit) Siklus pada Step test: n1= 20 n2= 25 n3= 30 Jarak (s) yang ditempuh pada Step test: s1= 36 meter s2= 45 meter s3= 54 meter TEC ST pada Step test: TEC ST = m x g x s / (4.2 x 1000 x t) M = 59.2 kg g = 9.8 m/s2 Jadi Daya yang dikeluarkan selama Step test: TEC ST1 = kkal/menit TEC ST2 = kkal/menit TEC ST3 = kkal/menit Kemudian dicari IRHR dengan membagi HRsteptest(ke-n) dengan HRrest sehingga diperoleh seperti tabel dibawah ini: Hrrest Hrsteptest IRHR Hrrest Hrsteptest IRHR Hrrest Hrsteptest IRHR dibawah ini: Setelah itu dibuat Grafik hubungan TEC ST dengan IRHR seperti tampak TECST(kkal/min) y = 2.057x R² = IRHR Grafik ini kemudian digunakan untuk mencari berapa besar laju pengeluaran energi dengan menggunakan persamaan x IRHRkerja , dan dari persamaan ini diperoleh untuk IRHRkerja = 1.46 adalah : Laju pengeluaran energi = x = 1.40 kkal/menit

176 154 Lampiran 7 Model JST yang dibangun dengan menggunakan Neural Network Tools Box di MATLAB R2008a Gambar 98 Form untuk membuat model JST Gambar 99 Form untuk membuat parameter yang digunakan pada model JST

177 155 Gambar 100 Proses training pada model JST yang dibuat Gambar 101 Grafik performance dari nilai MSE dan ulangan

178 Gambar 102 Grafik regresi hasil training, validasi dan test model JST 156

179 157 Lampiran 8 Step Test dan Heart rate beserta interface Gambar 103 Stet test dengan bangku step test dengan ketinggian bangku 30 cm Gambar 104 Heart rate yang digunakan untuk mengukur detak jantung Gambar 105 Interface yang digunakan untuk mecatat detak jantung dan mentransfer detak jantung pada komputer

PERANCANGAN MODEL FAKTOR ERGONOMI MAKRO TERHADAP PRODUKTIVITAS SISTEM KERJA PADA PABRIK GULA FARRY APRILIANO HASKARI

PERANCANGAN MODEL FAKTOR ERGONOMI MAKRO TERHADAP PRODUKTIVITAS SISTEM KERJA PADA PABRIK GULA FARRY APRILIANO HASKARI PERANCANGAN MODEL FAKTOR ERGONOMI MAKRO TERHADAP PRODUKTIVITAS SISTEM KERJA PADA PABRIK GULA FARRY APRILIANO HASKARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 ii PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian 2010 ISBN :

Prosiding Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian 2010 ISBN : Prosiding Seminar Nasional Mekanisasi Pertanian 2010 ISBN : 978-979-95196-5-8 PERANCANGAN MODEL FAKTOR ERGONOMI MAKRO TERHADAP PRODUKTIVITAS SISTEM KERJA PADA PABRIK GULA SCHEME MODEL THE MACRO ERGONOMICS

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ergonomika

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Ergonomika 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ergonomika Ergonomi berasal dari bahasa Yunani yang tersusun dari dua kata, yaitu ergos yang berarti kerja dan nomos yang berarti aturan atau hukum. Ergonomi didefinisikan oleh

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu

3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu 3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Ide penelitian dimulai dengan kunjungan pada 2 industri gula nasional baik swasta maupun perusahaan milik pemerintah, yaitu di PT. Gula Putih Mataram (PT GPM) dan

Lebih terperinci

SKRIPSI ANALISIS KEBISINGAN PADA PROSES PRODUKSI GULA PADA STASIUN MASAKAN, PUTARAN, DAN POWER HOUSE DI PG BUNGAMAYANG, LAMPUNG

SKRIPSI ANALISIS KEBISINGAN PADA PROSES PRODUKSI GULA PADA STASIUN MASAKAN, PUTARAN, DAN POWER HOUSE DI PG BUNGAMAYANG, LAMPUNG SKRIPSI ANALISIS KEBISINGAN PADA PROSES PRODUKSI GULA PADA STASIUN MASAKAN, PUTARAN, DAN POWER HOUSE DI PG BUNGAMAYANG, LAMPUNG Oleh: BUDI SANTOSO F14104079 2008 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

TEKNIK TATA CARA KERJA MODUL KONDISI LINGKUNGAN YANG MEMPENGARUHI KEGIATAN MANUSIA

TEKNIK TATA CARA KERJA MODUL KONDISI LINGKUNGAN YANG MEMPENGARUHI KEGIATAN MANUSIA TEKNIK TATA CARA KERJA MODUL KONDISI LINGKUNGAN YANG MEMPENGARUHI KEGIATAN MANUSIA OLEH WAHYU PURWANTO LABOTARIUM SISTEM PRODUKSI JURUSAN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

ANALISIS BEBAN KERJA PADA PROSES PRODUKSI DI PABRIK KELAPA SAWIT PT. ANEKA INTI PERSADA, MINAMAS PLANTATION, TELUK SIAK ESTATE, RIAU.

ANALISIS BEBAN KERJA PADA PROSES PRODUKSI DI PABRIK KELAPA SAWIT PT. ANEKA INTI PERSADA, MINAMAS PLANTATION, TELUK SIAK ESTATE, RIAU. ANALISIS BEBAN KERJA PADA PROSES PRODUKSI DI PABRIK KELAPA SAWIT PT. ANEKA INTI PERSADA, MINAMAS PLANTATION, TELUK SIAK ESTATE, RIAU. Oleh : MUHAMMAD FAZRIANSYAH F14104106 2008 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kondisi lingkungan kerja yang nyaman, aman dan kondusif dapat meningkatkan produktivitas pekerja. Salah satu diantaranya adalah lingkungan kerja yang bebas dari kebisingan.

Lebih terperinci

PENGUKURAN DAN ANALISIS GETARAN MEKANIS PADA PROSES PRODUKSI GULA DI STASIUN PUTARAN DAN PEMBANGKIT LISTRIK DI PG BUNGAMAYANG, LAMPUNG UTARA, LAMPUNG

PENGUKURAN DAN ANALISIS GETARAN MEKANIS PADA PROSES PRODUKSI GULA DI STASIUN PUTARAN DAN PEMBANGKIT LISTRIK DI PG BUNGAMAYANG, LAMPUNG UTARA, LAMPUNG PENGUKURAN DAN ANALISIS GETARAN MEKANIS PADA PROSES PRODUKSI GULA DI STASIUN PUTARAN DAN PEMBANGKIT LISTRIK DI PG BUNGAMAYANG, LAMPUNG UTARA, LAMPUNG Oleh: SUKRIS TRI CAHYONO F14104027 2008 DEPARTEMEN

Lebih terperinci

SEJARAH & PERKEMBANGAN

SEJARAH & PERKEMBANGAN Amalia, ST., MT. SEJARAH & PERKEMBANGAN ERGONOMI Suatu cabang ilmu yang sistematis untuk memanfaatkan informasi-informasi mengenai sifat, kemampuan, dan keterbatasan manusia untuk merancang suatu sistem

Lebih terperinci

. II. TINJAUAN PUSTAKA

. II. TINJAUAN PUSTAKA . II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengolahan Tanah Pengolahan tanah adalah suatu usaha untuk memperbaiki dan meningkatkan produktivitas tanah dengan memecah partikel menjadi lebih kecil sehingga memudahkan akar

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian dilakukan pada dua sistem kerja yaitu di pabrik dan di lahan tebang angkut. Masing-masing dilakukan di dua lokasi yang berbeda yaitu di PG Jatitujuh Cirebon dan di PG

Lebih terperinci

KONDISI LINGKUNGAN KERJA YANG MEMPENGARUHI KEGIATAN MANUSIA

KONDISI LINGKUNGAN KERJA YANG MEMPENGARUHI KEGIATAN MANUSIA KONDISI LINGKUNGAN KERJA YANG MEMPENGARUHI KEGIATAN MANUSIA 1. Temperatur Tubuh manusia bisa menyesuaikan diri karena kemampuannya utk melakukan proses konveksi, radiasi dan penguapan jika terjadi kekurangan

Lebih terperinci

SKRIPSI. Oleh : F

SKRIPSI. Oleh : F ANALISIS GETARAN MEKANIS PADA PROSES PRODUKSI GULA DI PG. JATITUJUH, MAJALENGKA SKRIPSI Oleh : BAYU GINANJAR MUKTI F14104044 2008 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Lingkungan Kerja. Dosen Pengampu : Ratih Setyaningrum,MT.

Lingkungan Kerja. Dosen Pengampu : Ratih Setyaningrum,MT. Lingkungan Kerja Dosen Pengampu : Ratih Setyaningrum,MT. Definisi Kebisingan Adalah bunyi yang tidak menyenangkan, bunyi yg menggangu. Pengukuran : - Sound level meter - Mikrofon - Sound Analyzer ALAT

Lebih terperinci

Ergonomics. Human. Machine. Work Environment

Ergonomics. Human. Machine. Work Environment ERGONOMI Ergonomics Human Machine Work Environment RANCANGAN YANG ERGONOMIS Fokus Perhatian : MANUSIA dalam Perencanaan Man-Made Objects dan Lingkungan Kerja Tujuan Rancang Bangun dalam Menciptakan Produk,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Temperature merupakan keadaan udara pada waktu dan tempat. pertukaran panas diantara tubuh dan lingkungan sekitar.

BAB I PENDAHULUAN. Temperature merupakan keadaan udara pada waktu dan tempat. pertukaran panas diantara tubuh dan lingkungan sekitar. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Temperature merupakan keadaan udara pada waktu dan tempat tertentu.temperature kerja panas merupakan meteorologi dari lingkungan kerja yang dapat disebabkan oleh gerakan

Lebih terperinci

DI PG BUNGAMAYANG MILIK PTPN VII (PERSERO), LAMPUNG

DI PG BUNGAMAYANG MILIK PTPN VII (PERSERO), LAMPUNG ANALISIS BEBAN KERJA PADA KEGIATAN TEBANG DAN MUAT TEBU SECARA MANUAL DI PG BUNGAMAYANG MILIK PTPN VII (PERSERO), LAMPUNG LUDY CATUR IRAWAN P14104066 2008 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

ANALISIS K3 (KESEHATAN KESELAMATAN KERJA ) DI BAGIAN PROSES PRODUKSI KERTAS INDUSTRI DI PT. DASECTA. Oleh :

ANALISIS K3 (KESEHATAN KESELAMATAN KERJA ) DI BAGIAN PROSES PRODUKSI KERTAS INDUSTRI DI PT. DASECTA. Oleh : ANALISIS K3 (KESEHATAN KESELAMATAN KERJA ) DI BAGIAN PROSES PRODUKSI KERTAS INDUSTRI DI PT. DASECTA TUGAS AKHIR Oleh : FEBIANTO EKA PRASETYO 0800768612 JURUSAN TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mencapai target produksi yang diharapkan dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah

BAB 1 PENDAHULUAN. mencapai target produksi yang diharapkan dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Keberhasilan suatu industri dalam melaksanakan proses produksi dan mencapai target produksi yang diharapkan dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu faktor penting

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang UPT. Balai Yasa Yogyakarta merupakan satu dari empat Balai Yasa yang dimiliki oleh PT. Kereta Api Indonesia (Persero). UPT. Balai Yasa Yogyakarta adalah industri yang

Lebih terperinci

MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH

MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH MODEL MATEMATIKA UNTUK PERUBAHAN SUHU DAN KONSENTRASI DOPANT PADA PEMBENTUKAN SERAT OPTIK MIFTAHUL JANNAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kenyamanan adalah bagian dari salah satu tujuan utama dari ilmu ergonomika yang harus dicapai. Kenyamanan terdiri atas kenyamanan psikis dan kenyamanan fisik. Kenyamanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pemasakan. Kapasitas produksi mencapai 4000 ton per hari. Sound Level Meter dengan 9 titik pengukuran yang berdasarkan European

BAB I PENDAHULUAN. pemasakan. Kapasitas produksi mencapai 4000 ton per hari. Sound Level Meter dengan 9 titik pengukuran yang berdasarkan European BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lingkungan kerja dimana pekerja melakukan pekerjaannya sehari hari, Kondisi lingkungan kerja sangat mempengaruhi kinerja seseorang dalam bekerja, dimana ada beberapa

Lebih terperinci

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Ok Donat merupakan perusahaan yang bergerak dalam bidang industri makanan. Pada perusahaan ini terdapat beberapa stasiun kerja, yaitu stasiun penggilingan bahan baku, stasiun pembentukan adonan

Lebih terperinci

ANALISA SISTEM PEMANENAN TEBU (Saccharum officinarum L.) YANG OPTIMAL DI PG. JATITUJUH, MAJALENGKA, JAWA BARAT. Oleh: VIDY HARYANTI F

ANALISA SISTEM PEMANENAN TEBU (Saccharum officinarum L.) YANG OPTIMAL DI PG. JATITUJUH, MAJALENGKA, JAWA BARAT. Oleh: VIDY HARYANTI F ANALISA SISTEM PEMANENAN TEBU (Saccharum officinarum L.) YANG OPTIMAL DI PG. JATITUJUH, MAJALENGKA, JAWA BARAT Oleh: VIDY HARYANTI F14104067 2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

EFEK PENCAHAYAAN TERHADAP PRESTASI DAN KELELAHAN KERJA OPERATOR. Jl. Kalisahak 28 Kompleks Balapan Yogyakarta *

EFEK PENCAHAYAAN TERHADAP PRESTASI DAN KELELAHAN KERJA OPERATOR. Jl. Kalisahak 28 Kompleks Balapan Yogyakarta * EFEK PENCAHAYAAN TERHADAP PRESTASI DAN KELELAHAN KERJA OPERATOR Muhammad Yusuf 1* 1 Jurusan Teknik Industri, Fakultas Teknologi Industri, IST AKPRIND Jl. Kalisahak 28 Kompleks Balapan Yogyakarta * Email:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Perkembangan teknologi yang semakin meningkat mendorong Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Perkembangan teknologi yang semakin meningkat mendorong Indonesia BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Perkembangan teknologi yang semakin meningkat mendorong Indonesia mencapai tahap industrialisasi, yaitu adanya berbagai macam industri yang ditunjang dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Annis & McConville (1996) dan Manuaba (1999) dalam Tarwaka (2004)

BAB I PENDAHULUAN. Annis & McConville (1996) dan Manuaba (1999) dalam Tarwaka (2004) BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Annis & McConville (1996) dan Manuaba (1999) dalam Tarwaka (2004) menyatakan bahwa ergonomi adalah kemampuan untuk menerapkan informasi menurut karakter, kapasitas

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN A. WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN B. ALAT DAN PERLENGKAPAN

METODE PENELITIAN A. WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN B. ALAT DAN PERLENGKAPAN III. METODE PENELITIAN A. WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan November 2010 sampai dengan Januari 2011 di Areal Pesawahan di Desa Cibeureum, Kecamatan Darmaga,

Lebih terperinci

ABSTRAK. v Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. v Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Tahu Sumedang adalah salah satu makanan khas Kota Sumedang. Pabrik Tahu di Sumedang semakin berkembang karena potensi pasar yang tinggi. Salah satu pabrik tahu di Kota Sumedang yaitu pabrik tahu

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Lingkungan Permukiman Lingkungan pemukiman/perumahan adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi

Lebih terperinci

TIN206 - Pengetahuan Lingkungan Materi #9 Genap 2014/2015. TIN206 - Pengetahuan Lingkungan

TIN206 - Pengetahuan Lingkungan Materi #9 Genap 2014/2015. TIN206 - Pengetahuan Lingkungan Materi #9 Definisi 2 Noise (bising) adalah bunyi yang tidak dikehendaki, suatu gejala lingkungan (environmental phenomenon) yang mempengaruhi manusia sejak dalam kandungan dan sepanjang hidupnya. Bising

Lebih terperinci

Analisis Beban Kerja pada Proses Penggilingan Padi, Studi Komparasi antara Penggilingan Padi Skala Kecil dan Besar

Analisis Beban Kerja pada Proses Penggilingan Padi, Studi Komparasi antara Penggilingan Padi Skala Kecil dan Besar Analisis Beban Kerja pada Proses Penggilingan Padi, Studi Komparasi antara Penggilingan Padi Skala Kecil dan Besar 1) Atiqotun Fitriyah, 2) Sam Herodian 1), 2) Laboratorium Ergonomika, Departeman Teknik

Lebih terperinci

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Kemajuan perekonomian di Indonesia telah membuat perusahaan semakin bersaing. Oleh karena itu, perusahaan terus memperbaiki dan mempertahankan produk yang mereka hasilkan. Perusahaan terus memperbaiki

Lebih terperinci

ANALISIS ENERGI DAN EKSERGI PADA PRODUKSI BIODIESEL BERBAHAN BAKU CPO (Crude Palm oil) RISWANTI SIGALINGGING

ANALISIS ENERGI DAN EKSERGI PADA PRODUKSI BIODIESEL BERBAHAN BAKU CPO (Crude Palm oil) RISWANTI SIGALINGGING ANALISIS ENERGI DAN EKSERGI PADA PRODUKSI BIODIESEL BERBAHAN BAKU CPO (Crude Palm oil) RISWANTI SIGALINGGING SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 i PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

PEMODELAN SISTEM PENDULUM TERBALIK GANDA DAN KARAKTERISASI PARAMETER PADA MASALAH REGULASI OPTIMAL HASBY ASSIDIQI

PEMODELAN SISTEM PENDULUM TERBALIK GANDA DAN KARAKTERISASI PARAMETER PADA MASALAH REGULASI OPTIMAL HASBY ASSIDIQI PEMODELAN SISTEM PENDULUM TERBALIK GANDA DAN KARAKTERISASI PARAMETER PADA MASALAH REGULASI OPTIMAL HASBY ASSIDIQI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1. WAKTU DAN LOKASI PENELITIAN Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli hingga bulan Oktober 2010 yang berlokasi di areal persawahan Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Lebih terperinci

UNIVERSITAS BINA NUSANTARA

UNIVERSITAS BINA NUSANTARA UNIVERSITAS BINA NUSANTARA Jurusan Teknik Industri Skripsi Sarjana Semester Genap 2005/2006 USULAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA UNTUK MEMINIMALISASI TINGKAT KECELAKAAN PADA DEPARTEMEN PRODUKSI DI PT.

Lebih terperinci

HUBUNGAN TERPAAN PESAN PENCEGAHAN BAHAYA DEMAM BERDARAH DENGAN SIKAP IBU RUMAH TANGGA (KASUS: KELURAHAN RANGKAPAN JAYA BARU, KOTA DEPOK) KUSUMAJANTI

HUBUNGAN TERPAAN PESAN PENCEGAHAN BAHAYA DEMAM BERDARAH DENGAN SIKAP IBU RUMAH TANGGA (KASUS: KELURAHAN RANGKAPAN JAYA BARU, KOTA DEPOK) KUSUMAJANTI HUBUNGAN TERPAAN PESAN PENCEGAHAN BAHAYA DEMAM BERDARAH DENGAN SIKAP IBU RUMAH TANGGA (KASUS: KELURAHAN RANGKAPAN JAYA BARU, KOTA DEPOK) KUSUMAJANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lingkungan Belajar Menurut Suwarno (2006) lingkungan belajar adalah lingkungan sekitar yang melengkapi terjadinya proses pendidikan. Hal ini berarti bahwa lingkungan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN I-1

BAB I PENDAHULUAN I-1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dengan makin meningkatnya perkembangan industri di indonesia, kemajuan dari industri tersebut antara lain ditandai pemakaian mesin-mesin yang dapat mengolah dan memproduksi

Lebih terperinci

PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI

PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI PENGHAMBATAN DEGRADASI SUKROSA DALAM NIRA TEBU MENGGUNAKAN GELEMBUNG GAS NITROGEN DALAM REAKTOR VENTURI BERSIRKULASI TEUKU IKHSAN AZMI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

PEMODELAN STOK GABAH/BERAS DI KABUPATEN SUBANG MOHAMAD CHAFID

PEMODELAN STOK GABAH/BERAS DI KABUPATEN SUBANG MOHAMAD CHAFID PEMODELAN STOK GABAH/BERAS DI KABUPATEN SUBANG MOHAMAD CHAFID SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul : PEMODELAN STOK GABAH/BERAS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada disekitar pekerja dan yang

BAB I PENDAHULUAN. Lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada disekitar pekerja dan yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada disekitar pekerja dan yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan, misalnya lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. paling utama dalam kerja dimana manusia berperan sebagai perencana dan

BAB I PENDAHULUAN. paling utama dalam kerja dimana manusia berperan sebagai perencana dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam suatu lingkungan kerja, manusia mempunyai peranan yang paling utama dalam kerja dimana manusia berperan sebagai perencana dan perancang suatu sistem kerja.

Lebih terperinci

PENDUGAAN PARAMETER BEBERAPA SEBARAN POISSON CAMPURAN DAN BEBERAPA SEBARAN DISKRET DENGAN MENGGUNAKAN ALGORITME EM ADE HARIS HIMAWAN

PENDUGAAN PARAMETER BEBERAPA SEBARAN POISSON CAMPURAN DAN BEBERAPA SEBARAN DISKRET DENGAN MENGGUNAKAN ALGORITME EM ADE HARIS HIMAWAN PENDUGAAN PARAMETER BEBERAPA SEBARAN POISSON CAMPURAN DAN BEBERAPA SEBARAN DISKRET DENGAN MENGGUNAKAN ALGORITME EM ADE HARIS HIMAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya

Lebih terperinci

PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM

PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa

Lebih terperinci

PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM

PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM PREDIKSI KECEPATAN PHASE GELOMBANG SOLITER TERGANGGU AHMAD HAKIM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa

Lebih terperinci

ANALISIS KESEIMBANGAN AIR PADA IRIGASI BAWAH PERMUKAAN MELALUI LAPISAN SEMI KEDAP HILDA AGUSTINA

ANALISIS KESEIMBANGAN AIR PADA IRIGASI BAWAH PERMUKAAN MELALUI LAPISAN SEMI KEDAP HILDA AGUSTINA ANALISIS KESEIMBANGAN AIR PADA IRIGASI BAWAH PERMUKAAN MELALUI LAPISAN SEMI KEDAP HILDA AGUSTINA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ANALISIS KESEIMBANGAN AIR PADA IRIGASI BAWAH PERMUKAAN

Lebih terperinci

ANALISIS KEMAMPUAN PROSES DENGAN MEMPERHATIKAN LINGKUNGAN DAN KETELITIAN KERJA OPERATOR

ANALISIS KEMAMPUAN PROSES DENGAN MEMPERHATIKAN LINGKUNGAN DAN KETELITIAN KERJA OPERATOR ANALISIS KEMAMPUAN PROSES DENGAN MEMPERHATIKAN LINGKUNGAN DAN KETELITIAN KERJA OPERATOR Kim Budi Winarto a, Frida Budilasita b Jurusan Ekonomi Manajemen, Fakultas Ekonomi, Universitas Surakarta a Jurusan

Lebih terperinci

MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG

MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG MODEL PERAMALAN HARGA SAHAM DENGAN JARINGAN SYARAF TIRUAN PROPAGASI BALIK TRIANA ENDANG SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini

Lebih terperinci

JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK PENGENALAN JENIS KAYU BERBASIS CITRA G A S I M

JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK PENGENALAN JENIS KAYU BERBASIS CITRA G A S I M JARINGAN SYARAF TIRUAN UNTUK PENGENALAN JENIS KAYU BERBASIS CITRA G A S I M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 ABSTRAK Pengenalan jenis kayu yang sering dilakukan dengan menggunakan

Lebih terperinci

Volume 5, No. 1, April 2012 ISSN:

Volume 5, No. 1, April 2012 ISSN: STUDI KEBIJAKAN ERGONOMI MAKRO TERHADAP OUTPUT PRODUKSI MENGGUNAKAN PENDEKATAN SISTEM DINAMIK (STUDI KASUS: PT. SUMBER MAS INDAH PLYWOOD, GRESIK) Amalia Faikhotul Hima 1, Mahrus Khoirul Umami 1, M. Imron

Lebih terperinci

Tabel 2.1 Tangga Intensitas dari Kebisingan Skala Intensitas Desibels Batas Dengar Tertinggi

Tabel 2.1 Tangga Intensitas dari Kebisingan Skala Intensitas Desibels Batas Dengar Tertinggi BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kebisingan 1. Pengertian Kebisingan Bising umumnya didefinisikan sebagai bunyi yang tidak dikehendaki 3). Bunyi adalah sensasi yang timbul dalam telinga akibat getaran udara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 mengenai kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 mengenai kesehatan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Menurut UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 mengenai kesehatan lingkungan menyatakan bahwa setiap manusia mengupayakan kesehatan lingkungan yang salah satunya, lingkungan

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Spesifikasi Cultivator Mesin pertanian yang digunakan adalah cultivator Yanmar tipe Te 550 n. Daya rata - rata motor penggerak bensin pada cultivator ini sebesar 3.5 hp (putaran

Lebih terperinci

SKRIPSI ANALISIS KEBISINGAN PADA PROSES PRODUKSI GULA PADA STASIUN MASAKAN, PUTARAN, DAN POWER HOUSE DI PG BUNGAMAYANG, LAMPUNG

SKRIPSI ANALISIS KEBISINGAN PADA PROSES PRODUKSI GULA PADA STASIUN MASAKAN, PUTARAN, DAN POWER HOUSE DI PG BUNGAMAYANG, LAMPUNG SKRIPSI ANALISIS KEBISINGAN PADA PROSES PRODUKSI GULA PADA STASIUN MASAKAN, PUTARAN, DAN POWER HOUSE DI PG BUNGAMAYANG, LAMPUNG Oleh: BUDI SANTOSO F14104079 2008 DEPARTEMEN TEKNIK PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI

Lebih terperinci

METODOLOGI IV. 4.1 Deskripsi Kegiatan. 4.2 Metode Kerja Aspek Umun

METODOLOGI IV. 4.1 Deskripsi Kegiatan. 4.2 Metode Kerja Aspek Umun IV. METODOLOGI 4.1 Deskripsi Kegiatan Kegiatan magang dilakukan di PT. TMMIN selama 4 bulan, dimulai dari tanggal 21 Maret 2011 sampai dengan 20 Juli 2010. Waktu pelaksanaannya mengikuti jam kerja karyawan,

Lebih terperinci

PENGEMBANGAN ALGORITMA PEMUTUAN EDAMAME MENGGUNAKAN PENGOLAHAN CITRA DAN JARINGAN SYARAF TIRUAN DEDY WIRAWAN SOEDIBYO

PENGEMBANGAN ALGORITMA PEMUTUAN EDAMAME MENGGUNAKAN PENGOLAHAN CITRA DAN JARINGAN SYARAF TIRUAN DEDY WIRAWAN SOEDIBYO PENGEMBANGAN ALGORITMA PEMUTUAN EDAMAME MENGGUNAKAN PENGOLAHAN CITRA DAN JARINGAN SYARAF TIRUAN DEDY WIRAWAN SOEDIBYO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PERANCANGAN PROTOKOL AKTA NOTARIS DIGITAL INAYATULLAH

PERANCANGAN PROTOKOL AKTA NOTARIS DIGITAL INAYATULLAH PERANCANGAN PROTOKOL AKTA NOTARIS DIGITAL INAYATULLAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Perancangan

Lebih terperinci

SKRIPSI AUDIT ENERGI UNTUK MENCAPAI PELUANG PENGHEMATAN. ENERGI PADA SPINNING MILL FACTORY 1A dan 1B PT. KURABO

SKRIPSI AUDIT ENERGI UNTUK MENCAPAI PELUANG PENGHEMATAN. ENERGI PADA SPINNING MILL FACTORY 1A dan 1B PT. KURABO SKRIPSI AUDIT ENERGI UNTUK MENCAPAI PELUANG PENGHEMATAN ENERGI PADA SPINNING MILL FACTORY 1A dan 1B PT. KURABO MANUNGGAL TEXTILE INDUSTRIES (PT. KUMATEX) Di ajukan guna melengkapi sebagai syarat Dalam

Lebih terperinci

PENGKAJIAN BAHAN PELAPIS, KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN UNTUK MEMPERPANJANG MASA SIMPAN BUAH MANGGIS KEMALA SYAMNIS AZHAR

PENGKAJIAN BAHAN PELAPIS, KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN UNTUK MEMPERPANJANG MASA SIMPAN BUAH MANGGIS KEMALA SYAMNIS AZHAR PENGKAJIAN BAHAN PELAPIS, KEMASAN DAN SUHU PENYIMPANAN UNTUK MEMPERPANJANG MASA SIMPAN BUAH MANGGIS KEMALA SYAMNIS AZHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN. Tahapan penelitian disajikan pada gambar dibawah ini. Mulai. Identifikasi masalah

METODE PENELITIAN. Tahapan penelitian disajikan pada gambar dibawah ini. Mulai. Identifikasi masalah III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Desember 2010 sampai dengan Maret 2011 di Bengkel Daud Teknik, Cibereum, Bogor. B. Tahapan Penelitian

Lebih terperinci

FISIOLOGI DAN PENGUKURAN KERJA

FISIOLOGI DAN PENGUKURAN KERJA FISIOLOGI DAN PENGUKURAN KERJA tutorial 10 LINGKUNGAN KERJA FISIK 1 Prodi Teknik Industri Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia Tahun Ajaran 2016/2017 www.labdske-uii.com Lingkungan Kerja

Lebih terperinci

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI

MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI MODEL DISTRIBUSI PERTUMBUHAN EKONOMI ANTARKELOMPOK PADA DUA DAERAH ADE LINA HERLIANI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya

Lebih terperinci

PENGARUH STRES KERJA TERHADAP KINERJA KARYAWAN (STUDI PADA OPERATOR DI BIDANG INSTALASI PT PERKEBUNAN NUSANTARA XI PABRIK GULA SEMBORO)

PENGARUH STRES KERJA TERHADAP KINERJA KARYAWAN (STUDI PADA OPERATOR DI BIDANG INSTALASI PT PERKEBUNAN NUSANTARA XI PABRIK GULA SEMBORO) PENGARUH STRES KERJA TERHADAP KINERJA KARYAWAN (STUDI PADA OPERATOR DI BIDANG INSTALASI PT PERKEBUNAN NUSANTARA XI PABRIK GULA SEMBORO) The Influence of Job Stress toward Employees Performance (Study at

Lebih terperinci

SISTEM KERJA. Nurjannah

SISTEM KERJA. Nurjannah SISTEM KERJA Nurjannah Definisi Sistem Kerja Sistem adalah komponen komponen yang terintegrasi dan berinteraksi dengan maksud yang sama guna mencapai tujuan tertentu. Kerja adalah kegiatan melakukan sesuatu

Lebih terperinci

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Untuk dapat merancang sistem kerja yang baik perlu diperhatikan faktor pekerja, mesin dan peralatan serta lingkungan. CV.MOTEKAR adalah pabrik yang memproduksi berbagai jenis boneka.boneka yang

Lebih terperinci

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH

STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH i STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA SAING PRODUK UNGGULAN DAERAH INDUSTRI KECIL MENENGAH KABUPATEN BANYUMAS MUHAMMAD UNGGUL ABDUL FATTAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 iii PERNYATAAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang mempengaruhinya menjalankan kegiatan. Kondisi manusia dipengaruhi

BAB I PENDAHULUAN. yang mempengaruhinya menjalankan kegiatan. Kondisi manusia dipengaruhi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Lingkungan kerja adalah keadaan sekitar baik secara fisik dan non fisik yang mempengaruhinya menjalankan kegiatan. Kondisi manusia dipengaruhi keadaan lingkungan kerja

Lebih terperinci

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK PT. Kurios Utama adalah perusahaan yang bergerak pada bidang tekstil. Perusahaan berkembang dengan pesat, sehingga mampu mengembangkan usahanya dengan cara memproduksi benang untuk digunakan sebagai

Lebih terperinci

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM

DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM DAMPAK KEBIJAKAN HARGA DASAR PEMBELIAN PEMERINTAH TERHADAP PENAWARAN DAN PERMINTAAN BERAS DI INDONESIA RIA KUSUMANINGRUM SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI

FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI FORMULASI HAMILTONIAN UNTUK MENGGAMBARKAN GERAK GELOMBANG INTERNAL PADA LAUT DALAM RINA PRASTIWI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2007). Bising dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan gangguan fisiologis,

BAB I PENDAHULUAN. 2007). Bising dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan gangguan fisiologis, BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Badan kesehatan dunia (WHO) melaporkan, tahun 1988 terdapat 8-12% penduduk dunia menderita dampak kebisingan dalam berbagai bentuk (Nanny, 2007). Bising dengan intensitas

Lebih terperinci

III. METODOLOGI A. Tempat dan Waktu B. Peralatan dan Perlengkapan

III. METODOLOGI A. Tempat dan Waktu B. Peralatan dan Perlengkapan III. METODOLOGI A. Tempat dan Waktu Pengambilan data untuk penelitian ini dilakukan di lahan kering Leuwikopo, Bogor. Pengambilan data penelitian dimulai tanggal 29 April 2009 sampai 10 Juni 2009. B. Peralatan

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA

IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS DALAM KAITANNYA DENGAN PENATAAN RUANG DAN KEGIATAN REHABILITASI LAHAN DI KABUPATEN SUMEDANG DIAN HERDIANA PROGRAM STUDI ILMU PERENCANAAN WILAYAH SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT

Lebih terperinci

PERTEMUAN #6 PERANCANGAN SISTEM KERJA #2 (MESIN, PERALATAN, & LINGKUNGAN KERJA) TKT TAUFIQUR RACHMAN ERGONOMI DAN PERANCANGAN SISTEM KERJA

PERTEMUAN #6 PERANCANGAN SISTEM KERJA #2 (MESIN, PERALATAN, & LINGKUNGAN KERJA) TKT TAUFIQUR RACHMAN ERGONOMI DAN PERANCANGAN SISTEM KERJA PERANCANGAN SISTEM KERJA #2 (MESIN, PERALATAN, & LINGKUNGAN KERJA) PERTEMUAN #6 TKT207 ERGONOMI DAN PERANCANGAN SISTEM KERJA 6623 TAUFIQUR RACHMAN PROGRAM STUDI TEKNIK INDUSTRI FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem kerja industri merupakan sebuah sistem yang melibatkan beberapa pihak sebagai pemangku kepentingan. Pihak-pihak tersebut antara lain pemilik/pengelola, pegawai,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor secara menetap (Tarwaka, dkk., 2004:33). Kelelahan dapat menurunkan kapasitas kerja dan ketahanan kerja yang

BAB I PENDAHULUAN. faktor secara menetap (Tarwaka, dkk., 2004:33). Kelelahan dapat menurunkan kapasitas kerja dan ketahanan kerja yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelelahan adalah aneka keadaan yang disertai penurunan efisiensi dan ketahanan dalam bekerja, yang penyebab utamanya adalah mata (kelelahan visual), kelelahan fisik

Lebih terperinci

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO

ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING. Oleh: BEDY SUDJARMOKO ANALISIS EFISIENSI RELATIF KOMODITAS KELAPA PADA LAHAN PASANG SURUT DAN LAHAN KERING Oleh: BEDY SUDJARMOKO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK BEDY SUDJARMOKO. Analisis Efisiensi

Lebih terperinci

Jurnal Keperawatan, Volume X, No. 2, Oktober 2014 ISSN ANALISIS KARAKTERISTIK PEKERJA DENGAN GANGGUAN KETULIAN PEKERJA PABRIK KELAPA SAWIT

Jurnal Keperawatan, Volume X, No. 2, Oktober 2014 ISSN ANALISIS KARAKTERISTIK PEKERJA DENGAN GANGGUAN KETULIAN PEKERJA PABRIK KELAPA SAWIT PENELITIAN ANALISIS KARAKTERISTIK PEKERJA DENGAN GANGGUAN KETULIAN PEKERJA PABRIK KELAPA SAWIT Merah Bangsawan*, Holidy Ilyas* Hasil survey di pabrik es di Jakarta menunjukkan terdapat gangguan pendengaran

Lebih terperinci

INTEGRASI DATA SEMITERSTRUKTUR SECARA SKEMATIK BERBASIS XML (EXTENSIBLE MARKUP LANGUAGE) TITIN PRAMIYATI K.

INTEGRASI DATA SEMITERSTRUKTUR SECARA SKEMATIK BERBASIS XML (EXTENSIBLE MARKUP LANGUAGE) TITIN PRAMIYATI K. INTEGRASI DATA SEMITERSTRUKTUR SECARA SKEMATIK BERBASIS XML (EXTENSIBLE MARKUP LANGUAGE) TITIN PRAMIYATI K. SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Lingkungan Mikro Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN. Kondisi Lingkungan Mikro Lokasi Penelitian HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Lingkungan Mikro Lokasi Penelitian Berdasarkan pengambilan data selama penelitian yang berlangsung mulai pukul 06.00 sampai pukul 16.00 WIB, data yang diperoleh menunjukkan

Lebih terperinci

INTEGRASI DATA SEMITERSTRUKTUR SECARA SKEMATIK BERBASIS XML (EXTENSIBLE MARKUP LANGUAGE) TITIN PRAMIYATI K.

INTEGRASI DATA SEMITERSTRUKTUR SECARA SKEMATIK BERBASIS XML (EXTENSIBLE MARKUP LANGUAGE) TITIN PRAMIYATI K. INTEGRASI DATA SEMITERSTRUKTUR SECARA SKEMATIK BERBASIS XML (EXTENSIBLE MARKUP LANGUAGE) TITIN PRAMIYATI K. SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

PEMODELAN SISTEM PENDULUM TERBALIK DENGAN LINTASAN MIRING DAN KARAKTERISASI PARAMETER PADA MASALAH TRACKING ERROR OPTIMAL BAMBANG EDISUSANTO

PEMODELAN SISTEM PENDULUM TERBALIK DENGAN LINTASAN MIRING DAN KARAKTERISASI PARAMETER PADA MASALAH TRACKING ERROR OPTIMAL BAMBANG EDISUSANTO PEMODELAN SISTEM PENDULUM TERBALIK DENGAN LINTASAN MIRING DAN KARAKTERISASI PARAMETER PADA MASALAH TRACKING ERROR OPTIMAL BAMBANG EDISUSANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 PERNYATAAN

Lebih terperinci

Kebisingan Kereta Api dan Kesehatan

Kebisingan Kereta Api dan Kesehatan Kebisingan Kereta Api dan Kesehatan Salah satu jenis transportasi darat yang cukup diminati oleh masyarakat adalah kereta api. Perkeretaapian tidak saja memberi dampak yang positif bagi masyarakat sekitarnya,

Lebih terperinci

DIPLOMA PSIKOLOGI ISLAM DAN KAUNSELING WPK (Minggu 2)

DIPLOMA PSIKOLOGI ISLAM DAN KAUNSELING WPK (Minggu 2) DIPLOMA PSIKOLOGI ISLAM DAN KAUNSELING WPK 1713 Psikologi Industri & Organisasi (Minggu 2) Pensyarah Ustazah Dr Nek Mah Bte Batri PhD- Pendidikan Agama Islam (UMM) PhD Fiqh & Sains Teknologi (UTM) SINOPSIS

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. faktor yang mengurangi kinerja, berdampak pada kondisi psikis pekerja, dan

BAB I PENDAHULUAN. faktor yang mengurangi kinerja, berdampak pada kondisi psikis pekerja, dan 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kelelahan kerja dapat mengurangi aktivitas yang akhirnya mengakibatkan ketidakmampuan meneruskan pekerjaan secara maksimal. Kelelahan terbagi menjadi dua, yaitu kelelahan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Lingkungan Mengetahui kondisi lingkungan tempat percobaan sangat penting diketahui karena diharapkan faktor-faktor luar yang berpengaruh terhadap percobaan dapat diketahui.

Lebih terperinci

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN

STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN STUDI PENGEMBANGAN WILAYAH KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) BIMA DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARAT ENIRAWAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR TAHUN 2007 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

PENENTUAN TINGKAT KEBISINGAN SIANG MALAM DI PERKAMPUNGAN BUNGURASIH AKIBAT KEGIATAN TRANSPORTASI TERMINAL PURABAYA SURABAYA

PENENTUAN TINGKAT KEBISINGAN SIANG MALAM DI PERKAMPUNGAN BUNGURASIH AKIBAT KEGIATAN TRANSPORTASI TERMINAL PURABAYA SURABAYA TUGAS AKHIR PENENTUAN TINGKAT KEBISINGAN SIANG MALAM DI PERKAMPUNGAN BUNGURASIH AKIBAT KEGIATAN TRANSPORTASI TERMINAL PURABAYA SURABAYA Dosen Pembimbing 1 : Ir.Wiratno A.Asmoro,M.Sc Dosen Pembimbing 2

Lebih terperinci

KETERKONTROLAN BEBERAPA SISTEM PENDULUM SAKIRMAN

KETERKONTROLAN BEBERAPA SISTEM PENDULUM SAKIRMAN KETERKONTROLAN BEBERAPA SISTEM PENDULUM SAKIRMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keterkontrolan

Lebih terperinci

PENDUGAAN PARAMETER WAKTU PERUBAHAN PROSES PADA 2 CONTROL CHART MENGGUNAKAN PENDUGA KEMUNGKINAN MAKSIMUM SITI MASLIHAH

PENDUGAAN PARAMETER WAKTU PERUBAHAN PROSES PADA 2 CONTROL CHART MENGGUNAKAN PENDUGA KEMUNGKINAN MAKSIMUM SITI MASLIHAH PENDUGAAN PARAMETER WAKTU PERUBAHAN PROSES PADA CONTROL CHART MENGGUNAKAN PENDUGA KEMUNGKINAN MAKSIMUM SITI MASLIHAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 008 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

Lebih terperinci

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengambilan Data Pada penelitian ini penulis mengambil data di PT. Perkebunan Nusantara Pabrik Gula Pangka di Jalan Raya Pangka Slawi, Kecamatan Pangkah, Kabupaten

Lebih terperinci

RISIKO GEMUK (FAT-TAILED ADRINA LONY SEKOLAH

RISIKO GEMUK (FAT-TAILED ADRINA LONY SEKOLAH PENENTUAN BESARNYA PREMI UNTUK SEBARAN RISIKO YANG BEREKOR GEMUK (FAT-TAILED RISK DISTRIBUTION) ADRINA LONY SEKOLAH PASCASARJANAA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Definisi Fisiologi Fisiologi dari kata Yunani physis = 'alam' dan logos = 'cerita', adalah ilmu yang mempelajari fungsi mekanik, fisik, dan biokimia dari makhluk hidup. Menurut

Lebih terperinci

Universitas Bina Nusantara ANALISIS KEGIATAN PENGEPAKAN PT. FEDERAL KARYATAMA DITINJAU DARI SEGI ERGONOMI DAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

Universitas Bina Nusantara ANALISIS KEGIATAN PENGEPAKAN PT. FEDERAL KARYATAMA DITINJAU DARI SEGI ERGONOMI DAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA Universitas Bina Nusantara Jurusan Teknik Industri Fakultas Teknik Skripsi ANALISIS KEGIATAN PENGEPAKAN PT. FEDERAL KARYATAMA DITINJAU DARI SEGI ERGONOMI DAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA ANGELA STEPHANIE

Lebih terperinci