Penyusunan Analisis Indikator Ekonomi Makro Kota Bekasi Tahun 2011

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Penyusunan Analisis Indikator Ekonomi Makro Kota Bekasi Tahun 2011"

Transkripsi

1 berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan keputusan-keputusan penting yang mempengaruhi kehidupan mereka. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) / Human Development Index (HDI) adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan, dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia (bisa juga digunakan untuk Daerah). IPM digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara (daerah) adalah negara (daerah) maju, negara (daerah) berkembang atau negara (daerah) terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup. Indeks ini pada 1990 dikembangkan oleh pemenang nobel india Amartya Sen dan Mahbub ul Haq seorang ekonom pakistan dibantu oleh Gustav Ranis dari Yale University dan Lord Meghnad Desai dari London School of Economics dan sejak itu dipakai oleh Program pembangunan PBB pada laporan IPM tahunannya. IPM mengukur pencapaian rata-rata sebuah negara (daerah) menjadi 3 (tiga) dimensi dasar pembangunan manusia, yaitu sebagai berikut: 1. Hidup yang sehat dan panjang umur yang diukur dengan harapan hidup saat kelahiran. 2. Pengetahuan yang diukur dengan angka tingkat baca tulis pada orang dewasa (bobotnya dua per tiga) dan kombinasi pendidikan dasar, menengah, atas gross enrollment ratio (bobot satu per tiga). 3. Standard kehidupan yang layak diukur dengan logaritma natural dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita dalam Paritasi Daya Beli (Purchasing Power Varity) Berikut ini adalah formula serta tahapan yang seringkali digunakan dalam proses perhitungan Indeks Pembangunan Manusia (IPM): *) Tahap pertama penghitungan IPM adalah menghitung indeks masingmasing komponen IPM, yaitu: ü X1 = Indeks Angka Harapan Hidup ü X2 = Indeks Pendidikan (Melek Huruf + Rata-rata Lama Sekolah) 3-17

2 ü X3 = Indeks Standar Hidup Layak (Konsumsi per Kapita/ PPP) Xi-Xmin Indeks (Xi) = Xmax-Xmin Keterangan: Xi = Indikator komponen pembangunan manusia ke-i, i= 1,2,3 Xmin = Nilai minimum Xi Xmax = Nilai maksimum Xi *) Tahap kedua perhitungan IPM adalah menghitung rata-rata sederhana dari masing-masing indeks Xi dengan rumus sebagai berikut: IPM = (X1+X2+X3) 3 Keterangan; X1 = Indeks Angka Harapan Hidup X2 = 2/3 (Indeks Melek Huruf) + 1/3 (Indeks Rata-rata Lama Sekolah) X3 = Indeks Konsumsi perkapita yang disesuaikan (PPP) *) Tahap ketiga adalah menghitung Reduksi Shortfall, yang digunakan untuk mengukur kecepatan perkembangan nilai IPM dalam suatu kurun waktu tertentu. r = {(IPM t+n IPM t) / (IPM ideal IPM t) x 100} 1/n Keterangan: IPM t = IPM pada tahun t 3-18

3 IPM t+n = IPM pada tahun t+n IPM ideal = METODOLOGI PENELITIAN Sesuai dengan pendapat diatas, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, dimana menurut Suharsimi Arikunto (1990), metode deskriptif adalah pengumpulan informasi mengenai suatu gejala yang ada, yaitu keadaan menurut apa adanya pada saat penelitian dilaksanakan. Menurut Nazir, M. (1999:63) pendekatan analisis deskriptif kuantitatif yaitu suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang, mempunyai tujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antara fenomena yang diselidiki.. Artinya, bahwa penelitian ini hanya difokuskan pada wilayah Kota Bekasi. Sementara itu, permasalahan penelitian sebagaimana dikemukakan di atas, dijawab melalui teknik dan prosedur mendeskripsikan berbagai data kuantitatif empirik pada Kota Bekasi. A. Teknik Pengumpulan data 1. Sumber Data Sesuai dengan jenis data yang digunakan yaitu data sekunder, pengumpulan yang dilakukan dalam hal ini yaitu dengan menelaah datadata sekunder yang ada dalam berbagai dokumen resmi Pemerintah Daerah. Dokumen resmi yang digunakan terutama adalah adalah: a. Kota Bekasi Dalam Angka beberapa edisi ( ), yang diterbitkan oleh Kantor Statistik Kota Bekasi; b. Dokumen Laporan Pertanggungjawaban Walikota Bekasi, beberapa tahun ( ); 3-19

4 c. Hasil penelitian sebelumnya tentang Penyusunan Indikator Makro Ekonomi Kota Bekasi Tahun 2011 yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Bekasi. d. Dokumen-dokumen terkait lainnya. 2. Prosedur Pengumpulan Data Untuk memperoleh data sekunder yang diperlukan, penulis melakukan kegiatan-kegiatan sebagai berikut: a. Studi kepustakaan yaitu dengan membaca litelatur-litelatur bidang ekonomi dan pembangunan yang digunakan sebagai landasan kerangka berfikir dan teori yang sesuai dengan topik penelititan. b. Penelitian dokumenter yaitu dengan menelaah dan menganalisa laporan-laporan mengenai ekonomi dan pembangunan yang diterbitkan diantaranya oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Bappeda, LKPJ Walikota dan dokumen lainnya. B. Model dan Teknik Analisis Data 1. Alat Analisis a. Teknik komparatif Teknik komparatif dimaksudkan untuk membandingkan kinerja pembangunan indikator makro ekonomi wilayah Kota Bekasi dengan Kota-kota sebanding lainnya dan terdekat dalam wilayah Kota Bekasi, seperti Jabodetabek ataupun Jawa Barat. b. Teknik Pertumbuhan Teknik pertumbuhan dilakukan untuk melihat pertumbuhan dari beberapa indikator kinerja pembangunan selama periode pengamatan. Formulasi pertumbuhan yang digunakan sebagai berikut: 3-20

5 G = X (t) X (t-1) X( t-1) Keterangan: G = growth (pertumbuhan) X (t) = variable perhitungan pada waktu t X (t-1) = variable perhitungan pada waktu (t-1) c. Perhitungan Trend Trend merupakan suatu gerakan kecenderungan naik atau turun dalam jangka panjang yang diperoleh dari rata-rata perubahan dari waktu ke waktu dan nilainya cukup rata (smooth). Menghitung nilai trend dapat dilakukan dengan beberapa metode, dalam tulisan ini akan disampaikan 2 (dua) metode yang paling sering digunakan yaitu: 1) Metode Kuadrat Terkecil (Least Square Method) Perhitungan nilai trend dengan metode ini juga biasa disebut dengan metode linier yang dilakukan dengan menggunakan persamaan: Y X = a + bx Keterangan: Y adalah data time series periode X X adalah waktu ( tahun) a dan b adalah bilangan konstan (nilai a dan b diperoleh dari): a = ΣY / n atau a = Y b = ΣXY / ΣX² 3-21

6 2) Metode Trend Kuadratis (Quadratic Trend Method) Menghitung nilai trend dengan metode ini dilakukan dengan menggunakan persamaan: Y X = a + bx + cx² Keterangan: Y adalah data time series periode X X adalah waktu (tahun) a, b dan c adalah bilangan konstan (nilai a dan b diperoleh dari): a = ((ΣY)(ΣX². X²)-(Σ X².Y)(Σ X²)) / n(σx². X²)-(ΣX²)² b = ΣX.Y / Σ X² c = (n.(σ X².Y)-(Σ X²)(ΣY)) / n(σx². X²)-(Σ X²)² Untuk menentukan metode yang paling baik dari metode tersebut harus dipilih metode yang mempunyai derajat kesalahan paling kecil yaitu yang mempunyai selisih antara data asli (actual) dengan hasil estimasi (trend) yang paling kecil. Untuk mengukurnya dilakukan dengan menggunakan persamaan perhitungan nilai trend dapat juga dilakukan dengan menggunakan software SPSS atau Eviews, dan untuk menentukan metode yang paling baik adalah memilih metode yang mempunyai nilai Standard Error paling kecil dan R-square yang paling besar. C. Uji Statistik 1. Regresi Linier Untuk mengukur seberapa dekat model regresi yang terestimasi dengan data sesungguhnya atau seberapa besar pengaruh antara variabel bebas terhadap variabel terikat digunakan suatu ukuran yang 3-22

7 disebut dengan Koefisien Determinasi (R 2 ). Rumus R 2 (Dominic Salvatore, 2001:161) adalah sebagai berikut: _ (Ŷ t Y ) 2 R 2 = (Y t Y ) 2 Keterangan : R 2 Y t = Nilai koefisien determinasi = Variabel terikat pada observasi ke-t Ŷ t Ϋ = Estimasi nilai Y t = Nilai rata-rata dari Y Nilai koefisien determinasi (R 2 ) ini mencerminkan seberapa besar variasi dari variabel terikat (Y) dapat diterangkan oleh variabel bebas (X). Bila R 2 =0, artinya variasi dari Y tidak dapat diterangkan oleh variabel bebas X sama sekali. Sementara bila R 2 =1, maka variasi Y secara keseluruhan dapat diterangkan oleh variabel bebas X, atau bisa dikatakan bahwa semua titik pengamatan berada tepat pada garis regresi. Dengan demikian nilai R 2 dapat diasumsikan sebagai nilai antara 0 dan 1, dimana nilai R 2 semakin mendekati 1 semakin baik suatu persamaan regresi tersebut. 2. Koefisien Korelasi (R) Analisis koefisien korelasi (R) Yaitu untuk melihat besarnya hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat. Korelasi merupakan teknik analisis yang termasuk dalam salah satu teknik pengukuran asosiasi/ hubungan (measures of association). Pengukuran asosiasi merupakan istilah umum yang mengacu pada sekelompok teknik dalam statistik bivariat yang digunakan untuk mengukur kekuatan hubungan antara dua variabel. 3-23

8 Diantara sekian banyak teknik-teknik pengukuran asosiasi, terdapat dua teknik korelasi yang sangat populer sampai sekarang, yaitu Korelasi Pearson Product Moment dan Korelasi Rank Spearman. Selain kedua teknik tersebut, terdapat pula teknik-teknik korelasi lain, seperti Kendal, Chi-Square, Phi Coefficient, Goodman-Kruskal, Somer, dan Wilson. Pengukuran asosiasi mengenakan nilai numerik untuk mengetahui tingkatan asosiasi atau kekuatan hubungan antara variabel. Dua variabel dikatakan berasosiasi jika perilaku variabel yang satu mempengaruhi variabel yang lain. Jika tidak terjadi pengaruh, maka kedua variabel tersebut disebut independen. Korelasi bermanfaat untuk mengukur kekuatan hubungan antara dua variabel (kadang lebih dari dua variabel) dengan skala-skala tertentu, misalnya Pearson data harus berskala interval atau rasio; Spearman dan Kendal menggunakan skala ordinal; Chi Square menggunakan data nominal. Kuat lemah hubungan diukur diantara jarak (range) 0 sampai dengan 1. Korelasi mempunyai kemungkinan pengujian hipotesis dua arah (two tailed). Korelasi searah jika nilai koefesien korelasi diketemukan positif; sebaliknya jika nilai koefesien korelasi negatif, korelasi disebut tidak searah. Yang dimaksud dengan koefesien korelasi ialah suatu pengukuran statistik kovariasi atau asosiasi antara dua variabel. Jika koefesien korelasi diketemukan tidak sama dengan nol (0), maka terdapat ketergantungan antara dua variabel tersebut. Jika koefesien korelasi diketemukan +1, maka hubungan tersebut disebut sebagai korelasi sempurna atau hubungan linear sempurna dengan kemiringan (slope) positif. Jika koefesien korelasi diketemukan -1. maka hubungan tersebut disebut sebagai korelasi sempurna atau hubungan linear sempurna dengan kemiringan (slope) negatif. Dalam korelasi sempurna tidak diperlukan lagi pengujian hipotesis, karena kedua variabel mempunyai hubungan linear yang sempurna. Artinya variabel X mempengaruhi variabel Y secara sempurna. Jika korelasi sama dengan nol (0), maka tidak terdapat hubungan antara kedua variabel tersebut. 3-24

9 3. Uji-F Uji-F digunakan untuk mengetahui signifikansi seluruh koefisien regresi, apakah variabel bebas secara bersama-sama (simultan) berpengaruh terhadap variabel terikat. Langkah awal yang dikerjakan dalam uji-f adalah dengan merumuskan hipotesis sebagai berikut: Ho : ß 1 = ß 2 = ß 3 = 0, yang berarti tidak ada pengaruh yang signifikan antara variabel bebas (independent variables) terhadap variabel terikat (dependent variable) secara bersama-sama Ha : ß 1 ß 2 ß 3 0, yang berarti bahwa ada pengaruh yang signifikan antara variabel bebas (independent variables) terhadap variabel terikat (dependent variable) secara bersama-sama. Rumus menghitung uji- F menurut Nachrowi (2006:21) adalah sebagai berikut: R 2 n k -1 F hitung = ٠۰ 1 R 2 k Keterangan: R 2 n k = koefisen determinasi = jumlah observasi = jumlah variabel bebas Kemudian tentukan F tabel dengan tingkat signifikansi (α) sebesar 5% dan degree of freedom (df) = k;(n-k-1). Selanjutnya dibandingkan antara F tabel dengan F hitung untuk menentukan Ho ditolak atau diterima. Kriteria keputusannya adalah sebagai berikut : 3-25

10 a. Ho diterima jika F hitung < F tabel b. Ho ditolak jika F hitung > F tabel Untuk mempermudah dan menjamin ketelitian pelaksana uji statistik, maka dalam penelitian ini dalam perhitungannya akan digunakan program siap pakai SPSS. 3-26

11 BAB IV ANALISIS INDIKATOR EKONOMI MAKRO 4.1. PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO (PDRB) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) lebih populer dengan istilah Pendapatan Regional (Regional Income) merupakan data statistik yang merangkum perolehan nilai tambah dari seluruh kegiatan ekonomi disuatu wilayah. Berikut ini disajikan data pertumbuhan PDRB Kota Bekasi sejak tahun 2005 hingga tahun 2011, baik itu PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) maupun PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK), dalam bentuk tabel maupun grafik. Tabel 4.1 (Pertumbuhan PDRB-ADHB dan ADHK Kota Bekasi Tahun ) Tahun PDRB -ADHB (Juta Rupiah) Pertumbuhan PDRB-ADHB PDRB-ADHK (Juta Rupiah) Pertumbuhan PDRB-ADHK ,12 23,1% ,23 5,6% ,93 16,4% ,96 6,1% ,81 13,6% ,53 6,4% ,38 16,2% ,18 5,9% ,85 6,6% ,73 4,1% ,36 13,4% ,56 5,8% ,92 13,6% ,11 7,1% Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Bekasi 4-1

12 Grafik 4.1 (Grafik Pertumbuhan PDRB-ADHB dan ADHK Kota Bekasi Tahun ) Sumber: Hasil Olah Data Sebagaimana sudah disampaikan diatas bahwa PDRB Kota Bekasi yang disajikan melalui tabel dan grafik tersebut merupakan PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) dan PDRB Atas Dasar Harga Konstan (ADHK) dengan tahun dasar yang dijadikan acuan adalah tahun Pertumbuhan rata-rata PDRB-ADHB mencapai 14,7%, dimana pertumbuhan tertinggi berada pada tahun 2005, yaitu mencapai pertumbuhan sebesar 23,1%, sedangkan pertumbuhan yang paling rendah yaitu hanya mencapai 6,6% berada pada tahun Sementara itu pertumbuhan rata-rata PDRB-ADHK mencapai 5,85% dimana pertumbuhan tertinggi berada pada tahun 2011 dimana mencapai angka 7,1%, sementara itu pertumbuhan yang paling rendah juga berada pada tahun 2009 atau hanya mencapai 4,1% saja. 4-2

13 Nilai PDRB-ADHB Kota Bekasi secara berkelanjutan mengalami trend pertumbuhan yang terus meningkat, meskipun kenaikan nilai PDRB pada tahun 2009 tidak seperti peningkatan pada tahun-tahun sebelumnya ( ). Kondisi ini direfleksikan dengan nilai pertumbuhan PDRB-ADHB pada tahun 2009 yang hanya mencapai 6,6%, jauh lebih rendah ketimbang rata-rata pertumbuhan PDRB-ADHB tahun , yang mencapai hingga 14,7%. Sementara itu PDRB-ADHK cenderung meningkat secara konsisten meskipun peningkatannya tidak terlalu signifikan seperti kita lihat pada PDRB- ADHB. Rata-rata pertumbuhan PDRB-ADHK hanya mencapai kisaran 5,85% pertahunnya, terhitung sejak tahun 2005 hingga tahun Nilai PDRB Kota Bekasi sejak tahun 2005 hingga tahun 2011, sebagaimana sudah ditampilkan dalam tabel dan grafik diatas kemudian akan kita breakdown lagi dalam bentuk distribusi kedalam beberapa sektor yang tercakup dalam perhitungan standar PDRB. Berikut ini disajikan datanya dalam bentuk tabel 4.2 seperti tampak dibawah ini: 4-3

14 Tabel 4.2 (Distribusi Sektoral PDRB-ADHB Kota Bekasi Tahun , Juta Rupiah) Tahun Pertanian Pertambang an dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan Jasa-Jasa , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,15 Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Bekasi 4-4

15 Grafik 4.2 (Grafik Distribusi Sektoral PDRB-ADHB Kota Bekasi Tahun ) Sumber: Hasil Olah Data Distribusi PDRB-ADHB pada berbagai sektor (tahun ) juga mengalami trend peningkatan sejalan dengan PRDB-ADHB secara komprehensif. Dari 9 (sembilan) sektor yang berkontribusi terhadap nilai total PDRB-ADHB Kota Bekasi, Sektor Industri Pengolahan merupakan salah satu sektor unggulan yang paling banyak memiliki kontribusi terhadap nilai total PDRB-ADHB Kota Bekasi. 4-5

16 Tabel 4.3 (Distribusi Sektoral PDRB-ADHK Kota Bekasi Tahun ) Tahun Pertanian Pertambang an dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas, dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Pengangkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan & Jasa Perusahaan Jasa-Jasa , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , ,67 Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Bekasi 4-6

17 Grafik 4.3 (Grafik Distribusi Sektoral PDRB-ADHK Kota Bekasi Tahun ) Sumber: Hasil Olah Data Sementara itu distribusi PDRB-ADHK pada berbagai sektor (tahun ) juga mengalami trend peningkatan sejalan dengan PRDB-ADHK secara komprehensif. Dari 9 (sembilan) sektor yang berkontribusi terhadap nilai total PDRB-ADHK Kota Bekasi, Sektor Industri Pengolahan merupakan salah satu sektor unggulan yang paling banyak memiliki kontribusi terhadap nilai total PDRB-ADHK Kota Bekasi. Jadi dapat disimpulkan bahwa pergerakan PDRB total, baik itu PDRB-ADHB maupun PDRB-ADHK, merupakan pergerakan peningkatan pertumbuhan secara proporsional PDRB PER KAPITA PDRB per Kapita merupakan data turunan yang bisa kita hasilkan dari PDRB. Untuk mendapatkan PDRB Kota Bekasi per Kapita, maka terlebih dahulu disajikan jumlah pertumbuhan penduduk Kota Bekasi sejak tahun 2005 hinggga tahun 2011, sebagaimana terlihat melalui tabel 4.4 dibawah ini: 4-7

18 Tabel 4.4 (Pertumbuhan Jumlah Penduduk Kota Bekasi Tahun ) Tahun Jumlah Penduduk Pertumbuhan Penduduk (%) ,47% ,49% ,43% ,61% ,66% ,77% Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Bekasi Melalui tabel diatas dapat kita lihat bahwa sejak tahun 2005, jumlah penduduk Kota Bekasi sudah mencapai jumlah jiwa, kemudian pada tahun 2006 meningkat menjadi jiwa atau tumbuh sebesar 3,47%. Pada tahun 2007 kembali tumbuh 3,49% atau menjadi jiwa. Peningkatan jumlah penduduk Kota Bekasi tertinggi terjadi pada tahun 2008, dimana melonjak hingga mencapai jiwa atau mengalami pertumbuhan sebesar 4,43%, kemudian ditahun berikutnya (2009) kembali meningkat sebesar 3,61% atau menjadi jiwa. Sementara itu pertumbuhan paling rendah terjadi pada tahun 2010, dimana pertumbuhan jumlah penduduk Kota Bekasi hanya tumbuh sebesar 0,66% hingga berada pada kisaran jiwa. Namun pada tahun 2011 kembali tumbuh sebesar 3,77% atau hingga berada pada kisaran jiwa. Dengan kata lain sejak tahun 2005 hingga tahun 2011, telah terjadi pertumbuhan sebesar 21,03% atau jumlah penduduk Kota Bekasi mengalami kenaikan sebesar jiwa, dari jiwa pada tahun 2005, melonjak hingga menjadi jiwa pada tahun Pendapatan per Kapita Kota Bekasi sejak tahun 2005 hingga tahun 2011 adalah dengan membagi jumlah total PDRB dengan jumlah penduduk seperti sudah disajikan diatas. Hasil perhitungan Pendapatan Per Kapita tersebut akan disajikan dalam tabel 4.5 seperti dibawah ini: 4-8

19 Tabel 4.5 (PDRB-ADHB dan PDRB-ADHK per Kapita Kota Bekasi Tahun ) Tahun PDRB-ADHB per Kapita PDRB-ADHK per Kapita , , , , , , , , , , , , , ,59 Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Bekasi Grafik 4.4 (Grafik PDRB-ADHB dan PDRB-ADHK per Kapita Kota Bekasi Tahun ) Sumber: Hasil Olah Data Pertumbuhan PDRB per Kapita Kota Bekasi dari tahun ke tahun ( ) meningkat secara konsisten, baik itu pada PDRB-ADHB maupun PRDB- ADHK. Pendapatan per Kapita Kota Bekasi PDRB-ADHB pada tahun 2005 sebesar 9,6 juta rupiah terus meningkat hingga berada pada kisaran 16,7 juta rupiah pada tahun Sementara itu Pendapatan per Kapita Kota Bekasi PDRB-ADHK jauh lebih rendah, dimana pada tahun yang sama (2005) hanya mencapai 5,8 juta rupiah dan 6,8 juta rupiah pada tahun Pergerakan kenaikan PDRB-ADHB dan PDRB-ADHK bisa kita lihat melalui grafik 4.4 tersebut. 4-9

20 4.3. LAJU PERTUMBUHAN EKONOMI (LPE) Indikator ekonomi lainnya yang dapat diturunkan dari PDRB yaitu Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE), Laju Pertumbuhan Ekonomi dapat melihat perkembangan ekonomi secara keseluruhan maupun sektoral. Kontribusi sektoral memperlihatkan peranan masing-masing sektor terhadap pembentukan PDRB. Sedangkan PDRB perkapita memberikan gambaran ratarata pendapatan yang diterima oleh setiap penduduk di Kota Bekasi. Dalam proses perencanaan, salah satu rangkaian kegiatan yang dilakukan pemerintah adalah dengan membuat suatu rencana ekonomi. Rencana ekonomi yang baik tentunya memerlukan data sebagai bahan acuan perencanaan. Indikator ekonomi makro yang sering digunakan sebagai acuan untuk proses perencanaan dan evaluasi proses pembangunan antara lain Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE). Melalui tabel 4.6 dibawah ini, disajikan data pertumbuhan LPE Kota Bekasi sejak tahun 2005 hingga tahun Tabel 4.6 (Pertumbuhan LPE-ADHB dan LPE-ADHK Kota Bekasi Tahun ) Tahun LPE-ADHB LPE-ADHK ,09% 5,64% ,38% 6,07% ,60% 6,44% ,15% 5,94% ,60% 4,13% ,36% 5,84% ,59% 7,08% Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Bekasi 4-10

21 Grafik 4.5 (Grafik Pertumbuhan LPE-ADHB dan LPE-ADHK Kota Bekasi Tahun ) Sumber: Hasil Olah Data LPE-ADHB Kota Bekasi mengalami pertumbuhan yang paling optimal pada tahun 2005, karena mencapai pertumbuhan ekonomi hingga mencapai 23,09%. Sementara itu LPE paling rendah terjadi pada tahun 2009, dimana LPE-nya hanya mencapai 6,60%, namun pada tahun 2010 LPE-ADHB Kota Bekasi kembali melonjak hingga mencapai pertumbuhan sebesar 13.36%, kemudian bergerak perlahan hingga berada pada kisaran 13.59% pada tahun berikutnya (2011). Sementara itu pertumbuhan LPE-ADHK Kota Bekasi sejak tahun 2005 hingga tahun 2011 cenderung meningkat stabil, dimana titik tertinggi pertumbuhan terjadi pada tahun 2011 karena mencapai nilai pertumbuhan sebesar 7,08%. Sementara itu pertumbuhan terendah berada pada tahun yang sama pada LPE-ADHB, yaitu pada tahun 2009, karena hanya mencapai pertumbuhan sebesar 4,13%. Berdasarkan fakta serta data-data diatas, bisa disimpulkan bahwa pada tahun 2009 merefleksikan kondisi perekonomian Kota Bekasi yang kurang bagus, jika kita coba bandingkan dengan kondisi perekonomian Kota Bekasi dalam rentang waktu tahun 2005 hingga tahun 2011 penelitian ini. 4-11

22 4.4. INFLASI DAN INDEKS HARGA IMPLISIT (IHI) Inflasi adalah suatu keadaan dalam perekonomian di mana terjadi kenaikan harga-harga secara umum. Kenaikan dalam harga barang dan jasa yang biasa terjadi jika permintaan bertambah dibandingkan dengan jumlah penawaran atau persediaan barang di pasar, dalam hal ini lebih banyak uang yang beredar yang digunakan untuk membeli barang dibanding dengan jumlah barang dan jasa yang tersedia. Beberapa penyebab inflasi diantaranya bisa disebabkan oleh sektor ekspor-impor, tabungan atau investasi, pengeluaran dan penerimaan negara, sektor pemerintah dan swasta. Biasanya untuk mengukur tingkat inflasi dapat menggunakan Indek Harga Konsumen (IHK) Sementara itu, Indeks Harga Implisit (IHI) adalah suatu indeks harga yang mengambarkan perbandingan antara nilai produk atas dasar harga berlaku dan atas harga konstan, sedangkan perubahan Indeks Harga Implisit (IHI) mencerminkan tingkat inflasi yang tejadi dalam suatu periode. Perubahan Indeks Harga Implisit (IHI) dapat dianggap lebih menggambarkan tingkat tinflasi yang menyeluruh dibandingkan dengan indikator inflasi lainnya seperti Indeks Harga Konsumen (IHK) atau Indeks Sembilan Bahan Pokok. Hal ini disebabkan Indeks Harga Implisit (IHI) sudah mewakili semua jenis harga yaitu harga konsumen, harga produsen, harga perdagangan besar, harga eceran dan harga lainnya yang sesuai dengan berbagai jenis harga yang dipergunakan dalam penghitungan nilai produksi setiap sektor. Laju Inflasi dan Indeks Harga Implisit (IHI) Kota Bekasi pada tahun 2005 hingga tahun 2011 bisa terlihat melalui tabel dan grafik dibawah ini : Tabel 4.7 (Inflasi dan Indeks Harga Implisit/ IHI Kota Bekasi Tahun ) Tahun Inflasi Indeks Harga Implisit (IHI) ,88% 163,77% ,53% 179,69% ,85% 191,77% ,10% 210,26% ,93% 215,25% ,88% 230,54% ,45% 244,57% Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Bekasi 4-12

23 Grafik 4.6 (Grafik Laju Inflasi Tahun ) Sumber: Hasil Olah Data Grafik 4.7 (Grafik Indeks Harga Implisit/ IHI Tahun ) Sumber: Hasil Olah Data Laju inflasi tertinggi Kota Bekasi terjadi pada tahun 2005, dimana nilai inflasi mencapai 16,88% selanjutnya laju inflasi terus bergerak sangat berfluktuatif, mulai turun menjadi 6,53% pada tahun 2006, kemudian kemblai bergerak turun paada tahun berikutnya (2007) hingga berada pada kisaran 4,85%. Peningkatan laju inflasi kembali terjadi pada tahun 2008 hingga berada pada kisaran 10,10% atau naik lebih dari 2 (dua) kali lipat jika dibandingkan 4-13

24 dengan tahun sebelumnya (2007), lalu kembali anjlok sangat curam hingga menjadi 1,93% saja pada tahun Pergerakan naik laju inflasi kembali terjadi pada tahun berikutnya (2010) yaitu berada pada angka 7,88% dan turun kembali pada tahun 2011 hingga berada pada kisaran 3,45%. Kondisi fluktuatifnya angka inflasi mulai dari 1 (satu) digit hingga menjadi 2 (dua) digit lalu menjadi 1 (satu) digit lagi merefleksikan kondisi inflasi yang kurang bagus kontrol dan tidak terkontrol. Padahal jika saja pergerakan laju inflasi dari tahun ke tahun bisa dilakukan prediksi, maka diharapkan pemerintah bisa melakuka intervensi untuk meredam laju inflasi yang mencapai titik tertinggi pada angka 16,88% pada tahun Sementara itu pergerakan Indeks Harga Implisit (IHI) yang menggambarkan perbandingan antara nilai produk Atas Dasar Harga Berlaku (ADHB) dan Atas Dasar Harga Konstan (ADHK),dan juga bisa merefleksikan tingkat inflasi sesungguhnya yang terjadi dalam suatu periode tertentu, juga bisa kita lihat melalui tabel dan graifik diatas. Sejak tahun 2005 hingga tahun 2011, pergerakan laju IHI meningkat secara konsisten dari tahun ke tahun. Mulai dari 163,77% pada tahun 2005 hingga berada pada kisaran 244,57% pada tahun Dengan melihat fakta-fakta tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa pergerakan turun-naik laju inflasi hanya bersifat sementara, karena jika kita lihat pergerakan IHI, yang sesungguhnya terjadi adalah kenaikan tingkat inflasi bergerak naik secara perlahan dan konsisten sejak tahun 2005 hingga tahun EKSPOR-IMPOR Kinerja Ekspor-Impor Kota Bekasi sebagaimana tampak pada tabel 4.6 dibawah, cenderung mengalami peningkatan dari tahun ketahun ( ). Untuk volume ekspor sendiri, pada tahun 2005 mencapai nilai US$ 152,5 juta, namun mengalami penurunan pada tahun berikutnya (2006) karena pada tahun tersebut hanya berhasil dicapai volume ekspor sebesar US$ 138,6 juta. Pada tahun berikutnya (2007), volume ekspor Kota Bekasi kembali mengalami 4-14

25 peningkatan yang cukup berarti hingga mencapai nilai US$ 152,5 juta dan kembali meningkat menjadi US$ 167,8 juta pada tahun berikutnya (2008). Peningkatan yang cukup siginifikan hingga mencapai lebih dari dua kali lipat dari tahun sebelumnya adalah pada tahun 2009, dimana nilai volume ekspor Kota Bekasi mencapai nilai US$ 366,1 juta dalam satu tahun, lalu kembali turun pada tahun berikutnya (2010) hingga berada pada kisaran US$ 315,4 juta, sebelum akhirnya kembali melonjak naik pada tahun 2011 hingga berada pada kisaran US$ 536,4 juta. Tabel 4.8 (Nilai Ekspor & Impor Kota Bekasi Tahun ) Tahun Ekspor (US$) Impor (US$) , , , , , , , , , , , ,29 Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Bekasi Sementara itu volume impor Kota Bekasi cenderung meningkat stabil dari tahun ke tahun meskipun tidak terlalu mencolok seperti nilai ekspor pada tahun Pada tahun 2005 volume impor mencapai nilai US$ 31,6 juta, lalu meningkat menjadi US$ 38 juta pada tahun berikutnya (2006). Tahun 2007 volume impor Kota Bekasi kembali mengalami peningkatan hingga mencapai nilai US$ 45,6 juta, lalu meningkat menjadi US$ 52,4 juta pada tahun 2008 dan menjadi US$ 63,7 juta pada tahun Pada tahun berikutnya (2010), nilai impor Kota Bekasi kembali meningkat tipis hinggga berada pada kisaran US$ 66,4 juta, dan kembali melonjak cukup signifikan pada tahun 2011, dimana nilai impor mencapai angka US$ 122,8 juta, atau meningkat hampir 2 (dua) kali lipat dari tahun sebelumnya. Positifnya nilai ekspor Kota Bekasi dari tahun ke tahun ( ) merefleksikan kondisi surflus, dimana cadangan devisa Kota Bekasi cukup baik dan bisa menghandle atau mengkompensasi nilai impor Kota Bekasi dengan cukup baik pula. Surflusnya nilai ekspor Kota Bekasi juga akan memberikan kontribusi pada pendapatan Kota Bekasi itu sendiri dimana nilai ekspor sebagai 4-15

26 indikator positif (faktor penambah) pendapatan daerah melebihi nilai import sebagai indikator negatif (faktor pengurang) pendapatan daerah Kota Bekasi. Berikut ini melalui grafik 4.8, disajikan juga nilai pertumbuhan ekspor-impor Kota Bekasi sejak tahun 2005 hingga tahun 2011: Grafik 4.8 (Grafik Pertumbuhan Ekspor-Impor Kota Bekasi Tahun ) Sumber: Hasil Olah Data 4.6. KEUANGAN DAERAH (APBD, PAD) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah di Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Tahun anggaran APBD meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. APBD sendiri terdiri atas: a. Anggaran Pendapatan, terdiri atas (1) Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang meliputi pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan penerimaan lain-lain (2) Bagian dana perimbangan, yang meliputi Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus, (3) Lain-lain pendapatan yang sah seperti dana hibah atau dana darurat. b. Anggaran Belanja, yang digunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan di daerah. 4-16

27 c. Pembiayaan, yaitu setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya. Sementara itu, realisasi Penerimaan dan Pengeluaran pemerintah Kota Bekasi dengan mengacu terhadap nilai APBD yang sudah ada, mulai tahun 2005 hingga tahun 2011 adalah sebagaimana terlihat pada tabel dan grafik dibawah ini: Tabel 4.9 (Realisasi Pengeluaran dan Penerimaan APBD Kota Bekasi Tahun ) Tahun Realisasi Pengeluaran (Rp) Realisasi Penerimaan (Rp) Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Bekasi Grafik 4.9 (Grafik Realisasi Penerimaan & Pengeluaran APBD Kota Bekasi Tahun ) Sumber: Hasil Olah Data Pengeluaran sebagaimana kita lihat pada grafik diatas merupakan realisasi dari Belanja Pemerintah Kota Bekasi. Dalam grafik tersebut bisa terlihat bahwa realisasi penerimaan pemerintah Kota Bekasi masih lebih kecil 4-17

28 jika kita bandingkan dengan realisasi pengeluarannya. Kondisi surflus hanya terjadi pada tahun 2006, 2007 dan 2011, sementara itu, pada tahun 2005, 2008, 2009 dan 2010, selalu mengalami defisit, karena penerimaan yang ada tidak bisa menutupi jumlah pengeluaran yang ada INVESTASI Indikator makro ekonomi selalu menampilkan sisi investasi. Walaupun hanya menampilkan angka absolut yang dibandingkan dari tahun ke tahun, namun besaran ini sangat berdampak terhadap kinerja ekonomi suatu daerah. Penilaian terhadap keberhasilan suatu daerah salah satunya adalah daya tarik untuk berinvestasi didaerah tersebut. Dari infrastruktur, Pemerintah Kota Bekasi terus mengembangkannya bahkan relatif dapat dikatakan berkembang pesat dari tahun ketahun. Hal ini menjadi daya tarik tersendiri bagi pebisnis untuk terus melakukan aktivitas bisnisnya di Kota Bekasi. Indikasi terus meningkatnya investor masuk ke Kota Bekasi, antara lain dengan melihat tingginya angka permohonan perizinan usaha. Pemohon Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) terlihat terus meningkat dari 2008 hingga Investasi di Kota Bekasi dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kategori industri, diantaranya adalah sebagai berikut: (1) Industri Logam, Mesin dan Elektronika; (2) Industri Agro dan Hasil Hutan; dan (3) Industri Kimia. Berdasarkan data yang diperoleh untuk memperkuat analisis kajian penelitian ini, berikut ini disajikan data investasi ketiga kategori tersebut dalam bentuk tabel 4.10, sebagai berikut: 4-18

29 Tabel 4.10 (Investasi Kota Bekasi Berdasarkan Kelompok Industri Tahun ) Tahun Industri Logam, Mesin dan Elektronika Industri Agro dan Hasil Hutan Industri Kimia Sumber: BKPMD Bekasi Grafik 4.10 (Grafik Investasi Kota Bekasi Berdasarkan Kelompok Industri Tahun ) Sumber: Hasil Olah Data Pada tahun 2008, Industri Logam, Mesin dan Elektronika nilai investasinya masih cukup besar jika dibandingkan kelompok industri lainnya dan hal tersebut masih terjadi pada tahun 2009, namun selanjutnya menurun di tahun 2010 dan kembali menurun pada tahun Sementara itu jika kita perhatikan investasi pada kelompok Industri Kimia semakin meningkat dari tahun ke tahun, sejak tahun 2008 hingga tahun Investasi pada kelompok Industri Agro dan Hasil Hutan dalam tabel dan grafik di atas cenderung tetap, meskipun penurunan cukup signifikan terlihat pada tahun Selain pengelompokkan data investasi berdasarkan industri, data investasi Kota Bekasi juga dikelompokkan berdasarkan skalanya, yaitu sebagaimana tampak pada tabel 4.11 seperti dibawah ini: 4-19

30 Tabel 4.11 (Investasi Kota Bekasi Berdasarkan Skala Industri Tahun ) Tahun Kecil Menengah Besar Sumber: BKPMD Bekasi Grafik 4.11 (Grafik Investasi Kota Bekasi Berdasarkan Skala Industri Tahun ) Sumber: Hasil Olah Data Nilai investasi pada skala industri memang di dominasi oleh industri dengan skala besar. Perbedaan cukup signifikan nampak terlihat pada tahun 2009 dengan nilai investasi hanya mencapai 50 miliar rupiah, dimana nilainya menurun 3 (tiga) kali lipat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2008) yang berada pada kisaran 171 miliar rupiah. Lalu bergerak naik kembali pada tahun 2010 hingga berada pada kisaran 194 miliar rupiah, dan terus melonjak pada tahun 2011 hingga mencapai 353 miliar rupiah. Sementara itu untuk industri dengan skala kecil dan menengah nilai investasi hanya mencapai nilai yang tidak melebihi 50 miliar rupiah. 4-20

31 4.8. ANALISA KOMPARATIF DENGAN KOTA/ KABUPATEN DI JAWA BARAT Melakukan perbandingan pertumbuhan ekonomi antar wilayah juga diperlukan bagi penelitian ini, agar kondisi Pemerintah Kota Bekasi bisa segera melakukan evaluasi atau perbaikan sejak dini, jika dirasakan masih tidak lebih baik dari daerah sekitar yang dijadikan pembanding tersebut. Selain itu dalam penyusunan indikator ekonomi makro daerah juga biasanya dengan membandingkan data PDRB daerah tersebut dengan daerah disekitarnya melalui analisis Location Quotient (LQ) untuk melihat keuntungan komparatif suatu daerah terhadap daerah pembandingnya. Terkait dengan data-data pembanding kota-kota lainnya yang sangat sulit diperoleh, maka analisis perbandingan kajian ini hanya terhadap nilai Indeks Pembangunan manusia (IPM) dari seluruh Kota dan Kabupaten yang berada dalam cakupan wilayah Jawa Barat. Metode Location Quetion (LQ) merupakan suatu alat pengembangan ekonomi yang lebih sederhana dengan segala kelebihan dan keterbatasannya. Teknik Location Quetion (LQ0 merupakan salah satu pendekatan yang paling umum digunakan dalam model ekonomi basis sebagai langkah awal untuk memahami sektor kegiatan yang menjadi pemacu pertumbuhan. Location Quetion (LQ) juga mengukur konsentrasi relatif atau derajat spesialisasi kegiatan ekonomi melalui pendekatan perbandingan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Menurut United Nation Development Programme (UNDP) (1995), paradigma pembangunan manusia terdiri dari 4 (empat) komponen utama, yaitu: a. Produktivitas, masyarakat harus dapat meningkatkan produktifitas mereka dan berpartisipasi secara penuh dalam proses memperoleh penghasilan dan pekerjaan berupah. Oleh karena itu, pertumbuhan ekonomi adalah salah satu bagian dari jenis pembangunan manusia, b. Ekuitas, masyarakat harus punya akses untuk memperoleh kesempatan yang adil. Semua hambatan terhadap peluang ekonomi dan politik harus 4-21

32 dihapus agar masyarakat dapat berpartisipasi di dalam dan memperoleh manfaat dari kesempatan-kesempatan ini, c. Kesinambungan, akses untuk memperoleh kesempatan harus dipastikan tidak hanya untuk generasi sekarang tapi juga generasi yang akan datang. Segala bentuk permodalan fisik, manusia, lingkungan hidup, harus dilengkapi, d. Pemberdayaan, pembangunan harus dilakukan oleh masyarakat dan bukan hanya untuk mereka. Masyarakat harus berpartisipasi penuh dalam mengambil keputusan dan proses-proses yang mempengaruhi kehidupan mereka. Dengan peningkatan kemampuan, kreatifitas dan produktifitas manusia akan meningkat sehingga mereka menjadi agen pertumbuhan yang efektif. Pertumbuhan ekonomi harus dikombinasikan dengan pemerataan hasil-hasilnya. Pemerataan kesempatan harus tersedia baik, semua orang, perempuan maupun laki-laki harus diberdayakan untuk berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan keputusan-keputusan penting yang mempengaruhi kehidupan mereka. Pembangunan manusia merupakan paradigma pembangunan yang menempatkan manusia (penduduk) sebagai fokus dan sasaran akhir dari seluruh kegiatan pembangunan, yaitu tercapainya penguasaan atas sumber daya (pendapatan untuk mencapai hidup layak), peningkatan derajat kesehatan (usia hidup panjang dan sehat) dan meningkatkan pendidikan (kemampuan baca tulis dan keterampilan untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat dan kegiatan ekonomi). Indeks Pembangunan Manusia (IPM) / Human Development Index (HDI) adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk semua negara seluruh dunia (bisa juga digunakan untuk Daerah). IPM digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara (daerah) adalah negara (daerah) maju, negara (daerah) berkembang atau negara (daerah) terbelakang dan juga untuk mengukur pengaruh dari kebijaksanaan ekonomi terhadap kualitas hidup. Indeks ini pada 1990 dikembangkan oleh pemenang nobel india Amartya Sen dan Mahbub ul Haq seorang ekonom Pakistan dibantu oleh Gustav Ranis dari Yale 4-22

33 University dan Lord Meghnad Desai dari London School of Economics dan sejak itu dipakai oleh Program pembangunan PBB pada laporan IPM tahunannya. Digambarkan sebagai "pengukuran vulgar" oleh Amartya Sen karena batasannya, indeks ini lebih fokus pada hal-hal yang lebih sensitif dan berguna daripada hanya sekedar pendapatan perkapita yang selama ini digunakan. Indeks ini juga berguna sebagai jembatan bagi peneliti yang serius untuk mengetahui hal-hal yang lebih terinci dalam membuat laporan pembangunan manusianya. IPM mengukur pencapaian rata-rata sebuah negara (daerah) menjadi 3 (tiga) dimensi dasar pembangunan manusia, yaitu sebagai berikut: a. Hidup yang sehat dan panjang umur yang diukur dengan harapan hidup saat kelahiran. b. Pengetahuan yang diukur dengan angka tingkat baca tulis pada orang dewasa (bobotnya dua per tiga) dan kombinasi pendidikan dasar, menengah, atas gross enrollment ratio (bobot satu per tiga). c. Standard kehidupan yang layak diukur dengan logaritma natural dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita dalam Paritasi Daya Beli (Purchasing Power Varity) Salah satu data komparatif kota atau wilayah sekitar yang bisa diperoleh dalam kajian ilmiah ini adalah data Indeks Pembangunan Manusia (IPM), sebagaimana disajikan dalam tabel dibawah ini: Tabel 4.12 (IPM Kota Bekasi dan Kota/ Kabupaten Pembanding di Jawa Barat Tahun ) Kabupaten/ Kota Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kab Bogor 69,73 70,08 70,66 71,35 72,16 72, Kab Sukabumi 68,88 69,21 69,66 70,17 70,66 71, Kab Cianjur 67,1 67,65 68,17 68,66 69,14 69, Kab Bandung 72,62 72,97 73,41 73,84 74,05 74, Kab Garut 69,46 69,99 70,52 70,98 71,36 71, Kab Tasikmalaya 70,86 71,24 71,35 71,73 72,00 72,

34 3207 Kab Ciamis 69,3 70,14 70,57 70,96 71,37 71, Kab Kuningan 69,21 69,7 70,12 70,42 70,89 71, Kab Cirebon 66,32 67,3 67,7 68,37 68,89 69, Kab Majalengka 68,41 68,94 69,4 69,94 70,25 70, Kab Sumedang 70,56 71,3 71,68 72,14 72,42 72, Kab Indramayu 66,28 66,22 66,78 67,39 67,75 68, Kab Subang 69,88 70,03 70,43 70,86 71,14 71, Kab Purwakarta 68,86 69,88 70,31 70,79 71,17 71, Kab Karawang 66,95 68,45 69,06 69,47 69,79 70, Kab Bekasi 70,72 71,55 72,1 72,47 72,93 73, Kab Bandung Barat 72,27 72,29 72,65 72,99 73,35 73, Kota Bogor 74,57 74,73 75,16 75,47 75,75 76, Kota Sukabumi 73 73,66 74,17 74,57 74,91 75, Kota Bandung 74,52 74,86 75,35 75,64 76,06 76, Kota Cirebon 73,8 73,67 74,26 74,68 74,93 75, Kota Bekasi 74,82 75,31 75,73 76,10 76,36 76, Kota Depok 77,67 77,89 78,36 78,77 79,09 79, Kota Cimahi 73,35 74,42 74,79 75,17 75,51 76, Kota Tasikmalaya 72,27 72,75 73,35 73,96 74,40 74, Kota Banjar 69,64 70,17 70,61 70,98 71,38 71, JAWA BARAT 70,32 70,71 71,12 71,64 72,29 72,73 Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Bekasi Dengan melihat tabel diatas, nampak bahwa IPM Kota Bekasi masih berada pada nomor urut 2 (dua) dengan nilai mencapai 74-76, masih jauh lebih baik ketimbang beberapa wilayah atau kota kabupaten pembandingnya dalam wilayah Jawa Barat, diantaranya seperti Kota Bandung, Kota Cirebon, Kota Cimahi, Kota Tasikmalaya dan Kota lainnya. Kota Bekasi hanya berada dibawah Kota Depok yang menempati nomor urut 1 (satu) untuk IPM-nya yang berkisar antara Sementara itu jika kita bandingkan dengan Provinsi Jawa Barat, rata-rata IPM Kota Bekasi memang berada diatas rata-rata IPM Jawa Barat yang nilainya antara saja. Kondisi ini merefleksikan bahwa pertumbuhan IPM Kota Bekasi masih lebih baik ketimbang Provinsi Jawa Barat. 4-24

35 Tabel 4.13 (Ranking Kota Bekasi dan Kota/ Kabupaten Pembanding di Jawa Barat Tahun ) Kabupaten/ Kota Peringkat IPM di Jawa Barat Kab Bogor Kab Sukabumi Kab Cianjur Kab Bandung Kab Garut Kab Tasikmalaya Kab Ciamis Kab Kuningan Kab Cirebon Kab Majalengka Kab Sumedang Kab Indramayu Kab Subang Kab Purwakarta Kab Karawang Kab Bekasi Kab Bandung Barat Kota Bogor Kota Sukabumi Kota Bandung Kota Cirebon Kota Bekasi Kota Depok Kota Cimahi Kota Tasikmalaya Kota Banjar Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Bekasi Sejak tahun 2006 hingga tahun 2011, Kota Bekasi tetap konsisten menempati nomor urut 2 (dua), sementara itu Kota Depok juga konsisten berada pada urutan pertama sejak tahun 2006 hingga tahun 2011, sementara itu Kota-Kota pembanding lainnya mengalami perubahan urutan sejak tahun 2006 hingga tahun Sementara itu jika nilai IPM berada di atas 80, maka wilayah tersebut termasuk kategori wilayah yang status pembangunan manusianya tinggi. 4-25

36 Tabel 4.14 (IPM Jawa Barat dan Provinsi Pembanding di Indonesia Tahun ) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung Kepulauan Riau DKI Jakarta Jawa Barat Jawa Tengah Yogyakarta Jawa Timur Banten Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku Maluku Utara Irian Jaya Barat Papua Indonesia (BPS) Sumber: Badan Pusat Statistik 4-26

37 Sementara itu jika kita coba bandingkan IPM Kota Bekasi dengan IPM seluruh Provinsi bahkan IPM Nasional, faktanya memang nilai IPM yang berhasil diraih oleh Kota Bekasi dari tahun 2006 sampai dengan tahun 2011 cukup membanggakan, karena rata-rata nilai IPM Kota Bekasi, masih lebih tinggi ketimbang nilai rata-rata dalam skala nasional yang hanya berada pada kisaran saja (tahun 2005 sampai dengan tahun 2010). Walaupun tidak lebih baik dari Provinsi DKI Jakarta, yang IPM-nya berada pada kisaran nilai 76-77, namun sebagai sebuah bagian dari Provinsi Jawa Barat, ternyata Kota Bekasi mampu memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap nilai IPM Provinsi Jawa Barat secara keseluruhan Komponen IPM-Angka Harapan Hidup (Indeks Kesehatan) Angka Harapan Hidup (Indeks Kesehatan) untuk Kota Bekasi dari tahun ke tahun, sejak tahun 2006 hingga tahun 2011 sebagaimana terlihat pada tabel 4.15 dibawah ini terus meningkat, hanya saja jika dilihat dari rangking secara keseluruhan pada komponen ini terhadap Kabupaten/ Kota se-jawa Barat tidaklah demikian. Jika kita perhatikan, mulai tahun 2006 hingga tahun 2008 Kota Bekasi terus-menerus berada pada rangking ke-3, selanjutnya mengalami penurunan pada tahun 2010 dan berada pada rangking ke-4, bahkan pada tahun 2011 kembali merosot hingga berada pada rangking ke-6. Meski secara keseluruhannya terhadap Kabupaten/ Kota se-jawa Barat IPM Kota Bekasi selalu berada pada nomor urut 2, tetapi perlu ditinjau lebih lanjut agar pada komponen Angka Harapan Hidup yang merupakan bagian dari perhitungan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Kota Bekasi tidak terjadi penurunan jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Jawa Barat. Tabel IPM, khususnya komponen Angka Harapan Hidup Kota Bekasi sejak tahun 2006 hingga tahun 2011 adalah sebagaimana tampak pada tabel 4.15 dibawah ini : 4-27

38 Tabel 4.15 (IPM-Angka Harapan Hidup Kota Bekasi Tahun ) No Kota/ Kabupaten 2006 No Kota/ Kabupaten 2007 No Kota/ Kabupaten 2008 No Kota/ Kabupaten 2009 No Kota/ Kabupaten 2010 No Kota/ Kabupaten Kota Depok 72,60 1 Kota Depok 72,72 1 Kota Depok 72,85 1 Kota Depok 72,97 1 Kota Depok 73,09 1 Kota Depok 73,22 2 Kota Bandung 69,60 2 Kota Bandung 69,55 2 Kota Bandung 69,61 2 Kota Bandung 69,66 2 Kota Tasikmalaya 69,86 2 Kota Tasikmalaya 70,23 3 Kota Bekasi 69,40 3 Kota Bekasi 69,45 3 Kota Bekasi 69,52 3 Kota Bekasi 69,58 3 Kota Bandung 69,72 3 Kota Bandung 69,78 4 Kota Cimahi 68,90 4 Kota Cimahi 68,97 4 Kota Tasikmalaya 69,13 4 Kota Tasikmalaya 69,49 4 Kota Bekasi 69,64 4 Kab Bekasi 69,73 5 Kab Subang 68,80 5 Kab Subang 68,95 5 Kab Subang 69,09 5 Kab Subang 69,24 5 Kota Sukabumi 69,44 5 Kota Sukabumi 69,70 6 Kab Bandung 68,70 6 Kota Sukabumi 68,87 6 Kota Cimahi 69,04 6 Kota Sukabumi 69,18 6 Kab Bekasi 69,40 6 Kota Bekasi 69,70 7 Kota Bogor 68,60 7 Kota Tasikmalaya 68,78 7 Kota Sukabumi 68,92 7 Kota Cimahi 69,11 7 Kab Subang 69,39 7 Kab Subang 69,54 8 Kab Bandung Barat 68,50 8 Kab Bandung 68,78 8 Kab Bandung 68,86 8 Kab Bekasi 69,07 8 Kota Cimahi 69,18 8 Kab Bogor 69,28 9 Kota Tasikmalaya 68,40 9 Kota Bogor 68,69 9 Kab Bekasi 68,74 9 Kab Bandung 68,94 9 Kab Bandung 69,02 9 Kota Cimahi 69,25 10 Kota Sukabumi 68,40 10 Kab Bandung Barat 68,53 10 Kota Bogor 68,68 10 Kota Bogor 68,77 10 Kota Bogor 68,87 10 Kab Bandung 69,10 11 Kota Cirebon 68,40 11 Kab Bekasi 68,43 11 Kab Bandung Barat 68,58 11 Kab Bandung Barat 68,61 11 Kab Bogor 68,86 11 Kota Bogor 68,97 12 Kab Bekasi 68,10 12 Kota Cirebon 68,42 12 Kota Cirebon 68,45 12 Kota Cirebon 68,47 12 Kab Bandung Barat 68,65 12 Kab Bandung Barat 68,68 13 Kab Bogor 67,20 13 Kab Bogor 67,53 13 Kab Bogor 68,03 13 Kab Bogor 68,44 13 Kota Cirebon 68,50 13 Kota Cirebon 68,52 14 Kab Tasikmalaya 67,10 14 Kab Tasikmalaya 67,32 14 Kab Tasikmalaya 67,53 14 Kab Tasikmalaya 67,75 14 Kab Tasikmalaya 67,96 14 Kab Tasikmalaya 68,18 15 Kab Sumedang 67,00 15 Kab Kuningan 67,12 15 Kab Kuningan 67,23 15 Kab Kuningan 67,35 15 Kab Kuningan 67,47 15 Kab Kuningan 67,59 16 Kab Kuningan 67,00 16 Kab Sumedang 67,10 16 Kab Sumedang 67,21 16 Kab Sumedang 67,31 16 Kab Sumedang 67,42 16 Kab Sumedang 67,52 17 Kab Ciamis 66,60 17 Kab Ciamis 66,77 17 Kab Ciamis 66,94 17 Kab Ciamis 67,11 17 Kab Ciamis 67,29 17 Kab Ciamis 67,47 18 Kab Indramayu 66,20 18 Kab Purwakarta 66,20 18 Kab Purwakarta 66,48 18 Kab Purwakarta 66,77 18 Kab Sukabumi 67,06 18 Kab Sukabumi 67,38 19 Kab Purwakarta 65,90 19 Kab Sukabumi 66,12 19 Kab Sukabumi 66,43 19 Kab Sukabumi 66,74 19 Kab Purwakarta 67,06 19 Kab Purwakarta 67,35 20 Kota Banjar 65,80 20 Kota Banjar 65,91 20 Kab Karawang 66,10 20 Kab Indramayu 66,41 20 Kab Indramayu 66,82 20 Kab Indramayu 67,23 21 Kab Sukabumi 65,80 21 Kab Karawang 65,70 21 Kota Banjar 66,03 21 Kab Karawang 66,40 21 Kab Karawang 66,70 21 Kab Karawang 67,00 22 Kab Karawang 65,60 22 Kab Indramayu 65,62 22 Kab Indramayu 66,01 22 Kota Banjar 66,15 22 Kab Majalengka 66,35 22 Kab Majalengka 66,62 23 Kab Majalengka 65,30 23 Kab Majalengka 65,57 23 Kab Majalengka 65,82 23 Kab Majalengka 66,09 23 Kota Banjar 66,26 23 Kota Banjar 66,38 24 Kab Cirebon 64,80 24 Kab Cianjur 64,96 24 Kab Cianjur 65,29 24 Kab Cianjur 65,64 24 Kab Cianjur 66,00 24 Kab Cianjur 66,35 25 Kab Cianjur 64,80 25 Kab Cirebon 64,92 25 Kab Cirebon 65,05 25 Kab Garut 65,20 25 Kab Garut 65,60 25 Kab Garut 66,00 26 Kab Garut 64,00 26 Kab Garut 64,42 26 Kab Garut 64,80 26 Kab Cirebon 65,17 26 Kab Cirebon 65,29 26 Kab Cirebon 65,41 JAWA BARAT 67,40 JAWA BARAT 67,88 JAWA BARAT 67,80 JAWA BARAT 68,00 JAWA BARAT 68,20 JAWA BARAT 68,40 Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Bekasi 4-28

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penduduk merupakan suatu hal yang penting karena merupakan modal dasar dalam pembangunan suatu wilayah. Sukirno (2006) mengatakan penduduk dapat menjadi faktor pendorong

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Otonomi daerah merupakan hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM Perkembangan Sejarah menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Barat merupakan Provinsi yang pertama dibentuk di wilayah Indonesia (staatblad Nomor : 378). Provinsi Jawa Barat dibentuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pembangunan manusiadengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi. untuk menghasilkan barang dan jasa akan meningkat.

I. PENDAHULUAN. pembangunan manusiadengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi. untuk menghasilkan barang dan jasa akan meningkat. 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini banyak literatur ekonomi pembangunan yang membandingkan antara pembangunan manusiadengan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dapat didefinisikan sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pendekatan pembangunan manusia telah menjadi tolak ukur pembangunan. pembangunan, yaitu United Nations Development Programme (UNDP)

BAB I PENDAHULUAN. Pendekatan pembangunan manusia telah menjadi tolak ukur pembangunan. pembangunan, yaitu United Nations Development Programme (UNDP) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Sumber Daya Manusia (SDM) adalah kekayaan suatu negara yang dijadikan sebagai modal dasar pembangunan. Pembangunan bertujuan untuk menciptakan lingkungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum BAB I PENDAHULUAN 1.1. Dasar Hukum Dasar hukum penyusunan Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2016, adalah sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950 tentang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT ATA 2014 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penyampaian laporan keterangan pertanggungjawaban Kepala Daerah kepada DPRD merupakan amanah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjadi lebih baik atau meningkat. Pembangunan Nasional yang berlandaskan. dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

BAB I PENDAHULUAN. menjadi lebih baik atau meningkat. Pembangunan Nasional yang berlandaskan. dan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis. 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu langkah dalam membuat sesuatu yang belum ada menjadi ada atau membuat suatu perubahan yaitu membuat sesuatu menjadi lebih baik atau meningkat.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1

BAB I PENDAHULUAN LKPJ GUBERNUR JAWA BARAT TAHUN 2015 I - 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 69 mengamanatkan Kepala Daerah untuk menyampaikan Laporan Keterangan Pertanggungjawaban

Lebih terperinci

BAB III OBYEK DAN METODE PENELITIAN. yang menjadi obyek penelitian sebagai variabel bebas

BAB III OBYEK DAN METODE PENELITIAN. yang menjadi obyek penelitian sebagai variabel bebas BAB III OBYEK DAN METODE PENELITIAN 3.1. Obyek Penelitian Adapun yang menjadi obyek penelitian sebagai variabel bebas (independent variable) adalah sumber-sumber PAD yang terdiri dari pajak daerah; retribusi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dinyatakan bahwa penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan

Lebih terperinci

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN V GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 5.1 Geografis dan Administratif Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 0 50 7 0 50 Lintang Selatan dan 104 0 48 108 0 48 Bujur Timur, dengan batas-batas

Lebih terperinci

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT 5.1. PDRB Antar Kabupaten/ Kota oda perekonomian yang bergulir di Jawa Barat, selama tahun 2007 merupakan tolak ukur keberhasilan pembangunan Jabar.

Lebih terperinci

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT

BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT BAB V KINERJA PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA DI JAWA BARAT 5.1. PDRB Antar Kabupaten/ Kota eranan ekonomi wilayah kabupaten/kota terhadap perekonomian Jawa Barat setiap tahunnya dapat tergambarkan dari salah

Lebih terperinci

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang

I-1 BAB I PENDAHULUAN. I. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah (LPPD) kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Indeks Pembangunan Manusia (IPM) / Human Development Index (HDI) adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar

Lebih terperinci

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL

BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL BAB II JAWA BARAT DALAM KONSTELASI NASIONAL 2.1 Indeks Pembangunan Manusia beserta Komponennya Indikator Indeks Pembangunan Manusia (IPM; Human Development Index) merupakan salah satu indikator untuk mengukur

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam

V. GAMBARAN UMUM. Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam V. GAMBARAN UMUM Penyajian gambaran umum tentang variabel-variabel endogen dalam penelitian ini dimaksudkan agar diketahui kondisi awal dan pola prilaku masingmasing variabel di provinsi yang berbeda maupun

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

IV. KONDISI UMUM WILAYAH 29 IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 LS dan 104 48-104 48 BT dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Salah satu komponen dari penelitian adalah menggunakan metode yang

BAB III METODE PENELITIAN. Salah satu komponen dari penelitian adalah menggunakan metode yang BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Salah satu komponen dari penelitian adalah menggunakan metode yang ilmiah, agar metode yang ilmiah ini dapat dilaksanakan dengan relatif lebih mudah dan

Lebih terperinci

Bab 1 Pendahuluan. Gambar 1.1 Peta Dunia Berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (2004). menengah. tinggi. data ( ) rendah (

Bab 1 Pendahuluan. Gambar 1.1 Peta Dunia Berdasarkan Indeks Pembangunan Manusia (2004). menengah. tinggi. data ( ) rendah ( Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan dan standar hidup untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Dasar Hukum

BAB I PENDAHULUAN A. Dasar Hukum BAB I PENDAHULUAN A. Dasar Hukum Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Gubernur Jawa Barat Akhir Tahun Anggaran 2011 disusun berdasarkan ketentuan sebagai berikut: 1. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1950

Lebih terperinci

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah

BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT. Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan luas wilayah 5.1. Kondisi Geografis BAB V GAMBARAN UMUM PROPINSI JAWA BARAT Propinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 o 50 ' - 7 o 50 ' Lintang Selatan dan 104 o 48 '- 108 o 48 ' Bujur Timur, dengan

Lebih terperinci

BAB 3 METODE PENELITIAN. 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data panel (pool data).

BAB 3 METODE PENELITIAN. 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data panel (pool data). 31 BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif dengan menggunakan data panel (pool data). 3.2 Metode Analisis Data 3.2.1 Analisis Weighted

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Tingkat Kesenjangan Pendapatan dan Trend Ketimpangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Tingkat Kesenjangan Pendapatan dan Trend Ketimpangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Tingkat Kesenjangan Pendapatan dan Trend Ketimpangan Kabupaten/Kota di Provinsi Jawa Barat Penghitungan kesenjangan pendapatan regional antar kabupaten/kota di Provinsi

Lebih terperinci

BAB III METODELOGI PENELTIAN. Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, Jawa Timur,

BAB III METODELOGI PENELTIAN. Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI. Yogyakarta, Jawa Timur, BAB III METODELOGI PENELTIAN A. Obyek/Subyek Penelitian Obyek dalam penelitian ini meliputi seluruh wilayah atau 33 provinsi yang ada di Indonesia, meliputi : Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Jawa Barat adalah salah satu Provinsi di Indonesia. Provinsi Jawa Barat memiliki luas wilayah daratan 3.710.061,32 hektar, dan Jawa Barat menduduki

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur

IV. GAMBARAN UMUM Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta. Bujur Timur. Luas wilayah Provinsi DKI Jakarta, berdasarkan SK Gubernur 57 IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Letak Geogafis dan Wilayah Administratif DKI Jakarta Provinsi DKI Jakarta merupakan dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 7 meter diatas permukaan laut dan terletak antara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan di daerah setempat. Penyediaan lapangan kerja berhubungan erat dengan

BAB I PENDAHULUAN. pendapatan di daerah setempat. Penyediaan lapangan kerja berhubungan erat dengan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Daya beli masyarakat berkaitan erat dengan pendapatan perkapita, Sedangkan pendapatan perkapita dipengaruhi oleh penyediaan lapangan kerja dan distribusi pendapatan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. berkembang dengan jalan capital investment dan human investment bertujuan

I. PENDAHULUAN. berkembang dengan jalan capital investment dan human investment bertujuan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi adalah proses merubah struktur ekonomi yang belum berkembang dengan jalan capital investment dan human investment bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. yang penting dilakukan suatu Negara untuk tujuan menghasilkan sumber daya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan manusia merupakan salah satu syarat mutlak bagi kelangsungan hidup bangsa dalam rangka menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Menciptakan pembangunan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Nilai (Rp) BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Penyusunan kerangka ekonomi daerah dalam RKPD ditujukan untuk memberikan gambaran kondisi perekonomian daerah Kabupaten Lebak pada tahun 2006, perkiraan kondisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perencanaan pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Perencanaan pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Perencanaan pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan (growth) merupakan awal proses pembangunan suatu negara. Pembangunan suatu negara diharapkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tersebut diharapkan dapat memberikan trickle down effect yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang umum digunakan dalam menetukan keberhasilan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi digunakan sebagai ukuran

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu negara. Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami perubahan yang cukup berfluktuatif. Pada

Lebih terperinci

BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH

BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH BAB IX PENETAPAN INDIKATOR KINERJA DAERAH Penetapan indikator kinerja daerah bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai ukuran keberhasilan pencapaian visi dan misi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah

Lebih terperinci

Tinjauan Perekonomian Berdasarkan PDRB Menurut Pengeluaran

Tinjauan Perekonomian Berdasarkan PDRB Menurut Pengeluaran Berdasarkan PDRB Menurut Pengeluaran Nilai konsumsi rumah tangga perkapita Aceh meningkat sebesar 3,17 juta rupiah selama kurun waktu lima tahun, dari 12,87 juta rupiah di tahun 2011 menjadi 16,04 juta

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara Lintang

BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN. Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara Lintang 56 BAB IV GAMBARAN UMUM DAN OBJEK PENELITIAN A. Letak Wilayah dan Luas Wilayah Provinsi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 Lintang selatan dan 104 48-108 48 Bujur Timur, dengan luas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000).

BAB I PENDAHULUAN. ketimpangan dan pengurangan kemiskinan yang absolut (Todaro, 2000). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan merupakan suatu proses multidimensional yang melibatkan perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap mental dan lembaga termasuk pula percepatan/akselerasi

Lebih terperinci

Bekasi, November 2012 Bappeda Kota Bekasi

Bekasi, November 2012 Bappeda Kota Bekasi Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah kehadirat Allah S.W.T., atas segala pertolongan-nya akhirnya tim kajian Penyusunan Analisis Indikator Ekonomi Makro Kota Bekasi Tahun 2011, dapat menyelesaikan laporan

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1 Arah Kebijakan Ekonomi Daerah Kebijakan pembangunan ekonomi Kabupaten Cianjur tahun 2013 tidak terlepas dari arah kebijakan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 32 Tahun 2004

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada

BAB I PENDAHULUAN. menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sumber daya alam yang berlimpah pada suatu daerah umumnya akan menunjang pertumbuhan ekonomi yang pesat. Akan tetapi jika bergantung pada sumber daya alam yang tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari 1 BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Manusia adalah kekayaan bangsa yang sesungguhnya. Tujuan utama dari pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyatnya untuk menikmati umur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Manusia merupakan kekayaan bangsa dan sekaligus sebagai modal dasar

I. PENDAHULUAN. Manusia merupakan kekayaan bangsa dan sekaligus sebagai modal dasar I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan kekayaan bangsa dan sekaligus sebagai modal dasar pembangunan. Tujuan dari pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyat untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu langkah dalam membuat sesuatu yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan merupakan suatu langkah dalam membuat sesuatu yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan suatu langkah dalam membuat sesuatu yang belum ada menjadi ada atau membuat suatu perubahan yaitu membuat sesuatu menjadi lebih baik atau

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan merupakan upaya yang sudah direncanakan dalam melakukan suatu perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup masyarakat, meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Proses pembangunan sebenarnya adalah merupakan suatu perubahan sosial

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Proses pembangunan sebenarnya adalah merupakan suatu perubahan sosial BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan adalah suatu orientasi dan kegiatan usaha yang tanpa akhir. Proses pembangunan sebenarnya adalah merupakan suatu perubahan sosial budaya. Pembangunan agar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perencanaan pembangunan di Indonesia diarahkan untuk mewujudkan masyarakat yang semakin sejahtera, makmur dan berkeadilan. Kebijaksanaan pembangunan dilakukan

Lebih terperinci

Katalog BPS :

Katalog BPS : Katalog BPS : 9902008.3373 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KOTA SALATIGA TAHUN 2011 KATA PENGANTAR Puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas terbitnya publikasi Produk Domestik Regional Bruto Kota Salatiga

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju dari pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh suatu negara untuk memperkuat proses perekonomian menuju perubahan yang diupayakan

Lebih terperinci

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA

BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No. 11/02/34/Th.XVI, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN SEBESAR 5,40 PERSEN Kinerja perekonomian Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) selama tahun

Lebih terperinci

I..PENDAHULUAN. Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) secara fisik dan mental. pembangunan. Tujuan dari pembangunan adalah menciptakan lingkungan

I..PENDAHULUAN. Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) secara fisik dan mental. pembangunan. Tujuan dari pembangunan adalah menciptakan lingkungan I..PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia adalah subjek dan objek pembangunan dalam kehidupannya harus mampu meningkatkan kualitas hidupnya sebagai insan pembangunan. Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM)

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 66 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan di Badan Pusat Statistik dengan mengambil data Laporan Realisasi Anggaran Penerimaan dan Pengeluaran pada

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian Objek penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah Provinsi Papua. Provinsi Papua merupakan salah satu provinsi terkaya di Indonesia dengan luas wilayahnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Hubungan keduanya dijelaskan dalam Hukum Okun yang menunjukkan

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Hubungan keduanya dijelaskan dalam Hukum Okun yang menunjukkan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengangguran merupakan satu dari banyak permasalahan yang terjadi di seluruh negara di dunia, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Hal ini terjadi karena

Lebih terperinci

BAB III PEMBAHASAN. Pada bab ini akan dijelaskan mengenai model regresi robust dengan

BAB III PEMBAHASAN. Pada bab ini akan dijelaskan mengenai model regresi robust dengan BAB III PEMBAHASAN Pada bab ini akan dijelaskan mengenai model regresi robust dengan metode estimasi-s. Kemudian akan ditunjukkan model regresi robust menggunakan metode estimasi-s untuk memprediksi Indeks

Lebih terperinci

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD

BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD BAB II PERUBAHAN KEBIJAKAN UMUM APBD 2.1. Perubahan Asumsi Dasar Kebijakan Umum APBD Dalam penyusunan Kebijakan Umum Perubahan APBD ini, perhatian atas perkembangan kondisi perekonomian Kabupaten Lombok

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maka membutuhkan pembangunan. Manusia ataupun masyarakat adalah kekayaan

BAB I PENDAHULUAN. maka membutuhkan pembangunan. Manusia ataupun masyarakat adalah kekayaan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat di suatu negara maka membutuhkan pembangunan. Manusia ataupun masyarakat adalah kekayaan bangsa dan sekaligus sebagai

Lebih terperinci

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP BELANJA MODAL PADA KABUPATEN GORONTALO

PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP BELANJA MODAL PADA KABUPATEN GORONTALO PENGARUH PERTUMBUHAN EKONOMI, PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN DANA ALOKASI UMUM TERHADAP BELANJA MODAL PADA KABUPATEN GORONTALO HELDY ISMAIL Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Negeri

Lebih terperinci

DATA PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMA DAN PMDN SE JAWA BARAT PERIODE LAPORAN JANUARI - MARET TAHUN 2017

DATA PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMA DAN PMDN SE JAWA BARAT PERIODE LAPORAN JANUARI - MARET TAHUN 2017 DATA PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI PMA DAN PMDN SE JAWA BARAT PERIODE LAPORAN JANUARI - MARET TAHUN 2017 I. REALISASI INVESTASI PMA & PMDN 1. Total Realisasi Investasi PMA dan PMDN berdasarkan Laporan

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN IV TAHUN 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN IV TAHUN 2013 BPS PROVINSI LAMPUNG No.06/02/18/Th.XIV, 5 Februari 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI LAMPUNG TRIWULAN IV TAHUN 2013 EKONOMI LAMPUNG TUMBUH 5,97 PERSEN SELAMA TAHUN 2013 Sebagai dasar perencanaan pembangunan ekonomi

Lebih terperinci

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian 205 VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis atas data yang telah ditabulasi berkaitan dengan dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. dalam perekonomian Indonesia. Masalah kemiskinan, pengangguran, pendapatan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. dalam perekonomian Indonesia. Masalah kemiskinan, pengangguran, pendapatan Bab I Pendahuluan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Kelemahan strategi pembangunan ekonomi di masa lalu dan krisis ekonomi yang berkepanjangan, telah menimbulkan berbagai persoalan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Otonomi daerah dan desentralisasi yang efektif berlaku sejak tahun 2001 merupakan awal pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Otonomi daerah

Lebih terperinci

VII. ANALISIS POTENSI PEREKONOMIAN LOKAL DI WILAYAH PEMBANGUNAN CIANJUR SELATAN

VII. ANALISIS POTENSI PEREKONOMIAN LOKAL DI WILAYAH PEMBANGUNAN CIANJUR SELATAN 102 VII. ANALISIS POTENSI PEREKONOMIAN LOKAL DI WILAYAH PEMBANGUNAN CIANJUR SELATAN Adanya otonomi daerah menuntut setiap daerah untuk dapat melaksanakan pembangunan daerah berdasarkan potensi yang dimiliki

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan

BAB I PENDAHULUAN. diberlakukan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah. Tujuan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Reformasi yang bergulir tahun 1998 telah membuat perubahan politik dan administrasi, salah satu bentuk reformasi tersebut adalah perubahan bentuk pemerintahan yang

Lebih terperinci

Analisis penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian di Kabupaten Tanjung Jabung Barat

Analisis penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian di Kabupaten Tanjung Jabung Barat Analisis penyerapan tenaga kerja pada sektor pertanian di Kabupaten Tanjung Jabung Barat Rezky Fatma Dewi Mahasiswa Prodi Ekonomi Pembangunan Fak. Ekonomi dan Bisnis Universitas Jambi Abstrak Penelitian

Lebih terperinci

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014

IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014 IPM KABUPATEN BANGKA: CAPAIAN DAN TANTANGAN PAN BUDI MARWOTO BAPPEDA BANGKA 2014 LATAR BELAKANG Sebelum tahun 1970-an, pembangunan semata-mata dipandang sebagai fenomena ekonomi saja. (Todaro dan Smith)

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA BADAN PUSAT STATISTIK No. 13/02/Th. XV, 6 Februari 2012 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA PERTUMBUHAN PDB TAHUN 2011 MENCAPAI 6,5 PERSEN Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2011 tumbuh sebesar 6,5 persen dibandingkan

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.11, 2010 Kementerian Keuangan. Dana Bagi Hasil. Pertambangan. Panas Bumi.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.11, 2010 Kementerian Keuangan. Dana Bagi Hasil. Pertambangan. Panas Bumi. BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.11, 2010 Kementerian Keuangan. Dana Bagi Hasil. Pertambangan. Panas Bumi. PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 06/PMK.07/2010 TENTANG ALOKASI DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Tanaman hortikultura merupakan salah satu tanaman yang menunjang pemenuhan gizi masyarakat sebagai sumber vitamin, mineral, protein, dan karbohidrat (Sugiarti, 2003).

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA

PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA BADAN PUSAT STATISTIK No. 12/02/Th. XIV, 7 Februari 2011 PERTUMBUHAN EKONOMI INDONESIA PERTUMBUHAN PDB TAHUN 2010 MENCAPAI 6,1 PERSEN Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2010 meningkat sebesar

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah adalah suatu pemberian hak dan kewajiban kepada daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan, kewenangan tersebut diberikan secara profesional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah negara maritim yang kaya akan potensi ikannya, sebagian besar wilayah Indonesia adalah lautan dan perairan. Sektor perikanan menjadi bagian yang sangat

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Sebelum dilakukan penelitian, langkah awal yang harus dilakukan oleh

BAB III METODE PENELITIAN. Sebelum dilakukan penelitian, langkah awal yang harus dilakukan oleh BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian Sebelum dilakukan penelitian, langkah awal yang harus dilakukan oleh peneliti adalah mengetahui dan menentukan terlebih dahulu metode yang digunakan dalam

Lebih terperinci

PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM

PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM PEREKONOMIAN DAERAH KOTA BATAM Konsentrasi pembangunan perekonomian Kota Batam diarahkan pada bidang industri, perdagangan, alih kapal dan pariwisata. Akibat krisis ekonomi dunia pada awal tahun 1997 pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; A. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan salah satu indikator yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tentu dapat menjadi penghambat bagi proses pembangunan. Modal manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. tentu dapat menjadi penghambat bagi proses pembangunan. Modal manusia yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Negara sedang berkembang, pada umumnya memiliki sumber daya manusia (SDM) yang melimpah namun dengan kualitas yang masih tergolong rendah. Hal ini tentu dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Sejak otonomi daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 diharapkan pembangunan di daerah berjalan seiring dengan pembangunan di pusat. Hal tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah

BAB I PENDAHULUAN. Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Sejak kebijakan pemerintah Indonesia tentang Otonomi Daerah dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 diharapkan pembangunan di daerah berjalan seiring dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan pada era 1950-an hanya berfokus pada bagaimana

BAB I PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan pada era 1950-an hanya berfokus pada bagaimana BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebijakan pembangunan pada era 1950-an hanya berfokus pada bagaimana suatu negara dapat meningkatkan pendapatannya guna mencapai target pertumbuhan. Hal ini sesuai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, dan (4) keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi, dan (4) keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada dasarnya pembangunan ekonomi mempunyai empat dimensi pokok yaitu: (1) pertumbuhan, (2) penanggulangan kemiskinan, (3) perubahan atau transformasi ekonomi, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Investasi infrastruktur transportasi dalam pembangunan ekonomi penting sebagai sarana untuk memperlancar mobilisasi barang dan jasa serta sebagai sarana untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jenis Bencana Jumlah Kejadian Jumlah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Jenis Bencana Jumlah Kejadian Jumlah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Bencana banjir berdasarkan data perbandingan jumlah kejadian bencana di Indonesia sejak tahun 1815 2013 yang dipublikasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan

Lebih terperinci

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009 ACEH ACEH ACEH SUMATERA UTARA SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT RIAU JAMBI JAMBI SUMATERA SELATAN BENGKULU LAMPUNG KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KEPULAUAN RIAU DKI JAKARTA JAWA BARAT

Lebih terperinci

PREVALENSI BALITA GIZI KURANG BERDASARKAN BERAT BADAN MENURUT UMUR (BB/U) DI BERBAGAI PROVINSI DI INDONESIA TAHUN Status Gizi Provinsi

PREVALENSI BALITA GIZI KURANG BERDASARKAN BERAT BADAN MENURUT UMUR (BB/U) DI BERBAGAI PROVINSI DI INDONESIA TAHUN Status Gizi Provinsi LAMPIRAN 1 PREVALENSI BALITA GIZI KURANG BERDASARKAN BERAT BADAN MENURUT UMUR (BB/U) DI BERBAGAI PROVINSI DI INDONESIA TAHUN 2013 Status Gizi No Provinsi Gizi Buruk (%) Gizi Kurang (%) 1 Aceh 7,9 18,4

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perekonomian merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Seiring perkembangan zaman tentu kebutuhan manusia bertambah, oleh karena itu perekonomian

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini berfokus pada penilaian kualtias pertumbuhan ekonomi kawasan Subosukowonosraten. Data diambil secara tahunan pada setiap

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TAHUN 2016

PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TAHUN 2016 BPS PROVINSI D.I. YOGYAKARTA No.11/02/34/Th.XIX, 6 Februari 2017 PERTUMBUHAN EKONOMI DI YOGYAKARTA TAHUN 2016 EKONOMI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA TAHUN 2016 TUMBUH 5,05 PERSEN LEBIH TINGGI DIBANDING TAHUN

Lebih terperinci

3. Kondisi Ekonomi Makro Daerah

3. Kondisi Ekonomi Makro Daerah Data capaian IPM Kabupaten Temanggung tahun 2013 belum dapat dihitung karena akan dihitung secara nasional dan akan diketahui pada Semester II tahun 2014. Sedangkan data lain pembentuk IPM diperoleh dari

Lebih terperinci

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 08 /PMK.07/2011 TENTANG

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 08 /PMK.07/2011 TENTANG MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 08 /PMK.07/2011 TENTANG ALOKASI KURANG BAYAR DANA BAGI HASIL SUMBER DAYA ALAM PERTAMBANGAN PANAS BUMI TAHUN ANGGARAN 2006, TAHUN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. dan yang tidak dipublikasikan. Data penelitian bersumber dari laporan keuangan

III. METODE PENELITIAN. dan yang tidak dipublikasikan. Data penelitian bersumber dari laporan keuangan 53 III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang akan diteliti adalah data sekunder, berupa catatan atau laporan historis yang telah tersusun dalam arsip (data dokumenter) yang dipublikasikan

Lebih terperinci

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT

V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT V. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA DI JAWA BARAT 5.1 Analisis Model Regresi Data Panel Persamaan regresi data panel digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. orang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu sandang, pangan, dan papan.

I. PENDAHULUAN. orang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu sandang, pangan, dan papan. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kemiskinan adalah kondisi dimana ketidakmampuan seseorang atau sekelompok orang untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka yaitu sandang, pangan, dan papan. Masalah kemiskinan

Lebih terperinci

TEORI ANALISIS KORELASI

TEORI ANALISIS KORELASI TEORI ANALISIS KORELASI 1.1 Pengertian Sepanjang sejarah umat manusia, orang melakukan penelitian mengenai ada dan tidaknya hubungan antara dua hal, fenomena, kejadian atau lainnya. Usaha-usaha untuk mengukur

Lebih terperinci

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH

BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH BAB III RANCANGAN KERANGKA EKONOMI DAERAH DAN KEBIJAKAN KEUANGAN DAERAH 3.1. Arah Kebijakan Ekonomi Daerah 3.1.1. Kondisi Ekonomi Daerah Kota Bogor Salah satu indikator perkembangan ekonomi suatu daerah

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Average Length of Stay (Day) Per Visit. Growth (%)

BAB 1 PENDAHULUAN. Average Length of Stay (Day) Per Visit. Growth (%) BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Perkembangan perekonomian khususnya sektor jasa di Indonesia berlangsung sangat pesat. Salah satu sektor jasa yang menjadi andalan Indonesia adalah industri

Lebih terperinci