6 PEMBAHASAN 6.1 Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Demersal

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "6 PEMBAHASAN 6.1 Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Demersal"

Transkripsi

1 163 6 PEMBAHASAN 6.1 Potensi dan Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Demersal Pemanfaatan sumberdaya perikanan demersal oleh nelayan Sibolga khususnya melalui operas penangkapan dengan bubu masih memiliki peluang yang cukup besar. Data hasil tangkapan nelayan pada kelompok ikan demersal ekonomis penting masih belum melewati batas pemanfaatan maksimum. Saat ini pengelolaan penangkapan ikan karang di pantai Barat Sumatera masih belum dilakukan oleh pemerintah dan nelayan karena belum adanya aturan yang diberlakukan khususnya pada ukuran hasil tangkapan. Hasil penelitian ini sangat berbeda dengan apa yang telah dikembangkan oleh masyarakat Meksiko dalam pemanfaatan sumberdaya ikan kakap merah (Joy et al., 2009). Perencanaan pengembangan usaha perikanan karang telah dikembangkan sejak tahun Pemanfaatan sumberdaya ikan karang khususnya kakap merah dan kerapu dapat dilakuakan dengan memberikan escaping gap pada alat tangkap bubu yang digunakan nelayan. Tujuan penggunaan escaping gap salah satunya adalah untuk mengurangi hasil tangkapan yang tidak memenuhi permintaan pasar dan menjaga kelestarian sumberdaya ikan demersal. Penelitian ini menunjukkan ukuran ikan hasil tangkapan bubu rata-rata telah mencapai ukuran dewasa. Ukuran panjang kakap merah yang tertangkap (length catch) pada penelitian ini realatif sama pada setiap spesiesnya. Hal ini menunjukkan bahwa ikan kakap merah memiliki kebiasaan berenang secara berkelompok pada ukuran dan umur yang hampir sama dalam satu komunitasnya. Hasil penelitian pengoperasian bubu di Raja Empat (Urbinas, 2004) menyatakan bahwa ikan tangkapan bubu memiliki keseragaman ukuran pada setiap spesies. Pendistribusian ikan hasil tangkapan bubu harus melalui Belawan dan Pekanbaru yang difasilitasi oleh pedagang pengumpul. Dua kota ini menjadi pusat pengumpulan ikan hasil tangkapan nelayan bubu di Sibolga. Ikan hasil tangkapan dengan grade A akan langsung dijual ke luar negeri yaitu negara tujuan Singapura, Hongkong dan Jepang. Ikan dengan grade BS akan dijual ke pasar lokal. Pengelompokan jenis hasil tangkapan menurut grade berdasarkan pada spesies, ukuran (panjang dan bobot) dan kondisi fisik ikan.

2 164 Selama ini penentuan kualitas hasil tangkapan ikan demersal masih sering dimonopoli oleh para juragan. Belum adanya laboratorium penjamin mutu perikanan di Sibolga menjadi alasan utama sulitnya nelayan menentukan harga dan kualitas hasil tangkapannya. Monintja (2003) menyatakan bahwa strategi pengembangan perikanan tangkap yang masih dimonopoli oleh satu pihak akan menghambat laju pengembangan usaha perikanan itu sendiri. Kegiatan pelelangan ikan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Sibolga sampai saat ini masih lebih rendah jika dibandingkan dengan kegiatan perikanan di tangkahan (pelabuhan perikanan swasta). Peran serta pemerintah dalam mengembangkan perikanan bubu dapat dilakukan dengan peningkatan regulasi dan fasilitas yang mendukung nelayan bubu. Perhitungan potensi pemanfaatan ikan kakap menunjukkan bahwa ikan kakap di pantai Barat Sumatera telah mencapai tangkapan maksimum lestari. Sesuai dengan pernyataan Monintja (2007) pemanfaatan yang sudah mencapai full exploited akan menyebabkan kepunahan pada spesies kakap di pantai Barat Sumatera. Penyebaran daerah penangkapan ikan kakap sudah dapat menjadi alternatif pengembangan yang dilakukan oleh nelayan Sibolga saat ini. Hasil tangkapan kakap berdasarkan ukuran ikan juga telah mencerminkan mulai sulitnya mendapatkan ikan kakap pada ukuran ekonomis tinggi. Ikan kakap yang didaratkan di tangkahan Sibolga untuk ukuran ekspor memiliki bobot minimal 1 kg/ekor. Jumlah tangkapan ikan kuwe masih sangat rendah jika dibandingkan dengan pemanfaatan ikan kakap dan kerapu. Kelompok ikan carangoides sp sebenarnya merupakan jenis ikan komersial utama yang banyak diminati oleh negara Singapura dan Hongkong. Rendahnya konsistensi penangkapan ikan kuwe menyebabkan harga ikan tersebut masih lebih rendah dibandingkan ikan kakap dan kerapu. Secara umum potensi perikanan karang di pantai Barat Sumatera masih cukup besar. Pemanfaatan ikan demersal dari famili Serranidae dan Lutjanidae sudah mulai termanfaatkan secara baik, namun pemanfaatan ikan kerapu masih memerlukan peningkatan upaya penangkapan. Tingginya potensi pemanfaatan ika larang di pantai Barat Sumatera didukung oleh keberadaan ekosistem terumbu karang. Berdasarkan penyebaran karang seperti yang tertera pada Peta 135

3 165 (Lampiran 3), potensi sumberdaya ikan demersal masih menjanjikan di daerah pantai Barat Sumatera. Pemanfaatan sumberdaya ikan kakap putih secara lestari berada pada nilai 1260,89 ton/tahun, pada tahun 2006 sampai 2010 pemanfaatan masih berada dibawah batas pemanfaatan lestari (Lampiran 2). Data tersebut diperoleh dari hasil tangkapan yang berfluktuasi dari tahun ketahun, hasil tangkapan tertinggi terjadi pada tahun 2007 dan terendah berada pada tahun 2008 hal ini terjadi karena pada tahun 2008 terjadi penurunan jumlah effort yang sangat signifikan dari tahun 2006 dan 2007 karena adanya kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga bahan bakar minyak sehingga nelayan banyak tidak melaut. Pada tahun 2009 dan 2010 meskipun effort mengalami penurunan namun memberikan hasil tangkapan yang lebih tinggi bila dibandingkan tahun Ikan kerapu Penurunan jumlah upaya penangkapan ikan kerapu pada Tahun 2009 telah memberikan pengaruh yang signifikan pada kenaikan jumlah hasil tangkapan. Pada tahun 2010 upaya penangkapan ikan kerapu mulai mengalami penurunan namun hasil tangkapan nelayan terhadap ikan kerapu tidak mengalami peningkatan. Perubahan hasil tangkapan ini menunjukkan bahwa pengoperasian bubu terhadap sumberdaya ikan karang tidak semata-mata dipengaruhi oleh jumlah upaya penangkapan. Sesuai dengan pernyataan Cann (1990), profitabilitas sebuah alat tangkap sangat dipengaruhi oleh kemampuan alat tangkap dalam menghasilkan ikan target. Kerapu yang tertangkap oleh bubu di pantai Barat Sumatera kemungkinan besar telah berada pada ukuran yang layak tangkap, sehingga penurunan upaya penangkapan kerapu dengan bubu justru memberikan kesempatan kepada ikan berukuran besar untuk masuk ke dalam perangkap. Hal ini semakin diperkuat dengan hasil pengukuran kerapu yang didominasi pada ukuran melebihi kriteria LM. Ikan kerapu merupakan jenis ikan demersal yang banyak ditemukan pada daerah karang di paparan benua tropis (Lounghurst and Pauly, 1987). Sesuai dengan pernyataan ini, pantai Barat Sumatera memrupakan ekosistem yang cukup

4 166 baik untuk pertumbuhan karang. Hal ini diperkuat dengan hasil tangkapan nelayan yang mampu menangkap ikan kerapu sepanjang tahun tanpa adanya pengaruh musim. Ikan kerapu tergolong pada kelompok ikan demersal yang hidup menetap dan memiliki pola gerak yang cenderung lambat. Ikan demersal dengan pola gerak seperti ini akan memiliki kandungan eritrosit dan haemoglobin yang relatif lebih rendah (Lee dan Kim, 1992). Sifat ikan yang memiliki pola gerak lambat akan mempengaruhi pola migrasinya, sehingga ikan kerapu cenderung tertangkap sepanjang tahun pada bubu yang ditempatkan disekitar karang Kakap merah Ikan kakap putih merupakan target penangkapan dari alat tangkap bubu. Bubu yang dioperasikan nelayan Sibolga diletakkan pada daerah sekitar terumbu karang yang menjadi habitat dari ikan kakap merah dengan perendaman selama 7 sampai 10 hari. Kakap merah merupakan kelompok ikan karang yang termasuk dalam keluarga Lutjanidae. Sifat ikan ini cenderung mendiami ekosistem yang relatif berpindah saat terjadi perubahan usia (Jeyaseelan, 1998). Ikan ini akan mendiami ekosistem mangrove saat masih berukuran juvenil dan akan memijah, kemudian saat mulai tumbuh dewasa, ikan kakap putih akan mulai memasuki perairan yang lebih dalam dan bergerak ke arah padang lamun. Ikan kakap merah memiliki sifat sedentariy yaitu menetap dalam waktu yang cukup lama setelah berumur dewasa. Sesuai dengan hasil tangkapan bubu nelayan Sibolga, ikan kakap putih yang masuk pada bubu rata-rata memiliki ukuran bobot di atas 0,6 kg. Jika nilai bobot ini dikorelasikan dengan nilai LM kakap putih, ukuran panjang 30 cm telah memberikan bobot sebesar 0,4 kg. Perbandingan nilai ini telah menunjukkan bahwa ikan kakap merah yang tertangkap oleh bubu telah memiliki ukuran yang layak tangkap Kuwe Sesuai dengan pernyataan Jeyaseelan (1998) terumbu karang merupakan habitat yang dijadikan ikan kuwe sebagai tempat berasosiasi dengan ikan lain. Ikan ini memiliki bentuk pipih dengan pola gaya renang yang cepat. Ikan kuwe memiliki sifat bermigrasi aktif dan berenang secara scholing serta tidak mendiami daerah ekosistem karang dalam waktu yang cukup lama. Sesuai dengan hasil

5 167 penelitian pukat ikan merupakan alat tangkap standar yang digunakan untuk menangkap ikan kuwe. Ikan kuwe sering dikategorikan sebagai ikan demersal karena sering tertangkap bersama kelompok ikan karang yang lain. Sebenarnya ikan ini merupakan jenis ikan yang melakukan asosiasi terhadap ekosistem terumbu karang. Ikan ini sering berada di celah karang untuk mencari makanan. Ikan ini tergolong sebagai predator aktif dalam rantai makanan yang terbentuk pada ekosistem terumbu karang. Sesuai dengan pernyataan (Lee dan Kim, 1992) variasi kelimpahan ikan kuwe sangat dipengaruhi oleh musim. Ikan kuwe dapat melakukan migrasi yang cenderung lebih jauh jika dibandingkan dengan ikan kerapu. Secara vertikal daerah renang ikan kuwe sering ditemukan pada perairan menangah sampai perairan dasar. Hasil perhitungan penangkapan ikan kuwe yang didaratkan di Sibolga menunjukkan bahwa bubu buksn merupakan alat tangkap yang paling dominan menangkap kuwe. Menurut Subani dan Barus (1989) pukat ikan merupakan alat yang paling produktif menangkap jenis ikan tersebut. Alat ini merupakan jenis alat tangkap yang dioperasiakn pada perairan menengah sampai peraran dasar. Pada saat melakukan migrasi untuk mencari makan, ikan ini sering tertangkap pada kantong jaring pukat ikan. Hasil penelitian pengoperasian bubu modifikasi menunjukkan bahwa perbaikan metode pengoperasian tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap penangkapan ikan kuwe. Pernyataan ini juga sinergis dengan hasil penelitian Risamasu (2008) yang menyimpulkan pengoperasian bubu yang telah diberikan rumpon cenderung menghasilka ikan karang yang bersifat sedentary. Sifat menetap pada ikan karang memberikan pengaruh yang lebih baik dalam produktivitas bubu. 6.2 Daerah Pengoperasian Bubu Bentuk topografi yang bervariasi akibat keberadaan karang telah membantu nelayan bubu Sibolga dalam menemukan bubu saat dioperasikan di Pulau Mursala. Daerah pengoperasian yang menghindari laut terbuka juga mengurangi pergerakan bubu akibat proses pasang surut. Menurut Pratomo (2010), topografi mempengaruhi arus pada kecepatannya saat menuju daratan sewaktu terjadi arus

6 168 pasang, serta saat berbalik ke daratan pada waktu surut. Kecepatan arus rata-rata di perairan Pulau Mursala pada kondisi normal sekitar 0,8 m/s sampai 1,2 m/s. Dengan pola arus seperti ini rata-rata pergeseran bubu pada sisi lintang 42 meter, sedangkan pada sisi bujur sebesar 38 meter. Bubu yang ditemukan kembali di perairan Pulau Mursala tentunya sangat dipengaruhi oleh pergeseran titiknya. Rata-rata pergeseran titik pengoperasian bubu nelayan diperoleh sebesar 61 meter. Kecepatan arus yang relatif stabil dan besar sangat berpengaruh terhadap keberadaan ekosistem karang. Menurut Lee dan Kim (1992) perbedaan kelimpahan ikan demersal sangat ditentukan oleh keberadaan ekosistem disekitarnya. Perbedaan kelimpahan ini juga sangat dipengaruhi oleh musim dan intensitas matahari. Terumbu karang yang sehat akan dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari dan pergerakan arus yang stabil. Kondisi terumbu karang yang masih cukup baik di sekitar perairan Pulau mursala akan memberikan pengaruh terhadap pola arus dan sebaliknya. Pola pergerakan arus pada perairan Pulau Pini dapat berubah secara ekstirm karena daerh ini termasuk pada wilayah yang mendekati perairan terbuka. Bentuk topografi dasar laut di perairan Pulau Pini sangat bervariasi dan cenderung terjal, Menurut Pratomo (2010) gerakan arus akan semakin lambat pada saat bertemu dengan bentuk topografi dasar laut yang ekstrem. Ditambahkan oleh Pratomo (2010), semakin landai bentuk topografi semakin cepat dan laminer gerakan arusnya, tetapi semakin beragam bentuk topografinya maka semakin lambat gerakan arusnya. Topografi yang beragam juga dapat membentuk aliran turbulen pada gerakan arusnya. Penempatan bubu di celah karang yang mencapai ketinggian 8 meter di perairan Pulau Pini dapat membantu mengurangi pergerakan bubu. Menurut Gross (1990) pergerakan angin juga akan mempengaruhi pola arus di dasar perairan. Pada saat musim barat pergerakan angin lebih besar jika dibandingkan dengan musim timur. Gross (1990) menambahkan bahwa arus dasar akibat pergerakan angin memberikan pemgaruh sebesar 2%, pengaruh ini akan semakin kecil dan hilang setelah perairan mencapai kedalaman 200 meter. Perairan Pulau Pini sebagai daerah pengoperasian bubu hanya memiliki kedalaman maksimum 63 meter, sehingga dapat disimpulakan bahwa arus dasar pada perairan ini masih dipengaruhi oleh pergerakan arah angin.

7 169 Menurut Lee dan Kim (1992), perairan wilayah tropis yang berarus akan membentuk ekosistem terumbu karang bersama ikan-ikan yang mendiaminya. Pada ekosistem karang yang baik akan ditemukan ikan-ikan clupeidae dan dua kelompok pemangsa bento-pelagis mirip belut. Beliau menambahkan perairan Indo-Pasifik memiliki 7 spesies dari 3 famili utama yang memdiami ekosistem terumbu karang sebagai target utama untuk ekspor kegiatan penangkapan. Dua kelompok ikan Scorpaeniformes kuga terdapat melimpah di perairan tropis pada substrat dasar lumpur berpasir. Spesies ikan scorpion sering digunakan sebagai indikator dari keberadaaan terumbu karang yang masih cukup baik. Kondisi perairan seperti ini banyak ditemukan di sekitar perairan Pulau Nias. Keberadaan eksositem karang menjadikan daerah penangkapan ikan pada perairan Pulau Nias masih dapat dikembangkan oleh nelayan bubu. Penempatan bubu pada daerah yang berhadapan dengan perairan terbuka dapat dijadikan pertimbangan dalam mencegah pergerakan bubu di dasar perairan. Posisi Pulau Nias yang lebih dekat pada Samudera Hindia juga menimbulkan arus yang disebabkan oleh angin. Menurut Pratomo (2010) pergerakan arus di perairan pantai Barat Sumatera sangat dipengaruhi oleh pasut serta pola arus regional di Samudera Hindia. Berdasarkan penelitian, kecepatan arus terbesar di pantai Barat Sumatera terjadi saat musim peralihan yang memiliki kecepatan maksimal mencapai 3,58 m/s dengan arah dominan ke tenggara hingga selatan. Pada musim timur kecepatan arus maksimal mencapai 2,24 m/s dengan arah dominan ke arah tenggara. 6.3 Perbandingan Konstruksi dan Operasional Bubu Konstruksi bubu nelayan dan bubu modifikasi Rose (1998) menyatakan diameter tulang/rangka alas pada bubu memiliki ukuran yang lebih besar dari diameter rangka selimut bubu. Penggunaan diameter alas yang lebih besar ditujukan sebagai tempat menambatkan batu pemberat yang ditempatkan pada keempat sisi alas bubu. Konstruksi bubu besi juga diberikan tempat mengikatkan pemberat, tujuan dari pembuatan pemberat pada sudut yang sama adalah untuk mempermudah gerak jatuh bubu. Konstruksi bubu juga dipengaruhi oleh metode perendaman bubu dalam air. Dengan mempersingkat waktu perendaman bubu, diharapkan umur teknis bubu kawat semakin panjang

8 170 karena bubu yang digunakan nelayan biasanya akan dicuci sebelum dijatuhkan kembali. Pencucian bubu dilakukan untuk membersihkan alga dan lumut yang menempel pada selimut bubu. Konstruksi bubu kawat milik nelayan di pantai Barat Sumatera dapat lebih efektif dengan cara memperbaiki bahan penyusun selimut. Berdasarkan hasil penelitian pabrik pembuat perabot rumah tangga, pemberian pelapis anti karat dapat memperlambat kerusakan besi akibat korosi. Baja (aloi dari besi) mengandung sebelas persen hingga dua belas persen kromium dan sedikit mengandung karbon yang dikenal stainless steel. Baja tahan karat dan sering digunakan dalam industri, untuk bahan kimia, dan alat rumah tangga. Rose (1998) menyatakan pembuatan bubu dengan kawat baja memberikan konstruksi yang lebih kuat dan memperlambat proses korosi. Menurut Martasuganda (2003) bahwa teknologi penangkapan ikan dengan menggunakan bubu kawat banyak dilakukan hampir di seluruh belahan dunia. Masyarakat Indonesia mengoperasikan bubu besi atau kawat mulai dari skala menengah sampai pada skala besar karena usaha ini memerlukan modal yang relatif besar. Untuk skala menengah umumnya banyak dilakukan oleh negaranegara yang memiliki perairan pantai yang masih belum maju sistem perikanannya. Pada skala besar banyak dilakukan oleh negara maju seperti Amerika dan Jepang yang industri perikanannya telah berkembang pesat. Masyarakat Sibolga sebagai objek pengguna bubu telah termasuk pada kategori perikanan bubu skala menengah dan besar. Hal ini didasarkan pada armada penangkapan dan jumlah unit bubu yang digunakan dalam setiap pengoperasiannya. Pada umumnya kapal yang digunakan dalam pengoperasian bubu adalah kapal perikanan yang memiliki ukuran di atas 10 GT dan memiliki mesin lebih dari 105 PK. Untuk jumlah satuan bubu dalam sekali operasi penangkapan, rata-rata nelayan Sibolga memiliki 30 sampai 60 bubu dalam satu kali trip penangkapan. Kawat penyusun selimut bubu merupakan bahan yang mudah mengalami korosi saat terkena air laut. Peristiwa korosi, logam mengalami oksidasi, sedangkan oksigen (O 2 ) mengalami reduksi. Karat logam umumnya adalah berupa oksida atau karbonat.

9 171 Rumus kimia karat pada kawat besi seperti bahan selimut bubu adalah Fe 2 O 3.nH 2 O. Benda tersebut merupakan suatu zat padat berwarna coklat kemerahan yang sering ditemukan pada selimut kawat bubu. Korosi pada bubu merupakan proses elektrokimia, dimana bagian tertentu dari besi berlaku sebagai anoda. Fe(s) <--> Fe 2+ (aq) + 2e. Elektron yang dibebaskan di anoda mengalir ke bagian lain dari besi tersebut yang bertindak sebagai katoda, dengan rumus kimia: O 2 (g) + 4H + (aq) + 4e <--> 2H 2 O(l) atau O 2 (g) + 2H 2 O(l) + 4e <--> 4OH - (aq) Kecepatan korosi pada bubu sangat tergantung beberapa faktor, yaitu: 1) Keberadaan lapisan oksida, bubu yang ditempatkan di udara terbuka saat menunggu proses penjatuhan turut mempercepat pengkaratan. Penempatan bubu pada lokasi yang tidak berpindah-pindah dapat mengurangi resiko percepatan korosi. 2) Karat, karat yang telah terbentuk pada kawat bubu akan mempercepat proses pengaratan berikutnya, sehingga karat pada bubu sebaiknya dibersihkan sebelum dijatuhkan kembali. 3) Kontak dengan air, mekanisme terjadinya korosi adalah logam besi yang kontak dengan udara akan teroksidasi oleh ion Fe 2+. Ion ini larut dalam tetesan air yang menimbulkan karat. Semakin lama bubu terendam dalam air akan mempercepat proses karat besi (Fe 2 O 3.H 2 O) Operasi penangkapan ikan dengan bubu 1) Penjatuhan bubu Penjatuhan bubu kawat dengan sistem rawai sangat berbeda dengan sistem nelayan Indonesia di beberapa daerah. Bubu kawat nelayan Sabesi (Mahulette, 2004) dan Kupang (Risamasu, 2008) mengoperasikan bubu dengan sistem tunggal dan dilakukan pada daerah perairan yang relatif sama. Bubu nelayan kupang bahkan melakukan inovasi dengan memberikan rumpon di sekitar wilayah perairan penempatan bubu. Rumpon ini dijatuhkan sebulan sebelum pengoperasian bubu dimulai. Nelayan bubu Sibolga seharusnya dapat

10 172 meningkatkan efisiensi proses penjatuhan bubu dengan melihat perkembangan teknik operasi yang dilakukan oleh nelayan daerah lain. Pengoperasian bubu nelayan yang tidak mengukur arus, ternyata berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Rose (1998) pada saat merancang bubu kawat di laut terbuka. Bubu kawat merupakan benda yang memiliki massa jenis lebih besar dari rotan atau bambu. Pergerakan benda dari kawat besi menuju dasar perairan sangat dipengaruhi oleh arus dan kedalaman. Senada dengan pengoperasian bubu di Bali, faktor arus merupakan variabel penting yang sangat berpengaruh pada kedudukan bubu di dasar laut. Semakin dalam pengoperasian sebuah alat tangkap, maka semakin besar kemampuan yang dibutuhkan benda tersebut untuk bertahan pada kedudukannya. Pada dasarnya arus dapat dibagi atas dua bagian yaitu arus makro dan mikro (Brown et al. dalam Mahulette, 2004). Arus makro adalah arus global yang selalu terjadi setiap musim dalam satu tahun sedangkan arus mikro merupakan arus lokal yang terjadi karena adanya pergantian musim. Tekanan air pada permukaan menyebabkan zona divergensi pada permukaan air. Pembentukan zona tersebut akan menghasilkan perbedaan tekanan air yang menimbulkan gelombang pada permukaan. Nelayan menyatakan faktor keseimbangan gerak bubu dalam air, letak bubu di dasar perairan dan posisi peletakan bubu yang terus bergerak akibat arus belum diperhatikan. Asumsi terkait pengoperasian bubu nelayan diperlihatkan dengan seringnya nelayan tidak menemukan bubu dan waktu pencarian bubu yang cukup lama. Fishing ghost yang terjadi pada bubu nelayan dinyatakan sebagai akibat pencurian oleh nelayan lain, sehingga banyak nelayan bubu menempatkan bubu pada kedalaman lebih dari 60 m. Penempatan bubu pada kedalaman lebih dari 30 meter menyebabkan gerak jatuh bubu nelayan menyentuh dasar perairan menjadi sangat dipengaruhi arus. Tidak sempurnanya gerak jatuh bubu menimbulkan osilasi pada permukaan selimut bubu. Osilasi yang terjadi pada bubu telah merubah luas permukaan selimut bubu menjadi lebih besar dan cenderung tidak stabil. Permukaan yang lebih besar akan menimbulkan gaya tahanan terhadap arus yang semakin besar, hal ini menyebabkan bubu nelayan cenderung bergeser lebih jauh dari titik

11 173 penjatuhan. Pola pergeseran bubu nelayan biasanya akan mengikuti gerak arus laut (Gambar 55). Gambar 55 Pola gerak jatuh bubu nelayan dalam perairan Sesuai pernyataan Husni (2007), pola gerak jatuh bubu laut dalam berdasarkan pengaruh lingkungan secara umum terjadi secara dua dimensi. Gerak jatuh bubu nelayan dipengaruhi resultan gaya vertikal dan horizontal. Resultan gaya vertikal sangat terkait dengan besarnya energi potensial yang dimiliki oleh bubu itu sendiri. Penambahan pemberat pada bubu modifikasi telah memberikan penambahan energi potensial pada bubu sehingga mempercepat laju jatuhnya bubu menyentuh dasar perairan. Secara horizontal pergeseran bubu sangat dipengaruhi oleh pola arus. Gerakan jatuh bubu di pantai Barat Sumatera sama seperti pernyataan Norris (2010) bahwa tingginya pergerakan arus dapat menyebabkan pergeseran pada bubu sampai pada tahap hilang (ghost fishing). Pergeseran bubu modifikasi menjadi relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan bubu nelayan. Hal ini terjadi karena gaya horizontal yang ditimbulkan oleh arus dapat dikurangi dengan adanya percepatan gaya gerak jatuh bubu modifikasi menyentuh dasar perairan. Penambahan pemberat pada setiap sudut telah menjaga keseimbangan gerak jatuh bubu dan mengurangi terjadinya osilasi. Pengurangan pergeseran ini pada akhirnya akan mempercepat proses penemuan

12 174 bubu sehingga efektivitas operasi penangkapan dapat ditingkatkan. Pola gerak jatuh bubu modifikasi menyentuh dasar perairan dapat dilihat pada Gambar 56. Gambar 56 Pola gerak jatuh bubu modifikasi dalam perairan Gerakan air laut yang terjadi merupakan hasil resultan dari berbagai macam gaya yang bekerja pada permukaan, kolom, dan dasar perairan. Hasil dari gerakan massa air adalah vektor yang mempunyai besaran kecepatan dan arah. Prinsip gerakan jatuh bubu pada kolom air merupakan jenis gerak lurus beraturan. Gerak ini memiliki syarat tidak terjadinya perubahan kecepatan karena adanya kerapatan air selama bubu menuju dasar perairan. Sesuai dengan pendapat Gross (1990), pola arus horizontal baik akibat pasang surut maupun gaya coriolis dari perputaran bumi telah mempengaruhi gerak jatuh benda menyentuh dasar perairan. Berdasarkan resultan gaya yang dimiliki oleh bubu modifikasi, penambahan pemberat telah mempercepat gerakan bubu secara vertikal dan mengurangi pergeseran secara horizontal akibat adanya tekanan dari pemberat di alas bubu. Sesuai dengan penelitian Rose (1998) mendesain bubu kawat dengan meletakkan titik keseimbangan pada bagian bawah akan mempercepat laju gerak bubu itu sendiri. Bubu modifikasi yang memberikan rangka lebih besar pada alas telah menambah kemampuan rangka bawah bubu dalam menahan penambahan massa akibat pemberat. Percobaan ini juga didukung dengan hasil penelitian yang

13 175 menunjukkan titik setting bubu modifikasi tidak berbeda jauh dengan posisi hauling. 2) Pergeseran bubu nelayan dan modifikasi Pergeseran bubu nelayan pada daerah pengoperasiannya terjadi akibat beberapa faktor utama diantaranya: 1) Arus di dasar perairan, arus timbul karena adanya pergerakan massa air di laut. Daerah yang terlindungi dari arus merupakan pilihan yang paling tepat dalam menjatuhkan bubu. 2) Kedalaman perairan, proses bubu menyentuh dasar perairan membutuhkan waktu dan saat yang bersamaan bubu akan terbawa oleh gerakan air sebelum menyentuh dasar perairan. Kedalaman perairan akan mempengaruhi gerakan bubu di daerah penjatuhannya. 3) Topografi, daerah pengoperasian yang memiliki ekosistem karang keras akan menimbulkan turbulensi yang semakin kuat. Turbulensi merupakan gerakan arus akibat adanya gesekan di antara dua lapisan batas air. Karang yang keras akan menghasilkan gaya gesekan air yang lebih kuat, sehingga bubu yang berada di sekitar karang akan mengalami pergeseran (Gross, 1990). Pantai Barat Sumatera memiliki daerah penangkapan yang cenderung terbuka, hal ini mengakibatkan sering terjadinya pergeseran bubu yang cukup jauh. Pola arus dasar yang cukup kuat membuat nelayan sering memberikan pemberat berupa batu karang yang diikatkan pada dasar bubu. Penggunaan batu karang sebagai pemberat turut merusak ekosistem terumbu di sekitar daerah pengoperasian bubu. Penempatan bubu secara tepat dan tidak berpindah-pindah dapat dilakukan dengan pembentukan daerah pengoperasian bubu sendiri seperti memberikan rumpon disekitarnya. Pergeseran bubu akibat pembentukan zona perairan menjadi informasi yang perlu diketahui oleh nelayan. Fenomena perubahan suhu perairan juga dapat menyebabkan terjadinya arus. Perubahan suhu sering terjadi pada laut terbuka sepanjang zona divergensi dan sepanjang pantai seperti pada pantai Barat Sumatera. Angin yang mendorong lapisan air permukaan mengakibatkan kekosongan di bagian atas, sehingga air yang berasal dari bawah menggantikan

14 176 kekosongan yang berada di atas. Air yang berada di dasar perairan belum berhubungan dengan atmosfer, maka kandugan oksigennya rendah dan suhunya lebih dingin dibandingkan dengan suhu permukaan lainnya. Kejadian bergeraknya massa air dari dasar perairan menuju permukaan disebut upwelling (Gross, 1990). Daerah pengoperasian yang berarus mengandung larutan nutrien seperti nitrat dan fosfat sehingga cederung mengandung banyak fitoplankton. Fitoplankton merupakan bahan dasar rantai makanan di lautan, dengan demikian di daerah upwelling umumnya kaya sumberdaya ikan. Sesuai dengan pendapat Simbolon (2011), daerah penangkapan ikan pada umumnya mengalami dinamika dan karakteristik yang berbeda. Pulau Karang yang merupakan daerah perairan terbuka memiliki arus yang cukup kuat, namun sistem rantai makanan pada daerah pengoperasian ini tidak berlangsung dengan baik. Kelimpahan ikan juga sangat dipengaruhi oleh sistem rantai makanan yang berlangsung dalam ekosistem tersebut. Dapat disimpulkan bahwa arus pada akhirnya juga akan mempengaruhi hasil tangkapan nelayan di pantai Barat Sumatera. Menurut Lee dan Kim (1992), keanekaragaman ikan demersal pada paparan benua di daerah tropis sangat tinggi karena didukung oleh keberadaan ekosistem terumbu karang. Pantai Barat Sumatera merupakan salah satu daerah paparan benua yang memiliki potensi ikan demersal cukup besar. Ikan demersal akan tumbuh dan berkembang di sekitar daerah pantai seperti ekosistem mangrove dan padang lamun. Pada usia dewasa ikan akan bergerak ke arah ekosistem karang untuk berkembang dan mencari makan. Pernyataan ini juga didukung oleh Jeyaseelan (1998) yang menyatakan bahwa potensi perikanan pantai Barat Sumatera masih cukup besar karena keberadaan ekosistem mangrove sebagai penyangga ekologi di pantai. Mangrove akan dijadikan sebagai spawning ground ikan demersal seperti kakap (Lutjanus sp). Ikan kakap dan kerapu akan berkembang di daerah perairan dangkal dan setelah dewasa menuju daerah karang. Secara umum penempatan bubu modifikasi yang memiliki bentuk hampir sama dengan bubu nelayan memberikan perbedaan yang nyata. Berdasarkan daerah pengoperasiannya, bubu modifikasi yang ditempatkan pada perairan Pulau Mursala memiliki titik pergeseran yang paling kecil. Perairan Pulau Mursala merupakan perairan yang dekat dengan Sumatera dan penempatan bubu dilakukan

15 177 tidak mengarah pada Samudera Hindia. Peletakan bubu yang menghindari arus akibat pasang surut dan termohalin membantu stabilitas bubu di dasar. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gross (1990) yang menyatakan bahwa arus yang ditimbulkan oleh pemanasan yang tidak merata pada permukaan laut dan rotasi bumi terhadap matahari menimbulkan daya gerak air di laut. Daya gerak air ini akan semakin kuat ketika daerah perairan bersifat terbuka dan mengarah pada perairan yang lebih luas. Penempatan bubu modifikasi pada perairan yang menghadap laut terbuka dan samudera seperti Pulau Karang, telah menjadikan pergeseran bubu terbesar jika dibandingkan Pulai Pini dan Nias. Perairan Pulau Karang sebenarnya merupakan perairan yang paling dekat dengan Pulau Sumatera, tetapi karena tidak adanya pulau kecil yang menghalangi pergerakan arus menuju Pulau Karang, hal ini sering menyebabkan nelayan kehilangan bubu. Penempatan bubu pada tubir karang di perairan Pulau tersebut dapat dijadikan alternatif pencegahan pergeseran bubu yang sangat jauh. Nelayan Sibolga pada perairan ini dapat mencoba mengoperasikan bubu modifikasi dengan menggunakan rumpon seperti yang dikembangkan di Indonesia Timur (Risamasu, 2008). Penggunaan rumpon akan membantu nelayan untuk tidak berpindah-pindah dalam jarak yang jauh ketika menjatuhkan bubu. Untuk mempersingkat proses pencarian bubu, peningkatan stabilitas gerak bubu dan pencegahan pergeseran saat setting sudah cukup untuk dikembangkan nelayan Sibolga. Pembuktian melalui penelitian ini telah menunjukkan bagaimana proses penjatuhan dan pencarian bubu akan mempersingkat waktu pengoperasian bubu. Jumlah hari operasi bubu nelayan Sibolga yang mencapai 14 hari, dapat dikurangi jika mengoperasikan jumlah unit bubu yang sama. Pertimbangan lain yang dihasilkan dari penelitian ini adalah nelayan akan dapat meningkatkan jumlah unit pengoperasian bubu dengan jumlah hari operasi yang sama. Dengan pertimbangan ini maka produktivitas nelayan bubu akan semakin meningkat atau biaya operasional dapat dikurangi. Pergeseran bubu besi pada perairan dalam juga telah dikembangkan di Pelabuhan Ratu. Besi yang memiliki massa lebih besar jika dibandingkan dengan bubu bambu atau rotan dapat dijadikan sebagai alternatif penangkapan ikan

16 178 demersal pada kedalaman lebih dari 30 meter (Mahulette, 2004). Pola penempatan bubu yang berpindah-pindah sebenarnya dapat menjadi pertimbangan nelayan agar tidak merusak ekosistem. Bubu yang dioperasikan secara ramah akan menjaga keseimbangan ekosistem disekitarnya. Purbayanto et al. (2007) mengemukakan hasil penelitian bubu laut dalam yang dilaksanakan di Teluk Pelabuhan Ratu, posisi peletakan bubu besi yang terletak pada laut dalam hanya mengalami pergeseran tidak lebih dari 2 menit khususnya pada bujur timur. Bubu besi ini tidak bergerak karena diberikan pemberat dan pada saat pengoperasian bubu dilengkapi dengan pelampung tanda. Pengoperasian bubu ini senada dengan penelitian Mahulette (2004) yang melakukan penelitian bubu kawat dan bambu di perairan Bali. Pada umumnya bubu yang diletakkan pada kedalaman 15 sampai 70 meter akan mengalami pergeseran akibat adanya arus dasar. Peletakan bubu pada paparan samudera khususnya bubu besi akan menjaga keseimbangan bubu dari gerak arus jika dibandingkan dengan bubu yang terbuat dari rotan atau bambu. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa bubu kawat lebih produktif dalam menghasilkan ikan karang jika dibandingkan dengan bubu bambu. Jika memperhatikan tingkat perbandingan angka kehilangan bubu saat pengangkatan, nelayan Sibolga menyatakan bahwa daerah Pulau Karang merupakan posisi yang paling sering terjadinya kehilangan bubu. Sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu untuk meningkatkan usaha bubu yang berkelanjutan maka penempatan bubu pada Pulau Karang sebaiknya dikurangi dan lebih melihat potensi daerah penangkapan ikan karang lain seperti daerah kepulauan yang ada di perairan Aceh. Daerah perairan Aceh merupakan lokasi yang tidak jauh dari Pulau Karang, karena Pulau Karang merupakan bagian barat laut yang merupakan perbatasan Sumatera Utara dengan Aceh. Sesuai dengan pendapat Martasuganda (2003) yaitu dengan memperhatikan waktu pengoperasian bubu kawat maka resiko hilangnya bubu dapat dikurangi. Peningkatan jumlah hari pengoperasian bubu dapat dikurangi dengan memberikan rumpon pada sekitar daerah penjatuhan bubu seperti yang dilakukan nelayan Kupang (Risamasu, 2008). Pengembangan daerah pengoperasian bubu dengan rumpon dapat menjadi salah satu alternatif pengembangan usaha bubu di pantai Barat Sumatera.

17 179 3) Pencarian bubu nelayan dan modifikasi Berdasarkan hasil penelitian ini, maka diperlukan sebuah bahan yang mampu menjaga gerak stabilitas bubu agar tidak terbawa arus. Kedalam perairan dan lokasi perairan yang mendekati laut lepas telah mempengaruhi waktu pencarian bubu. Pemberian pemberat ini sesuai dengan penelitian Rose (1998) yang merekomendasikan bubu besi pada wilayah perairan terbuka dan mendekati samudera sebaiknya dilengkapi benda yang mampu menahan laju bubu oleh air. Berbeda dengan pendapat Risamasu (2008), penempatan bubu secara berpindah-pindah akan meningkatkan resiko kehilangan. Bubu nelayan di pantai Barat Sumatera sebaiknya mempertimbangkan penempatan yang terus berpindahpindah. Pemberian rumpon dan terumbu karang buatan sebenarnya dapat menjadi alternatif dalam meningkatkan prduktivitas bubu tanpa harus memindahkan bubu dan mencari lokasi penempatan baru. Bubu nelayan di Sibolga merupakan ketegori bubu dasar yang sifatnya tetap menempel pada dasar perairan. Pantai Barat Sumatera merupakan perairan yang umumnya memiliki jenis substrat pasir berlumpur. Ekosistem karang di pantai Barat Sumatera terdiri dari karang lunak dan keras yang hidup pada kedalaman kurang dari 30 m. Hasil pengamatan penempatan bubu oleh nelayan, kedalaman perairan yang lebih dari 30 m adalah kriteria utama penjatuhan bubu. Bubu dijatuhkan di wilayah karang dengan topografi perairan yang memiliki kemiringan tidak terjal. Hasil pengamatan penjatuhan bubu nelayan pada Pulau Mursala yang dimulai pada titik 98'30''3170''' BT dan 1'33''1172''' LU, bubu akan bergeser dan ditemukan pada titik 98'30''3189''' BT dan 1'33''1190''' LU. Pergeseran titik setting bubu di Pulau Mursala pada lintang utara terjauh 546 meter. Untuk pergeseseran bubu nelayan di Pulau Pini yang paling jauh 300 meter pada posisi Lintang Utara. Pergeseran bubu terjauh yang terjadi di Pulau Nias adalah sekitar 330 meter, sedangkan pergeseran bubu nelayan untuk Pulau Karang 570 meter. Pergeseran titik setting menjadi salah satu alasan utama sulitnya menemukan bubu nelayan. Titik koordinat awal yang disimpan oleh nelayan menjadi tidak akurat karena gerak bubu nelayan tidak stabil dan cenderung mengikuti arah arus. Penjatuhan bubu dengan pemberat yang dibuat dari semen,

18 180 menjadikan bubu kawat nelayan Kupang lebih mudah untuk dicari (Risamasu, 2008). Bubu yang dioperasikan secara bergandengan tentu akan semakin statis pada saat diberikan pemberat, karena bila bubu yang satu bergerak maka bubu pasangannya akan memiliki daya untuk menahan gerak bubu tersebut. Perbaikan titik setting dan hauling pada bubu nelayan dapat dilakukan dengan meningkatkan daya stabilitas gerak bubu menuju dasar perairan. Kegiatan ini juga diperkuat dengan pengoperasian nelayan bubu Teluk Bone (Kurnia, 2001) yang mengoperasikan bubu kawat dengan pemberat dan pelampung tanda. Proses pencarian bubu dengan alat bantu gancu pada perairan pantai Barat Sumatera dapat dilihat pada Gambar 57. Gambar 57 Proses pencarian bubu modifikasi yang dilengkapi pelampung Modifikasi teknik pengoperasian yang melengkapi tali ris (main line) dengan pelampung terbukti dapat mempercepat pencarian dan mengurangi kerusakan karang. Tali gancu pada pencarian bubu tidak dijatuhkan sampai menyentuh dasar perairan karena tali ris berada pada kondisi renggang. Hal ini tentu saja meningkatkan efektivitas pencarian bubu. Gancu yang dioperasikan 3 meter di atas dasar perairan membuat benturan pada karang dapat dihindari. Teknik seperti ini masih berbeda dengan cara pengoperasian bubu di perairan Indonesia lainnya, seperti pengoperasian bubu di Sabesi (Mahulette, 2004) dan Karimunjawa (Nurhidayat, 2002) yang menjatuhkan bubu secara tunggal.

19 Perbandingan kinerja teknis bubu nelayan dan modifikasi Sesuai dengan pendapat Gross (1990) fenomena kejadian alam yang menimbulkan arus di air dapat terjadi setiap saat. Perubahan iklim secara mendadak dan akibat adanya gaya koriolis akan mampu menghasilkan gerakan air di dasar perairan. Penempatan bubu yang terlalu lama juga sangat berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Martasuganda (2003), penempatan bubu besi yang menangkap ikan karang biasanya dilakukan maksimal 3 hari. Metode ini dilakukan untuk menjaga bubu agar tidak hilang dan ikan target tidak saling memangsa. Ikan yang tertangkap pada bubu besi dengan kedalaman lebih dari 30 meter umumnya merupakan ikan karang yang memiliki kecenderungan bersifat karnivora (Susanti, 2009). Daya tahan bubu juga dipengaruhi oleh metode pengoperasian, inovasi bubu dasar pernah dicobakan dengan kombinasi pengoperasian bersama rumpon (Risamasu, 2008). Bubu yang dioperasikan dengan rumpon berpengaruh terhadap waktu perendaman. Menurut Martasuganda (2003), lama perendaman bubu di perairan ada yang dilakukan beberapa jam, satu malam, tiga malam bahkan sampai seminggu. Bubu inovasi dengan rumpon di Semau Kupang dioperasikan dengan sistem perendaman 10 jam dan umur teknisnya dapat mencapai satu tahun. Berbeda dengan metode pengoperasian bubu di Semau Kupang, perendaman bubu di pantai Barat Sumatera dilakukan lebih dari satu minggu. Selimut bubu yang terbuat dari kawat besi (Fe) merupakan bahan yang mudah mengalami korosi. Perendaman bubu dengan metode yang dilakukan di pantai Barat Sumatera menyebabkan umur teknis bubu hanya mencapai 3 bulan. Air laut yang mengandung NaCl merupakan senyawa yang mempercepat proses korosi pada besi. Elektrolit (asam atau garam) merupakan media yang baik untuk melangsungkan transfer muatan. Hal itu mengakibatkan elektron lebih mudah untuk dapat diikat oleh oksigen di udara. Oleh karena itu, air hujan (asam) dan air laut (garam) merupakan penyebab korosi yang utama.

20 Faktor yang mempengaruhi pengoperasian bubu Secara umum dari hasil pengamatan pengoperasian bubu nelayan di pantai Barat Sumatera, ada beberapa faktor utama yang menentukan keberhasilan usaha bubu, antara lain: kedalaman, topografi, sedimen dan substrat perairan 1) Kedalaman perairan Berdasarkan sifat ekologinya terhadap kedalaman perairan, ikan karang digolongkan dalam tiga kelompok yaitu di perairan dangkal (0 sampai 4 meter), sedang (5 sampai 19 meter) dan dalam (>20 meter). Bubu yang dioperasikan pada kedalaman lebih dari 20 meter ditujukan untuk menangkap ikan karang yang berukuran besar. Daerah penangkapan ikan yang digunakan nelayan bubu Sibolga dalam mengoperasikan bubu memiliki variasi kedalaman yang berbeda-beda. Dari keempat daerah pengoperasian bubu tersebut, perairan Pulau Nias merupakan perairan yang paling dalam. Hal ini dimungkinkan karena perairan ini merupakan perairan terluar yang mendekati laut bebas. Ikan karang yang bersifat diurnal memiliki aktivitas mencari makan dan berlindung pada siang hari. Penempatan bubu pada kolom periaran yang masih dapat ditembus matahari seharusnya menjadi pertimbangan nelayan. Ikan akan masuk ke dalam bubu saat siang hari, karena ikan karang cenderung memiliki visual acuity yang lebih rendah dibandingkan dengan ikan pelagis. 2) Topografi perairan Togografi perairan dalam mengoperasikan bubu harus perairan berkarang, karena karang merupakan habitat dari ikan target bubu. Terumbu karang merupakan sistem yang sangat kompleks dan terdiri dari makrohabitat. Secara umum ikan karang benar-benar telah menyatu dengan ekosistem terumbu karang dan merupakan penghuni dari terumbu karang yang paling menonjol. Ikan target bubu yang hidup di terumbu karang merupakan ikan yang bersifat diurnal (beraktivitas di siang hari). Menurut Risamasu (2008) kurang lebih 30% merupakan ikan yang bersifat driptik (tidak mudah kelihatan). Sejumlah besar ikan karang dari kelompok Serranidae, Carangidae dan Lutjanidae yang tertangkap pada bubu merupakan ikan yang bersimbiosis dengan terumbu karang. Penempatan bubu pada karang yang

21 183 masih baik menjadi salah satu faktor keberhasilan usaha pengoperasian bubu. 3) Substrat Jenis substrat perairan yang umum ditemukan sebagai habitat ikan karang adalah: karang hidup, karang mati, pecahan pasir, karang lunak dan pasir. Ikan karang yang berukuran besar pada umumnya berlindung dan bersembunyi pada tubir karang keras dan pecahan karang di dasar perairan. Penempatan bubu akan semakin berhasil bila nelayan mampu meletakkan bubu pada daerah karang yang memungkinkan ikan tinggal. Ikan karang memiliki sifat sedentary (menetap) pada suatu wilayah. Pemilihan perairan dengan subtrat yang memiliki ciri ekologi kompleks akan membantu nelayan dalam menangkap ikan target. Salah satu ikan karang yang menjadi target utama untuk ekspor bubu yaitu kerapu, memiliki karakteristik yang cenderung menetap dan berkembangbiak pada wilayah perairan yang terbatas (Suharti, 2009). 6.4 Dampak Pengoperasian Bubu Nelayan Hasil penelitian teknik pengoperasian bubu nelayan menunjukkan bahwa bubu kawat dianggap merusak ekosistem karang karena alas bubu sering tersangkut pada karang. Penelitian Risamasu (2008) menyimpulkan bahwa pengoperasian bubu yang tidak berpindah-pindah dapat mengurangi resiko kerusakan ekosistem karang. Produktivitas hasil tangkapan akan terus konsisten dengan menambahkan rumpon pada daerah pengoperasian bubu. Penyebab kerusakan terbesar di pantai Barat Sumatera terjadi karena pengambilan batu karang, pencemaran laut dan aktivitas penangkapan ikan oleh trawl atau Pukat Harimau. Hasil pengamatan ini sesuai dengan pernyataan Nontji (2002) yang menyatakan bahwa kerusakan terbesar ekosistem laut akibat aktivitas manusia. Pengambilan batu karang oleh masyarakat khususnya untuk bahan pemberat merupakan salah satu penyebab utama rusaknya ekosistem laut. Masyarakat Pulau Pini, Nias dan Mursala menggunakan batu karang untuk mengoperasikan bubu dan membuat pembatas di sekitar tempat tinggal mereka. Batu karang yang digunakan sering diambil pada ekosistem karang yang masih dalam kondisi baik.

22 184 Pertumbuhan karang keras seperti jenis Archopora memerlukan waktu yang cukup lama untuk mencapai 1 cm. Penangkapan ikan yang bersifat destruktif adalah penyebab utama yang selalu diangkat oleh pemerintah daerah khususnya Sumatera Barat. Bubu adalah salah satu alat tangkap yang dilarang beroperasi oleh pemerintah daerah, namun setelah dikonfirmasi peraturan pelarangan operasi bubu secara tertulis belum ada. Pemerintah daerah khususnya melalui Dinas Perikanan melarang masyarakat nelayan dari luar untuk menjatuhkan bubu di perairan Sumatera Barat. Hal lain yang menjadi isu kerusakan terumbu karang adalah penggoperasian alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, khususnya penggunaan potasium dan bom untuk menangkap ikan karang. Hasil pengamatan ini diperoleh dari hasil wawancara dengan pihak LANAL Sibolga yang sering menangkap nelayan di sekitar perairan pantai Barat Sumatera. Penggunaan potasium telah menyebabkan pencemaran pada lingkungan ekosistem terumbu karang. Pencemaran lain terjadi karena pembuangan minyak oleh kapal, minyak yang menutupi permukaan karang menghambat proses fotosintesis karang. Kegiatan penangkapan ikan yang berpengaruh langsung terhadap rusaknya gugusan karang hanya sebagian kecil yang disebabkan oleh nelayan bubu. Hal ini dapat dilihat dengan hasil pengambilan data izin operasional bubu yang diterbitkan oleh Pelabuhan Perikanan Nusantara melalui Surat Layak Operasi (SLO) yang berjumlah 26 kapal. Jumlah armada ini masih lebih rendah dari izin operasional untuk armada penangkapan ikan yang menggunakan alat tangkap muroami dan trawl yang masih terus beroperasi di pantai Barat Sumatera. Bubu salah satu alat tangkap yang merusak daerah karang sangat dipengaruhi oleh metode pengoperasiannya. Pergeseran bubu akibat gerakan massa air dan proses peletakan bubu mempersulit nelayan dalam pencariannya. Proses pencarian bubu dengan gancu berlangsung cukup lama karena harus menemukan main line (tali ris) yang telah bergerak dan tidak lagi berada di sekitar titik koordinat setting. Pada hasil penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya, pergeseran bubu nelayan ada yang mencapai 358 meter. Pencarian bubu seperti yang terjadi di Pulau Karang akan merugikan nelayan dan juga ekosistem di sekitar penjatuhan bubu.

23 185 Proses penjatuhan yang tidak memperhatikan arah gerak dan kecepatan arus juga mempengaruhi gerak jatuh bubu. Kegiatan lain dari penjatuhan bubu di pantai Barat Sumatera yang merusak karang adalah penjatuhan jangkar yang sering mengenai karang. Sebelum menurunkan gacu, nelayan terlebih dahulu menjatuhkan jangkar di sekitar daerah pencarian. Jangkar yang terkait pada karang diangkat secara paksa dan menyebabkan karang rusak. Penarikan bubu dengan selimut dasar yang memiliki mesh size 5 cm juga menyebabkan karang sering tersangkut pada bubu. Kerusakan karang akan sangat berdampak terhadap sumberdaya ikan demersal di sekitarnya. Saat ini nelayan Sibolga sering melakukan pencarian lokasi baru penjatuhan bubu karena semakin rendahnya jumlah hasil tangkapan utama ikan demersal. Menurut Lee dan Kim (1992), sumberdaya ikan demersal di perairan tropis banyak ditemukan pada celah karang yang masih baik. Simbolon (2011) menyatakan keberadaan kerapu lumpur dan kerapu bebek sangat tergantung pada ekosistem terumbu karang. Secara vertikal jenis kerapu macan dapat hidup sampai kedalaman 60 meter dengan dasar perairan karang berbatu seperti pada daerah pengoperasian yang dilakukan nelayan Sibolga. Ikan-ikan karang yang berukuran besar akan lebih menyukai daerah pada kedalaman di atas 30 meter. Kerusakan ekologi lain yang ditimbulkan oleh pengoperasian bubu adalah waktu perendaman yang cukup lama. Perendaman bubu yang mencapai 10 hari sering menyebabkan cumi-cumi memijah pada selimut bubu. Telur cumi-cumi yang dipijahkan pada bubu tidak akan sempat menetas dan akan mati akibat dimakan ikan lain atau diangkat oleh nelayan. Jumlah telur cumi-cumi ini dapat mencapai ribuan dan tidak pernah dimanfaatkan oleh nelayan. Tingginya by-catch akibat lama perendaman bubu juga berdampak pada keberlangsungan sumberdaya ikan demersal yang melakukan kanibalisme di dalam bubu. Keberadaan ikan demersal di pantai Barat Sumatera dengan sendirinya akan semakin sulit ditemukan apabila kerusakan karang berlangsung secara terus menerus. Keberadaan ekosistem terumbu karang juga berperan aktif dalam mensuplai oksigen sebagai hasil dari proses fotosintesis. Kandungan oksigen yang cukup baik juga ditandai dengan kelimpahan fitoplakton yang menjadi makanan

24 186 bagi ikan kecil. Secara tidak langsung kerusakan karang akibat pengoperasian bubu akan berdampak pada pola rantai makanan di sekitar eksosistem terumbu karang. Sesuai dengan Simbolon (2011) yang menyatakan bahwa bioekologi dan dinamika daerah penangkapan ikan akan sangat dipengaruhi oleh pola pemanfaatan sumberdaya ikan di wilayah tersebut. Dalam penelitian ini kerusakan karang akibat pengoperasian bubu dapat dieliminir melalui modifikasi yang telah dilakukan. Pemberian pemberat pada bubu secara seimbang dan penggunaan karet pada tulang rangka bawah bubu telah mengurangi tersangkut karang saat penarikan bubu. Pendeteksian daerah peletakan bubu melalui echosounder juga salah satu cara agar hilangnya bubu (ghost fishing) akibat arus dapat dikurangi. Sifat ikan karang seperti kakap dan kerapu sunu sebenarnya lebih menyukai substrat lumpur (Simbolon 2011). Peletakan bubu di sekitar karang yang memiliki substrat lumpur akan mengurangi kerusakan karang. Perbaikan lain dalam pengoperasian bubu di pantai Barat Sumatera dapat ditempuh dengan memberntuk daerah penangkapan ikan saat pengoperasian bubu. Pembentukan daerah penangkapan ikan dapat dilakukan dengan memberikan rumpon di sekitar ekosistem karang. Pemberian rumpon ini akan memancing ikan-ikan kecil untuk berada disekitarnya. Ketersediaan makanan bagi ikan-ikan karang pada sekitar bubu akan membantu nelayan dalam meningkatkan produktivitas hasil tangkapan. 6.5 Perbandingan Produktivitas Bubu Penangkapan ikan demersal dengan bubu nelayan tertinggi diperoleh pada perairan Pulau Pini. Jika nilai produktivitas ini dikaitkan dengan karakteristik daerah penangkapan ikan, Pulau Pini merupakan daerah perairan yang memiliki topografi karang cenderung tajam. Ekosistem seperti ini banyak diminati oleh kelompok ikan karang yang senang tinggal di sekitar celah karang seperti kerapu. Sesuai dengan Jeyaseelan (1998), penyebaran ikan karang sangat dipengaruhi oleh ekosistem sekitarnya. Pesisir Pulau Pini masih banyak ditemukan eksositem mangrove yang digunakan oleh ikan karang sebagai daerah pemijahan (spawning ground). Hal ini turut mempengaruhi hasil tangkapan bubu pada perairan ini, dimana ikan karang yang menjadi target utama untuk ekspor bubu memiliki daya jelajah yang tidak terlalu jauh (Lee dan Kim, 1992).

25 187 Penangkapan ikan karang di Pulau Pini menunjukkan adanya korelasi yang erat antara ekosistem penyangga di daerah pesisir dengan sumberdaya ikan demersal. Ekosistem penyangga pada wilayah peisir ini anatara lain: hutan bakau, padang lamun dan terumbu karang. Menurut Cann (1990), penempatan bubu di perairan dengan waktu yang lebih lama, tidak selalu berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan. Profitabilitas usaha penangkapan ikan demersal harus lebih difokuskan pada target dan kualitas hasil tangkapan bukan pada jumlah rata-rata hasil tangkapan. Hasil pegoperasian bubu modifikasi yang dilakukan di Pulau Nias dengan jumlah trip yang lebih singkat mampu memberikan hasil yang tidak jauh berbeda dengan bubu nelayan. Persentase rata-rata hasil tangkapan menunjukkan bahwa ikan kuwe bukanlah ikan yang berhabitat asli pada karang. Ikan ini merupakan jenis ikan yang berasosiasi dengan kelompok ikan karang (Jeyaseelan, 1998). Sesuai dengan penelitian Mahulette (2004), kepadatan ikan karang pada kedalaman 30 sampai 60 cenderung masih tersebar secara merata, dan kepadatan yang tinggi berada pada kedalaman 30 sampai 50 meter. Bubu modifikasi dan bubu nelayan di pantai Barat Sumatera dioperasikan pada kedalaman yang hampir sama dengan masyarakat Pulau Sabesi. Ikan yan tertangkap pada bubu tersebar secara merata karena kebiasaan ikan karang yang berenang secara soliter. Pengembangan perikanan bubu di Sibolga dengan pendekatan kedalaman perairan sudah dilakukan di Raja Ampat Provinsi Papua pada tahun Ikan kerapu dan kakap yang ditangkap dengan pengoperasian bubu pada kedalaman yang berbeda tidak memberikan dampak signifikan terhadap bobot tangkapan. Ikan kerapu dan kakap secara alamiah memasuki ekosistem karang dengan tiga alasan yaitu: mencari makan, memijah dan berlindung dari predator. Kecenderungan lain yang menyebabkan ikan masuk kedalam bubu adalah sifat tigmotaksis yaitu rasa ingin tahu terhadap sebuah benda disekitarnya. Pada bubu modifikasi ukuran ikan kerapu dan kakap yang tertangkap umumnya seragam dan cenderung dari spesies yang sama. Selaras dengan penelitian Urbinas (2004), ikan yang masuk kedalam bubu tanpa umpan, pada umumnya merupakan ikan yang mencari makanan karena keberadaan makanan di dalam bubu. Ikan yang terlebih dahulu terjebak di dalam

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang terjadi di beberapa negara, telah mendorong meningkatnya permintaan komoditas perikanan dari waktu ke waktu. Meningkatnya

Lebih terperinci

5 HASIL PENELITIAN 5.1 Tingkat Pemanfaatan Ikan Demersal

5 HASIL PENELITIAN 5.1 Tingkat Pemanfaatan Ikan Demersal 83 5 HASIL PENELITIAN 5.1 Tingkat Pemanfaatan Ikan Demersal Produksi perikanan bubu yang tercatat di PPN Sibolga pada tahun 2011 mencapai 14.847 kg, sedangkan pada tahun 2012 sampai bulan Februari mencapai

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan 6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan Daerah penangkapan ikan kakap (Lutjanus sp.) oleh nelayan di Kabupaten Kupang tersebar diberbagai lokasi jalur penangkapan.

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas

TINJAUAN PUSTAKA. dimana pada daerah ini terjadi pergerakan massa air ke atas TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka Wilayah laut Indonesia kaya akan ikan, lagi pula sebagian besar merupakan dangkalan. Daerah dangkalan merupakan daerah yang kaya akan ikan sebab di daerah dangkalan sinar

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Jumlah Armada Penangkapan Ikan Cirebon Tahun Tahun Jumlah Motor

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Jumlah Armada Penangkapan Ikan Cirebon Tahun Tahun Jumlah Motor BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perikanan Tangkap di Cirebon Armada penangkapan ikan di kota Cirebon terdiri dari motor tempel dan kapal motor. Jumlah armada penangkapan ikan dikota Cirebon

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan kabupaten administratif yang terletak di sebelah utara Provinsi DKI Jakarta, memiliki luas daratan mencapai 897,71 Ha dan luas perairan mencapai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang merupakan sebuah sistem dinamis yang kompleks dimana keberadaannya dibatasi oleh suhu, salinitas, intensitas cahaya matahari dan kecerahan suatu perairan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Panjang garis pantai di Indonesia adalah lebih dari 81.000 km, serta terdapat lebih dari 17.508 pulau dengan luas

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Kepulauan Selayar merupakan wilayah yang memiliki ciri khas kehidupan pesisir dengan segenap potensi baharinya seperti terumbu karang tropis yang terdapat di

Lebih terperinci

Efektifitas Modifikasi Rumpon Cumi sebagai Media Penempelan Telur Cumi Bangka (Loligo chinensis)

Efektifitas Modifikasi Rumpon Cumi sebagai Media Penempelan Telur Cumi Bangka (Loligo chinensis) EFEKTIFITAS MODIFIKASI RUMPON CUMI SEBAGAI MEDIA PENEMPELAN TELUR CUMI BANGKA (Loligo Effectiveness of Squid Modification As a Media of Attachment Squid Eggs Bangka Indra Ambalika Syari 1) 1) Staff Pengajar

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem perikanan pantai di Indonesia merupakan salah satu bagian dari sistem perikanan secara umum yang berkontribusi cukup besar dalam produksi perikanan selain dari perikanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut 1 1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut dan hampir sepertiga penduduknya mendiami daerah pesisir pantai yang menggantungkan hidupnya dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, terdiri dari lebih 17.000 buah pulau besar dan kecil, dengan panjang garis pantai mencapai hampir

Lebih terperinci

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI Perairan Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan Laut Flores dan Selat Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut selat sebelah Utara sangat sempit

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi

Lebih terperinci

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap

Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap Sistem Perikanan Tangkap Ramah Lingkungan sebagai Upaya Menjaga Kelestarian Perikanan di Cilacap Kabupaten Cilacap sebagai kabupaten terluas di Provinsi Jawa Tengah serta memiliki wilayah geografis berupa

Lebih terperinci

EKOSISTEM SEBAGAI MODAL ALAM

EKOSISTEM SEBAGAI MODAL ALAM 3 EKOSISTEM SEBAGAI MODAL ALAM BI2001 Pengetahuan Lingkungan Sumber utama materi dan ilustrasi: Miller, G.T. & S.E. Spoolman. 2012. Living in the Environment. Seventeenth edition. Brooks/Cole, Belmont,

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Performa Fyke Net Modifikasi

5 PEMBAHASAN 5.1 Performa Fyke Net Modifikasi 5 PEMBAHASAN 5.1 Performa Fyke Net Modifikasi Fyke net yang didisain selama penelitian terdiri atas rangka yang terbuat dari besi, bahan jaring Polyetilene. Bobot yang berat di air dan material yang sangat

Lebih terperinci

b) Bentuk Muara Sungai Cimandiri Tahun 2009

b) Bentuk Muara Sungai Cimandiri Tahun 2009 32 6 PEMBAHASAN Penangkapan elver sidat di daerah muara sungai Cimandiri dilakukan pada malam hari. Hal ini sesuai dengan sifat ikan sidat yang aktivitasnya meningkat pada malam hari (nokturnal). Penangkapan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Daerah penangkapan ikan merupakan wilayah perairan tempat berkumpulnya ikan, dimana alat tangkap dapat dioperasikan sesuai teknis untuk mengeksploitasi sumberdaya ikan

Lebih terperinci

C. Potensi Sumber Daya Alam & Kemarintiman Indonesia

C. Potensi Sumber Daya Alam & Kemarintiman Indonesia C. Potensi Sumber Daya Alam & Kemarintiman Indonesia Indonesia dikenal sebagai negara dengan potensi sumber daya alam yang sangat besar. Indonesia juga dikenal sebagai negara maritim dengan potensi kekayaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk. menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk. menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pukat merupakan semacam jaring yang besar dan panjang untuk menangkap ikan yang dioperasikan secara vertikal dengan menggunakan pelampung di sisi atasnya dan pemberat

Lebih terperinci

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993). BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pelecypoda merupakan biota bentik yang digunakan sebagai indikator biologi perairan karena hidupnya relatif menetap (sedentery) dengan daur hidup yang relatif lama,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem terbesar kedua setelah hutan bakau dimana kesatuannya

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung biota laut, termasuk bagi beragam jenis ikan karang yang berasosiasi

Lebih terperinci

BAB IV KEMANFAATAN PEMETAAN ENTITAS ENTITAS EKOSISTEM DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR

BAB IV KEMANFAATAN PEMETAAN ENTITAS ENTITAS EKOSISTEM DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR BAB IV KEMANFAATAN PEMETAAN ENTITAS ENTITAS EKOSISTEM DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR Bab mengenai kemanfaatan pemetaan entitas-entitas ekosistem dalam perspektif pembangunan wilayah pesisir

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Lokasi Penelitian Cirebon merupakan daerah yang terletak di tepi pantai utara Jawa Barat tepatnya diperbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Lokasi penelitian

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA

EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA EKOSISTEM LAUT TROPIS (INTERAKSI ANTAR EKOSISTEM LAUT TROPIS ) ANI RAHMAWATI JURUSAN PERIKANAN FAKULTAS PERTANIAN UNTIRTA Tipologi ekosistem laut tropis Mangrove Terumbu Lamun Pencegah erosi Area pemeliharaan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem padang lamun (seagrass) merupakan suatu habitat yang sering dijumpai antara pantai berpasir atau daerah mangrove dan terumbu karang. Padang lamun berada di daerah

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Bubu ( Traps

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Bubu ( Traps 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Bubu (Traps) Bubu merupakan alat penangkapan ikan yang pasif (pasif gear). Alat tangkap ini memanfaatkan tingkah laku ikan yang mencari tempat persembunyian maupun

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Korosi Baja Karbon dalam Lingkungan Elektrolit Jenuh Udara

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Korosi Baja Karbon dalam Lingkungan Elektrolit Jenuh Udara BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Korosi Baja Karbon dalam Lingkungan Elektrolit Jenuh Udara Untuk mengetahui laju korosi baja karbon dalam lingkungan elektrolit jenuh udara, maka dilakukan uji korosi dengan

Lebih terperinci

Gerakan air laut yang dapat dimanfaatkan dalam kegiatan sehari-hari adalah nomor

Gerakan air laut yang dapat dimanfaatkan dalam kegiatan sehari-hari adalah nomor SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 6. DINAMIKA HIDROSFERLATIHAN SOAL 6.5 1. Bagi para nelayan yang menggunakan kapal modern, informasi tentang gerakan air laut terutama digunakan untuk... mendeteksi

Lebih terperinci

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur

Potensi Terumbu Karang Luwu Timur Potensi Terumbu Karang Luwu Timur Kabupaten Luwu Timur merupakan kabupaten paling timur di Propinsi Sulawesi Selatan dengan Malili sebagai ibukota kabupaten. Secara geografis Kabupaten Luwu Timur terletak

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. mata jaring ke arah panjang atau ke arah horizontal (mesh length) jauh lebih

TINJAUAN PUSTAKA. mata jaring ke arah panjang atau ke arah horizontal (mesh length) jauh lebih TINJAUAN PUSTAKA Alat Tangkap Jaring Insang (Gill net) Jaring insang (gill net) yang umum berlaku di Indonesia adalah salah satu jenis alat penangkapan ikan dari bahan jaring yang bentuknya empat persegi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perairan Pulau Pramuka terletak di Kepulauan Seribu yang secara administratif termasuk wilayah Jakarta Utara. Di Pulau Pramuka terdapat tiga ekosistem yaitu, ekosistem

Lebih terperinci

EKOLOGI IKAN KARANG. Sasanti R. Suharti

EKOLOGI IKAN KARANG. Sasanti R. Suharti EKOLOGI IKAN KARANG Sasanti R. Suharti PENGENALAN LINGKUNGAN LAUT Perairan tropis berada di lintang Utara 23o27 U dan lintang Selatan 23o27 S. Temperatur berkisar antara 25-30oC dengan sedikit variasi

Lebih terperinci

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 49 V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN 5.1 Distribusi Parameter Kualitas Perairan Karakteristik suatu perairan dan kualitasnya ditentukan oleh distribusi parameter fisik dan kimia perairan yang berlangsung

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Produktivitas Primer Fitoplankton Berdasarkan hasil penelitian di Situ Cileunca didapatkan nilai rata-rata produktivitas primer (PP) fitoplankton pada Tabel 6. Nilai PP

Lebih terperinci

PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN

PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN PRODUKTIVITAS PRIMER DAN SEKUNDER BAB 1. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Suatu ekosistem dapat terbentuk oleh adanya interaksi antara makhluk dan lingkungannya, baik antara makhluk hidup dengan makhluk hidup

Lebih terperinci

4 HASIL. Gambar 8 Kapal saat meninggalkan fishing base.

4 HASIL. Gambar 8 Kapal saat meninggalkan fishing base. 31 4 HASIL 4.1 Unit Penangkapan Ikan 4.1.1 Kapal Jumlah perahu/kapal yang beroperasi di Kecamatan Mempawah Hilir terdiri dari 124 perahu/kapal tanpa motor, 376 motor tempel, 60 kapal motor 0-5 GT dan 39

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan

Lebih terperinci

Jaring Angkat

Jaring Angkat a. Jermal Jermal ialah perangkap yang terbuat dari jaring berbentuk kantong dan dipasang semi permanen, menantang atau berlawanlan dengan arus pasang surut. Beberapa jenis ikan, seperti beronang biasanya

Lebih terperinci

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas 26 4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi 4.1.1 Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas Menurut DKP Kabupaten Banyuwangi (2010) luas wilayah Kabupaten Banyuwangi

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai

2. TINJAUAN PUSTAKA. utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Perairan Pantai Pemaron merupakan salah satu daerah yang terletak di pesisir Bali utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai wisata

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL Oleh : Nurul Dhewani dan Suharsono Lokakarya Muatan Lokal, Seaworld, Jakarta, 30 Juni 2002 EKOSISTEM LAUT DANGKAL Hutan Bakau Padang Lamun Terumbu Karang 1 Hutan Mangrove/Bakau Kata

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang merupakan bagian dari ekosistem laut yang penting karena menjadi sumber kehidupan bagi beraneka ragam biota laut. Di dalam ekosistem terumbu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan di laut sifatnya adalah open acces artinya siapa pun memiliki hak yang sama untuk mengambil atau mengeksploitasi sumberdaya didalamnya. Nelayan menangkap

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Ekosistem terumbu karang adalah salah satu ekosistem yang paling kompleks dan khas di daerah tropis yang memiliki produktivitas dan keanekaragaman yang tinggi. Ekosistem

Lebih terperinci

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir BAB V ANALISIS Bab ini berisi analisis terhadap bahasan-bahasan pada bab-bab sebelumnya, yaitu analisis mengenai komponen-komponen utama dalam pembangunan wilayah pesisir, analisis mengenai pemetaan entitas-entitas

Lebih terperinci

1.2.1 Bagaimanakah kehidupan ekosistem terumbu karang pantai Apakah yang menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang?

1.2.1 Bagaimanakah kehidupan ekosistem terumbu karang pantai Apakah yang menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang? 2 kerusakan ekosistem terumbu karang pantai Pangandaran terhadap stabilitas lingkungan. 1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Bagaimanakah kehidupan ekosistem terumbu karang pantai Pangandaran? 1.2.2 Apakah yang menyebabkan

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 33 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Kepulauan Seribu Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terletak di sebelah Utara Teluk Jakarta dan Laut Jawa Jakarta. Pulau Paling utara,

Lebih terperinci

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan ix M Tinjauan Mata Kuliah ata kuliah ini merupakan cabang dari ekologi dan Anda telah mempelajarinya. Pengetahuan Anda yang mendalam tentang ekologi sangat membantu karena ekologi laut adalah perluasan

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI IV.1 Gambaran Umum Kepulauan Seribu terletak di sebelah utara Jakarta dan secara administrasi Pulau Pramuka termasuk ke dalam Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Perikanan Tangkap 4.1.1 Armada Kapal Perikanan Kapal penangkapan ikan merupakan salah satu faktor pendukung utama dalam melakukan kegiatan penangkapan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terumbu karang dan asosiasi biota penghuninya secara biologi, sosial ekonomi, keilmuan dan keindahan, nilainya telah diakui secara luas (Smith 1978; Salm & Kenchington

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. terumbu karang untuk berkembangbiak dan hidup. Secara geografis terletak pada garis

I. PENDAHULUAN. terumbu karang untuk berkembangbiak dan hidup. Secara geografis terletak pada garis I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis memiliki iklim tropis dan perairannya lumayan dangkal, sehingga menjadi tempat yang optimal bagi ekosistem terumbu

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permintaan ikan yang meningkat memiliki makna positif bagi pengembangan perikanan, terlebih bagi negara kepulauan seperti Indonesia yang memiliki potensi perairan yang

Lebih terperinci

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM 69 4. DESKRIPSI SISTEM SOSIAL EKOLOGI KAWASAN PENELITIAN 4.1 Kondisi Ekologi Lokasi studi dilakukan pada pesisir Ratatotok terletak di pantai selatan Sulawesi Utara yang termasuk dalam wilayah administrasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Konsentrasi klorofil-a suatu perairan sangat tergantung pada ketersediaan nutrien dan intensitas cahaya matahari. Bila nutrien dan intensitas cahaya matahari cukup tersedia,

Lebih terperinci

DAERAH PERAIRAN YANG SUBUR. Riza Rahman Hakim, S.Pi

DAERAH PERAIRAN YANG SUBUR. Riza Rahman Hakim, S.Pi DAERAH PERAIRAN YANG SUBUR Riza Rahman Hakim, S.Pi Ciri-ciri daerah perairan yang subur 1. Daerah konvergensi - Daerah perairan tempat pertemuan dua masa air berupa pertemuan dua arus yang kuat. - Perbedaan

Lebih terperinci

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif.

Gambar 6 Sebaran daerah penangkapan ikan kuniran secara partisipatif. 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Wilayah Sebaran Penangkapan Nelayan Labuan termasuk nelayan kecil yang masih melakukan penangkapan ikan khususnya ikan kuniran dengan cara tradisional dan sangat tergantung pada

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem laut merupakan suatu kumpulan integral dari berbagai komponen abiotik (fisika-kimia) dan biotik (organisme hidup) yang berkaitan satu sama lain dan saling berinteraksi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya perubahan metalurgi yaitu pada struktur mikro, sehingga. ketahanan terhadap laju korosi dari hasil pengelasan tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya perubahan metalurgi yaitu pada struktur mikro, sehingga. ketahanan terhadap laju korosi dari hasil pengelasan tersebut. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengelasan merupakan proses penyambungan setempat dari logam dengan menggunakan energi panas. Akibat panas maka logam di sekitar lasan akan mengalami siklus termal

Lebih terperinci

EKOSISTEM. Yuni wibowo

EKOSISTEM. Yuni wibowo EKOSISTEM Yuni wibowo EKOSISTEM Hubungan Trofik dalam Ekosistem Hubungan trofik menentukan lintasan aliran energi dan siklus kimia suatu ekosistem Produsen primer meliputi tumbuhan, alga, dan banyak spesies

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Arus Eddy Penelitian mengenai arus eddy pertama kali dilakukan pada sekitar tahun 1930 oleh Iselin dengan mengidentifikasi eddy Gulf Stream dari data hidrografi, serta penelitian

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau Semak Daun merupakan salah satu pulau yang berada di Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Pulau ini memiliki daratan seluas 0,5 ha yang dikelilingi

Lebih terperinci

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL SUKANDAR, IR, MP, IPM (081334773989/cak.kdr@gmail.com) Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Sebagai DaerahPeralihan antara Daratan dan Laut 12 mil laut

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) model SODA versi 2.1.6 diambil dari lapisan permukaan (Z=1) dengan kedalaman 0,5 meter (Lampiran 1). Begitu

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jenis Hasil Tangkapan Hasil tangkapan pancing ulur selama penelitian terdiri dari 11 famili, 12 genus dengan total 14 jenis ikan yang tertangkap (Lampiran 6). Sebanyak 6

Lebih terperinci

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

Lebih terperinci

Handout. Bahan Ajar Korosi

Handout. Bahan Ajar Korosi Handout Bahan Ajar Korosi PENDAHULUAN Aplikasi lain dari prinsip elektrokimia adalah pemahaman terhadap gejala korosi pada logam dan pengendaliannya. Berdasarkan data potensial reduksi standar, diketahui

Lebih terperinci

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang

4 HASIL PENELITIAN. 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang 4 HASIL PENELITIAN 4.1 Statistik Produksi Ikan dan Telur Ikan Terbang 4.1.1 Produksi tahunan ikan dan telur ikan terbang Produksi ikan terbang (IT) di daerah ini dihasilkan dari beberapa kabupaten yang

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Daerah Penelitian Kabupaten Kupang merupakan kabupaten yang paling selatan di negara Republik Indonesia. Kabupaten ini memiliki 27 buah pulau, dan 19 buah pulau

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 23 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut (SPL) Hasil olahan citra Modis Level 1 yang merupakan data harian dengan tingkat resolusi spasial yang lebih baik yaitu 1 km dapat menggambarkan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA Penangkapan Ikan. Ayodhyoa (1981) mengatakan bahwa penangkapan ikan adalah suatu usaha

II. TINJAUAN PUSTAKA Penangkapan Ikan. Ayodhyoa (1981) mengatakan bahwa penangkapan ikan adalah suatu usaha II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Penangkapan Ikan Ayodhyoa (1981) mengatakan bahwa penangkapan ikan adalah suatu usaha manusia untuk menghasilkan ikan dan organisme lainnya di perairan, keberhasilan usaha penangkapan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut di Indonesia memegang peranan penting, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan jasajasa lingkungan yang

Lebih terperinci

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi

VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN. perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah alokasi VIII. PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP YANG BERKELANJUTAN Hasil analisis LGP sebagai solusi permasalahan pemanfaatan sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali memperlihatkan jumlah

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai

Lebih terperinci

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA

TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA TINJAUAN ASPEK GEOGRAFIS TERHADAP KEBERADAAN PULAU JEMUR KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU PADA WILAYAH PERBATASAN REPUBLIK INDONESIA - MALAYSIA Tito Latif Indra, SSi, MSi Departemen Geografi FMIPA UI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al.,

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al., I. PENDAHULUAN Segara Anakan merupakan perairan estuaria yang terletak di pantai selatan Pulau Jawa, termasuk dalam wilayah Kabupaten Cilacap, dan memiliki mangroveestuaria terbesar di Pulau Jawa (7 o

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial 5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial Hasil pengamatan terhadap citra SPL diperoleh bahwa secara umum SPL yang terendah terjadi pada bulan September 2007 dan tertinggi pada bulan Mei

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Pemilihan Warna yang Tepat pada Leadernet

6 PEMBAHASAN 6.1 Pemilihan Warna yang Tepat pada Leadernet 114 6 PEMBAHASAN 6.1 Pemilihan Warna yang Tepat pada Leadernet Berdasarkan hasil penelitian pada Bab 5, leadernet berwarna kuning lebih efektif daripada leadernet berwarna hijau dalam menggiring ikan.

Lebih terperinci

PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA

PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA Pengamatan Aspek Operasional Penangkapan...di Selat Malaka (Yahya, Mohammad Fadli) PENGAMATAN ASPEK OPERASIONAL PENANGKAPAN PUKAT CINCIN KUALA LANGSA DI SELAT MALAKA Mohammad Fadli Yahya Teknisi pada Balai

Lebih terperinci

BAB I PEDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pipa merupakan salah satu kebutuhan yang di gunakan untuk

BAB I PEDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pipa merupakan salah satu kebutuhan yang di gunakan untuk BAB I PEDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pipa merupakan salah satu kebutuhan yang di gunakan untuk mendistribusikan aliran fluida dari suatu tempat ketempat yang lain. Berbagi jenis pipa saat ini sudah beredar

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, wilayah daratan Indonesia ( 1,9 juta km 2 ) tersebar pada sekitar 17.500 pulau yang disatukan oleh laut yang sangat luas sekitar

Lebih terperinci

STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP

STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP Wiwid Prahara Agustin 1, Agus Romadhon 2, Aries Dwi Siswanto 2 1 Mahasiswa Jurusan Ilmu

Lebih terperinci

Sumber : Wiryawan (2009) Gambar 9 Peta Teluk Jakarta

Sumber : Wiryawan (2009) Gambar 9 Peta Teluk Jakarta 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Teluk Jakarta Secara geografis Teluk Jakarta (Gambar 9) terletak pada 5 o 55 30-6 o 07 00 Lintang Selatan dan 106 o 42 30-106 o 59 30 Bujur Timur. Batasan di sebelah

Lebih terperinci

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 20 4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Geografis, Letak Topografi dan Luas Sibolga Kota Sibolga berada pada posisi pantai Teluk Tapian Nauli menghadap kearah lautan Hindia. Bentuk kota memanjang

Lebih terperinci

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan

VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP. Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan VII. POTENSI LESTARI SUMBERDAYA PERIKANAN TANGKAP Fokus utama estimasi potensi sumberdaya perikanan tangkap di perairan Kabupaten Morowali didasarkan atas kelompok ikan Pelagis Kecil, Pelagis Besar, Demersal

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Perairan Bintan Pulau Bintan merupakan salah satu pulau di kepulauan Riau tepatnya di sebelah timur Pulau Sumatera. Pulau ini berhubungan langsung dengan selat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perikanan tangkap memiliki peran penting dalam penyediaan pangan, kesempatan kerja, perdagangan dan kesejahteraan serta rekreasi bagi sebagian penduduk Indonesia (Noviyanti

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kegiatan penangkapan ikan merupakan aktivitas yang dilakukan untuk mendapatkan sejumlah hasil tangkapan, yaitu berbagai jenis ikan untuk memenuhi permintaan sebagai sumber

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources) dan berdasarkan habitatnya di laut secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan

I. PENDAHULUAN. Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Potensi perikanan laut meliputi perikanan tangkap, budidaya laut dan industri bioteknologi kelautan merupakan asset yang sangat besar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,

Lebih terperinci