KERAGAAN MODIFIKASI PERANGKAP LIPAT KEPITING DI DESA MAYANGAN DAN LEGONWETAN SUBANG, JAWA BARAT ESA DIVINUBUN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "KERAGAAN MODIFIKASI PERANGKAP LIPAT KEPITING DI DESA MAYANGAN DAN LEGONWETAN SUBANG, JAWA BARAT ESA DIVINUBUN"

Transkripsi

1 KERAGAAN MODIFIKASI PERANGKAP LIPAT KEPITING DI DESA MAYANGAN DAN LEGONWETAN SUBANG, JAWA BARAT ESA DIVINUBUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Keragaan Modifikasi Perangkap Lipat Kepiting di Desa Mayangan dan Legonwetan, Subang, Jawa Barat adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juli 2012 Esa Divinubun C

3 ABSTRACT ESA DIVINUBUN. Perfomance of Collapsible Crab Traps in Mayangan and Legonwetan, Subang, West Java. Under direction of MULYONO SUMITRO BASKORO, BUDHI HASCARYO ISKANDAR, and RONNY IRAWAN WAHJU. Mud crab captured by various fishing gears. Trap produces best quality catches, because of the catch remain alive. Research has been conducted in Legonwetan and Mayangan waters since April to May 2012, aiming to get productivity and selectivity crab of collapsible traps. Laboratory-scale research was conducted to gain corresponding trajectory entrance angle, materials, and determining escape gaps size. Modified gear is 70 cm x 50 cm x 35 cm (L x W x H), with ramp tilt angle 30 and 40 with escape gap sizes 4 cm x 6 cm and 5 cm x 7 cm. Furthermore, fishing trials were conducted to see catches composition. ANOVA and t test were used to determine difference between tested folding traps. The result shows that there are significant influence in the doorway tilt angle differences to the amount of crab catches (F = 5.458, P = <α = 0.05). Doorway tilt angle of 30 produce more catch than 40 angle ((t hit = 4.407, P <0.05). In conclusion, crab folding trap with trajectory doorway tilt angle of 30 is more productive to catch crabs and escape gap of 4 cm x 6 cm effective to release juvenile crabs. Key words: Mud crab, Collapsible crab traps, Mayangan, Legonwetan, Subang

4 RINGKASAN ESA DIVINUBUN. Keragaan Modifikasi Perangkap Lipat Kepiting di Desa Mayangan dan Legonwetan, Subang, Jawa Barat. Dibimbing oleh MULYONO SUMITRO BASKORO, BUDHI HASCARYO ISKANDAR, dan RONNY IRAWAN WAHJU. Ada empat jenis kepiting bakau yang umumnya dikonsumsi masyarakat, yaitu Scylla serrata (duri di sikut dan dahinya sama-sama runcing), Scylla tranquebarica (duri di sikut sedikit runcing dan lunak di dahi), Scylla olilvacea (duri di dahi dan sikutnya sama-sama lunak), Scylla paramamosain (duri di dahi runcing tapi di siku lunak). Keenan et al, (1998). Jenis organisme ini memiliki nilai jual yang cukup tinggi, terutama jika dalam kondisi masih hidup, segar dan tidak ada satupun bagian tubuhnya yang cacat atau terluka. Habitat hidupnya di perairan estuari dan merupakan spesies yang khas di kawasan hutan bakau (mangrove) dengan substrat berlumpur atau lumpur berpasir, Nontji (1993). Scylla spp -- paling popular sebagai bahan makanan dan mempunyai harga yang cukup mahal, sangat disenangi masyarakat karena rasa dagingnya yang lezat dan nilai gizinya yang tinggi. Besarnya jumlah permintaan luar negeri memberikan dampak terhadap peningkatan aktivitas penangkapan yang dilakukan oleh nelayan kepiting bakau. Akibatnya, sumberdaya kepiting bakau semakin berkurang. Padahal peningkatan aktivitas penangkapan harus diikuti dengan konsep konservasi. Sebagian besar produksi kepiting bakau oleh nelayan didapat dari alam. Kepiting bakau ditangkap dengan berbagai alat tangkap, diantaranya rakang, jaring kepiting dan perangkap. Dari ketiga jenis alat tangkap tersebut, perangkap memberikan hasil tangkapan dengan kualitas terbaik. Salah satu jenis perangkap yang banyak dioperasikan saat ini adalah perangkap lipat. Perangkap lipat yang digunakan oleh nelayan Indonesia khususnya nelayan di daerah Indramayu, Subang dan Cirebon merupakan hasil introduksi dari Taiwan sehingga oleh nelayan setempat sering disebut badong Taiwan dengan ukuran P x L x T = 70 cm x 51 cm x 38 cm. Perangkap ini mulai diperkenalkan pertama kali sejak tahun 2001 oleh nelayan andon (nelayan Cirebon yang bermukim di Jakarta atau ikut kapal nelayan asing). Nelayan tersebut kemudian mencoba membuat duplikat dari perangkap lipat dengan ukuran yang lebih kecil dan lebih sederhana yaitu berukuran P x L x T = 52 cm x 33 cm x 20 cm, sedangkan yang berukuran kecil mempunyai ukuran P x L x T = 44 cm x 28 cm x 15 cm, (Gardenia, 2006). Desain dan konstruksinya tidak berubah dan digunakan untuk menangkap segala jenis organisme air, baik ikan, keong maupun kepiting. Padahal untuk memaksimalkan jumlah tangkapan, maka perangkap lipat harus diperbaiki dan rancangbangunnya disesuaikan dengan organisme yang menjadi tujuan penangkapan. Ini tidak terkecuali untuk perangkap lipat yang ditujukan untuk menangkap kepiting bakau. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk : 1) Menentukan sudut kemiringan lintasan pintu masuk yang efektif untuk menangkap kepiting ; 2) Menganalisis efektifitas penggunaan celah pelolosan untuk memaksimalkan hasil tangkapan

5 kepiting layak konsumsi dan meminimalkan hasil tangkapan kepiting yang belum dewasa. Berdasarkan penelitian skala laboratorium, maka dibuat modifikasi alat tangkap perangkap lipat yang modelnya berdasarkan perangkap lipat komersil yang digunakan oleh nelayan. Perangkap lipat yang dibuat dalam penelitian ini berukuran 70 cm x 50 cm x 35 cm (p x l x t), dengan sudut kemiringan lintasan pintu masuk 30 dan 40. Perangkap dibuat dalam dua kelompok yaitu dengan celah dan tanpa celah pelolosan. Ukuran celah pelolosan yang digunakan yaitu 4 cm x 6 cm dan 5 cm x 7 cm yang terbuat dari bahan plastik. Perangkap lipat dengan celah pelolosan juga dilengkapi dengan ruang pelolosan pada kedua sisi dimana terdapat celah pelolosan. Perangkap lipat yang telah dibuat diujicoba lebih lanjut di lapangan bersama dengan perangkap lipat komersil yang digunakan oleh nelayan. Ujicoba di lapangan dilakukan di perairan bakau Desa Mayangan dan Legonwetan, Subang, Provinsi Jawa Barat, pada bulan April sampai dengan bulan Mei 2012, selama 16 trip penangkapan. Analisis statistik deskriptif dan parametrik (ANOVA dan uji t), digunakan untuk mengetahui perbedaan diantara perangkap lipat yang di ujicoba. Hasilnya, diketahui bahwa ada pengaruh perbedaan sudut kemiringan lintasan pintu masuk terhadap jumlah hasil tangkapan kepiting pada perangkap lipat (F = 5,458; P = 0,023 < α = 0,05). Sudut kemiringan 30 memberikan hasil tangkapan total atau tangkapan kepiting (utama dan sampingan) yang lebih baik dari sudut 40 ((t hit = 4,407, P < 0,05), dan dari perangkap lipat komersil yang digunakan nelayan (sudut kemiringan lintasan pintu masuk 20 ). Selain itu, diketahui juga bahwa tidak ada perbedaan terhadap tingkat masuknya kepiting ke dalam perangkap antara perangkap lipat tanpa dan dengan celah pelolosan (F = 5,458; P(0,023)<α(0,05)). Berdasarkan analisis terhadap hasil tangkapan yang tertahan dan yang meloloskan diri melalui celah pelolosan pada perangkap lipat, diketahui bahwa celah pelolosan dengan ukuran 4 cm x 6 cm lebih baik dari celah pelolosan ukuran 5 cm x 7 cm, dalam menyeleksi ukuran kepiting bakau layak tangkap dan meloloskan kepiting belum layak tangkap dan spesies non target. Secara keseluruhan, dengan penggunaan celah pelolosan dapat mengurangi hasil tangkapan sampingan dari 92,9% menjadi 54,5% dari hasil tangkapan total. Kata kunci : Kepiting bakau, perangkap lipat kepiting, Mayangan, Legonwetan, Subang

6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

7 KERAGAAN MODIFIKASI PERANGKAP LIPAT KEPITING DI DESA MAYANGAN DAN LEGONWETAN SUBANG, JAWA BARAT ESA DIVINUBUN Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

8 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Mohammad Imron, M.Si

9 Judul Tesis : Keragaan Modifikasi Perangkap Lipat Kepiting di Desa Mayangan dan Legonwetan, Subang, Jawa Barat Nama Mahasiswa : Esa Divinubun NIM : C Disetujui Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc Ketua Dr. Ir. Budhi Hascaryo Iskandar, M.Si Dr. Ir. Ronny Irawan Wahju, M.Si Anggota Anggota Diketahui Ketua Program Studi Teknologi Perikanan Tangkap Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. A.gr Tanggal Ujian : 23 Juli 2012 Tanggal Lulus:

10 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia- Nya sehingga karya ilmiah ini dapat terselesaikan. Tesis ini berjudul: Keragaan Modifikasi Perangkap Lipat Kepiting di Desa Mayangan dan Legonwetan, Subang, Jawa Barat. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc, Bapak Dr. Ir. Budhi Hascaryo Iskandar, M.Si dan Bapak Dr. Ir. Ronny Irawan Wahju, M.Si, selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan, saran dan arahan serta perhatian selama penelitian berlangsung hingga rampungnya karya ilmiah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Bapak Dr. Ir. Sugeng Hari Wisudo, M. Si selaku penguji dari Program Studi dan Bapak Dr. Ir. Mohammad Imron, M.Si selaku penguji luar komisi dan tak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Gondo Puspito, M.Sc dan Bapak Ir. Mokhammad Dahri Iskandar, M.Si selaku komisi pembimbing terdahulu yang telah bersedia membimbing penulis dan juga kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan, saran dan kritiknya. Ucapan terima kasih penulis ucapkan juga kepada suami tercinta dan keluarga serta nelayan di Desa Mayangan dan desa Legonwetan Subang yang telah banyak membantu penulis selama di lapangan. Akhir kata, semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juli 2012 Esa Divinubun

11 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Madapolo, Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara pada tanggal 22 April 1980 sebagai anak bungsu dari Lima bersaudara dari pasangan Abdul Khalik Husein Divinubun (Alm) dan Halima Tusadiyah. Pendidikan Sarjana ditempuh penulis mulai tahun 1999 di Program studi Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Pada Tahun 2008 penulis melanjutkan studi ke Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada mayor Teknologi Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, FPIK IPB. Sejak tahun 2009 penulis bekerja sebagai Staf Ahli Anggota Komisi IV DPR RI di Gedung DPR-MPR RI Nusantara I Senayan - Jakarta. Penulis juga aktif di Partai Politik PKB sebagai Ketua I PPKB DPW. Maluku Utara dan anggota Departemen pada DPP. PPKB. Penulis juga aktif diberbagai organisasi kepemudaan tingkat pusat, antara lain pernah menjabat sebagai Wakil Sekretaris Umum Forum Mahasiswa Pascasarjana (WACANA) IPB, Wakil Sekjen bidang Perumahan Rakyat DPP. KNPI, Wakil Sekjen DPP. MAPANCAS, Sekertaris II PP. IPPNU dan sekarang sebagai pengurus pusat PP. FATAYAT NU.

12 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... iii DAFTAR GAMBAR... iv DAFTAR LAMPIRAN... v DAFTAR ISTILAH... vi 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Hipotesis Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Kepiting Bakau Klasifikasi kepiting bakau Morfologi kepiting bakau Penyebaran kepiting bakau Ukuran kedewasaan Daur hidup dan habitat kepiting bakau Makanan dan kebiasaan makan Ketergantungan kepiting bakau pada ekosisistem mangrove Alat Tangkap Kepiting Bakau Pintur/ rakkang Perangkap Faktor yang Mempengaruhi Penangkapan dengan Perangkap Umpan METODOLOGI PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Alat dan Bahan Penelitian Alat dan bahan skala laboratorium Alat dan bahan yang digunakan di lapangan Metode Penelitian Metode penelitian skala laboratorium Metode penelitian skala lapangan Metode Analisa Data Efisiensi dan produktivitas perangkap Rancangan percobaan Analisis selektivitas perangkap HASIL DAN PEMBAHASAN... 37

13 4.1 Keadaan Geografis dan Administrasi Kabupaten Subang Faktor Klimatologi Perairan Pantai Kabupaten Subang Karakteristik Fisik Perairan Karakteristik Hutan Mangrove Desain dan Konstruksi Perangkap Lipat Penentuan celah pelolosan Penentuan sudut kemiringan dan bahan lintasan pintu masuk Desain dan konstruksi Komposisi Hasil Tangkapan Total Komposisi hasil tangkapan utama dan sampingan Hubungan panjang, lebar dan tinggi karapas serta bobot tubuh kepiting bakau Analisis Hasil Tangkapan Berdasarkan Sudut Kemiringan Hasil tangkapan total Hasil tangkapan utama dan sampingan Analisis Hasil Tangkapan Berdasarkan Celah Pelolosan Hasil tangkapan total Hasil tangkapan utama dan sampingan Hasil Tangkapan Perangkap Lipat Komersil Distribusi Ukuran Kepiting Bakau Layak Tangkap Hasil Tangkapan pada Masing-masing Perangkap Selektivitas Celah Pelolosan pada Perangkap KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN ii

14 DAFTAR TABEL Halaman 1 Karakteristik kepiting bakau (Scylla spp.) Karakter jenis kepiting bakau (Scylla spp.) Komposisi total hasil tangkapan perangkap lipat selama penelitian Jumlah hasil tangkapan berdasarkan sudut kemiringan pintu masuk Hasil tangkapan kepiting pada perangkap lipat tanpa celah pelolosan dan dengan celah pelolosan Hasil tangkapan kepiting pada perangkap lipat berdasarkan celah pelolosan dan perbandingan yang tertahan dan yang lolos Komposisi hasil tangkapan lipat komersil (BN) iii

15 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Diagram alir pendekatan masalah Morfologi Scylla spp Perbedaan morfologi Scylla spp Kepiting jantan dan betina Skema daur hidup kepiting bakau (Scylla olivacea) Konstruksi pintur/rakkang Konstruksi perangkap lipat kepiting Ilustrasi percobaan celah pelolosan Ilustrasi percobaan sudut kemiringan lintasan pintu masuk Konstruksi perangkap lipat yang dilengkapi dengan celah pelolosan dan ruang pelolosan Konstruksi perangkap lipat yang tidak dilengkapi celah pelolosan Komposisi hasil tangkapan total Hubungan lebar karapas, panjang, tinggi dan bobot kepiting bakau Diagram box plot hasil tangkapan berdasarkan sudut kemiringan Komposisi hasil tangkapan kepiting Hasil tangkapan kepiting berdasarkan sudut kemiringan Sebaran panjang, lebar, dan tinggi serta bobot tubuh kepiting bakau Sebaran frekuensi hasil tangkapan pada perangkap lipat tanpa dan dengan celah pelolosan Sebaran frekuensi jenis kepiting yang tertangkap dan yang lolos Komposisi jenis kelamin dan kedewasaan Frekuensi jenis hasil tangkapan perangkap komersil Distribusi panjang, lebar, tinggi dan bobot kepiting bakau yang tertangkap pada perangkap lipat komersil Distribusi kepiting bakau layak tangkap Jumlah hasil tangkapan total pad masing-masing tipe perangkap Hasil tangkapan kepiting bakau pada masing-masing perangkap Kurva selektivitas pada celah pelolosan iv

16 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Peta lokasi penelitian Perangkap lipat yang digunakan dalam penelitian Operasi penangkapan Pengukuran hasil tangkapan Komposisi hasil tangkapan perangkap lipat selama penelitian Uji kenormalan data hasil tangkapan total untuk semua perangkap lipat Analisis varians (ANOVA) jumlah hasil tangkapan total Uji t berpasangan terhadap sudut kemiringan Analisis varians (ANOVA) jumlah kepiting Jenis-jenis hasil tangkapan perangkap lipat v

17 DAFTAR ISTILAH Entrance : Lintasan pintu masuk pada perangkap. Escape chamber : Sama dengan ruang pelolosan yaitu ruang tambahan yang dipasang pada perangkap sebagai tempat menampung organisme yang meloloskan diri dari dalam perangkap melalui celah pelolosan. Escape gap/celah pelolosan : Bagian yang terdapat pada perangkap yang berfungsi sebagai tempat organisme tidak layak tangkap meloloskan diri keluar dari perangkap. Fishing base Funnel : Tempat dimana kapal berlabuh atau tempat dimana awal melakukan persiapan melaut. : Bukaan mulut perangkap yang terletak pada ujung lintasaan pintu masuk, sebagai tempat masuknya organisme ke dalam perangkap. Hasil tangkapan utama : Tangkapan yang menjadi tujuan utama penangkapan. Hasil tangkapan sampingan : Tangkapan yang bukan merupakan tujuan utama penangkapan. Karapas : bagian atas yang menutup tubuh kepiting. L 50 : Simbol yang menyatakan peluang 50% suatu spesies yang mempunyai ukuran panjang atau lebar tertentu untuk tertangkap pada suatu alat tangkap. Panjang karapas : Jarak karapas antara duri diantara mata sampai bagian belakang. Selection Range Selektivitas : Perbedaan antara panjang atau lebar suatu spesies yang mempunyai peluang 75% (L 75 ) dan 25% (L 25 ) untuk tertangkap pada suatu alat tangkap. : Kemampuan suatu alat tangkap untuk menangkap suatu spesies dengan ukuran tertentu. Sudut kemiringan lintasan : sudut kemiringan yang diukur dari dinding dasar pintu masuk perangkap ke dinding pintu masuk perangkap.

18 Tinggi karapas : Jarak vertikal antara bagian atas karapas dan bagian abdomen. Ukuran layak tangkap : Ukuran minimal suatu spesies yang dapat ditangkap. Pada ukuran ini diperkirakan spesies tersebut sudah matang gonad.

19 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepiting bakau dari genus Scylla merupakan spesies bentik yang memiliki distribusi luas mulai dari Madagaskar sampai laut Hindia, sepanjang pantai Laut Cina Selatan hingga bagian utara Jepang (Shokita et al., 1991; Keenan et al., 1998; Overton dan Macintosh, 2002 dalam Jirapunpipat et al., 2009). Di wilayah Asia tenggara, kepiting bakau (Scylla spp.) sebagai sumber pangan yang merupakan sumber makanan laut yang penting juga sumber nafkah oleh masyarakat pesisir. Saat ini, eksploitasi dan budidaya kepiting bakau di Asia mengalami peningkatan, di banyak negara permintaan kepiting bakau dari segala ukuran, meliputi kepiting bakau betina dewasa untuk pasar premium dan kepiting kulit lunak hasil budidaya (kepiting soka) sebagai bahan makanan baru, terus bertambah (Cholik, 1999; Le Vay, 2001). Ada empat jenis kepiting bakau yang umumnya dikonsumsi masyarakat, yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, Scylla olilvacea, Scylla paramamosain. Jenis organisme ini memiliki nilai jual yang cukup tinggi, terutama jika dalam kondisi masih hidup, segar dan tidak ada satupun bagian tubuhnya yang cacat atau terluka. Scylla olivacea dan S. serrata merupakan jenis kepiting yang paling popular sebagai bahan makanan dan mempunyai harga yang cukup mahal. Scylla olivacea, sering disebut orange mud crab merupakan salah satu spesies dari kelas Crustacea yang hidup di perairan estuari dan merupakan spesies yang khas di kawasan hutan bakau (mangrove) dengan substrat berlumpur atau lumpur berpasir. Menurut Nontji (1993), kepiting bakau jenis S. serrata sangat disenangi masyarakat karena rasa dagingnya yang lezat dan nilai gizinya yang tinggi. Sebagian besar produksi kepiting bakau oleh nelayan didapat dari alam. Hasil tangkapan ini berupa, juvenil untuk budidaya di tambak, kepiting dewasa ataupun muda untuk penggemukan, dan kepiting matang telur untuk pasar premium (Le Vay, 1998). Besarnya jumlah permintaan untuk kebutuhan diatas, memberikan dampak terhadap peningkatan aktivitas penangkapan yang dilakukan oleh nelayan terhadap populasi kepiting bakau. Akibatnya, sumberdaya kepiting bakau semakin berkurang. Ditambah lagi, dengan adanya konversi kawasan

20 2 mangrove menjadi areal pertanian dan budidaya pantai, pemukiman dan penebangan kayu untuk bahan bakar atau kebutuhan lainnya, abrasi, dan sebagainya, menyebabkan terjadinya degradasi habitat kepiting bakau. Akumulasinya, menyebabkan berkurangnya kepiting bakau di alam dan berkurangnya hasil tangkapan. Untuk itu, upaya seperti mengurangi tekanan penangkapan, restorasi habitat mangrove dan perbaikan stok dapat dilakukan sebagai pendekatan untuk meringankan akibat dari overfishing dan degradasi lingkungan terhadap populasi kepiting bakau (Le Vay, 2001; Walton et al., 2006; Jirapunpipat et al dalam Jirapunpipat et al., 2009). Upaya untuk mengurangi tekanan penangkapan akibat overfishing, dapat dilakukan dengan salah satu cara yaitu penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan. Alat tangkap ramah lingkungan adalah alat tangkap yang jika digunakan dapat memenuhi prinsip-prinsip konservasi sumberdaya yang di eksplotasi. Di Indonesia, kepiting bakau ditangkap dengan berbagai alat tangkap, diantaranya pancing kepiting, pintur/rakkang, perangkap lipat dan sebagainya. Namun yang populer sampai saat ini adalah dari jenis perangkap karena dari ketiga jenis alat tangkap tersebut, perangkap memberikan hasil tangkapan dengan kualitas terbaik. Kepiting masih dalam kondisi hidup dan tidak cacat. Salah satu jenis perangkap yang banyak dioperasikan saat ini adalah perangkap lipat. Namun, selama ini alat tangkap yang digunakan belum mempertimbangkan kelestarian populasi (Siahainenia, 2008), perangkap lipat yang dioperasikan oleh nelayan cenderung menangkap kepiting bakau dari semua jenis ukuran tanpa ada seleksi ukuran, karena memang belum ada aturan di Indonesia yang mengatur tentang pembatasan ukuran kepiting yang harus ditangkap, disamping itu hasil tangkapan sampingan yang banyak dan kebanyakan memiliki nilai ekonomis yang kecil atau tidak ada sama sekali. Hasil tangkapan kepiting dan spesies non target lainnya seringkali dibuang kembali ke perairan jika tidak diperlukan. Penangkapan dan penanganan semacam ini dapat mengganggu kestabilan populasi kepiting bakau karena tidak ada kesempatan untuk proses produksi, sehingga tidak terjadi penambahan stok baru/rekruitmen (Siahainenia, 2008), dan dapat memberikan dampak yang serius terhadap perikanan dimasa datang (Winger and Walsh, 2007).

21 3 Perangkap lipat yang digunakan oleh nelayan Indonesia khususnya nelayan di daerah Indramayu, Subang dan Cirebon merupakan hasil introduksi dari Taiwan sehingga oleh nelayan setempat sering disebut badong Taiwan dengan ukuran panjang ( p ) x lebar ( l ) x tinggi ( t ) = 70 cm x 51 cm x 38 cm. Perangkap ini mulai diperkenalkan pertama kali sejak tahun 2001 oleh nelayan andon (nelayan Cirebon yang bermukim di Jakarta atau ikut kapal nelayan asing). Nelayan tersebut kemudian mencoba membuat duplikat dari perangkap lipat dengan ukuran yang lebih kecil dan lebih sederhana yaitu berukuran p x l x t = 52 cm x 33 cm x 20 cm, sedangkan yang berukuran kecil mempunyai ukuran p x l x t = 44 cm x 28 cm x 15 cm (Gardenia, 2006). Desain dan konstruksinya tidak berubah dan digunakan untuk menangkap segala jenis organisme air, baik ikan, keong maupun kepiting. Padahal untuk memaksimalkan jumlah tangkapan, maka perangkap lipat harus diperbaiki dan rancangbangunnya disesuaikan dengan organisme yang menjadi tujuan penangkapan. Ini tidak terkecuali untuk perangkap lipat yang ditujukan untuk menangkap kepiting bakau. Beberapa penelitian merekomendasikan bahwa fokus penelitian terhadap modifikasi perangkap dapat mereduksi tertangkapnya organisme yang belum layak tangkap untuk memperbaiki dan mempertahankan keberlanjutan stok (Grant, 2003; DFO, 2005; FRCC, 2005 yang diacu dalam Winger and Walsh, 2007). Ada beberapa pendekatan yang bertujuan untuk mengurangi hasil tangkapan kepiting belum dewasa pada perangkap, seperti pemasangan celah pelolosan, peningkatan ukuran mata jaring, modifikasi bentuk mesh (mata jaring), penyesuaian bentuk perangkap atau desain pintu masuk (Boutson et al., 2008). 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan fungsi dan kegunaannya, perangkap kepiting seharusnya hanya digunakan untuk menangkap kepiting. Kenyataannya tidak sedikit hasil tangkapan sampingan yang didapatkan ketika perangkap ini dioperasikan. Agar perangkap dapat berfungsi maksimal, maka rancangbangun perangkap harus diperbaiki dan disesuaikan dengan organisme tangkapan kepiting bakau Scylla spp.

22 4 Perangkap kepiting yang dipakai dalam penelitian ini adalah perangkap lipat berbentuk persegi yang disadur dari penelitian-penelitian terdahulu. Beberapa bagian perangkap harus dimodifikasi untuk bisa digunakan oleh nelayan dengan mengedepankan konsep konservasi. Bagian perangkap yang harus diperbaiki adalah sudut kemiringan lintasan pintu masuk perangkap, jenis bahan pada lintasan pintu masuk dan konstruksi celah pelolosan. Rancang bangun perangkap lipat yang baru, diharapkan dapat menangkap kepiting bakau berukuran layak tangkap atau kepiting yang telah matang gonad dalam jumlah banyak. Pengujian terhadap rancang bangun perangkap lipat disesuaikan dengan tingkah laku kepiting bakau Scylla spp -- dilakukan di laboratorium. Ini dimaksudkan agar perbaikan setiap bagian perangkap dapat teramati dengan lebih teliti. Adapun pengujian terhadap perangkap yang telah diperbaiki dilakukan langsung di lapang. Untuk lebih memahami perumusan masalah tersebut, dapat dilihat pada Gambar 1.

23 5 Perangkap lipat Permasalahan Selektif terhadap jenis: 1. Mengurangi jumlah kepiting bakau tidak layak tangkap 2. Mengurangi jumlah tangkapan sampingan Selektif terhadap ukuran kepiting bakau layak tangkap, CW: 8 cm Perbaikan konstruksi perangkap lipat Sudut kemiringan: 30 dan 40 Celah pelolosan dan tanpa celah pelolosan Celah pelolosan: (4 x 6) cm dan (5 x 7) cm Analisis RAL Faktorial Analisis selektivitas Rekomendasi konstruksi perangkap lipat yang selektif terhadap jenis dan ukuran hasil tangkapan Gambar 1 Diagram alir pendekatan masalah

24 6 1.3 Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah: 1) Sudut kemiringan dinding pintu masuk perangkap berpengaruh terhadap hasil tangkapan; 2) Celah pelolosan yang dibentuk berdasarkan ukuran minimum lebar karapas kepiting layak tangkap hanya dapat meloloskan kepiting-kepiting yang berukuran kecil. 1.4 Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: 1) Menentukan sudut kemiringan lintasan pintu masuk yang efektif untuk menangkap kepiting ; 2) Menganalisis efektifitas penggunaan celah pelolosan untuk memaksimalkan hasil tangkapan kepiting layak konsumsi dan meminimalkan hasil tangkapan kepiting yang belum dewasa. 1.5 Manfaat Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah: 1. Sebagai rekomendasi bagi nelayan untuk menggunakan perangkap lipat kepiting yang dapat memberikan hasil tangkapan yang banyak dan mempersingkat waktu penyortiran hasil tangkapan yang tidak diinginkan oleh nelayan; dan 2. Sumbangan bagi kemajuan dunia perikanan tangkap dalam mendesain alat tangkap produktif dengan mengedepankan konsep konservasi agar dapat dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan.

25 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepiting Bakau Klasifikasi kepiting bakau Kepiting bakau tergolong dalam famili Portunidae, yaitu kelompok kepiting perenang (swimming crabs), karena memiliki pasangan kaki terakhir yang memipih dan dapat digunakan untuk berenang. Famili Portunidae mencakup rajungan (Portunus, Charybdis & Thalamita) dan kepiting bakau (Scylla spp). Dinamakan kepiting bakau (Scylla spp) karena banyak ditemukan di wilayah hutan bakau/mangrove. Meskipun demikian, kepiting bakau memiliki nama lokal yang beragam. Masyarakat lokal di Sumatra mengenalnya dengan ketam batu, kepiting cina atau kepiting hijau, sedangkan di Timika-Papua dikenal dengan nama karaka. Beberapa negara menamainya berbeda-beda, misalnya ketam batu (Malaysia), kepiting lumpur (Astralia), kepiting samoan (Hawaii), alimago (Filipina), tsai jim (Taiwan), dan nokogiri gozami (Jepang) (Soim, 1994). Klasifikasi kepiting, menurut Motoh (1977) diacu oleh Siahainenia (2008), adalah sebagai berikut. filum : Arthropoda sub filum : Mandibulata kelas : Crustacea ordo : Decapoda sub ordo : Reptantia famili : Portunidae sub famili : Portuninae genus : Scylla spesies : Scylla spp Selanjutnya Estampador (1949a) membagi genus Scylla atas tiga jenis dan satu varietas, yaitu Scylla serrata (Forskal), Scylla oceanica (Dana), Scylla tranguebarica (Fabricius) dan Scylla serrata var. paramamosin (Estampador). Meskipun demikian, menurut Stephenson dan Campbell (1960) dalam Watanabe

26 8 et al. (2001), genus Scylla hanya memiliki satu jenis saja, yaitu Scylla serrata. Hal yang sama juga diyakini oleh Alcock (1989) dalam Sulaeman dan Naevdal (2000) yang menyatakan bahwa Scylla dari perairan India terdiri atas satu jenis yaitu Scylla serrata. Demikian pula halnya dengan Moosa et al. (1985) yang mendukung kesimpulan tersebut melalui kajian terhadap kepiting bakau di perairan Indonesia. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka berdasarkan hasil penelitiannya dengan menggunakan metode Allozyme electrophoresis dan mitocondria DNA, Keenan et al. (1998) menyatakan bahwa kepiting bakau terdiri atas empat jenis, yaitu Scylla serrata, S. tranguebarica, S. paramamosain dan S. olivacea. Di desa Blanakan dan Mayangan di pesisir selatan Subang, Jawa barat, keempat jenis Scylla spp ini hidup bersama (Siahainenia, 2008) Morfologi kepiting bakau Menurut Moosa (1981), untuk mengenal dan memberikan diagnosa dari tiap jenis krustasea, terlebih dahulu diperlukan pengetahuan tentang istilah bagianbagian tubuh yang biasanya dipergunakan dalam taksonomi binatang yang bersangkutan. Dijelaskan pula bahwa bagian-bagian tubuh penting yang digunakan dalam pengenalan jenis dari famili Portunidae adalah: 1. Karapas (carapace), yaitu selubung kepala-dada dan bagian-bagian yang ada di atasnya; 2. Jumlah, bentuk dan sifat duri pada bagian dahi karapas (rostrum); 3. Jumlah, bentuk dan sifat duri pada tepi antero-lateral karapas; 4. Bentuk sudut postero-lateral tubuh; 5. Bagian-bagian yang terdapat pada ruas-ruas kaki jalan (periopod), terutama pada pasangan kaki pertama yang berbentuk capit (cheliped) dan pasangan kaki terakhir yang berbentuk dayung; 6. Bentuk tutup abdomen dan bentuk pleopod; 7. Bentuk mulut terutama maxilliped III; dan 8. Bentuk bagian ruas dasar antenne (basal antennal joint). Kriteria tersebut tidak semuanya berlaku untuk satu genus. Ada kriteria yang dapat digunakan untuk genus yang satu, tetapi tidak penting atau kurang penting

27 9 bila digunakan pada genus yang lain. Meskipun demikian, ada kriteria yang sama-sama dapat digunakan untuk mengidentifikasi jenis-jenis dari beberapa genus. Secara umum, ciri dari jenis-jenis organisme yang tergolong dalam famili Portunidae adalah karapas pipih atau agak cembung, berbentuk heksagonal atau agak persegi. Bentuk umum adalah bulat telur memanjang atau berbentuk kebulatbulatan. Karapas umumnya berukuran lebih lebar dari pada panjangnya dengan permukaan yang tidak selalu jelas pembagiannya. Tepi antero-lateral karapas berduri lima (jarang kurang dari lima kecuali pada subfamili Podophthalminae) sampai sembilan buah. Dahi lebar, dan terpisah dengan jelas dari sudut supraorbital dan memiliki jumlah duri dua sampai enam buah. Antenne (antennulae) kecil terletak melintang atau menyerong (Gambar 2). Pasangan kaki terakhir berbentuk pipih menyerupai dayung, terutama pada dua ruas terakhir. Ada beberapa genus yang berkaki tetapi tidak berbentuk demikian (Moosa 1981). Keterangan : a. Karpus b. Kaki jalan c. Karapas d. Kaki renang e. Merus f. Basi-ischium g. Lekukan karapas h. Panjang karapas i. Lebar karapas Gambar 2 Morfologi Scylla spp

28 10 Ciri kepiting bakau secara khusus, menurut Sulistiono et al. (1992), adalah karapas berbentuk cembung dan halus, dengan lebar karapas satu setengah dari panjangnya. Bentuk alur yang menyerupai huruf H antara area pencernaan (gastric area) dan area jantung (cardiac area) jelas. Empat duri berbentuk segitiga pada bagian dahi berukuran sama, dan memiliki orbit yang lebar dengan dua celah. Kathirvel dan Srinivasagam (1992) membedakan kepiting bakau berdasarkan habitatnya di wilayah Indo-Pasifik. Menurutnya ada dua jenis dari genus Scylla yaitu S. serrata dan S. tranquebarica, yang sejenis dengan S. oceanica. Kedua spesies ini dibedakan melalui warna tubuh dan habitatnya. S. serrata hidup pada lobang-lobang di hutan mangrove, sedangkan S. tranquebarica yang memiliki ukuran tubuh lebih besar adalah perenang bebas. Selanjutnya Estampador (1949) menggolongkan kepiting bakau ke dalam dua kelompok, yaitu banhawin dan mamosain. Kelompok banhawin terdiri atas individu dengan warna tubuh hijau dan dengan tanda/pola poligonal pada semua kaki dan cheliped-nya. Kelompok kedua adalah individu berwarna coklat gelap yang tidak memiliki tanda/pola apapun pada kaki-kaki dan cheliped-nya. Kepiting banhawin adalah perenang bebas, sedangkan kelompok mamosain tinggal menetap di dalam lobang. Jenis S. oceanica dan S. tranquebarica digolongkan kedalam kelompok banhawin, yakni sebagai perenang bebas, sedangkan S. serrata digolongkan ke dalam kelompok mamosain yang hidup di dalam lobang-lobang pada areal mangrove. Untuk membedakan keempat jenis kepiting dari genus Scylla, Estampador (1949) mempergunakan warna sebagai salah satu faktor pembeda utama. Pendapat ini berbeda dengan Warner (1977). Menurutnya identifikasi jenis berdasarkan warna tubuh saja mungkin akan keliru, karena kondisi setempat, seperti cahaya, panas dan warna latar belakang habitat tempat kepiting bakau hidup, dapat berdampak terhadap dispersi pigmen pada tubuh kepiting bakau. S. oceanica dan S. tranquebarica mempunyai warna dasar kehijauan atau hijau keabu-abuan, atau disebut juga warna hijau buah zaitun, sedangkan S. serrata dan S. serrata var. paramamosin mempunyai warna dasar hijau merah kecoklatan atau coklat keabu-

29 11 abuan sampai abu-abu. Karakteristik kepiting bakau (Scylla spp) dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar 3. No. Warna dan ciri morfologis Tabel 1 Karakteristik kepiting bakau (Scylla spp.) Scylla oceanica 1. Warna karapas Hijau keabuabuan 2. Sumber Pada capit dan pigmen semua kaki polygonal jalan 3. Bentuk alur H pada karapas 4. Bentuk duri depan 5. Bentuk duri pada fingerjoint Scyllla tranquebarica Scylla serrata Scylla serrata var. paramamosin Coklat kehijauan Pigmen putih pada bagian terakhir dari kaki-kaki Hijau buah zaitun Coklat merah seperti karat Hanya pada Tidak ada bagian terakhir kaki jalan Dalam Dalam Tidak dalam Relatif tidak begitu dalam Tajam Tajam Tumpul Sedang Kedua duri jelas dan runcing 6. Bentuk rambut/setase Melimpah pada karapas Sumber: Estampador (1949) Kedua duri jelas dan satu agak tumpul Duri tidak ada dan berubah menjadi vestigial - Hanya pada hepatic area - - Gambar 3 Perbedaan morfologi Scylla spp (Purwati et al., 2010)

30 12 Selain perbedaan warna dan perbedaan morfologi tubuh, suatu teknik baru telah dikembangkan untuk memperoleh status taksonomi dari jenis organisme tertentu, yaitu melalui analisa genetik. Analisa ini telah dikembangkan terhadap kepiting bakau oleh Keenan et al. (1998) yang kemudian merubah klasifikasi genus Scylla dari klasifikasi sebelumnya dengan karakter tiap jenis (Tabel 2). Jenis Scylla serrata Scylla tranquebarica Scylla paramamosain Scylla olivacea Tabel 2 Karakter jenis kepiting bakau (Scylla spp.) Pola poligon dan warna Duri pada dahi Duri pada bagian luar cheliped Pola poligon dan warna Duri pada dahi Duri pada bagian luar cheliped Pola poligon dan warna Duri pada dahi Duri pada bagian luar cheliped Pola poligon dan warna Duri pada dahi Duri pada bagian luar cheliped Sumber: Keenan et al. (1998) Faktor pembeda / ciri morfologis Chela dan kaki-kakinya memiliki pola poligon yang sempurna untuk kedua jenis kelamin dan pada abdomen betina. Warna bervariasi dari ungu, hijau sampai hitam kecoklatan Tinggi, tipis dan agak tumpul dengan tepian yang cenderung cekung dan membulat Dua duri tajam pada propondus dan sepasang duri tajam pada carpus Chela dan dua pasang kaki jalan pertama berpola poligon serta dua pasang kaki terakhir dengan pola bervariasi. Pola poligon juga terdapat pada abdomen betina dan tidak pada abdomen jantan. Warna bervariasi mirip dengan S. Serrata Tumpul dan dikelilingi oleh celah sempit Dua duri tajam pada propondus dan sepasang duri tajam pada carpus Chela dan kaki-kakinya berpola poligon untuk kedua jenis kelamin. Warna bervariasi dari ungu sampai coklat kehitaman. Tajam, berbentuk segitiga dengan tepian yang bergaris lurus dan membentuk ruang yang kaku Pada dewasa tidak ada duri pada bagian luar carpus dan sepasang duri agak tajam yang berukuran sedang pada propondus sedangkan pada juvenil di bagian luar carpus tajam. Chela dan kaki-kakinya tanpa pola poligon yang jelas untuk kedua jenis kelamin dan pada abdomen betina saja. Warna bervariasi dari oranye kemerahan sampai coklat kehitaman. Tumpul dan dikelilingi raung-raung yang sempit Umumnya tidak ada duri pada carpus. Sedangkan pada bagian propondus duri mengalami reduksi dari tajam ke tumpul.

31 13 Klasifikasi jenis kelamin kepiting bakau dapat dilakukan secara eksternal. Menurut Moosa et al. (1985), ruas-ruas pada tutup abdomen kepiting bakau jantan umumnya sempit dan berbentuk segitiga, sedangkan ruas-ruas pada tutup abdomen kepiting bakau betina berukuran lebar dan sedikit membulat (Gambar 4). Gambar 4 Kepiting jantan (atas), betina (bawah) (Purwati et al., 2009) Kepiting bakau aktif mencari makan pada malam hari dan berisitirahat dengan membenamkan diri dalam lumpur pada siang hari (Hill, 1974). Makanannya, menurut Kasry (1984), berupa organisme yang bergerak lambat atau jenis makro zoobenthos, seperti kerang, siput, krustacea dan cacing. Bangkai juga termasuk makanannya, karena kepiting tergolong hewan omnivorus scavengers. Kemampuan makan kepiting, menurut Hill (1974), menjadi berkurang pada masa molting, karena kepiting tidak beraktivitas Penyebaran kepiting bakau Kepiting bakau memiliki sebaran geografis yang sagat luas. Menurut Sulistiono et al (1994), kepiting ditemukan di daerah air payau dan tertangkap di sebagian besar wilayah pesisir Indonesia, yaitu di wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua.

32 14 Kepiting bakau mendiami daerah intertidal dengan suhu air antara o C dalam setahun. Jenis Scylla olivacea ditemukan pada dasar perairan yang berlumpur dengan kisaraan ph antara 7,9-8,3 (Sulistiono et. al., 1994). Pada tingkat juvenile, kepiting jarang terlihat di daerah bakau, karena cenderung membenamkan diri di dalam lumpur Ukuran kedewasaan Kedewasaan kepiting bakau ditandai dengan terbentuknya organ reproduksi dan tanda-tanda perkawinan. Kepiting bakau jantan yang telah melakukan perkawinan akan memiliki memar di sisi bawah tubuhnya, terutama bagian atas (dekat dengan mata) dan kaki jalan pertama. Memar ini akan bertahan sampai kepiting bakau tersebut ganti kulit (moulting). Sedangkan untuk kepiting bakau betina, kedewasaan ditandai dengan adanya telur di dalam karapas, moulting dan abdominal flap semakin bertambah lebar, serta telur yang sudah dibuahi berada di dalam abdominal flap (Purwati, 2009). Ukuran terkecil kepiting bakau yang mulai dewasa bervariasi sesuai dengan lokasi dan spesiesnya, bahkan dapat bervariasi antar individu di dalam populasi yang sama. Informasi tentang ukuran awal kedewasaan kepiting dari keempat jenis Scylla spp. di Indonesia masih belum diketahui secara luas. Scylla serrata terkecil di Afrika Selatan yang memiliki gonad (kelenjar kelamin), menunjukan lebar karapas 104 mm. Namun rata-rata kepiting baru memiliki gonad setelah karapasnya mencapai 123 mm (Robertson & Kruger 1994). Scylla serrata di Teluk Moreton, Queensland mencapai dewasa saat lebar karapasnya mm (Hyland & Lee 1984). Di perairan muara sungai Ramisi, Kenya, Scylla serrata berukuran 77 mm sudah memiliki ovarium, tetapi kepiting betina terkecil yang membawa telur yang sudah dibuahi (ovigerous female) berukuran 139 mm (Onyango, 2002). Sedangkan di perairan Delta Mekong, Vietnam, ukuran ratarata Scylla paramamosain yang matang gonad berukuran 102 mm. Ukuran tersebut diperkirakan berumur sekitar 160 hari setelah settlement (Walton et al., 2002). Dalam perairan estuari Labu, Papua New Guinea, Scylla paramamosain mulai matang gonad pada ukuran 101 mm dan Scylla olivacea pada 83 mm (Overton & Macintosh, 2002). Jirapunpipat et al (2008), dalam penelitiannya di

33 15 rawa bakau Klong Ngao, Provinsi Ranong, Thailand, menemukan bahwa ukuran kepiting dewasa lebar karapasnya lebih dari 8 cm, kepiting jantan lebih berat dari kepiting betina. Hasil tangkapan dominan adalah kepiting berukuran kecil baik jantan maupun betina, sedangkan kepiting dewasa dalam jumlah yang sedikit. Dari hasil estimasi model logistik, ditemukan bahwa 50% kepiting betina yang pertama kali matang gonad, lebar karapasnya adalah 9,55 cm, dengan ukuran minimum ketika matang gonad yaitu 8,3 cm. Hal yang sama juga dikemukan oleh Aldrianto (1994), bahwa menyatakan bahwa di Indonesia kepiting bakau yang telah mencapai dewasa kelamin berukuran panjang karapas 4,27 cm dan lebar karapas 8,0 cm. Le vay (2001), menyatakan bahwa di perairan utara Jawa, kepiting bakau S. Paramamosain betina mencapai tingkat dewasa kelamin pada ukuran lebar karapas 8,0-9,0 cm. Sementara itu menurut Siahainenia (2008), dalam penelitiannya di Ekosistem Mangrove Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat, menyatakan bahwa karakter perkembangan dewasa kelamin kepiting bakau teramati melalui perubahan struktur morfologis dan adanya tanda-tanda khusus pada tubuh. Ukuran minimum kepiting bakau ketika mencapai dewasa kelamin adalah 10,0 cm untuk jantan dan 9,0 cm untuk betina. Perkembangan gonad teramati melalui perubahan pada struktur morfologis tubuh kepiting bakau, warna gonad serta jaringan gonad Daur hidup dan habitat kepiting bakau Kepiting bakau dalam menjalani kehidupanya beruaya dari perairan pantai ke perairan laut. Induk dan anak-anaknya akan berusaha kembali ke perairan pantai, muara sungai atau perairan berhutan bakau untuk berlindung, mencari makan dan membesarkan diri. Kepiting bakau yang telah siap melakukan perkawinan akan memasuki perairan bakau. Setelah perkawinan berlangsung, secara perlahan-lahan kepiting betina akan beruaya ke tepi pantai dan selanjutnya ke tengah laut untuk memijah. Kepiting jantan yang telah melakukan perkawinan atau telah dewasa berada di perairan bakau atau paling jauh di sekitar perairan pantai, yaitu pada bagian-bagian yang berlumpur yang organisme makanannya melimpah (Kasry, 1996). Skema daur hidup kepiting bakau Scylla olivacea disajikan pada Gambar 5.

34 16 Gambar 5 Skema daur hidup kepiting bakau Scylla olivacea yang diadaptasikan dari Soim (1999). Kepiting betina yang telah beruaya ke perairan laut akan berusaha mencari perairan yang kondisinya cocok untuk melakukan pemijahan, khususnya terhadap suhu dan salinitas air laut. Setelah telur menetas maka akan muncul larva tingkat I (Zoea I) yang akan terus menerus berganti kulit, kemudian terbawa arus ke perairan pantai hingga mencapai tingkat Zoea V (lima kali berganti kulit) dan proses tersebut membutuhkan waktu minimal 18 hari. Setelah itu, Zoea V akan mengalami pergantian kulit lagi menjadi megalopa yang bentuk tubuhnya sudah mirip dengan kepiting dewasa, tetapi masih memiliki ekor yang panjang. Pada tingkat megalopa, kepiting bakau akan beruaya pada dasar perairan pantai, dan biasanya pertama kali memasuki perairan muara sungai, kemudian ke perairan berhutan bakau untuk kembali melakukan perkawinan. Menurut Ong (1966) dalam Moosa, et al (1985), kepiting bakau mulai dari telur hingga dewasa mengalami beberapa tingkat perkembangan. Tingkat perkembangan tersebut ialah zoea, megalopa, kepiting muda dan kepiting dewasa. Pada setiap kali pergantian kulit, zoea tumbuh dan berkembang yang antara lain ditandai dengan setae renang (bagian tubuh yang menyerupai bulu) pada endopod maxilliped-nya (Warner, 1977 dalam Kasry, 1996). Megalopa yang lebih mirip

35 17 kepiting dewasa sering dirujuk sebagai kepiting pada tingkat pasca larva. Dari tingkat megalopa ke tingkat muda diperlukan hari (Motoh, 1977). Kepiting bakau, menurut Afrianto dan Liviawaty (1972), dapat dikatakan dewasa pada umur bulan dan dapat memijah Makanan dan kebiasaan makan Arriola (1940) dan Mossa et al (1985) dalam Mulya (2000), menyatakan bahwa kepiting bakau adalah organisme pemakan segala bangkai (omnivorousscavenger) dan pemakan sesame jenis (canibal). Menurut Pagctipunan (1972), Hill (1976) dalam Mulya (2000), kepiting bakau dewasa juga pemakan organisme benthos dan organisme yang bergerak lambat, seperti bivalvia, kepiting kecil, kumang, cacing dan jenis-jenis gastropoda dan crustacean. Kepiting bakau yang hidup di sekitar hutan bakau memakan akarakar pohon bakau (pneumatophore). Perairan di sekitar hutan bakau sangat cocok untuk kehidupan kepiting karena sumber makanannya seperti benthos dan serasah cukup tersedia (Hill, 1976 dalam Mulya, 2000). Pendapat ini didukung oleh Moosa et al, (1985) yang menyatakan kepiting bakau merupakan organisme bentik pemakan serasah dimana habitatnya adalah perairan intertidal (dekat hutan bakau) yang bersubstrat Lumpur. Biasanya kepiting bakau lebih besar dan menyerang kepiting yang lebih kecil dengan merusak umbai-umbai kemudian merusak karapas menjadi potongan-potongan. Selanjutnya, kepiting bakau mengambil bagian-bagian yang lunak dari mangsanya untuk dimakan. Tangan dan capit kepiting yang besar memungkinkannya menerang musuh dengan ganas atau merobek makanannya. Sobekan-sobekan makanan tersebut dibawa ke mulut dengan menggunakan kedua capitnya (Ariola, 1940 dalam Moosa et al, 1985). Waktu makan kepiting bakau tidak beraturan, tetapi lebih efektif pada malam hari dibandingkan dengan siang hari sehingga kepiting bakau digolongkan sebagai hewan nocturnal yang aktif pada malam hari. Berdasarkan hasil penelitian Almada (2001), menjelaskan bahwa waktu makan kepiting bakau cenderung pada malam hari yaitu sekitar pukul 18.00

36 WIB. Waktu makan yang dominan pada selang waktu WIB, yang diindikasikan dengan presentase berat pakan yang dikonsumsi pada selang waktu tersebut Ketergantungan kepiting bakau pada ekosistem mangrove Banyak penelitian menunjukkan bahwa komunitas mangrove memainkan peranan penting bagi berbagai jenis biota yang hidup pada, atau disekitar ekosistem tersebut. Nontji (1987), mengatakan bahwa beberapa produk perikanan yang bernilai ekonomi penting, mempunyai hubungan yang erat dengan ekosistem mangrove seperti udang (Paneus), kepiting bakau (Scylla) dan Tiram (Crassostrea). Kepiting bakau menjalani sebagian besar hidupnya di ekosistem mangrove dan memanfaatkan ekosistem mangrove sebagai habitat alami utamanya, yakni sebagai tempat berlindung, mencari makan, dan pembesaran. Kepiting bakau melangsungkan perkawinan di perairan hutan mangrove, dan secara berangsurangsur sesuai dengan perkembangan telurnya, kepiting bakau betina akan beruaya dari perairan hutan mangrove ke perairan laut untuk memijah, sedangkan kepiting bakau jantan akan tetap berada di hutan mangrove untuk melanjutkan aktifitas hidupnya. Setelah memijah, kepiting bakau betina akan kembali ke hutan mangrove. Demikian pula dengan juvenil kepiting bakau yang akan migrasi ke hulu estuari, untuk kemudian berangsur-angsur memasuki hutan mangrove (Siahainenia, 2008). Ekosistem mangrove, merupakan tempat ideal bagi kepiting bakau untuk berlindung. Kepiting muda pascalarva yang berasal dari laut, banyak dijumpai di sekitar estuari dan hutan mangrove, karena terbawa arus dan air pasang dan akan menempel pada akar-akar mangrove untuk berlindung (Hutching & Saenger 1987). Sedangkan kepiting bakau dewasa merupakan penghuni tetap hutan mangrove, dan sering dijumpai membenamkan diri dalam substrat lumpur, atau menggali lubang pada substrat lunak sebagai tempat persembunyian (Queensland Departement of Indutries 1989 a ). Lebih lanjut Pagcatipunan (1972), menyatakan bahwa setelah berganti kulit (moulting), kepiting bakau akan melindungi dirinya dengan cara membenamkan diri, atau bersembunyi dalam lubang sampai

37 19 karapasnya mengeras. Hutching dan Saenger (1987), menyatakan bahwa kepiting bakau hidup disekitar hutan mangrove, dan memakan akar-akarnya (pneumatophore). Sementara Hill (1982), menyatakan bahwa perairan di sekitar hutan mangrove sangat cocok untuk kehidupan kepiting bakau, karena sumber makanannya seperti bentos dan serasah cukup tersedia. Serasah dikenal sebagai makanan alami kepiting bakau. Substrat di hutan mangrove sangat mendukung kehidupan kepiting bakau, terutama untuk melangsungkan perkawinan. Menurut Snedaker dan Getter (1985), habitat kepiting bakau adalah pada perairan intertidal (dekat hutan mangrove) yang bersubstrat lumpur. Substrat di dalam dan disekitar hutan mangrove yang didominasi oleh kandungan lumpur, mengandung banyak bahan organik yang berasal dari serasah mangrove, yang terurai membentuk partikel detritus yang kemudian akan mengendap pada substrat (Robertson 1988). Substrat halus (lumpur dan liat) yang mengandung banyak serasah bahan organik, juga mendukung kehidupan berbagai organisme, terutama organisme pemakan detritus dari kelompok gastropoda (Ellobiidae dan Potamididae). Gastropoda diketahui merupakan salah satu makanan alami kepiting bakau. Berdasarkan penelitian Opnai (1986), yang menyatakan bahwa 89% isi lambung kepiting bakau adalah bivalva, gastropoda dan moluska lainnya. Dengan demikian dalam kaitannya dengan kehidupan dan distribusi kepiting bakau, kandungan substrat dasar perairan hutan mangrove merupakan faktor pendukung penting, karena mempengaruhi kehidupan dan distribusi moluska yang merupakan makanan alami kepiting bakau. 2.2 Alat Tangkap Kepiting Bakau Menurut Martasuganda (2008), alat tangkap yang umum digunakan untuk menangkap kepiting bakau adalah wadong dan pintur. Alat tangkap wadong adalah alat tangkap yang sifatnya pasif dan dipasang menetap di tempat yang diperkirakan akan dilewati kepiting. Supaya kepiting mau memasuki wadong, maka diberi umpan yang ditusuk dengan bambu supaya tidak terbawa arus. Adapun alat tangkap pintur merupakan alat tangkap yang digunakan untuk menangkap kepiting dan udang di sekitar perairan pantai. Nelayan Sulawesi

38 20 menyebut alat ini dengan sebutan bubu rakkang. Alat ini umumnya memakai rangka dari bambu atau besi sebagai rangkanya. Jaring yang digunakan umumnya potongan jaring bekas yang sudah tidak dipakai lagi. Dalam pengoperasian perangkap kepiting, umpan digunakan sebagai alat pemikat agar kepiting bakau tertarik masuk ke dalam perangkap. Pemilihan umpan untuk perangkap lebih didasari pada harga yang murah dan mudah mendapatkannya. Umpan yang digunakan dalam penangkapan kepiting bakau di Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan antara lain ikan rucah, ikan buntal dan potongan daging ikan hiu. Penangkapan kepiting bakau di daerah Jawa Tengah menggunakan daging ular, karena baunya mudah tercium oleh kepiting (Soim, 1999). Adapun Soelistiyono et al (1994) mengemukakan bahwa umpan yang digunakan untuk menangkap kepiting bakau di perairan Segara Anakan, Cilacap umumnya adalah ikan Pintur/rakkang (Martasuganda, 2008) Alat tangkap pintur adalah alat tangkap yang digunakan untuk menangkap kepiting dan udang di sekitar perairan pantai. Di Sulawesi alat ini dikenal dengan sebutan bubu rakkang. Alat tangkap ini umumnya memakai rangka dari bambu dan bisa menggunakan besi sebagai rangkanya. Bahan jaring yang digunakan umumnya memakai potongan jaring bekas atau potongan dari jaring yang sudah tidak dipakai lagi, oleh karena itu tidak ada spesifikasi khusus untuk membuatnya. Potongan jaring yang biasanya dipakai adalah potongan bekas pembuatan jaring insang. Konstruksi pintur terdiri dari rangka dan badan jaring, rangka terbuat dari bambu atau besi behel dengan diameter antara 4-10 mm, nomor jaring memakai nomor 210D/6-12 dengan mesh size berkisar antara 2,5-6,76 cm. Ikan umpan biasanya memakai potongan ikan, atau ikan apa saja yang bisa dijadikan umpan. Untuk memasang ikan umpan supaya menetap, ikan umpan diletakan ditengah-tengah pintur dengan cara diikatkan pada salah satu mata jaringnya. Daerah penangkapan yang umum dijadikan tempat untuk pengoperasian pintur adalah perairan pantai yang dangkal yang banyak dihuni udang dan kepiting pada kedalaman 1-5 m.

39 21 Pengoperasian pintur dapat dioperasikan secara tunggal atau dioperasikan secara beruntai di daerah penangkapan yang diperkirakan ada dan akan dilewati oleh udang atau kepiting. Untuk memasang pintur di daerah penangkapan, ada yang memakai tiang bambu dan ada juga yang memakai pelampung tanda. Panjang tiang pancang dan tali pelampung tanda berkisar antara 1-3 m. Tali pelampung memakai rope yang berdiameter 0,3 mm, sedangkan pelampungnya ada yang memakai karet bekas sandal, bekas botol aqua atau benda lainnya yang dapat dijadikan sebagai pelampung. Pengoprerasian pintur semuanya dilakukan secara manual baik tanpa perahu, dengan sampan atau memakai perahu motot tempel. Waktu pemasangan biasanya dipasang di pagi hari, siang hari atau sore hari tergantung nelayan yang mengoperasikannya. Lama perendaman bervariasi mulai dari 2-3 jam sampai 12 jam. Setelah mengangkat hasil tangkapan, dan ikan umpan masih utuh, biasanya langsung dipasang kembali, tetapi kalau ikan umpannya habis, ikan umpan diganti dengan yang baru. Konstruksi Pintur/rakkang disajikan pada Gambar 6. Gambar 6 Konstruksi pintur/rakkang

40 Perangkap Perangkap merupakan alat penangkap ikan dan non ikan yang bersifat pasif. Jenis alat tangkap ini sudah lama dikenal oleh nelayan, karena biaya pembuatannya yang relatif murah, cara pembuatan dan pengoperasiannya yang mudah, bahan pembuatnya mudah didapat, tidak merusak organisme hasil tangkapan, dan tidak merusak sumberdaya secara ekologis maupun teknis. Ukuran perangkap umumnya kecil dan hanya dapat dimasuki oleh beberapa organirme laut saja. Namun demikian, jumlah perangkap yang dioperasikan bisa mencapai puluhan buah, sehingga hasilnya memuaskan. Dalam satu kali operasi penangkapan, nelayan dapat merendam puluhan perangkap pada beberapa tempat penangkapan yang berbeda. Dengan demikian, peluang tertangkapnya organisme laut pada setiap operasi penangkapan sangat besar. Perangkap umumnya dioperasikan dengan 2 cara, yaitu cara terpisah dan teruntai. Cara pengoperasian terpisah dilakukan dengan cara menempatkan beberapa perangkap pada tempat-tempat yang berbeda. Antara satu perangkap lainnya benar-benar terpisah. Adapun cara operasi teruntai dilakukan dengan cara menempatkan perangkap pada suatu area penangkapan yang sama dan antara satu perangkap dengan lainnya saling terhubung dengan tali utama. Cara pengoperasian perangkap secara teruntai dapat dilakukan jika permukaan dasar perairannya datar. Organisme non ikan yang memiliki habitat seperti ini adalah kepiting, rajungan, siput macan dan gurita. Oleh karena itu, penangkapan ke-4 jenis organisme tersebut biasanya menggunakan perangkap yang disusun secara teruntai dengan jumlah perangkap yang sangat banyak. Menurut Subani dan Barus (1988), perangkap adalah semua alat penangkap yang berupa jebakan. Alat ini bersifat pasif, yaitu menunggu ikan (hewan laut) masuk ke dalam perangkap dan mencegahnya untuk keluar dari perangkap. Perangkap tersebut dapat berupa tempat bersembunyi atau berlindung, penghalang dalam bentuk dinding atau pagar-pagar, terbuat dari anyaman bambu, anyaman rotan atau anyaman kawat dioperasikan secara temporer, semi permanen maupun menetap (tetap) dipasang (ditanam) didasar laut, diapungkan atau dihanyutkan. Penyebab ikan atau hewan laut masuk kedalam perangkap antara lain adalah:

41 23 1) Sifat dasar ikan atau hewan laut yang selalu mencari tempat berlindung ; 2) Ikan atau hewan laut masuk karena tertarik oleh umpan yang ada di dalam perangkap ; 3) Ikan atau hewan laut terkejut sehingga dia mencari tempat berlindung ; dan 4) Ikan atau hewan laut masuk karena digiring oleh nelayan. Secara umum perangkap terdiri atas kerangka, dinding, mulut, pintu dan tempat umpan. Bentuk perangkap bervariasi (Subani dan Barus, 1988), yaitu silinder, gendang, segitiga memanjang, kubus atau segi banyak dan bulat setengah lingkaran. Cara pengoperasian perangkap dibagi menjadi tiga golongan, yaitu bubu dasar, bubu apung dan bubu hanyut. Gardenia (2006), mengungkapkan bahwa perangkap lipat sering digunakan oleh nelayan Indonesia khususnya nelayan di daerah Indramayu adalah perangkap lipat yang berbentuk kotak, merupakan hasil introduksi dari Taiwan digunakan untuk menangkap rajungan. Seiring perkembangannya, perangkap lipat yang berbentuk kotak ini digunakan juga untuk menangkap kepiting bakau di wilayah Subang dan sekitarnya. Selanjutnya (Martasuganda, 2008) mengemukakan bahwa konstruksi dari rangka bubu/perangkap kepiting, keseluruhannya memakai rangka dari besi behel 0,8 cm. Badan jaring memakai jaring PE multifilament dengan mesh size 0,25 inchi. Rangka bisa dibuat dari besi behel atau kawat baja dengan diameter 2-3 mm. Ukuran bubu adalah, Panjang: Lebar: Tinggi = 60:40:25-30 cm. Untuk tali pelampung, tali utama, dan tali pemberat semuanya memakai tambang yang disebut dengan tambang tros (nama dagang dari tali yang dijual untuk kebutuhan perikanan dan kelautan) berdiammeter 2,0 cm dengan panjang m, sedangkan tali cabangnya berdiameter 1,0 cm. Konstruksi perangkap lipat dapat dilihat pada Gambar 7. Metode operasi dimulai dari persiapan semua kebutuhan yang diperlukan, kemudian pemasangan pemberat pada tali utama, penyambungan tali temali dan pemasangan pelampung tanda dikedua ujung tali utama. Setelah semua persiapan dilakukan, kemudian perahu menuju ke daerah penangkapan terpilih. Sambil menuju ke daerah penangkapan, dilakukan pemasangan umpan. Setelah sampai di daerah penangkapan, pelampung tanda dan alat tangkap diturunkan.

42 24 Pemasangan alat tangkap di daerah penangkapan dipasang satu demi satu kemudian diuntai menjadi satu set dengan jarak satu dengan lainnya antara m. Lama perendaman biasanya antara 3 4 hari. Keterangan : a : Rangka perangkap b : Badan jaring c : Mulut perangkap d : Engsel e : Pengait umpan Gambar 7 Konstruksi perangkap lipat kepiting Keberhasilan crustacea menemukan perangkap, masuk dan akhirnya tertangkap sangat dipengaruhi oleh adanya interaksi antara tingkah laku hewan tersebut dengan rancangan dari perangkap, seperti: bentuk dan ukuran perangkap, besarnya celah pelolosan, ukuran pintu masuk, keadaan dan tempat umpan di letakan dalam perangkap dan perlengkapan lain yang digunakan agar hasil tangkapan tidak lolos atau lepas (Krouse, 1988). Miller (1978) dalam Krouse (1988) menjelaskan penggunaan perangkap untuk menangkap kepiting Cancer irroratus, Cancer productus dan Hyas araneus menunjukkan bahwa hasil tangkapan terbesar terjadi pada perangkap yang memiliki pintu masuk lurus sepanjang tempat umpan yang berbau diletakkan.

43 25 Cocok tidaknya lokasi pintu masuk sangat berhubungan dengan tingkah laku kepiting. Krouse (1988) menemukan kepiting jenis H. americanus dan C. irroratus lebih mudah masuk ke dalam perangkap yang memiliki pintu masuk yang terletak di bagian atas perangkap. Selanjutnya Jirapunpipat et al (2008), dalam penelitiannya tentang efek celah pelolosan pada perangkap lipat terhadap hasil tangkapan dan ukuran kepiting bakau S. olivacea, dengan mengujicobakan 5 celah pelolosan dengan ukuran dan letak yang berbeda pada perangkap, menemukan bahwa letak celah pelolosan pada bagian pinggir bawah perangkap menghasilkan jumlah pelolosan yang terbesar dan ukuran celah pelolosan 3 cm x 6 cm efektif untuk meloloskan S. olivacea yang undersized. Celah pelolosan tidak memberikan pengaruh terhadap tingkat masuknya kepiting bakau kedalam perangkap. Disamping mereduksi kematian kepiting yang belum dewasa, celah pelolosan dapat mereduksi retensi target spesies yang tidak didinginkan yang tidak memiliki nilai komersial dan yang selalu dibuang. Selain itu, celah pelolosan juga mempersingkat waktu penyortiran oleh nelayan. 2.3 Faktor yang Mempengaruhi Penangkapan dengan Perangkap Menurut Krouse (1988), tertangkapnya Crustacea sangat tergantung pada berbagai faktor, seperti faktor fisiologis dan tingkah laku dari hewan tersebut, termasuk didalamnya karakteristik dari perangkap. Sainsbury (1971), operasi penangkapan dengan perangkap menyebabkan keberhasilan sangat tergantung pada gerakan ikan menuju alat tangkap, tingkah laku ikan dan konstruksi perangkap, seperti ukuran mata dinding perangkap dan mulut. Secara teknis, ada dua macam faktor yang menyebabkan ikan dan hewan laut masuk ke dalam perangkap, yaitu melalui penciuman dan melalui penglihatan Umpan Menurut Gunarso (1985), umpan memegang peranan yang sangat penting dalam penangkapan dengan perangkap. Umpan yang memenuhi syarat dapat merangsang indra penciuman dan rasa dari ikan dan Crustacea. Spence (1989),

44 26 mengemukakan bahwa kepiting tertarik masuk ke dalam perangkap karena adanya umpan ikan segar berupa ikan sebelah yang dipotong-potong atau dalam keadaan utuh. Selain itu meningkatnya hasil tangkapan perangkap sangat tergantung pada ketahanan dan daya tarik dari umpan. Selanjutnya Philips et al, (1980) dalam Krouse (1988) menyatakan indra Crustacea yang berkembang baik adalah indra penciuman yang berfungsi untuk mendeteksi makanan terutama makanan yang berbau (busuk). Respon penciuman ini sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan antara lain temperatur dan salinitas dan faktor-faktor fisiologis seperti molting (pergantian kulit) dan kondisi reproduksi. Dari hasil seleksi yang telah dilakukan nelayan, ternyata faktor utama yang paling menentukan dari umpan adalah: ketersediannya, harga yang terjangkau, menarik, dan tersedia di daerah tempat perangkap di operasikan. Faktor lain yang berpengaruh terhadap keberhasilan penangkapan dengan perangkap adalah jumlah umpan yang dipergunakan, lokasi penempatan umpan dalam perangkap, frekuensi penggantian umpan dan cara pemasangan umpan (apakah menggunakan tali atau kotak berlubang). Hasil penelitian menemukan bahwa ikan rucah jenis Myxine glutinosa dan bangkai ampipoda merupakan umpan yang baik dan tahan lama (Krouse, 1988).

45 3 METODE PENELITIAN 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian skala laboratorium dilakukan pada bulan April Mei 2011, di Laboratorium Tingkah Laku Ikan dan Teknologi Alat Penangkapan Ikan, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan FPIK- IPB. Perancangan alat dan pengambilan data lapanagan dilakukan pada bulan Februari sampai dengan Mei 2012 di Desa Mayangan dan Legonwetan, Kecamatan Legonkulon, Kabupaten Subang, Provinsi Jawa Barat. 3.2 Alat dan Bahan Penelitian Alat dan bahan penelitian yang digunakan terbagi atas dua bagian, yaitu pada penelitian skala laboratorium dan penelitian skala lapangan Alat dan bahan skala laboratorium Alat yang akan digunakan adalah : (1) Aquarium dengan alat dan bahan filterisasi air laut ; (2) Aerator untuk aerasi wadah pemeliharaan kepiting ; (3) Refrakto meter sebagai pengukur salinitas air ; (4) Bingkai (frame) perangkap ; dan (5) Coban untuk menjahit bagian dinding (wall) perangkap. Adapun bahan yang akan digunakan adalah : (1) Besi galvanis berdiameter 7 mm untuk membuat kerangka ; (2) Jaring nilon ukuran mesh size 1,5 inch untuk membuat dinding perangkap ; (3) Jaring warring 0,5 cm untuk membuat lintasan masuk ; (4) Benang nilon PE berdiameter 0,5 mm untuk menjahit dinding perangkap (5) Kepiting bakau (Scyla spp.) hidup yang berasal dari habitat asal lokasi penelitian ; dan (6) Pakan untuk makanan kepiting berupa ikan rucah dan udang Alat dan bahan yang digunakan di lapangan Alat dan bahan yang digunakan di lapangan terdiri atas : (1) Perahu sebagai media angkut ;

46 28 (2) Alat tangkap/perangkap lipat kepiting 25 unit ; (3) Alat tulis menulis untuk pencatatan data (4) Timbangan untuk mengukur berat hasil tangkapan; (5) Jangka sorong dengan ketelitian 0,1 mm untuk mengukur panjang, lebar dan tinggi karapas dari kepiting bakau yang tertangkap ; (6) GPS (global positioning sistem) sebagai alat bantu dalam menentukan lokasi penelitian. (7) Umpan berupa ikan segar. (8) Kamera digital untuk dokumentasi 3.3 Metode Penelitian Metode penelitian skala laboratorium (1) Persiapan wadah Metode penelitian skala laboratorium dilakukan dengan persiapan awal yaitu menyiapkan 2 aquarium kemudian diisi dengan air laut yang berasal dari daerah Palabuhanratu dengan salinitas ±30. Aquarium pertama berukuran 70 cm x 50 cm x 60 cm digunakan sebagai aquarium filter yang dipasang instalasi aerasi untuk menyaring kotoran-kotoran agar air yang disalurkan ke aquarium kedua tetap jernih untuk pemeliharaan. Aquarium yang kedua berukuran 90 cm x 60 cm x 50 cm berfungsi sebagai media penampungan dan pemeliharaan kepiting. (2) Aklimatisasi Kepiting uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah kepiting bakau Scylla spp sebanyak 12 individu dengan ukuran bervariasi yang diperkirakan sudah matang gonad. Kemudian ditampung dalam wadah dan diberi percikan air laut sebagai rangsangan awal yang berlangsung selama 25 menit, kemudian dimasukan kedalam aquarium yang telah berisi air laut selama 1 malam tanpa diberi pakan, agar kepiting tidak mengalami stres. Aklimatisasi dan adaptasi terhadap lingkungan pemeliharaan dan pakan dilakukan selama 3 hari dan diberi pakan berupa potongan ikan segar dan juga udang. Kemudian individu kepiting dipindahkan ke wadah aquarium yang telah dipersiapkan untuk pemeliharaan selama observasi di laboratorium.

47 29 (3) Penentuan celah pelolosan Penentuan ukuran celah pelolosan dilakukan dengan cara memberi sekat yang terbuat dari bahan kaca berukuran 50 cm x 40 cm, ditempatkan pada bagian tengah aquarium yang berfungsi sebagai pembatas kedua sisi ruang. Ruang pertama sebagai sebagai tempat kepiting, ruang kedua sebagai tempat umpan. Sebelumnya tidak dilakukan pemberian pakan terhadap kepiting, diharapkan kepiting akan agresif meraih umpan. Ukuran celah pelolosan ditentukan berdasarkan percobaan tinggi celah pelolosan saat dilewati oleh kepiting. Kepiting berukuran kecil akan dengan mudah melewati celah pelolosan, sebaliknya kepiting berukuran besar akan sulit melewati melewati celah pelolosan tersebut. Ukuran minimum kepiting yang melewati celah pelolosan diukur panjang karapas dan tinggi tubuhnya untuk digunakan dalam menentukan ukuran panjang dan lebar dalam mendesain celah pelolosan pada alat tangkap kepiting. Ilustrasi dari percobaan penentuan celah pelolosan ditampilkan pada Gambar 8. Gambar 8 Ilustrasi percobaan celah pelolosan Celah pelolosan ditempatkan pada bagian bawah, ini didasarkan pada hasil penelitian Jirapunpipat et al (2008), bahwa letak celah pelolosan pada bagian pinggir bawah perangkap menghasilkan jumlah pelolosan yang terbesar dan ukuran celah pelolosan 3 cm x 6 cm efektif untuk meloloskan S. olivacea yang undersized.

48 30 (4) Penentuan sudut kemiringan dan bahan lintasan pintu masuk Penentuan sudut kemiringan dan bahan lintasan pintu masuk pada perangkap lipat dilakukan untuk memperoleh sudut kemiringan dan bahan lintasan pintu masuk yang dapat dilalui oleh kepiting dalam waktu yang cepat. Hal ini dilakukan dengan melakukan ujicoba berdasarkan besar sudut kemiringan lintasan pintu masuk, mesh size dan bahan serta kecepatan waktu kepiting saat melintasi lintasan pintu masuk perangkap. Selanjutnya sudut kemiringan dan bahan jaring yang paling cepat dilalui oleh kepiting digunakan untuk mendesain perangkap. Beberapa jenis bahan jaring pembuat perangkap dari bahan jaring PE dan waring dijahit pada frame dan diletakan di dalam aquarium dengan sudut kemiringan tertentu untuk mengetahui kecepatan waktu kepiting melintasi pintu masuk. Ilustrasi percobaan penentuan sudut lintasan pintu masuk perangkap disajikan pada Gambar 9a dan 9b. Uji coba laboratorium terhadap sudut kemiringan lintasan pintu masuk mulai dari 0-45, ditemukan bahwa kepiting ukuran sedang mampu memanjat dinding lintasan hingga sudut 45, namun pada sudut 45 kepiting yang besar tidak mampu memanjat bahkan hingga terpental. Untuk dapat dilalui oleh semua kepiting, pemilihan sudut kemiringan lintasan pintu masuk ditentukan dengan interval 10, yakni mulai dari 10, 30, dan 40. Sudut kemiringan lintasan pintu masuk yang terdapat pada alat tangkap kepiting milik nelayan pada umumnya adalah 20, namun sudut ini sangat landai sehingga masih memungkinkan kepiting untuk menjangkau pintu masuk dan meloloskan diri melalui pintu masuk. Oleh karena itu penelitian dilaboratorium dilakukan dengan merubah ukuran dengan interval 10. Sehingga sudut kemiringan lintasan pintu masuk 30 dan 40 yang dipilih untuk dalam mendesain alat tangkap. Sudut kemiringan lintasan pintu masuk ini dimksudkan untuk dapat menghalangi kepiting yang ada di dalam perangkap dalam upaya menjangkau pintu keluar secara langsung. Karena jarak antara dasar dan celah pintu masuk semakin tinggi. Sehingga tidak mudah dijangkau oleh kepiting untuk meloloskan diri melalui pintu masuk.

49 31 Selain itu kemudahan dalam menkonstruksi celah pelolosan, karena penempatan celah pelolosan berada pada posisi yang proporsional sesuai dengan bentuk dan ukuran perangkap. a. Sudut 30 b. Sudut 40 Gambar 9 Ilustrasi percobaan sudut kemiringan lintasan pintu masuk Metode penelitian skala lapangan (1) Metode pengumpulan data Penelitian skala lapangan dilakukan dengan metode experimental fishing yakni dengan mengambil data melalui serangkaian operasi penangkapan. Pengoperasian alat tangkap dilakukan di daerah penangkapan kepiting bakau di sekitar perairan mangrove Desa Legonwetan dan Mayangan, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Pengoperasian berlangsung selama 11 hari, terhitung mulai tanggal 22 April sampai 2 Mei 2012 sebanyak 16 trip, dengan prosedur pengoperasian alat sebagai berikut: 1) Alat tangkap dioperasikan secara acak berdasarkan pada daerah penangkapan, sesuai dengan kebiasaan nelayan setempat. Pengoperasian alat tangkap dilakukan 1-2 kali sehari (pagi sore atau sore pagi) dengan lama perendaman rata-rata sekitar 12 jam. Umpan yang digunakan dalam penelitian ini adalah umpan ikan segar yang sesuai dengan kebiasaan nelayan di lokasi

50 32 penelitian. Umpan diperoleh dari tempat pelelangan ikan, yang secara ekonomis harganya tergolong murah dan dapat dijangkau oleh nelayan. 2) Alat tangkap dipasang atau dioperasikan dengan sistem tunggal dengan menggunakan pelampung sebagai penanda keberadaan alat tangkap di perairan. Setiap alat tangkap dioperasikan secara terpisah satu sama lain berdasarkan kode yang telah ditentukan. Setiap kode teridiri atas 5 alat tangkap, adapun bentuk kodenya adalah : A3 : Perangkap tanpa celah dan ruang pelolosan, sudut kemiringan dinding pintu masuk 30 A4 : Perangkap tanpa celah dan ruang pelolosan, sudut kemiringan dinding pintu masuk 40 B3 : Perangkap dengan celah dan ruang pelolosan, sudut kemiringan dinding pintu masuk 30 B4 : Perangkap dengan celah dan ruang pelolosan, sudut kemiringan dinding pintu masuk 40 BN : Perangkap yang biasanya digunakan oleh nelayan setempat 3) Pengoperasian dimulai dari tahap persiapan di darat yaitu persiapan umpan dan persiapan alat tangkap, bahan bakar dan persiapan lainnya, selanjutnya menuju daerah penangkapan yang dituju, kemudian dilakukan pemasangan alat tangkap (setting) ke dalam perairan, alat tangkap perangkap ini sebelum diturunkan terlebih dahulu diberi/dipasangi umpan. Setelah semua perangkap dipasang dalam perairan, berarti operasi setting selesai dan kapal kembali ke darat. Perangkap dibiarkan terendam selama kurang lebih 12 jam (ini sesuai kebiasaan nelayan setempat), kemudian operasi dilakukan untuk pengangkatan (hauling) alat tangkap tersebut. Hauling dilakukan satu per satu terhadap alat tangkap, sampai semua alat tangkap terangkat dari perairan ke atas kapal. (2) Metode pencatatan data Data yang diperoleh dicatat pada log book yang telah tersedia, meliputi: 1) Hari/Tanggal, waktu setting, waktu hauling, posisi koordinat lokasi berdasarkan data GPS dan informasi ekologi (pengamatan visual) ; untuk data kualitas air, diambil sampel air di lokasi penelitian untuk selanjutnya dianalisa salinitasnya.

51 33 2) Kode perangkap, jumlah dan jenis hasil tangkapan ; 3) Ukuran kepiting : Panjang, Lebar, Tinggi karapas dan bobot tubuh ; 4) Jenis kelamin : Jantan atau Betina ; 5) Tingkat Kedewasaan : Muda atau Dewasa ; dan 6) Jumlah Kepiting yang berada di dalam perangkap baik di luar ataupun di dalam ruang pelolosan Prosedur yang dilakukan dalam pencatatan hasil tangkapan yang diperoleh yaitu, dihitung langsung jumlahnya dan dimasukkan dalam kantong plastik yang diberi kode sesuai dengan perangkapnya, untuk perangkap yang dilengkapi dengan ruang pelolosan setiap hasil tangkapan yang diperoleh dimasukkan dalam kantong plastik dengan membedakan antara yang berada dalam ruang pelolosan dan yang tidak. Kemudian hasil tangkapan yang diperoleh diidentifikasi jenisnya, dihitung jumlahnya, dan ditimbang beratnya, untuk hasil tangkapan kepiting bakau dan kepiting lainnya, diukur panjang karapas, lebar karapas dan tinggi tubuh serta bobot tubuh untuk keperluan analisis data. Adapun metode kerja pengukuran dan pengamatan aspek biologinya adalah: 1) Identifikasi jenis kepiting Identifikasi jenis kepiting dilakukan berdasarkan pengamatan langsung, dibedakan berdasarkan kepiting yang tertangkap, yaitu kepiting bakau, kepiting batu dan kepiting bolem, rajungan dan lain-lain. 2) Panjang, lebar dan tinggi karapas dan bobot tubuh Pengukuran panjang, lebar dan tinggi karapas dilakukan sampai skala terkecil 1 mm. Cara mengukur panjang karapas yaitu jarak antara duri bagian tengah diantara ruas mata sampai pada bagian belakang karapas, lebar karapas yaitu jarak horisontal antara ujung-ujung dari anterolateral kesembilan, sedangkan tinggi karapas adalah jarak vertikal antara bagian atas karapas sampai bagian bawah abdomen. Sedangkan bobot tubuh diukur sampai skala terkecil 1 gram. Pengukuran ini dilakukan di darat, setelah semua hasil tangkapan didaratkan. 3) Karakter jenis kelamin Jenis kelamin jantan dan betina dibedakan melalui ciri kelamin. Kriteria klasifikasi jenis kelamin kepiting bakau didasari pada (Siahainenia, 2008) :

52 34 (1) Perbedaan proporsi cheliped terhadap panjang karapas. (2) Bentuk tutup abdomen. (3) Kehadiran pasangan bukaan kelamin (oviduct openings) pada tulang rongga dada (thoraric stenum). (4) Jumlah dan bentuk pleopod. 4) Karakter dewasa kelamin Ukuran dewasa kelamin adalah ukuran lebar karapas kepiting bakau ketika memasuki masa dewasa kelamin yang ditandai oleh perubahan morfologis tubuh kepiting bakau. Karakter kepiting bakau jantan dewasa kelamin dapat ditentukan melalui pengamatan dan perbandingan terhadap morfologi maupun tanda-tanda khusus pada tubuh kepiting bakau jantan dewasa kelamin dan pradewasa kelamin (Siahainenia, 2008) yaitu sebagai berikut : (1) Kerapatan tutup abdomen (abdominal flap) pada tulang rongga dada (thorachic sternum). (2) Pigmentasi pada ujung atas thorachic sternum. (3) Ukuran chela. (4) Tanda-tanda luka (scaring) pada permukaan tubuh terutama pada cheliped. (5) Adanya goresan atau pengikisan permukaan kulit (integument erosion). Karakter kepiting bakau betina dewasa kelamin dapat digambarkan melalui pengamatan dan perbandingan terhadap morfologi maupun tanda-tanda khusus pada tubuh kepiting bakau betina dewasa kelamin dan pradewasa kelamin sebagai berikut : (1) Ukuran dan bentuk tutup abdomen (abdominal flap). (2) Pigmentasi pada tutup abdomen. (3) Kerapatan tutup abdomen pada tulang rongga dada (thorachic sternum). (4) Bentuk bukaan kelamin (oviduct opennings). (5) Bentuk tutup abdomen dan pleopod. (6) Pigmentasi pada ujung atas thorachic sternum. (7) Bentuk rambut pada ruas-ruas kaki jalan dan kaki renang (endopod).

53 Metode Analisa Data Efisiensi dan produktivitas perangkap Efisiensi hasil tangkapan perangkap lipat dengan perlakuan terhadap sudut kemiringan pintu masuk yang berbeda, tanpa atau dengan celah pelolosan dianalisis dengan analisis varians (ANOVA) (Jirapunpipat, 2008). Data dianalisis menggunakan software Microsoft Office Excel 2007 dan SPSS (Statistical Produk and Servicer Solutions) versi Rancangan percobaan Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan uji faktorial, terdiri atas dua faktor, yaitu faktor pertama (A) = sudut kemiringan dinding dengan 2 taraf 30 o, 40 o, faktor kedua (B) adalah jenis perangkap dengan 2 taraf, perangkap tanpa celah pelolosan dan dengan celah pelolosan. Jadi faktor A dengan 2 taraf sebanyak a = 2; faktor B dengan taraf sebanyak b = 2. Maka dalam setiap kombinasi perlakuan terdapat n buah unit eksperimen pengamatan, maka model linear matematik yang tepat untuk rancangan faktorial a b, menurut Sudjana (1985), adalah : Keterangan : Yijk : Hasil tangkapan pada taraf ke-i faktor A, taraf ke-j faktor B, dan taraf Ulangan ke-k yang terdapat pada pengamatan/unit perlakuan ke-n; µ : Efek rata-rata yang sebenarnya (nilai konstan); Ai : Efek sebenarnya dari taraf ke-i faktor A; Bj : Efek sebenarnya dari taraf ke-j faktor B; ABij : Komponen interaksi dari faktor A dan B e(ijk) : Efek sebenarnya unit eksperimen ke-i disebabkan oleh kombinasi perlakuan (ijk); i : 1, 2, (a) ; (taraf sudut kemiringan); dan j : 1, 2, (b) ; (celah pelolosan); k : 1, 2, (n = r) Yijk = µ + Ai + Bj + ( AB)ij + e(ijk).

54 Analisis selektivitas perangkap Selektivitas alat tangkap adalah kemampuan alat tangkap untuk mengurangi atau menyeleksi hasil tangkapan dari ukuran yang tidak diinginkan dan hasil tangkapan yang tidak ditargetkan. Pengukuran selektivitas perangkap kepiting bakau yang digunakan adalah metode tidak langsung yang dilakukan dengan menggunakan metode celah pelolosan. Celah pelolosan terbuat dari bahan plastik sold dengan ukuran (p x l) 4 cm x 6 cm dan 5 cm x 7 cm. Analisis selektivitasnya menggunakan pendekatan model logistik. Panjang 50% yang tertangkap dari kepiting bakau (L 50 ) diestimasi dari panjang karapas (CL) kepiting yang tertangkap. Fungsi logistik digunakan untuk memperoleh kurva selektivitas penangkapan (Holt, 1963) yang diacu dalam Jirapunpipat (2008) : S L = 1 / 1 e a-bl Dimana : S L = presentase akumulatif kelas panjang karapas L = nilai tengah kelas panjang karapas a dan b adalah parameter yang menentukan kurva selektivitas Panjang karapas ketika tertangkap 50% (CL 50 ) dari kepiting bakau dihitung dari : CL 50 = (a/b) Ukuran rata-rata ketika pertama kali matang gonad seringkali digunakan sebgai ukuran legal untuk penangkapan spesies decapoda (Hilborn dan Walters, 1992) dan ukuran ketika pertama kali matang gonad kepiting bakau Scylla spp dalam penelitian ini diestimasi berdasarkan lebar karapas (jarak horisontal antara ujung-ujung dari anterolateral kesembilan). Oleh karena itu CL 50 ditransformasikan ke CW 50 menggunakan persamaan regresi linear : CW = a + b x CL. Sebagai akibat pertumbuhan hewan dalam tingkat yang sama pada semua dimensi linier, lebar dan berat adalah proporsional satu sama lain (King, 1995).

55 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Geografis dan Administrasi Kabupaten Subang Wilayah Kabupaten Subang secara geografis terletak di bagian utara Provinsi Jawa Barat dengan batas koordinat yaitu Bujur Timur dan Lintang Selatan. Kabupaten Subang terdiri dari 22 kecamatan dan 243 desa (Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 1999). Dari 22 kecamatan yang ada di Kabupaten Subang, empat kecamatan terletak di wilayah pesisir yaitu Blanakan, Legonkulon, Pusakanegara, dan Pamanukan. Secara administratif, Kabupaten Subang memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut : sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bandung sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Indramayu dan Sumedang sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Karawang dan Purwakarta Luas Wilayah Kabupaten Subang adalah ,95 hektar atau sekitar 6,34% dari luas Propinsi Jawa Barat, sedangkan range ketinggian tempat antara m dpl (di atas permukaan laut). Dilihat dari topografinya, Kabupaten Subang dapat dibagi ke dalam tiga zona daerah yaitu (BPS Subang dalam angka, 2011) : 1) Daerah pegunungan dengan ketinggian m dpl di atas permukaan laut dengan luas wilayah ,09 Ha atau 20% dari seluruh luas wilayah Kabupaten Subang, 2) Daerah bergelombang atau berbukit dengan ketinggian m dpl dengan luas wilayah ,16 Ha atau 34,85% dari seluruh luas wilayah Kabupaten Subang, 3) Daerah dataran rendah dengan ketinggian antara 0-50 m dpl dengan luas wilayah ,7 Ha atau 45,15% dari seluruh luas wilayah Kabupaten Subang. Secara umum Kabupaten Subang beriklim tropis dengan curah hujan rata-rata per tahun mm dengan jumlah hari hujan 90 hari. Kondisi iklim tersebut ditunjang oleh adanya lahan yang subur dan banyaknya 52 aliran sungai, sehingga menjadikan sebagian besar luas tanah Kabupaten Subang digunakan

56 38 untuk pertanian. Wilayah Kabupaten Subang memiliki panjang garis pantai kurang lebih 68 km yang meliputi 4 (empat) wilayah kecamatan pesisir, yaitu Kecamatan Blanakan, Kecamatan Pamanukan, Kecamatan Legonkulon dan Kecamatan Pusakanagara. Desa Mayangan dan Desa Legonwetan berada dalam wilayah administrasi Kecamatan Legonkulon. Desa Mayangan terletak di bagian paling utara dari Kecamatan Legonkulon. Secara administratif Desa Mayangan berbatasan dengan Desa Tegal Urung di sebelah Barat, Desa Legon Wetan di sebelah Timur, Desa Legonkulon di sebelah Selatan, dan Laut Jawa di sebelah Utara. Desa Mayangan memiliki luas Ha dan sebagian besar dari luas wilayahnya merupakan areal hutan mangrove yaitu seluas 290 Ha yang dimiliki oleh Perum Perhutani. Desa Mayangan memiliki dua buah sungai yaitu Sungai Citerusan di sebelah barat dan Sungai Cigadung di sebelah timur yang menjadikan perairan pantai Desa Mayangan cukup produktif. Sedangkan Desa Legonwetan terletak di bagian utara dari Kecamatan Legonkulon merupakan salah satu desa yang berada di wilayah Kecamatan Legonkulon, yang memiliki luas 706 Ha. Dengan batas wilayah Sebelah Barat berbatasan dengan Tegal Urung, sebelah Selatan dengan Desa Mayangan, Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Pengerengan dan sebelah Utara berbatasan dengan Laut Jawa. 4.2 Faktor Klimatologi Perairan Pantai Kabupaten Subang Perairan pantai Subang yang merupakan bagian dari sistem Laut Jawa sangat dipengaruhi oleh angin muson yang berkembang secara kuat di perairan ini. Di wilayah Laut Jawa munculnya periode musim Barat terjadi pada bulan Desember hingga Februari umumnya diikuti dengan adanya musim hujan. Adapun musim Timur terjadi pada bulan Juni - Agustus dengan adanya kemarau. Dalam musim Timur penguapan yang terjadi di laut lebih besar daripada curah hujannya. Kecepatan angin yang tinggi dan kelembaban yang relatif rendah menyebabkan penguapan lebih dari 100 mm/bulan. Dari bulan Juni sampai Agustus energi yang diperlukan untuk penguapan tersebut melebihi dari energi yang tersedia dari radiasi matahari, sehingga menimbulkan defisit energi sekitar cal/cm2, atau sebanding dengan pendinginan wilayah perairan sedalam 40 m

57 39 dengan penurunan suhu perairan sekitar 1,4 0C. Pendinginan perairan dalam periode musim Barat bukan disebabkan oleh keseimbangan energi tersebut, tetapi dalam musim ini muson Barat berkembang sangat kuat dan dengan angin yang relatif kuat membawa massa udara dingin dan hujan ke wilayah Laut Jawa ini. Fluktuasi angin muson secara nyata berhubungan dengan fluktuasi suhu perairan. Hasil pengamatan angin di wilayah pantai Mayangan dalam periode musim Peralihan (Mei) menunjukkan pada siang hari (jam ) kecepatan angin berkisar antara 0 7 m/det, dan pada malam hari (jam ) antara m/det dengan arah angin dominan dari Timur, Timur Laut dan Barat Laut. 4.3 Karakteristik Fisik Perairan 1) Suhu dan salinitas perairan Suhu dan salinitas di wilayah perairan pantai Subang berfluktuasi secara musiman yang dipengaruhi oleh dinamika perairan Laut Jawa. Secara umum fluktuasi suhu bulanan di Laut Jawa menunjukkan adanya dua suhu tertinggi (sekitar 28,7 C) dan dua suhu terendah (sekitar 27,5 C). Suhu tertinggi terjadi dalam periode musim peralihan yakni bulan Mei dan November. Adapun suhu terendah terjadi bulan Agustus dan Februari (puncak musim Timur dan Barat). Rata-rata suhu bulanan bervariasi antara 27,5 C sampai 28,7 C. Rata-rata salinitas bulanan di perairan Laut Jawa berkisar antara 31,5 33,7. Salinitas maksimum pertama (33,7 ) dan kedua (33,3 ) terjadi pada bulan September dan November. Adapun salinitas minimum pertama (31,8 ) dan kedua (31,3 ) terjadi masing-masing sekitar bulan Februari dan Mei. Hasil pengukuran distribusi salinitas di beberapa muara sungai di wilayah pantai Subang menunjukkan bahwa jangkauan pengaruh rambatan pasang surut yang membawa massa air laut ke arah hulu sungai berkisar antara 1 km sampai 3,5 km. Rambatan pasang surut sungai Mayangan dapat mencapai 1,5 2,5 km Pengukuran Salinitas di daerah penangkapan, khususnya di perairan mangrove desa mayangan adalah berkisar dari dengan rata-rata Salinitas ini rendah karena daerah penangkapan berada pada aliran sungai dimana terjadi percampuran antara air laut dan air tawar ketika terjadi pasang dan surut.

58 40 2) Bathimetri perairan Perairan pantai Subang memiliki kedalaman yang relatif dangkal (kurang dari 20 m) dengan gradien kedalaman yang relatif landai. Perairan dengan kedalaman kurang dari 5 m (disekitar Blanakan) memiliki gradien kedalaman sekitar 2,0027 dan 0,0054 yang berada di sekitar Pusakanagara. Adapun di perairan dengan kedalaman 5-10 m memiliki gradient kedalaman berkisar 0,00006 terdapat di sekitar Blanakan. Morfologi daratan pantainya terdiri dari pasir bercampur lumpur dan bahan organik, dengan jenis tanah gleisol hidrik. Pada pantai terdapat rawa-rawa dan vegetasi mangrove. Umumnya kawasan pantai dipergunakan oleh masyarakat sebagai kawasan pemukiman, pertambakan, dan sebagainya. Pesisir pantai Kabupaten Subang banyak yang mempunyai muara sungai kecil, sehingga terdapat kemungkinan banyaknya jumlah pengendapan di muara sungai besar dan jenis substrat dasar berupa pasir. 3) Pasang surut Pasang surut merupakan gerakan naik-turun dari muka air laut secara periodik yang disebabkan oleh gaya tarik-menarik benda angkasa seperti bulan dan matahari. Jenis pasang surut yang terjadi di wilayah pantai Subang mengikuti pola pasang surut di Laut Jawa. Tipe pasang surut (pasut) Pantai Utara Jawa Barat sebagian besar termasuk dalam kategori campuran mengarah ke semidiurnal. Kategori pasut campuran adalah daerah pantai yang mengalami dua kali pasang dan dua kali surut dengan ketinggian yang berbeda. Adapun pasut kategori semidiurnal adalah daerah pantai yang mengalami dua kali pasang dan dua kali surut dengan ketinggian yang sama. Pasang dan surut terbesar adalah 1 m dan kisaran tinggi pasang dan surut kedua adalah 0,5 0,7 m. 4) Arus perairan pantai Pola arus perairan di pantai Subang yang secara umum mengikuti pola arus Laut Jawa menunjukkan bahwa arus musiman sangat dominan di wilayah perairan ini. Periode musim Timur terjadi antara bulan Mei dan September, arus musim bergerak ke arah barat dengan kecepatan maksimum sekitar 25 cm/det. Dari bulan

59 41 November sampai Maret arus musim mengalir ke arah timur dengan kecepatan maksimum sekitar 30 cm/det. Pada bulan April dan Oktober arah arus musim berubah. Pengukuran arus di wilayah pantai Subang menunjukkan bahwa di perairan pantai Mayangan arus pasang berkisar 1,4 31,5 cm/det mengalir dominan ke arah barat, dan arus surut berkisar antara 0,7 28,1 cm/det yang dominan mengalir ke arah barat. 5) Kualitas air perairan Subang Berdasarkan topografinya, perairan kabupaten Subang terdiri dari: (1) perairan pesisir dan laut, (2) perairan sungai dan situ. Kondisi perairan Kabupaten Subang banyak dipengaruhi oleh kondisi alam di dataran tinggi, serta pengaruh sifat oseanografi perairan dangkal Laut Jawa. Kondisi umum perairan Kabupaten Subang relatif baik. Beberapa lokasi di perairan payau dan laut mempunyai sifat kekeruhan yang cukup tinggi seperti di Pondok Bali, Mayangan dan Blanakan. Kondisi ini merupakan karakteristik perairan Laut Jawa yang banyak dipengaruhi oleh sedimen yang dibawa oleh beberapa sungai yang bermuara ke Pantai Utara Jawa. Selain itu, sifat oseanografi di daerah pasang surut (intertidal) Subang memungkinkan terjadi sedimentasi dan penggerusan pantai (abrasi). Kondisi ini merupakan suatu hal yang menguntungkan karena perairan pesisir Subang menjadi subur karena mendapat suplai nutrient dari daratan. 4.4 Karakteristik Hutan Mangrove Kabupaten Subang memiliki hutan mangrove sebesar 6.132,8 Ha dengan tiga lokasi wisata bahari yaitu Wisata Buaya Blanakan, Pantai Pondok Bali, dan Pantai Patimban. Hutan mangrove yang terdapat di kawasan pantai utara Kabupaten Subang berada di bawah otoritas pengelola Perum Perhutani BPKH Ciasem dan Pamanukan. Desa Mayangan dan Legonwetan memiliki hutan mangrove yang berada di bawah otoritas pengelola Perum Perhutani Pamanukan. Formasi hutan mangrove di pesisir utara Kabupaten Subang dari arah laut ke darat didominasi oleh api-api (Avicenia marina), kemudian bakau (Rhizoporamucronata) dan prepat/pepada (Sonnateratia acida). Jenis fauna yang ditemukan pada hutan mangrove adalah

60 42 jenis reptile seperti ular dan kadal, jenis ikan seperti belut, gabus, mujair, sepat, beloso, belanak dan sebagainya. Kondisi derajat keasaman (ph) perairan mangrove Desa Mayangan bersifat homogen dan bersifat basa. Komposisi elemen di dalam sedimen hampir menyerupai air laut pada umumnya, karena lingkungan mangrove pada umumnya memiliki interaksi yang sangat intensif dengan perairan pantai. Kandungan natrium yang terkandung pada daerah tengah petak mangrove berbeda dengan daerah lainnya yaitu sekitar 5 kali lipatnya. Hal ini disebabkan karena pada bagian tengah petak mangrove dikelilingi tambak yang tidak digunakan dan relatif tertutup. Akibat dari penguapan yang terjadi terus-menerus tetapi interaksi dengan perairan terbuka sangat minimal dan tidak ada proses pergantian massa air yang menyebabkan jumlah garam dalam perairan menjadi tinggi. Kandungan salinitas pada bagian tengah petak mangrove, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan bagian tepi sungai dan area pertambakan. Pada bagian tepi sungai dan area pertambakan lebih terbuka dengan perairan luar karena air dapat masuk melalui parit-parit dan kegiatan pertambakan menyebabkan selalu adanya pergantian air di sekitar perairan mangrove. Pada bagian tepi sungai memiliki nilai salinitas lebih rendah karena memiliki interaksi yang intensif dengan perairan terbuka dalam hal ini sungai. 4.5 Desain dan Konstruksi Perangkap Lipat Penentuan celah pelolosan Ukuran celah pelolosan ditentukan berdasarkan percobaan tinggi celah pelolosan saat dilewati oleh kepiting. Kepiting berukuran kecil akan dengan mudah melewati celah pelolosan, sebaliknya kepiting berukuran besar akan sulit melewati melewati celah pelolosan. Ukuran celah pelolosan yang diperoleh dari hasil pengamatan adalah ukuran 4 cm x 6 cm dan 5 cm x 7 cm. Ukuran celah pelolosan ini berfungsi untuk meloloskan kepiting tidak layak tangkap dan spesies non target tangkapan. Celah pelolosan dalam alat tangkap perangkap lipat yang didesain, ditempatkan pada bagian bawah sisi samping perangkap lipat, hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Jirapunpipat (2008) yang menyatakan bahwa posisi yang paling efisien adalah pada bagian bawah perangkap.

61 43 Penggunaan celah pelolosan pada setiap perangkap berjumlah dua buah dengan ukuran yang sama, ditempatkan pada bagian bawah masing-masing sisi samping perangkap. Penggunaan dua celah pelolosan ini untuk memaksimalkan performa perangkap dalam meloloskan hasil tangkapan undersized dan non target spesies, karena menurut Brown dan Caputi (1986) yang diacu dalam Jirapunpipat (2008) bahwa celah pelolosan bekerja hanya jika kepiting menemukan celah tersebut untuk keluar, karena itu penggunaan lebih dari satu celah pelolosan direkomendasikan oleh mereka Penentuan sudut kemiringan dan bahan lintasan pintu masuk Penentuan sudut kemiringan dan bahan lintasan pintu masuk dilakukan dengan melakukan ujicoba berdasarkan besar sudut kemiringan lintasan pintu masuk, mesh size dan bahan serta kecepatan waktu kepiting saat melintasi lintasan pintu masuk perangkap. Berdasarkan hasil uji coba, kepiting dapat melintasi dinding pintu masuk dengan cepat pada lintasan yang terbuat dari bahan waring dengan ukuran mesh size 0,5 cm pada sudut kemiringan 30 dan 40 dengan lebih cepat dan mudah, jika dibandingkan dengan dua bahan jaring lainnya dengan ukuran mata jaring yang lebih besar, karena ketika kepiting melewati jaring, kakikaki jalannya terperosok masuk ke dalam mata jaring, sehingga membutuhkan waktu yang lebih banyak untuk melakukan pergerakan sampai pada bagian atas, sedangkan pada bahan waring, pergerakannya mudah karena kaki jalan kepiting dapat bertumpu dengan baik pada jaring tanpa kakinya masuk atau terperosok ke dalam jaring, ini ditambah dengan fungsi kaki renang yang membantu pergerakannya. Uji coba laboratorium terhadap sudut kemiringan lintasan pintu masuk mulai dari 0-45, ditemukan bahwa kepiting ukuran sedang mampu memanjat dinding lintasan hingga sudut 45, namun pada sudut > 45 kepiting yang besar mampu memanjat namun lebih lambat dan bahkan terpental atau jatuh. Untuk dapat dilalui oleh semua kepiting, pemilihan sudut kemiringan lintasan pintu masuk ditentukan dengan interval 10, yakni mulai dari 30 dan 40. Sudut kemiringan lintasan pintu masuk yang terdapat pada alat tangkap kepiting milik nelayan pada umumnya adalah 20, namun sudut ini sangat landai sehingga masih memungkinkan kepiting untuk menjangkau pintu masuk dan

62 44 meloloskan diri melalui pintu masuk. Sebagaimana penelitian Kim dan Ko (1987) diacu dalam Archadale et al (2007) yang meneliti tingkah laku C. Japonica di dalam perangkap yang diletakkan di dalam tanki, menemukan bahwa tingkat meloloskan diri meningkat ketika pintu masuk berada dekat dengan dasar perangkap atau ketika jumlah pintu masuk ditambah dari 2 menjadi 4 buah. Oleh karena itu penelitian dilaboratorium dilakukan dengan merubah ukuran dengan interval 10. Sehingga sudut kemiringan lintasan pintu masuk 30 dan 40 yang dipilih untuk dalam mendesain alat tangkap. Sudut kemiringan lintasan pintu masuk ini dimaksudkan untuk dapat menghalangi kepiting yang ada di dalam perangkap dalam upaya menjangkau pintu keluar secara langsung. Karena jarak antara dasar dan celah pintu masuk semakin tinggi. Sehingga tidak mudah dijangkau oleh kepiting untuk meloloskan diri melalui pintu masuk. Karena menurut Thomas (1956); High (1976); Miller (1979a, 1980, 1990) diacu dalam Archdale et al (2007) bahwa, cara efektif yang digunakan untuk membatasi lolosnya kepiting dari dalam bubu adalah menaikkan pintu masuk, memasang ruang terpisah, atau parlors untuk meningkatkan retensi atau menempatkan trigger (pengejut), shutter atau alat non return device lainnya pada pintu masuk untuk mencegah escapement. Selain itu kemudahan dalam menkonstruksi celah pintu masuk juga menjadi pertimbangan pemilihan sudut kemiringan lintasan, dinding lintasan yang terlalu terjal dapat menyulitkan kepiting untuk bermanuver masuk melalui celah pintu masuk ke dalam perangkap, apalagi pintu masuk yang digunakan berbentuk celah, yang mana lebih sulit untuk dilewati oleh kepiting. Sebagaimana dikemukanan oleh Archdale et al. (2007) bahwa, tipe pintu masuk memberikan pengaruh terhadap masuk dan lolosnya target spesies. Mulut bubu berbentuk corong (open funnels) memudahkan untuk masuk sementara mulut bubu berbentuk celah sulit untuk dilewati dan membutuhkan usaha lebih untuk masuk ke dalam bubu. Untuk itu pemilihan sudut 30 dan 40 adalah lebih moderat dari segi kemudahan dilewati dan kemudahan konstruksi pintu masuk. Disamping itu juga, pemilihan sudut kemiringan ini juga untuk mempermudah konstruksi celah pelolosan dalam perangkap, karena penempatan celah pelolosan berada pada posisi yang proporsional sesuai dengan bentuk dan

63 45 ukuran perangkap, sehingga tetap menunjang performa lipatan perangkap (ketika dibuka atau ditutup) ketika dioperasikan Desain dan konstruksi Desain dan konstruksi perangkap lipat yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada standar perangkap lipat yang digunakan oleh nelayan konvensional yang berbentuk kotak berukuran (48 x 32 x 18) cm tanpa celah pelolosan dan terdiri dari dua pintu masuk. Bentuk perangkap lipat yang dipakai terdiri dari 2 tipe yaitu; perangkap lipat dengan ukuran (70 x 50 x 35) cm tanpa celah pelolosan dan perangkap lipat dengan ukuran yang sama namun dilengkapi dengan celah pelolosan ukuran (4 x 6) cm dan (5 x 7) cm serta ruang pelolosan di kedua sisi kiri dan kanan (Gambar 10). Konstruksi perangkap lipat ujicoba dengan ukuran ini didasarkan pada pengamatan awal di laboratorium, ketika lebih dari satu individu kepiting diletakkan di dalam aquarium (50 x 40 x 50) cm, kepiting cenderung untuk bergerak saling menjauh untuk mencari daerah berdiamnya masing-masing biasanya pada sudut-sudut aquarium, jika ruangan yang tersedia lebih kecil dan jumlah individu dalam aquarium banyak mereka akan berkompetisi untuk memperebutkan wilayah, yang kalah biasanya akan menghindari wilayah yang menang. Tingkah laku kepiting ketika berada dalam aquarium ini dianalogikan sebagai tingkah laku kepiting didalam perangkap, untuk itu perangkap di desain dengan ukuran yang lebih besar. Ini dimaksudkan untuk mengurangi persaingan dalam memperebutkan ruang dan untuk mengurangi kejenuhan ketika lebih dari satu individu kepiting berada dalam perangkap. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, perangkap lipat nelayan yang memiliki dimensi yang lebih kecil, umumnya menangkap 1 individu kepiting bakau dan paling banyak 2 individu kepiting bakau, inipun jarang terjadi. Pengamatan lapangan juga menunjukkan bahwa individu kepiting yang tertangkap dengan perangkap lipat nelayan cenderung berusaha untuk meloloskan diri dari dalam perangkap, ini terlihat dengan rusaknya/terputusnya benang-benang jaring akibat dicapit oleh kepiting.

64 46 Menurut nelayan, apabila waktu perendaman lebih lama dari biasanya, kepiting yang telah masuk dalam perangkap dapat meloloskan diri keluar dari perangkap tersebut, hal ini sering terjadi dimana perangkap lipat yang ketika diletakkan masih bagus, tetapi ketika diangkat sudah jebol atau benang jaringnya sudah terputus dan berlubang, biasanya kerusakan terjadi pada bagian dinding lintasan pintu masuk dan bagian dinding samping perangkap. Hal ini terjadi selain dari ukuran benang yang kecil dan daya tahannya kurang baik, ruang dalam perangkap tidak terlalu luas juga mungkin menyebabkan stress terhadap organisme yang berada dalam perangkap, sehingga organisme tersebut berusaha untuk keluar atau meloloskan diri. Munro (1974) diacu dalam Miller (1990) membuat hipotesis bahwa organisme yang tertangkap pada perangkap yang berukuran kecil memiliki peluang yang besar untuk keluar. Hipotesis tersebut dibuktikan secara ilmiah oleh Miller (1978) diacu dalam Miller (1990) yang menyebutkan bahwa Cancer crab yang ditempatkan dalam perangkap berukuran kecil lebih banyak yang meloloskan diri dibandingkan dengan perangkap yang besar. Posisi kepiting yang tertangkap oleh perangkap yang berukuran besar biasanya menyebar, sehingga tidak menimbulkan perkelahian. Miller (1990) mendapatkan bahwa Spider crab (Chionoecetes opilio) yang berada didalam bubu yang berukuran besar akan menempati satu posisi tertentu dan tidak melakukan suatu gerakan.volume perangkap yang semakin besar menyebabkan jumlah tangkapan semakin banyak (Miller, 1990). Ukuran perangkap yang besar juga mengurangi terjadinya gear saturation yaitu kondisi dimana peluang kepiting untuk masuk menjadi kecil ketika terjadi peningkatan jumlah individu di dalam perangkap. Menurut Salthaug (2002), efisiensi hasil tangkapan relatif tergantung pada peluang masuknya kepiting ke dalam perangkap dan peluang masuknya kepiting ke dalam perangkap tergantung pada jumlah dari kepiting yang sudah berada dalam perangkap. Konstruksi perangkap lipat yang dilengkapi dengan celah pelolosan dan ruang pelolosan (escape chamber) yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Gambar 8.

65 47 20 cm 90 cm 50 cm 35 cm 20 cm Celah pelolosan 70 cm Ket : garis warna hitam adalah tambahan ruang pelolosan Gambar 10 Konstruksi perangkap lipat yang dilengkapi dengan celah pelolosan dan ruang pelolosan (escape chamber) yang digunakan dalam penelitian. Konstruksi perangkap didesain berdasarkan hasil uji di laboratorium. Selanjutnya digunakan dalam ujicoba penangkapan kepiting bakau di daearah penangkapan nelayan. Pada ujicoba langsung dilapangan, perangkap lipat yang dilengkapai dengan ruang pelolosan pada kedua sisi samping perangkap berfungsi untuk menampung hasil tangkapan yang meloloskan diri melalui celah pelolosan agar dapat diketahui jumlah dan ukuran kepiting yang tertangkap dan juga jumlah dan ukuran spesies non target lainnya. Jumlah, jenis dan ukuran yang tertangkap pada perangkap lipat ini akan dibandingkan dengan perangkap yang tidak memiliki celah pelolosan (Gambar 11).

66 48 35 cm ± 48cm α 18 cm 24 cm 50 cm 70 cm 35 cm 50 cm 70 cm Bentuk pintu masuk pada perangkap lipat Gambar 11 Konstruksi perangkap lipat yang tidak dilengkapi celah pelolosan yang digunakan dalam penelitian. 4.6 Komposisi Hasil Tangkapan Total Hasil tangkapan total perangkap lipat tanpa membedakan sudut kemiringan dan jenis perangkap (dengan atau tanpa celah pelolosan) yang diperoleh selama penelitian adalah 517 individu, terdiri dari berbagai jenis kepiting, ikan, udang, dan keong. Komposisi hasil tangkapan total selama 16 trip pengoperasian alat tangkap, terdiri dari 14 (empat belas) spesies.

67 49 Tabel 3 Komposisi total hasil tangkapan perangkap lipat selama penelitian No Jumlah Hasil Jenis Hasil Tangkapan Tangkapan Perangkap Lipat Total Hasil Persentase Nama Nama Tangkapan Nama Latin A3 A4 B3 B4 Indonesia Internasional 1 Kepiting Swimming Thalamita sp ,22 Batu crab 2 Kepiting Spoon pincer Leptodeus sp ,89 Bolem crab 3 Udang White prawn Penaeus sp ,90 4 Kelomang Snail Pomacea ,48 caniculata. 5 Kepiting Mud crab Scylla spp ,35 Bakau 6 Ikan Blue Speckled Cryptocentrus ,51 Beloso shrimpgoby caeruleomaculatus 7 Ikan Eel-tailed Plotusus lineatus ,35 Sembilang catfish 8 Ikan Gabus Snakehead Chana striatus ,58 murrel 9 Ikan Estuary Epinephelus sp ,58 Kerapu Lumpur Grouper 10 Keong Indo Crab Coenobita ,58 brevimanus 11 Rajungan Blue swimming Portunus ,39 crab pelagicus 12 Kepiting Sea crab Beuroisia ,39 Laut manquenei 13 Ikan Biji Yellow-stripe Upenus ,39 Nangka goatfish mullocensin 14 Ikan Tetet - Johnlus belangerii ,39 Total Hasil Tangkapan Sumber: Data pengukuran lapangan (2012) Komposisi hasil tangkapan didominasi oleh kepiting batu (Thalamita sp) yaitu sebesar 270 individu (52,22%), kemudian kepiting bolem (Leptodeus sp.) sebanyak 108 individu (20,89%). Sedangkan untuk hasil tangkapan kepiting bakau yang merupakan target spesies utama dalam penangkapan ini berjumlah 38 individu atau sebesar 7,35% dari total hasil tangkapan. Hasil tangkapan lainnya adalah ikan, udang dan lain-lain. Komposisi total hasil tangkapan disajikan pada Tabel 3 dan Gambar 12. Hasil tangkapan perangkap lipat dibagi dalam dua kategori yaitu hasil tangkapan utama dan hasil tangkapan sampingan. Target tangkapan utama dari perangkap lipat ini adalah kepiting bakau, karena memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Harga lokal per kilogramnya berkisar antara Rp Rp Hasil tangkapan lainnya dikategorikan sebagai hasil tangkapan sampingan. Ada

68 50 beberapa hasil tangkapan sampingan yang juga memiliki nilai ekonomis, namun nilainya rendah, contohnya kepiting batu dan kepiting bolem. Harga lokal kedua jenis kepiting ini hanya berkisar Rp kg -1. Kedua jenis kepiting ini biasanya dibeli dan digunakan sebagai bahan campuran pakan untuk makanan kepiting bakau dalam budidaya penggemukan atau pakan untuk ikan yang dibudidayakan di tambak-tambak, seperti mujair dan bandeng. Hasil tangkapan sampingan berupa beberapa jenis ikan, memiliki nilai ekonomi yang rendah dan biasanya jumlahnya tidak terlalu banyak, sehingga seringkali tidak bernilai ekonomis. Jenis ikan ini, jika tertangkap pada perangkap, biasanya dijadikan kembali sebagai umpan perangkap lipat. Selanjutnya, untuk keperluan analisis data, maka jenis hasil tangkapan yang dianalisis dibatasi hanya pada kelompok kepiting, jenis hasil tangkapan yang lainnya tidak di analisis disini. Karena jenis perangkap ini utamanya ditujukan untuk menangkap kepiting. Berdasarkan uji normalitas terhadap data jumlah hasil tangkapan total, diperoleh bahwa data hasil tangkapan memenuhi asumsi normal, sehingga dapat dilakukan uji Anova. Lain-lain 20% Kepiting Bakau 7% Kepiting Batu 52% Kepiting Bolem 21% N = 517 Gambar 12 Komposisi hasil tangkapan total

69 Komposisi hasil tangkapan utama dan sampingan Hasil tangkapan perangkap lipat terdiri dari 4 jenis kepiting, yaitu kepiting bakau, kepiting batu, kepiting bolem dan kepiting rajungan. Perangkap lipat kepiting ini ditujukan untuk menangkap kepiting bakau, maka jenis kepiting bakau dikelompokan sebagai hasil tangkapan utama, sedangkan jenis-jenis kepiting lain sebagai hasil tangkapan sampingan. Hasil tangkapan perangkap lipat berupa kepiting bakau terdiri dari 3 species, yaitu yaitu Scylla serrata (warna hijau terang, polos, duri tajam, agak tinggi bagian belakangnya jika dibandingkan dengan kepiting lain), Scylla olivacea (warna capit orange, warna karapas agak hijau dengan bintik-bintik putih) dan Scylla paramamosain (warna karapas merah bata, duri pada ruas siku kaki kecil dan tumpul, duri pada dahi juga tumpul). Ketiga spesies kepiting bakau tersebut, di dalam bahasan ini tidak dibedakanbedakan, semuanya disebut sebagai kepiting bakau atau scylla spp. Hasil tangkapan kepiting bakau pada seluruh perangkap tanpa membedakan sudut kemiringan dan celah pelolosan, berjumlah 38 individu. Rata-rata CPUE (catch per unit effort) untuk kepiting bakau pada semua perangkap berkisar antara 0,05-0,55 individu perangkap -1 trip -1, yang menunjukkan bahwa hasil tangkapan kepiting bakau yang diperoleh adalah rendah, hal ini disebabkan karena ketika penelitian ini dilakukan, di lokasi penelitian sedang terjadi musim paceklik atau belum memasuki musim puncak penangkapan dari kepiting bakau. Menurut nelayan setempat musim puncak penangkapan kepiting bakau biasanya berlangsung pada bulan Agustus - Desember setiap tahunnya, sedangkan musim biasa berlangsung pada bulan Januari Juli. Kisaran ukuran kepiting bakau yang tertangkap yaitu panjang karapas (CL) mm atau dengan kisaran lebar karapas (CW) mm dan dengan kisaran tinggi karapas (CH) mm serta kisaran bobot tubuh (Body Weight/BW) antara gr. Jumlah kepiting bakau jantan adalah 19 individu dan jumlah individu betina adalah 19 individu. Dari jumlah total kepiting bakau, 27 individu teridentifikasi sebagai kepiting bakau muda (71,05%) dan sisanya 11 individu dewasa (28,95%). Hasil tangkapan kepiting bakau sebagai tangkapan utama berjumlah 38 individu (11%) dari total kepiting yang tertangkap. Hasil tangkapan kepiting

70 52 selain kepiting bakau merupakan tangkapan sampingan, yang didominasi oleh kepiting batu, yaitu sebanyak 270 individu atau sebesar 65% dari total 100%. Kemudian disusul kepiting bolem dengan jumlah hasil tangkapan sebanyak 108 individu atau sebesar 23% dan jumlah hasil tangkapan rajungan sebanyak 2 individu atau sebesar 1% Hubungan panjang, lebar dan tinggi karapas serta bobot tubuh kepiting bakau Hubungan antara beberapa dimensi tubuh kepiting yaitu panjang karapas, lebar karapas dan tinggi karapas serta bobot tubuh, dapat digunakan untuk memprediksi salah satu ukuran dimensi tubuh kepiting berdasarkan ukuran dimensi tubuh lainnya yang diketahui, misalnya memperkirakan panjang karapas berdasarkan data lebar karapas, tinggi karapas berdasarkan lebar atau panjang karapas atau memperkirakan bobot tubuh berdasarkan lebar karapasnya. CL (mm) y = 0.690x R² = CH (mm) y = 0.515x R² = CW (mm) CL (mm) CH (mm) y = 0.359x R² = CW (mm) BW (gram) y = 4.411x R² = CW (mm) Gambar 13 Hubungan lebar karapas (CW) panjang karapas (CL) (a); panjang karapas (CL) - tinggi karapas (CH), (b); lebar karapas (CW) - tinggi karapas (CH) (c) dan lebar karapas (CW) bobot tubuh (BW).

71 53 Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa dalam penelitian ini, hubungan antara ukuran dimensi tubuh kepiting bakau memiliki hubungan yang sangat erat yang ditunjukkan dengan nilai koefisien determinasi untuk semua hubungan bernilai lebih dari 90% (Gambar 13). Ini artinya ukuran dimensi tubuh yang satu dapat menjelaskan ukuran dimensi yang lainnya dan dapat menjelaskan keadaan yang sebenarnya terjadi di alam. Persamaan regresi menunjukkan bahwa ukuran panjang karapas kepiting bakau adalah 0,690 (69%) kali ukuran lebar karapas dan tinggi karapas adalah lebih dari setengah atau 0,515 (51,5%) kali ukuran panjang karapas atau ukuran tinggi karapas adalah 0,359 (35,9%) kali ukuran lebar karapas. Hubungan ini dapat bermanfaat dalam memprediksi dan mendesain bagian-bagian tertentu pada alat tangkap perangkap, misalnya penentuan ukuran dan bentuk celah pelolosan, ukuran pintu masuk dan sebagainya. 4.7 Analisis Hasil Tangkapan Berdasarkan Sudut Kemiringan Hasil tangkapan total Perangkap yang digunakan dalam penelitian ini, berdasarkan sudut kemiringan dinding pintu masuk (funnel) terdiri atas dua jenis yaitu yang memiliki sudut kemiringan 30 dan 40. Komposisi tangkapan selama penelitian dari perangkap lipat dengan dua jenis sudut kemiringan, dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 14. Berdasarkan uji Anova untuk jumlah total hasil tangkapan pada perangkap dengan sudut kemiringan yang berbeda ditemukan adanya pengaruh perbedaan sudut terhadap jumlah total hasil tangkapan (F = 5,458; P = 0,023 < α = 0,05). Perbedaan jumlah hasil tangkapan total diantara masing-masing sudut kemiringan 30 (A30 dan B30) serta 40 (A40 dan B40) dapat diketahui melalui uji t berpasangan (t-paired test). Hasil uji menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara sudut kemiringan A30 dan B30 (t hit = - 0,461; P = 0,651>α), demikian pula antara perangkap A40 dan B40 tidak ada perbedaan (t hit = -1,079 ; P = 0,297 > α). Selanjutnya untuk membedakan sudut kemiringan mana yang paling berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan total, dilakukan dengan uji t, ditemukan bahwa sudut kemiringan 30 lebih berpengaruh daripada sudut 40 (t hit = 4,407, P < 0,05). Artinya secara total perangkap dengan sudut kemiringan dinding pintu masuk 30 memiliki hasil tangkapan lebih banyak dari perangkap dengan sudut kemiringan 40, perbedaan ini secara deskriptif disajikan pada

72 54 Gambar 14. Sebagaimana dapat dilihat pada diagram box plot, jumlah hasil tangkapan pada perangkap dengan sudut kemiringan 30 berkisar dari 0 26 individu per trip dengan rata-rata jumlah tangkapan adalah 9,75 individu (Standar Deviasi = 6,284), lebih baik daripada perangkap dengan sudut kemiringan 40 yang memiliki jumlah tangkapan berkisar dari 1-18 individu per trip dengan ratarata jumlah tangkapan lebih rendah yaitu 6,50 individu (SD = 4,565). N = 64 = 9,75 SD = 6,284 N = 32 = 6,50 SD = 4,565 N = 32 Gambar 14 Diagram box plot hasil tangkapan berdasarkan sudut kemiringan Hasil tangkapan utama dan sampingan Perangkap lipat ini ditujukan untuk menangkap kepiting bakau, jenis kepiting bakau dikelompokan sebagai hasil tangkapan utama. Sedangkan jenisjenis yang lain sebagai hasil tangkapan sampingan. Hasil tangkapan sampingan yang dianalisis disini adalah dari hasil kelompok kepiting yaitu, kepiting batu, kepiting bolem dan rajungan. Jumlah total kepiting yang tertangkap pada perangkap lipat (A dan B) berjumlah 418 individu. Kepiting batu mendominasi hasil tangkapan, yaitu sebanyak 270 individu (65%) dari total tangkapan kepiting, disusul kepiting bolem dengan jumlah hasil tangkapan sebanyak 108 individu (23%), sedangkan jumlah hasil tangkapan

73 55 kepiting bakau sebanyak 38 individu (11%) dan rajungan sebanyak 2 individu (1%). Komposisi hasil tangkapan kepiting disajikan pada Gambar 15. Jumlah dari jenis-jenis tangkapan kepiting berdasarkan sudut kemiringan pintu masuk disajikan pada Tabel 4. Hasil tangkapan total kepiting berdasarkan perbedaan sudut kemiringan menunjukan adanya perbedaan (F hit = 3,993 ; P < 0,05), ini berarti bahwa sudut kemiringan memberikan pengaruh terhadap jumlah kepiting yang masuk ke dalam perangkap. Pengaruh ini dapat dilihat dari jumlah hasil tangkapan kepiting pada sudut kemiringan 30 lebih banyak dibandingan dengan sudut kemiringan 40. Rajuangan 0% Kepiting Bakau 9% Kepiting Bolem 26% Kepiting Batu 65% N = 418 Gambar 15 Komposisi hasil tangkapan kepiting Selanjutnya untuk membedakan sudut kemiringan mana yang paling berpengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan total, dilakukan dengan uji t, ditemukan bahwa sudut kemiringan 30 lebih berpengaruh daripada sudut 40 (t hit = 3,895, P = 0,001< α). Artinya secara total perangkap dengan sudut kemiringan lintasan pintu masuk 30 memiliki hasil tangkapan total kepiting lebih banyak dari perangkap dengan sudut kemiringan 40. Keterangan ini disajikan pada Gambar 16.

74 56 Tabel 4 Jumlah hasil tangkapan berdasarkan sudut kemiringan lintasan pintu masuk No Jenis Tangkapan Sudut Kemiringan Jumlah Kepiting Total 1 Kepiting Bakau Kepiting Batu Kepiting Bolem Rajungan Total Sumber : Data pengukuran lapangan (2012) Jumlah individu N = Derajat 40 Derajat Kepiting Bakau Kepiting Batu Kepiting Bolem Rajungan Jenis Kepiting Gambar 16 Hasil tangkapan kepiting berdasarkan sudut kemiringan Berdasarkan sudut kemiringan hasil tangkapan kepiting bakau yang diperoleh dalam penelitian ini, pada sudut kemiringan 30 kepiting bakau yang tertangkap sebanyak 29 individu dari total 38 individu yang tertangkap pada kedua sudut, sedangkan pada sudut kemiringan 40 kepiting bakau yang tertangkap sebanyak 9 individu. Uji Anova menunjukkan bahwa, sudut kemiringan memberikan pengaruh terhadap jumlah tangkapan kepiting bakau (F hit = 4,710; P = 0,034 < α). Sudut kemiringan 30 memberikan pengaruh terhadap jumlah hasil tangkapan kepiting bakau atau lebih efektif menangkap kepiting bakau dibanding sudut kemiringan 40. Sebaran panjang karapas dan lebar karapas serta sebaran tinggi dan bobot tubuh disajikan pada Gambar 17.

75 57 Berdasarkan hasil uji t berpasangan (paired samples t tes) terhadap total jumlah hasil tangkapan pada perangkap dengan sudut kemiringan 30 dan 40, terdapat perbedaan yang signifikan (t hit = 2,432; P = 0,021 < α = 0,05). Perbedaan hasil tangkapan akibat sudut kemiringan lintasan pintu masuk ini, diduga disebabkan karena kemiringan sudut pintu masuk mempengaruhi masuknya kepiting di dalam perangkap. Pada sudut kemiringan 30 lintasannya sedikit landai dibandingkan dengan sudut 40. frekuensi (ind.) sudut 30 sudut 40 frekuensi (individu) sudut 30 sudut panjang karapas (mm) lebar karapas (mm) frekuensi (ind.) sudut 30 sudut 40 frekuensi (ind.) sudut 30 sudut 40 tinggi karapas (mm) bobot tubuh (gram) Gambar 17 Sebaran panjang, lebar karapas dan tinggi karapas serta bobot tubuh kepiting bakau berdasarkan sudut kemiringan Hasfiandi (2010), menemukan bahwa hasil tangkapan sampingan perangkap jodang berupa kepiting mengalami penurunan seiring dengan pertambahan sudut kemiringan dari 30, 40 ke 50, hal ini disebabkan karena kepiting mengalami kesulitan pada saat merayapi sudut kemiringan perangkap yang lebih besar. Ini dikarenakan oleh gaya berat kepiting tidak sepenuhnya

76 58 ditahan oleh bidang perangkap, sehingga jika terkena arus yang berlawanan kepiting akan mudah terlempar dari dinding perangkap. Penelitian tentang sudut kemiringan perangkap juga dilakukan oleh Li, et.al., (2006), dengan membandingkan sudut kemiringan perangkap Arabesquee greenling pada sudut 0, 27, 37 dan 46 dengan funnel yang berbeda terhadap perangkap komersial dengan sudut kemiringan 37, mereka menemukan bahwa sudut 27 dari perangkap yang diuji, jumlah hasil tangkapannya lebih baik dari perangkap uji coba 0, 37 dan 46 serta dengan perangkap komersial 37, hal ini dikarenakan ikan lebih mudah untuk masuk ke dalam perangkap tanpa merubah orientasi pergerakannya baik ke bawah ataupun ke atas. 4.8 Analisis Hasil Tangkapan Berdasarkan Celah Pelolosan Hasil tangkapan total Hasil tangkapan total pada perangkap lipat, baik perangkap lipat tanpa celah pelolosan maupun perangkap lipat dengan celah pelolosan di dominasi oleh kepiting batu, yaitu sebanyak 270 individu, kemudian kepiting bolem sebanyak 108 individu, kepiting bakau sebanyak 38 individu dan rajungan sebanyak 2 individu. Hasil tangkapan pada perangkap tanpa celah pelolosan dan sebaran frekuensi dari tiap jenis kepiting dapat disajikan pada Tabel 5 dan Gambar 18. Berdasarkan uji Anova untuk perangkap tanpa celah pelolosan dan dengan celah pelolosan, menunjukan tidak ada perbedaan diantara keduanya (F = 5,458; P(0,023)<α(0,05)). Artinya bahwa pemasangan celah pelolosan pada perangkap tidak mempengaruhi tingkat masuknya kepiting ke dalam perangkap. Tabel 5 Hasil tangkapan kepiting pada perangkap lipat tanpa celah pelolosan dan dengan celah pelolosan Perangkap A Perangkap B Jenis TCP* CP* Total Total Tangkapan Jumlah Persentase Jumlah Persentase Jumlah Persentase Kepiting Bakau 22 11,3 16 7,1 38 9,1 Kepiting Batu , , ,6 Kepiting Bolem 42 21, , ,8 Rajungan 1 0,5 1 0,4 2 0,5 Total Sumber : Data lapangan (2012), *TCP = tanpa celah pelolosan, CP = celah pelolosan

77 Hasil Tangkapan Utama dan Sampingan Hasil tangkapan kepiting berdasarkan celah pelolosan terdiri atas kepiting yang tertahan dalam perangkap dan yang meloloskan diri melalui celah pelolosan kemudian tertampung pada ruang pelolosan. Kepiting bakau yang tertangkap sebanyak 16 individu dan yang lolos sebanyak 11 individu, kepiting batu yang tertangkap sebanyak 141 individu dan yang lolos sebanyak 75 individu, kepiting bolem yang tertangkap sebanyak 66 individu dan yang lolos sebanyak 47 individu, rajungan yang tertangkap sebanyak 1 individu dan yang lolos sebanyak 1 individu. Hasil tangkapan kepiting pada perangkap berdasarkan celah pelolosan dan sebaran frekuensi hasil tangkapan dari tiap jenis kepiting dapat dilihat pada Tabel 6 dan Gambar 18. Penggunaan celah pelolosan pada perangkap, memberikan pengaruh terhadap hasil tangkapan sampingan, dimana celah pelolosan dapat mereduksi hasil tangkapan sampingan dari 92,9% menjadi 54,9%. Frekuensi (ind.) N = 418 Perangkap A Perangkap B Kepiting Bakau Kepiting Batu Kepiting Bolem Rajungan Jenis Kepiting Gambar 18 Sebaran frekuensi hasil tangkapan pada perangkap lipat tanpa dan dengan celah pelolosan Tangkapan utama dalam penelitian ini adalah kepiting bakau. Berdasarkan celah pelolosan, hasil tangkapan dibagi atas kepiting yang tertahan dalam perangkap dan kepiting yang meloloskan diri melalui celah pelolosan dan berada pada ruang pelolosan. Hasil tangkapan kepiting pada perangkap lipat berdasarkan celah pelolosan dan sebaran frekuensinya dapat dilihat pada Gambar 19.

78 60 Kepiting bakau yang berada dalam perangkap lipat yang dilengkapi celah pelolosan berjumlah 16 individu, 5 individu adalah kepiting bakau yang tertahan dan yang meloloskan diri melalui celah pelolosan sebanyak 11 individu (Tabel 6). Penggunaan celah pelolosan pada perangkap lipat dapat mereduksi ukuran kepiting bakau yang masih muda (belum layak tangkap), sehingga memberikan peluang untuk kepiting-kepiting tersebut melakukan regenerasi. Ukuran kepiting bakau yang belum layak tangkap (muda) yang dapat diloloskan tergantung pada ukuran celah pelolosan yang digunakan. Frekuensi (Individu) Jumlah yang Tertangkap 100 Jumlah yang Lolos Kepiting Bakau Kepiting Batu Kepiting Bolem Rajungan Jenis Kepiting Gambar 19 Sebaran frekuensi jenis kepiting yang tertangkap dan yang lolos Ukuran celah pelolosan yang dicoba pada perangkap lipat terdiri dari dua ukuran yaitu 4 x 6 cm dan 5 x 7 cm. Kepiting bakau yang dapat meloloskan diri dari celah pelolosan ukuran 4 x 6 cm adalah sebanyak 6 individu, dengan kisaran panjang dan lebar karapas serta tinggi tubuh masing-masing adalah mm, mm dan mm. Pada celah pelolosan ini hanya satu kepiting bakau dewasa yang meloloskan diri, dengan panjang karapas 57 mm, lebar karapas 86 mm dan tinggi karapas 31 mm. Sedangkan kepiting bakau yang dapat meloloskan diri dari celah pelolosan ukuran 5 x 7 cm sebanyak 5 individu, dengan kisaran panjang dan lebar karapas serta tinggi tubuh, masing-masing adalah mm, mm dan mm. Pada celah pelolosan ini ada dua kepiting dewasa yang meloloskan diri yaitu dengan ukuran lebar dan panjang karapas 65 mm dan 103 mm, tinggi tubuh 38

79 61 mm. Kemudian kepiting yang kedua ukuran lebar karapas 66 mm, panjang karapas 101 mm dan tinggi tubuh 37 mm. Tabel 6 Hasil tangkapan kepiting pada perangkap lipat berdasarkan celah pelolosan dan perbandingan yang tertahan dan yang lolos Perangkap tanpa Perangkap dengan celah pelolosan celah pelolosan Hasil B30 (ukuran celah B40 (ukuran celah tangkapan A30 A40 pelolosan : 4 x 6 ) pelolosan : 5 x 7 ) Tertahan Lolos Tertahan Lolos Kepiting bakau Kepiting batu Kepiting bolem Total Sumber : Data penelitian (2012) Ukuran maksimum kepiting bakau yang meloloskan diri ditemukan pada perangkap dengan ukuran celah pelolosan 5 x 7 cm. Jumlah kepiting bakau muda yang meloloskan diri adalah lebih banyak dari kepiting dewasa (8 : 3) (Gambar 20). Dengan persentase kepiting jantan sebesar 55% dan kepiting betina sebesar 45% serta persentase kepiting muda 73%, kepiting dewasa 23%. 45% 55% Jantan Betina Gambar 20 Komposisi jenis kelamin dan kedewasaan Hal ini menunujukan bahwa, dengan penggunaan celah pelolosan pada perangkap lipat, maka dapat mereduksi ukuran kepiting bakau yang masih muda (belum layak tangkap), sehingga memberikan peluang untuk kepiting-kepiting tersebut melakukan regenerasi. Ukuran kepiting bakau yang belum layak tangkap (muda) yang dapat diloloskan tergantung pada ukuran celah pelolosan yang digunakan pada perangkap.

80 Hasil Tangkapan Perangkap Lipat Komersil Perangkap lipat komersil (buatan nelayan) yang dioperasikan sebanyak 5 perangkap yang diberi kode (BN) dan tanpa celah pelolosan, berfungsi sebagai pembanding. Jumlah hasil tangkapan totalnya sebanyak 110 individu, terdiri dari kepiting bakau sebanyak 7 individu, kepiting batu sebanyak 87 individu, dan kepiting bolem sebanyak 15 individu. Dari total hasil tangkapan BN, kepiting batu tetap mendominasi hasil tangkapan. Komposisi hasil tangkapannya dapat dilihat pada Tabel 7 dan Gambar 21. Tabel 7 Komposisi hasil tangkapan perangkap lipat komersil (BN) No. Jenis Tangkapan Jumlah Persentase (Individu) (%) 1. Kepiting Bakau 7 6,4 2. Kepiting Batu 87 79,1 3. Kepiting Bolem 15 13,6 4. Rajungan 1 0,9 Total ,0 frekuensi Kepiting Bakau Kepiting Batu Kepiting Bolem 1 Rajungan Jenis kepiting Gambar 21 Frekuensi jenis hasil tangkapan perangkap komersil Perangkap lipat komersil mampu menangkap tangkapan utama berupa kepiting bakau sebesar 6,4 % dan hasil tangkapan sampingan sebesar 93,6%. Jika dibandingkan dengan perangkap lipat tanpa celah pelolosan yang diujicoba memiliki hasil tangkapan sampingan ± 92,9%, maka terdapat perbedaan hasil

81 63 tangkapan sampingan sebesar 0,7%. Hasil tangkapan sampingan ini dapat dikurangi dengan pemasangan celah pelolosan pada perangkap lipat, pada ujicoba perangkap lipat yang dilengkapi dengan celah pelolosan, hasil tangkapan sampingan dapat dikurangi ± 54,9%. Kepiting bakau yang tertangkap pada perangkap ini berjumlah 7 individu yang terdiri atas Kepiting bakau (Scylla spp.) yang tertangkap dengan perangkap lipat nelayan memiliki kisaran ukuran panjang karapas (CL) mm, lebar karapas mm, tinggi karapas (CH) mm dan bobot tubuh (BW) gr, dari jumlah ini terdapat 3 individu jantan dan 4 individu betina. Diantara itu, 4 individu teridentifikasi sebagai individu muda dengan kisaran ukuran mm CL, mm CW, mm CH dan gr BW, sedangkan sisanya sebagai individu dewasa dengan kisaran ukuran CL, CW, CH dan BW (Gambar 22). Frekuensi Frekuensi Lebar Karapas (mm) Panjang Karapas (mm) Frekuensi Frekuensi Tinggi Karapas (mm) Bobot Tubuh (mm) Gambar 22 Distribusi panjang dan lebar karapas kepiting bakau hasil tangkapan perangkap komersil (BN)

82 64 Secara keseluruhan perbandingan antara perangkap lipat ujicoba (A dan B) dan perangkap komersil untuk komposisi hasil tangkapan total tidak terdapat perbedaan yang signifikan, untuk tangkapan utama terdapat perbedaan ukuran kepiting yang tertangkap, dimana perangkap komersil menangkap ukuran yang lebih kecil, selain itu, CPUE perangkap komersil lebih rendah yaitu 0,02 ind.perangkap -1 trip -1 dibandingkan dengan perangkap ujicoba yang berkisar 0,05-0,55 ind.perangkap -1 trip -1. Hal ini diduga karena ada efek saturisasi, dimana ukuran perangkap yang lebih besar dapat mengurangi efek ini dengan adanya volume ruang yang besar dan mengurangi terjadinya persaingan teritorial diantara kepiting yang berada dalam perangkap Distribusi Ukuran Kepiting Bakau Layak Tangkap Hasil tangkapan kepiting bakau secara keseluruhan yang tertangkap baik pada perangkap lipat komersil maupun perangkap lipat uji coba berjumlah 45 individu, yang terdiri atas tiga spesies kepiting bakau yaitu Scylla serrata (warna hijau terang, polos, duri tajam, agak tinggi bagian belakangnya jika dibandingkan dengan kepiting lain), Scylla olivacea (warna capit orange, warna karapas agak hijau dengan bintik-bintik putih) dan Scylla paramamosain (warna karapas merah bata, duri pada ruas siku kaki kecil dan tumpul, duri pada dahi juga tumpul). Dalam bahasan ini ketiga jenis kepiting bakau diatas disebut sebagai scylla spp. Secara keseluruhan ukuran kepiting bakau yang tertangkap, memiliki kisaran lebar karapas antara mm, dengan ukuran yang dominan tertangkap yaitu pada selang panjang karapas mm sebanyak 17 individu (Gambar 23). Jumlah kepiting bakau layak tangkap dari total hasil tangkapan adalah berjumlah 20 individu, dimana dasar untuk menentukan kepiting layak tangkap adalah berdasarkan pada ukuran lebar karapas kepiting yang teramati dalam penelitian ini yaitu berada pada lebar karapas lebih dari 80 mm, hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh Aldrianto (1996), bahwa kepiting bakau di Indonesia mengalami matang gonad pada lebar karapas 8 cm atau 80 mm.

83 65 Jumlah Individu Layak tangkap (CW 80 mm) Lebar karapas (mm) Gambar 23 Distribusi kepiting bakau layak tangkap 4.11 Hasil Tangkapan pada Masing-masing Perangkap Hasil penelitian menunjukan bahwa hasil tangkapan total pada setiap tipe perangkap lipat, baik perangkap lipat hasil modifikasi maupun perangkap lipat komersil buatan nelayan secara signifikan berbeda. Perangkap lipat tipe B3 (perangkap dengan sudut kemiringan lintasan pintu masuk 30 dan dilengkapi dengan celah pelolosan serta ruang pelolosan) memperoleh total hasil tangkapan paling banyak, yaitu 160 individu dengan jumlah rata-rata hasil tangkapan 10 individu. Jumlah hasil tangkapan total pada masing-masing tipe perangkap disajikan pada Gambar 24. Jumlah tangkapan total A3 A4 B3 B4 BN Jumlah rata-rata tangkapan Tipe perangkap Gambar 24 Jumlah hasil tangkapan total pada masing-masing tipe perangkap

84 66 Sedangkan hasil tangkapan kepiting pada setiap tipe perangkap secara signifikan juga berbeda. Jumlah hasil tangkapan pada perangkap lipat tipe A3 (perangkap dengan sudut kemiringan lintasan pintu masuk 30, tanpa celah pelolosan) adalah yang paling banyak memperoleh hasil tangkapn kepiting bakau, yaitu 18 individu. Kemudian perangkap tipe B3 (perangkap dengan sudut kemiringan lintasan pintu masuk 30 dan dilengkapi dengan celah pelolosan serta ruang pelolosan) memperoleh hasil tangkapan kepiting bakau 11 individu. Selanjutnya perangkap lipat komersil buatan nelayan yang memperoleh hasil tangkapan kepiting bakau 7 individu. Kemudian perangkap tipe B4 (perangkap dengan sudut kemiringan lintasan pintu masuk 40 dan dilengkapi dengan celah pelolosan serta ruang pelolosan) dengan jumlah hasil tangkapan kepiting bakau 5 individu dan perangkap tipe A4 (perangkap dengan sudut kemiringan lintasan pintu masuk 40, tanpa celah pelolosan) 4 individu. Jumlah hasil tangkapan kepiting bakau pada masing-masing tipe perangkap disajikan pada Gambar 25. Jumlah kepiting A3 A4 B3 B4 BN Jumlah rata-rata Tipe perangkap Gambar 25 Hasil tangkapan kepiting bakau pada masing-masing perangkap 4.12 Selektivitas Celah Pelolosan pada Perangkap Berdasarkan hasil percobaan penangkapan menggunakan perangkap lipat kepiting dengan celah pelolosan (4 x 6) cm diperoleh kepiting bakau sebanyak 11 individu. Perhitungan selektivitas dengan menggunakn metode maximum likelihood hasilnya seperti dapat dilihat pada Gambar 26.

85 Selektivitas Lebar Karapas (mm) Gambar 26 Kurva selektivitas pada celah pelolosan Nilai parameter a dan b masing-masing -0,03714 dan 2,89611 dengan nilai selection range 59,16 mm. Sementara itu nilai CL 50 sebesar 77,98 mm artinya kepiting bakau yang memiliki lebar karapas 77,98 mm memiliki peluang tertangkap dan lolos sebesar 50%. Berdasarkan kurva selektivitas diatas, dapat disimpulkan bahwa semakin besar ukuran lebar karapas kepiting bakau maka peluang tertangkapnya kepiting pada perangkap akan semakin besar. Artinya pada celah pelolosan berukuran (4 x 6) cm, penambahan ukuran lebar karapas akan semakin meningkatkan peluang tertangkapnya kepiting pada perangkap. Oleh karena itu, semakin besar ukuran kepiting maka kemungkinan besar akan tertahan di dalam perangkap (tidak dapat meloloskan diri dari celah pelolosan). Selain ukuran celah pelolosan (4 x 6) cm terdapat juga ukuran celah pelolosan (5 x 7) cm yang digunakan dalam percobaan ini. Jumlah hasil tangkapan perangkap lipat kepiting dengan ukuran celah pelolosan (5 x 7) cm diperoleh kepiting bakau sebanyak 5 individu, dan semua kepiting bakau dapat meloloskan diri melalui celah pelolosan. Karena semua kepiting bakau dapat meloloskan diri mengakibatkan kurva selektivitas dari celah pelolosan yang berukuran (5 x 7) cm tidak dapat diestimasi. Hal ini berkaitan dengan ukuran lebar

86 68 karapas pada lokasi penelitian yang lebih kecil dari celah pelolosan dengan ukuran (5 x 7) cm. Sehingga penggunaan celah pelolosan (5 x 7) cm tidak sesuai untuk digunakan pada lokasi penelitian. Bentuk dan ukuran dari celah pelolosan yang digunakan akan berpengaruh terhadap perangkap lipat dalam mengurangi ukuran kepiting yang belum matang gonad dan mengurangi hasi tangkapan sampingan ( Everson et al., 1992; Boutson et al., 2009). Dari hasil tangkapan selama penelitian menunjukkan bahwa ukuran lebar karapas kepiting bakau memiliki kisaran antara 50 mm sampai 120 mm dengan nilai CL50 sebesar 77,98 mm, hal ini menunjukkan bahwa penggunaan ukuran celah pelolosan (4 x 6) cm dapat digunakan pada perangkap lipat kepiting. Selain itu penggunaan ukuran celah pelolosan yang sesuai untuk digunakan pada perangkap lipat kepiting ditentukan berdasarkan penelitian pada skala laboratorium. Penggunaan data skala laboratorium untuk menentukan bentuk, posisi dan ukuran celah pelolosan akan berpengaruh terhadap frekuensi pelolosan kepiting (Brown 1982). Untuk itu perlu kiranya dalam penelitian selanjutnya diperlukan pengumpulan data kisaran lebar karapas kepiting dalam suatu populasi sehingga penentuan bentuk, ukuran serta posisi celah pelolosan dapat ditentukan dengan kisaran ukuran kepiting tersebut.

87 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah: 1) Penggunaan celah pelolosan pada perangkap lipat dapat mereduksi hasil tangkapan sampingan dari 92,9% (207 individu) menjadi 54,9% (85 individu). 2) Berdasarkan uji statistik, penggunaan celah pelolosan pada perangkap lipat kepiting tidak memberikan pengaruh terhadap hasil tangkapan. 3) Penggunaan celah pelolosan mampu mengurangi jumlah hasil tangkapan kepiting bakau yang belum layak tangkap. 4) Ukuran celah pelolosan (4 x 6) cm memberikan pengaruh terhadap ukuran persentase hasil tangkapan kepiting yang tertangkap. 5) Perangkap lipat dengan sudut kemiringan lintasan pintu masuk 30 lebih banyak menangkap kepting bakau dengan jumlah 29 individu dibandingkan dengan sudut kemiringan 40 hanya berjumlah 9 individu. 5.2 Saran Saran dari penelitian ini adalah perlu adanya penelitian lanjutan pada musim puncak kepiting bakau di perairan desa Mayangan dan Legonwetan, Subang, Jawa Barat untuk mengetahui jumlah hasil tangkapan yang layak tangkap dan belum layak tangkap.

88 DAFTAR PUSTAKA Afrianto E dan E. Liviawaty Pemeliharaan Kepiting. Penerbit Kanisius.Yogyakarta. 74 p. Aldrianto E Nilai Ekonomi Hutan Mangrove bagi Masyarakat (studi kasus di Muara Cimanuk Indramayu) (Thesis). Program Pascasarjana IPB. Bogor Almada DP Studi Tentang Waktu Makan dan Jenis Umpan yang Disukai Kepiting Bakau (Scylla serrata). Skripsi. (Tidak dipublikasikan). Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. 47p. Arriola J Prelinary Study of The Life History of Scylla serrata (Forskal). Phil. Jour. Sci. 73: Badan Pusat Statistik Kabupaten Subang Dalam Angka. Jakarta. Badan Pusat Statistik Kecamatan Legonkulon Dalam Angka. Jakarta. Boutson A, Mahasawasde C, Mahasawasde S, Tunkijjanukij S, Arimoto T Use of Escape Vents to Improve Size and Species Selectivity of Collapsible Pot for Blue Swimming Crab Portunus pelagicus in Thailand. Fish. Sci. Journal 75 : Brown CG The Effect of Escape Gaps on Traps Selectivity in The United Kingdom Crab (Cancer pagurus L.) and Lobster (Homarus gammarus (L.)) fisheries. ICES J Mar Sci 40: Cholik F Review of Mud Crab Culture Research in Indonesia. In Mud Crab Aquaculture and Biology. Proceedings of an International Science Forum held in Darwin. Australia, April ACAIR Proceedings 78, pp Ed. By C. P. Keenan and A. Blackshaw. Australian Centre for International Agricultural Research, Canberra. 216 pp. Estampador EP. 1949a. Studies on Scylla (Crustacea: Portunidae). I. Revision of the genus. Philipp. J. Sci. 78 : (95) Estampador EP. 1949b. Studies on Scylla (Crustacea: Portunidae). II. Comparative Studies on Spermatogenesis and Oogenesis. Philipp. J. Sci. 78 : Everson AR, Skillman RA, and Polovina JJ Evaluation of Rectangular and Circular Escape Vents in the Northwestern Hawaiian Islands Lobster Fishery. North American Journal Fisheries Management, Vol 1:

89 72 Gardenia Y T, Teknologi Penangkapan Pilihan untuk Perikanan Rajungan di Gebang Mekar Kabupaten Cirebon. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Gunarso W Tingkah Laku Ikan dalam Hubungannya dengan Alat, Metode dan Teknik Penangkapan. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hasfiandi, Konstruksi Perangkap Jodang yang Selektif Terhadap Ukuran dan Jenis Keong Macan. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana-Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hill BJ Salinity and Temperature Tolerance of Zoea of The Portunidae Crab, Scylla serrata. Mar Bio, 25: Hill BJ The Queensland mud crab fishery. Queensland Departemen of Primari Industry. Series FI Queensland. 13 p. Hutching B. And P. Saenger Ecology of mangrove. University of Queensland Press. St. Lucia, New York. 388 p. Hyland S J and Lee C P Movement within and between different habitats by a portunid crab Scylla serrata. Mar. Biol. 80: Jirapunpipat K, Phomikong P, Yokota M, Watanabe S The Effect of Escape Vents in Collasible Pots on Catch and Size of The Mud Crab Scylla olivacea. Fisheries Research 94 (2008) Jirapunpipat K,Yokota M, Watanabe S The Benefits of Species-based Management of Sympatric Mud Crabs Migration to a Common Fishing ground. ICES Journal of Marine Science, 66: Kasry A Pengaruh Antibiotic dan Makanan pada Tingkat Salinitas yang Berbeda Terhadap Kelulusan Hidup dan Perkembangan Larva Kepiting Scylla serrata (Forskal) (Crustacea: Portunidae). Disertasi. Fakultas Pascasarjana IPB. Bogor. Kasry A Budidaya Kepiting Bakau dan Biologi Ringkas. Bhatara. Jakarta. 87 p. Kathirvel M, Srinivasagam S Taxonomy of The Mangrove Crab Scylla serrata (Forskal) From India In Angel. C. A. (ed). Report of the Seminar on the Mangrove Crab Culture and Trade Held at Surat Thani, Thailand. Brackkishwater. Madras Keenan CP, Davie PJF, Mann DL A Revision of The Genus Scylla De Haan, 1983 (Crustacea: Decapoda: Brachyura: Portunidae). The Raffles Bulletin of Zoology 46 (1):

90 73 King M Fisheries Biology, Assessment and Management. Blackwell Science, London. Krouse JS Permomance and Selectivity of Trap Fisheries for Crustaceans. Departement of Marine Resources West Boothbay Harbor, Maine. Marine Invertebrate Fisheries. Page: Kusnadi Pemanfaatan Sumberdaya Kepiting Bakau (Scylla spp) Menggunakan Alat Tangkap Rakkang di Kabupaten Bone Sulawesi Selatan. Skripsi (Tidak dipublikasikan). Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan IPB. Bogor. Le Vay L Ecology and Stock Assessment of Scylla spp. In: Proceedings of the International Forum on The Culture of Portunid Crabs. Boracay. Philippines. December 1 4. Li, Yong., Katsutaro Yamamoto., Tomonori Hiraishi, Katsuaki Nashimoto and Hiroyuki Yoshino Effect Entrance Design on Catch Efficiency of Arabesque greenling Traps : A Field Experiment in Matsumae, Hokkaido. Fisheries Science ; 72 : Martasuganda S Bubu (Traps). Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. 69 p. Mattjik, A.A., Sumertajaya, I.M Perancangan Percobaan Dengan aplikasi SAS dan Minitab. IPB PRESS. Bogor. Miller, R.J., Effectiveness of Crab and Lobster Traps. Can. J. Fish. Aquat, Sci Moosa MK., Aswandy I, Kasry A Kepiting bakau, Scylla serrata (Forskal) di Perairan Indonesia. LON LIPI, Jakarta. 18p. Motoh H Biological Synopsis of Alimango, Genus Scylla. SEAFDEC Aquaculture Department Mulya MB Kelimpahan dan Distribusi Kepiting Bakau (Scylla spp) Serta Keterkaitannya dengan Karakteristik Biofisik Hutan Mangrove di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut Provinsi Sumatera Utara. Tesis (Tidak Dipublikasikan). Program Pascasarjana. IPB. Bogor. 96 p. Ong KS Observation on The Potlarva Life History Scylla serrata (Forskal), Reared in The Laboratory. The Malaysia, Agr. J. 45 (4) : Onyango SD The breeding cycle of Scylla serrata (Forskal, 1755) at Ramisi River estuary, Kenya. Wetland Ecol. Manag. 10:

91 74 Opnai L.J Some aspect of the biology and ecology of mud crab, scylla serrata (Crustacea: Decapoda) in the mangrove system of the Purari and Arid Deltas In Rep. Of the Workshop on Mangrove Ecosystem Dynamic. UNDP/UNESCO Res. Pil. Prog. On Mangrove Ecosystem of Asia and Hosted by the University of Papua New Guinea. Port Moresby. Overton JL. And Macintosh, D.J Estimated size at sexual maturity for female mud crabs (Genus Scylla) from two sympatric species within Ban Don Bay, Thayland. J. Crustacean Biol. 22: Pagctipunan P Observation on The Culture of Alimango, Scylla serrata at Camarines Norte (Philippines), pp In T.R.V. Pillay, (ed). Coastal aquaculture in the Indo Pacific Region. Fishing News (Books). Manila. Purwati P., Nurul D., Susetiono Kepiting Bakau untuk Mata Pencaharian. Coremap II LIPI. Jakarta. Purwati P., Nurul D., Susetiono Kepiting Bakau untuk Mata pencaharian. Coremap II LIPI. Jakarta. iii+58 hlm. Queensland Departement of Primary Industries a. Life cycle of mud crab (Scylla serrata). QDPI Leaflet. QL Brisbane. 1 p. Robertson Al Decomposition of mangrove leaf litter in tropical Australia. J. Exp. Mar. Ecol Robertson, W D and Kruger A Size at maturity, mating and spawning in the portunid crab Scylla serrata (Forskal) in Natal, South Africa. Estuar. Coast. Shelf Sci. 39: Sainsbury JC Commercial Fishing Methods, An Introduction to Vessels and Gears. Third edition. Fishing New Books. London. 354 p. Setiawan P A K Perbandingan Hasil Tangkapan Bubu Bambu dan Bubu Lipat di Perairan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Skripsi (Tidak Dipublikasikan). Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Siahainenia L Bioekologi Kepiting Bakau (Scylla spp) di Ekosistem Mangrove Kabupaten Subang Jawa Barat. Sekolah pascasarjana. IPB. Bogor. Snedaker SC, Getter CD Coastal resources management guidelines. Research planning Institute, Inc. Colombia, Melbourne, Sydney. 334 p. Soim A Pembesaran Kepiting. PT Penebar Swadaya, Jakarta.

92 75 Spence A Crab and Lobster Fishing. Fishing News Books Ltd. Farnham. Surrey. England. 159 p. Subani W. Dan H.R. Barus Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut Indonesia. Balai Penelitian Perikanan Laut. Departemen Pertanian. Jakarta. 248 p. Sulaiman, Naevdal G Genetic Differentiation of Three Morphologically Distinguishable Groups of Mangrove Crab (Genus: Scylla, Portunidae) in Makassar Strait and Bone Bay, South Sulawesi. Indonesia. Sulistiono, S Watanabe & S Tsuchida Biology and Fisheries of Crabs in Segara Anakan Lagoon. In Editor Ecological Assesment for Management Planning of Segara Anakan Lagoon, Cilacap, Central Java. NODAI Center for International Program, Tokyo University of Agriculture, Tokyo. Wahyono, T Model Analisis Statistik dengan SPSS 17, Memahami Teknik Analisis Statistik Secara Sistematis dan Praktis. Penerbit PT Elex Media Komputindo. Jakarta. Walton ME. Le Vay. L. Truong LM and Ut, VN Significance of mangrovemudflat boundaeries as nursery grounds for the mud crab, Scylla paramamosain. Mar. Biol. 149: Warner GF The Biology of Crabs. Eleck Science. London Watanabe S, Sulistiono, Yokota M Crab Resources and Stock Enhancement in Indonesia. J Aqua. Sci. Fish. I (I): Winger P D, Walsh P J The Feasibility of Escape Mechanisms in Conical Snow Crab Traps. ICES Journal of Marine Science, 64:

93 Lampiran 1 Peta lokasi penelitian 77

94 71 Lampiran 2 Perangkap lipat yang digunakan dalam penelitian a. Perangkap lipat uji coba dengan celah pelolosan (B) b. Perangkap lipat ujicoba tanpa celah pelolosan (A)

95 72 c. Perangkap lipat komersil (BN) d. Bentuk celah pelolosan yang digunakan

96 73 Lampiran 3 Operasi penangkapan a. Penyusunan alat tangkap di perahu b. Pemasangan umpan

97 74 c. Pengoperasian alat d. Hauling

98 75 e. Penanganan hasil tangkapan f. Hasil tangkapan kepiting bakau

99 76 Lampiran 4 Pengukuran hasil tangkapan a. Timbang bobot kepiting b. Pengukuran panjang karapas

100 77 c. Pengukuran lebar karapas d. Pengukuran tinggi

101 78 e. Acuan lebar dan panjang karapas f. Acuan tinggi tubuh

102 Lampiran 5 Hasil tangkapan perangkap lipat selama penelitian Komposisi Hasil Tangkapan Perangkap Lipat A3 Jenis Jumlah Hasil Tangkapan (Individu) Total Hasil Tangkapan Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Hasil Tangkapan Kepiting Batu Kepiting Bolem Udang Kelomang Kepiting Bakau Ikan Beloso 4 4 Ikan Sembilang 0 Ikan Belanak 0 Ikan Gabus 0 Ikan Kerapu Lumpur Keong Rajungan 1 1 Ikan lain 0 Kepiting Laut 0 Ikan Gelodok 0 Ikan Tompel 0 Ikan Cogi 1 1 Undur-undur 0 Total Hasil Tangkapan

103 Lanjutan Lampiran 5 Komposisi Hasil Tangkapan Perangkap Lipat A4 Jenis Jumlah Hasil Tangkapan (Individu) Total Hasil Tangkapan Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Hasil Tangkapan Kepiting Batu Kepiting Bolem Udang Kelomang Kepiting Bakau Ikan Beloso Ikan Sembilang 0 Ikan Belanak 0 Ikan Gabus 0 Ikan Kerapu 0 Lumpur Keong 0 Rajungan 0 Ikan lain 0 Kepiting Laut 1 1 Ikan Gelodok 0 Ikan Tompel 1 1 Ikan Cogi 0 Undur-undur 0 Total Hasil Tangkapan

104 Lanjutan lampiran 5 Komposisi Hasil Tangkapan Perangkap Lipat B3 Jenis Jumlah Hasil Tangkapan (Individu) Total Hasil Tangkapan Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Hasil Tangkapan Kepiting Batu Kepiting Bolem Udang Kelomang Kepiting Bakau Ikan Beloso Ikan Sembilang 7 7 Ikan Belanak 0 Ikan Gabus 3 3 Ikan Kerapu 1 1 Lumpur Keong 1 1 Rajungan 0 Ikan lain 0 Kepiting Laut 1 1 Ikan Gelodok 0 Ikan Tompel 0 Ikan Cogi 0 Undur-undur 1 1 Total Hasil Tangkapan

105 Lanjutan lampiran 5 Komposisi Hasil Tangkapan Perangkap Lipat B4 Jenis Jumlah Hasil Tangkapan (Individu) Total Hasil Tangkapan Trip 1 Trip 2 Trip 3 Trip 4 Trip 5 Trip 6 Trip 7 Kepiting Batu Kepiting Bolem Udang Kelomang 0 Kepiting Bakau Ikan Beloso Ikan Sembilang 0 Ikan Belanak 0 Ikan Gabus 0 Ikan Kerapu Lumpur 0 Keong 0 Rajungan 1 1 Ikan lain 1 1 Kepiting Laut 0 Ikan Gelodok 0 Ikan Tompel 0 Ikan Cogi 0 Undur-undur 0 Total Hasil Tangkapan Trip 8 Trip 9 Trip 10 Trip 11 Trip 12 Trip 13 Trip 14 Trip 15 Trip 16 Hasil Tangkapa n

106 Lanjutan lampiran 5 Komposisi Hasil Tangkapan Perangkap Lipat BN Jenis Jumlah Hasil Tangkapan (Individu) Total Hasil Tangkapan Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Kepiting Batu Kepiting Bolem Udang Kelomang Kepiting Bakau Ikan Beloso Ikan Sembilang 1 1 Ikan Belanak 3 3 Ikan Gabus 0 Ikan Kerapu Lumpur 0 Keong 0 Rajungan 1 1 Ikan lain 1 1 Kepiting Laut 0 Ikan Gelodok 1 1 Ikan Tompel 0 Ikan Cogi 0 Undur-undur 0 Total Hasil Tangkapan Hasil Tangkapan

107 Tipe Perangkap Total Hasil Tangkapan Lanjutan lampiran 5 Jumlah hasil tangkapan per trip Jumlah Hasil Tangkapan (Individu) Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip Trip A A B B BN Total Hasil Tangkapan

108 92 Lampiran 6 Uji kenormalan data hasil tangkapan total untuk semua perangkap : 1. Dengan menggunakan grafik normal Q-Q Plot hasil tangkapan diperoleh bahwa titik-titik plot meyebar disekitar garis lurus, ini menunjukan bahwa data menyebar secara normal. 2. Berdasarkan uji Levene s test of equity of error varians, untuk mengetahui apakah varians antara variabel adalah sama, karena syarat untuk uji Anova adalah kesamaan varians. Dari analisis dibawah ini, P = 0,179 > 0,05, yang berarti varian antar variabel adalah sama, sehingga dapat dilakukan uji Anova. Levene's Test of Equality of Error Variances a Dependent Variable:Hasil_Tangkapan F df1 df2 Sig Tests the null hypothesis that the error variance of the dependent variable is equal across groups. a. Design: Intercept + Sudut + Type + Sudut * Type

109 93 Lampiran 7 Analisis Varians (ANOVA) jumlah hasil tangkapan total Between-Subjects Factors Value Label Sudut_Kemiringan sudut N sudut Type_Perangkap 1.00 Tanpa Celah Pelolosan 2.00 Dengan Celah Pelolosan Source Corrected Model Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:Hasil_Tangkapan Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig a Intercept Sudut Type Sudut * Type Error Total Corrected Total Mean a. R Squared =,089 (Adjusted R Squared =,043) Estimated Marginal Means 1. Grand Mean Dependent Variable:Hasil_Tangkapan Std. Error 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound

110 94 2. Sudut_Kemiringan Dependent Variable:Hasil_Tangkapan Sudut_Ke miringan Mean Std. Error 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound sudut sudut Type_Perangkap Dependent Variable:Hasil_Tangkapan Type_Perangkap Mean Std. Error 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound Tanpa Celah Pelolosan Dengan Celah Pelolosan Sudut_Kemiringan * Type_Perangkap Dependent Variable:Hasil_Tangkapan Sudut_Ke miringan Type_Perangkap Mean Std. Error 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound sudut 30 Tanpa Celah Pelolosan Dengan Celah Pelolosan sudut 40 Tanpa Celah Pelolosan Dengan Celah Pelolosan

111 95 Lampiran 8 Uji t berpasangan terhadap sudut kemiringan : Pair 1 Pair 2 Pair 3 Sudut_30_TC P Paired Samples Statistics Mean N Std. Deviation Std. Error Mean Sudut_30_CP Suudut_40_TC P Sudut_40_CP Sudut_30_TC P Suudut_40_TC P Pair 4 Sudut_30_CP Sudut_40_CP Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference t df Sig. (2- tailed) Mean Std. Deviation Std. Error Mean Lower Upper Pair 1 Sudut_30_TCP - Sudut_30_CP Pair 2 Suudut_40_TCP - Sudut_40_CP Pair 3 Sudut_30_TCP - Suudut_40_TCP Pair 4 Sudut_30_CP - Sudut_40_CP

112 96 Lanjutan Lampiran 8 T-Test Paired Samples Statistics Mean N Std. Deviation Std. Error Mean Pair 1 Sudut_ Pair 1 Pair 1 Sudut_ Sudut_30 & Sudut_40 Sudut_30 - Sudut_40 Paired Samples Correlations Mean Std. Deviatio n N Correlation Sig Paired Samples Test Paired Differences Std. Error Mean 95% Confidence Interval of the Difference Lower Upper t df Sig. (2- tailed)

113 97 Lampiran 9 Analisis varians (ANOVA) jumlah Kepiting. Dependent Variable:Jumlah_Kepiting Source Corrected Model Tests of Between-Subjects Effects Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig a Intercept Sudut Type Sudut * Type Error Total Corrected Total a. R Squared =,075 (Adjusted R Squared =,029)

114 98 Lampiran 10 Jenis-jenis hasil tangkapan perangkap lipat a. Kepiting bakau (Scylla spp.)

115 b. Kepiting bolem 99

116 c. Kepiting Batu (Thalamita sp) 100

117 101 d. Rajungan (Portunus pelagicus) e. Ikan Beloso dan keong

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau S. oceanica Kepiting bakau S. oceanica dapat digolongkan ke dalam kelas Krustase, ordo Decapoda, famili Portunidae dan genus Scylla

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi Kepiting BakauScylla tranquebarica Kepiting Bakau S. tranquebaricamerupakan salah satu spesies dari genus Scylla yang mendiami kawasan ekosistem

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla spp.) tergolong dalam famili Portunidae dari suku Brachyura. Kepiting bakau hidup di hampir seluruh perairan pantai terutama pada pantai yang ditumbuhi

Lebih terperinci

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga II TINJAUAN PUSTAKA. Genus Scylla mempunyai tiga spesies lain yaitu Scylla serata, S. oseanica dan S.

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga II TINJAUAN PUSTAKA. Genus Scylla mempunyai tiga spesies lain yaitu Scylla serata, S. oseanica dan S. II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Kepiting Bakau Klasifikasi Scylla paramamosain menurut King (1995) dan Keenan (1999) dalam Pavasovic (2004) adalah sebagai berikut : Filum : Arthropoda Subfilum: Crustacea

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA Kepiting Bakau Kualifikasi Taksonomi dan Morfologi

2 TINJAUAN PUSTAKA Kepiting Bakau Kualifikasi Taksonomi dan Morfologi 4 2 TINJAUAN PUSTAKA Kepiting Bakau Kualifikasi Kepiting bakau tergolong dalam famili Portunidae, yang terdiri atas enam subfamili yaitu : Carcininae, Polybiinae, Caphyrinae, Catoptrinae, Podophthalminae,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting hidup di daerah muara sungai dan rawa pasang surut yang banyak ditumbuhi vegetasi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di seluruh kawasan Nusantara. Salah satu komoditas perikanan yang hidup di perairan pantai khususnya di

Lebih terperinci

DAYA TANGKAP BUBU LIPAT YANG DIOPERASIKAN OLEH NELAYAN TRADISIONAL DI DESA MAYANGAN KABUPATEN SUBANG

DAYA TANGKAP BUBU LIPAT YANG DIOPERASIKAN OLEH NELAYAN TRADISIONAL DI DESA MAYANGAN KABUPATEN SUBANG DAYA TANGKAP BUBU LIPAT YANG DIOPERASIKAN OLEH NELAYAN TRADISIONAL DI DESA MAYANGAN KABUPATEN SUBANG Catchability of Collapsible Pot Operated by Traditional Fishermen in Mayangan Village, Subang Regency

Lebih terperinci

RANCANG BANGUN BUBU LIPAT UNTUK MENANGKAP KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DIDIN KOMARUDIN

RANCANG BANGUN BUBU LIPAT UNTUK MENANGKAP KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DIDIN KOMARUDIN RANCANG BANGUN BUBU LIPAT UNTUK MENANGKAP KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DIDIN KOMARUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Metode Kerja Bahan dan peralatan pada pengamatan morfometri

3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Metode Kerja Bahan dan peralatan pada pengamatan morfometri 17 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di 11 daerah yang meliputi 5 pulau besar di Indonesia, antara lain Bintan dan Jambi (Sumatera), Karawang, Subang dan Cirebon (Jawa),

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Komposisi Jumlah Kepiting Bakau Selama Penelitian Kepiting bakau (genus Scylla) yang diteliti selama bulan Juni 2008 hingga Mei 2009 berasal dari 14 daerah yang mencakup Pidie

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepiting Bakau Klasifikasi kepiting bakau

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepiting Bakau Klasifikasi kepiting bakau 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepiting Bakau 2.1.1 Klasifikasi kepiting bakau Klasifikasi kepiting menurut Kordi (1997) adalah sebagai berikut: Filum : Arthropoda; Subfilum : Mandibula; Kelas : Crustacea; Super

Lebih terperinci

Jl. Raya Jakarta Serang Km. 04 Pakupatan, Serang, Banten * ) Korespondensi: ABSTRAK

Jl. Raya Jakarta Serang Km. 04 Pakupatan, Serang, Banten * ) Korespondensi: ABSTRAK Jurnal Perikanan dan Kelautan p ISSN 289 3469 Volume 6 Nomor 2. Desember 216 e ISSN 254 9484 Halaman : 95 13 Efektifitas Celah Pelolosan Pada Bubu Lipat Terhadap Hasil Tangkapan Rajungan di Teluk Banten

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Klasifikasi Kepiting Bakau (Scylla serrata) Menurut Kanna (2002) kepiting bakau (S. serrata) berdasarkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Klasifikasi Kepiting Bakau (Scylla serrata) Menurut Kanna (2002) kepiting bakau (S. serrata) berdasarkan 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi Kepiting Bakau (Scylla serrata) 1. Klasifikasi Kepiting Bakau (Scylla serrata) Menurut Kanna (2002) kepiting bakau (S. serrata) berdasarkan taksonominya dapat diklasifikasikan

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2. Metode Kerja

3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2. Metode Kerja 3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan selama 11 bulan yaitu mulai dari bulan Juli 2008 hingga bulan Mei 2009. Kepiting bakau yang diteliti merupakan kepiting bakau

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kepiting Bakau Genus Scylla Klasifikasi dan identifikasi kepiting bakau

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kepiting Bakau Genus Scylla Klasifikasi dan identifikasi kepiting bakau 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kepiting Bakau Genus Scylla 2.1.1. Klasifikasi dan identifikasi kepiting bakau Kepiting bakau tergolong dalam famili Portunidae yang terdiri atas 6 subfamili, yaitu: Carcininae,

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Letak dan Kondisi Penelitian Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur dan merupakan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sulistiono et al. (1992) dalam Mulya (2002) mengklasifikasikan kepiting. Sub Filum: Mandibulata. Sub Ordo: Pleocyemata

TINJAUAN PUSTAKA. Sulistiono et al. (1992) dalam Mulya (2002) mengklasifikasikan kepiting. Sub Filum: Mandibulata. Sub Ordo: Pleocyemata TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Kepiting bakau (Scylla spp.) Sulistiono et al. (1992) dalam Mulya (2002) mengklasifikasikan kepiting bakau sebagai berikut; Filum: Arthropoda Sub Filum: Mandibulata Kelas:

Lebih terperinci

ARTIKEL ILMIAH. STUDI POPULASI KEPITING BAKAU (Scylla spp.) PADA KAWASAN HUTAN MANGROVE DESA SUNGAI ITIK KECAMATAN SADU KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

ARTIKEL ILMIAH. STUDI POPULASI KEPITING BAKAU (Scylla spp.) PADA KAWASAN HUTAN MANGROVE DESA SUNGAI ITIK KECAMATAN SADU KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR ARTIKEL ILMIAH STUDI POPULASI KEPITING BAKAU (Scylla spp.) PADA KAWASAN HUTAN MANGROVE DESA SUNGAI ITIK KECAMATAN SADU KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR OLEH ASMARIYA NIM A1C412039 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. diakibatkan oleh berbagai macam faktor, salah satunya adalah munculnya penyakit yang

I. PENDAHULUAN. diakibatkan oleh berbagai macam faktor, salah satunya adalah munculnya penyakit yang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia termasuk negara produksi udang terbesar di dunia, namun produksi tambak udang di Indonesia sejak tahun 1992 mengalami penurunan. Peristiwa penurunan produksi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 33 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ukuran Mata Jaring Lintasan Masuk Bubu Hasil pengamatan terhadap tingkah laku kepiting bakau saat melewati bidang lintasan masuk menunjukkan bahwa kepiting bakau cenderung

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di perairan Indonesia diperkirakan lebih dari 100 spesies jenis kepiting

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di perairan Indonesia diperkirakan lebih dari 100 spesies jenis kepiting BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifiksi Kepiting Bakau (Scylla serrata) Di perairan Indonesia diperkirakan lebih dari 100 spesies jenis kepiting yang tergolong dalam keluarga Portunidae. Portunidae merupakan

Lebih terperinci

MODIFIKASI KONSTRUKSI PINTU MASUK BUBU LIPAT UNTUK MENANGKAP KEPITING BAKAU JESSY FERGIENA MUTIARA

MODIFIKASI KONSTRUKSI PINTU MASUK BUBU LIPAT UNTUK MENANGKAP KEPITING BAKAU JESSY FERGIENA MUTIARA MODIFIKASI KONSTRUKSI PINTU MASUK BUBU LIPAT UNTUK MENANGKAP KEPITING BAKAU JESSY FERGIENA MUTIARA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu komoditas perikanan

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu komoditas perikanan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu komoditas perikanan pada habitat perairan pantai, khususnya di daerah hutan bakau (mangrove). Kawasan hutan mangrove

Lebih terperinci

RINGKASAN. Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut merupakan satusatunya

RINGKASAN. Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut merupakan satusatunya RINGKASAN MISWAR BUDI MULYA. Kelimpahan dan Distribusi Kepiting Bakau (Scylla spp) serta Keterkaitannya dengan Karakteristik Biofisik Rutan Mangrove di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur

Lebih terperinci

Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan, 31 Agustus 2013

Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan, 31 Agustus 2013 POTENSI KEPITING BAKAU DI WILAYAH PERAIRAN SEKITAR TAMBAK DESA MOJO KAB PEMALANG pms-12 Arthur Muhammad Farhaby 1 * Johannes Hutabarat 2 Djoko Suprapto 2 dan Jusup Suprijanto 2 1 Mahasiswa Program Double

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) Indonesia dan merupakan hewan Arthropoda yang terbagi kedalam empat family,

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) Indonesia dan merupakan hewan Arthropoda yang terbagi kedalam empat family, TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) Kepiting merupakan salah satu hewan air yang banyak di jumpai di Indonesia dan merupakan hewan Arthropoda yang terbagi kedalam empat

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG

PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG Oleh: DONNA NP BUTARBUTAR C05400027 PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelas : Crustacea. Ordo : Decapoda. Webster et al., (2004), menyatakan bahwa lobster merupakan udang air tawar

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelas : Crustacea. Ordo : Decapoda. Webster et al., (2004), menyatakan bahwa lobster merupakan udang air tawar II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi Lobster Air Tawar Menurut Holthuis (1949) dan Riek (1968), klasifikasi lobster air tawar adalah sebagai berikut : Filum : Arthropoda Kelas : Crustacea Ordo : Decapoda Famili

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

PENGGUNAAN CELAH PELOLOSAN PADA BUBU LIPAT KEPITING BAKAU (SKALA LABORATORIUM)

PENGGUNAAN CELAH PELOLOSAN PADA BUBU LIPAT KEPITING BAKAU (SKALA LABORATORIUM) PENGGUNAAN CELAH PELOLOSAN PADA BUBU LIPAT KEPITING BAKAU (SKALA LABORATORIUM) (Applicaton of Collapsible Mud Crab with Escape Gap in Laboratory Scale) Adi Susanto 1), Ririn Irnawati 1) 1) Jurusan Perikanan,

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS CELAH PELOLOSAN (ESCAPE GAP) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR UNTUK MENUNJANG KELESTARIAN SUMBERDAYA IKAN

EFEKTIVITAS CELAH PELOLOSAN (ESCAPE GAP) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR UNTUK MENUNJANG KELESTARIAN SUMBERDAYA IKAN EFEKTIVITAS CELAH PELOLOSAN (ESCAPE GAP) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR UNTUK MENUNJANG KELESTARIAN SUMBERDAYA IKAN Silka Tria Rezeki 1), Irwandy Syofyan 2), Isnaniah 2) Email : silkarezeki@gmail.com 1) Mahasiswa

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rajungan (Portunus pelagicus) Menurut www.zipcodezoo.com klasifikasi dari rajungan adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Malacostrata Ordo : Decapoda

Lebih terperinci

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster ORDO DECAPODA Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster Kelompok Macrura Bangsa Udang dan Lobster Bentuk tubuh memanjang Terdiri kepala-dada (cephalothorax) dan abdomen (yang disebut ekor) Kaki beruas

Lebih terperinci

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU Scylla paramamosain Estampador DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG.

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU Scylla paramamosain Estampador DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG. TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU Scylla paramamosain Estampador DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG Oleh: Fetro Dola Samsu 1, Ramadhan Sumarmin 2, Armein Lusi,

Lebih terperinci

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P.

ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. ANALISIS DAMPAK PENAMBANGAN PASIR LAUT TERHADAP PERIKANAN RAJUNGAN DI KECAMATAN TIRTAYASA KABUPATEN SERANG DJUMADI PARLUHUTAN P. SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 PERNYATAAN MENGENAI

Lebih terperinci

PENGARUH POSISI UMPAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN BUBU LIPAT (Effect of bait position on catch of collapsible pot)

PENGARUH POSISI UMPAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN BUBU LIPAT (Effect of bait position on catch of collapsible pot) BULETIN PSP ISSN: 0251-286X Volume 21 No. 1 Edisi April 2013 Hal 1-9 PENGARUH POSISI UMPAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN BUBU LIPAT (Effect of bait position on catch of collapsible pot) Oleh: Dahri Iskandar

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

ANALISA VARIASI KARAKTER MORFOMETRIK DAN MERISTIK KEPITING BAKAU (Scylla spp.) DI PERAIRAN INDONESIA

ANALISA VARIASI KARAKTER MORFOMETRIK DAN MERISTIK KEPITING BAKAU (Scylla spp.) DI PERAIRAN INDONESIA ANALISA VARIASI KARAKTER MORFOMETRIK DAN MERISTIK KEPITING BAKAU (Scylla spp.) DI PERAIRAN INDONESIA PUPUT FITRI RACHMAWATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Tjardhana dan Purwanto,

Lebih terperinci

PENGARUH BENTUK DAN LETAK CELAH PELOLOSAN (Escape Gap) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR TERHADAP KELESTARIANSUMBERDAYA IKAN

PENGARUH BENTUK DAN LETAK CELAH PELOLOSAN (Escape Gap) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR TERHADAP KELESTARIANSUMBERDAYA IKAN PENGARUH BENTUK DAN LETAK CELAH PELOLOSAN (Escape Gap) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR TERHADAP KELESTARIANSUMBERDAYA IKAN Hadiah Witarani Puspa 1), T. Ersti Yulika Sari 2), Irwandy Syofyan 2) Email : hadiahwpuspa@gmail.com

Lebih terperinci

PENGGUNAAN BENTUK DAN POSISI CELAH PELOLOSAN PADA BUBU LIPAT KEPITING BAKAU. Shape and Position Escape Gap Application of Collapsible Mud Crab Trap

PENGGUNAAN BENTUK DAN POSISI CELAH PELOLOSAN PADA BUBU LIPAT KEPITING BAKAU. Shape and Position Escape Gap Application of Collapsible Mud Crab Trap Marine Fisheries ISSN 2087-4235 Vol. 4, No. 2, November 2013 Hal: 109-114 PENGGUNAAN BENTUK DAN POSISI CELAH PELOLOSAN PADA BUBU LIPAT KEPITING BAKAU Shape and Position Escape Gap Application of Collapsible

Lebih terperinci

STUDI BIOLOGI KEPITING DI PERAIRAN TELUK DALAM DESA MALANG RAPAT KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU

STUDI BIOLOGI KEPITING DI PERAIRAN TELUK DALAM DESA MALANG RAPAT KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU STUDI BIOLOGI KEPITING DI PERAIRAN TELUK DALAM DESA MALANG RAPAT KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU Rusmadi 1, Henky Irawan 2, Falmi Yandri 2 Mahasiswa 1, Dosen Pembimbing 2 Jurusan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

WAKTU PENANGKAPAN KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DI PERAIRAN LONTAR KABUPATEN SERANG BANTEN

WAKTU PENANGKAPAN KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DI PERAIRAN LONTAR KABUPATEN SERANG BANTEN WAKTU PENANGKAPAN KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DI PERAIRAN LONTAR KABUPATEN SERANG BANTEN (Mud Crab Fishing Time in Lontar Water Serang Regency Banten) Ririn Irnawati 1), Adi Susanto 1), Siti Lulu Ayu

Lebih terperinci

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T No.714, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN KP. Larangan. Pengeluaran. Ikan. Ke Luar. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/PERMEN-KP/2014 TENTANG LARANGAN

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai panjang garis pantai lebih kurang 114 km yang membentang

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai panjang garis pantai lebih kurang 114 km yang membentang 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indramayu merupakan salah satu kota di Jawa Barat yang mempunyai potensi perikanan dan kelautan yang cukup tinggi. Wilayah pesisir Indramayu mempunyai panjang

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian penangkapan rajungan dengan menggunakan jaring kejer dilakukan di perairan Gebang Kabupaten Cirebon, Jawa Barat (Lampiran 1 dan Lampiran 2). Penelitian

Lebih terperinci

JURNAL MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

JURNAL MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN JURNAL MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN Volume 5, Nomor 1, April 2009 VALUASI EKONOMI WISATA SANTAI BEACH DAN PENGARUHNYA DI DESA LATUHALAT KECAMATAN NUSANIWE STRUKTUR MORFOLOGIS KEPITING BAKAU (Scylla paramamosain)

Lebih terperinci

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan 29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kepiting Bakau 2.1.1 Klasifikasi Kepiting bakau mempunyai beberapa spesies antara lain Scylla serrata, Scylla transquebarica, dan Scylla oceanica (Kanna 2002). Menurut

Lebih terperinci

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU (Scylla serrata Forskal) DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU (Scylla serrata Forskal) DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU (Scylla serrata Forskal) DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG SS Oleh: Ennike Gusti Rahmi 1), Ramadhan Sumarmin 2), Armein Lusi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. daerah yang berlumpur dan pada ekosistem mangrove. Ikan gelodok hanya

TINJAUAN PUSTAKA. daerah yang berlumpur dan pada ekosistem mangrove. Ikan gelodok hanya 21 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Ikan gelodok adalah ikan yang hidup di habitat intertidal ditemukan di daerah yang berlumpur dan pada ekosistem mangrove. Ikan gelodok hanya ditemukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Udang adalah hewan kecil tak bertulang belakang (invertebrata) yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Udang adalah hewan kecil tak bertulang belakang (invertebrata) yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekologi Udang Udang adalah hewan kecil tak bertulang belakang (invertebrata) yang tempat hidupnya adalah di perairan air tawar, air payau dan air asin. Jenis udang sendiri

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Menurut klasifikasi Bleeker, sistematika ikan selanget (Gambar 1) adalah sebagai berikut (www.aseanbiodiversity.org) :

Lebih terperinci

PENGARUH BENTUK CELAH PELOLOSAN (ESCAPE GAP) PADA BUBU LIPAT TERHADAP HASIL TANGKAPAN KEPITING BAKAU (Scylla sp.) DI DESA MAYANGAN, KABUPATEN SUBANG

PENGARUH BENTUK CELAH PELOLOSAN (ESCAPE GAP) PADA BUBU LIPAT TERHADAP HASIL TANGKAPAN KEPITING BAKAU (Scylla sp.) DI DESA MAYANGAN, KABUPATEN SUBANG 1 PENGARUH BENTUK CELAH PELOLOSAN (ESCAPE GAP) PADA BUBU LIPAT TERHADAP HASIL TANGKAPAN KEPITING BAKAU (Scylla sp.) DI DESA MAYANGAN, KABUPATEN SUBANG RUSDI MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau I. PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia yakni 3,2 juta ha (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau besar mulai dari Sumatera,

Lebih terperinci

PENGARUH WAKTU PENANGKAPAN KEPITING BAKAU

PENGARUH WAKTU PENANGKAPAN KEPITING BAKAU PENGARUH WAKTU PENANGKAPAN KEPITING BAKAU (Scylla serrata) PADA BULAN TERANG DAN GELAP TERHADAP HASILTANGKAPAN BUBU DI MALIGI, KECAMATAN SASAK RANAH PESISIR KABUPATEN PASAMAN BARAT Yutra Nedi, Eni Kamal

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Lokasi Penelitian Cirebon merupakan daerah yang terletak di tepi pantai utara Jawa Barat tepatnya diperbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah. Lokasi penelitian

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rajungan merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia. Berdasarkan data ekspor impor Dinas Kelautan dan Perikanan Indonesia (2007), rajungan menempati urutan ke

Lebih terperinci

Terbuka lebar peluang ekspor dari budidaya belut

Terbuka lebar peluang ekspor dari budidaya belut Terbuka lebar peluang ekspor dari budidaya belut Karya Ilmiah Di susun oleh : Nama : Didi Sapbandi NIM :10.11.3835 Kelas : S1-TI-2D STMIK AMIKOM YOGYAKARTA TAHUN PELAJARAN 2010 / 2011 Abstrak Belut merupakan

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Secara ekologis ekosistem padang lamun di perairan pesisir dapat berperan sebagai daerah perlindungan ikan-ikan ekonomis penting seperti ikan baronang dan penyu, menyediakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN Latar Belakang

I PENDAHULUAN Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sumberdaya alam pesisir merupakan suatu himpunan integral dari komponen hayati (biotik) dan komponen nir-hayati (abiotik) yang dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae

II. TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Kelas : Pisces. Ordo : Ostariophysi. Famili : Clariidae 6 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Lele Klasifikasi lele menurut SNI (2000), adalah sebagai berikut : Filum: Chordata Kelas : Pisces Ordo : Ostariophysi Famili : Clariidae Genus : Clarias Spesies :

Lebih terperinci

Penanganan induk udang windu, Penaeus monodon (Fabricius, 1798) di penampungan

Penanganan induk udang windu, Penaeus monodon (Fabricius, 1798) di penampungan Standar Nasional Indonesia Penanganan induk udang windu, Penaeus monodon (Fabricius, 1798) di penampungan ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup...

Lebih terperinci

MODIFIKASI KONSTRUKSI PERANGKAP LIPAT UNTUK MENANGKAP KEPITING BAKAU MODIFICATION OF COLLAPSIBLE POT CONSTRUCTION TO CAPTURE MANGROVE CRABS

MODIFIKASI KONSTRUKSI PERANGKAP LIPAT UNTUK MENANGKAP KEPITING BAKAU MODIFICATION OF COLLAPSIBLE POT CONSTRUCTION TO CAPTURE MANGROVE CRABS MASPARI JOURNAL Januari 2015, 7(1): 79-90 MODIFIKASI KONSTRUKSI PERANGKAP LIPAT UNTUK MENANGKAP KEPITING BAKAU MODIFICATION OF COLLAPSIBLE POT CONSTRUCTION TO CAPTURE MANGROVE CRABS Gondo Puspito 1), Didin

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. : Kabupaten Brebes Propinsi Jawa Tengah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. : Kabupaten Brebes Propinsi Jawa Tengah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Keadaan Umum Gebang Mekar Kabupaten Cirebon merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Barat yang terletak pada garis lintang 06o30 LS 07o00 LS dan garis bujur 108o40 BT.

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

Akuatik Jurnal Sumberdaya Perairan 48 ISSN

Akuatik Jurnal Sumberdaya Perairan 48 ISSN Akuatik Jurnal Sumberdaya Perairan 48 Kajian Karakteristik Biometrika Kepiting Bakau (Scylla sp) di Kabupaten Pemalang, Studi kasus di Desa Mojo Kecamatan Ulujami Biometrical Characteristic Study of Mudcrab

Lebih terperinci

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN UDANG GALAH GI MACRO II

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN UDANG GALAH GI MACRO II KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/KEPMEN-KP/2014 TENTANG PELEPASAN UDANG GALAH GI MACRO II DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

II. Tinjuan Pustaka. A. Bulu Babi Tripneustes gratilla. 1. Klasifikasi dan ciri-ciri

II. Tinjuan Pustaka. A. Bulu Babi Tripneustes gratilla. 1. Klasifikasi dan ciri-ciri II. Tinjuan Pustaka A. Bulu Babi Tripneustes gratilla 1. Klasifikasi dan ciri-ciri Bulu babi Tripneustes gratilla termasuk dalam filum echinodermata dengan klasifikasi sebagai berikut (Anon 2011 ) : Kingdom

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut TINJAUAN PUSTAKA Hutan Manggrove Hutan mangrove oleh masyarakat Indonesia dan negara Asia Tenggara lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut Kusmana dkk (2003) Hutan mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagian besar wilayah di Indonesia adalah perairan, perairan tersebut berupa laut, sungai, rawa, dan estuari. Pertemuan antara laut dengan sungai disebut dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Holothuroidea merupakan salah satu kelompok hewan yang berduri atau

BAB I PENDAHULUAN. Holothuroidea merupakan salah satu kelompok hewan yang berduri atau 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN Holothuroidea merupakan salah satu kelompok hewan yang berduri atau berbintil yang termasuk dalam filum echinodermata. Holothuroidea biasa disebut timun laut (sea cucumber),

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. memberikan beberapa kontribusi penting bagi masyarakat Indonesia. sumber daya alam dan dapat dijadikan laboratorium alam.

BAB I PENDAHULUAN. memberikan beberapa kontribusi penting bagi masyarakat Indonesia. sumber daya alam dan dapat dijadikan laboratorium alam. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang secara geografis memiliki daerah pesisir yang sangat panjang. Di sepanjang daerah tersebut hidup beranekaragam biota laut (Jati dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Ekosistem mangrove di dunia saat ini diperkirakan tersisa 17 juta ha. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, 1998), yaitu

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 15 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Organ Pencernaan Ikan Kuniran Ikan kuniran merupakan salah satu jenis ikan demersal. Ikan kuniran juga merupakan ikan karnivora. Ikan kuniran memiliki sungut pada bagian

Lebih terperinci

IKAN HARUAN DI PERAIRAN RAWA KALIMANTAN SELATAN. Untung Bijaksana C / AIR

IKAN HARUAN DI PERAIRAN RAWA KALIMANTAN SELATAN. Untung Bijaksana C / AIR @ 2004 Untung Bijaksana Makalah Pengantar Falsafah Sains (PPS 702) Sekolah Pasca Sarjana / S3 Institut Pertanian Bogor September 2004 Dosen : Prof. Dr. Ir. Rudy C Tarumingkeng IKAN HARUAN DI PERAIRAN KALIMANTAN

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

MENENTUKAN TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPlTlNG BAKAU KAITANNYA DENGAN PERKEMBANGAH GAMET

MENENTUKAN TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPlTlNG BAKAU KAITANNYA DENGAN PERKEMBANGAH GAMET MENENTUKAN TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPlTlNG BAKAU Scy[la serrata ( FORSKAL ) SEGARA MORFOLOGIS DAN KAITANNYA DENGAN PERKEMBANGAH GAMET Olela TITIK RETNOWATI C 23.1695 JURUSAN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove bagi kelestarian sumberdaya perikanan dan lingkungan hidup memiliki fungsi yang sangat besar, yang meliputi fungsi fisik dan biologi. Secara fisik ekosistem

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Bioekologi Rajungan Klasifikasi lengkap dari rajungan menurut Stephanuson dan Chambel (1959) adalah sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Crustacea Ordo

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Salah satu hutan mangrove yang berada di perairan pesisir Jawa Barat terletak di Cagar Alam Leuweung Sancang. Cagar Alam Leuweung Sancang, menjadi satu-satunya cagar

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KECEPATAN MERAYAP KEPITING BAKAU (Scylla serrata) PADA BENTUK MATA JARING DAN SUDUT KEMIRINGAN YANG BERBEDA

IDENTIFIKASI KECEPATAN MERAYAP KEPITING BAKAU (Scylla serrata) PADA BENTUK MATA JARING DAN SUDUT KEMIRINGAN YANG BERBEDA Jurnal Ilmu Pertanian dan Perikanan Juni 2014 Vol. 3 No.1 Hal : 11-17 ISSN 2302-6308 Available online at: http://umbidharma.org/jipp IDENTIFIKASI KECEPATAN MERAYAP KEPITING BAKAU (Scylla serrata) PADA

Lebih terperinci

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI &[MfP $00 4 oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI RAJUNGAN (Portiinirspelngicus) DI PERAIRAN MAYANGAN, KABWATEN SUBANG, JAWA BARAT Oleh: DEDY TRI HERMANTO C02499072 SKRIPSI Sebagai Salah

Lebih terperinci

Induk udang rostris (Litopenaeus stylirostris) kelas induk pokok

Induk udang rostris (Litopenaeus stylirostris) kelas induk pokok Standar Nasional Indonesia Induk udang rostris (Litopenaeus stylirostris) kelas induk pokok ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup... 1 2 Acuan

Lebih terperinci

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M.

KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. KAJIAN REHABILITASI SUMBERDAYA DAN PENGEMBANGAN KAWASAN PESISIR PASCA TSUNAMI DI KECAMATAN PULO ACEH KABUPATEN ACEH BESAR M. MUNTADHAR SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 SURAT PERNYATAAN

Lebih terperinci

KEANEKARAGAMAN JENIS GASTROPODA DI HUTAN MANGROVE SEGORO ANAK BLOK BEDUL TAMAN NASIONAL ALAS PURWO SKRIPSI. Oleh : Saniatur Rahmah NIM.

KEANEKARAGAMAN JENIS GASTROPODA DI HUTAN MANGROVE SEGORO ANAK BLOK BEDUL TAMAN NASIONAL ALAS PURWO SKRIPSI. Oleh : Saniatur Rahmah NIM. KEANEKARAGAMAN JENIS GASTROPODA DI HUTAN MANGROVE SEGORO ANAK BLOK BEDUL TAMAN NASIONAL ALAS PURWO SKRIPSI Oleh : Saniatur Rahmah NIM. 071810401011 JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001).

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001). I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian mencakup kegiatan usahatani perkebunan, perhutanan, peternakan, dan perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan ragam. Dari sakala

Lebih terperinci