4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "4. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Komposisi Jumlah Kepiting Bakau Selama Penelitian Kepiting bakau (genus Scylla) yang diteliti selama bulan Juni 2008 hingga Mei 2009 berasal dari 14 daerah yang mencakup Pidie (Nangroe Aceh Darussalam), Bintan (Kep. Riau), Tanjung Jabung Timur (Jambi), Cilamaya (Karawang), Blanakan (Subang), Gebang dan Ambulu (Cirebon), Samarinda dan Pontianak (Kalimantan), Mataram (Nusa Tenggara Barat), Maros dan Bone (Sulawesi), Teluk Bintuni dan Jayapura (Papua). Kepiting bakau yang diperoleh selama penelitian berasal dari para nelayan setempat yang menangkap kepiting bakau dengan menggunakan alat tangkap pancing dan bubu. Lokasi penangkapan kepiting bakau berada di perairan hutan mangrove maupun di perairan pesisir yang berlokasi di sekitar perairan pada setiap lokasi penelitian. Pemilihan daerah penelitian berdasarkan lokasi sebaran hutan mangrove di Indonesia, dimana kepiting bakau menjalani sebagian besar daur hidupnya di ekosistem mangrove dan memanfaatkan ekosistem mangrove sebagai habitat alami utamanya, yakni sebagai tempat berlindung, mencari makan, dan pembesaran (Siahainenia 2008). Area hutan mangrove yang luas antara lain terdapat di pesisir Sumatera sebesar 19,7%, pesisir Kalimantan sebesar 26,2%, dan pesisir selatan Papua sebesar 30% (Pramudji 2004; Nontji 2007). Menurut Pramudji (2004) sebaran hutan mangrove mencakup hampir di seluruh wilayah Indonesia, mulai dari Sumatera (Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung), Jawa (DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur), Bali, Kalimantan (Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur), Nusa Tenggara (Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur), Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan), Maluku, serta Irian Jaya (Papua). Kepiting bakau yang diteliti berasal dari genus Scylla berjumlah 625 ekor, keseluruhan kepiting ini berasal dari 14 daerah penelitian yang telah ditentukan dan dapat dilihat pada Tabel 6.

2 34 Tabel 6. Jumlah kepiting bakau yang dikumpulkan selama penelitian. Jumlah data (ekor) No. Daerah Scylla spp. Scylla Scylla Scylla (gabungan ketiga spesies) serrata tranquebarica oceanica 1 Pidie Jambi Bintan Cilamaya Blanakan Gebang Ambulu Mataram Samarinda Pontianak Maros Bone Teluk Bintuni Jayapura Total Berdasarkan Tabel 6, jumlah sampel kepting bakau (Scylla spp.) tertinggi berasal dari Samarinda yaitu 98 ekor atau 15,68% dari jumlah total sampel, sedangkan jumah sampel terendahnya berasal dari Bintan yaitu 5 ekor atau 0,8% dari jumlah seluruh sampel. Persentase spesies yang paling banyak dikumpulkan selama penelitian ialah Scylla serrata, yaitu 36,64% dari jumlah total sampel, sedangkan persentase spesies yang paling sedikit dikumpulkan ialah Scylla tranquebarica, yaitu sebanyak 28,32% dari jumlah total sampel. Selanjutnya, persentase sampel Scylla oceanica yang diperoleh selama penelitian adalah 35,04% dari jumlah total sampel. Berdasarkan jumlah sampel yang paling banyak ditemukan di setiap lokasi penelitian, spesies Scylla serrata mendominasi di 5 lokasi, yaitu Jambi, Cilamaya, Ambulu, Maros, dan Bone. Sedangkan spesies Scylla tranquebarica mendominasi di 3 lokasi, yaitu Pidie, Blanakan, dan Mataram. Kemudian spesies Scylla oceanica mendominasi di 6 lokasi, yaitu Bintan, Samarinda, Pontianak, Teluk Bintuni, dan Jayapura. Jumlah sampel Scylla serrata terbanyak berasal dari Bone, yaitu sebanyak 55 ekor atau 24,02% dari jumlah total sampel S. serrata, sedangkan jumlah sampel terendah berasal dari Bintan dan Pontianak, dimana pada kedua lokasi tidak

3 35 ditemukan S. serrata pada saat pengambilan sampel. Selanjutnya, jumlah sampel S. tranquebarica terbanyak berasal dari Pidie, yaitu sebanyak 64 ekor atau 36,16% dari jumlah total sampel S. tranquebarica. Jumlah sampel S. tranquebarica terendah berasal dari Jambi, Bintan, Cilamaya, dan Ambulu, dimana pada keempat lokasi tersebut tidak ditemukan S. tranquebarica pada saat pengambilan sampel. Kemudian, jumlah sampel S.oceanica terbanyak berasal dari Samarinda yaitu 67 ekor atau 30,59% dari jumlah total sampel S. oceanica, sedangkan jumlah sampel terendahnya berasal dari Ambulu dan Cilamaya, dimana pada kedua lokasi tidak ditemukan S. oceanica pada saat pengambilan sampel. Tidak ditemukannya kepiting bakau dari setiap spesies di beberapa daerah penelitian bukan berarti kepiting tersebut tidak menempati habitat di daerah tersebut, karena distribusi sebaran kepiting bakau ketiga spesies tersebut mencakup hampir seluruh wilayah perairan Indonesia. Menurut Sulistiono et al. (1994) kepiting bakau ditemukan di perairan payau dan sebagian besar tertangkap di wilayah pesisir perairan Indonesia (Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya). Akan tetapi, tidak adanya beberapa spesies kepiting bakau di beberapa lokasi penelitian diduga oleh lokasi penangkapan kepiting bakau, karena para nelayan biasanya melakukan penangkapan di dua tempat, yaitu di perairan hutan mangrove dan di perairan pesisir yang berlokasi di sekitar perairan pada setiap lokasi penelitian. Hal tersebut berkaitan dengan habitat ketiga spesies kepiting bakau, di mana S. serrata biasanya berada di perairan hutan mangrove dengan cara meliang (burrow), sedangkan S. tranquebarica dan S. oceanica biasanya berada di perairan pesisir di sekitar area hutan mangrove. Menurut Moosa et al. (1985) jenis S. oceanica dan S. tranquebarica biasanya ditemukan pada perairan terbuka sedangkan jenis S. serrata ditemukan meliang di daerah mangrove Distribusi Frekuensi Panjang Karapas Setiap Spesies Kepiting Bakau Distribusi frekuensi panjang karapas dapat digunakan untuk mengetahui modus, ukuran karapas tertinggi dan terendah dari spesies kepiting bakau pada masing-masing daerah. Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanica yang diperoleh selama penelitian pada setiap daerah memiliki frekuensi yang berbeda-beda, dan dapat dilihat pada Gambar 13, 14, 15, dan Lampiran 6.

4 36 Selang kelas panjang karapas (mm) Bone Maros Pidi Jambi Cilamaya Blanakan Gebang Ambulu Mataram Samarinda Jayapura Teluk Bintuni Daerah penelitian Gambar 13. Distribusi frekuensi panjang karapas Scylla serrata berdasarkan lokasi pengambilan sampel. Selang kelas panjang karapas (mm) Pidi Blanakan Gebang Mataram Kalimantan Barat Daerah penelitian Samarinda Bone Maros Jayapura Teluk Bintuni Gambar 14. Distribusi frekuensi panjang karapas Scylla tranquebarica berdasarkan lokasi pengambilan sampel.

5 37 Selang kelas panjang karapas (mm) Samarinda Kalimantan Pidi Bintan Jambi Blanakan Gebang Mataram Bone Maros Jayapura Teluk Barat Bintuni Daerah penelitian Gambar 15. Distribusi frekuensi panjang karapas Scylla oceanica berdasarkan lokasi pengambilan sampel. Berdasarkan Gambar 13, terdapat 7 selang kelas panjang karapas Scylla serrata. Modus ukuran panjang karapas berada pada selang kelas mm, dengan frekuensi S. serrata tertinggi berasal dari daerah Bone yaitu 31 ekor. Ukuran panjang karapas terendah S. serrata adalah 34 mm yang berasal dari daerah Bone, sedangkan ukuran panjang karapas tertingginya adalah 107 mm yang berasal dari Teluk Bintuni. Kisaran ukuran panjang dan lebar karapas S. serrata di daerah Bone, Maros, Pidie, Jambi, dan Cilamaya berturut-turut ialah mm dan mm, mm dan mm, mm dan mm, mm dan mm, serta mm dan mm. Kemudian kisaran ukuran panjang dan lebar karapas S. serrata di daerah Blanakan, Gebang, Ambulu, dan Mataram berturut-turut adalah mm dan mm, mm dan mm, mm dan mm, serta mm dan mm. Selanjutnya S. serrata di daerah Samarinda, Jayapura, dan Teluk Bintuni berturut-turut memiliki kisaran ukuran panjang dan lebar karapas sebesar mm dan mm, mm dan mm, serta mm dan mm.

6 38 Berdasarkan kisaran ukuran panjang karapas di setiap daerah, dapat diketahui bahwa Scylla serrata yang berasal dari Teluk Bintuni memiliki ukuran lebar karapas tertinggi, sedangkan ukuran lebar karapas terendah berasal dari daerah Bone. Ukuran lebar karapas yang bervariasi ini diduga dipengaruhi oleh waktu penangkapan yang berhubungan dengan proses reproduksi, dimana proses reproduksi kepiting bakau di daerah tropik berlangsung sepanjang tahun dan puncaknya pada musim hujan. Hal ini disebabkan oleh produktivitas perairan pesisir yang tinggi terjadi pada saat musim hujan (Heasman et al in Le Vay 2001). Waktu penangkapan S. serrata di wilayah Cilamaya, Blanakan, Gebang, Ambulu, Jambi, Teluk Bintuni, dan Jayapura berkisar pada bulan Juli-November Selanjutnya waktu penangkapan S. serrata di wilayah Pidie, Maros, Bone, dan Mataram berkisar pada bulan Februari hingga Maret Kathirvel dan Srinivasagam (1992) in Le Vay (2001) menyatakan bahwa kepiting bakau di India memijah sepanjang tahun, dengan puncak musim matang gonad pada bulan April-Juni dan September-Februari serta memiliki ukuran lebar karapas yang berkisar di antara mm. Selain itu, proses rekruitmennya pun berlangsung sepanjang tahun, dengan puncak pada bulan Desember-Oktober. Berdasarkan hal di atas, S. serrata yang berasal dari Teluk Bintuni dan Jayapura yang ditangkap pada bulan September dan November, dimana pada bulanbulan tersebut sedang musim hujan, diduga sedang mengalami proses matang gonad atau akan memijah sehingga memiliki ukuran panjang dan lebar karapas yang besar. Sedangkan S. serrata yang berada di daerah Cilamaya, Blanakan, Gebang, Ambulu, dan Jambi yang ditangkap pada bulan Juli-Agustus 2008 dan S. serrata yang berasal dari Pidie, Maros, Bone, dan Mataram, yang ditangkap pada bulan Februari-Maret 2009, diduga sedang mengalami proses rekruitmen sehingga ukuran panjang dan lebar karapasnya tergolong kecil. Berdasarkan Gambar 14, terdapat 6 selang kelas panjang karapas Scylla tranquebarica. Modus ukuran panjang karapas berada pada selang kelas mm, dengan frekuensi S. tranquebarica tertinggi berasal dari daerah Samarinda yaitu 21 ekor. Ukuran panjang karapas terendah S. tranquebarica adalah 41 mm yang berasal dari daerah Pidie, sedangkan ukuran panjang karapas tertingginya adalah 115 mm yang berasal dari Teluk Bintuni.

7 39 Kisaran ukuran panjang dan lebar karapas S. tranquebarica di daerah Pidie, Blanakan, Gebang, Mataram, dan Pontianak berturut-turut ialah mm dan mm, mm dan mm, mm dan mm, mm dan mm, serta 99 mm dan 144 mm. Kemudian kisaran ukuran panjang dan lebar karapas S. tranquebarica di daerah Samarinda, Bone, dan Maros berturut-turut adalah mm dan mm, mm dan mm, serta mm dan mm. Selanjutnya S. tranquebarica di daerah Jayapura dan Teluk Bintuni memiliki ukuran panjang dan lebar karapas sebesar 90 mm dan 132 mm serta mm dan mm. Berdasarkan kisaran ukuran panjang karapas di setiap daerah, dapat diketahui bahwa Scylla tranquebarica yang berasal dari Teluk Bintuni memiliki ukuran lebar karapas tertinggi, sedangkan ukuran lebar karapas terendah berasal dari daerah Pidie. Ukuran lebar karapas yang bervariasi ini diduga dipengaruhi oleh waktu penangkapan yang berhubungan dengan proses reproduksi. Waktu penangkapan S. tranquebarica di daerah Jayapura dan Teluk Bintuni berkisar pada bulan September- November Kemudian waktu penangkapan di daerah Pidie, Maros, Bone, Pontianak, Samarinda, Mataram, Blanakan, dan Gebang berkisar pada bulan Februari-Mei Waktu penangkapan tersebut berhubungan dengan proses reproduksi kepiting bakau, dimana reproduksi kepiting bakau di daerah tropik berlangsung sepanjang tahun dan puncaknya pada musim hujan. Hal ini disebabkan oleh produktivitas perairan pesisir yang tinggi terjadi pada saat musim hujan (Heasman et al in Le Vay 2001). Selanjutnya Le Vay et al. (pers. obs.) in Le Vay (2001) menyatakan bahwa kepiting bakau S. tranquebarica di Vietnam memijah sepanjang tahun, dengan puncak musim matang gonad pada bulan September-Oktober. Selain itu S. tranquebarica di Jawa bagian Utara memiliki ukuran lebar karapas yang berkisar di antara mm pada saat matang gonad dan proses rekruitmennya pun berlangsung sepanjang tahun. Berdasarkan hal di atas, S. tranquebarica yang berasal dari Teluk Bintuni dan Jayapura yang ditangkap pada bulan September dan November, dimana pada bulanbulan tersebut sedang musim hujan, diduga sedang mengalami proses matang gonad atau akan memijah sehingga memiliki ukuran panjang dan lebar karapas yang besar. Kemudian S. tranquebarica yang berada di daerah Pidie, Maros, Bone, Kalimantan

8 40 Barat, Samarinda, Mataram, Blanakan, dan Gebang yang ditangkap pada bulan Februari-Mei 2009, diduga sedang mengalami proses rekruitmen sehingga ukuran panjang dan lebar karapasnya tergolong kecil. Berdasarkan Gambar 15, terdapat 6 selang kelas panjang karapas Scylla oceanica. Modus ukuran panjang karapas berada pada selang kelas mm, dengan frekuensi S. oceanica tertinggi berasal dari daerah Samarinda yaitu 45 ekor. Ukuran panjang karapas terendah S. oceanica adalah 41 mm yang berasal dari daerah Pidie, sedangkan ukuran panjang karapas tertingginya adalah 115 mm yang berasal dari Jayapura. Kisaran ukuran panjang dan lebar karapas S. oceanica di daerah Samarinda, Pontianak, Pidie, Bintan, dan Blanakan berturut-turut ialah mm dan mm, mm dan mm, mm dan mm, mm dan mm, serta mm dan mm. Kemudian kisaran ukuran panjang karapas dan lebar karapas S. oceanica di daerah Gebang, Mataram, Bone, dan Maros berturut-turut adalah mm dan mm, mm dan mm, mm dan mm, serta mm dan mm. Selanjutnya S. oceanica di daerah Jayapura dan Teluk Bintuni memiliki kisaran ukuran panjang dan lebar karapas sebesar mm dan mm serta mm dan mm. Berdasarkan kisaran ukuran panjang karapas di setiap daerah, dapat diketahui bahwa Scylla oceanica yang berasal dari Jayapura memiliki ukuran lebar karapas tertinggi, sedangkan ukuran lebar karapas terendah berasal dari daerah Pidie. Ukuran lebar karapas yang bervariasi ini diduga dipengaruhi oleh waktu penangkapan yang berhubungan dengan proses reproduksi. Waktu penangkapan S. oceanica di daerah Jambi, Samarinda, Jayapura dan Teluk Bintuni berkisar pada bulan Agustus-Desember 2008, serta Maret dan Mei 2009 untuk daerah Samarinda dan Teluk Bintuni (pengambilan sampel kedua kali di kedua lokasi tersebut). Kemudian waktu penangkapan di daerah Bintan, Pidie, Maros, Bone, Pontianak, Mataram, Blanakan, dan Gebang berkisar pada bulan Januari-Mei Waktu penangkapan tersebut berhubungan dengan proses reproduksi kepiting bakau, dimana reproduksi kepiting bakau di daerah tropik berlangsung sepanjang tahun dan puncaknya pada musim hujan. Hal ini disebabkan oleh produktivitas perairan

9 41 pesisir yang tinggi terjadi pada saat musim hujan (Heasman et al in Le Vay 2001). Berdasarkan hal di atas, S. oceanica yang berasal dari Jambi yang ditangkap pada tanggal 31 Agustus 2008, Jayapura yang ditangkap pada bulan September, Samarinda yang ditangkap pada bulan November 2008, serta Teluk Bintuni yang ditangkap pada bulan November-Desember 2008, dimana pada bulan-bulan tersebut sedang musim hujan, diduga sedang mengalami proses matang gonad atau akan memijah sehingga memiliki ukuran panjang dan lebar karapas yang besar. Kemudian S. oceanica yang berada di daerah Bintan, Pidie, Maros, Bone, Pontianak, Samarinda, Teluk Bintuni, Mataram, Blanakan, dan Gebang yang ditangkap pada bulan Januari-Mei 2009, diduga sedang mengalami proses rekruitmen sehingga ukuran panjang dan lebar karapasnya tergolong kecil. Selanjutnya berdasarkan distribusi frekuensi panjang dan lebar karapas dari ketiga spesies kepiting bakau pada masing-masing daerah, dapat diketahui bahwa ukuran panjang dan lebar karapas tertinggi berasal dari spesies Scylla oceanica dengan selang kelas panjang karapas mm, sedangkan ukuran terendah berasal dari spesies Scylla serrata dengan selang kelas panjang karapas mm. Kemudian, berdasarkan perbandingan ukuran panjang dan lebar karapas pada masing-masing daerah, dapat diketahui bahwa Teluk Bintuni memiliki ukuran panjang dan lebar karapas kepiting bakau yang tertinggi. Hal tersebut erat kaitannya dengan kondisi habitat dan kelimpahan makanan yang akan mempengaruhi pertumbuhan kepiting bakau, di mana kondisi hutan mangrove di Teluk Bintuni masih lebat dan bagus, serta belum banyak campur tangan manusia. Sehingga keadaan tersebut mempengaruhi kelimpahan makanannya. Menurut Pramudji (2004) Pulau Papua memiliki banyak aliran sungai besar dan panjang dengan tipe delta beragam sebagai akibat dari arus sungai yang membawa materi ke muara. Keadaan tersebut mengakibatkan tingginya kelimpahan makanan di muara sungai yang merupakan area hutan mangrove dan habitat kepiting bakau Identifikasi Karakter Morfologi Hingga saat ini, pada pelaksanaan proses identifikasi dan klasifikasi kepiting bakau masih terdapat perdebatan di antara para ahli mengenai pembagian jumlah

10 42 spesies kepiting bakau. Menurut Stephenson & Campbell (1960) in Fushimi & Watanabe (2001) keempat spesies kepiting bakau tersebut merupakan satu spesies kepiting bakau berdasarkan kesimpulan yang diambil dari sampel yang berasal dari Queensland dan New South Wales (Australia). Stephenson dan Campbell menduga bahwa perbedaan karakter morfologis tersebut diperoleh dari perbedaan lingkungan habitat kepiting bakau. Akan tetapi Stephenson dan Campbell tidak secara spesifik menyebutkan kondisi lingkungan yang dapat membuat perbedaan morfologi dari ketiga spesies kepiting bakau tersebut. Sedangkan menurut Estampador (1949) in Fushimi & Watanabe (2001) kepiting bakau diklasifikasikan menjadi tiga spesies dan satu varietas, yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, Scylla oceanica, dan Scylla serrata var. paramamosain dengan menggunakan spesimen yang dikumpulkan dari Filipina berdasarkan perbedaan morfologi eksternal (warna karapas dan pleopod, gigi anterolateral pada karapas, dan duri luar pada cheliped carpus). Selanjutnya terdapat ahli lainnya, yaitu Fuseya (1998) in Fushimi & Watanabe (2001) yang melakukan analisis morfometrik antar spesies pada genus Scylla yang berasal dari daerah sebaran geografis kepiting bakau yang luas. Fuseya pun melakukan uji karakteristik morfologi pada pleopod pertama dan kedua dari kepiting bakau jantan. Berdasarkan analisisnya, spesies Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanica benar-benar dapat dibedakan dan karaketristik morfologi yang telah ditemukan dari ketiga spesies tersebut sesuai dengan deskripsi yang dijabarkan oleh Estampador. Kemudian dilakukan penelitian genetika kepiting bakau di mana informasi genetik merupakan hal penting dalam mengindentifikasi ketiga spesies kepiting bakau dari genus Scylla. Pada bulan Juni 1994 hingga Mei 1995, Fuseya dan Watanabe (1996) in Fushimi & Watanabe (2001) telah mengumpulkan dan mengindentifikasi 342 kepiting bakau yang berasal dari 7 lokasi (Danau Hamana dan Okinawa (Jepang), Bali dan Cilacap (Indonesia), Chantaburi dan Surat Thani (Thailand), dan Madagaskar). Fuseya dan Watanabe mengklasifikasi kepiting bakau menjadi 3 spesies, yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanica, berdasarkan klasifikasi Estampador. Keenan et al. (1998) in Watanabe et al. (2002) melakukan revisi spesies kepiting bakau menjadi empat spesies. Hal ini berdasarkan analisis mt-dna

11 43 kepiting bakau yang menyatakan bahwa terdapat empat spesies dalam genus Scylla, yaitu S. serrata (S. oceanica Estampador), S. olivacea (S. serrata Estampador), S. tranquebarica (S. serrata var. paramamosain Estampador), serta S. paramamosain (S. tranquebarica Estampador). Akan tetapi Klinbunga et al. (2000) in Watanabe et al. (2002) melakukan riset genetika terhadap kepiting bakau yang berasal dari Thailand dan menyatakan bahwa terdapat tiga spesies kepiting bakau dengan menggunakan analisis RAPD dari genomik DNA kepiting bakau. Ketiga spesies tersebut adalah Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanica berdasarkan kriteria Estampador. Berdasarkan riset para ahli di atas, Penulis menggunakan identifikasi dan klasifikasi berdasarkan Estampador pada tahun 1949, yaitu Scylla serrata: duri frontal margin tumpul berukuran sama dan duri anterolateral berjumlah 9 dengan gigi yang bergerigi tajam dan berukuran sama. Scylla tranquebarica: duri frontal margin tajam dengan duri berukuran sama dan duri anterolateral berjumlah 9 dengan gigi yang bergerigi tajam dan berduri. Scylla oceanica: duri frontal margin tajam berukuran sama dan duri anterolateral berjumlah 9 dengan gigi yang bergerigi tajam. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh identifikasi karakter morfologis untuk membedakan ketiga jenis kepiting bakau, yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanica berdasarkan warna karapas, bentuk alur H, bentuk duri frontal margin, duri pada cheliped carpus (inner carpal), serta corak pada pleopod masingmasing spesies Scylla serrata Menurut Estampador (1949) in Kathirvel & Srinivasagam (1992) Scylla serrata termasuk ke dalam kelompok Mamosain, di mana spesies tersebut hidup meliang di area hutan mangrove, berwarna coklat kehitaman, dan tidak memiliki corak pada pleopodnya. Sedangkan menurut Kathirvel & Srinivasagam (1992) Scylla serrata memiliki warna karapas coklat kemerahan dengan bentuk alur H tidak dalam dan tidak memiliki corak pada pleopodnya. Berdasarkan hasil penelitian pada Gambar 16, diketahui bahwa Scylla serrata memiliki warna karapas coklat kehitam-hitaman dengan bentuk alur H pada karapas tidak dalam. Menurut Moosa et al. (1985) S. serrata termasuk kelompok yang

12 44 berwarna dasar hijau-merah-kecoklatan. Warna karapas pada S. serrata berhubungan dengan habitatnya, yaitu hidupnya meliang di daerah mangrove (Moosa et al. (1985); Kathirvel & Srinivasagam (1992)). Bentuk duri frontal margin tumpul dan duri inner carpal (duri pada cheliped carpus) berjumlah satu dan tidak tumpul serta pleopod pada S. serrata tidak bercorak. Estampador (1949) in Siahainenia (2008) menyatakan bahwa Scylla serrata memiliki warna karapas coklat merah seperti karat dengan bentuk alur H pada karapas tidak dalam, memiliki bentuk duri depan (frontal margin) tumpul, serta tidak memiliki duri pada fingerjoint (duri pada cheliped carpus) yang berubah menjadi vestigial. Gambar 16. Scylla serrata (jantan) Scylla tranquebarica Menurut Estampador (1949) in Kathirvel & Srinivasagam (1992) Scylla tranquebarica termasuk ke dalam kelompok Banhawin, di mana spesies tersebut

13 45 berenang bebas di sekitar perairan pesisir, berwarna hijau, dan memiliki corak pada pleopodnya. Begitu pula dengan Scylla oceanica, kedua spesies ini memiliki ciriciri yang hampir mirip, kecuali pada bagian alur H dan duri pada cheliped carpus, dapat dilihat pada Gambar 17. Gambar 17. Scylla tranquebarica (jantan). Berdasarkan hasil penelitian, pada Gambar 17, terlihat bahwa Scylla tranquebarica memiliki warna karapas coklat kehijau-hijauan dengan bentuk alur H pada karapas dalam. Bentuk duri frontal margin tajam dan duri inner carpal (duri pada cheliped carpus) berjumlah dua dengan salah satu duri berduri tajam, sedangkan duri lainnya agak tumpul serta pleopod pada S. tranquebarica bercorak. Estampador (1949) in Siahainenia (2008) menyatakan bahwa Scylla tranquebarica memiliki warna karapas hijau buah zaitun dengan bentuk alur H pada karapas dalam, memiliki bentuk duri depan (frontal margin) tajam, serta bentuk kedua duri pada fingerjoint (duri pada cheliped carpus) jelas, dimana salah satunya agak tumpul. Moosa et al. (1985) menyatakan bahwa kepiting bakau genus Scylla

14 46 di Indonesia memiliki dua warna dasar berbeda, yaitu yang termasuk warna kehijauan atau hijau keabuan (S. oceanica dan S. tranquebarica) serta kelompok yang berwarna dasar hijau-merah-kecoklatan (S. serrata dan S. serrata var. paramamosain). Jenis S. oceanica dan S. tranquebarica biasanya ditemukan pada perairan terbuka Scylla oceanica Menurut Estampador (1949) in Kathirvel & Srinivasagam (1992) Scylla oceanica termasuk ke dalam kelompok Banhawin, sama halnya dengan Scylla tranquebarica, di mana spesies tersebut berenang bebas di sekitar perairan pesisir, berwarna hijau, dan memiliki corak pada pleopodnya. Sedangkan menurut Kathirvel & Srinivasagam (1992) Scylla oceanica memiliki warna karapas hijau keabu-abuan, dengan bentuk alur H yang dalam, serta memiliki corak pada kaki jalan dan pleopodnya, dapat dilihat pada Gambar 18. Gambar 18. Scylla oceanica (jantan)

15 47 Berdasarkan hasil penelitian, pada Gambar 18, terlihat bahwa Scylla oceanica memiliki warna karapas coklat kehijau-hijauan dengan bentuk alur H pada karapas dalam. Bentuk duri frontal margin tajam dan duri inner carpal (duri pada cheliped carpus) berjumlah dua dan berduri tajam serta pleopod pada Scylla oceanica bercorak. Hal di atas sesuai dengan deksripsi yang dijelaskan oleh Moosa et al. (1985). Estampador (1949) in Siahainenia (2008) menyatakan bahwa Scylla oceanica memiliki warna karapas hijau keabu-abuan dengan bentuk alur H pada karapas dalam, memiliki bentuk duri depan (frontal margin) tajam, serta memiliki bentuk duri pada fingerjoint (duri pada cheliped carpus) keduanya tajam Pola Pertumbuhan Kepiting Bakau Pertumbuhan didefinisikan sebagai peningkatan panjang, volume, dan bobot terhadap perubahan waktu (Hartnoll 1982 in Anggraini 1991). Di dalam manajemen sumberdaya perikanan, analisis pertumbuhan digunakan untuk meramalkan ukuran rata-rata biota di suatu populasi pada waktu tertentu dan untuk membandingkan kondisi biota di daerah perikanan yang berbeda atau pada daerah yang sama dengan strategi manejemen yang berbeda. Organisme yang tidak mempunyai kerangka luar (eksoskeleton), ukuran panjang berubah secara kontinu. Akan tetapi pada Crustacea yang memiliki kerangka luar, terutama kepiting bakau, pertumbuhan menjadi suatu proses yang diskontinu. Di dalam fase pertumbuhan kepiting bakau, terdapat suatu rangkaian lepas cangkang (molt atau ecdysis) yang dipisahkan oleh suatu rangkaian antar ganti cangkang (intermolt). Pada saat fase antar ganti cangkang, karapas tubuh menjadi keras dan pertumbuhan terbatas sedangkan pada saat fase lepas cangkang, karapas yang lama dilepaskan sehingga penambahan pertumbuhan terjadi sangat cepat dengan periode waktu yang relatif pendek sebelum karapas yang baru menjadi keras. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pada crustacea meliputi dua faktor, yaitu instrinsik dan ekstrinsik. Faktor instrinsik meliputi ukuran, jenis kelamin, tingkat kedewasaan, dan cacat tubuh. Sedangkan yang termasuk ke dalam faktor ekstrinsik adalah ketersediaan makanan, suhu lingkungan, dan parasit (Hartnoll 1982 in Anggraini 1991).

16 48 Kajian pertumbuhan masing-masing spesies kepiting bakau di beberapa daerah yang meliputi hubungan lebar karapas-berat dan hubungan lebar karapas-panjang karapas dapat dilihat pada Tabel 7, 8, 9 serta Gambar 19, 20, dan 21. Di bawah ini merupakan hasil regresi hubungan hubungan lebar karapas-berat dan hubungan lebar karapas-panjang karapas dari Scylla serrata yang berasal dari 11 daerah penelitian yang ditunjukkan oleh Tabel 7 dan Gambar 19. Tabel 7. Hasil regresi hubungan lebar karapas-berat Scylla serrata. Lokasi Jumlah (ekor) Ukuran lebar karapas (mm) Lebar karapas-berat Regresi Lebar karapas-panjang karapas R 2 r b R 2 r b Pidie Jambi Cilamaya * Blanakan * Gebang * Ambulu * Mataram Bone * Maros * Teluk Bintuni Jayapura Keterangan: * setelah dilakukan uji-t, tolak H 0 Berdasarkan Tabel 7, pada hubungan lebar karapas-berat, terlihat bahwa sebagian besar pola pertumbuhan Scylla serrata di beberapa daerah ialah pola pertumbuhan allometrik positif, artinya pertambahan berat tubuh lebih dominan dibandingkan pertambahan lebar karapas. Sama halnya dengan pola pertumbuhan kepiting bakau menurut Hartnoll (1982) di mana pola pertumbuhannya ialah allometrik. Akan tetapi terdapat beberapa S. serrata yang memiliki pola pertumbuhan isometrik, di mana pertambahan lebar karapas sama dengan dibandingkan pertambahan berat. Selanjutnya berdasarkan hasil regresi lebar karapas dan berat, diperoleh nilai koefisien determinasi (R 2 ) yang bervariasi pada setiap lokasi penelitian, di mana nilai R 2 tertinggi berasal dari Maros, yaitu sebesar 0,913 artinya model regresi tersebut dapat menjelaskan model yang sebenarnya di alam sebesar 91,3%.

17 Frequency Nilai b Gambar 19. Grafik sebaran nilai b Scylla serrata. Mean = Std. Dev. = N =11 Berdasarkan pada Gambar 19, diketahui bahwa nilai b yang berasal dari hubungan lebar karapas-berat memiliki distribusi yang normal dengan nilai rata-rata b sebesar 2,2128. Selanjutnya di bawah ini merupakan hasil regresi hubungan lebar karapas-berat dan hubungan lebar karapas-panjang karapas dari Scylla tranquebarica yang berasal dari 8 daerah penelitian yang ditunjukkan oleh Tabel 8 dan Gambar 20. Tabel 8. Hasil regresi hubungan lebar karapas-berat Scylla tranquebarica. Lokasi Jumlah (ekor) Ukuran lebar karapas (mm) Lebar karapas-berat Regresi Lebar karapas-panjang karapas R 2 r b R 2 r b Pidi * Blanakan Gebang * Mataram * Samarinda * Maros * Bone * Teluk Bintuni * Keterangan: * setelah dilakukan uji-t, tolak H 0

18 50 Berdasarkan Tabel 8, pada hubungan lebar karapas-berat, terlihat bahwa sebagian besar pola pertumbuhan Scylla tranquebarica di beberapa daerah memiliki pola pertumbuhan allometrik positif, akan tetapi S. tranquebarica di Blanakan memiliki pola pertumbuhan isometrik. Menurut Hartnoll (1982) hubungan lebar karapas-berat pada kepiting dipengaruhi oleh pertumbuhan allometrik. Selanjutnya berdasarkan hasil regresi lebar karapas dan berat, diperoleh nilai koefisien determinasi (R 2 ) yang bervariasi pada setiap lokasi penelitian, di mana nilai R 2 tertinggi berasal dari Bone, yaitu sebesar 0,983 artinya model regresi tersebut dapat menjelaskan model yang sebenarnya di alam sebesar 98,3%. 3 2 Frequency Mean = Std. Dev. = N =8 Nilai b Gambar 20. Grafik sebaran nilai b Scylla tranquebarica. Kemudian berdasarkan pada Gambar 20, terlihat bahwa nilai b yang berasal dari hubungan lebar karapas-berat memiliki distribusi yang normal dengan nilai ratarata b sebesar 2,7209. Selanjutnya di bawah ini merupakan hasil regresi hubungan hubungan lebar karapas-berat dan hubungan lebar karapas-panjang karapas dari Scylla oceanica yang berasal dari 11 daerah penelitian yang ditunjukkan oleh Tabel 9 dan Gambar 21.

19 51 Tabel 9. Hasil regresi hubungan lebar karapas-berat Scylla oceanica. Lokasi Jumlah (ekor) Ukuran lebar karapas (mm) Lebar karapas-berat Regresi Lebar karapas-panjang karapas R 2 r b R 2 r b Pidie Jambi Blanakan * Gebang * Mataram Samarinda * Pontianak * Maros * Bone * Teluk Bintuni * Jayapura * Keterangan: * setelah dilakukan uji-t, tolak H Frequency Nilai b Gambar 21. Grafik sebaran nilai b Scylla oceanica. Mean = Std. Dev. = N =11 Berdasarkan Tabel 9, pada hubungan lebar karapas-berat, sebagian besar Scylla oceanica memiliki pola pertumbuhan allometrik positif, artinya pertambahan berat tubuh lebih dominan dibandingkan pertambahan lebar karapas. Akan tetapi, S. oceanica yang berasal dari Pidie, Jambi, dan Mataram memiliki pola pertumbuhan isometrik, artinya pertambahan lebar karapas sama dengan pertambahan berat.

20 52 Menurut Hartnoll (1982) hubungan lebar karapas-berat pada kepiting dipengaruhi oleh pertumbuhan allometrik. Kemudian berdasarkan hasil regresi lebar karapas dan berat, diperoleh nilai koefisien determinasi (R 2 ) yang bervariasi pada setiap lokasi penelitian, di mana nilai R 2 tertinggi berasal dari Gebang, yaitu sebesar 0,967 artinya model regresi tersebut dapat menjelaskan model yang sebenarnya di alam sebesar 96,7%. Selanjutnya pada Gambar 21 terlihat bahwa nilai b yang berasal dari hubungan lebar karapas-berat S. oceanica memiliki distribusi yang normal dengan nilai rata-rata b kurang dari 3, yaitu 2, Analisis Komponen Utama (AKU) dan Hubungan Kekerabatan Genus Scylla Analisis Komponen Utama (AKU) atau Principal Component Analysis (PCA) digunakan untuk mereduksi banyaknya peubah (variabel) yang digunakan dalam sejumlah data hingga mendapatkan suatu komponen utama yang dapat menggambarkan sebagian besar informasi yang diukur menggunakan keragaman total yang terkandung di dalam sejumlah variabel. Variabel yang digunakan dalam AKU hanya 10 karakter morfometrik kepiting bakau Scylla spp. yang meliputi panjang karapas (P), lebar karapas (L), berat tubuh (B), tinggi tubuh (T), panjang duri orbital pada frontal margin (P.orb), panjang cheliped sebelah kanan dan kiri (PCR dan PCL), panjang profundus sebelah kanan dan kiri (PPR dan PPL), serta tinggi cheliped sebelah kanan dan kiri (TCR dan TCL). Karakter meristik yang meliputi jumlah duri frontal margin (SO), jumlah duri anterolateral sebelah kiri dan kanan (SCL dan SCR) tidak digunakan dalam AKU, hal tersebut dikarenakan jumlah duri dari ketiga karakter meristik hampir sama pada setiap sampel kepiting sehingga memiliki keragaman yang mendekati nol Scylla serrata Berdasarkan hasil perhitungan Principal Component Analysis (PCA) atau Analisis Komponen Utama (AKU), diperoleh satu komponen utama pertama (first component) yang dapat menggambarkan 91,3% terhadap total keragaman semua variabel karakter morfometrik. Komponen utama tersebut diperoleh berdasarkan

21 53 eigen value (akar ciri pertama) sebesar 10,041 yang juga merupakan ragam komponen utama. Selain itu diperoleh nilai vektor ciri yang merupakan koefisien komponen utama dari seluruh karakter morfometrik S. serrata yang dapat menggambarkan secara umum karakter morfometriknya. Nilai dari vektor ciri tersebut adalah PC1 = 0,295P + 0,289L + 0,294T + 0,302B + 0,290P.orb + 0,311Pcr + 0,302Ppr + 0,306Tcr + 0,311Pcl + 0,302Ppl + 0,314Tcl. Berdasarkan nilai vektor ciri komponen utama pertama, terlihat bahwa nilai setiap karakter morfometrik S. serrata bernilai positif artinya keseluruhan karakter morfometrik di atas dapat digambarkan oleh komponen utama pertama. Akan tetapi terdapat satu karakter yang paling berpengaruh pada AKU, yaitu tinggi chela sebelah kiri (TCL), hal ini dikarenakan karakter tersebut memiliki hubungan korelasi paling dekat dengan komponen utama pertama. Kemudian, terdapat komponen utama kedua (second component) yang dapat menggambarkan 5,1% terhadap total keragaman seluruh karakter morfometrik S. serrata dan memiliki eigen value (nilai akar ciri atau ragam) sebesar 0,563. Berdasarkan besaran persentase total keragaman dari dua komponen utama diperoleh satu komponen utama, yaitu komponen utama pertama yang dapat menggambarkan hampir secara keseluruhan informasi dari karakter morfometrik S. serrata yang bernilai 91,3% dibandingkan dengan komponen utama kedua yang bernilai 5,1%. Selanjutnya berdasarkan analisis komponen utama, diperoleh grafik score plot yang dapat menggambarkan penggerombolan S. serrata menurut lokasi penelitian. Penggerombolan tersebut dapat dilihat pada Gambar 22, yang menampilkan kemiripan Scylla serrata di setiap daerah, dimana garis berwarna merah menggambarkan kemiripan S. serrata antar lokasi yang memiliki jarak yang lebih dekat dan garis berwarna biru menggambarkan suatu kelompok yang lebih besar Scylla serrata di beberapa lokasi penelitian memiliki perbedaan pada karakter morfometriknya. Hal ini terlihat dari kelompok-kelompok kecil (garis berwarna merah) pada Gambar 22, misalnya S. serrata yang berasal dari Blanakan memiliki kemiripan dengan yang berasal dari Samarinda dan Mataram tetapi berbeda dengan S. serrata yang berasal dari Jambi dan Ambulu. Menurut Overton et al. (1997) terjadinya perbedaan karakter morfometrik pada kepiting bakau disebabkan oleh

22 54 adanya pengaruh lingkungan perairan di sekitar hutan mangrove yang dapat mempengaruhi sifat fenotip dari kepiting bakau. Selain itu, faktor suhu pun dapat menjadi salah satu variabel yang mempengaruhi karakteristik morfometrik kepiting bakau walaupun terpisah oleh jarak geografi yang jauh karena suhu dapat mempengaruhi iklim pada suatu daerah. Hal ini pun berlaku pada kepiting bakau jenis S. tranquebarica dan S. oceanica. Gambar 22. Grafik score plot Scylla serrata. Overton et al. (1997) menyatakan terdapat perbedaan kepiting bakau yang berasal dari empat lokasi di Asia Tenggara, yaitu Klong Ngao, Ranong, Thailand; Teluk Ban Don, Surat Thani, Thailand; Can Gio, Vietnam Selatan; serta Sematan, Sarawak, Malaysia Timur. Kepiting bakau yang diteliti memiliki dua sifat fenotif, yaitu kepiting bakau tipe black dan white berdasarkan nama lokalnya. Khusus kepiting bakau yang berasal dari Teluk Ban Don terdapat kedua jenis kepiting ( black dan white) yang simpatrik, artinya kedua jenis kepiting tersebut hidup dalam habitat yang sama tetapi tidak melakukan perkawinan antar spesies. Berdasarkan keempat lokasi tersebut, diketahui terdapat tiga kelompok berbeda berdasarkan kemiripan karakter pada masing-masing lokasi. Kepiting bakau yang berasal dari Klong Ngao (Thailand) memiliki kemiripan dengan kepiting bakau dari

23 55 Sematan (Malaysia) dengan sifat fenotif black. Kemudian, kepiting bakau yang berasal dari Teluk Ban Don (Thailand) dengan sifat fenotif black memiliki kemiripan dengan kepiting bakau yang berasal dari Can Giao (Vietnam) dengan sifat fenotif white. Sedangkan kepiting bakau yang berasal dari Klong Ngao (Thailand) yang memiliki sifat fenotif white dan black membentuk kelompok tersendiri. Berdasarkan Gambar 22 terdapat dua kelompok besar yang memiliki kemiripan satu sama lainnya, yaitu kelompok 1 (Pidie, Maros, Jambi, Cilamaya, Bone, Blanakan, Jayapura, Gebang, Ambulu, Mataram, dan Samarinda) serta kelompok 2 (Teluk Bintuni). Berdasarkan kelompok tersebut, dapat diketahui bahwa penyebaran Scylla serrata di wilayah bagian barat dan timur Indonesia tidak dipengaruhi oleh adanya garis Wallace. Hal tersebut dapat dilihat pada kelompok 1 di mana wilayah barat Indonesia (Mataram, Maros, Bone, dan Jayapura) bergabung dengan wilayah timur Indonesia (Pidie, Jambi, Cilamaya, Blanakan, Gebang, Ambulu, dan Samarinda). Distribusi S. serrata yang tidak dipengaruhi oleh garis Wallace dapat disebabkan oleh penyebaran spesies Scylla serrata di dunia, yang menyebar mulai dari Samudera Hindia (Pakistan hingga Australia Barat), Laut Cina Selatan (Thailand, Singapura, Vietnam, Sarawak, hingga Cina Selatan), hingga ke Samudera Pasifik (Filipina, Timor-Timur, Teluk Carpentaria) (Keenan et al in Le Vay 2001), di mana perairan Indonesia berada di dalam kawasan tersebut seperti tampak pada Gambar 24. Gambar 23. Peta distribusi Scylla serrata di dunia (FAO 1998).

24 Scylla tranquebarica Berdasarkan hasil perhitungan Analisis Komponen Utama (AKU), diperoleh satu komponen utama pertama (first component) yang dapat menggambarkan 92,6% terhadap total keragaman semua variabel karakter morfometrik. Komponen utama tersebut diperoleh berdasarkan eigen value (nilai akar ciri pertama) sebesar 10,181 yang merupakan ragam komponen utama. Kemudian, diperoleh nilai vektor ciri yang merupakan koefisien komponen utama dari seluruh karakter morfometrik yang dapat menggambarkan secara umum keseluruhan karakter morfometrik S. tranquebarica. Nilai dari vektor ciri tersebut adalah PC1 = 0,311P + 0,310L + 0,307T + 0,304B + 0,303P.orb + 0,3Pcr + 0,299Ppr + 0,286Tcr + 0,298Pcl + 0,293Ppl + 0,306Tcl. Berdasarkan vektor ciri yang bernilai positif pada setiap karakter morfometriknya, keseluruhan karakter morfometrik di atas dapat digambarkan oleh komponen utama pertama. Akan tetapi terdapat satu karakter morfometrik yang paling berpengaruh pada AKU, yaitu panjang orbital (P.orb atau optical groove width) berdasarkan hubungan korelasi terdekat dengan komponen utama pertama. Kemudian terdapat komponen utama kedua (second component) yang dapat menggambarkan 5,9% terhadap total keragaman seluruh karakter morfometrik S. tranquebarica dan memiliki nilai akar ciri atau ragam sebesar 0,647. Berdasarkan besaran persentase nilai keragaman kedua komponen utama, diperoleh satu komponen utama saja yaitu komponen utama pertama yang dapat menggambarkan hampir secara keseluruhan informasi dari karakter morfometrik S. tranquebarica dengan persentase sebesar 92.6% dibanding komponen utama kedua yang bernilai 5.9%. Selanjutnya berdasarkan analisis komponen utama, diperoleh grafik score plot yang dapat menggambarkan secara sederhana penggerombolan S. tranquebarica menurut lokasi penelitian. Penggerombolan tersebut dapat dilihat pada Gambar 24, yang menampilkan kemiripan Scylla tranquebarica di setiap daerah secara sederhana, dimana garis berwarna merah menggambarkan kemiripan S. tranquebarica antar lokasi yang memiliki jarak yang lebih dekat dan garis berwarna biru menggambarkan suatu kelompok yang lebih besar.

25 57 Gambar 24. Grafik score plot Scylla tranquebarica. Kepiting bakau Scylla tranquebarica di beberapa lokasi penelitian memiliki pada karakter morfometriknya. Hal ini terlihat dari kelompok-kelompok kecil pada Gambar 24, misalnya S. tranquebarica yang berasal dari Pidi dan Maros memiliki kemiripan tetapi berbeda dengan S. tranquebarica yang berasal dari Samarinda dan Bone. Hal ini sama dengan dengan hasil penelitian Overton et al. (1997). Selanjutnya, berdasarkan Gambar 24 terdapat dua kelompok besar yang memiliki kemiripan antar daerahnya, yaitu kelompok 1 (Pidie, Maros, Samarinda, Bone, Blanakan, Gebang, Mataram, Pontianak, dan Jayapura) serta kelompok 2 (Teluk Bintuni). Berdasarkan kelompok tersebut, dapat diketahui bahwa penyebaran Scylla tranquebarica di wilayah bagian barat dan timur Indonesia tidak dipisahkan oleh garis Wallace. Hal tersebut dapat dilihat pada kelompok 1 di mana wilayah barat Indonesia (Mataram, Maros, Bone, dan Jayapura) bergabung dengan wilayah timur Indonesia (Pidi, Blanakan, Gebang, Samarinda, dan Kalimantan Barat) menjadi satu kelompok. Distribusi S. tranquebarica yang tidak terpengaruh oleh garis Wallace dapat disebabkan oleh penyebaran spesies Scylla tranquebarica di dunia, yang menyebar mulai dari Samudera Hindia (Pakistan hingga Malaysia), Laut Cina Selatan (Singapura dan Sarawak), hingga ke Samudera Pasifik (Filipina) (Keenan et al. 1998

26 58 in Le Vay 2001), di mana perairan Indonesia berada di dalam kawasan tersebut, seperti pada Gambar 25. Gambar 25. Peta distribusi Scylla tranquebarica di dunia (FAO 1998) Scylla oceanica Berdasarkan hasil perhitungan Analisis Komponen Utama (AKU), diperoleh satu komponen utama pertama (first component) yang dapat menggambarkan 94,6% terhadap total keragaman semua variabel karakter morfometrik. Komponen utama tersebut diperoleh berdasarkan eigen value (nilai akar ciri pertama) sebesar 10,408 yang merupakan ragam komponen utama. Kemudian diperoleh nilai vektor ciri yang merupakan koefisien komponen utama dari S. oceanica yang dapat menggambarkan secara umum karakter morfometrik S. oceanica. Nilai dari vektor ciri tersebut adalah PC1 = 0,296P + 0,305L + 0,303T + 0,295B + 0,298P.orb + 0,302Pcr + 0,295Ppr + 0,303Tcr + 0,309Pcl + 0,306Ppl + 0,304Tcl. Berdasarkan nilai vektor ciri dari setiap karakter morfometrik S. oceanica yang bernilai positif, keseluruhan karakter morfometrik tersebut dapat digambarkan oleh komponen utama pertama. Akan tetapi, terdapat satu karakter morfometrik yang paling berpengaruh, yaitu panjang chela sebelah kiri (Pcl), hal ini berdasarkan hubungan korelasi terdekat dengan komponen utama pertama. Kemudian terdapat komponen utama kedua (second component) yang dapat menggambarkan 3,2% terhadap total keragaman seluruh karakter morfometrik S. oceanic serta memiliki nilai akar ciri atau ragam sebesar 0,348. Berdasarkan besaran persentase nilai keragaman dari kedua komponen utama, diperoleh satu komponen

27 59 utama saja, yaitu komponen utama pertama yang dapat menggambarkan hampir secara keseluruhan informasi dari karakter morfometrik S. oceanica sebesar 94,6% dibanding komponen utama kedua yang bernilai 3,2%. Selanjutnya berdasarkan analisis komponen utama, diperoleh grafik score plot yang dapat menggambarkan secara sederhana penggerombolan S. oceanica menurut lokasi penelitian. Penggerombolan tersebut dapat dilihat pada Gambar 26, yang menampilkan kemiripan Scylla oceanica di setiap daerah secara sederhana, dimana garis berwarna merah menggambarkan kemiripan S. oceanica antar lokasi yang memiliki jarak yang lebih dekat dan garis berwarna biru menggambarkan suatu kelompok yang lebih besar Gambar 26. Grafik score plot Scylla oceanica.. Berdasarkan Gambar 26, dikeahui bahwa terdapat perbedaan pada karakter morfometrik Scylla oceanica di beberapa lokasi penelitian. Hal ini terlihat dari kelompok-kelompok kecil pada Gambar 26, misalnya S. oceanica yang berasal dari Maros memiliki kemiripan dengan yang berasal dari Samarinda tetapi berbeda dengan S. oceanica yang berasal dari Blanakan dan Gebang. Selanjutnya berdasarkan Gambar 26, terdapat dua kelompok besar berdasarkan kemiripan antar daerahnya, yaitu kelompok 1 (Pidi, Bone, Maros, Jambi, Samarinda, Blanakan, Gebang, dan Mataram) serta kelompok 2 (Bintan, Kalimantan Barat,

28 60 Jayapura, dan Teluk Bintuni). Selanjutnya dapat diperoleh suatu gambaran mengenai penyebaran kepiting bakau S. oceanica yang tidak dipengaruhi oleh garis Wallace. Hal tersebut dapat dilihat pada kedua kelompok besar di mana wilayah barat Indonesia (Mataram, Maros, Bone, Jayapura, dan Teluk Bintuni) bergabung dengan wilayah timur Indonesia (Pidi, Jambi, Bintan, Blanakan, Gebang, Samarinda, dan Kalimantan Barat). Hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya penyebaran spesies S. oceanica di dunia (Gambar 27). Gambar 27. Peta distribusi Scylla oceanica di dunia (FAO 1998). Berdasarkan Gambar 27, distribusi S. oceanica yang tidak terpengaruh oleh garis Wallace disebabkan oleh penyebaran spesies Scylla oceanica di dunia, yang menyebar mulai dari Indo-Pasifik Barat (Afrika Selatan, Laut Merah, Australia, Filiphina), Taiwan, Jepang, hingga ke Kepulauan Pasifik (Fiji, P. Solomon, Caledonia Baru, Samoa Barat) (Keenan et al in Le Vay 2001), di mana perairan Indonesia berada di dalam kawasan tersebut Analisis Biplot Karakter Meristik dan Morfometrik Kepiting Bakau Analisis biplot digunakan untuk mengetahui keeratan antara karakter meristik dan morfometrik kepiting bakau, yang meliputi panjang karapas (P), lebar karapas (L), berat tubuh (B), tinggi tubuh (T), jumlah duri frontal margin (SO), jumlah duri anterolateral sebelah kiri dan kanan (SCL dan SCR), panjang duri orbital pada frontal margin (P.orb) panjang cheliped sebelah kiri dan kanan (PCL dan PCR),

29 61 panjang profundus sebelah kiri dan kanan (PPL dan PPR), serta tinggi cheliped sebelah kanan dan kiri (TCL dan TCR) pada kepiting bakau. Selain itu, analisis biplot digunakan pula untuk mengetahui keragaman setiap karakter dan nilai peubah karakter untuk mengetahui keunggulan karakter tersebut. Analisis biplot dari Scylla serrata, S. tranquebarica, dan S. oceanica berturut-turut dapat dilihat pada Gambar 28, Gambar 29, dan Gambar Samari nd 3 Pcr Pcl Mat aram Ppr Tcr Ppl Tcl Bl anakan PL Porb T SO Gebang Pi di Jambi SCR SCL Bone Maros Jayapura Ci l amaya Ambul u Tel. Bi nt B Di mensi on 1 (99. 1%) Gambar 28. Grafik biplot Scylla serrata. Berdasarkan Gambar 28, dapat dilihat bahwa karakter P, L, T, B, PCR, PPR, TCR, PCL, PPL, dan TCL saling berkorelasi positif berdasarkan sudut-sudut yang dibuat antar karakter kurang dari 90 o, artinya jika salah satu karakter mengalami peningkatan maka karakter lainnya pun akan mengalami peningkatan. Nilai keragaman ditunjukkan oleh garis berwarna merah dimana semakin panjang garis tersebut, keragamannya semakin besar. Karakter meristik SO, SCR, dan SCL memiliki keragaman yang sangat kecil mendekati nol, hal ini menggambarkan nilai dari karakter tersebut hampir sama di setiap daerah. Sedangkan keragaman karakter morfometrik lainnya memiliki keragaman yang tinggi. Scylla serrata yang berasal dari Pidie, Jambi, Maros, Cilamaya, Ambulu dan Bone memiliki ukuran yang relatif lebih kecil dibandingkan dengan spesies S. serrata dari daerah lainnya. S. serrata yang berasal dari Samarinda, Mataram,

30 62 Blanakan, dan Subang memiliki ukuran yang hampir sama. Kemudian, S. serrata dari Teluk Bintuni dan Jayapura memiliki ukuran yang relatif lebih besar dan dapat digambarkan oleh berat badannya yang besar. Ketiga hal di atas berkenaan dengan sudut yang dibentuk antara suatu lokasi dengan karakter morfometrik atau meristiknya, jika sudut yang dibentuk lebih dari 90 o maka ukuran kepiting di daerah tersebut di atas ukuran rata-rata karakter morfometrik atau meristiknya begitu pula jika sebaliknya. 5 4 L Samari nd Bone Pcl P Ppl Mat aram T Bl anakan Gebang Porb Tcl SCR SCL SO Ppr Pcr Tcr Kal bar Jayapura B Maros Pi di Tel. Bi nt Di mensi on 1 (99. 4%) Gambar 29. Grafik biplot Scylla tranquebarica. Berdasarkan Gambar 29, di atas dapat dilihat bahwa karakter P, L, T, B, PCL, PPL, dan TCL saling berkorelasi positif berdasarkan sudut-sudut yang dibuat antar variabel kurang dari 90 o, artinya jika salah satu karakter mengalami peningkatan maka karakter lainnya pun akan mengalami peningkatan. Sedangkan karakter PPR, PCR, dan TCR saling berkorelasi negatif dengan karakter P, L, T, B, PCL, PPL, dan TCL berdasarkan sudut antar variabel lebih dari 90 o, artinya jika salah satu karakter mengalami peningkatan maka karakter lainnya akan mengalami penurunan. Akan tetapi, hubungan di antara karakter PPR, PCR, dan TCR saling berkorelasi positif. Nilai keragaman ditunjukkan oleh garis berwarna merah di mana semakin panjang garis tersebut, keragamannya semakin besar. Karakter meristik SO, SCR, dan SCL memiliki keragaman yang sangat kecil mendekati nol, hal ini menggambarkan nilai

3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2. Metode Kerja

3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2. Metode Kerja 3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan selama 11 bulan yaitu mulai dari bulan Juli 2008 hingga bulan Mei 2009. Kepiting bakau yang diteliti merupakan kepiting bakau

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Metode Kerja Bahan dan peralatan pada pengamatan morfometri

3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Metode Kerja Bahan dan peralatan pada pengamatan morfometri 17 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di 11 daerah yang meliputi 5 pulau besar di Indonesia, antara lain Bintan dan Jambi (Sumatera), Karawang, Subang dan Cirebon (Jawa),

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

ANALISA VARIASI KARAKTER MORFOMETRIK DAN MERISTIK KEPITING BAKAU (Scylla spp.) DI PERAIRAN INDONESIA

ANALISA VARIASI KARAKTER MORFOMETRIK DAN MERISTIK KEPITING BAKAU (Scylla spp.) DI PERAIRAN INDONESIA ANALISA VARIASI KARAKTER MORFOMETRIK DAN MERISTIK KEPITING BAKAU (Scylla spp.) DI PERAIRAN INDONESIA PUPUT FITRI RACHMAWATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kepiting Bakau Genus Scylla Klasifikasi dan identifikasi kepiting bakau

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kepiting Bakau Genus Scylla Klasifikasi dan identifikasi kepiting bakau 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kepiting Bakau Genus Scylla 2.1.1. Klasifikasi dan identifikasi kepiting bakau Kepiting bakau tergolong dalam famili Portunidae yang terdiri atas 6 subfamili, yaitu: Carcininae,

Lebih terperinci

Morphometric and Meristic Character of Mangrove Crab (Scylla serrata) in Mangrove Ecosystem at West Sentosa Village, Medan Belawan Subdistrict

Morphometric and Meristic Character of Mangrove Crab (Scylla serrata) in Mangrove Ecosystem at West Sentosa Village, Medan Belawan Subdistrict KARAKTER MORFOMETRIK DAN MERISTIK KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DI PERAIRAN MANGROVE KAMPUNG SENTOSA BARAT KELURAHAN BELAWAN SICANANG KECAMATAN MEDAN BELAWAN Morphometric and Meristic Character of Mangrove

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Letak dan Kondisi Penelitian Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur dan merupakan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Perairan Teluk Jakarta merupakan sebuah teluk di perairan Laut Jawa yang terletak di sebelah utara provinsi DKI Jakarta, Indonesia. Terletak

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi Cumi-Cumi Sirip Besar 4.1.1. Distribusi spasial Distribusi spasial cumi-cumi sirip besar di perairan Karang Congkak, Karang Lebar, dan Semak Daun yang tertangkap

Lebih terperinci

Akuatik Jurnal Sumberdaya Perairan 48 ISSN

Akuatik Jurnal Sumberdaya Perairan 48 ISSN Akuatik Jurnal Sumberdaya Perairan 48 Kajian Karakteristik Biometrika Kepiting Bakau (Scylla sp) di Kabupaten Pemalang, Studi kasus di Desa Mojo Kecamatan Ulujami Biometrical Characteristic Study of Mudcrab

Lebih terperinci

ARTIKEL ILMIAH. STUDI POPULASI KEPITING BAKAU (Scylla spp.) PADA KAWASAN HUTAN MANGROVE DESA SUNGAI ITIK KECAMATAN SADU KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

ARTIKEL ILMIAH. STUDI POPULASI KEPITING BAKAU (Scylla spp.) PADA KAWASAN HUTAN MANGROVE DESA SUNGAI ITIK KECAMATAN SADU KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR ARTIKEL ILMIAH STUDI POPULASI KEPITING BAKAU (Scylla spp.) PADA KAWASAN HUTAN MANGROVE DESA SUNGAI ITIK KECAMATAN SADU KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR OLEH ASMARIYA NIM A1C412039 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 8 eigenvalue masing-masing mode terhadap nilai total eigenvalue (dalam persen). PC 1 biasanya menjelaskan 60% dari keragaman data, dan semakin menurun untuk PC selanjutnya (Johnson 2002, Wilks 2006, Dool

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Organ reproduksi Jenis kelamin ikan ditentukan berdasarkan pengamatan terhadap gonad ikan dan selanjutnya ditentukan tingkat kematangan gonad pada tiap-tiap

Lebih terperinci

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009

DAFTAR ALAMAT MADRASAH TSANAWIYAH NEGERI TAHUN 2008/2009 ACEH ACEH ACEH SUMATERA UTARA SUMATERA UTARA SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT SUMATERA BARAT RIAU JAMBI JAMBI SUMATERA SELATAN BENGKULU LAMPUNG KEPULAUAN BANGKA BELITUNG KEPULAUAN RIAU DKI JAKARTA JAWA BARAT

Lebih terperinci

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI &[MfP $00 4 oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI RAJUNGAN (Portiinirspelngicus) DI PERAIRAN MAYANGAN, KABWATEN SUBANG, JAWA BARAT Oleh: DEDY TRI HERMANTO C02499072 SKRIPSI Sebagai Salah

Lebih terperinci

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti Sebuah lagu berjudul Nenek moyangku seorang pelaut membuat saya teringat akan kekayaan laut Indonesia. Tapi beberapa waktu lalu, beberapa nelayan Kepulauan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 12 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jumlah dan Sebaran Panjang Ikan Kuro Jumlah ikan kuro yang tertangkap selama penelitian berjumlah 147 ekor. Kisaran panjang dan bobot ikan yang tertangkap adalah 142-254 mm

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Waktu dan Tempat BAHAN DAN METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2008 sampai Februari 2009. Tahapan penelitian, dibagi dua tahap. Tahap I, meliputi; 1) Sampling hewan uji, 2) Koleksi testes

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla spp.) tergolong dalam famili Portunidae dari suku Brachyura. Kepiting bakau hidup di hampir seluruh perairan pantai terutama pada pantai yang ditumbuhi

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi Kepiting BakauScylla tranquebarica Kepiting Bakau S. tranquebaricamerupakan salah satu spesies dari genus Scylla yang mendiami kawasan ekosistem

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Parameter Fisika dan Kimiawi Perairan Berdasarkan hasil penelitian di perairan Kepulauan Seribu yaitu Pulau Pramuka dan Pulau Semak Daun, diperoleh nilai-nilai parameter

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau S. oceanica Kepiting bakau S. oceanica dapat digolongkan ke dalam kelas Krustase, ordo Decapoda, famili Portunidae dan genus Scylla

Lebih terperinci

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA) PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA) Sumber : BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA I. PENDAHULUAN Wilayah Indonesia berada pada posisi strategis, terletak di daerah

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM. 15 Lintang Selatan dan antara Bujur Timur dan dilalui oleh

BAB IV GAMBARAN UMUM. 15 Lintang Selatan dan antara Bujur Timur dan dilalui oleh BAB IV GAMBARAN UMUM A. Kondisi Geografis Secara astronomis, Indonesia terletak antara 6 08 Lintang Utara dan 11 15 Lintang Selatan dan antara 94 45 141 05 Bujur Timur dan dilalui oleh garis ekuator atau

Lebih terperinci

III. HASIL DAN PEMBAHASAN M

III. HASIL DAN PEMBAHASAN M III. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Hasil 3.1.1. Profil RAPD Keragaman profil penanda DNA meliputi jumlah dan ukuran fragmen DNA. Hasil amplifikasi dengan menggunakan primer OPA-02, OPC-02, OPC-05 selengkapnya

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rajungan (Portunus pelagicus) Menurut www.zipcodezoo.com klasifikasi dari rajungan adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Malacostrata Ordo : Decapoda

Lebih terperinci

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU Scylla paramamosain Estampador DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG.

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU Scylla paramamosain Estampador DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG. TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU Scylla paramamosain Estampador DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG Oleh: Fetro Dola Samsu 1, Ramadhan Sumarmin 2, Armein Lusi,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001).

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001). I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian mencakup kegiatan usahatani perkebunan, perhutanan, peternakan, dan perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan ragam. Dari sakala

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di pesisir utara Kabupaten Brebes, yaitu di kawasan pertambakan Desa Grinting, Kecamatan Bulakamba. Secara geografis letak

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Kabupaten Gorontalo Utara. Kabupaten Gorontalo Utara merupakan salah satu Kabupaten yang terletak

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Umum Kabupaten Gorontalo Utara. Kabupaten Gorontalo Utara merupakan salah satu Kabupaten yang terletak BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Kabupaten Gorontalo Utara 1. Kondisi Goegrafis Kabupaten Gorontalo Utara merupakan salah satu Kabupaten yang terletak di Provinsi Gorontalo dengan luas yang

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 15 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Organ Pencernaan Ikan Kuniran Ikan kuniran merupakan salah satu jenis ikan demersal. Ikan kuniran juga merupakan ikan karnivora. Ikan kuniran memiliki sungut pada bagian

Lebih terperinci

Gambar 1. Diagram TS

Gambar 1. Diagram TS BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakteristik Massa Air 4.1.1 Diagram TS Massa Air di Selat Lombok diketahui berasal dari Samudra Pasifik. Hal ini dibuktikan dengan diagram TS di 5 titik stasiun

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pola Sebaran Suhu Permukaan Laut dan Salinitas pada Indomix Cruise Peta sebaran SPL dan salinitas berdasarkan cruise track Indomix selengkapnya disajikan pada Gambar 6. 3A 2A

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016 No. 11/02/82/Th. XVI, 1 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU UTARA SEPTEMBER 2016 GINI RATIO DI MALUKU UTARA KEADAAN SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,309 Pada September 2016, tingkat ketimpangan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. daerah yang berlumpur dan pada ekosistem mangrove. Ikan gelodok hanya

TINJAUAN PUSTAKA. daerah yang berlumpur dan pada ekosistem mangrove. Ikan gelodok hanya 21 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Ikan gelodok adalah ikan yang hidup di habitat intertidal ditemukan di daerah yang berlumpur dan pada ekosistem mangrove. Ikan gelodok hanya ditemukan

Lebih terperinci

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 07 Februari 2016 s/d 12 Februari 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 07 Februari 2016 s/d 12 Februari 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 07 Februari 2016 s/d 12 Februari 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA Jakarta, 07 Februari 2016 Minggu, 7 Februari 2016 PERAIRAN ACEH, PERAIRAN

Lebih terperinci

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 25 Februari 2016 s/d 01 Maret 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 25 Februari 2016 s/d 01 Maret 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 25 Februari 2016 s/d 01 Maret 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA Jakarta, 25 Februari 2016 Kamis, 25 Februari 2016 Laut Andaman, Selat Malaka

Lebih terperinci

Oleh : Rodo Lasniroha, Yuniarti K. Pumpun, Sri Pratiwi S. Dewi. Surat elektronik :

Oleh : Rodo Lasniroha, Yuniarti K. Pumpun, Sri Pratiwi S. Dewi. Surat elektronik : PENANGKAPAN DAN DISTRIBUSI HIU (APPENDIX II CITES) OLEH NELAYAN RAWAI DI PERAIRAN SELATAN TIMOR CATCH AND DISTRIBUTION OF SHARKS (APPENDIX II CITES) BY LONGLINE FISHERMEN IN SOUTH WATER OF TIMOR Oleh :

Lebih terperinci

5 HASIL 5.1 Kandungan Klorofil-a di Perairan Sibolga

5 HASIL 5.1 Kandungan Klorofil-a di Perairan Sibolga 29 5 HASIL 5.1 Kandungan Klorofil-a di Perairan Sibolga Kandungan klorofil-a setiap bulannya pada tahun 2006-2010 dapat dilihat pada Lampiran 3, konsentrasi klorofil-a di perairan berkisar 0,26 sampai

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Kelompok Umur Pertumbuhan populasi tiram dapat dilihat berdasarkan sebaran kelompok umur. Analisis sebaran kelompok umur dilakukan dengan menggunakan FISAT II metode NORMSEP.

Lebih terperinci

Tabel Lampiran 1. Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Padi Per Propinsi

Tabel Lampiran 1. Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Padi Per Propinsi Tabel., dan Padi Per No. Padi.552.078.387.80 370.966 33.549 4,84 4,86 2 Sumatera Utara 3.48.782 3.374.838 826.09 807.302 4,39 4,80 3 Sumatera Barat.875.88.893.598 422.582 423.402 44,37 44,72 4 Riau 454.86

Lebih terperinci

SUSUNAN KEANGGOTAAN SUB TIM KOORDINASI KERJASAMA PARIWISATA INDONESIA-SINGAPURA

SUSUNAN KEANGGOTAAN SUB TIM KOORDINASI KERJASAMA PARIWISATA INDONESIA-SINGAPURA LAMPIRAN 1 KEPUTUSAN PRESIDEN SUSUNAN KEANGGOTAAN SUB TIM KOORDINASI KERJASAMA PARIWISATA INDONESIA-SINGAPURA 1. Ketua : Menteri Pariwisata, Seni dan Budaya; 2. Sekretaris : Staf Ahli Menteri Koordinator

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Menurut klasifikasi Bleeker, sistematika ikan selanget (Gambar 1) adalah sebagai berikut (www.aseanbiodiversity.org) :

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SULAWESI TENGGARA MARET 2017 MENURUN TERHADAP MARET 2016

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SULAWESI TENGGARA MARET 2017 MENURUN TERHADAP MARET 2016 BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No.39/07/Th.XX, 17 Juli 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SULAWESI TENGGARA MARET 2017 MENURUN TERHADAP MARET 2016 GINI RATIO PADA MARET 2017 SEBESAR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting hidup di daerah muara sungai dan rawa pasang surut yang banyak ditumbuhi vegetasi

Lebih terperinci

Rekapitulasi Luas Penutupan Lahan Di Dalam Dan Di Luar Kawasan Hutan Per Provinsi Tahun 2014 (ribu ha)

Rekapitulasi Luas Penutupan Lahan Di Dalam Dan Di Luar Kawasan Hutan Per Provinsi Tahun 2014 (ribu ha) Rekapitulasi Luas Penutupan Lahan Di Dalam Dan Di Luar Kawasan Hutan Per Provinsi Tahun 2014 (ribu ha) Kawasan Hutan Total No Penutupan Lahan Hutan Tetap APL HPK Jumlah KSA-KPA HL HPT HP Jumlah Jumlah

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN BADAN PUSAT STATISTIK No.06/02/81/Th.2017, 6 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK MALUKU SEPTEMBER 2016 MENURUN GINI RATIO MALUKU PADA SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,344 Pada September 2016,

Lebih terperinci

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan 6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan Daerah penangkapan ikan kakap (Lutjanus sp.) oleh nelayan di Kabupaten Kupang tersebar diberbagai lokasi jalur penangkapan.

Lebih terperinci

JENIS KEPITING BAKAU (Scylla sp.) YANG TERTANGKAP DI PERAIRAN LABUHAN BAHARI BELAWAN MEDAN. Putri March F. Hia, Boedi Hendrarto, Haeruddin*)

JENIS KEPITING BAKAU (Scylla sp.) YANG TERTANGKAP DI PERAIRAN LABUHAN BAHARI BELAWAN MEDAN. Putri March F. Hia, Boedi Hendrarto, Haeruddin*) JOURNAL OF MANAGEMENT OF AQUATIC RESOURCES Volume 2, Nomor 3, Tahun 2013, Halaman 170-179 Online di : http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares JENIS KEPITING BAKAU (Scylla sp.) YANG TERTANGKAP

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Distribusi SPL Dari pengamatan pola sebaran suhu permukaan laut di sepanjang perairan Selat Sunda yang di analisis dari data penginderaan jauh satelit modis terlihat ada pembagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 29 Agustus 2016 s/d 02 September 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 29 Agustus 2016 s/d 02 September 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 29 Agustus 2016 s/d 02 September 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA Jakarta, 29 Agustus 2016 Senin, 29 Agustus 2016 1.25-2.50 m (Moderate)

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI SUMBERDAYA KEPITING BAKAU (Scylla sp.) YANG DIDARATKAN DI TPI KABUPATEN TAPANULI TENGAH

IDENTIFIKASI SUMBERDAYA KEPITING BAKAU (Scylla sp.) YANG DIDARATKAN DI TPI KABUPATEN TAPANULI TENGAH IDENTIFIKASI SUMBERDAYA KEPITING BAKAU (Scylla sp.) YANG DIDARATKAN DI TPI KABUPATEN TAPANULI TENGAH Roswita Larosa, Boedi Hendrarto, Mustofa Nitisupardjo*) Jurusan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hutan bakau / mangrove adalah hutan yang tumbuh di muara sungai, daerah pasang surut atau tepi laut (pesisir). Tumbuhan mangrove bersifat unik karena merupakan

Lebih terperinci

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 11 November 2016 s/d 15 November 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 11 November 2016 s/d 15 November 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 11 November 2016 s/d 15 November 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA Jakarta, 11 November 2016 Jumat, 11 November 2016 Laut Cina Selatan,

Lebih terperinci

KERAGAAN MODIFIKASI PERANGKAP LIPAT KEPITING DI DESA MAYANGAN DAN LEGONWETAN SUBANG, JAWA BARAT ESA DIVINUBUN

KERAGAAN MODIFIKASI PERANGKAP LIPAT KEPITING DI DESA MAYANGAN DAN LEGONWETAN SUBANG, JAWA BARAT ESA DIVINUBUN KERAGAAN MODIFIKASI PERANGKAP LIPAT KEPITING DI DESA MAYANGAN DAN LEGONWETAN SUBANG, JAWA BARAT ESA DIVINUBUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Sebaran Frekuensi Ikan Tetet (Johnius belangerii) Ikan contoh ditangkap setiap hari selama 6 bulan pada musim barat (Oktober-Maret) dengan jumlah total 681 ikan dan semua sampel

Lebih terperinci

PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT

PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT No. 42 / IX / 14 Agustus 2006 PROFIL PEMANFAATAN TEKNOLOGI INFORMASI OLEH MASYARAKAT Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2005 Dari hasil Susenas 2005, sebanyak 7,7 juta dari 58,8 juta rumahtangga

Lebih terperinci

Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik

Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik Seuntai Kata Sensus Pertanian 2013 (ST2013) merupakan sensus pertanian keenam yang diselenggarakan Badan Pusat Statistik (BPS) setiap 10 (sepuluh) tahun sekali sejak 1963. Pelaksanaan ST2013 merupakan

Lebih terperinci

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 17 Februari 2016 s/d 22 Februari 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 17 Februari 2016 s/d 22 Februari 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 17 Februari 2016 s/d 22 Februari 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA Jakarta, 17 Februari 2016 Rabu, 17 Februari 2016 Laut Andaman, Selat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di seluruh kawasan Nusantara. Salah satu komoditas perikanan yang hidup di perairan pantai khususnya di

Lebih terperinci

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 29 Februari 2016 s/d 05 Maret 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 29 Februari 2016 s/d 05 Maret 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 29 Februari 2016 s/d 05 Maret 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA Jakarta, 29 Februari 2016 Senin, 29 Februari 2016 Laut Andaman, Selat Malaka

Lebih terperinci

HUBUNGAN LEBAR KARAPAS DAN BERAT KEPITING BAKAU (Scylla spp) HASIL TANGKAPAN DI DESA KAHYAPU PULAU ENGGANO PROVINSI BENGKULU

HUBUNGAN LEBAR KARAPAS DAN BERAT KEPITING BAKAU (Scylla spp) HASIL TANGKAPAN DI DESA KAHYAPU PULAU ENGGANO PROVINSI BENGKULU HUBUNGAN LEBAR KARAPAS DAN BERAT KEPITING BAKAU (Scylla spp) HASIL TANGKAPAN DI DESA KAHYAPU PULAU ENGGANO PROVINSI BENGKULU Nurlaila Ervina Herliany, Zamdial Program Studi Ilmu Kelautan, Fakultas Pertanian,

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian.

3 METODE PENELITIAN. Gambar 4 Peta lokasi penelitian. 14 3 METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan di PPI Labuan, Provinsi Banten. Ikan contoh yang diperoleh dari PPI Labuan merupakan hasil tangkapan nelayan disekitar perairan Selat

Lebih terperinci

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 14 November 2016 s/d 18 November 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 14 November 2016 s/d 18 November 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 14 November 2016 s/d 18 November 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA Jakarta, 14 November 2016 Senin, 14 November 2016 BAGIAN BARAT LAMPUNG,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, seperti

BAB I PENDAHULUAN. mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, seperti BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Salah satu bagian terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir dengan garis pantai sepanjang 81.000

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) (Gambar 1) merupakan salah satu ikan pelagis kecil yang sangat potensial

Lebih terperinci

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 22 September 2016 s/d 26 September 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 22 September 2016 s/d 26 September 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 22 September 2016 s/d 26 September 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA Jakarta, 22 September 2016 Kamis, 22 September 2016 Selat Malaka bagian

Lebih terperinci

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 01 Desember 2016 s/d 05 Desember 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 01 Desember 2016 s/d 05 Desember 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 01 Desember 2016 s/d 05 Desember 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA Jakarta, 30 November 2016 Kamis, 1 Desember 2016 Laut Cina Selatan bagian

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN. Spesies ikan malalugis atau juga disebut layang biru (Decapterus

1. PENDAHULUAN. Spesies ikan malalugis atau juga disebut layang biru (Decapterus 1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Spesies ikan malalugis atau juga disebut layang biru (Decapterus macarellus) merupakan salah satu jenis ikan pelagis kecil yang tersebar luas di perairan Indonesia.

Lebih terperinci

Nusa Tenggara Timur Luar Negeri Banten Kepulauan Riau Sumatera Selatan Jambi. Nusa Tenggara Barat Jawa Tengah Sumatera Utara.

Nusa Tenggara Timur Luar Negeri Banten Kepulauan Riau Sumatera Selatan Jambi. Nusa Tenggara Barat Jawa Tengah Sumatera Utara. LAMPIRAN I ZONA DAN KOEFISIEN MASING-MASING ZONA Zona 1 Zona 2 Zona 3 Zona 4 Zona 5 Zona 6 Koefisien = 5 Koefisien = 4 Koefisien = 3 Koefisien = 2 Koefisien = 1 Koefisien = 0,5 DKI Jakarta Jawa Barat Kalimantan

Lebih terperinci

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM

BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM 1 ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT; ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN DASARIAN II FEBRUARI 2018 BIDANG ANALISIS VARIABILITAS IKLIM OUTLINE Analisis dan Prediksi Angin, dan Monsun; Analisis OLR; Analisis dan

Lebih terperinci

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 13 Februari 2016 s/d 18 Februari 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 13 Februari 2016 s/d 18 Februari 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 13 Februari 2016 s/d 18 Februari 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA Jakarta, 13 Februari 2016 Sabtu, 13 Februari 2016 Laut Andaman, Laut

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Verifikasi Model Visualisasi Klimatologi Suhu Permukaan Laut (SPL) model SODA versi 2.1.6 diambil dari lapisan permukaan (Z=1) dengan kedalaman 0,5 meter (Lampiran 1). Begitu

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Implementasi Biplot Kanonik dan Analisis Procrustes dengan Mathematica Biplot biasa dengan sistem perintah telah terintegrasi ke dalam beberapa program paket statistika seperti SAS,

Lebih terperinci

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor),

Populasi Ternak Menurut Provinsi dan Jenis Ternak (Ribu Ekor), Babi Aceh 0.20 0.20 0.10 0.10 - - - - 0.30 0.30 0.30 3.30 4.19 4.07 4.14 Sumatera Utara 787.20 807.40 828.00 849.20 871.00 809.70 822.80 758.50 733.90 734.00 660.70 749.40 866.21 978.72 989.12 Sumatera

Lebih terperinci

RINGKASAN. Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut merupakan satusatunya

RINGKASAN. Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut merupakan satusatunya RINGKASAN MISWAR BUDI MULYA. Kelimpahan dan Distribusi Kepiting Bakau (Scylla spp) serta Keterkaitannya dengan Karakteristik Biofisik Rutan Mangrove di Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur

Lebih terperinci

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 08 Maret 2016 s/d 13 Maret 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA. Jakarta, 08 Maret 2016

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 08 Maret 2016 s/d 13 Maret 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA. Jakarta, 08 Maret 2016 PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 08 Maret 2016 s/d 13 Maret 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA Jakarta, 08 Maret 2016 Selasa, 8 Maret 2016 Laut Andaman, Perairan Barat Aceh,

Lebih terperinci

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN

BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN BADAN PUSAT STATISTIK BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No.53/09/16 Th. XVIII, 01 September 2016 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA SELATAN MARET 2016 GINI RATIO SUMSEL PADA MARET 2016 SEBESAR

Lebih terperinci

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN

TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN BPS PROVINSI SUMATERA UTARA No. 13/02/12/Th. XX, 06 Februari 2017 TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016 MENURUN GINI RATIO PADA SEPTEMBER 2016 SEBESAR 0,312 Pada ember

Lebih terperinci

Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan, 31 Agustus 2013

Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan, 31 Agustus 2013 POTENSI KEPITING BAKAU DI WILAYAH PERAIRAN SEKITAR TAMBAK DESA MOJO KAB PEMALANG pms-12 Arthur Muhammad Farhaby 1 * Johannes Hutabarat 2 Djoko Suprapto 2 dan Jusup Suprijanto 2 1 Mahasiswa Program Double

Lebih terperinci

Bioekologi Kepiting Bakau (Scylla Serrata dan Scylla Oceanica) Di Kawasan Desa Ambulu, Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon

Bioekologi Kepiting Bakau (Scylla Serrata dan Scylla Oceanica) Di Kawasan Desa Ambulu, Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon Bioekologi Kepiting Bakau (Scylla Serrata dan Scylla Oceanica) Di Kawasan Desa Ambulu, Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon Bioecology of mangrove crabs (Scylla serrata and Scylla oceanica) in Ambulu village,

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 9 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Ikan contoh diambil dari TPI Kali Baru mulai dari bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan November 2010 yang merupakan hasil tangkapan nelayan di

Lebih terperinci

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 14 Januari 2017 s/d 18 Januari 2017 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 14 Januari 2017 s/d 18 Januari 2017 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 14 Januari 2017 s/d 18 Januari 2017 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA Jakarta, 14 Januari 2017 Sabtu, 14 Januari 2017 0.5-1.25 m (Slight) : Laut

Lebih terperinci

3 METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu 3.2 Teknik Pengambilan Data Pengumpulan Data Vegetasi Mangrove Kepiting Bakau

3 METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu 3.2 Teknik Pengambilan Data Pengumpulan Data Vegetasi Mangrove Kepiting Bakau 19 3 METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai dengan Mei 2011 pada kawasan mangrove di Desa Tongke-Tongke dan Kelurahan Samataring, Kecamatan Sinjai Timur, Kabupaten

Lebih terperinci

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 16 5.1 Hasil 5.1.1 Pola curah hujan di Riau BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN Data curah hujan bulanan dari tahun 2000 sampai dengan 2009 menunjukkan bahwa curah hujan di Riau menunjukkan pola yang sama dengan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah

Lebih terperinci

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kewenangan Pengguna Anggaran/Barang. Kepala Unit Pelaksana Teknis.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kewenangan Pengguna Anggaran/Barang. Kepala Unit Pelaksana Teknis. No.91, 2010 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kewenangan Pengguna Anggaran/Barang. Kepala Unit Pelaksana Teknis. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.11/MENHUT-II/2010

Lebih terperinci

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 26 Januari 2017 s/d 30 Januari 2017 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 26 Januari 2017 s/d 30 Januari 2017 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 26 Januari 2017 s/d 30 Januari 2017 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA Jakarta, 26 Januari 2017 Kamis, 26 Januari 2017 Laut Andaman, Selat Malaka

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.1 Data Siklon Tropis Data kejadian siklon tropis pada penelitian ini termasuk depresi tropis, badai tropis dan siklon tropis. Data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 30 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Kondisi perairan Teluk Jakarta Teluk Jakarta terletak di utara kota Jakarta dengan luas teluk 285 km 2, dengan garis pantai sepanjang 33 km, dan rata-rata kedalaman

Lebih terperinci

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 7 HARI KEDEPAN

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 7 HARI KEDEPAN BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA Jl Angkasa 1 No.2 Kemayoran, Jakarta 10720 Telp. 021-6546318 Fax. 021-6546314 / 6546315 Email : kontak.maritim@bmkg.go.id PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 7

Lebih terperinci

RUMAH KHUSUS TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN

RUMAH KHUSUS TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN TARGET ANGGARAN Pembangunan Perumahan Dan Kawasan Permukiman Tahun 2016 PERUMAHAN PERBATASAN LAIN2 00 NASIONAL 685.00 1,859,311.06 46,053.20 4,077,857.49 4,523.00 359,620.52 5,293.00 714,712.50 62,538.00 1,344,725.22

Lebih terperinci

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 7 HARI KEDEPAN

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 7 HARI KEDEPAN BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA Jl Angkasa 1 No.2 Kemayoran, Jakarta 10720 Telp. 021-6546318 Fax. 021-6546314 / 6546315 Email : kontak.maritim@bmkg.go.id PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 7

Lebih terperinci

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 25 September 2016 s/d 29 September 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 25 September 2016 s/d 29 September 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 25 September 2016 s/d 29 September 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA Jakarta, 25 September 2016 Minggu, 25 September 2016 PERAIRAN LHOKSEUMAWE,

Lebih terperinci

HUBUNGAN BOBOT PANJANG IKAN TUNA MADIDIHANG Thunnus albacares DARI PERAIRAN MAJENE SELAT MAKASSAR SULAWESI BARAT Wayan Kantun 1 dan Ali Yahya 2

HUBUNGAN BOBOT PANJANG IKAN TUNA MADIDIHANG Thunnus albacares DARI PERAIRAN MAJENE SELAT MAKASSAR SULAWESI BARAT Wayan Kantun 1 dan Ali Yahya 2 HUBUNGAN BOBOT PANJANG IKAN TUNA MADIDIHANG Thunnus albacares DARI PERAIRAN MAJENE SELAT MAKASSAR SULAWESI BARAT Wayan Kantun 1 dan Ali Yahya 2 1) Sekolah Tinggi Teknologi Kelautan Balik Diwa 2) Politeknik

Lebih terperinci

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1990 TENTANG PEMBENTUKAN PENGADILAN TINGGI TATA USAHA NEGARA JAKARTA, MEDAN, DAN UJUNG PANDANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1990 TENTANG PEMBENTUKAN PENGADILAN TINGGI TATA USAHA NEGARA JAKARTA, MEDAN, DAN UJUNG PANDANG UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1990 TENTANG PEMBENTUKAN PENGADILAN TINGGI TATA USAHA NEGARA JAKARTA, MEDAN, DAN UJUNG PANDANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lebih terperinci

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 03 November 2016 s/d 07 November 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 03 November 2016 s/d 07 November 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA PRAKIRAAN HARIAN TINGGI GELOMBANG 5 HARI KE DEPAN 03 November 2016 s/d 07 November 2016 BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA Jakarta, 03 November 2016 Kamis, 3 November 2016 Laut Andaman, Teluk

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 93 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 19 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN PARIWISATA

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 93 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 19 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN PARIWISATA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 93 TAHUN 2017 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 19 TAHUN 2015 TENTANG KEMENTERIAN PARIWISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK

Lebih terperinci