ANALISA VARIASI KARAKTER MORFOMETRIK DAN MERISTIK KEPITING BAKAU (Scylla spp.) DI PERAIRAN INDONESIA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "ANALISA VARIASI KARAKTER MORFOMETRIK DAN MERISTIK KEPITING BAKAU (Scylla spp.) DI PERAIRAN INDONESIA"

Transkripsi

1 ANALISA VARIASI KARAKTER MORFOMETRIK DAN MERISTIK KEPITING BAKAU (Scylla spp.) DI PERAIRAN INDONESIA PUPUT FITRI RACHMAWATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

2 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul: Analisa Variasi Karakter Morfometrik dan Meristik Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Perairan Indonesia adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, September 2009 Puput Fitri Rachmawati C

3 RINGKASAN Puput Fitri Rachmawati. C Analisa Variasi Karakter Morfometrik dan Meristik Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Perairan Indonesia. Dibawah bimbingan Yusli Wardiatno dan M. Mukhlis Kamal. Indonesia memiliki sebuah garis hipotesis yang memisahkan wilayah geografi hewan Asia dan Australasia yang ditemukan oleh Alfred Russel Wallace yang bernama garis Wallace. Garis Wallace ditarik melalui kepulauan Melayu (di antara Kalimantan dan Sulawesi) serta di antara Bali dan Lombok. Keanekaragaman jenis hewan di bagian barat dari garis Wallace berhubungan dengan spesies Asia sedangkan di bagian timur berhubungan dengan spesies Australia. Oleh karena itu terdapat perbedaan karakteristik jenis hewan yang berada di wilayah barat dan timur Indonesia. Perbedaan karakteristik tersebut lebih terfokus pada fauna terestrial sedangkan perbedaan karakteristik pada fauna air belum banyak diketahui, salah satunya adalah kepiting bakau. Kepiting bakau (Scylla spp.) merupakan hewan yang berasosiasi kuat dengan hutan mangrove dan memiliki daerah penyebaran yang meluas di seluruh Indonesia. Hutan bakau (mangrove) merupakan ekosistem perairan pesisir yang khas dengan variasi biofisik yang besar. Hal ini menyebabkan biota di daerah tersebut beradaptasi dengan cara memiliki toleransi yang luas terhadap variasi biofisik terutama suhu dan salinitas. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui perbedaan karakteristik morfometrik dan meristik kepiting bakau (Scylla spp.) yang ada di perairan Indonesia berdasarkan perbedaan lokasi penelitian. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan informasi dasar mengenai jenis dan penyebaran kepiting bakau di perairan Indonesia, informasi mengenai variasi karakter morfometrik dan meristik berdasarkan spesies kepiting bakau, serta sebagai bahan acuan dalam pengelolaan kepiting bakau di perairan Indonesia. Penelitian dilaksanakan selama 11 bulan yaitu mulai dari bulan Juli 2008 hingga bulan Mei Kepiting bakau yang diteliti merupakan hasil tangkapan nelayan di 14 lokasi pengambilan sampel, mencakup Pidie (Nangroe Aceh Darussalam), Tanjung Jabung Timur (Jambi), Bintan (Kep. Riau), Cilamaya (Karawang), Blanakan (Subang), Gebang dan Ambulu (Cirebon), Mataram (Nusa Tenggara Barat), Pontianak dan Samarinda (Kalimantan), Maros dan Teluk Bone (Sulawesi), Jayapura dan Teluk Bintuni (Irian Jaya). Data yang diukur ialah data karakter morfometrik dan meristik kepiting bakau, yang meliputi panjang karapas (P), lebar karapas (L), tinggi tubuh (T), panjang duri orbital pada frontal margin (P.orb), panjang cheliped sebelah kiri dan kanan (PCL dan PCR), panjang profundus sebelah kiri dan kanan (PPL dan PPR), tinggi cheliped sebelah kiri dan kanan (TCL dan TCR), berat tubuh (B), jumlah duri frontal margin (SO), serta jumlah duri anterolateral sebelah kiri dan kanan (SCL dan SCR). Pengukuran karakter morfometrik dan meristik dilakukan secara in situ dan di laboratorium yang bertempat di Laboratorium Biologi Makro I (BIMA I), Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Analisis data meliputi distribusi frekuensi panjang dan lebar karapas, hubungan lebar karapas-berat, analisis komponen utama

4 (principal component analysis), dan analisis biplot. Analisis data dibantu dengan menggunakan software SPSS 15.0 for Windows Evaluation, MINITAB 14.0 dan SAS 9.1. Kepiting bakau yang diteliti berasal dari genus Scylla berjumlah 625 ekor, keseluruhan kepiting ini berasal dari 14 daerah penelitian yang telah ditentukan. Persentase spesies yang paling banyak dikumpulkan selama penelitian ialah Scylla serrata, yaitu 36,64% dari jumlah total sampel, sedangkan persentase spesies yang paling sedikit dikumpulkan ialah Scylla tranquebarica, yaitu sebanyak 28,32% dari jumlah total sampel. Selanjutnya, persentase sampel Scylla oceanica yang diperoleh selama penelitian adalah 35,04% dari jumlah total sampel. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh identifikasi karakter morfologis untuk membedakan ketiga jenis kepiting bakau, yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanica berdasarkan warna karapas, bentuk alur H, bentuk duri frontal margin, duri pada cheliped carpus (inner carpal), serta corak pada pleopod masingmasing spesies. Selanjutnya diketahui bahwa sebagian besar kepiting bakau di seluruh lokasi penelitian lebih banyak dipengaruhi oleh pola pertumbuhan isometrik sedangkan sebagian kecilnya dipengaruhi oleh pola pertumbuhan allometrik negatif. Kemudian masing-masing spesies kepiting bakau memiliki puncak pemijahan dan rekruitmen yang berbeda-beda berdasarkan distribusi frekuensi panjang dan lebar karapas, tetapi seluruhnya berlangsung sepanjang tahun. Berdasarkan analisis komponen utama, diketahui bahwa masing-masing spesies (Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanica) memiliki perbedaan karakter morfometrik dan meristik di setiap lokasi penelitian. Hal ini dikarenakan terdapat pengelompokkan masing-masing spesies di beberapa lokasi penelitian. Karakter morfometrik dan meristik pada ketiga spesies saling berkorelasi positif dan memiliki nilai keragaman yang bervariasi. Setiap spesies kepiting bakau memiliki ukuran yang bervariasi. Kesimpulan yang diperoleh ialah terdapat perbedaan karakter morfometrik dan meristik ketiga spesies kepiting bakau di setiap lokasi penelitian. Hal ini dikarenakan terdapat pengelompokkan masing-masing spesies di beberapa lokasi penelitian berdasarkan analisis komponen utama. Selain itu, ketiga spesies tersebut menyebar luas di perairan Indonesia, meliputi perairan di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua dan penyebaran tersebut tidak dipengaruhi oleh adanya garis Wallace.

5 ANALISA VARIASI KARAKTER MORFOMETRIK DAN MERISTIK KEPITING BAKAU (Scylla spp.) DI PERAIRAN INDONESIA PUPUT FITRI RACHMAWATI C Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

6 PENGESAHAN SKRIPSI Judul Skripsi Nama N I M Program Studi : Analisa Variasi Karakter Morfometrik dan Meristik Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Perairan Indonesia : Puput Fitri Rachmawati : C : Manajemen Sumberdaya Perairan Pembimbing I, Menyetujui: Pembimbing II, Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M. Sc Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M. Sc NIP NIP Mengetahui: Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc NIP Tanggal Ujian: 15 September 2009

7 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul Analisa Variasi Karakter Morfometrik dan Meristik Kepiting Bakau di Perairan Indonesia. Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian pada bulan Juni 2008 hingga Mei 2009 dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari adanya ketidaksempurnaan dalam skripsi ini dikarenakan keterbatasan pengetahuan penulis. Semoga hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangsih bagi ilmu pengetahuan serta bermanfaat untuk berbagai pihak. Bogor, September 2009 Penulis vii

8 UCAPAN TERIMAKASIH Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M. Sc. selaku pembimbing I atas kesabaran, bimbingan, masukan, dan wawasan yang berarti bagi penulis, serta atas izin beliau, penulis dapat bergabung dengan proyek penelitian ini. 2. Dr. Ir. M. Mukhlis Kamal, M. Sc. selaku pembimbing II sekaligus pembimbing akademik atas kesabaran, masukan, arahan, dan wawasan kepada penulis hingga penulisan skripsi ini selesai, serta atas izin beliau, penulis dapat bergabung dengan proyek penelitian ini. 3. Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiandi, M. Sc. selaku dosen penguji tamu dan Dr. Ir. Yunizar Ernawati, M.S. selaku dosen penguji Departemen yang telah memberikan saran dan masukan yang sangat berarti bagi penulis. 4. Ayah dan Ibu tercinta, Bapak Suwandi Sardiyanto dan Ibu Wasi ah, atas semua do a, dukungan, dan kasih sayang yang tidak pernah terputus kepada penulis, serta adik-adikku, Diwa dan Helmi atas keceriaan, dukungan, dan kasih sayang. 6. Bapak Ruslan selaku staf Laboratorium Bio Makro I (BIMA I), Supriyadi, S. Pi., serta staf Tata Usaha MSP yang telah banyak membantu penulis selama penelitian. 7. Naila Faiqotul Muna, teman seperjuanganku selama penelitian yang telah banyak membantu. Teman-teman MSP 41, MSP 43, dan MSP 42 (Pungky, Endah, Ebith, Avie, Silfi, Lenggo, Erys, Eka, Guse, Awan, Moro, Didi, Mecin, Puni, Shiro, Pipit, Irma, Lenny, Wati, Trio Kutai, dan semua yang tidak bisa disebutkan satu persatu) atas bantuan dan kebersamaan yang tak terlupakan. 8. Keluarga besar Darmaga Regency B19 & B24 (Ka Hage, Ayu, Laras, Eno, Zeni, Tyas) atas keceriaan dan canda tawa, serta Reri, Icha, dan Ayu yang telah banyak memberikan semangat dan nasehat selama penulisan skripsi ini. viii

9 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Karawang, pada tanggal 12 Mei 1987 dari pasangan Bapak Suwandi Sardiyanto dan Ibu Wasi ah. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan formal ditempuh di SDN Adiarsa 3 Karawang (1999), SLTPN 2 Karawang (2002) dan SMAN 1 Karawang (2005). Pada tahun 2005, Penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI dan diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama mengikuti perkuliahan penulis berkesempatan menjadi Asisten luar biasa mata kuliah Avertebrata Air (2007/2008 dan 2008/2009), Biologi Perikanan (2007/2008 dan 2008/2009), dan Sumberdaya Perikanan (2008/2009). Selain itu, penulis juga aktif di berbagai organisasi, diantaranya sebagai Sekretaris II (2007/2008) dan Sekretaris I (2008/2009) Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan (HIMASPER), serta anggota Organisasi Mahasiswa Daerah Karawang (PANATAYUDA) pada tahun Penulis pernah mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa di bidang Penelitian dan berhasil didanai DIKTI pada tahun 2006 yang berjudul Penggunaan lendir ikan lele (Clarias batrachus) sebagai obat alternatif Hipertensi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi yang berjudul Analisa Variasi Karakter Morfometrik dan Mersitik Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Perairan Indonesia. ix

10 DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... Halaman 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Kepiting Bakau Genus Scylla Klasifikasi dan identifikasi kepiting bakau Morfologi kepiting bakau Distribusi dan habitat kepiting bakau Daur hidup kepiting bakau Karakteristik lingkungan dan substrat terhadap kepiting bakau Hutan Mangrove Pengertian hutan mangrove Komposisi, fungsi, dan manfaat hutan mangrove Sebaran hutan mangrove di Indonesia Ketergantungan kepiting bakau pada ekosistem mangrove Garis Wallace Karakter Morfometrik dan Meristik serta Hubungan Kekerabatan METODOLOGI Waktu dan Lokasi Penelitian Metode Kerja Identifikasi Morfologi Kepiting Bakau Analisis Data Distribusi frekuensi panjang dan lebar karapas Hubungan lebar karapas-berat Analisis komponen utama (principal component analysis) Analisis biplot HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Jumlah Kepiting Bakau Selama Penelitian Distribusi Frekuensi Panjang Karapas Setiap Spesies Kepiting Bakau Identifikasi Karakter Morfologi Sederhana xii xiii xv x

11 Scylla serrata Scylla tranquebarica Scylla oceanica Pola Pertumbuhan Kepiting Bakau Analisis Komponen Utama (AKU) dan Hubungan Kekerabatan Genus Scylla Scylla serrata Scylla tranquebarica Scylla oceanica Analisis Biplot Karakter Meristik dan Morfometrik Kepiting Bakau Pengelolaan Kepiting Bakau KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xi

12 DAFTAR TABEL Halaman 1. Karakteristik jenis kepiting bakau (Scylla spp.) menurut Estampador Daerah penyebaran spesies Scylla di dunia Luas hutan mangrove di Indonesia Karakter morfometrik kepiting bakau yang diukur Karakter meristik yang kepiting bakau diukur Jumlah kepiting bakau yang dikumpulkan selama penelitian Hasil regresi hubungan lebar karapas-berat Scylla serrata Hasil regresi hubungan lebar karapas-berat Scylla tranquebarica Hasil regresi hubungan lebar karapas-berat Scylla oceanica xii

13 DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Perbandingan bentuk karapas (tampak dorsal dan ventral) serta cheliped carpus pada ketiga spesies Scylla (jantan) (Fushimi & Watanabe 2001) Bagian-bagian tubuh kepiting tampak dorsal (FAO 1998) Bagian-bagian tubuh kepiting tampak ventral (FAO 1998) Daerah penyebaran kepiting bakau menurut Keenan (FAO 1998) Siklus hidup kepiting bakau (Scylla spp.) (Smith et al in Butar-Butar 2006) Peta penyebaran mangrove di Indonesia (warna hijau kehitaman) (Reef at risk 1999 in Fisheries Businnes Center 2009) Garis Wallace (Southchinasea 2009) Lokasi pengambilan sampel kepiting bakau di Perairan Indonesia (peta dimodifikasi dari Karakter morfometrik dan meristik tampak dorsal Karakter morfometrik pada chela Abdomen kepiting jantan (kiri) dan abdomen kepiting betina (kanan) Identifikasi kepiting bakau menurut Estampador (dimodifikasi) (FAO 1998) Distribusi frekuensi panjang karapas Scylla serrata berdasarkan lokasi pengambilan sampel Distribusi frekuensi panjang karapas Scylla tranquebarica berdasarkan lokasi pengambilan sampel Distribusi frekuensi panjang karapas Scylla oceanica berdasarkan lokasi pengambilan sampel Scylla serrata (jantan) Scylla tranquebarica (jantan) Scylla oceanica (jantan) Grafik sebaran nilai b Scylla serrata Grafik sebaran nilai b Scylla tranquebarica Grafik sebaran nilai b Scylla oceanica Grafik score plot Scylla serrata Peta distribusi Scylla serrata di dunia xiii

14 24. Grafik score plot Scylla tranquebarica Peta distribusi Scylla tranquebarica di dunia Grafik score plot Scylla oceanica Peta distribusi Scylla oceanica di dunia Grafik biplot Scylla serrata Grafik biplot Scylla tranquebarica Grafik biplot Scylla oceanica xiv

15 DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1. Contoh sampel kepiting bakau yang telah dinomori Alat yang digunakan selama penelitian Proses pengukuran kepiting bakau saat di lapangan Data sheet parameter karakter morfometrik dan meristik kepiting bakau Data mentah karakter morfometrik dan meristik selama penelitian Distribusi frekuensi panjang karapas tiap spesies kepiting bakau xv

16 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang beriklim tropik. Iklim tropik tersebut menyebabkan Indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang tinggi. Tingginya keanekaragaman hayati tersebut bukan hanya disebabkan oleh letak geografis yang sangat strategis, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor variasi iklim musiman, arus atau massa air laut yang dipengaruhi oleh massa air dari dua samudera, serta keragaman tipe habitat dan ekosistem yang terdapat di dalamnya, salah satunya adalah ekosistem mangrove (Dahuri 2003). Selain itu, Indonesia memiliki sebuah garis hipotesis yang memisahkan wilayah geografi hewan Asia dan Australasia yang ditemukan oleh Alfred Russel Wallace yang bernama garis Wallace. Garis Wallace ditarik melalui kepulauan Melayu (di antara Kalimantan dan Sulawesi) serta di antara Bali dan Lombok. Keanekaragaman jenis hewan di bagian barat dari garis Wallace berhubungan dengan spesies Asia sedangkan di bagian timur berhubungan dengan spesies Australia (Wikipedia 2008). Oleh karena itu terdapat perbedaan karakteristik jenis hewan yang berada di wilayah barat dan timur Indonesia. Perbedaan karakteristik tersebut lebih terfokus pada fauna terestrial sedangkan perbedaan karakteristik pada fauna air belum banyak diketahui, termasuk kepiting bakau. Kepiting bakau (Scylla spp.) merupakan hewan yang berasosiasi kuat dengan hutan mangrove dan memiliki daerah penyebaran yang meluas di seluruh Indonesia. Hutan bakau (mangrove) merupakan ekosistem perairan pesisir yang khas dengan variasi biofisik yang besar. Hal ini menyebabkan biota di daerah tersebut beradaptasi dengan cara memiliki toleransi yang luas terhadap faktor abiotik terutama suhu dan salinitas. Kepiting bakau merupakan hewan pemakan segala dan pemakan bangkai (omnivorous-scavenger), sehingga merupakan salah satu komoditas sumberdaya perikanan yang sangat potensial dikembangkan di Indonesia karena pembudidayaannya tidak sulit. Selain itu, Indonesia memiliki sekitar 3,5 juta Ha hutan mangrove (pada tahun 1996) yang merupakan habitat dari kepiting bakau (Dahuri 2003). Kepiting bakau biasanya ditangkap dengan menggunakan perangkap

17 2 bambu (wadong) dan jaring angkat (lift net atau disebut juga pintur) (Sulistiono et al. 1994). Kepiting bakau tidak hanya diminati oleh konsumen dalam negeri tetapi juga diminati konsumen luar negeri. Menurut Kasry (1996) kepiting bakau banyak dikonsumsi masyarakat terutama kepiting yang sedang bertelur karena rasa dagingnya yang enak. Kepiting bakau juga mengandung protein yang sangat tinggi dan memiliki nilai ekonomis yang cukup tinggi (Kordi 1997). Studi mengenai kepiting bakau hingga saat ini sudah meliputi aspek reproduksi, makanan dan kebiasaan makan, serta aspek lainnya yang berkaitan dengan hutan mangrove yang merupakan habitat kepiting bakau. Penelitian mengenai sumberdaya hayati kepiting bakau masih minim, terutama studi mengenai aspek morfometrik-meristik kepiting bakau sebagai dasar identifikasi spesies. Penelitian yang telah dilakukan baik di Indonesia maupun luar negeri, diantaranya adalah bioekologi kepiting bakau (Scylla spp.) di ekosistem mangrove Kabupaten Subang, Jawa Barat (Siahainenia 2008); kualitas habitat kepiting bakau Scylla serrata, S. oceanica, S. tranquebarica di hutan mangrove RPH Cibuaya, Karawang (Sirait 1997); permasalahan identifikasi spesies kepiting bakau genus Scylla (Brachyura: Portunidae) (Fushimi & Watanabe 2001); pengelolaan dan ekologi kepiting bakau Scylla spp. (Le Vay 2001); penangkapan kepiting bakau berbasis akuakultur (Shelley 2008); dan analisa multifaktor kepiting bakau Scylla serrata (Brachyura: Portunidae) yang berasal dari empat lokasi di Asia Tenggara (Overton et al. 1997). Minimnya informasi mengenai sumberdaya hayati kepiting bakau dapat menjadi faktor penghambat dalam usaha pemanfaatan dan pengelolaannya. Oleh karena itu, diperlukan penelitian mengenai sumberdaya kepiting bakau terutama mengenai aspek yang terkait dengan informasi dasar biologi perikanan seperti karakteristik morfometrik-meristik yang selanjutnya dapat digunakan sebagai dasar identifikasi spesies Rumusan Masalah Indonesia memiliki sebuah garis hipotesis, yang bernama garis Wallace, yang membentang di antara Kalimantan dan Sulawesi serta di antara Bali dan Lombok. Garis Wallace memisahkan distribusi flora dan fauna terestrial di Indonesia, dimana

18 3 pada bagian barat garis Wallace berhubungan dengan spesies di Asia, sedangkan pada bagian timur garis Wallace berhubungan dengan spesies Australia (Wikipedia 2008). Hingga saat ini, belum diketahui apakah hal tersebut berpengaruh pada fauna air, salah satunya adalah kepiting bakau. Kepiting bakau merupakan salah satu hewan yang berasosiasi dengan hutan bakau (mangrove) dan memiliki distribusi yang luas di perairan Indonesia. Namun, berdasarkan data hasil tangkapan yang berasal dari Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP 2006), hasil tangkapan kepiting bakau di daerah Jawa bagian utara selama kurun waktu 3 tahun (2003 sampai 2005) menurun dari 41 ton/tahun menjadi 24 ton/tahun. Selain peningkatan eksploitasi kepiting bakau, eksploitasi habitat dan perubahan lingkungan menjadi faktor-faktor penyebab menurunnya populasi kepiting bakau. Jika hal ini terus berlanjut, dikhawatirkan akan terjadi perubahan variasi morfometrik sehingga akan berdampak pada penurunan keanekaragaman kepiting bakau di perairan Indonesia. Berdasarkan kenyataan ini, diperlukan suatu kajian mengenai keanekaragaman populasi kepiting bakau. Kajian tersebut diteliti melalui analisa variasi morfometrik dan meristik. Analisa karakter morfometrik-meristik kepiting bakau dapat digunakan sebagai acuan dasar bagi pengelolaan sumberdaya hayati kepiting di Indonesia sehingga diperoleh pemanfaatan kepiting bakau yang optimal dengan tetap memperhatikan kelestariannya Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan karakteristik morfometrik dan meristik kepiting bakau (Scylla spp.) yang ada di perairan Indonesia berdasarkan perbedaan lokasi penelitian Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dasar mengenai jenis dan penyebaran kepiting bakau di perairan Indonesia, informasi mengenai variasi karakter morfometrik dan meristik berdasarkan spesies kepiting bakau, serta sebagai bahan acuan dalam pengelolaan kepiting bakau di perairan Indonesia.

19 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kepiting Bakau Genus Scylla Klasifikasi dan identifikasi kepiting bakau Kepiting bakau tergolong dalam famili Portunidae yang terdiri atas 6 subfamili, yaitu: Carcininae, Polybiinae, Caphrynae, Catoptrinae, Podopthalminae, dan Portuninae. Moosa et al. (1985) memperkirakan bahwa terdapat sekitar 234 jenis kepiting yang tergolong ke dalam subfamili Portuninae di wilayah Indopasifik Barat dan 124 jenis di wilayah Indonesia. Portunidae tergolong ke dalam kelompok kepiting perenang (swimming crab) karena memiliki pasangan kaki terakhir yang memipih dan digunakan untuk berenang. Famili Portunidae mencakup rajungan (Portunus, Charybdis, dan Thalamita) dan kepiting bakau (Scylla spp). Kepiting bakau memiliki nama lokal yang beragam, yaitu kepiting (Jawa), katang nene (Maluku Tengah), dan ketam batu (Sumatera). Di mancanegara, kepiting bakau pun memiliki nama yang beragam yaitu kepiting batu (Malaysia) (Oong 1966 in Siahainenia 2008), kepiting lumpur atau mud crab (Australia), kepiting samoa (Hawaii), alimango (Philipina), tsai jim (Taiwan), serta nokoro gozami (Jepang) (Cowan 1984 in Siahainenia 2008). Aiyun & Siliang (1991) dan Sukarya (1991) in Sulistiono et al. (1994), mengklasifikasikan kepiting bakau sebagai berikut: Filum Kelas Ordo Sub ordo Infra ordo Famili Sub famili Genus Spesies : Arthropoda : Crustacea : Decapoda : Pleocyemata : Brachyura : Portunidae : Portuninae : Scylla (de Haan) : Scylla serrata (Forskal) Scylla tranquebarica (Dana) Scylla oceanica (Fabricious) Hingga saat ini, pengidentifikasian spesies kepiting bakau masih kontroversi. Beberapa tahun yang lalu, hanya terdapat satu spesies yang dikenal sebagai genus Scylla (Fuseya 1998 in Fushimi & Watanabe 2001). Akan tetapi, saat ini para

20 5 peneliti telah melaporkan bahwa genus Scylla memiliki beberapa spesies (Estampador 1949 in Fushimi & Watanabe 2001). Estampador (1949) in Fushimi & Watanabe (2001), mengklasifikasikan kepiting bakau menjadi tiga spesies dan satu varietas, yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, Scylla oceanica, dan Scylla serrata var. paramamosain. Karaketristik morfologi yang telah ditemukan dari ketiga spesies tersebut sesuai dengan deskripsi yang dijabarkan oleh Estampador pada tahun Karakteristik morfologi dari rostrum dan gigi anterolateral serta cheliped pada kepiting bakau dapat dilihat sebagai berikut: Scylla serrata: duri frontal margin tumpul berukuran sama dan duri anterolateral berjumlah 9 dengan gigi yang bergerigi tajam dan berukuran sama; Scylla tranquebarica: duri frontal margin tajam dengan duri berukuran sama dan duri anterolateral berjumlah 9 dengan gigi yang bergerigi tajam dan berduri; Scylla oceanica: duri frontal margin tajam berukuran sama dan duri anterolateral berjumlah 9 dengan gigi yang bergerigi tajam. Selain itu terdapat pembeda lainnya, yaitu jumlah duri pada cheliped carpus dan corak pada pleopod pertama yang terdapat pada ketiga spesies kepiting bakau. Perbedaan dari ketiga spesies kepiting bakau di atas dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Perbandingan bentuk karapas (tampak dorsal dan ventral) serta cheliped carpus pada ketiga spesies Scylla (jantan) (Fushimi & Watanabe 2001).

21 6 Fuseya & Watanabe (1996) in Fushimi & Watanabe (2001) juga mengklasifikasikan kepiting bakau menjadi 3 spesies, yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanica berdasarkan klasifikasi Estampador. Perbedaan nyata tersebut ditemukan pada 3 dari 17 loci sampel dan jarak genetik relatifnya pun telah dihitung antara ketiga spesies kepiting bakau dari genus Scylla. Ketiga spesies kepiting bakau yang diklasifikasikan oleh Estampador berdasarkan ciri morfologis memiliki kesamaan dengan hasil percobaan di atas. Akan tetapi, analisis genetik memperlihatkan bahwa Scylla serrata dan Scylla tranquebarica berkorelasi lebih dekat dibandingkan dengan Scylla oceanica. Informasi tersebut diperoleh dari investigasi mutakhir yang menyatakan bahwa ketiga spesies kepiting bakau benarbenar berbeda dan dapat dibedakan. Selanjutnya Klinbunga et al. (2001) in Watanabe et al. (2002) melakukan studi dengan menggunakan sampel dari Thailand dan menyatakan bahwa telah ditemukan tiga spesies kepiting bakau dengan menggunakan analisa RAPD dari DNA genom, ketiga spesies kepiting bakau (S. serrata, S. tranquebarica, S. oceanica) tersebut sesuai dengan kriteria yang telah dijabarkan oleh Estampador. Berdasarkan perbedaan tersebut, penulis menggunakan identifikasi kepiting genus Scylla berdasarkan deskripsi morfologi dari Estampador yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanica karena telah diuji oleh berbagai ahli di bidangnya Morfologi kepiting bakau Menurut Moosa (1981) in Siahainenia (2008) untuk mengenal dan memberikan diagnosa dari tiga jenis krustasea, terlebih dahulu diperlukan pengetahuan tentang istilah bagian-bagian tubuh yang biasanya digunakan dalam taksonomi kepiting bakau. Dijelaskan pula bahwa bagian-bagian tubuh penting yang digunakan dalam pengenalan jenis famili Portunidae adalah sebagai berikut dan dapat dilihat pada Gambar 2 dan Gambar 3: a. Karapas (carapace), yaitu selubung kepala-dada serta bagian-bagian yang ada di atasnya. b. Jumlah, bentuk dan sifat duri pada bagian dahi karapaks (rostrum). c. Jumlah, bentuk dan sifat duri pada tepi antero-lateral karapaks. d. Bentuk sudut postero-lateral tubuh.

22 7 e. Bagian-bagian yang terdapat pada ruas-ruas kaki jalan (periopod), terutama dari pasangan kaki pertama yang berbentuk capit (cheliped) dan pasangan kaki terakhir yang berbentuk dayung (pleopod). f. Bentuk tutup abdomen dan bentuk pleopod. g. Bentuk mulut terutama maxiliped III. h. Bentuk bagian ruas dasar antena (basal antennal joint). Secara umum, ciri dari jenis-jenis organisme yang tergolong ke dalam famili Portunidae adalah: karapas pipih atau agak cembung, berbentuk heksagonal atau agak persegi, bentuk umum adalah bulat telur memanjang atau berbentuk kebulatbulatan, karapas umumnya berukuran lebih lebar daripada panjangnya dengan permukaan yang tidak selalu jelas pembagiannya, dan memiliki tepi antero-lateral karapaks dengan jumlah duri lima (jarang kurang dari lima kecuali pada subfamili Podopthalminae) sampai sembilan buah. Kemudian memiliki dahi lebar serta terpisah dengan jelas dari sudut supraorbital dan memiliki jumlah duri dua sampai enam buah, antena (antennulae) kecil terletak menyerong atau melintang, pasangan kaki terakhir berbentuk pipih menyerupai dayung, terurtama pada dua ruas terakhir (terdapat beberapa genus yang tidak berbentuk demikian) (Moosa et al. 1985). Menurut Kasry (1996) kepiting bakau memiliki karapaks berwarna seperti lumpur atau sedikit kehijauan, pada bagian kiri dan kanan karapas terdapat sembilan buah duri tajam, dan pada bagian depan karapas di antara kedua tangkai matanya terdapat enam buah duri. Dalam keadaan normal sapit kanan lebih besar daripada sapit kiri dengan warna kemerah-merahan pada masing-masing ujung sapit. Kepiting bakau memiliki tiga kaki pejalan dan satu kaki perenang, di mana kaki perenang tersebut terdapat pada bagian ujung perut dan ujung kaki perenang ini dilengkapi dengan alat pendayung. Selanjutnya Sulistiono et al. (1992) in Mulya (2000) menyatakan bahwa secara umum karapas berbentuk cembung dan halus, lebar karapas satu setengah dari panjangnya, bentuk alur H antara gastric (pencernaan) dan cardiac (jantung) jelas, empat gigi triangular pada lengan bagian depan mempunyai ukuran yang sama, orbit lebar dan memiliki dua celah, ruas-ruas abdomen pada kepiting bakau jantan berbentuk segitiga sedangkan pada kepiting bakau betina berbentuk sedikit membulat. Akan tetapi ketiga spesies kepiting bakau

23 8 S. serrata, S. tranquebarica, dan S. oceanica memiliki morfologi yang berbedabeda, perbedaan morfologi tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Gambar 2. Bagian-bagian tubuh kepiting tampak dorsal (FAO 1998).

24 Gambar 3. Bagian-bagian tubuh kepiting tampak ventral (FAO 1998). 9

25 10 Tabel 1. Karakteristik jenis kepiting bakau (Scylla spp) menurut Estampador. Warna dan ciri Scylla Scylla serrata var. Scylla serrata Scylla oceanica morfologis tranquebarica paramamosain Warna Coklat merah Hijau keabuabuan Hijau buah zaitun Coklat kehijauan karapaks seperti karat Sumber pigmen polygonal Tidak ada Pada capit dan semua kaki jalan Hanya pada bagian terakir kaki jalan Pigmen putih pada bagian terakhir dari kaki Bentuk alur H pada Tidak dalam Dalam Dalam Relatif tidak begitu dalam karapaks Bentuk duri Tumpul Tajam Tajam Sedang depan Bentuk duri Duri tidak ada Kedua duri jelas Kedua duri jelas - pada fingerjoint dan berubah menjadi vestigial dan runcing dan satu agak tumpul Bentuk rambut/setae Hanya pada hepatic area Melimpah pada karapaks - - Sumber: Estampador (1949) in Siahainenia (2008). Menurut Moosa et al. (1985) kepiting bakau genus Scylla di Indonesia memiliki dua warna dasar berbeda, yaitu yang termasuk warna kehijauan atau hijau keabuan (S. oceanica dan S. tranquebarica) serta kelompok yang berwarna dasar hijau-merah-kecoklatan (S. serrata dan S. serrata var. paramamosain). Jenis S. oceanica dan S. tranquebarica biasanya ditemukan pada perairan terbuka sedangkan jenis S. serrata dan S. serrata var. paramamosain ditemukan meliang di daerah mangrove. Selanjutnya, Kathirvel & Srinivasagam (1992) menyatakan bahwa morfologi dari Scylla oceanica dan Scylla tranquebarica memiliki kesamaan, yaitu kedua spesies Scylla ini dapat tumbuh dengan ukuran yang sangat besar, keduanya tidak hidup meliang, dan memiliki dua duri tajam pada sisi terluar cheliped carpus. Variasi warna yang terdapat pada karapas dari kedua spesies ini disebabkan oleh perbedaan letak geografis. Sedangkan spesies Scylla serrata memiliki ukuran tubuh yang lebih kecil dibandingkan S. oceanica dan S. tranquebarica, hidupnya meliang, serta hanya memiliki satu duri yang tumpul pada sisi terluar cheliped carpus Distribusi dan habitat kepiting bakau Kepiting bakau hanya tersebar di perairan tropik atau pada perairan berkondisi tropik. Daerah sebarannya meliputi wilayah Indopasifik, mulai dari pantai selatan dan timur Afrika Selatan, Mozambik, Iran, Pakistan, India, Srilangka, Bangladesh, pulau-pulau di lautan Hindia, Kamboja, Vietnam, negara-negara ASEAN, Jepang,

26 11 Taiwan, serta Filipina. Kemudian kepiting bakau pun ditemukan di pulau-pulau Lautan Pasifik mulai dari Kepulauan Hawaii sampai ke Selandia Baru dan Australia (Kasry 1996). Menurut Sulistiono et al. (1994) kepiting bakau ditemukan di perairan payau dan sebagian besar tertangkap di wilayah pesisir perairan Indonesia (Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya). Pemusatan daerah pengusahaan kepiting bakau berkaitan dengan habitat yang masih baik, antara lain terdapat di selatan Jawa (Cilacap), utara Jawa (Tanjung Pasir, Pamanukan), barat Sumatera (Bengkulu, Riau), timur Kalimantan (Kota Baru, Pasir, Balikpapan), Sulawesi (Teluk Bone, Teluk Kolono, Kendari), Nusa Tenggara Barat (Teluk Waworada, Teluk Bima), dan Irian Jaya (Teluk Bintuni, Biak Nimfor) (Asmara 2004). Secara representatif, kepiting bakau genus Scylla memiliki daerah sebaran yang luas yaitu di sepanjang Indo-Pasifik Barat, dimana daerah penyebaran dari maisng-masing spesies dapat dipisahkan secara jelas menurut Keenan (Tabel 2 dan Gambar 4). Scylla serrata (S. oceanica Estampador) memiliki daerah penyebaran paling luas, yang meliputi Samudera Hindia bagian Barat hingga ke Kepulauan Pasifik Selatan. S. tranquebarica (S. serrata var. paramamosain Estampador) dan S. olivacea (S. serrata Estampador) memiliki daerah penyebaran yang terfokus di Laut Cina Selatan yang memanjang sampai Samudera Hindia dan Samudera Pasifik bagian Barat. Sementara itu, S. paramamosain (S. tranquebarica Estampador) memiliki daerah penyebaran yang terbatas, kebanyakan berada di Laut Cina Selatan dan Laut Jawa (Le Vay 2001 dan Keenan et al in Watanabe et al. 2002). Tabel 2. Daerah penyebaran spesies Scylla di dunia. Spesies Daerah Penyebaran S. serrata Indo-Pasifik Barat: Afrika Selatan, Laut Merah, Australia, Filiphina, Kepulauan Pasifik (Fiji, P. Solomon, Caledonia Baru, Samoa Barat), Taiwan, Jepang. S. paramamosain Laut Cina Selatan: Kamboja, Vietnam, Singapura, Cina, Taiwan, Hong Kong; Laut Jawa: Kalimantan, Jawa Tengah. S. olivacea Samudera Hindia: Pakistan hingga Australia Barat; Laut Cina Selatan: Thailand, Singapura, Vietnam, Sarawak hingga Cina Selatan; Samudera Pasifik: Filipina, Timor-Timur, Teluk Carpentaria. S. tranquebarica Samudera Hindia: Pakistan hingga Malaysia; Laut Cina Selatan: Sarawak, Singapura; Samudera Pasifik: Filiphina. Sumber: Keenan et al. (1998) in Le Vay (2001).

27 12 Gambar 4. Daerah penyebaran kepiting bakau di dunia menurut Keenan (FAO 1998). Kepiting bakau dapat ditemukan di daerah estuari dan daerah pesisir yang tertutup, secara umum kepiting bakau biasanya berasosiasi kuat dengan hutan mangrove, terutama daerah estuari. Selanjutnya, terdapat kondisi yang membedakan distribusi lokal dan kelimpahan keempat spesies kepiting bakau secara kompleks, Hill (1975;1978); Hill et al. (1982) in Le Vay (2001) menyatakan bahwa distribusi dan kelimpahan kepiting bakau bergantung pada stadia perkembangan kepiting bakau. Kepiting bakau juvenil hingga ukuran karapaks 8 cm biasanya melimpah pada daerah intertidal, sedangkan kepiting bakau subadult dan dewasa berada di daerah subtidal. Chandrasekaran & Natarajan (1994) in Le Vay (2001) menyatakan bahwa juvenil baru kepiting bakau akan lebih memilih berada di lingkungan perairan yang tertutupi oleh lamun, alga, dan akar mangrove. Menurut Kasry (1996) kepiting bakau akan beruaya dari perairan pantai ke perairan laut, kemudian induk dan anak-anaknya akan berusaha kembali ke perairan pantai, muara sungai atau perairan hutan bakau untuk berlindung, mencari makan, atau membesarkan diri. Kepiting bakau yang telah siap melakukan perkawinan akan beruaya dari perairan bakau ke tepi pantai dan selanjutnya ke tengah laut untuk

28 13 melakukan pemijahan. Kepiting jantan yang telah melakukan perkawinan akan kembali ke perairan hutan bakau atau paling jauh di sekitar perairan pantai yaitu pada bagian-bagian yang berlumpur dengan organisme makanan yang berlimpah. Telur kepiting yang telah dibuahi akan menetas menjadi zoea (Z I, II, III, IV, V), megalopa, kepiting muda, dan akhirnya menjadi kepiting dewasa. Kepiting muda akan kembali ke pantai atau kawasan bakau untuk mencari makan dan tempat berlindung yang aman Daur hidup kepiting bakau Potensi reproduksi kepiting bakau sangat tinggi, menurut Arriola (1940) in Moosa et al. (1996) satu induk kepiting bakau dapat memijahkan telur dua juta telur. Daur hidup kepiting bakau dimulai dari telur hingga mencapai kepiting dewasa melalui beberapa tingkat perkembangan, antara lain tingkat zoea, tingkat megalopa, tingkat kepiting muda, dan tingkat kepiting dewasa (Gambar 5) (Ong Kah Sin 1964; Motoh et al in Moosa et al. 1985). Sedangkan menurut Estampador (1949) in Moosa et al. (1985) perkembangan kepiting bakau terbagi ke dalam tiga tahap, yaitu tahap embrionik, tahap larva, dan tahap postlarvae. Menurut Ong Kah Sin (1964); Motoh et al. (1977) in Moosa et al. (1985) dalam perkembangan dari tingkat zoea ke tingkat zoea selanjutnya memerlukan waktu 3-4 hari, dan untuk perkembangan tingkat zoea seluruhnya memerlukan waktu minimal 18 hari. Dalam perkembangan tingkat zoea menuju tingkat megalopa, terdapat lima kali pergantian kulit (moulting). Ukuran panjang tubuh dari setiap tingkatan dari setiap pergantian kulit (moulting) zoea ialah 1,15 mm (zoea tingkat 1); 1,51 mm (zoea tingkat 2); 1,93 mm (zoea tingkat 3); 2,40 mm (zoea tingkat 4), dan 3,45 mm (zoea tingkat 5). Selanjutnya dari tingkat megalopa ke tingkat kepiting muda (instar 1) memerlukan waktu hari dengan salinitas 31 ± 2 ppt, sedangkan jika dilakukan pada salinitas ppt akan diperlukan waktu 7-8 hari. Kepiting bakau hanya memiliki satu tingkat perkembangan megalopa dan kuran panjang karapas dan lebar karapas pada tingkat megalopa ialah 2,18 mm dan 1,52 mm. Menurut Smit et al. (2004) in Butar-Butar (2006) waktu yang diperlukan kepiting dewasa yang siap memijah adalah antara 18 hingga 24 bulan, dimana

29 14 kepiting dewasa akan memijah pada bulan-bulan yang memiliki suhu perairan lebih hangat. Gambar 5. Siklus hidup kepiting bakau (Scylla spp) (Smit et al in Butar- Butar 2006) Karakteristik lingkungan dan substrat terhadap kepiting bakau Parameter fisika dan kimia adalah faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan kepiting bakau, diantaranya adalah salinitas, suhu, ph, kedalaman air saat pasang surut, serta substrat dasar. Kepiting bakau di alam menempati habitat yang berbeda-beda bergantung pada stadia daur hidupnya. Untuk mengetahui kekhususan habitat kepiting bakau diperlukan pengetahuan mengenai parameter fisika dan kimia di mana organisme ini berada (Mulya 2000). Kasry (1996) menyatakan kisaran salinitas yang dapat ditolerir kepiting bakau cukup luas. Kepiting bakau dapat hidup pada kisaran salinitas yang lebih kecil dari 15 dan lebih besar dari 30. Hill (1978) in Mulya (2000) menyatakan bahwa S. serrata mampu mentolerir perairan dengan salinitas hingga 60. Keenan et al. (1998) in Le Vay (2001) menyatakan bahwa keempat spesies Scylla pada stadia larva atau juvenil memiliki toleransi yang berbeda-beda terhadap salinitas. Scylla serrata lebih dominan berada di perairan dengan salinitas 34 dan berada di daerah mangrove yang tergenang oleh air laut selama hampir sepanjang tahun sedangkan

30 15 spesies lainnya lebih banyak berada di perairan dengan salinitas 33 di daerah estuari yang tergenang air laut secara periodik. Selanjutnya, suhu air mempengaruhi pertumbuhan (moulting), aktivitas dan nafsu makan kepiting bakau (Hill 1982 in Mulya 2000). Fieder dan Haesman (1978) in Siahainenia (2008) menyatakan bahwa perairan yang bersuhu tinggi cenderung akan meningkatkan pertumbuhan kepiting bakau sehingga waktu untuk mencapai dewasa menjadi singkat. Menurut Baliao (1983) in Siahainenia (2008) disamping kepadatan makanan, suhu perairan diduga berperan terhadap efisiensi pemanfaatan makanan dan peningkatan kelulushidupan larva kepiting bakau. Dinyatakan pula bahwa kepiting bakau akan tumbuh lebih cepat pada perairan dengan kisara suhu 23 o C 32 o C. Wahyudi dan Ismail (1987) in Mulya (2000) menyatakan bahwa kepiting bakau dapat hidup pada kondisi perairan asam, yaitu pada daerah bersubstrat lumpur dengan ph rata-rata 6,5. Pendapat ini didukung oleh La Sara (1994) in Mulya (2000) yang menyatakan bahwa kepiting bakau dapat hidup pada kisaran ph 6,5-7,0. Kedalaman air berpengaruh bagi kehidupan kepiting bakau pada saat terjadi perkawinan. Kepiting bakau dapat hidup pada perairan yang dangkal. Wahyuni dan Ismail (1987) in Mulya (2000) berpendapat bahwa kepiting bakau dapat hidup pada kedalaman 30 cm 79 cm di perairan dekat hutan mangrove dan pada kedalaman 30 cm 125 cm di muara sungai. Kepiting bakau menuju perairan dangkal pada waktu siang hari (Hill 1980 in Mulya 2000). Menurut Snedaker dan Getter (1985) in Siahainenia (2008) habitat kepiting bakau adalah perairan intertidal (dekat hutan mangrove) yang bersubstrat lumpur. Substrat di sekitar hutan mangrove sangat mendukung kehidupan kepiting bakau terutama dalam melangsungkan perkawinan Hutan Mangrove Pengertian hutan mangrove Kata mangrove merupakan perpaduan antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Dalam bahasa Inggris, kata mangrove dipergunakan baik untuk komunitas pohon-pohonan, rumput-rumputan, maupun semak belukar yang tumbuh di laut. Sedangkan dalam bahasa Portugis, kata mangrove dipergunakan

31 16 untuk individu-individu jenis mangrove tersebut (Macnae 1969 in Pramudji 2004). Hutan mangrove adalah suatu formasi hutan yang mampu tumbuh dan berkembang di daerah tropik dan subtropik pada lingkungan pesisir yang berkadar garam sangat ekstrim, jenuh air, serta kondisi tanah yang tidak stabil dan anaerob yang selalu dipengaruhi oleh pasang surut. Umumnya hutan mangrove tumbuh dan berkembang dengan baik pada kawasan pesisir di daerah yang terlindung dari hempasan ombak dan ditopang oleh adanya aliran sungai yang selalu membawa material, misalnya di daerah pesisir teluk, muara sungai, delta, dan estuari (Pramudji 2004) Komposisi, fungsi, dan manfaat hutan mangrove Komposisi flora yang terdapat pada ekosistem mangrove ditentukan oleh beberapa faktor penting, seperti kondisi jenis tanah dan genangan pasang-surut. Komunitas mangrove di Indonesia memiliki keragaman hayati tertinggi di dunia, dengan jumlah total kurang lebih 89 spesies yang terdiri atas 35 spesies tanaman, 9 spesies perdu, 9 spesies liana, 29 spesies epifit, dan 2 spesies parasit. Beberapa jenis yang umum dijumpai di wilayah pesisir Indonesia adalah: bakau (Rhizophora), apiapi (Avicennia), pedada (Sonneratia), tanjang (Bruguiera), nyirih (Xyclocarpus), tengar (Ceriops), dan buta-buta (Exoecaria). Dikarenakan sifat lingkungan hutan mangrove yang keras, misalnya karena genangan pasang-surut air laut, perubahan salinitas yang besar, perairan berlumpur tebal dan anaerobik, maka pohon-pohon mangrove telah beradaptasi baik secara morfologi maupun fisiologi (Nontji 2007). Mangrove umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang selalu dipengaruhi oleh air tawar serta terlindung dari hempasan ombak. Oleh karena itu, magrove banyak tumbuh di kawasan pesisir yang terlindung. Sehubungan dengan hal tersebut, untuk mempertahankan eksistensinya mangrove memiliki daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan pesisir yang sangat ekstrim (Smith 1987 in Pramudji 2004). Kemampuan mangrove untuk beradaptasi terhadap lingkungan tersebut adalah adaptasi terhadap salinitas dan suhu udara yang tinggi dengan cara memiliki daun yang tebal, kuat, serta sel khusus untuk menyimpan garam; adaptasi terhadap kadar oksigen yang rendah dengan cara memiliki bentuk perakaran yang khas; serta adaptasi terhadap substrat (sedimen) dengan cara memiliki struktur

32 17 perakaran yang mampu menahan dan mengendapkan bahan organik (Pramudji 2004). Besarnya daya adaptasi jenis tumbuhan mangrove terhadap kisaran salinitas mempengaruhi terjadinya pemintakatan atau zonasi pada kawasan hutan mangrove. Pembagian zonasi hutan mangrove berdasarkan perbedaan salinitas tersebut adalah sebagai berikut (Pramudji 2004): a. Zona garis pantai, yaitu kawasan hutan mangrove yang berhadapan langsung dengan laut. Zona ini umumnya memiliki lebar sekitar meter dari garis pantai. Jenis mangrove yang biasa ditemukan pada zonasi ini adalah Rhizophora stylosa, R. mucronata, Avicennia marina, dan Soneratia alba. b. Zona tengah, yaitu kawasan hutan mangrove yang terletak di belakang zona garis pantai dan memiliki substrat berupa lumpur liat. Pada zona ini umumnya ditemukan jenis Rhizopora apiculata, Avicennia officinalis, Bruguiera cylindrica, B. gymnorrhiza, B. parviflora, B. sexangula, Ceriops tagal, Aegiceras corniculatum, Sonneratia caseolaris, dan Lumnitzera littorea. c. Zona belakang, yaitu kawasan hutan mangrove yang berbatasan dengan hutan darat. Jenis mangrove yang tumbuh pada pada zona ini adalah Xylocarpus granatum, Excoecaria agalocha, Nypa fruticans, Derris trifolia, Osbornea octodonta, dan Heritiera littoralis. Sedangkan pembagian zonasi hutan mangrove berdasarkan jenis vegetasi yang dominan mulai dari arah laut ke darat berturut-turut adalah zona Avicennia, zona Rhizophora, zona Bruguiera, dan zona Nypa (Arief 2003 in Pramudji 2004). Menurut Pramudji (2004), hutan mangrove memiliki beberapa fungsi penting berdasarkan aspek ekologinya, yaitu: a. Sebagai sumber nutrisi (nursery ground), karena didalamnya terjadi proses biologi yang dimanfaatkan oleh berbagai biota laut. b. Sebagai tempat penghasil oksigen. c. Sebagai tempat memijah (spawning ground), pembesaran, mencari makan (feeding ground) serta habitat dari berbagai biota laut, yaitu ikan, udang, kepiting, dan kerang-kerangan. d. Sebagai tempat berlindung dan berkembangnya hewan-hewan darat, seperti burung, kelelawar, kera, buaya, biawak, dan ular.

33 18 e. Sebagai sumber plasma nutfah dan genetika. f. Sebagai pelindung pantai dari abrasi, banjir, serta bencana gelombang pasang tsunami. g. Membantu dalam perluasan tanah dengan membentuk teras-teras pantai di kawasan pesisir, karena akar mangrove mampu menahan sedimen yang terbawa aliran sungai. h. Sebagai kawasan penyangga proses intrusi air laut ke daratan, serta mampu berperan sebagai filter untuk menyerap air limbah industri maupun air limbah rumah tangga. Selain itu hutan mangrove juga memiliki manfaat yang sangat besar bagi masyarakat pesisir, manfaat tersebut antara lain adalah sebagai penyedia keperluan rumah tangga, misalnya: kayu bangunan, kayu, dan arang; sebagai area tambak udang dan ikan; sebagai bahan baku kertas, penyamak kulit, dan kayu lapis untuk industri; sebagai tempat penghasil benih ikan, udang, kepiting, dan kerang; serta sebagai kawasan ekowisata bagi masyarakat maupun sebagai tempat penelitan dan pendidikan (Pramudji 2004) Sebaran hutan mangrove di Indonesia Luas hutan mangrove di seluruh Indonesia diperkirakan sekitar 4,25 juta hektar atau 3,98% dari seluruh luas hutan Indonesia (Nontji 2007). Luas hutan mangrove di Indonesia pada tahun 1982 diperkirakan sekitar 4,25 juta hektar namun pada tahun 1993 atau dalam kurun waktu 11 tahun, luas hutan mangrove tersebut turun menjadi 2,49 juta hektar (Pramudji 2004). Area hutan mangrove yang luas antara lain terdapat di pesisir Sumatera sebesar 19,7%, pesisir Kalimantan sebesar 26,2%, dan pesisir selatan Papua sebesar 30% (Pramudji 2004; Nontji 2007). Pulaupulau tersebut memiliki banyak aliran sungai besar dan panjang dengan tipe delta beragam sebagai akibat dari arus sungai yang membawa materi ke muara (Pramudji 2004). Sebaran dan luas hutan mangrove di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 3.

34 19 Tabel 3. Luas hutan mangrove di Indonesia. Provinsi Luas (ha) Sumatera: Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu <2.000 Lampung Jawa dan Bali: DKI Jakarta dan Jawa Barat <5.000 Jawa Tengah Jawa Timur 500 Bali <500 Kalimantan: Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Nusa Tenggara: NTB NTT Sulawesi: Sulawesi Utara Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Maluku: Irian Jaya: Indonesia: Sumber: Parry (1996) in Pramudji (2004). Akan tetapi, saat ini luas hutan mangrove di Indonesia telah mengalami penambahan, hal ini dikarenakan adanya penanaman kembali lahan mangrove di bekas tambak. FAO (2007) menyatakan luas hutan mangrove di Indonesia pada tahun 2005 mencapai ha.

35 20 Gambar 6. Peta penyebaran mangrove di Indonesia (warna hijau kehitaman) (Reef at Risk 1999 in Fisheries Businnes Center 2009). 20

36 Ketergantungan kepiting bakau pada ekosistem mangrove Kepiting bakau menjalani sebagian besar daur hidupnya di ekosistem mangrove dan memanfaatkan ekosistem mangrove sebagai habitat alami utamanya, yakni sebagai tempat berlindung, mencari makan, dan pembesaran. Kepiting bakau melangsungkan perkawinan di perairan hutan mangrove dan secara berangsurangsur sesuai dengan perkembangan telurnya, kepiting betina akan beruaya dari perairan hutan mangrove ke laut untuk memijah. Sedangkan kepiting bakau jantan akan tetap berada di perairan hutan mangrove untuk melanjutkan aktifitas hidupnya. Setelah memijah, kepiting bakau betina akan kembali ke hutan mangrove, demikian pula dengan dengan juvenil kepiting bakau yang akan bermigrasi ke hulu estuaria untuk kemudian berangsur-angsur memasuki hutan mangrove (Siahainenia 2008). Ekosistem mangrove merupakan tempat ideal bagi kepiting bakau untuk berlindung. Kepiting muda yang berasal dari laut, banyak dijumpai di sekitar estuari dan hutan mangrove karena terbawa arus laut dan pasang sehingga akan menempel pada akar-akar mangrove untuk berlindung (Hutching & Saenger 1987 in Siahainenia 2008). Sedangkan kepiting bakau dewasa merupakan penghuni tetap hutan mangrove dan sering dijumpai membenamkan diri dalam substrat lumpur atau menggali lubang pada substrat lunak sebagai tempat persembunyian (Queensland Departement of Industries 1989 in Siahainenia 2008). Lebih lanjut dikemukakan oleh Pagcatipunan (1972) in Siahainenia (2008) yang menyatakan bahwa setelah berganti kulit (moulting), kepiting bakau akan melindungi dirinya dengan cara membenamkan diri atau bersembunyi di lubang hingga karapaksnya mengeras. Hutching & Saenger (1987) in Siahainenia (2008) menyatakan bahwa kepiting bakau hidup di perairan sekitar hutan mangrove dan memakan akar-akarnya (pneumatophore). Sementara Hill (1982) in Siahainenia (2008) menyatakan bahwa perairan di sekitar hutan mangrove sangat cocok untuk kehidupan kepiting bakau karena sumber makanannya seperti bentos dan serasah cukup tersedia Garis Wallace Garis Wallace adalah sebuah garis hipotetis yang memisahkan wilayah geografi hewan Asia dan Australasia. Bagian barat dari garis ini berhubungan dengan spesies Asia sedangkan pada bagian timur berhubungan dengan spesies

37 22 Australia. Garis ini dinamakan atas nama Alfred Russel Wallace, yang menyadari perbedaan tersebut pada saat melakukan kunjungan ke Hindia Timur pada abad ke- 19. Garis Wallace membentang melalui Kepulauan Melayu, antara Borneo (Kalimantan) dan Sulawesi serta antara Bali (sebelah barat) dan Lombok (sebelah timur). Keberadaan garis Wallace pun tercatat oleh Antonio Pigafetta dalam catatannya mengenai perbedaan biologis antara Filipina dan Kepulauan Maluku dan tercatat dalam perjalanan Ferdinand Magellan pada tahun Kemudian garis Wallace diperbaiki dan digeser ke Timur (daratan pulau Sulawesi) oleh Weber dan diberi nama garis Wallace-Weber. Batas penyebaran flora dan fauna Asia ini ditentukan secara berbeda-beda, berdasarkan tipe-tipe flora dan fauna (Wikipedia 2008). Gambar 7. Garis Wallace (Southchinasea 2009) Karakter Morfometrik dan Meristik serta Hubungan Kekerabatan Afrianto et al. (1996) menyatakan bahwa morfometrik ialah ukuran dalam satuan panjang atau perbandingan ukuran bagian-bagian luar tubuh organisme, sedangkan meristik adalah sifat-sifat yang menunjukkan jumlah-jumlah bagianbagian tubuh luar, seperti jumlah jari-jari sirip (pada ikan), yang digunakan untuk penentuan klasifikasi. Ukuran dalam morfometrik adalah jarak antara satu bagian ke

38 23 bagian tubuh lainnya dan biasanya dinyatakan dalam satuan milimeter atau centimeter. Karakter morfometrik dapat memberikan informasi mengenai perbedaan antar spesies, termasuk variasi spesies Crustacea. Contohnya variasi interspesifik pada dua spesies Procambarus spp. (crayfish di Meksiko), yang kemudian diketahui merupakan dua spesies simpatrik (Allegrucci et al in Overton et al. 1997); analisa multivariat kepiting bakau Scylla serrata yang berasal dari empat lokasi negara di Asia Tenggara, yang kemudian diketahui merupakan tiga grup yang berbeda berdasarkan karakter morfometrik dan meristiknya (Overton et al. 1997); pengklasifikasian tiga spesies kepiting bakau genus Scylla di Thailand dan Laut Andaman menggunakan analisis morfometrik, yang kemudian diketahui memiliki tiga spesies yang berbeda (Sangthong & Jondeung 2006). Selain itu, analisis karakter morfometrik dan meristik pun dapat digunakan untuk mengetahui hubungan kekerabatan pada organisme lain, contohnya ikan dan udang Penaeus monodon (Imron 1998). Studi morfometrik secara kuantitatif memiliki tiga manfaat yaitu membedakan jenis kelamin dan spesies, mendeskripsikan pola-pola keragaman morfologis antar spesies, dan mengklasifikasikan serta menduga hubungan filogenik. Perbedaan morfologis antar populasi atau spesies biasanya digambarkan sebagai kontras dalam bentuk tubuh secara keseluruhan atau ciri-ciri anatomi tertentu. Hal yang sama dapat dilakukan pada ciri-ciri meristik. Terdapat perbedaan yang mendasar antara ciri morfometrik dan meristik, yaitu ciri meristik memiliki jumlah yang lebih stabil selama masa pertumbuhan, sedangkan ciri morfometrik berubah secara kontinu sejalan dengan ukuran dan umur (Strauss and Bond 1990 in Imron 1998).

39 3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan selama 11 bulan yaitu mulai dari bulan Juli 2008 hingga bulan Mei Kepiting bakau yang diteliti merupakan kepiting bakau yang telah ditangkap oleh nelayan di masing-masing lokasi pengambilan sampel dengan menggunakan metode pengambilan contoh acak sederhana (PCAS), dimana jumlah sampel yang diambil sesuai dengan yang ada pada saat itu tanpa melihat spesiesnya. Menurut Boer (2001), teknik pengacakan dapat mengurangi faktor subjektivitas pelaksana percobaan dalam memilih dan mengatur perlakuan atau ulangan pada satuan percobaan. Lokasi pengambilan sampel yang dicakup berjumlah 14 lokasi, yaitu Pidie (Nangroe Aceh Darussalam), Tanjung Jabung Timur (Jambi), Bintan (Kep. Riau), Cilamaya (Karawang), Blanakan (Subang), Gebang dan Ambulu (Cirebon), Mataram (Nusa Tenggara Barat), Pontianak dan Samarinda (Kalimantan), Maros dan Teluk Bone (Sulawesi), Jayapura dan Teluk Bintuni (Irian Jaya). Lokasi pengambilan sampel tersebut dapat dilihat pada Gambar 8. Pengukuran karakter morfometrik dan meristik dilakukan secara in situ dan di laboratorium. Sampel kepiting bakau dimasukkan ke dalam ice box dan selanjutnya di bawa ke Laboratorium Biologi Makro I (BIMA I), Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Data yang digunakan merupakan data primer Metode Kerja Sampel kepiting bakau diambil dengan cara membeli langsung dari nelayan yang menangkap kepiting bakau di sekitar perairan mangrove pada masing-masing lokasi penelitian. Alat yang digunakan pada saat menangkap kepiting bakau ialah pancing, bubu, dan jaring. Kepiting bakau yang diambil mewakili berbagai ukuran kepiting bakau jantan dan betina dan dianalisis di Laboratorium Biologi Makro 1, Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan. Sampel kepiting bakau yang terkumpul akan diukur secara mofometrik, yang meliputi 10 karakter utama seperti yang dilakukan Clark et al. (2001) terhadap genus Carcinus (Portunidae). Karakter

40 25 Gambar 8. Lokasi pengambilan sampel kepiting bakau di Perairan Indonesia (peta dimodifikasi dari peta-indonesia-simplfy.gif). 25

41 26 morfometrik dan meristik yang diukur tertera pada Tabel 4, Tabel 5, Gambar 9, Gambar 10, dan Gambar 11. Tabel 4. Karakter morfometrik kepiting bakau yang diukur. No. Karakter Morfometrik Keterangan 1. Lebar karapas (L) Jarak antara ujung duri marginal terakhir di sebelah kanan dengan duri marginal terakhir di sebelah kiri (horizontal) 2. Panjang karapas (P) Jarak antara tepi duri frontal margin dengan tepi bawah karapas 3. Tinggi karapas (T) Panjang garis tegak antara karapas dengan abdomen 4. Optical groove widths Jarak duri frontal margin di antara mata 5. Panjang chela sebelah kanan (PCR) Panjang capit (hand) sebelah kanan mulai dari ujung palm hingga ujung dactylus 6. Tinggi chela sebelah kanan (TCR) Jarak lurus terbesar secara vertikal antara tepi atas dan bawah chela sebelah kanan 7. Panjang profundus chela sebelah kanan (PCR) Jarak antara ujung palm dengan tepi dactylus sebelah kanan 8. Panjang chela sebelah kiri (PCL) Panjang capit (hand) sebelah kiri mulai dari ujung palm hingga ujung dactylus 9. Tinggi chela sebelah kiri Jarak lurus terbesar secara vertikal antara tepi atas (TCL) 10. Panjang profundus chela sebelah kiri (PCL) dan bawah chela sebelah kiri Jarak antara ujung palm dengan tepi dactylus sebelah kiri Tabel 5. Karakter meristik kepiting bakau yang diukur. No. Karakter Meristik Keterangan 1. Jumlah duri frontal margin Jumlah duri frontal margin yang berada di antara kedua mata kepiting 2. Jumlah duri anterolateral Jumlah seluruh duri anterolateral margin yang margin sebelah kanan 3. Jumlah duri anterolateral sebelah kiri berada di sebelah kanan karapas Jumlah seluruh duri anterolateral margin yang berada di sebelah kiri karapas Berikut ini merupakan langkah kerja saat melakukan pengukuran. Pertamatama, dilakukan penomoran kepiting menggunakan kertas label dimana sebelumnya telah dibersihkan dari lumpur dan air menggunakan tissue (Lampiran 1). Lalu dilakukan pengamatan terhadap jenis kelamin dengan cara melihat bentuk abdomen kepiting tersebut, dimana jantan memiliki bentuk abdomen yang mengerucut sedangkan betina memiliki bentuk abdomen yang melebar.

42 27 Gambar 9. Karakter morfometrik dan meristik tampak dorsal (Keterangan: 1 (lebar karapas); 2 (panjang karapas); 3 (Optical groove widths ); 4 ( tinggi karapas); 5 (Duri anterolateral kiri); 6 (Duri anterolateral kanan); 7 (duri frontal margin)). Gambar 10. Karakter morfometrik pada chela (Keterangan: 8 (PPR); 9 (PCR); 10 (TCR); 11 (PPL); 12 (PCL); 13 (TCL)). Gambar 11. Abdomen kepiting jantan (kiri) dan abdomen kepiting betina (kanan).

43 28 Kemudian, bobot tubuh ditimbang menggunakan timbangan dengan ketelitian 10 gram dan pengukuran tinggi karapas dengan menggunakan jangka sorong dengan ketelitian 1 mm. Selanjutnya dilakukan pengukuran aspek morfometrik dengan menggunakan penggaris dengan ketelitian 1 mm serta pengukuran aspek meristik secara visual (Lampiran 2 dan 3). Seluruh data tersebut dicatat pada data sheet yang telah dipersiapkan sebelumnya (Lampiran 4 dan 5). Setelah proses pengukuran selesai, dilakukan proses identifikasi dan klasifikasi spesies, dengan cara dilakukan pengamatan terhadap dua duri tajam yang berada pada bagian cheliped carpus, warna karapas, bentuk alur H, corak pada pleopod, serta bentuk duri pada frontal margin. Penulis menggunakan klasifikasi dan identifikasi kepiting bakau berdasarkan Estampador karena hingga saat ini masih terdapat perdebatan antara para ahli mengenai jenis-jenis kepiting bakau. Estampador (1949) in Fushimi & Watanabe (2001) mengklasifikasikan kepiting bakau menjadi tiga spesies dan satu varietas, yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, Scylla oceanica, dan Scylla serrata var. paramamosain dengan menggunakan spesimen yang dikumpulkan dari Filiphina berdasarkan perbedaan morfologi eksternal (warna karapas dan kaki, gigi anterolateral pada karapas, dan duri luar pada cheliped carpus). Serene (1952) in Fushimi & Watanabe (2001) menyatakan bahwa eksistensi keempat spesies kepiting bakau yang ditemukan di Vietnam sesuai dengan penemuan Estampador. Akan tetapi, Stephenson dan Campbell (1960) in Fushimi & Watanabe (2001) menyatakan bahwa keempat spesies tersebut merupakan satu spesies kepiting bakau berdasarkan kesimpulan yang diambil dari sampel yang berasal dari Queensland dan New South Wales (Australia). Stephenson dan Campbell menduga bahwa perbedaan karakter morfologis tersebut diperoleh dari perbedaan lingkungan habitat kepiting bakau. Selanjutnya Fuseya & Watanabe (1996) in Fushimi & Watanabe (2001) melakukan studi mengenai variasi genetik di 3 loci pada kepiting bakau dan menyatakan bahwa ketiga spesies tersebut benar-benar berbeda dan dapat dibedakan sesuai dengan klasifikasi Estampador. Keenan et al. (1998) in Fushimi & Watanabe (2001), membuat sebuah revisi mengenai genus Scylla dengan menggunakan spesimen yang berasal dari Laut Merah dan beberapa lokasi di Indo-Pasifik, menggunakan 2 metode genetik yang independen, allozyme elektrophoresis, dan

44 29 sequencing of two mitochondrial DNA genes (Sitokrom oksidase I dan 16s RNA) yang bekerja pada masing-masing spesies. Keenan et al. (1998) in Fushimi & Watanabe (2001), menyatakan bahwa terdapat 4 spesies dengan menggunakan kriteria morfologi tetapi keempatnya berbeda secara istilah. Fuseya (1998) in Fushimi & Watanabe (2001) melakukan analisis morfometrik antar spesies pada genus Scylla yang berasal dari daerah sebaran geografis kepiting bakau yang luas. Fuseya pun melakukan uji karakteristik morfologi pada pleopod pertama dan kedua dari kepiting bakau jantan. Berdasarkan analisisnya, spesies Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanica benarbenar dapat dibedakan. Karaketristik morfologi yang telah ditemukan dari ketiga spesies tersebut sesuai dengan deskripsi yang dijabarkan oleh Estampador pada tahun Identifikasi Morfologi Kepiting Bakau Proses pengidentifikasian kepiting bakau menggunakan klasifikasi yang digunakan Estampador, di mana kepiting bakau dibedakan menjadi 3 spesies berdasarkan perbedaan karakter morfologisnya, yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanica. Klasifikasi dan identifikasi kepiting bakau (FAO 1998) adalah sebagai berikut: a. Cheliped carpus hanya memiliki setidaknya 1 duri yang tidak pernah tajam; warna tubuh biasanya agak keorangean atau kekuningan... c d b. Cheliped carpus memiliki 2 duri tajam; warna tubuh biasanya hijau hingga ungu... e c. Frontal margin bergigi tajam; duri pada ujung carpus tajam... Scylla tranquebarica d. Frontal margin bergigi tumpul membundar; duri pada ujung carpus hampir tereduksi... Scylla serrata e. Frontal margin bergigi tajam; duri pada cheliped carpus kebanyakan tajam; warna karapas hijau atau hijau-olive; pleopod biasanya bercorak (jantan dan betina)... Scylla oceanica

45 30 Gambar 12. Identifikasi kepiting bakau menurut Estampador (dimodifikasi) (FAO 1998) Analisis Data Distribusi frekuensi panjang dan lebar karapas Analisis data dilakukan terhadap sebaran frekuensi panjang dan lebar karapas kepiting bakau untuk mendapatkan selang kelas, nilai tengah, dan frekuensi dengan menggunakan program Microsoft Excel dalam hal perhitungannya. Langkahlangkah dalam penentuan distribusi frekuensi panjang adalah sebagai berikut: a. Menentukan nilai maksimum dan minimum dari keseluruhan data panjang dan lebar karapas dari jumlah total kepiting bakau. b. Menentukan jumlah kelas. c. Menentukan wilayah data (c); c = nilai maksimum nilai minimum. d. Menentukan lebar kelas; lebar kelas = c/jumlah kelas. e. Menetukan batas atas kelas dan batas bawah kelas setiap selang kelas. f. Mendaftarkan seluruh batas kelas untuk setiap selang kelas. g. Menentukan nilai tengah setiap selang kelas. h. Menjumlahkan frekuensi panjang dan lebar karapas yang telah ditentukan berdasarkan masing-masing selang kelas. i. Memplotkan distribusi frekuensi panjang dan lebar karapas dalam sebuah grafik untuk melihat jumlah distribusi normalnya.

46 Hubungan lebar karapas-berat Data yang digunakan pada analisis pada hubungan lebar karapas-berat ialah data gabungan kepiting jantan dan betina pada masing-masing lokasi penelitian. Analisis hubungan lebar karapas-berat menggunakan rumus hubungan panjang-berat pada kepiting (Hartnoll 1982): W = a L b Keterangan: W = berat L = lebar karapas a = intersep (perpotongan kurva hubungan panjangberat dengan sumbu y) b = penduga pola pertumbuhan panjang-berat Untuk mendapatkan persamaan linier atau garis lurus digunakan persamaan: Log W = Log a + b Log L Y = a + b x Untuk menguji nilai b digunakan uji t, dengan hipotesis: H 0 : b = 1, hubungan lebar karapas-berat adalah isometrik H 1 : b 1, hubungan lebar karapas-berat adalah allometrik, yaitu: Allometrik positif (b > 1), pertumbuhan berat lebih dominan dibandingkan dengan pertumbuhan panjang. Allometrik negatif (b < 1), pertumbuhan panjang lebih dominan dibandingkan dengan pertumbuhan berat. b1 b0 t hitung = Sb1 Keterangan: b 1 = nilai b (dari hubungan panjang-berat) b 0 = 1 Sb 1 = simpangan koefisien b Kemudian, bandingkan antara nilai t hitung dengan nilai t tabel dengan selang kepercayaan 95% (α = 0.05). Selanjutnya untuk mengetahui pola pertumbuhannya, kaidah keputusan yang diambil adalah sebagai berikut: t hitung > t tabel : tolak hipotesis nol (H 0 ) t hitung < t tabel : gagal tolak hipotesis nol (H 0 ) Penulis menggunakan bantuan software SPSS 15.0 for Windows Evaluation Version dan Microsoft Excel dalam hal perhitungannya.

47 Analisis komponen utama (principal component analysis) Sepuluh karakter morfometrik dianalisis dengan menggunakan program Principal Components Analysis (PCA). Berdasarkan hasil analisis dari program PCA, didapatkan suatu komponen utama yang mampu mempertahankan sebagian besar informasi yang diukur menggunakan keragaman total dengan menggunakan sedikit komponen utama saja. Penggunaan komponen utama sering disarankan untuk digunakan dalam proses mereduksi banyaknya peubah (Sartono et al. 2003). Selain itu, hasil plot antar komponen utama (grafik score plot) dapat digunakan untuk untuk menentukan banyaknya penggerombolan secara sederhana. Penulis menggunakan bantuan software MINITAB 15.0 dalam hal perhitungan PCA Analisis biplot Analisis perbandingan karakter morfometrik yang telah ditentukan bertujuan untuk melihat karakter morfometrik yang memiliki keterkaitan dengan karakter lainnya. Biplot merupakan teknik statistik deskriptif dimensi ganda yang dapat disajikan secara visual dengan menyajikannya secara simultan segugus objek pengamatan dan peubah dalam suatu grafik pada suatu bidang datar sehingga ciriciri peubah dan objek pengamatan serta posisi relatif antara objek pengamatan dan peubah dapat dianalisis. Biplot dapat menunjukkan hubungan antar peubah kemiripan relatif antar objek pengamatan, serta posisi relatif antara objek pengamatan dengan peubah (Jolllife 1986 & Rawling 1988 in Sartono et al. 2003). Perhitungan dalam analisis biplot, Penulis dibantu dengan menggunakan software SAS 9.1. Salah satu informasi yang didapat melalui analisis bilpot adalah untuk mengetahui korelasi antar peubah, dimana dua peubah yang memiliki korelasi positif tinggi digambarkan dengan dua buah garis dengan arah yang sama (membentuk sudut sempit). Sementara itu, dua peubah yang memiliki korelasi negarif tinggi akan digambarkan dalam bentuk dua garis dengan arah yang berlawanan (membentuk sudut tumpul). Sedangkan dua peubah yang tidak berkorelasi akan digambarkan dalam bentuk dua garis yang membentuk sudut mendekati 90 o (Sartono et al. 2003).

48 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Komposisi Jumlah Kepiting Bakau Selama Penelitian Kepiting bakau (genus Scylla) yang diteliti selama bulan Juni 2008 hingga Mei 2009 berasal dari 14 daerah yang mencakup Pidie (Nangroe Aceh Darussalam), Bintan (Kep. Riau), Tanjung Jabung Timur (Jambi), Cilamaya (Karawang), Blanakan (Subang), Gebang dan Ambulu (Cirebon), Samarinda dan Pontianak (Kalimantan), Mataram (Nusa Tenggara Barat), Maros dan Bone (Sulawesi), Teluk Bintuni dan Jayapura (Papua). Kepiting bakau yang diperoleh selama penelitian berasal dari para nelayan setempat yang menangkap kepiting bakau dengan menggunakan alat tangkap pancing dan bubu. Lokasi penangkapan kepiting bakau berada di perairan hutan mangrove maupun di perairan pesisir yang berlokasi di sekitar perairan pada setiap lokasi penelitian. Pemilihan daerah penelitian berdasarkan lokasi sebaran hutan mangrove di Indonesia, dimana kepiting bakau menjalani sebagian besar daur hidupnya di ekosistem mangrove dan memanfaatkan ekosistem mangrove sebagai habitat alami utamanya, yakni sebagai tempat berlindung, mencari makan, dan pembesaran (Siahainenia 2008). Area hutan mangrove yang luas antara lain terdapat di pesisir Sumatera sebesar 19,7%, pesisir Kalimantan sebesar 26,2%, dan pesisir selatan Papua sebesar 30% (Pramudji 2004; Nontji 2007). Menurut Pramudji (2004) sebaran hutan mangrove mencakup hampir di seluruh wilayah Indonesia, mulai dari Sumatera (Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung), Jawa (DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur), Bali, Kalimantan (Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur), Nusa Tenggara (Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur), Sulawesi (Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan), Maluku, serta Irian Jaya (Papua). Kepiting bakau yang diteliti berasal dari genus Scylla berjumlah 625 ekor, keseluruhan kepiting ini berasal dari 14 daerah penelitian yang telah ditentukan dan dapat dilihat pada Tabel 6.

49 34 Tabel 6. Jumlah kepiting bakau yang dikumpulkan selama penelitian. Jumlah data (ekor) No. Daerah Scylla spp. Scylla Scylla Scylla (gabungan ketiga spesies) serrata tranquebarica oceanica 1 Pidie Jambi Bintan Cilamaya Blanakan Gebang Ambulu Mataram Samarinda Pontianak Maros Bone Teluk Bintuni Jayapura Total Berdasarkan Tabel 6, jumlah sampel kepting bakau (Scylla spp.) tertinggi berasal dari Samarinda yaitu 98 ekor atau 15,68% dari jumlah total sampel, sedangkan jumah sampel terendahnya berasal dari Bintan yaitu 5 ekor atau 0,8% dari jumlah seluruh sampel. Persentase spesies yang paling banyak dikumpulkan selama penelitian ialah Scylla serrata, yaitu 36,64% dari jumlah total sampel, sedangkan persentase spesies yang paling sedikit dikumpulkan ialah Scylla tranquebarica, yaitu sebanyak 28,32% dari jumlah total sampel. Selanjutnya, persentase sampel Scylla oceanica yang diperoleh selama penelitian adalah 35,04% dari jumlah total sampel. Berdasarkan jumlah sampel yang paling banyak ditemukan di setiap lokasi penelitian, spesies Scylla serrata mendominasi di 5 lokasi, yaitu Jambi, Cilamaya, Ambulu, Maros, dan Bone. Sedangkan spesies Scylla tranquebarica mendominasi di 3 lokasi, yaitu Pidie, Blanakan, dan Mataram. Kemudian spesies Scylla oceanica mendominasi di 6 lokasi, yaitu Bintan, Samarinda, Pontianak, Teluk Bintuni, dan Jayapura. Jumlah sampel Scylla serrata terbanyak berasal dari Bone, yaitu sebanyak 55 ekor atau 24,02% dari jumlah total sampel S. serrata, sedangkan jumlah sampel terendah berasal dari Bintan dan Pontianak, dimana pada kedua lokasi tidak

50 35 ditemukan S. serrata pada saat pengambilan sampel. Selanjutnya, jumlah sampel S. tranquebarica terbanyak berasal dari Pidie, yaitu sebanyak 64 ekor atau 36,16% dari jumlah total sampel S. tranquebarica. Jumlah sampel S. tranquebarica terendah berasal dari Jambi, Bintan, Cilamaya, dan Ambulu, dimana pada keempat lokasi tersebut tidak ditemukan S. tranquebarica pada saat pengambilan sampel. Kemudian, jumlah sampel S.oceanica terbanyak berasal dari Samarinda yaitu 67 ekor atau 30,59% dari jumlah total sampel S. oceanica, sedangkan jumlah sampel terendahnya berasal dari Ambulu dan Cilamaya, dimana pada kedua lokasi tidak ditemukan S. oceanica pada saat pengambilan sampel. Tidak ditemukannya kepiting bakau dari setiap spesies di beberapa daerah penelitian bukan berarti kepiting tersebut tidak menempati habitat di daerah tersebut, karena distribusi sebaran kepiting bakau ketiga spesies tersebut mencakup hampir seluruh wilayah perairan Indonesia. Menurut Sulistiono et al. (1994) kepiting bakau ditemukan di perairan payau dan sebagian besar tertangkap di wilayah pesisir perairan Indonesia (Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya). Akan tetapi, tidak adanya beberapa spesies kepiting bakau di beberapa lokasi penelitian diduga oleh lokasi penangkapan kepiting bakau, karena para nelayan biasanya melakukan penangkapan di dua tempat, yaitu di perairan hutan mangrove dan di perairan pesisir yang berlokasi di sekitar perairan pada setiap lokasi penelitian. Hal tersebut berkaitan dengan habitat ketiga spesies kepiting bakau, di mana S. serrata biasanya berada di perairan hutan mangrove dengan cara meliang (burrow), sedangkan S. tranquebarica dan S. oceanica biasanya berada di perairan pesisir di sekitar area hutan mangrove. Menurut Moosa et al. (1985) jenis S. oceanica dan S. tranquebarica biasanya ditemukan pada perairan terbuka sedangkan jenis S. serrata ditemukan meliang di daerah mangrove Distribusi Frekuensi Panjang Karapas Setiap Spesies Kepiting Bakau Distribusi frekuensi panjang karapas dapat digunakan untuk mengetahui modus, ukuran karapas tertinggi dan terendah dari spesies kepiting bakau pada masing-masing daerah. Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanica yang diperoleh selama penelitian pada setiap daerah memiliki frekuensi yang berbeda-beda, dan dapat dilihat pada Gambar 13, 14, 15, dan Lampiran 6.

51 36 Selang kelas panjang karapas Bone Maros Pidi Jambi Cilamaya Blanakan Gebang Ambulu Mataram Samarinda Jayapura Teluk Bintuni Daerah penelitian Gambar 13. Distribusi frekuensi panjang karapas Scylla serrata berdasarkan lokasi pengambilan sampel. Selang kelas panjang karapas Pidi Blanakan Gebang Mataram Kalimantan Barat Daerah penelitian Samarinda Bone Maros Jayapura Teluk Bintuni Gambar 14. Distribusi frekuensi panjang karapas Scylla tranquebarica berdasarkan lokasi pengambilan sampel.

52 37 Selang kelas panjang karapas Samarinda Kalimantan Pidi Bintan Jambi Blanakan Gebang Mataram Bone Maros Jayapura Teluk Barat Bintuni Daerah penelitian Gambar 15. Distribusi frekuensi panjang karapas Scylla oceanica berdasarkan lokasi pengambilan sampel. Berdasarkan Gambar 13, terdapat 7 selang kelas panjang karapas Scylla serrata. Modus ukuran panjang karapas berada pada selang kelas mm, dengan frekuensi S. serrata tertinggi berasal dari daerah Bone yaitu 31 ekor. Ukuran panjang karapas terendah S. serrata adalah 34 mm yang berasal dari daerah Bone, sedangkan ukuran panjang karapas tertingginya adalah 107 mm yang berasal dari Teluk Bintuni. Kisaran ukuran panjang dan lebar karapas S. serrata di daerah Bone, Maros, Pidie, Jambi, dan Cilamaya berturut-turut ialah mm dan mm, mm dan mm, mm dan mm, mm dan mm, serta mm dan mm. Kemudian kisaran ukuran panjang dan lebar karapas S. serrata di daerah Blanakan, Gebang, Ambulu, dan Mataram berturut-turut adalah mm dan mm, mm dan mm, mm dan mm, serta mm dan mm. Selanjutnya S. serrata di daerah Samarinda, Jayapura, dan Teluk Bintuni berturut-turut memiliki kisaran ukuran panjang dan lebar karapas sebesar mm dan mm, mm dan mm, serta mm dan mm.

53 38 Berdasarkan kisaran ukuran panjang karapas di setiap daerah, dapat diketahui bahwa Scylla serrata yang berasal dari Teluk Bintuni memiliki ukuran lebar karapas tertinggi, sedangkan ukuran lebar karapas terendah berasal dari daerah Bone. Ukuran lebar karapas yang bervariasi ini diduga dipengaruhi oleh waktu penangkapan yang berhubungan dengan proses reproduksi, dimana proses reproduksi kepiting bakau di daerah tropik berlangsung sepanjang tahun dan puncaknya pada musim hujan. Hal ini disebabkan oleh produktivitas perairan pesisir yang tinggi terjadi pada saat musim hujan (Heasman et al in Le Vay 2001). Waktu penangkapan S. serrata di wilayah Cilamaya, Blanakan, Gebang, Ambulu, Jambi, Teluk Bintuni, dan Jayapura berkisar pada bulan Juli-November Selanjutnya waktu penangkapan S. serrata di wilayah Pidie, Maros, Bone, dan Mataram berkisar pada bulan Februari hingga Maret Kathirvel dan Srinivasagam (1992) in Le Vay (2001) menyatakan bahwa kepiting bakau di India memijah sepanjang tahun, dengan puncak musim matang gonad pada bulan April-Juni dan September-Februari serta memiliki ukuran lebar karapas yang berkisar di antara mm. Selain itu, proses rekruitmennya pun berlangsung sepanjang tahun, dengan puncak pada bulan Desember-Oktober. Berdasarkan hal di atas, S. serrata yang berasal dari Teluk Bintuni dan Jayapura yang ditangkap pada bulan September dan November, dimana pada bulanbulan tersebut sedang musim hujan, diduga sedang mengalami proses matang gonad atau akan memijah sehingga memiliki ukuran panjang dan lebar karapas yang besar. Sedangkan S. serrata yang berada di daerah Cilamaya, Blanakan, Gebang, Ambulu, dan Jambi yang ditangkap pada bulan Juli-Agustus 2008 dan S. serrata yang berasal dari Pidie, Maros, Bone, dan Mataram, yang ditangkap pada bulan Februari-Maret 2009, diduga sedang mengalami proses rekruitmen sehingga ukuran panjang dan lebar karapasnya tergolong kecil. Berdasarkan Gambar 14, terdapat 6 selang kelas panjang karapas Scylla tranquebarica. Modus ukuran panjang karapas berada pada selang kelas mm, dengan frekuensi S. tranquebarica tertinggi berasal dari daerah Samarinda yaitu 21 ekor. Ukuran panjang karapas terendah S. tranquebarica adalah 41 mm yang berasal dari daerah Pidie, sedangkan ukuran panjang karapas tertingginya adalah 115 mm yang berasal dari Teluk Bintuni.

54 39 Kisaran ukuran panjang dan lebar karapas S. tranquebarica di daerah Pidie, Blanakan, Gebang, Mataram, dan Pontianak berturut-turut ialah mm dan mm, mm dan mm, mm dan mm, mm dan mm, serta 99 mm dan 144 mm. Kemudian kisaran ukuran panjang dan lebar karapas S. tranquebarica di daerah Samarinda, Bone, dan Maros berturut-turut adalah mm dan mm, mm dan mm, serta mm dan mm. Selanjutnya S. tranquebarica di daerah Jayapura dan Teluk Bintuni memiliki ukuran panjang dan lebar karapas sebesar 90 mm dan 132 mm serta mm dan mm. Berdasarkan kisaran ukuran panjang karapas di setiap daerah, dapat diketahui bahwa Scylla tranquebarica yang berasal dari Teluk Bintuni memiliki ukuran lebar karapas tertinggi, sedangkan ukuran lebar karapas terendah berasal dari daerah Pidie. Ukuran lebar karapas yang bervariasi ini diduga dipengaruhi oleh waktu penangkapan yang berhubungan dengan proses reproduksi. Waktu penangkapan S. tranquebarica di daerah Jayapura dan Teluk Bintuni berkisar pada bulan September- November Kemudian waktu penangkapan di daerah Pidie, Maros, Bone, Pontianak, Samarinda, Mataram, Blanakan, dan Gebang berkisar pada bulan Februari-Mei Waktu penangkapan tersebut berhubungan dengan proses reproduksi kepiting bakau, dimana reproduksi kepiting bakau di daerah tropik berlangsung sepanjang tahun dan puncaknya pada musim hujan. Hal ini disebabkan oleh produktivitas perairan pesisir yang tinggi terjadi pada saat musim hujan (Heasman et al in Le Vay 2001). Selanjutnya Le Vay et al. (pers. obs.) in Le Vay (2001) menyatakan bahwa kepiting bakau S. tranquebarica di Vietnam memijah sepanjang tahun, dengan puncak musim matang gonad pada bulan September-Oktober. Selain itu S. tranquebarica di Jawa bagian Utara memiliki ukuran lebar karapas yang berkisar di antara mm pada saat matang gonad dan proses rekruitmennya pun berlangsung sepanjang tahun. Berdasarkan hal di atas, S. tranquebarica yang berasal dari Teluk Bintuni dan Jayapura yang ditangkap pada bulan September dan November, dimana pada bulanbulan tersebut sedang musim hujan, diduga sedang mengalami proses matang gonad atau akan memijah sehingga memiliki ukuran panjang dan lebar karapas yang besar. Kemudian S. tranquebarica yang berada di daerah Pidie, Maros, Bone, Kalimantan

55 40 Barat, Samarinda, Mataram, Blanakan, dan Gebang yang ditangkap pada bulan Februari-Mei 2009, diduga sedang mengalami proses rekruitmen sehingga ukuran panjang dan lebar karapasnya tergolong kecil. Berdasarkan Gambar 15, terdapat 6 selang kelas panjang karapas Scylla oceanica. Modus ukuran panjang karapas berada pada selang kelas mm, dengan frekuensi S. oceanica tertinggi berasal dari daerah Samarinda yaitu 45 ekor. Ukuran panjang karapas terendah S. oceanica adalah 41 mm yang berasal dari daerah Pidie, sedangkan ukuran panjang karapas tertingginya adalah 115 mm yang berasal dari Jayapura. Kisaran ukuran panjang dan lebar karapas S. oceanica di daerah Samarinda, Pontianak, Pidie, Bintan, dan Blanakan berturut-turut ialah mm dan mm, mm dan mm, mm dan mm, mm dan mm, serta mm dan mm. Kemudian kisaran ukuran panjang karapas dan lebar karapas S. oceanica di daerah Gebang, Mataram, Bone, dan Maros berturut-turut adalah mm dan mm, mm dan mm, mm dan mm, serta mm dan mm. Selanjutnya S. oceanica di daerah Jayapura dan Teluk Bintuni memiliki kisaran ukuran panjang dan lebar karapas sebesar mm dan mm serta mm dan mm. Berdasarkan kisaran ukuran panjang karapas di setiap daerah, dapat diketahui bahwa Scylla oceanica yang berasal dari Jayapura memiliki ukuran lebar karapas tertinggi, sedangkan ukuran lebar karapas terendah berasal dari daerah Pidie. Ukuran lebar karapas yang bervariasi ini diduga dipengaruhi oleh waktu penangkapan yang berhubungan dengan proses reproduksi. Waktu penangkapan S. oceanica di daerah Jambi, Samarinda, Jayapura dan Teluk Bintuni berkisar pada bulan Agustus-Desember 2008, serta Maret dan Mei 2009 untuk daerah Samarinda dan Teluk Bintuni (pengambilan sampel kedua kali di kedua lokasi tersebut). Kemudian waktu penangkapan di daerah Bintan, Pidie, Maros, Bone, Pontianak, Mataram, Blanakan, dan Gebang berkisar pada bulan Januari-Mei Waktu penangkapan tersebut berhubungan dengan proses reproduksi kepiting bakau, dimana reproduksi kepiting bakau di daerah tropik berlangsung sepanjang tahun dan puncaknya pada musim hujan. Hal ini disebabkan oleh produktivitas perairan

56 41 pesisir yang tinggi terjadi pada saat musim hujan (Heasman et al in Le Vay 2001). Berdasarkan hal di atas, S. oceanica yang berasal dari Jambi yang ditangkap pada tanggal 31 Agustus 2008, Jayapura yang ditangkap pada bulan September, Samarinda yang ditangkap pada bulan November 2008, serta Teluk Bintuni yang ditangkap pada bulan November-Desember 2008, dimana pada bulan-bulan tersebut sedang musim hujan, diduga sedang mengalami proses matang gonad atau akan memijah sehingga memiliki ukuran panjang dan lebar karapas yang besar. Kemudian S. oceanica yang berada di daerah Bintan, Pidie, Maros, Bone, Pontianak, Samarinda, Teluk Bintuni, Mataram, Blanakan, dan Gebang yang ditangkap pada bulan Januari-Mei 2009, diduga sedang mengalami proses rekruitmen sehingga ukuran panjang dan lebar karapasnya tergolong kecil. Selanjutnya berdasarkan distribusi frekuensi panjang dan lebar karapas dari ketiga spesies kepiting bakau pada masing-masing daerah, dapat diketahui bahwa ukuran panjang dan lebar karapas tertinggi berasal dari spesies Scylla oceanica dengan selang kelas panjang karapas mm, sedangkan ukuran terendah berasal dari spesies Scylla serrata dengan selang kelas panjang karapas mm. Kemudian, berdasarkan perbandingan ukuran panjang dan lebar karapas pada masing-masing daerah, dapat diketahui bahwa Teluk Bintuni memiliki ukuran panjang dan lebar karapas kepiting bakau yang tertinggi. Hal tersebut erat kaitannya dengan kondisi habitat dan kelimpahan makanan yang akan mempengaruhi pertumbuhan kepiting bakau, di mana kondisi hutan mangrove di Teluk Bintuni masih lebat dan bagus, serta belum banyak campur tangan manusia. Sehingga keadaan tersebut mempengaruhi kelimpahan makanannya. Menurut Pramudji (2004) Pulau Papua memiliki banyak aliran sungai besar dan panjang dengan tipe delta beragam sebagai akibat dari arus sungai yang membawa materi ke muara. Keadaan tersebut mengakibatkan tingginya kelimpahan makanan di muara sungai yang merupakan area hutan mangrove dan habitat kepiting bakau Identifikasi Karakter Morfologi Hingga saat ini, pada pelaksanaan proses identifikasi dan klasifikasi kepiting bakau masih terdapat perdebatan di antara para ahli mengenai pembagian jumlah

57 42 spesies kepiting bakau. Menurut Stephenson & Campbell (1960) in Fushimi & Watanabe (2001) keempat spesies kepiting bakau tersebut merupakan satu spesies kepiting bakau berdasarkan kesimpulan yang diambil dari sampel yang berasal dari Queensland dan New South Wales (Australia). Stephenson dan Campbell menduga bahwa perbedaan karakter morfologis tersebut diperoleh dari perbedaan lingkungan habitat kepiting bakau. Akan tetapi Stephenson dan Campbell tidak secara spesifik menyebutkan kondisi lingkungan yang dapat membuat perbedaan morfologi dari ketiga spesies kepiting bakau tersebut. Sedangkan menurut Estampador (1949) in Fushimi & Watanabe (2001) kepiting bakau diklasifikasikan menjadi tiga spesies dan satu varietas, yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, Scylla oceanica, dan Scylla serrata var. paramamosain dengan menggunakan spesimen yang dikumpulkan dari Filipina berdasarkan perbedaan morfologi eksternal (warna karapas dan pleopod, gigi anterolateral pada karapas, dan duri luar pada cheliped carpus). Selanjutnya terdapat ahli lainnya, yaitu Fuseya (1998) in Fushimi & Watanabe (2001) yang melakukan analisis morfometrik antar spesies pada genus Scylla yang berasal dari daerah sebaran geografis kepiting bakau yang luas. Fuseya pun melakukan uji karakteristik morfologi pada pleopod pertama dan kedua dari kepiting bakau jantan. Berdasarkan analisisnya, spesies Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanica benar-benar dapat dibedakan dan karaketristik morfologi yang telah ditemukan dari ketiga spesies tersebut sesuai dengan deskripsi yang dijabarkan oleh Estampador. Kemudian dilakukan penelitian genetika kepiting bakau di mana informasi genetik merupakan hal penting dalam mengindentifikasi ketiga spesies kepiting bakau dari genus Scylla. Pada bulan Juni 1994 hingga Mei 1995, Fuseya dan Watanabe (1996) in Fushimi & Watanabe (2001) telah mengumpulkan dan mengindentifikasi 342 kepiting bakau yang berasal dari 7 lokasi (Danau Hamana dan Okinawa (Jepang), Bali dan Cilacap (Indonesia), Chantaburi dan Surat Thani (Thailand), dan Madagaskar). Fuseya dan Watanabe mengklasifikasi kepiting bakau menjadi 3 spesies, yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanica, berdasarkan klasifikasi Estampador. Keenan et al. (1998) in Watanabe et al. (2002) melakukan revisi spesies kepiting bakau menjadi empat spesies. Hal ini berdasarkan analisis mt-dna

58 43 kepiting bakau yang menyatakan bahwa terdapat empat spesies dalam genus Scylla, yaitu S. serrata (S. oceanica Estampador), S. olivacea (S. serrata Estampador), S. tranquebarica (S. serrata var. paramamosain Estampador), serta S. paramamosain (S. tranquebarica Estampador). Akan tetapi Klinbunga et al. (2000) in Watanabe et al. (2002) melakukan riset genetika terhadap kepiting bakau yang berasal dari Thailand dan menyatakan bahwa terdapat tiga spesies kepiting bakau dengan menggunakan analisis RAPD dari genomik DNA kepiting bakau. Ketiga spesies tersebut adalah Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanica berdasarkan kriteria Estampador. Berdasarkan riset para ahli di atas, Penulis menggunakan identifikasi dan klasifikasi berdasarkan Estampador pada tahun 1949, yaitu Scylla serrata: duri frontal margin tumpul berukuran sama dan duri anterolateral berjumlah 9 dengan gigi yang bergerigi tajam dan berukuran sama. Scylla tranquebarica: duri frontal margin tajam dengan duri berukuran sama dan duri anterolateral berjumlah 9 dengan gigi yang bergerigi tajam dan berduri. Scylla oceanica: duri frontal margin tajam berukuran sama dan duri anterolateral berjumlah 9 dengan gigi yang bergerigi tajam. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh identifikasi karakter morfologis untuk membedakan ketiga jenis kepiting bakau, yaitu Scylla serrata, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanica berdasarkan warna karapas, bentuk alur H, bentuk duri frontal margin, duri pada cheliped carpus (inner carpal), serta corak pada pleopod masingmasing spesies Scylla serrata Menurut Estampador (1949) in Kathirvel & Srinivasagam (1992) Scylla serrata termasuk ke dalam kelompok Mamosain, di mana spesies tersebut hidup meliang di area hutan mangrove, berwarna coklat kehitaman, dan tidak memiliki corak pada pleopodnya. Sedangkan menurut Kathirvel & Srinivasagam (1992) Scylla serrata memiliki warna karapas coklat kemerahan dengan bentuk alur H tidak dalam dan tidak memiliki corak pada pleopodnya. Berdasarkan hasil penelitian pada Gambar 16, diketahui bahwa Scylla serrata memiliki warna karapas coklat kehitam-hitaman dengan bentuk alur H pada karapas tidak dalam. Menurut Moosa et al. (1985) S. serrata termasuk kelompok yang

59 44 berwarna dasar hijau-merah-kecoklatan. Warna karapas pada S. serrata berhubungan dengan habitatnya, yaitu hidupnya meliang di daerah mangrove (Moosa et al. (1985); Kathirvel & Srinivasagam (1992)). Bentuk duri frontal margin tumpul dan duri inner carpal (duri pada cheliped carpus) berjumlah satu dan tidak tumpul serta pleopod pada S. serrata tidak bercorak. Estampador (1949) in Siahainenia (2008) menyatakan bahwa Scylla serrata memiliki warna karapas coklat merah seperti karat dengan bentuk alur H pada karapas tidak dalam, memiliki bentuk duri depan (frontal margin) tumpul, serta tidak memiliki duri pada fingerjoint (duri pada cheliped carpus) yang berubah menjadi vestigial. Gambar 16. Scylla serrata (jantan) Scylla tranquebarica Menurut Estampador (1949) in Kathirvel & Srinivasagam (1992) Scylla tranquebarica termasuk ke dalam kelompok Banhawin, di mana spesies tersebut

60 45 berenang bebas di sekitar perairan pesisir, berwarna hijau, dan memiliki corak pada pleopodnya. Begitu pula dengan Scylla oceanica, kedua spesies ini memiliki ciriciri yang hampir mirip, kecuali pada bagian alur H dan duri pada cheliped carpus, dapat dilihat pada Gambar 17. Gambar 17. Scylla tranquebarica (jantan). Berdasarkan hasil penelitian, pada Gambar 17, terlihat bahwa Scylla tranquebarica memiliki warna karapas coklat kehijau-hijauan dengan bentuk alur H pada karapas dalam. Bentuk duri frontal margin tajam dan duri inner carpal (duri pada cheliped carpus) berjumlah dua dengan salah satu duri berduri tajam, sedangkan duri lainnya agak tumpul serta pleopod pada S. tranquebarica bercorak. Estampador (1949) in Siahainenia (2008) menyatakan bahwa Scylla tranquebarica memiliki warna karapas hijau buah zaitun dengan bentuk alur H pada karapas dalam, memiliki bentuk duri depan (frontal margin) tajam, serta bentuk kedua duri pada fingerjoint (duri pada cheliped carpus) jelas, dimana salah satunya agak tumpul. Moosa et al. (1985) menyatakan bahwa kepiting bakau genus Scylla

61 46 di Indonesia memiliki dua warna dasar berbeda, yaitu yang termasuk warna kehijauan atau hijau keabuan (S. oceanica dan S. tranquebarica) serta kelompok yang berwarna dasar hijau-merah-kecoklatan (S. serrata dan S. serrata var. paramamosain). Jenis S. oceanica dan S. tranquebarica biasanya ditemukan pada perairan terbuka Scylla oceanica Menurut Estampador (1949) in Kathirvel & Srinivasagam (1992) Scylla oceanica termasuk ke dalam kelompok Banhawin, sama halnya dengan Scylla tranquebarica, di mana spesies tersebut berenang bebas di sekitar perairan pesisir, berwarna hijau, dan memiliki corak pada pleopodnya. Sedangkan menurut Kathirvel & Srinivasagam (1992) Scylla oceanica memiliki warna karapas hijau keabu-abuan, dengan bentuk alur H yang dalam, serta memiliki corak pada kaki jalan dan pleopodnya, dapat dilihat pada Gambar 18. Gambar 18. Scylla oceanica (jantan)

62 47 Berdasarkan hasil penelitian, pada Gambar 18, terlihat bahwa Scylla oceanica memiliki warna karapas coklat kehijau-hijauan dengan bentuk alur H pada karapas dalam. Bentuk duri frontal margin tajam dan duri inner carpal (duri pada cheliped carpus) berjumlah dua dan berduri tajam serta pleopod pada Scylla oceanica bercorak. Hal di atas sesuai dengan deksripsi yang dijelaskan oleh Moosa et al. (1985). Estampador (1949) in Siahainenia (2008) menyatakan bahwa Scylla oceanica memiliki warna karapas hijau keabu-abuan dengan bentuk alur H pada karapas dalam, memiliki bentuk duri depan (frontal margin) tajam, serta memiliki bentuk duri pada fingerjoint (duri pada cheliped carpus) keduanya tajam Pola Pertumbuhan Kepiting Bakau Pertumbuhan didefinisikan sebagai peningkatan panjang, volume, dan bobot terhadap perubahan waktu (Hartnoll 1982 in Anggraini 1991). Di dalam manajemen sumberdaya perikanan, analisis pertumbuhan digunakan untuk meramalkan ukuran rata-rata biota di suatu populasi pada waktu tertentu dan untuk membandingkan kondisi biota di daerah perikanan yang berbeda atau pada daerah yang sama dengan strategi manejemen yang berbeda. Organisme yang tidak mempunyai kerangka luar (eksoskeleton), ukuran panjang berubah secara kontinu. Akan tetapi pada Crustacea yang memiliki kerangka luar, terutama kepiting bakau, pertumbuhan menjadi suatu proses yang diskontinu. Di dalam fase pertumbuhan kepiting bakau, terdapat suatu rangkaian lepas cangkang (molt atau ecdysis) yang dipisahkan oleh suatu rangkaian antar ganti cangkang (intermolt). Pada saat fase antar ganti cangkang, karapas tubuh menjadi keras dan pertumbuhan terbatas sedangkan pada saat fase lepas cangkang, karapas yang lama dilepaskan sehingga penambahan pertumbuhan terjadi sangat cepat dengan periode waktu yang relatif pendek sebelum karapas yang baru menjadi keras. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan pada crustacea meliputi dua faktor, yaitu instrinsik dan ekstrinsik. Faktor instrinsik meliputi ukuran, jenis kelamin, tingkat kedewasaan, dan cacat tubuh. Sedangkan yang termasuk ke dalam faktor ekstrinsik adalah ketersediaan makanan, suhu lingkungan, dan parasit (Hartnoll 1982 in Anggraini 1991).

63 48 Kajian pertumbuhan masing-masing spesies kepiting bakau di beberapa daerah yang meliputi hubungan lebar karapas-berat dan hubungan lebar karapas-panjang karapas dapat dilihat pada Tabel 7, 8, 9 serta Gambar 19, 20, dan 21. Di bawah ini merupakan hasil regresi hubungan hubungan lebar karapas-berat dan hubungan lebar karapas-panjang karapas dari Scylla serrata yang berasal dari 11 daerah penelitian yang ditunjukkan oleh Tabel 7 dan Gambar 19. Tabel 7. Hasil regresi hubungan lebar karapas-berat Scylla serrata. Lokasi Jumlah (ekor) Ukuran lebar karapas Lebar karapas-berat Regresi Lebar karapas-panjang karapas R 2 r b R 2 r b Pidie Jambi Cilamaya * Blanakan * Gebang * Ambulu * Mataram Bone * Maros * Teluk Bintuni Jayapura Keterangan: * setelah dilakukan uji-t, tolak H 0 Berdasarkan Tabel 7, pada hubungan lebar karapas-berat, terlihat bahwa sebagian besar pola pertumbuhan Scylla serrata di beberapa daerah ialah pola pertumbuhan allometrik positif, artinya pertambahan berat tubuh lebih dominan dibandingkan pertambahan lebar karapas. Sama halnya dengan pola pertumbuhan kepiting bakau menurut Hartnoll (1982) di mana pola pertumbuhannya ialah allometrik. Akan tetapi terdapat beberapa S. serrata yang memiliki pola pertumbuhan isometrik, di mana pertambahan lebar karapas sama dengan dibandingkan pertambahan berat. Selanjutnya berdasarkan hasil regresi lebar karapas dan berat, diperoleh nilai koefisien determinasi (R 2 ) yang bervariasi pada setiap lokasi penelitian, di mana nilai R 2 tertinggi berasal dari Maros, yaitu sebesar 0,913 artinya model regresi tersebut dapat menjelaskan model yang sebenarnya di alam sebesar 91,3%.

64 Frequency Nilai b Gambar 19. Grafik sebaran nilai b Scylla serrata. Mean = Std. Dev. = N =11 Berdasarkan pada Gambar 19, diketahui bahwa nilai b yang berasal dari hubungan lebar karapas-berat memiliki distribusi yang normal dengan nilai rata-rata b sebesar 2,2128. Selanjutnya di bawah ini merupakan hasil regresi hubungan lebar karapas-berat dan hubungan lebar karapas-panjang karapas dari Scylla tranquebarica yang berasal dari 8 daerah penelitian yang ditunjukkan oleh Tabel 8 dan Gambar 20. Tabel 8. Hasil regresi hubungan lebar karapas-berat Scylla tranquebarica. Lokasi Jumlah (ekor) Ukuran lebar karapas Lebar karapas-berat Regresi Lebar karapas-panjang karapas R 2 r b R 2 r b Pidi * Blanakan Gebang * Mataram * Samarinda * Maros * Bone * Teluk Bintuni * Keterangan: * setelah dilakukan uji-t, tolak H 0

65 50 Berdasarkan Tabel 8, pada hubungan lebar karapas-berat, terlihat bahwa sebagian besar pola pertumbuhan Scylla tranquebarica di beberapa daerah memiliki pola pertumbuhan allometrik positif, akan tetapi S. tranquebarica di Blanakan memiliki pola pertumbuhan isometrik. Menurut Hartnoll (1982) hubungan lebar karapas-berat pada kepiting dipengaruhi oleh pertumbuhan allometrik. Selanjutnya berdasarkan hasil regresi lebar karapas dan berat, diperoleh nilai koefisien determinasi (R 2 ) yang bervariasi pada setiap lokasi penelitian, di mana nilai R 2 tertinggi berasal dari Bone, yaitu sebesar 0,983 artinya model regresi tersebut dapat menjelaskan model yang sebenarnya di alam sebesar 98,3%. 3 2 Frequency Mean = Std. Dev. = N =8 Nilai b Gambar 20. Grafik sebaran nilai b Scylla tranquebarica. Kemudian berdasarkan pada Gambar 20, terlihat bahwa nilai b yang berasal dari hubungan lebar karapas-berat memiliki distribusi yang normal dengan nilai ratarata b sebesar 2,7209. Selanjutnya di bawah ini merupakan hasil regresi hubungan hubungan lebar karapas-berat dan hubungan lebar karapas-panjang karapas dari Scylla oceanica yang berasal dari 11 daerah penelitian yang ditunjukkan oleh Tabel 9 dan Gambar 21.

66 51 Tabel 9. Hasil regresi hubungan lebar karapas-berat Scylla oceanica. Lokasi Jumlah (ekor) Ukuran lebar karapas Lebar karapas-berat Regresi Lebar karapas-panjang karapas R 2 r b R 2 r b Pidie Jambi Blanakan * Gebang * Mataram Samarinda * Pontianak * Maros * Bone * Teluk Bintuni * Jayapura * Keterangan: * setelah dilakukan uji-t, tolak H Frequency Nilai b Gambar 21. Grafik sebaran nilai b Scylla oceanica. Mean = Std. Dev. = N =11 Berdasarkan Tabel 9, pada hubungan lebar karapas-berat, sebagian besar Scylla oceanica memiliki pola pertumbuhan allometrik positif, artinya pertambahan berat tubuh lebih dominan dibandingkan pertambahan lebar karapas. Akan tetapi, S. oceanica yang berasal dari Pidie, Jambi, dan Mataram memiliki pola pertumbuhan isometrik, artinya pertambahan lebar karapas sama dengan pertambahan berat.

67 52 Menurut Hartnoll (1982) hubungan lebar karapas-berat pada kepiting dipengaruhi oleh pertumbuhan allometrik. Kemudian berdasarkan hasil regresi lebar karapas dan berat, diperoleh nilai koefisien determinasi (R 2 ) yang bervariasi pada setiap lokasi penelitian, di mana nilai R 2 tertinggi berasal dari Gebang, yaitu sebesar 0,967 artinya model regresi tersebut dapat menjelaskan model yang sebenarnya di alam sebesar 96,7%. Selanjutnya pada Gambar 21 terlihat bahwa nilai b yang berasal dari hubungan lebar karapas-berat S. oceanica memiliki distribusi yang normal dengan nilai rata-rata b kurang dari 3, yaitu 2, Analisis Komponen Utama (AKU) dan Hubungan Kekerabatan Genus Scylla Analisis Komponen Utama (AKU) atau Principal Component Analysis (PCA) digunakan untuk mereduksi banyaknya peubah (variabel) yang digunakan dalam sejumlah data hingga mendapatkan suatu komponen utama yang dapat menggambarkan sebagian besar informasi yang diukur menggunakan keragaman total yang terkandung di dalam sejumlah variabel. Variabel yang digunakan dalam AKU hanya 10 karakter morfometrik kepiting bakau Scylla spp. yang meliputi panjang karapas (P), lebar karapas (L), berat tubuh (B), tinggi tubuh (T), panjang duri orbital pada frontal margin (P.orb), panjang cheliped sebelah kanan dan kiri (PCR dan PCL), panjang profundus sebelah kanan dan kiri (PPR dan PPL), serta tinggi cheliped sebelah kanan dan kiri (TCR dan TCL). Karakter meristik yang meliputi jumlah duri frontal margin (SO), jumlah duri anterolateral sebelah kiri dan kanan (SCL dan SCR) tidak digunakan dalam AKU, hal tersebut dikarenakan jumlah duri dari ketiga karakter meristik hampir sama pada setiap sampel kepiting sehingga memiliki keragaman yang mendekati nol Scylla serrata Berdasarkan hasil perhitungan Principal Component Analysis (PCA) atau Analisis Komponen Utama (AKU), diperoleh satu komponen utama pertama (first component) yang dapat menggambarkan 91,3% terhadap total keragaman semua variabel karakter morfometrik. Komponen utama tersebut diperoleh berdasarkan

68 53 eigen value (akar ciri pertama) sebesar 10,041 yang juga merupakan ragam komponen utama. Selain itu diperoleh nilai vektor ciri yang merupakan koefisien komponen utama dari seluruh karakter morfometrik S. serrata yang dapat menggambarkan secara umum karakter morfometriknya. Nilai dari vektor ciri tersebut adalah PC1 = 0,295P + 0,289L + 0,294T + 0,302B + 0,290P.orb + 0,311Pcr + 0,302Ppr + 0,306Tcr + 0,311Pcl + 0,302Ppl + 0,314Tcl. Berdasarkan nilai vektor ciri komponen utama pertama, terlihat bahwa nilai setiap karakter morfometrik S. serrata bernilai positif artinya keseluruhan karakter morfometrik di atas dapat digambarkan oleh komponen utama pertama. Akan tetapi terdapat satu karakter yang paling berpengaruh pada AKU, yaitu tinggi chela sebelah kiri (TCL), hal ini dikarenakan karakter tersebut memiliki hubungan korelasi paling dekat dengan komponen utama pertama. Kemudian, terdapat komponen utama kedua (second component) yang dapat menggambarkan 5,1% terhadap total keragaman seluruh karakter morfometrik S. serrata dan memiliki eigen value (nilai akar ciri atau ragam) sebesar 0,563. Berdasarkan besaran persentase total keragaman dari dua komponen utama diperoleh satu komponen utama, yaitu komponen utama pertama yang dapat menggambarkan hampir secara keseluruhan informasi dari karakter morfometrik S. serrata yang bernilai 91,3% dibandingkan dengan komponen utama kedua yang bernilai 5,1%. Selanjutnya berdasarkan analisis komponen utama, diperoleh grafik score plot yang dapat menggambarkan penggerombolan S. serrata menurut lokasi penelitian. Penggerombolan tersebut dapat dilihat pada Gambar 22, yang menampilkan kemiripan Scylla serrata di setiap daerah, dimana garis berwarna merah menggambarkan kemiripan S. serrata antar lokasi yang memiliki jarak yang lebih dekat dan garis berwarna biru menggambarkan suatu kelompok yang lebih besar Scylla serrata di beberapa lokasi penelitian memiliki perbedaan pada karakter morfometriknya. Hal ini terlihat dari kelompok-kelompok kecil (garis berwarna merah) pada Gambar 22, misalnya S. serrata yang berasal dari Blanakan memiliki kemiripan dengan yang berasal dari Samarinda dan Mataram tetapi berbeda dengan S. serrata yang berasal dari Jambi dan Ambulu. Menurut Overton et al. (1997) terjadinya perbedaan karakter morfometrik pada kepiting bakau disebabkan oleh

69 54 adanya pengaruh lingkungan perairan di sekitar hutan mangrove yang dapat mempengaruhi sifat fenotip dari kepiting bakau. Selain itu, faktor suhu pun dapat menjadi salah satu variabel yang mempengaruhi karakteristik morfometrik kepiting bakau walaupun terpisah oleh jarak geografi yang jauh karena suhu dapat mempengaruhi iklim pada suatu daerah. Hal ini pun berlaku pada kepiting bakau jenis S. tranquebarica dan S. oceanica. Gambar 22. Grafik score plot Scylla serrata. Overton et al. (1997) menyatakan terdapat perbedaan kepiting bakau yang berasal dari empat lokasi di Asia Tenggara, yaitu Klong Ngao, Ranong, Thailand; Teluk Ban Don, Surat Thani, Thailand; Can Gio, Vietnam Selatan; serta Sematan, Sarawak, Malaysia Timur. Kepiting bakau yang diteliti memiliki dua sifat fenotif, yaitu kepiting bakau tipe black dan white berdasarkan nama lokalnya. Khusus kepiting bakau yang berasal dari Teluk Ban Don terdapat kedua jenis kepiting ( black dan white) yang simpatrik, artinya kedua jenis kepiting tersebut hidup dalam habitat yang sama tetapi tidak melakukan perkawinan antar spesies. Berdasarkan keempat lokasi tersebut, diketahui terdapat tiga kelompok berbeda berdasarkan kemiripan karakter pada masing-masing lokasi. Kepiting bakau yang berasal dari Klong Ngao (Thailand) memiliki kemiripan dengan kepiting bakau dari

70 55 Sematan (Malaysia) dengan sifat fenotif black. Kemudian, kepiting bakau yang berasal dari Teluk Ban Don (Thailand) dengan sifat fenotif black memiliki kemiripan dengan kepiting bakau yang berasal dari Can Giao (Vietnam) dengan sifat fenotif white. Sedangkan kepiting bakau yang berasal dari Klong Ngao (Thailand) yang memiliki sifat fenotif white dan black membentuk kelompok tersendiri. Berdasarkan Gambar 22 terdapat dua kelompok besar yang memiliki kemiripan satu sama lainnya, yaitu kelompok 1 (Pidie, Maros, Jambi, Cilamaya, Bone, Blanakan, Jayapura, Gebang, Ambulu, Mataram, dan Samarinda) serta kelompok 2 (Teluk Bintuni). Berdasarkan kelompok tersebut, dapat diketahui bahwa penyebaran Scylla serrata di wilayah bagian barat dan timur Indonesia tidak dipengaruhi oleh adanya garis Wallace. Hal tersebut dapat dilihat pada kelompok 1 di mana wilayah barat Indonesia (Mataram, Maros, Bone, dan Jayapura) bergabung dengan wilayah timur Indonesia (Pidie, Jambi, Cilamaya, Blanakan, Gebang, Ambulu, dan Samarinda). Distribusi S. serrata yang tidak dipengaruhi oleh garis Wallace dapat disebabkan oleh penyebaran spesies Scylla serrata di dunia, yang menyebar mulai dari Samudera Hindia (Pakistan hingga Australia Barat), Laut Cina Selatan (Thailand, Singapura, Vietnam, Sarawak, hingga Cina Selatan), hingga ke Samudera Pasifik (Filipina, Timor-Timur, Teluk Carpentaria) (Keenan et al in Le Vay 2001), di mana perairan Indonesia berada di dalam kawasan tersebut seperti tampak pada Gambar 24. Gambar 23. Peta distribusi Scylla serrata di dunia (FAO 1998).

71 Scylla tranquebarica Berdasarkan hasil perhitungan Analisis Komponen Utama (AKU), diperoleh satu komponen utama pertama (first component) yang dapat menggambarkan 92,6% terhadap total keragaman semua variabel karakter morfometrik. Komponen utama tersebut diperoleh berdasarkan eigen value (nilai akar ciri pertama) sebesar 10,181 yang merupakan ragam komponen utama. Kemudian, diperoleh nilai vektor ciri yang merupakan koefisien komponen utama dari seluruh karakter morfometrik yang dapat menggambarkan secara umum keseluruhan karakter morfometrik S. tranquebarica. Nilai dari vektor ciri tersebut adalah PC1 = 0,311P + 0,310L + 0,307T + 0,304B + 0,303P.orb + 0,3Pcr + 0,299Ppr + 0,286Tcr + 0,298Pcl + 0,293Ppl + 0,306Tcl. Berdasarkan vektor ciri yang bernilai positif pada setiap karakter morfometriknya, keseluruhan karakter morfometrik di atas dapat digambarkan oleh komponen utama pertama. Akan tetapi terdapat satu karakter morfometrik yang paling berpengaruh pada AKU, yaitu panjang orbital (P.orb atau optical groove width) berdasarkan hubungan korelasi terdekat dengan komponen utama pertama. Kemudian terdapat komponen utama kedua (second component) yang dapat menggambarkan 5,9% terhadap total keragaman seluruh karakter morfometrik S. tranquebarica dan memiliki nilai akar ciri atau ragam sebesar 0,647. Berdasarkan besaran persentase nilai keragaman kedua komponen utama, diperoleh satu komponen utama saja yaitu komponen utama pertama yang dapat menggambarkan hampir secara keseluruhan informasi dari karakter morfometrik S. tranquebarica dengan persentase sebesar 92.6% dibanding komponen utama kedua yang bernilai 5.9%. Selanjutnya berdasarkan analisis komponen utama, diperoleh grafik score plot yang dapat menggambarkan secara sederhana penggerombolan S. tranquebarica menurut lokasi penelitian. Penggerombolan tersebut dapat dilihat pada Gambar 24, yang menampilkan kemiripan Scylla tranquebarica di setiap daerah secara sederhana, dimana garis berwarna merah menggambarkan kemiripan S. tranquebarica antar lokasi yang memiliki jarak yang lebih dekat dan garis berwarna biru menggambarkan suatu kelompok yang lebih besar.

72 57 Gambar 24. Grafik score plot Scylla tranquebarica. Kepiting bakau Scylla tranquebarica di beberapa lokasi penelitian memiliki pada karakter morfometriknya. Hal ini terlihat dari kelompok-kelompok kecil pada Gambar 24, misalnya S. tranquebarica yang berasal dari Pidi dan Maros memiliki kemiripan tetapi berbeda dengan S. tranquebarica yang berasal dari Samarinda dan Bone. Hal ini sama dengan dengan hasil penelitian Overton et al. (1997). Selanjutnya, berdasarkan Gambar 24 terdapat dua kelompok besar yang memiliki kemiripan antar daerahnya, yaitu kelompok 1 (Pidie, Maros, Samarinda, Bone, Blanakan, Gebang, Mataram, Pontianak, dan Jayapura) serta kelompok 2 (Teluk Bintuni). Berdasarkan kelompok tersebut, dapat diketahui bahwa penyebaran Scylla tranquebarica di wilayah bagian barat dan timur Indonesia tidak dipisahkan oleh garis Wallace. Hal tersebut dapat dilihat pada kelompok 1 di mana wilayah barat Indonesia (Mataram, Maros, Bone, dan Jayapura) bergabung dengan wilayah timur Indonesia (Pidi, Blanakan, Gebang, Samarinda, dan Kalimantan Barat) menjadi satu kelompok. Distribusi S. tranquebarica yang tidak terpengaruh oleh garis Wallace dapat disebabkan oleh penyebaran spesies Scylla tranquebarica di dunia, yang menyebar mulai dari Samudera Hindia (Pakistan hingga Malaysia), Laut Cina Selatan (Singapura dan Sarawak), hingga ke Samudera Pasifik (Filipina) (Keenan et al. 1998

73 58 in Le Vay 2001), di mana perairan Indonesia berada di dalam kawasan tersebut, seperti pada Gambar 25. Gambar 25. Peta distribusi Scylla tranquebarica di dunia (FAO 1998) Scylla oceanica Berdasarkan hasil perhitungan Analisis Komponen Utama (AKU), diperoleh satu komponen utama pertama (first component) yang dapat menggambarkan 94,6% terhadap total keragaman semua variabel karakter morfometrik. Komponen utama tersebut diperoleh berdasarkan eigen value (nilai akar ciri pertama) sebesar 10,408 yang merupakan ragam komponen utama. Kemudian diperoleh nilai vektor ciri yang merupakan koefisien komponen utama dari S. oceanica yang dapat menggambarkan secara umum karakter morfometrik S. oceanica. Nilai dari vektor ciri tersebut adalah PC1 = 0,296P + 0,305L + 0,303T + 0,295B + 0,298P.orb + 0,302Pcr + 0,295Ppr + 0,303Tcr + 0,309Pcl + 0,306Ppl + 0,304Tcl. Berdasarkan nilai vektor ciri dari setiap karakter morfometrik S. oceanica yang bernilai positif, keseluruhan karakter morfometrik tersebut dapat digambarkan oleh komponen utama pertama. Akan tetapi, terdapat satu karakter morfometrik yang paling berpengaruh, yaitu panjang chela sebelah kiri (Pcl), hal ini berdasarkan hubungan korelasi terdekat dengan komponen utama pertama. Kemudian terdapat komponen utama kedua (second component) yang dapat menggambarkan 3,2% terhadap total keragaman seluruh karakter morfometrik S. oceanic serta memiliki nilai akar ciri atau ragam sebesar 0,348. Berdasarkan besaran persentase nilai keragaman dari kedua komponen utama, diperoleh satu komponen

74 59 utama saja, yaitu komponen utama pertama yang dapat menggambarkan hampir secara keseluruhan informasi dari karakter morfometrik S. oceanica sebesar 94,6% dibanding komponen utama kedua yang bernilai 3,2%. Selanjutnya berdasarkan analisis komponen utama, diperoleh grafik score plot yang dapat menggambarkan secara sederhana penggerombolan S. oceanica menurut lokasi penelitian. Penggerombolan tersebut dapat dilihat pada Gambar 26, yang menampilkan kemiripan Scylla oceanica di setiap daerah secara sederhana, dimana garis berwarna merah menggambarkan kemiripan S. oceanica antar lokasi yang memiliki jarak yang lebih dekat dan garis berwarna biru menggambarkan suatu kelompok yang lebih besar Gambar 26. Grafik score plot Scylla oceanica.. Berdasarkan Gambar 26, dikeahui bahwa terdapat perbedaan pada karakter morfometrik Scylla oceanica di beberapa lokasi penelitian. Hal ini terlihat dari kelompok-kelompok kecil pada Gambar 26, misalnya S. oceanica yang berasal dari Maros memiliki kemiripan dengan yang berasal dari Samarinda tetapi berbeda dengan S. oceanica yang berasal dari Blanakan dan Gebang. Selanjutnya berdasarkan Gambar 26, terdapat dua kelompok besar berdasarkan kemiripan antar daerahnya, yaitu kelompok 1 (Pidi, Bone, Maros, Jambi, Samarinda, Blanakan, Gebang, dan Mataram) serta kelompok 2 (Bintan, Kalimantan Barat,

75 60 Jayapura, dan Teluk Bintuni). Selanjutnya dapat diperoleh suatu gambaran mengenai penyebaran kepiting bakau S. oceanica yang tidak dipengaruhi oleh garis Wallace. Hal tersebut dapat dilihat pada kedua kelompok besar di mana wilayah barat Indonesia (Mataram, Maros, Bone, Jayapura, dan Teluk Bintuni) bergabung dengan wilayah timur Indonesia (Pidi, Jambi, Bintan, Blanakan, Gebang, Samarinda, dan Kalimantan Barat). Hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya penyebaran spesies S. oceanica di dunia (Gambar 27). Gambar 27. Peta distribusi Scylla oceanica di dunia (FAO 1998). Berdasarkan Gambar 27, distribusi S. oceanica yang tidak terpengaruh oleh garis Wallace disebabkan oleh penyebaran spesies Scylla oceanica di dunia, yang menyebar mulai dari Indo-Pasifik Barat (Afrika Selatan, Laut Merah, Australia, Filiphina), Taiwan, Jepang, hingga ke Kepulauan Pasifik (Fiji, P. Solomon, Caledonia Baru, Samoa Barat) (Keenan et al in Le Vay 2001), di mana perairan Indonesia berada di dalam kawasan tersebut Analisis Biplot Karakter Meristik dan Morfometrik Kepiting Bakau Analisis biplot digunakan untuk mengetahui keeratan antara karakter meristik dan morfometrik kepiting bakau, yang meliputi panjang karapas (P), lebar karapas (L), berat tubuh (B), tinggi tubuh (T), jumlah duri frontal margin (SO), jumlah duri anterolateral sebelah kiri dan kanan (SCL dan SCR), panjang duri orbital pada frontal margin (P.orb) panjang cheliped sebelah kiri dan kanan (PCL dan PCR),

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kepiting Bakau Genus Scylla Klasifikasi dan identifikasi kepiting bakau

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kepiting Bakau Genus Scylla Klasifikasi dan identifikasi kepiting bakau 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kepiting Bakau Genus Scylla 2.1.1. Klasifikasi dan identifikasi kepiting bakau Kepiting bakau tergolong dalam famili Portunidae yang terdiri atas 6 subfamili, yaitu: Carcininae,

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Komposisi Jumlah Kepiting Bakau Selama Penelitian Kepiting bakau (genus Scylla) yang diteliti selama bulan Juni 2008 hingga Mei 2009 berasal dari 14 daerah yang mencakup Pidie

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2. Metode Kerja

3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2. Metode Kerja 3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan selama 11 bulan yaitu mulai dari bulan Juli 2008 hingga bulan Mei 2009. Kepiting bakau yang diteliti merupakan kepiting bakau

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau S. oceanica Kepiting bakau S. oceanica dapat digolongkan ke dalam kelas Krustase, ordo Decapoda, famili Portunidae dan genus Scylla

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sulistiono et al. (1992) dalam Mulya (2002) mengklasifikasikan kepiting. Sub Filum: Mandibulata. Sub Ordo: Pleocyemata

TINJAUAN PUSTAKA. Sulistiono et al. (1992) dalam Mulya (2002) mengklasifikasikan kepiting. Sub Filum: Mandibulata. Sub Ordo: Pleocyemata TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Kepiting bakau (Scylla spp.) Sulistiono et al. (1992) dalam Mulya (2002) mengklasifikasikan kepiting bakau sebagai berikut; Filum: Arthropoda Sub Filum: Mandibulata Kelas:

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi Kepiting BakauScylla tranquebarica Kepiting Bakau S. tranquebaricamerupakan salah satu spesies dari genus Scylla yang mendiami kawasan ekosistem

Lebih terperinci

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini

Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang. berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini II. TINJAIJAN PliSTAKA Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Metode Kerja Bahan dan peralatan pada pengamatan morfometri

3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Metode Kerja Bahan dan peralatan pada pengamatan morfometri 17 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di 11 daerah yang meliputi 5 pulau besar di Indonesia, antara lain Bintan dan Jambi (Sumatera), Karawang, Subang dan Cirebon (Jawa),

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla spp.) tergolong dalam famili Portunidae dari suku Brachyura. Kepiting bakau hidup di hampir seluruh perairan pantai terutama pada pantai yang ditumbuhi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga II TINJAUAN PUSTAKA. Genus Scylla mempunyai tiga spesies lain yaitu Scylla serata, S. oseanica dan S.

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga II TINJAUAN PUSTAKA. Genus Scylla mempunyai tiga spesies lain yaitu Scylla serata, S. oseanica dan S. II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Kepiting Bakau Klasifikasi Scylla paramamosain menurut King (1995) dan Keenan (1999) dalam Pavasovic (2004) adalah sebagai berikut : Filum : Arthropoda Subfilum: Crustacea

Lebih terperinci

TINGKAT KONSUMSI PADA DUA POPULASI KEONG MURBEI (Pomacea canaliculata) SEBAGAI ALTERNATIF PENANGANAN GULMA AIR

TINGKAT KONSUMSI PADA DUA POPULASI KEONG MURBEI (Pomacea canaliculata) SEBAGAI ALTERNATIF PENANGANAN GULMA AIR TINGKAT KONSUMSI PADA DUA POPULASI KEONG MURBEI (Pomacea canaliculata) SEBAGAI ALTERNATIF PENANGANAN GULMA AIR PUNGKY KUMALADEWI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan 1 2 Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan antara bahasa Portugis mangue dan bahasa Inggris grove. Menurut Mastaller (1997) kata mangrove berasal dari bahasa Melayu kuno mangi-mangi untuk menerangkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove adalah suatu lingkungan yang memiliki ciri khusus yaitu lantai hutannya selalu digenangi air, dimana air tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial. Salah satu ekosistem

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di Indonesia perkiraan luas mangrove sangat beragam, dengan luas garis pantai yang panjang + 81.000 km (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2007), ada beberapa yang

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA Kepiting Bakau Kualifikasi Taksonomi dan Morfologi

2 TINJAUAN PUSTAKA Kepiting Bakau Kualifikasi Taksonomi dan Morfologi 4 2 TINJAUAN PUSTAKA Kepiting Bakau Kualifikasi Kepiting bakau tergolong dalam famili Portunidae, yang terdiri atas enam subfamili yaitu : Carcininae, Polybiinae, Caphyrinae, Catoptrinae, Podophthalminae,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang secara geografis terletak di antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai keanekaragaman

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) Indonesia dan merupakan hewan Arthropoda yang terbagi kedalam empat family,

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) Indonesia dan merupakan hewan Arthropoda yang terbagi kedalam empat family, TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) Kepiting merupakan salah satu hewan air yang banyak di jumpai di Indonesia dan merupakan hewan Arthropoda yang terbagi kedalam empat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Ekosistem mangrove adalah suatu sistem yang terdiri atas berbagai tumbuhan, hewan, dan mikrobia yang berinteraksi dengan lingkungan di habitat mangrove (Strategi Nasional

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang khusus terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Tjardhana dan Purwanto,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia sekitar 3.735.250 ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove Indonesia

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Hutan mangrove merupakan hutan yang tumbuh pada daerah yang berair payau dan dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove memiliki ekosistem khas karena

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Hutan Mangrove Ekosistem hutan mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan

BAB I PENDAHULUAN. yaitu mendapatkan makanan, suhu yang tepat untuk hidup, atau mendapatkan 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setiap makhluk hidup yang berada di suatu lingkungan akan saling berinteraksi, interaksi terjadi antara makhluk hidup dengan makhluk hidup itu sendiri maupun makhluk

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Klasifikasi Kepiting Bakau (Scylla serrata) Menurut Kanna (2002) kepiting bakau (S. serrata) berdasarkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Klasifikasi Kepiting Bakau (Scylla serrata) Menurut Kanna (2002) kepiting bakau (S. serrata) berdasarkan 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi Kepiting Bakau (Scylla serrata) 1. Klasifikasi Kepiting Bakau (Scylla serrata) Menurut Kanna (2002) kepiting bakau (S. serrata) berdasarkan taksonominya dapat diklasifikasikan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kata mangrove dipakai sebagai pengganti istilah kata bakau untuk menghindari salah pengertian dengan hutan yang melulu terdiri atas Rhizophora spp., (Soeroyo.1992:

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai wilayah di Nusantara. Kerusakan hutan mangrove ini disebabkan oleh konversi lahan menjadi areal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang sebagian besar wilayahnya merupakan perairan dan terletak di daerah beriklim tropis. Laut tropis memiliki

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ekosistem mangrove tergolong ekosistem yang unik. Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem dengan keanekaragaman hayati tertinggi di daerah tropis. Selain itu, mangrove

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut. Ekosistem mangrove

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai kawasan pesisir yang cukup luas, dan sebagian besar kawasan tersebut ditumbuhi mangrove yang lebarnya dari beberapa

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu 6 TINJAUAN PUSTAKA Pengetian Mangrove Kata mangrove diduga berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama yang diberikan kepada mangrove merah (Rhizopora spp.). Nama Mangrove diberikan kepada jenis

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai kurang lebih 81.000 km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat besar,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakang Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang 95.181 km terdiri dari sumber daya alam laut dan pantai yang beragam. Dengan kondisi iklim dan substrat

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama

TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Mangrove Kata mangrove berasal dari bahasa Melayu manggi-manggi, yaitu nama yang diberikan kepada mangrove merah (Rhizopora spp.). Nama mangrove diberikan kepada jenis tumbuh-tumbuhan

Lebih terperinci

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL Oleh : Nurul Dhewani dan Suharsono Lokakarya Muatan Lokal, Seaworld, Jakarta, 30 Juni 2002 EKOSISTEM LAUT DANGKAL Hutan Bakau Padang Lamun Terumbu Karang 1 Hutan Mangrove/Bakau Kata

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian. Kabupaten Gorontalo Utara merupakan wilayah administrasi yang

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian. Kabupaten Gorontalo Utara merupakan wilayah administrasi yang BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kabupaten Gorontalo Utara merupakan wilayah administrasi yang merupakan kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo

Lebih terperinci

VI. SIMPULAN DAN SARAN

VI. SIMPULAN DAN SARAN 135 VI. SIMPULAN DAN SARAN A. SIMPULAN Komposisi spesies mangrove di Pulau Kaledupa, Derawa, dan Pulau Hoga Taman Nasional Wakatobi sebanyak 20 spesies mangrove sejati dan tersebar tidak merata antar pulau.

Lebih terperinci

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR EDI RUDI FMIPA UNIVERSITAS SYIAH KUALA Ekosistem Hutan Mangrove komunitas vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangrove yang mampu untuk tumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Dalam suatu wilayah pesisir terdapat beragam sistem lingkungan (ekosistem). Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove, terumbu karang,

Lebih terperinci

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 13.466 pulau dengan garis pantai sepanjang 99.023 km 2 (Kardono, P., 2013). Berdasarkan UNCLOS

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di seluruh kawasan Nusantara. Salah satu komoditas perikanan yang hidup di perairan pantai khususnya di

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut merupakan sebuah ekosistem yang terpadu dan saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi pertukaran materi

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove

TINJAUAN PUSTAKA. kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin. pada iklim tropis dan sub tropis saja. Menurut Bengen (2002) hutan mangrove II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Hutan Mangrove 1. Pengertian Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan sub tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove mampu tumbuh

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. kestabilan pantai, penyerap polutan, habitat burung (Bismark, 1986). Kemampuan mangrove untuk mengembangkan wilayahnya ke arah laut

TINJAUAN PUSTAKA. kestabilan pantai, penyerap polutan, habitat burung (Bismark, 1986). Kemampuan mangrove untuk mengembangkan wilayahnya ke arah laut 4 TINJAUAN PUSTAKA Deskripsi Umum Hutan Mangrove Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan dengan faktor fisik yang ekstrim, seperti habitat tergenang air dengan salinitas tinggi di pantai dan sungai dengan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Mangrove Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai dan dipengaruhi oleh gerakan pasang surut perpaduan antara air sungai dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan yang disebut sumberdaya pesisir. Salah satu sumberdaya pesisir BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan pesisir dan laut di Indonesia memegang peranan penting, karena kawasan ini memiliki nilai strategis berupa potensi sumberdaya alam dan jasajasa lingkungan yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia BAB I PENDAHULUAN I.I Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari atas 17.508 pulau, dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Luas laut Indonesia sekitar 3,1

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia mempunyai perairan laut yang lebih luas dibandingkan daratan, oleh karena itu Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Perairan laut Indonesia kaya akan

Lebih terperinci

ARTIKEL ILMIAH. STUDI POPULASI KEPITING BAKAU (Scylla spp.) PADA KAWASAN HUTAN MANGROVE DESA SUNGAI ITIK KECAMATAN SADU KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

ARTIKEL ILMIAH. STUDI POPULASI KEPITING BAKAU (Scylla spp.) PADA KAWASAN HUTAN MANGROVE DESA SUNGAI ITIK KECAMATAN SADU KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR ARTIKEL ILMIAH STUDI POPULASI KEPITING BAKAU (Scylla spp.) PADA KAWASAN HUTAN MANGROVE DESA SUNGAI ITIK KECAMATAN SADU KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR OLEH ASMARIYA NIM A1C412039 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU

Lebih terperinci

GUBERNUR SULAWESI BARAT

GUBERNUR SULAWESI BARAT GUBERNUR SULAWESI BARAT PERATURAN GUBERNUR SULAWESI BARAT NOMOR 2TAHUN 2013 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PROVINSI SULAWESI BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting hidup di daerah muara sungai dan rawa pasang surut yang banyak ditumbuhi vegetasi

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis PENDAHULUAN Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem yang memiliki peranan penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis kondisi dan keberadaannya. Beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. bantu yang mampu merangsang pembelajaran secara efektif dan efisien.

BAB I PENDAHULUAN. bantu yang mampu merangsang pembelajaran secara efektif dan efisien. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan proses yang kompleks, namun kompleksitasnya selalu seiring dengan perkembangan manusia. Melalui pendidikan pula berbagai aspek kehidupan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove dilaporkan berasal dari kata mangal yang menunjukkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kata mangrove dilaporkan berasal dari kata mangal yang menunjukkan BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem Mangrove 2.1.1. Definisi. Kata mangrove dilaporkan berasal dari kata mangal yang menunjukkan komunitas suatu tumbuhan. Ada juga yang menyebutkan bahwa mangrove berasal

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001).

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001). I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian mencakup kegiatan usahatani perkebunan, perhutanan, peternakan, dan perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan ragam. Dari sakala

Lebih terperinci

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI

STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI STUDI BIOLOGI REPRODUKSI IKAN LAYUR (Superfamili Trichiuroidea) DI PERAIRAN PALABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT DEVI VIANIKA SRI AMBARWATI SKRIPSI DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS

Lebih terperinci

1. Pengantar A. Latar Belakang

1. Pengantar A. Latar Belakang 1. Pengantar A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang memiliki sekitar 17.500 pulau dengan panjang sekitar 81.000, sehingga Negara kita memiliki potensi sumber daya wilayah

Lebih terperinci

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE SALINAN PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI MAROS, Menimbang

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil 1. Keragaman Vegetasi Mangrove Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada 20 plot yang masing-masing petak ukur 5x5 m, 10x10 m dan 20x20 m diketahui bahwa vegetasi mangrove

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Mangrove Mangrove adalah tanaman pepohonan atau komunitas tanaman yang hidup di antara laut dan daratan yang dipengaruhi oleh pasang surut. Habitat mangrove seringkali ditemukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia dan juga memiliki keragaman hayati yang terbesar serta strukturnya yang paling bervariasi. Mangrove dapat tumbuh

Lebih terperinci

Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan, 31 Agustus 2013

Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan, 31 Agustus 2013 POTENSI KEPITING BAKAU DI WILAYAH PERAIRAN SEKITAR TAMBAK DESA MOJO KAB PEMALANG pms-12 Arthur Muhammad Farhaby 1 * Johannes Hutabarat 2 Djoko Suprapto 2 dan Jusup Suprijanto 2 1 Mahasiswa Program Double

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh TINJAUAN PUSTAKA Hutan Mangrove Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh disepanjang garis pantai tropis sampai sub tropis yang memilkiki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks

Lebih terperinci

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP PERATURAN DAERAH KABUPATEN CILACAP NOMOR : 17 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DI KAWASAN SEGARA ANAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA BUPATI CILACAP,

Lebih terperinci

KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA ABSTRAK

KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA ABSTRAK KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA Kartini V.A. Sitorus 1, Ralph A.N. Tuhumury 2 dan Annita Sari 3 1 Mahasiswa S1 Program Studi Budidaya Perairan

Lebih terperinci

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV HASIL DAN PEMBAHASAN DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL... i LEMBAR PENGESAHAN... ii BERITA ACARA... PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH... iv PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI SKRIPSI... v ABSTRAK... vi ABSTRACT... vii RINGKASAN...

Lebih terperinci

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di perairan Indonesia diperkirakan lebih dari 100 spesies jenis kepiting

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di perairan Indonesia diperkirakan lebih dari 100 spesies jenis kepiting BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifiksi Kepiting Bakau (Scylla serrata) Di perairan Indonesia diperkirakan lebih dari 100 spesies jenis kepiting yang tergolong dalam keluarga Portunidae. Portunidae merupakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir merupakan wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut. Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir merupakan wilayah pertemuan antara daratan dan laut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua

BAB I PENDAHULUAN. sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara geografis Indonesia membentang 6 0 LU 11 0 LS dan 95 0-141 0 BT, sedangkan secara geografis Indonesia terletak di antara benua Asia dan Benua Australia

Lebih terperinci

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH

STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH STUDI PENYEBARAN MAKROZOOBENTHOS BERDASARKAN KARAKTERISTIK SUBSTRAT DASAR PERAIRAN DI TELUK JAKARTA WAHYUNINGSIH DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur.

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki hutan mangrove terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia dan hidup serta tumbuh berkembang

Lebih terperinci

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD

STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD STRUKTUR KOMUNITAS MOLUSKA (GASTROPODA DAN BIVALVIA) SERTA ASOSIASINYA PADA EKOSISTEM MANGROVE DI KAWASAN PANTAI ULEE - LHEUE, BANDA ACEH, NAD Oleh : IRMA DEWIYANTI C06400033 SKRIPSI PROGRAM STUD1 ILMU

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Tentang Mangrove 2.1.1. Pengertian mangrove Hutan mangrove secara umum didefinisikan sebagai hutan yang terdapat di daerah-daerah yang selalu atau secara teratur tergenang

Lebih terperinci

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (2) PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 121 TAHUN 2012 TENTANG REHABILITASI WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : bahwa untuk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhannya bertoleransi terhadap salinitas (Kusmana, 2003). Hutan mangrove 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan mangrove merupakan suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang surut, terutama di pantai berlindung, laguna, dan muara sungai yang tergenang pada saat pasang

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Letak dan Kondisi Penelitian Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur dan merupakan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelas : Crustacea. Ordo : Decapoda. Webster et al., (2004), menyatakan bahwa lobster merupakan udang air tawar

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kelas : Crustacea. Ordo : Decapoda. Webster et al., (2004), menyatakan bahwa lobster merupakan udang air tawar II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi Lobster Air Tawar Menurut Holthuis (1949) dan Riek (1968), klasifikasi lobster air tawar adalah sebagai berikut : Filum : Arthropoda Kelas : Crustacea Ordo : Decapoda Famili

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove memiliki sifat khusus yang berbeda dengan ekosistem hutan lain bila dinilai dari keberadaan dan peranannya dalam ekosistem sumberdaya alam, yaitu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan

BAB I PENDAHULUAN. yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Negara Indonesia terkenal memiliki potensi sumberdaya kelautan dan pesisir yang kaya. Hal ini sesuai dengan sebutan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat diperbaharui seperti perikanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Ekosistem mangrove adalah tipe ekosistem yang terdapat di daerah pantai dan secara teratur di genangi air laut atau dipengaruhi oleh pasang surut air laut,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini disebabkan karena Indonesia

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang...

DAFTAR ISI. Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... I. PENDAHULUAN Latar Belakang... DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... x xiii xv xvi I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang... 1 1.2. Rumusan Masalah... 5 1.3.Tujuan dan Kegunaan Penelitian...

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Mangrove banyak dijumpai di wilayah

Lebih terperinci

PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA

PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA TAHUN 2017 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia,

Lebih terperinci

BAB I. penting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah

BAB I. penting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sekitar 75% dari luas wilayah nasional berupa lautan. Salah satu bagian penting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai, dan

Lebih terperinci

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA SEBARAN DAN ASOSIASI PERIFITON PADA EKOSISTEM PADANG LAMUN (Enhalus acoroides) DI PERAIRAN PULAU TIDUNG BESAR, KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA Oleh: Yuri Hertanto C64101046 PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya

I. PENDAHULUAN. pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia secara geografis memiliki sebagian besar wilayahnya berupa pesisir dan pantai yang mempunyai arti strategis karena merupakan wilayah terjadinya interaksi/peralihan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai panjang garis pantai lebih kurang 114 km yang membentang

BAB 1 PENDAHULUAN. mempunyai panjang garis pantai lebih kurang 114 km yang membentang 1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indramayu merupakan salah satu kota di Jawa Barat yang mempunyai potensi perikanan dan kelautan yang cukup tinggi. Wilayah pesisir Indramayu mempunyai panjang

Lebih terperinci

ANALISIS POTENSI KEPITING BAKAU (Scylla spp) DI KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT

ANALISIS POTENSI KEPITING BAKAU (Scylla spp) DI KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT Bimafika, 2010, 2, 114-121 ANALISIS POTENSI KEPITING BAKAU (Scylla spp) DI KABUPATEN SERAM BAGIAN BARAT Tahir Tuasikal*) Fakultas Perikanan Dan Ilmu Kelautan Universitas Darussalam Ambon Diterima 15-04-10;

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerusakan fisik habitat wilayah pesisir dan lautan di Indonesia mengakibatkan penurunan kualitas ekosistem. Salah satunya terjadi pada ekosistem mangrove. Hutan mangrove

Lebih terperinci