RANCANG BANGUN BUBU LIPAT UNTUK MENANGKAP KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DIDIN KOMARUDIN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "RANCANG BANGUN BUBU LIPAT UNTUK MENANGKAP KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DIDIN KOMARUDIN"

Transkripsi

1 RANCANG BANGUN BUBU LIPAT UNTUK MENANGKAP KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DIDIN KOMARUDIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

2 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Rancang Bangun Bubu Lipat untuk Menangkap Kepiting Bakau (Scylla serrta) merupakan karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Bogor, Juli 2012 Didin Komarudin C

3 ABSTRACT DIDIN KOMARUDIN. Design Construction of Collapsible Trap to Catch Mud Crab (Scylla serrata). Supervised by GONDO PUSPITO and ROZA YUSFIANDAYANI. Collapsible trap is the most popular fishing gear to catch of mud crab. This fishing gear has weakness, because its construction was adopted from other country without any aclimatization with behavior of Indonesian mud crab. The main objective of this research is to determine suitable design of collapsible trap to catch the mud crab. This research consists of two steps. First step is called as research of trap parts. The objectives of this step are to determine suitable mesh size of trap entrance, suitable slope of trap entrance, shape and size of trap entrance, and suitable colour of shelter. Second step is called as new design trap trial. The objectives of this step are to obtain the most productive design of trap and to determine influence of lid instalation at the top of trap as a shelter. The method of all researchs are laboratory experiment. The result showed that the suitable mesh size of trap entrance was 1 inchi, the suitable slope of trap entrance was 40 o, the suitable shape of trap entrance was square with height of 5 cm. The distance between wires was 2-3 cm. The colour that was choosen by mud crab was black. So, this colour could be used by the trap as a shelter. The catch number of four types trap were significantly different (F count = > F tab = 2.74). Most of mud crabs were caught in new design trap (B) (59.2% from total catch) and fewer crabs were caught by fishermen trap (N) (0,05% from total catch). This trap has dimension of (cm). The catch number of trap with lid and without lid was significantly different (F count = > F tab = 4.41). The catch number of trap with lid was 89 crabs (96.7% from total catch). While, the catch number of trap without lid was 3 crabs (3,3% from total catch). Key words: Collapsible trap, mud crab, trigger, and laboratory experiment

4 RINGKASAN DIDIN KOMARUDIN. Rancang Bangun Bubu Lipat untuk Menangkap Kepiting Bakau (Scylla serrata). Dibimbing oleh GONDO PUSPITO dan ROZA YUSFIANDAYANI. Permintaan pasar terhadap kepiting bakau sangat tinggi, sehingga nilai jualnya menjadi semakin meningkat. Salah satu kelebihan kepiting dibandingkan dengan komoditas laut lainnya adalah memiliki kemampuan bertahan hidup yang lama di udara terbuka. Hal ini menyebabkan kepiting selalu dalam kondisi segar ketika sampai di tangan konsumen. Kepiting bakau hidup di perairan sekitar mangrove. Daerah mangrove memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan daerah perairan lainnya. Dasar perairan sekitar mangrove berupa lumpur dan lumpur berpasir. Hutan mangrove dipenuhi oleh akar-akar mangrove yang rapat, sehigga tidak semua alat tangkap bisa dioperasikan di lokasi ini. Salah satu alat tangkap yang biasa digunakan nelayan untuk menangkap kepiting bakau adalah bubu lipat. Bubu lipat dipilih karena memiliki banyak kelebihan, diantaranya adalah mudah dioperasikan di sekitar akar-akar mangrove dan hasil tangkap yang diperoleh dalam kondisi hidup dengan anggota tubuh yang lengkap. Namun, bubu ini diduga kurang efektif karena merupakan hasil introduksi dari luar negeri dan memiliki kelemahan konstruksi pada beberapa bagian-bagiannya. Oleh karena itu, perbaikan konstruksi bubu yang disesuaikan dengan tingkah laku kepiting bakau di Indonesia perlu dilakukan.. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan konstruksi bubu yang tepat untuk menangkap kepiting bakau. Penelitian ini terdiri atas dua tahap, yaitu penelitian bagian-bagian bubu dan uji coba bubu. Penelitian bagian-bagian bubu bertujuan untuk menentukan ukuran mata jaring dan sudut lintasan masuk yang sesuai, menentukan bentuk dan bukaan mulut bubu yang sesuai, dan menentukan warna tutupan bubu yang sesuai. Adapun penelitian uji coba bubu bertujuan untuk membuktikan bahwa produktivitas bubu desain baru lebih baik dari desain standar dan untuk menentukan pengaruh penggunaan tutupan pada bubu. Penelitian menggunakan metode percobaan pada skala laboratorium. Untuk menentukan ukuran mata jaring yang sesuai, 4 ukuran mata yang berbeda yaitu 0,5; 0,75; 1; dan 1,25 inci diujicoba. Selanjutnya untuk menentukan sudut kemiringan lintasan masuk digunakan 3 sudut yang berbeda, yaitu 20 o, 40 o, dan 60 o. Adapun untuk menentukan bentuk dan bukaan mulut bubu didasarkan atas studi literatur (desk study). Selanjutnya untuk menentukan warna tutupan yang sesuai untuk bubu, 2 warna berbeda yaitu warna putih dan hitam dibandingkan. Adapun untuk menentukan produktifitas bubu, digunakan 4 jenis bubu yang berbeda. Spesifikasi masing-masing bubu sebagai berikut 1) Bubu modifikasi (M) dengan dimensi (cm) dan dipasang kisi pada pintu masuknya; 2) Bubu modifikasi mulut menyudut (P) yang memiliki dimensi (cm) dan dipasang kisi yang lebih pendek pada bagian tengah pintu masuknya; 3) Bubu desain dan ukuran baru (B) yang memiliki dimensi (cm) dan dipasang kisi pada pintu masuknya; dan 4) Bubu nelayan (N) yang memiliki ukuran (cm) dengan pintu masuk berupa celah.

5 Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran mata jaring yang sesuai untuk lintasan masuk adalah 1 inci. Sudut yang sesuai untuk lintasan masuk adalah 40 o. Bentuk dan ukuran bukaan mulut bubu adalah persegi panjang dengan ketinggian mulut 5 cm. Selain itu, pada mulut tersebut dipasang juga kisi dengan prinsip kerja naik turun dan terbuat dari kawat. Jarak antar kisi 2-3 cm. Warna penutup yang dipilih oleh kepiting adalah warna hitam. Jumlah hasil tangkap pada 4 jenis bubu berbeda secara signifikan pada taraf kepercayaan 95% (F hit = 95,52 > F tab = 2,74). Bubu yang paling banyak menangkap kepiting bakau adalah bubu desain dan ukuran baru (B) (57,35% dari total hasil tangkapan), selanjutnya diikuti oleh bubu modifikasi (M) (21,17% dari total hasil tangkapan), kemudian bubu dengan posisi mulut menyudut (P) (10,57% dari total hasil tangkapan), dan yang paling sedikit adalah bubu nelayan (N) (0,05% dari total hasil tangkapan). Jumlah hasil tangkapan bubu yang menggunakan tutupan dan tanpa tutupan berbeda secara signifikan pada taraf kepercayaan 95% (F hit = 125,59 > F tab = 4,41). Bubu dengan penutup memperoleh hasil tangkapan sebanyak 89 kepiting (96.7% dari total hasil tangkapan), sedangkan bubu tanpa penutup memperoleh kepiting sebanyak 3 individu (3,3% dari total hasil tangkapan).

6 Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, dan tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

7 RANCANG BANGUN BUBU LIPAT UNTUK MENANGKAP KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DIDIN KOMARUDIN Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Teknologi Perikanan Tangkap SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

8 Judul Tesis Nama NIM : Rancang Bangun Bubu Lipat untuk Menangkap Kepiting Bakau (Scylla serrata) : Didin Komarudin : C Disetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. Gondo Puspito, M.Sc. Ketua Dr. Roza Yusfiandayani. S.Pi. Anggota Diketahui, Koordinator Mayor Teknologi Perikanan Tangkap Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir. Mulyono S. Baskoro, M.Sc. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr. Tanggal ujian: 02 Agustus 2012 Tanggal lulus:

9 PRAKATA Bubu lipat yang banyak digunakan nelayan merupakan hasil introduksi dari luar negeri. Bubu tersebut digunakan apa adanya tanpa dilakukan penyesuaian terhadap tingkah laku kepiting bakau yang ada di Indonesia. Perubahan yang dilakukan hanya pada ukuran bubu yang dijadikan lebih kecil dibandingkan dengan bubu dari negara asalnya. Padahal bubu tersebut masih memiliki kelemahan pada konstruksi beberapa bagiannya. Hal ini tentu saja akan membuat produktivitas bubu menjadi tidak maksimal. Permasalahan di atas dapat diatasi dengan cara memperbaiki konstruksi bubu lipat. Produktifitas bubu yang telah diperbaiki diharapkan dapat lebih baik. Oleh karena itu, penelitian ini dibuat untuk menghasilkan bubu lipat yang sesuai dengan harapan nelayan, yaitu dapat meningkatkan hasil tangkapan kepiting bakau. Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Gondo Puspito, M.Sc. dan Dr. Roza Yusfiandayani, S.Pi. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukannya selama penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Ismawan Tallo selaku mahasiswa program Doktor sekolah pascasarjana IPB yang telah banyak membantu dalam pengadaan alat dan bahan untuk pengamatan di laboratorium, sehingga penelitian yang penulis lakukan dapat berjalan lancar. Selanjutnya, ucapan terima kasih disampaikan juga kepada Sdr. Arrif dan Sdri. Jessy yang telah banyak membantu penulis dalam melakukan penelitian. Terakhir, penulis tak lupa menyampaikan ucapan terima kasih kepada Bapak dan Ibu, serta semua pihak yang telah membantu selama penelitian dan penulisan tesis ini. Penulis menyadari bahwa tesis ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan oleh penulis guna perbaikan tulisan ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Bogor, Juli 2012 Didin Komarudin

10 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sumedang pada hari kamis tanggal 06 Pebruari 1986 dari Bapak Engkos dan Ibu Esih. Penulis merupakan anak ke tiga dari tiga bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri Conggeang, Sumedang pada tahun 2005 dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Mayor Teknologi dan Manajemen Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor dan lulus pada tahun Pada tahun 2010 penulis memperoleh kesempatan untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana pada Mayor Teknologi Perikanan Tangkap, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, IPB. Selama perkuliahan penulis aktif menjadi asisten mata kuliah Alat Penangkapan Ikan (PSP221) dan Teknologi Alat Penangkapan Ikan (PSP321) pada tahun ajaran 2010/2011 dan 2011/2012.

11 i DAFTAR ISI DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN... DAFTAR ISTILAH... Halaman 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Kerangka Pemikiran Tujuan Penelitian Hipotesis Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Kepiting Bakau Klasifikasi dan morfologi Penyebaran dan habitat Kebiasaan makan Daur hidup kepiting bakau Bubu Deskripsi Konstruksi bubu lipat Umpan METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Alat dan Bahan Penelitian bagian-bagian bubu ) Penentuan ukuran mata jaring lintasan masuk bubu ) Penentuan sudut kemiringan lintasan masuk mulut bubu ) Penelitian penentuan tinggi pintu bubu ) Penelitian penentuan warna tutupan Penelitian rancangan bubu Metode Penelitian Penelitian bagian-bagian bubu ) Penentuan ukuran mata jaring lintasan masuk mulut bubu ) Penentuan sudut kemiringan lintasan masuk mulut bubu. 25 3) Penentuan tinggi pintu masuk bubu ) Penentuan warna tutupan Ujicoba bubu Penelitian warna tutupan Analisis Data Analisis regresi Rancangan acak lengkap (RAL) satu faktor iii iv vi vii

12 ii 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Konstruksi Bubu Lipat Ukuran mata jaring lintasan masuk mulut bubu ) Ukuran mata jaring ) Pola pergerakan kepiting merayapi lintasan masuk Sudut kemiringan lintasan masuk mulut bubu ) Pengaruh sudut kemiringan lintasan masuk terhadap kepiting ) Sudut lintasan masuk yang sesuai Bentuk dan Bukaan Mulut Bubu ) Bentuk dan bukaan mulut bubu lipat standar nelayan ) Bentuk dan bukaan mulut bubu lipat baru Warna tutupan Konstruksi Baru Bubu Kepiting Bakau (Scylla serrata) Desain bubu ) Bubu modifikasi (M) ) Bubu dengan mulut menyudut (P) ) Bubu dengan desain dan ukuran baru (B) Hasil ujicoba bubu Aplikasi Tutupan pada Bubu KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN... 61

13 iii DAFTAR TABEL Halaman 1 Karakteristik setiap spesies kepiting bakau Ukuran kepiting yang digunakan Analisis data Perlakuan dan ulangan Tabel sidik ragam atau tabel ANOVA Panjang bar pada setiap ukuran mata jaring... 35

14 iv DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Bubu lipat Kerangka pemikiran Jenis-jenis kepiting bakau Scylla spp. (a) Scylla serrtata, (b) Scylla oceanic, (c) Scylla tranquebarica dan (d) Scylla serrata var paramamosain Daur hidup kepiting Skema bagian-bagian tubuh larva kepiting (zoea dan megalopa) Bubu berbentuk balok (a) dan kubah (b) Bagian-bagian kepiting bakau Model lintasan masuk bubu Bentuk balok tutupan Ilustrasi tampak depan susunan peralatan untuk menentukan ukuran mata jaring lintasan masuk mulut bubu Ilustrasi tampak depan susunan peralatan untuk menentukan tinggi pintu masuk mulut bubu Ilustrasi posisi penempatan balok penutup di dalam akuarium Susunan bubu pada ujicoba bubu Susunan bubu pada ujicoba tutupan bubu Bagian-bagian kaki renang kepiting bakau Bar pada mata jaring Hubungan antara lebar kaki renang dengan panjang bar pada jaring dengan ukuran 1 inci Pola pergerakan kepiting melewati lintasan masuk Sudut pada lintasan masuk Frekuensi keberhasilan kepiting melewati lintasan masuk sudut α = 20 o, 40 o, dan 60 o Bentuk dan bukaan mulut bubu nelayan Hubungan antara tebal karapas dengan panjang dan lebar karapas serta berat kepiting Posisi pengukuran tebal karapas kepiting bakau Kisi-kisi pada mulut bubu Frekuensi pemilihan warna tutupan... 48

15 v 26 Ilustrasi posisi penempatan tutupan terhadap posisi kepiting Bubu modifikasi (M) Bubu dengan mulut menyudut (P) Bubu dengan desain dan ukuran baru (B) Jumlah tangkapan kepiting pada masing-masing bubu Frekuensi hasil tangkapan kepiting pada bubu dengan tutupan dan tanpa tutupan... 53

16 vi DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1 Alat-alat penelitian Bubu modifikasi dan rancangan baru Tabel ANOVA... 70

17 vii DAFTAR ISTILAH Bar : Panjang sisi mata jaring antara dua simpul yang berdekatan. Desain : Pola rancangan yang menjadi dasar pembuatan suatu benda. Efektivitas Karapas : Pencapaian tujuan secara tepat atau memilih tujuan-tujuan yang tepat dari serangkaian alternatif atau pilihan cara dan menentukan pilihan dari beberapa pilihan lainnya. : Bagian keras yang menutupi punggung dan bagian bawah (plastron) tubuh suatu individu hewan (biasanya pada kepiting dan kurakura). Konstruksi : Susunan-susunan yang saling terhubung sehingga menjadi suatu kesatuan. Model Modifikasi Bubu : Rencana, representasi, atau deskripsi yang menjelaskan suatu objek, sistem, atau konsep, yang seringkali berupa penyederhanaan atau idealisasi. : Perubahan yang dilakukan untuk tujuan penyempurnaan. : Alat penangkap berupa jebakan. Ukuran layak tangkap : Ukuran minimal suatu spesies dapat ditangkap. Pada ukuran ini diperkirakan spesies tersebut sudah matang gonad. Ukuran mata jaring : Ukuran panjang dua kali kaki jaring.

18 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepiting Bakau Klasifikasi dan morfologi Kepiting bakau memiliki nama lokal yang berbeda-beda di setiap negara, seperti ketam batu di Malaysia, mud crab atau kepiting lumpur (Australia), kepiting samoan (Hawai), tsai jim (Taiwan), alimago (Filipina), nokogiri gozami (Jepang), dan kepiting bakau (Indonesia) (Moosa et al. 1975). Organisma ini tergolong pada Famili Portunidae. Klasifikasi kepiting bakau (Scylla spp.), menurut Kasry (1996), adalah sebagai berikut: Filum : Arthropoda Kelas : Crustaceae Sub Kelas : Malacostraca Ordo : Decapoda Sub Ordo : Branchyura Famili : Portunidae Sub Famili : Lipilinae Genus : Scylla Spesies : Scylla spp. Penjelasan klasifikasi tersebut adalah sebagai berikut, filum Arthropoda atau binatang berkaki ruas, kelas Krustasea (udang-udangan), sub kelas Malacostraca (udang-udangan tingkat tinggi), ordo Dekapoda (binatang bertungkai sepuluh), sub ordo Branchyura (mempunyai kaki untuk merayap), dan famili Portunidae (mempunyai pasangan kaki terakhir berbentuk dayung) (Estampador 1949; Stephenson dan Campbell 1960; Stephenson 1967; Sarington 1976; dan Warner 1977, diacu dalam Fujaya 1996). Keanan et al. (1998) menyebutkan terdapat 4 jenis kepiting bakau di alam. Masing-masing adalah Scylla serrata, Scylla serrata var paramamosin, Scylla tranquebarica, dan Scylla olivacea. Adapun menurut Fushimi and Watanabe (2001), jenis kepiting bakau adalah Scylla serrata, Scylla serrata var paramamosin, Scylla tranquebarica, dan Scylla oceanic. Gambar 3 menjelaskan keempat spesies kepiting bakau.

19 8 (a) (b) Sumber: Shih (2009) (c) (d) Gambar 3 Jenis-jenis kepiting bakau Scylla spp. (a) Scylla serrata, (b) Scylla oceanic, (c) Scylla tranquebarica dan (d) Scylla serrata var paramamosain. Berdasarkan warna pada tubuhnya, masing-masing spesies kepiting bakau memiliki ciri-ciri berikut (Moosa et al. 1975): 1) Scylla serrata, warna hijau cokelat sampai kemerah-merahan seperti karat; 2) Scylla oceanica, warna kehijauan menuju keabu-abuan hampir seluruh bagian tubuh kecuali bagian perut; 3) Scylla tranquebarica, berwarna kehijauan buah zaitun namun agak hitam dengan sedikit garis cokelat pada kaki renangnya; dan 4) Scylla serrata var paramamosain, warna dasar hijau merah kecokelatan atau cokelat keungu-unguan/keabu-abuan. Karakteristik masing-masing spesies kepiting bakau berdasarkan morfologi tubuhnya disajikan pada Tabel 1 (Keanan et al. 1998).

20 9 Tabel 1 Karateristik setiap spesies kepiting bakau Jenis Scylla serrata Pola poligon dan warna Duri pada dahi Duri pada bagian luar cheliped Scylla tranquebarica Pola poligon dan warna Scylla paramamosain Duri pada dahi Duri pada bagian luar cheliped Pola poligon dan warna Duri pada dahi Duri pada bagian luar cheliped Scylla olivacea Pola poligon dan warna Duri pada dahi Duri pada bagian luar cheliped Ciri morfologis Chela dan kaki-kakinya memiliki pola poligon yang sempurna untuk kedua jenis kelamin dan pada abdomen betina. Warna bervariasi dari ungu, hijau, sampai hitam kecoklatan. Tinggi, tipis dan agak tumpul dengan tepian yang cenderung cekung dan membulat Dua duri tajam pada propondus dan sepasang duri tajam pada carpus Chela dan dua pasang pada kaki jalan pertama berpola poligon serta dua pasang kaki terakhir dengan pola bervariasi. Pola poligon juga terdapat pada abdomen betina dan tidak pada abdomen jantan. Warna bervariasi mirip dengan Scylla serrta Tumpul dan dikelilingi celah sempit Dua duri tajam pada propundus dan sepasang duri tajam pada carpus Chela dan kaki-kakinya berpola poligon untuk kedua jenis kelamin. Warna bervariasi dari ungu sampai cokelat kehitaman. Tajam berbentuk segitiga dengan tepian yang bergaris lurus dan membentuk ruang yang kaku. Pada fase dewasa tidak ada duri pada bagian luar carpus dan sepasang duri agak tajam yang berukuran sedang pada bagian propundus, sedangkan pada fase juvenil, duri dibagian luar carpus tajam. Chela pada kaki-kakinya tanpa pola poligon yang jelas untuk kedua jenis kelamin dan pada abdomen betina saja. Warna bervariasi dari orange kemerahan sampai cokelat kehitaman. Tumpul dan dikelilingi ruang yang sempit. Umumnya tidak terdapat duri pada carpus, sedangkan pada bagian propundus duri mengalami reduksi dari tajam ke tumpul. Sumber: Keanan et al. (1998)

21 10 Bentuk dan ukuran kepiting sangat beragam. Walau demikian, ada beberapa kesamaan yang dimiliki oleh seluruh jenis kepiting. Kepiting mempunyai chelipeds, tiga pasang kaki jalan, dan satu pasang kaki renang. Chelipeds terletak di depan kaki pertama dan setiap jenis kepiting memiliki struktur chelipeds yang berbeda-beda. Chelipeds dapat digunakan untuk memegang dan membawa makanan, menggali, membuka kulit kerang, dan juga sebagai senjata dalam menghadapi musuh (Prianto 2007). Ukuran chelipeds kanan pada kondisi normal lebih besar dibandingkan dengan kiri. Masing-masing bagian ujung chelipeds berwarna kemerah-merahan. Adapun kaki renang atau kaki dayung terdapat pada urutan terakhir dari deretan kaki-kaki kepiting (Kasry 1996). Persamaan lainnya adalah tubuh kepiting ditutupi dengan karapas atau disebut juga exoskeleton. Karapas merupakan kulit luar yang keras yang berfungsi untuk melindungi organ dalam yang berada pada bagian kepala, badan, dan insang (Prianto 2007). Warnanya menyerupai lumpur atau sedikit kehijauan. Pada bagian kiri dan kanan karapas terdapat sembilan buah duri tajam. Selain itu, pada bagian depan karapas di antara dua tungkai mata kepiting terdapat empat buah duri (Kasry 1996). Kepiting bakau memiliki beberapa ciri khusus yang mudah dikenali. Ciriciri tersebut, menurut Moosa et al. (1975), diantaranya adalah: 1) Karapas berbentuk bulat pipih, dengan sembilan duri pada sisi kiri dan kanan (gigi anterolateral). Empat buah duri terdapat di antara kedua matanya; 2) Pasangan kaki jalan pertama (sapit) mempunyai bagian propodus menggembung dengan permukaan licin. Ukurannya cukup besar dibandingkan dengan kaki jalan lain. Kaki ini berfungsi untuk memegang; 3) Pasangan kaki jalan terakhir berbentuk pipih pada ruas terakhir dan berfungsi sebagai alat renang; 4) Perbedaan antara kepiting betina dan kepiting jantan dapat dilihat melalui ruas-ruas abdomennya. Ruas-ruas abdomen kepiting jantan lebih sempit dibandingkan dengan kepiting betina. Perbedaan lain adalah kepiting jantan menggunakan pleopod yang terletak di bawah abdomen sebagai alat kopulasi, sedangkan kepiting betina menggunakannya sebagai tempat meletakkan telur; dan

22 11 5) Warna karapas dipengaruhi oleh lingkungan. Kepiting bakau yang berwarna dasar hijau keabu-abuan biasanya hidup pada perairan terbuka, sedangkan yang berwarna hijau merah kecokelat-cokelatan hidup dalam lubang di daerah bakau Penyebaran dan habitat Penyebaran kepiting bakau secara geografis meliputi wilayah Indo-Pasifik, mulai dari Teluk Mossel di Afrika Selatan sampai pantai timur Afrika. Kemudian penyebarannya bergerak ke arah timur, mulai dari India, Srilangka, Malaysia, Indonesia, hingga Filipina. Penyebaran ke utara meliputi Thailand, Cina, dan Taiwan, sedangkan ke selatan meliputi Papua Nugini, Australia, dan pulau-pulau di utara Selandia Baru. Kepiting bakau terdapat pula pada beberapa pulau di Lautan Pasifik, seperti di Kepulauan Carolina, Kepulauan Mariana, Samoa, Kepulauan Tuamoto dan Hawaii (Heasman 1980, diacu dalam Tossin 1992). Spesies Scylla serrata di Australia tersebar mulai dari Broome di Australia Barat, Teluk Carpentaria di Australia Utara dan berlanjut menyusuri pantai timur Australia, mulai dari Selat Torres di utara hingga Port Jackson (Sydney) di bagian selatan. Adapun di Indonesia, spesies ini terdapat hampir di seluruh pantai dan perairan payau di sekitar hutan bakau. Menurut Cholik dan Hanafi (1991), kepiting bakau di Indonesia tersebar di sekitar perairan Sumatera Utara, Riau, Sulawesi Selatan, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan. Sebaran kepiting bakau menurut kedalamannya hanya terbatas pada paparan benua (continental shelf) atau pada kisaran kedalaman 0-32 meter. Walau demikian, kepiting juga pernah tertangkap oleh alat tangkap trawl sejauh 75 km dari pantai pada kedalaman 25 m (Moosa et al. 1975). Kepiting bakau memiliki toleransi yang tinggi terhadap salinitas perairan. Organisma ini biasanya hidup pada salinitas antara 2-38 ppt (Hill 1974, diacu dalam Vay 2001). Nelayan Bone, Sulawesi Selatan, biasa menangkap kepiting bakau di perairan pantai dengan salinitas antara ppt, kondisi dasar perairan lumpur berpasir dan kecepatan arus antara 0,06-1,6 m/detik (Mallawa 1991).

23 Kebiasaan makan Larva kepiting bakau memakan plankton. Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa larva kepiting yang baru menetas biasanya hanya mengkonsumsi fitoplankton. Setelah beberapa lama, larva tersebut cenderung memilih zooplankton sebagai makanannya (Sara et al. 2006). Adapun kepiting muda menyukai udang dan moluska terutama kerang-kerangan (Wiliams 1978, diacu dalam Fujaya 1996). Kepiting dewasa tidak memilih-milih jenis makanan. Setelah dewasa kepiting bakau memakan segala jenis bangkai (omnivorous scavenger). Kepiting dewasa memakan kulit kodok, ikan rucah, isi perut binatang, siput, kerang-kerangan dan tiram (Chen 1976, diacu dalam Fujaya 1996). Aktivitas pencarian makanan yang dilakukan oleh kepiting bakau berlangsung pada malam hari, sehingga hewan ini dikelompokkan ke dalam hewan nokturnal. Jarak yang dapat ditempuh kepiting bakau ketika mencari makanan mencapai m. Pada saat matahari akan terbit, kepiting bakau akan membenamkan diri kembali ke dalam lumpur Daur hidup kepiting bakau Kepiting bakau melangsungkan perkawinan di perairan hutan bakau. Kepiting betina secara berangsur-angsur -- sesuai dengan perkembangan telurnya -- akan beruaya ke laut untuk memijah. Sebaliknya, kepiting muda akan beruaya ke pantai atau muara sungai untuk mencari makanan dan perlindungan (Le Reste 1976, diacu dalam Tossin 1992). Sara et al. (2006) menyatakan bahwa keberadaan larva kepiting di perairan dapat menentukan kualitas perairan tersebut, karena larva kepiting sangat sensitif terhadap perubahan kualitas perairan. Daur hidup kepiting bakau dan larva kepiting disajikan pada Gambar 4 dan 5.

24 13 Gambar 4 Daur hidup kepiting. Sumber: Kanna (2002) Sumber: Davey (2000) Gambar 5 Skema bagian-bagian tubuh larva kepiting (zoea dan megalopa). Kepiting muda pada tingkat juvenil sulit terlihat di perairan hutan bakau. Hal ini dikarenakan kepiting memiliki kecenderungan untuk membenamkan diri di dalam lumpur. Selain itu, kepiting muda lebih menyukai tempat-tempat

25 14 terlindung, seperti alur-alur air laut yang menjorok ke daratan (creek), di bawah batu, di bentangan rumput laut dan di sela-sela akar pohon bakau (Heasman 1980 diacu dalam Tossin 1992). Kepiting jantan dewasa biasanya tetap berada di perairan bakau atau estuari. Kepiting banyak ditemukan pada dasar perairan yang berlumpur, atau pada tempat yang banyak terdapat makanannya. 2.2 Bubu Deskripsi Bubu diklasifikasikan ke dalam kelompok perangkap dan penghadang atau traps and guiding barriers. Jenis alat tangkap ini pada umumnya dikenal dengan nama fish pots atau fish basket (Von Brandt 2005). Bubu merupakan alat tangkap yang dipasang secara pasif (Sudirman dan Mallawa 2000; Baskoro dan Effendy 2005). Organisma yang menjadi tujuan tangkapannya adalah jenis-jenis organisma non ikan dan ikan. Jenis-jenis organisma non ikan terdiri atas kepiting dan udang, sedangkan jenis-jenis ikan meliputi ikan demersal, ikan karang, ikan hias dan ikan terbang (Puspito 2009). Konstruksi bubu dirancang agar mudah dimasuki oleh organisma air, tetapi sulit untuk membebaskan diri (Sudirman dan Mallawa 2000). Bagian-bagian utamanya terdiri atas badan bubu, rangka, mulut, tempat umpan, dan pintu untuk mengeluarkan hasil tangkapan (Slack and Smith 2001). Pada umumnya, jumlah pintu masuk pada bubu sebanyak 1 atau 2 buah (Von Brandt 2005). Bentuk bubu bermacam-macam, diantaranya adalah tabung silinder, tabung segi banyak, kubah setengah lingkaran (Slack and Smith 2001), kerucut, kubus, dan balok (Monintja dan Martasuganda 1991). Bentuk umum bubu yang digunakan oleh nelayan Indonesia adalah kubah, prisma segitiga dan tabung silinder (Subani dan Barus 1989). Bubu dapat dioperasikan pada tempat-tempat dimana jenis alat tangkap lain tidak dapat dioperasikan. Misalnya daerah berkarang, celah karang, lubang-lubang di antara bebatuan, perairan yang sangat dalam, atau perairan dengan pantai berupa tebing yang tinggi dan terjal (Puspito 2009). Pengoperasiannya, menurut Sudirman dan Mallawa (2000), dilakukan dengan cara dipasang secara menetap di dalam air pada jangka waktu tertentu. Bubu dapat dipindahkan dari satu tempat ke

26 15 tempat lain dengan mudah, baik menggunakan perahu maupun tanpa menggunakan perahu (Von Brandt 2005). Menurut lokasi pemasangannya, bubu dikelompokkan menjadi dua kelompok, yaitu bubu yang dipasang di dekat pantai (inshore potting) dan jauh dari pantai (offshore potting) (Sainsbury 1996). Rinciannya adalah: 1) Bubu yang dipasang di dekat pantai (inshore potting) Lokasi pemasangan bubu biasanya di daerah estuari, pantai, dan teluk. Kedalaman perairan tempat bubu ini dipasang berkisar antara 1,8-75 m. Karakteristik bubu inshore potting adalah berukuran kecil dan ringan, sehingga dapat dioperasikan menggunakan perahu yang berukuran kecil. Jumlah nelayan yang mengoperasikannya sebanyak 1-2 orang. 2) Bubu yang dipasang jauh dari pantai (offshore potting) Bubu yang termasuk offshore potting berukuran lebih besar dan lebih berat jika dibandingkan dengan bubu inshore potting. Perahu yang digunakan berukuran besar dan dilengkapi dengan perlengkapan yang mendukung operasi penangkapan di laut lepas. Bubu yang termasuk ke dalam kelompok ini dioperasikan hingga kedalaman perairan 900 m atau lebih. Selanjutnya Sainsbury (1996) menambahkan bahwa menurut metode pengoperasiannya, bubu digolongkan menjadi dua, yaitu: 1) Sistem tunggal Pengoperasian bubu dengan sistem tunggal dilakukan dengan cara bubu dipasang satu per satu di dasar perairan. Bubu biasanya diberi pemberat agar posisi bubu tepat ketika berada di dasar perairan. Setiap bubu dilengkapi dengan pelampung tanda yang dihubungkan dengan tali. 2) Sistem rawai Pengoperasian bubu dengan sistem rawai dilakukan dengan cara merangkai bubu yang satu dengan lainnya dengan menggunakan tali utama. Jarak antar bubu disesuaikan dengan kebutuhan dan jumlah bubu. Pemasangan bubu dengan sistem rawai diawali dengan menurunkan jangkar, tali pelampung, dan pelampung tanda. Kemudian dilanjutkan dengan penurunan tali utama dan bubu yang diikatkan pada tali tersebut. Penurunan jangkar dan pelampung tanda terakhir dilakukan setelah seluruh bubu selesai dipasang.

27 Konstruksi bubu lipat Bubu lipat yang umum digunakan terdiri atas dua macam, yaitu berbentuk balok dan kubah (Gambar 6). Keduanya biasa digunakan untuk menangkap rajungan (Archdale 2006). Adapun bubu lipat yang biasa digunakan untuk menangkap kepiting bakau berbentuk balok. Bagian-bagian bubu lipat diantaranya adalah rangka bubu, badan bubu, mulut bubu, pengunci, dan tempat umpan. Rangka bubu terbuat dari besi dengan diameter (ø) 0,4 mm. Besi yang digunakan merupakan jenis besi yang tidak mudah berkarat. Adapun badan bubu biasanya terbuat dari jaring polyethylene (PE) dengan ukuran mata 4 cm (Jirapunpipat 2008). Mulut bubu pada bubu berbentuk balok berupa celah, sedangkan pada bubu kubah berbentuk corong dengan diameter 15 cm (Archdale et al. 2007). Bubu lipat memiliki dimensi yang berbeda di beberapa negara. Menurut Archdale et al. (2007), bubu lipat di Jepang memiliki dimensi panjang (63 cm) lebar (46 cm) tinggi (18 cm). Adapun bubu lipat berbentuk kubah memiliki dimensi panjang (73 cm) lebar (53 cm) tinggi (27 cm). Menurut Jirapunpipat (2008), bubu lipat di Thailand berdimensi panjang (40 cm) lebar (27 cm) tinggi (12 cm). (a) (b) Sumber: Archdale et al. (2007) Gambar 6 Bubu berbentuk balok (a) dan kubah (b) Umpan Umpan merupakan salah satu faktor penting untuk menunjang keberhasilan suatu operasi penangkapan dengan menggunakan bubu. Jenis umpan yang biasa

28 17 digunakan pada bubu terdiri atas beberapa jenis ikan yang sudah tidak bernilai ekonomis, yaitu ikan rucah. Ada pula yang menggunakan umpan buatan, seperti pelet. Walau demikian, daya tarik umpan alami lebih baik dibandingkan dengan umpan buatan (Miller 1990). Mackie et al. (1980) menjelaskan bahwa keefektifan semua jenis umpan berhubungan dengan laju difusi zat-zat kimia yang larut ke dalam lingkungan. Gunarso (1985) menambahkan ikan tertarik pada umpan disebabkan oleh rangsangan kimiawi (rasa dan bau), bentuk, gerakan, dan warna yang direspon oleh indera penciuman dan penglihatan. Menurutnya, bau pada umpan juga digunakan untuk mengusir ikan, seperti ekstrak kulit ikan cucut untuk mengusir atau menghalau ikan salmon agar berenang menuju tempat pemijahan di hulu sungai.

29 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Kegiatan penelitian dibagi dalam dua tahap, yaitu penelitian terhadap bagian-bagian bubu dan penelitian terhadap rancangan bubu yang dibuat berdasarkan penelitian sebelumnya. Penelitian bagian-bagian bubu dilaksanakan antara bulan Desember 2011 sampai dengan April Adapun penelitian terhadap rancangan bubu dilaksanakan antara bulan Mei-Juni Kedua penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Alat Penangkapan Ikan, Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 3.2 Alat dan Bahan Penelitian bagian-bagian bubu Penelitian bagian-bagian bubu yang dilakukan mencakup penentuan ukuran mata jaring lintasan masuk bubu, sudut kemiringan lintasan masuk mulut bubu, bentuk dan bukaan mulut bubu, dan warna shelter atau tutupan yang tepat untuk diaplikasikan pada bubu. Keempat penelitian tersebut menggunakan bahan yang sama, yaitu 30 kepiting bakau (Scylla serrata) dan media air laut. Ukuran panjang dan lebar karapas kepiting yang digunakan dituliskan pada Tabel 2, sedangkan bentuk morfologinya dijelaskan pada Gambar 7. Dactylus Antena Mata Karapas Propundus Carpus Merus Kaki jalan Abdomen Kaki renang Gambar 7 Bagian-bagian kepiting bakau.

30 20 Tabel 2 Ukuran kepiting yang digunakan No. Kode kepiting Panjang karapas (cm) Lebar karapas (cm) Tebal karapas (cm) Berat (cm) Jenis kelamin 1 A 7,45 11,15 4,1 220 Betina 2 B 8,2 10,85 3,7 250 Betina 3 C 7,5 10,6 4,2 159 Betina 4 D 7,6 11,2 4, Betina 5 E 7, ,4 212 Betina 6 F 6,95 9,7 3,95 203,72 Jantan 7 G 9,5 10,1 3,8 198,58 Betina 8 H 7 9, Jantan 9 I 6,65 9,4 3,7 185 Betina 10 J 6,75 10, Jantan 11 K 6,6 9,45 3,7 195 Jantan 12 L 6,2 8,85 3,6 143,64 Jantan 13 M 6,1 8,8 3,6 105 Jantan 14 N 6 8,75 3,6 145 Jantan 15 O 7,5 11,2 4,5 273,46 Jantan 16 P 6,9 9,7 3, Jantan 17 Q 7,05 10,2 3,95 220,21 Jantan 18 R 8,45 11,55 4,4 251,19 Betina 19 S 7,9 10,95 4,4 223,23 Betina 20 T 8,45 11,25 4,45 282,03 Betina 21 U 7,75 11,7 4,45 332,76 Jantan 22 V 6,8 9,45 3,9 203,25 Jantan 23 W 7 9,7 3,85 232,64 Jantan 24 X 7,65 10,75 4,4 277,4 Jantan 25 Y 7,5 10,4 4,15 222,91 Betina 26 Z 6,65 9,75 3,85 193,38 Jantan 27 AA 6,45 9,25 3, Betina 28 AB 6,05 8,7 3,4 125 Jantan 29 AC 7,3 10,3 4,15 238,13 Jantan 30 AD 6,95 9,85 3,95 159,3 Jantan Peralatan utama yang digunakan pada penelitian bagian-bagian bubu adalah 2 unit akuarium, 1 unit filter air, dan kamera (Lampiran 1). Kedua akuarium terdiri atas 1 unit akuarium penampung kepiting dan 1 unit akuarium sebagai tempat ujicoba. Akuarium penampung memiliki dimensi panjang 60 cm, lebar 60 cm, dan tinggi 45 cm. Adapun akuarium untuk ujicoba bagian-bagian bubu

31 21 memiliki dimensi panjang 150 cm, lebar 50 cm, dan tinggi 50 cm. Peralatan lain yang digunakan pada keempat penelitian dijelaskan berikut ini. 1) Penentuan ukuran mata jaring lintasan masuk bubu Penelitian untuk menentukan ukuran mata jaring lintasan masuk bubu menggunakan 4 jaring dengan ukuran mata (mesh size) yang berbeda. Keempat ukuran mata ini biasa digunakan oleh nelayan untuk membuat bubu. Ukuran mata yang digunakan adalah 0,5 inci, 0,75 inci, 1 inci dan 1,25 inci. Jaring tersusun atas benang jaring yang terbuat dari bahan polyethylene 210D/6. Setiap jaring dipasang pada kerangka berbentuk 4 persegi panjang berukuran (cm) yang terbuat dari kawat berdiameter 0,4 cm. Keempat model lintasan masuk bubu ditunjukkan pada Gambar 8. 0,5 inci 0,75 inci 1 inci 1,25 inci Gambar 8 Model lintasan masuk bubu. 2) Penentuan sudut kemiringan lintasan masuk mulut bubu Alat yang digunakan pada penelitian sudut lintasan masuk mulut bubu adalah model mulut bubu. Ukuran mata jaring yang digunakan disesuaikan dengan ukuran mata jaring yang mudah dilewati oleh kepiting pada penelitian 1 atau penentuan ukuran mata jaring. Model mulut bubu menggunakan salah satu konstruksi pada Gambar 8.

32 22 3) Penelitian penentuan tinggi pintu bubu Penelitian penentuan tinggi pintu bubu dilakukan setelah penelitian ukuran mata jaring dan sudut kemiringan lintasan masuk bubu dilakukan. Alat yang digunakan adalah model lintasan masuk dan bidang datar yang diletakkan pada ujung atas lintasan masuk. Bidang datar berbentuk persegi panjang yang terbuat dari kaca berukuran panjang 47 cm, lebar 20 cm dan tebal 0,4 cm. 4) Penelitian penentuan warna tutupan Penelitian warna tutupan dilakukan menggunakan 2 konstruksi tutupan berbentuk balok. Ukuran balok adalah panjang 25 cm, lebar10 cm, dan tinggi 10 cm. Tutupan tersusun atas 5 lembar kaca dengan ketebalan 0,3 cm. Masingmasing sisi luar balok kaca, kecuali pada bagian yang tidak tertutup oleh kaca, dibalut dengan plastik berwarna hitam dan putih. Sebuah lampu tubular lamp (TL) berdaya 24 watt digunakan untuk menerangi bagian atas akuarium. Bentuk tutupan yang digunakan dalam penelitian disajikan pada Gambar cm 10 cm 10 cm Gambar 9 Bentuk balok tutupan.

33 Penelitian rancangan bubu Bahan yang digunakan pada penelitian bubu adalah 30 kepiting bakau, air laut dan 4 macam bubu. Bubu terdiri atas bubu standar dan 3 macam bubu yang dibuat berdasarkan hasil penelitian bagian-bagian bubu. Peralatan yang digunakan meliputi bak fiberglass berbentuk silinder dengan diameter 150 cm dan dalam 70 cm, filter air berbentuk balok dengan dimensi panjang lebar tinggi adalah cm, kamera, plastik tutupan berwarna hitam, dan lampu dengan kekuatan 300 watt. 3.3 Metode Penelitian Penelitian bagian-bagian bubu dan ujicoba bubu menggunakan metode percobaan. Kedua penelitian dilakukan di laboratorium pada kondisi penelitian yang terkontrol. Penggunaan metode ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan sebab akibat yang ditimbulkan oleh perlakuan terhadap variabel respon atau variabel yang diperhatikan. Jenis perlakuan yang diberikan pada penelitian bagian-bagian bubu adalah ukuran mata jaring, sudut kemiringan lintasan masuk bubu, ketinggian pintu bubu, dan warna tutupan. Sementara jenis perlakuan pada penelitian ujicoba bubu adalah jenis bubu. Perlakuan diujikan hanya pada satu jenis kepiting bakau, yaitu Scylla serrata. Prosedur kerja yang lakukan pada kedua penelitian melalui beberapa tahapan yang dibedakan berdasarkan jenis penelitiannya. Masing-masing adalah: Penelitian bagian-bagian bubu 1) Penentuan ukuran mata jaring lintasan masuk mulut bubu Penentuan ukuran mata jaring lintasan masuk mulut bubu menggunakan sudut kemiringan α = 20 o. Besaran sudut ini sangat biasa digunakan oleh nelayan untuk membuat bubu. Tahapan penelitiannya adalah sebagai berikut: (1) Jaring dengan ukuran mata 0,5 inci diletakkan melintang pada bagian tengah akuarium uji yang berisi air laut setinggi 50 cm dengan sudut kemiringan 20 o ; (2) Pada bagian depan jaring diletakkan 1 kepiting bakau dan pada bagian lainnya umpan berupa ikan;

34 24 (3) Pergerakan kepiting melewati jaring diamati dengan kamera yang diletakkan di atas akuarium; (4) Waktu yang diperlukan kepiting untuk melewati jaring lintasan -- dimulai ketika kepiting menyentuh sisi bawah dan melewati sisi atas jaring dihitung. Selain itu, pola pergerakan dan manuver kepiting di atas jaring diamati untuk mengetahui kemudahan atau kesulitan kepiting bergerak melewati jaring; dan (5) Pengujian yang sama dilakukan terhadap 6 kepiting. Ulangan untuk setiap kepiting sebanyak 3 kali. Kepiting yang digunakan memiliki lebar karapas 9 cm. Kepiting dengan ukuran tersebut diduga sudah mengalami matang gonad pertama kali. Hal tersebut ditunjukkan dengan terjadinya perkawinan pada akuarium penampungan yang dilakukan kepiting yang memiliki lebar karapas 9,1 cm. Menurut Hill (1975) diacu dalam Vay (2001) kepiting bakau dengan spesies Scylla serrata mengalami matang gonad untuk pertama kalinya pada lebar karapas antara 8,3-14,4 cm dan terjadi pada usia 1-1,5 tahun. Susunan peralatan yang digunakan dalam menentukan ukuran mata jaring lintasan masuk mulut bubu disajikan pada Gambar 10. Kamera α Gambar 10 Ilustrasi tampak depan susunan peralatan untuk menentukan ukuran mata jaring lintasan masuk mulut bubu.

35 25 2) Penentuan sudut kemiringan lintasan masuk mulut bubu Penentuan sudut kemiringan lintasan masuk bubu dilakukan dengan cara memberikan perlakuan sudut α yang berbeda pada model mulut bubu, yaitu 20 o, 40 o, dan 60 o. Adapun jaring yang digunakan disesuaikan dengan hasil penelitian penentuan ukuran mata jaring lintasan masuk bubu. Urutan penelitiannya adalah: (1) Jaring diletakkan melintang pada bagian tengah akuarium uji yang berisi air laut setinggi 50 cm dengan sudut kemiringan 20 o ; (2) Satu kepiting diletakkan di depan jaring dan umpan berupa ikan di belakang jaring; (3) Kepiting dibiarkan bergerak melintasi jaring; (4) Pola pergerakan kepiting di atas permukaan jaring direkam dan waktu kepiting melewati jaring dihitung; (5) Pengujian yang sama dilakukan terhadap kepiting yang sama sebanyak 3 kali ulangan; (6) Kerja yang sama dilakukan pada kepiting yang sama, tetapi pada sudut kemiringan α = 40 o dan 60 o ; dan (7) Penelitian diulang dengan menguji 5 kepiting lainnya. Ukuran kepiting yang digunakan adalah 11,5 cm; 10,85 cm; 7,6 cm; 7,35 cm; dan 8,85 cm Posisi penempatan alat di dalam akuarium sama dengan Gambar 10 pada penelitian penentuan ukuran mata jaring lintasan masuk mulut bubu. 3) Penentuan tinggi pintu masuk bubu Pada penelitian ini, jaring yang digunakan dan sudut kemiringan lintasan masuk bubu disesuaikan dengan hasil dari 2 penelitian sebelumnya. Adapun tinggi pintu masuk bubu dihitung dari bagian sisi atas jaring ke arah atas. Tahapan penelitian penentuan tinggi pintu masuk sesuai dengan Gambar adalah sebagai berikut: (1) Kepiting diletakkan di depan jaring dan umpan di belakang jaring; (2) Lembaran kaca mendatar diposisikan sejauh 2 cm sesuai dengan ketebalan karapas kepiting layak tangkap -- di atas sisi bagian atas jaring; (3) Kepiting dibiarkan bergerak menaiki jaring dan melewati celah antara bagian

36 26 sisi atas jaring dan kaca; (4) Pergerakan kepiting menaiki jaring dan melewati celah diamati; (5) Seandainya kepiting dapat melewati celah, maka kepiting diposisikan di belakang jaring dan umpan di depan jaring. Selanjutnya kepiting dibiarkan bergerak melewati celah. Jika kepiting tidak dapat melewati celah, maka ketinggian pintu dinaikkan 0,5 cm; (6) Pengujian dianggap selesai ketika kepiting tidak mengalami kesulitan melewati pintu masuk, baik dari depan maupun belakang jaring; dan (7) Jumlah ulangan untuk setiap kepiting sebanyak 3 kali; dan (8) Proses yang sama dilakukan untuk 5 kepiting berikutnya. Kamera Tinggi mulut α Gambar 11 Ilustrasi tampak depan susunan peralatan untuk menentukan tinggi pintu masuk mulut bubu. 4) Penentuan warna tutupan Penentuan warna tutupan menggunakan lampu sorot yang ditempatkan di atas akuarium. Ini dimaksudkan agar kepiting lebih terangsang untuk mencari perlindungan. Urutan penelitian penentuan warna tutupan berdasarkan Gambar adalah sebagai berikut: (1) Tutupan berbentuk balok dengan warna putih dan hitam ditempatkan pada salah satu sisi lebar akuarium dan posisi keduanya berdampingan; (2) Satu kepiting diposisikan di depan kedua tutupan dan lampu dinyalakan;

37 27 (3) Kepiting dibiarkan bergerak memilih warna tutupan yang disukai; (4) Kepiting ditetapkan menyukai satu warna tutupan jika kepiting uji coba masuk ke dalam balok tutupan yang dimaksud; (5) Pengujian diulang dengan mengubah posisi balok tutupan; (6) Uji yang sama dilakukan terhadap 5 kepiting lainnya; (7) Satu kepiting diuji sebanyak 6 ulangan; dan (8) Warna tutupan yang paling sering didatangi dinyatakan sebagai warna tutupan yang paling disukai oleh kepiting bakau. Gambar 12 Ilustrasi posisi penempatan balok penutup di dalam akuarium Ujicoba bubu Penelitian rancangan bubu dilakukan untuk membuktikan apakah bubu yang dibuat dapat direspons dengan baik oleh kepiting. Bubu diharapkan dapat mudah dimasuki oleh kepiting dan kepiting yang terperangkap sulit untuk membebaskan diri. Tiga bubu yang dibuat terdiri atas 2 jenis bubu yang merupakan modifikasi bubu standar dan 1 lainnya bubu dengan rancangan baru. Ketiganya dirancang sesuai dengan hasil penelitian bagian-bagian bubu. Jumlah dan ukuran kepiting yang masuk pada masing-masing bubu dianalisis untuk melihat efektivitas ketiga jenis bubu yang dibuat. Adapun langkah-langkah penelitiannya berdasarkan Gambar 13 adalah sebagai berikut:

38 28 (1) Satu bubu standar (nelayan) dan 3 bubu baru diletakkan berhadapan di dalam bak pengamatan, sehingga pada bagian tengah bak terdapat pertemuan mulut dari keempat bubu tersebut; (2) Pada bagian tengah bak diletakkan 25 ekor kepiting bakau dengan ukuran yang bervariasi; (3) Kepiting dibiarkan untuk bergerak dan masuk ke dalam bubu yang dipilihnya; (4) Pola pergerakan kepiting memasuki bubu diamati; (5) Perlakuan tersebut dilakukan sebanyak 20 kali ulangan dengan beberapa kali mengacak kembali posisi bubu; dan (6) Jumlah dan ukuran kepiting yang masuk pada masing-masing bubu pada setiap ulangan dicatat. Selanjutnya data tersebut diolah untuk menentukan bubu yang paling efektif; Ø : 150 cm B 75 cm 30 cm A D C Ket: A = Bubu nelayan (sebagai kontrol) B = Bubu rancangan baru (B) C = Bubu modifikasi (M) D = Bubu modifikasi mulut menyudut (P) Gambar 13 Susunan bubu pada ujicoba bubu.

39 Penelitian warna tutupan bubu Penelitian warna tutupan bubu dilakukan dengan cara memberikan perlakuan tutupan warna hitam pada bubu. Jenis bubu yang digunakan adalah bubu yang memiliki kemampun menangkap kepiting paling baik berdasarkan hasil ujicoba bubu. Jumlah bubu yang digunakan sebanyak 4 unit. Dua bubu diberi tutupan, sedangkan 2 lainnya tidak diberi tutupan. Urutan penelitiannya berdasarkan Gambar 14 adalah sebagai berikut: (1) Dua bubu dengan tutupan dan 2 bubu tanpa tutupan diletakkan selang-seling dan secara melingkar pada bak pengamatan; (2) Pada bagian tengah bak diletakkan 17 ekor kepiting bakau dengan ukuran yang bervariasi; (3) Lampu pijar pada bagian atas kolam dinyalakan. Hal ini dilakukan untuk merangsang kepiting bergerak masuk ke dalam bubu; (4) Kepiting dibiarkan bergerak dan masuk kedalam bubu yang dipilihnya; (5) Jumlah dan ukuran kepiting yang masuk pada masing-masing bubu dicatat; dan (6) Perlakukan yang sama dilakukan sebanyak 10 kali ulangan, dengan merubah susunan bubu pada bak percobaan. Ø : 150 cm cm Gambar 14 Susunan bubu pada ujicoba tutupan bubu.

40 Analisis Data Analisis data yang digunakan pada masing-masing perlakukan berbedabeda. Secara lengkap, analisis data yang akan dilakukan ditunjukkan pada Tabel 3. Tabel 3 Analisis data No. Tujuan Analisis 1. Menentukan kenormalan ukuran kepiting bakau yang Regresi digunakan pada percobaan 2. Menentukan ukuran mata jaring lintasan masuk mulut bubu 3. Menentukan sudut kemiringan lintasan masuk mulut bubu Deskriptif Deskriptif 4. Menentukan tinggi pintu bubu Deskriptif 5. Menentukan warna tutupan Deskriptif 6. Membuktikan bahwa efektifitas bubu lipat hasil rancangan lebih baik dibandingkan dengan bubu lipat yang digunakan oleh nelayan 7. Membuktikan bahwa bubu lipat dengan tutupan memberikan hasil tangkapan yang lebih banyak dibandingkan dengan bubu lipat tanpa tutupan Analysis of variance (Rancangan acak lengkap) Analysis of variance (Rancangan acak lengkap) Analisis regresi Analisis regresi merupakan analisis yang menggambarkan sekumpulan teknik statistika yang menjadi dasar pengambilan kesimpulan (inferensia) tentang hubungan antar peubah-peubah yang terukur. Analisis regresi yang digunakan adalah analisis regresi linear tunggal. Model umum untuk analisis regresi tersebut yaitu (Matjik dan Sumertajaya, 2000): Y = β 0 + β 1 x + ε Keterangan : Y : Peubah tak bebas atau peubah respon; β 0 : Intersep/perpotongan dengan sumbu tegak; β 1 : Kemiringan/gradien; x : Peubah bebas atau peubah penjelas; dan ε : Galat.

41 31 Analisis regresi digunakan untuk mengetahui hubungan antara tebal dengan panjang, lebar, dan berat kepiting. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kenormalan ukuran kepiting, sehingga ukuran kepiting-kepiting yang digunakan pada penelitian dapat mewakili ukuran kepiting pada umumnya yang berada di alam Rancangan acak lengkap (RAL) satu faktor Rancangan acak lengkap (RAL) satu faktor digunakan untuk membandingkan tingkat efektifitas bubu hasil rancangan dengan bubu yang digunakan nelayan. Selain itu, digunakan juga untuk membandingkan tingkat efektivitas antara bubu yang diberi tutupan dan yang tidak. Menurut Matjik dan Sumertajaya (2000), perhitungan RAL satu faktor adalah sebagai berikut: Tabel 4 Perlakuan dan ulangan Ulangan (r) Perlakuan (t) Total perlakuan (Y i. ) Total ulangan Y.1 Y.2 Y.3 Total keseluruhan (Y.. ) Model linier: Y ij = μ + τ i + ε ij Keterangan : Y ij : Nilai respon pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j; μ : Rataan umum; τ i : Pengaruh perlakuan ke-i; ε ij : Pengaruh acak pada perlakuan ke-i ulangan ke-j; i : 1,,t dan j = 1,,r; dan r : Ulangan dan t = perlakuan. Asumsi : ε ij ~ N (0,σ 2 ) dan τ i = 0

42 32 Hipotesis: H o : τ 1 = = τ 6 = 0 (perlakuan tidak berpengaruh terhadap respon yang diamati); dan H 1 : τ i 0 (minimal ada satu perlakuan yang berpengaruh terhadap respon). Tabel 5 Sidik ragam atau tabel ANOVA Sumber keragaman Derajat bebas (DB) Ulangan sama r 1 = r 2 = = r t = r Jumlah kuadrat (JK) Kuadrat tengah (KT) F-hitung Perlakuan t 1 JKP KTP KTP/KTG Galat t (r 1) JKG KTG Total tr 1 JKT Ulangan tidak sama r 1 r 2 r t r Perlakuan t 1 JKP KTP KTP/KTG Galat (r t 1) JKG KTG Total ( r t ) 1 JKT

43 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Konstruksi Bubu Lipat Bubu lipat yang digunakan untuk menangkap kepiting bakau berbentuk balok dengan pintu masuk terdapat pada kedua sisi bubu. Konstruksi bubu tersusun atas kerangka besi yang diselimuti oleh jaring. Bubu dilengkapi dengan pengunci dan tempat umpan. Untuk perbaikan konstruksi bubu, penelitian difokuskan pada perbaikan beberapa bagian bubu, yaitu ukuran mata jaring lintasan masuk mulut bubu, sudut kemiringan lintasan masuk mulut bubu, dan bukaan mulut bubu Ukuran mata jaring lintasan masuk mulut bubu 1) Ukuran mata jaring Pengujian ukuran mata jaring lintasan masuk menggunakan ukuran mata jaring 0,5; 0,75; 1 dan 1,25 inci. Kepiting secara umum dapat melalui semua ukuran mata jaring. Menurut Kasry (1996), kepiting memiliki 5 pasang kaki salah satunya 1 pasang kaki renang yang berada pada urutan terakhir. Secara berurutan bagian-bagian kaki renang tersebut adalah coxa, basiischium, merus, carpus, propondus, dan dactylus (Siahainenia 2008) (Gambar 15). Kaki ini berfungsi membantu pergerakan kepiting, baik untuk berenang maupun berjalan. Berdasarkan hasil pengamatan, kepiting mengalami kesulitan ketika melintasi jaring dengan ukuran mata 0,5; 0,75 dan 1,25 inci. Pada jaring dengan ukuran mata 0,5 dan 0,75, kepiting mengalami kesulitan berjalan karena bagian dactylus pada kaki renangnya sulit untuk mendapatkan pijakan. Ukuran mata jaring yang terlalu kecil menyebabkan kaki renang sulit bergerak melewati jaring. Kepiting mengalami kesulitan pula ketika melewati jaring dengan ukuran mata 1,25 inci. Penyebabnya, kaki renang kepiting selalu terperosok masuk ke dalam jaring, karena ukuran mata jaring yang terlalu besar. Kepiting relatif lebih mudah merayapi jaring dengan ukuran mata 1 inci. Hal ini disebabkan ukuran lebar kaki renang kepiting (bagian dactylus) tidak terlalu berbeda dengan panjang bar mata jaring dengan ukuran mata 1 inci. Bar adalah panjang sisi mata jaring antara dua simpul yang berdekatan (Prado and Dremiere 1990). Ukuran bar berbanding lurus

44 34 dengan ukuran mata jaring. Semakin besar ukuran mata jaring, maka bar akan semakin panjang. Posisi bar pada satu mata jaring dijelaskan pada Gambar 16. Sumber: Siahainenia (2008) Gambar 15 Bagian-bagian kaki renang kepiting bakau. Bar Gambar 16 Bar pada mata jaring. Sumber: Prado and Dremiere (1990) Kepiting dengan lebar karapas (carapace width, CW) 9 cm memiliki lebar kaki renang rata-rata 1,3 cm. Lebar tersebut tidak jauh berbeda dengan panjang bar mata jaring 1 inci, yaitu 1,27 cm, sehingga kaki renang dapat dengan mudah menapak pada mata jaring dan melakukan tolakan pada bar. Panjang bar pada keempat ukuran mata yang digunakan ditunjukkan pada Tabel 6. Adapun ilustrasi hubungan antara ukuran kaki renang kepiting dengan panjang bar jaring mata jaring 1 inci ditunjukkan pada Gambar 17.

45 35 Tabel 6 Panjang bar pada setiap ukuran mata jaring No. Ukuran mata jaring Panjang bar inci cm (cm) 1. 0,50 1,27 0, ,75 1,91 0, ,00 2,54 1, ,25 3,18 1,59 1,27 cm 1,27 cm Jaring dengan ukuran mata 1 inci L=1,3 cm P= 2,69 cm Gambar 17 Hubungan antara lebar kaki renang dengan panjang bar pada jaring dengan ukuran mata 1 inci. 2) Pola pergerakan kepiting merayapi lintasan masuk Kepiting yang dijadikan sampel uji selalu diposisikan pada bagian tengah lintasan masuk. Jaring yang dijadikan lintasan memiliki ukuran mata 1 inci, atau disesuaikan dengan hasil penelitian mengenai penentuan ukuran mata jaring lintasan yang telah dilakukan sebelumnya. Hasil pengamatan menunjukkan terdapat 5 pola pergerakan kepiting melewati lintasan masuk (Gambar 18), yaitu: 1. Kepiting bergerak ke bagian kiri, kemudian merayap naik melalui sisi kiri lintasan masuk; 2. Kepiting berjalan lurus melewati bagian tengah lintasan masuk;

46 36 3. Kepiting bergerak ke bagian kanan, kemudian merayap naik melalui sisi kanan lintasan masuk; 4. Kepiting berjalan pada bagian tengah, kemudian setelah berada pada bagian tengah lintasan selanjutnya kepiting bergerak ke sisi kiri lintasan dan melanjutkan perjalanannya hingga melewati lintasan; dan 5. Kepiting berjalan pada bagian tengah, kemudian bergerak ke sisi kanan lintasan dan melanjutkan perjalanannya hingga melewati lintasan Gambar 18 Pola pergerakan kepiting melewati lintasan masuk. Pola pergerakan yang paling dominan dilakukan oleh kepiting adalah pola nomor 1, 3 dan 4. Berdasarkan hasil pengamatan, kepiting lebih sering berjalan menyamping ke arah kiri dan kanan tubuhnya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Archdale et al. (2006) yang menyebutkan bahwa sebagian besar kepiting yang masuk ke dalam bubu berbentuk balok adalah dengan cara menyamping, yaitu sebesar 33%. Cara masuk lainnya adalah dengan cara maju ke depan (3%), mundur (27%), dan sisanya tidak masuk ke dalam bubu (37%). Adapun pada bubu berbentuk kubah, 100% kepiting masuk dengan cara menyamping. Selanjutnya hasil pengamatan Yulianto (2011) menyimpulkan bahwa kepiting bakau berjalan menyamping menggunakan kaki-kaki jalannya

47 37 untuk mendekati mangsa atau umpan atau untuk menjauhi stimulus gangguan yang diberikan. Selain kelima pola gerakan tersebut, kepiting dapat melewati lintasan masuk dengan cara berenang tanpa menyentuh lintasan masuk sama sekali. Menurut Nybakken (1992), kepiting dapat berenang dengan cepat di dalam air dengan menggunakan kaki renangnya dan dapat berlari di tempat yang tidak berair dengan menggunakan kaki-kaki jalannya. Kepiting betina dewasa yang sudah matang gonad sangat memanfaatkan kemampuan renangnya untuk mencapai perairan yang dalam guna melakukan pemijahan (Siahinenia 2008) Sudut kemiringan lintasan masuk mulut bubu 1) Pengaruh sudut kemiringan lintasan masuk terhadap kepiting Bubu lipat yang digunakan oleh nelayan memiliki konstruksi mulut dengan lintasan masuk yang membentuk sudut tertentu. Besar sudut kemiringan lintasan masuk α relatif landai, yaitu antara o. Sudut pada lintasan masuk mulut bubu secara lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 19. α Gambar 19 Sudut pada lintasan masuk.

48 38 Uji coba dilakukan terhadap 3 sudut yang berbeda, yaitu α = 20, 40 dan 60 o. Adapun ukuran mata jaring yang digunakan adalah 1 inci. Penentuan ukuran mata tersebut didasarkan pada percobaan sebelumnya yang menunjukkan bahwa jaring dengan ukuran mata 1 inci lebih mudah dilalui kepiting. Hasil penelitian dengan melakukan 15 kali ulangan pada lintasan dengan sudut α = 20 o memberikan hasil 13 kali kepiting berhasil melewati lintasan masuk dan 2 kali kepiting tidak melewati lintasan masuk. Pada sudut α = 40 o, 9 kali kepiting berhasil melewati lintasan dan 6 kali tidak melewati lintasan. Selanjutnya pada sudut α = 60 o, 8 kali kepiting berhasil melewati lintasan dan 7 kali tidak melewati lintasan. Kegagalan kepiting melewati lintasan lebih banyak disebabkan oleh keengganan kepiting bergerak karena sudah terlalu sering dijadikan sampel uji. Hal ini ditunjukkan dengan tingkah laku kepiting yang diam saja di titik awal dan tidak menyentuh lintasan sama sekali. Jumlah kepiting yang berhasil dan gagal melewati lintasan masuk secara lebih jelas ditunjukkan pada Gambar 20. Lintasan masuk dengan sudut α = 20 o terlihat sangat mudah dilalui oleh kepiting. Bahkan dengan kemampuan renangnya, kepiting dapat melalui lintasan tanpa mengenai jaring lintasan. Pada sudut α = 40 o, kepiting masih dapat melintasi lintasan masuk dengan mudah. Adapun pada sudut sudut α = 60 o, kepiting mengalami kesulitan untuk melewati lintasan dibandingkan dengan kedua sudut lainnya. Walau demikian, secara umum kepiting dapat melintasi seluruh sudut, sehingga dapat dikatakan besar sudut kemiringan lintasan tidak dapat menghambat pergerakan kepiting. Fungsi kaki kepiting, menurut Warner (1977) diacu dalam Yulianto (2011), selain digunakan untuk berjalan juga digunakan untuk memanjat. Berdasarkan pengamatan selama penelitian, kepiting bahkan dapat memanjat konstruksi jaring yang diposisikan tegak lurus α =90 o. Dalam pergerakannya, kaki-kaki kepiting mampu mencengkeram dan memegang badan jaring.

49 39 15 α = 20 o 13 Frekuensi Lewat 2 Tidak Lewat Tidak lewat 15 α = 40 o Frekuensi Lewat Tidak LewatTidak lewat 15 α = 60 o Frekuensi Lewat Tidak Lewat Tidak lewat Gambar 20 Frekuensi keberhasilan kepiting melewati lintasan masuk pada sudut α = 20 o, 40 o, dan 60 o.

50 40 2) Sudut lintasan masuk yang sesuai Besar sudut pada lintasan masuk berpengaruh terhadap volume ruang pada bagian bawah bubu. Alasan nelayan menggunakan sudut yang rendah adalah agar kepiting dapat dengan mudah memasuki bubu. Padahal semakin rendah lintasan masuk, maka volume ruang pada bagian bawah bubu menjadi semakin sempit. Hasil pengamatan terhadap tingkah laku kepiting menunjukkan bahwa kepiting memiliki sifat soliter dan selalu menjaga jarak dengan kepiting lainnya. Ini sejalan dengan hasil penelitian Suryani (2006) dan Yulianto (2011) yang mendapatkan kepiting memiliki daerah teritorial sendiri. Kepiting akan menyerang kepiting lainnya jika merasa terganggu atau ketika memperebutkan makanan. Warner (1977) diacu dalam Yulianto (2011) menyebutkan bahwa tingkah laku sosial kepiting jika digambarkan pada kehidupan sosial manusia adalah unfriendly (tidak ramah). Kepiting cenderung hidup secara soliter dan selalu menghindar dari kepiting lainnya. Interaksi dalam kelompok kepiting cenderung bersifat kompetitif daripada kooperatif. Perkelahian akan terjadi jika satu kepiting bertemu dengan kepiting lainnya. Untuk menghindari perkelahian, salah satu kepiting biasanya segera menghindari pertemuan. Peningkatan volume ruangan bubu akan mengurangi gesekan antar kepiting. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memperbesar sudut lintasan masuk. Menurut Miller (1990), volume ruang yang lebih besar pada bubu akan meningkatkan hasil tangkapan. Semakin besar ruangan di dalam bubu akan mengurangi kompetisi perebutan ruang, sehingga hasil tangkapan yang masuk ke dalam bubu akan lebih banyak. Selain itu, organisme tangkapan dengan ukuran yang besar akan lebih tenang berada di dalam bubu dibandingkan dengan organisma tangkapan yang berukuran kecil. Kepiting bakau mendiami daerah mangrove (Vay 2001 dan Wijaya et al. 2010). Jenis substrat dasar perairan yang disukainya berupa lumpur dan lumpur berpasir (Getter 1985, diacu dalam Tupan et al dan Siahainenia 2008). Kondisi dasar perairan tersebut berpengaruh terhadap bubu lipat yang digunakan. Bubu yang memiliki sudut lintasan masuk yang rendah akan mengakibatkan mulut tertutup lumpur, karena bubu akan amblas ke dalam lumpur ketika bubu diletakkan di dasar perairan. Oleh karena itu, volume ruang di dalam bubu perlu

51 41 diperbesar dengan cara meningkatkan sudut kemiringan lintasan masuk mulut bubu. Berdasarkan hasil penelitian sudut kemiringan, sudut α = 20, 40 dan 60 o tidak dapat menghambat pergerakan kepiting. Seluruh kepiting dapat melewati lintasan dengan ketiga sudut tersebut. Dengan demikian, ketiga sudut tersebut dapat digunakan untuk membuat bubu. Berdasarkan hasil pengamatan, sudut α = 20 dan 60 o sebaiknya tidak digunakan. Sudut α = 20 o terlalu rendah meskipun paling mudah dilalui oleh kepiting. Selain itu, pintu masuk bubu mudah tertutup lumpur. Adapun sudut α = 60 o terlalu tinggi, sehingga perancangan pintu masuk bubu agak sulit dilakukan. Lintasan masuk bubu dengan sudut kemiringan α = 60 o lebih sulit dilalui oleh kepiting dibandingkan dengan α = 20 dan 40 o. Berdasarkan pengamatan, kenampakan umpan oleh kepiting menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kepiting masuk kedalam bubu. Kepiting akan lebih cepat mendekati umpan yang terlihat, sehingga sudut lintasan α = 60 o sebaiknya tidak dipakai karena menghalangi penglihat kepiting terhadap umpan. Oleh karena itu, sudut yang paling tepat untuk diaplikasikan pada pembuatan lintasan masuk mulut bubu adalah 40 o Bentuk dan bukaan mulut bubu 1) Bentuk dan bukaan mulut bubu lipat standar nelayan Bubu lipat yang digunakan nelayan untuk menangkap kepiting bakau memiliki konstruksi yang hampir sama dengan bubu lipat di beberapa negara. Secara umum bubu lipat berbentuk balok. Bubu dengan konstruksi ini banyak digunakan di Jepang (Vay 2001), Thailand (Jirapunpipat 2008) dan di Indonesia, misalnya di Desa Mayangan Kecamatan Legon Kulon Kabupaten Subang (Iskandar dan Rusdi 2011). Ukuran bubu lipat bervariasi pada setiap daerah. Bubu lipat yang ada di Thailand memiliki dimensi (p l t) (cm) (Jirapunpipat 2008). Adapun bubu lipat di Indonesia memiliki 3 ukuran yang berbeda, yaitu ukuran kecil (cm), sedang (cm), dan besar ( (cm).

52 42 Bubu lipat standar yang digunakan oleh nelayan memiliki bukaan mulut berbentuk celah (Gambar 21). Celah tersebut memiliki bukaan yang tidak standar untuk setiap bubu. Beberapa bubu memiliki celah yang cukup elastis, sehingga mudah untuk terbuka. Beberapa lainnya memiliki celah dengan kekenduran yang rendah sehingga sulit terbuka. Mulut tampak depan Lintasan masuk Celah mulut Gambar 21 Bentuk dan bukaan mulut bubu nelayan. Berdasarkan hasil pengamatan laboratorium, bentuk mulut bubu standar yang berupa celah akan menyulitkan kepiting untuk memasuki bubu. Kepiting yang merayap melalui dinding pengarah bubu akan sedikit-demi sedikit berpindah ke bagian tengah celah mulut bubu. Hal ini dikarenakan, bagian tersebut memiliki bukaan mulut yang paling besar dibandingkan dengan bagian sisi-sisinya. Beberapa kepiting gagal memasuki bubu dikarenakan duri-duri pada bagian karapas dan capitnya tersangkut pada jaring di pintu masuk. Selain itu, ukuran kepiting yang lebih besar dibandingkan dengan bukaan celah mulut menyebabkan kepiting tidak dapat masuk ke dalam bubu. 2) Bentuk dan bukaan mulut bubu lipat baru Model bukaan pintu bubu standar berbentuk celah yang digunakan nelayan menyulitkan kepiting untuk keluar dari dalam bubu sekaligus menyulitkan kepiting untuk masuk. Archdale et al. (2007) melakukan penelitian untuk melihat

53 43 kemampuan rajungan (swimming crab) (Charybdis japonica dan Portunus pelagicus) keluar dari dua jenis bubu. Bubu yang digunakan berbentuk balok dengan mulut berbentuk celah dan bubu berbentuk kubah dengan mulut berupa corong. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa seluruh kepiting yang digunakan pada uji coba tidak dapat keluar dari bubu berbentuk balok dengan mulut berbentuk celah. Adapun pada bubu berbentuk kubah, seluruh kepiting dapat keluar. Hal tersebut tentu saja tidak sesuai dengan prinsip kerja bubu, yaitu memudahkan biota yang menjadi target penangkapan untuk masuk, namun menyulitkannya untuk keluar. Berdasarkan studi literatur, beberapa peneliti melengkapi mulut masuk bubu dengan menambahkan deretan kisi yang dipasang secara permanen. Kisi terbuat dari bahan plastik. Salah satu penelitiannya dilakukan oleh Zulkarnain et al. (2011) yang memasang kisi pada mulut bubu lipat untuk menangkap lobster. Kelemahan kisi plastik adalah ukuran bukaan mulut bubu sering berubah, karena sangat tergantung pada kelenturan plastik yang digunakan. Jenis bahan kisi yang digunakan pada penelitian ini adalah kawat yang didesain dapat bergerak naikturun. Kisi dipasang pada bagian sisi atas mulut dengan kemiringan tertentu. Dengan demikian kisi akan terbuka ketika terdorong oleh kepiting yang akan masuk dan akan menutup kembali dengan sendirinya akibat gravitasi setelah kepiting masuk ke dalam bubu. Jarak antar kisi adalah 2-3 cm. Penggunaan kisi dapat meningkatkan hasil tangkapan. Hal ini diakibatkan biota yang menjadi target penangkapan menjadi lebih mudah masuk. Mason (1970) diacu dalam Miller (1990) menyatakan bahwa hasil tangkapan Cancer pagurus meningkat kurang lebih 50% pada bubu yang menggunakan kisi. Selain itu, penggunaan kisi akan menyulitkan biota untuk keluar dari bubu. High (1976) diacu dalam Miller (1990) menyatakan bahwa setelah dilakukan pengamatan selama 12 hari, hanya 5% Cancer magister yang dapat keluar dari bubu yang menggunakan kisi. Adapun pada bubu yang tidak menggunakan kisi, 100% Cancer magister dapat keluar. Tinggi celah mulut bubu dalam penelitian ini didasarkan pada tebal karapas kepiting bakau. Kepiting bakau yang digunakan sebagai dasar penentuan ukuran celah pintu masuk harus memiliki ukuran yang normal. Berdasarkan uji regresi,

54 44 nilai koefisien determinasi (R 2 ) antara tebal dan panjang karapas dari 30 kepiting bakau yang digunakan sebagai sampel sebesar 0,9491. Hal ini berarti bahwa 94,91% tebal karapas dapat dijelaskan oleh panjang karapas, sehingga hubungan keduanya sangat erat karena mendekati 100% (Santoso 1999). Hubungan yang erat juga ditunjukkan oleh nilai R 2 antara tebal - lebar karapas dan tebal berat kepiting dengan nilai masing-masing sebesar 0,9505 dan 0,933 (Gambar 22). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kepiting yang digunakan memiliki perbandingan ukuran ukuran yang proporsional, sebagaimana ukuran kepiting pada umumnya. Berdasarkan hasil pengujian tersebut, maka kepiting tersebut dapat digunakan sebagai dasar penentuan tinggi celah bubu. Tebal karapas kepiting bakau yang menjadi patokan adalah tebal karapas kepiting yang layak tangkap (Gambar 23). Rata-rata tebal karapas kepiting tersebut adalah 3,5 cm, sehingga ukuran tersebut merupakan tinggi minimal dari bukaan mulut pintu masuk bubu. Hasil pengamatan laboratorium menunjukkan bahwa kepiting dapat melewati suatu celah selama celah tersebut lebih besar dari tebal karapasnya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka tinggi celah pintu masuk bubu yang digunakan adalah sebesar 5 cm (Gambar 24). Besarnya celah masuk bubu akan berpengaruh terhadap hasil tangkapan. Hasil penelitian Koike and Ogura (1977) diacu dalam Miller (1990) menunjukkan bahwa bubu dengan diameter pintu masuk 30 cm memperoleh rata-rata hasil tangkapan spider crab (Chionoechetes japonicus) sebanyak 6,4 individu per bubu, sedangkan bubu dengan diameter 50 cm memperoleh rata-rata hasil tangkapan 13,9 individu per bubu.

55 45 Tebal t (mm) t = 0,552 p + 0,1387 R² = 0, Panjang p (mm) Tebal t (mm) t = 0,3549 l + 3,6 R² = 0, Lebar l (mm) Tebal t (mm) t = 0,1095 b + 20,882 R² = 0, Berat b (mm) Gambar 22 Hubungan antara tebal karapas dengan panjang dan lebar karapas serta berat kepiting.

56 46 Tebal t Gambar 23 Posisi pengukuran tebal karapas kepiting bakau. Bukaan mulut bubu yang dirancang, dipasangi kisi yang terbuat dari kawat. Kisi berfungsi untuk menghalangi kepiting agar tidak dapat keluar dari bubu. Setiap dua kisi terbuat dari satu kawat yang terhubung. Ini dimaksudkan agar kisi tidak mudah bergeser, sehingga jarak antar kisi tidak berubah-ubah (Gambar 24). 2-3 cm 5 cm Gambar 24 Kisi-kisi pada mulut bubu.

57 Warna tutupan Bubu lipat biasanya dioperasikan oleh nelayan pada dua selang waktu yang berbeda. Pertama, bubu lipat dipasang pada sore hari kemudian pada pagi hari keesokannya diangkat dan dibawa pulang. Kedua, bubu dipasang sore hari, kemudian keesokan paginya diangkat untuk diambil hasil tangkapannya. Bubu tidak dibawa pulang, tetapi dipasang kembali untuk diangkat pada sore harinya. Dengan kata lain, metode pengoperasian bubu yang kedua dilakukan pada dua selang waktu, yaitu malam dan siang hari. Aktivitas kepiting pada pagi dan siang hari cenderung lebih rendah dibandingkan dengan malam hari. Saat hari terang, kepiting bersembunyi pada lubang atau daerah yang gelap. Menurut Yulianto (2011), kepiting bakau tergolong hewan nokturnal. Oleh karena itu, bubu yang dioperasikan pada siang hari sebaiknya dapat juga difungsikan sebagai tempat berlindung bagi kepiting. Cara ini dapat dilakukan dengan menambahkan tutupan pada bagian atas bubu. Warna tutupan yang diujicobakan adalah warna hitam. Pemilihan warna hitam didasarkan pada sifat kepiting yang aktif mencari makan pada malam hari dan selalu mencari tempat persembunyian yang gelap pada pagi dan siang hari (Moosa et al. 1975). Selain itu, hasil penelitian Almada (2001) menjelaskan bahwa waktu makan kepiting terjadi pada malam hari, yaitu antara pukul dengan waktu makan dominan antara pukul Frekuensi makan dan aktivitas kepiting bakau pada siang hari jauh lebih rendah dibandingkan dengan malam hari. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa kepiting memilih tutupan berwarna hitam pada seluruh ulangan dibandingkan dengan putih (Gambar 25). Hal ini diduga karena kebiasaan kepiting yang cenderung aktif pada malam menyebabkannya lebih menyukai daerah gelap, sehingga kepiting akan mencari tempat persembunyian ketika kondisi lingkungannya terang. Ilustrasi posisi penempatan tutupan terhadap posisi kepiting ditunjukkan pada Gambar 26.

58 Frekuensi Hitam Warna tutupan 0 Putih Gambar 25 Frekuensi pemilihan warna tutupan. Gambar 26 Ilustrasi posisi penempatan tutupan terhadap posisi kepiting. 4.2 Konstruksi Baru Bubu Kepiting Bakau (Scylla serrata) Desain bubu Berdasarkan hasil penelitian terhadap ukuran mata jaring lintasan masuk mulut bubu, sudut kemiringan lintasan masuk mulut bubu dan bukaan mulut bubu, maka 3 konstruksi bubu kepiting yang baru didesain dan diujicoba (Lampiran 2).

59 49 1) Bubu modifikasi (M) Bubu modifikasi memiliki ukuran yang sama dengan bubu standar milik nelayan. Modifikasi yang dilakukan pada bubu hanya berupa penambahan deretan kisi pada bagian mulut bubu. Tinggi celah mulut masuk adalah 5 cm dan jarak antar kisi 2 cm. Selain itu, perubahan juga dilakukan pada sudut lintasan pintu masuk menjadi α = 40 o. Jaring yang digunakan berbahan sintetis polyethylene (PE) 210D6 dengan ukuran mata 1,25 inci. Kisi terbuat dari kawat besi ber diameter 0,4 mm. Gambar 27 memberikan penjelasan desain dan konstruksi bubu modifikasi. 20 cm Mulut tampak depan 2 cm 5 cm 50 cm 30 cm Lintasan masuk Celah mulut Gambar 27 Bubu modifikasi (M). 2) Bubu dengan mulut menyudut (P) Ukuran bubu dengan mulut menyudut tidak berbeda dengan bubu standar. Modifikasi bubu terdapat pada panjang mulut yang lebih pendek dan diposisikan pada bagian tengah bubu. Panjang pintu masuk adalah 20 cm dan tingginya 5 cm. Jarak antar kisi sejauh 2 cm. Sudut lintasan masuk mulut bubu sebesar α = 40 o. Jaring berbahan sintetis polyethilene (PE) 210D6 dengan ukuran mata 1,25 inci. Kisi-kisi pada celah mulut bubu menggunakan kawat yang terbuat dari besi dengan diameter 0,4 mm. Desain dan konstruksi bubu ditunjukkan pada Gambar 28.

60 50 20 cm Mulut tampak depan 20 cm 5 cm 50 cm 30 cm Lintasan masuk Celah mulut Gambar 28 Bubu dengan mulut menyudut (P). 3) Bubu dengan desain dan ukuran baru (B) Bubu dengan desain baru memiliki bentuk dan ukuran yang berbeda dengan bubu standar. Persamaannya hanya pada volume bubu sebesar cm 3. Bubu memiliki tinggi 16 cm. Bagian alasnya berbentuk persegi dengan ukuran (cm) (Gambar 29). Sudut lintasan masuk bubu sebesar α = 40 o. Jaring yang digunakan untuk menutupi bubu berbahan Polyethilene (PE) 210D6 dengan ukuran mata 1,25 inci. Ukuran mata jaring yang digunakan pada lintasan masuk adalah 1 inci. Pada mulut bubu dipasang deretan kisi yang terbuat dari bahan kawat dengan diameter 0,4 mm. Mulut tampak depan 2 cm 16 cm 5 cm 45 cm 45 cm Lintasan masuk Celah mulut Gambar 29 Bubu dengan desain dan ukuran baru (B).

61 Hasil ujicoba bubu Jumlah kepiting yang digunakan pada uji penangkapan sebanyak 25 individu dengan ulangan yang dilakukan sebanyak 20 kali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah hasil tangkapan masing-masing bubu berbeda nyata pada taraf kepercayaan 95% (F hit = 95,52 > F tab = 2,74). Bubu desain dan ukuran baru (B) memperoleh hasil tangkapan yang yang paling banyak, yaitu 152 kepiting (57,35% dari total hasil tangkapan) dengan jumlah rata-rata hasil tangkapan pada setiap ulangan sebanyak 7,6 kepiting. Selanjutnya diikuti oleh bubu modifikasi (M) (27,17%) dan bubu dengan posisi mulut menyudut (P) (10,57%). Adapun hasil tangkapan yang paling sedikit terjadi pada bubu nelayan (N), yaitu sebanyak 13 kepiting (0,05%) dari total hasil tangkapan) dengan jumlah rata-rata hasil tangkapan pada setiap ulangan sebanyak 0,65 kepiting (Gambar 30). Bubu lipat desain dan ukuran baru (B) memperoleh hasil tangkapan yang paling banyak. Jumlah tangkapan terbanyak pada bubu ini adalah 11 kepiting. Jumlah tersebut jauh melebihi hasil tangkapan terbanyak bubu nelayan yang hanya berjumlah 4 kepiting. Hal ini disebabkan luas bagian dasar bubu B lebih besar dibandingkan dengan bubu lainnya, sehingga kepiting lebih nyaman berada di dalam bubu. Volume bubu yang semakin besar menyebabkan jumlah tangkapan semakin banyak (Miller 1990). Kepiting bakau selalu berusaha memiliki daerah teritorial tertentu karena sifatnya yang soliter. Dengan mikian, ukuran bubu yang lebih besar akan meningkatkan daya tampung bubu, sehingga jumlah kepiting yang tertangkap akan meningkat. Namun demikian, ukuran bubu kepiting bakau tidak dapat dibuat terlalu besar, karena terbentur pada kondisi daerah pengoperasiannya yang berada di daerah hutan bakau. Bubu berukuran besar sangat sulit dioperasikan di antara akar bakau yang relatif rapat. Ukuran bubu yang besar mampu mengurangi usaha kepiting untuk meloloskan diri dari bubu. Munro (1974) diacu dalam Miller (1990) membuat hipotesis bahwa organisme yang terperangkap pada bubu berukuran kecil memiliki peluang yang besar untuk keluar. Hipotesis tersebut dibuktikan secara ilmiah oleh Miller (1978) diacu dalam Miller (1990) yang menyebutkan bahwa cancer crab yang ditempatkan pada bubu berukuran kecil lebih banyak yang

62 52 meloloskan diri dibandingkan dengan bubu yang besar. Posisi kepiting yang tertangkap oleh bubu berukuran besar biasanya menyebar, sehingga tidak menimbulkan perkelahian. Hal ini dibuktikan oleh penelitian Miller (1990) yang mendapatkan bahwa spider crab (Chionoecetes opilio) yang berada di dalam sebuah bubu berukuran besar akan menempati satu posisi tertentu dan tidak melakukan suatu gerakan. Hal demikian tidak akan terjadi pada bubu yang berukuran kecil. Kepiting akan berkelahi dengan kepiting lainnya untuk mendapatkan daerah teritorialnya. Jumlah kepiting n= 25 kepiting 20 kali ulangan 0, ,6 28 1,4 152 N M P B Jenis perangkap Keterangan: N = Bubu nelayan P = Bubu dengan mulut menyudut M= Bubu modifikasi B = Bubu desain dan ukuran baru Gambar 30 Jumlah tangkapan kepiting pada masing-masing bubu. 7, Jumlah tangkapan rata-rata Aplikasi Tutupan pada Bubu Berdasarkan uji tutupan, kepiting lebih menyukai warna hitam. Oleh karenanya, warna hitam digunakan sebagai tutupan pada bubu desain dan ukuran baru (B) yang memperoleh hasil tangkapan paling banyak pada penelitian sebelumnya. Untuk pengujiannya, bubu (B) dipasang secara melingkar dan berselang seling dengan bubu kontrol tanpa tutupan.

63 53 Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil tangkapan bubu dengan tutupan berbeda secara signifikan pada taraf kepercayaan 95% (F hit = 125,59 > F tab = 4,41). Bubu yang menggunakan tutupan warna hitam memperoleh hasil tangkapan paling banyak, yaitu 89 kepiting atau 96,74% dari total hasil tangkapan. Jumlah rata-rata hasil tangkapan pada setiap ulangan adalah 8,9 kepiting. Adapun hasil tangkapan bubu tanpa tutupan sebanyak 3 kepiting (3,26%). Jumlah rata-rata hasil tangkapan pada setiap ulangannya sebanyak 0,3 kepiting (Gambar 31). Jumlah hasil tangkapan bubu yang menggunakan tutupan jauh lebih banyak dibanding bubu tanpa tutupan. Hal ini membuktikan bahwa sebagai hewan nokturnal kepiting bakau cenderung menyukai kondisi yang gelap (Moosa et al dan Yulianto 2011). Setelah matahari terbenam, kepiting keluar dari tempat persebunyiannya untuk mencari makan. Kemudian ketika matahari mulai terbit, kepiting akan mencari lubang atau tempat lainnya untuk bersembunyi n = 17 kepiting Frekuensi Tanpa penutup Dengan penutup Gambar 31 Frekuensi hasil tangkapan kepiting pada bubu dengan tutupan dan tanpa tutupan.

64 5 KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Kesimpulan dari penelitian ini adalah: 1) Ukuran mata jaring lintasan masuk yang paling mudah dilalui kepiting adalah 1 inci; 2) Sudut kemiringan lintasan masuk yang sesuai sebesar 40 o ; 3) Tinggi bukaan mulut bubu yang sesuai adalah 5 cm dengan penggunaan kisi yang berjarak 2-3 cm antara satu kisi dengan kisi lainnya; 4) Warna tutupan yang disukai kepiting adalah hitam, karena seluruh kepiting mendatangi tutupan berwarna hitam; 5) Bubu lipat yang paling baik untuk menangkap kepiting bakau adalah desain baru (B) dengan jumlah tangkapan 152 kepiting (57,35%), selanjutnya diikuti oleh bubu modifikasi (M) (27,17%); dan bubu dengan posisi mulut menyudut (P) (10,57%); dan 6) Bubu lipat desain baru yang diberi tutupan dapat menangkap kepiting lebih banyak, yaitu 96,74% dari hasil tangkapan total sebanyak 92 individu, dibandingkan dengan bubu lipat tanpa tutupan. 5.2 Saran Saran yang dapat diberikan adalah: 1) Ulangan pada setiap perlakuan sebaiknya diperbanyak agar hasilnya semakin akurat; 2) Jumlah dan ukuran kepiting yang digunakan sebaiknya diperbanyak agar semakin mewakili kepiting yang ada di lapangan; 3) Penelitian serupa sebaiknya dilakukan pada spesies kepiting bakau yang lainnya; dan 4) Diperlukan penelitian lanjutan, yaitu uji coba bubu hasil rancangan di lapang.

65 DAFTAR PUSTAKA Almada DP Studi tentang Waktu Makan dan Jenis Umpan yang Disukai Kepiting Bakau (Scylla serrata) [skripsi]. Bogor: Program Studi Pemanfaatan Sumberdaya Peikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Archdale MV, Kariyazono L, and Anasco CP The Effect of Two Pot Types on Entrance Rate and Entrance Behavior of the Invasive Japanese Swimming Crab Charybdis japonica. Fisheries Research Journal 77: Archdale MV, Anasco CP, Kawamura Y, and Tomiki S Effect of Two Collapsible Pot Designs on Escape Rate and Behavior of the Invasive Swimming Crab Charybdis japonica and Portunus pelagicus. Fisheries Research Journal 85: Baskoro MS dan Effendy A Tingkah Laku Ikan (Hubungannya dengan Metode Pengoperasian Alat Tangkap Ikan). Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Cholik F and Hanafi A A Review of the Status of the Mud Crab (Scylla sp.) Fishery and Culture In Indonesia. Di dalam: Angell CA, Editor. The Mud Crab. Prosiding Seminar dan Konfrensi; Surat Thani, Thailand 5-8 November Surat Thani, Thailand: Bay of Bengal Pragramme (BOBP); hlm Davey K Decapod Crabs. (Terhubung tidak berkala). edu.au/friends/seashores/crab_reprod.html. (28 Juli 2011). Fujaya Y Pengaruh Spektrum Cahaya terhadap Perkembangan Ovarium Kepiting Bakau (Scylla serrta FORSKAL) [tesis]. Bogor: Program Studi Biologi Reproduksi. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Fushimi H and Watanabe S Problems in Spesies Identifikation of the Mud Crab Genus Scylla (Brachyura: Portunidae). Fisheries Science Hal: Gardenia YT Teknologi Penangkapan Pilihan untuk Perikanan Rajungan di Perairan Gebang Mekar Kabupaten Cirebon [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Gunarso W Tingkah Laku Ikan (Dalam Hubungan dengan Alat, Metoda dan Taktik Penangkapan). Bogor: Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Iskandar MD dan Rusdi Keragaman Spesies Hasil Tangkapan Bubu Lipat yang Menggunakan Celah Pelolosan yang Berbeda di Perairan Mayangan Kabupaten Subang. Hal: dalam Buku: New Paradigm In Marine Fisheries: Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut Berkelanjutan. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor.

66 58 Jirapunpipat K, Phomikong P, Yokota M, and Watanabe S The effect of Escape Vents in Collapsible Pots on Catch and Size of the Mud Crab Scylla olivacea. Fisheries Research Journal 94: Kanna I Budi Daya Kepiting Bakau. Yogyakarta: Kanisius Kasry A Budidaya Kepiting dan Biologi Ringkas. Jakarta: Bhratara Niaga Media. Keenan CP, Davie PJF, and Mann DL A Revision of the Genus Scylla De Haan, 1983 (Crustacea: Decapoda: Brachyura; Portunidae). The Raffles Buletin of Zoology. 46(1): Mackie AM, Adron JW, and Grant PT Chemical Nature of Feeding Stimulants for the Juvenile Sole, Solea solea (L.). Journal Fish Biology 16: Mallawa A Use of Pyramid Trap In Mangrove Crab (Scylla serrata) Fishing. Jurnal Torani. Vol. 1. Matjik AA dan Sumertajaya IM Perancangan Percobaan (dengan Aplikasi SAS dan MINITAB). Jilid 1. Bogor: IPB Press. Miller RJ Efektiveness of Crab and Lobster Traps. Can. J. Fish Aquat. Sci. 47: Monintja DR dan Martasuganda S Teknologi Pemanfaatan Sumberdaya Hayati Laut II. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Moosa MK, Aswandy I, dan Kasry A Kepiting Bakau Scylla serrata (Forskal, 1775) dari Perairan Indonesia. Jakarta: Sumberdaya Hayati Perairan LON-LIPI. Nybakken JW Biologi Laut (Suatu Pendekatan Ekologis). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Prado J dan Dremiere PY Petunjuk Praktis bagi Nelayan. Fauzi, Zarochman, Nur Bambang, Dulgofar, Baithur S, penerjemah; Semarang: Balai Pengembangan Penangkapan Ikan. Terjemahan dari: Fisherman's Work Book, FAO. Prianto E Peran Kepiting Sebagai Spesies Kunci (Keystone Spesies) pada Ekosistem Mangrove. Prosiding Forum Perairan Umum Indonesia IV. Banyuasin: Balai Riset Perikanan Perairan Umum. Puspito G Perangkap Non Ikan. Bogor: Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Riyadi DMM Kebijakan Pembangunan Sumber Daya Pesisir Sebagai Alternatif Pembangunan Indonesia Masa Depan. Jakarta: Deputi Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional. Kepala Bappenas Bidang Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup. Sainsbury JC Commercial Fishing Methods. An Introduction to Vessel and Gears. 3 rd Edition. London: Fishing News Books.

67 59 Santoso S SPSS (Statistical Product and Service Solution). Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, Kelompok Gramedia. Sara L, Ingles JA, Aguilar RO, Laureta LV, Baldevarona RB, and Watanabe S Abundance and Distribution Patterns of Scylla spp. Larvae in the Lawele Bay, Southeast Sulawesi, Indonesia. Asian Fisheries Science 19: Shih HT Kepiting Hijau (terjemahan dari: 特蘭奎巴青蟳 ). (Terhubung tidak berkala). (28 Juli 2011). Siahainenia L Bioekologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) di Ekosistem Mangrove Subang Jawa Barat [disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Slack RJ and Smith Fishing with Traps and Pots. FAO Training Series. Italy: FAO. Subani W dan Barus HR Alat Penangkapan Ikan dan Udang Laut di Indonesia. Edisi Khusus. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Jakarta: Balai Penelitian Perikanan Laut. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Sudirman dan Mallawa A Teknik Penangkapan Ikan. Jakarta: Rineka Cipta. Suryani M Ekologi Kepiting Bakau (Scilla serrata Forskal) dalam Ekosistem Mangrove di Pulau Enggano Provinsi Bengkulu [tesis]. Semarang: Program Pascasarjana, Universitas Diponegoro. Tupan CI, Uneputty PA, dan Mamesah JAB Hubungan Kepadatan Kepiting Bakau (Scylla spp.) dengan Karakteristik Habitat pada Hutan Mangrove Perairan Pantai Desa Passo, Ambon. Jurnal Ichtyos 4(2): Tossin MR Pengaruh Penurunan Salinitas terhadap Kelangsungan Hidup Larva-Megalopa Kepiting Bakau Scylla serrata (Forskal) [tesis]. Bogor: Jurusan Ilmu Perairan. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Vay LL Ecology and Management of Mud Crab Scylla spp. Asian Fisherhies Science Journal 14: Von Brandt A Fish Catching Methods of the World. 4 th Edition. UK: Blackwell Publishing Ltd. Wijaya NI, Yulianda F, Boer M, dan Juwana S Biologi Populasi Kepiting Bakau (Scylla serrata F.) di Habitat Mangrove Taman Nasional Kutai Kabupaten Kutai Timur. Jurnal Oseanologi dan Limnologi di Indonesia 36(3): Yulianto T Respons Kepiting Bakau (Scylla serrata forskal 1775) terhadap Tingkat Kebusukan Umpan Keong Emas (Pomacea canaliculata lamarck 1822) [tesis]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

68 60 Zulkarnain, Baskoro MS, Martasuganda S, dan Monintja DR Pengembangan Desain Bubu Lobster yang Efektif. Buletin PSP 19(2):45-57.

69 LAMPIRAN Lampiran 1 Alat-alat penelitian Refraktometer DO meter

70 62 Lampiran 1 Alat-alat penelitian (Lanjutan) ph meter Pompa air

71 63 Lampiran 1 Alat-alat penelitian (Lanjutan) Kamera Termometer

72 64 Lampiran 1 Alat-alat penelitian (Lanjutan) Akuarium pengamatan Akuarium penampungan kepiting

73 65 Lampiran 1 Alat-alat penelitian (Lanjutan) Filter akuarium Tempat penampungan kepiting

74 66 Lampiran 1 Alat-alat penelitian (Lanjutan) Bak pengamatan.

75 67 Lampiran 2 Bubu modifikasi dan rancangan baru Bubu modifikasi (M) (tampak depan) Bubu modifikasi (M) (tampak dalam)

76 68 Lampiran 2 Bubu modifikasi dan rancangan baru (Lanjutan) Bubu modifikasi mulut menyudut (P) Bubu modifikasi mulut menyudut (P) (tampak depan)

77 69 Lampiran 2 Bubu modifikasi dan rancangan baru (Lanjutan) Bubu dengan desain dan ukuran baru (B) (tampak samping) Bubu dengan desain dan ukuran baru (B) (tampak depan)

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Bahan 25 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dibagi dalam tiga tahap. Tahap pertama adalah penentuan ukuran mata jaring dan sudut kemiringan lintasan masuk bubu. Tahap kedua adalah penentuan

Lebih terperinci

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN 33 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Ukuran Mata Jaring Lintasan Masuk Bubu Hasil pengamatan terhadap tingkah laku kepiting bakau saat melewati bidang lintasan masuk menunjukkan bahwa kepiting bakau cenderung

Lebih terperinci

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI

KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI KOREKSI KONSTRUKSI PERANGKAP JODANG PENANGKAP KEONG MACAN DI PALABUHANRATU, SUKABUMI, JAWA BARAT AYU ADHITA DAMAYANTI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau S. oceanica Kepiting bakau S. oceanica dapat digolongkan ke dalam kelas Krustase, ordo Decapoda, famili Portunidae dan genus Scylla

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepiting Bakau Klasifikasi kepiting bakau

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepiting Bakau Klasifikasi kepiting bakau 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kepiting Bakau 2.1.1 Klasifikasi kepiting bakau Klasifikasi kepiting menurut Kordi (1997) adalah sebagai berikut: Filum : Arthropoda; Subfilum : Mandibula; Kelas : Crustacea; Super

Lebih terperinci

MODIFIKASI KONSTRUKSI PINTU MASUK BUBU LIPAT UNTUK MENANGKAP KEPITING BAKAU JESSY FERGIENA MUTIARA

MODIFIKASI KONSTRUKSI PINTU MASUK BUBU LIPAT UNTUK MENANGKAP KEPITING BAKAU JESSY FERGIENA MUTIARA MODIFIKASI KONSTRUKSI PINTU MASUK BUBU LIPAT UNTUK MENANGKAP KEPITING BAKAU JESSY FERGIENA MUTIARA PROGRAM STUDI TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS CELAH PELOLOSAN (ESCAPE GAP) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR UNTUK MENUNJANG KELESTARIAN SUMBERDAYA IKAN

EFEKTIVITAS CELAH PELOLOSAN (ESCAPE GAP) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR UNTUK MENUNJANG KELESTARIAN SUMBERDAYA IKAN EFEKTIVITAS CELAH PELOLOSAN (ESCAPE GAP) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR UNTUK MENUNJANG KELESTARIAN SUMBERDAYA IKAN Silka Tria Rezeki 1), Irwandy Syofyan 2), Isnaniah 2) Email : silkarezeki@gmail.com 1) Mahasiswa

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Metode Kerja Bahan dan peralatan pada pengamatan morfometri

3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2. Metode Kerja Bahan dan peralatan pada pengamatan morfometri 17 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di 11 daerah yang meliputi 5 pulau besar di Indonesia, antara lain Bintan dan Jambi (Sumatera), Karawang, Subang dan Cirebon (Jawa),

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Morfologi Kepiting BakauScylla tranquebarica Kepiting Bakau S. tranquebaricamerupakan salah satu spesies dari genus Scylla yang mendiami kawasan ekosistem

Lebih terperinci

3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2. Metode Kerja

3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian 3.2. Metode Kerja 3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini akan dilaksanakan selama 11 bulan yaitu mulai dari bulan Juli 2008 hingga bulan Mei 2009. Kepiting bakau yang diteliti merupakan kepiting bakau

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG

PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN DENGAN MENGGUNAKAN DUA KONSTRUKSI BUBU LIPAT YANG BERBEDA DI KABUPATEN TANGERANG Oleh: DONNA NP BUTARBUTAR C05400027 PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN

Lebih terperinci

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga II TINJAUAN PUSTAKA. Genus Scylla mempunyai tiga spesies lain yaitu Scylla serata, S. oseanica dan S.

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga II TINJAUAN PUSTAKA. Genus Scylla mempunyai tiga spesies lain yaitu Scylla serata, S. oseanica dan S. II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Kepiting Bakau Klasifikasi Scylla paramamosain menurut King (1995) dan Keenan (1999) dalam Pavasovic (2004) adalah sebagai berikut : Filum : Arthropoda Subfilum: Crustacea

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Klasifikasi Kepiting Bakau (Scylla serrata) Menurut Kanna (2002) kepiting bakau (S. serrata) berdasarkan

II. TINJAUAN PUSTAKA. 1. Klasifikasi Kepiting Bakau (Scylla serrata) Menurut Kanna (2002) kepiting bakau (S. serrata) berdasarkan 7 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Biologi Kepiting Bakau (Scylla serrata) 1. Klasifikasi Kepiting Bakau (Scylla serrata) Menurut Kanna (2002) kepiting bakau (S. serrata) berdasarkan taksonominya dapat diklasifikasikan

Lebih terperinci

PENGARUH POSISI UMPAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN BUBU LIPAT (Effect of bait position on catch of collapsible pot)

PENGARUH POSISI UMPAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN BUBU LIPAT (Effect of bait position on catch of collapsible pot) BULETIN PSP ISSN: 0251-286X Volume 21 No. 1 Edisi April 2013 Hal 1-9 PENGARUH POSISI UMPAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN BUBU LIPAT (Effect of bait position on catch of collapsible pot) Oleh: Dahri Iskandar

Lebih terperinci

PENGGUNAAN CELAH PELOLOSAN PADA BUBU TAMBUN TERHADAP HASIL TANGKAPAN KERAPU KOKO DI PULAU PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU DIDIN KOMARUDIN

PENGGUNAAN CELAH PELOLOSAN PADA BUBU TAMBUN TERHADAP HASIL TANGKAPAN KERAPU KOKO DI PULAU PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU DIDIN KOMARUDIN PENGGUNAAN CELAH PELOLOSAN PADA BUBU TAMBUN TERHADAP HASIL TANGKAPAN KERAPU KOKO DI PULAU PANGGANG, KEPULAUAN SERIBU DIDIN KOMARUDIN MAYOR TEKNOLOGI DAN MANAJEMEN PERIKANAN TANGKAP DEPARTEMEN PEMANFAATAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di perairan Indonesia diperkirakan lebih dari 100 spesies jenis kepiting

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di perairan Indonesia diperkirakan lebih dari 100 spesies jenis kepiting BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifiksi Kepiting Bakau (Scylla serrata) Di perairan Indonesia diperkirakan lebih dari 100 spesies jenis kepiting yang tergolong dalam keluarga Portunidae. Portunidae merupakan

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Komposisi Jumlah Kepiting Bakau Selama Penelitian Kepiting bakau (genus Scylla) yang diteliti selama bulan Juni 2008 hingga Mei 2009 berasal dari 14 daerah yang mencakup Pidie

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Analisis Komparasi

2 TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Analisis Komparasi 6 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Analisis Komparasi Kabupaten Klungkung, kecamatan Nusa Penida terdapat 16 desa yang mempunyai potensi baik sekali untuk dikembangkan, terutama nusa Lembongan dan Jungutbatu. Kabupaten

Lebih terperinci

MODIFIKASI KONSTRUKSI PERANGKAP LIPAT UNTUK MENANGKAP KEPITING BAKAU MODIFICATION OF COLLAPSIBLE POT CONSTRUCTION TO CAPTURE MANGROVE CRABS

MODIFIKASI KONSTRUKSI PERANGKAP LIPAT UNTUK MENANGKAP KEPITING BAKAU MODIFICATION OF COLLAPSIBLE POT CONSTRUCTION TO CAPTURE MANGROVE CRABS MASPARI JOURNAL Januari 2015, 7(1): 79-90 MODIFIKASI KONSTRUKSI PERANGKAP LIPAT UNTUK MENANGKAP KEPITING BAKAU MODIFICATION OF COLLAPSIBLE POT CONSTRUCTION TO CAPTURE MANGROVE CRABS Gondo Puspito 1), Didin

Lebih terperinci

PENGARUH BENTUK DAN LETAK CELAH PELOLOSAN (Escape Gap) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR TERHADAP KELESTARIANSUMBERDAYA IKAN

PENGARUH BENTUK DAN LETAK CELAH PELOLOSAN (Escape Gap) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR TERHADAP KELESTARIANSUMBERDAYA IKAN PENGARUH BENTUK DAN LETAK CELAH PELOLOSAN (Escape Gap) PADA ALAT TANGKAP PENGILAR TERHADAP KELESTARIANSUMBERDAYA IKAN Hadiah Witarani Puspa 1), T. Ersti Yulika Sari 2), Irwandy Syofyan 2) Email : hadiahwpuspa@gmail.com

Lebih terperinci

Jl. Raya Jakarta Serang Km. 04 Pakupatan, Serang, Banten * ) Korespondensi: ABSTRAK

Jl. Raya Jakarta Serang Km. 04 Pakupatan, Serang, Banten * ) Korespondensi: ABSTRAK Jurnal Perikanan dan Kelautan p ISSN 289 3469 Volume 6 Nomor 2. Desember 216 e ISSN 254 9484 Halaman : 95 13 Efektifitas Celah Pelolosan Pada Bubu Lipat Terhadap Hasil Tangkapan Rajungan di Teluk Banten

Lebih terperinci

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN SIDAT DENGAN MENGGUNAKAN BUBU DI DAERAH ALIRAN SUNGAI POSO SULAWESI TENGAH

TEKNIK PENANGKAPAN IKAN SIDAT DENGAN MENGGUNAKAN BUBU DI DAERAH ALIRAN SUNGAI POSO SULAWESI TENGAH Teknik Penangkapan Ikan Sidat..di Daerah Aliran Sungai Poso Sulawesi Tengah (Muryanto, T & D. Sumarno) TEKNIK PENANGKAPAN IKAN SIDAT DENGAN MENGGUNAKAN BUBU DI DAERAH ALIRAN SUNGAI POSO SULAWESI TENGAH

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian penangkapan rajungan dengan menggunakan jaring kejer dilakukan di perairan Gebang Kabupaten Cirebon, Jawa Barat (Lampiran 1 dan Lampiran 2). Penelitian

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus)

2. TINJAUAN PUSTAKA Rajungan (Portunus pelagicus) 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Rajungan (Portunus pelagicus) Menurut www.zipcodezoo.com klasifikasi dari rajungan adalah sebagai berikut: Kingdom : Animalia Filum : Arthropoda Kelas : Malacostrata Ordo : Decapoda

Lebih terperinci

UJICOBA BEBERAPA WARNA UMPAN TIRUAN PADA PENANGKAPAN IKAN DENGAN HUHATE DI PERAIRAN BONE-BONE, KOTA BAU-BAU, SULAWESI TENGGARA HENDRAWAN SYAFRIE

UJICOBA BEBERAPA WARNA UMPAN TIRUAN PADA PENANGKAPAN IKAN DENGAN HUHATE DI PERAIRAN BONE-BONE, KOTA BAU-BAU, SULAWESI TENGGARA HENDRAWAN SYAFRIE UJICOBA BEBERAPA WARNA UMPAN TIRUAN PADA PENANGKAPAN IKAN DENGAN HUHATE DI PERAIRAN BONE-BONE, KOTA BAU-BAU, SULAWESI TENGGARA HENDRAWAN SYAFRIE SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. Sumber: Google maps (2011) Gambar 9. Lokasi penelitian

3 METODOLOGI. Sumber: Google maps (2011) Gambar 9. Lokasi penelitian 3 METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan dengan pengumpulan data di lapangan sejak tanggal 16 Agustus 2011 hingga 31 September 2011 di Desa Kertajaya, Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi,

Lebih terperinci

5 PEMBAHASAN 5.1 Bubu Lipat

5 PEMBAHASAN 5.1 Bubu Lipat 5 PEMBAHASAN 5.1 Bubu Lipat Bubu lipat modifikasi pintu samping dan bubu lipat pintu atas dengan penambahan pintu jebakan bentuk kisi-kisi merupakan desain dan konstruksi yang pertama kali dibuat. Cacing

Lebih terperinci

REKONSTRUKSI PINTU MASUK BUBU LIPAT LOBSTER DAN PENGARUH PENGGUNAAN TUTUPAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN

REKONSTRUKSI PINTU MASUK BUBU LIPAT LOBSTER DAN PENGARUH PENGGUNAAN TUTUPAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN Jurnal Teknologi Perikanan dan Kelautan Vol. 7 No. 1 Mei 2016: 99-106 ISSN 2087-4871 REKONSTRUKSI PINTU MASUK BUBU LIPAT LOBSTER DAN PENGARUH PENGGUNAAN TUTUPAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN THE RECONSTRUCTION

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di

I. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia memiliki sumber daya hutan bakau yang membentang luas di seluruh kawasan Nusantara. Salah satu komoditas perikanan yang hidup di perairan pantai khususnya di

Lebih terperinci

Perbandingan Hasil Tangkapan Rajungan Pada Alat Tangkap Bubu Kerucut dengan Umpan yang Berbeda

Perbandingan Hasil Tangkapan Rajungan Pada Alat Tangkap Bubu Kerucut dengan Umpan yang Berbeda Jurnal Ilmu dan Teknologi Perikanan Tangkap (4): 14-18, Desember 16 ISSN 337-436 Perbandingan Hasil Tangkapan Rajungan Pada Alat Tangkap Bubu Kerucut dengan Umpan yang Berbeda The Comparison Catch of Swimming

Lebih terperinci

Lampiran 2. Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian

Lampiran 2. Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian Lampiran 1. Ilustrasi Peta Lokasi Penelitian 42 Lampiran 2. Surat Keterangan Telah Melaksanakan Penelitian Lampiran 3. Alat yang Digunakan GPS (Global Positioning System) Refraktometer Timbangan Digital

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Letak dan Kondisi Penelitian Kabupaten Cirebon dengan luas wilayah 990,36 km 2 merupakan bagian dari wilayah Provinsi Jawa Barat yang terletak di bagian timur dan merupakan

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Bubu ( Traps

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Bubu ( Traps 4 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Klasifikasi Bubu (Traps) Bubu merupakan alat penangkapan ikan yang pasif (pasif gear). Alat tangkap ini memanfaatkan tingkah laku ikan yang mencari tempat persembunyian maupun

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI KECEPATAN MERAYAP KEPITING BAKAU (Scylla serrata) PADA BENTUK MATA JARING DAN SUDUT KEMIRINGAN YANG BERBEDA

IDENTIFIKASI KECEPATAN MERAYAP KEPITING BAKAU (Scylla serrata) PADA BENTUK MATA JARING DAN SUDUT KEMIRINGAN YANG BERBEDA Jurnal Ilmu Pertanian dan Perikanan Juni 2014 Vol. 3 No.1 Hal : 11-17 ISSN 2302-6308 Available online at: http://umbidharma.org/jipp IDENTIFIKASI KECEPATAN MERAYAP KEPITING BAKAU (Scylla serrata) PADA

Lebih terperinci

Pengenalan Jenis-jenis Kima Di Indonesia. Kima Lubang (Tridacna crosea)

Pengenalan Jenis-jenis Kima Di Indonesia. Kima Lubang (Tridacna crosea) Pengenalan Jenis-jenis Kima Di Indonesia Kima Lubang (Tridacna crosea) Kima ini juga dinamakan kima pembor atau kima lubang karena hidup menancap dalam substrat batu karang. Ukuran cangkang paling kecil

Lebih terperinci

PENGGUNAAN CELAH PELOLOSAN PADA BUBU LIPAT KEPITING BAKAU (SKALA LABORATORIUM)

PENGGUNAAN CELAH PELOLOSAN PADA BUBU LIPAT KEPITING BAKAU (SKALA LABORATORIUM) PENGGUNAAN CELAH PELOLOSAN PADA BUBU LIPAT KEPITING BAKAU (SKALA LABORATORIUM) (Applicaton of Collapsible Mud Crab with Escape Gap in Laboratory Scale) Adi Susanto 1), Ririn Irnawati 1) 1) Jurusan Perikanan,

Lebih terperinci

PENGARUH WAKTU PENANGKAPAN KEPITING BAKAU

PENGARUH WAKTU PENANGKAPAN KEPITING BAKAU PENGARUH WAKTU PENANGKAPAN KEPITING BAKAU (Scylla serrata) PADA BULAN TERANG DAN GELAP TERHADAP HASILTANGKAPAN BUBU DI MALIGI, KECAMATAN SASAK RANAH PESISIR KABUPATEN PASAMAN BARAT Yutra Nedi, Eni Kamal

Lebih terperinci

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU Scylla paramamosain Estampador DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG.

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU Scylla paramamosain Estampador DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG. TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU Scylla paramamosain Estampador DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG Oleh: Fetro Dola Samsu 1, Ramadhan Sumarmin 2, Armein Lusi,

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar didunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang ± 81.000 km dan luas sekitar 3,1 juta km 2.

Lebih terperinci

PENGGUNAAN BENTUK DAN POSISI CELAH PELOLOSAN PADA BUBU LIPAT KEPITING BAKAU. Shape and Position Escape Gap Application of Collapsible Mud Crab Trap

PENGGUNAAN BENTUK DAN POSISI CELAH PELOLOSAN PADA BUBU LIPAT KEPITING BAKAU. Shape and Position Escape Gap Application of Collapsible Mud Crab Trap Marine Fisheries ISSN 2087-4235 Vol. 4, No. 2, November 2013 Hal: 109-114 PENGGUNAAN BENTUK DAN POSISI CELAH PELOLOSAN PADA BUBU LIPAT KEPITING BAKAU Shape and Position Escape Gap Application of Collapsible

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla spp.) tergolong dalam famili Portunidae dari suku Brachyura. Kepiting bakau hidup di hampir seluruh perairan pantai terutama pada pantai yang ditumbuhi

Lebih terperinci

STUDY ON THE PVC TRAP FOR ELL (Monopterus albus)

STUDY ON THE PVC TRAP FOR ELL (Monopterus albus) STUDY ON THE PVC TRAP FOR ELL (Monopterus albus) By Dedi yandra ) Nofrizal 2) and IrwandySyofyan 2) Abstract For purpose to examine and compare efectiveness of the PVC and traditional trap for catching

Lebih terperinci

ARTIKEL ILMIAH. STUDI POPULASI KEPITING BAKAU (Scylla spp.) PADA KAWASAN HUTAN MANGROVE DESA SUNGAI ITIK KECAMATAN SADU KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR

ARTIKEL ILMIAH. STUDI POPULASI KEPITING BAKAU (Scylla spp.) PADA KAWASAN HUTAN MANGROVE DESA SUNGAI ITIK KECAMATAN SADU KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR ARTIKEL ILMIAH STUDI POPULASI KEPITING BAKAU (Scylla spp.) PADA KAWASAN HUTAN MANGROVE DESA SUNGAI ITIK KECAMATAN SADU KABUPATEN TANJUNG JABUNG TIMUR OLEH ASMARIYA NIM A1C412039 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU

Lebih terperinci

BAB III BAHAN DAN METODE

BAB III BAHAN DAN METODE BAB III BAHAN DAN METODE 3.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Perairan Gebang Mekar Kabupaten Cirebon (Lampiran 1). Survey dan persiapan penelitian seperti pencarian jaring,

Lebih terperinci

RESPON PENCIUMAN IKAN KERAPU MACAN (Ephinephelus fuscoguttatus) TERHADAP UMPAN : PENGUJIAN SKALA LABORATORIUM. Deka Berkah Sejati SKRIPSI

RESPON PENCIUMAN IKAN KERAPU MACAN (Ephinephelus fuscoguttatus) TERHADAP UMPAN : PENGUJIAN SKALA LABORATORIUM. Deka Berkah Sejati SKRIPSI RESPON PENCIUMAN IKAN KERAPU MACAN (Ephinephelus fuscoguttatus) TERHADAP UMPAN : PENGUJIAN SKALA LABORATORIUM Deka Berkah Sejati SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN

Lebih terperinci

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU (Scylla serrata Forskal) DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU (Scylla serrata Forskal) DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING BAKAU (Scylla serrata Forskal) DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG SS Oleh: Ennike Gusti Rahmi 1), Ramadhan Sumarmin 2), Armein Lusi

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 9 3. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian Ikan contoh diambil dari TPI Kali Baru mulai dari bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan November 2010 yang merupakan hasil tangkapan nelayan di

Lebih terperinci

PERBEDAAN JENIS UMPAN DAN WAKTU PENANGKAPAN KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DENGAN BUBU LIPAT SKALA LABORATORIUM

PERBEDAAN JENIS UMPAN DAN WAKTU PENANGKAPAN KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DENGAN BUBU LIPAT SKALA LABORATORIUM PERBEDAAN JENIS UMPAN DAN WAKTU PENANGKAPAN KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DENGAN BUBU LIPAT SKALA LABORATORIUM (The differences of Baits and Mud Crab (Scylla serrata) Fishing Times with Collapsible trap

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem mangrove merupakan ekosistem pesisir yang terdapat di sepanjang pantai tropis dan sub tropis atau muara sungai. Ekosistem ini didominasi oleh berbagai jenis

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. mata jaring ke arah panjang atau ke arah horizontal (mesh length) jauh lebih

TINJAUAN PUSTAKA. mata jaring ke arah panjang atau ke arah horizontal (mesh length) jauh lebih TINJAUAN PUSTAKA Alat Tangkap Jaring Insang (Gill net) Jaring insang (gill net) yang umum berlaku di Indonesia adalah salah satu jenis alat penangkapan ikan dari bahan jaring yang bentuknya empat persegi

Lebih terperinci

Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan, 31 Agustus 2013

Seminar Nasional Tahunan X Hasil Penelitian Kelautan dan Perikanan, 31 Agustus 2013 POTENSI KEPITING BAKAU DI WILAYAH PERAIRAN SEKITAR TAMBAK DESA MOJO KAB PEMALANG pms-12 Arthur Muhammad Farhaby 1 * Johannes Hutabarat 2 Djoko Suprapto 2 dan Jusup Suprijanto 2 1 Mahasiswa Program Double

Lebih terperinci

DAYA TANGKAP BUBU LIPAT YANG DIOPERASIKAN OLEH NELAYAN TRADISIONAL DI DESA MAYANGAN KABUPATEN SUBANG

DAYA TANGKAP BUBU LIPAT YANG DIOPERASIKAN OLEH NELAYAN TRADISIONAL DI DESA MAYANGAN KABUPATEN SUBANG DAYA TANGKAP BUBU LIPAT YANG DIOPERASIKAN OLEH NELAYAN TRADISIONAL DI DESA MAYANGAN KABUPATEN SUBANG Catchability of Collapsible Pot Operated by Traditional Fishermen in Mayangan Village, Subang Regency

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. daerah yang berlumpur dan pada ekosistem mangrove. Ikan gelodok hanya

TINJAUAN PUSTAKA. daerah yang berlumpur dan pada ekosistem mangrove. Ikan gelodok hanya 21 TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Deskripsi Ikan Ikan gelodok adalah ikan yang hidup di habitat intertidal ditemukan di daerah yang berlumpur dan pada ekosistem mangrove. Ikan gelodok hanya ditemukan

Lebih terperinci

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti

TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti TUGAS: RINGKASAN EKSEKUTIF Nama: Yuniar Ardianti Sebuah lagu berjudul Nenek moyangku seorang pelaut membuat saya teringat akan kekayaan laut Indonesia. Tapi beberapa waktu lalu, beberapa nelayan Kepulauan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Biologi Kepiting Bakau 2.1.1 Klasifikasi Kepiting bakau mempunyai beberapa spesies antara lain Scylla serrata, Scylla transquebarica, dan Scylla oceanica (Kanna 2002). Menurut

Lebih terperinci

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Luas terumbu karang Indonesia kurang lebih 50.000 km 2. Ekosistem tersebut berada di wilayah pesisir dan lautan di seluruh perairan Indonesia. Potensi lestari sumberdaya

Lebih terperinci

BAB II DESKRIPSI (OBJEK PENELITIAN)

BAB II DESKRIPSI (OBJEK PENELITIAN) BAB II DESKRIPSI (OBJEK PENELITIAN) 2.1 Potensi dan Usaha Perikanan di Indonesia 2.1.1 Perikanan dan Potensi Indonesia Berdasarkan UU. No 31 tahun 2004. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) Indonesia dan merupakan hewan Arthropoda yang terbagi kedalam empat family,

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) Indonesia dan merupakan hewan Arthropoda yang terbagi kedalam empat family, TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi dan Morfologi Kepiting Bakau (Scylla spp.) Kepiting merupakan salah satu hewan air yang banyak di jumpai di Indonesia dan merupakan hewan Arthropoda yang terbagi kedalam empat

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu komoditas perikanan

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu komoditas perikanan 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla serrata) merupakan salah satu komoditas perikanan pada habitat perairan pantai, khususnya di daerah hutan bakau (mangrove). Kawasan hutan mangrove

Lebih terperinci

KERAGAAN MODIFIKASI PERANGKAP LIPAT KEPITING DI DESA MAYANGAN DAN LEGONWETAN SUBANG, JAWA BARAT ESA DIVINUBUN

KERAGAAN MODIFIKASI PERANGKAP LIPAT KEPITING DI DESA MAYANGAN DAN LEGONWETAN SUBANG, JAWA BARAT ESA DIVINUBUN KERAGAAN MODIFIKASI PERANGKAP LIPAT KEPITING DI DESA MAYANGAN DAN LEGONWETAN SUBANG, JAWA BARAT ESA DIVINUBUN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN BUBU LIPAT KOTAK DENGAN BUBU LIPAT KUBAH TERHADAP HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN

PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN BUBU LIPAT KOTAK DENGAN BUBU LIPAT KUBAH TERHADAP HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN PERBANDINGAN HASIL TANGKAPAN BUBU LIPAT KOTAK DENGAN BUBU LIPAT KUBAH TERHADAP HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI PERAIRAN REMBANG, JAWA TENGAH The Comparison Between Trap Catcher Folding

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Udang adalah hewan kecil tak bertulang belakang (invertebrata) yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Udang adalah hewan kecil tak bertulang belakang (invertebrata) yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekologi Udang Udang adalah hewan kecil tak bertulang belakang (invertebrata) yang tempat hidupnya adalah di perairan air tawar, air payau dan air asin. Jenis udang sendiri

Lebih terperinci

SWAMP EELS (Synbranchus sp.) JENIS YANG BARU TERCATAT (NEW RECORD SPECIES) DI DANAU MATANO SULAWESI SELATAN *)

SWAMP EELS (Synbranchus sp.) JENIS YANG BARU TERCATAT (NEW RECORD SPECIES) DI DANAU MATANO SULAWESI SELATAN *) Swamp Eels (Synbranchus sp.) Jenis... di Danau Matano Sulawesi Selatan (Makmur, S., et al.) SWAMP EELS (Synbranchus sp.) JENIS YANG BARU TERCATAT (NEW RECORD SPECIES) DI DANAU MATANO SULAWESI SELATAN *)

Lebih terperinci

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Jenis Hasil Tangkapan Hasil tangkapan pancing ulur selama penelitian terdiri dari 11 famili, 12 genus dengan total 14 jenis ikan yang tertangkap (Lampiran 6). Sebanyak 6

Lebih terperinci

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Keadaan Umum Lokasi Penelitian Perairan Palabuhanratu terletak di sebelah selatan Jawa Barat, daerah ini merupakan salah satu daerah perikanan yang potensial di Jawa

Lebih terperinci

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T

2014, No Republik Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia T No.714, 2014 BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMEN KP. Larangan. Pengeluaran. Ikan. Ke Luar. Pencabutan. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21/PERMEN-KP/2014 TENTANG LARANGAN

Lebih terperinci

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING RAJUNGAN (Portunus pelagicus L.) DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG.

TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING RAJUNGAN (Portunus pelagicus L.) DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG. TINGKAT KEMATANGAN GONAD KEPITING RAJUNGAN (Portunus pelagicus L.) DI HUTAN MANGROVE TELUK BUO KECAMATAN BUNGUS TELUK KABUNG KOTA PADANG Oleh: Restia Nika 1), Ramadhan Sumarmin 2), Armein Lusi Z 1) Mahasiswa

Lebih terperinci

Terbuka lebar peluang ekspor dari budidaya belut

Terbuka lebar peluang ekspor dari budidaya belut Terbuka lebar peluang ekspor dari budidaya belut Karya Ilmiah Di susun oleh : Nama : Didi Sapbandi NIM :10.11.3835 Kelas : S1-TI-2D STMIK AMIKOM YOGYAKARTA TAHUN PELAJARAN 2010 / 2011 Abstrak Belut merupakan

Lebih terperinci

ABSTRAK. Kata kunci: Jumlah tangkapan; struktur ukuran; jenis umpan; ikan demersal dan rawai dasar

ABSTRAK. Kata kunci: Jumlah tangkapan; struktur ukuran; jenis umpan; ikan demersal dan rawai dasar RESPON IKAN DEMERSAL DENGAN JENIS UMPAN BERBEDA TERHADAP HASIL TANGKAPAN PADA PERIKANAN RAWAI DASAR Wayan Kantun 1), Harianti 1) dan Sahrul Harijo 2) 1) Sekolah Tinggi Teknologi Kelautan (STITEK) Balik

Lebih terperinci

WAKTU PENANGKAPAN KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DI PERAIRAN LONTAR KABUPATEN SERANG BANTEN

WAKTU PENANGKAPAN KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DI PERAIRAN LONTAR KABUPATEN SERANG BANTEN WAKTU PENANGKAPAN KEPITING BAKAU (Scylla serrata) DI PERAIRAN LONTAR KABUPATEN SERANG BANTEN (Mud Crab Fishing Time in Lontar Water Serang Regency Banten) Ririn Irnawati 1), Adi Susanto 1), Siti Lulu Ayu

Lebih terperinci

1. Mendeskripsikan proses pelolosan ikan pada tiga jenis BRD yaitu TED super shooter, square mesh window dan fish eye

1. Mendeskripsikan proses pelolosan ikan pada tiga jenis BRD yaitu TED super shooter, square mesh window dan fish eye 85 6 PROSES PELOLOSAN IKAN MELALUI BYCATCH REDUCTION DEVICE (BRD): PERCOBAAN LABORATORIUM 6. Pendahuluan Pemasangan bycatch reduction device pada trawl ditujukan untuk mengurangi ikan-ikan hasil tangkapan

Lebih terperinci

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol 1. No. 1, Desember 2010: 24-31

Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol 1. No. 1, Desember 2010: 24-31 Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol 1. No. 1, Desember 2010: 24-31 PENGARUH PERBEDAAN JENIS UMPAN TERHADAP HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN (PORTUNUS PELAGICUS) DENGAN BUBU LIPAT DI PERAIRAN BUNGKO, KABUPATEN CIREBON.

Lebih terperinci

Penanganan induk udang windu, Penaeus monodon (Fabricius, 1798) di penampungan

Penanganan induk udang windu, Penaeus monodon (Fabricius, 1798) di penampungan Standar Nasional Indonesia Penanganan induk udang windu, Penaeus monodon (Fabricius, 1798) di penampungan ICS 65.150 Badan Standardisasi Nasional Daftar isi Daftar isi... i Prakata... ii 1 Ruang lingkup...

Lebih terperinci

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Keong Macan

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Keong Macan 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Deskripsi Keong Macan Klasifikasi Babylonia spirata, menurut Abbot dan Boss (1989), adalah: Filum : Moluska; Kelas : Gastropoda; Subkelas : Prosobranchia; Ordo : Neogastropoda; Super

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Keadaan Umum Perairan Teluk Jakarta Pesisir Teluk Jakarta terletak di Pantai Utara Jakarta dibatasi oleh garis bujur 106⁰33 00 BT hingga 107⁰03 00 BT dan garis lintang 5⁰48

Lebih terperinci

PENGARUH ARUS LISTRIK TERHADAP WAKTU PINGSAN DAN PULIH IKAN PATIN IRVAN HIDAYAT SKRIPSI

PENGARUH ARUS LISTRIK TERHADAP WAKTU PINGSAN DAN PULIH IKAN PATIN IRVAN HIDAYAT SKRIPSI i PENGARUH ARUS LISTRIK TERHADAP WAKTU PINGSAN DAN PULIH IKAN PATIN IRVAN HIDAYAT SKRIPSI DEPARTEMEN PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Lebih terperinci

Tingkah Laku Ikan Terhadap Alat Tangkap Statis. Oleh: Ririn Irnawati

Tingkah Laku Ikan Terhadap Alat Tangkap Statis. Oleh: Ririn Irnawati Tingkah Laku Ikan Terhadap Alat Tangkap Statis Oleh: Ririn Irnawati Sub Bahasan: a. TLI terhadap jaring insang b. TLI terhadap pancing c. TLI terhadap perangkap d. TLI terhadap set net Jaring Insang (Gillnet)

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting

I. PENDAHULUAN. Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kepiting bakau (Scylla serrata) dapat dijumpai hampir di seluruh perairan pantai. Kepiting hidup di daerah muara sungai dan rawa pasang surut yang banyak ditumbuhi vegetasi

Lebih terperinci

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI

oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI &[MfP $00 4 oaj STUDI PERTUMBUHAN DAN BEBERAPA ASPEK REPRODUKSI RAJUNGAN (Portiinirspelngicus) DI PERAIRAN MAYANGAN, KABWATEN SUBANG, JAWA BARAT Oleh: DEDY TRI HERMANTO C02499072 SKRIPSI Sebagai Salah

Lebih terperinci

PENGARUH UMPAN DAN LAMA PERENDAMAN ALAT TANGKAP JEBAK (BUBU LIPAT) TERHADAP HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI DESA SEMAT, JEPARA

PENGARUH UMPAN DAN LAMA PERENDAMAN ALAT TANGKAP JEBAK (BUBU LIPAT) TERHADAP HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI DESA SEMAT, JEPARA PENGARUH UMPAN DAN LAMA PERENDAMAN ALAT TANGKAP JEBAK (BUBU LIPAT) TERHADAP HASIL TANGKAPAN RAJUNGAN (Portunus pelagicus) DI DESA SEMAT, JEPARA Influence of Bait and Soaking Time of Jebak ( Collapsible

Lebih terperinci

PENGENALAN UMUM BUDIDAYA KEPITING BAKAU

PENGENALAN UMUM BUDIDAYA KEPITING BAKAU PENGENALAN UMUM BUDIDAYA KEPITING BAKAU MAROS, 10 MEI 2016 SPECIES KEPITING BAKAU (Keenan et al,. 1998) : Scylla serrata (Forskal, 1775), Scylla tranquiberica (Fabricius, 1798), Scylla paramamosain (Estampador,

Lebih terperinci

MODIFIKASI METODE RELE UNTUK MODEL PENDUDUK QUASI-STABIL CECEP A.H.F. SANTOSA

MODIFIKASI METODE RELE UNTUK MODEL PENDUDUK QUASI-STABIL CECEP A.H.F. SANTOSA MODIFIKASI METODE RELE UNTUK MODEL PENDUDUK QUASI-STABIL CECEP A.H.F. SANTOSA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak Cipta dilindungi

Lebih terperinci

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster

ORDO DECAPODA. Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster ORDO DECAPODA Kelompok Macrura : Bangsa udang & lobster Kelompok Macrura Bangsa Udang dan Lobster Bentuk tubuh memanjang Terdiri kepala-dada (cephalothorax) dan abdomen (yang disebut ekor) Kaki beruas

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 4 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Ikan kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma) (Gambar 1) merupakan salah satu ikan pelagis kecil yang sangat potensial

Lebih terperinci

Dahri Iskandar 1. Fakultas Perikanandan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Masuk : 11 Juni 2012, diterima :14 Juli 2012 ABSTRAK

Dahri Iskandar 1. Fakultas Perikanandan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Masuk : 11 Juni 2012, diterima :14 Juli 2012 ABSTRAK PENGARUH PENGGUNAAN BENTUK ESCAPE VENT YANG BERBEDA PADA BUBU LIPAT TERHADAP HASIL TANGKAPAN KEPITING BAKAU (Effect of Different Escape Vent on Collapsible Pot For Catching Mud Crab) Dahri Iskandar 1 1

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis Klasifikasi 3 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Klasifikasi dan Struktur Morfologis 2.1.1. Klasifikasi Menurut klasifikasi Bleeker, sistematika ikan selanget (Gambar 1) adalah sebagai berikut (www.aseanbiodiversity.org) :

Lebih terperinci

3 METODOLOGI. Tabel 5 Jenis alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian

3 METODOLOGI. Tabel 5 Jenis alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian 3 METODOLOGI 3.1 Tempat dan Waktu Pembuatan kantong dan penutup kantong jaring dilaksanakan di laboratorium Alat Penangkap Ikan Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta pada bulan Juni sampai dengan Juli 2010.

Lebih terperinci

3 METODOLOGI PENELITIAN

3 METODOLOGI PENELITIAN 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian di lapang dilaksanakan pada Bulan Mei sampai Juni 2009. Penelitian dilaksanakan di Perairan Pulau Karang Beras, Kepulauan Seribu (Lampiran

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2006, Agustus 2006 Januari 2007 dan Juli 2007 di Daerah Aliran Sungai (DAS) Musi dengan sumber air berasal dari

Lebih terperinci

Budidaya Nila Merah. Written by admin Tuesday, 08 March 2011 10:22

Budidaya Nila Merah. Written by admin Tuesday, 08 March 2011 10:22 Dikenal sebagai nila merah taiwan atau hibrid antara 0. homorum dengan 0. mossombicus yang diberi nama ikan nila merah florida. Ada yang menduga bahwa nila merah merupakan mutan dari ikan mujair. Ikan

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Sulistiono et al. (1992) dalam Mulya (2002) mengklasifikasikan kepiting. Sub Filum: Mandibulata. Sub Ordo: Pleocyemata

TINJAUAN PUSTAKA. Sulistiono et al. (1992) dalam Mulya (2002) mengklasifikasikan kepiting. Sub Filum: Mandibulata. Sub Ordo: Pleocyemata TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Kepiting bakau (Scylla spp.) Sulistiono et al. (1992) dalam Mulya (2002) mengklasifikasikan kepiting bakau sebagai berikut; Filum: Arthropoda Sub Filum: Mandibulata Kelas:

Lebih terperinci

KEMIRINGAN DINDING LINTASAN MASUK BUBU LOBSTER HIJAU PASIR. Oleh : Meita Maria Adriani Ritonga C

KEMIRINGAN DINDING LINTASAN MASUK BUBU LOBSTER HIJAU PASIR. Oleh : Meita Maria Adriani Ritonga C KEMIRINGAN DINDING LINTASAN MASUK BUBU LOBSTER HIJAU PASIR Oleh : Meita Maria Adriani Ritonga C 54102054 PROGRAM STUDI PEMANFAATAN SUMBERDAYA PERIKANAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

STUDI BIOLOGI KEPITING DI PERAIRAN TELUK DALAM DESA MALANG RAPAT KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU

STUDI BIOLOGI KEPITING DI PERAIRAN TELUK DALAM DESA MALANG RAPAT KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU STUDI BIOLOGI KEPITING DI PERAIRAN TELUK DALAM DESA MALANG RAPAT KABUPATEN BINTAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU Rusmadi 1, Henky Irawan 2, Falmi Yandri 2 Mahasiswa 1, Dosen Pembimbing 2 Jurusan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

STATUS PERIKANAN LOBSTER (Panulirus spp.) DI PERAIRAN KABUPATEN CILACAP

STATUS PERIKANAN LOBSTER (Panulirus spp.) DI PERAIRAN KABUPATEN CILACAP 52 STATUS PERIKANAN LOBSTER (Panulirus spp.) DI PERAIRAN KABUPATEN CILACAP Arif Mahdiana dan Laurensia SP. Jurusan Perikanan dan Kelautan, Fakultas Sains dan Teknik Unsoed Email : arifmahdiana@gmail.com

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan dan bahan industri. Salah satu sumberdaya tersebut adalah

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001).

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001). I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertanian mencakup kegiatan usahatani perkebunan, perhutanan, peternakan, dan perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan ragam. Dari sakala

Lebih terperinci

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Pengumpulan Data

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian 3.2 Bahan dan Alat 3.3 Pengumpulan Data 17 3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Juli 2009 bertempat di PPN Tanjungpandan, Kabupaten Belitung, Provinsi Bangka Belitung (Lampiran 1). 3.2 Bahan

Lebih terperinci

3. METODE PENELITIAN

3. METODE PENELITIAN 14 3. METODE PENELITIAN 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian berada di perairan berlumpur Kuala Tungkal, Tanjung Jabung Barat, Jambi. Pemilihan lokasi penelitian berdasarkan intensitas penangkapan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas 6 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Klasifikasi dan Morfologi Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas Branchiopoda, Divisi Oligobranchiopoda, Ordo Cladocera, Famili Daphnidae,

Lebih terperinci

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M

ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M ANALISIS KAPASITAS PENANGKAPAN (FISHING CAPACITY) PADA PERIKANAN PURSE SEINE DI KABUPATEN ACEH TIMUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM Y U S T O M SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

Lebih terperinci