5. HASIL DAN PEMBAHASAN

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "5. HASIL DAN PEMBAHASAN"

Transkripsi

1 5. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Identifikasi Sektor-Sektor Unggulan di Provinsi Sumatera Selatan Struktur ekonomi suatu daerah sangat ditentukan oleh besarnya peranan sektor-sektor perekonomian dalam memproduksi barang dan jasa. Struktur yang terbentuk dari nilai tambah yang diciptakan oleh masing-masing sektor yang menggambarkan ketergantungan suatu daerah terhadap kemampuan berproduksi dari masing-masing sektor. Secara umum, sektor-sektor perekonomian tersebut dibagi menjadi 9 (sembilan) sektor, yaitu (1) Pertanian; (2) Pertambangan dan Penggalian; (3) Industri Pengolahan; (4) Listrik, Gas dan Air Bersih; (5) Bangunan; (6) Perdagangan, Hotel dan Restoran; (7) Pengangkutan dan Telekomunikasi; (8) Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan; dan (9) Jasa lainnya. Hasil perhitungan LQ berdasarkan aktivitas sektor perekonomian tahun 2007 masing-masing kabupaten/kota, memperlihatkan bahwa sebagian besar sektor-sektor perekonomian di Provinsi Sumatera Selatan dengan nilai LQ>1, antara lain sektor perdagangan (10 kabupaten), pertanian (9 kabupaten), bangunan (9 kabupaten) dan jasa (9 kabupaten). Secara umum, sektor pertanian; bangunan; perdagangan, hotel dan restoran; keuangan, persewaan dan jasa perusahaan; serta jasa lainnya mampu berkembang secara komparatif di Provinsi Sumatera Selatan sebagai sektor unggulan wilayah (Tabel 9). Sektor pertanian dengan besaran nilai LQ>1 ternyata tidak diikuti oleh besaran nilai LQ di sektor industri pengolahan, kecuali pada Kabupaten Banyuasin dan Kota Palembang. Pada sektor pertambangan dan penggalian, nilai LQ>1 hanya dimiliki oleh Kabupaten Muara Enim, Musi Rawas, Musi Banyuasin dan Prabumulih. Nilai LQ>1 untuk sektor listrik dan air minum dari seluruh kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sumatera Selatan hanya terdapat di Kota Palembang sedangkan Nilai LQ>1 pada sektor bangunan terdapat di beberapa kabupaten/kota, kecuali Kabupaten Ogan Komering Ulu, Muara Enim, Musi Rawas, Musi Banyuasin dan OKU Timur. Pada sektor perdagangan, nilai LQ>1 terdapat hampir di setiap kabupaten/kota, kecuali Kabupaten Muara Enim, Lahat, Musi Rawas dan Musi Banyuasin. Kota Palembang, Pagaralam dan Lubuk Linggau mempunyai nilai LQ>1 di sektor transportasi dan komunikasi sedangkan di sektor keuangan, nilai LQ>1 terdapat di beberapa kabupaten/kota,

2 seperti Kabupaten Lahat, OKU Selatan, Ogan Ilir dan Kota Palembang, Pagaralam serta Lubuk Linggau. Pada sektor jasa dengan nilai LQ>1 juga hampir terdapat di tiap kabupaten/kota, kecuali Kabupaten Ogan Komering Ilir, Banyuasin, Muara Enim, Musi Rawas dan Musi Banyuasin. Tabel 9. Nilai LQ Aktivitas Perekonomian Per Sektor Tiap Kabupaten/kota, di Provinsi Sumatera Selatan Tahun KABUPATEN/KOTA SEKTOR Tani Tbg Ind Ligas Bang Prdg Tran Keu Jasa OKI 2,42 0,06 0,50 0,11 1,84 1,23 0,28 0,67 0,98 Banyuasin 1,74 0,61 1,15 0,08 1,19 1,16 0,12 0,25 0,51 Palembang 0,04-2,26 2,92 1,09 1,50 2,97 1,82 1,55 OKU 1,58 0,88 0,57 0,40 0,93 1,11 0,40 0,99 1,10 Muara Enim 0,96 2,16 0,47 0,80 0,54 0,39 0,32 0,33 0,57 Lahat 1,75 0,86 0,48 0,26 1,12 0,79 0,47 1,15 1,22 Musi Rawas 1,91 1,44 0,47 0,16 0,52 0,31 0,09 0,43 0,79 Musi Banyuasin 0,70 2,44 0,45 0,05 0,53 0,48 0,06 0,32 0,37 OKU Selatan 1,73 0,07 0,59 0,23 1,85 1,73 0,24 1,21 1,47 OKU Timur 2,54 0,11 0,45 0,21 0,99 1,22 0,29 0,97 1,31 Ogan Ilir 1,64 0,22 0,65 0,29 1,92 1,54 0,36 1,11 1,28 Prabumulih 0,47 1,19 0,38 0,46 1,52 1,56 0,73 2,68 1,02 Pagaralam 1,98 0,06 0,07 0,35 1,63 1,57 1,02 1,67 1,80 Lubuk Linggau 0,34 0,05 0,44 0,94 3,10 1,78 1,64 3,58 2,28 Maks 2,54 2,44 2,26 2,92 3,10 1,78 2,97 3,58 2,28 Min 0,04 0,05 0,07 0,05 0,52 0,31 0,06 0,25 0,37 Rataan 1,42 0,83 0,69 0,62 1,39 1,16 0,73 1,30 1,18 Sumber BPS Sumatera Selatan 2007 (diolah) Ket Kab. Empat Lawang masih tergabung dengan Kab. Lahat (Kab. Induk) Tn Tbg Ind Ligas Bang Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik dan Gas Bangunan Prdg Tran Keu Jasa Perdagangan, Hotel dan Restoran Transportasi dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa. Kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan yang memiliki sektor-sektor unggulan (nilai LQ>1) lebih dari 1 (satu) sektor dan berpeluang menjadi potensi daerah, secara umum dimiliki oleh tiap kabupaten/kota, kecuali Kabupaten Muara Enim dan Musi Banyuasin yang hanya memiliki 1 (satu) sektor unggulan, yakni sektor pertambangan dan penggalian. Semakin banyak jenis sektor unggulan (LQ>1), mengindikasikan suatu wilayah memiliki keberagaman aktivitas dan relatif mengindikasikan perkembangan wilayahnya tinggi, seperti Kota Palembang yakni 7 (tujuh) dari 9 (sembilan) sektor-sektor perekonomian (77,78%) dan Kota Pagaralam memiliki 6 (enam) dari 9 (sembilan) perekonomian (66,67%) sedangkan sisanya dimiliki oleh kabupaten/kota lainnya. 45

3 Lebih lanjut, aktivitas perekonomian yang mendekati nilai LQ=1; diharapkan berpeluang untuk menjadi potensi sektor unggulan pada wilayah masing-masing kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan, sehingga peranan aktivitas sektor potensial tersebut nantinya dapat dikembangkan dan mampu meningkatkan keberagaman perekonomian yang relatif mengindikasikan majunya tingkat perkembangan suatu wilayah. Secara rinci, dapat dijelaskan mengenai indikasi sektor unggulan atau beberapa sektor perekonomian yang berpotensi berpeluang sebagai sektor unggulan di tiap kabupaten/kota, yakni 1. Sektor Pertanian; dapat dikembangkan di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Banyuasin, Muara Enim, Musi Banyuasin, Ogan Komering Ulu (OKU), Lahat, Musi Rawas, OKU Selatan, OKU Timur, Ogan Ilir dan Kota Pagaralam. 2. Sektor Pertambangan dan Penggalian; dapat dikembangkan di Kabupaten Muara Enim, Musi Rawas, Musi Banyuasin, Ogan Komering Ulu, Lahat dan Kota Prabumulih. 3. Sektor Industri Pengolahan; dapat dikembangkan di Kabupaten Banyuasin, Ogan Ilir dan Kota Palembang. 4. Sektor Listrik, Gas dan Air Bersih; dapat dikembangkan di Kabupaten Muara Enim dan Kota Palembang, Lubuk Linggau. 5. Sektor Bangunan; dapat dikembangkan di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Banyuasin, Ogan Komering Ulu (OKU), Lahat, OKU Selatan, OKU Timur, Ogan Ilir dan Kota Prabumulih, Pagaralam serta Lubuk Linggau. 6. Sektor Perdagangan, Hotel dan Restoran; dapat dikembangkan di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Banyuasin, Ogan Komering Ulu (OKU), Lahat, OKU Selatan, OKU Timur, Ogan Ilir dan Kota Palembang, Prabumulih, Pagaralam serta Lubuk Linggau. 7. Sektor Transportasi dan Telekomunikasi; dapat dikembangkan di Kota Palembang, Pagaralam, Prabumulih dan Lubuk Linggau. 8. Sektor Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan; dapat dikembangkan di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU), Lahat, OKU Selatan, OKU Timur, Ogan Ilir dan Kota Palembang, Prabumulih, Pagaralam serta Lubuk Linggau. 9. Sektor Jasa Lainnya; dapat dikembangkan di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Ogan Komering Ulu (OKU), Lahat, Musi Rawas, OKU Selatan, OKU Timur, Ogan Ilir, dan Kota Palembang, Prabumulih, Pagaralam serta Lubuk Linggau. Berdasarkan hasil analisis LQ masing-masing kabupaten/kota tersebut, dapat disimpulkan bahwa sektor pertanian, sektor bangunan yang merupakan 46

4 sektor sekunder serta sektor tersier lainnya (keuangan dan jasa) dapat diandalkan sebagai sektor perekonomian unggulan yang mampu bersaing secara komparatif di Provinsi Sumatera Selatan. Selain itu, laju pertumbuhan sektorsektor tersebut selama kurun waktu , cenderung terus mengalami peningkatan dan berbanding terbalik dengan sektor pertambangan dan penggalian yang cenderung menurun (Tabel 7). Oleh karena itu, semenjak diberlakukannya otonomi daerah, pemerintah daerah perlu menetapkan prioritas pembangunan sektor perekonomian yang berdasarkan sektor-sektor unggulan di tiap kabupaten/kota akibat terbatasnya anggaran pembangunan. Hal tersebut sesuai dengan yang dinyatakan oleh Suripto (2003) mengenai perlunya penetapan prioritas pengembangan di suatu wilayah, yakni sektor unggulan. Sektor pertanian yang merupakan sektor unggulan dan menjadi aktivitas perekonomian primer di Provinsi Sumatera Selatan, tidak diimbangi oleh aktivitas sektor perekonomian lainnya, terutama industri pengolahan. Hal ini relatif mengindikasikan bahwa sebagian besar hasil-hasil pertanian di suatu wilayah cenderung langsung dijual ke wilayah lain tanpa diolah terlebih dahulu sehingga tidak menghasilkan nilai tambah. Hal ini diakibatkan sektor pertanian cenderung menjadi aktivitas perekonomian yang kurang memiliki nilai tambah terhadap pendapatan wilayah sehingga kurang mendapat perhatian oleh pemerintah daerah yang lebih mengutamakan sektor yang dianggap lebih mampu meningkatkan pendapatan per kapita, terutama migas. Selain itu, semakin banyak jumlah aktivitas sektor perekonomian yang berkembang, relatif mengindikasikan meningkatnya aktivitas perekonomian yang potensial sehingga dapat dikembangkan menjadi sektor unggulan di tiap kabupaten/kota. Oleh karena itu, sektor pertanian hendaknya dapat dijadikan salah satu aspek daya saing suatu daerah yang diharapkan mampu meningkatkan tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Hal tersebut tercantum pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, pasal 45 ayat (1). 5.2 Tingkat Perkembangan Wilayah di Provinsi Sumatera Selatan Untuk mengetahui perkembangan suatu wilayah, diperlukan suatu analisa mengenai pencapaian pembangunan melalui indikator-indikator kinerja bidang ekonomi, sosial dan bidang lain yang mempunyai keterkaitan. Pengembangan wilayah bertujuan untuk memacu perkembangan ekonomi dan sosial serta berperan dalam mengurangi ketimpangan pembangunan antar wilayah. 47

5 Dalam penelitian ini, sebagai pendekatan untuk melihat tingkat perkembangan wilayah di Provinsi Sumatera Selatan digunakan metode analisis entropi terhadap sektor perekonomian (aspek pendapatan wilayah) dan analisis multivariat yang terdiri dari analisis klaster dan diskriminan terhadap PDRB per kapita tiap sektor (aspek pendapatan wilayah), penggunaan lahan dan fasilitas (aspek fisik wilayah) dan jumlah tenaga kerja (aspek sosial) Perkembangan Diversivikasi Aktifitas Perekonomian Tingkat perkembangan wilayah dengan aspek ekonomi berdasarkan hasil indeks entropi pada tahun 2003 hingga 2007 menunjukkan bahwa baik pada tingkat kabupaten/kota maupun pada tingkat provinsi memiliki nilai yang relatif tetap. Kondisi ini mengindikasikan bahwa selama kurun waktu tersebut proporsi keragaman sektor-sektor perekonomian tiap kabupaten/kota relatif stabil sehingga komposisi perkembangan sektor-sektor perekonomian di Provinsi Sumatera Selatan cenderung kurang mengalami banyak perkembangan. Pada tahun 2003, hasil analisis entropi total dari data aktifitas tiap sektor perekonomian di wilayah Provinsi Sumatera Selatan menunjukkan bahwa nilai entropi sebesar 3,58. Nilai entropi tersebut belum mencapai nilai entropi maksimum, karena dengan 9 (sembilan) komponen dari sektor-sektor perekonomian yang ada, seharusnya dapat dicapai nilai entropi maksimum sebesar 4,59. Namun demikian, nilai tersebut relatif mendekati nilai entropi maksimum sehingga dapat dinyatakan bahwa tingkat penyebaran aktifitas di seluruh wilayah Provinsi Sumatera Selatan relatif merata dan aktifitas sektor-sektor perekonomian yang relatif seragam. Hal yang sama juga terjadi pada tahun 2005 dan Pada tahun 2003, Tabel 10 menyajikan sebaran intensitas aktifitas tiap sektor perekonomian paling merata (peluang perkembangan seluruh aktifitas), secara proporsi terhadap perkembangan wilayah Sumatera Selatan adalah berturut-turut terdapat di Kota Palembang (0,76) atau sekitar 21,21 persen; Untuk Kabupaten Musi Banyuasin (0,55) atau sekitar 15,45 persen. Apabila dilihat berdasarkan nilai rataan dan standar deviasi indeks entropinya maka kedua wilayah tersebut dapat diklasifikasikan sebagai wilayah yang memiliki tingkat perkembangan yang tinggi; sedangkan untuk Kabupaten Muara Enim (0,44) atau sekitar 12,39 persen; dan Kabupaten Ogan Komering Ulu (0,41) atau sekitar 11,44 persen; dan tingkat perkembangan kedua wilayah tersebut dikategorikan sedang. Adapun wilayah kabupaten/kota lain sisanya hanya memiliki kontribusi di bawah 10 persen (tingkat perkembangannya rendah). 48

6 Selanjutnya, di tahun 2005, sebaran terbesar intensitas aktivitas tersebut masih terdapat di Kota Palembang (0,78) dan Kabupaten Musi Banyuasin (0,55) dengan masing-masing kontribusinya yang sedikit menurun 20,92 %; 14,73%; dan 11,81% yang diakibatkan pemekaran wilayah di Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Ogan Komering Ulu. Lebih lanjut, tingkat perkembangan Kota Palembang dan Kabupaten Musi Banyuasin tetap dikategorikan tinggi, sedangkan untuk Kabupaten Ogan Komering Ulu intensitas aktivitasnya menurun akibat pemekaran wilayah yang terjadi, sehingga tingkat perkembangan wilayahnya menjadi ikut menurun, dari sedang menjadi rendah. Pada tahun 2007, kondisi tersebut tidak mengalami perubahan sehingga dapat dikatakan tingkat perkembangan wilayah di Provinsi Sumatera Selatan bersifat stabil dan kabupaten/kota dengan aktivitas perekonomian yang beragam atau aktivitas sektor yang konsentrasi memiliki tingkat perkembangan wilayah yang berkisar sedang-tinggi apabila dilihat berdasarkan nilai entropi total masing-masing kabupaten/kota, antara 0,41 sampai dengan 0,76. Tabel 10. Perkembangan Indeks Entropi (PDRB sektoral) Tiap Kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2003, 2005 dan PERKEMBANGAN WILAYAH KABUPATEN/KOTA ENTROPI INDEKS ENTROPI INDEKS ENTROPI INDEKS TOTAL ENTROPI TOTAL ENTROPI TOTAL ENTROPI OKI 0,32 0,07 0,23 0,05 0,23 0,05 Banyuasin 0,30 0,07 0,31 0,06 0,31 0,06 Palembang 0,76 0,17 0,78 0,16 0,81 0,17 OKU 0,41 0,09 0,22 0,05 0,23 0,05 Muara Enim 0,44 0,10 0,44 0,09 0,45 0,09 Lahat 0,26 0,06 0,26 0,05 0,26 0,05 Musi Rawas 0,24 0,05 0,24 0,05 0,25 0,05 Musi Banyuasin 0,55 0,12 0,55 0,11 0,55 0,11 OKU Selatan - - 0,11 0,02 0,11 0,02 OKU Timur - - 0,17 0,03 0,17 0,04 Ogan Ilir - - 0,15 0,03 0,14 0,03 Prabumulih 0,13 0,03 0,12 0,03 0,12 0,03 Pagaralam 0,06 0,01 0,06 0,01 0,06 0,01 Lubuk Linggau 0,10 0,02 0,10 0,02 0,10 0,02 Maks 0,76 0,16 0,78 0,16 0,81 0,17 Min 0,06 0,01 0,06 0,01 0,06 0,01 Rataan 0,34 0,07 0,29 0,06 0,29 0,06 Std. Dev 0,21 0,04 0,20 0,04 0,21 0,04 Sumber Hasil analisis Adapun wilayah dengan intensitas aktifitas paling tidak merata (adanya kecenderungan spefisikasi) di Provinsi Sumatera Selatan dimiliki oleh Kota 49

7 Pagaralam (0,06), Lubuk Linggau (0,09) dan Prabumulih (0,12) di tahun 2003; sedangkan pada tahun 2005, kondisi tersebut sedikit mengalami perubahan akibat terjadinya pemekaran wilayah, yaitu Kota Pagaralam (0,06), Lubuk Linggau (0,10) dan Kabupaten OKU Selatan (0,12). Selanjutnya, pada tahun 2007 kondisi tersebut juga tidak mengalami perubahan (Tabel 10). Apabila ditinjau dari jumlah aktivitasnya, nilai entropi tertinggi secara berturut-turut terjadi pada aktifitas di sektor pertambangan dan penggalian (0,78), pertanian (0,71) dan industri pengolahan (0,56), sebaliknya aktifitas yang relatif ada kecenderungan untuk terjadinya pemusatan lokasi adalah aktifitas sektor listrik, gas dan air bersih (0,03) di tahun Selanjutnya pada tahun 2005, wilayah dengan intensitas merata secara berturut-turut terjadi perubahan urutan, yakni terjadi pada aktifitas sektor pertanian (0,78), pertambangan dan penggalian (0,77) dan industri pengolahan (0,57) sedangkan aktifitas yang relatif ada kecenderungan untuk terjadinya pemusatan lokasi dan tidak mengalami perubahan, yakni aktifitas sektor listrik, gas dan air bersih (0,03). Pada tahun 2007, kondisi dengan intensitas merata di seluruh Provinsi Sumatera Selatan tetap dan tidak mengalami perubahan namun aktifitas yang relatif ada kecenderungan untuk terjadinya pemusatan lokasi menjadi bertambah, antara lain terjadi pada sektor transportasi dan keuangan (0,18) serta keuangan, jasa pemerintah dan persewaan sebesar 0,19; seperti yang disajikan pada Lampiran 4. Hasil analisis LQ dan entropi menunjukkan bahwa tingkat perkembangan wilayah berdasarkan pendapatan wilayah mencerminkan diversitas dari sektorsektor perekonomian di Provinsi Sumatera Selatan dan apabila dikaitkan dengan banyaknya jumlah sektor unggulan di tiap kabupaten/kota akan mengindikasikan bahwa semakin banyaknya sektor unggulan, tingkat perkembangan wilayah menjadi lebih tinggi, seperti yang dimiliki oleh Kota Palembang. Sedangkan nilai entropi total dari sektor-sektor unggulan tertentu, seperti yang dimiliki oleh Kabupaten Muara Enim dan Musi Banyuasin relatif mengindikasikan pertumbuhan ekonomi wilayahnya meningkat sehingga dapat dikategorikan sebagai wilayah dengan tingkat perkembangan wilayah yang tinggi atau sedang. Pemekaran wilayah Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) menjadi Kabupaten OKU Timur dan OKU Selatan pada Tahun 2004, tidak menyebabkan aktivitas perekonomian tersebar di kedua wilayah pemekaran bahkan di kabupaten induk, sehingga tidak mampu meningkatkan tingkat pertumbuhan 50

8 ekonomi yang berkorelasi terhadap tingkat perkembangan wilayahnya yang juga ikut menurun. Oleh karena itu, sektor pertanian sebagai prime mover perekonomian di Provinsi Sumatera Selatan memiliki kecenderungan keterkaitan hubungan yang relatif lebih kecil dengan sektor produksi atau ekonomi lainnya walaupun memberikan kontribusi yang dominan. Sektor industri dan sektor jasa diharapkan memiliki peran yang penting dalam memberikan multiplier effect terhadap kinerja perekonomian sehingga untuk meningkatkan efektivitas dan efiensi, pemerintah daerah perlu memperhatikan sektor unggulan wilayah dalam menentukan arah kebijakannya yang bertujuan untuk memberikan dampak yang optimal terhadap perekonomian Provinsi Sumatera Selatan secara keseluruhan. Pemerintah hendaknya perlu mengembangkan sektor pertanian ke arah industri yang cenderung memacu sektor pertanian untuk bekerja lebih optimal, selain tingkat penyerapan tenaga kerja akan meningkat signifikan baik dari sektor pertanian maupun industri. Dalam jangka panjang, dengan meningkatnya ketersediaan lapangan kerja maka tingkat kesejahteraan masyarakat ke depan akan cenderung lebih baik Hirarki Wilayah Gambaran karakteristik perkembangan suatu wilayah berdasarkan tingkat hirarki yang diperoleh dari jumlah fasilitas pelayanan di Provinsi Sumatera Selatan dengan menggunakan analisis skalogram melalui tersedianya kapasitas pelayanan umum, seperti sarana dan prasarana bidang pendidikan, kesehatan, perekonomian di masing-masing kabupaten/kota sehingga dapat diidentifikasi wilayah yang berfungsi sebagai pusat/inti dan wilayah hinterland-nya. Tingkat perkembangan suatu wilayah berdasarkan analisis skalogram dicerminkan oleh nilai indeks perkembangan wilayah (IPW) masing-masing kabupaten/kota sehingga semakin tinggi nilai IPW maka wilayah tersebut semakin berkembang dengan fasilitas pelayanan umum yang memadai. Hasil analisis skalogram dengan menggunakan data PODES pada tahun 2006, diperoleh nilai IPW berkisar antara 25,28 (Kabupaten OKU Selatan) sampai dengan 100,97 (Kota Palembang) sehingga hirarki wilayah menurut ketersediaan fasilitas pelayanan umum tersebut dapat di definisikan sebagai berikut 1. Wilayah yang termasuk pada hirarki I merupakan wilayah dengan tingkat perkembangannya yang lebih tinggi/maju dibandingkan kabupaten/kota 51

9 lainnya dengan tingkat ketersediaan sarana dan prasarana serta fasilitas pelayanan umum yang memadai, terutama di bidang pendidikan menengah (SLTP dan SMU); bidang kesehatan (RS, RS Bersalin, tempat praktek dokter dan apotik); bidang perekonomian/perdagangan (hotel, restoran, lembaga keuangan dan mal); dan aksesibilitas terhadap informasi/telekomunikasi (warnet dan warpostel). Hal ini jelas menunjukkan bahwa struktur pusat pelayanan yang terkonsentrasi di pusat pertumbuhan, yakni Kota Palembang. Oleh karena itu, kegiatan pembangunan menjadi tidak merata dan mengakibatkan adanya indikasi terhadap ketimpangan antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan. Selain itu, berdasarkan nilai Indeks Pembangunan Manusia (IPM) sebesar 74,3 pada tahun tersebut mengindikasikan bahwa pelayanan fasilitas pendidikan dan kesehatan yang relatif lengkap. Kota Palembang merupakan satu-satunya dari 14 kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan yang memiliki rata-rata lama sekolah sudah lebih dari 9,9 tahun (BAPPENAS dan UNSRI 2008), sehingga nilai IPM-nya dikategorikan paling tinggi bila dibandingkan dengan wilayah lainnya (Gambar 6). 2. Pada hirarki II, ditempati oleh kabupaten/kota dengan tingkat perkembangan wilayah yang sedang, yakni berkisar antara 48,50 sampai dengan 61,31. Kota Pagaralam (61,31); Kabupaten Ogan Komering Ulu (54,01); Kota Lubuk Linggau (53,10); Kabupaten OKU Timur (50,56) dan Kabupaten Musi Rawas (48,50) memiliki ketersediaan sarana dan prasarana serta jumlah fasilitas pelayanan umum relatif lebih rendah dibandingkan Kota Palembang. Hal ini juga ditunjukkan dengan variasi nilai IPM yang dikategorikan sedang, yakni berkisar antara 68,6 sampai dengan 71,5 di tahun 2006 (Gambar 6). 3. Wilayah yang termasuk pada hirarki III merupakan kabupaten/kota sisanya di Provinsi Sumatera Selatan yang memiliki tingkat perkembangan wilayah yang rendah dengan variasi IPW antara 25,28 (OKU Selatan) sampai dengan 47,24 (Kota Prabumulih). Hal ini mengindikasikan ketersediaan sarana dan prasarana yang relatif rendah/kurang berkembang apabila dibandingkan dengan hirarki I, sehingga wilayah ini cenderung dikategorikan sebagai wilayah yang masih mengandalkan pada sektor pertanian atau cenderung lebih memperhatikan sektor yang terkonsentrasi, terutama pertambangan dan penggalian dengan migas, seperti yang 52

10 dialami oleh Kabupaten Musi Banyuasin, Muara Enim dan Kota Prabumulih sehingga kegiatan pembangunan sarana dan prasarana pelayanan umum masih menjadi kendala. 74,00 72,00 70,00 IPM 68,00 66,00 64,00 62,00 60, Palembang 73,60 74,30 74,30 Prabumulih 71,10 71,70 71,70 Pagar Alam 69,90 71,10 71,10 Ogan Komering Ulu 69,90 70,90 70,90 OKU Selatan 68,80 70,00 70,00 Ogan Komering Ilir 68,80 69,00 69,00 Muara Enim 68,70 69,10 69,10 Musi Banyuasin 68,70 69,00 69,00 Lahat 67,60 68,40 68,40 Banyuasin 67,20 68,10 68,10 Lubuk Linggau 66,30 68,00 68,00 Ogan Ilir 66,00 67,20 67,20 OKU Timur 65,40 67,50 67,50 Musi Rawas 65,00 65,60 65,60 Sumatera Selatan 68,36 69,28 69,28 TAHUN Gambar 6. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Tiap Kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan Tahun Indikator pembangunan manusia merupakan salah satu alat ukur yang dapat digunakan untuk menilai kualitas pembangunan manusia. Aktivitas pembangunan perekonomian daerah diharapkan berdampak pada kondisi fisik masyarakat yang tercermin dalam angka harapan hidup dan kemampuan daya beli, sedangkan dampak non-fisik dapat dilihat dari kualitas pendidikan masyarakat. Indeks pembangunan manusia merupakan indikator strategis yang banyak digunakan untuk melihat upaya dan kinerja program pembangunan 53

11 secara menyeluruh di suatu wilayah. Oleh karena itu, IPM dapat dianggap sebagai gambaran dari hasil program pembangunan yang telah dilakukan beberapa tahun sebelumnya sekaligus merupakan ukuran untuk melihat dampak kinerja pembangunan wilayah yang mempunyai dimensi yang sangat luas, karena memperlihatkan kualitas penduduk suatu wilayah dalam hal harapan hidup, intelelektualitas dan standar hidup layak. Sebaran hirarki wilayah di Provinsi Sumatera Selatan secara spasial disajikan oleh Gambar 7 dan dapat disimpulkan bahwa telah terjadi ketimpangan infrastruktur wilayah akibat terpusatnya pembangunan sarana dan prasarana serta pelayanan umum di Kota Palembang, sebagai wilayah inti terhadap kabupaten/kota lain. Gambar 7. Peta Hirarki Wilayah Provinsi Sumatera Selatan Tahun Oleh karena itu, pemerintah daerah hendaknya lebih menggiatkan pembangunan prasarana dasar, seperti sekolah, fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas perekonomian terutama memperbanyak dan memperbaiki pembangunan jumlah fasilitas pendidikan dasar menengah dalam rangka wajib belajar 9 tahun, jumlah rumah sakit daerah dan jumlah lembaga keuangan serta perdagangan (bank cabang pembantu dan mal) di kabupaten/kota yang selama ini masih kurang. Secara umum, pembangunan pusat-pusat perbelanjaan (mal) 54

12 dan lembaga keuangan (bank) bertujuan agar peredaran uang di suatu wilayah diharapkan lebih lama perputarannya atau berfungsi sebagai tabungan yang diharapkan dapat memicu dan memacu investasi domestik sehingga penyerapan sumberdaya oleh Kota Palembang sebagai wilayah pusat pembangunan dan perekonomian selama ini, tidak terus terjadi Tipologi Wilayah Analisis klaster dalam penentuan tipologi wilayah tiap kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan bertujuan untuk mengelompokkan wilayah-wilayah tersebut ke dalam beberapa kelompok tertentu yang memiliki kemiripan aktivitas perekonomian, fasilitas pelayanan dan penggunaan lahan serta jumlah tenaga kerja sektoral; sehingga dapat mewakili kondisi perkembangan wilayah masingmasing kabupaten/kota. Dasar pengelompokan yang digunakan dalam analisis klaster adalah kemiripan atau jarak ketidakmiripan antara kabupaten yang satu dengan yang lain dalam beberapa variabel. Berdasarkan hasil analisis tree clustering dengan Kota Palembang, dari data Potensi Desa tahun 2006, data PDRB per kapita tahun 2006 dan tenaga kerja sektoral tahun 2006 menghasilkan sebanyak 4 tipe klaster dari 27 variabel tersebut yang disajikan oleh Gambar 8, dimana Kota Palembang sebagai klaster tersendiri. Lebih lanjut, berdasarkan hasil analisis K-mean clustering yang bertujuan untuk mengelompokkan variabel penciri tiap klaster dan dilakukan klasifikasi terhadap nilai mean masing-masing variabel tersebut menjadi 3 (tiga) kelas (Lampiran 7), sehingga tiap klaster dapat didefinisikan sebagai berikut 1. Klaster Pertama yang hanya ditempati oleh Kota Palembang, dicirikan dengan nilai mean terhadap jumlah kepadatan penduduk dan jumlah fasilitas lembaga keuangan yang dikategorikan tinggi sehingga mengindikasikan aktivitas pelayanan perekonomian yang lebih baik bila dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya. Selain itu, nilai mean yang tinggi pada PDRB per kapita sektor sekunder dan tersier ternyata diikuti juga oleh jumlah tenaga kerja di sektor tersebut. Selanjutnya klaster pertama ini juga dapat dikategorikan sebagai kawasan metropolitan dengan jumlah penduduk lebih dari 1 juta jiwa seperti yang dijelaskan dalam UU No. 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang (pasal 1 angka 26). Selain itu, dengan ditetapkannya Kota Palembang sebagai pusat pertumbuhan yang telah dilaksanakan semenjak era REPELITA sekaligus sebagai ibukota Provinsi Sumatera Selatan. Hal ini sesuai dengan 55

13 penerapan konsep pusat pertumbuhan di Indonesia yang telah ditetapkannya selama ini dalam REPELITA II - REPELITA IV untuk wilayah Pembangunan Utama B yang meliputi Provinsi Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung dengan penetapan pusat pertumbuhan di Kota Palembang (Sjafrizal 2008), sehingga cenderung pusat pembangunan terus-menerus dilakukan dan mengakibatkan terjadinya ketimpangan pembangunan. Hal tersebut juga dapat dijelaskan dengan tingginya nilai mean untuk luas lahan non pertanian (kawasan terbangun). 2. Pada klaster kedua yang ditempati Kabupaten Ogan Komering Ilir, Banyuasin, OKU Timur dan Ogan Ilir, dicirikan oleh variabel dengan kategori nilai mean yang tinggi pada jumlah keluarga pertanian dan tenaga kerja pertanian. Selain itu, jumlah fasilitas industri yang diikuti oleh rasio jumlah tenaga kerja sekunder dan tersier serta luas lahan sawah mengindikasikan bahwa sumberdaya manusia sektor pertanian relatif masih tersedia walaupun nilai mean untuk PDRB per kapita sektor pertanian dikategorikan sedang. Hal ini diduga karena peranan sektor pertanian belum dioptimalkan oleh pemerintah daerah sebagai sektor unggulan. Oleh karena itu, klaster ini diharapkan dapat dikategorikan sebagai kawasan industri berbasis pertanian yang diikuti dengan tenaga kerja di sektor industri, bangunan dan perdagangan serta jasa lainnya karena memiliki nilai mean yang tinggi. Namun apabila dilihat dari nilai aktivitas perekonomian sektor industri pengolahan, hanya Kabupaten Banyuasin yang memiliki nilai LQ>1, yang mengindikasikan bahwa peranan sektor industri cenderung tidak seragam dan hanya terkonsentrasi pada wilayah tertentu. 3. Klaster Ketiga yang ditempati oleh Kabupaten Ogan Komering Ulu, Muara Enim, Lahat, Musi Banyuasin dan OKU Selatan yang dicirikan dengan nilai mean yang tinggi untuk jumlah tenaga kesehatan, luas lahan non sawah dan diikuti oleh jumlah tenaga kerja sektor pertanian yang disertai tingginya nilai mean untuk PDRB per kapita untuk sektor pertanian, pertambangan dan penggalian. Pada klaster ini dapat dikategorikan sebagai kawasan pertanian atau pertambangan dan penggalian 4. Kota Pagaralam, Prabumulih dan Lubuk Linggau yang berada pada klaster keempat dicirkan dengan tingginya nilai mean untuk jumlah keluarga yang berlangganan PLN, jumlah keluarga yang menggunakan telepon, jumlah 56

14 fasilitas informasi/komunikasi, jumlah fasilitas penjualan obat (apotik), dan jumlah fasilitas penginapan (hotel); sehingga klaster ini dapat dikategorikan sebagai kawasan perkotaan dibandingkan dengan wilayah lain. Tree Diagram for 14 Cases OGAN KOMERING ULU LAHAT MUSI RAWAS MUARA ENIM OKU SELATAN MUSI BANYUASIN OGAN KOMERING ILIR OKU TIMUR BANYUASIN OGAN ILIR PALEMBANG PRABUMULIH LUBUK LINGGAU PAGARALAM (Dlink/Dmax)*100 Gambar 8. Hasil Analisis Klaster (tree clustering) dengan Kota Palembang. Gambar 9. Peta Tipologi Provinsi Sumatera Selatan dengan Kota Palembang. 57

15 Analisis diskriminan tidak dapat dilakukan apabila terdapat klaster yang hanya terdiri dari 1 (satu) wilayah karena memiliki jarak ketidaksamaan atau kesamaan yang berbeda dengan wilayah lainnya, dengan kata lain jaraknya bernilai nol. Selanjutnya secara spasial, tipologi wilayah di Provinsi Sumatera Selatan yang disajikan pada Gambar 9. Apabila analisis klaster dilakukan tanpa mengikutsertakan Kota Palembang (Gambar 10), maka tipologi wilayah Provinsi Sumatera Selatan menghasilkan 3 (tiga) tiper klaster, yang terdiri dari (1) Klaster Pertama, yang ditempati oleh Kota Pagaralam, Prabumulih dan Lubuk Linggau dengan kepadatan penduduk, jumlah keluarga yang berlangganan PLN, jumlah keluarga yang menggunakan telepon, jumlah fasilitas informasi/komunikasi, jumlah fasilitas penjualan obat (apotik), jumlah fasilitas penginapan (hotel) dan jumlah fasilitas lembaga keuangan dengan nilai mean-nya dikategorikan tinggi, yang mencirikan sebagai kawasan perkotaan. Hal ini diikuti dengan rendahnya kategori nilai mean untuk jumlah keluarga pertanian dan PDRB tersier serta kawasan terbangun (luas lahan non pertanian) yang memiliki nilai mean yang dikategorikan tinggi; (2) Klaster Kedua yang ditempati oleh Kabupaten Ogan Komering Ilir, Banyuasin, OKU Timur dan Ogan Ilir, dicirikan dengan variabel yang memiliki industri dengan kisaran kategori nilai mean sedang-tinggi; namun jumlah keluarga pertanian dan PDRB pertanian dengan nilai mean yang rendah. Selain itu, diikuti juga dengan luas lahan sawah dan jumlah tenaga kerja (sekunder dan tersier) yang dikategorikan tinggi. Oleh karena itu, klaster kedua diharapkan dapat dikategorikan sebagai kawasan industri berbasis pertanian yang diikuti dengan tenaga kerja di sektor industri, bangunan dan perdagangan serta jasa lainnya karena memiliki nilai mean yang tinggi. Namun apabila dilihat dari nilai aktivitas perekonomian sektor industri pengolahan, hanya Kabupaten Banyuasin yang memiliki nilai LQ>1. Hal ini mengindikasikan bahwa peranan sektor industri cenderung tidak seragam dan hanya terkonsentrasi pada wilayah tertentu; (3) Klaster Ketiga yang ditempati oleh Kabupaten Ogan Komering Ulu, Muara Enim, Lahat, Musi Banyuasin, Musi Rawas dan OKU Selatan yang dicirikan dengan tingginya nilai mean untuk rasio jumlah tenaga kesehatan, luas lahan non sawah yang diikuti dengan jumlah tenaga kerja sektor 58

16 pertanian dan keluarga pertanian, selain PDRB untuk sektor pertanian, pertambangan dan penggalian. Pada klaster ini dapat dikategorikan sebagai kawasan pertanian atau pertambangan dan penggalian. Tree Diagram for 13 Cases OGAN KOMERING ULU LAHAT MUSI RAWAS MUARA ENIM OKU SELATAN MUSI BANYUASIN OGAN KOMERING ILIR OKU TIMUR BANYUASIN OGAN ILIR PRABUMULIH LUBUK LINGGAU PAGARALAM (Dlink/Dmax)*100 Gambar 10. Hasil Analisis Klaster (tree clustering) Tanpa Kota Palembang. Selanjutnya berdasarkan hasil analisis diskriminan diperoleh pengelompokan tipologi wilayah di Provinsi Sumatera Selatan dipengaruhi secara nyata oleh variabel-variabel fasilitas, yakni jumlah keluarga yang berlangganan telepon dan jumlah fasilitas lembaga keuangan serta jumlah lahan sawah (Tabel 11). Selain itu, hasil analisis diskriminan menghasilkan ketepatan dalam pengelompokan wilayah di Provinsi Sumatera Selatan. Selanjutnya, pengelompokkan wilayah berdasarkan analisis klaster disajikan secara spasial di Gambar 11. Tabel 11. Variabel yang Mempengaruhi Tipologi Wilayah Berdasarkan Analisis Diskriminan di Provinsi Sumatera Selatan. Discriminant Function Analysis Summary (3 KLASTER) Step 3, N of vars in model 3; Grouping CLUSTER (3 grps) Wilks' Lambda,01019 approx. F (6,16)=23,746 p<,0000 N=13 Wilks' Partial 1-Toler. F-remove (2,8) p-level Toler. Lambda Lambda (R-Sqr.) LhnSWH 0, , , , , , TELP 0, , , , , , FasLbKEU 0, , , , , , Sumber Hasil analisis 59

17 Gambar 11. Peta Tipologi Provinsi Sumatera Selatan Tanpa Kota Palembang. Secara hirarki menurut batas administratif, Anwar (2005) menjelaskan bahwa hubungan fungsional antara tingkat (orde) wilayah yang mempunyai pusat ibukota provinsi yang merupakan orde pertama dengan ibukota kabupaten sebagai wilayah orde dua, ibukota kecamatan sebagai wilayah orde tiga dan desa sebagai wilayah orde empat. Kemudian apabila hirarki itu dibagi dua, maka sering pula pembagiannya menurut hubungan fungsional antara wilayah perkotaan (orde kesatu dan kedua) dengan wilayah belakangnya, yaitu perdesaan (orde ketiga dan keempat). Akan tetapi, pembangunan kota-kota yang hirarkis di Provinsi Sumatera Selatan, belum sepenuhnya terwujud sehingga belum dapat memberikan pelayanan yang efektif dan optimal bagi wilayah pengaruhnya. Keterkaitan antar kota-kota dan antar kota-desa yang berlangsung saat ini tidak semuanya saling mendukung dan sinergis. Masih banyak diantaranya yang berdiri sendiri atau bahkan saling merugikan. Dominasi Kota Palembang sebagai ibukota Provinsi Sumatera Selatan dan sebagai wilayah pusat pembangunan memiliki pengaruh yang besar terhadap ketimpangan pembangunan di kabupaten/kota lain, terutama pada ketersediaan fasilitas pelayanan umum, seperti sarana pendidikan, kesehatan dan fasilitas perekonomian. 60

18 5.3 Disparitas Pembangunan Antar Wilayah di Provinsi Sumatera Selatan Untuk menganalisa tingkat disparitas pembangunan yang terjadi antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan, penelitian ini menggunakan metode indeks Williamson dan dilanjutkan dengan menggunakan metode analisis indeks Theil yang bertujuan untuk mendekomposisi disparitas antar wilayah kabupaten/kota, seperti yang pernah dilakukan oleh Fujita dan Hu (2001) Hasil Analisis Indeks Williamson dan Indeks Theil Hasil analisis indeks Williamson dengan menggunakan data PDRB per kapita Tahun , atas dasar harga konstan (ADHK) 2000 dengan membandingkan peranan sektor migas terhadap tingkat disparitas di Provinsi Sumatera Selatan, menunjukkan bahwa tingkat disparitas antar wilayah selama kurun waktu tersebut tergolong tinggi apabila bergantung kepada PDRB sektor migas. Sebaliknya, aktivitas perekonomian wilayah yang tidak menggunakan peranan sektor migas relatif menurunkan (lebih rendah) tingkat disparitas di Provinsi Sumatera Selatan. 0,8000 0,7000 Indeks Williamson 0,6000 0,5000 0,4000 0,3000 0,2000 0,1000 0, SUMSEL (migas) 0,6263 0,6799 0,6660 0,6499 0,6344 SUMSEL (non migas) 0,3312 0,3795 0,3941 0,4036 0,4133 Tahun Gambar 12. Perkembangan Indeks Williamson Dengan Migas dan Tanpa Migas di Provinsi Sumatera Selatan tahun Gambar 12 menyajikan tingkat disparitas yang terjadi di Provinsi Sumatera Selatan dengan migas, mengalami peningkatan pada tahun 2004 yang kemudian cenderung menurun pada tahun Hal ini mengindikasikan bahwa peranan migas cenderung menurun karena merupakan sumberdaya yang tak terbarukan 61

19 sedangkan tingkat disparitas yang terjadi relatif lebih rendah dengan dengan kecenderungan meningkat tiap tahunnya apabila peranan sektor migas diabaikan. Guna mendekomposisi sumber disparitas yang terjadi di Provinsi Sumatera Selatan berdasarkan hasil analisis indeks Theil/disparitas total ( ), disparitas yang terjadi relatif stabil bahkan ada kecenderungan menurun tiap tahun. Pada tahun 2004 disparitas total cenderung mengindikasikan meningkatnya disparitas antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan dari 0,0711 menjadi 0,0721 (Gambar 13). 0,1200 0,1000 0,0800 0,0600 Indeks Theil 0,0400 0,0200 0,0000-0,0200-0, OKI -0,0226-0,0146-0,0144-0,0144-0,0144 OKU -0,0226 0,0014 0,0033 0,0033 0,0033 Banyuasin -0,0134-0,0126-0,0130-0,0132-0,0134 Lahat -0,0090-0,0092-0,0089-0,0087-0,0083 Musi Rawas -0,0055-0,0054-0,0053-0,0054-0,0052 Lubuklinggau -0,0032-0,0032-0,0032-0,0031-0,0031 Pagaralam -0,0024-0,0023-0,0023-0,0023-0,0023 OKU Selatan 0,0000-0,0069-0,0075-0,0074-0,0074 OKU Timur 0,0000-0,0129-0,0130-0,0129-0,0128 Ogan Ilir 0,0000-0,0079-0,0079-0,0079-0,0080 Prabumulih 0,0014 0,0013 0,0013 0,0012 0,0012 Muara Enim 0,0202 0,0194 0,0189 0,0191 0,0195 Palembang 0,0269 0,0294 0,0315 0,0335 0,0354 Musi Banyuasin 0,1013 0,0957 0,0913 0,0861 0,0806 Sumatera Selatan 0,0711 0,0721 0,0708 0,0679 0,0652 Tahun Gambar 13. Kontribusi Kabupaten/Kota Terhadap Disparitas Total di Provinsi Sumatera Selatan ( ). 62

20 Lebih lanjut, apabila dilakukan dekomposisi disparitas berdasarkan nilai indeks Theil (disparitas total), kabupaten/kota berperan dalam meningkatkan atau mengurangi tingkat disparitas di Provinsi Sumatera Selatan. Secara umum, selama kurun waktu tersebut, Kota Palembang, Kabupaten Musi Banyuasin, Muara Enim, dan Prabumulih berkontribusi positif terhadap meningkatnya disparitas total; sehingga dapat disimpulkan bahwa sumber utama disparitas di Provinsi Sumatera Selatan berasal dari ketimpangan antar wilayah kabupaten/kota. Apabila ditinjau dari aktivitas sektor perekonomian, hasil dekomposisi dari indeks Theil menunjukkan bahwa sektor pertanian lebih berperan dalam menurunkan tingkat disparitas total dibandingkan sektor lain di Provinsi Sumatera Selatan. Hal ini mengindikasikan bahwa sektor pertanian yang dominan dan sebagai sektor unggulan, diharapkan mampu mengurangi tingkat disparitas yang terjadi (Gambar 14); sedangkan sektor pertambangan dan penggalian yang terkonsentrasi di wilayah tertentu relatif meningkatkan disparitas total,yang diikuti ketimpangan pada sektor industri pengolahan dan sektor sekunder lainnya. 0,500 0,400 0,300 Indeks Theil 0,200 0,100 0,000-0,100-0, Tani -0,099-0,100 Tbg 0,396 0,459 Ind 0,091 0,107 Ligas 0,003 0,002 Bang 0,023 0,032 Prdg 0,000 0,012 Trans -0,003 0,000 Keu 0,036 0,029 Jasa -0,007-0,010 Tahun Gambar 14. Kontribusi Sektor Perekonomian Terhadap Disparitas Total di Provinsi Sumatera Selatan (2005 dan 2007). 63

21 Selanjutnya, apabila ditinjau melalui peranan masing-masing kelompok wilayah dari hasil analisis klaster sebelumnya, menunjukkan bahwa klaster yang memiliki aktivitas perekonomian industri pengolahan berbasis pertanian, seperti Kabupaten Ogan Komering Ilir, Banyuasin, Ogan Ilir dan OKU Timur memberikan kontribusi negatif terhadap disparitas total di Provinsi Sumatera Selatan. Selain itu, klaster perkotaan turut berperan dalam menurunkan disparitas total dengan indikasi bahwa keberadaan Kota Pagaralam yang memiliki sektor pertanian sebagai salah satu aktivitas perekonomian unggulan wilayah dibandingkan dengan kota lainnya (Gambar 15). 0,060 Indeks Theil 0,040 0,020 0,000-0,020-0,040-0, Klaster 1 0,042 0,033 0,026 Klaster 2-0,049-0,049-0,050 Klaster 3 0,050 0,050 0,051 Klaster 4-0,004-0,005-0,006 Tahun Gambar 15. Kontribusi Klaster Berdasarkan Aktivitas Perekonomian Terhadap Disparitas Total di Provinsi Sumatera Selatan ( ). Selain itu, berdasarkan RTRW Provinsi Sumatera Selatan yang membagi wilayahnya menjadi 2 (dua) kawasan, yakni Kawasan Barat dan Timur (wilayah pesisir) memperlihatkan bahwa dekomposisi sumber disparitas yang utama berasal dari ketimpangan antar wilayah atau kabupaten/kota, sebesar 82,94 persen sedangkan disparitas antar wilayah pengembangan (kawasan) hanya berpartisipasi rata-rata sebesar 17,06 persen (Gambar 16). Hal ini sesuai dengan hasil analisis sebelumnya yang mengindikasikan bahwa ketimpangan yang terjadi di Provinsi Sumatera Selatan disebabkan oleh masing-masing kabupaten/kota itu sendiri. Disparitas antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan berdasarkan analisis terhadap pendapatan wilayah tiap kabupaten/kota menunjukkan ketimpangan yang terjadi akibat tidak meratanya aktivitas perekonomian. Hal ini disebabkan peranan Kota Palembang yang memiliki hampir seluruh sektor-sektor 64

22 perekonomian unggulan dengan tingkat perkembangan wilayah yang tinggi dan mencerminkan bahwa aktivitas di Kota Palembang sangat beragam sedangkan wilayah lain relatif seragam bahkan terkonsentrasi. Selain itu, wilayah yang relatif mengandalkan sektor pertambangan dan penggalian, terutama dengan sektor migas mengindikasikan bahwa telah terjadi disparitas ekonomi di Provinsi Sumatera Selatan, seperti Kabupaten Musi Banyuasin dan Muara Enim. Menurut (Portnov dan Felsentein, 2005), penggunaan metode Indeks Williamson dalam pengukuran disparitas atau ketimpangan antar wilayah, relatif memperlihatkan sedikit kekurangan selain Indeks Gini apabila dibandingkan dengan metode lainnya, seperti Indeks Atkison, Hoover Coefficient dan Coulter Coefficient. 0,08 0,06 Indeks Theil 0,04 0,02 0, ANTAR KAWASAN 0,0164 0,0106 0,0107 0,0108 0,0108 ANTAR WILAYAH KAB/KOTA 0,0547 0,0615 0,0601 0,0572 0,0544 TOTAL 0,0711 0,0721 0,0708 0,0679 0,0652 Tahun Gambar 16. Dekomposisi Sumber Disparitas Wilayah Provinsi Sumatera Selatan Faktor-faktor Penyebab Disparitas Pembangunan Antar Wilayah Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya disparitas antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan, dilakukan pendekatan analisis untuk mengetahui faktor-faktor penyebabnya, yaitu dengan menggunakan regresi berganda. Adapun variabel tujuan yang digunakan adalah dekomposisi dari indeks Theil tiap kabupaten/kota dan variabel penjelas lain yang dianggap memiliki hubungan terhadap disparitas antar wilayah, antara lain berupa aspek ekonomi 65

23 (PDRB per sektor); aspek fisik penggunaan lahan (rasio luas sawah, non sawah, hutan negara, kawasan terbangun terhadap luas wilayah kabupaten/kota); serta aspek pembangunan manusia (komponen IPM) yang digunakan sebagai pendekatan terhadap ketersediaan fasilitas pendidikan dan kesehatan serta kesejahteraan masyarakat. Karena keterbatasan data, analisis ini menggunakan data pada tahun Faktor-faktor yang dianggap berpengaruh sebagai penyebab terjadinya disparitas antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan, berdasarkan hasil analisi regresi berganda adalah (1) PDRB per kapita sektor pertambangan dan penggalian; (2) PDRB per kapita sektor pertanian; dan (3) PDRB per kapita sektor sekunder, sebagai aspek ekonomi wilayah sedangkan (4) disparitas berdasarkan aspek fisik wilayah, yakni luas hutan negara, ikut mempengaruhi disparitas antar wilayah yang terjadi di Provinsi Sumatera Selatan (Tabel 12). Hal ini mengindikasikan bahwa semakin meningkatnya kontribusi PDRB sektor pertambangan dan penggalian serta PDRB sektor sekunder akan meningkatkan disparitas antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan, disamping luasan hutan negara yang relatif membatasi wilayah kabupaten/kota dalam melakukan aktivitas pembangunan fisik. Lebih lanjut, persamaan regresi berganda yang dihasilkan dapat dituliskan sebagai berikut Y=-0,021+0,763[GDP_Tbg]+0,442[GDP_sek]+0,256[Hut_Neg]- 0,194[GDP_Tani] dimana Y = Nilai dekomposisi disparitas kabupaten/kota dari indeks Theil X 1 ;X 2 ;X 4 = PDRB sektoral (X 1 = PDRB pertambangan dan penggalian; X 2 = PDRB sekunder; dan X 4 =PDRB pertanian) X 3 = Penggunaan lahan (hutan negara) Tabel 12. Faktor-faktor Penduga Penyebab Terjadinya Disparitas di Provinsi Sumatera Selatan. Regression Summary for Dependent Variable Komp_Disparitas (DATA REG 1) R=, R²=, Adjusted R²=, F(5,8)=56,760 p<,00000 Std.Error of estimate,00544 Beta Std.Err. B Std.Err. t(8) p-level Intercept -0, , , , GDP_TBG 0, , , , , , GDP_SEK 0, , , , , , HUT_NEG 0, , , , , , GDP_TANI -0, , , , , , Sumber Hasil analisis 66

24 Wilayah dengan konsentrasi terhadap aktivitas perekonomian tertentu, seperti sektor pertambangan dan penggalian cenderung menganggap sektor lain kurang memiliki nilai tambah terhadap pendapatan domestiknya sehingga menyebabkan keragaman aktivitas di suatu wilayah menjadi rendah dan akhirnya meningkatkan ketimpangan. Selanjutnya, luas hutan negara, seperti cagar alam, hutan lindung dan taman nasional dianggap berpotensi menghambat kemampuan suatu wilayah dan seringkali membatasi kepala daerah yang memiliki kapasitas sebagai pengambil keputusan dalam pembangunan, juga menyebabkan ketimpangan dalam pengembangan wilayah. Hal tersebut sebenarnya dapat diatasi melalui pemanfaatan kawasan hutan berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.43/Menhut-II/2008 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan hutan oleh pihak pemerintah daerah dan pihak swasta dengan kewajiban mengganti kompensasi berupa Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) atau dengan mengganti dengan lahan lain untuk dijadikan hutan. Akan tetapi, penggantian kompensasi tersebut (PNBP) tidak memiliki kontribusi langsung terhadap peningkatan pendapatan domestik di wilayah tersebut. Penyebab terjadinya disparitas antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan relatif lebih disebabkan oleh aspek pendapatan wilayah (sektor perekonomian). Kabupaten Musi Banyuasin dan Muara Enim yang memiliki pendapatan domestik sektor pertambangan yang tinggi namun tidak diikuti oleh sektor lain menyebabkan meningkatnya disparitas total. Walaupun tingkat perkembangan wilayahnya dikategorikan tinggi berdasarkan hasil analisis LQ dan entropi, namun hasil analisis skalogram menempatkan kedua wilayah tersebut termasuk wilayah dengan fasilitas pelayanan yang rendah (Hirarki III), sehingga mengindikasikan sebagai wilayah yang kurang berkembang. Nilai PDRB per kapita yang tinggi di suatu wilayah ternyata tidak mencerminkan tingginya tingkat perkembangan wilayah, terutama infrastruktur. Hal ini berbeda dengan Sjafrizal (2008) yang menyatakan bahwa guna mengurangi disparitas, perlu adanya pengembangan pusat pertumbuhan secara tersebar dengan menganut konsep konsentrasi dan desentralisasi sehingga terjadi penyebaran kegiatan pembangunan. Akan tetapi, aktivitas perekonomian yang terkonsentrasi cenderung mengakibatkan terjadinya kesenjangan pembangunan antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan, seperti yang terjadi pada kedua kabupaten tersebut. 67

25 Lebih lanjut, ketimpangan pembangunan antar wilayah juga ditandai dengan rendahnya aksesibilitas pelayanan sarana dan prasarana ekonomi, yakni fasiltas lembaga keuangan yang berperan sebagai sarana investasi di suatu wilayah. Hal ini dijelaskan oleh Tambunan (2003) yang menyatakan bahwa distribusi investasi yang tidak merata dapat dianggap sebagai salah satu faktor utama yang mengakibatkan terjadinya kesenjangan pembangunan atau pertumbuhan ekonomi dalam dan antar provinsi. Kurangnya kegiatan investasi pada suatu wilayah dapat membuat pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan per kapita masyarakat di wilayah tersebut rendah, karena tidak ada kegiatan ekonomi yang produktif seperti industri pengolahan terutama yang terkait dengan sektor pertanian. Peranan fasilitas lembaga keuangan di daerah bertujuan sebagai prasarana penyerap investasi masih sangat terbatas dan secara umum lokasinya berada di ibukota kabupaten atau di beberapa ibukota kecamatan. Selain itu, jumlah keluarga yang memanfaatkan fasilitas informasi dan telekomunikasi (telepon) masih terkonsentrasi di wilayah perkotaan seperti Kota Pagaralam, Prabumulih dan Lubuk Linggau ikut berperan dalam meningkatkan ketimpangan pembangunan. Kabupaten/kota yang memiliki sektor pertanian sebagai salah satu sektor unggulan, relatif mampu dalam mengurangi disparitas total di Provinsi Sumatera Selatan, terutama kegiatan pertanian yang diikuti dengan keterkaitan sistem produksi lain, seperti industri pengolahan pertanian dan peningkatan aktivitas perdagangan. Masih tersedianya luas lahan pertanian, menunjukkan bahwa penggunaan lahan persawahan menjadi indikator wilayah yang berbasis pertanian. Oleh karena itu, aspek ekonomi wilayah lebih berperan dalam meningkatkan atau menurunkan ketimpangan antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan, sehingga diperlukan upaya pemerataan sektor-sektor perekonomian dengan memberi prioritas pembangunan terhadap sektor unggulan masingmasing kabupaten/kota. Hasil sintesis analisis sebelumnya menunjukkan bahwa, Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Banyuasin termasuk wilayah di kawasan timur (pesisir) dan berperan dalam mengurangi disparitas antar wilayah selama kurun waktu Selain itu, kedua wilayah ini dikategorikan sebagai wilayah dengan tingkat perkembangan yang rendah. Lebih lanjut, tipologi wilayah kedua kabupaten ini 68

26 memiliki kemiripan, antara lain aktivitas sektor pertanian yang merupakan sektor unggulan dengan luas lahan sawah yang dikategorikan tinggi dan PDRB pertanian di kedua wilayah ini masih tergolong rendah walaupun disertai ketersediaan sejumlah industri yang tinggi. Keberadaan sektor industri, diharapkan mampu menggerakkan sektor-sektor terkait lainnya sehingga memerlukan prioritas pembangunan (Lampiran 6). 5.4 Kebijakan Pembangunan Wilayah Pesisir di Provinsi Sumatera Selatan Berdasarkan Sintesis Hasil Sebelumnya Salah satu aspek yang perlu mendapat perhatian dalam pelaksanaan pembangunan daerah adalah aspek ekonomi, seperti yang jelaskan oleh Arsyad (1999) bahwa pembangunan ekonomi daerah merupakan proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber-sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut. Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Provinsi Sumatera Selatan ( ), terdapat 7 sasaran yang akan dicapai dalam upaya memantapkan dan menegaskan arah pembangunan ekonomi yang diinginkan. Ketujuh sasaran tersebut adalah (i) Pertumbuhan Ekonomi, (ii) Struktur Ekonomi, (iii) Pemantapan Sektor Unggulan Provinsi, (iv) Pemantapan Surplus Neraca Perdagangan Daerah, (v) Penurunan angka pengangguran, (vi) Kesenjangan Pendapatan, dan (vii) Kualitas sumberdaya manusia. Indikasi yang diharapkan, terutama pada sasaran kedua dan ketiga, Pemerintah Provinsi menginginkan pertumbuhan ekonomi Sumatera Selatan yang ditargetkan harus pula didukung oleh pertumbuhan nilai tambah sektor primer yang sejalan dengan visi Sumatera Selatan sebagai salah satu lumbung pangan nasional. Pertumbuhan tersebut juga harus didukung dengan pertumbuhan sektor manufaktur dan sektor jasa yang ada di Provinsi Sumatera Selatan. Berdasarkan dari hasil analisis sektor unggulan, tingkat perkembangan wilayah dan disparitas antar wilayah sebelumnya, menunjukkan bahwa semakin beragamnya aktivitas perekonomian tidak menjamin disparitas antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan, karena pemerataan aktivitas perekonomian secara umum tidak mencerminkan tingkat perkembangan wilayah. Sektor pertanian yang berada di wilayah perdesaan di tiap kabupaten, dianggap berperan dalam mengurangi disparitas antar wilayah. Pembangunan fasilitas sarana infrastruktur 69

27 yang terkait dengan pertanian hendaknya lebih dioptimalkan, seperti pembangunan irigasi yang bertujuan meningkatkan produksi dan infrastruktur jalan guna mempercepat mobilisasi produk-produk pertanian dari hulu ke hilir. Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Banyuasin selama kurun waktu , tingkat perkembangan wilayahnya relatif masih rendah namun mampu berperan dalam mengurangi tingkat disparitas antar wilayah di Provinsi Sumatera Selatan sehingga memerlukan prioritas pembangunan terhadap sektor-sektor unggulan yang ada dengan memperhatikan potensi wilayah (Tabel 13 dan Lampiran 6). Ketersediaan jumlah tenaga kerja yang mendominasi pada sektor pertanian, industri pengolahan, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran serta sektor jasa, patut dipertimbangkan oleh pemerintah daerah dalam melaksanakan pembangunan dan lebih memfokuskan pengembangan terhadap sektor-sektor tersebut di wilayah pesisir sebagai arahan alternatif. Keterkaitan antar sektor perekonomian unggulan di Provinsi Sumatera Selatan apabila dilihat dari besaran nilai entropinya maka peranan sektor unggulan sangat diperlukan mengingat pentingnya peranan sektor-sektor tersebut terhadap sektor lainnya sebagai penggerak terhadap penyebaran aktivitas yang semakin beragam karena menurut Rustiadi (2001) bahwa kawasan pesisir dalam konteks ekonomi wilayah, memiliki posisi strategis di dalam struktur alokasi dan distribusi sumberdaya ekonomi. Tabel 13. Matriks Sektor Unggulan, Entropi dan Jumlah Tenaga Kerja Sektoral di Wilayah Pesisir Provinsi Sumatera Selatan Tahun KABUPATEN SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN OKI Tani Tbg Ind Ligas Bang Prdg Tran Keu Jasa LQ 2,42 0,06 0,50 0,11 1,84 1,23 0,28 0,67 0,98 ENTROPI 0,0912 0,006 0,0235 0,0003 0,0336 0,0401 0,0046 0,0083 0,0211 TENAGA KERJA BANYUASIN LQ 1,74 0,61 1,15 0,08 1,19 1,16 0,12 0,25 0,51 ENTROPI 0,0931 0,0513 0,0601 0,0003 0,0314 0,0507 0,0031 0,0049 0,0164 TENAGA KERJA Sumber Hasil analisis Ket Tn Tbg Ind Ligas Bang Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik dan Gas Bangunan Prdg Tran Keu Jasa Perdagangan, Hotel dan Restoran Transportasi dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa. 70

28 Perumusan suatu kebijakan dihasilkan dari analisis terhadap berbagai alternatif sehingga diperoleh alternatif terbaik berdasarkan masalah, kebutuhan atau adanya aspirasi tertentu. Kebijakan merupakan suatu produk yang dipandang sebagai suatu kumpulan atau rekomendasi, dan sebagai suatu proses. Lebih lanjut, kebijakan juga dipandang sebagai suatu cara yang bertujuan untuk mengetahui apa yang diharapkan, yaitu program dan mekanisme dalam mencapai produknya, seperti yang dijelaskan oleh Dunn (2003) bahwa perumusan suatu kebijakan perlu dilandasi dengan argumen-argumen karena argumen kebijakan (policy argument) yang merupakan sarana untuk melakukan perdebatan mengenai isu-isu kebijakan publik Selain itu, dalam perencanaan pembangunan di wilayah pesisir hendaknya lebih mempertimbangkan aspek keberlanjutan yang dapat dicapai dengan memperhatikan keberlanjutan baik dari aspek infrastruktur, ekonomi maupun sosial (masyarakat). Pembangunan di wilayah pesisir, memerlukan arahan dalam rangka pengembangan, terutama pengembangan di sektor industri pengolahan yang berbasis pertanian. Tabel 14. Luasan Areal Arahan Pola Pemanfatan Ruang di Kabupaten Pesisir (RTRWP ). KWS. LINDUNG KWS. BUDIDAYA PERTANIAN PEMANFAATAN RUANG (Ha) KWS. BUDIDAYA NON PERTANIAN Sumber BAPPEDA (2006) Banyuasin KABUPATEN OKI Hutan Lindung , ,00 Hutan Suaka Alam , ,00 Sempadan Pantai ,43 0,00 Sempadan Sungai , ,96 Pertanian Lahan Basah , ,27 Pertanian Lahan Kering , ,71 Perkebunan , ,35 Perikanan Darat 0, ,06 Hutan Produksi , ,00 Hutan Produki Terbatas 0, ,00 APL , ,04 Permukiman , ,61 Pertambangan ,31 0,00 Kws. Pelabuhan ,00 0,00 Ketersediaan lahan budidaya eksisting dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Sumatera Selatan yang dimiliki oleh 71

29 Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Kabupaten Banyuasin relatif memilik kapasitas yang mampu berkontribusi terhadap menurunnya tingkat disparitas di Provinsi Sumatera Selatan. Potensi lahan budidaya, terutama pertanian lahan basah dan perkebunan (Tabel 14), memerlukan prioritas dalam melaksanakan pembangunan di wilayah pesisir Provinsi Sumatera Selatan yang berbasis terhadap sektor-sektor unggulan yang dimiliki oleh kabupaten tersebut. 5.5 Prioritas Pembangunan Wilayah Pesisir Sumatera Selatan Berdasarkan Persepsi Aparatur Pemerintah Daerah Prioritas pembangunan pembangunan wilayah pesisir di Provinsi Sumatera Selatan dengan menggunakan metode AHP (Analytical Hierachy Process) sehingga prioritas yang dihasilkan akan bersifat konsisten dengan teori, logis, dan transparan. Dengan tuntutan yang semakin tinggi berkaitan dengan transparansi, AHP akan sangat cocok digunakan untuk penyusunan prioritas kebijakan publik berdasarkan persepsi masing-masing aparatur pemerintah daerah, yakni Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, Pemerintah Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Pemerintah Kabupaten Banyuasin. Hasil perbandingan berpasangan terhadap ketiga kriteria yang digunakan menghasilkan bobot prioritas tertinggi pada kriteria infrastruktur wilayah sebesar 0,460 terhadap tujuan, selanjutnya berturut-turut 0,355 untuk kriteria kesejahteraan masyarakat dan 0,186 untuk pendapatan wilayah (Gambar 17). Hasil tersebut menunjukkan bahwa menurut penilaian kumulatif dari para responden (expert judgement), dalam pembangunan wilayah pesisir di Provinsi Sumatera Selatan, aspek infrastruktur wilayah merupakan aspek utama (prioritas pertama) yang harus diperhatikan. Gambar 17. Diagram Bobot Prioritas Kriteria Terhadap Pembangunan Wilayah Pesisir di Provinsi Sumatera Selatan. Selanjutnya berturut-turut aspek kesejahteraan masyarakat (prioritas ke-2) dan pendapatan wilayah (prioritas ke-3). Kecilnya nilai inkonsistensi (< 0,1) yang 72

30 menunjukkan bahwa pengisian skala perbandingan berpasangan antar kriteria yang dilakukan oleh responden telah memenuhi syarat dan konsisten. Berdasarkan penilaian aspek pendapatan wilayah yang dipertimbangkan dalam pembangunan di wilayah pesisir Sumatera Selatan, sektor unggulan yang dipilih sebagai prioritas pertama adalah sektor pertanian dengan bobot prioritas sebesar 0,396. Kemudian berturut-turut diikuti prioritas ke-2 dan seterusnya oleh sektor pengolahan, perdagangan, hotel dan restoran, jasa-jasa dan bangunan (Gambar 18). Nilai inkonsistensi (0,02) juga menunjukkan pengisian skala perbandingan berpasangan antar sektor unggulan yang dilakukan oleh responden telah memenuhi syarat dan konsisten. Hasil tersebut menunjukkan bahwa menurut penilaian para responden, berdasarkan aspek pendapatan wilayah (PDRB), pembangunan di wilayah pesisir sektor unggulan yang dipilih adalah sektor pertanian. Hal tersebut dapat dimaklumi karena responden umumnya memahami bahwa sektor pertanian merupakan aktivitas perekonomian primer di Sumatera Selatan dan ketersediaan lahannya masih memiliki potensi untuk dikembangkan. Sektor pertanian mampu berkontribusi terhadap pendapatan domestik wilayah pesisir walaupun pada kenyataannya, sektor pertambangan dengan migas relatif lebih dipertimbangkan oleh pemerintah daerah yang memiliki kecenderungan memilih sektor ini karena masih dianggap sebagai penyumbang pendapatan daerah terbesar di Sumatera Selatan. Gambar 18. Diagram Bobot Prioritas Pembangunan di Wilayah Pesisir Untuk Sektor Unggulan Berdasarkan Pendapatan Wilayah. Analisis prioritas pembangunan wilayah pesisir untuk jenis sektor-sektor perekonomian unggulan berdasarkan aspek infrastruktur wilayah yang dipertimbangkan menghasilkan sektor industri pengolahan sebagai sektor unggulan yang memperoleh prioritas pertama dengan bobot prioritas sebesar 73

31 0,357. Kemudian berturut-turut diikuti prioritas ke-2 dan seterusnya oleh sektor pertanian, bangunan, perdagangan, hotel dan restoran serta jasa-jasa (Gambar 19). Nilai inkonsistensi (0,01) juga menunjukkan pengisian skala perbandingan berpasangan antar sektor unggulan yang dilakukan oleh responden telah memenuhi syarat dan konsisten. Hasil tersebut menunjukkan bahwa menurut penilaian para responden yang berdasarkan aspek infrastruktur wilayah (jalan dan fasilitas), sektor industri pengolahan memerlukan kegiatan pembangunan infrastruktur yang paling diutamakan di wilayah pesisir karena selain mampu meningkatkan aksesibilitas distribusi dari lokasi produksi ke lokasi industri dan pemasaran sekaligus memperbaiki dan memperbanyak fasilitas-fasilitas penunjang guna mempercepat proses-proses hasil produk olahan. Gambar 19. Diagram Bobot Prioritas Pembangunan di Wilayah Pesisir Untuk Sektor Unggulan Berdasarkan Aspek Infrastruktur Wilayah. Selanjutnya, analisis prioritas pembangunan wilayah pesisir untuk jenis sektor-sektor perekonomian unggulan berdasarkan aspek kesejahteraan masyarakat yang dipertimbangkan menghasilkan sektor pertanian sebagai prioritas pertama dengan bobot prioritas sebesar 0,368. Kemudian berturut-turut diikuti prioritas ke-2 dan seterusnya oleh sektor industri pengolahan, perdagangan, hotel dan restoran, jasa-jasa dan bangunan (Gambar 20). Nilai inkonsistensi (0,01) juga menunjukkan pengisian skala perbandingan berpasangan antar sektor unggulan yang dilakukan oleh responden telah memenuhi syarat dan konsisten. Hasil tersebut menunjukkan bahwa menurut penilaian para responden, berdasarkan aspek kesejahteraan masyarakat (tenaga kerja dan pendapatan), pembangunan dan pengembangan sektor pertanian di wilayah pesisir merupakan sektor unggulan paling baik untuk dilakukan. Hal ini disebabkan oleh 74

32 banyaknya jumlah tenaga kerja yang sangat dibutuhkan pada sektor pertanian namun tidak banyak memerlukan tingkat keterampilan yang tinggi. Selain itu, sektor pertanian dinilai mampu meningkatkan pendapatan masyarakat dalam skala rumah tangga karena tidak memerlukan input modal yang terlalu besar. Gambar 20. Diagram Bobot Prioritas Pembangunan di Wilayah Pesisir Untuk Sektor Unggulan Berdasarkan Aspek Kesejahteraan Masyarakat Apabila ditinjau dari keseluruhan aspek/kriteria yang dipertimbangkan dalam pembangunan di wilayah pesisir Sumatera Selatan, ternyata pembangunan untuk sektor industri pengolahan merupakan prioritas pertama dengan bobot kumulatif keseluruhan aspek sebesar 0,349. Selanjutnya berturutturut diikuti sektor pertanian, perdagangan, hotel dan restoran, bangunan dan jasa-jasa (Gambar 21). Hasil tersebut menunjukkan bahwa berdasarkan dari keseluruhan aspek baik aspek pendapatan wilayah (PDRB), infrastruktur wilayah (jalan dan fasilitas), dan kesejahteraan masyarakat (penyerapan tenaga kerja dan pendapatan) maka pengembangan aktivitas sektor industri pengolahan merupakan prioritas pembangunan utama di wilayah pesisir Sumatera Selatan. Gambar 21. Diagram Bobot Prioritas Pembangunan di Wilayah Pesisir Untuk Sektor Unggulan Berdasarkan Keseluruhan Aspek. 75

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang desentralisasi membuka peluang bagi daerah untuk dapat secara lebih baik dan bijaksana memanfaatkan potensi yang ada bagi peningkatan kesejahteraan dan kualitas

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Identifikasi Sektor-Sektor Basis di Provinsi Kepulauan Riau Struktur ekonomi suatu daerah sangat ditentukan oleh besarnya peranan sektor-sektor perekonomian dalam memproduksi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Wilayah Perkembangan wilayah merupakan salah satu aspek yang penting dalam pelaksanaan pembangunan. Tujuannya antara lain untuk memacu perkembangan sosial ekonomi dan

Lebih terperinci

Sumatera Selatan. Jembatan Ampera

Sumatera Selatan. Jembatan Ampera Laporan Provinsi 169 Sumatera Selatan Jembatan Ampera Jembatan Ampera adalah sebuah jembatan di Palembang, Provinsi Sumatera Selatan, Indonesia. Jembatan Ampera, yang telah menjadi semacam lambang kota,

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN IPM 6.1 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA. Berdasarkan perhitungan dari keempat variabel yaitu:

PERKEMBANGAN IPM 6.1 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA. Berdasarkan perhitungan dari keempat variabel yaitu: PERKEMBANGAN IPM Angka IPM Kabupaten OKU Selatan dari tahun ke tahun terus meningkat. Akan tetapi karena nilai percepatan capaian (reduksi shortfall) setiap tahunnya kecil maka pada tahun 2011 peringkat

Lebih terperinci

BAB V PERBANDINGAN REGIONAL

BAB V PERBANDINGAN REGIONAL BAB V PERBANDINGAN REGIONAL 47 Analisis perbandingan PDRB Kabupaten Empat Lawang dengan kabupaten/ kota lain yang ada di wilayah Sumatera Selatan ini difokuskan dengan menggunakan teknik analisis Tipologi

Lebih terperinci

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

V. HASIL DAN PEMBAHASAN 71 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Analisis Ketimpangan dan Tingkat Perkembangan Wilayah Adanya ketimpangan (disparitas) pembangunan antarwilayah di Indonesia salah satunya ditandai dengan adanya wilayah-wilayah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi dalam proses pertumbuhan ekonomi tersebut. Salah satu indikasi yang

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi dalam proses pertumbuhan ekonomi tersebut. Salah satu indikasi yang 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Pertumbuhan ekonomi merupakan aspek indikasi dari pembangunan ekonomi dalam proses pertumbuhan ekonomi tersebut. Salah satu indikasi yang digerakkan oleh para

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih

BAB I PENDAHULUAN. suatu sistem negara kesatuan. Tuntutan desentralisasi atau otonomi yang lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Otonomi daerah memiliki kaitan erat dengan demokratisasi pemerintahan di tingkat daerah. Agar demokrasi dapat terwujud, maka daerah harus memiliki kewenangan yang lebih

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan sebagai perangkat yang saling berkaitan dalam

I.PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan sebagai perangkat yang saling berkaitan dalam I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan sebagai perangkat yang saling berkaitan dalam struktur perekonomian yang diperlukan bagi terciptanya pertumbuhan yang terus menerus. Pembangunan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki kontribusi terhadap pembangunan terutama di daerah, salah satunya di Provinsi Jawa Barat. Pembangunan ekonomi daerah erat kaitannya dengan industrialisasi

Lebih terperinci

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan

I.PENDAHULUAN. Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan I.PENDAHULUAN A.Latar Belakang Pembangunan di negara-negara berkembang lebih ditekankan pada pembangunan ekonomi, hal ini disebabkan karena terjadinya keterbelakangan ekonomi. Pembangunan di bidang ekonomi

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya;

BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH. 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; BAB II KERANGKA EKONOMI MAKRO DAERAH 2.1 Perkembangan indikator ekonomi makro daerah pada tahun sebelumnya; A. Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan salah satu indikator yang

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Reformasi membawa perubahan-perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di Indonesia, reformasi di bidang keuangan dimulai dengan berlakukanya Undang-undang

Lebih terperinci

BUKU SAKU KINERJA PEMBANGUNAN PROVINSI SUMATERA SELATAN

BUKU SAKU KINERJA PEMBANGUNAN PROVINSI SUMATERA SELATAN BUKU SAKU KINERJA PEMBANGUNAN PROVINSI SUMATERA SELATAN Daftar Isi A. Fiskal... B. Program Prioritas Tahun 2017 dan 2018... C. Proyek Strategis Nasional Sumatera Selaan... D. Capaian Kinerja Tahun 2016,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai suatu bangsa dan negara besar dengan pemilikan sumber daya alam yang melimpah, dalam pembangunan ekonomi yang merupakan bagian dari pembangunan nasional

Lebih terperinci

Keadaan Ketenagakerjaan Agustus 2017 Provinsi Sumatera Selatan

Keadaan Ketenagakerjaan Agustus 2017 Provinsi Sumatera Selatan Keadaan Ketenagakerjaan Agustus 2017 Provinsi Sumatera Selatan No. 63/11/16Th. XIX, 6 November 2017 BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI SUMATERA SELATAN Keadaan Ketenagakerjaan Agustus 2017 Provinsi Sumatera

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut. Masalah pokok dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan ekonomi dalam wilayah tersebut. Masalah pokok dalam pembangunan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses di mana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola setiap sumberdaya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan

Lebih terperinci

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM DAN DANA ALOKASI KHUSUS TERHADAP ALOKASI BELANJA DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN PERIODE

PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM DAN DANA ALOKASI KHUSUS TERHADAP ALOKASI BELANJA DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN PERIODE PENGARUH PENDAPATAN ASLI DAERAH, DANA ALOKASI UMUM DAN DANA ALOKASI KHUSUS TERHADAP ALOKASI BELANJA DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN PERIODE 2009-2011 Gomgom Arthur Simamora / 26209168 Pembimbing: Dr.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada, dengan menjalin pola-pola kemitraan

Lebih terperinci

Dr. EDWARD Saleh FORUM DAS SUMATERA SELATAN 2013

Dr. EDWARD Saleh FORUM DAS SUMATERA SELATAN 2013 Disampaikan pada Seminar Nasional dan Kongres VIII MKTI Di Palembang 5-7 November 2013 Dr. EDWARD Saleh FORUM DAS SUMATERA SELATAN 2013 Permasalahan Pengelolaan SDA Sampah Pencemaran Banjir Kependudukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan. swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang

BAB I PENDAHULUAN. dan masyarakatnya mengelola sumberdaya-sumberdaya yang ada dan. swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang Analisis struktur perekonomian kota Depok sebelum dan sesudah otonomi daerah UNIVERSITAS SEBELAS MARET Oleh: HARRY KISWANTO NIM F0104064 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan daerah merupakan

Lebih terperinci

Tipologi Wilayah Hasil Pendataan Potensi Desa (Podes) 2014 Sumatera Selatan

Tipologi Wilayah Hasil Pendataan Potensi Desa (Podes) 2014 Sumatera Selatan BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No.15/02/16/Th. XVII, 16 Februari 2015 Tipologi Wilayah Hasil Pendataan Potensi Desa (Podes) 2014 Sumatera Selatan Pendataan Potensi Desa (Podes) dilaksanakan 3 kali dalam

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2016

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2016 BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No. 29/05/16/Th.XIX, 5 Mei 2017 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2016 IPM Sumatera Selatan Tahun 2016 Pembangunan manusia di Sumatera Selatan pada tahun 2016 terus mengalami

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Penerapan desentralisasi di Indonesia sejak tahun 1998 menuntut daerah untuk mampu mengoptimalkan potensi yang dimiliki secara arif dan bijaksana agar peningkatan kesejahteraan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tujuan pembangunan suatu daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Kerangka kebijakan pembangunan suatu daerah sangat tergantung pada permasalahan dan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010.

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Faktor-faktor yang..., Yagi Sofiagy, FE UI, 2010. 1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan masyarakat, memperluas lapangan pekerjaan, meratakan pembagian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan Jangka Panjang tahun merupakan kelanjutan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan Jangka Panjang tahun 2005 2025 merupakan kelanjutan perencanaan dari tahap pembangunan sebelumnya untuk mempercepat capaian tujuan pembangunan sebagaimana

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pembangunan harus dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap-sikap masyarakat, dan institusi-institusi

Lebih terperinci

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi

BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU. Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi BAB IV GAMBARAN UMUM KABUPATEN MALINAU Kabupaten Malinau terletak di bagian utara sebelah barat Provinsi Kalimantan Timur dan berbatasan langsung dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Kabupaten Malinau

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. membentuk kerja sama antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk

BAB I PENDAHULUAN. membentuk kerja sama antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah merupakan suatu proses dimana pemerintah daerah dam masyarakatnya mengelola sumber daya yang ada dan membentuk kerja sama antara pemerintah

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah 35 IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN A. Keadaan Umum Provinsi Lampung Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah Provinsi Lampung adalah 3,46 juta km 2 (1,81 persen dari

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi menjadi prioritas utama bagi negara-negara

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi menjadi prioritas utama bagi negara-negara BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan ekonomi menjadi prioritas utama bagi negara-negara berkembang hal ini disebabkan karena terjadinya keterbelakangan ekonomi yang mengakibatkan lambatnya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan

I. PENDAHULUAN. yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Secara umum pembangunan ekonomi di definisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP perkapita (Gross National Product) atau pendapatan masyarakat meningkat dalam periode

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH

BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Nilai (Rp) BAB II KERANGKA EKONOMI DAERAH Penyusunan kerangka ekonomi daerah dalam RKPD ditujukan untuk memberikan gambaran kondisi perekonomian daerah Kabupaten Lebak pada tahun 2006, perkiraan kondisi

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Pusat Statistik Provinsi Lampung ( time series ) pada jangka waktu 6 tahun. terakhir yakni pada tahun 2006 hingga tahun 2007.

III. METODE PENELITIAN. Pusat Statistik Provinsi Lampung ( time series ) pada jangka waktu 6 tahun. terakhir yakni pada tahun 2006 hingga tahun 2007. 31 III. METODE PENELITIAN A. Jenis dan Sumber Data Data yang diperlukan dalam penelitian ini seluruhnya adalah data sekunder. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang diterbitkan oleh

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. ini adalah wilayah penelitian Kota Bandar Lampung dengan wilayah. arah tersedianya pemenuhan kebutuhan masyarakat.

III. METODOLOGI PENELITIAN. ini adalah wilayah penelitian Kota Bandar Lampung dengan wilayah. arah tersedianya pemenuhan kebutuhan masyarakat. 43 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Konsep dasar dan Defenisi Operasional Konsep dasar dan defenisi operasional dalam penelitian ini mencakup semua pengertian yang digunakan dalam memperoleh dan menganalisa

Lebih terperinci

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI UTARA DARI SISI PDRB SEKTORAL TAHUN 2013

PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI UTARA DARI SISI PDRB SEKTORAL TAHUN 2013 BPS KABUPATEN TAPANULI UTARA No. 08/07/1205/Th. VI, 06 Oktober 2014 PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN TAPANULI UTARA DARI SISI PDRB SEKTORAL TAHUN 2013 Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Tapanuli Utara yang diukur

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Manusia merupakan kekayaan bangsa dan sekaligus sebagai modal dasar

I. PENDAHULUAN. Manusia merupakan kekayaan bangsa dan sekaligus sebagai modal dasar I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia merupakan kekayaan bangsa dan sekaligus sebagai modal dasar pembangunan. Tujuan dari pembangunan adalah menciptakan lingkungan yang memungkinkan bagi rakyat untuk

Lebih terperinci

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor VI. HASIL DAN PEMBAHASAN 6.1. Peranan Sektor Agroindustri Terhadap Perekonomian Kota Bogor Alat analisis Input-Output (I-O) merupakan salah satu instrumen yang secara komprehensif dapat digunakan untuk

Lebih terperinci

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015

INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 BPS PROVINSI SUMATERA SELATAN No. 39/07/16/Th.XVII, 1 Juli 2016 INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) TAHUN 2015 IPM Sumatera Selatan Tahun 2015 Pembangunan manusia di Sumatera Selatan pada tahun 2015 terus

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur Hirarki Wilayah

HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur Hirarki Wilayah HASIL DAN PEMBAHASAN Struktur Hirarki Wilayah Melalui analisis skalogram akan diperoleh gambaran karakteristik perkembangan suatu wilayah, yaitu dengan menentukan struktur pusat-pusat pelayanan berdasarkan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun

I. PENDAHULUAN. Distribusi Persentase PDRB Kota Bogor Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Bogor merupakan sebuah kota yang berada di Provinsi Jawa Barat. Kedudukan Kota Bogor yang terletak di antara wilayah Kabupaten Bogor dan dekat dengan Ibukota Negara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. rakyat. Pembangunan merupakan pelaksanaan dari cita-cita luhur bangsa. desentralisasi dalam pembangunan daerah dengan memberikan

BAB I PENDAHULUAN. rakyat. Pembangunan merupakan pelaksanaan dari cita-cita luhur bangsa. desentralisasi dalam pembangunan daerah dengan memberikan digilib.uns.ac.id BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan merupakan usaha untuk menciptakan kesejahteraan rakyat. Sebagai wujud peningkatan kesejahteraan lahir dan batin secara adil dan

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 20 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan pada awalnya ditujukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita, dengan asumsi pada saat pertumbuhan dan pendapatan perkapita tinggi,

Lebih terperinci

POLA PEMBIAYAAN PROGRAM PEMBERANTASAN PENYAKIT MENULAR DI DINAS KESEHATAN KAB/KOTA PROPINSI SUMATERA SELATAN

POLA PEMBIAYAAN PROGRAM PEMBERANTASAN PENYAKIT MENULAR DI DINAS KESEHATAN KAB/KOTA PROPINSI SUMATERA SELATAN POLA PEMBIAYAAN PROGRAM PEMBERANTASAN PENYAKIT MENULAR DI DINAS KESEHATAN KAB/KOTA PROPINSI SUMATERA SELATAN Oleh : Misnaniarti, SKM, MKM UNIVERSITAS SRIWIJAYA FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT Halaman: 1

Lebih terperinci

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN ii iii iv PENDAHULUAN Latar Belakang... 1 Perumusan Masalah... 4 Tujuan Penelitian... 9 Pengertian dan Ruang Lingkup Penelitian... 9 Manfaat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. manfaatnya. Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan ekonomi selain

BAB I PENDAHULUAN. manfaatnya. Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan ekonomi selain BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perencanaan Pembangunan nasional diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya sehingga tercapainya kehidupan yang makmur dan berkeadilan. Perencanaan Pembangunan

Lebih terperinci

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Usaha ini

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Usaha ini BAB I PENGANTAR 1.1 Latar Belakang Pada hakekatnya, pembangunan ekonomi adalah serangkaian usaha dan kebijakan yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat. Usaha ini ditujukkan melalui memperluas

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki kekayaan sumberdaya ekonomi melimpah. Kekayaan sumberdaya ekonomi ini telah dimanfaatkan

Lebih terperinci

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007

BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 BAB IV KONDISI PEREKONOMIAN JAWA BARAT TAHUN 2007 4.1. Gambaran Umum awa Barat adalah provinsi dengan wilayah yang sangat luas dengan jumlah penduduk sangat besar yakni sekitar 40 Juta orang. Dengan posisi

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Pada dasarnya pembangunan ekonomi ditujukan untuk mengatasi kemiskinan, penggangguran, dan ketimpangan. Sehingga dapat terwujudnya masyarakat yang sejahtera, makmur,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih dikenal dengan istilah otonomi daerah sebagai salah satu wujud perubahan fundamental terhadap

Lebih terperinci

2.2 EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN RKPD SAMPAI DENGAN TAHUN 2013 DAN REALISASI RPJMD

2.2 EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN RKPD SAMPAI DENGAN TAHUN 2013 DAN REALISASI RPJMD 143 2.2 EVALUASI PELAKSANAAN PROGRAM DAN KEGIATAN RKPD SAMPAI DENGAN TAHUN 2013 DAN REALISASI RPJMD 2.2.1 Evaluasi Indikator Kinerja Utama Pembangunan Daerah Kinerja pembangunan Jawa Timur tahun 2013 diukur

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat

BAB I PENDAHULUAN. produktivitas (Irawan dan Suparmoko 2002: 5). pusat. Pemanfaatan sumber daya sendiri perlu dioptimalkan agar dapat 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan laju dari pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh suatu negara untuk memperkuat proses perekonomian menuju perubahan yang diupayakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi antar wilayah BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Ketimpangan Ekonomi Antar Wilayah Ketimpangan ekonomi antar wilayah merupaka ketidakseimbangan pertumbuhan ekonomi di suatu wilayah. Ketimpangan ekonomi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia ( Sadono Sukirno, 1996:33). Pembangunan ekonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia ( Sadono Sukirno, 1996:33). Pembangunan ekonomi daerah BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pembangunan ekonomi adalah suatu usaha untuk meningkatkan pendapatan perkapita dengan cara mengolah kekuatan ekonomi potensial menjadi ekonomi riil melalui

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara

I. PENDAHULUAN. perkembangan suatu perekonomian dari suatu periode ke periode. berikutnya. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian suatu negara dalam jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi mengukur prestasi dari perkembangan suatu perekonomian dari

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi masayarakat industri.

I. PENDAHULUAN. keberlanjutan pembangunan dari masyarakat agraris menjadi masayarakat industri. I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada hakekatnya pembangunan ekonomi mempunyai empat dimensi pokok yaitu pertumbuhan, penanggulangan kemiskinan, perubahan atau transformasi ekonomi dan keberlanjutan pembangunan

Lebih terperinci

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 4.1 Kondisi Umum Provinsi Sumatera Selatan Wilayah Provinsi Sumatera Selatan merupakan suatu wilayah bagian dari Pulau Sumatera yang mempunyai luas wilayah ± 8.701.742

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam

I. PENDAHULUAN. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang penting dalam melakukan analisis tentang pembangunan ekonomi yang terjadi pada suatu negara ataupun daerah. Pertumbuhan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang

BAB I PENDAHULUAN. sosial. Selain itu pembangunan adalah rangkaian dari upaya dan proses yang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pembangunan adalah kemajuan yang diharapkan oleh setiap negara. Pembangunan adalah perubahan yang terjadi pada semua struktur ekonomi dan sosial. Selain itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian. wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian. wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Otonomi daerah merupakan suatu bentuk perwujudan pendelegasian wewenang dan tanggung jawab dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dimana Pemerintah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Analisis regresi menjadi salah satu bagian statistika yang paling banyak aplikasinya. Analisis regresi memberikan keleluasaan untuk menyusun model hubungan atau pengaruh

Lebih terperinci

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN

VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN VI. EVALUASI DAMPAK KEBIJAKAN ALOKASI PENGELUARAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP DEFORESTASI KAWASAN DAN DEGRADASI TNKS TAHUN 1994-2003 6.1. Hasil Validasi Kebijakan Hasil evaluasi masing-masing indikator

Lebih terperinci

BAB V PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Sektor Ekonomi Unggulan Kabupaten Malinau

BAB V PEMBAHASAN. 5.1 Analisis Sektor Ekonomi Unggulan Kabupaten Malinau BAB V PEMBAHASAN 5.1 Analisis Sektor Ekonomi Unggulan Kabupaten Malinau Dalam mencari sektor ekonomi unggulan di Kabupaten Malinau akan digunakan indeks komposit dari nilai indeks hasil analisis-analisis

Lebih terperinci

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH

BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH BAB 3 GAMBARAN UMUM PEREKONOMIAN DAN KEUANGAN DAERAH KAB/KOTA DI JAWA TENGAH 3.1 Keadaan Geografis dan Pemerintahan Propinsi Jawa Tengah adalah salah satu propinsi yang terletak di pulau Jawa dengan luas

Lebih terperinci

PROFIL PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA di DKI JAKARTA TAHUN 2011

PROFIL PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA di DKI JAKARTA TAHUN 2011 No. 44/10/31/Th. XIV, 1 Oktober 2012 PROFIL PEREKONOMIAN KABUPATEN/KOTA di DKI JAKARTA TAHUN 2011 Laju pertumbuhan ekonomi yang diukur dari PDRB atas dasar harga konstan menunjukkan total PDRB Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan, yang dilakukan setiap negara ataupun wilayah-wilayah administrasi dibawahnya, sejatinya membutuhkan pertumbuhan, pemerataan dan keberlanjutan. Keberhasilan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bangsa Indonesia memasuki era baru tata pemerintahan sejak tahun 2001 yang ditandai dengan pelaksanaan otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ini didasarkan pada UU

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola

BAB I PENDAHULUAN. suatu proses dimana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia dikenal sebagai negara agraris dengan kekayaan hayati yang melimpah, hal ini memberikan keuntungan bagi Indonesia terhadap pembangunan perekonomian melalui

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah berorientasi pada proses. Suatu proses yang

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah berorientasi pada proses. Suatu proses yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Penelitian Pembangunan ekonomi daerah berorientasi pada proses. Suatu proses yang melibatkan pembentukan institusi baru, pembangunan industri alternatif, perbaikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. setiap negara yang ada di dunia untuk berlomba lomba meningkatkan daya

I. PENDAHULUAN. setiap negara yang ada di dunia untuk berlomba lomba meningkatkan daya I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berkembangnya perekonomian dunia pada era globalisasi seperti saat ini memacu setiap negara yang ada di dunia untuk berlomba lomba meningkatkan daya saing. Salah satu upaya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah adalah pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi di daerah adalah pertumbuhan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Proses pembangunan daerah diarahkan pada peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil-hasil pembangunan yang dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan.

Lebih terperinci

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 - IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI 4.1 Kondisi Geografis Kota Dumai merupakan salah satu dari 12 kabupaten/kota di Provinsi Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37-101 o 8'13

Lebih terperinci

BERITA RESMI STATISTIK

BERITA RESMI STATISTIK Hasil Pendaftaran (Listing) Usaha/Perusahaan Sensus Ekonomi 2016 Provinsi Sumatera Selatan No. 30/05/16/Th. XIX, 24 Mei 2017 BERITA RESMI STATISTIK PROVINSI SUMATERA SELATAN Hasil Pendaftaran (Listing)

Lebih terperinci

ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PROVINSI SUMATERA SELATAN TAHUN 2015

ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PROVINSI SUMATERA SELATAN TAHUN 2015 ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PROVINSI SUMATERA SELATAN TAHUN 2015 disampaikan oleh : Kepala Bappeda Provinsi Sumatera Selatan pada acara : KONSULTASI PUBLIK DALAM RANGKA PENYUSUNAN RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya

BAB I PENDAHULUAN. (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang menimbulkan ketimpangan dalam pembangunan (disparity) terjadi pada aspek pendapatan, spasial dan sektoral. Golongan kaya makin kaya sedangkan

Lebih terperinci

DAFTAR SAMPEL PENELITIAN

DAFTAR SAMPEL PENELITIAN Lampiran i DAFTAR SAMPEL PENELITIAN No Kabupaten/Kota Kriteria Sampel Penelitian 1 2 Sampel 1 Kab. Banyuasin Sampel 1 2 Kab. Empat Lawang Sampel 2 3 Kab. Lahat Sampel 3 4 Kab. Muara Enim - 5 Kab. Musi

Lebih terperinci

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan

4 GAMBARAN UMUM. No Jenis Penerimaan 4 GAMBARAN UMUM 4.1 Kinerja Fiskal Daerah Kinerja fiskal yang dibahas dalam penelitian ini adalah tentang penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah, yang digambarkan dalam APBD Provinsi dan Kabupaten/Kota

Lebih terperinci

BAB 4 ANALISIS PENENTUAN SEKTOR EKONOMI UNGGULAN KABUPATEN KUNINGAN

BAB 4 ANALISIS PENENTUAN SEKTOR EKONOMI UNGGULAN KABUPATEN KUNINGAN 164 BAB 4 ANALISIS PENENTUAN SEKTOR EKONOMI UNGGULAN KABUPATEN KUNINGAN Adanya keterbatasan dalam pembangunan baik keterbatasan sumber daya maupun dana merupakan alasan pentingnya dalam penentuan sektor

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Karakteristik potensi wilayah baik yang bersifat alami maupun buatan, merupakan salah satu unsur yang perlu diperhatikan dalam proses perencanaan pembangunan. Pemahaman

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan indikator ekonomi makro yang dapat digunakan untuk melihat tingkat keberhasilan pembangunan ekonomi suatu daerah. Laju pertumbuhan ekonomi Kabupaten Majalengka

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan bidang pertambangan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, sehingga pembangunan bidang pertambangan merupakan tanggung jawab bersama. Oleh karenanya

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketimpangan Pembangunan Wilayah

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketimpangan Pembangunan Wilayah 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketimpangan Pembangunan Wilayah Beberapa faktor penyebab ketimpangan pembangunan antar wilayah sebagaimana yang dikemukakan Murty (2000), diantaranya adalah : 1. Faktor Geografis,

Lebih terperinci

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA

BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA BAB II PERAN KOPERASI DAN USAHA KECIL DAN MENENGAH DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL A. STRUKTUR PEREKONOMIAN INDONESIA Ekonomi rakyat merupakan kelompok pelaku ekonomi terbesar dalam perekonomian Indonesia dan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu daerah pada periode

Lebih terperinci

PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN PROVINSI SUMATERA SELATAN 2014

PERKEMBANGAN PEMBANGUNAN PROVINSI SUMATERA SELATAN 2014 OUTLINE ANALISIS PROVINSI 1. Perkembangan Indikator Utama 1.1 Pertumbuhan Ekonomi 1.2 Pengurangan Pengangguran 1.3 Pengurangan Kemiskinan 2. Kinerja Pembangunan Kota/ Kabupaten 2.1 Pertumbuhan Ekonomi

Lebih terperinci

9.1. Analisis LQ Sektor Jembrana Terhadap Sektor Propinsi Bali

9.1. Analisis LQ Sektor Jembrana Terhadap Sektor Propinsi Bali 9.1. Analisis LQ Sektor Jembrana Terhadap Sektor Propinsi Bali A nalisis LQ menunjukkan potensi dari tempat terkait dengan kondisi kekayaan yang ada di wilayah tersebut. LQ berguna untuk melihat spesialisasi

Lebih terperinci

BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN BAB 5 ANALISIS DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini, dilakukan beberapa macam analisis, yaitu analisis angka pengganda, analisis keterkaitan antar sektor, dan analisis dampak pengeluaran pemerintah terhadap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses saat pemerintah daerah dan masyarakat mengelola sumber daya yang ada dan selanjutnya membentuk suatu pola kemitraan antara

Lebih terperinci

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

IV. KONDISI UMUM WILAYAH 29 IV. KONDISI UMUM WILAYAH 4.1 Kondisi Geografis dan Administrasi Jawa Barat secara geografis terletak di antara 5 50-7 50 LS dan 104 48-104 48 BT dengan batas-batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan

Lebih terperinci

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012

BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012 BAB. IV KONDISI PEREKONOMIAN KAB. SUBANG TAHUN 2012 4.1.Gambaran Umum Geliat pembangunan di Kabupaten Subang terus berkembang di semua sektor. Kemudahan investor dalam menanamkan modalnya di Kabupaten

Lebih terperinci

PROFIL KABUPATEN / KOTA

PROFIL KABUPATEN / KOTA PROFIL KABUPATEN / KOTA KOTA PRABUMULIH SUMATERA SELATAN KOTA PRABUMULIH ADMINISTRASI Profil Wilayah Terdapat dua faktor yang menjadikan Kota Prabumulih strategis secara ekonomi yaitu : Persimpangan jalan

Lebih terperinci

V. ANALISIS SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN KARIMUN

V. ANALISIS SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN KARIMUN V. ANALISIS SEKTOR-SEKTOR PEREKONOMIAN DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH KABUPATEN KARIMUN Pembangunan perekonomian suatu wilayah tentunya tidak terlepas dari kontribusi dan peran setiap sektor yang menyusun perekonomian

Lebih terperinci

BAB V PENUTUP. Sebagai daerah yang miskin dengan sumber daya alam, desentralisasi

BAB V PENUTUP. Sebagai daerah yang miskin dengan sumber daya alam, desentralisasi BAB V PENUTUP Sebagai daerah yang miskin dengan sumber daya alam, desentralisasi fiskal secara umum terlihat sangat membebani neraca keuangan dan pembangunan Kabupaten/Kota se Provinsi Sumatera Barat.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka

I. PENDAHULUAN. Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasional dalam rangka pencapaian tujuan dan sasaran pembangunan yang disesuaikan dengan potensi dan permasalahan pembangunan

Lebih terperinci

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013

PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 PRODUK DOMESTIK REGIONAL BRUTO KABUPATEN YAHUKIMO, TAHUN 2013 Nomor Katalog : 9302001.9416 Ukuran Buku : 14,80 cm x 21,00 cm Jumlah Halaman

Lebih terperinci

BAB II KERANGKA TEORI DAN KONSEP. pendapatan perkapita riil penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka

BAB II KERANGKA TEORI DAN KONSEP. pendapatan perkapita riil penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka BAB II KERANGKA TEORI DAN KONSEP 2.1.Pembangunan Ekonomi Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang menyebabkan pendapatan perkapita riil penduduk suatu masyarakat meningkat dalam jangka panjang (Sukirno

Lebih terperinci