BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut data Korlantas POLRI pada tahun 2012 tercatat kendaraan bermotor

Transkripsi

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Laju pertambahan jumlah kendaraan bermotor di Indonesia kian hari kian pesat. Menurut data Korlantas POLRI pada tahun 2012 tercatat kendaraan bermotor yang terdiri dari mobil penumpang (passanger cars), mobil beban (truck), bus, sepeda motor, dan kendaraan khusus. Jumlah tersebut meningkat jika dibandingkan jumlah kendaraan motor pada tahun 2011 yang mencapai Hampir 90% dari jumlah total kendaraan bermotor tersebut adalah sepeda motor (Statistik Perhubungan, 2012) Jumlah sepeda motor yang kian meningkat di berbagai negara berkembang seperti Indonesia dikarenakan sepeda motor dianggap dapat memenuhi kebutuhan masyarakat ekonomi menengah ke bawah, di samping keunggulan bermanuver di sela-sela kemacetan, sepeda motor juga memberikan efisiensi dalam biaya perjalanan (Pernamawati dkk, 2010). Apalagi pada zaman sekarang ini, untuk memiliki motor bukanlah perkara yang sulit, mengingat mudahnya prosedur kredit motor dengan uang muka terjangkau bahkan tanpa uang muka sekalipun. Berbagai kemudahan yang ditawarkan sepeda motor tidak berarti tanpa dampak negatif bagi penggunanya maupun bagi lingkungan. Tingginya jumlah sepeda motor meningkatkan penggunaan BBM yang memicu peningkatan polusi udara. Sumber terbesar polusi udara di bumi adalah dari kendaraan bermotor, dan polutan yang dikeluarkan oleh kendaraan biasanya dikelompokkan sebagai hidrokarbon, nitrogen oksida, dan karbon monoksida yang juga membahayakan kesehatan manusia (Astra, 2010). Selain dapat 1

2 2 meningkatkan polusi yang sangat merugikan lingkungan, risiko kecelakaan lalu lintas bagi para pengendara sepeda motor pun semakin besar. Kapolri Jenderal Polisi Sutarman menuturkan sepanjang 2013, kecelakaan lalu lintas mencapai kasus, turun 20,66 persen dibanding tahun sebelumnya yang mencapai kasus (Suara Merdeka, Desember 2013). Meskipun jumlah kecelakaan lalu lintas di Indonesia pada tahun 2013 lalu terhitung menurun dari tahun sebelumnya, jumlah kecelakaan lalu lintas di Indonesia masih tergolong tinggi. Kecelakaan lalu lintas pun didominasi oleh pengendara motor mengingat jumlah sepeda motor yang kian mengalami peningkatan. Data dari Kementerian Kesejahteraan Rakyat (Menkokesra) menyebutkan, kecelakaan pengendara sepeda motor mencapai kali atau 72% dari seluruh kecelakaan lalu lintas dalam setahun ( Maret 2013). Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang banyak diminati para pendatang dari berbagai provinsi di Indonesia. Banyaknya sekolah dan perguruan tinggi, menjadikan DIY banyak diminati masyarakat luar daerah sebagai tempat menuntut ilmu. Selain itu, berbagai objek wisata alam maupun budaya juga menjadi daya tarik para wisatawan domestik dan mancanegara untuk berkunjung ke DIY. Hal tersebut tentunya dapat memicu pesatnya laju mobilitas di DIY. Secara umum, pertumbuhan di berbagai sektor di DIY yang semakin pesat akan berdampak pada peningkatan laju mobilitas masyarakat yang mau tidak mau akan membawa masalah di sektor tansportasi. Sejumlah jalan di wilayah kota Yogyakarta yakni sekitar Gondomanan, Jalan Laksda Adisucipto hingga Jalan Jenderal Sudirman, dan sebelah barat Jembatan Gondolayu hingga sekitar Tugu Jogja dinilai semakin semrawut dan mendekati titik kritis dikarenakan meningkatnya jumlah kendaraan ( 8 Juni 2012). Tidak

3 3 hanya di kota Yogyakarta saja, keluhan kemacetan lalu lintas juga menular ke wilayah Kabupaten Sleman. Dishubkominfo Sleman mencatat akhir tahun 2013 kendaraan yang terdaftar (plat AB Sleman) sejumlah dengan peningkatan rata-rata 5 persen dari tahun sebelumnya. Jumlah tersebut tentu belum termasuk kendaraaan dari luar Sleman yang jumlahnya mencapai puluhan ribu. Sehingga tidak mengherankan jika jalanan semakin padat padahal penambahan ruas jalan dipastikan hampir nol persen tiap tahunnya ( 13 Oktober 2014). Peningkatan kasus kecelakaan lalu lintas tidak dapat terelakkan seiring bertambahnya jumlah kendaraan, tidak terkecuali di DIY. Angka kecelakaan lalu lintas di DIY tergolong cukup tinggi. Data dari Polda DIY menunjukkan jumlah kecelakaan lalu lintas di DIY tahun 2012 sebagai berikut: kejadian kecelakaan lalu lintas di wilayah Sleman tertinggi yaitu sebanyak kejadian, Bantul kejadian, Yogyakarta 678 kejadian, Gunung Kidul sebanyak 453 kejadian dan Kulon Progo 323 kejadian dengan jenis kendaraan berupa sepeda motor yang mendominasi (Badan Pusat Statistik DIY, 2013). Adapun kecelakaan yang paling banyak terjadi menimpa kelompok usia kisaran 16 sampai dengan 30 tahun seperti yang tertera pada tabel 1.

4 4 Tabel 1 Jumlah Pelaku yang Terlibat Kecelakaan Lalu Lintas menurut Kelompok Umur dan Kabupaten/Kota di D.I Yogyakarta tahun 2012 (Badan Pusat Statistik DIY, 2013) Kabupaten/Kota Kelompok Umur Jumlah 1. Kulonprogo Bantul Gunungkidul Sleman Yogyakarta DIY Kecelakaan lalu lintas di Indonesia dalam tiga tahun terakhir ini oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) dinilai menjadi pembunuh terbesar ketiga, di bawah penyakit jantung koroner dan tuberculosis/tbc. Data WHO tahun 2011 menyebutkan, sebanyak 67% korban kecelakaan lalu lintas berada pada usia produktif, yakni tahun. Terdapat sekitar korban di bawah usia 25 tahun yang meninggal di jalan raya, dengan rata-rata angka kematian anak-anak dan remaja setiap harinya. Bahkan, kecelakaan lalu lintas menjadi penyebab utama kematian anak-anak di dunia, dengan rentang usia tahun ( Maret 2013). Kelompok usia muda atau produktif menjadi korban sekaligus pelaku kecelakaan yang dominan. Data Korlantas Polri menyebutkan, pada 2013, sekitar 25% korban kecelakaan lalu lintas jalan adalah kalangan pelajar dan mahasiswa ( 17 Oktober 2014). Usia remaja termasuk faktor yang cukup mengkhawatirkan dalam kecelakaan lalu lintas, mengingat kebanyakan pengendara motor mengawali berkendara di jalan raya dengan sepeda motor pada usia remaja.

5 5 Fenomena memprihatinkan lainnya yang marak terjadi di Indonesia saat ini adalah sepeda motor banyak dikemudikan oleh pengedara di bawah umur yang belum mencapai usia 17 tahun, padahal resiko yang menimpa lebih besar karena masih dalam kondisi emosi yang belum stabil sehingga berbagai pelanggaran pun rentan terjadi. Berdasar data Polda Metro Jaya, pelanggaran oleh pengendara anak di Jakarta pada tahun 2015 sebesar pelanggar, jumlah ini meningkat sebesar 92,32% jika dibanding tahun 2014 yang hanya mencapai 9730 pelanggar ( 23 November 2016) Kondisi karakteristik emosi remaja masih sering labil, ditambah kurangnya pengetahuan tentang aturan lalu lintas menjadikan remaja semakin rawan kecelakaan lalu lintas. Zaman modern seperti sekarang ini telah banyak mengubah perilaku remaja hingga menjurus pada perilaku berisiko tinggi (risk-taking behavior) termasuk agresivitas berkendara seperti kebut-kebutan dll. Remaja menganggap dirinya telah matang, meski baru secara fisik, ingin segera bebas dan mandiri, padahal di sisi lain remaja sedang dalam masa transisi dan masih membutuhkan dukungan serta perlindungan dari orangtua. Terjadinya kecelakan dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yakni faktor manusia, faktor kendaraan, faktor jalan dan lingkungan (Ogden dalam Suraji dkk., 2010). Penyebab kecelakaan dapat dirinci lagi lebih dalam dan terkait dengan karakteristik serta perilaku pengendara. Indikator yang termasuk dalam faktor manusia antara lain kedisiplinan, keterampilan, konsentrasi, kedewasaan, kecepatan, emosi, kelelahan, pengaruh obatobatan atau narkoba serta aspek lain terkait dengan perilaku pengendara (Suraji dkk., 2010). Perilaku pengendara (driver behavior) diyakini menjadi sangat menonjol dan menyebabkan 80-90% dari seluruh tabrakan (Treat dkk., dalam Lulie 2005). Perilaku

6 6 mengemudi yang tidak aman, ugal-ugalan, liar dan cenderung agresif semakin meningkatkan risiko terjadinya kecelakaan lalu lintas. NHTSA (National Highway Traffic Safety Administration) menerangkan bahwa agresivitas saat berkendara (aggressive driving) terjadi ketika seseorang melakukan kombinasi dari gerakan melanggar aturan lalu lintas sehingga dapat membahayakan orang atau properti lainnya. Perilaku-perilaku mengemudi yang tergolong aggressive driving menurut Muhaz (2013) adalah ketika menerobos lampu merah, melewati jalur berlawanan arah, menyalip kendaraan lain secara zig-zag dll. Perilaku agresif saat berkendara begitu sering dijumpai di kalangan remaja dan anak muda. Hasil wawancara singkat pada tanggal April 2014 yang dilakukan kepada tiga orang remaja putri pengendara motor aktif masing-masing berumur 17, 18, dan 19 tahun yang merupakan pelajar SMA, dan dua lainnya adalah mahasiswa menunjukkan bahwa ketiga subjek wawancara biasa melakukan agresivitas berkendara dan terlampau sering. Menurut remaja-remaja tersebut bentuk agresivitas berkendara biasa dijumpai di jalan antara lain: kebut-kebutan, menerobos lampu merah, membelok secara tiba-tiba tanpa menghidupkan lampu sign, membunyikan klakson secara berlebihan (klakson mobil yang dipergunakan pada motor), dll. Bentuk agresivitas berkendara yang sering dilakukan ketiga subjek cenderung sama yakni mengendarai motor dengan kecepatan tinggi dan cenderung ugal-ugalan. Perilaku agresif saat berkendara tersebut dilakukan karena dorongan untuk menghemat waktu, juga karena suasana hati yang sedang tidak mengenakkan. Subjek ke- 3 juga menambahkan bahwa perilaku agresif saat berkendara dilakukan karena kebanyakan dari pengguna jalan juga melakukan hal serupa.

7 7 Hasil penelitian Perepjolkina dan Renge (2011) pada pengemudi mobil yang berumur tahun, memperlihatkan bahwa umur secara signifikan berkorelasi negatif dengan perilaku agresif saat berkendara. Kelompok pengemudi muda lebih berperilaku agresif saat berkendara dibanding kelompok pengemudi tua. Merebaknya genk motor dan konvoi para suporter bola yang kebanyakan anggotanya para remaja juga memunculkan perilaku agresif saat berkendara dan cenderung melanggar aturan lalu lintas. Hal tersebut sesuai dengan yang diungkapkan Herzberg (2009) bahwa kebanyakan pengendara agresif adalah pengemudi muda laki-laki antara usia 18 sampai 24 tahun. Perilaku agresif mengemudi tidak jarang membawa dampak buruk bagi pengemudi yakni kecelakaan lalu lintas. Berikut kutipan berita tentang salah satu kasus kecelakaan lalu lintas akibat perilaku agresif berkendara ( 22 Oktober 2014): Seorang mahasiswa Jurusan Teknologi Informasi di Universitas Madura Pamekasan, Jawa Timur, tewas dengan kondisi dahi remuk. Korban tewas setelah motor yang ditumpanginya terlibat kecelakaan, di depan Islamic Center Jalan Panglegur, Pamekasan. Mahasiswa malang tersebut bernama Rahmad Hidayat (22), warga Jalan Jokotole V Pamekasan. Kini, jenazah korban berada di RUSD setempat. Pihak keluarga langsung histeris, ketika tahu korban sudah meninggal. Kasus kecelakaan maut itu berawal ketika korban naik sepeda motor Vixion nopol M 4508 BH melaju dengan kecepatan tinggi dari arah selatan. Korban sempat menyalip beberapa kendaraan. Selain itu di Sleman, tepatnya di fly over Jombor juga pernah terjadi kecelakaan lalu lintas yang menimpa seorang pengemudi muda hingga yang perempuan yang diboncengnya terlempar ke area jalur bawah fly over. Kecelakaan terjadi karena pengemudi mengemudikan kecepatan tinggi serta melawan arus (Harian Jogja, 25 Oktober 2014) Berkendara dengan kecepatan tinggi menjadi perilaku yang sering muncul di kalangan pengemudi muda seperti yang sering dilakukan ketiga subjek yang penulis wawancarai di

8 8 atas. Penelitian Lulie dan Hatmoko (2005) juga menegaskan bahwa ada hubungan erat perilaku mengemudi secara agresif dalam memacu risiko terjadinya kecelakaan lalu lintas. Berkendara yang berisiko termasuk berkendara secara agresif adalah salah satu hal yang mungkin menyebabkan kecelakaan lalu lintas, karena itu penting untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mampu menerangkan kecenderungan berkendara dengan sikap membahayakan dan agresif yang melanggar peraturan (James & Nahl dalam Perepjolkina & Renge, 2011). Menurut Tasca (dalam Muhaz, 2013), agresivitas berkendara sendiri dipengaruhi oleh dua faktor yakni faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi kepribadian individu dan berhubungan dengan cara pemikiran, emosi, faktor fisiologis, serta otak individu yang tidak dapat lagi memproduksi sejumlah endorphin yang memberikan perasaan nyaman. Sedangkan faktor eksternal meliputi keluarga, juga lingkungan sebaya. Kecerdasan emosi erat kaitannya dengan pelaku agresi saat berkendara karena menjadi faktor internal terjadinya perilaku agresi saat berkendara. Deffenbacher dkk. (dalam Santosa dkk., 2011) juga menegaskan bahwa dalam psikologi lalu lintas, perilaku agresif mengemudi dipengaruhi oleh emosi. Kecerdasan emosi pada remaja terlihat dari bagaimana ia mampu mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi orang lain (empati) dan kemampuan untuk membina hubungan dengan orang lain (Goleman, 2006). Empati yakni kemampuan untuk mengenali emosi orang lain sebagai salah satu aspek kecerdasan emosi memerlukan dukungan dari kemampuan menerima dan kemampuan memahami orang lain baik secara afektif maupun kognitif. Kemampuan berempati pada orang lain sangat diperlukan saat berinteraksi sosial karena menurut

9 9 Hasting, kemunculan empati berguna untuk mengembangkan perilaku prososial dan juga untuk mengurangi perilaku agresif (dalam Rathus, 2014). Hal tersebut menguatkan asumsi bahwa semakin besar empati seorang remaja akan cenderung mengurangi perilaku agresi saat berkendara. Pengendara remaja yang seharusnya empatinya sudah berkembang perlu memahami bahwa pengguna jalan di sekelilingnya tidak semuanya suka berperilaku agresif di jalan, apalagi risiko dari perilaku remaja yang agresif saat berkendara tidak hanya mencelakakan diri pengemudi namun juga akan mencelakakan pengguna jalan lain. Namun, hasil wawancara pada tiga remaja yang kesehariannya mengemudi motor didapatkan bahwa ketika melakukan perilaku agresif saat berkendara mereka jarang memikirkan perasaan pengguna jalan lain dan cenderung kurang berempati. Studi tentang agresivitas berkendara adalah tren baru dalam ilmu psikologi dan ilmu perilaku di Amerika Serikat dan juga negara-negara di Eropa (Chomeya, 2010). Penelitian tentang perilaku agresif berkendara di Indonesia juga semakin bertambah. Hal tersebut terjadi seiring meningkatnya masalah di sektor transportasi. Sejumlah penelitian tentang agresivitas berkendara meneliti berbagai prediktor dari agresivitas berkendara. Beberapa penelitian melihat bagaimana amarah dapat memprediksi perilaku agresif saat berkendara, terutama di bawah kondisi frustasi (Galovski & Blanchard, 2002). Beberapa riset juga telah melihat hubungan antara agresivitas berkendara dengan berbagai perbedaan individu seperti gender, umur, pengalaman mengemudi, juga agresivitas seseorang (Perepjolkina & Renge, 2011). Salah satu penelitian terkini tentang agresivitas berkendara di Indonesia dilakukan oleh Muhaz (2013) yang memfokuskan penelitiannya pada hubungan kematangan emosi dengan

10 10 aggressive driving. Penelitian yang mengambil subjek sejumlah mahasiswa didapatkan bahwa ada hubungan negatif antara kematangan emosi dengan aggressive driving. Penulis belum menemukan penelitian terdahulu yang secara langsung meneliti hubungan perilaku agresif berkendara dengan tingkat empati seseorang sebagai salah satu aspek kematangan emosi. Pemikiran tersebut menjadi hal yang menarik untuk diteliti ketika melihat fenomena agresivitas berkendara ternyata didominasi oleh pengemudi muda khususnya para remaja dan jika dilihat kaitannya dengan empati. Apalagi jika ditinjau dari sisi perkembangan empati remaja seharusnya sudah semakin berkembang pada tahapan empati terhadap kondisi orang lain (Hoffman dalam Supeni, 2014). Berdasarkan fenomena yang ada dan temuan-temuan sebelumnya maka peneliti tertarik untuk melihat bagaimana hubungan antara empati dengan kecenderungan perilaku agresif berkendara pada remaja pengendara sepeda motor. B. Tujuan penelitian Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk membuktikan secara empiris hubungan empati dengan kecenderungan perilaku agresif berkendara pada remaja pengendara motor.

11 11 C. Manfaat Penelitian Secara garis besar penelitian ini diharapkan akan memberi manfaat dalam dua hal, yaitu: 1. Manfaat Teoritik. Penelitian ini diharapkan akan memberi sumbangan terhadap ilmu psikologi dalam bidang sosial, terutama mengenai topik aggressive driving yang semakin marak seiring meningkatnya jumlah kendaraan bermotor dan kecelakaan lalu lintas yang terjadi di Indonesia. Penelitian ini diharapkan akan menambah pemahaman mengenai perilaku agresif berkendara. Secara khusus juga menambah pengetahuan di bidang psikologi perkembangan tentang hubungan antara empati dengan kecenderungan perilaku agresif berkendara pada usia remaja. 2. Manfaat Praktis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk pihak terkait dalam menentukan langkah intervensi yang berkaitan dengan hubungan empati terhadap perilaku agresif berkendara, seperti pelatihan keterampilan empati maupun edukasi berkendara yang aman.