Bab 2 Tinjauan Pustaka

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "Bab 2 Tinjauan Pustaka"

Transkripsi

1 Bab 2 Tinjauan Pustaka 2.1 Coping Stress Definisi coping stress Lazarus dan Folkman (1984) mendefinisikan coping sebagai berikut: Constantly changing cognitive and behavioral efforts to manage specific external and/or internal demands that are appraised as taxing or exceeding the resources of the person. (p. 141) Berdasarkan pengertian di atas, coping diartikan sebagai tingkah laku dan cara pandang yang secara konstan berubah untuk mengatur tuntutan internal dan/atau eksternal spesifik yang dinilai membebani atau melebihi dari sumber daya dari seseorang. Definisi yang dijelaskan oleh Lazarus dan Folkman (1984) memberikan batasan mengenai coping, yaitu pertama bahwa coping tidak berorientasi pada trait melainkan berorientasi pada proses. Orientasi proses ini didasarkan dengan pernyataan perubahan secara konstan dan tuntutan dan konflik yang spesifik. Kedua adalah definisi tersebut menekankan perbedaan antara coping dengan tingkah laku adaptif yang otomatis dengan membatasi coping pada tuntutan yang dinilai membebani ataupun melebihi sumber daya seseorang. Maka dari itu, segala bentuk tingkah laku maupun ataupun pemikiran yang tidak membutuhkan usaha tidak termasuk sebagai coping. Ketiga adalah pernyataan bahwa coping merupakan usaha untuk mengatur yang memperjelas bahwa segala tindakan dan pemikiran seseorang dalam menghadapi situasi yang dinilai melebihi sumber daya dinilai sebagai coping, terlepas dari hasil baik atau buruknya usaha coping tersebut. Terakhir, dengan menggunakan kata manage, coping dihindarkan untuk disamakan dengan mastery atau penguasaan. Dalam hal ini manage dapat diartikan sebagai mengurangi, menghindari, menoleransi, dan menerima kondisi yang mengakibatkan stress maupun mencoba untuk menguasai lingkungannya.

2 Definisi diatas sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh Safarino & Smith (2010) bahwa coping adalah proses yang dilakukan oleh individu dalam mengatasi perbedaan yang ada antara tuntutan situasi dan sumber daya yang dimiliki. Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa coping adalah suatu proses perubahan perilaku yang secara konstan berubah untuk mangatur antara tuntutan situasi yang berlebihan dengan sumber daya yang dimiliki oleh seseorang Jenis coping stress Dalam menghadapi masalah ataupun kondisi yang mengakibatkan stress, setiap individu dapat melakukan coping yang berbeda-beda berdasarkan pada kondisi yang dihadapi. Lazarus dan Folkman (1984) membagi jenis coping berdasarkan pada kegunaannya. Jenis coping tersebut adalah: a. Problem-focused coping merupakan jenis coping melalui usaha yang menggunakan tindakan langsung untuk menyelesaikan atau mengurangi masalah yang mengakibatkan stress (Lazarus dan Folkman, 1984). Problem-focused coping mirip dengan strategi yang digunakan dalam pemecahan masalah. Usaha yang dilakukan lebih diarahkan pada mendefinisikan masalah, menghasilkan solusi alternatif, mempertimbangkan manfaat dari solusi alternatif, memilih satu dari solusi alternatif yang ada, dan menjalankan solusi tersebut. Dalam problem-focused coping ini terdapat dua orientasi dalam mengatasi masalah yaitu orientasi pada lingkungan dan orientasi pada diri sendiri. Orientasi pada lingkungan merupakan usaha dengan strategi mengubah tekanan lingkungan, hambatan, sumber, perosedur, dan lainnya. Orientasi pada diri sendiri diarahkan dengan usaha perubahan motivasi atau kognitif seperti mengurangi keterlibatan ego, mengembangkan standar perilaku baru, atau belajar keterampilan dan prosedur baru (Lazarus dan Folkman, 1984). b. Emotion-focused coping merupakan coping melalui usaha dengan cara mengontrol atau mengurangi emosi dan perasaan negatif yang muncul dari permasalahan yang mengakibatkan stress (Lazarus dan Folkman,

3 1984). Emotion-focused coping mengarahkan proses kognitif untuk mengurangi tekanan emosional dengan menggunakan strategi menghindari, meminimalisasi, menjauhi dan perhatian selektif terhadap kejadian negatif. Menurut Lazarus dan Folkman (1984), individu biasanya menggunakan emotion-focused coping untuk mempertahankan harapan dan optimisme, untuk menyangkal fakta dan implikasi dari masalah yang ada, menolak untuk mengakui yang terburuk, untuk bertindak seolah-olah apa yang terjadi tidak menjadi masalah, dan lainnya Faktor yang mempengaruhi coping stress Menurut Lazarus dan Folkman (1984), terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi coping yaitu faktor individu dan faktor situasi. Faktor individu yang mempengaruhi coping meliputi: a. Komitmen Definisi komitmen dalam faktor ini mengandung komponen kognitf yang mengarahkan pada pilihan, nilai, dan/atau tujuan. Komitmen juga menyatakan sesuatu yang penting dan berarti untuk individu. Komitmen dapat mengarahkan individu untuk melakukan tindakan tertentu dalam menghadapi keadaan stress. Selain itu, komitmen juga menentukan tingkat kerentanan terhadap stress. Semakin tinggi komitmen individu dalam area tertentu, maka akan semakin tinggi pula kerentanan individu dalam menghadapi stress dalam area tersebut. b. Keyakinan Keyakinan adalah konfigurasi kognitif dari budaya dan pembentukan pribadi. Keyakinan menentukan fakta yang diyakini dan pemahaman makna dari fakta yang ada.terdapat dua kategori keyakinan, yaitu keyakinan yang berhubungan dengan kontrol personal dan keyakinan eksistensial. Keyakinan tentang kontrol personal merupakan keyakinan individu mengenai kemampuan yang ia miliki dalam menghadapi permasalahnya. Keyakinan eksistensial merupakan keyakinan atau kepercayaan pada Tuhan, takdir, atau yang berhubungan dengan alam.

4 Keyakinan digunakan individu untuk mengevaluasi apa yang sedang terjadi. Faktor situasi yang mempengaruhi coping meliputi: a. Kebaruan atau novelty Individu yang menghadapi suatu keadaan yang baru dan tidak memiliki pengalaman keadaan yang sama sebelumnya, maka individu cenderung tidak siap dalam melakukan coping. b. Predictability Jika keadaan yang akan muncul dapat diprediksi sebelumnya atau memiliki tanda-tanda muncul yang akan mengancam, maka individu dapat mempersiapkan diri dan akan lebih kuat dalam menghadapi keadaan tersebut c. Event uncertainity Faktor ini mempengaruhi coping ketika terjadi ketidakpastian atas munculnya suatu keadaan. Ketika terjadi ketidakpastian keadaan, individu akan lebih cepat merasa stress yang akan berdampak pada proses coping yang tidak diantisipasi sebelumnya Sumber coping stress Menurut Lazarus dan Folkman (1984), dalam melakukan coping seseorang individu bergantung pada sumber daya tersedia yang dapat digunakan atau juga terdapat sumber daya yang menghambat individu dalam melakukan coping. Sumber daya tersebut, yaitu sebagai berikut: a. Kesehatan dan energi Sumber ini merupakan sumber yang paling relevan diantara semua sumber daya yang ada dalam menghadapi stress. Orang yang sakit dan kelelahan akan mengerahkan energi yang lebih sedikit untuk melakukan coping dibandingkan dengan orang yang sehat. Physical well-being memainkan peranan penting dalam menghadapi masalah dan dalam kejadian stress dituntut mobilasasi yang tinggi. b. Keyakinan positif Memandang secara positif pada diri sendiri dapat dijadikan sebagi sumber psikologis yang penting untuk melakukan coping. Keyakinan dapat

5 dijadikan sebagai dasar dari pengharapan dan hal tersebut akan menjadi penopang dalam menghadapi kondisi yang sulit. Ada beberapa keyakinan yang dapat menghambat coping. Contohnya adalah ketika seseorang yakin bahwa ia mendapat hukuman dari Tuhan, maka mereka akan menerima keadaan tersebut dan tidak berbuat apa apa untuk mengatasi permasalahannya. c. Kemampuan penyelesaian masalah Kemampuan ini meliputi kemampuan mencari informasi, menganalisis situasi dengan tujuan untuk mengidentifikasi masalah agar dapat menguraikan langkah-langkah alternatif, mempertimbangkan langkahlangkah yang akan dilakukan, memilih dan mengimplementasikan langkah yang akan diterapkan. Secara umum, kemampuan ini ditunjukkan dalam tindakan yang spesifik seperti menghadapi permasalahan tentang moral, situasi yang mendadak, dll. Kemampuan ini bersumber dari pengalaman, pengetahuan, kemampuan kognitif, dan kapasitas untuk mengontrol diri individu. d. Kemampuan sosial Kemampuan sosial merupakan sumber yang penting dalam coping karena peran fungsi sosial dalam adaptasi individu. Kemampuan ini ditujukan untuk berkomunikasi dan berperilaku dengan orang lain dalam cara yang efektif dan tepat secara sosial, kemampuan sosial juga memfasilitasi untuk berkoordinasi dengan orang lain untuk menyelesaikan masalah, meningkatkan kemungkinan untuk saling mendukung, dan memberikan individu kontrol yang lebih dalam interaksi sosial. e. Dukungan sosial Memiliki dukungan dari orang lain secara emosional, informasional dan/atau dukungan secara nyata akan menjadi sumber coping berguna dalam menghadapi situasi stress. f. Kemampuan materi Kemampuan ini merujuk pada uang dan barang & jasa yang dapat dibeli oleh uang. Individu yang memiliki sumber ekonomi yang lebih akan memiliki pilihan coping yang lebih banyak dalam segala kondisi stress.

6 2.2 Resiliensi Definisi resiliensi Newman (2005) dalam APA s Resilience Initiative mendefinisikan resiliensi sebagai berikut: Resilience is the human ability to adapt in the face of tragedy, trauma, adversity, hardship, and ongoing significant life stressor. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat didefinisikan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk beradaptasi saat menghadapi tragedi, trauma, kesulitan, dan stressor dalam hidup yang bersifat signifikan. Definisi lainnya dikemukakan oleh Hermann et al. (2011), yakni resiliensi dipahami sebagai adaptasi positif atau kemampuan untuk mempertahankan atau mendapatkan kembali kesehatan mentalnya setelah mengalami kesulitan. Herman et al. (2011) mengungkapkan bahwa resiliensi merupakan kemampuan yang proses yang dinamis dan berkembang sepanjang kehidupan manusia dan dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Connor dan Davidson (2003) mengemukakan bahwa resiliensi merupakan suatu perwujudan kualitas personal dari individu untuk dapat bangkit dan berkembang ketika menghadapi kesulitan. Connor dan Davison (2003) melakukan analisa faktor yang terkait dengan resiliensi yaitu kompetensi pribadi dan keuletan, toleransi pada pengaruh negatif dan stress, penerimaan positif pada perubahan dan hubungan yang aman, kontrol, dan pengaruh spiritual. Berdasarkan penjelasan tersebut, resiliensi dapat didefinisikan sebagai kemampuan invidu untuk beradaptasi dan bertahan dalam menghadapi pengalaman hidup yang sulit ataupun traumatis dan dapat bangkit kembali dari pengalaman sulit tersebut Faktor resiliensi Menurut Jackson dan Watkin (2004), terdapat tujuh faktor yang mempengaruhi untuk mengembangkan kemampuan resiliensi. Faktor tersebut adalah sebagai berikut: a. Emotion regulation (regulasi emosi) adalah kemampuan untuk mengatur perasaan atau emosi internal individu agar dapat tetap bertahan dengan

7 efektif walaupun berada di bawah tekanan. Orang yang resilien biasanya mengembangkan kemampuan yang membantu mereka untuk dapat mengontrol emosi, perhatian/fokus, dan perilaku mereka. b. Impulse control adalah kemampuan untuk mengatur ekspresi perilaku yang mucul dari impuls emosi dan pikiran, hal ini juga termasuk dengan kemampuan untuk menunda munculnya perasaan senang. Faktor impulse control ini berkorelasi dengan faktor emotion regulation. c. Causal analysis adalah kemampuan untuk mengidentifikasi secara akurat dari penyebab suatu kesulitan. Individu yang resilien mampu untuk keluar dari cara pemikiran yang biasa dilakukan untuk mengidentifikasi kemungkinan penyebab dan hingga solusi yang memungkinkan. d. Self-efficacy adalah perasaan bahwa keberadaan individu di dunia efektif, kepercayaan bahwa individu dapat menyelesaikan masalah dan menjadi sukses atau berhasil. Individu yang resilien percaya pada diri sendiri dan yang pada akhirnya dapat membangun percaya diri orang lain pada diri individu tersebut, serta menempatkan diri mereka pada baris yang lebih memiliki kesempatan dan sukses. e. Realistic optimism adalah kemampuan untuk tetap positif terhadap masa depan dan tetap realistis terhadap rencana masa depan tersebut. Faktor ini berhubungan dengan self-esteem, tetapi lebih memiliki hubungan sebab akibat dengan self-efficacy dan akurasi. f. Empati adalah kemampuan untuk membaca isyarat dari perilaku orang lain untuk memahami keadaan psikologis dan emosional mereka hingga dapat membangun hubungan yang lebih baik. Individu resilien dapat membaca isyarat non-verbal dari orang lain untuk membantu membangun hubungan yang lebih dalam dengan orang lain dan cenderung untuk lebih sesuai dengan keadaan emosional mereka sendiri. g. Reaching out adalah kemampuan untuk meningkatkan aspek positif dari kehidupannya dan dapat menghadapi tantangan baru & kesempatan. Perilaku ini dapat terhambat jika seseorang yang pemalu, perfectionist, dan self-handicapping.

8 2.3 Psychological Well-being Definisi psychological well-being Psychological well-being adalah realisasi dan pencapaian penuh dari potensi individu dimana individu dapat menerima segala kekurangan dan kelebihan dirinya, mandiri, mampu menjalin hubungan yang positif dengan orang lain, dapat menguasai lingkungan, memiliki tujuan dalam hidup, dan mengembangkan dirinya (Ryff, 1989). Psychological well-being merupakan well-being yang menerapkan pendekatan eudamonik yang diajukan oleh Aristoteles (Ryff, 1989). Pendekatan eudamonik merupakan pendekatan yang menekankan pada realisasi diri dan tingkat aktualisasi kemampuan individu (Ryan dan Deci, 2001). Dalam memahami psychological well-being terdapat tiga kajian teori yang dapat menjelaskan konsep tersebut. Kajian teori pertama adalah teori psikologi perkembangan, teori ini menjelaskan gambaran well-being yang berkembang sesuai dengan teori perkembangan psikososial Erikson, teori formulasi basic life tendencies oleh Buhler, dan deskripsi perubahan kepribadian oleh Neugarten. Kajian teori kedua adalah teori psikologi klinis, teori ini menjelaskan well-being yang berkaitan dengan konsep aktualisasi diri oleh Masslow, fully functioning person oleh Rogers, konsep individu oleh Jung, dan konsep kedewasaan oleh Allport. Kajian teori ketiga dijelaskan dari kesehatan mental, teori ini menjelaskan bahwa well-being adalah suatu keadaan absennya illness dari individu dan berkaitan dengan formula kriteria positif kesehatan mental oleh Jahoda, serta fungsi later life oleh Birren. Psychological well-being tidak hanya kepuasan hidup dan keseimbangan antara afek positif dan negatif namun melibatkan persepsi dari keterlibatan dengan hambatan sepanjang hidup (Keyes, Shmotkin, dan Ryff, 2002). Individu yang memiliki psychological wellbeing yang baik akan mampu menghadapi kejadian-kejadian yang terjadi di luar dirinya dan mengarahkan perilakunya sendiri untuk dapat mengembangkan potensi dirinya Dimensi psychological well-being Psychological well-being terdiri dari enam dimensi pendukung, yang masing-masing dimensi menjelaskan fungsi individu secara penuh dan positif

9 dalam menghadapi hambatan-hambatan yang dialami individu (Ryff, 1989). Dimensi-dimensi tersebut meliputi: a. Autonomy Dimensi ini menggambarkan individu yang memiliki sikap mandiri, memiliki prinsip internal dan mampu menolak tekanan sosial yang tidak sesuai dengan prinsipnya. Individu yang memiliki tingkat otonomi yang baik akan mampu mengatur tingkah laku diri sendiri, mengevaluasi diri sendiri, mandiri, dan menolak tekanan sosial dari luar. Sebaliknya individu yang tidak memiliki tingkat otonomi yang baik akan bergantung pada orang lain, cenderung bersikap konformitas terhadap tekanan sosial, meminta evaluasi dari orang lain. b. Environmental mastery Dimensi ini menggambarkan kemampuan individu untuk memilih, mengatur, atau menciptakan lingkungan kompleks agar sesuai dengan individu. Individu yang mampu mengatur lingkungan akan mampu untuk memilih dan menciptakan lingkungan sesuai dengan kebutuhan dan nilai pribadi individu, serta memanfaatkan secara maksimal sumber yang ada di lingkungan. Individu yang tidak dapat mengatur lingkungan akan mengalami kesulitan mengatur kegiatan sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah lingkungannya, dan tidak menyadari peluang yang ada di lingkungan. c. Personal growth Dimensi ini menggambarkan kemampuan potensial individu dalam mengembangkan dirinya dan keterbukaan terhadap pengalaman-pengalaman baru. Individu yang memiliki tingkat pengembangan diri yang baik akan memiliki perasaan untuk terus berkembang, merasa dirinya harus selalu bertumbuh, menyadari potensi yang dimiliki, dan mampu melihat peningkatan dirinya dari waktu ke waktu. Individu yang memiliki tingkat pengembangan diri yang kurang akan memiliki perasaan jenuh dengan hidupnya, tidak mampu mengembangkan sikap yang baru, tidak memiliki peningkatan diri, merasa dirinya terhambat dan tidak dapat berkembang.

10 d. Positive relations with others Dimensi ini menekankan adanya hubungan yang hangat, memuaskan, saling percaya, empati, dan keintiman dengan orang lain. Individu yang memiliki hubungan positif yang baik dengan orang lain ditandai dengan memiliki hubungan yang hangat, memuaskan dan saling percaya dengan orang lain, memiliki perhatian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan rasa empati, rasa sayang dan keintiman. Sebaliknya, individu yang kurang memiliki hubungan dengan orang lain ditandai dengan memiliki sedikit hubungan dekat dengan orang lain, sulit untuk bersikap hangat, tidak terbuka dan memberikan sedikit perhatian terhadap orang lain. e. Purpose in Life Dimensi ini menekankan pada pentingnya memiliki tujuan dan arah dalam hidup, serta percaya bahwa dalam hidup memiliki tujuan dan makna tersendiri. Individu yang memilliki tujuan dalam hidup maka akan memiliki target atau cita-cita dalam hidupnya dan kejadian yang terjadi dalam hidupnya memiliki makna tertentu. Sebaliknya, individu yang tidak memiliki tujuan dalam hidup tidak akan memiliki target atau cita-cita dalam hidupnya dan tidak merasa kejadian dalam hidupnya memiliki makna tertentu. f. Self acceptance Dimensi ini merupakan karakteristik utama dari kesehatan mental, aktualisasi diri, dan kematangan individu. Penerimaan diri berarti bersikap positif terhadap diri sendiri, terhadap kejadian yang telah berlalu, dan dapat menerima kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh diri sendiri. Individu yang memiliki penerimaan diri yang baik akan memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri dan menerima kekurangan dan kelebihan diri sendiri, sedangkan individu yang tidak memiliki penerimaan diri yang baik akan merasa tidak puas pada dirinya sendiri dan merasa terganggu dengan kekurangan yang dimiliki.

11 2.3.3 Faktor yang mempengaruhi psychological well-being Faktor yang mempengaruhi psychological well-being pada individu, meliputi: a. Usia Ryff (1989) dalam penelitiannya menemukakan bahwa usia menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi psychological well-being. Beberapa dimensi pada psychological well-being seperti autonomy, self acceptance, environmental mastery, positive relation of others akan meningkat sejalan dengan perkembangan usia. b. Jenis kelamin Ryff (1989); Ryff dan Singer (2002), menyatakan perbedaan jenis kelamin memberikan pengaruh pada psychological well-being seseorang dimana wanita cenderung memiliki psychologicall well-being lebih tinggi dibanding dengan laki-laki. Hal ini berkaitan dengan aktifitas sosial yang dilakukan.wanita cenderung lebih memiliki hubungan interpersonal yang lebih baik dari pada laki-laki. c. Tingkat pendidikan Ryff, Magee, Kling & Wing (1999), menyatakan tingkat pendidikan, salah satu faktor yang mempengaruhi psychological well-being. Individu yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih baik akan memiliki tingkat psychological well-being yang lebih baik pula. d. Status sosial ekonomi Ryff (1989), menyatakan bahwa faktor status sosial ekonomi menjadi sangat penting dalam peningkatan psychological well-being. Tingkat keberhasilan dalam pendidikan dan pekerjaan yang lebih baik, menunjukkan tingkat psychological well-being juga lebih baik. Ryan dan Deci (2001), menemukan bahwa status sosial ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan dan pertumbuhan pribadi. Status sosial ekonomi mempengaruhi kesejahteraaan psikologis seseorang seperti besarnya pendapatan keluarga, tingkat pendidikan, keberhasilan pekerjaan, kepemilikan materi dan status sosial di masyarakat (Pinquart & Sorenson, 2000).

12 e. Dukungan sosial Lingkungan individu terutama keluarga sangat berpengaruh pada psychological well-being seseorang. Dukungan sosial dari keluarga terdekat atau dari lingkungannya, menjadikan seseorang lebih bisa menerima, hubungan baik lebih terjaga dan hal ini dapat berpengaruh pada peningkatan psychological well-being seseorang. An dan Cooney (2006), menyatakan bahwa bimbingan dan arahan dari orang lain memiliki peran yang penting pada psychological well-being. 2.4 Remaja Pertumbuhan remaja Remaja merupakan transisi tahap perkembangan dari masa anak-anak menuju masa dewasa, perkembangan itu meliputi perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Tahap remaja dimulia pada usia 10 sampai 13 tahun dan berakhir pada 18 sampai 21 tahun. Masa remaja terbagi menjadi dua tahap yaitu early adolescence dan late adolescence. Tahap early adolescence merupakan tahap perkembangan saat memasuki sekolah menengah pertama atau sekolah menengah atas dan remaja mengalami perubahan pubertas. Tahap late adolescence merupakan tahap tahap para remaja mulai tertarik dengan bidang kerja, berkencan, dan pencarian jati diri (Santrock, 2012). Berikut adalah perubahan-perubahan yang terjadi pada remaja: 1. Perubahan fisik Perubahan fisik pada remaja dipengaruhi oleh hormon yang ditandai dengan masa pubertas. Perubahan fisik remaja dibagi menjadi dua karakteristik yaitu primary sex characteristic dan secondary sex characteristic. Primary sex characteristic ditandai dengan perubahan hormon yang menyebabkan remaja wanita mengalami ovulasi dan menstruasi, serta pada remaja pria akan memproduksi sperma. Primary sex characteristic mengindikasikan bahwa remaja telah memiliki kemampuan untuk bereproduksi. Secondary sex characteristic pada remaja wanita ditandai dengan pembesaran pada bagian payudara dan pinggang. Pada remaja pria ditandai dengan pertumbuhan testis dan penis, pelebaran pada bagian bahu, rendahnya suara.

13 Selain kedua karakteristik tersebut, baik remaja pria ataupun wanita akan mengalami peningkatan pesat pada tinggi dan berat badan. 2. Perubahan kognitif Perubahan kognitif pada remaja akan dibahas melalui teori Piaget (Santrock, 2012). Dalam teori Piaget, individu yang berusia antara 11 sampai 15 tahun sedang berada dalam tahap formal operasional. Tahap ini dikarakteristikkan dengan kemampuan untuk menggunakan konsep abstrak dan logis. Selain hal tersebut, terdapat juga sosial kognisi pada remaja. Sosial kognisi adalah cara individu mengkonseptualisasikan lingkungan sosialnya, seperti cara individu berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain. Sosial kognisi pada remaja dikenal sebagai adolescent egocentrism. Adolescent egocentrism adalah kesadaran yang tinggi akan diri sendiri yang direfleksikan pada kepercayaan remaja bahwa orang lain tertarik pada diri mereka seperti diri mereka tertarik pada diri sendiri, dan pada keunikan yang mereka miliki. Adolescent egocentrism terdiri dari dua, yaitu imaginary audience dan personal fable. Imaginary audience merupakan egosentrisme remaja yang merasa selalu diperhatikan. Personal fable merupakan egosentisme remaja yang merasa memiliki keunikkan tersendiri sehingga tidak ada orang lain yang dapat memahami dirinya dan merasa dirinya kebal atau tidak terkalahkan. 3. Perubahan social-emosional Menurut teori Erickson, individu usia tahun sedang dalam tahap perkembangan identity vs identity confusion. Dalam tahap ini para remaja menghadapi krisis untuk menemukan jati dirinya. Dalam menemukan jati dirinya, para remaja akan mengeksplorasi peran-peran baru dalam lingkungan sosialnya. Jika para remaja berhasil mengeksplorasi jati dirinya maka mereka berhasil melewati krisi ini dan mendapatkan identity, sedangkan jika para remaja gagal dalam menemukan jati dirinya maka mereka akan mengalami identity confusion. Menurut Lahey (2010), terdapat tiga permasalahan yang akan mempengaruhi emosi remaja, yaitu konflik antara orang tua dan anak, perubahan mood yang tiba-tiba dan perilaku yang berbahaya.

14 2.4.2 Kenakalan remaja Dalam masa remaja terdapat beberapa masalah atau gangguan yang dialami oleh remaja, salah satunya adalah kenakalan remaja. Kenakalan remaja adalah perilaku yang dianggap melanggar norma sosial hingga melanggar hukum (Santrock, 2012). Kenakalan remaja dibagi dalam dua jenis yaitu status offsenses dan index offsenses. Status offsenses adalah tindakan-tindakan yang tidak terlalu serius seperti lari dari rumah, bolos dari sekolah, mengkonsumsi minuman keras yang melanggar ketentuan usia, pelacuran, dan ketidakmampuan mengendalikan diri sehingga menimbulkan perkelahian. Index offenses merupakan tindakan kriminal baik yang dilakukan remaja maupun orang dewasa. Tindakan-tindakan itu meliputi perampokan, penyerangan dengan kekerasan, pemerkosaan, dan pembunuhan. Penyebab dari kenakalan remaja adalah sebagai berikut: a. Pencarian jati diri Sesuai dengan teori Erik Erikson, tahap perkembangan remaja sedang menghadapi krisis identity vs identity confusion. Menurut Erikson, remaja yang memiliki keterbatasan pilihan dalam memilih peran sosial yang dapat diterima oleh masyarakat atau remaja merasa tidak dapat menyesuaikan dirinya dengan tuntutan lingkungan cenderung akan memilih identitas yang negatif. Remaja yang memiliki identitas negatif ini akan mendapat gambaran kenakalan remaja dari teman-temannya. b. Pola asuh Faktor pola asuh memiliki peran dalam membentuk kenakalan pada remaja. Remaja yang diasuh dengan pola asuh pemaksaan yang tinggi dan pola asuh positif yang rendah akan berdampak pada berkembangnya perilaku antisosial pada remaja. Perilaku antisosial ini akan berhubungan dengan perilaku negatif seperti kenakalan remaja. c. Hubungan saudara dan pengaruh teman Remaja yang memiliki kakak atau saudara yang berhubungan dengan kenakalan remaja lebih cenderung akan terpengaruh dengan kenakalan remaja. Selain memiliki saudara yang berhubungan dengan kenakalan, remaja yang mengalami penolakan dari teman atau memiliki teman yang melakukan penyimpangan akan cenderung melakukan kenakalan remaja.

15 d. Faktor lingkungan Remaja yang tinggal di lingkungan perkotaan, tingkat mobilitas yang tinggi, dan tingkat kriminalitas yang tinggi akan cenderung melakukan tindak kenakalan yang bersifat kriminalitas. e. Pendidikan Remaja yang melakukan tindak kenakalan cenderung memiliki pendidikan yang rendah dan juga nilai yang rendah. 2.5 Kerangka Berpikir Psychological Well-being Andik Gambar Error! No text of specified style in document.2.1 Kerangka Berpikir Para Andik yang berada di dalam Lapas akan mengalami berbagai masalah seperti perkelahian dengan sesama Andik ataupun masalah lainnya. Permasalahan-permasalahan yang dirasakan oleh para Andik tersebut akan menyebabkan stress pada diri mereka. Stress yang dialami oleh para individu akan mengancam kesehatan mental mereka termasuk psychological well-being mereka (Lazarus & Folkman, 1984). Jika individu tidak ingin mengancam perkembangan psychological well-being-nya, maka individu perlu untuk melakukan upaya untuk mengurangi atau menghilangkan stress yang dialaminya. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan stress adalah coping stress. Dalam penelitian yang dilakukan Jonker et al. (2009), coping stress dapat menjadi prediktor yang penting dalam psychological wellbeing seseorang. Hal tersebut menjelaskan bahwa dengan melakukan coping stress seseorang dapat mengurangi atau menghilangkan beban stress yang

16 dialaminya, sehingga akan berdampak baik pada psychological well-being individu. Perbedaan strategi coping yang digunakan oleh individu akan berdampak berbeda-beda pada masing-masing dimensi psychological well-being (Tomas et al., 2012). Lazarus dan Folkman (1984) mengemukakan bahwa strategi problem-focused coping lebih digunakan untuk mengembangkan psychological well-being ketika situasi lingkungan dapat diubah. Dengan melakukan problemfocused coping, individu dapat mengubah, menyelesaikan, atau menghilangkan situasi atau keadaan dari masalah yang dihadapinya, sehingga akan berdampak baik pada kesejahteraan psikologis atau psychological well-being individu. Namun berdasarkan hasil penelitian pada Andik Lapas di Blitar (Scholichatun, 2011), para Andik Lapas cenderung menggunakan emotion-focused coping karena terbatasnya pilihan yang mereka milik. Penelitian lain yang dilakukan Karlsen (2004), menunjukkan adanya hubungan positif dan kuat antara emotion-focused coping dengan gejala kecemasan dan depresi, yang juga berhubungan negatif dengan psychological well-being. Oleh karena itu dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui peranan strategi coping terhadap psychological wellbeing Andik Lapas. Selain strategi coping, kemampuan resiliensi juga berpengaruh pada psychological well-being individu. Kemampuan resiliensi digunakan oleh individu untuk dapat bertahan mengalami masa sulit yang dihadapi, sehingga individu dapat bertahan menghadapi permasalahan yang akan berpengaruh pada berkembangnya psychological well-being individu. Hal ini ditunjukkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Christopher (2000) yang menyatakan bahwa semakin tinggi derajat resiliensi akan berpengaruh pada tingkat kepuasan hidup yang lebih baik yang menjadi prediktor kuat untuk psychological well-being. Resiliensi dapat membantu para Andik Lapas untuk bertahan dalam situasi sulit di Lapas sehingga hal itu dapat berdampak baik dengan psychological well-being para Andik. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Tomas et al. (2012) menemukan bahwa kemampuan resiliensi dapat memprediksi secara signifikan dan sebagian besar dari dimensi psychological well-being. Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa resiliensi memiliki peranan penting dalam menjaga psychological well-being.

17 Individu yang dapat melakukan coping stress untuk mengurangi atau menghilangkan stress yang dialami dan mampu untuk bertahan dalam permasalahan dengan kemampuan resiliensinya, maka individu tersebut dapat mengarahkan perilakunya untuk mengembangkan psychological well-being. Keadaan tersebut dapat juga dilakukan oleh para Andik Lapas untuk melakukan coping dan resiliensi pada permasalahan yang dihadapi Lapas agar dapat mengarahkan perilakunya untuk mengembangkan psychological well-being. 2.6 Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah: H 01 : Problem-focused coping tidak berperan secara signifikan terhadap psychological well-being pada Andik Lapas Anak Pria Tangerang. H a1 : Problem-focused coping berperan secara signifikan terhadap psychological well-being pada Andik Lapas Anak Pria Tangerang. H 02 : Emotion-focused coping tidak berperan secara signifikan terhadap psychological well-being pada Andik Lapas Anak Pria Tangerang. H a2 : Emotion-focused coping berperan secara signifikan terhadap psychological well-being pada Andik Lapas Anak Pria Tangerang. H 03 : Resiliensi tidak berperan secara signifikan terhadap psychological wellbeing pada Andik Lapas Anak Pria Tangerang. H a3 : Resiliensi berperan secara signifikan terhadap psychological well-being pada Andik Lapas Anak Pria Tangerang.

18

19

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Erikson (dalam Lahey, 2009), mengungkapkan individu pada masa remaja akan mengalami konflik

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Konsep Psychological Well Being Konsep psychological well being sendiri mengacu pada pengalaman dan fungsi psikologis yang optimal. Sampai saat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Secara umum anak-anak tinggal dengan orang tua mereka di rumah, tetapi ada juga sebagian anak yang tinggal di panti asuhan. Panti asuhan adalah suatu lembaga

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 2.1.1. Definisi Psychological Well-Being Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being. Menurut Ryff (1989), psychological well being

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia memerlukan norma atau

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological

BAB II LANDASAN TEORI. Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological 15 BAB II LANDASAN TEORI A. PSYCHOLOGICAL WELL-BEING 1. Definisi Psychological Well-Being Bradburn (1969 dalam Ryff, 1989) membedakan psychological well-being menjadi afek positif dan afek negatif. Penelitiannya

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu

BAB II LANDASAN TEORI. sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis dalam satu 19 BAB II LANDASAN TEORI A. Biseksual 1. Definisi Biseksual Krafft-Ebing, salah seorang seksologis Jerman menyebut biseksual dengan sebutan psychosexual hermaphroditism yaitu eksistensi dua seks biologis

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. potensi individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. potensi individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-Being 1. Pengertian Psychological Well-Being Psychological well-being merupakan realisasi dan pencapaian penuh dari potensi individu dimana individu dapat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa berada pada masa dewasa awal. Pada masa ini, mahasiswa berada pada masa transisi dari masa remaja ke masa dewasa. Pada masa transisi ini banyak hal

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Homoseksual adalah orang yang konsisten tertarik secara seksual, romantik, dan afektif terhadap orang yang memiliki jenis kelamin sama dengan mereka (Papalia,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih

BAB I PENDAHULUAN. awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Mahasiswa mengalami masa peralihan dari remaja akhir ke masa dewasa awal, dimana memiliki tuntutan yang berbeda. Pada masa dewasa awal lebih dituntut suatu

Lebih terperinci

Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING

Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING Paket 10 PSYCHOLOGICAL WELL BEING Pendahuluan Psikologi kesehatan sebagai pengetahuan social-psychological dapat digunakan untuk mengubah pola health behavior dan mengurangi pengaruh dari psychosocial

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan bagian dari keluarga, dimana sebagian besar kelahiran disambut bahagia oleh anggota keluarganya, setiap orang tua mengharapkan anak yang sehat,

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis Ryff (Ryff & Keyes, 1995) menjelaskan bahwa kesejahteraan psikologis sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORITIS Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) Pengertian Kesejahteraan Psikologis

BAB II TINJAUAN TEORITIS Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) Pengertian Kesejahteraan Psikologis BAB II TINJAUAN TEORITIS 2.1. Kesejahteraan Psikologis (Psycological Well Being) 2.1.1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis adalah keadaan dimana seseorang memiliki kondisi yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan yang hangat dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan yang hangat dengan 14 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well Being 1. Pengertian Psychological Well Being Psychological well-being adalah tingkat kemampuan individu dalam menerima dirinya apa adanya, membentuk hubungan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya 1 BAB I PENDAHULUAN Bab ini membahas mengenai latar belakang masalah, rumusan permasalahan penelitian, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, isu etis, cakupan penelitian, dan sistematika penelitian.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis. Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Ryff (1989) mendefinisikan kesejahteraan psikologis adalah sebuah kondisi dimana individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri

Lebih terperinci

Kesehatan Mental. Mengatasi Stress / Coping Stress. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

Kesehatan Mental. Mengatasi Stress / Coping Stress. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi Modul ke: Kesehatan Mental Mengatasi Stress / Coping Stress Fakultas Psikologi Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Coping Stress Coping Proses untuk menata tuntutan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku

BAB I PENDAHULUAN. individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah Di zaman modern dan era globalisasi ini, sangat mudah untuk menemukan individu-individu yang memiliki perilaku seksual yang menyimpang. Perilaku seksual yang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi

BAB II LANDASAN TEORI. Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis 1. Definisi Kesejahteraan Psikologis Teori kesejahteraan psikologis yang menjelaskan sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Remaja merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan menjadi calon-calon pemimpin bangsa maupun menjadi calon penggerak kehidupan bangsa dari sumbangsih

Lebih terperinci

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi Modul ke: Kesehatan Mental Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Fakultas Psikologi Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Program Studi Psikologi www.mercubuana.ac.id Konsep Kebahagiaan atau Kesejahteraan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pacaran merupakan sebuah konsep "membina" hubungan dengan orang lain dengan saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana

Lebih terperinci

Perkembangan Sepanjang Hayat

Perkembangan Sepanjang Hayat Modul ke: Perkembangan Sepanjang Hayat Memahami Masa Perkembangan Remaja dalam Aspek Psikososial Fakultas PSIKOLOGI Hanifah, M.Psi, Psikolog Program Studi Psikologi http://mercubuana.ac.id Memahami Masa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab II ini akan menjelaskan Psychological well-being, dimensidimensi psychological well-being, faktor-faktor yang berkaitan dengan psychological well-being, pengertian remaja,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mahasiswa merupakan generasi penerus bangsa yang diharapkan menjadi calon-calon pemimpin bangsa maupun menjadi calon penggerak kehidupan bangsa dari sumbangsih

Lebih terperinci

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA 1 BAB I PENDAHULUAN 1.2 Latar Belakang Masalah Pada tahun 1980-an di Amerika setidaknya 50 persen individu yang lahir menghabiskan sebagian masa remajanya pada keluarga dengan orangtua tunggal dengan pengaruh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fenomena melajang pada era modern ini menjadi sebuah trend baru dalam kehidupan manusia, terutama di kota besar di Indonesia, seperti Jakarta. Sampai saat ini memang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-being 1. Definisi Psychological well-being Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-being 1. Definisi Psychological well-being Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-being 1. Definisi Psychological well-being Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesehatan psikologis individu berdasarkan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. A. Psychological Well-Being. kehidupan berjalan dengan baik. Keadaan tersebut merupakan kombinasi dari

BAB II LANDASAN TEORI. A. Psychological Well-Being. kehidupan berjalan dengan baik. Keadaan tersebut merupakan kombinasi dari BAB II LANDASAN TEORI A. Psychological Well-Being 1. Pengertian Psychological Well-being Huppert mendefinisikan psychological well-being sebagai keadaan kehidupan berjalan dengan baik. Keadaan tersebut

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2014), terlebih bagi individu yang sudah bekerja dan hanya memiliki latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2014), terlebih bagi individu yang sudah bekerja dan hanya memiliki latar belakang BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ketatnya tingkat persaingan dalam dunia pekerjaan, menuntut individu untuk mengejar pendidikan hingga tingkat yang lebih tinggi (Utami & Kusdiyanti, 2014), terlebih

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang,

BAB I PENDAHULUAN. individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bekerja merupakan salah satu aktivitas yang dilakukan oleh setiap individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang, mengisi

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap manusia pasti memiliki masalah dalam hidup. Kita juga pernah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap manusia pasti memiliki masalah dalam hidup. Kita juga pernah BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap manusia pasti memiliki masalah dalam hidup. Kita juga pernah merasakan kesedihan, kekecewaan, kegagalan serta kondisi sulit lainnya. Hal ini sesuai dengan yang

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Prestasi Belajar 1. Pengertian Prestasi belajar atau hasil belajar adalah realisasi atau pemekaran dari kecakapan potensial atau kapasitas yang dimiliki seseorang. Penguasaan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah Tindakan kriminalitas merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu hukuman yang akan diberikan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Normative Social Influence 2.1.1 Definisi Normative Social Influence Pada awalnya, Solomon Asch (1952, dalam Hogg & Vaughan, 2005) meyakini bahwa konformitas merefleksikan sebuah

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI 11 BAB II LANDASAN TEORI A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS A.1. Definisi Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis adalah pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu

Lebih terperinci

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing 67 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing pada mahasiswa Fakultas Psikologi Unversitas X di kota Bandung, maka diperoleh kesimpulan

Lebih terperinci

BAB 2 Tinjauan Pustaka

BAB 2 Tinjauan Pustaka BAB 2 Tinjauan Pustaka 2.1. Kecemasan 2.1.1. Definisi Menurut Kaplan, Sadock, dan Grebb (Fausiah&Widury, 2007), kecemasan adalah respons terhadap situasi tertentu yang mengancam, dan merupakan hal yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi, dari kehidupan bersama antara seorang laki-laki dan perempuan tetapi lebih dari itu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan tujuan suatu bangsa untuk memberdayakan semua warga negaranya agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas sehingga mampu dan proaktif

Lebih terperinci

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN BAB 5 SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 5.1 Simpulan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara anxiety dalam menghadapi respon dari orang terdekat dengan masing-masing dimensi pada psychological

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan memperoleh ilmu sesuai dengan tingkat kebutuhannya yang dilaksanakan secara formal sebagai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Destalya Anggrainy M.P, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Destalya Anggrainy M.P, 2013 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Kepribadian seorang anak merupakan gabungan dari fungsi secara nyata maupun fungsi potensial pola organisme yang ditentukan oleh faktor keturunan dan penguatan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Teori Perilaku Perilaku adalah tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan (Depdiknas, 2005). Dari pandangan biologis perilaku merupakan suatu kegiatan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan. manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan. manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa yang penting di dalam suatu kehidupan manusia. Teori Erikson memberikan pandangan perkembangan mengenai kehidupan manusia dalam beberapa

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia. Manusia dapat menjalankan berbagai macam aktivitas hidup dengan baik bila memiliki kondisi kesehatan

Lebih terperinci

Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS)

Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS) Prosiding Psikologi ISSN: 2460-6448 Kesejahteraan Psikologis pada Survivor Kanker di Bandung Cancer Society (BCS) 1 Hany Fakhitah, 2 Temi Damayanti Djamhoer 1,2 Fakultas Psikologi, Universitas Islam Bandung,

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa perpindahan dari anak-anak ke remaja

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa perpindahan dari anak-anak ke remaja BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Masa remaja merupakan masa perpindahan dari anak-anak ke remaja dengan perubahan yang mengacu pada perkembangan kognitif, biologis, dan sosioemosional (Santrock, 2012).

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) pada buku karangan Aristotetea yang berjudul Nicomacheon Ethics

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) pada buku karangan Aristotetea yang berjudul Nicomacheon Ethics BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) 1. Kesejahteraan Psikologis Bradburn menterjemahkan kesejahteraan psikologis berdasarkan pada buku karangan Aristotetea yang

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan BAB 2 LANDASAN TEORI Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan prestasi belajar. 2.1 Self-Efficacy 2.1.1 Definisi self-efficacy Bandura (1997) mendefinisikan self-efficacy

Lebih terperinci

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pada bab 2 akan dibahas landasan teori dan variabel-variabel yang terkait

BAB 2 LANDASAN TEORI. Pada bab 2 akan dibahas landasan teori dan variabel-variabel yang terkait BAB 2 LANDASAN TEORI Pada bab 2 akan dibahas landasan teori dan variabel-variabel yang terkait dalam penelitian ini. Variabel-variabel tersebut adalah Ujian Nasional, stres, stressor, coping stres dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan keterikatan aturan, emosional dan setiap individu mempunyai peran

BAB I PENDAHULUAN. dengan keterikatan aturan, emosional dan setiap individu mempunyai peran BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Keluarga adalah kumpulan dua orang atau lebih yang hidup bersama dengan keterikatan aturan, emosional dan setiap individu mempunyai peran masing-masing yang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Individu memiliki berbagai macam masalah didalam hidupnya, masalah dalam diri individu hadir bila apa yang telah manusia usahakan jauh atau tidak sesuai dengan

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. Campbell (1976) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai

BAB II LANDASAN TEORI. Campbell (1976) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai BAB II LANDASAN TEORI A. Kesejahteraan Psikologis 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis Campbell (1976) mendefinisikan kesejahteraan psikologis sebagai hasil evaluasi seseorang terhadap hidupnya baik

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan mengalami masa transisi peran sosial, individu dewasa awal akan menindaklanjuti hubungan dengan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG MASALAH Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari, dan lain-lain. Setiap tugas dipelajari secara optimal pada waktu-waktu tertentu

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada hakikatnya manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan manusia lainnya untuk menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk membangun relasi sosial

Lebih terperinci

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI Diajukan kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh Gelar Sarjana (S1) Psikologi Disusun oleh : RIZKIAN

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Strategi Coping. ataupun mengatasi Sarafino (Muta adin, 2002). Perilaku coping merupakan suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Strategi Coping. ataupun mengatasi Sarafino (Muta adin, 2002). Perilaku coping merupakan suatu 12 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Strategi Coping 1. Pengertian Strategi Coping Coping berasal dari kata cope yang dapat diartikan menghadang, melawan ataupun mengatasi Sarafino (Muta adin, 2002). Perilaku

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dian Lidriani, 2014 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Populasi lansia di dunia mengalami peningkatan pesat. Berdasarkan hasil penelitian Kinsella &Velkof (2001), bahwa sepanjang tahun 2000, populasi lansia dunia tumbuh

Lebih terperinci

Bab 2. Landasan Teori

Bab 2. Landasan Teori Bab 2 Landasan Teori 2.1 Dewasa Muda Istilah adult atau dewasa awal berasal dari bentuk lampau kata adultus yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan atau ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa.

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Orientasi seksual yang dikenal dan diketahui masyarakat Indonesia pada umumnya hanya ada satu jenis saja, yakni heteroseksual atau pasangan yang terdiri dari dua orang

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala

BAB I PENDAHULUAN. yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setelah sepasang pria dan wanita menikah, memiliki anak merupakan hal yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala upaya akan

Lebih terperinci

PSIKOLOGI UMUM 2. Stress & Coping Stress

PSIKOLOGI UMUM 2. Stress & Coping Stress PSIKOLOGI UMUM 2 Stress & Coping Stress Pengertian Stress, Stressor & Coping Stress Istilah stress diperkenalkan oleh Selye pada tahun 1930 dalam bidang psikologi dan kedokteran. Ia mendefinisikan stress

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN A. Identifikasi Variabel Variabel- variabel yang diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Variabel Tergantung : Psychological well-being 2. Variabel Bebas : Locus

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga merupakan dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

Lebih terperinci

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui psychological well-being pada pasien HIV positif (usia 20-34 tahun) di RS X Bandung. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke

BAB I PENDAHULUAN. hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja termasuk ke BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Gereja merupakan sebuah institusi yang dibentuk secara legal dan berada di bawah hukum suatu negara yang dibangun dengan tujuan untuk aktivitas religius. Gereja

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. sosial, sehingga dapat menurunkan kualitas hidup individu. Salah satu jenis

BAB I PENDAHULUAN. sosial, sehingga dapat menurunkan kualitas hidup individu. Salah satu jenis BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menjalani kehidupan profesional di dunia modern yang serba cepat seperti saat ini merupakan sebuah tantangan hidup. Selain tuntutan untuk mampu bertahan dalam lingkungan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress. mengurangi distres. Menurut J.P.Chaplin (Badru, 2010) yaitu tingkah laku

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress. mengurangi distres. Menurut J.P.Chaplin (Badru, 2010) yaitu tingkah laku BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Coping Stress 1. Definisi Coping Stress Lazarus dan Folkman (Sugianto, 2012) yang mengartikan coping stress sebagai suatu upaya yang dilakukan oleh seseorang ketika dihadapkan

Lebih terperinci

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Psychological well being 1. Pengertian Sejak tahun 1969, penelitian mengenai Psychological well being didasari oleh dua konsep dasar dari positive functioning. Konsep pertama ditemukan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Alasan Pemilihan Teori Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being menurut Diener (2005). Teori yang dipilih akan digunakan untuk meneliti gambaran

Lebih terperinci

Kesehatan Mental. Mengatasi Stress/Coping Stress MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 10

Kesehatan Mental. Mengatasi Stress/Coping Stress MODUL PERKULIAHAN. Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh 10 MODUL PERKULIAHAN Kesehatan Mental Mengatasi Stress/Coping Stress Fakultas Program Studi Tatap Muka Kode MK Disusun Oleh Psikologi Psikologi 10 MK61112 Aulia Kirana, M.Psi., Psikolog Abstract Dalam perkuliahan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Masalah Masa remaja merupakan saat yang penting dalam mempersiapkan seseorang memasuki masa dewasa. Masa ini merupakan, masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan pekerjaan ataupun kegiatan sehari hari yang tidak. mata bersifat jasmani, sosial ataupun kejiwaan.

BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan pekerjaan ataupun kegiatan sehari hari yang tidak. mata bersifat jasmani, sosial ataupun kejiwaan. BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Di era modern masa kini, banyak ditemukannya permasalahan yang disebabkan pekerjaan ataupun kegiatan sehari hari yang tidak sesuai dengan rencana. Segala permasalahan

Lebih terperinci

DAFTAR ISI. HALAMAN PENGESAHAN...i. KATA PENGANTAR.ii. ABSTRAK..v. DAFTAR ISI..vi. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR DIAGRAM.xi. DAFTAR LAMPIRAN..

DAFTAR ISI. HALAMAN PENGESAHAN...i. KATA PENGANTAR.ii. ABSTRAK..v. DAFTAR ISI..vi. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR DIAGRAM.xi. DAFTAR LAMPIRAN.. Abstrak Penelitian ini berjudul studi kasus mengenai profil Psychological Well- Being pada anak yatim piatu di Panti Asuhan Putra X Bandung. Penelitian ini dilaksanakan untuk memperoleh gambaran mengenai

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk hidup yang senantiasa berkembang dan mengalami perubahan-perubahan bertahap dalam hidupnya. Sepanjang rentang kehidupannya tersebut,

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well-Being. Psychological well-being (PWB) merujuk pada perasaan-perasaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well-Being. Psychological well-being (PWB) merujuk pada perasaan-perasaan 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Psychological Well-Being 1. Definisi Psychological Well-Being Psychological well-being (PWB) merujuk pada perasaan-perasaan seseorang mengenai aktivitas hidup sehari-hari.

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Weiten & Lloyd (2006) menyebutkan bahwa personal adjustment adalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Weiten & Lloyd (2006) menyebutkan bahwa personal adjustment adalah BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Personal Adjustment 1. Definisi Personal Adjustment Weiten & Lloyd (2006) menyebutkan bahwa personal adjustment adalah sebuah proses psikologis yang dijalani seseorang yang mengakibatkan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu berhubungan dengan lingkungannya dan tidak dapat hidup sendiri. Ia selalu berinteraksi dengan

Lebih terperinci

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anxiety 2.1.1 Definisi Anxiety atau kecemasan adalah emosi spesifik yang terkarakterisasi dari timbulnya kewaspadaan yang tinggi, negatif valensi, ketidakpastian, dan rendahnya

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Data Yayasan Lupus Indonesi (YLI) menunjukkan bahwa jumlah penderita penyakit Lupus di Indonesia meningkat dari 12.700 jiwa pada 2012 menjadi 13.300 jiwa per

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan

BAB II LANDASAN TEORI. tersebut mempelajari keadaan sekelilingnya. Perubahan fisik, kognitif dan peranan BAB II LANDASAN TEORI A. KEMANDIRIAN REMAJA 1. Definisi Kemandirian Remaja Kemandirian remaja adalah usaha remaja untuk dapat menjelaskan dan melakukan sesuatu yang sesuai dengan keinginannya sendiri setelah

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dianggap sebagai masa topan badai dan stres, karena remaja telah memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dianggap sebagai masa topan badai dan stres, karena remaja telah memiliki 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masa remaja merupakan masa transisi ke masa dewasa. Masa ini dianggap sebagai masa topan badai dan stres, karena remaja telah memiliki keinginan bebas untuk menentukan

Lebih terperinci

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 149 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN Pada bab pendahuluan telah dijelaskan bahwa penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada wanita dewasa muda yang menjadi istri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat beberapa karakteristik anak autis, yaitu selektif berlebihan

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat beberapa karakteristik anak autis, yaitu selektif berlebihan BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak adalah dambaan dalam setiap keluarga dan setiap orang tua pasti memiliki keinginan untuk mempunyai anak yang sempurna, tanpa cacat. Bagi ibu yang sedang

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI II.A. Penyesuaian Diri terhadap Pensiun II.A.1. Penyesuaian diri Calhoun dan Acocella (1990) menyatakan bahwa penyesuaian diri merupakan interaksi individu yang kontinu dengan diri

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa. (Stanley Hall dalam Panuju, 2005). Stres yang dialami remaja berkaitan dengan proses perkembangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Konsep Subjective well-being. juga peneliti yang menggunakan istilah emotion well-being untuk pengertian yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Konsep Subjective well-being. juga peneliti yang menggunakan istilah emotion well-being untuk pengertian yang BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Subjective well-being Subjective well-being merupakan bagian dari happiness dan Subjective well-being ini juga sering digunakan bergantian (Diener & Bisswass, 2008).

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. selesaikan oleh individu untuk kemudian di lanjutkan ketahapan berikutnya.

BAB I PENDAHULUAN. selesaikan oleh individu untuk kemudian di lanjutkan ketahapan berikutnya. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di dalam perkembangan hidup manusia selalu di mulai dari berbagai tahapan, yang di mulai dari masa kanak-kanak, remaja dan dewasa. Dalam setiap tahapan perkembangan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN TEORI. yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial

BAB II TINJAUAN TEORI. yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara sosial BAB II TINJAUAN TEORI A. Kenakalan Remaja 1. Pengertian Kenakalan Remaja Kenakalan remaja (juvenile delinquency) mengacu pada suatu rentang yang luas, dari tingkah laku yang tidak dapat diterima secara

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju 1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa, yang diistilahkan dengan adolescence yang berarti tumbuh menjadi dewasa. Masa remaja ditandai dengan

Lebih terperinci

HUBUNGAN FORGIVENESS TERHADAP PERISTIWA PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN

HUBUNGAN FORGIVENESS TERHADAP PERISTIWA PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN HUBUNGAN FORGIVENESS TERHADAP PERISTIWA PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN Disusun Oleh Nama : Pandu Perdana NPM : 15512631 Kelas : 4PA05 Keluarga Perceraian

Lebih terperinci

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI BAB II LANDASAN TEORI A. KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS 1. Defenisi Kesejahteraan Psikologis Kesejahteraan psikologis dikemukakan oleh Ryff (1989) yang mengartikan bahwa istilah tersebut sebagai pencapaian penuh

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Jenis Kelamin Tahun Agustus Agustus

BAB 1 PENDAHULUAN. Jenis Kelamin Tahun Agustus Agustus BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan penyalahgunaan Narkoba yang ada saat ini khususnya di kalangan remaja terbilang cukup tinggi. Berdasarkan data yang terhimpun pada Data Direktorat Reserse

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. tetapi di dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi berbagai konflik. Konflik

BAB I PENDAHULUAN. tetapi di dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi berbagai konflik. Konflik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Setiap orang mendambakan keutuhan dan kerukunan rumah tangga. Akan tetapi di dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi berbagai konflik. Konflik yang tidak

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. unsur lapisan masyarakat merupakan potensi yang besar artinya bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. unsur lapisan masyarakat merupakan potensi yang besar artinya bagi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pembangunan suatu bangsa merupakan proses yang berkesinambungan dan melibatkan keseluruhan lapisan masyarakat. Generasi muda sebagai salah satu unsur lapisan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode penting dalam rentang kehidupan

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode penting dalam rentang kehidupan BAB 1 PENDAHULUAN 1. 1. Latar Belakang Masa remaja merupakan periode penting dalam rentang kehidupan manusia karena banyak perubahan-perubahan yang dialami di dalam dirinya. Seperti yang diungkapkan oleh

Lebih terperinci