EFEKTIVITAS PEMBERIAN METIL JASMONAT SECARA BERULANG DALAM MENINGKATKAN DEPOSIT SENYAWA TERPENOID PADA POHON GAHARU (Aquilaria crassna) RISA ROSITA

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "EFEKTIVITAS PEMBERIAN METIL JASMONAT SECARA BERULANG DALAM MENINGKATKAN DEPOSIT SENYAWA TERPENOID PADA POHON GAHARU (Aquilaria crassna) RISA ROSITA"

Transkripsi

1 EFEKTIVITAS PEMBERIAN METIL JASMONAT SECARA BERULANG DALAM MENINGKATKAN DEPOSIT SENYAWA TERPENOID PADA POHON GAHARU (Aquilaria crassna) RISA ROSITA PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

2 ABSTRAK RISA ROSITA. Efektivitas Pemberian Metil Jasmonat secara Berulang dalam Meningkatkan Deposit Senyawa Terpenoid Pohon Gaharu (Aquilaria crassna). Dibimbing oleh GAYUH RAHAYU dan HAMIM. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektivitas pemberian metil jasmonat (MeJA) 750 mm secara berulang dalam meningkatkan deposit senyawa terpenoid pada pohon gaharu (Aquilaria crassna). Cabang pohon Aquilaria crassna yang berumur 8 tahun (berdiameter ± 1 cm) dibuang kulit dan kambiumnya sepanjang 2 cm kemudian diolesi MeJA secara berulang dengan satu kali, dua kali, tiga kali atau empat kali pemberian dengan interval waktu tertentu. Deposit terpenoid dideteksi dengan metode histokimia (menggunakan pewarna tembaga asetat) dan Liebermann-Burchard. Adanya deposit terpenoid yang terbentuk berkaitan dengan respon kebugaran cabang, perubahan warna kayu dan pembentukan wangi. Pengamatan dilakukan pada 10, 25, 50 dan 75 hari setelah induksi. Pemberian MeJA (secara berulang) mampu meningkatkan deposit senyawa terpenoid. Deposit senyawa terpenoid ditemukan paling banyak pada parenkima jejari, included phloem, unsur trakea xylem da empulur. Senyawa terpenoid yang teridentifikasi mengandung komponen triterpenoid. Akumulasi terpenoid menyebabkan adanya perubahan warna kayu. Perubahan warna kayu tidak hanya disebabkan karena perlakuan MeJA, tetapi juga pelukaan. Semakin lama waktu inkubasi, warna kayu akan semakin gelap. Perubahan warna kayu tidak berkolerasi dengan pembentukan wangi. Aroma wangi mengandung senyawa terpenoid yang mudah menguap, yaitu sesquiterpen. Aroma wangi akan meningkat kembali setelah diberi perlakuan MeJA (secara berulang) dan bertahan hanya sampai dengan 25 hari setelah aplikasi MeJA yang terakhir. ABSTRACT RISA ROSITA. The Effect of Repeat Application of Methyl Jasmonate on Terpenoid Accumulation in Agarwood Tree (Aquilaria crassna). Under supervision of GAYUH RAHAYU and HAMIM. This research is aiming at studying the effect of repeat methyl jasmonate (MeJA) 750 mm application on terpenoid accumulation in agarwood tree (Aquilaria crassna). The branches of 8 years old agarwood tree (± 1 cm diam) were wounded by stripping of the bark (2 cm long). The wounded branches were then smeared with 2 ml MeJA repeatedly either once, twice, three or four times with certain time interval. The accumulation of terpenoids were detected histochemically by cooper acetate staining and using Liebermann-Burchard method, concomitantly with the observation of branch fitness, wood browning and fragrance formation at 10, 25, 50 and 75 days after application. Repeated application of MeJA might improve terpenoid accumulation. The terpenoid was deposited largely in parenchyma ray, and smaller amount in included phloem, xylem vessel, and pith. The terpenoids composed of triterpenoids. The terpenoids accumulation caused browning in the wood. The browning was not only due to MeJA application, but also due to wounding. The longer the period of incubation, the wood was darker. The wood browning was not correlated with the fragrance produced, since the fragrance was actually a volatile terpenoids components sesquiterpene. Fragrance might persist in repeated application of MeJA only until 25 days after the last MeJA application.

3 EFEKTIVITAS PEMBERIAN METIL JASMONAT SECARA BERULANG DALAM MENINGKATKAN DEPOSIT SENYAWA TERPENOID PADA POHON GAHARU (Aquilaria crassna) RISA ROSITA Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Biologi PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008

4 Judul Skripsi Nama NIM : Efektivitas Pemberian Metil Jasmonat secara Berulang dalam Meningkatkan Deposit Senyawa Terpenoid pada Pohon Gaharu (Aquilaria crassna). : Risa Rosita : G Menyetujui: Pembimbing I, Pembimbing II, Dr. Ir. Gayuh Rahayu Dr. Ir. Hamim, M.Si. NIP NIP Mengetahui: Dekan Fakultas dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor Dr. Drh. Hasim, DEA NIP Tanggal Lulus :

5 PRAKATA Puji dan syulur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, kesehatan, dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul Efektivitas Pemberian Metil Jasmonat secara Berulang dalam Meningkatkan Deposit Senyawa Terpenoid Pohon Gaharu (Aquilaria crassna). Karya ilmiah ini dilaksanakan dari bulan Februari sampai dengan Agustus 2007, bertempat di kebun A. crassna Parung milik Dr. Ir. Gayuh Rahayu, Laboratorium Zoologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Cibinong, dan Laboratorium Mikologi Departemen Biologi FMIPA IPB. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Gayuh Rahayu dan Bapak Dr. Ir. Hamim, M.Si. yang telah membantu memberikan bimbingan, saran, motivasi dan fasilitas selama penelitian dan penyusunan karya ilmiah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dra. Triadiati, M.Si. selaku penguji. Ucapan terima kasih juga penyusun sampaikan kepada Ibunda, kakak, Deden Dewantara, dan keluarga besar Abdullah atas dorongan, doa dan kasih sayangnya. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada staf Laboratorium Zoologi LIPI Cibinong, staf Laboratorium Mikologi, Pak Taufik, Pak Gono, Mbak Ade, Mbak Retno, Desi, Isya, Yuli, Mbak Yul, Ariza, Rika atas bantuan, perhatian, dan dukungannya dalam penyelesaian karya ilmiah ini. Penulis berharap smoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Bogor, Desember 2007 Risa Rosita

6 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 17 Juli 1985 sebagai anak kedua dari dua bersaudara, putri pasangan Mansyur Abdullah (Alm.) dan Nursiah. Tahun 2004 penulis lulus dari SMU Negeri 2 Bogor dan diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih Departemen Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah menjadi asisten mata kuliah Biologi Dasar pada tahu ajaran 2005/2006 dan 2006/2007, Genetika Dasar pada tahun ajaran 2005/2006, Biologi Cendawan pada tahun ajaran 2006/2007 dan 2007/2008, serta menjadi asisten peneliti Dr. Ir. Gayuh Rahayu pada tahun Penulis juga pernah aktif dalam lembaga kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Biologi. Penulis melaksanakan praktek lapang dengan judul Reduksi Kadar Nutrisi Limbah Organik secara Biologis di PT. Perfetti van Melle Indonesia pada bulan Juli 2006.

7 DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL... vii DAFTAR GAMBAR... vii PENDAHULUAN... 1 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat... 1 Bahan... 1 Metode Induksi Pembentukan Senyawa Terpenoid... 1 Kebugaran Cabang... 2 Pengamatan Warna dan Tingkat Wangi... 2 Analisis Terpenoid Uji Histokimia... 2 Uji Terpenoid (Liebermann-Burchard)... 2 HASIL Kebugaran Cabang... 2 Perubahan Warna... 3 Tingkat Wangi... 4 Analisis Terpenoid... 5 PEMBAHASAN Induksi MeJA dan Pengaruhnya terhadap Cabang yang Diinduksi... 6 Pembentukan Senyawa Gaharu dengan Induksi Kimia... 8 Peluang Pemanfaatan Metode Induksi dengan MeJA... 8 KESIMPULAN... 9 SARAN... 9 DAFTAR PUSTAKA... 9

8 DAFTAR TABEL Halaman 1 Rancangan pemberian MeJA 750 mm secara berulang Perubahan warna didasarkan pada sistem skor 0-3 (0=putih, 1=putih kecoklatan, 2=coklat, 3=coklat kehitaman) dari rataan 3 responden Kedalaman zona perubahan warna kayu A. crassna setelah diberi perlakuan Panjang zona perubahan warna kayu A. crassna setelah diberi perlakuan yang mengarah ke bagian apeks (menuju daun) Panjang zona perubahan warna kayu A. crassna setelah diberi perlakuan yang mengarah ke bagian basal (menuju batang utama) Tingkat wangi kayu A. crassna setelah diberi perlakuan didasarkan pada sistem skor 0-3 (0=tidak wangi, 1=kurang wangi, 2=wangi, 3=wangi sekali) Persentase (%) deposit terpenoid yang terakumulasi pada jaringan pengakumulasi terpenoid pada luasan bidang pandang tertentu... 6 DAFTAR GAMBAR Halaman 1 A. crassna umur 8 tahun Kayu A. crassna setelah diberi perlakuan, dari kiri ke kanan (K- ; skor warna kayu =0,putih),(K+, M1;skor warna kayu =1,putih kecoklatan),(m2; skor warna kayu=2, coklat),(m3;skor warna kayu =2, coklat),(m4;skor warna kayu=3, coklat kehitaman 3 3 Zona perubahan warna kayu A. crassna yang mengarah ke bagian apeks menuju daun (a) dan ke bagian basal menuju batang utama (b) Hubungan indeks warna dengan indeks wangi pada perlakuan MeJA didasarkan sistem skor 0-3 (0=putih, tidak wangi; 1=putih kecoklatan, kurang wangi; 2=coklat, wangi; 3=coklat kehitaman, wangi sekali) Senyawa terpenoid (kuning kecoklatan) yang terakumulasi pada jaringan parenkima jejari (a), included phloem (b), unsure trakea xylem (c), dan empulur (d) pada panen 10 hsi Warna merah pada endapan menunjukkan adanya triterpenoid pada resin gaharu alam berdasarkan pada uji Liebermann-Burchard Triterpenoid yang telah teridentifikasi pada panen 10, 25, 50 dan 75 hsi berdasarkan pada uji Liebermann-Burchard... 6

9 3 PENDAHULUAN Gaharu adalah sejenis kayu dengan berbagai bentuk dan warna yang khas serta memiliki kandungan kadar damar wangi (Dewan Standarisasi Nasional Indonesia 1999). Gaharu merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu yang dapat diandalkan, apabila ditinjau dari nilai ekonominya yang lebih tinggi dibandingkan hasil hutan bukan kayu lainnya. Gaharu digunakan sebagai bahan dasar dalam industri parfum, dupa untuk berbagai ritual keagamaan, kosmetik dan obat-obatan (Barden et al. 2000). Salah satu spesies Aquilaria yang terbukti dapat menghasilkan gubal gaharu adalah Aquilaria crassna (Lieu 2003). Senyawa gaharu dibentuk sebagai respon pertahanan pohon gaharu terhadap berbagai gangguan seperti pelukaan, infeksi patogen atau perlakuan kimiawi (Nobuchi & Siripatanadilok 1991). Menurut Yuan (1995), gaharu mengandung senyawa sesquiterpen yang beraroma khas. Aroma gaharu ini diduga merupakan senyawa fitoaleksin (Michiho 2005). Fitoaleksin adalah senyawa antimikrob dengan berat molekul rendah yang terakumulasi pada tanaman sebagai reaksi terhadap infeksi dan stress (Mert-Turk 2002). Salah satu senyawa sinyal pada tumbuhan yang diketahui dapat merangsang pembentukan fitoaleksin adalah metil jasmonat (MeJA) (Franceschi et al. 2002). MeJA merupakan fitohormon endogen. MeJA memiliki peran dalam regulasi beberapa proses fisiologis tanaman, misalnya, merangsang pertumbuhan akar dan transportasi karbon tanaman (Babst et al. 2005), induksi pematangan buah, sinyal regulasi ekspresi gen pada proses penuaan daun dan bunga (Srivastava 2002), dan sinyal transduksi respon ketahanan tanaman terhadap cekaman biotik dan abiotik (Yang et al. 1997). MeJA akan menjadi komponen yang lebih aktif jika diberikan dalam bentuk fitohormon eksogen (Srivastava 2002). Menurut Michiho (2005), pemberian MeJA 0.1 mm dapat menginduksi terbentuknya senyawa terpenoid pada kultur kalus A. sinensis. Pada A. crassna, satu kali pemberian MeJA 750 mm juga mampu menginduksi pembentukan senyawa terpenoid (Putri 2007). Dari perlakuan MeJA ini, akumulasi senyawa terpenoid dapat terdeteksi mulai 5 hari setelah induksi (hsi) dan menghilang pada 75 hsi (Putri 2007). Pemberian MeJA 750 mm ini tidak cukup menyebabkan deposit senyawa terpenoid yang dapat bertahan setelah 75 hsi. Pemberian MeJA secara berulang diharapkan dapat merangsang peningkatan deposit senyawa terpenoid gaharu. Deposit senyawa terpenoid gaharu ditemukan dalam jumlah banyak pada jaringan parenkima jejari dan dalam jumlah kecil pada included phloem serta unsur trakea xilem (Ramadhani 2005). Penelitian ini bertujuan untuk melihat efektivitas pemberian MeJA pada konsentrasi 750 mm secara berulang dalam meningkatkan deposit senyawa terpenoid pada Aquilaria crassna. BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Agustus 2007, di kebun gaharu Jabon-Parung (Bogor), Laboratorium Mikologi, Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, dan Laboratorium Zoologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cibinong. Bahan Bahan yang digunakan adalah tanaman A. crassna umur 8 tahun (Gambar 1), alkohol 75 %, akuades, metil jasmonat 750 mm (MeJA 750 mm), Tween 80 %, formaldehid 4 %, larutan gliserin 30 %, larutan K 2 HPO 4, larutan tembaga asetat 50 %, etanol absolut, dietil eter, larutan H 2 SO 4 pekat, larutan asam asetat anhidrat. Gambar 1 A. crassna umur 8 tahun Induksi Pembentukan Senyawa Terpenoid Induksi pembentukan senyawa terpenoid dilakukan pada cabang pohon A. crassna yang mempunyai diameter 1 cm. Pertama-tama cabang dilukai dengan cara dibuang kulit dan kambiumnya sepanjang 2 cm. Kemudian MeJA 750 mm diberikan secara berulang, dengan rancangan pemberian secara berulang (Tabel 1).

10 4 Tabel 1 Rancangan pemberian MeJA 750 mm secara berulang. Waktu Induksi / Waktu Pengamatan Perlakuan (hari ke-) Induksi M1 * * * * M2 * * * M3 * * M4 * Keterangan : = pemberian * = pengamatan M1= Perlakuan MeJA 1x induksi M2= Perlakuan MeJA 2x induksi M3= Perlakuan MeJA 3x induksi M4= Perlakuan MeJA 4x induksi Sebanyak 2 ml MeJA 750 mm (dalam 0.1 % Tween 80) dioleskan pada daerah cabang yang telah dilukai, dan dibiarkan beberapa saat sampai mengering, lalu dibungkus dengan plastik dan diikat dengan tali. Semua perlakuan terdiri atas 4 ulangan dan dilakukan pada cabang yang berbeda. Cabang-cabang yang dilukai saja (tanpa induksi) sebagai kontrol positif (K+) serta cabang-cabang yang tidak dilukai sebagai kontrol negatif (K-) digunakan sebagai pembanding. Respon cabang yang diamati adalah kebugaran cabang, perubahan warna kayu, wangi kayu, dan analisis terpenoid. Kebugaran Cabang Kebugaran cabang ditetapkan berdasarkan persentase daun yang menguning atau daun gugur, dari total daun yang berada dari zona induksi ke arah pucuk. Kebugaran cabang juga ditetapkan berdasarkan persentase cabang yang mati. Pengamatan Warna dan Tingkat Wangi Deposit terpenoid pada kayu mungkin berasosiasi dengan perubahan warna dan pembentukan wangi. Oleh sebab itu, perubahan warna dan tingkat wangi kayu diamati, dan dilakukan sebelum analisis terpenoid. Pengamatan warna cabang meliputi perubahan warna dan panjang serta kedalaman zona perubahan warna. Tingkat perubahan warna kayu ditetapkan berdasarkan sistem skor (0=putih, 1=kuning kecoklatan, 2=coklat, 3=coklat kehitaman). Tingkat perubahan warna diamati sebanyak 4 ulangan Tingkat wangi kayu ditetapkan melalui uji organoleptik yang dinyatakan dengan rataan skor dari 3 responden. Skala skor wangi adalah 0=tidak wangi, 1=kurang wangi, 2=wangi, 3=wangi sekali. Tingkat perubahan warna, panjang kedalaman zona perubahan warna serta tingkat wangi dinyatakan dalam nilai rata-rata ± simpangan baku. Analisis Terpenoid Uji Histokimia (Martin et al. 2002) Deposit terpenoid dideteksi dengan metode histokimia. Bagian cabang yang telah diinduksi dipotong secara melintang bagian tengahnya dengan ukuran ± 0.5x0.5x0.3 cm. Selanjutnya potongan cabang tersebut direndam di dalam larutan formaldehid 4 % dan K 2 HPO mm (ph 7.5) selama ± 4 jam. Kemudian sampel dicuci dengan akuades. Potongan cabang selanjutnya dibekukan pada suhu -18 ºC sebelum disayat dengan mikrotom beku (Yamato RV-240). Sayatan cabang dengan ketebalan antara µm diletakkan pada gelas objek. Untuk pengamatan senyawa terpenoid, sayatan tersebut ditetesi dengan larutan tembaga asetat 50 %. Supaya preparat tidak cepat mengering, pada sayatan tersebut ditambahkan larutan gliserin 30 %. Selanjutnya preparat diamati di bawah mikroskop cahaya (Nikon Afx-dx dan Nikon Obtiphot 2). Deposit terpenoid ditetapkan berdasarkan persentase (%) jaringan pengakumulasi yang mengandung senyawa tersebut pada luasan bidang pandang tertentu, dari 10 sayatan untuk masing-masing perlakuan. Uji Terpenoid (Liebermann-Burchard) Sebanyak ± 0.4 gram potongan kayu yang telah diberi perlakuan dilarutkan dalam 5 ml etanol absolut panas (100 ºC) kemudian disaring ke dalam cawan petri steril dan diuapkan sampai kering hingga terbentuk endapan berwarna kuning. Endapan kemudian ditambahkan 1 ml dietil eter dan dihomogenisasi. Endapan yang telah dihomogenisasikan selanjutnya dipindahkan ke dalam tabung reaksi steril lalu ditambahkan 3 tetes asam asetat anhidrat dan 1 tetes H 2 SO 4 pekat. Warna merah atau ungu menunjukkan adanya senyawa triterpenoid (Harbone 1987). HASIL Kebugaran Cabang. Cabang A. crassna memberikan respon yang sama terhadap induksi MeJA dan pelukaan (K+). Induksi MeJA dan pelukaan menyebabkan terjadinya perubahan warna pada daun yang berada di daerah ujung cabang yang diberi perlakuan. Daun berubah warna dari hijau menjadi

11 5 kuning dan gugur. Perubahan warna terjadi satu sampai dua minggu setelah perlakuan. Daun-daun pada cabang yang diinduksi dengan MeJA (secara berulang) gugur lebih awal dibandingkan dengan daun-daun pada cabang yang hanya dilukai saja. Semakin banyak pengulangan, semakin besar persentase cabang yang daunnya gugur. Pada cabang yang diberi MeJA dengan satu kali perlakuan, sebanyak 21% cabang menunjukkan gugur daun, kemudian berturutturut pada dua kali perlakuan sebanyak 30% cabang, tiga kali perlakuan sebanyak 42% cabang, empat kali perlakuan sebanyak 50% cabang. Pada kontrol positif hanya ditemukan 10% cabang yang daunnya gugur. Berbeda dengan kedua perlakuan di atas, pada cabang yang tidak dilukai (K-) tidak ditemukan adanya perubahan warna pada daun, daun tetap segar dan hijau sampai akhir pengamatan. Perubahan Warna. Adanya perubahan warna kayu ditemukan baik pada cabang yang diberi perlakuan MeJA maupun cabang yang menjadi K+. Perlakuan dengan MeJA menghasilkan warna kayu yang beragam dibandingkan dengan K+ (Tabel 2). Perlakuan MeJA menghasilkan rata-rata perubahan warna kayu berkisar antara putih kecoklatan, coklat, sampai coklat kehitaman. Perlakuan K+ hanya menghasilkan rata-rata warna kayu putih kecoklatan, sedangkan pada perlakuan K- tidak terjadi perubahan warna kayu (Gambar 2). Tabel 2 Perubahan warna didasarkan pada sistem skor 0-3 (0=putih, 1=putih kecoklatan, 2=coklat, 3=coklat kehitaman) dari rataan 3 responden. Waktu Skor Warna dari Masing-masing Perlakuan Pengamatan (hsi) K- K+ M1 M2 M3 M ± ± ± ± ± ± ± ± 0 0 ± 0 2.5± ± ± ± 0 0 ± 0 2.5± ± ± ± Gambar 2 K- K+, M1 M2 M3 M4 Kayu A.crassna setelah diberi perlakuan (K-; skor warna 0 = putih), (K+, M1;skor warna 1 = putih kecoklatan), (M2;skor warna 2 = coklat), (M3; skor warna 3 = coklat), (M4; skor warna 4 = coklat kehitaman). Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pemberian MeJA (secara berulang) menyebabkan semakin dalam dan semakin panjang zona perubahan warna yang terbentuk. Perlakuan MeJA menghasilkan kedalaman (Tabel 3) dan panjang zona perubahan warna yang lebih tinggi (Tabel 4 dan 5) dibandingkan dengan K+. Perlakuan dengan MeJA 3x dan 4x induksi memiliki kedalaman paling besar yang terlihat pada pengamatan 75 hsi. Hal yang menarik adalah bahwa semua perlakuan MeJA menyebabkan peningkatan kedalaman warna semakin lama waktu inkubasi. Panjang zona perubahan warna yang mengarah ke arah apeks (menuju daun) (Tabel 4) berbeda dengan besarnya panjang zona perubahan warna yang mengarah ke arah basal (menuju batang utama) (Tabel 5). Pada perlakuan dengan MeJA rata-rata kisaran panjang zona perubahan warna yang terbentuk ke arah apeks hanya mencapai 5.48 cm dan 4.59 cm untuk panjang zona perubahan warna ke arah basal. Sedangkan pada K+, rata-rata panjang zona perubahan ke apeks sebesar 1.65 cm dan rata-rata panjang zona perubahan ke basal sebesar 3.53 cm.

12 6 Tabel 3 Kedalaman zona perubahan warna kayu A. crassna setelah diberi perlakuan. Waktu Kedalaman Zona Perubahan Warna dari Masing-masing Perlakuan (cm) Pengamatan (hsi) K- K+ M1 M2 M3 M ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± 0 1 ± ± ± ± ± b a Gambar 3 Zona perubahan warna kayu A. crassna yang mengarah ke bagian apeks menuju daun (a) dan ke bagian basal menuju batang utama (b). Tabel 4 Panjang zona perubahan warna kayu A. crassna setelah diberi perlakuan yang mengarah ke arah apeks (menuju daun). Waktu Zona Perubahan Warna dari Masing-masing Perlakuan yang Mengarah ke Bagian Apeks (cm) Pengamatan (hsi) K- K+ M1 M2 M3 M ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± Tabel 5 Panjang zona perubahan warna kayu A. crassna setelah diberi perlakuan yang mengarah ke arah basal (menuju batang utama). Waktu Zona Perubahan Warna dari Masing-masing Perlakuan yang Mengarah ke Bagian Apeks (cm) Pengamatan (hsi) K- K+ M1 M2 M3 M ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± ± Tingkat wangi. Aroma wangi pada kayu hanya terdeteksi pada bagian cabang yang diinduksi dengan MeJA. Induksi MeJA menghasilkan aroma wangi dengan indeks tertinggi pada setiap kali panen dan wangi hanya bertahan sampai dengan 25 hari setelah aplikasi MeJA yang terakhir. Induksi MeJA secara berulang pada setiap kali panen mampu meningkatkan aroma wangi kayu yang hilang pada saat induksi sebelumnya. Pada 1 kali induksi dengan pemberian MeJA di hari ke 0, aroma wangi teramati pada panen 10 hsi dan menurun pada 25 hsi. Aroma wangi kemudian akan hilang pada 50 hsi (Tabel 6). Setelah diinduksi ulang (dengan 2 kali pemberian MeJA pada hari ke 0 dan dan hari ke 10) aroma wangi yang turun pada 1 kali induksi saat 25 hsi dapat meningkat kembali. Pada induksi 2 kali, aroma wangi juga terdeteksi pada 50 dan 75 hsi. Induksi ulang (dengan 3 kali pemberian MeJA pada hari ke 0, 10 dan 25) dapat meningkatkan aroma wangi yang turun pada 50 dan 75 hsi saat induksi 2 kali. Aroma wangi yang turun saat induksi 3 kali pada 75 hsi dapat ditingkatkan kembali dengan perlakuan induksi MeJA sebanyak 4 kali (Tabel 6). Pada pemberian MeJA secara berulang, pengaruh warna kayu tidak mempengaruhi tingkat wangi dengan nilai R 2 = (Gambar 4).

13 7 Tabel 6 Tingkat wangi kayu A. crassna setelah diberi perlakuan didasarkan pada sistem skor 0-3 (0=tidak wangi, 1=kurang wangi, 2=wangi, 3=wangi sekali). Waktu Skor Wangi dari Masing-masing Perlakuan Pengamatan (hsi) K- K+ M1 M2 M3 M ± 0 0 ± ± ± 0 0 ± ± ± ± 0 0 ± 0 0 ± ± ± ± 0 0 ± 0 0 ± ± ± ± Indeks Wangi Indeks Warna Gambar 4 Hubungan indeks warna dengan indeks wangi pada perlakuan MeJA didasarkan sistem skor 0-3 (0=putih, tidak wangi; 1=putih kecoklatan, kurang wangi; 2=coklat, wangi; 3=coklat kehitaman, wangi sekali). Analisis Terpenoid Setelah diamati secara mikroskopis dengan menggunakan pewarna tembaga asetat pada uji histokimia, adanya akumulasi senyawa terpenoid ditemukan pada jaringan parenkima jejari, included phloem, unsur trakea xilem dan empulur. Senyawa terpenoid terdeteksi pada cabang yang diberi perlakuan MeJA dan kontrol positif mulai 10 hsi (Gambar 5), sedangkan pada tanaman yang menjadi kontrol negatif tidak ditemukan adanya senyawa terpenoid. Cabang yang diinduksi dengan MeJA secara berulang memiliki persentase luasan jaringan pendeposit senyawa terpenoid terbesar setiap kali panen (Tabel 7). Deposit senyawa terpenoid, terakumulasi paling banyak pada jaringan parenkima jejari dan paling sedikit pada included phloem, unsur trakea xilem dan empulur (Tabel 7). Berdasarkan uji Lieberman-Burchard, warna merah atau ungu mengidentifikasikan adanya senyawa triterpenoid (Harbone 1987) (Gambar 7). Senyawa triterpenoid terdeteksi pada kayu yang diberi MeJA mulai 25 hsi (M25). Senyawa ini tidak terdeteksi pada kontrol negatif (K-) pada 10 hsi. Pada kontrol positif (K), mulai 50 hsi. b c d a Gambar 5 Senyawa terpenoid (kuning kecoklatan) yang terakumulasi pada jaringan parenkim jejari (a), included floem (b),unsur trakea (c), dan empulur (d) pada panen 10 hsi.

14 8 Tabel 7 Persentase (%) deposit terpenoid yang terakumulasi pada jaringan pengakumulasi terpenoid pada luasan bidang pandang tertentu (rataan dari 10 sayatan untuk masing-masing perlakuan). Waktu Jaringan Pengamatan Pengakumulasi Akumulasi Terpenoid Pada Perlakuan (%) (hsi) Terpenoid K- K+ M1 M2 M3 M4 10 Parenkim jejari 0± ± ± Included floem 0± ± ± Unsur trakea 0± ± ± Empulur 0± ± ± Parenkim jejari 0± ± ± ± Included floem 0± ± ± ± Unsur trakea 0± ± ± ± Empulur 0± ± ± ± Parenkim jejari 0± ± ± ± ± Included floem 0± ± ± ± ± Unsur trakea 0± ± ± ± ± Empulur 0± ± ± ± ± Parenkim jejari 0± ± ± ± ± ± Included floem 0± ± ± ± ± ± Unsur trakea 0± ± ± ± ± ± Empulur 0± ± ± ± ± ± PEMBAHASAN Gambar 6 Warna merah pada endapan menunjukkan adanya triterpenoid pada resin gaharu alam berdasarkan pada uji Liebermann-Burchard K- K10 M10 K25 M25 K50 M50 K75 M75 Gambar 7 Triterpenoid yang telah teridentifikasi pada panen 10, 25, 50 dan 75 hsi berdasarkan pada uji Liebermann- Burhchard. Induksi MeJA dan Pengaruhnya terhadap Cabang yang Diinduksi Induksi MeJA 750 mm dan pelukaan menyebabkan stress pada pohon A. crassna. Hal ini ditandai dengan adanya perubahan warna daun dari hijau menjadi kuning dan terjadinya gugur daun pada cabang-cabang yang telah diberi perlakuan. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Janoudi dan Flore (2003), yang menyatakan bahwa perlakuan MeJA 10 mm pada tanaman persik (Prunus persica) mengakibatkan terjadinya penurunan kadar klorofil daun, penghambatan pembentukan cabang baru, penurunan jumlah daun sebanyak 31% dan penurunan berat daun muda setelah 3 minggu perlakuan. Satu kali perlakuan MeJA 750 mm tidak menyebabkan terjadinya klorosis daun, tetapi menyebabkan cabang yang diberi perlakuan MeJA mengalami gugur daun sebanyak 20% (Putri 2007). Cabang yang diinduksi dengan MeJA (secara berulang) mengalami gugur daun lebih banyak dibandingkan dengan cabang yang diberi pelukaan. Meskipun perlakuan MeJA (secara berulang) mampu menyebabkan gugur daun hingga mencapai 50 %, tetapi tidak ditemukan adanya cabang yang mati karena perlakuan tersebut. Menurut Fillela (2005), pemberian MeJA secara eksogen dapat

15 9 menyebabkan tanaman menjadi resisten tanpa mengakibatkan kerusakan pada tanaman itu sendiri. Selain pemberian MeJA, gugur daun dapat mengindikasikan gangguan patologis. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Santoso (1996) yang melaporkan bahwa pertumbuhan tanaman yang merana dan mengalami kekeringan berkaitan dengan gejala patologis terbentuknya gaharu yang diawali oleh rangsangan luka pada batang, patah cabang, atau ranting dan pengaruh fisik lainnya. Pohon Aquilaria crassna yang merana akibat gangguan perlakuan kimiawi dan pelukaan menunjukkan proses awal pembentukan senyawa gaharu itu sendiri. Perubahan warna kayu terjadi pada cabang yang diberi perlakuan MeJA dan pelukaan (kontrol positif). Hal ini didukung oleh pernyataan Walker dan Bray (1997), yang menyatakan bahwa terjadinya perubahan warna pada kayu menjadi berwarna coklat (browning) dapat disebabkan oleh penggunaan senyawa kimia dan pelukaan. Hal tersebut menunjukkan bahwa perubahan warna merupakan respon non-spesifik tanaman terhadap gangguan, karena respon dapat ditemukan baik pada cabang yang diberi perlakuan MeJA maupun cabang yang diberi pelukaan. Perlakuan MeJA (secara berulang) menghasilkan rata-rata perubahan warna kayu berkisar antara putih kecoklatan, coklat, sampai coklat kehitaman. Pada 75 hsi, induksi MeJA (secara berulang) dengan satu kali, dua kali, tiga kali dan empat kali pengulangan menghasilkan rata-rata warna kayu coklat kehitaman (Gambar 2). Semakin lama periode induksi (sampai dengan 75 hsi) warna kayu semakin gelap. Namun, hal tersebut bertentangan dengan pernyataan Putri (2007), yang menyatakan bahwa pada satu kali induksi MeJA pada 75 hsi, umumnya kayu kembali berwarna putih atau putih kecoklatan. Pada kayu yang diberi pelukaan (kontrol positif) hanya menghasilkan rata-rata warna kayu putih kecoklatan. Terjadinya perubahan warna kayu pada cabang yang diberi pelukaan mungkin disebabkan juga oleh mikroorganisme udara sebagai akibat adanya kontak langsung antara kayu dengan lingkungan luar. Menurut Anonim (1999), terbentuknya warna coklat pada kayu dapat disebabkan oleh cendawan mikroskopik penyebab blue stain. Cendawan penyebab blue stain tidak menyebabkan kebusukan dan efek tertentu pada kayu, selain perubahan warna kayu (Anonim 1999). Umumnya semua cabang yang diberi perlakuan MeJA dan kontrol positif menunjukkan adanya perluasan panjang dan kedalaman zona perubahan warna. Berbeda dengan kontrol positif, perlakuan dengan induksi MeJA menyebabkan panjang dan kedalaman warna yang paling besar. Hal tersebut mungkin disebabkan karena MeJA merupakan elisitor kimiawi yang merangsang pembentukan fitoaleksin. Pada kontrol positif, penambahan panjang dan kedalaman terjadi karena adanya pelukaan. Pertambahan panjang zona perubahan warna menunjukkan adanya aktivitas fisiologis yang bersifat sistemik pada kayu. Kulit kayu dan kambium telah dibuang saat awal perlakuan induksi MeJA dan pelukaan, namun arah panjang zona perubahan warna yang terbentuk menuju ke dua arah, yaitu ke apeks (menuju daun) dan ke basal (menuju batang utama) (Gambar 3). Beberapa data perubahan warna memiliki nilai simpangan baku yang cukup besar (Tabel 2), hal ini menunjukkan bahwa ulangan untuk perlakuan MeJA dan pelukaan perlu ditambah. Adanya nilai simpangan baku yang cukup besar tersebut ditemukan juga pada beberapa data kedalaman (Tabel 3) dan panjang zona perubahan warna kayu (Tabel 4 dan 5) serta tingkat wangi (Tabel 6). Aroma wangi hanya terdeteksi pada bagian cabang yang diberi perlakuan MeJA. Hal ini membuktikan bahwa respon wangi merupakan respon spesifik terhadap bentuk gangguan tertentu, yaitu induksi MeJA. MeJA merupakan senyawa sinyal bagi pembentukan komponen fitoaleksin (Michiho 2005). Pada pohon gaharu, salah satu senyawa fitoaleksin mengeluarkan aroma yang khas. Aroma wangi yang dihasilkan dari induksi MeJA seperti wangi bunga melati dan berbeda dengan aroma wangi gaharu alam. Aroma wangi yang dihasilkan tidak selalu sebanding dengan kepekatan warna kayu. Hal ini didukung oleh pernyataan Rahayu et al. (1999), yang menyatakan bahwa terjadinya pembentukan wangi gaharu tidak selalu diikuti oleh perubahan warna kayu. Induksi MeJA (secara berulang) pada setiap kali panen mampu meningkatkan aroma wangi kayu yang hilang pada saat induksi sebelumnya. Adanya pemberian MeJA (secara berulang) hanya meningkatkan tingkat wangi tetapi tidak pada perubahan warna. Warna kayu akan semakin gelap meskipun tidak diberi perlakuan berulang. Peningkatan aroma wangi kayu diduga disebabkan oleh bertambahnya akumulasi

16 10 senyawa sesquiterpen, sedangkan penurunan atau hilangnya aroma wangi diduga disebabkan karena hilangnya senyawa sesquiterpen. Menurut Michiho (2005), aroma wangi yang muncul pada kayu gaharu diduga adalah senyawa sesquiterpen yang memiliki sifat mudah menguap. Selain itu, peningkatan dan hilangnya aroma wangi ini kemungkinan berhubungan dengan sifat MeJA yang mudah menguap (Srivastava 2002). Menurut Franceschi et al. (2002), penggunaan MeJA pada P. abies yang dilukai dan diinokulasi dengan Ceratocystis polonica dapat meningkatkan produksi fitoaleksin. Aroma wangi kayu hilang seiring dengan menguapnya MeJA, tetapi akumulasi deposit senyawa gaharu tetap terdeteksi hingga akhir pengamatan. Deteksi terpenoid berdasarkan uji histokimia, bukan spesifik terhadap kelompok sesquiterpen melainkan terpenoid secara keseluruhan, sedangkan analisis terpenoid (Harbone 1987) mendeteksi kehadiran kelompok terpenoid yang spesifik yaitu triterpenoid dan bukan sesquiterpen. Pembentukan Senyawa Gaharu dengan Induksi Kimia Hasil penelitian menunjukkan bahwa induksi MeJA dan pelukaan dapat merangsang pembentukan senyawa terpenoid. Menurut Srivastava (2002), pelukaan atau perlakuan dengan menggunakan protein sistemin pada jaringan tanaman atau sel mampu menginduksi terjadinya pembentukan MeJA. MeJA akan merangsang ekspresi gen penyandi respon ketahanan tanaman (Yang 1997). Meskipun MeJA merupakan fitohormon endogen, MeJA akan jauh lebih aktif jika diaplikasikan secara eksogen. Aplikasi MeJA pada kultur sel A. sinensis dapat merangsang pembentukan senyawa terpenoid (Michiho 2005). Senyawa terpenoid adalah metabolit sekunder yang diproduksi tanaman sebagai respon terhadap pelukaan, infeksi patogen dan perlakuan kimiawi (Nobuchi & Siripatanadilok 1991). Terpenoid disintesis dari isoprenoid melalui Acetyl CoA dan lintasan asam mevalonat (Srivastava 2002). Terpenoid mencakup sejumlah besar senyawa tumbuhan (Roberts 2007) dan dikelompokan berdasarkan jumlah unsur karbon yang terdapat dalam senyawa tersebut. Terpenoid terdiri atas beberapa senyawa, mulai dari komponen minyak atsiri, yaitu monoterpen (C 10 ) dan sesquiterpen (C 15 ) yang mudah menguap, diterpen yang lebih sukar menguap (C 20 ) dan senyawa yang tidak menguap, yaitu triterpenoid dan sterol (C 30 ) (Harbone 1987). Adanya senyawa terpenoid yang dihasilkan dari induksi MeJA dan pelukaan ini dibuktikan pada uji histokimia dan analisis terpenoid. Pada uji histokimia, deposit senyawa terpenoid ditunjukkan dengan butiran terpenoid yang terakumulasi dalam jumlah banyak pada jaringan parenkima jejari, dan dalam jumlah relatif lebih kecil pada included phloem, unsur trakea xilem dan empulur (Tabel 6). Hal ini didukung oleh pernyataan Ramadhani (2005), yang melaporkan adanya senyawa golongan terpenoid dalam jumlah banyak pada jaringan parenkima jejari dan dalam jumlah kecil pada included phloem, dan unsur trakea xilem. Parenkima jejari merupakan salah satu jaringan dasar pada tanaman yang menyusun sebagian besar tubuh tumbuhan. Menurut Blanchette (2003), included phloem merupakan jaringan pada Aquilaria yang mampu mensekresikan resin. Berbeda dengan parenkima jejari dan included phloem yang tersusun oleh sel-sel hidup, unsur trakea xilem dan empulur tersusun dari sel-sel yang mati, sehingga unsur trakea dan empulur hanya berperan sebagai jaringan pendeposit saja. Analisis terpenoid hanya ditujukan untuk mendeteksi kelompok triterpenoid. Hal tersebut dibuktikan dengan munculnya warna merah pada endapan setelah direaksikan dengan pereaksi Liebermann-Burchard. Pada kayu yang diberi perlakuan MeJA, senyawa triterpenoid mulai terdeteksi pada 25 hsi (Gambar 7), dan tidak terdeteksi pada 10 hsi. Senyawa triterpenoid tidak terdeteksi pada 10 hsi mungkin disebabkan oleh jumlah deposit senyawa terpenoid yang masih sedikit. Dibandingkan dengan MeJA, pelukaan lebih lambat merangsang pembentukan senyawa triterpenoid pada kayu. Triterpenoid pada kontrol positif terdeteksi mulai 50 hsi (Gambar 7). Hal ini mungkin disebabkan juga karena masih terlalu sedikitnya jumlah senyawa terpenoid yang terakumulasi sehingga belum cukup untuk membentuk senyawa triterpenoid. Triterpenoid terdapat dalam damar dan getah (Harbone 1987). Triterpenoid berfungsi sebagai pelindung untuk menolak serangga dan serangan mikroba (Harbone 1987). Peluang Pemanfaatan Metode Induksi dengan MeJA Induksi gaharu dengan MeJA sejauh ini mempunyai peluang hasil yang cukup baik

17 11 dibandingkan dengan metode inokulasi mikroorganisme, misalnya seperti cendawan Acremonium sp. (Putri 2007). Induksi MeJA 750 mm (secara berulang) mampu menghasilkan deposit senyawa terpenoid gaharu lebih banyak dibandingkan dengan satu kali pemberian saja. Adapun keuntungan dari aplikasi induksi MeJA diantaranya adalah aplikasinya lebih sederhana dibandingkan dengan metode inokulasi cendawan dan bentuk formulasinya sudah komersial. Adapun kerugian dari aplikasi ini ialah pembentukan aroma wangi berfluktuasi. Tingkat wanginya meningkat ketika diinduksi MeJA dan menurun beberapa hari setelah induksi. KESIMPULAN Perlakuan Aquilaria dengan pelukaan memiliki respon yang berbeda dengan perlakuan MeJA. Perlakuan MeJA memberikan hasil yang lebih baik. MeJA 750 mm dapat menginduksi pembentukan warna kayu lebih gelap dengan panjang serta kedalaman zona perubahan warna lebih besar dibandingkan dengan pelukaan. MeJA menginduksi pembentukan aroma wangi khas melati. Pada cabang yang diberi pelukaan ditemukan adanya perubahan warna kayu, namun tidak tercium aroma wangi khas gaharu. Pemberian MeJA (secara berulang) tidak dapat menyebabkan indeks warna memiliki korelasi dengan indeks wangi. Pemberian MeJA (secara berulang) mampu meningkatkan deposit senyawa terpenoid gaharu lebih banyak dibandingkan hanya satu kali pemberian saja tetapi wangi kayu dapat bertahan sampai dengan 25 hari setelah aplikasi terakhir. Hal ini terbukti dengan semakin banyak pemberian maka semakin besar pula persentase luasan jaringan yang mengandung butiran terpenoid pada jaringan pengakumulasi. Akumulasi senyawa terpenoid ditemukan paling banyak pada jaringan parenkima jejari, dan menurun berturut-turut pada included phloem, unsur trakea xilem dan empulur. Senyawa terpenoid yang teridentifikasi berdasarkan analisis terpenoid mengandung komponen triterpenoid. SARAN Teknik lain untuk meningkatkan produksi gubal gaharu perlu dilakukan. Metode untuk identifikasi senyawa terpenoid yang terkandung dalam kayu gaharu perlu untuk diteliti lebih lanjut. DAFTAR PUSTAKA Anonim Blue Stain. Forest Product Laboratory. Madison, WI: US. Departemen of Agriculture. Babst BA, Ferrier RA, Gray DW Jasmonic acid induces rapid change transport and partitioning in Populus. Am J Phytol 167: Barden A, Anak NA, Mulliken T, Song M Heart of the Matter: Agarwood Use and Trade and CITIES Implementation for Aquilaria malacensis. Cambridge: Traffict Int. Blanchette RA Agarwood formation in Aquilaria trees: resin production in nature and how it can be induced in plantation grown trees [Abstrak ]. Di dalam: First International Agarwood Conference; Vietnam, Vietnam: European Comission hlm 10. Abstr no 1. Dewan Standarisasi Nasional SNI 01/ Gaharu. Jakarta : Dewan Standarisasi Nasional. Filella I, Joseph P Dynamics of the enhanced emissions of monoterpenes and methyl salicylate, and decreased uptake of formaldehyde, by Quercus ilex leaves after application of jasmonic acid. New Phytol 169 : Franceschi VR, Trygve K, Erik C Application of Methyl Jasmonate on Picea Abies (Pinaceae) stem induces defense related in phloem and xylem. Am J Bot 89: Harbone JB Metode Fitokimia. Padmawinata K dan I Sudiro, penerjemah. Bandung: Institut Teknologi Bandung. Terjemahan dari: Phytochemical Methods. Hoopkins WG, Hiiner NPA Introduction to Plant Physiology Third Edition. University of Western Ontario USA: John Wiley & Sons, Inc. Janoudi A, Flore JA Methyl jasmonate on fruit ripening leaf gas exchange and

18 12 vegetative growth in fruit trees [Abstrak ]. J Hort Sci Biotechnol 78: Lieu N X Seed Leaflet. Central Forest Seed Company. http : // www. google. com / searc? Q = cache : CblancRItgkj: sl.dk/upload/aquilaria rassna_100_html [20 Januari 2006]. Martin D, Tholl D, Gershenzon J Methyl jasmonate induces traumatic resin ducts, terpenoid resin biosynthesis, and terpenoid resin accumulation in developing xylem of Norway Spruce stems. Plant Physiol 129: Mert-Turk F Phytoaleksin : defence or just respon to stress?. J Cell Mol Biol 1:1-6. Michiho I Induction of sesquiterpenoid production by Methyl Jasmonate in Aquilaria sinensis cell suspension culture. Essential Oil Research. http//www. findarticles. com [12 Februari 2006]. Nobuchi T, Siripatanadilok S Preliminary observation of Aquilaria crassna wood associated with the formation of aloewood. Bulletin of the Kyoto University Forest 63: Putri A Induksi terbentuknya senyawa terpenoid pada pohon gaharu (Aquilaria crassna) dengan Acremonium dan MeJA [Skripsi]. Bogor : Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Rahayu G, Isnaeni Y, Umboh MIJ Potensi beberapa hifomiset dalam induksi gejala pembentukan gubal gaharu. Makalah Seminar Kongres Nasional Ke XV dan Seminar Ilmiah PFI: Purwokerto, September Purwokerto : Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Hlm:1-6. Ramadhani CH Pengamatan included phloem dan jaringan pengakumulasi gaharu pada Aquilaria crassna [Skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Roberts SC Production and engineering of terpenoids in plant all culture. Nature Chem Biol 3: Santoso E Pembentukan Gaharu dengan cara inokulasi. Makalah diskusi hasil penelitian dalam menunjang pemanfaatan hutan yang lestari; Bogor, Maret Bogor: Badan Litbang Kehutanan Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Hlm 1-3. Srivastava LM. Plant Growth and development USA : Academic Press. Walker D Jr, Bray D Diagnosing Field Crop Problems. [3 Maret 2006]. Yang Y, Shah J, Klessig DF Signal perception and transduction in plant defense response. Review 11: Yuan QS Aquilaria spesies: In vitro culture and production of eaglewood (agarwood). Di dalam : Bajaj YPS, editor. Biotechnol Agric Forest 33. Volume ke- 15. New York: Springer. Hlm:

HASIL. Tingkat perubahan warna, panjang kedalaman zona perubahan warna serta tingkat wangi dinyatakan dalam nilai rata-rata ± simpangan baku.

HASIL. Tingkat perubahan warna, panjang kedalaman zona perubahan warna serta tingkat wangi dinyatakan dalam nilai rata-rata ± simpangan baku. 4 Tabel 1 Rancangan pemberian MeJA 750 mm secara berulang. Induksi / Pengamatan Perlakuan (hari ke-) Induksi 0 10 25 50 75 M1 * * * * M2 * * * M3 * * M4 * Keterangan : = pemberian * = pengamatan M1= Perlakuan

Lebih terperinci

ol6 PENGARUH ASAM SALISILAT TERHADAP SIFAT KAW GAHARU (Aquilaria crassna) DESI RUSLIANI

ol6 PENGARUH ASAM SALISILAT TERHADAP SIFAT KAW GAHARU (Aquilaria crassna) DESI RUSLIANI ol6 PENGARUH ASAM SALISILAT TERHADAP SIFAT KAW GAHARU (Aquilaria crassna) DESI RUSLIANI DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ABSTRAK DESI RUSLIANI.

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian 4.1.1 Proses Kolonisasi Fusarium sp. IPBCC. 08.569 Fusarium sp. IPBCC. 08.569 tidak membentuk apresorium di permukaan kulit kayu Aquilaria sp utuh. Konidia

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS Acremonium sp. DAN METIL JASMONAT DALAM PENINGKATAN MUTU GAHARU ASAL Aquilaria microcarpa LIA YUNITA

EFEKTIVITAS Acremonium sp. DAN METIL JASMONAT DALAM PENINGKATAN MUTU GAHARU ASAL Aquilaria microcarpa LIA YUNITA 1 EFEKTIVITAS Acremonium sp. DAN METIL JASMONAT DALAM PENINGKATAN MUTU GAHARU ASAL Aquilaria microcarpa LIA YUNITA DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

Induksi Pembentukan Gaharu Menggunakan Berbagai Media Tanam dan Cendawan Acremonium sp. dan Fusarium sp. Pada Aquilaria crassna

Induksi Pembentukan Gaharu Menggunakan Berbagai Media Tanam dan Cendawan Acremonium sp. dan Fusarium sp. Pada Aquilaria crassna Jurnal Sumberdaya HAYATI Juni 2016 Vol. 2 No. 1 hlm 1-6 Available online at: http://biologi.ipb.ac.id/jurnal/index.php/jsdhayati Induksi Pembentukan Gaharu Menggunakan Berbagai Media Tanam dan Cendawan

Lebih terperinci

BUDIDAYA DAN TEKNIS PERAWATAN GAHARU

BUDIDAYA DAN TEKNIS PERAWATAN GAHARU BUDIDAYA DAN TEKNIS PERAWATAN GAHARU ketiak daun. Bunga berbentuk lancip, panjangnya sampai 5 mm, berwarna hijau kekuningan atau putih, berbau harum. Buah berbentuk bulat telur atau agak lonjong, panjangnya

Lebih terperinci

PENGARUH KOMBINASI BERBAGAI MEDIA TANAM DENGAN INOKULUM CENDAWAN Acremonium sp. DAN Fusarium sp. TERHADAP KUALITAS GAHARU PADA Aquilaria crassna

PENGARUH KOMBINASI BERBAGAI MEDIA TANAM DENGAN INOKULUM CENDAWAN Acremonium sp. DAN Fusarium sp. TERHADAP KUALITAS GAHARU PADA Aquilaria crassna PENGARUH KOMBINASI BERBAGAI MEDIA TANAM DENGAN INOKULUM CENDAWAN Acremonium sp. DAN Fusarium sp. TERHADAP KUALITAS GAHARU PADA Aquilaria crassna DIANA AGUSTIN CAROLINA S DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan dari bulan Agustus 2009 sampai dengan bulan Januari 2010. Daun gamal diperoleh dari Kebun Percobaan Natar, Lampung Selatan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kota Yogyakarta (lokasi 1) dari pusat kota ke arah Gunung Merapi sebagai lokasi yang relatif tercemar dan di Kota Solo

Lebih terperinci

KARAKTERISTIK PENYEBAB PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA TANAMAN TEMBAKAU DI PROBOLINGGO

KARAKTERISTIK PENYEBAB PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA TANAMAN TEMBAKAU DI PROBOLINGGO KARAKTERISTIK PENYEBAB PENYAKIT LAYU BAKTERI PADA TANAMAN TEMBAKAU DI PROBOLINGGO Pendahuluan Tembakau merupakan salah satu komoditas perkebunan yang strategis dan memiliki nilai ekonomi cukup tinggi.

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilakukan selama lima bulan dari bulan Mei hingga September 2011, bertempat di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Bengkel Teknologi Peningkatan

Lebih terperinci

OPTIMASI PEMBUATAN KOPI BIJI PEPAYA (Carica papaya)

OPTIMASI PEMBUATAN KOPI BIJI PEPAYA (Carica papaya) JURNAL TEKNOLOGI AGRO-INDUSTRI Vol. 2 No.2 ; November 2015 OPTIMASI PEMBUATAN KOPI BIJI PEPAYA (Carica papaya) MARIATI Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Politeknik Negeri Tanah Laut, Jl. A. Yani, Km

Lebih terperinci

AKTIVITAS UREASE DAN FOSFOMONOESTERASE ASAM, SERTA PRODUKTIVITAS KACANG TANAH DENGAN PEMBERIAN PUPUK ORGANIK KURTADJI TOMO

AKTIVITAS UREASE DAN FOSFOMONOESTERASE ASAM, SERTA PRODUKTIVITAS KACANG TANAH DENGAN PEMBERIAN PUPUK ORGANIK KURTADJI TOMO AKTIVITAS UREASE DAN FOSFOMONOESTERASE ASAM, SERTA PRODUKTIVITAS KACANG TANAH DENGAN PEMBERIAN PUPUK ORGANIK KURTADJI TOMO PROGRAM STUDI BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT

Lebih terperinci

JARINGAN PENGAKUMULASI RESIN GAHARU PADA Aquilaria crassna

JARINGAN PENGAKUMULASI RESIN GAHARU PADA Aquilaria crassna JARINGAN PENGAKUMULASI RESIN GAHARU PADA Aquilaria crassna Oleh: RIZKI CHAIRIAH RAMADHANI G34101058 DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006 ABSTRAK

Lebih terperinci

INDUKSI SENYAWA GAHARU MELALUI KOMBINASI SENYAWA KIMIA DAN ACREMONIUM M U R T A I P

INDUKSI SENYAWA GAHARU MELALUI KOMBINASI SENYAWA KIMIA DAN ACREMONIUM M U R T A I P INDUKSI SENYAWA GAHARU MELALUI KOMBINASI SENYAWA KIMIA DAN ACREMONIUM M U R T A I P SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010 INDUKSI SENYAWA GAHARU MELALUI KOMBINASI SENYAWA KIMIA DAN ACREMONIUM

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Januari-April Penelitian ini

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Januari-April Penelitian ini 28 III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini telah dilakukan pada bulan Januari-April 2013. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Botani Jurusan Biologi Fakultas MIPA. B.

Lebih terperinci

METODE MEMPERTAHANKAN KUALITAS DAN KUANTITAS ASAM RIBONUKLEAT (RNA) TANAMAN M. REZEKI MUAMMAR

METODE MEMPERTAHANKAN KUALITAS DAN KUANTITAS ASAM RIBONUKLEAT (RNA) TANAMAN M. REZEKI MUAMMAR METODE MEMPERTAHANKAN KUALITAS DAN KUANTITAS ASAM RIBONUKLEAT (RNA) TANAMAN M. REZEKI MUAMMAR PROGRAM STUDI BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRAK

Lebih terperinci

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat)

IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat) IDENTIFIKASI FITOKIMIA DAN EVALUASI TOKSISITAS EKSTRAK KULIT BUAH LANGSAT (Lansium domesticum var. langsat) Abstrak Kulit buah langsat diekstraksi menggunakan metode maserasi dengan pelarut yang berbeda

Lebih terperinci

METODOLOGI PENELITIAN

METODOLOGI PENELITIAN 22 METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Januari 2010 sampai dengan Pebruari 2011. Tempat pelaksanaan kultur jaringan tanaman adalah di Laboratorium Kultur Jaringan

Lebih terperinci

POLA EKSPRESI GEN HbACO2 PADA KULIT BATANG DAN LATEKS KARET (Hevea brasiliensis) AKIBAT STRES EKSPLOITASI CHAIRUNISA

POLA EKSPRESI GEN HbACO2 PADA KULIT BATANG DAN LATEKS KARET (Hevea brasiliensis) AKIBAT STRES EKSPLOITASI CHAIRUNISA POLA EKSPRESI GEN HbACO2 PADA KULIT BATANG DAN LATEKS KARET (Hevea brasiliensis) AKIBAT STRES EKSPLOITASI CHAIRUNISA PROGRAM STUDI BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di net house Gunung Batu, Bogor. Analisis tanah dilaksanakan di Laboratorium Tanah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 17 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Isolasi dan Seleksi Mikrob pada A. malaccensis Populasi bakteri dan fungi diketahui dari hasil isolasi dari pohon yang sudah menghasilkan gaharu. Sampel yang diambil merupakan

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kulit jengkol, larva

BAB III METODE PENELITIAN. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain kulit jengkol, larva 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian BAB III METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan April 2015 di Laboratorium Kimia Universitas Medan Area. 3.2 Bahan dan Alat Penelitian

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat 19 Metode ekstraksi tergantung pada polaritas senyawa yang diekstrak. Suatu senyawa menunjukkan kelarutan yang berbeda-beda dalam pelarut yang berbeda. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut

Lebih terperinci

Lampiran 1 Lay out penelitian I

Lampiran 1 Lay out penelitian I LAMPIRAN 65 Lampiran 1 Lay out penelitian I 66 Lampiran 2 B. humidicola tanpa N (A), B. humidicola dengann (B), P. notatum tanpa N (C), P. notatum dengan N (D), A. compressus tanpa N (E), A.compressus

Lebih terperinci

ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN PEGAGAN (Centella asiatica) HASIL PERBANYAKAN IN VITRO PUTRI KARINA LAILANI

ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN PEGAGAN (Centella asiatica) HASIL PERBANYAKAN IN VITRO PUTRI KARINA LAILANI ANALISIS KERAGAMAN PROTEIN DAN FITOKIMIA TANAMAN PEGAGAN (Centella asiatica) HASIL PERBANYAKAN IN VITRO PUTRI KARINA LAILANI PROGRAM STUDI BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT

Lebih terperinci

Lampiran 1. Hasil Identifikasi Tanaman Kecipir

Lampiran 1. Hasil Identifikasi Tanaman Kecipir Lampiran 1. Hasil Identifikasi Tanaman Kecipir Lampiran 2. Morfologi Tanaman Kecipir Gambar 1. Tanaman Kecipir (Psophocarpus tetragonolobus (L.) DC.) Lampiran 2. (Lanjutan) A B Gambar 2. Makroskopik Daun

Lebih terperinci

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN

BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN BAB 4 HASIL PERCOBAAN DAN PEMBAHASAN Tanaman yang digunakan pada penelitian ini adalah Allium shoenoprasum L. yang telah dinyatakan berdasarkan hasil determinasi di Herbarium Bandungense Sekolah Ilmu dan

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di salah satu industri rumah tangga (IRT) tahu di

III. BAHAN DAN METODE. Penelitian ini dilaksanakan di salah satu industri rumah tangga (IRT) tahu di III. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di salah satu industri rumah tangga (IRT) tahu di Kelurahan Gunung Sulah Kecamatan Sukarame Bandar Lampung, Laboratorium

Lebih terperinci

PENGARUH ETILEN DALAM MENGINDUKSI PEMBENTUKAN SENYAWA TERPENOID PADA POHON GAHARU (Aquilaria microcarpa) FAUZIAH RIRIN WIDYASTUTI

PENGARUH ETILEN DALAM MENGINDUKSI PEMBENTUKAN SENYAWA TERPENOID PADA POHON GAHARU (Aquilaria microcarpa) FAUZIAH RIRIN WIDYASTUTI PENGARUH ETILEN DALAM MENGINDUKSI PEMBENTUKAN SENYAWA TERPENOID PADA POHON GAHARU (Aquilaria microcarpa) FAUZIAH RIRIN WIDYASTUTI DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Pra-pengamatan atau survei

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Bahan dan Alat Metode Penelitian Pra-pengamatan atau survei BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Pusat Kajian Buah-Buahan Tropika IPB (PKBT-IPB) Pasir Kuda, Desa Ciomas, Bogor, dan Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan,

Lebih terperinci

Gambar 1 Tanaman uji hasil meriklon (A) anggrek Phalaenopsis, (B) bunga Phalaenopsis yang berwarna putih

Gambar 1 Tanaman uji hasil meriklon (A) anggrek Phalaenopsis, (B) bunga Phalaenopsis yang berwarna putih BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Isolasi dan perbanyakan sumber inokulum E. carotovora dilakukan di Laboratorium Bakteriologi Departemen Proteksi Tanaman Fakultas Pertanian, Institut Pertanian

Lebih terperinci

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air

HASIL DA PEMBAHASA. Kadar Air Pemilihan Eluen Terbaik Pelat Kromatografi Lapis Tipis (KLT) yang digunakan adalah pelat aluminium jenis silika gel G 60 F 4. Ekstrak pekat ditotolkan pada pelat KLT. Setelah kering, langsung dielusi dalam

Lebih terperinci

Lampiran 1. Identifikasi tumbuhan rimpang lengkuas merah

Lampiran 1. Identifikasi tumbuhan rimpang lengkuas merah Lampiran 1. Identifikasi tumbuhan rimpang lengkuas merah 69 Lampiran 2. Gambar tumbuhan rimpang lengkuas merah a b Keterangan: a. Gambar tumbuhan lengkuas merah b. Gambar rimpang lengkuas merah 70 Lampiran

Lebih terperinci

Lampiran 1. Gambar 1. Talus Segar Rumput Laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus. Universitas Sumatera Utara

Lampiran 1. Gambar 1. Talus Segar Rumput Laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus. Universitas Sumatera Utara Lampiran 1. Gambar 1. Talus Segar Rumput Laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus Lampiran 2. Hasil Identifikasi Tumbuhan Lampiran 3. Serbuk Simplisia Rumput Laut Gracilaria verrucosa (Hudson) Papenfus

Lebih terperinci

BAB IV PROSEDUR KERJA

BAB IV PROSEDUR KERJA BAB IV PROSEDUR KERJA 4.1. Penyiapan Bahan Bahan tumbuhan yang digunakan dalam penelitian ini adalah daun alpukat dan biji alpukat (Persea americana Mill). Determinasi dilakukan di Herbarium Bandung Sekolah

Lebih terperinci

MATERI DAN METODE. Materi

MATERI DAN METODE. Materi MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Pengujian kualitas fisik telur dilakukan di Laboratorium Teknologi Hasil Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Pengujian kualitas kimia telur dilakukan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT C. METODE PENELITIAN

III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT C. METODE PENELITIAN III. METODOLOGI A. BAHAN DAN ALAT Bahan baku utama yang digunakan pada penelitian ini adalah rimpang jahe segar yang diperoleh dari Balai Penelitian Tanaman Aromatik dan Obat (Balitro) Bogor berumur 8

Lebih terperinci

LAJU FOTOSINTESIS PADA BERBAGAI PANJANG GELOMBANG CAHAYA. Tujuan : Mempelajari peranan jenis cahaya dalam proses fotosintesis.

LAJU FOTOSINTESIS PADA BERBAGAI PANJANG GELOMBANG CAHAYA. Tujuan : Mempelajari peranan jenis cahaya dalam proses fotosintesis. LAJU FOTOSINTESIS PADA BERBAGAI PANJANG GELOMBANG CAHAYA Tujuan : Mempelajari peranan jenis cahaya dalam proses fotosintesis. Pendahuluan Fotosintesis merupakan proses pemanfaatan enegi matahari oleh tumbuhan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Peremajaan Aktinomiset dari Kultur Penyimpanan Perbanyakan Sclerotium rolfsii dari Kultur Penyimpanan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Bahan Peremajaan Aktinomiset dari Kultur Penyimpanan Perbanyakan Sclerotium rolfsii dari Kultur Penyimpanan BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Bakteriologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB) mulai Maret 2011 sampai

Lebih terperinci

atsiri dengan nilai indeks bias yang kecil. Selain itu, semakin tinggi kadar patchouli alcohol maka semakin tinggi pula indeks bias yang dihasilkan.

atsiri dengan nilai indeks bias yang kecil. Selain itu, semakin tinggi kadar patchouli alcohol maka semakin tinggi pula indeks bias yang dihasilkan. 1. Warna Sesuai dengan SNI 06-2385-2006, minyak atsiri berwarna kuning muda hingga coklat kemerahan, namun setelah dilakukan penyimpanan minyak berubah warna menjadi kuning tua hingga coklat muda. Guenther

Lebih terperinci

NILAI KESUKAAN KONSUMEN TERHADAP TEH DAUN GAHARU (Aquilaria malaccensis Lamk.) BERDASARKAN LETAK DAUN PADA BATANG SKRIPSI

NILAI KESUKAAN KONSUMEN TERHADAP TEH DAUN GAHARU (Aquilaria malaccensis Lamk.) BERDASARKAN LETAK DAUN PADA BATANG SKRIPSI NILAI KESUKAAN KONSUMEN TERHADAP TEH DAUN GAHARU (Aquilaria malaccensis Lamk.) BERDASARKAN LETAK DAUN PADA BATANG 1 SKRIPSI Oleh: Nora Adriana 071203006 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS

Lebih terperinci

Penelitian ini dilakukan di laboratorium Mikrobiologi Pangan Universitas Katolik Soegijapranata pada Agustus 2013 hingga Januari 2014.

Penelitian ini dilakukan di laboratorium Mikrobiologi Pangan Universitas Katolik Soegijapranata pada Agustus 2013 hingga Januari 2014. 2. MATERI DAN METODE 2.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan di laboratorium Mikrobiologi Pangan Universitas Katolik Soegijapranata pada Agustus 2013 hingga Januari 2014. 2.2. Materi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini termasuk jenis penelitian eksperimental menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial dengan 3 ulangan. Faktor pertama, konsentrasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kadar Air Ekstraksi dan Rendemen Hasil Ekstraksi

HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kadar Air Ekstraksi dan Rendemen Hasil Ekstraksi 24 Rancangan ini digunakan pada penentuan nilai KHTM. Data yang diperoleh dianalisis dengan Analysis of Variance (ANOVA) pada tingkat kepercayaan 95% dan taraf α 0.05, dan menggunakan uji Tukey sebagai

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Jenis Data Data Primer

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Jenis Data Data Primer 21 BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Kota Yogyakarta sebagai kota yang terkena dampak langsung erupsi Gunung Merapi dan di lokasi yang relatif tidak terlalu

Lebih terperinci

PERLAKUAN MEKANIS DAN PEMBERIAN ETILEN DALAM MENGINDUKSI PEMBENTUKAN TERPENOID PADA POHON GAHARU (Aquilaria beccariana)

PERLAKUAN MEKANIS DAN PEMBERIAN ETILEN DALAM MENGINDUKSI PEMBENTUKAN TERPENOID PADA POHON GAHARU (Aquilaria beccariana) PERLAKUAN MEKANIS DAN PEMBERIAN ETILEN DALAM MENGINDUKSI PEMBENTUKAN TERPENOID PADA POHON GAHARU (Aquilaria beccariana) Mechanical Treatment And Giving Etilen to Stimulate Terpenoid on Agarwood Tree (Aquilaria

Lebih terperinci

LAJU MINERALISASI N-NH 4 + DAN N-NO 3 - TANAH ANDISOL PADA PERTANIAN ORGANIK DAN KONVENSIONAL YANG DITANAMI KENTANG HARRY NOVIARDI

LAJU MINERALISASI N-NH 4 + DAN N-NO 3 - TANAH ANDISOL PADA PERTANIAN ORGANIK DAN KONVENSIONAL YANG DITANAMI KENTANG HARRY NOVIARDI 1 LAJU MINERALISASI NNH 4 + DAN NNO 3 TANAH ANDISOL PADA PERTANIAN ORGANIK DAN KONVENSIONAL YANG DITANAMI KENTANG HARRY NOVIARDI DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan 14 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Pelaksanaan penelitian

Lebih terperinci

EKONOMI GAHARU. Oleh : Firmansyah, Penyuluh Kehutanan. Budidaya pohon gaharu saat ini tak terlalu banyak dikenal masyarakat.

EKONOMI GAHARU. Oleh : Firmansyah, Penyuluh Kehutanan. Budidaya pohon gaharu saat ini tak terlalu banyak dikenal masyarakat. EKONOMI GAHARU Oleh : Firmansyah, Penyuluh Kehutanan Budidaya pohon gaharu saat ini tak terlalu banyak dikenal masyarakat. Hanya orangorang tertentu saja yang sudah membudidayakannya. Bukan karena tidak

Lebih terperinci

III. METODOLOGI. Tabel 1 Jenis-jenis pohon sebagai bahan penelitian. Asal Tempat Tumbuh. Nama Daerah Setempat

III. METODOLOGI. Tabel 1 Jenis-jenis pohon sebagai bahan penelitian. Asal Tempat Tumbuh. Nama Daerah Setempat III. METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ini berlangsung dari bulan Pebruari hingga Juni 2009. Identifikasi herbarium dilakukan di Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam Bogor, sementara pengamatan

Lebih terperinci

II. MATERI DAN METODE PENELITIAN

II. MATERI DAN METODE PENELITIAN 8 II. MATERI DAN METODE PENELITIAN 1. Materi, Lokasi, dan Waktu Penelitian 1.1 Materi Penelitian 1.1.1 Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jamur yang bertubuh buah, serasah daun, batang/ranting

Lebih terperinci

EVALUASI LAPANGAN KERAGAMAN GENOTIPE-GENOTIPE SOMAKLONAL ARTEMISIA (Artemisia annua L.) HASIL INDUKSI MUTASI IRADIASI SINAR GAMMA

EVALUASI LAPANGAN KERAGAMAN GENOTIPE-GENOTIPE SOMAKLONAL ARTEMISIA (Artemisia annua L.) HASIL INDUKSI MUTASI IRADIASI SINAR GAMMA EVALUASI LAPANGAN KERAGAMAN GENOTIPE-GENOTIPE SOMAKLONAL ARTEMISIA (Artemisia annua L.) HASIL INDUKSI MUTASI IRADIASI SINAR GAMMA oleh Purwati A34404015 PROGRAM STUDI PEMULIAAN TANAMAN DAN TEKNOLOGI BENIH

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain

BAB III METODE PENELITIAN. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain eksperimen. Menurut Nasution (2009) desain eksperimen yaitu penelitian yang dilakukan

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat + 25

BAHAN DAN METODE. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan dengan ketinggian tempat + 25 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian, Medan dengan ketinggian tempat + 25 meter di atas permukaan laut pada bulan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari sampai Juni 2010 di Laboratorium

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari sampai Juni 2010 di Laboratorium III. METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Januari sampai Juni 2010 di Laboratorium Kimia Organik, Jurusan Kimia Fakultas MIPA Universitas Lampung.

Lebih terperinci

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Prosedur Penelitian

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Prosedur Penelitian METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Desember 2010 sampai dengan Mei 2011 di Laboratorium Kimia Organik, Departemen Kimia Institut Pertanian Bogor (IPB),

Lebih terperinci

Harbone JB Metode Fitokimia. Padmawinata K, Sudiro I, penerjemah; Bandung: Institut Tehnologi Bandung. Terjemahan dari: Phytochemical Methods.

Harbone JB Metode Fitokimia. Padmawinata K, Sudiro I, penerjemah; Bandung: Institut Tehnologi Bandung. Terjemahan dari: Phytochemical Methods. 38 DAFTAR PUSTAKA Agrios GN. 2005. Plant Pathology. Ed ke-5. United State of America: Elsevier Academy Press. Amirudin. 2001. Analisis usaha tani dan permasalahan gaharu. Di dalam: Anonim. Kumpulan Makalah

Lebih terperinci

BAB IV PROSEDUR PENELITIAN

BAB IV PROSEDUR PENELITIAN BAB IV PROSEDUR PENELITIAN 4.1. Pengumpulan Bahan Tumbuhan yang digunakan sebagai bahan penelitian ini adalah daun steril Stenochlaena palustris. Bahan penelitian dalam bentuk simplisia, diperoleh dari

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Secara umumm planlet anggrek Dendrobium lasianthera tumbuh dengan baik dalam green house, walaupun terdapat planlet yang terserang hama kutu putih Pseudococcus spp pada

Lebih terperinci

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu

Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur Analisis Pati Sagu 1. Bentuk Granula Suspensi pati, untuk pengamatan dibawah mikroskop polarisasi cahaya, disiapkan dengan mencampur butir pati dengan air destilasi, kemudian

Lebih terperinci

PEMBAHASAN UMUM Karakterisasi Genotipe Cabai

PEMBAHASAN UMUM Karakterisasi Genotipe Cabai 77 PEMBAHASAN UMUM Karakterisasi Genotipe Cabai Varietas cabai yang tahan terhadap infeksi Begomovirus, penyebab penyakit daun keriting kuning, merupakan komponen utama yang diandalkan dalam upaya pengendalian

Lebih terperinci

PENGARUH KONSENTRASI BAWANG MERAH (Alium cepa L.) TERHADAP PERTUMBUHAN SETEK GAHARU (Aquilaria malaccencis OKEN)

PENGARUH KONSENTRASI BAWANG MERAH (Alium cepa L.) TERHADAP PERTUMBUHAN SETEK GAHARU (Aquilaria malaccencis OKEN) Volume 16, Nomor 2, Hal. 63-68 Juli - Desember 211 ISSN:852-8349 PENGARUH KONSENTRASI BAWANG MERAH (Alium cepa L.) TERHADAP PERTUMBUHAN SETEK GAHARU (Aquilaria malaccencis OKEN) Muswita Fakultas Keguruan

Lebih terperinci

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni sampai Desember 2013 dengan tahapan

III. METODOLOGI PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni sampai Desember 2013 dengan tahapan 20 III. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni sampai Desember 2013 dengan tahapan kegiatan, yaitu pengambilan sampel, isolasi dan identifikasi bakteri

Lebih terperinci

PERLAKUAN STERILISASI EKSPLAN ANGGREK KUPING GAJAH (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) DALAM KULTUR IN VITRO IWAN GUNAWAN

PERLAKUAN STERILISASI EKSPLAN ANGGREK KUPING GAJAH (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) DALAM KULTUR IN VITRO IWAN GUNAWAN PERLAKUAN STERILISASI EKSPLAN ANGGREK KUPING GAJAH (Bulbophyllum beccarii Rchb.f) DALAM KULTUR IN VITRO IWAN GUNAWAN DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat

BAHAN DAN METODE. Bahan dan Alat BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah daun salam, daun jati belanda, daun jambu biji yang diperoleh dari Pusat Studi Biofarmaka (PSB) LPPM-IPB Bogor. Bahan yang digunakan untuk uji

Lebih terperinci

DEODORISASI LIMBAH LATEKS PEKAT DAN DEKOLORISASI ZAT PEWARNA TEKSTIL SECARA ENZIMATIS DENGAN FORMULA Omphalina sp.

DEODORISASI LIMBAH LATEKS PEKAT DAN DEKOLORISASI ZAT PEWARNA TEKSTIL SECARA ENZIMATIS DENGAN FORMULA Omphalina sp. DEODORISASI LIMBAH LATEKS PEKAT DAN DEKOLORISASI ZAT PEWARNA TEKSTIL SECARA ENZIMATIS DENGAN FORMULA Omphalina sp. REZA NURU AZIZIAH PROGRAM STUDI BIOKIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

Lebih terperinci

III. BAHAN DAN METODE

III. BAHAN DAN METODE 10 III. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan dari bulan Oktober 2011 sampai Oktober 2012. Sampel gubal dan daun gaharu diambil di Desa Pulo Aro, Kecamatan Tabir Ulu, Kabupaten

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kadar Zat Ekstraktif Mindi Kadar ekstrak pohon mindi beragam berdasarkan bagian pohon dan jenis pelarut. Berdasarkan bagian, daun menghasilkan kadar ekstrak tertinggi yaitu

Lebih terperinci

Gambar 1. Pengambilan Contoh untuk Pemeriksaan Biologi Pada Permukaan Secara Langsung

Gambar 1. Pengambilan Contoh untuk Pemeriksaan Biologi Pada Permukaan Secara Langsung Lampiran 1. Metode Pengambilan Contoh Air Pemeriksaan Mikrobiologi (SNI 06-2412-1991) Pengambilan contoh untuk pemeriksaan mikrobiologi dapat dilakukan pada air permukaan dan air tanah dengan penjelasan

Lebih terperinci

Bab III Bahan dan Metode

Bab III Bahan dan Metode Bab III Bahan dan Metode A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan September 2012 di daerah budidaya rumput laut pada dua lokasi perairan Teluk Kupang yaitu di perairan Tablolong

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Agustus hingga bulan Desember 2013 di Laboratorium Bioteknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS Acremonium sp. DAN Fusarium sp. SEBAGAI PENGINDUKSI GANDA TERHADAP PEMBENTUKAN GAHARU PADA POHON Aquilaria microcarpa

EFEKTIVITAS Acremonium sp. DAN Fusarium sp. SEBAGAI PENGINDUKSI GANDA TERHADAP PEMBENTUKAN GAHARU PADA POHON Aquilaria microcarpa 1 EFEKTIVITAS Acremonium sp. DAN Fusarium sp. SEBAGAI PENGINDUKSI GANDA TERHADAP PEMBENTUKAN GAHARU PADA POHON Aquilaria microcarpa ESTI WULANDARI DEPARTEMEN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN III. METODE PENELITIAN A. Materi, Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Materi Penelitian a. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jamur yang memiliki tubuh buah, serasah daun, ranting, kayu

Lebih terperinci

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN 22 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi Proksimat Komposisi rumput laut Padina australis yang diuji meliputi kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, dan kadar abu tidak larut asam dilakukan

Lebih terperinci

MEMAHAMI ANTIKLINAL DAN PERIKLINAL DALAM PROSES PERTUMBUHAN POHON DAN KUALITAS KAYU MUHDI

MEMAHAMI ANTIKLINAL DAN PERIKLINAL DALAM PROSES PERTUMBUHAN POHON DAN KUALITAS KAYU MUHDI MEMAHAMI ANTIKLINAL DAN PERIKLINAL DALAM PROSES PERTUMBUHAN POHON DAN KUALITAS KAYU MUHDI Program Ilmu Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara I. PENDAHULUAN Antiklinal adalah tahapan pembelahan

Lebih terperinci

mesh, kemudian dimasukkan kedalam erlenmeyer 500 ml selanjutnya diamkan selama 30 menit

mesh, kemudian dimasukkan kedalam erlenmeyer 500 ml selanjutnya diamkan selama 30 menit Lampiran 1. Prosedur Penelitian 1. Sifat Kimia Tanah a. C-Organik Ditimbang g tanah kering udara telah diayak dengan ayakan 10 mesh, kemudian dimasukkan kedalam erlenmeyer 500 ml Ditambahkan 10 ml K 2

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Wawancara Pengamatan dan Pengambilan Contoh

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Wawancara Pengamatan dan Pengambilan Contoh 21 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di enam perkebunan buah naga di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta yang terdiri dari tiga kabupaten. Kebun pengamatan di Kabupaten

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 20 BAB III METODOLOGI PENELITIAN Percobaan yang dilakukan pada penelitian ini yaitu membuat nata dari kulit pisang dengan menggunakan sumber nitrogen alami dari ekstrak kacang hijau. Nata yang dihasilkan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan April 2013 sampai Agustus 2013 di Laboratoium Kimia Riset Makanan dan Material serta di Laboratorium Instrumen

Lebih terperinci

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu 15 BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di laboratorium dan rumah kaca Hama dan Penyakit dan rumah kaca Balai penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (BALITTRO), Bogor; pada bulan Oktober

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan metode eksperimental menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) faktorial. Sampel yang digunakan berjumlah 24, dengan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Oktober Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. Oktober Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan 30 BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Waktu pelaksanaan penelitian ini adalah pada bulan Juli sampai Oktober 2013. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Teknik Pengolahan Sawit

Lebih terperinci

III BAHAN DAN METODE

III BAHAN DAN METODE meliputi daerah Jawa, Kalimantan dan Sumatera. Tanaman Kilemo di daerah Jawa banyak ditemui pada daerah dengan ketinggian 230 700 meter di atas permukaan laut (mdpl). Tanaman ini terutama banyak ditemui

Lebih terperinci

KARAKTERISASI FISIK DAN ph PADA PEMBUATAN SERBUK TOMAT APEL LIRA BUDHIARTI

KARAKTERISASI FISIK DAN ph PADA PEMBUATAN SERBUK TOMAT APEL LIRA BUDHIARTI KARAKTERISASI FISIK DAN ph PADA PEMBUATAN SERBUK TOMAT APEL LIRA BUDHIARTI DEPARTEMEN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008 ABSTRAK LIRA BUDHIARTI. Karakterisasi

Lebih terperinci

BAB III METODE PENELITIAN. A. Rancangan Penelitian. Pada metode difusi, digunakan 5 perlakuan dengan masing-masing 3

BAB III METODE PENELITIAN. A. Rancangan Penelitian. Pada metode difusi, digunakan 5 perlakuan dengan masing-masing 3 digilib.uns.ac.id BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian Pada metode difusi, digunakan 5 perlakuan dengan masing-masing 3 ulangan meliputi pemberian minyak atsiri jahe gajah dengan konsentrasi

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17.

HASIL DAN PEMBAHASAN. dicatat volume pemakaian larutan baku feroamonium sulfat. Pembuatan reagen dan perhitungan dapat dilihat pada lampiran 17. Tegangan Permukaan (dyne/cm) Tegangan permukaan (dyne/cm) 6 dihilangkan airnya dengan Na 2 SO 4 anhidrat lalu disaring. Ekstrak yang diperoleh kemudian dipekatkan dengan radas uap putar hingga kering.

Lebih terperinci

Oleh : Ridwanti Batubara, S.Hut., M.P. NIP DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2009

Oleh : Ridwanti Batubara, S.Hut., M.P. NIP DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2009 KARYA TULIS NILAI ph DAN ANALISIS KANDUNGAN KIMIA ZAT EKSTRAKTIF BEBERAPA KULIT KAYU YANG TUMBUH DI KAMPUS USU, MEDAN Oleh : Ridwanti Batubara, S.Hut., M.P. NIP. 132 296 841 DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS

Lebih terperinci

PENGARUH SALINITAS TERHADAP PERTUMBUHAN DAN BIOMASSA SEMAI NON-SEKRESI Ceriops tagal DAN KANDUNGAN LIPID PADA TINGKAT POHON

PENGARUH SALINITAS TERHADAP PERTUMBUHAN DAN BIOMASSA SEMAI NON-SEKRESI Ceriops tagal DAN KANDUNGAN LIPID PADA TINGKAT POHON PENGARUH SALINITAS TERHADAP PERTUMBUHAN DAN BIOMASSA SEMAI NON-SEKRESI Ceriops tagal DAN KANDUNGAN LIPID PADA TINGKAT POHON RAMAYANI 081201030 PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

RESPON PERTUMBUHAN SERTA ANATOMI DAUN KENARI (Canarium commune L) DAN AKASIA (Acacia mangium Willd) TERHADAP EMISI GAS KENDARAAN BERMOTOR

RESPON PERTUMBUHAN SERTA ANATOMI DAUN KENARI (Canarium commune L) DAN AKASIA (Acacia mangium Willd) TERHADAP EMISI GAS KENDARAAN BERMOTOR Media Konservasi Vol. X, No. 2 Desember 2005 : 71 76 RESPON PERTUMBUHAN SERTA ANATOMI DAUN KENARI (Canarium commune L) DAN AKASIA (Acacia mangium Willd) TERHADAP EMISI GAS KENDARAAN BERMOTOR [Growth and

Lebih terperinci

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam perdagangan internasional, produk ini dikenal sebagai agarwood, aloeswood,

TINJAUAN PUSTAKA. Dalam perdagangan internasional, produk ini dikenal sebagai agarwood, aloeswood, TINJAUAN PUSTAKA Botani Tanaman Gaharu Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) merupakan nama perdagangan dari produk kayu (incense) yang dihasilkan oleh beberapa spesies pohon penghasil gaharu. Dalam perdagangan

Lebih terperinci

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pengaruh Perlakuan Terhadap Sifat Fisik Buah Pala Di Indonesia buah pala pada umumnya diolah menjadi manisan dan minyak pala. Dalam perkembangannya, penanganan pascapanen diarahkan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan dari bulan Maret sampai dengan bulan Juni 2013 di Laboratorium Kimia Riset Makanan dan Material serta di Laboratorium

Lebih terperinci

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN EKSTRAK BUAH Breynia sp DAN. KUNCUP DAUN JATI (Tectona grandis) SEBAGAI ALTERNATIF PENGGANTI LUGOL PADA KEGIATAN PRAKTIKUM

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN EKSTRAK BUAH Breynia sp DAN. KUNCUP DAUN JATI (Tectona grandis) SEBAGAI ALTERNATIF PENGGANTI LUGOL PADA KEGIATAN PRAKTIKUM EFEKTIVITAS PENGGUNAAN EKSTRAK BUAH Breynia sp DAN KUNCUP DAUN JATI (Tectona grandis) SEBAGAI ALTERNATIF PENGGANTI LUGOL PADA KEGIATAN PRAKTIKUM PENGAMATAN MIKROSKOPIS PROTOZOA Skripsi Untuk Memenuhi Sebagian

Lebih terperinci

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh

Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara yang dibutuhkan oleh 45 4.2 Pembahasan Pertumbuhan tanaman dan produksi yang tinggi dapat dicapai dengan memperhatikan syarat tumbuh tanaman dan melakukan pemupukan dengan baik. Pemupukan dilakukan untuk menyuplai unsur hara

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengaruh Pemberian Bahan Humat dengan Carrier Zeolit terhadap Jumlah Tandan Pemberian bahan humat dengan carrier zeolit tidak berpengaruh nyata meningkatkan jumlah tandan

Lebih terperinci

BAB III METODOLOGI. A.2. Bahan yang digunakan : A.2.1 Bahan untuk pembuatan Nata de Citrullus sebagai berikut: 1.

BAB III METODOLOGI. A.2. Bahan yang digunakan : A.2.1 Bahan untuk pembuatan Nata de Citrullus sebagai berikut: 1. BAB III METODOLOGI A. ALAT DAN BAHAN A.1. Alat yang digunakan : A.1.1 Alat yang diperlukan untuk pembuatan Nata de Citrullus, sebagai berikut: 1. Timbangan 7. Kertas koran 2. Saringan 8. Pengaduk 3. Panci

Lebih terperinci

KAJIAN BEBERAPA SIFAT DASAR BATANG PINANG (Areca catechu L.)

KAJIAN BEBERAPA SIFAT DASAR BATANG PINANG (Areca catechu L.) KAJIAN BEBERAPA SIFAT DASAR BATANG PINANG (Areca catechu L.) HASIL PENELITIAN Oleh : TRISNAWATI 051203021 PROGRAM STUDI TEKNOLOGI HASIL HUTAN DEPARTEMEN KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

HASIL DAN PEMBAHASAN. eksplan hidup, persentase eksplan browning, persentase eksplan kontaminasi,

HASIL DAN PEMBAHASAN. eksplan hidup, persentase eksplan browning, persentase eksplan kontaminasi, IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan terhadap proses induksi akar pada eksplan dilakukan selama 12 minggu. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan dan pengaruh pada setiap perlakuan yang diberikan.

Lebih terperinci

Teknologi Pemanfaatan Mikroba untuk Rehabilitasi Lahan & Rekayasa Produksi Gaharu

Teknologi Pemanfaatan Mikroba untuk Rehabilitasi Lahan & Rekayasa Produksi Gaharu Teknologi Pemanfaatan Mikroba untuk Rehabilitasi Lahan & Rekayasa Produksi Gaharu Forest Microbiology Research Group of The R&D Centre For Conservation & Rehabilitation of FORDA Ministry of Forestry Orientasi:

Lebih terperinci