FAKTOR PENENTU KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR INDA WULANDARI

Ukuran: px
Mulai penontonan dengan halaman:

Download "FAKTOR PENENTU KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR INDA WULANDARI"

Transkripsi

1 FAKTOR PENENTU KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR INDA WULANDARI SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

2

3 FAKTOR PENENTU KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR INDA WULANDARI Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Ekonomi SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

4 Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. IDQAN FAHMI, M.Ec.

5 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Faktor Penentu Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka pada bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, April 2013 Inda Wulandari NRP : H Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

6

7 ABSTRACT INDA WULANDARI. Determinant of Household Food Security in East Nusa Tenggara Province. Under supervision of SRI HARTOYO and YETI LIS PURNAMADEWI. The issue of food security has become an important agenda in the economic development of the Nation. Food and nutrition are linked to the improvement of human resources, which in this case the adequacy of energi and protein can be used as an indicator of food welfare society. This study aimed to determine food consumption pattern and the factors that effect household food security in East Nusa Tenggara Province. Household consumption compared to the adequacy of energy and protein as determined by WNPG VIII in The analysis was done by using SUSENAS 2010 and other supporting data. Household food security analysis was conducted by description analysis and ordinal logistic regression analysis with the sample of 1740 household. The results of this study showed that the food consumption pattern of household in East Nusa Tenggara Province in 2010 was dominated by rice while the consumption of another caloric food source is very small. Rice is still a major source of energy and protein of the food resistant and vulnerable households in NTT. Food security status of households in East Nusa Tenggara Province was dominated by foodinsecure households in which the proportion of food insecure households is relatively higher in rural areas than in the urban population. The household of food security in the province of East Nusa Tenggara is influenced by several factors: income, household size, education, field of business of household head and raskin (cheap rice for lower income family) receiver. Keywords : Food Security, Household, Ordinal Logistik Regression

8

9 RINGKASAN INDA WULANDARI. Faktor Penentu Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh SRI HARTOYO dan YETI LIS PURNAMADEWI. Indonesia telah mengalami pemulihan yang cukup berarti sejak krisis ekonomi tahun 1998, namun masalah kemiskinan dan ketahanan pangan maupun gizi masih cukup besar dan beragam antar provinsi dan kabupaten (Human Development Index, UNDP 2008). Masalah ketahanan pangan telah dijadikan agenda penting dalam pembangunan ekonomi bangsa. Pangan sebagai komoditas ekonomi berperan besar pada peningkatan pertumbuhan ekonomi global maupun nasional. Berdasarkan data statistik (BPS 2009), sejak tahun 2005 sampai 2008 konsumsi energi dan protein masyarakat Indonesia terus meningkat dari angka 2.007,65 kkal/kap/hari menjadi kkal/kap/hari dan untuk protein 54,65 gram/kap/hari menjadi 57,49 gram/kap/hari melebihi standar yang ditetapkan oleh Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG, 2004). Keadaan ini menunjukkan gizi masyarakat Indonesia secara kuantitas dan makro sudah mencukupi. Namun dari hasil penelitian Ariningsih (2002) ditemukan bahwa perbaikan konsumsi secara makro tidak mencerminkan pemerataan pemenuhan konsumsi gizi secara mikro. Ditataran mikro, ketahanan pangan khususnya di pedesaan atau rumah tangga petani masih lemah dan memprihatinkan. Ada tiga faktor ketahanan pangan yang harus dipenuhi sehingga dapat mendorong stabilitas pangan, yaitu : ketersediaan pangan (food availability), akses pangan (food acces) dan penyerapan pangan (food utilization) (FAO, 1996). Ketahanan pangan belum tercapai saat ketersediaan pangan saja yang terpenuhi. Ketahanan pangan akan tercapai ketika akses terhadap pangan tersebut memadai serta penyerapan pangannya dapat berlangsung secara baik. Untuk membantu mengidentifikasi ketahanan dan kerawanan pangan daerah di Indonesia, pemerintah menerbitkan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan 2009 (Food Security and Vulnerability Atlas, 2009). FSVA ini disusun untuk mengidentifikasi titik-titik rawan pangan tingkat kabupaten di Indonesia (DKP, 2009). 14 provinsi yang dimasukkan ke dalam fokus utama peningkatan produksi dalam mengatasi kerawanan pangan dalam wacana peta ketahanan dan kerawanan pangan (FSVA) salah satunya adalah Nusa Tenggara Timur (NTT). Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) kerap dikategorikan sebagai salah satu provinsi yang sering mengalami gangguan pangan yang disebabkan oleh kondisi wilayah baik itu menyangkut ketersediaan maupun akses pangan yang ada di wilayah tersebut. Ketersediaan lahan yang landai untuk usaha pertanian lahan basah sangat terbatas sehingga pertanian lahan kering dan gersang menjadi sangat dominan di NTT. Pada tahun 2009 tingkat produksi beras di NTT mencapai ton sementara konsumsi beras mencapai ton. Hal ini menunjukkan bahwa NTT mengalami defisit beras sebanyak ton. Defisit akan kebutuhan beras yang tinggi di Provinsi NTT selama ini masih dapat dipenuhi oleh adanya program pendistribusian beras untuk masyarakat miskin atau yang sering disebut dengan Raskin. Adanya perubahan pola konsumsi pangan rumah tangga dari jagung sebagai makanan pokok kepada beras sebagai makanan bergengsi menyebabkan ketahanan pangan di NTT menuju ke keadaan

10 yang tidak aman. Perkembangan produksi komoditas pangan nabati di NTT dalam kurun tiga tahun terakhir terhitung mengalami surplus untuk beberapa komoditas seperti jagung, ubi kayu, dan ubi jalar. Seharusnya dengan adanya surplus beberapa jenis pangan lain mengindikasikan persediaan produksi pangan dan kondisi pangan di NTT secara keseluruhan masih cukup aman. Tetapi sampai saat ini, beberapa wilayah di NTT masih masuk kedalam peta rawan pangan nasional (FSVA, 2009). Provinsi NTT dengan luas wilayah perairan yang lebih besar daripada luas wilayah daratan memiliki potensi sumberdaya alam kelautan yang dapat diandalkan dalam rangka mendukung ketersediaan pangan baik kalori maupun protein untuk masa sekarang maupun yang akan datang. Kebutuhan akan sumber protein yang berasal dari laut diharapkan dapat memenuhi standar minimal protein yang telah ditetapkan. Rata-rata konsumsi kalori dan protein di Provinsi NTT tahun 2009 untuk kalori mencapai 1.971,70 kkal/ kap/ hari sedangkan untuk protein mencapai 54,12 gram/ kap/ hari. Angka kecukupan kalori yang tinggi dan pangsa pengeluaran akan pangan yang rendah dapat dijadikan acuan sebagai indikator ketahanan pangan suatu rumah tangga yang cenderung membaik. Masih rendahnya konsumsi kalori di Provinsi NTT dengan tingginya konsumsi beras di wilayah tersebut menimbulkan suatu kontradiksi. Seharusnya dengan tingginya konsumsi padi-padian dibandingkan protein di Provinsi NTT mengindikasikan bahwa ketercukupan kalori masyarakat telah terpenuhi, tapi dari data 2009 untuk konsumsi kalori di Provinsi NTT ternyata masih dibawah rata-rata yang ditetapkan oleh WNPG tahun 2004 sebesar kkal/ kap/ hari. Berdasarkan pemaparan perumusan yang telah diuraikan, maka tujuan penelitian ini adalah mengkaji pola konsumsi dan ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan menganalisis faktor-faktor penentu ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini menggunakan data Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun Daerah yang menjadi analisis studi ini adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur yang mencakup 19 kabupaten dan kota. Pendekatan metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis deskriptif, analisis derajat ketahanan pangan dan analisis regresi logistik ordinal. Tingkat kecukupan gizi dihitung berdasarkan konsumsi kalori dan protein yang mengacu pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII tahun Derajat ketahanan pangan diidentifikasi dengan dua indikator yaitu ketercukupan kalori yang dikonsumsi dengan besarnya pangsa pengeluaran makanan. Hal ini berdasarkan klasifikasi silang yang digunakan Jonsson dan Toole dalam Maxwell et. al., (2000). Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kecukupan gizi di provinsi NTT yang dihitung dari besarnya konsumsi kalori dan protein menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi kalori penduduk NTT tahun 2010 sudah berada diatas batas standar kecukupan yang ditetapkan WNPG VIII tahun 2004 yaitu sebesar 2.054,05 kkal/kap/hari. Begitu juga dengan kecukupan protein, dimana konsumsi protein penduduk NTT sudah mencapai 52,7 gram/kap/hari. Hal ini juga sudah sesuai dengan standar yang dianjurkan WNPG VIII tahun 2004 yaitu sebesar 52 gram/kap/hari, sehingga dapat dikatakan bahwa provinsi NTT secara wilayah masih dalam kondisi cukup kalori dan protein.

11 Pola konsumsi pangan secara keseluruhan dapat dilihat dari besarnya pengeluaran untuk masing-masing kelompok pangan. Berdasarkan pengeluaran rata-rata perkapita sebulan dan menurut kelompok pangan ternyata konsumsi pangan di NTT masih didominasi kelompok pangan sumber karbohidrat dari serealia (beras dan jagung). Beras masih menjadi pangan pokok utama bagi sebagian besar masyarakat NTT dan menjadi sumber energi utama bagi rumah tangga di pedesaan. Diantara kelompok padi-padian, beras merupakan komoditi terbanyak yang dikonsumsi masyarakat NTT yaitu mencapai 92,99 persen. Ariani (2004) menyatakan bahwa di Indonesia beras telah dijadikan komoditas politik dan strategis, sehingga kebijakan pangan yang ditetapkan oleh pemerintah bias pada beras, termasuk diantaranya kebijakan Raskin. Kebijakan ini mengakibatkan pergeseran pola konsumsi pangan pokok dari jagung atau umbiumbian ke beras. Ketahanan pangan memiliki dua indikator yang sangat penting yaitu kecukupan kalori dan pangsa pengeluaran pangan. Berdasarkan perhitungan ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2010 dengan menyilangkan kondisi pangsa pengeluaran untuk pangan dan kecukupan kalori, terlihat bahwa di Provinsi NTT persentase penduduk yang rawan pangan masih cukup tinggi yaitu sebesar 22,01 persen. Sementara itu rumah tangga yang tergolong tahan pangan lebih kecil yakni sebesar 20,06 persen. Rumah tangga rentan pangan di NTT mencapai proporsi yang cukup besar yakni 49,08 persen. Kelompok ini menurut kriteria yang ditetapkan merupakan kelompok yang secara ekonomi (pendekatan diproksi dari pangsa pengeluaran pangan) termasuk kelompok kurang sejahtera, namun dari sisi konsumsi energi memenuhi syarat kecukupan, hal ini terkait dengan pola konsumsi dan kebiasaan makan. Kondisi ini diperkuat dengan penelitian yang menyatakan bahwa kelompok rentan pangan mengkonsumsi pangan sumber karbohidrat (khususnya beras dan umbi-umbian) relatif lebih tinggi dibanding kelompok lainnya (Saliem dkk., 2001). Umumnya pangan sumber karbohidrat memiliki kandungan energi (kkal) yang tinggi, namun demikian tingginya konsumsi pangan sumber karbohidrat pada kelompok rentan pangan tidak diikuti oleh konsumsi sumber pangan lain secara seimbang. Dari sisi gizi, untuk memperoleh kondisi tubuh yang sehat diperlukan komposisi beragam zat gizi secara cukup dan seimbang. Oleh karena itu perlu upaya penyadaran dan peningkatan pengetahuan pangan dan gizi secara intensif. Mengingat kelompok ini secara ekonomi kurang mampu, maka upaya peningkatan pendapatan untuk mampu mengakses pangan sumber protein, vitamin dan mineral secara baik perlu lebih ditingkatkan. Karakteristik masing-masing kelompok rumah tangga menurut derajat ketahanan pangan dapat memperjelas tentang kondisi ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi NTT. Beberapa karakteristik rumah tangga menurut derajat ketahanan pangan seperti lapangan pekerjaan, umur KRT, jumlah anggota RT, pendidikan KRT, status pekerjaan KRT dan konsumsi kalori dan protein rumah tangga yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam menentukan ketahanan pangan rumah tangga. Secara agregat sumber pendapatan utama kelompok rumah tangga rentan pangan dan rawan pangan adalah dominan pada sektor pertanian masing-masing memberikan kontribusi sebesar 77 persen dan 82 persen. Sementara itu untuk rumah tangga tahan pangan, sebesar 41 persen sumber pendapatan utama berasal

12 dari sektor jasa keuangan, perseroan dan jasa perusahaan. Kelompok rumah tangga tahan pangan menempati proporsi terkecil untuk sumber pendapatan yang berasal dari sektor pertanian. Berdasarkan tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh kepala rumah tangga, rumah tangga dengan klasifikasi rawan pangan memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Hampir 52 persen kepala rumah dengan status rumah tangga rawan pangan merupakan lulusan Sekolah Dasar. Sebaliknya untuk rumah tangga tahan pangan, persentase yang tidak lulus sekolah dasar cukup kecil. Rumah tangga tahan pangan didominasi oleh kepala rumah tangga yang lulus perguruan tinggi dengan persentase sebesar 59 persen. Hal ini memperlihatkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka status ketahanan panganya semakin baik. Rumah tangga dengan klasifikasi rawan pangan akan semakin menurun dengan meningkatnya tingkat pendidikan kepala rumah tangga. Hal ini sesuai dengan penelitian Demeke dan Zeller (2010) yang menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan kepala rumah tangga maka akan semakin meningkatkan status ketahanan pangan rumah tangga tersebut. Jumlah anggota rumah tangga secara absolut pada kelompok rumah tangga rawan pangan rata-rata lebih besar dibanding kelompok tahan pangan. Ada kecenderungan bahwa semakin besar jumlah anggota rumah tangga, maka semakin menurun derajat ketahanan pangan rumah tangga yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Purwantini dan Rahman (2005) dimana hasil studinya menyimpulkan bahwa besarnya jumlah anggota rumah tangga menyebabkan derajat ketahanan pangan semakin memburuk. Upaya membangkitkan kembali program Keluarga Berencana dan kelembagaan posyandu dengan berbagai penyempurnaan akan meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga. Model regresi logistik ordinal yang dibentuk dari tujuh peubah penjelas menunjukkan ada dua peubah yang tidak signifikan yaitu umur kepala rumah tangga (dengan p-value 0,968) dan variabel daerah tempat tinggal dengan (p-value sebesar 0,390). Adapun tujuh peubah lainnya yang signifikan dengan tingkat α tertentu adalah pendapatan, jumlah anggota rumah tangga, lapangan pekerjaan (pertanian dan non pertanian), pendidikan (SD, menengah dan tinggi) dan penerima raskin. Kata Kunci : Ketahanan Pangan, Rumah Tangga, Regresi Logistik Ordinal

13 Hak Cipta milik IPB, Tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin IPB

14

15 Judul Tesis Nama NRP Program Studi : Faktor Penentu Ketahanan Pangan Rumah Tangga di ProvinsiNusa Tenggara Timur : Inda Wulandari : H : Ilmu Ekonomi Disetujui, Komisi Pembimbing Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS Ketua Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc.Agr Anggota Diketahui oleh Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Dekan Sekolah Pascasarjana Dr. Ir. R. Nunung Nuryartono, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr. Tanggal Ujian : 24 April 2013 Tanggal Lulus :

16

17 PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis dengan judul Faktor Penentu Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Penelitian ini menarik dilakukan untuk mengetahui bagaimana pola konsumsi pangan di NTT dan bagaimana kondisi ketahanan pangan saat ini. Tesis ini sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan S2 dan memperoleh gelar Magister Sains dari Program Studi Ilmu Ekonomi, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan kepada penulis, terutama kepada : 1. Dr. Ir. Sri Hartoyo, MS. selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc.Agr, selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan yang bermanfaat dalam menyusun tesis ini. 2. Dr. Ir. Idqan Fahmi, M.Ec. sebagai dosen Penguji Luar Komisi dan Dr. Ir. Wiwiek Rindayati, M.Si. selaku perwakilan dari Program Studi Ilmu Ekonomi. 3. Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi beserta staff jajaran Program Studi Ilmu Ekonomi. 4. Ayahanda Amir, mama, suami (Winarno), kedua anakku (annisa dan abyan) dan seluruh keluarga atas dukungan dan doa yang selama ini telah diberikan. 5. Angkatan IV reguler IE : Via, kiki, arya, airin, luken, dyah, agus dan kak santi. Penulis menyadari dengan waktu dan kemampuan yang terbatas, tesis ini masih jauh dari sempurna. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi bagi semua pihak serta bermanfaat bagi dunia pendidikan. Bogor, April 2013 Inda Wulandari

18

19 RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pematang Siantar (Sumatera Utara) pada tanggal 1 April 1983 sebagai anak ke-empat dari pasangan H. Amir dan Hj. Iriani. Penulis menamatkan sekolah dasar di SD Yayasan Perguruan Keluarga pada tahun 1995, kemudian melanjutkan pendidikan ke SLTP Negeri 2 Pematang Siantar dan lulus pada tahun Tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di SMU Negeri 2 Pematang Siantar dan lulus tahun Pendidikan sarjana diperoleh pada jurusan Manajemen Agribisnis, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor tahun Sejak tahun 2008 penulis bekerja di bagian Tehnical Service Departement sebagai supervisor dan trainer sepeda Motor Honda di bawah Main Dealer PT Astra Honda Motor. Kesempatan melanjutkan studi di Program Studi Ilmu Ekonomi, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh penulis pada tahun 2010 dengan biaya sendiri. Penulis menikah dengan Winarno SP. pada tahun 2009 dan telah dikaruniai seorang putri dan putra yang bernama Annisa Maliha Hilmi dan Abyan Malika Hakam.

20

21 DAFTAR TABEL Nomor Halaman 1. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Padi di Indonesia Jumlah Kabupaten Berdasarkan Ketersediaan Pangan di Indonesia Pengukuran Derajat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Variabel yang digunakan dalam Model Regresi Logistik Ordinal Produksi dan Konsumsi Beras di Provinsi NTT Tahun 2010 (ton) Produksi dan Konsumsi Jagung di Provinsi NTT Tahun 2010 (ton) Persentase Pengeluaran Rata-rata Rumah Tangga di Provinsi NTT Tahun Persentase Konsumsi Pangan di Provinsi NTT Tahun 2010 (persen) Kecukupan Konsumsi Protein dan Kalori di Provinsi NTT Menurut Desa dan Kota Tahun Distribusi Rumah Tangga Menurut Derajat Ketahanan Pangan di Provinsi NTT Tahun Distribusi Rumah Tangga Menurut Lapangan Pekerjaan dan Derajat Ketahanan Pangan di Provinsi NTT Tahun Distribusi Rumah Tangga Menurut Pendidikan dan Derajat Ketahanan Pangan di Provinsi NTT Tahun Karakteristik Rumah Tangga Menurut Umur dan Jumlah ART Menurut Derajat Ketahanan Pangan di Provinsi NTT Tahun Rataan Konsumsi dan Protein Menurut Derajat Ketahanan Pangan di Provinsi NTT Tahun Pola Pengeluaran Pangan dan Non Pangan RT Menurut Derajat Ketahanan Pangan di Provinsi NTT, Tahun Jumlah 12 Kabupaten Rawan Pangan dengan Persentase Tertinggi di Provinsi NTT Tahun 2009 dan Perbandingan Persentase Penduduk Miskin dan Rumah Tangga Rawan Rawan Pangan di Provinsi NTT Hasil Estimasi Faktor Penentu Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Provinsi NTT Hasil Estimasi Odds Ratio Logistik Ordinal Faktor Penentu Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Provinsi NTT Tahun

22

23 DAFTAR GAMBAR Nomor Halaman 1. Perkembangan Produksi Tanaman Padi dan Palawija di NTT Tahun (ton) Kaitan antara Elemen dalam Sistem Ketahanan Pangan Kurva Engel Kerangka Penelitian Produksi Tanaman Pangan di Provinsi NTT Tahun Persentase Jumlah penduduk Berusia 15 Tahun Keatas yang Bekerja Menurut lapangan Pekerjaan Utama di NTT Tahun Struktur PDRB di Provinsi NTT Menurut Lapangan Usaha Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas Menurut Pendidikan yang Ditamatkan Tahun 2010 di Provinsi NTT Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas Menurut Pendidikan yang Ditamatkan Tahun di Provinsi NTT Rata-rata Konsumsi Kalori per Kapita Sehari Menurut Kabupaten di Provinsi NTT Tahun Rata-rata Konsumsi Protein per Kapita Sehari Menurut Kabupaten di Provinsi NTT Tahun 2010 (gram) Rumah Tangga Rawan Pangan Berdasarkan Lapangan Usaha Kepala Rumah Tangga di Provinsi NTT (persen) Rumah Tangga Tahan Pangan Berdasarkan Status Pekerjaan Kepala RT di Provinsi NTT Tahun 2010 (persen) Rumah Tangga Rawan Pangan Berdasarkan Status Pekerjaan Kepala RT di Provinsi NTT Tahun 2010 (persen) Peta Persentase Rumah Tangga Rawan Pangan di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2009 dan

24

25 DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Data PDRB Perkapita Menurut Kabupaten Atas Dasar Harga Konstan (2000) Tahun (ribuan rupiah) Persentase Konsumsi Padi-padian di Provinsi NTT Tahun Persentase Kecukupan Kalori di Provinsi NTT Berdasarkan Sampel Rumah Tangga Tahun Status Ketahanan Pangan Menurut Kabupaten/ Kota di Provinsi NTT Tahun 2010 (persen) Output Pengujian Multikolinearitas Hasil Output dari Regresi Logistik Ordinal ketahanan Pangan Rumah Tangga di Provinsi NTT Pengelompokan Persentase Rumah Tangga Rawan Pangan di Provinsi NTT... 95

26

27 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia telah mengalami pemulihan yang cukup berarti sejak krisis ekonomi tahun Proses stabilisasi ekonomi Indonesia berjalan cukup baik setelah mengalami krisis ekonomi yang berat. Kondisi moneter yang semakin stabil, perkembangan sosial politik di dalam negeri yang relatif kondusif serta kondisi perekonomian internasional yang membaik telah memberikan peluang bagi pemulihan kestabilan nilai rupiah dan perbaikan aktivitas ekonomi nasional, namun masalah kemiskinan dan ketahanan pangan maupun gizi nasional masih cukup besar dan beragam antar provinsi dan kabupaten di Indonesia (Human Development Index, UNDP 2008). Masalah ketahanan pangan telah dijadikan agenda penting dalam pembangunan ekonomi bangsa, karena pembangunan ekonomi tidak bisa dipisahkan dari masalah ketahanan pangan. Status ketahanan pangan sering dipakai sebagai salah satu indikator tingkat kesejahteraan masyarakat. Pangan sebagai komoditas ekonomi berperan besar pada peningkatan pertumbuhan ekonomi global maupun nasional. Pembangunan ketahanan pangan menuju kemandirian pangan diarahkan untuk menopang kekuatan ekonomi domestik sehingga mampu menyediakan pangan yang cukup secara berkelanjutan bagi seluruh penduduk terutama dari produksi dalam negeri, dalam jumlah dan keragaman yang cukup, aman dan terjangkau dari waktu ke waktu. Ketersediaan pangan akan menjamin stabilitas kawasan atau negara tertentu. Sebaliknya krisis penyediaan pangan akan menjadi masalah yang sangat sensitif dalam dinamika kehidupan sosial politik, sehingga ketahanan pangan dijadikan prasyarat utama bagi tercapainya ketahanan ekonomi dan politik bangsa. 1 Konsep ketahanan pangan di Indonesia berdasarkan pasal 1 ayat 17 Undang-Undang Pangan nomor 7 tahun 1996 mendefenisikan bahwa ketahanan pangan adalah suatu kondisi dimana terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersediannya pangan yang cukup dalam jumlah, mutu, aman, 1 Wibowo Rudi, Penyediaan Pangan dan Permasalahannya, dalam Wibowo Rudi (editor), Pertanian dan Pangan (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), pp

28 2 bergizi merata dan terjangkau serta setiap individu dan rumah tangga memiliki akses secara fisik dan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan seleranya bagi kehidupan yang aktif dan sehat. Sedangkan menurut FAO (1996), ketahanan pangan merupakan situasi dimana semua rumah tangga mempunyai akses baik fisik maupun ekonomi untuk memperoleh pangan bagi seluruh anggota keluarganya, dimana rumah tangga tidak beresiko mengalami kehilangan kedua akses tersebut. Indonesia dalam memenuhi konsumsi masyarakatnya menghadapi tantangan yang cukup besar karena jumlah penduduknya yang cukup besar. Penduduk yang besar ini akan berdampak tidak hanya pada aspek pendidikan dan lapangan pekerjaan tapi juga yang utama terhadap pangan. Ketercukupan pangan bagi setiap individu tercermin dari kecukupan energi dan protein yang dapat digunakan sebagai indikator untuk melihat kondisi gizi masyarakat dan juga keberhasilan pemerintah dalam pembangunan pangan, pertanian, kesehatan dan sosial ekonomi secara terintegrasi (Moeloek, 1999). Ketersediaan dan kecukupan makanan berdampak besar terhadap kualitas sumberdaya manusia dan kelangsungan hidupnya. Derajat ketahanan pangan rumah tangga secara sederhana dapat ditentukan dengan mengevaluasi asupan energi dan protein rumah tangga. Irawan (2002) menyatakan bahwa energi dan protein digunakan sebagai indikator status gizi karena penggunaan nilai kalori (energi) dan nilai protein sudah cukup untuk menggambarkan kecukupan pangan rumah tangga karena konsumsi kalori terkait erat dengan kemampuan manusia untuk hidup secara aktif sedangkan konsumsi protein dibutuhkan untuk memulihkan sel-sel tubuh yang rusak. Berdasarkan data statistik (BPS, 2009), sejak tahun 2005 sampai dengan 2008 konsumsi energi dan protein masyarakat Indonesia terus meningkat dari angka 2.007,65 kkal/kap/hari menjadi 2.038,17 kkal/kap/hari dan untuk protein 54,65 gram/kap/hari menjadi 57,49 gram/kap/hari melebihi standar yang ditetapkan oleh Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun Keadaan ini menunjukkan gizi masyarakat Indonesia secara kuantitas dan makro sudah mencukupi. Namun dari hasil penelitian Ariningsih (2002) ditemukan bahwa perbaikan konsumsi secara makro tidak mencerminkan pemerataan pemenuhan konsumsi gizi secara mikro. Ditataran mikro, ketahanan pangan

29 3 khususnya di pedesaan atau rumah tangga petani masih lemah dan memprihatinkan. Dengan luas lahan yang kecil (0,3-0,5 ha) pola pertanian monokultur dan teknologi budidaya pertanian yang masih tradisional menyebabkan produksi pertanian yang dihasilkan sekedar hanya untuk bertahan hidup. Ketahanan pangan di Indonesia saat ini menunjukkan kondisi yang cenderung lebih baik. Produksi pangan mengalami peningkatan, antara lain ditunjukkan dengan peningkatan produksi padi pada kurun waktu tahun dari 54,1 ribu ton menjadi 63,8 juta ton atau naik sebesar 5,83 persen (Kementrian Pertanian, 2010). Meskipun secara nasional sudah tercapai swasembada, tetapi masih saja terjadi kasus kerawanan pangan di sejumlah daerah. Hampir 13 persen lebih dari jumlah total penduduk Indonesia masih mengalami rawan pangan 2. Ketahanan pangan nasional juga dihadapkan pada persoalan masih tingginya ketergantungan konsumsi beras dalam pola konsumsi pangan. Setiap tahunnya konsumsi beras masyarakat Indonesia mencapai 139,15 kg/kap. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai konsumen beras tertinggi di dunia, jauh melebihi Jepang (45kg), Malaysia (80kg) dan Thailand (90kg). Tabel 1. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Padi di Indonesia Penduduk Produksi Tahun (juta) (juta ton) Konsumsi (kg/kap/th) Padi ,0 5,5 86, ,5 29,7 122, ,6 66,5 139,0 Kenaikan (x lipat) Sumber : BKP, ,2 7,7 1,6 Penduduk Indonesia yang berjumlah 212 juta orang membutuhkan beras untuk keperluan industri dan rumah tangga lebih dari 30 juta ton per tahun (Siswono, 2011). Kebutuhan beras tersebut akan terus meningkat sesuai dengan pertambahan jumlah penduduk. Diperkirakan kenaikan jumlah penduduk sebesar 3,2 kali menyebabkan produksi pangan meningkat 7,7 kali lipat. Perkembangan 2 Kepala Badan ketahanan Pangan Prof. Dr. Ir. Achmad Suryana MS, BKP, 2011

30 4 konsumsi beras masyarakat Indonesia yang terus meningkat dimana peningkatanya dibarengi dengan peningkatan jumlah penduduk pada Tabel 1. Selain itu sebaran produksi pangan yang tidak menentu antar daerah turut menjadi penyebab ketimpangan pangan. Ketimpangan pangan di Indonesia terjadi antara wilayah Barat dan Timur. Di wilayah Jawa dan Sumatera sebagai basis sentra produksi pangan memberikan kontribusi sebanyak 70 persen 80 persen bagi produksi nasional. Sementara wilayah papua dan NTT merupakan wilayah yang paling sering mengalami defisit pangan akibat masih banyak penduduk yang mengalami kerawanan pangan. Ada tiga faktor ketahanan pangan yang harus dipenuhi sehingga dapat mendorong stabilitas pangan, yaitu : ketersediaan pangan (food availability), akses pangan (food acces) dan penyerapan pangan (food utilization). Ketahanan pangan belum tercapai saat ketersediaan pangan saja yang terpenuhi. Ketahanan pangan akan tercapai ketika akses terhadap pangan tersebut memadai serta penyerapan pangannya dapat berlangsung secara baik. Apabila ketiga faktor ini terpenuhi maka kebutuhan nutrisi terjamin (status nutrisi baik). Kondisi inilah yang belum tercapai di banyak daerah di Indonesia dimana ketersediaan pangan yang memadai atau bahkan berlebih tidak disertai dengan akses pangan yang memadai. Hal ini berakibat pada penyerapan pangan yang tidak maksimal, sehingga banyak daerah di Indonesia yang belum mampu mencapai ketahanan pangan meskipun telah mencapai surplus pangan. Untuk membantu mengidentifikasi ketahanan dan kerawanan pangan daerah di Indonesia, pemerintah bekerja sama dengan Badan Ketahanan Pangan membentuk Dewan Ketahanan Pangan Nasional. DKP yang diketuai oleh Presiden RI bekerjasama dengan WFP, menerbitkan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan 2009 (Food Security and Vulnerability Atlas, 2009) yang bertujuan sebagai sarana bagi pengambil kebijakan dalam hal penentu sasaran dan memberikan rekomendasi untuk intervensi kerawanan pangan dan gizi ditingkat provinsi dan kabupaten. FSVA 2009 merupakan pemutakhiran dari Peta Kerawanan Pangan (Food Insecurity Atlas) yang diluncurkan pada tahun FSVA ini disusun untuk mengidentifikasi titik-titik rawan pangan tingkat kabupaten di Indonesia, mengidentifikasi penyebab kerawanan pangan di suatu

31 5 kabupaten dan menyediakan petunjuk dalam mengembangkan strategi mitigasi yang tepat untuk kerawanan pangan kronis (DKP, 2009). Kabupaten yang dianalisis oleh DKP ada sekitar 346 kabupaten dimana ditemukan 100 kabupaten terindikasi rawan pangan. Berdasarkan kondisi ketersediaan pangan, 64 kabupaten dari 100 kabupaten rawan pangan dikategorikan sebagai daerah surplus pangan. Hal ini menjadi suatu kontradiksi karena daerah yang surplus pangan ternyata masih menjadi daerah yang rawan pangan (FSVA, 2009). Tabel 2 menunjukkan bahwa 100 dari kabupaten rawan pangan di Indonesia ternyata 64 kabupatenya merupakan daerah surplus pangan. Tabel 2. Jumlah Kabupaten Berdasarkan Ketersediaan Pangan di Indonesia Ketersediaan Kabupaten Kabupaten Jumlah Pangan Tahan Pangan Rawan Pangan Surplus Defisit Jumlah Sumber : FSVA, 2009 (diolah) Ketersediaan pangan ternyata belum cukup untuk menjamin ketahanan pangan. Selain faktor ketersediaan, akses pangan merupakan determinan penting dalam mewujudkan ketahanan pangan. Aspek tersebut akan dimiliki bila terdapat faktor kontrol terhadap pangan. Kemampuan melakukan kontrol akan tergantung pada daya beli masyarakat (Hardono dan Kariyasa, 2006). Ketersediaan pangan merupakan faktor eksternal di tingkat rumah tangga atau individu kecuali bagi pemilik sumber daya yang produktif. Apabila faktor pendapatan dianggap ceteris paribus maka daya beli akan sangat ditentukan oleh harga di pasar. Hal ini menyebabkan aspek harga sangat menentukan dalam ketahanan pangan. Ketersediaan pangan yang melimpah tidak menjamin ketahanan pangan jika daya beli masyarakat rendah (Hardono dan Kariyasa, 2006). Dinamika analisis ketahanan pangan menunjukkan bahwa ketersediaan pangan dan akses terhadap pangan merupakan dua faktor penting yang menentukan dalam ketahanan pangan tingkat rumah tangga (Braun, 1995). Faktor ketersediaan pangan secara tunggal tidak menjamin ketahanan pangan rumah tangga namun diperlukan akses terhadap pangan baik yang mencakup dimensi fisik maupun ekonomi. Akses fisik terkait dengan produksi pangan di tingkat rumah tangga, sedangkan akses ekonomi

32 6 terkait dengan pendapatan rumah tangga dengan peubah pendapatan sebagai determinan utamanya. Swasembada pangan yang dicanangkan oleh pemerintah saat ini hanya berorientasi kepada tersedianya sumberdaya pangan yang mencukupi kebutuhan masyarakat di suatu daerah. Jika dilihat dari 100 kabupaten yang teridentifikasi rawan pangan oleh DKP, maka 94 kabupaten diantaranya berada di luar Jawa. 30 kabupaten yang termasuk prioritas I diantaranya berada di provinsi Papua, enam berada di Nusa Tenggara Timur, dan lima lainya berada di Papua Barat. Sedangkan dari 30 kabupaten yang rentan terhadap rawan pangan yang merupakan prioritas II kebanyakan berada di Kalimantan Barat (7 kabupaten), NAD (4 Kabupaten), Papua (3 kabupaten) dan NTT (5 kabupaten). Sisanya 40 kabupaten lagi masuk kedalam prioritas III. Dari 14 provinsi yang dimasukkan ke dalam fokus utama peningkatan produksi dalam mengatasi kerawanan pangan dalam wacana peta ketahanan dan kerawanan pangan (FSVA) adalah NTB, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Lampung, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Maluku, NAD dan Nusa Tenggara Timur (NTT). 1.2 Perumusan masalah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) kerap dikategorikan sebagai salah satu provinsi yang sering mengalami gangguan pangan yang disebabkan oleh kondisi wilayah baik itu menyangkut ketersediaan maupun akses pangan yang ada di wilayah tersebut. Ketersediaan lahan yang landai untuk usaha pertanian lahan basah sangat terbatas sehingga pertanian lahan kering dan gersang menjadi sangat dominan di NTT. Dari luas daratan, tercatat 96,74 persen merupakan lahan kering sedangkan sisanya 3,26 persen merupakan lahan basah. Dengan kondisi iklim dan topografi tersebut mengakibatkan usaha pertanian lahan basah untuk tanaman pangan menghadapi tantangan yang cukup besar. Data yang dikutip dari Badan Ketahanan Pangan Provinsi NTT menunjukkan bahwa telah terjadi penurunan beberapa produksi pangan seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar dan kacang-kacangan selama periode , walaupun ada peningkatan di tahun 2008 tapi terjadi penurunan kembali di tahun

33 7 2009, hal ini dapat dilihat pada Gambar 1. Berdasarkan gambaran tentang produksi pangan NTT dan kondisi konsumsi pangan menunjukkan bahwa bahan pangan NTT belum diproduksi secara optimal. Pada tahun 2009 tingkat produksi beras di NTT mencapai ton sementara konsumsi beras mencapai ton. Hal ini menunjukkan bahwa NTT mengalami defisit beras sebanyak ton. Persentase tingkat konsumsi beras masyarakat NTT saat ini mencapai 82 persen. Defisit akan kebutuhan beras yang tinggi di Provinsi NTT selama ini masih dapat dipenuhi oleh adanya program pendistribusian beras untuk masyarakat miskin atau yang sering disebut dengan Raskin. Masyarakat NTT masih menganggap beras sebagai bahan makanan yang lebih bergizi ketimbang bahan pangan lokal. Mengkonsumsi beras dinilai lebih terhormat, lebih bergengsi daripada mengkonsumsi jagung dan pangan lokal lainnya 3. Adanya perubahan pola konsumsi pangan rumah tangga dari jagung sebagai makanan pokok menjadi beras sebagai makanan bergengsi menyebabkan ketahanan pangan di NTT menuju ke keadaan yang tidak aman. Kehadiran beras melalui politik berasnisasi telah menggeser jagung dan pangan alternatif lainnya, bukan hanya pada tatanan konsumsi tapi juga produksi yang perlu diantisipasi dan diatasi. Produksi (ton) Tahun Padi Ubi Kayu Ubi Jalar Kacang Tanah Kacang Kedelai Kacang Hijau Jagung Sumber : BKPM, 2012 (diolah) Gambar 1. Perkembangan Produksi Tanaman Padi dan Palawija di NTT Tahun (ton). 3 Petrus Langoday, Kepala Badan Ketahanan Pangan & Penyuluhan Provinsi NTT :

34 8 Pola pengeluaran rumah tangga dan PDRB per kapita secara tidak langsung dapat mempengaruhi akses ekonomi terkait pendapatan rumah tangga di Provinsi NTT. Hal ini akan berdampak pada ketahanan pangan dimana akses pangan selain ketersediaan pangan merupakan dua faktor penting yang menentukan ketahanan pangan rumah tangga (Braun, 1995). Salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan penduduk adalah komposisi pengeluaran untuk pangan dan non pangan. Kesejahteraan dikatakan semakin baik apabila persentase pengeluaran untuk pangan semakin kecil dari total pengeluaran rumah tangga (BPS, 1999). Tahun 2009, rata-rata pengeluaran per kapita masyarakat NTT masih lebih dominan untuk kebutuhan pangan yaitu sebesar 63,12 persen sedangkan untuk kebutuhan non pangan sebesar 36,88 persen. Umumnya rumah tangga dengan pendapatan rendah baik di wilayah perkotaan maupun pedesaaan, sebagian besar pendapatanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti makanan, pakaian dan perumahan. Perkembangan ekonomi di NTT dari tahun ke tahun akan lebih jelas diperlihatkan oleh laju pertumbuhan ekonomi yang dihitung berdasarkan nilai PDRB atas dasar harga konstan. Pada tahun 2008, laju pertumbuhan ekonomi NTT mencapai 4,84 persen, dimana tahun 2009 melemah menjadi 4,29 persen tetapi meningkat kembali menjadi 5,23 persen pada tahun Peningkatan ini mengindikasikan bahwa secara umum perekonomian di NTT meningkat dibanding tahun sebelumnya, dimana kesejahteraan penduduk akan berdampak positif terhadap ketahanan pangan di NTT. Pangan dan gizi sangat terkait erat dengan upaya peningkatan sumberdaya manusia, dimana dalam hal ini kecukupan energi dan protein dapat digunakan sebagai indikator untuk melihat gizi masyarakat di provinsi NTT. Kesejahteraan dikatakan semakin baik apabila energi dan protein yang dikonsumsi penduduk semakin meningkat sampai pada akhirnya melewati standar minimal energi (kalori) dan protein yang telah ditetapkan (Arifin, 2005). Provinsi NTT dengan luas wilayah perairan yang lebih besar daripada luas wilayah daratan memiliki potensi sumberdaya alam kelautan yang dapat diandalkan dalam rangka mendukung ketersediaan pangan baik kalori maupun protein untuk masa sekarang maupun yang akan datang. Kebutuhan akan sumber protein yang berasal dari laut

35 9 diharapkan dapat memenuhi standar minimal protein yang telah ditetapkan. Ratarata konsumsi kalori dan protein di Provinsi NTT tahun 2009 untuk kalori mencapai 1.971,70 kkal/ kap/ hari sedangkan untuk protein mencapai 54,12 gram/ kap/ hari. Angka kecukupan kalori yang tinggi dan pangsa pengeluaran akan pangan yang rendah dapat dijadikan acuan sebagai indikator ketahanan pangan suatu rumah tangga yang cenderung membaik. Masih rendahnya konsumsi kalori di Provinsi NTT dengan tingginya konsumsi beras di wilayah tersebut menimbulkan suatu kontradiksi. Seharusnya dengan tingginya konsumsi padipadian dibandingkan protein di Provinsi NTT mengindikasikan bahwa ketercukupan kalori masyarakat telah terpenuhi, tapi dari data 2009 untuk konsumsi kalori di Provinsi NTT ternyata masih dibawah rata-rata yang ditetapkan oleh WNPG tahun 2004 sebesar kkal/ kap/ hari. Selain itu, perkembangan produksi komoditas pangan nabati di NTT dalam kurun tiga tahun terakhir ini terhitung mengalami surplus untuk komoditas jagung, ubi kayu dan ubi jalar 4, hal ini jelas berbeda dengan tahun sebelumnya yaitu yang mengalami penurunan produksi beberapa komoditas. Seharusnya dengan adanya surplus beberapa jenis pangan lain seperti jagung dan ubi kayu, mengindikasikan persediaan produksi pangan dan kondisi pangan di NTT secara keseluruhan masih dapat dikatakan cukup aman. Tetapi sampai saat ini, beberapa wilayah di NTT masih masuk ke dalam peta rawan pangan nasional (FSVA, DKP 2009). Hal ini merupakan suatu kondisi yang ironis, di satu sisi saat ini wilayah NTT merupakan penghasil surplus jagung dan ubi kayu namun masih terdapat daerah yang rawan pangan. Tingginya pangsa pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran rumah tangga dan adanya peningkatan produksi pangan selain beras pada berbagai wilayah menyebabkan perlunya mengkaji lebih dalam tentang permasalahan pola konsumsi pangan di Provinsi NTT terkait dengan kondisi ketahanan pangan rumah tangga di wilayah tersebut. Pola konsumsi pangan yang cenderung didominasi kelompok padi-padian (beras) menunjukkan pola konsumsi yang belum seimbang antara energi dan protein di Provinsi NTT. Oleh karena itu kajian 4 BPS NTT. Berita resmi Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur No. 03/07/53/Th.XIII, 1 Juli 2010

36 10 mengenai karakteristik pola konsumsi pangan dan faktor penentu ketahanan pangan di Provinsi NTT sangat diperlukan, hal ini untuk melihat bagaimana ketahanan pangan di NTT. Berdasarkan pemaparan yang telah diuraikan, maka dirumuskan beberapa hal yang akan diteliti sebagai berikut : 1. Bagaimana pola konsumsi dan ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur. 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengkaji pola konsumsi dan ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2. Menganalisis faktor-faktor penentu ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur. 1.4 Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan penelitian maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Memberikan informasi dan data mengenai faktor-faktor yang menentukan ketahanan pangan wilayah di Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2. Memberikan masukan kepada pemerintah dalam menentukan strategi maupun langkah nyata untuk meningkatkan ketahanan pangan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. 3. Dapat menjadi acuan bagi pemerintah untuk menentukan kebijakan dalam menanggulangi kerawanan pangan di berbagai daerah rawan pangan yang memiliki ciri geografis seperti di Nusa Tenggara Timur.

37 Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini mencakup rumah tangga kabupaten dan kota di Provinsi NTT. Kabupaten yang dianalisis hanya 19 kabupaten/kota sesuai dengan data yang dianalisis dalam penelitian yaitu menggunakan data SUSENAS tahun Meskipun banyak indikator dalam penentuan ketahanan pangan, namun dalam penelitian ini perhitungan ketahanan pangan rumah tangga adalah dengan menggunakan klasifikasi silang antara ketercukupan jumlah kalori (energi) dan pangsa pengeluaran rumah tangga (Jonsson and Toole, 1991 dalam Maxwell and Frankenberger, 1992). Hal ini dilakukan karena faktor akses yang tercermin dari kemampuan rumah tangga mengkonsumsi makanan merupakan faktor yang paling utama dalam menentukan ketahanan pangan rumah tangga. Beberapa batasan penelitian yaitu bahwa ketahanan pangan rumah tangga diklasifikasikan sebagai kondisi yang saling terkait antara pangsa pengeluaran makanan dengan ketercukupan kalori. Makanan yang dikonsumsi adalah makanan yang dikonsumsi sendiri di rumah tangga baik yang berasal dari pembelian, produksi sendiri maupun pemberian. Penelitian ini hanya mencakup batasan rumah tangga, dimana faktor-faktor yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan hanya dilihat dari sisi ekonomi rumah tangga. Analisis ketahanan pangan dilihat dari aspek ketersediaan, akses terhadap pangan dan aspek stability yang merupakan faktor penting dalam ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Selain itu ketahanan pangan yang diteliti disesuaikan dengan data yang terdapat pada data SUSENAS NTT tahun 2010 untuk menentukan variabel yang mempengaruhi ketahanan pangan berdasarkan ke-3 indikator pilar ketahanan pangan. Analisis derajat ketahanan pangan tahun 2009 hanya dijadikan acuan sebagai pembanding untuk melihat dinamika kondisi ketahanan pangan provinsi NTT di tahun 2010.

38 12

39 13 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori Konsep Ketahanan Pangan Defenisi ketahanan pangan berubah dari satu periode waktu ke periode waktu berikutnya (Salim et al., 2005). Sejak tahun 1970-an ketahanan pangan mulai menjadi issue Internasional seiring terjadinya krisis pangan global (Maxwell and Frankenberger, 1992). Pada awalnya konsep ketahanan pangan sebagai terjemahan dari istilah food security yang difokuskan kepada kondisi ketersediaan pangan baik di tingkat nasional maupun internasional terutama padipadian, hal ini karena terjadi krisis pangan dunia pada waktu tahun Hal inilah yang menyebabkan kebijakan ketahanan pangan di Indonesia didasarkan pada pendekatan penyediaan pangan yang lebih dikenal dengan istilah Food Availability Approach (FAA) pada masa awal orde baru (Rindayati, 2009). Pendekatan ini tidak memperhatikan aspek distribusi dan aspek akses terhadap pangan. Pendekatan ini didasarkan pada asumsi yaitu jika pasokan pangan tersedia maka para pedagang dapat menyalurkan pangan secara merata dan efisien dan harga pangan akan stabil sehingga dapat dijangkau oleh seluruh masyarakat. Tetapi dalam kenyataan yang terjadi walaupun ketersediaan pangan mencukupi namun sebagian masyarakat masih menderita kelaparan karena tidak memiliki akses terhadap pangan. Sehingga pendekatan ini mengalami kegagalan dalam mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan. Konsep ketahanan pangan pada tahun 1980-an mulai beralih dari konsep ketersediaan pangan kepada konsep akses pangan pada tingkat rumah tangga dan individu. Konsep ketahanan pangan lebih menekankan pada dapatkah dunia memproduksi pangan yang cukup pada tingkat harga yang pantas dan terjangkau oleh kelompok miskin serta tidak merusak lingkungan hidup. International Food Policy Research Institute (IFPRI) mendefenisikan ketahanan pangan adalah suatu kondisi dimana setiap orang pada setiap saat memiliki aksesibilitas secara fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan agar dapat hidup produktif dan sehat.

40 14 Berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VI (1998), ketahanan pangan disepakati didefenisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersediannya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata. Berdasarkan beberapa pengertian diatas maka empat hal yang menjadi perhatian dalam analisis terhadap ketahanan pangan yaitu : kecukupan, akses, keterjaminan dan waktu (Maxwell dan Frankenberger, 1992). NATIONAL, SUBNATIONAL AND COMMUNITY LEVEL HOUSEHOLD INDIVIDUALS Socio-economic, Political, Institutional, Cultural and Natural Envinroment (Vulnerability contex) Population Education Macro-economy including foreign trade Policies and laws Natural resources endowment Basic services Market conditions Technology Climate Civil strife Household characteristics Livehoods systems Social institutions Cultural attitudes and gender Food Economy Food availability domestic production import capacity food stocks, food aid Stability weather variability price fluctuations political factors, economic factors Acces to food poverty, purchasing power, income, transport and market insfrastructure Household Livelihood Strategies, Assets & Activities Household Food Access Care practices Child care Feeding practices Nutrirional knowledge Food preparation Eating habits Intra-housedhold food distribution Health and Sanitation Health care practices Hygiene, Sanitation Water quality Food safety & quality Food Consumption Energy intake Nutrient intake Consumption status Food utilization determined by: Health status Nutritional Status Sumber : FAO, 2010 Gambar 2. Kaitan antara Elemen dalam Sistem Ketahanan Pangan Ketahanan pangan merupakan rangkaian dari tiga komponen utama yaitu ketersediaan dan stabilitas pangan (food availability and stability), kemudahan memperoleh pangan (food accessibility), dan pemanfaatan pangan (food utilization) (FAO,1996). Sedangkan menurut framework FAO terbaru (FAO,2010) bahwa ketahanan pangan tersusun atas tiga pilar utama yaitu food availability, food accessability dan stability. Ketahanan pangan terjadi manakala terdapat keseimbangan antara akses pangan nasional dan ketersediaan pangan pada tingkat harga yang terjangkau (FAO, 1996). Terwujudnya ketahanan pangan individu merupakan sinergi dari interaksi ketiga subsistem dari berbagai level

41 15 (Baliwati, 2004). Gambar 2 menunjukkan bahwa terdapat banyak elemen dan indikator dalam sistem ketahanan pangan. Tingkat nasional diperkuat dengan adanya ketersediaan pangan (food availability), stabilitas (stability) dan akses untuk pangan (acces to food). Adanya ketiga faktor tersebut akan dapat mewujudkan ketahanan pangan rumah tangga sehingga dapat memenuhi kebutuhan kalori dan protein yang pada gilirannya akan meningkatkan penyerapan makanan yang terlihat dari kondisi kesehatan masyarakat (individu). Indikator outcome ketahanan pangan yang direkomendasikan FAO mencakup umur harapan hidup, prevalensi anak kurang gizi, gizi buruk dan angka kematian bayi. Sedangkan indikator yang digunakan oleh FSVA berkaitan dengan tiga pilar ketahanan pangan berdasarkan konsepsi kerangka konsep ketahanan Pangan dan Gizi. Berikut indikator ketahanan pangan Indonesia sesuai tiga pilar subsistem ketahanan pangan (DKP, 2009) yaitu : 1. Ketersediaan Pangan (Food Availability) : rasio konsumsi normatif perkapita terhadap ketersediaan padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar. 2. Akses Pangan : persentase penduduk hidup dibawah garis kemiskinan, persentase desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai dan persentase RT tanpa akses listrik 3. Pemanfaatan Pangan : angka harapan hidup pada saat lahir, perempuan buta huruf, persentase RT tanpa akses ke air bersih. Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terintegrasi yang terdiri atas berbagai subsistem (Maleha dan Adi Sutanto, 2006). Subsistem utamanya adalah ketersediaan pangan, distribusi pangan (akses) dan konsumsi pangan (DKP, 2009). Terwujudnya ketahanan pangan merupakan sinergi dari interaksi ketiga subsistem tersebut. Ketiga pilar ketahanan pangan tersebut yaitu : 1. Ketersediaan pangan (food availability) merupakan tersediannya pangan secara fisik di daerah, yang diperoleh baik dari hasil produksi domestik, impor atau perdagangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ditentukan dari produk domestik, masuknya pangan melalui mekanisme pasar, stok pangan yang dimiliki pedagang dan pemerintah serta bantuan pangan baik dari pemerintah maupun dari badan bantuan pangan. ketersediaan pangan dapat dihitung pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten

42 16 atau tingkat masyarakat. Ketersediaan pangan harus dikelolah sedemikian rupa sehingga walaupun produksi pangan bersifat musiman, terbatas dan tersebar antar wilayah, tetapi volume pangan yang tersedia bagi masyarakat harus cukup jumlah dan jenisnya serta stabil penyediaanya dari waktu ke waktu. Ketersediaan pangan dapat dilihat dari jumlah stok pangan yang dapat disimpan setiap tahun dan dari produksi pangan itu sendiri. 2. Akses Pangan (food accessibility) adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh cukup pangan, baik yang berasal dari produksi sendiri, pembelian, barter, hadiah, pinjaman dan bantuan pangan maupun kombinasi diantara kelima faktor tersebut. Ketersediaan pangan disuatu daerah mungkin mencukupi akan tetapi tidak semua RT memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas maupun keragaman pangan melalui mekanisme tersebut diatas. Akses pangan mencakup pangan secara fisik dan ekonomi, dimana ketersediaanya secara merata di semua lokasiyang membutuhkan. 3. Pemanfaatan Pangan (food utilization) merujuk pada penggunaan pangan oleh rumah tangga dan kemampuan individu untuk menyerap dan memetabolisme zat gizi (konversi zat gizi secara efisien oleh tubuh). Subsistem ini menyangkut upaya peningkatan dan kemampuan masyarakat agar mempunyai pemahaman atas pangan, gizi dan kesehatan yang baik. Sehingga dapat mengelolah konsumsinya secara optimal. Pemanfaatan pangan hendaknya memperhatikan asupan pangan dan gizi yang cukup dan berimbang sesuai dengan kebutuhan bagi pembentukan manusia yang sehat, kuat, cerdas dan produktif. Pembangunan ketahanan pangan memerlukan keharmonisan dari ke-3 subsistem diatas, pembangunan subsistem ketersediaan pangan diarahkan untuk mengatur kestabilan dan kesinambungan ketersediaan pangan yang berasal dari produksi dan cadangan. Pembangunan subsistem distribusi pangan bertujuan menjamin aksesibilitas pangan dan stabilitas harga pangan. Pemerintah harus bisa mengontrol agar harga pangan masih terjangkau untuk setiap individu dalam mengaksesnya, karena kecukupan ketersediaan pangan akan dirasa percuma jika masyarakat tidak mempunyai daya beli yang cukup untuk mengakses pangan.oleh

43 17 karena itu faktor harga pangan menjadi sangat vital perannya dalam upaya mencukupi kebutuhan konsumsi pangan. Kerangka konsep ketahanan pangan mempertimbangkan ketersediaan, akses terhadap pangan dan pemanfaatan pangan sebagai aspek-aspek utama penopang ketahanan pangan serta menghubungkan aspek-aspek tersebut dengan kepemilikan asset RT, strategi penghidupan dan lingkungan politik, sosial, kelembagaan dan ekonomi. Dengan kata lain status ketahanan pangan suatu rumah tangga atau individu ditentukan oleh interaksi dari faktor lingkungan pertanian (agro-enviromental), sosial ekonomi dan biologi bahkan faktor politik Ketahanan Pangan Rumah Tangga Konsep dari ketahanan pangan sangat luas dan beragam yang meliputi dimensi sasaran global, nasional, regional, rumah tangga dan individu serta dimensi waktu atau musim, dimensi sosial ekonomi masyarakat. Ketahanan pangan global, nasional, regional, lokal dan rumah tangga serta individu merupakan suatu rangkaian sistem hirarkis dimana ketahanan pangan nasional dan regional merupakan syarat keharusan (necessary condition) bagi ketahanan pangan masyarakat, rumah tangga dan individu. Ketahanan pangan individu merupakan syarat kecukupan (sufficiency condition) bagi ketahanan pangan nasional (Simatupang, 1999). Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah Tangga tahun 1996 merumuskan bahwa ketahanan pangan rumah tangga adalah kemampuan untuk memenuhi pangan anggota keluarga dari waktu ke waktu dan berkelanjutan baik dari produksi sendiri maupun membeli dalam jumlah, mutu dan ragamnya sesuai dengan lingkungan setempat serta sosial budaya rumah tangga agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari secara produktif (Badan Ketahanan Pangan, 2005). Konferensi FAO tahun 1992 mencetuskan dasar-dasar ketahanan pangan yang pada intinya menjamin kecukupan ketersediaan pangan bagi umat manusia dan terjaminya setiap individu untuk dapat memperoleh pangan. Defenisi tersebut disempurnakan pada waktu International Congress of Nutrition (ICN) di Roma pada tahun 1994 dimana ketahanan rumah tangga adalah kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar

44 18 dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari. Dalam sidang Committee on Work Food Security tahun 1995 definisi di atas diperluas dengan menambah persyaratan harus diterima oleh budaya setempat. Defenisi tersebut dipertegas lagi pada Deklarasi Roma pada World Food Summit tahun 1996, ketahanan pangan terwujud apabila semua orang setiap saat memiliki akses secara fisik maupun ekonomi terhadap pangan yang cukup, aman dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan sesuai seleranya bagi kehidupan yang aktif dan sehat (Badan Ketahanan Pangan, 2005). Menurut Soehardjo et. al., (1986), ketahanan pangan rumah tangga dicerminkan oleh beberapa indikator, antara lain : (1) tingkat kerusakan tanaman, ternak dan perikanan, (2) penurunan produksi pangan, (3) tingkat ketersediaan pangan di rumah tangga, (4) proporsi pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total, (5) fluktuasi harga pangan utama yang umum dikonsumsi rumah tangga, (6) perubahan kehidupan sosial, (7) keadaan konsumsi pangan berupa kebiasaan makan, kuantitas dan kualitas pangan, dan (8) status gizi. Ketahanan pangan rumah tangga yang tercermin dari klasifikasi silang antara ketercukupan kalori dan pangsa pengeluaran pangan mampu dijadikan suatu indikator ketahanan pangan yang lebih baik dibandingkan indikator lain. Jonsson dan Toole dalam Maxwell et al., (2000) mengklasifikasikan ketahanan pangan rumah tangga melalui perpaduan antara kecukupan pangan dengan pangsa pengeluaran. Kedua inidikator ini dinilai cukup sederhana namun mampu mempresentasikan tingkat ketahanan pangan rumah tangga. Klasifikasi tersebut menghasilkan empat kategori ketahanan pangan rumah tangga yaitu rumah tangga tahan pangan, rentan pangan, kurang pangan dan rawan pangan. Menurut Lukman (2011) pengaruh pangan sangat strategis karena tidak hanya menyangkut masalah ketahanan pangan maupun kedualatan pangan. pangan juga terkait ketersediaan pangan (food availability), keterjangkauan pangan (food accessibility), penerimaan pangan (food acceptability), dan lambang kesejahteraan masyarakat (people s welfare) Kerawanan Pangan Kerawanan pangan merupakan suatu kondisi ketidakcukupan pangan yang dialami oleh suatu daerah, masyarakat atau rumah tangga pada waktu

45 19 tertentu untuk memenuhi standar kebutuhan fisiologis bagi pertumbuhan dan kesehatan masyarakat (Ariningsih dan Rahman, 2008). Kerawanan pangan terdiri dari kerawanan pangan kronis dan transien (DKP, 2009). Kerawanan pangan kronis adalah ketidakmampuan memenuhi kebutuhan pangan yang terjadi dalam jangka panjang. Adapun kerawanan pangan transien adalah ketidakmampuan pemenuhan kebutuhan pangan yang bersifat sementara, misalnya bencana alam, fluktuasi curah hujan, puso, perubahan iklim, dan deforestasi hutan. Kerawanan pangan adalah salah satu dari tiga pemyebab utama masalah gizi. Penyebab lainnya adalah status kesehatan dan kondisi kesehatan lingkungan masyarakat. Ketahanan gizi yang ditunjukkan oleh status gizi merupakan tujuan akhir dari ketahanan pangan, kesehatan, dan pola pengasuhan tingkat individu. Oleh karena itu apabila terjadi kerawanan pangan di manapun, maka akan beresiko kekurangan gizi, termasuk kekurangan gizi mikro. Namun demikian tidak berarti bahwa kerawanan pangan adalah penyebab satu-satunya masalah gizi kurang tanpa mempertimbangkan faktor kesehatan, akses air bersih dan layanan kesehatan. Adanya kegagalan pasar dalam menciptakan ketahanan pangan merupakan salah satu sebab mengapa pemerintah harus turun tangan dalam mengatasi persoalan kerawanan pangan (Simatupang dan Fleming ; dalam Rindayati, 2009). Hal ini dilakukan agar kesejahteraan masyarakat dapat terpenuhi sesuai dengan amanat UU. Kegagalan pasar yang dapat menyebabkan kerawanan pangan dapat diuraikan sebagai berikuts. 1. Kegagalan pasar dalam produksi pangan 2. Kegagalan pasar dalam pemasaran makanan 3. Kegagalan pasar dalam mengelolah makanan 4. Kegagalan pasar dalam mengkonsumsi makanan Kemiskinan dan Ketahanan Pangan Kemiskinan tidak mudah dijabarkan maupun diukur secara persis karena kemiskinan mengandung unsur-unsur dan juga menyangkut nilai dan persepsi yang sering kali bersifat relatif. Pengertian kemiskinan menurut BPS diartikan sebagai ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan dasar baik kebutuhan dasar

46 20 makanan dan bukan makanan. Kebutuhan pangan maupun non pangan yang bersifat mendasar seperti sandang, perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Sedangkan kriteria kemiskinan menurut Todaro (2006) dikaitkan dengan tingkat pendapatan dan kebutuhan pokok minimum yang memungkinkan untuk hidup layak. Bila pendapatan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup minimum maka orang tersebut dapat dikatakan miskin. Jadi tingkat pendapatan minimum merupakan batas antara keadaan miskin dan tidak miskin. Kemiskinan memiliki kaitan yang erat dengan pemenuhan kebutuhan pangan (Sudiman, 2008). Kemiskinan dapat mengakibatkan kelaparan yang selanjutnya berdampak pada gizi kurang, bahkan kematian. Sebaliknya penderita gizi kurang produktifitasnya rendah, kehilangan kesempatan sekolah, kehilangan sumberdaya karena biaya kesehatan yang tinggi. Kemiskinan dinilai dan diyakini berperan sangat penting, mendasar dan timbal balik di antara berbagai faktor penyebab masalah gizi kurang. Masalah gizi kurang akan menghambat pertumbuhan ekonomi yang pada giliranya mempercepat kemiskinan. Eratnya hubungan antara kemiskinan dan kurang gizi mengakibatkan banyak orang sering mengartikan bahwa penanggulangan masalah gizi kurang dapat dilakukan bila keadaan ekonomi sudah membaik. Mengingat pentingnya pemenuhan kebutuhan minimum bagi rakyat miskin sebagai salah satu langkah peningkatan ketahanan pangan, maka sejak tahun 2002 pemerintah melakukan kebijakan beras untuk keluarga miskin (RASKIN). Kebijakan RASKIN ini dianggap sebagai subsidi pangan terarah atau income transfer kepada keluarga miskin dalam bentuk beras. Alasan dilaksanakan program ini adalah masih banyaknya masyarakat miskin yang masih kesulitan untuk memenuhi kebutuhanya yaitu makanan pokok. Orientasi RASKIN adalah lebih kepada bantuan kesejahteraan sosial bagi keluarga miskin Pola Konsumsi dan Pangsa Pengeluaran Pangan Menurut Meyers (1972), konsumsi berarti penggunaan langsung serta akhir dari barang-barang atau jasa-jasa guna memenuhi kebutuhan manusia. Pola konsumsi merupakan cara mengkombinasikan elemen konsumsi dengan tingkat konsumsi secara keseluruhan (Magrabi et. al., 1991). Menurut Kyrk (1993) seperti

47 21 dikutip oleh Magrabi et. al., (1991) terdapat tiga cara menguraikan tingkat konsumsi yaitu : (1) dilihat dari jenis atau macam dan jumlah barang dan jasa yang dikonsumsi rumahtangga, (2) dilihat dari pengelompokan penggunaan komoditi, dan (3) menurut nilai (pengeluaran) dari komoditas yang dikonsumsi. Ketahanan pangan memiliki kaitan dengan pola konsumsi yaitu dari sisi pangsa pengeluaran makanan. Hukum Engle menyatakan jika selera tidak berbeda maka persentase pengeluaran untuk makanan akan menurun dengan meningkatnya pendapatan (Nicholson, 1995). Hal ini merupakan suatu generalisasi yang mengkaitkan antara pangsa pengeluaran pangan dan pendapatan. Kondisi ini disebabkan karena makanan merupakan bahan kebutuhan pokok yang meningkat lebih lambat dibandingkan pendapatan. Hukum Engle merupakan penemuan empiris dimana para ekonom menyarankan agar proporsi pendapatan untuk makanan digunakan sebagai indikator kemiskinan. Pangsa pengeluaran pangan terhadap pengeluaran total dapat dijadikan indikator tidak langsung kesejahteraan. Hubungan antara pengeluaran total dengan kebutuhan pokok (contoh makanan) dapat dilihat dalam kurva Engel. Kurva Engle yang diturunkan dari kurva kepuasan yang sama dari individu menunjukkan bahwa kebutuhan pokok, pangsa pengeluaran untuk barang akan menurun saat pendapatan meningkat. Berikut kurva Engel di Gambar 3. Kebutuhan Sumber : Nicholson, 1995 Gambar 3 Kurva Engel Analisis pola konsumsi dan pengeluaran pangan rumah tangga telah banyak dilakukan. Analisis-analisis tersebut pada umumnya dilakukan dengan menggunakan tabulasi silang berdasarkan analisis besaran nilai mutlak atau dalam bentuk proporsi (pangsa). Chernichcovsky dan Meesok (1984) dengan menggunakan data susenas menemukan bahwa pangsa pengeluaran pangan rumah

48 22 tangga Indonesia adalah sebesar 68 persen dimana pangsa pengeluaran tersebut lebih tinggi di pedesaan dari pada di perkotaan dan semakin rendah pada kelompok yang berpendapatan tinggi. Diantara berbagai komoditas pangan yang dikonsumsi, pangsa pengeluaran untuk beras adalah yang tertinggi (rata-rata 33.9 persen untuk Indonesia), lebih tinggi di pedesaan dari pada di perkotaan. Pangsa pengeluaran pangan merupakan salah satu indikator ketahanan pangan. semakin besar pangsa pengeluaran untuk pangan berarti ketahanan pangan semakin berkurang (Soehardjo et. al., 1986). Penggunaan pangsa pengeluaran dalam menentukan ketahanan pangan rumah tangga juga digunakan oleh Jonsson et. al., (2000) dengan menggunakan klasifikasi silang antara jumlah ketercukupan kalori dan pangsa pengeluaran makanan. Kedua indikator ini dinilai sederhana namun mampu mempresentasikan tingkat ketahanan pangan rumah tangga Pendekatan Teori Permintaan dan Penawaran Suatu negara dikatakan memiliki ketahanan pangan yang baik jika antara permintaan (demand) dan penawaran (supplay) makanan cukup untuk memenuhi kebutuhan kalori nasional secara stabil dan berkelanjutan. Jika dilihat dari konsep ketahanan pangan, maka permintaan dan penawaran makanan dapat dilihat dari ketiga komponen yang dibangun dari sistem ketahanan pangan. Penawaran dapat dilihat dari adanya produksi atau ketersediaan (food availability) dan accesibility di suatu wilayah. Sedangkan permintaan dapat dilihat dari pendekatan konsumsi (food utilization) pangan. Teori permintaan didasarkan pada prilaku konsumen, hal ini didasarkan pada anggapan bahwa permintaan pasar suatu komoditas merupakan penjumlahan horizontal dari permintaan individu atau perorangan terhadap suatu komoditas tersebut (Henderson dan Quant, 1980). Winardi (1976) menyatakan bahwa permintaan adalah jumlah barang yang sanggup dibeli oleh para pembeli pada tempat dan waktu tertentu dengan harga yang berlaku saat itu. Permintaan secara umum merupakan suatu fungsi yang dipengaruhi oleh banyak variabel. Faktor terpenting yang menentukan permintaan adalah harga barang yang bersangkutan, harga barang lain, pendapatan dan selera. Perubahan

49 23 barang yang diminta akibat perubahan harga barang itu sendiri merupakan perubahan sepanjang kurva permintaan, sedangkan perubahan faktor-faktor lain akan menggeser kurva permintaan (Koutsoyiannis, 1976). Banyak faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan konsumen akan suatu barang. Soediyono (1983) dalam Utari (1996) mengemukakan bahwa ada beberapa faktor penyebab berubahnya permintaan yaitu perubahan pendapatan konsumen, harga barang pengganti, harga barang komplementer serta cita rasa selera konsumen. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu dapat dikatakan bahwa faktorfaktor yang mempengaruhi permintaan konsumen adalah : 1. Harga merupakan tingkat kemampuan suatu barang untuk ditukarkan dengan barang lain. Permintaan konsumen terhadap suatu barang umumnya ditentukan oleh harga barang itu sendiri. 2. Pendapatan, konsumen membayar harga barang yang dibeli dengan penghasilanya. Perubahan pendapatan dari konsumen dapat terjadi karena adanya perubahan harga (menurut teori slutzsky) atau memang benar-benar pendapatan konsumen berubah. 3. Jumlah anggota keluarga, apabila anggota keluarga bertambah maka semakin banyak dibutuhkan bahan makanan, pakaian dan perumahan. 4. Selera konsumen, preferensi terjadi karena adanya kemungkinan bahwa konsumen menganggap kualitas suatu barang lebih baik dari kualitas barang lain, atau karena adat-istiadat, dan kesukaan. 5. Pendidikan, peningkatan di bidang pendidikan menjadikan seseorang untuk berpikiran lebih maju serta kesadaran akan pentingnya makanan bergizi tinggi. Penawaran merupakan suatu kegiatan dimana sejumlah barang atau jasa ditawarkan pada konsumen di suatu pasar dengan harga tertentu dan waktu tertentu. Secara teoritis penawaran dapat diturunkan dari fungsi keuntungan produsen yang didalamnya terkandung fungsi produksi. Menurut Boediono (1989), produksi adalah suatu kegiatan yang dikerjakan untuk menambah nilai guna suatu benda atau menciptakan benda baru sehingga lebih bermanfaat dalam

50 24 memenuhi kebutuhan. Kegiatan menambah daya guna suatu benda dengan mengubah sifat dan bentuknya dinamakan produksi barang. Orang atau pihak yang melakukan aktivitas produksi disebut produsen. Sadono, Sukirno (2005) menyatakan bahwa fungsi produksi adalah hubungan diantara faktor-faktor produksi dan tingkat produksi yang diciptakanya. Faktor-faktor produksi terdiri dari tenaga kerja, tanah, modal, dan keahlian. 2.2 Tinjauan Empiris Jayaputra (2001) meneliti tentang ketahanan pangan rumah tangga petani di daerah kawasan pertambangan PT. Newmont Nusa Tenggara Timur. 60 unit contoh rumah tangga untuk penelitian ditentukan berdasarkan teknik penarikan contoh acak berlapis (stratified random sampling) dengan luas kepemilikan lahan sebagai stata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rumah tangga petani yang teridentifikasi tahan pangan di Kecamatan Jereweh (18.3%) lebih banyak dibanding dengan kecamatan sekongkang (11.7%). Faktor determinan yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan rumah tangga petani di jereweh adalah ketersediaan pangan pokok dari produksi usahatani, pendapatan dan pengetahuan pangan dan gizi. Sedangkan untuk Kecamatan Sekongkang faktor yang berpengaruh terhadap ketahanan panganya adalah pendapatan dan pengetahuan pangan dan gizi. Saliem et. al., (2001) meneliti ketahanan pangan tingkat rumah tangga dan regional. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa ketahanan pangan di wilayah perkotaan ternyata lebih tinggi dibandingkan pedesaan. Ironisnya rumah tangga rawan pangan paling banyak terdapat pada rumah tangga dengan mata pencarian di sektor pertanian sebagai penghasil bahan pangan. Selain lapangan usaha dan status tempat tinggal di pedesaan atau perkotaan, tingkat pendapatan dan jumlah anggota rumah tangga juga berpengaruh secara nyata terhadap ketahanan pangan rumah tangga. Demeke dan Zeller (2010) meneliti tentang pengaruh kondisi sosial ekonomi terhadap ketahanan pangan di pedesaan di Ethiopia dengan menggunakan data panel rumah tangga. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa ketahanan pangan rumah tangga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, gender

51 25 kepala rumah tangga, jumlah anggota rumah tangga, tabungan dan pinjaman dari pertanian dan kepemilikan ternak. Bogale dan Shimelis (2009) meneliti tentang determinan kerawanan pangan di pedesaan Dire Dawa di Selatan Ethopia. Melalui model binary logit diperoleh hasil bahwa jumlah anggota tumah tangga, pendapatan per tahun, jumlah pinjaman yang diterima, akses irigasi, umur kepala rumah tangga, ukuran pertanian, dan jumlah ternak yang dimiliki mempunyai efek yang nyata terhadap kerawanan pangan. Rindayati (2009) meneliti dampak desentralisasi fiskal terhadap kemiskinan dan ketahanan pangan di wilayah Provinsi Jawa Barat. Hasil analisis yang diperoleh adalah pada masa desentralisasi fiskal terdapat penurunan kinerja ketahanan pangan. Hal ini terlihat dari adanya penurunan rata-rata konsumsi energi dan protein serta terjadi peningkatan jumlah penduduk rawan pangan dan angka penderita gizi buruk meskipun secara makro regional produksi gabah meningkat yang menunjukkan kondisi ketersediaan pangan yang surplus. Hasil analisis sejalan dengan temuan Hardono dan Kariyasa (2006) yang menunjukkan bahwa ketersediaan tidak menjamin ketahanan pangan jika tidak diikuti dengan distribusi, aksesibilitas dan daya beli masyarakat yang cukup baik. TB. Purwantini et. al., (2005) meneliti tentang analisis ketahanan pangan regional dan tingkat rumah tangga (studi kasus di Provinsi Sulawesi Utara). Analisis ketahanan pangan rumah tangga dilakukan dengan mengukur derajat ketahanan pangan. Hasil kajian menunjukkan bahwa secara regional status ketahanan pangan wilayah (provinsi) tergolong tahan pangan. Namun demikian masih ditemukan rumah tangga yang tergolong rawan pangan cukup tinggi. Proporsi rumah tangga rawan pangan di Sulawesi Utara pada tahun 1999 sebesar 20.8 persen dan yang termasuk tahan pangan sebesar 18.3 persen. Jumlah persentase rawan pangan di pedesaan relatif lebih tinggi dibanding perkotaan. Sebaliknya, persentase rumah tangga tahan pangan di perkotaan lebih besar dibanding di pedesaan. Oleh karena itu, prioritas perhatian untuk meningkatkan derajat ketahanan pangan perlu diarahkan kepada rumah tangga pedesaan. Nurlatifah (2011) meneliti determinan ketahanan pangan regional dan rumah tangga di Provinsi Jawa Timur. Penelitian ini menggunakan analisis regresi

52 26 data panel dan regresi logistik ordinal. Hasil analisis yang diperoleh menunjukkan bahwa pola konsumsi rumah tangga masih didominasi oleh beras, sedangkan bahan pangan sumber kalori lainnya masih kecil. Secara umum persentase rumah tangga tahan pangan di kabupaten/ kota mengalami peningkatan dari tahun ke tahun menuju suatu kondisi yang membaik. Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa ketahanan pangan regional dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang tercermin dari rata-rata lama sekolah merupakan peubah yang memiliki elastisitas paling besar dalam meningkatkan ketahanan pangan. Penelitian ini mengacu kepada penelitian Demeke dan Zeller (2010) dalam menentukan ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi NTT. Penelitian ini menggunakan regresi logistik ordinal untuk menganalisis faktor penentu ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur. 2.3 Kerangka Pemikiran Pemerintah bekerja sama dengan Badan Ketahanan Pangan membentuk Dewan Ketahanan Pangan Nasional. DKP yang diketuai oleh Presiden RI bekerjasama dengan WFP menerbitkan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan 2009 (Food Security and Vulnerability Atlas, 2009) yang bertujuan sebagai sarana bagi pengambil kebijakan dalam hal penentu sasaran dan memberikan rekomendasi untuk intervensi kerawanan pangan dan gizi ditingkat provinsi dan kabupaten. FSVA ini disusun untuk mengidentifikasi titik-titik rawan pangan tingkat kabupaten di Indonesia, mengidentifikasi penyebab kerawanan pangan di suatu kabupaten dan menyediakan petunjuk dalam mengembangkan strategi mitigasi yang tepat untuk kerawanan pangan kronis (DKP, 2009). 14 provinsi yang dimasukkan ke dalam fokus utama peningkatan produksi dalam mengatasi kerawanan pangan dalam wacana peta ketahanan dan kerawanan pangan (FSVA) adalah NTB, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Lampung, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Maluku, NAD dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Provinsi NTT merupakan provinsi kepulauan yang memiliki 550 pulau dengan luas daratan mencapai km persegi. Dari luas daratan tersebut tercatat 96,74 persen merupakan lahan kering sedangkan sisanya 3,26 persen

53 27 merupakan lahan basah. Ketersediaan lahan yang landai untuk usaha pertanian lahan basah sangat terbatas sehingga pertanian lahan kering dan gersang menjadi sangat dominan di NTT. Dengan kondisi iklim dan topografi tersebut mengakibatkan usaha pertanian lahan basah untuk tanaman pangan menghadapi tantangan yang cukup besar. Perkembangan produksi komoditas pangan nabati di NTT dalam kurun tiga tahun terakhir terhitung mengalami surplus untuk komoditas jagung, ubi kayu, kacang tanah, kacang hijau, dan ubi jalar (BPS NTT, 2011). Seharusnya dengan adanya surplus beberapa jenis pangan lain (non beras) mengindikasikan persediaan produksi pangan dan kondisi pangan di NTT secara keseluruhan masih cukup aman. Tetapi kenyataanya Provinsi NTT yang terdiri dari 21 kabupaten/ kota, dimana 12 kabupaten/ Kota di NTT diantaranya masih masuk ke dalam wilayah paling rentan rawan pangan (FSVA, 2009). Tingginya pangsa pengeluaran pangan terhadap total pengeluaran rumah tangga menyebabkan tingginya konsumsi padi-padian (beras) dan adanya peningkatan produksi pangan selain beras pada berbagai wilayah menyebabkan perlunya mengkaji lebih dalam tentang permasalahan pola konsumsi pangan di Provinsi NTT terkait dengan kondisi ketahanan pangan rumah tangga di wilayah tersebut. Pola konsumsi pangan yang cenderung didominasi kelompok padipadian (beras) menunjukkan pola konsumsi yang belum seimbang antara energi dan protein di Provinsi NTT. Oleh karena itu kajian mengenai karakteristik pola konsumsi pangan dan faktor apa saja yang menjadi penentu ketahanan pangan di Provinsi NTT sangat diperlukan, hal ini untuk melihat bagaimana ketahanan pangan di NTT. Berdasarkan teori yang ada dijabarkan bahwa pengeluaran untuk makanan memiliki hubungan dengan ketahanan pangan. Dimana di awal penelitian akan dilakukan klasifikasi status ketahanan pangan dengan menghubungkan antara pangsa pengeluaran makanan dengan besarnya konsumsi kalori rumah tangga. Status ketahanan pangan rumah tangga akan diklasifikasikan menjadi rawan pangan, rentan pangan, kurang pangan dan tahan pangan. Selanjutnya akan dilakukan analisis faktor penentu ketahanan pangan rumah tangga, dimana faktor penentu ketahanan pangan rumah tangga dianalisis dengan regresi logistik ordinal. Faktor penentu ketahanan pangan diproksi dari 3 pilar

54 28 ketahanan pangan sesuai konsep FAO (2010) dan dimodifikasi dari model studi Demeke dan Zeller (2010). Indikator ketersediaan pangan (food availability) akan diukur dari jumlah raskin yang diterima dan dikonsumsi oleh suatu rumah tangga dimana selain produksi, raskin juga merupakan variabel yang menentukan ketersediaan pangan di suatu rumah tangga di Indonesia. Variabel lapangan pekerjaan dan jumlah anggota rumah tangga merupakan proksi dari subsistem food stability, sedangkan variabel lainya seperti pendapatan, umur KRT, daerah tempat tinggal dan pendidikan KRT merupakan proksi dari subsistem acces to food (akses terhadap pangan). Variabel-variabel yang digunakan dalam menentukan keterkaitan terhadap ketahanan pangan merupakan proksi dari ke-3 pilar ketahanan pangan yang telah ditetapkan FAO. Oleh karena itu walaupun banyak indikator ketahanan pangan tetapi dalam penelitian ini penulis hanya menggunakan variabel yang terkait dengan subsitem ketahanan pangan (FAO, 2010) yang disesuaikan dengan ketersediaan data yang digunakan dan penelitian sebelumnya tentang tingkat katahanan pangan rumah tangga yang dijadikan acuan dalam penelitian. Analisis yang dilakukan diharapkan dapat memberikan gambaran ketahanan pangan di Nusa Tenggara Timur dimana masalah kerawanan pangan diharapkan dapat diatasi di wilayah tersebut dan NTT menjadi daerah yang tahan pangan yang nantinya berdampak peningkatan pembangunan ekonomi di wilayah tersebut. 2.4 Hipotesis Penelitian Hipotesis merupakan suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan sampai terbukti melalui data yang dikumpulkan. Rumusan hipotesis dalam penelitian ini adalah : 1. Variabel umur KRT, pendidikan KRT, pendapatan KRT, sektor lapangan pekerjaan KRT dan daerah tempat tinggal diduga berpengaruh terhadap peluang ketahanan pangan rumah tangga. 2. Jumlah anggota rumah tangga dan jumlah RASKIN yang diterima rumah tangga diduga memiliki pengaruh negatif terhadap peluang ketahanan pangan rumah tangga.

55 29 NTT merupakan wilayah rawan pangan sesuai FSVA 2009 Pangsa pengeluaran pangan masy. NTT masih cukup tinggi Surplus bahan pangan selain beras dengan konsumsi kalori dan protein masyarakat yang belum seimbang. Potensi sumberdaya kelautan yang masih besar. Peningkatan Ketahanan Pangan sebagai strategi Pembangunan Ekonomi Ketahanan Pangan Regional Ketahanan Pangan Rumah Tangga Ketahanan Pangan Individu Status Ketahanan Pangan Analisis Regressi Logistik Ordinal Food Availability Jumlah raskin Stability Jumlah ART Lapangan pekerjaan Acces to food Pendapatan Pendidikan KRT Umur KRT Daerah tempat tinggal Faktor-faktor Penentu Ketahanan Pangan RT di NTT Gambar 4. Kerangka Penelitian Keterangan : Variabel yang tidak diteliti Variabel yang diteliti

56 30

57 31 III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Daerah yang menjadi analisis studi ini adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur yang mencakup 19 kabupaten dan kota. Penelitian ini menggunakan data sekunder yang berasal dari Susenas Panel tahun Data Susenas Panel yang digunakan terdiri dari kuesioner Susenas Kor yang berisi keterangan umum rumah tangga dan individu dan kuesioner Susenas Modul Konsumsi yang berisi keterangan konsumsi makanan selama seminggu yang lalu dan konsumsi non makanan selama sebulan dan setahun yang lalu. Survei tersebut meliputi rumah tangga yang sama untuk memperoleh data panel. Adapun populasi yang diteliti adalah 1740 rumah tangga di Provinsi NTT untuk daerah pedesaan dan perkotaan. Unit observasi pada penelitian ini adalah kepala rumah tangga sedangkan unit analisis pada penelitian ini adalah rumah tangga Susenas dirancang untuk mengumpulkan data sosial ekonomi penduduk dewasa, pendapatan, dan pengeluaran konsumsi. Susenas Panel Modul Konsumsi lebih dikhususkan lagi untuk memperoleh informasi pendapatan dan pengeluaran rumah tangga secara lebih terperinci. Susenas Panel dilakukan satu kali setahun yaitu pada bulan Maret dengan sampel rumah tangga yang sama. Susenas juga terdiri dari informasi yang luas mengenai karakteristik rumah tangga, kesehatan, pendidikan, dan juga terdiri dari informasi aktivitas ekonomi rumah tangga seperti pengeluaran makanan dan non makanan, dan aktivitas produksi rumah tangga seperti kepemilikan aset. Anggota rumah tangga terpilih ditanya mengenai upah sekarang, terdahulu dan pola pekerja, sejarah perkawinan, migrasi, kondisi kesehatan, penggunaan fasilitas kesehatan, dan aktivitas transfer ke dan dari keluarga, teman, dan organisasi. Survei ketersediaan fasilitas komunikasi dan kualitas infrastruktur, fasilitas kesehatan dan sekolah yang digunakan rumah tangga dilakukan seara pararel dengan survei rumah tangga sehingga dapat secara langsung dihubungkan dengan kuesioner rumah tangga. Pengambilan sampel Susenas dilakukan secara dua tahap. Tahap pertama, sampel blok sensus yang mempresentasikan sampel sampai wilayah provinsi dan dipilih secara acak dengan metode proportional to size sampling.

58 32 Selanjutnya, dilakukan pengambilan sampel rumah tangga untuk setiap blok sensus berdasarkan kelompok pengeluaran rumah tangga per bulan dengan metode Systematic Random Sampling. Kerangka sampel yang digunakan didasarkan pada Susenas 2010 yang secara nasional merepresentasikan survei sosial ekonomi sekitar rumah tangga untuk seluruh Indonesia, sedangkan untuk NTT khususnya hanya rumah tangga yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik. Dari kerangka sampel rumah tangga yang sudah ditentukan, masih ditemukan rumah tangga yang non respon sehingga jumlah rumah tangga yang ditemukan berbeda antar tahun. Data-data pendukung lainnya didapat melalui buku, artikel, jurnal yang diperoleh dari Lembaga Sumberdaya Informasi (LSI) IPB, perpustakaan BPS, serta makalah dari internet yang berkaitan dengan penelitian. Salah satu indikator untuk menunjukkan tingkat kesejahteraan penduduk adalah tingkat kecukupan gizi yang dihitung berdasarkan besar kalori dan protein yang dikonsumsi. Besarnya konsumsi kalori dan protein dihitung dengan mengalikan kuantitas setiap makanan yang dikonsumsi dengan besarnya kandungan kalori dan protein setiap jenis makanan, kemudian hasilnya dijumlahkan. Angka kecukupan konsumsi kalori dan protein penduduk Indonesia berdasarkan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004) menetapkan patokan kecukupan konsumsi kalori dan protein per kapita per hari masing-masing kkal dan 52 gram protein. 3.2 Metode Analisis Pendekatan metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis deskriptif dan analisis model ekonometrika. Analisis ekonometrika dengan menggunakan regresi logistik ordinal (OLM) sedangkan analisis deskriptif dengan mendeskripsikan data yang ada untuk mengetahui bagaimana karakteristik pola konsumsi pangan di wilayah NTT. Regresi logistik ordinal digunakan karena variabel dependen dalam model ini merupakan variabel kualitatif bertingkat yang dibagi kedalam empat tingkat ketahanan pangan yaitu tahan, rentan, kurang dan rawan pangan. sedangkan variabel independenya adalah variabel dummy dan

59 33 variabel continous. Software yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengolah data tersebut adalah STATA 11. dan Microsoft Excel Analisis Deskriptif Analisis deskriptif dilakukan dengan mendeskripsikan dan dengan membaca tabulasi silang antar peubah dan grafik untuk ketahanan pangan di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Analisis ini digunakan untuk mengetahui bagaimana pola konsumsi pangan di wilayah Nusa Tenggara Timur Analisis Derajat Ketahanan Pangan Penelitian ini diidentifikasi dengan dua indikator yaitu ketercukupan kalori yang dikonsumsi dengan besarnya pangsa pengeluaran makanan. Hal ini berdasarkan klasifikasi silang yang digunakan Jonsson dan Toole dalam Maxwell et. al., (2000). Adapun derajat ketahanan pangan rumah tangga berdasarkan ketercukupan gizi dan pangsa pengeluaran terlihat pada Tabel 3. Tabel 3. Pengukuran Derajat Ketahanan Pangan Rumah Tangga Ketercukupan Pangsa Pengeluaran Makanan kalori Rendah < 60 % Tinggi 60 % Cukup > 80 % Tahan Pangan (kategori 0) Rentan Pangan (kategori 1) Kurang 80 % Kurang Pangan (kategori 2) Rawan Pangan (kategori 3) Sumber : Jonsson dan Toole et. al., (1991) dalam Maxwell (2000) Pada penelitian ini yang dimaksud pangsa pengeluaran pangan adalah rasio pengeluaran untuk belanja pangan dan pengeluaran total penduduk selama sebulan. Pangsa pengeluaran pangan penduduk diperoleh dengan menggunakan data di tingkat rumah tangga kemudian dibagi dengan jumlah anggota rumah tangga. Besar pangsa pengeluaran terhadap total pengeluaran diperoleh dari data Susenas. Perhitungan pangsa pengeluaran pangan pada berbagai kondisi, yaitu agregat, desa-kota, dan berbagai kelompok pendapatan penduduk menggunakan formula berikut :

60 34 Dimana : PF = Pangsa pengeluaran pangan (persen) PP t = Pengeluaran untuk belanja pangan (Rp/bulan) TP t = Total pengeluaran (Rp/ bulan) Analisis ini akan menentukan bagaimana ketahanan pangan rumah tangga di wilayah NTT yang dikategorikan kepada kategori tahan, rentan, kurang dan rawan pangan. Suatu rumah tangga dikatakan tahan pangan jika kalori yang dikonsumsi rumah tangga tersebut diatas 80 persen sedangkan pangsa pengeluaran makananya kurang dari 60 persen. Rumah tangga rentan pangan dengan jumlah konsumsi kalorinya diatas 80 persen dan pangsa pengeluaran makananya lebih besar atau sama dengan 60 persen. Dikatakan kurang pangan jika suatu rumah tangga memiliki konsumsi kalori kurang dari atau sama dengan 80 persen dan pangsa pengeluaran untuk makananya kurang dari 60 persen. Sedangkan untuk rumah tangga yang rawan pangan adalah rumah tangga dengan konsumsi kalori kurang dari atau sama dengan 80 persen dan pangsa pengeluaran untuk makananya lebih besar atau sama dengan 60 persen (Tabel 3) Analisis Regresi logistik Tujuan penelitian yang kedua, yaitu mengetahui faktor-faktor penentu ketahanan pangan rumah tangga yang dianalisis dengan menggunakan model regresi logistik. Model ini digunakan untuk mengetahui variabel-variabel yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan rumah tangga. Model ini memodifikasi model yang digunakan oleh Bogale dan Shimelis (2009) serta Demeke dan Zeller (2010). Regresi logistik merupakan model regresi untuk menganalisis pengaruh variabel penjelas baik kualitatif maupun kuantitatif terhadap variabel respon yang bersifat kualitatif. Peubah respon dapat berupa data biner (hanya terdiri dari dua nilai) dan dapat juga berupa data multinom (lebih dari dua kemungkinan pilihan). Pada data yang multinom, skala pengukuranya dapat berskala nominal (tidak memiliki peringkat, hanya penggolongan saja) atau berskala ordinal (memiliki

61 35 peringkat tertentu). Jika kategori dari peubah respon berskala ordinal, maka analisis regresi yang digunakan adalah analisis regresi logistik ordinal atau model ordinal logit (Hosmer & Lemeshow, 1989). Fungsi regresi logistik dinyatakan dalam : ( ) [ ] * +...(3.1) dimana : i = 1,2...,n dan j = 0,1,2,...,k Apabila diklasifikasikan berdasarkan jenis variabel dependenya, terdapat dua tipe model logit yaitu : unordered logit model dan ordered logit model. Kedua model tersebut akan dijelaskan sebagai berikut : A. Unordered Logit Model Model logit ini digunakan saat variabel dependennya merupakan pilihan yang tidak bertingkat dan tidak saling mempengaruhi satu sama lainnya. Contoh hari dalam satu minggu yaitu : Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat dan Sabtu. B. Ordered Logit Model Model logit ordered adalah model yang variabel dependennya merupakan pilihan bertingkat dimana pilihan yang satu lebih baik atau lebih buruk terhadap pilihan lain. Contoh terdapat empat pilihan yaitu : tidak bagus, cukup bagus, bagus, bagus sekali atau dalam ranking kejahatan rendah, sedang, tinggi. Pada penelitian ini penulis menggunakan model ordered logit karena tingkat ketahanan pangan di Provinsi NTT dibagi atas kategori tahan, rentan, kurang dan rawan pangan. Model Regresi Logistik Ordinal Model logit ordered atau yang lebih sering disebut dengan regresi logistik ordinal (logit ordered) merupakan regresi dengan peubah respon yang bersifat kategorik dan bertingkat (ordinal). Regresi logistik ordinal digunakan untuk

62 36 memodelkan hubungan antara peubah respon yang berskala ordinal dengan peubah-peubah penjelasnya. Model logit tersebut adalah cumulative logit models. Pada model logit ini sifat ordinal dari respon Y dituangkan dalam peluang kumulatif sehingga cumulative logit models merupakan model yang didapatkan dengan membandingkan peluang kumulatif yaitu peluang kurang dari satu sama dengan kategori respon ke-j pada p variabel prediktor yang dinyatakan dalam vektor x, ( ) dengan peluang lebih besar dari kategori respon ke-j, ( ). Berikut model regresi logistik ordinal secara matematis dapat dituliskan : ( ) ( ( ) )...(3.2) ( ) Model logistik untuk data respon ordinal sering disebut sebagai model logit kumulatif. Respon dalam model logit kumulatif berupa data bertingkat yang diwakili dengan angka 1,2,3,...,c dengan c adalah banyaknya kategori respon. Logit kumulatif untuk tiap kategori j didefenisikan sebagai : ( ) ( ) ( )...(3.3) Model yang secara simultan menggunakan semua logit kumulatif dapat ditulis sebagai : ( )...(3.4) Tiap logit kumulatif memiliki intersep masing-masing. adalah estimator dengan metode maksimum likelihood untuk tiap αj dan β. Nilai estimasi untuk P ( ) dapat diturunkan dengan transformasi inverse fungsi logit kumulatif yang menghasilkan : ( ) ( ( ( ) ) )...(3.5) ( ) ( sehingga...c-1 ( ) )...(3.6)

63 37 ( ) ( ( ( )))...(3.7) Tahapan pengujian yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Uji Serentak dengan Likelihood Ratio Likelihood ratio digunakan untuk menguji apakah semua variabel independen dalam model serentak mempengaruhi variabel dependen. Pengujian statistik pada model logit berbeda dengan regresi linier biasa. Apabila pengujian statistik serentak pada regresi linier menggunakan uji F-stat, pada model logit metode yang digunakan adalah likelihood ratio. Hipotesis yang digunakan dalam pengujian ini adalah : (tidak ada pengaruh seluruh variabel independen terhadap variabel dependen). ( ) Hipotesa Ho akan ditolak apabila probabilita Likelihood ratio < α dan Ho tidak akan ditolak apabila probabilita Likelihood ratio > α. 2. Uji Multikolinearitas Uji multikolinearitas digunakan untuk mengetahui apakah terdapat korelasi yang kuat di antara variabel-variabel independen yang diikut sertakan dalam pembentukan model. Salah satu metode untuk menguji adanya multikolinearitas dalam ekonometrik adalah dengan examination of partial correlations atau dengan Tolerance and Variance Inflation (VIF). Pada pengujian multikolinearitas dengan menggunakan correlate varnames dengan rule of thumb 0,8 atau 0,75 maka jika nilai pearson correlation antar dua variabel lebih dari itu, maka mengindikasikan bahwa kedua variabel itu memiliki hubungan yang kuat (ada multikolinearitas). Sedangkan untuk output dari VIF diindikasikan adanya multikolinearitas jika nilai VIF lebih besar dari 10 atau tolerance (1/VIF) adalah kurang dari 0,01 atau kurang. 3. Odds Ratio Nilai Odds Ratio merupakan besaran yang digunakan untuk melihat perbandingan masing-masing kategori dari variabel bebas dalam menerangkan

64 38 peubah tak bebas. Interpretasi untuk model regresi logistik ordinal dapat dilakukan dengan menggunakan nilai odds rationya. Odds ratio tersebut kemudian diinterpretasikan sebagai nilai yang menunjukkan pengaruh perubahan variabel dependen. Sebelum dilakukan langkah ini, hanya dapat diketahui arah dari pengaruh koefisien variabel dependen yang belum dapat diinterpretasikan. Misalkan untuk peubah bebas yang berskala nominal (X 1 dan X 2 ), rasio odds pada kategori Y s merupakan perbandingan antara X 1 dan X 2 yang dirumuskan sebagai berikut (Agresti, 1990) : ( ) ( ) ( ) ( )...(3.8) Dengan i = 1,2,...p (p merupakan banyaknya peubah penjelas) dan s = 1,2,...S-1. Parameter β 1 diartikan sebagai perubahan nilai fungsi logit yang disebabkan oleh perubahan satu unit peubah penjelas ke-i yang disebut log odds, (misalnya antara X 1 dan X 2 ) yang dinotasikan sebagai : ( ] ( )...(3.9) Sehingga didapatkan penduga untuk rasio odds (ψ) sebagai berikut (Agresti, 1990) : ( )]...(4.0) Untuk peubah bebas kategorik, jika odds ratio bernilai > 1, maka odds X 1 lebih besar daripada odds ratio saat X 2 atau dengan kata lain [ ] akan selalu lebih besar dari [ ] sehingga dapat dikatakan, saat X 1 peluang untuk Y s lebih besar daripada saat X Koefisien Determinasi (R 2 ) Goodness of Fit dengan R-square digunakan untuk melihat seberapa besar variasi dalam variabel dependen dapat dijelaskan secara bersama-sama oleh variabel dependen, dan untuk melihat seberapa baik model dapat menjelaskan variabel dependen, maka dapat menggunakan R-square (R 2 ). Semakin tinggi nilai R-square maka menunjukkan model semakin mampu menjelaskan variabel

65 39 dependen. Oleh karena itu, nilai R-square yang tinggi sangat diharapkan dalam suatu penelitian. Namun logika ekonomi tetap diutamakan dalam melihat R-square tersebut. Apabila pada data cross-section didapatkan nilai R-square rendah namun hasil pengujian Z-stat signifikan dan arahnya sesuai dengan teori ekonomi maka model tersebut dapat digolongkan sebagai model yang layak secara statistik (Gujarati, 2003). Pada model logit, penggunaan R-square masih diperdebatkan. Penggunaan R-square pada model logit dinyatakanya sebagai pseudo R-square. Pseudo R-square adalah tiruan R-square yang digunakan untuk menggantikan R- square biasa. Hal ini dilakukan karena tidak adanya padanan tepat yang dapat menggantikan R-square biasa. Oleh karena itu untuk menentukan kelayakan model, penelitian ini menggunakan Z-stat sebagai parameter utama, meskipun pengujian R-square akan tetap dilakukan. Berikut ini adalah variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian : Tabel 4. Variabel yang digunakan dalam Model Regressi Logistik Ordinal Variabel Label Skala Kategori Respon Y Tingkat Ketahanan Pangan RT Ordinal Penjelas X 1 X 2 X 3 X 4 X 5 X 6 X 7 Pendapatan Umur KRT Jumlah anggota RT Lapangan Usaha KRT/ pekerjaan Pendidikan KRT Jumlah raskin yang diterima Daerah tempat tinggal Kontinu Kontinu Kontinu Nominal Nominal Nominal Nominal 0 = rawan 1 = kurang 2 = rentan 3 = tahan 1 = pertanian 0 = lainnya 0 = tidak lulus 1 = dasar 2 = menengah 3 = tinggi 1 = menerima 0 = tidak 0 = pedesaan 1 = perkotaan 3.3 Defenisi Peubah Operasional Batasan atau definisi operasional peubah-peubah dan istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

66 40 1. Rumah Tangga (RT) adalah seorang atau sekelompok orang yang mendiami sebagian atau seluruh bangunan fisik atau bangunan sensus dan biasanya tinggal bersama serta makan dari satu dapur (dalam arti mereka mengurus kebutuhan sehari-hari bersama menjadi satu). 2. Anggota Rumah Tangga (ART) adalah semua orang yang biasanya bertempat tinggal di suatu RT, baik yang berada di rumah pada waktu pencacahan maupun sementara sedang tidak ada. ART yang telah bepergian enam bulan atau lebih, dan ART yang bepergian kurang dari enam bulan tetapi dengan tujuan pindah/ akan meninggalkan rumah enam bulan atau lebih tidak dianggap sebagai ART. Orang yang telah tinggal di RT enam bulan atau lebih, atau yang telah tinggal di RT kurang dari enam bulan tetapi berniat pindah/ bertempat tinggal di RT tersebut enam bulan atau lebih dianggap sebagai ART. 3. Kepala Rumah Tangga (KRT) adalah seorang dari sekelompok anggota rumah tangga yang bertanggung jawab atas kebutuhan sehari-hari rumah tangga atau orang yang dianggap/ ditunjuk sebagai KRT. 4. Pengeluaran konsumsi RT sebulan adalah total nilai makanan dan bukan makanan (barang/jasa) yang diperoleh, dipakai atau dibayarkan rumah tangga sebulan untuk konsumsi rumah tangga, tidak termasuk untuk keperluan usaha rumah tangga atau yang diberikan kepada pihak/ orang lain. Untuk konsumsi makanan, yang termasuk konsumsi rumah tangga adalah yang benar-benar telah dikonsumsi selama referensi waktu survei (consumption approach), sedangkan untuk konsumsi bukan makanan konsep yang dipakai pada umumnya adalah konsep penyerahan (delivery approach) yaitu dibeli atau diperoleh dari pihak lain asalkan tujuannya untuk kebutuhan rumah tangga. 5. Pendapatan perkapita diproksi dari pengeluaran per kapita dimana total pengeluaran rumah tangga dibagi jumlah anggota rumah tangga dalam ribuan rupiah. 6. Rumah tangga tahan pangan merupakan rumah tangga dengan kecukupan pangan > 80 persen dari standar gizi yang dianjurkan dan pangsa pengeluaran makanan < 60 persen.

67 41 7. Produk Domestik Regional Bruto atas dasar harga konstan (PDRB) adalah jumlah produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh seluruh aktivitas ekonomi yang terjadi di masyarakat yang diukur berdasarkan suatu periode tertentu sebagai tahun dasar sehingga nilainya benar-benar mencerminkan jumlah produksi yang terbebas dari pengaruh harga. 8. Penduduk yang termasuk angkatan kerja adalah penduduk usia kerja (15 tahun dan lebih) yang bekerja, atau punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja dan pengangguran. 9. Pendidikan tertinggi yang ditamatkan adalah tingkat pendidikan yang dicapai seseorang setelah mengikuti pelajaran pada kelas tertinggi suatu tingkatan sekolah dengan mendapatkan tanda tamat belajar (ijazah). 10. Lapangan usaha adalah bidang kegiatan dari pekerja/ usaha/ perusahaan/ kantor tempat seseorang bekerja. 11. Kemiskinan adalah ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan makanan maupun non makanan yang bersifat mendasar untuk makanan, pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan dan kebutuhan dasar lainnya. Menurut BPS (2008) kemiskinan merupakan kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi makannya kurang dari kalori perkapita per hari yang setara dengan beras 320 kg/ kapita/ tahun di pedesaan dan 480 kg/ kapita/ tahun di perkotaan. BPS setiap tahun menetapkan besarnya garis kemiskinan berdasarkan hasil Susenas modul konsumsi.

68

69 IV. POLA KONSUMSI DAN KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR 4.1 Gambaran Umum Provinsi Nusa Tenggara Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur secara geografis terletak di belahan paling selatan Indonesia dan merupakan wilayah kepulauan. Luas wilayah daratan km 2 dengan jumlah pulau sebanyak 566 pulau dimana hanya 42 pulau yang berpenghuni. Luas wilayah perairan sebesar km 2, dengan panjang garis pantai km. Musim penghujan di Provinsi NTT relatif pendek yaitu 3-4 bulan dengan rata-rata curah hujan berkisar mm per tahun. Provinsi NTT memiliki 5 kabupaten baru yang terbentuk antara tahun diantaranya Kabupaten Manggarai timur, Kabupaten Nagakeo, Kabupaten Sumba Barata, Kabupaten Sumba Tengah dan Kabupaten Sabu Raijua (BPS NTT, 2010). Jumlah penduduk Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2010 sebesar jiwa dimana lebih dari 70 persen masyarakat NTT tinggal di pedesaaan. Komposisi penduduk di provinsi NTT menurut kelompok umur menunjukkan bahwa penduduk NTT memiliki komposisi penduduk muda yaitu jumlah penduduk usia 0-14 tahun. Tingginya persentase penduduk muda terhadap total penduduk secara keseluruhan disebabkan oleh tingginya tingkat kelahiran atau angka fertilitas (BPS Prov. NTT, 2010). Tingginya migrasi ke daerah lain terutama ke Indonesia bagian Barat menyebabkan jumlah penduduk kelompok umur di atas 20 tahun semakin berkurang. Masyarakat NTT umumnya memandang pangan secara sangat sederhana berdasarkan pengalaman mereka sehari-hari. Bagi masyarakat NTT pangan merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh semua anggota keluarga mulai dari saat panen sampai pada musim panen berikutnya. Jika dalam rentang waktu selama 1 periode musim panen, persediaan pangan mereka mencukupi maka keadaan pangan mereka dikatakan aman. Jika sebaliknya, persediaan pangan mereka tidak mencukupi sampai musim panen berikutnya maka keadaan pangan mereka dikatakan tidak aman 1. 1 Hasil kegiatan PRA (perticipatory rural appraisal) dan penelitian di Flores, Timor dan Sumba yang dilaksanakan oleh Forum Kesiapan dan Penanganan Bencana (FKPB) tahun

70 Ketersediaan Pangan di Provinsi Nusa Tenggara Timur Pengadaan pangan yang cukup dan memenuhi persyaratan gizi bagi penduduk merupakan salah satu masalah yang memerlukan penanganan serius. Program pembangunan pertanian di bidang produksi pangan pada hakekatnya merupakan upaya peningkatan produksi pangan. Dalam uraian ketersediaan pangan disini, dibatasi pada ketersediaan pangan perkapita, yaitu ketersediaan jenis pangan yang tersedia untuk dikonsumsi oleh rumah tangga, pedagang eceran, rumah makan dan sejenisnya pada periode tertentu. Data ketersediaan yang dimaksud dapat memberikan gambaran volume ketersediaan untuk individu penduduk. Beras merupakan komoditi pokok dan strategis dibanding komoditas lainnya. Hal ini disebabkan karena masyarakat Indonesia umumnya mengkonsumsi beras, tidak terkecuali di Provinsi NTT. Akibat terlalu dominan dan intensifnya kebijakan pemerintah di bidang perberasan secara berkelanjutan mulai dari industri hulu sampai industri hilir mengakibatkan pergeseran pangan pokok dari pangan lokal seperti jagung dan umbi-umbian ke pangan pokok nasional yaitu beras. Sejak tahun 1979, pangan pokok masyarakat NTT telah mengalami pergeseran ke arah beras. Walaupun begitu data dilapangan menunjukkan bahwa saat ini masyarakat NTT cenderung mengkonsumsi beras dan jagung dibanding bahan pangan pokok lainnya. Sebagian penduduk NTT mengkonsumsi jagung sebagai makanan pokok pada saat ketersediaan beras terbatas, biasanya jagung digunakan sebagai pengganti beras. Pada tahun 2010 kebutuhan konsumsi beras bagi 4,9 juta jiwa penduduk NTT adalah sekitar ton, sedangkan produksi padi hanya sebesar ton GKG yang hanya menghasilkan beras pangan sebesar ton. Dengan demikian masih ada kekurangan beras untuk konsumsi penduduk NTT yakni sebanyak ton. Untuk kekurangan produksi beras, pemerintah NTT masih mengandalkan distribusi beras bagi warga miskin atau yang disebut dengan RASKIN. Tahun 2010 pagu beras miskin untuk penduduk NTT meningkat ton menjadi ton (Perum Bulog, 2010). Sedangkan untuk rumah tangga sasaran (RTS) penerima raskin masih tetap seperti tahun sebelumnya yaitu sebanyak kepala keluarga. Dimana pada tahun 2010

71 45 terjadi penambahan kouta kembali untuk raskin dari 13 kg menjadi 15 kg dengan harga Rp ,-/ kg. Realisasi penyaluran beras miskin kepada RTS hingga bulan Juli 2010 telah mencapai ton atau sekitar 82,63 persen dari total pagu, sisanya sebesar ton atau sekitar 46,17 persen. Sebenarnya Provinsi NTT memiliki kemampuan untuk menyediakan pangan dengan lebih baik, jika saja didukung dengan ketersediaan sarana produksi yang baik. Tapi karena faktor geografis dan lingkungan di Provinsi NTT yang kurang mendukung terutama untuk jenis tanaman pangan seperti padi, maka untuk produksi beras sendiri, Provinsi NTT masih memerlukan bantuan distribusi dari luar wilayah NTT. Beberapa sentra produksi padi di NTT terdapat di Kabupaten Manggarat Barat, Manggarai Timur, Ngada, Rote Ndao, Kupang, Sumba Timur, Sumba Barat Daya dan Nagakeo dengan produktivitas hasil padi sawah rata-rata sebanyak 3,6 ton/ha dan padi ladang sebanyak 2,1 ton/ha. Berikut tabel produksi dan konsumsi beras di Provinsi NTT pada tahun Tabel 5. Produksi dan Konsumsi Beras di Provinsi NTT Tahun 2010 (ton) No Uraian Produksi Penggunaan GKG non pangan GKG yang diolah menjadi beras Produksi Beras Penggunaan beras non pangan Produksi beras pangan Total Konsumsi Penduduk Defisit ( ) Sumber : BPS Prov. NTT Sentra produksi jagung di Provinsi NTT terdapat dibeberapa kabupaten diantaranya Kabupaten Timor Tengah Selatan, Belu, TTU, Kupang, Sumba Barat Daya dan Sumba Timur dengan produktivitas rata-rata 2,5 ton/ha. Total konsumsi jagung penduduk NTT pada tahun 2010 hanya sebesar ton, sedangkan produksi jagung mencapai ton sehingga pada tahun 2010 terdapat surplus untuk produksi jagung sebesar ton. Provinsi NTT sebenarnya mengalami surplus untuk produksi jagung selama empat tahun terakhir yaitu tahun , hanya saja untuk konsumsi jagung masyarakat NTT saat ini memang masih kurang. Jagung hanya dikonsumsi jika ketersediaan beras sudah habis, biasanya

72 46 jagung digunakan sebagai pengganti beras walaupun sebagian penduduk NTT memang mengkonsumsi jagung sebagai makanan pokok. Berikut tabel produksi dan konsumsi jagung di Provinsi NTT tahun Tabel 6. Produksi dan Konsumsi Jagung di Provinsi NTT Tahun 2010 (ton). No Uraian Produksi jagung (pipilan kering) Penggunaan jagung non pangan Produksi jagung pangan Total Konsumsi Penduduk Surplus Sumber : BPS Prov.NTT Ketersediaan pangan adalah ketersediaan pangan secara fisik di suatu wilayah dari segala sumber baik itu produksi pangan domestik, cadangan pemerintah dan bantuan pangan dari pemerintah atau organisasi lainnya. Jika dilihat dari produksi komoditas tanaman pangan di Provinsi NTT, selain beras dan jagung komoditas lain yang berpeluang cukup besar untuk di konsumsi adalah jenis umbi-umbian yaitu ubi kayu dan ubi jalar. Ketersediaan pangan untuk beras selama empat tahun terakhir cenderung menurun, walaupun laju penurunanya relatif kecil. Berikut produksi tanaman pangan di Provinsi NTT tahun pada Gambar 5. 1,200,000 1,000,000 Produksi (ton) 800, , , , , , , , Tahun padi Jagung Ubi Kayu Ubi jalar Kacang Tanah Kacang Kedelai Kacang hijau Sumber : BPS (diolah) Gambar 5. Produksi Tanaman Pangan di Provinsi NTT Tahun

73 47 Jika dilihat dari produksi tahun tanaman pangan di provinsi NTT, maka terdapat peningkatan yang cukup signifikan terhadap komoditas ubi kayu dan jagung. Produksi ubi kayu selama empat tahun terakhir terus meningkat di Provinsi NTT dengan produksi mencapai ton pada tahun Walaupun untuk padi sendiri terdapat penurunan di tahun 2010, tapi dengan peningkatan pada jenis tanaman pangan lain maka konsumsi beras selama ini dapat dialihkan dengan diversifikasi sumber makanan baru olahan yang berasal dari ubi kayu dan jagung. Selain itu, dilihat dari luas panen dan potensi tanaman pangan lokal, yang tergarap baru sekitar 45 persen, mengindikasikan bahwa jika potensi tersebut dioptimalkan maka kemungkinan dapat memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap produksi yang tentu saja harapanya ketahanan pangan di NTT dapat tercapai. Kebijakan peningkatan produksi pangan lokal di provinsi NTT telah banyak dilaksanakan guna meningkatkan pendapatan petani pedesaan di NTT. Sejak dahulu para gubernur ketika memulai masa jabatanya, yang pertama kali dicanangkan adalah kebijakan strategis yang membantu petani agar dapat meningkatkan produksi pertanian dan pendapatanya. Diantara program tersebut adalah Program Operasi Nusa Makmur (ONM), Program Operasi Nusa Hijau (ONH), Program Meningkatkan Pendapatan Asli Rakyat (Gempar), Program Membangun Desa (Gerbades) dan lain-lain. Program pangan terakhir adalah program Anggur Merah yang merupakan singkatan dari anggaran pembangunan untuk mensejahterahkan rakyat. Di antara kebijakan operasional peningkatan produksi tanaman pangan lokal yang telah dilaksanakan untuk mendukung ketahanan pangan provinsi NTT yaitu program statistik pertanian tanaman pangan lokal, program intensifikasi penanaman jagung, program peta data kekeringan, program penanaman singkong unggulan lokal dan program perbanyakan benih lokal. Berbagai program diatas dirasa belum memberikan hasil yang signifikan bagi perbaikan kondisi peningkatan produksi pertanian dan pendapatan petani sehingga ketahanan pangan penduduk NTT sangat rapuh terbukti daerah ini masih mengalami rawan pangan dan gagal panen. Belum optimalnya implementasi kebijakan produksi tanaman pangan lokal di provinsi NTT disebabkan masih

74 48 banyaknya kendala baik itu menyangkut operasional di lapangan, kordinasi yang belum berjalan efektif, komitmen untuk keberhasilan program yang masih rendah dan kurangnya alokasi anggaran dari pengambil kebijakan, sehingga kebijakan dan program yang selama ini ada hanya menjadi dokumen para pakar dan praktisi tanpa mencapai hasil yang diharapkan Stabilitas Pangan di Provinsi Nusa Tenggara Timur Stabilitas ketahanan pangan di tingkat RT dapat dilihat dari beberapa indikator diantaranya lapangan pekerjaan dan jumlah anggota rumah tangga. Hal ini dinilai mempengaruhi faktor ekonomi suatu rumah tangga yang terkait dengan stabilitas ketahanan pangan suatu rumah tangga. Beberapa indikator yang dapat dilihat dari subsistem stabilitas pangan seperti faktor cuaca, faktor harga, faktor politik dan faktor ekonomi, tetapi dalam hal ini penulis hanya menggunakan faktor ekonomi yang mencakup lapangan pekerjaan dan jumlah anggota rumah tangga saja. Sektor pertanian merupakan sumber mata pencaharian utama bagi sebagian besar penduduk Nusa Tenggara Timur yang mayoritas tinggal di pedesaan. Sektor pertanian sangat berkaitan dengan ketahanan pangan. Tahun 2010, sebanyak 50 persen angkatan kerja di provinsi NTT melakukan aktivitas ekonomi di sektor pertanian, kecuali di kota Kupang dimana persentase penduduk yang bekerja disektor pertanian cenderung menurun (BPS Prov. NTT, 2010). Tersier 24 % Primer 65 % Sekunder 11 % Primer 65 persen Sumber: BPS Prov.NTT (diolah) Gambar 6. Persentase jumlah penduduk berusia 15 tahun keatas yang bekerja menurut lapangan pekerjaan utama di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2010

75 49 Gambar 6 menunjukan persentase pekerjaan penduduk Nusa Tenggara Timur berdasarkan lapangan pekerjaan utama dari penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja pada tahun Sektor pertanian merupakan sektor p r i m e r yang memiliki persentase terbesar yaitu 65 persen, diikuti oleh sektor tersier dan sekunder yaitu masing-masing sebesar 24 persen dan 11 persen. Hal ini menunjukan bahwa sektor pertanian merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Komposisi penduduk juga merupakan hal yang penting dalam pembangunan. Komposisi penduduk secara langsung terkait dengan jumlah anggota rumah tangga di setiap keluarga. Jumlah anggota rumah tangga yang banyak dalam suatu rumah tangga dikhawatirkan dapat menyebabkan terhambatnya akses rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan panganya. Komposisi penduduk di Provinsi NTT menurut kelompok umur menunjukkan bahwa penduduk NTT memiliki komposisi penduduk muda yaitu jumlah penduduk usia 0-14 tahun lebih banyak dari usia penduduk lainya (BPS Prov. NTT, 2010). Tingginya persentase penduduk muda terhadap penduduk total NTT karena tingginya tingkat kelahiran di Provinsi tersebut. Beban pembangunan dimasa yang akan datang akan lebih kompleks apabila tingkat kelahiran tidak diantisipasi dengan baik misalnya dengan program KB. Sudah selayaknya jumlah penduduk yang besar menjadi modal pembangunan apabila ditingkatkan kualitasnya melalui pendidikan dan penyedia lapangan pekerjaan. Tapi sebaliknya jumlah penduduk yang besar yang tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas pendidikan, lapangan pekerjaan yang tersedia maka akan menyebabkan tingginya angka pengangguran dan beban kehidupan di masing-masing rumah tangga Akses Pangan di Provinsi Nusa Tenggara Timur Akses pangan merupakan faktor yang menentukan tercapainya ketahanan pangan. Meskipun di suatu daerah ketersediaan pangan mencukupi dan berlimpah namun jika tidak didukung dengan adanya akses yang baik maka ketahanan pangan tidak dapat tercapai. Faktor yang menentukan akses pangan terhadap suatu wilayah diantaranya adalah pendapatan yang tercermin dari PDRB wilayah dan tingkat pendidikan.

76 50 Secara makro, besaran PDRB merupakan salah satu indikator yang dapat digunakan untuk menggambarkan kinerja ekonomi suatu wilayah provinsi maupun kabupaten. PDRB perkapita lazim digunakan untuk mengukur keberhasilan pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi dapat meningkatkan kesejahteraan penduduk yang akan berdampak pada ketahanan pangan di suatu wilayah. PDRB perkapita Provinsi NTT atas dasar harga konstan mengalami peningkatan dari tahun 2009 hingga tahun Pada tahun 2009, PDRB Provinsi NTT atas dasar harga konstan sebesar 11,921 milyar rupiah meningkat menjadi 12,532 milyar rupiah pada tahun 2010 (Lampiran 1). Peningkatan PDRB atas harga konstan (2000) tersebut secara tidak langsung memperlihatkan bahwa volume kegiatan usaha di NTT memiliki kecenderungan meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan PDRB per kapita disebabkan oleh karena peningkatan pendapatan lebih tinggi dari peningkatan jumlah penduduk di Provinsi NTT. Berdasarkan PDRB atas harga berlaku di Provinsi NTT maka terdapat peningkatan dari tahun 2008 hingga tahun 2010 dari milyar rupiah menjadi milyar rupiah dimana secara umum perekonomian NTT meningkat dibanding tahun sebelumnya. Perkembangan ekonomi di NTT dari tahun ke tahun akan lebih jelas diperlihatkan oleh laju pertumbuhan ekonomi yang dihitung berdasarkan nilai PDRB atas dasar harga konstan. Pada tahun 2008, laju pertumbuhan ekonomi NTT mencapai 4,84 persen, dimana tahun 2009 melemah menjadi 4,29 persen tetapi meningkat kembali menjadi 5,23 persen pada tahun Kontribusi setiap sektor ekonomi terhadap seluruh perekonomian di Provinsi NTT dapat dilihat pada Gambar 7. Struktur perekonomian NTT tahun 2010 tidak jauh berbeda dengan tahun sebelumnya, dimana sektor-sektor yang paling dominan adalah pertanian dan jasa-jasa. Kontribusi terbesar dalam PDRB NTT tahun 2010 berasal dari sektor pertanian yakni sebesar 38,45 persen, disusul dengan sektor jasa-jasa sebesar 24,69 persen. Sedangkan sektor perdagangan, hotel dan restoran memberikan kontribusi sebesar 16,76 persen dengan peringkat tertinggi ke-3 setelah sektor pertanian dan jasa-jasa. Kontribusi terendah berasal dari sektor listrik, gas dan air bersih yang hanya sebesar 0,42 persen.

77 51 25% 38% Pertanian Pertambangan Industri pengolahan 4% 6% 17% 7% Listrik,gas dan air bersih bangunan/ kontruksi perdagangan, hotel dan restoran 0% 1% 2% pengangkutan dan komunikasi keuangan, persewaan dan jasa perushanaan Sumber : BPS Prov. NTT (diolah) Gambar 7. Struktur PDRB di Provinsi NTT Menurut lapangan Usaha Tahun Besarnya kontribusi sektor pertanian terhadap perekonomian di Provinsi NTT mengisyaratkan bahwa sektor pertanian merupakan pilihan yang harus dikembangkan oleh pemerintah daerah NTT, walaupun sektor pertanian pada kenyataanya masih relatif sulit untuk dikembangkan peningkatan kapasitas produksinya, mengingat sektor pertanian khususnya sub sektor tanaman bahan makanan lebih banyak bergantung pada faktor musim. Sektor pertanian perlu diperhatikan dan ditingkatkan guna pembangunan di Provinsi NTT yang lebih baik. Hal ini diharapkan dapat mendukung terciptanya ketahanan pangan yang kuat di Provinsi NTT dengan tingginya kontribusi terhadap sektor pertanian. Gambaran tentang peranan sektor-sektor ekonomi terhadap pembentukan PDRB NTT tersebut memperlihatkan bahwa sampai saat ini struktur ekonomi NTT masih relatif lemah, terutama dari sisi kemampuan untuk lebih mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan luas perairan NTT yang kurang lebih km 2 diluar perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia ternyata penduduk NTT yang bekerja di sub sektor perikanan hanya sebesar 2,51 persen (DDA NTT, 2010), Hal ini sungguh ironis mengingat hampir seluruh luas wilayah NTT dikelilingi perairan. Oleh karena itu peningkatan sektor perikanan oleh pemerintah perlu mendapatkan perhatian yang cukup serius di wilayah NTT, mengingat potensi sumberdaya kelautan NTT masih memiliki peluang yang cukup besar untuk dikembangkan.

78 52 Upaya pembangunan sumberdaya manusia dapat dilakukan melalui investasi disektor pendidikan. Pendidikan diselenggarakan sebagai upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjadi langkah untuk meningkatkan kesejahteraan hidup warga negara. Peningkatan derajat pendidikan diprioritaskan sebagai upaya untuk mengurangi kemiskinan dan karawanan pangan. Pendidikan merupakan salah satu indikator kesejahteraan yang diharapkan dapat mencerminkan kondisi sosial ekonomi suatu rumah tangga. Masalah yang dihadapi oleh masyarakat di Provinsi NTT adalah rendahnya kualitas sumberdaya manusia yang digambarkan melalui indeks pembangunan manusia yang rendah (Human Development Index). 1% 1% 2% 3% 11% 10% 27% 45% tidak punya ijazah Tamat SD Tamat SMP Tamat SMU SMK D1 dan D2 D3 D4-S3 Sumber : BPS NTT dalam angka (diolah) Gambar 8. Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas Menurut Pendidikan yang Ditamatkan Tahun 2010 di Provinsi NTT. Masyarakat yang memiliki pendidikan tinggi diharapkan mempunyai pengetahuan akan gizi dan konsumsi pangan yang lebih baik. Sehingga dapat meningkatkan produktivitas kinerja yang dapat berkontribusi dalam pembangunan. Kualitas pendidikan di Provinsi NTT dapat dilihat dari persentase kelulusan yang ditempuh oleh masyarakat NTT. Secara umum, tingkat pendidikan penduduk di Provinsi NTT masih tergolong rendah. Hampir 45,42 persen penduduk NTT pada tahun 2010 yang berumur diatas 10 tahun tidak lulus SD dan tidak memiliki ijazah. Sedangkan penduduk yang tamat Sekolah Dasar hanya sebesar 27,37 persen (Gambar 8).

79 53 Jumlah kelulusan penduduk di Provinsi NTT jika dilihat dari tahun mengalami penurunan yang signifikan. Hal ini sungguh ironis. Dimana masyarakat yang tidak lulus SD jumlahnya ternyata semakin meningkat. Hal ini memperlihatkan bahwa pendidikan masyarakat NTT bukanya semakin membaik, tetapi malah semakin memburuk. Peningkatan hanya terjadi untuk lulusan D4 sampai dengan S3 yang peningkatannya cukup kecil, hanya sebesar 0,2 persen (Gambar 9). Rendahnya kualitas pendidikan di Provinsi NTT mencerminkan ketahanan pangan di wilayah NTT dalam kondisi yang tidak aman. Pendidikan D4-S3 D3 D1 dan D2 SMK Tamat SMU Tamat SMP Tamat SD tidak punya ijazah Persen Sumber : BPS NTT (diolah) Gambar 9. Persentase Penduduk Berumur 10 Tahun Keatas Menurut Pendidikan yang Ditamatkan Tahun di Provinsi NTT 4.2 Pola Konsumsi Rumah Tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur Pangsa pengeluaran pangan yang merupakan suatu indikator penentu ketahanan pangan rumah tangga masih mencapai proporsi yang cukup tinggi di Provinsi NTT. Hasil pengolahan data SUSENAS tahun 2010 di Provinsi NTT menunjukkan bahwa pangsa pengeluaran pangan untuk pedesaan sebesar 68,24 persen, hal ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah perkotaan yang hanya sebesar 54,31 persen (Tabel 7). Hal ini mengindikasikan bahwa kesejahteraan masyarakat perkotaan masih lebih baik dibandingkan masyarakat pedesaan di NTT dimana mengindikasikan rendahnya tingkat kesejahteraan

80 54 rumah tangga di desa. Pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah NTT saat ini hasilnya masih lebih dinikmati oleh masyarakat perkotaan daripada penduduk pedesaan. Berikut pangsa pengeluaran pangan dan non pangan di Provinsi NTT atas desa-kota Tahun Tabel 7. Persentase Pengeluaran Rata-rata Rumahtangga di Provinsi NTT Tahun 2010 No Keterangan Pangsa Pangan (%) Non Pangan (%) 1 Kota 54,31 45,69 2 Desa 68,24 31,76 Total NTT 66,08 33,92 Sumber : BPS, 2010 (diolah) Pola konsumsi pangan secara keseluruhan dapat dilihat dari besarnya pengeluaran untuk masing-masing kelompok pangan. Pola konsumsi pangan yang bermutu dengan gizi seimbang adalah konsumsi pangan yang dapat menyediakan zat tenaga (energi), zat pembangun (protein) dan zat pengatur (vitamin dan mineral) dalam kuantitas yang cukup yang terdiri dari beraneka ragam pangan. Pangan yang beraneka ragam sangat penting karena kenyataanya tidak ada satu komoditas pangan yang mengandung zat gizi dalam jenis dan jumlah yang lengkap. Dengan konsumsi pangan yang beraneka ragam maka kekurangan zat gizi dalam satu jenis pangan akan dilengkapi oleh kandungan zat gizi dari pangan lainnya. Adanya prinsip saling melengkapi antara berbagai jenis pangan tersebut akan menjamin terpenuhinya mutu gizi seimbang dalam jumlah yang cukup. Berdasarkan pengeluaran rata-rata perkapita sebulan dan menurut kelompok pangan ternyata konsumsi pangan di NTT masih didominasi kelompok pangan sumber karbohidrat dari serealia (beras dan jagung). Beras masih menjadi pangan pokok utama bagi sebagian besar masyarakat NTT dan menjadi sumber energi utama bagi rumah tangga di pedesaan. Sebesar 24,2 persen konsumsi masyarakat NTT masih didominasi oleh padi-padian. Konsumsi padi-padian tertinggi berada di pedesaan sebesar 26,4 persen sedangkan diperkotaan konsumsi padi-padian hanya sekitar 17,4 persen (Tabel 8). Diantara kelompok padi-padian, beras merupakan komoditi terbanyak yang dikonsumsi masyarakat NTT yaitu mencapai 92,99 persen (Lampiran 2). Hal ini didukung oleh penelitian Ariningsih (2008) yang menyimpulkan bahwa beras merupakan pangan pokok utama bagi

81 55 sebagian besar masyarakat Indonesia dimana masih menjadi sumber energi utama bagi rumah tangga di pedesaan sementara kontribusi pangan pokok lainnya seperti jagung dan ubi kayu sangat kecil. Ariani (2004) menyatakan bahwa di Indonesia beras telah dijadikan komoditas politik dan strategis, sehingga kebijakan pangan yang ditetapkan oleh pemerintah bias pada beras, termasuk diantaranya kebijakan raskin. Kebijakan ini mengakibatkan pergeseran pola konsumsi pangan pokok dari jagung atau umbi-umbian ke beras. Berikut persentase konsumsi pangan di Provinsi NTT tahun 2010 di daerah pedesaan dan perkotaan. Tabel 8. Persentase Konsumsi Pangan di Provinsi NTT Tahun 2010 (persen) Tahun 2010 No Kelompok Pangan Desa Kota Desa+Kota 1 Padi-padian 26,4 17,4 24,2 2 Umbi-umbian 3,0 2,3 2,8 3 Ikan 7,2 9,3 7,8 4 Daging 16,4 13,3 15,7 5 Telur dan susu 5,6 7,1 6,4 6 Sayuran 7,2 9,0 7,5 7 Kacang-kacangan 3,5 3,8 3,6 8 Buah-buahan 3,3 4,5 3,5 9 Minyak dan lemak 3,0 3,2 3,0 10 Bahan Minuman 5,2 4,0 4,9 11 Bumbu-bumbuan 1,2 1,6 1,2 12 Konsumsi lainnya 2,4 2,3 2,4 13 Makanan dan Minuman jadi 9,4 12,8 10,4 14 Tembakau dan Sirih 6,4 9,4 6,7 Total 100,0 100,0 100,0 Sumber : BPS, 2010 (diolah) Konsumsi komoditi padi-padian lainnya memiliki persentase yang sangat kecil di Provinsi NTT (Lampiran 2). Konsumsi tepung terigu di perkotaan cenderung lebih tinggi dibandingkan di wilayah pedesaan, hal ini disebabkan banyaknya jenis makanan jadi (olahan) di perkotaan yang menggunakan tepung terigu. Perbandingan konsumsi antara penduduk perkotaan dan pedesaan di Provinsi NTT menunjukkan bahwa persentase konsumsi padi-padian di daerah pedesaan masih jauh lebih besar daripada di perkotaan. Selain beras dan jagung, komoditas yang berperan sebagai pangan pokok adalah umbi-umbian. Dari hasil tabel diatas dapat dilihat bahwa konsumsi umbi-

82 56 umbian masyarakat NTT masih sangat rendah baik itu di pedesaan maupun di perkotaan yaitu hanya sebesar 3 persen. Daging merupakan komoditas pangan kedua tertinggi setelah padi-padian di Provinsi NTT yaitu sebesar 15,7 persen. Sedangkan makanan dan minuman jadi merupakan kelompok pangan tertinggi ke- 3 yang dikonsumsi masyarakat NTT yaitu sebesar 10,4 persen. Konsumsi makanan dan minuman jadi yang terbesar terdapat di wilayah perkotaan dengan persentase sebesar 12,8 persen dibandingkan dengan pedesaan yang hanya sebesar 9,4 persen. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk perkotaan lebih menyukai makanan cepat saji, hal ini terkait dengan pola hidup masyarakat perkotaan yang cenderung lebih senang dengan produk instan dan olahan. Di perkotaan dengan segala aktivitas yang padat dan cepatnya pertumbuhan pusat perbelanjaan dan restoran mengakibatkan masyarakat lebih muda mengkonsumsi makanan dan minuman jadi. Sedangkan di pedesaan masyarakat lebih memilih untuk mengolah pangan mereka sendiri. Upaya diversifikasi pangan di Indonesia tak terkecuali di Provinsi NTT dinilai kurang berhasil karena ketergantungan terhadap beras masih tinggi meskipun potensi bahan pangan lain sangat besar. Hal ini terlihat dari kecenderungan penurunan konsumsi pangan pokok lokal lainnya seperti jagung dan ubi kayu. Di sisi lain, konsumsi mie dan bahan pangan lain yang berbahan baku terigu (gandum) yang merupakan bahan pangan impor cenderung semakin meningkat. Hasil kajian Hasibuan (2001) menyimpulkan bahwa mie instan berpotensi sebagai makanan sumber energi kedua setelah beras, tetapi belum berkedudukan sebagai makanan sumber energi pengganti beras. 4.3 Kondisi Kecukupan Kalori dan Protein di Provinsi NTT Tingkat kecukupan gizi juga merupakan salah satu indikator untuk menunjukkan tingkat kesejahteraan suatu penduduk dengan asumsi bahwa semakin tercukupinya gizi maka semakin sejahtera. Kecukupan gizi yang lazim adalah disajikan dalam unit kalori dan protein. Norma kecukupan gizi yang digunakan di Indonesia pada umumnya adalah hasil kesepakatan Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII tahun 2004, walaupun banyak penelitian lain yang menggunakan standar angka kecukupan lainya, tetapi dalam penelitian

83 57 ini penulis menggunakan standar WNPG yang menetapkan angka kecukupan konsumsi pangan yang dianjurkan yaitu energi (kalori) dan protein masingmasing sebesar kal/kap/hari dan 52 gram/kap/hari. Jumlah rumah tangga sampel SUSENAS di Provinsi Nusa Tenggara Timur pada tahun 2010 adalah sebanyak 1740 rumah tangga, dengan jumlah kabupaten sebanyak 19 kabupaten/kota. Berdasarkan data SUSENAS tahun 2010, tingkat kecukupan gizi di provinsi NTT yang dihitung dari besarnya konsumsi kalori menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi kalori penduduk NTT tahun 2010 sudah berada diatas batas standar kecukupan gizi yaitu sebesar 2.054,05 kkal/kap/hari. Nilai tersebut tidak jauh berbeda dari kkal sehingga dapat dikatakan bahwa provinsi NTT secara wilayah masih dalam kondisi cukup kalori Konsumsi Kalori Kabupaten Sumber : BPS, 2010 (diolah) Gambar 10. Rata-rata Konsumsi Kalori per Kapita Sehari Menurut Kabupaten di Provinsi NTT Tahun 2010 (Kkal) Dilihat dari sisi rumah tangga di Provinsi NTT berdasarkan sampel rumah tangga yang dianalisis, maka jumlah rumah tangga yang jumlah kalorinya diatas kkal hanya sebesar 47 persen sedangkan yang konsumsi kalori dibawah kkal jauh lebih tinggi sebesar 53 persen. Persentase kecukupan kalori rumah tangga di Provinsi NTT berdasarkan jumlah sampel rumah tangga pada tahun 2010 dapat dilihat pada (Lampiran 3). Hal ini menunjukkan bahwa

84 58 kecukupan kalori di tingkat kabupaten (provinsi) pada tahun 2010, belum tentu menjamin kecukupan kalori di tingkat rumah tangga. Tingginya jumlah rumah tangga di NTT yang konsumsi kalorinya masih dibawah 2000 kkal/kap/hari menunjukkan bahwa provinsi NTT masih belum mencukupi kalori standar yang ditetapkan WNPG VIII tahun 2004 dari sisi rumah tangga. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Ariningsih tentang konsumsi gizi (2002) yang menyatakan bahwa perbaikan konsumsi gizi secara makro ternyata tidak mencerminkan pemerataan pemenuhan konsumsi gizi secara mikro di Indonesia. Selain itu fakta juga menunjukkan bahwa walaupun di tingkat nasional dan wilayah (provinsi) memiliki status tahan pangan terjamin, namun di wilayah tersebut masih ditemukan rumah tangga rawan pangan, hal ini sesuai dengan penelitian Rachman (2004). Belum terpenuhinya konsumsi kalori sesuai standar yang ada antara lain disebabkan karena belum sadarnya masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi pangan yang sesuai dengan angka kecukupan gizi. Menurut Ariningsih (2008) kunci permasalahan rendahnya konsumsi kalori dan protein terletak pada rendahnya pendapatan rumah tangga, oleh karena itu program-program pemerintah hendaknya diarahkan pada program perluasan kesempatan kerja dan peningkatan pendapatan rumah tangga, disamping peningkatan ketersediaan bahan pangan yang berkualitas serta penyuluhan tentang masalah gizi perlu terus diupayakan. Selain kecukupan kalori, kecukupan protein juga menjadi indikator kualitas pangan yang harus diperhitungkan. Berdasarkan konsumsi protein di Provinsi NTT pada tahun 2010, kecukupan protein yang dikonsumsi penduduk NTT sebesar 52,7 gram/kap/hari. Hal ini sudah sesuai dengan standar yang dianjurkan WNPG VIII tahun 2004 yaitu sebesar 52 gram/kap/hari. Perbandingan antara pedesaan dan perkotaan memperlihatkan bahwa kecukupan protein di pedesaan masih lebih rendah dibandingkan perkotaan, begitu juga dengan kecukupan konsumsi kalori di perkotaan yang masih jauh lebih tinggi dibanding dengan pedesaan (Tabel 9). Secara keseluruhan kecukupan konsumsi protein dan kalori di Provinsi NTT secara wilayah dapat dikatakan sudah memenuhi standar tapi untuk konsumsi kalori di tingkat rumah tangga sendiri, ternyata rumah tangga

85 59 di Provinsi NTT konsumsi kalorinya masih dibawah ketentuan yang telah ditetapkan WNPG VIII tahun Tabel 9. Kecukupan Konsumsi Protein dan Kalori di Provinsi NTT Menurut Desa dan Kota Tahun Tahun 2010 Kelompok Protein (gr) Kalori (kkal) Desa 51, ,51 Kota 59, ,17 Total 52, ,05 Sumber : BPS, 2010 (diolah) Gambar 11 menunjukkan bahwa konsumsi protein per kapita sehari tiap Kabupaten di Provinsi NTT selama tahun 2010 sudah diatas standar yang ditetapkan yaitu 52 gram/kap/hari. Walaupun masih ada beberapa daerah kabupaten yang kecukupan proteinya masih dibawah rata-rata seperti Sumba barat, Sumba Timur, Kabupaten Kupang, TTS, TTU, Belu, Alor, Sikka, Ende, Rote Ndao, dan Sumba Barat Daya tetapi tidak terlalu jauh dari angka batas yang ditetapkan WNPG VIII tahun Hampir 57 persen rumah tangga di NTT kecukupan proteinya sudah diatas 52 gram/kap/hari. Hal ini memperkuat pendapat bahwa secara wilayah dan rumah tangga, provinsi NTT untuk konsumsi proteinya sudah tercukupi dan diatas rata-rata standar yang telah ditetapkan WNPG VIII tahun Konsumsi Protein Kabupaten Sumber : BPS (diolah) Gambar 11. Rata-rata Konsumsi Protein per Kapita Sehari Menurut Kabupaten di Provinsi NTT Tahun 2010 (gram)

86 Ketahanan Pangan Rumah Tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur Ketahanan pangan memiliki dua indikator yang sangat penting yaitu kecukupan kalori dan pangsa pengeluaran pangan. Berdasarkan perhitungan ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2010 dengan menyilangkan kondisi pangsa pengeluaran untuk pangan dan kecukupan kalori, terlihat bahwa di Provinsi NTT persentase penduduk yang rawan pangan masih cukup tinggi yaitu sebesar 22,01 persen. Sementara itu rumah tangga yang tergolong tahan pangan lebih kecil yakni sebesar 20,06 persen. Tabel 10. Distribusi Rumah Tangga menurut Derajat Ketahanan Pangan di Provinsi NTT Tahun 2010 Status Rumah tangga 2010 Kota Desa Total Rawan Pangan 10,37 24,15 22,01 Kurang Pangan 14,07 7,89 8,85 Rentan Pangan 30,37 52,52 49,08 Tahan Pangan 45,19 15,44 20,06 Total 100,00 100,00 100,00 Sumber: BPS, Susenas 2010 (diolah) Rumah tangga rentan pangan di NTT mencapai proporsi yang cukup besar yakni 49,08 persen. Kelompok ini menurut kriteria yang ditetapkan merupakan kelompok yang secara ekonomi (pendekatan diproksi dari pangsa pengeluaran pangan) termasuk kelompok kurang sejahtera, namun dari sisi konsumsi energi memenuhi syarat kecukupan, hal ini terkait dengan pola konsumsi dan kebiasaan makan masyarakat NTT. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang menyatakan bahwa kelompok rentan pangan mengkonsumsi pangan sumber karbohidrat (khususnya beras dan umbi-umbian) relatif lebih tinggi dibanding kelompok lainnya (Saliem dkk., 2001). Umumnya pangan sumber karbohidrat memiliki kandungan energi (kkal) yang tinggi, namun demikian tingginya konsumsi pangan sumber karbohidrat pada kelompok rentan pangan tidak diikuti oleh konsumsi sumber pangan lain secara seimbang. Dari sisi gizi, untuk memperoleh kondisi tubuh yang sehat diperlukan komposisi beragam zat gizi secara cukup dan seimbang. Oleh karena itu perlu upaya penyadaran dan peningkatan pengetahuan pangan dan gizi secara intensif. Mengingat kelompok ini secara ekonomi kurang mampu, maka upaya peningkatan pendapatan untuk

87 61 mampu mengakses pangan sumber protein, vitamin dan mineral secara baik perlu lebih digalakkan. Kelompok rumah tangga kurang pangan di Provinsi NTT proporsinya relatif kecil yakni hanya 8,85 persen. Kelompok ini merupakan golongan dari sisi ekonomi relatif mampu untuk mengkonsumsi pangan, namun dari indikator gizi termasuk kurang (konsumsi kalori kurang dari syarat kecukupan). Oleh karena itu penyadaran dan peningkatan pengetahuan pangan dan gizi, terutama tentang pola konsumsi pangan yang beragam dan seimbang perlu mendapat prioritas. Rumah tangga di perkotaan biasanya lebih mengutamakan pemenuhan kebutuhan non pangan meski kebutuhan kalorinya dibawah standar minimum yang dianjurkan. Hal ini diperkuat dari hasil pola konsumsi masyarakat perkotaan NTT yang cenderung ke arah instan dimana indikasi ini dapat dilihat dari meningkatnya konsumsi tepung terigu dan makanan juga minuman siap jadi di Provinsi NTT pada tahun Berdasarkan latar belakang daerah tempat tinggal, ternyata persentase rumah tangga rawan pangan di daerah pedesaan lebih besar dibandingkan di perkotaan. Tahun 2010, rumah tangga rawan pangan di daerah pedesaan mencapai 24,15 sedangkan di perkotaan sebesar 10,37 persen. Sebaliknya rumah tangga yang tahan pangan di perkotaan lebih besar dibandingkan rumah tangga di pedesaan. Rumah tangga tahan pangan di perkotaan mencapai 45,19 persen sedangkan di pedesaan hanya sebesar 15,44 persen. Hal tersebut mengindikasikan bahwa kondisi di daerah pedesaan lebih buruk dibanding di daerah perkotaan. Terbatasnya akses dan infrastruktur di pedesaan menyebabkan tingginya kerawanan pangan di pedesaan. Sebaliknya diperkotaan dengan segala fasilitas dan sarana yang ada menyebabkan tingkat rumah tangga yang tahan pangan juga cukup tinggi. Persentase rumah tangga yang rentan pangan di pedesaan ternyata lebih besar dibandingkan di perkotaan. Rumah tangga rentan pangan di pedesaan NTT mencapai 52,52 persen. Rumah tangga yang diidentifikasikan rentan pangan pada dasarnya telah memenuhi kebutuhan kalori minimum, namun secara ekonomi memiliki pangsa pengeluaran pangan yang masih besar, hal ini terkait dengan pola konsumsi dan kebiasaan makan. Biaya hidup yang lebih murah di pedesaaan

88 62 menjadi salah satu penyebab terpenuhinya kebutuhan kalori meski pangsa panganya masih lebih besar. Apabila hanya menggunakan indikator ekonomi (diproksi dari pangsa pengeluaran pangan) dengan kriteria apabila pangsa pengeluaran pangan tinggi (>60% pengeluaran total), maka kelompok tersebut merupakan golongan yang relatif kurang sejahtera. Dengan indikator tunggal tersebut, kelompok yang tidak tahan pangan adalah kelompok rentan pangan dan rawan pangan. Dengan kriteria tersebut, maka proporsi rumah tangga tidak tahan pangan di Provinsi NTT sekitar 71 persen, bila dibedakan kota dengan desa ternyata proporsi rumah tangga tidak tahan pangan di desa (77%) lebih tinggi dibanding didaerah kota yang mencapai 41 persen. Sementara itu bila menggunakan indikator tunggal dari kecukupan konsumsi energi (kalori), sebagai proksi dari peubah gizi maka kelompok rumah tangga dengan konsumsi kalori 80 persen dari syarat kecukupan merupakan kelompok yang tidak tahan pangan. Dengan kategori diatas, maka kelompok kurang pangan dan rawan pangan tergolong tidak tahan pangan, dengan demikian maka proporsi kelompok rumah tangga tidak tahan pangan sekitar 31 persen, bila dibedakan menurut wilayah maka proporsi rumah tangga tidak tahan pangan di desa dan di kota masing-masing sekitar 32 persen dan 24 persen. Karakteristik masing-masing kelompok rumah tangga menurut derajat ketahanan pangan dapat memperjelas tentang kondisi ketahanan pangan rumah tangga di Provinsi NTT. Beberapa karakteristik rumah tangga menurut derajat ketahanan pangan seperti lapangan pekerjaan, umur KRT, jumlah anggota RT, pendidikan KRT, status pekerjaan KRT dan konsumsi kalori dan protein rumah tangga dapat dijadikan sebagai acuan dalam mendeskripsikan ketahanan pangan rumah tangga Lapangan Pekerjaan Kepala Rumah Tangga Salah satu indikator tingkat kesejahteraan yang diharapkan dapat mencerminkan kondisi sosial ekonomi suatu rumah tangga adalah sumber pendapatan rumah tangga. Sektor lapangan pekerjaan rumah tangga mencerminkan perolehan sumber pendapatan. Sumber pendapatan juga dianggap

89 63 sebagai akses rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan panganya. Jika suatu rumah tangga memiliki pendapatan yang tinggi, maka diharapkan daya belinya terhadap kebutuhan akan pangan juga dapat tercukupi. Sumber penghasilan utama rumah tangga dapat didekati dengan lapangan usaha kepala rumah tangga. Secara umum, setiap rumah tangga di Indonesia dalam memenuhi kebutuhannya menganut sistem single budget. Kepala rumah tangga berkewajiban memenuhi kebutuhan rumah tangga sedangkan istri dan anggota rumah tangga lainnya bersifat membantu mencari nafkah. Oleh karena itu, lapangan usaha yang ditekuni kepala rumah tangga dijadikan acuan dalam penentuan kategori sektor dalam penelitian ini. Diantara penduduk yang rawan pangan pada tahun 2010 di Provinsi NTT, ternyata persentase terbesar adalah rumah tangga yang kepala rumah tangganya bekerja di sektor pertanian yaitu sebesar 82 persen (Gambar 12). Hal ini merupakan kondisi yang sangat ironis mengingat pertanian adalah salah satu lapangan usaha yang menghasilkan bahan pangan pokok, namun rumah tangga di sektor pertanian justru merupakan rumah tangga yang rawan pangan. hasil ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Saliem et. al., (2001) yang menyatakan bahwa di Indonesia rumah tangga rawan pangan paling banyak terdapat pada rumah tangga dengan mata pencarian di sektor pertanian sebagai penghasil bahan pangan. 3% 4% 3% 2% 0% 1% 5% Rawan Pangan Pertanian Pertambangan dan penggalian Industri pengolahan Listrik gas dan air bersih Bangunan dan kontruksi 82% Perdagangan,hotel dan restoran Pengangkutan, transportasi dan komunikasi Sumber : BPS (diolah) Gambar 12. Rumah Tangga Rawan Pangan Berdasarkan lapangan Usaha Kepala Rumah Tangga di Provinsi NTT (persen)

90 64 Dengan kondisi seperti ini dikhawatirkan banyak rumah tangga yang beralih ke sektor lain selain lapangan usaha pertanian yang memberikan pendapatan yang lebih tinggi, semisal jasa dan perdagangan walaupun dari hasil kontribusi terhadap PDRB keseluruhan di NTT menunjukkan bahwa subsektor pertanian memberikan kontribusi terbesarnya. Hal ini merupakan ancaman bagi ketahanan pangan, dimana dengan beralihnya rumah tangga pertanian ke sektor lain maka ketersediaan pangan yang merupakan penopang ketahanan pangan nasional dapat terancam keberadaanya. Selain itu bahan pangan maupun hasilhasil pertanian hanya akan bergantung kepada impor pangan dari negara lain sehingga Provinsi NTT tidak lagi memiliki kemandirian pangan. Secara agregat sumber pendapatan utama kelompok rumah tangga rentan pangan dan rawan pangan adalah dominan pada sektor pertanian masing-masing memberikan kontribusi sebesar 77 persen dan 82 persen. Sementara itu untuk rumah tangga tahan pangan, sebesar 41 persen sumber pendapatan utama berasal dari sektor jasa keuangan, perseroan dan jasa perusahaan. Kelompok rumah tangga tahan pangan menempati proporsi terkecil untuk sumber pendapatan yang berasal dari sektor pertanian. Tabel 11. menunjukkan distribusi pendapatan rumah tangga berdasarkan tingkat derajat ketahanan pangan berdasarkan lapangan pekerjaan. Tabel 11. Distribusi Rumah Tangga Menurut lapangan Pekerjaan dan Derajat Ketahanan Pangan di Provinsi NTT, Tahun 2010 Derajat Ketahanan Pangan No Lapangan Pekerjaan Tahan Pangan Rentan Pangan Kurang Pangan Rawan Pangan 1 Pertanian 41,64 76,84 65,25 81,94 2 Pertambangan dan penggalian 1,31 2,37 1,42 2,78 3 Industri pengolahan 1,64 1,87 2,84 1,67 4 Listrik gas dan air bersih 0,66 0,12 7,80 0,28 5 Bangunan dan kontruksi 1,31 2,74 4,26 4,17 6 Perdagangan,hotel dan restoran 8,52 3,86 5,67 2,78 7 Pengangkutan, transportasi dan komunikasi 3,61 1,49 2,84 1,39 8 Keuangan,perseroan dan jasa perusahaan 40,66 10,46 9,93 5,00 9 Lainnya 0,66 0,25 Total 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber : BPS, Susenas 2010 (diolah)

91 Tingkat Pendidikan Kepala Rumah Tangga Berdasarkan tingkat pendidikan yang ditamatkan oleh kepala rumah tangga, rumah tangga dengan klasifikasi rawan pangan memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Hampir 52 persen kepala rumah dengan status rumah tangga rawan pangan merupakan lulusan Sekolah Dasar (Tabel 12). Sebaliknya untuk rumah tangga tahan pangan, persentase yang tidak lulus sekolah dasar cukup kecil yakni hanya sebesar 13,47 persen. Rumah tangga tahan pangan didominasi oleh kepala rumah tangga yang lulus SMU dengan persentase sebesar 30 persen. Hal ini memperlihatkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka status ketahanan panganya semakin baik. Tabel 12. Distribusi Rumah Tangga Menurut Pendidikan dan Derajat Ketahanan Pangan di Provinsi NTT, Tahun 2010 Derajat Ketahanan Pangan No Tingkat Pendidikan Tahan Rentan Kurang Rawan Pangan Pangan Pangan Pangan 1 Tidak lulus SD 13,47 34,83 34,53 37,16 2 SD 21,56 38,33 33,09 51,36 3 SMP 10,78 9,99 16,55 10,27 4 SMU 29,64 14,17 10,07 1,21 5 Perguruan Tinggi 24,55 2,70 5,76 0,00 Total 100,00 100,00 100,00 100,00 Sumber : BPS, Susenas 2010 (diolah) Rumah tangga dengan klasifikasi rawan pangan akan semakin menurun dengan meningkatnya tingkat pendidikan kepala rumah tangga. Hal ini sesuai dengan penelitian Demeke dan Zeller (2010) yang menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan kepala rumah tangga maka akan semakin meningkatkan status ketahanan pangan rumah tangga tersebut. Kepala rumah tangga dengan pendidikan yang tinggi akan lebih muda mendapatkan pekerjaan sehingga akan memiliki pendapatan yang lebih baik guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Pendidikan akan dapat meningkatkan produktivitas yang selanjutnya dapat meningkatkan output yang akhirnya akan berdampak pada peningkatan pendapatan. Selain itu pendidikan yang tinggi juga dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman mengenai gizi dan kesehatan sehingga dapat digunakan untuk menentukan pola makan yang baik dan bergizi sehingga terhindar dari kerawanan pangan.

92 Status Pekerjaan Kepala Rumah Tangga Status pekerjaan kepala rumah tangga juga dapat dijadikan sebagai indikator kesejahteraan rumah tangga. Berdasarkan status pekerjaan kepala rumah tangga, rumah tangga dibedakan menjadi enam kategori yaitu berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap (buruh tidak dibayar), berusaha dibantu buruh tetap (buruh dibayar), buruh (karyawan/pegawai), pekerja tidak dibayar dan lainnya. Gambar 13 menunjukkan persentase rumah tangga rawan pangan berdasarkan status pekerjaan kepala rumah tangga. Status pekerjaan dengan berusaha dibantu buruh tidak tetap atau buruh tidak dibayar merupakan status pekerjaan dengan persentase tertinggi dalam rumah tangga rawan pangan yaitu sebesar 76 persen. Tingginya persentase tersebut menunjukkan bahwa rumah tangga rawan pangan sangat beresiko dengan status kepala rumah tangga dengan status tersebut. Status pekerjaan dengan berusaha dibantu buruh tidak tetap atau buruh tidak dibayar merupakan status pekerjaan yang informal dengan ketidak pastian pekerjaan dan tidak adanya jaminan yang kuat. Rawan Pangan 1% Berusaha sendiri 3% 9% 4% 7% Berusaha dibantu buruh tidak tetap/ buruh tidak dibayar Berusaha dibantu buruh tetap/ buruh dibayar 76% Buruh/karyawan/pegawai Pekerja tidak dibayar Lainnya Sumber : BPS (diolah) Gambar 13. Rumah Tangga Rawan Pangan Berdasarkan Status Pekerjaan Kepala RT di Provinsi NTT Tahun 2010 (persen) Sedangkan untuk rumah tangga dengan status tahan pangan, hampir 40 persen kepala rumah tangganya memiliki status pekerjaan sebagai buruh/ karyawan/ pegawai (Gambar 14). Hal ini dapat dimaklumi karena dengan status kepala rumah tangga yang bekerja di bidang formal seperti pegawai negeri

93 67 maupun karyawan swasta dengan pendapatan yang tinggi dan pekerjaan yang pasti tentunya dapat menjamin kebutuhan akan pangan di masing-masing rumah tangga. Kepala rumah tangga dengan status pekerjaan seperti ini biasanya lebih 40% 2% 1% 12% Tahan Pangan 38% Berusaha sendiri Berusaha dibantu buruh tidak tetap/ buruh tidak dibayar Berusaha dibantu buruh tetap/ buruh dibayar Buruh/karyawan/pegawai 7% Pekerja tidak dibayar Lainnya tahan pangan dan dapat memenuhi kebutuhan panganya dengan baik. Sumber : BPS (diolah) Gambar 14. Rumah Tangga Tahan Pangan Berdasarkan Status Pekerjaan Kepala RT di Provinsi NTT Tahun 2010 (persen) Umur KRT dan Jumlah Anggota Rumah Tangga Jumlah anggota rumah tangga secara absolut pada kelompok rumah tangga rawan pangan rata-rata lebih besar dibanding kelompok tahan pangan. Ada kecenderungan bahwa semakin besar jumlah anggota rumah tangga, maka semakin menurun derajat ketahanan pangan rumah tangga yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan studi yang dilakukan oleh Purwantini dan Rahman (2005) dimana hasil studinya menyimpulkan bahwa besarnya jumlah anggota rumah tangga menyebabkan derajat ketahanan pangan yang semakin memburuk. Upaya membangkitkan kembali program Keluarga Berencana dan kelembagaan posyandu dengan berbagai penyempurnaan akan meningkatkan ketahanan pangan rumah tangga. Jika dilihat dari umur kepala rumah tangga maka secara agregat umur kepala rumah tangga di provinsi NTT masih dalam usia produktif. Walaupun dari kelompok umur untuk rumah tangga tahan pangan lebih tinggi dari rawan pangan, tetapi rentang umur rumah tangga tahan pangan berkisar antara 15 tahun s/d 92 tahun. Sedangkan untuk rumah tangga rawan pangan rentang umurnya berkisar 20

94 68 tahun s/d 98 tahun. Berikut kategori umur dan jumlah anggota rumah tangga berdasarkan derajat ketahanan panganya dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13. Karakteristik Rumah Tangga Menurut Umur dan JART Menurut Derajat Ketahanan Pangan di Provinsi NTT, Tahun 2010 Derajat Ketahanan Pangan No Kategori Tahan Rentan Kurang Rawan Pangan Pangan Pangan Pangan 1 Umur KK (th) 48,15 49,44 48,59 46,94 2 Jumlah Anggota RT (orang) 4,3 4,5 5,3 5,4 Sumber : BPS, Susenas 2010 (diolah) Konsumsi Kalori dan Protein Sesuai rekomendasi angka kecukupan energi dan protein agar seseorang dapat hidup sehat dan aktif menjalankan akrivitas sehari-hari secara produktif maka diwajibkan mengkonsumsi kalori dan protein sebesar 2000 kkal/kap/hari dan 52 gram/ kap/hari (WNPG, 2004). Keragaan tingkat konsumsi kalori (energi) dan protein masing-masing kelompok rumah tangga menurut derajat ketahanan pangan di provinsi NTT disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Rataan Konsumsi Kalori dan Protein Menurut Derajat Ketahanan Pangan di Provinsi NTT, Tahun 2010 Derajat Ketahanan Pangan No Status Gizi Tahan Pangan Rentan Pangan Kurang Pangan Rawan Pangan 1 Konsumsi Kalori (kkal) 2418,8 2360,3 1343,9 1324,3 2 Konsumsi Protein (gram) 65,3 59,8 33,9 32,8 Sumber : BPS, Susenas 2010 (diolah) Sesuai dengan kriteria yang dirumuskan bahwa kelompok rumah tangga tahan pangan dan rentan pangan merupakan kelompok rumah tangga dari sisi gizi cukup ( 80% dari syarat kecukupan), seperti terlihat pada data Tabel 14. Kedua kelompok tersebut mengkonsumsi energi dan protein melebihi angka kecukupan. Sebaliknya pada kelompok kurang pangan dan rawan pangan masing-masing mengkonsumsi energi dan protein kurang dari angka kecukupan yang direkomendasikan. Secara umum konsumsi kalori di pedesaan lebih tinggi dibandingkan perkotaan kecuali untuk kelompok rumah tangga rawan pangan terjadi sebaliknya. Kelompok rentan pangan diindikasikan mengkonsumsi cukup kalori dan protein walaupun dari sisi ekonomi tergolong kurang sejahtera.

95 Pola Pengeluaran Rumah Tangga Pangsa pengeluaran pangan rumah tangga merupakan salah satu indikator ketahanan pangan rumah tangga (Pakpahan dkk., 1993). Pengeluaran total rumah tangga juga dapat dipandang sebagai pendekatan pendapatan rumah tangga. Oleh karena itu pemahaman pola pengeluaran (pangan dan non pangan) dapat dijadikan salah satu indikator ketahanan rumah tangga. Secara rinci pola pengeluaran rumah tangga menurut derajat ketahanan pangan di NTT dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15. Pola Pengeluaran Pangan dan Non Pangan RT Menurut Derajat Ketahanan Pangan di Provinsi NTT, Tahun 2010 Derajat Ketahanan Pangan Wilayah Status Tahan Pangan Rentan Pangan Kurang Pangan Rawan Pangan Desa Pangan 51,8 72,8 51,4 70,6 Non Pangan 48,2 27,2 48,6 29,4 Kota Pangan 47,6 68,1 53,4 68,3 Non Pangan 52,4 31,9 46,6 34,8 Total Pangan 52,3 71,3 51,5 66,0 Non Pangan 47,7 28,7 48,5 34,0 Sumber : BPS, Susenas 2010 (diolah) Sesuai dengan kategori pengelompokkan derajat ketahanan pangan maka kelompok rawan pangan dan rentan pangan adalah kelompok rumah tangga secara ekonomi (diproksi dari pola pengeluaran pangan) termasuk kurang sejahtera dalam hal ini pengeluaran panganya masih diatas 60 persen. Di desa, rata-rata pangsa pengeluaran pangan relatif lebih tinggi dibanding di kota untuk semua kelompok rumah tangga menurut derajat ketahanan pangan. dengan demikina dapat dikatakan bahwa di kota kondisinya relatif lebih baik dibandingkan di desa. 4.5 Dinamika Kerawanan Pangan Rumah Tangga di Provinsi NTT Dinamika ketahanan pangan di Provinsi NTT dapat dilihat dari perbandingan kerawanan pangan antara tahun 2009 dan Berdasarkan klasifikasi silang Jonsson and Toole dalam Maxwel et. al., (2009) maka telah terjadi perubahan status kerawanan pangan pada beberapa kabupaten di Provinsi NTT. Adapun kabupaten/ kota yang masuk ke dalam 12 peringkat tertinggi tingkat kerawanan panganya dapat dilihat pada Tabel 16. Beberapa kabupaten yang awalnya di tahun 2009 masuk kedalam 12 kabupaten dengan kondisi rawan

96 70 pangan, tetapi pada tahun 2010 kabupaten tersebut telah keluar dari kondisi rawan pangan diantaranya Sumba Barat, Kabupaten Kupang dan Manggarai Barat. Sedangkan ada tiga kabupaten yang awalnya di tahun 2009 tidak termasuk kedalam kondisi rawan pangan, tapi pada tahun 2010 masuk kedalam peringkat 12 besar kabupaten rawan pangan di Provinsi NTT yaitu Sumba Tengah, Flores Timur dan Sumba Timur. Tabel 16. Jumlah 12 Kabupaten Rawan Pangan dengan persentase Tertinggi di Provinsi NTT Tahun 2009 dan 2010 No Kabupaten Rawan Pangan Peringkat 1 TTS TTS 1 2 Lembata Sikka 2 3 Sumba Barat Alor 3 4 Alor Sumba Barat Daya 4 5 Kab. Kupang Belu 5 6 Rote Ndao TTU 6 7 TTU Manggarai 7 8 Sikka Sumba Tengah 8 9 Manggarai Lembata 9 10 Manggarai barat Flores Timur Sumba Barat Daya Sumba Timur Belu Rote Ndao 12 Sumber : BPS, Susenas 2009 dan 2010 (diolah) Untuk melihat dinamika perubahan kondisi tiap rumah tangga di NTT dari besarnya persentase rawan pangan, maka rumah tangga rawan pangan diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu persentase rumah tangga rawan pangan (1) rendah (<30 persen), (2) sedang (15-30 persen), (3) tinggi (>30 persen) di masing-masing kabupaten/ kota. Beberapa rumah tangga rawan pangan di kabupaten Provinsi NTT yang kondisinya membaik dibanding tahun 2009 adalah kabupaten Sumba Barat, Lembata, dan Manggarai Barat. Sedangkan beberapa Kabupaten yang kondisinya memburuk dibanding tahun 2009 adalah kabupaten Sumba Timur, Flores Timur, Belu, Sikka dan Sumba Tengah. Kondisi tetap juga dialami beberapa kabupaten lainnya di Provinsi NTT, dimana dibanding tahun 2009 kondisinya masih sama yaitu masih masuk kedalam wilayah rawan pangan. Berikut gambar 15 menunjukkan bahwa terdapat daerah yang secara konsisten semakin memburuk yang ditunjukkan dengan perubahan gradasi dari warna terang ke arah yang lebih gelap.

97 71 01 Sumba Barat 08 Lembata 15 Manggarai Barat 02 Sumba Timur 09 Flores Timur 16 Sumba Tengah 03 Kab. Kupang 10 Sikka 17 Sumba Barat Daya 04 TTS 11 Ende 18 Nagakeo 05 TTU 12 Ngada 19 Kota Kupang 06 Belu 13 Manggarai 07 Alor 14 Rote Ndao Gambar 15. Peta Persentase Rumah Tangga Rawan Pangan di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2009 dan 2010

ABSTRACT. Keywords : Food Security, Household, Ordinal Logistik Regression

ABSTRACT. Keywords : Food Security, Household, Ordinal Logistik Regression ABSTRACT INDA WULANDARI. Determinant of Household Food Security in East Nusa Tenggara Province. Under supervision of SRI HARTOYO and YETI LIS PURNAMADEWI. The issue of food security has become an important

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan Pangan (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), pp

I. PENDAHULUAN. Pertanian dan Pangan (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), pp I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia telah mengalami pemulihan yang cukup berarti sejak krisis ekonomi tahun 1998. Proses stabilisasi ekonomi Indonesia berjalan cukup baik setelah mengalami krisis

Lebih terperinci

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kebutuhan pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki dan harus dipenuhi oleh negara maupun masyarakatnya. Menurut Undang Undang nomor 7 tahun 1996 tentang

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori Konsep Ketahanan Pangan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori Konsep Ketahanan Pangan 13 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Konsep Ketahanan Pangan Defenisi ketahanan pangan berubah dari satu periode waktu ke periode waktu berikutnya (Salim et al., 2005). Sejak tahun 1970-an

Lebih terperinci

DISTRIBUSI PROVINSI DI INDONESIA MENURUT DERAJAT KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA

DISTRIBUSI PROVINSI DI INDONESIA MENURUT DERAJAT KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA DISTRIBUSI PROVINSI DI INDONESIA MENURUT DERAJAT KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA Handewi P.S. Rachman, Mewa Ariani, dan T.B. Purwantini Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No.

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak

BAB I PENDAHULUAN. Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kelangkaan pangan telah menjadi ancaman setiap negara, semenjak meledaknya pertumbuhan penduduk dunia dan pengaruh perubahan iklim global yang makin sulit diprediksi.

Lebih terperinci

IV. POLA KONSUMSI DAN KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

IV. POLA KONSUMSI DAN KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR IV. POLA KONSUMSI DAN KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR 4.1 Gambaran Umum Provinsi Nusa Tenggara Timur Provinsi Nusa Tenggara Timur secara geografis terletak di belahan paling selatan Indonesia

Lebih terperinci

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. tahun 1970an bersamaan dengan adanya krisis pangan dan kelaparan dunia

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. tahun 1970an bersamaan dengan adanya krisis pangan dan kelaparan dunia II. KERANGKA PENDEKATAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Ketahanan pangan Konsep ketahanan pangan (food security) mulainya berkembang pada tahun 1970an bersamaan dengan adanya krisis pangan dan kelaparan dunia

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ketahanan Pangan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercemin dari tersedianya

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. yang mendasar atau bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang penyelenggaraannya

I. PENDAHULUAN. yang mendasar atau bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang penyelenggaraannya I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan adalah salah satu kebutuhan dasar manusia untuk mempertahankan hidup, sehingga usaha pemenuhan kebutuhan pangan merupakan suatu usaha kemanusiaan yang mendasar

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat penting

PENDAHULUAN. Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat penting PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Mengingat perannya sebagai komoditas pangan utama masyarakat Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat penting sebagai salah satu faktor yang

Lebih terperinci

4. DINAMIKA POLA KONSUMSI DAN KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI JAWA TIMUR

4. DINAMIKA POLA KONSUMSI DAN KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI JAWA TIMUR 4. DINAMIKA POLA KONSUMSI DAN KETAHANAN PANGAN DI PROVINSI JAWA TIMUR 4.1 Kondisi Kecukupan Kalori dan Protein Keseimbangan kontribusi diantara jenis pangan yang dikonsumsi masyarakat adalah salah satu

Lebih terperinci

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan

prasyarat utama bagi kepentingan kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan usaha pembangunan manusia Indonesia yang berkualitas guna meningkatkan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Perumusan Masalah Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak asasi manusia. Pangan yang bermutu, bergizi, dan berimbang merupakan suatu

Lebih terperinci

KONSUMSI DAN KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN RUMAHTANGGA PERDESAAN DI INDONESIA: Analisis Data SUSENAS 1999, 2002, dan 2005 oleh Ening Ariningsih

KONSUMSI DAN KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN RUMAHTANGGA PERDESAAN DI INDONESIA: Analisis Data SUSENAS 1999, 2002, dan 2005 oleh Ening Ariningsih Seminar Nasional DINAMIKA PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PERDESAAN: Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani Bogor, 19 Nopember 2008 KONSUMSI DAN KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN RUMAHTANGGA

Lebih terperinci

DETERMINAN KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN RUMAH TANGGA DI PROVINSI JAWA TIMUR

DETERMINAN KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN RUMAH TANGGA DI PROVINSI JAWA TIMUR DETERMINAN KETAHANANN PANGAN REGIONAL DAN RUMAH TANGGA DI PROVINSI JAWA TIMUR NURLATIFAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini

Lebih terperinci

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN

ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN ANALISIS KEBUTUHAN LUAS LAHAN PERTANIAN PANGAN DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN PANGAN PENDUDUK KABUPATEN LAMPUNG BARAT SUMARLIN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009 PERNYATAAN MENGENAI TESIS

Lebih terperinci

KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN

KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI DAN PROTEIN YANG DIANJURKAN A. KOMPOSISI KONSUMSI ENERGI YANG DIANJURKAN Tabel 1. Komposisi Konsumsi Pangan Berdasarkan Pola Pangan Harapan Pola Pangan Harapan Nasional % AKG

Lebih terperinci

BAB VIII KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN DI SUMATERA SELATAN

BAB VIII KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN DI SUMATERA SELATAN BAB VIII KEMISKINAN DAN KETAHANAN PANGAN DI SUMATERA SELATAN Faharuddin, M.Si. (Bidang Statistik Sosial BPS Provinsi Sumatera Selatan) 8.1. Konsep Dasar Ketahanan Pangan Ketahanan pangan dikonseptualisasikan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar

I. PENDAHULUAN. nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar 1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang dan Masalah Pembangunan pertanian merupakan bagian integral dari pembangunan ekonomi nasional. Pembangunan pertanian memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi perekonomian

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kekayaan sumber daya alam dalam bidang pertanian merupakan keunggulan yang dimiliki Indonesia dan perlu dioptimalkan untuk kesejahteraan rakyat. Pertanian merupakan aset

Lebih terperinci

ANALISIS WILAYAH RAWAN PANGAN DAN GIZI KRONIS SERTA ALTERNATIF PENANGGULANGANNYA 1)

ANALISIS WILAYAH RAWAN PANGAN DAN GIZI KRONIS SERTA ALTERNATIF PENANGGULANGANNYA 1) 66 Pengembangan Inovasi Pertanian 1(1), 2008: 66-73 Mewa Ariani et al. ANALISIS WILAYAH RAWAN PANGAN DAN GIZI KRONIS SERTA ALTERNATIF PENANGGULANGANNYA 1) Mewa Ariani, H.P.S. Rachman, G.S. Hardono, dan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang

BAB I PENDAHULUAN. Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya,

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut

I. PENDAHULUAN. membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut I. PENDAHULUAN 1.I. Latar Belakang Salah satu output yang diharapkan dalam pembangunan nasional adalah membentuk sumberdaya manusia (SDM) Indonesia yang berkualitas. Menurut Menteri Kesehatan (2000), SDM

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. indeks pembangunan manusia (Badan Pusat Statistik, 2013). Walaupun Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. indeks pembangunan manusia (Badan Pusat Statistik, 2013). Walaupun Indonesia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang memiliki penduduk 230 juta dengan beraneka ragam budaya, sosio-ekonomi dan letak geografis menduduki peringkat 107 dari 177 negara untuk indeks pembangunan

Lebih terperinci

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014

DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014 DATA STATISTIK KETAHANAN PANGAN TAHUN 2014 BADAN KETAHANAN PANGAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2015 1 Perkembangan Produksi Komoditas Pangan Penting Tahun 2010 2014 Komoditas Produksi Pertahun Pertumbuhan Pertahun

Lebih terperinci

CUPLIKAN RUMUSAN HASIL KONFERENSI DEWAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2010

CUPLIKAN RUMUSAN HASIL KONFERENSI DEWAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2010 CUPLIKAN RUMUSAN HASIL KONFERENSI DEWAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2010 I. LATAR BELAKANG Peraturan Presiden No.83 tahun 2006 tentang Dewan Ketahanan Pangan menetapkan bahwa Dewan Ketahanan Pangan (DKP) mengadakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor agribisnis merupakan sektor ekonomi terbesar dan terpenting dalam perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah kemampuannya dalam menyerap

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pertanian merupakan sektor yang sangat penting karena pertanian berhubungan langsung dengan ketersediaan pangan. Pangan yang dikonsumsi oleh individu terdapat komponen-komponen

Lebih terperinci

PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI UBI JALAR NASIONAL DALAM RANGKA RENCANA PROGRAM DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK. Oleh: NOVIE KRISHNA AJI A

PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI UBI JALAR NASIONAL DALAM RANGKA RENCANA PROGRAM DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK. Oleh: NOVIE KRISHNA AJI A PERAMALAN PRODUKSI DAN KONSUMSI UBI JALAR NASIONAL DALAM RANGKA RENCANA PROGRAM DIVERSIFIKASI PANGAN POKOK Oleh: NOVIE KRISHNA AJI A14104024 PROGRAM STUDI MANAJEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT

Lebih terperinci

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Salah satu butir yang tercantum dalam pembangunan milenium (Millenium Development Goals) adalah menurunkan proporsi penduduk miskin dan kelaparan menjadi setengahnya antara tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. produksi beras nasional sangat penting sebagai salah satu faktor yang

BAB I PENDAHULUAN. produksi beras nasional sangat penting sebagai salah satu faktor yang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai komoditas pangan utama masyarakat Indonesia, kecukupan produksi beras nasional sangat penting sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi terwujudnya ketahanan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang perlu dipenuhi dalam mempertahankan hidup dan kehidupannya. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menyebutkan

Lebih terperinci

2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tinjauan Teori

2. TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Tinjauan Teori 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teori 2.1.1 Ketahanan Pangan Ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting dan strategis untuk dicapai karena menyangkut kepentingan orang banyak. Selain itu, pencapaian

Lebih terperinci

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Latar Belakang PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan yang dititikberatkan pada pertumbuhan ekonomi berimplikasi pada pemusatan perhatian pembangunan pada sektor-sektor pembangunan yang dapat memberikan kontribusi pertumbuhan

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Beras merupakan bahan pangan pokok yang sampai saat ini masih dikonsumsi oleh sekitar 90% penduduk

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Declaration and World Food Summit Plan of Action adalah food security

BAB I PENDAHULUAN. Declaration and World Food Summit Plan of Action adalah food security BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling hakiki. Menurut Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang pangan, pada pasal 1 ayat 17, menyebutkan ketahanan pangan

Lebih terperinci

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia masih memerlukan perhatian yang lebih terhadap persoalan pangan. Banyak kasus kurang gizi disebabkan karena rendahnya pemahaman pola konsumsi yang sehat

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar dalam kehidupan setiap individu. Pangan merupakan sumber energi untuk memulai segala aktivitas. Menurut Undang-Undang No.18 Tahun

Lebih terperinci

GAMBARAN UMUM. pada posisi 8-12 Lintang Selatan dan Bujur Timur.

GAMBARAN UMUM. pada posisi 8-12 Lintang Selatan dan Bujur Timur. 51 IV. GAMBARAN UMUM 4.1 Kondisi Umum 4.1.1 Geogafis Nusa Tenggara Timur adalah salah provinsi yang terletak di sebelah timur Indonesia. Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) terletak di selatan khatulistiwa

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka Beras bagi bangsa Indonesia dan negara-negara di Asia bukan hanya sekedar komoditas pangan atau

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETAHANAN DAN KERENTANAN PANGAN DI KABUPATEN ASAHAN TESIS. Oleh. Gayu Saputra / MAG

ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETAHANAN DAN KERENTANAN PANGAN DI KABUPATEN ASAHAN TESIS. Oleh. Gayu Saputra / MAG ANALISIS FAKTOR FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KETAHANAN DAN KERENTANAN PANGAN DI KABUPATEN ASAHAN TESIS Oleh Gayu Saputra 107039005 / MAG PROGRAM STUDI MAGISTER AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena

I. PENDAHULUAN. Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebijakan pembangunan merupakan persoalan yang kompleks, karena melibatkan seluruh sistem yang terlibat dalam suatu negara. Di negara-negara berkembang modifikasi kebijakan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk yang besar menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan penduduknya. Oleh karena itu, kebijakan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pertanian mempunyai peranan yang sangat penting dalam perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik secara langsung maupun

Lebih terperinci

SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI

SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI SISTEM KEWASPADAAN PANGAN DAN GIZI A. Pendahuluan Berdasarkan Undang-undang Pangan Nomor: 18 Tahun 2012, ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang

Lebih terperinci

ANALISIS KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN TINGKAT RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Utara)

ANALISIS KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN TINGKAT RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Utara) ANALISIS KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN TINGKAT RUMAH TANGGA (Studi Kasus di Provinsi Sulawesi Utara) Tri Bastuti Purwantini, Handewi P.S. Rachman dan Yuni Marisa Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan

Lebih terperinci

Tabel 1. Data produksi dan konsumsi beras tahun (dalam ton Tahun Kebutuhan Produksi Tersedia Defisit (impor)

Tabel 1. Data produksi dan konsumsi beras tahun (dalam ton Tahun Kebutuhan Produksi Tersedia Defisit (impor) BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 241 juta dengan ditandai oleh kelompok menengah yang mulai tumbuh, daya beli masyarakat yang meningkat dan stabilitas ekonomi yang

Lebih terperinci

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN (IKU) BADAN KETAHANAN PANGAN PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NO 1. Dipertahankannya ketersediaan pangan yang cukup, meningkatkan kemandirian masyarakat, pemantapan ketahanan pangan dan menurunnya

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pengertian Pangan Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang pemenuhannya menjadi hak

Lebih terperinci

ANALISIS KONSUMSI BERAS RUMAHTANGGA DAN KECUKUPAN BERAS NASIONAL TAHUN ARIS ZAINAL MUTTAQIN

ANALISIS KONSUMSI BERAS RUMAHTANGGA DAN KECUKUPAN BERAS NASIONAL TAHUN ARIS ZAINAL MUTTAQIN ANALISIS KONSUMSI BERAS RUMAHTANGGA DAN KECUKUPAN BERAS NASIONAL TAHUN 2002 2007 ARIS ZAINAL MUTTAQIN PROGRAM STUDI GIZI MASYARAKAT DAN SUMBERDAYA KELUARGA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Lebih terperinci

ANALISIS POLA KONSUMSI PANGAN DAN TINGKAT KONSUMSI BERAS DI DESA SENTRA PRODUKSI PADI

ANALISIS POLA KONSUMSI PANGAN DAN TINGKAT KONSUMSI BERAS DI DESA SENTRA PRODUKSI PADI ANALISIS POLA KONSUMSI PANGAN DAN TINGKAT KONSUMSI BERAS DI DESA SENTRA PRODUKSI PADI (Studi Kasus: Desa Dua Ramunia, Kecamatan Beringin, Kabupaten Deli Serdang) 1) Haga Prana P. Bangun, 2) Salmiah, 3)

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan

BAB I PENDAHULUAN. negara (Krugman dan Obstfeld, 2009). Hampir seluruh negara di dunia melakukan BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Perekonomian negara-negara di dunia saat ini terkait satu sama lain melalui perdagangan barang dan jasa, transfer keuangan dan investasi antar negara (Krugman dan Obstfeld,

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009 BADAN PUSAT STATISTIK BADAN PUSAT STATISTIK No. 43/07/Th. XII, 1 Juli 2009 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah Garis Kemiskinan di Indonesia

Lebih terperinci

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian.

I PENDAHULUAN. Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7) Tempat dan Waktu Penelitian. I PENDAHULUAN Bab ini akan dibahas mengenai: (1) Latar belakang, (2) Identifikasi masalah, (3) Maksud dan Tujuan Penelitian, (4) Manfat Penelitian, (5) Kerangka Pemikiran, (6) Hipotesis Penelitian, (7)

Lebih terperinci

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP KONSUMSI PANGAN SUMBER KARBOHIDRAT DI PERDESAAN DAN PERKOTAAN

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP KONSUMSI PANGAN SUMBER KARBOHIDRAT DI PERDESAAN DAN PERKOTAAN Jurnal Gizi dan Pangan, 2011, 6(3): 200-207 Journal of Nutrition and Food, 2011, 6(3): 200-207 FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP KONSUMSI PANGAN SUMBER KARBOHIDRAT DI PERDESAAN DAN PERKOTAAN (Influencing

Lebih terperinci

I. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

I. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS I. TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS A. Tinjauan Pustaka 1. Konsep Ketahanan Pangan Konsep ketahanan pangan mengacu pada pengertian adanya kemampuan mengakses pangan secara cukup untuk

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kemiskinan merupakan salah satu masalah dalam proses pembangunan ekonomi. Permasalahan kemiskinan dialami oleh setiap negara, baik negara maju maupun negara berkembang.

Lebih terperinci

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2016 ISBN:

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2016 ISBN: Prosiding Seminar Nasional Biotik 2016 ISBN: 978-602-18962-9-7 KETAHANAN PANGAN: SUATU ANALISIS KECUKUPAN ENERGI DAN PROTEIN TERHADAP KEBUTUHAN RUMAH TANGGA PETANI DI KABUPATEN GAYO LUES Siti Wahyuni 1)

Lebih terperinci

Pengaruh Formula dengan Penambahan Bumbu untuk Makanan Rumah Sakit pada Status Gizi dan Kesehatan Pasien LIBER

Pengaruh Formula dengan Penambahan Bumbu untuk Makanan Rumah Sakit pada Status Gizi dan Kesehatan Pasien LIBER Pengaruh Formula dengan Penambahan Bumbu untuk Makanan Rumah Sakit pada Status Gizi dan Kesehatan Pasien LIBER SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

Lebih terperinci

PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA

PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA PENGANEKARAGAMAN KONSUMSI PANGAN DAN GIZI : FAKTOR PENDUKUNG PENINGKATAN KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA Oleh : Dr. Ir. Achmad Suryana, MS Kepala Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian RI RINGKASAN Berbagai

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN 2. 1 Tinjauan Pustaka Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang diperuntukkan

Lebih terperinci

Kualitas Gizi Faktor Penting Pembangunan

Kualitas Gizi Faktor Penting Pembangunan Kebijakan Strategis RAN-PG 2016-2019: Kualitas Gizi Faktor Penting Pembangunan Prof. Dr. Bustanul Arifin barifin@uwalumni.com Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian UNILA Dewan Pendiri dan Ekonom Senior INDEF

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap manusia untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari guna mempertahankan hidup. Pangan juga merupakan

Lebih terperinci

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESA PENELITIAN 2.1 Tinjuan Pustaka Pengeluaran rumah tangga merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran keadaan kesejahteraan

Lebih terperinci

5. DETERMINAN KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN RUMAH TANGGA

5. DETERMINAN KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN RUMAH TANGGA 5. DETERMINAN KETAHANAN PANGAN REGIONAL DAN RUMAH TANGGA 5.1 Determinan Ketahanan Pangan Regional Analisis data panel dilakukan untuk mengetahui determinan ketahanan pangan regional di 38 kabupaten/kota

Lebih terperinci

BAB I. PENDAHULUAN. berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan,

BAB I. PENDAHULUAN. berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut UU pangan no 18 tahun 2012 pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, dan

Lebih terperinci

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) : MEWUJUDKAN JAWA TIMUR LEBIH SEJAHTERA, BERDAYA SAING MELALUI KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN

INDIKATOR KINERJA UTAMA (IKU) : MEWUJUDKAN JAWA TIMUR LEBIH SEJAHTERA, BERDAYA SAING MELALUI KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN INDIKATOR KINERJA (IKU) INSTANSI VISI MISI TUJUAN TUGAS : BADAN KETAHANAN PANGAN PROVINSI JAWA TIMUR : MEWUJUDKAN JAWA TIMUR LEBIH SEJAHTERA, BERDAYA SAING MELALUI KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN :

Lebih terperinci

pertanian pada hakekatnya, adalah semua upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tani menuju kehidupan yang lebih

pertanian pada hakekatnya, adalah semua upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tani menuju kehidupan yang lebih 1.1. Latar Belakang Pembangunan secara umum dan khususnya program pembangunan bidang pertanian pada hakekatnya, adalah semua upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tani menuju

Lebih terperinci

III. METODE PENELITIAN

III. METODE PENELITIAN 31 III. METODE PENELITIAN 3.1 Jenis dan Sumber Data Daerah yang menjadi analisis studi ini adalah Provinsi Nusa Tenggara Timur yang mencakup 19 kabupaten dan kota. Penelitian ini menggunakan data sekunder

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. kecukupan pangan bagi suatu bangsa merupakan hal yang sangat strategis untuk

I. PENDAHULUAN. kecukupan pangan bagi suatu bangsa merupakan hal yang sangat strategis untuk I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan manusia yang paling azasi, sehingga ketersedian pangan bagi masyarakat harus selalu terjamin. Manusia dengan segala kemampuannya selalu berusaha

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan salah satu sektor utama di negara ini. Sektor tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan salah satu sektor utama di negara ini. Sektor tersebut 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pertanian merupakan salah satu sektor utama di negara ini. Sektor tersebut memiliki peranan yang cukup penting bila dihubungkan dengan masalah penyerapan

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan ekonomi yang merupakan salah satu indikator keberhasilan suatu negara dapat dicapai melalui suatu sistem yang bersinergi untuk mengembangkan potensi yang dimiliki

Lebih terperinci

II. PENGERTIAN KETAHANAN PANGAN Nuhfil Hanani AR

II. PENGERTIAN KETAHANAN PANGAN Nuhfil Hanani AR 19 II. PENGERTIAN KETAHANAN PANGAN Nuhfil Hanani AR Swasembada Pangan versus Ketahanan Pangan Pada level nasional pengertian ketahanan pangan telah menjadi perdebatan selama tahun 1970 sampai tahun 1980an.

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia, karena itu pemenuhan

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia, karena itu pemenuhan I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia, karena itu pemenuhan pangan merupakan bagian dari hak asasi individu serta sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumber daya

Lebih terperinci

ANALISIS RASIO KETERSEDIAAN DENGAN KONSUMSI PANGAN DI KOTA MEDAN

ANALISIS RASIO KETERSEDIAAN DENGAN KONSUMSI PANGAN DI KOTA MEDAN ANALISIS RASIO KETERSEDIAAN DENGAN KONSUMSI PANGAN DI KOTA MEDAN Puji Adelina S 1), Satia Negara Lubis 2) dan Sri Fajar Ayu 3) 1) Alumni Fakultas Pertanian USU 2) dan 3) Staf Pengajar Program Studi Agribisnis

Lebih terperinci

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sektor pertanian memiliki peranan strategis dalam struktur pembangunan perekonomian nasional. Selain berperan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, sektor

Lebih terperinci

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Bertambahnya jumlah penduduk berarti pula bertambahnya kebutuhan konsumsi secara agregat. Peningkatan pendapatan diperlukan

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ketersediaan makanan. Teori tersebut menjelaskan bahwa dunia

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ketersediaan makanan. Teori tersebut menjelaskan bahwa dunia BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Maltus mengungkapkan dalam teorinya bahwa pertumbuhan penduduk melebihi pertumbuhan ketersediaan makanan. Teori tersebut menjelaskan bahwa dunia harus bersiap-siap

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals

BAB I PENDAHULUAN. Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hak atas pangan telah diakui secara formal oleh banyak negara di dunia, termasuk Indonesia. Akhir -akhir ini isu pangan sebagai hal asasi semakin gencar disuarakan

Lebih terperinci

SEKILAS TENTANG RAWAN PANGAN. Written by adminbkpp2 Wednesday, 20 May :37 - Last Updated Wednesday, 20 May :59

SEKILAS TENTANG RAWAN PANGAN. Written by adminbkpp2 Wednesday, 20 May :37 - Last Updated Wednesday, 20 May :59 Beberapa media sering sekali memberitakan tentang rawan pangan/ kerawanan pangan dan kelaparan yang terjadi pada suatu daerah. Dengan adanya pemberitaan ini maka dengan sendirinya masyarakat jadi tahu

Lebih terperinci

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dari perspektif sejarah, istilah ketahanan pangan (food security) mulai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Dari perspektif sejarah, istilah ketahanan pangan (food security) mulai II. TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Ketahanan pangan Dari perspektif sejarah, istilah ketahanan pangan (food security) mulai mengemuka saat terjadi krisis pangan dan kelaparan yang menimpa dunia

Lebih terperinci

ANALISIS POLA KONSUMSI DAERAH PERKOTAAN DAN PEDESAAN SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DI PROPINSI BANTEN MUHARDI KAHAR

ANALISIS POLA KONSUMSI DAERAH PERKOTAAN DAN PEDESAAN SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DI PROPINSI BANTEN MUHARDI KAHAR ANALISIS POLA KONSUMSI DAERAH PERKOTAAN DAN PEDESAAN SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DI PROPINSI BANTEN MUHARDI KAHAR SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010

Lebih terperinci

1. KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN, TANTANGAN DAN HARAPAN DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN DI INDONESIA 2. PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KEMISKINAN

1. KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN, TANTANGAN DAN HARAPAN DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN DI INDONESIA 2. PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KEMISKINAN BAHASAN 1. KETAHANAN PANGAN YANG BERKELANJUTAN, TANTANGAN DAN HARAPAN DALAM PEMBANGUNAN PERTANIAN DI INDONESIA 2. PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN KEMISKINAN NUHFIL HANANI AR UNIVERSITAS BAWIJAYA Disampaikan

Lebih terperinci

II. PENGEMBANGAN CADANGAN PANGAN PEMERINTAH KABUPATEN PELALAWAN

II. PENGEMBANGAN CADANGAN PANGAN PEMERINTAH KABUPATEN PELALAWAN II. PENGEMBANGAN CADANGAN PANGAN A. Landasan Hukum Memahami pentingnya cadangan pangan, pemerintah mengatur hal tersebut di dalam Undang- Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang pangan, khususnya dalam pasal

Lebih terperinci

METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan

METODE. Keadaan umum 2010 wilayah. BPS, Jakarta Konsumsi pangan 2 menurut kelompok dan jenis pangan METODE Desain, Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan prospective study dengan menggunakan data hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Provinsi Papua tahun 2008 sampai tahun

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, yakni salah satu penghasil

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, yakni salah satu penghasil 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, yakni salah satu penghasil komoditas pertanian berupa padi. Komoditas padi dikonsumsi dalam bentuk beras menjadi nasi.

Lebih terperinci

seperti Organisasi Pangan se-dunia (FAO) juga beberapa kali mengingatkan akan dilakukan pemerintah di sektor pangan terutama beras, seperti investasi

seperti Organisasi Pangan se-dunia (FAO) juga beberapa kali mengingatkan akan dilakukan pemerintah di sektor pangan terutama beras, seperti investasi 1.1. Latar Belakang Upaya pemenuhan kebutuhan pangan di lingkup global, regional maupun nasional menghadapi tantangan yang semakin berat. Lembaga internasional seperti Organisasi Pangan se-dunia (FAO)

Lebih terperinci

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2008

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2008 BADAN PUSAT STATISTIK No. 37/07/Th. XI, 1 Juli 2008 PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2008 Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia pada bulan Maret 2008 sebesar

Lebih terperinci

Better Prepared And Ready to Help

Better Prepared And Ready to Help Mengukur dan Memahami Kerawanan Pangan di Indonesia: Pengalaman WFP Emergency Retno Sri Handini Preparedness VAM Officer Mission Nepal Yogyakarta, 10 Desember 2015 Outline 1. Program WFP di Indonesia 2.

Lebih terperinci

KETAHANAN PANGAN DI KAWASAN TIMUR INDONESIA TRIANA RACHMANINGSIH

KETAHANAN PANGAN DI KAWASAN TIMUR INDONESIA TRIANA RACHMANINGSIH KETAHANAN PANGAN DI KAWASAN TIMUR INDONESIA TRIANA RACHMANINGSIH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan, ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang

Lebih terperinci

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA Oleh : RIKA PURNAMASARI A14302053 PROGRAM STUDI EKONOMI PERTANIAN DAN SUMBERDAYA FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Lebih terperinci

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang subur dan memiliki kekayaan alam yang melimpah. Hal ini dikarenakan Indonesia berada di wilayah tropis. Sehingga berbagai jenis

Lebih terperinci

FOOD SECURITY : ANALISIS AKSES DAN KETERSEDIAAN DI PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI OLEH : RHEMO ADIGUNO AGRIBISNIS

FOOD SECURITY : ANALISIS AKSES DAN KETERSEDIAAN DI PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI OLEH : RHEMO ADIGUNO AGRIBISNIS FOOD SECURITY : ANALISIS AKSES DAN KETERSEDIAAN DI PROVINSI SUMATERA UTARA SKRIPSI OLEH : RHEMO ADIGUNO 090304120 AGRIBISNIS PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. mencapai sasaran-sasaran pembangunan yang dituju harus melibatkan dan pada

BAB I PENDAHULUAN. mencapai sasaran-sasaran pembangunan yang dituju harus melibatkan dan pada BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Pembangunan nasional yang dinilai berhasil pada hakikatnya adalah yang dilakukan oleh dan untuk seluruh rakyat. Dengan demikian, dalam upaya mencapai sasaran-sasaran

Lebih terperinci

PRODUKSI PANGAN INDONESIA

PRODUKSI PANGAN INDONESIA 65 PRODUKSI PANGAN INDONESIA Perkembangan Produksi Pangan Saat ini di dunia timbul kekawatiran mengenai keberlanjutan produksi pangan sejalan dengan semakin beralihnya lahan pertanian ke non pertanian

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. suasana tentram, serta sejahtera lahir dan batin (Siswono, 2002).

BAB I PENDAHULUAN. suasana tentram, serta sejahtera lahir dan batin (Siswono, 2002). BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pangan pada dasarnya merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling asasi. Demikian asasinya pangan bagi kehidupan masyarakat, maka ketersediaan pangan harus dapat dijamin

Lebih terperinci

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA

ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA ANALISIS EKOLOGI-EKONOMI UNTUK PERENCANAAN PEMBANGUNAN PERIKANAN BUDIDAYA BERKELANJUTAN DI WILAYAH PESISIR PROVINSI BANTEN YOGA CANDRA DITYA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007 ABSTRACT

Lebih terperinci

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk Indonesia yang memberikan energi dan zat gizi yang tinggi. Beras sebagai komoditas pangan pokok dikonsumsi

Lebih terperinci